45 Misteri Raja Racun
1
"Ck, ck, ck...!"
Ctar, ctar, ctar...!
Suara decakan pelan, lecutan
cambuk, langkah kaki kuda, dan gemeretak roda kereta kuda menggilas jalan,
memecah keheningan pagi.
Saat itu suasana pagi masih
menyelimuti mayapada. Sang Surya belum begitu jauh bergeser dari tempat
terbitnya. Sinarnya masih terasa lembut menghangatkan kulit. Desir angin pun
masih membawa hawa kesegaran.
Dan lelaki yang duduk di
bangku kusir kereta itu pun nampaknya tahu benar manfaat udara pagi seperti itu.
Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengisi rongga
dadanya dengan udara bersih yang terus menerpa wajahnya.
Kusir kereta itu seorang
lelaki bertubuh tegap dan kekar. Wajahnya yang nampak segar kemerahan pertanda
kalau lelaki itu memiliki tubuh yang sehat. Meskipun sebagian rambut di kepala
telah memutih, karena usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Ck, ck, ck...!"
Untuk kesekian kali, mulut
lelaki kekar yang mengenakan pakaian coklat itu berdecak. Kemudian dengan pelan
sekali cambuknya dilecutkan ke punggung kuda. Lecutan itu tidak sekeras
lazimnya kusir yang menghendaki kudanya agar bergerak lebih cepat.
Kereta sederhana yang ditarik
seekor kuda itu terus bergerak meninggalkan jalan berbatu-batu yang sulit untuk
dilalui. Tak jauh di depan kereta yang berjalan terseok-seok itu tampak
membentang sebuah hutan lebat.
"Kalau kita telah
melewati hutan itu, kau bisa beristirahat, Putih," kata lelaki berpakaian
coklat itu sambil menatap kudanya. Ternyata, kuda putih penarik kereta itulah
yang barusan dipanggil Putih.
Aneh juga tingkah laku lelaki
itu. Kalau saja ada orang melihat tingkah lakunya itu, mungkin akan merasa
heran. Betapa tidak? Seorang manusia tampak akrab berbicara dengan seekor kuda.
Namun, rupanya kuda putih itu
berbeda dengan kuda umumnya. Kuda putih penarik kereta itu meskipun tak dapat
berbicara seperti manusia, seakan-akan mengerti benar ucapan lelaki itu.
Buktinya, kuda itu langsung meringkik pelan, dan segera mempercepat langkahnya.
Padahal, lelaki berpakaian coklat itu sama sekali tidak mencambuknya.
Tak lama kemudian, kereta kuda
itu mulai memasuki mulut hutan yang cukup besar dan menyeramkan. Pepohonan di
dalam hutan itu besar-besar dan menjulang tinggi. Kelebatan pepohonan
menghalangi sinar matahari menembus ke dalam hutan itu. Sehingga suasana pagi
hari di dalam hutan terlihat begitu remang-remang.
Meskipun keadaan hutan yang
bernama Hutan Gendar itu cukup menyerarnkan, lelaki berpakaian coklat itu tidak
cemas sedikit pun. Nampaknya dia tahu pasti tentang hutan itu. Itulah sebabnya,
meski sendirian, lelaki itu dengan tenang memasuki hutan lebat itu.
Gemeretak bunyi roda, langkah
kaki kuda, dan sesekali decakan mulut lelaki itu seolah-olah memecah kesunyian
hutan. Namun, betapa kagetnya hati lelaki tua yang duduk di kereta kuda itu
ketika melihat kemunculan beberapa sosok berpakaian hitam. Wajah mereka tak
dapat dikenali karena tertutup selubung kain hitam.
Mereka langsung bergerak
menyebar untuk mengepung dan menghadang kereta yang memasuki hutan itu. Seketika
lelaki berpakaian coklat itu menghentikan keretanya.
"Hhh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu
mendesah dalam hati. Sebenarnya tadi telinganya mendengar suara berkerosakan
dalam hutan itu. Tapi dia tidak menaruh curiga sama sekali. Diduganya, suara
berkerosakan itu hanya disebabkan binatang-binatang di dalam hutan. Sama sekali
hatinya tak menduga kalau ternyata yang muncul di hadapannya sosok- sosok
berpakaian serba hitam.
"Hm... siapa kalian?
Mengapa merintangi jalanku? Kalau kalian perampok, sia-sia saja kalian! Aku
tidak punya barang-barang berharga sama sekali!" tandas lelaki berpakaian
coklat itu, seolah ingin memberi tahu.
"Perampok? Jaga mulutmu,
Ki Gadung! Atau kuhancurkan mulutmu!" bentak salah satu dari tiga orang
yang berdiri di depan kereta.
"Hehhh...? Jadi, kalian
mengenalku? Hebat! Tidak kusangka kalau namaku demikian terkenal! Sekarang,
kuminta buka tutup muka kalian! Dan..."
"Diam...!" bentak
seseorang yang bertubuh tinggi kurus. "Turun dari keretamu! Cepat! Atau
aku harus menyeretmu turun!"
Kusir kereta yang ternyata
bernama Ki Gadung itu tercenung sejenak. Kemudian bangkit dari duduknya dan
melompat turun dari kereta.
"Hap!" Jiiggg!
Tanpa menimbulkan suara keras,
kedua kaki Ki Gadung mendarat di tanah. Dari lompatannya yang indah dan cepat
ini bisa diketahui kalau Ki Gadung pun mempunyai kepandaian silat yang perlu
diperhitungkan. Setidak-tidaknya dia menguasai ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi.
"Hm...!"
Sosok berseragam hitam yang
bertubuh tinggi kurus mendengus. Sepasang mata yang terlihat melalui dua lubang
pada selubung itu, menatap sekujur tubuh Ki Gadung dari ujung rambut sampai
ujung kaki.
"Bunuh dia!"
perintah sosok tinggi kurus itu.
Perintah itu terdengar begitu
datar, seperti perintah untuk membunuh nyamuk atau tikus.
Ki Gadung tentu saja terkejut
mendengar uca-an sosok tinggi kurus yang dilihat dari tindak-tanduknya dialah
pemimpin gerombolan itu. Dan keterkejutan Ki Gadung semakin menjadi-jadi ketika
melihat sosok-sosok serba hitam itu mulai bergerak mendekatinya. Sehingga
keadaannya semakin terjepit.
"Tahan! Tunggu
sebentar!" cegah Ki Gadung, buru- buru. "Mungkin kalian salah orang.
Kurasa kita tidak pernah bertemu dan tak ada urusan antara kita!"
Ucapan Ki Gadung membuat
mereka yang tengah bergerak mendekat, menghentikan langkah. Mereka tidak berani
melancarkan serangan terhadap Ki Gadung, karena lelaki berpakaian coklat itu
kemudian terlibat percakapan dengan pimpinan mereka.
"Ha ha ha...!"
Sosok serba hitam yang
bertubuh tinggi kurus tertawa bergelak begitu mendengar ucapan Ki Gadung.
"Kau kira kami keliru? Ha
ha ha...! Bukankah namamu Gadung? Siapa yang tidak mengenalmu? Kau terkenal
sebagai orang yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Asalmu Desa
Gedong, kan?"
Tanpa sadar, Ki Gadung
menganggukkan kepala membenarkan.
"Nah, sekarang sudah
jelas. Bunuh dia!" perintah pemimpin gerombolan itu.
Orang-orang berseragam hitam
itu tidak ragu-ragu lagi bergerak ke arah Ki Gadung.
Srat, srat, srattt!
Cahaya berkilau pun segera
nampak ketika sosok berseragam serba hitam mencabut senjata masing-masing.
Golok-golok besar terhunus sudah diayun-ayunkan tangan mereka terarah ke tubuh
Ki Gadung.
Sing, sing, sing!
Bunyi desing nyaring terdengar
dari golok-golok besar yang terayun-ayun membelah udara. Nampaknya ayunan golok
itu dibarengi pengerahan tenaga dalam yang cukup kuat.
Ki Gadung segera sadar kalau
saat ini bukan waktunya lagi untuk berdebat kalau dirinya masih ingin selamat.
Yang harus dilakukannya sekarang mempersiapkan perlawanan.
Ki Gadung segera mencabut
sepasang pedang yang tergantung bersilangan di punggung.
Srat, srat!
Sinar-sinar yang tidak kalah
terang pun keluar dari kedua batang pedang Ki Gadung. Pedang itu mulai terayun-
ayun mencoba mengatasi serangan serangan gencar golok lawan.
Trang, trang, trang!
Suara riuh rendah teriakan dan
dentang senjata memecah keheningan hutan. Percikan bunga-bunga api dari
benturan senjata senjata tajam pun menambah semarak pertarungan.
Untuk sementara Ki Gadung
berhasil menangkis dan mengelakkan setiap serangan golok-golok besar itu. Tentu
saja Ki Gadung terus mempercepat gerakannya.
Kini Ki Gadung bersikap lebih
waspada. Dengan tajam kedua matanya memperhatikan tiap gerak-gerik lawan yang
berada di sekelilingnya. Lelaki berpakaian coklat ini telah bersiap-siap untuk
menghadapi munculnya serangan mendadak yang sewaktu-waktu berkelebat ke
tubuhnya.
***
Sementara itu, sosok-sosok
berseragam hitam yang masih mengepung Ki Gadung pun tidak kalah waspada dalam bertindak. Dengan langkah hati-hati,
mereka mendekati Ki Gadung. Selangkah demi selangkah kepungan itu pun semakin
menyempit.
"Haaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras,
tiga dari sembilan sosok berpakaian hitam yang mengurung, langsung melancarkan
serangan. Namun Ki Gadung nampak tidak begitu terkejut, karena sejak tadi sudah
bersiap menghadapi setiap serangan. Maka begitu serangan tiba, Ki Gadung
langsung menyambutnya. Lelaki berpakaian coklat ini secepat kilat memutar
sepasang pedangnya di atas kepala seperti baling-baling. Tak lama kemudian kedua
pedang itu diayunkan memapak serangan lawan-lawannya.
"Hiaaat...!"
Trang! Trang! Trang!
Tiga serangan golok besar
lawan berhasil dipatahkan Ki Gadung. Bahkan akibat benturan itu, tiga
penyerangnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Ki Gadung sendiri hanya tergetar
saja.
Namun, lelaki berpakaian
coklat itu belum sempat berbuat sesuatu, serangan sosok-sosok berpakaian hitam
lainnya datang meluncur. Akibatnya, Ki Gadung kewalahan menghadapi serangan
itu. Betapa tidak? Serangan datang silih berganti. Namun, dalam keadaan
terjepit, lelaki berpakaian coklat ini terus mengadakan perlawanan sengit.
Pada jurus-jurus awal,
pertarungan berlangsung seimbang. Kedua belah pihak belum berani membuka diri.
Serangan-serangan dan elakan-elakan yang dilakukan sebagian besar hanya
bersifat penjajakan kemampuan terhadap lawan.
Tapi ketika pertarungan mulai
menginjak jurus ketiga puluh, Ki Gadung mulai kewalahan. Perlahan-lahan
serangannya menurun dan tidak segencar pada awal-awal pertarungan. Bahkan
akhirnya Ki Gadung lebih banyak melakukan gerakan menghindar.
Sekarang keadaan Ki Gadung tak
ubahnya seekor tikus kecil yang tengah dipermainkan sekelompok kucing. Ki
Gadung rerpontang-panting ke sana kemari berusaha menyelamatkan diri dari
setiap serangan lawan. Bahkan terkadang tubuhnya bergulingan di tanah,
sementara senjata lawan terus memburunya.
Dan pada jurus keempat puluh
tiga, salah seorang lawan yang bertubuh sedang melancarkan serangan berupa
sabetan mendatar ke arah leher. Buru-buru Ki Gadung merendahkan tubuhnya.
Wuttt!
Babatan golok itu lewat
beberapa jari di atas kepala Ki Gadung. Tapi belum sempat berbuat sesuatu, dari
belakang sebatang golok meluncur ke punggung. Dan...
Jrottt! "Aaakh...!"
Ki Gadung terpekik keras.
Darah segar muncrat dari bagian punggungnya yang tertikam ketika golok yang
menembus punggung dicabut. Seketika itu pula tubuhnya tersungkur ke tanah,
tidak berdaya lagi.
"Tahan...!"
Terdcngar suara bentakan keras
mencegah, ketika sosok berseragam hitam itu hendak menghabisi nyawa Ki Gadung.
Seketika itu pula mereka mengurungkan tindakan itu. Mereka tahu suara bentakan
itu berasal dari mulut pemimpin mereka yang sejak awal berdiri sambil
menyaksikan pertarungan dari kejauhan.
Dugaan mereka tidak salah.
Suara bentakan itu berasal dari sang Pemimpin. Dan melihat anak buahnya telah
menjatuhkan lawan, lelaki tinggi kurus ini mengayunkan langkah menuju anak
buahnya. Maka, sosok-sosok berpakaian hitam yang tengah berkerumun pun
menyibak, memberi jalan pada pemimpinnya.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi kurus itu
tertawa bergelak penuh kemenangan. Masih dengan tawa yang belum putus
ditatapnya Ki Gadung yang tengah mengerang kesakitan.
"Itulah ganjaran bagi
orang yang terlalu usil!" ujar lelaki tinggi kurus. "Dan perlu
diketahui, kau bukan orang pertama yang kami lenyapkan. Sudah beberapa orang
yang punya keahlian sepertimu terpaksa kami lenyapkan. Kau tahu, kenapa?"
Tidak ada sambutan dari mulut
Ki Gadung atas pertanyaan lelaki tinggi kurus itu. Bagaimana mungkin Ki Gadung
akan dapat menjawabnya? Sedangkan ucapan pimpinan gerombolan berpakaian hitam
itu hanya samar- samar tertangkap telinganya. Ditambah lagi rasa sakit yang
teramat sangat, membuat pikirannya tak mampu memperhatikan ucapan pemimpin
gerombolan berpakaian serba hitam itu.
"Karena mereka mempunyai
sifat seperti kau. Gemar mencampuri urusan orang lain. Nah, sekarang terimalah
kematianmu!"
Setelah berkata demikian,
pemimpin gerombolan itu mencabut golok besarnya yang tergantung di punggung.
Srat! "Hihhh...!"
Mata golok besar itu terayun
siap menebas leher Gadung. Semua mata anak buahnya telah siap menyaksikan suatu
pemandangan mengerikan, terputusnya batang leher Ki Gadung!
Tapi, tiba-tiba... Singgg!
Tukkk!
Sebuah batu meluncur ke tangan
pemimpin yang tengah mengacungkan golok besarnya.
"Aaakh...!"
Jerit kesakitan keluar dari
mulut pemimpin ge- rombolan, ketika sebuah batu sebesar ibu jari menghantam
punggung tangannya. Telak dan keras. Tak aneh kalau pemimpin gerombolan itu
merasa sakit bukan kepalang. Goloknya sampai terlepas ke samping. Tubuhnya
membungkuk sambil mulutnya menyeringai kesakitan. Tangan kirinya nampak
memegangi punggung tangan kanannya yang kesakitan.
Dan sebelum laki-laki tinggi
kurus itu sempat berbuat sesuatu, seosok bayangan ungu berkelebat.
Wuttt! Tappp!
Begitu cepat sosok bayangan
ungu itu berkelebat. Sehingga, tak seorang pun dari mereka yang dapat melihat
jelas bentuknya.
Lelaki berpakaian serba hitam
begitu terkejut ketika melihat tubuh Ki Gadung sudah tidak ada di tempat
semula. Seketika mereka menduga kalau sosok yang barusan berkelebat begitu
cepat itu yang telah membawa tubuh Ki Gadung. Siapa lagi kalau bukan sosok ungu
itu, karena tak ada orang lain yang datang ke tempat ini.
Orang-orang berseragam hitam
segera mengalihkan pandangan ke arah melesatnya sosok bayangan ungu. Ternyata
benar, sekitar enam tombak dari tempat mereka tampak dua sosok tubuh.
"Siapa kalian, Keparat?!
Dan mengapa men-ampuri urusan kami?!" bentak lelaki tinggi kurus.
Tidak percuma lelaki tinggi
kurus ini menjadi pimpinan rekan-rekannya. Dia mampu menguasai perasaan.
Sehingga, meskipun kemarahan hebat melandanya, tidak langsung mengumbarnya.
Pikirannya berputar untuk mengungkap maksud campur tangan orang atas urusannya.
Sang pemimpin gerombolan ini memperhatikan dua sosok tubuh yang berada di
hadapannya. Yang satu, seorang pemuda berpakaian ungu dengan rambut putih
keperakan. Sedangkan di sebelahnya, seorang gadis cantik berpakaian putih
dengan rambut panjang tergerai, sedang berlutut memeriksa luka Ki Gadung.
"Maaf! Bukan aku tidak
mau memperkenalkan diri. Tapi jika kalian bersedia membuka selubung, dengan
senang hati akan kusebutkan namaku!" jawab pemuda berpakaian ungu, kalem.
Ternyata pemuda itu yang telah
menyambar tubuh Ki Gadung dari kerumunan orang-orang berpakaian hitam tadi.
"Keparat! Kuberikan
kesempatan sekali lagi, apabila kau dan kawanmu tetap tidak mau memperkenalkan
diri, jangan salahkan kalau kami akan menangkapmu!" ancam laki-laki tinggi
kurus.
"Sudah kukatakan, aku dan
kawanku akan memperkenalkan diri. Tapi dengan syarat, kalian semua membuka
selubung yang menutup wajah kalian. Bagaimana? Setuju dengan usul kami?!"
masih tetap tenang ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Keparat! Mampuslah
kau...! Hiyaaat…!"
Diiringi teriakan keras,
lelaki tinggi kurus itu melompat menerjang pemuda berambut putih keperakan.
Sambil melompat, pimpinan gerombolan berseragam hitam ini langsung mengirimkan
sebuah tendangan terbang dengan kaki kanan meluncur ke dada.
Wuttt!
Tendangan yang begitu cepat
dan keras itu cukup berbahaya, karena mendapat bantuan dari tenaga lompatan.
Pemuda berambut pulih
keperakan tetap bersikap tenang meskipun agak terkejut melihat tendangan yang
begitu cepat itu. Tidak nampak tanda-tanda kalau dirinya akan melakukan tangkisan
atau elakan. Baru ketika serangan itu meluncur hampir mengenai dadanya tanpa
menggeser kaki, tubuhnya dimiringkan ke kiri.
Kemudian gerakan menghindar
itu disusul dengan gerakan tangan yang cepat. Tangan kanannya dengan cepat
sekali menyambar pergelangan kaki kanan lawan.
Tappp! Kaki kanan pimpinan
gerombolan itu berhasil dicekalnya. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu
kelabakan dan begitu kaget. Belum sempat lelaki tinggi kurus itu berbuat
sesuatu, tiba-tiba pemuda berpakaian ungu itu telah lebih dulu menarik kakinya.
Kemudian dengan cepat pemuda
berpakaian ungu itu memutar-mutarkan tubuh lawannya di atas kepala.
Wuk! Wuk! Wuk...!
"Aaa...!"
Lelaki tinggi kurus itu
menjerit. Betapa tidak? Tubuhnya yang kurus itu diputar begitu cepat, hingga semua
yang berada di sekelilingnya seolah-olah berputar-putar. Kepalanya mulai merasa
pening tidak karuan, sedang perutnya terasa mual seperti hendak muntah.
Semua anak buahnya terlongong
bengong me- nyaksikan tubuh pimpinannya diputar-putar seperti itu.
Sementara, lelaki bertubuh
kurus itu merasa perutnya mual dan
kepalanya pusing. Dia langsung menduga, jika pemuda itu mempercepat putarannya,
sudah pasti perutnya yang mual akan segera memuntahkan isinya.
Tapi kekhawatiran pemimpin
gerombolan orang berseragam hitam ini ternyata tidak terjadi. Pemuda berambut
putih keperakan itu tiba-tiba melepaskan cekalannya.
Wuttt! "Aaa...!"
2
Untuk yang kesekian kalinya,
tanpa sadar laki-laki tinggi kurus ini terpekik keras ketika tubuhnya terlempar
dengan deras. Untung saja tubuhnya terlempar ke semak- semak yang rimbun.
Gusrakkk!
Tubuh lelaki tinggi kurus itu
masuk ke semak-semak rimbun.
Kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Sehingga, orang-orang berpakaian hitam yang lain tidak sempat berbuat sesuatu untuk menolong
pemimpin mereka. Baru ketika tubuh tubuh pemimpin itu terjatuh ke dalam semak-
semak, mereka tersadar.
Seiring dengan timbulnya
kesadaran itu, kemarahan pun menyeruak. Gerombolan itu pun segera menyerbu
pemuda berpakaian ungu di depan mereka.
Sing! Sing! Sing!
Desing suara ayunan
golok-golok membeset udara, terdengar ketika gerombolan berseragam hitam itu
mengayunkan senjatanya dengan cepat ke bagian tubuh pemuda berpakaian ungu itu.
Tujuh dari sembilan orang
berseragam hitam kini serentak menyerbu pemuda itu. Sedangkan dua lainnya
berlari ke semak-semak untuk menolong pemimpin mereka.
Tapi seperti juga sebelumnya,
pemuda berambut putih keperakan itu
begitu tenang menghadapi serangan lawan-barannya. Dia tetap berdiri di tempat
semula. Tidak nampak tanda-tanda akan mengelak atau merubah kedudukan kaki.
Bahkan hingga serangan-serangan golok itu menghujani tubuhnya.
Trak! Trak! Trak!
Suara berdetak keras terdengar
seperti benturan antara dua benda yang terbuat dari logam, ketika golok-golok
itu mengenai sekujur tubuh pemuda itu. Tak satu pun serangan golok-golok itu
yang melukai kulit tubuhnya. Dari kejadian ini bisa diketahui kalau pemuda
berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Dan jelas
jauh di atas tingkat tenaga dalam lawan-lawannya.
"Hehhh...?!"
Orang-orang berpakaian hitam
yang menyerangnya terkejut bukan kepalang. Betapa tidak? Semula mereka menduga
kalau golok-golok mereka akan merobek kulit lawan. Kulit tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu keras bagai batu. Tidak sedikit pun luka yang menggores
tubuhnya. Bahkan beberapa mata golok mereka gompal!
Ketika ketujuh orang
berpakaian serba hitam tengah dicekam rasa kaget dan heran, tiba-tiba tangan
pemuda berambut putih keperakan mengibas dengan cepat sekali. Sehingga
orang-orang yang berusaha menyerangnya tak sempat berkelit atau menangkis.
Buk, bukkk...!
"Uhk! Akh!
Hugkh...!"
Suara jeritan tertahan
terdengar bersahutan ketika kedua tangan pemuda berambut putih keperakan itu
mendarat di tubuh tujuh orang lawannya. Pukulan tangan kosong itu terjadi
begitu cepat.
Dalam waktu sekejap, tujuh
orang berseragam hitam itu terjengkang ke belakang. Tubuh mereka
terguling-guling di tanah.
Sementara itu kedua orang yang
memisahkan diri untuk menolong sang Pemimpin, menyeruak keluar dari balik
kerimbunan semak-semak. Mereka memapah lelaki tinggi kurus yang masih dalam
keadaan payah itu. Langkahnya masih goyah dan terseok-seok.
"Badai datang, gulung
layar...!" seru lelaki tinggi kurus
pada tujuh orang anak buahnya yang tengah berusaha bangkit dengan susah payah.
Kemudian tanpa menunggu
ketujuh anak buahnya siap, sang Pemimpin dan dua orang yang bersamanya segera
membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ketujuh orang anak
buahnya yang baru dipecundangi pemuda berambut putih keperakan, berlari
menyusul, meskipun dengan langkah terseok-seok.
Pemuda berambut putih
keperakan hanya memperhatikan sambil tersenyum. Sama sekali tidak dicegahnya
mereka melarikan diri. Kemudian wajahnya segera dipalingkan pada rekannya yang
tengah tertunduk lesu mengawasi Ki Gadung.
"Bagaimana keadaannya,
Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Hhh...!" gadis
berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading itu
menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Tidak ada harapan
lagi, Kang Arya. Luka-Iuka yang dideritanya terlalu parah. Jadi..., hanya
tinggal menunggu saatnya saja."
Pemuda berambut putih
keperakan yang d-panggil Arya atau lebih terkenal berjuluk Dewa Arak itu ikut
membungkukkan tubuh. Kemudian berjongkok dengan bertumpu pada ujung-ujung jari
kakinya.
Dewa Arak memperhatikan
keadaan Ki Gadung sejenak.
"Kau benar, Melati.
Nyawanya tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Kita harus cepat mengorek
keterangan dari mulutnya, untuk mengetahui penyebab bentrokan antara dirinya
dengan gerombolan berseragam hitam tadi."
"Kau benar, Kang,"
hanya itu yang bisa dikatakan
Melati.
Dewa Arak melemparkan seulas
senyum sebagai
tanggapan atas persetujuan
kekasihnya. Segera perhatiannya dialihkan pada Ki Gadung.
Keadaan lelaki berpakaian
coklat ini sudah payah sekali. Napasnya sudah terengah-engah dan dadanya
bergerak lambat.
"Katakan pada kami, Ki.
Mengapa mereka hendak membunuhmu? Dan siapa mereka?" tanya Arya tidak
sabar.
"Hhh... hhh...
hhh...!"
Lelaki berpakaian coklat itu
tidak langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Dia sibuk mengatur napasnya yang
tersengal-sengal.
"A..., aku... ti... tidak
tahu, Anak Muda.... Tapi..., sempat kudengar... mereka menuduhku telah mencampuri
urusannya. Hhh... hhh...!"
Sampai di sini Ki Gadung
menghentikan ucapannya. Keadaannya yang sudah payah, hingga tak mampu
meneruskan ucapannya. Meskipun keinginannya untuk menceritakan tentang kejadian
yang dialami terlihat sangat besar. Terbukti, beberapa saat kemudian ucapannya
kembali dilanjutkan.
"Mereka mengatakan...
hhh... hhh..., sebelum aku, telah dibinasakan pula beberapa orang yang telah
mencampuri urusan mereka... hhh... hhh "
"Apa sebenarnya urusan
yang mereka maksudkan itu, Ki?" tanya Melati yang sejak tadi hanya diam
mendengarkan.
"Aku..., aku..., akh
!"
Lelaki berpakaian coklat itu
belum sempat menuntaskan ucapan, maut telah lebih dulu menjemputnya. Seketika
itu pula kepalanya terkulai.
"Hhh !"
Dewa Arak menghela napas
berat! Ditatapnya Melati, yang pada saat itu juga tengah menatapnya.
"Sayang dia tidak sempat
menyebutkan urusan yang dimaksudkannya itu, Kang," kata Melati pelan.
"Bukan hanya urusannya
saja yang tidak sempat kita ketahui, Melati. Nama dan tempat tinggalnya pun kita
tidak tahu. Hhh...! Persoalan ini belum jelas bagi kita," kata Arya
mengeluh.
"Tapi..., aku percaya kau
akan bisa mengungkapkannya, Kang," jawab Melati bernada yakin.
"Kau memang pandai
membesarkan hati orang, Melati," kata Dewa Arak sambil tersenyum.
"Persoalan ini harus
segera terungkap, Kang," snmbut Melati lagi.
"Sudahlah...! Mari kita
urus dulu mayat ini," ajak Arya, memutuskan pembicaraan.
Setelah itu, Dewa Arak lalu
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia bermaksud mencari tempat yang layak
untuk mengubur mayat lelaki itu.
"Kang, kita kubur saja di
sana!" kata Melati sambil jarinya menunjuk sebatang pohon beringin yang
tumbuh di dekat situ.
"Aku pun berpendapat
begitu, Melati," sahut Arya.
Lalu Dewa Arak segera bangkit
sambil membopong tubuh Ki Gadung ke arah pohon beringir itu.
*** Setelah selesai mengubur
mayat Ki Gadung, Dewa Arak dan Melati melangkah ke kereta ber kuda putih yang
tidak jauh dari tempat itu.
"Kalau menurutmu, siapa
pemilik kereta itu, Melati?" tanya Arya sambil menatap kereta itu.
Melati tidak langsung menjawab
pertanyaan kekasihnya. Sambil mengayunkan langkah mendekati kereta, diikutinya
langkah Dewa Arak. Pikirannya diputar untuk mencari jawaban bagi pertanyaan
itu.
"Kurasa, kereta itu pasti
milik lelaki yang tewas tadi, Kang," jawab Melati.
"Dugaanku juga begitu,
Melati. Rasanya dugaan kita tidak keliru. Tidak mungkin gerombolan berseragam
hitam itu menggunakan kereta sepert ini."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala sambil merayapi kereta yang berkuda putih itu.
"O ya, Kang. Bagaimana
kalau kita periksa isi kereta itu. Barangkali ada sesuatu yang bisa kita
dapatkan untuk menambah jelas persoalan ini!" usul Melati sambil mendekat
ke arah kereta.
"Boleh juga,
Melati," sahut Arya menyetujui.
Sesaat kemudian mereka telah
berada di dekat kereta itu. Dengan agak bergegas mereka menuju bagian belakang
untuk mendapatkan pintu kereta itu.
Tanpa bicara sepatah kata pun,
Melati langsung mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu kereta.
"Tunggu! Tahan dulu,
Melati! Jangan tergesa-gesa!"
Melati langsung membatalkan
maksudnya. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Dewa Arak yang masih berdiri di
belakangnya.
"Mengapa kau menahanku,
Kang?" tanya Melati merasa penasaran.
"Aku tidak melarangmu,
Melati. Aku hanya ingin agar kita bertindak hati-hati. Bukan tidak mungkin, di
dalam kereta itu ada sesuatu yang membahayakan kita. Bisa jadi..., binatang.
Atau, mungkin... ada senjata rahasianya."
Melati hanya terdiam. Disadari
kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan kekasihnya itu.
"Betul juga, Kang. Aku
sering lupa untuk waspada. Apalagi setelah keadaan seperti ini. Maksudku...,
ketika lawan sudah kabur seperti ini," jawab Melati mengakui
keteledorannya.
"Jangan mempunyai pikiran
seperti itu, Melati. Usahakan untuk tidak meninggalkan kewaspadaanmu dalam
setiap tindakan yang akan kau lakukan. Kau mengerti maksudku?" ujar Dewa
Arak.
"Mengerti, Kang,"
jawab Melati.
"Nah! Sekarang bukalah
pintu kereta itu."
Tanpa menunggu perintah dua
kali, dengan hati-hati Melati mengulurkan tangan untuk membuka daun pintu
kereta. Sekujur otot dan urat syarafnya menegang, bersiap menghadapi
kemungkinan yang dapat terjadi.
Kreeet!
Dengan sekali sentak, Melati
membuka daun pintu itu sambil melompat ke belakang. Hal itu dilakukan untuk
menghadapi kemungkinan seperti yang dikatakan Dewa Arak.
Wuttt!
Begitu daun pintu telah
terkuak lebar, tiba-tiba dari dalam kereta melesat dengan cepat bayangan hitam
menuju leher Melati. Begitu cepat lesatan bayangan hitam itu hingga Melati
bahkan Dewa Arak tidak sempat melihat jelas bentuknya.
Namun, Melati tidak nampak
gugup melihat lesatan bayangan hitam itu. Karena gadis berpakaian putih ini
telah lebih dulu bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Bahkan, buru-buru tangannya mencabut pedang yang tergantung di punggung.
Srattt!
Secepat pedang itu tercabut,
secepat itu pula diayunkan ke arah kelebatan bayangan hitam yang tengah
meluncur ke arahnya.
"Ihhh...!"
Melati kaget melihat darah
muncrat ketika pedangnya berhasil membabat benda hitam itu.
Plukkk!
Benda hitam itu jatuh ke
tanah. Secara bersamaan, Melati dan Dewa Arak langsung mengarahkan matanya ke
benda itu. Dan seketika itu pula mereka terperanjat. Ternyata benda hitam itu
seekor ular hitam mengkilat. Dan kini ular sebesar lengan bayi itu tergeletak
tak bernyawa lagi. Darah mengalir dari luka akibat tebasan pedang Melati.
"Minggir, Melati! Mungkin masih ada yang lainnya."
Dewa Arak yang merasa khawatir
akan keselamatan kekasihnya, segera bergerak melompat mendekati Melati yang masih
berdiri di depan pintu kereta. Matanya diedarkan merayapi bagian dalam kereta
itu.
Pemuda berambut putih
keperakan ini mengawasi dengan cermat seluruh bagian dalam kereta. Bahkan
sampai ke sudut-sudutnya. Namun tak satu pun benda yang mencurigakan dapat
membahayakan dirinya. Kecuali sebuah peti coklat dan berukir yang terletak di
dalam kereta itu. Panjang dan lebar peti itu sekitar lima jengkal tangan.
Dewa Arak mengernyitkan dahi
melihat peti itu. Apakah isi yang ada di dalamnya? Apakah ular juga? Tapi
rasanya tidak mungkin. Peti itu sama sekali tidak berlubang untuk pertukaran
udara. Sehingga, tidak mungkin kalau di dalamnya tersimpan makhluk hidup.
Setelah meyakini dugaannya
benar dan setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda akan terjadinya
penyerangan, Dewa Arak memutuskan untuk memeriksa peti itu.
Tanpa meninggalkan
kewaspadaan, Dewa Arak menurunkan peti itu dari kereta. Di luar dugaan,
ternyata peti itu cukup berat.
Sementara Melati hanya
memperhatikan semua tindakan yang dilakukan kekasihnya. Sama seperti Dewa Arak,
hatinya pun ingin tahu isi peti itu. Maka gadis berpakaian putih itu mendekat
ketika Dewa Arak akan membuka peti. Hatinya penasaran ingin tahu makhluk atau
benda di dalamnya.
Dewa Arak mulai memperhatikan
sekeliling peti itu. Melati tampaknya tahu maksudnya. Dewa Arak tengah mencari
bagian dari peti itu yang dapat dibuka.
Dugaan Melati tidak salah!
Dewa Arak tengah mencari bagian yang menjadi tutup peti. Akhirnya, pemuda
berambut putih keperakan ini berhasil menemukannya. Segera ditariknya bagian
penutup peti coklat dan berukit itu.
Kriiit...!
Suara berderit pelan terdengar
ketika tutup peti terbuka. Dan seiring dengan terbukanya tutup peti, tercium
bau menyengat hidung, seperti bau rempah-rempah. Ketika akhirnya tutup peti itu
terbuka lebar, tampak benda-benda yang ada di dalamnya. Benda-benda itu tidak
lain guci-guci kecil yang besarnya tidak lebih dari kepalan tangan. Lubang
guci-guci itu tertutup rapat.
Sebenarnya, tanpa memeriksa
pun Dewa Arak telah menduga isi guci-guci itu. Bau khas yang tercium sudah
menjelaskan isi guci-guci itu. Tapi, untuk memastikan kebenaran dugaannya, Dewa
Arak mengambil salah satu guci dan membuka penyumbatnya. Kemudian guci itu
didekatkan ke hidungnya.
"Apa isi guci itu, Kang?
Benarkah obat-obatan?" tanya Melati tidak sabar.
Dewa Arak menganggukkan kepala
membenarkan dugaan Melati.
"Jadi..., lelaki
berpakaian coklat yang tewas itu seorang tabib, Kang?" tanya Melati lagi.
"Yahhh...! Kira-kira
begitulah," jawab Arya.
"Berarti sebuah
keterangan telah kita dapatkan, Kang. Kemungkinan, lelaki berpakaian coklat itu
tengah menuju suatu tempat untuk mengobati orang sakit atau terluka. Tapi
ternyata ada pihak yang tidak menginginkan orang yang terluka itu diobati. Maka
tabib itu dibunuh," ujar Melati mencoba menguraikan kesimpulan yang ada
dalam benaknya.
"Kemungkinan besar memang
demikian, Melati," dukung Arya.
"Jadi..., dugaanmu sama
denganku, Kang?" tanya Melati, setengah tak percaya.
Dewa Arak menganggukkan
kepala.
"Hanya dugaan itu yang
paling masuk akal, Melati."
Melati terdiam, matanya
memandang ke sekeliling hutan yang sangat lebat itu. Dia pun menyadari kalau dugaan yang dikemukakannya kemungkinan
besar benar.
"Sekarang yang perlu kita
ketahui, ke mana sebenarnya tujuan lelaki berpakaian coklat itu?" tanya
Dewa Arak bernada desahan.
Suasana hening langsung
melingkupi tempat itu. Hanya suara burung dan angin yang bertiup terdengar.
Baik Dewa Arak maupun Melati tenggelam dalam pikirannya sendiri. Masing-masing
memikirkan pertanyaan yang dikeluarkan Dewa Arak.
tiba. "Tapi, ada satu hal
yang aneh, Kang," kata Melati tiba-
"Apa itu,
Melati?" tanya Arya, terpaksa menghentikan pikirannya yang tengah
berusaha memecahkan teka-teki itu. "Mengapa di dalam kereta itu dimasukkan
seekor
ular? Bukankah binatang itu
dapat mengancam orang yang membuka pintu kereta?"
"Hal itu bisa dimaklumi,
Melati," sahut Arya sambil tersenyum. "Obat-obatan itu bagi seorang
tabib seperti dia sangat berharga. Dan untuk melindunginya dari tangan
orang-orang yang bermaksud tidak baik, hal itu dilakukannya. Walaupun mungkin
dalam keadaan terpaksa. Namun, aku juga tidak yakin, kalau hanya untuk itu
dimasukkan ular ke dalamnya. Aku yakin ada maksud lainnya."
Selesai berkata demikian, Dewa
Arak melangkah menuju bangkai ular hitam yang tergeletak di samping roda kereta
itu. Begitu berada dekat, tubuhnya dibungkukkan. Sambil berjongkok dengan
bertumpu pada jari-jari kakinya, Dewa Arak memperhatikan bangkai ular hitam
yang sudah tak berkepala itu.
Kurang puas hanya dengan
memperhatikan, Dewa Arak lalu memungut sebilah golok yang tergeletak dekat
situ. Kemudian dengan senjata itu, bangkai ular hitam itu dibolak- balikkan.
"Bukan ular sembarangan,
Melati," kata Arya setelah cukup lama memeriksa.
"Aku belum mengerti maksudmu,
Kang? Jadi..., ini ular ajaib?"
Dewa Arak menggelengkan
kepala, tanpa mengalihkan matanya dari ular hitam itu.
"Tidak, Melati. Terlalu
berlebihan kalau disebut ajaib. Tetapi, ular ini memiliki banyak kelebihan
dibanding dengan ular lainnya. Darah dan bisa ular ini bisa dijadikan untuk
obat," jelas Arya.
"Ooo...," sambut
Melati sambil mengangguk- anggukkan kepala. Rupanya itulah alasan lelaki
berpakaian coklat itu membawa ular ini, Kang."
"Kira-kira begitu,
Melati."
"Kau tahu ular apa itu,
Kang?" tanya Melati, setelah terdiam beberapa saat, sambil memandangi ular
hitam itu. Dewa Arak menganggukkan kepala. "Apa, Kang?" tanya Melati
lagi.
"Ular Terbang
Hitam," jawab Arya. "Jenis ular yang cukup sulit didapatkan. Tidak
banyak orang yang tahu tempat hidup ular seperti ini. Apalagi untuk
menangkapnya. Ular macam ini banyak dicari jago-jago racun dan ahli obat.
Karena memang itulah kegunaan Ular Terbang Hitam seperti ini."
"Berarti..., lelaki yang
kita kubur tadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Kang. Buktinya dia
berhasil menangkap Ular Terbang Hitam itu," ujar Melati membuat
kesimpulan.
"Belum tentu demikian,
Melati. Tidak perlu kepandaian yang terlalu tinggi untuk menangkapnya. Yang
penting tahu kelemahannya. Dan, lelaki berpakaian coklat itu rupanya memiliki
keahlian itu," jelas Arya.
Untuk yang kesekian kalinya,
Melati mengangguk- anggukkan kepala. Dia menyadari adanya kebenaran yang tidak
bisa dibantah dalam ucapan Dewa Arak. Kalau benar Ki Gadung memiliki kepandaian
tinggi, barangkali gerombolan orang berseragam hitam itu tidak mampu
melukainya. Padahal, Melati sendiri yakin kalau dirinya saja mungkin akan mampu
mengatasi gerombolan berseragam hitam itu.
"Berarti tinggal satu
persoalan lagi. Dan setelah itu, masalahnya akan selesai, Kang," kata
Melati bemada yakin.
"Jangan terlalu cepat
menarik kesimpulan, Melati," kata Arya. "Bukankah yang kau maksud
tempat tujuan lelaki berpakaian coklat itu?"
Melati menganggukkan kepala.
"Kalau demikian, kau
terlalu cepat menarik ke- simpulan. Kau tahu, Melati. Kalau kita berhasil
menemukan tempat tujuan lelaki berpakaian coklat itu, berarti kita baru masuk
dalam persoalan. Masih banyak liku-liku yang harus kita selesaikan."
Dewa Arak menghentikan
ucapannya sebentar untuk membasahi tenggorokannya yang kering, sambil bangkit
dari jongkoknya.
"Sampai di sana nanti
kita harus menyelidiki apakah orang yang bakal ditolong lelaki berpakaian
coklat itu terluka secara wajar ataukah tidak. Setelah itu, kita masih harus
menyelidiki lagi tentang orang-orang yang tadi membunuh lelaki berpakaian
coklat itu. Benarkah mereka terlibat dalam masalah ini? Dan banyak lagi hal
lain yang harus diselidiki, Melati."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Sekarang mari kita
memulai penyelidikan, Melati. Aku yakin tempat orang-orang yang akan diobati
tak jauh dari tempat orang-orahg berseragam hitam berada. Dan, aku yakin kalau
mereka berada di salah satu desa sekitar sini."
"Tapi bukankah di sekitar
tempat ini banyak terdapat desa, Kang? Di sebelah barat, timur, mau pun utara,
ada desa. Arah mana yang harus kita tempuh, Kang?" tanya Melati.
"Kalau melihat jejak yang
ditinggalkan roda kereta, jelas berasal dari timur. Tinggal tiga pilihan yang
harus kita tuju, utara, selatan, dan barat."
"Lalu..., sekarang arah
mana dulu yang harus kita tempuh, Kang?" tanya Melati lagi.
"Aku belum bisa
memutuskannya. Tapi kalau menurutku, lebih baik kita coba ikuti gerombolan
berseragam hitam tadi. Barangkali mereka meninggalkan jejak yang bisa kita
ikuti," jawab Arya sambil mengarahkan matanya ke tempat gerombolan tadi
pergi.
Melati sama sekali tidak
memberikan tanggapan. Di dalam hati, dia menyetujui tindakan yang akan
dilakukan Dewa Arak. Namun hatinya merasa tidak yakin mereka akan menemukan
jejak orang-orang berseragam hitam tadi.
Sesaat kemudian, Dewa Arak dan
Melati bergerak meninggalkan tempat itu. Tetapi kali ini sepasang muda-mudi
yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu tidak mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh untuk mengejar gerombolan berpakaian hitam. Hal itu karena
Dewa Arak dan Melati berjalan sambil terus memeriksa ke sekeliling. Barangkali
ada jejak yang ditinggalkan gerombolan berseragam hitam itu.
Beberapa kali Dewa Arak dan
Melati menghentikan langkah ketika menemukan tanda-tanda adanya jejak yang
ditinggalkan gerombolan berseragam hitam.
3
Brakkk!
Seketika sebuah meja bundar
terbuat dari papan tebal hitam dan berukir, hancur berkeping-keping. Sebuah
tangan yang tertutup sarung tangan menghantamnya. Jelas, pukulan tangan kosong
itu mengerahkan tenaga dalam tinggi.
"Bodoh! Dungu! Kalian
semua benar-benar buta!"
Suara bentakan terdengar
menggelegar keras dari mulut lelaki yang telah menghancurkan meja barusan.
Suaranya yang begitu keras menggelegar bagaikan halilintar itu dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ampunkan kami, Ketua.
Sebenarnya..., kalau saja tidak segera muncul segerombolan orang yang langsung
menolong Ki Gadung, tentu kepalanya akan kami bawa kemari. Tapi, serbuan
gerombolan itu terlalu kuat untuk bisa kami lawan. Namun, kami yakin Ki Gadung
akan tewas sebelum sempat mengatakan sesuatu. Luka-luka yang dideritanya
terlalu parah," lapor salah satu dari sepuluh orang berseragam serba hitam
yang bertubuh tinggi kurus.
Sembilan orang yang berdiri di
belakangnya, hanya diam membisu. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk.
Kepasrahan akan jatuhnya hukuman atas diri mereka, terlihat jelas dalam sikap
seperti itu.
Sang Ketua yang tengah murka,
langsung terdiam mendengar laporan laki-laki tinggi kurus itu. Hanya ada sebuah
perbedaan pada mereka, yaitu bagian dahi di selubung sosok yang tengah murka
terdapat sebuah gambar tengkorak kecil.
"Segerombolan orang?!
Coba kau ceritakan dengan jelas, bagaimana mereka bisa muncul? Bagaimana
ciri-ciri pimpinan mereka?" tanya sosok hitam yang pada dahinya terdapat
gambar sebuah tengkorak.
Lelaki tinggi kurus itu tidak
segera menjawab.
Ditelannya air liur yang sejak
tadi terbendung di mulutnya. "Tentang kemunculan mereka, kami tidak tahu
pasti, Ketua. Mereka muncul secara mendadak. Tapi, kalau pemimpinnya kami tahu.
Dia adalah seorang pemuda tampan, berpakaian ungu dan rambutnya putih
keperakan," jawab lelaki kurus yang tadi memimpin gerombolan itu.
Sekelebatan terlihat ada
perubahan pada sorot mata sang Ketua. Nampaknya cerita lelaki tinggi kurus itu
berpengaruh cukup besar terhadap dirinya.
"Hm..., jadi orang itu
pemimpinnya?" tanya sang Ketua menegaskan keterangan anak buahnya.
"Benar, Ketua,"
jawab lelaki tinggi kurus yakin. "Hm...!"
Sosok berseragam hitam yang
dipanggil ketua mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian tatapan matanya dialihkan
ke sembilan orang berseragam hitam yang lainnya.
"Angkat wajah kalian, dan
tatap aku!"
Tanpa menunggu keluarnya
perintah yang kedua kali, sembilan orang berseragam hitam itu langsung mengangkat
kepala dan menatap sang Ketua. Karena sosok yang mempunyai tanda tengkorak di
dahinya itu tengah menatap pula, maka bentrokan pandangan pun tidak bisa
dihindari lagi.
"Aku akan bertanya pada
kalian. Benarkah ada yang menghalangi kalian membunuh Ki Gadung?" lanya
sang Ketua sambil mengedarkan pandangan, menatap wajah mereka satu persatu.
"Benar, Ketua,"
jawab sembilan orang berseragam hitam itu serempak sambil menganggukkan kepala.
"Apakah benar mereka
berjumlah banyak dan dipimpin oleh seorang pemuda berambut putih
keperakan?" tanya sang Ketua lagi.
Brakkk!
"Bodoh! Dungu! Kalian
semua benar-benar buta!" bentak lelaki yang telah menghancurkan meja
barusan. Suaranya terdengar keras menggelegar.
Sepuluh orang anak buahnya
hanya diam membisu. Mereka berdiri pasrah menanti hukuman yang akan dijatuhkan
sang Ketua. Kali ini sembilan orang berseragam hitam yang berdiri di hadapannya
tidak langsung menjawab. Mereka tampak merasa ragu untuk menjawabnya. Tenntu
saja hal ini membuat lelaki tinggi kurus kebingungan. Dia mengharap
rekan-rekannya turut mendukung pengakuannya.
"Bagus! Rupanya kalian
masih kepingin hidup, sehingga tidak berani mendustaiku seperti dia!"
bentak sang Ketua sambil menuding lelaki tinggi kurus yang kini tertunduk
ketakutan.
Kemudian dengan sorot mata
bengis, ditatapnya wajah lelaki tinggi kurus yang tanpa sadar melangkah mundur.
Hatinya ngeri ketika melihat sorot mata penuh ancaman.
"Kau kira aku percaya
ceritamu itu, Keparat?! Untung saja yang lain tidak mengikutimu, mencoba membohongiku.
Kalau tidak, mereka akan mengalami nasib yang sama sepertimu!" tandas sang
Ketua dengan suara berdesis.
Lelaki tinggi kurus mengetahui
adanya bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan dirinya. Maka secepat
kilat tubuhnya berbalik. Lalu berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat
itu.
"Mau lari ke mana kau,
Keparat Busuk?! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" seru sang Ketua
dengan nada suara yang membuat bulu kuduk berdiri. Seiring dengan ucapan itu,
tangannya dikebutkan.
Srrr!
Suara berdesir pelan
mengiringi meluncurnya beberapa batang jarum berwarna kehijauan.
Crep! Crep!
"Aaakh...!"
Tubuh laki-laki tinggi kurus
itu kontan menggeliat diiringi pekikan keras ketika jarum-jarum halus menancap
tubuhnya. Tapi hal itu hanya berlangsung sebentar. Karena kemudian lelaki
tinggi kurus itu telah kembali berlari.
Kali ini sang Ketua tidak
kembali melancarkan jarum dari tangannya. Hanya matanya yang terus
memperhatikan larinya lelaki tinggi kurus itu. Apakah sang Ketua hendak melepaskan
anak buahnya vang telah berbohong begitu saja?
Ternyata tidak! Tak ada maksud
sedikit pun di henaknya untuk membiarkan anak buahnya itu lolos. Tidak
dilakukannya tindakan apa pun, karena diyakini kalau jarum-jarum yang telah
mendarat di sasaran akan mampu menghentikan anak buahnya itu.
Ternyata benar! Tubuh lelaki
tinggi kurus itu seketika terjungkal hanya beberapa langkah setelah berlari
lagi.
"Akh...!"
Kembali teriakan keras
terdengar seiring dengan robohnya tubuh lelaki tinggi kurus yang berusaha kabur
itu.
"Ha ha ha...!"
Sang Ketua tertawa
terbahak-bahak. Sebuah tawa yang mengandung kemenangan. Menilik dari tawanya
yang keras dan menggelegar, sosok dengan gambar tengkorak kecil di dahinya ini
mengerahkan tenaga dalam sewaktu mengeluarkan tawanya.
Sembilan orang berseragam
hitam yang berdiri di belakangnya, semua mendekapkan tangan pada kedua telinga
masing-masing. Suara tawa itu dirasakan telah mengguncangkan dada mereka.
Untung saja suara tawa itu
tidak berlangsung lama. Sehingga sembilan orang itu kembali tenang setelah tawa
menggelegar itu terhenti. Namun ketakutan di hati mereka belum juga reda.
"Bawa si keparat itu
kemari!" perintah sang Ketua sambil menggelengkan kepala kepada kesembilan
anak buahnya yang tengah gemetar ketakutan.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, salah satu dari mereka yang berseragam hitam itu berlari me-nuju lelaki
tinggi kurus yang terkulai lemah di tanah.
Sosok lelaki tinggi besar yang
berlari untuk menjalankan perintah itu segera membungkuk. Kemudian mengangkat tubuh
lelaki tinggi kurus yang tengah terkulai lemas.
Namun, baru saja sosok tinggi
besar itu mengulurkan kedua tangannya untuk memondong kawannya, tiba-tiba
terdengar suara sang Ketua.
"Apa yang akan kau
lakukan, Manusia Dungu?!"
Seketika itu pula sosok tinggi
besar itu mengurungkan maksudnya. Kedua tangannya yang sudah meluncur itu
seketika terhenti.
"A..., aku... Aku hanya
bermaksud melaksanakan perintahmu, Ketua," jawab lelaki tinggi besar itu
dengan gugup. "Lalu..., apa yang akan kau lakukan?!" tanya sang Ketua
lagi, dengan suara keras.
"Aku..., aku akan
memondongnya..., tentu saja untuk kubawa ke hadapan Ketua," jawab sosok
tinggi besar, juga tetap terbata-bata.
"Siapa suruh kau
memondongnya?! Atau..., rupanya kau pun ingin menerima hukuman yang
sama?!" ancam sang Ketua keras.
"Tentu saja tidak,
Ketua," sahut sosok tinggi besar itu
lagi.
"Kalau begitu, seret dia
kemari! Dia bukan anak
buahku lagi! Jadi, jangan
terlalu baik kepadanya. Kau mengerti?"
"Me..., mengerti,
Ketua."
"Nah! Sekarang bawa
kemari!" perintah sang Ketua lagi.
"Baik, Ketua."
Dengan agak bergegas, sosok
tinggi besar itu lalu meraih kedua pergelangan kaki bekas pimpinannya. Lalu
menyeretnya dengan kasar.
Sosok-sosok berseragam hitam
yang lain hanya mampu memandangi bekas pimpinannya yang diseret di atas lantai.
Suara mengerang masih terdengar dari mulut lelaki tinggi kurus itu, menahan
rasa sakit akibat tusukan jarum- jarum yang menghunjam tubuhnya.
Sosok berseragam hitam dan
bertubuh tinggi besar yang menyeret tubuh bekas pimpinannya berhenti di depan
sang Ketua. Kemudian melangkah kembali ke kelompoknya.
"Bagaimana rasanya,
Manusia Busuk? Nikmat bukan?" ejek sang Ketua sambil menatap wajah lelaki
tinggi kurus dengan sorot mata puas.
Lelaki tinggi kurus itu hanya
diam, tidak menjawab pertanyaan ketuanya. Karena tengah sibuk menahan rasa
sakit yang hebat akibat jarum-jarum yang menancap di tubuhnya.
Kini beberapa saat setelah
jarum-jarum itu menancap di tubuh, akibatnya mulai terasa. Seluruh otot dan
tulang- belulangnya seperti lumpuh. Semakin lama rasa sakit itu semakin hebat
menjalari seluruh tubuhnya. Kemudian, sedikit demi sedikit muncul rasa gatal
menjalari kulit tubuhnya. Kalau menurut perasaan, ingin rasanya lelaki tinggi
kurus itu menggaruk tubuhnya untuk mengusir rasa gatal yang semakin bertambah
terus. Namun sayang, hal itu tidak bisa dilakukan karena kedua tangannya sama
sekali tak mampu digerakkan. Kedua tangannya telah lumpuh seperti juga kedua
kaki dan tubuhnya.
Karena sibuk dengan rasa sakit
yang tengah dideritanya, lelaki tinggi kurus ini tidak bisa memberikan
tanggapan atas pertanyaan mengejek dari sang Ketua.
"Itulah ganjaran bagi
orang yang mencoba berbohong padaku!" dengus sang Ketua. "Dengar,
Manusia Busuk! Aku percaya kalau kegagalan kalian akibat campur tangan pihak
lain. Aku pun akan percaya seandainya kalian mengatakan diserbu segerombolan
orang yang jumlahnya lebih banyak dan tingkat kepandaian mereka lebih
tinggi."
Sang Ketua menghentikan
ucapannya sebentar. Ditelannya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang
kering.
"Tapi kepercayaanku
membuyar, ketika kudengar pemimpin mereka seorang pemuda berambut putih
keperakan dan berpakaian ungu. Aku mengenal..., maksudku setidak-tidaknya
pernah mendengar berita tentang orang yang kalian maksud. Tapi setahuku, pemuda
itu tidak pernah bekerja dengan gerombolan. Dia selalu bekerja sendiri. Itulah
sebabnya aku tidak percaya pada ceritamu!"
Lagi-lagi sang Ketua
menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Sama sekali tidak dihiraukannya
lelaki tinggi kurus yang tengah menggeliat-geliat kesakitan di bawah kakinya.
"Tanpa kau ceritakan pun
aku tahu. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak bersama rombongannya. Dia
sendirian! Dan kau tahu siapa orang itu?"
Sang Ketua menghentikan
ucapannya sejenak, lalu melihat tanggapan dari semua anak buahnya.
Kesembilan orang itu
menggelengkan kepala.
"Kalian memang bukan
manusia! Tapi kerbau! Ya, kerbau-kerbau dungu! Oleh karena itu sama sekali
tidak tahu kalau keadaan kini sangat berbahaya! Pemuda berambut putih keperakan
yang kalian temui itu adalah orang yang paling usil di dunia ini. Dia adalah
Dewa Arak! Kalian dengar! Dewa Arak!" tandas sang Ketua, keras. Sembilan
orang berseragam hitam itu saling pandang. Raut wajah mereka menampakkan
keterkejutan yang amat sangat. Jadi, orang yang telah mereka hadapi itu adalah
pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan. Kalau saja tidak
mendengar sendiri dari sang Ketua, mereka tak akan percaya.
Padahal, sebenarnya mereka
telah mendengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan. Tahu
pula kalau tokoh yang tersohor itu masih berusia muda, dan memiliki rambut
berwarna putih keperakan. Namun sama sekali tidak disangka kalau orang yang
mereka temui di Hutan Gendar tadi adalah Dewa Arak. Seandainya pemuda berambut
putih keperakan itu memperkenalkan diri pun belum tentu mereka akan percaya.
Hanya seperti itukah penampilan Dewa Arak yang namanya telah menggegerkan rimba
persilatan?
"Sudah bisa kuperkirakan
kalau sekarang Dewa Arak pasti tengah berusaha menyelidiki kalian. Hal ini
berarti rencana yang telah kuatur bisa hancur berantakan. Aku tak mau hal ini
terjadi. Sebelum Dewa Arak berhasil menemukan sesuatu, kita harus mendahuluinya
lebih dulu. Dewa Arak harus disingkirkan secepat mungkin!"
Sembilan orang berseragam
hitam itu tidak memberi tanggapan apa pun. Mereka khawatir salah tanggap dapat
mengakibatkan kemarahan ketua mereka.
Sang Ketua rupanya tidak
memerlukan adanya tanggapan apa pun dari mulut sembilan orang berseragam hitam
itu. Matanya kembali beralih pada anak buahnya yang sedang kesakitan.
"Tapi sebelum aku
melenyapkan Dewa Arak, terlebih dulu kau kusingkirkan, Manusia Busuk!"
Setelah berkata demikian, sang
Ketua segera memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sebentar kemudian,
tangannya telah menggenggam sebuah guci kecil.
"He he he...!"
Sang Ketua tertawa terkekeh
bernada m-nyeramkan. Dan masih dengan tertawa, dicabutnya sumbat guci kecil
itu. Kemudian dituangkannya isi guci itu ke tubuh lelaki tinggi kurus yang
tengah mengerang kesakitan dan tak mampu bergerak sedikit pun.
Tesss! Tesss! Cairan kuning
berbau tak sedap menetes dari mulut guci kecil itu. Hanya dua tetes yang
dituangkan, namun tepat mengenai tubuh lelaki tinggi kurus yang tengah terkulai
tak berdaya.
"Wuaaa...!"
Jeritan kesakitan langsung
keluar dari mulut lelaki tinggi kurus. Selain itu, tubuhnya yang sejak tadi
terkulai tanpa mampu bergerak sedikit pun, kini kontan menggelepar- gelepar
seperti ikan dilemparkan ke darat. Hal ini mungkin pertanda betapa hebatnya rasa
sakit yang diderita. Tubuhnya yang sejak tadi sama sekali tak berkutik, mampu
bergerak- gerak.
"Ha ha ha...!"
Sang Ketua tertawa
terbahak-bahak menyaksikan derita yang dialami anak buahnya. Nampak begitu puas
dengan hasil perbuatannya.
Sementara itu, kesembilan anak
buahnya yang lain merasa sedih dan ngeri. Bahkan nyali mereka menciut,
menyaksikan derita dan rasa sakit yang dialami bekas pimpinannya. Lelaki tinggi
kurus terus menjerit dan menggelepar-gelepar kesakitan.
Betapa tidak? Dari bagian
tubuh yang terkena tetesan cairan kuning itu, timbul asap. Mula-mula tipis,
tapi semakin lama semakin tebal, diikuti bau busuk yang menusuk hidung. Tak
lama kemudian, seiring dengan semakin
tebalnya asap, tubuhnya mulai meleleh bagai lilin terbakar.
Tak berapa lama kemudian,
tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap. Sementara sembilan anak buahnya hanya
bisa diam membisu dengan perasaan takut dan ngeri yang berkecamuk di hati.
Cukup lama sang Ketua hanyut
dalam perasaan gembira. Dan ketika tawanya terhenti, pandangannya dialihkan
pada sembilan anak buahnya yang masih terpaku dengan perasaan ngeri.
Sepasang mata yang menyeramkan
milik sang Ketua menatap wajah mereka satu persatu.
"Sebenarnya aku tidak
ingin melenyapkan kalian. Tapi, karena sekarang Dewa Arak telah mengetahui
masalah ini, dan sudah pasti akan mencari kalian, aku mengambil kebijaksanaan
lain. Daripada nanti kalian membocorkan rahasiaku. Lebih baik kalian semua
kulenyapkan!" tandas sang Ketua dengan suara bergetar.
Kontan wajah sembilan orang
itu berubah memucat mendengar ucapan sang Ketua. Meskipun tidak terlihat karena
wajah itu tertutup selubung, namun bisa diketahui dari sorot mata mereka.
Mata-mata mereka saling memandang satu sama lain. Dan dengan perasaan sangat
takut, mereka melangkah mundur perlahan.
"Kami..., kami berjanji
tidak akan membocorkan rahasia ini, Ketua..," ujar salah satu dari
sembilan orang berseragam hitam itu dengan suara gagap.
"Be..., benar,
Ketua," sambung yang lainnya.
Dan berturut-turut semua
mendukung ucapan kedua rekan mereka dengan menganggukkan kepala. Lidah-lidah
mereka terasa kelu saking takutnya, sehingga tidak mampu mengeluarkan ucapan
sepatah kata pun.
"Hmh...!" sang Ketua
mendengus. "Sayang sekali, aku tidak bisa mempercayai ucapan kalian begitu
saja!"
Ringan saja ucapan sosok yang
mempunyai gambar tengkorak kecil di dahinya itu. Tapi bagi kesembilan anak
buahnya yang tengah ketakutan, ucapan itu bagaikan halilintar di telinga
mereka.
"Tapi karena kesalahan
kalian tidak sebesar si keparat itu, maka kalian akan mati tanpa
menderita."
Sambil berkata begitu, tangan
kanan sang Ketua terjulur. Telunjuk dan jari tengah dihimpitkan menunjuk lurus.
Lalu ditudingkan ke arah sembilan anak buahnya. Kesembilan orang berpakaian
serba hitam yang belum sempat tahu benar apa yang bakal terjadi, terkejut
seketika. Dan....
Cit, cit, cit!
Suara mencicit nyaring seperti
ada tikus terjepit, terdengar ketika tangan itu ditudingkan. Dan hasilnya
benar- benar menakjubkan.
"Akh! Akh! Akh...!"
Berturut-turut sembilan orang berseragam
hitam itu menjerit tertahan. Jerit yang belum sempat keluar seluruhnya terputus karena nyawa
mereka telah lebih dulu melayang dari raga.
Bruk! Bruk! Bruk...!
Susul-menyusul tubuh mereka ambruk ke tanah dan tak berkutik lagi. Nampak
pelipis mereka sobek dan mengeluarkan darah segar. Luka yang dilancarkan sang
Ketua itu, seperti tersabet senjata tajam.
"Ha ha ha...!"
Kembali sang Ketua tertawa
terbahak-bahak. Kemudian untuk yang kedua kalinya, isi gucinya dituangkan pada
tubuh sembilan orang itu. Sesaat kemudian, kejadian yang dialami lelaki tinggi
kurus tadi berulang pada sembilan orang anak buahnya.
4
"Uh, panasnya hari
ini," keluh gadis cantik jelita berpakaian putih. Rambutnya yang hitam,
panjang, dan tergerai disibakkan. Dan sesekali tangannya mengusap keringat yang
membasahi leher dan kening.
"Bukan hanya panas,"
sambut pemuda berambut putih keperakan yang berjalan di sebelahnya. "Angin
yang berhembus pun mengandung hawa yang tidak sedap. Tempat ini benar-benar
tidak nyaman, Melati."
"Benar, Kang," jawab
gadis berpakaian putih yang tidak lain Melati. "Sepertinya udara di tempat
ini telah tercemar racun."
"Dugaanmu beralasan,
Melati," jawab Arya, pemuda berambut putih keperakan yang lebih dikenal
dengan julukan Dewa Arak itu. "Aku pun menduga demikian. Tapi, hal itu
kita pikirkan saja nanri. Sekarang yang penting mengisi perut. Apakah kau tidak
merasa lapar, Melati?"
"Bukan hanya lapar, Kang.
Tenggorokanku juga kering sejak
tadi," sambut Melati cepat. "Hawa panas dan tidak sehat di sini
membuatku cepat merasa haus."
"Kalau begitu kita
mencari kedai makan untuk mengisi perut." 'Tapi..., mana ada kedai di
sekitar sini, Kang?" sergah Melati sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling.
Di sekeliling mereka tidak
tampak satu bangunan pun. Yang terlihat hanya hamparan tanah gersang. Tempat
sepasang pendekar muda ini berada sebuah tanah lapang luas yang sedikit
berumput. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah tanah yang di beberapa
bagian ditumbuhi rumput dan ilalang.
"Di sini memang tidak
ada, Melati. Tapi aku yakin di sana ada," jawab Dewa Arak sambil
menudingkan jari telunjuknya ke depan.
"Kalau begitu...,"
Melati menggantung ucapannya. "Yahhh..., kita harus mempercepat perjalanan
kalau
ingin segera tiba di
sana."
Usai berkata demikian, Melati
lalu menjejakkan kaki melesat mendahului Dewa Arak. Dalam sekejap, tubuh gadis
berpakaian putih itu telah melesat sejauh sembilan tombak di depan kekasihnya.
Dewa Arak hanya
menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Melati. Namun hal itu hanya
sebentar saja dilakukannya. Kakinya segera menjejak pula dengan cepat. Dalam
sekejap saja tubuhnya telah menjajari Melati yang bergerak cepat sekali.
Sesaat kemudian, sepasang
pendekar muda itu telah nampak saling berkejaran. Keduanya melesat cepat,
sehingga yang nampak hanya dua bayangan putih dan ungu dalam bentuk tidak jelas
yang terus melesat.
Dugaan Dewa Arak tidak
meleset. Baru beberapa kali lesatan, dari kejauhan mereka telah melihat banyak
bangunan berdiri. Semangat mereka semakin besar untuk segera tiba di sana.
Dan ketika akhirnya jarak itu
telah demikian dekat, Dewa Arak dan Melati menghentikan lesatan mereka. Hal itu
dilakukan agar tidak membuat terkejut penduduk tempat itu. Kini sepasang
muda-mudi itu meneruskan perjalanan dengan berjalan biasa. Pandangan mereka beredar ke sekeliling
tempat itu, menatap satu persatu bangunan- bangunan yang ada. Namun, kedua
pendekar muda itu tidak
mendapatkan yang diharapkan.
"Sepi, Kang," ujar
Melati memecahkan keheningan. "Benar, Melati. Rumah-rumah ini seperti tak
berpenghuni. Tapi..., tunggu dulu. Kau dengar suara gaduh itu?" tanya Dewa
Arak sambil menggerakkan kepalanya perlahan, seolah-olah tengah mempertajam
pendengarannya.
Melati terdiam sejenak. Kedua
telinganya dipusatkan untuk mencoba menangkap suara gaduh yang dikatakan Dewa
Arak. Kepalanya bergerak perlahan mencari asal suara itu.
"Kau benar, Kang. Aku pun
mendengar suara-uara itu. Arahnya dari sebelah sana."
"Mari kita ke sana,"
sambut Arya memutuskan.
Melati langsung menganggukkan
kepala dan segera menghentakkan kaki melesat mendahului Dewa Arak.
Tak berapa lama kemudian,
mereka telah sampai di tempat asal suara riuh-rendah.
"Sebuah kedai,
Kang!" ujar Melati gembira.
Perutnya merasa lapar bukan
kepalang, dan sudah dari tadi minta diisi. Maka hatinya gembira ketika melihat
sebuah kedai di depan matanya.
"Mari kita masuk!"
Kemudian Dewa Arak dan Melati
melangkah memasuki kedai. Dewa Arak berjalan di depan. Di Ambang pintu kedai
pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan langkah sebentar, lalu matanya
memandang ke dalam kedai.
Pengunjung kedai itu ternyata
cukup ramai. Beberapa meja yang tersedia, hampir terisi semua. Tinggal dua buah
meja kosong yang terletak di tengah-tengah ruangan.
Setelah sekian lama
memperhatikan ke dalam, Dewa Arak mendekat ke salah satu meja. Melati menyikuti
dari belakangnya.
"Mau makan apa,
Den?" tanya seorang lelaki kira-kira empat puluh lima tahun dan bertubuh
kecil kurus ketika melihat Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku.
"Teh manis seguci kecil,
arak seguci besar, ayam panggang, dan jagung bakar empat buah," sebut Dewa
Arak untuk pesanannya.
"Harap sabar menunggu,
Den!" jawab lelaki kecil kurus yang ternyata pemilik kedai itu.
Setelah itu pemilik kedai
segera beranjak ke dalam untuk. menyiapkan pesanan Dewa Arak. Selama menunggu
pesanan, baik Dewa Arak maupun Melati tidak berbicara sepatah kata pun.
Keduanya diam sambil memperhatikan keadaan sekitar ruangan kedai yang ramai
itu.
Meskipun nampak tenang-tenang
saja, Dewa Arak tetap memasang kewaspadaan penuh. Hal ini bukan tanpa alasan,
sebab ketika memasuki kedai ini, hatinya membisikkan akan adanya bahaya yang
mengancam. Dan getaran perasaan itu semakin membesar setelah berada di dalam
kedai.
Dewa Arak bukan orang yang
terlalu menuruti perasaan prasangka buruknya. Tapi kali ini lain. Bukan
perasaannya menyimpulkan demikian, tapi naluri jiwanya.
Memang, sejak belalang raksasa
dari alam gaib berhasil ditarik masuk ke tubuhnya, naluri Dewa Arak bertambah
tajam. Dan semakin seringnya belalang raksasa itu masuk ke tubuhnya, nalurinya
pun semakin bertambah tajam (Untuk jelasnya cerita mengenai belalang raksasa,
silakan baca serial Dewa Arak, dalam episode "Makhluk dari Dunia
Asing" dan "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
Dewa Arak tahu naluri itu sama
sekali tidak pernah meleset. Memang benar ada bahaya yang tengah mengancam.
Sayangnya, Dewa Arak belum tahu dari mana asal bahaya itu. Yang jelas,
nalurinya membisikkan adanya bahaya di tempat ini.
Dewa Arak semakin bersikap
waspada. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Bahkan ekor matanya beberapa
kali diedarkan ke sekeliling. Barangkali ditemukan adanya tanda-tanda
mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu belum terlihat adanya hal-hal yang
mencurigakan.
Sementara itu, lelaki pemilik
kedai telah datang sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak. Di
belakangnya, berjalan seorang lelaki bertubuh kekar, membawa seguci besar
berisi arak.
Pemilik kedai itu meletakkan
semua pesanan di meja dengan hati-hati.
"Silakan dinikmati,
Den," ujar pemilik kedai mempersilakan.
"Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak lalu mengambil guci araknya yang tergantung di punggung. Lalu
diletakkannya di atas meja. Sementara itu Melati mulai mengambil salah satu
potongan ayam panggang dan segera menyantapnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Sementara Dewa Arak sibuk
menuangkan arak dari guci besar ke dalam guci miliknya, Melati mulai mengunyah
santapannya.
Di tangan Dewa Arak, guci
besar yang berisi penuh dengan arak itu, bagaikan segumpal kapas. Dengan
ringan, satu tangannya mengangkat guci itu. Padahal, lelaki bertubuh kekar tadi
membawanya dengan kedua tangan. Itu pun nampaknya sambil mengerahkan sebagian
besar tenaganya.
Setelah guci miliknya penuh.
Dewa Arak segera mengambil gelas bambu yang disediakan pemilik kedai untuknya.
Kemudian sisa arak dalam guci besar itu dituangkan ke dalam alat minum dari
bambu itu. Dalam sekejapan saja arak itu telah ditenggaknya. Kemudian,
diambilnya sebuah jagung bakar dan segera digigit. Kini nampak sepasang muda-mudi
itu tengah menikmati santapannya.
Namun sebelum sebatang jagung
habis di tangan Dewa Arak, tiba-tiba Melati memanggilnya.
"Kang...," suara
panggilan lemah Melati membuat Dewa Arak mengalihkan perhatian dari jagung yang
tengah dinikmatinya.
"Ada apa, Melati?"
tanya Dewa Arak sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kepalaku pusing, Kang.
Tubuhku gemetaran dan lemas...," lanjut gadis berpakaian putih itu sambil
memijit- mijit keningnya.
"Apa?!"
Dewa Arak terlonjak kaget
bagai disengat ular berbisa. Matanya langsung menatap tajam makanan dan minuman
yang tersaji di atas meja mereka.
"Jangan lanjutkan makan
dan minummu. Makanan ini pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ketika
merasakan sepasang matanya mulai berkunang-kunang.
Seketika itu juga Dewa Arak bangkit
dari duduknya.
Namun tiba-tiba...
Srat! Srat! Srat! Sinar-sinar
terang berpendar ketika semua orang di kedai itu menghunus senjatanya
masing-masing. Kemudian, sambil mengacungkan senjata, mereka bergerak menerjang
Dewa Arak dan Melati.
Sing! Sing! Sing...!
Suara berdesing nyaring
mengiringi ayunan senjata- senjata itu menuju sasaran.
Sementara, keadaan sepasang
pendekar muda itu semakin parah. Terutama sekali Melati. Kepalanya semakin
bertambah pening, matanya berkunang-kunang, sehingga semua yang dilihat
berputaran tidak karuan.
Kalau hanya rasa pening
menyerang kepalanya, bagi Melati mungkin bukan masalah berat. Meskipun sepasang
matanya tidak mampu melihat jelas, dia masih mempunyai pendengaran. Dengan
pendengaran yang tajam, Melati mampu mengetahui arah yang dituju. Namun
sayangnya, tiba-tiba seluruh kekuatan tenaga dalamnya bagaikan lenyap. Tubuhnya
gemetaran dan lemas. Keringat dingin pun mulai membasahi sekujur tubuhnya.
Bagaikan seorang bayi yang
baru dilahirkan, tubuh Melati tidak mampu berbuat apa pun selain berdiam diri.
Untung saja keadaan Dewa Arak
tidak separah yang dialami Melati. Mengetahui keadaan mulai berbahaya, dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata, Dewa Arak menyambar tubuh Melati.
"Hih!"
Dewa Arak melesat dan
melenting beberapa kali melewati kepala-kepala para penyerangnya.
Jliggg!
Dengan begitu ringan dan manis
sekali, kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di belakang
para pengeroyoknya.
Tentu saja para pengunjung
kedai yang nampaknya bermaksud hendak melenyapkan Dewa Arak dan Melati, tidak
membiarkan buruan mereka lolos. Maka begitu melihat Dewa Arak berhasil
meloloskan diri dari kepungan, mereka serentak membalikkan tubuh memburu Dewa
Arak yang memapah tubuh Melati.
Sewaktu para pengeroyok tengah
membalikkan tubuh, Dewa Arak nampak menuangkan arak dari guci ke mulutnya.
Gluk.., gluk..., gluk..! Suara
tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan. Seketika itu pula hawa
hangat terasa berhembus di dalam perut Arya. Perlahan-lahan hawa itu merayap ke
atas. Dan akhirnya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun limbung.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak segera menyampirkan kembali gucinya ke punggung. Karena, tangan
kirinya memanggul tubuh Melati, Dewa Arak terpaksa menggunakan satu tangan
dalam menghadapi lawan- lawannya.
Dan Dewa Arak tidak perlu
menunggu lama kedatangan serangan lawan-lawannya. Karena baru saja gucinya
tersampir kembali ke punggung, serangan-serangan itu datang.
Para penyerang itu ternyata
tidak hanya pengunjung kedai. Pemilik kedai dan laki-laki tinggi besar yang
membawa guci juga turut menyerang. Jelas, kalau semua kejadian itu memang telah
direncanakan sebelumnya.
Dewa Arak segera mempersiapkan
diri menghadapi serangan-serangan itu. Jumlah para pengeroyoknya sepuluh orang.
Namun, pemuda berambut putih keperakan ini nampak tidak menganggap remeh
lawan-lawannya yang memiliki kepandaian lumayan itu.
Dewa Arak merasa bahwa
tubuhnya pun telah kemasukan racun dari makanan yang tadi disantapnya. Itulah
sebabnya Dewa Arak segera menenggak arak dari gucinya, karena arak yang telah
masuk ke gucinya akan mampu menawarkan segala macam racun yang masuk ke
tubuhnya.
Di samping itu dengan
perantaraan arak, Arya ingin mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalan-nya. Dewa
Arak merasa perlu mengerahkan ilmu itu untuk menghindari terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan.
"Hait...!"
Dengan mempergunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan lawan-
lawannya. Padahal serangan itu datang dari segala penjuru, sehingga sulit
baginya untuk lolos dari kepungan para pengeroyok. Namun ternyata kecepatan
tubuhnya berkelit mampu menyelamatkan jiwanya dan Melati yang masih tetap dalam
dekapannya. Bahkan, sesekali sambil berkelit di antara kelebatan senjata
lawan-lawannya, tangan dan kakinya sempat bergerak cepat melancarkan serangan
balasan.
Plak! Bukk! Desss! "Akh!
Ugkh...!"
Jerit kesakitan berturut-turut
terdengar seiring dengan pukulan tangan dan kaki Dewa Arak yang mendarat di
tubuh lawan. Dua di antaranya bersarang di dada, sedangkan yang satu lagi
menghantam perut. Seketika ketiga tubuh lawannya terjengkang ke belakang.
Nampak dari mulut ketiga penyerang itu memuntahkan darah.
Dewa Arak tidak meneruskan
serangannya kepada ketiga lawannya yang nampak tengah memegangi dada dan perut
mereka. Barangkali karena Dewa Arak belum tahu dengan jelas mengapa tiba-tiba
mereka menyerang dirinya dan Melati.
Nampak ketiga orang yang
terjungkal karena serangan balik Dewa Arak, kini bergerak terseok-seok meninggalkan
tempat itu.
Sementara itu, ketujuh orang
lainnya sama sekali tidak ciut nyalinya melihat kejadian yang menimpa tiga
teman mereka. Bahkan sebaliknya mereka semakin ganas menyerang. Golok dan
pedang di tangan mereka berkelebatan ke bagian tubuh Dewa Arak.
"Hiaaat...!" Sing! Sing! Sing!
Mata-mata senjata tajam
berkilat dan meluncur dari berbagai arah, siap mencacah tubuh Dewa Arak yang
masih tetap berdiri tenang. Namun, ketika serangan itu hampir menyambarnya,
pemuda berambut putih keperakan itu bergerak melancarkan serangan balik.
"Akh! Ukh!
Hugkh...!"
Jeritan-jeritan tertahan
terdengar berkali-kali. Tangan dan kaki Dewa Arak beberapa kali tepat mendarat
di tubuh lawan-lawannya. Sesaat kemudian disusul ambruknya tubuh-tubuh mereka
ke tanah dan tak mampu bangkit lagi. Mereka hanya merintih-rintih kesakitan
sambil memegangi bagian tubuh yang terkena serangan Dewa Arak.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega
melihat semua lawannya telah roboh di tanah. Kejadian itu begitu cepat.
Sepasang matanya menatap tubuh-tubuh yang tergeletak dengan luka parah itu.
Satu persatu wajah-wajah kesepuluh orang itu ditatapnya.
"Katakan, mengapa kalian
ingin membunuhku?" tanya Dewa Arak dengan suara yang ditekan.
"Cuihhh...!"
Pemilik kedai membuang ludah
sambil menatap tajam ke arah Dewa Arak.
"Tidak usah banyak tanya,
Dewa Arak! Kau tidak perlu tahu mengapa kami hendak membunuhmu! Mau bunuh,
silakan bunuh! Kami tidak takut mati. Yang penting, tugas kami untuk membunuhmu
telah selesai dan berhasil dengan baik!"
"Kau terlalu berlebihan,
Sobat!" sergah Dewa Arak. "Kuakui kelicikan kalian telah berhasil
melukai kawanku. Tapi terhadapku, kalian tidak berhasil. Pimpinan kalian akan
memberi hukuman atas kegagalan tugas kalian."
Dengan cerdik Dewa Arak
mengajukan pernyataan demikian untuk memancing apakah orang-orang itu hanya
suruhan. Dengan kata lain ada tokoh yang telah mendalangi tindakan mereka.
"Mana mungkin pimpinan
kami akan memberikan hukuman pada anak-anak buahnya yang telah berhasil
menunaikan tugas dengan baik? Kau yang keliru, Dewa Arak. Kau telah terkena
racun kami, dan jangan harap dapat lolos dari maut!" ucap sang Pemiliki
kedai begitu semangat dan yakin.
"Aku keracunan...? Sayang
sekali, Sobat. Kurasa keinginan kalian tidak berhasil. Aku tadi telah minum
obat untuk menawarkan pengaruh racun itu."
"Ha ha ha...! Jangan
terlalu yakin dengan obat penawar racun yang kau miliki, Keparat! Kau tahu,
racun milik pimpinan kami tidak bisa dimusnahkan dengan penawar racun apa
pun," sergah pemilik kedai.
Dan ternyata benar. Dewa Arak
tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan kebenaran ucapan lelaki
kecil kurus itu. Karena tiba-tiba dirasakan ada kabut yang meliputi sepasang
matanya. Kabut itu membuat pandangan matanya samar-samar. Bahkan perlahan-lahan
tubuhnya dirasakan mulai gemetar dan lemas. Racun itu benar-benar telah
menjalar dan mulai bekerja. "Dan jangan harap kau akan bisa lolos dari
sini. Dewa Goblok! Pimpinan kami telah memperhitungkan semuanya secara cermat
"
Bersamaan dengan ucapan lelaki
kecil kurus itu, telinga Dewa Arak segera menangkap suara langkah-langkah kaki
mendekati tempatnya. Langkah-langkah kaki yang hanya dimiliki orang-orang
berkepandaian tinggi.
Bergegas Dewa Arak mengalihkan
pandangan ke luar. Dilihatnya dengan jelas, belasan orang yang menggenggam
senjata terhunus di tangan, bergerak cepat menuju kedai itu.
Dewa Arak segera menyadari
keadaan yang tengah dihadapinya tidak dapat dianggap remeh. Sepasang matanya
yang telah berpengalaman, segera mengetahui kalau orang- orang itu memiliki
kepandaian yang perlu diperhitungkan.
Kalau dalam keadaan biasa
bukan soal berat untuk berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Tapi kini
tubuh Dewa Arak telah terkena racun ganas yang tak mampu diatasi oleh arak dari
gucinya yang selalu tersampir di punggung itu. Apalagi kini disadarinya kalau
racun itu telah mulai menyerangnya. Sehingga, tubuhnya dirasakan semakin
melemah.
"Aku harus cepat-cepat
meninggalkan tempat ini, sebelum seluruh tenaga dalamku lenyap," pikir
Dewa Arak, sambil menatap tubuh-tubuh lelaki yang tengah bergerak ke kedai itu.
Dewa Arak segera melesat ke
luar. Dan serangan pemuda berambut putih keperakan ini langsung mendapat
sambutan. Belasan orang yang tengah menuju tempatnya siap memapak dengan
senjata di tangan mereka.
Dewa Arak segera berhenti dan
bersiap menghadapi mereka. Dipapaknya serangan senjata lawan dengan ayunan
gucinya.
"Hiaaat !"
Klang! Klang !
5
Dentang suara nyaring diiringi
berpijarnya bunga- bunga api langsung terjadi ketika senjata-senjata itu berbenturan
dengan guci Dewa Arak.
Seketika tubuh para pengeroyok
itu terhuyung- huyung ke belakang. Tangan mereka terasa bergetar. Sementara
Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Karena belasan senjata-senjata lawan
membentur gucinya hampir bersamaan, sehingga mengakibatkan tenaga-tenaga itu
seperti bersatu. Gabungan dari belasan tenaga itu dirasakan begitu kuat
menghantam guci yang digerakkan untuk menangkis. Lebih-lebih saat itu kekuatan
Dewa Arak telah berkurang akibat ganasnya racun yang menjalari tubuhnya.
Dewa Arak menggertakkan gigi
ketika merasakan kekuatannya semakin menurun. Dirasakan pula kedua matanya
semakin tertutup penghalang berupa lapisan putih. Sehingga pemandangan yang
dilihatnya pun semakin kabur, dan tidak jelas.
Untung saja rasa pusing yang
dialami Melati, tidak terjadi pada kepala Dewa Arak. Meskipun takaran racun
yang disajikan untuk dirinya jauh lebih besar. Namun, di samping daya tahannya
yang lebih besar, Dewa Arak pun sempat menenggak araknya. Meskipun arak itu
tidak mampu memusnahkan seluruh racun yang menjalar di tubuhnya,
setidak-tidaknya mampu mengusir rasa pening akibat racun itu.
Rupanya lawan-lawannya
mengetahui keadaan yang tengah dialami Dewa Arak. Buktinya, mereka tidak
memberikan kesempatan sama sekali padanya. Begitu kekuatan yang membuat tubuh
mereka terhuyung telah berhasil dipatahkan, kembali serangan lanjutan
dilancarkan.
Kali ini belasan orang yang
menggunakan beraneka ragam senjata itu menerapkan siasat lain dalam menghadapi
Dewa Arak. Mereka tidak langsung menyerang sekaligus. Tapi menyerang secara
berganti-ganti. Kekuatan mereka yang cukup besar dengan enam belas orang,
membuat taktik itu tidak terlalu sulit untuk diwujudkan. Delapan orang dengan
senjata terayun mulai maju menyerang lebih dulu. Sisanya, delapan orang lagi
bersiap menunggu giliran. Dengan siasat penyerangan seperti itu, diharapkan
Dewa Arak tak punya kesempatan untuk beristirahat.
"Haaat...!"
Teriakan-teriakan melengking
nyaring yang susul menyusul saling bersahutan, seiring dengan serangan delapan
orang itu. Seketika itu pula, cicitan senjata-senjata tajam seperti tombak,
pedang, dan golok berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Mereka menyerang dari berbagai jurusan secara bersamaan.
Dewa Arak yang memang sejak
tadi sudah bersiaga, merasa kewalahan. Meskipun sepasang matanya tidak bisa
diandalkan, tapi dia masih mempunyai sepasang telinga yang dapat diandalkan.
Dengan menggunakan pendengaran, Dewa Arak mencoba meladeni serbuan
lawan-lawannya.
Menyadari keadaan yang tidak
menguntungkan, Dewa Arak segera mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu
'Belalang Sakti' andalannya segera dikerahkan.
Namun kali ini ilmu andalannya
tidak sedahsyat biasanya. Karena di samping kekuatan Dewa Arak telah menurun,
di bahunya terpanggul tubuh Melati. Bukan tidak mungkin kedua hal ini
mengganggu kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'.
Meskipun demikian, bukan
berarti kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti' itu pupus. Jurus-jurus dalam ilmu
itu, tetap menunjukkan keampuhannya. Dan hal itu terbukti.
"Heit!"
Dengan gerakan
terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Dewa Arak mengelakkan serangan berbahaya
lawannya. Inilah jurus 'Delapan Langkah Belalang."
Tapi, baru saja Dewa Arak
berhasil mengelakkan serangan itu, beberapa serangan susulan telah meluncur ke
tubuhnya. Kali ini dilakukan oleh kelompok kedua. Untuk yang kedua kalinya
beberapa senjata tajam mengancam keselamatan Dewa Arak dan Melati yang terkulai
di bahunya.
Dewa Arak melakukan hal yang
sama, hanya mengelak. Sama sekali tidak dilancarkannya serangan balasan. Karena
yang ada di benak pemuda berambut putih keperakan itu bagaimana secepatnya
meninggalkan tempat ini sebelum seluruh tenaga dalamnya habis terkuras.
Sebagai pendekar yang telah
kenyang makan asam garam dunia persilatan, Dewa Arak tahu kalau penyebaran
racun akan semakin cepat jika peredaran darah cepat. Dan, cepatnya peredaran
darah tergantung kegiatan yang dilakukan tubuh.
Itulah sebabnya, Dewa Arak
berusaha tidak melakukan perlawanan. Bahkan setiap kali berkelit, dilakukan
sambil menjauhkan diri.
Usaha Dewa Arak tidak sia-sia.
Lawan-lawannya yang terlalu bersemangat untuk segera merobohkannya, sama sekali
tidak menduga kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan melarikan diri.
Apalagi, jurus 'Delapan Langkah Belalang' terlalu cepat untuk bisa diketahui
perkembangannya oleh para pengeroyok yang memiliki kemampuan jauh di bawah Dewa
Arak. Dan akhirnya, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil meloloskan
diri dari sergapan lawan-lawannya.
Karuan saja hal itu membuat
enam belas orang pengeroyoknya terkejut bukan kepalang. Dengan serentak mereka
bergerak mengejar.
"Mau lari ke mana kau,
Dewa Pengecut?!" teriak salah seorang di antara mereka yang berkumis
melintang.
Seperti juga yang lainnya,
lelaki itu memiliki raut wajah kasar dan tubuh kekar.
"Jangan harap bisa lolos
dari tangan kami!" sambung lainnya yang memiliki codet menyilang di dahi,
dengan suara tak kalah keras.
Suara-suara makian dan
teriakan keluar dari mulut- mulut mereka yang terus berusaha mengejar Dewa
Arak.
Sementara itu, Dewa Arak terus
melesat cepat meninggalkan lawan-lawannya. Dia tidak mempedulikan caci- maki
dan ejekan yang diteriakkan orang-orang yang mengejarnya.
Hinaan, caci-maki, dan ejekan
terus terdengar dari mulut mereka. Dengan sabar, hatinya tidak menghiraukan
suara-suara itu. Yang penting bagi Dewa Arak dapat segera meninggalkan tempat
itu, untuk menyelamatkan dirinya dan Melati. Disadari benar kalau keselamatan
jiwanya dalam bahaya kalau tidak segera lolos dari mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak
terus mengayunkan langkahnya, berusaha secepat mungkin meninggalkan lawan-
lawannya sebelum kekuatan yang dimilikinya lenyap.
Namun harapan memang tidak
selamanya bisa menjadi kenyataan. Ketika Dewa Arak melarikan diri, kekuatan
tubuhnya telah menurun jauh. Semakin lama, kekuatan tubuhnya semakin berkurang.
Sehingga, pemuda berambut putih keperakan itu tak mampu bergerak cepat untuk
segera kabur sejauh-jauhnya dari para pengeroyoknya. Meskipun tenaganya terus
dikerahkan sekuat tenaga, para pengejar semakin mendekat.
Dan lebih sial lagi ketika
tiba-tiba seluruh tenaganya musnah! Rasa lemas yang luar biasa melanda
tubuhnya. Seluruh tulang-tulangnya bagai dilolosi. Tubuhnya lunglai, dan....
Brukkk!
Seketika tubuh Dewa Arak yang
tengah memanggul Melati, ambruk ke tanah. Dewa Arak tidak putus asa,
diusahakannya untuk segera bangkit. Semangat yang besar karena dorongan ingin
menyelamatkan Melati, membuatnya mampu terus bertahan sehingga tidak pingsan.
Berkali-kali dicobanya untuk
bangkit, tapi sia-sia. Rasa lemas yang melanda tubuhnya membuat Dewa Arak tidak
mampu berdiri lagi.
***
"Ha ha ha...!"
Tawa keenam belas orang
pengejar Dewa Arak pun meledak. Tawa kegembiraan bercampur ejekan. Mereka
merasa menang melihat tubuh Dewa Arak terkulai lemas di samping tubuh kekasihnya.
Dan masih dengan tawa yang
belum tuntas, mereka menyerbu ke arah Dewa Arak yang terkulai beberapa tombak
di depan mereka. Senjata-senjata tajam yang tergenggam di tangan, telah siap
untuk diayunkan.
Srat! Srat! Srat!
Senjata-senjata mereka seketika
terayun. Cahaya berkilau bermunculan dari senjata-senjata yang tertimpa sinar
matahari. Keenam belas orang itu telah siap menebas kepala Dewa Arak! Mereka
begitu bernafsu untuk segera menghabisi nyawa pemuda yang namanya tengah
menggemparkan dunia persilatan itu. Apalagi mata mereka melihat tubuh Dewa Arak
yang terkulai tak berdaya itu.
Tapi rupanya nasib baik
berpihak pada Dewa Arak. Sebelum belasan senjata beraneka ragam itu merencah
tubuhnya, sesosok bayangan putih berkelebat cepat menyambar tubuhnya dan
Melati.
Tappp, tappp!
Cappp! Cappp! Kreppp! Jrebbb!
Seketika sambaran
senjata-senjata itu membabat tempat kosong. Gerakan sosok bayangan putih itu
begitu cepat. Sehingga dalam sekejap saja kedua tubuh yang terkulai lemas telah
berada di tangannya. Terlambat sedikit saja, pasti tubuh sepasang pendekar muda
itu akan hancur terbabat belasan senjata.
"Keparat!"
Laki-laki berkumis melintang
menggeram ketika mengetahui senjatanya hanya membabat tanah. Mereka segera tahu
kalau dua orang calon korban mereka telah berhasil diselamatkan seseorang.
Keenam belas pengeroyok Dewa Arak itu melihat kelebatan sosok bayangan putih
itu, meskipun tidak begitu jelas.
Sesaat setelah hilang rasa
terkejutnya, mereka bergerak memburu bayangan putih itu. Namun enam belas orang
ini kecele! Sosok bayangan putih itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh
yang luar biasa. Sehingga keenam belas lelaki berwajah kasar dan beringas itu
tidak mampu mengejarnya. Sosok bayangan putih yang membawa tubuh Dewa Arak dan
Melati melesat secepat kilat. Sampai akhirnya lenyap dari pandangan mata.
Terpaksa gerombolan pengejar itu menghentikan langkahnya.
"Keparat!"
Untuk yang kesekian kalinya,
lelaki berkumis melintang mengeluarkan makian. Kegeraman yang hebat tampak
jelas di wajahnya.
"Kau kenal orang usilan
itu, Kang?" tanya lelaki yang memiliki codet melintang di dahi.
Lelaki berkumis melintang
menggelengkan kepala. "Aku tidak sempat melihatnya. Jangankan wajahnya,
bentuk tubuhnya pun tidak sempat kulihat secara jelas. Keparat! Orang itu harus
mendapat ganjaran atas kelancangannya!" desis lelaki berkumis melintang
dengan sorot mata memancarkan dendam.
"Apa yang harus kita
laporkan pada ketua, Kang?" tanya salah seorang di antara mereka yang
berkulit wajah kemerahan.
"Hhh...!" lelaki
berkumis melintang menghela napas berat. "Apa lagi kalau bukan
menceritakan apa adanya? Tapi, yang jelas kita semua tidak akan lolos dari
hukuman! Hhh...! Padahal, ketua sudah yakin, kalau rencana ini akan berhasil.
Sukar dibayangkan kemurkaannya, kalau mengetahui Dewa Arak berhasil
lolos."
"Tapi, Kang," sergah
salah seorang yang mempunyai tahi lalat besar di pipi kanan. "Bukankah
Dewa Arak dan kawannya telah berhasil kita cekoki racun? Aku yakin nyawa mereka
akan melayang. Bukankah racun milik ketua tidak diragukan lagi kemampuannya?
Jadi, meskipun kita tidak melihat sendiri kematian Dewa Arak dan kawannya, tapi
sudah pasti mereka akan tewas!"
"Apa yang kau katakan itu
benar, Wigura," kata lelaki berkumis melintang pada rekannya yang memiliki
tahi lalat besar di pipi kanan. "Menurut pengalaman selama ini, Dewa Arak
dan rekannya itu akan tewas. Tapi, aku yakin ketua tidak akan berpendapat
seperti itu. Tanpa melihat dengan mata kepala sendiri bangkai Dewa Arak, ketua
tidak akan percaya kalau Dewa Arak telah tewas. Aku sendiri pun tidak yakin
kalau Dewa Arak tewas! Bukan tidak mungkin dia tetap hidup."
Kontan semua yang mendengar
ucapan lelaki berkumis melintang itu terdiam. Tidak satu pun dari mereka yang
berbicara. Disadari kebenaran dari ucapan lelaki berkumis melintang itu. Mereka
nampak mulai merasa cemas.
"Lalu..., sekarang apa
yang harus kita lakukan, Kang?" tanya lelaki yang memiliki kulit wajah
kemerahan.
"Tentu saja melaporkan
semuanya pada ketua," jawab lelaki berkumis melintang, tak bergairah.
Usai berkata demikian, lelaki
berkumis melintang itu segera membalikkan tubuhnya. "Mari kita
berangkat," ajak lelaki berkumis melintang itu tidak bersemangat.
Kelima belas orang kawannya
segera mengayunkan langkah, mengikuti gerakan lelaki berkumis melintang yang
telah melesat lebih dulu.
6
"Uaaah...!"
Arya membuka mulutnya
lebar-lebar sambil menggeliatkan tubuh untuk melemaskan urat-uratnya yang
terasa kaku. Perlahan-lahan sepasang matanya terbuka. Seketika dia tersentak
dari berbaringnya. Tampak jelas kalau pemuda berambut putih keperakan ini
merasa kaget bukan kepalang.
Saat ini, Dewa Arak berada di
sebuah ruangan yang luas dan cukup baik, meskipun dinding-dindingnya terbuat
dari bilik. Tubuhnya pun tergolek di sebuah balai-balai dari bambu. Sementara
tak jauh darinya, tampak sebuah meja yang di atasnya terdapat kendi, dan
beberapa buah gelas bambu. Salah satu dari gelas bambu itu mengepulkan asap
beraroma khas. Aroma yang telah dikenal pemuda berambut putih keperakan itu.
Aroma ramuan obat.
Kontan benak Arya berputar
keras. Berbagai macam pertanyaan muncul di benaknya. Mengapa dirinya berada di
sini? Dan di mana adanya tempat ini? Mengapa ada obat- obatan di tempat ini?
Siapakah yang tengah sakit?
Pertanyaan-pertanyaan yang
timbul di benak membuat Dewa Arak penasaran. Dan karena tidak ada orang di
sekitar situ, pikirannya berusaha menjawab pertanyaan- pertanyaan itu.
Dicobanya juga untuk mengingat-ingat kejadian yang telah dialaminya.
Kemudian sedikit demi sedikit
ingatannya kembali ke kejadian yang baru saja dialaminya. Dia diracuni secara
licik oleh pemilik kedai palsu, yang ternyata sudah merencanakan semua itu
untuk membunuhnya. Kemudian dia kabur untuk menyelamatkan diri. Tapi, sebelum
maksudnya terlaksana dia keburu jatuh, dan akhirnya pingsan. Lalu, bagaimana
dengan Melati?
Teringat akan Melati, membuat
Dewa Arak tersentak kaget. Perasaan khawatirnya pun kembali menyeruak. Dan
dalam cekaman rasa cemas yang melanda, pandangannya diedarkan ke sekeliling.
Namun, Melati tidak ditemukannya. Hal ini membuat Dewa Arak kalap.
Perasaan khawatir yang amat
sangat akan keselamatan kekasihnya, membuat pemuda berambut putih keperakan itu
berusaha bangkit dari berbaringnya. Tapi....
"Uuuh !"
Tanpa sadar sebuah keluhan
tertahan keluar dari mulut Arya ketika baru saja tubuhnya sedikit terangkat.
Rasa pusing yang amat sangat langsung melandanya, membuat pemandangan yang
terlihat berputaran.
Terpaksa pemuda berambut putih
keperakan itu mengurungkan niatnya. Tubuhnya direbahkan kembali di pembaringan.
Kemudian matanya dipejamkan untuk menghilangkan rasa pusing yang melanda.
Saat itulah telinganya
mendengar suara langkah- langkah halus di luar kamar. Semakin lama semakin
jelas tertangkap di telinganya. Seseorang yang tengah menuju tempatnya, tentu
memiliki kepandaian tinggi. Ini dibuktikan dari ringannya suara langkah kaki
yang menapak tanah.
Rasa ingin tahu membuat Dewa
Arak membuka matanya. Dia tidak khawatir orang yang hendak datang ke tempatnya
bermaksud buruk. Dewa Arak yakin kalau orang itu adalah orang yang membawanya
kemari. Dan menilik dari perlakuan orang itu terhadap dirinya, hatinya menduga
kalau orang itu bermaksud menolongnya. Lagi pula, sebelum pingsan Dewa Arak
sempat merasakan ada sesosok bayangan yang telah menyambar tubuhnya, tepat ketika
sambaran senjata-senjata para pengeroyok hampir menerjangnya.
Tak lama kemudian....
Kriiit !
Suara berderit pelan terdengar
dari daun pintu ruangan yang terbuka. Dan sesaat kemudian, seraut wajah tua
menyembul dan balik daun pintu itu. Seraut wajah yang terlihat masih segar
meskipun telah ditumbuhi kumis dan jenggot putih. Warna pakaian yang
dikenakannya pun putih bersih.
"Rupanya kau telah sadar,
Anak Muda," kata kakek berpakaian putih itu sambil mengayunkan langkah
menghampiri Dewa Arak.
"Berkat pertolonganmu,
Ki," jawab Arya agak gugup. Nampaknya pemuda berambut putih keperakan itu
belum yakin benar kalau kakek berpakaian putih itulah yang telah menolongnya.
Meskipun diakui kalau samar-samar telah melihat orang yang telah menolongnya, mengenakan
pakaian putih.
"Ah! Matamu sungguh awas,
Anak Muda. Dalam keadaan gawat kau masih bisa mengenaliku? Hebat! Benarkah kau
orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya kakek berpakaian putih itu sambil
menarik kursi yang terletak di kolong meja tempat guci dan gelas-gelas bambu
berada. Kemudian dengan perlahan-lahan pantatnya diletakkan di kursi itu.
"Apa istimewanya julukan
itu, Ki? Aku yakin kau memiliki kepandaian dan julukan yang melebihiku,"
sambut Arya merendah.
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian putih itu tertawa
lunak sambil menatap wajah Dewa Arak.
"Kau terlalu merendah,
Dewa Arak. Siapa yang belum mendengar tentang dirimu? Julukanmu begitu
menggemparkan dunia persilatan. Hampir semua tokoh persilatan tahu kalau kau
memiliki kepandaian yang tidak ada bandingannya. Tak terhitung sudah
datuk-datuk kaum sesat yang tewas di tanganmu. Tapi kau masih bersikap begitu
rendah hati. Luar biasa! Kau luar biasa, Dewa Arak!" lanjut kakek
berpakaian putih itu.
"Ah! Kau terlalu
berlebihan, Ki. Toh, kenyataannya menghadapi gerombolan orang kasar saja aku
dan kawanku tak berdaya. Kalau kau tidak datang menolongku, mungkin kami telah
tewas, Ah, ya...! Apakah kau melihat kawanku, Ki?"
Langsung saja Dewa Arak
menanyakannya begitu teringat kembali akan Melati. Perasaan penuh harap tampak
jelas baik dalam sorot wajah dan sinar matanya, maupun nada suaranya.
"Apakah kawanmu itu gadis berpakaian putih yang tergeletak di
sampingmu?" tanya kakek berpakaian putih memastikan.
"Benar, Ki. Melati
namanya," sambut Dewa Arak penuh semangat. "Apakah kau
melihatnya...?"
Kakek berpakaian putih itu
menganggukkan kepala. "Bukan hanya melihatnya, aku pun membawanya
kemari. Seperti kau, dia pun
menderita keracunan hebat. Kutempatkan dia di kamar sebelah, setelah kuberikan
pengobatan seperlunya."
"Hhh...!" Dewa Arak
menghembuskan napas lega. "Aku tak tahu harus berkata apa untuk
mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang telah kau berikan, Ki. Budi yang
kau berikan pada kami terlalu besar "
"He he he !"
Kakek berpakaian putih tertawa
terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau ini aneh, Dewa Arak.
Masih saja kau meributkan soal budi. Padahal, dibandingkan dengan semua yang
telah kau lakukan terhadap dunia persilatan, tindakanku ini sama sekali tidak
berarti apa-apa."
Dewa Arak hanya bisa
menyunggingkan senyum kaku. Kini disadari mengapa orang-orang yang telah diberinya pertolongan mengucapkan terima
kasih. Rupanya karena perasaan bersyukur atas pemberian bantuan yang diberikan
sang penolong.
"Kau terlalu merendahkan
diri, Ki. Meskipun demikian, aku yakin kau bukan orang sembarangan. Bolehkah
aku mengenalmu lebih jauh, Ki?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"Tentu saja boleh, Dewa
Arak. Tapi hal itu nanti saja. Sekarang, yang lebih penting menyembuhkan lukamu
dulu. Kau tahu, racun yang mengendap di tubuhmu dan juga di tubuh kawanmu itu
adalah sejenis racun yang amat berbahaya. Racun ganas yang mematikan."
Kakek berpakaian putih itu
menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas.
"Untunglah aku berhasil
menjinakkannya. Sekarang keadaanmu dan juga kawanmu sudah tidak berbahaya lagi.
Tinggal menunggu waktu agar kau segera sembuh." "Terima kasih atas
jerih payahmu, Ki. Kebe-hasilanmu menyembuhkan kami sebagai bukti kalau kau
bukan orang sembarangan. Kalau aku tidak salah menebak, kau pasti yang berjuluk
Dewa Obat Baju Putih. Apakah dugaanku benar, Ki?"
"Kau memang cerdik, Dewa
Arak. Dugaanmu sama sekali tidak keliru. Memang, akulah yang berjuluk Dewa Obat
Baju Putih. Tapi, apa alasan yang mendorongmu menduga demikian, Dewa Arak?"
tanya kakek berpakaian putih yang ternyata berjuluk Dewa Obat Baju Putih.
"Sederhana saja, Ki.
Ucapanmu dan terutama sekali keberhasilan pengobatanmu, serta ciri-ciri yang
kau miliki. Telah kudengar kalau Dewa Obat Baju Putih adalah seorang kakek ahli
obat, sakti, dan mengenakan pakaian putih," jawab Arya.
"Kau memang cerdik, Dewa
Arak," puji Dewa Obat Baju Putih tulus.
"Rupanya kau senang
memuji, Ki," sahut Arya merasa tidak enak.
Kemudian dengan mata tajam,
ditatapnya wajah kakek berpakaian putih itu lekat-lekat.
"Kurasa agar percakapan
kita berjalan lebih enak, bagaimana kalau kau memanggil namaku saja, Ki? Namaku
Arya Buana. Tapi, orang-orang biasa menyapaku Arya."
"Begitu pun boleh, De...,
eh Arya...!" sambut Dewa Obat Baju Putih. "Sayang sekali, aku tidak
ingat lagi nama asliku sendiri, Arya."
"Tidak mengapa, Ki. Aku
pun bisa memaklumi," sambut Arya.
Dewa Obat Baju Putih
mengembangkan senyum tipis. "O, ya Arya. Hampir saja aku lupa. Kau masih
harus
minum sekali lagi ramuan
obatku agar pengaruh racun yang mengendap di tubuhmu lenyap semua."
Dewa Obat Baju Putih lalu
mengambil gelas bambu berisi ramuan obat yang dibuatnya. Kemudian gelas itu
didekatkan ke mulut Arya.
Semerbak aroma agak pedas
tercium hidung Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mempedulikannya. Tanpa ragu-ragu ramuan obat itu diminumnya hingga habis.
"Sekarang beristirahatlah, Arya. Aku pergi dulu untuk menengok kawanmu.
Dia pun harus minum ramuanku sekali lagi agar terbebas dari pengaruh racun itu."
Kemudian tanpa menunggu
tanggapan Arya, Dewa Obat Baju Putih mengayunkan langkah meninggalkan tempat
itu. Sementara Dewa Arak hanya memandangi punggung kakek berpakaian putih itu.
Lega sudah rasa hatinya mendengar Melati berada di situ pula. Dan bahkan akan
sembuh dari lukanya. Kini tanpa perasaan cemas lagi, sepasang matanya
dipejamkan.
***
Matahari sudah naik tinggi,
bahkan sudah hampir tegak lurus ketika tiga sosok tubuh duduk di teras depan
sebuah pondok berdinding bilik bambu. Tiga sosok itu terdiri dari dua orang
lelaki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak, Melati, dan Dewa
Obat Baju Putih. Kini mereka duduk saling berhadapan beralaskan tikar daun
kelapa.
"Aku ingin mengajukan
sebuah pertanyaan padamu, Ki. Dan aku ingin sekali mendapatkan jawabannya. Tapi
tentu saja, kalau kau tidak keberatan," ucap Arya.
Wajah pemuda berambut putih
keperakan itu terlihat sudah cerah kembali. Tubuhnya telah pulih seperti
sediakala. Seluruh kekuatannya pun telah pulih kembali.
"Katakan saja, Arya.
Kalau bisa, tentu akan kujawab," ringan sambutan Dewa Obat Baju Putih.
"Terima kasih, Ki. Begini.
Di perjalanan, kami bertemu seseorang yang tengah dikeroyok segerombolan orang
berseragam hitam yang mukanya tertutup kain hitam. Sayangnya, kami agak
terlambat sehingga orang itu keburu tewas."
Dewa Arak berhenti sejenak
ingin melihat tanggapan Dewa Obat Baju Putih. Tapi ternyata kakek berpakaian
putih itu tetap diam mendengarkan.
"Tapi berdasarkan hasil
penyelidikan kami dan berbekal sedikit keterangan dari si korban, bisa kami
ketahui kalau dia seorang ahli obat yang bermaksud melaksanakan tugasnya.
Sedangkan orang-orang berselubung hitam itu pihak yang tidak menyenangi
pekerjaan yang akan dilakukan ahli obat itu. Sehingga ahli obat itu
dibinasakan."
Kembali Dewa Arak menghentikan
ucapannya sebentar untuk mengambil napas.
"Penyelidikan membawa kami
ke sebuah tempat yang berhawa tidak enak. Tapi kami belum sempat menyelidikinya
lebih lanjut. Karena perut kami waktu itu sangat lapar," lanjut Dewa Arak.
"Benar, Ki," sambung
Melati ketika melihat isyarat dari Arya untuk menggantikan melanjutkan cerita.
"Kami lalu menemukan sebuah kedai. Kemudian memesan makanan dan minuman.
Siapa sangka kalau dalam makanan dan minuman itu telah dicampuri racun.
Akibatnya, yahhh...! Seperti yang kau jumpai, Ki."
"Nah! Yang menjadi
pertanyaan kami, Ki. Apakah kau mengetahui pula akan adanya peristiwa seperti
ini?" sambung Dewa Arak seraya mengajukan pertanyaan pada kakek berpakaian
putih itu.
Dewa Obat Baju Putih tidak
langsung menjawab pertanyaan Dewa Arak. Bibirnya tersenyum pada sepasang
muda-mudi yang duduk di hadapannya. Kemudian dihelanya napas panjang sebentar.
"Maksudmu peristiwa
pembunuhan terhadap ahli obat itu, Arya?" kakek berpakaian putih malah
balas bertanya.
"Tidak, Ki," jawab
Dewa Arak sambil menggelengkan kepala. "Yang kumaksudkan adalah, apakah
kau mengetahui adanya orang-orang yang membutuhkan pengobatan si ahli obat
itu?"
"Kalau secara
pastinya..., aku tidak tahu, Arya. Tapi yang jelas di tempat kau mencium bau
tidak enak itu, memang telah terjadi malapetaka hebat," ujar Dewa Obat
Baju Putih.
"Malapetaka hebat,
Ki?" selak Melati tidak sabar. "Benar. Malapetaka
hebat!" jawab Dewa
Obat Baju
Putih sambil menganggukkan
kepala. "Di dekat tempat itu beberapa waktu yang lalu berdiri sebuah
perguruan silat yang bernama Perguruan Naga Terbang. Ketuanya adalah sahabat
lamaku. Memang, muridnya tidak banyak. Tapi, saat ini perguruan itu sudah tidak
ada lagi. Sudah musnah! Mereka
semua tewas karena
racun. Tapi, konon menurut berita yang kudengar, sebagian
dari mereka mati secara perlahan-lahan."
"Ahhh...!" desah
Arya. "Kau tahu siapa pelaku tindak kekejian itu, Ki?"
"Secara pastinya, aku
belum tahu. Tapi, dari hasil pemeriksaanku terhadap mayat orang-orang Perguruan
Naga Terbang, aku bisa menduga siapa pelakunya," kata Dewa Obat Baju Putih
lagi.
"Siapa, Ki?" tanya
Melati ingin tahu.
Memang gadis ini memiliki
watak tidak sabaran. Bahkan kadang-kadang kewaspadaannya hilang karena
tergesa-gesa.
"Raja Racun...,"
jawab Dewa Obat Baju Putih.
"Raja Racun?"
tanya Dewa Arak dengan suara berdesah.
"Kau menduga dia pelakunya, Ki?"
Dewa Obat Baju Putih
menganggukkan kepala, membenarkan pertanyaan itu.
Arya memperhatikan wajah kakek
berpakaian putih sejenak.
"Maaf, kalau aku bersikap
lancang, Ki. Tapi, menurut perasaanku kau tidak yakin kalau pelakunya adalah
Raja Racun. Ini hanya dugaanku saja, Ki."
"He he he...!" Dewa
Obat Baju Putih tertawa lunak. "Kau memang cerdik, Arya. Kuakui, aku tidak
yakin akan dugaanku sendiri."
"Boleh aku tahu
alasannya, Ki?" desak Arya lagi, sedangkan Melati hanya mendengarkan
saja percakapan yang terjadi.
Dewa Obat Baju Putih menghela
napas berat.
"Sayang sekali aku tidak
bisa menjelaskan alasannya, Arya. Bukannya tidak mau, tapi memang sulit untuk
mengutarakannya. Tapi secara singkat bisa kukatakan. Aku telah lama menjalin
hubungan dengan Raja Racun. Lebih dari
dua puluh tahun. Kami sering mengadakan pertemuan untuk saling menguji
kepandaian. Itu kami lakukan setiap dua tahun sekali. Dan, aku tahu betul
sifat-sifatnya. Karena itulah aku tidak percaya kalau pelaku semua pembantaian
itu adalah dia. Jelas, Arya?!"
Dewa Arak tidak langsung
memberikan sambutan. Dia tengah berusaha mencerna penjelasan Dewa Obat Baju
Putih. Hal yang sama pun dilakukan Melati. "Mungkin keteranganku kurang
jelas, Arya. Agar kau jelas, bisa kuambil perbandingan. Andaikata kau dengar
berita yang mengatakan kawanmu melakukan tidak kejahatan. Apakah kau akan
percaya begitu saja, Arya? Misalnya saja, korban itu tewas karena ilmu yang kau
tahu dimiliki kawanmu ini. Percayakah kau, Arya?"
"Tidak, Ki," Dewa
Arak menggelengkan kepala. "Tapi meskipun demikian, aku akan menyelidiki
keberarannya. Kalau benar dia pelakunya, aku yakin ada hal-hal yang
mendorongnya melakukan tindakan seperti itu."
"Tepat! Tindakan itu pula
yang tengah kulakukan, Arya!" sambut Dewa Obat Baju Putih, cepat.
"Walaupun tidak percaya akan berita yang tersebar, penyelidikan tetap
kulakukan. Sayangnya sampai sekarang, tetap saja belum kutemukan adanya titik
terang. Masalah ini masih gelap!"
"Aku dan kawanku akan
membantumu menyingkap masalah ini, Ki. Mudah-mudahan saja bantuan yang kami
berikan ini ada gunanya," ujar Dewa Arak menawarkan diri.
"Terima kasih, Arya.
Memang, aku sangat membutuhkan bantuanmu untuk menyingkap masalah ini. Banyak
hal di luar pengetahuanku yang kudengar dari mulutmu. Di antaranya adalah
pembunuhan terhadap ahli obat."
"O ya, Ki. Menurut
ceritamu, kau telah menjalin hubungan cukup lama dengan Raja Racun. Jadi...,
setidak- tidaknya kau mengetahui ciri-ciri racun yang dimilikinya. Apakah racun
yang menyerang kami termasuk di antara racun yang dimiliki Raja Racun?!"
tanya Dewa Arak ingin mencari kejelasan.
"Hhh...!"
Dengan didahului helaan napas
berat, Dewa Obat Baju Putih menganggukkan kepala.
"Racun yang menyerangmu
dan kawanmu memang racun yang dimiliki Raja Racun. Tidak ada orang lain yang
memilikinya kecuali dia! Hhh...! Entah apa yang membuatnya bertindak seperti
itu...?" keluh Dewa Obat Baju Putih dengan pandang mata menerawang jauh ke
atas.
"Jawaban dari pertanyaan
itu hanya kita dapatkan melalui penyelidikan, Ki," ujar Dewa Arak pelan.
Ucapan Dewa Arak membuat kakek
berpakaian putih itu tersentak. "Apa yang kau ucapkan benar, Arya. Tunggu
apa lagi?
Mari kita memulainya
sekarang!"
Usai berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu bergerak bangkit. Hal yang sama pun dilakukan Dewa Arak
dan Melati.
"Apakah kau telah
mempunyai tujuan, Ki?" tanya Dewa Arak sambil lalu.
"Ya!" jawab Dewa
Obat Baju Putih singkat. "Ke mana, Ki?" tanya Dewa Arak lagi.
"Tempat kediaman Raja Racun!"
Kemudian, tanpa menunggu
pertanyaan selanjutnya keluar dari mulut Dewa Arak, Dewa Obat Baju Putih
mengayunkan langkah. Hanya sekali hentak, tubuhnya telah melesat jauh. Kali ini
Dewa Arak dan Melati dapat melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki kakek berpakaian putih itu. Tubuh Dewa Obat Baju Putih begitu cepat
melesat, sehingga yang nampak hanyalah sebuah bayangan putih yang melesat.
Tapi sepasang muda-mudi itu
tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam kekagumannya. Keduanya segera melesat
begitu cepat menyusul Dewa Obat Baju Putih yang telah jauh meninggalkan tempat
itu.
7
"Itulah tempat kediaman
Raja Racun, Arya," kata Dewa Obat Baju Putih sambil menudingkan jari
telunjuknya ke sebuah gua yang tak jauh di hadapan mereka.
Saat itu, Dewa Arak, Dewa Obat
Baju Putih, dan Melati berada di lereng Gunung Gawar. Dewa Arak dan Melati
segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling lereng gunung itu. Kemudian
kembali menatap tajam ke gua tempat tinggal Raja Racun. Alis sepasang pendekar
muda itu sama-sama berkerut ketika melihat gua yang ditunjukkan Dewa Obat Baju
Putih. Yang terlihat hanyalah kegelapan di sekitar mulut gua. Tidak terlihat
sedikit pun isi yang ada di dalamnya.
"Mari kita lihat lebih
dekat lagi," ajak Dewa Obat Baju Putih ketika melihat sepasang pendekar
muda itu terdiam.
Dewa Arak dan Melati
mengayunkan kaki mengikuti Dewa Obat Baju Putih yang telah melangkah lebih
dahulu. Hanya dalam beberapa langkah, jarak antara mereka dengan mulut gua itu
tinggal tiga tombak lagi. Dan di sini, Dewa Obat Baju Putih menghentikan
langkahnya. Mau tak mau Dewa Arak dan Melati pun berhenti.
"Boleh aku mengajukan
permohonan pada kalian berdua?" tanya Dewa Obat Baju Putih sambil menatap
wajah Dewa Arak dan Melati bergantian.
"Apa itu, Ki? Katakanlah.
Apabila kami mampu dan selama tidak bertentangan dengan kebenaran, pasti akan
kami kerjakan," mantap dan tegas ucapan Dewa Arak.
Melati hanya menganggukkan
kepala. Memang, gadis berpakaian putih itu telah percaya penuh pada Arya. Dia
yakin setiap keputusan yang diambil pemuda berambut putih keperakan itu pasti
benar dan sesuai dengan pendapatnya.
Seulas senyum lebar dan sorot
mata kekaguman terpancar dari sepasang mata Dewa Obat Baju Putih.
"Tentu saja tidak
bertentangan dengan kebenaran, Arya. Aku hanya minta agar kau dan Melati
bersembunyi dulu. Aku khawatir, dengan keberadaan kalian, Raja Racun tidak mau
menemuiku. Paling tidak, dia tidak akan terus- terang mengutarakan hal-hal yang
mengganjal di hatinya. Bagaimana? Kau bersedia meluluskan permintaanku ini,
Arya?"
"Hanya permintaan seperti
itu, apa beratnya, Ki? Baiklah. Kami akan bersembunyi dan baru akan keluar
apabila kau memberikan isyarat, atau jika ada perkembangan lain yang tidak
terduga."
"Terima kasih atas
kebijaksanaan hatimu, Arya." Dewa Arak hanya tersenyum.
"Mari, Melati," ajak
Arya pada kekasihnya.
Tanpa membantah, Melati
mengikuti Dewa Arak yang telah bergerak lebih dulu menuju gundukan-gundukan
batu yang terdapat di sekitar tempat itu. Besarnya gundukan batu-batu yang
sebesar kerbau itu memungkinkan untuk dijadikan tempat bersembunyi.
Sementara itu, Dewa Obat Baju
Putih mengamati hingga Arya dan Melati menyelinap di balik batu besar itu. Baru
setelah itu, matanya menatap gua di hadapannya.
"Raja Racun....! Aku,
Dewa Obat Baju Putih datang...! Ada urusan yang harus kubicarakan denganmu.
Keluarlah...!" seru kakek berpakaian putih itu.
Pandangan matanya tetap
tertuju ke dalam gua. Tenaga dalamnya dikerahkan pada teriakan itu. Hal ini
dimaksudkan agar ucapan itu terdengar sampai jauh ke dalam gua.
Namun, tidak hanya ke dalam
gua suara teriakan itu bergema. Teriakan lelaki tua itu menggema ke seluruh
dataran di lereng gunung. Gema suara menggelegar itu terdengar berulang-ulang.
Beberapa saat Dewa Obat Baju
Putih menunggu. Dia yakin teriakannya akan terdengar telinga Raja Racun, jika
tokoh yang ahli racun itu berada di dalam guanya.
Harapan Dewa Obat Baju Putih
terlaksana. Tidak perlu menunggu lama, karena sesaat kemudian dari dalam gua
berkelebat sesosok bayangan.
Jliggg!
Begitu cepat gerakan sosok bayangan
itu. Hanya dalam sekelebatan telah mendarat tepat di hadapan Dewa Obat Baju
Putih. Jarak dua tombak memisahkan antara mereka.
Dewa Obat Baju Putih langsung
memasang sikap waspada. Meskipun kelihatannya bersikap tenang saja, seluruh
otot dan urat syarafnya telah menegang. Jelas, kakek berpakaian putih ini telah
siap menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana kabarmu, Raja
Racun. Baik-baik saja bukan?" sapa Dewa Obat Baju Putih sambil menatap
penuh selidik sosok yang berdiri di hadapannya.
Tokoh yang berjuluk Raja Racun
itu ternyata adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun, berwajah
pucat, dan bermata sipit. Pakaian terbuat dari kulit ular membungkus tubuhnya
yang tinggi kurus. Penampilannya menimbulkan perasaan gentar di hati orang yang
bernyali kecil. Apalagi jika sampai beradu tatap dengan sepasang matanya.
Betapa tidak? Sepasang mata itu mencorong tajam dan berwarna kehijauan. Sorot
seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh yang memiliki tenaga dalam sangat
tinggi. Jelas, kakek tinggi kurus ini bukan orang sembarangan.
Raja Racun tersenyum. Tapi
Dewa Obat Baju Putih yang telah lama mengenal kakek tinggi kurus itu, tahu
kalau senyum itu adalah senyum paksaan. Sehingga kewaspadaannya semakin
ditingkatkan.
"Aku baik baik saja, Dewa
Obat," ujar Raja Racun berusaha terlihat gembira. "O, ya. Pasti ada
keperluan sangat penting yang kau butuhkan dariku, Dewa Obat. Kalau tidak, mana
mungkin kau mau bersusah payah datang ke tempatku. Padahal, waktu pertandingan
masih cukup lama. Katakan, Dewa Obat. Apa keperluanmu kemari?"
Dewa Obat Baju Putih tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Malah kakek berpakaian putih itu menghela
napas berat. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya.
"Dugaanmu memang tidak
keliru, Raja Racun. Ada keperluan sangat penting yang memaksaku keluar dari
tempat tinggalku dan menemuimu di sini. Apakah kau bisa menduga keperluanku
itu?"
Raja Racun mengernyitkan dahi
beberapa saat sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Tidak. Aku tak tahu
alasan yang mendorongmu untuk menemuiku di sini," jawab Raja Racun dengan
wajah sungguh-sungguh.
"Hhh...!"
Dewa Obat Baju Putih menghela
napas berat. Dia tahu Raja Racun tidak berbohong dengan ucapannya. Tarikan wajah kakek tinggi kurus
yang terlihat bersungguh- sungguh itu telah menjadi pertanda kebenaran ucapan
yang keluar dari mulutnya.
"Apakah kau tidak
mendengar berita yang menggemparkan dunia persilatan belum lama ini?"
tanya Dewa Obat Baju Putih sambil menatap wajah Raja Racun penuh selidik.
"Tidak, Dewa Obat. Aku
selalu berdiam di guaku dan tidak pernah turun gunung. Dan lagi tidak ada orang
yang memberitakan padaku mengenai kejadian yang menimpa dunia persilatan. Lain
halnya dengan kau," jawab Raja Racun sambil menggelengkan kepala.
"Memangnya kenapa, Dewa Obat?"
"Perguruan Naga Terbang
dihancurkan. Ada segerombolan orang yang menyerbunya. Dan menurut berita yang
kudapatkan, keberhasilan gerombolan itu melaksanakan maksudnya karena
menggunakan racun. Mereka lebih dulu melumpuhkan perlawanan orang-orang
Perguruan Naga Terbang dengan menggunakan racun," jelas Dewa Obat Baju
Putih panjang lebar.
Raja Racun
mengangguk-anggukkan kepala ketika kakek berpakaian putih itu menghentikan
ceritanya. Menilik sikapnya, bisa ditebak kalau Raja Racun telah berhasil
menarik sebuah kesimpulan, setelah mendengar cerita Dewa Obat Baju Putih. Dan
itu terbukti beberapa saat kemudian.
"Sekarang aku mengerti
maksud tujuanmu menemuiku, Dewa Obat Baju Putih. Bukankah kau ingin mengatakan
kalau orang-orang Perguruan Naga Terbang tewas akibat racun milikku?.'"
tebak Raja Racun, langsung.
Dewa Obat Baju Putih tidak
terkejut mendengar ucapan Raja Racun. Telah diketahuinya betul sifat sahabatnya
yang selalu blak-blakan dan terbuka.
"Dugaanmu hampir tepat,
Raja Racun. Hanya saja aku tidak menduga sekasar itu. Yang jelas, orang-orang
Perguruan Naga Terbang tewas karena racun yang mirip dengan racun milikmu.
Namun, kebenaran dugaan itu masih belum bisa kupastikan. Itulah sebabnya, aku
bersusah payah mencarimu. Kau tahu, orang-orang persilatan belum dapat
menduganya. Itu pun karena aku mengenali ciri-ciri racun yang kau miliki,"
jelas Dewa Obat Baju Putih panjang lebar.
"Memangnya kenapa kalau
kalangan persilatan mengetahui penyebab kematian orang-orang Perguruan Naga
Terbang itu? Mengapa pula kalau mereka mengetahui pemilik racun itu? Mereka
akan mencari-cariku, dan kemudian menyerbu kemari? Begitu kan maksudmu?"
Tanpa sadar Dewa Obat Baju
Putih menganggukkan kepala mendengar desakan Raja Racun yang begitu berapi-
api.
"Huh! Kau kira aku takut
mati, Dewa Obat?!" semakin meninggi suara Raja Racun. "Aku bukan
seorang pengecut! Biar mereka semua datang ke sini dan mengeroyok, aku tidak
takut!" "Rupanya watakmu tetap belum berubah, Raja Racun. Masih saja
keras kepala! Kau tahu yang menjadi permasalahan di sini bukannya perkara takut
atau beraninya kau menghadapi mereka. Tapi, kebenaran kenyataan yang kulihat.
Benarkah kau yang telah melakukan semua kekejian itu, Raja Racun?! Kalau bukan
kau pelakunya, untuk apa membiarkan orang-orang persilatan datang kemari untuk
membinasakanmu? Katakan saja kau bukan pelakunya. Gampang kan?! Nah, sekarang
katakan terus terang, demi persahabatan kita, Raja Racun. Benarkah kau yang
melakukan semua kekejian itu?!"
Dewa Obat Baju Putih menatap
wajah Raja Racun lekat-lekat. Hal yang sama pun dilakukan Raja Racun.
"Sayang sekali, Dewa
Obat. Aku tidak bisa menjawabnya! Hanya itu yang bisa kukatakan!"
Terdengar keras dan mantap
ucapan yang keluar dari mulut Raja Racun. Tapi Dewa Obat Baju Putih yang telah
berhubungan lama dengan tokoh itu tahu kalau ucapan yang terdengar tidak sesuai
dengan hatinya. Ada keluhan yang tertangkap oleh perasaan Dewa Obat Baju Putih.
"Katakan, Raja Racun! Kau
tahu, aku tidak percaya kalau kau pelaku semua kekejian itu. Katakanlah kalau
kau bukan pelaku semua kekejian itu!" desak Raja Obat Baju Putih lagi.
"Jangan paksa aku untuk
mengatakan hal yang tidak ingin kukatakan, Dewa Obat!" tandas Raja Racun
tegas. "Atau pertarungan antara
kita berlangsung lebih cepat dari rencana semula."
"Tapi..."
"Kalau begitu, jaga
seranganku...! Hih!"
***
Raja Racun membuka serangannya
dengan sebuah tusukan jari-jari tangannya ke arah perut Dewa Obat Baju Putih.
Bertubi-tubi serangan itu dilancarkan. Suara mencicit nyaring yang menyakitkan
telinga, terdengar seiring meluncurnya serangan yang dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi.
"Hehhh...?!" Dewa
Obat Baju Putih yang tidak menyangka akan meluncurnya serangan mendadak itu
menjadi terkejut. Dengan cepat tubuhnya melakukan lompatan harimau ke samping.
Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Sehingga serangan
yang dilancarkan Raja Racun mengenai tempat kosong.
Akan tetapi serangan Raja
Racun tidak berhenti. Begitu berhasil dielakkan Dewa Obat Baju Putih, kembali
dikirimkan serangan lanjutan. Kakek tinggi kurus ini melakukan lompatan harimau
pula. Bahkan tubuhnya pun digulingkan pula untuk mengejar Dewa Obat Baju Putih.
"Hih!"
Begitu telah berada dalam
jarak serangan, Raja Racun langsung melancarkan kibasan kaki kanan ke tubuh
Dewa Obat Baju Putih yang baru saja berhenti.
Wukkk! "Hih!"
Lagi-lagi serangan Raja Racun
kandas. Dewa Obat Baju Putih yang mengetahui serangan susulan itu langsung
menjejakkan kaki, sehingga tubuhnya melenting ke atas. Akibatnya, sapuan Raja
Racun hanya mengenai angin kosong.
Bahkan kali ini Dewa Obat Baju
Pulih yang berada di udara, dengan manis berputar. Lalu....
"Hih!"
"Kalau begitu, jaga
seranganku...! Hih!" Raja Racun membuka serangannya dengan tusukan
jari-jari tangan ke arah perut Dewa Obat Baju Putih.
"Hehhh...?!" Dewa
Obat Baju Putih segera melakukan lompatan harimau ke samping. Sehingga,
serangan yang dilancarkan Raja Racun mengenai tempat kosong!
Wuttt!
Sebuah serangan berupa
sampokan kedua tangan ke bagian belakang kepala lawan, dilancarkan. Begitu
keras dan cepat sampokan itu dilakukan. Sehingga kalau serangan itu mengenai
sasaran, mungkin nyawa lawan akan melayang.
Namun, Raja Racun bukan tokoh
sembarangan. Seperti juga Dewa Obat Baju Putih, dia pun memiliki kepandaian
tinggi. Maka menghadapi serangan itu, tidak sedikit rasa gugup di wajahnya.
Wusss! Serangan Dewa Obat Baju
Putih lewat beberapa jari di atas kepala Raja Racun. Rambut dan pakaian si ahli
racun yang berkibaran keras, karena kekuatan yang terkandung dalam serangan
itu.
Sesaat kemudian, kedua belah
pihak telah terlibat dalam pertanjngan sengit.
Kejadian itu tidak lepas dari
perhatian Dewa Arak dan Melati. Kini yang bisa mereka lakukan hanyalah menyaksikan jalannya pertarungan. Apabila
Dewa Obat Baju Putih dalam keadaan bahaya, baru Dewa Arak akan turun tangan.
Dewa Arak merasa hanya dirinya yang dapat membantu jika Dewa Obat Baju Putih
terdesak. Melati jelas tak mungkin mampu, karena kepandaiannya jauh di bawah
mereka.
Sementara itu pertarungan
berlangsung semakin sengit. Sampai belasan jurus pertarungan berlangsung, belum
nampak salah satu pihak yang terdesak atau kalah. Pertarungan masih berlangsung
imbang.
Suara angin menderu, mencicit
terdengar setiap kali kedua belah pihak menggerakkan tangan atau kaki. Tanah
yang terbongkar di sana-sini pertanda dahsyatnya setiap serangan yang terlontar
dari tangan dan kaki kedua tokoh tua itu.
Jurus demi jurus berlangsung
cepat, karena kedua belah pihak memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan.
Dalam wakru sebentar saja lima puluh jurus telah terlewati, tapi keadaan masih
belum berubah. Pertarungan masih berlangsung imbang.
Saat itulah Dewa Arak dan
Melati mendengar adanya langkah-langkah kaki yang bergerak mendekati tempat
itu. Suara itu terdengar jelas di telinga sepasang pendekar muda itu. Nampaknya
langkah-langkah kaki seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh biasa-biasa
saja.
Yang mengejutkan hati Dewa
Arak dan Melati jumlah mereka yang begitu banyak. Sehingga suara langkah mereka
bergemuruh. Siapakah mereka? Dan mengapa datang kemari? Apakah orang-orang
persilatan? Dan mereka datang karena telah bisa menduga pelaku kekejian
terhadap Perguruan Naga Terbang?
Pertanyaan demi pertanyaan itu
yang menggayuti benak Dewa Arak dan Melati. Tapi karena tahu kalau jawaban bagi
pertanyaan itu akan mereka dapatkan, segera dibuangnya semua pertanyaan itu.
Kini keduanya bersikap waspada menghadapi kemungkinan yang akan terjadi.
Dewa Arak dan Melati tidak
perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan jawaban Itu. Karena sesaat
kemudian, orang-orang itu telah terlihat. Kontan Dewa Arak dan Melati
terperanjat ketika melihat mereka mulai mendekat.
Rombongan itu ternyata
orang-orang berpakaian serba hitam dan
berselubung hitam. Jelas, mereka mempunyai hubungan dengan orang-orang
berselubung hitam di Hutan Gendar.
"Akhirnya kita menemukan
mereka kembali, Kang," desah Melati setengah berbisik.
Raut ketegangan tampak jelas
di wajah gadis berambut putih itu. Karena sosok-sosok yang tengah mereka
cari-cari akhirnya berhasil diketemukan juga.
"Benar, Melati,"
sahut Dewa Arak sambil menganggukkan kepala. "Tapi yang membuatku bingung,
untuk apa mereka kemari? Apakah ada hubungan antara mereka dengan gerombolan
yang menyergap kita di kedai dulu?"
"Tak lama lagi akan kita
ketahui, Kang. Sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
"Untuk sementara kita
menunggu saja, Melati. Kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Apakah
yang akan dilakukan gerombolan orang berseragam hitam itu?" ujar Arya
memutuskan.
Melati menganggukkan kepala
menyetujui keputusan yang diambil Dewa Arak. Karena disadari ada kebenaran
dalam keputusan yang diambil kekasihnya itu.
Dan sekarang, sepasang
pendekar muda itu terus memperhatikan gerombolan berseragam hitam tak jauh di
hadapan mereka. Seluruh urat syaraf menegang waspada. Apabila keadaan
menghendaki, mereka tinggal melesat menyerbu.
Tapi ternyata gerombolan serba
hitam itu tidak langsung bertindak. Mereka hanya berdiri diam sambil
memperhatikan pertarungan sengit antara kedua tokoh tua itu. Sementara itu,
meskipun tengah bertarung sengit, Dewa Obat Baju Putih maupun Raja Racun
nampaknya mengetahui keadaan di seldtarnya.
Mereka pun mengetahui
kedatangan orang-orang berseragam hitam. Namun, Raja Racun bersikap tidak
peduli. Perhatian tetap dipusatkan pada pertarungannya menghadapi Dewa Obat
Baju Putih.
Tidak demikian halnya dengan
Dewa Obat Bau Putih. Begitu mengetahui keberadaan orang-orang berselubung hitam
itu, pikirannya langsung teringat pada cerita Dewa Arak. Maka, perhatiannya pun
terpecah. Sepercik harapan untuk bisa mengungkap rahasia pembunuh besar-besaran
terhadap Perguruan Naga Terbang melalui mulut orang orang berseragam hitam itu,
menyeruak di benaknya. Sehingga dia kehilangan semangat untuk terus melanjutkan
pertarungan.
Dan seiring dengan hilangnya
gairah untuk terus melangsungkan pertarungan, serangan-serangan Dewa Obat Baju
Putih pun semakin berkurang. Kini dia lebih banyak mengelak. Kakek berpakaian
putih itu ingin segera mengakhiri pertarungan. Namun, belum menemukan
kesempatan untuk menjauhkan diri. Lagi pula, nampaknya Raja Racun tidak
menginginkan pertarungan itu dihentikan.
Akhirnya, pertarungan unik pun
terjadi. Dewa Obat Baju Putih terus-menerus menjauhkan diri untuk menghentikan
pertarungan. Sementara, Raja Racun tak henti-hentinya berusaha melancarkan
serangan. Sehingga pertarungan berlangsung tidak manarik lagi karena mirip
dengan kejar-mengejar.
Pemandangan seperti itu
berlangsung sampai hampir sepuluh jurus. Semua itu disaksikan oleh Dewa Arak
dan Melati.
"Aneh...!" gumam
Dewa Arak
"Apa yang aneh,
Kang?" tanya Melati.
"Tindakan Raja
Racun!" jawab Dewa Arak "Menurut perhitunganku, dia tahu kalau Dewa
Obat Baju Putih tidak berminat untuk melanjutkan pertarungan lagi. Dan kurasa
dia pun tahu penyebabnya. Yaitu karena Dewa Obat Baju Putih melihat keberadaan
orang-orang berseragam hitam, tapi mengapa Raja Racun bersikap seolah-olah
keberadaan orang-orang berseragam hitam sama sekali tidak menimbulkan
masalah?" Melati kontan terdiam. Dia tidak tahu harus memberikan tanggapan
apa. Tapi, kebingungan gadis berpakaian putih itu tidak berlangsung lama.
"Kang! Lihat! Dewa Obat
Baju Putih berhasil melaksanakan maksudnya...," bisik Melati dengan suara
agak ditekan. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah pertarungan yang
tengah berlangsung.
Dewa Arak melayangkan
pandangan ke arah yang ditunjukkan Melati. Tampak olehnya, Dewa Arak
melentingkan tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara, sebelum
tubuhnya meluruk ke arah rombongan orang-orang berseragam hitam.
"Hih!"
Laksana seekor garuda yang
menerkam mangsa, Dewa Obat Baju Putih
mengirimkan serangan dari udara. Kedua tangannya yang terkembang membentuk
cakar, meluncur deras ke kepala rombongan orang berseragam hitam.
Wuttt!
8
"Hey...!"
Sosok berpakaian hitam yang
mendapat serangan dari Dewa Obat Baju Putih adalah sosok yang pada dahinya
terdapat gambar tengkorak kecil. Berarti, sosok hitam ini adalah sang Pemimpin.
Dan dia merasa terkejut bukan kepalang mendapat serangan yang tidak
disangka-sangka itu. Akibatnya, jerit kekagetan pun keluar dari mulutnya.
Meskipun demikian bukan
berarti sosok berpakaian hitam itu berdiam diri begitu saja. Walaupun sama
sekali tidak menduga, tetap saja masih bisa menyelamatkan diri. Dan hal itu
terjadi dengan sendirinya.
Wut! Wut! Plak! Plak!
Sang Pemimpin itu mengibaskan
kedua tangan ke atas untuk memapak
serangan yang mengancam ubun- ubunnya. Tak pelak lagi benturan keras antara dua
pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun terjadi. Sosok
hitam yang memiliki tanda tengkorak di bagian dahinya itu mengerahkan seluruh
tenaga dalam pada kibasan yang
dilakukannya.
Tubuh kedua belah pihak
sama-sama terpental balik. Bedanya, Dewa Obat Baju Putih terpental ke udara,
karena kedudukannya yang memang berada di udara. Sementara sang Pemimpin terhuyung-huyupg
beberapa langkah ke belakang. Namun, tanpa kesulitan, kedua belah pihak
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung.
Jliggg!
Bersamaan dengan mendaratnya
kedua kaki Dewa Obat Baju Putih secara mantap di tanah, sang Pemimpin
gerombolan telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
"Buka kedokmu, Pengecut!
Dan katakan kalau kaulah pelaku semua kekejian terhadap Perguruan Naga
Terbang?!" bentak Dewa Obat Baju Putih penuh ancaman.
"Hmh...!"
Sosok hitam yang memiliki
gambar tengkorak di dahi mendengus mendengar perintah Dewa Obat Baju Putih.
Tampak jelas adanya nada mengejek dalam dengusannya.
"Tidak pantas makian
seperti itu kau tujukan padaku, Dewa Obat Baju Putih...!" sahut pemimpin
gerombolan berpakaian hitam itu.
"Tidak usah
berbelit-belit! Aku hanya ingin tahu, apakah kau yang telah melakukan semua
kekejian terhadap Perguruan Naga Terbang?!" potong Dewa Obat Baju Putih
dengan suara semakin meninggi.
"Benar! Lalu, apa
maumu?!" tanya sosok berpakaian hitam menantang.
"Melenyapkanmu dari muka
bumi ini!" peru Dewa Obat Baju Putih keras.
Seiring lenyapnya gema
teriakan itu, Dewa Obat Baju Putih melompat menerjang pemimpin gerombolan itu.
Di udara, tubuhnya berputar seraya mengibaskan kaki kanannya. Tidak
tanggung-tanggung lagi sasaran yang ditujunya, pelipis. Andaikata terkena,
sekalipun tidak telak, sudah cukup untuk mengirim nyawa sosok hitam itu ke
neraka.
Pimpinan sosok berseragam
hitam bukan orang bodoh. Dia pun tahu betapa berbahayanya serangan yang telah
dilancarkan lawan terhadapnya. Buru-buru kaki kanannya ditarik ke belakang
sambil mendoyongkan tubuh.
Wuttt!
Tendangan itu lewat beberapa
jari di depan wajahnya. Meskipun demikian, tendangan itu membuat selubung dan
pakaian sang Pemimpin berkibaran keras. Begitu dahsyat kekuatan tenaga dalam
yang terkandung di dalam kibasan kaki itu.
Namun tindakan pimpinan sosok
berseragam hitam segera bersiap kembali menghadapi lawannya. Begitu kibasan
lawan berhasil dielakkan, tangan kanannya dijulurkan ke depan untuk menangkap
kaki lawan yang masih berada di udara.
Plasss!
Usaha sang Pemimpin ternyata
sia-sia. Tangannya hanya menangkap angin. Dewa Obat Baju Putih telah lebih dulu
menarik kakinya kembali. Bahkan secepat kedua kakinya telah mendarat di tanah,
secepat itu pula kembali dilancarkan serangan terhadap pimpinan gerombolan
berseragam hitam. Rupanya, kakek berpakaian putih ini begitu bersemangat untuk
dapat merobohkan lawannya secepat mungkin.
Namun pemimpin gerombolan
berpakaian hitam itu bukan lawan yang mudah untuk dibekuk. Buktinya, mampu
melakukan perlawanan sengit. Sehingga meskipun Dewa Obat Baju Putih telah
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk secepat mungkin merobohkan lawannya,
pemimpin itu masih mampu bertahan.
Mendadak Dewa Obat Baju Putih
menghentikan desakannya terhadap sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di
dahi. Padahal, pertarungan baru berlangsung dua belas jurus. Dan kini, kakek
berpakaian putih itu menatap mata lawannya penuh selidik.
"Siapa sebenarnya kau,
Pengecut?! Cepat buka selubungmu!" seru Dewa Obat Baju Putih, keras.
"Ha ha ha...! Mengapa kau menyuruhku, Dewa Obat?! Apakah kau tak mampu
melakukannya sendiri? Ha ha ha...! Tak malukah dengan ucapan yang kau keluarkan
itu?" sambut sang Pemimpin sambil tertawa bergelak.
"Tutup mulutmu, Pengecut!
Asal kau tahu saja, sekarang aku tidak akan mengampunimu lagi. Kau punya tiga
kesalahan besar! Pertama, kau telah melakukan tindak kejahatan terhadap
Perguruan Naga Terbang! Kedua kau telah keterlaluan menghinaku! Dan ketiga...,
kau telah mencuri ilmu-ilmu yang kumiliki! Kau tidak bisa ingkar lagi,
Pengecut! Aku belum buta! Aku tahu pasti kalau ilmu-ilmu yang kau gunakan
sebagian, merupakan ilmu milikku! Sekarang, terimalah kematianmu!"
Srat! Srat!
Seketika Dewa Obat Baju Putih
mencabut sepasang pedang yang tersampir di punggung. Inilah senjata andalan
kakek berpakaian putih itu. Dan secepat kilat pedang itu diputar-putar di depan
dada, sehingga mengeluarkan suara mengaung nyaring.
Wung! Wung! Wung...!
"Keluarkan senjatamu
kalau tidak ingin mati percuma, Pengecut!" seru kakek berpakaian putih itu
memberi peringatan.
Tanpa berkata sepatah pun,
sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi segera mengeluarkan
senjatanya. Sebuah ruyung baja yang ujung-ujungnya dihubungkan dengan rantai
terbuat dari baja. Masih tanpa mengeluarkan suara apa pun, senjatanya
diputar-putarkan di depan dada.
Wuk! Wuk! Wuk!
"Terimalah kematianmu,
Pengecut...!"
Diiringi suara teriakan
nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Dewa Obat Baju
Putih melancarkan serangan. Sepasang pedangnya berputaran cepat sehingga tak
jelas bentuknya. Dan kini, yang terlihat hanyalah segulungan sinar menyilaukan
mata yang meluruk ke tubuh lawan.
Namun pemimpin gerombolan
berseragam hitam ini sama sekali tidak gugup. Dia sudah bersiap siaga untuk
menghadapi setiap serangan Dewa Obat Baju Putih. Dengan ruyung andalannya,
dihadapinya kakek berpakaian putih itu. Tak pelak lagi, pertarungan yang lebih
seru dan sengit kembali berlangsung.
Suara mendesing, mengaung,
dan menderu mengiringi pertarungan yang
terjadi antara kedua tokoh sakti itu. Pertarungan yang terjadi berlangsung
dalam tempo tinggi. Jurus demi jurus
berlalu demikian cepat.
Pertarungan tingkat tinggi itu
disaksikan puluhan pasang mata dengan hati berdebar tegang. Termasuk di antara
yang menyaksikan pertarungan itu adalah Dewa Arak, Melati, dan Raja Racun.
Tentu saja belasan orang berseragam hitam pun menyaksikan pula. Meskipun yang
mereka lihat hanyalah bayangan hitam dan putih yang tidak jelas bentuknya.
"Menurutmu..., siapa yang
akan keluar sebagai pemenang, Kang?" tanya Melati dengan suara pelan tanpa
mengalihkan pandangan dari pertarungan sengit itu.
"Kalau tidak ada
perubahan mendadak, Dewa Obat Baju Putih akan keluar sebagai pemenang,"
ujar Dewa Arak pelan.
Kesimpulan yang didapat Dewa
Arak memang beralasan. Setelah pertarungan menginjak jurus ke delapan puluh,
perlahan-lahan sosok hitam yang memiliki gambar tengkorak di dahi mulai
terdesak. Ruyung di tangannya yang semula sering berkelebatan ke arah bagian
tubuh Dewa Obat Baju Putih, kini mulai jarang beraksi. Sekarang, senjata itu
hanya digunakan untuk bertahan saja.
Singgg, trakkk...!
"Hih!"
"Ahhh...!"
Kejadian yang berlangsung
demikian cepat. Tahu- tahu, ruyung baja itu terlepas dari pegangan dan
terlempar ke udara, ketika pimpinan
sosok berseragam hitam itu menangkis serangan pedang Dewa Obat Baju Putih. Sama
sekali tidak disangka kalau Dewa Obat Baju Putih langsung menyentakkan
pedangnya sehingga ruyung itu terbabat dan lepas.
Menyadari keadaan yang sangat
berbahaya itu, sang Pemimpin buru-buru melentingkan tubuh ke belakang untuk
menyelamatkan diri. Tapi, Dewa Obat Baju Putih yang sudah berada di atas angin
nampaknya tidak mau memberikan kesempatan kepada lawan. Dikejarnya lelaki berpakaian
hitam itu dan menghujaninya dengan serangan sepasang pedangnya. Akibatnya,
pimpinan sosok berseragam hitam itu terpontang-panting ke sana kemari
menyelamatkan nyawanya.
Dan sekarang, keselamatan sang
Pemimpin benar- benar, bagai telur di ujung tanduk. Sampai akhirnya, tokoh yang
mukanya berselubung ini terjepit. Dan belum sempat bangkit dari bergulingnya
saat pedang Dewa Obat Baju Putih meluncur ke tubuhnya. Maka yang bisa dilakukan
hanya menanti maut dengan sepasang mata terbelalak ngeri.
Di saat yang amat genting bagi
keselamatan pemimpin gerombolan itu, terdengar sura jeritan melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"
Suara itu ternyata berasal
dari mulut Raja Racun. Kakek tinggi kurus itu melompat menerjang Dewa Obat Baju
Putih sambil mengayunkan senjata andalannya, sebuah tongkat yang gagangnya
berbentuk kepala ular.
Wukkk!
Suara mengiuk keras terdengar
ketika tongkat itu diayunkan ke kepala Dewa Obat Baju Putih.
Pada saat yang bersamaan
dengan gerakan Raja Racun, puluhan sosok berseragam hitam pun meluruk ke arah
Dewa Obat Baju Putih untuk menyelamatkan sang Pemimpin. Maka belasan senjala
tajam pun berkelebatan ke tubuh Dewa Obat Baju Putih.
Dewa Arak dan Melati terkejut
bukan kepalang melihat kejadian itu. Bukan karena melihat gerombolan itu menyerbu.
Tapi ikut sertanya Raja Racun dalam penyerangan itu, benar-benar menimbulkan
keterkejutan di hati merka. Bagai diperintah, sepasang pendekar muda ini
melesat keluar dari tempat persembunyiannya untuk menolong Dewa Obat Baju
Putih. Melati berusaha mencegat puluhan sosok berseragam hitam. Sedangkan Dewa
Arak meluruk ke arah Raja Racun.
Sementara itu, Dewa Obat Baju
Putih telah mengetahui adanya penyerbuan terhadap dirinya. Dalam waktu yang
amat singkat, benaknya berputar cepat. Dia tahu, penyerbuan yang datang dari
puluhan sosok berseragam hitam, bukan masalah baginya. Karena menurutnya,
mereka dapat dengan mudah dihalau setelah menyelesaikan pemimpinnya. Yang perlu
mendapat perhatian adalah Raja Racun yang juga tengah melesat ke arahnya.
Memang, perhitungan kakek
berpakaian putih itu sama sekali tidak salah. Kecepatan gerak Raja Racun
menyebabkan Dewa Obat Baju Putih segera memperhitungkan tindakannya. Karena
jika serangannya diteruskan, pasti kepalanya terkena tongkat lawan.
Dalam waktu yang sangat
singkat itu, Dewa Obat Baju Putih mengambil keputusan. Serangannya terhadap
sang Pemimpin tetap diteruskan dengan pedang di tangan kanannya. Sedangkan
gebukan tongkat Raja Racun ditangkisnya dengan pedang di tangan kirinya.
Wuttt ! Tranggg!
"Aaakh !"
Kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Bentrokan antara pedang Dewa Obat Baju Putih dan tongkat Raja
Racun, serta menancapnya pedang Dewa Obat Baju Putih di perut sang Pemimpin
terjadi hampir berbarengan. Tepat seperti yang telah diperhitungkan Dewa Obat
Baju Putih.
"Ludira !"
Jeritan melengking tinggi
penuh keterkejutan, keluar dari mulut Raja Racun, seiring dengan tubuhnya yang
melesat ke tubuh pemimpin gerom bolan itu. Tongkat yang berada di tangannya di
lemparkan begitu saja.
"Ludira ?!"
Ucapan yang sama keluar dari
mulut Dewa Obat Baju Putih. Ketidakpercayaan dan keterkejutan yang dalam tersirat dalam ucapannya. Dengan wajah
bingung, ditatapnya Raja Racun yang telah berjongkok di dekat pemimpin
gerombolan berpakaian hitam itu. Tokoh misterius yang mengaku sebagai pelaku
pembantaian terhadap Perguruan Naga Terbang itu kini terkulai dengan napas
satu-satu. Darah segar mengalir dari bagian perutnya yang terobek lebar.
Ternyata bukan hanya Dewa Obat
Baju Putih saja yang terpaku kaku. Puluhan sosok berseragam hitam, Dewa Arak
dan Melati yang telah berada di situ pun ikut membisu penuh perasaan bingung.
Perkembangan kejadian yang
mereka saksikan sama sekali tidak dimengerti Dewa Arak dan Melati. Mereka hanya
menyaksikan semua peristiwa yang terjadi begitu cepat di depan mata.
"Ludira...!"
Dengan kedua bahu
terguncang-guncang, Raja Racun memeluk tubuh sosok hitam yang memiliki gambar
tengkorak di dahi. "Kau tidak boleh mati, Anakku "
"I... ibu...! Kini...
hatiku... lega.... Sakit hati ibu telah berhasil kubalaskan.... Aku tidak akan
mati penasaran ,"
ujar sosok berpakaian hitam
yang dipanggil Ludira, terbata- bata.
"Tidak, Ludira! Kau tidak
boleh mati!" pekik Raja Racun kalap. "Kau... kau akan sembuh!"
"Be... benarkah dia
Ludira, Kanti?"
Dewa Obat Baju Putih yang
tiba-tiba telah berada di situ menyapa Raja Racun.
Dewa Arak dan Melati yang
mendengar semua pembicaraan itu saling pandang. Raja Racun itu ternyata seorang
wanita! Buktinya sosok hitam yang tubuhnya tengah sekarat itu memanggilnya ibu.
Bahkan Dewa Obat Baju Putih menyapanya dengan nama Kanti. Nama yang hanya
dimiliki oleh seorang wanita. Karuan saja Dewa Arak dan Melati semakin bingung.
Namun, karena tahu jawabannya ada di mulut tiga sosok yang telah berkumpul itu,
mereka berdiam diri untuk mendengarkan.
Sementara itu, sebelum Raja
Racun yang ternyata seorang wanita dan bernama Kanti menjawab, sosok hitam yang
bernama Ludira mendahului menjawabnya.
"Be..., benar, Ayah. Aku
Ludira!" ujar pimpinan sosok berseragam hitam. Kemudian dengan susah
payah, dicabutnya selubung yang menutupi wajahnya.
"Ludira...!"
Seketika itu pula Dewa Obat
Baju Putih terpekik ketika melihat seraut wajah muda berwajah tampan dan
berkumis tipis yang saat itu tengah dibanjiri keringat dingin. Wajah itu memang
dikenal betul. Wajah Ludira, anaknya!
Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Obat
Baju Putih memeluk Ludira. Penyesalan tergambar jelas di wajahnya. Dia telah
kesalahan tangan terhadap putranya sendiri. Apalagi ketika disadari nyawa
Ludira tidak akan tertolong lagi, karena luka yang dideritanya sangat parah.
"Mengapa kau lakukan ini, Ludira?!" tanyn Dewa Obat Baju Putih penuh
penyesalan.
Ludira tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Keadaannya yang parahlah penyebab utamanya. Beberapa saat
kemudian, dengan suara terputus-putus Ludira mulai berbicara.
"Orang-orang Perguruan
Naga Terbang memang patut dibasmi, Ayah. Mereka orang-orang terkutuk. Tahukah
Ayah, apakah yang menyebabkan ibu meninggalkan Ayah?!"
Dewa Obat Baju Putih yang sama
sekali tidak menyangka akan mendengar ucapan seperti itu, terkejut. Apalagi
saat itu penyesalan tengah melandanya. Pikirannya tak mampu mencari kata-kata
untuk menanggapi pertanyaan Ludira. Maka, kepalanya digelengkan perlahan.
"Ketua Perguruan Naga
Terbang itu telah memperkosa ibu ketika menginap di rumah kita. Sejak kejadian
itu, ibu merasa tidak berharga lagi hidup bersama Ayah. Maka ibu pergi
meninggalkan Ayah dengan hati hancur. Untung ibu bertemu seorang ahli racun
yang mengangkatnya menjadi murid. Ibu pun berlatih dengan tujuan untuk membalas
dendam "
"Hahhh !"
Dewa Obat Baju Putih
terperanjat mendengar penuturan putranya. Karena masalah itu sama sekali tidak
diketahuinya. Memang, sekitar dua puluh tahun lalu, sahabatnya yang waktu itu
belum mendirikan Perguruan Naga Terbang pernah menginap di rumahnya. Saat itu
Ludira baru berusia sepuluh tahun.
"Mengapa kau tidak
menceritakan peristiwa itu padaku, Kanti?" tanya Dewa Obat Baju Putih pada
Raja Racun.
"Ibu sengaja tutup mulut
karena khawatir Ayah akan membuat perhitungan terhada si keparat itu. Ibu tidak
ingin Ayah mati percuma di tangan Ketua Perguruan Naga Terbang yang jelas
memiliki kepandaian di atas Ayah."
Lagi-lagi Ludira menjawab
dengan suara yang semakin melemah. Sedangkan Raja Racun hanya mengangguk-angguk
menahan isak tangis.
"Agar Ayah mau menambah
kepandaian, Ibu sengaja meninggalkan surat yang mengatakan, kalau Ayah sanggup
mengalahkannya, ibu baru bersedia tinggal kembali bersama Ayah. Tapi, sampai
dua kali pertarungan, Ayah tetap tidak bisa mengalahkan ibu," lanjut
Ludira.
Dewa Obat Baju Putih sama
sekali tidak memberikan tanggapan.
"Lalu..., dari mana kau
tahu cerita itu, Ludira?" tanya Dewa Obat Baju Putih dengan suara berat.
"Apakah ibumu yang menceritakannya?"
Ludira menggelengkan kepala.
"Dulu aku melihat
kejadian terkutuk itu tetapi waktu itu aku belum mengerti. Kalau saja Ibu tidak
memaksaku berjanji untuk tutup mulut, hal itu telah kuberitahukan pada
Ayah."
"Tapi, mengapa kau yang
membalaskan dendam itu? Mengapa bukan ibumu?" desak Dewa Obat Baju Putih,
penasaran.
Ibu kehilangan jejaknya. Dan
aku yang sejak sepuluh tahun lalu belajar pada ibu, mengajukan diri untuk
mencarinya. Kutaklukkan orang-orang golongan hitam agar membantu rencananku.
Syukur, aku berhasil dan dendam ibu telah berhasil kubalaskan. Aku puas dan...
akh...!"
Kepala Ludira terkulai sebelum
menyelesaikan ucapannya. Maut telah lebih dulu menjemputnya. Ludira tewas
dengan senyum tersungging di bibir.
"Ludira...!" rintih
Raja Racun.
"Ludira...!" panggil
Dewa Obat Baju Putih pula sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda berkumis
tipis itu.
Melihat kejadian ini, Dewa
Arak segera memberi isyarat pada Melati agar meninggalkan tempat itu. Tanpa
membantah, Melati segera bangkit dan melangkah mengikuti Dewa Arak. Dengan hati
penuh rasa haru, sepasang pendekar muda
itu beranjak pergi.
Hembusan angin lembut sama
sekali tidak berhasil mengusir rasa terenyuh di hati mereka. Dewa Arak dan Melati semakin jauh melangkah
meninggalkan keluarga yang tengah berkabung itu.
SELESAI