40 Gerombolan Singa Gurun
1
Angin siang ini berhembus
keras, membawa udara panas dan debu. Memang, saat itu musim kemarau tengah
melanda sebagian belahan persada. Di sana-sini yang terlihat hanyalah
kekeringan. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Pepohonan pun kering tak berseri.
"Uph!"
Seorang gadis cantik
berpakaian putih buru-buru menutupkan sapu tangan ke wajah untuk melindunginya
dari sergapan angin yang membawa debu. Sejak tadi, sapu tangan itu memang telah
tergenggam di tangannya.
Gadis itu berwajah cantik
jelita. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Paduan warna pakaiannya yang putih
bersih dengan rambutnya yang hitam panjang tergerai, terlihat sangat pas.
Apalagi, ditambah oleh wajahnya yang cantik. Bak bidadari dari kahyangan saja
layaknya.
Masih dengan sapu tangan
menutupi wajah, gadis berpakaian putih itu melangkah memasuki tembok batas Desa
Telaga Sewu. Wajahnya tampak berseri-seri menandakan kegembiraan hatinya.
Hanya dalam beberapa langkah
saja, gadis berpakaian putih itu telah melewati tembok batas desa. Lalu,
sepasang matanya beredar ke sekeliling. Tapi, yang terlihat hanya kesunyian
belaka. Sepi, seperti mati
Agak berkerut sepasang alis
yang berbentuk indah itu ketika melihat keadaan sekitarnya. Tarikan wajah
maupun sorot matanya tampak menyiratkan keheranan. Entah, perasaan apa yang
tengah berkecamuk dalam benak gadis berpakaian putih ini.
Suasana di sekitar Desa Telaga
Sewu memang mengherankan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya kesunyian.
Jalan utama desa pun tampak lengang. Pintu dan jendela rumah-rumah penduduk pun
tampak tertutup rapat. Sunyi sepi seperti mati!
"Apakah yang telah
terjadi di desa ini?" tanya gadis itu dalam hati.
Usai berkata demikian, gadis
itu menotolkan kaki. Kelihatan pelan saja saat kakinya dijejakkan, tapi
akibatnya menakjubkan. Tubuhnya langsung melesat ke depan. Hanya dalam sekali
langkah saja, dia telah berjarak sepuluh tombak di depan. Jelas, kepandaiannya
telah cukup tinggi.
Bagai orang tak waras, gadis
berpakaian putih itu terus saja berlari cepat. Padahal saat itu keadaan di
persada amat panas. Bahkan, matahari sudah berada di atas kepala. Kini yang
terlihat hanya sekelebatan bayangan putih dalam bentuk tak jelas, melesat cepat
menuju lambung Desa Telaga Sewu.
Entah sudah berapa jauh berlari,
gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak mempedulikannya. Terus saja
berlari disertai pengerahan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Gadis berpakaian putih itu
baru memperlambat lari ketika melihat sebuah bangunan yang terkurung pagar
tembok. Dan ketika tepat di depan pintu gerbang, langkahnya dihentikan.
"Hhh!"
Hembusan napas
berat terdengar dari mulut
gadis itu. Entah, apa maksudnya.
Hanya dia sendiri yang tahu. Yang jelas, sepasang matanya tertuju ke bagian
dalam, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Tapi hanya sesaat
saja hal itu dilakukan, kemudian
kakinya sudah melangkah
memasuki pintu gerbang
yang terbuka lebar. Tanpa suara, kedua kakinya bergerak melangkah di
halaman yang cukup
luas.
"Hm...!"
Gadis berpakaian putih
berguman tidak jelas ketika melihat suasana sekitar halaman yang tampak kumuh,
kotor, dan tidak terurus. Dedaunan berserakan di sana sini. Ranting-ranting
kering juga memenuhi tempat ini
Sambil memperhatikan keadaan
sekitarnya, gadis berpakaian putih itu terus saja melangkah menuju ke arah
bangunan yang tampak cukup megah. Kini, jaraknya tak sampai lima tombak dengan
bangunan itu.
Hanya dalam beberapa kali
langkah, gadis berpakaian putih itu telah berada sekitar tiga tindak lagi dari
pintu bangunan. Namun, tiba-tiba langkahnya dihentikan. Sepasang matanya
menatap ke bagian dalam bangunan disertai sorot kecurigaan. Mendadak....
"Keluar, Tikus-tikus
Busuk!"
Pada saat yang bersamaan
dengan keluarnya makian, kaki kanan gadis itu bergerak menendang dinding batu
di sebelah kanan pintu.
Brakkk. !"
"Akh. !"
Suara gemuruh hancurnya
dinding batu bangunan, diselingi suara jerit kesakitan langsung terdengar.
Tampaknya, di balik dinding dekat pintu ada orang yang bersiap membokong.
"Hih!"
Gadis berpakaian putih tidak
tinggal diam. Begitu dinding batu hancur berantakan, dia melompat ke belakang.
Hal itu dilakukan untuk berjaga-jaga terhadap kejadian yang tidak diinginkan.
Dugaan gadis berpakaian putih
itu ternyata tidak meleset! Dari dalam bangunan, meluruk tiga orang la-ki-laki
berwajah kasar. Mereka mengenakan rompi coklat, dengan bahan yang sama membelit
pergelangan tangan.
"Siapa kalian?! Mengapa
berada di rumahku?" tanya gadis berpakaian putih, keras.
"Ha ha ha...!"
Tiga orang berompi coklat itu
tertawa bergelak.
"Tidak usah berpura-pura
lupa pada kami, Wanita Liar?" sergah seorang yang mempunyai rajahan
bergambar kepala seekor harimau di lengan atas bagian kanan.
"Tidak usah berbasa-basi
lagi padanya, Dipa!" tegur rekannya yang wajahnya berbentuk persegi.
"Ucapan Rodra benar!
Wanita liar itu telah terlalu banyak membuat kesulitan pada kita! Telah banyak
waktu terbuang hanya untuk mengejarnya. Kalau tidak atas perintah Ketua, sudah
kubunuh dia! Apalagi, sekarang dia telah menewaskan dua orang kawan kita lagi!"
dukung yang lainnya, yang memiliki cambang bauk lebat.
Laki-laki yang lengan kanannya
dirajah, dan ternyata bernama Dipa itu terdiam. Sama sekali tidak dibantahnya
ucapan kedua orang rekannya. Disadari, ada kebenaran yang tidak bisa disangkal
dalam ucapan mereka berdua. ***
"Haaat...!
Laki-laki yang bercambang bauk
tidak bisa menahan diri lagi. Diiringi teriakan keras menggelegar, diterjangnya
gadis berpakaian putih itu. Kedua tangannya diluncurkan bertubi-tubi ke arah
dada dan ulu hati lawan.
Wut, wut, wut!
Deru angin yang cukup kuat
mengiringi tibanya serangan laki-laki bercambang bauk itu.
"Hmh!"
Gadis berpakaian putih itu
mendengus melihat serangan lawannya. Jelas, sikapnya tampak memandang rendah
terhadap serangan laki-laki bercambang bauk itu. Bahkan sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda mengelak atau menangkis. Sepertinya, ingin dibiarkan
saja serangan-serangan itu mengenai sasaran.
Tapi, ternyata tidak demikian.
Rupanya, gadis berpakaian putih itu tidak berdiam diri melihat serangan-serangan
yang tertuju ke arahnya. Ketika pukulanpukulan laki-laki bercambang bauk itu
hampir mengenai sasaran, tangan kanannya cepat bergerak.
Prattt! "Akh...!"
Tappp! Kejadiannya berlangsung
demikian cepat. Serangan-serangan laki-laki bercambang bauk itu berhasil
dimentahkan oleh gadis berpakaian putih dengan kibasan tangan kanannya.
Kibasan yang pertama membuat
lakilaki bercambang bauk itu menjerit kesakitan. Tangan kirinya seperti
berbenturan dengan logam keras saja layaknya. Sakitnya bukan kepalang, sehingga
dari mulutnya keluar jeritan kesakitan. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu,
tangan kanannya telah tercekal tangan kanan gadis berpakaian putih itu.
Begitu tangan laki-laki
bercambang bauk ini tercekal, gadis berpakaian putih itu bergegas mengerahkan
tenaga untuk meremasnya.
"Aaakh...!"
Laki-laki bercambang bauk itu
kontan memekik kesakitan. Tangannya seolah-olah seperti tergencet jepitan baja.
Rasanya, tulang-tulang tangan yang terjepit seperti hancur berantakan. Bahkan
sakitnya sampai menembus tulang sumsum.
"Cepat jawab pertanyaanku
kalau tidak ingin kuhancurkan tulang-tulangmu! Siapa kalian?! Dan mengapa
berada di rumahku? Cepat katakan!" dengus gadis berpakaian putih itu
seraya menambahkan pengerahan tenaga dalamnya pada tangan yang mencekal.
"Ah-ah uh-uh...!"
Laki-laki bercambang bauk itu
menjerit-jerit kesakitan. Keringat sebesarbesar biji jagung bermunculan di
wajahnya. Jelas, dia tengah dilanda kesakitan yang hebat. Seringai yang muncul
di wajah semakin menampakkan rasa sakit yang diderita.
Tapi sebelum laki-laki
bercambang bauk itu menjawab pertanyaan gadis berpakaian putih. Dua orang
rekannya, yang bernama Dipa dan Rodra telah lebih dulu melompat menerjang.
Srattt! Wukkk, wukkk!
Ketika tengah berada di udara,
Dipa dan Rodra mencabut senjata masing-masing. Dipa menghunus pedangnya.
Sedangkan Rodra mengeluarkan kapaknya. Dan dengan senjata andalan masing-masing
di tangan, mereka melancarkan serangan dahsyat pada gadis berpakaian putih itu.
Rodra melompat tinggi ke atas
melewati kepala rekannya yang tangannya tengah tercekal tangan gadis berpakaian
putih. Malah kepala gadis berpakaian putih pun dilewatinya juga. Baru ketika
telah berada di atas kepala gadis itu, tubuhnya cepat berputar. Lalu, sepasang
kapaknya dikibaskan ke arah belakang kepala lawannya.
Wukkk!
Pada saat yang bersamaan, dari
sebelah kanan, Dipa melesat. Pedang di tangan kanannya diluncurkan cepat ke
arah rusuk kanan gadis berpakaian putih.
Singgg!
Lagi-lagi, gadis berpakaian
putih itu hanya mendengus melihat serangan-serangan yang mengancam nyawanya.
Kemudian dengan sebuah perhitungan yang luar biasa tubuh laki-laki bercambang
bauk itu didorong ke kanan sambil merendahkan tubuhnya.
Wusss! Cappp!
"Aaakh...!"
Berbarengan dengan lewatnya
babatan kapak Rodra di atas kepala gadis berpakaian putih, pedang di tangan
Dipa menghunjam punggung laki-laki bercambang bauk hingga tembus ke punggung.
Lolong kesakitan terdengar seiring bermuncratannya darah dari bagian tubuh yang
tertembus pedang.
Jliggg!
Seiring hinggapnya kedua kaki
Rodra di tanah, Dipa mencabut pedang yang menembus punggung rekannya. Wajah
Dipa kontan berubah pucat. Memang sama sekali tidak disangka akan terjadi hal
seperti itu. Sepasang mata Dipa terbelalak lebar. Bahkan mulutnya ternganga
ketika melihat tubuh laki-laki bercambang bauk itu ambruk di tanah.
"Keparat!" maki Dipa
keras.
Laki-laki yang mempunyai rajah
di pangkal lengan ini tampak marah bukan kepalang. Wajahnya kini jadi merah
padam. Sepasang matanya pun menyorotkan kebencian dan dendam.
"Kubunuh kau...!"
teriak Dipa bergetar penuh kemarahan.
Seiring selesai ucapan itu,
Dipa melompat menerjang. Pedang di tangannya diluncurkan cepat ke arah leher
gadis berpakaian putih. Tapi....
"Tahan, Dipa!"
Laki-laki yang mempunyai
rajahan di pangkal lengan ini menghentikan gerakan. Dipandanginya wajah Rodra
yang tengah bergerak menghampiri. Memang, Rodralah yang tadi mengeluarkan
cegahan itu.
Sedangkan gadis berpakaian
putih itu tampak masih bersikap tenang. Sama sekali kesempatan itu tidak dipergunakan
untuk melancarkan serangan. Bahkan hanya memperhatikan saja ketika Rodra
menghampiri Dipa.
Sementara itu, hanya dalam
beberapa langkah saja, Rodra telah berada di dekat Dipa.
"Mengapa kau mencegah
tindakanku, Rodra?" tanya Dipa, tak sabar.
Ada nada penasaran yang amat
sangat dalam ucapan laki-laki berajah kepala harimau di pangkal lengan itu.
Bahkan pertanyaan itu diutarakan di saat rekannya tengah mengayunkan langkah.
Sementara itu Rodra tidak langsung menjawab, dan terus saja melangkah. Rupanya,
dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu sebelum tiba di dekat Dipa.
"Tahan amarahmu sebentar,
Dipa. Aku merasa curiga pada gadis ini," bisik Rodra, di dekat telinga
Dipa.
Sambil berkata
demikian, Rodra mengerling
ke arah
tempat gadis berpakaian
putih itu. Dia
khawatir, kalaukalau gadis
itu mendengarkan ucapannya. Dan hatinya
terasa lega ketika
tidak melihat tanda-tanda hal yang mencemaskan. Gadis berpakaian
putih itu sepertinya tidak mempedulikan mereka sama sekali. Tidak nampak
adanya tanda-tanda kalau tengah berusaha mendengarkan pembicaraan.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Rodra," Dipa balas berbisik
seraya mengalihkan pandangan ke arah gadis
berpakaian putih pula.
"Kurasa dia bukan
Mawar," semakin pelan ucapan laki-laki berwajah persegi itu.
Wajah Dipa kontan berubah.
Rupanya, ucapan Rodra bisa diterima akal sehatnya. Terbukti, dahinya kontan
berkernyit dalam. Malah sekarang, sepasang matanya menatap gadis berpakaian
putih yang berdiri di hadapannya penuh selidik.
"Rasanya, ucapanmu benar,
Rodra. Tapi, dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?" tanya
Dipa setelah memperhatikan gadis berpakaian putih itu beberapa saat Namun
demikian tetap pelan ucapan yang dikeluarkan.
"Tidakkah kau perhatikan
kepandaiannya? Aku tahu betul, Mawar tidak mungkin mampu menewaskan rekan kita
demikian mudah," jawab Rodra, berbisik. "Hal kedua adalah, warna
pakaian yang dikenakannya. Dan yang ketiga, ucapan pertama kali yang
dikeluarkan sewaktu pertama kali melihat kita. Tidakkah hal itu menjadi bukti
kalau dia bukan Mawar?"
Sepasang alis
Dipa berkerut dalam.
Tampaknya dia tengah berpikir
keras. "Kalau dugaanmu benar,
lalu siapa
gadis ini?" tanya Dipa.
"Mana kutahu?!"
Rodra mengangkat bahu. "Siapa tahu dia saudaranya, atau temannya. Atau.
"
"Dugaanmu tidak salah,
Rodra. Aku adalah saudara kembar Mawar," jelas gadis berpakaian putih itu.
"Hehhh. ?!"
Hampir berbareng, Dipa dan
Rodra terperanjat. Tarikan wajah mereka memancarkan keterkejutan yang amat
sangat ketika menatap ke arah gadis berpakaian putih itu. Ucapan itulah yang
membuat mereka merasa kaget, karena mengandung pengertian kalau gadis
berpakaian putih itu mendengar pembicaraan mereka. Padahal, jelas-jelas gadis
berpakaian putih itu sama sekali tidak ambil peduli. Tapi, mengapa bisa
mengetahui hal yang tengah dibicarakan?
Dipa dan Rodra sama sekali tak
tahu kalau tanpa melihat, gadis berpakaian putih bisa mengetahui hal yang
tengah dibicarakan. Memang, tingkat kepandaiannya amat tinggi, sehingga
pendengarannya amat tajam. Tak aneh kalau bisik kedua orang terdengar.
"Mengapa kalian berdua
malah bengong?! Cepat katakan, siapa kalian?! Mengapa berada di rumahku?! Dan
apa yang telah kalian perbuat pada ibu dan saudaraku?!" sambung gadis
berpakaian putih itu lagi.
Tak terlihat lagi sikap tak
acuh pada gadis berpakaian putih itu. Yang tampak hanyalah ketegasan! Raut
wajahnya menyiratkan kesungguhan ketika mengajukan pertanyaan tadi. Bahkan ada
sorot penuh ancaman pada sepasang mata yang bening dan indah itu.
Dipa dan Rodra saling
berpandangan.
Tapi hanya sebentar saja,
karena....
"Haaat. !"
"Hiyaaat. !"
Jawaban bagi pertanyaan gadis
berpakaian putih adalah teriakan-teriakan melengking nyaring Dipa dan Rodra.
Sesaat kemudian, pedang dan kapak di tangan mereka telah meluncur ke arah gadis
berpakaian putih itu.
Singgg!
Pedang di tangan Dipa membabat
ke arah leher gadis berpakaian putih dengan gerakan mendatar. Laki-laki berajah
kepala harimau ini pada pangkal lengan kanan itu menyerbu dari sebelah kiri
lawannya.
Wuk, wuk!
Rodra menyerang dari sebelah
kanan gadis berpakaian putih. Sepasang kapaknya diputar-putarkan dengan
bertumpu pada pergelangan tangan. Kemudian, senjata itu dibabatkan ke arah dada
dan rusuk lawannya. Dalam serangan ini, Rodra memusatkan kekuatan pada pinggang
kanan. Dan untuk melakukannya, laki-laki berwajah persegi ini menggeliatkan
tubuhnya.
2
Gadis yang mengaku saudara
kembar orang bernama Mawar itu tetap bersikap tenang melihat ancaman maut yang
tengah meluruk ke arahnya. Tidak nampak adanya tanda-tanda gerakan yang akan
dilakukan. Dan....
Takkk! Bukkk, bukkk!
Dalam waktu yang hampir
bersamaan, pedang dan kapak itu mengenai sasaran masing-masing. Namun
akibatnya, justru Dipa dan Rodra yang tersentak kaget. Senjata-senjata mereka
seakan-akan bukan membentur tubuh manusia, melainkan gumpalan karet keras.
Sehingga, membuat senjata-senjata itu terpental balik.
Malah kedua tangan yang
menggenggam senjata terasa bergetar hebat hampir lumpuh! Sedangkan tubuh gadis
berpakaian putih itu sama sekali tidak menampakkan pengaruh apa-apa. Jangankan
terluka, tergores pun tidak!
Dipa dan Rodra saling
berpandangan. Tarikan wajah mereka menampakkan keterkejutan dan
ketidakpercayaan. Memang, sama sekali tidak disangka kalau hal seperti itu akan
terjadi. Untuk sesaat lamanya kedua orang berompi coklat ini sama-sama tertegun
dengan raut wajah dicekam kebingungan.
"Hmh...!"
Gadis berpakaian putih
mendengus melihat kelakuan Dipa dan Rodra, namun tetap diam saja di tempatnya.
Sama sekali kesempatan itu tidak dipergunakannya untuk melancarkan serangan
pada kedua lawan. Sikapnya menunjukkan kalau gadis berpakaian putih itu tidak
menganggap Dipa dan Rodra sebagai lawan yang patut diperhitungkan.
Sementara itu dengusan tadi
membuat Dipa dan Rodra sadar kembali. Maka, mereka langsung melancarkan
serangan kembali.
Teriakan-teriakan keras dari
mulut mereka, dan desing senjata merobek udara mengiringi tibanya
serangan-serangan.
Sekarang, gadis berpakaian
putih itu tidak tinggal diam. Meskipun tanpa bergeser dari tempatnya, tapi
seranganserangan yang meluncur ke arahnya segera dipapak. Kedua tangannya yang
berkulit putih, halus, dan mulus itu bergerak cepat menahan gempuran lawan.
Cepat bukan kepalang gerakan
tangan gadis berpakaian putih itu. Dan yang terlihat hanya seleret sinar
berwarna putih yang tidak jelas bentuknya. Tapi, tahu-tahu...
Takkk, takkk! "Aaakh...!
Akh...!"
Dipa dan Rodra sama-sama
menjerit tertahan ketika tangan gadis berpakaian putih itu menghantam
pergelangan tangan mereka yang memegang senjata. Kedua orang itu sama sekali
tidak tahu, mengapa hal seperti itu sampai terjadi. Padahal, bukanlah senjata
di tangan mereka yang tengah meluncur lebih dahulu?
Tanpa dapat dicegah lagi,
pedang dan sepasang kapak itu pun terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.
Betapa tidak? Tangan yang terbentur tangan gadis berpakaian putih seakan-akan
telah beradu dengan logam keras.
Dan sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu, tangan gadis berpakaian putih itu kembali bergerak cepat
seperti semula. Hanya saja, kali ini meluncur ke arah dada.
Dipa dan Rodra mengetahui akan
ancaman yang tengah menuju ke arah mereka. Dengan susah payah, serangan itu
dielakkan. Tapi....
Plakkk, plakkk!
Tubuh Dipa dan Rodra sama-sama
terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau. Dada mereka terasa sesak
bukan kepalang. Bahkan untuk beberapa saat lamanya, Dipa dan Rodra sama-sama
mengalami kesulitan bernapas! Padahal, tangan gadis berpakaian putih itu hanya
menepuk perlahan saja, dan seperti tanpa pengerahan tenaga dalam! Bisa
diperkirakan akibatnya apabila dilakukan dengan sekuat tenaga.
"Hih. !"
Gadis berpakaian putih
menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke arah tubuh Dipa dan
Rodra yang tengah terhuyung. Lalu, kaki yang mungil bentuknya itu bergerak
mengait.
Prattt, prattt! Brukkk,
brukkk!
Dipa dan Rodra sama-sama
terjengkang di tanah dan jatuh bergulingan. Patut dipuji kekerasan hati kedua
orang berompi coklat itu. Meskipun telah dibuat tak berdaya dalam segebrakan,
mereka tetap tidak sudi menyerah. Buktinya, mereka masih berusaha bangkit
berdiri.
Tapi sebelum maksud itu
terlaksana, kembali gadis berpakaian putih itu telah lebih dulu bertindak.
Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, dan....
"Hup!"
Masing-masing kaki gadis itu
hinggap di atas perut lawan-lawannya. Memang, kedua orang itu tergeletak di
tanah secara berdekatan. Meskipun demikian, tak urung gadis berpakaian putih
berdiri dengan kaki terpentang lebar.
Dipa dan Rodra tidak bisa
berkutik lagi. Dada mereka terasa sesak bukan main. Seakan-akan bukan kaki
seorang gadis cantik yang berada di atas mereka, melainkan kaki seekor gajah!
"Apakah kalian berdua
masih keras kepala untuk tidak menjawab pertanyaan ku?!" tanya gadis
berpakaian putih itu sambil menambahkan pengerahan tenaga dalam pada kedua
kakinya.
Hasilnya, siksaan yang melanda
Dipa dan Rodra pun semakin menghebat Perasaan sesak yang mendera dada semakin
menjadijadi. Tidak hanya itu saja. Butir-butir keringat sebesar biji jagung pun
bermunculan di selebar wajah mereka.
Dipa dan Rodra menatap gadis
berpakaian putih yang memandangi wajah mereka berdua berganti-ganti. Dalam
sinar mata kedua orang itu, sama sekali tidak terlihat adanya sorot kegentaran.
Gadis berpakaian putih itu
merasa penasaran bukan kepalang melihat tanggapan kedua orang laki-laki berompi
coklat Mereka terus saja memandanginya dengan mulut terkatup rapat.
Tapi sesaat kemudian, gadis
itu terkejut bukan kepalang. Tampak ada cairan berwarna kekuningan keluar dari
sudut-sudut mulut mereka. Perasaan kaget kontan membuat gadis berpakaian putih
itu melompat mundur.
Jliggg!
Begitu kedua kakinya mendarat
di tanah, langsung dihampirinya tubuh Dipa dan Rodra. Ingin diketahuinya, apa
sebenarnya cairan kuning itu.
Tapi baru saja gadis
berpakaian putih itu akan membungkukkan tubuh, kepala Dipa dan Rodra telah
terkulai. Karuan saja hal itu membuat si gadis terkejut bukan kepalang. Agak
bergegas tubuhnya dibungkukkan, kemudian diperiksanya tubuh kedua orang itu.
Gadis berpakaian putih itu
ternyata memiliki sikap waspada. Buktinya sewaktu memeriksa tubuh dua orang
berompi coklat itu, dia tidak berani sembarangan menyentuh. Diperhatikannya
dada dan denyut jantung mereka itu beberapa taat lamanya.
Hanya dengan cara demikian
gadis berpakaian putih itu mampu mengetahui kalau Dipa dan Rodra telah tewas.
Sambil menghela napas panjang, tubuhnya ditegakkan kembali. Kedua orang berompi
coklat itu ternyata benar-benar telah tewas karena racun. Bisa diduga kalau
racun itu terselip di dalam mulut. Entah di mana diletakkannya, dan bagaimana
bentuknya, dia tidak tahu. Yang jelas, apabila dalam keadaan terancam, mereka
bisa bunuh diri dengan menelan racun tanpa diduga. Benar-benar luar biasa!
Gadis berpakaian putih itu
termenung melihat kenyataan yang dihadapi. Sama sekali tidak disangka kalau
kenyataannya akan seperti ini. Tapi, segera dilupakannya masalah itu. Masih ada
hal lain yang lebih perlu dipikirkan, yakni persoalan mengenai ibu dan
saudaranya. Maka, gadis berpakaian putih itu melesat cepat ke arah bangunan di
depannya.
Kali ini gadis itu tidak
berhenti lagi di depan pintu seperti sebelumnya, karena yakin sudah tidak ada
orang yang tengah bersiap untuk membokongnya. Tadi, dia tahu ada orang yang
bersembunyi di depan, pintu ketika mendengar desah napas orang itu.
Langkah gadis berpakaian putih
itu terhenti ketika melihat pemandangan yang terpampang di bawah kakinya.
Sesosok tubuh mengenakan rompi coklat tampak tergeletak. Genangan darah tampak
di sekitar tubuhnya, berdekatan dengan reruntuhan puing-puing dinding batu.
Rupanya, dialah pengintai yang sial tadi. Dia tewas dengan dada pecah terkena
tendangan gadis berpakaian putih tadi.
Tapi hanya sebentar saja gadis
berpakaian putih itu menghentikan langkah, kemudian kembali melangkah menuju ke
dalam!
"Ibuuu...! Mawaaar...!
Ini aku Melati...! Keluarlah kalian...!"
Sambil melangkah, gadis
berpakaian putih yang ternyata tidak lain dari Melati, putri angkat Raja Bojong
Gading itu berteriak. Dan tidak aneh kalau ketiga lawannya dengan mudah dapat
ditanggulangi. Karena memang, Melati memiliki kepandaian amat tinggi. Bahkan
dulu pernah dijuluki Dewi Penyebar Laut.
Tidak hanya sekali saja Melati
memanggil-manggil ibu dan saudaranya, tapi berkali-kali. Setiap panggilannya
dikeluarkan mempergunakan pengerahan tenaga dalam. Sehingga membuat suara itu
terdengar keras. Apalagi diucapkan di dalam sebuah bangunan besar, sehingga
semakin nyata kedengarannya.
Tapi sampai lelah Melati
memanggilmanggil, tidak juga terdengar adanya sahutan sepotong pun. Hasil yang
sama diperoleh dari pencarian yang dilakukan. Semua tempat sunyi sepi, tidak
terlihat sepotong pun orang di sana. Ruangan, setiap ruangan yang dimasuki
hanya menampakkan kesunyian.
"Hhh...!"
Melati menghembuskan napas
kesal ketika melihat ruangan terakhir yang dimasukinya juga kosong. Sarang
laba-laba yang tampak di sudut-sudut ruangan. Debu dan kotoran yang melapisi
perabotan yang ada di situ menjadi pertanda kalau ruangan ini sudah lama tidak
diurus lagi.
Brukkk!
Melati menghempaskan pantatnya
di kursi luar kamar. Menilik dari sepasang matanya yang menatap tajam pada satu
titik, bisa diperkirakan kalau dia tengah melamun. Memang, gadis berpakaian
putih ini tengah memikirkan ke mana perginya ibu dan saudaranya. Tapi sampai
lelah berpikir, tidak juga menemukan jawabannya.
"Kalau saja Kang Arya ada
di sini, pasti bisa memecahkan masalah ini," gumam Melati penuh sesal.
Teringat akan Arya yang
berjuluk Dewa Arak timbul perasaan rindu di hati Melati. Sudah cukup lama dia
tidak bertemu pemuda berambut putih keperakan itu. Seorang pemuda tampan dan
jantan. Sikapnya tenang. Penuh percaya akan kemampuan sendiri.
Tanpa sadar, Melati tersenyum
sendiri ketika mengingat pengalaman-pengalamannya bersama Arya. Terutama,
pengalaman yang lucu-lucu.
Tiba-tiba wajah Melati berubah
cerah ketika teringat akan nasihat Arya padanya. Pemuda berambut putih
keperakan itu pernah memberi nasihat padanya, apabila menghadapi sebuah
persoalan, harus bersikap tenang. Kemudian, harus dicari hubungan demi hubungan
dari persoalan itu. Lalu, korek melalui keterangan yang telah berhasil didapat.
Plakkk!
Melati menepak dahinya pelan.
"Mengapa aku begitu bodoh?!" maki
gadis berpakaian putih itu
dalam hati. "Mengapa sampai bisa terlupakan nasihat yang amat berharga
itu?!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati lalu menarik napas
panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat Beberapa kali hal itu
dilakukannya, hingga tenang. Baru
setelah pikirannya tenang, Melati mulai menghubung-hubungkan
permasalahan. Dan seperti nasihat Arya, keterangan-keterangan yang telah didapat
mulai dihubung-hubungkannya.
Cukup lama juga Melati
termenung, sebelum akhirnya berhasil menarik kesimpulan dari kejadian-kejadian
yang dialami. Sesaat kemudian, gadis berpakaian putih itu telah melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
***
Ctar, ctarrr...! Hiyaaa...!
Hiyaaa...!
Suara lecutan cambuk
bertubi-tubi menghantam bagian belakang tubuh dua ekor kuda, bercampur teriakan
keras sang Kusir, yang menyentakkan suasana siang nan terik. Itu pun masih
ditambah lagi suara tapak kaki-kaki kuda menghantam tanah, dan gerit roda
kereta menggilas jalan.
Saat ini tampak sebuah kereta
yang ditarik dua ekor kuda tengah melaju cepat memasuki tembok batas Desa Watu.
Kusirnya yang seorang pemuda berpakaian indah tak henti-hentinya menyabetkan
cambuk ke arah bagian belakang tubuh kudanya. Jelas, binatang-binatang itu
dipaksa berlari lebih cepat lagi. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Kereta kuda itu terus melaju
cepat sekalipun telah memasuki desa. Sedikit pun tidak mengurangi kecepatannya.
Sesaat kemudian rumah-rumah penduduk pun mulai tampak. Dan hampir semua rumah
pintunya terbuka, yang kemudian disusul dengan bergerombolannya para penghuni
di ambang pintu.
Wajah-wajah mereka
terarah ke kedatangan kereta kuda
itu. Jelas, suara riuh rendah yang ditimbulkan kereta itu yang menjadi penyebab
keluarnya para penduduk Desa Watu dari rumah masing-masing. Tidak hanya itu
saja. Di tangan masing-masing penduduk
juga sudah tergenggam senjata,
walaupun tidak seragam. Memang, mereka
adalah penduduk desa yang hidup dari sawah, ladang, dan ternak. Maka
senjata-senjata yang dibawa pun hanya alat kerja mereka. Bahkan ada pula yang
membawa kayu atau bambu sebesar
pergelangan kaki!
Menilik dari persiapan yang
dilakukan, bisa diketahui kalau para penduduk Desa Watu telah bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
Keramaian para penduduk desa
berkumpul di depan pintu rumah masingmasing, rupanya sama sekali tidak digubris
kusir kereta kuda. Terbukti, cambuknya terus saja dilecutkan ke arah
binatang-binatang tunggangannya, sambil tak henti-hentinya berteriak.
Brakkk, brakkk!
Diiringi suara hiruk pikuk,
empat buah pintu kereta yang terletak di samping kiri dan kanan hancur be
rantakan. Dan dari dalam kereta, melesat keluar beberapa sosok tubuh. Gila!
Dalam keadaan kuda berlari cepat, orang-orang itu berani melompat keluar. Bisa
diperkirakan kalau sosok-sosok tubuh itu bukan orang sembarangan.
Sementara itu, sang Kusir
tetap saja memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Seakan-akan dia tidak tahu
kalau dari dalam kereta melesat keluar pintu kanan dan kiri beberapa sosok
tubuh dengan lompatan harimau.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua
tangan di tanah, sosok-sosok tubuh itu menggulingkan tubuhnya di tanah.
Beberapa kali mereka bergulingan, dan sebelum akhirnya bangkit. Lalu, mereka
bergerak cepat menghampiri para penduduk.
"Gerombolan Singa
Gurun...," desis salah seorang penduduk yang berkumis tebal.
Ada nada keterkejutan dan
kegentaran yang amat sangat dalam ucapan laki-laki berkumis tebal itu. Memang,
dia telah mendengar tentang Gerombolan Singa Gurun, sebuah gerombolan yang
penuh teka-teki. Pimpinannya saja tidak jelas. Hanya anggota-anggotanya saja
yang dikenal orang, karena pakaiannya khas. Rompi coklat.
Yang membuat Gerombolan Singa
Gurun ini di-takuti adalah tindakan-tindakan nya. Setiap kali datang, pasti
membawa korban. Orang-orang muda dan tua diangkut. Tak pernah diketahui, untuk
apa hal itu dilakukan! Karena memang, tidak pernah ada orang yang berhasil
mengungkapkannya.
Sementara itu dua sosok tubuh
berompi coklat sama sekali tidak menyambuti ucapan penduduk berkumis tebal
tadi. Tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun, mereka segera meluruk ke arah para
penduduk. Hal yang sama pun dilakukan dua anggota Gerombolan Singa Gurun yang
melesat ke arah yang berbeda. Jelas, gerombolan itu telah merencanakan hal ini.
Dan itu bisa dilihat dari cara kerja mereka yang teratur.
Mendapat serangan seperti itu,
tentu saja para penduduk Desa Watu tidak tinggal diam. Para kepala keluarga dan
anak laki-laki yang telah cukup dewasa segera maju menyambut. Sedangkan wanita
dan anak-anak diperintah menyelamatkan diri.
Pertarungan pun tidak bisa
dielakkan lagi. Orang-orang dewasa dan kepala keluarga yang bertubuh kuat
melakukan perlawanan sekuat tenaga. Senjata-senjata yang digenggam,
dikelebatkan ke sana kemari dengan penuh semangat.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya
yang dipukul salah seorang penduduk wanita seketika menggema. Sesaat kemudian,
bunyi tanda bahaya itu disambut para penduduk yang tinggal lebih di dalam.
Demikian seterusnya. Maka, tidak aneh kalau dalam sekejap saja bunyi kentongan
tanda bahaya menggema di seluruh pelosok desa.
Karuan saja, bunyi tanda
bahaya itu membuat para penduduk Desa Watu keluar dari rumah masing-masing
sambil membawa senjata. Para penduduk yang merasa dirinya laki-laki dan dewasa,
tidak ada yang berpangku tangan. Mereka dengan sigap membantu yang lain untuk
menghadapi Gerombolan Singa Gurun
"Dari mana suara
kentongan itu berasal, Gulata?" tanya seorang laki-laki berpakaian putih
yang mempunyai sikap penuh wibawa. Usianya tak lebih dari empat puluh lima
tahun. Dialah Kepala Desa Watu, Ki Tiraga namanya.
Di sebelah Ki Tiraga, berdiri
seorang laki-laki berusia empat puluhan. Tubuhnya tegap kekar dan berkumis
melintang. Pakaiannya yang serba hitam, semakin menambah keangkerannya. Dialah
guru silat Desa Watu dan bernama Wagul.
Sementara, di belakang kedua
orang itu bergerombol puluhan penduduk desa. "Arahnya dari mulut desa,
Ki," jawab Gulata.
"Kalau begitu, mari kita
ke sana," ajak Ki Tiraga, cepat sambil melangkah menuju mulut desa.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, para penduduk Desa Watu melangkah mengikuti. Termasuk, di antara mereka,
adalah Wagul dan Gulata.
Tapi baru beberapa tindak
melangkah, di kejauhan bergerak cepat mendatangi sebuah kereta kuda dengan
kecepatan tinggi.
Ki Tiraga menghentikan langkah
sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Maka rombongan yang dipimpinnya pun
menghentikan langkah pula. Kemudian, Wagul segera melangkah maju dan berdiri di
sebelah Ki Tiraga.
"Hati-hati, Tiraga. Aku
khawatir, kereta kuda inilah bahaya yang dimaksud para penduduk di mulut
desa," ujar Wagul bernada menasehati.
Ki Tiraga menganggukkan
kepala. "Bagaimana kalau kita beri peringatan
dulu, Tiraga. Kalau mereka tidak
mengindahkan, baru kita serang. Ini lebih baik daripada mereka yang mendekati
kita. Karena, akibatnya akan berbahaya," Wagul kembali memberi saran.
"Kau benar, Wagul.
Lakukanlah," ujar Ki Tiraga. 3
Wagul terdiam sejenak.
Lalu....
"Hoy...! Orang-orang yang
di kereta. Cepat hentikan perjalanan, kalau tidak..., kalian akan kami
serang!"
Keras bukan kepalang teriakan
Wagul. Gemanya terdengar hingga sampai ke tempat yang cukup jauh. Guru silat
Desa Watu ini memang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sewaktu berteriak.
Ki Tariga, Wagul, dan seluruh
penduduk Desa Watu menunggu hasil peringatan itu dengan hati berdebar tegang.
Tanpa disadari jantung mereka pun berdetak jauh lebih cepat. Wajah dan sepasang
mata mereka tertuju ke arah kereta kuda yang tengah melaju.
"Hhh. !"
Hembusan napas bernada
kelegaan keluar dari mulut Ki Tariga, Wagul, dan seluruh penduduk Desa Watu.
Ternyata, kereta kuda itu mau juga memenuhi permintaan. Tampak sang Kusir
tengah menarik tali kekang kudanya, sehingga kereta kuda itu pun berhenti.
Ki Tariga dan Wagul saling
pandang. "Mari kita hampiri dan menanyakan,
apa maksudnya melarikan kereta
seperti itu."
Usai berkata demikian, Ki
Tariga menghampiri kereta kuda yang berada sekitar tujuh tombak di depan. Wagul
dan para penduduk Desa Watu pun mengikuti di belakang.
Selangkah demi selangkah,
jarak antara rombongan Ki Tariga dan kereta kuda semakin dekat. Pandangan mata
mereka semua tertuju pada sang Kusir yang tetap duduk di kursinya, acuh tak
acuh.
"Hati-hati, Ki
Tariga," bisik Wagul di telinga Kepala Desa Watu, tanpa menghentikan
langkah. "Aku merasa curiga melihat tindak-tanduknya. "
Ki Tariga sama sekali tidak
memberi jawaban. Mengangguk pun tidak. Yang dilakukannya hanya mengangkat kedua
buah alisnya. Tapi, hal itu sudah dianggap cukup oleh Wagul.
Srattt, srattt!
Sinar terang berkeredep ketika
Ki Tariga dan Wagul mencabut senjata masingmasing. Memang, jarak antara mereka
sudah hampir tinggal satu tombak. Itulah sebabnya, kedua orang tetua Desa Watu
itu mencabut senjata. Tampaknya, mereka juga menjaga diri.
Melihat hal ini, para penduduk
Desa Watu menghunus senjata masing-masing. Berbeda dengan Ki Tariga dan Wagul
yang mempunyai senjata berupa pedang dan golok besar, mereka mempergunakan
senjata beraneka ragam. Sebagian besar berupa arit atau clurit. Hanya sebagian
kecil yang menggunakan golok. Bahkan ada yang mempergunakan cangkul, maupun
potongan bambu atau kayu sebesar pergelangan tangan.
Dengan senjata-senjata
tergenggam di tangan, rombongan Desa Watu yang dipimpin Wagul dan Ki Tariga
bergegas terus melangkah mendekat. Mendadak....
Siut, siut, siuuut..!
Beberapa buah benda bulat
sebesar telur bebek tiba-tiba melesat cepat ke arah tanah di depan, kanan, kiri
dan belakang rombongan Desa Watu. Semua itu berasal dari kusir kereta dan dua
sosok tubuh berompi coklat yang tiba-tiba muncul dari kanan kiri pintu kereta.
Masing-masing melemparkan benda-benda bulat itu.
Ki Tariga dan Wagul yang
memiliki mata lebih awas, terkejut bukan kepalang melihat serangan mendadak
ini. Memang, mereka tidak tahu jenis serangan yang tengah meluncur. Tapi untuk
keselamatan diri, tentu saja lebih baik menghindar daripada berdiam diri.
"Menyingkir semua.
!"
Wagul masih sempat
memberitahukan penduduk Desa Watu, sebelum melempar tubuh ke samping kiri.
Sementara, Ki Tariga tidak sempat berteriak, karena harus buru-buru melompat ke
kanan.
Dar, dar, darrr. ! Terdengar
ledakan keras ketika bendabenda bulat sebesar telur bebek itu berbenturan
dengan tanah. Seketika itu, muncul asap tebal berwarna putih. Dan karena empat
benda bulat itu meledak di sekeliling rombongan yang dipimpin Ki Tariga, maka
mereka semua terkurung dalam gulungan asap!
"Uhuk... uhuk...
uhuk...!"
Suara batuk terdengar
bertubi-tubi dari mulut para penduduk Desa Watu. Tidak hanya itu saja yang
dialami. Sesaat kemudian, kepala mereka pun pusing, dan sepasang mata terasa
berat.
Hanya dalam waktu sebentar
saja tubuh penduduk Desa Watu berjatuhan di tanah. Satu persatu mereka ambruk,
sampai akhirnya tak ada lagi yang berdiri tegak. Semuanya tergolek di tanah.
Jelas, semua itu terjadi akibat pengaruh asap yang mengandung racun pembius.
Hanya dua orang saja yang
tidak terkena akibat asap yang keluar dari ledakan benda tadi. Kedua orang itu
adalah Wagul dan Ki Tariga, karena telah lebih dulu berhasil! menyelamatkan
diri. Mereka tadi melakukan lompatan harimau. Kemudian dengan bertumpu pada
kedua tangan, mereka digulingkan hingga berhasil keluar dari kungkungan asap
putih tebal
"Hup!" Wagul dan Ki
Tariga berdiri berjarak tiga tombak di luar kungkungan asap. Ki Tariga berdiri
di sebelah kanan, dan Wagul di sebelah kiri. Keduanya menatap ke arah tempat
yang ditinggalkan dengan jantung berdebar tegang.
"Apakah para penduduk
Desa Watu mati?" tanya hati Wagul dan Ki Tariga.
Kalau menuruti perasaan, ingin
rasanya kedua tetua Desa Watu itu meluruk ke kungkungan asap dan memeriksa
nasib penduduk Desa Watu. Tapi kalau hal itu dilakukan, mereka pun akan
mengalami hal yang sama. Jadi, yang dapat dilakukan hanyalah menunggu
kungkungan asap itu sirna tertiup angin.
Sebuah keuntungan bagi Wagul
dan Ki Tariga, angin berhembus tidak ke arah mereka. Sehingga, kungkungan asap
itu tidak menyerang mereka. Memang ada sebagian kecil yang menuju mereka, tapi
dengan mudah bisa ditanggulangi. Hanya dengan mengibas-ngibaskan tangan,
asapasap itu berhasil diusir pergi.
Tak lama kemudian, asap-asap
yang mengungkungi puluhan penduduk Desa Watu pun sirna. Kini yang tertinggal
hanyalah sosok-sosok tubuh yang tergolek di tanah. Entah dalam keadaan mati
atau hidup.
Wagul dan Ki Tariga hendak
beranjak dari tempat masing-masing untuk menghampiri tubuh penduduk Desa Watu
yang tergolek di tanah. Tapi niat itu terpaksa diurungkan, karena....
"Ha ha ha. !"
Sebuah suara tawa bergelak
bernada penuh ejekan terdengar. Dan sebelum gema suara tawa itu lenyap, di
hadapan masingmasing tetua Desa Watu itu telah berdiri sesosok tubuh mengenakan
rompi coklat
"Gerombolan Singa
Gurun...," desis Wagul ketika melihat orang yang berdiri di hadapannya.
Raut wajah guru silat Desa
Watu ini memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Hal yang sama juga dialami
Ki Tariga.
"Hmh. !"
Laki-laki bertubuh pendek
kekar yang berdiri di hadapan Wagul mendengus menanggapi keterkejutan Wagul.
Sikapnya terlihat memandang rendah sekali.
Melihat sikap yang ditunjukkan
anggota Gerombolan Singa Gurun, kemarahan Wagul meledak. Memang, sejak melihat
tergoleknya puluhan penduduk Desa Watu tanpa ketahuan nasibnya, dia sudah
merasa geram. Maka....
"Haaat!"
Diiringi teriakan melengking
nyaring. Wagul menerjang laki-laki pendek kekar itu. Golok besar di tangannya
diputarputarkan di atas kepala laksana kitiran.
Wunggg! Suara mengaung keras
terdengar ketika golok besar itu lenyap bentuknya. Kini, yang terlihat hanya
segundukan bayangan berwarna keperakan yang menyilaukan mata.
Singgg!
Wagul membabatkan golok ke
arah leher lawan. Senjata itu diayunkan dengan arah mendatar.
"Hmh...!"
Sambil mendengus penuh ejekan,
anggota Gerombolan Singa Gurun itu mendoyongkan tubuh ke belakang Dan itu
dilakukan tanpa menggeser kaki sama sekali!
Wuttt!
Babatan golok itu lewat
beberapa jari dari sasaran semula. Tapi, tindakan anggota Gerombolan Singa
Gurun ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Ketika serangan Wagul lewat di
hadapannya, tangan kanannya bergerak cepat. Dan...
Tappp!
Gila! Pergelangan tangan kanan
Wagul telah berhasil dicekalnya. Tentu saja hal ini membuat guru silat Desa
Watu itu terkejut bukan kepalang. Sekuat tenaga, diusahakannya untuk melepaskan
tangannya dari cekalan lawan. Tapi, usahanya siasia. Tangannya bagaikan
terhimpit jepitan baja yang kuat bukan kepalang!
Sebaliknya ketika laki-laki
pendek kekar itu menggerakkan tangan menyentak, tubuh Wagul tertarik ke depan.
Dan ketika tubuh guru silat Desa Watu itu tertarik, tangan kiri anggota
Gerombolan Singa Gurun itu meluncur ke arah dahi. Tiga jari tangannya yang
masing-masing telunjuk, jari tengah, dan jari manis diluruskan.
Tukkk!
Terlihat jelas sekali kalau
tiga jari tangan itu menghantam sasarannya secara perlahan. Mungkin hanya
sekedar menyentuh saja. Tapi akibatnya, pada dahi Wagul tertera tanda tiga
bulatan merah kecil berbentuk seperti tapak kaki kucing.
"Akh...!"
Wagul menjerit ngeri. Tubuhnya
langsung terhuyung-huyung dan ambruk di tanah. Guru silat Desa Watu ini
langsung menggelepar-gelepar seperti hewan disembelih. Dari mulut, hidung,
telinga, dan bahkan matanya mengalir darah segar.
Yang lebih mengerikan lagi,
aliran darah itu terus saja berlangsung selama Wagul menggelepar-gelepar.
Bahkan ketika akhirnya kepala guru silat Desa Watu itu terkulai mati, darah
yang mengalir tidak berhenti juga.
"Ha ha ha!"
Laki-laki pendek kekar itu
tertawa bergelak penuh kegembiraan melihat keadaan lawannya. Nada kebanggaan
dan kesombongan tampak jelas pada wajah dan suara tawanya.
"Sungguh tidak kusangka ilmu
'Jari Darah Beracun' begini hebat. Ah! Padahal tingkat yang kumiliki belum
seberapanya. Sulit kubayangkan kalau telah berhasil kucapai tingkatan seperti
Nyi Kati," desis anggota Gerombolan Singa Gurun penuh kebanggaan.
Laki-laki pendek kekar itu mengalihkan
perhatian ke arah kanannya, untuk melihat rekannya yang menghadapi Ki Tariga.
Dan ternyata Ki Tariga juga telah tergolek di tanah. Ilmu 'Tangan Darah
Beracun' yang dilancarkan anggota Gerombolan Singa Gurun lainnya ternyata juga
telah berhasil menjatuhkan Ki Tariga.
"Ha ha ha...!"
Dua orang laki-laki berompi
coklat ini sama-sama tertawa bergelak, penuh kegembiraan. Masih dengan tawa
yang tidak putus-putus, mereka menghampiri puluhan sosok tubuh yang tergolek di
tanah.
Bukan hanya kedua orang berompi
coklat saja yang menghampiri puluhan sosok tubuh itu. Sang Kusir pun demikian
pula. Dia melompat turun dari tempat duduknya di kereta, lalu bergerak
menghampiri puluhan sosok tubuh itu.
Begitu telah berada di dekat
puluhan sosok tubuh penduduk Desa Watu, mereka mencekal tangan atau kaki para
penduduk. Kemudian, menyeretnya ke arah kereta.
Brukkk!
Setiba di dekat kereta,
dilemparkan begitu saja tubuh para penduduk Desa Watu itu ke dalam kereta. Satu
persatu tubuhtubuh yang tidak berdaya dimasukkan ke dalam kereta, sampai tidak
ada lagi yang tersisa.
Baru saja tiga orang anggota
Gerombolan Singa Gurun itu menyelesaikan urusannya, terdengar suara derap kaki
kuda menapak tanah, diiringi gerit roda kereta menggilas jalan. Itu pun masih
ditambah lecutan keras cambuk menghantam bagian belakang tubuh kuda, dan
teriakan sang Kusir. Memang, dari kejauhan tengah meluncur cepat sebuah kereta
yang ditarik dua ekor kuda.
Seperti juga sang Kusir yang
datang lebih dulu, kusir kereta kuda yang baru datang ini pun mengenakan
pakaian indah berwarna biru.
"Mereka menyelesaikan
urusan tepat pada waktunya," kata laki-laki berompi coklat yang bertubuh
pendek kekar.
Laki-laki berompi coklat yang
satu lagi dan sang Kusir, hanya menganggukkan kepala. Jelas, mereka membenarkan
ucapan laki-laki pendek kekar tadi.
Baru saja gema ucapan
laki-laki pendek kekar lenyap, kereta kuda itu telah mencapai tempat mereka.
Diawali suara ringkikan melengking tinggi dan nyaring, kuda-kuda itu
menghentikan lari dan mengangkat kedua kakinya tinggitinggi di udara.
Di sudut-sudut kereta, berdiri
sesosok tubuh berpakaian coklat. Jelas, mereka juga anggota Gerombolan Singa
Gurun.
"Hup!"
Laki-laki berompi coklat yang
berdiri di sudut kanan belakang kereta melompat Ternyata, dia seorang laki-laki
berwajah codet.
"Bagaimana urusanmu,
Kang?" tanya laki-laki berwajah codet pada laki-laki pendek kekar.
"Beres. Dan kau?"
laki-laki pendek kekar balas bertanya.
"Beres, Kang," sahut
laki-laki bercodet, mantap.
"Bagus!"
"Tepat pada
waktunya," ucap laki-laki pendek kekar.
"Dia datang, tepat pada
saat kami telah berhasil membereskan mereka semua," kata laki-laki
bercodet seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah kusir kereta yang
ditumpanginya.
"Kalau begitu, mari kita
berangkat," ajak laki-laki tinggi kekar. "Kurasa Nyi Kati sudah tidak
sabar lagi menunggu kedatangan kita." "Benar. Darah merekalah yang
membuat ilmu 'Tangan Darah Beracun' Nyi Kati semakin hebat," sambung
laki-laki bercodet sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah tubuh para
penduduk Desa Watu yang bertumpuk-tumpuk di atas kereta.
"Kata-katamu perlu
diperbaiki sedikit. Bukan hanya Nyi Kati saja. Tapi, kita pun demikian
pula," sanggah lakilaki pendek kekar bernada teguran.
Laki-laki bercodet pun diam
tidak berkata-kata lagi. Sementara, laki-laki pendek kekar itu tidak
melanjutkan katakatanya lagi. Kemudian kakinya digenjot. Dan...
"Hup!"
Kini, dia telah hinggap di
sudut kanan belakang kereta. Tindakannya segera diikuti rekan-rekannya. Sesaat
kemudian, dua kereta kuda itu sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Ctar, Ctarrr!
***
"Ah!"
Seruan keterkejutan keluar
dari mulut seorang gadis cantik jelita berpakaian serba putih. Rambutnya yang
berwarna hitam, panjang, dan mengkilap, dibiarkan tergerai hingga ke bawah
bahu. Sehingga, semakin menambah kecantikannya saja.
Gadis berpakaian putih yang
tak lain Melati ini mengedarkan pandang ke depan. Dan karena pemandangan yang
terlihat di depan itulah, sebuah keluhan terdengar dari mulutnya. Masalahnya,
sekitar seratus tombak di depannya tampak debu mengepul tinggi ke udara.
"Apakah ada serombongan
pasukan berkuda lewat di depan sana?" tanya Melati dalam hati.
Karena tidak akan mendapatkan
jawaban pertanyaan itu kecuali melihat langsung, Melati segera melesat ke
depan. Seluruh ilmu larinya seketika dikerahkan.
Hebat! Seketika itu pula,
bentuk tubuh Melati lenyap. Yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan putih
dalam bentuk yang tidak jelas tengah melesat cepat ke depan.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, tembok batas Desa Watu telah terlewati Melati. Gadis berpakaian
putih ini menghentikan langkah sejenak. Dirayapinya suasana sekelilingnya.
Sepi. Kelihatannya memang belum ada satu pun rumah penduduk yang nampak.
Tapi hal ini sama sekali tidak
menarik perhatian Melati. Pandangannya segera tertuju ke tanah. Tampak jelas
adanya bekas tapak-tapak kuda dan gilasan roda kereta di sana.
"Hm...," gumam gadis berpakaian putih ini, pelan. "Rupanya
sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda telah melewati tempat ini. Jadi, ini
rupanya yang telah menimbulkan kepulan debu tebal tadi"
Meskipun telah berhasil
mengetahui sesuatu yang telah menimbulkan kepulan debu tebal dan tinggi di
udara, Melati tidak langsung berdiam diri. Pandangannya terus diedarkan ke
hamparan tanah sekitar tempat itu. Sepasang alis yang indah bentuknya itu
berkerut ketika melihat ada tanda-tanda yang sama, tak jauh di sebelah tanda
yang ditemukannya.
"Astaga...! Kiranya ada
dua buah kereta kuda. Siapakah
gerangan orang yang mengendarainya?" tanya Melati dalam hati. Perasaan
ingin tahu, memaksa Melati untuk
mengikuti arah yang dituju tapak kaki kuda dan gilasan roda
kereta. Tentu saja tidak diikutinya
sambil melangkah
perlahan-lahan, tapi dengan
pengerahan
ilmu meringankan tubuh.
Belum berapa lama berlari,
Melati telah menghentikan langkah. Pandangannya tertumbuk pada hancuran
kayu-kayu indah berukir di sebelah kanan kiri jejak roda kereta.
Melati membungkukkan tubuh,
untuk meneliti lebih jelas hancuran kayu berukir yang dilihatnya. Agak
berkernyit juga dahinya ketika mengetahui kalau hancuran kayu berukir itu
adalah bagian dari kereta kuda. Sebagai putri angkat seorang raja Kerajaan
Bojong Gading yang besar, bukan hal yang aneh kalau Melati bisa menebaknya
secara tepat.
"Aneh...," desah
keheranan keluar dari mulut Melati. "Menilik dari kayukayunya, bisa
kutebak kalau ini adalah pecahan-pecahan pintu kereta. Dan menilik dari letak
pecahan-pecahan ini, bisa kuperkirakan kalau pintu-pintu kereta ini dihancurkan
dari dalam. Tapi kenapa?"
Melati memusatkan perhatian
pada hancuran kayu yang berada di sebelah kiri. Kemudian, dengan mata tajam
ditelusurinya terus ke kiri. Sepasang matanya kontan terbelalak ketika melihat
pemandang-an yang terpampang di hadapannya.
Agak bergegas Melati menghampiri.
Hanya dalam sekali lesatan saja, dia telah berada di dekat sana.
"Ada bekas-bekas
pertarungan di sini," gumam Melati ketika melihat keadaan tanah di depan
rumah itu terlihat acak-acakan. Banyak terdapat bekas tapak kaki di sana sini.
Keyakinan Melati semakin
menebal ketika melihat bermacam ragam senjata bergeletakan di depan tiap-tiap
rumah penduduk. Maka, perasaan penasaran mendorong gadis itu untuk memeriksa ke
dalam setiap rumah. Hasilnya, kosong! "Hhh...!"
Setiba di luar kembali, Melati
menghela napas berat. Kini sebuah kesimpulan telah didapat mengenai hilangnya
para penduduk di desa Telaga Sewu tempat tinggal ibunya. Dan jawaban itu
didapat di Desa Watu ini. Semua ini ada hubungannya dengan dua buah kereta
berkuda! Kemungkinan besar, rombongan itu yang mengambilnya, Tapi untuk apa?
Hal itulah yang harus
dipecahkan Melati. Maka, gadis berpakaian putih ini pun memutuskan untuk
mengikuti perjalanan kereta itu. Karena, hanya itulah kunci jawaban
satu-satunya dari pertanyaan yang bergayut di benaknya.
Setelah mengambil keputusan
demikian, Melati pun melesat cepat meninggalkan Desa Watu. Tujuannya jelas,
mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan pemilik kereta berkuda.
4
"Tolooong...!
Tolooong...!"
Jerit minta tolong yang sarat
oleh rasa takut memecahkan kesunyian siang yang sudah mendekati petang. Suara
itu berasal dari dalam sebuah hutan.
Sesaat kemudian, muncul lah
seorang wanita berusia tiga puluh tahun. Pakaian berwarna hitam membungkus
tubuhnya yang cukup padat berisi.
Menilik dari kulit tubuhnya
yang hitam kecoklatan, kelihatannya dia sering terkena matahari. Bisa
diperkirakan kalau wanita yang berwajah tidak cantik ini adalah seorang petani.
Wanita berpakaian hitam ini
berlari pontang-panting. Sama sekali tidak dipedulikan yang berada di
hadapannya. Tak aneh kalau dia beberapa kali jatuh tersungkur karena tersangkut
semak-semak ataupun ranting yang melintang di jalan.
Tapi dengan cepat dan sigap,
wanita itu bangkit berdiri dan melanjutkan larinya kembali. Jelas, ada sesuatu
yang amat ditakuti tengah mengejarnya.
Ternyata, sesuatu yang memang
benarbenar menakutkan tengah mengejar wanita berpakaian hitam itu. Dan sesuatu
itu tidak lain seekor harimau loreng. Sambil mengaum menggetarkan suasana di
sekitar tempat itu, sang Raja Hutan berlari memburu calon korbannya.
Srakkk! "Akh...!"
Brukkk!
Diawali jeritan kecil, tubuh
wanita berpakaian hitam itu jatuh berdebuk di tanah ketika kakinya tersangkut
semaksemak yang menghalangi jalan. Dan sebelum wanita itu bangkit berdiri,
harimau loreng itu telah keburu menerkamnya.
"Auuum...!"
Suara mengaum keras terdengar
dari mulut sang Raja Hutan, ketika tubuhnya melayang ke arah calon korbannya.
"Aaa...!"
Hanya jerit kepasrahan yang
keluar dari mulut wanita berpakaian hitam ketika menyadari kalau dirinya tidak
akan bisa lolos dari kematian. Sudah terbayang di benaknya kalau tubuhnya akan
hancur tercabik-cabik kuku dan gigi binatang buas itu. Dia kemudian sudah tidak
ingat apa-apa lagi.
Tapi di saat yang gawat bagi
keselamatan wanita berpakaian hitam itu, mendadak melesat sesosok bayangan ungu
ke arahnya. Dan begitu tiba, sosok bayangan ungu itu langsung memapak tertanam
si Raja Hutan!
Prattt, prattt..!
"Graunggg...!"
Diiringi geram kemarahan,
tubuh harimau loreng itu terpental balik ke belakang. Tapi dengan manis sekali
binatang buas itu mendarat di tanah.
"Grauuung...!"
Harimau loreng itu menggerung
keras seraya menatap sosok bayangan ungu yang telah membuat calon korbannya
tidak berhasil disantap. Sepasang matanya yang mencorong kehijauan tampak
menatap geram ke arah orang yang mengganggu seleranya.
Tapi orang yang mengganggu
seleranya ternyata seorang pemuda berpakaian ungu dan memiliki wajah tampan itu
sama sekali tidak terlihat gentar. Dia malah balas menatap sang Raja Hutan.
Hebatnya, sepasang mata pemuda berpakaian ungu yang memiliki warna rambut putih
keperakan itu ternyata tak kalah di banding mata si harimau! Sepasang matanya
tajam mencorong dan berwarna kehijauan. Ini menjadi pertanda kalau pemuda
berpakaian ungu itu memiliki tenaga dalam tinggi. Karena, hanya orang-orang
yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang sinar matanya bisa seperti itu
Pemuda berambut putih
keperakan itu tetap bersikap tenang. Dia berdiri di tempatnya semula, di depan
wanita berpakaian hitam yang kini telah bangkit berdiri.
Mendadak pemuda berambut putih
keperakan itu mengeluarkan suara lengkingan tinggi. Gila! Mendadak saja, sikap
harimau yang semula garang itu menjadi berubah. Sorot matanya berubah melunak.
Kemudian sambil mengeluarkan keluhan pelan, binatang buas itu membalikkan
tubuh, lalu berlari cepat masuk ke dalam hutan.
Pemuda berambut putih
keperakan itu memandanginya hingga harimau loreng itu lenyap dari pandangan.
Baru, setelah itu tubuhnya berbalik.
"Sekarang bahaya itu
sudah lenyap, Ni sanak. Silakan melanjutkan perjalanan," kata pemuda
berambut putih keperakan itu. Tapi, sambutan yang diberikan wanita
berpakaian hitam itu membuat pemuda
berpakaian ungu ini terperanjat. Bahkan
tanpa sadar melompat ke belakang. Wanita berpakaian hitam itu ternyata malah
menjatuhkan diri berlutut di
hadapannya. "Tidak ada gunanya menolongku, Den.
Lebih baik bunuh saja aku. Apa
gunanya hidup kalau seperti ini," keluh wanita berpakaian hitam itu
terputus-putus.
"Tenang, Nyi. Tenang
Jangan berkata seperti itu. Lebih baik, ceritakanlah masalahnya. Barangkali
saja aku bisa menolongmu," hibur pemuda berambut putih keperakan itu, agak
terbata-bata.
"Sungguhkan itu,
Den?" tanya wanita berkulit coklat kehitaman itu sambil mengangkat
wajahnya. Tarikan wajah maupun sorot matanya menyiratkan harapan besar.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Aku berjanji. Dan
sekarang, bangkitlah kau dulu."
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, wanita berpakaian hitam itu bangkit berdiri. Wajahnya kini berseri-seri.
Tampak jelas ada harapan yang terpancar di wajahnya.
"Ceritakanlah masalahmu,
Nyi. Dan kumohon, jangan memanggilku dengan sebutan seperti itu. Panggilah
Arya. Atau lengkapnya, Arya Buana," pinta pemuda berpakaian ungu itu sambil
memperkenalkan diri.
"Baiklah, Den... eh,
Arya."
"Nah! Begitulah lebih
enak, Nyi," sambut pemuda berambut putih keperakan yang memang tak lain
dari Arya Buana alias Dewa Arak, gembira. "Sekarang, ceritakanlah masalah
yang tengah kau hadapi."
Wanita berpakaian hitam itu
tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ditariknya napas dalam-dalam dan
dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin menenangkan diri lebih dulu.
"Suami dan anak-anakku
dibawa Gerombolan Singa Gurun," jawab wanita itu terputus-putus.
"Gerombolan Singa
Gurun?!" ulang Arya dengan alis berkerut. "Gerombolan macam apa pula
itu?"
Kini ganti wanita berpakaian
hitam yang kebingungan. Dahinya berkernyit menatap ke arah Arya,
"Jadi, kau belum pernah
mendengar berita mengenai gerombolan itu?!" tanya wanita berpakaian hitam
setengah tak percaya.
Dewa Arak menggelengkan
kepala. "Mendengarnya pun baru sekali, Nyi." "Hhh...!"
wanita berpakaian hitam
menghela napas berat
"Rupanya, kau pendatang, Arya?"
"Benar. Nyi. Aku adalah
seorang pengembara. Ke mana langkah kakiku membawa, ke situlah aku
menuju," jelas Arya.
"Kalau begitu, tak ada
salahnya apabila kuberi tahu dulu," wanita berpakaian hitam memutuskan.
"Gerombolan Singa Gurun adalah sebuah gerombolan yang penuh teka-teki. Di
mana gerombolan itu bermarkas, dan siapa ketuanya, memang sulit dijawab. Yang
diketahui, anggotaanggota gerombolan itu mengenakan rompi dari kulit harimau.
Celakanya, setiap gerombolan itu keluar sarang, selalu menimbulkan keonaran.
Dan anehnya, mereka membawa orang-orang yang berhasil dikalahkan. Entah, untuk
apa, sama sekali belum ada orang yang berhasil mengungkapnya." Wanita
berpakaian hitam itu menghentikan ucapannya sejenak. Sementara Arya sama sekali
tidak menyelaknya. Dia menunggu kelanjutan cerita dengan sabar.
"Tadi siang, gerombolan
itu datang lagi. Dan hampir seluruh penduduk Desa Watu diangkut. Hhh...!
Seperti nasib penduduk lainnya, sudah bisa kutebak hal yang akan menimpa
mereka," lanjut wanita berpakaian hitam itu.
"Apa itu, Nyi?!"
tanya Arya ingin tahu.
"Lenyap tanpa
berita!" tandas wanita berpakaian hitam itu.
Kontan Arya terdiam. Benaknya
berputar keras. Benarkah ada sebuah gerombolan yang demikian aneh?
"Kalau boleh kutahu,
bagaimana ciriciri suamimu, Nyi?" tanya Arya setelah termenung beberapa saat
"Kalau kuberi tahu
ciri-cirinya, akan menyulitkanmu, Arya. Karena banyak penduduk yang memiliki
ciri-ciri seperti dirinya. Tapi kalau nama, mungkin tidak ada yang menyamainya.
Namanya Gulata!" urai wanita berpakaian hitam, panjang lebar.
"Gulata," ulang Arya
pelan untuk mengingat nama itu. "Baiklah, Nyi. Masalah ini akan kucoba
menyelidikinya. O ya, Nyi. Sekarang kau hendak ke mana."
"Aku hendak pergi
menjumpai saudara ku, Arya. Tinggalnya di dalam hutan ini, di atas sebuah
pohon. Dia memang orang aneh, sampai sampai membuat rumah di atas pohon,"
jawab istri Gulata.
"Bagaimana kalau
kuantarkan?" tanya Dewa Arak menawarkan diri.
"Tentu saja boleh,"
sambut wanita berpakaian hitam, gembira.
Sesaat kemudian, Arya dan
istri Gulata itu telah melangkah meninggalkan tempat ini. Tujuan mereka adalah
tempat tinggal saudara wanita berpakaian hitam itu.
***
"Hhh...!"
Helaan napas berat keluar dari
mulut Melati. Gadis ini tampak kebingungan, karena jejak kereta dan kuda itu
mendadak lenyap begitu saja.
Karena rasa penasaran yang
menggebu, Melati sampai membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat lebih jelas
lagi.
Tapi, tetap saja pemandangan
yang nampak tidak berubah! Keadaan tanah itu tetap saja seperti semula, tidak
nampak adanya bekas-bekas tapak kaki kuda atau pun gilasan roda kereta.
Melati menyerah. Disadari
kalau dirinya terpaksa harus menghadapi kenyataan pahit. Jejak-jejak yang
diikutinya, kini mendadak lenyap di sini!
Kini gadis berpakaian putih
itu mengedarkan pandangan berkeliling. Rupanya, kini dia berada di sebuah
tempat yang tanahnya ditumbuhi sedikit rumput. Di kanan kirinya terdapat
jejeran pohon dan semak-semak lebat. Setelah memperhatikan suasana
sekelilingnya sejenak, Melati melanjutkan langkahnya. Dia yakin, buruannya
masih tetap berada di sekitar tempat ini. Maka diputuskannya untuk meneruskan
pencarian.
Wukkk!
"Hey! Hih...!"
Sepotong kayu sebesar badan
manusia yang di sekelilingnya penuh ditancapi besi runcing, tiba-tiba terayun
ke arah kepala Melati. Untung saja, gadis berpakaian putih itu bertindak sigap
dan langsung melempar tubuh ke belakang.
Jliggg!
Melati mendaratkan kedua
kakinya beberapa tombak dari tempat semula. Pada dahinya yang berkulit putih,
halus, dan mulus, tampak butir-butir keringat. Memang, dia merasa terkejut bukan
kepalang ketika melihat sambaran benda tadi. Ditatapnya benda mengerikan yang
tadi hampir mencabut nyawanya. Dan kini, benda itu masih berayun-ayun.
Melati mengusap keningnya yang
basah dengan sapu tangan. Kini dia tahu, mengapa benda penuh besi runcing yang
hampir menyate tubuhnya meluncur ke arahnya. Ternyata, kakinya telah menyentuh
penggeraknya tadi. Akibatnya, benda mengerikan itu meluncur, mengancam jiwanya.
Sekarang Melati tidak berani
bertindak sembarangan lagi. Sepasang matanya yang bening dan indah itu beredar
ke selebar tanah di hadapannya.
Selangkah demi selangkah
Melati semakin menjauhi tempat semula, sampai beberapa tombak. Dan selama itu
belum dijumpai adanya perangkap lain.
Mendadak....
Brosss...! Srakkk...! Wuttt!
"Akh. !"
Melati menjerit kaget ketika
tanah yang dipenuhi hamparan daun kering yang diinjaknya amblas ke bawah.
Dan belum lagi sempat berbuat
sesuatu, tahu-tahu tubuhnya telah terbungkus sebuah jaring, dan langsung
terangkat cepat ke atas. Kini, Melati telah tergantung di dalam sebuah jaring
di atas cabang pohon.
Tidak hanya itu saja kejadian
yang mengejutkan. Karena, sesaat kemudian....
Srak, srak, srakkk. !
Suara berkerosakan keras
terdengar saling susul. Sesaat kemudian, muncullah beberapa sosok tubuh yang
mengenakan rompi coklat.
"Ha ha ha. !"
Laki-laki pendek kekar yang
berdiri paling depan mendongak sambil tertawa bergelak. Tampak jelas, ada nada
ejekan di dalam suara tawanya.
"Kau memang terlalu
berani, Wanita Liar! Kau kira kami tidak
tahu kalau diikuti?! Ha ha ha...! Jangan terlalu memandang rendah Gerombolan
Singa Gurun!" Laki-laki pendek
kekar menghentikan ucapannya
sejenak. Matanya menatap tajam,
langsung menusuk bola mata
Melati.
"Aku tahu, kau bukanlah
wanita yang kami cari-cari. Kepandaian yang kau miliki jauh lebih tinggi dari
padanya. Tapi hal itu bukan berarti kau akan bisa menentang Gerombolan Singa
Gurun! Orang sepertimu harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian,
laki-laki pendek kekar itu menoleh ke arah rombongan orang berompi coklat di
belakangnya. Menilik dari tindaktanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki
pendek kekar ini adalah pemimpin gerombolan.
"Cari ranting-ranting kering!
Akan kubuat api unggun
di bawah wanita
liar ini! Biar dia rasakan, akibat terlalu berani menentang Gerombolan Singa
Gurun!" Melati terperanjat bukan
kepalang mendengar ucapan
laki-laki pendek kekar itu. Apalagi ketika melihat beberapa orang berompi coklat
beranjak dari tempat itu, untuk
melaksanakan perintah laki-
laki pendek kekar tadi.
Perasaan khawatir akan ancaman
lakilaki pendek kekar, membuat Melati kelabakan. Dengan susah payah pedangnya
dihunus. Kemudian dengan senjata andalan itu, dicobanya untuk memutuskan
tali-tali jaring yang mengurungnya.
Tapi usaha Melati sia-sia.
Tali jaring itu ternyata sangat alot. Buktinya, pedang gadis berpakaian putih
itu sama sekali tidak mampu memutuskannya. Memang, pedang Melati bukan termasuk
pedang pusaka walaupun terbuat dari bahan pilihan.
"Ha ha ha...!"
Kembali laki-laki pendek kekar
tertawa bergelak, menertawakan tindakan Melati. Rupanya dalam penglihatan
Pemimpin Gerombolan Singa Gurun itu, usaha-usaha yang dilakukan Melati sangat
menggelikan hati.
"Boleh kau cari tali yang
paling empuk, Wanita Liar! Asal tahu saja, sampai tenagamu habis tali itu tidak
akan bisa putus! Tali itu terbuat dari ramuramuan pemimpin besar kami! Ha ha
ha...!"
Mendengar ejekan laki-laki
pendek kekar itu Melati menghentikan usahanya. Disadari ada kebenaran dalam
ucapan Pemimpin Gerombolan Singa Gurun itu. Tali-tali jaring itu tidak akan
mungkin bisa diputuskan.
Dengan perasaan kesal
bercampur cemas, Melati memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung. Tapi,
saat itu juga langsung diurungkan, begitu terdengar adanya bisikan di telinga.
"Pedangmu jangan dimasukkan kembali,
Ni sanak. Bersiap-siaplah
untuk menghadapi mereka. Aku tengah melepaskan ikatan jaring ini pada cabang
pohon."
Melati bukan orang bodoh. Dia
tahu, ada seorang tokoh sakti yang hendak menolongnya. Karena, hanya tokoh
saktilah yang mampu mengirimkan suara dari jauh seperti itu.
Melati tahu, pengirim suara
itu tidak bermaksud menipunya. Dan dia juga tahu, jaring seperti ini memang
dihubungkan dengan tali, dan diikatkan pada sebuah tempat. Apabila ikatan tali
itu dilepas, kurungan jaring itu pun akan terbuka sendiri begitu tubuhnya
menyentuh tanah.
Melati merasakan dadanya
berdebar tegang. Apalagi begitu merasakan adanya getaran-getaran dari ikatan
tali yang tengah dibuka si pengirim suara. Sampai akhirnya....
Rrrttt..!
Jaring itu meluncur turun
membawa tubuh Melati bersamanya. Maka gadis itu buru-buru mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya agar dapat mendarat manis di tanah.
"Hey. !"
Jeritan-jeritan keterkejutan
terdengar dari mulut laki-laki pendek kekar dan gerombolannya ketika melihat
jaring itu meluncur turun.
"Sebagian ke tempat
ikatan jaring itu! Selidiki, apakah ada tikus yang masuk ke dalam sana!"
perintah laki-laki pendek kekar.
Masih dengan pandangan mata
yang tidak lepas dari jaring yang tengah meluncur turun, laki-laki pendek kekar
memberi perintah pada gerombolan anak buahnya.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, sebagian laki-laki berompi coklat melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara, laki-laki pendek
kekar dan sisa Gerombolan Singa Gurun berdiam diri di situ, menanti jatuhnya
tubuh Melati yang berada dalam jaring perangkapnya.
Gerombolan Singa Gurun memang
tidak perlu terlalu lama menunggu, karena sesaat kemudian tubuh Melati telah
menghantam tanah.
Jliggg!
Berbareng hinggapnya kedua
kaki Melati di tanah, Gerombolan Singa Gurun telah meluruk ke arahnya di bawah
pimpinan laki-laki pendek kekar.
Sebuah keuntungan bagi Melati,
musuh yang menyerbunya sudah jauh berkurang. Hingga, mereka hanya bisa menyerbu
dari satu arah saja.
Sing, sing, sing...! 5
Suara berdesing nyaring
terdengar ketika laki-laki pendek kekar dan gerombolannya mengayunkan senjata.
Kali ini, sang Pemimpin gerombolan sengaja menggunakan senjata karena tahu
kalau lawan yang dihadapinya tidak bisa dianggap enteng.
Tentu saja Melati terkejut bukan
kepalang melihat hal ini. Meskipun demikian, dia tidak gugup. Dalam keadaan
masih berada di dalam jaring, pedangnya diayunkan untuk menangkis serangan
lawanlawannya. Anehnya, semua lawan yang dihadapi bersenjatakan sepasang kapak.
Trang, trang, trang...!
Suara berdentang nyaring
terdengar ketika senjata kedua belah pihak berbenturan. Hasilnya, tubuh para
anggota Gerombolan Singa Gurun itu terhuyunghuyung ke belakang Tangan mereka
yang menggenggam senjata bergetar hebat dan hampir lumpuh.
Dan kesempatan itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Melati untuk membebaskan din dari kurungan
jaring. Dan sebelum lawan-lawannya berhasil memperbaiki keadaan, Melati telah
berhasil meloloskan diri dari kungkungan jaring.
"Hih!" Begitu
jaring-jaring itu berhasil dilepaskan, langsung saja dilemparkannya ke arah
lawan-lawannya.
Wut!
Lemparan Melati lewat di atas
kepala, ketika lawan-lawannya telah lebih dulu merunduk. Tapi, tindakan Melati
tidak hanya sampai di situ saja. Pedang di tangannya langsung dibabatkan ke arah
lawan-lawannya dengan arah mendatar.
Crattt! "Aaakh...!"
Jeritan-jeritan menyayat hati
terdengar disusul robohnya tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun dengan kepala
hampir terpisah dari tubuh. Darah langsung menyembur dari leher yang terbabat
pedang.
Hanya sesaat saja tubuh
Gerombolan Singa Gurun menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhirnya diam
tidak bergerak lagi. Nyawa mereka langsung melayang seketika itu juga.
Laki-laki pendek kekar yang
menjadi pemimpin gerombolan itu terkejut bukan kepalang. Bahkan bercampur marah
dan ngeri. Disadari kalau Melati merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Dan
tentu saja, dirinya bukan tandingan gadis itu. Bila terus memaksakan diri
melawan, hanya mencari kematian secara sia-sia. Apalagi, dia hanya tinggal
sendirian. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki itu
segera melempar tubuh ke belakang
dan bersalto beberapa kali
di udara. Dan secepat kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula
melesat kabur. Melati hanya
tersenyum saja. Sama sekali kesempatan itu tidak
dipergunakannya untuk menghabisi nyawa
lawannya. Padahal kalau mau, mudah saja hal itu dilakukan. Melati
memang sengaja membiarkan
lawannya hidup, karena ingin mengetahui
sarang Gerombolan Singa Gurun. Dan hal itu hanya akan didapatkan, apabila
mengikuti lelaki pendek kekar tadi. Maka begitu laki-laki pendek kekar
melarikan diri, Melati pun segera mengejarnya. Tapi tentu saja seluruh
kemampuannya tidak dikerahkan. Disadari, apabila hal itu dilakukan, buruannya
akan segera terkejar. Dan Melati tidak mau hal
itu terjadi.
Memang dengan mengerahkan
kemampuan seperti itu, Melati tetap berada di belakang lawannya. Bahkan jarak antara
mereka tetap tidak berubah.
Sementara itu, laki-laki
pendek kekar ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu, Melati mengejarnya. Dan
sudah bisa diperkirakan kalau akan terkejar, Melati memang sungguh-sungguh
ingin membunuhnya.
Meskipun demikian, laki-laki
pendek kekar itu tidak mau menyerah begitu saja. Tetap seluruh ilmu lari
cepatnya dikerahkan. Maka adu kejar-mengejar pun segera terjadi.
Suara berisik kaki-kaki yang
menginjak rerumputan dan melanggar semak-semak pun langsung terdengar. Memang,
kedua orang itu sama sekali tidak mempedulikan rintangan di depan. Sekalipun
rintangan itu semak-semak berduri, tetap saja diterabas. Dengan pengerahan
tenaga dalam yang dimiliki, bukan hal yang sulit untuk membuat kulit dan daging
mereka tidak terluka oleh tajamnya duri.
***
Sang pemimpin gerombolan itu
bukan orang bodoh. Ketika adu kejar-mengejar telah berlangsung cukup lama, tapi
jarak antara mereka sama sekali tidak berubah, seketika timbul perasaan
curiganya. Maka benaknya langsung diputar.
Hanya dalam sekejapan saja,
laki-laki pendek kekar itu telah menemukan dugaan yang menjadi penyebab
tindakan lawannya. Gadis berpakaian putih itu pasti sengaja menguntitnya, dan
berarti ingin mengetahui sarangnya.
Dugaan yang muncul, membuat
laki-laki pendek kekar itu mengurungkan maksudnya semula. Memang, dia tidak
ingin sarang gerombolannya diketahui oleh siapa pun. Karena bila hal itu
terjadi, hukuman berat akan didapatnya, maka buru-buru arah larinya dialihkan.
Namun, Melati sama sekali
tidak tahu kalau buruannya telah menyelewengkan arah. Dan dia tetap saja
meneruskan pengejaran. Gadis berpakaian putih ini sama sekali tidak sadar kalau
laki-laki pendek kekar itu telah mempunyai rencana lain.
Pandangan mata Melati terus
mengikuti tubuh pemimpin Gerombolan Singa Gurun yang terus melesat di depan,
menyeruak semak-semak dan pepohonan. Tak sedikit di antara tanaman-tanaman
berduri tajam itu yang menyayat kulit dan daging.
Takkk! Sing, sing, sing...!
"Hey!"
Melati terpekik kaget ketika
mendengar desingan tajam yang disusul berkelebatnya beberapa batang tombak dari
kanan kirinya. Gadis berpakaian putih ini tahu kalau kakinya telah menyentuh
sesuatu yang diyakininya sebagai pelatuk yang menyebabkan tombak-tombak itu
melesat ke arahnya.
Meskipun kejadiannya demikian
mendadak, Melati tidak gugup. Segera dipapaknya kedatangan tombak-tombak itu
dengan kedua tangannya.
Takkk, takkk, takkk!
Suara berdetak keras terdengar
ketika tombak-tombak itu runtuh ke tanah dalam keadaan patah-patah.
"Hehhh?!"
Seruan keterkejutan keluar dan
mulut laki-laki pendek kekar ketika melihat tombak-tombak itu gagal mencapai
sasaran. Memang, Melati sengaja diajak ke tempattempat yang banyak mengandung
jebakan. Tentu saja agar gadis itu celaka. Sementara bagi gadis itu,
jebakan-jebakan tadi sama sekali tidak membahayakan. Apalagi, telah
diketahuinya betul letak tempat-tempat yang berbahaya.
Tapi laki-laki pendek kekar
itu tidak larut dalam keterkejutan. Seiring keluarnya teriakan keterkejutan,
dia terus melesat kabur. Sedangkan Melati tentu saja tidak membiarkan buruannya
lolos. Kembali dia melesat mengejar. Tapi....
Takkk! Wukkk! "Hih!"
Pyarrr!
Kejadiannya berlangsung
demikian cepat. Untuk yang kedua kalinya, kakinya menghantam sesuatu. Dan
tahu-tahu, sebatang pohon yang masih lengkap dengan daun-daun dan
ranting-ranting menyabet ke arah dada. Agak bergegas, Melati memapaknya dengan
kedua tangan hingga pohon itu hancur berkeping-keping.
Melati langsung melompat
mundur. Tarikan wajahnya masih menyiratkan keterkejutan. Memang, kejadian yang
baru saja dialami membuatnya kaget. Dalam hati, dia memuji kerajinan orang yang
telah membuat perangkap seperti itu. Karena, hal itu membutuhkan perhitungan
yang cukup matang.
Namun Melati tidak sudi
membiarkan dirinya berlama-lama hanyut dalam kekagetan. Kembali kakinya
melangkah untuk mengejar buruannya yang kembali melesat kabur, ketika Melati
berhasil mematahkan penghalang. Maka kejarmengejar pun kembali terjadi.
Tapi, kali ini Melati tidak
berani bertindak sembarangan. Diperhatikannya betul-betul setiap tempat yang
diinjak pimpinan Gerombolan Singa Gurun Dan memang, setelah mempergunakan cara
seperti ini, jebakan seperti sebelumnya tidak lagi ditemui.
Melati mengerutkan sepasang
alisnya yang berbentuk indah ketika melihat buruannya masih terus saja berlari.
Begitu jauhkah sarang Gerombolan Singa Gurun itu? Jangan-jangan laki-laki
pendek kekar itu sengaja menipunya! Kini perasaan curiga mulai bersemayam di
hati Melati.
Sementara itu, adu
kejar-mengejar kini telah berpindah tempat. Melati dan pemimpin Gerombolan
Singa Gurun telah berada di sebuah lapangan terbuka yang luas membentang. Tidak
terlihat lagi adanya pohon-pohon besar dan tinggi yang menjulang. Yang terlihat
hanyalah hamparan rumput kering yang pendekpendek.
Mendadak, laki-laki pendek
kekar itu menghentikan larinya dan membalikkan tubuh. Kemudian, tangan kanannya
bergerak mengibas.
Siut, siut!
Beberapa buah benda bulat
sebesar telur bebek melesat ke arah Melati. Maka Melati kontan menghentikan
larinya. Diperhatikannya sejenak benda-benda bulat yang meluncur ke arahnya,
lalu cepatcepat melempar tubuhnya ke samping kanan dan bergulingan menjauh.
Melati tidak berani memapak luncuran benda-benda itu, karena telah mengetahui
keistimewaannya. Apalagi, keistimewaan benda itu telah beberapa kali disaksikannya
sendiri.
Dar, dar, darrr!
Ledakan riuh kontan terdengar
ketika benda-benda bulat itu berbenturan dengan tanah. Seketika itu pula,
muncul asap tebal berwarna putih di tempat Melati berdiri tadi.
Melati berhasil menyelamatkan
diri dari sasaran benda-benda bulat sebesar telur bebek itu. Tapi, hal itu
bukan merupakan jaminan kalau berhasil menyelamatkan diri dari bahaya. Karena
ternyata....
Blosss!
Tubuh Melati langsung masuk ke
dalam lubang ketika tanah berumput, tempat tubuhnya berguling tiba-tiba amblas.
Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan untuk berjaga-jaga agar tidak mengalami cedera
yang berarti, apabila jatuh ke dasar lubang nanti.
Tapi di saat tubuh Melati
melayang ke lubang, pimpinan Gerombolan Singa Gurun tidak tinggal diam. Cepat
bagai kilat tangannya kembali dikibaskan. Maka, benda bulat sebesar telur bebek
itu kembali meluncur, dan kali ini diarahkan ke dalam lubang.
Darrr!
Baru saja Melati berhasil
mendarat di lubang dengan kedua kakinya, benda bulat sebesar telur bebek itu
meledak. Asap putih tebal pun menyeruak keluar dan mengungkungi sekitar dalam
lubang.
Melati tahu, asap putih tebal
itu mengandung racun. Maka, sedapat-dapatnya dia menahan napas untuk mencegah
asap itu terhisap ke dalam perut. Masih dalam keadaan seperti itu, kakinya
segera dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas. Melati belum
bisa memperkirakan tingginya lubang itu dari permukaan tanah. Tapi yang jelas,
lubang itu tidak seberapa dalam. Hal ini bisa diketahui dari kecepatan jatuhnya
ke dasar lubang.
Karena tidak tahu pasti
tingginya bagian atas lubang, tambahan lagi dalam keadaan agak kalap, Melati
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melompat ke atas.
Hasilnya sudah bisa diduga.
Tubuh Melati melesat laju ke atas. Tapi baru saja melewati permukaan atas
lubang, pimpinan Gerombolan Singa Gurun telah meluncurkan benda-benda bulat
sebesar telur bebek ke arah Melati.
Melati terkejut bukan
kepalang. Serangan lawan meluncur di saat tubuhnya tengah berada di udara.
Jadi, merupakan yang mustahil untuk bisa mengelak. Apalagi tidak ada landasan
yang dapat dijadikan tempatnya berpijak. Untuk menggeliatkan tubuhnya, dia
tidak berani. Dia tahu, tindakan seperti itu amat berbahaya, karena benda-benda
bulat yang dilemparkan laki-laki pendek kekar tampak berjajar. Jadi, tetap saja
akan ada yang mengenai sasaran kalau dipaksakan menggeliatkan tubuh.
Melati tidak punya pilihan
lain lagi, kecuali memapak serangan-serangan itu. Dan hal itulah yang akan
dilakukannya. Sambil menggertakan gigi, luncuran bendabenda bulat itu
dipapaknya dengan pukulan kedua tangan.
Dar, dar, darrr!
Seperti yang sudah diduga
Melati, benda-benda bulat itu langsung meledak ketika berbenturan dengan tinju
kedua tangannya. Ledakannya ternyata cukup dahsyat. Terbukti, gadis berpakaian
putih itu sampai memekik, meskipun hanya pelan dan singkat.
Jliggg!
Meskipun agak terhuyung,
Melati berhasil mendaratkan kedua kakinya di pinggir lubang. Asap tebal yang
keluar dari ledakan benda-benda bulat itu segera menyebar, menyelubungi tempat
itu. Kali ini, Melati tidak bisa menahan napas lagi untuk mencegah terhisapnya
asap. Pekikan kecil dan pendek yang tadi keluar dari mulutnya, membuat asap itu
terhisap masuk.
Rupanya, asap itu mengandung
racun yang mempunyai daya kerja cepat. Buktinya Melati langsung merasakan
kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang ketika asap itu terhisap.
Meskipun demikian, dia masih sempat melihat kalau akibat tindakannya cukup
mengerikan. Darah telah membasahi kedua tangannya. Bahkan bajunya sampai hampir
sebatas siku telah compang-camping. Jelas, akibat ledakan benda bulat itu amat
dahsyat.
Tapi, Melati tidak bisa
berpikir lebih jauh lagi. Pandangannya mendadak gelap, lalu tubuhnya limbung.
Kalau saja laki-laki pendek kekar tidak bertindak cepat dengan menangkap
tubuhnya, Melati telah terjatuh ke dalam lubang semula.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki pendek kekar tertawa bergelak. "Jangan mimpi untuk bisa
meruntuhkan Gerombolan Singa Gurun, Cah Ayu! Ha ha ha...!"
Setelah berkata demikian,
pimpinan Gerombolan Singa Gurun ini melesat cepat meninggalkan tempat itu
seraya memperdengarkan tawanya yang penuh kegembiraan dan kemenangan.
*** "Ah! Aku
terlambat!"
Ucapan bernada penyesalan
keluar dari
mulut seorang kakek berpakaian
putih berkepala botak. Pandangan mata kakek berpakaian putih itu tertuju ke
arah lubang yang terletak di sebuah tanah lapang luas yang ditumbuhi
rumput-rumput pendek.
Kakek berpakaian putih ini
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sesaat, edaran sepasang matanya terhenti
ketika melihat sebuah benda yang tergolek tak jauh dari lubang. Perasaan ingin
tahu tampak jelas pada sorot mata dan raut wajahnya.
Kakek berpakaian putih itu
mengayunkan langkahnya. Luar biasa! Kelihatannya kakinya hanya di-ayunkan
selangkah. Tapi anehnya, tubuhnya telah berjarak tak kurang dari sebelas tombak
dari tempat semula. Jelas, ilmu meringankan tubuh kakek ini amat tinggi.
Sesaat kemudian, kakek
berpakaian putih itu telah berada di dekat benda yang menjadi pusat
perhatiannya. Sepasang alisnya berkerut ketika mengetahui kalau benda yang
menarik perhatiannya ternyata sebilah pedang telanjang.
Perlahan-lahan kakek
berpakaian putih itu membungkukkan tubuhnya dan memungut pedang itu. Lalu
diperhatikannya pedang itu penuh minat
Pedang itu ternyata bukan
sebatang pedang pusaka. Meskipun demikian, bilahnya terbuat dari logam yang
cukup baik. Jelas, jauh lebih kuat daripada pedang umumnya.
"Sebuah senjata yang
cukup baik," puji kakek itu sambil menganggukanggukkan kepala.
Usai berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu mengalihkan perhatian ke arah gagang pedang. Bentuk
gagangnya memang gagah sekali. Berukir, membentuk kepala seekor naga. Tapi
anehnya, pada ujung gagangnya terikat sulaman gambar bunga melati.
"Dari mana kau dapatkan
pedang itu, Ki?!"
Tiba-tiba sebuah pertanyaan
bernada penuh tuntutan membuat kakek berpakaian putih itu terjingkat kaget
bagai disengat ular berbisa. Raut wajahnya jelas menampakkan keterkejutan yang
tidak bisa disembunyikan. Raut kekagetan yang nampak di wajah kakek itu semakin
terlihat jelas. Bahkan ada nada ketidakpercayaan ketika melihat si pemilik
suara.
"Siapa kau?" tanya
kakek berpakaian putih sambil menatap sekujur tubuh si pemilik suara penuh
selidik. Sama sekali tidak dipedulikan pertanyaan yang tertuju kepadanya.
Si pemilik suara ternyata
seorang pemuda tampan. Usianya paling banyak dua puluh dua tahun. Tampak alis
pemuda itu berkernyit. Bahkan sepasang matanya di raut wajah yang jantan tampak
mencorong, menyiratkan sinar kehijauan laksana sorot mata seekor harimau dalam
gelap. Jelas, pemuda bertubuh tegap kekar dan terbungkus pakaian berwarna ungu
ini bukan orang sembarangan. Karena, sorot mata seperti itu hanya dimiliki oleh
orang-orang yang telah memiliki tenaga dalam amat kuat.
"Jawab pertanyaanku, Anak
Muda! Cepat! Sebelum kesabaranku hilang!" sambung kakek berpakaian putih
lebih keras.
Sambil berkata demikian,
pandangannya dialihkan ke arah rambut pemuda berpakaian ungu itu. Bukan karena
panjangnya yang membuatnya agak heran, tapi warna rambutnya yang putih
keperakan! Warna yang seharusnya dimiliki orang-orang yang telah berusia cukup
lanjut. Sudah bisa diduga, siapa adanya pemuda ini. Ya! Dialah Arya Buana alias
Dewa Arak.
Sorot mata Arya yang semula
lembut, langsung mengeras mendengar ucapan kakek berpakaian putih itu.
"Bukan hanya kau saja
yang bermaksud seperti itu, Ki! Aku juga demikian! Jawab dulu pertanyaanku,
dari mana pedang itu kau dapatkan!" tandas Arya sambil menudingkan jari
telujuknya ke arah pedang yang tergenggam di tangan kakek berpakaian putih.
6
Kakek berpakaian putih itu
mengamati pedang di tangannya sejenak, kemudian perhatiannya dialihkan pada
Arya.
"Kalau aku tidak
mau?!" sahut kakek berpakaian putih itu, bernada tantangan.
"Terpaksa aku akan
menggunakan kekerasan!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut
Arya.
Kakek berpakaian putih
tersenyum lebar.
"Aku ingin tahu, apakah
kemampuan yang kau miliki sedahsyat ucapanmu."
Darah muda Arya meluap
mendengar sambutan bernada tantangan ini. Meskipun demikian, masih dicobanya
untuk menahan diri. Padahal, perasaannya hampir tidak terkendalikan. Pedang
yang berada di tangan kakek itulah yang membuat perasaannya hampir tidak bisa
terkendalikan. Memang pedang itu dikenalinya betul, sebagai milik Melati!
Bentuk gagang, dan hiasan berbentuk bunga melati, amat dikenalinya. Tidak ada
lagi orang yang memiliki pedang seperti itu kecuali tunangannya.
Arya tahu betul, pedang itu
tidak pernah terpisah dari tunangannya. Itulah sebabnya, harinya merasa
khawatir melihat keberadaan pedang di tangan kakek itu. Apalagi dalam keadaan
tanpa warangka. Jelas, telah terjadi sesuatu atas diri Melati. Itulah sebabnya,
Arya hampir tidak sabar mendapatkan jawaban dari kakek berpakaian putih,
"Aku tidak ingin bertarung
denganmu, Ki," jawab Arya setelah menghela napas berat untuk menenangkan
hati. "Aku hanya minta, beritahukanlah padaku dari mana pedang itu
didapat." Kakek berpakaian putih tersenyum mengejek. "Rupanya kau
termasuk orang yang mudah menjilat ludahmu yang telah jatuh ke tanah, Anak
Muda. Sebelumnya, kau mengatakan ingin tahu, dari mana pedang ini kudapatkan.
Sekalipun, untuk itu harus dengan jalan kekerasan. Sekarang kau mengatakan
tidak ingin bertarung denganku. Lucu! Lucu sekali! Dewa Arak yang menggemparkan
dunia persilatan, ternyata hanya seorang yang tidak mempunyai pendirian!"
Wajah Dewa Arak kontan merah
padam. Kemarahan yang sejak tadi timbul semakin bernyala-nyala. Ucapan kakek
berpakaian putih tadi membuat kemarahannya semakin berkobar-kobar. Belum pernah
dia dilecehkan seperti itu. Padahal, Dewa Arak sendiri paling benci pada orang
yang tidak mempunyai pendirian
"Jaga mulutmu, Ki. Aku
bukan orang seperti yang kau tuduhkan!" dengus Dewa Arak, keras.
"Kalau begitu, mengapa
maksudmu dibatalkan untuk menempurku?!" sergah kakek berpakaian putih,
cepat. "Atau kau merasa gentar?!"
"Tidak ada kata takut
dalam kamus hidupku, Ki!" sambut Dewa Arak tak kalah keras.
"Kalau begitu..., tunggu
apa lagi?! Dengar, Dewa Arak! Aku bersedia memberitahukan padamu, apabila kau
mampu mengalahkanku!"
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Ditariknya napas dalamdalam dan dihembuskannya kuat-kuat untuk
menenangkan hati. Disadari kalau kemarahan hanya akan merugikan dirinya
sendiri. "Itu tidak menjadi alasan kuat untuk bertarung, Ki."
Kakek berpakaian putih
tercenung sejenak. Jelas, ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Baiklah, Dewa Arak. Aku
tidak akan memaksamu bertarung. Aku akan pergi, dan silakan cari sendiri
pemilik pedang ini. Hanya satu yang perlu kau ketahui, pemilik pedang ini
tengah dalam bahaya besar. Kalau kau tidak segera menolongnya, mungkin akan
tewas! Selamat tinggal!"
Usai berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu segera membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan Dewa
Arak. Kelihatan enak saja saat melangkah, tapi hebatnya telah berada dalam
jarak sebelas tombak di depan!
Arya kontan terkejut bukan
kepalang. Tapi bukan karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek
berpakaian putih itu, melainkan karena ucapannya. Melati dalam bahaya! Dan
dugaannya ternyata tidak meleset! "Jangan harap bisa lolos dari sini
sebelum menjawab pertanyaanku!"
Seiring keluar ucapannya, Dewa
Arak segera menjejakkan kaki. Tubuhnya melesat cepat ke atas, melewati kepala
kakek berpakaian putih di depannya. Beberapa kali tubuhnya bersalto di udara,
sebelum mendaratkan di tanah.
Jliggg!
Ringan laksana jatuhnya
sehelai daun di tanah, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di depan kakek
berpakaian putih. Karuan saja, kakek itu menghentikan langkahnya. Kini, mereka
berdua berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak
"Menyingkirlah, Dewa
Arak! Jangan halangi jalanku! Atau..., terpaksa kita harus bertempur!"
dengus kakek berpakaian putih memperingatkan Arya.
"Aku tidak akan bergeser
sedikit pun dari tempat ini, Ki! Kecuali, bila kau beritahukan padaku kejadian
yang menimpa pemilik pedang itu!" keras dan mantap kata-kata yang keluar
dari mulut Dewa Arak.
"Kalau begitu, mampuslah
kau!"
Kakek berpakaian putih itu
langsung melepaskan pedang bergagang kepala naga ke tanah, hingga amblas
setengahnya lebih. Kemudian, dia melompat menerjang Dewa Arak. Serangannya
diawali dengan pukulan tangan bertubi-tubi ke arah dada. Wut, wut, wut!
Deru angin keras terdengar
mengiringi tibanya serangan itu. Hal ini menandakan betapa kuatnya tenaga dalam
yang terkandung dalam serangan itu.
Tapi, Dewa Arak tidak gugup
melihat hal ini. Ditunggunya hingga seranganserangan kakek berpakaian putih itu
dekat. Kemudian dengan tetakan kedua tangannya, serangan-serangan yang meluncur
dipapaknya.
Tak, tak, tak!
Suara berdetak keras seperti
benturan logam keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan beradu.
Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur ke belakang. Dewa Arak
terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan kakek berpakaian putih terhuyung
tiga langkah. Dari sini bisa diduga, tenaga dalam Dewa Arak lebih kuat daripada
lawannya.
"Kau hebat, Dewa
Arak!" puji kakek berpakaian putih itu, disertai seringai di mulutnya.
Jelas, dia merasa kesakitan akibat benturan itu. "Tapi jangan bangga dulu.
Aku belum kalah! Hih!"
Kakek berpakaian putih itu
kembali menyerang Dewa Arak. Kali ini, dengan serangan-serangan yang jauh lebih
dahsyat daripada sebelumnya. Lebih-lebih kelihaian Arya telah diketahuinya.
Dewa Arak yang telah mengetahui
kelihaian kakek berpakaian putih itu tidak tinggal diam, dan segera melakukan
perlawanan sengit. Pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan seluruh
kemampuannya, karena merasa cemas akan keselamatan Melati. Arya ingin buru-buru
menolong tunangannya. Dan sumber keterangan itu adalah kakek berpakaian putih
ini!
Hebat bukan kepalang
pertarungan antara kedua orang sakti itu. Setiap gerakan mereka menimbulkan
deru angin keras, pertanda didukung pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara angin
mencicit, mengaung, dan menderu menyemaraki jalannya pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Debu pun
mengepul tinggi ke udara. Rumput-rumput kering dan pendek terpijak-pijak di
sana sini. Tanaman-tanaman lain bergoyanggoyang ke sana kemari, setiap kali
kedua tokoh yang tengah bertarung itu menggerakkan tangan atau kaki.
Dewa Arak mengerahkan ilmu
'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'
sampai ke puncaknya, untuk dapat merobohkan lawan secepatnya. Meskipun
demikian, tetap saja menemui kesulitan. Ternyata, kakek berpakaian putih itu
amat tangguh!
Sejak jurus-jurus awal,
masing-masing pihak telah menguras seluruh kemampuan yang dimiliki. Meskipun
memang, belum mengeluarkan ilmu andalan.
Kini, tubuh Dewa Arak dan
kakek berpakaian putih itu lenyap bentuknya. Yang terlihat hanyalah kelebatan
bayangan putih dan ungu. Terkadang kedua bayangan itu saling belit, tapi tak
jarang saling pisah. Beberapa kali bayangan putih terlempar keluar kancah
pertarungan, tapi hal itu hanya berlangsung sekejap saja. Sesaat kemudian,
kedua bayangan itu kembali saling belit.
***
Mula-mula pertarungan antara
dua tokoh sakti itu berlangsung seimbang. Masing-masing pihak tampak saling
gantiberganti melancarkan serangan. Tapi menginjak jurus keseratus, keunggulan
Dewa Arak mulai tampak.
Serangan-serangan kakek
berpakaian putih itu mulai berkurang. Dan sekarang lebih banyak mengelak.
Bahkan menangkis pun hanya sekali-sekali saja karena hanya mendatangkan
kerugian baginya. Masalahnya, tenaga dalamnya berada di bawah Dewa Arak.
Semakin lama, keadaan kakek
berpakaian putih itu semakin terdesak. Robohnya kakek itu hanya tinggal
menunggu waktu saja. "Haaat..!"
Pada jurus keseratus dua
betas, Dewa Arak melancarkan sapuan kaki tanah. Namun kakek berpakaian putih berhasil
mengelakkannya dengan melompat ke atas.
Dan ternyata, tindakan Dewa
Arak tidak hanya sampai di situ saja. Tangan kanannya diluncurkan cepat ke arah
bahu kanan lawannya. Arya memang tidak ingin membunuh kakek berpakaian putih
itu. Tidak heran bila serangan-serangan yang dilancarkannya ditujukan pada
bagianbagian yang tidak mematikan.
Kakek berpakaian putih itu
terkejut bukan kepalang. Keadaannya saat ini benar-benar tidak menguntungkan.
Tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkan untuk berkelit dari serangan
itu. Terpaksa serangan itu dipapaknya dengan tangan kiri.
Prattt!
Tubuh kakek berpakaian putih
itu terlempar ke belakang, kemudian jatuh bergulingan di tanah. Pada saat yang
bersamaan Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya secara mantap di tanah. Lalu,
tubuhnya langsung meluruk ke arah kakek berpakaian putih.
Maksudnya, hendak melumpuhkan
lawan tangguhnya.
Tapi....
"Tahan, Kang Arya.
!" Arya terkejut bukan kepalang. Nada suara itu serasa pernah dikenalnya.
Tapi sayang, dia lupa. Kapan dan di mana pernah mendengar suara itu. Maka,
cepatcepat serangannya dibatalkan. Tangannya cepat dipergunakan sebagai tumpuan
kaki untuk membatalkan serangannya.
Jliggg!
Begitu kedua kaki Dewa Arak
mendarat di tanah, sesosok bayangan merah berkelebat mendekati tempat kakek
berpakaian putih, lalu berdiri membelakanginya. Kini sosok berpakaian merah itu
berdiri di antara Dewa Arak dan kakek berpakaian putih.
"Ah!"
Arya menjerit kaget ketika
melihat jelas sosok berpakaian merah yang berdiri di hadapannya. Dikenalinya
betul sosok itu.
"Kau... kau..., Mawar...!
Ya, Tuhan.... Mengapa kau ada di sini, Mawar...?!" seru Arya setengah tak
percaya.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menghampiri sosok berpakaian merah yang ternyata seorang gadis
berwajah cantik jelita. Rambutnya yang berwarna hitam mengkilap digelung ke
atas. Dia memang Mawar, saudara kembar Melati [Untuk jelasnya silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar"].
"Ceritanya panjang
sekali, Kang Arya," sahut Mawar, sambil berdiri diam menunggu. "Tapi
yang jelas dan perlu kau ketahui, kakek yang menjadi lawanmu bertarung bukan
musuh."
"Ooo. "
Arya hanya bisa membulatkan
mulutnya pertanda mengerti. Namun langkahnya tetap tak dihentikan. Meskipun
demikian, bola matanya sempat dilayangkan ke arah kakek berpakaian putih yang
kini sudah berdiri tegak.
"Kalau dia bukan musuh,
mengapa menunjukkan sikap yang tidak bersahabat padaku, Mawar?" ada nada
penasaran dalam pertanyaan Arya. Mawar mengangkat bahu. "Kalau begitu...,
kupersilakan kau untuk menanyakan sendiri."
Usai berkata demikian, Mawar
bergeser untuk memberi kesempatan pada kakek berpakaian putih memberikan
jawaban atas pertanyaan Dewa Arak.
Kakek berpakaian putih
melangkah maju dengan pandangan diarahkan pada Dewa Arak. Ditatapnya pemuda
berambut putih keperakan itu tajam-tajam, tepat pada bola matanya.
Sementara itu, Arya telah
menghentikan langkahnya. Kakek berpakaian putih juga berhenti, ketika telah
melangkah sebanyak tiga tindak. Sekarang, kedua tokoh yang baru saja bertarung
sengit itu saling menatap tajam.
"Apa yang dikatakan Mawar
benar belaka, Arya," ucap kakek berpakaian putih itu membuka pembicaraan.
Arya sama sekali tidak memberi
tanggapan, sekalipun kakek berpakaian putih itu kembali merubah panggilan
terhadapnya.
"Tapi sebelum kukatakan
alasan sebenarnya yang membuatku menunjukkan sikap tidak bersahabat padamu, aku
ingin memperkenalkan namaku padamu," lanjut kakek berpakaian putih.
"Namaku Palungga."
"Palungga?!"
Arya mengulang nama itu dalam
hati disertai kernyitan pada dahi. Betapa tidak? Rasanya nama itu pernah
didengarnya. Hanya saja dia lupa, kapan dan di mana nama itu pernah
didengarnya.
Kakek berpakaian putih yang
mengaku bernama Palungga tersenyum simpul melihat kernyitan di dahi Dewa Arak.
Sepertinya, dia tahu mengapa pemuda berambut putih keperakan itu bersikap
demikian.
"Aku sengaja menunjukkan
sikap bermusuhan karena ingin menguji kepandaianmu. Kudengar, julukanmu amat
menggeparkan dunia persilatan. Bahkan salah satu dari dua anakku yang berhasil
kutemukan, banyak memuji-mujimu. Baik kepandaian maupun sikapmu. Sehingga, aku
merasa penasaran sekali. Aku ingin menjumpaimu secara langsung untuk
membuktikan kebenaran semua cerita itu."
"Dan kenyataannya sama
sekali tidak benar kan, Ki?" potong Arya buru-buru.
"Kau keliru, Arya. Semua
cerita yang kudengar tentang dirimu benar belaka," bantah Palungga sambil
tersenyum. "Kesakitan, kerendahan hati, dan tindakanmu benar-benar sesuai
kenyataan yang selama ini kulihat. Aku tahu, kau tidak melancarkan
serangan-serangan yang mematikan terhadapku."
Arya kontan terdiam.
Diam-diam, dipujinya kejelian sepasang mata Palungga.
"Kalau boleh kutahu,
siapakah salah seorang anakmu yang terlalu berlebihan memujiku itu, Ki?"
tanya Arya ingin tahu.
Semakin lebar senyum yang
tersungging di bibir Palungga.
"Kau ingin tahu, Arya?
Nah! Baiklah akan kuberitahukan. Inilah salah seorang anakku yang amat
memujamu," kata Palungga sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke
arah Mawar.
"Hah...?! Jadi..,
jadi.... Ah! Mengapa aku begini pelupa?! Kau..., ayah Mawar dan
Melati...," ucap Arya agak tergagap.
Sekarang pemuda berambut putih
keperakan itu baru teringat nama yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Pantas,
perasaan nama itu pernah didengarnya. Dulu, sewaktu bertemu Mawar nama itu
pernah didengarnya. Mawar memperkenalkannya sebagai ayahnya, sekaligus ayah
Melati [Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar].
Palungga menganggukkan kepala
pertanda membenarkan ucapan Arya.
"Aku tidak kecewa. Kau
lebih dari pantas untuk menjadi jodoh anakku."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini dia mengerti, ternyata Palungga tadi bermaksud mengujinya. Tapi
bukankah menurut pengakuan Kami, Palungga telah tewas dikeroyok tokoh-tokoh
golongan hitam yang bersatu padu? Kalau benar kakek ini adalah ayah Melati,
kenapa membiarkan anaknya tertimpa bahaya seperti yang tadi dikatakannya?
Berbagai macam pertanyaan bergayut dalam benak Arya.
7
"Aku tahu, kau akan
mengajukan keheranan yang sama dengan Mawar," kata Palungga bernada yakin.
"Kau pasti menduga kalau aku telah tewas di tangan para tokoh persilatan
aliran hitam?" Arya menganggukkan kepala, karena memang itu yang akan
dikatakannya. Dan seperti itulah yang diceritakan Karina, istri Palungga.
(Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang
Alap-Alap Bukit Gantar").
"Aku berhasil melarikan
diri dari mereka," jelas Palungga. "Ahhh! Kalau saja tidak mengingat
nasib anakku, mungkin aku lebih rela mati daripada hidup sebagai pengecut"
Palungga menghentikan
ucapannya. Sepasang matanya menerawang ke atas, seakan-akan ada yang tengah
dicarinya di atas sana.
"Setelah berhasil
menyelamatkan diri, aku mulai mencari berita beradanya istri dan anakku. Tentu
saja secara sembunyisembunyi. Tapi nyatanya mereka lenyap seperti ditelan bumi.
Usaha-usahaku siasia saja rupanya, sehingga membuatku hampir putus asa. Namun,
betapa gembiranya hatiku ketika pencarianku ternyata menemukan titik terang.
Aku berhasil menemukan Mawar ketika tengah melarikan diri dari sesuatu yang
tengah ditakutinya. Sekarang, kau yang ganti bercerita, Mawar."
Mawar menganggukkan kepala.
"Beberapa hari yang lalu, muncul belasan orang berpakaian coklat. Mereka
mengaku sebagai Gerombolan Singa Gurun. Dengan cara kasar, mereka berusaha
membawaku dan ibu. Dan tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tapi, karena
kepandaian mereka rata-rata lumayan dan jumlahnya cukup banyak, jadi terdesak
hebat."
Mawar menghentikan cerita.
Untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena kebanyakan berbicara dia
menelan ludah.
"Ibu tahu, keadaan kami
tidak menguntungkan. Maka disuruhnya aku melarikan diri, dan dia berusaha
mencegah lawan-lawan mengejarku," sambung Mawar. "Semula, aku tidak
mau. Tapi karena ibu terlalu memaksa, apa boleh buat. Dengan perasaan sedih,
dia kutinggalkan. Dan ketika akhirnya aku bertemu ayah, kami segera kembali
memeriksa ke sana. Tapi, keadaan telah kembali sepi. Tidak ada Gerombolan Singa
Gurun maupun ibu. Entah bagaimana nasib ibu..."
Arya hanya bisa menghela napas
berat pertanda ikut prihatin ketika Mawar menyelesaikan cerita.
"O ya, Ki. Masih ada hal
yang ingin kutanyakan padamu," kata Arya ketika teringat kembali.
Palungga tersenyum simpul.
Rupanya pertanyaan yang akan diajukan Arya sudah bisa diduga.
"Silakan, Arya. Kalau aku
bisa menjawabnya, tentu akan kujawab," kalem ucapan kakek berpakaian putih
itu. "Mengenai pedang itu, Ki. Kalau tidak
salah, pedang itu milik
Melati. Kalau boleh kutahu, mengapa berada di tanganmu, Ki?"
"Hhh...!"
Palungga menghela napas berat.
Raut wajahnya tersaput kesedihan yang mendalam.
"Hal ini terjadi karena
kecerobohanku, Arya. Kalau saja aku bertindak cepat, mungkin Melati tidak
mengalami kejadian apa-apa," jawab Palungga setengah mengeluh.
"Awalnya dari rasa tertarikku ketika mendengar suara ributribut. Ketika
kuselidiki, ternyata ada seorang gadis terkurung di dalam sebuah jaring
Gerombolan Singa Gurun. Melihat dari raut wajahnya yang mirip Mawar, bisa
kuduga kalau dia adalah anakku juga. Memang, Mawar telah bercerita banyak
mengenai saudara kembarnya, berikut kau, Arya."
Palungga menghentikan
ucapannya sebentar untuk menarik napas.
"Dia segera kubebaskan
dari kurungan. Tapi, rupanya Gerombolan Singa Gurun tahu, ada orang yang
menolong Melati. Maka, mereka meluruk ke tempatku. Serbuan mereka membuat
perhatian teralih dari Melati. Memang hanya sebentar, karena dengan mudah
mereka semua kubereskan. Tapi, hal itu cukup membuatku kehilangan jejak Melati.
Dan inilah yang kutemui. Tapi jangan khawatir, Arya. Sekarang aku telah tahu
letak sarang Gerombolan Singa Gurun."
Palungga menutup ceritanya
sambil mengangsurkan pedang milik Melati. Dewa Arak menatap senjata milik
kekasihnya disertai perasaan yang semrawut. Ada rasa rindu yang menyeruak di
hatinya ketika melihat pedang Melati. Masalahnya, sudah cukup lama dia tidak
bertemu kekasihnya itu.
Namun, di samping rasa rindu,
ada pula rasa cemas yang melanda. Mengingat, Melati sekarang tengah berada
dalam bahaya besar.
"Hm..., bagaimana kalau
sekarang juga kita satroni sarang mereka, Ki?"
"Sebuah usul yang amat
baik, Arya," sambut Palungga, cepat. "Ayo, Mawar. Kita serbu sarang
Gerombolan Singa Gurun. Barangkali saja, ibu dan saudara angkatmu masih bisa
diselamatkan!"
Gadis berpakaian merah itu
menganggukkan kepala.
"Silakan, Ki," ucap
Arya pada Palungga, karena memang kakek itulah yang tahu jalan menuju ke sarang
Gerombolan Singa Gurun.
Tanpa berkata apa-apa,
Palungga segera melesat lebih dulu, disusul oleh Mawar dan Arya. Tentu saja
kakek berpakaian putih itu hanya mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan
tubuhnya, karena tidak mungkin Mawar dibiarkan tertinggal.
Sesaat kemudian, Palungga,
Arya, dan Mawar telah berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Ada dua hal yang
membuatku merasa heran, Ki," kata Arya di sela-sela langkah kakinya.
Suaranya terdengar biasa saja. Tidak terdengar tersengal-sengal seperti lainnya
orang yang tengah berlari.
"Apa itu, Arya?"
tanya Palungga tanpa mengalih-kan wajah. Langkah kakinya pun tidak dihentikan.
"Pertama, mengapa
Gerombolan Singa Gurun menculik seluruh penduduk setiap kali menyerbu sebuah
desa?" ujar Arya.
"Sayang sekali, aku juga
tidak tahu Arya," jawab Palungga bernada penyesalan. "Lalu yang
lainnya?"
Arya tidak langsung menyahut
dengan sebuah pertanyaan lagi. Sementara kakinya terus melangkah beberapa saat.
Sedangkan Mawar yang berada di sebelahnya diam membisu, tapi telinganya
terpasang tajam. Memang, dia pun ingin tahu hal-hal yang ditanyakan Dewa Arak.
"Mengapa kau tidak
menyerbu Gerombolan Singa Gurun sejak dulu, Ki. Maaf, kalau pertanyaan ini
menyinggung hatimu."
"Sama sekali aku tidak
tersinggung, Arya. Hanya saja yang perlu kau ketahui, aku pun baru mengetahui
sarang gerombolan itu dari salah seorang anggotanya yang tidak kuat menahan
siksaanku, dan tidak sempat bunuh diri karena keburu kucegah" jelas
Palungga.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. Sama sekali tidak disangka kalau kakek berpakaian
putih itu pun baru mengetahui sarang Gerombolan Singa Gurun pula.
Suasana pun menjadi hening
ketika Palungga menghentikan ucapannya. Apalagi, Arya tidak mengajukan
pertanyaan lagi. Kini yang terdengar hanyalah suara langkah kaki menyibak
semak-semak dan rerumputan.
***
"Itu pintu masuk sarang
mereka, Arya," jelas Palungga.
Sambil berkata demikian, kakek
berpakaian putih itu menudingkan jari telunjuknya ke arah sebatang pohon besar
yang bagian tengahnya ada lubang, mirip pintu.
Batang pohon itu memang besar
sekali. Paling tidak, diperlukan enam pelukan tangan orang dewasa untuk
mengukur keliling pohon itu. Sedangkan garis tengah lubang yang mirip pintu itu
hampir setengah tombak. Sedangkan tingginya, tak kurang dari satu tombak.
Bagian atasnya, berbentuk setengah lingkaran.
Arya dan Mawar diam-diam
memuji kecerdikan Gerombolan Singa Gurun. Pintu masuk sarang ini letaknya
demikian tersembunyi, terlindung pohon-pohon tinggi dan semak-semak yang lebat.
Bahkan beberapa kali mereka harus berhadapan dengan aneka macam jebakan. Kalau
saja bukan Dewa Arak dan Palungga, mungkin akan mengalami kerepotan yang tidak
sedikit. Mawar pun berhasil selamat dari berbagai jebakan berkat adanya Dewa
Arak dan ayahnya di sampingnya.
Palungga, Arya, dan Mawar
tidak berani bersikap main-main lagi. Sekujur urat syaraf dan otot mereka
menegang penuh kewaspadaan. Jebakan demi jebakan yang sejak tadi bertubi-tubi
menghadang, membuat mereka tidak berani bertindak gegabah.
Dengan langkah hati-hati,
Palungga mendekati pohon yang mempunyai lubang di tengahnya itu. Setindak demi
setindak, kakek berpakaian putih itu melangkah, diikuti Arya dan Mawar di
belakangnya. Sikap mereka tampak waspada penuh.
Mendadak... Blosss!
"Akh...!"
Palungga menjerit tertahan
ketika tahu-tahu kaki kanannya yang menjejak tanah di depan amblas. Tanah
ditumbuhi rumput-rumput pendek itu ternyata lunak! Dan kekagetannya semakin
bertambah ketika terasa ada tarikan kuat pada kakinya.
"Lumpur hidup...,"
desis Palungga, kaget.
Arya yang melihat hal ini tak
kalah kagetnya.
"Diam di situ,
Mawar," kata pemuda berambut putih keperakan itu pada Mawar.
Sambil berkata demikian, Arya
segera melangkah menghampiri Palungga. Maksudnya, hendak menolong kakek
berpakaian putih itu. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, Palungga telah lebih
dulu berhasil membebaskan diri dari cengkeraman lumpur dengan sekali betot.
"Berbahaya sekali,"
desah Palungga. Arya dan Mawar menganggukkan kepala.
Mereka sadar ucapan Palungga
benar. Kalau saja Palungga tidak berhati-hati dan tidak melangkah satu-satu,
tubuhnya sudah terjerumus ke dalam lumpur hidup itu. Apalagi kedua kaki telah
masuk ke dalam lumpur hidup, sudah bisa diperkirakan nasib yang akan menimpa.
Betapapun tinggi kepandaian seseorang, rasanya amat sulit menyelamatkan diri
dari tempat itu. "Lalu, bagaimana kita bisa masuk ke sana, Ayah?"
tanya Mawar, bingung.
"Kurasa, tetap melalui
tempat ini, Mawar," Arya yang menyahuti. "Hanya saja, kita perlu
mengetahui tempat-tempat yang aman."
Pemuda berambut putih
keperakan ini lalu mengedarkan pandangan berkeliling. Jelas, ada sesuatu yang
tengah dicarinya. Palungga dan Mawar tidak tahu tindakan Dewa Arak selanjutnya.
Dan mereka hanya bisa membiarkannya saja.
Setelah mengedarkan pandangan
beberapa saat lamanya, Arya berjalan meninggalkan Palungga dan Mawar. Ayah dan
anak itu hanya bisa menatap arah yang dituju Arya. Mereka juga ingin tahu, apa
yang akan dilakukan Arya.
Mawar mengerutkan alisnya yang
berbentuk indah ketika melihat Arya memunguti beberapa buah batu sebesar
kepalan. Gadis itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan Dewa Arak. Matanya
kemudian melirik ayahnya. Maka kontan kerutan alisnya semakin bertambah ketika
melihat kakek berpakaian putih itu mengangguk-anggukkan kepala disertai sorot
mata kagum.
"Apa yang akan
dilakukannya dengan batu-batu itu, Ayah?" Mawar tak tahan lagi memendam
rasa ingin tahunya.
Palungga menolehkan kepala.
"Perhatikan saja tindakannya, Mawar, Kalau tidak melihat sendiri, aku
tidak akan percaya. Dalam usia semuda ini, wawasannya sudah demikian luas.
Jelas, dia telah banyak mendapatkan pengalaman yang berharga dalam
perantauannya."
Mawar tidak bertanya lagi.
Terpaksa rasa ingin tahu yang menggelegak ditahannya. Diperhatikannya semua
tindakan Dewa Arak Dan kini, tampak Arya menghampiri tempat mereka kembali.
"Mudah-mudahan saja,
batu-batu ini dapat membantu kita masuk ke sarang Gerombolan Singa Gurun,"
kata Arya.
Dewa Arak lalu melemparkan
batu itu ke atas.
Siuuut! Plukkk!
Setelah melayang ke atas
beberapa saat lamanya, batu sebesar kepalan itu jatuh di hamparan tanah yang
berumput pendek. Maka, batu itu langsung amblas ke dalam tanah sampai
setengahnya lebih. Perlahan-lahan batu itu semakin tenggelam sampai akhirnya
lenyap.
Sekarang Mawar baru mengerti
kegunaan batu-batu yang diambil Dewa Arak. Kepalanya jadi terangguk-angguk
sambil menatap Arya penuh kagum.
Sementara itu, orang yang
dikagumi Mawar sama sekali tidak tahu-menahu. Dia tengah sibuk melakukan hal
yang serupa ke arah kanan dan kiri tempat itu. Kakinya melangkah ke kanan
sejauh lima tombak, dan lima tombak pula ke kiri. Kemudian dia melakukan
usahanya kembali, tapi hasilnya sama saja.
Arya kembali ke tempat semula.
Kemudian, hal yang sama dilakukannya kembali. Tapi kali ini batu-batu itu
dijatuhkan di tempat yang lebih jauh dari tempat semula.
Tukkk!
Batu itu ternyata tidak
mengalami nasib seperti tiga sebelumnya. Jelas, tempat mendarat benda itu bukan
lumpur hidup.
Melihat hal ini, Arya
tersenyum lebar. Demikian pula Palungga dan Mawar. Mereka tahu, tempat
mendaratnya batu yang keempat adalah tempat yang aman.
"Dugaanmu tidak salah,
Arya. Jalan masuk ke sarang Gerombolan Singa Gurun tetap dari tempat ini.
Daerah lumpur hidup ini tidak begitu luas, dan hanya panjang ke samping saja.
Sedangkan ke depan, tak lebih dari tiga tombak!" Palungga membuka suara.
Arya menganggukkan kepala
pertanda membenarkan ucapan kakek berpakaian putih itu.
"Silakan, Ki."
Palungga menganggukkan kepala,
kemudian menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke atas
melompati daerah lumpur hidup.
Tapi...
Sing, sing, sing...! Siut,
siut, siut…!
Belasan senjata
yang terdiri dari pedang, golok,
tombak, pisau, dan benda bulat sebesar telur
bebek meluncur ke arah tubuh
Palungga yang tengah melayang. Untungnya,
Palungga sudah menduga kejadian seperti itu. Tanpa ragu-ragu lagi, segera tangannya dimasukkan
ke balik baju. Dan
ketika dikeluarkan
kembali, tangannya telah
menggenggam
sebatang pedang di sana.
Dan secepat pedang itu
tergenggam, secepat itu pula dikibaskan ke arah beraneka ragam senjata yang
meluncur ke arahnya.
Trang, trang, trang...!
Bunga-bunga api berpercikan ke
sana kemari ketika pedang di tangan Palungga berbenturan dengan beraneka ragam
senjata yang meluncur ke arahnya. Meskipun demikian, tidak satu pun benda-benda
bulat sebesar telur bebek yang dipapaknya. Rupanya, Palungga telah mengetahui
keistimewaan benda-benda bulat itu sehingga tidak mau sembarangan memapaknya.
Hebatnya, begitu pedang di
tangannya membentur senjata-senjata yang meluncur ke arahnya, tenaga benturan
itu dipergunakan untuk melompat ke atas. Hasilnya, luncuran benda-benda bulat
itu lewat di bawah kakinya.
Jliggg!
Begitu kaki Palungga mendarat
di tanah seberang daerah lumpur hidup, bermunculan belasan orang berompi
coklat. Di tangan mereka tampak tergenggam beraneka ragam senjata. Tampak
laki-laki pendek kekar yang telah menawan Melati ada di antara mereka.
Palungga tidak bertindak
setengahsetengah lagi. Segera serangan-serangan anggota Gerombolan Singa Gurun
disambutnya.
Trang, trang, trang...!
Untuk kedua kalinya,
bunga-bunga api berpercikan ketika senjata-senjata itu berbenturan disertai
suara berdentang nyaring.
Pekik-pekik kesakitan kontan
terdengar dari mulut-mulut anggota Gerombolan Singa Gurun begitu senjata mereka
berbenturan dengan senjata Palungga. Bahkan tangan-tangan mereka terasa lumpuh.
Tanpa dapat dicegah lagi, senjata-senjata yang tergenggam pun terlepas dari
pegangan. Jelas, Palungga telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam
tangkisan itu. Akibatnya, anggota Gerombolan Singa Gurun tidak mampu bertahan.
Dan di saat tubuh mereka tengah terhuyung-huyung itu, Palungga kembali
membabatkan pedangnya. Dan....
Crasss!
Lolong kematian terdengar
berkalikali begitu ujung pedang Palungga merobek perut beberapa anggota
Gerombolan Singa Gurun. Seketika itu pula, darah segar menyembur dari perut
yang terobek lebar. Sesaat lamanya anggota-anggota Gerombolan Singa Gurun itu
berdiri dengan kedua kaki menggigil, menjelang ajal. Baru kemudian, mereka
roboh di tanah dan diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Tahu-tahu, beberapa sosok tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun
telah bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Karuan saja hal ini membuat sisa
anggota Gerombolan Singa Gurun terkejut bukan kepalang, termasuk laki-laki yang
bertubuh pendek kekar.
Keterkejutan hati laki-laki
pendek kekar semakin bertambah ketika melihat Arya dan Mawar pun telah berhasil
menyeberangi daerah lumpur hidup. Apalagi, ketika Mawar dan Arya pun ikut
terjun dalam kancah pertarungan.
Maka, pertarungan yang
berlangsung semakin tidak berimbang. Anggota Gerombolan Singa Gurun yang kini
berjumlah sekitar sembilan orang sama sekali bukan tandingan Palungga, Arya,
dan Mawar. Jeritan-jeritan kematian pun kembali terdengar saling susul.
Tubuh-tubuh anggota Gerombolan
Singa Gurun berjatuhan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Nasib mereka
tampaknya sial, karena lawan-lawan yang dihadapi sama sekali tidak berminat
memberi ampun. Palungga maupun Mawar enak saja menewaskan mereka satu persatu.
Dewa Arak pun, walau dengan hati berat, memutuskan untuk membinasakan
lawanlawannya. Ketentraman penduduklah yang menjadi pertimbangannya.
Hanya dalam beberapa gebrakan,
sudah tidak ada lagi anggota Gerombolan Singa Gurun yang berdiri tegak.
Semuanya telah bergeletakan di tanah, dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Palungga, Arya, dan Mawar sama
sekali tidak mempedulikan keadaan lawan-lawan lagi. Cepat ketiganya melesat ke
arah pohon yang mempunyai rongga di tengahtengahnya.
Hanya beberapa kali lesatan
saja, tubuh Dewa Arak, Palungga, dan Mawar telah berada di pintu masuk sarang
Gerombolan Singa Gurun. 8
Dengan kewaspadaan yang
semakin dilipatgandakan, Dewa Arak dan Palungga melangkah melewati ambang
pintu. Suasana tampak remang-remang, karena di pinggir kiri kanannya terpancang
sebatang obor. Memang, begitu memasuki pintu di batang pohon itu, mereka harus
menuruni tangga yang langsung berhubungan dengan ruang bawah tanah.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar
sempat mengernyitkan dahi ketika melihat dinding di kanan kiri yang tidak
melengkung seperti sebuah goa, tapi datar seperti dinding rumah umumnya.
Dewa Arak, Palungga, dan Mawar
kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, Dewa Arak yang berada di depan. Mawar
di tengah, dan Palungga berjalan paling belakang.
Seperti juga sebelumnya,
ketiga orang ini bersikap penuh waspada. Mereka khawatir akan adanya
jebakan-jebakan lainnya. Tapi sampai beberapa kali melangkah mereka tidak
mendapatkan adanya jebakan lagi. Tak lama kemudian, Dewa Arak menghentikan
langkah. Mau tidak mau, Mawar dan Palungga pun berhenti pula.
"Mengapa berhenti,
Arya?" tanya Palungga, berbisik.
"Jalan kita harus menurun
kembali," jelas Arya.
Palungga pun diam tidak
bertanya lagi. Sedangkan Arya mulai menuruni anak tangga setelah memberi
jawaban. Satu demi satu dan berhati-hati, kakinya melangkah menuruni anak-anak
tangga itu.
Tak lama kemudian, tidak ada
lagi anak tangga yang harus dituruni. Di hadapan Dewa Arak, kini membentang
dinding. Tidak ada jalan lain lagi, kecuali di sebelah kanan dan kirinya.
Arya tercenung. Sama sekali
tidak dikira kalau jalan ini terpecah menjadi dua. Jalan mana yang hams
dipilih?
Sesaat kemudian, Mawar dan
Palungga riba pula di anak tangga terakhir. Seperti juga Dewa Arak, Palungga
pun kebingungan sebentar.
"Begini saja, Arya. Lebih
baik, kita berpencar. Kau pilihlah satu jalan. Biar aku memilih yang
lainnya," usul Palungga yang bisa menebak perasaan yang berkecamuk di hati
Arya.
"Usul yang baik,
Ki," sambut Arya, gembira.
"Lalu aku bagaimana,
Ayah?" tanya Mawar, agak bingung
"Kau ikut aku,
Mawar," jawab Palungga, cepat "Nah! Sekarang, pilihlah satu jalan,
Arya. Biar aku memilih yang lainnya." Arya tercenung sejenak.
"Kupilih jalan yang
sebelah kanan, Ki," kata Arya.
"Kalau begitu, kupilih
jalan yang sebelah kiri," sambut Palungga, cepat
Kakek berpakaian putih ini lalu
melangkah menempuh jalan sebelah kiri. Mawar mengikut di belakangnya.
Sementara, Dewa Arak menempuh jalan sebelah kanan.
Meskipun sejak tadi tidak
menemukan jebakan, Dewa Arak tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya. Sepasang
mata, kaki, dan sekujur urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.
Arya diam-diam merasa bingung
juga melihat keadaan di bagian dalam ruangan ini Luar biasa! Tak ubahnya sebuah
bangunan besar.
Entah, telah berapa jauh
kakinya melangkah, jalan yang dipilih Dewa Arak membelok ke kiri. Karena memang
tidak ada jalan lain, pemuda berambut putih keperakan itu pun membelok,
kemudian terus melangkah. Dan baru beberapa tindak, Dewa Arak melihat pintu
sebuah ruangan. Atau tepatnya, pintu sebuah penjara.
Jantung Arya berdebar tegang
melihat hal ini. Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya bergegas melangkah
ke arah sana. Tapi hal itu segera ditahan, karena teringat akan jebakan demi
jebakan yang menghampar di sepanjang perjalanan.
Beberapa langkah kemudian,
Dewa Arak telah berada di depan pintu yang ternyata lebih tepat disebut sebagai
terali besi. Seketika, sepasang matanya terbelalak. Betapa tidak? Di dalam
ruangan yang berukuran tak kurang dari enam kali lima tombak itu berdiri
belasan sosok tubuh. Menilik dari pakaiannya, bisa diketahui kalau sebagian
besar dari mereka adalah penduduk desa.
Bukan hanya Arya yang
terkejut, tapi juga orang-orang yang berada dalam kurungan. Tapi sebelum mereka
sempat mengeluarkan suara gaduh, pemuda berambut putih keperakan ini telah
lebih dulu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat agar
tidak berisik.
Beruntung! Mereka rupanya
mengerti isyarat yang diberikan Arya. Buktinya tidak ada-seorang pun yang
membuka suara. Kepala-kepala mereka terangguk pelan. Padahal, di dalam ruangan
itu tidak hanya orang dewasa saja. Anak kecil dan orangorang tua pun ada pula
di sana.
Setelah yakin kalau
orang-orang yang berada di dalam kurungan itu tidak akan menimbulkan kegaduhan,
Dewa Arak segera melangkah meninggalkan tempat itu. Diputuskannya untuk
melihat-lihat sekitar tempat ini, sebelum memutuskan untuk menolong para
tahanan itu.
Baru lima tindak melangkah,
Dewa Arak mendengar suara tawa bergelak.
"Hi hi hik...! Tak lama
lagi aku akan keluar dari tempat ini dan menjagoi dunia persilatan! Kalian
tahu, mengapa? Karena ilmu 'Jari Darah Beracun' milikku telah hampir sempurna.
Kalian mendapat untung, karena bisa merasakan sendiri kedahsyatannya. Kalian
mati terhormat! Tidak seperti yang lain yang mati seperti hewan! Kalian tahu
mengapa?! Karena mereka mati disembelih!"
Arya mengernyitkan dahi.
"Ilmu 'Jari Darah Beracun'? Ilmu macam apa itu?" tanya Dewa Arak
dalam hati.
Tanpa meninggalkan
kewaspadaan, Dewa Arak mendekati asal suara. Hati-hati sekali kakinya
melangkah. Jelas, kedatangannya tidak ingin diketahui lawan.
Ternyata, suara itu berasal
dari ruangan yang mempunyai bentuk sama dengan sebelumnya. Hanya saja, letaknya
agak berjauhan. Arya pun mengintai dengan menyembulkan sedikit kepala di balik
terali besi.
Sebuah keuntungan bagi Arya,
pemilik suara tawa itu berdiri membelakangi terali besi. Namun kerugian-nya,
Arya tidak bisa melihat jelas wajahnya. Tapi menilik dari potongan tubuh dan
suaranya, bisa diperkirakan kalau pemilik suara itu seorang wanita. Tubuhnya
tampak kurus kering, terbungkus pakaian berupa rompi berwarna coklat. Sehingga,
kulit tubuhnya yang penuh keriput di sana-sini terlihat. Tampaknya, sosok tubuh
itu adalah seorang nenek.
Yang terlihat Dewa Arak adalah
orangorang yang diajak bicara oleh nenek berompi coklat. Mereka berjumlah tiga
orang, dan dalam keadaan terbelenggu. Rantai baja yang dihubungkan ke dinding
membuat tubuh mereka terikat secara terentang.
"Sebelum menerima
kehormatan mencicipi kedahsyatan ilmu 'Jari Darah Beracun', kalian
kuperkenankan menyebutkan nama. Ini merupakan kehormatan besar bagi kalian!
Tentu saja, kalau kalian tidak takut menyebut nama!"
"Kami bukan
pengecut-pengecut yang takut mati, Keparat! Namaku Tiraga?" sahut
laki-laki berpakaian putih berusia empat puluhan. Raut wajahnya menyiratkan
kewibawaan.
"Dan aku, Wagul,"
sambung laki-laki kekar berkumis melintang dan berpakaian hitam.
"Aku Gulata,"
laki-laki yang satunya lagi tak mau ketinggalan.
"Ha ha ha...! Bagus!
Bagus...!" kata nenek berompi coklat itu penuh kegembiraan ketika
mendengar tiga orang itu menyebut namanya masing-masing. Tanggapan nenek
berompi coklat berbeda dengan Dewa Arak yang kaget bukan kepalang. Namun ada
juga rasa gembira dalam hati Dewa Arak. Dan hal ini terjadi ketika mendengar
laki-laki terakhir menyebut namanya. Gulata! Dialah orang yang tengah
dicarinya! Sama sekali tidak disangka akan semudah itu berhasil menemukan orang
yang tengah dicarinya.
Tapi, Dewa Arak tidak bisa
terlalu lama tenggelam dalam alunan kekagetannya. Karena, nenek berompi coklat
itu kini telah kembali membuka suara.
"Kini terimalah
penghormatan yang kuberikan."
Usai berkata demikian, nenek
berompi coklat itu menjulurkan tangannya ke arah Tariga yang tak lain Kepala
Desa Watu.
Tappp!
Keempat jari tangan kanan yang
tahutahu berwarna merah membara ditempelkan oleh nenek itu pada dada Ki Tariga.
Arya yang sama sekali belum menduga hal yang akan terjadi, tidak sempat berbuat
apa pun. Yang dapat dilakukannya hanya menatap, untuk mengetahui kelanjutan
akibat tempelan tangan nenek berompi coklat itu.
"Aaa...!"
Sepasang mata Dewa Arak,
Wagul, dan Gulata terbelalak ketika melihat bagian dada yang tersentuh tangan
nenek berompi coklat. Pakaian itu kontan hangus terbakar, bertanda empat jari.
Dan yang lebih mengerikan, kulit yang berada di baliknya ikut hangus terbakar.
Kulit dada Ki Tariga mula-mula
berwarna merah bertanda empat jari tangan. Kemudian, tanda itu berubah warna
menjadi hitam seperti hangus, disertai kepulan asap dan suara mendesis seperti
besi panas direndam dalam air es.
Kejadian yang mengerikan itu
ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Noda berwarna hitam itu
menyebar cepat ke seluruh bagian tubuh Ki Tariga. Lalu, kulit tubuh itu mulai
mencair.
Ki Tariga melolong-lolong
kesakitan dijemput ajal.
"Hi hi hik...!"
Nenek berompi coklat itu
tertawa bergelak-gelak melihat kejadian di hadapannya. Tarikan wajahnya yang
tidak terlihat oleh Arya, tampak menyiratkan kegembiraan yang amat sangat.
Jerit kesakitan itu, bagi nenek berompi coklat tak ubahnya nyanyian bidadari.
"Sekarang giliranmu,"
kata nenek berompi coklat itu sambil menoleh ke arah Wagul. Tak dipedulikannya
lagi Ki Tariga yang tengah melolong-lolong sambil menggeliat-geliat ke sana
kemari menerima siksaan.
Nenek berompi coklat itu mulai
menjulurkan tangannya ke arah Wagul. Melihat hal ini, guru silat Desa Watu itu
kontan pucat wajahnya. Raut kengerian tampak jelas pada wajahnya. Kejadian yang
dialami Ki Tariga itulah yang menimbulkan kengerian di hatinya.
Tapi sebelum tangan nenek
berompi coklat itu menyentuhnya.
"Manusia biadab!
Hentikan...!" Brakkk!
Terali besi yang memisahkan
ruangan penyiksaan dengan Dewa Arak hancur berantakan, ketika pendekar muda
yang menggemparkan itu menghajarnya.
***
Nenek berompi coklat itu
terkejut bukan kepalang mendengar teriakan Arya. Apalagi ketika juga mendengar
terali besi kurungannya hancur berantakan. Cepat laksana kilat, tubuhnya
berbalik.
"Siapa kau?!" bentak
nenek berompi coklat itu keras bernada kemarahan.
"Namaku Arya! Dan
kedatanganku untuk menghentikan semua kekejianmu!" lantang dan mantap
sambutan Dewa Arak. Bahkan terkesan adanya kemarahan dalam ucapannya.
"Keparat! Kau hanya
mencari mati saja! Mampuslah kau! Hih!"
Nenek berompi coklat yang
ternyata berwajah persegi, melancarkan serangan. Jari telunjuk dan jari tengah kedua
tangannya, diluruskan. Sedangkan jarijari lainnya ditekuk. Dan dengan keadaan
jari-jari tangan seperti itu, dilancarkannya tusukan-tusukan bertubitubi ke
arah dada Arya.
Dewa Arak tidak berani
bertindak gegabah terhadap serangan nenek bertubuh kurus kering itu. Apalagi
ketika sekujur tangan lawannya tampak merah membara seperti besi terbakar. Dari
ucapannya bisa diketahuinya kalau lawannya ini telah menggunakan ilmu 'Jari
Darah Beracun'.
Dewa Arak segera melompat jauh
ke belakang. Disadari kalau serangan lawan mengandung racun yang mematikan.
Asap yang keluar dari tangan nenek bertubuh kurus kering dan sempat tercium
hidungnya, membuat kepalanya pusing.
Itulah sebabnya, sambil
melompat ke belakang dan dalam keadaan berada di udara, Dewa Arak mengambil
guci araknya. Lalu, isinya dituangkan ke mulut
Gluk... gluk... gluk....
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak.
Jliggg!
Bertepatan dengan kedua kaki
Dewa Arak menginjak tanah, tubuhnya pun langsung oleng. Jelas, pemuda
berpakaian ungu ini telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Nenek bertubuh kurus kering
yang tengah dilanda kemarahan hebat itu sama sekali tidak memberi kesempatan
bagi Dewa Arak. Begitu serangannya berhasil dielakkan, serangan lanjutannya
segera dikirimkan.
Tapi, kali ini Dewa Arak telah
menggunakan ilmu andalannya. Dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', asap
beracun dari ilmu 'Jari Darah Beracun' seperti kehilangan keampuhannya. Bahkan
enak saja Dewa Arak menghisap asap beracun itu tanpa terkena pengaruh sedikit
pun.
Nenek bertubuh kurus kering
menggerutkan gigi karena geram ketika melihat asap beracunnya sama sekali tidak
menimbulkan pengaruh sedikit pun pada lawan. Dan sebagai akibatnya,
seranganserangan yang dilancarkannya semakin menjadi-jadi. Jari-jari kedua
tangannya meluncur ke sana kemari mencari sasaran di sekujur tubuh Dewa Arak.
Dapat dibayangkan, betapa
geramnya hati nenek bertubuh kurus kering ketika melihat semua serangannya
berhasil dikandaskan Dewa Arak. Padahal, lawannya seperti orang mabuk dalam
mengelakkan setiap serangannya. Gerakan-gerakannya Dewa Arak hampir-hampir
tidak masuk akal. Terkadang seperti orang akan jatuh, dan tak jarang malah
seperti menyambut tibanya serangan. Tapi anehnya dengan gerakan-gerakan seperti
itu, seranganserangan yang dilancarkan nenek itu malah tidak mengenai sasaran.
Tak terasa, tiga puluh lima
jurus telah berlalu. Dan selama itu Dewa Arak tidak berani membenturkan
tangannya dengan tangan lawannya. Jadi, dia hanya mengelak dengan menggunakan
jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sesekali, dilancarkannya serangan dengan
jurus 'Belalang Mabuk'nya. Tapi itu langsung dibatalkan ketika lawan tampak
akan menangkisnya. Tidak heran bila dalam pandangan Wagul dan Gulata, Dewa Arak
tampak terdesak.
Kedua orang warga Desa Watu
itu sama sekali tidak tahu kalau Dewa Arak sama sekali tidak terdesak.
Sebaliknya, pemuda berambut putih keperakan itu sebenarnya tengah menunggu saat
yang tepat untuk merobohkan lawan.
Nenek bertubuh kurus kering
itu semakin bertambah geram ketika melihat Dewa Arak berkali-kali malah
menenggak araknya. Padahal, pertarungan tengah berlangsung sengit. Hal yang
dilakukan Dewa Arak dianggap memandang rendah dirinya. Sama sekali tidak
diketahuinya kalau hal itu wajar-wajar saja dilakukan Dewa Arak.
Menginjak jurus kedelapan
puluh tiga, Dewa Arak memberanikan diri untuk menangkis langsung serangan
lawan.
Prattt!
Seketika itu pula, tubuh nenek
bertubuh kurus kering terhuyung-huyung empat langkah ke belakang. Sedangkan
Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah.
Dalam keadaan terhuyung-huyung
itu, Dewa Arak dan nenek bertubuh kurus kering menyempatkan diri melihat ke
satu sasaran, tangan Arya. Ternyata tangan Dewa Arak yang berbenturan langsung
tadi sama sekali tidak apa-apa! Hanya baju di bagian pergelangannya saja yang
hancur berkeping-keping.
"Hhh...!
Dewa Arak menghela napas lega
melihat keadaan tangannya. Sedangkan nenek bertubuh kurus kering malah terkejut
bercampur geram. Sama sekali tidak pernah dibayangkan kalau ilmu 'Jari Darah
Beracun' nya tidak menimbulkan akibat seperti yang diharapkannya. Ataukah ilmu
itu telah kehilangan kegunaannya? Ataukah..., lawan yang dihadapinya bukan
manusia?
Nenek bertubuh kurus kering
sama sekali tidak tahu, Dewa Arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', jelas
akan jadi kebal terhadap segala macam racun. Setelah yakin tidak terjadi
sesuatu atas dirinya, Dewa Arak meluruk menerjang nenek bertubuh kurus kering
kembali, maka pertarungan sengit pun kembali terjadi.
Kali ini, pertarungan yang
terjadi berlangsung lebih sengit karena Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi
melancarkan serangan balasan dan memapak serangan.
Nenek bertubuh kurus kering
mengeluh dalam hati. Kini setelah Dewa Arak melancarkan serangan balasan, baru
terasa akibatnya. Setiap serangan-serangan Dewa Arak mengandung tekanan-tekanan
berat. Hingga tak sampai dua puluh lima jurus, nenek itu sudah terdesak hebat.
"Haaat...!"
Di jurus keseratus tiga puluh,
Dewa Arak melakukan sapuan kaki kanan ke arah nenek bertubuh kering. Tapi, serangannya
berhasil dielakkan nenek itu dengan melompat ke atas.
Tapi sungguh di luar dugaan,
mendadak Dewa Arak mengayunkan gucinya. Dan....
Bukkk! "Akh!"
Nenek bertubuh kurus kering
memekik tertahan ketika guci Dewa Arak menghantam pinggangnya. Beruntung,
tenaga dalamnya sempat dikerahkan untuk bertahan. Sehingga, akibatnya tidak
terlalu parah. Hanya rasa sakit saja yang mendera, disertai luncuran tubuhnya
yang terpental ke belakang.
Brukkk!
Nenek bertubuh kurus kering
itu tidak sempat memperbaiki kedudukannya. Tubuhnya langsung terbanting keras
di tanah.
Dewa Arak tidak memberi
kesempatan pada lawannya. Cepat laksana kilat, tubuh yang tergolek di tanah
diburunya. Pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan tendangan terbang ke
arah dada nenek bertubuh kurus kering. Dan....
Bukkk! "Huakh. !"
Nenek bertubuh kurus kering
kontan memuntahkan darah segar dari mulutnya, seiring terdengarnya suara
berderak keras tulang yang patah begitu tendangan Dewa Arak mengenai sasaran.
Sesaat tubuh nenek berompi coklat ini menggelepar, sebelum akhirnya diam tidak
bergerak lagi.
Dewa Arak memperhatikan wajah
lawannya sejenak, lalu perhatiannya beralih ke arah Wagul dan Gulata. Kontan
wajahnya memucat ketika melihat kedua orang warga Desa Watu itu terkulai dalam
belenggunya. Keadaan mereka menimbulkan kekhawatiran di hati Dewa Arak.
Semula Dewa Arak kebingungan.
Tapi sesaat kemudian, telah diketahui hal yang menjadi menyebab Wagul dan
Gulata terkulai. Pasti asap yang keluar dari penggunaan ilmu 'Jari Darah
Beracun' yang menjadi penyebabnya.
Dugaan itu membuat Dewa Arak
melesat menghampiri tubuh dua warga Dewa Watu itu. Hanya sekali hentak,
rantai-rantai baja yang membelenggu tubuh mereka telah berhasil diputuskan. Dan
tanpa membuangbuang waktu lagi, tubuh-tubuh itu dibawa keluar.
Sesampainya di luar, tubuh
Wagul dan Gulata segera diperiksa. Tercekat hati Dewa Arak ketika ternyata
Wagul telah tewas. Ajaibnya, Gulata malah belum tewas. Dengan segala macam
cara, nyawa Gulata berusaha diselamatkan.
"Uuuhhh...!"
Keluhan perlahan dari Gulata
membuat Arya menghentikan usaha pertolongannya.
"Ahhh...! Terima kasih
atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Gulata ketika telah sadar sepenuhnya.
Dia tahu, tentang Dewa Arak memang dari Wagul.
"Lupakanlah," sahut
Arya buru-buru. "Sekarang yang penting, bebaskan semua teman-temanmu. Dan
jangan lupa, temui istrimu. Dia menunggumu di rumah kerabatnya di dalam hutan.
Kau tahu?!"
Dengan agak lemah, Gulata
menganggukkan kepala. Tapi Arya sama sekali tidak melihatnya. Pemuda berambut
putih keperakan itu telah melesat cepat dari situ. Dia bermaksud menyusul
Palungga dan Mawar. Apalagi jalan yang ditempuhnya saat ini sudah tidak
mempunyai tembusan lagi.
Tapi baru beberapa kali
lesatan, di depan sana tampak empat sosok tubuh tengah menuju ke arahnya. Dan
semuanya dikenalinya betul. Mereka adalah Mawar, Palungga, Karina, dan Melati!
"Kang Arya...!"
Melati yang juga melihat
kedatangan Arya, segera berseru keras sambil berlari cepat mendekati. Kedua
tangannya terkembang.
Sedangkan Arya juga mengembangkan
tangannya, menunggu kedatangan tunangannya. Sesaat kemudian, tubuh sepasang
pendekar muda itu telah berpelukan erat.
"Kau tidak apa-apa,
Melati?" tanya Arya tanpa melepaskan pelukannya.
"Tidak, Kang. Nyi Kati
menempatkan kami dalam sel yang terpisah dengan orang lain. Dia bermaksud
menyembelih kami di saat bulan purnama nanti. Kau sudah menjumpainya,
Kang?!"
"Maksudmu..., nenek tua
bertubuh kurus kering yang menguasai tempat itu?" tanya Dewa Arak
menegaskan.
"Benar! Dia adalah tokoh
sesat pemimpin gerombolan yang menamakan diri Gerombolan Singa Gurun, yang
selama ini kucari-cari. Nenek itu memang tengah menuntut suatu ilmu sesat,
untuk menguasai rimba persilatan! Dan untuk menuntut ilmu itu, diperlukan darah
manusia agar sempurna. Itulah sebabnya, agar tidak terganggu, dia sengaja
menyembunyikan diri di tempat ini. Bahkan merahasiakan pimpinan gerombolannya,
yang padahal dia sendiri yang jadi pimpinannya," jelas Melati, yang
rupanya telah berhasil mendapat keterangan tentang Gerombolan Singa Gurun.
"Lalu, apa maksudnya
ingin menguasai rimba persilatan?" desak Dewa Arak.
"Waktu aku tertangkap,
dia mengatakan kalau suaminya tewas di tangan seorang penduduk. Sejak itu, dia
dendam pada tokoh golongan putih, dan berusaha memperdalam ilmu-ilmu hitam.
Hingga akhirnya, dia berhasil menguasai Gerombolan Singa Gurun, dan mengangkat
diri menjadi pemimpin. Karena merasa belum puas dengan ilmunya, maka dia
kembali memperdalam ilmu sesat yang lebih dahsyat, dengan tumbal darah
penduduk." tutur Melati lagi.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti. Kini rasa penasarannya cair sudah. Ilmu sesat itu
memang dahsyat. Pantas, tubuh Ki Tariga bisa seperti mencair dengan hanya
sekali sentuhan Nyi Kati.
Sementara itu, Melati sudah
membenamkan wajahnya di dada Dewa Arak yang bidang. Palungga, Karina, dan Mawar
tersenyum gembira melihat pertemuan sepasang pendekar muda yang sama-sama sakti
itu.
SELESAI