Eps 21 - Dendam Tokoh Buangan
Burung-burung berkicau riang
menyambut datangnya pagi. Angin yang berhembus terasa segar di dada, dan nikmat
di kulit. Kabut yang masih menyelimuti Gunung Sawang begitu pekat, sehingga
matahari tak kuasa memancarkan sinarnya. Suasana hening dan sunyi menyelimuti
sekitar tempat itu. Tapi mendadak....
"Groaaah...!"
Geraman keras menggelegar
terdengar memecahkan keheningan pagi itu. Geraman itu jelas keluar dari mulut
seorang yang memiliki tenaga dalam amat tinggi. Buktinya, suara itu mampu
menggetarkan suasana di sekitarnya.
Dan sumber suara itu ternyata
dari dalam perut Gunung Sawang. Di dalam sebuah gua luas yang tertutup rapat
oleh batu besar, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun
duduk bersila di tanah. Pergelangan kaki dan tangannya dililit gelang-gelang
baja tebal dan kuat yang disambung oleh rantai-rantai baja panjang yang juga
tebal ke dinding-dinding gua. Menilik dari besarnya, seharusnya gelang-gelang
baja dan rantai itu tidak cocok digunakan pada manusia, tapi untuk membelenggu
seekor gajah besar yang bertenaga kuat.
"Grrrh...!"
Kembali terdengar geraman
keras dari mulut kakek berbaju rompi compang-camping yang sudah tidak jelas
lagi warnanya. Dan suara geraman itu lebih mirip raungan seekor binatang buas
yang terluka.
Seiring berakhirnya geraman,
kakek itu bangkit berdiri. Kemudian kedua tangan dan kakinya yang besar-besar
dan berotot, seperti juga tubuhnya yang tinggi besar berotot, bergerak
mengejang. Jelas kalau kakek Itu bermaksud membebaskan diri dari belenggu.
Suara bergemeretak keras
terdengar ketika dinding gua yang terlihat keras bukan main terbongkar. Sekujur
dinding dan atap gua itu bergetar hebat seiring jebolnya dinding tempat rantai
baja tertanam. Debu berguguran dan mengepul tinggi ketika dinding gua itu
terbongkar.
"Ha ha ha...!"
Kakek tinggi besar itu tertawa
tergelak begitu tubuhnya telah terbebas dari pasungan di dinding gua. Luar
biasa akibat tawa itu! Seluruh ruangan itu bergetar hebat seperti dilanda
gempa. Jelas, tawanya itu didukung oleh pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan
menilik akibat yang ditimbulkan, jelas sekali kalau tingkat kepandaiannya telah
tinggi.
Kakek berompi compang-camping
itu terus saja tertawa-tawa, meskipun akibat tawanya telah disaksikannya sendiri.
Rupanya dia tengah merasa gembira bukan main.
"Ha ha ha...! Gering
Langit..! Kini aku telah bebas! Bebas! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa-tawa,
kakek bertubuh tinggi besar itu memutuskan gelang-gelang baja yang masih
melilit pergelangan tangan dan kakinya.
Luar biasa! Kelihatannya,
kakek itu sama sekali tidak mengerahkan tenaga waktu mencengkeram gelang-gelang
baja yang melilit pergelangannya. Tapi hebatnya, gelang-gelang baja itu
seketika berpatahan. Di hadapannya, gelang-gelang baja yang mampu membelenggu
gajah itu, tak ubahnya sebatang lidi!
Dan memang, bukan hanya tenaga
dalamnya saja yang menggiriskan. Sebenarnya kakek itu adalah tokoh yang
menggiriskan.
Di samping wajahnya yang
mengerikan, tindakannya pun membuat orang bergidik. Selebar wajahnya penuh luka
guratan. Kulit tubuhnya hitam, dan sepasang matanya yang kelihatan berwarna
biru hitam kelam. Jelas, hal ini kian menambah seram penampilannya. Belum lagi
rambutnya yang nampak aneh! Sepertinya, rambut yang dimiliki kakek itu besar-besar.
Apabila didekati, baru jelas kalau beberapa helai rambutnya dirangkum menjadi
satu.
Kakek tinggi besar ini
kemudian menggeliatkan tubuh-nya sejenak. Rupanya otot-otot tubuhnya terasa
kaku. Terdengar suara berkerotokan berkali-kali ketika kakek itu menggeliatkan
tubuhnya.
Setelah dirasa agak lemas, dia
melangkah perlahan menuju mulut gua yang tertutup. Sekitar sepuluh tombak
kemudian, kakek itu telah berdiri di depan pintu gua yang pintunya tertutup
batu besar.
Kakek berwajah penuh luka
guratan itu diam terpaku sejenak di depan lubang gua yang mulutnya ditutup batu
besar dari luar. Lubang gua itu besar sekali dengan garis tengah mencapai dua
tombak. Jadi, betapa saktinya orang yang telah menutup mulut gua itu. Batu itu
memang luar biasa besarnya. Paling tidak, berukuran dua kali kerbau jantan
besar!
Perlahan kakek bertubuh tinggi
besar itu mengepalkan kedua tangannya, memperdengarkan suara berkerotokan keras
seperti tulang-tulang berpatahan. Jelas, kedua tangannya telah dialiri tenaga
dalam yang tidak terkira kuatnya.
Suara berkerotokan keras masih
terus terdengar ketika kakek itu menarik kedua tangannya yang telah mengepal
perlahan-lahan namun penuh kekuatan ke sisi pinggang. Seketika tercipta getaran
kuat ketika kedua tangan itu ditarik ke pinggang. Kakek itu makin memusatkan
pikiran-nya, setelah menahan napas sejenak. Sebentar kemudian, tangan yang
terkepal di pinggang itu dihentak-kan ke depan.
Wusss...!
Angin menderu keras mengiringi
terhentaknya kedua tangan itu. Sebentar kemudian...
Blarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar
begitu angin pukulan yang keluar dari kedua kepalan kakek tinggi besar itu
meng-hantam batu yang menutupi mulut gua hingga hancur ber-keping-keping,
berpentalan tak tentu arah. Bahkan tidak sedikit dari kepingan batu itu yang
menyambar tubuh kakek berompi compang-camping itu. Tapi hal itu tidak
dirasakannya sama sekali. Ini bisa dilihat dari wajah kakek itu yang tidak
menunjukkan gejala apa-apa.
Debu masih mengepul ketika
suara gemuruh akibat ledakan mereda. Kakek berpakaian rompi compang-camping itu
memejamkan matanya, untuk mencegah debu yang menyelusup ke sepasang matanya.
Tak lama kemudian debu mulai
menipis, dan akhirnya lenyap sama sekali. Kini tampaKiah pemandangan luas di
luar gua yang sudah lama tidak dilihat oleh kakek bertubuh tinggi besar itu.
"Ha ha ha...!"
Kakek berwajah penuh gurat
luka itu kembali tertawa tergelak. Sorot kegembiraan terpancar jelas pada wajah
maupun suara tawanya. Seperti orang gila, dia menarik napas dalam-dalam untuk
menikmati udara sejuk pagi hari.
"Segar...! Ahhh...!
Segarnya udara alam bebas...!" desah kakek tinggi besar itu berkali-kali.
"Entah berapa tahun sudah aku tidak pernah menikmati udara segar seperti
ini..."
Namun di atas sana, mendadak
awan tebal berarak menutupi langit. Kicau riang burung pun mendadak tidak
terdengar lagi. Sepertinya, alam langsung berduka. Mungkinkah hal ini karena
terlepasnya kakek berompi compang-camping dari ruangan gua itu.
Kakek berwajah penuh guratan
luka itu sama sekali tidak mempedulikannya. Dia malah lebih suka menarik napas
dalam-dalam, seraya merentang-rentangkan kedua tangan ke samping. Mungkin agar
udara segar yang ter-hirup dapat lebih meresap ke dalam dadanya.
Tak lama kemudian, kakek
bertubuh tinggi besar itu menghentikan kesibukannya. Rupanya, dia telah merasa
cukup menikmati udara luar. Kini pandangannya dialihkan ke arah kaki Gunung
Sawang.
"Ha ha ha!"
Suara tawa keras menggelegar
terdengar ketika kakek bertubuh tinggi besar itu membuka mulutnya Suara itu
berkumandang keras, dipantulkan dinding-dinding gunung sehingga terdengar
menyeramkan.
"Kini tiba saatnya bagi
Ruksamurka untuk membalas sakit hati ini...!" tegas kakek berompi
compang-camping yang ternyata bernama Ruksamurka.
Setelah berkata demikian,
kakek bertubuh tinggi besar itu melangkahkan kakinya. Luar biasa! Hanya sekali
langkah saja, tubuhnya sudah melesat sejauh sebelas tombak. Jelas, ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Ruksamurka begitu tinggi.
Lincah laksana kera, dan gesit
laksana bayangan, Ruksamurka bergerak cepat menuruni lereng gunung. Kedua
kakinya menotok sana-sini dengan enaknya. Tak sedikit pun dia merasa khawatir
kalau kakinya salah pijak. Tindakannya mencerminkan keyakinan kuat pada diri
sendiri. Dan memang, kakek itu sama sekali tidak mengalami gangguan ketika
menuruni lereng. Tak lama kemudian, tubuhnya pun lenyap di balik sebuah
gundukan batu besar.
***
"Ya, Allah...!"
Keluhan keterkejutan terdengar
dari mulut seorang kakek berpakaian putih bersih berusia tak kurang dari tujuh
puluh lima tahun. Seluruh tubuhnya seperti mengeluarkan cahaya. Terutama sekali
wajahnya yang penuh ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot berwarna putih. Dia
tengah duduk bersila di sebuah ruangan dalam sebuah bangunan tua dan megah. Di
tangannya tampak tergenggam seuntai tasbih.
Seiring keluarnya seruan
keterkejutannya, kakek ber-pakaian putih bersih itu langsung bangkit dari duduk
ber-silanya.
"Apakah aku sekarang
telah pikun?"
Desah pelan bernada keluhan
kembali terdengar dari mulut kakek itu. Dahinya nampak berkernyit dalam.
"Mengapa aku bisa
melupakannya? Tapi, mudah-mudahan saja belum terlambat. Kalau tidak, dunia
persilatan akan kembali geger. Darah akan kembali tumpah di mana-mana."
Seiring selesainya ucapan itu,
mendadak tubuh kakek berpakaian putih bersih itu lenyap begitu saja dari
ruangan bangunan megah itu. Dia ternyata mampu manghilang!
Ajaib! Tak sampai sekejap mata
kakek berpakaian putih bersih itu telah berpindah tempat. Dia kini telah berada
di dalam gua tempat Ruksamurka dibelenggu. Kakek itu ter-nyata tidak hanya
mampu menghilang! Bahkan juga mampu pergi ke suatu tempat dalam sekejap! Jelas
ke-pandaiannya sudah sangat tinggi, sehingga membuatnya tidak terlihat oleh
ruang dan waktu! Dia tak ubahnya seperti makhluk halus yang memang mampu pergi
ke manapun dalam sekejap!
"Ya, Allah…!"
Kakek berpakaian putih bersih
itu menatap dinding gua yang terbongkar. Beberapa saat matanya terpaku pada
dinding gua, kemudian beralih ke sekitarnya. Tampak gelang-gelang baja besar
dan tebal yang telah hancur berantakan berserakan di sekitar situ. Begitu juga
rantai baja besar yang putus menjadi beberapa bagian.
Lalu, kakek berpakaian putih
bersih itu melangkahkan kakinya ke luar. Pelan dan lambat-tambat saja
langkahnya. Tak sampai dua puluh langkah, langkahnya berhenti. Pan-dangannya
terruju ke depan, ke arah gua yang tidak mem-punyai penutup lagi.
Kakek berpakaian putih bersih
terpaku di tempat itu, berjarak sekitar dua tombak di depan ambang gua. Tapi di
wajah tuanya sama sekali tidak nampak perasaan apa-apa, tetap saja seperti
semula. Tenang, membawa perbawa tinggi. Sehingga orang lain yang melihatnya
merasa tunduk.
Sesaat kemudian, kakek itu
melangkah melewati pintu gua. Dalam beberapa langkah saja dia telah berada di
luar gua. Di sini, kakek itu memandang berkeliling.
Cukup lama juga kakek
berpakaian putih bersih itu ber-sikap begitu, sebelum akhirnya tubuhnya
mendadak kembali raib! Dia memang memiliki ilmu 'Ringkas Bumi', sehingga mampu
membuatnya bepergian ke manapun dalam sekejap.
***
Suara napas dengan irama
teratur terdengar, me-nambah riuh-rendahnya Hutan Gantang. Suara itu ternyata
berasal dari mulut dan hidung seorang pemuda tampan yang tengah bersemadi.
Pakaiannya ungu, dengan sebuah guci arak dari perak tersampir di punggung.
Melihat ciri-cirinya, tidak
ada yang aneh pada diri pemuda berpakaian ungu itu. Tapi apabila melihat
rambut-nya, pasti akan heran. Sebab rambutnya ternyata berwarna putih, laksana
orang yang telah berusia lanjut. Hanya saja warna rambutnya lebih indah, karena
berwarna putih keperak-perakan. Tampaknya, pas sekali dengan pakaian-nya yang
serba ungu.
Mendadak pemuda berambut putih
keperakan ini meng-hentikan semadinya. Nalurinya membisikkan ada sesuatu di
dekatnya, sekalipun pendengarannya tidak menangkap langkah yang mendekati
tempatnya.
Perlahan sepasang kelopak
matanya terbuka. Lalu, pemuda berambut putih keperakan ini bergerak bangkit
memberi hormat.
"Guru...," sebut
pemuda berambut putih keperakan itu pada sesosok tubuh yang tahu-tahu berdiri
di depannya, dalam jarak sekitar dua tombak.
Sosok tubuh yang berdiri di
hadapan pemuda berambut putih keperakan itu ternyata seorang kakek berpakaian
putih bersih. Menilik panggilannya, jelas kakek ini adalah guru pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Arya...." panggil
kakek berpakaian putih bersih itu. Suaranya terdengar pelan dan lembut.
Kemudian dengan langkah
perlahan-lahan, kakek itu melangkah mendekati pemuda berambut putih keperakan
ini. Diusap-usapnya rambut yang berwarna putih dan panjang meriap itu. Dan
memang, pemuda itu adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa Arak.
"Ada satu masalah yang
ingin kusampaikan padamu." jelas kakek berpakaian putih bersih itu seraya
meng-hentikan usapan tangannya.
"Masalah apa, Guru?"
tanya Dewa Arak.
Kakek berpakaian putih bersih
yang tidak lain adalah Ki Gering Langit, guru Dewa Arak itu tidak langsung
menjawab pertanyaan Arya. Dia tampak diam tercenung beberapa saat lamanya.
"Belasan tahun yang lalu,
ada seorang tokoh sesat ber-kepandaian luar biasa. Tapi sayang, wataknya sangat
kejam, dan keji bukan main," tutur Ki Gering Langit memulai ceritanya.
Arya diam mendengarkan. Sama
sekali cerita gurunya tidak berminat diselak. Benaknya sibuk menduga-duga
masalah yang membuat gurunya begitu memperhatikan tokoh itu.
"Tak terhitung orang yang
sudah menjadi korbannya. Silatnya yang buruk, membuatnya selalu menyebar maut
di tiap tempat yang dikunjunginya. Banyak pendekar yang berniat membasmi, tapi
selalu gagal. Tokoh berwatak iblis itu terlalu sakti untuk dilawan. Para
pendekar hanya membuang nyawa percuma saja, dan semua tewas dalam keadaan
mengerikan."
Ki Gering Langit menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas, seraya menatap dalam-dalam wajah Arya.
Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi wajah
Dewa Arak tampak tenang, tanpa perubahan sedikit pun. Tapi yang jelas, Arya
men-dengarkan cerita gurunya penuh perhatian.
"Secara kebetulan di
sebuah desa aku bertemu dengan-nya, walaupun nama dan kekejamannya telah lama
ku-dengar. Tapi baru kali itu kusaksikan kekejamannya dengan mata kepala
sendiri. Dia memang bukan manusia, tapi iblis! Sambil tertawa-tawa kulihat dia
tengah mengum-pulkan para penduduk desa itu di sebuah tanah lapang, kemudian
dibantainya."
Ki Gering Langit kembali
menghentikan ceritanya sejenak, mencari kata-kata baru untuk melanjutkan
kisah-nya.
"Melihat kekejamannya,
darahku seketika mendidih. Hal itu tidak bisa kubiarkan. Tak pelak lagi, kami
pun ber-tarung. Melalui sebuah pertarungan panjang dan melelah-kan, tokoh sesat
itu berhasil kulumpuhkan. Tapi sayang, aku tidak tega membunuhnya. Aku memang
tidak pernah berani membunuh manusia. Maka terpaksa dia kubawa dan kupenjarakan
di suatu tempat"
Lagi-lagi kakek berpakaian
putih bersih itu meng-hentikan ceritanya. Pandangannya menerawang jauh,
mengingat-ingat masa lalunya. Sementara Arya tetap diam, meskipun benaknya
tengah digayuti pertanyaan. Apakah gurunya tidak menggunakan ilmu andalan
sewaktu meng-hadapi tokoh sesat itu? Bukankah dengan ilmu itu Ki Gering Langit
mudah sekali merobohkan lawannya?
"Tokoh sesat itu lihai
sekali. Sampai-sampai di samping kuborgol dengan baja sekaligus rantai yang
besar dan kokoh, pada gelang baja itu juga kumasukkan ilmu yang membuat sekujur
tubuhnya terasa lemas. Tentu saja itu adalah ilmu gaib," lanjut Ki Gering
Langit lagi. "Namun sayang, ilmu itu ada kelemahannya. Kekuatan ilmu gaib
yang kutanamkan pada borgol itu, hanya mampu bertahan selama enam puluh purnama
itu pun sudah lama sekali."
"Mengapa begitu,
Guru?" tanya Arya, tidak tahan juga menahan rasa ingin tahunya yang menggelegak.
"Itulah ilmu manusia,
Arya," sahut Ki Gering Langit kalem. "Biar bagaimanapun, pasti ada
kelemahannya."
Arya hanya bisa menganggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Biasanya, menjelang
purnama kelima puluh aku sudah mengunjungi tempatnya untuk memasang kekuatan
gaib yang membuat tokoh sesat itu selalu terasa lemas," sambung Ki Gering
Langit. "Tapi, kali ini aku lupa. Hingga menjelang purnama keenam puluh,
dia belum kutengok. Dan begitu kujenguk, dia telah kabur."
Arya tercenung mendengar
cerita gurunya.
"Siapa nama tokoh sesat
itu. Guru?"
"Ruksamurka," jawab
Ki Gering Langit
Arya terdiam beberapa saat
lamanya. Namun, mulutnya berulang-ulang menyebut nama tokoh sesat itu.
Sepertinya, dia berusaha mengingat-ingatnya.
"Kalau dia terbelenggu
seperti itu, bagaimana bisa ber-tahan hidup, Guru? Bukankah dia tidak akan bisa
mencari makan atau minum?" tanya Arya, mengajukan keheranan-nya.
"Di bagian dalam gua ada
tanaman dan sumber air, Arya. Panjang rantai yang membelenggunya cukup untuk
mencapai tempat makanan dan minuman itu."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini tidak ada lagi pertanyaan yang bergayut di benaknya.
"Kau kutugaskan untuk
mencarinya, Arya. Hidup atau mati. Aku sudah bersumpah untuk tidak mencampuri
urusan kekerasan lagi secara langsung, Arya. Aku ingin ber-istirahat
menghabiskan sisa ilmurku."
Setelah berkata demikian,
tubuh Ki Gering Langit lenyap dari tempat itu.
Sepeninggal gurunya, Arya pun
melangkah meninggal-kan tempat itu. Kini dia mempunyai sebuah tugas, mencari
tahanan gurunya yang telah jadi buronan.
***2
Angin berhawa dingin berhembus
kencang. Langit memang terlihat begitu pekat. Awan tebal dan hitam nampak
ber-gumpal menutupi sang mentari yang telah naik tinggi.
"Masih jauhkah tempat
itu, Kek?" tanya seorang gadis berwajah cantik dan berpakaian putih.
Rambutnya yang hitam, panjang, dan halus, dibiarkan tergerai. Sehingga gadis
itu tampak jadi semakin cantik saja.
"Tidak berapa jauh lagi,
Melati," sahut kakek bertubuh kecil kurus yang berjalan di sebelahnya.
Kakek itu menolehkan kepala
menatap wajah gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja
Bojong Gading. Karena tinggi tubuhnya tidak sampai sebahu Melati, dia menoleh
sambil agak mendongak.
"Hhh...!"
Melati menghela napas berat.
Sementara, sepasang matanya menatap jauh ke depan. Tidak nampak adanya apa pun
di depannya, kecuali hamparan tanah luas tanpa pepohonan sebatang pun.
"Mengapa, Melati?
Lelah?" tanya kakek bertubuh kecil kurus yang tak lain adalah Ki Julaga,
guru gadis berpakaian putih itu.
"Tidak, Kek," sahut
Melati sambil menggelengkan kepala.
"Hm...," gumam Ki
Julaga, pelan. Mulutnya menyungging-kan sebuah senyum getir. "Kalau tidak
lelah, mengapa menghembuskan napas berat?"
"Aku khawatir hujan akan
lebih dulu turun, sebelum kita sampai di sana, Kek," sahut Melati seraya
melayangkan pandangan ke arah langit.
Memang keadaan langit cukup
mengkhawatirkan. Awan tebal, hitam, dan bergumpal-gumpal. Jelas turunnya hujan
hanya tinggal menunggu waktu saja. Angin dingin yang berhembus pun kian
mengencang.
Ki Julaga melayangkan
pandangan ke atas pula. Mau tak mau kekhawatiran muridnya bisa masuk akal juga.
"Kalau begitu, mari kita
bergegas, Melati," ajak kakek berpakaian jingga itu.
Melati menganggukkan kepala
pertanda menyetujui ajakan gurunya. Dan memang, itulah yang sejak tadi
diharapkannya. Dia bosan berjalan biasa saja. Gadis ini mengharapkan agar
gurunya segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sambil mencoba menguji ilmu
meringankan tubuh miliknya sendiri.
Maka, kini guru dan murid itu
telah melesat cepat mem-pergunakan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai
taraf kesempurnaan. Mereka seperti berlomba-lomba untuk mencapai tujuan. Dan
tentu saja, karena tingkatan Melati masih jauh di bawah Ki Julaga, dia jadi
tertinggal jauh.
***
"Capek, Melati?"
tanya Ki Julaga seraya mengembang-kan sebuah senyum, ketika mereka telah
berhenti di suatu tempat.
Gadis berpakaian putih itu
hanya mampu mengangguk-kan kepala saja. Napasnya yang masih terengah-engah,
menyulitkannya untuk berbicara. Dia kini sibuk menghapus peluh yang membasahi
wajahnya dengan punggung tangan.
"Tenangkanlah hatimu....
Sebentar lagi tempat yang kita tuju telah di depan mata," jelas Ki Julaga.
Sambil berkata demikian, kakek
bertubuh kecil kurus menudingkan telunjuk kanannya ke depan. Dengan penuh
gairah mata Melati mengikuti arah tudingan itu. Dan memang, dalam jarak sekitar
dua puluh lima tombak dari tempatnya, tampak sebuah bangunan besar dan megah.
Walaupun sudah agak tua, bangunan besar itu mempunyai halaman luas dan dikurung
pagar tembok tinggi
"Jadi, ke tempat itukah
tujuan Kakek?" tanya Melati. Memang Ki Julaga sama sekali tidak
memberitahukan tujuan dan maksud kepergian kepada muridnya.
Kakek berpakaian jingga itu
mengangguk membenar-kan.
"Bangunan itu adalah
tempat bersejarah bagiku, Melati," jelas Ki Julaga. Ada nada kegetiran
dalam suaranya. "Di tempat itulah aku menerima sebuah anugerah, berupa
warisan ilmu dari seorang tokoh sakti yang bijaksana. Tapi, di tempat itu
pulalah, aku telah menceburkan diri dalam lumpur kehinaan."
Ki Julaga menghentikan cerita
sejenak. Raut wajahnya terlihat muram. Jelas kalau kakek itu merasa menyesal
akan kejadian yang telah dilakukannya.
Melati mendengarkan dengan
hati terharu. Selama ini gurunya telah dianggap sebagai kakeknya sendiri. Gadis
itu tahu kalau Ki Julaga telah terkena bujukan rekannya untuk mencuri
kitab-kitab pusaka majikannya. Namun Ki Julaga sendiri tidak pernah
memberitahukan tempat pusaka itu dicuri.
"Inikah tempat tinggal Ki
Gering Langit, Kek?" tanya Melati dengan suara serak. Perasaan terharu
melihat kesedihan gurunya, membuat dadanya sesak dan lehernya terasa tercekik.
Ki Julaga menganggukkan
kepala.
"Apakah Ki Gering Langit
tahu kalau Kakek dan Ki Jatayu mencuri kitab-kitab pusakanya?" kejar
Melati lagi.
Perasaan ingin tahu yang amat
sangat tergambar jelas dalam sikap maupun nada suara gadis itu (Untuk lebih
jelas mengenai hal ini, baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang
Pendekar").
Kembali Ki Julaga mengangguk,
membenarkan.
"Dan dia mengejarmu,
Kek?"
Ada nada kesenduan dalam
pertanyaan itu. Dan memang sebenarnya Melati merasa kasihan dan sedih sekali
membayangkan kakek bertubuh kecil kurus ini selalu dicekam rasa takut di tempat
persembunyiannya.
"Tidak," Ki Julaga
menggelengkan kepalanya. "Kalau beliau mau mengejar, sudah lama aku
berhasil ditemukan-nya. Kau tahu, Melati. Ki Gering Langit memiliki banyak ilmu
aneh. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, ku-dengar telah memiliki ilmu yang
membuatnya dapat pergi ke tempat yang diinginkan dalam sekejap mata saja!"
"Gila...!" desis
Melati antara takjub dan terkejut. "Begitu lihaikah Ki Gering Langit itu,
Kek?"
"Hhh...!"
Ki Julaga menghela napas berat
sebelum menjawab pertanyaan itu. Karuan saja hal ini membuat Melati yang sudah
tidak sabar untuk mendengarnya jadi agak kesal.
"Kepandaian yang kumiliki
ini tidak ada artinya bila dibanding dengan beliau, Melati."
Bulu kuduk Melati meremang
mendengar penjelasan gurunya. Seketika itu pula dia teringat Arya kekasihnya.
Tahukah pemuda berambut putih keperakan itu kalau Ki Gering Langit memiliki
ilmu yang demikian tinggi?
Ki Julaga tidak melanjutkan
ucapannya. Sementara Melati pun sibuk dengan lamunannya. Sehingga, suasana
menjadi hening sejenak. Guru dan murid itu tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Tapi kesibukan benak kedua
orang itu terganggu ketika titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi.
Hampir berbareng Melati dan Ki
Julaga mendongak ke atas ketika ada beberapa tetes air jatuh di tangan mereka.
"Hujan mulai turun,
Kek," kata Melati.
"Cepat kita berteduh di
sana...!" ajak Ki Julaga seraya menudingkan tehinjuk tangan kanannya ke
arah bangunan tempat tinggal Ki Gering Langit.
Melati tidak membantah lagi
karena titik-titik air yang turun dari langit semakin banyak dan semakin cepat.
Sudah bisa diterka, tidak lama lagi hujan lebat akan turun. Dan gadis itu tentu
saja tidak mau basah kuyup.
Melati melesat cepat,
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, seperti berlomba dengan hujan.
Putri angkat Raja Bojong Gading ini ingin tiba di bangunan tempat tinggal Ki
Gering Langit sebelum hujan lebat turun.
Berbareng dengan melesatnya
tubuh Melati, Ki Julaga melesat pula. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kakek
bertubuh kecil kurus ini tidak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Dia
tidak ingin membiarkan muridnya kehujanan sendirian.
"Hup...!"
Berbareng dengan melayangnya
tubuh Melati melompati tembok, tubuh Ki Julaga pun melenting pula. Pada saat
yang bersamaan, kedua pasang kaki itu hinggap di dalam halaman. Dan secepat
mereka mendarat, secepat itu pula melesat ke arah bangunan.
Tepat ketika guru dan murid
itu tiba di teras bangunan itu, hujan lebat turun. Air yang bagaikan dicurahkan
dari langit turun membasahi bumi.
Glarrr...!
Suara halilintar ikut
meramaikan suasana. Kilatan-kilatan cahaya menyilaukan tampak seperti membelah
langit. Seakan-akan, seluruh isi alam bergembira ria.
"Hhh…!"
Helaan napas lega keluar dari
mulut Melati dan Ki Julaga. Keduanya diam-diam bersyukur, karena bisa tiba di
tempat yang terlindung tepat saat turunnya hujan lebat. Sehingga, tubuh dan
pakaian mereka tidak basah.
"Di daerah sekitar sini,
hujan adalah hal yang meng-herankan, Melati," Ki Julaga membuka
pembicaraan kembali.
"Mengapa, Kek?"
tanya Melati ingin tahu.
"Aku juga tidak
tahu," sahut Ki Julaga sambil meng-gelengkan kepala. "Yang kutahu, di
daerah ini jarang turun hujan. Dalam dua belas kali purnama, hanya beberapa
kali hujan. Itu pun tidak begitu lebat..."
Melati menganggukkan kepala.
Padahal, gadis ini tidak tertarik dengan pembicaraan itu. Dia ingin agar Ki
Julaga menceritakan tentang masa lalunya.
"Mengapa Kakek ingin
mengunjungi tempat ini?" tanya Melati begitu mendapat kesempatan di saat
gurunya tidak melanjutkan ucapannya lagi.
Ki Julaga tidak langsung
menjawab pertanyaan itu, tapi malah tercenung beberapa saat lamanya. Sepasang
mata-nya menerawang jauh ke depan, seperti tengah menatap butir-butir air yang
jatuh ke bumi. Tapi melihat pandangan-nya yang tertuju pada satu titik, bisa
diketahui kalau dia tengah melamun.
"Aku ingin meminta maaf
atas semua kesalahan yang telah kulakukan, Melati." Jelas Ki Julaga. Pelan
suaranya, mirip desahan. Nampaknya ucapan itu keluar dari lubuk hati yang
paling dalam.
"Tapi, bukankah Kakang
Arya telah memberi maaf pada Kakek?" bantah Melati. "Apakah itu tidak
cukup? Kurasa dia tidak begitu mudah memberi maaf kalau tidak mendapat pesan
lebih dulu dari Ki Gering Langit."
"Semua ucapanmu itu tidak
salah, Melati," sambut Ki Julaga. Tapi, aku ingin meminta maaf sendiri
pada Ki Gering Langit. Biar hatiku tenang, dan tidak mati penasaran."
Melati menyadari kebenaran
yang terkandung dalam pengakuan itu. Maka dia pun terdiam, tidak menyahuti
lagi. Seketika suasana jadi hening karena Ki Julaga tidak melanjutkan
ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah suara curahan hujan, deru angin, dan
gelegar halilintar yang sesekali menyambar bumi.
Melati dan Ki Julaga tenggelam
dalam lamunan masing-masing. Sepasang mata mereka menatap ke depan. Sepintas
lalu guru dan murid itu seperti tengah mengawasi hujan. Tapi bila diperhatikan
lebih seksama, mereka tengah menatap tajam pada satu titik yang tidak
bergerak-gerak sama sekali.
Mendadak sepasang mata mereka
terbeliak ketika yang dilihat mulai bergerak. Suatu sosok tinggi besar bergerak
cepat ke arah mereka.
Sepasang mata Ki Julaga dan
Melati semakin terbelalak. Dan memang keduanya merasa terkejut bukan main
dengan gerakan sosok tubuh itu. Gerakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmu
meringankan tubuhnya amat tinggi.
***
Sosok tubuh itu semakin
mendekati bangunan. Ki Julaga dan Melati semakin terkejut metihatnya. Gerakan
sosok abu-abu itu ternyata begitu cepat ke arah teras, tempat Melati dan
gurunya berada. Ki Julaga yang tidak ingin terjadi keributan, cepat menarik
tangan Melati. Diajaknya gadis berpakaian putih itu mundur ke belakang.
Sementara sepasang matanya tetap tertuju pada sosok tubuh abu-abu itu.
Dalam kelebatan curah hujan,
cukup jelas terlihat sosok abu-abu itu. Tubuhnya tinggi besar, berusia sekitar
enam puluh lima tahun. Rompi dan celana compang-camping yang membungkus
tubuhnya sudah tidak jelas lagi warnanya.
Melihat dari penampilan sosok
tinggi besar itu saja sudah membuat orang agak ngeri. Apalagi begitu melihat
wajahnya yang penuh bekas luka guratan. Dan memang, sosok abu-abu ini ternyata
adalah Ruksamurka!
Hanya dalam sekejap.
Ruksamurka telah tiba di tempat Ki Julaga dan Melati tadi berada. Tanpa
mempedulikan guru dan murid itu, Ruksamurka segera mengibas-ngibaskan tubuhnya.
Seketika itu juga air hujan memercik dari seluruh tubuhnya.
Ki Julaga dan Melati hanya
memperhatikan semua tingkah polah kakek berpakaian compang-camping itu. Mereka
berdua memang tidak berminat mencari-cari urusan. Terutama sekali Ki Julaga.
Dia tidak ingin membuat kesalahan yang kedua kali dengan menimbulkan keributan
di tempat tinggal majikannya. Sama sekali Ki Julaga tidak tahu kalau bangunan
ini sudah lama tidak ditempati Ki Gering Langit lagi. Bangunan itu telah
berganti-ganti pemilik (Untuk lebih jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode perdananya, "Pedang Bintang").
Setelah selesai membuang air
yang melekat di sekujur tubuhnya, Ruksamurka lalu mengalihkan perhatiannya.
Kini sepasang matanya yang menyeramkan itu menatap Ki Julaga dan Melati.
Seketika baik Ki Julaga maupun
Melati terperanjat. Keduanya diam-diam terkejut bukan kepalang melihat sepasang
mata kakek bertubuh tinggi besar itu mencorong tajam dan bersinar kehijauan.
Jelas kalau Ruksamurka memiliki tenaga dalam tinggi.
Menilik dari gerak-gerik
Ruksamurka, Ki Julaga diam-diam merasa cemas. Tampak ada suatu gelagat yang
tidak baik di balik sosok wajah yang menyeramkan itu. Tapi tentu saja kakek
bertubuh kecil kurus ini tidak merasa gentar. Yang jelas, dia tidak
menginginkan terjadi keributan di tempat tinggal majikannya. Sedapat mungkin,
terjadinya keributan harus dihindari. Maka kakek berpakaian jingga ini bersikap
tidak peduli.
"Ha ha ha...!"
Mendadak Ruksamurka tertawa
keras dan menggelegar seperti guntur. Jelas kalau tawa itu dikeluarkan disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya luar biasa! Melati
mendadak terhuyung, karena suara tawa itu membuat lututnya terasa lemas.
Dadanya pun bergetar hebat. Bahkan gadis berpakaian putih ini merasakan kedua
telinganya berdengung keras.
Ki Julaga terkejut bukan main
melihat hal ini. Dia pun merasakan adanya getaran amat kuat yang keluar dari
tawa Ruksamurka. Tapi berkat tenaga dalamnya yang memang sudah mencapai tingkat
amat tinggi, kakek berpakaian jingga itu mampu meredamnya. Dan sungguh di luar
dugaan, ternyata Melati sampai begitu terpengaruh dan seperti tidak mampu
bertahan! Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam kakek
bertubuh tinggi besar itu.
"Rupanya kau lihai juga,
Tua Bangka Kerdil...!" kata Ruksamurka seraya menghentikan tawanya.
Tampak adanya rasa penasaran
baik pada wajah maupun suara kakek bertubuh tinggi besar itu. Sungguh di luar
dugaan kalau ada orang yang sanggup menahan serangan suara tawanya. Jadi kakek
bertubuh kecll kurus ini paling tidak adalah lawan yang amat tangguh.
Melati menghela napas lega
meskipun wajahnya masih terlihat pucat. Gadis berpakaian putih ini masih belum
lepas dari pengaruh suara tawa Ruksamurka.
"Menyingkirlah,
Melati...!" ujar Ki Julaga bernada perintah.
Kakek bertubuh kecil kurus itu
tahu kalau muridnya bukan tandingan kakek bertubuh tinggi besar ini. Dan dia
tidak ingin putri angkat Raja Bojong Gading ini celaka.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Melati segera men-jauh. Seperti juga Ki Julaga, gadis itu sadar kalau
orang itu bukan tandingannya. Dari gelak suara tawa itu saja, sudah diketahui
kalau kakek bertubuh tinggi besar itu memiliki tenaga dalam amat tinggi, jauh
di atas kekuatan tenaga dalam miliknya
"Maaf, Kisanak. Mengapa
kau menyerang kami? Sepengetahuanku, aku tidak mempunyai persoalan
denganmu," pelan dan lembut Ki Julaga membuka pembicaraan.
"Cuhhh...!"
Dengan kasar, Ruksamurka
meludah. Bukan ke tanah, tapi ke wajah Ki Julaga. Bahkan bukan sembarangan
ludah, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Terdengar
suara berdesing nyaring begitu cairan kental yang menjijikkan itu meluncur ke
arah wajah Ki Julaga.
Ki Julaga sama sekali tidak
mengelakkan serangan ludah itu. Tangan kanannya dijulurkan ke depan, lalu
diputar di depan wajah. Sesaat kemudian angin keras menderu dari tangan yang
bergerak memutar itu.
Luar biasa! Semburan ludah itu
mendadak berhenti, kemudian jatuh ke tanah.
Wajah Ki Julaga seketika
memerah. Kemarahan mulai menjalari hatinya. Kakek berpakaian compang-camping
ini benar-benar tidak mempunyai adab! Dengan baik-baik ditanya, tapi
sambutannya sungguh menyakitkan. Bahkan suatu penghinaan yang tidak bisa
didiamkan.
"Grrrh...!"
Ruksamurka menggeram hebat
begitu melihat serangannya kandas. Untuk yang kedua kali hatinya dibuat
penasaran. Hatinya bertanya-tanya tentang keberadaan kakek bertubuh kecil kurus
ini.
"Rupanya untuk
berbincang-bincang denganmu tidak perlu mulut, tapi kepalan. Kalau itu adalah
kemauanmu, akan kuladeni, Kisanak!" tegas dan mantap sekali ucapan yang
keluar dari mulut Ki Julaga.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa
terbahak-bahak. Rupanya kakek berubuh tinggi besar ini merasa geli mendengar
ucapan Ki Julaga. Kedua tangannya yang kekar dan berbulu, memegangi perutnya
sambil membungkukkan tubuh.
Terdengar suara bergemeretak
dari mulut Ki Julaga. Walaupun tidak tahu hal yang menyebabkan orang di
hadapannya merasa geli, tapi setidak-tidaknya bisa diduga kalau rasa geli itu
karena ucapan atau sikapnya. Dan ini membuat kemarahannya semakin menggelegak.
Suara tawa Ruksamurka semakin
keras begitu melihat keadaan Ki Julaga. Hal ini membuat kakek bertubuh kecil
kurus itu tidak tahan lagi. Maka....
"Diam...!"
Terdengar bentakan menggelegar
seperti ada guntur yang meledak di dekat tempat itu. Keras bukan main karena Ki
Julaga mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya hebat sekali! Suara
tawa Ruksamurka se-ketika berhenti. Raut wajahnya pun agak berubah, per-tanda
bentakan Ki Julaga cukup mengejutkan hatinya.
Ternyata akibat yang lebih
parah lagi telah diterima Melati. Walaupun gadis berpakaian putih ini berada
agak jauh dari kedua orang itu, tapi tetap saja terkena pengaruh bentakan Ki
Julaga. Tubuh Melati mendadak oleng, karena lututnya mengggigil keras. Sepasang
telinganya pun terasa berdengung.
"Grrrh...!"
Ruksamurka menggeram keras. "Sungguh besar nyalimu, Kambing Tua..! Kau
berani membentakku...! Kau berani membentak Ruksamurka...?! Grrrh...! Akan
kubeset kulitmu...! Akan kuhirup darahmu...! Grrrh...!"
Ki Julaga dan Melati adalah
orang yang telah terbiasa menghadapi bahaya. Bagi kedua orang itu, matipun
bukan apa-apa. Tapi ancaman yang keluar dari mulut Ruksa-murka begitu
mengerikan. Menilik dari ucapan dan sikapnya, bisa diperkirakan kalau dia tidak
main-main dengan ucapannya. Tak terasa bulu kuduk Melati dan Ki Julaga
merinding. Ada sedikit perasaan ngeri yang merayap dalam hati kakek bertubuh
kecil kurus dan gadis ber-pakaian putih itu setelah mendengar ancaman yang
dikeluarkan dengan mendesis tadi. Dan yang lebih mengejutkan hati Ki Julaga
saat kakek bertubuh tinggi besar itu memperkenalkan namanya.
Ruksamurka memang tokoh sesat
yang sakti dan memiliki kekejaman mendirikan bulu kuduk. Kebiadaban-nya tak
tertandingi lagi. Dia pernah membunuh orang satu desa sambil tertawa-tawa,
tanpa ada perasaan peri-kemanusiaan. Tapi bukankah tokoh sesat yang mengerikan
itu telah lenyap tanya ketahuan rimbanya? Mengapa tahu-tahu muncul di sini?
Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Ki Julaga. Pertanyaan yang tidak
mungkin bisa dijawabnya.
"Ruksamurka...?!"
ulang Ki Julaga dengan suara mendesis.
"Kau terkejut, Tua Bangka
Kerdil…?!" ejek Ruksamurka dengan kemarahan yang berkobar. "Belasan,
bahkan mungkin puluhan tahun lamanya aku mengasingkan diri dari dunia luar.
Kini sudah saatnya aku kembali ke dunia persilatan untuk meneruskan kebiasaan
lamaku. Dan kau dan gadis montok itu mendapat kehormatan untuk menjadi korban
pemulaku. Ha ha ha...!"
"Hm..." Ki Julaga
hanya menggumam pelan. "Ingin kulihat buktinya, Ruksamurka."
"Hmh...!"
Ruksamurka mendengus. Kakek
bertubuh tinggi besar ini memang seorang yang memiliki watak angkuh, dan selalu
mengagungkan diri sendiri. Pantang baginya men-dengar kata-kata bernada
tantangan. Tapi kali ini justru kata-kata itu didengarnya dari mulut orang
bertubuh kecil kurus di hadapannya. Maka amarahnya pun meluap seketika.
"Grrrh...!"
Ruksamurka meraung seperti
seekor binatang buas yang terluka. Terdengar suara berkerotokan keras dari
sekujur tulang-tulangnya seiring terdengarnya geraman itu. Luar biasa! Padahal
kakek berpakaian compang-camping ini belum menggerakkan tangan atau kaki!
Ki Julaga yang telah dilanda
amarah tidak mau kalah. Sehabis mendengus, sekujur urat-urat syaraf dan
otot-otot tubuhnya pun menegang. Seketika itu pula, tenaga dalam dari bawah
pusarnya mengalir deras ke berbagai bagian tubuh. Suara berkerotokan yang tak
kalah nyaring ter-dengar ketika aliran tenaga dalam itu mulai bergerak ke
seluruh bagian tubuhnya.
Melihat untuk yang kesekian
kali tindakan lawan selalu berhasil menyainginya. Ruksamurka jadi murka. Sambil
mengeluarkan teriakan nyaring melengking, kakek ber-tubuh tinggi besar itu
memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada, dari luar ke dalam.
Wuuutttt..!
Menakjubkan! Dari kedua tangan
yang berputaran itu muncul sebuah kekuatan amat kuat yang menarik tubuh Ki
Julaga ke depan.
Kakek bertubuh kecil kurus itu
terkejut bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka akan muncul kekuatan
menarik seperti itu. Akibatnya bisa diduga. Tubuh kakek berpakaian jingga ini
tertarik keras ke depan.
Ki Julaga tahu kalau dirinya
tengah berada dalam bahaya besar. Dalam keadaan yang sangat tidak
mengun-tungkan ini, lawan dengan mudah pasti akan menjatuhkan serangan maut
padanya.
Maka begitu tubuhnya tertarik
ke depan, Ki Julaga segera mengerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya.
Maksudnya adalah agar kedua kakinya seperti berakar di tanah.
Tak pelak lagi, adegan yang
menarik pun tergelar. Ruksamurka yang terus saja memutar-mutarkan kedua
tangannya dalam usaha menarik tubuh Ki Julaga. Sementara, kakek berpakaian
jingga jtu berusaha keras bertahan. Kedua tokoh yang sama-sama sakti ini
bertarung jarak jauh, terpisah sekitar tiga tombak.
Tapi adu tarik-menarik itu
berlangsung tidak lama. Secara mendadak, Ruksamurka menghentikan putaran
tangannya. Dan secepat kedua gerakan tangannya ber-henti, secepat itu pula tubuhnya
meluncur ke arah Ki Julaga. Kakek bertubuh tinggi besar ini melompat ke atas.
Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya menyampok deras ke arah
pelipis Ki Julaga.
***3
Ki Julaga tidak merasa
terkejut atau gugup. Hal ini memang sudah diduga. Maka kakek bertubuh kecil
kurus ini buru-buru menjulurkan kaki kanannya ke depan, sementara lutut kirinya
ditekuk seraya merendahkan tubuh.
Wusss...!
Seluruh rambut dan pakaian Ki
Julaga berkibar keras ketika sampokan lawan menyambar lewat sekitar se-jengkal
di atas kepalanya. Padahal, kekuatan sambaran itu mampu menghancurkan batu
paling keras sekalipun. Dari hal ini saja sudah bisa diperkirakan, betapa
tinggi tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Ki Julaga sudah bisa
memperkirakan kalau lawan di hadapannya ini adalah seorang tokoh yang amat
tangguh. Bila bertindak setengah-setengah, hanya akan men-celakakan diri
sendiri. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia balas menyerang.
Sekali menyerang. Ki Julaga
langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'. Kedua tangannya
langsung mengembang membentuk cakar. Berbeda dengan Melati yang bila
menggunakan ilmu ini hanya sebatas pergelangan yang berwarna merah darah, maka
pada Ki Julaga warna merah itu sampai pangkal lengan. Hanya saja, warna merah
itu tidak terlihat karena tertutup lengan bajunya.
Wuuut…!
Angin menderu keras begitu Ki
Julaga melancarkan serangan. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah leher dan
dada. Cakar kanan mengancam leher, sedangkan yang kiri mengancam dada. Posisi
buku-buku jari tangan kanan menghadap ke langit, bertolak belakang dengan
buku-buku jari tangan kiri yang menghadap ke bumi
"Groooah...!"
Ruksamurka menggeram keras
begitu melihat lawannya mampu mengelakkan serangan yang begitu tiba-tiba.
Apalagi ketika melihat Ki Julaga tidak hanya mampu mengelakkan serangan, tapi
juga mengirimkan serangan yang tak kalah berbahayanya.
Keadaan kakek berpakaian
compang-camping ini memang sulit sekali. Serangan Ki Julaga memang datang
begitu mendadak. Apalagi, tubuhnya tengah berada di udara, karena baru saja
melancarkan serangan.
Tapi meskipun begitu,
Ruksamurka mampu membukti-kan kalau dirinya adalah seorang tokoh sesat yang
belasan tahun lalu ditakuti oleh tokoh persilatan mana pun. Maka buru-buru
tangan kanannya ditarik pulang, seraya cepat ditetakkan ke bawah. Berbareng
dengan itu, tangan kirinya menangkis ke atas.
Plakkk...!
Terdengar benturan keras
ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam amat tinggi
berbenturan.
"Hih...!"
Ruksamurka menggertakkan gigi
seraya melempar tubuh ke belakang. Indah dan manis sekali gerakannya.
"Hup...!"
Ringan dan tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, kakek berpakaian compang-camping ini mendaratkan kedua
kakinya di tanah. Ruksamurka langsung bersikap waspada. Matanya memperhatikan
kalau Ki Julaga telah selesai memperbaiki sikapnya.
Namun, kedua belah pihak tidak
langsung saling melancarkan serangan. Baik Ki Julaga maupun Ruksa-murka saling
pandang, seperti mengukur kekuatan satu sama lain. Sementara, Ruksamurka
diam-diam harus mengakui kalau dalam hal tenaga dalam, dirinya masih di bawah
Ki Julaga. Terbukti, dalam adu benturan tadi, kedua tangannya terasa
sakit-sakit.
"Ilmu 'Cakar Naga Merah'.
Apa hubunganmu dengan Ki Gering Langit?!" tanya Ruksamurka dengan suara
meng-gelegar. Ada ancaman maut yang tersembunyi, baik dalam suara maupun
sikapnya.
"Beliau adalah
majikanku," jawab Ki Julaga jujur.
Dia tidak merasa heran kalau
lawan mengenal ilmu yang digunakannya, dan siapa pemiliknya. Justru merupakan
suatu hal yang mengherankan bila seorang tokoh meng-giriskan seperti Ruksamurka
tidak mengenal ilmu yang digunakannya.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa keras menggelegar
laksana guntur menyambuti jawaban Ki Julaga. Mendadak sekali suara tawa itu
keluar, dan mendadak pula berhenti. Namun seketika wajah Ruksamurka berubah
beringas. Bahkan sinar matanya mengandung ancaman maut!
"Pucuk dicinta ulam
tiba!" ucap kakek berpakaian compang-camping itu dengan suara mengguntur.
"Gering Langit..! Sebelum kau mendapat giliran balas dendamku,
pelayanmulah yang mendapat kehormatan menjadi korban awalku...!"
Setelah puas berteriak seraya
memandang ke langit, Ruksamurka kembali mengalihkan perhatian pada Ki Julaga.
"Semula kupikir
perjalananku kemari akan sia-sia. Tapi, ternyata tidak! Sakit hatiku akan
sedikit terobati meskipun hanya kau yang kutemui, dan bukan si Gering Langit
keparat itu...!"
Ki Julaga mengeryitkan dahi.
Dari ucapan dan sikap Ruksamurka yang jelas begitu mendendam Ki Gering Langit,
sudah bisa diduga ada suatu masalah besar di antara mereka berdua. Dan begitu
ingatannya melayang pada menghilangnya tokoh sesat yang menggiriskan ini secara
mendadak, Ki Julaga sudah bisa menarik kesimpulan. Hilangnya Ruksamurka ada
hubungannya dengan Ki Gering Langit!
Tapi Ki Julaga tidak bisa
berpikir lebih lama lagi, karena Ruksamurka sudah kembali melompat menerjang.
Segera kakek bertubuh kecil kurus ini membuang pikiran macam-macam yang
menggayuti benaknya. Kini semua harus dikuras untuk menghadapi lawan tangguh di
hadapannya. Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama sakti ini sudah
terlibat dalam sebuah pertarungan seru dan menarik.
***
Melati memperhatikan jalannya
pertarungan dengan sinar mata cemas. Gadis itu tahu kalau lawan yang dihadapi
gurunya adalah tokoh sesat yang amat sakti. Dan ini membuat hatinya khawatir.
Melati memang tahu kalau
kepandaian Ki Julaga sudah amat tinggi dan sukar diukur. Bahkan dia tahu kalau
kekasihnya sendiri, Arya Buana alias Dewa Arak, memiliki tingkat kepandaian
yang tidak berada di atas gurunya.
Meskipun begitu, putri angkat
Raja Bojong Gading ini tetap merasa cemas. Satu hal yang membuatnya khawatir
adalah, kakek bertubuh kecil kurus itu sudah lama tidak melatih ilmu-ilmu yang
dimilikinya. Waktunya selalu dihabiskan untuk termenung menyesali kesalahannya.
Bersemadi pun hanya sekadarnya saja. Tapi apa daya? Jelas-jelas tingkat
kepandaiannya masih di bawah Ruksamurka. Dan yang dapat dilakukannya kini hanya
berharap, mudah-mudahan gurunya sanggup menghadapi lawannya.
Pertarungan yang terjadi
antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu berlangsung menggiriskan. Arena
per-tarungan pun kini sudah berpindah. Keduanya tahu kalau tetap bertarung di
teras, bukan tidak mungkin akan ter-timpa reruntuhan bangunan yang hancur
terlanda pukulan nyasar. Mereka kini bertarung di bawah siraman hujan yang
masih turun dengan lebatnya, ditingkahi deru angin dingin dan gelegar
halilintar menyambar bumi.
Hebat bukan main memang
pertarungan yang terjadi antara Ki Julaga dan Ruksamurka. Kedua tokoh ini
sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh, dan kekuatan tenaga dalam yang sukar
diukur. Maka, pertarungan yang terjadi terlihat begitu mengerikan.
Suara angin menderu, mencicit,
dan mengaung menyemaraki suasana yang riuh oleh curah hujan, deru angin, dan
gelegar halilintar. Percikan air kotor dan curah hujan berpentalan tak tentu
arah. Memang, suasana di sekitar arena pertarungan kedua tokoh ini terlihat
semakin semrawut, bagai kapal pecah.
Pertarungan antara kedua tokoh
ini berlangsung cepat, karena ilmu meringankan tubuh masing-masing telah
mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu sebentar saja lima puluh jurus
telah cepat berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada tanda-tanda yang akan
terdesak. Kedua tokoh itu terus bertarung seru dengan kecepatan menakjubkan. Yang
terlihat kini hanyalah bayangan ber-warna abu-abu dan jingga yang saling belit
dan saling pisah!
Baik Ki Julaga maupun
Ruksamurka merasa penasaran bukan kepalang, menyadari setelah sekian lama
bertarung, satu sama lain belum mampu juga mendesak. Padahal masing-masing
telah mengeluarkan Ilmu andalannya. Ki Julaga dengan Ilmu 'Cakar Naga Merah',
dan Ruksamurka dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut'. Ilmu yang diciptakan
tokoh sesat itu didapat setelah memperhatikan gerakan pusaran air laut. Tidak
aneh kalau Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut' itu memiliki daya sedot yang amat
kuat.
Dengan Ilmu 'Tarikan Pusaran
Air Laut’, Ruksamurka berusaha sekuat tenaga merobohkan Ki Julaga. Ilmu itu
memang aneh dan berbahaya bukan main. Untung yang menghadapinya Ki Julaga yang
memiliki kekuatan tenaga dalam tak terukur. Sehingga, kekuatan daya sedot Ilmu
'Tarikan Pusaran Air Laut’ itu tidak terlalu berbahaya baginya.
Meskipun begitu, bukan berarti
Ki Julaga sama sekali tidak kewalahan menghadapi ilmu itu. Seluruh kemampu-annya
telah terkuras untuk menanggulangi ilmu aneh milik lawannya ini. Bahkan ilmu
'Cakar Naga Merah' telah di-kerahkan sampai puncaknya.
Kembali seratus jurus telah
terlewat. Berarti telah seratus lima puluh jurus lamanya kedua tokoh ini
bertarung. Dan sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda berakhir.
Ruksamurka menggertakkan gigi
melihat keuletan lawannya. Sungguh tidak diduga kalau Ki Julaga begini tangguh.
Kalau pelayannya saja sudah memiliki ke-pandaian seperti ini, bagaimana dengan
tingkat ke-pandaian Ki Gering Langit sekarang? Dan sebenarnya Ruksamurka
sedikit putus asa menghadapi kenyataan ini.
Walaupun ada perasaan putus
asa, namun Ruksamurka sama sekali tidak mengendorkan serangan. Bahkan
se-baliknya, serangannya malah makin diperhebat. Dan pada kenyataannya kekuatan
tubuhnya memang luar biasa. Tak tampak adanya tanda-tanda kelelahan pada
dirinya.
Tanpa sepengetahuan
Ruksamurka, Ki Julaga sebenar-nya sudah mulai dilanda rasa lelah. Dan itu wajar
sekali. Karena sudah lama sekali ilmu-ilmunya tidak dilatih. Sehingga,
otot-ototnya banyak yang mulai tidak lentur lagi. Apalagi otot-ototnya memang
telah tua.
Tapi sedapat mungkin, kakek
ini berusaha menyem-bunyikan keadaannya, dan tidak ingin hal itu diketahui
lawan. Bila hal itu sampai diketahui, semangat Ruksa-murka akan semakin
berkobar, sehingga akan semakin menyulitkan dirinya.
Namun Ki Julaga sama sekali
tidak takut mati. Hanya saja, dia tidak ingin Melati harus ikut celaka. Putri
angkat Raja Bojong Gading itu harus diselamatkan sebelum ter-lambat. Menilik
dari keadaan dirinya yang sudah lelah, jelas daya tahannya tidak mampu lagi
diajak bertarung. Sementara, lawan tampaknya masih segar bugar.
"Melati...! Cepat pergi
dari sini...!" seru Ki Julaga, pada satu kesempatan.
Karuan saja hal ini membuat
Melati terkejut bukan kepalang. Perintah kakek bertubuh kurus ini hanya
mengandung satu pengertian. Dia merasa tidak sanggup menghadapi lawannya! Tentu
saja hal ini membuat Melati jadi kebingungan.
Ruksamurka tertawa
terbahak-bahak. Dan kini serangan-serangannya kian bertubi-tubi begitu lawan
mengalihkan perhatian ke arah gadis berpakaian putih itu. Karuan saja hal ini
membuat Ki Julaga menjadi mulai terhimpit. Memang walaupun hanya berteriak
memper-ingatkan, tapi sudah cukup mengurangi perhatian. Padahal, bila
menghadapi lawan tangguh, yang paling penting adalah pencurahan seluruh
perhatian.
Ki Julaga jadi cemas begitu
melihat Melati sama sekali tidak menuruti anjurannya. Bahkan malah terpaku
tidak bergeming sedikit pun. Melihat dari raut wajahnya, tampak jelas kalau
hatinya tengah dilanda kebimbangan.
Hal itu memang benar! Melati
memang tengah dilanda perasaan bingung. Gadis itu tahu kalau gurunya
menyuruhnya kabur, hanyalah demi keselamatannya. Tapi, Melati tidak tega
membiarkan gurunya menghadapi maut seorang diri. Kebimbangan kian melanda
hatinya. Antara menuruti pesan itu, atau membantu gurunya.
"Melati...! Cepat
pergi...!"
Kembali Ki Julaga berseru
keras. Nada kekhawatiran yang amat sangat terdengar dalam teriakan mengandung
perintah itu.
Dan seiring perasaan cemas
yang melanda, keadaan Ki Julaga jadi semakin terdesak dan terhimpit. Tubuhnya
memang sudah terasa lelah bukan main. Memang, per-tarungan sudah berlangsung
dua ratus jurus. Dan selama itu, dia selalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
untuk bertahan dari serangan Ruksamurka yang mengandung daya sedot luar biasa.
Dan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya ini tentu saja membuatnya cepat lelah.
Apalagi mengingat usianya yang sudah tua dan keadaan anggota tubuhnya yang
sudah tidak begitu baik lagi keadaannya.
Dan kini hal itu masih
ditambah sikap Melati yang tidak menuruti anjurannya. Lengkaplah sudah keadaan
yang membuat kakek bertubuh kecil kurus ini jadi terdesak hebat.
"Ah...!"
Ki Julaga terpekik tertahan
ketika tubuhnya mendadak tertarik ke depan, terbawa daya sedot bar biasa yang
muncul dari pengerahan Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’.
Tapi pada saat yang gawat, Ki
Julaga masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat cepat dia mem-banting
tubuh ke tanah, bergulingan dan melenting ke atas. Lagi-lagi kakek berpakaian
jingga ini berhasil meloloskan diri dari maut.
"Haaat..!"
Mendadak terdengar teriakan
melengking nyaring. Jelas kalau suara itu keluar dari mulut seorang wanita.
Seiring lenyapnya lengkingan itu, terdengar suara menggerung keras seperti ada
harimau murka.
Pada saat yang sama, sesosok
bayangan putih ber-kelebat ke arah Ruksamurka. Siapa lagi sosok bayangan putih
ini kalau bukan Melati?
Memang, putri angkat Raja
Bojong Gading ini akhirnya memutuskan untuk membantu gurunya. Dia kini telah
melompat menyerang Ruksamurka. Tahu akan kelihaian lawan, tanpa ragu-ragu lagi,
pedangnya dicabut. Dan dengan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', dilancarkannya
serangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Ruksamurka hanya mendengus
melihat serangan itu. Kedua tangannya cepat d-putar-putar di depan dada dengan
arah gerakan dari dalam ke luar.
"Ih...!"
Melati terpekik ketika dari
kedua tangan yang berputar itu muncul angin keras. Akibatnya, tubuhnya hampir
ter-jenkal ke belakang. Dadanya terasa sesak bukan main, seiring munculnya
hembusan angin itu. Seketika itu juga, serangannya kandas sebelum mencapai
sasaran.
Sebelum gadis berpakaian putih
ini sempat berbuat sesuatu. Ruksamurka kembali memutar-mutarkan kedua
tangannya. Tapi kali ini arah gerakannya terbalik, dari luar ke dalam. Seketika
itu juga muncul sebuah kekuatan luar biasa yang menarik tubuh Melati ke arah
kakek berpakaian compang-camping itu.
Tentu saja hal ini membuat
Melati kaget bukan main.
"Ilmu macam apa
ini?" tanyanya dalam hati dengan perasaan kaget dan gentar.
Benak gadis itu terus berputar
keras untuk menyelamat-kan diri dari keadaan amat berbahaya ini. Tapi tetap
saja tidak menemukan caranya. Tubuhnya yang tengah berada di udara tidak
mempunyai landasan sama sekali untuk bertahan ketika daya tarik yang amat kuat
membetotnya.
Melati hampir terpekik ketika
merasakan ada sebuah tangan yang mencekal pergelangan tangan kirinya. Belum
sempat kepalanya menoleh, tangan itu sudah bergerak membetot tubuhnya, lalu melontarkannya.
"Cepat pergi...! Atau...,
aku tidak sudi mengakuimu lagi sebagai murid...!"
Seruan keras itu terdengar
seiring terlemparnya tubuh Melati. Wajah gadis itu pucat seketika. Dia tahu
betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga. Jadi, jelas kalau
orang yang telah menyelamatkannya adalah gurunya!
Melati bersalto beberapa kali
untuk mematahkan daya lontar yang membuat tubuhnya terlempar Jauh. Lemparan Ki
Julaga ternyata kuat bukan main, sehingga tubuhnya terlontar deras.
Pyarrr...!
Air menyiprat ke sana kemari
begitu kedua kaki Melati mendarat di tanah. Untung saja hujan telah reda, dan
tinggal gerimis. Sehingga tubuhnya tidak begitu basah. Berbeda dengan Ki Julaga
dan Ruksamurka. Seluruh tubuh kedua tokoh itu terlihat basah kuyup. Bahkan Ki
Julaga lebih parah lagi. Seluruh tubuh dan pakaian kakek kecil kurus itu kotor,
karena tadi bergulingan di tanah!
Melati menatap pertempuran itu
sekilas. Kini tampak jelas kalau Ki Julaga terdesak. Robohnya kakek itu hanya
tinggal menunggu waktu saja.
Dada Melati terasa sesak. Ada
isak tertahan yang merayap naik ke tenggorokan. Kalau tidak ingat seruan kakek
berpakaian jingga itu, dia lebih suka mati bersama-sama. Tapi itu tidak bisa
dilakukan, karena Ki Julaga tidak membolehkannya. Maka sambil mengeluarkan isak
ter-tahan, Melati melesat kabur sambil membawa sekeping hatinya yang luka.
***
Meskipun dalam keadaan
terdesak dan terhimpit, Ki Julaga masih sempat melihat kepergian Melati. Mulut
kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum. Lega rasa hatinya melihat murid yang
amat disayangi itu mendengar perintahnya. Memang terpaksa kata-kata yang agak
pedas dikeluarkan. Sebab kalau tidak, Melati tak akan mau pergi!
"Selamat Jalan,
Melati...!" teriak Ki Julaga keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Jangan lupa, sampaikan maafku pada Ki Gering Langit. Agar arwahku bisa
tenteram."
"Kakek..!"
Melati menjerit keras.
Butir-butir air bening tampak mengalir deras dari sepasang matanya. Melati
tetap terus berlari sambil menangis, tanpa mengeluarkan suara. Sebenarnya,
baginya menangis adalah suatu pantangan. Tapi kesedihan yang kali ini
ditanggung terlalu berat untuk ditahan. Biar bagaimanapun juga, Melati adalah
seorang wanita yang tidak bisa melepaskan kodratnya. Seorang wanita pasti
memiliki perasaan halus. Sehingga mudah diombang-ambingkan keharuan.
Jeritan Melati keras sekali,
karena keluar dari hati yang terluka. Sehingga tanpa sadar, jeritan itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Jadi bukan hal yang aneh kalau Ki
Julaga mendengarnya.
Seketika itu pula sepasang
mata kakek bertubuh kecil kurus ini merembang berkaca-kaca. Kedua biji matanya
terasa panas. Telinganya, menangkap adanya nada kepedihan dari jeritan muridnya
itu. Dia tahu Melati amat menyayanginya, seperti dirinya terhadap gadis itu
pula.
Tapi Ki Julaga tidak bisa
berlarut-larut tenggelam dalam keharuan. Dia tengah menghadapi lawan yang amat
tangguh. Apalagi keadaannya tengah terdesak dan ter-himpit. Bahkan tak lama
lagi akan roboh. Dan hal itu disadari betul oleh kakek bertubuh kecil kurus
ini.
Keadaan Ki Julaga memang sudah
mengkhawatirkan sekali. Apalagi tubuhnya sudah merasa lelah bukan main. Dan
seiring timbulnya perasaan lelah, kekuatan tenaganya pun merosot jauh. Napasnya
mulai terengah-engah. Namun dia memaksakan diri untuk terus bertahan, agar
Melati dapat pergi sejauh-Jauhnya dan lolos dari kejaran Ruksamurka. Sungguh
besar pengorbanannya pada gadis itu.
Berbeda dengan Ki Julaga,
Ruksamurka sama sekali tidak terlihat lelah. Serangan-serangannya masih
sedah-syat semula. Tahu kalau tenaga lawan telah merosot, Ruksamurka bermaksud
menggunakan kelebihan ini untuk keuntungan dirinya.
Kini Ruksamurka memusatkan
serangan pada putaran kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari
luar ke dalam.
Sementara Ki Julaga mencoba
terus bertahan. Seluruh sisa tenaga dalam yang dimilikinya langsung dikerahkan.
Akibatnya memang mengerikan sekali! Dari mulut hidung, dan telinganya mengalir
darah segar. Kalau kakek ini meneruskan bertahan, dari matanya pun akan keluar
darah segar!
Tapi sebelum hal itu terjadi,
kedua kaki Ki Julaga sudah tidak mampu bertahan. Seketika itu juga tubuhnya
tertarik deras ke depan.
Ruksamurka mendengus. Telunjuk
tangan kanannya bergerak menotok.
Tukkk...!
Bagai sehelai karung basah,
tubuh Ki Julaga merosot dan jatuh ke tanah. Sekujur tubuhnya terasa lemas dan
tak bertenaga. Ruksamurka memang telah menotoknya sehingga tubuhnya lemas
seketika.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak,
menggelegar seperti guntur. Sebuah tawa kemenangan yang dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam. Sementara Ki Julaga hanya menatap semua kelakuan
lawannya dengan sikap tenang. Tidak terlihat adanya perasaan apa pun di wajah
Ki Julaga, sekalipun sebenarnya ada perasaan ngeri di hati. Dia kini telah
tidak berdaya. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah pada tindakan
Ruksamurka.
Setelah puas tertawa-tawa,
Ruksamurka mengalihkan perhatian pada Ki Julaga. Dengan sorot mata bengis,
ditatapnya wajah kakek berpakaian jingga itu. Kemudian, dia berjongkok.
Kembali Ruksamurka tertawa
bergelak. Masih dengan suara tawa lepas dari mulutnya, tangan kanannya terulur
untuk menggenggam tangan kanan Ki Julaga. Sementara calon korbannya tetap
terlihat tenang walaupun jantungnya berdebar keras penuh kengerian.
Sambil masih terus
tertawa-tawa, Ruksamurka bergerak meremas tangan Ki Julaga yang berada dalam
geng-gamannya. Seketika itu juga terdengar suara berkerotokan keras ketika
tulang tangan Ki Julaga hancur seperti terjepit baja.
Rasa sakit yang amat sangat
melanda Ki Julaga. Tapi hebatnya, dia sama sekali tidak mengeluh. Keringat
sebesar-besar biji jagung tampak membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Giginya
bahkan sampai menggigit bibir kuat-kuat, sampai berdarah.
"Ha ha ha...!"
Tawa Ruksamurka kembali
meledak melihat penderita-an Ki Julaga. Senang rasa hatinya melihat penderitaan
yang dialami calon korbannya. Kemudian masih dengan tawa yang tidak putus,
siksaan itu dilanjutkan. Kedua tangannya yang kekar dan berbulu, meremas hancur
semua tulang-belulang Ki Julaga. Mulai dari tangan kanan, kiri, lalu
dilanjutkan pada kaki. Setelah itu, dengan kekuatan tenaga dalamnya, semua
sambungan tulang-belulang yang telah hancur itu ditarik hingga putus.
Darah berhamburan membasahi
bumi. Bahkan Ki Julaga sampai pingsan akibat tak kuat menahan rasa sakit yang
melanda. Tapi pingsan kakek itu tidak lama, karena Ruksa-murka segera
menyadarkannya. Sebagai seorang yang ber-watak kejam, dia tidak akan menyiksa
korban yang tidak sadarkan diri.
Penyiksaan pun dilanjutkan
lagi. Dan ketika akhirnya penyiksaan berakhir, Ki Julaga tewas. Kini seluruh
anggota tubuhnya tidak ada yang berbentuk lagi. Semua tulang-belulangnya telah
hancur. Dan semua anggota tubuhnya telah tercerai berai tak karuan. Nasib Ki
Julaga sungguh mengenaskan.
Ruksamurka tertawa bergelak
melihat korbannya telah tewas. Kedua tangan dan sekujur pakaiannya penuh
percikan darah. Tapi, kakek ini sama sekali tidak mem-pedulikannya.
Masih dengan tawa bergelak
yang menggelegar seperti guntur, Ruksamurka melesat meninggalkan tempat itu. Dalam
waktu sekejapan saja tubuhnya telah mulai mengecil di kejauhan. Dan seiring
dengan semakin mengecilnya tubuh itu, suara tawa yang terdengar pun semakin
pelan, hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Kini tidak ada lagi suara
hiruk-pikuk pertarungan. Tidak ada lagi tawa bergelak yang menyeramkan.
Keheningan menyelimuti tempat itu. Yang terdengar hanyalah desah angin pelan,
seakan-akan alam bersedih dengan tewasnya Ki Julaga.
***4
Cuaca siang ini panas sekali.
Matahari yang telah berada di tengah-tengah langit memancarkan sinarnya dengan
garang ke bumi. Dan di saat itulah Ruksamurka melang-kahkan kakinya melintasi
tembok batas Desa Cendawa.
Begitu memasuki mulut desa,
pandangan mata kakek berpakaian compang-camping ini segera beredar
ber-keliling, mengamati sekitarnya. Suasana di sekitarnya memang tampak sepi.
Tidak nampak seorang pun yang ada di jalan. Memang, penduduk Desa Cendawa
sebagian besar adalah petani. Jadi, pada saat-saat seperti ini mereka berada di
sawah.
Yang terlihat oleh Ruksamurka
hanyalah pondok-pondok yang pintunya tertutup rapat Ada juga yang pintunya agak
terbuka, tapi itu hanya beberapa pondok saja.
Mulut Ruksamurka menyeringai.
Sepasang matanya pun bersinar-sinar. Entah karena apa, hanya dialah yang tahu.
Kemudian dengan langkah lebar-lebar
tanpa ilmu meringankan tubuh, kakek berwajah penuh guratan bekas luka ini
melangkah lebar menghampiri sebuah pondok yang terletak paling dekat dengan
tempatnya.
Tak sampai tiga puluh langkah,
Ruksamurka sudah berada di depan pondok itu. Perlahan-lahan tangannya diulurkan
untuk mengambil sebatang obor yang ter-pancang di sudut pondok. Obor yang sama
sekali tidak berapi karena hari masih siang.
Krakkk...!
Batang obor yang terbuat dari
batang bambu itu patah dua ketika jari-jari tangan Ruksamurka bergerak. Menilik
dari cara mematahkannya, sepertinya obor itu terbuat dari lidi!
Dengan raut wajah beku dan
sorot mata yang memancarkan kekejaman, Ruksamurka lalu menggosok-kan kedua
batang bambu itu. Luar biasa! Sekejap kemudian, timbul api akibat gosokan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sepasang mata kakek berwajah
penuh luka guratan ini nampak berbinar-binar, menyiratkan kegembiraan hatinya.
Kemudian, dua batang bambu yang menyala itu dilempar-kan ke atas pondok yang
beratapkan rumbia.
Secepat kedua batang bambu itu
jatuh di atap pondok itu, secepat itu pula api mulai membakar! Mula-mula kecil,
tapi semakin lama semakin besar! Api itu tidak hanya membakar atap, tapi juga
menjalar ke arah dinding bilik bambu.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa
terbahak-bahak begitu melihat api semakin membesar. Gembira hatinya melihat
pertunjukan di hadapannya.
Api itu memang cepat sekali
membesar. Karena di samping pondok itu terdiri dari bahan-bahan yang mudah
terbakar, angin yang berhembus cukup kencang ikut mendukung cepatnya api
membesar.
"Kebakaran...!"
Terdengar teriakan panik dari
seorang penduduk yang kebetulan berada di dalam pondok. Menilik dari suaranya
yang melengking, bisa diketahui kalau dia adalah seorang wanita.
Seiring terdengarnya teriakan
itu, daun pintu depan yang tadi tertutup rapat terbuka tiba-tiba. Jelas orang
di dalamnya terburu-buru membuka pintu itu.
Secepat daun pintu itu
terbuka, secepat itu pula seorang wanita berlari-lari kalang-kabut keluar.
Usianya sekitar tiga puluh tahun, dan kulitnya coklat. Dia menggendong seorang
anak berusia sekitar dua tahun yang menangis menjerit-jerit. Rupanya anak itu
merasa kepanasan, karena rumahnya terbakar.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak
melihat wanita itu kebingungan. Hatinya geli melihat wanita itu kalang-kabut
menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Tindakan Ruksamurka tidak
sampai di situ saja. Tangannya cepat bergerak, maka sesaat kemudian anak dalam
gendongan wanita itu telah direbutnya.
"Kembalikan
anakku...!"
Wanita itu menjerit seraya
melangkah cepat meng-hampiri Ruksamurka yang hanya tertawa-tawa. Jelas, wanita
itu ingin merebut kembali anaknya.
Masih dengan tawa bergelak,
Ruksamurka menggerak-kan tangan menampar tanpa pengerahan tenaga dalam. Kakek
berwajah penuh luka itu hanya mengerahkan tenaga biasa. Itu pun tidak
seluruhnya.
Plakkk...!
Telak dan keras bukan main
tamparan Ruksamurka menghantam pipi wanita berkulit coklat itu. Seketika itu
juga, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Mulutnya tampak meringis menahan
sakit. Namun hal itu tidak dipeduli-kannya. Wanita itu langsung bangkit berdiri
dan kemudian menghambur ke arah Ruksamurka. Pada pipi wanita itu tampak tanda
merah bergambar telapak tangan.
"Kembalikan
anakku...!" jerit wanita itu lagi.
Tapi sebelum wanita berkulit
coklat itu berhasil me-rampas anaknya, Ruksamurka telah lebih dulu melempar-kan
anak itu ke dalam pondok yang telah menjadi kobaran api.
Sambil terus menjerit-jent
menyayat, anak kecil itu melayang deras. Sementara sang Ibu yang melihat
anaknya, menjadi semakin hancur hatinya. Dia hanya mampu berteriak ngeri
bercampur duka mendalam.
"Susullah anakmu ke
neraka ..!" seru Ruksamurka tiba-tiba.
Ruksamurka memutar-mutarkan
kedua tangannya di depan dada dengan arah gerakan dari dalam ke luar. Seketika
itu juga berhembus angin keras yang membuat tubuh wanita malang itu melayang
deras ke arah rumahnya yang tengah dilahap api.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak.
Tampak jelas kalau hatinya merasa gembira menyaksikan perbuatannya.
***
Kobaran api yang membesar itu
tentu saja menimbulkan kepulan asap yang menjulang ke angkasa. Seketika itu
pula seluruh penduduk Desa Cendawa menjadi geger. Kontan mereka yang melihat,
berhamburan ke arah asal asap itu. Sementara penduduk yang berada agak dekat
dengan pondok yang terbakar itu juga bergegas berlari ke sana. Memang, pondok
yang terbakar itu letaknya agak jauh dari pondok-pondok.
Tawa Ruksamurka kian keras
ketika melihat penduduk berbondong-bondong datang menghampiri rumah yang
terbakar. Di tangan mereka telah tergenggam alat-alat seadanya untuk memadamkan
api.
Dengan suara tawa yang tidak
pernah lepas dari mulutnya, Ruksamurka segera melesat menyongsong kedatangan
para penduduk.
Rombongan penduduk yang tiba
lebih dulu dan berjumlah hanya delapan orang, terperanjat begitu melihat
sesosok tubuh tinggi besar yang bergerak dari arah yang berlawanan sambil
tertawa-tawa.
"Kau kenal orang itu,
Wardi?" tanya penduduk yang berusia setengah baya pada seorang pemuda
bertubuh pendek gemuk.
"Tidak, Kang," sahut
pemuda bertubuh pendek gemuk yang bernama Wardi. "Melihatnya pun baru kali
ini"
"Jangan-jangan, dia orang
gila yang nyasar kemari. Kalau waras, rasanya tidak mungkin ada kebakaran dia
malah tertawa-tawa gembira," tebak seorang penduduk lain yang mengenakan penutup
kepala dari batok kelapa. "Lihat saja pakaian yang dikenakannya."
Mendengar ucapan itu, serentak
tujuh buah kepala penduduk yang lain terangguk. Rupanya mereka semua menerima
pendapat itu.
Yakin akan kebenaran dugaan
tadi, kedelapan orang penduduk itu tidak mau cari penyakit. Mereka cepat
bergerak menyingkir agak ke kanan jalan agar tidak berpapasan dengan
Ruksamurka. Untung jalan itu lebar.
Tapi Ruksamurka yang memang
sudah berniat mem-bantai semua penduduk Desa Cendawa, tidak ingin mem-biarkan penduduk
itu lolos dari tangannya. Maka begitu para penduduk menyingkir ke arah kanan,
dia pun ber-gerak mengikuti. Sehingga kini tetap saja rombongan penduduk itu
akan berpapasan jalan dengannya.
Tentu saja hal ini membuat
Wardi dan rekan-rekannya jadi gemas. Mereka tengah terburu-buru, dan kini malah
ada orang gila yang mengganggu. Tentu saja mereka menjadi sewot.
Karena perasaan itulah yang
menyebabkan mereka semua tidak bergerak menyingkir lagi. Mereka sudah bertekad,
kalau orang gila itu bersikap macam-macam, akan dihajar hingga babak belur.
Semakin lama jarak mereka
semakin dekat. Hingga kini, jarak antara kedua belah pihak tak lebih dari dua
tombak.
Wardi dan para penduduk lain
menjadi gemas juga melihat Ruksamurka sama sekali tidak bergeming dari tempatnya.
Maka kedelapan orang ini memutuskan untuk menghajarnya hingga babak belur.
Delapan orang penduduk itu
melangkah maju dengan sorot mata mengancam. Senjata-senjata yang berada di
tangan, diacung-acungkan agar Ruksamurka takut.
Begitu jarak antara mereka
tinggal dua tombak lagi, mendadak tangan Ruksamurka bergerak. Seketika para
penduduk desa itu terkesiap. Tak ada yang mampu mengelak atau menangkis. Tak
pelak lagi, dua orang kawan Wardi telah tercekal tangannya.
Sebelum kedua orang penduduk
itu menyadari apa yang terjadi, Ruksamurka sudah bergerak membetot keras
anggota tubuh mereka.
Suara bergemeletuk dari
terlepasnya sambungan tulang pangkal lengan kedua orang penduduk itu terdengar.
Kontan kedua orang yang malang itu menjerit keras.
Belum lagi gema jeritan itu
lenyap, tubuh kedua orang itu telah terlempar ke atas melewati kepala
Ruksamurka. Mereka terus melayang deras ke arah rumah yang telah menjadi lautan
api.
"Aaa…!"
Jerit kematian terdengar
ketika kedua orang penduduk yang malang itu jatuh ke dalam kobaran api.
Wardi dan kelima orang
kawannya seketika terbelalak kaget melihat hal ini. Kini mereka semua sadar
kalau orang yang disangka gila itu ternyata seorang tokoh sesat yang memiliki
kepandaian tinggi.
Meskipun mereka semua tidak
memiliki ilmu silat, tapi bukan berarti buta terhadap orang yang memiliki
ke-pandaian tinggi. Karena, di Desa Cendawa pun terdapat sebuah perguruan silat
yang cukup ternama.
Kembali tangan Ruksamurka
bergerak, namun kali ini memutar di depan dada. Arahnya dari luar ke dalam.
Wardi dan kelima orang
kawannya terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja muncul angin keras yang
menarik mereka ke arah kakek berpakaian compang-camping itu.
Dengan kedahsyatan ilmu
'Tarikan Pusaran Air Laut', tidak sulit bagi Ruksamurka untuk mengambil keenam
orang penduduk itu. Dan begitu tubuh penduduk-penduduk itu telah tertarik ke
arahnya dengan enaknya, tangannya langsung terulur menangkap tangan dan
bagian-bagian tubuh lainnya. Kemudian dilemparkannya tubuh-tubuh itu ke dalam
kobaran api.
Jeritan kematian kembali
terdengar begitu tubuh keenam orang itu meluruk ke arah kobaran api yang
menyala-nyala dahsyat.
"Ha ha ha...!"
Kembali suara tawa Ruksamurka
yang keras dan menggelegar terdengar. Sebuah tawa penuh bernada kegembiraan.
Rupanya kakek berwajah penuh
guratan luka ini belum puas dengan pembantaiannya. Kembali dihampirinya
pondok-pondok lain, kemudian dibakarnya.
Kini Desa Cendawa telah
menjadi lautan api. Di sana-sini tampak pondok-pondok yang terbakar. Beberapa
di antaranya telah padam, dan hanya tinggal puing-puing diselingi asap bau
sangit yang membumbung ke atas.
Kekejaman Ruksamurka memang
menggiriskan. Setiap penduduk yang dijumpainya, entah wanita atau laki-laki,
tua maupun muda, besar ataupun kecil, semuanya segera dilemparkan ke dalam api
yang berkobar-kobar!
"Manusia
terkutuk...!"
Terdengar makian keras begitu
Ruksamurka baru saja melemparkan orang terakhir yang ditemui ke dalam kobaran
api. Tokoh sesat itu langsung memalingkan wajahnya. Sepasang matanya menatap pemilik
suara dengan pandangan penuh selidik.
Di hadapan kakek berpakaian
compang-camping ini nampak berdiri belasan orang berwajah dan bersikap gagah.
Pakaian mereka rata-rata putih. Sementara di bagian dada sebelah kiri terdapat
gambar seekor burung gagak dengan benang hitam. Tampaknya mereka adalah
murid-murid sebuah perguruan silat.
Ruksamurka menatap sosok-sosok
tubuh yang berdiri di hadapannya dengan senjata terhunus. Sepasang matanya
berbinar-binar melihat calon korbannya. Memang mengeri-kan sekali watak kakek
berpakaian compang-camping ini. Kegemarannya memang membunuh orang!
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka kembali tertawa
terbahak-bahak. Karuan saja hal ini membuat belasan orang itu yang ternyata
murid Perguruan Gagak Putih menjadi marah bukan main. Ditertawai seorang kakek
jembel yang sama sekali tidak dikenal, siapa yang tidak sewot?
"Orang sepertimu memang
tidak patut dibiarkan hidup...!"
Seorang murid Perguruan Gagak
Putih yang berkumis tebal rupanya tidak kuat lagi menahan amarahnya. Dia
langsung melompat menerjang Ruksamurka dengan pedang menusuk cepat ke arah
dada. Suara bercuitan nyaring mengiringi serangan itu.
Namun Ruksamurka sama sekali
tidak mempedulikan-nya. Bahkan tidak nampak adanya tanda-tanda akan mengelak
atau menangkis. Dadanya seperti dipasang, memberi keleluasaan lawan untuk
menyerang.
Takkk..!
Terdengar suara keras seperti
ada dua benda keras yang berbenturan ketika ujung pedang itu mengenai
sasarannya. Hebatnya, dada Ruksamurka sama sekali seperti tidak tersentuh
apa-apa. Justru, pedang itulah yang patah-patah.
Laki-laki berkumis tebal dan
rekan-rekannya yang me-lihat kejadian itu terkejut bukan kepalang. Apalagi,
laki-laki berkumis tebal itu. Selain terkejut, dia juga merasakan sakit pada
sekujur tangannya.
Di saat itulah tangan kanan
Ruksamurka kembali terulur.
Tappp...!
Laki-laki berkumis tebal itu
tidak mampu mengelak lagi, sehingga tangan kanannya tercekal tangan Ruksamurka.
Suara gemeretak keras
menandakan remuknya tulang, terdengar ketika jemari Ruksamurka bergerak
meremas. Laki-laki berkumis tebal melolong kesakitan. Keringat sebesar biji
jagung bermunculan di wajahnya. Rasa sakit yang melandanya memang amat
menyiksa.
Baru saja lolong kesakitan itu
lenyap, tubuh laki-laki berkumis tebal itu telah melayang ke arah kobaran api
ketika Ruksamurka melontarkannya.
Kembali terdengar jeritan
menyayat hati dari mulut laki-laki berkumis tebal itu. Tepat ketika jeritan itu
menghilang, tubuhnya pun lenyap ditelan kobaran api yang mem-bumbung tinggi
menyebarkan hawa panas di sekitarnya.
Murid-murid Perguruan Gagak
Putih sama-sama mem-belalakkan mata melihat kejadian yang menimpa seorang rekan
mereka. Dan memang, mereka semua tak sempat berbuat sesuatu karena kejadian itu
berlangsung begitu cepat. Dan tahu-tahu, laki-laki berkumis tebal itu telah
tenggelam dalam kobaran api!
Mereka tersadar kembali begitu
mendengar tawa meng-gelagar dari Ruksamurka. Semula, tidak ada yang aneh pada
tawa itu. Tapi sesaat kemudian, baru tampak keanehannya.
Suara itu perlahan-lahan mulai
membesar, sampai akhirnya menggelegar mirip guntur. Seiring semakin
mem-besarnya tawa itu, murid-murid Perguruan Gagak Putih mulai merasakan
akibatnya.
Murid-murid Perguruan Gagak
Putih merasakan teliga mereka mendengung dan sakit bukan main. Bahkan dada pun
terasa sesak. Tanpa dapat dicegah, lutut mereka mulai goyah.
Sadar kalau Ruksamurka
menyerang mereka dengan suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam,
murid-murid Perguruan Gagak Putih segera mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan. Mereka juga menutup teliga untuk mencegah masuknya serangan suara itu.
Tapi, ternyata semua yang
dilakukan sama sekali tidak ada gunanya. Suara tawa Ruksamurka tetap menyerang,
sehingga tubuh murid Perguruan Gagak Putih mulai roboh satu persatu. Dari
mulut, hidung, dan telinga mereka mengalir darah segar.
Tak lama kemudian tak ada lagi
satu pun murid Perguruan Gagak Putih yang tertinggal. Semuanya tewas dalam
keadaan mengerikan.
Ruksamurka tersenyum puas
melihat mayat-mayat korbannya. Sepasang matanya beredar ke sekelilingnya.
Dugaannya, barangkali saja masih ada orang yang belum mendapat giliran untuk
pergi ke alam baka.
Tapi begitu diyakini tidak ada
lagi orang yang tertinggal, kakek berpakaian compang-camping ini terus
melangkah masuk ke dalam desa. Setiap pondok utuh yang dilihatnya, langsung
dibakar. Dan setiap penduduk yang dijumpai langsung dibantai!
***
5
Ruksamurka menghentikan
langkah kakinya begitu melihat sesosok tubuh berdiri tegak menghadang jalan
sekitar lima tombak di hadapannya. Di tangannya nampak sebatang pedang
terhunus.
Kakek tinggi besar itu sama
sekali tidak mempedulikan-nya. Seperti tidak ada apa pun di hadapannya,
langkahnya segera diteruskan.
"Berhenti, Manusia
Biadab...!"
Penghadang itu berseru keras.
Nada kemarahan yang amat sangat terdengar di dalamnya. Jelas, penghadang itu
tengah dilanda amarah yang menggelegak hingga ke ubun-ubun.
Terdengar suara gemeretak
keras dari mulut Ruksa-murka. Kakek berpakaian compang-camping ini memang marah
bukan main. Dan bentakan itulah yang menyebab-kannya. Kontan tepasang matanya
menatap tajam ke arah sekujur wajah dan tubuh penghadangnya.
Penghadang itu ternyata
seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun dan berpakaian putih. Ada
gambar seekor burung gagak yang disulam dari benang hitam pada bagian dada kiri
pakaiannya. Sikapnya yang gagah semakin terlihat gagah dengan adanya kumis dan
cambang bauk lebat yang menghias wajahnya.
Setelah merasa cukup
memperhatikan penghadangnya, Ruksamurka terus saja melangkah maju. Tidak
dipeduli-kannya seruan laki-laki bercambang bauk lebat itu.
"Manusia biadab...! Kau
harus bayar nyawa murid-muridku yang tewas di tanganmu!" teriak laki-laki
ber-cambang bauk lebat yang ternyata Ketua Perguruan Gagak Putih. Nada suaranya
keras, penuh hawa kemarahan. "Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, lebih
baik nama Laksana kubuang!"
Setelah berkata demikian,
Ketua Perguruan Gagak Putih yang ternyata bernama Ki Laksana ini melompat
menerjang. Pedang di tangan kanannya meluncur deras ke arah dada Ruksamurka.
Singgg...!
Suara berdesing nyaring
terdengar mengiringi serangan itu. Menilik dari desingannya, bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu.
Ruksamurka hanya mendengus.
Tidak tampak sama sekali kalau kakek berpakaian compang-camping ini akan
mengelak. Baru setelah tusukan pedang itu menyambar dekat, tangan kanannya
terulur. Pelan saja, seperti tanpa pengerahan tenaga.
Tappp...!
Bagaikan menangkap sebatang
singkong, Ruksamurka menangkap bilah pedang lawan yang tajam. Bahkan sebenarnya
bukan hanya menangkap, tapi juga men-cengkeramnya.
Sepasang mata Ki Laksana
terbelalak begitu melihat bilah pedangnya hancur jadi serbuk begitu kakek
ber-pakaian compang-camping itu meremas pedangnya. Padahal, pedang itu tidak
bisa dianggap sembarangan, karena memang sebatang pedang pusaka. Bisa
dibayang-kan, betapa hebatnya tenaga dalam lawan yang mampu meremas pedang
tanpa terluka sama sekali. Dan hal ini tentu saja membuat Ketua Perguruan Gagak
Putih itu ter-peranjat.
Ki Laksana tidak bisa
berlama-lama tenggelam dalam perasaan terkejut. Kini dia tahu, kakek berwatak
telengas itu adalah seorang lawan yang amat tangguh. Bukti nyata di hadapannya
telah menjadi saksi kelihaiannya.
Maka buru-buru laki-laki
bercambang bauk lebat ini melompat ke belakang. Namun Ruksamurka sama sekali
tidak mengejarnya, dan hanya memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada
dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Ketua Perguruan Gagak Putih
ini kaget bukan main begitu merasakan adanya tenaga amat kuat yang menariknya
ke depan. Ki Laksana tahu jika bertahan tidak akan ada gunanya. Jelas, tenaga
lawan jauh di atasnya. Bahkan bila mencoba terus bertahan hanya akan
men-celakakan diri sendiri.
Itulah sebabnya Ki Laksana
segera membanting tubuh ke tanah. Dan memang, setelah berada di tanah, tidak
ada kekuatan aneh yang menyedotnya ke depan. Jelas, ke-kuatan yang menarik itu
ternyata mendatar. Dan hanya menunjukkan pengaruhnya, bila lawan berada dalam
keadaan tidak terlalu rendah.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Ki Laksana untuk menyelamatkan nyawanya. Begitu tubuhnya telah berada
di tanah, laki-laki bercambang bauk lebat ini langsung menggulingkan tubuhnya.
Dan begitu merasa telah berada
di tempat aman. Ki Laksana baru menghentikan gulingannya. Tubuhnya kemudian
melenting ke atas. Dengan wajah pucat, Ketua Perguruan Gagak Putih ini menatap
sekujur tubuh Ruksa-murka penuh selidik.
Ki Laksana dulu adalah seorang
tokoh hitam yang cukup terkenal. Tapi akhirnya dia sadar, lalu mendirikan
sebuah perguruan yang diberi nama Perguruan Gagak Putih. Sebuah nama yang aneh,
karena burung gagak umumnya berwarna hitam. Tapi, Ki Laksana sengaja memberinya
nama demikian. Dia memang mempunyai maksud dengan nama itu. Burung gagak
melambangkan dirinya yang dulu. Dan tambahan putih di belakang kata gagak,
menunjukkan kalau dirinya telah tobat.
Sebagai seorang tokoh
terkenal, Ki Laksana tentu saja cukup mengenal ilmu-ilmu dahsyat tempo dulu
berikut pemiliknya. Dan salah satu ilmu yang dikenalnya adalah yang mempunyal
akibat seperti dirasakan kali ini. Ilmu itu bernama 'Tarikan Pusaran Air Laut’.
Ilmu 'Tarikan Pusaran Air
Laut' memang merupakan sebuah ilmu dahsyat dan menggiriskan. Tapi ilmu itu
tidak membuat dunia persilatan gempar. Si pemilik ilmu itulah yang membuat
tokoh-tokoh persilatan ngeri. Dialah Ruksa-murka, seorang manusia yang lebih
tepat disebut iblis.
Kini Ki Laksana merasakan
tanda-tanda kalau lawan menggunakan ilmu itu. Tentu saja hal itu membuatnya
ter-kejut bukan kepalang, Ruksamurka-kah orang yang dihadapinya? Bukankah kakek
yang mengerikan itu telah lama lenyap?
Perasaan ngeri yang hebat
mulai menjalari hati Ki Laksana begitu melihat tanda-tanda adanya kebenaran
kalau tokoh yang berdiri di hadapannya adalah Ruksa-murka. Siapa lagi tokoh
yang begitu kejam membantai seisi desa tanpa kenal ampun, kecuali Ruksamurka?
Ruksamurka menggeram melihat
lawan berhasil meng-elakkan diri dari daya sedot ilmu 'Tarikan Pusaran Air
Laut'. Hal ini benar-benar membuat penasaran hatinya. Ki Laksana telah berhasil
menemukan kelemahan ilmunya, maka orang ini harus cepat-cepat dimusnahkan.
Setelah mengambil keputusan
demikian, Ruksamurka tidak menunggu datangnya serangan lagi. Kakek ber-pakaian
compang-camping ini malah melompat menye-rang. Tangan kanannya dengan sikap
jari-jari tangan mengepal, meluncur deras ke arah dada Ketua Perguruan Gagak
Putih.
Wusss...!
Deru angin keras terdengar
mengiringi tibanya serangan, sehingga membuat Ki Laksana terperanjat. Apalagi
tatkala merasakan kecepatan serangan itu. Hembusan anginnya saja sudah membuat
tubuhnya hampir terjengkang. Untung dia buru-buru mengerahkan tenaga dalam
untuk mem-beratkan tubuhnya.
Pada saat yang sama, Ki
Laksana lalu menusukkan pedangnya yang tinggal separuh ke arah dada kiri
Ruksamurka. Luar biasa! Ketua Perguruan Gagak Putih ini rupanya berniat mengadu
nyawa.
Memang setelah mempunyai
dugaan kuat kalau lawan-nya adalah Ruksamurka, Ki Laksana tidak bisa berharap
terlalu banyak. Dia tahu dirinya bukan tandingan tokoh sesat yang menggiriskan
itu. Maka, laki-laki bercambang bauk lebat ini memutuskan untuk mengadu nyawa.
Itulah sebabnya Ki Laksana
sama sekali tidak meng-elakkan serangan pukulan Ruksamurka, tapi sebaliknya
malah melancarkan serangan pula. Dan karena laki-laki bercambang bauk lebat ini
menggunakan senjata, dengan sendirinya jangkauan serangannya jadi lebih jauh.
Dan sebelum serangan kakek berpakaian compang-camping itu tiba, tusukan
pedangnya akan lebih dulu menghunjam lawan.
Memang apa yang diperhitungkan
Ki Laksana tidak meleset. Tusukan pedangnya lebih dulu tiba sebelum serangan
pukulan Ruksamurka. Tapi, ternyata pedangnya membalik begitu mengenai tubuh
Ruksamurka. Seakan-akan bukan kulit manusia yang tertusuk, tapi lempengan baja
yang amat kuat. Dan saat itulah pukulan Ruksamurka menghantam dadanya.
Takkk...! Bukkk...!
Semua kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Tahu-tahu, tubuh Ki Laksana telah tertempar jauh ke belakang
diiringi jeritan menyayat hati. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir
darah segar. Ketua Perguruan Gagak Putih ini tewas seketika dengan seluruh isi
dada remuk. Pukulan Ruksamurka memang keras bukan main, karena telak mengenai
sasarannya.
Brukkk...!
Suara berdebuk keras terdengar
begitu tubuh Ki Laksana yang telah menjadi mayat jatuh ke tanah. Tak kurang
dari tujuh tombak tubuh Ketua Perguruan Gagak Putih itu terlempar jatuh. Dan
mulai dari tempat terkena pukulan sampal tempat jatuhnya, darah berceceran.
Tanpa mempedulikan mayat Ki
Laksana lagi, Ruksa-murka segera bergerak meninggalkan tempat itu. Kakek
berpakaian compang-camping ini melangkah masuk jauh ke dalam desa.
***
"Tidak salahkah
penglihatanku...?" gumam seorang pemuda berambut putih keperakan.
Pakaiannya ungu, dengan guci arak tersampir di punggung. Sepasang mata-nya
menatap jauh ke depan.
Nun jauh di hadapan pemuda
berpakaian ungu itu, nampak asap tebal dan hitam membumbung tinggi. Begitu
banyak dan bergumpal-gumpal.
Pemuda berambut putih
keperakan yang tak lain Arya Buana alias Dewa Arak itu menyipitkan sepasang
mata untuk lebih memperjelas penglihatannya.
"Tidak salah lagi. Pasti
ada kebakaran hebat di sana...." gumam Arya lagi.
Setelah menduga demikian, Dewa
Arak langsung melesat ke arah asal asap bergulung-gulung itu. Cepat bukan main
gerakannya. Hal ini tidak aneh, karena ilmu meringankan tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu telah tinggi. Dan saat itu karena ingin buru-buru
mengetahui kejadian di depan, dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya.
Semakin lama, jarak antara
Dewa Arak dengan asal asap yang membumbung tinggi itu semakin dekat. Dan dengan
sendirinya, semakin jelas terlihat penyebab munculnya asap hitam yang begitu
menggumpal bergulung-gulung.
Sepasang mata Dewa Arak
terbelalak begitu melihat penyebab munculnya asap. Hampir dia tidak mempercayai
pandangan matanya. Tampak pondok-pondok di Desa Cendawa terbakar hebat.
Melihat hal ini, Arya semakin
mempercepat larinya. Tak lama kemudian, batas tembok Desa Cendawa telah
terlihat. Dan Dewa Arak terus berlari memasuki desa.
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Arya begitu melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya. Pondok-pondok
terbakar hebat di sana-sini. Beberapa di antaranya telah menjadi puing-puing
yang masih menge-luarkan asap. Berkernyit dahi Arya begitu mencium bau sangit
daging terbakar.
Rasa penasaran mendorong Arya
untuk menghampiri satu pondok yang sudah menjadi puing-puing. Sesaat lamanya
sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini menatap ke arah puing-puing
itu, kemudian kedua tangannya diputar-putarkan di depan dada.
Wusss...!
Dari kedua tangan yang
berputaran itu berhembus angin keras yang membuat tumpukan puing-puing
berpentalan tak tentu arah. Seketika, sekitar tempat itu terselimut arang debu.
Arya menggerakkan tangannya
sekali lagi. Kali ini tidak berputar di depan dada, tapi hanya mendorong. Pelan
saja kelihatannya, tapi akibatnya debu yang menutupi pandangan itu terusir
pergi.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat
begitu melihat pemandangan yang di balik tumpukan puing tadi. Tampak beberapa
bagian tulang-belulang manusia yang rupanya tidak ikut habis terbakar.
Sekali lihat saja, Arya tahu
kalau mayat manusia yang ikut terbakar bersama pondok itu tidak hanya satu
saja. Dewa Arak menemukan beberapa tengkorak kepala manusia. Di antaranya malah
ada yang merupakan tengkorak bayi.
"Biadab...!"
Geraman bernada kemarahan
terdengar dari mulut Dewa Arak melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya.
Untuk beberapa saat lamanya Arya tercenung diam. Raut wajahnya tampak kaku
karena kemarahan yang membakar hatinya.
Dengan langkah lesu dan dada
sesak terbakar amarah, Dewa Arak melangkah meninggalkan pondok itu. Benaknya
sibuk menduga-duga, siapa pelaku perbuatan keji ini. Benarkah semua ini
perbuatan Ruksamurka, tokoh sesat yang berhasil bebas dari kurungan?
Belum berapa jauh melangkah,
pandangan Arya ter-tumbuk pada beberapa sosok tubuh yang tergeletak menghadang
jalan. Menilik dari keadaan tubuh yang sama sekali tidak bergerak-gerak, Arya
bisa memastikan kalau semua sosok tubuh itu telah tidak bernyawa lagi.
Meskipun begitu, Dewa Arak
segera menghampiri. Hanya dalam sekejapan saja, dia sudah berada di hadapan
sosok-sosok tubuh yang tergolek.
Arya menghitung jumlah mayat
itu dengan matanya. Sebelas orang. Menilik dari pakaian dan lambang yang
tertera pada dada sebelah kiri, bisa diperkirakan kalau mayat-mayat itu berasal
dari satu perguruan. Pakaian mereka berwarna putih, dan ada sulaman bergambar
burung gagak pada bagian dada sebelah kiri. Memang, mereka adalah murid-murid
Perguruan Gagak Putih yang tewas oleh Ruksamurka.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat
melihat mayat-mayat itu. Sekali lihat saja, dia tahu kalau sebelas sosok itu
tewas karena serangan tenaga dalam yang dipancarkan dari suara tawa.
Dengan raut wajah yang semakin
lesu, dan kemarahan yang semakin bergolak, Dewa Arak melangkah meninggal-kan
mayat-mayat itu. Tidak seperti biasanya, pemuda berambut putih keperakan ini
tidak menguburnya. Masalahnya, ia tahu kalau korban pembantaian masih akan
ditemukan lagi.
Dugaan Arya memang benar.
Masih banyak mayat yang ditemukannya di sepanjang perjalanan. Sebagian besar
tidak bisa dikenali lagi, karena telah hancur terbakar. Hanya beberapa gelintir
saja yang ditemukan mayatnya. Yang jelas, seluruh isi desa itu telah habis. Tak
ada seorang pun yang tersisa. Di sana-sini masih tampak terlihat kobaran api
yang membumbung tinggi ke angkasa.
"Keji...!"
Kembali sebuah umpatan keluar
dari mulut Dewa Arak melihat tidak ada satu makhluk pun yang masih hidup.
Jangankan manusia, atau binatang. Persawahan pun sudah tidak tampak lagi. Semua
telah musnah terbakar jadi abu. Desa Cendawa benar-benar telah menjadi desa
neraka.
"Siapa pun pelaku semua
ini..., aku tidak akan bisa mengampuninya lagi," desis Dewa Arak. Ada nada
ancaman yang hebat dalam suara itu.
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak bergegas me-ninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas mencari jejak
pembunuh biadab itu.
Kemarahan Arya semakin
bergolak. Dan tekadnya untuk membasmi pembunuh biadab itu semakin besar ketika
di sepanjang perjalanan selalu dijumpai mayat korban pem-bunuhan. Setiap desa
yang dilalui pemuda berambut putih keperakan tidak pernah utuh. Rupanya
Ruksamurka benar-benar hendak membinasakan seluruh penghuni bumi ini.
***
6
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat.
Sudah berhari-hari lamanya mengikuti jejak Ruksamurka, tapi tetap belum
menemukan pembunuh keji itu. Yang selalu dijumpainya hanya bekas-bekas yang
ditimbulkan oleh kebiadaban kakek berwajah penuh guratan itu.
Bahkan setelah melewati sebuah
desa yang telah habis porak-poranda, Dewa Arak kehilangan jejak Ruksamurka.
Rupanya dia telah salah memilih jalan. Dan kini Arya telah tiba di tembok batas
Desa Berung.
"Rupanya aku keliru
memilih jalan," gumam Arya ketika telah melangkahkan kaki memasuki mulut
desa.
Desa Berung ternyata berbeda
dengan desa-desa yang dijumpai sebelumnya. Di sini tidak ditemui mayat
ber-serakan, dan juga tidak terlihat pondok-pondok yang ter-bakar. Jelas,
Ruksamurka belum tiba kemari.
Arya mengedarkan pandangan
berkeliling
"Ataukah pembunuh keji
itu belum tiba di sini?" gumam pemuda berambut putih keperakan itu
kembali. "Tapi, rasanya mustahil. Aku saja yang berada di belakangnya
telah tiba di sini. Ya! Past aku telah keliru memilih jalan."
Dengan benak dipenuhi berbagai
macam pertanyaan itu, Arya kembali melanjutkan perjalanan. Sepasang mata pemuda
berambut putih keperakan itu seperti menatap sekelilingnya, tapi pikirannya
melayang ke mana-mana.
Meskipun demikian, dahi Arya
tetap berkernyit. Dirasa-kannya ada kelainan di Desa Berung. Desa ini terlihat
sepi, tidak nampak seorang pun penduduk yang nampak
"Aneh...!" desis
Dewa Arak pelan. "Ke mana perginya penduduk desa ini?"
Mendadak Arya tersentak.
Pendengarannya yang tajam menangkap adanya denting senjata beradu. Menilik dari
suara nya yang terdengar sayup-sayup, bisa diperkirakan kalau asal suara itu
cukup jauh dari tempatnya.
Arya lebih mempertajam lagi
pendengarannya untuk menangkap denting suara itu agar dapat mengetahui
sumbernya. Sesaat kemudian Arya telah berhasil mem-perkirakannya.
Dewa Arak tak mau
membuang-buang waktu lagi. Cepat tubuhnya berkelebat menuju asal suara itu.
Hebat bukan main gerakannya. Hanya sekali langkah saja, pemuda be-rambut putih
keperakan itu telah berada dalam jarak sekitar dua belas tombak dari tempat
semula.
Arya mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringan-kan tubuh yang dimiliki. Sebuah dugaan yang kuat, telah
membuatnya bertindak seperti itu. Denting senjata beradu itu kemungkinan besar
adalah sebuah pertarungan. Bahkan bukan mustahil kalau orang yang tengah
bertarung adalah pembunuh biadab itu. Apalagi, Arya yang memang sudah bertekad
bulat untuk segera mengenyahkan Ruksamurka. Maka dia berusaha secepatnya tiba
di tempat pertarungan, dan tidak ingin kehilangan jejak lagi.
Semakin lama dentang senjata
beradu itu terdengar semakin keras. Hal ini semakin menggembirakan hati Dewa
Arak. Ini membuktikan kalau dia tidak salah arah.
Kini bukan hanya dentang
senjata beradu saja yang terdengar, tapi juga teriakan-teriakan penuh
kemarahan, bercampur kesakitan, dan diselingi lolong kematian.
Tak lama kemudian, pandang
mata Dewa Arak ter-tumbuk pada sebuah bangunan besar, tapi sederhana. Bangunan
itu terkurung pagar kayu bulat yang tinggi.
Sekali lihat saja, Arya tahu
kalau bangunan itu adalah sebuah perguruan sllat. Dan memang, dugaannya tidak
salah, karena di bagian atas pintu gerbang yang daun pintunya telah roboh itu
terpampang sebuah papan tebal dan berukir yang bertuliskan huruf-huruf indah.
Bunyinya, "Perguruan Tangan Besi".
Karena gerbang sudah tidak
mempunyai pintu lagi, meskipun Dewa Arak masih berada dalam jarak belasan
tombak, tapi bisa melihat apa yang terjadi di halaman depan yang luas itu.
Tampak di sana terjadi sebuah per-tarungan mati-matian, antara orang-orang
berseragam kuning muda melawan orang-orang berwajah dan bersikap kasar.
Sesaat kemudian, Dewa Arak
telah berada di halaman perguruan itu. Dia tidak langsung mencampuri
per-tarungan, melainkan memperhatikan sekelilingnya sesaat.
Arya mengernyitkan alisnya
melihat banyaknya orang berseragam kuning yang tewas. Di bagian dada kiri
mereka terdapat gambar telapak tangan terbuka. Tak kurang dari delapan orang
yang tergolek di tanah.
Kini Dewa Arak mengalihkan
perhatian pada jalannya pertarungan. Tampak orang-orang berseragam kuning yang
rata-rata bersikap dan berwatak gagah itu terus mengada-kan perlawanan sengit.
Tak terlihat kegentaran sedikit pun, sekali pun sebagian kawan-kawan mereka
telah tewas.
Arya menghitung jumlah orang
berseragam kuning itu. Ada empat belas orang, dan rata-rata memiliki kepandaian
cukup tinggi. Tapi meskipun begitu, terlihat jelas kalau mereka tetap tidak
mampu menghadapi lawan. Padahal, lawan yang dihadapi hanya dua orang.
Orang pertama berpakaian
terbuat dari kulit binatang. Tubuhnya terlalu tinggi dan terlalu kurus,
sehingga lebih mirip batang bambu. Kulit wajahnya kuning. Kumis dan jenggot
yang kasar dan jarang-jarang tampak menghias wajahnya. Dengan senjata sebuah
pedang yang panjang-nya satu setengah kali pedang biasa, lawan-lawan ber-usaha
dirobohkannya.
Sedangkan orang kedua,
bertubuh begitu pendek. Di samping itu tubuhnya pun sangat gemuk dan gendut.
Sehingga, lebih mirip bola daripada manusia. Pakaiannya berupa rompi berwarna
merah. Senjatanya yang berupa sebuah golok besar bermata bergerigi tampak telah
ber-lepotan darah. Jelas kalau golok itu telah banyak meminta korban.
Setelah memperhatikan sesaat,
Arya tahu bila per-tarungan dibiarkan terus dapat dipastikan orang-orang
berseragam kuning akan tewas semua di tangan lawannya. Kedua orang lawan itu
amat tangguh, terutama sekali per-mainan senjata mereka.
Dugaan Dewa Arak memang benar.
Meskipun satu orang berwajah dan bersikap kasar itu menghadapi tujuh orang
berseragam kuning, namun sama sekali tidak tampak terdesak. Bahkan sebaliknya
mampu menguasai keadaan.
Sekali lihat saja, Dewa Arak
telah bisa menilai pihak yang harus dibantunya. Menilik dari sikap dan seragam
yang dikenakan, Arya tahu kalau orang berpakaian kuning itu murid-murid
Perguruan Tangan Besi. Hanya yang men-jadi tanda tanya baginya, ke manakah
ketua perguruan itu? Mengapa tidak membantu murid-muridnya yang telah berada di
ambang maut?
"Akh...!"
Salah seorang murid Perguruan
Tangan Besi yang ber-kulit hitam memekik tertahan ketika golok laki-laki
ber-tubuh pendek gemuk menyerempet bahunya. Kontan tubuhnya terhuyung ke
belakang.
Sambil tertawa menyeramkan,
laki-laki berompi merah itu melesat memburu. Golok besar dan bergerigi di
tangan-nya ditusukkan cepat ke arah perut.
Laki-laki berkulit hitam itu
terperanjat melihat maut tengah memburu ke arahnya. Tibanya serangan susulan
itu membuatnya gugup bukan main, sehingga tidak mampu berbuat sesuatu untuk
mengelak.
Bukan hanya laki-laki berkulit
hitam itu saja yang ter-kejut. Rekan-rekannya pun kaget bukan main, karena
tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Serangan itu tiba begitu
mendadak.
Di saat gawat bagi keselamatan
laki-laki berkulit hitam itu, Dewa Arak melesat cepat memapaknya. Nyawa murid
Perguruan Tangan Besi itu memang harus diselamatkan.
Tinggg..!
Suara berdenting nyaring
seperti beradunya dua benda logam terdengar ketika golok bergerigi itu disentil
jari telunjuk Arya. Walaupun hanya sentilan saja, tapi karena dilakukan oleh
seorang tokoh tinggi seperti Dewa Arak, akibatnya pun hebat.
Laki-laki bertubuh pendek
gemuk terperanjat ketika goloknya menyeleweng ke samping. Tangan yang
meng-genggam senjata seketika bergetar hebat seiring berdirinya sesosok
bayangan ungu di depannya.
"Siapa kau...?!"
teriak laki-laki berompi merah ini keras penuh kemarahan "Mengapa
mencampuri urusan kami?!"
"Aku Arya," sebut
Dewa Arak pelan.
"Arya...," laki-laki
bertubuh pendek gemuk itu mengerutkan alisnya. Nada suara maupun sikapnya
menunjukkan kalau tengah mengingat-ingat sesuatu. "Jadi... kau ini... Dewa
Arak...?!"
"Begitulah orang-orang
persilatan menjulukiku...," sahut Arya kalem. Datar saja suaranya. Tidak
ada nada ke-banggaan atau kesombongan yang tersirat di dalamnya.
"Ah...!"
Terdengar jerit keterkejutan
dari laki-laki yang bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Rupanya walau dalam
keadaan sedang bertarung, dia masih mampu memperhatikan sekitarnya. Dan sekali
bergerak saja, tubuhnya telah ber-hasil keluar dari kepungan tujuh orang lawan.
Laki-laki tinggi kurus itu kemudian berdiri di sebelah rekannya.
Tujuh orang murid Perguruan
Tangan Besi sama sekali tidak mengejarnya. Mereka diam memperhatikan, seperti
juga rekan mereka yang menghadapi laki-laki bertubuh pendek gemuk itu. Mereka
ingin melihat, apa yang dilaku-kan Dewa Arak! Memang, julukan itu telah lama
terdengar.
"Kami berdua memang telah
lama mendengar nama besarmu, Dewa Arak. Dan sudah lama pula kami berniat
mencoba kelihaianmu. Aku, si Katak Api. Sedangkan kawanku berjuluk Codot Hutan
Larangan," kata laki-laki bertubuh pendek gemuk memperkenalkan diri,
sekaligus menantang.
"Bersiaplah, Dewa
Arak...!"
Kali ini laki-laki bertubuh
tinggj kurus yang ternyata ber-juluk Codot Hutan Larangan itu yang ganti
berbicara. Suaranya terdengar melengking nyaring.
Setelah berkata demikian,
laki-laki berpakaian dari kulit binatang itu langsung melompat menerjang.
Pedang panjang di tangannya disabetkan ke arah leher Dewa Arak.
Singgg...!
Suara desing nyaring terdengar
mengiringi tibanya serangan pedang itu.
Belum juga serangan itu tiba
di sasaran, si Katak Api juga telah melancarkan serangan. Golok laki-laki
bertubuh pendek gemuk ini meluncur cepat ke arah perut.
Menghadapi kedua serangan yang
tiba berbarengan itu, Dewa Arak sama sekali tidak gugup. Sekali lihat saja
sudah btsa diketahui kekuatan tenaga dalam lawan. Maka pemuda berambut putih
keperakan ini bersikap tenang saja, tidak nampak akan mengelakkan serangan atau
mengeluarkan senjata untuk menangkis.
Baru ketika kedua serangan itu
menyambar dekat, tangan Arya bergerak ke atas untuk menangkis serangan yang
membabat leher. Sementara tangan yang kiri ditetak-kan menangkis golok si Katak
Api dengan arah gerakan dari dalam ke luar.
Takkk, takkk...!
Suara berderak keras seperti
dua batang logam ber-benturan, terdengar begitu sepasang tangan Dewa Arak
menangkis kedua senjata yang mengancam keselamatan nyawanya.
Akibatnya hebat sekali! Tubuh
si Katak Api dan Codot Hutan Larangan sama-sama terhuyung ke belakang. Keduanya
merasakan tangan yang menggenggam senjata seperti lumpuh seketika.
Sebelum sempat berbuat
sesuatu, kedua tangan Dewa Arak telah meluncur ke arah mereka. Cepat bukan main
gerakannya. Sehingga, sebelum kedua tokoh sesat itu sadar, senjata-senjata itu
telah berpindah ke tangan Dewa Arak. Rupanya, Arya telah menotok lumpuh sikut
kedua orang itu.
Kontan wajah kedua orang itu
memucat. Dari tindakan ini saja, sudah bisa diketahui kalau tingkat kepandaian
Dewa Arak amat jauh di atas mereka. Perasaan gentar yang amat sangat seketika
menyelinap di hati kedua orang itu.
Tindakan Arya ternyata tidak
hanya berhenti sampai di situ. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung
memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dan dari kedua tangan yang
berputaran, seketika berhembus angin keras, sehingga membuat tubuh si Katak Api
dan Codot Hutan Larangan terhumbalang ke belakang dan jatuh bergulingan di
tanah.
Meskipun telah menjadi
pecundang, namun si Katak Api dan Codot Hutan Larangan mampu membuktikan kalau
bukanlah tokoh sembarangan. Cepat-cepat kekuatan yang membuat tubuh mereka
terguling-guling dipatahkan, kemudian bergerak bangkit. Lalu, lari tunggang
langgang meninggalkan tempat itu.
Melihat hal ini, murid-murid Perguruan
Tangan Besi tidak tinggal diam. Cepat mereka bergerak mengejar. Namun Arya
tidak mau ikut campur lagi. Dibiarkan saja kedua belah pihak itu menyelesaikan
urusannya sendiri.
Tapi, rupanya tidak semua
murid Perguruan Tangan Besi mengejar lawan. Ada dua orang yang masih berdiri di
situ. Malah keduanya bergerak menghampiri Dewa Arak.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak," ucap salah satu dari kedua orang itu, yang
berkulit hitam. Lukanya kini telah terbalut.
"Ah! Bukankah sudah
merupakan kewajiban kita untuk saling tolong-menolong?" kelit Arya
buru-buru. "Lagi pula, tampaknya kedua orang itu bukan orang
baik-baik."
"Apa yang kau katakan itu
tidak salah, Dewa Arak," sambut laki-laki berkulit hitam. "Kedua
orang itu adalah orang-orang jahat yang telah dikalahkan guru kami, tapi
berhasil meloloskan diri. Sudah lama mereka hendak membalas dendam, tapi mereka
gentar. Jadi, mereka menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan niat itu,
selagi guru kami tidak ada."
"Kalau saja guru kami
berada di tempat, kedua orang itu tak akan mungkin berani datang kemari,"
jelas orang satunya lagi. Laki-laki itu banyak mempunyai tahi lalat di pipinya.
"Memang, sejak Ruksamurka
muncul kembali, tokoh-tokoh golongan hitam lebih berani berbuat
kejahatan," sambung laki-laki berkulit hitam.
"Kalau boleh kutahu, ke
mana guru kalian pergi?" tanya Arya hati-hati.
"Bergabung dengan
tokoh-tokoh aliran putih lain mengejar Ruksamurka," sahut laki-laki yang
wajahnya penuh tahi lalat.
"Aku juga tengah
mengikuti jejaknya. Tapi sayang..., kehilangan jejak," sambut Dewa Arak
cepat.
"Ambil jalan pintas saja,
Dewa Arak," usul laki-laki berkulit hitam.
"Aku belum mengerti
maksudmu, Kang?"
"Begini, Dewa Arak. Dari
guru, aku tahu kalau setiap menjelang bulan purnama, Ruksamurka kembali ke
tempat tinggalnya di Gunung Lenteng. Entah apa yang dilakukan di sana. Guruku
pun tidak mengetahui. Jadi, tunggu saja di sana, Dewa Arak."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini dia mengerti, mengapa Ruksamurka tidak menuju Desa Berung. Bulan
purnama tinggal dua hari lagi. Karena kakek itu hendak menuju Gunung Lenteng,
maka sudah pasti melewati Desa Lenteng. Jadi, Desa Lenteng yang kali ini akan
menjadi Desa Neraka!
"Kalau begitu, aku harus
segera menuju ke sana...!" ucap Arya mengambil keputusan.
"Memang lebih baik
begitu, Dewa Arak," dukung laki-laki berwajah penuh tahi lalat.
"Kita pergi bersama-sama
saja," usul laki-laki berkulit hitam.
Arya terperanjat
"Heh...?! Jadi... kalian
pun ingin menuju ke puncak Gunung Lenteng?"
Laki-laki berkulit hitam
menggelengkan kepala. "Kami ingin melihat rekan-rekan kami yang tadi
mengejar si Katak Api dan Codot Hutan Larangan. Kebetulan arahnya sama dengan
arah yang akan kau tempuh "
Dewa Arak menganggukkan kepala
pertanda mengerti, lalu bergerak menuju Gunung Lenteng diikuti kedua orang
murid Perguruan Tangan Besi.
Dengan adanya dua orang
berseragam kuning ber-samanya, terpaksa Arya tidak bisa mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Pemuda berpakaian ungu itu
hanya mengerahkan sebagian kecil dari ilmu meringankan tubuhnya, agar kedua
orang itu tidak tertinggal jauh.
Belum jauh ketiga orang ini
bergerak, pandangan mereka tertumbuk pada serombongan orang berseragam kuning
yang tengah menuju ke arah yang berlawanan.
Dewa Arak dan kedua orang
murid Perguruan Tangan Besi yang bersarnanya, mengerutkan alis begitu melihat
rombongan itu. Semula sewaktu mengajar, jumlah mereka dua belas orang. Tapi
kini hanya tinggal enam orang!
"Apa yang terjadi,
Sakri?" tanya laki-laki berkulit hitam seraya menatap wajah salah seorang
dari rombongan, tatkala jarak mereka telah dekat.
"Mana kawan-kawan yang
lain?" laki-laki yang wajahnya penuh tahi lalat bertanya pula, sebelum
Sakri tempat menjawab pertanyaan yang diajukan laki-laki berkulit hitam.
"Mereka semua telah
tewas," pelan dan tanpa semangat jawaban Sakri.
"Tewas?!" kedua
orang murid Perguruan Tangan Besi yang berjalan bersama Dewa Arak membelalakkan
sepasang matanya. Jelas, mereka merasa kaget bukan kepalang.
Sakri menganggukkan kepala.
Tapi kematian mereka tidak
sia-sia, Kang, Si Katak Api dan Codot Hutan Larangan berhasil kami tewaskan.
Sungguh tidak disangka dalam keadaan terluka, mereka masih sanggup menewaskan
enam orang rekan kita."
"Lalu mayat
mereka...?" tanya laki-laki berkulit hitam lagi.
"Sudah kami kuburkan,
Kang." sahut Sakri. Sementara murid-murid Perguruan Tangan Besi yang
bersamanya menganggukkan kepala. Mereka semua rupanya merasa terpukul sekali
atas kematian rekan-rekan mereka.
"Kalau begitu..., mari
kembali ke perguruan. Kita urus mayat rekan-rekan kita yang lain," ajak
laki-laki berkulit hitam.
"Kalau begitu aku pergi
dulu, Kang." Dewa Arak yang tahu kalau tidak ada gunanya lagi berada di
situ segera pamit. "Aku harus cepat-cepat mengejar Ruksamurka sebelum
semuanya terlambat"
Tanpa menunggu jawaban, Dewa
Arak segera melesat cepat bagai kilat. Sehingga dalam beberapa saat saja,
tubuhnya sudah berupa titik yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya
lenyap ditelan kejauhan.
"Luar biasa...!"
laki-laki berkulit hitam berseru memuji seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Memang, dia merasa kagum bukan main melihat kesaktian Dewa Arak.
"Usianya masih begitu
muda. Tapi kepandaiannya..., luar biasa! Berita yang tersiar di dunia
persilatan rupanya tidak berlebihan," salah seorang murid Perguruan Tangan
Besi yang berhidung melengkung menggumam penuh kagum.
Bukan hanya kedua orang itu
saja yang merasa kagum melihat kesaktian Dewa Arak. Bahkan juga rekan-rekan
mereka yang lainnya. Mereka semuanya menatap Arya hingga lenyap di kejauhan.
Baru setelah tubuh Dewa Arak
tidak terlihat lagi, mereka semuanya melangkah kembali ke Perguruan Tangan
Besi.
***7
"Ruksamurka...! Berhenti
kau...!"
Bentakan keras menggelegar
memaksa seorang kakek berpakaian compang-camping yang tengah berlari
meng-hentikan langkahnya.
Kakek yang ternyata memang
Ruksamurka itu menoleh ke samping kanan, arah bentakan itu berasal. Wajah kakek
berpakaian compang-camping ini terlihat tenang saja, meskipun tahu kalau orang
yang mengucapkan bentakan itu adalah seorang lawan tangguh. Ini terbukti dari
bentakan yang mengandung getaran kuat tadi.
Dalam jarak sekitar sepuluh
tombak di samping kanan Ruksamurka, berdiri tiga sosok tubuh yang rata-rata
ber-usia lanjut. Dan begitu melihat orang yang dibentak ber-henti, ketiga sosok
tubuh itu melangkah menghampiri.
Ruksamurka membalikkan
tubuhnya, menghadap ke arah tiga sosok tubuh itu. Dia kini berdiri diam
menunggu. Sepasang matanya menatap ke arah tiga orang itu. seperti meremehkan.
"Siapa di antara kalian
yang tadi menyuruhku ber-henti...?!" tanya Ruksamurka begitu tiga sosok
tubuh itu menghentikan langkahnya dalam jarak sekitar tiga tombak di depannya.
Sepasang mata Ruksamurka
menatap berganti-ganti wajah ketiga orang itu. Ada ancaman hebat yang
ter-kandung dalam pertanyaan itu.
Tapi sampai lelah Ruksamurka
menunggu, tidak juga terdengar adanya sahutan dari mulut ketiga orang itu.
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Ruksamurka. Jelas, kakek berwajah penuh gurat luka ini dilanda kemarahan
menggelegak. Dan itu memang benar! Ruksamurka memang paling pantang dibentak
orang. Apa-lagi kalau ucapannya tidak dianggap. Maka, kemarahannya makin
menggelegak sampai ke ubun-ubun.
"Groaaah...! Sungguh
tidak kusangka kalau kalian ber-tiga tidak ubahnya seperti anjing. Di belakang
meng-gonggong, tapi begitu berada di depan diam tutup mulut! Pengecut..! Akan
kurobek mulut kalian semua...!"
"Tutup mulutmu,
Ruksamurka...!" sergah salah seorang dari tiga penghadang itu.
Dia adalah seorang kakek
bertubuh sedang. Kumis dan jenggot tampak menghias wajahnya. Tubuhnya yang
masih terlihat kekar terbungkus sebuah pakaian berwarna kuning yang di bagian
dada kiri tersulam gambar telapak tangan. Dialah Ketua Perguruan Tangan Besi Ki
Galing namanya.
"Hm...," Ruksamurka
menggeram hebat. Sepasang matanya menatap bengis ke arah Ki Galing. "Jadi,
kau rupanya yang tadi membentakku, Tikus Pengecut?!"
"Aku yang tadi menyuruhmu
berhenti, Ruksamurka! Lalu, kau mau apa?!" selak seorang yang berbadan
lebar tapi kurus. Sehingga badannya terlihat tipis. Apalagi dia memang
bertelanjang dada. Kulitnya hitam kecoklatan, pertanda sering terbakar
matahari. Ada sebuah caping yang menutup kepalanya.
Ruksamurka mengawasi laki-laki
bercaping sejenak, kemudian beralih pada sebuah cangkul yang tergenggam di
tangan kanan laki-laki bertelanjang dada itu.
"Siapa kau,
Kunyuk?!" tanya kakek berpakaian compang-camping kasar. "Sebutkan
namamu, sebelum mati penasaran di tanganku!"
"Aku sudah lupa namaku!
Tapi orang persilatan men-julukiku. Petani Tangan Seratus!"
"Sebentar lagi kau akan
dijuluki Petani Tanpa Tangan dan Kaki!" dengus Ruksamurka.
Setelah berkata demikian,
Ruksamurka siap mengeluar-kan ilmu andalannya. Ilmu 'Tarikan Pusaran Air Laut’.
Ruksamurka memutar-mutarkan
kedua tangannya di depan dada. Seketika itu juga angin keras yang mempunyai
daya sedot luar biasa berhembus.
"Awas...! Itu pasti ilmu
'Tarikan Pusaran Air Laut...!"
Salah seorang lagi, seorang
kakek bertubuh kurus kering seperti cecak mati, berseru keras seraya melempar
tubuhnya ke belakang. Kemudian dia bersalto beberapa kali di udara.
Bukan hanya kakek kurus kering
itu saja yang melompat menghindar. Petani Tangan Seratus dan juga Ki Galing pun
melompat ke belakang begitu merasakan adanya angin keras yang berusaha menarik
tubuh mereka ke depan.
Mesikipun begitu, tak urung
mereka merasakan juga akibat serangan itu. Saat mendarat di tanah, sikap kaki
mereka tidak tetap. Terhuyung sana-sini.
Bagaikan seekor binatang buas
yang terluka, Ruksa-murka meraung. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka
lurus bergerak cepat mencari sasaran.
Hebatnya, setiap serangan
kakek ini selalu mengandung hal yang membingungkan lawan. Terkadang sebelum
serangan itu tiba, ada kekuatan membetot luar biasa. Tapi tak jarang, serangan
itu juga didahului sebuah kekuatan tolak yang luar biasa kuatnya.
Petani Tangan Seratus, Ki
Galing, dan kakek kurus kering yang ternyata bernama Eyang Boneng adalah tokoh
aliran putih tingkat atas. Maka tentu saja kepandaian mereka telah tinggi.
Meskipun begitu, tetap saja mereka tidak berani menghadapi Ruksamurka satu
persatu.
Memang ketiga orang sakti ini
telah mengetahui kelihaian tokoh sesat yang menggiriskan itu. Belasan tahun
yang lalu, kakek berpakaian compang-camping ini meraja-lela tanpa ada seorang
pun yang mampu menandinginya.
Melihat Ruksamurka
mengeluarkan ilmu andalan, ketiga orang sakti itu pun mengeluarkan ilmu andalan
masing-masing. Petani Tangan Seratus mengeluarkan 'Ilmu Tangan Seratus'.
Sementara Ki Galing dengan 'Ilmu Tangan Besi'. Sedangkan Eyang Boneng dengan
'Ilmu Tinju Angin'.
Sukar dibayangkan, betapa
dahsyatnya pertarungan antara keempat tokoh sakti itu. Suara menderu, mencicit,
dan mengaung, diiringi suara meletup-letup terdengar menyemaraki pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Angin
pukulan dan tendangan yang nyasar membuat tanah di sekitar pertarungan
terbongkar. Batu-batu besar maupun kecil berpentalan tak tentu arah, terbawa
hembusan angin keras yang bertiup di sekitar tempat itu. Bahkan beberapa batang
pohon besar yang tumbuh di sekitarnya pun tumbang akibat terkena serangan
nyasar.
Pada jurus-jurus permulaan
hingga jurus keempat puluh, Ruksamurka kewalahan bukan main menghadapi
ke-royokan ketiga orang lawannya ini. Memang kalau melawan satu persatu, tidak
begitu sulit bagi kakek berpakaian compang-camping ini untuk mengalahkan
mereka. Tapi karena lawan menghadapinya secara keroyokan, dia merasa sulit
menaklukkan ketiga orang itu.
Memang ketiga orang tokoh
sakti aliran putih itu seperti tidak terdiri dari tiga orang dengan tiga
pikiran, tapi tiga orang dengan satu pikiran. Petani Tangan Seratus, Ki Galing,
dan Eyang Boneng bisa saling mengisi dan bantu-membantu. Serangan mereka
susul-menyusul tanpa henti seperti gelombang laut. Sebaliknya, begitu salah
seorang mengalami desakan, dua orang rekannya selalu berada di sisinya untuk
membantu.
Karena kerjasama ketiga tokoh
ini begitu kompak, Ruksamurka mengalami kesulitan menghadapi mereka. Selama
beberapa puluh jurus, kakek berpakaian compang-camping ini hanya mengelak dan
menangkis. Dan hanya sesekali saja melancarkan serangan.
Begitu pertarungan melewati
jurus keempat puluh lima, Ruksamurka baru bisa memperbaiki keadaan.
Perkem-bangan ilmu lawan-lawannya mulai bisa dikenalnya. Dan dengan sendirinya,
sedikit demi sedikit keadaan mulai bisa diimbangi.
Pada jurus keenam puluh lima,
pertarungan mulai berlangsung imbang. Ruksamurka kini tidak hanya mengelak dan
menangkis, tapi juga balas menyerang dahsyat.
Petani Tangan Seratus, Ki
Galing, dan Eyang Boneng mengeluh dalam hati begitu melihat Ruksamurka berhasil
menata diri. Bahkan kini mampu mengimbangi.
Meskipun begitu, ketiga orang
tokoh sakti itu tidak putus asa. Mereka tetap mengerahkan seluruh kemampuan
yang dimiliki untuk merobohkan lawan.
Hingga seratus jurus
pertarungan masih berlangsung seimbang. Tidak tampak ada tanda-tanda yang akan
terdesak.
Sebenarnya berkali-kali
Ruksamurka berhasil mendesak lawan. Tapi karena kerjasama yang kompak dari
ketiga orang itu, desakan kakek berpakaian compang-camping cepat diurungkan.
Beberapa kali hal yang aneh
terjadi, karena kekhasan ilmu yang dimiliki Ruksamurka. Ilmu yang bernama
'Tarikan Pusaran Air Laut' itu sebenarnya mempunyai daya ke-kuatan menarik yang
amat kuat. Tapi berkat kecerdikan-nya, ilmu itu tidak hanya berisi daya sedot
saja, tapi juga daya tolak Jadi setiap serangan yang dilakukannya selalu
mengandung daya sedot atau daya tolak yang amat kuat.
Hal seperti itulah yang
menimbulkan keanehan. Sering-kali terlihat ketiga orang lawan Ruksamurka
tertarik ke depan, atau terdorong ke belakang setiap kali serangan dilancarkan.
Dan berkat kedahsyatan ilmu
itulah, perlahan namun pasti Ruksamurka berhasil mendesak ketiga orang
lawannya. Bahkan menginjak jurus keseratus lima puluh, berhasil memecah belah
kerjasama ketiga orang itu.
Dengan berhasil dilumpuhkannya
kerjasama Ki Galing, Eyang Boneng, dan Petani Tangan Seratus, Ruksamurka mulai
berhasil mendesak lawan.
Petani Tangan Seratus, Ki
Galing, dan Eyang Boneng menggertakkan gigi begitu mengetahui Ruksamurka
ber-hasil memecah belah kerjasama mereka. Ketiganya sadar, kalau dibiarkan
keadaan akan sangat berbahaya.
Srattt..!
Sinar terang berkeredep ketika
Ki Galing menghunus pedangnya. Langsung dilancarkannya serangan tusukan
bertubi-tubi begitu pedang itu terhunus.
Berbareng dengan serangan
pedang Ki Galing, Petani Tangan Seratus dan Eyang Boneng pun mengeluarkan
senjata andalan masing-masing.
Petani Tangan Seratus segera
menjumput cangkulnya yang sejak tadi tergetetak di tanah. Sedangkan Eyang
Boneng langsung mengeluarkan sepasang tongkat pendek yang panjangnya hanya
setengah tombak. Dan begitu pedang di tangan Ki Galing meluncur, senjata kedua
orang tokoh sakti itu meluncur tiba.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak
begitu melihat ketiga orang lawan mengeluarkan senjata andalan masing-masing.
Dan seiring keluarnya suara tawa itu, tubuhnya melompat ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara.
"Hup...!"
Begitu mendarat di tanah, di
tangan kakek ini telah tergenggam sepasang kecer.
Blanggg...!
Suara keras seperti ada
halilintar menggelegar ter-dengar ketika sepasang kecer itu diadu. Jelas kalau
Ruksamurka membenturkan kecer ini disertai pengerahan seluruh tenaga dalam yang
dimiliki.
Akibatnya hebat bukan main!
Terdengar pekikan ter-tahan dari mulut Petani Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang
Boneng.
Getaran suara yang timbul dari
beradunya sepasang kecer itu benar-benar menggiriskan. Ketiga orang tokoh sakti
beraliran putih itu merasakan sepasang telinga mereka berdengung hebat dan
sakit bukan main. Bahkan dada pun terasa sesak! Bukan itu saja. Kedua lutut
mereka pun terasa lemas bukan main.
Blanggg,..!
Kembali Ruksamurka mengadu
sepasang kecernya. Akibatnya, ketiga orang lawannya kembali memekik. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, mereka melemparkan senjata yang digenggam. Seluruh kekuatan
tenaga dalam yang dimiliki segera dikerahkan untuk melawan pengaruh suara kecer
itu.
Blanggg...!
Sekujur tubuh Petani Tangan
Seratus, Ki Galing dan Eyang Boneng menggigil hebat. Dari mulut telinga, dan
hidung mereka kini mengalir darah segar. Ketiga orang kakek sakti ini
jelas-jelas terluka dalam. Memang tenaga dalam mereka masih di bawah
Ruksamurka.
Blanggg...!
Ruksamurka yang melihat
keadaan ketiga orang lawannya mulai bisa dilumpuhkan, kembali membenturkan
kecernya. Sebagai seorang tokoh sesat yang penuh pengalaman, dia tahu kalau
keadaan lawan sudah amat gawat. Jadi rasanya tidak sulit untuk merobohkan
mereka.
"Huakh...!"
Hampir berbareng, Petani
Tangan Seratus, Ki Galing, dan Eyang Boneng memuntahkan darah segar dari mulut
mereka, kemudian ambruk ke tanah. Sesaat lamanya tubuh ketiga orang itu
menggelepar-gelepar, lalu diam tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Mati!
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak
begitu melihat ketiga orang lawan diam tidak bergerak lagi.
Beberapa saat lamanya kakek
berpakaian compang-camping ini memperhatikan mayat ketiga orang lawannya, baru
kemudian melesat kabur dari situ menuju gunung yang menjulang tinggi agak jauh
di hadapannya. Gunung Lenteng!
Tak lama sepeninggal
Ruksamurka, dari kejauhan melesat cepat sesosok bayangan ungu yang bergerak
cepat. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak! Pemuda berambut putih keperakan itu
dari jauh mendengar suara gemuruh yang memekakkan telinga. Suara itulah yang
menuntunnya ke arah pertarungan Ruksamurka meng-hadapi ketiga orang lawannya
tadi.
"Celaka...! Aku
terlambat..!" keluh Dewa Arak begitu di kejauhan sepasang matanya melihat
tiga sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Melihat hal ini, Arya kembali
mempercepat larinya. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada di dekat ketiga
mayat itu.
Begitu melihat tanda telapak
tangan di dada kiri kakek berpakaian kuning, Dewa Arak telah tahu kalau orang
itu adalah Ketua Perguruan Tangan Besi. Jadi, rupanya kedua kakek yang berada
di sebelah mayat Ki Galing adalah tokoh persilatan yang ingin menghentikan
kebiadaban Ruksamurka.
Arya menatap ketiga mayat itu
dengan pandangan mata penuh penyesalan.
"Maaf..., aku tidak bisa
mengurus mayat kalian. Aku harus buru-buru mengejar Ruksamurka...."
Setelah berkata dernikian,
Dewa Arak segera melesat dari situ untuk mengejar Ruksamurka.
***8
"Hup...!"
Dengan lincahnya, Ruksamurka
melompat ke sana kemari. Kedua kakinya menotok batu-batuan. Sesaat kemudian,
tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di salah satu batu besar yang menonjol.
Kemudian, dia menotok lagi. Begitu seterusnya.
Lincah laksana kera, kakek
berpakaian compang-camping ini melesat ke sana kemari. Padahal, medan yang
ditempuhnya terhitung sulit. Tapi berkat ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi,
tidak sukar baginya untuk menakluk-kannya.
Tak berapa lama kemudian,
Ruksamurka telah berada di puncak Gunung Lenteng. Kakek itu menatap suasana di
sekelilingnya sekilas.
"Ha ha ha...! Lega rasa
hatiku. Setelah sekian lamanya terkurung, kini kembali ke tempat asal. Ha ha
ha...! Tunggulah, Gering Langit! Selesai purnama ini, dendamku akan
terbalaskan. Maka dengan demikian baru hutangmu lunas! Ha ha ha...!"
Sambil berkacak pinggang,
Ruksamurka tertawa keras menggelegar, meskipun tanpa pengerahan tenaga dalam.
Angin yang berhembus kencang membawa suara tawa itu ke tempat-tempat yang jauh.
Setelah puas tertawa-tawa,
tokoh sesat berpakaian compang-camping ini lalu melangkahkan kakinya. Kini ilmu
meringankan tubuhnya tidak dikerahkan karena medan yang ditempuhnya datar.
Setelah puluhan kali
melangkah, Ruksamurka berhenti melangkah karena di hadapannya terbentang jurang
yang amat dalam. Jurang itu sukar diukur kedalamannya. Bahkan dasarnya tak
tampak sedikit pun.
Ruksamurka sama sekali tidak
bingung melihat hal ini. Pandangannya tetap tertuju ke seberang. Lebar jurang
itu tidak kurang dari tiga puluh tombak. Jadi merupakan hal yang mustahil untuk
bisa melompatinya.
Kakek berpakaian
compang-camping itu pun rupanya memang tidak bermaksud melompati jurang itu.
Karena, memang di antara kedua tempat itu dihubungkan dengan seutas tambang
yang merentang jauh sampai ke seberang sana. Jadi, rupanya itulah jalan
satu-satunya menuju ke seberang.
"Hih...!"
Ruksamurka menjejakkan kakinya
ke tanah, maka sesaat kemudian tubuhnya melenting ke atas. Dan....
"Hup...!"
Indah dan manis dilihat, kaki
kakek berwajah penuh guratan luka itu hinggap di tambang. Tampak tambang itu
bergetar hebat ketika kaki Ruksamurka mendarat di atasnya.
"Pembunuh biadab...!
Berhenti...!"
Tiba-tiba sebuah bentakan
keras terdengar ketika Ruksamurka baru saja berniat melentingkan tubuhnya
kembali. Belum lagi lenyap bentakan itu, sesosok bayangan ungu telah melesat
cepat. Sesaat kemudian, di ujung tambang itu telah berdiri Dewa Arak.
Wajah Ruksamurka seketika
berubah merah dan pucat berganti-ganti. Dia tahu, kalau pemilik suara yang
ternyata seorang pemuda berambut putih keperakan itu bertindak licik, tubuhnya
akan tergelincir ke dasar jurang. Dan sudah tentu akan tewas seketika.
Dia kini berada hampir di
tengah jurang. Kalau Dewa Arak memutuskan tali itu, tubuhnya akan terlempar ke
dalam jurang yang dalamnya sukar untuk diukur itu.
Khawatir Dewa Arak akan
bertindak licik, Ruksamurka segera bertindak cepat. Dia segera bergerak
meneruskan perjalanannya untuk mencapai seberang.
"Pengecut..!"
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Dewa Arak begitu melihat lawan melarikan diri. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda berambut putih keperakan itu segera bergerak mengejar. Dia
melompat tinggi ke atas, bersalto beberapa kali di udara. Kemudian bagaikan
seekor burung garuda menyambar mangsa, tubuhnya meluruk cepat ke arah kakek
berpakaian compang-camping itu.
Ruksamurka menggeram hebat.
Makian Dewa Arak benar-benar membuat amarahnya meluap. Tanpa pikir panjang
lagi, segera tubuhnya dibalikkan untuk menyam-but tubuh Arya dengan
tusukan-tusukan jemari tangannya yang lurus dan menegang kaku.
Dewa Arak terperanjat melihat
serangan lawan. Dia memang tidak bermaksud membokong lawan. Maka mendapat
serangan mendadak itu, dia menjadi gelagapan. Tapi meskipun begitu, akal
sehatnya tidak pernah lenyap. Maka seluruh tenaga dalam nya segera dikerahkan
untuk menangkis.
Prattt...!
Suara keras terdengar begitu
kedua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.
Seketika itu juga, tubuh Dewa Arak kembali terpental balik ke atas. Kedua
tangannya yang berbenturan dengan tangan kakek berpakaian compang-camping itu
bergetar hebat! Dadanya pun terasa sesak. Jelas kalau dalam adu tenaga dalam,
kakek berwajah penuh guratan tuka itu masih lebih unggul daripada Dewa Arak.
Tapi keadaan yang dialami
Ruksamurka pun sebenarnya berbahaya. Meskipun tidak ada pengaruh yang berarti
akibat benturan tangan Dewa Arak, tapi karena tengah berada di atas seutas
tambang, dia terpeleset ke bawah.
Serasa copot jantung kakek
berpakaian compang-camping itu ketika menyadari tubuhnya meluruk ke dalam
jurang. Walaupun begitu, dia tidak gugup. Cepat tangan kanannya diulurkan ke
atas, dan....
Tappp...!
Tambang itu berhasil
ditangkapnya.
Pada saat yang bersamaan. Dewa
Arak pun mendarat-kan kakinya di tambang.
Baik Ruksamurka maupun Dewa
Arak sadar, betapa berbahayanya bertarung di atas seutas tambang yang di
bawahnya mulut jurang siap menelan mereka bulat-bulat. Kemungkinan untuk jatuh
ke dalam jurang memang bukan merupakan hal yang mustahil.
Itulah sebabnya kedua orang
itu tidak ada yang saling melancarkan serangan, dan kini sama-sama berdiam di
tempat masing-masing.
"Hih…!"
Mendadak Ruksamurka menarik
tambang itu hingga bergetar. Dan dengan bantuan tenaga tarikan, tubuhnya
melenting ke atas, lalu mendarat di atas tambang.
Pada saat yang bersamaan, Dewa
Arak segera melompat ke atas. Dan begitu kaki Ruksamurka hinggap di tambang,
Dewa Arak pun mendaratkan kakinya pula.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Ruksamurka segera berlari menuju ke seberang. Seluruh ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan agar bisa berlari di atas tambang seperti berlari di atas
tanah datar biasa.
Kali ini Dewa Arak tidak
berani bersikap sembrono, karena menyadari bahaya besar yang mengancam kalau
memaksakan diri menyerang lawan di atas tambang ini. Maka perbuatannya tidak
diulanginya, tapi hanya bergerak di belakang.
Karena kedua tokoh sakti itu
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, walau tidak bisa secepat
seperti tanah datar karena sulitnya medan. Tak lama kemudian Ruksamurka telah
tiba di ujung tambang lebih dulu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki
kakek berpakaian compang-camping ini menjejak tanah seberang jurang.
Arya terkejut bukan main
melihat hal ini. Pada saat itu, tubuhnya masih berjarak sekitar tiga tombak
dari seberang jurang. Dan bila lawan memutuskan tambang itu, sudah pasti Dewa
Arak akan celaka di sana.
Khawatir akan terjadinya hal
semacam itu, Dewa Arak segera melenting ke atas. Dia bersalto beberapa kali di
udara, untuk kemudian hinggap di seberang jurang.
Dugaan Arya ternyata meleset.
Ruksamurka sama sekali tidak bertindak licik seperti itu. Bahkan ketika
tubuhnya tengah berada di udara dan mudah untuk diserang, kakek berpakaian
compang-camping itu sama sekali tidak melan-carkan serangan. Sehingga, Dewa
Arak dapat mendarat di tanah tanpa kesulitan.
"Ha ha ha...!"
Ruksamurka tertawa bergelak
setelah mengamati Arya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Kaukah tokoh yang
berjuluk Dewa Arak itu, Anak Ingusan?!" tanya kakek berpakaian
compang-camping dengan suara menggelegar.
Memang dia telah mendengar
berita tentang seorang tokoh yang menggemparkan dunia persilatan. Konon
kabarnya, tokoh itu seorang pemuda berambut putih keperakan. Julukannya, Dewa
Arak. Maka begitu melihat ciri-cirinya. Ruksamurka sudah bisa menerkanya.
"Tidak salah," sahut
Arya mantap. "Dan kau pasti Ruksamurka!"
"Hehhh...?!" kakek
yang berwalah penuh gurat-gurat luka itu mengernyitkan dahi. "Dari mana
kau tahu namaku, Anak Ingusan...!"
"Kau tidak perlu tahu,
Ruksamurka," sahut Dewa Arak cepat "Yang perlu kau ketahui hanya
satu. Kau harus cepat-cepat pergi ke alam baka!"
Arya menjumput guci araknya,
kemudian menuangkan ke mulut.
Gluk…gluk... gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Arya. Seketika itu pula, ada hawa hangat yang
berputaran di dalam tubuh Dewa Arak. Kemudian, per-lahan-lahan naik ke atas
kepala.
"Keparat..!" geram
Ruksamurka.
Setelah memaki kalang kabut,
kakek berpakaian compang-camping ini memutar-mutarkan kedua tangan di depan
dada.
Dewa Arak terkejut bukan main
begitu mendadak ada angin kuat yang menarik tubuhnya ke depan. Sama sekali
keadaannya tengah tidak bersiap dalam menghadapi hal seperti itu. Maka,
tubuhnya pun tertarik ke depan.
Ruksamurka mendengus. Tubuh
Arya yang tertarik ke depan itu, disambutnya dengan tusukan bertubi-tubi ke
arah dada dan ulu hati. Sungguh sebuah serangan ber-bahaya! Suara mendecit
nyaring terdengar mengiringi serangan itu.
Keadaan Arya memang berbahaya!
Tapi berkat ke-istimewaan Ilmu 'Belalang Sakti', yang membuatnya mampu bergerak
sesulit apa pun dan dalam keadaan bagaimana pun, pemuda berambut putih
keperakan ini berhasil mematahkan semua serangan.
Tentu saja gerakan Dewa Arak
membuat sepasang mata tokoh sesakti Ruksamurka terbelalak. Tubuh pemuda
berambut putih keperakan itu kemudian melompat ke atas melewati kepala lawan.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Dewa Arak. Sambil bersalto sekali, kedua tangannya melancarkan
serangan bertubi-tubi ke arah kepala belakang Ruksamurka. Ber-bahaya bukan main
serangan itu jangankan kepala manusia, batu yang paling keras pun akan hancur
ber-keping-keping bila terkena serangan Dewa Arak. Memang Arya telah mengambil
keputusan untuk melenyapkan Ruksamurka selama-lamanya.
Cara Ruksamurka menghadapi
serangan itu berbeda dengan yang selama ini dilihat Dewa Arak.
Dengan kecepatan gerak luar
biasa, kakek berpakaian compang-camping itu membalikkan tubuhnya. Dan secepat
tubuhnya berbalik, secepat itu pula kedua tangannya di-gerakkan menangkis.
Plakkk...!
Suara keras akibat benturan
seketika terdengar. Apalagi kedua pasang tangan itu memang telah dialiri tenaga
dalam tinggi, sehingga tidak ubahnya seperti benturan gumpalan baja yang keras.
Tubuh Dewa Arak seketika
terpental kembali ke atas. Bahkan sampai bersalto di udara untuk mematahkan
daya lontar itu. Kedua tangannya dirasakan sakit dan ngilu bukan main. Rasa
sesak pun seketika melanda dadanya.
Ruksamurka rupanya tidak
mengalami pengaruh akibat benturan itu. Buktinya, kakek bertubuh tinggi besar
ini langsung melancarkan serangan susulan bertubi-tubi sebelum kedua kaki Arya
menyentuh tanah.
Mendadak dan tiba-tiba sekali
datangnya serangan itu. Apalagi dilancarkan pada saat tubuh Dewa Arak tengah berada
di udara. Akibatnya, Dewa Arak begitu kewalahan.
Tapi berkat keistimewaan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, pemuda berambut putih keperakan itu mampu
mengelakkan serangan. Dengan bertumpu pada kedua tangannya, Arya bersalto di
udara. Kemudian, kakinya mendarat beberapa tombak dari tempat semula.
Ruksamurka menggeram murka
melihat serangannya berhasil dipatahkan. Dengan amarah meluap-luap, kembali
dilancarkannya serangan dahsyat ke arah Dewa Arak. Tapi, kini Arya telah siap.
Pemuda berambut putih keperakan itu pun langsung meladeninya tak kalah dahsyat.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara kedua orang itu pun berlangsung.
Arya mengeluh dalam hati.
Lawan yang dihadapinya kali ini benar-benar lawan luar biasa! Baru beberapa
jurus bertarung, sudah terasa berat tekanan-tekanan yang dilakukan lawan.
Setiap serangan yang dilakukan Ruksa-murka mengandung daya sedot dan daya tolak
luar biasa! Dan hal inilah yang menyulitkannya.
Dewa Arak kinl benar-benar
harus menguras seluruh kemampuan yang dimilikinya. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti'
dikerahkan sampai ke puncaknya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya semua
dikeluarkan dalam usahanya menandingi lawan.
Meskipun begitu, tak urung
Arya terdesak. Perbedaan tingkat tenaga dalam yang berselisih cukup jauhlah
yang membuatnya terdesak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau lawan
memiliki tenaga dalam jauh di atasnya. Maka, sedapat mungkin diusahakan untuk
menghindari terjadinya benturan.
Dan itu berarti, Dewa Arak
harus lebih sering mengelak. Sedapat mungkin, Arya berusaha menghindari
terjadinya benturan. Bahkan sewaktu menyerang pun, Dewa Arak segera menarik
pulang serangannya ketika kakek ber-pakaian compang-camping itu akan menangkis.
Pertarungan yang berlangsung
antara kedua tokoh tingkat tinggi ini memang benar-benar menggiriskan. Angin
menderu, mengaung, dan mencicit tak henti-hentinya ter-dengar mengiringi
pertarungan.
Bukan hanya itu saja akibat
yang ditimbulkan. Suasana di sekitar pertarungan kini porak-poranda. Batu-batu
besar dan kecil berpentalan tak tentu arah. Kepulan debu mem-bumbung tinggi ke
udara.
Berkat ilmu meringankan tubuh
kedua tokoh yang sama-sama telah mencapai tingkatan tinggi, pertarungan
ber-langsung cepat. Dalam waktu stngkat, seratus jurus telah berlalu.
Ruksamurka marah dan malu
bukan main menyadari hal ini. Dia tahu pasti kalau keadaan lawan tengah
ter-desak. Tapi ternyata amat sulit baginya untuk merobohkan. Ilmu pemuda itu
begitu aneh. Dalam keadaan yang sangat terjepit pun, masih mampu mengelak. Ini
benar-benar tidak dimengertinya!
Rasa penasaran membuat kakek
berpakaian compang-camping ini semakin meningkatkan serangan. Seluruh
kemampuannya dikerahkan hingga titik yang terakhir. Ruksamurka bertekad untuk
bertarung mati-matian. Akibat-nya sudah bisa diduga. Tekanan-tekanan yang
melanda Dewa Arak pun semakin berat. Tapi meskipun begitu, berkat Ilmu
'Belalang Sakti', terutama sekali dalam Jurus 'Delapan Langkah Belalang', semua
serangan lawan masih mampu dielakkan. Tentu saja, dengan susah payah.
Gluk… gluk... gluk..!
Beberapa kali bila mendapat
kesempatan. Dewa Arak segera menenggak araknya. Dan seiring masuknya arak itu
ke tubuhnya, daya tahannya pulih kembali.
Seratus lima puluh jurus telah
kembali berlalu. Hasilnya, pertarungan antara kedua tokoh ini telah berlangsung
dua ratus lima puluh Jurus. Dan selama itu, Ruksamurka senantiasa
menghambur-hamburkan tenaga. Jadi, tak aneh bila kelelahan.
Sementara di pihak Dewa Arak
sendiri, daya tahannya kembali pulih setelah arak memasuki perutnya. Dia
seperti memperoleh tenaga baru, sehingga tak mengalami ke-lelahan sedikit pun.
Napas Ruksamurka mulai
terdengar memburu. Tenaga yang terkandung dalam serangannya sudah mulai
melemah. Sementara Dewa Arak masih tetap seperti semula.
Dan kini ganti Dewa Arak yang
mendesak. Pemuda berambut putih keperakan ini melancarkan serangan-serangan
bertubi-tubi dan cepat. Karuan saja hal itu mem-buat Ruksamurka
pontang-panting.
Pada jurus kedua ratus tujuh
puluh sembilan, Arya menyorongkan gucinya ke arah dada Ruksamurka. Kakek tinggi
besar yang telah lelah ini sebisa-btsanya mengelak. Tapi...
Bukkk!
"Aaakh...!"
terdengar seruan tertahan.
Telak dan keras sekali, guci
arak Arya menghantam dadanya. Suara berderak keras pertanda ada tulang-tulang
yang patah terdengar seiring terpentalnya tubuh Ruksa-murka ke belakang. Darah
segar seketika memancur deras dari mulut
Dewa Arak tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung melompat memburu
seraya melancarkan tendangan terbang ke arah leher.
Bukkk! "Grookh...!"
Suara menggorok keluar dari
tenggorokan Ruksamurka ketika tendangan Arya tepat menghantam sasaran. Kembali
tubuh kakek berpakaian compang-camping itu terjengkang ke belakang. Dan yang
lebih parah lagi, tulang lehernya ternyata hancur. Keras sekali tubuh tinggi
besar itu terjerembab ke tanah. Nyawa tokoh sesat yang menggiriskan ini
seketika melayang, sebelum menyentuh tanah. Tak ada lagi suara yang terdengar.
Tokoh sesat itu terbang ke akhirat bersama dosa-dosanya.
Arya memandangi mayat
Ruksamurka penuh kagum. Kakek berwajah penuh luka guratan ini benar-benar luar
biasa. Dengan bulu tengkuk meremang, di longoknya guci araknya yang telah
kosong tanpa setetes pun arak lagi. Kalau Ruksamurka tidak terlalu menuruti
amarah sehingga menyerang kalang kabut maka tenaganya tidak akan cepat habis.
Dan itu berarti Arya yang akan pergi ke akhirat!
Dengan langkah lesu, Arya
meninggalkan tempat itu. Tugas dari gurunya telah berhasil dipenuhi. Kini, dia
bergerak cepat di atas tambang menuju ke seberang.
Sementara nun jauh di sana, di
halaman bangunan tempat kediaman Arya dulu (Baca serial Dewa Arak dalam episode
perdananya, "Pedang Bintang"), tampak seorang gadis cantik jelita
berpakaian putih dan berambut panjang terurai tengah bersimpuh menekuri sebuah
makam. Wajah-nya muram memancarkan kesedihan yang amat sangat.
Gadis itu adalah Melati.
Sementara makam di hadapan-nya adalah milik Ki Julaga. Memang, putri angkat
Raja Bojong Gading ini tidak pergi ke mana-mana saat per-tarungan Ki Julaga
melawan Ruksamurka berlangsung. Gadis itu masih mengintai dari kejauhan. Begitu
Ruksa-murka telah pergi, baru dia kembali.
Dengan hati hancur, Melati
telah menguburkan mayat gurunya. Berhari-hari lamanya gadis berpakaian putih
itu tinggal di situ. Namun tanpa diketahuinya, Dewa Arak telah berhasil
membalaskan dendamnya. Dan tentu saja tanpa pemuda berambut putih keperakan itu
mengetahuinya.
SELESAI