42 Empat Dedengkot Pulau Karang
l
"Auuung...!"
Lolong anjing hutan terdengar
membelah kesunyian malam. Begitu menyayat hati, seakan-akan mengisyaratkan akan
terjadi sesuatu. Lolongan itu terus terbawa angin, sehingga sampai ke telinga
empat sosok yang tengah bersila di dalam ruangan sebuah bangunan tua di kaki
bukit.
Bagai diperintah, empat sosok
tubuh yang semuanya laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, saling
berpandangan. Tampak ada sorot keheranan, baik pada tarikan wajah maupun sorot
mata mereka.
"Aneh! Aku seperti
merasakan adanya keanehan dalam lolongan anjing hutan kali ini. Atau..., aku
yang terlalu berprasangka...," desis kakek pendek kekar bertelanjang dada,
pelan.
"Lho?! Mengapa dugaan
kita bisa sama, Malaikat Pisau?" sambut kakek yang bertubuh kurus terbalut
pakaian kuning, sambil menatap wajah kakek pendek kekar, penuh rasa heran.
Kakek pendek kekar yang
ternyata berjuluk Malai- kat Pisau menatap wajah kakek kecil kurus itu
lekat-lekat. Tidak aneh kalau kakek itu berjuluk Malaikat Pisau. Karena di
bagian dadanya tampak bertengger jajaran pisau-pisau mengkilat Dan sepak
terjangnya juga bagaikan malaikat maut.
"Suatu hal yang aneh
kalau kita bisa mempunyai dugaan sama, Pendekar Tangan Sakti," desah
Malaikat Pisau pada kakek kecil kurus yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti.
"Mungkinkah ini pertanda buruk?"
"Bagaimana dengan kau,
Lodra? Petani Maut?!" tanya Pendekar Tangan Sakti seraya menoleh ke arah
dua sosok lainnya.
Kakek yang berpakaian lusuh
berwarna abu-abu dan berkulit hitam kecoklatan, serta mengenakan sebuah caping
bambu, hanya mengangkat bahu.
"Rasanya sulit untuk
memberikan tanggapan, karena aku tidak merasakan seperti yang kalian
rasakan," jawab kakek berkulit hitam, kalem. Menilik ciri-cirinya, dialah
yang berjuluk Petani Maut
"Kalau menurut
pendapatku, untuk apa memperasalahkan hal itu? Pertemuan kita di tempat ini
hanyalah untuk mempererat persahabatan yang telah dibina sejak belasan tahun
lalu, dan untuk melihat kemajuan masing-masing," sergah kakek yang
terakhir, yang dipanggil Lodra.
Kakek yang nama panjangnya
Sima Lodra itu mempunyai ciri-ciri paling angker dibanding ketiga orang
kawannya. Tubuhnya tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat. Rambutnya hitam,
panjang, dan bergelombang. Cambang bauk lebat yang menghias wajah, semakin
menambah keangkerannya.
"Misalkan saja, dugaan
kalian berdua benar," lanjut Sima Lodra, sambil menatap berganti-ganti
wajah Malaikat Pisau dan Pendekar Tangan Sakti. "Lalu, mengapa perlu
dipusingkan? Toh, kita bukan tokoh sembarangan. Andaikata benar itu suatu
bahaya, mengapa mesti takut menghadapinya?"
Malaikat Pisau dan Pendekar
Tangan Sakti saling berpandangan sejenak sebelum menganggukkan kepala.
Sedangkan Petani Maut sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa-apa pada
wajahnya.
"Terima kasih atas
nasihatmu, Lodra. Kau benar. Tidak selayaknya bersikap seperti itu. Aku terbawa
perasaan...," ucap Malaikat Pisau malu-malu.
Sima Lodra hanya mengangkat
bahu.
"Bagaimana? Bisakah acara
ini dilanjutkan?!" desak Petani Maut tak sabar.
"Ha ha ha...!"
Tawa ketiga orang rekannya
seketika meledak. "Kau benar, Petani Maut! Kami pun sudah tidak
sabar lagi untuk melihat
kemajuan ilmu yang kau miliki! Ingin kulihat kehebatan permainan tudung dan
cangkulmu!" sambut Sima Lodra, keras.
"Ah! Mana bisa dibandingkan
dengan jurus 'Harimau' yang kau miliki, Lodra?!" sahut Petani Maut,
merendah.
"Tapi sehebat-hebatnya
jurus 'Harimau'ku, tak akan berarti apa-apa bila menghadapi ilmu 'Tinju Angin'
Pendekar Tangan Sakti," kelit Sima Lodra sambil mengerling ke arah kakek
kecil kurus.
Pendekar Tangan Sakti
mengarahkan pandangan ke arah Sima Lodra dan Petani Maut berganti-ganti.
"Tidakkah kalian
mendengar kehebatan permainan pisau dari Malaikat Pisau?! Dengan pisau-pisaunya
jangankan aku, nyamuk pun tidak akan lolos dari kematian!"
Malaikat Pisau
menggelengkan-gelengkan kepala. "Kau keliru, Pendekar Tangan Sakti! Apa
sih, artinya sebuah pisauku jika dipakai untuk menghadapi tudung dan cangkul
Petani Maut?! Tidak akan berarti apa-apa!" kakek pendek kekar ini tidak kalah
merendah.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras
menggelegar dari mulut Sima Lodra. Rupanya, kakek tinggi besar ini gemar
tertawa. Tawanya pun terdengar menggiriskan, mirip auman harimau! Semula suara
tawa keempat tokoh persilatan aliran putih itu terdengar begitu keras, bagai
hendak meruntuhkan bangunan yang mereka tempati. Apalagi dalam suara tawa itu
terkandung tenaga dalam.
Dan semakin lama, suara tawa
itu semakin mengecil. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali. Dan kini suasana
sekitar tempat itu pun sunyi sepi seperti mati.
Tapi sebelum keempat orang
kakek sakti itu berbuat sesuatu, terdengar sebuah tawa keras menggele- gar,
namun bukan dari salah seorang di antara mereka.
"Ha ha ha...!"
Keras bukan kepalang tawa itu,
sehingga membuat dinding-dinding dan atap bangunan bergetar hebat bagai terjadi
gempa. Jelas, tawa itu dikeluarkan dari mulut orang-orang bertenaga dalam
tinggi.
Bagai diberi perintah,
Pendekar Tangan Sakti, Petani Maut, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra serentak
melesat keluar. Memang, dari sanalah suara itu berasal. Cepat laksana kilat
gerakan mereka, sehingga yang terlihat hanyalah kelebat bayangan yang tak jelas
bentuknya.
Begitu menginjakkan kaki di
luar bangunan, keempat kakek sakti itu segera melihat pemilik suara tawa keras
menggelegar tadi.
Sekitar tiga tombak di depan
Pendekar Tangan Sakti, Petani Maut, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra, berdiri
empat sosok tinggi besar berkulit hitam. Pakaian yang dikenakan sama dengan
warna kulit. Bahkan rambut mereka keriting semuanya.
Pendekar Tangan Sakti,
Malaikat Pisau, Petani Maut, dan Sima Lodra saling berpandangan sejenak.
Meskipun demikian, langsung bisa diketahui kalau ada sebuah pertanyaan yang
bergayut di dalam hati masing-masing. Salah satu di antara mereka ternyata
tidak ada yang mengenal empat sosok berpakaian hitam itu.
"Siapakah di antara
kalian yang berjuluk Pendekar Tangan Sakti?" tanya salah seorang yang
dahinya terdapat sebuah codet. Suaranya keras mengguntur, tak kalah dengan
suara Sima Lodra. "Aku!" jawab Pendekar Tangan Sakti mantap sambil
melangkah setindak.
Laki-laki bercodet itu menatap
wajah Pendekar Tangan Sakti penuh selidik. Seakan-akan, dia tengah menilai
dengan sinar matanya.
"Kalau begitu..., tiga
orang yang berada bersamamu ini pasti Sima Lodra, Malaikat Pisau, dan Petani
Maut," tebak laki-laki berhidung gerumpung.
"Dugaanmu tidak salah,
Kisanak! Sekarang kami yang ganti bertanya. Siapakah Kisanak semua?" Sima
Lodra yang menyambuti pertanyaan itu.
Lantang dan mantap suara Sima
Lodra. Sikapnya terlihat gagah. Apalagi sambil berkata demikian, kakinya
melangkah maju dengan dada dibusungkan.
"Kami memang tidak
tersohor seperti kalian berempat. Karena, kami memang tidak suka nama. Kami
berasal dari sebuah perguruan yang terletak di sebuah pulau yang jauh dari
sini. Kedatangan kami sengaja untuk meluaskan pengalaman. Maka kami ingin
mengadakan pertarungan melawan tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai kepandaian
tinggi. Dan kami dengar di pulau ini banyak tokoh sakti. Salah satu tokoh yang
kami kenal ciri-cirinya adalah Pendekar Tangan Sakti. Dan menurut kabar,
Pendekar Tangan Sakti selalu mengadakan pertemuan dengan tiga orang temannya
yang bernama Sima Lodra, Malaikat Pisau, dan Petani Maut. Untunglah pada saat
yang tepat, kami bisa bertemu kalian berempat. Maka, kalian berempatlah pilihan
pertama kami. Berilah kami pelajaran!" jelas salah seorang yang berwajah
bopeng.
"Tapi sebelum pertarungan
berlangsung, kami akan mengenalkan diri," sambung lainnya yang berbibir
tebal. "Aku Bandawasa!"
"Namaku Janaka,"
sebut laki-laki berwajah bopeng.
"Aku Mahesa,"
sambung laki-laki berhidung ge- rumpung.
"Mahadewa," sebut
laki-laki bercodet, tak ketinggalan.
Pendekar Tangan Sakti, Petani
Maut, Malaikat Pi- sau, dan Sima Lodra tersenyum lebar. Lega rasanya hati mereka
ketika mengetahui tidak ada persoalan dengan keempat orang berpakaian hitam
itu.
"Tapi perlu kalian
ketahui," sambung Mahadewa. "Meskipun pertarungan nanti tanpa
persoalan, tapi kami akan mengerahkan seluruh kemampuan. Jadi, keluarkanlah
kemampuan kalian. Jangan sungkan-sungkan, karena bukan tidak mungkin di antara
kita ada yang tewas!"
Petani Maut, Pendekar Tangan
Sakti, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra saling berpandangan. Mereka tahu,
Mahadewa bermaksud baik. Tapi meskipun demikian, tetap saja keempat tokoh
persilatan aliran putih ini tersinggung, karena merasa diremehkan.
"Kami tidak butuh
nasihatmu, Mahadewa! Kami tahu apa yang harus dilakukan!" tandas Sima
Lodra keras. Memang, dialah yang paling berangasan dibanding ketiga orang
kawannya.
"Kalau begitu, bersiaplah
kalian!" Bandawasa memberi peringatan.
Serentak keempat orang
berpakaian hitam itu berpencar. Dan kelihatannya pertarungan tidak bisa
dielakkan lagi. Maka Pendekar Tangan Sakti dan rekan-rekannya pun bergerak
menyebar pula.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan keras
menggelegar, Mahadewa, Janaka, Mahesa, dan Bandawasa meluruk ke arah lawan
masing-masing. Maka Pendekar Tangan Sakti dan ketiga orang kawannya langsung
menyambut. Sesaat kemudian, pertarungan pun berlangsung.
Janaka ternyata tidak berbohong
sewaktu mengatakan kalau dia dan rekan-rekannya berasal dari satu perguruan.
Jelas kalau dari gerakan menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu aliran.
Dasar-dasar, gerakan, dan kuda-kuda menunjukkan kemiripan satu sama lain. Yang
menyebabkan adanya perbedaan pada gerakan-gerakan mereka hanya terlihat dari
bakat masing-masing saja.
"Hiyaaat..!"
Bandawasa membuka serangan
dengan sebuah pukulan lurus ke arah dada kiri Pendekar Tangan Sakti. Deru angin
keras mengiringi tibanya serangannya. Namun Pendekar Tangan Sakti tak gugup
melihat serangan lawan. Maka, buru-buru kakinya melangkah ke kanan sambil
mendoyongkan tubuh. Dan ternyata serangan itu mengenai tempat kosong, beberapa
jari di sebelah kiri Pendekar Tangan Sakti.
Tapi tindakan kakek kecil kurus
ini tidak hanya sampai di situ saja. Cepat laksana bayangan, tangan kirinya
meluncur cepat ke arah rusuk. Gerakannya sama sekali tidak terduga. Meluncur,
setelah terlebih dahulu berputar mempergunakan pangkal lengan. Sungguh tidak
percuma, kakek kecil kurus ini berjuluk Pendekar Tangan Sakti. Gerakan
tangannya sangat cepat dan tidak terduga-duga.
Bandawasa agak terkejut juga,
ketika melihat serangan yang meluncur tidak terduga-duga itu. Mes- kipun
demikian, kelihaiannya masih mampu ditunjukkan. Buru-buru kakinya melangkah ke belakang, seraya mendoyongkan
tubuh. Dan nyatanya, serangan itu tidak mencapai sasaran, beberapa jengkal di
depan Bandawasa. Tindakan laki-laki berbibir tebal tidak hanya sampai di situ
saja. Begitu kakinya ditarik mundur, tangan kanannya pun digerakkan untuk menangkis serangan Pendekar Tangan
Sakti. Rupanya, Bandawasa
tidak mau kalah gertak.
Maka....
Plakkk!
Suara berderak keras seperti
dua logam keras berbenturan terdengar ketika dua buah tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam kuat beradu. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama
terhuyung mundur dua tindak. Hal ini menandakan kedua belah pihak mempunyai
tenaga dalam berimbang.
Pendekar Tangan Sakti dan
Bandawasa sama-sama menghentikan gerakan. Keduanya saling tatap sejenak,
seperti mengukur kekuatan masing-masing. Dan mereka juga sama-sama tidak
menyangka, kalau satu sama lain memiliki tenaga dalam sekuat itu.
Tapi hanya sesaat saja hal itu
dilakukan, karena sebentar kemudian keduanya tdah kembali saling gebrak disertai
pengerahan seluruh kemampuan.
Bukan hanya Bandawasa dan
Pendekar Tangan Sakti saja yang terlibat dalam pertarungan sengit.
Masing-masing pihak juga terlibat pertarungan yang tak kalah serunya. Mahesa
menghadapi Malaikat Pisau, Mahadewa melawan Petani Maut, dan Janaka dengan Sima
Lodra.
Bagai telah berjanji
sebelumnya, masing-masing tokoh bertarung tanpa senjata. Bagi Pendekar Tangan
Sakti dan Sima Lodra, ini merupakan sebuah keuntungan. Karena keduanya
merupakan tokoh persilatan yang mempunyai ilmu andalan tangan kosong.
Sementara, kedua orang rekan mereka yang lain lebih menonjol dalam penggunaan
senjata. Malaikat Pisau dengan pisau-pisaunya, sedangkan Petani Maut dengan
tudung dan cangkulnya.
Dan kedahsyatan ilmu tangan
kosong Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra bisa dirasakan sendiri oleh lawan
masing-masing. Bandawasa dan Janaka yang berasal dari satu perguruan itu
berkali-kali terperanjat dan tanpa sadar terpekik, kendati bercampur kagum.
Tapi hal itu bukan berarti Bandawasa dan Janaka terdesak. Mereka sampai saat
ini buktinya masih mampu melayani lawan-lawannya.
Di jurus-jurus awal,
pertarungan berlangsung imbang. Masing-masing pihak saling berganti-ganti me-
lancarkan serangan maupun mengelak. Tapi menginjak jurus kelima puluh, mulai
tampak adanya perubahan dalam kancah pertarungan.
Empat orang laki-laki
berpakaian hitam itu ter- nyata memiliki kepandaian lebih tinggi. Buktinya,
Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, Sima Lodra, dan Petani Maut yang
terkenal itu mengalami kerepotan untuk menundukkan lawan-lawannya. Bahkan
sebaliknya, Petani Maut dan Malaikat Pisau kelihatan lebih terdesak.
Semakin lama, kedudukan Petani
Maut dan Malaikat Pisau semakin mengkhawatirkan. Kedua orang lawan mereka
ternyata memiliki ilmu tangan kosong yang hebat luar biasa.
Meskipun demikian, mereka
berusaha melakukan perlawanan sekuatnya. Tapi, usaha mereka sama sekali tidak
berarti banyak.
Begitu pertarungan menginjak
jurus kedelapan puluh....
"Hih!" Bukkk, desss! "Akh! Hugh!"
Pada saat yang hampir
bersamaan, tubuh Petani Maut dan Malaikat Pisau terlempar ke belakang. Petani
Maut terkena tendangan pada paha kanannya, sedangkan Malaikat Pisau menerima
sebuah pukulan telak di perut. Seketika itu pula, kedua pentolan golongan
putih rimba persilatan itu pun menyeringai
kesakitan. Bahkan tampaknya Malaikat Pisau terluka dalam, ketika terlihat
adanya tetesan darah segar di sudut mulutnya. Meskipun demikian, Malaikat Pisau
dan Petani
Maut bukan jenis orang yang
gampang menyerah. Sambil menggertakkan gigi, mereka kembali menerjang. Malaikat
Pisau menubruk Mahesa dan Petani Maut menerjang Mahadewa. Hasilnya, pertarungan
pun kembali berlangsung sengit.
Malaikat Pisau dan Petani Maut
rupanya sudah nekat. Serangan yang dilancarkan kelihatan bertubi-tubi pada
lawan masing-masing. Padahal keadaan mereka saat itu tidak menguntungkan,
karena telah sama-sama terluka.
Hasil kenekatan Petani Maut
dan Malaikat Pisau sudah bisa ditebak. Hanya dalam beberapa gebrakan saja,
tubuh kedua orang itu telah kembali dibuat terjengkang ke belakang.
Masing-masing terkena pukulan pada bahu kanannya.
Brukkk!
Belum sempat Petani Maut dan
Malaikat Pisau berbuat sesuatu, tubuh Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra juga
terjengkang ke belakang, lalu jatuh berdebuk di tanah. Anehnya, kedua orang itu
terkapar jatuh di dekat mereka. Berbeda dengan kedua rekannya yang masih mampu
bangkit, Pendekar Tangan Sakti dan Sima Lodra justru seperti tak berdaya.
Luka-luka yang diderita kelihatannya memang cukup parah, begitu menerima
hajaran yang cukup keras pada bagian dada.
Sementara itu, Petani Maut dan
Malaikat Pisau yang masih berusaha bangkit, kembali harus menelan pil pahit.
Ternyata, Mahesa dan Mahadewa kini sudah mengirimkan serangan disertai
pengerahan tenaga lebih kuat daripada sebelumnya. Akibatnya, kini mereka tidak
mampu bangkit lagi.
"Hhh...!" Bandawasa
menghela napas berat. Ditatapnya sosok-sosok yang bergeletakan di tanah. Dia
kelihatan tidak ingin melancarkan serangan susulan. Demikian pula ketiga
rekannya.
"Sama sekali tidak
kusangka pertarungan akan berlangsung sesingkat ini," desah Bandawasa
bernada keluhan. "Aku kecewa sekali! Apa hanya sampai di sini saja tingkat
kepandaian jago-jago di pulau ini?!"
Pendekar Tangan Sakti dan
ketiga orang rekannya saling berpandangan satu sama lain. Ucapan Bandawasa
membuat mereka merasa tersinggung bukan kepalang. Dan dalam pertemuan pandang
itu, mereka seperti sudah sepakat.
"Jangan berbangga hati
dulu, Bandawasa! Kemenanganmu terhadap kami bukan jaminan kalau kepan- daian
kalian melebihi jago-jago persilatan di pulau ini," kata Pendekar Tangan
Sakti yang merupakan orang tertua bila dibandingkan ketiga rekannya.
"Lho?! Mengapa demikian?
Bukankah kalian pentolan-pentolan persilatan aliran putih di pulau ini? Dan
kalian telah kami kalahkan! Bahkan sedemikian rendah! Bukankah itu berarti
tingkat kepandaian kami jauh di atas jago-jago di pulau ini?!" bantah
Bandawasa, tak mau kalah.
"Ha ha ha...! Kau keliru,
Bandawasa!" Kali ini Sima Lodra yang menanggapi dengan suara parau dan
keras.
"Keliru?!" ulang Janaka
dengan kening berkernyit dalam.
"Benar!" sambut
Petani Maut, tidak mau ketinggalan.
"Mengapa kalian berkata
demikian?" tanya Mahadewa penasaran.
"Kami memang pentolan
aliran putih di pulau ini. Tapi, bukan berarti memiliki tingkat kepandaian tertinggi.
Masih banyak tokoh yang memiliki kepandaian jauh di atas kami! Salah satunya,
adalah seorang pen- dekar yang amat terkenal. Apabila dia berhasil dikalahkan,
kau boleh bersikap takabur seperti tadi," sergah Pendekar Tangan Sakti,
panjang lebar.
"Katakan siapa orang
itu?!" desak Bandawasa, penuh rasa ingin tahu. Laki-laki berbibir tebal
ini melangkah mendekat.
"Katakan siapa
dia?!"
Pendekar Tangan Sakti
menengadahkan kepala. Tanpa rasa gentar sedikit pun, ditatapnya wajah
Bandawasa. Kemudian secara lambat-lambat tapi penuh tekanan, digumamkan sebuah
julukan.
"Dewa Arak...!"
2
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbarengan, Bandawasa
dan ketiga re- kannya mengulang julukan yang diucapkan Pendekar Tangan Sakti.
"Benar! Dewa Arak!"
tegas Pendekar Tangan Sakti. "Kalau mampu mengalahkannya, baru kalian
boleh sesumbar dengan mengalahkan seluruh jago persilatan di pulau ini!"
"Dewa Arak...,"
Mahesa mengulang julukan itu seperti khawatir akan terlupa. "Sebuah
julukan aneh. Nggg..., apakah dia jago minum arak?!"
"Ha ha ha...! Jago minum
arak?! Semua tokoh persilatan tahu kalau ketahanannya dalam minum arak tidak
mungkin ditandingi jago-jago minum manapun juga. Dialah yang telah memenangkan
pertandingan dalam adu kekuatan minum arak dengan jago-jago minum!" sambut
Sima Lodra membanggakan (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode "Pertarungan Raja-Raja Arak").
"Bukan hanya itu
saja," sambut Petani Maut. "Apabila dia telah meminum araknya, jangan
harap ada seorang pun yang mampu mengalahkannya. Ilmu 'Belalang Sakti'nya belum
pernah terkalahkan sampai sekarang!" "Aku jadi ingin menjajaki,
sampai di mana tingkat kepandaian Dewa Arak," kata Janaka, bergetar.
"Jangan-jangan berita yang kami dengar sama dengan apa yang kami dapatkan!
Orang-orang persilatan mengatakan kalau kalian adalah pentolan aliran putih di
empat penjuru angin. Tapi nyatanya...?" Bandawasa
ikut angkat bicara.
"Benar! Apa yang
kami dapati dari kalian ternyata benar-benar membuat kecewa!"
sambung Mahesa. "Tidak kami pungkiri,
julukan kami cukup terkenal dalam
dunia persilatan. Aku di Timur, Pendekar Tangan Sakti di Selatan,
Petani Maut di Barat, dan Sima Lodra di Utara. Tapi, kami tidak termasuk
datuk-datuk persilatan. Kami terkenal karena banyak terlibat pertarungan
melawan tokoh-tokoh aliran
hitam!" jelas Malaikat
Pisau, panjang lebar.
Bandawasa, Janaka, Mahadewa,
dan Mahesa tercenung. Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, tanpa bersuara
sepatah kata pun.
"Di mana kami bisa
menemukan Dewa Arak?" tanya Bandawasa, tanpa menyembunyikan perasaan ingin
tahunya.
"Bagaimana kalian bisa
menemukan tempat kami?" Pendekar Tangan Sakti malah balas bertanya.
"Kami menyatroni
perguruan silatmu. Dan dari mulut salah seorang murid utama, kami bisa tahu
tempat berkumpulnya kalian! Kalian berempat bersahabat baik sejak belasan tahun
lalu. Dan setiap dua tahun sekali mengadakan pertemuan untuk menguji kemampuan
ilmu," urai Mahesa, panjang lebar.
"Apa yang kalian perbuat terhadap murid-muridku?!" sentak
Pendekar Tangan Sakti, kalap. Kakek kurus berbaju kuning ini khawatir, jangan-jangan telah
terjadi malapetaka hebat terhadap
perguruan silat yang
dipimpinnya.
"Tidak usah khawatir,
Pendekar Tangan Sakti. Perguruan yang kau pimpin sama sekali tidak
terobrak-abrik. Kami hanya memberi luka ringan pada beberapa muridmu yang
membandel," jawab Mahesa, kalem. Mendengar jawaban yang mengandung
kesungguhan besar itu, hati Pendekar
Tangan Sakti sedikit tenang. Dirasakan ada kesungguhan pada nada ucapan maupun
raut wajah Mahesa.
"Kita kembali pada pokok
persoalan, Pendekar Tangan Sakti," selak Bandawasa, cepat.
Pendekar Tangan Sakti
mengalihkan tatapan ke arah Bandawasa.
"Katakan, di mana kami
bisa menemukan Dewa Arak?!"
Pendekar Tangan Sakti saling
berpandangan de- ngan ketiga orang rekannya.
Dari adu pandang sebentar itu,
bisa diketahuinya kalau ketiga orang rekannya tidak tahu Dewa Arak berada.
"Sayang sekali,
Bandawasa. Kami tidak tahu, di mana Dewa Arak dan "
"Bohong! Kau bohong,
Pendekar Tangan Sakti!" potong Mahadewa capat. Keras bukan kepalang ucapan
Mahadewa, sehingga membuat seluruh tempat ini seperti tergetar hebat. Jelas,
laki-laki bercodet ini mengerahkan tenaga dalam sewaktu mengeluarkan bentakan
tadi.
Pendekar Tangan Sakti
mengalihkan pandangan ke arah Mahadewa. Tampak jelas adanya sinar kemarahan di
matanya. Kelihatannya, kakek berpakaian kuning ini merasa tersinggung mendengar
ucapan Mahadewa.
"Kami bukan orang semacam
itu, Mahadewa! Bagi kami, lebih baik mati daripada berbohong! Sekali kami
berkata hijau, tak akan berubah menjadi merah!"
Terdengar berapi-api dan penuh
semangat ucapan Pendekar Tangan Sakti. Hatinya benar-benar tersing- gung
mendengar ucapan Mahadewa. Bahkan bukan hanya Pendekar Tangan Sakti saja.
Ketiga orang rekannya pun demikian pula. Tapi yang mereka lakukan hanyalah
memandang Mahadewa dengan sorot mata berapi-api.
Melihat hal ini, Bandawasa
buru-buru menjulurkan kedua tangannya ke depan.
"Tenang, Pendekar Tangan
Sakti. Bukannya kami menuduh kau berbohong. Tapi rasanya ucapanmu itu sama
sekali tidak masuk akal. Kau mengarakan, Dewa Arak itu seorang tokoh yang amat
terkenal. Jadi, mana mungkin kalian tidak tahu tempat tinggalnya!"
"Dia tidak mempunyai tempat tinggal, Bandawasa! Dewa Arak seorang
pengelana. Tempat tinggalnya tidak tetap. Nah! Bagaimana mungkin aku bisa
menunjukkannya?"
Ucapan Pendekar Tangan Sakti
membuat Bandawasa dan ketiga orang rekannya saling berpandangan.
"Luar biasa! Sama sekali
tidak disangka kalau Dewa Arak masih mempunyai semangat sedemikian besar, tidak
kalah dengan anak muda! Patut dipuji pengabdiannya pada sesama manusia!"
puji Bandawasa, bernada kagum.
Pendekar Tangan Sakti dan
ketiga rekannya saling berpandangan. Tarikan wajah mereka memancarkan
kebingungan dan keheranan, mendengar ucapan Ban- dawasa.
"Mengapa kalian tampaknya
kebingungan?" bentak Mahadewa, keras.
Sebenarnya, bukan hanya
Mahadewa saja yang melihat wajah bingung Pendekar Tangan Sakti dan tiga orang
rekannya. Tapi, Mahadewalah yang lebih dulu mengajukan pertanyaan.
"Jadi, kalian kira Dewa
Arak itu seorang yang sudah jompo?!" Sima Lodra yang mempunyai sifat
berangasan langsung angkat bicara.
"Jadi..., Dewa Arak bukan
seorang kakek-kakek? Maksudku..., dia seorang pemuda?" tebak Bandawasa
mulai mengerti.
"Tepat! Dewa Arak adalah
seorang pemuda yang baru berusia dua puluhan," Malaikat Pisau buru-buru
menjelaskan. Ada nada kebanggaan dalam ucapannya.
"Seorang pemuda?! Bahkan
sudah menjadi jago nomor satu di pulau ini?! Gila!" seru Bandawasa, kaget
bercampur kagum.
"Benar," Pendekar
Tangan Sakti menganggukkan kepala.
Bandawasa dan ketiga rekannya
saling berpan- dangan. Tarikan wajah mereka menyiratkan keterkejutan. Sungguh
tidak disangka kalau Dewa Arak yang begitu dikagumi Pendekar Tangan Sakti dan
ketiga rekannya, ternyata seorang pemuda belia. "Kalau kalian ingin
menemukannya, bukan hal yang sulit. Ciri-ciri yang dimilikinya amat
menyolok," kata Pendekar Tangan Sakti.
"Bagaimana
ciri-cirinya?" tanya Bandawasa penuh gairah.
Pendekar Tangan Sakti tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Dia termenung, seperti tengah mencari
kata-kata yang tepat untuk memulai menjelaskan.
"Nama aslinya Arya Buana.
Wajahnya tampan dan gagah. Pakaiannya berwarna ungu. Dan di punggungnya
tergantung sebuah guci arak dari perak."
"Jadi itu
ciri-cirinya?" desak Bandawasa ketika Pendekar Tangan Sakti menghentikan
ucapannya.
Dahi laki-laki berbibir tebal
itu tampak berkernyit. Sikapnya memberi petunjuk kalau tengah mengingat-ingat
sesuatu.
"Belum semua ciri-cirinya
kusebutkan. Masih ada satu ciri lagi yang lebih menyolok. Dewa Arak mempunyai
rambut panjang sampai melewati bahu. Dan warnanya..., putih keperakan!"
sambung Pendekar Tangan Sakti.
"Hahhh...!"
Bandawasa dan ketiga rekannya
kaget mendengar ucapan terakhir Pendekar Tangan Sakti.
"Rambutnya putih?"
desis Mahesa setengah tidak percaya.
Pendekar Tangan Sakti
menganggukkan kepala. "Benar."
Untuk yang kesekian kalinya
Bandawasa dan ketiga rekannya termenung. Tapi hal itu tidak berlangsung lama,
karena....
"Kurasa sudah cukup
banyak keterangan yang kami dapat mengenai Dewa Arak. Sekarang, kami pergi
untuk mencarinya."
Usai berkata demikian,
Bandawasa segera menjejakkan kakinya.
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke aras dan mendarat beberapa tombak
di depan. Melihat Bandawasa telah melesat, Janaka, Mahesa, dan Mahadewa segera
bergerak mengikuti. Hanya dalam waktu sebentar saja, tubuh mereka semua telah
lenyap ditelan kejauhan dan
kegelapan malam.
***
"Hhh...! Orang-orang yang
amat berbahaya," desis Pendekar Tangan Sakti sambil menghembuskan napas
berat.
Kemudian, kakek berpakaian
kuning ini bangkit berdiri, diikuti yang lainnya. Kini luka dalam mereka tidak
terlalu mengganggu lagi, karena telah diobati dengan bersemadi.
"Benar! Mudah-mudahan
saja Dewa Arak berhasil menanggulangi mereka," sambung Malaikat Pisau, berharap.
"Mudah-mudahan,"
sambut Petani Maut, berharap
pula.
"Tapi..., sepertinya
mereka bukan termasuk
orang jahat," ucap
Pendekar Tangan Sakti lagi.
"Aku masih belum yakin,
Pendekar Tangan Sakti," Sima Lodra angkat bicara.
"Heh?! Mengapa kau berkata
demikian, Lodra? Kalau mereka berniat jahat, kita tidak akan dibiarkan hidup!
Mereka tentu akan membunuh kita," bantah Pendekar Tangan Sakti.
"Apa yang dikatakan
Pendekar Tangan Sakti tidak salah, Lodra," kata Malaikat Pisau, memberi
dukungan pada Pendekar Tangan Sakti.
"Mungkin kau benar,
Malaikat Pisau. Tapi, bagai- mana ya.... Rasanya aku tidak percaya kalau kita
dibiarkan hidup..."
"Ha ha ha...! Kau memang
mempunyai perasaan tajam, Sima Lodra! Ha ha ha...!"
Sebuah ucapan kasar dan parau
memotong ucapan Sima Lodra yang belum selesai. Hampir berbarengan, keempat
orang itu menoleh ke arah asal suara, yang ternyata dari atas genteng.
"Mahadewa...," desis
Pendekar Tangan Sakti dan ketiga rekannya berbarengan.
Memang, orang yang berdiri
sambil bersedakap di atas genteng itu ternyata Mahadewa. Entah kapan, tahu-tahu
laki-laki berpakaian hitam dan berambut keriting serta mempunyai sebuah codet
di dahinya itu telah berada di situ.
"Ha ha ha...! Bagus!
Bagus! Kalian masih mengingat namaku rupanya! Ha ha ha...! Bagus!
Ingat-ingatlah, sebelum kukirim ke neraka! Ha ha ha...!"
Masih dalam keadaan
tertawa-tawa, Mahadewa melompat turun. Laksana seekor burung garuda, tubuhnya
melayang ringan.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun,
kedua kaki Mahadewa hinggap di tanah.
"Bersiaplah menerima
kematian!"
Usai berkata demikian,
Mahadewa melompat menerjang Pendekar Tangan Sakti yang berjarak paling dekat.
Jari-jari kedua tangannya dikembangkan membentuk cakar. Lalu, tiba-tiba tangan
kanannya disampokkan ke arah pelipis. Sedangkan tangan kiri yang terletak di
sisi pinggang, belum bergerak.
Pendekar Tangan Sakti terkejut
bukan kepalang melihat serangan mendadak itu, namun tidak gugup. Buru-buru
kepalanya ditarik ke belakang sambil me- langkah mundur.
Wuttt!
Sampokan Mahadewa ternyata
hanya lewat beberapa jari di depan wajah Pendekar Tangan Sakti. Rambut dan
pakaian kakek kurus yang berkibaran keras membuktikan betapa kuatnya tenaga
yang terkandung dalam serangan lawan.
Tapi tindakan Mahadewa tidak
hanya sampai di situ saja. Begitu serangan pertamanya luput, serangan lainnya
segera menyusul. Kaki kanannya meluncur cepat, melepaskan sebuah tendangan
lurus ke arah dada.
Maka, tidak ada pilihan bagi
Pendekar Tangan Sakti, kecuali mengelak. Disadari kalau keadaannya sekarang ini
tidak memungkinkan untuk menangkis. Apalagi kekuatan tenaga dalamnya telah
merosot jauh. Jadi, merupakan sebuah tindakan bodoh kalau memaksakan diri untuk
mengadu tenaga dalam.
Mendapat pikiran demikian,
Pendekar Tangan Sakti segera melempar tubuhnya ke belakang. Hasilnya, tendangan
Mahadewa hanya mengenai tempat kosong.
Kegagalan serangan yang kedua
kalinya, membuat Mahadewa geram bukan kepalang. Maka begitu kedua kakinya
hinggap di tanah, langsung saja tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Tangan Sakti.
Tapi, laki-laki bercodet ini terpaksa menghentikan maksudnya, karena Malaikat
Pisau, Petani Maut, dan Sima Lodra telah melesat menghadang. Mahadewa segera
merayapi wajah-wajah penghadangnya. Lalu....
"Ha ha ha !"
Bukan hanya Petani Maut dan
Malaikat Pisau saja yang merasa geram melihat sikap Mahadewa. Pendekar Tangan
Sakti dan Sima Lodra pun dilanda perasaan sama.
Maka keempat orang ini segera
men-cabut senjata andalan masing-masing.
Kini dengan senjata andalan di
tangan, empat orang pentolan aliran putih ini menyerbu Mahadewa.
Dalam sekejap saja, senjata di
tangan mereka berkelebat mengancam berbagai bagian tubuh tokoh yang ternyata
berasal dari Pulau Karang itu.
Hebat dan menggiriskan
serangan-serangan empat tokoh aliran putih itu. Tapi, masih lebih hebat lagi
tindakan Mahadewa. Ruyung berbatang dua di tangannya berkelebat cepat di
sekeliling tubuhnya. Dan hasilnya luar biasa! Setiap serangan yang dilancarkan
empat orang lawan selalu membentur batang ruyungnya. Kelebatan ruyung di sekujur
tubuhnya laksana benteng yang melindungi diri dari berbagai serangan.
Padahal, serangan yang datang
tidak hanya berupa tusukan, babatan, atau tetakan, tapi juga lemparan. Dan itu
bukan sembarang lemparan, karena yang melakukannya Malaikat Pisau dan Petani
Maut. Masing-masing dengan pisau dan caping bambu.
Tapi yang lebih menggiriskan
hati adalah lemparan caping Petani Maut Senjata berbentuk caping dari bambu
itu, mampu meluncur kembali pada pemiliknya, apabila berhasil dielakkan atau
ditangkis lawan! Ini memang suatu kelebihan senjata milik Petani Maut.
Meskipun demikian, toh semua
serangan itu berhasil dimentahkan Mahadewa! Walaupun, bukan ber- arti mudah
saja bagi Mahadewa untuk menaklukkan lawan. Empat orang lawan itu masih cukup
tangguh meskipun kemampuan mereka telah menurun jauh.
Sejak dari pertama menggebrak
hingga berlang- sung dua puluh jurus, Mahadewa masih tetap bertahan dan belum
melancarkan serangan sama sekali. Ruyungnya digunakan hanya untuk menangkis
setiap serangan lawan. Tapi menginjak jurus ketiga puluh lima, Mahadewa mulai melancarkan serangan balasan. Ruyungnya
mulai meluncur ke arah lawan. Mula-mula hanya sesekali saja, tapi semakin lama
porsi serangannya semakin bertambah.
"Hiyaaa...!"
Diiringi pekik melengking
nyaring, Mahadewa memutar ruyungnya di sekeliling tubuhnya. Kedahsyatan putaran
ruyungnya masih pula diiringi putaran tubuhnya.
Wuttt!
Melihat hal ini, Petani Maut,
Malaikat Pisau, Sima Lodra, dan Pendekar Tangan Sakti tidak berani me- nangkis.
Bahkan tangan mereka telah sejak tadi terasa pedas-pedas dan sakit-sakit,
karena terlalu sering menangkis ruyung lawan. Maka bagai diberi perintah,
keempat orang itu segera melompat mundur. Sehingga, serangan itu lewat beberapa
jengkal di depan mereka.
Tapi tindakan Mahadewa tidak
hanya sampai di situ saja. Kini, tubuhnya segera melompat menerjang Petani Maut
yang ada di hadapannya. Dan....
Wukkk!
Ruyung baja Mahadewa meluncur
ke arah kepala kakek berpakaian abu-abu lusuh itu. Apabila mengenai sasaran,
sudah bisa ditebak akibat yang akan terjadi pada kepala itu.
Tranggg!
Bunga api berpercikan ke sana
kemari begitu Petani Maut menangkis dengan cangkulnya. Seketika itu pula, tubuh
kakek berpakaian lusuh ini terhuyung-huyung ke belakang.
Dan saat itulah Mahadewa
menggunakan kesempatan baik di depan matanya. Langsung dilancarkannya serangan
susulan. Kakinya meluncur cepat ke arah perut, melepaskan sebuah tendangan
keras bertenaga dalam tinggi.
Desss! "Aaakh !"
Petani Maut menjerit
memilukan. Seketika itu pula, tubuhnya terlempar ke belakang. Darah segar
seketika keluar dari mulutnya, mengiringi luncuran tu- buhnya.
Pada saat tubuh Petani Maut
tengah terlempar, Pendekar Tangan Sakti, Malaikat Pisau, dan Sima Lodra segera
melancarkan serangan dari tiga jurusan.
"Hiyaaa...!" "Hih!"
"Haaat...!"
Namun Mahadesa tidak gugup
karenanya. Dan masih dalam keadaan di udara, ruyung di tangannya diayunkan ke
belakang.
Wuttt!
Prak, prak, prakkk!
Sungguh mengagumkan tindakan
Mahadewa! Permainan ruyungnya benar-benar elok! Meskipun tanpa melihat, dia
mampu mengirimkan serangan ke bagian yang mematikan. Berturut-turut kepala
ketiga lawannya terhantam batang ruyungnya, hingga hancur berantakan.
Tampaknya, Mahadewa mengerahkan seluruh tenaga dalamnya saat melepaskan pukulan
keras ke kepala lawan-lawannya.
Brukkk!
Tubuh Pendekar Tangan Sakti,
Malaikat Pisau, dan Sima Lodra roboh di tanah. Sebentar mereka kelojotan, lalu
diam tak bergerak lagi. Mati, dengan darah membanjiri tanah.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun
jatuh, kedua kaki Mahadewa hinggap di tanah. Sebentar sepasang mata-nya beredar
ke arah sosok-sosok tubuh lawan yang sudah tidak bergerak lagi di tanah.
"Ha ha ha...!"
Mahadewa tertawa bergelak
bernada kemenangan dan kegembiraan. Masih dengan suara tawa yang belum putus, tubuhnya
segera melesat cepat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan main gerakannya.
Hanya beberapa kali lesatan saja, tubuhnya telah tidak terlihat lagi. Yang
terlihat kini hanya sebuah titik hitam di kejauhan. Semakin lama, titik itu
semakin kecil, hingga akhirnya lenyap sama sekali!
23
Sang surya sudah hampir di
tengah-tengah langit. Tapi suasana di persada tidak terasa panas. Banyaknya
awan yang menggantung di langit, membuat matahari terhalang dalam memancarkan
sinarnya. Dan, dalam suasana seperti itu, dua sosok tubuh tampak melangkah
memasuki Desa Ceger.
"Hey! Apa yang tengah
terjadi di sana, Kang? Mengapa banyak orang berkerumun?" tanya seorang
gadis cantik sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan, tanpa menghentikan
langkahnya.
Pemuda tampan berpakaian ungu
yang berjalan di sebelah gadis berpakaian putih berambut panjang itu tidak
langsung menjawab. Namun pandangannya dialihkan ke arah yang ditunjuk gadis
itu.
"Entahlah, Melati."
Hanya itu jawaban yang
diberikan pemuda berpakaian ungu itu.
Gadis berpakaian putih yang
ternyata Melati dan sekaligus putri angkat Raja Bojong Gading itu terdiam. Tapi
sesaat kemudian, sepasang bola mata gadis yang berjuluk Dewi Penyebar Maut itu
berputar merayapi sekujur wajah pemuda di sebelahnya.
Sepasang bola mata bening dan
indah itu berhenti agak lama ketika tertumbuk pada guci perak yang tergantung
di punggung pemuda berpakaian ungu itu. Sebagian badan guci tidak terlihat,
karena tertutup rambut berwarna putih keperakan milik pemuda itu. Memang,
rambut itu panjang dan terurai melewati punggung.
Melihat dari ciri-cirinya,
bisa diketahui kalau pemuda berpakaian ungu itu adalah Arya Buana, yang
berjuluk Dewa Arak.
"Man kita lihat keramaian
di depan itu dulu, Melati," putus Arya. Melati sama sekali tidak menyambuti.
Yang dilakukannya hanya mengangkat bahu pertanda menyetujui usul Arya.
Kini Arya dan Melati melangkah
menuju tempat keramaian terjadi. Dan saat melangkah, kini mereka mengerahkan
ilmu meringankan tubuh. Hasilnya, tubuh mereka telah berada beberapa tombak
dari tempat semula.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, Arya dan Melati telah tiba di dekat kerumunan orang-orang yang
memang adalah para penduduk desa.
Arya dan Melati menghentikan
langkah. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu kembali menatap ke arah
kerumunan orang-orang yang membentuk lingkaran. Memang, kerumunan itu
menyulitkan mereka untuk mengetahui, apa yang ada di tengah-tengahnya.
Sesaat sepasang pendekar muda
ini berdiam diri, namun telah memasang pendengaran setajam mungkin. Mereka
mencoba mendengarkan, namun hasilnya nihil. Ternyata yang tertangkap hanyalah
gumaman-gumaman tidak jelas, mirip sekumpulan lebah yang sarangnya
diobrak-abrik! Dan tentu saja berasal dari mulut kerumunan orang-orang yang
berbicara semaunya.
Karena yakin tidak akan
mengetahui apa pun, Arya segera menekuk kedua lututnya. Dan sekali kakinya
bergerak menekan, tubuhnya melayang ke atas, dan langsung hinggap pada sebuah
dahan pohon yang rumbuh tak jauh dari kerumunan.
Dari atas pohon, pemuda
berambut putih keperakan itu mengarahkan pandangan pada sesuatu di
tengah-tengah kerumunan orang-orang di bawahnya. Ternyata, di situ tergeletak
seorang kakek yang bersimbah darah pada mulutnya.
Jliggg!
"Ada apa, Kang?"
tanya Melati begitu Dewa Arak telah mendarat kembali di tanah.
Gadis berpakaian putih ini
rupanya sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi, sehingga langsung
menyodorkan pertanyaan. Padahal, Dewa Arak baru saja ingin membuka mulutnya.
"Ada seorang kakek
tergeletak di dalam kerumunan orang-orang itu. Aku yakin, dia terluka. Tadi
sempat kulihat adanya noda-noda darah di sekitar mulutnya," jawab Arya.
"Kita harus cepat bertindak sebelum terlambat, Melati."
Usai berkata demikian, pemuda
berambut putih keperakan itu menghampiri kerumunan para penduduk dengan
langkah-langkah panjang.
"Permisi, Kisanak semua.
Biarkah kami menolongnya."
Kontan hampir semua kepala
orang yang tengah berkerumun, menoleh. Seketika itu pula, para penduduk itu
menggeser memberi jalan pada Dewa Arak dan Melati.
"Terima kasih."
Arya mengucapkan perkataan itu
sambil meng- anggukkan kepala. Kemudian, kakinya melangkah cepat menuju ke arah
sosok tubuh yang tergolek lemas.
Hanya dalam beberapa kali
langkah, Dewa Arak dan Melati telah berada di dekatnya. Lalu, sepasang pendekar
muda ini berjongkok dan memeriksa keadaan si kakek. Sementara, para penduduk
desa terus mengamati setiap gerak-gerik Arya dan Melati.
Dewa Arak dan Melati kontan
saling berpandangan ketika telah memeriksa keadaan sosok tubuh yang tergolek
tak berdaya. Dan sebentar kemudian, pandangan mereka kembali beralih ke arah
sosok tubuh itu. Namun, kali ini lebih bersifat memperhatikan.
Memang tampaknya keadaan kakek
berpakaian abu-abu lusuh itu amat mengkhawatirkan. Lukanya sangat parah. Arya
dan Melati tahu, kakek ini telah mendapat serangan dari orang yang memiliki
tenaga dalam tinggi. Di lain hal, kakek berpakaian abu-abu lusuh dan memiliki
kulit hitam kecoklatan itu kelihatannya memang memiliki kepandaian cukup
tinggi. Buktinya, Arya dan Melati merasakan adanya putaran hawa yang cukup kuat
di bawah pusar. Dan kelihatannya, dia juga
bukan seorang penduduk biasa.
Setelah memperhatikan kakek
berpakaian abu-abu lusuh itu, Arya mengedarkan pandangan ke arah para penduduk
yang masih berkerumun di sekitarnya.
"Apakah di antara kalian
ada yang mengenal kakek ini?" tanya Dewa Arak keras, agar terdengar jelas
sampai kerumunan paling belakang. Namun, ternyata para penduduk hanya
menggelengkan kepala. Dan Dewa Arak sudah mengerti maksudnya.
"Berarti dia bukan
penduduk desa ini, Kang," kata Melati.
Kepala Arya mengangguk,
menyetujui ucapan Melati.
"Mengapa tidak ada
seorang pun di antara kalian yang tergerak untuk menolongnya? Bukankah dia
tengah terluka parah? Setidak-tidaknya, membawanya ke tempat yang lebih
nyaman," kata Arya.
Ada nada penasaran dalam
perkataan Dewa Arak. Apalagi diucapkannya sambil bangkit berdiri, dengan
sepasang mata beredar merayapi orang-orang di sekelilingnya.
Luar biasa! Setiap kepala yang
ditatap Dewa Arak, langsung tertunduk. Beberapa di antaranya mencoba untuk
balas menatap, tapi hanya berlangsung sekejap saja. Sinar mata Aryalah yang
membuat mereka tidak kuasa bertahan lama-lama. Betapa tidak? Sepasang mata itu
mencorong tajam dan berwarna kehijauan, mirip sorot mata harimau dalam gelap!
"Kami tidak berani
bertindak apa-apa, Den," kata salah seorang penduduk yang bertubuh kecil
kurus, dan berjenggot panjang
"Mengapa, Ki?" tanya
Arya, ingin tahu.
"Dulu, hal seperti ini
pernah terjadi. Ada seseorang terluka, lalu dengan perasaan kasihan penduduk
desa menolongnya. Dan orang itu pun dirawat di rumahku. Lalu kejadian
selanjutnya "
Kakek kecil kurus itu
menghentikan ceritanya, seperti tengah mengenang suatu peristiwa yang menggores
hatinya. Ditatapnya wajah pemuda berambut putih keperakan itu penuh selidik.
"Teruskan, Ki,"
pinta Arya.
Sebenarnya Arya sudah bisa
menebak kejadian yang diterima kakek itu. Akibat kebaikan hatinya, yang
diterimanya adalah peristiwa tidak enak. Wajah tua yang semula berseri-seri dan
langsung berubah mendung itulah yang menguatkan dugaan Dewa Arak.
"Ketika telah sembuh,
orang itu malah berusaha memperkosa anak perempuanku. Dan akibatnya, anakku
bunuh diri setelah kejadian itu. Kau bayangkan saja, Den. Dia anakku
satu-satunya. Dan hidupku juga hanya berdua saja dengannya. Ah! Sayang, si
keparat itu tidak ikut membunuhku pula!"
Melati seperti tidak kuasa
menahan kegeramannya. Sedangkan, Dewa Arak tampak bersikap tetap tenang. Tapi,
raut wajah dan sinar matanya menun- jukkan perasaan ikut prihatin atas
peristiwa yang menimpa kakek kecil kurus itu.
"Aku turut prihatin atas
peristiwa yang kau alami, Ki," hanya itu yang keluar dari mulut Arya.
"Terima kasih, Den."
"Hal itu bukan kejadian satu-satunya di tempat kami, Den," sambung
seorang laki-laki bertubuh kekar.
"Jadi, masih ada
peristiwa lainnya?" tanya Arya. Laki-laki kekar itu menganggukkan kepala.
"Tapi, pelaku kejahatan itu bukan orang yang ka-
mi tolong, melainkan tokoh
yang menjadi musuh orang itu. Tokoh itu mengamuk, sehingga banyak penduduk desa
yang dibantai. Akibat kejadian-kejadian itu, kami tidak berani sembarangan lagi
menolong orang yang tengah terluka. Kecuali, bila telah diketahui kepala
desa."
Arya dan Melati menganggukkan
kepala. Kini baru disadari, mereka tidak bisa menyalahkan sikap para penduduk Desa
Ceger.
"Lalu kalau tidak ingin
menolong, mengapa berkerumun di sini?" tanya Arya lagi.
"Kami tengah menunggu
kedatangan kepala desa. Salah seorang dari kami telah pergi memberitahunya.
Biarlah kepala desa yang akan mengurusnya," jawab laki-laki kekar itu.
Kembali Arya dan Melati
mengangguk-anggukkan kepala. Kagum juga sepasang pendekar muda ini melihat
sikap penduduk Desa Ceger. Meskipun beberapa kali mengalami kejadian buruk,
tapi tetap saja tidak kapok memberi pertolongan pada orang yang tengah terluka.
"Kalian benar-benar memiliki hati mulia. Dan sambil menunggu kedatangan
kepala desa, aku akan
mencoba meringankan
luka-lukanya."
Setelah berkata demikian,
kembali Dewa Arak mengalihkan perhatian ke arah kakek berpakaian abu-abu lusuh.
Lalu, tangannya bergerak menotok dan mengurut sana-sini. Sesaat kemudian....
"Huakh !"
Segumpal darah kental berwarna
merah kehitaman kontan keluar dari mulut kakek berpakaian abu-abu itu. Darah
mati!
"Hey!"
Para penduduk Desa Ceger
berseru kaget ketika melihat keadaan kakek berpakaian abu-abu lusuh itu. Mereka
kira, Dewa Arak bukan hendak mengobati, melainkan menyiksa. Maka bagai diberi
perintah, mereka bergerak ke depan. Tangan-tangan mereka pun mulai meraba sisi
pinggang, siap mencabut senjata. Tapi....
"Tahan !"
Bentakan keras tlba-tiba
terdengar. Ternyata, berasal dari mulut Melati. Maka, mau tak mau langkah para
penduduk Desa Ceger berhenti.
"Apa yang hendak kalian
lakukan?!" tanya Melati keras, sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Tahu akan keadaan yang agak
gawat, Melati menggerakkan tenaga dalam pada teriakannya. Hasilnya, suara yang
keluar terdengar penuh wibawa. Sehingga, membuat penduduk Desa Ceger jadi ciut
nyalinya.
"Kawanmu hendak membunuh
kakek itu. Dan kami tidak bisa membiarkannya," kata kakek kecil kurus,
mantap.
"Siapa yang ingin
membunuhnya? Kawanku itu hendak mengobatinya. Bukankah telah kalian lihat
sendiri, kalau kakek itu kini telah sadarkan diri?!" sergah Melati, masih
penuh wibawa.
"Tapi.... Tapi..., darah
itu "
Kakek kecil kurus itu
terbata-bata mengajukan tuduhannya.
"Benar!" sambut
laki-laki kekar. "Betul!" seru yang lain tak mau kalah. "Diam
!"
Melati mengangkat tangan
kanannya tinggi-tinggi. Hebat bukan kepalang akibatnya! Para penduduk Desa
Ceger seperti kena sirep. Mereka semua tercenung dengan raut wajah bingung.
Tentu saja bukan karena acungan tangan Melati, melainkan karena pengerahan
tenaga dalam yang dikeluarkan bersama seruannya.
4
"Kalian dengar baik-baik.
Darah yang dikeluarkan kakek itu adalah darah mati! Darah yang sudah tidak
berguna lagi, dan justru malah akan membahayakan apabila tidak dibuang! Dan
kawanku tadi berusaha mengeluarkannya. Kalian mengerti?!" kata Melati.
"Ooo..."
Sambil mengangguk-angguk
pertanda mengerti, para penduduk Desa Ceger membulatkan bibirnya.
"Sekarang kami mengerti.
Maafkan atas kebodohan kami," ucap kakek kecil kurus.
"Terima kasih atas
pengertian kalian. Dan kumohon, kalian bersedia mundur sedikit. Berikan ruangan
yang agak longgar agar kawanku dapat melanjutkan pengobatannya," lanjut
Melati dengan suara lebih lunak.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, para penduduk Desa Ceger itu segera melangkah mundur.
"Terima kasih," ucap
Melati.
Lalu, gadis berpakaian putih
itu kembali mengalihkan pandangan ke arah Dewa Arak. Tampak kekasihnya itu
tengah duduk bersila dengan telapak tangan menempel ke punggung kakek yang juga
tengah du- duk bersila. Rupanya, Dewa Arak tengah mengobati luka dalam kakek
itu dengan pengerahan hawa murni.
Melihat hal ini, Melati pun
bersikap waspada. Matanya menatap sekitarnya dengan sorot penuh selidik. Gadis
berpakaian putih ini tahu, sekarang Dewa Arak tengah tidak berdaya. Apabila ada
lawan yang datang menyerang, pasti akan celaka. Itu sebabnya Melati perlu
menjaga dari segala kemungkinan yang akan terjadi. Melati kini kembali
mengedarkan pandangan berkeliling. Dan sesekali, sepasang matanya tertuju ke
arah Arya yang masih sibuk mengobati kakek berpakaian abu-abu.
Berbeda dengan Melati, para
penduduk Desa Ceger sama sekali tidak mempedulikan keadaan sekitarnya.
Pandangan mereka semua tertuju pada Arya yang masih sibuk mengobati kakek
berpakaian abu-abu itu. Dan Arya baru melepaskan tempelan tangannya dari
punggung kakek berpakaian abu-abu, ketika bantuan-nya dirasakan telah cukup.
"Terima kasih atas bantuanmu,
Anak Muda," ucap kakek berpakaian abu-abu itu ketika telah berdiri tegak.
"Lupakanlah, Ki.
Tolong-menolong merupakan hal biasa. Bukan tidak mungkin, lain waktu kau yang
akan ganti menolongku," sahut Arya buru-buru.
"Memang sudah kuduga
jawaban yang kuterima akan seperti ini. Berita yang kudengar mengenai dirimu,
ternyata sama sekali tidak menyimpang, Dewa Arak!"
Karuan saja wajah Arya berubah
ketika mendengar ucapan kakek berpakaian abu-abu. Sama sekali tidak terduga
kalau kakek itu mengenal julukannya.
"Aku sama sekali tidak
menyangka bisa bertemu tokoh yang menggemparkan dunia persilatan seperti
dirimu! Kalau saja masih ingat namaku yang sebenarnya, tentu akan kusebutkan,
Dewa Arak. Sayang sekali, aku telah lupa, Hanya julukan tak berguna saja yang
kumiliki. Aku berjuluk Petani Maut. Sebuah julukan yang terlalu
berlebihan," sambung kakek berpakaian abu-abu yang ternyata berjuluk
Petani Maut, sebelum Arya sempat berkata.
"Kau terlalu berlebihan.
Dari julukan yang kau sandang saja, kemampuanmu sudah bisa kuperkirakan,
Ki," Arya balas memuji.
Petani Maut tersenyum pahit.
"Hanya sebuah julukan
kosong, Dewa Arak. Menghadapi seorang tokoh yang sama sekali tidak terkenal
saja, dengan mudah aku dapat dikalahkan."
"Kalah dan menang dalam
sebuah pertempuran adalah soal biasa, Ki. Sekali waktu kita menang. Tapi bukan
tidak mungkin kalau di lain hari kita akan dikalahkan. Tidak ada orang yang
paling sakti," ujar Arya tanpa bernada menggurui.
Petani Maut semakin bertambah
kagum mendengar ucapan Arya. Perkataan pemuda berambut putih keperakan itu
diketahuinya mengandung kebenaran, yang tidak bisa diganggu gugat lagi
kebenarannya.
Petani Maut benar-benar dibuat
terkagum-kagum oleh perkataan Dewa Arak. Sama sekali tidak disangka orang
semuda Dewa Arak mempunyai wawasan demikian luas. Walaupun kepandaiannya amat
tinggi, namun tidak nampak adanya kesombongan sedikit pun di dalam ucapannya.
Inilah yang membuat Petani Maut kagum bukan kepalang.
"Apa yang kau katakan itu
sama sekali tidak salah, Dewa Arak. Tapi "
Petani Maut menghentikan
ucapannya di tengah jalan, karena mendengar suara ribut-ribut.
"Ki Manda datang. Beri
jalan...! Ki Manda telah tiba !"
Kerumunan penduduk Desa Ceger
pun menyibak, memberi jalan pada orang yang bernama Ki Manda. Arya, Melati, dan
Petani Maut pun mengalihkan pandangan ke arah kerumunan penduduk yang menyibak.
Tampak seorang laki-laki
setengah baya ber- pakaian putih tengah berjalan menghampiri. Meskipun rambut
di kedua pelipisnya sebagian telah memutih, tapi masih terlihat angker.
Potongan tubuhnya kekar. Keberadaan kumis serta jenggot lebat yang menghias
wajah, semakin menambah keangkerannya. Apalagi ditambah sebatang golok pendek
yang terselip di pinggang. Lengkap sudah keangkeran itu. Inilah orang yang
disebut-sebut sebagai Ki Manda, Kepala Desa Ceger.
Di belakang Ki Manda, berjalan
dua orang yang bertubuh tinggi kekar dan dipenuhi otot melingkar-lingkar. Rompi
berwarna hitam yang membungkus tubuh, tak mampu menyembunyikan otot-otot yang
me-nyelimuti tubuh mereka.
Semua penduduk Desa Ceger
tahu, siapa kedua orang berompi hitam ini Mereka adalah pengawal kepercayaan Ki
Manda. Namanya, Ragola dan Paroga. Ki Manda menghentikan langkahnya ketika
telah berjarak tiga tombak di hadapan Arya, Melati, dan Petani Maut.
"Kudengar di tempat ini
ada seorang kakek yang tengah terluka "
Orang nomor satu di Desa Ceger
itu sengaja tidak meneruskan ucapan. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah di
hadapannya. Sekali lihat saja telah bisa diduga kalau orang yang dimaksud
adalah kakek ber- pakaian abu-abu.
"Akulah orang yang
terluka itu, Ki," kata Petani Maut, cepat "Tapi, kini telah sembuh
karena telah ditolong Dewa Arak."
"Dewa Arak?!"
Bukan hanya Ki Manda saja yang
terkejut bukan kepalang, tapi juga dua orang pengawal kepercayaannya. Bagai
diberi aba-aba, kedua orang itu sama-sama mengalihkan pandangan ke arah Arya.
Memang, pemuda itulah yang mempunyai ciri-ciri sebagai pendekar yang
menggemparkan dunia persilatan.
"Jadi..., dia Dewa
Arak?!" tanya Ki Manda, memastikan.
Kepala Desa Ceger itu
menudingkan telunjuk kanannya ke arah Arya. Tapi, tatapan sepasang matanya
tertuju pada Petani Maut. Sepertinya ada nada ketidakpercayaan dalam ucapan Ki
Manda.
"Ada kalanya, berita yang
tersebar di dunia persilatan bertentangan dengan kenyataan sebenarnya,"
selak salah seorang pengawal Ki Manda yang bercambang bauk lebat sebelum Dewa
Arak dan yang lain menyahuti. "Aku tidak mengerti maksudmu, Ragola?"
Ki Manda
mengalihkan pandangan ke arah
pengawalnya.
Pengawal bercambang bauk lebat
yang bemama Ragola itu tidak langsung menjawab. Dia berdehem sebentar.
"Begini, Ki. Ada kalanya
berita yang tersebar di dunia persilatan tidak sesuai kenyataannya. Dan tentu
saja karena perlu diuji kebenarannya!" kata Ragola, seraya menatap Arya
dengan nada menantang.
Sementara orang yang bernama
Paroga mengangguk-anggukkan kepala, pertanda mendukung ucapan rekannya. Bahkan
dia pun ikut menatap Dewa Arak pula.
Suasana langsung hening. Semua
pasang mata kontan tertuju pada Dewa Arak. Mereka semuanya ingin melihat
tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu terhadap perkataan bernada
tantangan dari Pragola.
Tapi ternyata Arya tidak
terpancing oleh ucapan itu. Bahkan tetap bersikap tenang. Disadari kalau Ragola
dan Paroga adalah jagoan-jagoan tanggung Desa Ceger. Dan mungkin, selama ini
belum pernah dikalahkan orang. Jadi begitu mendengar Dewa Arak mendapat pujian
seperti itu, mereka berniat mengajak bertarung!
Berbeda dengan Arya, Melati
dan Petani Maut ternyata merasa tersinggung bukan kepalang. Sepasang mata
Petani Maut sudah berkilat, sedangkan kedua tangan Melati telah mengepal karena
amarah yang langsung menggejolak.
Melati dan Petani Maut
berharap, Dewa Arak menanggapi tantangan Ragola.
"Mungkin ucapanmu
benar," jawab Arya, kalem.
Ragola dan Paroga yang sama sekali
tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu jadi saling berpandangan.
Bingung. Tapi sebelum sempat berbuat sesuatu, tiga sosok tubuh berpakaian
abu-abu dan mengenakan caping, berlari cepat menerobos kerumunan penduduk Desa
Ceger.
"Guru...! Bagaimana
keadaanmu?" salah seorang yang baru datang itu langsung menghampiri Petani
Maut, dan melontarkan pertanyaan.
"Keadaanku baik-baik
saja, Rantung. Dari mana kalian tahu kalau aku ada di sini?" tanya Petani
Maut. "Kau, Rimang. Mungkin kau bisa menjawabnya."
"Baru saja kami singgah
di sini. Dan begitu melihat kerumunan orang, kami langsung bertanya pada
seorang penduduk Desa Ceger tentang keberadaanmu. Dan begitu mereka menyebutkan
ciri-cirinya, kami langsung bisa menduga kalau yang tengah terluka adalah
dirimu," jelas orang yang dipanggil Rimang.
"Hm.... Lantas, mengapa
kalian mencariku? Ada apa rupanya? Kau, Jalu. Coba jawab pertanyaanku,"
ujar Petani Maut, penuh wibawa. "Celaka, Guru...!" hanya itu yang
keluar dari mulut Jalu.
"Ada apa, Rantung?" desak
Petani Maut menga- lihkan tatapannya pada Rantung. Memang, dialah yang paling
tertua di antara murid Petani Maut.
Terdengar penuh wibawa ucapan
Petani Maut. Ada nada teguran dalam suaranya.
"Perkumpulan kita
diobrak-abrik orang jahat, Guru. Semua murid dibunuh. Hanya kami bertigalah
yang dibiarkan hidup!" lapor Rantung, takut-takut.
"Keparat!"
Petani Maut menggeram.
Jari-jari kedua tangannya langsung dikepalkan, sehingga menimbulkan suara
berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang patah. Kelihatan kalau laki-laki
berpakaian lusuh ini tengah dilanda kemarahan yang menggejolak.
Rantung, Rimang, dan Jalu
tentu saja tahu kalau pimpinan mereka tengah murka. Maka, ketiganya pun semakin
menundukkan kepala, tidak berani balas menatap.
"Kalian kenal orang yang
telah melakukan semua kekejian itu?" tanya Petani Maut Suaranya terdengar
bergetar, setelah berhasil menenangkan hati.
Dan bagai diberi perintah,
Rantung, Rimang, dan Jalu menggelengkan kepala.
"Tapi kami bisa
menjelaskan ciri-ciri orang itu, Guru," kata Rantung setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
"Katakan, bagaimana
ciri-ciri orang itu?" desak Petani Maut masih dengan suara kaku.
Rantung tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Benaknya segera diputar untuk mengingat-ingat orang
yang telah membunuhi rekan-rekannya.
"Pengacau itu memiliki
tubuh tinggi besar. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, dan ada sebuah codet di
dahinya. Pakaian yang dikenakannya berwarna "
"Hitam," selak
Petani Maut, sebelum Rantung menyelesaikan penjelasannya.
"Benar, Guru," sahut
Rantung dengan raut wajah bingung. "Guru mengenalnya?"
"Hhh !" Sambil
menghela napas berat, Petani Maut menganggukkan kepala.
"Mahadewa...," desah
kakek berkulit hitam ke-coklatan ini, dalam hati.
Memang, ciri-ciri yang
diuraikan Rantung tepat mengarah pada satu orang. Mahadewa!
"Mahadewa...," desis
Petani Maut dengan suara ditekan. "Dosa yang kau perbuat semakin banyak
saja. Hanya kematianlah yang pantas untuk menebus dosa-dosamu. Aku berjanji
akan mengadu nyawa untuk menumpas sepak terjangmu!"
Pelan saja Petani Maut
mengucapkan sumpahnya. Tapi karena suasana di sekitar tempat itu hening, sumpah
itu terdengar jelas. Tak terkecuali, telinga Dewa Arak dan Melati.
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara tawa
tergelak yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.Suasana di
sekitar tempat itu kontan bergetar hebat. Bahkan seluruh penduduk Desa Ceger
merasakan kaki mereka mendadak lemas. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh
berlutut di tanah.
Yang masih berdiri tegak di
tanah hanya Petani Maut, Dewa Arak, Melati, dan Ki Manda. Sedangkan Ragola dan
Paroga memang masih tetap berdiri. Tapi, kedua kaki mereka sudah tidak tegak
lagi. Lutut mereka terasa lemas bukan kepalang!
Hampir berbarengan, semua
pasang mata dilayangkan ke arah suara tawa berasal. Tampak di luar kerumunan
penduduk Desa Ceger yang sudah bergeletakan di tanah, berdiri sesosok tubuh
tinggi berpakaian hitam.
Semua yang ada di situ menatap
dengan hati berdebar tegang. Betapa tidak? Sosok tubuh berkulit hitam, berambut
keriting, dan mempunyai sebuah codet di dahi itu kelihatan menggiriskan
sikapnya. Siapa lagi orang itu kalau bukan Mahadewa?
"Grrrhhh...!"
Bagai seekor harimau lapar,
Petani Maut yang ti- dak bisa menahan kegeramannya lagi langsung menggeram.
Sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot tubuhnya telah menegang, karena
siap-siap ingin melancarkan serangan. Tapi ketegangan itu langsung mengendur,
karena ada orang yang mendahului tindakan Petani Maut. "Keparat! Berani
kau memamerkan kemampuan di
Desa Ceger?!"
Usai berkata demikian, orang
yang tak lain Ragola itu melompat menerjang. Kedua tangannya yang terkepal,
melepaskan pukulan ke arah dua tulang rusuk Mahadewa.
"Hmh...!"
Mahadewa hanya mendengus.
Sorot meremehkan tampak terpancar dari kedua matanya. Kelihatannya serangan
Ragola tidak dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Buktinya, dia hanya
diam saja, sekalipun serangan itu semakin mendekat!
Buk, buk, buk!
Bertubi-tubi pukulan Ragola
mengenai sasaran, karena Mahadewa sama sekali tidak mengelak. Seketika itu
pula, terdengar jeritan kesakitan yang disusul terhuyung-huyungnya tubuh
Ragola!
"Ha ha ha ..!"
Mahadewa tertawa
terbahak-bahak melihat Ragola terhuyung-huyung ke belakang sambil
menjerit-jerit kesakitan. Tidak hanya itu saja. Kedua tangannya kon- tan
bengkak-bengkak membiru. Memang, Ragola merasakan seakan-akan yang dipukulnya
adalah gundukan besi baja yang amat kuat.
"Keparat! Berani kau
melukai kawanku?!" Paroga tidak tinggal diam melihat keadaan rekan-
nya. Seketika itu pula,
tubuhnya melompat menerjang Mahadewa. Dan ketika tubuhnya berada di udara,
tangan kanannya bergerak cepat ke arah pinggang.
Srattt!
Sinar terang kontan
berkeredep, ketika golok besar yang terselip di pinggang telah tercabut. Dan
secepat senjata itu tercabut, secepat itu pula terayun ke arah leher Mahadewa!
Paroga menggerakkan goloknya secara mendatar.
Wuttt!
Diiringi suara mendesing cukup
nyaring, golok besar itu melesat cepat menuju sasaran. Tapi seperti ketika
menghadapi serangan Ragola, menghadapi serangan ini pun Mahadewa sama sekali
tidak mengelak atau menangkisnya. Laki-laki bercodet itu tetap saja
tertawa-tawa, seperti tidak ada bahaya yang tengah mengancam. Maka, hasilnya
pun sudah bisa diduga.
Takkk!
Telak dan keras sekali mata
golok itu menghantam sasaran. Bunyi yang terdengar mirip benturan dua buah
logam keras.
Takkk!
Telak dan keras sekali mata
golok Paroga menghantam leher lawan. Tetapi Mahadewa tenang saja. Sebaliknya
dengan Paroga, laki-laki itu malah merasakan tangannya sakit dan linu bukan kepalang
se-
telah goloknya membentur leher
Mahadewa.
Paroga kontan merasakan
tangannya sakit dan linu bukan kepalang setelah membenturkan goloknya dengan
leher Mahadewa. Bahkan hampir-hampir senjata yang digenggamnya terlepas dari
pegangan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Kali ini, rupanya Mahadewa
berniat unjuk gigi. Buktinya, tindakannya tidak hanya sampai di situ saja.
Masih dengan tawa yang belum putus, telunjuk tangan kanannya langsung
ditudingkan ke arah Paroga.
Cit!
Suara mendecit nyaring seperti
ada tikus mencicit, terdengar ketika Mahadewa menudingkan jari telunjuknya.
Dan....
Crattt! "Aaakh !"
Paroga langsung menjerit
kesakitan ketika tahu-tahu pelipisnya terasa perih, seperti tersayat sebilah
pisau tajam. Pengawal Ki Manda ini sama sekali tidak tahu kalau ada darah yang
mengalir keluar dari pelipisnya yang terluka. Dan dia juga tidak tahu kalau
luka itu terjadi akibat tudingan telunjuk Mahadewa.
Memang, laki-laki bercodet itu
mempunyai sebuah ilmu yang membuat jari-jari tangannya mampu melukai
lawan-lawannya dari jarak jauh! Bahkan angin serangannya tak kalah tajamnya
dengan sabetan pedang tajam!
Sebentar Paroga
terhuyung-huyung, lalu ambruk di tanah. Tanpa menunggu lama lagi, nyawanya pun
melayang ke alam baka saat itu juga.
"Iblis keji!" Ki
Manda tidak bisa menahan kemarahannya lagi melihat nasib Paroga. Cepat laksana
kilat, golok pendek yang berada di pinggang dicabutnya.
Srattt! Tapi....
"Tahan !"
Dan sebelum Ki Manda sempat
menoleh ke arah asal suara, mendadak melesat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu,
di sebelah kirinya telah berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan. Siapa
lagi kalau bukan Dewa Arak. Pendekar muda yang telah menggemparkan dunia
persilatan ini berdiri dengan sikap tenang.
"Siapa kau, Kisanak?
Mengapa menyebar kerusuhan di sini?" tanya Dewa Arak, kalem.
5
"Ha ha ha !"
Jawaban yang diterima Dewa
Arak ternyata hanya suara tawa keras menggelegar dari Mahadewa. Tampak jelas
kalau laki-laki bercodet ini memandang rendah Dewa Arak. Tapi seperti biasanya,
Arya sama sekali tidak terpancing. Sikapnya tetap seperti semula, tenang.
"Bukankah kau telah
mengetahui namaku, Dewa Arak. Aku Mahadewa! Apakah Petani Maut tidak
menceritakan kejadian yang dialaminya padamu?" Mahadewa malah balas
bertanya. "Sayang sekali, Mahadewa. Petani Maut sama sekali tidak
menceritakan apa-apa padaku. Mungkin kejadian yang dialami bersamamu dianggap
sebuah masalah yang sama sekali tidak penting. Jadi, rasanya tidak perlu
diceritakan padaku," kalem jawaban Arya, tapi ada nada sindiran di dalamnya.
Mahadewa bukan orang bodoh!
Dia pun tahu, Dewa Arak memang sengaja mengejeknya. Maka seketika raut wajahnya
merah padam. Dengan sepasang mata membeliak lebar, ditatapnya Dewa Arak.
"Keparat! Berarti kau
main-main denganku?!
Awas, kuhancurkan tubuhmu!"
Sebelum gema ancamannya
lenyap, Mahadewa telah melompat menerkam Dewa Arak. Kedua tangannya yang
berbentuk cakar, terkembang di sisi tubuhnya. Serangannya mengingatkan pada
terkaman seekor harimau lapar.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi
tibanya serbuan Mahadewa. Betapa dahsyatnya serangan itu. Tapi, Dewa Arak tidak
gugup. Sikapnya tetap tenang, menunggu hingga luncuran tubuh Mahadewa dekat.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi,
Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan untuk memapak serangan lawan.
Sebenarnya hal ini merupakan tindakan yang di luar kebiasaan. Biasanya, Dewa
Arak tidak pernah menangkis saat lawan melancarkan serangan pertama. Hal ini
karena Arya tidak mau mencelakai lawan. Masalahnya, bukan tidak mungkin tenaga
yang digunakan akan terlalu kuat bagi lawan.
Tapi kali ini kebiasaan itu
terpaksa dilanggar Dewa Arak, karena melihat sikap telengas Mahadewa. Bahkan
Dewa Arak tidak segan-segan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena
diyakini kalau Mahadewa memiliki tenaga dalam tinggi.
Prattt!
Suara keras terdengar ketika
dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan.
Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur. Dewa Arak terhuyung
dua langkah, sedangkan Mahadewa empat langkah. Dari sini bisa diketahui kalau
tenaga dalam Dewa Arak berada di atas lawannya.
Mahadewa menggertakkan gigi
menyadari keunggulan lawan. Dari benturan tadi, tokoh dari Pulau Karang ini
geram bukan kepalang. Apabila ketika tangannya terasa sakit-sakit. Maka begitu
kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung lenyap, langsung saja
dikeluarkannya ilmu 'Tangan Sakti Pedang dan Golok' andalannya.
Mahadewa menyusun jari-jari
tangannya membentuk kepala ular. Sementara, Dewa Arak memperhatikan penuh
waspada. Disadari kalau lawan akan mengeluarkan ilmu andalan.
"Haaat...!"
Diawali teriakan nyaring yang
membuat suasana di sekitar tempat itu tergetar hebat, Mahadewa segera menerjang
Dewa Arak. Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya dibacokkan ke
arah leher Dewa Arak.
Wuttt!
Suara mendesing nyaring
mengiringi tibanya serangan Mahadewa. Itu pun masih ditambah berkesiurnya angin
tajam yang dapat melukai kulit.
Dewa Arak sendiri tidak berani
bertindak gegabah. Dari desir angin tajam yang mengiringi tibanya serangan,
bisa diperkirakan kehebatan ilmu lawan. Maka, buru-buru tubuhnya melompat ke
belakang untuk mengelakkan serangan itu, Dan tindakan Dewa Arak tidak hanya
sampai di situ. Dalam keadaan masih di udara, guci araknya diambil dan
dituangkan ke mulut.
Gluk, gluk, gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Hawa hangat yang semula beredar di perut
perlahan-lahan naik ke atas kepala.
Jliggg!
Dengan keadaan tubuh
sempoyongan, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Lalu, tokoh muda
yang menggemparkan ini mulai menggerak-gerakkan kedua tangannya di depan dada
dengan tubuh terhuyung-huyung. Gerakan kedua tangannya mengingatkan orang pada
seekor belalang yang tengah mempermainkan kakinya. Mahadewa belum pernah
melihat ilmu andalan Dewa Arak. Apalagi, membuktikan kelihaiannya. Maka dia
agak bingung begitu melihat gerakan-gerakan yang dilakukan pemuda berambut
putih keperakan itu.
Tapi sebagai seorang tokoh
sakti, laki-laki bercodet ini langsung bisa memperkirakan kedahsyatan ilmu
lawannya. Maka tindakannya tidak berani ceroboh lagi. Mahadewa tahu, Dewa Arak
pasti mengeluarkan ilmu andalannya. Dan dia tidak berani langsung melancarkan
serangan. Diperhatikannya secara seksama tindakan tokoh muda yang telah
menggemparkan dunia persilatan itu.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan keras
menggelegar, kini Maha- dewa melancarkan serangan pada Dewa Arak. Jari-jari
tangannya terbuka lurus, siap menggunakan ilmu 'Tangan Sakti Pedang dan Golok'
untuk mematahkan perlawanan Dewa Arak. Dalam penggunaan ilmu itu, Mahadewa
melancarkan tusukan, bacokan, babatan, maupun tetakan. Yang menggiriskan hati,
setiap gerakan tangannya selalu menimbulkan suara angin mencicit nyaring.
Tapi lawan yang dihadapi
adalah Dewa Arak! Seorang pendekar yang meskipun masih muda, tapi memiliki
kemampuan luar biasa. Ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalamnya sudah
mencapai tingkat tinggi. Ilmu-ilmu yang dimilikinya juga merupakan ilmu-ilmu
pilihan. Itu pun masih ditambah lagi dengan pengalaman bertarungnya. Gabungan
dari semua kemampuan itu merupakan satu kesatuan maha dahsyat, yang mampu
menggilas habis perlawanan yang dilakukan lawan.
***
Menarik bukan kepalang
pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak menghadapi Mahadewa. Sejak awal,
pertarungan telah berlangsung sengit. Mahadewa tampak bersemangat sekali untuk
dapat segera merobohkan lawannya. Kedua tangannya menusuk, membacok, membabat,
dan menetak ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak diiringi suara mendesing
nyaring. Tapi, semua serangan itu berhasil dielakkan Dewa Arak dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang'nya.
Mahadewa menggertakkan gigi menahan
geram ketika menyadari semua serangannya berhasil dipunahkan lawan. Apalagi
ketika melihat gerakan-gerakan
Dewa Arak dalam mengelak, sama sekali tidak pantas dinamakan gerakan-gerakan
ilmu bela diri.
Berkali-kali pemuda berambut
putih keperakan itu seperti akan jatuh, ketika mengelakkan serangan. Bahkan,
tak jarang seperti akan menubrukkan tubuhnya pada serangan yang tengah
meluncur.
Yang membuat Mahadewa heran
bukan kepalang, ketika menyadari kalau dengan gerakan seperti itu Dewa Arak
malah terbebas dari serangan yang dikirimkannya. Kekaguman Mahadewa semakin
bertambah ketika
Dewa Arak mulai melancarkan
serangan balasan. Setiap serangan pemuda berambut putih keperakan itu terasa
berat sekali dihadapinya.
Dalam waktu sebentar saja,
pertarungan telah berlangsung hampir tujuh puluh jurus. Hal itu terjadi, karena
kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Namun, sampai saat ini
belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, puluhan mata
telah sejak tadi memperhatikan pertarungan sengit itu dengan penuh minat.
Bahkan mata mereka hampir tidak berkedip. Tapi apa yang disaksikan ternyata
sia-sia belaka. Mereka tetap saja tidak bisa mengikuti jalannya pertarungan,
karena yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu saja. Dua
bayangan itu tampak saling belit, dan terkadang saling pisah. Tapi, terpisahnya
hanya sekejap saja, karena kini sudah saling belit kembali! Hanya dua orang
saja dari sekian banyaknya penonton yang dapat melihat jelas pertarungan sengit
itu. Mereka adalah Melati dan Petani Maut, yang menyaksikan penuh minat.
Memang, sebagai tokoh persilatan yang berilmu tinggi, tidak ada hal yang paling
menyenangkan kecuali menyaksikan pertarungan. Terutama sekali, pertarungan
tokoh-tokoh sakti! Dan sepasang mata Melati dan Petani Maut kelihatan hampir
tidak pernah berkedip
menyaksikannya. "Haaat..!" Di jurus keseratus dua, Mahadewa
melancarkan tusukan bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak.
Cit, cit cit! "Hih!"
Tak tak tak!
Suara berderak keras terdengar
ketika Dewa Arak memapak serangan itu dengan tetakan kedua tangan
berturut-turut. Bunyinya laksana dua batang logam beradu. Dan hasilnya juga
tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Baik Dewa Arak maupun Mahadewa sama-sama
terhuyung tiga langkah ke belakang.
Dewa Arak menggigit bibir
ketika merasakan sakit yang amat sangat pada pergelangan tangan yang
berbenturan tadi. Tapi, hal itu tidak dipedulikannya. Kedua tangannya terus
saja dihentakkan ke depan. Dewa Arak melancarkan serangan jarak jauh,
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'. Hal itu dilakukan saat tubuhnya masih
terhuyung-huyung.
Wusss!
Serentetan angin keras berhawa
panas menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak yang dihentakkan. Tentu saja
hal ini membuat Mahadewa terkejut bukan kepalang. Disadari akan adanya bahaya
maut yang tengah mengancam, maka buru-buru daya yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung dipatahkan dengan menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya
dibanting ke tanah, dan bergulingan. Tindakan yang dilakukan kelihatan agak
tergesa-gesa. Meskipun demikian, telah cukup untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Pukulan jarak jauh Dewa Arak hanya meluncur jauh dari sasaran semula.
Begitu serangan itu lewat, Mahadewa segera berhenti berguling. Lalu tubuhnya
melenting ke atas, dan....
"Hey! Berhenti kau,
Pengecut!"
Petani Maut yang sejak tadi
memang memperhatikan jalannya pertarungan, langsung berseru kaget ketika
melihat Mahadewa melarikan diri. Dan sebelum gema ucapannya lenyap, tubuhnya
telah melesat menyusul Mahadewa. Sedangkan Melati yang berdiri di sebelahnya
bergegas mendekati Dewa Arak.
"Kita harus mengikuti
mereka, Melati. Aku khawatir, Petani Maut akan menjadi korban Mahadewa,"
ujar Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu mengarahkan pandangan pada
dua sosok tubuh yang saling kejar-mengejar beberapa belas tombak di depan.
"Tapi, Kang," Melati
berusaha membantah. "Ayolah, Melati. Mahadewa adalah tokoh angkara
murka. Bukankah kau telah
mendengar sendiri dari mulut murid-murid Petani Maut? Lagi pula, kulihat Petani
Maut juga mempunyai urusan dengan Mahadewa."
'Terserahmulah, Kang."
Hanya itu jawaban yang
dikemukakan Melati. Kelihatannya keputusannya telah diserahkan pada Dewa Arak.
"Kalau begitu..., mail
kita bergegas, Melati." Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu melesat ke arah kepergian Mahadewa dan Petani Maut, diikuti
Melati. Sepasang pendekar muda itu berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Kalau Melati mengerahkan seluruh kemampuannya, maka Dewa Arak hanya
mengerahkan sebagian saja. Itu pun
sudah cukup untuk menyaingi
lari Melati.
Puluhan pasang mata mengiringi
kepergian Dewa Arak dan Melati. Termasuk, Ki Manda dan Ragola. Pengawal Kepala
Desa Ceger yang tangannya masih bengkak-bengkak ini sudah tidak bisa
menyombongkan diri lagi. Lenyap sudah keinginannya untuk menguji kepandaian
Dewa Arak. Telah disaksikannya sendiri kelihaian tokoh muda yang ditantangnya.
Dan dia tahu, Dewa Arak dengan mudah bisa menundukkannya.
Diam-diam, Ragola bersyukur
Dewa Arak tidak meladeni tantangannya. Segumpal perasaan terima kasih pun
bergayut di benaknya. Dan dia pun berjanji dalam hati akan membantu, apabila
pemuda berambut putih keperakan itu mengalami kesulitan.
Kini yang dapat dilakukan
Ragola hanya menatap kepergian Dewa Arak seperti puluhan pasang mata lain.
Diperhatikannya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu dengan sorot mata
penuh terima kasih, hingga lenyap di kejauhan.
Sementara itu, orang yang
bersangkutan sama sekali tidak tahu. Dewa Arak dan Melati terus saja berlari
cepat. Tapi belum berapa jauh berlari, mereka terpaksa berhenti begitu melihat
sosok Petani Maut yang tengah berdiri diam sekitar lima tombak di depan.
***
Petani Maut menoleh, begitu
mendengar adanya suara langkah kaki di belakangnya.
"Ah! Kiranya kau, Dewa
Arak," desah kakek berpakaian abu-abu lusuh ketika melihat keberadaan Dewa
Arak dan Melati di belakangnya.
Memang, tadi Dewa Arak dan
Melati sengaja memberatkan langkah kaki agar terdengar Petani Maut. Kini
sepasang mata pendekar muda itu mengembangkan senyum dan menganggukkan kepala,
menyambut sapaan Petani Maut.
"Bagaimana, Ki?"
tanya Arya, sambil melangkah menghampiri.
"Hhh...! Iblis itu
terlalu lihai, Dewa Arak. Aku tidak bisa mengejarnya...," desah Petani
Maut.
Arya terdiam. Tanpa dijawab
lebih jelas oleh Pe- tani Maut pun, sudah bisa diduga kalau Mahadewa telah
berhasil meloloskan diri. Ketidakberadaan Mahadewa di situ telah cukup
menjelaskan masalahnya.
"Kau mengenal Mahadewa,
Ki?" tanya Arya setelah beberapa saat termenung.
Petani Maut tidak langsung
menjawab. Pandangannya malah dilayangkan ke atas seperti tengah mencari
jawabannya di sana.
"Mengenalnya jelas sih,
tidak. Tapi, dialah orang yang telah membunuh tiga rekanku."
Kemudian, kakek berpakaian
abu-abu lusuh ini menceritakan semua kejadian yang dialami. Dan dengan penuh
perhatian, Dewa Arak dan Melati mendengarkan cerita Petani Maut. Sama sekali
cerita itu tidak diselak, hingga selesai.
"Kalau saja kami dalam
keadaan sewajarnya, tidak akan semudah itu Mahadewa membunuh tiga orang
sahabatku," tutur Petani Maut menutup kisahnya.
Dewa Arak termenung ketika
Petani Maut telah menyelesaikan cerita. Menilik kernyitan pada dahinya, bisa
diketahui kalau Dewa Arak tengah berpikir keras. "Kalau mendengar
ceritamu, Ki," kata Arya 1ambat-lambat. "Hanya Mahadewa seorang yang
mempunyai niat tidak baik, sehubungan kedatangannya bersama tiga rekannya ke
pulau ini. Kemungkinan besar, tindakannya itu tidak diketahui tiga orang
rekannya."
"Aku pun menduga
demikian, Dewa Arak. Perta- rungan antara kami berlangsung secara adil. Hal itu
membuat kami terkecoh, dan menyangka mereka semua adalah orang yang mempunyai
watak gagah. Tapi sama sekali tidak disangka kalau Mahadewa adalah seekor
serigala berbulu domba."
Dewa Arak mengangguk-angguk.
Telah disaksikannya sendiri ketelengasan Mahadewa. Buktinya, tanpa ragu-ragu
lagi ilmu andalannya yang mengerikan digunakan pada jurus-jurus awal.
"Apakah mereka semua
selihai Mahadewa?"
Jantung Dewa Arak berdetak
keras ketika mengajukan pertanyaan ini. Betapa tidak? Menundukkan Mahadewa saja
sudah merupakan pekerjaan sulit. Apalagi, ditambah tiga orang rekannya! Dewa
Arak khawatir mereka akan membela, apabila keadaan Mahadewa terancam. Jika hal
itu terjadi, Dewa Arak benar-benar dilanda masalah besar.
Petani Maut menganggukkan
kepala pertanda membenarkan.
"O ya, Dewa Arak. Kau
tahu, alasan yang mendorong mereka datang ke pulau ini?" tanya Petani
Maut.
"Tidak, Ki," jawab
Arya sejujurnya, karena memang benar-benar tidak tahu.
"Mereka ingin menjajal
kepandaian tokoh-tokoh persilatan terkenal di pulau ini," jelas Petani
Maut. Dewa Arak diam. Bisa
dimaklumi tindakan tokoh-tokoh dari
Pulau Karang itu. Arya tahu kalau setiap tokoh persilatan, apalagi tokoh
tingginya, pasti mempunyai penyakit
sama. Gemar mengadu kesaktian! Paling tidak, suka menyaksikan pertarungan
antar tokoh!
"Kau pun tidak luput dari
ancaman mereka, Dewa Arak! Setelah kami berempat berhasil dikalahkan, kaulah
sasaran berikutnya!" sambut Petani Maut
"Heh...?! Mengapa
demikian?" tanya Dewa Arak,heran. "Begitu berhasil mengalahkan kami
berempat, mereka mengutarakan ketidakpuasannya atas perlawanan kami yang
dianggap tokoh tersakti di pulau ini. Nah! Karena merasa tersinggung, kami lalu
menceritakan perihal dirimu. Kukatakan kalau kau adalah jago nomor satu di
pulau ini."
"Kau terlalu berlebihan,
Ki. Ucapanmu itu akan membuat banyak tokoh mencariku! Kau tahu, Ki. Dunia amat
luas. Banyak orang yang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadaku.
Tapi, mereka tidak ingin campur tangan dalam urusan dunia persilatan. Namun,
apabila mereka mendengar berita yang kau sebarkan itu, aku tidak yakin
tokoh-tokoh itu akan tetap berpangku tangan."
"Maafkan aku, Dewa Arak.
Sungguh aku tidak pernah memikirkan hal itu. Waktu itu, semua perkataan keluar
tanpa sempat dipikir masak-masak lagi," kata Petani Maut, bernada
penyesalan.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Lupakanlah, Ki. Tidak
ada yang perlu dimaafkan. O, ya. Mahadewa telah berhasil menjajal kepandaianku.
Mungkin, sekarang tengah memberitahukan kawan-kawannya."
"Kau benar, Dewa Arak.
Kini, kita tingal menunggu kedatangan mereka. Aku yakin, empat orang tokoh dari
Pulau Karang itu akan mencarimu," sambut Petani Maut.
Ada nada kegembiraan dalam
ucapan kakek ber- pakaian abu-abu lusuh itu, karena tidak perlu lagi
repot-repot mencari jejak Mahadewa. Dia hanya tinggal mengikuti, ke mana
perginya Dewa Arak.
"Akan ke mana kau
sekarang, Ki?" tanya Arya sambil lalu.
"Semula, aku tidak tahu
arah yang harus kutempuh. Tujuanku hanya ingin membalas dendamku saja pada
Mahadewa. Tapi, kini aku tahu ke mana harus pergi, walaupun dengan perasaan
tidak enak"
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Ki" kata Arya sejujurnya.
"Aku terpaksa harus
mengikuti ke mana kau pergi, Dewa Arak. Karena aku yakin, tokoh-tokoh dari
Pulau Karang itu akan mencarimu. Itulah yang membuatku merasa tidak enak,"
jelas Petani Maut
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Hilangkan perasaan itu,
Ki. Aku sama sekali tidak merasa keberatan. O, ya. Mari kita kembali ke
desa."
6
Sang surya sudah sejak tadi
tenggelam di ufuk Barat. Kini yang menggantikan tugas untuk menerangi persada
adalah sang dewi malam. Bentuknya bulat utuh, dengan sinarnya yang memancar lembut.
Kukuk burung hantu dan kerik jangkrik serta binatang malam lainnya, menambah
semaraknya suasana.
Di bawah siraman lembut sinar
bulan, tampak berkelebatan empat sosok bayangan hitam. Gerakan mereka rata-rata
cepat bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan yang tak
jelas bentuknya. Apabila ada orang yang melihatnya, tentu akan menyangka
hantu-hantu yang tengah bercanda.
Kaki-kaki empat sosok bayangan
hitam itu seperti tidak menyentuh tanah ketika melesat cepat memasuki tembok
batas Desa Ceger. Dan masih dengan kecepatan sama, mereka melesat menuju ke
lambung desa.
Empat sosok bayangan hitam itu
melesat tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Tak aneh kalau mereka tidak
tahu gerak-geriknya diperhatian tiga so- sok tubuh yang bersembunyi di atap
rumah. "Itukah tokoh-tokoh dari Pulau Karang, Ki?" tanya sosok
berpakaian ungu yang tak lain dari Dewa Arak pelan.
Meskipun hanya Dewa Arak yang
mengajukan pertanyaan, tapi tak urung seorang gadis berpakaian putih di
sebelahnya yang memang Melati ikut menoleh. Sama seperti Arya, Melati juga
menatap Petani Maut, orang yang ditanya.
"Benar, Dewa Arak,"
jawab Petani Maut, singkat. Berbeda dengan Dewa Arak dan Melati, Petani Maut
mengeluarkan ucapan tanpa mengalihkan pandangannya.
Sepasang matanya tetap tertuju
lurus ke arah empat sosok bayangan yang bergerak cepat di bawah.
Arya dan Melati pun
mengalihkan pandangan ke bawah, ke arah empat sosok bayangan hitam yang
ternyata Mahadewa dan kawan-kawannya. Sementara yang ditatap terus saja berlari,
sehingga semakin lama semakin jauh dari tempat Dewa Arak dan rekan-rekannya
berada.
"Akan ke mana mereka,
Kang?" tanya Melati, ingin
tahu,
"Ke mana lagi kalau bukan
ke rumah Ki Manda,
Melati. Aku yakin, mereka akan
menanyakan padanya tentang keberadaan kita."
"Apa yang harus kita
lakukan, Kang?" tanya Melati lagi, setelah terdiam sesaat lamanya.
"Mengejarnya, Melati. Aku
khawatir, mereka akan melakukan tindakan yang tidak diinginkan apabila mendapat
jawaban berbeda dengan yang diharapkan," jelas Arya panjang lebar.
"Apa yang kau katakan itu
benar, Dewa Arak," sambut Petani Maut, yang memang sudah sejak tadi merasa
tidak sabar untuk segera mengejar.
"Kalau demikian, mari
kita ikuti mereka," putus
Arya.
Jawaban dari Petani Maut
adalah sebuah lompatan
ke tanah. Laksana seekor
burung garuda, tubuhnya melayang ke tanah. Lalu, ringan tanpa suara kedua
kakinya hinggap di tanah.
Pada saat yang hampir
berbarengan, Melati dan Dewa Arak mendaratkan kakinya pula. Bahkan gerakan
mereka terlihat jauh lebih indah daripada Petani Maut. Tapi, kakek berpakaian
abu-abu itu sama sekali tidak melihatnya. Karena begitu kakinya menjejak tanah,
langsung saja melesat mengejar Mahadewa dan kawan-kawannya yang semakin
mengecil.
Tentu saja melihat hal ini,
Dewa Arak tidak bisa berpangku tangan. Dia pun melesat cepat mengejar Petani
Maut diikuti Melati.
Meskipun Petani Maut melesat
lebih dulu, namun beberapa saat kemudian Dewa Arak dan Melati berhasil
membarenginya. Apalagi ilmu lari cepat sepasang pendekar muda itu berada di
atas Petani Maut. Bahkan kalau mau, dengan mudah Petani Maut bisa tersusul dan
tertinggal.
Tapi, Dewa Arak dan Melati
terpaksa harus menyesuaikan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya sebatas
kemampuan yang dimiliki Petani Maut. Maka akibatnya, jarak di antara mereka
dengan empat tokoh dari Pulau Karang semakin jauh. Semakin lama, tubuh Mahadewa
dan kawan-kawannya terlihat semakin mengecil. Hingga akhirnya, lenyap sama
sekali.
Walaupun demikian, ketiga
tokoh silat itu sama sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan buruannya.
Mereka telah yakin kalau arah tujuan empat tokoh dari Pulau Karang itu adalah
rumah Kepala Desa Ceger.
Dewa Arak dan Melati memang
tidak tahu letak tempat tinggal Ki Manda. Maka mereka berdua tinggal mengikuti
saja, ke mana arah Petani Maut melangkah. Dan karena kakek berpakaian abu-abu
lusuh ini sering melintasi Desa Ceger, tak heran kalau jadi tahu tempat tinggal
kepala desa itu.
"Heh...?!"
Dewa Arak, Petani Maut, dan
Melati tiba-tiba berhenti berlari, dan saling berpandangan. Raut wajah mereka
menyiratkan keheranan. Betapa tidak? Samar-samar telinga mereka menangkap suara
gaduh, yang sudah pasti timbul karena adanya pertarungan. Terdengarnya jerit
kemarahan yang ditopang pengerahan tenaga dalam dan benturan senjata, telah menjelaskan
adanya pertarungan berlangsung.
"Sepertinya ada yang
tengah bertempur," bisik Petani Maut, bernada memberi tahu. Sebenarnya
pemberitahuan itu hanya basa-basi, karena Petani Maut tahu kalau Dewa Arak dan
Melati pasti juga mendengar suara gaduh itu.
"Kau benar, Ki,"
hanya itu sambutan Dewa Arak. "Arahnya dari tempat tinggal Ki Manda,"
kata
Petani Maut lagi.
"Jangan-jangan "
Meskipun Petani Maut tidak
meneruskan ucapan- nya, namun Dewa Arak dan Melati bisa menerka ke-
lanjutannya. Itulah sebabnya, mereka tidak heran melihat Petani Maut melesat.
Bahkan sepasang pendekar muda ini ikut melesat ke arah yang sama.
Hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, asal suara keributan itu sudah terlihat Dewa Arak, Melati, dan
Petani Maut. Dan dugaan mereka ternyata tidak salah. Ternyata buruan yang tadi
mereka kejar-kejar, tengah bertarung menghadapi lawan-lawannya.
Dewa Arak, Petani Maut, dan
Melati berhenri me- lesat. Lalu dengan penuh selidik, mereka mengalihkan
pandangan ke arah pertarungan yang tengah berlangsung. Maka sebentar saja,
telah bisa diketahui kalau Mahadewa dan kawan-kawannya tengah berhadapan dengan
gabungan tokoh-tokoh persilatan. Hanya saja, Dewa Arak dan Melati mengenal
sebagian kecil dari mereka. Sedangkan Petani Maut mengenal sebagian besar tokoh
persilatan yang berada di situ.
Saat ini, Mahadewa dan ketiga
kawannya memang tengah bertarung melawan tokoh persilatan yang jumlahnya jauh
lebih besar. Tak kurang dari sepuluh kali lipat dari jumlah mereka yang hanya
berempat. Walaupun demikian, empat tokoh dari Pulau Karang itu sama sekali
tidak terdesak. Bahkan tampaknya berada di atas angin.
Keadaan yang menguntungkan
bagi Mahadewa dan kawan-kawannya ini diketahui secara pasti oleh Dewa Arak,
Petani Maut, dan Melati.
Sama sekali tidak mengherankan
kalau Mahadewa dan kawan-kawannya mampu berada di atas angin. Para
pengeroyoknya ternyata hanya memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, walaupun
sudah punya nama dalam dunia persilatan. Tapi kalau dibandingkan dengan empat
tokoh Pulau Karang, jelas sangat jauh. Sebagian besar dari para pengeroyok
adalah murid-murid Petani Maut dan Pendekar Tangan Sakti. Sisanya, adalah
tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian lumayan.
Pengeroyokan orang-orang itu
bagi Mahadewa dan rekan-rekannya sama sekali tidak menimbulkan masalah. Setiap
serangan berhasil ditanggulangi secara mudah. Sebaliknya setiap serangan
balasan Mahadewa dan kawan-kawan, selalu menimbulkan akibat. Hanya dengan
kibasan-kibasan tangan saja, sudah cukup membuat tubuh lawan-lawannya berpentalan
ke belakang bagai dilanda angin ribut.
Ada perasaan kagum di hati
Dewa Arak pada empat tokoh Pulau Karang itu. Arya melihat tidak ada satu pun
lawan empat tokoh itu yang tewas. Bahkan terluka berat pun tidak, kecuali hanya
pingsan saja. Hal ini menandakan kalau mereka tidak mempunyai jiwa kejam.
Meskipun ada perasaan kagum,
namun timbul pula rasa heran di hati Arya. Tindakan Mahadewalah yang membuatnya
heran. Berbeda dengan penampilan pertamanya, tindakan Mahadewa kini sama sekali
tidak telengas. Sekarang lawannya dirobohkan tanpa dibunuh atau dilukai.
Tapi Arya tidak bisa terlalu
lama tenggelam dalam alun pikirannya. Dan itu terjadi karena perubahan besar
dalam kancah pertarungan, ketika semua lawan
empat tokoh dari Pulau Karang
telah berjatuhan di tanah.
Jliggg!
Hampir berbarengan, di depan Mahadewa dan
kawan-kawannya tahu-tahu telah berdiri dua sosok tubuh. Mereka tampak tengah
menatap tokoh-tokoh dari Pulau Karang itu dengan raut wajah tidak bersahabat.
Sementara itu, Petani Maut yang sejak melihat Mahadewa, sudah merasa murka
bukan kepalang. Dan dia tidak bisa menahan diri
lagi, sehingga segera melangkah menghampiri. Tentu saja melihat hal ini,
Dewa Arak ikut bergerak, diikuti Melati. Gadis itu melangkah di belakang
kekasihnya. Kemudian, Dewa Arak cepat mengulurkan tangan, menyentuh bahu Petani
Maut.
Kakek berpakaian abu-abu lusuh
itu langsung menoleh. "Kumohon kau jangan bertindak dulu, Ki. Kita lihat
dulu perkembangannya," pinta Arya, pelan.
Petani Maut tidak langsung
menganggukkan kepala. Dengan perasaan berat, permintaan pemuda berambut putih
keperakan itu disetujuinya. Buru-buru keinginan untuk menerjang Mahadewa
ditekan. Yang dilakukannya sekarang adalah memperhatikan peristiwa yang akan
terjadi.
Secercah senyum tampak
tersungging di mulut Dewa Arak, tatkala melihat Petani Maut memenuhi
permintaannya. Kini, dia bisa ikut tenang menyaksikan keadaan yang terjadi di
depan.
Kini Dewa Arak, Melati, dan
Petani Maut menatap dua orang yang tengah mendekati Mahadewa dan tiga orang
kawannya. Dua orang itu sama-sama telah lanjut usia. Yang seorang bertubuh
gemuk dan besar, mirip lembu. Sebatang tongkat dari kayu yang saling melilit,
dengan gagang kepala ular tampak tergenggam di tangannya. Pakaian berwarna
coklat tua, semakin menambah keangkeran penampilannya.
Sedangkan kakek yang seorang
lagi bertubuh, tinggi kurus dan berwajah kekuningan. Bentuk wajah-nya tirus,
mirip tikus. Pakaiannya berwarna kuning muda. Sungguh sangat jauh kalau
dikatakan angker. Kakek tinggi kurus ini mirip orang penyakitan.
Memang bagi orang yang tidak
mengenai, kakek berpakaian coklat tualah yang kelihatan lebih berbahaya. Tapi,
penilaian seperti itu tidak masuk dalam benak Dewa Arak. Sekali lihat saja,
bisa diketahui kalau kakek tinggi kurus itu tidak kalah lihai dibanding kakek
berpakaian coklat.
"Malaikat Tongkat Sakti
dan Ular Muka Kuning," desis Petani Maut pada Dewa Arak dan Melati.
Arya dan Melati agak terkejut
juga mendengarnya. Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning adalah
datuk-datuk persilatan yang belum pernah ada tandingannya. Telah puluhan,
bahkan mungkin ratusan kali kedua tokoh itu bertarung. Dan selama itu, belum
pernah ada orang yang mampu menandingi. Bahkan mereka tetap tak terkalahkan,
sampai akhirnya mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kalau sampai kedua
datuk ini keluar dari tempat,pengasingannya, bisa diperkirakan penyebabnya.
Jelas telah terjadi suatu hal yang amat penting!
Brosss!
Tanah langsung amblas ketika
Malaikat Tongkat Sakti menekankan kaki kanannya ke tanah. Padahal, kelihatannya
sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam. Namun akibatnya luar biasa. Dari
sini bisa di- perkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Malai- kat Tongkat
Sakti.
"Orang-orang
asing...!"
Malaikat Tongkat Sakti mulai
membuka suara. Suaranya terdengar keras bukan kepalang, laksana guntur. Memang,
ucapan itu dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam.
Diiringi ucapan itu, Malaikat
Tongkat Sakti menatap wajah empat tokoh Pulau Karang satu persatu. Sikapnya
terlihat penuh wibawa. Sehingga, tidak hanya Mahadewa dan kawan-kawannya saja
yang memperhatikan. Dewa Arak, Petani Maut, dan Melati juga sampai-sampai tak
berkedip menatapnya.
"Sebenarnya aku sudah
tidak berminat lagi untuk campur tangan dalam urusan kekerasan. Tapi, tindakan
kalian telah melampaui batas. Kalian terlalu angkara murka! Membanggakan
kemampuan sendiri hanya untuk berbuat sewenang-wenang! Perguruan silat yang
didirikan orang yang terhitung muridku telah kalian hancurkan!"
Malaikat Tongkat Sakti
menghentikan ucapan. Dibasahinya tenggorokannya yang kering dengan air ludahnya
sendiri.
"Sekarang, bersiaplah
menerima pembalasanku!" lanjut Malaikat Tongkat Sakti, menutup ucapannya.
Usai berkata demikian,
Malaikat Tongkat Sakti melangkah maju. Sikap dan tindak-tanduknya menun- jukkan
kalau telah siap-siap bertarung. Tapi....
"Tahan, Malaikat Tongkat
Sakti!"
Sebuah cegahan keras yang
menggema di seluruh penjuru tempat itu, membuat Malaikat Tongkat Sakti
menghentikan langkah dan menolehkan kepala. Bahkan bukan hanya dia saja yang menoleh.
Ular Muka Kuning dan empat tokoh Pulau Karang juga mengarahkan pandangan pada
asal bantahan tadi.
Baik Malaikat Tongkat Sakti,
Ular Muka Kuning maupun empat tokoh Pulau Karang itu tahu kalau pemilik suara
tadi pasti memiliki kepandaian tinggi. Kerasnya suara yang terdengar tadi telah
mampu membuktikannya. "Siapa kau, Anak Muda? Dan mengapa mencampuri urusan
kami?" tanya Malaikat Tongkat Sakti bernada
tidak senang.
Sepasang mata datuk yang telah
lama mengasingkan diri itu menatap wajah orang yang telah berani mencegah
tindakannya. Kernyitan pada dahi menjadi pertanda kalau Malaikat Tongkat Sakti
tengah berpikir.
Sambutan yang ditatap dan tak
lain dari Dewa Arak itu tersenyum lebar. Masih dengan mulut tersenyum, kakinya
melangkah mendekat.
"Namaku Arya, Ki,"
jawab Arya masih dengan senyum. "Dan maksud tindakanku ini demi kebaikan
kita bersama."
"Arya?! Apakah nama
lengkapmu Arya Buana, Anak Muda?!" terka Malaikat Tongkat Sakti, setengah
kaget. Bukan hanya Malaikat Tongkat Sakti yang merasa terkejut ketika Arya
memperkenalkan diri. Raut keterkejutan pun tampak di wajah semua orang yang
berada di situ. Tentu saja, Melati dan Petani Maut
merupakan pengecualian.
Dengan agak berat, Arya
menganggukkan kepala. "Jadi, kau.... Dewa Arak...?!" desis Malaikat
Tongkat Sakti dengan suara
bergetar.
Untuk yang kesekian kalinya
pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala, membenarkan.
"Ah...! Sungguh merupakan
sebuah anugerah be- sar. Ternyata di saat akhir hayatku, masih bisa bertemu
seorang pendekar muda yang telah mengukir nama besar dalam rimba persilatan.
Tapi, apa alasanmu mencegah tindakan Malaikat Tongkat Sakti, Dewa Arak?!"
Ular Muka Kuning yang sejak tadi diam, mulai angkat bicara. Dewa Arak tidak
Iangsung menjawab. Dia tercenung sejenak, memikirkan kata-kata yang pantas
untuk memulai pembicaraan. Paling tidak, untuk mencegah
terjadinya salah pengertian.
"Sebelumnya, aku minta maaf padamu, Ki," ucap Arya pada Malaikat
Tongkat Sakti. "Bukan maksudku untuk menggurui. Tapi alangkah bijaksananya
apabila memberi kesempatan pada mereka untuk mengajukan alasan dari tindakan
yang telah diperbuat. Aku yakin, mereka akan mengajukan alasannya," urai
Dewa Arak panjang lebar.
Malaikat Tongkat Sakti dan
Ular Muka Kuning sekilas saling berpandangan. Tidak terlihat adanya gambaran
perasaan apa pun di wajah keduanya. Memang, baik Malaikat Tongkat Sakti maupun
Ular Muka Kuning telah bisa menguasai perasaan, sehingga tidak tampak pada
wajah mereka.
Meskipun demikian, kedua belah
pihak telah bisa mengetahui perasaan masing-masing. Mereka sama-sama menyadari
kalau ucapan Dewa Arak mengandung kebenaran. "Kau benar, Dewa Arak. Terima
kasih atas
alasanmu."
Meskipun perasaan malu
menjalar hati, Malaikat Tongkat Sakti tidak ragu-ragu mengakui kebenaran ucapan
Dewa Arak.
"Ah! Kau terlalu
merendah, Ki," ucap Arya, jadi malu hati.
Tapi Malaikat Tongkat Sakti
malah menyunggingkan senyum lebar. Kemudian pandangannya beralih pada empat
tokoh dari Pulau Karang.
"Kalian dengar ucapan
Dewa Arak?!"
Empat tokoh Pulau Karang itu
mengalihkan pan- dangan dari Dewa Arak, pada Malaikat Tongkat Sakti.
"Ya. Kami mendengarnya," Bandawasa yang menyahuti.
"Ternyata berita yang terdengar mengenai Dewa Arak sama sekali tidak
berlebihan. Memang,
wawasannya sangat luas dan
"
"Aku tidak ingin
mendengar ceramahmu, Orang Asing!" sergah Malaikat Tongkat Sakti, cepat.
"Aku hanya butuh alasanmu! Cepat katakan, mengapa kalian menghancurkan
Perguruan Tapak Sakti?! Cepat! Sebelum kesabaranku hilang!"
Empat tokoh dari Pulau Karang
itu saling berpan- dangan. Raut wajah mereka menyiratkan kebingungan hebat.
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Malaikat Tongkat Sakti," kilah
Bandawasa, dengan raut wajah tidak berdosa.
"Tidak mengerti?! Rupanya
kalau tidak ditunjukkan bukti sejelas-jelasnya kalian masih mencoba menyangkal!
Baik! Apakah kalian masih mencoba menyangkal kalau kukatakan telah mendatangi
Perguruan Tapak Sakti, membuat keonaran di sana, membunuhi semua orang yang
berada di sana tanpa kecuali, kemudian membumihanguskan perguruan itu?! Katakan,
kalau hal itu tidak kalian lakukan!" urai Malaikat Tongkat Sakti panjang
lebar, penuh ancaman.
"Kau terlalu berlebihan,
Malaikat Tongkat Sakti!" bantah Bandawasa berapi-api. "Kuakui, kami
memang mendatangi Perguruan Tapak Sakti dan terlibat pertarungan melawan
murid-murid perguruan itu. Tapi, kami hanya merobohkan mereka tanpa luka berat.
Apalagi, sampai membunuh! Itu fitnah! Tapi aku yakin, kalau saja ada murid
Perguruan Tapak Sakti ada di sini, mereka akan mengatakan bahwa ucapan itu
benar."
"Hmh...!" dengus
Malaikat Tongkat Sakti. "Aku tahu, mengapa kau berani berharap demikian,
Orang Asing! Karena, kau yakin kalau semua murid Perguruan Tapak Sakti telah
kau binasakan! Bukankah demikian?" "Terserah kalau anggapanmu demikian,"
ujar Bandawasa sambil mengangkat bahu. "Tapi, percayalah.
Aku mengatakan yang
sebenarnya."
"Baik! Keinginanmu
kupenuhi. Ketahuilah, tidak semua murid Perguruan Tapak Sakti berhasil kalian
binasakan. Ada yang berhasil melarikan diri, lalu melaporkan semua kekejaman
yang kalian lakukan. Sumantri! Kemari kau!"
Malaikat Tongkat Sakti menoleh
ke arah sebatang pohon besar yang terletak di belakangnya. Sesaat kemudian,
dari balik pohon menyembul keluar sesosok tubuh berpakaian coklat. Dialah yang
bernama Sumantri, murid Perguruan Tapak Sakti yang berhasil selamat.
Bandawasa dan ketiga orang
kawannya memper- hatikan penuh selidik pada Sumantri yang tengah menuju ke arah
mereka. Melihat dari pakaian yang dikenakan, empat tokoh Pulau Karang itu tahu
kalau orang yang tengah berjalan menghampiri benar murid Perguruan Tapak Sakti.
"Ceritakanlah semua
kejadian yang kau alami, Sumantri," perintah Malaikat Tongkat Sakti ketika
murid Perguruan Tapak Sakti telah berada di sebelahnya.
"Beberapa hari yang lalu,
empat orang itu menyatroni Perguruan Tapak Sakti. Mereka menanyakan guru, namun
kami tidak memberitahukan. Tapi, mereka terus memaksa sehingga akhirnya terjadi
pertarungan."
Sumantri menghentikan
ucapannya untuk mengambil napas.
"Tapi, mereka terlalu
kuat untuk kami. Satu persatu, kami berhasil dirobohkan. Dan mereka pergi,
setelah berhasil mendapatkan keterangan mengenai guru "
"Nah! Kau buktikan
sendiri kebenaran ucapanku, Malaikat Tongkat Sakti?!" selak Bandawasa,
bernada penuh kemenangan.
"Jangan terburu nafsu,
Orang Asing! Ucapan Sumantri belum selesai. Ayo, Sumantri. Lanjutkan
ceritamu!"
"Tak lama kemudian, salah
seorang dari mereka kembali lagi. Lalu, membunuhi semua murid Perguruan Tapak
Sakti dan membumihanguskan perguruan."
"Heh ?!"
Bandawasa dan ketiga rekannya
terperanjat. "Salah seorang di antara kami? Katakan, siapa
orang itu?!" tanya
Mahadewa tidak sabar.
Sumantri tersenyum mengejek.
"Kau benar-benar ingin
tahu orang yang telah melakukan kekejian itu?!" murid Perguruan Tapak
Sakti ini malah balas bertanya.
Meskipun yang mendapat
pertanyaan itu Mahadewa, tapi tanpa sadar Bandawasa, Janaka, dan Mahesa ikut
menganggukkan kepala. Jantung mereka berdebar tegang, menanti jawaban yang akan
keluar dari mulut Sumantri. Sumantri tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah-wajah
yang menyiratkan perasaan penuh rasa ingin tahu satu persatu. Sampai akhirnya,
tatapannya
berhenri pada orang terakhir.
Mahadewa! "Pembunuh biadab itu adalah kau...!" tuding Sumantri pada
Mahadewa.
"Apa?!" Mahadewa
terlonjak kaget. "Kau..., kau dusta! Ini fitnah! Kubunuh kau...!"
Begitu ucapannya selesai,
laki-laki bercodet ini menerkam Sumantri. Gerakannya mengingatkan orang akan
tindakan seekor harimau yang hendak menyantap mangsanya.
Sumantri terkejut bukan
kepalang. Tindakan Mahadewa memang sama sekali tidak disangka. Akibatnya, dia
tidak mampu berbuat sesuatu. Bahkan andaikata telah menduga pun, Sumantri juga
tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tibanya serangan memang terlalu cepat.
Tentu saja Malaikat Tongkat
Sakti tidak tinggal diam melihat adanya bahaya maut yang tengah mengancam
keselamatan Sumantri. Buru-buru kaki kirinya melangkah ke depan, sambil
menyilangkan kedua tangan di atas kepala.
Prattt!
Benturan antara dua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat tidak bisa dihindari lagi.
Bahkan bunyi yang terdengar lebih mirip benturan dua buah logam keras,
ketimbang dua pasang tangan manusia.
Akibat yang terjadi cukup
hebat. Tubuh Mahadewa melayang kembali ke tempat semula. Kejadian yang sama pun
dialami Malaikat Tongkat Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa tombak. Tapi
hanya dengan gerakan sederhana, kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung
telah berhasil dipatahkan.
Hal yang sama pun berhasil
dilakukan Mahadewa. Kekuatan yang membuat tubuhnya melayang dipatahkan,
meskipun untuk itu harus terbawa dulu di udara selama beberapa tombak.
Jliggg!
Begitu kedua kakinya mendarat
di tanah, Mahadewa langsung bersiap melancarkan serangan kembali. Sedangkan
Malaikat Tongkat Sakti yang telah bisa memperkirakan kekuatan lawan, tidak mau
tinggal diam. Dia pun bersiap-siap pula. Tapi....
"Mahadewa! Tahan !"
Mahadewa terpaksa mengendurkan otot-otot dan urat-urat syarafnya yang telah
menegang waspada, karena telah siap bertarung. Ditatapnya wajah Bandawasa,
orang yang mengeluarkan cegahan tadi.
"Mengapa kau mencegahku,
Bandawasa? Mereka telah memfitnahku! Dan hal itu hanya bisa ditebus dengan
darah!" ujar Mahadewa berapi-api.
Bandawasa tersenyum pahit.
"Menempur mereka masalah
mudah, Mahadewa.Dan itu bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang adalah
bantahanmu dari tuduhan yang telah mereka lontarkan. Kini, aku ingat. Kau
selalu menghilang setiap kali kita habis merobohkan lawan-lawan. Maksudku...,
kau selalu mengajukan alasan untuk memisahkan diri dari kami bertiga, setiap
kali habis meninggalkan lawan yang telah tidak berdaya. Cepat kemukakan
alasanmu!"
Mahadewa tersentak melihat
sikap Bandawasa. "Kau.... Kau ini aneh, Bandawasa! Mengapa malah
menyudutkanku?" tanya
Mahadewa, terbata-bata. Sepasang matanya dialihkan ke arah Mahesa dan Janaka.
Tapi wajah kedua orang rekannya itu tampak juga menyiratkan kecurigaan
terhadapnya.
"Katakan saja, Mahadewa.
Ke mana kau pergi waktu itu? Aku ingat, sewaktu kita selesai mendatangi
Perguruan Tapak Sakti, kau meminta izin untuk memisahkan diri. Begitu pula,
sewaktu sehabis mengalahkan Pendekar Tangan Sakti dan ketiga orang kawannya.
Ah! Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu atas mereka," harap
Bandawasa.
Ucapan Bandawasa membuat semua
orang yang ada di situ, terutama sekali Mahadewa, Mahesa, dan Janaka,
tersentak. Bahkan Bandawasa sendiri tersentak kaget ketika teringat, kalau tadi
telah melihat keberadaan Petani Maut. Keberadaan Dewa Arak, dan berita tak
disangka-sangka mengenai Mahadewa, membuat mereka semua melupakan keberadaan
Petani Maut.
Hampir serentak, semua kepala
tertuju pada Petani Maut. Dan sebelum semua sempat berkata apa-apa, Petani Maut
yang memang sudah sejak tadi menahan-nahan amarah, langsung angkat suara.
"Harapanmu sama sekali tidak terkabul, Ban- dawasa! Mahadewa waktu itu
kembali dan berusaha membantai kami semua yang sudah tidak berdaya. Ah...!
Untung aku masih mujur, hingga bisa bertahan hidup!" "Keparat! Fitnah
keji! Kurobek mulutmu yang
lancang!"
Belum hilang gema ucapan itu,
Mahadewa telah melompat menerjang Petani Maut.
"Tak akan kubiarkan kau
menyebar kekejian lagi dan mengotori nama perguruan kita, Mahadewa!"
Seiring keluarnya ucapan itu,
Bandawasa melompat memapak luncuran tubuh Mahadewa. Hal ini membuat laki-laki
bercodet itu menghentikan gerakannya.
"Kau..., kau lebih
mempercayai ucapan mereka ketimbang ucapanku, Bandawasa?!" terbata-bata
Ma- hadewa mengucapkan perkataannya.
"Aku tidak punya pilihan
lain, Mahadewa. Semua bukti memberatkanmu," jawab Bandawasa, bernada
penyesalan.
"Benar, Mahadewa,"
sambung Mahesa. "Sekarang, menyerahlah. Kau harus mempertanggungjawabkan
semua perbuatanmu. Jangan paksa kami melakukan tindak kekerasan."
"Kau telah membuat kami
semua malu, Mahadewa. Yang lebih parah lagi, kau telah mencorengkan lumpur pada
nama perguruan kita," timpal Janaka, penuh penyesalan seperti juga ketiga
rekannya.
Mahadewa menatap wajah
rekan-rekannya satu persatu.
"Baiklah kalau kalian
sudah tidak mempercayaiku lagi. Aku memang tidak mempunyai bukti untuk
menyanggahnya. Tapi, aku tidak sudi dihukum untuk kesalahan yang tidak pernah
kuperbuat. Selamat tinggal."
Secepat ucapannya selesai,
secepat itu pula Ma hadewa mengambil senjata andalannya yang terselip di
pinggang. Sebatang ruyung berbatang dua yang kedua ujungnya dihubungkan rantai
baja. Dan, ranta baja itulah yang digunakan untuk membelit lehernya. Lalu...
Krrrrk...! Terdengar suara
berderak keras ketika tulan tulang leher Mahadewa hancur berantakan. Dara segar
pun memancur deras dari mulutnya. Laki-laki bercodet itu terhuyung-huyung
sebentar, lalu ambruk di tanah. Saat itu juga, nyawa Mahadewa melayang ke alam
baka.
"Mahadewa...!"
Hampir berbareng, Bandawasa,
Mahesa, dan Janaka berseru keras. Laksana terbang, mereka bertiga langsung
meluruk ke arah Mahadewa.
"Mahadewa...," keluh
Bandawasa sedih. Tampak jelas ada nada kesedihan dalam ucapannya. Matanya pun
tampak merembang, menahan duka yang mendalam.
Hal yang serupa pun terpancar
di wajah Mahesa dan Janaka. Mereka hanya bisa menatap tubuh Mahadewa yang
terkapar di tanah.
7
Semua orang yang berada di
situ menyaksikan jalannya kejadian dengan perasaan bingung. Mereka ju- ga tidak
sempat berbuat apa-apa untuk mencegah tindakan bunuh diri Mahadewa. Masalahnya,
kejadian itu berlangsung demikian cepat dan tidak terduga-duga. Apalagi, jarak
mereka cukup jauh dengan Mahadewa.
Dan dengan sendirinya, suasana
menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang berbicara, semuanya tenggelam dalam
alunan pikiran sendiri-sendiri. Bandawasa dan dua orang rekannya sibuk dengan
mayat Mahadewa. Sedangkan Dewa Arak dan yang lain sibuk dengan pertanyaan yang
menggayuti benak. Tokoh-tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu mempunyai
pandangan luas. Melihat tindakan Mahadewa, seketika timbul keraguan dalam hati.
Benarkah Mahadewa yang telah melakukan semua kekejian itu? Kalau benar, mengapa
demikian kerasnya menolak? Bahkan sampai-sampai bunuh diri. Tapi, mungkinkah
Petani Maut dan yang lain salah melihat? Rasanya, mustahil! Atau ada orang
menyamar sebagai Mahadewa? Kalau benar, siapa dan mengapa hal itu dilakukan?
Tapi, mereka tidak bisa
berlama-lama terhanyut alun perasaan itu. Sedangkan, Bandawasa dan dua rekannya
telah bisa menguasai perasaan sedihnya. Kini, mereka mengalihkan perhatian pada
Malaikat Tongkat Sakti dan yang lainnya.
Dan kesempatan itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Malaikat Tongkat Sakti.
"Kisanak semua,"
kata Malaikat Tongkat Sake membuka pembicaraan. "Dengan tewasnya pelaku
semua kekejian itu, aku mohon diri. Saat ini juga, persoalan kuanggap telah
tuntas. Selamat tinggal."
Malaikat Tongkat Sakti
menganggukkan kepala sedikit, lalu berbalik. Dan dia bersiap meninggalkan
tempat itu, namun....
"Tidak semudah itu
masalahnya selesai, Malaikat Tongkat Sakti!" cegah Bandawasa.
Seketika itu juga, langkah
kaki Malaikat Tongkat Sakti terhenti di udara. Kembali tubuhnya berbalik untuk
menghadap Bandawasa.
"Jadi..., apa maumu
sekarang, Orang Asing?!" sambut Malaikat Tongkat Sakti, berbau tantangan.
"Menuntut tanggung jawab
kalian semua!" tandas Bandawasa keras, sambil menudingkan jari telunjuk ke
arah semua tokoh tingkat tinggi yang berada di situ. "Heh...?! Tidak salah
dengarkah aku? Kau ingin menuntutku?!" Malaikat Tongkat Sakti meminta
ketegasan.
"Bukan hanya kau,
Malaikat Tongkat Sakti," Bandawasa membenarkan. "Tapi juga Ular Muka Kuning
dan Dewa Arak!"
"Kau gila!" maki
Ular Muka Kuning, yang sejak tadi diam saja. Sedangkan Dewa Arak saat ini tetap
bersikap tenang.
"Aku hanya menuntut
keadilan! Nyawa harus ditebus nyawa! Kawanku sama sekali tidak bersalah. Tapi
akibat tindakan kalian, dia telah tewas! Kami akan menuntut balas atas
kematiannya, agar rohnya tenang di alam baka."
"Heh?! Bukankah tadi kau
juga yakin kalau temanmu itu bersalah?" Arya ikut membuka suara sambil
melangkah mendekat, diikuti Melati dan Petani Maut.
Sementara itu, Bandawasa
mengalihkan perhatian pada Arya.
"Semula, aku memang yakin
kalau dia bersalah. Tapi, sekarang tidak lagi. Aku yakin, rekanku bukan pelaku
semua kekejian yang dituduhkan. Ini pasti fitnah yang tidak bisa kudiamkan
begitu saja!" tandas Bandawasa, keras.
"Apa yang membuatmu
berubah pikiran secepat itu, Bandawasa?" tanya Dewa Arak, ingin tahu.
"Apakah karena dia berani bunuh diri?"
Bandawasa tidak langsung
menjawab. Ditatapnya wajah Dewa Arak lekat-lekat, kemudian perlahan-lahan
kepalanya terangguk.
"Perguruan kami mempunyai
sebuah aturan khusus, yaitu bunuh diri dengan menggunakan senjata sendiri,
untuk membuktikan kebenarannya. Dan kini, Mahadewa melakukannya. Maka, kami
yakin kalau dia tidak bersalah. Jadi, sekarang merupakan kewajiban kami untuk
membalaskan semua sakit hati yang dideritanya," urai Bandawasa panjang
lebar.
Kini, semua tokoh yang berada
di situ mengerti, mengapa Bandawasa bisa berubah pikiran demikian cepat.
"Bersiaplah kalian semua. Kita harus selesaikan
urusan ini!" Janaka ikut
berbicara.
Seiring ucapannya, Janaka
melangkah maju. Sikap yang diperlihatkannya menunjukkan kesiapan bertarung.
Bahkan bukan hanya Janaka saja. Bandawasa dan Mahesa pun telah melangkah pula.
Tentu saja melihat hal ini,
Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning tidak tinggal diam. Mereka juga
telah bersiap-siap, untuk menyambut tibanya serangan tokoh dari Pulau Karang
itu. "Tahan...!"
Sebelum kedua belah pihak
terlibat pertarungan, Dewa Arak telah mencegah.
Dihadangnya langkah tiga tokoh
dari Pulau Karang itu. Mau tak mau, hal itu membuat Bandawasa dan dua rekannya
mengurungkan maksud.
"Jangan halangi kami,
Dewa Arak! Apabila kau ingin bertarung dengan kami, tunggulah hingga urusan ini
selesai!" kata Bandawasa.
"Sabar dulu, Bandawasa.
Jangan biarkan per- soalan ini berlarut-larut. Aku yakin, telah terjadi
kesalahpahaman di sini."
"Maksudmu?" Janaka
mengernyitkan kening. "Kalian percaya padaku?!" Arya malah balas
bertanya.
Bagai diberi perintah, tiga
tokoh dari Pulau Karang itu menganggukkan kepala. Sikap Dewa Arak yang tampak
tidak memihak, membuat mereka menaruh kepercayaan.
"Terima kasih atas
kepercayaan yang kalian berikan padaku. Percayalah! Aku tidak akan
menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan," ucap Arya,
sungguh-sungguh. "Nah! Sekarang, dengarkan baik-baik."
Sampai di sini Dewa Arak
menghentikan ucapannya. Kepalanya segera ditengadahkan ke langit, seperti
tengah mencari-cari sesuatu di awang-awang. Dan sebentar kemudian, pandangannya
telah dialihkan kembali pada Bandawasa dan rekan-rekannya.
"Perlu kalian ketahui.
Apa yang dikatakan Petani Maut dan murid Perguruan Tapak Sakti, sama sekali
bukan fitnah! Mereka mengatakan yang
sebenarnya! Dan ucapanku ini keluar bukan karena ikut-ikutan, tapi
karena aku telah melihat dengan mata kepala sendiri!"
"Maksudmu...?!" Bandawasa
menggantung
ucapannya.
"Aku telah berhadapan
sendiri dengan Mahadewa." "Kau bertarung melawan Mahadewa, Dewa
Arak?!"
tebak Mahesa.
"Benar," jawab Dewa
Arak, sambil menganggukkan kepala. "Lalu, bagaimana kesudahannya?"
desak Bandawasa penuh minat.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Bandawasa?" "Maksudku..., siapa yang menang?" tanya
Bandawasa, lebih lengkap.
"Entahlah," Arya
menggelengkan kepala. "Pertarungan antara kami telah bubar, sebelum usai.
Bukan tidak mungkin, aku akan kalah kalau pertarungan dilanjutkan. Dia memang
lihai bukan kepalang."
"Mengapa kau bertarung
dengannya, Dewa Arak?" tanya Bandawasa lebih jauh.
"Dia membunuh penduduk
Desa Ceger. Dan aku paling pantang melihat adanya tindak kekejaman di depan
mataku. Maka, dia lebih baik kutantang. Lalu, kami terlibat pertarungan,"
jelas Dewa Arak panjang lebar.
Untuk kedua kalinya,
Bandawasa, Mahesa, dan Janaka saling berpandangan. Kemudian Bandawasa
mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku mengerti maksudmu,
Dewa Arak. Bukankah kau juga menuduh Mahadewa sebagai pelaku semua pembunuhan
keji itu?!" Bandawasa memberi kesimpulan.
Dewa Arak tersenyum tenang.
"Aku yakin, pelaku semua
kekejian itu adalah Mahadewa. Tapi, Mahadewa yang mana, itulah pertanyaannya!"
Tiga tokoh dari Pulau Karang
itu bingung mendengar ucapan Dewa Arak. Dahi mereka berkernyit dalam,
menandakan besarnya perasaan heran yang melingkupi.
Bukan hanya tiga tokoh dari
Pulau Karang itu saja yang merasa heran. Bahkan semuanya merasa bingung
mendengar ucapan Dewa Arak.
"Hm.... Apakah maksud
ucapanmu itu berarti..., ada dua Mahadewa? Maksudmu..., Mahadewa mempunyai
kembaran?" terka Bandawasa.
"Tidak seperti itu,
Bandawasa. Tapi dugaanku, ada seseorang yang menyamar sebagai Mahadewa. Dan
"
"Tutup mulutmu! Kau hanya
mengada-ada, Dewa Arak!" potong Bandawasa, keras.
Setelah berkata demikian,
Bandawasa menerjang Dewa Arak. Serangannya dibuka dengan sebuah pukulan lurus
ke arah dada lawan dengan tangan kiri.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi
tibanya pukulan Bandawasa, karena pukulannya disertai pengerahan tenaga dalam
kuat
Tapi, lawan yang diserangnya
bukan tokoh rendahan! Menghadapi serangan itu, Dewa Arak tidak menjadi gugup.
Buru-buru kakinya ditarik ke belakang. Itu pun masih disertai dengan liukan
tubuhnya ke kanan. Hasilnya, serangan Bandawasa hanya mengenai tempat kosong
Tapi serangan Bandawasa tidak
berhenti sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, langsung
dilancarkannya serangan susulan. Kaki kanannya cepat diluncurkan dalam sebuah
tendangan lurus ke arah pusar.
"Hebat!"
Pujian tulus terlontar dari
mulut Dewa Arak. Arya memang kagum melihat serangan Bandawasa yang
bertubi-tubi. Meskipun demikian, bukan berarti pemuda berambut putih keperakan
itu kerepotan. Dengan kecepatan gerakan ahli silat, kakinya langsung digenjot.
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke bela- kang. Maka, kaki Bandawasa hanya
meluncur di bawah kakinya.
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun,
kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah. Tapi belum juga Dewa Arak sempat menarik
napas lega, Bandawasa telah kembali memburu. Bahkan kali ini bukan hanya
Bandawasa saja yang melancarkan serangan. Entah kapan, tahu-tahu Janaka dan
Mahesa telah bertarung. Janaka menerjang Malaikat Tongkat Sakti, sedangkan
Mahesa menyerang Ular Muka
Kuning. Dan kini, terjadilah
pertarungan sengit.
Melihat hal ini, Melati,
Petani Maut dan beberapa orang yang masih berada di situ bergegas menyingkir.
Mereka semua tahu, betapa berbahayanya berada di dekat kancah pertarungan.
Jangankan terkena langsung. Angin serangannya saja, sudah cukup membuat nyawa
melayang! Sementara itu, seperti sudah direncanakan saja, masing-masing
pasangan yang bertarung saling memisahkan diri. Hasilnya, di tempat itu
tercipta tiga kancah pertarungan.
Seperti juga pertarungan
antara Dewa Arak dengan Bandawasa, pertempuran lain yang terjadi juga tanpa
menggunakan senjata. Meskipun demikian, bukan berarti tidak berbahaya. Dengan
tenaga dalam yang dimiliki, tangan dan kaki mereka tak kalah berbahayanya
dibanding senjata tajam. Angin serangannya saja sudah cukup membuat nyawa orang
melayang ke alam baka.
Bandawasa, Janaka, dan Mahesa
bertarung bagai macan luka. Dan hal itu disebabkan kematian Mahadewa. Dan satu
hal lagi, mereka memang ingin bertarung melawan tokoh-tokoh tersakti di pulau
ini. Dan kini, tokoh-tokoh itu ada di hadapan mereka. Maka, kesempatan itu pun
dipergunakan sebaik-baiknya.
"Haaat...!"
Jeritan keras yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, diiringi deru angin keras, menyemaraki jalannya
pertarungan. Masing-masing tokoh mengerahkan seluruh kemampuan terbaik yang
dimiliki.
Bandawasa dan dua rekannya
tahu, lawan yang dihadapi memiliki kepandaian amat tinggi. Maka tanpa
ragu-ragu, seluruh kemampuan mereka dikerahkan sejak serangan pertama. Harapan
mereka adalah, merobohkan lawan-lawan secepat mungkin.
Tapi, Dewa Arak, Malaikat
Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning adalah tokoh-tokoh nomor satu dunia
persilatan. Kepandaian mereka sukar diukur tingginya. Maka akibatnya sudah bisa
diduga. Tiga tokoh dari Pulau Karang itu pun mendapat perlawanan sengit!
Hebat bukan kepalang
pertarungan yang terjadi. Dan hal itu berlangsung sejak jurus-jurus awal. Dan
sekarang, telah memasuki jurus ketiga puluh lima. Namun, jalannya pertarungan
tetap seimbang. Sama sekali belum terlihat adanya tanda-tanda yang akan keluar
sebagai pemenang.
Karuan saja hal ini membuat
semua pihak yang bertarung, kecuali Dewa Arak, merasa penasaran bukan main.
Harga diri masing-masing seperti tersinggung melihat lawan mampu bertahan.
Apalagi, ketika pertarungan telah melewati jurus kelima puluh. Hasilnya,
masing-masing berusaha semakin memperhebat serangan. Bahkan telah mengeluarkan
ilmu andalan. Dengan sendirinya, pertarungan yang terjadi pun semakin sengit.
Di antara mereka semua, hanya
Dewa Arak yang belum mengeluarkan ilmu andalan. Pemuda berambut putih keperakan
itu masih saja mengandalkan ilmu-ilmu tangan kosong yang diterima dari ayahnya,
yakni ilmu 'Sepasang Tangan Pembunuh Naga' dan 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
Dan walaupun hanya menggunakan
ilmu-ilmu warisan ayahnya, Dewa Arak berhasil menanggulangi setiap serangan
Bandawasa. Tentu saja, hal itu membuat tokoh muda yang menggemparkan ini heran
bukan kepalang. Berbagai macam pertanyaan langsung bergayut di benaknya.
"Hanya sampai di sini
sajakah tingkat kepandaian Bandawasa? Mengapa berbeda jauh bila disbanding
Mahadewa?" tanya Dewa Arak dalam hati.
Tapi, Dewa Arak tidak mau
membiarkan pertanyaan seperti itu bergayut terus di benaknya. Disadari kalau
hal itu terus dilakukan, kemungkinan besar dia akan celaka di tangan Bandawasa.
Sementara itu, Bandawasa mulai
dirayapi pera- saan penasaran. Seluruh kepandaiannya telah dikerahkan, tapi
tetap saja belum mampu mendesak Dewa Arak Padahal, dia tahu betul kalau pemuda
berambut putih keperakan itu belum mengeluarkan ilmu andalan. Memang, Bandawasa
telah mendengar kabar kalau
Dewa Arak selalu
menenggak araknya bila
ingin mengeluarkan ilmu andalan.
Dari berita inilah diketahuinya kalau
tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu belum mengeluarkan ilmu andalan.
Dan memang, sejak tadi Dewa Arak belum menenggak araknya. Perasaan
penasaran Bandawasa semakin menggebu-gebu ketika menyadari kenyataan kalau dirinyalah yang perlahan-lahan terdesak
oleh Dewa Arak. Padahal, akal sehat Bandawasa mengakui kalau Dewa Arak memang
lebih unggul. Tapi karena Dewa Arak berhasil mendesak tanpa mengeluarkan ilmu
andalan,
Bandawasa jadi penasaran bukan
kepalang.
***
Ternyata, bukan hanya
Bandawasa saja yang mengalami nasib buruk. Mahesa dan Janaka pun demikian pula.
Dua rekan Bandawasa ini tengah kerepotan menghadapi perlawanan Malaikat Tongkat
Sakti dan Ular Muka Kuning. Dan itu terjadi setelah pertarungan menginjak jurus
kedelapan puluh. Perlahan-lahan, serangan-serangan dua tokoh dari Pulau Karang
ini mulai berkurang.
Seiring semakin lamanya
pertarungan berlang- sung, serangan-serangan tiga tokoh Pulau Karang semakin
berkurang. Dan mereka hanya mengelak saja. Karena tangkisan-tangkisan pun
semakin berkurang.
Sebenarnya hal ini disebabkan
kekuatan tenaga dalam Malaikat Tongkat Sakti, Ular Muka Kuning, dan Dewa Arak
yang memang di atas lawan masing-masing. Betapa tidak? Setiap kali terjadi
benturan baik tangan atau kaki, sudah dapat dipastikan mulut ketiga tokoh Pulau
Karang itu langsung menyeringai. Itulah sebabnya tiga tokoh dari Pulau Karang
itu lebih suka mengelak daripada menangkis.
Akhir dari pertarungan sudah
bisa ditebak. Tiga tokoh Pulau Karang itu akan roboh di tangan lawan
masing-masing. Hal ini bisa dibuktikan dari keadaan mereka yang semakin
terhimpit. Bandawasa dan kedua rekannya terus bermain mundur. Dan kelihatannya
tak lama lagi pertarungan akan berakhir.
Hal ini pun disadari tiga
tokoh dari Pulau Karang itu. Tahu kalau memenangkan pertarungan suatu hal yang
tak mungkin, mereka memutuskan untuk mengajak lawan mati bersama! Hasilnya,
Bandawasa dan dua rekannya bertindak nekat. Sekarang perhatian mereka lebih
dipusatkan pada serangan. Bandawasa, Janaka, dan Mahesa bertarung tanpa
mempedulikan pertahanan lagi. Yang ada di benak mereka adalah menyarangkan
serangan pada lawan.
Dewa Arak, Malaikat Tongkat
Sakti, dan Ular Muka Kurring terperanjat bukan kepalang menyaksikan perubahan
gaya bertamng lawan. Betapa tidak? Beberapa kali ketika mereka melancarkan
serangan, lawan yang dihadapi sama sekali tidak mengelak. Bahkan malah
mengirimkan serangan pula. Jelas, tiga tokoh Pulau Karang itu tidak
mempedulikan keselamatan diri lagi.
Sebagai tokoh tingkat tinggi
dunia persilatan dan kenyang pengalaman, Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan
Ular Muka Kuning mengerti maksud tindakan lawan. Dan tentu saja, mereka tidak
sudi bertindak bodoh dengan mengikuti ajakan itu.
Maka begitu melihat serangan
yang dilancarkan sama sekali tidak dipedulikan, Dewa Arak, Malaikat Tongkat
Sakti, dan Ular Muka Kuning terpaksa mengurungkan serangan. Kemudian, mereka
buru-buru mengelakkan serangan tiga tokoh Pulau Karang itu.
Melihat tindakan
lawan-lawannya, tiga tokoh dari Pulau Karang jadi berbesar hati. Semangat
mereka pun timbul. Sebagai akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan
semakin bertubi-tubi.
Sekarang, mulai ada perubahan
dalam kancah pertarungan. Perlahan-lahan, kedudukan tiga tokoh Pulau Karang
yang semula sudah terhimpit, mulai di atas angin kembali. Sedikit demi sedikit,
Bandawasa dan dua rekannya mulai bisa menyamakan kedudukan.
Memang, kini Dewa Arak,
Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning segera menghentikan serangan.
Mereka hanya mengelak dan menangkis. Bahkan tidak berusaha melancarkan serangan
balasan, karena dianggap tidak akan membawa hasil. Sudah bisa diduga, di saat
mereka melancarkan serangan, lawan akan melakukan hal yang sama. Jadi, terpaksa
Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning membatalkan serangan
kembali kalau tidak ingin mati konyol.
Bandawasa dan dua rekannya
jadi bertambah se- mangat melihat hasil usaha mereka. Apalagi, setelah keadaan
malah berbalik. Merekalah yang kini lebih banyak melancarkan serangan,
ketimbang lawan-la- wannya.
Keadaan seperti itu terus
berlangsung beberapa jurus lamanya. Dewa Arak, Malaikat Tongkat Sakti, dan Ular
Muka Kuning terus dicecar dan didesak.
Kini, kelihatannya tiga tokoh
Pulau Karang itu yang berada di atas angin. Sedangkan Dewa Arak, Malaikat
Tongkat Sakti, dan Ular Muka Kuning berada di pihak yang terdesak. Padahal,
kenyataan sebenarnya tidak demikian. Ketiga tokoh tingkat tinggi dunia
persilatan itu tengah menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Sementara itu,
pertarungan telah memasuki jurus kesembilan puluh tiga.
8
"Haaat...!"
Diiringi pekikan keras
menquuntur yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Janaka
melancarkan kibasan dengan kaki kanan ke arah kepala Malaikat Tongkat Sakti.
Hal itu dilakukan sambil memutar tubuh.
Wukkk!
Serangan itu lewat beberapa
jari di depan sasaran, ketika Malaikat Tongkat Sakti menarik kaki kanan ke
belakang sambil mendoyongkan tubuh.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Malaikat Tongkat Sakti. Begitu serangan lawan berhasil dielakkan,
sebuah serangan balasan dikirimkan. Kakek bertubuh tinggi besar ini melancarkan
sebuah tendang- an kaki kiri ke arah punggung lawan.
Bukkk!
Kejadiannya berlangsung
demikian cepat. Dan, Janaka sama sekali tidak menduga, sehingga tidak sempat
berbuat sesuatu. Tahu-tahu saja, punggungnya telah menerima tendangan keras.
Seketika itu pula, tubuhnya terlempar. Suara berderak keras dari tulang yang
patah, semburan darah dari mulut dan hidung, bercampur jerit kesakitan,
mengiringi melayangnya tubuh Janaka.
Ternyata, tidak hanya Janaka
saja yang mengalami nasib naas. Dua rekannya pun mengalami nasib serupa. Mahesa
terpaksa menerima sebuah tetakan tangan miring Ular Muka Kuning pada lehernya.
Sedangkan Bandawasa menerima gedoran dari Dewa Arak pada perutnya.
Brukkk!
Berturut-turut tubuh tiga
tokoh dari Pulau Karang itu ambruk di tanah disertai suara berdebuk cukup
keras. Lalu tubuh mereka tidak bergerak lagi, setelah berguling-guling beberapa
tombak jauhnya.
"Hhh...!"
Malaikat Tongkat Sakti dan
Ular Muka Kuning menghela napas lega, setelah terlebih dulu menghen- tikan
gerakan. Kemudian, dua datuk yang telah menggemparkan dunia persilatan itu
menatap tubuh tiga tokoh Pulau Karang yang tergolek di tanah.
Sementara itu, Dewa Arak
buru-buru melesat ke arah tempat tergoleknya tubuh tiga tokoh dari Pulau
Karang. Raut kecemasan membayang jelas pada wajahnya, karena khawatir kalau
Bandawasa dan dua rekannya tewas. Dan dia tahu pasti, tiga tokoh dari Pulau
Karang itu sama sekali tidak bersalah.
Namun sebelum maksud Dewa Arak
tercapai....
"Ha ha ha !"
Tiba-tiba terdengar sebuah
tawa keras mengge- legar, sehingga membuat seluruh tempat itu bergetar hebat.
Bisa ditebak kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Seketika itu pula, Dewa Arak
mengurungkan maksudnya. Buru-buru langkahnya dihentikan. Memang, suara tawa itu
pernah didengarnya. Tapi sayangnya, dia lupa kapan dan di mana.
Dewa Arak tidak mempedulikan
hal itu. Secepat langkahnya dihentikan, secepat itu pula kepalanya ditolehkan
ke arah asal suara. Hal yang sama pun dilakukan, Malaikat Tongkat Sakti, Ular
Muka Kuning, dan yang lainnya.
Jliggg!
Masih dengan suara tawa yang
belum putus, sosok yang mengeluarkan tawa itu mendarat di tanah. Begitu kedua
kakinya hinggap, sedikit pun tak terdengar sua- ra. Padahal, dia melompat dan
cabang pohon yang cukup tinggi.
"Hah...?!"
Hampir semua pasang mata yang
berada di situ terbelalak, begitu melihat jelas si pemilik suara tawa. Betapa
tidak? Karena orang itu adalah..., Mahadewa! Tidak dapat disangsikan lagi kalau
orang itu Mahadewa!
Keterkejutan orang-orang yang
berada di situ tidak hanya terlihat dari sepasang mata yang terbelalak lebar,
tapi juga dari raut wajah yang berubah pucat. Bukankah Mahadewa telah tewas?!
Teringat akan hal itu, membuat
tokoh-tokoh ting- kat tinggi dunia persilatan ini menoleh ke arah tempat tubuh
Mahadewa tergolek. Dan..., ternyata tubuh Mahadewa masih ada di sana! Jadi...,
Mahadewa ada dua orang?!
"Rupanya kalian bingung,
heh?!" ujar sosok yang menyerupai Mahadewa gembira, bernada mengejek.
"Siapa kau?!" tanya
Malaikat Tongkat Sakti sudah tidak bisa menahan sabar lagi.
"Aku?! Bukankah aku orang
yang kalian cari-cari?!" Mahadewa malah balas bertanya.
"Jadi..., kau...?!"
Suara Malaikat Tongkat Sakti
terdengar terbata-bata. Hal ini karena dia telah mendapat gelagat kalau telah
salah menuduh orang.
"Ya! Akulah yang telah
melakukan semua pembunuhan itu!"
"Keparat jahanam!"
maki Malaikat Tongkat Sakti, geram.
"Manusia keji!" Ular
Muka Kuning tak mau ketinggalan.
Wajah kedua datuk tingkat
tinggi dunia persilatan itu tampak merah padam, karena tengah dilanda amarah.
Dengan sendirinya, tenaga dalam pun mengalir deras ke seluruh tubuh, sehingga
menimbulkan suara berkerotokan keras seperti ada tulang patah. Padahal,
Malaikat Tongkat Sakti dan Ular Muka Kuning sama sekali tidak bertindak
apa-apa.
"Tahan, Ki...!" Dewa
Arak yang melihat adanya tanda-tanda Ma- laikat Tongkat Sakti dan Ular Muka
Kuning akan me- lancarkan serangan, buru-buru mencegah.
"Mengapa kau melarang
kami, Dewa Arak?!" sergah Malaikat Tongkat Sakti, bernada teguran.
Memang kakek ini memiliki
watak beringas. "Dialah pelaku semua kekejian itu!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala. "Apa yang kau katakan itu, sama sekali tidak salah, Ki. Dialah
pelaku semua kekejian itu. Tapi sebaiknya kita harus tahu alasan dia melakukan
semua tindakan keji itu."
Malaikat Tongkat Sakti kontan
tertegun mende-
ngar penjelasan Dewa Arak.
Disadari adanya kebenaran dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu.
Bahkan Ular Muka Kuning mengangguk-anggukkan kepala, pertanda ikut membenarkan.
"Ha ha ha...!"
Mahadewa, yang mendengar
pembicaraan itu langsung tertawa bergelak.
"Tanpa kau tanyakan pun,
semuanya akan kujelaskan, Dewa Arak. Nah! Sekarang, kalian dengarkan baik-baik
semua ucapanku!"
Sosok berwajah mirip Mahadewa
itu menghetikan ucapannya, memberikan kesempatan pada semua tokoh yang berada
di situ mengalihkan perhatian ke arahnya. Kemudian, kedua tangannya bergerak ke
atas. Sebentar tangannya berhenti di wajah, lalu bergerak kembali. Dan begitu
kedua tangannya disentakkan....
Bret!
Tampaklah seraut wajah tampan,
jauh berbeda dengan wajah Mahadewa yang asli. Matanya dihiasi alis lebat.
Hidungnya mancung, dengan andeng-andeng di batangnya. Sungguh jauh dengan
perkiraan semula.
"Namaku Burisrawa. Sama
seperti empat orang itu, aku juga berasal dari perguruan yang sama di Pulau
Karang. Kami berlima adalah murid utama Perguruan Hati Suci. Salah seorang di
antara kami, dicalonkan untuk menggantikan guru kami yang hampir pikun. Tapi
sayang, guru tidak menyukai watakku. Katanya, aku berwatak jelek, dan suka
mempelajari ilmu-ilmu sesat. Jadi, aku tidak mungkin bisa menggantikan
kedudukannya," jelas sosok Mahadewa yang kini berganti wajah, setelah
membuka topeng karet tipis. Rupanya, lelaki itu juga mahir membuat topeng,
sehingga mampu menyamarkan diri menjadi Mahadewa.
Sosok berwajah mirip Mahadewa
yang ternyata bernama Burisrawa itu menghentikan ucapannya. Pandangannya
diedarkan, merayapi satu per satu wajah-wajah yang berada di sekitarnya.
Bukkk! Terdengar bunyi keras
ketika serangan Malaikat Tongkat Sakti menemui sasarannya. Hasilnya, tubuh
Burisrawa tersungkur ke belakang seperti daun kering tertiup angin!
"Padahal, aku sangat
berminat menjadi Ketua Perguruan Hati Suci. Maka ketika empat orang kesayangan guruku
ini memutuskan untuk memperluas pengalaman dengan berkelana, aku pun ikut tanpa
sepengetahuan mereka. Lalu, kulakukan semua pembunuhan dengan menyamar sebagai
Mahadewa, agar mereka mendapat banyak musuh di sini. Ha ha ha...! Dan kalian
lihat sendiri hasilnya, bukan? Usahaku kini berhasil baik! Aku akan menjadi
ketua perkumpulan di sana, dan menjadi jago nomor satu di seluruh dunia! Ha ha
ha..! Kalian tak akan mampu mengalahkan aku! Ha ha ha...!"
"Manusia sombong!
Mampuslah kau...!"
Seiring bentakan itu, Malaikat
Tongkat Sakti melompat menerjang Burisrawa. Dan begitu telah dekat, tongkatnya
dihantamkan ke dada.
Namun sungguh aneh! Serangan
Malaikat Tongkat Sakti sama sekali tidak dielakkan Burisrawa. Tokoh dari Pulau
Karang ini terus saja tertawa, seolah-olah tidak tahu ada bahaya mengancam.
Akibatnya....
Bukkk!
Telak dan keras sekali
serangan Malaikat Tongkat Sakti menemui sasarannya. Hasiinya, tubuh Burisrawa
melayang ke belakang seperti daun kering tertiup angin.
Setelah melayang-layang hampir
sepuluh tombak, tubuh Burisrawa jatuh berdebuk keras di tanah, kemudian
terguling-guling. Dan akhirnya, tubuhnya berhenti karena kekuatan yang
mendorongnya telah lenyap.
Melihat kejadian itu, semua
tokoh yang berada di situ saling berpandangan penuh rasa bingung. Begitu
mudahkah Burisrawa dibinasakan?
Beberapa gelintir dari sekian
banyak orang yang berada di situ merasa curiga melihat kejadian yang menimpa
Burisrawa. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, Petani Maut, Ular Muka Kuning, dan
Malaikat Tongkat Sakti sendiri. Dan mereka semua tidak percaya kalau Burisrawa
akan demikian mudah ditewaskan. Dan ternyata kecurigaan mereka beralasan.
Sambil mengeluarkan tawa bergelak bernada penuh kegembiraan, Burisrawa langsung
bangkit.
Kenyataan ini membuat semua
orang yang berada dl situ, merasa terkejut bukan kepalang. Begitu saktikah
Burisrawa, sehingga mampu menerima serangan Malaikat Tongkat Sakti tanpa
melawan?
"Tidak mungkin!"
bantah Dewa Arak dalam hati. Pemuda berambut putih keperakan ini memang pernah
bertarung melawan Burisrawa. Maka bisa diperkirakan tingkat kepandaian
Burisrawa. Dewa Arak tahu, Burisrawa tidak akan mungkin mampu menerima serangan
Malaikat Tongkat Sakti secara demikian. Pasti
ada keganjilan di sini!
"Keparat!"
Malaikat Tongkat Sakti menggeram
murka, ketika melihat Burisrawa masih segar bugar. Bahkan tokoh dari Pulau
Karang itu malah menghampirinya sambil terus tertawa-tawa.
"Haaat...!"
Diiringi teriakan nyaring yang
memekakkan telinga, Malaikat Tongkat Sakti kembali menerjang Burisrawa. Dan
begitu jaraknya telah dekat, serangan yang serupa dengan sebelumnya langsung
dilancarkan. Rupanya, Malaikat Tongkat Sakti masih belum percaya kalau
Burisrawa mampu menerima serangannya. Apalagi, tanpa melawan!
"Malaikat Tongkat Sakti!
Tahan...!"
Dewa Arak yang mengkhawatirkan
keselamatan Malaikat Tongkat Sakti, berseru mencegah. Tapi sayang,
peringatannya terlambat! Kakek tinggi besar itu telah lebih dulu melancarkan
serangan dahsyat tanpa memikirkan keselamatannya.
Kali ini, Burisrawa tidak
berdiam diri. Begitu serangan Malaikat Tongkat Sakti telah menyambar dekat,
kedua tangannya cepat dihentakkan untuk melancarkan tangkisan.
Blarrr! Suara keras mengguntur
seperti gunung meletus terdengar, ketika dua pasang tangan yang sama-sama
dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Beberapa tokoh yang kurang kuat tenaga
dalamnya, langsung terjatuh, karena lutut mereka terasa lemas. Hanya De- wa
Arak dan Ular Muka Kuning saja yang sama sekali tidak terpengaruh. Sedangkan
Melati dan Petani Maut masih menerima akibatnya, yang terlihat dari pucatnya
wajah walau hanya sesaat.
Meskipun demikian, seperti
juga Dewa Arak dan Ular Muka Kuning, Melati dan Petani Maut tetap mengarahkan
pandangan ke tempat terjadinya bentrokan antara Malaikat Tongkat Sakti melawan
Burisrawa.
Seketika itu pula, mata mereka
semua terbelalak. Betapa tidak? Tampak tubuh Malaikat Tongkat Sakti terlempar
ke belakang, seperti daun kering tertiup angin. Darah segar mengalir deras dari
mulut, hidung, dan telinganya. Seruan menyayat seperti seekor sapi disembelih,
mengiringi tubuhnya yang terlempar ke belakang.
"Gila!"
Seruan keterkejutan keluar
dari mulut Dewa Arak. Dan memang, hanya pemuda
berambut putih keperakan ini
saja yang merasa terkejut bukan
kepalang. Dewa Arak tahu, sampai di mana tingkat tenaga dalam Burisrawa.
Merupakan hal yang mustahil kalau Ma- laikat Tongkat Sakti akan tewas demikian
mengenaskan
dalam sekali bentrokan tenaga
dalam saja.
Dan kenyataannya, tanpa
melihat lagi pun, Dewa Arak tahu kalau Malaikat Tongkat Sakti telah tewas. Itu
pun di saat tubuhnya tengah berada di udara. Buktinya begitu jatuh di tanah,
Malaikat Tongkat Sakti tidak bergerak-gerak lagi.
"Ha ha ha...!"
Burisrawa tertawa
bergelak-gelak. Sambil berkacak pinggang, pandangannya dialihkan ke arah
tokoh-tokoh dunia persilatan yang berada di situ.
"Siapa lagi yang ingin
menguji kesaktianku?! Kau, Dewa Arak?! Ha ha ha...! Kali ini jangan harap bisa
mempecundangiku lagi. Kau akan kulumatkan! Ha ha ha...!" Usai berkata
demikian, Burisrawa mendekati Dewa Arak. Lambat-lambat saja kakinya melangkah.
Sikap dan tindak-tanduknya tampak tenang. Jelas, tokoh dari Pulau Karang ini
merasa yakin akan kemampuan dirinya. Namun, Dewa Arak tidak mau membiarkan
Burisrawa semakin dekat, karena khawatir Melati dan Petani Maut akan ikut
terbawa. Maka dihampirinya Burisrawa.
Tapi....
"Minggir, Dewa Arak
!"
Sebelum Dewa Arak dan
Burisrawa tiba dalam jarak tempur, sesosok bayangan kuning berkelebat
mendahului. Dan hal ini membuat Dewa Arak terkejut. Dia tahu, siapa sebenarnya
sosok bayangan kuning itu. Siapa lagi kalau bukan Ular Muka Kuning?
Dugaan Dewa Arak sama sekali
tidak meleset. Datuk dunia persilatan yang bertubuh kurus ini memang murka
bukan kepalang ketika melihat Malaikat Tongkat Sakti tewas. Dengan mata kepala
sendiri, dia melihat tubuh Malaikat Tongkat Sakti terbujur tanpa nyawa
bergelimang darahnya sendiri. Perasaan sakit hati itulah yang mendorong Ular
Muka Kuning mendahului Dewa Arak menerjang Burisrawa.
***
Ular Muka Kuning tidak
membuang-buang waktu lagi. Begitu telah mendekati Burisrawa, langsung saja
dikirimkan sebuah sampokan ke arah pelipis. Itu dilakukan dalam keadaan tubuh
masih berada di udara.
Wuttt!
Deru angin keras mengiringi
tibanya serangan Ular Muka Kuning. Hal ini tidak aneh, karena datuk ber- tubuh
kurus itu mengerahkan seluruh tenaga dalam-nya. Apalagi, dalam kemarahan amat
sangat. Ular Muka Kuning jelas bermaksud membinasakah Burisrawa secepat
mungkin.
Maka, sudah dapat dibayangkan
kedahsyatan serangan Ular Muka Kuning. Di samping dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam sepenuhnya, sasaran yang dituju pun adalah bagian yang mematikan.
Tapi seperti juga sebelumnya,
Burisrawa sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan malah tersenyum mengejek.
Sikapnya terlihat memandang rendah sekali. Sedikit pun tidak terlihat adanya
tanda-tanda kalau Burisrawa akan mengelak atau menangkis. Mahadewa palsu ini
malah seakan-akan membiarkan serangan itu mengenai sasarannya.
"Gila...!"
Tanpa sadar Dewa Arak, Melati,
dan Petani Maut memekik kaget ketika melihat tindakan Burisrawa! Betapa tidak!
Di saat serangan Ular Muka Kuning semakin mendekati sasaran, Burisrawa malah
melancarkan serangan pula!
"Hih!"
Sambil menggertakkan gigi,
Burisrawa melan- carkan totokan ke arah perut Ular Muka Kuning dengan susunan
jari membentuk kepala ular.
Dan ternyata Ular Muka Kuning
terkejut pula melihat hal itu. Bahkan perasaan kaget yang melanda jauh lebih
besar. Ular Muka Kuning tahu, merupakan hal mustahil untuk mengelak. Serangan
Burisrawa terlalu mendadak datangnya.
Tambahan lagi, dilancarkan
dalam jarak yang demikian dekat. Tubuhnya yang tengah berada di udara semakin
menambah kesulitannya.
Dalam keadaan terjepit itulah
yang membuat Ular Muka Kuning memutuskan untuk melanjutkan serangan. Dia sudah
bertekad untuk mati demi membalas kematian Malaikat Tongkat Sakti.
Tentu saja keputusan yang
diambil Ular Muka Kuning diketahui Dewa Arak, Melati, dan Petani Maut Dan
mereka pun tidak bisa menyalahkan tindakannya. Meskipun begitu, tak urung ada
perasaan menyesal yang amat sangat menyelinap di lubuk hati Dewa Arak. Tapi,
apa yang bisa dilakukannya? Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Sedangkan
dirinya berada cukup jauh dari kancah pertarungan.
Dan yang dilakukan Dewa Arak
hanya menunggu kejadian selanjutnya. Dan tindakan seperti itu pula yang
dilakukan Melati, Petani Maut, dan beberapa tokoh persilatan yang masih berada
di situ. Sementara itu di kancah pertarungan....
Prattt! Brolll! "Aaakh
!" Dalam selisih waktu yang amat singkat, serangan kedua belah pihak
mendarat di sasaran masing-masing. Sampokan Ular Muka Kuning lebih dulu
mendarat di pelipis Burisrawa. Baru sekejap kemudian, tusukan tangan Burisrawa
memporakporandakan perut Ular Muka Kuning.
Kejadian selanjutnya sudah
bisa ditebak. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terlempar. Terdengar jeritan
menyayat dari mulut Ular Muka Kuning. Darah segar tampak menyembur deras dari
bagian perut yang terkoyak-koyak mengiringi Iuncuran tubuhnya.
Tanpa diberi perintah, Dewa
Arak dan Melati melesat ke arah jatuhnya tubuh Ular Muka Kuning
Brukkk! Brukkk!
Berturut-turut tubuh Ular Muka
Kuning dan Buris- rawa jatuh berdebuk di tanah.
"Hhh... hhh...,
akh!"
Setelah meregang nyawa
sejenak, Ular Muka Kuning menghembuskan napas terakhir. Mati!
"Hhh...!"
Dewa Arak hanya bisa menghela
napas berat. Sama sekali tidak disangka, dua datuk dunia persilatan yang
sama-sama tangguh itu tampaknya telah tewas secara mengenaskan.
Karena perhatian Dewa Arak dan
Melati tengah terpusat pada Ular Muka Kuning, sama sekali tak ada yang
menyadari keadaan Burisrawa. Dan tiba-tiba saja, terdengar jerit kesakitan dan
kematian, sehingga membuat sepasang pendekar muda itu mengalihkan perhatian.
"Hah...?!"
Mulut Melati ternganga. Bahkan
sepasang matanya pun terbelalak lebar, menampakkan keterkejutan yang amat sangat.
Sementara meskipun tidak terlihat adanya raut keterkejutan pada wajah dan
sikapnya, namun sebenarnya Dewa Arak kaget bukan kepalang. Belapa tidak!
Jeritan-jeritan itu ternyata terdengar dari mulut tokoh-tokoh persilatan yang
berada di situ. Tak terkecuali, Petani Maut sendiri. Mereka roboh di tanah
dalam keadaan tewas! Paling tidak, luka berat Dan pelaku semua itu adalah...
Burisrawa! "Kang...,
tidak salah lihatkah aku?" tanya Melati dengan bibir bergetar, karena
perasaan tegang.
Dewa Arak meraih tangan Melati
dan meremasnya perlahan, untuk memberi ketenangan.
"Kau tidak salah lihat,
Melati. Burisrawa memang belum mati. Hhh...! Aku yakin dia memiliki sebuah il-
mu, sehingga membuatnya tidak gampang mati. Kita harus mengetahui kelemahannya
terlebih dulu, kalau tidak ingin mati konyol!" jelas pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Apakah ilmu yang
dimiliki Burisrawa adalah 'Rawa Rontek', Kang?" tebak Melati.
"Aku belum bisa
memastikannya, Melati. Terke- cuali, apabila telah bertarung dengannya. Tunggulah
di sini."
"Ha ha ha...! Majulah,
Dewa Arak..!" tantang Burisrawa lantang, sambil bertolak pinggang.
Di sekeliling Burisrawa tampak
bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Semuanya adalah tokoh persilatan
yang berada di sekitar tempat itu. Termasuk, Petani Maut.
"Mengapa kau membunuh
mereka, Burisrawa?!" tegur Dewa Arak bernada geram.
"Mengapa kau menyalahkan
aku, Dewa Arak. Mereka memang pantas mati! Ha ha ha...!" Burisrawa tertawa
bergelak gelak.
Dewa Arak hanya bisa
mengepalkan tinju menahan geram, melihat ketelengasan Burisrawa. Memang, pada
saat perhatian Dewa Arak dan Melati tengah terpusat pada Ular Muka Kuning,
Petani Maut dan beberapa tokoh persilatan lain menghampiri Burisrawa. Mungkin
mereka mengira Burisrawa telah tewas. Tapi, siapa sangka kalau tokoh dari Pulau
Karang itu justru masih hidup? "Kau terlalu telengas, Burisrawa. Biar
kupertaruhkan selembar nyawaku untuk mencegah tindak
angkara murkamu!"
Begitu ucapannya selesai, Dewa
Arak menghampiri Burisrawa. Tokoh dari Pulau Karang itu juga melangkah maju.
Sudah dapat dipasrikan kalau pertarungan antara mereka akan segera berlangsung.
Sikap kedua belah pihak mirip dua ekor ayam jantan yang siap bertarung.
Sementara itu, Dewa Arak tidak berani bertindak main-main lagi. Disadari kalau
Burisrawa sekarang berbeda daripada sebelumnya. Entah bagaimana, Dewa Arak
tidak tahu. Yang jelas kepandaian Burisrawa meningkat demikian pesat. Dewa Arak
berani bertaruh kalau kepandaian Burisrawa jauh lebih lihai daripada ketika
bertarung dengannya belum lama ini.
Maka sambil terus melangkah,
Dewa Arak mengambil guci araknya yang tersampir di punggung. Kemudian, gucinya
diangkat ke atas kepala dan isinya dituangkan ke mulutnya.
Gluk..., gluk..., gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke lambung. Tak
lama kemudian, hawa hangat mulai merayap di perut pendekar muda yang telah
menggemparkan dunia persilatan itu. Perlahan-lahan, hawa hangat itu naik ke
atas kepala. Dan seketika itu pula langkah kaki Dewa Arak mulai sempoyongan.
Hal ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' telah siap digunakan.
Burisrawa tentu saja dapat
menduga kalau Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalannya. Tapi, dia tidak
merasa gentar sama sekali. Bahkan malah mengumbarkan tawa keras.
"Ha ha ha...! Aku telah
mendengar kehebatan il- mu 'Belalang Sakti' andalanmu, Dewa Arak. Sekarang, aku
akan mencoba kehebatannya."
Usai berkata demikian,
Burisrawa menyusun jari-jarinya. Dewa Arak tahu, tokoh Pulau Karang itu akan
mengeluarkan ilmu 'Tangan Pedang dan Golok'
"Bersiaplah untuk mati,
Dewa Arak! Haaat...!" Burisrawa membuka serangan dengan sebuah bacokan
sisi tangan miring ke arah leher Dewa Arak.
Suara bercicitan nyaring
mengawali serangannya.
Dewa Arak terkejut bukan
kepalang ketika menge- tahui lehernya terasa perih. Memang dia tahu, angin
serangan Burisrawa tak kalah berbahaya dibanding sebatang pedang pusaka. Tapi
sungguh di luar dugaan kalau dalam jarak setengah tombak sudah membuat lehernya
terasa perih. Padahal, sebelumnya tidak demikian! Ini berarti dugaan kalau
tenaga dalam Buris- rawa bertambah, sama sekali tidak keliru. Menyadari betapa
berbahayanya serangan itu, Dewa Arak tidak berani berrindak sembrono. Buru-buru
serangan itu dipapak dengan ayunan gucinya.
Klanggg!
Gila! Tubuh Dewa Arak kontan
terhuyung-huyung jauh ke belakang begitu terjadi benturan. Tak kurang dari lima
langkah tubuhnya terhuyung-huyung. Sementara, Burisrawa hanya bergetar saja.
"Iiih...!"
Melati terkejut bukan kepalang
melihat tubuh kekasihnya terhuyung-huyung. Dari hasil benturan itu bisa
diketahui kalau tenaga dalam Dewa Arak kalah jauh dibanding Burisrawa. Dan hal
itu membuat Melati khawatir bukan kepalang. Tapi, kekhawatiran itu buru-buru
dibuangnya. Maka meskipun dengan perasaan kebat-kebit, pandangannya dilayangkan
ke arah pertarungan.
Di arena pertarungan,
Burisrawa terus mengumbar kepandaian. Tampak jelas kalau dia bernafsu sekali
merobohkan Dewa Arak. Bahkan seluruh kemampuannya telah dikeluarkan.
Dan memang, usaha tokoh dari
Pulau Karang ini sama sekali tidak sia-sia. Nyatanya Dewa Arak benar-benar
dibuat kewalahan. Padahal, tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu
telah mengeluarkan seluruh kemampuan. Kedua tangan, guci, dan semburan-semburan
araknya telah dikeluarkan untuk menanggulangi amukan Burisrawa.
Dahsyat dan menggiriskan
pertarungan yang terjadi. Suara mencicit tajam dari udara yang terobek,
menyemaraki jalannya pertarungan. Dan itu timbul dari angin serangan Burisrawa,
maupun semburan arak Arya. Bahkan juga masih ditingkahi suara menderu-deru
tajam. Kali ini, Dewa Arak benar-benar dipaksa menguras seluruh kemampuannya.
Meskipun demikian, harus diakui kalau tingkat kepandaian Burisrawa memang di
atasnya. Baik dalam kecepatan gerak maupun tenaga dalam. Hanya berkat keanehan
ilmu 'Belalang Sakti'lah yang membuat Dewa Arak mampu menandingi Burisrawa
sampai hampir seratus jurus. Itu pun dilakukan dengan susah payah.
Dewa Arak benar-benar terdesak
sekarang. Jurus yang lebih banyak digunakan adalah 'Delapan Langkah Belalang'.
Ini berarti Dewa Arak terpaksa lebih banyak mengelak, karena tenaga dalamnya
jauh di bawah Burisrawa. Berbenturan tangan atau kaki hanya akan mengakibatkan
sekujur tulang-tulangnya sakit-sakit. Meskipun berada dalam keadaan di bawah
angin,
Dewa Arak berusaha keras
mencari kelemahan lawannya. Telah dibuktikannya sendiri, ilmu yang membuat
Burisrawa sulit mati bukan 'Rawa Rontek'.
"Akh..."
Tubuh Dewa Arak kontan
terjengkang akibat menangkis serangan Burisrawa. Hal itu terpaksa dilakukan,
karena sudah tidak mempunyai kesempatan mengelak. Dan di saat Dewa Arak tengah
terhuyung-huyung, Burisrawa menerjang. Tampak sekali kalau tokoh Pulau Karang
ini bermaksud memberi pukulan terakhir.
"Serang bayangannya,
Kang. Bayangan itu adalah tubuhnya yang asli.”
Tiba-tiba terdengar
pemberitahuan. Dan datangnya ternyata dari Melati.
Meskipun heran dari mana
Melati mendapat dugaan seperti itu, namun Dewa Arak memutuskan untuk menuruti.
Matanya kemudian melirik ke tanah. Tampak bayangan tubuh Burisrawa di tanah,
tersorot sinar bulan di atas sana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
menghentakkan tangan ke arah bayangan Burisrawa. Tak tanggung-tanggung lagi,
jurus 'Pukulan Belalang' dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wusss! Blarrr!
Jelas sekali kalau Dewa Arak
menyerang tanah. Tapi akibatnya benar-benar aneh. Tiba-tiba terdengar jeritan
menyayat dari mulut Burisrawa berbareng dengan tubuhnya yang terlempar ke
belakang. Samar-samar, tercium bau sangit daging terbakar.
Brukkk!
Tubuh Burisrawa ambruk di
tanah, dan diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tokoh sesat yang memiliki
kepandaian demikian menggiriskan itu tewas dengan tubuh hangus.
Melati langsung menghambur ke
arah Dewa Arak. Sementara, tokoh persilatan yang masih hidup dengan sikap
hati-hati mendekati tubuh Burisrawa yang telah hangus. Mereka khawatir, tokoh
dari Pulau Karang itu bangkit kembali dan membunuh seperti tadi. Tapi, ternyata
tidak.
"Terima kasih atas
pemberitahuanmu, Melati. Kalau tidak, mungkin aku sudah tewas. Hhh...!
Burisrawa memang hebat bukan kepalang. Tapi, dari mana kau bisa mengetahui
kelemahan ilmunya?" tanya Arya ingin tahu.
"Jangan berterima kasih
padaku, Kang," bantah Melati.
"Tapi berterimakasihlah pada Bandawasa. Dialah yang memberitahukannya
padaku. Bandawasa mengakui kalau tenaga
dalamnya belum cukup untuk melenyapkan Burisrawa. Tapi, dia tahu
kelemahannya." "Bandawasa? Sudah kuduga kalau dia belum mati.
Mana dia, Melati?" tanya
Arya, penuh gairah.
"Baru saja pergi mencari
kereta, untuk mengangkut mayat rekan-rekannya, Kang," jawab Melati.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala.
"O, ya. Apa nama ilmu
yang dimiliki Burisrawa itu, Melati. Apakah Bandawasa mengatakannya?"
tanya Arya.
Melati menggelengkan kepala.
"Bandawasa tidak mau memberitahukannya.
Rahasia perguruan, katanya. Apalagi, ilmu yang dimiliki Burisrawa adalah
ilmu-ilmu yang tidak boleh dipelajari. Dua macam ilmu telah dikuasai Burisrawa.
Yang satu membuat dia susah mati, dan yang satu lagi membuat dia menyerap
seluruh kepandaian orang yang sealiran dengannya," urai Melati panjang
lebar.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Kini baru dimengerti, mengapa kepandaian Burisrawa meningkat demikian
pesat. Seluruh kepandaian yang dimiliki Janaka, Mahadewa, dan Mahesa ternyata
telah terwaris kepadanya.
Keruyuk ayam jantan mulai
terdengar, tanda sebentar lagi pagi akan datang. Sang surya pun akan muncul di
utuk Timur. Sebuah lembaran kehidupan baru, akan dimulai lagi.
SELESAI