33 Makhluk dari Dunia Asing
1
Siang ini cuaca di persada
terasa panas sekali. Matahari tepat di atas kepala. Sinarnya yang garang,
memancar tanpa halangan oleh awan yang menggantung di angkasa. Seolah-olah,
sang raja siang ingin memanggang semua makhluk yang ada di bawahnya.
Glarrr...!
Sungguh mengherankan! Betapa
tidak? Langit tampak cerah, tapi kenapa terdengar suara seperti halilintar.
Malah tidak hanya sekali saja, tapi berulang-ulang.
Sesaat kemudian, keadaan
angkasa tampak mulai berubah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di langit
muncul awan tebal dan hitam yang berarak. Sehingga, suasana di persada
perlahan-Iahan mulai gelap. Apalagi, ketika kumpulan awan itu mulai menutupi
matahari.
Peristiwa itu berlangsung
demikian cepat. Dalam beberapa saat saja, suasana yang tadi terang benderang
segera berubah gelap pekat. Dan untuk yang kesekian kalinya, terjadi peristiwa
lain yang mengejutkan! Hujan turun dari langit secara tiba-tiba, Bahkan
langsung lebat. Sama sekali tidak didahului titik-titik hujan gerimis. Tapi,
anehnya sesaat kemudian hujan langsung berhenti.
Lebih anehnya lagi, semua
peristiwa itu hanya terjadi di Desa Maja! Halilintar yang tiba-tiba menyalak,
langit yang mendadak gelap, dan hujan lebat yang tahu tahu turun dan berhenti,
semua itu terjadi di langit di atas Desa Maja! Sementara, langit di
sekelilingnya nampak cerah.
Karuan saja kejadian janggal
ini membuat para penduduk Desa Maja menjadi heran bercampur bingung. Para penduduk yang masih berada di
sawah, ladang, kebun, dan tempat-tempat lain, bergegas berlari-lari cepat ke
rumah.
Kejadian yang aneh itu
ternyata menarik perhatian dua orang muda-mudi yang berada di dalam dangau.
Mereka sebenarnya hendak menyantap makanan, sehabis lelah bekerja. Yang
laki-laki bertubuh kekar dan berpakaian
coklat. Dia kemudian bangkit berdiri, lalu menjulurkan kepala ke luar
melalui bagian dangau yang terbuka. Segera pandangannya dilayangkan ke angkasa.
Wajah pemuda itu langsung
berubah hebat. Buru- buru dia kembali ke tempat semula, kemudian bergegas
berlari keluar dangau. Tidak dipedulikan lagi makanannya yang belum disantap.
"Cepat, Seriti...!"
seru laki-laki bertubuh kekar berpakaian coklat. Tangan kanannya menyambar
tangan wanita cantik yang tidak lain istrinya, agar berlari meninggalkan tempat
itu.
"Tapi, Kang Sampur...!
Bekal yang kita bawa dari rumah belum disantap...," bantah wanita cantik
berpakaian biru yang ternyata bernama Seriti. Namun, dia juga berlari
tertatih-tatih mengikuti langkah suaminya. Tanah tampak agak basah karena hujan
lebat, meskipun hanya sekejapan saja.
"Lupakanlah,
Seriti," potong Sampur. "Yang penting kita harus tiba lebih dulu di
rumah."
Suara laki-laki yang ternyata
bernama Sampur terdengar terengah-engah. Di samping karena tengah berlari-
lari, juga karena perasaan tegang yang melanda. "Memangnya ada apa sih,
Kang?" tanya Seriti, dengan suara terengah-engah. Nada suaranya terdengar
penuh tuntutan.
'Kau tidak melihat kejadian
aneh itu, Seriti?" Sampur malah balas bertanya.
Seriti mengangguk membenarkan.
"Ya, Kang. Aku melihatnya. Tapi..., apa anehnya? Bukankah hal seperti itu
biasa. Malah kita sering melihatnya. Langit cerah dan gelap itu kan merupakan
gejala alam, Kang?"
Meskipun agak terengah-engah,
Seriti berhasil memuntahkan semua uneg-uneg yang bersarang dalam dadanya.
"Tapi kali ini lain,
Seriti!" sergah Sampur agak keras karena terbawa amarah.
Dalam keadaan terburu-buru
seperti ini, istrinya malah justru mengajak berdebat! Dan itu yang membuat
amarahnya bangkit.
"Lainnya di mana,
Kang?" tanya istrinya lagi, seperti tidak tahu kemarahan yang melanda hati
Sampur. Tapi, mungkin saja benar-benar tidak mengetahuinya.
"Semua peristiwa itu
terjadi secara tiba-tiba! Dan hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya, Seriti!
Itu anehnya!"
Semakin meninggi suara Sampur,
karena amarah yang semakin menggelegak. Dan dengan sendirinya, sauranya pun
jadi semakin terdengar terengah-engah. Di samping karena lelah, tegang, juga
karena perasaan amarah.
Kini Seriti terdiam. Dia mulai
menangkap ada nada kemarahan yang terkandung dalam suara suaminya.
"Tidak bisa kubayangkan
hal yang akan terjadi, Seriti," sambung laki-laki berpakaian coklat itu
lagi. "Kalau alam sampai menunjukkan keanehan seperti ini, tak bisa
kubayangkan peristiwa yang akan terjadi..."
"Oh...!" pekik Seriti
kaget.
Dia memang tidak menyangka
akan sejauh itu, akibat perubahan alam yang secara mendadak.
"Dan yang lebih membuatku
merasa ngeri, peristiwa aneh dan beruntun itu hanya terjadi di desa kita. Desa
Maja! Tadi sempat kulihat kalau langit di sekelilingnya cerah."
"Maksudmu, Kang "
Seriti tidak melanjutkan
ucapannya. Sampur tidak langsung menanggapi pertanyaan istrinya. Sementara,
kakinya terus saja melangkah cepat dan beruntun.
"Aku khawatir malapetaka
akan menimpa Desa Maja...," kali ini suara Sampur lebih pelan dari
biasanya. "Entah malapetaka apa..."
Wajah Seriti jadi bertambah
pucat begitu mendengar ucapan suaminya. Dan kini keheningan menyelimuti mereka.
Apalagi Sampur tidak lagi melanjutkan ucapan. Sementara Seriti juga tidak
menanggapi. Yang terdengar hanyalah langkah kaki mereka yang menerobos
rerumputan.
"Kang..., bulu kudukku
merinding...," kata Seriti pelan dan terengah-engah ketika mereka telah
berlari cukup jauh.
Ucapan itu membuat Sampur
menoleh ke arah istrinya dengan wajah pucat. Memang, dia pun mengalami hal yang sama. Tapi, karena mengira hal itu
terjadi akibat rasa takut dan tegang, dia tidak terlalu mempedulikannya. Baru
ketika istrinya mengatakan, laki-laki itu bersikap lain.
"Kang..., aku lelah
sekali...," desah Seriti lagi ketika tidak terdengar adanya tanggapan dari
Sampur, selain tolehan kepala.
Terpaksa Sampur menghentikan
lari. Tampak keadaan Seriti memang sudah payah. Kalau dipaksakan terus, bukan
tidak mungkin istrinya akan tewas kelelahan. Bahkan tadi sudah beberapa kali
Seriti tersandung.
"Hhh...!"
Wanita berpakaian biru itu
menghembus napas lega. Kemudian dihapusnya peluh yang membasahi wajah dan
lehernya dengan saputangan. Sampur pun juga bertindak demikian. Napas sepasang
suami istri itu memburu hebat, dengan dada turun naik cepat.
"Kang..., sekarang tidak
hanya bulu kudukku saja yang berdiri," kata Seriti dengan napas yang mulai
tidak memburu lagi. "Tapi juga bulu-bulu di tanganku, Kang "
Sampur sama sekali tidak
menyambutinya. Seperti halnya Seriti, dia pun dilanda keadaan yang sama. Tapi
hal itu sengaja tidak diutarakan agar istrinya tidak semakin ketakutan.
Kini yang dilakukan laki-laki
berpakaian coklat itu justru mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya
kesunyian dan remang-remang yang terlihat, selain hamparan rumput pendek dan
beberapa pepohonan.
Namun, mendadak saja Sampur
terjingkat kaget ketika melihat sesosok tubuh keluar dari balik pepohonan.
Bahkan jantungnya kontan berdebar tegang. Pandangan matanya langsung terpaku ke
arah sosok tubuh itu.
Seriti yang merasa heran
melihat kelakuan suaminya, ikut mengalihkan tatapan ke arah yang sama dengan
mata Sampur.
"Ikh...!"
Kontan seru keterkejutan
keluar dari mulut Seriti ketika pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh yang
juga ditatap Sampur.
***
Wajar saja kalau Sampur dan
Seriti dilanda ke- terkejutan yang amat sangat. Mereka memang melihat sosok
tubuh yang berdiri di dekat sebatang pohon, dengan berbagai macam keanehan.
Sosok itu memang hanya
memiliki tubuh sedang. Namun anehnya, kulitnya berwarna putih berkilauan. Itu
bisa dilihat karena tak ada pakaian yang menutupi bagian atas tubuhnya. Di
dadanya tampak bulu-bulu hltam dan lebat, sehingga menambah keangkerannya saja.
Yang lebih mengerikan lagi, di
bagian kepalanya yang botak itu nampak bertengger dua buah telinga berujung
lancip. Sepasang matanya berkilatan aneh seperti bersinar. Bahkan gigi-giginya
tampak runcing-runcing. Dua buah taring berkilatan tampak menjulur keluar.
Sosok yang tidak pantas
disebut manusia itu melangkah mendekati Sampur dan Seriti yang masih terpaku.
Jelas, sepasang suami istri itu dilanda keterkejutan yang amat sangat.
Semakin lama, jarak Sampur dan
Seriti dengan makhluk aneh itu semakin dekat. Namun, sepasang suami istri itu
tetap saja belum sadar dari keterpakuannya. Sepasang mata mereka terbelalak,
dengan mulut lemganga lebar.
"Hmrrrhhh...!"
Kembali makhluk itu menggeram.
Tapi kali ini sambil menjulurkan tangannya yang berkuku runcing dan berwarna
hitam ke depan. Kemudian tangannya dltarik ke dalam, seperti orang melambai.
Akibatnya hebat bukan
kepalang! Sampur dan Seriti seperti tertahan oleh sesuatu yang tidak tampak.
Meskipun kedua kaki tetap berlari, tapi gerakan mereka tetap berada di
situ-situ saja. Sampur dan Seriti seperti orang berlari-lari di tempat.
Makhluk itu menyeringai,
sehingga membuat wajahnya yang sudah seram jadi semakin terlihat mengerikan.
Gerakan-gerakan kedua tangannya tetap diteruskan, tapi kali ini lebih bertenaga
daripada sebelumnya.
"Aaa...!"
Sampur dan Seriti menjerit
berbareng ketika tubuh mereka tertarik ke belakang, sehingga terjatuh di tanah.
Ada kekuatan yang tidak tampak, sehingga membuat tubuh mereka tertarik ke
belakang. Bahkan ketika mereka jatuh, kekuatan yang menarik itu pun tidak juga
lenyap.
Tak pelak lagi, tubuh Sampur
dan Seriti tertarik hingga bergulingan di tanah. Arahnya menuju makhluk
berkepala botak itu. Dan kekuatan yang tidak tampak itu baru lenyap, ketika
tubuh Sampur dan Seriti telah berada tepat di bawah kakinya.
"Hmrrrhhh...! Katakan,
siapa di antara kalian yang bernama Eyang Bantara?! Hmrrrhhh...! Cepat katakan!
Sebelum kesabaranku hilang!" ancam makhluk botak yang ternyata bisa
berbicara dengan bahasa manusia.
"Aku tidak kenal orang
yang kau maksudkan, Kisanak..," sahut Sampur, terbata-bata.
"Hmrrrhhh...!' geram
makhluk itu keras. Sepasang matanya berkilat-kilat, menyiratkan kemarahan
hebat. "Berani kau membohongi Gandula?!"
Setelah berkata demikian,
makhluk bernama Gandula itu menjulurkan tangannya ke arah Sampur yang masih
belum mampu bangkit. Lalu....
"Aaakh !"
Jari-jari tangan Gandula yang
berkuku runcing dan hitam itu langsung mencengkeram perut Sampur hingga amblas
ke dalamnya. Darah pun mengalir keluar dari bagian yang terluka. Sampur
merasakan sakit yang amat sangat pada perutnya. Wajahnya menyeringai, dipenuhi
butir-butir peluh sebesar biji jagung. Gandula mempererat cengkeramannya,
sehingga membuat Sampur melolong-lolong kesakitan.
"Hmrrrhhh...! Cepat
katakan, Manusia! Di mana Eyang Bantara, sebelum aku bertindak lebih kejam
lagi!" ancam Gandula masih memberi kesempatan pada Sampur.
Sampur menggigit bibirnya
kuat-kuat hingga berdarah. Namun hal itu tidak dihiraukannya. Bahkan rasa sakit
amat sangat pada perutnya jadi terlupakan ketika mendengar ucapan Gandula.
Makhluk botak itu menyebutnya
manusia! Memangnya, dia
bukan manusia?
Bergidiklah Sampur ketika
mendapat dugaan seperti itu "Hmrrrhhh...! Katakan, Manusia!" ancam
Gandula lagi
sambil mempererat
cengkeramannya. Akibatnya Sampur kembali berdesis karena rasa sakit yang
menyengat.
"Aku benar-benar tidak
tahu...,"- sahut Sampur terputus-putus.
"Hmrrrhhh ...!"
Gandula menggeram hebat.
Tangan yang mencengkeram daging perut Sampur ditarik, seraya mem- pererat
cengkeramannya.
"Aaakh...!" jerit
Sampur keras ketika perutnya koyak, karena sebagian dagingnya terbawa tangan
Gandula.
Tubuh laki-laki berpakaian
coklat ini pun menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang mendera. Darah
semakin banyak menyembur keluar dari bagian yang terluka.
"Kang Sampur...!"
jerit Seriti keras melihat kenya taan menyedihkan yang menimpa suaminya.
Memang, hanya sampai sebatas
itu saja yang mampu dilakukan Seriti. Karena, dia sendiri pun belum mampu
bangkit dari berbaringnya. Meskipun kekuatan tak tampak yang menariknya telah
tidak ada lagi, tapi akibatnya masih terasa. Sekujur tubuhnya lemah tak
bertenaga, bagai tidak mempunyai tulang dan otot sama sekali....
Tanpa menghiraukan jerit
kesakitan dan tubuh Sampur yang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih,
Gandula membawa daging perut Sampur yang berada dalam cengkeraman ke mulut.
Kemudian daging itu dikunyahnya.
Hampir saja seluruh isi perut
Seriti keluar melihat kelakuan makhluk berkepala botak itu. Apalagi ketika dengan enaknya Gandula mengunyah.
Sepasang mata makhluk botak itu merem-melek seperti tengah menikmati makanan
yang amat lezat! Maka hanya dalam waktu singkat daging perut Sampur telah
lenyap ke dalam perut Gandula.
"Hmrrrhhh...!" geram
Gandula sambil mendecap- decapkan lidah. Tak puas hanya dengan itu, tangannya
yang masih berlumuran darah juga dijilati hingga ludas!
"Hmrrrhhh...!"
Kembali Gandula menggeram.
Sepasang matanya berkilat aneh ketika menatap Sampur.
"Hmrrrhhh...! Tidak
kusangka, ternyata manusia mempunyai daging yang begini lezat..!"
Bulu tengkuk Sampur dan Seriti
kontan berdiri mendengar ucapan itu. Jelas, ucapan itu mengandung pengertian
kalau makhluk berkepala botak ini bukan manusia! Lalu, apa?
Besarnya rasa takut yang
mendera ketika dugaan itu muncul membuat Sampur dan Seriti seketika ngeri.
Jantung mereka terasa copot, menyadari kalau makhluk berkepala botak ini
memakan daging manusia.
Dengan sorot mata mengancam,
kini Gandula membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tangannya yang berbentuk cakar
itu terulur ke arah tubuh Sampur. Dan..., mulai merobek-robek sekujur tubuh Sampur,
kemudian dimakannya!
Sampur kontan menjerit-jerit,
merasakan sakit yang amat sangat. Sedangkan Seriti juga menjerit, karena
perasaan ngeri yang menggelegak melihat Sampur meraung- raung saat tubuhnya
sedikit demi sedikit dipereteli.
Suara gerengan seperti seekor
kucing lapar tengah memakan sepotong ikan, terdengar ketika Gandula melahap
tubuh Sampur. Gandula sama sekali tidak mempedulikan tubuh korbannya yang
menggelepar-gelepar menahan sakit. Makhluk berkepala botak itu terus saja
menyantap dengan nikmatnya. Bahkan ketika suara Sampur melemah dan akhirnya
tidak terdengar lagi, Gandula belum juga menghentikan kesibukannya.
Baru ketika tidak ada lagi
daging yang tersisa di tubuh Sampur, Gandula menghentikan kesibukannya.
Dipandanginya sejenak tubuh yang hanya tinggal tulang belulang itu.
"Hmrrrhhh...!"
Terdengar suara geram kepuasan dari mulut Gandula. Mulutnya mendecap-decap.
Bahkan lidahnya pun ikut menjilat-jilat untuk membersihkan sisa-sisa darah yang
masih berada di mulut dan di jari-jari tangan.
Kemudian Gandula bangkit
berdiri. Dipandanginya sejenak tubuh Seriti yang tergolek tidak bergerak di
tanah. Memang, wanita berpakaian biru itu telah sejak tadi jatuh pingsan karena
tak kuat menahan guncangan hati melihat pemandangan mengerikan di depannya.
Pemandangan yang belum pernah disaksikan, sekalipun dalam mimpinya yang paling
buruk
Sesaat lamanya, Gandula
berlaku demikian sebelum akhirnya melangkah perlahan meninggalkan tempat itu,
tanpa mengganggu sedikit pun tubuh Seriti.
Sementara, halilintar terus
menyalak. Sehingga, bumi yang semula remang-remang menjadi terang-benderang
dalam sekejap.
2
"Kalau semua yang
dikatakan Seriti benar..., aku tidak tahu makhluk macam apa yang telah memangsa
Sampur siang tadi..," keluh seorang laki-laki setengah baya berpakaian
coklat. Wajahnya yang berbentuk persegi, ditambah lagi cambang bauk lebat,
membuatnya tampak gagah.
Sambil berkata demikian,
laki-laki berpakaian coklat itu mengedarkan pandangan ke arah beberapa sosok
tubuh yang duduk bersila di sekelilingnya. Memang, mereka semua tengah
berbincang-bincang di sebuah ruangan tengah yang cukup luas di dalam sebuah
rumah.
"Mungkinkah dia makhluk
biadab, Anabrang?" duga seorang laki-laki setengah baya berdandan urakan.
Kumis dan jenggotnya seperti dibiarkan tak terurus. Matanya yang agak lebar
menatap orang yang dipanggil Anabrang.
"Aku masih belum mengerti
maksudmu, Saraji?" Laki- laki berpakaian coklat yang sebenarnya Kepala
Desa Maja dan bernama Ganda Anabrang malah balas menatap wajah laki-laki urakan
yang ternyata bernama Saraji.
Saraji memang dikenal sebagai
orang yang gemar mengembara. Telah banyak tempat yang dijelajahinya.
Maka, tidak aneh kalau
memiliki pengetahuan luas. Di samping itu, dia juga diketahui memiliki
kepandaian slat yang tidak rendah, dan termasuk orang penting dl Desa Maja.
Bukan hanya Ganda Anabrang saja yang menatap
Saraji. Tapi, empat orang lain
yang duduk bersila di situ pun menatap ke arah yang sama, dengan sorot mata
mengandung rasa keingintahuan yang mendalam.
"Ini hanya dugaanku
saja..., jadi belum tentu benar," kata Saraji lagi, seraya mengedarkan
pandangan ke arah wajah-wajah yang menggambarkan rasa ingin tahu yang amat
besar.
"Kami paham, Saraji.
Katakanlah dugaanmu itu," ujar laki-laki bertubuh gemuk yang mengenakan
pakaian mewah. Nada suaranya menyiratkan ketidaksabaran.
"Apa yang dikatakan
Juragan Donggala benar, Saraji," sambut yang lain. Dia adalah seorang
laki-laki berwajah gagah. Tubuhnya yang kekar terbungkus pakaian silat,
sehingga semakin menampakkan kegagahannya.
Memang, dia adalah seorang guru silat Desa Maja. Raksakipu namanya.
"Kalau menurutku...,
makhluk yang ditemui Seriti adalah manusia biadab yang masih suka makan daging
manusia. Aku pernah menjumpai sekumpulan orang seperti itu dalam pengembaraanku.
Mungkin yang ditemui Seriti salah seorang dari mereka yang terpisah dari
kelompoknya...," urai Saraji panjang lebar.
Ganda Anabrang dan empat orang
lainnya me- ngernyitkan dahi beberapa saat, setelah Saraji menyelesaikan
penjelasannya.
"Aku kurang setuju dengan
pendapatmu, Saraji," sanggah Ganda Anabrang, setelah beberapa saat lamanya
terdiam. "Hm.... Aku bisa memakluminya, Anabrang," sahut Saraji.
"Tapi..., boleh kutahu alasanmu sehingga tidak setuju dengan
pendapatku?"
"Aku memang mempunyai alasan
cukup kuat, Saraji," kata Kepala Desa Maja itu seraya mengangguk-anggukkan
kepala. "Bahkan sangat kuat"
Ganda Anabrang menghentikan
ucapannya sejenak. Pandangannya beredar berkeliling, menatap satu persatu
wajah-wajah yang berada di sekelilingnya.
"Apakah kalian setuju
dengan dugaan Saraji?" tanya Ganda Anabrang.
Juragan Donggala mengangkat
bahu.
"Sebenarnya aku agak
kurang setuju.... Tapi..., aku juga tidak mempunyai dugaan apa-apa. Jadi...,
yahhh Aku
tidak bisa bicara
apa-apa," kata laki-laki bertubuh gemuk itu pelan.
"Kau, Raksakipu?"
Ganda Anabrang mengalihkan tatapan ke arah guru silat Desa Maja.
"Sama seperti Juragan
Donggala, aku pun tidak setuju dengan pendapat yang dikemukakan Saraji,"
jawab Raksakipu seraya mengerling ke arah laki-laki berwajah urakan. "Tapi
aku mempunyai alasan, mengapa aku tidak menyetujui dugaannya."
"Katakan, Raksakipu. Apa
alasanmu," desah Kepala Desa Maja.
Guru silat Desa Maja itu tidak
langsung menjawab pertanyaan Ganda Anabrang. Dia malah menarik napas panjang-panjang
dan menghembuskannya kuat-kuat
"Cerita Seritilah yang
menjadi alasan ketidak- setujuanku."
"Cerita Seriti?!"
potong Saraji cepat
Memang meskipun wajahnya tidak
tampak perasaan apa-apa, tapi sebenarnya hati laki-laki urakan ini agak dongkol
juga melihat rekan-rekannya tidak ada yang menyetujui pendapatnya.
"Cerita Seriti yang mana,
Raksakipu?"
Sungguhpun hanya Saraji yang
bertanya, tapi bukan berarti rekan-rekannya yang lain tidak ingin mengetahui
alasan Raksakipu. Hanya saja, mereka kalah dulu mengucapkannya. Dan kini,
mereka semua diam menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut Raksakipu.
"Kedatangan makhluk aneh itu kemari, karena tidak mampu menunjukkan apa
yang telah dicarinya. Kalian tahu kan, apa yang tengah dicarinya?"
Kepala semua orang yang berada
di situ terangguk. "Ya. Makhluk aneh itu mencari Eyang Bantara,"
Juragan Donggala yang
menyambutinya.
"Tepat! Jadi, tindakannya
memangsa Sampur berarti bukan tujuan utama," sambung Raksakipu lagi.
"Padahal, sepanjang yang kutahu..., manusia-manusia biadab itu tidak
pernah mempedulikan urusan apa pun selain makan."
Kembali semua kepala terangguk
pertanda menyetujui pendapat Raksakipu. Bahkan Saraji pun menganggukkan kepala,
karena menyadari adanya kebenaran ucapan guru silat Desa Maja itu.
"Sekarang giliranmu,
Anabrang," pinta Raksakipu mempersilakan. "Kami juga ingin mendengar
alasanmu."
"Hhh...!" Ganda
Anabrang menghela napas berat. "Alasan ketidaksetujuanku atas pendapat
Saraji, benar-benar membuatku merasa ngeri. Dan kuharap, dugaanku ini
salah."
Kepala Desa Maja menghentikan
ucapannya. Gerak- geriknya menunjukkan kalau hatinya merasa berat untuk
mengemukakan alasannya. Karuan saja hal ini membuat semua yang hadir di situ
merasa heran bukan kepalang.
"Katakanlah,
Anabrang," desah Saraji. "Janganlah menyimpan perasaan takut itu
sendiri. Bagi-bagilah pada kami. Percayalah. Kami semua berdiri di belakangmu.
Dan kita semua bertanggung jawab atas keamanan desa ini."
"Benar, Anabrang,"
timpal Juragan Donggala. "Apa yang dikatakan Saraji tadi benar.
Katakanlah, Anabrang. Daripada hal itu menjadi beban di hati ini?"
Ganda Anabrang menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja hal itu
dilakukan. Tapi berulang-ulang agar perasaannya benar- benar tenang.
"Aku yakin, makhluk yang
telah memangsa Sampur bukan berasal dari alam kita," ujar Ganda Anabrang
membuka pembicaraan dengan suara serak.
"Apa?!" Hampir
berbareng, Juragan Donggala, Saraji, dan Raksakipu berseru keras. Di raut-raut
wajah mereka tampak terbayang keterkejutan yang amat sangat.
"Tidak salahkah ucapanmu
itu, Anabrang," sergah Saraji yang mempunyai watak urakan. "Bukan
dari alam kita? Lalu..., dari alam mana?"
"Mana kutahu,
Saraji?!" Ganda Anabrang malah balas bertanya. "Tapi yang jelas, dia
bukan manusia seperti kita!"
"Lalu, mengapa kau
menduga demikian?" rimpal Raksakipu cepat.
Memang, seperti juga saraji,
guru silat Desa Maja ini merasa heran mendengar ucapan Kepala Desa Maja itu.
"Kalian tidak ingat
peristiwa aneh tadi siang?" tanya Ganda Anabrang kembali, yang disambut
anggukan kepala tiga orang yang berada di dekatnya. "Aku yakin, kejadian
alam yang begitu mendadak ada hubungannya dengan kemunculan makhluk yang
memangsa Sampur!"
Kepala Desa Maja itu
menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. Dan sebelum rekan-
rekannya mengucapkan sesuatu, dengan penuh semangat dan berapi-api ucapannya
dilanjutkan.
"Alam tidak akan
menunjukkan perubahan aneh seperti itu kalau tidak ada peristiwa luar biasa!
Masuknya makhluk dari alam lain ke alam kita, sepertinya merupakan sebuah
kejadian luar biasa!"
Suasana kontan hening ketika
Ganda Anabrang menghentikan ucapannya. Wajah Saraji, Rupaksa, dan Juragan
Donggala, menyiratkan keterkejutan yang amat sangat. Bahkan bukan hanya
keterkejutan saja yang nampak di sana. Tapi juga kengerian bila hal itu
benar-benar terjadi.
"Jadi.., kau menduga
makhluk itu sebangsa jin, setan..., atau dedemit, Anabrang?" tanya Saraji.
Suara laki-laki itu terdengar
serak. Padahal telah berkali-kali dia berdehem untuk melonggarkan
tenggorokannya yang seperti tersangkut sesuatu.
Ganda Anabrang menatap tajam
wajah Saraji beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya menganggukkan kepala
disertai helaan napas berat.
"Tapi..., mengapa makhluk
itu sampai keluar dari alamnya dan memasuki alam kita?" tanya Juragan
Donggala dengan suara kering. "Mengapa kau tanyakan hal itu padaku,
Juragan Donggala?" Ganda Anabrang malah balas bertanya. "Aku sama
seperti kalian juga. Tidak tahu apa-apa. Kalau hanya menduga-duga..., mungkin
aku bisa."
"Katakanlah dugaanmu itu,
Anabrang," Raksakipu ikut angkat bicara.
Kepala Desa Maja itu tidak
langsung menanggapi permintaan Raksakipu Kepalanya lantas menoleh menatap
wajah-wajah yang terpampang di hadapannya. Wajah-wajah yang dicekam kengerian.
"Kalau makhluk itu bisa
sampai keluar dari alamnya, sudah pasti ada alasan yang mendorongnya. Dan ini
pasti berhubungan erat dengan orang yang bernama Eyang Bantara. Mungkin Eyang
Bantara telah bertindak sesuatu yang merugikan makhluk itu."
Saraji, Raksakipu, dan Juragan
Donggala sama sekali tidak mengangguk atau menggelengkan kepala mendengar
pendapat yang gamblang oleh Anabrang. Walaupun hati mereka membenarkan
kemungkinan itu.
"Memang..., alasan dan
dugaan yang kau kemukakan lebih masuk akal ketimbang dugaan yang dikemukakan
Saraji, Anabrang," kata Raksakipu pelan.
Kali ini semua orang
menganggukkan kepala. Tak lerkecuali, Saraji. Diakui dugaan yang dikemukakan
Ganda Anabrang memang lebih masuk akal.
"Aku malah berharap kalau
dugaanku itu salah, Kaksakipu," sambut Ganda Anabrang.
"Kami pun mengharapkan
hal yang sama, Anabrang," timpal Juragan Donggala. "Aku lebih suka
dugaan Sarajilah yang benar. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana kita harus
melawan makhluk itu."
'Yahhh...! Sebagai makhluk
dari alam galb, sudah pasti dia memiliki banyak keanehan. Igauan Seriti bisa
kita ambil sebagai dasarnya," tandas Raksakipu pula.
Untuk yang kesekian kalinya,
keempat orang itu termenung. Benak mereka semua melayang ke arah Seriti. Wanita
berpakaian biru itu memang belum sadar. Sungguhpun sebenarnya sudah sadar, tapi
sama sekali tidak ingat apa-apa kecuali teriakan-teriakannya tentang semua
kejadian yang dialami. Jelas, batin Seriti terguncang hebat. "Ada apa,
Saraji?" tanya Ganda Anabrang ketika melihat laki-laki urakan itu terlihat
resah.
"Entahlah, Ki,"
sahut Saraji gugup. "Tapi.., naluriku membisikkan adanya bahaya mengancam
"
Kontan ucapan Saraji membuat
semua yang berada di situ tersentak. Memang, sudah sejak tadi mereka semua
dilanda perasaan tegang. Tak aneh kalau ucapan itu membuat kengerian mereka
semakin memuncak!
Bagai diberi aba-aba,
kepala-kepala mereka semua dialihkan ke arah pintu. Sikap mereka semua tampak
waspada dan telah siap menghadapi segala kemungkinan. Semua tangan telah
mencekal erat-erat gagang senjata masing-masing. Wajah-wajah mereka juga tampak
tegang menatap ke arah pintu!
Ada satu hal yang membuat
mereka langsung percaya pada ucapan Saraji mengenai adanya bahaya, sekalipun
belum mendengar suara apa-apa. Saraji adalah seorang perantau tulen. Dia telah
berpuluh tahun masuk keluar hutan, turun naik gunung, dan bergaul dengan
berbagai macam suku. Tak terhitung sudah bahaya-bahaya maut yang dihadaplnya.
Dan berkat pengalamannya itulah sehingga nalurinya amat tajam. Dia bisa
mengetahui adanya bahaya sebelum orang lain tahu. Saraji benar-benar mempunyai
naluri seperti binatang! Dan hal itu diketahui secara pasti oleh keempat orang
rekannya.
***
"Bulu kudukku merinding,
Anabrang," kata Juragan Donggala dengan suara berdebar tegang.
Raksakipu, Ganda Anabrang, dan
Saraji menatap ke arah Juragan Donggala dengan sorot mata tegang dan ngeri.
Karena, kejadian yang dialami laki-laki berpakaian mewah itu dialami pula oleh
mereka.
"Mungkinkah..., makhluk
itu menuju kemari, Ana- brang?" tanya Raksakipu dengan suara serak
"Bisa jadi...,"
sahut Ganda Anabrang tak kalah serak, setelah beberapa kali gagal menelan ludah
untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
Trak! Klotrak...! Empat pasang
mata yang berada di dalam rumah Ki Ganda Anabrang terbelalak lebar begitu
melihat palang pintu terangkat naik dan jatuh ke lantai. Padahal, jelas-jelas
mereka semua melihat kalau tidak ada sepotong makhluk pun yang mengangkatnya.
Dan belum lagi keterkejutan mereka lenyap, daun pintu bergerak membuka pelan-pelan
sampai akhirnya menyentuh dinding.
Ganda Anabrang, Juragan
Donggala, Raksakipu, dan Saraji menatap dengan wajah tegang ke arah pintu. Dan
kontan jantung mereka berdetak keras ketika melihat sesosok tubuh yang berdiri
sekitar dua tombak dari ambang pintu.
Benak Ganda Anabrang, Juragan
Donggala, RakJ sakipu, dan Saraji sama-sama diliputi ketegangan hebat. Dua
kejadian aneh yang baru saja disaksikan, telah menambah tebalnya keyakinan
mereka akan kebenaran dugaan Ganda Anabrang,
Memang, sosok tubuh yang berdiri
berjarak dua tombak dari daun pintu rumah Ganda Anabrang adalah Gandula.
Makhluk berkepala botak yang telah memangsa Sampur.
"Hmrrrhhh...!"
Sambil menggeram, Gandula
melangkah menghampiri ambang pintu. Maka karuan saja tindakan Gandula membuat Ganda Anabrang dan
rekan-rekannya bangkit berdiri.
"Kurasa dugaanmu benar,
Anabrang," kata Saraji. "Makhluk ini bukan manusia, tapi
siluman!"
"Jangan menampakkan sikap
bermusuh padanya," bisik Ganda Anabrang. "Aku yakin, dia tidak
bermaksud jahat..."
"Tapi..., bagaimana kalau
dia menyerang kita, Anabrang," tanya Juragan Donggala, pelan.
"Tentu saja kita harus
melawannya. Donggala. Kalau dia yang menyerang kita, masalahnya jadi lain. Yang
penting, jangan melakukan gerakan-gerakan permusuhan terhadapnya. Dan ucapanku
ini bukan hanya tertuju padamu, Donggala. Tapi juga untuk yang lain."
Juragan Donggala, Saraji, dan
Raksakipu men- angguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Maka, meskipun
keinginan untuk segera menghunus senjata sangat besar, keempat orang itu
bertahan untuk tidak melakukannya.
Mereka berdiri menunggu kedatangan Gandula sambil mengembangkan senyum. Tapi
karena perasaan tegang yang melanda, senyum yang tercipta lebih mirip seringai.
Selangkah demi sdangkah jarak
antara Gandula dengan mereka semakin dekat. Dan seiring dengan itu, perasaan
tegang yang melanda pun semakin menjadi-jadi. Jantung keempat orang itu semakin
berdetak cepat dan keras.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras begitu
kakinya telah melangkah melewati ambang pintu. Hal ini membuat kedua kaki
Juragan Donggala kontan lemas. Bukan karena geraman itu ditopang tenaga dalam
tinggi, tapi karena laki-laki berpakaian mewah itu sudah tidak kuasa lagi
menahan rasa takut yang melanda hatinya.
Sementara, Juragan Donggala,
Saraji, Ganda Ana- brang, dan Raksakipu masih bisa menguasai diri. Sehingga,
meskipun geraman Gandula membuat ketegangan yang melanda hati semakin memuncak,
hal itu dapat ditanggulanginya.
Ketegangan Saraji, Ganda
Anabrang, dan Raksakipu semakin besar ketika melihat keadaan Juragan Donggala.
Mereka khawatir laki-laki berpakaian mewah itu tidak mampu menguasai diri dan
jatuh pingsan.
Tapi kekhawatiran itu lenyap.
Ternyata Juragan Donggala berhasil menguasai diri dan tidak sampai jatuh.
"Siapa di antara kalian
yang bernama Eyang Bantara?" tanya Gandula dengan suara parau. Sepasang
matanya menatap berganti-ganti ke arah wajah-wajah yang berdiri di hadapannya.
"Sayang sekali, Kisanak
Tidak ada di antara kami yang bernama
Eyang Bantara," jawab Ganda Anabrang pelan, sambil menyunggingkan senyum.
"Hmmmrrrhhh...! Jangan
coba-coba hendak menipu Gandula, Manusia! Akan mengerikan akibatnya!"
ancam makhluk berkepala botak itu keras penuh ancaman.
"Kami sama sekali tidak
bohong, Kisanak," kata Ganda Anabrang masih dengan suara lembut.
"Tidak ada di antara kami yang bernama Eyang Bantara. Aku bernama Ganda
Anabrang."
"Aku Saraji,"
sainbung Saraji cepat "Aku Raksakipu."
"Aku Donggala,"
sebut Juragan Donggala lemah. "Hmrrrhhh...!"
Kembali Gandula menggeram
setelah mengedarkan sepasang matanya ke arah keempat orang yang telah
memperkenalkan nama itu.
"Aku tidak peduli nama
kalian! Yang kuperlukan, Eyang Bantara! Cepat tunjukkan sebelum kesabaranku
hilang!"
"Sayang sekali, Kisanak!
Jangankan memberitahukannya padamu, mendengar namanya pun baru kali ini. Itu
pun dari mulutmu sendiri. Barangkali, Eyang Bantara tidak berada di desa
ini."
"Hmrrrhhh...! Kalian
mencoba menipuku rupanya. Kalian semua sudah bosan hidup! Aku tahu pasti, Eyang
Bantara tinggal di Desa Maja. Bukankah ini desa yang kumaksudkan?!" sergah
Gandula, terdengar keras suaranya.
"Tidak salah,
Kisanak!" sambut Ganda Anabrang masih tetap tenang. "Tapi sungguh
mati, tidak ada orang yang bernama Eyang
Bantara di desa kami. Kami tidak bohong!"
"Hmrrrhhh...! Kalian telah
membuat kesabaranku habis! Rupanya kalian menginginkan kekerasan!"
Keempat tetua Desa Maja itu
merasa heran melihat kelakuan Gandula. Tapi sesaat kemudian, keheranan itu
berganti keterkejutan ketika melihat senjata-senjata mereka mendadak keluar
dari sarungnya! Tentu saja Ganda Anabrang dan ketiga warga desanya terperanjat.
Untuk sesaat lamanya, mereka hanya
terpaku. Belum pernah seumur hidup mereka melihat senjata keluar dari sarungnya
tanpa si pemilik yang mengeluarkannya. Itulah sebabnya, untuk beberapa saat
mereka sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun. 3
Begitu telah berada di udara,
mendadak saja empat buah senjata yang terdiri dari pedang dan golok, meluncur
ke arah masing-masing pemiliknya.
Singgg...!
Suara berdesing nyaring
mengiringi meluncurnya senjata-senjata itu ke arah sasaran. Karuan saja hal itu
membuat Ganda Anabrang dan tiga orang warga desanya terperanjat dan bergegas
menyelamatkan diri. Mereka semua membanting tubuh di lantai, kemudian
bergulingan menjauh.
Cappp!
Empat buah senjata itu
langsung menancap di dinding, hingga setengahnya lebih.
"Mengapa kau menyerang
kami, Kisanak?!" tanya Ganda Anabrang begitu telah bangkit dari
bergulingnya.
"Hmrrrhhh...!"
Hanya geram kemarahan Gandula
saja yang menyambuti pertanyaan Kepala Desa Maja itu.
"Tidak ada gunanya
berbasa-basi dengan makhluk jahanam ini, Anabrang!" seru Saraji.
Selesai berkata demikian,
laki-laki urakan ini ke- mudian melompat menerjang. Kedua tangannya yang
terkepal, diluncurkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Gandula. Angin
berkesiutan tampak mengiringi Bbanya serangan itu.
"Hmrrrhhh...! Pergilah
kau ke neraka, Manusia Lancang!" seru Gandula seraya menudingkan tangannya
ke arah dinding yang tertembus senjata.
Ajaib! Bagai dilemparkan
sebuah kekuatan raksasa, tubuh Saraji yang tengah menerjang Gandula, terlempar
ke arah dinding, tempat jari tangan Gandula menuding. Sementara laki-laki
urakan itu belum mampu berbuat apa- apa. Maka....
Jreppp! "Aaakh !"
Saraji menjerit memilukan
ketika punggungnya membentur tembok yang tertancap pedang. Darah langsung
muncrat-muncrat dari perut yang tertembus gagang pedang. Saraji
menggelepar-gelepar menjelang maut sesaat, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Mengenaskan sekali nasib laki-laki urakan itu. Dia tewas dalam keadaan terpaku
di dinding. Darah yang keluar dari luka di tubuhnya mengalir ke bawah melalui
dinding.
"Saraji...!"
Hampir berbareng Ganda
Anabrang, Raksakipu, dan Juragan Donggala menjerit keras ketika melihat nasib
buruk yang menimpa Saraji.
"Ilmu iblis...!"
desis Raksakipu geram bercampur
ngeri.
Sebagai seorang guru silat,
meskipun tidak tertalu
tinggi, Raksakipu tahu kalau
ilmu yang dimiliki Gandula tidak mungkin dimiliki manusia. Betapapun tingginya
kepandaian manusia itu. Ilmu seperti itu hanya bisa dimiliki makhluk-makhluk
dunia gaib. Biasanya, makhluk gaib memang banyak memiliki kemampuan yang tidak
masuk akal!
"Hmrrrhhh...! Kau pun
ingin menyusul temanmu?
Pergilah!"
Kembali tangan Gandula
ditudingkan. Kali ini ke arah lantai! Maka hal yang mengerikan kembali terjadi!
Raksakipu tiba-tiba saja membenturkan kepalanya ke lantai.
Kalau tidak melihat wajah
Raksakipu yang tampak jelas melakukan perlawanan, tentu Ganda Anabrang dan
Juragan Donggala akan menyangka kalau Raksakipu ingin bunuh diri!
"Raksakipu!
Tahan...!"
Hampir berbareng, Ganda
Anabrang dan Juragan Donggala berteriak keras seraya melompat ke depan untuk
mencegah guru silat itu melakukan rindakan seperti bunuh diri.
Namun sayang rindakan kedua
orang itu terlambat. Suara kepala pecah disusul muncrat-muncratnya darah segar
dari kepala yang hancur langsung terdengar, begitu kepala Raksakipu berbenturan
dengan lantai. Maka tanpa sempat menjerit lagi, tubuh Raksakipu terkulai. Saat
itu juga nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
Ganda Anatrang dan Juragan
Donggala memandang Gandula dengan sorot mata ngeri. Kedua orang itu tahu,
Gandula akan bisa melenyapkan mereka secara mudah dengan ilmunya yang
mengerikan.
"Hmrrrhhh...! Kalian
berdua tidak akan kubunuh," kata Gandula. "Karena aku membutuhkan
bantuan kalian untuk mencari Eyang Bantara. Hmrrrhhh...!"
Ganda Anabrang dan Juragan
Donggala saling pandang.
"Hmrrrhhh! Jangan harap
bisa menipuku, Manusia! Aku tidak sebodoh yang kalian kira! Hmrrrhhh...! Kemari
kalian!"
Kembali Ganda Anabrang dan
Juragan Donggala saling pandang. Dari adu pandang yang sekilas itu, keduanya
memutuskan untuk mematuhi perintah Gandula. Mereka memutuskan untuk
berpura-pura takluk, sambil mencari jalan untuk melenyapkan Gandula.
Ganda Anabrang tahu kalau
Juragan Donggala tidak akan mau disuruh melangkah lebih dulu. Oleh karena itu,
Kepala Desa Maja itu melangkah maju. Sedangkan Juragan Donggala mengikuti di
belakangnya.
"Hmrrrhhh! Kau yang
bernama Ganda Anabrang?" tanya Gandula ketika Kepala Desa Maja itu telah
barjarak setengah tombak darinya.
Ganda Anabrang menelan ludah
untuk membasahi tenggorokannya yang memang sudah kering sejak tadi. Baru
kemudian kepalanya dianggukkan.
"Benar, aku Ganda
Anabrang," sahut Kepala Desa Maja itu.
"Kau Kepala Desa
Maja?" tanya Gandula lagi disertai geraman.
Kembali Ganda Anabrang
menganggukkan kepala. "Cepat tunjukkan padaku orang yang bernama Eyang
Bantara! Hmrrrhhh...! Kalau
tidak, kau akan bernasib seperti kedua orang kawanmu itu!" ancam Gandula.
Ganda Anabrang membasahi bibirnya
yang kering dengan lidahnya.
"Sudah kukatakan, aku
tidak kenal orang yang kau maksudkan," terdengar lesu ucapan Ganda
Anabrang. Dia tahu, nasibnya tak akan jauh berbeda dengan Saraji dan Raksakipu.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram. Sepasang matanya bernyala- nyala ketika menatap ke arah
wajah Kepala Desa Maja itu. Beberapa saat lamanya, pandangannya terpaku di
sana. Baru kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Juragan Donggala yang
berdiri di belakang Ganda Anabrang.
"Bagaimana denganmu?
Apakah bisa memberi tahu padaku tempat tinggal Eyang Bantara?"
Juragan Donggala yang sejak
tadi sudah merasa gentar bukan kepalang, sama sekali tidak mampu mengeluarkan
suara, karena saklng takutnya. Kedua kakinya tampak menggigil keras menandakan
besarnya perasaan takut yang melanda. Dia hanya mampu menggeleng- gelengkan
kepala pertanda tidak tahu.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula kembali menggeram.
Sepasang matanya menatap wajah Ganda Anabrang dan Juragan Donggala
berganti-ganti.
"Kalian jangan coba-coba
menipuku. Eyang Bantara tinggal dan berasal dari Desa Maja. Bukankah ini Desa
Maja?"
Ganda Anabrang kembali menelan
ludah. Ini memang Desa Maja. Tapi, tidak ada seorang pun di sini yang bernama
Eyang Bantara "
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggerung keras. "Mampuslah kalian!"
Usai berkata demikian, makhluk
berkepala botak itu menggerakkan tangannya.
Untuk yang kesekian kalinya
peristiwa yang mengerikan kembali terjadi. Tubuh Ganda Anabrang dan Juragan
Donggala mendadak terangkat naik ke atas. Betapapun berusaha turun dengan
memberatkan tubuh, tetap saja mereka tidak mampu mencegah terangkatnya tubuh
mereka.
Ganda Anabrang dan Juragan
Donggala tahu kalau usaha mereka gagal. Yang kini dapat dilakukan hanya saling
pandang dengan wajah pucat pasi dan sepasang mata menyiratkan kengerian yang
menggelegak. Rasanya tak sanggup dua orang sesepuh Desa Maja ini membayangkan
kejadian yang akan menimpa. Kematian Saraji dan Raksakipu telah membuat
sebagian besar nyali mereka melayang entah ke mana. Perlahan namun pasti, tubuh
Ganda Anabrang dan Juragan Donggala semakin tinggi terangkat. Dan ketika jarak
kedua kaki telah satu tombak dari lantai, kekuatan aneh yang mengangkat mereka
terhenti. Dan begitu tubuh mereka mulai rebah, lalu bagai disentakkan kekuatan
raksasa, tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala saling meluncur cepat hingga
bertumbukan. Maka, sudah bisa diperkirakan kejadian yang terjadi.
Prakkk...!
Suara berderak keras terdengar
ketika kedua batok kepala itu berbenturan keras bukan kepalang. Seketika itu
juga, kepala kedua Sesepuh Desa Maja itu hancur berantakan. Darah bercampur
otak kontan muncrat-muncrat dari kepala yang pecah.
Brukkk!
Tubuh Ganda Anabrang dan
Juragan Donggala jatuh berdebuk di tanah, diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Karena pada saat tubuh masih di udara dan tengah melayang jauh,
nyawa mereka pun melawat ke alam baka.
Mendadak Gandula membalikkan
tubuhnya. Pan- dangan matanya menyorot tajam keluar. Dan sekali tangannya
ditudingkan, dari luar berlari-lari sesosok tubuh ke arahnya.
Larinya benar-benar lucu.
Sambil berlari, dia terhuyung-huyung ke depan. Bahkan beberapa kali hampir
jatuh. Tapi, terus saja kedua kakinya melangkah cepat ke depan. Bisa diketahui
kalau pemilik sosok tubuh itu tidak berlari secara wajar. Ada sebuah kekuatan
aneh yang membawa tubuhnya ke arah Gandula. Dan kekuatan itu berasal dari
keinginan makhluk berkepala botak itu.
Brukkk...!
Tepat di bawah kaki Gandula,
pemilik sosok tubuh itu jatuh berdebuk di lantai.
"Hmrrrhhh...!"
Kembali Gandula menggeram.
Sepasang matanya yang memancarkan hawa maut menyorot ke arah sekujur tubuh
milik sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda. Usianya sekitar dua puluh lima
tahun. Wajahnya cukup tampan. Apalagi, tubuhnya yang cukup kekar itu terbungkus
pakaian indah. "Jangan bunuh aku...," ratap pemuda berpakaian indah
itu.
Suara pemuda itu terdengar
bergetar. Jelas, hatinya dilanda perasaan takut. Wajahnya pun pucat pasi,
ketika menengadah untuk memandang Gandula yang berdiri tegak di hadapannya.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram memperlihatkan
gigi-giginya yang runcing dan tajam.
"Aku akan membantumu
untuk menemukan orang yang kau cari," kata pemuda berpakaian indah itu
lagi! Masih gemetar dan bergetar suaranya.
"Kau tahu orang yang
kucari?"
"Eyang Bantara,
kan?" duga pemuda berpakaian indah.
"Benar."
"Tentu saja benar, karena
aku melihat dan mendengar semua kejadian di tempat ini," jawab pemuda itu,
tapi hanya dalam benaknya saja.
Dan karena melihat kejadian
itulah, sehingga pemuda berpakaian indah menawarkan bantuannya. Tentu saja tidak
keluar dari hati yang tulus, melainkan karena keinginan untuk mencari
keuntungan.
"Namaku Caraka,"
sebut pemuda berpakaian indah itu memperkenalkan diri.
Gandula sama sekali tidak
mengatakan apa pun, kecuali sebuah geraman keras yang membuat bulu kuduk
merinding.
"Aku memang tidak
mengetahui, di mana Eyang Bantara. Tapi aku bisa mengantarkanmu pada orang yang
mengetahui tempatnya. Bagaimana?" tanya Caraka. Dia berusaha bersikap
tenang, walaupun sebenarnya amat cemas.
Gandula menatap Caraka lekat-lekat
sambil meng- geram. Sepertinya, tawaran yang diajukan Caraka tengah dipikirkan.
Sedangkan Caraka hanya bisa menduga kalau Gandula tengah dilanda kebimbangan.
Maka siasat terakhirnya segera dilancarkan.
"Daripada melakukan
pencarian sendiri dengan hasil tidak memuaskan, lebih baik kau menerima
bantuanku. Bagaimana?" Rupanya ucapan Caraka termakan juga oleh Gandula.
Terbukti, kepala makhluk dari dunia asing itu terangguk pelan.
"Kalau begitu, kita harus
bergegas," ajak Caraka, seraya bangkit berdiri.
Kali ini, tidak ada lagi geram
kemarahan yang keluar dari mulut Gandula. Maka, Caraka pun semakin berani
melangkah menuju keluar sambil mengeluarkan ajakan. Maka tanpa banyak membantah
lagi, Gandula segera mengekor di belakang Caraka.
Di luar pengetahuan Gandula,
Caraka mengerling ke arah mayat Juragan Donggala. Memang, laki-laki kaya raya
itu adalah pamannya. Tapi sedikit pun tidak ada rasa sedih dalam wajahnya.
Karena, Caraka memang tidak menyukai pamannya.
4
Malam telah datang menjelang.
Kegelapan pun mulai menyelimuti mayapada. Tapi, suasana malam Ini berbeda
dengan sebelumnya. Tidak terdengar adanya kukuk burung hantu, kepak kelelawar,
kerik jangkrik, atau nyanyian binatang malam lain. Suasana terasa hening, sepi,
dan seperti mati!
Suasana seperti itu sebenarnya
sudah cukup menyeramkan hati. Tapi yang lebih menggetarkan hati lagi, adalah
keadaan alam di malam ini!
Langit tampak merah membara
seperti terbakar. Tidak tampak adanya awan, bulan, ataupun bintang di angkasa
raya. Seluruh penjuru langit tampak berwarna merah, sungguh beda dan
bertentangan dengan biasanya.
Karuan saja peristiwa yang
aneh itu membuat orang- orang yang menyaksikan jadi kaget bercampur ngeri. Para
penduduk yang tidak mengerti ilmu silat, buru-buru masuk ke dalam rumah, seraya
menutup pintu dan jendela rapat- rapat. Mereka semua yakin, kalau keadaan alam
demikian adalah pertanda akan terjadinya sesuatu yang mengerikan.
Berbeda dengan para penduduk
desa, orang-orang yang merasa memiliki ilmu bela diri, paling tidak suka bersembunyi.
Hal seperti ini dilakukan semua anggota Perguruan Ayam Emas. Dari sang Ketua,
sampai murid- murid yang terendah, semuanya berdiri di halaman perguruan dengan
kepala menengadah menatap langit
"Apa yang terjadi
sebenarnya, Guru?" tanya seorang laki-laki berambut dikuncir.
Tubuh laki-laki itu tegap dan
kekar, dan terbungkus pakaian berwarna putih. Di bagian dada kirinya tampak
tersulam gambar kepala seekor ayam jantan dari benang emas.
"Aku juga tidak mengerti,
Lintar," jawab orang yang dipanggil guru.
Dia adalah seorang kakek
tinggi kurus, berjenggot putih panjang mirip kambing. Dialah Ketua Perguruan
Ayam Emas. Ki Tarung namanya.
"Tapi yang jelas, sesuatu
yang hebat pasti akan terjadi," sambung Ki Tarung.
Pemuda yang ternyata bernama
Lontar mengangguk- anggukkan kepalanya.
"Kemarin siang aku
menjumpai hal yang aneh pula. Guru," lapor seorang murid Perguruan Ayam
Emas yang berhidung besar.
"Hm...!" Ki Tarung
menghela napas berat. "Kata- kanlah, kejadian apa yang kau anggap aneh
itu. Samba."
Murid berhidung besar yang
ternyata bernama Samba itu membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"Kemarin siang, sewaktu
melewati Desa Maja, aku menjumpai hal yang aneh, Guru."
Kemudian Samba menceritakan
kejadian aneh yang dijumpainya.
"Begitulah, Guru."
tutur Samba menyelesaikan ceritanya.
Suasana kontan hening ketika
Samba menghentikan ucapannya. Semua orang yang berada di situ tercenung dengan
sepasang mata menatap tajam pada satu titik. Jelas, mereka semua tengah hanyut
dalam akan pikiran masing- masing.
Ki Tarung mengelus-elus
jenggotnya.
"Kini masalahnya mulai
jelas...," gumam Ketua Perguruan Ayam Emas.
Menilik dari ucapannya yang
pelan, seperrinya Ki Tarung tengah berbicara untuk diri sendiri. Tapi tak
urung, semua murid Perguruan Ayam Emas menoleh ke arahnya. Memang, mereka semua
juga mendengar ucapan itu, dan ingin mengetahui kesimpulan yang telah didapat
guru mereka.
Ki Tarung menyadari, pandangan
murid-muridnya itu jelas penuh pertanyaan.
"Kurasa, kejadian di Desa
Maja adalah merupakan awal kejadian malam ini," lanjut Ketua Perguruan
Ayam Emas, tetap dengan suara pelan.
"Kejadian apa,
Guru?" selak Samba tidak sabar. "Sabarlah, Samba," sergah Lintar
seraya menatap
Samba dengan sorot mata penuh
teguran. "Biarkan guru menyelesaikan ucapannya dulu."
"Maafkan aku, Kang,"
ucap Samba pelan sambil menundukkan kepala.
Lintar, murid utama Perguruan
Ayam Emas, menganggukkan kepala. Sementara, Ki Tarung membiarkan saja keributan
kecil itu. Benaknya tengah disibuki kejadian aneh itu. Dan dia tidak ingin
menambah keruwetannya dengan memikirkan hal lainnya.
"Apa yang kau katakan itu
benar, Tarung."
Hampir berbareng, Ki Tarung
dan murid-muridnya menolehkan kepala ke arah asal suara.
Tampak tahu-tahu saja tidak
jauh dari situ sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar. Cambang bauk
berwarna hitam dan lebat tampak menghias wajahnya. Pakaian dalamnya berwarna
merah menyala, terbungkus jubah berwarna hitam kelam.
"Ah! Kiranya
Pandanaran...," sebut Ki Tarung. "Apa maksud ucapanmu tadi,
Pandanaran?"
Kakek tinggi besar yang
ternyata Eyang Pandanaran tidak langsung menjawab. Kakinya terus melangkah
menghampiri. "Dugaan yang kau kemukakan itu benar, Tarung," tegas
Eyang Pandaranan.
Memang dia adalah kawan akrab
Ki Tarung. Seorang ahli pengobatan, sekaligus memiliki banyak kemampuan ajaib.
Eyang Pandanaran tidak ubahnya dukun.
"Maksudmu..., semua
keanehan alam ini berasal dari Desa Maja?" tanya Ki Tarung menegaskan.
"Benar," Eyang
Pandanaran menganggukkan kepala. "Ada hal luar biasa yang terjadi di
mayapada ini, sehingga memaksaku keluar dari tempat tinggalku yang
menyenangkan."
"Ah...!" seru Ki
Tarung kaget.
Ki Tarung baru teringat kalau
Eyang Pandanaran tinggal agak jauh dari markas Perguruan Ayam Emas. Tambahan
lagi, kakek tinggi besar itu sudah tidak berkeinginan lagi untuk terjun ke
dunia ramai. Keberadaannya di sini, jelas menjadi pertanda adanya urusan yang
amat besar. Sehingga, dia harus keluar dari tempat tinggalnya."
"Bisa kau ceritakan
secara lebih jelas, Pandanaran?" pinta Ki Tarung.
"Hhh...!"
Eyang Pandanaran menghela
napas berat. Sementara, Ki Tarung dan murid-muridnya menunggu-nunggu keluarnya
ucapan dari mulut kakek tinggi besar itu.
"Kalau menuruti perasaan,
lebih baik aku tidak menceritakannya. Paling tidak, agar kalian tidak ikut
menjadi ngeri karenanya...," pelan dan satu-satu ucapan yang keluar dari
mulut Eyang Pandanaran.
"Aku tidak setuju dengan
pendapatmu, Pandanaran," kata Ki Tarung. "Kalau menurutku, lebih baik
kau katakan apa sebenarnya yang tengah terjadi. Dengan begitu kita akan siap
menghadapinya "
Eyang Pandanaran menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum memutuskan untuk memulai
ceritanya.
"Sejak sekitar seminggu
yang lalu..,, aku selalu merasa gelisah tanpa sebab. Perasaan hatiku selalu
waswas...," Eyang Pandanaran memulai ceritanya dengan suara kering dan
getir. Sedangkan Ki Tarung dan murid-muridnya menunggu dengan sabar. Mereka
tidak ingin menyelak cerita, sekalipun Eyang Pandanaran menghentikannya
beberapa saat.
"Dengan kemampuan yang
kumiliki, aku mencoba mencari sebab kegelisahanku. Tapi, hasilnya malah membuat
kegelisahanku bertambah. Peralatan yang kupakai untuk mencari penyebab
kegelisahanku malah porak-poranda tak tentu arah ketika aku tengah
menggunakannya. Karuan saja hal ini membuatku kaget, karena kejadian seperti
ini belum pernah kualami."
Eyang Pandanaran menghentikan
ceritanya sejenak. Diperhatikannya satu persatu wajah-wajah yang berada di
sekelilingnya. Wajah-wajah yang tampak penuh rasa ingin tahu, terkecuali wajah
Ki Tarung. Wajah Ketua Perguruan Ayam Emas itu tampak tegang di samping rasa
ingin tahu yang membayang.
Memang, Ki Tarung merasa
tegang bukan kepalang. Dia kenal berul, siapa Eyang Pandanaran itu. Dia adalah
seorang yang memiliki berbagai kepandaian gaib. Bahkan dapat menyembuhkan atau
membunuh orang sekalipun dari jarak jauh. Dia dapat mengetahui keberadan
seseorang, hanya dengan melihat pada telapak tangannya. Kenyataan kalau Eyang
Pandanaran merasa gelisah dan tidak mampu menemukan penyebabnya, bahkan
peralatannya juga porak- poranda, telah membuktikan kalau ancaman yang datang
bukan main-main.
"Meskipun hasil yang
kuperoleh mengejutkan, tapi tidak membuatku kapok dan putus asa. Apalagi ketika
kusadari rasa gelisah tanpa sebab yang melanda hatiku makin lama semakin
membesar," lanjut Eyang Pandanaran. "Aku terus mencoba mengetahuinya.
Dan anehnya, kejadian yang menimpa peralatanku semakin menjadi-jadi. Semula,
aku masih belum paham. Tapi ketika dua hari yang lalu kembali kucoba, peralatanku
hancur berantakan semua. Bahkan aku sendiri terlempar jauh ke belakang."
"Jadi, sekarang kau telah
paham?" selak Ki Tarung dengan suara kering.
"Yahhh...!" jawab
Eyang Pandanaran, mendesah. "Saat semua peralatanku hancur dan aku
terjengkang jatuh pingsan, berarti sesuatu yang menggelisahkan hatiku telah
datang" "Lalu..., apakah yang menyebabkanmu gelisah tanpa sebab itu,
Pandanaran?" tanya Ki Tarung lagi.
"Bahaya yang akan muncul
itu, Tarung." "Sebenarnya..., apa bahaya itu, Pandanaran?"
"Makhluk alam gaib yang keluar
dari dunianya, dan
memasuki dunia kita,"
jawab kakek tinggi besar itu pelan. "Maksudmu..., siluman?!" tanya
Ketua Perguruan
Ayam Emas minta penegasan,
dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Kira-kira begitu,
Tarung."
"Dari mana kau bisa
mengetahuinya, Pandanaran?" Ki Tarung membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering.
"Dari tanda-tanda yang
ada pada alam," ja Eyang Pandanaran, lemah. "Kau tahu, setiap akan
ada peristiwa aneh, alam akan menunjukkan tanda-tanda. Tentu saja itu akan kau
ketahui bila kau mempelajari ilmu-ilmu gaib. Angin yang berhembus, bila kau
mempelajari ilmu gaib dapat diketahui, apakah itu angin sewajarnya, atau angin
yang timbul dari berlalunya makhluk gaib."
Ki Tarung sama sekali tidak
menanggapinya. Dia tahu, dalam hal ilmu gaib Eyang Pandanaran adalah ahlinya.
Dia sendiri tidak tahu apa-apa.
***
"Kita kembali ke pokok
persoalan, Tarung," kata Eyang Pandanaran memecah keheningan yang tercipta
ketika tidak ada yang menanggapinya ketika ucapannya telah selesai.
"Kau benar,
Pandanaran," sahut Ki Tarung, lesu. "Memang, sejak tadi aku pun
tengah menunggu-nunggu alasanmu, untuk membenarkan dugaanku yang mengatakan
kalau awal semua kejadian ini adalah Desa Maja."
"Dugaanmu itu memang
tidak salah, Tarung. Desa Maja adalah tempat kedatangan makhluk alam gaib yang
belum kuketahui jenisnya. Jin, Siluman, Kuntilanak, atau dedemit. Tapi
sekarang, kemungkinan besar tidak hanya Desa Maja yang akan menjadi sasaran.
Tapi seluruh desa."
"Lalu..., apa yang harus
kita lakukan, Pandanaran?" tanya Ki Tarung, bingung. "Mencari
penjelasan, mengapa makhluk alam gaib itu memasuki alam kita," jawab Eyang
Pandanaran kalem. "Aku yakin, makhluk itu tidak hanya sekadar melancong.
Tapi, ada sesuatu yang tengah dicarinya "
Mendadak Eyang Pandanaran
menghentikan ucapannya. Kepalanya ditolehkan ke arah belakangnya. Bahkan
sikapnya telihat gelisah sekali.
"Ada apa,
Pandanaran?" tanya Ki Tarung, heran melihat kelakuan rekannya.
"Aku merasakan keberadaan
makhluk itu," jawab Eyang Pandanaran.
Karuan saja ucapan itu membuat
semua orang yang berada di situ terkejut bukan kepalang. Tak terkecuali Ki
Tarung. Hanya saja, Ketua Perguruan Ayam Fmas ini mampu menyembunyikannya
sehingga tidak tampak pada wajahnya.
"Dari mana kau tahu,
Pandanaran?" tanya Ki Tarung, setengah tak percaya.
Eyang Pandanaran menatap wajah
sahabatnya lekat-
lekat.
"Sukar diutarakan dengan
kata-kata, Tarung. Yang
jelas, aku bisa mengetahuinya.
Ah! Celaka! Makhluk itu sepertinya tengah menuju kemari. Keberadaannya semakin jelas
tertangkap olehku. Ini berarti, dia tengah mendekati tempat ini!"
Bagaikan kumpulan semut-semut
dilemparkan api kerumunan murid murid Perguruan Ayam Emas itupun membuyar.
Ketegangan yang hebat tampak jelas di wajah- wajah mereka.
Memang, sudah sejak tadi
mereka merasa gentar dan ngeri begitu mendengar keterangan tentang kedatangan
makhluk dari alam gaib itu. Dapat dibayangkan, betapa besar kengerian yang
melanda ketika Eyang Pandanaran mengatakan makhluk alam gaib itu tengah menuju
kemari.
"Bersiap-siaplah kalian!
Kurasakan kehadiran makhluk dari alam gaib itu semakin nyata. Tidak salah lagi,
dia pasti menuju kemari!"
Walaupun masih merasa ragu,
tapi melihat sikap Eyang Pandanaran yang terlihat bersungguh-sungguh, Ki Tarung
jadi terpengaruh juga. Apalagi ketika melihat ketegangan yang membayang jelas
pada raut wajah kakek tinggi besar itu. Maka, dia semakin percaya saja. Oleh
karena itu, Ki Tarung segera mengedarkan pandangan ke arah wajah
murid-muridnya.
"Kalian semua harus
bersikap waspada. Mungkin ucapan sahabatku ini benar. Tidak ada salahnya bila
kita terjaga-jaga," ujar Ketua Perguruan Ayam Emas itu.
Baru saja ucapan Ki Tarung
selesai, mendadak... Brakkk...!
Daun pintu gerbang Perguruan
Ayam Emas hancur berantakan. Dan dari balik serpihan kayu tebal, nampak berdiri
dua sosok tubuh yang tak lain adalah Caraka dan Gandula.
Karuan saja suara ribut-ribut
itu membuat semua yang ada di situ terjingkat kaget. Memang, mereka semua
tengah dilanda ketegangan. Jadi tak heran suara ribut yang mendadak itu membuat
mereka terlonjak kaget. Wajah-wajah mereka tampak sudah berubah pucat.
Ki Tarung dan Eyang Pandanaran
pun dilanda pe- rasaan yang sama. Hanya saja, kedua kakek yang telah kenyang
makam garam dunia persilatan itu tidak menampakkan keterkejutannya. Baik dalam
sikap maupun raut wajah. Hanya ada sentakan kuat dalam dada karena keterkejutan
yang melanda.
Puluhan pasang mata milik
murid Perguruan Ayam Emas, Ki Tarung, dan Eyang Pandanaran, menatap hampir tak
berkedip ke arah pintu gerbang. Meskipun ada dua sosok tubuh di sana, tapi yang
menjadi perhatian mereka hanya Gandula! Sedangkan Caraka tidak diperhatikan
sama sekali! Memang, mereka mengenal orang yang bernama Caraka itu!
"Itukah makhluk alam gaib
yang kau maksudkan, Pandanaran?" tanya Ki Tarung. Pelan suaranya, dan
lebih mirip bisikan.
Eyang Pandanaran menganggukkan
kepala. Perasaan terkejut melihat kedatangan makhluk alam gaib yang demikian
cepat, membuatnya tidak mampu berbicara untuk beberapa saat lamanya. Lidahnya
benar-benar terasa kelu!
Sementara itu, Gandula
langsung mengedarkan pandangan berkeliling. Diperhatikannya satu persatu sosok-
sosok tubuh yang ada di hadapannya, seakan-akan ingin mencari mana orang yang
patut menjadi ayahnya. "Mana di antara mereka yang bernama Eyang Bantara?"
tanya Gandula keras seraya menolehkan kepala ke arah Caraka.
"Tidak ada," sahut
Caraka.
"Hmrrrhhh...!" geram
Gandula keras. "Berani kau mempermainkan Gandula?"
Kemarahan Gandula menyadarkan
Caraka akan kesalahan sikapnya. Buru-buru kedua tangannya dijulurkan ke depan
dan digoyang-goyangkannya.
"Sabar dulu, Gandula.
Mereka memang bukan Eyang Bantara. Tapi, mereka tahu tempat
persembunyiannya," kata Caraka memulai tindakan liciknya.
Ucapan itu membuat Gandula
mengurungkan maksudnya. Dengan sendirinya, Caraka pun selamat dari maut.
Sehingga, pemuda berpakaian mewah itu bisa menghembuskan napas lega dalam hati.
"Cepat kau tanyakan pada
mereka, Gandula. Kalau mereka tidak mau memberitahukannya, paksa sampai
mengaku!"
Gandula melangkah maju
beberapa tindak. Sepasang matanya beredar mengawasi sekilas wajah-wajah yang
berada di hadapannya. Dan dalam waktu sesingkat itu, dia tahu kalau di antara
sekian banyak orang yang ada di situ hanya Ki Tarung dan Eyang Pandanaranlah
yang merupakan tokoh penting.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras.
Tanpa sadar, murid-murid
Perguruan Ayam Emas melangkah mundur. Hanya Ki Tarung dan Eyang Pandanaran yang
tidak bergeming dari tempatnya. Meskipun demikian, tak urung raut wajah
keduanya menampakkan ketegangan.
Memang, sekalipun belum
terlihat adanya tindak- tanduk yang mencurigakan, Ki Tarung dan Eyang
Pandanaran sudah bersiap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan yang
terburuk sekalipun! Malah urat- urat syaraf dan otot-otot mereka sudah menegang
waspada.
"Cepat kalian tunjukkan
padaku, di mana Eyang Bantara!" kata Gandula keras disertai geramannya.
Ki Tarung dan Eyang Pandanaran
saling pandang. Dalam adu pandang yang hanya sebentar itu, mereka maklum kalau
masing-masing pihak tidak mengetahui jawabannya. "Sayang sekali, Kisanak.
Kami tidak mengenal orang yang kau maksud. Sungguh kami belum pemah mengenal
orang yang bernama Eyang Bantara," jawab Ki Tarung mewakili Eyang
Pandanaran. Hati-hati sekali Ketua Perguruan Ayam Emas ini mengucapkannya.
Di dalam hati, Ki Tarung
menerima kebenaran ucapan Eyang Pandanaran. Memang, ada sesuatu yang tengah
dicari makhluk asing itu. Dan yang dicarinya adalah Eyang Bantara. Hanya saja
yang masih membuat Ketua Perguruan Ayam Emas ini tidak habis mengerti adalah,
hubungan antara Caraka dengan Gandula!
Bagaimana Caraka bisa datang bersama-sama makhluk alam gaib itu. Ki Tarung tahu
betul, siapa Caraka itu.
"Mampuslah kau...!"
bentak Gandula keras setelah dldahului geraman keras.
Berbareng keluarnya bentakan
itu, Gandula menudingkan telunjuknya ke tanah. Maka karuan saja semua orang
yang berada di situ merasa heran. Hanya Eyang Pandanaran saja yang tidak. Dan
memang, kekhawatiran kakek ahli ilmu gaib itu beralasan. Tampak tubuh Ki Tarung
tertekan ke bawah secara cepat. Ki Tarung seakan-akan ingin memecahkan
kepalanya dengan cara membenturkannya ke tanah.
"Guru...!"
Hampir berbareng, seluruh
murid Perguruan Ayam Emas menjerit keras. Mereka merasa keget dan heran bukan
kepalang melihat tindakan guru mereka. Memang, keanehan itu belum mereka
sadari.
Tapi, tidak demikian halnya
dengan Eyang Pan- danaran. Sebagai orang yang telah berkecimpung dalam
ilmu-ilmu gaib, langsung disadari kalau adanya keanehan dalam ucapan dan gerak
tangan Gandula. Eyang Pandanaran merasakan ada kekuatan dahsyat yang tidak
tampak dalam suara dan gerak tangan makhluk aneh itu.
Oleh karena itu, sebelum
kepala Ki Tarung sempat membentur lantai, Eyang Pandanaran bertindak cepat.
Mulutnya secepat kilat berkomat-kamit membaca sesuatu yang tidak jelas bunyinya.
Kemudian, kedua kakinya dihentakkan ke tanah. Dan....
"Tarung...! Tahan !"
teriak kakek tinggi besar itu. Tidak percuma usaha yang dilakukan Eyang Pan-
danaran. Ki Tarung berhasil memunahkan pengaruh gaib yang membuat kepalanya
hampir dibenturkan ke tanah. Ketua Perguruan Ayam Emas ini segera menghentak
kepalanya ke belakang sambil berteriak nyaring menggetarkan.
Nyawa Ki Tarung pun lolos dari
bahaya maut. Dan tentu saja, ini semua karena bantuan Eyang Pandanaran. Tanpa
bantuannya Ki Tarung pasti sudah tewas. Walaupun tentu saja bila Ki Tarung pun
tidak berusaha melawan pengaruh aneh itu, usaha Eyang Pandanaran akan sia-sia.
Dengan kata lain, Ki Tarung berhasil lolos dari maut karena usaha bersama.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras
melihat calon korbannya berhasil meloloskan diri. Kini, kedua telunjuknya
sama-sama digerakkan. Yang kanan digerakkan ke kiri dan yang kiri bergerak ke
kanan. Akibanya, kedua jari telunjuk itu seperti akan berbenturan di depan
dada.
Ki Tarung dan Eyang Pandanaran
sudah bersiap sedia. Mereka pun berusaha mempertahankan diri dari pengaruh
serangan Gandula dengan cara masing-masing.
Eyang Pandanaran segera
menghentakkan kedua kakinya di tanah. Itu dilakukan setelah terlebih dahulu
mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak jelas. Sedangkan Ki Tarung
mempertahankan diri dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke kaki.
Sehingga, tubuh Ketua Perguruan Ayam Emas ini seperti bersatu dengan tanah.
Tapi, usaha kedua orang kakek
sakti itu sama sekali tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Memang,
pengaruh ilmu Gandula terlalu kuat. Dan ini terbukti dengan melayangnya tubuh
Ki Tarung dan Eyang Pandanaran, mengikuti arah telunjuk tangan Gandula. Hanya
saja melayangnya tubuh kedua orang itu tidak berbarengan. Tubuh Ki Tarung
melayang lebih dulu, baru kemudian tubuh Eyang Pandanaran. Dari sini bisa
dibuktikan kalau perlawanan kakek ilmu gaib itu lebih kuat.
Prokkk!
Suara berderak keras terdengar
ketika kepala Eyang Pandanaran dan Ki Tarung berbenturan. Darah bercampur otak
kontan berhamburan dari kepala yang pecah. Seketika itu juga, nyawa kedua kakek
melayang meninggalkan raga.
Karuan saja hal itu membuat
murid-murid Perguruan Ayam Emas marah bukan kepalang, di samping perasaan kaget
yang mendera. Maka, tanpa mempedulikan keselamatan diri, mereka meluruk
menerjang Gandula dengan senjata terhunus.
Gandula hanya menggeram.
Kembali kedua ta- ngannya bergerak. Dan sesaat kemudian, jerit-jerit kematian
terdengar saling susul. Serbuan murid-murid Perguruan Ayam Emas itu tak ubahnya
sekumpulan semut menyerang api. Mereka semuanya roboh sebelum berhasil
mendekati tubuh Gandula.
Caraka tersenyum gembira
melihat tewasnya murid- murid Perguruan Ayam Emas. Sungguh tidak pernah
diimpikannya sehingga bisa membalas sakit hatinya.
"Aaakh...!"
Dua jeritan terakhir, menjadi
akhir dari serbuan murid-murid Perguruan Ayam Emas.
Caraka melangkah menghampiri
Gandula yang berdiri memandangi sosok mayat yang berada di sekelilingnya.
"Mereka memang
orang-orang keras kepala," kata Caraka, bernada menghibur. "Mereka
lebih suka mati daripada memberitahukan tempat persembunyian Eyang Bantara.
Tapi jangan khawatir, Gandula masih ada orang yang mengetahui tempat tinggal
Eyang Bantara, si Jari Maut. Mari ikut aku...!"
Usai berkata demikian, Caraka lalu
meninggalkan tempat itu. Mau tak mau, Gandula pun melangkah mengikuti.
Kini hanya keheningan yang
menyelimuti Perguruan Ayam Emas. Tidak ada lagi jerit kesakitan atau teriakan
bemada kemarahan. Semuanya telah lenyap terbawa angin. 5
Sang surya sudah sejak tadi
menampakkan diri. Cahayanya yang lembut menerangi persada. Bias-bias sinarnya
menembus hutan, melalui celah-celah daun. Sehingga membentuk jalan-jalan sinar
yang terlihat indah dipandang mata.
Kicau burung dan teriakan
penghuni hutan lainnya menyemaraki suasana pagi yang hampir beranjak siang. Di
saat seperti itulah tampak seorang gadis cantik melangkah melewati deretan
pepohonan.
Gadis itu berpakaian biru,
membungkus kulitnya putih halus dan mulus. Apalagi, rambutnya yang berwarna
hitam mengkilat itu dikepang. Sehingga semakin menambah kecantikannya. Melihat
dari keadaannya, usia gadis itu tak akan lebih dari dua puluh tiga tahun.
Gadis itu melangkah hati-hati,
menyusuri jalan di tengah hutan. Sepasang matanya beredar mengawasi sekeliling.
Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya. Dan menilik sebatang anak panah yang
siap meluncur di busurnya, bisa diketahui sesuatu yang tengah dicarinya adalah
binatang buruan!
Mendadak kepala gadis
berpakaian biru itu menoleh ke samping ketika mendengar adanya suara
berkeresekan pelan. Gerakannya terlihat sigap pertanda bukan gadis kebanyakan.
Begitu matanya menangkap
bayangan seekor binatang, busurnya segera dijepretkan.
Twanggg...!
Anak panah itu meluncur cepat
ke arah binatang yang ternyata seekor kijang. Cepat bukan main luncurannya.
Tapi, masih lebih cepat lagi gerakan kijang itu. Begitu melihat adanya bahaya
mengancam, kijang itu segera melesat kabur. Dan...
Tappp!
Anak panah itu langsung
menancap di batang sebuah pohon besar hingga setengahnya lebih.
"Brengsek!" Gadis
berpakaian biru memaki, karena bidikannya tidak mengenai sasaran. Meskipun
begitu, dia tidak putus asa dan langsung
berlari mengejar.
Gadis itu membuktikan kalau
dirinya bukan gadis lemah. Larinya cepat sekali. Bahkan kedua kakinya hampir
tidak menapak tanah ketika berlari mengejar binatang buruannya.
Si kijang tahu kalau orang
yang akan mencelakainya mengejar. Maka, larinya pun semakin dipercepat. Melihat
hal ini, gadis berpakaian biru itu segera menambah kecepatan larinya.
Beberapa saat kemudian, mulai
terlihat kijang itu memang memiliki kemampuan lari yang cepat. Apalagi saat itu
tengah kalap, karena ada bahaya besar mengancam. Betapapun gadis itu
mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi tetap saja tidak mampu menandinginya. Perlahan-lahan
jarak antara dua makhluk itu semakin menjauh.
Dengan napas terengah-engah,
gadis itu menatap sosok tubuh binatang buruannya yang semakin lama semakin
menjauh, dan akhirnya lenyap di kerimbunan pepohonan lebat,
"Brengsek!"
Untuk yang kedua kalinya
makian itu keluar mulut mungil berbentuk indah itu. Kemudian, dihapusnya peluh
yang membasahi selebar wajah dan lehernya dengan saputangan. Baru setelah itu,
kakinya melangkah menghampiri sebatang pohon besar di dekatnya dan berdiri
bersandar di situ. Di samping untuk meredakan deru napasnya, juga untuk
menghilangkan rasa kesal yang melanda.
Mendadak...
"Ssshhh...!"
Desisan tajam yang berasal
dari atas kepalanya membuat gadis berpakaian biru itu terkejut bukan kepalang.
Secepat kilat, kepalanya menengadah. Maka kontan sepasang matanya terbelalak
ketika melihat kepala seekor ular besar yang mulutnya telah terbuka meluncur
cepat ke arah kepalanya. Menilik dari besarnya mulut ular itu, bisa dipastikan
gadis berpakaian biru itu bisa masuk ke dalam mulut ular itu dalam sekali
caplok. Tentu saja gadis itu tidak ingin kepalanya tertelan mulut ular itu.
Maka walaupun sepasang matanya terbelalak lebar karena takut, disertai jerit
kekagetan, dia masih sanggup melakukan lompatan harimau. Maka dengan mempergunakan
kedua telapak tangannya sebagai tempat bertumpu, gadis berpakaian biru itu
menggulingkan tubuhnya di tanah.
Tapi, ternyata ular itu merasa
penasaran melihat mangsanya berhasil lolos. Maka binatang melata itu pun
melesat turun dari atas pohon, dan mengejar buruannya. Rupanya, dia kelaparan!
Gadis itu sangat kaget ketika
melihat ular yang tadi hampir memangsanya begitu besar. Badannya hampir sebesar
batang pohon kelapa. Panjangnya pun tak akan kurang dari empat tombak. Jelas,
binatang berbisa itu mampu menelannya bulat-bulat.
Wajah gadis berpakaian biru
itu pucat pasi ketika membayangkan tubuhnya akan masuk ke dalam perut ular itu.
Dengan menggigil, kakinya melangkah mundur. Tampak jelas, dia merasa takut
terhadap binatang melata itu.
Sebenarnya, gadis berpakaian
biru itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi sayangnya sebagai seorang
wanita, dia mempunyai sebuah kelemahan. Takut pada binatang yang menjijikkan.
Dan ular adalah merupakan binatang yang paling ditakutinya. Tak heran bila dia
mundur melihat ular itu mendekatinya.
Tapi, langkahnya langsung
terhenti ketika punggungnya membentur sesuatu. Dan ketika ditoleh, ter- nyata
hanya batang sebuah pohon besar.
"Sssshhh...!"
Diawali sebuah desisan tajam,
kepala ular besar itu meluncur ke arah dada buruannya. Karuan saja gadis itu
terperanjat. Secara tergesa-gesa, kepalanya menoleh kembali ke arah semula. Dan
tampak moncong ular yang tengah meluncur ke arahnya.
Gadis itu sadar, tidak ada
kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu. Hanya ada satu cara
yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan selembar nyawanya, yakni menangkis!
Maka sambil menggertakkan
gigi, gadis berpakaian biru itu mengulur tangannya. Dan.... Tappp!
Leher ular besar itu berhasil
ditangkapnya. Langsung saja tenaga dalamnya dikerahkan untuk meremas hancur
leher binatang melata itu. Namun binatang itu tidak menyerah begitu saja.
Segera ekor ular itu bergerak menyambar. Dan...
Bukkk!
Telak dan keras sekali
sambaran ekor ular itu menghantam dada buruannya. Kontan tubuh gadis itu
terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Dia berusaha bangkit tapi
malah seringai kesakitan yang muncut di mulutnya. Dadanya yang terkena sambaran
tadi terasa sesak bukan kepalang. Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian
biru itu mengalami kesulitan bemapas.
Sebelum buruannya sempat
berbuat sesuatu, ular besar itu telah bergerak cepat menghampirinya. Dan tahu-
tahu, tubuh gadis itu telah dililit, mulai dari bawah lutut sampai ke bawah
leher. Sedangkan kepala ular berada di atas kepala si gadis.
Mulut ular itu terbuka lebar.
Jelas, maksudnya untuk menelan gadis itu hidup-hidup setelah terlebih dulu
meremukkan tulang-belulang tubuhnya.
Gadis berambut kepang semakin
geram. Maka, seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk menahan belitan
badan ular besar yang akan meluluhlantakkan tulang-tulang tubuhnya. Sebuah
perjuangan mati-matian untuk menyelamatkan selembar nyawa, dilakukan gadis
berpakaian biru itu.
Namun akhirnya, gadis
berpakaian biru itu harus mengakui kuatnya belitan ular besar ini. Semakin
lama, belitan ular itu semakin terasa menyakitkan. Urat-urat, otot- otot dan
tulang-belulang tubuhnya seperti luluh lantak! Disadari kalau tak akan lama
lagi tenaganya akan habis.
Di saat yang amat gawat bagi
keselamatan gadis berambut dikepang ini, melesat sekelebatan benda berwarna
gelap ke arah kepala ular besar itu Suara berdesing nyaring yang terdengar
menjadi pertanda besarnya tenaga yang terkandung dalam luncuran benda gelap
tadi.
Prokkk..! Diiringi suara
berderak keras, kepala ular besar itu hancur berantakan ketika benda gelap yang
ternyata sebuah batu sebesar kepalan bayi telak menghantam.
Gadis berpakaian biru memekik
ngeri bercampur jijik. Sepasang matanya buru-buru dipejamkan. Bahkan mulutnya
langsung dirapatkan ketika darah memercik ke sana kemari dari kepala ular yang
pecah, Dan sebagian besar, memerciki wajahnya.
Seiring pecah kepalanya, nyawa
ular besar itu pui melawat ke alam baka. Dan dengan sendirinya, belitan pada
sekujur tubuh gadis berpakaian biru itu pun mengendur, lalu terlepas.
Sementara, gadis itu langsung bergerak menjauh dengan sikap jijik. Dengan
saputangannya, buru-buru percikan darah ular pada wajahnya dihapus.
Setelah diyakini tidak ada
lagi darah yang mengotori wajahnya, pandangannya dilayangkan ke sekeliling. Dia
ingin tahu, siapa orang yang telah menyelamatkan nyawanya
Dalam jarak empat tombak dari
tempatnya berdiri, tampak berdiri dua sosok tubuh yang menatap ke arahnya
dengan bibir menyunggingkan senyum.
Semula, pandangan gadis
berpakaian biru itu biasa saja. Tapi sesaat kemudian, sepasang alisnya yang
berbentuk indah itu hampir bertautan. Jelas, ada sesuatu yang menyebabkannya
demikian.
Memang, gadis itu merasa heran
pada salah satu sosok yang ternyata seorang pemuda. Memang melihat wajah dan tubuhnya,
tidak ada yang aneh. Wajah pemuda itu tampan dan gagah. Tubuhnya terlihat tegap
dan berisi. Pakaiannya yang berwarna ungu, semakin menonjolkan ketampanannya.
Namun yang membuat alis gadis berpakaian biru itu heran adalah rambutnya.
Rambut pemuda itu hitam,
seperti pada pemuda umumnya. Tapi berwarna putih seperti layaknya orang yang
telah berusia lanjut. Namun begitu, sungguh kelihatan lebih indah. Karena,
warna putihnya berkilauan seperti perak. Seumur hidup, baru kali inilah gadis
itu melihat pemuda yang memiliki rambut demikian.
Tapi, tunggu dulu! Selintas,
gadis itu teringat sesuatu. Memang dia pernah mendengar kalau ada seorang
pemuda yang memiliki rambut putih keperakan. Berita itu begitu mengguncangkan
dunia persilatan. Dan pemiliknya adalah Dewa Arak!
Sementara itu, sosok yang
seorang lagi adalah gadis berwajah cantik jelita. Rambutnya berwarna hitam, dan
dibiarkan panjang tergerai. Pakaiannya serba putih, sehingga semakin
menonjolkan kecantikannya. Di dalam hati, gadis berpakaian biru itu harus
mengakui kalau gadis di hadapannya memiliki kecantikan yang melebihinya.
Kini gadis berpakaian biru itu
memperhatikan pemuda berambut putih keperakan lebih lanjut. Memang, pemuda itu
adalah tokoh yang menggemparkan dunia persilatan! Ini bisa dilihat dari
ciri-ciri yang menyolok, yakni rambutnya yang berwarna aneh. Maka dengan agak
terburu- buru, gadis berambut kepang itu menghampiri.
"Apakah penglihatanku
tidak salah? Benarkah kau Dewa Arak?" tanya gadis berpakaian biru, sambil
menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu lekat-lekat.
Karuan saja pemuda berpakaian
ungu yang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak, menjadi kikuk mendapat
tatapan seperti itu dari seorang gadis! Cantik lagi. Sungguh pun memang, masih
jauh bila dibandingkan Melati.
"Itu adalah julukan yang
diberikan orang padaku, Nisanak!" jawab Arya, merendah. "Sedangkan
namaku..."
"Arya, kan?! Arya
Buana?!" selak gadis berambut dikepang, cepat.
"Betul," Arya
menganggukkan kepala. Dia tidak merasa heran kalau gadis itu mengetahui
namanya. Memang, hampir semua orang persilatan tahu kalau nama Dewa Arak yang
sebenarnya adalah Arya Buana. "Kau sendiri siapa?"
"Aku Wigati," sebut
gadis berpakaian biru itu. "Kaukah yang telah menolongku dari ular keparat
itu?"
Gadis berambut dikepang yang
ternyata bernama Wigati menudingkan jari telunjuknya ke arah bangkai ular besar
yang tergolek di tanah. Sedangkan Arya menyunggingkan senyuman lebar di
mulutnya. Kemudian, perlahan kepalanya menggeleng.
"Bukan aku yang
menolongmu, tapi teman wanitaku ini," kalem jawaban Arya.
"Ahhh...!"
Wigati mendesah kaget. Kontan
wajahnya memerah ketika menyadari ketidakpantasan sikapnya. Sejak tadi, dia
hanya mencecar Dewa Arak saja. Sama sekali tidak dipedulikannya kalau ada sosok
lain yang berdiri di sebelah tokoh yang menggemparkan itu.
"Terima kasih atas
pertolonganmu..," Wigati menggantung ucapannya di tengah jalan, karena
belum mengetahui nama gadis teman Arya.
"Aku Melati," potong
Melati buru-buru.
"O, ya.... Kuucapkan
ribuan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku, Melati. Kalau
tidak..., entah bagaimana nasibku ini," ulang Wigati.
"Ah! Tidak perlu banyak
peradatan, Wigati. Tolong- menolong di antara sesama manusia adalah hal yang
wajar."
Seulas senyum tulus terkembang
di bibir Melati, meskipun beberapa saat sebelumnya sempat merasa dongkol
melihat sikap Wigati pada Arya.
"Ucapanmu seperti orang
tua, Melati," kata Wigati. "Maksudmu?" tanya Melati disertai
kernyitan pada
dahinya.
"Tidak ada maksud
apa-apa," ringan jawaban yang keluar dari mulut Wigati. "Aku hanya
teringat ucapan ayahku setiap kali selesai menolong orang. Ucapan yang tadi
keluar dari mulutmu itulah yang selalu dikatakannya."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti maksudnya. Sedangkan Arya hanya menundukkan kepala,
menyembunyikan senyum lebar yang tidak bisa ditahan.
Melati tentu saja tahu,
mengapa tunangannya menundukkan kepala. Kalau saja tidak ada Wigati, sudah
dicubitnya Arya! Tapi karena keadaan tidak memungkinkan, terpaksa sikapnya
seolah-olah tidak mengetahui.
"Hm..., boleh kutahu
siapa orang tuamu, Wigati?" tanya Melati setengah hati.
"Tentu saja boleh!"
jawab Wigati cepat sambil mengerling ke arah Arya. "Ayahku meskipun tidak
setenar Dewa Arak, tapi cukup ditakuti tokoh-tokoh persilatan aliran hitam.
Julukannya, si Jari maut."
Melati dan Dewa Arak agak
terkejut ketika mendengar julukan ayah Wigati. Bahkan wajah Melati sampai
berubah. Sedangkan Arya sampai mendongakkan kepala. Mengapa bisa begitu
kebetulan? Bukankah murid Perguruan Ayam Emas mengatakan kalau iblis yang telah
membantai demikian banyak orang di perguruan itu akan menyerbu kediaman si Jari
Maut. Sungguh sama sekali tidak disangka kalau akan bertemu putri si Jari Maut
sendiri.
"Kalian mengenal
ayahku?" tanya Wigati ragu ketika melihat keterkejutan pada wajah Arya dan
Melati
Hampir berbareng Arya dan
Melati menggelengkan
kepala.
"Tapi kalian tampak
terkejut ketika aku menyebut
julukan ayahku?!" desak
Wigati penasaran.
Arya dan Melati saling
berpandangan. Sesaat keduanya kebingungan. Haruskah mereka katakan pada Wigati
berita yang mereka dapatkan dari mulut Perguruan Ayam Emas? Dan dalam adu
pandang sesaat itu, Arya tahu kalau Melati menyerahkan persoalan itu padanya.
Rasa penasaran Wigati semakin
menjadi-jadi ketika melihat sepasang muda-mudi itu malah saling pandang ketika
habis dilontarkan pertanyaan.
"Katakan, mengapa kalian
seperti terkejut ketika kusebutkan julukan ayahku?!"
Mulai meninggi suara yang
keluar dari mulut gadis berpakaian biru itu. Sepasang matanya menatap berganti-
ganti ke arah wajah Arya dan Melati. Ada nada kepenasaran yang menggebu-gebu,
baik pada raut wajah maupun nada suara Wigati.
Namun, Arya tidak langsung
menjawab. Dia malah berdehem sebentar untuk melonggarkan tenggorokannya.
"Kami hanya terkejut
karena tidak menyangka ayahmu adalah seorang tokoh pendekar yang
terkenal," kata Arya sekenanya.
Sungguh, pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak menyangka apabila jawabannya tepat pada
sasaran. Si Jari Maut adalah tokoh besar aliran putih pada puluhan tahun yang
lalu. Julukannya disebut-sebut dengan perasaan gentar oleh tokoh-tokoh aliran
hitam. Dan hal itu terjadi karena sepak terjangnya yang terlalu kejam pada
tokoh-tokoh aliran hitam.
"Jadi, kau pernah
mendengar julukan ayahku, Dewa Arak?!" sambut Wigati gambira. "Hal
ini benar-benar di luar dugaanku. Karena, ayahku mengatakan kalau tokoh-tokoh
persilatan jarang yang mengenalnya. Kecuali, tokoh-tokoh tua atau keturunan
tokoh hitam yang tewas di tangannya. Sungguh tidak kusangka kau pernah
mendengarnya, Dewa Arak!"
Arya menyunggingkan senyum.
Tapi karena tidak keluar dari lubuk hati, jadi terlihat kaku dan dipaksakan
malah lebih mirip sebuah seringai ketimbang senyuman.
Tapi Wigati yang tengah
dilanda kegembiraan karena mengetahui Dewa Arak mengenal julukan ayahnya, sama
sekali tidak melihat kejanggalan itu Dewa Arak adalah tokoh yang amat
dikaguminya. Apalagi, ketika diketahuinya bahwa tokoh yang menggemparkan itu
seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah. Itulah sebabnya, Wigati merasa
gembira bukan kepalang mengetahui Arya pernah mendengar julukan ayahnya.
"Kalau boleh kutahu, dari
mana kau tahu julukan ayahku, Dewa Arak? Padahal, sudah lebih dari dua puluh
tahun ayahku meninggalkan dunia persilatan. Malah pada saat itu, kau mungkin
masih sangat kecil. Dan aku yakin, kau belum tahu apa-apa!" cecar Wigati
penuh semangat.
Mendapat desakan bertubi-tubi
itu, membuat Arya kelabakan namun untungnya, pemuda berambut putih keperakan
itu mampu menyembunyikannya. Sehingga, tidak terlihat pada sikapnya.
Memang, Wigati tidak
mengetahuinya. Tapi tidak demikian halnya Melati. Putri angkat Raja Bojong
Gading itu tentu saja tahu kalau kekasihnya tengah kelabakan. Keringat yang
bermunculan di dahi, dan sorot mata Arya yang tidak biasanya, telah
menggambarkan kekalutan Arya. 6
Untuk pertama kalinya, Arya
dibuat kelabakan dan kebingungan. Bukan karena apa-apa, tapi karena mau tak mau
terpaksa harus berbohong! Yang lebih membingungkan lagi, kebohongannya harus
dilanjutkan untuk menutupi kebohongan yang pertama. Inilah yang membuat Arya
kelabakan!
Diam-diam, Dewa Arak menyesali
jawabannya tadi. Sama sekali tidak disangka kalau jawaban asal-asalan itu
mengenai sasarannya. Dan lebih celaka lagi, Wigati demikian bernafsu untuk
menanyainya terus-menerus. Maka dengan demikian, dia harus berbohong lagi.
"Katakan, Dewa Arak.
Tidak usah ragu-ragu. Dari siapa kau mengetahui julukan ayahku?! Jangan katakan
kalau kau telah mendengar julukan ayahku sewaktu masih bayi?!" desak
Wigati setengah bergurau.
"Aku mohon, kau jangan
memanggilku Dewa Arak, Wigati. Panggillah Arya saja," kata Arya mencoba
mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah," Wigati
menganggukkan kepala. "Katakan, Arya. Dari mana kau tahu julukan
ayahku?!"
Arya terdiam. Rupanya, Wigati
termasuk gadis yang memiliki watak keras. Sebelum mengetahui sampai tuntas
desakannya belum juga dihentikan.
Namun melihat Arya belum juga
menyambuti pertanyaannya, Wigati jadi kehilangan kesabaran.
"Biar kutebak sendiri,
deh! Kau pasti mengetahui julukan ayahku dari gurumu kan?!" duga Wigati,
sok tahu. "Benar kan dugaanku?!"
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Dia
ingin buru-buru lepas dari desakan Wigati. Maka meskipun dengan berat hati,
kepalanya dianggukkan.
"Maafkan aku, Guru. Aku
telah mencatut nama mu," ucap Arya dalam hati.
"Tepat kan dugaanku,
Arya?" kata Wigati samba tersenyum lebar.
Kembali Arya menganggukkan
kepala. Sedangkan Melati terpaksa berpura-pura batuk, untuk menutupi tawanya
yang hampir meledak melihat peristiwa di hadapannya.
"O ya, Wigati. Bisa kau
bawa kami menemui ayahmu? Kami ingin sekali berbincang-bincang dengan
beliau," Arya buru-buru mengalihkan persoalan agar tidak terlibat dalam
kebohongan lagi.
"Tentu saja bisa,
Arya," sambut Wigati gembira. "Aku yakin, ayah akan gembira
berkenalan denganmu. Ayah sering menyebut-nyebut namamu, Arya. Dia kagum sekali
padamu. Kau pendekar bijaksana katanya. Dia yakin, banyak orang jahat yang
sadar berkat kebijaksanaanmu. Tampaknya, ayah menyesali rindakannya yang keras
terhadap tokoh-tokoh hitam dulu."
Arya hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Hanya dia sendiri yang mengetahui maksudnya.
"Mengapa kau bisa dilibat
ular, Wigati?" tanya Melati untuk mengurangi perasaan tidak enak mengigat
sikapnya tadi.
Putri angkat Raja Bojong
Gading ini khawatir, Wigati merasa tersinggung melihat sikapnya tadi. Itulah
sebabnya, dia mengajukan pertanyaan pada gadis itu. Walaupun sebenarnya dia
kurang berminat untuk mengutarakannya.
"Aku tengah berburu
kijang," jawab Wigati.
Kemudian gadis berpakaian biru
itu menceritakan semua kejadian yang dialaminya.
"Untunglah kau memberi
pertolongan, Melati. Kalau tidak, mungkin tubuhku sudah berada di dalam perut
ular sialan itu," tutur Wigati menutup ceritanya.
Melati menyunggingkan senyuman
lebar. Dia sama sekali tidak mengucapkan apa pun sebagai tanggapan terhadap
cerita Wigati.
"Bagaimana kalau
perbincangan ini dilanjutkan dalam perjalanan menuju ke rumah ayahmu,
Wigati?" usul Arya bernada mengingatkan.
"Sebuah usul yang baik
sekali," sambut Wigati cepat.
Melati dan Arya saling
berpandangan. Sama sekali tidak disangka kalau perjalanan mencari si Jari Maut
tidak terlalu sulit. Seorang penunjuk jalan yang tidak mungkin salah, telah
menjadi pemandunya.
Kini, ketiga orang muda itu
bergerak menuju tempat kediaman si Jari Maut. Sepanjang perjalanan Wigati tak
henti-hentinya berceloteh. Terutama sekali pada Arya. Perasaan kagumnya
terhadap pemuda berambut putih keperakan tampak jelas sekali.
Namun hal ini justru membuat
Arya dan Melati sedikit merasa kasihan. Mereka berdua tahu, Wigati merupakan
seorang gadis lugu. Tanpa ragu-ragu perasaan kagumnya ditonjolkan! Melati yang
semula mendongkol, akhirnya malah jatuh kasihan. Dia tahu, Arya hanya mencintai
dirinya. Di hati Dewa Arak hanya ada satu nama, yakni Melati!
***
"Kau yang salah bicara,
atau telingaku yang salah dengar, Arya?!" tanya seorang kakek bertubuh
tinggi kurus laksana galah. Dia mengenakan pakaian berwarna kuning, membungkus
tubuhnya yang kurus kering.
Kakek itu tengah duduk bersila
di sebuah ruangan tengah di dalam sebuah rumah. Di sekelilingnya, duduk bersila
juga Melati, Wigati, dan Arya yang mengelilinginya. Arya duduk tepat di hadapan
kakek berpakaian kuning itu.
"Aku hanya menyampaikan
semua yang kulihat dan kudengar, Ki," ucap Arya, kalem.
Kakek tinggi kurus itu menarik
napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Raut wajahnya tampak
menyiratkan kesedihan.
"Ayah! Aku percaya kalau
Arya mengatakan hal yang sebenarnya," tegas Wigati, seraya memandang wajah
kakek tinggi kurus.
Kakek tinggi kurus yang ternyata
ayah Wigati dan berjuluk si Jari Maut, menatap wajah putrinya tajam-tajam
beberapa saat lamanya.
"Bukannya aku tidak
percaya ceritamu, Arya," ucap si Jari Maut setengah mengeluh. "Tapi,
berita yang kau sampaikan ini terlalu mengejutkan bagiku. Kau mengatakan,
Perguruan Ayam Emas telah musnah. Dan ketuanya sendiri telah tewas. Kau tahu,
Arya. Ki Tarung adalah sahabat kentalku! Aku sering mengunjunginya. Bahkan
beberapa hari yang lalu, aku mengunjunginya. Hhh...! Sukar dipercaya!"
Arya diam saja. Sama sekali
tidak ditanggapinya ucapan si Jari Maut. Disadari kalau kakek tinggi kurus itu
merasa terpukul. Maka, membiarkannya adalah tindakan yang paling bijaksana.
Orang seperti si Jari Maut tidak akan lama tenggelam dalam kesedihan.
Suasana di sekitar tempat itu
kontan hening. Se- muanya tidak ada yang membuka suara, dan tenggelam dalam
lamunannya masing-masing.
Plak!
Keheningan suasana itu
dipecahkan dengan dipukulnya kepalan tangan kanan si Jari Maut ke telapak
tangan kirinya yang terbuka. Maka kontan tiga pasang mata terarah pada wajah si
Jari Maut,
"Kau bilang, pembunuh itu
akan datang kemari, Arya?!" ada nada dendam dalam pertanyaan kakek
berpakaian kuning itu.
"Begitulah berita yang
kudengar dari mulut seorang murid Perguruan Ayam Emas yang belum tewas,
Ki," javuab Arya.
Memang Arya dan Melati telah
menemukan murid Perguruan Ayam Emas yang menjadi korban keganasan Gandula. Dan
dari salah seorang murid yang masih hidup, berita itu didapatkannya.
"Hm...!"
Si Jari Maut mengggumam pelan.
Kepalanya terangguk-angguk. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu.
"Baik! Aku akan
menunggunya di sini. Dan kalau benar-benar datang, pembunuh itu akan menerima
pembalasannya dariku!" ada nada ancaman dalam ucapan kakek tinggi kurus
itu.
Arya diam saja tidak
menanggapi. Bisa dimaklumi kemarahan yang melanda hati si Jari Maut. Ki Tarung
Ketua Perguruan Ayam Emas adalah sahabat akrabnya. Tidak aneh kalau si Jari
Maut begitu murka mendengar kematian sahabatnya, berikut kehancuran
perguruannya.
*** "Jari Maut! Keluar
kau...!"
Sebuah panggilan bernada
tantangan membuat si Jari
Maut, Dewa Arak, Melati dan
Wigati tersadar dari lamunan masing-masing. Dan bagai diberi perintah keempat
orang itu berbareng bangkit berdiri.
Si Jari Mautlah
orang yang pertama kali bangkit dari duduk bersilanya, dan langsung
melangkah keluar. Memang, panggilan itu datangnya dari luar rumah!
Wajah si Jari Maut tampak
merah membara memancarkan kemarahan yang amat sangat. Dengan langkah lebar-lebar kakinya terayun keluar.
Arya, Melati, dan Wigati
bergegas melangkah menyusul di belakang si Jari Maut. Arya dan Melati sempat
saling berpandangan dengan sorot mata menyiratkan keheranan. Dan memang
sebenarnya kedua orang itu merasa heran bukan kepalang. Mereka tahu kalau panggilan
bernada tantangan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Dan dari
kekuatan suara itu, sepasang pendekar muda itu bisa mengukur kekuatan tenaga
dalam si pemiliknya yang tidak begitu kuat.
Dan itulah sebabnya, mengapa
mereka merasa heran. Kalau hanya sampai di situ saja kekuatan tenaga dalam
pemiliknya, mengapa dengan leluasa bisa menyebar maut di Perguruan Ayam Emas?
Bahkan sampai Ki Tarung yang merupakan ketuanya berhasil dibunuh! Padahal
menurut kabar yang terdengar, kepandaian Ki Tarung amat tinggi!
Di halaman rumah tampak
berdiri dua sosok tubuh, yang tak lain adalah Caraka dan Gandula.
Caraka berdiri sekitar
setengah tombak di hadapan Gandula, dengan dada dibusungkan. Bahkan kepalanya
pun agak ditengadahkan. Kedua tangannya yang terkacak pinggang semakin
memperjelas kesombongan sikapnya. Ternyata, Caraka-lah yang tadi meneriakkan
tantangan pada si Jari Maut.
Meskipun Caraka berdiri di
depan, tapi pandangan mata si Jari Maut, Dewa Arak, Melati, dan Wigati sama
sekali tidak tertuju padanya. Tapi tertuju pada sosok tubuh asing di belakang
Caraka. Pandangan mata mereka semua menyorotkan keheranan. Bukan karena
ciri-ciri yang terdapat pada Gandula, tapi juga bulu-bulu kuduk mereka
merinding tanpa sebab.
"Makhluk dari mana
ini...?" desis si Jari Maut bernada kaget dan tidak percaya.
Tanpa sadar, kakek tinggi
kurus ini menoleh ke arah Arya yang telah berdiri di sebelahnya. "Kau
mengenal makhluk aneh itu, Arya?" tanya si Jari Maut, pelan.
Arya menggelengkan kepala.
"Seumur hidup, baru kali
ini aku melihat makhluk seperti ini, Ki," jawab pemuda berambut putih
keperakan itu.
Dan memang, Arya sama sekali
tidak berbohong. Gandula memang memiliki keadaan mengerikan. Sungguhpun Arya
telah pernah melihat makhluk-makhluk biadab, tapi tidak seperti Gandula.
Arya merasa keanehan timbul
dalam dirinya. Sebuah perasaan gelisah tanpa sebab tiba-tiba muncul. Dan inilah
yang membuatnya heran bukan kepalang. Mengapa sekarang merasa gelisah? Padahal
tadi tidak!
Benak Arya pun berputar untuk
mencari-cari penyebab timbulnya perasaan gelisah itu. Cukup lama juga benaknya
berpikir keras, sebelum akhirnya timbul pada satu kesimpulan yang tidak bisa
dibantah lagi. Perasaan gelisahnya itu muncul ketika dia melihat Gandula. Ada
apa dengan Gandula?
Tapi Arya segera membuang
pertanyaan yang menggelayuti benaknya itu jauh-jauh. Karena tampak si Jari Maut
sudah siap memuntahkan kemarahannya.
"Jari Maut....'"
seru Caraka keras, masih dengan tangan berkacak di pinggang.
Si Jari Maut yang tengah sibuk
memperhatikan Gandula jadi mengalihkan pandangan ke arah Caraka.
"Kau…?! Apa maumu,
Caraka?! Cepat pergi dari sini, sebelum kemarahanku timbul!"
Memang, si Jari Maut mengenal
Caraka yang merupakan keponakan Juragan Donggala. Caraka mencintai Wigati. Dan
beberapa bulan silam, dengan perantaraan pamannya, Caraka meminang Wigati. Tapi
lamarannya ditolak mentah-mentah oleh si Jari Maut, karena kakek itu tahu kalau
Caraka adalah seorang pemuda yang berwatak tidak baik! Bahkan sering mengganggu
anak gadis orang!
Sebenarnya kalau saja si Jari
Maut tidak disibuki oleh pikiran tentang Gandula, mungkin akan merasa heran.
Mengapa Caraka berani bersikap seperti itu
padanya? Apakah pemuda itu sudah mempunyai nyawa rangkap!
"Tidak usah banyak
bicara, Jari Maut!" bentak Caraka, semakin berani "Cepat katakan
padaku, di mana Eyang Bantara! Jangan coba-coba menyembunyikannya! Cepat,
sebelum segalanya terlambat! Dan kau akan bernasib seperti si Tarung dan
perguruannya!"
Terdengar suara gemeretak dari
mulut si Jari Maut mendengar ucapan dan sikap Caraka yang kurang ajar. Tapi,
kemarahannya sedikit bercampur keheranan besar! Ancaman Caraka mengisyaratkan
seakan-akan pemuda itulah yang telah melakukan pembantaian Perguruan Ayam Emas.
Karuan saja hal itu membuat si
Jari Maut bingung. Apakah telinganya tidak salah dengar? Sampai mati pun dia
tidak percaya kalau orang seperti Caraka mampu melakukan itu. Dia tahu betul,
sampai di mana ketinggian ilmu Caraka. Walaupun diakui Caraka mempunyai ilmu
tinggi, tapi paling hebat hanya setingkat dengan Lintar, murid utama Perguruan
Ayam Emas! Tak akan mungkin bila mampu membunuh Ki Tarung!
"Rupanya kau mengetahui
tentang pembunuhan di Perguruan Ayam Emas itu juga, Caraka?" panci si Jari
Maut.
"Hmh...""
Caraka mendengus, kemudian
melangkah ke belakang beberapa tindak. Tangannya diulurkan menyentuh tangan
Gandula, yang sejak tadi hanya menggeram saja.
"Aku dan kawanku inilah
yang telah menghancur- leburkan Perguruan Ayam Emas itu, Jari Maut!" jelas
Caraka penuh nada bangga.
"Hukh!"
Tubuh si Jari Maut terhuyung
ke belakang seperti diseruduk seekor kerbau. Ucapan Carakalah yang
menyebabkannya demikian.
Wigati bergegas menghampiri.
"Apa yang terjadi,
Ayah...?" tanya Wigati penuh rasa khawatir.
Berbeda dengan Wigati, Arya
dan Melati diam saja. Mereka tahu, si Jari Maut hanya mengalami guncangan hati.
Sepasang muda-mudi ini lebih memusatkan perhatian pada Gandula, sosok yang
mengherankan hati
Sepasang mata Caraka
berkilat-kilat ketika melihat Wigati, gadis yang teiah membuatnya tergila-gila.
Tapi dasar mata keranjang, ekor matanya pun sejak tadi beberapa kali mengerling
ke arah Melati. Tampak liar, dan menyimpan nafsu birahi! "Sekarang ayahmu
tidak apa-apa, Wigati. Tapi tak lama lagi, aku tidak berani menjamin
keselamatannya!" ejek Caraka.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras.
Rupanya dia merasa sudah tidak sabar lagi mengetahui berita tempat Eyang
Bantara berada.
Caraka terjingkat kaget,
karena geraman Gandula menyadarkannya. Maka, dia tidak berani bertele-tele
lagi. Memang, dia belum mengenal betul watak Gandula. Jadi, bukan hal yang
mustahil apabila makhluk berkepala botak itu tiba-tiba mengamuk. Jangan-jangan,
dia pun ikut menjadi korban amukannya.
"Cepat, Jari Maut!
Katakan, di mana Eyang Bantara!" teriak Caraka keras.
"Cuhhh...!"
Wigati menyemburkan ludahnya
ke arah Caraka. Kini gadis itu tidak merasa heran lagi melihat sikap Caraka
yang sombong. Dia seperti juga ayahnya, tahu kalau Caraka pasti mengandalkan
makhluk aneh yang diakui sebagai teman.
Si Jari Maut menggeram keras.
"Sikapmu telah melampaui
batas, Caraka. Kau harus diberi pelajaran agar tidak semakin kurang ajar! Dan
kalau Donggala, pamanmu itu marah, aku tidak ragu-ragu lagi menghajarnya
pula!"
Usai mengucapkan ancaman, si
Jari Maut melangkah menghampiri Caraka. Tentu saja Caraka yang telah mengetahui
kesaktian ayah Wigati itu, tidak mau mencari penyakit. Buru-buru kakinya
melangkah mundur dan berlindung di belakang Gandula.
"Dia tidak mau mengatakan
di mana adanya Eyang Bantara, Gandula. Kini semuanya kuserahkan padamu untuk mengurusnya!"
kata Caraka, licik.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras. Dia
murka bukan kepalang terhadap si Jari Maut. Telah didengarnya sendiri, Caraka
berkali-kali mengajukan pertanyaan, tapi sama sekali tidak dijawab oleh si Jari
Maut. Dan ini sudah membuatnya cukup mempunyai alasan untuk membunuh kakek
berpakaian kuning itu. Si Jari Maut sama sekali tidak merasa gentar. Bahkan
sebaliknya, dadanya terasa panas karena hawa amarah yang membakar dada. Sudah
bisa diperkirakan, Gandula-lah pelaku pembantaian di Perguruan Ayam Emas. Siapa
pun makhluk aneh ini, dan dari mana pun asalnya, sudah tidak terpikirkan lagi.
Yang menjadi keinginannya hanya satu. Membunuh Gandula dan Caraka untuk
membalaskan kematian sahabat kentalnya.
Si Jari Maut tahu, Gandula
pasti bukan tokoh sembarangan. Makhluk berkepala botak itu pasti memiliki
kepandaian yang amat tinggi. Kalau tidak, mustahil Ki Tarung bisa tewas di
tangannya. Padahal, kepandaian Ketua Perguruan Ayam Emas itu hanya berselisih
sedikit daripadanya. Itulah sebabnya, si Jari Maut bersiap-siap mengeluarkan
ilmu andalannya, 'Jari Pengejar Nyawa'!
Kakek tinggi kurus ini
menyusun jari-jari tangannya. Jari telunjuk diacungkan, sedangkan jari-jari
tangan lainnya dikepalkan. Inilah ilmu 'Jari Pengejar Nyawa'.
Wigati, Arya, dan Melati
segera menyingkir. Demikian pula Caraka. Mereka memperhatikan pertarungan yang
akan berlangsung dengan perasaan tegang, Sementara, Caraka sambil tersenyum
simpul juga terus memperhatikan. Jelas dia merasa yakin, Gandula akan keluar
sebagai pemenang.
Sementara itu, Arya semakin
dilanda rasa heran ketika mengetahui perasaan gelisah yang melandanya semakin
besar. Bahkan sudah menjurus ke arah perasaan takut. Siapakah Gandula
sebenarnya?
"Apakah ayahmu mengenal
orang yang bernama Eyang Bantara, Wigati?" tanya Arya pelan.
"Entahlah, Arya,"
Wigati menggelengkan kepala. "Tapi aku yakin dia tidak
mengetahuinya."
"Apakah makhluk berkepala
botak itu kawan Caraka?"
Arya kembali bertanya, setelah
beberapa saat lamanya tercenung dengan dahi berkernyit
"Aku baru pertama kali
ini melihatnya, Arya.
Mengapa?" Wigati malah
balik bertanya.
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, ia malah menghembuskan napas dalam-dalam.
"Aku merasa ada keanehan
pada laki-laki berkepala botak itu, Wigati. Dugaanku, Caraka memperalatnya
untuk kepentingan dirinya sendiri," jelas Arya. "Dari mulut murid
Perguruan Ayam Emas, sempat kudengar kalau Caraka dan kawannya pernah
menanyakan tentang orang yang bernama Eyang Bantara. Dan ketika jawaban itu
tidak didapat, mereka semua dibantai!"
Wigati terdiam dengan dahinya
berkernyit. Jelas, ada sesuatu yang dipikirkannya. Tapi hal itu segera
dilupakannya ketika melihat ayahnya telah siap bertarung dengan Gandula. Arya
pun rupanya sudah merasa cukup mengeluarkan uneg-unegnya. Pandangannya
dilayangkan ke arah yang sama dengan Wigati. Demikian pula halnya dengan Melati
yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar
saja.
7
"Haaat…!"
Diiringi bentakan keras yang
membuat Caraka dan Wigati menutup telinga, si Jari Maut melancarkan serangan.
Dia melompat menerjang dengan kedua jari telunjuk meluncur cepat ke arah
makhluk berkepala botak itu. Serangkaian serangan bertubi-tubi tampak mengarah
ke ubun-ubun. Ada suara mendecit nyaring seperti seekor tikus terjepit ketika
jari-jari tangan itu meluncur ke arah sasaran.
"Terimalah kematianmu,
Manusia Dungu!" seru Gandula keras, seraya menudingkan jari telunjuk ke
tanah. Untuk yang kesekian kalinya, terjadi peristiwa yang membuat
berpasang-pasang mata terbelalak. Keadaan yang dialami si Jari Maut, laksana
seekor burung yang tengah terbang di angkasa, kemudian meluncur sebatang anak
panah menembus tubuhnya! Namun, terjangan si Jari Maut terhenti secara
mendadak. Dan tahu-tahu, tubuhnya meluncur deras ke tanah dengan kepala lebih dulu!
Cepat sekali meluncurnya tubuh itu ke tanah!
"Ayah...!"
"Ki...!"
Hampir berbareng, Arya, Melati
dan Wigati terpekik. Mereka semua merasa terkejut bukan kepalang melihat
kejadian aneh yang menimpa kakek tinggi kurus itu. Memang buat Wigati dan
Melati, mereka sama sekali tidak mengerti kejadian yang tengah menimpa si Jari
Maut. Tapi tidak demikian halnya dengan Arya. Pemuda berambut putih keperakan
itu sudah bisa memperkirakan, mengapa tubuh si Jari Maut bisa meluncur ke
bawah.
Memang Arya pernah mengalami
hal seperti itu. Hanya saja, waktu itu saat berlatih dengan gurunya, Ki Gering
Langit. Kejadiannya persis seperti yang dialami oleh si Jari Maut.
"Mungkinkah laki-laki
berkepala botak ini memiliki ilmu 'Pitunduk'?" tanya Arya dalam hati.
Tapi, Dewa Arak tidak sempat
berpikir lebih lama lagi. Maka buru-buru dia melompat ke arah si Jari Maut.
Maksudnya hendak menyelamatkan kakek tinggi kurus itu sebelum kepalanya
menghantam tanah!
Sementara itu, si Jari Maut
sendiri dicekam rasa kaget yang tidak terperikan. Betapa tidak? Tubuhnya
meluncur ke bawah tanpa mampu berbuat apa-apa. Betapapun seluruh ilmu
meringankan tubuhnya telah dikerahkan untuk menahan kecepatan luncuran, tetap
saja tidak mampu! Tubuhnya terus meluncur ke tanah dengan kecepatan tinggi.
"Hih...!"
Saat itulah, pertolongan Dewa
Arak tiba. Memang, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak jadi
seperti mempunyai sepasang sayap. Sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk
melakukan gerakan dan lompatan seperti apa pun, dan dalam keadaan yang
bagaimanapun.
Tappp...!
Dewa Arak berhasil menangkap
pergelangaikai si Jari Maut. Tapi akibatnya tubuhnya malal ikt terbawa turun!
Untung saja secepat dia menangkap pergelangan kaki si Jari Maut, secepat itu
pula disetakkannya, sambil melepaskan cekalan.
Suara bergemeletuk yang
terdengar menjadi pertanda lepasnya sambungan tulang kaki kanan si Jari Maut.
Memang, sentakan Dewa Arak keras bukan main! Namun usaha Dewa Arak ternyata
tidak percuma! Walaupun, sentakan itu sama sekali tidak mampu menghalangi luncuran tubuh si Jari Maut namun
ternyata nyawanya bisa diselamatkan. Karena sentakan itu telah membuat arah
luncuran agak nyerong, sehingga hanya bahu kanan nya saja yang menghantam
tanah.
Brukkk...!
Keras sekali tubuh si Jari
Maut menghantam tanah. Sebuah seringai kesakitan tampak di mulutyna. Tapi si
Jari Maut pantang menyerah. Tanpa memperdulikan rasa sakit yang melanda, dia
langsung bangkit dan menerkam Gandula. Kali ini Gandula sama sekali tidak
berbuat sesuatu,
dan malah seperti membiarkan
terkaman lawan. Anehnya, tubuh si Jari Maut mendadak terjengkag ke belakang.
Dirasakan ada sebuah kekuatan tak nampak yang membuat kekuatannya membalik
sendiri. Di sekitar tubuh Gandula seperti dikungkungi gumpalan karet yang mampu
membuat tubuh lawan yang nyerang malah terpental balik!
Maka, seketika tubuh si Jari
Maut melayang deras ke belakang, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk mematahkan
lontaran itu.
Semua itu diperhatikan Melati
dan Wigati dengan pandangan mata cemas, ngeri, bercampur takjub. Bahkan Arya
yang telah berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah pun, menyaksikannya
pula.
*** Wigati yang merasa cemas
bukan kepalang melihat keadaan ayahnya, hendak bergerak menolong. Tapi, keburu
dicegah Melati.
"Lebih baik diam saja,
Wigati. Biarkan Dewa Arak dan ayahmu yang melawannya. Kalau mereka saja tidak
mampu menghadapinya apalagi kita?"
Kepala Wigati bagai diguyur
seember air es. Langsung disadari kalau Melati benar! Kalau ayahnya dan Dewa
Arak saja tidak mampu, apalagi dirinya?! Maka kini gadis itu hanya bisa
memperhatikan Dewa Arak yang langsung melesat ke arah si Jari Maut. Jelas,
pemuda berambut putih keperakan itu ingin mematahkan kekuatan yang membuat
tubuh ayah Wigati terlempar!
Tappp!
Dewa Arak berhasil menangkap
tangan si Jari Maut, dan langsung membawanya. Agak sedikit heran hati Dewa Arak
ketika menyadari kekuatan yang mendorong tubuh kakek itu tidak seberapa kuat!
Namun Dewa Arak cepat menyadari kalau Gandula sama sekali tidak melakukan
gerakan penyerangan apa pun. Dan memang, makhluk berkepala botak itu sama
sekali tidak menyerang!
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan
manis, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara si Jari Maut
buru-buru melompat turun.
Sesaat Arya dan si Jari Maut
saling berpandangan. Mereka merasa heran, ketika melihat Gandula sama sekali
tidak menyerang lagi. Meskipun begitu, keduanya tetap bersikap waspada.
Sepasang mata keduanya pun menatap Gandula penuh selidik, dan bersiap-siap
menghadapi munculnya serangan mendadak.
"Kau hebat juga, Pemuda
Rambut Putih!" kata Gandula, selalu diiringi geraman. "Aku kagum
padamu. Maka, kau kuberi kesempatan untuk bertarung denganku dalam keadaan kau
siap! Berdua dengan kawanmu pun boleh!"
Arya dan si Jari Maut saling
berpandangan. Kini keduanya mengerti, mengapa tidak muncul serangan
lanjutannya. Rupanya, Gandula ingin mereka bersiap-siap lebih dulu.
"Kuterima tantanganmu..., Kisanak," sahut Dewa Arak lantang.
"Tapi kumohon, kau mau melepaskan orang yang tidak tersangkut dengan
urusan ini!"
"Hmrrrhhh...! Apa
maksudmu?!" sentak Gandula keras. "Jangan main-main denganku!"
Dewa Arak menggelengkan
kepala.
"Aku tidak
main-main," kata Arya sungguh-sungguh. "Aku hanya ingin kau
membiarkan kedua orang wanita itu pergi!"
"Jangan kabulkan
permintaannya, Gandula! Wanita- wanita itulah yang bisa kita gunakan untuk
mengorek keterangan tentang Eyang Bantara. Dengan adanya wanita itu sebagai
sandera, kita bisa membuat mereka bercerita mengenai Eyang Bantara!" seru
Caraka buru-buru
Pemuda berpakaian indah,
keponakan Juragan Donggala ini khawatir Gandula akan mengabulkan permintaan
itu. Padahal, dia sudah tidak sabar lagi untuk mendapatkan Wigati. Dan yang
lebih menggembirakan hatinya, di sana masih ada gadis yang jauh lebih cantik
daripada Wigati. Melati!
"Sayang sekali, aku tidak
bisa memenuhi keinginanmu!" tegas Gandula.
Dewa Arak dan si Jari Maut
saling berpandangan. Semula mereka yakin, Gandula akan memenuhi permintaan
mereka. Tapi, maksudnya diurungkan oleh ucapan Caraka. Karuan saja hal ini
membuat dua tokoh sakti ini khawatir. Mereka tahu, Gandula telah kena diperalat
Caraka! Padahal, pemuda berpakaian indah itu adalah seorang yang memiliki watak
bejat. Tidak mustahil kalau kekacauan pasti akan timbul.
Sebuah dugaan menyelinap di
hati si Jari Maut dan Dewa Arak. Jangan-jangan, tindakan pembantaian di
Perguruan Ayam Emas pun terjadi karena keinginan Caraka. Begitu pula dengan
kejadian yang akan menimpa si Jari Maut.
Si Jari Maut mempunyai alasan
yang lebih kuat. Dia tahu, Caraka memang mempunyai dendam terhadap murid
Perguruan Ayam Emas. Terutama sekali pada Lintar. Karena murid kepala Perguruan
Ayam Emas itu telah beberapa kali menggagalkan tindak kejahatan Caraka.
Tambahan lagi, Lintar lah yang direncanakan menjadi suami Wigati! Namun keadaan
yang tengah dihadapi, memaksa Dewa Arak dan si Jari Maut melupakan
pikiran-pikiran yang menggeluti kepala. Maka mereka bersiap-siap mengadakan
perlawanan.
Si Jari Maut buru-buru
mempersiapkan ilmu 'Jari Pengejar Nyawa' andalannya. Sedangkan Arya segera
mengambil guci arak yang tergantung di punggung dan kemudian menuangkan ke
dalam mulut
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Arya dalam perjalanan menuju ke perut. Kontan ada
hawa hangat yang merayapi perut Dewa Arak, kemudian merayap ke atas kepala.
Sikap kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap. Ini menjadi pertanda kalau pemuda
berambut putih keperakan itu telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'
andalannya.
"Haaat...?" teriak
si Jari Maut keras. Seiring keluarnya teriakan, kakek tinggi kurus itu
melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada ulu hati dan pusar lawan.
Decitan angin tajam pun kontan terdengar.
Wusss...!
Pada saat yang hampir
bersamaan, Dewa Arak pun menerjang Gandula. Tubuhnya melayang udara, dan bersalto
beberapa kali. Kemudian, guci yang tergenggam di tangan kanannya diayunkan ke
arah kepala Gandula. Apabila mengenai sasaran, sudah bisa dipastikan kalau
kepala makhluk aneh akan hancur berantakan.
Kali ini di sekeliling Gandula
tidak ada kekuatan aneh yang mampu membuat tubuh si penyerang terlontar
kembali. Sehingga, Dewa Arak dan si Jari Maut leluasa melancarkan serangan.
"Pergilah kalian ke
neraka!" bentak Gandula. Akibatnya luar biasa bagi Dewa Arak dan si Jari
Maut. Terjangan mereka kontan pupus. Bahkan sebaliknya, tubuh mereka terlempar
deras ke belakang! Dewa Arak yang berada di udara, terpental melayang ke
belakang, dengan arahnya agak menyerong ke atas. Sedangkan si Jari Maut yang
berada terjengkang ke belakang, tapi tidak ke udara seperti Dewa Arak
"Kang Arya...!"
teriak Melati. "Ayaaah...!" jerit Wigati pula. Hampir berbareng,
kedua gadis yang sama-sama cantik manis ini menghambur ke arah Dewa Arak dan si
Jari Maut.
"Tangkapkan gadis
berpakalan biru untukku, Gan- dula," kata Caraka bernada perintah.
Gandula hanya menggeram pelan.
Jari telunjuk kanannya bergerak pelan, tapi akibatnya, Wigati yang tengah
berlari merasa sekujur tubuhnya langsung lemas mendadak! Sekujur otot-otot dan
urat-urat syarafnya seperti kehilangan daya. Hasilnya, tubuhnya pun terjerembab
ke tanah. Namun demikian, Wigati sempat melihat tubuh ayahnya yang meluncur
deras ke arah gundukan batu sebesar gajah. Dan....
Prakkk!
Tanpa sempat bersambat lagi,
nyawa si Jari Maut pun pergi meninggalkan raga Darah bercampur otak muncrat-
muncrat dari kepalanya yang hancur berantakan. Tubuh itu pun kemudian ambruk di
tanah, dan tak bergerak lagi untuk selamanya.
"Ayah...!"
Wigati berusaha menjerit
keras. Tapi perasaan lemas mendadak yang melanda tubuhnya, ternyata juga
mempengaruhi suaranya. Sehingga jeritan yang keluar terdengar seperti keluhan!
"Ha ha ha...!"
Caraka tertawa bergelak-gelak.
Hatjnya merasa gembira bukan kepalang melihat si Jari Maut telah tewas. Dengan
langkah lebar-Iebar dihampirinya Wigati yang masih tergolek tak berdaya.
"Akhirnya kau kudapatkan
juga, Wigati," kata Caraka bernada kemenangan.
Pemuda berpakaian indah itu
kemudian mengulurkan tangan. Dan sekali jari tangannya menotok punggung, Wigati
pun terkulai. Caraka terpaksa menotok karena Gandula telah memberitahukan,
kalau rasa lemas yang melanda Wigati tidak akan berlangsung lama!
"Hup...!"
Dengan wajah berseri-seri
gembira, diangkatnya tubuh Wigati. Meskipun ada sedikit perasaan kecewa karena
Melati tidak berhasil didapatkan. Memang, gadis berpakaian putih itu telah
lenyap ke balik kerimbunan pepohonan dalam usahanya mengejar tubuh Dewa Arak
yang melayang jauh ke udara, tak ke tahuan di mana jatuhnya.
Kalau menuruti perasaan,
Caraka ingin mengejarnya. Tapi dia khawatir tidak akan mampu menandingi Melati.
Maka, maksudnya itu diurungkan. Biarlah kali ini hatinya puas dengan hanya
berhasil mendapatkan Wigati!
Sementara itu, Gandula hanya
mengawasi saja semua kelakuan Caraka. Ada perasaan putus asa yang menyelinap,
mengingat orang-orang yang ditemuinya tidak mengetahui Eyang Bantara. Jangankan
tempat tinggalnya, namanya pun jarang dikenal. Kini dia hanya menggantungkan
harapan pada Caraka yang mengaku tahu sahabat-sahabat Eyang Bantara.
"Mari, Gandula. Kita
kembali dulu untuk beristirahat. Nanti kutunjukkan kawan-kawan Eyang Bantara
yang lain. Sayang, si keparat Jari Maut tidak menunjukkannya."
Setelah berkata demildan,
Caraka melangkah meninggalkan tempat itu. Ada senyum gembira tersungging di
bibirnya. Dia merasa gembira berhasil mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya
selama ini. Sedangkan Gandula hanya menggeram pelan, kemudian melangkah
mengikuti Caraka yang telah melangkah lebih dulu.
Sepeninggal Gandula dan Caraka
suasana kembali hening. Tidak terdengar lagi suara sedikit pun. Kesunyian
menyelimuti tempat itu, sehingga tampak menyeramkan!
***
Dengan pandangan mata tertuju
pada tubuh Dewa Arak yang terus melayang, Melati mengayunkan kakinya mengejar.
Beberapa kali kakinya tersandung akar-akar pohon melintang yang menyembul
keluar permukaan tanah. Hanya berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkatan tinggi saja, sehingga dia tidak jatuh tersungkur di tanah.
Wajah Melati kontan pucat pasi
ketika melihat tubuh kekasihnya meluncur ke arah sebatang pohon besar.
"Kang Arya...! Awas... ! Kau
akan menabrak pohon besar...!" teriak Melati kalap.
Arya yang sejak tadi melihat
Melati memburunya, tentu saja mendengar seruan itu. Dia memang tidak melihat
sasaran tempat tubuhnya meluncur, karena luncurannya didahului oleh dengan
punggung.
Namun apa dayanya? Sejak tadi
pun kekuatan yang membuat tubuhnya meluncur telah diusahakan untuk dipatahkan.
Tapi, tetap saja dia tidak mampu. Sekarang pun Dewa Arak masih tetap
melanjutkan usahanya, walaupun tanpa hasil! Apakah nasibnya akan berakhir di
sini?
Arya sudah bisa memperkirakan,
apabila tubuhnya menghantam batang pohon itu, pasti akan tewas. Atau paling
tidak, akan
terluka parah. Tulang-tulang
punggungnya
akan hancur berantakan karena
dia sama sekali tidak bisa mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi
tubuhnya.
Sementar a Melati hanya
bisa memperhatikan semua
kejadian itu dengan sepasang mata terbelalak. Gadis itu sama sekali tidak bisa
berbuat apa pun untuk
menyelamatkan kekasihnya. Karena, tubuh Arya meluncur melewati sebuah sungai
yang cukup lebar. Paling tidak, akan membutuhkan waktu beberapa saat, sebelum
sampai ke seberang. Dan andaikata bisa mencapai seberang sungai pun, tubuh Arya
pasti sudah menghantam pohon besar itu. Namun meskipun demikian, Melati tidak
putus asa. Maka segera dipungutnya potongan kayu yang ada di sekitar shu.
Benda-benda itu diperlukannya untuk mencapai seberang.
"Hih...!"
"Hih...!" belum juga Melati mencapai pertengahan sungai, daya
lompatannya sudah habis. Melati buru-buru menjauhkan potongan kayu pertama,
untuk tempat berpijaknya di atas air.
Meskipun tengah sibuk dengan
usahanya, Melati masih sempat memperhatikan tubuh Dewa Arak yang terus meluncur
deras ke arah pohon besar!
Dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya, Melati melompat. Tapi seperti yang sudah diduga, belum juga
mencapai pertengahan sungai, daya lompatannya habis. Tubuhnya kontan meluncur
ke permukaan sungai. Dan sebelum tubuhnya tercebur ke dalam sungai, Melati
buru- buru menjatuhkan potongan kayu pertama, tepat di bagian sungai tempat
tubuhnya akan terjatuh.
Prattt...!
Begitu kakinya menyentuh kayu
itu, Melati langsung menotolkan kaki. Maka, tubuhnya pun kembali melenting ke
atas. Dan hal yang sama dilakukan Melati ketika tubuhnya hampir meluncur ke
sungai kembali.
Meskipun tengah sibuk dengan
usahanya, Melati masih sempat memperhatikan Arya. Hampir sepasang matanya
terbelalak ketika melihat tubuh Arya yang tengah meluncur deras ke arah pohon
besar, mendadak terhenti dan melayang turun!
Sambil melentingkan tubuh
kembali sehabis menjejak potongan kayu, Melati mengalihkan pandangan ke arah
tempat tubuh Arya meluncur turun.
Kontan bulu tengkuk Melati
merinding ketika melihat seorang kakek berpakaian putih bersih berdiri di situ.
Kumis, jenggot, dan jambangnya telah memutih semua. Bahkan panjang jenggotnya
sampai ke dada! Sekujur tubuh kakek itu tampak seperti mengeluarkan sinar
berkilauan! Terutama sekali wajahnya! Bahkan Melati sampai memejamkan mata
karena tak kuat memandang wajah kakek itu berlama-lama. Silau!
"Hup...!"
Pada saat yang bersamaan
dengan mendaratnya kedua kaki Melati di seberang sungai, Arya pun hinggap di
tanah pula, tepat di depan kakek itu. "Guru...," sebut Arya sambil
memberi hormat. Kini keheranan yang melanda hati Arya lenyap. Memang, semula hatinya
merasa heran ketika merasakan luncuran tubuhnya terhenti, lalu meluncur turun.
Apalagi ketika dirasakan kepandaiannya mampu dikeluarkan kembali! Tapi setelah
mengetahui keberadaan kakek berpakaian putih bersih di situ, keheranannya pun
langsung hilang.
Kakek berpakaian putih bersih
yang memang tidak lain adalah Ki Gering Langit hanya tersenyum lebar.
"Bangunlah, Arya,"
ujar Ki Gering Langit pelan Arya pun bangkit berdiri. Dan pada saat itulah,
Melati melangkah ragu-ragu menghampiri. Kemudian, gadis itu berdiri di sebelah
kekasihnya.
"Syukur kau selamat,
Kang," ucap Melati, masih bergetar suaranya karena perasaan tegang yang
melanda. "Padahal, tadi aku sudah khawatir sekali "
"Gurulah yang telah
menyelamatkanku, Melati," jelas Arya. Langit. Melati pun buru-buru memberi
hormat pada Ki Gering "Terima kasih atas pertolonganmu pada Arya,
Ki," kata Melati penuh terima kasih.
"He he he...!" Ki
Gering Langit tertawa. Lembut sekali suaranya, sehingga menyejukkan dada.
"Guru manapun akan menyelamatkan muridnya selama bisa dilakukan,
Melati."
Wajah Melati kontan berubah
muram. Ucapan Ki Gering Langit mengingatkannya akan nasib gurunya yang tewas
secara mengenaskan. Tapi toh, gurunya yang bernama Ki Julaga itu merasa gembira
sebelum mati. Gembira karena murid yang disayanginya berhasil dibujuk untuk
menyelamatkan diri, persis seperti ucapan Ki Gering Langit.
Teringat akan nasib gurunya
membuat Melati teringat akan pesan yang dititipkan kepadanya sebelum kakek itu
meninggal dunia.
"Boleh aku bertanya,
Ki," tanya Melati sambil menatap wajah guru Arya, tapi pandangannya
kemudian dipalingkan lagi karena tak tahan menghadapi sinar-sinar pada wajah
itu terlalu lama.
"Tanyakanlah,"
sambut Ki Gering Langit lembut. Keberanian Melati semakin membesar mendengar
sambutan kakek berpakaian putih bersih itu. Memang, semula dia merasa segan
untuk mengajukan pertanyaan. Ada sesuatu dalam diri Ki Gering Langit yang
membuat orang merasa segan dan hormat padanya.
"Apakah kau yang bernama
Ki Gering Langit, Ki?" tanya Melati, polos.
Di bibir Ki Gering Langit
tersungging senyuman ketika Melati mengucapkan pertanyaannya.
"Benar, Melati. Aku Ki
Gering Langit. Apakah Arya tidak pernah bercerita tentang diriku padamu?"
Ki Gering Langit malah balas bertanya. "Padahal padaku, Arya banyak
bercerita tentang dirimu."
Ucapan bernada godaan ini
membuat wajah Melati memerah. Bahkan Arya pun memaksakan diri untuk berdehem,
karena terasa ada sesuatu yang mengganjal di lehernya. Sungguh sama sekali
tidak disangka kalau gurunya bisa bercanda pula!
"Pernah, Ki. Arya pemah
bercerita tentang dirimu," jawab Melati setelah rasa malunya lenyap
"Guruku pun banyak bercerita tentang dirimu, Ki."
8
Ki Gering Langit
mengangguk-anggukkan kepala. "Arya
pun sudah menceritakannya padaku,
Melati.
Bukankah gurumu adalah Ki
Julaga?" tanya Ki Gering Langit "Benar, Ki,"
jawab Melati sambil menganggukkan
kepala.
Di dalam
hati, Melati merasa
heran bercampur
kagum. Tampak tidak ada
kemarahan, kejengkelan atau dendam baik pada raut wajah maupun nada suara guru Arya. Padahal, Ki Julaga itu adalah
pelayan Ki Gering Langit yang telah mengkhianatinya. Dia telah kabur dari
tempat tinggalnya dan membawa
lari kitab-kitab pusaka.
Lalu Melatilah yang menjadi pewaris tunggal dari ilmu-iimu yang dimiliki
Ki Julaga. Berarti, Melati terhitung cucu murid Ki Gering Langit.
"Sudah cukup lama aku
ingin menemuimu, Ki," kata Melati lagi setelah beberapa saat lamanya
terdiam.
"Mengapa kau ingin
bertemu denganku, Melati?'" tanya Ki Gering Langit tersenyum dikulum.
Arya bertanya-tanya dalam
hati. Mengapa Melati ingin bertemu dengan Ki Gering Langit? Malahan niat itu,
katanya, sudah lama! Untuk apa? Dan mengapa Melati tidak pemah menyatakan hal
itu padanya? Dan lagi, seingatnya Melati tidak pernah bertemu dengan Ki Gering
Langit (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 'Tinju
Penggetar Bumi").
Berbagai pertanyaan bergelayut
di benak Arya. Tapi tidak ada satu jawaban pun yang didapatkannya.
"Bukankah waktu itu kau
telah bertemu denganku?" tanya Ki Gering Langit.
Arya mengangguk membenarkan
ucapan gurunya. "Waktu itu, aku belum dititipi amanat, Ki," jawab
Melati yang membuat Arya dan
Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi..., ada orang yang
ingin menyampaikan pesan padaku. Dan kau yang menjadi kurirnya, Melati?"
duga Ki Gering Langit, tetap dengan suara lembut.
Melati menganggukkan kepala.
Arya memandang wajah gurunya
sekilas. Kini sudah bisa diduga, orang yang telah menyampaikan pesan pada
Melati itu pasti Ki Julaga (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode "Dendam Tokoh Buangan").
"Sebelum meninggal...,
guru telah meniripkan pesan padaku untuk meminta maaf padamu, Ki. Dia merasa
bersalah karena telah mengkhianatimu...," kata Melati dengan suara serak
dan terbata-bata.
Ki Gering Langit mengelus-elus
jenggotnya. "Sebenarnya...,
aku sudah lama memaafkannya,
Melati. Apalagi ketika kutahu,
dia sudah menyadari kesalahannya. Tambahan lagi, dia telah berhasil mendidik
seorang pendekar wanita yang gagah seperti dirimu. Aku sudah lama
memaafkanmu, kalau tidak,
mungkin sudah sejak dulu kusuruh
Arya untuk menghukumnya," urai kakek berpakaian putih bersih itu panjang
lebar.
"Tapi..., dia ingin
mendengar kau sendiri yang mengatakan bahwa semua kesalahannya telah kau
maafkan, Ki," kata Melati lagi. "Biar hatinya tenang, Begitu katanya,
Ki."
"Baiklah," Ki Gering
Langit mengalah. "Kalian berdua menjadi saksi atas ucapanku ini. Aku, Ki
Gering Langit telah memaafkan semua kesalahan-kesalahan yang dibuat Ki
Julaga."
"Terima kasih atas
kebaikan hatimu, Ki," ujar Melati penuh haru karena teringat nasib gurunya
kembali. Ki Gering Langit mengulapkan tangannya.
"Tidak perlu berterima
kasih, Melati, bahkan kalau kutahu ilmu yang dicurinya malah menimbulkan seorang
pendekar wanita sepertimu, aku malah mengizinkannya untuk mencuri kitabku yang
lain. Andaikata kitab itu ada!"
Seulas senyum sendu
tersungging di bibir Melati. Senyum yang hadir dalam cekaman hati yang masih
dilanda kedukaan.
Arya buru-buru merangkulnya.
"Kalau saja gurumu masih hidup, tak bisa kubayangkan, betapa besar
perasaan gembiranya melihat bakti yang kau berikan padanya, Melati," kata
Ki Gering Langit lagi.
Memang, kakek berpakaian putih
bersih itu telah mendengar kematian Ki Julaga dari Dewa Arak. Sedangkan Arya
sendiri mendengarnya dari Melati.
Suasana langsung hening ketika
Ki Gering Langit menghentikan ucapannya. Karena, baik Arya maupun Melati tidak
memberikan tanggapan.
"Sekarang giliranmu,
Arya," kata Ki Gering Langit sambil menoleh ke arah pemuda berambut putih
keperakan itu "Katakanlah ganjalan di hatimu."
Arya agak tergagap mendapat
pertanyaan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Tapi hanya sebentar
saja, karena sesaat kemudian sudah bisa mengendalikan diri.
"Memang ada hal-hal yang
ingin kutanyakan, Guru," kata Arya setelah tercenung beberapa saat
lamanya. "Mengenai belalang raksasa yang ada di alam gaib."
Kemudian, Arya menceritakan
semua kejadian yang dialaminya sampai bertemu belalang raksasa. Ki Gering
Langit mendengarkan semua cerita Arya penuh perhatian. Sama sekali cerita murid
nya tidak diselak. Namun bukan hanya kakek berpakaian putih itu saja yang
mendengarkan cerita Arya. Melati pun ikut mendengarkan. Kini dia pun mengerti,
hal-hal aneh yang terjadi sewakru Arya berhasil menewaskan Dedemit Api (Untuk
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dalam Cengkeraman
Biang Iblis").
"Begitulah ceritanya,
Guru," tutur Arya, menye- lesaikan ceritanya.
Ki Gering Langit
mengangguk-anggukkan kepala. "Apa yang kau dengar dan kau lihat di dalam
mimpimu itu memang benar, Arya. Mimpi itu bukan hanya sebagai bunga tjdur. Itu
memang cara lain yang bisa kugunakan untuk memberitahukanmu," kalem
jawaban Ki Gering Langit.
"Jadi..., belalang
raksasa itu benar-benar ada, Guru?" desak Arya ingin tahu.
Ki Gering Langit menganggukkan
kepala.
"Dan benarkah belalang
raksasa itu bisa kubawa masuk ke dalam diriku. Guru?" tanya Arya lagi
meminta kepastian.
"Bukankah kau sendiri
telah membuktikannya, Arya?" Ki Gering Langit malah balas bertanya.
Arya menganggukkan kepala.
Kini hatinya merasa lega, karena pertanyaan yang sudah lama menggelayuti
benaknya telah terjawab.
"Satu hal yang perlu kau
tahu, Arya. Kau jangan sembarangan membawa masuk belalang raksasa itu.
Lakukanlah hal itu apabila sudah tidak sanggup menghadapi lawanmu!" jelas
Ki Gering Langit
''Akan kuingat-ingal semua
nasihatmu itu, Guru," janji Arya.
"Bagus!" puji Ki
Gering Langit "Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Arya. Setiap kali
kau membawa belalang raksasa itu ke dalam dirimu, kemampuan ilmu 'Belalang
Sakti'mu akan bertambah. Baik tenaga dalam, maupun kemampuan jurus-jurus dalam
ilmu 'Belalang Sakti'mu. Semakin lama belalang raksasa itu ada di dalam dirimu.
semakin banyak ilmu yang akan kau serap."
Kembali sebuah teka-teki yang
selama ini menggelayuti benak Arya, terjawab. Tidak heran jika pada saat itu
dia mampu mengalahkan Dedemit Salju. Padahal, Dedemit Salju belum tentu kalah
menghadapi Dedemit Api. Sedangkan Dewa Arak menghadapi Dedemit Api tanpa
bantuan belalang raksasa, pasti akan roboh.
"O ya, Arya. Ada sebuah
hal lagi yang ingin kuberitahukan padamu," kata Ki Gering Langit lagi.
"Mengenai lawan yang tadi kau hadapi."
"Ada apa dengan lawanku,
Guru?"
"Dia bukan manusia biasa,
Arya," jawab kakek berpakaian putih bersih itu. "Dia merupakan
gabungan antara makhluk alam gaib dengan manusia biasa. Ibunya, makhluk alam
gaib. Entah itu berupa siluman, jin, atau dedemit, aku kurang jelas. Dan
ayahnya adalah manusia biasa."
"Ah!"
Hampir berbareng Arya dan
Melati terpekik keras. "Dari mana kau mengetahui kalau lawanku itu adalah
makhluk alam gaib. Guru?"
tanya Arya ingin tahu.
Ki Gering Langit tidak
langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah terdiam beberapa saat lamanya.
"Pertama kali, adalah kejadian-kejadian
aneh pada alam. Apabila tidak ada sesuatu yang menggemparkan, alam tidak akan
menunjukkan gejala-gejala seperti itu," jawab Ki Gering Langit "Dan
yang kedua, ibu dari lawanmu datang menemuiku. Dia menceritakan semuanya."
"Bagaimana mungkin,
manusia dan makhluk halus bisa kawin dan mendapatkan keturunan, Ki?" tanya
Melati, heran bercampur ingin tahu.
"Kalau menurut sewajarnya
tidak mungkin, Melati. Tapi karena kedua-duanya menyimpang, yahhh...,
terjadilah hal seperti itu. Menurut berita yang kudapatkan, seorang penduduk
yang bernama Bantara ingin memperoleh kedudukan, kekayaan, dan juga ilmu
pengobatan. Dia bertapa beberapa lamanya, lalu menggauli seorang makhluk gaib
yang berwujud binatang."
Ki Gering Langit menghentikan
ceritanya sejenak. "Bantara sama sekali tidak mengetahui kalau kejadian
itu menyebabkan makhluk dari alam gaib itu hamil, dan akhirnya melahirkan anak
berjenis laki-laki. Setelah besar, anak campuran itu kemudian menanyakan
ayahnya pada sang Ibu. Hal itu karena dia memiliki keanehan ketimbang makhluk
lainnya."
Kembali Ki Gering Langit
menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil napas. Sementara, Melati dan Arya tetap mendengarkan dengan perasaan
semakin tertarik.
"Semula sang Ibu tidak
memberitahukannya. Tapi karena Gandula terlalu mendesak, akhirnya
diberitahukannya juga. Akibatnya, seperti ini. Gandula melakukan pencarian
terhadap ayahnya secara membabi buta."
"Lalu..., Eyang Bantara
itu sekarang di mana. Guru?" tanya Arya ingin tahu.
"Hhh...!"
Ki Gering Langit menghela
napas berat. Karuan saja hal ini membuat Arya dan Melati merasa heran dan
menduga-duga. Apakah telah terjadi sesuatu terhadap Eyang Bantara?
"Eyang Bantara telah
meninggal dunia sekitar seratus tahun yang lalu, Arya."
"Ahhh...!"
Hampir berbareng, Arya dan
Melati terpekik kaget. "Mengapa Gandula sama sekali tidak mengetahui hal
itu?" tanya sepasang
muda-muda itu dalam hati.
"Gandula sama sekali
tidak tahu kalau perbedaan waktu di alam gaib dengan di alam nyata sangat jauh.
Satu hari disana, mungkin sama dengan sepuluh tahun di sini," jelas Ki
Gering Langit ketika melihat keheranan yang membayang di wajah Arya dan Melati.
Kontan kepala Arya dan Melati
terangguk-angguk. Perasaan bingung yang melanda pun kontan lenyap. Yang tinggal
hanya perasaan kasihan terhadap Gandula. Sebab, usaha pencariannya ternyata
sia-sia!
"Kalau begitu, aku harus
memberitahukan hal ini pada Gandula, Guru," kata Arya mengambil keputusan.
"Aku tidak yakin Gandula
akan mendengarkan ucapanmu, Arya," sahut Ki Gering Langit. "Keinginannya
untuk bertemu ayahnya terlalu menggebu-gebu. Aku yakin, dia tidak mau
mendengarkan ucapan apapun selain pemberitahuan tempat tinggal ayahnya."
Arya langsung terdiam.
Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan gurunya.
"Meskipun begitu, memang lebih baik kau memberitahukannya dulu, Arya.
Barangkali saja Gandula bisa sadar. Apabila tidak, baru kau harus menunaikan
tugasmu selaku seorang pendekar. Memberantas semua kekacauan yang terjadi di
muka bumi, sebatas kemampuanmu!" tandas Ki Gering Langit.
Arya menganggukkan kepala,
pertanda siap memenuhi perintah itu. Tapi ternyata anggukan kepala pemuda
berambut putih keperakan itu terlihat kaku. Melati tentu tahu sebabnya. Dewa
Arak sama sekali tidak berdaya menghadapi Gandula!
"He he he...!" Ki
Gering Langit tertawa terkekeh. Rupanya masalah yang tengah melibat muridnya
diketahuinya. "Kau merasa kesulitan untuk menghadapinya, Arya?"
"Benar, Guru," sahut
Arya sambil menganggukkan kepala. "Dia memiliki ilmu yang luar biasa.
Tanpa susah payah, dia mampu membuatku tidak berdaya. Ilmunya mengingatkanku
akan ilmu 'Pitunduk' milik Guru."
Ki Gering Langit menganggukkan
kepala.
"Memang begitulah
makhluk-makhluk alam gaib, Arya. Mereka banyak memiliki keistimewaan. Tapi,
percayalah. Kau akan bisa menghadapinya. Bahkan mungkin bisa
mengalahkannya," tegas Ki Gering Langit, bernada yakin.
Arya dan Melati saling
pandang.
"Bagaimana aku bisa
menghadapinya, Guru? Apakah Guru akan menurunkan ilmu lagi padaku?"
Ki Gering Langit menggelengkan
kepala.
"Ilmu yang kau miliki
sudah cukup untuk membuat kau mampu mengalahkannya, Arya," jawab kakek
berpakaian putih bersih itu.
"Aku sudah mengerahkan
seluruh kemampuanku sewaktu menghadapinya, Guru. Tapi, dengan mudah aku
berhasil ditundukkannya," bantah Arya.
"Kau hanya menggunakan
ilmu-ilmu kasar, Arya. Padahal apabila menghadapi ilmu gaib, kita harus
menghadapi dengan ilmu yang sama. Dan apabila tidak, kita harus mencari
kelemahan dari ilmu itu," papar Ki Gering Langit.
"Tapi bagaimana aku akan bisa menemukan kelemahannya. Guru?
Sebelum aku berbuat sesuatu, makhluk itu sudah bisa
membinasakanku dengan ilmu ajaibnya itu!"
Ki Gering Langit tersenyum
lebar.
"Akan kuterangkan
sejelas-jelasnya agar kau mengerti, Arya. Begini. Gandula adalah keturunan dua
jenis makhluk yang berbeda. Dia bisa hidup di alam gaib dan alam nyata, karena
mempunyai raga di samping jiwa. Berbeda dengan makhluk halus lainnya,"
urai Ki Gering Langit panjang lebar. "Sebagai keturunan makhluk alam gaib,
dia pun memiliki berbagai keistimewaan yang
dimiliki leluhurnya. Kemampuan-kemampuan yang tidak masuk akal
manusia!"
Ki Gering Langit menatap wajah
Arya dan Melati berganti-ganti untuk mengetahui apakah sepasang muda- mudi itu
mengerti atau tidak pada penjelasannya. Tapi setelah sesaat ditunggu, ternyata
tidak ada pertanyaan yang muncul.
"Seperti juga Gandula,
kau memiliki raga kasar dan raga halus. Hanya saja, raga halusmu tidak memiliki
keistimewaan seperti halnya Gandula. Sehingga, kau bisa dipecundanginya. Raga
halusmu pedu memiliki kemampuan agar bisa menghadapi ilmu-ilmu mengerikan milik
Gandula. Memang, bisa saja aku memberi sebagian ilmu-ilmu gaib yang kumiliki
padamu, Arya. Tapi..., hanya ilmu-ilmu gaib yang layaknya dimiliki manusia
biasa saja. Tentu saja tidak akan berarti saat menghadapi Gandula."
"Kalau begitu...,
bagaimana Kang Arya akan bisa menghadapi makhluk itu, Ki?" tanya Melati
tanpa menyembunyikan perasaan cemasnya.
"Kau bisa menduga, ke
mana harus mencari bantuan untuk raga halusmu itu?" Ki Gering Langit malah
melontarkan pertanyaan itu kembali pada Arya.
Arya tercenung. Dahi pemuda
berambut putih keperakan ini tampak berkernyit, pertanda tengah berpikir keras
untuk menjawab pertanyaan gurunya. Sekelebatan dugaan, melintas di benaknya.
"Apakah..., aku harus membawa
masuk belalang raksasa itu ke dalam diriku, Guru?" terka Arya.
"Tepat!"
Ki Gering Langit mengacungkan
jempolnya. "Jadi..., belalang raksasa itu juga memiliki kemampuan seperti
yang dimiliki Gandula, Guru?" tanya Arya setengah tak percaya.
"Meskipun belalang
raksasa itu tidak berwujud raga halus seperti yang dimiliki Gandula, tapi
karena berada di alam gaib, belalang itu pun mempunyai banyak keistimewaan.
Tapi mengenai mampu tidaknya mengalahkan Gandula aku tidak tahu pasti!"
jawab Ki Gering Langit, tak mau memberi kepastian. Arya mengangguk-anggukkan
kepala.
"O ya, Ki," celetuk
Melati tiba-tiba. "Bukankah apabila belalang raksasa itu masuk ke dalam
tubuh Kang Arya, maka kemampuannya ada yang tertinggal di tubuh Kang Arya.
Apakah ilmu-ilmu gaibnya pun ikut pula diwarisi Kang Arya."
Ki Gering Langit menggelengkan
kepala. "Kemampuan gaib belalang raksasa itu tidak akan diwarisi Arya.
Kemampuan yang diwarisinya hanya bersifat menambahi kemampuan yang sudah
dimiliki Arya. Jadi, mana mungkin Arya akan menerima cipratan kemampuan gaib
karena tidak memiliki dasarnya. Dia hanya mendapat tambahan tenaga dalam, ilmu
meringankan tubuh, dan semakin sempurnanya ilmu 'Belalang Sakti'. Di samping
itu, Arya pun jadi seperti memiliki indera keenam. Dia bisa lebih dulu
mengetahui akan adanya sebuah bahaya, ketimbang orang lain," urai Ki
Gering Langit panjang lebar.
Melati tidak bertanya lagi.
Sedangkan Arya kini mengerti, mengapa tadi perasaan gelisahnya timbul ketika
bertemu Gandula. Indera keenamnya yang pada binatang disebut naluri, ternyata
telah menajam. Sehingga, dia bisa mengetahui adanya bahaya mengancam.
"Apakah kalian berdua
sudah mengerti?" "Mengerti, Guru," jawab Arya.
"Mengerti, Ki,"
sahut Melati tak mau kalah.
"Kalau begitu..., aku
pergi dulu. Selamat bertugas,
Arya."
Arya dan Melati bergegas
memberi hormat, sebelum
akhirnya tubuh Ki Gering
Langit raib dari pandangan.
*** Riuh suara makian mengusik
keheningan malam yang sudah mendekati dini hari. Suara itu ternyata berasal
dari salah sebuah kamar di dalam sebuah pondok.
Di dalam kamar itu, ternyata
ada dua sosok tubuh manusia yang tengah bergumul di balai-balai. Sementara
makian-makian itu keluar dari mulut orang yang digumuli. Dia adalah seorang
gadis berwajah cantik jelita dan berambut dikepang.
Wajah gadis itu cukup cantik.
Meskipun sepasang matanya tampak merah dan agak membengkak, pertanda habis
menangis. Beberapa kali mulutnya yang berbentuk mungil dan indah itu
mengeluarkan keluhan-keluhan memohon belas kasihan, di samping makiannya. Tapi
sambutan yang diterimanya adalah ciuman dan remasan bertubi-rubi di sekujur
tubuhnya, disertai dengus napas memburu yang menerpa wajahnya. Sampai
akhirnya....
"Akh !"
Gadis berambut kepang yang tak
lain dari Wigati itu menjerit tertahan. Dan beberapa saat kemudian, sosok tubuh
di atasnya yang bukan lain adalah Caraka segera bangkit. Sebuah seringai
kepuasan tersungging di bibirnya.
"Biadab! Terkutuk kau,
Caraka! Akan kurobek-robek jantungmu dan kuhirup darahmu!" maki Wigati
kalap.
Sepasang mata gadis berambut
dikepang itu memancarkan hawa kebencian yang memuncak. Kalau saja, tidak
tertotok lemas, mungkin Caraka sudah diterjangnya.
"He he he !"
Caraka hanya tertawa
terkekeh-kekeh, meskipun bulu tengkuknya sempat meremang mendengar ancaman itu.
Sorot mata, wajah, dan nada suara, membuktikan Wigati tidak main-main dengan
ancamannya. Tapi, semua itu tidak dipedulikannya. Dia kini malah beranjak
meninggalkan ruangan itu.
Belum juga kakinya mencapai
pintu, terdengar bentakan yang membuat Caraka terlonjak kaget. Memang, dia
mengenal siapa pemilik suara itu. Suara yang baru saja didengarnya, yang
ternyata Dewa Arak!
"Hoooi...! Caraka! Keluar
kau...! Kembalikan Wigati !"
Karuan saja hal itu membuat
Caraka kelabakan. Dia tahu, dirinya bukan tandingan Dewa Arak yang telah
disaksikan sendiri kesaktiannya. Tapi, hatinya kemudian tenang ketika teringat
akan Gandula. Bukankah makhluk aneh yang memiliki kemampuan ajaib itu berada di
ruang depan?
Teringat akan Gandula, membuat
Caraka tidak ragu- ragu lagi melangkah keluar dari ruangannya. Dan memang,
ketika daun pintu dibuka, terlihat Gandula tengah melangkah keluar. Jelas,
makhluk berkepala botak itu akan menghampiri Dewa Arak! Maka, buru-buru dia
bergegas mengejar untuk membarengi langkah Caraka.
Di depan pondok yang letaknya
terpisah dari pondok- pondok lainnya, berdiri dua sosok tubuh yang memang tak
lain dari Dewa Arak dan Melati.
Memang, sepeninggal Ki Gering
Langit, Melati dan Arya langsung mencari jejak Gandula. Tidak sulit
menemukannya, karena makhluk dari dunia asing itu memang memiliki ciri-ciri
yang menyolok. Di sepanjang perjalanan, Arya tidak lupa memusatkan perhatian
pada belalang raksasa, agar nanti tidak mengalami kesulitan untuk membawanya
masuk ke dalam tubuhnya.
"Gandula...!" seru
Arya ketika Gandula dan Caraka telah beberapa langkah melewati ambang pintu.
"Aku membawa berita tentang orang yang kau cari!"
Tepat seperti yang sudah
diduga, Gandula langsung kelabakan. Makhluk dari dunia asing ini menggeram
keras.
"Katakan, di mana Eyang
Bantara!" bentak Gandula tidak sabaran.
"Eyang Bantara, ayahmu,
telah lama tewas, Gandula.
Kau terlambat datang. Dan
"
"Hmrrrhhh !"
Gandula meraung seperti
binatang buas terluka. Telunjuk tangan kanannya langsung ditudingkan ke bawah.
Maka, hebat akibatnya bagi Dewa Arak Sekujur tulang- tulangnya bagai lolos dan
tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Maka seperti karung basah, tubuhnya
ambruk ke tanah!
"Kang...!" jerit
Melati kaget.
Dan kekagetan Melati berganti
kekhawatiran ketika melihat Gandula menghampiri Arya dengan langkah lebar.
Geraman-geraman kemurkaan terdengar jelas dari mulutnya. Memang, Gandula merasa
murka bukan kepalang mendengar ucapan Dewa Arak. Dan karena kemarahan yang amat
sangat, membuatnya mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa Dewa Arak.
Srattt...!
Melati langsung mencabut
pedangnya ketika melihat bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan
kekasihnya.
"Haaat..!"
Didahuiui pekikan melengking
nyaring, Melati menerjang Gandula. Pedang di tangannya mengeluarkan suara
menggerung seperti naga murka ketika diluncurkan ke arah leher Gandula.
Gandula yang tengah murka
kembali menudingkan jari telunjuknya. Seketika itu pula, luncuran tubuh Melati
kontan terhenti, dan ganti meluruk ke bawah. Melati merasakan seluruh tenaganya
langsung habis. Bahkan sekujur otot-otot dan tulang-tulangnya loyo, tak
bertenaga.
Sementara itu, Dewa Arak
memang dilanda perasaan lemas secara mendadak ketika Melati menyerang Gandula.
Tapi apa dayanya? Jangankan berteriak melarang, menggerakkan bibir saja tidak
mampu! Tanpa membuang- buang waktu lagi, Arya memusatkan pikirannya untuk
membawa belalang raksasa ke dalam tubuhnya.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras. Langkahnya kontan terhenti. Sepasang matanya menatap
ke kejauhan. Rupanya, dia mengetahui ada 'makhluk gaib' lain yang muncul.
Sesaat kemudian, Arya
merasakan angin pelan tapi dingin menggigilkan, menghembus tubuhnya. Dalam
sekejapan saja, sekujur bulu-bulu di tubuhnya kontan bangun. Dewa Arak tampak
menggigil.
"Arrrggghhh...!"
Dengan geraman aneh yang belum
pernah keluar dari mulutnya selama belum mengenal belalang raksasa, Dewa Arak
membuka mulut. Kemudian, diambilnya guci arak dari punggung, dan dituangkan ke
atas kepala.
Gluk... Gluk... Gluk. !
Suara tegukan kasar terdengar
dari mulut Arak ketika arak itu melewati kerongkongannya. Memang, kali ini
tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan ini meminum araknya dengan
kasar. Sebagian araknya berceceran di sekitar mulut dan di tangan tapi segera
diusapnya dengan punggung tangan.
Ketika hawa panas yang semula
muncul di perut perlahan naik ke atas kepala, keadaan kaki Dewa Ara pun tidak
tetap lagi. Oleng sana, oleng sini. Ini menjadi pertanda, Dewa Arak telah siap
dengan ilmu 'Belalang Mabuk'nya.
"Hmrrrhhh...! Binatang
jelek! Mengapa kau membela orang yang menjadi lawanku?! Apakah kau pun ingin
kumusnahkan?!" ancam Gandula seraya menatap Dewa Arak.
Memang, Gandula tahu di dalam
tubuh Dewa Arak telah bersemayam belalang raksasa dari alam gaib. Maka dia pun
menegurnya. Bahkan sebelum binatang itu masuk, Gandula telah melihat
kedatangannya.
Berbeda dengan Gandula yang
melihat belalang raksasa itu mulai dari awal kedatangannya, Caraka tidak
demikian. Pemuda berpakaian indah itu melihat belalang raksasa itu telah masuk
ke dalam tubuh Dewa Arak, tapi tidak terlihat jelas. Caraka hanya melihat
bayang-bayang samar, tapi cukup jelas di belakang Dewa Arak!
Usai mengucapkan kata-kata
ancaman itu, Gandula segera menudingkan telunjuk ke bawah.
"Pergilah ke neraka
bersama pemuda itu, Binatang Jelek!" bentak Gandula keras.
Seketika itu pula, Dewa Arak
merasa sebuah kekuatan raksasa yang tidak tampak menekannya ke bawah. Rupanya,
Gandula ingin membuat kepala lawannya hancur menghantam tanah.
Di saat gawat itu, tiba-tiba
dalam diri Dewa Arak timbul keinginan untuk membuka mulut. Keinginan itu begitu
kuat, sehingga membuat Dewa Arak mengikutinya.
Ketika mulut Dewa Arak
membuka, terdengar geraman keras dari mulutnya. Keras sekali! Tapi anehnya,
kekuatan yang menekan tubuh pemuda itu langsung hilang! Jelas, geraman itulah
yang telah memunahkan kekuatan yang hampir saja menghancurkan kepala Dewa Arak!
"Keparat!"
Gandula memaki keras melihat
Dewa Arak berhasil melepaskan diri dari pengaruh ilmunya. Diiringi geraman
menyeramkan tangannya kembali bergerak. Kali ini telunjuknya ditudingkan ke
atas. Tapi untuk yang kedua kalinya pengaruh serangan itu lenyap ketika Dewa
Arak mengeluarkan geraman keras. Memang, sekarang pemuda berambut putih
keperakan itu tidak merasa ragu-ragu lagi untuk mengikuti keinginan yang muncul
mendadak. Dia tahu keinginan itu muncul dari belalang raksasa!
Gandula menggeram keras.
Disadari, tidak ada gunanya lagi melancarkan serangan seperti itu. Serangan
anehnya yang didasari pada ucapan dan pemusatan pikiran, dipunahkan oleh
belalang raksasa dengan suara pula!
Kini, Gandula menyerang tanpa
menggunakan ilmu ajaibnya! Dan ternyata, makhluk gaib ini juga memiliki
kepandaian silat. Ilmu meringankan tubuhnya amat tinggi! Begitu pula kepandaian
dan mutu ilmu silatnya!
Untung saja yang dihadapinya adalah
Dewa Arak! Meskipun masih muda tapi memiliki kesaktian luar biasa! Maka
pertarungan pun jadi berlangsung sengit
Pertarungan antara dua makhluk
yang berasal dari alam yang berbeda itu berlangsung sengit bukan kepalang. Deru
angin keras dari pergerakan setiap serangan keduanya, diselingi geraman yang
berbunyi berbeda satu sama lain. Dan juga, diiringi terdengarnya tegukan arak
ketika di tengah- tengah pertarungan, ketika Dewa Arak menenggak araknya.
Caraka memperhatikan jalannya
pertarungan dengan hati berdebar tegang. Sama sekali tidak diduganya kalau Dewa
Arak mampu mengimbangi Gandula.
Karena sibuk memperhatikan
pertarungan, Caraka sama sekali tidak melihat ketika Melati bangkit dan
bergerak mengendap-endap menuju pondok. Memang, Melati memutuskan untuk
menyelamatkan Wigati lebih dulu.
Tanpa menemui kesulitan
sedikit pun, putri angkat Raja Bojong Gading itu berhasil masuk ke dalam rumah.
Lalu, dia perlahan-lahan melangkah menghampiri sebuah kamar yang pintunya
tertutup rapat
Kriiit…! "Ikh...!"
Melati menjerit kaget ketika
melihat sesosok tubuh yang terlentang di balai-balai tanpa sehelai benang pun
melekat di tubuh. Apalagi, ketika mengetahui kalau sosok tubuh itu adalah
Wigati! Dengan langkah gemetar Melati melangkah menghampiri. Sedangkan Wigati
hanya menatap Melati dengan air mata berlinang. Kalau saja Melati bukan gadis
berwatak keras, mungkin sudah terisak-isak karena terharu melihat malapetaka
yang menimpa Wigati.
Meski dengan tangan gemetar,
Melati masih mampu untuk membebaskan totokan pada Wigati! Gadis berambut kepang
itu langsung memeluk Melati ketika pengaruh totokannya telah punah. Melati pun
balas memeluk dengan perasaan tak karuan.
"Melati...!" jerit
Wigati pilu.
Dada Wigati tampak
berguncang-guncang karena isak tangis yang melanda. Sementara, Melati
mengelus-elus rambut gadis itu. Putri angkat Raja Bojong Gading itu merasa
terenyuh sekali pada Wigati.
Tapi hanya sesaat saja Wigati
larut dalam kesedihan.
Dilepaskan pelukannya pada
Melati.
"Terima kasih atas
pertotonganmu, Melati," ucap Wigati tersendat karena bercampur isak.
"Sekarang aku harus membalaskan sakit hati ini pada jahanam keparat
itu!" Setetah berkata demikian, Wigati bergegas mengenakan pakaiannya,
lalu melesat keluar. Sedangkan
Melati mengikuti di
belakangnya.
"Caraka! Iblis keji!
Rasakan pembalasanku!"
Wigati langsung memaki ketika
tiba di luar pintu, dan langsung menerjang dengan sepasang pisaunya. Karuan
saja seruan itu membuat Caraka terkejut dan langsung menolehkan kepala.
Keterkejutannya semakin bertambah ketika melihat Wigati tengah melesat ke
arahnya dengan sepasang pisau siap untuk menjagal dirinya!
Dengan agak gugup, Caraka
mengelakkan serangan itu dan langsung mencabut senjata andalannya, berupa
sepasang golok pendek! Dan dengan kedua senjata itu di tangan, dihadapinya
serangan membabi buta Wigati! Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam
pertarungan mati- matian!
Dua kancah pertarungan
mempertahankan nyawa itu disaksikan seorang penonton saja, yakni Melati! Gadis
berpakaian putih ini beberapa kali harus menoleh ke sana kemari untuk
memperhatikan jalannya pertarungan kedua belah pihak. Sebuah senyum lega
tersungging di mulut Melati ketika melihat Wigati berhasil mendesak Caraka.
Memang, kepandaian putri si Jari Maut itu berada di atas lawannya. Wigati
unggul dalam segala hal. Tidak aneh apabila dalam tiga puluh jurus saja, Caraka
terdesa hebat. Dan akhirnya pada jurus ke tiga puluh dua....
"Akh !"
Caraka roboh tersungkur ketika
pisau Wigati menembus lambungnya. Dan belum sempat keponakan Juragan Donggala
ini berbuat sesuatu, Wigati melesat memburu. Dan dengan amarah meluap-luap,
sepasang pisau itu dihunjamkan bertubi-tubi ke sekujur tubuh Caraka. Maka seketika lolong kesakitan terdengar
berkali-kali dari mulut Caraka, tapi Wigati bagaikan sudah kesetanan. Pisaunya
terus dihunjamkan.
Melati sampai menutup matanya,
tidak sanggup lagi melihat tubuh Caraka hancur tercacah. Dan begitu tubuh
Caraka telah tidak berbentuk lagi, Wigati baru menghentikan perbuatannya.
Dengan disertai keluhan tertahan, gadis itu pergi dari situ.
"Wigati...!" panggil
Melati. Tapi Wigati terus saja berlari, seolah-olah tidak mendengar panggilan
itu. Sebentar kemudian tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Melati bermaksud mengejar
Wigati, tapi kemudian mengurungkan niatnya ketika mendengar dua buah geraman
yang berbeda, tapi sama-sama mengandung getaran kuat. Sehingga membuatnya tidak
kuasa berdiri karena lututnya kontan lemas.
Tapi putri angkat Raja Bojong
Gading itu masih mampu untuk menolehkan kepala ke arah asal suara geraman yang
tak lain adalah pertarungan antara Dewa Arak dan Gandula.
Saat itu, pertarungan antara
Dewa Arak melawan Gandula telah mencapai seratus delapan puluh jurus. Dari
kedua kepala kedua tokoh sakti itu pun tejah mengepul asap, ketika keduanya sama-sama
melompat menerjang lawan!
Wuttt, wuttt..! Dukkk. !
"Aaargh !"
Kejadian itu berlangsung
demikian cepat. Kedua sampokan tangan Gandula berhasil dielakkan Dewa Arak
dengan menundukkan kepala. Sebaliknya tendangan kaki kanan Dewa Arak langsung mengeml
telak lawan. Tak pelak lagi, tubuh Gandula pun terlempar disertai semburan
darah dari mulutnya. Nyawa Gandula melayang sebelum tubuhnya ambruk ke tanah
menimbulkan suara berdebuk!
"Sebelum kedua kaki Dewa
Arak menyentuh tanah, belalang raksasa itu melesat keluar dari tubuhnya.
"Kang Arya...!"
Didahului seruan dari hati
yang lega, Melati menghambur ke arah Arya dengan tangan terkembang. Arya pun
menyambutnya. Sesaat kemudian, keduanya sudah saling peluk penuh rasa syukur.
Perlahan-lahan sepasang pendekar
muda itu melepaskan pelukannya, dan memandang ke arah lenyapnya tubuh Wigati
yang pergi dengan hati hancur. Ada rasa iba yang amat sangat dalam hati
sepasang pendekar muda itu.
Sementara itu, malam telah
mulai mendekati dini hari. Keruyuk ayam
jantan di kejauhan telah mulai
terdengar. Tak lama lagi, sang surya akan menampakkan diri
SELESAI