Serial Dewa Arak 20 - Pelarian Istana Hantu

Angin malam yang dingin berhembus meng­gigilkan tulang. Malam ini memang lain dengan malam sebelumnya.
20 - Pelarian Istana Hantu

Angin malam yang dingin berhembus meng­gigilkan tulang. Malam ini memang lain dengan malam sebelumnya. Langit tampak gelap. Bulan sepotong yang tadi tampak di langit, seakan­akan sudah tidak kuasa lagi untuk me­nampakkan diri. Sang dewi malam kini ber­sembunyi di balik awan tebal yang menghitam dan bergumpal-gumpal.

Glarrr ... !

Suara keras menggelegar terdengar ketika halilintar menyambar, membelah angkasa. Untuk beberapa saat lamanya, suasana di per­mukaan mayapada jadi terang benderang. Dan seiring terdengarnya suara menggelegar itu, titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi. Mula­mula turun satu-satu dan lambat. Tapi lama­kelamaan semakin cepat dan banyak. Dan sekarang, benar-benar hujan deras.

Dan ketika halilintar kembali menyambar, suasana di mayapada yang menjadi terang benderang sekelebatan itu menampakkan sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang tengah mengendap-endap. Dia baru saja keluar dari dalam sebuah bangunan besar dan megah tapi terlihat tua. Sebuah pagar tembok tua dan tinggi mengelilingi bangunan yang berhalaman hias itu.

Glarrr ... !

Halilintar menyambar kembali, sehingga suasana di bumi menjadi terang benderang sekejap. Maka sosok berpakaian hitam itu terlihat kembali, namun nampak seperti ketakutan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, baru setelah itu berlari cepat menembus sergapan hujan lebat.

Cepat bukan main gerakan sosok hitam itu ketika bergerak melintasi halaman yang becek karena tersiram hujan. Air berwarna keruh memercik ke sana kemari ketika kakinya menjejak tanah yang tergenang air. Dan masih dalam keadaan berlari, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi seperti sebelumnya, tidak ada sesuatu yang dilihatnya kecuali kegelapan malam.

Kaki sosok hitam itu terus melangkah. Tak dipedulikan lagi curah hujan yang membasahi tubuh dan pakaiannya. Dia terus saja berlari, dan arahnya jelas menuju ke luar bangunan menyeramkan itu.

Glarrr ... !

Untuk yang kesekian kalinya halilintar menyambar bumi, membuat suasana di persada sesaat terang benderang kembali.

Mendadak langkah sosok hitam ini berhenti. Kalau saja suasana malam tidak gelap, keter­kejutan hebat yang terpancar di wajahnya dapat terlihat. Meskipun begitu, dapat diketahui kalau sosok hitam itu dilanda keterkejutan yang amat sangat. Hal ini ditilik dari langkahnya yang berhenti secara mendadak dan kedua kakinya yang gemetar keras.

Entah kapan dan bagaimana caranya, pada pagar tembok tampak berdiri sambil bersandar sesosok tubuh berpakaian merah menyala. Kedua tangannya bersedakap. Sama sekali tak dihiraukannya hujan yang turun membasahi tubuh dan pakaiannya.

Tapi hanya sesaat sosok tubuh itu terlihat. Begitu sinar terang halilintar lenyap, kembali hanya kegelapan saja yang terlihat oleh sosok tubuh itu.

Belum sempat sosok hitam itu berbuat sesuatu, mendadak suasana di tempat itu jadi agak terang. Dan kali ini ternyata asal sinar terang itu dari sebuah benda sebesar kepalan tangan berwarna putih berkilauan yang dibawa sosok berbaju merah. Kemudian dengan sikap tenang, benda itu digantungkan di lehernya.

Rupanya, pada kedua sisi benda berkilauan itu terdapat lubang kecil. Dan dari situlah tali kalung dimasukkan.

Dengan adanya benda berkilauan di leher sosok tubuh berbaju merah yang bersandar di tembok, suasana di tempat itu jadi cukup terang. Dengan demikian kedua sosok tubuh itu jadi terlihat agak jelas.

“Sungguh tidak kusangka kau berani me­langgar pantangan ini, Raksagala,” kata sosok tubuh yang berpakaian merah menyala.

Dia adalah seorang kakek bertubuh tinggi kurus, berkaki satu. Sementara kaki yang sebelah lagi diganti dengan sebatang besi berujung runcing.

“Maafkan aku, Paman Jonggirupaksi,” ucap sosok hitam yang ternyata adalah seorang pemuda berusia sekttar dua puluh tahun, ber­badan lebar.

Wajah pemuda yang dipanggil Raksagala ini sebenarnya cukup tampan. Tapi terlihat jadi menyeramkan karena kulit wajah itu begitu pucat.

“Aku berjanji tidak akan mengulanginya,” lanjutnya.

Suara Raksagala terdengar bergetar, dan ada nada kegentaran di dalamnya.

“Hmh ... !” kakek berkaki satu yang bernama Jonggirupaksi mendengus. “Tidak ada kata maaf, Raksagala! Dan kau tahu itu!”

“Tidakkah ada pertimbangan lain, Paman?” Raksagala mencoba menawar. Meskipun bunyi ucapannya seperti tidak peduli, tapi nada suara nya jelas menyiratkan permohonan yang amat sangat.

“Hm...,” hanya gumaman tak jelas yang menyambuti permintaan laki-laki berwajah pucat itu.

“Kusadari kalau tindakanku ini salah, Paman,” sambung Raksagala buru-buru. “Tapi..., tidakkah Paman sudi memaafkan kesalahanku dengan memandang wajah guru?”

“Cuhhh ... !” Jonggirupaksi meludah ke tanah. “Andaikan gurumu sendiri yang bersalah, dia pun tak luput dari tanganku, Raksagala! Kau kira aku takut pada gurumu? Lucu! Lucu sekali!”

“Jadi, Paman...,” ada kecemasan dalam suara laki-laki berwajah pucat itu.

“Ya,” potong Jonggirupaksi sambil meng­anggukkan kepala. “Seharusnya kau menerima hukuman mati, Raksagala! Tapi, baiklah. Karena kau tidak ikut dalam perjanjian, maka aku bersedia membatalkannya. Meskipun begitu, kau tetap tidak lepas dari hukumanku!”

“Hukuman apa yang akan Paman timpakan padaku?” tanya Raksagala ingin tahu.

“Tidak berat,” sahut Jonggirupaksi kalem. “Aku hanya menginginkan sebelah tanganmu.” Wajah Raksagala berubah.

“Sebelah tanganku?” ulang laki-laki ber­wajah pucat itu dengan bibir bergetar.

“Kenapa?” Jonggirupaksi malah balik ber­tanya. “Hukuman itu sebenarnya terlalu ringan, Raksagala! Seharusnya, tidak hanya sebelah tanganmu saja yang kuinginkan. Tapi juga kakimu! Kau tahu bukan, apa hukumannya orang yang mencoba melarikan diri dari Istana Hantu? Siksaan mengerikan sampai mati!”

Kini Raksagala sadar. Sepertinya tidak ada gunanya lagi ribut mulut dengan kakek berkaki satu ini.

Sia-sia saja. Biar bagaimanapun, dia akan tetap menerima hukuman. Sesaat lamanya laki­laki berwajah pucat ini berpikir keras. Apakah hukuman yang hendak dijatuhkan akan di­terimanya saja, atau harus menentangnya? Tapi,akibatnya akan lebih mengerikan baginya. Melawan penjaga Istana Hantu merupakan pantangan besar! Sudah dapat dipastikan kalau dirinya akan menerima siksaan yang begitu mengerikan apabila hal itu nekat dilakukannya!

Selagi Raksagala berpikir keras, Jonggi­rupaksi sudah melangkah menghampiri. Lambat dan tenang-tenang saja langkahnya. Tapi akibat yang ditimbulkan setiap langkahnya luar biasa! Semakin kakek berkaki satu itu mendekat, semakin kuat perasaan tegang yang melanda hati Raksagala! Dengan demikian perasaan bingung semakin melanda hatinya.

Di saat hati Raksagala tengah dilanda kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara di telinganya. Suara yang hanya ditujukan padanya dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.

“Bersiap-siaplah, Raksagala. Begitu aku menyerangnya, cepat-cepatlah membantuku. Kita harus cepat..!”

Seketika itu juga perasaan Raksagala tenang kembali. Suara yang terdengar seketika menimbulkan perasaan tenang di hatinya. Dia kenal betul, siapa pemilik suara itu. Gurunya!

***

Dengan wajah dingin, Jonggirupaksi terus melangkah menghampiri Raksagala yang kini telah bersikap waspada. Laki-laki berwajah pucat itu kini telah bersiap-siap menyerang kakek berkaki satu itu.

Mendadak Jonggirupaksi menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke samping kanan dan langsung bersikap waspada. Pada saat yang sama, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan menyambar ke arahnya, langsung mengirimkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala dan ubun­ubunnya.

Dari sini saja sudah bisa diukur kelihaian kakek berkaki satu ini Meskipun tanpa melihat, dia bisa mengetahui serangan yang tertuju ke arahnya. Angin yang mendahului tibanya serangan itulah yang menjadi patokannya. Padahal, saat itu hujan masih cukup lebat dan angin pun berhembus mengiringi. Tapi berkat tingkat kepandaiannya yang tinggi, Jonggi­rupaksi dapat membedakan angin sewajarnya dan angin serangan!

Meskipun begitu, karena serangan yang tertuju ke arahnya tiba begitu cepat, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan. Terpaksa Jonggirupaksi harus me­nangkisnya.

Plakkk, plakkk...!

Terdengar benturan keras ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya hebat sekali. Tubuh kedua orang itu sama-sama terpental ke belakang beberapa tombak.

Jonggirupaksi terhuyung-huyung, dan kedua tangannya terasa bergetar hebat. Jelas kalau orang yang menyerangnya memiliki tenaga dalam tinggi. Sementara tubuh orang yang menyerangnya terpental balik, karena tubuhnya memang tengah berada di udara.

Pada saat yang tepat, Raksagala bertindak. Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang, dan sesaat kemudian telah menggenggam sebilah golok. Dan secepat golok itu terhunus, secepat itu pula tubuhnya melompat menerjang Jonggirupaksi. Golok di tangannya cepat ditusukkan ke arah perut kakek berkaki satu.

Singgg ... !

Suara berdesing nyaring mengiringi serangan golok itu. Dari sini saja sudah bisa diketahui kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan Raksagala.

Jonggirupaksi kaget bukan kepalang. Saat itu, tubuhnya tengah terhuyung-huyung. Tambahan lagi, dia hanya mempunyai sebelah kaki. Sementara kaki yang sebelah lagi hanya berupa sebatang besi panjang yang berujung runcing. Setidak-tidaknya, hal ini cukup meng­ganggu gerakannya.

Namun Jonggirupaksi memang tokoh luar biasa. Dengan sekali kaki besinya menekan tanah, dia berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dan sekali enjot saja, tubuhnya sudah melayang ke atas melewati kepala Raksagala.

Luar biasa! Semua itu dilakukan Jonggi­rupaksi dalam waktu sekejap saja. Tak pelak lagi, serangan golok Raksagala hanya mengenai tempat kosong, lewat di bawah kaki buntung Jonggirupaksi.

Tapi sebelum kakek berkaki satu ini sempat mengirimkan serangan balasan pada Raksagala, sosok bayangan telah membokongnya lebih dulu dengan beberapa kibasan tangan.

Singgg, singgg ... !

Suara berdesing nyaring terdengar ketika benda-benda berkilatan menyambar ke arah Jonggirupaksi.

Kembali kakek berkaki satu ini mem­pertunjukkan kelihaiannya. Memang, saat itu untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi. Maka seketika tangannya terulur untuk menangkap semua serangan gelap yang menuju ke arahnya.

Tap, tap, tappp...!

Sungguh hebat! Benda berkilat yang mengancamnya ternyata berhasil dilumpuhkan. Tiga bilah pisau terbang yang tadi meng­ancamnya, dua berhasil ditangkap. Sedangkan yang sebuah lagi ditangkap dengan mulutnya!

Bersamaan dengan Jonggirupaksi melum­puhkan serangan gelap itu, Raksagala mem­babatkan goloknya ke arah perut. Laki-laki berkaki satu itu mencoba mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya terlambat! Apalagi tubuhnya saat itu berada di udara, jadi sangat sulit untuk menghindar.

Wuttt..! Crasss...!

Jonggirupaksi menggigit bibirnya sendiri untuk menahan jeritan yang keluar dari

mulutnya. Perutnya kontan terobek lebar. Darah segar seketika memancur deras dari bagian yang terluka.
Raksagala tidak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Begitu tubuh Jonggirupaksi terlihat meluruk turun, bergegas diburunya dengan golok berlumuran darah yang tergenggam di tangan.

Patut dipuji kelihaian Jonggirupaksi. Meskipun telah mengalami luka yang begitu parah, kedua kakinya masih sanggup mendarat di tanah. Namun demikian, tetap saja tubuhnya agak terhuyung-huyung.

Baru saja kedua kaki Jonggirupaksi hinggap, golok Raksagala kembali meluncur deras ke arah dadanya. Maka akibatnya sudah bisa diduga!

Blesss...!

Darah segar memancur deras begitu golok Raksagala menghunjam dada Jonggirupaksi hingga tembus ke punggung. Ada keluhan tertahan keluar dari mulut kakek berkaki satu itu. Sesaat tubuhnya menegang, lalu ambruk di tanah begitu Raksagala mencabut goloknya. Jonggirupaksi tewas setelah menggelepar­gelepar beberapa saat lamanya. Hujan yang kini tinggal rintik-rintik saja, menitik di tubuh kakek berkaki satu itu sambil membawa darah ke tanah.

Raksagala menyeka goloknya yang ber­lumuran darah, lalu memasukkan kembali ke dalam sarungnya.

Sesaat diperhartikannya mayat kakek berkaki satu itu sejenak. Kemudian tangannya terulur ke arah benda berkilauan yang ter­gantung di leher Jonggirupaksi. Dan kini, benda itu telah berpindah ke tangannya.

“Cepat kita tinggalkan tempat ini, Raksagala...!” ujar sosok yang tadi membokong Jonggirupaksi.

Dalam keremangan sinar yang timbul dari benda itu, terlihat cukup jelas wajah dan perawakan sosok di samping Raksagala. Dia adalah seorang kakek bertubuh sedang, berusia sekitar enam puluh tahun. Namun sayang, matanya picak. Walaupun tidak mempunyai kumis, tapi jenggotnya cukup panjang dan berwarna putih. Pakaiannya berwarna abu-abu.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, Raksagala segera menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas melewati pagar tembok tinggi bangunan menyeramkan itu.

Sebelum tubuh Raksagala melewati pagar tembok itu, kakek bermata picak juga men­jejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke atas, menyusul laki-laki berwajah pucat yang menjadi muridnya.

***2

Air memercik keras ketika Raksagala dan kakek bermata picak mendaratkan kaki di tanah luar pagar tembok. Tanah di luar pagar tembok itu memang telah tergenang air hujan.

Dan secepat berada di luar, secepat itu pula mereka melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa langkah saja, Raksagala dan kakek bermata picak telah jauh mening­galkan tempat itu.

“Aku telah melakukan kesalahan yang amat besar, Raksagala,” kata kakek bermata picak itu setelah cukup jauh meninggalkan bangunan menyeramkan tadi.

Suara kakek itu terdengar pelan, mirip desahan. Nada penyesalan yang amat sangat tersirat dalam ucapannya. Sementara, kakinya terus saja berlari.

“Maksud, Guru?” tanya Raksagala seraya menoleh, menatap wajah gurunya. Tak lupa, seluruh kemampuan ilmu larinya dikerahkan untuk mengimbangi lari kakek bermata picak itu.

“Hhh ... !” kakek bermata picak menghela napas berat “Rupanya kau masih belum mengerti, Raksagala.”

Raksagala menundukkan kepala mendengar adanya nada keluhan dalam ucapan gurunya.

“Maafkan aku, Guru,” ucap pemuda berwajah pucat itu pelan. “Aku telah mengecewakan hati Guru.”
“Lupakanlah, Raksagala,” hibur kakek bermata picak seraya mengulapkan tangannya.

Raksagala terdiam. Dan kini keheningan menyelimuti mereka. Yang terdengar kini hanyalah suara gemercikan genangan air yang terpijak kaki mereka. Sementara hujan telah reda.

“Aku menyesal, Guru...,” pelan suara Raksagala memecahkan kesunyian yang terjadi di antara mereka.
“Hm...,” hanya gumaman pelan yang menyambuti ucapan pemuda berwajah pucat itu.

“Perbuatanku telah melibatkan Guru dengan kesulitan,” sambung Raksagala lagi, masih pelan suaranya.

“Hhh ... !” guru Raksagala itu menghela napas berat. “Kembali kau salah mengerti, Raksagala. Perlu kau ketahui, aku sama sekali tidak merasa dilibatkan dalam kesulitan. Aku tidak takut mati, Raksagala! Aku juga tidak takut meng­alami siksaan.”

Kakek bermata picak itu menghentikan kata­katanya sejenak, seraya menatap wajah murid­nya. Tapi, Raksagala menundukkan kepala, tak berani menentang pandangan mata gurunya. Pemuda itu tetap menundukkan kepala sambil terus mengayunkan kaki.

“Tapi perlu kau ketahui, Raksagala. Dengan telah keluarnya aku dari pagar tembok Istana

Hantu, berarti telah layak untuk mati! Aku telah melanggar sumpahku sendiri!”

“Guru...!”

Terdengar jerit keterkejutan dari mulut Raksagala. Pemuda berwajah pucat itu menatap wajah gurunya dengan wajah semakin terlihat pucat.

“Kurasa, sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui semuanya, Raksagala. Termasuk namaku,” ujar kakek berpakaian abu-abu itu pelan. “Selagi aku masih hidup. Karena bila aku sudah tiada, kau tak akan pernah tahu semua ini sampai kapan pun. Kumulai dari namaku.”

Raksagala diam terpaku. Memang sudah sejak lama, banyak pertanyaan bergayut di benaknya. Termasuk teka-teki tentang nama gurunya. Tapi, pertanyaan itu selalu dijawab gurunya dengan gelengan kepala. Kakek ber­mata picak itu sama sekali tidak mau memberi tahu sedikit pun!

“Namaku sebenarnya adalah Sawungrana,” jelas kakek berpakaian abu-abu itu memulai. Raksagala mencatat nama itu dalam hati. Gurunya ternyata mempunyai nama yang cukup gagah. “Aku adalah Ketua Perguruan Belut Putih. Nah, kurasa sudah cukup aku mem­perkenalkan diri. Sekarang, pertanyaan yang selama ini bergayut di benakmu akan kujawab.”

Kakek bermata picak yang ternyata bernama Sawungrana menghentikan kata-katanya sejenak. Di samping untuk mengambil napas, juga untuk mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya.

“Dulu kau sering bertanya, mengapa semua orang yang berada di dalam Istana Hantu tidak boleh keluar?

Dan bila memaksakan diri keluar, lalu tertangkap, mengapa harus mendapat hukuman mati? Sekarang akan kujawab pertanyaan yang selama ini bergayut di benakmu. Namun pertanyaan tentang bangunan tua dan jelek yang dinamai Istana Hantu, aku tidak mengetahuinya.”

Sawungrana menghentikan penuturannya sejenak dan mengambil napas untuk melanjutkan ceritanya. Sementara Raksagala menunggu kelanjutan penjelasan gurunya dengan perasaan tegang. Pemuda berwajah pucat itu sama sekali tidak berusaha menyelak cerita yang akan diutarakan gurunya. Satu hal kini telah diketahuinya, ternyata gurunya sama sekali tidak tahu, mengapa bangunan yang mereka tinggalkan itu bernama Istana Hantu.

“Perlu kau ketahui, Raksagala. Semua orang yang berada di dalam Istana Hantu itu adalah orang-orang tersisih. Orang-orang yang telah terkalahkan. Aku seperti juga yang lainnya, datang ke tempat itu karena mendapat undangan. Undangan licik.”

Sawungrana menghentikan ceritanya sejenak. Sambil masih terus berlari, tangan kakek bermata picak itu menyelinap ke balik pinggangnya. Sesaat kemudian, tangan itu kembali keluar bersama segulung kain kumal dalam genggaman.

“Inilah undangan itu, Raksagala,” kata Sawungrana seraya menyerahkan gulungan kain kumal itu pada Raksagala. Bergegas pemuda berwajah pucat itu menerimanya.

“Bukalah dan baca isinya,” perintah Sawungrana mempersilakan.

Tapi sesaat kemudian laki-laki tua itu sadar kalau tidak mungkin hal itu bisa dilakukan muridnya. Suasana memang agak terang karena sinar yang memancar dari benda berkilauan yang tergantung di leher Raksagala. Juga karena bulan telah tampak kembali, dan awan tebal dan hitam telah terusir pergi. Tapi, mana mungkin pemuda berwajah pucat itu mampu membaca gulungan kain tanpa menghentikan larinya?

“Kita berhenti dulu di sana,” ucap Sawungrana.

Telunjuk tangan kanan laki-laki tua itu menuding ke arah sebatang pohon yang berdiri kokoh dalam jarak sekitar lima tombak di hadapan mereka.

Dalam sekejapan saja guru dan murid itu telah berada di dekat pohon yang ditunjuk Sawungrana. Bergegas mereka duduk di akar pohon yang melintang keluar dari dalam tanah. Tak dipedulikan sama sekali kalau akar pohon itu basah. Toh, pakaian kedua orang itu pun memang telah basah kuyup.

Raksagala lalu membuka gulungan kain putih yang sudah tak jelas lagi warnanya. Dan dengan bantuan sinar yang terpancar dari benda putih berkilauan di tangannya, dibacanya huruf ­huruf yang tertera di atas kain kumal itu.

Sawungrana.... Kalau kau bukan seorang pengecut, aku akan mengundangmu untuk ikut serta dalam pertemuan tokoh-tokoh persilatan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan, siapa di antara kita yang berhak mendapat julukan jago nomor satu.

Penghuni Istana Hantu Raksagala menggulung kembali kain kumal itu, lalu menyerahkan pada gurunya.

“Jadi..., Guru bukan penghuni Istana Hantu itu?” tanya Raksagala mulai mengerti.

Memang tadi laki-laki berwajah pucat itu telah mendengar ucapan gurunya. Dikatakan, kakek itu adalah Ketua Perguruan Belut Putih. Tapi, tetap saja hal itu kurang dimengerti Raksagala.

Sawungrana hanya menganggukkan kepala. Meskipun demikian, hal itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan muridnya.

“Lalu..., mengapa Guru bisa menjadi penghuni istana itu?” desak Raksagala hati-hati. Perasaan penasaran itulah yang membuatnya berani mendesak gurunya.

“Kami semua terikat janji,” pelan dan lemah sekali suara Sawungrana.
Sementara Raksagala mendengar dengan hati berdebar tegang. Sudah dapat dipastikan kalau rahasia yang selama ini menyelimuti Istana Hantu akan terungkap.

“Sebelum terjadi pertarungan, kami telah dipaksa secara halus untuk bertarung. Siapa yang kalah, harus memenuhi satu permintaan sang pemenang,” jawab Sawungrana. Ada nada penyesalan yang amat sangat dalam suaranya.

“Dipaksa secara halus?” tanya Raksagala masih belum mengerti.

“Ya, dengan kata-kata ampuh. Kalau tidak menerima tantangan itu, kami dianggap pengecut,”

Sawungrana menganggukkan kepala. “Bukan hanya itu saja. Kami pun disuruh mengaku kalah. Tentu saja semua yang hadir merasa penasaran. Maka semuanya pun menerima tantangan itu, dan dengan sendirinya berarti bersedia mengikuti taruhan itu.”

Raksagala mengangguk pertanda mengerti.

“Namun ternyata mereka memiliki kepandaian tinggi. Satu persatu tokoh persilatan aliran putih yang diundang dikalahkan....”

“Guru juga dikalahkan?!” selak Raksagala ingin mengetahui.

Sawungrana mengangguk membenarkan.

“Dan sesuai perjanjian, mereka diharuskan memenuhi permintaan Penghuni Istana Hantu.”
“Apa itu, Guru?” tanya Raksagala tidak sabar ketika melihat Sawungrana menghentikan ucapannya.

“Kau tidak bisa menduganya, Raksagala?” Sawungrana malah balas bertanya.

Raksagala menggelengkan kepala.

“Yahhh ... ! Seperti yang kau lihat pada diriku,” jawab kakek bermata picak itu akhir­nya.
“Maksud, Guru?” tanya Raksagala masih belum mengerti.

“Satu anggota tubuh kami dibuat cacat, dan tidak boleh meninggalkan Istana Hantu.”
“Dan guru mengingkarinya?” tanya Raksagala tidak percaya.

Seketika wajah Sawungrana memerah mendengar pertanyaan pemuda berwajah pucat itu.

“Aku bukanlah seorang pengecut, Raksagala!” sentak Sawungrana keras. “Tidak akan kuingkari janjiku sendiri!”

“Maafkan aku, Guru,” ucap Raksagala pelan.

Diam-diam pemuda berwajah pucat ini memaki dirinya sendiri. Betapa bodoh dirinya! Mana mungkin gurunya akan mengingkari janji.

“Belasan tahun aku menetap di Istana Hantu, namun tak pernah sekali pun mencoba melarikan diri. Padahal kesempatan untuk itu beberapa kali terbuka.”

“Lalu..., bagaimana caranya aku bisa berada di dalam sana, Guru?” tanya Raksagala lagi.

“Kau kutemukan dalam perjalananku menuju Istana Hantu untuk memenuhi undangan. Saat itu, kau mungkin kurang lebih berusia empat tahun. Tubuhmu kurus kering karena kelaparan. Saat itu memang banyak desa yang dilanda kelaparan. Maklum saja, raja yang memerintah terlalu lalim.”

Raksagala tercenung. Sungguh tidak di­sangka demikian menyedihkan nasibnya. Sampai-sampai tidak mengetahui orang yang telah melahirkannya ke dunia ini!

“Sebenarnya untuk apa Penghuni Istana Hantu itu mengurung para tokoh persilatan di Istana Hantu, Guru?” tanya Raksagala setelah beberapa saat lamanya tercenung.

“Aku juga tidak tahu, Raksagala,” jawab Sawungrana dengan suara berdesah. “Tapi menurut berita yang kudengar, hal itu dilakukan sebagai pembalasan dendam.”

“Pembalasan dendam?! Jadi, guru dan tokoh­tokoh persilatan aliran putih itu adalah musuhnya?!”

Sawungrana menggeleng.

“Penghuni Istana Hantu dikurung oleh seorang pendekar sakti. Puluhan tahun mereka tinggal di situ. Dan baru bisa keluar setelah pendekar itu meninggal dunia.”

“Mengapa bisa begitu, Guru?” tanya Raksagala. “Mengapa harus menunggu pendekar itu meninggal?”
“Pendekar itu tinggal di istana itu juga, Raksagala.”

Raksagala mengangguk-anggukkan kepala.

“Jadi, karena tidak bisa lagi membalas dendam pada pendekar itu, Penghuni Istana Hantu melampiaskan dendamnya pada seluruh pendekar. Begitu, Guru?!”

“Kira-kira begitu,” jawab Sawungrana perlahan.

Raksagala terdiam. Sawungrana tidak melanjutkan ucapannya. Sehingga suasana di sekitar tempat itu jadi hening.

“Untunglah ada dirimu, Raksagala!” desah Sawungrana memecahkan keheningan. “Kalau tidak, mungkin aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selama berada dalam Istana Hantu. Dengan adanya dirimu, aku dapat menyibukkan diri membimbingmu. Dan tanpa sepengetahuan Penghuni Istana Hantu, aku telah menciptakan ilmu-ilmu baru dan semuanya telah kuwariskan kepadamu.”

Sawungrana menghentikan penuturannya. Wajahnya tampak muram. Jelas ada sesuatu yang memberatkan dalam pikirannya.

“Kini aku telah melanggar janjiku sendiri. Aku telah keluar dari Istana. Hantu. Aku tidak patut lagi hidup!” kata kakek berpakaian abu­abu itu.

“Guru...!” sentak Raksagala keras. Keter­kejutan yang amat sangat membayang jelas di waj ahnya.

“Tapi aku puas, karena seluruh ilmu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu. Kepandai­anmu sudah lebih unggul bila dibanding diriku dulu. Bahkan tingkat kepandaianmu hampir menyamai tingkatku sekarang,” jelas Sawung­rana tanpa mempedulikan jeritan muridnya.

“Maafkan aku, Guru,” ucap Raksagala lirih. “Sama sekali tidak kusangka kalau perbuatanku akan mengakibatkan hal seperti ini”

“Lupakanlah, Raksagala,” hibur Sawung­rana. “Aku tidak menyalahkan tindakanmu. Bahkan diam-diam aku bersyukur, karena kau berani bertindak seperti ini”

“Heh ... ?!”

Raksagala terperanjat mendengar ucapan terakhir kakek bermata picak itu. Sepasang matanya menatap wajah gurunya penuh selidik, mencoba mencari kebenarannya.

“Sudah sejak beberapa bulan yang lalu, aku mempunyai firasat buruk. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi dengan perguruan yang kutinggalkan. Oleh karena sekarang kau telah bebas, dan sama sekali tidak terikat dengan janji, maka kutugaskan pergi ke perguruanku untuk melihat-lihat keadaan di sana.”

“Apa yang harus kulakukan bila telah tiba di sana, Guru?”

“Membuktikan kebenaran firasatku. Apabila benar terjadi sesuatu, kau kutugaskan untuk membenahinya.”

Setelah berkata demikian, kakek bermata picak ini lalu memberi sebatang tongkat berwarna hitam dan berukir dari balik bajunya. Pada bagian pangkalnya dihiasi batu-batu permata berbentuk bulat.

“Dengan adanya tongkat ini, maka kau mempunyai wewenang penuh untuk mengatasi kemelut yang terjadi. Namun, itu jika memang ada.”

Raksagala segera menerima tongkat yang diangsurkan gurunya.

“Apakah Guru tidak ikut pergi bersamaku ke sana?” tanya Raksagala, dengan suara serak.
Sebuah pertanyaan yang bodoh sebenarnya. Karena kalau Sawungrana ikut ke sana, untuk apa kakek bermata picak itu memberi tongkat itu padanya?

Sawungrana menggelengkan kepala.

“Aku telah melanggar sumpahku sendiri, Raksagala. Dan hukumannya bagiku adalah mati!”
Perlahan saja ucapan kakek bermata picak itu, tapi di dalamnya terkandung ketegasan yang tidak bisa dibantah lagi.

“Guru...!”

“Cepat pergi, Raksagala! Sebelum terlambat! Aku yakin mereka telah mengetahui kepergian kita ... !”
Namun belum juga Raksagala bergerak, tiba­tiba....

“Ha ha ha...!”

Sebuah tawa keras menyeramkan terdengar. Kakek bermata picak dan muridnya itu terkejut bukan main. Mereka sama-sama terjingkat kaget tak ubahnya disengat kalajengking. Suara tawa itu amat dikenal. Siapa lagi kalau bukan suara Penghuni Istana Hantu!

***3

Secepat Raksagala dan Sawungrana bangkit berdiri, secepat itu pula di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh tinggi besar berpakaian merah dalam jarak sekitar empat tombak.

Tanpa memperhatikan lebih jauh pun, Sawungrana dan Raksagala sudah bisa mengetahui sosok tubuh yang berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan Penghuni Istana Hantu?

“Cepat kau pergi, Raksagala! Biar aku yang akan menghadapinya ... !” ujar Sawungrana sambil mendorong tubuh muridnya.

“Tapi, Guru...,” Raksagala masih mencoba membantah.
“Cepat..!” seru Sawungrana. Suaranya ter­dengar lebih keras dari sebelumnya.

Raksagala mendengar adanya tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan dalam nada suara gurunya. Maka meskipun dengan hati berat, laki-laki berwajah pucat ini lalu melesat meninggalkan tempat itu.

“Jangan harap bisa lolos dari tanganku...!”

Terdengar suara keras menggelegar, disusul berkelebatnya tubuh Penghuni Istana Hantu menyusul tubuh Raksagala yang telah melesat lebih dulu. Jelas sudah maksud laki-laki ber­tubuh tinggi besar ini. Menghadang kepergian Raksagala!

Tapi hal itu sudah diperhitungkan Sawung­rana. Maka begitu Penghuni Istana Hantu itu tampak bergerak, dia segera melesat memotong alur lompatan laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Dan bukan hanya itu saja yang dilakukan kakek bermata picak. Kedua tangannya ber­gerak cepat, melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah pelipis.

Penghuni Istana Hantu itu menggeram. Dia murka bukan kepalang melihat tindakannya dihalangi. Tanpa berpikir dua kali, segera ditangkisnya serangan yang tertuju ke arahnya.

Plak, plak ... !

Terdengar suara berderak keras akibat berbentur-annya dua buah tangan yang sama­sama mengandung tenaga dalam tinggi. Akibatnya memang cukup hebat Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke belakang, karena memang sama-sama berada di udara.

Meskipun begitu, baik Sawungrana maupun Penghuni Istana Hantu mematahkan kekuatan yang membuat tubuh satu sama lain terdorong. Dengan gerakan indah dan manis, mereka mendaratkan kaki di tanah.

Sawungrana meringis karena sekujur tangannya terasa sakit-sakit. Dadanya pun sesak bukan main. Jelas kalau dalam benturan tadi, dia kalah tenaga. Sementara lawannya justru seperti tidak merasakan akibat benturan itu sama sekali.

Penghuni Istana Hantu menggeram murka melihat Raksagala berhasil meloloskan diri.

Tubuh laki-laki berwajah pucat itu telah lenyap ditelan remangnya malam dan kerimbunan pepohonan, serta semak-semak lebat .

Kemurkaan laki-laki tinggi besar itu dilampiaskannya pada Sawungrana. Karena, dialah yang telah membuat Raksagala berhasil melarikan diri.

Dalam keremangan sinar rembulan, tampak jelas wajah dan perawakan Penghuni Istana, Hantu. Raut wajahnya terlihat kasar. Ada dua buah luka bersilangan di wajahnya yang hanya ditumbuhi jenggot tanpa kumis. Pada bagian dahinya, terpampang tengkorak berbentuk kepala yang terikat di belakang kepala. Menilik dari bentuknya yang kecil, mungkin tengkorak kepala anak monyet .

“Tidak kusangka, ternyata kau adalah seorang pengecut, Sawungrana!” seru Penghuni Istana Hantu. Nada suaranya menyiratkan kesinisan yang tajam.

“Kalau tidak menyaksikan sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. Sawungrana ternyata melanggar sumpahnya sendiri! Menjilat ludah yang telah dikeluar­kannya! Ha ha ha...! Sudah bisa kubayangkan, betapa gemparnya dunia persilatan bila men­dengar berita ini!”

“Tutup mulutmu, Barong Segara ... !” bentak Sawungrana keras.

Kakek bermata picak ini marah bukan main mendengar ucapan yang dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

“Aku bukan orang seperti itu, Barong Segara!” lanjutnya.

Laki-laki bertubuh tinggi besar yang ternyata bernama Barong Segara tersenyum mengejek.
“Kau tidak bisa mungkir lagi, Sawungrana! Kini sudah jelas, kau adalah seorang yang memiliki watak hina! Menjilat ludah yang telah kau keluarkan sendiri!”

“Aku sama sekali tidak bermaksud keluar dari Istana Hantu, Barong Segara,” sergah Sawungrana keras.

“Ha ha ha...! Betapa gagahnya ucapan yang keluar dari mulutmu, Sawungrana! Mungkin kalau tidak kubuktikan sendiri, dapat kau tipu mentah-mentah. Tapi, biarlah. Kau kuberi kesempatan untuk lolos, Sawunyana. Kau boleh lolos dari sini, apabila berhasil mengalahkan aku. Ha ha ha...!”

“Keparat..!”

Sawungrana tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Cepat laksana kilat, tubuhnya melesat menyerang. Tangan kanannya menyampok keras ke arah pelipis. Sementara tangan kiri berada di pinggang.

Wuttt..!

Angin keras berhembus mengawali tibanya serangan kakek bermata picak itu. Tapi Barong Segara hanya mendengus. Sambil tersenyum mengejek, kaki kanannya ditarik mundur ke belakang seraya mendoyongkan tubuhnya. Sehingga, serangan itu lewat sekitar satu jengkal di depan wajahnya. Rambut laki-laki bertubuh tinggi besar itu sampai berkibaran keras ketika sampokan lawan lewat di depan waj ahnya.

Tapi, serangan Sawungrana tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan tangan kanannya berhasil dielakkan, tangan kirinya kembali menyusul. Tangan kiri yang juga berbentuk cakar, menyampok dari bawah ke atas dagu.

Kali ini Barong Segara tidak mengelak lagi. Segera ditangkisnya serangan itu dengan tangan kanan dari atas ke bawah.

Plakkk ... !

Untuk yang kedua kalinya terjadi benturan antara dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi. Suara berderak keras terdengar mengiringi terjadinya benturan itu. Sawungrana menyeringai. Sekujur tangannya terasa sakit dan nyeri bukan kepalang! Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya agak terhuyung ke depan.

Namun, tindakan Barong Segara tidak hanya sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung mencuat ke arah perut Sawungrana. Cepat bukan main gerakannya.

Sawungrana terperanjat melihat serangan susulan yang begitu tiba-tiba. Meskipun begitu, kakek bermata picak ini berhasil membuktikan kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Segera kakinya dijejakkan ke tanah. Dan sesaat kemudian, tubuhnya sudah melambung ke atas, melewati kepala Penghuni Istana Hantu.

Sawungrana memang tidak percuma menjadi seorang ketua perguruan. Begitu tubuhnya berada di atas, kedua tangannya melancarkan serangan cepat dan bertubi-tubi ke arah ubun­ubun lawan.

Namun rupanya gerakan Penghuni Istana Hantu masih lebih cepat lagi. Tatkala terasa ada bahaya maut yang mengancam dari atas, kedua tangannya cepat disampokkan ke atas.

Prattt..!

Kembali terjadi benturan antara dua pasang tangan. Dengan sendirinya, Barong Segara berhasil menyelamatkan selembar nyawanya.

Tepat saat Barong Segara berhasil mem­perbaiki sikap, kedua kaki Sawungrana men­darat di tanah. Dan secara berbarengen, keduanya saling membalikkan tubuh dan ber­hadapan kembali. Hanya sesaat satu sama lain saling tatap dengan sinar maut memancar dari sepasang mata masing-masing, dan sekejap kemudian sudah saling serang kembali. Hanya ada dua pilihan hagi mereka. Membunuh atau dibunuh!

Hebat bukan main pertarungan antara kedua orang sakti itu. Suara menderu dan mendecit mengiringi setiap serangan mereka. Tanah terbongkar di sana-sini terkena pukulan nyasar. Genangan air memercik tak tentu arah. Bahkan daun-daun ikut berguguran dari tangkainya. Malah beberapa batang pohon juga roboh. Suara bergemuruh mengiringi tumbang­nya pepohonan itu.

Di jurus-jurus awal pertarungan memang berlangsung imbang. Kedua belah pihak saling melancarkan serangan. Tapi menginjak jurus kelima puluh, Barong Segara mulai tampak unggul. Laki-laki tinggi besar ini mulai dapat mendesak Sawungrana.

Lewat lima puluh jurus, keadaan Sawung­rana kian mengkhawatirkan. Serangan­serangannya tidak lagi bertubi-tubi seperti sebelumnya, bahkan lebih sering mengelak. Menangkis pun hanya sesekali. Karena setiap kali menangkis, tangannya terasa sakit-sakit dan dadanya sesak.

Sebenarnya tidak aneh jika Sawungrana terdesak, sebab memang bukan tandingan Barong Segara. Baik dalam hal ilmu me­ringankan tubuh, mutu ilmu silat maupun dalam hal tenaga dalam. Maka meskipun Sawungrana telah berusaha keras, tetap saja tidak mampu mengimbangi lawannya.

“Hih ... !”

Sambil menggertakkan gigi, Sawungrana melempar tubuhnya ke belakang. Barong Segara sama sekali tidak mengejarnya. Dibiarkannya saja tindakan kakek bermata picak itu. Sudah bisa diduga kalau Sawungrana akan meng­gunakan ilmu lainnya.

Karena Barong Segara sama sekali tidak mengejarnya, maka Sawungrana tidak meng­alami kesulitan untuk bersalto beberapa kali di udara sebelum akhirnya mendaratkan kedua kaki di tanah.

Dan begitu hinggap, di tangan Sawungrana telah tergenggam sebilah pedang terhunus. Dan secepat pedang itu berada di tangan, secepat itu pula Sawungrana memutar-mutarkannya di atas kepala.

Nguuung...!

Suara nyaring seperti ada sekelompok lebah mengamuk, mengiringi perputaran pedang itu. Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diper­kirakan kekuatan tenaga dalam yang meng­gerakkan pedang itu.

***

Barong Segara tentu saja tidak tinggal diam. Begitu Sawungrana menghunus senjatanya, bergegas ilmu andalannya dikeluarkan. Cepat Penghuni Istana Hantu ini membentuk kuda­kuda sejajar. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka saling bersilangan di depan dada. Tapi hanya sesaat saja hal itu dilakukan, karena sebentar kemudian jari-jari kedua tangannya perlahan-lahan dikepalkan. Terdengar suara berkerotokan nyaring, seperti ada tulang-tulang berpatahan ketika jari-jari tangan itu mengepal.

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Barong Segara. Setelah kedua tangannya mengepal, perlahan tapi penuh tenaga, kedua tangan itu ditarik ke pinggang. Kembali suara berkerotokan nyaring terdengar ketika kedua tangan itu ditarik ke pinggang. Tampak jelas, betapa kedua tangan itu menggigil keras, pertanda telah dialiri tenaga dalam tinggi.

Diiringi desahan napas dari mulut, Barong Segara mendorongkan kedua tangannya ke depan, perlahan-lahan tapi penuh tenaga. Suara berkerotokan keras terus terdengar mengiringi gerakan kedua tangan itu.

Luar biasa! Begitu desahan napas Barong Segara lenyap, dan kedua tangan yang semula terletak di pinggang itu terjulur ke depan, sekujur tangan Penghuni Istana Hantu telah berubah warna menjadi hitam kelam!

Sawungrana terperanjat melihat hal ini. Tanpa dibuktikan lagi pun sudah bisa diper­kirakan kedahsyatan ilmu Penghuni Istana Hantu. Kakek bermata picak ini tahu kalau Barong Segara tidak tinggal diam begitu saja selama belasan tahun. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini sudah pasti memperdalam ilmu-ilmu yang dimilikinya, sehingga sudah memperoleh kemajuan pesat.

Maka Sawungrana tidak bertindak setengah­setengah lagi. Tanpa mempedulikan perasaan malu karena bersenjata, sementara lawan hanya bertangan kosong, kakek bermata picak ini segera melompat menerjang.

“Hiyaaa ... !”

Air-air di atas pohon dan daun-daun berjatuhan karena getaran akibat pekikan nyaring Sawungrana.

Dan seiring teriakan itu, pedang di tangan­nya diputar di atas kepala. Suara dengung keras seperti ada ratusan ekor lebah tengah mengamuk terdengar mengiringi putaran pedang itu.

Cepat bukan main putaran pedang Sawungrana sehingga batang pedang itu tidak nampak lagi. Yang terlihat kini hanyalah sinar kekuningan yang membentuk putaran seperti baling-baling. Dan mendadak saja, dari balik putaran itu mencuat serangan maut ke arah ubun-ubun Barong Segara.

Cepat, mendadak, dan sama sekali tidak terduga serangan itu, karena muncul dari balik putaran sinar. Suara berdesing nyaring yang mengiringi serangan itu menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.

Tapi Barong Segara sama sekali tidak terkejut mendapat serangan mendadak seperti demikian. Kedua tangannya yang berwarna hitam kelam itu bergerak cepat di atas kepala. Menilik dari gelagatnya, seakan-akan Penghuni Istana Hantu ini ingin menangkis serangan pedang dengan tangan kosong.

Sawungrana mengerutkan alisnya melihat hal itu. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, sudah bisa diterka apa yang akan dilakukan lawannya. Dan seketika itu pula berbagai macam perasaan berkecamuk di hatinya. Benar­kah Penghuni Istana Hantu ini akan menangkis pedangnya dengan tangan kosong? Begitu saktikah sekarang laki-laki bertubuh tinggi besar ini? Atau begitu sombongnya, sehingga berani menangkis dengan tangan kosong?

Dugaan Sawungrana ternyata tidak salah! Barong Segara benar-benar menyambut tusukan pedangnya dengan pergelangan tangan kanan.

Takkk ... !

Suara berderak keras seperti beradunya dua batang logam keras terdengar. Akibatnya benar­benar hebat! Tubuh Sawungrana yang tengah berada di udara seketika terpental balik ke atas. Sementara Barong Segara sama sekali tidak bergeming!

Sawungrana terkejut bukan main. Dan memang, ada berbagai macam perasaan yang mendera hatinya. Kekagetan pertama ketika melihat lawan yang memapak pedangnya, ternyata tidak mendapat luka sedikit pun. Sementara kekagetan lainnya, ketika merasa­kan adanya daya tolak yang kuat luar biasa sehingga tubuhnya terpaksa seperti dilontarkan.

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Sawungrana untuk mematahkan daya dorong lontaran tubuhnya. Ringan dan enak saja tubuhnya bersalto di udara beberapa kali, kemudian mendarat mantap dan tanpa suara di tanah.

Tapi mendadak, mulut kakek bermata picak ini meringis begitu sakit yang amat sangat terasa menekan dadanya. Rasa sakit yang mau tak mau membuat kedua tangannya menekan perut.

Beberapa saat lamanya Sawungrana kebingungan. Dia hanya bisa menduga, dari mana timbulnya rasa sakit itu? Apakah tanpa diketahui tubuhnya telah terkena racun yang dilepaskan Barong Segara secara licik? Namun dia yakin betul kalau tidak ada satu serangan pun dari Barong Segara yang mengenainya.

Ada satu hal lagi yang membuat kakek bermata picak ini yakin kalau dirinya tidak terkena racun. Dan itu diketahui sewaktu menarik napas. Ada rasa sakit yang mendera dadanya ketika melakukan hal itu.

Sawungrana tahu apa artinya. Dia telah terluka dalam, dan bukan terkena racun. Tapi yang tidak habis dimengerti, kapan dia terkena serangan lawan? Ataukah dalam benturan terakhir tadi? Tapi bila karena benturan terakhir, bukan hanya dadanya saja yang terasa sesak bukan main. Yang jelas tangannya pun akan terasa bergetar. Setidak­tidaknya, tangan yang menggenggam senjata akan lumpuh sejenak!

“He he he...!” Barong Segara tertawa terkekeh-kekeh.

Laki-laki berpakaian merah ini memang sejak tadi sama sekali tidak bergerak menyerang. Dia berdiam diri saja mem­perhatikan semua tingkah Sawungrana.

“Kenapa, Sawungrana? Sakit dadamu? He he he...!”

“Keparat kau, Barong Segara...!” maki Sawungrana, keras. Wajah dan sepasang matanya merah membara. “Sungguh tidak kusangka, kau akan bertindak sepengecut ini.

Berlaku curang untuk meraih kemenangan!” “Tutup mulutmu, Anjing Buduk!” maki Barong Segara keras.

Lenyap seketika itu juga seri di wajah laki­laki bertubuh tinggi besar ini. Yang tinggal hanyalah kemarahan yang menggelegak. Penghuni Istana Hantu ini memang pantang dihina.

“Aku tidak serendah itu! Jangan kau samakan aku dengan dirimu! Seorang pengecut, sehingga menjilat ludahnya sendiri yang telah jatuh ke tanah!”

Wajah Sawungrana semakin memerah. Tapi kali ini bukan amarah, melainkan karena perasaan malu. Malu karena telah melanggar sumpahnya sendiri.

“Kalau tidak karena bermain curang, mengapa kau mengetahui apa yang ku­rasakan?!” bantah Sawungrana dengan suara mulai melunak, tapi nadanya berupa tuduhan.

“Itulah kehebatan dari gabungan ilmu yang baru saja kuciptakan!” sahut Barong Segara, penuh kemenangan. “Kau mau tahu nama ilmu itu?!”

Wajah Sawungrana berubah seketika. Jadi luka dalamnya bukan karena lawan bermain curang, melainkan karena kedahsyatan ilmu gabungan! Luar biasa! Sungguh sebuah ilmu yang amat berbahaya!

Melihat kakek bermata picak itu sama sekali tidak menyambuti ucapannya, Barong Segara sama sekali tidak ambil pusing. Pertanyaan itu diajukan memang bukan untuk mendapatkan jawaban. Maka tanpa mempedulikan Sawung­rana mendengar atau tidak, Barong Segara menyambung ucapannya.

“Kejadian yang menimpamu adalah akibat ilmu gabungan 'Tangan Penahan Gelombang Laut' dan 'Ilmu Tangan Pasir Besi'.”

Ada seruan tertahan yang keluar dari mulut Sawungrana ketika mendengar penjelasan Penghuni Istana Hantu. Ilmu yang pertama memang belum dikenalnya. Tapi ilmu kedua yang disebut tadi, cukup diketahuinya. Dengan 'Ilmu Tangan Pasir Besi', orang jadi memiliki tangan laksana baja! Hanya saja, latihan­latihannya pun cukup berat Di antaranya, merendam tangan dalam pasir besi yang panas. Jadi, ternyata Barong Segara telah berhasil menguasai ilmu itu.

“Serangan pedangmu kutahan dengan 'Ilmu Tangan Pasir Besi', sementara ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut' langsung menyusup dan menghantam dadamu! Itu memang keistimewaannya! Dan ajalmu kini hanya tinggal menunggu waktu saja! Ha ha ha...!”

“Keparat..! Sebelum waktu itu tiba, aku akan menyeretmu pergi bersamaku, Barong Segara...!”

Setelah berkata demikian, Sawungrana melompat menerjang. Sementara Barong Segara sama sekali tidak mempedulikannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini terus saja tertawa terbahak-bahak. Sepertinya, dia tidak merasa cemas melihat serangan maut yang dilancarkan kakek bermata picak itu.

Tapi baru juga setengah jalan, mendadak tubuh Sawungrana mengejang. Pedang di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dari mulut, hidung, dan telinganya tiba-tiba mengalir cairan merah kental. Tubuhnya roboh di tanah. Sebentar dia menggelepar-gelepar, sejenak kemudian diam tidak bergerak lagi.

“Ha ha ha...!”

Barong Segara tertawa bergelak melihat tubuh lawannya yang sudah menjadi mayat. Kegembiraan yang amat sangat tampak mem­bayang di wajahnya.

“Hi hi hi..!”

Mendadak suara tawa melengking nyaring terdengar menimpali. Jelas, suara itu berasal bukan dari mulut seorang lelaki.

Tapi Barong Segara sama sekali tidak tampak terkejut mendengarnya. Bahkan tetap saja meneruskan tawanya. Tampak jelas kalau laki-laki bertubuh tinggi besar ini sama sekali tidak merasa terganggu. Maka kini di malam yang sepi itu terdengar dua jenis suara tawa yang memecahkan keheningan malam.

“Cukup, Durgasari ... !” sentak Barong Segara seraya menghentikan tawanya.

Seketika itu juga suara tawa terkikih itu lenyap. “Lebih baik, lekas kau kejar murid si keparat ini..! Lenyapkan sebelum terlambat..!”

Tidak terdengar sahutan dari pohon-pohon tinggi tempat asal suara itu. Hanya saja, setelah Barong Segara menyelesaikan ucapannya, terdengar suara gemerisik pelan dari salah satu cabang pohon. Hanya sebentar saja, sesaat kemudian tidak terdengar lagi.

Barong Segara mendengus, kemudian melesat pergi ke arah Istananya. Cepat bukan main gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan yang melesat cepat untuk kemudian menghilang di kegelapan malam.

***4

Angin kering membawa debu berhembus keras. Matahari memang sudah berada tepat di atas kepala. Sinarnya yang panas menyorot garang, seakan-akan ingin melelehkan semua yang ada di permukaan mayapada.

“Keparat..!”

Seorang pemuda berpakaian abu-abu dan berjenggot pendek berteriak memaki ketika angin yang membawa debu itu menyambar wajahnya. Akibatnya, salah satu matanya kemasukan debu. Maka, kontan pemuda itu mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengeluar­kan debu yang tidak tahu diri sehingga matanya terasa perih.

“He he he...!”

Seorang pemuda sebaya yang berjalan bersamanya, hanya tertawa terkekeh. Seperti juga laki-laki berjenggot pendek itu, laki-laki yang tertawa itu berpakaian abu-abu. Bibirnya yang sumbing membuat wajahnya nampak lucu ketika tertawa.

“Apa yang kau tertawakan, Patila?” tanya laki-laki berjenggot pendek itu geram. Nada suaranya menyiratkan perasaan tidak senang.

Laki-laki berbibir sumbing yang ternyata bernama Patila tidak langsung menjawab. Dia masih sibuk menahan rasa geli yang melanda.

Karuan saja hal ini membuat laki-laki ber­jenggot pendek itu semakin memuncak amarahnya. Untung sebelum amarahnya sempat meluap, Patila telah bisa menguasai diri.

“Kelakuanmu yang membuatku geli, Satrana,” sahut laki-laki berbibir sumbing itu memberi tahu. “Hanya sebutir kecil debu saja telah membuatmu kalang kabut! Aku tidak bisa membayangkan kalau bukan debu yang menyambar ke arahmu, melainkan sebatang pedang!”

“Ingin kutahu, siapa yang berani melakukan hal seperti itu padaku!” tandas laki-laki berjenggot pendek yang ternyata bernama Satrana. Nada kesombongan nampak jelas pada wajah, suara, dan sikapnya.

Usai berkata demikian, Satrana membusung­kan dadanya. Tidak hanya itu saja. Kedua tangannya langsung disedakapkan di depan dada. Sementara, wajahnya ditolehkan ke sana kemari dengan sikap angkuh.

Tapi, tidak ada seorang pun yang melihat tingkahnya kecuali Patila. Laki-laki berbibir sumbing itu menatap sambil menyunggingkan senyum mengejek. Maka wajahnya yang sudah buruk karena bibir cacat itu, jadi semakin terlihat mengerikan.

Suasana di sekitar tempat itu memang sepi. Padahal, kedua laki-laki itu tengah berjalan di jalan utama Desa Kali Asem. Sebuah desa yang terhitung cukup besar dan berpenduduk cukup padat. Rumah penduduk memang banyak terhampar di sana-sini, tapi sebagian besar terkunci rapat baik pintu maupun jendelanya! Jelas, ada sesuatu yang terjadi dengan desa itu.

Rupanya Satrana belum puas dengan sikap­nya yang seperti itu. Seraya mengangkat kepala, tangan kanannya ditepuk-tepukkan ke dada. Tampak kalau di dada kiri laki-laki berjenggot pendek ini tertera gambar seekor belut yang bersulamkan benang perak. Gambar yang sama pun tertera di dada kiri Patila.

Kedua laki-laki, yang ternyata berasal dari satu perguruan ini terus melangkah. Dan gerakan kaki mereka baru terhenti ketika telah sampai di depan sebuah rumah berdinding batu.

Tok, tok, tok ... !

Terdengar suara keras ketika Patila menggedorkan tangannya pada daun pintu yang tertutup rapat itu.

“Wanara! Keluar kau ... ! Atau..., kubakar gubukmu ini..!”

Tanpa khawatir terdengar oleh penghuni rumah lainnya, Satrana berteriak-teriak memanggil sambil terus menggedor-gedor daun pintu. Menilik dari sikapnya, jelas kalau dia sudah terbiasa bersikap begitu.

Terdengar suara langkah tergesa-gesa dari dalam rumah itu. Sesaat kemudian, daun pintu itu pun terkuak dari dalam. Suara berderit yang cukup tajam mengiringi terbukanya pintu.

“O, Den Satrana dan Den Patila kiranya ... !” ucap seraut wajah tua bertubuh ringkih dan berpakaian putih.

Seulas senyum tampak tersungging di bibir laki-laki bernama Wanara yang tampak gemetar ketika mengucapkan nama kedua laki-laki kasar itu. Dia memang mengenal mereka yang merupakan murid-murid Perguruan Belut Putih.

“Tidak usah banyak basa-basi, Wanara!” sergah Satrana keras. “Aku tidak ingin beramah tamah denganmu! Kami datang kemari atas perintah Ki Kalasura, ketua kami. Dan kau tahu bukan, apa maksudnya? Panggil Galuh kemari! Cepat..!”

Seketika itu juga wajah laki-laki tua berpakaian putih itu memucat, Galuh adalah putrinya yang telah berusia hampir dua puluh tahun. Wajahnya memang cantik. Dia tahu, apa maksud Kalasura menyuruh kedua orang ini mengambil putrinya. Kalasura memiliki kebiasaan jelek, yakni mempermainkan wanita.

“Tapi.... Tapi, Den... Galuh masih terlalu muda... Dan lagi....”

“Kau mau memanggilnya secara baik-baik, atau kami akan mengambilnya secara paksa?” potong Satrana tidak sabar. Nada ancaman tampak jelas baik dalam suara maupun raut waj ahnya.

Ki Wanara tergagap. Perasaan gelisah yang amat sangat membayang jelas di wajahnya yang penuh keriput itu. Tapi, Patila dan Satrana sama sekali tidak tersentuh hatinya melihat laki laki tua berpakaian putih itu bingung karena perasaan takut. Justru sebaliknya, mereka malah menjadi kian meluap amarahnya.

“Tua bangka keparat! Kau rupanya sudah bosan hidup, ya? Berani-beraninya menentang kemauan kami!”

Setelah berkata demikian, Satrana segera melayangkan tangannya ke arah pipi kakek berpakaian putih itu. Terlihat mantap dan cukup cepat gerakannya.

Plakkk ... !

Telak dan keras sekali tangan kekar Satrana mendarat di pipi kanan Ki Wanara. Wajah kakek berpakaian putih itu bahkan sampai terpaling ke samping. Bukan hanya itu saja. Tubuhnya pun sampai terhuyung. Seketika ada cairan merah kental yang menitik di sudut­sudut mulutnya.

Kemudian tanpa mempedulikan kakek berpakaian putih itu lagi, Satrana segera melangkah masuk ke dalam rumah. Patila yang sejak tadi hanya tersenyum-senyum memper­hatikan semua tingkah laku temannya, tanpa banyak bicara segera melangkah mengikuti. Tapi tak lupa, laki-laki berbibir sumbing yang tidak kalah galak dari rekannya melayangkan kakinya.

Bukkk...!
“Hugkh ... !”

Keluhan tertahan terdengar dari mulut Ki Wanara. Tendangan Patila memang keras bukan main! Apalagi tepat mengenai perutnya. Seketika itu pula tubuh kakek berpakaian putih ini terlipat ke depan. Kedua tangannya mendekap perut. Sementara, sepasang matanya juga melotot. Jelas, kakek ini mengalami kesulitan bernapas akibat tendangan Patila.

Seperti juga Satrana, Patila sama sekali tidak mempedulikan keadaan Ki Wanara. Mereka tahu, kakek berpakaian putih itu tidak akan tewas karena pukulan dan tendangan yang telah dikirimkan tadi. Memang, kedua serangan itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam sama sekali. Baik Patila maupun Satrana tahu, siapa Ki Wanara itu. Dia adalah seorang kakek ringkih yang tidak memiliki ilmu silat sedikit pun. Jadi seandainya dikerahkan tenaga dalam sedikit saja, bukan tidak mungkin kakek itu sudah pergi ke alam baka.

Sesaat lamanya, Ki Wanara berdiam diri sambil memegangi perutnya yang terasa mules bukan main. Malahan juga pernapasannya tersumbat. Dan hal ini terjadi karena perasaan khawatirnya akan keselamatan Galuh, putrinya!

Di saat Ki Wanara berusaha keras untuk memulihkan keadaannya, Satrana dan Patila sudah mulai melakukan pencarian ke kamar­kamar.

Brakkk...!

Suara berderak keras terdengar mengiringi hancurnya daun pintu terdepan, begitu Satrana menendang. Dan secepat daun pintu itu sudah lenyap dari ambangnya, Patila segera bergerak masuk.

“Galuh ... ! Lari...!”

Ki Wanara yang sudah berhasil memulihkan diri, segera berteriak memperingatkan. Karuan

saja hal itu membuat Satrana yang sudah berada di dalam kamar, segera berlari keluar kembali. Sementara Patila yang sudah berada di depan pintu kamar yang satunya lagi, berhenti sejenak di depan pintu. Tak pelak lagi, kedua orang ini sama-sama berdiri di depan pintu seraya melayangkan pandang ke sana kemari, mencari-cari putri Ki Wanara.

Mendadak keduanya mendengar langkah kaki yang bergemuruh dan cepat menghantam bumi. Seketika itu juga keduanya saling berpandangan. Dari saling adu pandang itu keduanya sepakat kalau asal suara itu adalah dari belakang. Tanpa melihat pun sudah bisa diduga, Galuh, wanita yang mereka cari-cari telah kabur! Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua orang itu segera bergerak mengejar.

Ki Wanara tidak tinggal diam. Kakek yang sebenarnya sudah ringkih ini mendadak lebih gesit karena perasaan khawatir akan keselamatan putrinya. Cepat dia bergerak ke arah dinding rumah tempat senjata andalannya tergantung. Sebuah busur dengan sekantung anak panahnya. Ki Wanara memang sejak muda ahli memanah. Sudah tidak terhitung, binatang­binatang yang telah ditembus anak panahnya. Dan kini kakek berpakaian putih ini terpaksa menggunakan senjata andalan itu untuk menyelamatkan putri tunggalnya.

Dan secepat busur itu terpegang, secepat itu pula anak panahnya diselipkan. Tak tanggungtanggung, tiga batang sekaligus dipasangnya. Twanggg ... !

Terdengar suara berdentang keras begitu anak-anak panah terlepas dari busurnya dan meluncur cepat ke arah Satrana dan Patila yang telah berlari ke belakang.

Satrana dan Patila terkejut bukan main mendengar suara keras itu. Cepat mereka menoleh ke belakang, dan kontan memucat begitu melihat tiga batang anak panah tengah meluncur cepat ke arah mereka.

Tidak ada pilihan lagi bagi Patila dan Satrana! Maka mereka pun segera melempar tubuh ke samping. Satrana ke samping kanan, sedangkan Patila ke samping kiri. Lalu tubuh mereka bergulingan sekali di lantai.

Cappp, cappp...!

Tiga batang anak panah itu menancap di daun pintu belakang ketika kedua sasaran yang ditujunya berhasil meloloskan diri.

Tindakan Ki Wanara tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, segera dipasangnya kembali anak panah lain pada busurnya. Dan....

Twanggg ... ! Twanggg ... !

Secepat anak panah pertama menyambar ke arah Satrana, secepat itu pula dipasangkan lagi anak panah lain dan langsung dijepretkan ke arah Patila. Kedua serangan itu berlangsung dalam sekejap saja. Dari pertunjukan ini saja, sudah bisa diperkirakan kelihaian kakek berpakaian putih ini memainkan panah.

Kini Patila dan Satrana repot pontang­panting menyelamatkan diri. Baru saja mereka bangkit, kembali serangan anak panah itu meluncur tiba. Maka kedua orang murid Perguruan Belut Putih itu cepat menggulingkan tubuhnya kembali. Dan bukan itu saja yang dilakukan mereka. Sambil bergulingan, dilancarkannya serangan balasan. Berupa pisau­pisau terbang ke arah Ki Wanara.

Singgg, singgg ... !

Seiring berhasil dielakkannya serangan kedua anak panah itu, serangan pisau-pisau terbang Patila dan Satrana meluncur ke arah kakek berpakaian putih.

Ki Wanara terperanjat melihat serangan balasan yang tak terduga-duga itu. Cepat dia berusaha mengelak. Tapi....

Cappp, cappp...!
“Akh... !”

Ki Wanara memekik tertahan ketika dua bilah pisau terbang yang dilepaskan murid Perguruan Belut Putih itu berhasil mendarat di tubuhnya. Satu mendarat di pangkal lengan kanan, sedangkan yang satu lagi menghunjam di paha kiri. Tak pelak lagi, tubuh kakek berpakaian putih ini terguling roboh.

Patila dan Satrana sama sekali tidak mempedulikan Ki Wanara lagi. Begitu tubuh kakek berpakaian putih itu tampak terguling, mereka bergegas bangkit dan berlari ke belakang melakukan pengejaran terhadap Galuh.

5

Brakkk..!

Daun pintu itu hancur berkeping-keping ketika tangan Satrana menghajarnya. Dan begitu pintu terkuak, tubuh kedua orang murid Perguruan Belut Putih itu segera melesat keluar.

“Itu dia ... !” seru Patila sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke depan.

Sebenarnya tanpa diberi tahu pun, Satrana sudah melihatnya pula. Walaupun jarak wanita berpakaian biru langit itu telah berada sekitar dua puluh lima tombak di depan, tapi karena medan yang ditempuh berupa sebuah lapangan luas tanpa ada penghalang, membuat gadis itu tetap terlihat.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Satrana dan Patila segera bergerak mengejar. Sesaat kemudian, kejar-mengejar pun tidak bisa dihindari.

Dan memang, hasil akhir kejar-kejaran ini sudah bisa ditebak. Yang dikejar hanyalah seorang wanita, sementara kedua orang pengejarnya adalah laki-laki kuat.

Tambahan lagi, Galuh adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak pernah berlatih ilmu silat. Sementara kedua pengejarnya memiliki kepandaian lumayan, dan juga memiliki ilmu meringankan tubuh. Maka tak aneh, bila dalam waktu sebentar saja jarak mereka semakin bertambah dekat.

Galuh berlari dengan perasaan bingung. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, untuk melihat pengejarnya. Dan kebingungan­nya semakin bertambah tatkala jarak kedua pengejarnya semakin bertambah dekat saja.

Sebenarnya kalau saja keadaan biasa, tak mungkin gadis seperti Galuh akan sanggup berlari sejauh itu. Tapi karena perasaan takut yang mendera, gadis itu seperti mendapat tenaga tambahan saja. Tapi tetap saja, bantuan tenaga itu tetap tidak berarti apa-apa bila dibanding tenaga Satrana dan Patila.

Kini jarak antara Galuh dan kedua orang pengejarnya tidak sampai lima tombak lagi. Kalau saja kedua orang itu bermaksud mencelakai, sudah sejak tadi gadis berpakaian biru langit ini menggeletak di tanah. Tapi karena telah mendapat pesan keras dari sang Ketua, sehingga mereka tidak berani bertindak lancang.

Napas Galuh sudah hampir putus ketika melihat kerimbunan semak-semak di hadapan­nya.

“Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi, Cah Ayu?”

Satrana yang yakin kalau sebentar lagi akan mampu menangkap gadis berpakaian biru langit itu berseru mengejek walaupun dengan napas agak terengah. Jarak antara mereka memang paling jauh tinggal tiga tombak lagi.

Mendengar ucapan itu, Galuh semakin bingung sehingga tidak melihat adanya akar pohon yang menyembul ke tanah.

Tukkk!
“Aaaw...!”

Seiring pekikan kagetnya, tubuh Galuh terjerembab. Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh gadis itu menghantam tanah. Menilik dari seringai pada mulutnya, bisa diperkirakan kalau dia merasa sakit.

Tapi karena perasaan takut yang amat sangat terhadap dua orang murid Perguruan Belut Putin, membuatnya tidak mempedulikan perasaan sakit itu.

Cepat Galuh bergerak bangkit. Tapi baru juga hendak berdiri, di hadapannya telah berdiri dua orang pengejarnya sambil tersenyum-senyum memuakkan.

Wajah Galuh pucat seketika. Tapi meskipun demikian dia tidak putus asa. Segera tubuhnya berbalik dan berlari ke arah berlawanan dengan arah yang ditempuhnya semula.

“Ha ha ha...! Betina liar itu ternyata bandel juga, Satrana...!” seru Patila pada Satrana.

Sementara laki-laki berjenggot pendek itu hanya mengeluarkan suara tawa bergelak saja sambil menggerakkan kaki. Dan sesaat kemudian, dia telah berada di depan Galuh.

Galuh semakin ketakutan begitu di hadapannya telah berdiri Satrana. Dengan rasa takut yang membayang jelas di wajahnya, tubuhnya berbalik dan berlari ke arah semula.

Tapi langkahnya langsung terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh Patila.
Kini Galuh tidak bisa ke mana-mana lagi. Di hadapannya sudah berdiri Patila. Sementara di belakangnya menghadang Satrana. Yang dapat dilakukannya kini hanya menggerakkan sepasang matanya ke kanan dan ke kiri mencari jalan untuk melarikan diri.

Satrana dan Patila tertawa terkekeh-kekeh seraya melangkah menghampiri. Sudah dapat dipastikan kalau gadis berpakaian biru langit itu akhrirnya akan tertangkap oleh kedua orang murid Perguruan Belut Putih itu. Tapi....

“Baru kali ini kutemui ada dua orang lelaki perkasa tanpa tahu malu mengeroyok seorang wanita lemah ... !”

Pelan saja terdengar suara itu, tapi karena suasana yang cukup hening, sehingga terdengar jelas. Tentu saja ucapan yang sudah jelas-jelas sindiran itu membuat Satrana dan Patila mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Seketika wajah mereka merah padam menahan geram. Keduanya tahu kalau ucapan itu ditujukan kepada mereka.

Di sebelah kanan Galuh dalam jarak sekitar empat tombak, nampak berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Pakaian yang berwarna hitam nampak membungkus tubuhnya yang tegap, kekar, dan berotot. Hanya sayangnya, wajah yang terlihat tampan itu mempunyai kulit yang begitu pucat. Sepertinya, pemuda itu sudah

lama tidak terkena sinar matahari.

“Keparat..!” maki Satrana keras seraya menatap laki-laki berwajah pucat itu dengan pandangan mata beringas. Jelas kalau laki-laki berjenggot pendek ini merasa tersinggung bukan main mendengar sindiran itu. “Siapa kau, Kambing Sakit! Berani betul menghina kami! Tidak tahukah kau, siapa kami?!”

Laki-laki berwajah pucat itu tersenyum getir. Sama sekali wajahnya yang pucat itu tidak menampakkan perubahan, sekalipun mendapat sambutan yang begitu kasar.

“Aku Raksagala. Dan sama sekali tidak bermaksud menghina kalian! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dari tanda yang tertera di dada kiri kalian, sudah bisa ku­perkirakan kalau kalian murid-murid Perguruan Belut Putih,” sahut laki-laki berwajah pucat yang ternyata Raksagala. Pemuda itu adalah pelarian dari Istana Hantu. Pucatnya wajah pemuda ini memang karena jarang terkena sinar matahari.

Tidak tampak adanya benda bersinar di lehernya. Memang, pemuda itu telah menaruhnya dalam buntalan kain dan menyimpannya di punggung.

“Kalau sudah tahu siapa kami, lantas mengapa tidak lekas menyingkir pergi?!” sahut Patila cepat memberi kesempatan.

Hal ini bukan karena Patila bersikap murah hati. Tapi karena laki-laki berbibir sumbing ini melihat adanya sesuatu yang mengerikan pada laki-laki berwajah pucat itu. Entah karena wajahnya, penampilannya, atau karena sorot matanya. Yang jelas, Patila tidak tahu dan merasa ngeri.

Perasaan itu tidak hanya dialami Patila saja, tapi juga oleh Satrana dan Galuh! Itulah sebabnya, Satrana yang biasanya beringas dan tidak kenal ampun, tadi hanya mengeluarkan kata-kata kasar! Biasanya bila perbuatannya sedikit dirintangi orang, laki-laki berjenggot pendek ini langsung main pukul.

“Justru karena tahu kalau kalian adalah murid Perguruan Belut Putih, maka aku jadi lebih berkewajiban untuk campur tangan!” tandas Raksagala.

“Apa maksudmu?” tanya Satrana seraya mengerutkan kening. Ucapan laki-laki berwajah pucat itu membuatnya penasaran juga.

“Aku telah mendapat wewenang penuh untuk menindak tegas setiap murid Perguruan Belut Putih yang menyeleweng!” tegas Raksagala.

“Ha ha ha...!”

Seperti sepakat saja, Satrana dan Patila tertawa berbareng karena tak kuasa menahan rasa geli yang nelanda begitu mendengar penegasan Raksagala. Tidak salahkah pen­dengaran mereka? Laki-laki berwajah pucat itu mengatakan telah mendapat wewenang penuh? Dari siapa? Sedangkan mereka berdua melakukan setiap tindakan ini atas perintah ketua mereka yang bernama Kalasura. Dialah pimpinan tertinggi Perguruan Belut Putih. Lalu sekarang, Raksagala mendapat wewenang penuh dari siapa?

Kini rasa jerih mereka pun sirna. Raksagala ternyata bukan orang waras. Begitu kesimpulan mereka. Laki-laki berwajah pucat itu adalah seorang yang tidak patut ditakuti.

“Kalau begitu, mampuslah kau...!”

Sambil berkata demikian, Satrana melancar­kan serangan ke arah Raksagala. Laki-laki berjenggot pendek ini memang berwatak telengas. Maka tidak aneh, sekali melancarkan serangan seluruh tenaga dalamnya langsung dikerahkan. Bukan itu saja. Serangan yang dituju pun begitu mematikan.

Satrana membuka serangan dengan sebuah pukulan tangan kanan ke arah leher. Dari angin yang berkesiut cukup nyaring. bisa diduga kalau laki-laki berjenggot pendek ini memiliki tenaga dalam tinggi.

Tapi orang yang diserang Satrana kali ini bukan orang sembarangan. Dia adalah Raksagala, murid terkasih Sawungrana, dedengkot Perguruan Belut Putih waktu itu. Maka, tentu saja serangan seperti itu sama sekali tidak berarti apa-apa buat laki-laki berwajah pucat ini. Sekali lihat saja, Raksagala sudah bisa mengetahui kalau jurus yang dipakai Satrana bukan jurus khas ilmu Perguruan Belut Putih. Jadi, bisa diperkirakan kalau laki-laki berjenggot pendek ini bukan murid pilihan. Dia kenal betul gerakan itu. Juga, ke mana lanjutan serangannya, dan bagaimana cara singkat mematahkannya.

“Hm...,”

Raksagala menggumam pelan Enak saja kaki kanannya melangkah ke belakang. Tidak hanya itu saja. Bersamaan kakinya ditarik mundur, tangan kanannya bergerak menangkap. Dan....

Tappp ... !

Satrana terpekik kaget begitu dalam segebrakan saja tangannya sudah tertangkap lawan. Bahkan bukan hanya dia saja yang terkejut, rekannya pun terkejut bukan main melihat hal ini. Sedemikian saktikah laki-laki berwajah pucat itu? Bermacam-macam dugaan mulai tumbuh di hatinya, sampai-sampai Galuh yang bergerak menjauh tidak dipedulikannya.

***

Semula Satrana terperanjat mengalami kejadian yang sama sekali tidak disangka­sangka itu. Tapi hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Karena dia kini sudah melancarkan serangan susulan. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah dada Raksagala. Wuttt..!

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Raksagala sama sekali tidak menghindar. Sambil terus memengangi pergelangan tangan Satrana, Raksagala membiarkan dadanya dijadikan sasaran tendangan Maka, akibat selanjutnya sudah bisa diduga.

Bukkk!
“Akh... !”

Telak dan keras sekali tendangan yang dikirimkan Satrana menghantam sasarannya. Tapi sungguh aneh. Masalahnya justru Satranalah yang berteriak kesakitan. Mulutnya menyeringai memperlihatkan kalau dirinya dilanda rasa sakit yang luar biasa.

Dan memang demikianlah kejadian yang sebenarnya. Laki-laki berjenggot pendek ini merasakan ujung kakinya bukan mengenai dada manusia, melainkan sebongkah besi baja yang amat keras. Akibatnya kaki yang membentur itu tulangnya seperti remuk.

Raksagala yang ingin memberi pelajaran agar kedua orang itu kapok, tidak bertindak setengah-setengah. Jemarinya yang masih memegangi pergelangan tangan lawan perlahan bergerak meremas. Maka seketika itu juga Satrana melolong-lolong kesakitan, karena sekujur tulang pergelangan tangannya seperti hancur lebur. Keringat sebesar-besar biji jagung pun bertonjolan di wajahnya.

Patila tentu saja tidak akan tinggal diam melihat rekannya tidak berdaya di tangan Raksagala. Cepat laksana kilat laki-laki berbibir sumbing itu melompat menerjang. Menyadari kalau Raksagala adalah seorang lawan tangguh, maka tanpa ragu-ragu lagi pedangnya langsung dicabut.

Singgg...!

Suara mendesing nyaring terdengar ketika Patila mengayunkan pedangnya, membacok ke arah leher.

Tapi seperti juga ketika menghadapi serangan Satrana, kali ini Raksagala melakukan hal yang sama. Dia sama sekali tidak bertindak apa-apa. Dibiarkannya saja serangan yang mengancam ke arah leher itu.

Takkk!

Suara keras seperti terjadi benturan antara dua logam keras terdengar, ketika mata pedang laki-laki berbibir sumbing itu telak dan keras sekali menghantam sasaran. Akibatnya, sama seperti yang dialami Satrana. Pedang itu justru terpental balik ketika mengenai leher Raksagala. Sepertinya yang dihantamnya bukan leher manusia, melainkan gumpalan karet keras.

Bukan hanya itu saja yang dialami laki-laki berbibir sumbing. Sekujur tangannya bergetar hebat, sementara jemari tangan yang meng­genggam pedang terasa seperti lumpuh. Bahkan hampir saja pedang itu terlepas dari genggaman.

Karuan saja hal ini membuat Patila terkejut bukan kepalang. Dan sebelum perasaan ter­kejutnya hilang, tangan Raksagala telah ber­gerak cepat menepak ke arah dada. Rekan Satrana ini berusaha sedapat-dapatnya mengelak, tapi....

Plakkk ... !

Pelan saja kelihatannya tangan Raksagala menepak sasaran, tapi akibat yang diterima Patila tidak sesederhana itu. Tubuhnya langsung terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau liar. Ada suara keluhan tertahan tersangkut di tenggorokannya.

Berbareng terjengkangnya tubuh Patila, Raksagala mengayunkan kakinya ke arah perut Satrana. Menilik gerakannya, tidak pantas bila disebut sebuah tendangan. Karena, sama sekali tidak terlihat kekerasannya. Berbareng dengan ayunan kaki, laki-laki berwajah pucat ini segera melepas cekalannya.

Tapi kenyataan yang terjadi betul-betul mengejutkan. Tubuh Satrana terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah ketika kaki murid Sawungrana itu tepat pada sasarannya. Anehnya, kedua orang itu jatuh di tempat yang berdekatan.

Dengan sikap tenang yang mengagumkan, Raksagala menghampiri dua orang murid Perguruan Belut Putih yang tengah merangkak bangun.

“Kali ini kalian kuampuni!” kata Raksagala penuh wibawa. “Anggap saja ini sebagai pelajaran! Tapi, ingat! Bila kujumpai kalian berbuat seperti ini lagi, jangan harap akan kuampuni!”

Satrana dan Patila sama sekali tidak menyahuti ucapan laki-laki berwajah pucat itu. Hanya saja, sepasang mata mereka menyorot penuh dendam ke arah wajah Raksagala.

“Cepat kalian menyingkir, sebelum pendirianku berubah ... !” ujar Raksagala lagi. Tapi kali ini dengan nada lebih keras dari sebelumnya.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Satrana dan Patila segera bangkit berdiri, lalu berlari meninggalkan tempat itu. Gerakan mereka terlihat menggelikan. Maklum, rasa sakit yang mendera belum sepenuhnya lenyap. Seketika, kedua orang itu lari dengan langkah tertatih­tatih.

Raksagala mengikuti kepergian kedua orang itu dengan pandangan matanya. Baru setelah tubuh kedua orang itu lenyap ditelan jalan, perhatiannya beralih pada Galuh. Tanpa sadar gadis berpakaian biru itu melangkah mundur. Meskipun tahu kalau laki-laki berwajah pucat itu telah menolongnya, tapi dia masih takut. Tidak heran, sebab pengalaman yang diterima­nya kali ini benar-benar membuatnya terpukul.

“Tenanglah, Nisanak. Percayalah..., aku bukan orang jahat,” ujar Raksagala seraya tersenyum lebar.

Laki-laki berwajah pucat ini bisa memaklumi ketakutan yang melanda hati gadis berpakaian biru langit itu. Jadi, dia tidak merasa tersinggung karenanya.

Dan untuk tidak membuat Galuh lebih takut lagi, Raksagala tidak langsung bergerak menghampiri. Pemuda itu tetap berdiri diam di tempat semula. Sementara, sepasang matanya menatap tajam wajah gadis berpakaian biru langit itu.

Diam-diam sebuah perasaan kagum menyelinap di dalam hati laki-laki berwajah pucat itu. Wajah Galuh ternyata begitu cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bibirnya berbentuk indah, dan berwarna merah segar. Dadanya padat dan membusung, di balik pakaiannya yang berwarna biru langit.

“Namaku Raksagala. Aku datang dari tempat yang amat jauh,” kata laki-laki berwajah pucat itu memperkenalkan diri. Dia tidak lagi peduli pada sikap diam yang ditunjukkan Galuh.

“Kalau boleh kutahu, apa nama desa ini, Nisanak?”
“Kali Asem...,” sahut Galuh setelah beberapa saat lamanya terdiam.

Sikap Raksagala yang sopan dan tatapan matanya yang tidak liar, membuat keberanian gadis itu mulai timbul. Walaupun diakui, masih ada sedikit perasaan takut di hatinya melihat wajah Raksagala yang begitu pucat. Sepertinya, sama sekali tidak berdarah. Bahkan bukan hanya kulit wajahnya saja, tapi juga kulit tubuhnya.

“Kali Asem...,” gumam Raksagala seraya mengerutkan keningnya. “Kalau begitu aku tidak salah alamat. Boleh bertanya sekali lagi, Nisanak?”

Galuh menganggukkan kepala.

“Benarkah di desa ini tempat Perguruan Belut Putih?” tanya Raksagala lagi.

Memang sebelum meninggalkan gurunya, kakek bermata picak itu telah memberitahukan letak Perguruan Belut Putih.

Seketika itu juga wajah Galuh yang semula sudah mulai tenang, memucat kembali. Tampak jelas kalau pertanyaan yang diajukan Raksagala membuatnya takut. Dan ini tentu saja terlihat oleh Raksagala. Perasaan heran pun ber­kecamuk dalam hatinya. Apa-lagi, ketika gadis berpakaian biru langit itu malah melangkah mundur ketakutan.

“Tenanglah, Nisanak. Sudah kukatakan tadi, aku bukan orang jahat. Sebaliknya, malah aku membenci orang jahat seperti kedua orang yang telah mengganggumu tadi. O, ya. Siapa nama­mu?”

“Galuh...,” sahut gadis berpakaian biru langit itu.
“Galuh? Sebuah nama yang bagus,” puji Raksagala.
“Mengapa kau bisa berada di sini bersama mereka?” tanya Raksagala lagi.

Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Raksagala tatkala melihat tanggapan Galuh atas pertanyaan yang diajukannya. Gadis berpakaian biru langit itu malah berubah pucat wajahnya. Bukan hanya itu saja. Mendadak saja, dia berlari meninggalkannya.

“Ayah....”

Sempat terdengar oleh telinga Raksagala yang tajam, gumam kegelisahan yang keluar dari mulut Galuh.

Melihat hal yang sama sekali tidak disangka ini, Raksagala menjadi kebingungan sejenak. Sepasang matanya menatap penuh ketidak­mengertian pada sosok tubuh yang kian menjauh. Sama sekali tidak diketahuinya kalau pertanyaannya mengingatkan gadis itu akan nasib ayahnya.

Semula, Raksagala membiarkan Galuh terus berlari meninggalkannya. Tapi begitu teringat kalau ada kemungkinan kedua orang murid Perguruan Belut Putih tadi akan mencegat perjalanan Galuh, akhirnya diputuskan untuk mengikutinya.

Raksagala kini mengikuti dari jarak yang agak jauh. Sengaja tidak berusaha membarengi, karena tidak ingin Galuh semakin ketakutan. Raksagala tahu, gadis berpakaian biru langit itu pasti masih merasa takut padanya.

***

Galuh terus berlari mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Perasaan khawatir yang amat sangat akan keselamatan ayahnya, membuat gadis berpakaian biru langit ini seperti tidak pemah merasa lelah. Padahal, napasnya sudah terengah-engah.

Tak lama kemudian, rumahnya pun sudah terlihat jelas. Dan betapa gembira hati Galuh tatkala melihat sosok tubuh yang amat dikenalnya tengah melangkah tertatih-tatih keluar dari pintu yang sudah tidak berdaun lagi. Dia memang menuju rumahnya.

“Ayah ... !”

Galuh tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Gadis itu cepat berlari seraya mengembangkan kedua lengannya. Lega hatinya ketika melihat ayahnya ternyata selamat.

“Galuh...!”

Ki Wanara berseru tak kalah keras. Aneh! Mendadak saja kakek berpakaian putih ini mampu berlari menyongsong kedatangan putrinya. Dalam cekaman perasaan gembira, kakek ini sampai melupakan rasa sakitnya.

Tubuh ayah dan anak itu berpelukan erat di tengah-tengah jalan. Sementara Raksagala yang mengikuti sejak tadi dari kejauhan, segera melangkahkan kakinya berjalan biasa.

“Kau tidak apa-apa, Galuh?” tanya Ki Wanara seraya melepaskan pelukan pada putrinya. Ditatapnya sekujur tubuh gadis berpakaian biru langit itu lekat-lekat untuk melihat sendiri keadaannya.

“Tidak, Ayah,” Galuh menggelengkan kepala. “Ada orang yang telah menolongku.”

“Ah ... ! Syukurlah kalau begitu!” sahut Ki Wanara gembira. “Mana orangnya ... ? Perkenal­kanlah pada Ayah. Ayah ingin mengucapkan terima kasih padanya.”

Ucapan ayahnya seketika membuat Galuh menyadari, betapa tidak pantas sikapnya tadi terhadap penolongnya. Ucapan terima kasih sebagai basa-basi saja tidak dilontarkan.

“Diakah orangnya ... ?” tanya Ki Wanara lagi.

Kakek berpakaian putih ini memang mengedarkan pandangannya begitu tidak mendengar jawaban dari mulut putrinya.

Galuh menoleh ke arah yang ditunjukkan ayahnya. Dan seketika itu pula jantungnya berdetak kencang. Dugaan ayahnya ternyata

tepat. Orang yang tengah berjalan pelan menuju ke tempatnya adalah Raksagala, yang telah menolongnya.

Perlahan-lahan kepala Galuh terangguk. “Mari kita hampiri dia....”

Setelah berkata demikian, Ki Wanara segera meraih tangan Galuh. Dan dengan setengah memaksa, ditariknya tubuh anaknya mendekati Raksagala. Sementara, Raksagala yang tentu saja melihat hal itu, bergegas menghampiri.

“Kaukah orang yang telah menyelamatkan putriku, Anak Muda?” tanya Ki Wanara setelah dekat, di depan Raksagala.

“Ah ... ! Hanya kebetulan aku lewat saja, Ki. Lagi pula, sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk saling tolong-menolong.”

“Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda,” ucap kakek berpakaian putih itu. “Tapi saranku, cepatlah kau pergi dari sini.”

“Hehhh ... ?! Kenapa begitu, Ki?” tanya, Raksagala heran mendengar saran yang dianggapnya aneh itu.

“Ah ... ! Kau rupanya belum pemah mendengar tentang Perguruan Belut Putih, Anak Muda.” Nada suara kakek berpakaian putih itu bernada keluhan.

“Memangnya, ada apa dengan perguruan itu, Ki?” tanya Raksagala ingin tahu. “Aku memang tengah mencari-cari perguruan itu.”

“Kau?! Mencari-carinya? Untuk apa?!” tanya W Wanara agak keras dengan sikap mulai sedikit curiga.

Raksagala tahu kakek berpakaian putih ini mulai merasa curiga padanya. Dia yakin kalau tidak memberitahukan masalahnya, kecurigaan kakek ini akan semakin bertambah. Maka diputuskan untuk menceritakan sejujurnya. Lagi pula, sekali lihat saja bisa diketahuinya kalau kakek ini bukan orang berbahaya. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

“Aku mendapat wewenang penuh dari guruku untuk mengatur dan mengarahkan Perguruan Belut Putih ke jalan yang benar. Karena, selama beberapa bulan belakangan ini dia selalu mendapat firasat buruk mengenai perguruannya,” jelas Raksagala sejujurnya.

Ki Wanara mengerutkan alisnya. Sementara sepasang matanya menatap aneh ke arah wajah Raksagala.

“Maafkan aku, Anak Muda. Bukannya aku tidak mempercayai ucapanmu. Tapi seingatku, tidak ada murid Perguruan Belut Putih yang mempunyai wajah sepertimu. Aku kenal betul wajah-wajah mereka.”

“Aku memang tidak menjadi murid Perguruan Belut Putih secara langsung, Ki,” tambah Raksagala cepat memperbaiki ucapan sebelumnya.

“Heh?!” dahi Ki Wanara berkerinyit

Laki-laki tua itu merasa bingung bukan main mendengar ucapan yang saling bertolak belakang itu.

“Aku yang sudah menjadi tuli, atau kau yang memang mengada-ada, Anak Muda? Kalau aku tidak salah dengar, kau mengaku sebagai murid Ketua Perguruan Belut Putih. Tapi, kini kau malah menyangkal. Tidakkah itu membingung­kan? Tolong jelaskan, Anak Muda.”

Raksagala menarik napas panjang-panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah tercenung beberapa saat lamanya.

“Kalau dipikir-pikir, memang sepertinya membingungkan, Ki,” kata Raksagala hati-hati. “Tapi, itulah kenyataannya. Aku memang menjadi murid Ketua Perguruan Belut Putih, namun bukan murid perguruan itu.”

Semakin dalam kernyit yang timbul di dahi Ki Wanara. Rupanya sulit baginya untuk mencerna ucapan Raksagala.

“Jadi..., kau ini murid gelap?” duga kakek berpakaian putih ini sekenanya.

***
Raksagala terdiam, tidak langsung men­jawab. Mendadak dia teringat benda pemberian gurunya. Maka, buru-buru dikeluarkannya.

“Aku tidak tahu, bagaimana menjelas­kannya, Ki. Tapi, guruku memberikan tongkat ini. Katanya, dengan tongkat ini di tanganku aku mempunyai wewenang penuh untuk membenahi semua kericuhan di Perguruan Belut Putih, jika memang-ada kerusuhan di sana.”

“Ya, Tuhan..!”

Terdengar seruan kaget dari mulut Ki Wanara. Sepasang mata kakek berpakaian putih itu menatap tanpa berkedip pada tongkat pendek bergagang permata berkilauan itu. Raut wajah, maupun sorot matanya menyiratkan keterkejutan yang amat sangat.

“Jadi.., jadi kau murid... Ki Sawungrana ... ?”

Sepasang bibir yang semula hanya berkemik­kemik akhirnya mampu melontarkan ucapan.

“Kau.... Kau mengenal guruku, Ki?” kini ganti Raksagala yang merasa terkejut .

“Mengenalnya?” Ki Wanara tersenyum pahit “Tidak saja mengenalnya. Aku adalah pelayan kepercayaannya, dan merupakan orang yang paling dekat dengannya. Setiap ada masalah, akulah orangnya yang paling dulu diberi­tahunya. Namaku Wanara. Apakah dia tidak pernah bercerita tentang diriku?”

Raksagala menggeleng.

“Guru amat tertutup. Dia tidak pernah bercerita apa-apa padaku,” sahut Raksagala setengah mengeluh.
“Sungguh tidak kusangka. Padahal, dulu dia selalu terbuka pada orang yang dipercayanya,” desah Ki Wanara penuh rasa tidak percaya. Sementara Galuh yang sama sekali tidak tahu apa apa, hanya diam saja mendengarkan.

“Bisa kau ceritakan di mana dia kini berada? Sudah lama sekali dia menghilang tanpa berita sepotong pun. Semula kuduga ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Itulah sebabnya aku pergi meninggalkan Perguruan Belut Putih dengan membawa Galuh yang baru berumur beberapa bulan. Syukurlah..., kalau dia masih hidup....”

Raksagala menghela napas berat. Wajahnyapun berubah murung. Pertanyaan mengenai gurunya itulah yang menyebabkannya demikian. Bagaimana keadaan gurunya kini? Bisakah pertarungan menghadapi Barong Segara yang lihai itu dimenangkannya? Berbagai macam pikiran berkecamuk di benak pemuda itu.

Ki Wanara menunggu penuh kesabaran. Menilik dari sikap Raksagala yang mendadak berubah murung begitu ditanya tentang gurunya, dia yakin pasti ada berita buruk yang akan didengarnya. Dan kini hati kakek ber­pakaian putih ini berdebar tegang.

Karena tahu kalau kakek ini adalah orang kepercayaan gurunya, tanpa ragu-ragu lagi Raksagala pun menceritakan semua yang diketahuinya.

“Entah bagaimana sekarang nasib beliau, aku tidak tahu...,” desah Raksagala mengakhiri ceritanya. “Aku murid durhaka yang hanya mementingkan diri sendiri”

“Hentikan semua ucapan itu, Raksagala!” bentak Ki Wanara keras. “Aku pun akan berbuat hal yang serupa dengan Sawungrana jika mengalami hal itu. Dan semua orang yang berpikiran waras, dan tidak mementingkan diri sendiri pun pasti akan berbuat seperti yang dilakukan gurumu itu. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kau tahu dengan selamatnya dirimu, aku yakin dia akan tenang di alam kuburnya!” Raksagala terdiam.

“Sejak menghilangnya Ki Sawungrana, Per­guruan Belut Putih mulai guncang. Masing

masing murid kepala, berebut ingin menjadi ketua. Perpecahan pun timbul, sehingga Ketua Perguruan Belut Putih berganti-ganti. Kini yang menjadi ketua adalah Kalasura, seorang yang memiliki watak tidak baik.”

Ki Wanara menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan mencari kata-kata baru.

“Di bawah pimpinannya, Perguruan Belut Putih dibawa ke jurang kehinaan. Segala macam kejahatan dihalalkan. Tidak hanya di desa ini saja. Tapi juga ke semua desa sekitarnya. Kini Perguruan Belut Putih jadi ditakuti semua orang.”

“Apakah semua murid Perguruan Belut Putih telah menjadi jahat, Ki?” tanya Raksagala ingin tahu.

“Entahlah...,” Ki Wanara menggelengkan kepalanya. “Tidak ada salahnya jika kau menyelidikinya, Raksagala.”

Raksagala menganggukkan kepala mem­benarkan. Tapi sesaat kemudian dahinya ber­kernyit ketika teringat sesuatu yang mem­buatnya agak heran.

“Ada suatu hal yang membuatku heran, Ki?” tanpa ragu-ragu pemuda berwajah pucat ini mengutarakan ganjalan hatinya.

“Katakanlah, Raksagala.”
“Apakah Ki Sawungrana tidak mengajar­kanmu ilmu silat?!” tanya Raksagala langsung.

Memang, begitu tahu kalau kakek ber­pakaian putih ini adalah orang kepercayaan gurunya, Raksagala jadi heran kakek itu dapat dipecundangi oleh murid-murid rendahan Per­guruan Belut Putih.

“Aku yang tidak mau, Raksagala. Kau tahu, aku benci kekerasan....”
“Ayah ... ! Lihat..!”

Karuan saja teriakan keras Galuh membuat Ki Wanara dan Raksagala terkejut. Cepat mereka mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk gadis itu. Dan memang, tampak segerombolan orang yang berpakaian abu-abu bergerak ke arah mereka.

“Murid-murid Perguruan Belut Putih...,” desah Ki Wanara dan Raksagala berbarengan.

Raksagala sadar, Ki Wanara dan Galuh bukan lawan mereka. Maka, dia segera melangkah maju, dan berdiri di depan dengan sikap melindungi mereka. Menilik dari gerak­geriknya, Raksagala tahu kalau kedatangan orang-orang itu tidak bermaksud baik. Maka, dia bersikap waspada.

Semakin lama jarak antara mereka semakin tampak dekat, Raksagala menghitung dengan pandangan matanya. Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh orang! Di antara mereka, tampak Satrana dan Patila.

Tak lama kemudian, rombongan Perguruan Belut Putih itu pun sudah berada dalam jarak tiga tombak di hadapan Raksagala.

“Inikah orang yang kalian maksudkan itu?” tanya seorang laki-laki bertubuh kurus kering seperti cecak. sambil menudingkan telunjuknya pada Raksagala.

Suaranya bernada menghina. Jelas, dia tidak memandang sebelah mata pun pada laki-laki berwajah pucat itu.

Hampir berbareng Satrana dan Patila mengangguk.

“Benar, Kakang Taraji,” sahut Patila. Laki-laki bertubuh kurus kering yang
ternyata bernama Taraji merayapi sekujur wajah dan tubuh pemuda di hadapannya.

“Ha ha ha...!”

Mendadak Taraji tertawa bergelak. Tawanya benar-benar mengandung nada penghinaan.

“Diam ... !”

Raksagala yang merasa tersinggung langsung membentak. Keras bukan main suaranya, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tanpa sadar, Taraji menghentikan tawanya. Rasa terkejut yang amat sangat membayang jelas di wajahnya. Dia merasakan guncangan keras pada dadanya seiring keluarnya bentakan dari mulut pemuda berwajah pucat itu.

Bukan hanya Taraji saja yang terkejut. Semua murid Perguruan Belut Putih juga terkejut bukan main. Dada mereka bergetar hebat dan kuping pun terasa berdengung. Bukan hanya itu saja. Sepasang kaki mereka pun tanpa dapat dicegah, mendadak oleng.

***6

Kini Taraji baru percaya pada cerita Satrana dan Patila. Ternyata orang yang bernama Raksagala itu adalah lawan yang amat tangguh, dan bukan hanya bualan belaka. Kini telah dibuktikannya sendiri kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda berwajah pucat itu. Dalam hati, laki-laki bertubuh kurus kering itu mengakui kalau tenaga dalamnya sendiri belum tentu mampu menyamai tenaga dalam calon lawannya.

Meskipun begitu, Taraji sama sekali tidak menampakkan keterkejutannya. Wataknya memang angkuh, dan selalu mengagungkan kemampuannya sendiri. Jadi mana mau dia memperlihatkan kegentarannya pada seorang pemuda yang dianggapnya baru kemarin sore? Apalagi di hadapan sekian banyak adik seperguruannya.

“Keparat buduk!” maki Taraji keras. “Berani benar kau membentakku?! Apa kau sudah bosan hidup?”
“Aku bukan hanya membentak saja. Tapi juga akan menghukummu dan semua murid Perguruan Belut Putih yang menyeleweng!” tandas Raksagala tegas.

“Apa?!” Taraji membelalakkan sepasang matanya. “Apa aku tidak salah dengar?! Sudah gilakah kau, Keparat?!”

“Terserah apa tanggapanmu terhadapku, Taraji!” Raksagala mencoba bersikap tenang. “Tapi yang jelas, aku mempunyai wewenang penuh untuk mengurus Perguruan Behit Putih.”

Setelah berkata demikian, Raksagala mencabut keluar tongkat pusaka pemberian gurunya. Dan secepat tongkat itu terlihat, secepat itu pola semua wajah murid Perguruan Belut Putih dilanda perasaan terkejut yang amat sangat.

“Kau...?! Dari mana kau dapatkan benda itu?!” tanya Taraji gugup.

Tentu saja laki-laki kurus itu mengenal tongkat di tangan Raksagala. Sewaktu Perguruan Belut Putih masih dipimpin Ki Sawungrana, dia telah menjadi murid tingkat dua. Waktu itu, usianya masih delapan belas tahun. Kini, dia berusia tiga puluh lima tahun lebih. Kedudukannya pun kini telah menjadi murid kepala.

Dan Kalasura yang dulu menjadi murid kepala, kini telah menjadi Ketua Perguruan Belut Putih. Dan atas perintahnya, Taraji harus menangkap pengacau yang telah mencelakai Satrana dan Patila.

“Aku mendapatkannya dari guruku. Dia adalah Ketua Perguruan Belut Putih yang sebenarnya. Namanya, Ki Sawungrana!” tegas dan jelas kata-kata yang keluar dari mulut Raksagala. Dan memang hal itu disengaja, agar semua murid Perguruan Belut Putih mendengar ucapannya.

Pengaruh ucapan itu terbukti memang luar biasa. Kontan di antara murid-murid Perguruan Belut Putih terjadi kegaduhan. Memang ada di antaranya yang belum pernah melihat tongkat itu. Tapi, paling tidak telah mendengar ciri­cirinya. Maka begitu melihatnya, mereka ter­kejut bukan main. Seketika itu pula sebagian besar kepala murid Perguruan Belut Putih merunduk memberi hormat Hanya sebagian kecil saja yang tidak menundukkan kepala. Dan Taraji terhitung yang sebagian kecil itu.

“Bohong! Kalian jangan terpengaruh cerita bohongnya! Tongkat pusaka itu hilang, dan sudah pasti pemuda ini yang mencurinya!” Taraji yang mencium gelagat tidak baik segera berusaha memojokkan Raksagala.

Usaha yang dilakukan Taraji ternyata cukup membuahkan hasil. Kepala yang sebagian besar sudah tertunduk, kembali terangkat naik. Ya, apa yang dikatakan kakak seperguruan mereka, itu benar. Bukan tidak mungkin kalau Raksagala adalah pencurinya.

Tapi Raksagala yang sudah melihat masih banyak murid Perguruan Belut Putih yang menghormati tongkat pusaka, mana mungkin diam saja? Segera tongkat itu diacungkan tinggi­tinggi ke atas kepalanya.

“Wahai semua murid Perguruan Belut Putih, dengarlah ... ! Ki Sawungrana telah memberi tongkat ini padaku. Dia memberi wewenang penuh padaku untuk membenahi semua penyelewengan yang terjadi di perguruan.

Kalian semua dengar?!”

“Keparat!” maki Taraji begitu melihat kepala-kepala yang tadi terangkat, mulai tertunduk lagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera mengulapkan tangan pada sisa murid yang tidak menundukkan kepala.

“Bunuh pencuri itu...! Dan ambil tongkat­nya ... !” perintah laki-laki bertubuh kurus kering itu.

Sambil berkata demikian, tangan kanannya bergerak.

Singgg...!

Sinar berkilauan nampak berpendar ketika Taraji mencabut goloknya. Dan secepat senjata itu terhunus, secepat itu pula diayunkan ke leher Raksagala.

Pada saat yang bersamaan, serangan murid­murid Perguruan Belut Putih yang lain datang pula menyerbu. Di tangan mereka semua tergenggam senjata terhunus.

Tapi Raksagala sama sekali tidak menjadi gugup melihat semua serangan itu.

“Murid-murid Perguruan Belut Putih yang masih menghargai tongkat pusaka ini, lihatlah! Aku, mewakili Ki Sawungrana akan memberi hajaran pada mereka yang telah menyeleweng!”

Ucapan itu membuat semua murid Perguruan Belut Putih mengangkat kepala. Mereka ingin tahu, bagaimana tindakan Raksagala yang menurut pengakuannya adalah wakil Ki Sawungrana!

Melihat ucapannya didengar, Raksagala jadi

tambah semangat. Maka diputuskan untuk mempertunjukkan semua kelihaiannya. Dan begitu semua serangan datang, laki-laki ber­wajah pucat itu segera bergerak mengelak. Lincah laksana kera, dan cepat laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di celah-celah hujan serangan lawan.

Taraji dan adik-adik seperguruannya ter­kejut bukan main melihat serangannya berhasil dielakkan. Tapi, tentu saja mereka tidak putus asa. Malah sebaliknya, mereka kian ganas menyerang.

Raksagala yang memang sengaja ingin mempertunjukkan kelihaiannya, sengaja tidak melakukan perlawanan. Dia hanya mengelak terus-menerus. Dengan ilmu meringankan tubuh yang memang berada jauh di atas lawan­lawannya, bukan merupakan hal sulit bagi laki­laki berwajah pucat itu untuk menghindari serangan.

Jurus demi jurus berlalu. Sehingga, tak terasa dua puluh lima juris telah terlewat. Namun selama itu, tidak ada satu pun serangan Taraji dan adik-adik seperguruannya yang mengenai sasaran. Jangankan mengenai, menyerempet pun tidak.

“Cukup ... !”

Terdengar seruan keras dari mulut Raksagala. Dan begitu ucapannya selesai, gerakan laki-laki berwajah pucat ini tiba-tiba berubah.

Tubuhnya berkelebat dengan kecepatan yang sukar diikuti mata tiap lawannya. Yang jelas, satu demi satu tubuh-tubuh murid Perguruan Belut Putih bertumbangan. Rintihan kesakitan terdengar mengiringi robohnya tubuh-tubuh itu ke tanah. Senjata­senjata yang digenggam pun berpentalan tak tentu arah.

Dalam sekejap saja, murid-murid Perguruan Belut Putih itu sudah tidak ada yang berdiri lagi. Semua telah roboh bergelimpangan di tanah sambil merintih-rintih. Kini hanya tinggal Taraji seorang diri yang masih mampu berdiri. Dan memang, Raksagala sengaja menyisa­kannya.

“Bagaimana, Taraji?! Masih tidak percaya kalau aku adalah murid Ki Sawungrana?!” tanya Raksagala lagi. Ada nada sindiran dalam suaranya.

“Pencuri busuk! Kau bukan hanya mencuri tongkat pusaka kami, tapi juga ilmu-ilmu perguruan kami!”
Dengan nada keras, Taraji terus memaki. Maksudnya untuk membuat murid-murid Perguruan Belut Putih yang belum menyerang untuk ikut membantu.

“Kawan-kawan, serbu...!”

Tapi Taraji kecelik. Tidak ada seorang pun teman-temannya yang mematuhi perintahnya. Mereka semua diam saja, berpura-pura tidak mendengar sama sekali.

“Anjing kurap!” geram laki-laki bertubuh kurus kering ini. “Setelah pencuri busuk ini kubereskan, kalian semua akan mendapatkan ganj aran!”

Begitu kata-katanya selesai, Taraji segera melompat menerjang Raksagala. Golok di tangannya ditusukkan cepat ke arah dada laki­laki berwajah pucat itu. Ada suara mendesing yang cukup kuat mengiringi tibanya serangan.

Raksagala diam-diam merasa geli mendengar penegasan Taraji. Sewaktu mengeroyok bersama adik-adik seperguruannya saja, dia tidak mampu merobohkan. Apalagi sekarang hanya seorang diri.

Raksagala bersikap tenang. Ditunggunya sampai serangan itu bergerak semakin dekat. Dan ketika telah berada dalam jangkauan, baru dia bergerak. Enak saja tangannya diulurkan. Sepertinya tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali, tapi hebatnya....

Tappp ... !

Mata golok Taraji yang terlihat mengkilap mempertunjukkan ketajaman, berhasil di­tangkap Raksagala.

Taraji kaget bukan main! Dan belum sempat berbuat sesuatu, laki-laki berwajah pucat itu cepat membetotnya. Keras bukan main gerakannya. Terdengar suara bergemeletuk ketika sambungan pergelangan bahu kanan Taraji terlepas.

Taraji menggigit bibir keras-keras dalam upayanya menahan rasa sakit yang mendera. Keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan di wajahnya. Tapi sedikit pun tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Keangkuhannyalah yang melarang dirinya mengeluh.

Tentu saja tidak hanya itu yang dialami Taraji. Seiring terlepasnya sambungan per­gelangan bahu kanan, tubuhnya yang tengah berada di udara langsung tertarik ke depan. Di saat itulah, kaki kanan Raksagala meluncur cepat ke arah perut

Bukkk ... !
“Hugkh ... !”

Kali ini Taraji tidak mampu menahan keluhan yang keluar. Tendangan itu meskipun terlihat pelan, ternyata keras bukan main. Rasa mual yang amat sangat seketika melanda sekujur badannya. Dan begitu Raksagala melepaskan cekalan pada goloknya, tubuh Taraji langsung roboh ke tanah. Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh itu menyentuh tanah.

Taraji memang keras hati. Tanpa mem­pedulikan rasa sakit, dia berusaha bangkit. Dan memang pada kenyataannya dia gagal. Seringai kesakitan tersungging di mulutnya ketika tubuhnya kembali terjatuh.

***

Raksagala sama sekali tidak melakukan serangan lanjutan. Laki-laki berwajah pucat ini hanya menatap wajah Taraji lekat-lekat

“Bagaimana, Taraji? Masih ingin melanjut­kan lagi,” tanya Raksagala kalem.

Namun Taraji sama sekali tidak menyahuti. Dia tengah sibuk mengusir rasa sakit yang melanda.

Tapi Raksagala sama sekali tidak merasa tersinggung karena pertanyaannya sama sekali tidak dijawab. Sesaat lamanya suasana yang semula hingar-bingar oleh dentang senjata beradu, jadi kembali sepi seperti semula. Kini yang terdengar hanyalah rintihan kesakitan dari mulut-mulut murid Perguruan Belut Putih yang terluka.

“Hi hi hi...!”

Mendadak terdengar suara tawa mengikik. Tawa yang kecil panjang tapi melengking nyaring itu mirip tikus mencicit. Tapi hebatnya, suara tawa itu mengandung pengaruh luar biasa! Akibatnya, telinga terasa berdengung sakit dan kedua kaki menggigil!

Di antara mereka semua, hanya Raksagala saja yang sama sekali tidak terpengaruh tawa itu. Hal ini karena tingkat tenaga dalam laki­laki berwajah pucat ini sudah amat tinggi. Hanya saja, tak urung wajahnya tampak memucat! Raksagala kenal betul, siapa pemilik suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan salah satu dari Penghuni Istana Hantu! Dan men­dengar nada suaranya, laki-laki berwajah pucat itu tahu kalau yang datang adalah Durgasari.

Belum lagi gema suara itu lenyap, sekitar tiga tombak di hadapan Raksagala telah berdiri seorang nenek berpakaian hijau. Rambutnya putih panjang terurai tak terurus. Di tangannya melilit sebuah gelang berwarna merah darah. Dan gelang yang sama pun menempel di daun telinganya. Sepasang matanya yang kecil dan mcncorong kehijauan nampak jadi kian menyeramkan, karena terletak di raut wajah keriput berbentuk bulat telur.

Meskipun sudah menduga sebelumnya, tapi tak urung Raksagala terperanjat juga melihat kehadiran salah seorang Penghuni Istana Hantu itu.

“Jangan harap untuk bisa selamat setelah keluar dari Istana Hantu, Bocah Keparat!” tegas nenek berpakaian hijau itu keras. Suaranya terdengar melengking nyaring menyakitkan telinga.

Raksagala sadar, kalau kali ini tidak bisa main-main lagi. Lawan yang dihadapinya sangat tangguh, sementara di sekitarnya banyak orang yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak ingin kalau mereka yang tidak tahu apa-apa akan menjadi korban bila terjadi pertarungan di situ. Maka laki-laki berwajah pucat itu segera bergerak melesat dari situ.

Cepat bukan main gerakan Raksagala. Hal ini tidak aneh, karena murid kesayangan Sawungrana ini telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Hanya dalam beberapa langkah saja, tubuhnya sudah berada dalam jarak belasan tombak dari tempat semula.

Cepatnya gerakan yang dilakukan Raksagala, tapi masih lebih cepat lagi gerakan Durgasari. Begitu melihat laki-laki berwajah pucat melesat, tubuh nenek berpakaian hijau ini langsung melenting ke depan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, kedua kakinya segera mendarat di tanah. Dan kini dia telah berada di depan Raksagala.

“Sudah kukatakan, jangan harap bisa lolos dari tanganku!” tandas Durgasari tegas. Sorot mata maupun wajah nenek berpakaian hijau ini menyiratkan sinar kebengisan.

“Aku tidak akan melarikan diri, Durgasari!” sahut Raksagala mantap seraya memanggil nama nenek berpakaian hijau itu. Padahal di Istana Hantu waktu itu dia biasa memanggilnya dengan sebutan Nyi Durgasari. “Tapi aku hanya mencari tempat yang lapang untuk bertarung!”

“Alasan!” sergah Durgasari kasar. “Kau tidak berbeda dengan gurumu yang telah menjadi bangkai itu. Sama-sama pengecut!”

Raksagala ternganga mendengar perkataan nenek itu. Bukan makiannya, tapi penjelasan nenek itu yang mengatakan gurunya telah men­jadi bangkai. Sungguhpun dia telah mempunyai dugaan kuat kalau gurunya kemungkinan besar akan tewas, tapi tetap saja berita yang di­dengarnya ini amat mengejutkan.

“Kau kaget kalau gurumu telah menjadi bangkai! Kau tahu, nasib yang sama pun akan menimpamu!”

Mendadak Raksagala meraung. Rasa penyesalan yang hebat langsung memukul hatinya. Kematian gurunya dianggap karena dirinya. Kalau saja dia tidak melarikan diri dan bersama-sama menghadapi musuh, mungkin Sawungrana tidak akan tewas. Raksagala merasa telah berdosa besar, dan telah menjadi seorang pengecut!

Dari perasaan bersalah yang menggelegak itu, menyeruak perasaan marah terhadap pembunuh gurunya. Pikirnya, salah seorang dari pembunuh itu kini berada di depannya! Sungguh suatu hal yang sangat kebetulan!

Sambil berteriak keras, Raksagala melompat menerjang. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar meluncur cepat dan bertubi­tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar Durgasari.

Raksagala memang telah mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dalam serangan itu. Dia memang tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Suara bersuitan yang cukup nyaring mengiringi tibanya serangan itu.

“Hmh ... !”

Nenek berpakaian hijau itu hanya men­dengus melihat serangan lawan. Sikapnya terlihat memandang rendah sekali. Baru ketika serangan itu menyambar dekat, tangannya bergerak memapak dengan sikap jari-jari tangan yang sama.

Prattt..!

Benturan keras terdengar begitu jari-jari tangan yang sama-sama mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi berbenturan. Raksagala menyeringai. Tampak jelas kalau laki-laki berwajah pucat ini merasa kesakitan.

Seluruh tangannya terasa bagai lumpuh, sehingga tak mampu digerakkan lagi. Apalagi jari-jari tangannya! Sakit dan ngilu bukan main. Seolah­olah, jari-jari tangannya tadi bukan berbenturan dengan jari-jari tangan seorang nenek-nenek, melainkan dengan sebatang logam yang amat kuat!

“Hi hi hi...!”

Durgasari hanya tertawa terkikih melihat seringai yang tampak di wajah Raksagala. Melihat dari sikapnya, jelas kalau benturan tadi sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi dirinya.

Raksagala memang bukan seorang pengecut. Meskipun sudah diketahui kalau tenaga dalamnya tidak mampu menandingi tenaga dalam Durgasari, tapi bukan berarti harus menjadi gentar! Kata takut atau gentar tidak ada dalam kamus hidupnya. Maka tanpa kenal takut, dia kembali melompat menerjang.

Sambil tertawa terkikih, Durgasari segera menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang ini sudah saling bertarung sengit. Raksagala bertarung seperti orang gila. Seluruh kemampuan yang dimiliki dikeluarkannya. Dia hanya mempunyai dua buah pilihan. Membunuh atau dibunuh!

Tapi lawan yang dihadapinya adalah Durgasari yang merupakan salah seorang Penghuni Istana Hantu. Kepandaian nenek berpakaian hijau ini amat tinggi. Mungkin hanya selisih sedikit saja dengan Barong Segara. Jangankan Raksagala, gurunya sendiri pun belum tentu bisa mengalahkan nenek itu.

Itulah sebabnya, meskipun Raksagala telah menyerang kalang-kabut dengan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak mampu mendesak Durgasari. Jangankan mendesak, tanda-tanda akan mendesak pun tidak juga terlihat.

Hebat bukan main pertarungan antara kedua orang itu. Suara menderu dan mencicit menyemaraki pertarungan. Tanah terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara.

Raksagala menggertakkan gigi. Seluruh kemampuannya telah dikerahkan sampai ke puncaknya, tapi ternyata tetap tak mampu juga mendesak lawannya. Padahal, tampak jelas kalau nenek berpakaian hijau itu sama sekali belum melancarkan serangan balasan. Durgasari hanya mengelak dan menangkis, sambil mengeluarkan tawa mengikik. Beberapa kali tubuh Raksagala terhuyung-huyung ke belakang, tatkala Durgasari menangkis serangannya.

Dalam waktu sebentar saja, sepuluh jurus telah lewat. Dan selama itu, Raksagala belum juga berhasil menyarangkan satu serangan pun di tubuh lawannya.

“Hi hi hi...! Berhati-hatilah, Anak Muda! Sekarang aku akan balas menyerang!”

Setelah berkata demikian, mendadak gerakan Durgasari berubah. Dia tidak lagi bersikap menunggu, tapi mulai melancarkan serangan.

Serangan Durgasari dibuka lewat putaran kedua tangannya di depan dada. Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang berputaran itu, menyeruak angin keras yang mengandung daya tarik amat kuat.

Raksagala terperanjat, sama sekali tidak disangka kalau ada ilmu yang mempunyai daya sedot seperti ini. Maka bergegas kedua kakinya ditekankan ke tanah untuk bertahan dari kekuatan yang akan menariknya ke depan.

Di saat Raksagala memasang kuda-kuda kokoh agar tubuhnya tidak tertarik ke depan, Durgasari melompat menerjang. Jari-jari kedua tangannya nampak mengepal, kecuali jari telunjuk dan jari tengah yang mengejang kaku. Dan dengan bentuk jari-jari seperti itulah, nenek berpakaian hijau ini menyerang Raksagala. Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi­tubi ke arah ubun-ubun dan bawah hidung laki­laki berwajah pucat. Memang, itu adalah dua buah jalan darah kematian!

Raksagala terkejut bukan kepalang men­dapat serangan susulan yang begitu mendadak. Diakui, perasaannya begitu gugup. Namun laki­laki berwajah pucat itu masih sempat menyelamatkan selembar nyawanya. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuhnya segera direndahkan seraya membentuk kuda-kuda bersilang.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Raksagala. Pada saat yang tepat, tangan kanannya melakukan pukulan keras ke arah dada Durgasari.

Durgasari terkejut bukan main. Sungguh di luar dugaan kalau dalam keadaan terjepit seperti itu Raksagala mampu mengelak. Maka, semua serangannya hanya mengenai tempat kosong. Bahkan hebatnya, pemuda itu malah mampu balik mengancam dengan serangan yang mampu membuat isi dadanya hancur berantakan.

Hebat dan berbahaya bukan main serangan yang dilancarkan Raksagala. Apalagi saat itu tubuh Durgasari tengah berada di udara. Yang lebih membahayakan lagi, serangan itu dilancarkan dalam jarak dekat! Lengkaplah sudah keadaan yang membuat nenek berpakaian hijau semakin berada dalam keadaan berbahaya.

Pada kenyataannya Durgasari benar-benar seorang tokoh luar biasa. Dengan kesempatan yang sangat sempit itu, tangan kirinya segera digerakkan ke bawah untuk menangkis serangan lawan. Tapi karena tangan kirinya belum sempat ditarik pulang, maka yang membentur tangan Raksagala adalah sikutnya.

Plakkk ... !

Tubuh kedua tokoh yang usianya berbeda jauh itu sama-sama terjajar ke belakang. Ini bukan berarti tenaga mereka berimbang. Tapi, karena kesempatan yang hanya sedikit itu membuat tenaga dalam Durgasari tidak sepenuhnya keluar dalam menangkis serangan.

Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, tidak sulit bagi Raksagala dan Durgasari untuk segera memperbaiki sikap.

Durgasari kini menggeram hebat Hampir saja dia tewas di tangan lawannya. Tentu saja ini karena kelalaiannya. Maka kini perempuan tua itu tidak memandang rendah lagi. Maka diputuskannya untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, Durgasari kembali melancarkan serangan. Raksagala tahu tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Maka diputuskannya untuk menghindari serangan itu. Sesaat kemudian, kedua orang ini telah terlibat dalam pertarungan sengit.

Tapi pertarungan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kini Durgasari telah memutuskan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Maka Raksagala-lah yang merasakan akibatnya. Tekanan-tekanan yang dilakukan nenek berpakaian hijau itu terasa semakin berat. Meskipun seluruh kemampuan yang dimilikinya telah dikerahkan, tetap saja dia terdesak dan terhimpit.

Tidak sampai dua puluh lima jurus, Raksagala telah terdesak. Dan seiring semakin lamanya mereka bertempur, keadaan Raksagala semakin terdesak hebat Nasibnya benar-benar mengkhawatirkan.
Menjelang jurus ketiga puluh, Raksagala mencabut goloknya. Dan dengan senjata andalan di tangan, dia kembali melakukan perlawanan gigih.

Memang setelah Raksagala menggunakan golok, keadaannya mulai membaik. Desakan­desakan dan tekanan yang menghimpitnya, tidak begitu terasa lagi.

Tapi itu berlangsung hanya lima puluh jurus saja. Dan begitu memasuki jurus kelima puluh satu, kembali Durgasari yang kini sudah bisa mengetahui permainan golok lawan, berhasil mendesaknya.

Pada jurus yang kelima puluh satu, Durgasari melancarkan sebuah tendangan lurus ke arah pergelangan tangan kanan Raksagala. Pemuda berwajah pucat itu mencoba mengelak. Tapi....

Takkk!

Telak dan keras sekali tendangan nenek berpakaian hijau itu mengenai sasaran. Tak pelak lagi, sambungan pergelangan tangan Raksagala terlepas saat itu juga. Golok di tangannya pun terlempar jauh.

Raksagala tahu kalau keadaannya kini amat berbahaya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Maksudnya sudah jelas, untuk memperbaiki kuda-kudanya.

“Hmh ... !”

Durgasari mendengus. Nenek berpakaian hijau yang sudah kalap ini mana sudi membiarkan lawannya mendapatkan kesem­patan lagi untuk memperbaiki kuda-kudanya? Begitu Raksagala melempar tubuh ke belakang, dia segera melompat memburu seraya mengirimkan serangan-serangan maut

Raksagala terkejut bukan main. Keadaannya kini benar-benar terhimpit. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk memperbaiki kuda­kudanya. Maka begitu kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung melenting ke belakang untuk mencari-cari kesempatan memperbaiki kuda-kudanya.

Tapi Durgasari benar-benar tidak akan memberi kesempatan. Dia pun melompat memburu begitu kedua kakinya menjejak tanah. Adu kejar-kejaran yang aneh pun terjadi. Raksagala terus-menerus melempar tubuhnya ke belakang sementara Durgasari terus melompat memburu ke depan. Namun, sampai berapa lama Raksagala bisa bertahan dikejar­kejar seperti itu?

Ki Wanara, murid-murid Perguruan Belut Putih yang memihak Raksagala, dan Galuh hanya memandang dengan sinar mata cemas. Walau tidak mampu melihat secara jelas karena cepatnya dua sosok yang tengah bertarung, tapi mereka dapat memperkirakan dari kelebatan bayangannya. Yang terdesak adalah kelebatan bayangan hitam. Dan itu adalah Raksagala. Sedangkan yang mendesak adalah kelebatan bayangan hijau. Dan itu adalah lawan Raksagala yang bernama Durgasari.

Sementara itu, Taraji dan murid Perguruan Belut Putih lain sudah tidak nampak lagi di situ. Sejak Raksagala terlibat pertarungan, mereka semua memang sudah melarikan diri.

Di antara para penonton itu, hanya Ki Wanara seorang yang sudah bisa menduga penyebab Raksagala bertarung dengan nenek berpakaian hijau itu. Dia memang telah mengerti semua, setelah Raksagala men­ceritakan sejelas-jelasnya.

Akhirnya saat yang gawat bagi Raksagala pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu terjadi ketika tubuhnya tengah berada di udara. Durgasari melancarkan serangan maut bertubi­tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar.

Raksagala terperanjat, apalagi disadari kalau keadaannya tidak memungkinkan untuk mengelak atau menangkis serangan. Dia hanya bisa pasrah diri pada kenyataan sambil menunggu maut dengan sepasang mata ter­belalak lebar.

Di saat yang amat gawat itulah melesat cepat sesosok bayangan ungu memotong alur serangan Durgasari.
Durgasari terkejut bukan main, tapi tak membatalkan serangannya. Akibatnya sudah bisa diduga....

Plakkk, plakkk, plakkk...!

Suara berderak keras terdengar berkali-kali begitu kedua tangan Durgasari dan tangan sosok bayangan ungu itu berbenturan. Seketika itu juga, tubuh keduanya terpental balik ke belakang. Namun dengan gerakan manis dan indah, keduanya berhasil mematahkan daya lontar masing-masing. Dan kini satu sama lain sudah mendarat ringan dan mantap di tanah.

7

Durgasari menatap tajam sosok bayangan ungu yang befdiri di hadapannya. Namun demikian, hatinya berdebar tegang. Raut keterkejutan yang amat sangat tampak di wajahnya. Betapa tidak? Sosok bayangan ungu yang kekuatan tenaga dalamnya telah membuatnya terkejut, ternyata hanyalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tidak salahkah yang dirasakannya tadi? Benarkah kekuatan tenaga dalam pemuda berpakaian ungu itu demikian kuatnya? Atau tadi ada kesalahan dalam pengerahan tenaganya?

Rasa penasaran membuat Durgasari mem­perhatikan pemuda berpakaian ungu itu lekat­lekat. Ada satu hal yang menarik perhatian nenek itu. Rambut pemuda itu ternyata tidak hitam seperti rambut pemuda pada umumnya. Tapi putih. Putih keperakan lagi!

Nenek berpakaian hijau itu juga melihat adanya sebuah guci arak yang tersampir di punggung pemuda berpakaian ungu itu.

“Hm.... Pemuda pemabukan!” ejek Durgasari dalam hati.

Sementara itu, pemuda berpakaian ungu itu juga memandang nenek di depannya dengan kening agak berkerut. Sebab, sejak tadi nenek itu seperti orang bingung saja. Matanya melotot, namun suaranya tak terdengar.

“Siapa kau, Anak Muda Keparat?! Mengapa mencampuri urusanku?! Apa sudah bosan hidup?!” tanya Durgasari keras setelah puas mengamati pemuda yang telah menyelamatkan nyawa Raksagala.

“Aku Arya, seorang pengelana. Maafkan bila aku telah mencampuri urusanmu. Tapi ketahuilah, aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya tidak bisa berdiam diri melihat adanya kesewenang-wenangan di depan mataku!”

Pemuda berpakaian ungu yang ternyata Arya alias Dewa Arak itu memang kebetulan lewat desa ini.

Kemudian dia tertarik dengan pertarungan Raksagala melawan Durgasari. Langsung dihampirinya Ki Wanara yang sudah tidak ditemani Galuh. Gadis itu memang sejak tadi bersembunyi di rumahnya.

Dewa Arak kemudian menanyakan sebab­sebab pertarungan itu berlangsung. Setelah mendapat penjelasan dari Ki Wanara, barulah dia berani turun tangan.

“Tidak usah berbasa-basi, Monyet Kecil! Kau tahu, tidak ada ampun bagi orang yang telah berani mencampuri urusan Durgasari! Tidak terkecuali kau! Jadi, tidak ada gunanya meminta maaf atau ampun sekalipun!”

Dewa Arak tersenyum pahit. Dari sikap keras yang ditunjukkan nenek berpakaian hijau itu, sudah bisa diketahui kalau mengajaknya bicara tidak akan ada gunanya lagi. Pertarungan tidak mungkin bisa dielakkan.

Durgasari telah mengeluarkan kata-kata bernada tantangan. Dan bukan Dewa Arak namanya kalau nyalinya ciut hanya karena mendapat tantangan.

Raksagala adalah seorang yang berwatak gagah dan ksatria. Yang mempunyai urusan dengan Durgasari adalah dirinya sendiri. Bukan pemuda berambut putih keperakan yang didengarnya bernama Arya. Maka begitu keadaan tampaknya sudah mulai memanas, dia melangkah maju.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak! Tapi, apa yang dikatakan nenek itu benar. Kau sama sekali tidak mempunyai urusan dengan­nya. Lebih baik, kau tidak usah mem­pertaruhkan nyawa untuk membelaku,” ucap Raksagala pada Dewa Arak.

Arya menoleh. Sepasang matanya menatap tajam wajah Raksagala. Dewa Arak adalah seorang yang cepat tanggap. Dia tahu, mengapa laki-laki berwajah pucat itu melarangnya. Raksagala tidak ingin dia tewas di tangan nenek berpakaian hijau itu. Hal ini membuat Arya merasa kagum. Dengan sendirinya, semakin besar keinginan di hatinya untuk menolong pemuda berpakaian hitam itu.

“Maaf, Kisanak. Bukannya aku tidak suka menuruti nasihatmu. Tapi aku pantang menolak tantangan. Aku bukan seorang pengecut!” tandas Arya tegas.

Mendengar jawaban Dewa Arak, Raksagala tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dengan langkah lesu kakinya melangkah mundur. “Hati-hatilah, Kisanak,” ucap Raksagala. “Dia adalah lawan yang amat tangguh.”

“Akan kuperhatikan nasihatmu,” sahut Dewa Arak membesarkan hati Raksagala.

Baru saja Raksagala melangkah mening­galkan Dewa Arak, Durgasari sudah mengirim­kan serangan.
Nenek berpakaian hijau itu membuka serangannya dengan memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada.

Dewa Arak terperanjat ketika merasakan ada kekuatan aneh yang membetot tubuhnya. Otaknya yang memang cerdas langsung saja bisa menduga kalau lawannya memiliki sebuah ilmu yang mengandung tenaga membetot. Maka buru-buru dikerahkannya ilmu 'Pasak Bumi'. Kekuatan tenaga dalam langsung disalurkan pada kakinya, agar kuat berpijak seperti akar pohon besar.

Usaha yang dilakukan Arya sama sekali tidak sia-sia. Berkat ilmu 'Pasak Bumi', kekuatan daya sedot itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Memang ada angin keras yang berusaha membetotnya. Tapi berkat ilmu itu, betotan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.

Tapi Durgasari tidak kecewa melihat kenyataan ini. Dia memang tidak terlalu berharap usahanya akan membuahkan hasil. Toh, tadi telah dibuktikan sendiri kalau Raksagala pun sanggup memunahkan daya sedotnya.

Maka begitu Dewa Arak tampak sibuk mengerahkan tenaga untuk melawan betotan itu, segera dikirimkannya serangan. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah leher, mengirimkan sebuah tendangan miring. Angin yang menderu keras mengiringi serangan itu.

Arya yang memang sudah menduga hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat kakinya melangkah ke belakang seraya merendahkan tubuhnya. Sehingga, serangan itu hanya mengenai tempat kosong, lewat sejengkal di atas kepalanya.

Pada saat yang bersamaan, pemuda berambut putih keperakan ini menjumput guci araknya. Kemudian guci itu diangkat ke atas kepala. Dan....

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga, ada hawa hangat merayap di dalam perutnya. Kemudian, terus merayapi naik ke atas kepala secara perlahan-lahan. Sekejap saja tubuh Arya mulai meliuk-liuk.

Durgasari menggeram begitu melihat serangannya berhasil dielakkan. Segera saja dikirimkannya serangan susulan berupa tendangan kaki kanan ke arah kepala Dewa Arak. Tentu saja ini karena sikap pemuda berambut putih keperakan itu tengah membentuk kuda-kuda rendah. Kalau Arya tengah berdiri, mungkin tendangan itu hanya mengenai pusarnya.

Cepat bukan main serangan susulan itu tiba. Mungkin hanya berbeda waktu sedikit saja dengan tendangan yang pertama kali. Walaupun begitu, Arya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menangkalnya. Apalagi, pemuda berambut putih keperakan itu telah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang mampu membuat gerakan yang bagaimanapun sulitnya.

Masih dengan tubuh meliuk-liuk, Dewa Arak menggerakkan gucinya menangkis tendangan yang mengarah ke kepalanya.

Banggg ... !

Suara berdentang keras terdengar ketika kaki Durgasari berbenturan dengan guci Dewa Arak. Seketika itu pula, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang. Durgasari terhuyung dua langkah, sedangkan Dewa Arak hanya satu langkah. Jelas, kalau dalam adu tenaga Dewa Arak masih lebih kuat
Durgasari menggeram. Kini tidak ada lagi keraguan dalam hatinya.

Pemuda berambut putih keperakan ini adalah seorang lawan yang amat tangguh. Dan ini bisa diketahui dari kekuatan tenaga dalam lawan yang ternyata lebih kuat darinya.

Hal ini tentu saja membuat Durgasari penasaran bukan kepalang. Masa dia harus mengaku kalah dengan seorang pemuda yang pantas menjadi cucunya? Pikiran ini membuat nenek berpakaian hijau itu mengerahkan seluruh kemampuannya.

Tapi lawan yang dihadapi Durgasari kali ini adalah Dewa Arak. Seorang yang meskipun masih muda, tapi telah memiliki tingkat kepandaian tak tertandingi. Bukan hanya itu saja. Pemuda berambut putih keperakan ini juga telah memiliki pengalaman bertanding yang tidak sedikit. Tak terhitung, sudah berapa kali Arya terlibat pertarungan dengan tokoh yang memiliki kepandaian menggiriskan.

Maka meskipun Durgasari telah mengerah­kan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak mampu mendesak Dewa Arak. Ilmu 'Belalang Sakti' benar-benar menjadikan Arya sebagai lawan yang teramat tangguh.
Hebat bukan main akibat dari pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini. Angin menderu, mencicit, dan mengaung terdengar menyemaraki pertarungan itu. Bukan hanya itu saja. Tanah terbongkar di sana-sini terkena pukulan nyasar. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Bahkan para penonton pun bergerak menjauhi arena pertarungan, karena khawatir terkena serangan nyasar.

“Luar biasa...,” desah Raksagala penuh kagum. “Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Ilmu silatnya pun aneh....”

“Tidak perlu heran, Raksagala,” ucap Ki Wanara. “Pemuda itu adalah Dewa Arak...! Dia tadi menghampiriku, dan sempat memperkenal­kan namanya. Begitu aku yakin kalau dia benar­benar Dewa Arak, maka kuceritakan segalanya tentang dirimu.”

“Dewa Arak?” Raksagala mengerutkan alisnya. “Orang seusia dia sudah mempunyai julukan?!”

“Jadi, kau belum pemah mendengar julukannya?” Ki Wanara yang kini ganti bertanya.
Raksagala menggeleng.

“Apakah julukan itu begitu terkenal, Ki?”

Ki Wanara menggeleng-gelengkan kepala melihat keluguan Raksagala. Dia memang merasa heran mendengar Raksagala sama sekali belum mendengar julukan Dewa Arak. Tapi ketika teringat kalau Raksagala terkungkung selama belasan tahun di dalam sebuah bangunan yang bemama Istana Hantu, dia tidak merasa heran lagi.

“Julukan itu bukan hanya terkenal saja, Raksagala. Tapi juga menggemparkan!” jawab Ki Wanara setengah memberi tahu. “Banyak sudah tokoh sakti aliran hitam yang tewas di tangannya.”

“Ah ... ! Jadi, dia seorang pendekar, Ki?” Raksagala menudingkan telunjuknya ke arah Dewa Arak yang masih sibuk bertarung meng­hadapi Durgasari.

“Bukan hanya seorang pendekar saja, Raksagala. Dewa Arak adalah seorang pendekar besar! Sudah tidak terhitung kelaliman yang merajalela di persada ini dibasminya,” sahut Ki Wanara, menguatkan penuturan Raksagala.

Raksagala terdiam. Ada perasaan kagum menyelinap di hatinya terhadap Dewa Arak.

Apalagi ketika melihat sendiri kalau berkali-kali Durgasari terhuyung-huyung setiap kali terjadi benturan antara mereka. Dari sini saja sudah bisa dinilai keunggulan Dewa Arak! Dan mau tak mau, hal ini membuatnya kagum setengah mati.

Sementara itu di arena pertarungan, Dewa Arak semakin menunjukkan keunggulannya. Pertarungan memang sudah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan sekarang keadaan Durgasari sudah semakin mengkhawatirkan. Walau nenek berpakaian hijau itu sudah mengeluarkan senjata andalan yang berupa sebuah sabuk, tapi tetap saja tidak mampu menahan tekanan-tekanan Dewa Arak.

Dewa Arak dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' benar-benar menjadi seorang lawan yang amat berat bagi Durgasari. Kedua tangannya yang disertai ilmu 'Belalang Sakti', guci di tangannya, semburan-semburan araknya, gerakannya yang aneh, dan tenaganya yang seperti tidak pernah habis, merupakan kesatuan yang mampu menggilas habis semua perlawanan Durgasari. Robohnya nenek berpakaian hijau ini hanya tinggal menunggu saatnya saja.

Hati Durgasari terpukul bukan kepalang menerima kenyataan ini. Rasanya bagaikan mimpi ketika menyadari kalau Dewa Arak memang lebih unggul darinya. Setiap serangan­nya kandas sama sekali. Sedangkan setiap serangan yang dilancarkan lawan selalu membuatnya pontang-panting untuk menyelamatkan diri.

Rasa penasaran, marah, dan terpukul mem­buat Durgasari menjadi nekat. Nenek ber­pakaian hijau ini jadi tidak mempedulikan keselamatan diri lagi. Dan kini perhatiannya hanya dipusatkan pada satu sisi saja. Menyerang! Tidak dipedulikannya lagi per­tahanan dirinya.

Memang dengan cara seperti ini, serangan serangan Durgasari jadi semakin dahsyat. Tekanan-tekanan setiap serangannya pun semakin berat. Tapi karena tindakannya itu, pertahanannya jadi lemah. Banyak celah kosong di sana sini bagi Dewa Arak untuk me­masukkan serangan.

Sebuah keuntungan bagi Durgasari, Arya sama sekali tidak berminat mencelakainya. Dewa Arak bertarung menghadapi nenek berpakaian hijau itu hanya karena tidak sudi dianggap pengecut. Sama sekali tidak ada maksud di hatinya untuk melukai nenek itu. Masalahnya, dia sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Durgasari.

Karena dasar pemikiran seperti itulah, Dewa Arak sama sekali tidak mau memanfaatkan kesempatan yang terpampang. Pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengelak dan menangkis serangan lawan. Beberapa kali dicobanya memasukkan serangan, namun hatinya seketika kaget, ternyata nenek itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan pada saat yang bersamaan, lawannya itu melancarkan serangan pula. Jelas kalau Durgasari hendak mengadu nyawa!

Tentu saja Arya tidak ingin bertindak bodoh. Tidak diturutinya tindakan gila Durgasari. Maka buru-buru serangannya ditarik pulang seraya melompat menjauhkan diri dari serangan nenek berpakaian hijau itu.
Kini keadaan jadi terbalik. Dalam pandangan mata orang yang belum memiliki tingkat kepandaian tinggi, tampaknya Dewa Arak terdesak. Buktinya sosok bayangan ungu itu berkali-kali bergerak menghindari setiap serangan yang dilancarkan sosok bayangan hijau. Hanya sekali-sekali saja sosok bayangan ungu itu menangkis serangan.

“Apa maunya Dewa Arak ini?” gumam Raksagala dalam hati.

Kepala pemuda berwajah pucat itu tampak menggeleng-geleng. Dia memang tidak mengerti, mengapa Dewa Arak malah jadi terdesak. Padahal, dia sendiri jelas-jelas melihat kalau pertahanan Durgasari berantakan dan terbuka di sana-sini. Tapi, kenapa Dewa Arak tidak memasukkan serangan ke sana? Pikiran-pikiran itu mengganggu benak Raksagala.

“Apakah pemuda itu tidak mengetahuinya? Mustahil!” bantah hati murid Sawungrana ini.

“Mengapa Raksagala?” Ki Wanara yang juga bingung melihat Dewa Arak terdesak, tak tahan untuk tidak bertanya.

“Aku tidak mengerti maksud Dewa Arak itu, Ki,” kata Raksagala mengeluarkan ganjalan hatinya. “Dewa Arak sepertinya tidak ingin memanfaatkan kesempatan yang banyak tercipta. Durgasari menyerang tanpa mem­pedulikan bagian pertahanan lagi. Kalau saja Dewa Arak melancarkan serangan dan tidak hanya mengelak saja, rasanya tidak sulit untuk merobohkan, ataupun menewaskan nenek itu. Padahal tadi kulihat dia hampir berhasil menyarangkan serangannya, tapi malah ditarik kembali. Aneh ... !”

Ki Wanara mengerutkan dahinya, namun sebentar kemudian hatinya menjadi lega. Dewa Arak sama sekali tidak terdesak. Kini pandangannya kembali dilayangkan ke arah pertempuran. Ucapan keheranan Raksagala sama sekali tidak dipedulikannya.

Di arena pertarungan, sepak terjang Durgasari semakin membabi buta. Nenek berpakaian hijau ini terus melancarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan. Apalagi ketika menyadari kalau perlahan-lahan dia berhasil mendesak Dewa Arak.

Ctarrr ... !

Sabuk di tangan Durgasari melecut mem­perdengarkan ledakan nyaring yang memekak­kan telinga. Kemudian dengan gerakan meliuk­liuk seperti seekor ular, sabuk itu mematuk ke arah kepala Dewa Arak.
Arya terperanjat ketika menyadari kalau dirinya berada dalam keadaan sulit. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera dibanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali.

Sementara Durgasari mana mungkin membiarkan lawannya lolos? Maka buru-buru nenek ini bergerak mengejar. Sabuk di tangannya, dan kakinya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Dewa Arak.
Dewa Arak tidak punya cara lain lagi untuk mengelakkan diri terhadap serangan susulan yang cepat datangnya. Tubuhnya kembali bergulingan di tanah untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Kini terjadilah tontonan yang menarik. Dewa Arak yang terus-menerus berguling untuk menyelamatkan diri, dan Durgasari yang terus mengejarnya dengan serangan-serangan maut.

“Hih ... !”
Ctar ... !

Kembali sabuk di tangan Durgasari melecut ke arah tubuh Dewa Arak yang masih bergulingan.
Kali ini Dewa Arak bertindak nekat. Disadarinya kalau tidak mungkin mengelak dengan cara seperti itu terus-menerus. Maka dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya, tubuhnya melenting ke atas. Sebuah perbuatan yang sangat berbahaya!

Ctarrr ... !

Tanah langsung terbongkar ketika sabuk itu menghantam telak permukaan tanah. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Tapi tubuh Dewa Arak sudah tidak tampak lagi di sana, karena telah melenting ke atas.

Tapi Durgasari memang sudah sejak tadi memperhitungkan hal itu. Maka begitu tubuh lawannya terlihat melenting, cepat-cepat dijegalnya. Tangan kirinya dengan jari-jari terbuka memapak tubuh yang tengah melenting dengan sebuah serangan ke arah pelipis. Sebuah serangan mematikan!

Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Maka cepat tangan kirinya diangkat untuk menangkis. Pada saat yang sama, tangan kirinya bergerak menyampok ke arah pelipis lawan.

Plakkk! Prakkk ... !

Dua buah bunyi yang berbeda, terdengar saling bersusulan. Bunyi pertama adalah bunyi benturan antara tangan kiri Dewa Arak dengan tangan kiri Durgasari. Sementara suara berderak yang kedua adalah ketika sampokan Dewa Arak mengenai sasaran.

Durgasari memang sejak tadi sudah tidak mempedulikan pertahanan. Akibatnya, begitu Dewa Arak melancarkan serangan, dia tidak mampu mengelak. Yang ada di benaknya hanya satu, mengadu nyawa!
Tanpa mengeluarkan suara keluhan apa pun, tubuh Durgasari terlempar, lalu jatuh berdebuk di tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tidak bergerak lagi di tanah.

Arya terpaku melihat sosok tubuh lawannya yang kini telah menjadi mayat. Raut wajahnya memancarkan penyesalan yang amat sangat. Dan memang hatinya menyesal bukan main. Dia memang tidak ingin membunuh nenek itu, sehingga sejak tadi hanya berusaha menjaga diri saja. Tapi keadaan terakhir kali, membuatnya tidak punya pilihan lagi. Pilihannya hanya dua. Membunuh atau dibunuh! Dan tentu saja dia memilih yang pertama.

Melihat keunggulan Dewa Arak, Raksagala, dan Ki Wanara, segera bergerak menghampiri Dewa Arak. Di raut wajah mereka semua terpancar perasaan lega melihat Durgasari berhasil dibinasakan.

Tapi seri kegembiraan di wajah mereka lenyap, dan kini berganti dengan raut kebingungan ketika melihat wajah Dewa Arak. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak memperlihatkan kegembiraan, namun sebaliknya malah menyiratkan penyesalan. Karuan saja hal ini membuat mereka bingung.

“Aku tidak bermaksud membunuhnya...,” keluh Arya. Pelan dan tak bersemangat suaranya. Jelas, ucapan itu keluar dari hati yang terpukul.

Karuan saja ucapan itu membingungkan orang-orang yang berada di dekatnya. Tapi sesaat kemudian Raksagala mengerti, mengapa Dewa Arak tidak memanfaatkan banyak kesempatan yang ada. Rupanya Arya ternyata memang tidak ingin menurunkan tangan kejam pada lawannya.

Ki Wanara tahu perasaan yang berkecamuk dalam hati Dewa Arak. Maka kakek berpakaian putih ini bergerak lebih mendekat lagi, kemudian perlahan-lahan ditepuknya bahu Arya.

“Lupakanlah hal itu, Dewa Arak. Kau sama sekali tidak bermaksud membunuhnya, bukan? Tapi Durgasari terlalu memojokkanmu, sehingga kau tidak punya pilihan lagi. Itu berarti bukan kau yang membunuhnya, tapi dirinya sendiri yang membuatmu terpaksa membunuhnya. “

Ki Wanara memberi nasihat sekenanya saja. Tapi kakek berpakaian putih ini sama sekali tidak menyadari kalau semua nasihatnya tepat sekali.

“Tapi biar bagaimanapun..., dia tewas di tanganku, Ki,” bantah Arya seraya menatap wajah Ki Wanara.
“Dia memang pantas untuk tewas, Dewa Arak,” sahut Ki Wanara lagi.

Dewa Arak mendengarkan penuh perhatian penuturan Raksagala tentang rencananya sejak dari Istana Hantu hingga sampai ke Desa Kali Asem. Semuanya sudah jelas. Tadi Ki Wanara juga telah bercerita demikian. Jadi, Dewa Arak memutuskan untuk membantu pemuda berwajah pucat itu, walaupun hal itu belum diutarakannya.

Raksagala melangkah menghampiri murid­murid Perguruan Belut Putih yang masih saja menunggu di depan rumah Ki Wanara dengan sabar.

Begitu melihat Raksagala menghampiri, serentak mereka pun bergerak menghampiri. Salah seorang dari belasan murid Perguruan

Belut Putin itu melangkah maju begitu kedua belah pihak telah berhadapan dalam jarak tiga tombak.
“Maaf, bukannya aku tidak percaya. Tapi benarkah kau urusan ketua kami, Kisanak,” tanya murid Perguruan Belut Putih yang ternyata bertindak sebagai juru bicara itu. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berotot. Usianya mungkin tak kurang dari tiga puluh tahun.

“Benar,” Raksagala menganggukkan kepala­nya. “Aku adalah utusan Ki Sawungrana. Namaku Raksagala. Aku diutus untuk mem­benahi semua kericuhan yang terjadi di Perguruan Belut Putih. Itu bila memang benar ada kerusuhan.”

“Semua kericuhan itu memang benar ada, Raksagala,” tanpa ragu-ragu lagi laki-laki bertubuh kekar berotot ini menyebut Raksagala dengan namanya saja. “Perguruan Belut Putih sekarang diketuai oleh Kalasura, seorang murid kepala Perguruan Belut Putih juga. Tapi sayang, wataknya tidak baik. Banyak di antara kami yang menentang. Tapi dengan cara halus maupun kasar, dia berhasil menyingkirkannya. Kelompok Kalasura sangat kuat. Apalagi dia pun dibantu tokoh-tokoh aliran hitam.”

Laki-laki bertubuh kekar berotot ini meng­hentikan ceritanya untuk mengambil napas seraya mencari kata-kata untuk melanjutkan ucapannya. Matanya menerawang jauh, seperti mengingat-ingat kejadian yang menimpa perguruannya.

“Banyak di antara murid Perguruan Belut Putih yang menentang, tapi berhasil dipatah­kan. Terpaksa kami berdiam diri. Apalagi karena di pihak kami tidak ada lagi tokoh yang bisa diandalkan. Semua murid kepala Perguruan Belut Putih yang bersifat jujur telah tewas. Sementara di pihak Kalasura cukup banyak. Kini dengan adanya kau, Raksagala, kami siap menentang mereka kembali. Kita harus merubah Perguruan Belut Putih menjadi perguruan beraliran putih kembali! Kami yakin, masih banyak anggota Perguruan Belut Putih yang hanya terpaksa mengikuti kemauan Kalasura,” mantap dan penuh semangat ucapan laki-laki kekar berotot itu.

Dan semua kepala rekan-rekannya yang berdiri di belakangnya terangguk begitu laki­laki kekar berotot itu menghentikan ucapannya. Jelas, mereka semua setuju dengan keputusan yang diambil rekan mereka itu.

“Kalau begitu, mari kita serbu mereka!” Raksagala memutuskan dengan penuh semangat “Kami ikut, Raksagala.”

Raksagala menoleh begitu mendengar ucapan itu. Tampak Dewa Arak dan Ki Wanara tengah bergerak menghampiri mereka.

“Kau...?!”

Arya tersenyum lebar. Dia tahu kalau Raksagala merasa keberatan kalau dia ikut campur tangan. Dewa Arak tahu, pemuda berwajah pucat itu ingin menyelesaikan tugas gurunya sendiri.

“Kedatanganku yang secara kebetulan ke desa ini, dan setelah mendengar dari Ki Wanara kalau ada kesewenang-wenangan yang terjadi di Perguruan Belut Putih, telah menarik hatiku untuk membantumu, Raksagala. Yahhh.... Barangkali saja, tenagaku agak berguna di sana. Paling tidak, cukup untuk melindungi kau dan murid-murid Perguruan Belut Putih merebut kembali perguruan yang telah dikotori itu.”

Raksagala tidak bisa menolak lagi. Alasan yang dikemukan Arya membuatnya tidak bisa membantah lagi.
Walaupun tidak memperliatkannya dalam raut wajah dan sikap, karena merasa tidak enak pada Raksagala, murid-murid Perguruan Belut Putih ini sebenarnya merasa gembira bukan main atas ikutnya Dewa Arak bersama mereka. Telah mereka saksikan sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.

Dan pada kenyataannya, Arya jauh lebih lihai daripada Raksagala! Padahal, pemuda yang mengaku murid Sawungrana juga lihai bukan main. Mereka juga telah menyaksikan kalau Raksagala bertarung menggunakan ilmu-ilmu Perguruan Belut Putih.

Tak lama kemudian, rombongan itu pun berangkat menuju Perguruan Belut Putih. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya murid­murid Perguruan Belut Putih ini melirikkan mata untuk melihat wajah Dewa Arak. Sungguh tak disangka kalau mereka bisa bertemu tokoh yang julukannya begitu mengguncangkan dunia persilatan. Dan ternyata, orangnya masih sangat muda.

Di antara mereka semua, hanya Ki Wanara saja yang sama sekali tidak melirik ke sana kemari. Kakek berpakaian putih ini ingin cepat sampai di tempat tujuan. Dia ingin markas Perguruan Belut Putih cepat direbut kembali.

***8

“Rupanya mereka telah bersiap-siap,” kata Raksagala ketika melihat pintu gerbang yang tertutup rapat.

“Hati-hati, Raksagala,” ujar laki-laki kekar berotot yang telah memperkenalkan namanya sebagai Diraga, setengah memberi tahu. “Kalasura adalah seorang berwatak licik. Aku yakin, dia telah menempatkan murid-murid Perguruan Belut Putih di bagian atas pintu gerbang. Mereka akan membidikkan panah, agar kita tidak bisa mendekat”

Raksagala terdiam karena memang tidak mengetahui hal itu.

“Apakah tidak akan ada bantuan dari dalam markas? Bukankah kau tadi mengatakan banyak murid Perguruan Belut Putih yang tidak suka terhadap tindakan Kalasura?” tanya Raksagala, bernada tuntutan.

“Dari mana mereka tahu akan hal itu, Raksagala?” Diraga malah balik bertanya.

“Tentu saja dari orang-orang yang telah kuberi pelajaran tadi!” sahut Raksagala tandas.

“Mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengatakan secara terbuka mengenai dirimu di hadapan begitu banyak orang. Bila hal itu diceritakan, akan menimbulkan pemberontakan. Orang-orang itu pasti hanya mengatakannya secara terus terang pada kelompoknya.”

Raksagala mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterima alasan yang dikemukakan Diraga itu.
Suasana hening sejenak tercipta setelah Diraga menghentikan ucapannya. Karena memang Raksagala tidak lagi menyambutinya.

“Kalau begitu..., lebih baik aku yang masuk lebih dulu untuk melihat keadaan di dalam,” tandas Raksagala setelah beberapa saat lamanya terdiam.

“Tapi sangat berbahaya, Raksagala,” sergah Diraga khawatir. “Kalasura adalah orang licik. Dia tidak, segan-segan, menggunakan cara apa pun demi mencapai kemenangan.”

“Aku akan berhati-hati, Diraga,” sahut Raksagala cepat.
“Hhh ... !”

Diraga hanya dapat menghela napas berat. Laki-laki kekar berotot ini tahu kalau Raksagala tidak bisa dicegah lagi. Jadi rasanya akan sia-sia jika terus mencegahnya. Dia merasakan adanya tekanan dalam ucapan Raksagala yang terakhir. Tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan. Maka, pendapatnya tidak diutara­kannya lagi.

Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, Raksagala segera melesat ke depan. Tidak ada serbuan anak panah seperti yang dikatakan Diraga. Huh! Dia terlalu khawatir, keluh Raksagala dalam hati.

“Hih ... !”

Begitu telah berada di depan pintu gerbang Perguruan Belut Putih, laki-laki berwajah pucat ini menjejakkan kakinya. Seketika tubuhnya melambung ke atas. Dan begitu telah melewati pagar yang tinggi dan kokoh, tubuhnya berputar di udara.

“Hup... !”

Baru saja kedua kaki Raksagala mendarat di tanah, belasan orang berpakaian abu-abu sudah berkelebat mengurungnya. Bukan hanya itu saja. Tampak belasan orang lain, melompat ke atas dengan anak panah siap dilesatkan. Kini Raksagala mengerti. Mereka memang sengaja membiarkannya masuk sendirian. Jadi apa yang dikatakan Diraga ternyata benar.

Tapi Raksagala sama sekali tidak kelihatan gentar. Meskipun tahu kalau dirinya sengaja dijebak, dia tidak mengirim pemberitahuan kepada kawan-kawannya di luar pagar kalau dirinya terancam.

“Ha ha ha...! Sungguh besar nyalimu, Anak Muda,” kata orang yang tak lain dari Taraji. Tangan kanannya nampak tergantung lemah di sisi pinggang. Jelas, akibat perbuatan Raksagala masih tersisa. “Jangan harap dapat keluar dari sini dalam keadaan hidup.”

Raksagala memandang berkeliling menatap wajah-wajah orang yang mengurungnya. Tidak lebih dari dua puluh orang.

“Inikah orang yang kau ceritakan itu, Taraji?!”

Mendadak terdengar suara keras bergaung.Sesaat kemudian, muncul seorang laki-laki bertubuh pendek kekar tapi bercambang bauk lebat.

Sementara di sebelahnya berdiri tiga orang berwajah kasar berpakaian kuning garis­garis hitam.

“Benar, Ketua,” tandas Taraji seraya mengangguk-anggukkan kepala.

Laki-laki bercambang bauk lebat yang ternyata Kalasura, kini mengalihkan perhatian kembali pada Raksagala. Sepasang matanya merayapi selebar wajah pemuda berwajah pucat itu.

“Jangan mimpi untuk dapat membuat khayalanmu jadi kenyataan, Bocah!” dengus Kalasura. “Kau hanya akan mengantarkan nyawa di sini, tahu?!”

Raksagala menatap wajah laki-laki bercambang bauk lebat di hadapannya beberapa saat, lalu beralih pada tiga orang kasar yang berdiri di sebelahnya. Baru kemudian, perhatiannya tertumpah pada murid-murid Perguruan Belut Putih yang mengepungnya. Sikap pemuda berwajah pucat ini terlihat tenang saja. Padahal, seluruh urat syaraf dan ototnya menegang waspada.

Perlahan-lahan tangan Raksagala menyelinap masuk ke batik baju. Sudah bisa ditebak maksudnya. Ya! Pemuda berwajah pucat itu ingin mengeluarkan tongkat pemberian gurunya.

Kalasura rupanya sudah mengetahui maksud Raksagala. Dan dia tidak ingin hal itu

terjadi. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat menerjang. Kedua tangannya menegang kaku, melancarkan totokan bertubi­tubi ke arah leher dan bawah hidung Raksagala.

Belum juga serangan Kalasura tiba, tiga orang berwajah kasar itu melompat menerjang pula. Dalam sekejap saja, Raksagala sudah menghadapi empat buah serangan dari empat penjuru, dan semuanya mengarah ke tempat­tempat yang mematikan!

Mau tak mau, Raksagala membatalkan maksudnya semula. Benaknya berputar keras untuk menghadapi serangan keempat orang lawannya ini. Sesaat kemudian, dia sudah bisa memutuskan. Sepasang matanya yang awas dapat cepat mengetahui kalau di antara keempat serangan itu, serangan Kalasura-lah yang menyambar paling dulu. Maka, diputus­kannya untuk menanggulangi serangan laki-laki bercambang bauk lebat itu terlebih dulu.

Plakkk, plakkk, plakkk ... !

Benturan keras terdengar berkali-kali ketika Raksagala menangkis semua serangan lawan. Sadar akan keadaannya yang tidak mengun­tungkan, pemuda berwajah pucat ini tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Akibatnya memang hebat! Tubuh Kalasura terhuyung-huyung j auh ke belakang. Mulutnya menyeringai menahan sakit Dan memang, benturan antara tangannya dengan tangan Raksagala membuat kedua belah tangannya terasa sakit bukan main. Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main.

Sedangkan Raksagala kelihatan sama sekali tidak terpengaruh benturan itu. Bahkan sehabis menangkis serangan, laki-laki berwajah pucat ini melompat melewati atas kepala Kalasura. Akibatnya, semua serangan dari ketiga orang lawannya hanya mengenai tempat kosong.

Tapi Kalasura dan ketiga orang kasar itu rupanya tidak mau memberi kesempatan. Begitu Raksagala melompat menjauh, mereka semua segera melesat memburu dan menghujaninya dengan serangan serangan berbahaya. Per­tarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi.

Kali ini Raksagala harus menguras seluruh kemampuannya. Apalagi keempat lawan itu memiliki kepandaian tinggi. Walaupun bila dihadapi satu persatu keempat orang lawan itu masih di bawahnya, tapi cara bertarung mereka keroyokan. Mau tak mau, Raksagala jadi kerepotan juga.

Kalasura merasa penasaran bukan kepalang. Seperti juga Raksagala, dia adalah murid langsung dari Ki Sawungrana. Hanya saja, laki­laki bercambang bauk lebat itu tidak memiliki seluruh ilmu gurunya. Lain halnya dengan Raksagala yang menerima semuanya.

Sementara Raksagala menghadapi lawan­lawannya, sementara itu pula murid Perguruan Belut Putih yang berada di atas pagar bambu menjepretkan panah ke arah Dewa Arak dan murid-murid Perguruan Belut Putih lain yang berada di luar pagar.

Twanggg ... ! Twanggg...!

Saat itu Dewa Arak bersama rombongan murid Perguruan Belut Putih telah bergerak menuju gerbang. Di tangan mereka sudah tergenggam senjata terhunus. Rupanya mereka semua merasa tidak sabar lagi menunggu Raksagala. Maka diputuskanlah untuk segera menyusulnya.

Melihat hujan anak panah itu, Arya segera memutar-mutarkan tangannya. Luar biasa ... ! Belasan anak panah itu berpentalan tak tentu arah ketika angin yang amat kuat keluar dari kedua tangannya yang berputar. Sebagian besar anak panah itu runtuh sebelum mengenai sasaran. Ada beberapa di antaranya yang lolos, tapi dengan mudah berhasil dipatahkan dengan ayunan senjata murid-murid Perguruan Belut Putin.

Berkali-kali hujan anak panah itu ber­hamburan ke arah rombongan yang memaksa­kan diri untuk masuk ke Perguruan Belut Putih, tapi semuanya berhasil dipunahkan.

Brakkk ... !

Suara berderak keras terdengar ketika pintu gerbang Perguruan Belut Putih hancur berantakan. Dewa Arak memang telah meng­gunakan kekuatan tenaga dalam untuk merobohkan pintu itu dengan kekerasan.
Begitu pintu terbuka, rombongan itu segera bergerak menyerbu ke dalam seraya berteriak­teriak mengajak rekan-rekan mereka untuk bergabung menentang tindakan Kalasura.

Dewa Arak yang takut terjadi pertumpahan darah besar-besaran, segera melesat ke arah pertarungan antara Raksagala dengan keempat orang lawannya.

“Mundur Raksagala...! Cegah pertumpahan darah!” teriak Arya.

Raksagala tidak membantah. Begitu Arya tampak meluruk masuk ke kancah pertarungan, dia melompat menghindar. Dan ketika kedua kakinya hinggap di tanah, tongkatnya segera diacungkan tinggi-tinggi ke atas.

“Murid-murid Perguruan Belut Putih semua ... ! Lihat tongkat ini baik-baik ,.. ! Aku adalah wakil penuh Ki Sawungrana! Kumohon kalian yang masih belum tersesat, bantu kami menumpas kelaliman Kalasura...!”

Keras bukan main suara Raksagala karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Serempak semua kepala menoleh begitu mendengar nama Ki Sawungrana disebut. Seketika pertarungan terhenti. Dan begitu mendengar kata-kata Raksagala dan melihat tongkat pusaka itu, sebagian murid Perguruan Belut Putih yang akan menyerang rombongan Dewa Arak berbalik haluan. Mereka kini bersatu dengan rombongan itu.

Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Gerombolan anak buah Kalasura pun tidak sedikit, karena sebagian besar adalah murid­murid Perguruan Belut Putih yang berwatak bobrok. Dan sebagian lagi, adalah anak buah

tiga tokoh berpakaian kuning garis-garis hitam.

Melihat keempat orang lawan telah dihadapi Dewa Arak, Raksagala segera membantu murid­murid Perguruan Belut Putih yang masih setia. Kini, terjadilah dua arena pertarungan. Yang satu antara Dewa Arak melawan Kalasura dan kawan-kawannya. Sementara yang satu lagi antara dua gerombolan berbeda aliran.

Jeritan kematian diiringi robohnya tubuh­tubuh tanpa nyawa terdengar. Bumi pun dibasahi darah yang sebagian besar keluar dari tubuh gerombolan Kalasura. Memang dengan adanya Raksagala, murid-murid setia Perguruan Belut Putih berhasil mendesak lawan. Sepak terjang Raksagala benar-benar menggiriskan. Kemana saja tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan ada sesosok tubuh terbaring tanpa nyawa.

Berbareng tewasnya orang terakhir dari gerombolan Kalasura, Kalasura dan ketiga orang kawannya pun roboh tergeletak di tanah tanpa mampu bergerak lagi. Dewa Arak memang terpaksa menewaskan mereka. Dia tahu dari Ki Wanara kalau keempat orang inilah yang selalu merusak wanita. Sebuah perbuatan yang amat dibencinya. Dan itulah sebabnya, dia tidak sudi mengampuni keempat orang lawan­nya. Dewa Arak mengamati mayat-mayat bekas lawannya. Sementara, Raksagala juga telah menyelesaikan pertarungannya.

Raksagala melirik Arya. Dan tentu saja pemuda berambut putih keperakan itu tahu maksud lirikan itu. Raksagala mengajaknya pergi ke Istana Hantu.

“Diraga ... ! Uruslah semuanya ... ! Aku akan pergi dulu ... !” kata pemuda berwajah pucat itu seraya melesat pergi dari situ.

Dewa Arak pun berkelebat mengikuti. Dalam waktu sebentar saja, tubuh mereka telah lenyap ditelan jalan. Keduanya sama sekali tidak mempedulikan pandangan kekaguman dari murid-murid Perguruan Belut Putih.

***

Raksagala dan Dewa Arak berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Raksagala yang bertindak sebagai petunjuk jalan, tentu saja berada agak di depan. Sementara Dewa Arak mengikuti di belakang­nya.

Raksagala memang mengerahkan seluruh kemampuannya. Namun Arya hanya sebagian saja. Sebab jika seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, sudah bisa dipastkan Raksagala pasti akan tertinggal.

Dua hari lamanya Raksagala dan Dewa Arak menempuh perjalanan bersama. Kini sewaktu matahari tepat di atas kepala, mereka berdua berjalan di tempat yang tanahnya lembek dan banyak tergenang air.

Dewa Arak mengamati keadaan sekeliling­nya. Udara di sekitar tempat ini demikian lembab. Sekelilingnya penuh pepohonan. Pohon besar dan tinggi sampai menjulang tinggi.

Raksagala terus saja melangkah melewati jalan-jalan becek berhawa lembab yang dipenuhi pepohonan menjulang tinggi. Dewa Arak mengikutinya, dengan seluruh urat syaraf menegang waspada.

“Itu dia Istana Hantu...!”

Raksagala berseru seraya menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar dan megah tapi terlihat tua. Bangunan itu ber­halaman luas. Sebuah pagar tembok yang tebal dan terlihat tua mengelilingnya.

Dewa Arak mengikuti arah tudingan Raksagala. Dan diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini mengakui kalau nama yang diberikan untuk tempat itu memang cocok. Bangunan itu mirip sebuah istana. Tapi menilik keadaannya yang begitu menyeramkan, mana ada raja atau pejabat kerajaan yang bersedia tinggal di situ. Rasanya tidak ada seorang pun yang mau tinggal di situ, kecuali hantu!

“Ha ha ha...!”

Mendadak terdengar suara tawa keras menggelegar menggetarkan jantung. Jelas kalau suara itu keluar dari mulut orang yang memiliki tenaga dalam tinggi. Seketika itu juga Raksagala dan Dewa Arak terperanjat. Kontan seluruh urat syaraf di tubuh mereka menegang waspada, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Sebelum gema suara tawa itu lenyap, di hadapan Raksagala dan Dewa Arak telah berdiri seorang kakek tinggi besar berpakaian merah. Memang, pakaian kakek ini mirip pakaian Jonggirupaksi, satu-satunya penjaga Istana Hantu.

Melihat munculnya kakek itu, Raksagala tanpa sadar melangkah mundur. Dia kenal betul, siapa sosok tubuh tinggi besar itu. Dia adalah Barong Segara, si Penghuni Istana Hantu!

Tanpa diberi tahu lagi pun Dewa Arak sudah bisa memperkirakan sosok yang berdiri di hadapannya. Memang, Raksagala telah men­ceritakan ciri-ciri Penghuni Istana Hantu ini!

Dewa Arak menatap wajah kakek ber­pakaian merah itu lekat-lekat. Diam-diam ada sedikit perasaan ngeri di hatinya melihat guratan yang ada di wajah Barong Segara.

“Sungguh tidak kusangka kau memiliki nyali juga, Monyet Kecil?!” kata Barong Segara keras seraya melayangkan pandangan pada Raksagala. “Rupanya kau pun ingin cepat-cepat menjadi bangkai seperti gurumu itu!”

Terdengar suara gemeretak dari mulut Raksagala ketika mendengar ucapan Penghuni Istana Hantu itu. Tanpa mempedulikan kenyataan kalau dirinya bukanlah tandingan kakek berpakaian merah itu, hatinya bertekad untuk menyerangnya. Kemarahan yang amat sangat telah menutup matanya.
Tapi sebelum pemuda berwajah pucat itu berhasil melaksanakan maksudnya, sebuah tangan kekar telah mencekal pergelangannya.

Raksagala menoleh. Memang, itu adalah tangan Dewa Arak yang mencegahnya untuk tidak bertindak gegabah.

“Biar aku yang menghadapinya, Raksagala,” tegas pemuda berambut putih keperakan itu pelan, tanpa bermaksud meremehkan.

Raksagala tahu diri. Dia sadar kalau memaksakan diri bertarung, hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia saja. Maka dibiarkan saja Dewa Arak yang menghadapinya. Tapi perasaan dongkol yang menyesak di dada, membutuhkan pelampiasan! Tidak bisa mem­balas dengan kekerasan, dia pun berniat membuat Barong Segara terpukul.

“Kali ini kau yang akan menjadi bangkai, Barong Segara!” ejek Raksagala tajam. “Kau tahu, adikmu telah menjadi bangkai lebih dulu di tangan pemuda di sampingku ini! Dan kini kau akan menyusulnya!”

Terdengar raungan keras, seperti ada seekor binatang buas terluka yang tengah murka. Barong Segara murka bukan kepalang. Durgasari, adiknya telah tewas? Hampir dia tidak bisa mempercayai hal ini!

Kini dia mengerti, mengapa pemuda ber­wajah pucat itu berani datang menyatroni tempatnya. Rupanya Raksagala mengandalkan temannya.

Sambil meraung keras seperti binatang buas terluka. Barong Segara bersiap menerjang Dewa Arak. Tahu kalau pemuda yang berdiri di hadapannya ini telah menewaskan adiknya, dia

bisa menduga kalau calon lawannya pasti berilmu tinggi. Maka Penghuni Istana Hantu ini tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Tanpa sungkan-sungkan segera dikeluarkan gabungan ilmunya, 'Tangan Penahan Gelombang Laut' dan 'Ilmu Tangan Pasir Besi'.
Arya sama sekali tidak berani bertindak setengah-setengah. Segera guci araknya diangkat ke atas kepala, lalu dituangkan ke dalam mulut

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu cairan arak memasuki tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga hawa hangat menjalar di dalam perut Arya. Kemudian perlahan-lahan merayap ke atas. Hanya dalam sekejap saja, tubuh Dewa Arak mulai limbung. Posisi kedua kakinya mulai tidak tetap. Oleng sana, oleng sini!

“Haaat..!”

Sambil mengeluarkan teriakan mengguntur, Barong Segara segera melompat menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang kini berwarna hitam mengkilat seperti baja, meluncur cepat ke arah dada, ulu hati, pusar Dewa Arak dengan jari-jari tangan menegang kaku.

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia merasa heran, karena tidak merasakan adanya hembusan angin yang mengiringi serangan lawan. Dia tahu kalau lawan telah menyerang mempergunakan tenaga lemas. Tak kelihatan

berbahaya, tapi sebenarnya mengandung ancaman maut! Tapi yang membuat hati Dewa Arak bingung, mengapa kedua tangan dan bentuk serangan itu terlihat keras dan kasar penuh tenaga! Sekujur tangan itu menegang kaku seperti penuh tenaga, tapi anehnya tidak ada hawa angin sedikit pun yang mengiringi.

Sama sekali pemuda berambut putih keperakan ini tidak tahu kalau Barong Segara telah menggabungkan 'Ilmu Tangan Pasir Besi' yang kelihatan kasar dan keras, dengan ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut' yang kelihatan lembut dan tidak bertenaga.

Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Maka buru-buru serangan itu dielakkan dengan menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kemudian dia bergegas melangkah maju ke kanan. Dengan bertumpu pada telapak kaki kanan, tubuhnya berputar. Dan tahu-tahu saja, dia telah berada di belakang lawan. Bukan hanya itu saja. Secepat Arya berada di belakang lawan, secepat itu pula melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah punggung.

Semula Barong Segara terperanjat bukan main melihat lawannya tahu-tahu menghilang dari hadapannya. Tapi begitu merasakan adanya hembusan angin dari belakang, dia tahu lawan telah mengirimkan serangan.

Serangan Dewa Arak datangnya memang begitu cepat dan tiba-tiba. Tapi Barong Segara tidak kalah cepat. Buru-buru tubuhnya dilipat ke depan sehingga serangan Dewa Arak hanya

menyambar tempat kosong, lewat setengah jengkal di atas punggungnya. Pada saat yang sama, kaki kanan Barong Segara menendang ke belakang. Persis gerakan seekor kuda yang menendang!
Arya terperanjat, sungguh tidak disangka kalau akan begini sambutan lawannya. Memang luar biasa Penghuni Istana Hantu ini. Dalam keadaan terjepit dan waktu yang sempit, dia tidak hanya mampu lolos dari ancaman maut. Bahkan juga mampu sekaligus balas meng­ancam.

Meskipun begitu Dewa Arak tidak hilang akal. Sudah tidak terhitung kejadian yang berbahaya seperti ini dialaminya. Dan berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', dia selalu berhasil menyelamatkan diri.

Sekarang pun demikian juga. Dengan kelincahan seorang yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, Arya men­jejakkan kakinya di tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya telah melayang ke belakang.

Barong Segara yang telah dilanda dendam, tidak mungkin akan memberi kesempatan pada lawannya. Secepat dia berhasil memperbaiki posisinya, secepat itu pula kembali melancarkan serangan.

Tapi Dewa Arak bukan orang sembarangan. Begitu Barong Segara berhasil memperbaiki posisinya, dia pun telah melakukan hal yang sama. Dan kini keduanya segera saling gebrak! Tak lama kemudian, kedua tokoh berbeda aliran

tapi sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sama­sama telah mencapai tingkatan amat tinggi, pertarungan antara mereka berdua jadi berlangsung cepat. Dalam waktu tak begitu lama, lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berjalan seimbang, walaupun terlihat tidak menarik.

***

Raksagala mengerutkan alis melihat pertarungan yang berlangsung di hadapannya. Jelas sekali kalau pemuda berwajah pucat ini merasa tidak tertarik dengan pertarungan di hadapannya yang berlangsung membosankan.

Diam-diam Raksagala merasa kecewa melihat sikap Dewa Arak dalam menghadapi pertarungan itu. Tampak pemuda berambut putih keperakan itu seperti gentar menghadapi Barong Segara. Tak sekali pun dia berani menangkis serangan Barong Segara. Dan ini membuat Raksagala sama sekali tidak puas. Begitu pula ketika Arya melancarkan serangan. Penghuni Istana Hantu itu tampak seperti akan menangkis, namun pemuda berambut putih keperakan itu menarik pulang serangannya.

Barong Segara menggertakkan gigi. Ada perasaan kagum di hatinya melihat tindakan Dewa Arak, meskipun amarahnya tetap

berkobar-kobar. Sungguh tidak disangka kalau lawannya begitu cerdik, sehingga tidak mau mengadu tangan dengannya. Karena sekali saja mengadu tangan, nyawa pemuda berambut putih keperakan itu pasti akan melayang. Tenaga di dalam ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut', akan menyelusup dan menghancurkan bagian dalam dadanya dan memang demikianlah keunggulan ilmu itu.

Dan karena tahu akan kedahsyatan ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut', maka Barong Segara berusaha memojokkan lawan. Dia berusaha sekuat tenaga agar lawan tidak dapat mengelak lagi, sehingga terpaksa harus mengadu tangan. Dan bila hal itu terjadi, Dewa Arak sudah pasti akan dapat dikalahkannya.

Tapi Dewa Arak ternyata gesit bukan main. Dan hal itu memang wajar saja. Pemuda berambut putih keperakan ini memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, sehingga semua usaha yang dilakukan Barong Segara sia-sia.

Tapi pada jurus kedua ratus, Dewa Arak tidak bisa mengelak lagi. Barong Segara melompat menerjang Dewa Arak dengan sebuah serangan tusukan tangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati. Dua buah serangan mematikan.

“Hih ... !”

Arya menggertakkan gigi. Tidak ada jalan baginya, kecuali menyambuti serangan. Buru­buru serangan itu dipapak dengan hentakan

kedua tangannya yang membentuk cakar. Ada uap tipis yang samar-samar keluar dari kepala Dewa Arak. Arya memang menggunakan jurus 'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.

Prattt..!

Barong Segara memekik ngeri. Tubuhnya melayang kembali ke atas, kemudian jatuh berdebuk di tanah dan diam tidak bergerak lagi. Penghuni Istana Hantu itu tewas dengan sekujur kulit tubuh menghitam hangus. Bau sangit daging yang terbakar tercium di sekitar tempat itu.

“Hhh ... !”

Dewa Arak menghela napas. Lega rasa hatinya melihat lawan tangguhnya berhasil dibinasakan. Dan yang lebih melegakan hatinya, ternyata tidak dirasakan adanya rasa sakit yang menekan dada ketika menarik napas dalam­dalam. Jelas kalau dia tidak terluka dalam. Apakah jurus 'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu 'Tenaga Dalam Inti Matahari', telah membuat ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut' mati kutu! Dewa Arak sendiri tidak tahu. Padahal, kesimpulan yang diambilnya memang benar!

Raksagala menghampiri Arya.

“Kuucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Dengan tewasnya Barong Segara, maka semua tokoh persilatan yang berada di Istana Hantu bebas untuk keluar,” ucap pemuda berwajah pucat ini gembira. 'Kau bersedia ikut aku memberi tahu mereka, Arya?”

“Sayang sekali, Raksagala. Aku tidak bisa ikut. Aku masih ada urusan lain.”

Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkah perlahan meninggalkan tempat itu. Sementara Raksagala hanya dapat memandangi saja kepergian pemuda berambut putih keperakan itu. Dia tahu, tidak ada gunanya membujuk. Orang seperti Dewa Arak sekali berkata tidak, selamanya akan tidak. Maka pemuda berwajah pucat itu bergegas menuju Istana Hantu.

Sementara itu, semakin lama tubuh Dewa Arak semakin kecil. Dan akhirnya lenyap ditelan jalan.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar