20 - Pelarian Istana Hantu
Angin malam yang dingin
berhembus menggigilkan tulang. Malam ini memang lain dengan malam sebelumnya.
Langit tampak gelap. Bulan sepotong yang tadi tampak di langit, seakanakan
sudah tidak kuasa lagi untuk menampakkan diri. Sang dewi malam kini
bersembunyi di balik awan tebal yang menghitam dan bergumpal-gumpal.
Glarrr ... !
Suara keras menggelegar
terdengar ketika halilintar menyambar, membelah angkasa. Untuk beberapa saat
lamanya, suasana di permukaan mayapada jadi terang benderang. Dan seiring
terdengarnya suara menggelegar itu, titik-titik air mulai berjatuhan ke bumi.
Mulamula turun satu-satu dan lambat. Tapi lamakelamaan semakin cepat dan
banyak. Dan sekarang, benar-benar hujan deras.
Dan ketika halilintar kembali
menyambar, suasana di mayapada yang menjadi terang benderang sekelebatan itu
menampakkan sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang tengah mengendap-endap.
Dia baru saja keluar dari dalam sebuah bangunan besar dan megah tapi terlihat
tua. Sebuah pagar tembok tua dan tinggi mengelilingi bangunan yang berhalaman
hias itu.
Glarrr ... !
Halilintar menyambar kembali,
sehingga suasana di bumi menjadi terang benderang sekejap. Maka sosok
berpakaian hitam itu terlihat kembali, namun nampak seperti ketakutan.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, baru setelah itu berlari cepat menembus
sergapan hujan lebat.
Cepat bukan main gerakan sosok
hitam itu ketika bergerak melintasi halaman yang becek karena tersiram hujan.
Air berwarna keruh memercik ke sana kemari ketika kakinya menjejak tanah yang
tergenang air. Dan masih dalam keadaan berlari, kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri. Tapi seperti sebelumnya, tidak ada sesuatu yang dilihatnya kecuali
kegelapan malam.
Kaki sosok hitam itu terus
melangkah. Tak dipedulikan lagi curah hujan yang membasahi tubuh dan
pakaiannya. Dia terus saja berlari, dan arahnya jelas menuju ke luar bangunan
menyeramkan itu.
Glarrr ... !
Untuk yang kesekian kalinya
halilintar menyambar bumi, membuat suasana di persada sesaat terang benderang
kembali.
Mendadak langkah sosok hitam
ini berhenti. Kalau saja suasana malam tidak gelap, keterkejutan hebat yang
terpancar di wajahnya dapat terlihat. Meskipun begitu, dapat diketahui kalau
sosok hitam itu dilanda keterkejutan yang amat sangat. Hal ini ditilik dari
langkahnya yang berhenti secara mendadak dan kedua kakinya yang gemetar keras.
Entah kapan dan bagaimana
caranya, pada pagar tembok tampak berdiri sambil bersandar sesosok tubuh
berpakaian merah menyala. Kedua tangannya bersedakap. Sama sekali tak
dihiraukannya hujan yang turun membasahi tubuh dan pakaiannya.
Tapi hanya sesaat sosok tubuh
itu terlihat. Begitu sinar terang halilintar lenyap, kembali hanya kegelapan
saja yang terlihat oleh sosok tubuh itu.
Belum sempat sosok hitam itu
berbuat sesuatu, mendadak suasana di tempat itu jadi agak terang. Dan kali ini
ternyata asal sinar terang itu dari sebuah benda sebesar kepalan tangan
berwarna putih berkilauan yang dibawa sosok berbaju merah. Kemudian dengan
sikap tenang, benda itu digantungkan di lehernya.
Rupanya, pada kedua sisi benda
berkilauan itu terdapat lubang kecil. Dan dari situlah tali kalung dimasukkan.
Dengan adanya benda berkilauan
di leher sosok tubuh berbaju merah yang bersandar di tembok, suasana di tempat
itu jadi cukup terang. Dengan demikian kedua sosok tubuh itu jadi terlihat agak
jelas.
“Sungguh tidak kusangka kau
berani melanggar pantangan ini, Raksagala,” kata sosok tubuh yang berpakaian
merah menyala.
Dia adalah seorang kakek
bertubuh tinggi kurus, berkaki satu. Sementara kaki yang sebelah lagi diganti
dengan sebatang besi berujung runcing.
“Maafkan aku, Paman
Jonggirupaksi,” ucap sosok hitam yang ternyata adalah seorang pemuda berusia
sekttar dua puluh tahun, berbadan lebar.
Wajah pemuda yang dipanggil
Raksagala ini sebenarnya cukup tampan. Tapi terlihat jadi menyeramkan karena
kulit wajah itu begitu pucat.
“Aku berjanji tidak akan
mengulanginya,” lanjutnya.
Suara Raksagala terdengar
bergetar, dan ada nada kegentaran di dalamnya.
“Hmh ... !” kakek berkaki satu
yang bernama Jonggirupaksi mendengus. “Tidak ada kata maaf, Raksagala! Dan kau
tahu itu!”
“Tidakkah ada pertimbangan
lain, Paman?” Raksagala mencoba menawar. Meskipun bunyi ucapannya seperti tidak
peduli, tapi nada suara nya jelas menyiratkan permohonan yang amat sangat.
“Hm...,” hanya gumaman tak
jelas yang menyambuti permintaan laki-laki berwajah pucat itu.
“Kusadari kalau tindakanku ini
salah, Paman,” sambung Raksagala buru-buru. “Tapi..., tidakkah Paman sudi
memaafkan kesalahanku dengan memandang wajah guru?”
“Cuhhh ... !” Jonggirupaksi
meludah ke tanah. “Andaikan gurumu sendiri yang bersalah, dia pun tak luput
dari tanganku, Raksagala! Kau kira aku takut pada gurumu? Lucu! Lucu sekali!”
“Jadi, Paman...,” ada
kecemasan dalam suara laki-laki berwajah pucat itu.
“Ya,” potong Jonggirupaksi
sambil menganggukkan kepala. “Seharusnya kau menerima hukuman mati, Raksagala!
Tapi, baiklah. Karena kau tidak ikut dalam perjanjian, maka aku bersedia
membatalkannya. Meskipun begitu, kau tetap tidak lepas dari hukumanku!”
“Hukuman apa yang akan Paman
timpakan padaku?” tanya Raksagala ingin tahu.
“Tidak berat,” sahut
Jonggirupaksi kalem. “Aku hanya menginginkan sebelah tanganmu.” Wajah Raksagala
berubah.
“Sebelah tanganku?” ulang
laki-laki berwajah pucat itu dengan bibir bergetar.
“Kenapa?” Jonggirupaksi malah
balik bertanya. “Hukuman itu sebenarnya terlalu ringan, Raksagala! Seharusnya,
tidak hanya sebelah tanganmu saja yang kuinginkan. Tapi juga kakimu! Kau tahu
bukan, apa hukumannya orang yang mencoba melarikan diri dari Istana Hantu?
Siksaan mengerikan sampai mati!”
Kini Raksagala sadar.
Sepertinya tidak ada gunanya lagi ribut mulut dengan kakek berkaki satu ini.
Sia-sia saja. Biar
bagaimanapun, dia akan tetap menerima hukuman. Sesaat lamanya lakilaki
berwajah pucat ini berpikir keras. Apakah hukuman yang hendak dijatuhkan akan
diterimanya saja, atau harus menentangnya? Tapi,akibatnya akan lebih
mengerikan baginya. Melawan penjaga Istana Hantu merupakan pantangan besar!
Sudah dapat dipastikan kalau dirinya akan menerima siksaan yang begitu
mengerikan apabila hal itu nekat dilakukannya!
Selagi Raksagala berpikir
keras, Jonggirupaksi sudah melangkah menghampiri. Lambat dan tenang-tenang
saja langkahnya. Tapi akibat yang ditimbulkan setiap langkahnya luar biasa!
Semakin kakek berkaki satu itu mendekat, semakin kuat perasaan tegang yang
melanda hati Raksagala! Dengan demikian perasaan bingung semakin melanda
hatinya.
Di saat hati Raksagala tengah
dilanda kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara di telinganya. Suara yang hanya
ditujukan padanya dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
“Bersiap-siaplah, Raksagala.
Begitu aku menyerangnya, cepat-cepatlah membantuku. Kita harus cepat..!”
Seketika itu juga perasaan
Raksagala tenang kembali. Suara yang terdengar seketika menimbulkan perasaan
tenang di hatinya. Dia kenal betul, siapa pemilik suara itu. Gurunya!
***
Dengan wajah dingin,
Jonggirupaksi terus melangkah menghampiri Raksagala yang kini telah bersikap
waspada. Laki-laki berwajah pucat itu kini telah bersiap-siap menyerang kakek
berkaki satu itu.
Mendadak Jonggirupaksi
menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke samping kanan dan langsung bersikap
waspada. Pada saat yang sama, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan menyambar
ke arahnya, langsung mengirimkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala dan
ubunubunnya.
Dari sini saja sudah bisa
diukur kelihaian kakek berkaki satu ini Meskipun tanpa melihat, dia bisa
mengetahui serangan yang tertuju ke arahnya. Angin yang mendahului tibanya
serangan itulah yang menjadi patokannya. Padahal, saat itu hujan masih cukup
lebat dan angin pun berhembus mengiringi. Tapi berkat tingkat kepandaiannya
yang tinggi, Jonggirupaksi dapat membedakan angin sewajarnya dan angin
serangan!
Meskipun begitu, karena serangan
yang tertuju ke arahnya tiba begitu cepat, tidak ada kesempatan lagi baginya
untuk mengelakkan serangan. Terpaksa Jonggirupaksi harus menangkisnya.
Plakkk, plakkk...!
Terdengar benturan keras
ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi
berbenturan. Akibatnya hebat sekali. Tubuh kedua orang itu sama-sama terpental
ke belakang beberapa tombak.
Jonggirupaksi
terhuyung-huyung, dan kedua tangannya terasa bergetar hebat. Jelas kalau orang
yang menyerangnya memiliki tenaga dalam tinggi. Sementara tubuh orang yang
menyerangnya terpental balik, karena tubuhnya memang tengah berada di udara.
Pada saat yang tepat,
Raksagala bertindak. Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang, dan sesaat
kemudian telah menggenggam sebilah golok. Dan secepat golok itu terhunus,
secepat itu pula tubuhnya melompat menerjang Jonggirupaksi. Golok di tangannya
cepat ditusukkan ke arah perut kakek berkaki satu.
Singgg ... !
Suara berdesing nyaring
mengiringi serangan golok itu. Dari sini saja sudah bisa diketahui kekuatan
tenaga dalam yang terkandung dalam serangan Raksagala.
Jonggirupaksi kaget bukan
kepalang. Saat itu, tubuhnya tengah terhuyung-huyung. Tambahan lagi, dia hanya
mempunyai sebelah kaki. Sementara kaki yang sebelah lagi hanya berupa sebatang
besi panjang yang berujung runcing. Setidak-tidaknya, hal ini cukup mengganggu
gerakannya.
Namun Jonggirupaksi memang
tokoh luar biasa. Dengan sekali kaki besinya menekan tanah, dia berhasil
mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dan sekali enjot
saja, tubuhnya sudah melayang ke atas melewati kepala Raksagala.
Luar biasa! Semua itu
dilakukan Jonggirupaksi dalam waktu sekejap saja. Tak pelak lagi, serangan
golok Raksagala hanya mengenai tempat kosong, lewat di bawah kaki buntung
Jonggirupaksi.
Tapi sebelum kakek berkaki
satu ini sempat mengirimkan serangan balasan pada Raksagala, sosok bayangan
telah membokongnya lebih dulu dengan beberapa kibasan tangan.
Singgg, singgg ... !
Suara berdesing nyaring
terdengar ketika benda-benda berkilatan menyambar ke arah Jonggirupaksi.
Kembali kakek berkaki satu ini
mempertunjukkan kelihaiannya. Memang, saat itu untuk mengelak sudah tidak
memungkinkan lagi. Maka seketika tangannya terulur untuk menangkap semua
serangan gelap yang menuju ke arahnya.
Tap, tap, tappp...!
Sungguh hebat! Benda berkilat
yang mengancamnya ternyata berhasil dilumpuhkan. Tiga bilah pisau terbang yang
tadi mengancamnya, dua berhasil ditangkap. Sedangkan yang sebuah lagi
ditangkap dengan mulutnya!
Bersamaan dengan Jonggirupaksi
melumpuhkan serangan gelap itu, Raksagala membabatkan goloknya ke arah perut.
Laki-laki berkaki satu itu mencoba mengelak dengan menarik tubuhnya ke
belakang. Namun gerakannya terlambat! Apalagi tubuhnya saat itu berada di udara,
jadi sangat sulit untuk menghindar.
Wuttt..! Crasss...!
Jonggirupaksi menggigit
bibirnya sendiri untuk menahan jeritan yang keluar dari
mulutnya. Perutnya kontan
terobek lebar. Darah segar seketika memancur deras dari bagian yang terluka.
Raksagala tidak menyia-nyiakan
kesempatan lagi. Begitu tubuh Jonggirupaksi terlihat meluruk turun, bergegas
diburunya dengan golok berlumuran darah yang tergenggam di tangan.
Patut dipuji kelihaian
Jonggirupaksi. Meskipun telah mengalami luka yang begitu parah, kedua kakinya
masih sanggup mendarat di tanah. Namun demikian, tetap saja tubuhnya agak
terhuyung-huyung.
Baru saja kedua kaki
Jonggirupaksi hinggap, golok Raksagala kembali meluncur deras ke arah dadanya.
Maka akibatnya sudah bisa diduga!
Blesss...!
Darah segar memancur deras
begitu golok Raksagala menghunjam dada Jonggirupaksi hingga tembus ke punggung.
Ada keluhan tertahan keluar dari mulut kakek berkaki satu itu. Sesaat tubuhnya
menegang, lalu ambruk di tanah begitu Raksagala mencabut goloknya. Jonggirupaksi
tewas setelah menggelepargelepar beberapa saat lamanya. Hujan yang kini
tinggal rintik-rintik saja, menitik di tubuh kakek berkaki satu itu sambil
membawa darah ke tanah.
Raksagala menyeka goloknya
yang berlumuran darah, lalu memasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Sesaat diperhartikannya mayat
kakek berkaki satu itu sejenak. Kemudian tangannya terulur ke arah benda
berkilauan yang tergantung di leher Jonggirupaksi. Dan kini, benda itu telah
berpindah ke tangannya.
“Cepat kita tinggalkan tempat
ini, Raksagala...!” ujar sosok yang tadi membokong Jonggirupaksi.
Dalam keremangan sinar yang
timbul dari benda itu, terlihat cukup jelas wajah dan perawakan sosok di
samping Raksagala. Dia adalah seorang kakek bertubuh sedang, berusia sekitar
enam puluh tahun. Namun sayang, matanya picak. Walaupun tidak mempunyai kumis,
tapi jenggotnya cukup panjang dan berwarna putih. Pakaiannya berwarna abu-abu.
Tanpa menunggu diperintah dua
kali, Raksagala segera menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang
ke atas melewati pagar tembok tinggi bangunan menyeramkan itu.
Sebelum tubuh Raksagala
melewati pagar tembok itu, kakek bermata picak juga menjejakkan kakinya.
Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke atas, menyusul laki-laki berwajah pucat
yang menjadi muridnya.
***2
Air memercik keras ketika
Raksagala dan kakek bermata picak mendaratkan kaki di tanah luar pagar tembok.
Tanah di luar pagar tembok itu memang telah tergenang air hujan.
Dan secepat berada di luar,
secepat itu pula mereka melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa
langkah saja, Raksagala dan kakek bermata picak telah jauh meninggalkan tempat
itu.
“Aku telah melakukan kesalahan
yang amat besar, Raksagala,” kata kakek bermata picak itu setelah cukup jauh
meninggalkan bangunan menyeramkan tadi.
Suara kakek itu terdengar
pelan, mirip desahan. Nada penyesalan yang amat sangat tersirat dalam
ucapannya. Sementara, kakinya terus saja berlari.
“Maksud, Guru?” tanya
Raksagala seraya menoleh, menatap wajah gurunya. Tak lupa, seluruh kemampuan ilmu
larinya dikerahkan untuk mengimbangi lari kakek bermata picak itu.
“Hhh ... !” kakek bermata
picak menghela napas berat “Rupanya kau masih belum mengerti, Raksagala.”
Raksagala menundukkan kepala
mendengar adanya nada keluhan dalam ucapan gurunya.
“Maafkan aku, Guru,” ucap
pemuda berwajah pucat itu pelan. “Aku telah mengecewakan hati Guru.”
“Lupakanlah, Raksagala,” hibur
kakek bermata picak seraya mengulapkan tangannya.
Raksagala terdiam. Dan kini
keheningan menyelimuti mereka. Yang terdengar kini hanyalah suara gemercikan
genangan air yang terpijak kaki mereka. Sementara hujan telah reda.
“Aku menyesal, Guru...,” pelan
suara Raksagala memecahkan kesunyian yang terjadi di antara mereka.
“Hm...,” hanya gumaman pelan
yang menyambuti ucapan pemuda berwajah pucat itu.
“Perbuatanku telah melibatkan
Guru dengan kesulitan,” sambung Raksagala lagi, masih pelan suaranya.
“Hhh ... !” guru Raksagala itu
menghela napas berat. “Kembali kau salah mengerti, Raksagala. Perlu kau
ketahui, aku sama sekali tidak merasa dilibatkan dalam kesulitan. Aku tidak
takut mati, Raksagala! Aku juga tidak takut mengalami siksaan.”
Kakek bermata picak itu
menghentikan katakatanya sejenak, seraya menatap wajah muridnya. Tapi,
Raksagala menundukkan kepala, tak berani menentang pandangan mata gurunya.
Pemuda itu tetap menundukkan kepala sambil terus mengayunkan kaki.
“Tapi perlu kau ketahui,
Raksagala. Dengan telah keluarnya aku dari pagar tembok Istana
Hantu, berarti telah layak
untuk mati! Aku telah melanggar sumpahku sendiri!”
“Guru...!”
Terdengar jerit keterkejutan
dari mulut Raksagala. Pemuda berwajah pucat itu menatap wajah gurunya dengan
wajah semakin terlihat pucat.
“Kurasa, sudah tiba saatnya
bagimu untuk mengetahui semuanya, Raksagala. Termasuk namaku,” ujar kakek berpakaian
abu-abu itu pelan. “Selagi aku masih hidup. Karena bila aku sudah tiada, kau
tak akan pernah tahu semua ini sampai kapan pun. Kumulai dari namaku.”
Raksagala diam terpaku. Memang
sudah sejak lama, banyak pertanyaan bergayut di benaknya. Termasuk teka-teki
tentang nama gurunya. Tapi, pertanyaan itu selalu dijawab gurunya dengan
gelengan kepala. Kakek bermata picak itu sama sekali tidak mau memberi tahu
sedikit pun!
“Namaku sebenarnya adalah
Sawungrana,” jelas kakek berpakaian abu-abu itu memulai. Raksagala mencatat
nama itu dalam hati. Gurunya ternyata mempunyai nama yang cukup gagah. “Aku
adalah Ketua Perguruan Belut Putih. Nah, kurasa sudah cukup aku memperkenalkan
diri. Sekarang, pertanyaan yang selama ini bergayut di benakmu akan kujawab.”
Kakek bermata picak yang
ternyata bernama Sawungrana menghentikan kata-katanya sejenak. Di samping untuk
mengambil napas, juga untuk mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan
ceritanya.
“Dulu kau sering bertanya,
mengapa semua orang yang berada di dalam Istana Hantu tidak boleh keluar?
Dan bila memaksakan diri
keluar, lalu tertangkap, mengapa harus mendapat hukuman mati? Sekarang akan
kujawab pertanyaan yang selama ini bergayut di benakmu. Namun pertanyaan
tentang bangunan tua dan jelek yang dinamai Istana Hantu, aku tidak
mengetahuinya.”
Sawungrana menghentikan
penuturannya sejenak dan mengambil napas untuk melanjutkan ceritanya. Sementara
Raksagala menunggu kelanjutan penjelasan gurunya dengan perasaan tegang. Pemuda
berwajah pucat itu sama sekali tidak berusaha menyelak cerita yang akan
diutarakan gurunya. Satu hal kini telah diketahuinya, ternyata gurunya sama
sekali tidak tahu, mengapa bangunan yang mereka tinggalkan itu bernama Istana
Hantu.
“Perlu kau ketahui, Raksagala.
Semua orang yang berada di dalam Istana Hantu itu adalah orang-orang tersisih.
Orang-orang yang telah terkalahkan. Aku seperti juga yang lainnya, datang ke
tempat itu karena mendapat undangan. Undangan licik.”
Sawungrana menghentikan
ceritanya sejenak. Sambil masih terus berlari, tangan kakek bermata picak itu
menyelinap ke balik pinggangnya. Sesaat kemudian, tangan itu kembali keluar
bersama segulung kain kumal dalam genggaman.
“Inilah undangan itu,
Raksagala,” kata Sawungrana seraya menyerahkan gulungan kain kumal itu pada Raksagala.
Bergegas pemuda berwajah pucat itu menerimanya.
“Bukalah dan baca isinya,”
perintah Sawungrana mempersilakan.
Tapi sesaat kemudian laki-laki
tua itu sadar kalau tidak mungkin hal itu bisa dilakukan muridnya. Suasana
memang agak terang karena sinar yang memancar dari benda berkilauan yang
tergantung di leher Raksagala. Juga karena bulan telah tampak kembali, dan awan
tebal dan hitam telah terusir pergi. Tapi, mana mungkin pemuda berwajah pucat
itu mampu membaca gulungan kain tanpa menghentikan larinya?
“Kita berhenti dulu di sana,”
ucap Sawungrana.
Telunjuk tangan kanan
laki-laki tua itu menuding ke arah sebatang pohon yang berdiri kokoh dalam
jarak sekitar lima tombak di hadapan mereka.
Dalam sekejapan saja guru dan
murid itu telah berada di dekat pohon yang ditunjuk Sawungrana. Bergegas mereka
duduk di akar pohon yang melintang keluar dari dalam tanah. Tak dipedulikan
sama sekali kalau akar pohon itu basah. Toh, pakaian kedua orang itu pun memang
telah basah kuyup.
Raksagala lalu membuka gulungan
kain putih yang sudah tak jelas lagi warnanya. Dan dengan bantuan sinar yang
terpancar dari benda putih berkilauan di tangannya, dibacanya huruf huruf yang
tertera di atas kain kumal itu.
Sawungrana.... Kalau kau bukan
seorang pengecut, aku akan mengundangmu untuk ikut serta dalam pertemuan
tokoh-tokoh persilatan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan, siapa di
antara kita yang berhak mendapat julukan jago nomor satu.
Penghuni Istana Hantu
Raksagala menggulung kembali kain kumal itu, lalu menyerahkan pada gurunya.
“Jadi..., Guru bukan penghuni
Istana Hantu itu?” tanya Raksagala mulai mengerti.
Memang tadi laki-laki berwajah
pucat itu telah mendengar ucapan gurunya. Dikatakan, kakek itu adalah Ketua
Perguruan Belut Putih. Tapi, tetap saja hal itu kurang dimengerti Raksagala.
Sawungrana hanya menganggukkan
kepala. Meskipun demikian, hal itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan
muridnya.
“Lalu..., mengapa Guru bisa
menjadi penghuni istana itu?” desak Raksagala hati-hati. Perasaan penasaran
itulah yang membuatnya berani mendesak gurunya.
“Kami semua terikat janji,”
pelan dan lemah sekali suara Sawungrana.
Sementara Raksagala mendengar
dengan hati berdebar tegang. Sudah dapat dipastikan kalau rahasia yang selama
ini menyelimuti Istana Hantu akan terungkap.
“Sebelum terjadi pertarungan,
kami telah dipaksa secara halus untuk bertarung. Siapa yang kalah, harus
memenuhi satu permintaan sang pemenang,” jawab Sawungrana. Ada nada penyesalan
yang amat sangat dalam suaranya.
“Dipaksa secara halus?” tanya
Raksagala masih belum mengerti.
“Ya, dengan kata-kata ampuh.
Kalau tidak menerima tantangan itu, kami dianggap pengecut,”
Sawungrana menganggukkan
kepala. “Bukan hanya itu saja. Kami pun disuruh mengaku kalah. Tentu saja semua
yang hadir merasa penasaran. Maka semuanya pun menerima tantangan itu, dan
dengan sendirinya berarti bersedia mengikuti taruhan itu.”
Raksagala mengangguk pertanda
mengerti.
“Namun ternyata mereka
memiliki kepandaian tinggi. Satu persatu tokoh persilatan aliran putih yang
diundang dikalahkan....”
“Guru juga dikalahkan?!” selak
Raksagala ingin mengetahui.
Sawungrana mengangguk
membenarkan.
“Dan sesuai perjanjian, mereka
diharuskan memenuhi permintaan Penghuni Istana Hantu.”
“Apa itu, Guru?” tanya
Raksagala tidak sabar ketika melihat Sawungrana menghentikan ucapannya.
“Kau tidak bisa menduganya,
Raksagala?” Sawungrana malah balas bertanya.
Raksagala menggelengkan
kepala.
“Yahhh ... ! Seperti yang kau
lihat pada diriku,” jawab kakek bermata picak itu akhirnya.
“Maksud, Guru?” tanya
Raksagala masih belum mengerti.
“Satu anggota tubuh kami
dibuat cacat, dan tidak boleh meninggalkan Istana Hantu.”
“Dan guru mengingkarinya?”
tanya Raksagala tidak percaya.
Seketika wajah Sawungrana
memerah mendengar pertanyaan pemuda berwajah pucat itu.
“Aku bukanlah seorang
pengecut, Raksagala!” sentak Sawungrana keras. “Tidak akan kuingkari janjiku
sendiri!”
“Maafkan aku, Guru,” ucap
Raksagala pelan.
Diam-diam pemuda berwajah
pucat ini memaki dirinya sendiri. Betapa bodoh dirinya! Mana mungkin gurunya
akan mengingkari janji.
“Belasan tahun aku menetap di
Istana Hantu, namun tak pernah sekali pun mencoba melarikan diri. Padahal
kesempatan untuk itu beberapa kali terbuka.”
“Lalu..., bagaimana caranya
aku bisa berada di dalam sana, Guru?” tanya Raksagala lagi.
“Kau kutemukan dalam
perjalananku menuju Istana Hantu untuk memenuhi undangan. Saat itu, kau mungkin
kurang lebih berusia empat tahun. Tubuhmu kurus kering karena kelaparan. Saat
itu memang banyak desa yang dilanda kelaparan. Maklum saja, raja yang
memerintah terlalu lalim.”
Raksagala tercenung. Sungguh
tidak disangka demikian menyedihkan nasibnya. Sampai-sampai tidak mengetahui
orang yang telah melahirkannya ke dunia ini!
“Sebenarnya untuk apa Penghuni
Istana Hantu itu mengurung para tokoh persilatan di Istana Hantu, Guru?” tanya
Raksagala setelah beberapa saat lamanya tercenung.
“Aku juga tidak tahu,
Raksagala,” jawab Sawungrana dengan suara berdesah. “Tapi menurut berita yang
kudengar, hal itu dilakukan sebagai pembalasan dendam.”
“Pembalasan dendam?! Jadi,
guru dan tokohtokoh persilatan aliran putih itu adalah musuhnya?!”
Sawungrana menggeleng.
“Penghuni Istana Hantu
dikurung oleh seorang pendekar sakti. Puluhan tahun mereka tinggal di situ. Dan
baru bisa keluar setelah pendekar itu meninggal dunia.”
“Mengapa bisa begitu, Guru?”
tanya Raksagala. “Mengapa harus menunggu pendekar itu meninggal?”
“Pendekar itu tinggal di
istana itu juga, Raksagala.”
Raksagala mengangguk-anggukkan
kepala.
“Jadi, karena tidak bisa lagi
membalas dendam pada pendekar itu, Penghuni Istana Hantu melampiaskan dendamnya
pada seluruh pendekar. Begitu, Guru?!”
“Kira-kira begitu,” jawab
Sawungrana perlahan.
Raksagala terdiam. Sawungrana
tidak melanjutkan ucapannya. Sehingga suasana di sekitar tempat itu jadi
hening.
“Untunglah ada dirimu,
Raksagala!” desah Sawungrana memecahkan keheningan. “Kalau tidak, mungkin aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan selama berada dalam Istana Hantu. Dengan
adanya dirimu, aku dapat menyibukkan diri membimbingmu. Dan tanpa sepengetahuan
Penghuni Istana Hantu, aku telah menciptakan ilmu-ilmu baru dan semuanya telah
kuwariskan kepadamu.”
Sawungrana menghentikan
penuturannya. Wajahnya tampak muram. Jelas ada sesuatu yang memberatkan dalam
pikirannya.
“Kini aku telah melanggar
janjiku sendiri. Aku telah keluar dari Istana. Hantu. Aku tidak patut lagi
hidup!” kata kakek berpakaian abuabu itu.
“Guru...!” sentak Raksagala
keras. Keterkejutan yang amat sangat membayang jelas di waj ahnya.
“Tapi aku puas, karena seluruh
ilmu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu. Kepandaianmu sudah lebih unggul
bila dibanding diriku dulu. Bahkan tingkat kepandaianmu hampir menyamai
tingkatku sekarang,” jelas Sawungrana tanpa mempedulikan jeritan muridnya.
“Maafkan aku, Guru,” ucap
Raksagala lirih. “Sama sekali tidak kusangka kalau perbuatanku akan
mengakibatkan hal seperti ini”
“Lupakanlah, Raksagala,” hibur
Sawungrana. “Aku tidak menyalahkan tindakanmu. Bahkan diam-diam aku bersyukur,
karena kau berani bertindak seperti ini”
“Heh ... ?!”
Raksagala terperanjat
mendengar ucapan terakhir kakek bermata picak itu. Sepasang matanya menatap
wajah gurunya penuh selidik, mencoba mencari kebenarannya.
“Sudah sejak beberapa bulan
yang lalu, aku mempunyai firasat buruk. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi
dengan perguruan yang kutinggalkan. Oleh karena sekarang kau telah bebas, dan
sama sekali tidak terikat dengan janji, maka kutugaskan pergi ke perguruanku
untuk melihat-lihat keadaan di sana.”
“Apa yang harus kulakukan bila
telah tiba di sana, Guru?”
“Membuktikan kebenaran
firasatku. Apabila benar terjadi sesuatu, kau kutugaskan untuk membenahinya.”
Setelah berkata demikian,
kakek bermata picak ini lalu memberi sebatang tongkat berwarna hitam dan
berukir dari balik bajunya. Pada bagian pangkalnya dihiasi batu-batu permata
berbentuk bulat.
“Dengan adanya tongkat ini,
maka kau mempunyai wewenang penuh untuk mengatasi kemelut yang terjadi. Namun,
itu jika memang ada.”
Raksagala segera menerima
tongkat yang diangsurkan gurunya.
“Apakah Guru tidak ikut pergi
bersamaku ke sana?” tanya Raksagala, dengan suara serak.
Sebuah pertanyaan yang bodoh
sebenarnya. Karena kalau Sawungrana ikut ke sana, untuk apa kakek bermata picak
itu memberi tongkat itu padanya?
Sawungrana menggelengkan
kepala.
“Aku telah melanggar sumpahku
sendiri, Raksagala. Dan hukumannya bagiku adalah mati!”
Perlahan saja ucapan kakek
bermata picak itu, tapi di dalamnya terkandung ketegasan yang tidak bisa
dibantah lagi.
“Guru...!”
“Cepat pergi, Raksagala!
Sebelum terlambat! Aku yakin mereka telah mengetahui kepergian kita ... !”
Namun belum juga Raksagala
bergerak, tibatiba....
“Ha ha ha...!”
Sebuah tawa keras menyeramkan
terdengar. Kakek bermata picak dan muridnya itu terkejut bukan main. Mereka
sama-sama terjingkat kaget tak ubahnya disengat kalajengking. Suara tawa itu
amat dikenal. Siapa lagi kalau bukan suara Penghuni Istana Hantu!
***3
Secepat Raksagala dan
Sawungrana bangkit berdiri, secepat itu pula di hadapan mereka berdiri sesosok
tubuh tinggi besar berpakaian merah dalam jarak sekitar empat tombak.
Tanpa memperhatikan lebih jauh
pun, Sawungrana dan Raksagala sudah bisa mengetahui sosok tubuh yang berdiri
itu. Siapa lagi kalau bukan Penghuni Istana Hantu?
“Cepat kau pergi, Raksagala!
Biar aku yang akan menghadapinya ... !” ujar Sawungrana sambil mendorong tubuh
muridnya.
“Tapi, Guru...,” Raksagala
masih mencoba membantah.
“Cepat..!” seru Sawungrana.
Suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya.
Raksagala mendengar adanya
tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan dalam nada suara gurunya. Maka
meskipun dengan hati berat, laki-laki berwajah pucat ini lalu melesat
meninggalkan tempat itu.
“Jangan harap bisa lolos dari
tanganku...!”
Terdengar suara keras
menggelegar, disusul berkelebatnya tubuh Penghuni Istana Hantu menyusul tubuh
Raksagala yang telah melesat lebih dulu. Jelas sudah maksud laki-laki bertubuh
tinggi besar ini. Menghadang kepergian Raksagala!
Tapi hal itu sudah
diperhitungkan Sawungrana. Maka begitu Penghuni Istana Hantu itu tampak
bergerak, dia segera melesat memotong alur lompatan laki-laki bertubuh tinggi
besar itu. Dan bukan hanya itu saja yang dilakukan kakek bermata picak. Kedua
tangannya bergerak cepat, melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah pelipis.
Penghuni Istana Hantu itu
menggeram. Dia murka bukan kepalang melihat tindakannya dihalangi. Tanpa
berpikir dua kali, segera ditangkisnya serangan yang tertuju ke arahnya.
Plak, plak ... !
Terdengar suara berderak keras
akibat berbentur-annya dua buah tangan yang samasama mengandung tenaga dalam
tinggi. Akibatnya memang cukup hebat Tubuh kedua orang itu sama-sama
terjengkang ke belakang, karena memang sama-sama berada di udara.
Meskipun begitu, baik
Sawungrana maupun Penghuni Istana Hantu mematahkan kekuatan yang membuat tubuh
satu sama lain terdorong. Dengan gerakan indah dan manis, mereka mendaratkan
kaki di tanah.
Sawungrana meringis karena
sekujur tangannya terasa sakit-sakit. Dadanya pun sesak bukan main. Jelas kalau
dalam benturan tadi, dia kalah tenaga. Sementara lawannya justru seperti tidak
merasakan akibat benturan itu sama sekali.
Penghuni Istana Hantu
menggeram murka melihat Raksagala berhasil meloloskan diri.
Tubuh laki-laki berwajah pucat
itu telah lenyap ditelan remangnya malam dan kerimbunan pepohonan, serta
semak-semak lebat .
Kemurkaan laki-laki tinggi
besar itu dilampiaskannya pada Sawungrana. Karena, dialah yang telah membuat
Raksagala berhasil melarikan diri.
Dalam keremangan sinar
rembulan, tampak jelas wajah dan perawakan Penghuni Istana, Hantu. Raut
wajahnya terlihat kasar. Ada dua buah luka bersilangan di wajahnya yang hanya
ditumbuhi jenggot tanpa kumis. Pada bagian dahinya, terpampang tengkorak
berbentuk kepala yang terikat di belakang kepala. Menilik dari bentuknya yang
kecil, mungkin tengkorak kepala anak monyet .
“Tidak kusangka, ternyata kau
adalah seorang pengecut, Sawungrana!” seru Penghuni Istana Hantu. Nada suaranya
menyiratkan kesinisan yang tajam.
“Kalau tidak menyaksikan
sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. Sawungrana ternyata melanggar sumpahnya
sendiri! Menjilat ludah yang telah dikeluarkannya! Ha ha ha...! Sudah bisa
kubayangkan, betapa gemparnya dunia persilatan bila mendengar berita ini!”
“Tutup mulutmu, Barong Segara
... !” bentak Sawungrana keras.
Kakek bermata picak ini marah
bukan main mendengar ucapan yang dikeluarkan laki-laki bertubuh tinggi besar
itu.
“Aku bukan orang seperti itu,
Barong Segara!” lanjutnya.
Laki-laki bertubuh tinggi
besar yang ternyata bernama Barong Segara tersenyum mengejek.
“Kau tidak bisa mungkir lagi, Sawungrana!
Kini sudah jelas, kau adalah seorang yang memiliki watak hina! Menjilat ludah
yang telah kau keluarkan sendiri!”
“Aku sama sekali tidak
bermaksud keluar dari Istana Hantu, Barong Segara,” sergah Sawungrana keras.
“Ha ha ha...! Betapa gagahnya
ucapan yang keluar dari mulutmu, Sawungrana! Mungkin kalau tidak kubuktikan
sendiri, dapat kau tipu mentah-mentah. Tapi, biarlah. Kau kuberi kesempatan
untuk lolos, Sawunyana. Kau boleh lolos dari sini, apabila berhasil mengalahkan
aku. Ha ha ha...!”
“Keparat..!”
Sawungrana tidak bisa lagi
menahan kemarahannya. Cepat laksana kilat, tubuhnya melesat menyerang. Tangan
kanannya menyampok keras ke arah pelipis. Sementara tangan kiri berada di
pinggang.
Wuttt..!
Angin keras berhembus
mengawali tibanya serangan kakek bermata picak itu. Tapi Barong Segara hanya
mendengus. Sambil tersenyum mengejek, kaki kanannya ditarik mundur ke belakang
seraya mendoyongkan tubuhnya. Sehingga, serangan itu lewat sekitar satu jengkal
di depan wajahnya. Rambut laki-laki bertubuh tinggi besar itu sampai berkibaran
keras ketika sampokan lawan lewat di depan waj ahnya.
Tapi, serangan Sawungrana
tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan tangan kanannya berhasil
dielakkan, tangan kirinya kembali menyusul. Tangan kiri yang juga berbentuk
cakar, menyampok dari bawah ke atas dagu.
Kali ini Barong Segara tidak
mengelak lagi. Segera ditangkisnya serangan itu dengan tangan kanan dari atas
ke bawah.
Plakkk ... !
Untuk yang kedua kalinya
terjadi benturan antara dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi. Suara berderak keras terdengar mengiringi terjadinya benturan itu.
Sawungrana menyeringai. Sekujur tangannya terasa sakit dan nyeri bukan
kepalang! Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya agak terhuyung ke depan.
Namun, tindakan Barong Segara
tidak hanya sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung mencuat ke arah perut
Sawungrana. Cepat bukan main gerakannya.
Sawungrana terperanjat melihat
serangan susulan yang begitu tiba-tiba. Meskipun begitu, kakek bermata picak ini
berhasil membuktikan kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Segera kakinya
dijejakkan ke tanah. Dan sesaat kemudian, tubuhnya sudah melambung ke atas,
melewati kepala Penghuni Istana Hantu.
Sawungrana memang tidak
percuma menjadi seorang ketua perguruan. Begitu tubuhnya berada di atas, kedua
tangannya melancarkan serangan cepat dan bertubi-tubi ke arah ubunubun lawan.
Namun rupanya gerakan Penghuni
Istana Hantu masih lebih cepat lagi. Tatkala terasa ada bahaya maut yang
mengancam dari atas, kedua tangannya cepat disampokkan ke atas.
Prattt..!
Kembali terjadi benturan
antara dua pasang tangan. Dengan sendirinya, Barong Segara berhasil
menyelamatkan selembar nyawanya.
Tepat saat Barong Segara
berhasil memperbaiki sikap, kedua kaki Sawungrana mendarat di tanah. Dan
secara berbarengen, keduanya saling membalikkan tubuh dan berhadapan kembali.
Hanya sesaat satu sama lain saling tatap dengan sinar maut memancar dari
sepasang mata masing-masing, dan sekejap kemudian sudah saling serang kembali.
Hanya ada dua pilihan hagi mereka. Membunuh atau dibunuh!
Hebat bukan main pertarungan
antara kedua orang sakti itu. Suara menderu dan mendecit mengiringi setiap
serangan mereka. Tanah terbongkar di sana-sini terkena pukulan nyasar. Genangan
air memercik tak tentu arah. Bahkan daun-daun ikut berguguran dari tangkainya.
Malah beberapa batang pohon juga roboh. Suara bergemuruh mengiringi tumbangnya
pepohonan itu.
Di jurus-jurus awal
pertarungan memang berlangsung imbang. Kedua belah pihak saling melancarkan
serangan. Tapi menginjak jurus kelima puluh, Barong Segara mulai tampak unggul.
Laki-laki tinggi besar ini mulai dapat mendesak Sawungrana.
Lewat lima puluh jurus,
keadaan Sawungrana kian mengkhawatirkan. Seranganserangannya tidak lagi
bertubi-tubi seperti sebelumnya, bahkan lebih sering mengelak. Menangkis pun
hanya sesekali. Karena setiap kali menangkis, tangannya terasa sakit-sakit dan
dadanya sesak.
Sebenarnya tidak aneh jika
Sawungrana terdesak, sebab memang bukan tandingan Barong Segara. Baik dalam hal
ilmu meringankan tubuh, mutu ilmu silat maupun dalam hal tenaga dalam. Maka
meskipun Sawungrana telah berusaha keras, tetap saja tidak mampu mengimbangi
lawannya.
“Hih ... !”
Sambil menggertakkan gigi,
Sawungrana melempar tubuhnya ke belakang. Barong Segara sama sekali tidak
mengejarnya. Dibiarkannya saja tindakan kakek bermata picak itu. Sudah bisa
diduga kalau Sawungrana akan menggunakan ilmu lainnya.
Karena Barong Segara sama
sekali tidak mengejarnya, maka Sawungrana tidak mengalami kesulitan untuk
bersalto beberapa kali di udara sebelum akhirnya mendaratkan kedua kaki di
tanah.
Dan begitu hinggap, di tangan
Sawungrana telah tergenggam sebilah pedang terhunus. Dan secepat pedang itu
berada di tangan, secepat itu pula Sawungrana memutar-mutarkannya di atas
kepala.
Nguuung...!
Suara nyaring seperti ada
sekelompok lebah mengamuk, mengiringi perputaran pedang itu. Dari pertunjukan
ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang menggerakkan
pedang itu.
***
Barong Segara tentu saja tidak
tinggal diam. Begitu Sawungrana menghunus senjatanya, bergegas ilmu andalannya
dikeluarkan. Cepat Penghuni Istana Hantu ini membentuk kudakuda sejajar. Kedua
tangannya dengan jari-jari terbuka saling bersilangan di depan dada. Tapi hanya
sesaat saja hal itu dilakukan, karena sebentar kemudian jari-jari kedua
tangannya perlahan-lahan dikepalkan. Terdengar suara berkerotokan nyaring,
seperti ada tulang-tulang berpatahan ketika jari-jari tangan itu mengepal.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan Barong Segara. Setelah kedua tangannya mengepal, perlahan
tapi penuh tenaga, kedua tangan itu ditarik ke pinggang. Kembali suara
berkerotokan nyaring terdengar ketika kedua tangan itu ditarik ke pinggang.
Tampak jelas, betapa kedua tangan itu menggigil keras, pertanda telah dialiri
tenaga dalam tinggi.
Diiringi desahan napas dari
mulut, Barong Segara mendorongkan kedua tangannya ke depan, perlahan-lahan tapi
penuh tenaga. Suara berkerotokan keras terus terdengar mengiringi gerakan kedua
tangan itu.
Luar biasa! Begitu desahan
napas Barong Segara lenyap, dan kedua tangan yang semula terletak di pinggang
itu terjulur ke depan, sekujur tangan Penghuni Istana Hantu telah berubah warna
menjadi hitam kelam!
Sawungrana terperanjat melihat
hal ini. Tanpa dibuktikan lagi pun sudah bisa diperkirakan kedahsyatan ilmu
Penghuni Istana Hantu. Kakek bermata picak ini tahu kalau Barong Segara tidak
tinggal diam begitu saja selama belasan tahun. Laki-laki bertubuh tinggi besar
ini sudah pasti memperdalam ilmu-ilmu yang dimilikinya, sehingga sudah
memperoleh kemajuan pesat.
Maka Sawungrana tidak
bertindak setengahsetengah lagi. Tanpa mempedulikan perasaan malu karena
bersenjata, sementara lawan hanya bertangan kosong, kakek bermata picak ini
segera melompat menerjang.
“Hiyaaa ... !”
Air-air di atas pohon dan
daun-daun berjatuhan karena getaran akibat pekikan nyaring Sawungrana.
Dan seiring teriakan itu,
pedang di tangannya diputar di atas kepala. Suara dengung keras seperti ada
ratusan ekor lebah tengah mengamuk terdengar mengiringi putaran pedang itu.
Cepat bukan main putaran
pedang Sawungrana sehingga batang pedang itu tidak nampak lagi. Yang terlihat
kini hanyalah sinar kekuningan yang membentuk putaran seperti baling-baling.
Dan mendadak saja, dari balik putaran itu mencuat serangan maut ke arah
ubun-ubun Barong Segara.
Cepat, mendadak, dan sama
sekali tidak terduga serangan itu, karena muncul dari balik putaran sinar.
Suara berdesing nyaring yang mengiringi serangan itu menandakan betapa kuatnya
tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Tapi Barong Segara sama sekali
tidak terkejut mendapat serangan mendadak seperti demikian. Kedua tangannya
yang berwarna hitam kelam itu bergerak cepat di atas kepala. Menilik dari
gelagatnya, seakan-akan Penghuni Istana Hantu ini ingin menangkis serangan
pedang dengan tangan kosong.
Sawungrana mengerutkan alisnya
melihat hal itu. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, sudah bisa diterka apa
yang akan dilakukan lawannya. Dan seketika itu pula berbagai macam perasaan berkecamuk
di hatinya. Benarkah Penghuni Istana Hantu ini akan menangkis pedangnya dengan
tangan kosong? Begitu saktikah sekarang laki-laki bertubuh tinggi besar ini?
Atau begitu sombongnya, sehingga berani menangkis dengan tangan kosong?
Dugaan Sawungrana ternyata
tidak salah! Barong Segara benar-benar menyambut tusukan pedangnya dengan
pergelangan tangan kanan.
Takkk ... !
Suara berderak keras seperti
beradunya dua batang logam keras terdengar. Akibatnya benarbenar hebat! Tubuh
Sawungrana yang tengah berada di udara seketika terpental balik ke atas.
Sementara Barong Segara sama sekali tidak bergeming!
Sawungrana terkejut bukan
main. Dan memang, ada berbagai macam perasaan yang mendera hatinya. Kekagetan
pertama ketika melihat lawan yang memapak pedangnya, ternyata tidak mendapat
luka sedikit pun. Sementara kekagetan lainnya, ketika merasakan adanya daya
tolak yang kuat luar biasa sehingga tubuhnya terpaksa seperti dilontarkan.
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tidak sulit bagi Sawungrana
untuk mematahkan daya dorong lontaran tubuhnya. Ringan dan enak saja tubuhnya
bersalto di udara beberapa kali, kemudian mendarat mantap dan tanpa suara di
tanah.
Tapi mendadak, mulut kakek
bermata picak ini meringis begitu sakit yang amat sangat terasa menekan
dadanya. Rasa sakit yang mau tak mau membuat kedua tangannya menekan perut.
Beberapa saat lamanya
Sawungrana kebingungan. Dia hanya bisa menduga, dari mana timbulnya rasa sakit
itu? Apakah tanpa diketahui tubuhnya telah terkena racun yang dilepaskan Barong
Segara secara licik? Namun dia yakin betul kalau tidak ada satu serangan pun
dari Barong Segara yang mengenainya.
Ada satu hal lagi yang membuat
kakek bermata picak ini yakin kalau dirinya tidak terkena racun. Dan itu diketahui
sewaktu menarik napas. Ada rasa sakit yang mendera dadanya ketika melakukan hal
itu.
Sawungrana tahu apa artinya.
Dia telah terluka dalam, dan bukan terkena racun. Tapi yang tidak habis
dimengerti, kapan dia terkena serangan lawan? Ataukah dalam benturan terakhir
tadi? Tapi bila karena benturan terakhir, bukan hanya dadanya saja yang terasa
sesak bukan main. Yang jelas tangannya pun akan terasa bergetar.
Setidaktidaknya, tangan yang menggenggam senjata akan lumpuh sejenak!
“He he he...!” Barong Segara
tertawa terkekeh-kekeh.
Laki-laki berpakaian merah ini
memang sejak tadi sama sekali tidak bergerak menyerang. Dia berdiam diri saja
memperhatikan semua tingkah Sawungrana.
“Kenapa, Sawungrana? Sakit
dadamu? He he he...!”
“Keparat kau, Barong Segara...!”
maki Sawungrana, keras. Wajah dan sepasang matanya merah membara. “Sungguh
tidak kusangka, kau akan bertindak sepengecut ini.
Berlaku curang untuk meraih
kemenangan!” “Tutup mulutmu, Anjing Buduk!” maki Barong Segara keras.
Lenyap seketika itu juga seri
di wajah lakilaki bertubuh tinggi besar ini. Yang tinggal hanyalah kemarahan
yang menggelegak. Penghuni Istana Hantu ini memang pantang dihina.
“Aku tidak serendah itu!
Jangan kau samakan aku dengan dirimu! Seorang pengecut, sehingga menjilat ludahnya
sendiri yang telah jatuh ke tanah!”
Wajah Sawungrana semakin
memerah. Tapi kali ini bukan amarah, melainkan karena perasaan malu. Malu
karena telah melanggar sumpahnya sendiri.
“Kalau tidak karena bermain
curang, mengapa kau mengetahui apa yang kurasakan?!” bantah Sawungrana dengan
suara mulai melunak, tapi nadanya berupa tuduhan.
“Itulah kehebatan dari
gabungan ilmu yang baru saja kuciptakan!” sahut Barong Segara, penuh
kemenangan. “Kau mau tahu nama ilmu itu?!”
Wajah Sawungrana berubah
seketika. Jadi luka dalamnya bukan karena lawan bermain curang, melainkan
karena kedahsyatan ilmu gabungan! Luar biasa! Sungguh sebuah ilmu yang amat
berbahaya!
Melihat kakek bermata picak
itu sama sekali tidak menyambuti ucapannya, Barong Segara sama sekali tidak
ambil pusing. Pertanyaan itu diajukan memang bukan untuk mendapatkan jawaban.
Maka tanpa mempedulikan Sawungrana mendengar atau tidak, Barong Segara
menyambung ucapannya.
“Kejadian yang menimpamu
adalah akibat ilmu gabungan 'Tangan Penahan Gelombang Laut' dan 'Ilmu Tangan
Pasir Besi'.”
Ada seruan tertahan yang
keluar dari mulut Sawungrana ketika mendengar penjelasan Penghuni Istana Hantu.
Ilmu yang pertama memang belum dikenalnya. Tapi ilmu kedua yang disebut tadi,
cukup diketahuinya. Dengan 'Ilmu Tangan Pasir Besi', orang jadi memiliki tangan
laksana baja! Hanya saja, latihanlatihannya pun cukup berat Di antaranya,
merendam tangan dalam pasir besi yang panas. Jadi, ternyata Barong Segara telah
berhasil menguasai ilmu itu.
“Serangan pedangmu kutahan
dengan 'Ilmu Tangan Pasir Besi', sementara ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut'
langsung menyusup dan menghantam dadamu! Itu memang keistimewaannya! Dan ajalmu
kini hanya tinggal menunggu waktu saja! Ha ha ha...!”
“Keparat..! Sebelum waktu itu
tiba, aku akan menyeretmu pergi bersamaku, Barong Segara...!”
Setelah berkata demikian,
Sawungrana melompat menerjang. Sementara Barong Segara sama sekali tidak
mempedulikannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini terus saja tertawa
terbahak-bahak. Sepertinya, dia tidak merasa cemas melihat serangan maut yang
dilancarkan kakek bermata picak itu.
Tapi baru juga setengah jalan,
mendadak tubuh Sawungrana mengejang. Pedang di tangannya terlepas dan jatuh ke
tanah. Dari mulut, hidung, dan telinganya tiba-tiba mengalir cairan merah
kental. Tubuhnya roboh di tanah. Sebentar dia menggelepar-gelepar, sejenak
kemudian diam tidak bergerak lagi.
“Ha ha ha...!”
Barong Segara tertawa bergelak
melihat tubuh lawannya yang sudah menjadi mayat. Kegembiraan yang amat sangat
tampak membayang di wajahnya.
“Hi hi hi..!”
Mendadak suara tawa melengking
nyaring terdengar menimpali. Jelas, suara itu berasal bukan dari mulut seorang
lelaki.
Tapi Barong Segara sama sekali
tidak tampak terkejut mendengarnya. Bahkan tetap saja meneruskan tawanya.
Tampak jelas kalau laki-laki bertubuh tinggi besar ini sama sekali tidak merasa
terganggu. Maka kini di malam yang sepi itu terdengar dua jenis suara tawa yang
memecahkan keheningan malam.
“Cukup, Durgasari ... !”
sentak Barong Segara seraya menghentikan tawanya.
Seketika itu juga suara tawa
terkikih itu lenyap. “Lebih baik, lekas kau kejar murid si keparat ini..!
Lenyapkan sebelum terlambat..!”
Tidak terdengar sahutan dari
pohon-pohon tinggi tempat asal suara itu. Hanya saja, setelah Barong Segara
menyelesaikan ucapannya, terdengar suara gemerisik pelan dari salah satu cabang
pohon. Hanya sebentar saja, sesaat kemudian tidak terdengar lagi.
Barong Segara mendengus,
kemudian melesat pergi ke arah Istananya. Cepat bukan main gerakannya, sehingga
yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan yang melesat cepat untuk kemudian
menghilang di kegelapan malam.
***4
Angin kering membawa debu
berhembus keras. Matahari memang sudah berada tepat di atas kepala. Sinarnya
yang panas menyorot garang, seakan-akan ingin melelehkan semua yang ada di
permukaan mayapada.
“Keparat..!”
Seorang pemuda berpakaian
abu-abu dan berjenggot pendek berteriak memaki ketika angin yang membawa debu
itu menyambar wajahnya. Akibatnya, salah satu matanya kemasukan debu. Maka,
kontan pemuda itu mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengeluarkan debu yang tidak
tahu diri sehingga matanya terasa perih.
“He he he...!”
Seorang pemuda sebaya yang
berjalan bersamanya, hanya tertawa terkekeh. Seperti juga laki-laki berjenggot
pendek itu, laki-laki yang tertawa itu berpakaian abu-abu. Bibirnya yang
sumbing membuat wajahnya nampak lucu ketika tertawa.
“Apa yang kau tertawakan,
Patila?” tanya laki-laki berjenggot pendek itu geram. Nada suaranya menyiratkan
perasaan tidak senang.
Laki-laki berbibir sumbing
yang ternyata bernama Patila tidak langsung menjawab. Dia masih sibuk menahan
rasa geli yang melanda.
Karuan saja hal ini membuat
laki-laki berjenggot pendek itu semakin memuncak amarahnya. Untung sebelum
amarahnya sempat meluap, Patila telah bisa menguasai diri.
“Kelakuanmu yang membuatku
geli, Satrana,” sahut laki-laki berbibir sumbing itu memberi tahu. “Hanya
sebutir kecil debu saja telah membuatmu kalang kabut! Aku tidak bisa
membayangkan kalau bukan debu yang menyambar ke arahmu, melainkan sebatang
pedang!”
“Ingin kutahu, siapa yang
berani melakukan hal seperti itu padaku!” tandas laki-laki berjenggot pendek
yang ternyata bernama Satrana. Nada kesombongan nampak jelas pada wajah, suara,
dan sikapnya.
Usai berkata demikian, Satrana
membusungkan dadanya. Tidak hanya itu saja. Kedua tangannya langsung
disedakapkan di depan dada. Sementara, wajahnya ditolehkan ke sana kemari
dengan sikap angkuh.
Tapi, tidak ada seorang pun
yang melihat tingkahnya kecuali Patila. Laki-laki berbibir sumbing itu menatap
sambil menyunggingkan senyum mengejek. Maka wajahnya yang sudah buruk karena
bibir cacat itu, jadi semakin terlihat mengerikan.
Suasana di sekitar tempat itu
memang sepi. Padahal, kedua laki-laki itu tengah berjalan di jalan utama Desa
Kali Asem. Sebuah desa yang terhitung cukup besar dan berpenduduk cukup padat.
Rumah penduduk memang banyak terhampar di sana-sini, tapi sebagian besar
terkunci rapat baik pintu maupun jendelanya! Jelas, ada sesuatu yang terjadi
dengan desa itu.
Rupanya Satrana belum puas
dengan sikapnya yang seperti itu. Seraya mengangkat kepala, tangan kanannya
ditepuk-tepukkan ke dada. Tampak kalau di dada kiri laki-laki berjenggot pendek
ini tertera gambar seekor belut yang bersulamkan benang perak. Gambar yang sama
pun tertera di dada kiri Patila.
Kedua laki-laki, yang ternyata
berasal dari satu perguruan ini terus melangkah. Dan gerakan kaki mereka baru
terhenti ketika telah sampai di depan sebuah rumah berdinding batu.
Tok, tok, tok ... !
Terdengar suara keras ketika
Patila menggedorkan tangannya pada daun pintu yang tertutup rapat itu.
“Wanara! Keluar kau ... !
Atau..., kubakar gubukmu ini..!”
Tanpa khawatir terdengar oleh
penghuni rumah lainnya, Satrana berteriak-teriak memanggil sambil terus
menggedor-gedor daun pintu. Menilik dari sikapnya, jelas kalau dia sudah
terbiasa bersikap begitu.
Terdengar suara langkah
tergesa-gesa dari dalam rumah itu. Sesaat kemudian, daun pintu itu pun terkuak
dari dalam. Suara berderit yang cukup tajam mengiringi terbukanya pintu.
“O, Den Satrana dan Den Patila
kiranya ... !” ucap seraut wajah tua bertubuh ringkih dan berpakaian putih.
Seulas senyum tampak
tersungging di bibir laki-laki bernama Wanara yang tampak gemetar ketika
mengucapkan nama kedua laki-laki kasar itu. Dia memang mengenal mereka yang
merupakan murid-murid Perguruan Belut Putih.
“Tidak usah banyak basa-basi,
Wanara!” sergah Satrana keras. “Aku tidak ingin beramah tamah denganmu! Kami
datang kemari atas perintah Ki Kalasura, ketua kami. Dan kau tahu bukan, apa
maksudnya? Panggil Galuh kemari! Cepat..!”
Seketika itu juga wajah
laki-laki tua berpakaian putih itu memucat, Galuh adalah putrinya yang telah
berusia hampir dua puluh tahun. Wajahnya memang cantik. Dia tahu, apa maksud
Kalasura menyuruh kedua orang ini mengambil putrinya. Kalasura memiliki
kebiasaan jelek, yakni mempermainkan wanita.
“Tapi.... Tapi, Den... Galuh
masih terlalu muda... Dan lagi....”
“Kau mau memanggilnya secara
baik-baik, atau kami akan mengambilnya secara paksa?” potong Satrana tidak
sabar. Nada ancaman tampak jelas baik dalam suara maupun raut waj ahnya.
Ki Wanara tergagap. Perasaan
gelisah yang amat sangat membayang jelas di wajahnya yang penuh keriput itu.
Tapi, Patila dan Satrana sama sekali tidak tersentuh hatinya melihat laki laki
tua berpakaian putih itu bingung karena perasaan takut. Justru sebaliknya,
mereka malah menjadi kian meluap amarahnya.
“Tua bangka keparat! Kau
rupanya sudah bosan hidup, ya? Berani-beraninya menentang kemauan kami!”
Setelah berkata demikian,
Satrana segera melayangkan tangannya ke arah pipi kakek berpakaian putih itu.
Terlihat mantap dan cukup cepat gerakannya.
Plakkk ... !
Telak dan keras sekali tangan
kekar Satrana mendarat di pipi kanan Ki Wanara. Wajah kakek berpakaian putih
itu bahkan sampai terpaling ke samping. Bukan hanya itu saja. Tubuhnya pun
sampai terhuyung. Seketika ada cairan merah kental yang menitik di sudutsudut
mulutnya.
Kemudian tanpa mempedulikan
kakek berpakaian putih itu lagi, Satrana segera melangkah masuk ke dalam rumah.
Patila yang sejak tadi hanya tersenyum-senyum memperhatikan semua tingkah laku
temannya, tanpa banyak bicara segera melangkah mengikuti. Tapi tak lupa,
laki-laki berbibir sumbing yang tidak kalah galak dari rekannya melayangkan
kakinya.
Bukkk...!
“Hugkh ... !”
Keluhan tertahan terdengar
dari mulut Ki Wanara. Tendangan Patila memang keras bukan main! Apalagi tepat
mengenai perutnya. Seketika itu pula tubuh kakek berpakaian putih ini terlipat
ke depan. Kedua tangannya mendekap perut. Sementara, sepasang matanya juga
melotot. Jelas, kakek ini mengalami kesulitan bernapas akibat tendangan Patila.
Seperti juga Satrana, Patila
sama sekali tidak mempedulikan keadaan Ki Wanara. Mereka tahu, kakek berpakaian
putih itu tidak akan tewas karena pukulan dan tendangan yang telah dikirimkan
tadi. Memang, kedua serangan itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga dalam sama
sekali. Baik Patila maupun Satrana tahu, siapa Ki Wanara itu. Dia adalah
seorang kakek ringkih yang tidak memiliki ilmu silat sedikit pun. Jadi
seandainya dikerahkan tenaga dalam sedikit saja, bukan tidak mungkin kakek itu
sudah pergi ke alam baka.
Sesaat lamanya, Ki Wanara
berdiam diri sambil memegangi perutnya yang terasa mules bukan main. Malahan
juga pernapasannya tersumbat. Dan hal ini terjadi karena perasaan khawatirnya
akan keselamatan Galuh, putrinya!
Di saat Ki Wanara berusaha
keras untuk memulihkan keadaannya, Satrana dan Patila sudah mulai melakukan
pencarian ke kamarkamar.
Brakkk...!
Suara berderak keras terdengar
mengiringi hancurnya daun pintu terdepan, begitu Satrana menendang. Dan secepat
daun pintu itu sudah lenyap dari ambangnya, Patila segera bergerak masuk.
“Galuh ... ! Lari...!”
Ki Wanara yang sudah berhasil
memulihkan diri, segera berteriak memperingatkan. Karuan
saja hal itu membuat Satrana
yang sudah berada di dalam kamar, segera berlari keluar kembali. Sementara
Patila yang sudah berada di depan pintu kamar yang satunya lagi, berhenti
sejenak di depan pintu. Tak pelak lagi, kedua orang ini sama-sama berdiri di
depan pintu seraya melayangkan pandang ke sana kemari, mencari-cari putri Ki
Wanara.
Mendadak keduanya mendengar
langkah kaki yang bergemuruh dan cepat menghantam bumi. Seketika itu juga
keduanya saling berpandangan. Dari saling adu pandang itu keduanya sepakat
kalau asal suara itu adalah dari belakang. Tanpa melihat pun sudah bisa diduga,
Galuh, wanita yang mereka cari-cari telah kabur! Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, kedua orang itu segera bergerak mengejar.
Ki Wanara tidak tinggal diam.
Kakek yang sebenarnya sudah ringkih ini mendadak lebih gesit karena perasaan
khawatir akan keselamatan putrinya. Cepat dia bergerak ke arah dinding rumah
tempat senjata andalannya tergantung. Sebuah busur dengan sekantung anak
panahnya. Ki Wanara memang sejak muda ahli memanah. Sudah tidak terhitung,
binatangbinatang yang telah ditembus anak panahnya. Dan kini kakek berpakaian
putih ini terpaksa menggunakan senjata andalan itu untuk menyelamatkan putri
tunggalnya.
Dan secepat busur itu
terpegang, secepat itu pula anak panahnya diselipkan. Tak tanggung‑tanggung,
tiga batang sekaligus dipasangnya. Twanggg ... !
Terdengar suara berdentang
keras begitu anak-anak panah terlepas dari busurnya dan meluncur cepat ke arah
Satrana dan Patila yang telah berlari ke belakang.
Satrana dan Patila terkejut
bukan main mendengar suara keras itu. Cepat mereka menoleh ke belakang, dan
kontan memucat begitu melihat tiga batang anak panah tengah meluncur cepat ke
arah mereka.
Tidak ada pilihan lagi bagi
Patila dan Satrana! Maka mereka pun segera melempar tubuh ke samping. Satrana
ke samping kanan, sedangkan Patila ke samping kiri. Lalu tubuh mereka
bergulingan sekali di lantai.
Cappp, cappp...!
Tiga batang anak panah itu
menancap di daun pintu belakang ketika kedua sasaran yang ditujunya berhasil
meloloskan diri.
Tindakan Ki Wanara tidak
berhenti sampai di situ saja. Begitu serangannya berhasil dielakkan, segera
dipasangnya kembali anak panah lain pada busurnya. Dan....
Twanggg ... ! Twanggg ... !
Secepat anak panah pertama
menyambar ke arah Satrana, secepat itu pula dipasangkan lagi anak panah lain
dan langsung dijepretkan ke arah Patila. Kedua serangan itu berlangsung dalam
sekejap saja. Dari pertunjukan ini saja, sudah bisa diperkirakan kelihaian
kakek berpakaian putih ini memainkan panah.
Kini Patila dan Satrana repot
pontangpanting menyelamatkan diri. Baru saja mereka bangkit, kembali serangan
anak panah itu meluncur tiba. Maka kedua orang murid Perguruan Belut Putih itu
cepat menggulingkan tubuhnya kembali. Dan bukan itu saja yang dilakukan mereka.
Sambil bergulingan, dilancarkannya serangan balasan. Berupa pisaupisau terbang
ke arah Ki Wanara.
Singgg, singgg ... !
Seiring berhasil dielakkannya
serangan kedua anak panah itu, serangan pisau-pisau terbang Patila dan Satrana
meluncur ke arah kakek berpakaian putih.
Ki Wanara terperanjat melihat
serangan balasan yang tak terduga-duga itu. Cepat dia berusaha mengelak.
Tapi....
Cappp, cappp...!
“Akh... !”
Ki Wanara memekik tertahan
ketika dua bilah pisau terbang yang dilepaskan murid Perguruan Belut Putih itu
berhasil mendarat di tubuhnya. Satu mendarat di pangkal lengan kanan, sedangkan
yang satu lagi menghunjam di paha kiri. Tak pelak lagi, tubuh kakek berpakaian
putih ini terguling roboh.
Patila dan Satrana sama sekali
tidak mempedulikan Ki Wanara lagi. Begitu tubuh kakek berpakaian putih itu
tampak terguling, mereka bergegas bangkit dan berlari ke belakang melakukan
pengejaran terhadap Galuh.
5
Brakkk..!
Daun pintu itu hancur
berkeping-keping ketika tangan Satrana menghajarnya. Dan begitu pintu terkuak,
tubuh kedua orang murid Perguruan Belut Putih itu segera melesat keluar.
“Itu dia ... !” seru Patila
sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke depan.
Sebenarnya tanpa diberi tahu
pun, Satrana sudah melihatnya pula. Walaupun jarak wanita berpakaian biru
langit itu telah berada sekitar dua puluh lima tombak di depan, tapi karena
medan yang ditempuh berupa sebuah lapangan luas tanpa ada penghalang, membuat
gadis itu tetap terlihat.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Satrana dan Patila segera bergerak mengejar. Sesaat kemudian,
kejar-mengejar pun tidak bisa dihindari.
Dan memang, hasil akhir
kejar-kejaran ini sudah bisa ditebak. Yang dikejar hanyalah seorang wanita,
sementara kedua orang pengejarnya adalah laki-laki kuat.
Tambahan lagi, Galuh adalah
seorang wanita lemah yang sama sekali tidak pernah berlatih ilmu silat.
Sementara kedua pengejarnya memiliki kepandaian lumayan, dan juga memiliki ilmu
meringankan tubuh. Maka tak aneh, bila dalam waktu sebentar saja jarak mereka
semakin bertambah dekat.
Galuh berlari dengan perasaan
bingung. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, untuk melihat
pengejarnya. Dan kebingungannya semakin bertambah tatkala jarak kedua
pengejarnya semakin bertambah dekat saja.
Sebenarnya kalau saja keadaan
biasa, tak mungkin gadis seperti Galuh akan sanggup berlari sejauh itu. Tapi
karena perasaan takut yang mendera, gadis itu seperti mendapat tenaga tambahan
saja. Tapi tetap saja, bantuan tenaga itu tetap tidak berarti apa-apa bila
dibanding tenaga Satrana dan Patila.
Kini jarak antara Galuh dan
kedua orang pengejarnya tidak sampai lima tombak lagi. Kalau saja kedua orang
itu bermaksud mencelakai, sudah sejak tadi gadis berpakaian biru langit ini
menggeletak di tanah. Tapi karena telah mendapat pesan keras dari sang Ketua,
sehingga mereka tidak berani bertindak lancang.
Napas Galuh sudah hampir putus
ketika melihat kerimbunan semak-semak di hadapannya.
“Ha ha ha...! Mau lari ke mana
lagi, Cah Ayu?”
Satrana yang yakin kalau
sebentar lagi akan mampu menangkap gadis berpakaian biru langit itu berseru
mengejek walaupun dengan napas agak terengah. Jarak antara mereka memang paling
jauh tinggal tiga tombak lagi.
Mendengar ucapan itu, Galuh
semakin bingung sehingga tidak melihat adanya akar pohon yang menyembul ke
tanah.
Tukkk!
“Aaaw...!”
Seiring pekikan kagetnya,
tubuh Galuh terjerembab. Suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh gadis itu
menghantam tanah. Menilik dari seringai pada mulutnya, bisa diperkirakan kalau
dia merasa sakit.
Tapi karena perasaan takut
yang amat sangat terhadap dua orang murid Perguruan Belut Putin, membuatnya
tidak mempedulikan perasaan sakit itu.
Cepat Galuh bergerak bangkit.
Tapi baru juga hendak berdiri, di hadapannya telah berdiri dua orang
pengejarnya sambil tersenyum-senyum memuakkan.
Wajah Galuh pucat seketika.
Tapi meskipun demikian dia tidak putus asa. Segera tubuhnya berbalik dan
berlari ke arah berlawanan dengan arah yang ditempuhnya semula.
“Ha ha ha...! Betina liar itu
ternyata bandel juga, Satrana...!” seru Patila pada Satrana.
Sementara laki-laki berjenggot
pendek itu hanya mengeluarkan suara tawa bergelak saja sambil menggerakkan
kaki. Dan sesaat kemudian, dia telah berada di depan Galuh.
Galuh semakin ketakutan begitu
di hadapannya telah berdiri Satrana. Dengan rasa takut yang membayang jelas di
wajahnya, tubuhnya berbalik dan berlari ke arah semula.
Tapi langkahnya langsung
terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh Patila.
Kini Galuh tidak bisa ke
mana-mana lagi. Di hadapannya sudah berdiri Patila. Sementara di belakangnya
menghadang Satrana. Yang dapat dilakukannya kini hanya menggerakkan sepasang
matanya ke kanan dan ke kiri mencari jalan untuk melarikan diri.
Satrana dan Patila tertawa
terkekeh-kekeh seraya melangkah menghampiri. Sudah dapat dipastikan kalau gadis
berpakaian biru langit itu akhrirnya akan tertangkap oleh kedua orang murid
Perguruan Belut Putih itu. Tapi....
“Baru kali ini kutemui ada dua
orang lelaki perkasa tanpa tahu malu mengeroyok seorang wanita lemah ... !”
Pelan saja terdengar suara
itu, tapi karena suasana yang cukup hening, sehingga terdengar jelas. Tentu
saja ucapan yang sudah jelas-jelas sindiran itu membuat Satrana dan Patila
mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Seketika wajah mereka merah padam
menahan geram. Keduanya tahu kalau ucapan itu ditujukan kepada mereka.
Di sebelah kanan Galuh dalam
jarak sekitar empat tombak, nampak berdiri seorang pemuda berwajah tampan.
Pakaian yang berwarna hitam nampak membungkus tubuhnya yang tegap, kekar, dan
berotot. Hanya sayangnya, wajah yang terlihat tampan itu mempunyai kulit yang
begitu pucat. Sepertinya, pemuda itu sudah
lama tidak terkena sinar
matahari.
“Keparat..!” maki Satrana
keras seraya menatap laki-laki berwajah pucat itu dengan pandangan mata
beringas. Jelas kalau laki-laki berjenggot pendek ini merasa tersinggung bukan
main mendengar sindiran itu. “Siapa kau, Kambing Sakit! Berani betul menghina
kami! Tidak tahukah kau, siapa kami?!”
Laki-laki berwajah pucat itu
tersenyum getir. Sama sekali wajahnya yang pucat itu tidak menampakkan
perubahan, sekalipun mendapat sambutan yang begitu kasar.
“Aku Raksagala. Dan sama
sekali tidak bermaksud menghina kalian! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.
Dari tanda yang tertera di dada kiri kalian, sudah bisa kuperkirakan kalau
kalian murid-murid Perguruan Belut Putih,” sahut laki-laki berwajah pucat yang
ternyata Raksagala. Pemuda itu adalah pelarian dari Istana Hantu. Pucatnya
wajah pemuda ini memang karena jarang terkena sinar matahari.
Tidak tampak adanya benda bersinar
di lehernya. Memang, pemuda itu telah menaruhnya dalam buntalan kain dan
menyimpannya di punggung.
“Kalau sudah tahu siapa kami,
lantas mengapa tidak lekas menyingkir pergi?!” sahut Patila cepat memberi
kesempatan.
Hal ini bukan karena Patila bersikap
murah hati. Tapi karena laki-laki berbibir sumbing ini melihat adanya sesuatu
yang mengerikan pada laki-laki berwajah pucat itu. Entah karena wajahnya,
penampilannya, atau karena sorot matanya. Yang jelas, Patila tidak tahu dan
merasa ngeri.
Perasaan itu tidak hanya
dialami Patila saja, tapi juga oleh Satrana dan Galuh! Itulah sebabnya, Satrana
yang biasanya beringas dan tidak kenal ampun, tadi hanya mengeluarkan kata-kata
kasar! Biasanya bila perbuatannya sedikit dirintangi orang, laki-laki berjenggot
pendek ini langsung main pukul.
“Justru karena tahu kalau
kalian adalah murid Perguruan Belut Putih, maka aku jadi lebih berkewajiban
untuk campur tangan!” tandas Raksagala.
“Apa maksudmu?” tanya Satrana
seraya mengerutkan kening. Ucapan laki-laki berwajah pucat itu membuatnya
penasaran juga.
“Aku telah mendapat wewenang
penuh untuk menindak tegas setiap murid Perguruan Belut Putih yang
menyeleweng!” tegas Raksagala.
“Ha ha ha...!”
Seperti sepakat saja, Satrana
dan Patila tertawa berbareng karena tak kuasa menahan rasa geli yang nelanda
begitu mendengar penegasan Raksagala. Tidak salahkah pendengaran mereka?
Laki-laki berwajah pucat itu mengatakan telah mendapat wewenang penuh? Dari
siapa? Sedangkan mereka berdua melakukan setiap tindakan ini atas perintah
ketua mereka yang bernama Kalasura. Dialah pimpinan tertinggi Perguruan Belut
Putih. Lalu sekarang, Raksagala mendapat wewenang penuh dari siapa?
Kini rasa jerih mereka pun
sirna. Raksagala ternyata bukan orang waras. Begitu kesimpulan mereka. Laki-laki
berwajah pucat itu adalah seorang yang tidak patut ditakuti.
“Kalau begitu, mampuslah
kau...!”
Sambil berkata demikian,
Satrana melancarkan serangan ke arah Raksagala. Laki-laki berjenggot pendek
ini memang berwatak telengas. Maka tidak aneh, sekali melancarkan serangan
seluruh tenaga dalamnya langsung dikerahkan. Bukan itu saja. Serangan yang
dituju pun begitu mematikan.
Satrana membuka serangan
dengan sebuah pukulan tangan kanan ke arah leher. Dari angin yang berkesiut
cukup nyaring. bisa diduga kalau laki-laki berjenggot pendek ini memiliki
tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserang
Satrana kali ini bukan orang sembarangan. Dia adalah Raksagala, murid terkasih
Sawungrana, dedengkot Perguruan Belut Putih waktu itu. Maka, tentu saja serangan
seperti itu sama sekali tidak berarti apa-apa buat laki-laki berwajah pucat
ini. Sekali lihat saja, Raksagala sudah bisa mengetahui kalau jurus yang
dipakai Satrana bukan jurus khas ilmu Perguruan Belut Putih. Jadi, bisa
diperkirakan kalau laki-laki berjenggot pendek ini bukan murid pilihan. Dia
kenal betul gerakan itu. Juga, ke mana lanjutan serangannya, dan bagaimana cara
singkat mematahkannya.
“Hm...,”
Raksagala menggumam pelan Enak
saja kaki kanannya melangkah ke belakang. Tidak hanya itu saja. Bersamaan
kakinya ditarik mundur, tangan kanannya bergerak menangkap. Dan....
Tappp ... !
Satrana terpekik kaget begitu
dalam segebrakan saja tangannya sudah tertangkap lawan. Bahkan bukan hanya dia
saja yang terkejut, rekannya pun terkejut bukan main melihat hal ini.
Sedemikian saktikah laki-laki berwajah pucat itu? Bermacam-macam dugaan mulai
tumbuh di hatinya, sampai-sampai Galuh yang bergerak menjauh tidak
dipedulikannya.
***
Semula Satrana terperanjat
mengalami kejadian yang sama sekali tidak disangkasangka itu. Tapi hal itu
hanya berlangsung sesaat saja. Karena dia kini sudah melancarkan serangan
susulan. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah dada Raksagala. Wuttt..!
Berbeda dengan sebelumnya,
kali ini Raksagala sama sekali tidak menghindar. Sambil terus memengangi
pergelangan tangan Satrana, Raksagala membiarkan dadanya dijadikan sasaran
tendangan Maka, akibat selanjutnya sudah bisa diduga.
Bukkk!
“Akh... !”
Telak dan keras sekali
tendangan yang dikirimkan Satrana menghantam sasarannya. Tapi sungguh aneh.
Masalahnya justru Satranalah yang berteriak kesakitan. Mulutnya menyeringai
memperlihatkan kalau dirinya dilanda rasa sakit yang luar biasa.
Dan memang demikianlah
kejadian yang sebenarnya. Laki-laki berjenggot pendek ini merasakan ujung
kakinya bukan mengenai dada manusia, melainkan sebongkah besi baja yang amat
keras. Akibatnya kaki yang membentur itu tulangnya seperti remuk.
Raksagala yang ingin memberi
pelajaran agar kedua orang itu kapok, tidak bertindak setengah-setengah.
Jemarinya yang masih memegangi pergelangan tangan lawan perlahan bergerak
meremas. Maka seketika itu juga Satrana melolong-lolong kesakitan, karena
sekujur tulang pergelangan tangannya seperti hancur lebur. Keringat
sebesar-besar biji jagung pun bertonjolan di wajahnya.
Patila tentu saja tidak akan
tinggal diam melihat rekannya tidak berdaya di tangan Raksagala. Cepat laksana
kilat laki-laki berbibir sumbing itu melompat menerjang. Menyadari kalau
Raksagala adalah seorang lawan tangguh, maka tanpa ragu-ragu lagi pedangnya langsung
dicabut.
Singgg...!
Suara mendesing nyaring
terdengar ketika Patila mengayunkan pedangnya, membacok ke arah leher.
Tapi seperti juga ketika
menghadapi serangan Satrana, kali ini Raksagala melakukan hal yang sama. Dia
sama sekali tidak bertindak apa-apa. Dibiarkannya saja serangan yang mengancam
ke arah leher itu.
Takkk!
Suara keras seperti terjadi
benturan antara dua logam keras terdengar, ketika mata pedang laki-laki
berbibir sumbing itu telak dan keras sekali menghantam sasaran. Akibatnya, sama
seperti yang dialami Satrana. Pedang itu justru terpental balik ketika mengenai
leher Raksagala. Sepertinya yang dihantamnya bukan leher manusia, melainkan
gumpalan karet keras.
Bukan hanya itu saja yang
dialami laki-laki berbibir sumbing. Sekujur tangannya bergetar hebat, sementara
jemari tangan yang menggenggam pedang terasa seperti lumpuh. Bahkan hampir
saja pedang itu terlepas dari genggaman.
Karuan saja hal ini membuat
Patila terkejut bukan kepalang. Dan sebelum perasaan terkejutnya hilang,
tangan Raksagala telah bergerak cepat menepak ke arah dada. Rekan Satrana ini
berusaha sedapat-dapatnya mengelak, tapi....
Plakkk ... !
Pelan saja kelihatannya tangan
Raksagala menepak sasaran, tapi akibat yang diterima Patila tidak sesederhana
itu. Tubuhnya langsung terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau liar.
Ada suara keluhan tertahan tersangkut di tenggorokannya.
Berbareng terjengkangnya tubuh
Patila, Raksagala mengayunkan kakinya ke arah perut Satrana. Menilik
gerakannya, tidak pantas bila disebut sebuah tendangan. Karena, sama sekali
tidak terlihat kekerasannya. Berbareng dengan ayunan kaki, laki-laki berwajah
pucat ini segera melepas cekalannya.
Tapi kenyataan yang terjadi
betul-betul mengejutkan. Tubuh Satrana terpental ke belakang dan jatuh
bergulingan di tanah ketika kaki murid Sawungrana itu tepat pada sasarannya.
Anehnya, kedua orang itu jatuh di tempat yang berdekatan.
Dengan sikap tenang yang
mengagumkan, Raksagala menghampiri dua orang murid Perguruan Belut Putih yang
tengah merangkak bangun.
“Kali ini kalian kuampuni!”
kata Raksagala penuh wibawa. “Anggap saja ini sebagai pelajaran! Tapi, ingat!
Bila kujumpai kalian berbuat seperti ini lagi, jangan harap akan kuampuni!”
Satrana dan Patila sama sekali
tidak menyahuti ucapan laki-laki berwajah pucat itu. Hanya saja, sepasang mata
mereka menyorot penuh dendam ke arah wajah Raksagala.
“Cepat kalian menyingkir,
sebelum pendirianku berubah ... !” ujar Raksagala lagi. Tapi kali ini dengan
nada lebih keras dari sebelumnya.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Satrana dan Patila segera bangkit berdiri, lalu berlari meninggalkan
tempat itu. Gerakan mereka terlihat menggelikan. Maklum, rasa sakit yang
mendera belum sepenuhnya lenyap. Seketika, kedua orang itu lari dengan langkah
tertatihtatih.
Raksagala mengikuti kepergian
kedua orang itu dengan pandangan matanya. Baru setelah tubuh kedua orang itu
lenyap ditelan jalan, perhatiannya beralih pada Galuh. Tanpa sadar gadis
berpakaian biru itu melangkah mundur. Meskipun tahu kalau laki-laki berwajah
pucat itu telah menolongnya, tapi dia masih takut. Tidak heran, sebab
pengalaman yang diterimanya kali ini benar-benar membuatnya terpukul.
“Tenanglah, Nisanak.
Percayalah..., aku bukan orang jahat,” ujar Raksagala seraya tersenyum lebar.
Laki-laki berwajah pucat ini
bisa memaklumi ketakutan yang melanda hati gadis berpakaian biru langit itu.
Jadi, dia tidak merasa tersinggung karenanya.
Dan untuk tidak membuat Galuh
lebih takut lagi, Raksagala tidak langsung bergerak menghampiri. Pemuda itu
tetap berdiri diam di tempat semula. Sementara, sepasang matanya menatap tajam
wajah gadis berpakaian biru langit itu.
Diam-diam sebuah perasaan
kagum menyelinap di dalam hati laki-laki berwajah pucat itu. Wajah Galuh
ternyata begitu cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bibirnya berbentuk
indah, dan berwarna merah segar. Dadanya padat dan membusung, di balik
pakaiannya yang berwarna biru langit.
“Namaku Raksagala. Aku datang
dari tempat yang amat jauh,” kata laki-laki berwajah pucat itu memperkenalkan
diri. Dia tidak lagi peduli pada sikap diam yang ditunjukkan Galuh.
“Kalau boleh kutahu, apa nama
desa ini, Nisanak?”
“Kali Asem...,” sahut Galuh
setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Sikap Raksagala yang sopan dan
tatapan matanya yang tidak liar, membuat keberanian gadis itu mulai timbul.
Walaupun diakui, masih ada sedikit perasaan takut di hatinya melihat wajah
Raksagala yang begitu pucat. Sepertinya, sama sekali tidak berdarah. Bahkan
bukan hanya kulit wajahnya saja, tapi juga kulit tubuhnya.
“Kali Asem...,” gumam
Raksagala seraya mengerutkan keningnya. “Kalau begitu aku tidak salah alamat.
Boleh bertanya sekali lagi, Nisanak?”
Galuh menganggukkan kepala.
“Benarkah di desa ini tempat
Perguruan Belut Putih?” tanya Raksagala lagi.
Memang sebelum meninggalkan
gurunya, kakek bermata picak itu telah memberitahukan letak Perguruan Belut
Putih.
Seketika itu juga wajah Galuh
yang semula sudah mulai tenang, memucat kembali. Tampak jelas kalau pertanyaan
yang diajukan Raksagala membuatnya takut. Dan ini tentu saja terlihat oleh
Raksagala. Perasaan heran pun berkecamuk dalam hatinya. Apa-lagi, ketika gadis
berpakaian biru langit itu malah melangkah mundur ketakutan.
“Tenanglah, Nisanak. Sudah
kukatakan tadi, aku bukan orang jahat. Sebaliknya, malah aku membenci orang
jahat seperti kedua orang yang telah mengganggumu tadi. O, ya. Siapa namamu?”
“Galuh...,” sahut gadis
berpakaian biru langit itu.
“Galuh? Sebuah nama yang
bagus,” puji Raksagala.
“Mengapa kau bisa berada di
sini bersama mereka?” tanya Raksagala lagi.
Dapat dibayangkan, betapa
kagetnya hati Raksagala tatkala melihat tanggapan Galuh atas pertanyaan yang
diajukannya. Gadis berpakaian biru langit itu malah berubah pucat wajahnya.
Bukan hanya itu saja. Mendadak saja, dia berlari meninggalkannya.
“Ayah....”
Sempat terdengar oleh telinga
Raksagala yang tajam, gumam kegelisahan yang keluar dari mulut Galuh.
Melihat hal yang sama sekali
tidak disangka ini, Raksagala menjadi kebingungan sejenak. Sepasang matanya
menatap penuh ketidakmengertian pada sosok tubuh yang kian menjauh. Sama
sekali tidak diketahuinya kalau pertanyaannya mengingatkan gadis itu akan nasib
ayahnya.
Semula, Raksagala membiarkan
Galuh terus berlari meninggalkannya. Tapi begitu teringat kalau ada kemungkinan
kedua orang murid Perguruan Belut Putih tadi akan mencegat perjalanan Galuh,
akhirnya diputuskan untuk mengikutinya.
Raksagala kini mengikuti dari
jarak yang agak jauh. Sengaja tidak berusaha membarengi, karena tidak ingin
Galuh semakin ketakutan. Raksagala tahu, gadis berpakaian biru langit itu pasti
masih merasa takut padanya.
***
Galuh terus berlari
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Perasaan khawatir yang amat sangat
akan keselamatan ayahnya, membuat gadis berpakaian biru langit ini seperti
tidak pemah merasa lelah. Padahal, napasnya sudah terengah-engah.
Tak lama kemudian, rumahnya
pun sudah terlihat jelas. Dan betapa gembira hati Galuh tatkala melihat sosok
tubuh yang amat dikenalnya tengah melangkah tertatih-tatih keluar dari pintu
yang sudah tidak berdaun lagi. Dia memang menuju rumahnya.
“Ayah ... !”
Galuh tidak kuasa lagi menahan
perasaannya. Gadis itu cepat berlari seraya mengembangkan kedua lengannya. Lega
hatinya ketika melihat ayahnya ternyata selamat.
“Galuh...!”
Ki Wanara berseru tak kalah
keras. Aneh! Mendadak saja kakek berpakaian putih ini mampu berlari menyongsong
kedatangan putrinya. Dalam cekaman perasaan gembira, kakek ini sampai melupakan
rasa sakitnya.
Tubuh ayah dan anak itu
berpelukan erat di tengah-tengah jalan. Sementara Raksagala yang mengikuti
sejak tadi dari kejauhan, segera melangkahkan kakinya berjalan biasa.
“Kau tidak apa-apa, Galuh?”
tanya Ki Wanara seraya melepaskan pelukan pada putrinya. Ditatapnya sekujur
tubuh gadis berpakaian biru langit itu lekat-lekat untuk melihat sendiri keadaannya.
“Tidak, Ayah,” Galuh
menggelengkan kepala. “Ada orang yang telah menolongku.”
“Ah ... ! Syukurlah kalau
begitu!” sahut Ki Wanara gembira. “Mana orangnya ... ? Perkenalkanlah pada
Ayah. Ayah ingin mengucapkan terima kasih padanya.”
Ucapan ayahnya seketika
membuat Galuh menyadari, betapa tidak pantas sikapnya tadi terhadap
penolongnya. Ucapan terima kasih sebagai basa-basi saja tidak dilontarkan.
“Diakah orangnya ... ?” tanya
Ki Wanara lagi.
Kakek berpakaian putih ini
memang mengedarkan pandangannya begitu tidak mendengar jawaban dari mulut
putrinya.
Galuh menoleh ke arah yang
ditunjukkan ayahnya. Dan seketika itu pula jantungnya berdetak kencang. Dugaan
ayahnya ternyata
tepat. Orang yang tengah
berjalan pelan menuju ke tempatnya adalah Raksagala, yang telah menolongnya.
Perlahan-lahan kepala Galuh
terangguk. “Mari kita hampiri dia....”
Setelah berkata demikian, Ki
Wanara segera meraih tangan Galuh. Dan dengan setengah memaksa, ditariknya
tubuh anaknya mendekati Raksagala. Sementara, Raksagala yang tentu saja melihat
hal itu, bergegas menghampiri.
“Kaukah orang yang telah
menyelamatkan putriku, Anak Muda?” tanya Ki Wanara setelah dekat, di depan
Raksagala.
“Ah ... ! Hanya kebetulan aku
lewat saja, Ki. Lagi pula, sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk saling
tolong-menolong.”
“Terima kasih atas
pertolonganmu, Anak Muda,” ucap kakek berpakaian putih itu. “Tapi saranku,
cepatlah kau pergi dari sini.”
“Hehhh ... ?! Kenapa begitu,
Ki?” tanya, Raksagala heran mendengar saran yang dianggapnya aneh itu.
“Ah ... ! Kau rupanya belum
pemah mendengar tentang Perguruan Belut Putih, Anak Muda.” Nada suara kakek
berpakaian putih itu bernada keluhan.
“Memangnya, ada apa dengan
perguruan itu, Ki?” tanya Raksagala ingin tahu. “Aku memang tengah mencari-cari
perguruan itu.”
“Kau?! Mencari-carinya? Untuk
apa?!” tanya W Wanara agak keras dengan sikap mulai sedikit curiga.
Raksagala tahu kakek
berpakaian putih ini mulai merasa curiga padanya. Dia yakin kalau tidak
memberitahukan masalahnya, kecurigaan kakek ini akan semakin bertambah. Maka
diputuskan untuk menceritakan sejujurnya. Lagi pula, sekali lihat saja bisa
diketahuinya kalau kakek ini bukan orang berbahaya. Jadi, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan lagi.
“Aku mendapat wewenang penuh
dari guruku untuk mengatur dan mengarahkan Perguruan Belut Putih ke jalan yang
benar. Karena, selama beberapa bulan belakangan ini dia selalu mendapat firasat
buruk mengenai perguruannya,” jelas Raksagala sejujurnya.
Ki Wanara mengerutkan alisnya.
Sementara sepasang matanya menatap aneh ke arah wajah Raksagala.
“Maafkan aku, Anak Muda.
Bukannya aku tidak mempercayai ucapanmu. Tapi seingatku, tidak ada murid
Perguruan Belut Putih yang mempunyai wajah sepertimu. Aku kenal betul
wajah-wajah mereka.”
“Aku memang tidak menjadi
murid Perguruan Belut Putih secara langsung, Ki,” tambah Raksagala cepat
memperbaiki ucapan sebelumnya.
“Heh?!” dahi Ki Wanara
berkerinyit
Laki-laki tua itu merasa
bingung bukan main mendengar ucapan yang saling bertolak belakang itu.
“Aku yang sudah menjadi tuli,
atau kau yang memang mengada-ada, Anak Muda? Kalau aku tidak salah dengar, kau
mengaku sebagai murid Ketua Perguruan Belut Putih. Tapi, kini kau malah
menyangkal. Tidakkah itu membingungkan? Tolong jelaskan, Anak Muda.”
Raksagala menarik napas
panjang-panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, tapi malah tercenung beberapa saat lamanya.
“Kalau dipikir-pikir, memang
sepertinya membingungkan, Ki,” kata Raksagala hati-hati. “Tapi, itulah
kenyataannya. Aku memang menjadi murid Ketua Perguruan Belut Putih, namun bukan
murid perguruan itu.”
Semakin dalam kernyit yang
timbul di dahi Ki Wanara. Rupanya sulit baginya untuk mencerna ucapan
Raksagala.
“Jadi..., kau ini murid
gelap?” duga kakek berpakaian putih ini sekenanya.
***
Raksagala terdiam, tidak
langsung menjawab. Mendadak dia teringat benda pemberian gurunya. Maka,
buru-buru dikeluarkannya.
“Aku tidak tahu, bagaimana
menjelaskannya, Ki. Tapi, guruku memberikan tongkat ini. Katanya, dengan
tongkat ini di tanganku aku mempunyai wewenang penuh untuk membenahi semua
kericuhan di Perguruan Belut Putih, jika memang-ada kerusuhan di sana.”
“Ya, Tuhan..!”
Terdengar seruan kaget dari
mulut Ki Wanara. Sepasang mata kakek berpakaian putih itu menatap tanpa
berkedip pada tongkat pendek bergagang permata berkilauan itu. Raut wajah,
maupun sorot matanya menyiratkan keterkejutan yang amat sangat.
“Jadi.., jadi kau murid... Ki
Sawungrana ... ?”
Sepasang bibir yang semula
hanya berkemikkemik akhirnya mampu melontarkan ucapan.
“Kau.... Kau mengenal guruku,
Ki?” kini ganti Raksagala yang merasa terkejut .
“Mengenalnya?” Ki Wanara
tersenyum pahit “Tidak saja mengenalnya. Aku adalah pelayan kepercayaannya, dan
merupakan orang yang paling dekat dengannya. Setiap ada masalah, akulah
orangnya yang paling dulu diberitahunya. Namaku Wanara. Apakah dia tidak
pernah bercerita tentang diriku?”
Raksagala menggeleng.
“Guru amat tertutup. Dia tidak
pernah bercerita apa-apa padaku,” sahut Raksagala setengah mengeluh.
“Sungguh tidak kusangka.
Padahal, dulu dia selalu terbuka pada orang yang dipercayanya,” desah Ki Wanara
penuh rasa tidak percaya. Sementara Galuh yang sama sekali tidak tahu apa apa,
hanya diam saja mendengarkan.
“Bisa kau ceritakan di mana
dia kini berada? Sudah lama sekali dia menghilang tanpa berita sepotong pun.
Semula kuduga ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Itulah sebabnya aku pergi
meninggalkan Perguruan Belut Putih dengan membawa Galuh yang baru berumur
beberapa bulan. Syukurlah..., kalau dia masih hidup....”
Raksagala menghela napas
berat. Wajahnyapun berubah murung. Pertanyaan mengenai gurunya itulah yang
menyebabkannya demikian. Bagaimana keadaan gurunya kini? Bisakah pertarungan
menghadapi Barong Segara yang lihai itu dimenangkannya? Berbagai macam pikiran
berkecamuk di benak pemuda itu.
Ki Wanara menunggu penuh
kesabaran. Menilik dari sikap Raksagala yang mendadak berubah murung begitu
ditanya tentang gurunya, dia yakin pasti ada berita buruk yang akan
didengarnya. Dan kini hati kakek berpakaian putih ini berdebar tegang.
Karena tahu kalau kakek ini
adalah orang kepercayaan gurunya, tanpa ragu-ragu lagi Raksagala pun
menceritakan semua yang diketahuinya.
“Entah bagaimana sekarang
nasib beliau, aku tidak tahu...,” desah Raksagala mengakhiri ceritanya. “Aku
murid durhaka yang hanya mementingkan diri sendiri”
“Hentikan semua ucapan itu,
Raksagala!” bentak Ki Wanara keras. “Aku pun akan berbuat hal yang serupa
dengan Sawungrana jika mengalami hal itu. Dan semua orang yang berpikiran
waras, dan tidak mementingkan diri sendiri pun pasti akan berbuat seperti yang
dilakukan gurumu itu. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kau tahu
dengan selamatnya dirimu, aku yakin dia akan tenang di alam kuburnya!”
Raksagala terdiam.
“Sejak menghilangnya Ki
Sawungrana, Perguruan Belut Putih mulai guncang. Masing‑
masing murid kepala, berebut
ingin menjadi ketua. Perpecahan pun timbul, sehingga Ketua Perguruan Belut
Putih berganti-ganti. Kini yang menjadi ketua adalah Kalasura, seorang yang
memiliki watak tidak baik.”
Ki Wanara menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas dan mencari kata-kata baru.
“Di bawah pimpinannya,
Perguruan Belut Putih dibawa ke jurang kehinaan. Segala macam kejahatan
dihalalkan. Tidak hanya di desa ini saja. Tapi juga ke semua desa sekitarnya.
Kini Perguruan Belut Putih jadi ditakuti semua orang.”
“Apakah semua murid Perguruan
Belut Putih telah menjadi jahat, Ki?” tanya Raksagala ingin tahu.
“Entahlah...,” Ki Wanara
menggelengkan kepalanya. “Tidak ada salahnya jika kau menyelidikinya,
Raksagala.”
Raksagala menganggukkan kepala
membenarkan. Tapi sesaat kemudian dahinya berkernyit ketika teringat sesuatu
yang membuatnya agak heran.
“Ada suatu hal yang membuatku
heran, Ki?” tanpa ragu-ragu pemuda berwajah pucat ini mengutarakan ganjalan
hatinya.
“Katakanlah, Raksagala.”
“Apakah Ki Sawungrana tidak
mengajarkanmu ilmu silat?!” tanya Raksagala langsung.
Memang, begitu tahu kalau
kakek berpakaian putih ini adalah orang kepercayaan gurunya, Raksagala jadi heran
kakek itu dapat dipecundangi oleh murid-murid rendahan Perguruan Belut Putih.
“Aku yang tidak mau,
Raksagala. Kau tahu, aku benci kekerasan....”
“Ayah ... ! Lihat..!”
Karuan saja teriakan keras
Galuh membuat Ki Wanara dan Raksagala terkejut. Cepat mereka mengalihkan
pandangan ke arah yang ditunjuk gadis itu. Dan memang, tampak segerombolan
orang yang berpakaian abu-abu bergerak ke arah mereka.
“Murid-murid Perguruan Belut
Putih...,” desah Ki Wanara dan Raksagala berbarengan.
Raksagala sadar, Ki Wanara dan
Galuh bukan lawan mereka. Maka, dia segera melangkah maju, dan berdiri di depan
dengan sikap melindungi mereka. Menilik dari gerakgeriknya, Raksagala tahu
kalau kedatangan orang-orang itu tidak bermaksud baik. Maka, dia bersikap
waspada.
Semakin lama jarak antara
mereka semakin tampak dekat, Raksagala menghitung dengan pandangan matanya.
Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh orang! Di antara mereka, tampak
Satrana dan Patila.
Tak lama kemudian, rombongan
Perguruan Belut Putih itu pun sudah berada dalam jarak tiga tombak di hadapan
Raksagala.
“Inikah orang yang kalian
maksudkan itu?” tanya seorang laki-laki bertubuh kurus kering seperti cecak.
sambil menudingkan telunjuknya pada Raksagala.
Suaranya bernada menghina.
Jelas, dia tidak memandang sebelah mata pun pada laki-laki berwajah pucat itu.
Hampir berbareng Satrana dan
Patila mengangguk.
“Benar, Kakang Taraji,” sahut
Patila. Laki-laki bertubuh kurus kering yang
ternyata bernama Taraji
merayapi sekujur wajah dan tubuh pemuda di hadapannya.
“Ha ha ha...!”
Mendadak Taraji tertawa
bergelak. Tawanya benar-benar mengandung nada penghinaan.
“Diam ... !”
Raksagala yang merasa
tersinggung langsung membentak. Keras bukan main suaranya, karena disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tanpa sadar, Taraji menghentikan tawanya. Rasa
terkejut yang amat sangat membayang jelas di wajahnya. Dia merasakan guncangan
keras pada dadanya seiring keluarnya bentakan dari mulut pemuda berwajah pucat
itu.
Bukan hanya Taraji saja yang
terkejut. Semua murid Perguruan Belut Putih juga terkejut bukan main. Dada
mereka bergetar hebat dan kuping pun terasa berdengung. Bukan hanya itu saja.
Sepasang kaki mereka pun tanpa dapat dicegah, mendadak oleng.
***6
Kini Taraji baru percaya pada
cerita Satrana dan Patila. Ternyata orang yang bernama Raksagala itu adalah
lawan yang amat tangguh, dan bukan hanya bualan belaka. Kini telah
dibuktikannya sendiri kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda berwajah pucat
itu. Dalam hati, laki-laki bertubuh kurus kering itu mengakui kalau tenaga
dalamnya sendiri belum tentu mampu menyamai tenaga dalam calon lawannya.
Meskipun begitu, Taraji sama
sekali tidak menampakkan keterkejutannya. Wataknya memang angkuh, dan selalu
mengagungkan kemampuannya sendiri. Jadi mana mau dia memperlihatkan
kegentarannya pada seorang pemuda yang dianggapnya baru kemarin sore? Apalagi
di hadapan sekian banyak adik seperguruannya.
“Keparat buduk!” maki Taraji
keras. “Berani benar kau membentakku?! Apa kau sudah bosan hidup?”
“Aku bukan hanya membentak
saja. Tapi juga akan menghukummu dan semua murid Perguruan Belut Putih yang
menyeleweng!” tandas Raksagala tegas.
“Apa?!” Taraji membelalakkan
sepasang matanya. “Apa aku tidak salah dengar?! Sudah gilakah kau, Keparat?!”
“Terserah apa tanggapanmu terhadapku,
Taraji!” Raksagala mencoba bersikap tenang. “Tapi yang jelas, aku mempunyai
wewenang penuh untuk mengurus Perguruan Behit Putih.”
Setelah berkata demikian,
Raksagala mencabut keluar tongkat pusaka pemberian gurunya. Dan secepat tongkat
itu terlihat, secepat itu pola semua wajah murid Perguruan Belut Putih dilanda
perasaan terkejut yang amat sangat.
“Kau...?! Dari mana kau
dapatkan benda itu?!” tanya Taraji gugup.
Tentu saja laki-laki kurus itu
mengenal tongkat di tangan Raksagala. Sewaktu Perguruan Belut Putih masih
dipimpin Ki Sawungrana, dia telah menjadi murid tingkat dua. Waktu itu, usianya
masih delapan belas tahun. Kini, dia berusia tiga puluh lima tahun lebih.
Kedudukannya pun kini telah menjadi murid kepala.
Dan Kalasura yang dulu menjadi
murid kepala, kini telah menjadi Ketua Perguruan Belut Putih. Dan atas
perintahnya, Taraji harus menangkap pengacau yang telah mencelakai Satrana dan
Patila.
“Aku mendapatkannya dari
guruku. Dia adalah Ketua Perguruan Belut Putih yang sebenarnya. Namanya, Ki
Sawungrana!” tegas dan jelas kata-kata yang keluar dari mulut Raksagala. Dan
memang hal itu disengaja, agar semua murid Perguruan Belut Putih mendengar
ucapannya.
Pengaruh ucapan itu terbukti
memang luar biasa. Kontan di antara murid-murid Perguruan Belut Putih terjadi
kegaduhan. Memang ada di antaranya yang belum pernah melihat tongkat itu. Tapi,
paling tidak telah mendengar ciricirinya. Maka begitu melihatnya, mereka
terkejut bukan main. Seketika itu pula sebagian besar kepala murid Perguruan Belut
Putih merunduk memberi hormat Hanya sebagian kecil saja yang tidak menundukkan
kepala. Dan Taraji terhitung yang sebagian kecil itu.
“Bohong! Kalian jangan
terpengaruh cerita bohongnya! Tongkat pusaka itu hilang, dan sudah pasti pemuda
ini yang mencurinya!” Taraji yang mencium gelagat tidak baik segera berusaha
memojokkan Raksagala.
Usaha yang dilakukan Taraji
ternyata cukup membuahkan hasil. Kepala yang sebagian besar sudah tertunduk,
kembali terangkat naik. Ya, apa yang dikatakan kakak seperguruan mereka, itu
benar. Bukan tidak mungkin kalau Raksagala adalah pencurinya.
Tapi Raksagala yang sudah
melihat masih banyak murid Perguruan Belut Putih yang menghormati tongkat
pusaka, mana mungkin diam saja? Segera tongkat itu diacungkan tinggitinggi ke
atas kepalanya.
“Wahai semua murid Perguruan
Belut Putih, dengarlah ... ! Ki Sawungrana telah memberi tongkat ini padaku.
Dia memberi wewenang penuh padaku untuk membenahi semua penyelewengan yang
terjadi di perguruan.
Kalian semua dengar?!”
“Keparat!” maki Taraji begitu
melihat kepala-kepala yang tadi terangkat, mulai tertunduk lagi. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia segera mengulapkan tangan pada sisa murid yang
tidak menundukkan kepala.
“Bunuh pencuri itu...! Dan
ambil tongkatnya ... !” perintah laki-laki bertubuh kurus kering itu.
Sambil berkata demikian,
tangan kanannya bergerak.
Singgg...!
Sinar berkilauan nampak
berpendar ketika Taraji mencabut goloknya. Dan secepat senjata itu terhunus,
secepat itu pula diayunkan ke leher Raksagala.
Pada saat yang bersamaan,
serangan muridmurid Perguruan Belut Putih yang lain datang pula menyerbu. Di
tangan mereka semua tergenggam senjata terhunus.
Tapi Raksagala sama sekali
tidak menjadi gugup melihat semua serangan itu.
“Murid-murid Perguruan Belut
Putih yang masih menghargai tongkat pusaka ini, lihatlah! Aku, mewakili Ki
Sawungrana akan memberi hajaran pada mereka yang telah menyeleweng!”
Ucapan itu membuat semua murid
Perguruan Belut Putih mengangkat kepala. Mereka ingin tahu, bagaimana tindakan
Raksagala yang menurut pengakuannya adalah wakil Ki Sawungrana!
Melihat ucapannya didengar,
Raksagala jadi
tambah semangat. Maka
diputuskan untuk mempertunjukkan semua kelihaiannya. Dan begitu semua serangan
datang, laki-laki berwajah pucat itu segera bergerak mengelak. Lincah laksana
kera, dan cepat laksana bayangan, tubuhnya berkelebatan di celah-celah hujan
serangan lawan.
Taraji dan adik-adik
seperguruannya terkejut bukan main melihat serangannya berhasil dielakkan.
Tapi, tentu saja mereka tidak putus asa. Malah sebaliknya, mereka kian ganas
menyerang.
Raksagala yang memang sengaja
ingin mempertunjukkan kelihaiannya, sengaja tidak melakukan perlawanan. Dia
hanya mengelak terus-menerus. Dengan ilmu meringankan tubuh yang memang berada
jauh di atas lawanlawannya, bukan merupakan hal sulit bagi lakilaki berwajah
pucat itu untuk menghindari serangan.
Jurus demi jurus berlalu.
Sehingga, tak terasa dua puluh lima juris telah terlewat. Namun selama itu,
tidak ada satu pun serangan Taraji dan adik-adik seperguruannya yang mengenai
sasaran. Jangankan mengenai, menyerempet pun tidak.
“Cukup ... !”
Terdengar seruan keras dari
mulut Raksagala. Dan begitu ucapannya selesai, gerakan laki-laki berwajah pucat
ini tiba-tiba berubah.
Tubuhnya berkelebat dengan kecepatan
yang sukar diikuti mata tiap lawannya. Yang jelas, satu demi satu tubuh-tubuh
murid Perguruan Belut Putih bertumbangan. Rintihan kesakitan terdengar
mengiringi robohnya tubuh-tubuh itu ke tanah. Senjatasenjata yang digenggam
pun berpentalan tak tentu arah.
Dalam sekejap saja,
murid-murid Perguruan Belut Putih itu sudah tidak ada yang berdiri lagi. Semua
telah roboh bergelimpangan di tanah sambil merintih-rintih. Kini hanya tinggal
Taraji seorang diri yang masih mampu berdiri. Dan memang, Raksagala sengaja
menyisakannya.
“Bagaimana, Taraji?! Masih
tidak percaya kalau aku adalah murid Ki Sawungrana?!” tanya Raksagala lagi. Ada
nada sindiran dalam suaranya.
“Pencuri busuk! Kau bukan
hanya mencuri tongkat pusaka kami, tapi juga ilmu-ilmu perguruan kami!”
Dengan nada keras, Taraji
terus memaki. Maksudnya untuk membuat murid-murid Perguruan Belut Putih yang
belum menyerang untuk ikut membantu.
“Kawan-kawan, serbu...!”
Tapi Taraji kecelik. Tidak ada
seorang pun teman-temannya yang mematuhi perintahnya. Mereka semua diam saja,
berpura-pura tidak mendengar sama sekali.
“Anjing kurap!” geram
laki-laki bertubuh kurus kering ini. “Setelah pencuri busuk ini kubereskan,
kalian semua akan mendapatkan ganj aran!”
Begitu kata-katanya selesai,
Taraji segera melompat menerjang Raksagala. Golok di tangannya ditusukkan cepat
ke arah dada lakilaki berwajah pucat itu. Ada suara mendesing yang cukup kuat
mengiringi tibanya serangan.
Raksagala diam-diam merasa
geli mendengar penegasan Taraji. Sewaktu mengeroyok bersama adik-adik
seperguruannya saja, dia tidak mampu merobohkan. Apalagi sekarang hanya seorang
diri.
Raksagala bersikap tenang.
Ditunggunya sampai serangan itu bergerak semakin dekat. Dan ketika telah berada
dalam jangkauan, baru dia bergerak. Enak saja tangannya diulurkan. Sepertinya
tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali, tapi hebatnya....
Tappp ... !
Mata golok Taraji yang
terlihat mengkilap mempertunjukkan ketajaman, berhasil ditangkap Raksagala.
Taraji kaget bukan main! Dan
belum sempat berbuat sesuatu, laki-laki berwajah pucat itu cepat membetotnya.
Keras bukan main gerakannya. Terdengar suara bergemeletuk ketika sambungan
pergelangan bahu kanan Taraji terlepas.
Taraji menggigit bibir
keras-keras dalam upayanya menahan rasa sakit yang mendera. Keringat
sebesar-besar biji jagung bermunculan di wajahnya. Tapi sedikit pun tidak ada
keluhan yang keluar dari mulutnya. Keangkuhannyalah yang melarang dirinya
mengeluh.
Tentu saja tidak hanya itu
yang dialami Taraji. Seiring terlepasnya sambungan pergelangan bahu kanan,
tubuhnya yang tengah berada di udara langsung tertarik ke depan. Di saat
itulah, kaki kanan Raksagala meluncur cepat ke arah perut
Bukkk ... !
“Hugkh ... !”
Kali ini Taraji tidak mampu
menahan keluhan yang keluar. Tendangan itu meskipun terlihat pelan, ternyata
keras bukan main. Rasa mual yang amat sangat seketika melanda sekujur badannya.
Dan begitu Raksagala melepaskan cekalan pada goloknya, tubuh Taraji langsung
roboh ke tanah. Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh itu menyentuh
tanah.
Taraji memang keras hati.
Tanpa mempedulikan rasa sakit, dia berusaha bangkit. Dan memang pada
kenyataannya dia gagal. Seringai kesakitan tersungging di mulutnya ketika
tubuhnya kembali terjatuh.
***
Raksagala sama sekali tidak
melakukan serangan lanjutan. Laki-laki berwajah pucat ini hanya menatap wajah
Taraji lekat-lekat
“Bagaimana, Taraji? Masih
ingin melanjutkan lagi,” tanya Raksagala kalem.
Namun Taraji sama sekali tidak
menyahuti. Dia tengah sibuk mengusir rasa sakit yang melanda.
Tapi Raksagala sama sekali
tidak merasa tersinggung karena pertanyaannya sama sekali tidak dijawab. Sesaat
lamanya suasana yang semula hingar-bingar oleh dentang senjata beradu, jadi
kembali sepi seperti semula. Kini yang terdengar hanyalah rintihan kesakitan
dari mulut-mulut murid Perguruan Belut Putih yang terluka.
“Hi hi hi...!”
Mendadak terdengar suara tawa
mengikik. Tawa yang kecil panjang tapi melengking nyaring itu mirip tikus
mencicit. Tapi hebatnya, suara tawa itu mengandung pengaruh luar biasa! Akibatnya,
telinga terasa berdengung sakit dan kedua kaki menggigil!
Di antara mereka semua, hanya
Raksagala saja yang sama sekali tidak terpengaruh tawa itu. Hal ini karena
tingkat tenaga dalam lakilaki berwajah pucat ini sudah amat tinggi. Hanya
saja, tak urung wajahnya tampak memucat! Raksagala kenal betul, siapa pemilik
suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan salah satu dari Penghuni Istana Hantu!
Dan mendengar nada suaranya, laki-laki berwajah pucat itu tahu kalau yang
datang adalah Durgasari.
Belum lagi gema suara itu
lenyap, sekitar tiga tombak di hadapan Raksagala telah berdiri seorang nenek
berpakaian hijau. Rambutnya putih panjang terurai tak terurus. Di tangannya
melilit sebuah gelang berwarna merah darah. Dan gelang yang sama pun menempel
di daun telinganya. Sepasang matanya yang kecil dan mcncorong kehijauan nampak
jadi kian menyeramkan, karena terletak di raut wajah keriput berbentuk bulat
telur.
Meskipun sudah menduga
sebelumnya, tapi tak urung Raksagala terperanjat juga melihat kehadiran salah
seorang Penghuni Istana Hantu itu.
“Jangan harap untuk bisa
selamat setelah keluar dari Istana Hantu, Bocah Keparat!” tegas nenek
berpakaian hijau itu keras. Suaranya terdengar melengking nyaring menyakitkan
telinga.
Raksagala sadar, kalau kali
ini tidak bisa main-main lagi. Lawan yang dihadapinya sangat tangguh, sementara
di sekitarnya banyak orang yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak ingin kalau
mereka yang tidak tahu apa-apa akan menjadi korban bila terjadi pertarungan di
situ. Maka laki-laki berwajah pucat itu segera bergerak melesat dari situ.
Cepat bukan main gerakan
Raksagala. Hal ini tidak aneh, karena murid kesayangan Sawungrana ini telah
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Hanya dalam beberapa
langkah saja, tubuhnya sudah berada dalam jarak belasan tombak dari tempat
semula.
Cepatnya gerakan yang
dilakukan Raksagala, tapi masih lebih cepat lagi gerakan Durgasari. Begitu
melihat laki-laki berwajah pucat melesat, tubuh nenek berpakaian hijau ini
langsung melenting ke depan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, kedua
kakinya segera mendarat di tanah. Dan kini dia telah berada di depan Raksagala.
“Sudah kukatakan, jangan harap
bisa lolos dari tanganku!” tandas Durgasari tegas. Sorot mata maupun wajah
nenek berpakaian hijau ini menyiratkan sinar kebengisan.
“Aku tidak akan melarikan
diri, Durgasari!” sahut Raksagala mantap seraya memanggil nama nenek berpakaian
hijau itu. Padahal di Istana Hantu waktu itu dia biasa memanggilnya dengan
sebutan Nyi Durgasari. “Tapi aku hanya mencari tempat yang lapang untuk
bertarung!”
“Alasan!” sergah Durgasari
kasar. “Kau tidak berbeda dengan gurumu yang telah menjadi bangkai itu.
Sama-sama pengecut!”
Raksagala ternganga mendengar
perkataan nenek itu. Bukan makiannya, tapi penjelasan nenek itu yang mengatakan
gurunya telah menjadi bangkai. Sungguhpun dia telah mempunyai dugaan kuat
kalau gurunya kemungkinan besar akan tewas, tapi tetap saja berita yang
didengarnya ini amat mengejutkan.
“Kau kaget kalau gurumu telah
menjadi bangkai! Kau tahu, nasib yang sama pun akan menimpamu!”
Mendadak Raksagala meraung.
Rasa penyesalan yang hebat langsung memukul hatinya. Kematian gurunya dianggap
karena dirinya. Kalau saja dia tidak melarikan diri dan bersama-sama menghadapi
musuh, mungkin Sawungrana tidak akan tewas. Raksagala merasa telah berdosa
besar, dan telah menjadi seorang pengecut!
Dari perasaan bersalah yang
menggelegak itu, menyeruak perasaan marah terhadap pembunuh gurunya. Pikirnya,
salah seorang dari pembunuh itu kini berada di depannya! Sungguh suatu hal yang
sangat kebetulan!
Sambil berteriak keras,
Raksagala melompat menerjang. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar
meluncur cepat dan bertubitubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar Durgasari.
Raksagala memang telah mengeluarkan
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dalam serangan itu. Dia memang tidak
ingin bertindak kepalang tanggung. Suara bersuitan yang cukup nyaring
mengiringi tibanya serangan itu.
“Hmh ... !”
Nenek berpakaian hijau itu
hanya mendengus melihat serangan lawan. Sikapnya terlihat memandang rendah
sekali. Baru ketika serangan itu menyambar dekat, tangannya bergerak memapak
dengan sikap jari-jari tangan yang sama.
Prattt..!
Benturan keras terdengar
begitu jari-jari tangan yang sama-sama mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi
berbenturan. Raksagala menyeringai. Tampak jelas kalau laki-laki berwajah pucat
ini merasa kesakitan.
Seluruh tangannya terasa bagai
lumpuh, sehingga tak mampu digerakkan lagi. Apalagi jari-jari tangannya! Sakit
dan ngilu bukan main. Seolaholah, jari-jari tangannya tadi bukan berbenturan
dengan jari-jari tangan seorang nenek-nenek, melainkan dengan sebatang logam
yang amat kuat!
“Hi hi hi...!”
Durgasari hanya tertawa
terkikih melihat seringai yang tampak di wajah Raksagala. Melihat dari
sikapnya, jelas kalau benturan tadi sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi
dirinya.
Raksagala memang bukan seorang
pengecut. Meskipun sudah diketahui kalau tenaga dalamnya tidak mampu menandingi
tenaga dalam Durgasari, tapi bukan berarti harus menjadi gentar! Kata takut
atau gentar tidak ada dalam kamus hidupnya. Maka tanpa kenal takut, dia kembali
melompat menerjang.
Sambil tertawa terkikih,
Durgasari segera menyambutnya. Sesaat kemudian, kedua orang ini sudah saling
bertarung sengit. Raksagala bertarung seperti orang gila. Seluruh kemampuan
yang dimiliki dikeluarkannya. Dia hanya mempunyai dua buah pilihan. Membunuh
atau dibunuh!
Tapi lawan yang dihadapinya
adalah Durgasari yang merupakan salah seorang Penghuni Istana Hantu. Kepandaian
nenek berpakaian hijau ini amat tinggi. Mungkin hanya selisih sedikit saja
dengan Barong Segara. Jangankan Raksagala, gurunya sendiri pun belum tentu bisa
mengalahkan nenek itu.
Itulah sebabnya, meskipun
Raksagala telah menyerang kalang-kabut dengan seluruh kemampuannya, tetap saja
tidak mampu mendesak Durgasari. Jangankan mendesak, tanda-tanda akan mendesak
pun tidak juga terlihat.
Hebat bukan main pertarungan
antara kedua orang itu. Suara menderu dan mencicit menyemaraki pertarungan.
Tanah terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Raksagala menggertakkan gigi.
Seluruh kemampuannya telah dikerahkan sampai ke puncaknya, tapi ternyata tetap
tak mampu juga mendesak lawannya. Padahal, tampak jelas kalau nenek berpakaian
hijau itu sama sekali belum melancarkan serangan balasan. Durgasari hanya
mengelak dan menangkis, sambil mengeluarkan tawa mengikik. Beberapa kali tubuh
Raksagala terhuyung-huyung ke belakang, tatkala Durgasari menangkis
serangannya.
Dalam waktu sebentar saja,
sepuluh jurus telah lewat. Dan selama itu, Raksagala belum juga berhasil
menyarangkan satu serangan pun di tubuh lawannya.
“Hi hi hi...! Berhati-hatilah,
Anak Muda! Sekarang aku akan balas menyerang!”
Setelah berkata demikian,
mendadak gerakan Durgasari berubah. Dia tidak lagi bersikap menunggu, tapi
mulai melancarkan serangan.
Serangan Durgasari dibuka
lewat putaran kedua tangannya di depan dada. Hebat bukan main! Dari kedua
tangan yang berputaran itu, menyeruak angin keras yang mengandung daya tarik
amat kuat.
Raksagala terperanjat, sama
sekali tidak disangka kalau ada ilmu yang mempunyai daya sedot seperti ini.
Maka bergegas kedua kakinya ditekankan ke tanah untuk bertahan dari kekuatan
yang akan menariknya ke depan.
Di saat Raksagala memasang
kuda-kuda kokoh agar tubuhnya tidak tertarik ke depan, Durgasari melompat
menerjang. Jari-jari kedua tangannya nampak mengepal, kecuali jari telunjuk dan
jari tengah yang mengejang kaku. Dan dengan bentuk jari-jari seperti itulah,
nenek berpakaian hijau ini menyerang Raksagala. Kedua tangannya melancarkan
totokan bertubitubi ke arah ubun-ubun dan bawah hidung lakilaki berwajah
pucat. Memang, itu adalah dua buah jalan darah kematian!
Raksagala terkejut bukan
kepalang mendapat serangan susulan yang begitu mendadak. Diakui, perasaannya
begitu gugup. Namun lakilaki berwajah pucat itu masih sempat menyelamatkan
selembar nyawanya. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuhnya segera direndahkan
seraya membentuk kuda-kuda bersilang.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Raksagala. Pada saat yang tepat, tangan kanannya melakukan pukulan
keras ke arah dada Durgasari.
Durgasari terkejut bukan main.
Sungguh di luar dugaan kalau dalam keadaan terjepit seperti itu Raksagala mampu
mengelak. Maka, semua serangannya hanya mengenai tempat kosong. Bahkan
hebatnya, pemuda itu malah mampu balik mengancam dengan serangan yang mampu
membuat isi dadanya hancur berantakan.
Hebat dan berbahaya bukan main
serangan yang dilancarkan Raksagala. Apalagi saat itu tubuh Durgasari tengah
berada di udara. Yang lebih membahayakan lagi, serangan itu dilancarkan dalam
jarak dekat! Lengkaplah sudah keadaan yang membuat nenek berpakaian hijau
semakin berada dalam keadaan berbahaya.
Pada kenyataannya Durgasari
benar-benar seorang tokoh luar biasa. Dengan kesempatan yang sangat sempit itu,
tangan kirinya segera digerakkan ke bawah untuk menangkis serangan lawan. Tapi
karena tangan kirinya belum sempat ditarik pulang, maka yang membentur tangan
Raksagala adalah sikutnya.
Plakkk ... !
Tubuh kedua tokoh yang usianya
berbeda jauh itu sama-sama terjajar ke belakang. Ini bukan berarti tenaga
mereka berimbang. Tapi, karena kesempatan yang hanya sedikit itu membuat tenaga
dalam Durgasari tidak sepenuhnya keluar dalam menangkis serangan.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat
tinggi, tidak sulit bagi Raksagala dan Durgasari untuk segera memperbaiki
sikap.
Durgasari kini menggeram hebat
Hampir saja dia tewas di tangan lawannya. Tentu saja ini karena kelalaiannya.
Maka kini perempuan tua itu tidak memandang rendah lagi. Maka diputuskannya
untuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Sambil mengeluarkan pekik
melengking nyaring, Durgasari kembali melancarkan serangan. Raksagala tahu
tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Maka diputuskannya untuk
menghindari serangan itu. Sesaat kemudian, kedua orang ini telah terlibat dalam
pertarungan sengit.
Tapi pertarungan kali ini
berbeda dengan sebelumnya. Kini Durgasari telah memutuskan untuk mengerahkan
seluruh kemampuannya. Maka Raksagala-lah yang merasakan akibatnya.
Tekanan-tekanan yang dilakukan nenek berpakaian hijau itu terasa semakin berat.
Meskipun seluruh kemampuan yang dimilikinya telah dikerahkan, tetap saja dia
terdesak dan terhimpit.
Tidak sampai dua puluh lima
jurus, Raksagala telah terdesak. Dan seiring semakin lamanya mereka bertempur,
keadaan Raksagala semakin terdesak hebat Nasibnya benar-benar mengkhawatirkan.
Menjelang jurus ketiga puluh,
Raksagala mencabut goloknya. Dan dengan senjata andalan di tangan, dia kembali
melakukan perlawanan gigih.
Memang setelah Raksagala
menggunakan golok, keadaannya mulai membaik. Desakandesakan dan tekanan yang
menghimpitnya, tidak begitu terasa lagi.
Tapi itu berlangsung hanya
lima puluh jurus saja. Dan begitu memasuki jurus kelima puluh satu, kembali
Durgasari yang kini sudah bisa mengetahui permainan golok lawan, berhasil
mendesaknya.
Pada jurus yang kelima puluh
satu, Durgasari melancarkan sebuah tendangan lurus ke arah pergelangan tangan
kanan Raksagala. Pemuda berwajah pucat itu mencoba mengelak. Tapi....
Takkk!
Telak dan keras sekali
tendangan nenek berpakaian hijau itu mengenai sasaran. Tak pelak lagi,
sambungan pergelangan tangan Raksagala terlepas saat itu juga. Golok di
tangannya pun terlempar jauh.
Raksagala tahu kalau
keadaannya kini amat berbahaya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya
segera dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Maksudnya
sudah jelas, untuk memperbaiki kuda-kudanya.
“Hmh ... !”
Durgasari mendengus. Nenek
berpakaian hijau yang sudah kalap ini mana sudi membiarkan lawannya mendapatkan
kesempatan lagi untuk memperbaiki kuda-kudanya? Begitu Raksagala melempar
tubuh ke belakang, dia segera melompat memburu seraya mengirimkan
serangan-serangan maut
Raksagala terkejut bukan main.
Keadaannya kini benar-benar terhimpit. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk
memperbaiki kudakudanya. Maka begitu kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya
langsung melenting ke belakang untuk mencari-cari kesempatan memperbaiki
kuda-kudanya.
Tapi Durgasari benar-benar
tidak akan memberi kesempatan. Dia pun melompat memburu begitu kedua kakinya
menjejak tanah. Adu kejar-kejaran yang aneh pun terjadi. Raksagala
terus-menerus melempar tubuhnya ke belakang sementara Durgasari terus melompat
memburu ke depan. Namun, sampai berapa lama Raksagala bisa bertahan
dikejarkejar seperti itu?
Ki Wanara, murid-murid
Perguruan Belut Putih yang memihak Raksagala, dan Galuh hanya memandang dengan
sinar mata cemas. Walau tidak mampu melihat secara jelas karena cepatnya dua
sosok yang tengah bertarung, tapi mereka dapat memperkirakan dari kelebatan
bayangannya. Yang terdesak adalah kelebatan bayangan hitam. Dan itu adalah
Raksagala. Sedangkan yang mendesak adalah kelebatan bayangan hijau. Dan itu
adalah lawan Raksagala yang bernama Durgasari.
Sementara itu, Taraji dan
murid Perguruan Belut Putih lain sudah tidak nampak lagi di situ. Sejak
Raksagala terlibat pertarungan, mereka semua memang sudah melarikan diri.
Di antara para penonton itu,
hanya Ki Wanara seorang yang sudah bisa menduga penyebab Raksagala bertarung
dengan nenek berpakaian hijau itu. Dia memang telah mengerti semua, setelah
Raksagala menceritakan sejelas-jelasnya.
Akhirnya saat yang gawat bagi
Raksagala pun tidak bisa dielakkan lagi. Dan itu terjadi ketika tubuhnya tengah
berada di udara. Durgasari melancarkan serangan maut bertubitubi ke arah dada,
ulu hati, dan pusar.
Raksagala terperanjat, apalagi
disadari kalau keadaannya tidak memungkinkan untuk mengelak atau menangkis
serangan. Dia hanya bisa pasrah diri pada kenyataan sambil menunggu maut dengan
sepasang mata terbelalak lebar.
Di saat yang amat gawat itulah
melesat cepat sesosok bayangan ungu memotong alur serangan Durgasari.
Durgasari terkejut bukan main,
tapi tak membatalkan serangannya. Akibatnya sudah bisa diduga....
Plakkk, plakkk, plakkk...!
Suara berderak keras terdengar
berkali-kali begitu kedua tangan Durgasari dan tangan sosok bayangan ungu itu
berbenturan. Seketika itu juga, tubuh keduanya terpental balik ke belakang.
Namun dengan gerakan manis dan indah, keduanya berhasil mematahkan daya lontar
masing-masing. Dan kini satu sama lain sudah mendarat ringan dan mantap di
tanah.
7
Durgasari menatap tajam sosok
bayangan ungu yang befdiri di hadapannya. Namun demikian, hatinya berdebar
tegang. Raut keterkejutan yang amat sangat tampak di wajahnya. Betapa tidak?
Sosok bayangan ungu yang kekuatan tenaga dalamnya telah membuatnya terkejut,
ternyata hanyalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tidak
salahkah yang dirasakannya tadi? Benarkah kekuatan tenaga dalam pemuda
berpakaian ungu itu demikian kuatnya? Atau tadi ada kesalahan dalam pengerahan
tenaganya?
Rasa penasaran membuat
Durgasari memperhatikan pemuda berpakaian ungu itu lekatlekat. Ada satu hal
yang menarik perhatian nenek itu. Rambut pemuda itu ternyata tidak hitam
seperti rambut pemuda pada umumnya. Tapi putih. Putih keperakan lagi!
Nenek berpakaian hijau itu
juga melihat adanya sebuah guci arak yang tersampir di punggung pemuda
berpakaian ungu itu.
“Hm.... Pemuda pemabukan!”
ejek Durgasari dalam hati.
Sementara itu, pemuda
berpakaian ungu itu juga memandang nenek di depannya dengan kening agak
berkerut. Sebab, sejak tadi nenek itu seperti orang bingung saja. Matanya
melotot, namun suaranya tak terdengar.
“Siapa kau, Anak Muda
Keparat?! Mengapa mencampuri urusanku?! Apa sudah bosan hidup?!” tanya
Durgasari keras setelah puas mengamati pemuda yang telah menyelamatkan nyawa
Raksagala.
“Aku Arya, seorang pengelana.
Maafkan bila aku telah mencampuri urusanmu. Tapi ketahuilah, aku tidak
bermaksud demikian. Aku hanya tidak bisa berdiam diri melihat adanya
kesewenang-wenangan di depan mataku!”
Pemuda berpakaian ungu yang
ternyata Arya alias Dewa Arak itu memang kebetulan lewat desa ini.
Kemudian dia tertarik dengan
pertarungan Raksagala melawan Durgasari. Langsung dihampirinya Ki Wanara yang
sudah tidak ditemani Galuh. Gadis itu memang sejak tadi bersembunyi di
rumahnya.
Dewa Arak kemudian menanyakan
sebabsebab pertarungan itu berlangsung. Setelah mendapat penjelasan dari Ki
Wanara, barulah dia berani turun tangan.
“Tidak usah berbasa-basi,
Monyet Kecil! Kau tahu, tidak ada ampun bagi orang yang telah berani mencampuri
urusan Durgasari! Tidak terkecuali kau! Jadi, tidak ada gunanya meminta maaf
atau ampun sekalipun!”
Dewa Arak tersenyum pahit.
Dari sikap keras yang ditunjukkan nenek berpakaian hijau itu, sudah bisa
diketahui kalau mengajaknya bicara tidak akan ada gunanya lagi. Pertarungan
tidak mungkin bisa dielakkan.
Durgasari telah mengeluarkan
kata-kata bernada tantangan. Dan bukan Dewa Arak namanya kalau nyalinya ciut
hanya karena mendapat tantangan.
Raksagala adalah seorang yang
berwatak gagah dan ksatria. Yang mempunyai urusan dengan Durgasari adalah
dirinya sendiri. Bukan pemuda berambut putih keperakan yang didengarnya bernama
Arya. Maka begitu keadaan tampaknya sudah mulai memanas, dia melangkah maju.
“Terima kasih atas
pertolonganmu, Kisanak! Tapi, apa yang dikatakan nenek itu benar. Kau sama
sekali tidak mempunyai urusan dengannya. Lebih baik, kau tidak usah
mempertaruhkan nyawa untuk membelaku,” ucap Raksagala pada Dewa Arak.
Arya menoleh. Sepasang matanya
menatap tajam wajah Raksagala. Dewa Arak adalah seorang yang cepat tanggap. Dia
tahu, mengapa laki-laki berwajah pucat itu melarangnya. Raksagala tidak ingin
dia tewas di tangan nenek berpakaian hijau itu. Hal ini membuat Arya merasa
kagum. Dengan sendirinya, semakin besar keinginan di hatinya untuk menolong
pemuda berpakaian hitam itu.
“Maaf, Kisanak. Bukannya aku
tidak suka menuruti nasihatmu. Tapi aku pantang menolak tantangan. Aku bukan
seorang pengecut!” tandas Arya tegas.
Mendengar jawaban Dewa Arak,
Raksagala tidak melanjutkan ucapannya lagi. Dengan langkah lesu kakinya
melangkah mundur. “Hati-hatilah, Kisanak,” ucap Raksagala. “Dia adalah lawan
yang amat tangguh.”
“Akan kuperhatikan nasihatmu,”
sahut Dewa Arak membesarkan hati Raksagala.
Baru saja Raksagala melangkah
meninggalkan Dewa Arak, Durgasari sudah mengirimkan serangan.
Nenek berpakaian hijau itu
membuka serangannya dengan memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada.
Dewa Arak terperanjat ketika
merasakan ada kekuatan aneh yang membetot tubuhnya. Otaknya yang memang cerdas
langsung saja bisa menduga kalau lawannya memiliki sebuah ilmu yang mengandung
tenaga membetot. Maka buru-buru dikerahkannya ilmu 'Pasak Bumi'. Kekuatan
tenaga dalam langsung disalurkan pada kakinya, agar kuat berpijak seperti akar
pohon besar.
Usaha yang dilakukan Arya sama
sekali tidak sia-sia. Berkat ilmu 'Pasak Bumi', kekuatan daya sedot itu sama
sekali tidak berarti apa-apa. Memang ada angin keras yang berusaha membetotnya.
Tapi berkat ilmu itu, betotan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tapi Durgasari tidak kecewa
melihat kenyataan ini. Dia memang tidak terlalu berharap usahanya akan
membuahkan hasil. Toh, tadi telah dibuktikan sendiri kalau Raksagala pun
sanggup memunahkan daya sedotnya.
Maka begitu Dewa Arak tampak
sibuk mengerahkan tenaga untuk melawan betotan itu, segera dikirimkannya
serangan. Kaki kanannya meluncur cepat ke arah leher, mengirimkan sebuah
tendangan miring. Angin yang menderu keras mengiringi serangan itu.
Arya yang memang sudah menduga
hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat kakinya melangkah ke belakang seraya
merendahkan tubuhnya. Sehingga, serangan itu hanya mengenai tempat kosong,
lewat sejengkal di atas kepalanya.
Pada saat yang bersamaan,
pemuda berambut putih keperakan ini menjumput guci araknya. Kemudian guci itu
diangkat ke atas kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga, ada hawa hangat
merayap di dalam perutnya. Kemudian, terus merayapi naik ke atas kepala secara
perlahan-lahan. Sekejap saja tubuh Arya mulai meliuk-liuk.
Durgasari menggeram begitu
melihat serangannya berhasil dielakkan. Segera saja dikirimkannya serangan
susulan berupa tendangan kaki kanan ke arah kepala Dewa Arak. Tentu saja ini
karena sikap pemuda berambut putih keperakan itu tengah membentuk kuda-kuda
rendah. Kalau Arya tengah berdiri, mungkin tendangan itu hanya mengenai
pusarnya.
Cepat bukan main serangan
susulan itu tiba. Mungkin hanya berbeda waktu sedikit saja dengan tendangan
yang pertama kali. Walaupun begitu, Arya sama sekali tidak mengalami kesulitan
untuk menangkalnya. Apalagi, pemuda berambut putih keperakan itu telah menggunakan
ilmu 'Belalang Sakti' yang mampu membuat gerakan yang bagaimanapun sulitnya.
Masih dengan tubuh
meliuk-liuk, Dewa Arak menggerakkan gucinya menangkis tendangan yang mengarah
ke kepalanya.
Banggg ... !
Suara berdentang keras
terdengar ketika kaki Durgasari berbenturan dengan guci Dewa Arak. Seketika itu
pula, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang. Durgasari
terhuyung dua langkah, sedangkan Dewa Arak hanya satu langkah. Jelas, kalau
dalam adu tenaga Dewa Arak masih lebih kuat
Durgasari menggeram. Kini
tidak ada lagi keraguan dalam hatinya.
Pemuda berambut putih
keperakan ini adalah seorang lawan yang amat tangguh. Dan ini bisa diketahui
dari kekuatan tenaga dalam lawan yang ternyata lebih kuat darinya.
Hal ini tentu saja membuat
Durgasari penasaran bukan kepalang. Masa dia harus mengaku kalah dengan seorang
pemuda yang pantas menjadi cucunya? Pikiran ini membuat nenek berpakaian hijau
itu mengerahkan seluruh kemampuannya.
Tapi lawan yang dihadapi
Durgasari kali ini adalah Dewa Arak. Seorang yang meskipun masih muda, tapi
telah memiliki tingkat kepandaian tak tertandingi. Bukan hanya itu saja. Pemuda
berambut putih keperakan ini juga telah memiliki pengalaman bertanding yang
tidak sedikit. Tak terhitung, sudah berapa kali Arya terlibat pertarungan
dengan tokoh yang memiliki kepandaian menggiriskan.
Maka meskipun Durgasari telah
mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak mampu mendesak Dewa Arak.
Ilmu 'Belalang Sakti' benar-benar menjadikan Arya sebagai lawan yang teramat
tangguh.
Hebat bukan main akibat dari
pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi ini.
Angin menderu, mencicit, dan mengaung terdengar menyemaraki pertarungan itu.
Bukan hanya itu saja. Tanah terbongkar di sana-sini terkena pukulan nyasar.
Debu pun mengepul tinggi ke udara. Bahkan para penonton pun bergerak menjauhi
arena pertarungan, karena khawatir terkena serangan nyasar.
“Luar biasa...,” desah
Raksagala penuh kagum. “Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Ilmu
silatnya pun aneh....”
“Tidak perlu heran,
Raksagala,” ucap Ki Wanara. “Pemuda itu adalah Dewa Arak...! Dia tadi
menghampiriku, dan sempat memperkenalkan namanya. Begitu aku yakin kalau dia
benarbenar Dewa Arak, maka kuceritakan segalanya tentang dirimu.”
“Dewa Arak?” Raksagala
mengerutkan alisnya. “Orang seusia dia sudah mempunyai julukan?!”
“Jadi, kau belum pemah
mendengar julukannya?” Ki Wanara yang kini ganti bertanya.
Raksagala menggeleng.
“Apakah julukan itu begitu
terkenal, Ki?”
Ki Wanara menggeleng-gelengkan
kepala melihat keluguan Raksagala. Dia memang merasa heran mendengar Raksagala
sama sekali belum mendengar julukan Dewa Arak. Tapi ketika teringat kalau
Raksagala terkungkung selama belasan tahun di dalam sebuah bangunan yang bemama
Istana Hantu, dia tidak merasa heran lagi.
“Julukan itu bukan hanya
terkenal saja, Raksagala. Tapi juga menggemparkan!” jawab Ki Wanara setengah
memberi tahu. “Banyak sudah tokoh sakti aliran hitam yang tewas di tangannya.”
“Ah ... ! Jadi, dia seorang
pendekar, Ki?” Raksagala menudingkan telunjuknya ke arah Dewa Arak yang masih
sibuk bertarung menghadapi Durgasari.
“Bukan hanya seorang pendekar
saja, Raksagala. Dewa Arak adalah seorang pendekar besar! Sudah tidak terhitung
kelaliman yang merajalela di persada ini dibasminya,” sahut Ki Wanara,
menguatkan penuturan Raksagala.
Raksagala terdiam. Ada
perasaan kagum menyelinap di hatinya terhadap Dewa Arak.
Apalagi ketika melihat sendiri
kalau berkali-kali Durgasari terhuyung-huyung setiap kali terjadi benturan
antara mereka. Dari sini saja sudah bisa dinilai keunggulan Dewa Arak! Dan mau
tak mau, hal ini membuatnya kagum setengah mati.
Sementara itu di arena
pertarungan, Dewa Arak semakin menunjukkan keunggulannya. Pertarungan memang
sudah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan sekarang keadaan Durgasari
sudah semakin mengkhawatirkan. Walau nenek berpakaian hijau itu sudah
mengeluarkan senjata andalan yang berupa sebuah sabuk, tapi tetap saja tidak
mampu menahan tekanan-tekanan Dewa Arak.
Dewa Arak dengan menggunakan
ilmu 'Belalang Sakti' benar-benar menjadi seorang lawan yang amat berat bagi
Durgasari. Kedua tangannya yang disertai ilmu 'Belalang Sakti', guci di
tangannya, semburan-semburan araknya, gerakannya yang aneh, dan tenaganya yang
seperti tidak pernah habis, merupakan kesatuan yang mampu menggilas habis semua
perlawanan Durgasari. Robohnya nenek berpakaian hijau ini hanya tinggal
menunggu saatnya saja.
Hati Durgasari terpukul bukan
kepalang menerima kenyataan ini. Rasanya bagaikan mimpi ketika menyadari kalau
Dewa Arak memang lebih unggul darinya. Setiap serangannya kandas sama sekali.
Sedangkan setiap serangan yang dilancarkan lawan selalu membuatnya
pontang-panting untuk menyelamatkan diri.
Rasa penasaran, marah, dan
terpukul membuat Durgasari menjadi nekat. Nenek berpakaian hijau ini jadi
tidak mempedulikan keselamatan diri lagi. Dan kini perhatiannya hanya
dipusatkan pada satu sisi saja. Menyerang! Tidak dipedulikannya lagi
pertahanan dirinya.
Memang dengan cara seperti
ini, serangan serangan Durgasari jadi semakin dahsyat. Tekanan-tekanan setiap
serangannya pun semakin berat. Tapi karena tindakannya itu, pertahanannya jadi
lemah. Banyak celah kosong di sana sini bagi Dewa Arak untuk memasukkan
serangan.
Sebuah keuntungan bagi
Durgasari, Arya sama sekali tidak berminat mencelakainya. Dewa Arak bertarung
menghadapi nenek berpakaian hijau itu hanya karena tidak sudi dianggap
pengecut. Sama sekali tidak ada maksud di hatinya untuk melukai nenek itu.
Masalahnya, dia sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Durgasari.
Karena dasar pemikiran seperti
itulah, Dewa Arak sama sekali tidak mau memanfaatkan kesempatan yang
terpampang. Pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengelak dan menangkis
serangan lawan. Beberapa kali dicobanya memasukkan serangan, namun hatinya
seketika kaget, ternyata nenek itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan
pada saat yang bersamaan, lawannya itu melancarkan serangan pula. Jelas kalau
Durgasari hendak mengadu nyawa!
Tentu saja Arya tidak ingin
bertindak bodoh. Tidak diturutinya tindakan gila Durgasari. Maka buru-buru
serangannya ditarik pulang seraya melompat menjauhkan diri dari serangan nenek
berpakaian hijau itu.
Kini keadaan jadi terbalik.
Dalam pandangan mata orang yang belum memiliki tingkat kepandaian tinggi,
tampaknya Dewa Arak terdesak. Buktinya sosok bayangan ungu itu berkali-kali
bergerak menghindari setiap serangan yang dilancarkan sosok bayangan hijau.
Hanya sekali-sekali saja sosok bayangan ungu itu menangkis serangan.
“Apa maunya Dewa Arak ini?”
gumam Raksagala dalam hati.
Kepala pemuda berwajah pucat
itu tampak menggeleng-geleng. Dia memang tidak mengerti, mengapa Dewa Arak
malah jadi terdesak. Padahal, dia sendiri jelas-jelas melihat kalau pertahanan
Durgasari berantakan dan terbuka di sana-sini. Tapi, kenapa Dewa Arak tidak
memasukkan serangan ke sana? Pikiran-pikiran itu mengganggu benak Raksagala.
“Apakah pemuda itu tidak
mengetahuinya? Mustahil!” bantah hati murid Sawungrana ini.
“Mengapa Raksagala?” Ki Wanara
yang juga bingung melihat Dewa Arak terdesak, tak tahan untuk tidak bertanya.
“Aku tidak mengerti maksud
Dewa Arak itu, Ki,” kata Raksagala mengeluarkan ganjalan hatinya. “Dewa Arak
sepertinya tidak ingin memanfaatkan kesempatan yang banyak tercipta. Durgasari
menyerang tanpa mempedulikan bagian pertahanan lagi. Kalau saja Dewa Arak
melancarkan serangan dan tidak hanya mengelak saja, rasanya tidak sulit untuk
merobohkan, ataupun menewaskan nenek itu. Padahal tadi kulihat dia hampir
berhasil menyarangkan serangannya, tapi malah ditarik kembali. Aneh ... !”
Ki Wanara mengerutkan dahinya,
namun sebentar kemudian hatinya menjadi lega. Dewa Arak sama sekali tidak
terdesak. Kini pandangannya kembali dilayangkan ke arah pertempuran. Ucapan
keheranan Raksagala sama sekali tidak dipedulikannya.
Di arena pertarungan, sepak
terjang Durgasari semakin membabi buta. Nenek berpakaian hijau ini terus
melancarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan. Apalagi ketika menyadari
kalau perlahan-lahan dia berhasil mendesak Dewa Arak.
Ctarrr ... !
Sabuk di tangan Durgasari
melecut memperdengarkan ledakan nyaring yang memekakkan telinga. Kemudian
dengan gerakan meliukliuk seperti seekor ular, sabuk itu mematuk ke arah
kepala Dewa Arak.
Arya terperanjat ketika
menyadari kalau dirinya berada dalam keadaan sulit. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, tubuhnya segera dibanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali.
Sementara Durgasari mana
mungkin membiarkan lawannya lolos? Maka buru-buru nenek ini bergerak mengejar.
Sabuk di tangannya, dan kakinya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Dewa
Arak.
Dewa Arak tidak punya cara
lain lagi untuk mengelakkan diri terhadap serangan susulan yang cepat
datangnya. Tubuhnya kembali bergulingan di tanah untuk menyelamatkan selembar
nyawanya. Kini terjadilah tontonan yang menarik. Dewa Arak yang terus-menerus
berguling untuk menyelamatkan diri, dan Durgasari yang terus mengejarnya dengan
serangan-serangan maut.
“Hih ... !”
Ctar ... !
Kembali sabuk di tangan
Durgasari melecut ke arah tubuh Dewa Arak yang masih bergulingan.
Kali ini Dewa Arak bertindak
nekat. Disadarinya kalau tidak mungkin mengelak dengan cara seperti itu
terus-menerus. Maka dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya, tubuhnya
melenting ke atas. Sebuah perbuatan yang sangat berbahaya!
Ctarrr ... !
Tanah langsung terbongkar
ketika sabuk itu menghantam telak permukaan tanah. Debu pun mengepul tinggi ke
udara. Tapi tubuh Dewa Arak sudah tidak tampak lagi di sana, karena telah
melenting ke atas.
Tapi Durgasari memang sudah
sejak tadi memperhitungkan hal itu. Maka begitu tubuh lawannya terlihat
melenting, cepat-cepat dijegalnya. Tangan kirinya dengan jari-jari terbuka
memapak tubuh yang tengah melenting dengan sebuah serangan ke arah pelipis.
Sebuah serangan mematikan!
Dewa Arak terkejut bukan
kepalang. Maka cepat tangan kirinya diangkat untuk menangkis. Pada saat yang
sama, tangan kirinya bergerak menyampok ke arah pelipis lawan.
Plakkk! Prakkk ... !
Dua buah bunyi yang berbeda,
terdengar saling bersusulan. Bunyi pertama adalah bunyi benturan antara tangan
kiri Dewa Arak dengan tangan kiri Durgasari. Sementara suara berderak yang
kedua adalah ketika sampokan Dewa Arak mengenai sasaran.
Durgasari memang sejak tadi
sudah tidak mempedulikan pertahanan. Akibatnya, begitu Dewa Arak melancarkan
serangan, dia tidak mampu mengelak. Yang ada di benaknya hanya satu, mengadu
nyawa!
Tanpa mengeluarkan suara
keluhan apa pun, tubuh Durgasari terlempar, lalu jatuh berdebuk di tanah.
Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tidak bergerak lagi di
tanah.
Arya terpaku melihat sosok
tubuh lawannya yang kini telah menjadi mayat. Raut wajahnya memancarkan
penyesalan yang amat sangat. Dan memang hatinya menyesal bukan main. Dia memang
tidak ingin membunuh nenek itu, sehingga sejak tadi hanya berusaha menjaga diri
saja. Tapi keadaan terakhir kali, membuatnya tidak punya pilihan lagi.
Pilihannya hanya dua. Membunuh atau dibunuh! Dan tentu saja dia memilih yang
pertama.
Melihat keunggulan Dewa Arak,
Raksagala, dan Ki Wanara, segera bergerak menghampiri Dewa Arak. Di raut wajah
mereka semua terpancar perasaan lega melihat Durgasari berhasil dibinasakan.
Tapi seri kegembiraan di wajah
mereka lenyap, dan kini berganti dengan raut kebingungan ketika melihat wajah
Dewa Arak. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak
memperlihatkan kegembiraan, namun sebaliknya malah menyiratkan penyesalan.
Karuan saja hal ini membuat mereka bingung.
“Aku tidak bermaksud
membunuhnya...,” keluh Arya. Pelan dan tak bersemangat suaranya. Jelas, ucapan
itu keluar dari hati yang terpukul.
Karuan saja ucapan itu
membingungkan orang-orang yang berada di dekatnya. Tapi sesaat kemudian
Raksagala mengerti, mengapa Dewa Arak tidak memanfaatkan banyak kesempatan yang
ada. Rupanya Arya ternyata memang tidak ingin menurunkan tangan kejam pada
lawannya.
Ki Wanara tahu perasaan yang
berkecamuk dalam hati Dewa Arak. Maka kakek berpakaian putih ini bergerak lebih
mendekat lagi, kemudian perlahan-lahan ditepuknya bahu Arya.
“Lupakanlah hal itu, Dewa
Arak. Kau sama sekali tidak bermaksud membunuhnya, bukan? Tapi Durgasari
terlalu memojokkanmu, sehingga kau tidak punya pilihan lagi. Itu berarti bukan
kau yang membunuhnya, tapi dirinya sendiri yang membuatmu terpaksa membunuhnya.
“
Ki Wanara memberi nasihat
sekenanya saja. Tapi kakek berpakaian putih ini sama sekali tidak menyadari
kalau semua nasihatnya tepat sekali.
“Tapi biar bagaimanapun...,
dia tewas di tanganku, Ki,” bantah Arya seraya menatap wajah Ki Wanara.
“Dia memang pantas untuk
tewas, Dewa Arak,” sahut Ki Wanara lagi.
Dewa Arak mendengarkan penuh
perhatian penuturan Raksagala tentang rencananya sejak dari Istana Hantu hingga
sampai ke Desa Kali Asem. Semuanya sudah jelas. Tadi Ki Wanara juga telah
bercerita demikian. Jadi, Dewa Arak memutuskan untuk membantu pemuda berwajah pucat
itu, walaupun hal itu belum diutarakannya.
Raksagala melangkah
menghampiri muridmurid Perguruan Belut Putih yang masih saja menunggu di depan
rumah Ki Wanara dengan sabar.
Begitu melihat Raksagala
menghampiri, serentak mereka pun bergerak menghampiri. Salah seorang dari
belasan murid Perguruan
Belut Putin itu melangkah maju
begitu kedua belah pihak telah berhadapan dalam jarak tiga tombak.
“Maaf, bukannya aku tidak
percaya. Tapi benarkah kau urusan ketua kami, Kisanak,” tanya murid Perguruan
Belut Putih yang ternyata bertindak sebagai juru bicara itu. Dia adalah seorang
laki-laki bertubuh kekar dan berotot. Usianya mungkin tak kurang dari tiga
puluh tahun.
“Benar,” Raksagala
menganggukkan kepalanya. “Aku adalah utusan Ki Sawungrana. Namaku Raksagala.
Aku diutus untuk membenahi semua kericuhan yang terjadi di Perguruan Belut
Putih. Itu bila memang benar ada kerusuhan.”
“Semua kericuhan itu memang
benar ada, Raksagala,” tanpa ragu-ragu lagi laki-laki bertubuh kekar berotot
ini menyebut Raksagala dengan namanya saja. “Perguruan Belut Putih sekarang
diketuai oleh Kalasura, seorang murid kepala Perguruan Belut Putih juga. Tapi
sayang, wataknya tidak baik. Banyak di antara kami yang menentang. Tapi dengan
cara halus maupun kasar, dia berhasil menyingkirkannya. Kelompok Kalasura
sangat kuat. Apalagi dia pun dibantu tokoh-tokoh aliran hitam.”
Laki-laki bertubuh kekar
berotot ini menghentikan ceritanya untuk mengambil napas seraya mencari
kata-kata untuk melanjutkan ucapannya. Matanya menerawang jauh, seperti
mengingat-ingat kejadian yang menimpa perguruannya.
“Banyak di antara murid
Perguruan Belut Putih yang menentang, tapi berhasil dipatahkan. Terpaksa kami
berdiam diri. Apalagi karena di pihak kami tidak ada lagi tokoh yang bisa
diandalkan. Semua murid kepala Perguruan Belut Putih yang bersifat jujur telah
tewas. Sementara di pihak Kalasura cukup banyak. Kini dengan adanya kau,
Raksagala, kami siap menentang mereka kembali. Kita harus merubah Perguruan
Belut Putih menjadi perguruan beraliran putih kembali! Kami yakin, masih banyak
anggota Perguruan Belut Putih yang hanya terpaksa mengikuti kemauan Kalasura,”
mantap dan penuh semangat ucapan laki-laki kekar berotot itu.
Dan semua kepala
rekan-rekannya yang berdiri di belakangnya terangguk begitu lakilaki kekar
berotot itu menghentikan ucapannya. Jelas, mereka semua setuju dengan keputusan
yang diambil rekan mereka itu.
“Kalau begitu, mari kita serbu
mereka!” Raksagala memutuskan dengan penuh semangat “Kami ikut, Raksagala.”
Raksagala menoleh begitu mendengar
ucapan itu. Tampak Dewa Arak dan Ki Wanara tengah bergerak menghampiri mereka.
“Kau...?!”
Arya tersenyum lebar. Dia tahu
kalau Raksagala merasa keberatan kalau dia ikut campur tangan. Dewa Arak tahu,
pemuda berwajah pucat itu ingin menyelesaikan tugas gurunya sendiri.
“Kedatanganku yang secara
kebetulan ke desa ini, dan setelah mendengar dari Ki Wanara kalau ada
kesewenang-wenangan yang terjadi di Perguruan Belut Putih, telah menarik hatiku
untuk membantumu, Raksagala. Yahhh.... Barangkali saja, tenagaku agak berguna
di sana. Paling tidak, cukup untuk melindungi kau dan murid-murid Perguruan
Belut Putih merebut kembali perguruan yang telah dikotori itu.”
Raksagala tidak bisa menolak
lagi. Alasan yang dikemukan Arya membuatnya tidak bisa membantah lagi.
Walaupun tidak
memperliatkannya dalam raut wajah dan sikap, karena merasa tidak enak pada
Raksagala, murid-murid Perguruan Belut Putih ini sebenarnya merasa gembira
bukan main atas ikutnya Dewa Arak bersama mereka. Telah mereka saksikan sendiri
kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.
Dan pada kenyataannya, Arya
jauh lebih lihai daripada Raksagala! Padahal, pemuda yang mengaku murid
Sawungrana juga lihai bukan main. Mereka juga telah menyaksikan kalau Raksagala
bertarung menggunakan ilmu-ilmu Perguruan Belut Putih.
Tak lama kemudian, rombongan
itu pun berangkat menuju Perguruan Belut Putih. Sepanjang perjalanan, tak
henti-hentinya muridmurid Perguruan Belut Putih ini melirikkan mata untuk
melihat wajah Dewa Arak. Sungguh tak disangka kalau mereka bisa bertemu tokoh
yang julukannya begitu mengguncangkan dunia persilatan. Dan ternyata, orangnya
masih sangat muda.
Di antara mereka semua, hanya
Ki Wanara saja yang sama sekali tidak melirik ke sana kemari. Kakek berpakaian
putih ini ingin cepat sampai di tempat tujuan. Dia ingin markas Perguruan Belut
Putih cepat direbut kembali.
***8
“Rupanya mereka telah
bersiap-siap,” kata Raksagala ketika melihat pintu gerbang yang tertutup rapat.
“Hati-hati, Raksagala,” ujar
laki-laki kekar berotot yang telah memperkenalkan namanya sebagai Diraga,
setengah memberi tahu. “Kalasura adalah seorang berwatak licik. Aku yakin, dia
telah menempatkan murid-murid Perguruan Belut Putih di bagian atas pintu
gerbang. Mereka akan membidikkan panah, agar kita tidak bisa mendekat”
Raksagala terdiam karena
memang tidak mengetahui hal itu.
“Apakah tidak akan ada bantuan
dari dalam markas? Bukankah kau tadi mengatakan banyak murid Perguruan Belut
Putih yang tidak suka terhadap tindakan Kalasura?” tanya Raksagala, bernada tuntutan.
“Dari mana mereka tahu akan
hal itu, Raksagala?” Diraga malah balik bertanya.
“Tentu saja dari orang-orang
yang telah kuberi pelajaran tadi!” sahut Raksagala tandas.
“Mereka tidak akan begitu
bodoh untuk mengatakan secara terbuka mengenai dirimu di hadapan begitu banyak
orang. Bila hal itu diceritakan, akan menimbulkan pemberontakan. Orang-orang
itu pasti hanya mengatakannya secara terus terang pada kelompoknya.”
Raksagala mengangguk-anggukkan
kepala. Bisa diterima alasan yang dikemukakan Diraga itu.
Suasana hening sejenak
tercipta setelah Diraga menghentikan ucapannya. Karena memang Raksagala tidak
lagi menyambutinya.
“Kalau begitu..., lebih baik
aku yang masuk lebih dulu untuk melihat keadaan di dalam,” tandas Raksagala
setelah beberapa saat lamanya terdiam.
“Tapi sangat berbahaya,
Raksagala,” sergah Diraga khawatir. “Kalasura adalah orang licik. Dia tidak,
segan-segan, menggunakan cara apa pun demi mencapai kemenangan.”
“Aku akan berhati-hati,
Diraga,” sahut Raksagala cepat.
“Hhh ... !”
Diraga hanya dapat menghela
napas berat. Laki-laki kekar berotot ini tahu kalau Raksagala tidak bisa
dicegah lagi. Jadi rasanya akan sia-sia jika terus mencegahnya. Dia merasakan
adanya tekanan dalam ucapan Raksagala yang terakhir. Tekanan yang tidak menghendaki
adanya bantahan. Maka, pendapatnya tidak diutarakannya lagi.
Setelah mengedarkan pandangan
berkeliling, Raksagala segera melesat ke depan. Tidak ada serbuan anak panah
seperti yang dikatakan Diraga. Huh! Dia terlalu khawatir, keluh Raksagala dalam
hati.
“Hih ... !”
Begitu telah berada di depan
pintu gerbang Perguruan Belut Putih, laki-laki berwajah pucat ini menjejakkan
kakinya. Seketika tubuhnya melambung ke atas. Dan begitu telah melewati pagar
yang tinggi dan kokoh, tubuhnya berputar di udara.
“Hup... !”
Baru saja kedua kaki Raksagala
mendarat di tanah, belasan orang berpakaian abu-abu sudah berkelebat
mengurungnya. Bukan hanya itu saja. Tampak belasan orang lain, melompat ke atas
dengan anak panah siap dilesatkan. Kini Raksagala mengerti. Mereka memang
sengaja membiarkannya masuk sendirian. Jadi apa yang dikatakan Diraga ternyata
benar.
Tapi Raksagala sama sekali
tidak kelihatan gentar. Meskipun tahu kalau dirinya sengaja dijebak, dia tidak
mengirim pemberitahuan kepada kawan-kawannya di luar pagar kalau dirinya
terancam.
“Ha ha ha...! Sungguh besar
nyalimu, Anak Muda,” kata orang yang tak lain dari Taraji. Tangan kanannya
nampak tergantung lemah di sisi pinggang. Jelas, akibat perbuatan Raksagala
masih tersisa. “Jangan harap dapat keluar dari sini dalam keadaan hidup.”
Raksagala memandang
berkeliling menatap wajah-wajah orang yang mengurungnya. Tidak lebih dari dua
puluh orang.
“Inikah orang yang kau
ceritakan itu, Taraji?!”
Mendadak terdengar suara keras
bergaung.Sesaat kemudian, muncul seorang laki-laki bertubuh pendek kekar tapi
bercambang bauk lebat.
Sementara di sebelahnya
berdiri tiga orang berwajah kasar berpakaian kuning garisgaris hitam.
“Benar, Ketua,” tandas Taraji
seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Laki-laki bercambang bauk
lebat yang ternyata Kalasura, kini mengalihkan perhatian kembali pada
Raksagala. Sepasang matanya merayapi selebar wajah pemuda berwajah pucat itu.
“Jangan mimpi untuk dapat
membuat khayalanmu jadi kenyataan, Bocah!” dengus Kalasura. “Kau hanya akan mengantarkan
nyawa di sini, tahu?!”
Raksagala menatap wajah
laki-laki bercambang bauk lebat di hadapannya beberapa saat, lalu beralih pada
tiga orang kasar yang berdiri di sebelahnya. Baru kemudian, perhatiannya
tertumpah pada murid-murid Perguruan Belut Putih yang mengepungnya. Sikap
pemuda berwajah pucat ini terlihat tenang saja. Padahal, seluruh urat syaraf
dan ototnya menegang waspada.
Perlahan-lahan tangan
Raksagala menyelinap masuk ke batik baju. Sudah bisa ditebak maksudnya. Ya!
Pemuda berwajah pucat itu ingin mengeluarkan tongkat pemberian gurunya.
Kalasura rupanya sudah
mengetahui maksud Raksagala. Dan dia tidak ingin hal itu
terjadi. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia melompat menerjang. Kedua tangannya menegang
kaku, melancarkan totokan bertubitubi ke arah leher dan bawah hidung
Raksagala.
Belum juga serangan Kalasura
tiba, tiga orang berwajah kasar itu melompat menerjang pula. Dalam sekejap
saja, Raksagala sudah menghadapi empat buah serangan dari empat penjuru, dan
semuanya mengarah ke tempattempat yang mematikan!
Mau tak mau, Raksagala
membatalkan maksudnya semula. Benaknya berputar keras untuk menghadapi serangan
keempat orang lawannya ini. Sesaat kemudian, dia sudah bisa memutuskan.
Sepasang matanya yang awas dapat cepat mengetahui kalau di antara keempat
serangan itu, serangan Kalasura-lah yang menyambar paling dulu. Maka,
diputuskannya untuk menanggulangi serangan laki-laki bercambang bauk lebat itu
terlebih dulu.
Plakkk, plakkk, plakkk ... !
Benturan keras terdengar berkali-kali
ketika Raksagala menangkis semua serangan lawan. Sadar akan keadaannya yang
tidak menguntungkan, pemuda berwajah pucat ini tidak segan-segan mengeluarkan
seluruh kemampuan yang dimiliki.
Akibatnya memang hebat! Tubuh
Kalasura terhuyung-huyung j auh ke belakang. Mulutnya menyeringai menahan sakit
Dan memang, benturan antara tangannya dengan tangan Raksagala membuat kedua
belah tangannya terasa sakit bukan main. Bukan hanya itu saja. Dadanya pun
terasa sesak bukan main.
Sedangkan Raksagala kelihatan
sama sekali tidak terpengaruh benturan itu. Bahkan sehabis menangkis serangan,
laki-laki berwajah pucat ini melompat melewati atas kepala Kalasura. Akibatnya,
semua serangan dari ketiga orang lawannya hanya mengenai tempat kosong.
Tapi Kalasura dan ketiga orang
kasar itu rupanya tidak mau memberi kesempatan. Begitu Raksagala melompat
menjauh, mereka semua segera melesat memburu dan menghujaninya dengan serangan
serangan berbahaya. Pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari lagi.
Kali ini Raksagala harus
menguras seluruh kemampuannya. Apalagi keempat lawan itu memiliki kepandaian
tinggi. Walaupun bila dihadapi satu persatu keempat orang lawan itu masih di
bawahnya, tapi cara bertarung mereka keroyokan. Mau tak mau, Raksagala jadi
kerepotan juga.
Kalasura merasa penasaran
bukan kepalang. Seperti juga Raksagala, dia adalah murid langsung dari Ki
Sawungrana. Hanya saja, lakilaki bercambang bauk lebat itu tidak memiliki
seluruh ilmu gurunya. Lain halnya dengan Raksagala yang menerima semuanya.
Sementara Raksagala menghadapi
lawanlawannya, sementara itu pula murid Perguruan Belut Putih yang berada di
atas pagar bambu menjepretkan panah ke arah Dewa Arak dan murid-murid Perguruan
Belut Putih lain yang berada di luar pagar.
Twanggg ... ! Twanggg...!
Saat itu Dewa Arak bersama
rombongan murid Perguruan Belut Putih telah bergerak menuju gerbang. Di tangan
mereka sudah tergenggam senjata terhunus. Rupanya mereka semua merasa tidak
sabar lagi menunggu Raksagala. Maka diputuskanlah untuk segera menyusulnya.
Melihat hujan anak panah itu,
Arya segera memutar-mutarkan tangannya. Luar biasa ... ! Belasan anak panah itu
berpentalan tak tentu arah ketika angin yang amat kuat keluar dari kedua
tangannya yang berputar. Sebagian besar anak panah itu runtuh sebelum mengenai
sasaran. Ada beberapa di antaranya yang lolos, tapi dengan mudah berhasil
dipatahkan dengan ayunan senjata murid-murid Perguruan Belut Putin.
Berkali-kali hujan anak panah
itu berhamburan ke arah rombongan yang memaksakan diri untuk masuk ke Perguruan
Belut Putih, tapi semuanya berhasil dipunahkan.
Brakkk ... !
Suara berderak keras terdengar
ketika pintu gerbang Perguruan Belut Putih hancur berantakan. Dewa Arak memang
telah menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk merobohkan pintu itu dengan kekerasan.
Begitu pintu terbuka,
rombongan itu segera bergerak menyerbu ke dalam seraya berteriakteriak
mengajak rekan-rekan mereka untuk bergabung menentang tindakan Kalasura.
Dewa Arak yang takut terjadi
pertumpahan darah besar-besaran, segera melesat ke arah pertarungan antara
Raksagala dengan keempat orang lawannya.
“Mundur Raksagala...! Cegah
pertumpahan darah!” teriak Arya.
Raksagala tidak membantah.
Begitu Arya tampak meluruk masuk ke kancah pertarungan, dia melompat
menghindar. Dan ketika kedua kakinya hinggap di tanah, tongkatnya segera
diacungkan tinggi-tinggi ke atas.
“Murid-murid Perguruan Belut
Putih semua ... ! Lihat tongkat ini baik-baik ,.. ! Aku adalah wakil penuh Ki
Sawungrana! Kumohon kalian yang masih belum tersesat, bantu kami menumpas
kelaliman Kalasura...!”
Keras bukan main suara
Raksagala karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Serempak semua
kepala menoleh begitu mendengar nama Ki Sawungrana disebut. Seketika
pertarungan terhenti. Dan begitu mendengar kata-kata Raksagala dan melihat
tongkat pusaka itu, sebagian murid Perguruan Belut Putih yang akan menyerang
rombongan Dewa Arak berbalik haluan. Mereka kini bersatu dengan rombongan itu.
Pertarungan tak dapat
dielakkan lagi. Gerombolan anak buah Kalasura pun tidak sedikit, karena
sebagian besar adalah muridmurid Perguruan Belut Putih yang berwatak bobrok.
Dan sebagian lagi, adalah anak buah
tiga tokoh berpakaian kuning
garis-garis hitam.
Melihat keempat orang lawan
telah dihadapi Dewa Arak, Raksagala segera membantu muridmurid Perguruan Belut
Putih yang masih setia. Kini, terjadilah dua arena pertarungan. Yang satu
antara Dewa Arak melawan Kalasura dan kawan-kawannya. Sementara yang satu lagi
antara dua gerombolan berbeda aliran.
Jeritan kematian diiringi
robohnya tubuhtubuh tanpa nyawa terdengar. Bumi pun dibasahi darah yang
sebagian besar keluar dari tubuh gerombolan Kalasura. Memang dengan adanya
Raksagala, murid-murid setia Perguruan Belut Putih berhasil mendesak lawan.
Sepak terjang Raksagala benar-benar menggiriskan. Kemana saja tangan atau
kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan ada sesosok tubuh terbaring tanpa
nyawa.
Berbareng tewasnya orang
terakhir dari gerombolan Kalasura, Kalasura dan ketiga orang kawannya pun roboh
tergeletak di tanah tanpa mampu bergerak lagi. Dewa Arak memang terpaksa
menewaskan mereka. Dia tahu dari Ki Wanara kalau keempat orang inilah yang
selalu merusak wanita. Sebuah perbuatan yang amat dibencinya. Dan itulah
sebabnya, dia tidak sudi mengampuni keempat orang lawannya. Dewa Arak mengamati
mayat-mayat bekas lawannya. Sementara, Raksagala juga telah menyelesaikan
pertarungannya.
Raksagala melirik Arya. Dan
tentu saja pemuda berambut putih keperakan itu tahu maksud lirikan itu.
Raksagala mengajaknya pergi ke Istana Hantu.
“Diraga ... ! Uruslah semuanya
... ! Aku akan pergi dulu ... !” kata pemuda berwajah pucat itu seraya melesat
pergi dari situ.
Dewa Arak pun berkelebat
mengikuti. Dalam waktu sebentar saja, tubuh mereka telah lenyap ditelan jalan.
Keduanya sama sekali tidak mempedulikan pandangan kekaguman dari murid-murid
Perguruan Belut Putih.
***
Raksagala dan Dewa Arak
berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Raksagala yang
bertindak sebagai petunjuk jalan, tentu saja berada agak di depan. Sementara
Dewa Arak mengikuti di belakangnya.
Raksagala memang mengerahkan
seluruh kemampuannya. Namun Arya hanya sebagian saja. Sebab jika seluruh ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan, sudah bisa dipastkan Raksagala pasti akan
tertinggal.
Dua hari lamanya Raksagala dan
Dewa Arak menempuh perjalanan bersama. Kini sewaktu matahari tepat di atas
kepala, mereka berdua berjalan di tempat yang tanahnya lembek dan banyak
tergenang air.
Dewa Arak mengamati keadaan
sekelilingnya. Udara di sekitar tempat ini demikian lembab. Sekelilingnya
penuh pepohonan. Pohon besar dan tinggi sampai menjulang tinggi.
Raksagala terus saja melangkah
melewati jalan-jalan becek berhawa lembab yang dipenuhi pepohonan menjulang
tinggi. Dewa Arak mengikutinya, dengan seluruh urat syaraf menegang waspada.
“Itu dia Istana Hantu...!”
Raksagala berseru seraya
menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar dan megah tapi terlihat
tua. Bangunan itu berhalaman luas. Sebuah pagar tembok yang tebal dan terlihat
tua mengelilingnya.
Dewa Arak mengikuti arah
tudingan Raksagala. Dan diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini mengakui
kalau nama yang diberikan untuk tempat itu memang cocok. Bangunan itu mirip
sebuah istana. Tapi menilik keadaannya yang begitu menyeramkan, mana ada raja
atau pejabat kerajaan yang bersedia tinggal di situ. Rasanya tidak ada seorang
pun yang mau tinggal di situ, kecuali hantu!
“Ha ha ha...!”
Mendadak terdengar suara tawa
keras menggelegar menggetarkan jantung. Jelas kalau suara itu keluar dari mulut
orang yang memiliki tenaga dalam tinggi. Seketika itu juga Raksagala dan Dewa
Arak terperanjat. Kontan seluruh urat syaraf di tubuh mereka menegang waspada,
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sebelum gema suara tawa itu
lenyap, di hadapan Raksagala dan Dewa Arak telah berdiri seorang kakek tinggi
besar berpakaian merah. Memang, pakaian kakek ini mirip pakaian Jonggirupaksi,
satu-satunya penjaga Istana Hantu.
Melihat munculnya kakek itu,
Raksagala tanpa sadar melangkah mundur. Dia kenal betul, siapa sosok tubuh tinggi
besar itu. Dia adalah Barong Segara, si Penghuni Istana Hantu!
Tanpa diberi tahu lagi pun
Dewa Arak sudah bisa memperkirakan sosok yang berdiri di hadapannya. Memang,
Raksagala telah menceritakan ciri-ciri Penghuni Istana Hantu ini!
Dewa Arak menatap wajah kakek
berpakaian merah itu lekat-lekat. Diam-diam ada sedikit perasaan ngeri di
hatinya melihat guratan yang ada di wajah Barong Segara.
“Sungguh tidak kusangka kau
memiliki nyali juga, Monyet Kecil?!” kata Barong Segara keras seraya melayangkan
pandangan pada Raksagala. “Rupanya kau pun ingin cepat-cepat menjadi bangkai
seperti gurumu itu!”
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Raksagala ketika mendengar ucapan Penghuni Istana Hantu itu. Tanpa
mempedulikan kenyataan kalau dirinya bukanlah tandingan kakek berpakaian merah
itu, hatinya bertekad untuk menyerangnya. Kemarahan yang amat sangat telah
menutup matanya.
Tapi sebelum pemuda berwajah
pucat itu berhasil melaksanakan maksudnya, sebuah tangan kekar telah mencekal
pergelangannya.
Raksagala menoleh. Memang, itu
adalah tangan Dewa Arak yang mencegahnya untuk tidak bertindak gegabah.
“Biar aku yang menghadapinya,
Raksagala,” tegas pemuda berambut putih keperakan itu pelan, tanpa bermaksud
meremehkan.
Raksagala tahu diri. Dia sadar
kalau memaksakan diri bertarung, hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia saja.
Maka dibiarkan saja Dewa Arak yang menghadapinya. Tapi perasaan dongkol yang
menyesak di dada, membutuhkan pelampiasan! Tidak bisa membalas dengan
kekerasan, dia pun berniat membuat Barong Segara terpukul.
“Kali ini kau yang akan
menjadi bangkai, Barong Segara!” ejek Raksagala tajam. “Kau tahu, adikmu telah
menjadi bangkai lebih dulu di tangan pemuda di sampingku ini! Dan kini kau akan
menyusulnya!”
Terdengar raungan keras,
seperti ada seekor binatang buas terluka yang tengah murka. Barong Segara murka
bukan kepalang. Durgasari, adiknya telah tewas? Hampir dia tidak bisa
mempercayai hal ini!
Kini dia mengerti, mengapa
pemuda berwajah pucat itu berani datang menyatroni tempatnya. Rupanya
Raksagala mengandalkan temannya.
Sambil meraung keras seperti
binatang buas terluka. Barong Segara bersiap menerjang Dewa Arak. Tahu kalau
pemuda yang berdiri di hadapannya ini telah menewaskan adiknya, dia
bisa menduga kalau calon
lawannya pasti berilmu tinggi. Maka Penghuni Istana Hantu ini tidak ragu-ragu
lagi mengeluarkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Tanpa sungkan-sungkan segera
dikeluarkan gabungan ilmunya, 'Tangan Penahan Gelombang Laut' dan 'Ilmu Tangan
Pasir Besi'.
Arya sama sekali tidak berani
bertindak setengah-setengah. Segera guci araknya diangkat ke atas kepala, lalu
dituangkan ke dalam mulut
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
cairan arak memasuki tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga hawa hangat
menjalar di dalam perut Arya. Kemudian perlahan-lahan merayap ke atas. Hanya
dalam sekejap saja, tubuh Dewa Arak mulai limbung. Posisi kedua kakinya mulai
tidak tetap. Oleng sana, oleng sini!
“Haaat..!”
Sambil mengeluarkan teriakan
mengguntur, Barong Segara segera melompat menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya
yang kini berwarna hitam mengkilat seperti baja, meluncur cepat ke arah dada,
ulu hati, pusar Dewa Arak dengan jari-jari tangan menegang kaku.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Dia merasa heran, karena tidak merasakan adanya hembusan angin yang mengiringi
serangan lawan. Dia tahu kalau lawan telah menyerang mempergunakan tenaga
lemas. Tak kelihatan
berbahaya, tapi sebenarnya
mengandung ancaman maut! Tapi yang membuat hati Dewa Arak bingung, mengapa
kedua tangan dan bentuk serangan itu terlihat keras dan kasar penuh tenaga!
Sekujur tangan itu menegang kaku seperti penuh tenaga, tapi anehnya tidak ada
hawa angin sedikit pun yang mengiringi.
Sama sekali pemuda berambut
putih keperakan ini tidak tahu kalau Barong Segara telah menggabungkan 'Ilmu
Tangan Pasir Besi' yang kelihatan kasar dan keras, dengan ilmu 'Tangan Penahan
Gelombang Laut' yang kelihatan lembut dan tidak bertenaga.
Dewa Arak tidak berani
bertindak ceroboh. Maka buru-buru serangan itu dielakkan dengan menggunakan
jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kemudian dia bergegas melangkah maju ke
kanan. Dengan bertumpu pada telapak kaki kanan, tubuhnya berputar. Dan
tahu-tahu saja, dia telah berada di belakang lawan. Bukan hanya itu saja.
Secepat Arya berada di belakang lawan, secepat itu pula melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah punggung.
Semula Barong Segara
terperanjat bukan main melihat lawannya tahu-tahu menghilang dari hadapannya.
Tapi begitu merasakan adanya hembusan angin dari belakang, dia tahu lawan telah
mengirimkan serangan.
Serangan Dewa Arak datangnya
memang begitu cepat dan tiba-tiba. Tapi Barong Segara tidak kalah cepat.
Buru-buru tubuhnya dilipat ke depan sehingga serangan Dewa Arak hanya
menyambar tempat kosong, lewat
setengah jengkal di atas punggungnya. Pada saat yang sama, kaki kanan Barong
Segara menendang ke belakang. Persis gerakan seekor kuda yang menendang!
Arya terperanjat, sungguh
tidak disangka kalau akan begini sambutan lawannya. Memang luar biasa Penghuni
Istana Hantu ini. Dalam keadaan terjepit dan waktu yang sempit, dia tidak hanya
mampu lolos dari ancaman maut. Bahkan juga mampu sekaligus balas mengancam.
Meskipun begitu Dewa Arak
tidak hilang akal. Sudah tidak terhitung kejadian yang berbahaya seperti ini
dialaminya. Dan berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', dia selalu berhasil
menyelamatkan diri.
Sekarang pun demikian juga.
Dengan kelincahan seorang yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi, Arya menjejakkan kakinya di tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya telah
melayang ke belakang.
Barong Segara yang telah
dilanda dendam, tidak mungkin akan memberi kesempatan pada lawannya. Secepat
dia berhasil memperbaiki posisinya, secepat itu pula kembali melancarkan
serangan.
Tapi Dewa Arak bukan orang
sembarangan. Begitu Barong Segara berhasil memperbaiki posisinya, dia pun telah
melakukan hal yang sama. Dan kini keduanya segera saling gebrak! Tak lama
kemudian, kedua tokoh berbeda aliran
tapi sama-sama memiliki
kepandaian tinggi ini sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang samasama telah mencapai tingkatan amat tinggi, pertarungan antara mereka
berdua jadi berlangsung cepat. Dalam waktu tak begitu lama, lima puluh jurus
telah berlalu. Dan selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan
terdesak. Pertarungan masih berjalan seimbang, walaupun terlihat tidak menarik.
***
Raksagala mengerutkan alis
melihat pertarungan yang berlangsung di hadapannya. Jelas sekali kalau pemuda
berwajah pucat ini merasa tidak tertarik dengan pertarungan di hadapannya yang
berlangsung membosankan.
Diam-diam Raksagala merasa
kecewa melihat sikap Dewa Arak dalam menghadapi pertarungan itu. Tampak pemuda
berambut putih keperakan itu seperti gentar menghadapi Barong Segara. Tak
sekali pun dia berani menangkis serangan Barong Segara. Dan ini membuat
Raksagala sama sekali tidak puas. Begitu pula ketika Arya melancarkan serangan.
Penghuni Istana Hantu itu tampak seperti akan menangkis, namun pemuda berambut
putih keperakan itu menarik pulang serangannya.
Barong Segara menggertakkan
gigi. Ada perasaan kagum di hatinya melihat tindakan Dewa Arak, meskipun
amarahnya tetap
berkobar-kobar. Sungguh tidak
disangka kalau lawannya begitu cerdik, sehingga tidak mau mengadu tangan
dengannya. Karena sekali saja mengadu tangan, nyawa pemuda berambut putih
keperakan itu pasti akan melayang. Tenaga di dalam ilmu 'Tangan Penahan
Gelombang Laut', akan menyelusup dan menghancurkan bagian dalam dadanya dan
memang demikianlah keunggulan ilmu itu.
Dan karena tahu akan
kedahsyatan ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut', maka Barong Segara berusaha
memojokkan lawan. Dia berusaha sekuat tenaga agar lawan tidak dapat mengelak
lagi, sehingga terpaksa harus mengadu tangan. Dan bila hal itu terjadi, Dewa
Arak sudah pasti akan dapat dikalahkannya.
Tapi Dewa Arak ternyata gesit
bukan main. Dan hal itu memang wajar saja. Pemuda berambut putih keperakan ini
memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, sehingga semua usaha
yang dilakukan Barong Segara sia-sia.
Tapi pada jurus kedua ratus,
Dewa Arak tidak bisa mengelak lagi. Barong Segara melompat menerjang Dewa Arak
dengan sebuah serangan tusukan tangan bertubi-tubi ke arah leher dan ulu hati.
Dua buah serangan mematikan.
“Hih ... !”
Arya menggertakkan gigi. Tidak
ada jalan baginya, kecuali menyambuti serangan. Buruburu serangan itu dipapak
dengan hentakan
kedua tangannya yang membentuk
cakar. Ada uap tipis yang samar-samar keluar dari kepala Dewa Arak. Arya memang
menggunakan jurus 'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'.
Prattt..!
Barong Segara memekik ngeri.
Tubuhnya melayang kembali ke atas, kemudian jatuh berdebuk di tanah dan diam
tidak bergerak lagi. Penghuni Istana Hantu itu tewas dengan sekujur kulit tubuh
menghitam hangus. Bau sangit daging yang terbakar tercium di sekitar tempat
itu.
“Hhh ... !”
Dewa Arak menghela napas. Lega
rasa hatinya melihat lawan tangguhnya berhasil dibinasakan. Dan yang lebih
melegakan hatinya, ternyata tidak dirasakan adanya rasa sakit yang menekan dada
ketika menarik napas dalamdalam. Jelas kalau dia tidak terluka dalam. Apakah
jurus 'Membakar Matahari' dalam pengerahan ilmu 'Tenaga Dalam Inti Matahari',
telah membuat ilmu 'Tangan Penahan Gelombang Laut' mati kutu! Dewa Arak sendiri
tidak tahu. Padahal, kesimpulan yang diambilnya memang benar!
Raksagala menghampiri Arya.
“Kuucapkan banyak terima kasih
atas bantuanmu, Dewa Arak. Dengan tewasnya Barong Segara, maka semua tokoh
persilatan yang berada di Istana Hantu bebas untuk keluar,” ucap pemuda berwajah
pucat ini gembira. 'Kau bersedia ikut aku memberi tahu mereka, Arya?”
“Sayang sekali, Raksagala. Aku
tidak bisa ikut. Aku masih ada urusan lain.”
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak melangkah perlahan meninggalkan tempat itu. Sementara Raksagala hanya
dapat memandangi saja kepergian pemuda berambut putih keperakan itu. Dia tahu,
tidak ada gunanya membujuk. Orang seperti Dewa Arak sekali berkata tidak,
selamanya akan tidak. Maka pemuda berwajah pucat itu bergegas menuju Istana
Hantu.
Sementara itu, semakin lama
tubuh Dewa Arak semakin kecil. Dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
SELESAI