Serial Dewa Arak 01 - Pedang Bintang

Hari masih pagi, ketika di kaki lereng Gunung Waru berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat menuju ke puncak. Menilik dari gerakan yang ratarata ringan dan gesit, dapat diketahui kalau bayangan­bayangan itu adalah orang-orang persilatan yang berkepandaian cukup tinggi .
01 - Pedang Bintang

Hari masih pagi, ketika di kaki lereng Gunung Waru berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat menuju ke puncak. Menilik dari gerakan yang ratarata ringan dan gesit, dapat diketahui kalau bayangan­bayangan itu adalah orang-orang persilatan yang berkepandaian cukup tinggi .

Tentu saja berkelebatnya bayangan-bayangan itu segera diketahui para murid Perguruan Tangan Sakti yang bermarkas di sana. Maka murid-murid itupun segera memberitahukan hal tersebut kepada kakak seperguruan mereka.

Ketika berita itu sampai di telinga tiga orang kakak seperguruan mereka yang bernama Seta, Satria dan Mega, tokoh-tokoh yang berdatangan itu sudah tiba di depan pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti yang cukup luas. Sedangkan para murid Perguruan Tangan Sakti yang ber­tugas jaga di sana hanya mengawasi dengan sikap waspada.

“Wanayasa, keluar kau! Serahkan Pedang Bintang itu!” teriak salah seorang yang datang itu.
“Benar, serahkanlah pedang itu !” sambung yang lain.

“Cepat, Wanayasa! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku terpaksa menerobos masuk menggunakan ke­kerasan!” ancam seorang yang bertubuh tinggi besar, ber­teriak tak sabar. Tangannya yang besar dan kekar berotot nampak menggenggam sebatang tongkat yang terbuat dari baja putih.

Tokoh itu berjuluk si Kerbau Gila. Seorang tokoh sesat yang terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ber­tenaga kuat. Apalagi ilmu tongkatnya juga dahsyat. Entah berapa banyak tokoh golongan putih yang mencegah sepak terjang si Kerbau Gila, tewas di tangannya.

Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya membuat si Kerbau Gila ini manjadi sombong dan jumawa. Pikirnya, selain datuk-datuk dunia persilatan, tidak ada lagi tokoh yang bisa menandinginya!

Karena keyakinannya yang besar, si Kerbau Gila segera memisahkan diri dari orang-orang yang bersamanya. Dengan langkah lebar sambil menggenggam tongkat, dihampirinya pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.

Tentu saja melihat tindakan si Kerbau Gila itu, tokoh­tokoh persilatan lainnya menjadi kawatir. Sebab mereka takut kalau-kalau keduluan laki-laki tinggi besar itu.

Maka, begitu si Kerbau Gila ini menghampiri pintu gerbang, mereka segera berbondong-bondong ikut melangkah maju.

Tapi baru beberapa tindak saja, terdengar suara ber­derak keras disusul bergeraknya pintu gerbang itu. Si Kerbau Gila beserta para tokoh persilatan yang mengikuti di belakangnya, serentak menghentikan langkah. Mereka semua sama-sama memandang ke arah pintu gerbang itu sambil memasang sikap waspada.

Perlahan-lahan pintu gerbang itu terbuka. Dari balik pintunya, muncul belasang sosok yang kemudian dengan gagahnya melangkah ke luar.

Laki-laki tingi besar yang berjuluk si Kerbau Gila itu menatap satu persatu belasan wajah yang berdiri beberapa tombak di hadapannya. Ia mencoba menduga-duga, mana di antara mereka yang bernama Ki Wanayasa.

“Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?! Majulah! Dan berikan Pedang Bintang itu padaku!” ucap si Kerbau Gila keras dan kasar.

Belum sempat salah satu dari belasan orang itu menyahut, terdengar suara tawa bergelak. Tak lama kemudian, salah seorang dari belasan orang yang berdiri di belakang si Kerbau Gila melesat maju ke depan.

“Ha..ha...ha        ! kau jangan mau menang sendiri,Kerbau Gila! Dikira hanya kau saja yang berniat memiliki Pedang Bintang? Aku dan semua orang yang berada di belakangmupun mempunyai niat yang sama.”

Si Kerbau Gila menoleh ke arah orang yang baru saja bicara lantang yang kini telah berada setengah tombak di samping kanannya. Untuk sesaat dia agak terkejut melihat seseorang yang bertubuh kecil kurus. Wajahnya mirip tikus dan berwarna merah.

Rupanya dia adalah si Tikus Muka Merah yang tak mau ketinggalan. Tokoh sesat yang pengaruhnya merajalela di beberapa desa, dan sampai saat ini tak ada yang berani menentangnya!

Hanya untuk sesaat si Kerbau Gila ini agak terkejut, dan kini sudah kembali pada sikapnya semula. Sombong dan memandang rendah orang lain.

“Apa peduliku dengan segala urusanmu, tikus got?” ejek Kerbau Gila bernada kasar.

Wajah si Tikus Muka Merah berubah semakin merah mendengar ejekan kasar itu. Seumur hidupnya, baru kali ini dirinya dihina orang. Kemarahan yang hebat, kini membakar hatinya.

Pada saat dia sangat ditakuti sampai di beberapa desa, tapi kini dihina si Kerbau Gila begitu saja. Memang nama besar si Kerbau Gila telah didengarnya, maka tentu saja hatinya menjadi gentar juga. Walaupun belum dibuktikan kebenarannya.

“Kerbau Gila,” ucap si Tikus Muka Merah mencoba bersikap tenang, sungguhpun nada suaranya tetap terdengar gemetar dan penuh tekanan. “Kalau tidak mengingat urusan yang sangat penting ini, saat ini juga aku sudah turun tangan untuk menghancurkan mulutmu yang telah begitu lancang menghinaku. Tapi biarlah. Kalau tidak sekarang, nantipun jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” sambungnya, berusaha memberanikan diri, karena di hadapan orang banyak.

“Keparat!” Kerbau Gila berteriak memaki. Ia marah bukan main mendengar ucapan Tikus Muka Merah yang begitu merendahkan dirinya. Hampir-hampir saja diterjang laki-laki kurus berwajah merah itu. Untung saja segera teringat akan tujuannya datang ke Gunung Waru ini. Maka segera diredam amarahnya. Tapi sempat juga dikeluarkan sebuah ancaman yang berbau maut.

“Berhati-hatilah kau, tikus got. Sehabis mengambil Pedang Bintang, aku akan mencarimu ke manapun. Dan kukuliti dagingmu!”

Setelah puas mengancam, Kerbau Gila kini mengalihkan perhatiannya kepada belasan orang yang keluar dari pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.

“Jawab pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang. Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?!” bentak Kerbau Gila.

“Apa urusanmu mencari guru kami?” tanya Seta, salah seorang dari tiga orang yang berdiri paling depan.

“O, jadi kalian ini murid-murid Wanayasa?’ tanya Kerbau Gila lagi, bernada kurang ajar sambil memperhatikan Seta yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis. Kulitnya coklat sawo matang.

Seta hanya mengangguk. Masih dicobanya untuk bersabar, walaupun kemarahannya sejak tadi telah ber­golak melihat kekurangajaran orang yang berdiri di hadapannya ini. beginya kemarahan hanya akan men­datangkan kerugian.

“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” bentak si Kerbau Gila keras. “Aku hanya mempunyai urusan dengan Wanayasa! Ayo, panggil dia dan cepat menemuiku!”

Sret! Sret!

Bagai dikomando, belasan murid Perguruan Tangan Sakti yang berdiri di belakang Seta, bersama-sama menghunus pedangnya. Para murid Perguruan Tangan Sakti itu sudah tidak sanggup lagi menahan amarah melihat sikap si Kerbau Gila yang telah keterlaluan menghina guru mereka. Bahkan Satria dan Megapun sudah bersiap-siap menyerang. Kalau saja tidak meng­hormati kakak seperguruan, mungkin sudah sejak tadi mereka menerjang si Kerbau Gila yang keterlaluan itu.

“Tahan ..... !”

Teriak Seta mencegah tindak lanjut adikadik seperguruannya.

Kemudian dengan sikap masih tenang, dihadapinya si Kerbau Gila.

“Kerbau Gila! Perlu kau ketahui. Bahwa setiap per­soalan apapun yang menyangkut guru kami, juga menjadi wewenangku untuk mengurusnya. Apapun bentuk per­soalan itu. Apalagi hanya persoalan denganmu, yang sangat sepele ini. Jangankan guruku. Akupun mampu mengatasinya!” ujar Seta tandas.

“Keparat! Kau tidak akan mampu mengurus masalah ini. Panggil Wanayasa. Cepat, sebelum kesabaranku hilang!”

“Sudah kukatakan tadi. Semua urusan yan menyangkut guruku, apapun bentuk urusan itu, telah diserahkan padaku untuk mengurusnya.”

“Baiklah!” si Kerbau Gila itu terpaksa mengalah. “Karena kau telah mengaku wakil Wanayasa, maka cepat serahkan Pedang Bintang itu padaku!” desak Kerbau Gila.

“Pedang Bintang? " Seta mengerutkan keningnya, dan untuk sesaat lamanya tercenung.

Tentu saja berita mengenai pedang itu telah didengarnya. Sebilah pedang yang telah membuat dunia persilatan gempar. Kabarnya Pedang Bintang itu dapat menurunkan ilmu-ilmu pe­ninggalan Ki Gering Langit, tokoh persilatan yang pernah mengalahkan datuk-datuk dunia persilatan di empat penjuru angin! Itulah sebabnya semua tokoh persilatan ter­giur untuk mencari dan mendapatkan pedang itu.

“Ya!” ulang Kerbau Gila keras, karena melihat pemuda di hadapannya terbengong.

“Hah!” Seta sedikit terkejut. “Luar biasa! Kau meminta Pedang Bintang pada kami? Apa aku tidak salah dengar, Kerbau Gila? Sepanjang yang kuketahui, guruku tidak memiliki Pedang Bintang. Ki Gering Langitlah yang me­milikinya. Minta padanya, bukan pada kami.”

“Tidak usah banyak alasan! Kau tinggal pilih. Berikan, atau mampus?!” gertak si Kerbau Gila.

“Tidak!” jawab Seta tegas.

“Kalau begitu, mampuslah!” si Kerbau Gila segera menerjang Seta. Dalam kemarahannya yang memuncak, laki-laki tinggi besar itu langsung menyerang dengan tongkatnya. Angin menderu-deru hebat mengawali serangannya.

“Menyingkir kalian semua!” perintah Seta pada adik­adik seperguruannya.

Tanpa diperintah dua kali, Satria, Mega dan para murid Perguruan Tangan Sakti lainnya segera menghindar dari situ.

Bagai dikomando, begitu si Kerbau Gila telah menyerang Seta, Tikus Muka Merah dan tokoh-tokoh persilatan lainnyapun meluruk menyerang murid Perguruan Tangan Sakti lainnya.

Tikus Muka Merah segera menerjang Satria, yang paling dekat dengannya. Terpaksa Satria melayaninya. Begitu juga para murid Perguruan Tangan Sakti. Mereka semuapun diserbu puluhan orang yang sejak tadi ber­gerombol di belakang si Kerbau Gila.

Tentu saja hal ini amat mengejutkan Seta dan adik-adik seperguruannya. Mereka tidak punya pilihan lain lagi kecuali mempertahankan diri. Bahkan kalau mungkin, melawan sekuat tenaga dan balas menyerang.

Para murid Perguruan Tangan Sakti yang masih berada di dalam, segera berbondong-bondong keluar, membantu kakak­kakak seperguruannya. Memang, para murid yang keluar sejak tadi adalah yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Mereka terdiri dari tiga orang murid kepala, Seta, Satria dan Mega. Dan tiga belas orang murid yang se­tingkat di bawah mereka.

Sudah dapat diduga, maka terjadilah pertarungan semrawut di lapangan yang luas itu, antara para murid Perguruan Tangan Sakti melawan para pemburu pedang pusaka milik Ki Gering Langit.

Di antara semua pertarungan itu yang paling dahsyat adalah pertarungan antara Seta melawan si Kerbau Gila. Laki-laki tinggi besar ini adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Terutama ilmu tongkatnya yang bernama ‘Ilmu Tongkat Angin Badai’. Boleh dibilang, sekali tongkatnya digunakan sudah dapat dipastikan kalau nyawa lawan melayang. ‘Ilmu Tongkat Angin Badai’ itu memang luar biasa. Dan itu dirasakan Seta secara langsung yang menghadapi si Kerbau Gila.

Sejak awal, si Kerbau Gila itu menyerang lewat sapuan tongkatnya ke arah kaki. Dan hembusan angin dahsyat dirasakan betul oleh Seta. Angin akibat sapuan tongkat itu bisa membuat orang yang kurang kuat tenaga dalamnya akan terlempar. Suara menderu-deru mengiringi serangan tongkat itu. Sehingga kalau saja Seta tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tentu sudah terjengkang sebelum serangan tongkat itu mengenai sasaran.

Akan tetapi, Seta adalah salah satu murid andalan Per­guruan Tangan Sakti. Maka saat melihat sambaran tongkat yang menyapu kakinya, sikapnya begitu tenang. Hanya dengan lompatan sederhana, Seta telah membuat sapuan tongkat Kerbau Gila itu menyambar tempat kosong, lewat di bawah kakinya. Dengan cepat, murid andalan Perguruan Tangan Sakti itu segera membalas dengan serangan­serangan yang tak kalah dahsyatnya. Sebentar saja keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.

Seperti halnya Seta, Satriapun menghadapi lawan yang amat tangguh, yakni Tikus Muka Merah. Laki-laki kurus ini adalah tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Tak terhitung tokoh golongan putih yang tewas di tangannya. Malah sebagian besar dari mereka tewas, di saat Tikus Muka Merah belum mengeluarkan senjata andalannya berupa sepasang tombak pendek berwarna hitam meng­kilat!

Akan tetapi, lawannya kali ini adalah Satria, salah seorang murid kepala Perguruan Tangan Sakti. Bahkan juga murid kesayangan Ki Wanayasa! Jadi, walaupun Tikus Muka Merah telah berusaha sekuat tenaga untuk me­rubuhkan Satria, tetap saja tidak mampu melakukannya. Jangankan untuk merubuhkan, mendesakpun tidak mampu. Padahal, segenap kemampuan yang dimilikinya telah dikerahkan. Bahkan pelahan namun pasti, Satria mulai mendesaknya.

Tikus Muka Merah akhirnya sadar kalau Satria terlalu tangguh jika dihadapi dengan tangan kosong. Jelas dia kalah segala-galanya. Baik tenaga, kelincahan, maupun ilmu silat. Kalau hal ini dipaksakan, sudah dapat dipasikan dia akan rubuh di tangan Satria. Maka pantaslah kalau Ki Wanayasa menamakan perguruan silatnya, Perguruan Tangan Sakti. Memang, ilmu silat tangan kosong perguruan ini luar biasa. Pertahanannya sulit ditembus. Sedangkan penyerangannya begitu dahsyat dan bertubi-tubi laksana gelombang.

Maka, tanpa ragu-ragu lagi Tikus Muka Merah langsung mengeluarkan senjata andalannya yang berupa sepasang tombak pendek berwarna hitam mengkilat. Kini dengan senjata andalannya, laki-laki kurus bermuka merah itu berusaha mendesak Satria.

Satria terperanjat ketika merasakan desakan lawan yang menggunakan sepasang tombak pendek itu. Kemampuan Tikus Muka Merah menjadi berlipat ganda! Maka Satria tidak mau mengambil resiko. Cepat-cepat dicabut pedangnya dan langsung dikerahkan ilmu andalannya ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’.

Dengan ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’, memang gerakan-gerakan Satria menjadi luar biasa. Belum lagi ilmu pedang itu sendiri yang memang dahsyat. Tidak heran dalam bebrapa gebrakan saja, Tikus Muka Merah mulai terdesak hebat. Dan pada jurus yang kedelapan, sebuah sabetan pedang Satria berhasil membacok leher laki-laki kurus itu.

Crakkk!

Tanpa dapat berteriak lagi, tubuh Tikus Muka Merah rubuh ke tanah dengan leher hampir putus. Darah langsung muncrat dari luka sayatan di lehernya. Tokoh sesat itupun tewas seketika, setelah meregang nyawa sesaat.

Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara Seta melawan Kerbau Gila masih berlangsung sengit. Walaupun laki-laki tinggi besar itu telah menggunakan senjata andalannya, dan Seta hanya bertangan kosong, tapi tetap saja Kerbau Gila tidak mampu berbuat banyak.

Jurus ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’ yang diguna­kan Seta terlalu tangguh buat si Kerbau Gila. Pertahanan Seta begitu kokoh, membuat setiap serangan Kerbau Gila kandas di tengah jalan.

Sementara serangan balasan dari pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu semakin lama semakin bertambah saja kekuatannya. Sehingga dalam be­berapa puluh jurus saja Kerbau Gila sudah terdesak hebat. Sampai akhirnya pada jurus kelima puluh delapan, sebuah totokan ujung kaki kanan Seta dengan keras menghantam lutut kiri laki-laki tinggi besar itu.

Tukkk!

Si Kerbau Gila meringis. Totokan ujung kaki Seta yang ditunjang tenaga dalam tinggi itu membuat sambungan tulang lututnya terlepas. Rasa sakit yang hebatpun seketika menyerang lututnya. Akan tetapi, tidak sedikitpun terdengar keluhan dari mulut Kerbau Gila. Sifat sombong melarangnya bersikap cengeng di hadapan lawan. Dan saat Kerbau Gila sempoyongan, tiba-tiba Seta menyerang da hsyat.

Pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu mengibas­kan kaki kirinya sambil berputar. Inilah salah satu gerakan ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’.

Desss!

“Aaaakh ..... !”

Diiringi suara berdebum keras, tubuh si Kerbau Gila itu ambruk ke tanah. Tidak bangun-bangun lagi.

****

Sementara itu di arena lain, pertarungan antara murid-­murid Perguruan Tangan Sakti dengan para pemburu pusaka Ki Gering Langit kian menghebat. Muridmurid tingkat rendahan perguruan itu sudah banyak yang berguguran. Begitu pula dari pihak para pemburu pusaka Ki Gering Langit.

Baru saja Seta hendak terjun lagi dalam kancah pertarungan itu, tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak. Sesaat kemudian muncul sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Dua tangannya yang kekar itu langsung diputar-putarkan di depan dada dari luar ke dalam. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Seketika bertiup angin keras yang mampu membuat mereka yang sedang bertarung bagai dilanda angin ribut. Padahal jarak orang bertubuh tinggi besar itu dengan arena pertempuran tak kurang dari lima tombak.

Pertarungan seketika berhenti. Seluruh pasang mata kini tertuju pada manusia tinggi besar yang masih berdiri sambil terkekeh. Tak terkecuali Seta. Murid terpandai Ki Wanayasa ini kaget bukan main melihat peragaan tenaga dalam yang dipertunjukkan manusia tinggi besar itu. Dia sadar kalau orang yang baru datang itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang berada jauh di atasnya.

Terdengar gumaman kaget dari kerumunan para pemburu pusaka Ki Gering Langit. Rupanya banyak di antara mereka yang mengenal laki-laki tinggi besar itu. Dia adalah Bargola, yang merupakan datuk bagi kaum sesat. Bagai kucing ditakut-takuti sapu lidi, kerumunan para pemburu pusaka Ki Gering Langit kontan buyar. Mereka semua saling mendahului melangkah mundur, karena takut menjadi korban Bargola.

Jantung Seta berdebar keras ketika mengetahui manusia tinggi besar ini adalah Bargola. Sungguh di luar dugaan kalau dia saat ini berhadapan dengan tokoh yang belum pernah terkalahkan, kecuali oleh Ki Gering Langit! Tanpa bertempur lagi, Setapun sudah tahu kalau Bargola tak mungkin dapat dikalahkannya.

Bahkan gurunya sendiri yang bernama Ki Wanayasa, belum tentu mampu menandingi Bargola. Akan tetapi walau demikian Seta merasa bertanggung jawab sebagai wakil penuh dari gurunya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi ia maju menghampiri laki-laki tinggi besar itu.

Melihat hal ini Satria dan Mega tidak mau berdiam diri saja. Mereka memang telah mendengar kedahsyatan ilmu Bargola. Merekapun tahu kalau Seta bukanlah tandingan tokoh sesat itu. Namun demikian mereka segera melangkah mengikuti di belakang Seta. Satria dan Mega benar-benar tidak sampai hati jika harus membiarkan kakak seperguruan mereka menentang maut sendirian.

“Merupakan kehormatan besar, seorang tokoh besar sepertimu sudi mengunjungi tempat kami, Bargola,” ucap Seta dengan suara yang terdengar tenang. Tapi ke­tegangan yang luar biasa masih juga menyelimuti hatinya.

“Siapa kau? Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!” bentak Bargola tanpa memperdulikan ucapan Seta.

“Namaku Seta, murid Ki Wanayasa,” jawab Seta tegas.

“O, jadi kau murid Wanayasa? Bagus. Kalau begitu cepat panggil Wanayasa! Katakan padanya aku meminta Pedang Bintang!” tegas Bargola dengan suara keras.

“Sayang sekali Bargola. Guruku saat ini tidak ingin diganggu. Jadi menyesal sekali kalau aku tidak dapat menyampaikan pesanmu!”

“He ... he ... he.... Kau beruntung Anak Muda. Sekarang ini hatiku tengah gembira. Kalau tidak, sudah sejak tadi kau telah jadi mayat! Tapi biarlah. Kalau kau tak mau memanggil Wanayasa, aku sendiri yang akan memanggilnya.”

Setelah berkata demikian, Bargola melangkah tenang menuju pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.

“Langkahi dulu mayatku!” teriak Seta tegas. Dengan berani dihadangnya tokoh sesat itu. dan...

Srattt!

Cepat sekali Seta mencabut pedangnya. Ia tahu betul kalau lawannya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang sulit diukur. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dicabut sebjata. Sebab, Bargola tidak bisa disamakan dengan Kerbau Gila! Kapandaian Bargola jauh di atas Kerbau Gila.

“Ha ... ha ... ha ... !” Bargola tertawa terbahak-bahak. “Maju dan seranglah aku, kunyuk! Ingin kulihat sampai di mana kelihaian ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’ milik gurumu itu!”

“Hiyaaaa ... !” Teriak Seta keras. Tubuhnya melesat menerjang Bargola dengan satu tusukan lurus ke arah perut. Cepat sekali seangan yang dilakukan Seta itu.

“Hm...” dengus Bargola.

Dengan gerakan yang seperti malas-malasan, Bargola memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam. Angin keras seketika timbul dari kedua tangan yang berputaran itu. begitu kerasnya angin itu sehingga membuat tubuh Seta tertahan, tak dapat maju. Tubuhnya bagai menembus dinding yang tidak nampak.

Seta menggertakkan giginya. Dikerahkan seluruh tenaganya, mencoba meneruskan serangannya yang kandas sebelum mencapai sasaran. Sekujur tubuhnya terutama tangannya yang terjulur menusukkan pedang ber­getar keras. Sementara Bargola tenang-tenang saja sambil memuta-mutarkan kedua tangannya di depan dada.
Sementara Satria dan Mega yang kawatir melihat keadaan kakak seperguruan mereka yang kritis, segera mencabut pedangnya hampir bersamaan.

Srattt! Srattt!

Dengan gerakan lincah dan indah, Satria dan Mega segera meloncat ke depan dan bersalto di udara melewati kepala Bargola. Dalam keadaan masih di atas, mereka menukik menyerang bagian atas tubuh Bargola dengan tusukan pedang.

Hebat juga serangan kedua orang murid Perguruan Tangan Sakti itu. semua yang ada di situ dan menyaksikan pertempuran mereka sampai menahan nafas melihat kedahsyatan serangan itu. Mereka semua merasa tegang menantikan bagaimana caranya datuk kaum sesat itu menghadapi serangan gabungan dalam keadaan yang tidak menguntungkan.

Rupanya menghadapi keadaan yang sulit itu, Bargola hanya mendengus. Putaran tangannya mendadak ber­tambah cepat dan berakibat dahsyat. Seta yang sejak tadi asih memaksa maju tanpa ampun lagi terlempar ke belakang. Tampak dari sudut bibirnya menetes darah segar.

Setelah merubuhkan Seta dengan kecepatan mengagumkan, Bargola mengibaskan kedua tangannya ke atas. Hasilnya tusukan pedang Satria dan Mega tersampok tangna telanjang datuk kaum sesat itu.

Trak! Trak!

Satria dan Mega merasakan seluruh tubuh mereka ber­getar hebat. Terutama sekali tangan yang meng-genggam pedang yang bagaikan lumpuh. Tubuh kedua murid Per­guruan Tangan Sakti itu berputar di udara, lalu hinggap be­berapa depa di belakang Bargola seraya terhuyung-huyung. Wajah keduanya nampak agak pucat karena sampokan tangan Bargola memang dahsyat sekali.

Bargola balikkan tubuhnya menghadap Satria dan Mega. Kedua murid kepala itu merasakan jantungnya ber­debar hebat. Datuk kaum sesat itu memang memiliki sorot mata yang menggiriskan.

Dengan menggertakkan gigi, Satria dan Mega ber­usaha menghilangkan debaran jantung mereka. Kini kedua murid kepala itu bersama-sama mulai memasang jurus pembukaan ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’.

Walaupun keduanya sadar kalau ilmu yang diandalkan itu tidak berarti apa-apa bagi Bargola, tapi tetap saja meraka ber­siap-siap menyerang kembali.

“Manusia-manusia tak tahu diri!” teriak Bargola dengan suara mengguntur. “Sebenarnya aku tidak berniat bermain­main pada kalian. Tapi karena terlalu kurang ajar, maka aku tidak sungkan-sungkan lagi memberi pelajaran pada kalian!”

“Hiyaaat ... !” Teriak Satria sambil melompat menerjang Bargola, begitu datuk sesat tiu menyelesaikan kata­katanya.

“Hiyaaa ... !” Mega menyusul menerjang pula.

Hebat sekali serangan kedua kakak beradik seperguruan ini. apalagi dilakukan secara bersamaan. Tapi kini yang diserang adalah sosok yang telah terkenal kehebatannya. Bahkan boleh dibilang sebagai pentolan kaum sesat. Tokoh yang menggiriskan ini seolah-olah hanya diam saja menantikan serangan itu. Dan ketika serangan itu dekat, kedua tangannya bergerak cepat bukan main.

Satria dan Mega tidak tahu lagi apa yang terjadi! Yang jelas, tangan mereka yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Dan di lain saat pedang mereka sudah berpindah tangan! Rupanya saat serangan Satria dan Mega telah dekat, Bargola cepat menotok pangkal lengan mereka dengan mengandalkan kecepatan geraknya. Di saat tanagn mereka lumpuh, datuk kaum sesat itu merampas pedang­pedang itu.

Wajah Satria dan Mega seketika berurbah pucat. Sekilas mereka melirik Seta yang masih terbungkuk­bungkuk menahan luka dalamnya, lalu beralih memandang Bargola yang telah merampas pedang begitu mudahnya.

“Ha..ha ... ha ... !” Bargola tertawa bergelak. Kemudain dengan sedikit menggerakkan jari jari tangannya, dipatah­patahkannya pedang-pedang itu.

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan yang nyaring sekali, begitu Bargola menyelesaikan aksinya. Dan begitu suara tepukan berhenti terdengar sebuah suara pujian yang mengandung ejekan.

“Luar biasa! Ternyata nama besar Bargola bukan omong kosong belaka. Kini telah kulihat sendiri kebenaran berita itu. Buktinya tiga orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal bisa dikalahkan.”

Merah padam wajah Bargola. Bahkan kedua telinganya seperti terasa sakit. Disertai kemarahan menggelegak, ditolehkan kepalanya ke belakang kearah sumber suara tadi.

Di sebelah Seta ternyata telah berdiri seorang kakek yang berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, agak bongkok dan berjenggot putih panjang hingga mencapai dada. Begitu melihat kakek ini, Satria dan Mega segera maju menghampiri dan memberi hormat.

“Guru....” Satria dan Mega menyebut berbarengan. Kakek bongkok udang yang ternyata Ki Wanayasa hanya mengibaskan tangannya perlahan.

“Menyingkirlah. Bargola bukan lawan kalian.”

Tanpa diperintah dua kali, Satria dan Mega segera menyingkir ke balik punggung gurunya disebelah Seta. Kini mereka menyadari kelihaian Bargola yang luar biasa itu.

Bargola mendengus sebentar.

“Jadi kau rupanya yang bernama Wanayasa, Ketua Perguruan Tangan Sakti itu?! Kebetulan sekali kau keluar, jadi aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu ke dalam!” kata Bargola.

Ki Wanayasa menatap tajam dan masih tetap bersikap tenang.

“Setahuku aku tidak pernah mempunyai urusan denganmu Bargola. Lalu mengapa tiba-tiba mencariku?! Apa ada hubungannya dengan Pedang Bintang milik Ki Gering Langit itu?” ujar Ki Wanayasa seperti minta pen­jelasan.

“Tentu saja ada. Justru kedatanganku ke mari hanya untuk mengambil Pedang Bintang itu!” tegas Bargola
cepat.

“Sayang sekali.... Kau salah alamat Bargola! Aku sama sekali tidak tahu tentang pedang yang kau cari itu,” ujar Ki Wanayasa.

“Maksudmu ....?” Bargola terperangah kaget.

“Ya...” Ki Wanayasa menganggukkan kepalanya. “Pedang Bintang itu tidak ada padaku!”

“Keparat!” teriak Bargola geram. Datuk sesat iu memang percaya akan ucapan itu. Ia tahu, seorang pemimpin perguruan besar seperti Ki Wanayasa tidak mungkin akan berbohong. Entah kemarahan Bargola ditujukan kepada siapa.

“Bagaimana Bargola?”

“Kalau begitu menyingkirlah Wanayasa. Aku akan memberi pelajaran pada orang-orang yang tidak tahu adat padaku!” dengus Bargola.

Setelah berkata demikian Bargola menatap tajam ketiga orang murid kepala Perguruan Tangan Sakti yang berada di belakang Ki Wanayasa. Sementara Ki Wanayasa tahu kalau Bargola ingin melampiaskan kekecewaan pada tiga orang muridnya itu. Tentu saja hal itu akan berkibat fatal. Maka sambil tetap tersenyum, ditatapnya mata Bargola tajam-tajam. Tapi laki-laki tua itu tidak memungkiri kalau hatinya tegang juga.

“Kalau aku tidak mau?” tanya Ki Wanayasa memancing.

“Terpaksa kau yang akan kusingkirkan lebih dulu!” tegas Bargola. “Kau tinggal memilih Wanayasa. Menyingkir atau berhadapan denganku!”

“Aku pilih yang kedua!” tegas Ki Wanayasa.

Bargola tertawa terbahak-bahak.

“Kalau begitu bersiaplah Wanayasa!” tantang Bargola. “Menyingkirlah kalian!” perintah Ki Wanayasa pada ketiga orang muris kepalanya.

Tanpa diperintah dua kali Seta, Satria dan Mega segera menyingkir dari tempat itu. Hingga kini di situ tinggal Ki Wanayasa dan Bargola yang sudah saling tatap sejarak empat tombak.

“Silahkan Bargola,” ucap Ki Wanayasa dengan suara tenang. Namun demikian sebenarnya jantungnya berdegup keras dalam ketegangan yang memuncak. Ki Wanayasa tahu betul siapa itu Bargola.

Sesungguhnya dia ragu, apakah mampu menghadapinya atau tidak. Itulah sebabnya mengapa tanpa ragu-ragu lagi Ki Wanayasa sudah menyiapkan ilmu andalannya ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’.

Ilmu andalan Ki Wanayasa itu adalah ilmu yang diciptakan langsung olehnya. Dia mengambil dan menggabung-gabungkan inti beberapa ilmu. Di antaranya adalah jurus ‘Kelabang’, ‘Naga’, ‘Belalang’ dan ‘Kalajengking’. Sesuai dengan namanya jurus ini menitik beratkan pada bagian-bagian penyerangan. Memang pada dasarnya setiap ilmu selalu mempunyai jurus untuk bertahan dan jurus untuk menyerang.

Hanya saja ilmu ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’. Yang lebih ditonjolkan adalah penyerangan.

“Hm !” Dengus Bargola.

Selesai mendengus yang menjadi ciri khasnya, Bargola meluruk menerjang Ki Wanayasa. Kedua tangannya yang berbentuk cakar siap menggedor dada Ketua Perguruan Tangan Sakti ini.

Angin yang berciutan keras dan tajam mengiringi serangan laki-laki tinggi besar itu. Ki Wanayasa yang sudha dapat memperkirakan kedahsyatan serangan itu tidak berani bersikap gegabah. Kesalahan sedikit saja akan berakibat fatal. Maka untuk sementara dia tidak berani sembarangan menangkis, tapi segera menggeser tubuhnya ke kanan.

Akan tetapi Bargola sudah memperhitungkan hal itu. maka begitu dilihat Ki Wanayasa menggeser ke kanan, iapun segera menyampok ke kiri tetap mengarah ke dada Ketua Perguruan Tangan Sakti itu.

Kali ini Ki Wanayasa tidak mempunyai pilihan lain lagi. Terpaksa ditangkis serangan itu dengan jarijari tangan terbuka disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya.

Prattt !

Tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama bergetar hebat ketika dua pasang tangan beradu. Hanya saja tubuh Ki Wanayasa nampak terhuyung. Jelas, kalau adu tenaga dalam Bargola masih sedikit unggul darinya.

Bargola cukup terkejut juga. Walaupun kepandaian Ki Wanayasa memang sudah diduganya, namun sungguh di luar dugaan kalau tenaga dalam Ketua Perguruan Tangan Sakti ini tinggi juga. Bahkan mungkin hampir menyamai tenaga dalamnya sendiri! Hal ini membuat Bargola yang memang beringas ini menjadi semakin murka.

“Hm ” Bargola segera mengeluarkan ilmu ‘Tapak Bara’ andalannya.

Diiringi dengusan keras, datuk itu membuka serangan dengan tapak tangan kanan terbuka ke arah dada Ki Wanayasa. Sementara tangan kiri yang jari jarinya terbuka bersilang di depan dada.

Ki Wanayasa terperanjat bukan main. Kekagetannya itu bukan karena serangan melainkan akibat angin panas yang mendahului menyergapnya sebelum serangan Bargola tiba. Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman, laki-laki tua ini tidak mau bertindak gegabah. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dengan melentingkan tubuh ke samping sambil berputar di udara menjauh. Hawa panas itu membuat dadanya terasa sesak.

Tentu saja Bargola tidak tinggal diam. Datuk beringas yang tengah murka ini segera memburunya dengan serangan-serangan yang dahsyat. Sebentar saja Ki Wanayasa telah terdesak. Ia hanya mengelak setiap serangan Bargola, tanpa berani menangkis. Sesekali memang balas menyerang tapi segera ditariknya kembali begitu dilihatnya Bargola akan memapak.

Keadaan Ki Wanayasa ini tentu saja diketahui Satria, Seta dan Mega. Mereka ingin segera membantu tapi bagaimana caranya? Jangankan ikut bertarung, untuk mendekat dalam jarak tiga tombak saja tidak sanggup. Hawa panas begitu terasa menyengat!

Ki Wanayasa sadar jika keadaan ini terus berlangsung lambat laun akan rubuh di tanan Bargola yang dahsyat itu. hawa panas yang ditimbulkan ilmu ‘Tapak Bara’ Bargola benar-benar membuatnya tersiksa. Sekujur wajah dan tubuhnya sduah dibasahi keringat. Bahkan wajahnya nampak memerah bagai kepiting rebus. Dadanyapun terasa sesak.

Dan pada jurus ketiga belas, Ki Wanayasa tidak mampu lagi mengelak. Bargola telah memojokkannya sedemikian rupa. Akibatnya dia tidak menemukan jalan keluar kecuali menangkis untuk menyelamatkan selebar nyawanya. Dengan terpaksa disambutnya tapak kanan Bargola yang merah membara dengan tapak tangannya.

Plak!

Tubuh Ki Wanayasa terhuyung-huyung. Kakek ini merasakan hawa panas yang amat sangat menjalar di sekujur tubuhnya. Tapak tangannya yang dipakai untuk menangkis nampak hangus. Ada bau sangit daging terbakar menyeruak dari tapak tangan itu. Sementara Bargola hanya bergetar saja tubuhnya.

Ki Wanayasa menahan napas. Dikerahkannya seluruh hawa murni yang dimiliki untuk mengusir hawa panas yang menjalari sekujru tubuhnya. Untuk sesaat pertarungan ter­henti.

“Ha..ha ... ha ... !” Bargola tertawa tergelak penuh kemenangan! Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Ki Wanayasa yang masih berusaha mengusir hawa panas yang menjalari sekujur tubuhnya.

“Bersiaplah untuk mati Wanayasa! Pantang bagiku membiarkan hidup seorang lawan yang berani menentang­ku!” tegas Bargola. Suaranya begitu mengguntur.

Kakek bongkok udang itu masih berusaha mengusir hawa panas yang menyengat ketika datuk itu meng­hampirinya. Kini semua pandangan mata tertuju pada Bargola yang tengah melangkah lambat menghampiri Ki Wanayasa. Sedangkan Ki Wanayasa hanya bersikap pasrah menanti ajal.

Sebelum niat Bargola itu terlaksana, terdengar suara mendesing nyaring. Tak lama kemudian disusul melayangnya beberapa buah benda berkilatan ke arah Bargola.

“Hm...... Dengus Bargola.

Seketika kedua tangan laki-laki beringas itu bergerak menyampok benda berkilatan yang melesat cepat ke arahnya! Dari suara mendesing yang sangat nyaring, datuk kaum sesat itu dapat mengetahui betapa kuatnya tenaga dalam orang yang melemparkannya. Namun tanpa ragu­ragu lagi Bargola menyampok dengan tangan telanjang. Dia benar-benar tidak merasa kawatir kalau benda-benda berkilatan itu akan melukai tangannya. Memang, pada saat mengerahkan ilmu ‘Tapak Bara’ kedua tangannya menjadi kebal terhadap segala macam senjata tajam.

Trak, trak, trak! Tap!

Tiga dari empat benda berkilatan yang mengarah ke tubuhnya terpental rubuh ketika ditangkis Bargola. Sedangkan sebuah lagi ditangkap tangannya.

Mulanya Bargola kaget bukan main ketika merasakan tangan yang dipergunakan untuk menyampok bergetar hebat. Dan ketika melihat benda berkilat yang ada di tangannya, wajahnya seketika berubah! Benda berkilat itu ternyata adalah sebuah pisau berwarna putih. Bargola tahu betul siapa pemilik pisau itu.

“Raja Pisau Terbang...... Gumam Bargola menyebut suatu nama.

Belum habis ucapan itu, tahu-tahu di depan Bargola telah muncul sesosok tubuh berperawakan sedang. Wajahnya gagah dan menyorotkan kesabaran. Usianya sekitar lima puluh tahun. Memang dialah tokoh yang telah melemparkan pisau-pisau yang berwarna putih mengkilat itu. Dia memang berjuluk Raja Pisau Terbang, seorang tokoh beraliran putih yang disegani lawan maupun kawan.

“Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa tersesat jauh ke sini, Bargola....” Sindir Raja Pisau Terbang pelan.
Bargola hanya mendengus. Raut ketidak senangan tersirat jalas pada wajahnya.

“Sayang sekali, Raja Pisau Terbang. Kali ini aku tidak berminat untuk berdebat atau bertarung denganmu. Saat ini aku tengah ada urusan lain yang lebih penting. Kalau tidak, sekarangpun bisa ditentukan siapa yang lebih kuat di antara kita. Jangan berharap kau akan semujur dulu!” tegas datuk sesat itu. Suaranya kasar dan terdengar berat.

“Sampai kapanpun aku akan selalu siap sedia, Bargola,” ujar Raja Pisau Terbang sambil tersenyum.
Bargola tidak menjawab. Datuk sesat itu lagi-lagi hanya mendengus. Suatu kebiasaan buruk yang telah menjadi ciri khasnya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi digerakkan tubuhnya. Tampaknya hanya seperti menggeliat, tapi tahu­tahu tubuhnya telah bergeser sejauh lima tombak. Raja Pisau Terbang hanya memandangi hingga tubuh Bargola lenyap di kajauhan.

Melihat kepergian Bargola, apalagi setelah mendengar bahwa Pedang Bintang tidak ada di situ, maka para tokoh rimba persilatan pemburu Pusaka Ki Gering Langit itu satu persatu meninggalkan tempat. Dan tak lama kemudian yang tertinggal di situ hanya Ki Wanayasa dan murid­muridnya serta si Raja Pisau Terbang.
Ki Wanayasa yang telah pulih dari serangan hawa panas pada sekujur tubuhnya bergegas mengahampiri Raja Pisau Terbang.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Adi Kirin. Kalau tidak..., hhh! Bargola memang hebat. Ilmu ‘Tapak Bara’nya benar-benar dahsyat! Bahkan ilmu meringankan tubuhnyapun luar biasa sekali....” Ucap Ki Wanayasa.

“Lupakanlah Kakang Wanayasa. Di antara kita rasanya tidak perlu berbasa basi seperti itu. Kedatanganku ke sini hanya secara kebetulan. Katika kulihat Bargola di Desa Ketapang di Kaki Gunung Waru ini, aku curiga. Maka akupun mengikutinya. Jelas ini sangat mengherankan sekaligus mencurigakan kalau Bargola yang berada jauh di Barat, tiba-tiba berkeliaran sampai ke Timur sini. Setelah kuikuti, ternyata dia memang ingin ke sini. Sayang, aku agak terlambat....” Sesal Raja Pisau Terbang yang bernama Kirin ini sambil tersenyum kecil. “Ilmu ‘Tapak Bara’nya memang hebat. Tapi mengenai ilmu meringankan tubuh, rasanya masih bisa kusaingi. Kecuali terhadap tokoh yang satu itu.... Terus terang aku takluk pada ilmu meringankan tubuh dan kecepatan geraknya...”

“Ki Gering Langit?” tebak Ki Wanayasa.

“Bukan. Beliau tidak masuk hitungan,” Raja Pisau Terbang menggelengkan kepalanya perlahan.

“Lalu siapa?” tanya Ki Wanayasa. Pikirannya berputar keras. Dan tiba-tiba mendapatkan satu nama. “Maksudmu...si Ular Hitam?”

“Benar,” Raja Pisau Terbang mengangguk. Ia sudah dapat menduga ketajaman berpikir Ketua Perguruan Tangan Sakti itu.

“Ahhh ... !” Ki Wanayasa mendesah pelan.

“Dialah si pemilik ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Bahkan kecepatan gerak tangannya tidak bisa kusaingi. Kalau saja aku tidak memiliki pisau terbang, mungkin sudah tewas di tangannya dulu....”

Ki Wanayasa mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ya, pernah kudengar berita itu. kalau tidak salah ilmu meringankan tubuh dan kecepatan geraknya yang luar biasa itu adalah ilmu ‘Ular Terbang’ dan terkenal sebagai ilmu andalannya.”

Raja Pisau Terbang hanya mengangguk.

“Kudengar selama beberapa tahun ini nama Ular Hitam tidak pernah terdengar lagi. Apa betul begitu, Adi Kirin?” tanya Ki Wanayasa lebih jauh.

“Benar. Aku sendiri juga heran kakang Wanayasa. Mendadak saja ia lenyap tanpa berita bagai ditelan bumi. Kabar yang tersiar di dunia persilatan simpang siur. Ada yang mengatakan menyembunyikan diri untuk menciptakan ilmu-ilmu baru yang akan digunakan untuk membalas kekalahannya terhadap Ki Gering Langit. Berita yang pasti tidak ada yang tahu. Mendadak saja ia lenyap tanpa jejak...”

Ki Wanayasa termenung sejenak mendengar cerita Raja Pisau Terbang itu, tapi tiba-tiba saja teringat sesuatu. Ditepuknya keningnya sebentar.

“Tuan rumah macam apa aku ini. Ada tamu agung bukannya disambut, diajak masuk dan disediakan minum. Tapi malah dibiarkan berdiri berpanas-panas di luar! Ahhh.... Mari masuk dulu Adi Kirin. Kita rayakan pertemuan yang istimewa ini di dalam.”

Raja Pisau Terbang hanya tersenyum.

“Usul yang baik sekali,” ucap laki-laki setengah baya ini gembira sambil mengikuti langkah kaki Ki Wanayasa yang telah lebih dulu berjalan menuju ke dalam bangunan Perguruan Tangan Sakti.

Sementara itu Satria segera menolong Seta yang terluka cukup parah. Sedangkan Mega sibuk mengatur adik-adik seperguruannya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat itu. Beberapa murid lainnya menolong saudara seperguruannya yang terluka.

****

Malam itu langit kelihatan kelam. Bulan yang hanya sepotong di langit terlihat tidak berdaya menembus awan hitam dan tebal yang bergumpalgumpal menutupinya. Angin dingin yang berhembus dan terkadang sesekali keras itu kian menambah seramnya suasana malam. Dan dalam suasana seperti itu orang­orang merasa lebih suka tinggal di dalam rumah. Mereka lebih suka dibuai mimpi di peraduannya daripada berkeliaran di luar.

Tetapi kenikmatan seperti itu tidak diperoleh murid-­murid Perguruan Tangan Sakti yang tengah mendapat tugas berjaga. Walaupun keadaan alam yang tidak bersahabat, mereka harus tetap berjaga jaga bersikap waspada. Apalagi mengingat kejadian tadi pagi. Bukan tidak mungkin kalau malam ini ada tokoh-tokoh persilatan yang masih penasaran ingin menyatroni perguruan mereka untuk mencari Pedang Bintang.

Empat orang murid nampak berjaga jaga dekat pintu gerbang memandang ke sekeliling. Sikap mereka benar­benar waspada dalam keremangan cahaya sinar obor yang nampak lemah tak berdaya. Beberapa murid lain menunggu di pos. Sementara dua orang lainnya berkeliling ke sekeliling perguruan.

Keadaan benar-benar gelap. Walaupun sepasang mata dibelelakkan sebesar-besarnya tetap saja tidak akan ter­lihat apa-apa selain kegelapan pekat. Tapi empat orang murid yang bertugas jaga itu tetap memperhatikan se­kelilingnya dengan mata nyalang.

Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat sesuatu dalam kegelapan malam yang pekat itu. Beberapa saat lamanya murid itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengucek-ucek mata untuk meyakini peng
lihatannya. Tetapi tetap saja dia melihat sosok bayangan putih yang begitu enaknya bersila di atas sebatang ranting. Padahal ranting pohon itu hanya sebesar ibu jari!

“Ha ... hantu ....” Keluar jua ucapan itu dari mulut salah seorang murid walaupun dengan bibir gemetar.

Sebenarnya ucapan yang keluar dari mulut murid yang sial itu tidak keras bahkan hanya perlahan saja. Tapi karena keadaan yang begitu hening, suara yang perlahan itu jadi terdengar keras. Dan tentu saja terdengar oleh teman-temannya yang berada tidak jauh dari situ.

“Ada apa, Parja?” tanya salah seorang temannya sambil bergerak mendekat.

Parja, murid yang melihat sosok tubuh putih itu mencoba untuk menyahut. Tapi ternyata tidak mampu. Yang keluar dari mulutnya hanyala suara gumaman tidak jelas.

Tentu saja yang lain tidak mengerti maksudnya. Untungnya Parja juga menuding-nudingkan jari telunjuk ke arah tempat ia melihat sosok tubuh serba putih itu tadi.

Serentak kepala teman-temannya menoleh ke arah yang ditunjuk Parja. Dan betapa terkesiapnya hati mereka ketika melihat sesuatu yang ditunjuk Parja.

“Han ... hantu ....” Desis mereka dengan suara bergetar.

Walaupun mereka telah digembleng untuk tidak takut menghadapi maut, akan tetapi pada mahluk halus tetap saja gentar!

Tapi rupanya salah seorang penjaga yang beranama Wiji tidak percaya dengan adanya hantu.

“Aku tidak percaya kalau hantu atau siluman itu ada. Buktinya dari dulu aku tidak pernah bertemu segala mahluk tetek bengek itu! aku yakin ini hanyalah satu siasat orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari suasana malam yang tidak seperti biasanya ini!” tegas Wiji dengan sikap tenang.

Ucapan dan sikap dari Wiji membuat Parja dan teman­temannya menjadi agak lebih berani. Kini mereka menatap sosok bayangan putih itu penuh perhatian.

Mendadak saja sosok bayangan putih itu bangkit dari bersilanya. Dan secepat itu pula tubuhnya melompat dari ranting pohon yang tadi didudukinya kearah Wiji, Parja dan seorang rekannya yang tengah memperhatikan. Sosok bayangan putih itu begitu ringan hinggap sekitar empat tombak di depan para murid Perguruan Tangan Sakti.

Dengan bantuan sinar obor apalagi pakaian orang itu serba putih, Wiji dan tiga murid lainnya dapat melihat lebih jelas sosok bayangan putih itu lagi. Sedangkan Parja bergerak menjauh karena rasa takut yang menyerangnya. Dia hanya memperhatikan tanpa berkedip.

Sosok bayangan putih itu bertubuh tinggi kurus. Wajahnya tertutup selubung putih yang memiliki dua buah lobang kecil untuk mata. Pakaiannya juga serba putih. Di bagian dada terdapat sebuah gambar tengkorak kepala manusia.

Wiji dan teman-temannya memperhatikan sosok bayangan putih itu dengan bulu tengkuk meremang. Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong kehijauan di balik selubung itu! Sepasang mata itu lebih mirip mata harimau dalam gelap! Manusiakah sosok yang berdiri di hadapan mereka ini?

Dan belum lagi sadar dari keterpakuannya, sosok serba putih itu tiba-tiba mengebutkan tangannya. Kelihatannya pelan saja tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Wiji dan kedua orang temannya terlempar ke belakang sejauh lima tombak lebih. Bagai diterjang angin ribut saja layaknya.

Tubuh mereka masih terguling-guling di tanah beberapa tombak jauhnya. Dan begitu daya lontar serangan sosok serba putih itu habis, tubuh merekapun berhenti. Mereka kini tidak bergeak lagi dengan sekujur tubuh berwarna kebiruan. Tewas!

Parja dari kajauhan menatap mayat ketiga temannya dengan perasaan campur aduk. Marah, kaget dan juga ngeri! Jelas sekali dilihatnya kalau sosok serba putih itu hanya menggerakkan tangannya perlahan saja. Dan akibatnya begitu hebat dan mengerikan! Parja sadar kalau sosok serba putih ini memiliki kepandaian amat tinggi dan jelas bukan tandingannya. Maka cepat-cepat dia memukul kentongan tanda bahaya.

“Tidak ada ampun bagi orang yang berani meremehkan Siluman Tengkorak Putih!” ucap sosok serba putih itu.

Tok! Tok! Tok!

Dalam sekejapan saja suara kentongan itu telah memecah keheningan malam kelam. Sosok serba putih yang ternyata berjuluk Siluman Tengkorak Putih membiarkan saja apa yang dilakukan Parja. Parja memang sengaja tidak di bunuh agar memberitahukan kedatangannya. Keonaran ini memang sengaja dibuat untuk membuat Ki Wanayasa keluar dari tempatnya.

Apa yang diharapkan Siluman Tengkorak Putih ternyata memang tidak salah. Suara kentongan yang dipukul Parja itu segera saja menimbulkan kegemparan di bangunan besar Perguruan Tangan Sakti. Berbondong-bondong para murid perguruan bergerak menuju arah kentongan berbunyi. Di antara mereka nampak pula murid utama Perguruan Tangan Sakti.

Seta yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling tinggi di antara murid-murid lainnya adalah orang pertama yang paling dulu tiba di tempat Parja memukul kentongan. Ia telah sembuh kembali seperti sediakala setelah diobati gurunya siang tadi.

Yang pertama dilihat Seta adalah sosok serba putih yang tengah berdiri tenang sambil menatap parja yang masih sibuk memukul kentongan.

“Ada apa Parja?” tanya Seta begitu tiba di samping Parja.
“Siluman itu membunuh rekan-rekan kita Kang,” jawab Parja dengan suara tersendat.

Untuk beberapa saatnya lamanya Seta celingukan. Sepasang matanya nyalang mengawasi sekitarnya. Yang
dicari adalah mayat adik-adik seperguruannya yang menurut laporan Parja telah dubunuh sosok putih di depannya. Tapi sampai sakit matanya dia tidak melihat apa-apa. Suasana malam yang gelap menghalangi pandangannya.

Beberapa saat kemudian ketika para murid perguruan lainnya yang membawa obor tiba, Seta akhirnya dapat melihat mayat adik-adik seperguruannya. Obor-obor yang dibawa cukup menerangi keadaan sekitar tempat itu. Melihat hal ini amarah Seta meluap. Dengan sinar mata merah ditatapnya sosok bayangan putih di depannya.

“Hai, Siluman! Apa persoalannya dengan kami sehingga kau begitu kejam membunuh murid-murid Perguruan Tangan Sakti?!”

Siluman Tengkorak Putih hanya tertawa. Tawanya begitu aneh. Pelan, berat dan bergaung. Sepertinya bukan keluar dari mulut manusia!

Semula tidak ada yang aneh pada awa itu selain bunyinya yang tidak seperti tawa manusia pada umumnya. Tapi beberapa saat kemudian suara tawa itu mulai menampakkan akibatnya. Seta merasakan suara tawa pelahan namun pasti, mulai menyakiti telinga dan membuat sesak dadanya. Otak Seta yang cerdas segera saja menduga ada ketidak wajaran pada suara tawa itu. Sekilas diliriknya Parja.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Seta melihat Parja tengah duduk bersila. Kedua tangannya menutupi kedua telinga untuk menghalangi serangan suara tawa itu.

Ternyata bukan hanya Praja saja. Terlihat semua adik seperguruannya duduk bersila dan menutup kedua telinganya. Tak terkecuali Satria dan Mega! Bahkan ada beberapa orang adik seperguruannya yang telah menggigil sekujur tubuhnya. Seta yang telah berpengalaman, tahu kalau adik seperguruannya itu tidak akan dapat bertahan lama. Sebenarnya dia juga mengalami hal yang sama. Tapi karena tenaga dalamnya lebih kuat, dia lebih dapat bertahan.

“Hiyaaaat ...... !”

Sambil berteriak keras Seta melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih yang masih tertawa. Disadari kalau lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu lagi dicabut pedangnya dan langsung dikeluarkan ilmu andalan ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’!

Suara berdesing nyaring mengawali serangan. Walaupun Siluman Tengkorak Putih sudah dapat memperkirakan kedahsyatan serangan lawan, tetapi dia hanya mendengus saja.

“Manusia tidak tahu diri! Kalau mau aku telah membunuhmu dengan suara tawaku itu!”

Setelah berkata demikian tangannya yang telanjang bergerak cepat menangkis serangan pedang Seta. Kecepatan gerak tangannya mengingatkan orang pada serangan seekor ular pada mangsanya. Begitu cepat dan tiba-tiba.

Trak!
“Akh !”

Seta menyeringai. Tangannya yang menggenggam pedang mendadak lumpuh sesaat begitu tangan Siluman Tengkorak Putih menangkis pedangnya. Tanpa dapat dicegah lagi pedangnya terlepas dari pegangan.
Belum lagi Seta sempat berbuat sesuatu, serangan belasan Siluman Tengkorak Putih telah mengancam.

Murid utama Perguruan Tangan Sakti itu hanya melihat kelebatan sinar putih menyambar ke arahnya. Dirasakannya juga hembusan angin dingin menuju ke arahnya.

Seta kaget bukan main. Sebisa-bisanya dilempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah beberapa kali. Tapi tetap saja ekor matanya melihat ada sekelabatan sinar putih mendekati ubun-ubunnya. Seta terus ber­gulingan. Sementara itu kelebatan sinar putih itu tetap mencecar ubun-ubunnya.

Satria, Mega dan beberapa adik seperguruannya melihat semua itu disertai rasa cemas yang mendalam. Berbeda dengan Seta mereka yang kini sudah bebas dari serangan tawa itu dapat melihat jelas semua yang terjadi. Memang kakak seperguruan mereka berusaha mati-matian mengelak dari ancaman tangan Siluman Tengkorak Putih yang mencecar ubun-ubunnya.

Satria dan Mega yang bergegas melompat hendak membantu ternyata terlambat! Tangan manusia siluman itu telak sekali menghantam ubun-ubun murid utama Perguruan Tangan Sakti itu.

Crokkk....!
“Akh!”

Seta memekik tertahan, sebelum tubuhnya rubuh dengan ubun-ubun kepala pecah.

“Kang Seta !” teriak Satria dan Mega hampir bersamaan. Dua orang murid utama Perguruan Tangan Sakti itu tercenung. Pandangan mata mereka seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk beberapa saat lamanya keduanya terbengong-bengong.

“Tidak ada ampun bagi orang yang berani menyerang Siluman Tengkorak Putih!” ancam sosok bayangan putih itu dengan suara yang khas. Pelan, berat dan bergaung.

Kontan Satria dan Mega tersadar dari termenungnya. Ketika kesadaran mereka timbul maka timbul pula kemarahan di dada.

Srat! Srat!

Bagai dikomando kedunya mencabut pedangnya masing-masing secara bersamaan. Akan tetapi

“Tahan !”

Tiba-tiba suatu bentakan nyaring menahan gerak Satria dan Mega yang akan menerjang Siluman Tengkorak Putih. Serentak keduanya mengurungkan niatnya. Dikenali betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan guru mereka, Ki Wanayasa.

Keduanya serentak menoleh ke arah asal suara.

Tampaklah Ki Wanayasa berjalan bersama tamunya Raja Pisau Terbang.

“Aku telah dapat memastikan, Kakang Wanayasa. Siluman Tengkorak Putih ini ada hubungannya dengan si Ular Hitam! Aku tahu betul gerakannya waktu menewaskan Seta adalah ilmu ‘Ular Terbang’!” bisik Raja Pisau Terbang pada Ki Wanayasa.

“Tapi.... bukankah Ular Hitam telah lama lenyap dari dunia persilatan? Lagi pula, sepanjang yang kuketahui si Ular Hitam tidak pernah punya murid!” bantah Ki Wanayasa. Sepasang matanya menatap marah ke arah Siluman Tengkorak Putih yang telah membunuh murid kesayangannya.

“Ah, Kakang. Siapa yang mengetahuinya? Di antara seluruh datuk persilatan dialah satu-satunya datuk yang paling misterius. Siapa yang tahu dia punya murid atau tidak?”

“Hey...! Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa? Mengakulah sebelum terlambat!” bentak Siluman Tengkorak Putih. Nadanya tidak sabar begitu melihat keduanya telah mendekat.

Raja Pisau Terbang dan Ki Wanayasa hanya tersenyum. Apalagi si Raja Pisau Terbang. Padahal si Raja Pisau Terbang adalah salah seorang datuk persilatan yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Dan kini diancam seroang tokoh yang baru dikenal dan berjuluk Siluman Tengkorak Putih! Siapa yang tidak geli?

“Kisanak,” ucap Raja Pisau Terbang dengan sabar. “Sungguh tidak kusangka kalau kau begitu sombong.

Melihat gerakanmu aku yakin kau mempunyai hubungan dengan si Ular Hitam. Entah sebagai murid atau adik seperguruannya. Atau kau adalah pencuri kitab-kitab ilmu silatnya? Hanya yang perlu kau ketahui Kisanak. Jangankan dirimu. Ular Hitam saja tidak berani berkata seperti itu kepadaku!”

Ha ... ha ... ha ... !

Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak begitu Raja Pisau Terbang mengakhiri ucapannya. Belum lagi gema suara itu lenyap, muncul sesosok tubuh pendek kekar. Rambutnya awut-awutan dan bermata merah. Dan kini orang itu telah berada di sebelah kanan Siluman Tengkorak Putih.

“Raja Racun Pencabut Nyawa....” Desis Raja Pisau Terbang begitu melihat sosok tubuh yang berdiri di sebelah kanan Siluman Tengkorak Putih.

Ki Wanayasa tersentak kaget juga. Telah didengar banyak tentak tokoh ini dari adik seperguruannya. Raja Racun Pencabut Nyawa tinggal di Barat dan pernah dikalahkan si Ular Hitam dalam pertarungan merebutkan kedudukan datuk di Barat. Karena kekalahannya itu dia menyingkir ke Selatan. Ternyata dia di situ membuat kekacauan sehinnga membuat adik seperguruan Ki Wanayasa turun tangan menantangnya.

Kali inipun Raja Racun Pencabut Nyawa harus menelan pil pahit. Adik seperguruan Ki Wanayasa tidak mampu dikalahkannya. Kepandaian keduanya berimbang. Sehingga dalam per­tarungan mati-matian itu mereka sama-sama mendapat luka. Itulah berita yang didengar Ki Wanayasa dari adik se­perguruannya. Sungguh tidak diduga kalau malam ini dia akan bertemu tokoh itu.

“Gerda, orang yang berbicara tadi itu adalah Raja Pisau Terbang,” ujar Raja Racun Pencabut Nyawa memberitahu.

“Oh, pantas. Dia begitu sombong. Jadi kalau bagitu orang yang disebelahnya adalah Ki Wanayasa, Paman?” tanya Siluman Tengkorak Putih meminta ketegasan.

“Betul.”

Kini dengan sorot mata garang, Siluman Tengkorak Putih menatap Ki Wanayasa penuh selidik. Diperhatikannya kakek bongkok udang itu lekat-lekat.

“Ki Wanayasa! Kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini bukan?” tanya Siluman Tengkorak Putih tenang.

Ki Wanayasa hanya tersenyum.

“Sudah bisa kutebak maksud kedatanganmu, Siluman Tengkorak Putih. Apalagi kalau bukan masalah Pedang Bintang?! Bukankah demikian?”

“He ... he .... he...” Siluman Tengkorak Putih hanya terkekeh.

“Ahhhh .... sayang sekali!” ujar Ki Wanayasa sambil menghela napas.
“Mengapa?”
“Pedang itu sama sekalu tidak ada padaku.”
“Bohong!” bentak Siluman Tengkorak Putih keras.

“Jaga mulutmu Kisanak!!” bentak Ki Wanayasa tak kalah garangnya. “Jangan dikira aku takut padamu!” “Keparat!” Siluman Tengkorak Putih menggeram hebat.

Sudah dapat diduga kalau akhirnya laki-laki berjubah ini akan menyerang Ki Wanayasa.

“Gerda, sabar dulu....”

Siluman Tengkorak Putih yang bernama Gerda itu mengurungkan niatnya. Ditatapnya wajah Raja Racun Pencabut Nyawa lekat-lekat.

“Dia telah menghinaku, paman” protes Siluman Tengkorak Putih.

“Hal itu bisa diurus nanti. Sekarang yang penting adalah persoalan Pedang Bintang. Sabarlah sebentar...” jelas Raja Racun Pencabut Nyawa sambil memegang bahu Siluman Tengkorak Putih.

Beberapa saat lamanya Siluman Tengkorak Putih ter­menung. Tapi akhirnya menganggukkan kepalanya juga. Kini Raja Racun Pencabut Nyawa mengalihkan pandangan­nya pada Ki Wanayasa.

“Ki Wanayasa....” Sapa Raja Racun Pencabut Nyawa pelan. Seulas senyum licik tersungging di bibirnya.

“Tidak usah banyak peradatan, Raja Racun!” selak Ki Wanayasa keras. “Katakan saja apa maumu dan jangan bertele-tele!”

Seketika wajah Raja Racun Pencabut Nyawa berubah setelah mendengar teguran kasar itu. Sesaat sepasang matanya berkilat penuh kemarahan. Tapi itu hanya sebentar saja karena sekejap kemudian sudah kembali biasa.

“Baiklah Wanayasa. Sungguh tidak kusangka sama sekali kalau orang terhormat seperti dirimu yang juga Ketua Perguruan Tangan Sakti ternyata hanya seorang pengecut! Bahkan tidak segan-segan berdusta untuk menyelamatkan nyawanya!”

“Keparat kau, Raja Racun!” bentak Ki Wanayasa marah. “Jelaskan apa maksudmu, sebelum aku terpaksa bersikap yang tidak sepantasnya terhadapmu!” kakek bongkok udang ini memang paling pantang di katakan pengecut. Maka kemarahannyapun langsung bergolak mendengar ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa.

Raja Racun Pencabut Nyawa hanya terkekeh saja men­dengar ancaman itu.

“Wanayasa. Hampir semua orang persilatan tahu kalau Pedang Bintang itu ada padamu. Tapi kini kau menyangkalnya! Bukankah orang seperti itu pengecut namanya?”

“Raja Racun Pencabut Nyawa dan kau juga Siluman Tengkorak Putih!” ucap Ki Wanayasa seraya memandang Siluman Tengkorak Putih sekilas. “Dengarlah baik-baik. Demi kehormatanku selaku Ketua Perguruan Tangan Sakti, kukatakan pada kalian bahwa Pedang Bintang itu tidak ada di sini!”

“Kau berdusta, Wanayasa!” teriak Siluman Tengkorak Putih kalap seraya melangkah maju.
“Tenang Gerda,” Raja Racun Pencabut Nyawa menyentuh tangan Siluman Tengkorak Putih.
“Dia berdusta, Paman....”

“Dia berkata benar.” Raja Racun Pencabut Nyawa menggelengkan kepalanya. Dia tahu pasti kalau Ki Wanayasa tidak berdusta. Seorang seperti dia lebih meng­hargai kehormatan dari pada nyawa. Dan diketahui betul hal itu.

“Tapi, Paman ........ ” Siluman Tengkorak Putih masih penasaran.

“Biar aku yang mengurusnya, Gerda. Percayalah. Masalah ini pasti akan tuntas!” mendengar jaminan Raja Racun Pencabut Nyawa, Siluman Tengkorak Putih kembali mundur ke tempatnya. Dia percaya penuh akan kemampuan orang yang dipanggil­nya paman ini. Dia juga tahu kalau pamannya itu mem­punyai berbagai macam tipu muslihat.

“Wanayasa aku mempercayai keterangan yang kau berikan itu. Aku juga percaya kalau Pedang Bintang itu memang tidak ada padamu. Tapi itu bukan berarti kalau kau tidak tahu menahu di mana adanya pedang itu. Bukan begitu Wanayasa?” pancing Raja Racun Pencabut Nyawa.

Wajah Ki Wanayasa beubah hebat. Sungguh di luar dugaan kalau Raja Racun Pencabut Nyawa itu sedemikian cerdiknya. Dan ini membuatnya cemas bukan main.

“Apa urusannya hal itu denganku?!”

“Katakan saja di mana adanya Pedang Bintang itu. Maka, kami akan segera pergi dari sini!” desak Raja Racun Pencabut Nyawa tidak sabar.

“Kalau aku tidak memberitahukannya?”
“Aku akan memaksamu!”
“Silahkan, Raja Racun,” tantang Ki Wanayasa sambil tersenyum.
“Keparat!” Raja Racun Pencabut Nyawa memaki.

“Tunggu, Paman!” Siluman Tengkorak Putih segera mencekal lengan Raja Racun Pencabut Nyawa yang hendak menerjang Ki Wanayasa. Raja Racun Pencabut Nyawa menoleh. “Serahkan dia padaku,” ucapnya lagi.

Raja Racun Pencabut Nyawa menangkap adanya tekanan pada nada suara itu. Dan ia tahu kalau kali ini Siluman Tengkorak Putih itu tidak ingin dibantah lagi. Maka dengan berat kakinya melangkah mundur.
Siluman Tengkorak Putih maju beberapa tindak.

“Wanayasa, sekali lagi kau kuberi kesempatan. Katakan di mana Pedang Bintang itu!”
“Jangan harap aku mengatakannya, bocah!” tegas Ki Wanayasa tajam.
“Keparat! Kalau begitu mampuslah kau!”

Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih menerjang Ki Wanayasa. Gerakannya cepat bukan main. Kedua tangannya yang terbuka lurus dan mengejang kaku menyerang bertubi-tubi pada pusar, ulu hati dan tenggorokan Ketua Perguruan Tangan Sakti itu. Deru angin nyaring mengawali tibanya serangan Siluman Tengkorak Putih.

Ki Wanayasa yang sudah mengetahui kecepatan gerak lawannya yang luar biasa ini, memang sudah sejak tadi bersikap waspada. Maka ketika melihat serangan yang bertubi-tubi mengancam beberapa bagian yang berbahaya di tubuhnya, dia tidak menjadi gugup. Cepat-cepat ditarik mundur kaki kirinya ke kanan belakang. Sehingga serangan-serangan Siluman Tengkorak Putih itu lewat beberapa rambut di depan tubuhnya.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Wanayasa. Saat ditarik mundur kaki kirinya, kedua tangannya yang disertai pengerahan ilmu ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’, mencengkeram ke arah pelipis dan lambung lawan.

Hebat dan berbahaya bukan main serangan yang dilakukan Ki Wanayasa itu! Apalagi dilakukan dalam jarak yang demikian dekat. Maka serangan itu menjadi tambah berbahaya saja. Dan rasa-rasanya tidak ada kesempatan lagi bagi Siluman Tengkorak Putih itu untuk menangkis atau mengelakkan serangan itu. Begitu tiba-tiba dan mendadak!

“Ah ” desah Raja Racun Pencabut Nyawa pelan, ketika melihat keadaan berbahaya yang mengancam Siluman Tengkorak Putih. Bahkan Raja Pisau Terbang diam-diam menarik nafas karena terlalu tegang.

Hati Siluman Tengkorak Putihpun sempat terkesiap, melihat serangan yang begitu tiba-tiba itu. Akan tetapi dengan kecepatan gerak yang luar biasa segera ditarik pulang serangannya dan cepat-cepat ditangkis serangan Ki Wanayasa. Tangan kiri melindungi pelipis, sedangkan tangan kanannya menjegal serangan yang menuju ke lambung.

Plak! Plak!

Ki Wanayasa terhuyung tiga langkah ke belakang akibat benturan dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Sedangkan Siluman Tengkorak Putih hanya terhuyung satu langkah. Ki Wanayasa kaget bukan main melihat kenyataan ini. Sungguh tidak disangka kalau dirinya akan terhuyung sampai tiga langkah.

Bahkan sekujur tangannyapun dirasakan sakit akibat benturan itu. Dan herannya lawan hanya terhuyung satu langkah ke belakang! Tidak adakah yang salah dalam hal ini? Bukankah tadi telah dikerahkan segenap tenaga dalam penyerangannya tadi? Bukankah dia menang posisi bila dibandingkan dengan Siluman Tengkorak Putih dalam benturan tadi? Mungkinkah tenaga dalam lawannya ini lebih kuat dari Bargola? Mustahil!

Akan tetapi Ki Wanayasa tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih menghentikan kesibukan berpikirnya. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dan kemudian dibalasnya dengan ilmu ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’. Maka kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang luar biasa.

Akan tetapi tidak sampai lima belas jurus kemudian terbuktilah Ki Wanayasa bukan tandingan Siluman Tengkorak Putih. Kakek bongkok udang itu perlahan namun pasti mulai terdesak. Hal inilah tidaklah aneh karena memang Ketua Perguruan Tangan Sakti ini kalah segala-galanya dibanding lawannya. Dapat dipastikan kalau tak lama lagi Ki Wanayasa akan rubuh di tangan lawannya yang luar biasa itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa.

“Gerda! Hentikan!” teriaknya keras.

“Tidak, Paman. Aku tidak akan berhenti sebelum membunuh tua bangka keparat ini!” bentak Siluman Tengkorak Putih yang memang bernama asli Gerda dengan suara keras pula. Bahkan dia terus menhujani lawan dengan serangan-serangan yang mematikan.

Raja Pisau Terbang segera bersiap melihat sikap Raja Racun Pencabut Nyawa yang aneh ini. Akan tetapi tidak terlihat tanda-tanda kalau tokoh itu akan bertindak curang.

“Hentikan, Gerda! Cepat! Aku sudah tahu di mana Pedang Bintang itu!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa lagi.

Mendengar ucapan itu lagsung Siluman Tengkorak Putih menghentikan desakannya pada Ki Wanayasa. Tubuhnya melenting cepat ke belakang meninggalkan lawannya. Akan tetapi Ki Wanayasa yang sudah mencium adanya bahaya yang mengancam tempat Pedang Bintang berada tidak membiarkan lawannya.

Cepat-cepat dia melompat mengejar.

“Adi Kirin tolong cegah Raja Racun itu pergi!” teriak Ki Wanayasa sambil terus mengejar.

Raja Pisau Terbang yang telah melihat Ki Wanayasa tengah berusaha menghalangi kepergian Siluman Tengkorak Putih, segera bergerak ke arah Raja Racun Pencabut Nyawa begitu mendengar teriakan rekannya itu.

Raja Racun Pencabut Nyawa yang juga mendengar teriakan tadi juga tahu kalau sampai berhadapan si Raja Pisau Terbang, kemungkinan untuk dapat lolos sangat kecil. Buru-buru dirogoh balik bajunya untuk mengambil sebuah benda bulat sebesar telur bebek. Tanpa ragu-ragu lagi benda itu dilemparkan ke arah Raja Pisau Terbang yang tengah bergerak mengejar.

Tentu saja Raja Pisau Terbang yang telah tahu betapa telengasnya Raja Racun itu dengan permainan racunnya,tidak berani bertindak ceroboh. Segera dilempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara menjauhi benda bulat itu.

Blarrr !

Terdengar ledakan keras begitu benda bulat itu menyentuh tanah. Asap yang berwarna hitampun menyebar mengahalangi pandangan.

Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang tengah dikejar Ki Wanayasa rupanya menjadi tidak sabar juga. Sambil terus bersalto ke belakang dikirimkan serangan jarak jauh. Seketika angin keras yang berabu amis keluar dari tangan Siluman Tengkorak Putih.

Ki Wanayasa segera tahu kalau pukulan jarak jauh itu di samping mengandung tenaga dalam kuat, juga mengandung racun amat jahat. Maka dia tidak bertindak gegabah lalu buru-buru melompat ke samping. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah menghindari pukulan itu.

Kesempatan itupun digunakan Gerda atau Siluman Tengkorak Putih untuk meloloskan diri dari kejaran Ki Wanayasa.

****

Setelah sama-sama gagal dalam mengejar Raja Racun Pencabut Nyawa dan Siluman Tengkorak Putih, Ki Wanayasa hanya menatap kepergian Siluman Tengkorak Putih diiringi sinar mata cemas. Ia tahu kalau Raja Racun Pencabut Nyawa tidak main-main dengan ucapannya yang mengatakan telah mengetahui tempat Pedang Bintang itu berada.

“Betulkah apa yang dikatakan Raja Racun itu, Kakang?” tanya Raja Pisau Terbang yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya.

Ki Wanayasa menghela napas berat sebelum men­jawab pertanyaan itu. “Kemungkinan besar memang begitu, Adi” ucapnya pelan.

“Aku jadi tidak mengerti Kakang....”

“ Begini, Adi. Beberapa tahun yang lalu Ki Gering Langit berkunjung ke tempat ini menemuiku. Kami berbincang­bincang beberapa lama, sampai akhirnya dia mengajakku bermain sintir. Padahal telah lama aku berjanji dalam hatiku untuk tidak memainkan permainan itu. Tapi Ki Gering Langit terus memaksa. Aku menolak, tapi dia terus mendesak. Bahkan sampai-sampai mempertaruhkan kitab­kitab ilmu silatnya.

" Akhirnya aku tidak tega, lalu mengalah. Dan akhirnya kami bermain. Melalui sebuah permainan yang lama dan menegangkan akhirnya aku dapat mengalahkannya. Maka iapun memenuhi janjinya menyerahkan kitab-kitab ilmu silatnya padaku. Tentu saja hal itu kutolak. Kukatakan padanya kalau aku terpaksa menerima ajakan itu bukan karena ingin taruhan.

" Tapi ia tetap memaksa. Katanya janji adalah hutang. Dan ia tak ingin berhutang. Tapi aku berkeras menolak. Sampai akhirnya kami menemukan jalan tengah yang disepakati bersama. Kitab-kitab itu dibawa olehnya tapi dia meninggalkan sebilah pedang yang di dalamnya terdapat petunjuk mengenai tempat kitab-kitab peninggalannya. Pedang itu bernama Pedang Bintang.”

“Lalu mengapa tadi Kakang bersikeras mengatakan tidak menyimpannya? Bahkan sampai membawa-bawa kedudukan untuk menguatkan pernyataan Kakang itu,” selak Raja Pisau Terbang.

“Sabar, Adi Kirin,” ucap Ki Wanayasa sambil tersenyum. “Aku belum selesai dengan ceritaku.”

Wajah Raja Pisau Terbang memerah mendengar teguran halus itu.

“Mulanya aku berniat menyerahkan Pedang Bintang itu pada salah satu seorang murdku. Tapi sayangnya tidak ada satupun murid-muridku yang memiliki bakat luar biasa. Sampai akhirnya suatu hari adik seperguruanku yang berjuluk Pendekar Ruyung Maut datang mengunjungiku bersama anak lelakinya. Anak itu ternyata memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Jadi kuberikan saja Pedang Bintang itu padanya.”

“Tapi kenapa Raja Racun Pencabut Nyawa itu mengatakan bahwa ia tahu di mana adanya Pedang Bintang itu, Kakang? Apakah itu hanya tipu muslihat saja?”

“Kemungkinan besar yang dikatakannya benar,” ujar Ki Wanayasa. Kecemasan nampak tergambar di wajahnya. “Karena dia pernah bertarung mati-matina melawan adik seperguruanku. Dalam pertarungan itu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Kedua-duanya sama­sama terluka.”

“Aku mengerti sekarang, Kakang.” Tandas Raja Pisau Terbang mulai paham. “Karena pernah bertarung dengan adik seperguruanmu sampai sekian lamanya, setidak­tidaknya ia mengenali ilmu-ilmu andalan dan mengenal gerakan-gerakannya. Pantaslah, tadi begitu melihat pertaruganmu dengan Siluman Tengkorak Putih, ia tampak kaget.”

“Benar. Rupanya ia melihat adanya persamaan jurus yang kugunakan dengan lawannya dulu, Pendekar Ruyung Maut....” Desah Ki Wanayasa pelan. “Tapi mudah-mudahan saja dia salah duga....”

“Menurutku kemungkinan itu sangat kecil, Kakang. Raja Racun Pencabut Nyawa itu sudah terkenal ke­cerdikannya di samping kelicikannya. Kakang toh telah lihat sendiri kenyataannya sewaktu dia menyudutkan Kakang dengan pertanyaan yang membuat Kakang tidak mampu berkelit lagi,” tebak Raja Pisau Terbang seraya menggelengkan kepalanya.

“Ya,” ucap Ketua Perguruan Tangan Sakti itu singkat. “Hhh.... Entah siapa tokoh yang tersembunyi di balik
selubung itu....” Raja Pisau Terbang mengerutkan alisnya. Ki Wanayasa menghela napas. “Akupun tidak habis pikir, Adi Kirin. Kepandaian siluman itu malah lebih hebat dari Bargola ... !”

“Aku tahu itu. sebetulnya jika menuruti keinginan hati rasanya ingin kujajal kelihaiannya. Sayangnya aku sudah jenuh berkelahi terus, Kakang. Aku ke sinipun sebenarnya sekalian ingin mengucapkan selamat tinggal karena ingin pergi ke tempat yang sepi. Mendidik Ningrum putri tunggal­ku.”

Ki Wanayasa termenung. Nampak jelas kalau kakek ini dilanda kebingungan.

“Memang sudah seharusnya kalau kita yang sudah tua­tua ini menyepi. Biarlah sekarang giliran yang muda-muda untuk turun tangan. Ah, mudah-mudahan saja adik seperguruanku itu telah menunaikan amanatku. Kalau tidak....”

“Benar. Kita memang hanya bisa berharap, Kakang. Sekarang aku pamit, Kang.”
“Silahkan Adi. Terima kasih atas kunjunganmu.”

Setelah memberi hormat sebentar, tubuh Raja Pisau Terbang langsung berkelebat. Dalam sekejap saja yang nampak hanya titik hitam yang semakin lama semakin mengecil untuk kemudian lenyap sama sekali.
“Haaat ... ! Hup,,,,! Hiyaaaa ... !”

Terdengar teriakan-teriakan nyaring dari balik sebuah tembok yang mengelilingi sebuah bangunan besar dan megah.

Teriakan-teriakan itu ternyata berasal dari mulut seorang pemuda tampan yang tengah berlatih silat. Usia­nya sekitar lima belas tahun. Bertubuh tegap dan kekar. Bentuk wajahnya persegi dan terlihat jantan. Alis matanya tebal dan berbentuk golok menampakkan kekerasan wajahnya.

“Hiyaaat...!”

Untuk kesekian kalinya pemuda itu berteriak keras. Belum lagi gema suaranya itu lenyap, tubuhnya sudah me­lompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, dia melakukan tendangan sambil memutar tubuhnya.

Wut ... !

Angin keras berhembus mengiringi tendangan itu. Suatu tanda kalau tendangan itu mengandung tenaga dalam tinggi.

“Hup!”

Dengan ringan dan indah kedua kaki pemuda itu men­jejak tanah. Tapi baru saja hendak melanjutkan gerakan­nya, tiba-tiba....

“Cukup Arya...!”

Suara itu membuat pemuda yang ternyata bernama Arya Buana menghentikan gerakannya. Dengan ragu-ragu dipalingkan wajahnya ke arah asal suara itu. Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Sedangkan si pemilik suara itu rupanya mengentahui juga keragu-raguan Arya Buana.

“Ayah ingin bicara sebentar...”

Kali ini Arya Buana tidak ragu-ragu lagi dan segera menghentikan latihannya. Disekanya peluh yang mem­basahi leher, dahi dan wajahnya. Tak lama kemudian kaki­nya melangkah menghampiri ayahnya.

“Ada apa Ayah?” tanya Arya Buana sambil menatap wajah laki-laki setengah tua yang masih kelihatan gagah. Tubuhnya tinggi tegap. Ada sebaris kumis tipis menghiasi bagian atas bibirnya. Dia adalah Pendekar Ruyung Maut.

“Kita bicara di dalam saja,” ucap Pendekar Ruyung Maut sambil beranjak ke dalam.

Tanpa banyak cakap, Arya Buana ikut melangkah masuk menguntit di belakang ayahnya.

“Arya....” Ucap Pendekar Ruyung Maut itu ketika mereka telah berada di dalam beranda rumah besar itu. Mereka duduk berhadapan di kursi berukir indah dari kayu jati. “Rasanya ini adalah hari terakhir pertemuan kita....”

“Maksud Ayah?” tanya Arya Buana kaget. Sepasang matanya terbelalak.

Pendekar Ruyung Maut menarik napas dalam-dalam. Nampak jelas kalau ia merasa berat untuk mengatakan apa yang terkandung dalam benaknya.

“Terpaksa, Arya. Ini terpaksa harus kulakukan kalau aku masih ingin melihatmu hidup....”

“Jadi maksud Ayah.... Kalau kita tidak berpisah aku akan mati? Mati oleh siapa, Ayah?” tanya Arya Buana penasaran.

“Ceritanya cukup panjang Arya” Pendekar Ruyung Maut menghela napas dalam-dalam seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang terasa sesak.

“Tak mengapa, Ayah. Aku akan sabar mendengar­kannya....”

“Baiklah kalau begitu,” Pendekar Ruyung Maut menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Masih ingatkah kau waktu aku membawamu ke tempat paman gurumu di Gunung Waru?”

“Masih Ayah,” Arya Buana mengangguk.

“Nah! Sewaktu aku akan pulang, Paman Gurumu itu memberi Pedang Bintang kepadaku.”
“Pedang Bintang?!” tanya Arya Buana terkejut.

Memang pemuda itu juga mendengar akan kerusuhan yang terjadi di dunia persilatan akibat berita mengenai
pedang itu. Di mana-mana selalu terjadi keributan dan pembunuhan. Semuanya itu berpokok pangkal dari Pedang Bintang.

“Ya,” Pendekar Ruyung Maut mengangguk membenar­kan. “Pesannya pedang itu harus kuserahkan padamu....”

“Untukku, Ayah?” lagi-lagi Arya Buana menyelak cerita ayahnya.

“Benar. Paman gurumu juga mengatakan kepadaku apa yang tersembunyi di balik pedang itu. Dan semua itu ternyata sesuai dengan berita yang tersebar di dunia per­silatan. Akupun telah menyelidiki rahasia yang tersembunyi dalam pedang itu....”

“Dan Ayah berhasil?” tanya Arya Buana penuh rasa ingin tahu.

Pendekar Ruyung Maut tercenung sebentar sebelum mengangguk ragu-ragu.

“Bisa dikatakan begitu.”
“Maksud ayah?” Arya Buana mengerutkan keningnya bingung.

“Semua tempat dan petunjuk yang diberikan telah ku­temukan. Tapi tempat terakhir yang menunjukkan di mana kitab-kitab itu berada belum kudatangi.... Maksudku biar kau sendiri yang mencarinya.”
Arya Buana mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Lalu, mengapa tadi ayah mengatakan kalau ini adalah hari terakhir kita bertemu? Dan kalau kita tetap bersama­sama aku akan tewas?”

“Arya, kau tentu telah mendengar akibat yang ditimbul­kan berita mengenai Pedang Bintang ini. Pada mulanya aku masih tidak ambil pusing. Tapi perkembangan terakhir yang kudengar membuatku kawatir. Entah bagaimana caranya orang-orang persilatan itu akhirnya mengetahui kalau Pedang Bintang itu berada di Perguruan Tangan Sakti. Lambat laun merekapun tahu di mana pedang itu kini. Apabila itu terjadi pasti mereka berbondong-bondong datang ke sini. Dan tidak berani kupastikan apakah aku akan dapat mengahadapi mereka atau tidak. Apalagi jika yang datang itu datuk-datuk persilatan. Jangankan aku, walau paman gurumu membantupun tetap tidak akan dapat membendung mereka.”

“Kalau begitu kenapa kita tidak pergi saja dari sini, Ayah?” usul Arya Buana.

Pendekar Ruyung Maut menatap Arya Buana tajam. Wajahnya nampak agak memerah.

“Ucapan apa itu, Arya?! Apakah kau ingin melihat aku ditertawakan orang-orang persilatan? Mereka pasti bilang, lihat! Pendekar Ruyung Maut melarikan diri seperti seekor anjing! Tidak, Arya! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi dari sini! Aku bukan seorang pengecut!”

“Akupun bukan seorang pengecut, Ayah! Aku tidak akan meninggalkan Ayah dan akan tetap di sini, untuk mem­bantu Ayah menghadapi mereka.”

“Jangan salah mengerti, Arya,” potong Pendekar Ruyung Maut cepat. “Musuh yang akan kita hadapi tidak sedikit. Tidak ada gunanya kalau kau berniat menentang mereka. Hanya membuang nyawa sia-sia saja.”

“Tapi, Ayah....” Arya Buana coba membantah.

“Kalau aku lain, Arya. Lagi pula kalau kau ikut tewas bersamaku di sini, siapa yang akan menyelamatkan Pedang Bintang? Apakah kau tidak merasa sayang kalau pedang ini nanti akan terjatuh ke tangan orang yang jahat? Bagaimana nanti harus kupertanggung jawabkan semua ini pada paman gurumu? Apakah kau senang bila nanti paman gurumu menuding di kuburku sebagai orang yang menyia-nyiakan amanat?”

Arya Buana terdiam. Pertanyaan ayahnya bertubi-tubi itu membuatnya bingung dan tidak tahu harus berkata apa.

“Dan lagi.... Tidak rindukan kau apda ibumu, Arya? Tidak inginkah kau bertemu dengannya?” tanya Pendekar Ruyung Maut lagi. Tapi kali ini suaranya bergetar tidak meledak-ledak seperti tadi.

Kontan Arya Buana tersentak. Ibunya? Dia tidak rindu kepada ibunya? Dia tidak ingin bertemu ibunya? Ingin rasanya dia berteriak untuk mengatakan betapa rindunya pada ibunya. Bertahun-tahun rasa rindunya ini dipendam sejak ibunya pergi meninggalkan dirinya dan ayahnya. Waktu itu Arya Buana berusia lima tahun sehingga tidak pernah tahu ibunya pergi meninggalkan mereka.

“Ibu ... Ibu... Ayah?’ tanya Arya Buana ragu-ragu sambil menatap ayahnya. Nampak dilihatnya wajah laki-laki setengah baya itu berubah muram.

“Benar. Rasanya perlu kuberitahukan padamu per­soalan yang sebenarnya. Aku takut nanti kau menduga jelek pada Ibu ataupun Ayah.”

Pemuda remaja itu hanya menundukkan kepalanya diam tanpa berkata-kata.

“Enam belas tahun yang lalu aku menikahi seorang gadis yang kemudian menjadi ibumu. Namun sama sekali tidak kuketahui asal-usul ibumu. Sewaktu kutanyakan dia mengatakan kalau kedua orang tuanya telah tiada. Yang tinggal hanya kakak laki-lakinya yang saat itu berada entah di mana. Setelah kau berumur empat tahun baru kuketahui siapa kakak kandung ibumu. Dan hal ini membuat aku kaget bukan kepalang. Ternyata kakak ibumu si Raja Racun Pencabut Nyawa, seorang tokoh sesat yang terkenal kejam dan telengas! Si Raja Racun ini pernah bertarung denganku yang berkesudahan tanpa pemenang. Rupanya dia masih dendam padaku. Sewaktu kau berumur lima hampir lima tahun, ia datang lagi hendak menantangku dan hendak membunuhmu. Ibumu tentu saja menjadi bingung ketika menyadari kalau pertarungan di antara kami tidak dapat dielakkan lagi. Ia tidak ingin salah satu di antara kami terluka atau tewas. Akhirnya si Raja Racun mengalah. Ia bersedia membatalkan pertarungan asal ibumu pergi meninggalkan aku dan dirimu. Ibumu tidak punya pilihan lain, Arya. Jadi, yahhh.... Itulah yang terjadi.”

Arya Buana tercenung begitu ayahnya menyelesaikan ceritanya. Pemuda remaja itu masih tetap menundukkan kepalanya.

“Arya ....”

Perlahan-lahan Arya mengangkat kapalanya.

“Ini amanat dari paman gurumu,” ujar Pendekar Ruyung Maut sambil mengulurkan tangannya menyerahkan Pedang Bintang.

Dengan tangan gemetar, Arya Buana menerima pedang itu.

“Di dalam gagang pedang itu ada petunjuk. Pergilah, Arya. Mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa dan ber­kumpul lagi bersama. Kau, aku dan .... ibumu.”

Arya Buana memperhatikan pedang yang kini berada di tangannya itu sejenak. Pada kedua ujung sisi gagang pedang masing-masing melekar sebuah bintang bersegi lima berwarna keemasan. Segera dicabutnya gagang pedang itu. memang tepat perkataan ayahnya. Di dalam gagang itu terdapat segulung kain yang berisikan coretan­coretan. Arya memperhatikannya beberapa saat lalu disimpannya gulungan kain itu. Selanjutnya dimasuk­kannya kembali pedang itu ke dalam warangkanya.

“Aku rasa sudah tiba waktunya kau harus pergi, Arya” kata ayahnya lagi.

Arya Buana hanya mengangguk.

“Kalau begitu cepatlah!” setelah berkata begitu Pendekar Ruyung Maut itu bergegas melangkah ke belakang, diikuti oleh Arya Buana di belakangnya.

Laki-laki setengah baya itu menghentikan langkahnya di dekat sebuah sumur. Arya yang telah memperhatikan coretan-coretan pada gulungann kain itu segera mengetahui kalau sumur ini adalah pintu pertama menuju tempat kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit.

“Inilah pintu pertama itu, Arya. Di atas permukaan sumur ini kira-kira setengah tombak di atasnya terdapat sebuah lobang. Dari situlah awal perjalananmu. Cepatlah! Jangan membuang-buang waktu lagi.”

Arya hanya menganggukkan kepalanya.

Setelah berpamitan tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat ke dalam sumur itu. Dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi di bawah sana.

Pendekar Ruyung Maut memperhatikan sejenak, sampai tubuh Arya Buana menyentuh permukaan air sumur. Baru setelah Arya Buana melambaikan tangan tanda siap, ia berjalan meninggalkan sumur itu menuju ruangan dalam bangunan besar rumahnya.

******

Malam itu langit kelihatan cerah. Tidak ada awan yang mengantung di langit. Bulan penuh yang tampak di langit menambah terangnya suasana.

Tetapi rupanya suasan cerah tidak menjamin bahwa suasana akan aman. Terbukti di malam ini nampak dua sosok tubuh berkelebat cepat melompati pagar tembok bangunan milik Pendekar Ruyung Maut, yang dulunya adalah milik Ki Gering Langit. Gerakan mereka cepat bukan main. Suatu tanda kalau dua sosok tubuh itu bukanlah orang sembarangan! Dan hal itu memang tidak salah. Ternyata dua sosok itu adalah Gerda, si Siluman Tengkorak Putih dan si Raja Racun Pencabut Nyawa.

“Tribuana! Keluar kau!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa memanggil nama asli Pendekar Ruyung Maut. Begitu ia dan Siluman Tengkorak Putih berada di depan pintu bangunan besar itu. Suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat itu, bergema ke sekitar bangunan besar milik Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut.

Karuan saja suara penggilan dari luar itu mengagetkan Pendekar Ruyung Maut yang berada di dalam. Apalagi suara penggilan itu menyebut nama aslinya. Nama yang jarang diketahui orang. Sepengetahuannya hanya dua orang saja yang tahu nama aslinya. Mereka adalah kakak seperguruannya, Ki Wanayasa dan istrinya sendiri.

Tetapi menilik dari suara panggilan itu, Tribuana berani bertaruh kalau suara itu bukan salah satu dari kedua orang yang dimaksudkan. Lalu siapa?

Pendekar Ruyung Maut melangkah ke luar. Tidak lupa diselipkan ruyungnya di pinggang. Memang dari nada suaranya orang yang memanggil itu tidak bermaksud baik.

Begitu pintu dibuka, nampak sekitar tiga tombak di depannya berdiri dua sosok tubuh. Suasana yang cukup terang membuat Pendekar Ruyung Maut ini dapat melihat jelas dua sosok tubuh itu. salah satunya langsung dapat dikenali sebagai si Raja Racun Pencabut Nyawa. Telah dua kali dia bertemu tokoh ini. iblis itu adalah kakak kandung istrinya. Dan hal ini membuatnya serba salah. Sulit baginya untuk bertempur melawan si Raja Racun Pencabut Nyawa ini!

Perhatian Tribuana kini beralih pada sosok serba putih yang berdiri di samping Raja Racun Pencabut Nyawa. Dicobanya untuk mengingat-ingat barangkali saja pernah kenal atau setidaknya mendengar tokoh ini. Tapi sampai lelah mengingat-ingat, tidak juga dikenali orang itu. meskipun demikian Pendekar Ruyung Maut ini harus bersikap waspada. Sepasang matanya yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti maka kucing dalam gelap itu benar-benar membuatnya terkejut. Sebagai seorang yang telah kenyang dengan pengalaman, Tribuana tahu kalau sorot mata seperti itu hanya akan muncul pada mata orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi.

“Apa keperluanmu sehingga Kakang Lindu menemuiku?” tanya Pendekar Ruyung Maut pelan.

Si Raja Racun Pencabut Nyawa yang ternyata bernama Lindu, mendengus. “Tidak perlu berbasa-basi, Tribuana! Cepat serahkan Pedang Bintang padaku!”

“Pedang Bintang?!” sahut Pendekar Ruyung Maut pura­pu ra.
“Tidak usah pura-pura, Tribuana! Atau kini kau telah menjadi seorang pengecut sehingga tidak berani mengakui benda yang ada di tanganmu?!”

Pendekar Ruyung Maut menghela napas panjang. Ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa membuatnya mati kutu.

“Kuakui, kalau pedang itu semula ada padaku, Kang Lindu. Tapi sekarang, tidak lagi....”
“Keparat! Lalu, sekarang di mana pedang itu?!” desak si Raja Racun Pencabut Nyawa.

“Sayang sekali, Kang Lindu. Tidak mungkin kuberitahu­kan padamu!” tegas sekali kata-kata Pendekar Ruyung Maut itu.

“Menyingkirlah, Paman” selak Siluman Tengkorak Putih sambil melangkah maju menghampiri Tribuana.

“Jangan gegabah dulu, Gerda. Akan kuperiksa dulu bangunan ini. Seingatku ia mempunya seorang anak lelaki yang kini pasti sudah remaja. Aku akan mencari anak itu dulu!”

“Cepatlah, Paman” sahut Siluman Tengkorak Putih tak sabar.

Raja Racun Pencabut Nyawa segera melesat ke dalam rumah besar itu, Pendekar Ruyung Maut berusaha meng­hadang, tetapi terjangan Siluman Tengkorak Putih mem­buat niatnya terhenti.

Kagetlah pendekar ini melihat kehebatan serangan dan kekuatan tenaga yang tekandung dalam serangan Siluman Tengkorak Putih. Tanpa ragu-ragu lagi, pem langsung mengerahkan ilmu andalan ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’.

Tetapi dalam beberapa jurus saja Pendekar Ruyung Maut sudah terdesak. Pendekar ini memang kalah segala­segalanya jika dibandingkan lawannya. Baik kecepatan gerak maupun kekuatan tenaga dalam. Sehingga tidak aneh jika hanya sebentar saja ia sudah dibuat pontang­panting.

“Hiyaaa ....... !”

Pendekar Ruyung Maut berteriak keras sambil men­cabut senjatanya. Langsung diayunkan ruyungnya itu ke kepala lawan.

Siluman Tengkorak Putih hanya mendengus. Tangan kanannya cepat-cepat diangkat melindungi kepalanya.

Takkk    !

Pendekar Ruyung Maut terhuyung. Mulutnya me­nyeringai. Sekujur tangannya seolah-olah terasa lumpuh tatkala tangna sosok serba putih itu menangkis ruyungnya. Di saat yang tidak menguntungkan bagi pendekar itu, totokan ujung kaki Siluman Tengkorak Putih menyambar cepat ke arah lututnya.

Tukkk ......... !
“Akh      !”

Pendekar Ruyung Maut mangeluh. Sambungan tulang lututnya kontan terlepas. Akibatnya tubuhnyapun sempoyongan. Dan kini lagi-lagi serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih kembali menyambar.

“Hugh ......... !”

Kembali Tribuana mengeluh ketika sebuah tepakan laki-laki berjubah putih itu telak menghantam dadanya. Ketika pendekar ini terbatuk ada segumpal darah kental keluar dari mulutnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya ter­banting ke tanah. Serangan itu memang dahsyat sekali.

Dan saat itulah si Raja Racun Pencabut Nyawa keluar dari dalam rumah besar itu.

“Bagaimana, Paman?” tanya Siluman Tengkorak Putih.

Si Raja Racun Pencabut Nyawa hanya menggeleng.

“Bagaimana Tribuana?” Siluman Tengkorak Putih menoleh ke arah Pendekar Ruyung Maut yang masih ter­golek di tanah dengan napas tersenggal-senggal. “Kau ingin menunjukkan ke mana perginya putramu itu dengan Pedang Bintangnya?”

“Lebih baik aku mati!” tandas Tribuana.

“Baik, kalau itu yang diinginkan! Tapi jangan harap akan kubunuh begitu saja! Kau akan kusiksa pelan-pelan!” ancamnya.

“Jangan harap dapat membuatku takut, iblis! Cuhhh...!”
“Bangsat!” maki Siluman Tengkorak Putih.

Seketika kaki Siluman Tengkorak Putih bergerak meng­injak. Kemarahan membuatnya lupa pada ancamannya. Kakinya dijejakkan pada dada Tribuana sambil menekan kuat-kuat. Terdengar suara gemeretaknya tulang-tulang yang berpatahan. Darah segar memancur deras dari mulut, hidung, telinga dan bahkan mata Pendekar Ruyung Maut.

Sejak malam itu maka gemparlah dunia persilatan. Siluman Tengkorak Putih benar-benar mengamuk. Setiap perguruan silat yang beraliran putih dihancurkan, tak terkecuali Perguruan Tangan Sakti. Bahkan Ki Wanayasa telah ditewaskannya! Sementara para tokoh kaum hitam mulai bersorak gembira. Kini mereka berani melakukan kejahatan dengan lebih leluasa. Hanya saja si Raja Pisau Terbang dan Bargola belum terdengar lagi beritanya.

***

Byurrr ... !

Setelah beberapa saat lamanya melayang di udara tubuh Arya Buana langsung jatuh di permukaan air sumur itu. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi, pemuda itu tidak menemukan halangan berarti. Beberapa saat tubuh Arya Buana mengapung di permukaan air. Sepasang matanya nyalang mengamati bagian dinding sumur mencari-cari lubang yang dikatakan ayahnya. Berkat kegigihannya akhirnya lubang itu berhasil ditemukan. Persis seperti yang dikatakan ayahnya. Lubang itu terletak hanya sekitar setengah tombak dari pemukaan air sumur.

Arya Buana menimbang-nimbang sejenak. Rasanya tidak mungkin dapat mencapai lubang itu dengan melompat. Kalau di darat jarak seperti itu memang bukan­lah apa-apa. Tapi kalau di air bagaimana hal itu dapat dilakukannya? Kakinya tidak mempunyai landasan yang cukup mantap untuk tempat menjejak. Kalau ayahnya memang sudah dapat dipastikan akan melakukan hal itu.

Setelah beerpikir beberapa saat lamanya, Arya Buana segera berenang ke dinding sumur mendekati lubang itu. segera diambilnya sebilah pisau kemudian pelan saja ditancapkannya di dinding sumur. Sesaat kemudian dikeluarkan pula Pedang Bintang dari warangkanya. Baru setelah itu tubuhnya melenting dan hinggap di atas pisau yang tadi ditancapkannya di dinding. Pisau itu nampak agak goyah karena Arya Buana hanya menghujamkan per­lahan saja.

“Hup!”

Sambil menekankan pada landasan, Arya Buana melompat ke atas. Dan ketika tubuhnya berada tepat di depan lubang yang hanya kecil saja itu. Segera ditancapkan pedangnya sekuat tenaga.

Crap!

Pedang itu amblas ke dinding sumur hingga setengah­nya lebih. Karuan saja hal ini membuat tubuh Arya Buana tergantung di depan lubang itu. Sekilas Arya melirik ke bawah, ke tempat ia menancapkan pisaunya. Mulutnya menyunggingkan senyum lega ketika pisau itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Memang agar tidak meninggalkan jejak yang dapat diketahui para pemburu pusaka Ki Gering Langit.

Kini Arya mengalihkan perhatian pada lubang kecil yang tepat berada di depannya. Lubang itu kelihatan kecil dan gelap. Garis tengahnya tidak lebih dari setengah tombak. Dengan hanya mengayunkan tubuhnya sedikit, pemuda remaja itu telah berada di dalam.

Arya Buana memasukkan Pedang Bintang ke warangkanya kembali. Tubuhnya terpakda merangkak karena sempitnya lubang untuk masuk lebih ke dalam. Dan ternyata lubang itu tidak datar saja. Arya Buana merasa kalau arah lubang ini menanjak. Dan ternyata semakin kedalam, lubang itu semakin membesar. Sampai akhirnya pemuda remaja itu tidak merangkak lagi bahkan bisa berjalan biasa.

Setelah beberapa lama akhirnya sampailah Arya Buana pada sebuah ruangan yang cukup luas dan terang seperti ada cahaya yang menyinarinya. Entah dari mana asal sinar itu dan pemuda itu tidak mengetahuinya. Apalagi untuk memikirkannya. Tubuh dan pikirannya lelah sekali. Di sini Arya Buana menjatuhkan tubuhnya kemudian bersandar pada dinding. Untuk beberapa saat lamanya tubuhnya tetap bersandar tapi sebentar kemudian telah duduk ber­sila. Ditegakkannya tubuhnya dan dirapatkan kedua tangannya di depan dada. Dan kini Arya Buana sudah tenggelam dalam semadinya. Suasana sekitar tempat itu yang semula hening, kini dipecahkan suara napas yang keluar masuk dari mulut dan hidung Arya Buana. Suara napas yang berirama tetap.

Setelah dirasakan tenaganya kembali pulih, Arya Buana menghentikan semadinya. Sebentar diperhatikan ruangan di sekitarnya. Ruangan ini ternyata mempunyai beberapa buha lorong. Segera pemuda ini mengeluarkan gulungan kain yang disimpan. Dibuka dan diperhatikannya petunjuk dan coretan yang ada. Setelah hatinya mantap barulan di­pilihnya lorong sebelah kanan.

Berbeda dengan lorong gua di atas permukaan sumur, lorong ini lebih nyaman dan enak untuk dijalani. Arya Buana melewatinya sambil mengerahkan ilmu meringan­kan tubuh.

Entah berapa lama Arya Buana menempuh lorong itu sehingga tidak tahu siang atau malam. Yang dilakukannya hanya terus berlari sampai lelah dan lapar. Baru setelah di­rasakan letih dia beristirahat dan makan. Kini dia harus melanjutkan perjalanan lagi hingga akhirnya ia melihat berkas sinar di ujung lorong yang tengah dilalui.

Dengan perasaan gembira yang meluap-luap, Arya Buana segera mempercepat langkah menuju asal sinar itu.
Sekali lihat saja dari jarak jauh, Arya telah mengetahui kalau sinar itu berasal dari cahaya matahari. Dan itu berarti di ujung yang berhubungan dengan dunia bebas!

Tak berapa lama kemudian, Arya Buana telah berada tidak jauh dari sinar itu. setibanya di sini, dugaannya memang benar. Ujung lorong ini memang berhubungan dengan dunia luar. Hanya saja lubangnya ditutupi rerimbunan semak belukar sehingga tak terlihat oleh pandangan orang luar. Dan sinar yang dilihatnya itu memang berasal dari sinar matahari yang menerobos rerimbunan semak belukar itu.

***

Dengan tangan agak gemetar, Arya menyibakkan semak belukar itu. untuk sesaat lamanya pemuda itu menundukkan kepala sambil menutupi kedua matanya dengan tangan kanan. Silau rasanya diterpa sinar yang telah sekian lama tidak dilihatnya.

Setelah agak terbiasa, barulah Arya menurunkan tangannya. Dilangkahkan kakinya keluar dari lorong itu setelah terlebih dahulu merapikan kembali semak belukar yang tadi disibaknya. Kemudian sepasang matanya memandang berkeliling mengamati sekitarnya.

Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu masih mengamati sekitarnya. Sepasang alisnya yang tebal dan berbentuk golok nampak berkerut. Rupanya ada yang tengah dipikirkan. Tak lama kemudian dikeluarkan kembali gulungan kain yang diselipkannya di balik baju di pinggang. Dibukanya kembali dan diamat-amati lagi coretan-coretan dan garis-garis yang tertera di situ.

“Hm .... pantas saja tidak kutemukan. Rupanya ada sesuatu yang kulupakan....” Gumam pemuda itu seperti untuk dirinya sendiri. “Dari mulut lorong melangkah ke kanan sejauh dua puluh langkah. Lalu ke kiri sepuluh langkah dan ke depan tiga langkah....”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Arya menyelipkan kembali gulungan kain itu di pinggang. Maka kakinya mulai melangkah sesuai petunjuk yang tertera di gulungan kain itu. dan kini tubuh Arya telah berada di depan sebuah pohon berbatang besar dan berongga. Tanpa ragu-ragu lagi dimasukinya rongga pohon itu.
Baru sekitar lima langkah melangkahkan kaki di depannya telah terbentang sebuah tangga menuju ke bawah yang terdapat jalan lurus sekitar sepuluh tombak.

Tak lama ditemukan tangga lagi yang menuju ke atas. Arya segera menaikinya. Di situ ditemukan lagi jalan yang berakhir pada sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat dan Arya segera melangkahkan kakinya. Sampai di sini Arya bimbang. Haruskan dibukanya pintu itu? Tidakkah perbuatan itu sangat tidak sopan. Karena bagaimanapun juga diyakini kalau tempat ini mempunyai pemilik.

Selagi Arya dicekam keragu-raguan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam ruangan itu.”Mengapa ragu­ragu murid murtad! Ayo masuk! Dan bunuhlah aku! Mengapa hanya termenung di depan pintu?”

Karuan saja bentakan itu membuat Arya kebingungan. Siapakah yang dimaksud oleh orang yang membentak di dalam itu. Diakah? Lalu, kalau betul kenapa dia dimaki sebagai murid murtad? Bukankah Arya hanya mempunyai seorang guru yakni ayahnya sendiri? Jangan jangan yang dimaksudkan orang yang di dalam itu adalah dirinya. Kalau bukan lalu siapa? Berbagai macam pertanyaan dan dugaan berkecamuk di benak Arya.

Beberapa saat lamanya Arya termenung di depan pintu ruangan itu. Dipertimbangkan apakah lebih baik masuk atau menunggu saja. Jelas bila melihat coretan dan garis yang tertera di gulungan kain itu, di ruang itulah tersimpan kitab-kitab Ki Gering Langit. Tapi apakah sepantasnya jika langsung masuk? Tidakkah sebaiknya meminta ijin dulu pada pemiliknya? Benar! Ia harus meminta ijin dulu. Dan pemiliknya pasti berada di dalam.

Kini Arya tidak ragu-ragu lagi. Segera digerakkan tangannya hendak mengetuk pintu itu. Tapi mendadak gerakan tangannya terhenti di udara. Ternyata dia menemukan adanya kejanggalan pada pintu ini! Pintu itu ternyata dikunci dari luar. Berkerut kening Arya melihat hal ini. Otaknya yang cerdas segera dapat menduga kalau orang yang melakukan ini bermaksud mengurung sesuatu. Dan suara makian tadi berasal dari dalam. Jadi itu adalah suara orang yang terkurung!

Kembali hati Arya dilanda kebimbangan. Haruskah dibuka paksa pintu itu? tidakkah itu berarti telah bertindak lancang? Siapa tahu kalau seseorang yang terkurung itu adalah tokoh yang berbahaya. Bukankah itu berarti dia telah berbuat suatu kesalahan? Pemuda ini memutar otaknya. Diingat-ingatnya lagi ucapan yang tadi keluar dari dalam. Masih jelas terngiang di telinganya bunyi makian tadi.

Dari bunyi makian itu Arya segera saja dapat menduga kalau yang terkurung itu adalah seorang guru. Sementara orang yang mengurungnnya adalah muridnya yang murtad. Lenyaplah kini keragu-raguan Arya. Ditatapnya pintu itu sejenak. Walau kelihatannya pintu itu begitu tebal dan kuat, tapi pemuda itu yakin kalau akan mampu menghancurkannya dengan sekali pukul saja! Hal ini diam­diam membuat Arya agak heran. Ia tahu seorang tokoh rendahpun akan mampu menghancurkan pintu itu. Tapi kenapa orang yang berkedudukan sebagai guru itu tidak mampu melakukannya?

Brakkk !

Dengan mengeluarkan suara agak ribut, pintu itu hancur berkeping-keping. Sejenak Arya mengawasi keadaan di dalamnya. Segera dilangkahkan kakinya masuk disertai sikap waspada. Begitu melangkah masuk, Arya sudah menyiapkan ilmu andalannya, ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’.

Tapi kewaspadaannya seketika pupus. Ternyata dia melihat pemandangan yang mengenaskan di hadapannya kini. Tampak sesosok tubuh kurus tua yang tengah duduk bersila di atas tanah lembab. Kedua tangannya nampak dililit gelang baja yang masing-masing dihubungkan dengan rantai. Begitu pula pada sepasang kakinya.

Kakek itu mengangkat wajahnya menatap Arya. Seketika meremang bulu kuduk pemuda itu. sepasang mata kakek itu begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan mirip mata seekor kucing dalam gelap.

Sekali pandang saja Arya sadar kalau kakek itu pasti memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hanya orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang memiliki sinar mata seperti itu. hanya saja yang masih menjadi teka-teki bagi Arya mengapa kakek ini tidak membebaskan diri dari kurungan dan belenggu rantai itu?

Dengan tenaga dalam yang dimiliki semua belenggu bagaikan permainan anak­anak saja!

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya kakek itu pelan. Sepasang mata itupun kembali meredup. “Dan apa hubunganmu dengan Boma?”

“Boma? Maaf, Kek. Aku tidak mengenal nama itu,” jawab Arya hati-hati.

“Tidak mengenalnya? Jangan bohong kau, Anak Muda. Kalau bukan teman atau suruhannya, mana mungkin kau bisa tiba di sini. Tidak ada seorangpun yang tahu tempat ini kecuali Boma. Bomantara si murid murtad!” tegas kakek itu.

“Sungguh, Kek. Aku tidak mengenal orang yang Kakek sebut itu. aku tahu tempat ini secara kebetulan saja,” bantah Arya.

“Kebetulan?!” kakek itu tersenyum pahit. Sepasang matanya kini kembali mencorong menatap Arya penuh selidik. Tapi tiba-tiba saja sepasang mata itu terbelalak.

Arya tentu saja dapat melihat keterkejutan sorot mata dan wajah kakek itu. segera diikuti arah pandangan kakek itu. Dan hatinya tersentak ketika ia menyadari kalau yang membuat kakek itu terkejut adalah benda yang tergantung di punggungnya. Pedang Bintang!

Cepat-cepat Arya berusaha menyembunyikannya dari pandangan kakek itu, tapi terlambat. Kakek itu rupanya sudah mengetahui.

“Pedang Bintang....” Desak kakek itu pelan. “Kakang Gering. Setelah sekian tahun, akhirnya muncul juga pewaris yang kau sebut-sebut itu.... Ah, rupanya Gusti Allah masih berkenan mengabulkan permohonanku. Anak Muda, kemarilah ... !”

Ajak kakek itu sambil melambaikan tangannya. Dengan agak ragu, Arya melangkah mendekat. Kakek itu rupanya tahu kalau pemuda remaja di hadapannya ini masih curiga padanya.

“Tak perlu takut padaku, Anak Muda. Aku tidak akan mungkin bisa mencelakaimu. Dulu, memang hampir setiap orang menyebut namaku dengan perasaan gentar. Tapi sekarang tidak lebih dari seorang anak bayi!”

Tercekat Arya mendengar ucapan kakek itu. Dirasakan ada nada kesungguhan dan kegetiran di dalam hatinya. Keadaan kakek inipun lebih mempertegas ucapannya.

“Bomantara, si murid murtad itulah yang telah membuatku lemah seperti kakek-kakek jompo,” tutur kakek itu lagi. “Ahhh.... Aku berdosa! Aku telah menciptakan seorang iblis di dunia persilatan. Iblis jahat yang tidak akan ada yang sanggup menandinginya....”

“Kek....” Tegur Arya pelan.

Kakek itu menatap Arya lekat-lekat. “Anak Muda jawab secara jujur pertanyaanku. Dari mana kau dapatkan Pedang Bintang itu?’

Tanpa ragu-ragu lagi Aryapun menceritakan semuanya. Dari awal mula kedatangan dia bersama ayahnya ke Gunung Waru sampai akhirnya terpaksa harus berpisah dengan ayahnya.

“Ah! rupanya kau bukan orang sembarangan, Arya. Aku kenal siapa itu Ki Wanayasa, paman gurumu maupun Pendekar Ruyung Maut ayahmu. Mereka adalah orang­orang yang senantiasa membela kebenaran. Pedang Bintang benar-benar jatuh ke tangan yang tepat.”

“Kalau boleh kutahum siapakah Kakek sebenarnya?’ tanya Arya.

Semula pemuda ini menduga kakek ini adalah Ki Gering Langit. Tapi setelah kakek ini menyebut Kakang Gering, barulah dia tahu kalau kakek ini bukanlah tokoh yang dimaksud.

Kakek itu terkekeh pelan. “Aku? Perlukan itu Arya?”

“Perlu, Kek.”
“Baiklah. Akan kuperkenalkan diriku. Dulu, dunia persilatan menjuluki diriku Ular Hitam. Tapi sekarang julukan yang pantas buatku adalah Ular Sakit!”

“Hugh!”

Arya merasakan betapa perutnya mendadak sakit. Sungguh di luar dugaannya kalau dirinya sampai bertemu datuk golongan hitam ini.

“Kau tidak usah takut, Arya. Seperti yang telah kukatkan tadi, sekarang aku telah menjadi seorang yang lemah seperti bayi.” Tegas kakek yang mengaku berjuluk Ular Hitam, ketika melihat Arya yang wajahnya mendadak pucat.

Penegasan kakek itu membuat keberanian Arya timbul. Ya, mengapa harus takut? Kakek ini entah karena mengapa, kini telah menjadi orang lemah. Dan telah dilihatnya sendiri kenyataannya. Lagi pula nampaknya kakek itu tidak bermaksud jahat padanya. Apalagi yang harus dikawatirkan? Maka iapun melangkah maju menghampiri.

“Mengapa bisa begitu, Kek?” tanya Arya ingin tahu. “Ceritanya cukup panjang, Arya. Kau akan bosan mendengarkannya.”

“Tidak, Kek.”
“Baiklah.” Ujar Ular Hitam mengalah.

Sejenak suasana hening, sementara kakek itu memulai ceritanya.

“Sekitar tujuh belas tahun yang lalu, aku memungut murid yang bernama Bomantara. Karena kulihat dia memiliki bakat yang amat baik untuk mempelajari ilmu silat. Kugembleng dia dengan sungguh-sungguh dan kuwariskan seluruh ilmu yang kumiliki,” sejenak Ular Hitam terdiam. Sepertinya tengah mencari napas untuk menguat­kan perasaannya. Sementara itu Arya Buana hanya diam penuh perhatian.

“Pada suatu ketika, kakak kandungku, Ki Gering Langit singgah menjumpaiku. Dia menitipkan kitab-kitab ilmu silatnya di sini dengan pesan agar diberikan kepada orang yang nanti membawa Pedang Bintang,” kembali kakek yang berjuluk Ular Hitam ini menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah Arya Buana dalam-dalam. Sedangkan Arya Buana tak kuasa untuk membalas tatapan itu.

“Aku meminta pada Ki Gering Langit untuk menurunkan sebagian dari ilmu-ilmunya kepada Bomantara. Pada mulanya dia berkeberatan. Tapi karena terus kudesak, akhirnya iapun memberikan sebuah kitab padaku untuk diberikan pada Bomantara. Sehabis itu iapun pergi. Tapi sungguh di luar dugaan kalau Bomantara itu ternyata mengkhianatiku. Bersama-sama Raja Racun Pencabut Nyawa yang sangat membenciku, ia mencelakaiku.” Sebentar Ular Hitam menghentikan ceritanya, lalu menarik napas panjang dalam-dalam.

Matanya sedikit berkaca-kaca, seperti menahan perasaan yang amat dalam.

“Dengan keji mereka menjebakku untuk meminum racun yang membuatku jadi orang lemah selamanya. Racun itu akan menyerangku apabila mengerahkan sedikit saja tenaga dalam. Serangan yang begitu menyiksa. Itulah sebabnya mengapa aku tidak mampu membuka rantai ini dan pintu yang terkunci dari luar iu. Karena begitu kumulai menyalurkan tenaga dalam, racun itupun langsung menyerangku.”

Arya tercenung begitu kakek itu telah menyelesaikan ceritanya. Sungguh tidak diduga begitu pahitnya kenyataan yang dihadapi si Ular Hitam. Dikhianati muridnya sendiri!

“Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, dapat kupastikan tidak ada satupun tokoh yang sanggup menghadapinya. Tak terkecuali para datuk persilatan. Kecuali kakak kandungku, Ki Gering Langit! Tapi mana mau ia turun tangan menghadapi seorang anak ingusan macam Bomantara! Maka jelas sudah murid murtad itu akan mengacau dunia persilatan tanpa ada yang bisa menghalangi. Ia telah mewarisi seluruh kepandaianku dengan sempurna. Demikian pula seluruh ilmu Raja Racun Pencabut Nyawa. Dan yang lebih gila lagi, diapun telah menerima ilmu-ilmu Ki Gering Langit yang membuatnya memiliki tenaga dalam luar biasa. Lengkaplah sudah kepandaian yang dimilikinya. Kecepatan gerak diwarisi dariku. Kekuatan tenaga dalam dari Ki Gering Langit. Dan pengetahuan racun dari Raja Racun Pencabut Nyawa!” Ular Hitam berhenti sebentar, seperti ingin mengambil napas.

Dadanya memang terasa sesak jika mengingat-ingat pengkhianatan bekas muridnya, Bomantara.

“Bomantara akan menjelma jadi iblis yang tidak ter­lawan! Dan semua ini akibat salahku yang tidak bisa menangkap hati orang. Hhh ! Bertahun-tahun aku mohon pada Gusti Allah agar segera mengirimkan orang yang menurut kakakku akan membawa Pedang Bintang. Waktu itu aku sudah hampir putus asa menunggunya. Sungguh tidak kusangka kalau Gusti Allah akhirnya mengabulkan permohonanku dengan mengutusmu ke sini, Arya” jelas Ular Hitam lagi.

“Maafkan saya, Kek.”

Setelah berkata demikian, Arya membungkuk memberi hormat. Kemudian dijulurkan tangannya untuk meraih belenggu di tangan Ular Hitam. Sekali Arya mengerahkan tenaganya, maka seketika gelang-gelang baja dan rantai-­rantai yang membelenggu tangan dan kaki Ular Hitam patah-patah.

“Ah! Terima kasih, Arya.” Ucap Ular Hitam pelan sambil bangkit berdiri. Kemudian dia melangkah menuju ke sudut ruangan, sementara Arya hanya memperhatikannya saja.

“Hm. Ada apa, Arya?” tanya Ular Hitam tanpa mengehentikan langkahnya.
“Apakah racun yang mengeram di tubuh Kakek tidak bisa dikeluarkan?”

Langkah Ular Hitam terhenti. Perlahan-lahan kepalanya menoleh ke belakang, menatap Arya lekat-lekat.

“Tidak. Tapi memang dapat disembuhkan. Kakang Gering Langit pernah mengajarkan padaku sebuah semadi untuk mengusir racun yang mengeram dalam tubuh. Memang dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat sembuh total. Tapi hanya itulah jalan satu-satunya. Racun yang dimasukkan dalam tubuhku memang racun ganas Arya.”

Kembali Kakek itu melangkahkan kakinya kembali. Dan sesampai di sudut ruangan itu dia memanggil Arya. Pemuda itu bergegas menghampirinya.

“Bongkar lantai ini!”

Tanpa banyak tanya, Arya mengayunkan tangannya ke arah lantai yang ditunjuk Ular Hitam.

Brakkk ... !

Seketika lantai itu ambrol. Tampak di balik lantai itu ter­dapat sebuah lubang berbentuk persegi. Dalamnya tak lebih dari satu hasta. Dan di dasar lubang itu terlihat sebuah peti kecil berwarna hitam mengkilat.

“Ambil peti itu, Arya.” Perintah kakek yang berjuluk Ular Hitam itu lagi.

Aryapun segera mengulurkan tangannya dan meng­ambil peti itu lalu memberikannya pada Ular Hitam. Sebentar kemudian kakek itu segera membukanya. Nampak dua buah kitab yang berwarna kekuningan di dalamnya. Ular Hitam mengambil kitab itu lalu melihat­lihatnya sejenak. Baru setelah itu diberikan pada Arya.

“Milikmu, Arya.” Ucap Ular Hitam pelan.

Arya segera menerimanya. Pada bagian muka kitab yang pertama nampak tertera huruf-huruf berbunyi

TENAGA DALAM INTI MATAHARI.

Sedangkan pada buku yang kedua tertulis kalimat yang berbunyi

ILMU BELALANG SAKTI.

Mulai saat itulah Arya berlatih mempelajari kedua ilmu yang diwariskan Ki Gering Langit, di bawah bimbingan Ular Hitam. Sementara kakek itupun tak kalah sibuknya. Hampir pada setiap kesempatan waktu yang senggang, ia bersemadi untuk mengusir racun yang mengeram di tubuhnya.

Dengan semangat meluap-luap, Arya mulai membuka halaman pertama Kitab Tenaga Dalam Inti Matahari. Memang Ular Hitam menyuruhnya mempelajari kitab itu dulu. Baru setelah memiliki Tenaga Inti Matahari yang cukup kuat, ia boleh mempelajari ‘Ilmu Belalang Sakti’.

Muridku Untuk memiliki tenaga dalam, yang tidak boleh dilupakan adalah tekanan gambaran dari pikiranmu pada batinmu. Saat bersemadi, tariklah napas dalam-dalam disertai penekanan alam bawah sadarmu.

Bayangkan bahwa tengah menarik kekuatan matahari yang masuk melalui lubang hidungmu dan terus turun hingga ke pusar. Sesampainya di sana putarkan ‘kekuatan’ yang kau tarik itu mengelilingi pusar, lalu naik ke atas dan buang kembali. Itulah yang harus kau camkan muridku

Dengan tekun dan sungguh-sungguh, Aryapun mengikuti petunjuk itu. tidak hanya pelajaran semadi saja yang terdapat di kitab itu. Sikap kuda-kuda dan pernapasan juga diajarkan.

Pada minggu-minggu pertama, tidak ada hal-hal aneh dirasakan Arya, selain hawa hangat yang senantiasa berputar di pusarnya. Tapi pada minggu-minggu selanjut­nya. Arya mulai merasakan hal lain yang diterima nya. Setiap pagi sehabis bangun tidur, sekujur tubunya terasa panas sekali. Bukan hanya itu saja. Rasa haus yang amat sangat selalu menderanya. Bahkan kulitnyapun mulai mengering.

Ular Hitampun mengetahui apa yang dialami Arya. Dan dia tahu betul kalau hal itu karena pemuda itu belum bisa mengendalikan tenaga itu. Dia juga tahu kalau hal itu paling lama hanya berlangsung sebulan. Jika Arya mengalami demikian itu hanyalah suatu proses. Maka Ular Hitampun membiarkannya saja. Dan memang, kejadian yang dialami Arya itu hanya berlangsung tiga minggu. Dan setelah itu semuanya kembali seperti biasa.

Setahun kemudian. Arya baru diperkenankan mem­pelajari kitab ‘Ilmu Belalang Sakti’. Ilmu itu ternyata terdiri dari dua jurus, jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus ‘Belalang Mabuk’.

Setelah sampai pada kitab pelajaran ilmu ini, Arya mulai menjumpai kesultian. Dan sebelumnya hal ini sudah dikatakan Ular Hitam yang telah mempunyai banyak pengalaman. Setelah memperhatikan kedua jurus itu, dia segera tahu kalau Arya tidak akan dapat menguasainya dengan baik. Jurus itu harus dilakukan dalam keadaan tidak sadar! Terutama sekali jurus ‘Belalang Mabuk’! Bila ingin menguasai dengan baik dan memainkannya dengan sempurna, Arya harus mabuk!

“Arya....” Sapa Ular Hitam pada suatu pagi ketika Arya tengah berlatih kedua ilmu itu. di tangan kakek itu tergenggam sebuah guci dari perak.

“Ya, Kek.” Pemuda itu langsung menghentikan latihannya.

“Aku sungguh tidak habis pikir, kenapa Kakang Gering memberikan ilmu itu padamu. Dan bila ingin me­mainkannya dengan baik kau harus mau tidak mau ber­gantung pada arak. Tapi yang jelas dia telah matang memikirkan semua itu. buktinya sebelum pergi dia telah menitipkan guci arak ini padaku untuk diberikan pada orang yang membawa Pedang Bintang.”

Setelah berkata demikian kakek itu lalu memberikan guci arak tersebut pada Arya.

Pemuda itu lalu mengulurkan tangannya menerima guci itu. Diperhatikannya sejenak kemudian ditimang­timangnya.

“Coba mainkalah kedua ilmu itu dengan guci ini Arya,” perintah Ular Hitam.

“Baik, Kek.” Arya menganggukkan kepalanya kemudian bergerak menjahui Ular Hitam. Dan mulailah dimainkan kedua ilmu yang telah cukup dikuasainya dengan meng­gunakan guci.

Diam-diam Arya merasa kaget. Dengan adanya guci di tangan, gerakannya jadi lebih hidup. Sesekali kedua tangannya memeluk guci itu. Sedangkan tubuhnya meliuk­liuk aneh. Di lain saat ia menyerang dengan menggunakan guci itu.

Ular Hitam mengangguk-angguk puas.

“Cukup, Arya!”

Pemuda itu menghentikan latihannya. Disusut peluh yang membasahi leher dan dahinya sebelum menghampiri kakek itu.

“Satu hal yang luar biasa pada guci ini, Arya.” Ucap kakek itu lagi. “Guci ini bukanlah guci sembarangan dan merupakan guci pusaka. Ia tidak akan hancur oleh apapun. Baik oleh senjata maupun oleh pukulan yang mengandung tenaga dalam.”

“Oh! Benarkah itu, Kek?’ tanya Arya setengah tidak percaya.

Kakek itu menganggukkan kepalanya.

“Ya. Aku sendiri telah membuktikannya. Dulu guci ini pernah kupukul dengan pengerahan seluruh tenaga dalamku. Hasilnya, nol besar! Jangankan pecah, retakpun tidak!”

“Hebat !” Desah pemuda itu takjub.

“Dan yang lebih hebat lagi, guci ini mampu membuat arak yang masuk ke dalamnya menjadi arak keras. Dan ini menguntungkanmu, Arya. Karena apabila telah menguasai ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’ dan ilmu ‘Belalang Sakti’, berguci-guci arakpun tidak akan mampu membuatmu mabuk, kecuali arak keras. Tapi dengan keisimewaan guci ini, arak yang paling ringanpun akan menjadi arak keras. Dan tentu saja langsung akan membuatmu mabuk.” Urai Ular Hitam panjang lebar.

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

***

Waktu berlalu tak terasa. Kadang seperti merayap lambat bagai langkah seekor siput. Tapi kadang pula seperti melesat laksana kelebatan anak panah. Tak terasa sudah lima tahun Arya berada di tempat si Ular Hitam berada, untuk berlatih ilmu-ilmu yang diwariskan Ki Gering Langit.

Kini Arya telah menjelma menjadi seorang pemuda yang tegap dan berdada bidang.bentuk wajahnya yang memang sudah terlihat jantan semakin bertambah jantan karena rahangnya yang kokoh. Rambutnya yang dulu berwarna hitam, sekarang berubah menjadi putih keperakan. Mungkin karena pengaruh ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’ dan ilmu ‘Belalang Sakti’. Usia Arya kini dua puluh tahun.

“Arya,” tegur Ular Hitam pagi itu. Wajah kakek ini yang dulu agak gelap, sudah bersih lagi. Suatu tanda kalau racun yang berada di tubuhnya sudha lenyap.

“Ya, Kek.” Jawab Arya yang tetap memanggil Ular Hitam seperti itu karena memang kakek itu tidak mau dipanggil guru.

“Kakek rasa sudah cukup rasanya kau menggembleng diri. Sudah tiba saatnya bagimu untuk mengamalkan apa yang dipelajari di sini untuk kepentingan orang banyak. Kakek kini telah lega melepasmu pergi. Besok kau boleh meninggalkan tempat ini....”

“Tapi, Kek....” Arya mencoba membantah.

“Tidak ada tapi-tapian lagi, Arya!” tegas Ular Hitam. “Ingat, kau banyak mempunyai tugas yang harus diselesaikan. Mencari Bomantara, ibumu juga ayahmu. Dan juga kalau aku tidak salah, Kakang Gering memberimu tugas pula, bukan?”

“Benar, Kek” Arya mengangguk.

“Nah! Kalau begitu, apalagi yang memberatkanmu meninggalkan tempat ini?”
“Aku tidak tega meninggalkan Kakek....” Lirih suara Arya.

“Ha..ha..ha ... !” Ular Hitam tertawa terbahak-bahak. “Kau ini aneh, Arya. Sekarang kekuatanku telah pulih seperti Ular Hitam yang dulu. Apa yang dikawatirkan? Sudahlah Arya. Pokoknya besok kau harus meninggalkan tempat ini. Seorang pendekar tidak akan mementingkan diri sendiri, Arya. Tapi orang banyak!”

Setelah berkata demikian, Ular Hitam melangkah pergi meninggalkan Arya yang hanya termenung memandangi punggung kakek itu hingga lenyap di kajauhan. Sama sekali pemuda itu tidak mengetahui kalau pipi kakek itu basah!

Pagi-pagi sekali Arya telah berangkat meninggalkan tempat itu. Di punggung pemuda itu bertengger guci arak terbuat dari perak pemberian Ki Gering Langit. Sedangkan Pedang Bintang sengaja ditinggalkan di tempat kediaman Ular Hitam. Senjata itu memang tidak diperlukan lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu melangkahkan kakinya penuh semangat. Tujuannya yang pertama kali adalah mencari ayahnya. Dia juga ingin tahu apa yang terjadi terhadap ayahnya sejak ia meninggalkannya lima tahun lalu. Apakah yang dikawatikrna oleh ayahnya itu akan terjadi?

Beberapa hari kemudian sampailah pemuda itu di mulut sebuah desa. Maka dipercepat langkah kakinya. Perutnya kini terasa lapar bukan main. Hanya satu yang diinginkan. Makan!

Akan tetapi, Arya mengerutkan keningnya melihat suasana desa itu yang lenggang. Semua pintu dan jendela nempak tertutup rapat.

“Ada apa ini?” tanya Arya dalam hati sambil mengamat­amati sekelilingnya.

Singggg ... !

Arya terkejut mendengar desingan benda tajam yang menuju ke arahnya. Dari suaranya pemuda ini sudah bisa memperkirakan benda tajam yang terlontar itu adalah pisau. Maka dibiarkan saja senjata gelap itu mengenainya. Pemuda ini tahu dengan tingkat tenaga dalam yang dimilikinya sekarang ini, serangan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.

Takkk!

Dengan telak senjata gelap itu menghantam tubuhnya, dan langsung runtuh ke tanah! Seolah-olah yang dihantamnya bukanlah tubuh manusia, melainkan gumpalan baja!

Begitu serangan pisau itu kandas, tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki berlarian menuju ke arah Arya. Pemuda ini kontan menoleh. Tampak puluhan orang menyerbu ke arahnya. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata seperti pisau, golok, kapak, pacul dan sekop!

Melihat pakaian dan senjata yang digunakan, Arya segera saja dapat menduga kalau mereka itu adalah penduduk desa ini. hanya saja yang masih menjadi tanda tanya besar mengapa para penduduk itu tiba-tiba menyerangnya?

“Tahan !” Teriak Arya keras.

Akan tetapi para penduduk yang tengah marah itu tidak memperdulikan teriakan Arya. Mereka terus saja maju menerjang.

Arya segera menyadari kalau saat ini terjadi kesalah pahaman antara dirinya dengan mereka. Maka ia tidak akan bersikap keras. Setiap serangan yang datang, pemuda itu hanya berusaha menghindar saja. Apalagi setelah melihat serangan mereka. Pemuda ini tahu kalau penyerangnya kebanyakan tidak menguasai ilmu silat.

Arya hanya menggunakan jurus ‘Delapan Langakah Belalang’ saja yang mempunyai kegunaan untuk mengelakkan serangan lawan. Dengan langkah sempoyongan dan gerak tubuh meliuk-liuk, dielakkan semua serangan itu sekaligus dirampasnya senjata para pengeroyoknya.

Hanya sekejap saja Arya telah membuat senjata para pengeroyoknya berpindah tangan. Sebagian di pegang sebagian lagi berserakan di tanah.

Karuan saja hal itu membuat para pengeroyoknya terbengong-bengong. Tapi hanya sebentar saja, karena di lain saat mereka sudah menyerbu kembali dengan tangan kosong. Itu setelah terdengar perintah dari orang yang paling depan yang berusia setengah baya dan berkumis tebal.

Kini Arya tahu. Maka mau tidak mau mereka harus segera dirubuhkan. Namun demikian tetap saja pemuda itu tidak ingin melukainya. Digerak-gerakkan tangannya perlahan saja dan dikerahkan sebagian kecil dari tenaganya.

Akibatnya hebat sekali! Dari keduda tangan Arya keluar angin keras berhawa hangat. Sehingga para pengeroyok itu terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah kecuali si kumis tebal itu. Dia hanya terhuyung-huyung ke belakang.

“Tahan !” Bentak Arya keras begitu dilihat para pengeroyoknya itu masih ingin bangkit dan menyerang lagi. Sengaja Arya mengerahkan tenaga dalam waktu berteriak sehingga membuat mereka tertegun.

“Mengapa kisanak semua menyerangku? Apa salah­ku?” tanya Arya penasaran.

Si kumis tebal tersenyum mengejek. Diperhatikan sebentar pemuda berpakaian ungu di hadapannya.

“Tidak usah pura-pura, Anak Muda. Bukankah kau utusan si Harimau Mata Satu untuk mematai-matai kami?”

“Ah! Kisanak salah paham. Aku bukanlah utusan si Harimau Mata Satu. Aku Arya yang kebetulan lewat sini.”

Si kumis tebal meragu sejenak.

“Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?’

“Kalau aku utusan si Harimau Mata Satu, apakah kisanak semua masih selamat?” kilah Arya sambil tersenyum.

“Hm.... Benar juga ya?” si kumis tebal mengangguk. Pertanyaan itu seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. “Aku juga tidak percaya kalau utusan si keparat itu bisa sehebat ini.”

“Syukurlah kalau kisanak percaya....” Desah Arya lega. “Oh ya.... Kalau boleh tahu siapakah si Harimau Mata Satu itu?’

“Jadi, Nak....”

“Arya” potong pemuda itu memperkenalkan namanya. “Arya Buana. Panggil saja Arya. Dan kalau boleh tahu kisanak siapa?”

“Aku kepala desa di sini. Panggil saja Ki Pandu. Jadi, kau benar-benar tidak mengenal Harimau Mata Satu?” tanya laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Pandu tidak percaya.

“Tidak. Mendengar namanya saja baru kali ini, Ki” jawab pemuda itu polos.

“Ah, rasanya mustahil! Orang sesakti Nak Arya ini tidak pernah mendengar namanya. Si Harimau Mata Satu ter­kenal sekali. Dia adalah pemimpin gerombolan perampok yang amat kejam. Biasanya hanya beroperasi di hutan. Dia waktu itu tidak berani menyerbu desa-desa karena masih banyak perguruan silat yang beraliran lurus dan pendekar­pendekar pembela kebenaran. Tapi kini sejak Siluman Tengkorak Putih muncul untuk menghancurkan perguruan­perguruan silat dan membunuh para pendekar, si Harimau Mata Satu berani meninggalkan sarangnya. Desa demi desa mereka datangi. Bagi desa yang tidak bersedia tunduk tidak segan-segan untuk dibumihanguskannya. Kemarin desa kami kedatangan utusan mereka yang me­minta agar takluk. Setiap musim panen, kami diwajibkan membayar upeti. Bahkan setiap minggu minta disediakan dua orang gadis cantik. Pokoknya banyak lagi permintaan yang tidak masuk akal. Dengan tegas semua itu kutolak mentah-mentah. Kami lebih suka mati terhormat ketimbang hidup tapi terhina! Jadi itu sebabnya mengapa kami tadi menyerangmu, Arya. Kami pikir kau adalah mata­mata mereka yang ingin mengetahui kekuatan kami.”

Arya mengangguk-angguk maklum.

“Ki Pandu...! Ki Pandu...!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang yang tergopoh-gopoh. Seketika kepala desa yang berkumis tebal itu menoleh ke arah asal suara.

Nampak seorang laki-laki berlari-lari menghampiri. “Ada apa, Surya?” tanya Ki Pandu.

“Mereka telah datang, Ki....” Ucap orang yang dipanggil Surya terengah-engah.
“Gerombolan Harimau Mata Satu ?” tegas Ki Pandu.
“Benar!” jawab Surya singkat.
“Kalau begitu, mari kita sambut kedatangan mereka!” sahut Ki Pandu.
“Tunggu, Ki!” cegah Arya begitu melihat Ki Pandu dan para penduduk hendak meninggalkan tempat itu.
“Ada apa, Arya?’ tanya Ki Pandu sambil menghentikan langkahnya.
“Biarlah aku yang akan menghadapi mereka....”
“Tapi....” kepala desa itu masih coba membantah.
“Tegakah, Aki mengorbankan para penduduk itu?” desak Arya.
“Memang aku tidak tega. Tapi....”

“Sudahlah, Ki. Nanti kalau aku tidak mampu meng­hadapi mereka, baru Ki Pandu dan para penduduk bisa membantuku!”

Setelah berkata demikian, Arya segera menginggalkan tempat itu menuju mulut desa. Ki Pandu dan para pen­duduk memandangi pemuda berambut putih keperak­perakan yang hanya melangkah perlahan saja. Namun anehnya tubuh pemuda itu sudah berada lebih dari sepuluh tombak di depan.

“Luar biasa ... !” Puji Ki Pandu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rasanya kali ini si Harimau Mata Satu ini harus menghadapi rintangan yang amat berat!”

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Arya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu sebentar saja pemuda itu telah berada di mulut desa. Agak jauh di depan, terlihat debu mengepul tinggi ke udara. Dari suara berderap yang menggetarkan bumi pemuda ini tahu gerombolam si Harimau Mata Satu ini berkendaraan kuda. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang.

Dalam waktu yang tidak berapa lama, rombongan orang berkuda itu telah berada dekat mulut desa.

“Hooop ... !”

Orang yang berada paling depan bertubuh tinggi besar berwajah kasar dan bermata picak sebelah berteriak keras sambil mengangkat tangannya. Maka serentak rombongan itu hentikan lari kudanya.

“Siapa kau, Anak Muda?! Dan mengapa menghadang kami?! Menyingkirlah cepat!” bentak si mata picak yang berjuluk Harimau Mata Satu itu. Dipandangnya Arya yang berdiri menghalangi jalan dengan mata merah menyala.

“Siapa diriku tidak perlu kau tahu! Yang jelas aku berdiri di sini untuk membasmi orang-orang semacam kau dan gerombolanmu itu!” sahut Arya tegas. Kemudian di­angkatnya guci arak yang sejak tadi dipegangnya. Kemudian guci itu dibawanya ke atas mulut lalu di­teguknya. Arya memang berniat mencoba kehebatan ilmu yang selama ini dipelajarinya.

Gluk .... gluk .... gluk ... !

“Keparat! Bentak si Harimau Mata Satu. “Bunuh tikus kecil ini!” perintah orang bermata picak itu pada anak buahnya.

Bergegas dua orang anak buanya melompat turun dari kuda sambil menghunus goloknya. Tanpa bicara apa-apa kedua orang perampok itu segera menerjang Arya.

Singggg ... ! Singgg ... !

Dua bilah golok itu melayang deras menyambar leher dan dada Arya. Tapi Arya yang memang telah memutuskan untuk tidak memberi ampun pada gerombolan perampok itu membiarkan saja serangan dua batang golok yang datang ke arahnya.

Takkk! Takkk!

Kedua batang golok itu patah-patah ketika menghantam sasaran. Dan belum lagi kedua orang perampok itu sadar dari keterkejutannya, kedua tangan Arya yang diiringi jurus ‘Belalang Mabuk’ telah menghajar mereka.

Bukkkk! Bukkkk!

Tubuh kedua orang perampok itu terpental jauh seperti diseruduk banteng. Tanpa sempat mengeluh lagi dua orang itu tewas dengan tulang dada hancur berantakan! Darah langsung mengalir deras dari mulut, hidung dan matanya. Sekujur tubuh merekapun hangus bagai terbakar!

Mata si Harimau Mata Satu terbelalak. Untuk sesaat dipandangnya tubuh kedua anak buahnya yang terkapar di tanah, kemudian beralih pada Arya yang masih meliuk-liuk sempoyongan. Itulah jurus ‘Belalang Mabuk’!

“Serbu !” Teriak Harimau Mata Satu keras.

Disadari kalau kepandaian pemuda berpakaian ungu itu tidak mungkin dapat dihadapi sendiri maka si Harimau Mata Satu tidak main-main lagi. Rasanya pemuda itu memang harus dihadapi bersama-sama.
Puluhan orang perampok itu bergegas melompat turun dari kuda masing-masing dan meluruk menyerbu Arya dengan senjata terhunus. Puluhan senjata yang beraneka ragam segera berkelebatan mengancam pemuda itu.

Arya sama sekali tidak bergerak atau menangkis. Dibiarkan saja hujan bermacam-macam senjata yang mengancam tubuhnya. Hanya yang mengancam bagian­bagian yang berbahaya saja yang ditangkis atau dielakkan dengan langkah sempoyongan.

Takkk! Takkk!

Senjata-senjata itu terpental balik ketika mengahantam tubuh maupun tangkisan tangan Arya. Dan sekali pemuda itu membalas dengan menggerakkan tangannya, nampak sesosok tubuh terlempar keluar dari gelanggang per­tempuran dalam keadaan tewas mengerikan.

Harimau Mata Satu menggeram murka melihat betapa anak buahnya seperti semut menerjang api. Satu persatu mereka berguguran di tangan pemuda berambut putih keperak-perakan itu. Dengan perasaan geram dikeluarkan senjata andalannya, sebuah rantai baja panjang yang di ujungnya terdapat bola berduri.

“Hiyaaa ... !” sambil berteriak nyaring, Harimau Mata Satu melompat turun dari kudanya. Diputar-putarnya rantai berujung bola berduri itu sebentar sebelum diarahkan pada Arya.

Wuuut ... !

Angin yang keras menderu mengiringi tibanya serangan boal berduri itu.

Arya yang tengah dikeroyok puluhan orang perampok itu tidak menjadi gugup melihat sambaran bola berduri yang menuju ke arah kepalanya. Dengan hanya menundukkan kepalanya sedikit, maka serangan bola berduri itu hanya mengenai tempat kosong di atas kepalanya. Betapa kuat tenaga yang terkandung dalam lontaran itu sehingga rambut Arya yang panjang keperakan dibuat berkibar.

Tidak hanya sampai di situ saa yang dilakukan Arya. Pemuda itu segera mengulurkan tangan menangkap rantai itu, lalu menyentakknnya. Harimau Mata Satu kaget bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawannya ini mampu bergerak secepat itu. sekuat tenaga dicobanya untuk bertahan dari sentakan itu tapi kalah kuat. Tenaga dalam yang dimiliki Arya jauh di atasnya. Maka tanpa ampun lagi tubuhnyapun tersentak melayang ke arah pemuda itu.

Begitu tubuh Harimau Mata Satu itu berada di udara, Arya langsung menggerakkan rantai yang berhasil ditangkapnya. Dan dengan sekali sentak bola berduri itu melayang deras menyambut kedatangan tuannya.

Untuk kesekian kalinya Harimau Mata Satu terperanjat dan tidak punya pilihan lain lagi. Segea dilepaskan pegangannya pada rantai, setelah sebelumnya menggunakan rantai itu sebagai tempat berpijak untuk melenting ke udara.

Tetapi hal itu sudah diperhitungkan Arya. Cepat pemuda ini menyusulinya dengan menyampok beberapa batang golok yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya.

Trakkk! Trakkk!
Singgg ... ! Singgg...!

Beberapa batang golok menyambar deras ke arah Harimau Mata Satu. Kali ini Harimau Mata Satu tidak mampu lagi mengelak. Hanya tinggal satu jalan baginya untuk menyelamatkan diri yaitu menangkap golok-golok itu. Dan Harimau Mata Satu terpaksa melakukannya.

Tappp! Cappp! Cappp!
“Akh ... !”

Harimau Mata Satu menjerit keras. Telapak tangan kanannya yang digunakan untuk menangkap seketika berlumuran darah. Sedangkan di perutnya tertancap tiga batang golok yang menembus hingga ke punggung. Harimau Mata Satu gagal menyelamatkan selembar nyawanya. Lontaran golok-golok itu terlampau deras.

Sehingga walau golok pertama yang menyambar ke arahnya dapat ditangkap, tapi tenaga pendorong golokitu terlalu kuat. Akibatnya golok itu terus meluncur deras dan menancap di prut, setelah melukai tangannya. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu dua batang golok lainnya menyusul tiba.

Tubuh Harimau Mata Satu langsung ambruk ke tanah. Sesaat lamanya ia menggeliat-geliat sebelum akhirnya diam tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.

Tentu saja kematian pemimpin membuat gerombolan perampok itu menjadi semakin gentar. Sejak tadi hati mereka memang sudah ciut bukan main melihat kehebatan pemuda itu. Sudah lebih separuh dari mereka yang tewas di tangan pemuda yang rupanya pemabukan ini. Berkali-kali sambil menangkis, mengelak ataupun menyerang, pemuda itu meminum araknya. Sesekali terdengar suara dengikan keluar dari mulut pemuda itu.

Dalam sekejapan saja beberapa orang perampok itu sudah menyusul temannya ke akhirat. Yang tinggal kini hanya beberapa gelintir saja. Dan merekapun rupanya sadar kalau terus-terusan melawan tidak akan ada gunanya. Maka bergegas mereka semua melemparkan senjata masing-masing kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Arya.

“Ampun.... Ampunkan kami, Tuan Pendekar.... Kami berjanji tidak akan berbuat jahat lagi,” ujar salah seorang dari mereka dengan suara gemetar. Ucapan itu disambut anggukan kepala teman-temannya.

“Orang semacam kalian sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi ... !” Arya dengan posisi tidak tetap sambil sesekali meneguk araknya.

“Benar, Arya!” sambut satu suara. Disusul munculnya Ki Pandu dan pada penduduk desa itu. Mereka sudah sejak tadi berada di situ dan melihat semua sepak terjang Arya.

“Ampun, Tuan Pendekar! Jangan bunuh kami. Kami benar-benar tobat dan berjanji tidak akan berbuat jahat lagi. Kami akan menjadi orang baik-baik....”

“Masih berlakukah janji janji bagi orang semacam kalian?”
“Kami berjanji, Tuan Pendekar....”
“Baiklah. Tapi bila kudengar kalian berbuat jahat lagi. Aku tak akan mengampuni kalian lagi. Mengerti?!” “Mengerti, Tuan Pendekar.”
“Kalau begitu, pergilah! Sebelum aku mengubah keputusanku.” Usir Arya.

“Terima kasih, Tuan Pendekar” ucap mereka hampir bersamaan. Saking gembiranya dibentur-benturkan dahi mereka ke tanah.

“Tapi, Arya....” Ki Pandu mencoba membantah. Dan para penduduk sudah bergerak menghadang para perampok yang akan meninggalkan tempat itu.

Arya menggoyang-goyangkan tangannya. “Biarkan mereka pergi.”

Para penduduk itu merasa ragu-ragu dan langsung menatap Ki Pandu. Ketika kepala desa itupun menganggukkan kepalanya, maka para penduduk itupun menyingkir membiarkan para permpok itu pergi. Debu kembali mengepul tinggi ketika beberapa gelintir permpok itu pergi dari situ sambil membawa kawan-kawan mereka yang tewas.

Selagi semua pandangan mata tertuju pada para permpok yang kian menjauh, Arya telah melesat cepat meninggalkan tempat itu.

“Arya.... Arya...!” Ki Pandu celingukan mencari-cari begitu teringat pada pemuda itu. “Ah, dia sudah pergi.... Pendekar aneh. Gerakan-gerakannyapun aneh. Baru kali ini kulihat orang mabuk bermain silat begitu hebatnya. Hhh.... Kepandaian yang dimilikinya tak lumrah bagi manusia. Atau jangan jangan dia adalah Dewa yang menyamar menjadi manusia?”

“Benar, Ki. Aku juga yakin kalau pemuda itu bukan manusia biasa, melainkan Dewa.” Sambut salah seorang penduduk.

“Tapi mana ada Dewa yang begitu doyan arak?” bantah yang lainnya.
“Lho?! Siapa tahu dia... Dewa Arak,” sahut penduduk yang lainnya membantu yang pertama.

“Ah, tepat sekali.... Tepat sekali julukan itu. Yahhh.... Dewa Arak. Julukan yang amat cocok buat pemuda yang berkepandaian luar biasa itu. Dewa Arak. Ya ... !” Tegas Ki Pandu sambil merenung.

Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat itu. sepanjang perjalanan yang dipercakapkan hanya tentang Arya, yang hanya seorang diri telah mampu menghancurkan gerombolan si Harimau Mata Satu yang selama ini merajalela.

Beberapa hari kemudian, nama Arya alias si Dewa Arak telah mulai terkenal ke desa-desa sekitar. Seorang pemuda yang bertubuh kekar berwajah jantan dengan rahang kokoh dan alis tebal. Tambutnya berwarna putih keperakan dan pakaiannya ungun. Itulah Dewa Arak! Seorang pendekar yang siap menumpas keangkara murkaan!

***

Dalam waktu yang tak lama, kehadiran pemuda yang dijuluki orang sebagai Dewa Arak telah menggegerkan rimba persilatan. Kata orang ciri-ciri dia adalah berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Sedangkan ciri yang menonjol adalah sebuah guci yang selalu tersampir di punggung!

Pagi ini udara nampak cerah. Hanya sedikit awan menggantung di langit. Walaupun udara begitu bersih tak ada tanda akan hujan namun seorang pemuda bergegas melangkah kakinya. Apalagi setelah melihat perbatasan Desa Kecipir. Dia adalah Arya Buana yang ingin segera mengetahui keadaan ayahnya. Pemuda ini kawatir terjadi sesuatu pada ayahnya. Ucapan Ki Pandu waktu itu telah mengganggu pikirannya. Katanya Siluman Tengkorak Putih telah mengganas, membunuhi pada pendekar dan meng­hancurkan perguruan-perguruan silat yang beraliran putih. Kata-kata itu kembali terngiang di telinga Arya Buana.

Tetapi sebelum kakinya mencapai perbatasan desa, sebuah bisikan halus membuat dia harus menghentikan langkahnya.

“Dik Arya...... "

Arya Buana menoleh ke arah asal suara. Dan dari balik kerimbunan semak-semak terlihat sebuah kepala tersembul. Untuk sesaat lamanya alis pemuda berbaju ungu ini berkerut. Rasanya pernah melihat wajah ini tapi kapan dan di mana, ia lupa.

“Aku Satria..... "

“Ah, Ka...... Kini Arya teringat di mana pernah bertemu pemuda itu. di mana lagi kalau bukan di Perguruan Tangan Sakti yang bermarkas di Gunung Waru.

“Dik Arya, seudah demikian besarnya dirimu. Hampirhampir saja aku lupa.

“Kang Satria bagaimana kabarmu?” tanya Arya gembira sehingga bersuara agak keras.

“Ssst ... !” Si pemilik suara yang ternyata adalah Satria itu menempelkan jari telunjuknya di bibir mencegah Arya bicara keras-keras. Dilambaikan tangannya pada pemuda itu.

Arya menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah dilihatnya suasana sekitar situ sepi, bergegas dihampirinya Satria yang hanya berjarak dua tombak darinya.

“Ada apa Kakang Satria?” tanya Arya dengan suara perlahan.
“Nanti saja kuceritakan. Sekarang kau ikut aku saja...” ajak Satria.

Arya meragu sejenak. “Sayang sekali, Kang. Kalau sekarang aku tidak bisa ikut ... aku masih ada urusan.” Wajah Satria mendadak murung.

“Aku tahu Arya. Kau ingin menjumpai ayahmu, kan?”

“Syukurlah kalau Kakang sudah tahu,” desah Arya pelan. Dia memang merasa tidak enak melihat wajah Satria yang murung begitu menolak ajakannya.

“Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya.”
“Mengapa, Kang?’ Arya tersentak.
“Karena .... karena ayahmu .... sudah tidak ada lagi, Arya....” Desah Satria pelan.
“Maksud, Kakang...ayah.... tewas .... ?” tanya Arya dengan wajah pucat pasi.

Satria tidak mampu menjawab dan hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Tapi anggukkan itu sudah cukup buat Arya. Tiba-tiba saja pemuda ini berteriak keras. Satria kontan jatuh terduduk karena dengkulnya mendadak lemas. Cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir pengaruh teriakan yang masih tersisa itu.

Dengan mata terbelalak tampaklah sebatang pohon besar tumbang. Daun-daunnya layu mengering. Pohon itu rubuh dengan diiringi suara bergemuruh begitu Arya mendorongkan kedua tangannya ke depan.

“Kubunuh kalian ... ! Kubunuh ... ! Ku... bunuuuuh...!”

Teriak pemuda berambut putih keperak-perakan itu keras. Sepasang matanya mencorong kehijauan.

Satria memandang pemuda itu dengan hati bedebar. Apa yang dlihat benar-benar mengejutkan hatinya. Sebuah pertunjukan yang menggirikan hati!

“Katakan, Kakang... Katakan siapa yang telah mem­bunuh ayahku?” tanya Arya dengan naas terengah-engah.
“Sabar Arya. Tenangkan dulu pikiranmu. Aku tidak akan memberitahukan siapa pembunuh ayahmu jika kau masih diliputi amarah. Biarpun untuk itu aku harus mati di tanganmu!” tegas Satria.

Ucapan itu menyadarkan Arya dari amarahnya. Pemuda itu mengeluh pelan. Ditutupi mukanya dengan kedua tangannya. Baru setelah itu ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Beberapa saat lamanya ia melakukan hal itu. Setelah dirasakan amarahnya telah mereda ditatapnya Satria dalam-dalam.

Satria tersenyum. “Hebat kau Arya. Jadi kau telah mendapatkan kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit itu?’ Arya hanya mengangguk.

“Jadi rupanya kaulah yang dijuluki Dewa Arak itu, Arya?” tanya Satria lebih lanjut.

“Dewa Arak? Aku? Ah, tidak salahkah apa yang kau ucapkan itu, Kang?” tanya Arya heran. Dia memang tidak tahu julukan itu. Sebab itu memang pemberian dari orang­orang yang pernah ditolongnya.

“Ciri-ciri yang kau miliki memang menunjukkan kalau kaulah tokoh yang menggemparkan itu. Tokoh yang berani menentang kejahatan secara terang-terangan setelah Siluman Tengkorak Putih merajalela.”

“Ciri-ciri? Apakah ciri-ciri yang menunjukkan kalau aku adalah Dewa Arak itu, Kakang?”

“Yahhh.... Semua yang ada padamu itu adalah ciri­cirinya. Dewa Arak itu masih muda. Wajahnya tampan dan jantan, rahang nya kokoh rambutnya putih keperak-perakan berpakaian ungu. Selalu membawa guci arak. Dan kepandaiannya seperti Dewa yang tidak mempan senjata!”

“Ah, belum tentu aku yang dimaksud sebagai tokoh itu, Kakang. Aku yakin bukan aku yang dimaksud,” Arya masih mencoba berkelit.

“Baiklah. Ada satu bukti lagi yang paling penting. Dan bukti inilah yang dapat menunjukkan benar tidaknya kalau kau adalah Dewa Arak yang telah menggemparkan itu.” “Apa bukti itu, Kakang?” tanya Arya penuh gairah. “Kenalkah kau dengan Harimau Mata Satu ?”

“Kenal sih tidak. Tapi memang akulah yang mem­binasakan ketika ia hendak membumi hanguskan Desa Jati Alas.”
Satria tertawa penuh kemenangan. “Kau tahu Arya. Berita yang menyebar itupun menyebutkan demikian. Harimau Mata Satu dan gerombolannya telah dihancurkan secara mudah oleh seorang pemuda yang bernama Arya buana dan berjuluk Dewa Arak!”

“Jadi ....jadi....”
“Kau adalah Dewa Arak itu!” tegas Satria.

Arya termenung. Julukan yang aneh, pikirnya. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga julukan itu.

“Sudahlah, Kang. Aku tidak memperdulikan hal itu. Ter­serah orang akan menjuluki apa. Yang kuinginkan sekarang adalah jawaban darimu, Kakang. Siapa sebenar­nya orang yang membunuh ayahku. Hanya itu!”

Satria menghela napas seperti ingin mencari kata-kata yang tepat.

“Baiklah Arya. Semula aku ingin mengajakmu ke tempat kami. Aku dan tokoh-tokoh persilatan golongan putih diam-diam telah menyusun kekuatan. Di antara kami ada pula putir si Raja Pisau Terbang. Tapi karena tidak mempunyai orang yang dapat diandalkan untuk meng­hadapi Siluman Tengkorak Putih, kami terpaksa menahan diri. Putri Raja Pisau Terbang telah meminta ayahnya untuk membantu usaha kami. Mula-mula beliau menolak karena sudah terlalu tua dan tidak ingin mengotori tangannya dengan darah lagi. Tapi berkat usaha Ningrum yang tidak kenal putus asa, Raja Pisau Terbang mengalah juga. Beliau berjanji akan datang hari ini. Dan rencananya kami akan menyerang markas mereka nanti malam.”

“ Mereka?” alir Arya berkerut.
“ Ya,” jawab Satria singkat.
“ Siapa mereka?’ tanya Arya lagi.
“ Siluman Tengkorak Putih dan anak buahnya.”
“ Lalu siapa yang membunuh ayahku, Kakang?”
“ Siluman Tengkorak Putih”
“ Hm.... Dia rupanya! Tunggulah pembalasanku keparat!” desis Arya yang berjuluk Dewa Arak dengan perasaan geram.
“ Arya....” Panggil Satria ragu-ragu.
“ Ada apa, Kakang.”

“ Kau tidak ingin bergabung bersama kami? Kita menyerang mereka nanti malam dan sekarang hanya tinggal menunggu Raja Pisau Terbang.”

“ Maafkan aku, Kakang. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu. Ingin selekasnya aku membuat perhitungan dengan siluman itu!” tandas Arya.

“ Terserah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu,” ujar Satria sambil mengangkat bahu. “Aku tidak akan meng­halangi. Hanya saja pesanku, berhati-hatilah Arya. Siluman Tengkorak Putih hebat sekali. Bahkan paman gurumu telah tewas di tangannya....”

“Apa .... ?!” Sepasang mata Arya terbelalak. Terbayang di benaknya sesosok tubuh tua yang bertubuh bongkok udang yang amat menyayanginya. “Paman guru.... tewas ....?!”

“Ya .... bukan hanya itu saja. Si keparat itu telah membantai semua murid Perguruan Tangan Sakti. Beruntung aku, Mega dan beberapa orang berhasil menyelamatkan diri. Kalau tidak berpikir untuk membalas dendam mungkin kami labih suka mati bersama-sama mereka....” Jelas Satria lebih lanjut.

“Siluman Tengkorak Putih....” Desisi Arya dengan suara ditekan. “Dosamu sudah terlampau banyak. Kau atau aku yang harus mati!”

“Arya redakan kemarahanmu supaya kau tak celaka di tangannya. Sebelum guru tewas, Raja Pisau Terbang mengatakan kalau Siluman Tengkorak Putih itu memiliki ilmu ‘Ular Terbang’. Dan itu sempat kudengar.”

“Ilmu ‘Ular Terbang’? bukankah ilmu itu milik Ular Hitam?”
“Benar. Begitu pula yang diucapkan Raja Pisau Terbang....”

“Bomantara. Pasti! Ya, siluman itu pasti Bomantara. Tak ada lagi orang yang memiliki ilmu ‘Ular Terbang’, milik Ular Hitam kecuali dia....”

“Bomantara?” Satria mengerutkan alisnya. “Bukan, Arya. Bukan Bomantara nama siluman itu. aku ingat betul karena Raja Racun Pencabut Nyawa berkali-kali memanggil namanya. Dan bukan Bomantara nama yang dipanggil. Tapi, Gerda! Ya, Gerda.”

Beberapa saat lamanya, Arya buana termenung. Mana yang benar, Gerda atau Bomantara. Pusing memikirkan­nya! Apalagi ketika mendengar nama Raja Racun Pencabut Nyawa disebut-sebut. Ayahnya mengatakan kalau iblis itu adalah pamannya karena dia adalah kakak kandung ibu­nya. Tapi kini dia harus bertentangan dengan pamannya itu. Memang terpaksa. Bisakah ia bertarung dengan pamannya sendiri?

“Lalu di manakah markas mereka, Kang?” tanya Arya tak ingin memikirkan masalah itu.
“Di rumahmu yang dulu....” Sahut Satria mengalah. “Kalau begitu aku pergi dulu, Kang.”

Setelah berkata demikian tanpa menunggu jawaban Satria tubuh Arya melesat. Sebentar saja yang terlihat hanyalah titik hitam yang akhirnya lenyap di kejauhan.

8

Beberapa saat lamanya, Arya buana memperhatikan keadaan rumah tempat tinggalnya dari atas cabag sebuah pohon. Tampak halaman depan bangunan besar itu sepi. Hanya ada beberapa orang yang nampak berjaga jaga. Itupun kelihatannya tidak sungguh-sungguh.

“Ah, hari sudah hampir gelap,” desah Arya dengan perasaan tidak sabar. Matahari memang sudah condong ke barat. Bercak-bercak kemerahan nampak menyemburat di ujung barat sana.

Pemuda berambut putih keperakan ini tidak sabar lagi. Cepat dia melompat turun dadri pohon itu dan bergerak mendekati tembok. Hanya dengan sebuah totolan ujung kaki yang ringan di tanah, tembok batu itu telah terlompati.

“Hup ... !”

Ringan seperti jatuhnya seekor kucing, didaratkan kedua kakinya di tanah.

“Siluman Tengkorak Putih! Keluar kau!” teriak Arya dengan suara keras.

Karuan saja teriakan itu mengejutkan para penjaga. Langusng saja mereka datang mengurung pemuda berbaju ungu itu. sementara yang dikurung tenang-tenang saja sambil menenggak araknya.

Gluk .... gluk .... gluk ... !

“Dia pasti Dewa Arak....” Desah salah seorang dari penjaga itu.
“Yang membasmi gerombolan Harimau Mata Satu itu?” tanya yang lainnya.
“Benar!” jawab orang itu lagi.

“Hm ... !”

Terdengar suara mendengus dari mulut Arya buana. Suara dengusan itu menyadarkan para penjaga akan tujuan Dewa Arak datang ke situ. Apalagi kalau bukan membalas dendam? Bukankah Dewa Arak itu adalah Arya Buana, anak dari Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut?

Dan kini serempak para penjaga itu menyerbu Dewa Arak dengan senjata di tangan.

Arya buana yang tahu kalau nanti akan berhadapan dengan banyak lawan tidak mau bersikap main-main lagi. Langsung saja dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus ‘Belalang Mabuk’. Guci, tangan dan semburan araknya semua ikut ambil bagian. Sesekali di tengah hujan serangan lawannya, Arya tenang-tenang saja meminum araknya.

Prakkk! Tukkk! Prattt!

“Akh ... ! Akh .... ! Akh...!

Dalam segebrakan saja tiga orang penjaga kembali menjadi korban amukan Arya. Yang seorang tewas dengan kepala pecah terhantam guci arak. Seorang lagi pecah ubun-ubunnya terkena totokan jari pemuda berambut putih keperakan itu. Sedangkan yang lain lagi tewas dengan leher berlubang terkena semburan araknya.

Jerit kematian saling susul. Ke mana Arya bergerak di situ pasti ada lawan yang tewas.

Tak lama kemudian habislah para pengeroyoknya. Sebuah tawa yang pelan, berat dan bergaung segera menyambutnya begitu lawannya yang terakhir rubuh.

“Ha... ha.... ha...!”

Arya cepat menoleh ke arah asal suara tawa itu. Di depannya dalam jarak sekitar tiga tombak berdiri dua sosok tubuh. Sosok pertama bertubuh pendek tapi kekar, berambut awut-awutan dan bermata merah. Menilik ciri­cirinya Arya dapat menduga kalau si pendek kekar ini adalah kakak ibunya. Dialah Raja Racun Pencabut Nyawa.

Sosok kedua bertubuh tinggi kurus. Berselubung putih dan berpakaian juga serba putih. Inilah rupanya Siluman Tengkorak Putih yang menggemparkan itu. dipandanginya tokoh yang menggemparkan ini penuh perhatian. Dan betapa kagetnya Arya ketika melihat sorot mata Siluman Tengkorak Putih itu. Sorot mata itu begitu tajam mencorong dan berdinar kehijauan. Persis mata seekor kucing dalam gelap! .

“Inikah putra Pendekar Ruyung Maut itu, Paman? Pemuda yang dulu membawa lari Pedang Bintang?” tanya Siluman Tengkorak Putih pada Raja Racun Pencabut Nyawa.

“Betul, Gerda,” jawab Raja Racun itu.

“Kakang Satria benar,” gumam Arya pelan. nama iblis itu bukan Bomantara melainkan Gerda. Tapi kalau bukan Bomantara mengapa menguasai ilmu ‘Ular Terbang’?

“Ha ... ha ... ha ... ! hanya sekian sajakah ilmu yang diterimanya dari Ki Gering Langit? Huh! Kalau dulu kutahu, tidak akan sudi aku bersusah payah untuk mendapatkannya.”

“Siluman Tengkorak Putih!” bentak Arya geram. “Kau harus bayar nyawa ayahku!”

Setelah berkata demikian, Arya segera melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih. Menyadari kelihaian lawan, sekali menyerang Arya sudah menggunakan ilmu andalannya. Guci di tangannya menyambar deras ke arah kepala lawannya.
Melihat Arya telah menerjang Siluman Tengkorak Putih, Raja Racun Pencabut Nyawa segera menghindar dari situ.

Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang begitu melihat sambaran guci itu segera menundukkan kepalanya. Untunglah sambaran guci itu lewat bebrapa rambut di atas kepalanya. Malah pakaian dan selubung yang dikenakan siluman itu sampai berkibar, begitu sambaran guci itu menyambar tempat kosong. Suatu tanda kalau tenaga yang mengayunkan guci itu sangat kuat.

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Siluman Tengkorak Putih alias gerda ini. secepat ia mengelak secepat itu pula balas menyerang dengan sodokan tangan bertubi-tubi pada ulu hati dan leher Arya.

Arya Buana alias Dewa Arak buru-buru memiringkan kepalanya, maka serangan yang menuju lehernya me­ngenai tempat kosong. Sedangkan serangan yang menuju ulu hati ditangkisnya dengan tangan kiri disertai pe­ngerahan seluruh tenaga.

Plakkk!

Sebuah benturan keras terdengar. Akibatnya tubuh Siluman Tengkorak Putih terhuyung mundur dua langkah. Sedangkan tubuh Arya yang berada di udara terlempar ke udara. Namun dengan manis tubuhnya melenting di udara kemudian laksana seekor kucing kedua kakinya hinggap di tanah.

“Jurus ‘Ular Terbang’?!” teriak Dewa Arak kaget. Walau Siluman Tengkorak Putih itu baru mengeluarkan beberapa gerakan, Arya langsung mengenalinya.

“Hm. Pandangan matamu awas juga, tikus kecil!” ejek Siluman Tengkorak Putih. Baru kali ini dalam adu tenaga ia sampai terdorong dua langkah. Hal ini membuatnya pe­nasaran bukan main. “Tapi ingin kutahu apakah kaupun mampu mengenali yang ini!”

Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih kembali menyerang Dewa Arak dengan sebuah tendangan lurus ke arah pusar. Kemudian langsung dilanjutkan tendangan menyamping ke arah leher begitu Arya menarik tubuhnya ke belakang. Tidak berhenti di situ lalu disusul tendangan yang dilakukannya sambil memutar tubuh.

“Ah ! ‘Tendangan Kilat ’....?!” Desah Arya kaget.

Itulah ilmu milik Ki Gering Langit yang diwariskan ke­pada Bomantara. Cepat-cepat dielakkan tendangan itu de­ngan jurus ‘Delapan Langkah Belalang’.

“Tidak salah lagi, pasti kau Bomantara!”

Mendadak Siluman Tengkorak Putih menghentikan gerakannya.

“Jahanam! Dari mana kau tahu nama itu, heh?!” “Memang sudah lama aku mencari-carimu manusia keparat! Murid murtad!” pemuda berpakaian ungu ini balas membentak.

“Keparat!”

Setelah berkata demikian diterjangnya dewa arak. Tetapi pemuda itu tak menjadi gugup. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dan dibalasnya dengan serangan­serangan yang tak kalah dahsyat.

Siluman Tengkorak Putih benar-benar telah mengamuk. Dikeluarkannya seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu ‘Ular Terbang’ warisan Ular Hitam, ilmu ‘Tendangan Kilat’ warisan Ki Gering Langit dan ilmu-ilmu racun yang diterima dari Raja Racun Pencabut Nyawa. Dan ini baru untuk pertama kalinya dilakukannya.

Tapi lawan yang dihadapi adalah Arya buana. Pewaris tunggal dari seluruh ilmu ciptaan Ki Gering Langit yang terbaru. Maka, walaupun Siluman Tengkorak Putih telah mengeluarkan segenap kemampuan tetap saja pemuda ini mampu menghadapi. Bahkan membalas dengan serangan­serangan yang tak kalah dahsyatnya. Kini Arya yang mengetahui kesaktian lawannya segera mengerahkan ‘Tenaga Inti Matahari’ yang disusul dengan jurus ‘Belalang Mabuk’ dan akhirnya jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ sehingga tubuhnya meliuk-liuk.

Raja Racun Pencabut Nyawa menonton pertarungan antara dua orang sakti itu tanpa berkedip. Baru kali ini disaksikan pertarungan yang begitu dahsyatnya. Debu mengepul tinggi ke udara. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Pohon-pohon besar dan kecil yang terlanda angin pukulan nyasar bertumbangan diiringi suara gaduh.

Bukan hanya itu saja. Decit angin tajam yang berhembus dan diiringi bau amis yang memualkan perut, keluar dari setiap serangan Siluman Tengkorak Putih. Tentu saja gerombolan penjahat terpaksa menjauhi tempat itu. Belum lagi akibat setiap gerakan Arya yang berjuluk Dewa Arak itu menyebarkan hawa panas menyengat. Bahkan bisa menghanguskan kulit!

Siluman Tengkorak Putih penasaran bukan main. Apalagi ketika menyadari serangan pukulan beracunnya tidak berarti sama sekali bagi pemuda itu. dan memang tanpa diketahui Arya sendiri, pasangan ilmu ‘Belalang Sakti’ dan ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’ membuatnya tidak terpengaruh segala macam racun. Hawa beracun sudah terusir sebelum mendekati tubuh Arya. Hawa panas yang keluar dari tubuh pemuda itu telah menangkal hawa beracun yang datang menyerbu ke arahnya.

Lima puluh jurus telah cepat terlewat. Tapi tidak nampak ada tanda-tanda siapa yang akan terdesak dan siapa yang akan mendesak. Kepandaian mereka berdua sepertinya berimbang.

Raja Racun Pencabut Nyawa yang menonton pertarungan itu menjadi tidak sabar, sehingga segera mendekati pertarungan. Sudah bulat tekadnya untuk membantu Gerda alias Siluman Tengkorak Putih meng­hadapi Dewa Arak yang sakti itu.

Tetapi baru juga bergerak mendekati terdengar suara bentakan keras disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh yang kemudian menghadang di depannya. Dua orang laki­laki yang berumur tiga puluhan dan seorang gadis yang berusia sekitar sembilan belas tahun dan berpakaian serba hijau. Wajahnya cantik manis. Apalagi dihiasi tahi lalat di pipinya. Inilah Ningrum putri Raja Pisau Terbang. Sedang­kan dua laki-laki itu adalah Satria dan Mega.

Raja Racun Pencabut Nyawa menatap tiga sosok tubuh di depannya dengan pandagan mata meremehkan. Ia hanya melihat dengan ekor mata, walaupun dua laki-laki itu sudah bersiap-siap sambil menghunus pedang. Sedangkan gadis itu juga nampak sudah menggenggam sebilah pisau berwarna putih mengkilat pada kedua tangannya.

“Raja Racun! Kini saatnya kekejianmu harus ditebus dengan nyawamu!” teriak Satria keras. Bersamaan dengan itu pedang di tangannya cepat meluncur lurus ke arah pusar Raja Racun Pencabut Nyawa.

“Hiyaaa !” Mega yang tahu pasti betapa lihaynya si Raja Racun ini dan sadar kalau kakak seperguruannya ini bukanlah lawan iblis itu segera membantu Satria. Pedang di tangannya melesat cepat membabat leher!

Ningrum pun tidak mau ketinggalan. Gadis perkasa ini segera ikut ambil bagian. Sepasang pisau terbang di tangannya berkelebat mencari sasaran di berbagai bagian tubuh lawan.

Kini Raja Racun Pencabut Nyawa tidak bisa main-main lagi. Apalagi setelah terbukti kalau tiga lawannya ini mampu saling membantu. Ia lalu mengerahkan seluruh kemampuannya.

Baru beberapa jurus bertarung tiba-tiba terdengar suara riuh disusul munculnya puluhan orang rimba per­silatan golongan putih. Inilah orang-orang yang berhasil dikumpulkan Satria dan Mega.

Karuan saja melihat serbuan ini anak buah Siluman Tengkorak Putih yang sejak tadi menonton pertarungan dahsyat itu bubar. Mereka segera menyambut serbuan tamu-tamu yang tak diundang itu. Maka kini terjadilah tiga kelompok pertempuran.

Di antara pertarungan itu yang paling ramai dan menegangkan adalah pertarungan antara Arya buana alias Dewa Arak melawan Siluman Tengkorak Putih. Mereka ber­dualah yang menjadi penentu kemenangan dua golongan yang saling bertarung itu.

Berbeda dengan pertarungan Siluman Tengkorak Putih yang berimbang, pertarungan Raja Racun Pencabut Nyawa melawan Satria, Mega dan Ningrum berjalan berat sebelah. Memang bila diperhitungkan kepandaian Satria dan Mega masih terlalu jauh untuk menghadapi Raja Racun itu. di antara mereka bertiga Ningrumlah yang memiliki kepandai­an paling tinggi. Maka gadis itulah yang mendapat tekanan dari Lindu alias Raja Racun Pencabut Nyawa. Raja Racun yang cerdik tahu kalau gadis putri si Raja Pisau Terbang ini bisa dirubuhkan maka rubuh pulalah semuanya.

Tentu saja akibatnya terasa sekali bagi Ningrum. Memang gadis ini masih kalah segala-galanya dibanding lawannya. Kalah tenaga, kelincahan dan juga pengalaman. Gadis putri Raja Pisau Terbang inipun segera terdesak. Sepasang pisau terbang di tangannya kini hanya dapat di­gunakan untuk melindungi dirinya.

Raja Racun Pencabut Nyawa yang tidakingin berlama­lama dalam pertarungan ini apalagi setelah sekian lama lawannya tidak juga dapat dirubuhkan segera mengeluar­kan pukulan beracun. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama kemudian ketiga orang muda itu akan rubuh di tangan raja racun ini. Kalau saja...

“Keji sekali kau Raja Racun! Menghadapi anak-anak muda pun masih bermain racun!”

Berbareng dengan suara teguran itu muncullah sesosok tubuh tinggi kurus dan berkulit hitam. Kumis dan jenggot yang telah memutih menghias wajahnya. Yang luar biasa adalah sepasang matanya. Begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti mata seekor kucing dalam gelap.

Begitu datang kakek ini segera menggerakkan kedua tangannya menghalau serangan-serangan beracun Raja Racun iu. Gerakan tangannya begitu cepat dan tiba-tiba seperti gerak seekor ular yang menyambar mangsa.

“Ah! Kau.... Kau...!” Teriak Raja Racun Pencabut Nyawa tertahan. Kegugupan tergambar jelas pada wajahnya. Untuk beberapa saat kewaspadaannya mengendur. Kesempatan ini tak disia-siakan Satria. Dengan kecepatan kilat pedangnya menyambar ke arah perut Raja Racun ini.

“Akh ... !” Raja Racun Pencabut Nyawa memekik ter­tahan. Darah langsung muncrat dari perut yang tertembus pedang hingga ke punggung itu.

Raja Racun Pencabut Nyawa meraung keras. Tangannya pun bergerak mengancam Satria sehingga pemuda itu kelihatan gugup. Untungnya ‘kakek penolong’ itu bertindak cepat dan menangkis serangan itu.

Plakkk!

Tubuh Raja Racun Pencabut Nyawa terhuyung ke belakang. Dan saat itu hampir berbarengan Ningrum dan Mega melancarkan serangan.

Cappp! Cappp! Cappp!

Dua pisau terbang dan satu pedang itu telak sekali menghunjam tubuh Raja Racun. Laki-laki yang bernama asli Lindu itu berteriak ngeri. Tanpa ampun lagi tubuhnya ambruk ke tanah. Napasnya megap-megap.

“Arya...Arya...... Lirih terdengar suara iblis itu.

Satria yang melihat iblis itu belum tewas segera menyusuli dengan seuah tusukan ke arah jantung. Tetapi sebelum pedang itu mengenai sasaran segundukan angin keras mendorongnya hingga terjengkang. Cepat pemuda ini bersalto di udara beberapa kali untuk mematahkan daya dorong itu lalu hinggap ringan di tanah.

“Tahan dulu pedangmu, Anak Muda. Nampaknya ia ingin mengatakan sesuatu...... Kata kakek yang telah menolongnya tadi. Tahulah pemuda itu kini. Rupanya angin keras tadi berasal dari kakek ini.

Setelah berkata demikian kakek itu menghampiri Raja Racun Pencabut Nyawa yang tergolek tak berdaya.

“Ada yang ingin kau katakan untuk Arya, Raja Racun? Cepatlah katakan biar aku yang akan menyampaikannya,.. ujar kakek itu ramah.

Bibir Raja Racun Pencabut Nyawa bergerak-gerak pelan. terpaksa kakek itu mendekatkan telinganya ke mulut Raja Racun beberapa saat lamanya. Kakek itu baru menjauhkan kepalanya setelah tidak terdengar lagi suara dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa. Dia kini telah tewas.

Sementara itu pertarungan antara Arya buana melawan Siluman Tengkorak Putih telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus! Perlahan namun pasti Dewa Arak yang mengerahkan jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus ‘Belalang Mabuk’ yang dialiri pengerahan ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’, mulai dapat menguasai keadaan. Sampai pada suatu saat....

“Hiyaaa !” Siluman Tengkorak Putih yang sudah putus asa langsung menyerang Dewa Arak tanpa memperdulikan pertahanan lagi. Jari jari kedua tangannya yang membentuk patuk ular bertubi-tubi menyerang pelipis danubun-ubun Arya.

Arya Buana kaget sekali. Disadari kalau lawannya ini berniat menadu nyawa. Rasanya tidak mungkin lagi mengelakkan serangan itu kalau masih ingin selamat. Dewa Arak itu tahu kalau mengelakkan serangan sepasang kaki Siluman Tengkorak Putih akan bertubi-tubi meng­ancamnya dengan juru ‘Tendangan Kilat’. Dan hal ini akan lebih membahayakan dirinya. Maka pemuda ini memutus­kan untuk menangkis walaupun posisinya saat itu tidak memungkinkan.

Arya mengangkat tangan kirinya menejgal kedua serangan yang mengancam ubun-ubun dan pelipisnya itu. Berbarengan dengan itu guci di tangan kanannya menggedor dada Siluman Tengkorak Putih yang terbuka lebar.

Plakkk! Tukkk! Buggg!

Arya terhuyung satu langkah. Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit yang mendera tangan kiri. Serangan yang menuju ubun-ubunnya memang dapat ditangkis dengan jari jari tangan. Akan tetapi serangan yang mengancam pelipis terpaksa dihadang dengan pangkal lengan. Dan akibatnya sesaat lamanya dirasakan tangan itu bagaikan lumpuh.

Tetapi meskipun demikian keadaan yang diterima Arya masih lebih ringan ketimbang yang diterima Siluman Tengkorak Putih. Tubuh siluman itu terjengkang ketika guci Dewa Arak menghantam keras dadanya. Bagian bawah selubungnya yang berwarna putih nampak kini memerah. Siluman itu telah menyemburkan darah dari mulutnya!

Arya yang tahu betapa berbahayanya Siluman Tengkorak Putih itu, tidak lagi memberi kesempatan. Cepat tubuhnya melesat menyusul tubuh siluman itu.

“Haaat ... !”
Arya melempar gucinya ke udara. Dan kini dengan tangan kosong dihajarnya dada siluman itu.

Bukkk...!
“Hugh!”

Siluman Tengkorak Putih mengeluh tertahan. Jelas terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang dada yang berpatahan. Tetapi Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat-cepat tangan kanannya menangkap guci yang kini meluncur turun. Dan secepat guci itu tertangkap secepat itu pula diayunkan ke arah kepala Siluman Tengkorak Putih.

Wuuut...!
Prakkk...!

Terdengar suara berderak keras ketika guci itu menghantam sasaran. Kontan tubuh siluman itu rubuh ke tanah. Tanpa dapat bersambat lagi dia tergeletak tak bergerak-gerak. Mati.

Arya segera menghampiri tubuh siluman itu. dicopotnya selubung yang selama ini menutupi wajah aslinya. Nampak seraut wajah kurus berkumis jarangjarang. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Ada sebuah tompel pada pipi sebelah kiri.

“Bomantara....” Desis Dewa Arak begitu melihat ciri-ciri siluman itu.

“Benar, dia Bomantara alias Gerda,” sambut sebuah suara.

Arya menoleh ke sebelahnya dengan perasaan kaget. Suara itu amat dikenalnya! Nampak olehnya seorang kakek bertubuh tinggi kurus, berkulit hitam berkumis dan berjenggot putih. Sorot matanya nampak mencorong kehijauan.

Beberapa saat lamanya Arya terdiam. Diamat-amati kakek ini penuh perhatian. Rasa-rasanya dikenali betul suara dan potongan kakek ini. Tapi....

“Ha ... ha ... ha... Tidak mengenaliku lagi Arya?” setelah berkata demikian kakek itu mencopot kumis dan jenggotnya. Kini yakinlah Arya siapa kakek ini.

“Kakek Ular Hitam...!” Serunya gembira.

Si kakek yang ternyata memang Ular Hitam itu tertawa bergelak. Dipeluknya Arya penuh rasa kasih sayang.

“Bagaimana Kakek bisa sampai di sini?” tanya Arya gembira.

“Nanti kuceritakan. Sekarang supaya kau tidak bingung, perlu kujelaskan mengenai Siluman Tengkorak Putih ini. dia oleh orang-orang persilatan dikenal bernama asli Gerda. Aku sendiri baru mengetahuinya sewaktu melihat kau bertarung dengannya. Nama aslinya memang Gerda. Dia murid Raja Racun Pencabut Nyawa. Padaku dia memakai nama palsu sebagai Bomantara. Jadi murid murtad itu telah sekaligus menjadi tiga tokoh. Gerda, Bomantara dan Siluman Tengkorak Putih. Untung saja waktu Bomantara masih jadi muridku aku tak pernah menceritakan kalau kitab-kitab ilmu milik Ki Gering Langit seluruhnya ada padaku. Kalau tidak...!”

Desah Ular Hitam seperti untuk dirinya sendiri.

Arya manggut-manggut “Lalu kenapa Kakek sampai berada di sini? Dan mengapa pula harus menyamar?”
Ular Hitam tersenyum.

“Sewaktu kau pergi aku mendengar kekacauan di dunia persilatan dengan munculnya Siluman Tengkorak Putih. Kudengar juga dia telah langsung merajai kaum sesat. Dugaanku siluman itu pasti Bomantara. Dan jika benar.... Kau akan berhadapan dengan banyak lawan. Bomantara, Raja Racun Pencabut Nyawa dan juga Bargola. Maka kuputuskan untuk menyusulmu. Yah ... siapa tahu kau butuh bantuan. Hm, paling tidak aku dapat mencegah Bargola membantu Bomantara. Dalam perjalanan aku bertemu Raja Pisau Terbang. Dan ketika melihatku dia langsung saja memohon agar aku mewakilinya membantu putrinya yang ingin menyerbu markas Siluman Tengkorak Putih. Karena telah menduga bahwa siluman itu adalah Bomantara aku terpaksa menyamar agar tidak mem­buatnya terkejut.”

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda telah mengerti. Tak lama kemudian, Ular Hitam memberitahukan pesan mendiang Raja Racun Pencabut Nyawa kepada pemuda itu.

“Ah !” Dewa Arak tersentak kaget.

Baru pemuda itu teringat pada pamannya. Bergegas ia berlari menghampiri mayat Raja Racun. Ada tersirat penyesalan yang mendalam pada wajah pemuda itu. biar bagaimanapun juga orang itu adalah pamannya sendiri.

Arya berjongkok di depan mayat Raja Racun itu. Dipandanginya sosok yang telah kaku itu dengan perasaan sedih. Bagaimanapun jahatnya pamannya itu tapi di saat­saat terakhir telah tumbuh kasih sayang kepada keponakannya. Ya, di saat menjelang ajal Raja Racun Pencabut Nyawa telah memberitahukan bahwa ibu Arya buana berada di Perguruan Mawar Merah.

Tanpa ragu-ragu lagi Arya punmengulurkan tangan dan memondong tubuh pamannya itu. Perlahan-lahan ia bergerak bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu.

Seiring tewasnya Siluman Tengkorak Putih pertarugnan langsung berhenti. Para anak buah siluman itu sadar, bahwa tidak ada gunanya melawan lagi. Maka mereka segera melarikan diri. Yang tidak sempat melarikan diri segera menyerah untuk mencari selamat.

Sejak Arya berhasil merubuhkan Siluman Tengkorak Putih, pandang mata Ningrum tidak lepas-lepasnya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu. jantungnya berdetak aneh. Berkali-kali ia mencuri-curi pandang. Ia baru mengalihkan perhatian ketika Satria memanggilnya. Dan sewaktu menoleh lagi ke arah Dewa Arak dan Ular Hitam berada, keduanya telah lenyap.

Betapapun Ningrum mengedarkan pandangannya tetap saja tidak terlihat pemuda berpakaian ungu itu lagi.

“Mencari siapa, Ningrung?” tanya Satria heran melihat gadis itu celingukan ke sana ke mari.
“Eh ... anu... orang yang mengalahkan Siluman Tengkorak Putih....” Sahut gadis itu gugup.
“Oh! Arya Buana, si Dewa Arak yang kuceritakan pada m u. I ngat?”
“Oh...” Ningrum manggut-manggut. “Lalu ke mana dia sekarang?”

Satria celingukan sebentar.

“Dia sudah pergi, Ningrum.”

“Pergi?” tanya Ningrum. Ada nada kekecewaan dalam suaranya. Dengan lunglai dilangkahkan kakinya meninggal­kan tempat itu. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang dari hatinya, seiring perginya pemuda gagah bernama Arya buana yang dijuluki Dewa Arak.

Sementara itu di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, seorang pemuda berwajah jantan dan berambut putih keperakan perlahan-lahan meninggalkan sebuah gundukan tanah merah yang masih baru.

Jelas, pemuda itu adalah si Dewa Arak. Kini dengan langkah pasti pemuda berpakaian ungu itu melanjutkan perjalanannya. Banyak tugas yang menantinya sebagai seorang pendekar. Terlebih dia masi harus mencari ibunya di Perguruan Mawar Merah.

Nah, bagi para pembaca ang ingin mengikuti petualangan Arya buana selanjutnya, silahkan tunggu serial Dewa Arak dalam episode “Dewi Penyebar Maut.”

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Rindu jaman dulu 😂😂😂😂😂