01 - Pedang Bintang
Hari masih pagi, ketika di
kaki lereng Gunung Waru berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat menuju
ke puncak. Menilik dari gerakan yang ratarata ringan dan gesit, dapat diketahui
kalau bayanganbayangan itu adalah orang-orang persilatan yang berkepandaian
cukup tinggi .
Tentu saja berkelebatnya
bayangan-bayangan itu segera diketahui para murid Perguruan Tangan Sakti yang
bermarkas di sana. Maka murid-murid itupun segera memberitahukan hal tersebut
kepada kakak seperguruan mereka.
Ketika berita itu sampai di
telinga tiga orang kakak seperguruan mereka yang bernama Seta, Satria dan Mega,
tokoh-tokoh yang berdatangan itu sudah tiba di depan pintu gerbang Perguruan
Tangan Sakti yang cukup luas. Sedangkan para murid Perguruan Tangan Sakti yang
bertugas jaga di sana hanya mengawasi dengan sikap waspada.
“Wanayasa, keluar kau!
Serahkan Pedang Bintang itu!” teriak salah seorang yang datang itu.
“Benar, serahkanlah pedang itu
!” sambung yang lain.
“Cepat, Wanayasa! Kalau tidak,
jangan salahkan kalau aku terpaksa menerobos masuk menggunakan kekerasan!”
ancam seorang yang bertubuh tinggi besar, berteriak tak sabar. Tangannya yang
besar dan kekar berotot nampak menggenggam sebatang tongkat yang terbuat dari
baja putih.
Tokoh itu berjuluk si Kerbau
Gila. Seorang tokoh sesat yang terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
bertenaga kuat. Apalagi ilmu tongkatnya juga dahsyat. Entah berapa banyak
tokoh golongan putih yang mencegah sepak terjang si Kerbau Gila, tewas di tangannya.
Kemenangan demi kemenangan
yang diraihnya membuat si Kerbau Gila ini manjadi sombong dan jumawa. Pikirnya,
selain datuk-datuk dunia persilatan, tidak ada lagi tokoh yang bisa
menandinginya!
Karena keyakinannya yang
besar, si Kerbau Gila segera memisahkan diri dari orang-orang yang bersamanya.
Dengan langkah lebar sambil menggenggam tongkat, dihampirinya pintu gerbang
Perguruan Tangan Sakti.
Tentu saja melihat tindakan si
Kerbau Gila itu, tokohtokoh persilatan lainnya menjadi kawatir. Sebab mereka takut
kalau-kalau keduluan laki-laki tinggi besar itu.
Maka, begitu si Kerbau Gila
ini menghampiri pintu gerbang, mereka segera berbondong-bondong ikut melangkah
maju.
Tapi baru beberapa tindak
saja, terdengar suara berderak keras disusul bergeraknya pintu gerbang itu. Si
Kerbau Gila beserta para tokoh persilatan yang mengikuti di belakangnya,
serentak menghentikan langkah. Mereka semua sama-sama memandang ke arah pintu
gerbang itu sambil memasang sikap waspada.
Perlahan-lahan pintu gerbang
itu terbuka. Dari balik pintunya, muncul belasang sosok yang kemudian dengan
gagahnya melangkah ke luar.
Laki-laki tingi besar yang
berjuluk si Kerbau Gila itu menatap satu persatu belasan wajah yang berdiri
beberapa tombak di hadapannya. Ia mencoba menduga-duga, mana di antara mereka
yang bernama Ki Wanayasa.
“Siapa di antara kalian yang
bernama Wanayasa?! Majulah! Dan berikan Pedang Bintang itu padaku!” ucap si
Kerbau Gila keras dan kasar.
Belum sempat salah satu dari
belasan orang itu menyahut, terdengar suara tawa bergelak. Tak lama kemudian,
salah seorang dari belasan orang yang berdiri di belakang si Kerbau Gila
melesat maju ke depan.
“Ha..ha...ha ! kau jangan mau menang sendiri,Kerbau
Gila! Dikira hanya kau saja yang berniat memiliki Pedang Bintang? Aku dan semua
orang yang berada di belakangmupun mempunyai niat yang sama.”
Si Kerbau Gila menoleh ke arah
orang yang baru saja bicara lantang yang kini telah berada setengah tombak di
samping kanannya. Untuk sesaat dia agak terkejut melihat seseorang yang bertubuh
kecil kurus. Wajahnya mirip tikus dan berwarna merah.
Rupanya dia adalah si Tikus
Muka Merah yang tak mau ketinggalan. Tokoh sesat yang pengaruhnya merajalela di
beberapa desa, dan sampai saat ini tak ada yang berani menentangnya!
Hanya untuk sesaat si Kerbau
Gila ini agak terkejut, dan kini sudah kembali pada sikapnya semula. Sombong
dan memandang rendah orang lain.
“Apa peduliku dengan segala
urusanmu, tikus got?” ejek Kerbau Gila bernada kasar.
Wajah si Tikus Muka Merah
berubah semakin merah mendengar ejekan kasar itu. Seumur hidupnya, baru kali
ini dirinya dihina orang. Kemarahan yang hebat, kini membakar hatinya.
Pada saat dia sangat ditakuti
sampai di beberapa desa, tapi kini dihina si Kerbau Gila begitu saja. Memang
nama besar si Kerbau Gila telah didengarnya, maka tentu saja hatinya menjadi
gentar juga. Walaupun belum dibuktikan kebenarannya.
“Kerbau Gila,” ucap si Tikus
Muka Merah mencoba bersikap tenang, sungguhpun nada suaranya tetap terdengar
gemetar dan penuh tekanan. “Kalau tidak mengingat urusan yang sangat penting
ini, saat ini juga aku sudah turun tangan untuk menghancurkan mulutmu yang
telah begitu lancang menghinaku. Tapi biarlah. Kalau tidak sekarang, nantipun
jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” sambungnya, berusaha memberanikan
diri, karena di hadapan orang banyak.
“Keparat!” Kerbau Gila
berteriak memaki. Ia marah bukan main mendengar ucapan Tikus Muka Merah yang
begitu merendahkan dirinya. Hampir-hampir saja diterjang laki-laki kurus
berwajah merah itu. Untung saja segera teringat akan tujuannya datang ke Gunung
Waru ini. Maka segera diredam amarahnya. Tapi sempat juga dikeluarkan sebuah
ancaman yang berbau maut.
“Berhati-hatilah kau, tikus
got. Sehabis mengambil Pedang Bintang, aku akan mencarimu ke manapun. Dan
kukuliti dagingmu!”
Setelah puas mengancam, Kerbau
Gila kini mengalihkan perhatiannya kepada belasan orang yang keluar dari pintu
gerbang Perguruan Tangan Sakti.
“Jawab pertanyaanku sebelum
kesabaranku hilang. Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?!” bentak
Kerbau Gila.
“Apa urusanmu mencari guru
kami?” tanya Seta, salah seorang dari tiga orang yang berdiri paling depan.
“O, jadi kalian ini
murid-murid Wanayasa?’ tanya Kerbau Gila lagi, bernada kurang ajar sambil
memperhatikan Seta yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis. Kulitnya
coklat sawo matang.
Seta hanya mengangguk. Masih
dicobanya untuk bersabar, walaupun kemarahannya sejak tadi telah bergolak
melihat kekurangajaran orang yang berdiri di hadapannya ini. beginya kemarahan
hanya akan mendatangkan kerugian.
“Aku tidak mempunyai urusan
dengan kalian!” bentak si Kerbau Gila keras. “Aku hanya mempunyai urusan dengan
Wanayasa! Ayo, panggil dia dan cepat menemuiku!”
Sret! Sret!
Bagai dikomando, belasan murid
Perguruan Tangan Sakti yang berdiri di belakang Seta, bersama-sama menghunus
pedangnya. Para murid Perguruan Tangan Sakti itu sudah tidak sanggup lagi
menahan amarah melihat sikap si Kerbau Gila yang telah keterlaluan menghina
guru mereka. Bahkan Satria dan Megapun sudah bersiap-siap menyerang. Kalau saja
tidak menghormati kakak seperguruan, mungkin sudah sejak tadi mereka menerjang
si Kerbau Gila yang keterlaluan itu.
“Tahan ..... !”
Teriak Seta mencegah tindak
lanjut adik‑adik seperguruannya.
Kemudian dengan sikap masih
tenang, dihadapinya si Kerbau Gila.
“Kerbau Gila! Perlu kau
ketahui. Bahwa setiap persoalan apapun yang menyangkut guru kami, juga menjadi
wewenangku untuk mengurusnya. Apapun bentuk persoalan itu. Apalagi hanya
persoalan denganmu, yang sangat sepele ini. Jangankan guruku. Akupun mampu
mengatasinya!” ujar Seta tandas.
“Keparat! Kau tidak akan mampu
mengurus masalah ini. Panggil Wanayasa. Cepat, sebelum kesabaranku hilang!”
“Sudah kukatakan tadi. Semua
urusan yan menyangkut guruku, apapun bentuk urusan itu, telah diserahkan padaku
untuk mengurusnya.”
“Baiklah!” si Kerbau Gila itu
terpaksa mengalah. “Karena kau telah mengaku wakil Wanayasa, maka cepat
serahkan Pedang Bintang itu padaku!” desak Kerbau Gila.
“Pedang Bintang? " Seta
mengerutkan keningnya, dan untuk sesaat lamanya tercenung.
Tentu saja berita mengenai
pedang itu telah didengarnya. Sebilah pedang yang telah membuat dunia
persilatan gempar. Kabarnya Pedang Bintang itu dapat menurunkan ilmu-ilmu
peninggalan Ki Gering Langit, tokoh persilatan yang pernah mengalahkan
datuk-datuk dunia persilatan di empat penjuru angin! Itulah sebabnya semua
tokoh persilatan tergiur untuk mencari dan mendapatkan pedang itu.
“Ya!” ulang Kerbau Gila keras,
karena melihat pemuda di hadapannya terbengong.
“Hah!” Seta sedikit terkejut.
“Luar biasa! Kau meminta Pedang Bintang pada kami? Apa aku tidak salah dengar,
Kerbau Gila? Sepanjang yang kuketahui, guruku tidak memiliki Pedang Bintang. Ki
Gering Langitlah yang memilikinya. Minta padanya, bukan pada kami.”
“Tidak usah banyak alasan! Kau
tinggal pilih. Berikan, atau mampus?!” gertak si Kerbau Gila.
“Tidak!” jawab Seta tegas.
“Kalau begitu, mampuslah!” si
Kerbau Gila segera menerjang Seta. Dalam kemarahannya yang memuncak, laki-laki
tinggi besar itu langsung menyerang dengan tongkatnya. Angin menderu-deru hebat
mengawali serangannya.
“Menyingkir kalian semua!”
perintah Seta pada adikadik seperguruannya.
Tanpa diperintah dua kali,
Satria, Mega dan para murid Perguruan Tangan Sakti lainnya segera menghindar
dari situ.
Bagai dikomando, begitu si
Kerbau Gila telah menyerang Seta, Tikus Muka Merah dan tokoh-tokoh persilatan
lainnyapun meluruk menyerang murid Perguruan Tangan Sakti lainnya.
Tikus Muka Merah segera
menerjang Satria, yang paling dekat dengannya. Terpaksa Satria melayaninya.
Begitu juga para murid Perguruan Tangan Sakti. Mereka semuapun diserbu puluhan
orang yang sejak tadi bergerombol di belakang si Kerbau Gila.
Tentu saja hal ini amat
mengejutkan Seta dan adik-adik seperguruannya. Mereka tidak punya pilihan lain
lagi kecuali mempertahankan diri. Bahkan kalau mungkin, melawan sekuat tenaga
dan balas menyerang.
Para murid Perguruan Tangan
Sakti yang masih berada di dalam, segera berbondong-bondong keluar, membantu
kakakkakak seperguruannya. Memang, para murid yang keluar sejak tadi adalah
yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Mereka terdiri dari tiga orang
murid kepala, Seta, Satria dan Mega. Dan tiga belas orang murid yang setingkat
di bawah mereka.
Sudah dapat diduga, maka
terjadilah pertarungan semrawut di lapangan yang luas itu, antara para murid
Perguruan Tangan Sakti melawan para pemburu pedang pusaka milik Ki Gering
Langit.
Di antara semua pertarungan
itu yang paling dahsyat adalah pertarungan antara Seta melawan si Kerbau Gila.
Laki-laki tinggi besar ini adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian
tinggi. Terutama ilmu tongkatnya yang bernama ‘Ilmu Tongkat Angin Badai’. Boleh
dibilang, sekali tongkatnya digunakan sudah dapat dipastikan kalau nyawa lawan
melayang. ‘Ilmu Tongkat Angin Badai’ itu memang luar biasa. Dan itu dirasakan
Seta secara langsung yang menghadapi si Kerbau Gila.
Sejak awal, si Kerbau Gila itu
menyerang lewat sapuan tongkatnya ke arah kaki. Dan hembusan angin dahsyat
dirasakan betul oleh Seta. Angin akibat sapuan tongkat itu bisa membuat orang
yang kurang kuat tenaga dalamnya akan terlempar. Suara menderu-deru mengiringi
serangan tongkat itu. Sehingga kalau saja Seta tidak memiliki tenaga dalam
tinggi, tentu sudah terjengkang sebelum serangan tongkat itu mengenai sasaran.
Akan tetapi, Seta adalah salah
satu murid andalan Perguruan Tangan Sakti. Maka saat melihat sambaran tongkat
yang menyapu kakinya, sikapnya begitu tenang. Hanya dengan lompatan sederhana,
Seta telah membuat sapuan tongkat Kerbau Gila itu menyambar tempat kosong,
lewat di bawah kakinya. Dengan cepat, murid andalan Perguruan Tangan Sakti itu
segera membalas dengan seranganserangan yang tak kalah dahsyatnya. Sebentar
saja keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Seperti halnya Seta, Satriapun
menghadapi lawan yang amat tangguh, yakni Tikus Muka Merah. Laki-laki kurus ini
adalah tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Tak terhitung tokoh
golongan putih yang tewas di tangannya. Malah sebagian besar dari mereka tewas,
di saat Tikus Muka Merah belum mengeluarkan senjata andalannya berupa sepasang
tombak pendek berwarna hitam mengkilat!
Akan tetapi, lawannya kali ini
adalah Satria, salah seorang murid kepala Perguruan Tangan Sakti. Bahkan juga
murid kesayangan Ki Wanayasa! Jadi, walaupun Tikus Muka Merah telah berusaha
sekuat tenaga untuk merubuhkan Satria, tetap saja tidak mampu melakukannya.
Jangankan untuk merubuhkan, mendesakpun tidak mampu. Padahal, segenap kemampuan
yang dimilikinya telah dikerahkan. Bahkan pelahan namun pasti, Satria mulai
mendesaknya.
Tikus Muka Merah akhirnya
sadar kalau Satria terlalu tangguh jika dihadapi dengan tangan kosong. Jelas
dia kalah segala-galanya. Baik tenaga, kelincahan, maupun ilmu silat. Kalau hal
ini dipaksakan, sudah dapat dipasikan dia akan rubuh di tangan Satria. Maka
pantaslah kalau Ki Wanayasa menamakan perguruan silatnya, Perguruan Tangan
Sakti. Memang, ilmu silat tangan kosong perguruan ini luar biasa. Pertahanannya
sulit ditembus. Sedangkan penyerangannya begitu dahsyat dan bertubi-tubi
laksana gelombang.
Maka, tanpa ragu-ragu lagi
Tikus Muka Merah langsung mengeluarkan senjata andalannya yang berupa sepasang
tombak pendek berwarna hitam mengkilat. Kini dengan senjata andalannya,
laki-laki kurus bermuka merah itu berusaha mendesak Satria.
Satria terperanjat ketika
merasakan desakan lawan yang menggunakan sepasang tombak pendek itu. Kemampuan
Tikus Muka Merah menjadi berlipat ganda! Maka Satria tidak mau mengambil
resiko. Cepat-cepat dicabut pedangnya dan langsung dikerahkan ilmu andalannya
‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’.
Dengan ‘Ilmu Pedang Pembunuh
Naga’, memang gerakan-gerakan Satria menjadi luar biasa. Belum lagi ilmu pedang
itu sendiri yang memang dahsyat. Tidak heran dalam bebrapa gebrakan saja, Tikus
Muka Merah mulai terdesak hebat. Dan pada jurus yang kedelapan, sebuah sabetan
pedang Satria berhasil membacok leher laki-laki kurus itu.
Crakkk!
Tanpa dapat berteriak lagi,
tubuh Tikus Muka Merah rubuh ke tanah dengan leher hampir putus. Darah langsung
muncrat dari luka sayatan di lehernya. Tokoh sesat itupun tewas seketika,
setelah meregang nyawa sesaat.
Sementara itu pertarungan yang
berlangsung antara Seta melawan Kerbau Gila masih berlangsung sengit. Walaupun
laki-laki tinggi besar itu telah menggunakan senjata andalannya, dan Seta hanya
bertangan kosong, tapi tetap saja Kerbau Gila tidak mampu berbuat banyak.
Jurus ‘Delapan Cara
Menaklukkan Harimau’ yang digunakan Seta terlalu tangguh buat si Kerbau Gila.
Pertahanan Seta begitu kokoh, membuat setiap serangan Kerbau Gila kandas di
tengah jalan.
Sementara serangan balasan
dari pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu semakin lama semakin bertambah
saja kekuatannya. Sehingga dalam beberapa puluh jurus saja Kerbau Gila sudah
terdesak hebat. Sampai akhirnya pada jurus kelima puluh delapan, sebuah totokan
ujung kaki kanan Seta dengan keras menghantam lutut kiri laki-laki tinggi besar
itu.
Tukkk!
Si Kerbau Gila meringis.
Totokan ujung kaki Seta yang ditunjang tenaga dalam tinggi itu membuat
sambungan tulang lututnya terlepas. Rasa sakit yang hebatpun seketika menyerang
lututnya. Akan tetapi, tidak sedikitpun terdengar keluhan dari mulut Kerbau
Gila. Sifat sombong melarangnya bersikap cengeng di hadapan lawan. Dan saat
Kerbau Gila sempoyongan, tiba-tiba Seta menyerang da hsyat.
Pemuda murid Perguruan Tangan
Sakti itu mengibaskan kaki kirinya sambil berputar. Inilah salah satu gerakan
‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’.
Desss!
“Aaaakh ..... !”
Diiringi suara berdebum keras,
tubuh si Kerbau Gila itu ambruk ke tanah. Tidak bangun-bangun lagi.
****
Sementara itu di arena lain,
pertarungan antara murid-murid Perguruan Tangan Sakti dengan para pemburu
pusaka Ki Gering Langit kian menghebat. Muridmurid tingkat rendahan perguruan
itu sudah banyak yang berguguran. Begitu pula dari pihak para pemburu pusaka Ki
Gering Langit.
Baru saja Seta hendak terjun
lagi dalam kancah pertarungan itu, tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak.
Sesaat kemudian muncul sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Dua
tangannya yang kekar itu langsung diputar-putarkan di depan dada dari luar ke
dalam. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Seketika bertiup angin keras yang mampu
membuat mereka yang sedang bertarung bagai dilanda angin ribut. Padahal jarak
orang bertubuh tinggi besar itu dengan arena pertempuran tak kurang dari lima
tombak.
Pertarungan seketika berhenti.
Seluruh pasang mata kini tertuju pada manusia tinggi besar yang masih berdiri
sambil terkekeh. Tak terkecuali Seta. Murid terpandai Ki Wanayasa ini kaget
bukan main melihat peragaan tenaga dalam yang dipertunjukkan manusia tinggi
besar itu. Dia sadar kalau orang yang baru datang itu memiliki kekuatan tenaga
dalam yang berada jauh di atasnya.
Terdengar gumaman kaget dari
kerumunan para pemburu pusaka Ki Gering Langit. Rupanya banyak di antara mereka
yang mengenal laki-laki tinggi besar itu. Dia adalah Bargola, yang merupakan
datuk bagi kaum sesat. Bagai kucing ditakut-takuti sapu lidi, kerumunan para
pemburu pusaka Ki Gering Langit kontan buyar. Mereka semua saling mendahului
melangkah mundur, karena takut menjadi korban Bargola.
Jantung Seta berdebar keras
ketika mengetahui manusia tinggi besar ini adalah Bargola. Sungguh di luar
dugaan kalau dia saat ini berhadapan dengan tokoh yang belum pernah
terkalahkan, kecuali oleh Ki Gering Langit! Tanpa bertempur lagi, Setapun sudah
tahu kalau Bargola tak mungkin dapat dikalahkannya.
Bahkan gurunya sendiri yang
bernama Ki Wanayasa, belum tentu mampu menandingi Bargola. Akan tetapi walau
demikian Seta merasa bertanggung jawab sebagai wakil penuh dari gurunya. Maka
tanpa sungkan-sungkan lagi ia maju menghampiri laki-laki tinggi besar itu.
Melihat hal ini Satria dan
Mega tidak mau berdiam diri saja. Mereka memang telah mendengar kedahsyatan
ilmu Bargola. Merekapun tahu kalau Seta bukanlah tandingan tokoh sesat itu.
Namun demikian mereka segera melangkah mengikuti di belakang Seta. Satria dan
Mega benar-benar tidak sampai hati jika harus membiarkan kakak seperguruan
mereka menentang maut sendirian.
“Merupakan kehormatan besar,
seorang tokoh besar sepertimu sudi mengunjungi tempat kami, Bargola,” ucap Seta
dengan suara yang terdengar tenang. Tapi ketegangan yang luar biasa masih juga
menyelimuti hatinya.
“Siapa kau? Menyingkirlah
sebelum kesabaranku hilang!” bentak Bargola tanpa memperdulikan ucapan Seta.
“Namaku Seta, murid Ki
Wanayasa,” jawab Seta tegas.
“O, jadi kau murid Wanayasa?
Bagus. Kalau begitu cepat panggil Wanayasa! Katakan padanya aku meminta Pedang
Bintang!” tegas Bargola dengan suara keras.
“Sayang sekali Bargola. Guruku
saat ini tidak ingin diganggu. Jadi menyesal sekali kalau aku tidak dapat
menyampaikan pesanmu!”
“He ... he ... he.... Kau
beruntung Anak Muda. Sekarang ini hatiku tengah gembira. Kalau tidak, sudah
sejak tadi kau telah jadi mayat! Tapi biarlah. Kalau kau tak mau memanggil
Wanayasa, aku sendiri yang akan memanggilnya.”
Setelah berkata demikian,
Bargola melangkah tenang menuju pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.
“Langkahi dulu mayatku!”
teriak Seta tegas. Dengan berani dihadangnya tokoh sesat itu. dan...
Srattt!
Cepat sekali Seta mencabut
pedangnya. Ia tahu betul kalau lawannya kali ini memiliki tingkat kepandaian
yang sulit diukur. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dicabut sebjata. Sebab,
Bargola tidak bisa disamakan dengan Kerbau Gila! Kapandaian Bargola jauh di atas
Kerbau Gila.
“Ha ... ha ... ha ... !”
Bargola tertawa terbahak-bahak. “Maju dan seranglah aku, kunyuk! Ingin kulihat
sampai di mana kelihaian ‘Ilmu Pedang Pembunuh Naga’ milik gurumu itu!”
“Hiyaaaa ... !” Teriak Seta
keras. Tubuhnya melesat menerjang Bargola dengan satu tusukan lurus ke arah
perut. Cepat sekali seangan yang dilakukan Seta itu.
“Hm...” dengus Bargola.
Dengan gerakan yang seperti
malas-malasan, Bargola memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada dari luar
ke dalam. Angin keras seketika timbul dari kedua tangan yang berputaran itu.
begitu kerasnya angin itu sehingga membuat tubuh Seta tertahan, tak dapat maju.
Tubuhnya bagai menembus dinding yang tidak nampak.
Seta menggertakkan giginya.
Dikerahkan seluruh tenaganya, mencoba meneruskan serangannya yang kandas
sebelum mencapai sasaran. Sekujur tubuhnya terutama tangannya yang terjulur
menusukkan pedang bergetar keras. Sementara Bargola tenang-tenang saja sambil
memuta-mutarkan kedua tangannya di depan dada.
Sementara Satria dan Mega yang
kawatir melihat keadaan kakak seperguruan mereka yang kritis, segera mencabut
pedangnya hampir bersamaan.
Srattt! Srattt!
Dengan gerakan lincah dan
indah, Satria dan Mega segera meloncat ke depan dan bersalto di udara melewati
kepala Bargola. Dalam keadaan masih di atas, mereka menukik menyerang bagian
atas tubuh Bargola dengan tusukan pedang.
Hebat juga serangan kedua
orang murid Perguruan Tangan Sakti itu. semua yang ada di situ dan menyaksikan
pertempuran mereka sampai menahan nafas melihat kedahsyatan serangan itu.
Mereka semua merasa tegang menantikan bagaimana caranya datuk kaum sesat itu
menghadapi serangan gabungan dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Rupanya menghadapi keadaan
yang sulit itu, Bargola hanya mendengus. Putaran tangannya mendadak bertambah
cepat dan berakibat dahsyat. Seta yang sejak tadi asih memaksa maju tanpa ampun
lagi terlempar ke belakang. Tampak dari sudut bibirnya menetes darah segar.
Setelah merubuhkan Seta dengan
kecepatan mengagumkan, Bargola mengibaskan kedua tangannya ke atas. Hasilnya
tusukan pedang Satria dan Mega tersampok tangna telanjang datuk kaum sesat itu.
Trak! Trak!
Satria dan Mega merasakan
seluruh tubuh mereka bergetar hebat. Terutama sekali tangan yang meng-genggam
pedang yang bagaikan lumpuh. Tubuh kedua murid Perguruan Tangan Sakti itu
berputar di udara, lalu hinggap beberapa depa di belakang Bargola seraya
terhuyung-huyung. Wajah keduanya nampak agak pucat karena sampokan tangan
Bargola memang dahsyat sekali.
Bargola balikkan tubuhnya
menghadap Satria dan Mega. Kedua murid kepala itu merasakan jantungnya
berdebar hebat. Datuk kaum sesat itu memang memiliki sorot mata yang
menggiriskan.
Dengan menggertakkan gigi,
Satria dan Mega berusaha menghilangkan debaran jantung mereka. Kini kedua
murid kepala itu bersama-sama mulai memasang jurus pembukaan ‘Ilmu Pedang
Pembunuh Naga’.
Walaupun keduanya sadar kalau
ilmu yang diandalkan itu tidak berarti apa-apa bagi Bargola, tapi tetap saja
meraka bersiap-siap menyerang kembali.
“Manusia-manusia tak tahu
diri!” teriak Bargola dengan suara mengguntur. “Sebenarnya aku tidak berniat
bermainmain pada kalian. Tapi karena terlalu kurang ajar, maka aku tidak
sungkan-sungkan lagi memberi pelajaran pada kalian!”
“Hiyaaat ... !” Teriak Satria
sambil melompat menerjang Bargola, begitu datuk sesat tiu menyelesaikan
katakatanya.
“Hiyaaa ... !” Mega menyusul
menerjang pula.
Hebat sekali serangan kedua
kakak beradik seperguruan ini. apalagi dilakukan secara bersamaan. Tapi kini
yang diserang adalah sosok yang telah terkenal kehebatannya. Bahkan boleh
dibilang sebagai pentolan kaum sesat. Tokoh yang menggiriskan ini seolah-olah
hanya diam saja menantikan serangan itu. Dan ketika serangan itu dekat, kedua
tangannya bergerak cepat bukan main.
Satria dan Mega tidak tahu
lagi apa yang terjadi! Yang jelas, tangan mereka yang menggenggam pedang terasa
lumpuh. Dan di lain saat pedang mereka sudah berpindah tangan! Rupanya saat
serangan Satria dan Mega telah dekat, Bargola cepat menotok pangkal lengan
mereka dengan mengandalkan kecepatan geraknya. Di saat tanagn mereka lumpuh,
datuk kaum sesat itu merampas pedangpedang itu.
Wajah Satria dan Mega seketika
berurbah pucat. Sekilas mereka melirik Seta yang masih terbungkukbungkuk
menahan luka dalamnya, lalu beralih memandang Bargola yang telah merampas
pedang begitu mudahnya.
“Ha..ha ... ha ... !” Bargola
tertawa bergelak. Kemudain dengan sedikit menggerakkan jari jari tangannya,
dipatahpatahkannya pedang-pedang itu.
Tiba-tiba terdengar tepuk
tangan yang nyaring sekali, begitu Bargola menyelesaikan aksinya. Dan begitu
suara tepukan berhenti terdengar sebuah suara pujian yang mengandung ejekan.
“Luar biasa! Ternyata nama
besar Bargola bukan omong kosong belaka. Kini telah kulihat sendiri kebenaran
berita itu. Buktinya tiga orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal bisa
dikalahkan.”
Merah padam wajah Bargola.
Bahkan kedua telinganya seperti terasa sakit. Disertai kemarahan menggelegak,
ditolehkan kepalanya ke belakang kearah sumber suara tadi.
Di sebelah Seta ternyata telah
berdiri seorang kakek yang berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi
kurus, agak bongkok dan berjenggot putih panjang hingga mencapai dada. Begitu
melihat kakek ini, Satria dan Mega segera maju menghampiri dan memberi hormat.
“Guru....” Satria dan Mega
menyebut berbarengan. Kakek bongkok udang yang ternyata Ki Wanayasa hanya
mengibaskan tangannya perlahan.
“Menyingkirlah. Bargola bukan
lawan kalian.”
Tanpa diperintah dua kali,
Satria dan Mega segera menyingkir ke balik punggung gurunya disebelah Seta.
Kini mereka menyadari kelihaian Bargola yang luar biasa itu.
Bargola mendengus sebentar.
“Jadi kau rupanya yang bernama
Wanayasa, Ketua Perguruan Tangan Sakti itu?! Kebetulan sekali kau keluar, jadi
aku tak perlu repot-repot lagi mencarimu ke dalam!” kata Bargola.
Ki Wanayasa menatap tajam dan
masih tetap bersikap tenang.
“Setahuku aku tidak pernah
mempunyai urusan denganmu Bargola. Lalu mengapa tiba-tiba mencariku?! Apa ada
hubungannya dengan Pedang Bintang milik Ki Gering Langit itu?” ujar Ki Wanayasa
seperti minta penjelasan.
“Tentu saja ada. Justru
kedatanganku ke mari hanya untuk mengambil Pedang Bintang itu!” tegas Bargola
cepat.
“Sayang sekali.... Kau salah
alamat Bargola! Aku sama sekali tidak tahu tentang pedang yang kau cari itu,”
ujar Ki Wanayasa.
“Maksudmu ....?” Bargola
terperangah kaget.
“Ya...” Ki Wanayasa
menganggukkan kepalanya. “Pedang Bintang itu tidak ada padaku!”
“Keparat!” teriak Bargola
geram. Datuk sesat iu memang percaya akan ucapan itu. Ia tahu, seorang pemimpin
perguruan besar seperti Ki Wanayasa tidak mungkin akan berbohong. Entah
kemarahan Bargola ditujukan kepada siapa.
“Bagaimana Bargola?”
“Kalau begitu menyingkirlah
Wanayasa. Aku akan memberi pelajaran pada orang-orang yang tidak tahu adat
padaku!” dengus Bargola.
Setelah berkata demikian
Bargola menatap tajam ketiga orang murid kepala Perguruan Tangan Sakti yang
berada di belakang Ki Wanayasa. Sementara Ki Wanayasa tahu kalau Bargola ingin
melampiaskan kekecewaan pada tiga orang muridnya itu. Tentu saja hal itu akan
berkibat fatal. Maka sambil tetap tersenyum, ditatapnya mata Bargola
tajam-tajam. Tapi laki-laki tua itu tidak memungkiri kalau hatinya tegang juga.
“Kalau aku tidak mau?” tanya
Ki Wanayasa memancing.
“Terpaksa kau yang akan
kusingkirkan lebih dulu!” tegas Bargola. “Kau tinggal memilih Wanayasa.
Menyingkir atau berhadapan denganku!”
“Aku pilih yang kedua!” tegas
Ki Wanayasa.
Bargola tertawa
terbahak-bahak.
“Kalau begitu bersiaplah
Wanayasa!” tantang Bargola. “Menyingkirlah kalian!” perintah Ki Wanayasa pada
ketiga orang muris kepalanya.
Tanpa diperintah dua kali
Seta, Satria dan Mega segera menyingkir dari tempat itu. Hingga kini di situ
tinggal Ki Wanayasa dan Bargola yang sudah saling tatap sejarak empat tombak.
“Silahkan Bargola,” ucap Ki Wanayasa
dengan suara tenang. Namun demikian sebenarnya jantungnya berdegup keras dalam
ketegangan yang memuncak. Ki Wanayasa tahu betul siapa itu Bargola.
Sesungguhnya dia ragu, apakah
mampu menghadapinya atau tidak. Itulah sebabnya mengapa tanpa ragu-ragu lagi Ki
Wanayasa sudah menyiapkan ilmu andalannya ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’.
Ilmu andalan Ki Wanayasa itu
adalah ilmu yang diciptakan langsung olehnya. Dia mengambil dan
menggabung-gabungkan inti beberapa ilmu. Di antaranya adalah jurus ‘Kelabang’,
‘Naga’, ‘Belalang’ dan ‘Kalajengking’. Sesuai dengan namanya jurus ini menitik
beratkan pada bagian-bagian penyerangan. Memang pada dasarnya setiap ilmu
selalu mempunyai jurus untuk bertahan dan jurus untuk menyerang.
Hanya saja ilmu ‘Delapan Cara
Menaklukkan Harimau’. Yang lebih ditonjolkan adalah penyerangan.
“Hm !” Dengus Bargola.
Selesai mendengus yang menjadi
ciri khasnya, Bargola meluruk menerjang Ki Wanayasa. Kedua tangannya yang
berbentuk cakar siap menggedor dada Ketua Perguruan Tangan Sakti ini.
Angin yang berciutan keras dan
tajam mengiringi serangan laki-laki tinggi besar itu. Ki Wanayasa yang sudha
dapat memperkirakan kedahsyatan serangan itu tidak berani bersikap gegabah.
Kesalahan sedikit saja akan berakibat fatal. Maka untuk sementara dia tidak
berani sembarangan menangkis, tapi segera menggeser tubuhnya ke kanan.
Akan tetapi Bargola sudah
memperhitungkan hal itu. maka begitu dilihat Ki Wanayasa menggeser ke kanan,
iapun segera menyampok ke kiri tetap mengarah ke dada Ketua Perguruan Tangan
Sakti itu.
Kali ini Ki Wanayasa tidak
mempunyai pilihan lain lagi. Terpaksa ditangkis serangan itu dengan jarijari
tangan terbuka disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Prattt !
Tubuh kedua tokoh sakti itu
sama-sama bergetar hebat ketika dua pasang tangan beradu. Hanya saja tubuh Ki
Wanayasa nampak terhuyung. Jelas, kalau adu tenaga dalam Bargola masih sedikit
unggul darinya.
Bargola cukup terkejut juga.
Walaupun kepandaian Ki Wanayasa memang sudah diduganya, namun sungguh di luar
dugaan kalau tenaga dalam Ketua Perguruan Tangan Sakti ini tinggi juga. Bahkan
mungkin hampir menyamai tenaga dalamnya sendiri! Hal ini membuat Bargola yang
memang beringas ini menjadi semakin murka.
“Hm ” Bargola segera
mengeluarkan ilmu ‘Tapak Bara’ andalannya.
Diiringi dengusan keras, datuk
itu membuka serangan dengan tapak tangan kanan terbuka ke arah dada Ki
Wanayasa. Sementara tangan kiri yang jari jarinya terbuka bersilang di depan
dada.
Ki Wanayasa terperanjat bukan
main. Kekagetannya itu bukan karena serangan melainkan akibat angin panas yang
mendahului menyergapnya sebelum serangan Bargola tiba. Sebagai orang yang telah
kenyang pengalaman, laki-laki tua ini tidak mau bertindak gegabah. Cepat-cepat
dielakkan serangan itu dengan melentingkan tubuh ke samping sambil berputar di
udara menjauh. Hawa panas itu membuat dadanya terasa sesak.
Tentu saja Bargola tidak
tinggal diam. Datuk beringas yang tengah murka ini segera memburunya dengan
serangan-serangan yang dahsyat. Sebentar saja Ki Wanayasa telah terdesak. Ia
hanya mengelak setiap serangan Bargola, tanpa berani menangkis. Sesekali memang
balas menyerang tapi segera ditariknya kembali begitu dilihatnya Bargola akan
memapak.
Keadaan Ki Wanayasa ini tentu
saja diketahui Satria, Seta dan Mega. Mereka ingin segera membantu tapi
bagaimana caranya? Jangankan ikut bertarung, untuk mendekat dalam jarak tiga
tombak saja tidak sanggup. Hawa panas begitu terasa menyengat!
Ki Wanayasa sadar jika keadaan
ini terus berlangsung lambat laun akan rubuh di tanan Bargola yang dahsyat itu.
hawa panas yang ditimbulkan ilmu ‘Tapak Bara’ Bargola benar-benar membuatnya
tersiksa. Sekujur wajah dan tubuhnya sduah dibasahi keringat. Bahkan wajahnya
nampak memerah bagai kepiting rebus. Dadanyapun terasa sesak.
Dan pada jurus ketiga belas,
Ki Wanayasa tidak mampu lagi mengelak. Bargola telah memojokkannya sedemikian
rupa. Akibatnya dia tidak menemukan jalan keluar kecuali menangkis untuk
menyelamatkan selebar nyawanya. Dengan terpaksa disambutnya tapak kanan Bargola
yang merah membara dengan tapak tangannya.
Plak!
Tubuh Ki Wanayasa
terhuyung-huyung. Kakek ini merasakan hawa panas yang amat sangat menjalar di
sekujur tubuhnya. Tapak tangannya yang dipakai untuk menangkis nampak hangus.
Ada bau sangit daging terbakar menyeruak dari tapak tangan itu. Sementara
Bargola hanya bergetar saja tubuhnya.
Ki Wanayasa menahan napas.
Dikerahkannya seluruh hawa murni yang dimiliki untuk mengusir hawa panas yang
menjalari sekujru tubuhnya. Untuk sesaat pertarungan terhenti.
“Ha..ha ... ha ... !” Bargola
tertawa tergelak penuh kemenangan! Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Ki
Wanayasa yang masih berusaha mengusir hawa panas yang menjalari sekujur
tubuhnya.
“Bersiaplah untuk mati
Wanayasa! Pantang bagiku membiarkan hidup seorang lawan yang berani
menentangku!” tegas Bargola. Suaranya begitu mengguntur.
Kakek bongkok udang itu masih
berusaha mengusir hawa panas yang menyengat ketika datuk itu menghampirinya.
Kini semua pandangan mata tertuju pada Bargola yang tengah melangkah lambat
menghampiri Ki Wanayasa. Sedangkan Ki Wanayasa hanya bersikap pasrah menanti
ajal.
Sebelum niat Bargola itu
terlaksana, terdengar suara mendesing nyaring. Tak lama kemudian disusul
melayangnya beberapa buah benda berkilatan ke arah Bargola.
“Hm...... Dengus Bargola.
Seketika kedua tangan
laki-laki beringas itu bergerak menyampok benda berkilatan yang melesat cepat
ke arahnya! Dari suara mendesing yang sangat nyaring, datuk kaum sesat itu
dapat mengetahui betapa kuatnya tenaga dalam orang yang melemparkannya. Namun
tanpa raguragu lagi Bargola menyampok dengan tangan telanjang. Dia benar-benar
tidak merasa kawatir kalau benda-benda berkilatan itu akan melukai tangannya.
Memang, pada saat mengerahkan ilmu ‘Tapak Bara’ kedua tangannya menjadi kebal
terhadap segala macam senjata tajam.
Trak, trak, trak! Tap!
Tiga dari empat benda
berkilatan yang mengarah ke tubuhnya terpental rubuh ketika ditangkis Bargola.
Sedangkan sebuah lagi ditangkap tangannya.
Mulanya Bargola kaget bukan
main ketika merasakan tangan yang dipergunakan untuk menyampok bergetar hebat.
Dan ketika melihat benda berkilat yang ada di tangannya, wajahnya seketika
berubah! Benda berkilat itu ternyata adalah sebuah pisau berwarna putih.
Bargola tahu betul siapa pemilik pisau itu.
“Raja Pisau Terbang......
Gumam Bargola menyebut suatu nama.
Belum habis ucapan itu,
tahu-tahu di depan Bargola telah muncul sesosok tubuh berperawakan sedang.
Wajahnya gagah dan menyorotkan kesabaran. Usianya sekitar lima puluh tahun.
Memang dialah tokoh yang telah melemparkan pisau-pisau yang berwarna putih
mengkilat itu. Dia memang berjuluk Raja Pisau Terbang, seorang tokoh beraliran
putih yang disegani lawan maupun kawan.
“Sungguh tidak kusangka kalau
kau bisa tersesat jauh ke sini, Bargola....” Sindir Raja Pisau Terbang pelan.
Bargola hanya mendengus. Raut
ketidak senangan tersirat jalas pada wajahnya.
“Sayang sekali, Raja Pisau
Terbang. Kali ini aku tidak berminat untuk berdebat atau bertarung denganmu.
Saat ini aku tengah ada urusan lain yang lebih penting. Kalau tidak,
sekarangpun bisa ditentukan siapa yang lebih kuat di antara kita. Jangan
berharap kau akan semujur dulu!” tegas datuk sesat itu. Suaranya kasar dan
terdengar berat.
“Sampai kapanpun aku akan
selalu siap sedia, Bargola,” ujar Raja Pisau Terbang sambil tersenyum.
Bargola tidak menjawab. Datuk
sesat itu lagi-lagi hanya mendengus. Suatu kebiasaan buruk yang telah menjadi
ciri khasnya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi digerakkan tubuhnya. Tampaknya
hanya seperti menggeliat, tapi tahutahu tubuhnya telah bergeser sejauh lima
tombak. Raja Pisau Terbang hanya memandangi hingga tubuh Bargola lenyap di
kajauhan.
Melihat kepergian Bargola,
apalagi setelah mendengar bahwa Pedang Bintang tidak ada di situ, maka para
tokoh rimba persilatan pemburu Pusaka Ki Gering Langit itu satu persatu
meninggalkan tempat. Dan tak lama kemudian yang tertinggal di situ hanya Ki
Wanayasa dan muridmuridnya serta si Raja Pisau Terbang.
Ki Wanayasa yang telah pulih
dari serangan hawa panas pada sekujur tubuhnya bergegas mengahampiri Raja Pisau
Terbang.
“Terima kasih atas
pertolonganmu, Adi Kirin. Kalau tidak..., hhh! Bargola memang hebat. Ilmu
‘Tapak Bara’nya benar-benar dahsyat! Bahkan ilmu meringankan tubuhnyapun luar
biasa sekali....” Ucap Ki Wanayasa.
“Lupakanlah Kakang Wanayasa. Di
antara kita rasanya tidak perlu berbasa basi seperti itu. Kedatanganku ke sini
hanya secara kebetulan. Katika kulihat Bargola di Desa Ketapang di Kaki Gunung
Waru ini, aku curiga. Maka akupun mengikutinya. Jelas ini sangat mengherankan
sekaligus mencurigakan kalau Bargola yang berada jauh di Barat, tiba-tiba
berkeliaran sampai ke Timur sini. Setelah kuikuti, ternyata dia memang ingin ke
sini. Sayang, aku agak terlambat....” Sesal Raja Pisau Terbang yang bernama
Kirin ini sambil tersenyum kecil. “Ilmu ‘Tapak Bara’nya memang hebat. Tapi
mengenai ilmu meringankan tubuh, rasanya masih bisa kusaingi. Kecuali terhadap
tokoh yang satu itu.... Terus terang aku takluk pada ilmu meringankan tubuh dan
kecepatan geraknya...”
“Ki Gering Langit?” tebak Ki
Wanayasa.
“Bukan. Beliau tidak masuk
hitungan,” Raja Pisau Terbang menggelengkan kepalanya perlahan.
“Lalu siapa?” tanya Ki
Wanayasa. Pikirannya berputar keras. Dan tiba-tiba mendapatkan satu nama.
“Maksudmu...si Ular Hitam?”
“Benar,” Raja Pisau Terbang
mengangguk. Ia sudah dapat menduga ketajaman berpikir Ketua Perguruan Tangan
Sakti itu.
“Ahhh ... !” Ki Wanayasa
mendesah pelan.
“Dialah si pemilik ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa. Bahkan kecepatan gerak tangannya tidak bisa
kusaingi. Kalau saja aku tidak memiliki pisau terbang, mungkin sudah tewas di
tangannya dulu....”
Ki Wanayasa
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, pernah kudengar berita
itu. kalau tidak salah ilmu meringankan tubuh dan kecepatan geraknya yang luar
biasa itu adalah ilmu ‘Ular Terbang’ dan terkenal sebagai ilmu andalannya.”
Raja Pisau Terbang hanya
mengangguk.
“Kudengar selama beberapa
tahun ini nama Ular Hitam tidak pernah terdengar lagi. Apa betul begitu, Adi
Kirin?” tanya Ki Wanayasa lebih jauh.
“Benar. Aku sendiri juga heran
kakang Wanayasa. Mendadak saja ia lenyap tanpa berita bagai ditelan bumi. Kabar
yang tersiar di dunia persilatan simpang siur. Ada yang mengatakan
menyembunyikan diri untuk menciptakan ilmu-ilmu baru yang akan digunakan untuk
membalas kekalahannya terhadap Ki Gering Langit. Berita yang pasti tidak ada
yang tahu. Mendadak saja ia lenyap tanpa jejak...”
Ki Wanayasa termenung sejenak
mendengar cerita Raja Pisau Terbang itu, tapi tiba-tiba saja teringat sesuatu.
Ditepuknya keningnya sebentar.
“Tuan rumah macam apa aku ini.
Ada tamu agung bukannya disambut, diajak masuk dan disediakan minum. Tapi malah
dibiarkan berdiri berpanas-panas di luar! Ahhh.... Mari masuk dulu Adi Kirin.
Kita rayakan pertemuan yang istimewa ini di dalam.”
Raja Pisau Terbang hanya
tersenyum.
“Usul yang baik sekali,” ucap
laki-laki setengah baya ini gembira sambil mengikuti langkah kaki Ki Wanayasa
yang telah lebih dulu berjalan menuju ke dalam bangunan Perguruan Tangan Sakti.
Sementara itu Satria segera
menolong Seta yang terluka cukup parah. Sedangkan Mega sibuk mengatur adik-adik
seperguruannya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat itu.
Beberapa murid lainnya menolong saudara seperguruannya yang terluka.
****
Malam itu langit kelihatan
kelam. Bulan yang hanya sepotong di langit terlihat tidak berdaya menembus awan
hitam dan tebal yang bergumpal‑gumpal menutupinya. Angin dingin
yang berhembus dan terkadang sesekali keras itu kian menambah seramnya suasana
malam. Dan dalam suasana seperti itu orangorang merasa lebih suka tinggal di
dalam rumah. Mereka lebih suka dibuai mimpi di peraduannya daripada berkeliaran
di luar.
Tetapi kenikmatan seperti itu
tidak diperoleh murid-murid Perguruan Tangan Sakti yang tengah mendapat tugas
berjaga. Walaupun keadaan alam yang tidak bersahabat, mereka harus tetap
berjaga jaga bersikap waspada. Apalagi mengingat kejadian tadi pagi. Bukan
tidak mungkin kalau malam ini ada tokoh-tokoh persilatan yang masih penasaran
ingin menyatroni perguruan mereka untuk mencari Pedang Bintang.
Empat orang murid nampak
berjaga jaga dekat pintu gerbang memandang ke sekeliling. Sikap mereka
benarbenar waspada dalam keremangan cahaya sinar obor yang nampak lemah tak
berdaya. Beberapa murid lain menunggu di pos. Sementara dua orang lainnya
berkeliling ke sekeliling perguruan.
Keadaan benar-benar gelap.
Walaupun sepasang mata dibelelakkan sebesar-besarnya tetap saja tidak akan
terlihat apa-apa selain kegelapan pekat. Tapi empat orang murid yang bertugas
jaga itu tetap memperhatikan sekelilingnya dengan mata nyalang.
Dan tiba-tiba salah seorang
dari mereka melihat sesuatu dalam kegelapan malam yang pekat itu. Beberapa saat
lamanya murid itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengucek-ucek mata
untuk meyakini peng‑
lihatannya. Tetapi tetap saja
dia melihat sosok bayangan putih yang begitu enaknya bersila di atas sebatang
ranting. Padahal ranting pohon itu hanya sebesar ibu jari!
“Ha ... hantu ....” Keluar jua
ucapan itu dari mulut salah seorang murid walaupun dengan bibir gemetar.
Sebenarnya ucapan yang keluar
dari mulut murid yang sial itu tidak keras bahkan hanya perlahan saja. Tapi
karena keadaan yang begitu hening, suara yang perlahan itu jadi terdengar
keras. Dan tentu saja terdengar oleh teman-temannya yang berada tidak jauh dari
situ.
“Ada apa, Parja?” tanya salah
seorang temannya sambil bergerak mendekat.
Parja, murid yang melihat
sosok tubuh putih itu mencoba untuk menyahut. Tapi ternyata tidak mampu. Yang
keluar dari mulutnya hanyala suara gumaman tidak jelas.
Tentu saja yang lain tidak
mengerti maksudnya. Untungnya Parja juga menuding-nudingkan jari telunjuk ke
arah tempat ia melihat sosok tubuh serba putih itu tadi.
Serentak kepala teman-temannya
menoleh ke arah yang ditunjuk Parja. Dan betapa terkesiapnya hati mereka ketika
melihat sesuatu yang ditunjuk Parja.
“Han ... hantu ....” Desis
mereka dengan suara bergetar.
Walaupun mereka telah
digembleng untuk tidak takut menghadapi maut, akan tetapi pada mahluk halus
tetap saja gentar!
Tapi rupanya salah seorang
penjaga yang beranama Wiji tidak percaya dengan adanya hantu.
“Aku tidak percaya kalau hantu
atau siluman itu ada. Buktinya dari dulu aku tidak pernah bertemu segala mahluk
tetek bengek itu! aku yakin ini hanyalah satu siasat orang-orang yang ingin
mengambil keuntungan dari suasana malam yang tidak seperti biasanya ini!” tegas
Wiji dengan sikap tenang.
Ucapan dan sikap dari Wiji
membuat Parja dan temantemannya menjadi agak lebih berani. Kini mereka menatap
sosok bayangan putih itu penuh perhatian.
Mendadak saja sosok bayangan
putih itu bangkit dari bersilanya. Dan secepat itu pula tubuhnya melompat dari
ranting pohon yang tadi didudukinya kearah Wiji, Parja dan seorang rekannya
yang tengah memperhatikan. Sosok bayangan putih itu begitu ringan hinggap
sekitar empat tombak di depan para murid Perguruan Tangan Sakti.
Dengan bantuan sinar obor
apalagi pakaian orang itu serba putih, Wiji dan tiga murid lainnya dapat
melihat lebih jelas sosok bayangan putih itu lagi. Sedangkan Parja bergerak
menjauh karena rasa takut yang menyerangnya. Dia hanya memperhatikan tanpa
berkedip.
Sosok bayangan putih itu
bertubuh tinggi kurus. Wajahnya tertutup selubung putih yang memiliki dua buah
lobang kecil untuk mata. Pakaiannya juga serba putih. Di bagian dada terdapat
sebuah gambar tengkorak kepala manusia.
Wiji dan teman-temannya
memperhatikan sosok bayangan putih itu dengan bulu tengkuk meremang. Apalagi
ketika menatap sepasang mata yang mencorong kehijauan di balik selubung itu!
Sepasang mata itu lebih mirip mata harimau dalam gelap! Manusiakah sosok yang
berdiri di hadapan mereka ini?
Dan belum lagi sadar dari
keterpakuannya, sosok serba putih itu tiba-tiba mengebutkan tangannya.
Kelihatannya pelan saja tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Wiji dan kedua orang
temannya terlempar ke belakang sejauh lima tombak lebih. Bagai diterjang angin
ribut saja layaknya.
Tubuh mereka masih
terguling-guling di tanah beberapa tombak jauhnya. Dan begitu daya lontar
serangan sosok serba putih itu habis, tubuh merekapun berhenti. Mereka kini
tidak bergeak lagi dengan sekujur tubuh berwarna kebiruan. Tewas!
Parja dari kajauhan menatap
mayat ketiga temannya dengan perasaan campur aduk. Marah, kaget dan juga ngeri!
Jelas sekali dilihatnya kalau sosok serba putih itu hanya menggerakkan
tangannya perlahan saja. Dan akibatnya begitu hebat dan mengerikan! Parja sadar
kalau sosok serba putih ini memiliki kepandaian amat tinggi dan jelas bukan
tandingannya. Maka cepat-cepat dia memukul kentongan tanda bahaya.
“Tidak ada ampun bagi orang
yang berani meremehkan Siluman Tengkorak Putih!” ucap sosok serba putih itu.
Tok! Tok! Tok!
Dalam sekejapan saja suara
kentongan itu telah memecah keheningan malam kelam. Sosok serba putih yang
ternyata berjuluk Siluman Tengkorak Putih membiarkan saja apa yang dilakukan
Parja. Parja memang sengaja tidak di bunuh agar memberitahukan kedatangannya.
Keonaran ini memang sengaja dibuat untuk membuat Ki Wanayasa keluar dari
tempatnya.
Apa yang diharapkan Siluman
Tengkorak Putih ternyata memang tidak salah. Suara kentongan yang dipukul Parja
itu segera saja menimbulkan kegemparan di bangunan besar Perguruan Tangan
Sakti. Berbondong-bondong para murid perguruan bergerak menuju arah kentongan
berbunyi. Di antara mereka nampak pula murid utama Perguruan Tangan Sakti.
Seta yang memiliki ilmu
meringankan tubuh paling tinggi di antara murid-murid lainnya adalah orang
pertama yang paling dulu tiba di tempat Parja memukul kentongan. Ia telah
sembuh kembali seperti sediakala setelah diobati gurunya siang tadi.
Yang pertama dilihat Seta
adalah sosok serba putih yang tengah berdiri tenang sambil menatap parja yang
masih sibuk memukul kentongan.
“Ada apa Parja?” tanya Seta
begitu tiba di samping Parja.
“Siluman itu membunuh
rekan-rekan kita Kang,” jawab Parja dengan suara tersendat.
Untuk beberapa saatnya lamanya
Seta celingukan. Sepasang matanya nyalang mengawasi sekitarnya. Yang
dicari adalah mayat adik-adik
seperguruannya yang menurut laporan Parja telah dubunuh sosok putih di
depannya. Tapi sampai sakit matanya dia tidak melihat apa-apa. Suasana malam
yang gelap menghalangi pandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika
para murid perguruan lainnya yang membawa obor tiba, Seta akhirnya dapat
melihat mayat adik-adik seperguruannya. Obor-obor yang dibawa cukup menerangi
keadaan sekitar tempat itu. Melihat hal ini amarah Seta meluap. Dengan sinar
mata merah ditatapnya sosok bayangan putih di depannya.
“Hai, Siluman! Apa
persoalannya dengan kami sehingga kau begitu kejam membunuh murid-murid
Perguruan Tangan Sakti?!”
Siluman Tengkorak Putih hanya
tertawa. Tawanya begitu aneh. Pelan, berat dan bergaung. Sepertinya bukan
keluar dari mulut manusia!
Semula tidak ada yang aneh
pada awa itu selain bunyinya yang tidak seperti tawa manusia pada umumnya. Tapi
beberapa saat kemudian suara tawa itu mulai menampakkan akibatnya. Seta
merasakan suara tawa pelahan namun pasti, mulai menyakiti telinga dan membuat
sesak dadanya. Otak Seta yang cerdas segera saja menduga ada ketidak wajaran
pada suara tawa itu. Sekilas diliriknya Parja.
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati Seta melihat Parja tengah duduk bersila. Kedua tangannya menutupi
kedua telinga untuk menghalangi serangan suara tawa itu.
Ternyata bukan hanya Praja
saja. Terlihat semua adik seperguruannya duduk bersila dan menutup kedua
telinganya. Tak terkecuali Satria dan Mega! Bahkan ada beberapa orang adik
seperguruannya yang telah menggigil sekujur tubuhnya. Seta yang telah
berpengalaman, tahu kalau adik seperguruannya itu tidak akan dapat bertahan
lama. Sebenarnya dia juga mengalami hal yang sama. Tapi karena tenaga dalamnya
lebih kuat, dia lebih dapat bertahan.
“Hiyaaaat ...... !”
Sambil berteriak keras Seta
melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih yang masih tertawa. Disadari kalau
lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu lagi
dicabut pedangnya dan langsung dikeluarkan ilmu andalan ‘Ilmu Pedang Pembunuh
Naga’!
Suara berdesing nyaring
mengawali serangan. Walaupun Siluman Tengkorak Putih sudah dapat memperkirakan
kedahsyatan serangan lawan, tetapi dia hanya mendengus saja.
“Manusia tidak tahu diri!
Kalau mau aku telah membunuhmu dengan suara tawaku itu!”
Setelah berkata demikian
tangannya yang telanjang bergerak cepat menangkis serangan pedang Seta.
Kecepatan gerak tangannya mengingatkan orang pada serangan seekor ular pada
mangsanya. Begitu cepat dan tiba-tiba.
Trak!
“Akh !”
Seta menyeringai. Tangannya
yang menggenggam pedang mendadak lumpuh sesaat begitu tangan Siluman Tengkorak
Putih menangkis pedangnya. Tanpa dapat dicegah lagi pedangnya terlepas dari
pegangan.
Belum lagi Seta sempat berbuat
sesuatu, serangan belasan Siluman Tengkorak Putih telah mengancam.
Murid utama Perguruan Tangan
Sakti itu hanya melihat kelebatan sinar putih menyambar ke arahnya.
Dirasakannya juga hembusan angin dingin menuju ke arahnya.
Seta kaget bukan main.
Sebisa-bisanya dilempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah beberapa
kali. Tapi tetap saja ekor matanya melihat ada sekelabatan sinar putih
mendekati ubun-ubunnya. Seta terus bergulingan. Sementara itu kelebatan sinar
putih itu tetap mencecar ubun-ubunnya.
Satria, Mega dan beberapa adik
seperguruannya melihat semua itu disertai rasa cemas yang mendalam. Berbeda
dengan Seta mereka yang kini sudah bebas dari serangan tawa itu dapat melihat
jelas semua yang terjadi. Memang kakak seperguruan mereka berusaha mati-matian
mengelak dari ancaman tangan Siluman Tengkorak Putih yang mencecar
ubun-ubunnya.
Satria dan Mega yang bergegas
melompat hendak membantu ternyata terlambat! Tangan manusia siluman itu telak
sekali menghantam ubun-ubun murid utama Perguruan Tangan Sakti itu.
Crokkk....!
“Akh!”
Seta memekik tertahan, sebelum
tubuhnya rubuh dengan ubun-ubun kepala pecah.
“Kang Seta !” teriak Satria
dan Mega hampir bersamaan. Dua orang murid utama Perguruan Tangan Sakti itu
tercenung. Pandangan mata mereka seolah-olah tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Untuk beberapa saat lamanya keduanya terbengong-bengong.
“Tidak ada ampun bagi orang
yang berani menyerang Siluman Tengkorak Putih!” ancam sosok bayangan putih itu
dengan suara yang khas. Pelan, berat dan bergaung.
Kontan Satria dan Mega
tersadar dari termenungnya. Ketika kesadaran mereka timbul maka timbul pula
kemarahan di dada.
Srat! Srat!
Bagai dikomando kedunya
mencabut pedangnya masing-masing secara bersamaan. Akan tetapi
“Tahan !”
Tiba-tiba suatu bentakan
nyaring menahan gerak Satria dan Mega yang akan menerjang Siluman Tengkorak
Putih. Serentak keduanya mengurungkan niatnya. Dikenali betul pemilik suara
itu. Siapa lagi kalau bukan guru mereka, Ki Wanayasa.
Keduanya serentak menoleh ke
arah asal suara.
Tampaklah Ki Wanayasa berjalan
bersama tamunya Raja Pisau Terbang.
“Aku telah dapat memastikan,
Kakang Wanayasa. Siluman Tengkorak Putih ini ada hubungannya dengan si Ular
Hitam! Aku tahu betul gerakannya waktu menewaskan Seta adalah ilmu ‘Ular
Terbang’!” bisik Raja Pisau Terbang pada Ki Wanayasa.
“Tapi.... bukankah Ular Hitam
telah lama lenyap dari dunia persilatan? Lagi pula, sepanjang yang kuketahui si
Ular Hitam tidak pernah punya murid!” bantah Ki Wanayasa. Sepasang matanya
menatap marah ke arah Siluman Tengkorak Putih yang telah membunuh murid
kesayangannya.
“Ah, Kakang. Siapa yang
mengetahuinya? Di antara seluruh datuk persilatan dialah satu-satunya datuk
yang paling misterius. Siapa yang tahu dia punya murid atau tidak?”
“Hey...! Siapa di antara
kalian yang bernama Wanayasa? Mengakulah sebelum terlambat!” bentak Siluman
Tengkorak Putih. Nadanya tidak sabar begitu melihat keduanya telah mendekat.
Raja Pisau Terbang dan Ki
Wanayasa hanya tersenyum. Apalagi si Raja Pisau Terbang. Padahal si Raja Pisau
Terbang adalah salah seorang datuk persilatan yang ditakuti lawan dan disegani
kawan. Dan kini diancam seroang tokoh yang baru dikenal dan berjuluk Siluman
Tengkorak Putih! Siapa yang tidak geli?
“Kisanak,” ucap Raja Pisau
Terbang dengan sabar. “Sungguh tidak kusangka kalau kau begitu sombong.
Melihat gerakanmu aku yakin
kau mempunyai hubungan dengan si Ular Hitam. Entah sebagai murid atau adik
seperguruannya. Atau kau adalah pencuri kitab-kitab ilmu silatnya? Hanya yang
perlu kau ketahui Kisanak. Jangankan dirimu. Ular Hitam saja tidak berani
berkata seperti itu kepadaku!”
Ha ... ha ... ha ... !
Tiba-tiba terdengar suara tawa
terbahak-bahak begitu Raja Pisau Terbang mengakhiri ucapannya. Belum lagi gema
suara itu lenyap, muncul sesosok tubuh pendek kekar. Rambutnya awut-awutan dan
bermata merah. Dan kini orang itu telah berada di sebelah kanan Siluman
Tengkorak Putih.
“Raja Racun Pencabut
Nyawa....” Desis Raja Pisau Terbang begitu melihat sosok tubuh yang berdiri di
sebelah kanan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa tersentak kaget
juga. Telah didengar banyak tentak tokoh ini dari adik seperguruannya. Raja
Racun Pencabut Nyawa tinggal di Barat dan pernah dikalahkan si Ular Hitam dalam
pertarungan merebutkan kedudukan datuk di Barat. Karena kekalahannya itu dia
menyingkir ke Selatan. Ternyata dia di situ membuat kekacauan sehinnga membuat
adik seperguruan Ki Wanayasa turun tangan menantangnya.
Kali inipun Raja Racun
Pencabut Nyawa harus menelan pil pahit. Adik seperguruan Ki Wanayasa tidak
mampu dikalahkannya. Kepandaian keduanya berimbang. Sehingga dalam pertarungan
mati-matian itu mereka sama-sama mendapat luka. Itulah berita yang didengar Ki
Wanayasa dari adik seperguruannya. Sungguh tidak diduga kalau malam ini dia
akan bertemu tokoh itu.
“Gerda, orang yang berbicara
tadi itu adalah Raja Pisau Terbang,” ujar Raja Racun Pencabut Nyawa
memberitahu.
“Oh, pantas. Dia begitu
sombong. Jadi kalau bagitu orang yang disebelahnya adalah Ki Wanayasa, Paman?”
tanya Siluman Tengkorak Putih meminta ketegasan.
“Betul.”
Kini dengan sorot mata garang,
Siluman Tengkorak Putih menatap Ki Wanayasa penuh selidik. Diperhatikannya
kakek bongkok udang itu lekat-lekat.
“Ki Wanayasa! Kau tentu sudah
tahu maksud kedatanganku ke sini bukan?” tanya Siluman Tengkorak Putih tenang.
Ki Wanayasa hanya tersenyum.
“Sudah bisa kutebak maksud
kedatanganmu, Siluman Tengkorak Putih. Apalagi kalau bukan masalah Pedang
Bintang?! Bukankah demikian?”
“He ... he .... he...” Siluman
Tengkorak Putih hanya terkekeh.
“Ahhhh .... sayang sekali!”
ujar Ki Wanayasa sambil menghela napas.
“Mengapa?”
“Pedang itu sama sekalu tidak
ada padaku.”
“Bohong!” bentak Siluman
Tengkorak Putih keras.
“Jaga mulutmu Kisanak!!”
bentak Ki Wanayasa tak kalah garangnya. “Jangan dikira aku takut padamu!”
“Keparat!” Siluman Tengkorak Putih menggeram hebat.
Sudah dapat diduga kalau
akhirnya laki-laki berjubah ini akan menyerang Ki Wanayasa.
“Gerda, sabar dulu....”
Siluman Tengkorak Putih yang
bernama Gerda itu mengurungkan niatnya. Ditatapnya wajah Raja Racun Pencabut
Nyawa lekat-lekat.
“Dia telah menghinaku, paman”
protes Siluman Tengkorak Putih.
“Hal itu bisa diurus nanti.
Sekarang yang penting adalah persoalan Pedang Bintang. Sabarlah sebentar...”
jelas Raja Racun Pencabut Nyawa sambil memegang bahu Siluman Tengkorak Putih.
Beberapa saat lamanya Siluman
Tengkorak Putih termenung. Tapi akhirnya menganggukkan kepalanya juga. Kini
Raja Racun Pencabut Nyawa mengalihkan pandangannya pada Ki Wanayasa.
“Ki Wanayasa....” Sapa Raja
Racun Pencabut Nyawa pelan. Seulas senyum licik tersungging di bibirnya.
“Tidak usah banyak peradatan,
Raja Racun!” selak Ki Wanayasa keras. “Katakan saja apa maumu dan jangan
bertele-tele!”
Seketika wajah Raja Racun
Pencabut Nyawa berubah setelah mendengar teguran kasar itu. Sesaat sepasang
matanya berkilat penuh kemarahan. Tapi itu hanya sebentar saja karena sekejap
kemudian sudah kembali biasa.
“Baiklah Wanayasa. Sungguh
tidak kusangka sama sekali kalau orang terhormat seperti dirimu yang juga Ketua
Perguruan Tangan Sakti ternyata hanya seorang pengecut! Bahkan tidak
segan-segan berdusta untuk menyelamatkan nyawanya!”
“Keparat kau, Raja Racun!”
bentak Ki Wanayasa marah. “Jelaskan apa maksudmu, sebelum aku terpaksa bersikap
yang tidak sepantasnya terhadapmu!” kakek bongkok udang ini memang paling
pantang di katakan pengecut. Maka kemarahannyapun langsung bergolak mendengar
ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa.
Raja Racun Pencabut Nyawa
hanya terkekeh saja mendengar ancaman itu.
“Wanayasa. Hampir semua orang
persilatan tahu kalau Pedang Bintang itu ada padamu. Tapi kini kau
menyangkalnya! Bukankah orang seperti itu pengecut namanya?”
“Raja Racun Pencabut Nyawa dan
kau juga Siluman Tengkorak Putih!” ucap Ki Wanayasa seraya memandang Siluman
Tengkorak Putih sekilas. “Dengarlah baik-baik. Demi kehormatanku selaku Ketua
Perguruan Tangan Sakti, kukatakan pada kalian bahwa Pedang Bintang itu tidak
ada di sini!”
“Kau berdusta, Wanayasa!”
teriak Siluman Tengkorak Putih kalap seraya melangkah maju.
“Tenang Gerda,” Raja Racun
Pencabut Nyawa menyentuh tangan Siluman Tengkorak Putih.
“Dia berdusta, Paman....”
“Dia berkata benar.” Raja
Racun Pencabut Nyawa menggelengkan kepalanya. Dia tahu pasti kalau Ki Wanayasa
tidak berdusta. Seorang seperti dia lebih menghargai kehormatan dari pada
nyawa. Dan diketahui betul hal itu.
“Tapi, Paman ........ ”
Siluman Tengkorak Putih masih penasaran.
“Biar aku yang mengurusnya,
Gerda. Percayalah. Masalah ini pasti akan tuntas!” mendengar jaminan Raja Racun
Pencabut Nyawa, Siluman Tengkorak Putih kembali mundur ke tempatnya. Dia
percaya penuh akan kemampuan orang yang dipanggilnya paman ini. Dia juga tahu
kalau pamannya itu mempunyai berbagai macam tipu muslihat.
“Wanayasa aku mempercayai
keterangan yang kau berikan itu. Aku juga percaya kalau Pedang Bintang itu
memang tidak ada padamu. Tapi itu bukan berarti kalau kau tidak tahu menahu di
mana adanya pedang itu. Bukan begitu Wanayasa?” pancing Raja Racun Pencabut
Nyawa.
Wajah Ki Wanayasa beubah
hebat. Sungguh di luar dugaan kalau Raja Racun Pencabut Nyawa itu sedemikian
cerdiknya. Dan ini membuatnya cemas bukan main.
“Apa urusannya hal itu
denganku?!”
“Katakan saja di mana adanya
Pedang Bintang itu. Maka, kami akan segera pergi dari sini!” desak Raja Racun
Pencabut Nyawa tidak sabar.
“Kalau aku tidak
memberitahukannya?”
“Aku akan memaksamu!”
“Silahkan, Raja Racun,”
tantang Ki Wanayasa sambil tersenyum.
“Keparat!” Raja Racun Pencabut
Nyawa memaki.
“Tunggu, Paman!” Siluman
Tengkorak Putih segera mencekal lengan Raja Racun Pencabut Nyawa yang hendak
menerjang Ki Wanayasa. Raja Racun Pencabut Nyawa menoleh. “Serahkan dia
padaku,” ucapnya lagi.
Raja Racun Pencabut Nyawa
menangkap adanya tekanan pada nada suara itu. Dan ia tahu kalau kali ini
Siluman Tengkorak Putih itu tidak ingin dibantah lagi. Maka dengan berat
kakinya melangkah mundur.
Siluman Tengkorak Putih maju
beberapa tindak.
“Wanayasa, sekali lagi kau
kuberi kesempatan. Katakan di mana Pedang Bintang itu!”
“Jangan harap aku
mengatakannya, bocah!” tegas Ki Wanayasa tajam.
“Keparat! Kalau begitu
mampuslah kau!”
Setelah berkata demikian,
Siluman Tengkorak Putih menerjang Ki Wanayasa. Gerakannya cepat bukan main.
Kedua tangannya yang terbuka lurus dan mengejang kaku menyerang bertubi-tubi
pada pusar, ulu hati dan tenggorokan Ketua Perguruan Tangan Sakti itu. Deru
angin nyaring mengawali tibanya serangan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa yang sudah
mengetahui kecepatan gerak lawannya yang luar biasa ini, memang sudah sejak
tadi bersikap waspada. Maka ketika melihat serangan yang bertubi-tubi mengancam
beberapa bagian yang berbahaya di tubuhnya, dia tidak menjadi gugup.
Cepat-cepat ditarik mundur kaki kirinya ke kanan belakang. Sehingga
serangan-serangan Siluman Tengkorak Putih itu lewat beberapa rambut di depan
tubuhnya.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Ki Wanayasa. Saat ditarik mundur kaki kirinya, kedua tangannya yang
disertai pengerahan ilmu ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’, mencengkeram ke
arah pelipis dan lambung lawan.
Hebat dan berbahaya bukan main
serangan yang dilakukan Ki Wanayasa itu! Apalagi dilakukan dalam jarak yang
demikian dekat. Maka serangan itu menjadi tambah berbahaya saja. Dan
rasa-rasanya tidak ada kesempatan lagi bagi Siluman Tengkorak Putih itu untuk
menangkis atau mengelakkan serangan itu. Begitu tiba-tiba dan mendadak!
“Ah ” desah Raja Racun
Pencabut Nyawa pelan, ketika melihat keadaan berbahaya yang mengancam Siluman
Tengkorak Putih. Bahkan Raja Pisau Terbang diam-diam menarik nafas karena
terlalu tegang.
Hati Siluman Tengkorak
Putihpun sempat terkesiap, melihat serangan yang begitu tiba-tiba itu. Akan
tetapi dengan kecepatan gerak yang luar biasa segera ditarik pulang serangannya
dan cepat-cepat ditangkis serangan Ki Wanayasa. Tangan kiri melindungi pelipis,
sedangkan tangan kanannya menjegal serangan yang menuju ke lambung.
Plak! Plak!
Ki Wanayasa terhuyung tiga
langkah ke belakang akibat benturan dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi itu. Sedangkan Siluman Tengkorak Putih hanya terhuyung satu
langkah. Ki Wanayasa kaget bukan main melihat kenyataan ini. Sungguh tidak
disangka kalau dirinya akan terhuyung sampai tiga langkah.
Bahkan sekujur tangannyapun
dirasakan sakit akibat benturan itu. Dan herannya lawan hanya terhuyung satu
langkah ke belakang! Tidak adakah yang salah dalam hal ini? Bukankah tadi telah
dikerahkan segenap tenaga dalam penyerangannya tadi? Bukankah dia menang posisi
bila dibandingkan dengan Siluman Tengkorak Putih dalam benturan tadi?
Mungkinkah tenaga dalam lawannya ini lebih kuat dari Bargola? Mustahil!
Akan tetapi Ki Wanayasa tidak
dapat berpikir lebih lama lagi. Serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih
menghentikan kesibukan berpikirnya. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dan
kemudian dibalasnya dengan ilmu ‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’. Maka kini
keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang luar biasa.
Akan tetapi tidak sampai lima
belas jurus kemudian terbuktilah Ki Wanayasa bukan tandingan Siluman Tengkorak
Putih. Kakek bongkok udang itu perlahan namun pasti mulai terdesak. Hal inilah
tidaklah aneh karena memang Ketua Perguruan Tangan Sakti ini kalah
segala-galanya dibanding lawannya. Dapat dipastikan kalau tak lama lagi Ki
Wanayasa akan rubuh di tangan lawannya yang luar biasa itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan
dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Gerda! Hentikan!” teriaknya
keras.
“Tidak, Paman. Aku tidak akan
berhenti sebelum membunuh tua bangka keparat ini!” bentak Siluman Tengkorak
Putih yang memang bernama asli Gerda dengan suara keras pula. Bahkan dia terus
menhujani lawan dengan serangan-serangan yang mematikan.
Raja Pisau Terbang segera
bersiap melihat sikap Raja Racun Pencabut Nyawa yang aneh ini. Akan tetapi
tidak terlihat tanda-tanda kalau tokoh itu akan bertindak curang.
“Hentikan, Gerda! Cepat! Aku
sudah tahu di mana Pedang Bintang itu!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa lagi.
Mendengar ucapan itu lagsung
Siluman Tengkorak Putih menghentikan desakannya pada Ki Wanayasa. Tubuhnya
melenting cepat ke belakang meninggalkan lawannya. Akan tetapi Ki Wanayasa yang
sudah mencium adanya bahaya yang mengancam tempat Pedang Bintang berada tidak
membiarkan lawannya.
Cepat-cepat dia melompat
mengejar.
“Adi Kirin tolong cegah Raja
Racun itu pergi!” teriak Ki Wanayasa sambil terus mengejar.
Raja Pisau Terbang yang telah
melihat Ki Wanayasa tengah berusaha menghalangi kepergian Siluman Tengkorak
Putih, segera bergerak ke arah Raja Racun Pencabut Nyawa begitu mendengar
teriakan rekannya itu.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang
juga mendengar teriakan tadi juga tahu kalau sampai berhadapan si Raja Pisau
Terbang, kemungkinan untuk dapat lolos sangat kecil. Buru-buru dirogoh balik
bajunya untuk mengambil sebuah benda bulat sebesar telur bebek. Tanpa ragu-ragu
lagi benda itu dilemparkan ke arah Raja Pisau Terbang yang tengah bergerak mengejar.
Tentu saja Raja Pisau Terbang
yang telah tahu betapa telengasnya Raja Racun itu dengan permainan
racunnya,tidak berani bertindak ceroboh. Segera dilempar tubuhnya ke belakang
dan bersalto beberapa kali di udara menjauhi benda bulat itu.
Blarrr !
Terdengar ledakan keras begitu
benda bulat itu menyentuh tanah. Asap yang berwarna hitampun menyebar
mengahalangi pandangan.
Sedangkan Siluman Tengkorak
Putih yang tengah dikejar Ki Wanayasa rupanya menjadi tidak sabar juga. Sambil
terus bersalto ke belakang dikirimkan serangan jarak jauh. Seketika angin keras
yang berabu amis keluar dari tangan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa segera tahu kalau
pukulan jarak jauh itu di samping mengandung tenaga dalam kuat, juga mengandung
racun amat jahat. Maka dia tidak bertindak gegabah lalu buru-buru melompat ke
samping. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah menghindari pukulan itu.
Kesempatan itupun digunakan
Gerda atau Siluman Tengkorak Putih untuk meloloskan diri dari kejaran Ki
Wanayasa.
****
Setelah sama-sama gagal dalam
mengejar Raja Racun Pencabut Nyawa dan Siluman Tengkorak Putih, Ki Wanayasa
hanya menatap kepergian Siluman Tengkorak Putih diiringi sinar mata cemas. Ia
tahu kalau Raja Racun Pencabut Nyawa tidak main-main dengan ucapannya yang
mengatakan telah mengetahui tempat Pedang Bintang itu berada.
“Betulkah apa yang dikatakan
Raja Racun itu, Kakang?” tanya Raja Pisau Terbang yang tahu-tahu sudah berada
di sampingnya.
Ki Wanayasa menghela napas
berat sebelum menjawab pertanyaan itu. “Kemungkinan besar memang begitu, Adi”
ucapnya pelan.
“Aku jadi tidak mengerti
Kakang....”
“ Begini, Adi. Beberapa tahun
yang lalu Ki Gering Langit berkunjung ke tempat ini menemuiku. Kami
berbincangbincang beberapa lama, sampai akhirnya dia mengajakku bermain sintir.
Padahal telah lama aku berjanji dalam hatiku untuk tidak memainkan permainan
itu. Tapi Ki Gering Langit terus memaksa. Aku menolak, tapi dia terus mendesak.
Bahkan sampai-sampai mempertaruhkan kitabkitab ilmu silatnya.
" Akhirnya aku tidak
tega, lalu mengalah. Dan akhirnya kami bermain. Melalui sebuah permainan yang
lama dan menegangkan akhirnya aku dapat mengalahkannya. Maka iapun memenuhi
janjinya menyerahkan kitab-kitab ilmu silatnya padaku. Tentu saja hal itu
kutolak. Kukatakan padanya kalau aku terpaksa menerima ajakan itu bukan karena
ingin taruhan.
" Tapi ia tetap memaksa.
Katanya janji adalah hutang. Dan ia tak ingin berhutang. Tapi aku berkeras
menolak. Sampai akhirnya kami menemukan jalan tengah yang disepakati bersama.
Kitab-kitab itu dibawa olehnya tapi dia meninggalkan sebilah pedang yang di
dalamnya terdapat petunjuk mengenai tempat kitab-kitab peninggalannya. Pedang
itu bernama Pedang Bintang.”
“Lalu mengapa tadi Kakang
bersikeras mengatakan tidak menyimpannya? Bahkan sampai membawa-bawa kedudukan
untuk menguatkan pernyataan Kakang itu,” selak Raja Pisau Terbang.
“Sabar, Adi Kirin,” ucap Ki
Wanayasa sambil tersenyum. “Aku belum selesai dengan ceritaku.”
Wajah Raja Pisau Terbang
memerah mendengar teguran halus itu.
“Mulanya aku berniat menyerahkan
Pedang Bintang itu pada salah satu seorang murdku. Tapi sayangnya tidak ada
satupun murid-muridku yang memiliki bakat luar biasa. Sampai akhirnya suatu
hari adik seperguruanku yang berjuluk Pendekar Ruyung Maut datang mengunjungiku
bersama anak lelakinya. Anak itu ternyata memiliki bakat yang luar biasa dalam
ilmu silat. Jadi kuberikan saja Pedang Bintang itu padanya.”
“Tapi kenapa Raja Racun
Pencabut Nyawa itu mengatakan bahwa ia tahu di mana adanya Pedang Bintang itu,
Kakang? Apakah itu hanya tipu muslihat saja?”
“Kemungkinan besar yang
dikatakannya benar,” ujar Ki Wanayasa. Kecemasan nampak tergambar di wajahnya.
“Karena dia pernah bertarung mati-matina melawan adik seperguruanku. Dalam
pertarungan itu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Kedua-duanya
samasama terluka.”
“Aku mengerti sekarang,
Kakang.” Tandas Raja Pisau Terbang mulai paham. “Karena pernah bertarung dengan
adik seperguruanmu sampai sekian lamanya, setidaktidaknya ia mengenali
ilmu-ilmu andalan dan mengenal gerakan-gerakannya. Pantaslah, tadi begitu
melihat pertaruganmu dengan Siluman Tengkorak Putih, ia tampak kaget.”
“Benar. Rupanya ia melihat
adanya persamaan jurus yang kugunakan dengan lawannya dulu, Pendekar Ruyung
Maut....” Desah Ki Wanayasa pelan. “Tapi mudah-mudahan saja dia salah duga....”
“Menurutku kemungkinan itu
sangat kecil, Kakang. Raja Racun Pencabut Nyawa itu sudah terkenal
kecerdikannya di samping kelicikannya. Kakang toh telah lihat sendiri
kenyataannya sewaktu dia menyudutkan Kakang dengan pertanyaan yang membuat
Kakang tidak mampu berkelit lagi,” tebak Raja Pisau Terbang seraya
menggelengkan kepalanya.
“Ya,” ucap Ketua Perguruan
Tangan Sakti itu singkat. “Hhh.... Entah siapa tokoh yang tersembunyi di balik
selubung itu....” Raja Pisau
Terbang mengerutkan alisnya. Ki Wanayasa menghela napas. “Akupun tidak habis
pikir, Adi Kirin. Kepandaian siluman itu malah lebih hebat dari Bargola ... !”
“Aku tahu itu. sebetulnya jika
menuruti keinginan hati rasanya ingin kujajal kelihaiannya. Sayangnya aku sudah
jenuh berkelahi terus, Kakang. Aku ke sinipun sebenarnya sekalian ingin
mengucapkan selamat tinggal karena ingin pergi ke tempat yang sepi. Mendidik
Ningrum putri tunggalku.”
Ki Wanayasa termenung. Nampak
jelas kalau kakek ini dilanda kebingungan.
“Memang sudah seharusnya kalau
kita yang sudah tuatua ini menyepi. Biarlah sekarang giliran yang muda-muda
untuk turun tangan. Ah, mudah-mudahan saja adik seperguruanku itu telah
menunaikan amanatku. Kalau tidak....”
“Benar. Kita memang hanya bisa
berharap, Kakang. Sekarang aku pamit, Kang.”
“Silahkan Adi. Terima kasih
atas kunjunganmu.”
Setelah memberi hormat
sebentar, tubuh Raja Pisau Terbang langsung berkelebat. Dalam sekejap saja yang
nampak hanya titik hitam yang semakin lama semakin mengecil untuk kemudian
lenyap sama sekali.
“Haaat ... ! Hup,,,,! Hiyaaaa
... !”
Terdengar teriakan-teriakan
nyaring dari balik sebuah tembok yang mengelilingi sebuah bangunan besar dan
megah.
Teriakan-teriakan itu ternyata
berasal dari mulut seorang pemuda tampan yang tengah berlatih silat. Usianya
sekitar lima belas tahun. Bertubuh tegap dan kekar. Bentuk wajahnya persegi dan
terlihat jantan. Alis matanya tebal dan berbentuk golok menampakkan kekerasan
wajahnya.
“Hiyaaat...!”
Untuk kesekian kalinya pemuda
itu berteriak keras. Belum lagi gema suaranya itu lenyap, tubuhnya sudah
melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, dia melakukan tendangan
sambil memutar tubuhnya.
Wut ... !
Angin keras berhembus
mengiringi tendangan itu. Suatu tanda kalau tendangan itu mengandung tenaga
dalam tinggi.
“Hup!”
Dengan ringan dan indah kedua
kaki pemuda itu menjejak tanah. Tapi baru saja hendak melanjutkan gerakannya,
tiba-tiba....
“Cukup Arya...!”
Suara itu membuat pemuda yang
ternyata bernama Arya Buana menghentikan gerakannya. Dengan ragu-ragu
dipalingkan wajahnya ke arah asal suara itu. Dikenali betul siapa pemilik suara
itu. Sedangkan si pemilik suara itu rupanya mengentahui juga keragu-raguan Arya
Buana.
“Ayah ingin bicara
sebentar...”
Kali ini Arya Buana tidak
ragu-ragu lagi dan segera menghentikan latihannya. Disekanya peluh yang
membasahi leher, dahi dan wajahnya. Tak lama kemudian kakinya melangkah
menghampiri ayahnya.
“Ada apa Ayah?” tanya Arya
Buana sambil menatap wajah laki-laki setengah tua yang masih kelihatan gagah.
Tubuhnya tinggi tegap. Ada sebaris kumis tipis menghiasi bagian atas bibirnya.
Dia adalah Pendekar Ruyung Maut.
“Kita bicara di dalam saja,”
ucap Pendekar Ruyung Maut sambil beranjak ke dalam.
Tanpa banyak cakap, Arya Buana
ikut melangkah masuk menguntit di belakang ayahnya.
“Arya....” Ucap Pendekar
Ruyung Maut itu ketika mereka telah berada di dalam beranda rumah besar itu.
Mereka duduk berhadapan di kursi berukir indah dari kayu jati. “Rasanya ini
adalah hari terakhir pertemuan kita....”
“Maksud Ayah?” tanya Arya
Buana kaget. Sepasang matanya terbelalak.
Pendekar Ruyung Maut menarik
napas dalam-dalam. Nampak jelas kalau ia merasa berat untuk mengatakan apa yang
terkandung dalam benaknya.
“Terpaksa, Arya. Ini terpaksa
harus kulakukan kalau aku masih ingin melihatmu hidup....”
“Jadi maksud Ayah.... Kalau
kita tidak berpisah aku akan mati? Mati oleh siapa, Ayah?” tanya Arya Buana
penasaran.
“Ceritanya cukup panjang Arya”
Pendekar Ruyung Maut menghela napas dalam-dalam seolah-olah ingin melonggarkan
dadanya yang terasa sesak.
“Tak mengapa, Ayah. Aku akan
sabar mendengarkannya....”
“Baiklah kalau begitu,”
Pendekar Ruyung Maut menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Masih
ingatkah kau waktu aku membawamu ke tempat paman gurumu di Gunung Waru?”
“Masih Ayah,” Arya Buana
mengangguk.
“Nah! Sewaktu aku akan pulang,
Paman Gurumu itu memberi Pedang Bintang kepadaku.”
“Pedang Bintang?!” tanya Arya
Buana terkejut.
Memang pemuda itu juga
mendengar akan kerusuhan yang terjadi di dunia persilatan akibat berita
mengenai
pedang itu. Di mana-mana
selalu terjadi keributan dan pembunuhan. Semuanya itu berpokok pangkal dari
Pedang Bintang.
“Ya,” Pendekar Ruyung Maut
mengangguk membenarkan. “Pesannya pedang itu harus kuserahkan padamu....”
“Untukku, Ayah?” lagi-lagi
Arya Buana menyelak cerita ayahnya.
“Benar. Paman gurumu juga
mengatakan kepadaku apa yang tersembunyi di balik pedang itu. Dan semua itu
ternyata sesuai dengan berita yang tersebar di dunia persilatan. Akupun telah
menyelidiki rahasia yang tersembunyi dalam pedang itu....”
“Dan Ayah berhasil?” tanya
Arya Buana penuh rasa ingin tahu.
Pendekar Ruyung Maut tercenung
sebentar sebelum mengangguk ragu-ragu.
“Bisa dikatakan begitu.”
“Maksud ayah?” Arya Buana
mengerutkan keningnya bingung.
“Semua tempat dan petunjuk
yang diberikan telah kutemukan. Tapi tempat terakhir yang menunjukkan di mana
kitab-kitab itu berada belum kudatangi.... Maksudku biar kau sendiri yang
mencarinya.”
Arya Buana
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lalu, mengapa tadi ayah
mengatakan kalau ini adalah hari terakhir kita bertemu? Dan kalau kita tetap
bersamasama aku akan tewas?”
“Arya, kau tentu telah
mendengar akibat yang ditimbulkan berita mengenai Pedang Bintang ini. Pada
mulanya aku masih tidak ambil pusing. Tapi perkembangan terakhir yang kudengar
membuatku kawatir. Entah bagaimana caranya orang-orang persilatan itu akhirnya
mengetahui kalau Pedang Bintang itu berada di Perguruan Tangan Sakti. Lambat
laun merekapun tahu di mana pedang itu kini. Apabila itu terjadi pasti mereka
berbondong-bondong datang ke sini. Dan tidak berani kupastikan apakah aku akan
dapat mengahadapi mereka atau tidak. Apalagi jika yang datang itu datuk-datuk
persilatan. Jangankan aku, walau paman gurumu membantupun tetap tidak akan
dapat membendung mereka.”
“Kalau begitu kenapa kita
tidak pergi saja dari sini, Ayah?” usul Arya Buana.
Pendekar Ruyung Maut menatap
Arya Buana tajam. Wajahnya nampak agak memerah.
“Ucapan apa itu, Arya?! Apakah
kau ingin melihat aku ditertawakan orang-orang persilatan? Mereka pasti bilang,
lihat! Pendekar Ruyung Maut melarikan diri seperti seekor anjing! Tidak, Arya!
Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi dari sini! Aku bukan seorang
pengecut!”
“Akupun bukan seorang
pengecut, Ayah! Aku tidak akan meninggalkan Ayah dan akan tetap di sini, untuk
membantu Ayah menghadapi mereka.”
“Jangan salah mengerti, Arya,”
potong Pendekar Ruyung Maut cepat. “Musuh yang akan kita hadapi tidak sedikit.
Tidak ada gunanya kalau kau berniat menentang mereka. Hanya membuang nyawa
sia-sia saja.”
“Tapi, Ayah....” Arya Buana
coba membantah.
“Kalau aku lain, Arya. Lagi
pula kalau kau ikut tewas bersamaku di sini, siapa yang akan menyelamatkan
Pedang Bintang? Apakah kau tidak merasa sayang kalau pedang ini nanti akan
terjatuh ke tangan orang yang jahat? Bagaimana nanti harus kupertanggung
jawabkan semua ini pada paman gurumu? Apakah kau senang bila nanti paman gurumu
menuding di kuburku sebagai orang yang menyia-nyiakan amanat?”
Arya Buana terdiam. Pertanyaan
ayahnya bertubi-tubi itu membuatnya bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Dan lagi.... Tidak rindukan
kau apda ibumu, Arya? Tidak inginkah kau bertemu dengannya?” tanya Pendekar
Ruyung Maut lagi. Tapi kali ini suaranya bergetar tidak meledak-ledak seperti
tadi.
Kontan Arya Buana tersentak.
Ibunya? Dia tidak rindu kepada ibunya? Dia tidak ingin bertemu ibunya? Ingin
rasanya dia berteriak untuk mengatakan betapa rindunya pada ibunya.
Bertahun-tahun rasa rindunya ini dipendam sejak ibunya pergi meninggalkan
dirinya dan ayahnya. Waktu itu Arya Buana berusia lima tahun sehingga tidak
pernah tahu ibunya pergi meninggalkan mereka.
“Ibu ... Ibu... Ayah?’ tanya
Arya Buana ragu-ragu sambil menatap ayahnya. Nampak dilihatnya wajah laki-laki
setengah baya itu berubah muram.
“Benar. Rasanya perlu
kuberitahukan padamu persoalan yang sebenarnya. Aku takut nanti kau menduga
jelek pada Ibu ataupun Ayah.”
Pemuda remaja itu hanya
menundukkan kepalanya diam tanpa berkata-kata.
“Enam belas tahun yang lalu
aku menikahi seorang gadis yang kemudian menjadi ibumu. Namun sama sekali tidak
kuketahui asal-usul ibumu. Sewaktu kutanyakan dia mengatakan kalau kedua orang
tuanya telah tiada. Yang tinggal hanya kakak laki-lakinya yang saat itu berada
entah di mana. Setelah kau berumur empat tahun baru kuketahui siapa kakak
kandung ibumu. Dan hal ini membuat aku kaget bukan kepalang. Ternyata kakak
ibumu si Raja Racun Pencabut Nyawa, seorang tokoh sesat yang terkenal kejam dan
telengas! Si Raja Racun ini pernah bertarung denganku yang berkesudahan tanpa
pemenang. Rupanya dia masih dendam padaku. Sewaktu kau berumur lima hampir lima
tahun, ia datang lagi hendak menantangku dan hendak membunuhmu. Ibumu tentu
saja menjadi bingung ketika menyadari kalau pertarungan di antara kami tidak dapat
dielakkan lagi. Ia tidak ingin salah satu di antara kami terluka atau tewas.
Akhirnya si Raja Racun mengalah. Ia bersedia membatalkan pertarungan asal ibumu
pergi meninggalkan aku dan dirimu. Ibumu tidak punya pilihan lain, Arya. Jadi,
yahhh.... Itulah yang terjadi.”
Arya Buana tercenung begitu
ayahnya menyelesaikan ceritanya. Pemuda remaja itu masih tetap menundukkan
kepalanya.
“Arya ....”
Perlahan-lahan Arya mengangkat
kapalanya.
“Ini amanat dari paman
gurumu,” ujar Pendekar Ruyung Maut sambil mengulurkan tangannya menyerahkan
Pedang Bintang.
Dengan tangan gemetar, Arya
Buana menerima pedang itu.
“Di dalam gagang pedang itu
ada petunjuk. Pergilah, Arya. Mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa dan
berkumpul lagi bersama. Kau, aku dan .... ibumu.”
Arya Buana memperhatikan
pedang yang kini berada di tangannya itu sejenak. Pada kedua ujung sisi gagang
pedang masing-masing melekar sebuah bintang bersegi lima berwarna keemasan.
Segera dicabutnya gagang pedang itu. memang tepat perkataan ayahnya. Di dalam
gagang itu terdapat segulung kain yang berisikan coretancoretan. Arya
memperhatikannya beberapa saat lalu disimpannya gulungan kain itu. Selanjutnya
dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam warangkanya.
“Aku rasa sudah tiba waktunya
kau harus pergi, Arya” kata ayahnya lagi.
Arya Buana hanya mengangguk.
“Kalau begitu cepatlah!”
setelah berkata begitu Pendekar Ruyung Maut itu bergegas melangkah ke belakang,
diikuti oleh Arya Buana di belakangnya.
Laki-laki setengah baya itu
menghentikan langkahnya di dekat sebuah sumur. Arya yang telah memperhatikan
coretan-coretan pada gulungann kain itu segera mengetahui kalau sumur ini
adalah pintu pertama menuju tempat kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit.
“Inilah pintu pertama itu,
Arya. Di atas permukaan sumur ini kira-kira setengah tombak di atasnya terdapat
sebuah lobang. Dari situlah awal perjalananmu. Cepatlah! Jangan membuang-buang
waktu lagi.”
Arya hanya menganggukkan
kepalanya.
Setelah berpamitan tanpa
ragu-ragu pemuda ini melompat ke dalam sumur itu. Dikerahkan ilmu meringankan
tubuhnya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi di
bawah sana.
Pendekar Ruyung Maut
memperhatikan sejenak, sampai tubuh Arya Buana menyentuh permukaan air sumur.
Baru setelah Arya Buana melambaikan tangan tanda siap, ia berjalan meninggalkan
sumur itu menuju ruangan dalam bangunan besar rumahnya.
******
Malam itu langit kelihatan
cerah. Tidak ada awan yang mengantung di langit. Bulan penuh yang tampak di
langit menambah terangnya suasana.
Tetapi rupanya suasan cerah
tidak menjamin bahwa suasana akan aman. Terbukti di malam ini nampak dua sosok
tubuh berkelebat cepat melompati pagar tembok bangunan milik Pendekar Ruyung
Maut, yang dulunya adalah milik Ki Gering Langit. Gerakan mereka cepat bukan main.
Suatu tanda kalau dua sosok tubuh itu bukanlah orang sembarangan! Dan hal itu
memang tidak salah. Ternyata dua sosok itu adalah Gerda, si Siluman Tengkorak
Putih dan si Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Tribuana! Keluar kau!” teriak
Raja Racun Pencabut Nyawa memanggil nama asli Pendekar Ruyung Maut. Begitu ia
dan Siluman Tengkorak Putih berada di depan pintu bangunan besar itu. Suara
yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat itu, bergema ke
sekitar bangunan besar milik Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut.
Karuan saja suara penggilan
dari luar itu mengagetkan Pendekar Ruyung Maut yang berada di dalam. Apalagi
suara penggilan itu menyebut nama aslinya. Nama yang jarang diketahui orang.
Sepengetahuannya hanya dua orang saja yang tahu nama aslinya. Mereka adalah
kakak seperguruannya, Ki Wanayasa dan istrinya sendiri.
Tetapi menilik dari suara
panggilan itu, Tribuana berani bertaruh kalau suara itu bukan salah satu dari
kedua orang yang dimaksudkan. Lalu siapa?
Pendekar Ruyung Maut melangkah
ke luar. Tidak lupa diselipkan ruyungnya di pinggang. Memang dari nada suaranya
orang yang memanggil itu tidak bermaksud baik.
Begitu pintu dibuka, nampak
sekitar tiga tombak di depannya berdiri dua sosok tubuh. Suasana yang cukup
terang membuat Pendekar Ruyung Maut ini dapat melihat jelas dua sosok tubuh
itu. salah satunya langsung dapat dikenali sebagai si Raja Racun Pencabut
Nyawa. Telah dua kali dia bertemu tokoh ini. iblis itu adalah kakak kandung istrinya.
Dan hal ini membuatnya serba salah. Sulit baginya untuk bertempur melawan si
Raja Racun Pencabut Nyawa ini!
Perhatian Tribuana kini
beralih pada sosok serba putih yang berdiri di samping Raja Racun Pencabut
Nyawa. Dicobanya untuk mengingat-ingat barangkali saja pernah kenal atau
setidaknya mendengar tokoh ini. Tapi sampai lelah mengingat-ingat, tidak juga
dikenali orang itu. meskipun demikian Pendekar Ruyung Maut ini harus bersikap
waspada. Sepasang matanya yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti
maka kucing dalam gelap itu benar-benar membuatnya terkejut. Sebagai seorang
yang telah kenyang dengan pengalaman, Tribuana tahu kalau sorot mata seperti
itu hanya akan muncul pada mata orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi.
“Apa keperluanmu sehingga
Kakang Lindu menemuiku?” tanya Pendekar Ruyung Maut pelan.
Si Raja Racun Pencabut Nyawa
yang ternyata bernama Lindu, mendengus. “Tidak perlu berbasa-basi, Tribuana!
Cepat serahkan Pedang Bintang padaku!”
“Pedang Bintang?!” sahut
Pendekar Ruyung Maut purapu ra.
“Tidak usah pura-pura,
Tribuana! Atau kini kau telah menjadi seorang pengecut sehingga tidak berani
mengakui benda yang ada di tanganmu?!”
Pendekar Ruyung Maut menghela
napas panjang. Ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa membuatnya mati kutu.
“Kuakui, kalau pedang itu
semula ada padaku, Kang Lindu. Tapi sekarang, tidak lagi....”
“Keparat! Lalu, sekarang di
mana pedang itu?!” desak si Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Sayang sekali, Kang Lindu.
Tidak mungkin kuberitahukan padamu!” tegas sekali kata-kata Pendekar Ruyung
Maut itu.
“Menyingkirlah, Paman” selak
Siluman Tengkorak Putih sambil melangkah maju menghampiri Tribuana.
“Jangan gegabah dulu, Gerda.
Akan kuperiksa dulu bangunan ini. Seingatku ia mempunya seorang anak lelaki
yang kini pasti sudah remaja. Aku akan mencari anak itu dulu!”
“Cepatlah, Paman” sahut
Siluman Tengkorak Putih tak sabar.
Raja Racun Pencabut Nyawa
segera melesat ke dalam rumah besar itu, Pendekar Ruyung Maut berusaha
menghadang, tetapi terjangan Siluman Tengkorak Putih membuat niatnya
terhenti.
Kagetlah pendekar ini melihat
kehebatan serangan dan kekuatan tenaga yang tekandung dalam serangan Siluman
Tengkorak Putih. Tanpa ragu-ragu lagi, pem langsung mengerahkan ilmu andalan
‘Delapan Cara Menaklukkan Harimau’.
Tetapi dalam beberapa jurus
saja Pendekar Ruyung Maut sudah terdesak. Pendekar ini memang kalah
segalasegalanya jika dibandingkan lawannya. Baik kecepatan gerak maupun
kekuatan tenaga dalam. Sehingga tidak aneh jika hanya sebentar saja ia sudah
dibuat pontangpanting.
“Hiyaaa ....... !”
Pendekar Ruyung Maut berteriak
keras sambil mencabut senjatanya. Langsung diayunkan ruyungnya itu ke kepala
lawan.
Siluman Tengkorak Putih hanya
mendengus. Tangan kanannya cepat-cepat diangkat melindungi kepalanya.
Takkk !
Pendekar Ruyung Maut
terhuyung. Mulutnya menyeringai. Sekujur tangannya seolah-olah terasa lumpuh
tatkala tangna sosok serba putih itu menangkis ruyungnya. Di saat yang tidak
menguntungkan bagi pendekar itu, totokan ujung kaki Siluman Tengkorak Putih
menyambar cepat ke arah lututnya.
Tukkk ......... !
“Akh !”
Pendekar Ruyung Maut mangeluh.
Sambungan tulang lututnya kontan terlepas. Akibatnya tubuhnyapun sempoyongan.
Dan kini lagi-lagi serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih kembali
menyambar.
“Hugh ......... !”
Kembali Tribuana mengeluh
ketika sebuah tepakan laki-laki berjubah putih itu telak menghantam dadanya.
Ketika pendekar ini terbatuk ada segumpal darah kental keluar dari mulutnya.
Tanpa ampun lagi tubuhnya terbanting ke tanah. Serangan itu memang dahsyat
sekali.
Dan saat itulah si Raja Racun
Pencabut Nyawa keluar dari dalam rumah besar itu.
“Bagaimana, Paman?” tanya
Siluman Tengkorak Putih.
Si Raja Racun Pencabut Nyawa
hanya menggeleng.
“Bagaimana Tribuana?” Siluman
Tengkorak Putih menoleh ke arah Pendekar Ruyung Maut yang masih tergolek di
tanah dengan napas tersenggal-senggal. “Kau ingin menunjukkan ke mana perginya
putramu itu dengan Pedang Bintangnya?”
“Lebih baik aku mati!” tandas
Tribuana.
“Baik, kalau itu yang diinginkan!
Tapi jangan harap akan kubunuh begitu saja! Kau akan kusiksa pelan-pelan!”
ancamnya.
“Jangan harap dapat membuatku
takut, iblis! Cuhhh...!”
“Bangsat!” maki Siluman
Tengkorak Putih.
Seketika kaki Siluman
Tengkorak Putih bergerak menginjak. Kemarahan membuatnya lupa pada ancamannya.
Kakinya dijejakkan pada dada Tribuana sambil menekan kuat-kuat. Terdengar suara
gemeretaknya tulang-tulang yang berpatahan. Darah segar memancur deras dari
mulut, hidung, telinga dan bahkan mata Pendekar Ruyung Maut.
Sejak malam itu maka gemparlah
dunia persilatan. Siluman Tengkorak Putih benar-benar mengamuk. Setiap
perguruan silat yang beraliran putih dihancurkan, tak terkecuali Perguruan
Tangan Sakti. Bahkan Ki Wanayasa telah ditewaskannya! Sementara para tokoh kaum
hitam mulai bersorak gembira. Kini mereka berani melakukan kejahatan dengan
lebih leluasa. Hanya saja si Raja Pisau Terbang dan Bargola belum terdengar
lagi beritanya.
***
Byurrr ... !
Setelah beberapa saat lamanya
melayang di udara tubuh Arya Buana langsung jatuh di permukaan air sumur itu.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi, pemuda itu tidak
menemukan halangan berarti. Beberapa saat tubuh Arya Buana mengapung di
permukaan air. Sepasang matanya nyalang mengamati bagian dinding sumur
mencari-cari lubang yang dikatakan ayahnya. Berkat kegigihannya akhirnya lubang
itu berhasil ditemukan. Persis seperti yang dikatakan ayahnya. Lubang itu
terletak hanya sekitar setengah tombak dari pemukaan air sumur.
Arya Buana menimbang-nimbang
sejenak. Rasanya tidak mungkin dapat mencapai lubang itu dengan melompat. Kalau
di darat jarak seperti itu memang bukanlah apa-apa. Tapi kalau di air
bagaimana hal itu dapat dilakukannya? Kakinya tidak mempunyai landasan yang
cukup mantap untuk tempat menjejak. Kalau ayahnya memang sudah dapat dipastikan
akan melakukan hal itu.
Setelah beerpikir beberapa
saat lamanya, Arya Buana segera berenang ke dinding sumur mendekati lubang itu.
segera diambilnya sebilah pisau kemudian pelan saja ditancapkannya di dinding sumur.
Sesaat kemudian dikeluarkan pula Pedang Bintang dari warangkanya. Baru setelah
itu tubuhnya melenting dan hinggap di atas pisau yang tadi ditancapkannya di
dinding. Pisau itu nampak agak goyah karena Arya Buana hanya menghujamkan
perlahan saja.
“Hup!”
Sambil menekankan pada
landasan, Arya Buana melompat ke atas. Dan ketika tubuhnya berada tepat di
depan lubang yang hanya kecil saja itu. Segera ditancapkan pedangnya sekuat
tenaga.
Crap!
Pedang itu amblas ke dinding
sumur hingga setengahnya lebih. Karuan saja hal ini membuat tubuh Arya Buana
tergantung di depan lubang itu. Sekilas Arya melirik ke bawah, ke tempat ia
menancapkan pisaunya. Mulutnya menyunggingkan senyum lega ketika pisau itu
sudah tidak ada lagi di tempatnya. Memang agar tidak meninggalkan jejak yang
dapat diketahui para pemburu pusaka Ki Gering Langit.
Kini Arya mengalihkan
perhatian pada lubang kecil yang tepat berada di depannya. Lubang itu kelihatan
kecil dan gelap. Garis tengahnya tidak lebih dari setengah tombak. Dengan hanya
mengayunkan tubuhnya sedikit, pemuda remaja itu telah berada di dalam.
Arya Buana memasukkan Pedang
Bintang ke warangkanya kembali. Tubuhnya terpakda merangkak karena sempitnya
lubang untuk masuk lebih ke dalam. Dan ternyata lubang itu tidak datar saja. Arya
Buana merasa kalau arah lubang ini menanjak. Dan ternyata semakin kedalam,
lubang itu semakin membesar. Sampai akhirnya pemuda remaja itu tidak merangkak
lagi bahkan bisa berjalan biasa.
Setelah beberapa lama akhirnya
sampailah Arya Buana pada sebuah ruangan yang cukup luas dan terang seperti ada
cahaya yang menyinarinya. Entah dari mana asal sinar itu dan pemuda itu tidak
mengetahuinya. Apalagi untuk memikirkannya. Tubuh dan pikirannya lelah sekali.
Di sini Arya Buana menjatuhkan tubuhnya kemudian bersandar pada dinding. Untuk
beberapa saat lamanya tubuhnya tetap bersandar tapi sebentar kemudian telah
duduk bersila. Ditegakkannya tubuhnya dan dirapatkan kedua tangannya di depan
dada. Dan kini Arya Buana sudah tenggelam dalam semadinya. Suasana sekitar
tempat itu yang semula hening, kini dipecahkan suara napas yang keluar masuk
dari mulut dan hidung Arya Buana. Suara napas yang berirama tetap.
Setelah dirasakan tenaganya
kembali pulih, Arya Buana menghentikan semadinya. Sebentar diperhatikan ruangan
di sekitarnya. Ruangan ini ternyata mempunyai beberapa buha lorong. Segera
pemuda ini mengeluarkan gulungan kain yang disimpan. Dibuka dan diperhatikannya
petunjuk dan coretan yang ada. Setelah hatinya mantap barulan dipilihnya
lorong sebelah kanan.
Berbeda dengan lorong gua di
atas permukaan sumur, lorong ini lebih nyaman dan enak untuk dijalani. Arya
Buana melewatinya sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Entah berapa lama Arya Buana
menempuh lorong itu sehingga tidak tahu siang atau malam. Yang dilakukannya
hanya terus berlari sampai lelah dan lapar. Baru setelah dirasakan letih dia
beristirahat dan makan. Kini dia harus melanjutkan perjalanan lagi hingga
akhirnya ia melihat berkas sinar di ujung lorong yang tengah dilalui.
Dengan perasaan gembira yang
meluap-luap, Arya Buana segera mempercepat langkah menuju asal sinar itu.
Sekali lihat saja dari jarak
jauh, Arya telah mengetahui kalau sinar itu berasal dari cahaya matahari. Dan
itu berarti di ujung yang berhubungan dengan dunia bebas!
Tak berapa lama kemudian, Arya
Buana telah berada tidak jauh dari sinar itu. setibanya di sini, dugaannya
memang benar. Ujung lorong ini memang berhubungan dengan dunia luar. Hanya saja
lubangnya ditutupi rerimbunan semak belukar sehingga tak terlihat oleh pandangan
orang luar. Dan sinar yang dilihatnya itu memang berasal dari sinar matahari
yang menerobos rerimbunan semak belukar itu.
***
Dengan tangan agak gemetar,
Arya menyibakkan semak belukar itu. untuk sesaat lamanya pemuda itu menundukkan
kepala sambil menutupi kedua matanya dengan tangan kanan. Silau rasanya diterpa
sinar yang telah sekian lama tidak dilihatnya.
Setelah agak terbiasa, barulah
Arya menurunkan tangannya. Dilangkahkan kakinya keluar dari lorong itu setelah
terlebih dahulu merapikan kembali semak belukar yang tadi disibaknya. Kemudian
sepasang matanya memandang berkeliling mengamati sekitarnya.
Untuk beberapa saat lamanya
pemuda itu masih mengamati sekitarnya. Sepasang alisnya yang tebal dan
berbentuk golok nampak berkerut. Rupanya ada yang tengah dipikirkan. Tak lama
kemudian dikeluarkan kembali gulungan kain yang diselipkannya di balik baju di
pinggang. Dibukanya kembali dan diamat-amati lagi coretan-coretan dan
garis-garis yang tertera di situ.
“Hm .... pantas saja tidak
kutemukan. Rupanya ada sesuatu yang kulupakan....” Gumam pemuda itu seperti
untuk dirinya sendiri. “Dari mulut lorong melangkah ke kanan sejauh dua puluh
langkah. Lalu ke kiri sepuluh langkah dan ke depan tiga langkah....”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Arya menyelipkan kembali gulungan kain itu di pinggang. Maka kakinya
mulai melangkah sesuai petunjuk yang tertera di gulungan kain itu. dan kini
tubuh Arya telah berada di depan sebuah pohon berbatang besar dan berongga.
Tanpa ragu-ragu lagi dimasukinya rongga pohon itu.
Baru sekitar lima langkah
melangkahkan kaki di depannya telah terbentang sebuah tangga menuju ke bawah
yang terdapat jalan lurus sekitar sepuluh tombak.
Tak lama ditemukan tangga lagi
yang menuju ke atas. Arya segera menaikinya. Di situ ditemukan lagi jalan yang
berakhir pada sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat dan Arya segera
melangkahkan kakinya. Sampai di sini Arya bimbang. Haruskan dibukanya pintu
itu? Tidakkah perbuatan itu sangat tidak sopan. Karena bagaimanapun juga
diyakini kalau tempat ini mempunyai pemilik.
Selagi Arya dicekam
keragu-raguan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam ruangan
itu.”Mengapa raguragu murid murtad! Ayo masuk! Dan bunuhlah aku! Mengapa hanya
termenung di depan pintu?”
Karuan saja bentakan itu membuat
Arya kebingungan. Siapakah yang dimaksud oleh orang yang membentak di dalam
itu. Diakah? Lalu, kalau betul kenapa dia dimaki sebagai murid murtad? Bukankah
Arya hanya mempunyai seorang guru yakni ayahnya sendiri? Jangan jangan yang
dimaksudkan orang yang di dalam itu adalah dirinya. Kalau bukan lalu siapa?
Berbagai macam pertanyaan dan dugaan berkecamuk di benak Arya.
Beberapa saat lamanya Arya
termenung di depan pintu ruangan itu. Dipertimbangkan apakah lebih baik masuk
atau menunggu saja. Jelas bila melihat coretan dan garis yang tertera di
gulungan kain itu, di ruang itulah tersimpan kitab-kitab Ki Gering Langit. Tapi
apakah sepantasnya jika langsung masuk? Tidakkah sebaiknya meminta ijin dulu
pada pemiliknya? Benar! Ia harus meminta ijin dulu. Dan pemiliknya pasti berada
di dalam.
Kini Arya tidak ragu-ragu
lagi. Segera digerakkan tangannya hendak mengetuk pintu itu. Tapi mendadak
gerakan tangannya terhenti di udara. Ternyata dia menemukan adanya kejanggalan
pada pintu ini! Pintu itu ternyata dikunci dari luar. Berkerut kening Arya
melihat hal ini. Otaknya yang cerdas segera dapat menduga kalau orang yang
melakukan ini bermaksud mengurung sesuatu. Dan suara makian tadi berasal dari
dalam. Jadi itu adalah suara orang yang terkurung!
Kembali hati Arya dilanda
kebimbangan. Haruskah dibuka paksa pintu itu? tidakkah itu berarti telah
bertindak lancang? Siapa tahu kalau seseorang yang terkurung itu adalah tokoh
yang berbahaya. Bukankah itu berarti dia telah berbuat suatu kesalahan? Pemuda
ini memutar otaknya. Diingat-ingatnya lagi ucapan yang tadi keluar dari dalam.
Masih jelas terngiang di telinganya bunyi makian tadi.
Dari bunyi makian itu Arya
segera saja dapat menduga kalau yang terkurung itu adalah seorang guru.
Sementara orang yang mengurungnnya adalah muridnya yang murtad. Lenyaplah kini
keragu-raguan Arya. Ditatapnya pintu itu sejenak. Walau kelihatannya pintu itu
begitu tebal dan kuat, tapi pemuda itu yakin kalau akan mampu menghancurkannya
dengan sekali pukul saja! Hal ini diamdiam membuat Arya agak heran. Ia tahu
seorang tokoh rendahpun akan mampu menghancurkan pintu itu. Tapi kenapa orang
yang berkedudukan sebagai guru itu tidak mampu melakukannya?
Brakkk !
Dengan mengeluarkan suara agak
ribut, pintu itu hancur berkeping-keping. Sejenak Arya mengawasi keadaan di
dalamnya. Segera dilangkahkan kakinya masuk disertai sikap waspada. Begitu
melangkah masuk, Arya sudah menyiapkan ilmu andalannya, ‘Delapan Cara
Menaklukkan Harimau’.
Tapi kewaspadaannya seketika
pupus. Ternyata dia melihat pemandangan yang mengenaskan di hadapannya kini.
Tampak sesosok tubuh kurus tua yang tengah duduk bersila di atas tanah lembab.
Kedua tangannya nampak dililit gelang baja yang masing-masing dihubungkan
dengan rantai. Begitu pula pada sepasang kakinya.
Kakek itu mengangkat wajahnya
menatap Arya. Seketika meremang bulu kuduk pemuda itu. sepasang mata kakek itu
begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan mirip mata seekor kucing dalam
gelap.
Sekali pandang saja Arya sadar
kalau kakek itu pasti memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hanya orang
yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang memiliki sinar mata seperti itu.
hanya saja yang masih menjadi teka-teki bagi Arya mengapa kakek ini tidak
membebaskan diri dari kurungan dan belenggu rantai itu?
Dengan tenaga dalam yang
dimiliki semua belenggu bagaikan permainan anakanak saja!
“Siapa kau, Anak Muda?” tanya
kakek itu pelan. Sepasang mata itupun kembali meredup. “Dan apa hubunganmu
dengan Boma?”
“Boma? Maaf, Kek. Aku tidak
mengenal nama itu,” jawab Arya hati-hati.
“Tidak mengenalnya? Jangan
bohong kau, Anak Muda. Kalau bukan teman atau suruhannya, mana mungkin kau bisa
tiba di sini. Tidak ada seorangpun yang tahu tempat ini kecuali Boma. Bomantara
si murid murtad!” tegas kakek itu.
“Sungguh, Kek. Aku tidak
mengenal orang yang Kakek sebut itu. aku tahu tempat ini secara kebetulan
saja,” bantah Arya.
“Kebetulan?!” kakek itu
tersenyum pahit. Sepasang matanya kini kembali mencorong menatap Arya penuh
selidik. Tapi tiba-tiba saja sepasang mata itu terbelalak.
Arya tentu saja dapat melihat
keterkejutan sorot mata dan wajah kakek itu. segera diikuti arah pandangan
kakek itu. Dan hatinya tersentak ketika ia menyadari kalau yang membuat kakek
itu terkejut adalah benda yang tergantung di punggungnya. Pedang Bintang!
Cepat-cepat Arya berusaha
menyembunyikannya dari pandangan kakek itu, tapi terlambat. Kakek itu rupanya
sudah mengetahui.
“Pedang Bintang....” Desak
kakek itu pelan. “Kakang Gering. Setelah sekian tahun, akhirnya muncul juga
pewaris yang kau sebut-sebut itu.... Ah, rupanya Gusti Allah masih berkenan
mengabulkan permohonanku. Anak Muda, kemarilah ... !”
Ajak kakek itu sambil
melambaikan tangannya. Dengan agak ragu, Arya melangkah mendekat. Kakek itu
rupanya tahu kalau pemuda remaja di hadapannya ini masih curiga padanya.
“Tak perlu takut padaku, Anak
Muda. Aku tidak akan mungkin bisa mencelakaimu. Dulu, memang hampir setiap
orang menyebut namaku dengan perasaan gentar. Tapi sekarang tidak lebih dari
seorang anak bayi!”
Tercekat Arya mendengar ucapan
kakek itu. Dirasakan ada nada kesungguhan dan kegetiran di dalam hatinya.
Keadaan kakek inipun lebih mempertegas ucapannya.
“Bomantara, si murid murtad
itulah yang telah membuatku lemah seperti kakek-kakek jompo,” tutur kakek itu
lagi. “Ahhh.... Aku berdosa! Aku telah menciptakan seorang iblis di dunia
persilatan. Iblis jahat yang tidak akan ada yang sanggup menandinginya....”
“Kek....” Tegur Arya pelan.
Kakek itu menatap Arya
lekat-lekat. “Anak Muda jawab secara jujur pertanyaanku. Dari mana kau dapatkan
Pedang Bintang itu?’
Tanpa ragu-ragu lagi Aryapun
menceritakan semuanya. Dari awal mula kedatangan dia bersama ayahnya ke Gunung
Waru sampai akhirnya terpaksa harus berpisah dengan ayahnya.
“Ah! rupanya kau bukan orang
sembarangan, Arya. Aku kenal siapa itu Ki Wanayasa, paman gurumu maupun
Pendekar Ruyung Maut ayahmu. Mereka adalah orangorang yang senantiasa membela
kebenaran. Pedang Bintang benar-benar jatuh ke tangan yang tepat.”
“Kalau boleh kutahum siapakah
Kakek sebenarnya?’ tanya Arya.
Semula pemuda ini menduga
kakek ini adalah Ki Gering Langit. Tapi setelah kakek ini menyebut Kakang
Gering, barulah dia tahu kalau kakek ini bukanlah tokoh yang dimaksud.
Kakek itu terkekeh pelan.
“Aku? Perlukan itu Arya?”
“Perlu, Kek.”
“Baiklah. Akan kuperkenalkan
diriku. Dulu, dunia persilatan menjuluki diriku Ular Hitam. Tapi sekarang
julukan yang pantas buatku adalah Ular Sakit!”
“Hugh!”
Arya merasakan betapa perutnya
mendadak sakit. Sungguh di luar dugaannya kalau dirinya sampai bertemu datuk
golongan hitam ini.
“Kau tidak usah takut, Arya.
Seperti yang telah kukatkan tadi, sekarang aku telah menjadi seorang yang lemah
seperti bayi.” Tegas kakek yang mengaku berjuluk Ular Hitam, ketika melihat
Arya yang wajahnya mendadak pucat.
Penegasan kakek itu membuat
keberanian Arya timbul. Ya, mengapa harus takut? Kakek ini entah karena
mengapa, kini telah menjadi orang lemah. Dan telah dilihatnya sendiri
kenyataannya. Lagi pula nampaknya kakek itu tidak bermaksud jahat padanya.
Apalagi yang harus dikawatirkan? Maka iapun melangkah maju menghampiri.
“Mengapa bisa begitu, Kek?”
tanya Arya ingin tahu. “Ceritanya cukup panjang, Arya. Kau akan bosan
mendengarkannya.”
“Tidak, Kek.”
“Baiklah.” Ujar Ular Hitam
mengalah.
Sejenak suasana hening,
sementara kakek itu memulai ceritanya.
“Sekitar tujuh belas tahun
yang lalu, aku memungut murid yang bernama Bomantara. Karena kulihat dia
memiliki bakat yang amat baik untuk mempelajari ilmu silat. Kugembleng dia
dengan sungguh-sungguh dan kuwariskan seluruh ilmu yang kumiliki,” sejenak Ular
Hitam terdiam. Sepertinya tengah mencari napas untuk menguatkan perasaannya.
Sementara itu Arya Buana hanya diam penuh perhatian.
“Pada suatu ketika, kakak
kandungku, Ki Gering Langit singgah menjumpaiku. Dia menitipkan kitab-kitab
ilmu silatnya di sini dengan pesan agar diberikan kepada orang yang nanti
membawa Pedang Bintang,” kembali kakek yang berjuluk Ular Hitam ini
menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah Arya Buana dalam-dalam. Sedangkan Arya
Buana tak kuasa untuk membalas tatapan itu.
“Aku meminta pada Ki Gering
Langit untuk menurunkan sebagian dari ilmu-ilmunya kepada Bomantara. Pada
mulanya dia berkeberatan. Tapi karena terus kudesak, akhirnya iapun memberikan
sebuah kitab padaku untuk diberikan pada Bomantara. Sehabis itu iapun pergi.
Tapi sungguh di luar dugaan kalau Bomantara itu ternyata mengkhianatiku.
Bersama-sama Raja Racun Pencabut Nyawa yang sangat membenciku, ia
mencelakaiku.” Sebentar Ular Hitam menghentikan ceritanya, lalu menarik napas
panjang dalam-dalam.
Matanya sedikit berkaca-kaca,
seperti menahan perasaan yang amat dalam.
“Dengan keji mereka menjebakku
untuk meminum racun yang membuatku jadi orang lemah selamanya. Racun itu akan
menyerangku apabila mengerahkan sedikit saja tenaga dalam. Serangan yang begitu
menyiksa. Itulah sebabnya mengapa aku tidak mampu membuka rantai ini dan pintu
yang terkunci dari luar iu. Karena begitu kumulai menyalurkan tenaga dalam,
racun itupun langsung menyerangku.”
Arya tercenung begitu kakek
itu telah menyelesaikan ceritanya. Sungguh tidak diduga begitu pahitnya
kenyataan yang dihadapi si Ular Hitam. Dikhianati muridnya sendiri!
“Dengan tingkat kepandaiannya
yang sekarang, dapat kupastikan tidak ada satupun tokoh yang sanggup
menghadapinya. Tak terkecuali para datuk persilatan. Kecuali kakak kandungku,
Ki Gering Langit! Tapi mana mau ia turun tangan menghadapi seorang anak ingusan
macam Bomantara! Maka jelas sudah murid murtad itu akan mengacau dunia
persilatan tanpa ada yang bisa menghalangi. Ia telah mewarisi seluruh
kepandaianku dengan sempurna. Demikian pula seluruh ilmu Raja Racun Pencabut
Nyawa. Dan yang lebih gila lagi, diapun telah menerima ilmu-ilmu Ki Gering
Langit yang membuatnya memiliki tenaga dalam luar biasa. Lengkaplah sudah
kepandaian yang dimilikinya. Kecepatan gerak diwarisi dariku. Kekuatan tenaga
dalam dari Ki Gering Langit. Dan pengetahuan racun dari Raja Racun Pencabut
Nyawa!” Ular Hitam berhenti sebentar, seperti ingin mengambil napas.
Dadanya memang terasa sesak
jika mengingat-ingat pengkhianatan bekas muridnya, Bomantara.
“Bomantara akan menjelma jadi
iblis yang tidak terlawan! Dan semua ini akibat salahku yang tidak bisa
menangkap hati orang. Hhh ! Bertahun-tahun aku mohon pada Gusti Allah agar
segera mengirimkan orang yang menurut kakakku akan membawa Pedang Bintang. Waktu
itu aku sudah hampir putus asa menunggunya. Sungguh tidak kusangka kalau Gusti
Allah akhirnya mengabulkan permohonanku dengan mengutusmu ke sini, Arya” jelas
Ular Hitam lagi.
“Maafkan saya, Kek.”
Setelah berkata demikian, Arya
membungkuk memberi hormat. Kemudian dijulurkan tangannya untuk meraih belenggu
di tangan Ular Hitam. Sekali Arya mengerahkan tenaganya, maka seketika
gelang-gelang baja dan rantai-rantai yang membelenggu tangan dan kaki Ular
Hitam patah-patah.
“Ah! Terima kasih, Arya.” Ucap
Ular Hitam pelan sambil bangkit berdiri. Kemudian dia melangkah menuju ke sudut
ruangan, sementara Arya hanya memperhatikannya saja.
“Hm. Ada apa, Arya?” tanya
Ular Hitam tanpa mengehentikan langkahnya.
“Apakah racun yang mengeram di
tubuh Kakek tidak bisa dikeluarkan?”
Langkah Ular Hitam terhenti.
Perlahan-lahan kepalanya menoleh ke belakang, menatap Arya lekat-lekat.
“Tidak. Tapi memang dapat
disembuhkan. Kakang Gering Langit pernah mengajarkan padaku sebuah semadi untuk
mengusir racun yang mengeram dalam tubuh. Memang dibutuhkan waktu yang panjang
untuk dapat sembuh total. Tapi hanya itulah jalan satu-satunya. Racun yang
dimasukkan dalam tubuhku memang racun ganas Arya.”
Kembali Kakek itu melangkahkan
kakinya kembali. Dan sesampai di sudut ruangan itu dia memanggil Arya. Pemuda
itu bergegas menghampirinya.
“Bongkar lantai ini!”
Tanpa banyak tanya, Arya
mengayunkan tangannya ke arah lantai yang ditunjuk Ular Hitam.
Brakkk ... !
Seketika lantai itu ambrol.
Tampak di balik lantai itu terdapat sebuah lubang berbentuk persegi. Dalamnya
tak lebih dari satu hasta. Dan di dasar lubang itu terlihat sebuah peti kecil
berwarna hitam mengkilat.
“Ambil peti itu, Arya.”
Perintah kakek yang berjuluk Ular Hitam itu lagi.
Aryapun segera mengulurkan
tangannya dan mengambil peti itu lalu memberikannya pada Ular Hitam. Sebentar
kemudian kakek itu segera membukanya. Nampak dua buah kitab yang berwarna
kekuningan di dalamnya. Ular Hitam mengambil kitab itu lalu melihatlihatnya
sejenak. Baru setelah itu diberikan pada Arya.
“Milikmu, Arya.” Ucap Ular
Hitam pelan.
Arya segera menerimanya. Pada
bagian muka kitab yang pertama nampak tertera huruf-huruf berbunyi
TENAGA DALAM INTI MATAHARI.
Sedangkan pada buku yang kedua
tertulis kalimat yang berbunyi
ILMU BELALANG SAKTI.
Mulai saat itulah Arya
berlatih mempelajari kedua ilmu yang diwariskan Ki Gering Langit, di bawah
bimbingan Ular Hitam. Sementara kakek itupun tak kalah sibuknya. Hampir pada
setiap kesempatan waktu yang senggang, ia bersemadi untuk mengusir racun yang
mengeram di tubuhnya.
Dengan semangat meluap-luap,
Arya mulai membuka halaman pertama Kitab Tenaga Dalam Inti Matahari. Memang
Ular Hitam menyuruhnya mempelajari kitab itu dulu. Baru setelah memiliki Tenaga
Inti Matahari yang cukup kuat, ia boleh mempelajari ‘Ilmu Belalang Sakti’.
Muridku Untuk memiliki tenaga
dalam, yang tidak boleh dilupakan adalah tekanan gambaran dari pikiranmu pada
batinmu. Saat bersemadi, tariklah napas dalam-dalam disertai penekanan alam
bawah sadarmu.
Bayangkan bahwa tengah menarik
kekuatan matahari yang masuk melalui lubang hidungmu dan terus turun hingga ke
pusar. Sesampainya di sana putarkan ‘kekuatan’ yang kau tarik itu mengelilingi
pusar, lalu naik ke atas dan buang kembali. Itulah yang harus kau camkan
muridku
Dengan tekun dan
sungguh-sungguh, Aryapun mengikuti petunjuk itu. tidak hanya pelajaran semadi
saja yang terdapat di kitab itu. Sikap kuda-kuda dan pernapasan juga diajarkan.
Pada minggu-minggu pertama,
tidak ada hal-hal aneh dirasakan Arya, selain hawa hangat yang senantiasa
berputar di pusarnya. Tapi pada minggu-minggu selanjutnya. Arya mulai
merasakan hal lain yang diterima nya. Setiap pagi sehabis bangun tidur, sekujur
tubunya terasa panas sekali. Bukan hanya itu saja. Rasa haus yang amat sangat
selalu menderanya. Bahkan kulitnyapun mulai mengering.
Ular Hitampun mengetahui apa
yang dialami Arya. Dan dia tahu betul kalau hal itu karena pemuda itu belum
bisa mengendalikan tenaga itu. Dia juga tahu kalau hal itu paling lama hanya
berlangsung sebulan. Jika Arya mengalami demikian itu hanyalah suatu proses.
Maka Ular Hitampun membiarkannya saja. Dan memang, kejadian yang dialami Arya
itu hanya berlangsung tiga minggu. Dan setelah itu semuanya kembali seperti
biasa.
Setahun kemudian. Arya baru
diperkenankan mempelajari kitab ‘Ilmu Belalang Sakti’. Ilmu itu ternyata
terdiri dari dua jurus, jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus ‘Belalang
Mabuk’.
Setelah sampai pada kitab
pelajaran ilmu ini, Arya mulai menjumpai kesultian. Dan sebelumnya hal ini
sudah dikatakan Ular Hitam yang telah mempunyai banyak pengalaman. Setelah
memperhatikan kedua jurus itu, dia segera tahu kalau Arya tidak akan dapat
menguasainya dengan baik. Jurus itu harus dilakukan dalam keadaan tidak sadar!
Terutama sekali jurus ‘Belalang Mabuk’! Bila ingin menguasai dengan baik dan
memainkannya dengan sempurna, Arya harus mabuk!
“Arya....” Sapa Ular Hitam
pada suatu pagi ketika Arya tengah berlatih kedua ilmu itu. di tangan kakek itu
tergenggam sebuah guci dari perak.
“Ya, Kek.” Pemuda itu langsung
menghentikan latihannya.
“Aku sungguh tidak habis
pikir, kenapa Kakang Gering memberikan ilmu itu padamu. Dan bila ingin
memainkannya dengan baik kau harus mau tidak mau bergantung pada arak. Tapi
yang jelas dia telah matang memikirkan semua itu. buktinya sebelum pergi dia
telah menitipkan guci arak ini padaku untuk diberikan pada orang yang membawa
Pedang Bintang.”
Setelah berkata demikian kakek
itu lalu memberikan guci arak tersebut pada Arya.
Pemuda itu lalu mengulurkan
tangannya menerima guci itu. Diperhatikannya sejenak kemudian
ditimangtimangnya.
“Coba mainkalah kedua ilmu itu
dengan guci ini Arya,” perintah Ular Hitam.
“Baik, Kek.” Arya
menganggukkan kepalanya kemudian bergerak menjahui Ular Hitam. Dan mulailah
dimainkan kedua ilmu yang telah cukup dikuasainya dengan menggunakan guci.
Diam-diam Arya merasa kaget.
Dengan adanya guci di tangan, gerakannya jadi lebih hidup. Sesekali kedua
tangannya memeluk guci itu. Sedangkan tubuhnya meliukliuk aneh. Di lain saat
ia menyerang dengan menggunakan guci itu.
Ular Hitam mengangguk-angguk
puas.
“Cukup, Arya!”
Pemuda itu menghentikan
latihannya. Disusut peluh yang membasahi leher dan dahinya sebelum menghampiri
kakek itu.
“Satu hal yang luar biasa pada
guci ini, Arya.” Ucap kakek itu lagi. “Guci ini bukanlah guci sembarangan dan
merupakan guci pusaka. Ia tidak akan hancur oleh apapun. Baik oleh senjata
maupun oleh pukulan yang mengandung tenaga dalam.”
“Oh! Benarkah itu, Kek?’ tanya
Arya setengah tidak percaya.
Kakek itu menganggukkan kepalanya.
“Ya. Aku sendiri telah
membuktikannya. Dulu guci ini pernah kupukul dengan pengerahan seluruh tenaga
dalamku. Hasilnya, nol besar! Jangankan pecah, retakpun tidak!”
“Hebat !” Desah pemuda itu
takjub.
“Dan yang lebih hebat lagi,
guci ini mampu membuat arak yang masuk ke dalamnya menjadi arak keras. Dan ini
menguntungkanmu, Arya. Karena apabila telah menguasai ‘Tenaga Dalam Inti
Matahari’ dan ilmu ‘Belalang Sakti’, berguci-guci arakpun tidak akan mampu
membuatmu mabuk, kecuali arak keras. Tapi dengan keisimewaan guci ini, arak
yang paling ringanpun akan menjadi arak keras. Dan tentu saja langsung akan
membuatmu mabuk.” Urai Ular Hitam panjang lebar.
Arya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
***
Waktu berlalu tak terasa.
Kadang seperti merayap lambat bagai langkah seekor siput. Tapi kadang pula
seperti melesat laksana kelebatan anak panah. Tak terasa sudah lima tahun Arya
berada di tempat si Ular Hitam berada, untuk berlatih ilmu-ilmu yang diwariskan
Ki Gering Langit.
Kini Arya telah menjelma menjadi
seorang pemuda yang tegap dan berdada bidang.bentuk wajahnya yang memang sudah
terlihat jantan semakin bertambah jantan karena rahangnya yang kokoh. Rambutnya
yang dulu berwarna hitam, sekarang berubah menjadi putih keperakan. Mungkin
karena pengaruh ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’ dan ilmu ‘Belalang Sakti’. Usia
Arya kini dua puluh tahun.
“Arya,” tegur Ular Hitam pagi
itu. Wajah kakek ini yang dulu agak gelap, sudah bersih lagi. Suatu tanda kalau
racun yang berada di tubuhnya sudha lenyap.
“Ya, Kek.” Jawab Arya yang
tetap memanggil Ular Hitam seperti itu karena memang kakek itu tidak mau
dipanggil guru.
“Kakek rasa sudah cukup
rasanya kau menggembleng diri. Sudah tiba saatnya bagimu untuk mengamalkan apa
yang dipelajari di sini untuk kepentingan orang banyak. Kakek kini telah lega
melepasmu pergi. Besok kau boleh meninggalkan tempat ini....”
“Tapi, Kek....” Arya mencoba
membantah.
“Tidak ada tapi-tapian lagi,
Arya!” tegas Ular Hitam. “Ingat, kau banyak mempunyai tugas yang harus
diselesaikan. Mencari Bomantara, ibumu juga ayahmu. Dan juga kalau aku tidak
salah, Kakang Gering memberimu tugas pula, bukan?”
“Benar, Kek” Arya mengangguk.
“Nah! Kalau begitu, apalagi
yang memberatkanmu meninggalkan tempat ini?”
“Aku tidak tega meninggalkan
Kakek....” Lirih suara Arya.
“Ha..ha..ha ... !” Ular Hitam
tertawa terbahak-bahak. “Kau ini aneh, Arya. Sekarang kekuatanku telah pulih
seperti Ular Hitam yang dulu. Apa yang dikawatirkan? Sudahlah Arya. Pokoknya
besok kau harus meninggalkan tempat ini. Seorang pendekar tidak akan
mementingkan diri sendiri, Arya. Tapi orang banyak!”
Setelah berkata demikian, Ular
Hitam melangkah pergi meninggalkan Arya yang hanya termenung memandangi
punggung kakek itu hingga lenyap di kajauhan. Sama sekali pemuda itu tidak mengetahui
kalau pipi kakek itu basah!
Pagi-pagi sekali Arya telah
berangkat meninggalkan tempat itu. Di punggung pemuda itu bertengger guci arak
terbuat dari perak pemberian Ki Gering Langit. Sedangkan Pedang Bintang sengaja
ditinggalkan di tempat kediaman Ular Hitam. Senjata itu memang tidak diperlukan
lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu melangkahkan kakinya penuh semangat.
Tujuannya yang pertama kali adalah mencari ayahnya. Dia juga ingin tahu apa
yang terjadi terhadap ayahnya sejak ia meninggalkannya lima tahun lalu. Apakah
yang dikawatikrna oleh ayahnya itu akan terjadi?
Beberapa hari kemudian
sampailah pemuda itu di mulut sebuah desa. Maka dipercepat langkah kakinya.
Perutnya kini terasa lapar bukan main. Hanya satu yang diinginkan. Makan!
Akan tetapi, Arya mengerutkan
keningnya melihat suasana desa itu yang lenggang. Semua pintu dan jendela
nempak tertutup rapat.
“Ada apa ini?” tanya Arya
dalam hati sambil mengamatamati sekelilingnya.
Singggg ... !
Arya terkejut mendengar
desingan benda tajam yang menuju ke arahnya. Dari suaranya pemuda ini sudah
bisa memperkirakan benda tajam yang terlontar itu adalah pisau. Maka dibiarkan
saja senjata gelap itu mengenainya. Pemuda ini tahu dengan tingkat tenaga dalam
yang dimilikinya sekarang ini, serangan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Takkk!
Dengan telak senjata gelap itu
menghantam tubuhnya, dan langsung runtuh ke tanah! Seolah-olah yang dihantamnya
bukanlah tubuh manusia, melainkan gumpalan baja!
Begitu serangan pisau itu
kandas, tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki berlarian menuju ke arah
Arya. Pemuda ini kontan menoleh. Tampak puluhan orang menyerbu ke arahnya. Di
tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata seperti pisau, golok, kapak,
pacul dan sekop!
Melihat pakaian dan senjata
yang digunakan, Arya segera saja dapat menduga kalau mereka itu adalah penduduk
desa ini. hanya saja yang masih menjadi tanda tanya besar mengapa para penduduk
itu tiba-tiba menyerangnya?
“Tahan !” Teriak Arya keras.
Akan tetapi para penduduk yang
tengah marah itu tidak memperdulikan teriakan Arya. Mereka terus saja maju
menerjang.
Arya segera menyadari kalau
saat ini terjadi kesalah pahaman antara dirinya dengan mereka. Maka ia tidak
akan bersikap keras. Setiap serangan yang datang, pemuda itu hanya berusaha
menghindar saja. Apalagi setelah melihat serangan mereka. Pemuda ini tahu kalau
penyerangnya kebanyakan tidak menguasai ilmu silat.
Arya hanya menggunakan jurus
‘Delapan Langakah Belalang’ saja yang mempunyai kegunaan untuk mengelakkan
serangan lawan. Dengan langkah sempoyongan dan gerak tubuh meliuk-liuk,
dielakkan semua serangan itu sekaligus dirampasnya senjata para pengeroyoknya.
Hanya sekejap saja Arya telah
membuat senjata para pengeroyoknya berpindah tangan. Sebagian di pegang
sebagian lagi berserakan di tanah.
Karuan saja hal itu membuat
para pengeroyoknya terbengong-bengong. Tapi hanya sebentar saja, karena di lain
saat mereka sudah menyerbu kembali dengan tangan kosong. Itu setelah terdengar
perintah dari orang yang paling depan yang berusia setengah baya dan berkumis
tebal.
Kini Arya tahu. Maka mau tidak
mau mereka harus segera dirubuhkan. Namun demikian tetap saja pemuda itu tidak
ingin melukainya. Digerak-gerakkan tangannya perlahan saja dan dikerahkan
sebagian kecil dari tenaganya.
Akibatnya hebat sekali! Dari
keduda tangan Arya keluar angin keras berhawa hangat. Sehingga para pengeroyok
itu terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah kecuali si kumis tebal
itu. Dia hanya terhuyung-huyung ke belakang.
“Tahan !” Bentak Arya keras
begitu dilihat para pengeroyoknya itu masih ingin bangkit dan menyerang lagi.
Sengaja Arya mengerahkan tenaga dalam waktu berteriak sehingga membuat mereka
tertegun.
“Mengapa kisanak semua
menyerangku? Apa salahku?” tanya Arya penasaran.
Si kumis tebal tersenyum
mengejek. Diperhatikan sebentar pemuda berpakaian ungu di hadapannya.
“Tidak usah pura-pura, Anak
Muda. Bukankah kau utusan si Harimau Mata Satu untuk mematai-matai kami?”
“Ah! Kisanak salah paham. Aku
bukanlah utusan si Harimau Mata Satu. Aku Arya yang kebetulan lewat sini.”
Si kumis tebal meragu sejenak.
“Bisa kupercaya kata-katamu,
Anak Muda?’
“Kalau aku utusan si Harimau
Mata Satu, apakah kisanak semua masih selamat?” kilah Arya sambil tersenyum.
“Hm.... Benar juga ya?” si
kumis tebal mengangguk. Pertanyaan itu seperti ditujukan untuk dirinya sendiri.
“Aku juga tidak percaya kalau utusan si keparat itu bisa sehebat ini.”
“Syukurlah kalau kisanak
percaya....” Desah Arya lega. “Oh ya.... Kalau boleh tahu siapakah si Harimau
Mata Satu itu?’
“Jadi, Nak....”
“Arya” potong pemuda itu
memperkenalkan namanya. “Arya Buana. Panggil saja Arya. Dan kalau boleh tahu
kisanak siapa?”
“Aku kepala desa di sini.
Panggil saja Ki Pandu. Jadi, kau benar-benar tidak mengenal Harimau Mata Satu?”
tanya laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Pandu tidak percaya.
“Tidak. Mendengar namanya saja
baru kali ini, Ki” jawab pemuda itu polos.
“Ah, rasanya mustahil! Orang
sesakti Nak Arya ini tidak pernah mendengar namanya. Si Harimau Mata Satu terkenal
sekali. Dia adalah pemimpin gerombolan perampok yang amat kejam. Biasanya hanya
beroperasi di hutan. Dia waktu itu tidak berani menyerbu desa-desa karena masih
banyak perguruan silat yang beraliran lurus dan pendekarpendekar pembela
kebenaran. Tapi kini sejak Siluman Tengkorak Putih muncul untuk menghancurkan
perguruanperguruan silat dan membunuh para pendekar, si Harimau Mata Satu
berani meninggalkan sarangnya. Desa demi desa mereka datangi. Bagi desa yang
tidak bersedia tunduk tidak segan-segan untuk dibumihanguskannya. Kemarin desa
kami kedatangan utusan mereka yang meminta agar takluk. Setiap musim panen,
kami diwajibkan membayar upeti. Bahkan setiap minggu minta disediakan dua orang
gadis cantik. Pokoknya banyak lagi permintaan yang tidak masuk akal. Dengan
tegas semua itu kutolak mentah-mentah. Kami lebih suka mati terhormat ketimbang
hidup tapi terhina! Jadi itu sebabnya mengapa kami tadi menyerangmu, Arya. Kami
pikir kau adalah matamata mereka yang ingin mengetahui kekuatan kami.”
Arya mengangguk-angguk maklum.
“Ki Pandu...! Ki Pandu...!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang yang tergopoh-gopoh. Seketika
kepala desa yang berkumis tebal itu menoleh ke arah asal suara.
Nampak seorang laki-laki
berlari-lari menghampiri. “Ada apa, Surya?” tanya Ki Pandu.
“Mereka telah datang, Ki....”
Ucap orang yang dipanggil Surya terengah-engah.
“Gerombolan Harimau Mata Satu
?” tegas Ki Pandu.
“Benar!” jawab Surya singkat.
“Kalau begitu, mari kita
sambut kedatangan mereka!” sahut Ki Pandu.
“Tunggu, Ki!” cegah Arya
begitu melihat Ki Pandu dan para penduduk hendak meninggalkan tempat itu.
“Ada apa, Arya?’ tanya Ki
Pandu sambil menghentikan langkahnya.
“Biarlah aku yang akan
menghadapi mereka....”
“Tapi....” kepala desa itu
masih coba membantah.
“Tegakah, Aki mengorbankan
para penduduk itu?” desak Arya.
“Memang aku tidak tega.
Tapi....”
“Sudahlah, Ki. Nanti kalau aku
tidak mampu menghadapi mereka, baru Ki Pandu dan para penduduk bisa
membantuku!”
Setelah berkata demikian, Arya
segera menginggalkan tempat itu menuju mulut desa. Ki Pandu dan para penduduk
memandangi pemuda berambut putih keperakperakan yang hanya melangkah perlahan
saja. Namun anehnya tubuh pemuda itu sudah berada lebih dari sepuluh tombak di
depan.
“Luar biasa ... !” Puji Ki
Pandu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rasanya kali ini si Harimau Mata
Satu ini harus menghadapi rintangan yang amat berat!”
Ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Arya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu sebentar
saja pemuda itu telah berada di mulut desa. Agak jauh di depan, terlihat debu
mengepul tinggi ke udara. Dari suara berderap yang menggetarkan bumi pemuda ini
tahu gerombolam si Harimau Mata Satu ini berkendaraan kuda. Jumlah mereka tidak
kurang dari tiga puluh orang.
Dalam waktu yang tidak berapa
lama, rombongan orang berkuda itu telah berada dekat mulut desa.
“Hooop ... !”
Orang yang berada paling depan
bertubuh tinggi besar berwajah kasar dan bermata picak sebelah berteriak keras
sambil mengangkat tangannya. Maka serentak rombongan itu hentikan lari kudanya.
“Siapa kau, Anak Muda?! Dan
mengapa menghadang kami?! Menyingkirlah cepat!” bentak si mata picak yang
berjuluk Harimau Mata Satu itu. Dipandangnya Arya yang berdiri menghalangi
jalan dengan mata merah menyala.
“Siapa diriku tidak perlu kau
tahu! Yang jelas aku berdiri di sini untuk membasmi orang-orang semacam kau dan
gerombolanmu itu!” sahut Arya tegas. Kemudian diangkatnya guci arak yang sejak
tadi dipegangnya. Kemudian guci itu dibawanya ke atas mulut lalu diteguknya.
Arya memang berniat mencoba kehebatan ilmu yang selama ini dipelajarinya.
Gluk .... gluk .... gluk ... !
“Keparat! Bentak si Harimau
Mata Satu. “Bunuh tikus kecil ini!” perintah orang bermata picak itu pada anak
buahnya.
Bergegas dua orang anak buanya
melompat turun dari kuda sambil menghunus goloknya. Tanpa bicara apa-apa kedua
orang perampok itu segera menerjang Arya.
Singggg ... ! Singgg ... !
Dua bilah golok itu melayang
deras menyambar leher dan dada Arya. Tapi Arya yang memang telah memutuskan untuk
tidak memberi ampun pada gerombolan perampok itu membiarkan saja serangan dua
batang golok yang datang ke arahnya.
Takkk! Takkk!
Kedua batang golok itu
patah-patah ketika menghantam sasaran. Dan belum lagi kedua orang perampok itu
sadar dari keterkejutannya, kedua tangan Arya yang diiringi jurus ‘Belalang
Mabuk’ telah menghajar mereka.
Bukkkk! Bukkkk!
Tubuh kedua orang perampok itu
terpental jauh seperti diseruduk banteng. Tanpa sempat mengeluh lagi dua orang
itu tewas dengan tulang dada hancur berantakan! Darah langsung mengalir deras
dari mulut, hidung dan matanya. Sekujur tubuh merekapun hangus bagai terbakar!
Mata si Harimau Mata Satu
terbelalak. Untuk sesaat dipandangnya tubuh kedua anak buahnya yang terkapar di
tanah, kemudian beralih pada Arya yang masih meliuk-liuk sempoyongan. Itulah
jurus ‘Belalang Mabuk’!
“Serbu !” Teriak Harimau Mata
Satu keras.
Disadari kalau kepandaian
pemuda berpakaian ungu itu tidak mungkin dapat dihadapi sendiri maka si Harimau
Mata Satu tidak main-main lagi. Rasanya pemuda itu memang harus dihadapi
bersama-sama.
Puluhan orang perampok itu
bergegas melompat turun dari kuda masing-masing dan meluruk menyerbu Arya
dengan senjata terhunus. Puluhan senjata yang beraneka ragam segera
berkelebatan mengancam pemuda itu.
Arya sama sekali tidak
bergerak atau menangkis. Dibiarkan saja hujan bermacam-macam senjata yang
mengancam tubuhnya. Hanya yang mengancam bagianbagian yang berbahaya saja yang
ditangkis atau dielakkan dengan langkah sempoyongan.
Takkk! Takkk!
Senjata-senjata itu terpental
balik ketika mengahantam tubuh maupun tangkisan tangan Arya. Dan sekali pemuda
itu membalas dengan menggerakkan tangannya, nampak sesosok tubuh terlempar
keluar dari gelanggang pertempuran dalam keadaan tewas mengerikan.
Harimau Mata Satu menggeram
murka melihat betapa anak buahnya seperti semut menerjang api. Satu persatu
mereka berguguran di tangan pemuda berambut putih keperak-perakan itu. Dengan
perasaan geram dikeluarkan senjata andalannya, sebuah rantai baja panjang yang
di ujungnya terdapat bola berduri.
“Hiyaaa ... !” sambil
berteriak nyaring, Harimau Mata Satu melompat turun dari kudanya.
Diputar-putarnya rantai berujung bola berduri itu sebentar sebelum diarahkan
pada Arya.
Wuuut ... !
Angin yang keras menderu
mengiringi tibanya serangan boal berduri itu.
Arya yang tengah dikeroyok
puluhan orang perampok itu tidak menjadi gugup melihat sambaran bola berduri
yang menuju ke arah kepalanya. Dengan hanya menundukkan kepalanya sedikit, maka
serangan bola berduri itu hanya mengenai tempat kosong di atas kepalanya.
Betapa kuat tenaga yang terkandung dalam lontaran itu sehingga rambut Arya yang
panjang keperakan dibuat berkibar.
Tidak hanya sampai di situ saa
yang dilakukan Arya. Pemuda itu segera mengulurkan tangan menangkap rantai itu,
lalu menyentakknnya. Harimau Mata Satu kaget bukan main. Sungguh tidak disangka
kalau lawannya ini mampu bergerak secepat itu. sekuat tenaga dicobanya untuk
bertahan dari sentakan itu tapi kalah kuat. Tenaga dalam yang dimiliki Arya
jauh di atasnya. Maka tanpa ampun lagi tubuhnyapun tersentak melayang ke arah
pemuda itu.
Begitu tubuh Harimau Mata Satu
itu berada di udara, Arya langsung menggerakkan rantai yang berhasil
ditangkapnya. Dan dengan sekali sentak bola berduri itu melayang deras menyambut
kedatangan tuannya.
Untuk kesekian kalinya Harimau
Mata Satu terperanjat dan tidak punya pilihan lain lagi. Segea dilepaskan
pegangannya pada rantai, setelah sebelumnya menggunakan rantai itu sebagai
tempat berpijak untuk melenting ke udara.
Tetapi hal itu sudah
diperhitungkan Arya. Cepat pemuda ini menyusulinya dengan menyampok beberapa
batang golok yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya.
Trakkk! Trakkk!
Singgg ... ! Singgg...!
Beberapa batang golok
menyambar deras ke arah Harimau Mata Satu. Kali ini Harimau Mata Satu tidak
mampu lagi mengelak. Hanya tinggal satu jalan baginya untuk menyelamatkan diri
yaitu menangkap golok-golok itu. Dan Harimau Mata Satu terpaksa melakukannya.
Tappp! Cappp! Cappp!
“Akh ... !”
Harimau Mata Satu menjerit keras.
Telapak tangan kanannya yang digunakan untuk menangkap seketika berlumuran
darah. Sedangkan di perutnya tertancap tiga batang golok yang menembus hingga
ke punggung. Harimau Mata Satu gagal menyelamatkan selembar nyawanya. Lontaran
golok-golok itu terlampau deras.
Sehingga walau golok pertama
yang menyambar ke arahnya dapat ditangkap, tapi tenaga pendorong golokitu
terlalu kuat. Akibatnya golok itu terus meluncur deras dan menancap di prut,
setelah melukai tangannya. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu dua batang
golok lainnya menyusul tiba.
Tubuh Harimau Mata Satu
langsung ambruk ke tanah. Sesaat lamanya ia menggeliat-geliat sebelum akhirnya
diam tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.
Tentu saja kematian pemimpin
membuat gerombolan perampok itu menjadi semakin gentar. Sejak tadi hati mereka
memang sudah ciut bukan main melihat kehebatan pemuda itu. Sudah lebih separuh
dari mereka yang tewas di tangan pemuda yang rupanya pemabukan ini.
Berkali-kali sambil menangkis, mengelak ataupun menyerang, pemuda itu meminum
araknya. Sesekali terdengar suara dengikan keluar dari mulut pemuda itu.
Dalam sekejapan saja beberapa
orang perampok itu sudah menyusul temannya ke akhirat. Yang tinggal kini hanya
beberapa gelintir saja. Dan merekapun rupanya sadar kalau terus-terusan melawan
tidak akan ada gunanya. Maka bergegas mereka semua melemparkan senjata
masing-masing kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Arya.
“Ampun.... Ampunkan kami, Tuan
Pendekar.... Kami berjanji tidak akan berbuat jahat lagi,” ujar salah seorang
dari mereka dengan suara gemetar. Ucapan itu disambut anggukan kepala
teman-temannya.
“Orang semacam kalian sudah
selayaknya dilenyapkan dari muka bumi ... !” Arya dengan posisi tidak tetap
sambil sesekali meneguk araknya.
“Benar, Arya!” sambut satu
suara. Disusul munculnya Ki Pandu dan pada penduduk desa itu. Mereka sudah
sejak tadi berada di situ dan melihat semua sepak terjang Arya.
“Ampun, Tuan Pendekar! Jangan
bunuh kami. Kami benar-benar tobat dan berjanji tidak akan berbuat jahat lagi.
Kami akan menjadi orang baik-baik....”
“Masih berlakukah janji janji
bagi orang semacam kalian?”
“Kami berjanji, Tuan
Pendekar....”
“Baiklah. Tapi bila kudengar
kalian berbuat jahat lagi. Aku tak akan mengampuni kalian lagi. Mengerti?!”
“Mengerti, Tuan Pendekar.”
“Kalau begitu, pergilah!
Sebelum aku mengubah keputusanku.” Usir Arya.
“Terima kasih, Tuan Pendekar”
ucap mereka hampir bersamaan. Saking gembiranya dibentur-benturkan dahi mereka
ke tanah.
“Tapi, Arya....” Ki Pandu
mencoba membantah. Dan para penduduk sudah bergerak menghadang para perampok
yang akan meninggalkan tempat itu.
Arya menggoyang-goyangkan
tangannya. “Biarkan mereka pergi.”
Para penduduk itu merasa
ragu-ragu dan langsung menatap Ki Pandu. Ketika kepala desa itupun menganggukkan
kepalanya, maka para penduduk itupun menyingkir membiarkan para permpok itu
pergi. Debu kembali mengepul tinggi ketika beberapa gelintir permpok itu pergi
dari situ sambil membawa kawan-kawan mereka yang tewas.
Selagi semua pandangan mata
tertuju pada para permpok yang kian menjauh, Arya telah melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
“Arya.... Arya...!” Ki Pandu
celingukan mencari-cari begitu teringat pada pemuda itu. “Ah, dia sudah
pergi.... Pendekar aneh. Gerakan-gerakannyapun aneh. Baru kali ini kulihat
orang mabuk bermain silat begitu hebatnya. Hhh.... Kepandaian yang dimilikinya
tak lumrah bagi manusia. Atau jangan jangan dia adalah Dewa yang menyamar
menjadi manusia?”
“Benar, Ki. Aku juga yakin
kalau pemuda itu bukan manusia biasa, melainkan Dewa.” Sambut salah seorang
penduduk.
“Tapi mana ada Dewa yang
begitu doyan arak?” bantah yang lainnya.
“Lho?! Siapa tahu dia... Dewa
Arak,” sahut penduduk yang lainnya membantu yang pertama.
“Ah, tepat sekali.... Tepat
sekali julukan itu. Yahhh.... Dewa Arak. Julukan yang amat cocok buat pemuda
yang berkepandaian luar biasa itu. Dewa Arak. Ya ... !” Tegas Ki Pandu sambil
merenung.
Tak lama kemudian mereka
meninggalkan tempat itu. sepanjang perjalanan yang dipercakapkan hanya tentang
Arya, yang hanya seorang diri telah mampu menghancurkan gerombolan si Harimau
Mata Satu yang selama ini merajalela.
Beberapa hari kemudian, nama
Arya alias si Dewa Arak telah mulai terkenal ke desa-desa sekitar. Seorang
pemuda yang bertubuh kekar berwajah jantan dengan rahang kokoh dan alis tebal.
Tambutnya berwarna putih keperakan dan pakaiannya ungun. Itulah Dewa Arak!
Seorang pendekar yang siap menumpas keangkara murkaan!
***
Dalam waktu yang tak lama,
kehadiran pemuda yang dijuluki orang sebagai Dewa Arak telah menggegerkan rimba
persilatan. Kata orang ciri-ciri dia adalah berambut putih keperakan dan berpakaian
ungu. Sedangkan ciri yang menonjol adalah sebuah guci yang selalu tersampir di
punggung!
Pagi ini udara nampak cerah.
Hanya sedikit awan menggantung di langit. Walaupun udara begitu bersih tak ada
tanda akan hujan namun seorang pemuda bergegas melangkah kakinya. Apalagi
setelah melihat perbatasan Desa Kecipir. Dia adalah Arya Buana yang ingin
segera mengetahui keadaan ayahnya. Pemuda ini kawatir terjadi sesuatu pada
ayahnya. Ucapan Ki Pandu waktu itu telah mengganggu pikirannya. Katanya Siluman
Tengkorak Putih telah mengganas, membunuhi pada pendekar dan menghancurkan
perguruan-perguruan silat yang beraliran putih. Kata-kata itu kembali terngiang
di telinga Arya Buana.
Tetapi sebelum kakinya
mencapai perbatasan desa, sebuah bisikan halus membuat dia harus menghentikan
langkahnya.
“Dik Arya...... "
Arya Buana menoleh ke arah
asal suara. Dan dari balik kerimbunan semak-semak terlihat sebuah kepala
tersembul. Untuk sesaat lamanya alis pemuda berbaju ungu ini berkerut. Rasanya
pernah melihat wajah ini tapi kapan dan di mana, ia lupa.
“Aku Satria..... "
“Ah, Ka...... Kini Arya
teringat di mana pernah bertemu pemuda itu. di mana lagi kalau bukan di
Perguruan Tangan Sakti yang bermarkas di Gunung Waru.
“Dik Arya, seudah demikian
besarnya dirimu. Hampir‑hampir saja aku lupa.”
“Kang Satria bagaimana
kabarmu?” tanya Arya gembira sehingga bersuara agak keras.
“Ssst ... !” Si pemilik suara
yang ternyata adalah Satria itu menempelkan jari telunjuknya di bibir mencegah
Arya bicara keras-keras. Dilambaikan tangannya pada pemuda itu.
Arya menoleh ke kanan dan ke
kiri. Setelah dilihatnya suasana sekitar situ sepi, bergegas dihampirinya
Satria yang hanya berjarak dua tombak darinya.
“Ada apa Kakang Satria?” tanya
Arya dengan suara perlahan.
“Nanti saja kuceritakan.
Sekarang kau ikut aku saja...” ajak Satria.
Arya meragu sejenak. “Sayang
sekali, Kang. Kalau sekarang aku tidak bisa ikut ... aku masih ada urusan.”
Wajah Satria mendadak murung.
“Aku tahu Arya. Kau ingin
menjumpai ayahmu, kan?”
“Syukurlah kalau Kakang sudah
tahu,” desah Arya pelan. Dia memang merasa tidak enak melihat wajah Satria yang
murung begitu menolak ajakannya.
“Lebih baik kau urungkan
niatmu, Arya.”
“Mengapa, Kang?’ Arya
tersentak.
“Karena .... karena ayahmu
.... sudah tidak ada lagi, Arya....” Desah Satria pelan.
“Maksud, Kakang...ayah....
tewas .... ?” tanya Arya dengan wajah pucat pasi.
Satria tidak mampu menjawab
dan hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Tapi anggukkan itu sudah
cukup buat Arya. Tiba-tiba saja pemuda ini berteriak keras. Satria kontan jatuh
terduduk karena dengkulnya mendadak lemas. Cepat dikerahkan tenaga dalamnya
untuk mengusir pengaruh teriakan yang masih tersisa itu.
Dengan mata terbelalak
tampaklah sebatang pohon besar tumbang. Daun-daunnya layu mengering. Pohon itu
rubuh dengan diiringi suara bergemuruh begitu Arya mendorongkan kedua tangannya
ke depan.
“Kubunuh kalian ... ! Kubunuh
... ! Ku... bunuuuuh...!”
Teriak pemuda berambut putih
keperak-perakan itu keras. Sepasang matanya mencorong kehijauan.
Satria memandang pemuda itu
dengan hati bedebar. Apa yang dlihat benar-benar mengejutkan hatinya. Sebuah
pertunjukan yang menggirikan hati!
“Katakan, Kakang... Katakan
siapa yang telah membunuh ayahku?” tanya Arya dengan naas terengah-engah.
“Sabar Arya. Tenangkan dulu
pikiranmu. Aku tidak akan memberitahukan siapa pembunuh ayahmu jika kau masih
diliputi amarah. Biarpun untuk itu aku harus mati di tanganmu!” tegas Satria.
Ucapan itu menyadarkan Arya
dari amarahnya. Pemuda itu mengeluh pelan. Ditutupi mukanya dengan kedua
tangannya. Baru setelah itu ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya
kuat-kuat. Beberapa saat lamanya ia melakukan hal itu. Setelah dirasakan
amarahnya telah mereda ditatapnya Satria dalam-dalam.
Satria tersenyum. “Hebat kau
Arya. Jadi kau telah mendapatkan kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit itu?’
Arya hanya mengangguk.
“Jadi rupanya kaulah yang
dijuluki Dewa Arak itu, Arya?” tanya Satria lebih lanjut.
“Dewa Arak? Aku? Ah, tidak
salahkah apa yang kau ucapkan itu, Kang?” tanya Arya heran. Dia memang tidak
tahu julukan itu. Sebab itu memang pemberian dari orangorang yang pernah
ditolongnya.
“Ciri-ciri yang kau miliki
memang menunjukkan kalau kaulah tokoh yang menggemparkan itu. Tokoh yang berani
menentang kejahatan secara terang-terangan setelah Siluman Tengkorak Putih
merajalela.”
“Ciri-ciri? Apakah ciri-ciri
yang menunjukkan kalau aku adalah Dewa Arak itu, Kakang?”
“Yahhh.... Semua yang ada
padamu itu adalah ciricirinya. Dewa Arak itu masih muda. Wajahnya tampan dan
jantan, rahang nya kokoh rambutnya putih keperak-perakan berpakaian ungu.
Selalu membawa guci arak. Dan kepandaiannya seperti Dewa yang tidak mempan
senjata!”
“Ah, belum tentu aku yang
dimaksud sebagai tokoh itu, Kakang. Aku yakin bukan aku yang dimaksud,” Arya
masih mencoba berkelit.
“Baiklah. Ada satu bukti lagi
yang paling penting. Dan bukti inilah yang dapat menunjukkan benar tidaknya
kalau kau adalah Dewa Arak yang telah menggemparkan itu.” “Apa bukti itu,
Kakang?” tanya Arya penuh gairah. “Kenalkah kau dengan Harimau Mata Satu ?”
“Kenal sih tidak. Tapi memang
akulah yang membinasakan ketika ia hendak membumi hanguskan Desa Jati Alas.”
Satria tertawa penuh
kemenangan. “Kau tahu Arya. Berita yang menyebar itupun menyebutkan demikian.
Harimau Mata Satu dan gerombolannya telah dihancurkan secara mudah oleh seorang
pemuda yang bernama Arya buana dan berjuluk Dewa Arak!”
“Jadi ....jadi....”
“Kau adalah Dewa Arak itu!”
tegas Satria.
Arya termenung. Julukan yang
aneh, pikirnya. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga julukan itu.
“Sudahlah, Kang. Aku tidak
memperdulikan hal itu. Terserah orang akan menjuluki apa. Yang kuinginkan
sekarang adalah jawaban darimu, Kakang. Siapa sebenarnya orang yang membunuh
ayahku. Hanya itu!”
Satria menghela napas seperti
ingin mencari kata-kata yang tepat.
“Baiklah Arya. Semula aku
ingin mengajakmu ke tempat kami. Aku dan tokoh-tokoh persilatan golongan putih
diam-diam telah menyusun kekuatan. Di antara kami ada pula putir si Raja Pisau
Terbang. Tapi karena tidak mempunyai orang yang dapat diandalkan untuk
menghadapi Siluman Tengkorak Putih, kami terpaksa menahan diri. Putri Raja
Pisau Terbang telah meminta ayahnya untuk membantu usaha kami. Mula-mula beliau
menolak karena sudah terlalu tua dan tidak ingin mengotori tangannya dengan
darah lagi. Tapi berkat usaha Ningrum yang tidak kenal putus asa, Raja Pisau
Terbang mengalah juga. Beliau berjanji akan datang hari ini. Dan rencananya
kami akan menyerang markas mereka nanti malam.”
“ Mereka?” alir Arya berkerut.
“ Ya,” jawab Satria singkat.
“ Siapa mereka?’ tanya Arya
lagi.
“ Siluman Tengkorak Putih dan
anak buahnya.”
“ Lalu siapa yang membunuh
ayahku, Kakang?”
“ Siluman Tengkorak Putih”
“ Hm.... Dia rupanya!
Tunggulah pembalasanku keparat!” desis Arya yang berjuluk Dewa Arak dengan
perasaan geram.
“ Arya....” Panggil Satria
ragu-ragu.
“ Ada apa, Kakang.”
“ Kau tidak ingin bergabung
bersama kami? Kita menyerang mereka nanti malam dan sekarang hanya tinggal
menunggu Raja Pisau Terbang.”
“ Maafkan aku, Kakang. Aku
sudah tidak sabar lagi menunggu. Ingin selekasnya aku membuat perhitungan
dengan siluman itu!” tandas Arya.
“ Terserah, kalau itu sudah
menjadi keputusanmu,” ujar Satria sambil mengangkat bahu. “Aku tidak akan
menghalangi. Hanya saja pesanku, berhati-hatilah Arya. Siluman Tengkorak Putih
hebat sekali. Bahkan paman gurumu telah tewas di tangannya....”
“Apa .... ?!” Sepasang mata
Arya terbelalak. Terbayang di benaknya sesosok tubuh tua yang bertubuh bongkok
udang yang amat menyayanginya. “Paman guru.... tewas ....?!”
“Ya .... bukan hanya itu saja.
Si keparat itu telah membantai semua murid Perguruan Tangan Sakti. Beruntung
aku, Mega dan beberapa orang berhasil menyelamatkan diri. Kalau tidak berpikir
untuk membalas dendam mungkin kami labih suka mati bersama-sama mereka....”
Jelas Satria lebih lanjut.
“Siluman Tengkorak Putih....”
Desisi Arya dengan suara ditekan. “Dosamu sudah terlampau banyak. Kau atau aku
yang harus mati!”
“Arya redakan kemarahanmu
supaya kau tak celaka di tangannya. Sebelum guru tewas, Raja Pisau Terbang
mengatakan kalau Siluman Tengkorak Putih itu memiliki ilmu ‘Ular Terbang’. Dan
itu sempat kudengar.”
“Ilmu ‘Ular Terbang’? bukankah
ilmu itu milik Ular Hitam?”
“Benar. Begitu pula yang
diucapkan Raja Pisau Terbang....”
“Bomantara. Pasti! Ya, siluman
itu pasti Bomantara. Tak ada lagi orang yang memiliki ilmu ‘Ular Terbang’,
milik Ular Hitam kecuali dia....”
“Bomantara?” Satria
mengerutkan alisnya. “Bukan, Arya. Bukan Bomantara nama siluman itu. aku ingat
betul karena Raja Racun Pencabut Nyawa berkali-kali memanggil namanya. Dan
bukan Bomantara nama yang dipanggil. Tapi, Gerda! Ya, Gerda.”
Beberapa saat lamanya, Arya
buana termenung. Mana yang benar, Gerda atau Bomantara. Pusing memikirkannya!
Apalagi ketika mendengar nama Raja Racun Pencabut Nyawa disebut-sebut. Ayahnya
mengatakan kalau iblis itu adalah pamannya karena dia adalah kakak kandung
ibunya. Tapi kini dia harus bertentangan dengan pamannya itu. Memang terpaksa.
Bisakah ia bertarung dengan pamannya sendiri?
“Lalu di manakah markas
mereka, Kang?” tanya Arya tak ingin memikirkan masalah itu.
“Di rumahmu yang dulu....”
Sahut Satria mengalah. “Kalau begitu aku pergi dulu, Kang.”
Setelah berkata demikian tanpa
menunggu jawaban Satria tubuh Arya melesat. Sebentar saja yang terlihat hanyalah
titik hitam yang akhirnya lenyap di kejauhan.
8
Beberapa saat lamanya, Arya
buana memperhatikan keadaan rumah tempat tinggalnya dari atas cabag sebuah
pohon. Tampak halaman depan bangunan besar itu sepi. Hanya ada beberapa orang
yang nampak berjaga jaga. Itupun kelihatannya tidak sungguh-sungguh.
“Ah, hari sudah hampir gelap,”
desah Arya dengan perasaan tidak sabar. Matahari memang sudah condong ke barat.
Bercak-bercak kemerahan nampak menyemburat di ujung barat sana.
Pemuda berambut putih keperakan
ini tidak sabar lagi. Cepat dia melompat turun dadri pohon itu dan bergerak
mendekati tembok. Hanya dengan sebuah totolan ujung kaki yang ringan di tanah,
tembok batu itu telah terlompati.
“Hup ... !”
Ringan seperti jatuhnya seekor
kucing, didaratkan kedua kakinya di tanah.
“Siluman Tengkorak Putih!
Keluar kau!” teriak Arya dengan suara keras.
Karuan saja teriakan itu
mengejutkan para penjaga. Langusng saja mereka datang mengurung pemuda berbaju
ungu itu. sementara yang dikurung tenang-tenang saja sambil menenggak araknya.
Gluk .... gluk .... gluk ... !
“Dia pasti Dewa Arak....”
Desah salah seorang dari penjaga itu.
“Yang membasmi gerombolan
Harimau Mata Satu itu?” tanya yang lainnya.
“Benar!” jawab orang itu lagi.
“Hm ... !”
Terdengar suara mendengus dari
mulut Arya buana. Suara dengusan itu menyadarkan para penjaga akan tujuan Dewa
Arak datang ke situ. Apalagi kalau bukan membalas dendam? Bukankah Dewa Arak
itu adalah Arya Buana, anak dari Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut?
Dan kini serempak para penjaga
itu menyerbu Dewa Arak dengan senjata di tangan.
Arya buana yang tahu kalau
nanti akan berhadapan dengan banyak lawan tidak mau bersikap main-main lagi.
Langsung saja dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus ‘Delapan Langkah Belalang’ dan
jurus ‘Belalang Mabuk’. Guci, tangan dan semburan araknya semua ikut ambil
bagian. Sesekali di tengah hujan serangan lawannya, Arya tenang-tenang saja
meminum araknya.
Prakkk! Tukkk! Prattt!
“Akh ... ! Akh .... ! Akh...!
Dalam segebrakan saja tiga
orang penjaga kembali menjadi korban amukan Arya. Yang seorang tewas dengan
kepala pecah terhantam guci arak. Seorang lagi pecah ubun-ubunnya terkena
totokan jari pemuda berambut putih keperakan itu. Sedangkan yang lain lagi
tewas dengan leher berlubang terkena semburan araknya.
Jerit kematian saling susul.
Ke mana Arya bergerak di situ pasti ada lawan yang tewas.
Tak lama kemudian habislah
para pengeroyoknya. Sebuah tawa yang pelan, berat dan bergaung segera
menyambutnya begitu lawannya yang terakhir rubuh.
“Ha... ha.... ha...!”
Arya cepat menoleh ke arah
asal suara tawa itu. Di depannya dalam jarak sekitar tiga tombak berdiri dua
sosok tubuh. Sosok pertama bertubuh pendek tapi kekar, berambut awut-awutan dan
bermata merah. Menilik ciricirinya Arya dapat menduga kalau si pendek kekar
ini adalah kakak ibunya. Dialah Raja Racun Pencabut Nyawa.
Sosok kedua bertubuh tinggi
kurus. Berselubung putih dan berpakaian juga serba putih. Inilah rupanya
Siluman Tengkorak Putih yang menggemparkan itu. dipandanginya tokoh yang
menggemparkan ini penuh perhatian. Dan betapa kagetnya Arya ketika melihat
sorot mata Siluman Tengkorak Putih itu. Sorot mata itu begitu tajam mencorong
dan berdinar kehijauan. Persis mata seekor kucing dalam gelap! .
“Inikah putra Pendekar Ruyung
Maut itu, Paman? Pemuda yang dulu membawa lari Pedang Bintang?” tanya Siluman
Tengkorak Putih pada Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Betul, Gerda,” jawab Raja
Racun itu.
“Kakang Satria benar,” gumam
Arya pelan. nama iblis itu bukan Bomantara melainkan Gerda. Tapi kalau bukan
Bomantara mengapa menguasai ilmu ‘Ular Terbang’?
“Ha ... ha ... ha ... ! hanya
sekian sajakah ilmu yang diterimanya dari Ki Gering Langit? Huh! Kalau dulu
kutahu, tidak akan sudi aku bersusah payah untuk mendapatkannya.”
“Siluman Tengkorak Putih!”
bentak Arya geram. “Kau harus bayar nyawa ayahku!”
Setelah berkata demikian, Arya
segera melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih. Menyadari kelihaian lawan,
sekali menyerang Arya sudah menggunakan ilmu andalannya. Guci di tangannya
menyambar deras ke arah kepala lawannya.
Melihat Arya telah menerjang
Siluman Tengkorak Putih, Raja Racun Pencabut Nyawa segera menghindar dari situ.
Sedangkan Siluman Tengkorak
Putih yang begitu melihat sambaran guci itu segera menundukkan kepalanya.
Untunglah sambaran guci itu lewat bebrapa rambut di atas kepalanya. Malah
pakaian dan selubung yang dikenakan siluman itu sampai berkibar, begitu
sambaran guci itu menyambar tempat kosong. Suatu tanda kalau tenaga yang
mengayunkan guci itu sangat kuat.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Siluman Tengkorak Putih alias gerda ini. secepat ia mengelak secepat
itu pula balas menyerang dengan sodokan tangan bertubi-tubi pada ulu hati dan
leher Arya.
Arya Buana alias Dewa Arak
buru-buru memiringkan kepalanya, maka serangan yang menuju lehernya mengenai
tempat kosong. Sedangkan serangan yang menuju ulu hati ditangkisnya dengan
tangan kiri disertai pengerahan seluruh tenaga.
Plakkk!
Sebuah benturan keras
terdengar. Akibatnya tubuh Siluman Tengkorak Putih terhuyung mundur dua
langkah. Sedangkan tubuh Arya yang berada di udara terlempar ke udara. Namun
dengan manis tubuhnya melenting di udara kemudian laksana seekor kucing kedua
kakinya hinggap di tanah.
“Jurus ‘Ular Terbang’?!”
teriak Dewa Arak kaget. Walau Siluman Tengkorak Putih itu baru mengeluarkan
beberapa gerakan, Arya langsung mengenalinya.
“Hm. Pandangan matamu awas
juga, tikus kecil!” ejek Siluman Tengkorak Putih. Baru kali ini dalam adu
tenaga ia sampai terdorong dua langkah. Hal ini membuatnya penasaran bukan main.
“Tapi ingin kutahu apakah kaupun mampu mengenali yang ini!”
Setelah berkata demikian,
Siluman Tengkorak Putih kembali menyerang Dewa Arak dengan sebuah tendangan
lurus ke arah pusar. Kemudian langsung dilanjutkan tendangan menyamping ke arah
leher begitu Arya menarik tubuhnya ke belakang. Tidak berhenti di situ lalu
disusul tendangan yang dilakukannya sambil memutar tubuh.
“Ah ! ‘Tendangan Kilat
’....?!” Desah Arya kaget.
Itulah ilmu milik Ki Gering
Langit yang diwariskan kepada Bomantara. Cepat-cepat dielakkan tendangan itu
dengan jurus ‘Delapan Langkah Belalang’.
“Tidak salah lagi, pasti kau
Bomantara!”
Mendadak Siluman Tengkorak
Putih menghentikan gerakannya.
“Jahanam! Dari mana kau tahu
nama itu, heh?!” “Memang sudah lama aku mencari-carimu manusia keparat! Murid
murtad!” pemuda berpakaian ungu ini balas membentak.
“Keparat!”
Setelah berkata demikian
diterjangnya dewa arak. Tetapi pemuda itu tak menjadi gugup. Cepat-cepat
dielakkan serangan itu dan dibalasnya dengan seranganserangan yang tak kalah
dahsyat.
Siluman Tengkorak Putih
benar-benar telah mengamuk. Dikeluarkannya seluruh kemampuan yang dimiliki.
Ilmu ‘Ular Terbang’ warisan Ular Hitam, ilmu ‘Tendangan Kilat’ warisan Ki
Gering Langit dan ilmu-ilmu racun yang diterima dari Raja Racun Pencabut Nyawa.
Dan ini baru untuk pertama kalinya dilakukannya.
Tapi lawan yang dihadapi
adalah Arya buana. Pewaris tunggal dari seluruh ilmu ciptaan Ki Gering Langit
yang terbaru. Maka, walaupun Siluman Tengkorak Putih telah mengeluarkan segenap
kemampuan tetap saja pemuda ini mampu menghadapi. Bahkan membalas dengan
seranganserangan yang tak kalah dahsyatnya. Kini Arya yang mengetahui
kesaktian lawannya segera mengerahkan ‘Tenaga Inti Matahari’ yang disusul
dengan jurus ‘Belalang Mabuk’ dan akhirnya jurus ‘Delapan Langkah Belalang’
sehingga tubuhnya meliuk-liuk.
Raja Racun Pencabut Nyawa
menonton pertarungan antara dua orang sakti itu tanpa berkedip. Baru kali ini
disaksikan pertarungan yang begitu dahsyatnya. Debu mengepul tinggi ke udara.
Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Pohon-pohon besar dan
kecil yang terlanda angin pukulan nyasar bertumbangan diiringi suara gaduh.
Bukan hanya itu saja. Decit
angin tajam yang berhembus dan diiringi bau amis yang memualkan perut, keluar dari
setiap serangan Siluman Tengkorak Putih. Tentu saja gerombolan penjahat
terpaksa menjauhi tempat itu. Belum lagi akibat setiap gerakan Arya yang
berjuluk Dewa Arak itu menyebarkan hawa panas menyengat. Bahkan bisa
menghanguskan kulit!
Siluman Tengkorak Putih
penasaran bukan main. Apalagi ketika menyadari serangan pukulan beracunnya
tidak berarti sama sekali bagi pemuda itu. dan memang tanpa diketahui Arya
sendiri, pasangan ilmu ‘Belalang Sakti’ dan ‘Tenaga Dalam Inti Matahari’
membuatnya tidak terpengaruh segala macam racun. Hawa beracun sudah terusir
sebelum mendekati tubuh Arya. Hawa panas yang keluar dari tubuh pemuda itu
telah menangkal hawa beracun yang datang menyerbu ke arahnya.
Lima puluh jurus telah cepat
terlewat. Tapi tidak nampak ada tanda-tanda siapa yang akan terdesak dan siapa
yang akan mendesak. Kepandaian mereka berdua sepertinya berimbang.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang
menonton pertarungan itu menjadi tidak sabar, sehingga segera mendekati
pertarungan. Sudah bulat tekadnya untuk membantu Gerda alias Siluman Tengkorak
Putih menghadapi Dewa Arak yang sakti itu.
Tetapi baru juga bergerak
mendekati terdengar suara bentakan keras disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh
yang kemudian menghadang di depannya. Dua orang lakilaki yang berumur tiga
puluhan dan seorang gadis yang berusia sekitar sembilan belas tahun dan
berpakaian serba hijau. Wajahnya cantik manis. Apalagi dihiasi tahi lalat di
pipinya. Inilah Ningrum putri Raja Pisau Terbang. Sedangkan dua laki-laki itu
adalah Satria dan Mega.
Raja Racun Pencabut Nyawa
menatap tiga sosok tubuh di depannya dengan pandagan mata meremehkan. Ia hanya
melihat dengan ekor mata, walaupun dua laki-laki itu sudah bersiap-siap sambil
menghunus pedang. Sedangkan gadis itu juga nampak sudah menggenggam sebilah
pisau berwarna putih mengkilat pada kedua tangannya.
“Raja Racun! Kini saatnya
kekejianmu harus ditebus dengan nyawamu!” teriak Satria keras. Bersamaan dengan
itu pedang di tangannya cepat meluncur lurus ke arah pusar Raja Racun Pencabut
Nyawa.
“Hiyaaa !” Mega yang tahu
pasti betapa lihaynya si Raja Racun ini dan sadar kalau kakak seperguruannya
ini bukanlah lawan iblis itu segera membantu Satria. Pedang di tangannya
melesat cepat membabat leher!
Ningrum pun tidak mau
ketinggalan. Gadis perkasa ini segera ikut ambil bagian. Sepasang pisau terbang
di tangannya berkelebat mencari sasaran di berbagai bagian tubuh lawan.
Kini Raja Racun Pencabut Nyawa
tidak bisa main-main lagi. Apalagi setelah terbukti kalau tiga lawannya ini
mampu saling membantu. Ia lalu mengerahkan seluruh kemampuannya.
Baru beberapa jurus bertarung
tiba-tiba terdengar suara riuh disusul munculnya puluhan orang rimba
persilatan golongan putih. Inilah orang-orang yang berhasil dikumpulkan Satria
dan Mega.
Karuan saja melihat serbuan
ini anak buah Siluman Tengkorak Putih yang sejak tadi menonton pertarungan
dahsyat itu bubar. Mereka segera menyambut serbuan tamu-tamu yang tak diundang
itu. Maka kini terjadilah tiga kelompok pertempuran.
Di antara pertarungan itu yang
paling ramai dan menegangkan adalah pertarungan antara Arya buana alias Dewa
Arak melawan Siluman Tengkorak Putih. Mereka berdualah yang menjadi penentu
kemenangan dua golongan yang saling bertarung itu.
Berbeda dengan pertarungan
Siluman Tengkorak Putih yang berimbang, pertarungan Raja Racun Pencabut Nyawa
melawan Satria, Mega dan Ningrum berjalan berat sebelah. Memang bila
diperhitungkan kepandaian Satria dan Mega masih terlalu jauh untuk menghadapi
Raja Racun itu. di antara mereka bertiga Ningrumlah yang memiliki kepandaian
paling tinggi. Maka gadis itulah yang mendapat tekanan dari Lindu alias Raja
Racun Pencabut Nyawa. Raja Racun yang cerdik tahu kalau gadis putri si Raja
Pisau Terbang ini bisa dirubuhkan maka rubuh pulalah semuanya.
Tentu saja akibatnya terasa sekali
bagi Ningrum. Memang gadis ini masih kalah segala-galanya dibanding lawannya.
Kalah tenaga, kelincahan dan juga pengalaman. Gadis putri Raja Pisau Terbang
inipun segera terdesak. Sepasang pisau terbang di tangannya kini hanya dapat
digunakan untuk melindungi dirinya.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang
tidakingin berlamalama dalam pertarungan ini apalagi setelah sekian lama
lawannya tidak juga dapat dirubuhkan segera mengeluarkan pukulan beracun.
Sudah dapat dipastikan kalau tak lama kemudian ketiga orang muda itu akan rubuh
di tangan raja racun ini. Kalau saja...
“Keji sekali kau Raja Racun!
Menghadapi anak-anak muda pun masih bermain racun!”
Berbareng dengan suara teguran
itu muncullah sesosok tubuh tinggi kurus dan berkulit hitam. Kumis dan jenggot
yang telah memutih menghias wajahnya. Yang luar biasa adalah sepasang matanya.
Begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti mata seekor kucing dalam
gelap.
Begitu datang kakek ini segera
menggerakkan kedua tangannya menghalau serangan-serangan beracun Raja Racun iu.
Gerakan tangannya begitu cepat dan tiba-tiba seperti gerak seekor ular yang
menyambar mangsa.
“Ah! Kau.... Kau...!” Teriak
Raja Racun Pencabut Nyawa tertahan. Kegugupan tergambar jelas pada wajahnya.
Untuk beberapa saat kewaspadaannya mengendur. Kesempatan ini tak disia-siakan
Satria. Dengan kecepatan kilat pedangnya menyambar ke arah perut Raja Racun
ini.
“Akh ... !” Raja Racun
Pencabut Nyawa memekik tertahan. Darah langsung muncrat dari perut yang
tertembus pedang hingga ke punggung itu.
Raja Racun Pencabut Nyawa
meraung keras. Tangannya pun bergerak mengancam Satria sehingga pemuda itu
kelihatan gugup. Untungnya ‘kakek penolong’ itu bertindak cepat dan menangkis
serangan itu.
Plakkk!
Tubuh Raja Racun Pencabut
Nyawa terhuyung ke belakang. Dan saat itu hampir berbarengan Ningrum dan Mega
melancarkan serangan.
Cappp! Cappp! Cappp!
Dua pisau terbang dan satu
pedang itu telak sekali menghunjam tubuh Raja Racun. Laki-laki yang bernama
asli Lindu itu berteriak ngeri. Tanpa ampun lagi tubuhnya ambruk ke tanah.
Napasnya megap-megap.
“Arya...Arya...... Lirih
terdengar suara iblis itu.
Satria yang melihat iblis itu
belum tewas segera menyusuli dengan seuah tusukan ke arah jantung. Tetapi
sebelum pedang itu mengenai sasaran segundukan angin keras mendorongnya hingga
terjengkang. Cepat pemuda ini bersalto di udara beberapa kali untuk mematahkan
daya dorong itu lalu hinggap ringan di tanah.
“Tahan dulu pedangmu, Anak
Muda. Nampaknya ia ingin mengatakan sesuatu...... Kata kakek yang telah
menolongnya tadi. Tahulah pemuda itu kini. Rupanya angin keras tadi berasal
dari kakek ini.
Setelah berkata demikian kakek
itu menghampiri Raja Racun Pencabut Nyawa yang tergolek tak berdaya.
“Ada yang ingin kau katakan
untuk Arya, Raja Racun? Cepatlah katakan biar aku yang akan menyampaikannya,..
ujar kakek itu ramah.
Bibir Raja Racun Pencabut
Nyawa bergerak-gerak pelan. terpaksa kakek itu mendekatkan telinganya ke mulut
Raja Racun beberapa saat lamanya. Kakek itu baru menjauhkan kepalanya setelah
tidak terdengar lagi suara dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa. Dia kini telah
tewas.
Sementara itu pertarungan
antara Arya buana melawan Siluman Tengkorak Putih telah berlangsung hampir
seratus lima puluh jurus! Perlahan namun pasti Dewa Arak yang mengerahkan jurus
‘Delapan Langkah Belalang’ dan jurus ‘Belalang Mabuk’ yang dialiri pengerahan
‘Tenaga Dalam Inti Matahari’, mulai dapat menguasai keadaan. Sampai pada suatu
saat....
“Hiyaaa !” Siluman Tengkorak
Putih yang sudah putus asa langsung menyerang Dewa Arak tanpa memperdulikan
pertahanan lagi. Jari jari kedua tangannya yang membentuk patuk ular
bertubi-tubi menyerang pelipis danubun-ubun Arya.
Arya Buana kaget sekali.
Disadari kalau lawannya ini berniat menadu nyawa. Rasanya tidak mungkin lagi
mengelakkan serangan itu kalau masih ingin selamat. Dewa Arak itu tahu kalau
mengelakkan serangan sepasang kaki Siluman Tengkorak Putih akan bertubi-tubi
mengancamnya dengan juru ‘Tendangan Kilat’. Dan hal ini akan lebih
membahayakan dirinya. Maka pemuda ini memutuskan untuk menangkis walaupun
posisinya saat itu tidak memungkinkan.
Arya mengangkat tangan kirinya
menejgal kedua serangan yang mengancam ubun-ubun dan pelipisnya itu.
Berbarengan dengan itu guci di tangan kanannya menggedor dada Siluman Tengkorak
Putih yang terbuka lebar.
Plakkk! Tukkk! Buggg!
Arya terhuyung satu langkah.
Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit yang mendera tangan kiri. Serangan yang
menuju ubun-ubunnya memang dapat ditangkis dengan jari jari tangan. Akan tetapi
serangan yang mengancam pelipis terpaksa dihadang dengan pangkal lengan. Dan
akibatnya sesaat lamanya dirasakan tangan itu bagaikan lumpuh.
Tetapi meskipun demikian
keadaan yang diterima Arya masih lebih ringan ketimbang yang diterima Siluman
Tengkorak Putih. Tubuh siluman itu terjengkang ketika guci Dewa Arak menghantam
keras dadanya. Bagian bawah selubungnya yang berwarna putih nampak kini
memerah. Siluman itu telah menyemburkan darah dari mulutnya!
Arya yang tahu betapa
berbahayanya Siluman Tengkorak Putih itu, tidak lagi memberi kesempatan. Cepat
tubuhnya melesat menyusul tubuh siluman itu.
“Haaat ... !”
Arya melempar gucinya ke
udara. Dan kini dengan tangan kosong dihajarnya dada siluman itu.
Bukkk...!
“Hugh!”
Siluman Tengkorak Putih
mengeluh tertahan. Jelas terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang dada yang
berpatahan. Tetapi Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat-cepat tangan
kanannya menangkap guci yang kini meluncur turun. Dan secepat guci itu
tertangkap secepat itu pula diayunkan ke arah kepala Siluman Tengkorak Putih.
Wuuut...!
Prakkk...!
Terdengar suara berderak keras
ketika guci itu menghantam sasaran. Kontan tubuh siluman itu rubuh ke tanah.
Tanpa dapat bersambat lagi dia tergeletak tak bergerak-gerak. Mati.
Arya segera menghampiri tubuh
siluman itu. dicopotnya selubung yang selama ini menutupi wajah aslinya. Nampak
seraut wajah kurus berkumis jarangjarang. Usianya sekitar tiga puluh lima
tahun. Ada sebuah tompel pada pipi sebelah kiri.
“Bomantara....” Desis Dewa
Arak begitu melihat ciri-ciri siluman itu.
“Benar, dia Bomantara alias
Gerda,” sambut sebuah suara.
Arya menoleh ke sebelahnya
dengan perasaan kaget. Suara itu amat dikenalnya! Nampak olehnya seorang kakek
bertubuh tinggi kurus, berkulit hitam berkumis dan berjenggot putih. Sorot
matanya nampak mencorong kehijauan.
Beberapa saat lamanya Arya
terdiam. Diamat-amati kakek ini penuh perhatian. Rasa-rasanya dikenali betul
suara dan potongan kakek ini. Tapi....
“Ha ... ha ... ha... Tidak
mengenaliku lagi Arya?” setelah berkata demikian kakek itu mencopot kumis dan
jenggotnya. Kini yakinlah Arya siapa kakek ini.
“Kakek Ular Hitam...!” Serunya
gembira.
Si kakek yang ternyata memang
Ular Hitam itu tertawa bergelak. Dipeluknya Arya penuh rasa kasih sayang.
“Bagaimana Kakek bisa sampai
di sini?” tanya Arya gembira.
“Nanti kuceritakan. Sekarang
supaya kau tidak bingung, perlu kujelaskan mengenai Siluman Tengkorak Putih
ini. dia oleh orang-orang persilatan dikenal bernama asli Gerda. Aku sendiri
baru mengetahuinya sewaktu melihat kau bertarung dengannya. Nama aslinya memang
Gerda. Dia murid Raja Racun Pencabut Nyawa. Padaku dia memakai nama palsu
sebagai Bomantara. Jadi murid murtad itu telah sekaligus menjadi tiga tokoh.
Gerda, Bomantara dan Siluman Tengkorak Putih. Untung saja waktu Bomantara masih
jadi muridku aku tak pernah menceritakan kalau kitab-kitab ilmu milik Ki Gering
Langit seluruhnya ada padaku. Kalau tidak...!”
Desah Ular Hitam seperti untuk
dirinya sendiri.
Arya manggut-manggut “Lalu
kenapa Kakek sampai berada di sini? Dan mengapa pula harus menyamar?”
Ular Hitam tersenyum.
“Sewaktu kau pergi aku
mendengar kekacauan di dunia persilatan dengan munculnya Siluman Tengkorak
Putih. Kudengar juga dia telah langsung merajai kaum sesat. Dugaanku siluman
itu pasti Bomantara. Dan jika benar.... Kau akan berhadapan dengan banyak
lawan. Bomantara, Raja Racun Pencabut Nyawa dan juga Bargola. Maka kuputuskan
untuk menyusulmu. Yah ... siapa tahu kau butuh bantuan. Hm, paling tidak aku
dapat mencegah Bargola membantu Bomantara. Dalam perjalanan aku bertemu Raja
Pisau Terbang. Dan ketika melihatku dia langsung saja memohon agar aku
mewakilinya membantu putrinya yang ingin menyerbu markas Siluman Tengkorak
Putih. Karena telah menduga bahwa siluman itu adalah Bomantara aku terpaksa
menyamar agar tidak membuatnya terkejut.”
Arya mengangguk-anggukkan
kepalanya tanda telah mengerti. Tak lama kemudian, Ular Hitam memberitahukan
pesan mendiang Raja Racun Pencabut Nyawa kepada pemuda itu.
“Ah !” Dewa Arak tersentak
kaget.
Baru pemuda itu teringat pada
pamannya. Bergegas ia berlari menghampiri mayat Raja Racun. Ada tersirat
penyesalan yang mendalam pada wajah pemuda itu. biar bagaimanapun juga orang
itu adalah pamannya sendiri.
Arya berjongkok di depan mayat
Raja Racun itu. Dipandanginya sosok yang telah kaku itu dengan perasaan sedih.
Bagaimanapun jahatnya pamannya itu tapi di saatsaat terakhir telah tumbuh
kasih sayang kepada keponakannya. Ya, di saat menjelang ajal Raja Racun
Pencabut Nyawa telah memberitahukan bahwa ibu Arya buana berada di Perguruan Mawar
Merah.
Tanpa ragu-ragu lagi Arya
punmengulurkan tangan dan memondong tubuh pamannya itu. Perlahan-lahan ia
bergerak bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Seiring tewasnya Siluman
Tengkorak Putih pertarugnan langsung berhenti. Para anak buah siluman itu
sadar, bahwa tidak ada gunanya melawan lagi. Maka mereka segera melarikan diri.
Yang tidak sempat melarikan diri segera menyerah untuk mencari selamat.
Sejak Arya berhasil merubuhkan
Siluman Tengkorak Putih, pandang mata Ningrum tidak lepas-lepasnya menatap
wajah pemuda berambut putih keperakan itu. jantungnya berdetak aneh.
Berkali-kali ia mencuri-curi pandang. Ia baru mengalihkan perhatian ketika
Satria memanggilnya. Dan sewaktu menoleh lagi ke arah Dewa Arak dan Ular Hitam
berada, keduanya telah lenyap.
Betapapun Ningrum mengedarkan
pandangannya tetap saja tidak terlihat pemuda berpakaian ungu itu lagi.
“Mencari siapa, Ningrung?”
tanya Satria heran melihat gadis itu celingukan ke sana ke mari.
“Eh ... anu... orang yang
mengalahkan Siluman Tengkorak Putih....” Sahut gadis itu gugup.
“Oh! Arya Buana, si Dewa Arak
yang kuceritakan pada m u. I ngat?”
“Oh...” Ningrum
manggut-manggut. “Lalu ke mana dia sekarang?”
Satria celingukan sebentar.
“Dia sudah pergi, Ningrum.”
“Pergi?” tanya Ningrum. Ada
nada kekecewaan dalam suaranya. Dengan lunglai dilangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang dari hatinya,
seiring perginya pemuda gagah bernama Arya buana yang dijuluki Dewa Arak.
Sementara itu di sebuah tempat
yang jauh dari keramaian, seorang pemuda berwajah jantan dan berambut putih
keperakan perlahan-lahan meninggalkan sebuah gundukan tanah merah yang masih
baru.
Jelas, pemuda itu adalah si
Dewa Arak. Kini dengan langkah pasti pemuda berpakaian ungu itu melanjutkan
perjalanannya. Banyak tugas yang menantinya sebagai seorang pendekar. Terlebih
dia masi harus mencari ibunya di Perguruan Mawar Merah.
Nah, bagi para pembaca ang
ingin mengikuti petualangan Arya buana selanjutnya, silahkan tunggu serial Dewa
Arak dalam episode “Dewi Penyebar Maut.”
SELESAI