Serial Dewa Arak 19 - Perjalanan Menantang Maut

Prabu Nalanda menghela napas berat. Raut wajahnya nampak menyiratkan kecemasan. Sepasang matanya kemudian beredar, mengawasi sekelilingnya.
19 - Perjalanan Menantang Maut

"Hhh ... !"

Prabu Nalanda menghela napas berat. Raut wajahnya nampak menyiratkan kecemasan. Sepasang matanya kemudian beredar, mengawasi sekelilingnya. Satu persatu, dirayapinya wajah wajah orang yang duduk bersila di depannya.

"Pulau Ular...," gumam Raja Bojong Gading pelan.

"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang pemuda berambut putih keperakan. "Begitulah berita yang hamba dapatkan dari Tuyul Tangan Seribu."

"Aku memang pemah mendengar cerita yang tersebar mengenai pulau itu, Arya. Sebuah pulau yang penuh teka-teki," jelas Raja Bojong Gading lagi. "Kau tahu, di mana letaknya pulau itu?"

"Hamba belum tahu, Gusti Prabu," sahut pemuda itu, yang ternyata Arya Buana atau Dewa Arak sambil menggelengkan kepala. "Tapi mungkin Ki Julaga dan Ki Temula mengetahuinya."

Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini mengalihkan tatapan pada wajah-wajah tua di dekatnya.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" tanya seorang kakek berwajah tirus, berpakaian kuning.

Prabu Nalanda menoleh. Ditatapnya wajah kakek yang tak lain adalah Ki Temula, Ketua Perguruan Garuda Sakti. Perlahan kepalanya terangguk.

"Silakan, Ki."

"Begini, Gusti Prabu. Maaf, bukannya bermaksud menyombongkan pengetahuan. Tapi menurut hemat hamba, lebih baik Arya mengurungkan maksudnya untuk pergi ke sana."

"Mengapa, Ki?" tanya Dewa Arak.

"Pulau Ular adalah sebuah pulau penuh tekateki dan berbahaya, Arya. Di sana penuh dengan tempat berbahaya. Apalagi, tempat itu juga ditaburi racun di sekitarnya. Letaknya saja jarang orang yang tahu," jelas Ki Temula.

"Tapi, kau kan tahu letak pulau itu, Ki?" Raja Bojong Gading yang mendahului bertanya. Terpaksa Arya menahan pertanyaan yang akan diajukan.

"Kalau secara pasti, hamba tidak mengetahuinya, Gusti Prabu," sahut Ki Temula jujur. "Hamba hanya mengetahui dari cerita-cerita pendahulu hamba di Perguruan Garuda Sakti."

Raja Bojong Gading mengangguk-anggukkan kepala.

"Bisa kau ceritakan padaku mengenai Pulau Ular itu, Ki?" pinta Arya, halus.

Sebentar kakek berwajah tirus itu menghela napas berat.

"Pulau itu berada di tengah Laut Hitam, Arya. Jadi untuk menuju ke sana, terlebih dulu kau harus mencari Pantai Karang Hitam. Bukan begitu, Ki?" kata Ki Temula sambil menoleh ke arah Ki Julaga.

Ki Julaga menganggukkan kepala pertanda membenarkan. Sementara Prabu Nalanda, Dewa Arak, Patih Rantaka, dan beberapa orang anggota pasukan khusus yang berjaga jaga di sekitar situ hanya diam mendengarkan.

"Setelah menemukan Pantai Karang Hitam itu, kau harus berlayar terus ke arah Barat. Dan kalau salah arah, sampai kapan pun kau tak akan menemukan pulau itu," sambung kakek berwajah tirus itu.

Ki Temula menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Terpaksa semua orang yang berada di situ diam sambil menunggu kelanjutan ceritanya. Mereka semua sudah tidak sabar lagi untuk mendengar kelanjutan cerita mengenai Pulau Ular.

Terutama sekali Arya. Maka tak ada seorang pun di antara mereka yang menyelak cerita Ki Temula.

"Apabila menempuh arah yang benar, kau akan melalui tempat-tempat aneh," sambung kakek berwajah tirus itu. "Yang pertama kali akan kau temukan adalah air laut yang tidak lagi berwarna biru, tapi hitam! Ini adalah tanda pertama kalau kau telah menempuh jalan yang benar. Sampai di sini, udara telah mengandung racun ganas. Maka, kau harus hati-hati."

"Ahhh...!"

Terdengar seruan kaget dari mulut semua orang yang mendengarkan cerita itu. Sungguh tidak disangka kalau perjalanan menuju Pulau Ular itu melewati hal-hal yang aneh. Hanya Ki Julaga yang tidak menampakkan tanggapan apa-apa. Memang kakek bertubuh kecil kurus ini juga telah mengetahuinya. Sedangkan Arya, di samping terkejut juga mencatat semua yang diceritakan Ki Temula dalam benaknya.

"Apabila kau telah melewati lautan yang airnya berwarna hitam, maka perlahan warna air itu semakin muda. Sampai akhirnya, kau akan bertemu air yang berwarna hijau. Tak jauh dari situ, kau akan menemukan sebuah pulau yang kalau dilihat dari atas, dari samping kanan, atau dari kejauhan, berbentuk memanjang dan meliuk-liuk mirip badan seekor ular. Itulah sebabnya, mengapa pulau itu dinamakan Pulau Ular," tutur Ki Temula menutup ceritanya.

Suasana menjadi hening sejenak ketika Ki Temula menghentikan ceirtanya. Mereka semua terpukau setelah mendengar cerita Pulau Ular.

"Mengerikan sekali."

Ucapan Prabu Nalanda memecahkan keheningan yang menyelimuti tempat itu. Pelan saja suaranya, sehingga lebih mirip desahan. Tapi karena suasana saat itu hening, ucapan Raja Bojong Gading itu jadi terdengar jelas dan keras.

"Begitulah keadaan pulau itu menurut yang hamba dengar, Gusti Prabu," tambah Ki Temula.
"Kau pernah membuktikan kebenaran berita itu, Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.

Ki Temula menganggukkan kepala.

"Dulu sewaktu aku masih muda dan berdarah panas sepertimu, Arya," sahut kakek berwajah tirus itu. "Dengan bermodalkan keberanian, aku pergi ke sana. Tapi baru saja tiba di lautan yang airnya berwarna hitam, aku telah jatuh pingsan. Untung saat itu aku membawa obat penawar racun. Kalau tidak, entah apa jadinya ... ?"

Sampai di sini Ketua Perguruan Garuda Sakti itu menghentikan ceritanya.

"Lalu bagaimana, Ki?" selak Prabu Nalanda yang merasa tertarik.

Wajah Ki Temula memerah mendengar pertanyaan itu.

"Aku langsung kembali," jawab kakek berwajah tirus itu pada akhirnya, walau dengan rasa malu.

"Aku tidak sudi mati konyol di tempat itu. Meskipun dengan perasaan penasaran, aku memaksakan diri untuk kembali. Tapi, lagi-lagi nasib sial menimpa diriku."

"Apa yang terjadi denganmu, Ki?" tanya Arya ketika mendapat kesempatan.

"Aku tersesat, sehingga tidak menemukan jalan pulang. Berhari-hari lamanya aku terkatung­katung di tengah lautan. Untunglah pada akhirnya aku berhasil menemukan sebuah pulau lain. Di sana, aku mendaratkan perahuku."

"Lalu selanjutnya bagaimana, Ki?" selak Prabu Nalanda lagi.

Rupanya Raja Bojong Gading ini merasa tertarik juga mendengar pengalaman yang dialami Ketua Perguruan Garuda Sakti itu.

"Pulau itu ternyata dihuni seorang pendekar sakti. Dia tinggal di situ untuk menjaga agar adik seperguruannya yang berwatak jahat tidak bisa meloloskan diri dari pulau itu. Sayang..., aku lupa nama pendekar itu. Tapi, kalau adik seperguruannya aku ingat"

"Siapa namanya, Ki?" tanya Arya ingin tahu. Karena cerita yang didengarnya mirip cerita yang didapat dari seorang pendekar yang dikenalnya dalam perjalanan.

"Kalau tidak salah... Sanca Mauk...," jawab Ki Temula dengan dahi berkernyit

"Sanca Mauk...!" ulang Dewa Arak kaget.
"Benar!" Ki Temula menganggukkan kepala. "Kau mengenalnya, Arya?"

Perlahan-lahan kepala Arya terangguk. Kemudian diceritakan pertemuannya dengan tokoh yang bernama Sanca Mauk itu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Pendekar Tangan Baja").

Ki Temula terdiam setelah Arya menyelesaikan ceritanya.

"Mungkin benar, tokoh yang bernama Sanca Mauk

itu adalah orang yang diceritakan teman perjalananmu itu, Arya," kata Ketua Perguruan Garuda Sakti, akhirnya.

Suasana menjadi hening sejenak begitu Ki Temula menghentikan ceritanya karena tidak ada lagi yang membuka suara.

"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan mengenai pulau itu, Ki," ucap Arya memecahkan keheningan.

"Hhh ... !" Ki Temula menghela napas berat "Kalau menurut pendapatku, lebih baik niatmu diurungkan, Arya. Terlalu berbahaya! Belum lagi bahaya-bahaya lain yang tidak terduga."

"Kuucapkan terima kasih atas semua nasihatmu, Ki," sahut Arya sambil menatap wajah Ki Temula penuh rasa terima kasih. "Tapi, tekadku telah bulat. Aku harus pergi ke sana, apa pun yang akan terjadi!"

Ki Temula terdiam. Dia tahu tidak ada gunanya lagi menahan tekad Dewa Arak yang telah begitu bulat.

"Kalau niatmu sudah begitu keras, aku hanya bisa mendoakan agar kau selamat, Arya," harap Ki Temula.

"Terima kasih, Ki," ucap Arya tulus.
"Kapan kau akan berangkat, Arya?" tanya Prabu Nalanda.

"Sekarang juga, Gusti Prabu," sahut Arya mantap. "Hati-hati, Arya," hanya itu yang bisa diucapkan Prabu Nalanda.

Raja Bojong Gading ini diam-diam mengkhawatirkan keselamatan pemuda berambut putih keperakan itu, begitu mendengar cerita Ki Temula tentang Pulau Ular. Tapi dia tidak berusaha mencegah, karena memang Melati sangat membutuhkan pertolongan. Kalau tidak Dewa Arak,siapa lagi orang yang pantas melakukan perjalanan menantang maut ke Pulau Ular?

"Akan hamba perhatikan semua nasihat Gusti Prabu."

Setelah berkata demikian, Arya bergegas bangkit. Tapi...

"Sebentar, Arya...."

Dewa Arak menoleh ke arah Ki Julaga, orang yang menyapanya. Tampak kakek bertubuh kecil kurus itu tengah berbincang-bincang dengan Eyang Sagapati, ahli obat Istana Kerajaan Bojong Gading. Entah apa yang dibicarakan mereka, Arya tidak tahu. Yang jelas, setelah minta izin pada Prabu Nalanda, kakek berpakaian coklat melangkah meninggalkan tempat itu.

Tapi tak lama kemudian, Eyang Sagapati sudah kembali sambil membawa sebuah buntalan kain sebesar kepala manusia dewasa. Diberikan buntalan kain itu pada Dewa Arak. Sebentar laki-laki tua itu menerangkan pada Arya mengenai isi buntalan. Apa lagi kalau bukan tentang obat-obatan?

Tak lama kemudian, Arya pun pamit. Tak lupa dikunjunginya Melati sebelum berangkat menuju Pulau Ular.

***

Arya melakukan perjalanan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Perjalanan dari Istana Kerajaan Bojong Gading menuju pantai memang amat jauh, dan harus menerobos hutan-hutan dan menyeberangi sungai-sungai.

Sebenarnya Prabu Nalanda hendak memberi seekor kuda agar perjalanan Dewa Arak dapat lebih cepat. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu menolaknya. Padahal dengan berkuda, Dewa Arak bisa menghemat tenaga. Tapi mengingat medan yang akan dilalui begitu berat, maka Arya terpaksa tidak bisa menerimanya. Banyak hutan lebat dan sungai yang menghalangi jalan, membuatnya harus memilih jalan kaki.

Untuk menentukan arah Barat, bukan merupakan hal yang sulit. Sebab, ada petunjuk yang tidak mungkin salah. Matahari! Arya melakukan perjalanan dengan berpatokan pada bola api raksasa itu.
Arya menempuh perjalanan seperti orang kurang waras. Dia hanya berhenti kalau kedua kakinya terasa sudah tidak sanggup lagi melangkah. Makan, dilakukannya kalau perutnya sudah benar-benar melilit. Tidur, dan minum pun demikian pula. Dewa Arak hanya tidur apabila sepasang matanya sudah tidak mampu dibuka lagi. Dan minum apabila rasa haus telah mencekik tenggorokan.

Tak aneh bila dalam beberapa hari saja, tubuh Arya mulai susut. Wajahnya pun mulai memucat. Keadaannya sudah kurang terurus. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mempedulikannya. Yang ada di benaknya hanya satu. Tiba di Pulau Ular secepat mungkin!
Hari ini adalah hari ketujuh, sejak Dewa Arak meninggalkan Istana Kerajaan Bojong Gading. Bola api raksasa tepat di atas kepala. Sinarnya menyorot garang ke bumi ketika Arya tiba di mulut sebuah hutan.

Dari cerita yang pernah didengarnya, Arya tahu ini adalah hutan terakhir yang akan dilewatinya. Sekeluarnya dari hutan ini, dia akan bertemu laut.

Hutan ini memang kelihatan sepi-sepi saja. Apalagi desa yang terdekat, cukup jauh juga dari hutan. Maka Arya pun tetap bersikap waspada. Dan memang begitulah sifat Dewa Arak. Tidak pernah meninggalkan sikap hati-hati dalam setiap langkahnya.

Kalau melihat dari sikapnya, kewaspadaan Arya memang tak terlihat. Kakinya melangkah dengan sepasang mata menatap lurus ke depan. Wajahnya sama sekali tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Tapi sebenarnya, kedua telinganya dipasang tajam-tajam. Begitu terdengar suara yang mencurigakan, sekujur urat-urat syaraf di tubuhnya menegang penuh kewaspadaan.

Mendadak Arya menghentikan langkah, ketika mendengar suara berdesing beberapa kali. Seketika itu juga kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Sesaat kemudian tubuh Dewa Arak sudah melambung ke udara. Dan pada saat yang bersamaan, beberapa batang anak panah menyambar, tapi lewat di bawah kakinya.

Baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, dari balik kerimbunan semak dan pepohonan lebat, muncul dua sosok tubuh yang tiba-tiba sudah menghadang.

Dua sosok itu sama-sama bertubuh kerdil. Paling- paling tingginya hanya sepinggang Dewa Arak. Tapi raut wajah keduanya kasar dan penuh bulu. Tubuh masing-masing hanya terbungkus rompi berwarna hitam dan coklat. Dan yang lebih mengerikan lagi, ada taring tersembul di bagian kanan kiri mulut mereka.

"Siapa kalian? Mengapa menyerangku?" tanya Arya hati-hati.

Dewa Arak memang merasa agak heran menerima serangan dari dua orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Khawatir kalau kedua orang itu salah alamat. Arya lalu berusaha ramah. Suaranya dibuat lembut saat bertanya tadi.

"Kami berjuluk Raksasa Kecil Hutan Gembrong. Namaku Jagakarsa," kata orang kerdil yang mengenakan rompi berwarna coklat, memperkenalkan diri.

"Aku Jagatarsa," rekannya yang memakai rompi berwarna hitam menyambung.

"Aku Arya," sambut Dewa Arak cepat. Lega sudah rasa hati Dewa Arak melihat sambutan yang ramah dari kedua orang itu. "Mengapa Kisanak berdua menyerangku?"

"Ha ha ha...!" Jagakarsa tertawa bergelak. Suara tawanya terdengar keras menggelegar seperti halilintar. Jelas kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Arya mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti mengapa laki-laki berompi coklat ini tertawa. Apakah ucapannya barusan begitu lucu? Tapi betapapun dia telah mengingat-ingat kembali ucapannya, tetap tidak ditemukannya hal-hal yang patut ditertawakan.

"Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?" tanya Jagatarsa begitu Jagakarsa menyelesaikan tawanya.
Arya tersenyum pahit. Sungguh tidak disangka kalau julukannya sudah tersebar begitu jauh. Bahkan sudah sampai di Hutan Gembrong ini. Diam-diam timbul perasaan tidak enak di hatinya. Biasanya kalau sudah begini, keributan pasti tidak akan bisa dihindari lagi. Dan inilah yang paling tidak disukai Dewa Arak!

"Tidak bisa kupungkiri," sahut Arya pelan. "Akulah orangnya yang mendapat julukan yang rasanya terlalu berlebihan itu."

Mendadak seri di wajah Raksasa Kecil Hutan Gembrong lenyap. Wajah mereka berubah beringas. Ada ancaman maut yang tersirat di wajah kedua orang penguasa hutan itu.

"Kalau begitu, kau harus mampus, Dewa Arak!" desis Jagakarsa tajam. Nada suaranya menyiratkan kemarahan dan kebencian yang mendalam.

"Tepat!" sambung Jagatarsa. "Kau telah banyak merugikan orang-orang golongan kami! Meskipun sudah tidak ikut campur tangan lagi dalam mengacau dunia persilatan, tapi kami tidak suka rekan-rekan segolongan kami kau bantai!"

"Hhh ... !"

Arya menghela napas berat Dia tahu pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Kedua Raksasa Kecil Hutan Gembrong memang sudah tidak bisa disabarkan lagi. Memang, mereka telah terlampau dikuasai amarah.

"Haaat..!"

Sambil berteriak nyaring, Jagakarsa melakukan lompatan harimau, menyerang Dewa Arak.

Kekuatannya dipusatkan pada punggung bagian atas. Kemudian, tubuhnya bergulingan mendekati Arya. Dan begitu telah dekat, dia langsung bangkit sambil melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah ulu hati dan dada Dewa Arak, dengan kedua tangan mengembang membentuk cakar. Suara mendecit nyaring dari udara yang terobek, terdengar mengiringi serangan itu.

Cepat bukan main gerakan laki-laki berompi coklat itu. Semua peristiwa itu terjadi dalam sekejap mata saja. Dan tahu-tahu, kedua cakar Jagakarsa telah mengancam ulu hati dan dada Dewa Arak.
Cepat gerakan Jagakarsa, tapi masih lebih cepat

lagi gerakan Dewa Arak. Kaki kanan pemuda berambut putih keperakan itu segera melangkah ke belakang. Sehingga, semua serangan itu hanya lewat sekitar sejengkal di depannya.

Belum sempat Dewa Arak berbuat sesuatu, Jagakarsa telah melancarkan serangan susulan. Kini kaki kanannya bergerak menyapu.

Wuttt..!

Deru angin keras mengawali tibanya serangan sapuan kaki itu. Kelihatannya sapuan kaki itu tidak bisa dianggap ringan. Jangankan kaki manusia, batang pohon keras sebesar dua pelukan tangan orang dewasa saja akan tumbang bila terkena.

Mendadak sekali tibanya serangan susulan itu. Tapi lawan yang diserangnya adalah Dewa Arak, seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian amat tinggi! Maka tidak begitu sulit bagi Dewa Arak untuk nengelakkan serangan itu. Kedua lututnya sedikit saja ditekuk, lalu bergerak menggenjot. Sesaat kemudian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu meletik ke atas. Hasilnya, sapuan Jagakarsa mengenai tempat kosong.

Melihat kesungguhan serangan lawan, Dewa Arak tidak berani bersikap main-main lagi. Maka sambil nelompat ke atas, tangan kanan Dewa Arak dengan jari jari membentuk cakar meluncur deras ke arah kepala laki-laki berompi coklat itu. Arya menggunakan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.

Jagakarsa terperanjat begitu melihat lawannya. Dewa Arak bisa merubah keadaan, dari terancam menjadi mengancam. Bahkan dengan serangan serangan maut! Dari suara mendecit nyaring, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.

Jagakarsa adalah orang yang terlalu yakin akan kemampuan diri sendiri. Maka begitu mendapat serangan maut itu, sama sekali tidak dielakkannya. Bahkan sebaliknya malah dipapaknya. Laki-laki berompi coklat ini mengerahkan seluruh tenaganya dalam tangkisan itu. Maksudnya memang ingin mematahkan kedua tangan Dewa Arak dengan sekali tangkis.

Plak, plak, plakkk...!

Suara benturan keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.

Hebat akibatnya! Tubuh Dewa Arak yang berada di udara, terpental kembali ke atas, Jagakarsa yang berada di tanah, jatuh terpelanting.

Namun berkat kelihaian masing-masing, tidak sulit bagi kedua orang itu untuk segera memperbaiki sikap. Tepat saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, Jagakarsa pun berhasil memperbaiki sikapnya. Tapi wajahnya tidak tenang seperti sebelumnya. Tampak ada seringai kesakitan yang tergambar di wajahnya. Memang, laki-laki berompi coklat ini merasa kan sakit pada kedua tangannya ketika berbenturan dengan kedua tangan Arya. Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main.

Jagakarsa menggeram. Hatinya merasa marah dan penasaran bukan main. Dan kini perasaan tidak percaya bergayut di benaknya. Mungkinkah pemuda berambut putih keperakan itu memiliki tenaga dalam yang melebihinya?

"Mustahil! Tidak mungkin!" bantah Jagakarsa dalam hati. "Pasti ada kekeliruan di sini! Mungkin dia tadi hanya mengerahkan sebagian dari tenaga dalamnya!"

Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut. Jagatarsa pun terperanjat melihat hasil benturan yang terjadi. Meskipun tidak mengetahui apa yang dirasakan Jagakarsa, tapi laki-laki berompi hitam ini tahu kalau dalam benturan itu Dewa Arak lebih unggul!

"Haaat..!"

Jagakarsa yang merasa penasaran, kembali menyerang. Seluruh kemampuannya dikerahkan, karena sadar kalau lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi. Tidak ada gunanya lagi bersikap setengah-setengah. Dan memang, sejak tadi laki-laki berompi coklat ini tidak bertindak setengah-setengah.

Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara kedua orang itu pun terjadi. Tapi, meskipun tahu kalau lawan yang dihadapinya lihai, Dewa Arak tidak mengeluarkan ilmu andalannya. Yang dipakainya justru malah ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.

2
Pertarungan yang terjadi memang luar biasa. Suara mendecit, menderu, dan mengaung ikut menyemaraki pertarungan. Tanah terbongkar di sana-sini. Daun­daun berguguran dari pohonnya. Beberapa batang pohon tumbang, terkena angin serangan pukulan nyasar.

Semula pertarungan memang berlangsung imbang. Keduanya saling serang bergantian. Tapi begitu memasuki jurus ke tiga puluh lima, mulai tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', memang bukan ilmu sembarangan. Karena terlalu menitikberatkan pada bagian penyerangan. Sehingga tidak aneh kalau Jagakarsa terdesak.

Jagakarsa menggigit bibir, menahan rasa geram dan malu yang mendera. Sungguh tidak disangka kalau lawan yang dihadapinya benar-benar memiliki kepandaian luar biasa! Baik dalam hal ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat.

Semakin lama keadaan Jagakarsa semakin terjepit. Serangan demi serangan yang semula susul­menyusul, dan silih berganti menghujani Arya, kini tidak terlihat lagi. Sedikit demi sedikit, serangan yang dilakukannya mulai berkurang, dan lebih banyak menangkis serta mengelak. Tapi, karena menangkis pun menimbulkan akibat yang merugikan, laki-laki berompi coklat ini lebih banyak mengelak.

Arya dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'nya, terus mendesak. Sama sekali lawan tidak diberi kesempatan sedikit pun, sehingga memaksa Jagakarsa terus bertarung mundur.

Jagatarsa mengerutkan alis melihat keadaan rekannya. Dia tahu kalau Jagakarsa terdesak. Dan menurut penilaiannya, tidak sampai dua puluh jurus lagi rekannya itu akan roboh di tangan Dewa Arak.

Keadaan Jagakarsa memang sudah sangat mengkhawatirkan. Kini, laki-laki berompi coklat itu tidak mampu lagi balas menyerang. Yang dilakukannya hanyalah mengelak terus. Itu pun dilakukan dengan susah payah! Beberapa kali terlihat dia terpontang-panting sewaktu mengelakkan serangan Dewa Arak.

"Haaat..!"

Sambil berseru keras, Arya melompat menerjang Jagakarsa. Tangan kanan pemuda berambut putih keperakan itu menyampok deras ke arah pelipis. Sementara tangan kiri terpalang di depan dada. Suara mendecit nyaring, mengiringi tibanya serangan Dewa Arak.

Jagakarsa terperanjat. Tibanya serangan itu pada saat sikapnya tengah dalam keadaan tidak memungkinkan. Dia baru saja mengelakkan sebuah serangan, dan belum sempat memperbaiki sikap.

Bukan hanya Jagakarsa saja yang terkejut. Jagatarsa pun demikian pula. Hati laki-laki berompi hitam itu tercekat saat melihat bahaya maut akan mengancam rekannya. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia segera melompat menerjang. Diburunya Dewa Arak yang tengah melancarkan serangan. Jari jari kedua tangannya menegang lurus kaku, dan menusuk bertubi-tubi ke arah punggung dan belakang kepala pemuda berambut putih keperakan itu.

Dewa Arak merasakan adanya desiran angin di belakangnya. Jelas, dia tahu kalau serangan maut yang datang mengancam. Tapi, dia tidak mempedulikannya. Serangannya pada Jagakarsa terus saja dilanjutkan.

Jagakarsa melihat ancaman maut yang menuju ke arahnya, tentu saja tidak sudi nyawanya yang hanya selembar ini melayang. Padahal saat itu keadaannya benar-benar terjepit. Maka dengan sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Sambil mendoyongkan tubuh, kakinya melangkah ke belakang.

Prattt..!

Sampokan tangan Dewa Arak telak mengenai pangkal lengan kiri Jagakarsa. Terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang yang retak.

Bukan hanya itu saja. Kulit dan daging laki-laki berompi coklat itu pun terkelupas. Seketika, darah segar mengalir keluar dari bagian tubuh yang terluka. Memang telak dan keras sekali sampokan Dewa Arak.

Jagakarsa menyeringai menahan rasa sakit yang melanda. Meskipun begitu, laki-laki berompi coklat ini patut bersyukur. Karena sungguhpun tidak dapat dikatakan berhasil, tapi yang jelas dirinya selamat.

Sementara itu, serangan Jagatarsa semakin mendekati Dewa Arak. Hal ini menguntungkan Jagakarsa. Sebab bukan tidak mungkin dia sudah tewas oleh Arya yang sudah siap mengirimkan serangan susulan dengan sabetan tangan kirinya.

Dewa Arak segera melentingkan tubuhnya, menghindari serangan Jagatarsa. Kaki pemuda berambut putih keperakan itu langsung mendarat di tanah, membelakangi Jagatarsa.Kemudian, kembali kakinya dijejakkan ke tanah, lalu tubuhnya melambung. Dia membuat putaran beberapa kali diudara , kemudian hinggap di tanah kembali. Dan secepat pemuda berambut putih keperakan ini hinggap di tanah, secepat itu pula tubuhnya dibalikkan. Kini Dewa Arak bersiap menghadapi serangan kembali.

Tapi ternyata Dewa Arak terkecoh. Ternyata sama sekali tidak terlihat seorang pun di sekitar situ. Rupanya, begitu melihat Arya menjauhkan diri, Jagakarsa dan Jagatarsa segera melesat kabur. Hanya dalam sekejap saja, tubuh kedua orang itu tak tampak lagi. Mereka hilang ditelan kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.

"Hhh ... !"

Dewa Arak menghela napas lega, dan sama sekali tidak berusaha mengejar. Kepalanya ditundukkan ke bawah, sedangkan kedua tangan menutupi wajahnya. Napasnya ditarik dan dikeluarkan berulang-ulang, untuk menenangkan hatinya.

Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini merasa bersyukur melihat lawannya berhasil menyelamatkan diri. Sebab kalau sampai tewas di tangannya, Arya akan menyesal bukan kepalang.

Memang belakangan ini, Dewa Arak hampir tidak bisa mengendalikan diri. Apalagi bila bertemu tokoh golongan hitam. Dia mudah sekali menurunkan tangan jahat. Apalagi bila ingatannya langsung melayang pada Melati yang tergolek lemah dan menderita akibat kekejian tokoh golongan hitam. Itulah sebabnya, Arya hampir lupa diri begitu melihat sikap telengas Jagakarsa. Hampir-hampir saja dia membunuhnya.

Perlahan Dewa Arak menurunkan kedua tangannya dari wajah. Mulutnya menghembuskan napas kuat-kuat. Pemuda itu berharap, semoga dengan berlaku seperti itu, sisa rasa sesal yang bergayut di hatinya segera lenyap.

Setelah memperhatikan sesaat keadaan sekitarnya, Dewa Arak lalu melangkah meninggalkan tempat yang telah porak poranda itu. Ada sedikit perasaan bingung di hati Arya. Mengapa kedua orang itu kabur? Mengapa tidak mencoba mengeroyoknya? Sama sekali pemuda berambut putih keperakan itu tidak tahu terhadap sikap Raksasa Kecil Hutan Gembrong. Pantang bagi kedua tokoh sakti itu untuk mengeroyok lawan. Apalagi lawan yang masih muda seperti Arya! Itulah sebabnya, mengapa mereka melarikan diri setelah Jagakarsa dikalahkan.

***

Setelah beberapa kali menguak kerimbunan semak-semak dan pepohonan, akhirnya Dewa Arak tiba di tempat yang dituju. Pria kini telah berdiri di atas tebing tinggi. Di bawahnya, dalam jarak tak kurang dari lima belas tombak, membentang lautan.

Untuk beberapa saat lamanya, pandangan Arya terpaku pada lautan yang terhampar di bawahnya. Kemudian pandangannya dialihkan ke depan, ke arah Barat. Dia berharap, barangkali saja dari tempat ketinggian ini Pulau Ular dapat terlihat.

Tapi, rupanya hanya kekecewaan saja yang didapat Dewa Arak. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya air. Memang ada beberapa pulau yang nampak kebiruan jauh di depannya. Tapi, letaknya lebih condong ke Utara dan Selatan. Sementara ke arah Barat sama sekali tidak terlihat apa-apa.

Arya menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangan. Tapi tetap saja pemuda berambut putih keperakan ini tidak melihat apa pun. Kalau saja ada orang yang kebetulan melihat sepasang mata Arya, tentu akan bergidik ngeri. Sepasang mata itu mencorong tajam dan berwarna kehijauan, tak ubahnya mata seekor harimau dalam gelap!

Sesaat kemudian, Dewa Arak kembali mengalihkan perhatian ke bawahnya. Dahinya berkernyit, memikirkan apa yang harus dilakukan. Permukaan air laut itu tampaknya terlalu tinggi jaraknya dari tebing tempatnya berdiri. Sepertinya tidak mungkin baginya untuk melompat ke sana. Apalagi, permukaan air di bawah sana selalu bergolak dan bergelombang keras. Betapapun hebat kepandaiannya, merupakan suatu hal yang mustahil untuk bisa turun ke sana.

Beberapa saat lamanya Dewa Arak bersikap seperti itu. Dia terus berdiri menatap ke permukaan air laut dengan dahi berkernyit dalam. Jelas kalau pemuda berambut putih keperakan ini tengah berpikir.

Tak lama kemudian, kernyit pada dahi Dewa Arak lenyap. Sepasang matanya tampak bersinar-sinar. Jelas ada sesuatu yang menggembirakan hatinya. Kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini melesat meninggalkan tempat itu. Cepat sekali gerakannya. Sehingga, yang tampak hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat dan kemudian lenyap di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.

Hanya sebentar saja pemuda berambut putih keperakan ini pergi meninggalkan tempat itu, dan kini dia telah kembali. Dan di tangannya, telah terpegang dua lembar papan yang tidak begitu tebal, dan segulung tali.

Papan itu tidak begitu lebar, berbentuk persegi panjang. Lebarnya tidak sampai sejengkal, tapi panjangnya lebih dari sejengkal.

Arya meletakkan kedua papan itu di bawah kedua alas kakinya, kemudian mengikatkannya ke kaki. Pemuda berambut putih keperakan itu kembali memeriksa ikatan, untuk meyakinkan kalau kedua papan itu telah terikat erat pada kakinya.

"Hih ... !"

Sambil menggertakkan gigi, Arya menggenjotkan kakinya. Sekejap kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Tidak begitu tinggi, karena Dewa Arak memang tidak bermaksud demikian.

Dan begitu daya yang membuat tubuhnya melambung ke atas habis, tubuh Arya melayang turun ke bawah. Dia kini meluncur ke permukaan air laut yang bergolak di bawahnya!.

Beberapa kali tubuh Dewa Arak berputaran di udara. Dan itu memang disengaja. Karena dengan begitu, luncuran tubuhnya jadi tidak terlampau cepat dan deras.

Pyarrr...!

Air laut memercik tinggi ke atas ketika kedua kaki Dewa Arak hinggap di sana. Itu pun tidak mantap, karena Arya sempat sempoyongan! Tapi hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, Dewa Arak mampu memperbaiki sikapnya.

Kini dengan mempergunakan kedua papan pada alas kakinya, Dewa Arak mulai mengarungi lautan. Tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk melakukannya. Mengarungi lautan dengan menggunakan dua bilah papan ini membutuhkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Dengan adanya alat bantu ini, Arya kini dapat dengan enaknya berlari-lari di lautan. Meskipun begitu, tetap saja bila dibandingkan kecepatan larinya di darat, kecepatannya merosot jauh. Namun, setidak-tidaknya masih lebih cepat daripada laju perahu! .

Beberapa kali Dewa Arak terpaksa harus melompat ketika ada ombak besar yang menyerbu ke arahnya. Indah dan manis sekali gerakannya ketika bersalto di udara untuk kemudian mendarat di permukaan air laut kembali.

Dengan mengambil patokan pada matahari, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk menuju arah Barat. Dia tidak memikirkan apa-apa lagi. Yang ada di benaknya hanya satu, tiba di Pulau Ular secepat mungkin.

Perlahan matahari mulai tenggelam ke Barat. Dan kegelapan pun berangsur-angsur mulai menyelimuti bumi. Dan seiring mulai gelapnya suasana, kecemasan pun mulai menjalari hati Arya.
Dewa Arak sadar, tidak mungkin untuk terus melakukan perjalanan dengan dua bilah papan ini. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, dan malam pun datang menjelang. Rasanya sulit untuk terus melakukan perjalanan. Karena di samping tidak adanya lagi patokan menuju ke arah yang ditempuh, juga Dewa Arak butuh beristirahat. Maka harus dicarinya sebuah pulau terdekat untuk mendarat dan beristirahat. Kalau memungkinkan, dia pun akan membuat sebuah rakit.

Itulah sebabnya maka Arya mengedarkan pandangan ke sekitarnya, mencari-cari pulau terdekat untuk disinggahi. Untung tak jauh darinya, agak ke Selatan sedikit, tampak sebuah dataran membentang. Maka bergegas pemuda berambut putih keperakan ini menuju ke sana.

Lincah dan gesit, seperti berjalan di atas permukaan air, Dewa Arak bergerak menuju ke pulau itu. Semakin lama, semakin jelas terlihat dataran itu. Ternyata, itu sebuah pulau kecil.

"Hih ... !"

Dewa Arak menggenjotkan kedua kakinya seperti layaknya menggenjot di tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melambung, lalu bersalto beberapa kali di udara. Kemudian kakinya mendarat di pinggir pantai.

Arya mengamati keadaan sekeliling pulau itu sejenak, baru kemudian melepaskan kedua papan yang terikat pada kedua telapak kakinya. Kemudian ditaruhnya di tempat yang aman.

"Hhh ... !"

Arya menghembuskan napas lega.

Kembali sepasang mata Dewa Arak beredar berkeliling mengamati keadaan sekitar. Dalam keremangan suasana malam yang hanya diterangi sinar bulan di langit, cukup jelas terlihat keadaan pulau kecil yang disinggahinya ini.

Pulau itu ternyata adalah sebuah pulau gersang. Tidak nampak adanya pepohonan yang tumbuh. Yang terlihat hanyalah pohon nyiur. Itu pun hanya beberapa saja. Di sana-sini lebih banyak berserakan batu­batuan belaka.

Setelah merasa cukup memperhatikan keadaan pulau itu, perhatian Dewa Arak dialihkan ke lautan lepas. Mendadak sepasang mata Arya terbelalak. Di kejauhan, tampak bergerak sebuah perahu besar yang menuju ke arahnya.

Arya menyipitkan matanya untuk lebih memperjelas pandangan. Memang benda itu adalah sebuah perahu besar yang jelasjelas menuju ke pulau yang disinggahinya. Berdebar jantung Dewa Arak seketika. Milik siapa kah perahu besar itu? Dan mengapa menuju ke tempat ini?

Wajah Dewa Arak seketika berubah saat melihat kain lebar yang berkibar angkuh di ujung tiang kapal layar itu. Kain itu berwarna hitam kelam. Tapi bukan itu yang membuat pemuda berambut putih keperakan ini terkejut. Melainkan gambar yang tertera di kain hitam itu. Di kain hitam itu tertera gambar tengkorak bagian kepala yang di bawahnya dibubuhi gambar tulang yang bersilangan. Semua gambar itu berwarna putih. Tampak pas sekali dengan warna hitam yang menjadi latar belakangnya.

Arya terperanjat. Dari cerita yang pernah didengarnya, memang telah diketahui kalau di sekitar lautan ini telah mengganas segerombolan bajak laut yang menamakan diri, Pasukan Tengkorak Laut. Gerombolan bajak laut itu senantiasa mengganas,merampok pedagang-pedagang besar yang tengah membawa hasil niaganya untuk dijual ke kerajaan lain.

Dewa Arak memang sudah mendengar kalau penguasa Kerajaan Pasugihan telah memerintahkan pasukannya untuk membasmi para bajak laut itu, tapi selalu berakhir dengan kegagalan.

Kini tanpa disengaja Dewa Arak bertemu gerombolan bajak laut itu. Karuan saja hal ini membuat pemuda berambut putih keperakan itu menjadi kebingungan sejenak. Sepasang matanya beredar liar mengamati sekeliling, mencari-cari tempat bersembunyi. Tapi seperti yang tadi dilihat, tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri di situ, kecuali agak jauh di sana. Tampak olehnya gundukan tanah yang mirip sebuah bukit.

Tanpa membuang­buang waktu lagi, segera Dewa Arak melesat ke arah sana.

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sekejap saja Dewa Arak telah berada dalam jarak sekitar tiga tombak dengan bukit itu.

Arya mencari-cari dengan pandangan matanya. Lega hatinya tatkala melihat sebuah gua di salah satu dinding bukit itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera memasukinya.

Gua itu ternyata hanya kecil di luarnya saja. Semakin masuk ke dalam, semakin besar dan luas. Anehnya lagi, gua itu ternyata cukup terang. Diam­diam pemuda berambut putih keperakan itu merasa sedikit heran.

"Dari mana asal timbulnya sinar itu?" tanya Arya dalam hati.

Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau bagian atas gua itu mampu menyerap sinar matahari yang memancar di waktu siang. Dan baru setelah malam hari, sinar yang terserap itu dipancarkan kembali. Jadi bagian atap gua itu mirip bulan. Yang memancarkan sinar karena mendapat pancaran sinar dari matahari.

***

Semakin melangkah masuk ke dalam, semakin takjub hati Arya. Gua ini ternyata luas bukan main. Luas, terang, dan banyak memiliki ruangan. Tapi sama sekali semua itu tidak dipedulikannya. Kakinya terus melangkah masuk semakin ke dalam.

Arya terperanjat ketika pandangan matanya tertumbuk pada sebuah ruang gua yang memiliki jeruji baja bulat, tebal, dan kokoh. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Arya sudah bisa mengetahui kalau jeruji besi itu dibuat orang. Jadi, tidak terjadi secara alami seperti layaknya gua ini. Dugaannya, gua ini pasti ada penghuninya! Dan orang yang berada di dalam ruangan berjeruji itu pasti tahanan penghuni gua! Begitu kesimpulan yang didapat Arya.

Seketika itu juga kewaspadaan Dewa Arak semakin bertambah. Ada rasa tidak enak dalam hatinya begitu mengingat gua itu memiliki penghuni. Tapi perasaan tidak enak itu buru-buru dilenyapkan. Akhirnya, Arya memasuki gua ini. Maksudnya untuk menghindari terjadinya pertemuan dengan para bajak laut.

Tapi, mendadak hati Arya tercekat begitu teringat akan bajak laut itu. Seketika itu juga timbul dugaan dalam hatinya. Jangan jangan, para bajak laut itu adalah penghuni gua ini!

Dugaan itu membuat Arya menghentikan langkahnya sejenak. Sesaat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini bimbang. Antara meneruskan langkah, atau kembali ke luar.

Tapi perasaan ingin tahu terhadap orang yang terkurung dalam ruang berjeruji itu, memaksa Dewa Arak untuk terus melanjutkan langkahnya. Dia ingin tahu, siapakah orang yang terkurung itu. Jika orang itu baik, merupakan kewajiban baginya untuk menolong.

Hanya beberapa langkah saja, Arya telah berada di depan ruangan gua yang berjeruji itu. Pandangannya langsung beredar ke dalam.

***

Ruang tahanan itu tidak begitu luas. Ukurannya paling luas hanya satu setengah tombak kali satu setengah tombak. Di dalamnya, tampak seorang lakilaki berkumis dan berjenggot rapi tengah bersandar pada dinding gua. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu rantai baja tebal dan kuat yang tertanam di dinding.

Hati Arya agak tercekat begitu melihat pakaian yang dikenakan orang itu. Dia mengenakan pakaian seragam kerajaan! .

Bukan hanya Arya saja yang memperhatikan. Ternyata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu pun menoleh pula. Matanya menatap ke arah Dewa Arak dengan dahi berkernyit.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya laki-laki ber­pakaian seragam kerajaan seraya merayapi sekujur tubuh Arya. "Apakah kau juga anggota gerombolan bajak laut itu?"

Kini jelas bagi Dewa Arak kalau dugaannya tadi benar. Pemilik gua ini adalah gerombolan bajak laut. Dan sudah pasti gerombolan bajak laut yang tadi dilihatnya.

"Bukan," Arya menggelengkan kepala.
"Lalu, mengapa kau berada di sini?" tanya lakilaki berkumis dan berjenggot rapi itu lagi.
"Aku terdampar di pulau ini, dan mencari tempat untuk melewatkan malam tanpa kedinginan.

Untung gua ini kutemukan," sahut Arya sedikit berbohong.

"Kalau begitu, cepat tinggalkan tempat ini, Anak Muda ... !" seru laki-laki berpakaian seragam kerajaan itu. Nada suara dan sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. "Cepat sebelum para bajak laut itu kembali dan menjumpaimu ... !"

"Lalu, kau sendiri bagaimana, Paman?"

"Jangan pedulikan aku! Aku Gorawangsa, seorang panglima kerajaan! Adalah merupakan hal yang biasa bagi seorang prajurit untuk mati!" sahut laki-laki berpakaian seragam kerajaan yang ternyata bernama Panglima Gorawangsa itu. Tegas dan mantap ucapannya.

Seketika perasaan kagum timbul dalam hati Dewa Arak. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi yang mengaku panglima kerajaan ini sudah bisa dipastikan orang baik-baik. Dalam keadaan tertawan begitu, dia masih mementingkan nasib orang lain.

"Lalu bagaimana kau bisa ditawan mereka, Panglima?" tanya Arya ingin tahu.

Pemuda berambut putih keperakan itu kini memanggil laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu dengan panggilan jabatannya, bukan panggilan kekerabatan.

"Aku diperintah Gusti Prabu Lindu Pasing untuk menumpas gerombolan bajak laut yang menamakan dirinya Pasukan Tengkorak Laut. Tapi sayang, lawan terlalu kuat. Semua anak buahku tewas. Sementara aku sendiri ditawan mereka."

Arya mengangguk. Dari cerita yang didengarnya, dia tahu kalau Prabu Lindu Pasing adalah Raja Kerajaan Pasugihan.

"Kau..., mengapa masih berada di sini, Anak Muda?" tegur Panglima Gorawangsa lagi. "Cepat pergi sebelum terlambat!"

Arya menggelengkan kepala.

"Kau tidak mau meninggalkan tempat ini?" sepasang mata Panglima Gorawangsa terbelalak. "Kau akan menyesal, Anak Muda! Mereka kejam dan bengis! Cepat menyingkir sebelum mereka kembali!"

"Aku memang akan meninggalkan tempat ini, Panglima...."

"Itu bagus!" potong laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. Tak dipedulikannya ucapan Dewa Arak yang belum selesai. "Cepatlah tinggalkan tempat ini!"

"Tapi tidak sendiri...," sambung Arya.
"Maksudmu ... ?" agak terbata-bata ucapan yang keluar dari mulut Panglima Gorawangsa.

"Ya!" Arya menganggukkan kepalanya. "Aku akan meninggalkan tempat ini, tapi bersamamu, Panglima."

"Bagaimana mungkin, Anak Muda," lesu dan putus asa suara yang keluar dari mulut laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. "Belenggu ini sangat kuat. Aku tidak mampu mematahkannya..., dan...."

Ucapan Panglima Gorawangsa terhenti ketika melihat Arya menggenggamkan jemari tangannya pada dua batang jeruji baja itu. Dan sekali pemuda berambut putih keperakan itu menarik, batang­batang jeruji baja itu membengkok. Sekejap kemudian, terbuat sebuah jalan bagi Dewa Arak untuk melangkah masuk ke dalam ruang tahanan itu.

"Kau..., kau mampu melakukannya, Anak Muda ... ?"

Meskipun dengan agak terputus-putus, Panglima Gorawangsa berhasil juga menyelesaikan kata­katanya. Sungguh sukar dipercaya, baja sebesar itu mampu dibengkokkan Arya dengan begitu mudahnya. Tak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berpakaian ungu itu mengerahkan tenaga dalam.
Dewa Arak hanya tersenyum saja. Sama sekali tidak disahutinya ucapan Panglima Kerajaan Pasugihan itu. Perlahan kakinya melangkah men­dekati tubuh Panglima Gorawangsa. Lalu tangannya diulurkan ke arah belenggu baja yang memborgol pergelangan tangan dan kaki laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu.

Krakkk ... !

Suara berderak keras terdengar empat kali ketika Dewa Arak mengerahkan tenaganya untuk membetot. Empat buah belenggu baja itu putus seketika.

"Luar biasa ... !" puji Panglima Gorawangsa dengan sepasang mata terbelalak. "Kau benar-benar mampu melakukannya, Anak Muda?! Ahhh...! Sulit dipercaya ... !"

Sambil berkata demikian, Panglima Gorawangsa menggosok-gosokkan pergelangan tangan dan kakinya untuk melancarkan kembali peredaran darahnya. Sementara sepasang matanya masih menatap wajah Dewa Arak. Sorot kekaguman tampak jelas, baik pada wajah maupun sorot matanya.

"Bersiaplah, Panglima," ujar Arya tanpa mem­pedulikan semua pujian laki-laki berkumis dan berjenggot rapi. "'Para bajak laut itu sebentar lagi akan kemari." Seketika itu juga wajah Panglima Kerajaan Pasugihan itu berubah.

"Ahhh ... ! Jadi kau telah bertemu mereka, Anak Muda?" tanya Panglima Gorawangsa terkejut
Arya mengangguk. Kemudian, secara singkat dijelaskan semuanya. Panglima Gorawangsa pun diam mendengarkan. Sama sekali tidak menyelak, hingga Arya menyelesaikan ceritanya.

"Kalau begitu, aku harus mencari senjata dulu...," kata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi seraya bergerak ke luar tahanan.

Tanpa berkata apa-apa, Arya juga melangkahkan kakinya ke luar tahanan itu. Tapi langkahnya berhenti begitu telah berada di luar ruangan. Sedangkan Panglima Gorawangsa terus melangkah ke dalam gua. Sesaat kemudian, dia telah kembali dengan sebatang pedang di tangan.

"Mari kita tinggalkan tempat ini, Anak Muda," ajak Panglima Gorawangsa. "Oh, ya. Kalau boleh kutahu, siapa namamu?"

"Arya, Panglima. Arya Buana."
"Sebuah nama yang bagus," puji Panglima Gorawangsa.

Tidak nampak adanya perubahan pada wajah dan air muka Panglima Kerajaan Pasugihan itu begitu mendengar pemuda berambut putih keperakan ini memperkenalkan namanya. Jelas kalau dia belum pernah mendengar tentang nama dan julukan Arya yang menggemparkan dunia persilatan.

"Terima kasih atas pujian yang terlalu berlebihan itu, Panglima," sahut Dewa Arak merendah.
Panglima Gorawangsa sama sekali tidak menyahuti. Bergegas kakinya melangkah menuju ke luar gua. Sementara Arya mengikuti di belakangnya.

Baru saja beberapa tindak keduanya melangkah, terdengar suara riuh dari arah depan. Karuan saja hal ini membuat langkah Panglima Gorawangsa dan Dewa Arak terhenti.

"Celaka, Arya," bisik Panglima Gorawangsa. "Mereka telah masuk ke dalam gua. Kita tidak akan bisa keluar tanpa sepengetahuan mereka. Kita pasti akan berpapasan dengan mereka di tengah jalan. Menurutmu, bagaimana baiknya sekarang?"

"Apakah ada jalan keluar lain kecuali dari mulut gua di depan itu?" tanya Arya ingin tahu.
"Entahlah...," Panglima Gorawangsa menggeleng­kan kepala.

"Kalau begitu, tidak ada jalan lain lagi!" tegas Arya. "Jadi ... ?" dada Panglima Gorawangsa berdebar tegang.

"Kita buka jalan darah untuk keluar dari tempat ini!" tegas dan mantap kata-kata Arya.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak lalu melesat ke depan. Mau tak mau, Panglima Gorawangsa terpaksa mengikuti.

3

Baru beberapa langkah Arya dan Panglima Gorawangsa meninggalkan tempat itu, di hadapan mereka dalam jarak sekitar tiga tombak, terlihat serombongan orang berwajah kasar. Yang berjalan paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Sebelah matanya ditutupi bulatan dari kulit berwarna hitam, yang diikatkan secara menyilang di kepalanya. Memang, mata kanan yang tertutup itu sudah tidak bekerja lagi. Matanya memang tinggal satu.

"Hey...!"

Laki-laki bermata satu berteriak keras seraya menudingkan telunjuk ke depan. Wajahnya menunjukkan raut keterkejutan ketika melihat Arya dan Panglima Gorawangsa.

"Keparat ... !" laki-laki bermata satu menggeram. "Siapa kau, Tikus Kecil?! Sungguh besar nyalimu datang ke tempatku! Bahkan juga membebaskan tawananku!"

"Dialah pemimpin bajak laut itu, Arya," bisik Panglima Gorawangsa memberi tahu. "Dia berjuluk Tengkorak Mata Satu. Kepandaiannya luar biasa. Bahkan aku dapat dirobohkannya dengan mudah."

"Hm...," hanya gumaman tak jelas dari mulut Arya yang menyahuti penjelasan Panglima Gorawangsa.

Terdengar suara menggertak keras dari mulut laki­laki bermata satu itu. Dia marah bukan main, karena Arya sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya.

Srattt..!

Sinar terang berkilau memancar ketika Tengkorak Mata Satu mencabut senjatanya, berupa golok besar vang matanya bergerigi. Dan secepat senjata itu tercabut, secepat itu pula laki-laki bermata satu ini melompat menerjang Dewa Arak.

"Menyingkirlah, Panglima," ujar Arya.

Tanpa menunggu lagi, Panglima Gorawangsa segera menyingkir dari situ. Ada perasaan khawatir di hatinya terhadap keselamatan Arya. Laki-laki ber­kumis dan berjenggot rapi ini telah mengetahui, betapa lihainya Tengkorak Mata Satu. Walaupun telah disaksikannya sendiri kekuatan tenaga dalam Arya, tapi tetap saja tidak yakin kalau Tengkorak Mata Satu mampu dikalahkan.

Dari suara berkesiut nyaring yang mengiringi tibanya serangan golok, Dewa Arak dapat memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki kepala bajak laut itu begitu tinggi. Tapi bila dibanding­kan dengan dirinya, tenaga dalam Tengkorak Mata Satu sama sekali tidak berarti apa-apa.

Begitu melihat pemimpin mereka telah menyerang, Pasukan Tengkorak Laut pun berbondong-bondong menyerbu Panglima Gorawangsa. Sungguh merupa­kan suatu keuntungan bagi para bajak laut itu karena berpapasan dengan Arya dan Panglima Gorawangsa di tempat luas. Hal ini jelas sangat menguntungkan, karena dapat lebih leluasa mengeroyok! .

Panglima Gorawangsa tidak tinggal diam. Dia pun cepat menyambut serbuan para bajak laut itu dengan sera ngan-seranga n membahayakan. Sesaat ke­mudian terdengar denting senjata beradu di udara.

Arya sadar kalau lawan terlalu banyak. Dan lagi Panglima Gorawangsa sudah pasti akan memerlukan bantuannya. Maka dia tidak bertindak main-main lagi. Itulah sebabnya, Dewa Arak sama sekali tidak mengelakkan serangan golok itu.

Karuan saja hal ini membuat Panglima Gorawangsa terperanjat. Dia memang menyempatkan diri melihat keadaan Arya. Perasaan cemas yang hebat berkecamuk di benaknya. Apakah Arya kini telah berubah menjadi pemuda dungu? Masa serangan macam itu tidak mampu dielakkan?

Berbeda dengan Panglima Gorawangsa, Tengkorak Mata Satu dan sisa bajak laut yang tidak ikut mengeroyok, menjadi girang bukan main melihat Arya seperti terpukau. Mereka semua menduga pemuda itu tidak mampu mengelak, karena cepatnya serangan itu.

Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati mereka semua begitu melihat Arya malah menjulurkan tangan dan seperti hendak mencengkeram golok yang menyambar semakin dekat. Dan tiba-tiba....

Takkk ... ! Kreppp ... !

Terdengar suara berdetak keras seperti beradunya dua batang logam ketika tangan Dewa Arak memapak golok baja Tengkorak Mata Satu. Dan sebelum laki­laki bermata satu berbuat sesuatu, tangan Arya telah mencengkeram batang goloknya. Semua kejadian itu berlangsung begitu cepat, dan hanya sekejapan mata saja!

Bukan hanya sebagian bajak laut yang tidak ikut bertarung saja yang terbelalak menyaksikan kejadian itu. Tengkorak Mata Satu pun dilanda perasaan yang sama. Dia sudah bisa memperkirakan, betapa tingginya ilmu kepandaian yang dimiliki lawannya.

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Arya. Begitu golok itu berhasil dicengkeram, jari jari tangannya lalu bergerak meremas. Terdengar suara berkeretek pelan ketika batang golok itu hancur berkeping-keping.

Bulu tengkuk Tengkorak Mata Satu kontan meremang! Apa yang diperbuat Arya belum pernah ditemukan dalam pertarungannya yang sudah tidak terhitung lagi. Seketika itu pula disadari kalau pemuda berambut putih keperakan ini bukan tandingannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, laki-laki bermata satu itu segera melompat ke belakang.

"Serbu ... !" perintah Tengkorak Mata Satu keras pada sisa anak buahnya yang belum bertarung.
Para bajak laut itu seperti digugah dari mimpi. Sesaat mereka saling memandang bingung. Baru sesaat kemudian, mereka mencabut senjata masing­masing dan bergerak menyerbu. Penglihatan yang disaksikan membuat mereka semua terkesima! .

Seketika itu juga, belasan senjata beterbangan mengancam Arya. Pedang, golok, dan tombak, berkelebatan mengancam berbagai bagian tubuhnya.

Tak pelak lagi, di dalam gua yang cukup luas itu terjadi dua kancah pertarungan. Pertarungan antara Dewa Arak dan Panglima Gorawangsa menghadapi bajak laut Pasukan Tengkorak Laut.

***

Panglima Gorawangsa mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi pengeroyokan lawan­lawannya. Pedang di tangannya berkelebatan cepat memapak setiap serangan yang datang mengancam. Suara berdentang nyaring, diiringi berpercikannya bunga-bunga api menyemaraki benturan yang terjadi di antara senjata-senjata mereka.

Tidak percuma laki-laki berkumis dan berjenggot rapi ini menjadi panglima kerajaan.Kepandaiannya cukup tinggi, sehingga setiap serangan yang dilancarkan para pengeroyoknya mampu dielakkan.

Bahkan tak jarang pula ditangkisnya. Padahal jumlah mereka tak kurang dari sepuluh orang. Tambahan lagi, rata-rata mereka memiliki kepandaian lumayan. Bukan itu saja. Serangan yang dilancarkan pun datangnya susul-menyusul seperti gelombang laut.

Dewa Arak sadar kalau keadaan Panglima Gorawangsa tidak menguntungkan. Sewaktu-waktu, bisa saja panglima itu terkena serangan lawan. Makanya kini dia tidak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan seluruh kemampuan. Hujan berbagai macam senjata yang menuju ke arahnya dibiarkan saja. Dengan tenaga dalamnya yang telah berada jauh di atas lawan, dibiarkan saja semua senjata itu mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, Dewa Arak tidak menderita luka sedikit pun.

Takkk, takkk, takkk ... !

Suara berdetak keras seperti beradunya berbagai batang logam terdengar ketika beraneka ragam senjata berbenturan dengan sekujur tubuh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu memang sengaja tidak mengelak atau menangkis semua serangan, kecuali yang tertuju ke matanya.
Suara-suara pekikan kaget terdengar dari mulut para bajak laut itu, menyaksikan betapa semua senjata yang mengenai sasaran malah terpental batik, seperti menghantam karet kenyal. Bukan hanya itu saja. Tangan yang menggenggam senjata pun terasa sakit-sakit. Sementara Dewa Arak sama sekali tampak tidak terpengaruh! .

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. Kedua tangannya digerakkan. Perlahan saja kelihatannya. Tapi akibatnya, tubuh para bajak laut itu berpentalan seperti diamuk angin topan!
Begitu semua lawannya telah berpentalan tak tentu arah, Arya segera melesat ke arah Panglima Gorawangsa yang kini semakin terjepit. Pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke atas, seraya kedua tangannya diputar-putarkan dari luar ke dalam.

Hebat akibatnya! Dari kedua tangan yang ber­putaran itu keluar angin dahsyat yang membuat gerombolan bajak laut yang mengeroyok Panglima Kerajaan Pasugihan itu berpentalan tak tentu arah.

Suara-suara berdebukan keras terdengar dari tubuh yang jatuh di tanah dan yang membentur dinding gua. Itu pun masih ditingkahi suara ber­dentingan dari senjata-senjata Pasukan Tengkorak Mata Satu yang berpentalan entah ke mana.

Serasa hampir melompat keluar sepasang mata Tengkorak Mata Satu melihat semua kejadian ini. Tidak pernah terbayangkan kalau gerombolan yang selama ini merajalela di lautan tanpa pernah ter­kalahkan, kini dibuat berantakan oleh seorang pemuda hanya dalam segebrakan saja! Kalau tidak ingat malu, ingin rasanya laki-laki bermata satu ini menangis! .

Bukan hanya Tengkorak Mata Satu yang berbelalak. Panglima Gorawangsa pun dilanda perasaan yang sama. Dia memang telah mem­perkirakan kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki kepandaian tinggi. Tapi, sama sekali tidak disangka kalau sampai selihai ini.

Akibatnya, untuk beberapa saat lamanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu terpukau. Panglima Gorawangsa terkesima dengan pedang masih tergantung di tangan! Dia baru tersadar kembali dari kesimanya, ketika Tengkorak Mata Satu berteriak nyaring. Laki-laki bermata satu itu kemudian melompat menerjang Dewa Arak! Golok yang kini tinggal sepotong, diputar-putarkan di atas kepala, lalu meluncur deras ke arah leher Arya!

Kesabaran Dewa Arak pun habis. Semula, dia tidak bermaksud menjatuhkan tangan kejam pada Tengkorak Mata Satu. Sungguhpun telah didengarnya sendiri tentang kejahatan laki-laki bermata satu ini, tapi Arya rasanya tidak tega menjatuhkan tangan kejam.

Dan kini pertimbangan Dewa Arak lenyap. Tengkorak Mata Satu terlalu keras kepala. Orang seperti ini tidak mungkin dibiarkan merajalela. Hidup pun akan menjadi ancaman bagi orang lain. Tambahan lagi, pikiran Arya tengah dilanda keruwetan memikirkan keselamatan Melati.

Dengan gerakan seenaknya, Dewa Arak mengulur­kan tangan kiri. Seketika, batang golok Tengkorak Mata Satu berhasil dicekal, dan secepat itu pula di­sentaknya.

Terdengar suara bergemeletuk ketika sambungan tulang pangkal lengan Tengkorak Mata Satu terlepas diiringi tertariknya tubuh laki-laki bermata satu itu ke arah Dewa Arak. Ada keluhan tertahan terdengar dari mulut kepala bajak laut itu.

Dan tertariknya tubuh Tengkorak Mata Satu, segera dipapak oleh tepakan tangan kanan Arya ke arah dada.

Plakkk..!

Perlahan saja kelihatannya tangan itu menepak dada, tapi akibatnya tidak sesederhana itu bagi Tengkorak Mata Satu. Ada suara keluhan tertahan keluar dari mulutnya diikuti memerciknya cairan merah kental. Dari suara yang berderak keras, jelas ada tulang dada yang remuk di dalam tubuh Tengkorak Mata Satu.

Begitu tepakan tangannya telah mengenai sasaran, Dewa Arak pun melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki bermata satu itu terbanting jatuh ke tanah. Tengkorak Mata Satu menggelepar­gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak ber­gerak lagi. Kepala bajak laut yang ditakuti itu pun tewas di tangan Dewa Arak hanya dalam segebrakan saja! .

Karuan saja kematian pemimpin mereka secara demikian mudah, membuat para bajak laut itu men­jadi gentar. Tambahan lagi, mereka telah melihat sendiri kesaktian Dewa Arak. Maka tanpa pikir panjang lagi, mereka semua menyerah.

"Ampunkan kami, Tuan Pendekar," ratap seorang bajak laut yang berambut hitam campur coklat.

"Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini, Tuan Pendekar," janji yang lain. Dia seorang laki-laki bertubuh pendek kekar.

"Benar, Tuan Pendekar," sambut yang lain.

Sesaat kemudian suara riuh rendah pun terdengar. Karena tidak hanya tiga orang bajak laut itu saja yang mengucapkan janji. Berturut-turut dan saling susul­menyusul, semua bajak laut itu mengucapkan janji.

Arya tersenyum, kemudian menoleh ke arah Panglima Gorawangsa.

"Aku tidak berhak memutuskannya," ucap pemuda berambut putih keperakan itu sambil tersenyum. "Ada yang lebih berhak menentukannya."

Panglima Gorawangsa tercenung beberapa saat. Dia mengerti maksud ucapan dan pandangan Dewa Arak padanya. Arya menyerahkan semua keputusan itu padanya. Seketika itu juga perasaan bimbang melanda hati Panglima Gorawangsa. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu tengah menghadapi pilihan yang sulit, dan bingung mengambil keputusan.

"Hhh ... !" Panglima Gorawangsa menghela napas berat. "Kalau menuruti perasaan, rasanya sulit bagiku untuk mengampuni. Kejahatan kalian telah melampui atas. Tapi karena memandang Arya sahabatku ini, aku bersedia mengampuni kalian...."

"Terima kasih, Panglima Gorawangsa," selak seorang bajak laut bertubuh pendek kekar cepat.

"Kami sudah menduga akan mendapatkan ampunan. Kebijaksanaan panglima telah lama kami dengar," sambung orang yang berambut hitam campur coklat bernada memuji.

Panglima Gorawangsa tersenyum pahit .

"Tapi, ingat," sambung laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. "Aku telah mengenali tampang­tampang kalian semua. Apabila kelak kudapati ada di antara kalian yang melakukan kejahatan, maka aku tak akan segan-segan lagi bertindak!"

"Panglima boleh membuktikan janji kami," tegas bajak laut yang berambut hitam campur coklat bernada tantangan.

"Baik! Aku pegang janji kalian ini," kata Panglima Gorawangsa menyambut tantangan itu. Suaranya terdengar lantang penuh wibawa.

Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan pem­bicaraan ini, diam-diam memuji kebijaksanaan Panglima Gorawangsa. Perasaan kagum kembali menyeruak dalam hatinya.

"Dan sebagai bukti pertama dari kesadaran kami, semua harta rampasan yang ada, kami serahkan pada panglima," tegas bajak laut yang berambut hitam kecoklatan.

Kepala semua bajak laut yang lain terangguk mendengar ucapan rekan mereka itu. Jelas kalau mereka semua menyetujui keputusan yang diambil bajak laut berambut hitam bercampur coklat itu.
Panglima Gorawangsa menggoyang-goyang tangannya.

"Tidak perlu diserahkan semua. Masing-masing kalian boleh mengambil harta rampasan itu se­cukupnya. Pergunakan sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang baru. Setelah itu baru sisanya kalian serahkan padaku."

"Terima kasih atas kebaikan hati panglima," ucap bajak laut yang bertubuh pendek kekar gembira.

Keputusan yang diambil Panglima Kerajaan Pasugihan ini benar-benar di luar dugaan orang itu. Sementara rekan-rekannya sebagian besar berdiam saja. Tidak banyak bicara, kecuali sekali-kali saja. Mereka pun merasa gembira bukan main mendengar keputusan yang diambil Panglima Gorawangsa. Rupanya, anggota gerombolan yang lain telah menyerahkan seluruh urusan itu pada kedua orang rekannya.

Kembali perasaan kagum menyeruak dalam hati Dewa Arak. Keputusan Panglima Gorawangsa untuk membekali para bajak laut itu benar-benar merupa­kan sebuah keputusan yang sangat tepat.

Setidak­tidaknya, dengan adanya bekal harta itu mereka dapat menggunakan untuk menekuni pekerjaan baru.

Perlahan Dewa Arak melangkah kembali ke dalam gua. Melihat hal ini, Panglima Gorawangsa buru-buru mengejarnya.

"Arya ... ! Tunggu...!" Arya menghentikan langkah, kemudian membalikkan tubuhnya.
"Ada apa, Panglima?" tanya Dewa Arak pelan.
"Kau mau ke mana?" tanya Panglima Gorawangsa ingin tahu.

"Istirahat," kalem ucapan Dewa Arak. "Besok aku harus melanjutkan perjalananku lagi. Jadi aku ingin beristirahat"

"Jadi.., kau membohongiku sewaktu mengatakan terdampar di sini?" tanya Panglima Gorawangsa setelah terdiam beberapa saat lamanya.

"Maafkan aku, Panglima," pelan suara Dewa Arak.

Wajah pemuda berambut putih keperakan ini memerah karena perasaan malu yang menyeruak. Malu karena kebohongannya telah diketahui.

"Lupakanlah, Arya," desah Panglima Gorawangsa bijaksana. "Aku bisa memakluminya."
"Terima kasih."

Suasana menjadi hening sejenak ketika Dewa Arak menghentikan ucapannya. Dan Panglima Gorawangsa pun tidak melanjutkan ucapannya pula.

"Boleh kutahu, ke mana kau akan pergi, Arya?" tanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu, hati­hati. Dia begitu khawatir kalau pertanyaannya menyinggung perasaan Dewa Arak.

"Aku akan pergi ke Pulau Ular, Panglima," sahut pemuda berambut putih keperakan itu pelan.

"Apa?!" Panglima Gorawangsa tersentak bagai disengat ular berbisa. Sepasang matanya berbelalak lebar bagaikan melihat hantu. "Kau tidak main-main, Arya?"

Dewa Arak menggelengkan kepala.

"Kalau boleh aku memberi nasihat, urungkan saja niatmu itu, Arya." Raut wajah Panglima Gorawangsa menampakkan kekhawatiran yang amat sangat

"Terima kasih atas saranmu itu, Panglima. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya. Nyawa seorang kawanku bergantung pada usahaku di Pulau Ular."

Panglima Gorawangsa pun terdiam, tidak berkata kata lagi. Meskipun belum lama mengenal, sebagai orang yang sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai macam tingkah dan polah manusia, dia sudah bisa mengetahui kalau percuma saja mencegah Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu termasuk orang yang teguh memegang keputusan. Sekali berkata hitam, selamanya akan tetap hitam!

"Kalau begitu, aku hanya bisa mendoakan agar kau berhasil menjalankan tugasmu itu, Arya," hanya itu yang bisa diucapkan Panglima Gorawangsa.

"Terima kasih, Panglima," sahut Dewa Arak.

Dan memang pemuda berambut putih keperakan ini merasa berterima kasih sekali atas perhatian panglima itu padanya.

Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkah meninggalkan Panglima Gorawangsa yang hanya dapat memandangi punggung pemuda berambut putih keperakan itu. Sinar mata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu penuh dengan kekhawatiran dan kecemasan.

4

Pagi baru saja menjelang, ditandai oleh munculnya bola api raksasa berwarna merah di ufuk Timur. Sepertinya bola api raksasa itu muncul dari per­mukaan laut. Angin pun masih bertiup semilir ketika Arya dan Panglima Gorawangsa mulai men-dorong perahunya ke laut.

Memang, para bajak laut di bawah pimpinan Tengkorak Mata Satu mempunyai beberapa buah perahu kecil. Dan dengan senang hati, mereka mem­berikannya pada Dewa Arak dan Panglima Gorawangsa.

Kedua orang itu memang telah sepakat untuk meninggalkan pulau bersama-sama. Hanya saja tujuan mereka berbeda. Dewa Arak menuju ke Pulau Ular, sementara Panglima Gorawangsa kembali ke tempatnya semula. Kerajaan Pasugihan.

Baik Arya maupun Panglima Gorawangsa meng­gunakan perahu yang sama. Namun pada perahu yang ditumpangi Panglima Gorawangsa terdapat harta hasil rampasan para bajak laut itu.

Sejauh beberapa tombak dari pulau tempat tinggal gerombolan Pasukan Tengkorak Laut, perahu Dewa Arak dan Panglima Gorawangsa berdampingan. Tapi setelah itu, arah kedua perahu itu pun terpisah.

"Jangan lupa singgah di tempatku, apabila masalahmu telah selesai, Arya," pinta Panglima Gorawangsa ketika perahu mereka berdua mulai berpisah untuk menempuh jalan masing-masing.
"Akan kuingat permintaanmu itu, Panglima," sahut Dewa Arak.

"Aku akan selalu menunggu kedatanganmu, Arya...!"

Dewa Arak hanya tersenyum, dan tidak lagi menyahuti. Jarak di antara mereka semakin jauh. Dan dengan sendirinya, perahu yang mereka tumpangi itu pun semakin terlihat mengecil. Dan akhirnya lenyap sama sekali.

Kini perhatian Arya tertuju penuh pada tujuannya semula. Mencari Pulau Ular! Dewa Arak melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa. Dia ingin buru-buru tiba di tempat yang dituju. Maka tanpa segan-segan lagi, segera dikerahkan tenaga dalamnya pada tangan yang mengayuh dayung. Hebat akibatnya! Perahu itu melaju seperti anak panah yang lepas dari busur!

Perlahan-lahan matahari merangkak semakin tinggi. Dan seiring semakin tingginya matahari, hari pun semakin siang. Dan dengan sendirinya, Arya pun mulai lelah. Rasa lapar dan haus menyengat kerongkongannya.

Dewa Arak lalu menyimpan dayungnya, dan membiarkan perahunya terbawa arus gelombang. Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini mulai sibuk dengan bekal yang diberikan gerombolan Pasukan Tengkorak Laut. Memang, begitu mengetahui tujuan Dewa Arak, mereka memberikan bekal makanan dan minuman yang diperkirakan cukup hingga sampai sana.

***

Pada hari ke enam pelayarannya, hati Dewa Arak mulai berdebar tegang. Samar-samar hidungnya mencium bau amis memuakkan yang dibawa angin laut. Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera mengambil sebutir pil penawar racun yang diberikan Eyang Sagapati.

Semangat Arya yang semula sudah mulai pudar, kembali timbul. Dia seolah-olah mendapat tambahan tenaga baru. Sepercik harapan mulai terbetik di hatinya. Mudah-mudahan saja, bau amis memuakkan ini adalah pertanda kalau dia telah memasuki wilayah Pulau Ular! .

Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya Arya mengayuh sekuat-kuatnya agar segera tiba di tempat tujuan. Tapi kehati-hatiannya dan sikap waspada telah melarangnya. Dia tidak ingin usahanya kandas, hanya karena sikap ceroboh. Maka sekuat tenaga perasaan melonjak-lonjak untuk mengayuh dayung­nya secepat mungkin ditahannya. Dewa Arak terus mengayunkan dayung perlahan-lahan.

Semakin lama, bau amis yang tercium semakin menyengat hidung. Semula Dewa Arak masih sanggup bertahan. Tapi lama-kelamaan, dia mulai tidak kuat lagi. Bau amis itu terlalu memuakkan. Sepertinya tepat di hadapannya ada sebukit sampah udang mentah! Amisnya begitu memuakkan, mem­buat seluruh isi perutnya seperti akan tumpah ke luar! .

Terpaksa Arya menghentikan gerak mendayungnya sebentar. Dia yakin kalau maju beberapa tombak lagi, kemungkinan tidak akan tahan terhadap bau amis yang membuat isi perutnya teraduk itu. Bau amis itu sudah begitu luar biasa keras. Padahal, perairan yang diberi tahu oleh Ki Temula belum ditemukannya.

Kini pemuda berambut putih keperakan ini mengerti, mengapa kakek berwajah tirus itu langsung mundur teratur begitu tiba di wilayah pertama menuju Pulau Ular. Kalau halangan pertamanya saja sudah seperti ini, bagaimana dengan halangan selanjutnya? .

Secepat kayuhannya dihentikan, secepat itu pula Arya membuka buntalan kain putih yang berisi obat­obat yang diberi oleh Eyang Sagapati. Kemudian segera dikeluarkannya sebuah kendi kecil dari buntalan itu. Seketika tutupnya dibuka.

Bau wangi dan harum yang menyerap sejuk sampai ke dada, tercium begitu tutup kendi itu terbuka. Tapi hanya sesaat saja bau wangi dan harum itu menyebar. Sesaat kemudian, bau amis memuak­kan itu kembali menyeruak.

Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera menuangkan kendi itu ke sekeliling perahu. Ternyata, isi kendi itu berupa bubuk-bubuk halus mirip tepung. Eyang Sagapati memang memberikannya pada Dewa Arak, untuk melawan bau busuk yang memuakkan.

Arya terus menaburkannya sampai seluruh isi kendi itu habis. Dari ahli obat istana nomor satu itu, dia telah tahu kalau bubuk itu dibuat dari campuran beberapa macam tumbuhan. Di antaranya adalah kayu pohon cendana dan kayu rasamala.

Wewangian yang diberikan Eyang Sagapati ter­nyata cukup membuahkan hasil. Meskipun tidak terusir seluruhnya, tapi bau amis yang menerpa hidung Arya tidak lagi sekeras semula. Sebagian besar sudah tertutupi oleh bau wangi yang timbul dari bubuk yang ditaburkannya tadi.

Kini Dewa Arak kembali mengayunkan dayung untuk melanjutkan perjalanan yang tadi tertunda sejenak. Bau amis yang memuakkan mulai semakin menguat lagi, walaupun tidak bisa sekeras seperti sebelum dilawan dengan wewangian.

Tak lama kemudian, Arya mulai melihat per­mukaan air laut yang berwarna hitam pekat. Arya bingung memikirkan, mengapa permukaan air laut yang berwarna biru tidak bercampur dengan per­mukaan air laut yang berwarna kehitaman.

Tapi Arya tidak sempat memikirkannya, karena sudah sibuk memusatkan seluruh pikirannya untuk menghadapi hambatan-hambatan yang akan di­jumpai.

Sepasang mata Arya terbelalak begitu melihat asap tipis mengepul di atas pemukaan air yang berwarna hitam itu. Seketika tercium bau amis memuakkan dari asap yang mengepul itu.
Kini Dewa Arak tahu, dari mana asal bau amis yang membuat seluruh isi perutnya seperti diaduk­aduk itu. Ternyata, bau itu berasal dari larutan air yang berwarna hitam kelam.

Arya tidak berani main-main. Dengan gerakan hati­hati, dayungnya dikayuh. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak berani mengayuh secara sembarangan dan ceroboh. Dia khawatir larutan berwarna hitam itu akan memercik ke tubuhnya. Padahal, dia sama sekali belum mengetahui keistimewaan air itu.

Karena Arya mengayuhnya secara hati-hati, tidak aneh kalau laju perahu itu pun tersendat-sendat. Pelan sekali seperti seekor keong merayap.

Cukup lama juga Arya mengayuh kan dayungnya melalui laut yang memiliki air yang berwarna hitam itu. Baru ketika matahari naik tinggi, warna air laut berubah merah seperti darah. Baunya pun tidak lagi amis seperti sebelumnya. Namun justru bau busuk yang kini menyerangnya. Seakan-akan di hadapan Arya tergeletak bangkai tikus yang telah membusuk.

Bila dibandingkan sebelumnya, bau air laut yang berwarna merah ini tidak terlalu memualkan perut. Tapi mendadak Arya terkejut ketika merasa kan sepasang kelopak matanya jadi berat. Bahkan beberapa kali tanpa sadar, sepasang kelopak matanya mengatup sendiri.

Semula Arya tidak merasa curiga. Hal itu dianggap­nya wajar saja. Mungkin karena dirinya terlalu lelah, sehingga tanpa dapat ditahan lagi sepasang kelopak matanya terkatup sendiri.

Dewa Arak baru merasa curiga ketika merasakan ada kekuatan aneh yang menarik perahunya. Perahunya terbawa ke suatu tempat.

Seketika itu juga Arya terperanjat. Langsung dia tersadar kalau lautan yang berbau busuk itu mengandung racun, sehingga membuat orang mengantuk tanpa disadari. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera menelan pil pemberian Eyang Sagapati. Pil yang khusus untuk mengusir pengaruh racun pembius.

Memang setelah Arya menelan pil itu, tak lama kemudian rasa kantuknya mulai berkurang banyak. Apalagi pemuda berambut putih keperakan itu kini telah berusaha menahan rasa kantuk yang melanda.

Dan begitu tersadar, Dewa Arak jadi terkejut bukan main. Kekuatan yang menarik perahunya ke satu arah ini telah semakin bertambah saja. Berdasarkan pengalaman yang pernah dialami ketika dulu terbawa kekuatan di sungai, Dewa Arak segera bersikap waspada. Dan begitu mengetahui kalau perahunya ditarik sebuah kekuatan aneh, pemuda berambut putih keperakan ini segera melayangkan pandangan ke depan. Seketika itu juga, sepasang mata Dewa Arak terbelalak.

Betapa tidak? Sekitar beberapa tombak dari perahunya, nampak sebuah pusaran air. Suara bergemuruh yang mengerikan terdengar mengiringi putaran air itu.

Dewa Arak sadar kalau terlambat, bahaya besar akan mengancamnya. Perahunya akan luluh lantak dalam pusaran air itu apabila tidak segera berusaha meloloskan diri.

Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera mengayuhkan dayungnya, untuk segera meninggal­kan tempat itu. Tahu akan ancaman bahaya yang telah mengintai, seluruh tenaga dalam langsung dikerahkannya.

Untung bagi pemuda berambut putih keperakan ini. Ternyata perahunya masih berada dalam luar pusaran air. Sehingga, kekuatan yang menarik perahunya belum terlalu kuat. Sedikit demi sedikit perahu Arya mulai meninggalkan tempat itu.

"Hhh ... !"

Arya menghembuskan napas lega begitu perahu­nya telah berhasil meninggalkan tempat berbahaya tadi. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini bergidik. Kalau saja tidak keburu merasa curiga begitu diserang kantuk yang amat sangat, mungkin dia kini telah berada di dasar lautan bersama perahunya yang telah hancur berkeping-keping.

***

Begitu telah berhasil meloloskan diri dari pusaran air, Dewa Arak baru sadar kalau telah salah arah. Tampak matahari kini telah berada di sebelah kanannya. Berarti, Arya telah menuju ke arah Utara. Jadi tanpa sepengetahuannya, dia telah terseret arus putaran ke arah Utara.

Kini Dewa Arak kembali berusaha menempuh jalan yang benar. Patokan yang menjadi dasar arah bagi Dewa Arak memang sudah tidak mungkin diragukan lagi. Matahari!

Seiring bergantinya warna air laut menjadi berwarna hijau, samar-samar di hadapan Dewa Arak tampak sebuah pulau.

Seketika itu juga wajah Dewa Arak berseri. Sudah tidak bisa diragukan lagi kalau pulau yang tampak di hadapannya ini adalah Pulau Ular. Karena, semuanya persis dengan cerita Ki Temula.
Kakek berwajah tirus itu memang telah mem­beritahukannya. Dan semua memang cocok dengan yang ditemuinya. Begitu telah menemukan laut yang airnya berwarna hijau, Dewa Arak akan melihat sebuah pulau. Dan itu memang dijumpainya.

Seketika itu juga semangat Dewa Arak semakin berkobar-kobar. Meskipun begitu, sikapnya diusaha­kan untuk tenang. Dia tidak mau menuruti luapan perasaan semata-mata. Maka sungguh pun keinginan untuk segera tiba di Pulau Ular begitu menggebu­gebu, Dewa Arak tetap tenang melajukan perahunya.

Entah berapa lama perahunya melaju, namun pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mempedulikannya. Yang jelas, suasana masih cukup terang ketika warna permukaan air laut berubah. Tidak lagi hijau seperti sebelumnya, tapi biasa seperti warna air laut umumnya.

Dan begitu Dewa Arak telah menemukan per­mukaan air laut yang biasa, daratan itu telah semakin jelas terlihat. Seketika pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya. Betapa tidak? Daratan Pulau Ular ternyata terletak jauh di atas permukaan laut Sulit bagi orang untuk mendarat di sana.

Tambahan lagi, arus gelombang laut di sekeliling pulau itu tidak terarah. Begitu menghantam dinding pulau itu gelombang air langsung berbalik, menyebar ke segala arah.

Beberapa saat lamanya Arya kebingungan. Bagaimana cara mendarat ke sana? Jangankan mendarat, untuk mendekati pulau itu, perahunya tidak bisa. Setiap kali dikayuh mendekati pulau itu, setiap kali pula perahunya hampir terguling karena terkena dorongan air yang menghempas dari dinding pulau. Paling tidak, perahu itu akan terdorong kembali ke telakang.

Beberapa saat lamanya Dewa Arak tercenung. Menilik dari dahinya yang berkernyit, sudah dapat dipastikan kalau tengah berpikir keras.

Tak lama kemudian kernyit di dahi Arya lenyap, berganti dengan sinar keceriaan. Bahkan sepasang matanya pun berbinar-binar. Jelas kalau sebuah gagasan telah ditemukannya.

Dewa Arak segera mengambil dua bilah papan dan tambang dari sudut perahu, kemudian diikatkan di bawah alas kakinya.

"Hih ... !"

Arya menggertakkan gigi. Kedua lututnya menekuk sebentar. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah me­layang ke atas. Dia bersalto beberapa kali di udara, kemudian....

Pyarrr ... !

Air laut memercik tinggi ke udara begitu kedua kaki Dewa Arak menyentuh permukaan air laut.

Tidak hanya sampai di situ saja. Begitu kedua kakinya menyentuh permukaan air, Arya lalu kembali melompat ke udara, dan bersalto beberapa kali. Kemudian kakinya menyentuh permukaan laut dengan menimbulkan percikan air di sana-sini. Begitu seterusnya.

Memang dengan cara seperti itu, Arya tidak mengalami kesulitan untuk mendekati daratan pulau. Hanya dalam beberapa kali lompatan saja, tubuhnya sudah berada dekat dinding Pulau Ular.

"Hih ... !"

Kembali Arya menggertakkan gigi. Seketika itu juga tubuhnya melayang ke atas. Tapi kali ini lebih tinggi daripada sebelumnya. Maksudnya memang untuk bisa mendarat di permukaan Pulau Ular.

Tubuh Dewa Arak lalu melenting ke atas, dan bersalto beberapa kali di udara. Maka....

"Hu p... !"

Ringan tanpa suara kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah.

5

Secepat kedua kakinya mendarat di tanah yang ternyata becek, secepat itu pula Dewa Arak mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sikapnya benar-benar waspada. Tampak di hadapannya, hamparan rumput kering berwarna kecoklatan yang tinggi menjulang.

Setelah melepaskan alas kakinya, Dewa Arak terpaku. Dia tahu tidak ada jalan lain untuk masuk terus ke dalam pulau itu kecuali melewati hamparan rumput kering yang tinggi membentang. Kanan kirinya adalah tebing-tebing tinggi, yang di bawahnya terhampar lautan luas.

Perlahan dan hati-hati sekali Dewa Arak melangkah mendekati hamparan rumput itu. Kelihatannya dekat saja letaknya, tapi ketika didekati rupanya jauh juga. Jarak hamparan padang rumput itu dari tempat Arya tadi berdiri tak kurang dari tiga puluh tombak.

Selangkah demi selangkah Dewa Arak bergerak mendekat. Arya melangkah hati-hati sekali. Walau suasana di sekeliling sepi-sepi saja. Kewaspadaannya tetap tidak ditinggalkan. Sepasang matanya menatap berkeliling. Mendadak....

Blosss ... !

Dewa Arak terperanjat ketika kaki kanannya amblas ke dalam tanah sampai sebatas betis. Tanah yang dipijaknya ternyata empuk seperti bubur!

Belum lagi lenyap perasaan kagetnya, mendadak Arya merasakan adanya kekuatan aneh yang menarik kakinya terus ke dalam tanah.

"Lumpur hidup...," desis Arya dengan hati berdebar tegang. Memang dia telah cukup sering mendengar tentang lumpur hidup. Tapi, baru kali ini ditemukannya.

Sebuah keuntungan bagi Dewa Arak, karena hanya sebelah kakinya saja yang masuk ke dalam lumpur hidup itu. Sementara kaki kirinya masih berada di tempat yang aman. Maka, berkat ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, tidak sulit bagi pemuda berambut putih keperakan itu untuk tidak mem­biarkan seluruh tubuhnya terserap lumpur hidup.

Tapi hanya sesaat saja Arya dilanda perasaan bingung. Sesaat kemudian, dia sudah kembali seperti sikapnya semula. Tenang dan penuh perhitungan.

Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak segera mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menarik kembali kakinya yang terbenam dalam lumpur. Sesaat kemudian, adu tarik-menarik pun terjadi. Arya mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali kakinya. Sementara lumpur hidup itu berusaha menyedot kaki Dewa Arak ke bawah.

Adu tarik-menarik rupanya tidak berlangsung lama. Dewa Arak dengan tenaga dalamnya yang telah mencapai tingkatan tinggi, tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk menarik kembali kakinya. Sesaat kemudian, perlahan-lahan kaki kanannya mulai ter­angkat naik. Dan kini dia telah berhasil mem­bebaskan kakinya dari cengkeraman lumpur hidup itu.

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas lega. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu bersyukur, karena tetap bersikap hati-hati. Kalau saja tadi tidak bersikap hati-hati, mungkin sudah tewas di dalam lumpur hidup itu.

Mendadak Dewa Arak tersentak. Dirasakan adanya getar-getar aneh pada kaki kanannya. Bergegas kepalanya ditolehkan. Dan seketika itu juga sepasang mata Arya terbelalak. Betapa tidak? Di sekujur kaki sampai sebatas tutut, bertengger benda-benda hidup berwarna hitam sebesar jari. Lintah! Dan menilik dari bentuknya yang sudah gendut-gendut itu, bisa dipastikan kalau lintah-lintah itu telah cukup lama mengisap darahnya!

Menilik dari banyaknya, Arya tidak mau membunuh mereka dengan tangan. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa jijik membunuh binatang­binatang itu dengan tangan kosong. Maka tanpa ragu­ragu lagi 'Tenaga Dalam Inti Matahari' segera dikerah­kan.

Sebenarnya bisa saja Dewa Arak membunuh binatang-binatang itu dengan semburan araknya. Tapi, dia tidak ingin menghamburkan araknya untuk hal-hal yang kurang penting. Karena masih ada hal yang lebih penting lagi yang membutuhkan araknya. Itulah sebabnya sepanjang perjalanan menuju kemari, araknya tidak pernah diminum.

Bergegas Arya memusatkan pikiran. Dan sesaat kemudian, hawa panas dari pusar bergolak ke arah kakinya. Hanya sekejapan saja, hawa panas itu telah berada di kakinya.

Hebat bukan main akibatnya! Satu persatu tubuh lintah-lintah itu berguguran ke tanah. Tubuh binatang­binatang itu melipat, lalu menggeliat-geliat di tanah. Dan akhirnya , diam tidak bergerak lagi.

Baru saja lintah-lintah itu tidak bergerak lagi, mendadak rasa pusing menyerang Arya. Semua yang dilihatnya seperti berputaran. Bahkan bukan hanya itu saja. Sekujur urat-uratnya pun terasa mengejang.

Meskipun dalam keadaan seperti itu, otak Dewa Arak masih sempat berpikir. Tidak salah lagi, lintah­lintah itu pasti beracun! Begitulah kesimpulan yang diambil pemuda berambut putih keperakan itu.

Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, buntalannya segera dijumput. Kemudian dengan susah, karena urat-uratnya yang telah mengejang, dan juga karena pandangannya yang sudah tidak jelas, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil mengambil obat yang dicarinya. Dan begitu didapat, segera ditelannya.

Baru saja obat itu ditelannya, Arya sudah tidak sanggup lagi menahan rasa pusing yang menyerang. Diiringi sebuah keluhan tertahan, Dewa Arak roboh pingsan.

***
Entah sudah berapa lama Dewa Arak tidak sadarkan diri. Yang jelas ketika sadar, matahari telah muncul di ufuk Timur. Sementara sewaktu perasaan pusing menyerangnya, matahari baru saja tergelincir dari titik tengahnya. Jadi, paling sedikit Arya telah tidak sadarkan diri selama semalaman lebih.

Setelah menggeliat-geliatkan tubuh beberapa saat lamanya, Dewa Arak baru bangkit dari berbaringnya, kemudian duduk. Dahinya berkernyit mencoba mengingat-ingat kejadian yang dialami sampai tahu­tahu tertidur.

Tidak sulit bagi pemuda berambut putih keperakan ini untuk mengingat-ingat kejadian yang dialami. Karena, di hadapannya masih terpampang bukti-bukti yang membantunya untuk mengingat-ingat.

Kini Dewa Arak tercenung. Sepasang alisnya nampak bertautan. Jelas ada sesuatu yang dipikir­kannya. Memang, dia tengah memikirkan jalan untuk nelewati lumpur hidup ini.

Dewa Arak yakin, pasti ada jalan lain untuk menuju ke tengah pulau. Maka, pandangannya diedarkan ke sekeliling. Pulau tempatnya berdiri ini hanya pulau kecil. Lebarnya tak lebih dari dua ratus tombak. Kalau panjangnya, Dewa Arak sama sekali tidak bisa memperkirakan, karena di hadapannya terpampang hamparan rumput ilalang tinggi. Dan lagi, lebar pulau yang disinggahinya juga tertutup hamparan rumput ilalang!

Yakin pada dugaannya, membuat semangat Dewa Arak kembali bangkit. Cepat dia bangkit berdiri, kemudian berjalan ke arah kiri pulau sampai tiba di ujungnya. Tak lupa di sepanjang perjalanan menuju ke sana, dipungutnya batu-batu sebesar kepala yang berserakan di sana-sini.

Iseng-iseng Arya melongokkan kepala ke bawah. Tampak olehnya lautan yang membentang di sana. Agak ciut juga hatinya. Maka, pandangan Arya segera dipalingkan.

Kini Dewa Arak kembali pada maksudnya semula, mencari jalan yang aman untuk masuk ke dalam pulau.

"Hih...!"

Arya mulai dengan percobaannya. Dilemparkannya baru itu ke atas tanpa pengerahan tenaga dalam sama sekali.

Wuuuttt..!

Baru itu meluncur naik ke atas. Dan setelah daya lontarannya habis, batu itu meluncur ke tanah dalam jarak sekitar dua tombak di hadapan Dewa Arak. Brukkk ... !

Batu sebesar kepala itu jatuh di tanah. Kontan tanah yang kelihatannya keras, langsung melesak. Batu itu tenggelam sedikit ke dalam tanah yang ternyata bagian dalamnya empuk.

Semula hanya sebagian kecil saja yang terbenam. Tapi, semakin lama semakin banyak bagian batu yang tenggelam. Rupanya tanah yang terlihat keras itu di dalamnya adalah lumpur hidup yang akan menyedot apa pun yang berada di atasnya.

Arya bergidik melihatnya, tak sanggup mem­bayangkan kalau seandainya terjeblos di lumpur hidup yang tertutup lapisan tanah tipis itu.

Dewa Arak tidak hanya sekali saja mencobanya.

Kakinya segera melangkah sekitar tiga tindak ke tanah, kemudian kembali melemparkan batu sebesar kepala yang dibawanya. Lagi-lagi batu itu tenggelam. Tapi Dewa Arak tidak putus asa, dan terus melangkah ke kanan sambil melemparkan batu itu. Hasilnya tidak jauh berbeda.

Dewa Arak terus saja mencoba sampai akhirnya tiba di bagian paling kanan pulau itu. Kini pemuda berambut putih keperakan ini tidak bisa lagi mencobanya karena di sebelah kanannya, nun jauh di bawah, terbentang lautan luas.

"Hhh ... !"

Dewa Arak menghela napas panjang, antara bingung dan putus asa. Jelas dari hasil percobaannya dapat diketahui, tidak ada jalan yang aman untuk masuk ke dalam pulau. Jalan satu-satunya hanyalah melalui lumpur hidup. Tapi bagaimana caranya?

Untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak tercenung. Pikirannya berputar keras, mencari jalan untuk melewati lumpur hidup itu. Sepasang alis Arya hampir bertautan saking kerasnya berpikir.

Beberapa saat lamanya Arya bersikap seperti itu, berdiri dengan sepasang alis berkerut. Sementara ibu jari dan telunjuknya mengelus-elus dagu. Sepasang matanya menatap tak bergeming pada satu titik.

Beberapa saat kemudian, wajah Arya berseri. Kerutan pada sepasang alisnya pun lenyap. Suatu bukti kalau telah ditemukan suatu cara.

Kini Arya menerawangkan pandangannya ke depan. Diperkirakannya jarak dari tempatnya berdiri, kehamparan rerumputan yang terdapat di sana. Menurut perhitungannya, jarak itu tak kurang dari tiga puluh tombak! Sebuah jarak yang teramat jauh untuk dapat dilompatinya, sekalipun mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.

Tapi kini dia telah menemukan cara untuk mengatasinya. Diambilnya beberapa buah batu sebesar kepalan tangan. Semuanya dimasukkan ke balik bajunya. Hanya satu saja yang dipegangnya.

"Hih ... !"

Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak melompat melewati lumpur hidup yang tertutup lapisan tanah tipis. Tapi seperti yang sudah diperhitungkan, sebelum mencapai tengah-tengah, daya lontar pada tubuhnya pun habis. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh­nya meluruk deras ke bawah.

Tapi Dewa Arak tidak menjadi gugup, karena hal ini memang sudah diperhitungkan. Maka begitu kedua kakinya hampir menyentuh tanah, batu yang digenggamnya dijatuhkan ke bawah.

Plukkk ... !

Batu sebesar kepalan tangan itu jatuh di tanah. Seketika itu pula tanah yang kelihatannya keras melesak ke dalam. Padahal, Arya melontarkan batu itu tanpa mengerahkan tenaga dalam.

Tukkk ... !

Dengan perhitungan matang, Dewa Arak menotok­kan ujung alas kakinya ke batu yang dilontarkan. Dan dengan meminjam tenaga landasan pada batu itu, tubuh Dewa Arak kembali melenting ke udara. Sementara, batu itu langsung tenggelam terserap lumpur hidup.

Tapi sebelum mencapai tempat yang dipenuhi hamparan rumput luas, tubuh Arya telah kembali meluruk turun ke tanah. Maka kembali dijatuhkannya balu yang dibawa. Kemudian kembali ditotokkan ujung alas kakinya ke batu. Kembali tubuh pemuda berambut putih keperakan itu melambung ke atas.

Dewa Arak terus melakukannya berkali-kali untuk dapat tiba di tempat yang penuh rumput-rumput ilalang kering.

Hambatan-hambatan yang diterima Dewa Arak tidak hanya itu saja. Di hamparan rumput itu pun menghadang hambatan-hambatan yang tidak kalah mengerikan. Ular kecil, kelabang, lintah, kalajengking, dan bermacam-macam binatang lainnya menyerbu dari balik rerimbunan alang-alang itu.

Namun berkat kelihaiannya, Arya mampu mengatasi semuanya meskipun dengan susah payah.
Kini Dewa Arak menatap sebuah bangunan sederhana yang terpampang di hadapannya.

Tidak salah lagi! Bangunan ini pasti tempat tinggal Kelelawar Beracun! Maka tanpa ragu-ragu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini segera bergerak menghampiri.

6

"Kelelawar Beracun...! Keluar kau ... !" Masih dengan napas terengah-engah, Dewa Arak berseru me­manggil. Keras bukan main suaranya, karena di­keluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.

Kriiit..!

Suara bergerit tajam terdengar mengiringi terbukanya pintu pondok itu. Dan dari balik pintu yang terkuak, muncul sesosok tubuh tinggi kurus berpakaian serba hitam. Sepasang matanya yang kecil dan merah tampak menyeramkan sekali dengan wajahnya yang pucat. Inilah Kelelawar Beracun, yang membuat Melati terluka!

Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak begitu melihat sosok tubuh di ambang pintu itu. Meskipun belum pernah melihat, tapi dari ciri-ciri yang diceritakan, sudah bisa diduga kalau itu adalah Kelelawar Beracun!

"Siapa kau, Anjing Kecil?!" tanya Kelelawar Beracun kasar penuh kemarahan.

Dan memang, Kelelawar Beracun marah bukan main mendengar panggilan Dewa Arak. Dengan sorot mata penuh ancaman, kakinya melangkah meng­hampiri pemuda berambut putih keperakan itu.

Kedua tangan Dewa Arak menggigil keras karena hawa amarah yang bergelora. Memang, hatinya panas bukan main mendengar sambutan laki-laki berwajah pucat itu. Apalagi saat itu, Arya tengah dilanda kemarahan yang amat sangat, mengingat penderitaan yang dialami kekasihnya yang diakibatkan oleh orang di hadapannya ini.

Tapi karena nasib Melati tergantung pada pertolongan Kelelawar Beracun, Dewa Arak menelan kemarahan yang menyesakkan dada.

"Aku Arya...," sahut Dewa Arak dengan suara ber­getar karena hawa amarah yang menyesakkan dada.

"Hmh ... !" Kelelawar Beracun mendengus. Sikapnya jelas terlihat sangat memandang rendah. "Lalu, apa keperluanmu memanggilku?"

Dewa Arak menarik napas dalam-dalam dan meng­hembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah yang bergejolak dalam dada. Sikap dan ucapan laki­laki berwajah pucat itu benar-benar menjengkelkan.

"Aku ingin kau ikut denganku...," masih bergetar nada suara Dewa Arak.

"Ikut denganmu?" Kelelawar Beracun tersenyum mengejek. Perasaan geli bersarang dalam hatinya mendengar ajakan itu. "Kalau aku tidak mau?"

"Aku akan memaksamu ... !" tandas Dewa Arak, tegas dan keras.
"Heh...?!"

Berkilat sepasang mata Kelelawar Beracun. Dia adalah seorang laki-laki yang berwatak angkuh dan selalu mengagungkan kemampuan sendiri. Maka tidak aneh, jika laki-laki berwajah pucat ini merasa terkejut mendengar ucapan Dewa Arak.

"Kau akan memaksaku?"

Arya mengangguk.

"Ha ha ha...!"

Tawa Kelelawar Beracun meledak, walau terdengar aneh. Kecil dan melengking tak ubahnya tikus men­cicit.

Wajah Dewa Arak memerah, karena tahu kalau laki-laki berpakaian hitam itu menertawakan dirinya.

Kalau menuruti perasaan, mungkin sudah sejak tadi Dewa Arak menerjang Kelelawar Beracun. Tapi kekhawatirannya akan nasib Melati, membuatnya menelan kemarahan itu.

"Diam ... !"

Terpaksa Dewa Arak membentak. Keras sekali suaranya karena ditopang tenaga dalam tinggi. Bentakan itu tak ubahnya ledakan halilintar!

Seketika itu juga Kelelawar Beracun menghentikan tawa. Sikapnya langsung berubah. Dirasakan adanya getaran kuat yang membuat dadanya terguncang akibat bentakan yang keluar dari mulut pemuda yang berdiri di hadapannya ini.

Kini laki-laki berwajah pucat ini sadar, pemuda berambut putih keperakan ini bukan lawan ringan. Dan seiring timbulnya kesadaran itu, dia pun teringat kalau untuk masuk ke tempatnya, orang harus melalui berbagai macam rintangan dan hambatan yang penuh bahaya. Tanpa memiliki kemampuan dan kecerdikan tinggi, tidak akan pernah ada orang yang mampu masuk ke tempatnya.

Tapi, Arya ternyata mampu! Ini saja sudah membuktikan kalau Dewa Arak bukan orang sembarangan!

Mendapat dugaan seperti ini membuat Kelelawar Beracun waspada. Pikirannya pun berputar, meng­ingat-ingat barangkali pernah mendengar ada seorang tokoh muda berambut putih keperakan yang memiliki kepandaian tinggi. Seketika laki-laki ber­wajah pucat ini tersentak begitu teringat .

"Jadi..., kau... Dewa Arak...?!" tanya Kelelawar Beracun terbata-bata. Nada suaranya menyiratkan keterkejutan yang amat sangat. Dia memang telah mendengar julukan tokoh yang mengemparkan itu.

"Benar," sahut Dewa Arak, mantap. "Maka, lebih

baik kau ikut denganku secara baik-baik sebelum terjadi sesuatu pada dirimu."

Untuk pertama kalinya, Dewa Arak tidak lagi ber­sikap merendah. Pemuda berambut putih kepeakan ini tidak mau membuang-buang waktu lagi. Itulah sebabnya, dia seperti bersikap sombong.

"Hmh ... !" Kelelawar Beracun mendengus. "Orang lain boleh takut dengan nama besarmu, Dewa Arak! Tapi jangan harap Kelelawar Beracun akan gentar!"

"Kalau begitu, terpaksa kau harus kutundukkan dengan kekerasan!"
"Sombong!"

Kelelawar Beracun memaki. Dia marah bukan main menyaksikan sikap dan ucapan Dewa Arak yang jelasjelas seperti merendahkannya.

Setelah berkata demikian, Kelelawar Beracun lalu melompat menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya bergerak menampar ke arah pelipis. Keras bukan main. Ini terbukti dari deru angin deras yang menyambar ke arah Dewa Arak.

Dewa Arak tidak mau bersikap main-main lagi. Segera guci araknya dijumput dan langsung diangkat ke atas kepala.

Gluk... gluk... gjuk...!

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada hawa hangat yang menyebar dalam perut Arya. Perlahan hawa hangat itu naik ke kepala. Kontan kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng.

Sementara itu serangan dari Kelelawar Beracun meluncur tiba.

Dengan gerakan sempoyongan yang khas dari ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak mengelakkan serangan itu. Kaki kanannya melangkah ke belakang sehingga tamparan itu mengenai angin kosong.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Arya. Begitu serangan itu berhasil dipunahkan, tubuhnya berputar ke kiri dengan bertumpu pada kaki kiri. Sekejap kemudian, tubuh Dewa Arak telah berada di belakang Kelelawar Beracun. Inilah salah satu gerak jurus 'Delapan Langkah Belalang'.

Dan secepat tubuhnya telah berada di belakang, secepat itu pula Dewa Arak melancarkan serangan. Kedua tangannya dengan jari jari membentuk jurus belalang, melancarkan serangan bertubi-tubi ke bahu belakang kanan Kelelawar Beracun.

Semula Kelelawar Beracun kebingungan tatkala melihat lawan mendadak lenyap dari hadapannya. Tapi begitu merasakan desir angin dari belakang, dia segera tahu kalau lawan telah berada di belakangnya.

Luar biasa! Meskipun dalam keadaan gawat seperti itu, Kelelawar Beracun masih mampu menyelamatkan diri. Bahkan laki-laki berwajah pucat itu tidak mengelak. Dia hanya menjejakkan kedua kaki, maka tubuhnya melenting ke atas. Tak pelak lagi serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong, lewat beberapa jengkal di bawah kaki Kelelawar Beracun.

Arya terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau lawan akan mengelakkan diri dengan cara seperti itu. Semula dikira laki-laki berpakaian hitam itu akan mengelak dengan melempar tubuh ke depan dan bergulingan. Suatu cara yang paling mudah untuk mengelak. Sebenarnya, mengelak dengan cara seperti itu paling tidak membutuhkan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa!

Bahkan bukan hanya itu saja yang dilakukan Kelelawar Beracun. Saat tubuhnya bersalto di udara, tangan kanannya bergerak mengibas.

Serrr ... !

Belasan batang jarum beracun meluncur ke arah Dewa Arak.

Arya terperanjat dan juga geram. Sungguh tidak disangka akan mendapat serangan seperti itu.
Meskipun serangan itu datangnya begitu men­dadak dan tiba-tiba, tapi Dewa Arak tidak gugup. Guci araknya segera dituangkan ke mulutnya.

Tapi berbeda dengan biasanya, kali ini arak itu tidak diminum. Begitu masuk ke dalam mulutnya, arak itu langsung disemburkan Dewa Arak.

"Pruhhh ... !"
Tringgg, tringgg...!

Suara berdenting nyaring seperti beradunya benda-benda logam kecil terdengar, ketika arak yang disemburkan Dewa Arak berbenturan dengan jarum­jarum beracun yang diiepaskan Kelelawar Beracun. Seketika itu pula semua jarum -jarum yang dilepas­kannya runtuh ke tanah.

Memang berkat pengerahan tenaga dalam Arya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, percikan arak itu seolah-olah telah berubah menjadi logam-logam kecil.

Bersamaan dengan kedua kaki Kelelawar Beracun mendarat di tanah, Dewa Arak telah menyampirkan gucinya kembali ke punggung. Langsung dilancar­kannya serangan bertubi-tubi ke arah Kelelawar Beracun. Sesaat kemudian pertarungan sengit pun terjadi.

Hebat bukan main pertarungan antara kedua orang yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi itu. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu, yang terkadang saling belit dan kemudian saling pisah.

Suara menderu dan mendesing menyemarakkan pertarungan. Dan, beberapa kali Dewa Arak harus menyemburkan araknya begitu Kelelawar Beracun melancarkan serangan jarum jarum beracun.

Pertarungan antara kedua tokoh berbeda aliran ini berlangsung cepat. Memang, keduanya sama-sama memiliki gerakan cepat, sehingga tidak aneh bila dalam waktu sebentar saja dua puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada tanda­tanda yang akan terdesak.

Sebuah keuntungan bagi Kelelawar Beracun, Dewa Arak ternyata bertarung secara hati-hati. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak ingin lawannya tewas atau terluka parah. Maka, Arya selalu menahan serangan yang diperkirakan akan mengakibatkan hal­hal yang tidak diinginkan. Dan tentu saja, hal ini semakin membuat Arya mengalami kesulitan. Padahal, Kelelawar Beracun bertarung disertai pengerahan seluruh kemampuannya.

Kelelawar Beracun memang orang yang cerdik. Dia tahu kalau lawan tidak terlalu bersungguh-sungguh menghadapinya. Tapi sebenarnya hal ini membuatnya terpukul, di samping rasa penasaran yang bukan kepalang. Untuk yang kedua kalinya, dia menelan kenyataan pahit karena harus bertemu lawan yang memiliki kepandaian di atasnya. Dan yang lebih menyakitkan hati lagi, lawan itu adalah seorang tokoh muda!

Kelelawar Beracun adalah seorang yang memiliki keangkuhan tinggi. Selama ini, dia selalu meng­agulkan kepandaiannya. Menurut anggapannya, tidak banyak orang yang akan dapat menandingi kepandaiannya. Dapat dibayangkan, betapa kecewa hati Kelelawar Beracun tatkala berturut-turut meng­hadapi kenyataan pahit. Dua kali dibuat malu oleh tokoh muda! Pertama dengan Melati, dan kali ini dengan Dewa Arak!

Memang harus diakui, sewaktu menghadapi Melati, seluruh kemampuan yang dimilikinya belum dikerahkan. Dan hal itu memang tidak mungkin dilakukan. Karena, waktu itu dia menghadapi gadis berpakaian putih itu bersama-sama Tuyul Tangan Seribu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode 'Kelelawar Beracun").

Kalau seluruh kemampuannya dikeluarkan, bukan hanya Melati yang akan celaka. Rekannya pun pasti akan celaka pula! Dan itu sama sekali tidak diinginkannya.

Kali ini, dirinya harus menghadapi Dewa Arak seorang diri. Kini tidak ada lagi yang perlu di­khawatirkan, sehingga bebas mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Dia tidak perlu merasa khawatir lagi.

Sebenarnya sejak tadi Dewa Arak sudah dilanda perasaan heran. Apakah karena jarum beracun ini, laki-laki berpakaian hitam itu dijuluki Kelelawar Beracun! Rasanya mustahil! Tapi mengingat tempat tinggalnya yang begitu penuh dilapisi racun-racun mengerikan, rasanya tidak mungkin kalau hanya karena jarum jarum dia mendapat julukan Kelelawar Beracun.

Dewa Arak langsung teringat pada pamannya yang berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode per-dananya, "Pedang Bintang"). Pamannya itu memang tidak mengherankan mendapat julukan seperti itu, karena memang setiap serangannya selalu mengandung racun.

"Hih...!"

Mendadak Kelelawar Beracun melempar tubuhnya ke belakang, menjauhkan diri dari kancah pertarungan. Dan begitu telah berada di udara, dia be-putaran beberapa kali ke belakang.
Arya sama sekali tidak mengejarnya. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah bisa menduga kalau lawan akan menggunakan ilmu lain. Maka, dia hanya diam menunggu. Dewa Arak tidak ingin mempergunakan kesempatan itu untuk merobohkan lawan.

Karena Arya tidak mengejarnya, Kelelawar Beracun sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakan maksudnya. Dengan gerakan indah dan manis, kedua kakinya mendarat di tanah. Kini keduanya berdiri berhadapan dalam jarak sekitar tujuh tombak.

Dengan sepasang. mata tak lepas mengawasi gerak-gerik lawan, Dewa Arak mengangkat guci araknya ke atas kepala. Dan dengan sikap tenang, araknya dituangkan ke mulut.

Gluk... gluk... gluk ... !

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya. Tak lama kemudian, setelah hawa langat kembali menjalari perut dan kepalanya, kedua kaki pemuda berambut putih keperakan ini mulai oleng. Langkahnya juga mulai tidak tetap dan terhuyung-huyung.

Sementara pada saat Dewa Arak menuangkan arak ke mulutnya, Kelelawar Beracun tengah bersiap mengeluarkan ilmu andalannya. Kedua tangannya dijulurkan ke depan dengan jari jari tangan terbuka lurus dan kaku. Sekujur tangannya, mulai dari pangkal lengan sampai pergelangan mengejang. Suara mencicit pelan, seperti suara seekor tikus terdengar dari mulutnya. Dan perlahan-lahan, kedua tangan itu direntangkan ke samping.

Tepat ketika tubuh Dewa Arak mulai sempoyongan, dari seluruh tubuh Kelelawar Beracun mengepul uap tipis berwarna putih. Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terbelalak. Memang diakui, dia pun mampu mengeluarkan asap tipis dari sekujur tubuhnya. Tapi itu dilakukan bila tengah memusatkan pikiran untuk mengeluarkan tenaga dalamnya, 'Tenaga Sakti Inti Matahari'!.

Begitu kedua tangannya telah merentang ke samping, mendadak Kelelawar Beracun melompat, Dan dari atas, kedua tangannya dengan jari jari terbuka, bergerak menepuk. Yang kanan menepak pelipis kiri, sementara yang kiri menepak pelipis kanan Arya. Rupanya dia ingin menggencet hancur kepala Dewa Arak! .

Arya terperanjat melihat kecepatan gerak lawan. Apalagi ketika hidungnya mencium bau amis yang memuakkan, seiring tibanya serangan Kelelawar Beracun. Bau amis itu membuat kepala Dewa Arak terasa pusing.

Dewa Arak tidak mau bersikap sembrono dengan menangkis serangan itu. Dia belum tahu ke­istimewaan ilmu lawan. Maka diputuskannya untuk mengelakkan serangan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera direndahkan dengan cara menekuk lutut.

Plokkk ... !

Suara keras menggelegar terdengar ketika kedua tangan Kelelawar Beracun saling bertemu satu sama lain, karena sasaran yang ditujunya telah lenyap.

Ternyata tidak hanya sampai di situ saja serangan Kelelawar Beracun. Begitu serangannya berhasil dielakkan, kedua kakinya bergerak menendang ke arah dada. Keras bukan main. Suara angin menderu menjadi saksi kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.

Arya terkejut bukan kepalang. Apalagi ketika rasa pening yang menyerang kepalanya semakin hebat, seiring semakin kerasnya bau amis yang semakin menyengat hidung.

Meskipun berada dalam keadaan yang meng­khawatirkan, Dewa Arak tetap membuktian ke­hebatannya. Dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' yang membuatnya mampu melakukan gerakan apa pun dan dalam keadaan sesulit bagaimana pun, dia mampu mengelakkan serangan itu.
Cepat laksana kilat, kedua kakinya menekan tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melenting ke belakang. Akibatnya sudah bisa diduga. Serangan Kelelawar Beracun hanya menghantam tempat kosong! Karena, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada lagi di situ.

Berbareng mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di tanah, kedua kaki Kelelawar Beracun pun hinggap di tanah pula. Kembali keduanya berdiri berhadapan dalam jarak lima tombak.

Arya tahu, betapa berbahayanya setiap serangan yang dilakukan Kelelawar Beracun. Jangankan ter­kena secara langsung. Baru angin serangannya saja, sudah membuat kepalanya pusing. Padahal laki-laki berwajah pucat itu baru menyerang sebanyak dua kali! Semakin banyak Kelelawar Beracun menyerang, dengan sendirinya suasana di sekitar tempat ini akan semakin banyak dicemari racun ganas. Baru sedikit saja kepalanya sudah terasa pusing. Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana kalau Kelelawar Beracun sudah banyak melancarkan serangan!

Maka tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera menuangkan arak ke dalam mulutnya kembali.

***

7
Gluk... gluk... gluk ... !

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, hawa hangat mulai merayap di dalam perutnya, dan terus naik ke kepala. Dan kini sikap kedua kaki Arya mulai tidak tetap.

Dan seiring dengan itu, perasaan pusing yang tadi mendera kepalanya pun lenyap seketika. Itulah keistimewaan yang dimiliki Dewa Arak. Gabungan dari arak dan ilmunya, mampu mematahkan hawa beracun yang menyerang.

Baru saja Arya menurunkan guci araknya, Kelelawar Beracun kembali melesat menerjang. Sesaat kemudian pertarungan sengit kembali terjadi.

Kini Arya baru sadar, mengapa lawannya ini mendapat julukan Kelelawar Beracun. Laki-laki berwajah pucat ini bagaikan seorang manusia beracun. Jangankan serangan tangan atau kaki, anginnya saja mengandung racun kuat yang mampu membuat lawan pusing dan terpecah perhatiannya.

Pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kecepatan gerak mengagumkan itu ber­langsung cepat. Sehingga dalam waktu sebentar saja, lima puluh jurus telah berlalu tanpa terasa. Dan selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.

Diam-diam Arya merasa bergetar melihat ke­dahsyatan ilmu yang dimiliki Kelelawar Beracun. Memang bila ditujukan baginya, kedahsyatan ilmu itu tidak berarti banyak. Tapi jika ditujukan untuk orang lain? Kelelawar Beracun memang layak dimusnahkan! Tapi bila dimusnahkan, bagaimana dengan Melati?

Diam-diam Dewa Arak harus mengakui, kalau setelah mengeluarkan ilmu andalan ini kelihaian Kelelawar Beracun semakin menjadi jadi. Dan itu tidak bisa dilayani dengan kemampuan seperti se­belumnya. Terpaksa kemampuannya ditambah. Meskipun begitu, tetap saja Arya tidak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Tapi begitu pertarungan menginjak jurus ke seratus, mulai nampak keunggulan Dewa Arak. Perlahan namun pasti, Kelelawar Beracun mulai terdesak. Hal ini tidak aneh, karena keistimewaan ilmunya sama sekali tidak ada gunanya begitu menghadapi Dewa Arak. Hawa beracun yang telah menyebar ke seluruh tempat itu sama sekali tidak berarti apa-apa.

Kelelawar Beracun hampir putus asa. Sebab, setiap serangannya mampu dielakkan Dewa Arak. Memang tingkat kepandaian Arya Buana di atas Kelelawar Beracun.

Dewa Arak selalu mengelakkan serangan yang dilancarkan Kelelawar Beracun, dan sekali pun tidak pernah mencoba menangkisnya. Arya tahu kalau setiap serangan lawan mengandung racun yang tidak terkirakan ganasnya. Makanya dia tidak berani mencoba-coba menangkisnya. Jadi selama seratus jurus bertarung, belum pernah terjadi benturan tangan antara mereka secara langsung. Kelelawar Beracun beberapa kali saja memojokkan untuk mengadu tenaga, tapi selalu berhasil dielakkan Dewa Arak. Dan andaikata benturan di antara mereka tidak bisa dihindari lagi, pemuda berambut putih keperakan itu menangkisnya dengan guci. Akibatnya,

Kelelawar Beracun langsung terhuyung-huyung mundur. Isi dadanya terasa sesak dan sekujur tangan bergetar hebat. Padahal Dewa Arak belum mengerah­kan seluruh tenaga dalam pada tangkisan itu.

Merasa putus asa mengajak Dewa Arak mengadu tangan secara langsung, tambahan lagi menyadari keadaannya yang mulai terdesak, Kelelawar Beracun terpaksa mengeluarkan senjata andalannya. Tampak sebuah cambuk yang terbuat dari kulit landak telah tergenggam di tangannya. Dan menilik dari kebiasaan Kelelawar Beracun, maka sudah bisa dipastikan kalau senjata yang dimilikinya pun mengandung racun ganas juga.

Ctarrr ... !

Ledakan keras seperti ada halilintar menyambar terdengar setiap kali Kelelawar Beracun melecutkan cambuknya. Bukan hanya itu saja. Asap tipis ber­warna putih pun mengepul setiap kali ujung cambuk membelah udara. Dan tentu saja bukan asap sembarangan, melainkan asap yang mengandung racun ganas. Bau keras yang membuat Arya berkali­kali bersin, tercium dari asap yang berwarna putih itu.

Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak agak kewalahan. Hidungnya terasa seperti dikilik-kilik. Dan tanpa dapat dicegahnya lagi, dia bersin. Dengan sendirinya hal ini membuat gerakannya terganggu.
Dengan adanya cambuk kulit landak di tangannya, Kelelawar Beracun kembali mampu memperbaiki kedudukannya. Dia kini tidak lagi kewalahan. Bahkan sebaliknya, Dewa Arak yang mulai main mundur.

Kembali pertarungan sengit terjadi. Dengan ada­nya cambuk di tangan, Kelelawar Beracun bagaikan seekor harimau tumbuh sayap. Laki-laki berwajah pucat ini tampak semakin berbahaya.

Tapi hanya sekitar dua puluh jurus saja Kelelawar Beracun dapat melakukan serangan gencar. Lewat dari dua puluh jurus, serangan serangan cambuknya mulai mengendur. Tidak aneh, karena laki-laki ber­pakaian hitam ini sudah merasa sangat lelah. Sebelum mengeluarkan senjata andalan, dia telah bertarung lebih dari seratus lima puluh jurus. Dan selama itu, seluruh kemampuannya dikerahkan.

Berbeda dengan Kelelawar Beracun, Dewa Arak sama sekali tidak merasa lelah. Pemuda berambut putih keperakan ini memang berbeda dengan orang lain. Setiap kali merasa lelah, araknya langsung ditenggak. Maka, kontan tenaganya pulih kembali. Itulah sebabnya, meskipun Kelelawar

Beracun telah dilanda rasa lelah yang amat sangat, Dewa Arak masih tetap segar bersemangat.
Seiring semakin mengendurnya seranganserangan Kelelawar Beracun, serangan Dewa Arak datang semakin bertubi-tubi. Arya memang ingin secepatnya merobohkan lawan. Sampai pada suatu saat...

Tukkk...!

Ujung alas kaki Dewa Arak telak dan keras sekali mengenai pergelangan tangan kanan Kelelawar Beracun. Seketika laki-laki berwajah pucat ini me­mekik pelan. Tanpa dapat dicegah lagi, cambuknya terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.

Belum lagi laki-laki berpakaian hitam ini sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Arya telah bergerak meluncur cepat ke arah perutnya. Kelelawar Beracun mencoba untuk mengelak, tapi....

Bukkk...!
"Hugh...!"

Kelelawar Beracun mengeluh tertahan ketika tendangan Dewa Arak telak dan keras sekali meng­hantam perutnya. Seketika itu juga tubuhnya terlipat ke depan. Di saat itulah Dewa Arak kembali me­lancarkan serangan susulan, berupa totokan ke arah bahu kiri Kelelawar Beracun.

Tukkk ... !

Telak dan keras sekali totokan yang dilancarkan Arya mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh Kelelawar Beracun lemas, tidak mampu digerakkan sama sekali. Hanya saja, sepasang matanya melotot menatap Dewa Arak penuh kebencian.

"Kelelawar Beracun, aku bersedia mengampuni­mu...," kata Arya pelan tapi penuh wibawa. "Asal kau bersedia memenuhi permintaanku...."

"Cuhhh ... !"

Sambutan ludah kental Kelelawar Beracun ke arah wajah Arya yang menyambut tawaran itu. Untung pemuda berambut putih keperakan itu sempat mengelak. Kalau tidak, tentu cairan yang menjijikkan itu sudah hinggap di wajahnya.

"Jangan kau kira aku takut mati, Dewa Arak! Aku lebih suka seribu kali mati daripada harus memenuhi permintaanmu!" tandas Kelelawar Beracun kasar.

Arya tercenung tapi pikirannya berputar keras. Dia bukan orang yang berwatak kejam. Tapi disadari kalau sikap seperti itu terkadang diperlukan juga. Maka meskipun rasanya bertentangan dengan hati nurani, Arya mencoba menguatkan hati .

"Aku tahu kau tidak takut mati, Kelelawar Beracun," sahut Arya. Dingin dan datar suaranya. Nadanya terdengar kaku, sekaku wajahnya. "Tapi perlu kau ketahui, aku tidak akan membiarkanmu mati begitu saja. Kau akan mengalami siksaan yang mungkin belum pernah dirasakan selama hidupmu! Aku akan membuatmu mati secara perlahan-lahan."

Meremang bulu kuduk Kelelawar Beracun men­dengar ancaman Dewa Arak. Tertangkap adanya nada ancaman yang hebat dalam suara itu. Sebagai seorang tokoh persilatan tingkat tinggi, dia tentu saja tahu kalau Dewa Arak mudah saja menciptakan berbagai macam penyiksaan yang mengerikan.

Tapi, Kelelawar Beracun adalah seorang tokoh hitam yang memiliki keangkuhan tinggi. Maka meskipun perasaan ngeri mencekam hatinya, dia berusaha menyembunyikannya. Sebuah seringai penuh ejekan terpampang di wajahnya.

"Jangan katakan aku kejam, Kelelawar Beracun," tegas Dewa Arak dingin. "Aku telah memberimu pilihan dan kesempatan. Dan kau telah memilih sendiri kemauanmu ... !"

Setelah berkata demikian, dengan raut wajah dibuat kaku tanpa perasaan, Dewa Arak membungkukkan tubuh. Telunjuk tangan kanannya menuding kaku, kemudian perlahan bergerak ke arah jalan darah di bahu kanan Kelelawar Beracun.

"A..., apa yang akan kau lakukan, Dewa Arak ... ?" suara Kelelawar Beracun seperti tercekat di tenggorokan.

Laki-laki berwajah pucat ini tentu saja tahu, apa yang akan dilakukan Dewa Arak. Pemuda itu memang akan menotok jalan darah di bahu kanannya. Dewa Arak telah siap menyiksanya! Totokan pada jalan darah di situ akan membuatnya melolong-lolong, karena dilanda rasa sakit yang hebat.
Arya tersenyum pahit.

"Hanya sebagai permulaan dari kematianmu, yang akan kubuat perlahan-lahan tapi penuh penyiksaan," sahut Dewa Arak, kalem tapi dengan raut wajah tetap dingin. "Masih banyak lagi siksaan mengerikan yang akan kau terima. Ini sekadar pemanasan."

Kontan wajah Kelelawar Beracun pucat pasi. Menilik dari gerak-geriknya, Dewa Arak tidak main- main dengan ancamannya. Memang diakui, dirinya tidak takut menghadapi maut. Tapi mati secara perlahan-lahan dalam keadaan sangat tersiksa, siapa yang tidak ciut nyalinya?

"T..., tunggu dulu, Dewa Arak...!"

Agak terburu-buru Kelelawar Beracun berseru mencegah. Arya yang memang sudah sejak tadi menunggu hal ini, menahan gerakan tangannya. Kemudian, wajahnya menoleh ke arah laki-laki berwajah pucat, tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Kau berjanji akan membebaskan diriku kalau bersedia memenuhi permintaanmu?" tanya Kelelawar Beracun tidak yakin.

"Aku berjanji," tegas Dewa Arak.
"Kau tidak akan mengingkarinya?" kejar Kelelawar Beracun.

Sebagai seorang tokoh sesat yang terbiasa curang, laki-laki berwajah pucat ini tidak sembarang percaya pada ucapan orang. Maka dia tidak langsung percaya dengan janji Dewa Arak.

"Jangan sama kan aku dengan orang sepertimu, Kelelawar Beracun!" sergah Arya keras.

"Kau berani bersumpah untuk menepati janjimu?" tanpa mempedulikan sama sekali penegasan Arya, Kelelawar Beracun terus saja membuka suara.

Terdengar suara gemerutuk dari mulut Dewa Arak begitu mendengar ucapan Kelelawar Beracun. Arya memang dilanda amarah yang bergolak. Tapi demi keselamatan Melati, kemarahannya berusaha ditahan.

"Aku berjanji untuk membebaskan Kelelawar Beracun apabiia bersedia memenuhi permintaanku," tegas dan mantap ucapan yang keluar dari mulut Dewa Arak.

Wajah Kelelawar Beracun seketika berseri begitu mendengar sumpah yang keluar dari mulut Dewa Arak. Rupanya, ucapan seperti itu sudah cukup baginya.

Setelah mendengar kesediaan dari mulut Kelelawar Beracun, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera mengulurkan tangan. Dan sekali jari jarinya bergerak, totokan yang membelenggu Kelelawar Beracun pun terlepas.

Kelelawar Beracun bangkit berdiri, kemudian menggeliat-geliatkan tubuhnya sebentar untuk meng­hilangkan rasa pegal yang melanda tubuhnya.

"Katakan apa permintaanmu, Dewa Arak," kata Kelelawar Beracun sesaat kemudian.
"Mudah saja," sahut Arya. "Obati kawanku yang telah kau lukai."

Berkernyit dahi Kelelawar Beracun mendengar ucapan itu.

"Kawanmu! Kulukai?"

Arya menganggukkan kepala.

"Siapa kawanmu, Dewa Arak?" tanya Kelelawar Beracun penasaran.

Benak laki-laki berwajah pucat itu berputar keras mengingat-ingat orang yang telah dilukainya. Tapi seingatnya, beberapa hari belakangan ini hanya seorang saja yang bertarung dengannya. Itu pun mungkin telah tewas. Dia adalah seorang gadis berpakaian putih yang tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading. Tidak ada lagi yang lainnya. Diakah orang yang dimaksudkan Dewa Arak? Tapi rasanya mustahil! Kelelawar Beracun yakin kalau gadis berpakaian putih itu pasti sudah tewas! Racunnya tak pernah gagal dalam mengambil nyawa!

"Seorang gadis berpakaian putih...."

"Ah ... !" seruan kaget dari mulut Kelelawar Beracun membuat Arya menghentikan ucapannya. "Maksudmu..., gadis berambut panjang yang tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading?!"
"Benar!" sahut Arya, mantap.

Seketika wajah Kelelawar Beracun berubah. "Jadi..., dia belum tewas?"

"Belum. Tapi dia juga belum sembuh. Makanya, aku datang kemari untuk meminta kau mengobatinya sampai sembuh."

Kelelawar Beracun tercenung seketika. Sungguh di luar dugaan kalau Melati belum tewas. Padahal kebenciannya pada gadis berpakaian putih itu sangat mendalam. Gadis itulah yang telah membuat Kala Ireng sahabatnya, tewas.

***

Mendadak Kelelawar Beracun melompat menerjang Dewa Arak. Jari jari kedua tangannya yang menegang lurus dan kaku melancarkan serangan bertubi-tubi pada ulu hati, dada, dan perut. Suara mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan itu.

Dewa Arak terperanjat. Serangan ini datangnya begitu mendadak dan tidak disangka-sangka. Dia memang tidak menduga kalau lawannya akan selicik itu. Tapi meskipun begitu, sudah sejak tadi dia bersikap waspada. Arya memang tidak pernah meninggalkan kewaspadaannya.

Maka begitu mendapat serangan mendadak, buru­buru pemuda berambut putih keperakan ini melompat ke belakang sehingga serangan yang dilancarkan Kelelawar Beracun mengenai tempat kosong.

Tapi ternyata Kelelawar Beracun memang tidak terlalu bersungguh-sungguh dengan serangannya. Terbukti, begitu serangannya berhasil dielakkan, dia melesat meninggalkan Dewa Arak.
Karuan saja hal ini membuat Arya kaget dan buru­buru mengejar. Tapi Kelelawar Beracun tidak tinggal diam. Sambil terus berlari, dilemparkannya sebuah benda bulat sebesar telur angsa dan berwarna hitam kecoklatan.

Tercekat hati Arya melihatnya. Dia tahu, benda bulat yang meluncur ke arahnya itu dapat meledak. Dan seperti kejadian sebelumnya, sudah bisa diperkirakan kalau benda itu mengandung racun ganas. Apalagi yang melemparnya Kelelawar Beracun!

Maka sebelum yang dikhawatirkannya terjadi, Dewa Arak segera menghentikan pengejarannya. Tubuhnya langsung dilempar ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara.

Darrr ... !

Ledakan keras terdengar begitu benda bulat sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika itu juga asap tebal berwarna kemerahan muncul seiring terdengarnya suara ledakan itu.

"Hup... !"

Secepat kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula Arya melentingkan tubuh kembali ke belakang. Dewa Arak berupaya untuk berada sejauh­jauhnya dari tempat itu. Indah dan manis sekali gerakannya. Begitu juga ketika kedua kakinya mendarat di tanah dalam jarak sekitar delapan tombak dari tempat semula.

Begitu kedua kakinya telah mendarat di tanah, tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera memutar-mutarkan kedua tangan di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang berputar itu bertiup angin keras yang langsung menyambar ke depan. Suara keras menderu mengiringi tiupan angin itu.

Maka seketika itu juga asap berwana kemerahan yang perlahan-lahan bergerak menuju ke arah Dewa Arak, jadi buyar.

Meskipun asap itu telah tidak tampak lagi, Dewa Arak terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Dengan sendirinya, angin keras tetap saja berhembus ke depan. Arya ingin menyapu asap itu sebersih-bersihnya.

Beberapa saat setelah yakin kalau asap itu telah terusir seluruhnya dari tempat itu, Dewa Arak baru menghentikan gerakannya. Tapi seperti yang sudah dit-duga, Kelelawar Beracun sudah tidak lagi berada di situ. Laki-laki berwajah pucat itu memang bermaksud melarikan diri.

Tapi, Dewa Arak mana mungkin membiarkan lawannya lolos? Tanpa membuang-buang waktu lagi dia bergerak mengejar.

***

Berbeda dengan biasanya, Dewa Arak melakukan pengejaran secara hati-hati. Kini tidak lagi seluruh kecepatan larinya dikerahkan. Memang dia tetap mengerahkan seluruh kelincahan yang dimiliki, tapi kecepatan larinya hanya dikerahkan sebagian kecil saja. Arya harus bersikap hati-hati.

Kenyataan telah menunjukkan kalau pulau aneh ini banyak mengandung bahaya yang tak terduga.
Bukan hanya kecepatan larinya saja yang dikurangi.

Kewaspadaannya pun jauh ditingkatkan. Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sekujur urat-urat syaraf di tubuhnya menegang waspada. Dewa Arak benar-benar bersiap menghadapi ancaman bahaya yang tidak terduga. Suara berkerisik pelan saja, sudah cukup untuk membuat aliran darah di sekujur tubuhnya mengalir cepat.

Mendadak Dewa Arak menghentikan langkahnya. Samar-samar telinganya menangkap adanya suara langkah kaki ringan di belakang. Halus sekali, dan hampir-hampir tidak tertangkap pendengarannya. Jelas kalau pemilik langkah itu memiliki ilmu me­ringankan tubuh yang tinggi.

Kini setelah Arya berdiri diam mendengarkan, suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Jadi benar, Dewa Arak ada yang menguntit. Yang lebih mengejutkan pemuda berambut putih keperakan suara langkah yang didengarnya itu tidak hanya satu, tapi tiga! Tiga langkah yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Tak terasa jantung Dewa Arak berdebar tegang. Apakah pemilik langkah itu adalah Kelelawar Beracun yang datang lagi sambil membawa kawannya? Apabila benar demikian, dia akan menghadapi lawan yang amat tangguh! .

Ketegangan yang melanda Dewa Arak semakin memuncak begitu melihat sosok-sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Memang seperti yang sudah diduga, ada tiga sosok tubuh yang berjalan meng­hampirinya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dewa Arak pun mengenalnya. Ini membuatnya terperangah beberapa saat .

Tiga sosok tubuh itu telah cukup lanjut usianya. Dan masing-masing memiliki ciri-ciri yang saling berbeda. Tapi yang jelas, ada satu kesamaan pada diri mereka. Yaitu, ketiga sosok itu sama-sama mengenakan rompi yang terbuat dari kulit macan. Meskipun, kulit macan yang dikenakan mereka ber­beda-beda pula.

Orang yang bertubuh pendek, gemuk, dan gendut mirip bola serta berkulit merah mengenakan rompi kulit macan tutul. Sementara, orang yang bertubuh kekar, berkulit hitam, dan berwajah kasar, mengena­kan rompi kulit macan kumbang. Sedangkan orang terakhir bertubuh tinggi kurus dan berwajah kuning. Sehelai rompi terbuat dari macan loreng mem­bungkus tubuhnya.

Arya tentu saja mengenal tiga sosok tubuh ini. Ada pengalaman yang sangat berkesan sehubungan dengan ketiga tokoh ini. Mereka berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Tiga Macan Lembah Neraka").

Jantung Dewa Arak berdetak kencang. Dia tidak tahu, mengapa Tiga Macan Lembah Neraka berada di sini? Apakah ketiga tokoh yang memiliki kepandaian inggi itu memiliki urusan pula di sini? Dan mengapa ketiga orang itu mengejarnya? Ataukah hanya searah saja? Berbagai macam pertanyaan bergayut dalam benak Arya! Tapi tak ada satu pun yang terjawab.

Ada satu hal lagi yang membuat Dewa Arak bingung. Perasaan Tiga Macan Lembah Neraka terhadap dirinya belum jelas. Masih membenci atau tidak? Tapi Arya yang selalu bersikap hati-hati, segera memasang sikap waspada.

Ketiga sosok tubuh yang tidak lain dari Tiga Macan Lembah Neraka menghentikan langkahnya. Mereka menatap wajah Arya lekat-lekat. Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak jadi bersikap waspada, dan langsung berjaga jaga terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi.

Diam-diam Dewa Arak terkejut bukan main melihat keadaan tiga tokoh sakti itu. Kini mereka amat jauh berbeda dengan yang dikenalnya. Dulu, Tiga Macan Lembah Neraka tampak begitu angker dan ber­wibawa. Sorot keganasan dan keangkuhan pun terbayang di wajah mereka. Tapi kini, mereka telah jauh berubah.

Wajah tiga tokoh Lembah Neraka ini terlihat begitu layu seperti menanggung beban batin yang amat berat. Sorot keganasan pun sudah tidak terlihat lagi. Kalau saja tidak menyaksikan sendiri, Arya tidak mungkin percaya. Padahal, paling lama mereka baru berpisah tiga bulan! Tapi menilik dari keadaan, sepertinya Dewa Arak sudah tidak berjumpa dengan Tiga Macan Lembah Neraka selama sepuluh tahun!

"Kau lupa pada kami, Dewa Arak?" sapa Macan Tutul Lembah Neraka, orang yang sejak dulu selalu menjadi juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka. Pelan dan tidak bergairah nada suaranya.

"Mana mungkin aku bisa melupakan kalian bertiga?" sahut Arya dengan nada bertanya.

Lenyap sudah perasaan tegang dan bimbang yang melanda hati Dewa Arak. Tampak jelas kalau dalam ucapan dan sikap Tiga Macan Lembah Neraka tidak bernada permusuhan. Tanpa menaruh perasaan syak wasangka lagi, Arya segera melangkah mendekati ketiga orang itu.

"Apa keperluan yang mendorongmu kemari, Macan Tutul?" tanya Dewa Arak mengajukan keheranannya. Arya merasa lebih baik kalau memanggil ketiga orang itu julukannya saja.

"He he he...!"

Laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tertawa ter­kekeh. Dewa Arak yang melihatnya jadi bergidik. Meskipun kelihatannya tertawa, tapi tampak jelas kalau hanya mulut Macan Tutul Lembah Neraka saja yang tertawa. Sedangkan wajah dan matanya, sama sekali tidak menampakkan kegembiraan. Begitu tampak kaku dan dingin.

Menilik dari keadaannya, Dewa Arak bisa mem­perkirakan kalau Macan Tutul Lembah Neraka sudah lama tidak tertawa. Padahal seingatnya, laki-laki bertubuh pendek gemuk ini adalah tokoh Tiga Macan Lembah Neraka yang paling suka tertawa. Apakah yang terjadi dengan ketiga orang ini? Atau, kematian Utari yang telah membuat mereka seperti ini?

"Seharusnya kami yang mengajukan pertanyaan itu, Dewa Arak," tukas Macan Tutul Lembah Neraka setengah mencela.

"Maksud kalian ... ?!" sepasang mata Dewa Arak terbelalak. Sekelebatan dugaan muncul dibenaknya. Ucapan juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka itu memberi petunjuk jelas padanya.

"Kalian tinggal di pulau ini?"

"Benar, Dewa Arak," kali ini Macan Kumbang Lembah Neraka yang menyahuti dengan suara khasnya. Keras dan parau.

"Ahhh ... !"

Seruan penuh rasa terkejut terdengar dari mulut pemuda berambut putih keperakan itu.

"Kalau menurutku, pulau ini tidak patut mendapat nama Pulau Ular," Macan Loreng Lembah Neraka ikut pula angkat bicara.

"Hm...," hanya gumaman pelan dari mulut Arya yang menyambuti ucapan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.

"Pulau ini lebih patut mendapat nama Kepulauan Ular. Karena, memang terdiri dari banyak pulau kecil yang saling berdekatan dan dipisahkan laut," sambung Macan Loreng Lembah Neraka lagi.
Arya menganggukkan kepala pertanda mengerti.

"Mendiang Raksasa Rimba Neraka juga tinggal di antara deretan pulau-pulau yang ada di sekitar sini," sambut Macan Tutul Lembah Neraka.

Kembali Arya menganggukkan kepala meskipun sebenarnya ada perasaan tidak enak bersemayam di hatinya. Karena, dialah yang telah menewaskan tokoh yang disebutkan Macan Tutul Lembah Neraka tadi. Sementara Raksasa Rimba Neraka adalah sahabat Tiga Macan Lembah Neraka. Tapi rupanya ketiga tokoh sakti itu sudah melupakannya. Terbukti, tidak ada perasaan apa-apa yang tampak di wajah mereka.

"Setiap tokoh memang mempunyai pulau sendiri­sendiri, Dewa Arak," jelas Macan Tutul Lembah Neraka lagi. "Sungguhpun hanya kecil saja. Keadaan masing-masing pulau berbeda. Kami memiliki tempat yang tandus. Daerahnya belembah-lembah. Apa bila siang, panasnya bukan kepalang."

Kini Arya mengerti, mengapa tempat tinggal ketiga tokoh ini dinamakan Lembah Neraka.

"Sedangkan pulau yang ditempati Raksasa Rimba Neraka, penuh hutan lebat. Pohon besar dan tinggi memenuhinya. Banyak binatang buas besar dan kecil yang tinggal di dalamnya, namun semuanya beracun. Kami bersahabat karena pulau kami bersebelahan."

"Lalu, apakah Kelelawar Beracun termasuk

kawanmu pula, Macan Tutul Lembah Neraka?" Tanya Arya dengan sikap waspada.
Macan Kumbang Lembah Neraka menggelengkan kepala.

"Kami tidak suka bersahabat dengannya, Dewa Arak," jelas laki-laki berkulit hitam itu. "Kelelawar Beracun seorang tokoh licik dan tidak mempunyai kegagahan. Walaupun kami sendiri bukan tokoh baik­baik, tapi pantang untuk melakukan kecurangan dalam pertarungan. Pantang bagi kami bermain racun!"

Arya menghela napas lega.

"Kau punya urusan dengannya, Dewa Arak?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka.

Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala.

"Seorang kawan wanitaku dilukainya, dan kedatanganku kemari untuk meminta obat penawar itu darinya."

Kemudian, Dewa Arak pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Sementara Tiga Macan Lembah Neraka terdiam seketika, begitu Dewa Arak menghentikan ceritanya.

"Lalu kalian hendak ke mana, Macan Tutul Lembah Neraka?" tanya Dewa Arak pula.

"Mencari Kemamang Danau Neraka," Macan Loreng Lembah Neraka yang menyahuti. Nampak jelas kalau nada suaranya mengandung kegeraman.

Diam-diam Arya terkejut bukan main. Sungguh tidak pernah disangka kalau di Pulau Ular ini terdapat begitu banyak tokoh. Dan sudah bisa diperkirakan kalau Kemamang Danau Neraka adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula.

"Apakah Kemamang Danau Neraka tinggal dl pulau ini?" tanya Arya.

"Ticlak. Pulau ini bernama Rawa Neraka, clan merupakan tempat tinggal Kelelawar Beracun. Sedangkan Kemamang Danau Neraka tinggal di sebelah pulau ini. Kami terpaksa mengambil jalan memutar karena ticlak enak pada pemilik pulau yang lain. Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Bila clihitung dari pulau ini, kami tinggal di urutan yang ke tiga belas. Paling ujung. Kalau kami ticlak mengambil jalan memutar, berapa banyak kami harus melalui pulau­pulau yang lainnya?" jelas Macan Tutul Lembah Neraka panjang lebar.

"Kalau boleh kutahu, mengapa kalian mencari Kemamang Danau Neraka?" tanya Arya hati-hati
"Dia telah melanggar perjanjian ticlak tertulis, Dewa Arak!" lagi-lagi Macan Kumbang Lembah Neraka, orang paling beringas di antara Tiga Lembah Neraka yang menyahuti. Terdengar keras suaranya. Jelas kalau laki-laki berkulit hitam ini merasa marah bukan main. "Dia akan menguasai pulau sahabat kami yang telah kosong."

"Pulau milik Raksasa Rimba Neraka," tanya Arya memastikan.

Macan Kumbang Lembah Neraka mengangguk.

Suasana menjacli hening sejenak, begitu Dewa Arak ticlak melanjutkan pertanyaannya. Sementara Tiga Macan Lembah Neraka pun sepertinya suclah ticlak berminat lagi memperpanjang pembicaraan.
"Lebih baik, kau ikut kami, Dewa Arak," ajak Macan Tutul Lembah Neraka memecahkan keheningan yang terjadi.

Dewa Arak tersentak.

"Jangan salah mengerti, Dewa Arak," buru-buru laki-laki bertubuh pendek gemuk itu menyambung pembicaraannya. "Kami tidak bermaksud melibat­kanmu dengan urusan kami. Tapi perlu kau ketahui, Kelelawar Beracun adalah sahabat kental Kemamang Danau Neraka. Jadi, bukan tidak mungkin kalau laki­laki pengecut itu mengadukan masalah ini padanya."
Dewa Arak terdiam.

"Dengan ikut bersama kami, kau tidak khawatir akan adanya jebakan jebakan mendadak. Lagi pula, arah yang kau tuju ini adalah arah keluar dari pulau milik Kelelawar Beracun. Kau tengah menuju ke pulau kedua, milik Kemamang Danau Neraka."

Kini Dewa Arak tidak membantah lagi, dan perlahan kepala nya mengangguk. Memang lebih baik melakukan perjalanan bersama Tiga Macan Lembah Neraka daripada melakukan perjalanan sendiri. Tiga tokoh Lembah Neraka itu setidaknya lebih mengetahui semua bahaya yang terkandung di Pulau Ular ini.

8

Kini Dewa Arak tidak lagi mengalami kesulitan untuk menuju ke tempat kediaman Kemamang Danau Neraka. Dia hanya tinggal memperhatikan setiap langkah Tiga Macan Lembah Neraka. Diam-diam, pemuda berambut putih keperakan ini heran, mengapa Kelelawar Beracun mau tinggal di sekitar tempat ini? Tempat yang selalu becek dan tidak pernah kering, meskipun di saat musim panas tiba. Tadi dari mulut Macan Tutul Lembah Neraka, Arya mendengar kalau tempat tinggal Kelelawar Beracun dinamakan Rawa Neraka. Sungguhpun tidak panas, tapi maut yang tersembunyi di dalamnya tidak terhitung!

Tak lama kemudian, keempat orang ini pun telah tiba di pinggir pulau tempat tinggal Kelelawar Beracun. Tepat di hadapan mereka, terbentang lautan. Sementara di hadapan mereka terlihat sebuah pulau. Dekat saja jaraknya dari pulau milik Keleawar Beracun. Kini Dewa Arak mengerti, mengapa Macan Loreng Lembah Neraka mengatakan Pulau Ular tidak pantas disebut pulau, tapi lebih patut disebut kepulauan.

Tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya pulau ini terdiri dari kumpulan pulau kecil? Tentu saja yang mengetahuinya hanya orang-orang yang tinggal di dalamnya. Sementara, orang persilatan golongan putih tidak pernah ada yang berani menginjakkan kaki ke dalamnya, kecuali Dewa Arak.

Arya mengukur lebar laut yang memisahkan kedua pulau itu dengan pandangan matanya. Menurut perhitungannya, lebih dari tiga puluh tombak. Jarak yang teramat jauh untuk bisa dilompatinya, sekalipun ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkatan tinggi.

Tapi rupanya Tiga Macan Lembah Neraka sudah memperhitungkannya. Hal ini terlihat dari ketenangan sikap mereka. Seperti juga Arya, tiga tokoh yang menggiriskan itu juga mengukur jarak laut yang memisahkan kedua pulau.

Kemudian, tangan Tiga Macan Lembah Neraka bergerak ke pinggang. Dewa Arak hanya meng­awasinya saja. Dia sadar kalau ketiga tokoh Lembah Neraka itu lebih berpengalaman ketimbang dirinya. Namun demikian sejak tadi benak Dewa Arak berpikir keras, bagaimana caranya untuk bisa melewati lautan ini?

Seketika wajah Dewa Arak memerah ketika melihat benda yang diambil masing-masing tokoh Lembah Neraka itu. Mereka semua melolos sabuk yang melilit pinggang.

"Ah! Betapa dungunya aku!" maki Dewa Arak dalam hati.

Selama ini Dewa Arak tidak pernah berpikir untuk menggunakan sabuknya. Dengan sabuk itu, rasanya tidak perlu repot-repot lagi melalui lumpur hidup di tempat tinggal Kelelawar Beracun.
Dalam hati, Dewa Arak merasa salut juga pada Tiga Macan Lembah Neraka. Memang, untuk menempuh lautan yang tidak begitu jauh, menggunakan sabuk sebagai alat untuk membantu menyeberang adalah cara yang paling tepat.

"Hih ... !"

Macan Tutul Lembah Neraka menggertakkan gigi seraya melompat menuju pulau tempat tinggal Kemamang Danau Neraka! Tapi seperti yang sudah diduga, belum sampai di tengah, kekuatan yang meluncurkan tubuhnya telah habis. Dengan sendirinya, tubuhnya melayang jatuh ke lautan.
Tapi laki-laki bertubuh pendek gemuk itu tidak nampak gugup. Memang, hal itu sudah diperhitun­kannya. Maka begitu meluncur jatuh, sabuknya segera dilecutkan ketika tubuhnya tinggal berjarak satu tombak lagi dari permukaan laut yang bergolak.

Ctarrr ... !

Suara nyaring menggelegar terdengar ketika ujung sabuk itu mengenai permukaan laut. Air berpercikan ke atas terkena lecutan sabuk yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Dengan meminjam tenaga dari benturan antara ujung sabuk dengan permukaan air, laki-laki bertubuh pendek gemuk itu melentingkan tubuhnya ke atas.

Macan Tutul Lembah Neraka harus melecutkan sabuknya beberapa kali untuk mencapai pulau itu. Dan kini dia berhasil mendarat di pinggir pulau tempat tinggal Kemamang Danau Neraka.

Begitu melihat Macan Tutul Lembah Neraka berhasil mendarat, berturut-turut Macan Kumbang Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa Arak melompat menyeberangi laut. Dan berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi, bukan merupakan hal yang sulit bagi mereka untuk menyeberangi lautan itu.

Dan begitu telah berada di seberang, tanpa membuang-buang waktu, keempat orang itu segera bergerak masuk ke tengah pulau. Seperti juga pulau yang ditinggali Kelelawar Beracun, pulau tempat tinggal Kemamang Danau Neraka juga tidak sepi dari air. Tanahnya becek. Hanya saja, pulau ini tidak memiliki lumpur hidup seperti yang ada di tempat kediaman Kelelawar Beracun.
"Aneh...," desah Dewa Arak. Pelan suaranya dan tidak jelas ditujukan untuk siapa.

"Mengapa, Dewa Arak?" sambut Macan Tutul Lembah Neraka pelan juga.

"Jalan masuk ke tempat tinggal ini, aman saja. Tidak penuh bahaya seperti waktu aku masuk ke tempat tinggal Kelelawar Beracun."

Macan Tutul Lembah Neraka tersenyum pahit

"Bukannya tidak ada bahaya yang membentang di jalan, Dewa Arak," jawab laki-laki bertubuh pendek gemuk itu sabar. "Tapi, karena kami telah cukup mengetahui jalan yang aman. Kalau kau pergi sendiri, kujamin akan banyak hambatan di perjalanan."

Dewa Arak tercenung. Kini dimengerti, mengapa jalan menuju pulau tempat tinggal Kemamang Danau Neraka sama sekali tidak mengandung bahaya. Dia lupa kalau saat ini berjalan bersama orang-orang yang telah cukup mengetahui jalan jalan yang aman.

Karena pulau itu memang kecil saja, sementara keempat orang itu melakukan perjalanan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, maka dalam waktu sebentar saja di hadapan mereka telah terbentang sebuah danau besar. Dan tepat di tengah­tengah danau itu terletak sebuah bangunan besar dan megah.

"Itulah tempat tinggal Kemamang Danau Neraka," tunjuk Macan Tutul Lembah Neraka memberi tahu seraya menudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah bangunan megah itu.

Dewa Arak melayangkan pandang ke arah bangunan itu. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini memuji kecerdikan orang yang tinggal di sana. Letak bangunan itu tepat di tengah-tengah danau. Jadi, dari mana pun lawan akan datang, pemilik rumah itu akan mengetahuinya.

"Kau lihat danau itu, Dewa Arak," Macan Kumbang Lembah Neraka ikut pula bicara.

Mendengar ucapan itu, Dewa Arak memandang ke air danau. Seketika itu juga sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini terbelalak. Air danau itu ternyata bukan air biasa, melainkan lahar gunung! Itu bisa diketahui dari cairan yang berbentuk kental dan suara meletup-letup mengiringi setiap gelembung­gelembung yang muncul di permukaan danau. Uap tipis berwarna putih, tampak mengepul dari permukaannya.

Yang lebih mengejutkan lagi, jalan yang menuju ke bangunan itu hanya berupa tonggak-tonggak baja yang berujung runcing mirip lembing. Yang lebih mengerikan lagi, jarak antara ujung tonggak-tonggak itu hanya sekitar dua jengkal dari permukaan danau yang bergolak.

Meremang bulu kuduk Arya melihat hal ini. Kalau bukan orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, jelas tak mungkin berani menuju ke bangunan itu. Sudah dapat dipastikan, sebelum tiba di sana, akan terjatuh ke dalam danau itu. Dan bagaimana nasibnya, sudah bisa ditebak. Kini Arya paham, mengapa danau itu mempunyai nama yang begitu mengerikan. Danau Neraka! Ternyata memang sesuai dengan kenyataan yang disaksikannya.

"Mari kita ke sana...!" ajak Macan Kumbang Lembah Neraka yang rupanya paling bernafsu di antara mereka bertiga.

Tampak jelas kalau laki-laki berkulit hitam itu sudah tidak sabar lagi untuk buru-buru berjumpa Kemamang Danau Neraka.

Tanpa menunggu jawaban ketiga orang lainnya, Macan Kumbang Lembah Neraka segera melesat ke arah bangunan megah itu. Macan Tutul Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa Arak mau tak mau ikut bergerak mengikuti.

Sesaat kemudian keempat orang itu telah berada di pinggir danau. Dari sini semakin jelas terlihat, tonggak-tonggak berujung runcing yang terpancang di danau itu, bagai siap menembus kaki-kaki siapa saja yang melaluinya.

Arya memperhatikan tonggak-tonggak itu sejenak. Bisa diperkirakan tonggak itu terbuat dari baja kuat dan dicampur dengan ramuan tertentu sehingga tahan terhadap air danau. Tonggak-tonggak itu terpancang membentuk jalan, dan diatur rapi seperti barisan. Setiap baris terdiri dari enam batang batang tonggak yang masing-masing berjarak sekitar tiga jengkal.

"Hih...!"

Macan Kumbang Lembah Neraka, yang paling merasa penasaran segera melompat ke depan. Indah dan manis gerakannya. Kemudian....

Tappp ... !

Meskipun dengan tubuh agak bergoyang-goyang sedikit, Macan Kumbang Lembah Neraka berhasil mendaratkan salah satu kakinya di ujung tonggak yang runcing. Sementara kaki yang sebelah lagi digunakan sebagai alat untuk menjaga keseimbangan tubuh.

Sesaat lamanya tubuh laki-laki berkulit hitam ini bergoyang-goyang. Dan begitu goyangan pada tubuhnya terhenti, Macan Kumbang Lembah Neraka kembali melompat. Kakinya didaratkan di ujung tombak yang lain. Begitu seterusnya.

Tidak hanya Macan Kumbang Lembah Neraka saja yang bergerak cepat menuju bangunan megah milik Kemamang Danau Neraka. Macan Tutul Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa Arak juga bergerak menuju ke sana. Gerakan mereka pun tak kalah indah bila dibanding Macan Kumbang Lembah Neraka.

Berkat ilmu meringankan tubuh yang rata-rata sudah mencapai tingkat tinggi, bukan merupakan hal yang sulit bagi keempat orang itu untuk melakukan perjalanan di ujung tonggak runcing.

Tak lama kemudian, jarak antara mereka dengan bangunan milik Kemamang Danau Neraka sudah semakin dekat. Dan dengan demikian, keadaan bangunan itu pun semakin jelas terlihat. Lantai bangunan itu ternyata berada lebih tinggi dari ujung­ujung tonggak. Jarak lantai dengan permukaan air danau tak kurang empat jengkal. Ada beberapa buah tiang baja besar yang menyangga bangunan megah itu, sehingga bisa berdiri di atas permukaan danau.

***
Kini keempat orang itu telah berada dalam jarak sekitar delapan tombak dari bangunan rumah, dan terus saja berlompatan dari satu tonggak ke tonggak lain.

Mendadak di teras muncul dua sosok tubuh. Yang seorang dikenali Dewa Arak sebagai Kelelawar Beracun. Tapi yang seorang lagi tidak dikenalinya. Mungkin inilah tokoh yang berjuluk Kemamang Danau Neraka.

Orang yang diduga Arya sebagai Kemamang Danau Neraka ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Kulitnya berwarna merah, dan rambutnya panjang terurai, namun kaku seperti sikat kawat. Pakaiannya hanya berapa kain berwarna putih yang dilibat-libatkan ke tubuhnya. Sangat pas dengan warna kulitnya yang merah.

Yang lebih mengerikan lagi, adalah sepasang matanya yang selalu terbelalak. Sepertinya, sepasang mata itu akan melompat keluar dari rongganya! .

Tampak jelas kalau kedua orang ini merasa terkejut bukan main melihat kedatangan empat sosok tubuh itu.

"Itukah orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki berambut kaku seraya menatap tajam wajah Arya.

"Benar, Kemamang Danau Neraka. Dialah Dewa Arak," Kelelawar Beracun menganggukkan kepala membenarkan.

"Hm...."

Laki-laki bertubuh kurus dan ternyata berjuluk Kemamang Danau Neraka menggumam pelan. Sementara, Kelelawar Beracun menjadi kebingungan, ketika melihat empat sosok tubuh semakin mendekati bangunan Kemamang Danau Neraka.

Tanpa pikir panjang lagi, Kelelawar Beracun segera memasukkan tangan ke balik bajunya. Dan secepat tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan.

Serrr ... !

Suara berdesir pelan terdengar begitu jarum jarum beracun laki-laki berwajah pucat itu menyambar. Tak tanggung-tanggung lagi yang dilepaskan Kelelawar Beracun. Belasan batang jarum beracun, yang semua­nya meluncur ke arah Dewa Arak!

"Hmh...!"

Ada suara dengus mengandung ejekan terdengar dari hidung Kemamang Danau Neraka. Hatinya memang merasa muak melihat kelicikan dan sikap pengecut yang ditunjukkan Kelelawar Beracun. Padahal,kedatangan laki-laki berwajah pucat ini tadi untuk meminta pertolongannya dalam menghadapi Dewa Arak. Tapi belum apa-apa, Kelelawar Beracun sudah merendahkan dirinya. Kelihatannya, dia tidak percaya kalau laki-laki berambut seperti kawat itu mampu menghadapi Dewa Arak. Kelelawar Beracun sama sekali tidak tahu kalau Kemamang Danau Neraka tersinggung atas perbuatannya tadi.

Bukan hanya Dewa Arak yang terkejut. Tiga Macan Lembah Neraka pun tersentak melihat kecurangan yang dilakukan Kelelawar Beracun. Pemuda berambut putih keperakan itu tampaknya tengah tidak siap untuk menerima serangan. Tambahan lagi, saat itu tubuhnya sedang berada di udara, karena baru saja melompat untuk hinggap di ujung tonggak di hadapannya. Maka, serangan jarum beracun dari Kelelawar Beracun benar-benar merupakan ancaman berbahaya.

Dewa Arak terperanjat Disadari kalau keadaannya sangat berbahaya. Maka buru-buru dijumputnya guci arak yang tersampir di punggung. Dan secepat guci arak itu terpegang, secepat itu pula dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk...!

Secepat arak itu masuk ke dalam mulutnya, secepat itu pula disemburkan ke arah jarum jarum beracun yang tengah meluncur deras ke arahnya.

Singgg..!

Suara berdesingan nyaring seperti meluncurnya anak panah dari baja terdengar ketika butiran-butiran arak itu meluncur ke arah jarum jarum.

Tringgg..., tringgg ... !

Suara berdentingan nyaring terdengar begitu semburan arak Dewa Arak berbenturan dengan jarum jarum yang dilepaskan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga, belasan jarum itu runtuh ke bawah.

"Hup... !"

Meskipun dengan agak terhuyung-huyung, Dewa Arak berhasil mendaratkan kakinya di ujung tonggak runcing yang memang hendak disinggahinya.

Tiga Macan Lembah Neraka dan Kemamang Danau Neraka menggeleng-gelengkan kepala. Mereka semua memuji kelihaian Dewa Arak. Sementara Kelelawar Beracun hanya bisa ke­bingungan. Tapi begitu teringat di sebelahnya ada Kemamang Danau Neraka, hatinya pun tenang kembali.

Dia yakin, rekannya ini akan mampu meng­atasi Dewa Arak! Hanya saja yang menjadi pertanyaan Kelelawar Beracun, apa hubungannya pemuda berambut putih keperakan itu dengan Tiga Macan Lembah Neraka sehingga bisa menuju Danau Neraka bersama-sama? Dia khawatir kalau tiga tokoh Lembah Neraka itu membantu Dewa Arak. Dan apabila hal itu terjadi, keadaan akan semakin menyulitkan dirinya.

Meskipun serangan pertamanya gagal, Kelelawar Beracun tidak jera. Kembali dikirimnya serangan­serangan curang lain. Laki-laki berwajah pucat ini menggunakan berbagai macan senjata rahasia beracun untuk menghambat tibanya Dewa Arak.

Walaupun yang dicegah adalah Dewa Arak, tapi tak urung Tiga Macan Lembah Neraka pun terbawa-bawa juga. Tiga tokoh Lembah Neraka ini tidak berani melanjutkan langkah, karena khawatir terkena serangan nyasar.

Kelelawar Beracun benar-benar kalap. Semua senjata rahasia beracun miliknya sudah dikeluarkan, tapi berhasil dipunahkan Arya. Kalau tidak dielakkan, pasti ditangkis dengan semburan araknya, atau dengan putaran tangannya yang menimbulkan angin keras menderu. Entah berapa macam senjata rahasia yang terlontar. Mulai dari jarum, logam berbentuk bintang segi lima, logam berbentuk ujung anak panah, sampai logam berbentuk ekor kalajengking. Tapi semuanya sia-sia belaka.

"Huh...!"

Hampir berbareng, Dewa Arak dan Tiga Macan Lembah Neraka mendaratkan kakinya di teras rumah Kemamang Danau Neraka.

Macan Kumbang Lembah Neraka yang sejak tadi sudah beringas terhadap Kemamang Danau Neraka, segera melangkah maju. Tapi, rupanya tangan Macan Tutul Lembah Neraka telah lebih dulu mencekalnya. Dan dengan bahasa isyarat, dinasihatkan agar laki­laki berkulit hitam itu bersikap sabar sebentar. Biar Dewa Arak menyelesaikan masalahnya dulu.

Meskipun dengan mulut merengut, Macan Kumbang Lembah Neraka mau juga memenuhi permintaan rekannya untuk menahan diri agar tidak buru-buru melabrak Kemamang Danau Neraka.

Sementara itu dengan langkah satu-satu, Dewa Arak maju menghampiri Kelelawar Beracun yang terus mundur.

"Kemamang Danau Neraka," sebut Kelelawar Beracun sambil menoleh ke arah kakek bertubuh tinggi kurus itu. "Bukankah kau sudah berjanji membantuku untuk menghadapinya?"

"Hmh ... !" Kemamang Danau Neraka mendengus. "Aku muak melihat kelicikanmu. Lebih baik hadapilah sendiri!"

Seketika wajah Kelelawar Beracun pucat pasi. Dia memang betul-betul ngeri terhadap Dewa Arak. Terutama bila teringat ancaman pemuda berambut putih keperakan itu. Laki-laki berwajah pucat itu memang tidak takut mati. Tapi mati secara perlahan­lahan dan secara menyakitkan, tentu saja ditakutinya.

Semula laki-laki berwajah pucat ini mengandalkan Kemamang Danau Neraka untuk menghadapi Dewa Arak. Tapi kini Kemamang Danau Neraka tampak malah melangkah mundur dan membiarkannya menghadapi Dewa Arak! Dia sama sekali tidak tahu kalau sikap pengecutnya itulah yang membuat pemilik Danau Neraka menarik diri.

Memang seperti juga Tiga Macan Lembah Neraka, Kemamang Danau Neraka adalah seorang yang mementingkan kegagahan. Walaupun sebagai tokoh sesat, laki-laki berambut kaku ini menganggap dirinya adalah seorang datuk! Pantang baginya untuk bersikap pengecut. Dan dia malah kagum terhadap sikap yang ditunjukkan Dewa Arak.

"Aku masih memberimu kesempatan sekali lagi, Kelelawar Beracun," tandas Dewa Arak pelan tapi penuh ancaman. "Bila yang sekali ini kau berbuat curang lagi, aku tidak segan-segan melaksanakan ancamanku!"

"Baiklah, Dewa Arak. Aku menyerah. Aku akan memberi obat penawar buat kawanmu itu."
Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat ini mengeluarkan sebuah buntalan kain hitam sebesar kepalan dari batik bajunya. Kemudian buntalan itu diangsurkan ke arah Dewa Arak.

Tentu saja Arya tidak begitu saja percaya. Dia telah tahu kalau Kelelawar Beracun amat licik. Maka untuk beberapa saat lamanya, dia ragu-ragu. Sementara Tiga Macan Lembah Neraka, dan Kemamang Danau Neraka mengawasi semua kejadian yang ada di hadapan mereka, dan sekali tidak berniat men­campuri.

"Ambillah, Dewa Arak," ujar Kelelawar Beracun pelan. "Aku tidak berbohong kali ini."

Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah pucat ini menggoyang-goyangkan buntalan kain hitam yang berada di tangannya.

Akhirnya Arya memutuskan untuk mengambilnya. Dengan langkah hati-hati dihampirinya Kelelawar Beracun. Sepasang matanya menatap laki-laki berwajah pucat ini penuh waspada. Dewa Arak bersiap-siap apabila Kelelawar Beracun melancarkan serangan mendadak.

Tapi, ternyata tidak terjadi sesuatu yang dikhawatirkan Arya sampai kedua tangannya menyen­tuh buntalan yang ternyata tidak terbuka itu.

Begitu Arya menggenggam buntalan kain hitam itu, mendadak jari jari Kelelawar Beracun bergerak meremas. Gerakannya tidak begitu kentara, karena pemuda berambut putih keperakan itu lebih memusatkan perhatian pada sebelah tangan dan kaki Kelelawar Beracun. Tapi meskipun begitu, sempat juga diliriknya.

Mendadak dari dalam buntalan yang tidak terbuka itu melesat benda hitam. Arya terkejut bukan main. Meskipun hanya melihat sekilas, sempat diketahui kalau benda hitam itu adalah seekor kelabang. Kelabang biasa saja sudah berbahaya.Apalagi kelabang yang dibawa Kelelawar Beracun! .

Maka tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera melompat ke belakang. Usaha yang dilakukannya tidak sia-sia, sergapan kelabang itu berhasil dielakkan.

Tapi Kelelawar Beracun sudah memperhitungkan hal itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera meluruk memburu tubuh Dewa Arak yang tengah berada di udara. Cepat bukan main gerakan­nya. Sudah dapat dipastikan, Dewa Arak akan meng­alami kesulitan untuk meloloskan diri.

Bukan hanya Dewa Arak saja yang terperanjat. Tiga Macan Lembah Neraka pun terkejut bukan kepalang. Serangan itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga mereka pun tidak sempat berbuat sesuatu.

Tapi mendadak saja, terjadi sesuatu yang mengejutkan. Tubuh Kelelawar Beracun yang tengah meluruk ke arah Dewa Arak itu tiba-tiba tersentak ke belakang. Terdengar keluhan tertahan dari mulut laki­laki berwajah pucat itu. Bahkan bukan hanya itu saja. Suara gemeretak keras dari tulang-tulang leher yang patah pun terdengar mengiringi.

Brukkk ... !

Terdengar suara berdebukan keras ketika tubuh Kelelawar Beracun ambruk di lantai, dan diam tidak bergerak lagi. Nyawa laki-laki berwajah pucat itu melayang seketika. Sepasang matanya melotot, dan lidahnya pun terjulur keluar. Pada lehernya, nampak terjerat sebuah cambuk berwarna coklat.

Dewa Arak dan Tiga Macan Lembah Neraka memandang pada pemilik cambuk yang tengah menggulung senjatanya dengan sikap tak peduli. Siapa lagi kalau bukan Kemamang Danau Neraka!
"Aku benci pada orang yang berjiwa pengecut dan licik!" tegas laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
Tanpa mempedulikan ucapan Kemamang Danau

Neraka, Dewa Arak segera berjongkok memeriksa Kelelawar Beracun. Betapa kaget hati Dewa Arak ketika mengetahui laki-laki berwajah pucat itu telah tewas!

"Dia telah tewas...," tegas Arya seraya bangkit berdiri.

Pemuda berambut putih keperakan ini tidak menyalahkan tindakan Kemamang Danau Neraka. Bah-kan seharusnya berterima kasih. Memang, tanpa pertolongan pemilik Danau Neraka itu, Dewa Arak mungkin telah tewas!

"Tidak perlu hal itu dipusingkan, Dewa Arak!" selak Kemamang Danau Neraka. "Aku tahu obat pemunah untuk racun pada jarum itu. Aku pun memilikinya. Dan aku bersedia memberikannya padamu, tapi dengan satu syarat."

Memang Kelelawar Beracun telah menceritakan semua masalah yang dihadapinya pada Kemamang Danau Neraka, karena menginginkan pertolongan pemilik Danau Neraka itu.

"Apa syaratnya, Kemamang Danau Neraka?" sambut Dewa Arak cepat penuh gairah. "Aku bersedia memenuhinya."

"Bila kau sempat, datanglah kemari. Aku ingin menjajal kepandaianmu."
"Aku janji!" sahut Dewa Arak cepat.

"Bagus! Kutunggu janjimu, Dewa Arak! Dan, ingat! Bila kau tidak juga muncul, aku yang akan mencarimu. Akan kubuat kacau dunia persilatan! Mengerti?!"

Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti. Sementara Kemamang Danau Neraka segera bergegas masuk ke dalam. Hanya sebentar saja, dan tak lama kemudian sudah kembali dengan sebuah kendi kecil yang tertutup rapat.

Meskipun ada sedikit keraguan yang melanda, Dewa Arak menerima kendi pemberian Kemamang Danau Neraka.

"Terima kasih, Kemamang Danau Neraka," ucap Dewa Arak setelah kendi kecil itu berada di tangannya.

Tapi sama sekali tidak terdengar sahutan dari mulut Kemamang Danau Neraka. Orang kasar sepertinya mana peduli terhadap segala aturan dan sopan santun? .

"Coba kulihat sebentar, Dewa Arak," pinta Macan Tutul Lembah Neraka sambil melangkah maju mendekati Dewa Arak. Memang sejak tadi, Tiga Macan Lembah Neraka hanya diam saja memperhatikan.

Dewa Arak segera memberikannya pada Macan Tutul Lembah Neraka. Laki-laki bertubuh pendek gemuk itu segera membuka tutup kendi, dan men­cium baunya sesaat. Baru kemudian, kepalanya terangguk.

"Kalau benar racun yang melukai kawanmu itu adalah yang terkandung dalam jarum, memang benar ini obatnya," jelas Macan Tutul Lembah Neraka pelan.

"Dan aku meramunya berdasarkan daun-daunan yang kupetik dari pulau milik sahabat kalian," selak Kemamang Danau Neraka seraya menatap tokoh­tokoh Tiga Macan Lembah Neraka berganti-ganti.
Sepasang mata Macan Kumbang Lembah Neraka terbelalak lebar.

"Jadi, maksudmu datang ke pulau itu hanya untuk menciptakan penawar racun ini?"
"Hanya mencoba-coba saja, Macan Kumbang." Suasana hening sejenak. Hilang sudah kemarahan

yang tadi melanda hati Tiga Macan Lembah Neraka. Kemamang Danau Neraka ternyata tidak bermaksud merampas pulau!

Semula mereka memang menduga demikian. Dan kini, jelaslah sudah. Tak ada niatan di hati Kemamang Danau Neraka untuk merampas pulau yang dulunya milik Raksasa Rimba Neraka.

Sehingga, kini mereka mengurungkan niatnya untuk mengajak bertarung laki-laki berambut kaku itu.

Tak lama kemudian, Dewa Arak dan Tiga Macan Lembah Neraka mohon diri. Dan bagi Dewa Arak, tidak lagi mengalami kesulitan untuk mencari jalan keluar. Tiga Macan Lembah Neraka bersedia mengantarnya sampai keluar dari laut yang berwarna hitam.

***

"Kang Arya...!" seruan lirih wanita berpakaian putih yang tergolek di pembaringan indah dan mewah, membuat seorang pemuda berambut putih keperakan yang tengah terkantuk-kantuk mem­belalakkan matanya.

"Melati ... !"

Pemuda berambut putih keperakan yang tak lain dari Arya berseru keras. Nada suaranya jelas menyiratkan perasaan gembira yang amat sangat. Sementara sepasang matanya merayapi wajah kekasihnya. Memang wajah gadis itu sudah tidak berwarna merah lagi, tapi sudah kembali seperti semula. Meskipun masih agak pucat .

"Kau sudah sadar?" tanya Dewa Arak.

Kemudian tanpa mempedulikan orang lain yang ada di sekitar situ, Arya segera memeluk tubuh kekasihnya erat-erat. Obat yang diberikan Kemamang Danau Neraka ternyata memang manjur. Tak sia-sia dia bersusah payah menempuh perjalanan menan­tang maut ke Pulau Ular.

Prabu Nalanda, Ki Julaga, Ki Temula, Patih Rantaka, dan Eyang Sagapati segera melangkah me­ninggalkan ruangan itu. Mereka sengaja membiarkan sepasang muda-muda itu saling melepaskan rindu.

Sementara Dewa Arak dan Melati yang diberi kesempatan, sama sekali tidak tahu-menahu. Sepasang muda-muda itu masih saja sibuk melepas­kan rindu, sehingga melupakan keadaan sekeliling­nya.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar