19 - Perjalanan Menantang
Maut
"Hhh ... !"
Prabu Nalanda menghela napas
berat. Raut wajahnya nampak menyiratkan kecemasan. Sepasang matanya kemudian
beredar, mengawasi sekelilingnya. Satu persatu, dirayapinya wajah wajah orang
yang duduk bersila di depannya.
"Pulau Ular...,"
gumam Raja Bojong Gading pelan.
"Benar, Gusti
Prabu," sahut seorang pemuda berambut putih keperakan. "Begitulah
berita yang hamba dapatkan dari Tuyul Tangan Seribu."
"Aku memang pemah
mendengar cerita yang tersebar mengenai pulau itu, Arya. Sebuah pulau yang
penuh teka-teki," jelas Raja Bojong Gading lagi. "Kau tahu, di mana
letaknya pulau itu?"
"Hamba belum tahu, Gusti
Prabu," sahut pemuda itu, yang ternyata Arya Buana atau Dewa Arak sambil
menggelengkan kepala. "Tapi mungkin Ki Julaga dan Ki Temula
mengetahuinya."
Setelah berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan ini mengalihkan tatapan pada wajah-wajah tua di
dekatnya.
"Ampunkan hamba, Gusti
Prabu. Boleh hamba bicara?" tanya seorang kakek berwajah tirus, berpakaian
kuning.
Prabu Nalanda menoleh.
Ditatapnya wajah kakek yang tak lain adalah Ki Temula, Ketua Perguruan Garuda
Sakti. Perlahan kepalanya terangguk.
"Silakan, Ki."
"Begini, Gusti Prabu.
Maaf, bukannya bermaksud menyombongkan pengetahuan. Tapi menurut hemat hamba,
lebih baik Arya mengurungkan maksudnya untuk pergi ke sana."
"Mengapa, Ki?" tanya
Dewa Arak.
"Pulau Ular adalah sebuah
pulau penuh teka‑teki dan berbahaya, Arya. Di sana penuh dengan tempat
berbahaya. Apalagi, tempat itu juga ditaburi racun di sekitarnya. Letaknya saja
jarang orang yang tahu," jelas Ki Temula.
"Tapi, kau kan tahu letak
pulau itu, Ki?" Raja Bojong Gading yang mendahului bertanya. Terpaksa Arya
menahan pertanyaan yang akan diajukan.
"Kalau secara pasti,
hamba tidak mengetahuinya, Gusti Prabu," sahut Ki Temula jujur.
"Hamba hanya mengetahui dari cerita-cerita pendahulu hamba di Perguruan
Garuda Sakti."
Raja Bojong Gading
mengangguk-anggukkan kepala.
"Bisa kau ceritakan
padaku mengenai Pulau Ular itu, Ki?" pinta Arya, halus.
Sebentar kakek berwajah tirus
itu menghela napas berat.
"Pulau itu berada di
tengah Laut Hitam, Arya. Jadi untuk menuju ke sana, terlebih dulu kau harus
mencari Pantai Karang Hitam. Bukan begitu, Ki?" kata Ki Temula sambil
menoleh ke arah Ki Julaga.
Ki Julaga menganggukkan kepala
pertanda membenarkan. Sementara Prabu Nalanda, Dewa Arak, Patih Rantaka, dan
beberapa orang anggota pasukan khusus yang berjaga jaga di sekitar situ hanya
diam mendengarkan.
"Setelah menemukan Pantai
Karang Hitam itu, kau harus berlayar terus ke arah Barat. Dan kalau salah arah,
sampai kapan pun kau tak akan menemukan pulau itu," sambung kakek berwajah
tirus itu.
Ki Temula menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Terpaksa semua orang yang berada di
situ diam sambil menunggu kelanjutan ceritanya. Mereka semua sudah tidak sabar
lagi untuk mendengar kelanjutan cerita mengenai Pulau Ular.
Terutama sekali Arya. Maka tak
ada seorang pun di antara mereka yang menyelak cerita Ki Temula.
"Apabila menempuh arah
yang benar, kau akan melalui tempat-tempat aneh," sambung kakek berwajah
tirus itu. "Yang pertama kali akan kau temukan adalah air laut yang tidak
lagi berwarna biru, tapi hitam! Ini adalah tanda pertama kalau kau telah
menempuh jalan yang benar. Sampai di sini, udara telah mengandung racun ganas.
Maka, kau harus hati-hati."
"Ahhh...!"
Terdengar seruan kaget dari
mulut semua orang yang mendengarkan cerita itu. Sungguh tidak disangka kalau
perjalanan menuju Pulau Ular itu melewati hal-hal yang aneh. Hanya Ki Julaga
yang tidak menampakkan tanggapan apa-apa. Memang kakek bertubuh kecil kurus ini
juga telah mengetahuinya. Sedangkan Arya, di samping terkejut juga mencatat
semua yang diceritakan Ki Temula dalam benaknya.
"Apabila kau telah
melewati lautan yang airnya berwarna hitam, maka perlahan warna air itu semakin
muda. Sampai akhirnya, kau akan bertemu air yang berwarna hijau. Tak jauh dari
situ, kau akan menemukan sebuah pulau yang kalau dilihat dari atas, dari
samping kanan, atau dari kejauhan, berbentuk memanjang dan meliuk-liuk mirip
badan seekor ular. Itulah sebabnya, mengapa pulau itu dinamakan Pulau
Ular," tutur Ki Temula menutup ceritanya.
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Ki Temula menghentikan ceirtanya. Mereka semua terpukau setelah
mendengar cerita Pulau Ular.
"Mengerikan sekali."
Ucapan Prabu Nalanda
memecahkan keheningan yang menyelimuti tempat itu. Pelan saja suaranya,
sehingga lebih mirip desahan. Tapi karena suasana saat itu hening, ucapan Raja
Bojong Gading itu jadi terdengar jelas dan keras.
"Begitulah keadaan pulau
itu menurut yang hamba dengar, Gusti Prabu," tambah Ki Temula.
"Kau pernah membuktikan
kebenaran berita itu, Ki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Ki Temula menganggukkan
kepala.
"Dulu sewaktu aku masih
muda dan berdarah panas sepertimu, Arya," sahut kakek berwajah tirus itu.
"Dengan bermodalkan keberanian, aku pergi ke sana. Tapi baru saja tiba di
lautan yang airnya berwarna hitam, aku telah jatuh pingsan. Untung saat itu aku
membawa obat penawar racun. Kalau tidak, entah apa jadinya ... ?"
Sampai di sini Ketua Perguruan
Garuda Sakti itu menghentikan ceritanya.
"Lalu bagaimana,
Ki?" selak Prabu Nalanda yang merasa tertarik.
Wajah Ki Temula memerah
mendengar pertanyaan itu.
"Aku langsung
kembali," jawab kakek berwajah tirus itu pada akhirnya, walau dengan rasa
malu.
"Aku tidak sudi mati
konyol di tempat itu. Meskipun dengan perasaan penasaran, aku memaksakan diri
untuk kembali. Tapi, lagi-lagi nasib sial menimpa diriku."
"Apa yang terjadi
denganmu, Ki?" tanya Arya ketika mendapat kesempatan.
"Aku tersesat, sehingga
tidak menemukan jalan pulang. Berhari-hari lamanya aku terkatungkatung di
tengah lautan. Untunglah pada akhirnya aku berhasil menemukan sebuah pulau
lain. Di sana, aku mendaratkan perahuku."
"Lalu selanjutnya bagaimana,
Ki?" selak Prabu Nalanda lagi.
Rupanya Raja Bojong Gading ini
merasa tertarik juga mendengar pengalaman yang dialami Ketua Perguruan Garuda
Sakti itu.
"Pulau itu ternyata
dihuni seorang pendekar sakti. Dia tinggal di situ untuk menjaga agar adik
seperguruannya yang berwatak jahat tidak bisa meloloskan diri dari pulau itu.
Sayang..., aku lupa nama pendekar itu. Tapi, kalau adik seperguruannya aku
ingat"
"Siapa namanya, Ki?"
tanya Arya ingin tahu. Karena cerita yang didengarnya mirip cerita yang didapat
dari seorang pendekar yang dikenalnya dalam perjalanan.
"Kalau tidak salah...
Sanca Mauk...," jawab Ki Temula dengan dahi berkernyit
"Sanca Mauk...!"
ulang Dewa Arak kaget.
"Benar!" Ki Temula
menganggukkan kepala. "Kau mengenalnya, Arya?"
Perlahan-lahan kepala Arya
terangguk. Kemudian diceritakan pertemuannya dengan tokoh yang bernama Sanca
Mauk itu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Pendekar
Tangan Baja").
Ki Temula terdiam setelah Arya
menyelesaikan ceritanya.
"Mungkin benar, tokoh
yang bernama Sanca Mauk
itu adalah orang yang
diceritakan teman perjalananmu itu, Arya," kata Ketua Perguruan Garuda
Sakti, akhirnya.
Suasana menjadi hening sejenak
begitu Ki Temula menghentikan ceritanya karena tidak ada lagi yang membuka suara.
"Terima kasih atas
keterangan yang kau berikan mengenai pulau itu, Ki," ucap Arya memecahkan
keheningan.
"Hhh ... !" Ki
Temula menghela napas berat "Kalau menurut pendapatku, lebih baik niatmu
diurungkan, Arya. Terlalu berbahaya! Belum lagi bahaya-bahaya lain yang tidak
terduga."
"Kuucapkan terima kasih
atas semua nasihatmu, Ki," sahut Arya sambil menatap wajah Ki Temula penuh
rasa terima kasih. "Tapi, tekadku telah bulat. Aku harus pergi ke sana,
apa pun yang akan terjadi!"
Ki Temula terdiam. Dia tahu
tidak ada gunanya lagi menahan tekad Dewa Arak yang telah begitu bulat.
"Kalau niatmu sudah
begitu keras, aku hanya bisa mendoakan agar kau selamat, Arya," harap Ki
Temula.
"Terima kasih, Ki,"
ucap Arya tulus.
"Kapan kau akan
berangkat, Arya?" tanya Prabu Nalanda.
"Sekarang juga, Gusti
Prabu," sahut Arya mantap. "Hati-hati, Arya," hanya itu yang
bisa diucapkan Prabu Nalanda.
Raja Bojong Gading ini
diam-diam mengkhawatirkan keselamatan pemuda berambut putih keperakan itu,
begitu mendengar cerita Ki Temula tentang Pulau Ular. Tapi dia tidak berusaha
mencegah, karena memang Melati sangat membutuhkan pertolongan. Kalau tidak Dewa
Arak,siapa lagi orang yang pantas melakukan perjalanan menantang maut ke Pulau
Ular?
"Akan hamba perhatikan
semua nasihat Gusti Prabu."
Setelah berkata demikian, Arya
bergegas bangkit. Tapi...
"Sebentar, Arya...."
Dewa Arak menoleh ke arah Ki
Julaga, orang yang menyapanya. Tampak kakek bertubuh kecil kurus itu tengah
berbincang-bincang dengan Eyang Sagapati, ahli obat Istana Kerajaan Bojong
Gading. Entah apa yang dibicarakan mereka, Arya tidak tahu. Yang jelas, setelah
minta izin pada Prabu Nalanda, kakek berpakaian coklat melangkah meninggalkan
tempat itu.
Tapi tak lama kemudian, Eyang
Sagapati sudah kembali sambil membawa sebuah buntalan kain sebesar kepala
manusia dewasa. Diberikan buntalan kain itu pada Dewa Arak. Sebentar laki-laki
tua itu menerangkan pada Arya mengenai isi buntalan. Apa lagi kalau bukan
tentang obat-obatan?
Tak lama kemudian, Arya pun
pamit. Tak lupa dikunjunginya Melati sebelum berangkat menuju Pulau Ular.
***
Arya melakukan perjalanan
dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf
kesempurnaan. Perjalanan dari Istana Kerajaan Bojong Gading menuju pantai
memang amat jauh, dan harus menerobos hutan-hutan dan menyeberangi
sungai-sungai.
Sebenarnya Prabu Nalanda
hendak memberi seekor kuda agar perjalanan Dewa Arak dapat lebih cepat. Tapi,
pemuda berambut putih keperakan itu menolaknya. Padahal dengan berkuda, Dewa
Arak bisa menghemat tenaga. Tapi mengingat medan yang akan dilalui begitu
berat, maka Arya terpaksa tidak bisa menerimanya. Banyak hutan lebat dan sungai
yang menghalangi jalan, membuatnya harus memilih jalan kaki.
Untuk menentukan arah Barat,
bukan merupakan hal yang sulit. Sebab, ada petunjuk yang tidak mungkin salah.
Matahari! Arya melakukan perjalanan dengan berpatokan pada bola api raksasa
itu.
Arya menempuh perjalanan
seperti orang kurang waras. Dia hanya berhenti kalau kedua kakinya terasa sudah
tidak sanggup lagi melangkah. Makan, dilakukannya kalau perutnya sudah
benar-benar melilit. Tidur, dan minum pun demikian pula. Dewa Arak hanya tidur
apabila sepasang matanya sudah tidak mampu dibuka lagi. Dan minum apabila rasa
haus telah mencekik tenggorokan.
Tak aneh bila dalam beberapa
hari saja, tubuh Arya mulai susut. Wajahnya pun mulai memucat. Keadaannya sudah
kurang terurus. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak
mempedulikannya. Yang ada di benaknya hanya satu. Tiba di Pulau Ular secepat mungkin!
Hari ini adalah hari ketujuh,
sejak Dewa Arak meninggalkan Istana Kerajaan Bojong Gading. Bola api raksasa
tepat di atas kepala. Sinarnya menyorot garang ke bumi ketika Arya tiba di
mulut sebuah hutan.
Dari cerita yang pernah
didengarnya, Arya tahu ini adalah hutan terakhir yang akan dilewatinya.
Sekeluarnya dari hutan ini, dia akan bertemu laut.
Hutan ini memang kelihatan
sepi-sepi saja. Apalagi desa yang terdekat, cukup jauh juga dari hutan. Maka
Arya pun tetap bersikap waspada. Dan memang begitulah sifat Dewa Arak. Tidak
pernah meninggalkan sikap hati-hati dalam setiap langkahnya.
Kalau melihat dari sikapnya,
kewaspadaan Arya memang tak terlihat. Kakinya melangkah dengan sepasang mata
menatap lurus ke depan. Wajahnya sama sekali tidak menoleh ke kiri atau ke
kanan. Tapi sebenarnya, kedua telinganya dipasang tajam-tajam. Begitu terdengar
suara yang mencurigakan, sekujur urat-urat syaraf di tubuhnya menegang penuh
kewaspadaan.
Mendadak Arya menghentikan
langkah, ketika mendengar suara berdesing beberapa kali. Seketika itu juga
kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Sesaat kemudian tubuh Dewa Arak sudah
melambung ke udara. Dan pada saat yang bersamaan, beberapa batang anak panah
menyambar, tapi lewat di bawah kakinya.
Baru saja kedua kaki Dewa Arak
hinggap di tanah, dari balik kerimbunan semak dan pepohonan lebat, muncul dua
sosok tubuh yang tiba-tiba sudah menghadang.
Dua sosok itu sama-sama
bertubuh kerdil. Paling- paling tingginya hanya sepinggang Dewa Arak. Tapi raut
wajah keduanya kasar dan penuh bulu. Tubuh masing-masing hanya terbungkus rompi
berwarna hitam dan coklat. Dan yang lebih mengerikan lagi, ada taring tersembul
di bagian kanan kiri mulut mereka.
"Siapa kalian? Mengapa
menyerangku?" tanya Arya hati-hati.
Dewa Arak memang merasa agak
heran menerima serangan dari dua orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Khawatir kalau kedua orang itu salah alamat. Arya lalu berusaha ramah. Suaranya
dibuat lembut saat bertanya tadi.
"Kami berjuluk Raksasa
Kecil Hutan Gembrong. Namaku Jagakarsa," kata orang kerdil yang mengenakan
rompi berwarna coklat, memperkenalkan diri.
"Aku Jagatarsa,"
rekannya yang memakai rompi berwarna hitam menyambung.
"Aku Arya," sambut
Dewa Arak cepat. Lega sudah rasa hati Dewa Arak melihat sambutan yang ramah
dari kedua orang itu. "Mengapa Kisanak berdua menyerangku?"
"Ha ha ha...!"
Jagakarsa tertawa bergelak. Suara tawanya terdengar keras menggelegar seperti
halilintar. Jelas kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Arya mengerutkan alisnya. Dia
tidak mengerti mengapa laki-laki berompi coklat ini tertawa. Apakah ucapannya
barusan begitu lucu? Tapi betapapun dia telah mengingat-ingat kembali
ucapannya, tetap tidak ditemukannya hal-hal yang patut ditertawakan.
"Kaukah yang berjuluk
Dewa Arak itu?" tanya Jagatarsa begitu Jagakarsa menyelesaikan tawanya.
Arya tersenyum pahit. Sungguh
tidak disangka kalau julukannya sudah tersebar begitu jauh. Bahkan sudah sampai
di Hutan Gembrong ini. Diam-diam timbul perasaan tidak enak di hatinya.
Biasanya kalau sudah begini, keributan pasti tidak akan bisa dihindari lagi.
Dan inilah yang paling tidak disukai Dewa Arak!
"Tidak bisa
kupungkiri," sahut Arya pelan. "Akulah orangnya yang mendapat julukan
yang rasanya terlalu berlebihan itu."
Mendadak seri di wajah Raksasa
Kecil Hutan Gembrong lenyap. Wajah mereka berubah beringas. Ada ancaman maut
yang tersirat di wajah kedua orang penguasa hutan itu.
"Kalau begitu, kau harus
mampus, Dewa Arak!" desis Jagakarsa tajam. Nada suaranya menyiratkan
kemarahan dan kebencian yang mendalam.
"Tepat!" sambung
Jagatarsa. "Kau telah banyak merugikan orang-orang golongan kami! Meskipun
sudah tidak ikut campur tangan lagi dalam mengacau dunia persilatan, tapi kami
tidak suka rekan-rekan segolongan kami kau bantai!"
"Hhh ... !"
Arya menghela napas berat Dia
tahu pertarungan tidak bisa dihindari lagi. Kedua Raksasa Kecil Hutan Gembrong
memang sudah tidak bisa disabarkan lagi. Memang, mereka telah terlampau
dikuasai amarah.
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring,
Jagakarsa melakukan lompatan harimau, menyerang Dewa Arak.
Kekuatannya dipusatkan pada
punggung bagian atas. Kemudian, tubuhnya bergulingan mendekati Arya. Dan begitu
telah dekat, dia langsung bangkit sambil melancarkan serangan bertubi-tubi ke
arah ulu hati dan dada Dewa Arak, dengan kedua tangan mengembang membentuk
cakar. Suara mendecit nyaring dari udara yang terobek, terdengar mengiringi
serangan itu.
Cepat bukan main gerakan
laki-laki berompi coklat itu. Semua peristiwa itu terjadi dalam sekejap mata
saja. Dan tahu-tahu, kedua cakar Jagakarsa telah mengancam ulu hati dan dada
Dewa Arak.
Cepat gerakan Jagakarsa, tapi
masih lebih cepat
lagi gerakan Dewa Arak. Kaki
kanan pemuda berambut putih keperakan itu segera melangkah ke belakang.
Sehingga, semua serangan itu hanya lewat sekitar sejengkal di depannya.
Belum sempat Dewa Arak berbuat
sesuatu, Jagakarsa telah melancarkan serangan susulan. Kini kaki kanannya
bergerak menyapu.
Wuttt..!
Deru angin keras mengawali
tibanya serangan sapuan kaki itu. Kelihatannya sapuan kaki itu tidak bisa
dianggap ringan. Jangankan kaki manusia, batang pohon keras sebesar dua pelukan
tangan orang dewasa saja akan tumbang bila terkena.
Mendadak sekali tibanya
serangan susulan itu. Tapi lawan yang diserangnya adalah Dewa Arak, seorang
pendekar muda yang memiliki kepandaian amat tinggi! Maka tidak begitu sulit
bagi Dewa Arak untuk nengelakkan serangan itu. Kedua lututnya sedikit saja
ditekuk, lalu bergerak menggenjot. Sesaat kemudian tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu meletik ke atas. Hasilnya, sapuan Jagakarsa mengenai tempat
kosong.
Melihat kesungguhan serangan
lawan, Dewa Arak tidak berani bersikap main-main lagi. Maka sambil nelompat ke
atas, tangan kanan Dewa Arak dengan jari jari membentuk cakar meluncur deras ke
arah kepala laki-laki berompi coklat itu. Arya menggunakan ilmu warisan
ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
Jagakarsa terperanjat begitu
melihat lawannya. Dewa Arak bisa merubah keadaan, dari terancam menjadi
mengancam. Bahkan dengan serangan serangan maut! Dari suara mendecit nyaring,
bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Jagakarsa adalah orang yang
terlalu yakin akan kemampuan diri sendiri. Maka begitu mendapat serangan maut
itu, sama sekali tidak dielakkannya. Bahkan sebaliknya malah dipapaknya.
Laki-laki berompi coklat ini mengerahkan seluruh tenaganya dalam tangkisan itu.
Maksudnya memang ingin mematahkan kedua tangan Dewa Arak dengan sekali tangkis.
Plak, plak, plakkk...!
Suara benturan keras terdengar
berkali-kali ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi berbenturan.
Hebat akibatnya! Tubuh Dewa
Arak yang berada di udara, terpental kembali ke atas, Jagakarsa yang berada di
tanah, jatuh terpelanting.
Namun berkat kelihaian
masing-masing, tidak sulit bagi kedua orang itu untuk segera memperbaiki sikap.
Tepat saat kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, Jagakarsa pun berhasil
memperbaiki sikapnya. Tapi wajahnya tidak tenang seperti sebelumnya. Tampak ada
seringai kesakitan yang tergambar di wajahnya. Memang, laki-laki berompi coklat
ini merasa kan sakit pada kedua tangannya ketika berbenturan dengan kedua
tangan Arya. Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Jagakarsa menggeram. Hatinya
merasa marah dan penasaran bukan main. Dan kini perasaan tidak percaya bergayut
di benaknya. Mungkinkah pemuda berambut putih keperakan itu memiliki tenaga
dalam yang melebihinya?
"Mustahil! Tidak
mungkin!" bantah Jagakarsa dalam hati. "Pasti ada kekeliruan di sini!
Mungkin dia tadi hanya mengerahkan sebagian dari tenaga dalamnya!"
Bukan hanya Jagakarsa saja
yang terkejut. Jagatarsa pun terperanjat melihat hasil benturan yang terjadi.
Meskipun tidak mengetahui apa yang dirasakan Jagakarsa, tapi laki-laki berompi
hitam ini tahu kalau dalam benturan itu Dewa Arak lebih unggul!
"Haaat..!"
Jagakarsa yang merasa
penasaran, kembali menyerang. Seluruh kemampuannya dikerahkan, karena sadar
kalau lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi. Tidak ada gunanya lagi
bersikap setengah-setengah. Dan memang, sejak tadi laki-laki berompi coklat ini
tidak bertindak setengah-setengah.
Tak pelak lagi, pertarungan
sengit antara kedua orang itu pun terjadi. Tapi, meskipun tahu kalau lawan yang
dihadapinya lihai, Dewa Arak tidak mengeluarkan ilmu andalannya. Yang
dipakainya justru malah ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
2
Pertarungan yang terjadi
memang luar biasa. Suara mendecit, menderu, dan mengaung ikut menyemaraki
pertarungan. Tanah terbongkar di sana-sini. Daundaun berguguran dari pohonnya.
Beberapa batang pohon tumbang, terkena angin serangan pukulan nyasar.
Semula pertarungan memang
berlangsung imbang. Keduanya saling serang bergantian. Tapi begitu memasuki
jurus ke tiga puluh lima, mulai tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau', memang bukan ilmu sembarangan. Karena terlalu
menitikberatkan pada bagian penyerangan. Sehingga tidak aneh kalau Jagakarsa
terdesak.
Jagakarsa menggigit bibir,
menahan rasa geram dan malu yang mendera. Sungguh tidak disangka kalau lawan
yang dihadapinya benar-benar memiliki kepandaian luar biasa! Baik dalam hal
ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat.
Semakin lama keadaan Jagakarsa
semakin terjepit. Serangan demi serangan yang semula susulmenyusul, dan silih
berganti menghujani Arya, kini tidak terlihat lagi. Sedikit demi sedikit,
serangan yang dilakukannya mulai berkurang, dan lebih banyak menangkis serta
mengelak. Tapi, karena menangkis pun menimbulkan akibat yang merugikan,
laki-laki berompi coklat ini lebih banyak mengelak.
Arya dengan ilmu 'Delapan Cara
Menaklukkan Harimau'nya, terus mendesak. Sama sekali lawan tidak diberi
kesempatan sedikit pun, sehingga memaksa Jagakarsa terus bertarung mundur.
Jagatarsa mengerutkan alis
melihat keadaan rekannya. Dia tahu kalau Jagakarsa terdesak. Dan menurut
penilaiannya, tidak sampai dua puluh jurus lagi rekannya itu akan roboh di
tangan Dewa Arak.
Keadaan Jagakarsa memang sudah
sangat mengkhawatirkan. Kini, laki-laki berompi coklat itu tidak mampu lagi
balas menyerang. Yang dilakukannya hanyalah mengelak terus. Itu pun dilakukan
dengan susah payah! Beberapa kali terlihat dia terpontang-panting sewaktu
mengelakkan serangan Dewa Arak.
"Haaat..!"
Sambil berseru keras, Arya
melompat menerjang Jagakarsa. Tangan kanan pemuda berambut putih keperakan itu
menyampok deras ke arah pelipis. Sementara tangan kiri terpalang di depan dada.
Suara mendecit nyaring, mengiringi tibanya serangan Dewa Arak.
Jagakarsa terperanjat. Tibanya
serangan itu pada saat sikapnya tengah dalam keadaan tidak memungkinkan. Dia
baru saja mengelakkan sebuah serangan, dan belum sempat memperbaiki sikap.
Bukan hanya Jagakarsa saja
yang terkejut. Jagatarsa pun demikian pula. Hati laki-laki berompi hitam itu
tercekat saat melihat bahaya maut akan mengancam rekannya. Maka tanpa pikir
panjang lagi, dia segera melompat menerjang. Diburunya Dewa Arak yang tengah
melancarkan serangan. Jari jari kedua tangannya menegang lurus kaku, dan
menusuk bertubi-tubi ke arah punggung dan belakang kepala pemuda berambut putih
keperakan itu.
Dewa Arak merasakan adanya
desiran angin di belakangnya. Jelas, dia tahu kalau serangan maut yang datang
mengancam. Tapi, dia tidak mempedulikannya. Serangannya pada Jagakarsa terus
saja dilanjutkan.
Jagakarsa melihat ancaman maut
yang menuju ke arahnya, tentu saja tidak sudi nyawanya yang hanya selembar ini
melayang. Padahal saat itu keadaannya benar-benar terjepit. Maka dengan
sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Sambil mendoyongkan tubuh, kakinya
melangkah ke belakang.
Prattt..!
Sampokan tangan Dewa Arak
telak mengenai pangkal lengan kiri Jagakarsa. Terdengar suara gemeretak dari
tulang-tulang yang retak.
Bukan hanya itu saja. Kulit
dan daging laki-laki berompi coklat itu pun terkelupas. Seketika, darah segar
mengalir keluar dari bagian tubuh yang terluka. Memang telak dan keras sekali
sampokan Dewa Arak.
Jagakarsa menyeringai menahan
rasa sakit yang melanda. Meskipun begitu, laki-laki berompi coklat ini patut
bersyukur. Karena sungguhpun tidak dapat dikatakan berhasil, tapi yang jelas
dirinya selamat.
Sementara itu, serangan
Jagatarsa semakin mendekati Dewa Arak. Hal ini menguntungkan Jagakarsa. Sebab
bukan tidak mungkin dia sudah tewas oleh Arya yang sudah siap mengirimkan
serangan susulan dengan sabetan tangan kirinya.
Dewa Arak segera melentingkan
tubuhnya, menghindari serangan Jagatarsa. Kaki pemuda berambut putih keperakan
itu langsung mendarat di tanah, membelakangi Jagatarsa.Kemudian, kembali
kakinya dijejakkan ke tanah, lalu tubuhnya melambung. Dia membuat putaran
beberapa kali diudara , kemudian hinggap di tanah kembali. Dan secepat pemuda
berambut putih keperakan ini hinggap di tanah, secepat itu pula tubuhnya
dibalikkan. Kini Dewa Arak bersiap menghadapi serangan kembali.
Tapi ternyata Dewa Arak
terkecoh. Ternyata sama sekali tidak terlihat seorang pun di sekitar situ.
Rupanya, begitu melihat Arya menjauhkan diri, Jagakarsa dan Jagatarsa segera
melesat kabur. Hanya dalam sekejap saja, tubuh kedua orang itu tak tampak lagi.
Mereka hilang ditelan kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
"Hhh ... !"
Dewa Arak menghela napas lega,
dan sama sekali tidak berusaha mengejar. Kepalanya ditundukkan ke bawah,
sedangkan kedua tangan menutupi wajahnya. Napasnya ditarik dan dikeluarkan
berulang-ulang, untuk menenangkan hatinya.
Diam-diam pemuda berambut
putih keperakan ini merasa bersyukur melihat lawannya berhasil menyelamatkan
diri. Sebab kalau sampai tewas di tangannya, Arya akan menyesal bukan kepalang.
Memang belakangan ini, Dewa
Arak hampir tidak bisa mengendalikan diri. Apalagi bila bertemu tokoh golongan
hitam. Dia mudah sekali menurunkan tangan jahat. Apalagi bila ingatannya
langsung melayang pada Melati yang tergolek lemah dan menderita akibat kekejian
tokoh golongan hitam. Itulah sebabnya, Arya hampir lupa diri begitu melihat sikap
telengas Jagakarsa. Hampir-hampir saja dia membunuhnya.
Perlahan Dewa Arak menurunkan
kedua tangannya dari wajah. Mulutnya menghembuskan napas kuat-kuat. Pemuda itu
berharap, semoga dengan berlaku seperti itu, sisa rasa sesal yang bergayut di
hatinya segera lenyap.
Setelah memperhatikan sesaat
keadaan sekitarnya, Dewa Arak lalu melangkah meninggalkan tempat yang telah
porak poranda itu. Ada sedikit perasaan bingung di hati Arya. Mengapa kedua
orang itu kabur? Mengapa tidak mencoba mengeroyoknya? Sama sekali pemuda
berambut putih keperakan itu tidak tahu terhadap sikap Raksasa Kecil Hutan
Gembrong. Pantang bagi kedua tokoh sakti itu untuk mengeroyok lawan. Apalagi
lawan yang masih muda seperti Arya! Itulah sebabnya, mengapa mereka melarikan
diri setelah Jagakarsa dikalahkan.
***
Setelah beberapa kali menguak
kerimbunan semak-semak dan pepohonan, akhirnya Dewa Arak tiba di tempat yang
dituju. Pria kini telah berdiri di atas tebing tinggi. Di bawahnya, dalam jarak
tak kurang dari lima belas tombak, membentang lautan.
Untuk beberapa saat lamanya,
pandangan Arya terpaku pada lautan yang terhampar di bawahnya. Kemudian
pandangannya dialihkan ke depan, ke arah Barat. Dia berharap, barangkali saja
dari tempat ketinggian ini Pulau Ular dapat terlihat.
Tapi, rupanya hanya kekecewaan
saja yang didapat Dewa Arak. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya air.
Memang ada beberapa pulau yang nampak kebiruan jauh di depannya. Tapi, letaknya
lebih condong ke Utara dan Selatan. Sementara ke arah Barat sama sekali tidak
terlihat apa-apa.
Arya menyipitkan matanya untuk
memperjelas pandangan. Tapi tetap saja pemuda berambut putih keperakan ini
tidak melihat apa pun. Kalau saja ada orang yang kebetulan melihat sepasang
mata Arya, tentu akan bergidik ngeri. Sepasang mata itu mencorong tajam dan
berwarna kehijauan, tak ubahnya mata seekor harimau dalam gelap!
Sesaat kemudian, Dewa Arak
kembali mengalihkan perhatian ke bawahnya. Dahinya berkernyit, memikirkan apa
yang harus dilakukan. Permukaan air laut itu tampaknya terlalu tinggi jaraknya
dari tebing tempatnya berdiri. Sepertinya tidak mungkin baginya untuk melompat
ke sana. Apalagi, permukaan air di bawah sana selalu bergolak dan bergelombang
keras. Betapapun hebat kepandaiannya, merupakan suatu hal yang mustahil untuk
bisa turun ke sana.
Beberapa saat lamanya Dewa
Arak bersikap seperti itu. Dia terus berdiri menatap ke permukaan air laut
dengan dahi berkernyit dalam. Jelas kalau pemuda berambut putih keperakan ini
tengah berpikir.
Tak lama kemudian, kernyit
pada dahi Dewa Arak lenyap. Sepasang matanya tampak bersinar-sinar. Jelas ada
sesuatu yang menggembirakan hatinya. Kemudian, pemuda berambut putih keperakan
ini melesat meninggalkan tempat itu. Cepat sekali gerakannya. Sehingga, yang
tampak hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat dan kemudian
lenyap di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
Hanya sebentar saja pemuda
berambut putih keperakan ini pergi meninggalkan tempat itu, dan kini dia telah
kembali. Dan di tangannya, telah terpegang dua lembar papan yang tidak begitu
tebal, dan segulung tali.
Papan itu tidak begitu lebar,
berbentuk persegi panjang. Lebarnya tidak sampai sejengkal, tapi panjangnya
lebih dari sejengkal.
Arya meletakkan kedua papan
itu di bawah kedua alas kakinya, kemudian mengikatkannya ke kaki. Pemuda
berambut putih keperakan itu kembali memeriksa ikatan, untuk meyakinkan kalau
kedua papan itu telah terikat erat pada kakinya.
"Hih ... !"
Sambil menggertakkan gigi,
Arya menggenjotkan kakinya. Sekejap kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Tidak
begitu tinggi, karena Dewa Arak memang tidak bermaksud demikian.
Dan begitu daya yang membuat
tubuhnya melambung ke atas habis, tubuh Arya melayang turun ke bawah. Dia kini
meluncur ke permukaan air laut yang bergolak di bawahnya!.
Beberapa kali tubuh Dewa Arak
berputaran di udara. Dan itu memang disengaja. Karena dengan begitu, luncuran
tubuhnya jadi tidak terlampau cepat dan deras.
Pyarrr...!
Air laut memercik tinggi ke
atas ketika kedua kaki Dewa Arak hinggap di sana. Itu pun tidak mantap, karena
Arya sempat sempoyongan! Tapi hal itu hanya berlangsung sesaat saja. Berkat
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, Dewa Arak mampu
memperbaiki sikapnya.
Kini dengan mempergunakan
kedua papan pada alas kakinya, Dewa Arak mulai mengarungi lautan. Tentu saja
bukan merupakan hal yang mudah untuk melakukannya. Mengarungi lautan dengan
menggunakan dua bilah papan ini membutuhkan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
Dengan adanya alat bantu ini,
Arya kini dapat dengan enaknya berlari-lari di lautan. Meskipun begitu, tetap
saja bila dibandingkan kecepatan larinya di darat, kecepatannya merosot jauh.
Namun, setidak-tidaknya masih lebih cepat daripada laju perahu! .
Beberapa kali Dewa Arak terpaksa
harus melompat ketika ada ombak besar yang menyerbu ke arahnya. Indah dan manis
sekali gerakannya ketika bersalto di udara untuk kemudian mendarat di permukaan
air laut kembali.
Dengan mengambil patokan pada
matahari, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk menuju arah Barat. Dia tidak
memikirkan apa-apa lagi. Yang ada di benaknya hanya satu, tiba di Pulau Ular
secepat mungkin.
Perlahan matahari mulai
tenggelam ke Barat. Dan kegelapan pun berangsur-angsur mulai menyelimuti bumi.
Dan seiring mulai gelapnya suasana, kecemasan pun mulai menjalari hati Arya.
Dewa Arak sadar, tidak mungkin
untuk terus melakukan perjalanan dengan dua bilah papan ini. Sebentar lagi
matahari akan tenggelam, dan malam pun datang menjelang. Rasanya sulit untuk
terus melakukan perjalanan. Karena di samping tidak adanya lagi patokan menuju
ke arah yang ditempuh, juga Dewa Arak butuh beristirahat. Maka harus dicarinya
sebuah pulau terdekat untuk mendarat dan beristirahat. Kalau memungkinkan, dia
pun akan membuat sebuah rakit.
Itulah sebabnya maka Arya
mengedarkan pandangan ke sekitarnya, mencari-cari pulau terdekat untuk
disinggahi. Untung tak jauh darinya, agak ke Selatan sedikit, tampak sebuah
dataran membentang. Maka bergegas pemuda berambut putih keperakan ini menuju ke
sana.
Lincah dan gesit, seperti
berjalan di atas permukaan air, Dewa Arak bergerak menuju ke pulau itu. Semakin
lama, semakin jelas terlihat dataran itu. Ternyata, itu sebuah pulau kecil.
"Hih ... !"
Dewa Arak menggenjotkan kedua
kakinya seperti layaknya menggenjot di tanah. Sesaat kemudian tubuhnya
melambung, lalu bersalto beberapa kali di udara. Kemudian kakinya mendarat di
pinggir pantai.
Arya mengamati keadaan
sekeliling pulau itu sejenak, baru kemudian melepaskan kedua papan yang terikat
pada kedua telapak kakinya. Kemudian ditaruhnya di tempat yang aman.
"Hhh ... !"
Arya menghembuskan napas lega.
Kembali sepasang mata Dewa
Arak beredar berkeliling mengamati keadaan sekitar. Dalam keremangan suasana
malam yang hanya diterangi sinar bulan di langit, cukup jelas terlihat keadaan
pulau kecil yang disinggahinya ini.
Pulau itu ternyata adalah
sebuah pulau gersang. Tidak nampak adanya pepohonan yang tumbuh. Yang terlihat
hanyalah pohon nyiur. Itu pun hanya beberapa saja. Di sana-sini lebih banyak
berserakan batubatuan belaka.
Setelah merasa cukup
memperhatikan keadaan pulau itu, perhatian Dewa Arak dialihkan ke lautan lepas.
Mendadak sepasang mata Arya terbelalak. Di kejauhan, tampak bergerak sebuah
perahu besar yang menuju ke arahnya.
Arya menyipitkan matanya untuk
lebih memperjelas pandangan. Memang benda itu adalah sebuah perahu besar yang
jelasjelas menuju ke pulau yang disinggahinya. Berdebar jantung Dewa Arak
seketika. Milik siapa kah perahu besar itu? Dan mengapa menuju ke tempat ini?
Wajah Dewa Arak seketika
berubah saat melihat kain lebar yang berkibar angkuh di ujung tiang kapal layar
itu. Kain itu berwarna hitam kelam. Tapi bukan itu yang membuat pemuda berambut
putih keperakan ini terkejut. Melainkan gambar yang tertera di kain hitam itu.
Di kain hitam itu tertera gambar tengkorak bagian kepala yang di bawahnya
dibubuhi gambar tulang yang bersilangan. Semua gambar itu berwarna putih.
Tampak pas sekali dengan warna hitam yang menjadi latar belakangnya.
Arya terperanjat. Dari cerita
yang pernah didengarnya, memang telah diketahui kalau di sekitar lautan ini
telah mengganas segerombolan bajak laut yang menamakan diri, Pasukan Tengkorak
Laut. Gerombolan bajak laut itu senantiasa mengganas,merampok pedagang-pedagang
besar yang tengah membawa hasil niaganya untuk dijual ke kerajaan lain.
Dewa Arak memang sudah
mendengar kalau penguasa Kerajaan Pasugihan telah memerintahkan pasukannya
untuk membasmi para bajak laut itu, tapi selalu berakhir dengan kegagalan.
Kini tanpa disengaja Dewa Arak
bertemu gerombolan bajak laut itu. Karuan saja hal ini membuat pemuda berambut
putih keperakan itu menjadi kebingungan sejenak. Sepasang matanya beredar liar
mengamati sekeliling, mencari-cari tempat bersembunyi. Tapi seperti yang tadi
dilihat, tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri di situ, kecuali agak jauh
di sana. Tampak olehnya gundukan tanah yang mirip sebuah bukit.
Tanpa membuangbuang waktu
lagi, segera Dewa Arak melesat ke arah sana.
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sekejap saja
Dewa Arak telah berada dalam jarak sekitar tiga tombak dengan bukit itu.
Arya mencari-cari dengan
pandangan matanya. Lega hatinya tatkala melihat sebuah gua di salah satu
dinding bukit itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera
memasukinya.
Gua itu ternyata hanya kecil
di luarnya saja. Semakin masuk ke dalam, semakin besar dan luas. Anehnya lagi,
gua itu ternyata cukup terang. Diamdiam pemuda berambut putih keperakan itu
merasa sedikit heran.
"Dari mana asal timbulnya
sinar itu?" tanya Arya dalam hati.
Dewa Arak sama sekali tidak
tahu kalau bagian atas gua itu mampu menyerap sinar matahari yang memancar di
waktu siang. Dan baru setelah malam hari, sinar yang terserap itu dipancarkan
kembali. Jadi bagian atap gua itu mirip bulan. Yang memancarkan sinar karena
mendapat pancaran sinar dari matahari.
***
Semakin melangkah masuk ke
dalam, semakin takjub hati Arya. Gua ini ternyata luas bukan main. Luas,
terang, dan banyak memiliki ruangan. Tapi sama sekali semua itu tidak dipedulikannya.
Kakinya terus melangkah masuk semakin ke dalam.
Arya terperanjat ketika
pandangan matanya tertumbuk pada sebuah ruang gua yang memiliki jeruji baja
bulat, tebal, dan kokoh. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Arya sudah bisa
mengetahui kalau jeruji besi itu dibuat orang. Jadi, tidak terjadi secara alami
seperti layaknya gua ini. Dugaannya, gua ini pasti ada penghuninya! Dan orang
yang berada di dalam ruangan berjeruji itu pasti tahanan penghuni gua! Begitu
kesimpulan yang didapat Arya.
Seketika itu juga kewaspadaan
Dewa Arak semakin bertambah. Ada rasa tidak enak dalam hatinya begitu mengingat
gua itu memiliki penghuni. Tapi perasaan tidak enak itu buru-buru dilenyapkan.
Akhirnya, Arya memasuki gua ini. Maksudnya untuk menghindari terjadinya pertemuan
dengan para bajak laut.
Tapi, mendadak hati Arya
tercekat begitu teringat akan bajak laut itu. Seketika itu juga timbul dugaan
dalam hatinya. Jangan jangan, para bajak laut itu adalah penghuni gua ini!
Dugaan itu membuat Arya
menghentikan langkahnya sejenak. Sesaat lamanya pemuda berambut putih keperakan
ini bimbang. Antara meneruskan langkah, atau kembali ke luar.
Tapi perasaan ingin tahu
terhadap orang yang terkurung dalam ruang berjeruji itu, memaksa Dewa Arak
untuk terus melanjutkan langkahnya. Dia ingin tahu, siapakah orang yang
terkurung itu. Jika orang itu baik, merupakan kewajiban baginya untuk menolong.
Hanya beberapa langkah saja,
Arya telah berada di depan ruangan gua yang berjeruji itu. Pandangannya
langsung beredar ke dalam.
***
Ruang tahanan itu tidak begitu
luas. Ukurannya paling luas hanya satu setengah tombak kali satu setengah
tombak. Di dalamnya, tampak seorang laki‑laki berkumis dan berjenggot rapi
tengah bersandar pada dinding gua. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu rantai baja
tebal dan kuat yang tertanam di dinding.
Hati Arya agak tercekat begitu
melihat pakaian yang dikenakan orang itu. Dia mengenakan pakaian seragam
kerajaan! .
Bukan hanya Arya saja yang
memperhatikan. Ternyata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu pun menoleh
pula. Matanya menatap ke arah Dewa Arak dengan dahi berkernyit.
"Siapa kau, Anak
Muda?" tanya laki-laki berpakaian seragam kerajaan seraya merayapi
sekujur tubuh Arya. "Apakah kau juga anggota gerombolan bajak laut
itu?"
Kini jelas bagi Dewa Arak
kalau dugaannya tadi benar. Pemilik gua ini adalah gerombolan bajak laut. Dan
sudah pasti gerombolan bajak laut yang tadi dilihatnya.
"Bukan," Arya
menggelengkan kepala.
"Lalu, mengapa kau berada
di sini?" tanya laki‑laki berkumis dan berjenggot rapi
itu lagi.
"Aku terdampar di pulau
ini, dan mencari tempat untuk melewatkan malam tanpa kedinginan.
Untung gua ini
kutemukan," sahut Arya sedikit berbohong.
"Kalau begitu, cepat
tinggalkan tempat ini, Anak Muda ... !" seru laki-laki berpakaian seragam
kerajaan itu. Nada suara dan sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.
"Cepat sebelum para bajak laut itu kembali dan menjumpaimu ... !"
"Lalu, kau sendiri
bagaimana, Paman?"
"Jangan pedulikan aku!
Aku Gorawangsa, seorang panglima kerajaan! Adalah merupakan hal yang biasa bagi
seorang prajurit untuk mati!" sahut laki-laki berpakaian seragam kerajaan
yang ternyata bernama Panglima Gorawangsa itu. Tegas dan mantap ucapannya.
Seketika perasaan kagum timbul
dalam hati Dewa Arak. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi yang mengaku
panglima kerajaan ini sudah bisa dipastikan orang baik-baik. Dalam keadaan
tertawan begitu, dia masih mementingkan nasib orang lain.
"Lalu bagaimana kau bisa
ditawan mereka, Panglima?" tanya Arya ingin tahu.
Pemuda berambut putih keperakan
itu kini memanggil laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu dengan panggilan
jabatannya, bukan panggilan kekerabatan.
"Aku diperintah Gusti
Prabu Lindu Pasing untuk menumpas gerombolan bajak laut yang menamakan dirinya
Pasukan Tengkorak Laut. Tapi sayang, lawan terlalu kuat. Semua anak buahku
tewas. Sementara aku sendiri ditawan mereka."
Arya mengangguk. Dari cerita
yang didengarnya, dia tahu kalau Prabu Lindu Pasing adalah Raja Kerajaan
Pasugihan.
"Kau..., mengapa masih
berada di sini, Anak Muda?" tegur Panglima Gorawangsa lagi. "Cepat
pergi sebelum terlambat!"
Arya menggelengkan kepala.
"Kau tidak mau
meninggalkan tempat ini?" sepasang mata Panglima Gorawangsa terbelalak.
"Kau akan menyesal, Anak Muda! Mereka kejam dan bengis! Cepat menyingkir
sebelum mereka kembali!"
"Aku memang akan
meninggalkan tempat ini, Panglima...."
"Itu bagus!" potong
laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. Tak dipedulikannya ucapan Dewa Arak
yang belum selesai. "Cepatlah tinggalkan tempat ini!"
"Tapi tidak sendiri...,"
sambung Arya.
"Maksudmu ... ?"
agak terbata-bata ucapan yang keluar dari mulut Panglima Gorawangsa.
"Ya!" Arya
menganggukkan kepalanya. "Aku akan meninggalkan tempat ini, tapi
bersamamu, Panglima."
"Bagaimana mungkin, Anak
Muda," lesu dan putus asa suara yang keluar dari mulut laki-laki berkumis
dan berjenggot rapi itu. "Belenggu ini sangat kuat. Aku tidak mampu
mematahkannya..., dan...."
Ucapan Panglima Gorawangsa
terhenti ketika melihat Arya menggenggamkan jemari tangannya pada dua batang jeruji
baja itu. Dan sekali pemuda berambut putih keperakan itu menarik, batangbatang
jeruji baja itu membengkok. Sekejap kemudian, terbuat sebuah jalan bagi Dewa
Arak untuk melangkah masuk ke dalam ruang tahanan itu.
"Kau..., kau mampu
melakukannya, Anak Muda ... ?"
Meskipun dengan agak
terputus-putus, Panglima Gorawangsa berhasil juga menyelesaikan katakatanya.
Sungguh sukar dipercaya, baja sebesar itu mampu dibengkokkan Arya dengan begitu
mudahnya. Tak terlihat tanda-tanda kalau pemuda berpakaian ungu itu mengerahkan
tenaga dalam.
Dewa Arak hanya tersenyum
saja. Sama sekali tidak disahutinya ucapan Panglima Kerajaan Pasugihan itu.
Perlahan kakinya melangkah mendekati tubuh Panglima Gorawangsa. Lalu tangannya
diulurkan ke arah belenggu baja yang memborgol pergelangan tangan dan kaki
laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu.
Krakkk ... !
Suara berderak keras terdengar
empat kali ketika Dewa Arak mengerahkan tenaganya untuk membetot. Empat buah
belenggu baja itu putus seketika.
"Luar biasa ... !" puji
Panglima Gorawangsa dengan sepasang mata terbelalak. "Kau benar-benar
mampu melakukannya, Anak Muda?! Ahhh...! Sulit dipercaya ... !"
Sambil berkata demikian,
Panglima Gorawangsa menggosok-gosokkan pergelangan tangan dan kakinya untuk
melancarkan kembali peredaran darahnya. Sementara sepasang matanya masih
menatap wajah Dewa Arak. Sorot kekaguman tampak jelas, baik pada wajah maupun
sorot matanya.
"Bersiaplah,
Panglima," ujar Arya tanpa mempedulikan semua pujian laki-laki berkumis
dan berjenggot rapi. "'Para bajak laut itu sebentar lagi akan
kemari." Seketika itu juga wajah Panglima Kerajaan Pasugihan itu berubah.
"Ahhh ... ! Jadi kau
telah bertemu mereka, Anak Muda?" tanya Panglima Gorawangsa terkejut
Arya mengangguk. Kemudian,
secara singkat dijelaskan semuanya. Panglima Gorawangsa pun diam mendengarkan.
Sama sekali tidak menyelak, hingga Arya menyelesaikan ceritanya.
"Kalau begitu, aku harus
mencari senjata dulu...," kata laki-laki berkumis dan berjenggot rapi
seraya bergerak ke luar tahanan.
Tanpa berkata apa-apa, Arya
juga melangkahkan kakinya ke luar tahanan itu. Tapi langkahnya berhenti begitu
telah berada di luar ruangan. Sedangkan Panglima Gorawangsa terus melangkah ke
dalam gua. Sesaat kemudian, dia telah kembali dengan sebatang pedang di tangan.
"Mari kita tinggalkan
tempat ini, Anak Muda," ajak Panglima Gorawangsa. "Oh, ya. Kalau
boleh kutahu, siapa namamu?"
"Arya, Panglima. Arya
Buana."
"Sebuah nama yang
bagus," puji Panglima Gorawangsa.
Tidak nampak adanya perubahan
pada wajah dan air muka Panglima Kerajaan Pasugihan itu begitu mendengar pemuda
berambut putih keperakan ini memperkenalkan namanya. Jelas kalau dia belum
pernah mendengar tentang nama dan julukan Arya yang menggemparkan dunia
persilatan.
"Terima kasih atas pujian
yang terlalu berlebihan itu, Panglima," sahut Dewa Arak merendah.
Panglima Gorawangsa sama
sekali tidak menyahuti. Bergegas kakinya melangkah menuju ke luar gua.
Sementara Arya mengikuti di belakangnya.
Baru saja beberapa tindak
keduanya melangkah, terdengar suara riuh dari arah depan. Karuan saja hal ini
membuat langkah Panglima Gorawangsa dan Dewa Arak terhenti.
"Celaka, Arya,"
bisik Panglima Gorawangsa. "Mereka telah masuk ke dalam gua. Kita tidak
akan bisa keluar tanpa sepengetahuan mereka. Kita pasti akan berpapasan dengan
mereka di tengah jalan. Menurutmu, bagaimana baiknya sekarang?"
"Apakah ada jalan keluar
lain kecuali dari mulut gua di depan itu?" tanya Arya ingin tahu.
"Entahlah...,"
Panglima Gorawangsa menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, tidak ada
jalan lain lagi!" tegas Arya. "Jadi ... ?" dada Panglima
Gorawangsa berdebar tegang.
"Kita buka jalan darah
untuk keluar dari tempat ini!" tegas dan mantap kata-kata Arya.
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak lalu melesat ke depan. Mau tak mau, Panglima Gorawangsa terpaksa
mengikuti.
3
Baru beberapa langkah Arya dan
Panglima Gorawangsa meninggalkan tempat itu, di hadapan mereka dalam jarak
sekitar tiga tombak, terlihat serombongan orang berwajah kasar. Yang berjalan
paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Sebelah matanya
ditutupi bulatan dari kulit berwarna hitam, yang diikatkan secara menyilang di
kepalanya. Memang, mata kanan yang tertutup itu sudah tidak bekerja lagi.
Matanya memang tinggal satu.
"Hey...!"
Laki-laki bermata satu
berteriak keras seraya menudingkan telunjuk ke depan. Wajahnya menunjukkan raut
keterkejutan ketika melihat Arya dan Panglima Gorawangsa.
"Keparat ... !"
laki-laki bermata satu menggeram. "Siapa kau, Tikus Kecil?! Sungguh besar
nyalimu datang ke tempatku! Bahkan juga membebaskan tawananku!"
"Dialah pemimpin bajak
laut itu, Arya," bisik Panglima Gorawangsa memberi tahu. "Dia
berjuluk Tengkorak Mata Satu. Kepandaiannya luar biasa. Bahkan aku dapat
dirobohkannya dengan mudah."
"Hm...," hanya
gumaman tak jelas dari mulut Arya yang menyahuti penjelasan Panglima
Gorawangsa.
Terdengar suara menggertak
keras dari mulut lakilaki bermata satu itu. Dia marah bukan main, karena Arya
sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya.
Srattt..!
Sinar terang berkilau memancar
ketika Tengkorak Mata Satu mencabut senjatanya, berupa golok besar vang matanya
bergerigi. Dan secepat senjata itu tercabut, secepat itu pula laki-laki bermata
satu ini melompat menerjang Dewa Arak.
"Menyingkirlah,
Panglima," ujar Arya.
Tanpa menunggu lagi, Panglima
Gorawangsa segera menyingkir dari situ. Ada perasaan khawatir di hatinya
terhadap keselamatan Arya. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi ini telah
mengetahui, betapa lihainya Tengkorak Mata Satu. Walaupun telah disaksikannya
sendiri kekuatan tenaga dalam Arya, tapi tetap saja tidak yakin kalau Tengkorak
Mata Satu mampu dikalahkan.
Dari suara berkesiut nyaring
yang mengiringi tibanya serangan golok, Dewa Arak dapat memperkirakan kekuatan
tenaga dalam yang dimiliki kepala bajak laut itu begitu tinggi. Tapi bila
dibandingkan dengan dirinya, tenaga dalam Tengkorak Mata Satu sama sekali
tidak berarti apa-apa.
Begitu melihat pemimpin mereka
telah menyerang, Pasukan Tengkorak Laut pun berbondong-bondong menyerbu
Panglima Gorawangsa. Sungguh merupakan suatu keuntungan bagi para bajak laut
itu karena berpapasan dengan Arya dan Panglima Gorawangsa di tempat luas. Hal
ini jelas sangat menguntungkan, karena dapat lebih leluasa mengeroyok! .
Panglima Gorawangsa tidak
tinggal diam. Dia pun cepat menyambut serbuan para bajak laut itu dengan sera
ngan-seranga n membahayakan. Sesaat kemudian terdengar denting senjata beradu
di udara.
Arya sadar kalau lawan terlalu
banyak. Dan lagi Panglima Gorawangsa sudah pasti akan memerlukan bantuannya.
Maka dia tidak bertindak main-main lagi. Itulah sebabnya, Dewa Arak sama sekali
tidak mengelakkan serangan golok itu.
Karuan saja hal ini membuat
Panglima Gorawangsa terperanjat. Dia memang menyempatkan diri melihat keadaan
Arya. Perasaan cemas yang hebat berkecamuk di benaknya. Apakah Arya kini telah
berubah menjadi pemuda dungu? Masa serangan macam itu tidak mampu dielakkan?
Berbeda dengan Panglima
Gorawangsa, Tengkorak Mata Satu dan sisa bajak laut yang tidak ikut mengeroyok,
menjadi girang bukan main melihat Arya seperti terpukau. Mereka semua menduga
pemuda itu tidak mampu mengelak, karena cepatnya serangan itu.
Dapat dibayangkan, betapa
kagetnya hati mereka semua begitu melihat Arya malah menjulurkan tangan dan
seperti hendak mencengkeram golok yang menyambar semakin dekat. Dan
tiba-tiba....
Takkk ... ! Kreppp ... !
Terdengar suara berdetak keras
seperti beradunya dua batang logam ketika tangan Dewa Arak memapak golok baja
Tengkorak Mata Satu. Dan sebelum lakilaki bermata satu berbuat sesuatu, tangan
Arya telah mencengkeram batang goloknya. Semua kejadian itu berlangsung begitu
cepat, dan hanya sekejapan mata saja!
Bukan hanya sebagian bajak
laut yang tidak ikut bertarung saja yang terbelalak menyaksikan kejadian itu.
Tengkorak Mata Satu pun dilanda perasaan yang sama. Dia sudah bisa
memperkirakan, betapa tingginya ilmu kepandaian yang dimiliki lawannya.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan Arya. Begitu golok itu berhasil dicengkeram, jari jari
tangannya lalu bergerak meremas. Terdengar suara berkeretek pelan ketika batang
golok itu hancur berkeping-keping.
Bulu tengkuk Tengkorak Mata
Satu kontan meremang! Apa yang diperbuat Arya belum pernah ditemukan dalam
pertarungannya yang sudah tidak terhitung lagi. Seketika itu pula disadari
kalau pemuda berambut putih keperakan ini bukan tandingannya. Maka tanpa
ragu-ragu lagi, laki-laki bermata satu itu segera melompat ke belakang.
"Serbu ... !"
perintah Tengkorak Mata Satu keras pada sisa anak buahnya yang belum bertarung.
Para bajak laut itu seperti
digugah dari mimpi. Sesaat mereka saling memandang bingung. Baru sesaat
kemudian, mereka mencabut senjata masingmasing dan bergerak menyerbu.
Penglihatan yang disaksikan membuat mereka semua terkesima! .
Seketika itu juga, belasan
senjata beterbangan mengancam Arya. Pedang, golok, dan tombak, berkelebatan
mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Tak pelak lagi, di dalam gua
yang cukup luas itu terjadi dua kancah pertarungan. Pertarungan antara Dewa
Arak dan Panglima Gorawangsa menghadapi bajak laut Pasukan Tengkorak Laut.
***
Panglima Gorawangsa
mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi pengeroyokan lawanlawannya.
Pedang di tangannya berkelebatan cepat memapak setiap serangan yang datang
mengancam. Suara berdentang nyaring, diiringi berpercikannya bunga-bunga api
menyemaraki benturan yang terjadi di antara senjata-senjata mereka.
Tidak percuma laki-laki
berkumis dan berjenggot rapi ini menjadi panglima kerajaan.Kepandaiannya cukup
tinggi, sehingga setiap serangan yang dilancarkan para pengeroyoknya mampu
dielakkan.
Bahkan tak jarang pula
ditangkisnya. Padahal jumlah mereka tak kurang dari sepuluh orang. Tambahan
lagi, rata-rata mereka memiliki kepandaian lumayan. Bukan itu saja. Serangan
yang dilancarkan pun datangnya susul-menyusul seperti gelombang laut.
Dewa Arak sadar kalau keadaan
Panglima Gorawangsa tidak menguntungkan. Sewaktu-waktu, bisa saja panglima itu
terkena serangan lawan. Makanya kini dia tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan seluruh kemampuan. Hujan berbagai macam senjata yang menuju ke
arahnya dibiarkan saja. Dengan tenaga dalamnya yang telah berada jauh di atas
lawan, dibiarkan saja semua senjata itu mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, Dewa
Arak tidak menderita luka sedikit pun.
Takkk, takkk, takkk ... !
Suara berdetak keras seperti
beradunya berbagai batang logam terdengar ketika beraneka ragam senjata
berbenturan dengan sekujur tubuh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu
memang sengaja tidak mengelak atau menangkis semua serangan, kecuali yang
tertuju ke matanya.
Suara-suara pekikan kaget
terdengar dari mulut para bajak laut itu, menyaksikan betapa semua senjata yang
mengenai sasaran malah terpental batik, seperti menghantam karet kenyal. Bukan
hanya itu saja. Tangan yang menggenggam senjata pun terasa sakit-sakit. Sementara
Dewa Arak sama sekali tampak tidak terpengaruh! .
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Dewa Arak. Kedua tangannya digerakkan. Perlahan saja
kelihatannya. Tapi akibatnya, tubuh para bajak laut itu berpentalan seperti
diamuk angin topan!
Begitu semua lawannya telah
berpentalan tak tentu arah, Arya segera melesat ke arah Panglima Gorawangsa
yang kini semakin terjepit. Pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke
atas, seraya kedua tangannya diputar-putarkan dari luar ke dalam.
Hebat akibatnya! Dari kedua
tangan yang berputaran itu keluar angin dahsyat yang membuat gerombolan bajak
laut yang mengeroyok Panglima Kerajaan Pasugihan itu berpentalan tak tentu
arah.
Suara-suara berdebukan keras
terdengar dari tubuh yang jatuh di tanah dan yang membentur dinding gua. Itu
pun masih ditingkahi suara berdentingan dari senjata-senjata Pasukan Tengkorak
Mata Satu yang berpentalan entah ke mana.
Serasa hampir melompat keluar
sepasang mata Tengkorak Mata Satu melihat semua kejadian ini. Tidak pernah terbayangkan
kalau gerombolan yang selama ini merajalela di lautan tanpa pernah
terkalahkan, kini dibuat berantakan oleh seorang pemuda hanya dalam segebrakan
saja! Kalau tidak ingat malu, ingin rasanya laki-laki bermata satu ini
menangis! .
Bukan hanya Tengkorak Mata
Satu yang berbelalak. Panglima Gorawangsa pun dilanda perasaan yang sama. Dia
memang telah memperkirakan kalau pemuda berambut putih keperakan itu memiliki
kepandaian tinggi. Tapi, sama sekali tidak disangka kalau sampai selihai ini.
Akibatnya, untuk beberapa saat
lamanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu terpukau. Panglima
Gorawangsa terkesima dengan pedang masih tergantung di tangan! Dia baru
tersadar kembali dari kesimanya, ketika Tengkorak Mata Satu berteriak nyaring.
Laki-laki bermata satu itu kemudian melompat menerjang Dewa Arak! Golok yang
kini tinggal sepotong, diputar-putarkan di atas kepala, lalu meluncur deras ke
arah leher Arya!
Kesabaran Dewa Arak pun habis.
Semula, dia tidak bermaksud menjatuhkan tangan kejam pada Tengkorak Mata Satu.
Sungguhpun telah didengarnya sendiri tentang kejahatan laki-laki bermata satu
ini, tapi Arya rasanya tidak tega menjatuhkan tangan kejam.
Dan kini pertimbangan Dewa
Arak lenyap. Tengkorak Mata Satu terlalu keras kepala. Orang seperti ini tidak
mungkin dibiarkan merajalela. Hidup pun akan menjadi ancaman bagi orang lain.
Tambahan lagi, pikiran Arya tengah dilanda keruwetan memikirkan keselamatan
Melati.
Dengan gerakan seenaknya, Dewa
Arak mengulurkan tangan kiri. Seketika, batang golok Tengkorak Mata Satu
berhasil dicekal, dan secepat itu pula disentaknya.
Terdengar suara bergemeletuk
ketika sambungan tulang pangkal lengan Tengkorak Mata Satu terlepas diiringi
tertariknya tubuh laki-laki bermata satu itu ke arah Dewa Arak. Ada keluhan tertahan
terdengar dari mulut kepala bajak laut itu.
Dan tertariknya tubuh
Tengkorak Mata Satu, segera dipapak oleh tepakan tangan kanan Arya ke arah
dada.
Plakkk..!
Perlahan saja kelihatannya
tangan itu menepak dada, tapi akibatnya tidak sesederhana itu bagi Tengkorak
Mata Satu. Ada suara keluhan tertahan keluar dari mulutnya diikuti memerciknya
cairan merah kental. Dari suara yang berderak keras, jelas ada tulang dada yang
remuk di dalam tubuh Tengkorak Mata Satu.
Begitu tepakan tangannya telah
mengenai sasaran, Dewa Arak pun melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh
laki-laki bermata satu itu terbanting jatuh ke tanah. Tengkorak Mata Satu
menggelepargelepar sesaat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Kepala
bajak laut yang ditakuti itu pun tewas di tangan Dewa Arak hanya dalam
segebrakan saja! .
Karuan saja kematian pemimpin
mereka secara demikian mudah, membuat para bajak laut itu menjadi gentar.
Tambahan lagi, mereka telah melihat sendiri kesaktian Dewa Arak. Maka tanpa
pikir panjang lagi, mereka semua menyerah.
"Ampunkan kami, Tuan
Pendekar," ratap seorang bajak laut yang berambut hitam campur coklat.
"Kami berjanji tidak akan
mengulangi perbuatan seperti ini, Tuan Pendekar," janji yang lain. Dia
seorang laki-laki bertubuh pendek kekar.
"Benar, Tuan
Pendekar," sambut yang lain.
Sesaat kemudian suara riuh
rendah pun terdengar. Karena tidak hanya tiga orang bajak laut itu saja yang
mengucapkan janji. Berturut-turut dan saling susulmenyusul, semua bajak laut
itu mengucapkan janji.
Arya tersenyum, kemudian
menoleh ke arah Panglima Gorawangsa.
"Aku tidak berhak
memutuskannya," ucap pemuda berambut putih keperakan itu sambil tersenyum.
"Ada yang lebih berhak menentukannya."
Panglima Gorawangsa tercenung
beberapa saat. Dia mengerti maksud ucapan dan pandangan Dewa Arak padanya. Arya
menyerahkan semua keputusan itu padanya. Seketika itu juga perasaan bimbang
melanda hati Panglima Gorawangsa. Laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu
tengah menghadapi pilihan yang sulit, dan bingung mengambil keputusan.
"Hhh ... !" Panglima
Gorawangsa menghela napas berat. "Kalau menuruti perasaan, rasanya sulit
bagiku untuk mengampuni. Kejahatan kalian telah melampui atas. Tapi karena
memandang Arya sahabatku ini, aku bersedia mengampuni kalian...."
"Terima kasih, Panglima
Gorawangsa," selak seorang bajak laut bertubuh pendek kekar cepat.
"Kami sudah menduga akan
mendapatkan ampunan. Kebijaksanaan panglima telah lama kami dengar,"
sambung orang yang berambut hitam campur coklat bernada memuji.
Panglima Gorawangsa tersenyum
pahit .
"Tapi, ingat,"
sambung laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. "Aku telah mengenali
tampangtampang kalian semua. Apabila kelak kudapati ada di antara kalian yang
melakukan kejahatan, maka aku tak akan segan-segan lagi bertindak!"
"Panglima boleh
membuktikan janji kami," tegas bajak laut yang berambut hitam campur
coklat bernada tantangan.
"Baik! Aku pegang janji
kalian ini," kata Panglima Gorawangsa menyambut tantangan itu. Suaranya
terdengar lantang penuh wibawa.
Dewa Arak yang sejak tadi
memperhatikan pembicaraan ini, diam-diam memuji kebijaksanaan Panglima
Gorawangsa. Perasaan kagum kembali menyeruak dalam hatinya.
"Dan sebagai bukti
pertama dari kesadaran kami, semua harta rampasan yang ada, kami serahkan pada panglima,"
tegas bajak laut yang berambut hitam kecoklatan.
Kepala semua bajak laut yang
lain terangguk mendengar ucapan rekan mereka itu. Jelas kalau mereka semua
menyetujui keputusan yang diambil bajak laut berambut hitam bercampur coklat
itu.
Panglima Gorawangsa
menggoyang-goyang tangannya.
"Tidak perlu diserahkan
semua. Masing-masing kalian boleh mengambil harta rampasan itu secukupnya.
Pergunakan sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang baru. Setelah itu baru
sisanya kalian serahkan padaku."
"Terima kasih atas
kebaikan hati panglima," ucap bajak laut yang bertubuh pendek kekar
gembira.
Keputusan yang diambil
Panglima Kerajaan Pasugihan ini benar-benar di luar dugaan orang itu. Sementara
rekan-rekannya sebagian besar berdiam saja. Tidak banyak bicara, kecuali
sekali-kali saja. Mereka pun merasa gembira bukan main mendengar keputusan yang
diambil Panglima Gorawangsa. Rupanya, anggota gerombolan yang lain telah
menyerahkan seluruh urusan itu pada kedua orang rekannya.
Kembali perasaan kagum menyeruak
dalam hati Dewa Arak. Keputusan Panglima Gorawangsa untuk membekali para bajak
laut itu benar-benar merupakan sebuah keputusan yang sangat tepat.
Setidaktidaknya, dengan
adanya bekal harta itu mereka dapat menggunakan untuk menekuni pekerjaan baru.
Perlahan Dewa Arak melangkah
kembali ke dalam gua. Melihat hal ini, Panglima Gorawangsa buru-buru
mengejarnya.
"Arya ... !
Tunggu...!" Arya menghentikan langkah, kemudian membalikkan tubuhnya.
"Ada apa, Panglima?"
tanya Dewa Arak pelan.
"Kau mau ke mana?"
tanya Panglima Gorawangsa ingin tahu.
"Istirahat," kalem
ucapan Dewa Arak. "Besok aku harus melanjutkan perjalananku lagi. Jadi aku
ingin beristirahat"
"Jadi.., kau membohongiku
sewaktu mengatakan terdampar di sini?" tanya Panglima Gorawangsa setelah terdiam
beberapa saat lamanya.
"Maafkan aku,
Panglima," pelan suara Dewa Arak.
Wajah pemuda berambut putih
keperakan ini memerah karena perasaan malu yang menyeruak. Malu karena
kebohongannya telah diketahui.
"Lupakanlah, Arya,"
desah Panglima Gorawangsa bijaksana. "Aku bisa memakluminya."
"Terima kasih."
Suasana menjadi hening sejenak
ketika Dewa Arak menghentikan ucapannya. Dan Panglima Gorawangsa pun tidak
melanjutkan ucapannya pula.
"Boleh kutahu, ke mana
kau akan pergi, Arya?" tanya laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu,
hatihati. Dia begitu khawatir kalau pertanyaannya menyinggung perasaan Dewa
Arak.
"Aku akan pergi ke Pulau
Ular, Panglima," sahut pemuda berambut putih keperakan itu pelan.
"Apa?!" Panglima
Gorawangsa tersentak bagai disengat ular berbisa. Sepasang matanya berbelalak
lebar bagaikan melihat hantu. "Kau tidak main-main, Arya?"
Dewa Arak menggelengkan
kepala.
"Kalau boleh aku memberi
nasihat, urungkan saja niatmu itu, Arya." Raut wajah Panglima Gorawangsa
menampakkan kekhawatiran yang amat sangat
"Terima kasih atas
saranmu itu, Panglima. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya. Nyawa
seorang kawanku bergantung pada usahaku di Pulau Ular."
Panglima Gorawangsa pun
terdiam, tidak berkata kata lagi. Meskipun belum lama mengenal, sebagai orang
yang sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai macam tingkah dan polah manusia,
dia sudah bisa mengetahui kalau percuma saja mencegah Arya. Pemuda berambut
putih keperakan itu termasuk orang yang teguh memegang keputusan. Sekali berkata
hitam, selamanya akan tetap hitam!
"Kalau begitu, aku hanya
bisa mendoakan agar kau berhasil menjalankan tugasmu itu, Arya," hanya itu
yang bisa diucapkan Panglima Gorawangsa.
"Terima kasih,
Panglima," sahut Dewa Arak.
Dan memang pemuda berambut
putih keperakan ini merasa berterima kasih sekali atas perhatian panglima itu
padanya.
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak melangkah meninggalkan Panglima Gorawangsa yang hanya dapat memandangi
punggung pemuda berambut putih keperakan itu. Sinar mata laki-laki berkumis dan
berjenggot rapi itu penuh dengan kekhawatiran dan kecemasan.
4
Pagi baru saja menjelang,
ditandai oleh munculnya bola api raksasa berwarna merah di ufuk Timur.
Sepertinya bola api raksasa itu muncul dari permukaan laut. Angin pun masih bertiup
semilir ketika Arya dan Panglima Gorawangsa mulai men-dorong perahunya ke laut.
Memang, para bajak laut di
bawah pimpinan Tengkorak Mata Satu mempunyai beberapa buah perahu kecil. Dan
dengan senang hati, mereka memberikannya pada Dewa Arak dan Panglima
Gorawangsa.
Kedua orang itu memang telah
sepakat untuk meninggalkan pulau bersama-sama. Hanya saja tujuan mereka
berbeda. Dewa Arak menuju ke Pulau Ular, sementara Panglima Gorawangsa kembali
ke tempatnya semula. Kerajaan Pasugihan.
Baik Arya maupun Panglima
Gorawangsa menggunakan perahu yang sama. Namun pada perahu yang ditumpangi
Panglima Gorawangsa terdapat harta hasil rampasan para bajak laut itu.
Sejauh beberapa tombak dari
pulau tempat tinggal gerombolan Pasukan Tengkorak Laut, perahu Dewa Arak dan
Panglima Gorawangsa berdampingan. Tapi setelah itu, arah kedua perahu itu pun
terpisah.
"Jangan lupa singgah di
tempatku, apabila masalahmu telah selesai, Arya," pinta Panglima
Gorawangsa ketika perahu mereka berdua mulai berpisah untuk menempuh jalan
masing-masing.
"Akan kuingat
permintaanmu itu, Panglima," sahut Dewa Arak.
"Aku akan selalu menunggu
kedatanganmu, Arya...!"
Dewa Arak hanya tersenyum, dan
tidak lagi menyahuti. Jarak di antara mereka semakin jauh. Dan dengan
sendirinya, perahu yang mereka tumpangi itu pun semakin terlihat mengecil. Dan
akhirnya lenyap sama sekali.
Kini perhatian Arya tertuju
penuh pada tujuannya semula. Mencari Pulau Ular! Dewa Arak melakukan perjalanan
dengan tergesa-gesa. Dia ingin buru-buru tiba di tempat yang dituju. Maka tanpa
segan-segan lagi, segera dikerahkan tenaga dalamnya pada tangan yang mengayuh
dayung. Hebat akibatnya! Perahu itu melaju seperti anak panah yang lepas dari
busur!
Perlahan-lahan matahari
merangkak semakin tinggi. Dan seiring semakin tingginya matahari, hari pun
semakin siang. Dan dengan sendirinya, Arya pun mulai lelah. Rasa lapar dan haus
menyengat kerongkongannya.
Dewa Arak lalu menyimpan
dayungnya, dan membiarkan perahunya terbawa arus gelombang. Sesaat kemudian,
pemuda berambut putih keperakan ini mulai sibuk dengan bekal yang diberikan
gerombolan Pasukan Tengkorak Laut. Memang, begitu mengetahui tujuan Dewa Arak,
mereka memberikan bekal makanan dan minuman yang diperkirakan cukup hingga
sampai sana.
***
Pada hari ke enam pelayarannya,
hati Dewa Arak mulai berdebar tegang. Samar-samar hidungnya mencium bau amis
memuakkan yang dibawa angin laut. Tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera
mengambil sebutir pil penawar racun yang diberikan Eyang Sagapati.
Semangat Arya yang semula
sudah mulai pudar, kembali timbul. Dia seolah-olah mendapat tambahan tenaga
baru. Sepercik harapan mulai terbetik di hatinya. Mudah-mudahan saja, bau amis
memuakkan ini adalah pertanda kalau dia telah memasuki wilayah Pulau Ular! .
Kalau menuruti perasaan hati,
ingin rasanya Arya mengayuh sekuat-kuatnya agar segera tiba di tempat tujuan.
Tapi kehati-hatiannya dan sikap waspada telah melarangnya. Dia tidak ingin
usahanya kandas, hanya karena sikap ceroboh. Maka sekuat tenaga perasaan
melonjak-lonjak untuk mengayuh dayungnya secepat mungkin ditahannya. Dewa Arak
terus mengayunkan dayung perlahan-lahan.
Semakin lama, bau amis yang
tercium semakin menyengat hidung. Semula Dewa Arak masih sanggup bertahan. Tapi
lama-kelamaan, dia mulai tidak kuat lagi. Bau amis itu terlalu memuakkan.
Sepertinya tepat di hadapannya ada sebukit sampah udang mentah! Amisnya begitu
memuakkan, membuat seluruh isi perutnya seperti akan tumpah ke luar! .
Terpaksa Arya menghentikan
gerak mendayungnya sebentar. Dia yakin kalau maju beberapa tombak lagi,
kemungkinan tidak akan tahan terhadap bau amis yang membuat isi perutnya
teraduk itu. Bau amis itu sudah begitu luar biasa keras. Padahal, perairan yang
diberi tahu oleh Ki Temula belum ditemukannya.
Kini pemuda berambut putih
keperakan ini mengerti, mengapa kakek berwajah tirus itu langsung mundur
teratur begitu tiba di wilayah pertama menuju Pulau Ular. Kalau halangan
pertamanya saja sudah seperti ini, bagaimana dengan halangan selanjutnya? .
Secepat kayuhannya dihentikan,
secepat itu pula Arya membuka buntalan kain putih yang berisi obatobat yang
diberi oleh Eyang Sagapati. Kemudian segera dikeluarkannya sebuah kendi kecil
dari buntalan itu. Seketika tutupnya dibuka.
Bau wangi dan harum yang
menyerap sejuk sampai ke dada, tercium begitu tutup kendi itu terbuka. Tapi
hanya sesaat saja bau wangi dan harum itu menyebar. Sesaat kemudian, bau amis
memuakkan itu kembali menyeruak.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa
Arak segera menuangkan kendi itu ke sekeliling perahu. Ternyata, isi kendi itu
berupa bubuk-bubuk halus mirip tepung. Eyang Sagapati memang memberikannya pada
Dewa Arak, untuk melawan bau busuk yang memuakkan.
Arya terus menaburkannya
sampai seluruh isi kendi itu habis. Dari ahli obat istana nomor satu itu, dia
telah tahu kalau bubuk itu dibuat dari campuran beberapa macam tumbuhan. Di
antaranya adalah kayu pohon cendana dan kayu rasamala.
Wewangian yang diberikan Eyang
Sagapati ternyata cukup membuahkan hasil. Meskipun tidak terusir seluruhnya,
tapi bau amis yang menerpa hidung Arya tidak lagi sekeras semula. Sebagian
besar sudah tertutupi oleh bau wangi yang timbul dari bubuk yang ditaburkannya
tadi.
Kini Dewa Arak kembali
mengayunkan dayung untuk melanjutkan perjalanan yang tadi tertunda sejenak. Bau
amis yang memuakkan mulai semakin menguat lagi, walaupun tidak bisa sekeras
seperti sebelum dilawan dengan wewangian.
Tak lama kemudian, Arya mulai
melihat permukaan air laut yang berwarna hitam pekat. Arya bingung memikirkan,
mengapa permukaan air laut yang berwarna biru tidak bercampur dengan permukaan
air laut yang berwarna kehitaman.
Tapi Arya tidak sempat
memikirkannya, karena sudah sibuk memusatkan seluruh pikirannya untuk
menghadapi hambatan-hambatan yang akan dijumpai.
Sepasang mata Arya terbelalak
begitu melihat asap tipis mengepul di atas pemukaan air yang berwarna hitam
itu. Seketika tercium bau amis memuakkan dari asap yang mengepul itu.
Kini Dewa Arak tahu, dari mana
asal bau amis yang membuat seluruh isi perutnya seperti diadukaduk itu.
Ternyata, bau itu berasal dari larutan air yang berwarna hitam kelam.
Arya tidak berani main-main.
Dengan gerakan hatihati, dayungnya dikayuh. Pemuda berambut putih keperakan
ini tidak berani mengayuh secara sembarangan dan ceroboh. Dia khawatir larutan
berwarna hitam itu akan memercik ke tubuhnya. Padahal, dia sama sekali belum
mengetahui keistimewaan air itu.
Karena Arya mengayuhnya secara
hati-hati, tidak aneh kalau laju perahu itu pun tersendat-sendat. Pelan sekali
seperti seekor keong merayap.
Cukup lama juga Arya mengayuh
kan dayungnya melalui laut yang memiliki air yang berwarna hitam itu. Baru
ketika matahari naik tinggi, warna air laut berubah merah seperti darah. Baunya
pun tidak lagi amis seperti sebelumnya. Namun justru bau busuk yang kini
menyerangnya. Seakan-akan di hadapan Arya tergeletak bangkai tikus yang telah
membusuk.
Bila dibandingkan sebelumnya,
bau air laut yang berwarna merah ini tidak terlalu memualkan perut. Tapi
mendadak Arya terkejut ketika merasa kan sepasang kelopak matanya jadi berat.
Bahkan beberapa kali tanpa sadar, sepasang kelopak matanya mengatup sendiri.
Semula Arya tidak merasa
curiga. Hal itu dianggapnya wajar saja. Mungkin karena dirinya terlalu lelah,
sehingga tanpa dapat ditahan lagi sepasang kelopak matanya terkatup sendiri.
Dewa Arak baru merasa curiga
ketika merasakan ada kekuatan aneh yang menarik perahunya. Perahunya terbawa ke
suatu tempat.
Seketika itu juga Arya
terperanjat. Langsung dia tersadar kalau lautan yang berbau busuk itu
mengandung racun, sehingga membuat orang mengantuk tanpa disadari. Maka tanpa
ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera menelan pil pemberian Eyang Sagapati. Pil yang
khusus untuk mengusir pengaruh racun pembius.
Memang setelah Arya menelan
pil itu, tak lama kemudian rasa kantuknya mulai berkurang banyak. Apalagi
pemuda berambut putih keperakan itu kini telah berusaha menahan rasa kantuk
yang melanda.
Dan begitu tersadar, Dewa Arak
jadi terkejut bukan main. Kekuatan yang menarik perahunya ke satu arah ini
telah semakin bertambah saja. Berdasarkan pengalaman yang pernah dialami ketika
dulu terbawa kekuatan di sungai, Dewa Arak segera bersikap waspada. Dan begitu
mengetahui kalau perahunya ditarik sebuah kekuatan aneh, pemuda berambut putih
keperakan ini segera melayangkan pandangan ke depan. Seketika itu juga,
sepasang mata Dewa Arak terbelalak.
Betapa tidak? Sekitar beberapa
tombak dari perahunya, nampak sebuah pusaran air. Suara bergemuruh yang
mengerikan terdengar mengiringi putaran air itu.
Dewa Arak sadar kalau
terlambat, bahaya besar akan mengancamnya. Perahunya akan luluh lantak dalam
pusaran air itu apabila tidak segera berusaha meloloskan diri.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa
Arak segera mengayuhkan dayungnya, untuk segera meninggalkan tempat itu. Tahu
akan ancaman bahaya yang telah mengintai, seluruh tenaga dalam langsung
dikerahkannya.
Untung bagi pemuda berambut
putih keperakan ini. Ternyata perahunya masih berada dalam luar pusaran air.
Sehingga, kekuatan yang menarik perahunya belum terlalu kuat. Sedikit demi
sedikit perahu Arya mulai meninggalkan tempat itu.
"Hhh ... !"
Arya menghembuskan napas lega
begitu perahunya telah berhasil meninggalkan tempat berbahaya tadi. Diam-diam
pemuda berambut putih keperakan ini bergidik. Kalau saja tidak keburu merasa
curiga begitu diserang kantuk yang amat sangat, mungkin dia kini telah berada
di dasar lautan bersama perahunya yang telah hancur berkeping-keping.
***
Begitu telah berhasil
meloloskan diri dari pusaran air, Dewa Arak baru sadar kalau telah salah arah.
Tampak matahari kini telah berada di sebelah kanannya. Berarti, Arya telah
menuju ke arah Utara. Jadi tanpa sepengetahuannya, dia telah terseret arus
putaran ke arah Utara.
Kini Dewa Arak kembali
berusaha menempuh jalan yang benar. Patokan yang menjadi dasar arah bagi Dewa
Arak memang sudah tidak mungkin diragukan lagi. Matahari!
Seiring bergantinya warna air
laut menjadi berwarna hijau, samar-samar di hadapan Dewa Arak tampak sebuah
pulau.
Seketika itu juga wajah Dewa
Arak berseri. Sudah tidak bisa diragukan lagi kalau pulau yang tampak di hadapannya
ini adalah Pulau Ular. Karena, semuanya persis dengan cerita Ki Temula.
Kakek berwajah tirus itu
memang telah memberitahukannya. Dan semua memang cocok dengan yang ditemuinya.
Begitu telah menemukan laut yang airnya berwarna hijau, Dewa Arak akan melihat
sebuah pulau. Dan itu memang dijumpainya.
Seketika itu juga semangat
Dewa Arak semakin berkobar-kobar. Meskipun begitu, sikapnya diusahakan untuk
tenang. Dia tidak mau menuruti luapan perasaan semata-mata. Maka sungguh pun
keinginan untuk segera tiba di Pulau Ular begitu menggebugebu, Dewa Arak tetap
tenang melajukan perahunya.
Entah berapa lama perahunya
melaju, namun pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak
mempedulikannya. Yang jelas, suasana masih cukup terang ketika warna permukaan
air laut berubah. Tidak lagi hijau seperti sebelumnya, tapi biasa seperti warna
air laut umumnya.
Dan begitu Dewa Arak telah
menemukan permukaan air laut yang biasa, daratan itu telah semakin jelas
terlihat. Seketika pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya.
Betapa tidak? Daratan Pulau Ular ternyata terletak jauh di atas permukaan laut
Sulit bagi orang untuk mendarat di sana.
Tambahan lagi, arus gelombang
laut di sekeliling pulau itu tidak terarah. Begitu menghantam dinding pulau itu
gelombang air langsung berbalik, menyebar ke segala arah.
Beberapa saat lamanya Arya
kebingungan. Bagaimana cara mendarat ke sana? Jangankan mendarat, untuk
mendekati pulau itu, perahunya tidak bisa. Setiap kali dikayuh mendekati pulau
itu, setiap kali pula perahunya hampir terguling karena terkena dorongan air
yang menghempas dari dinding pulau. Paling tidak, perahu itu akan terdorong
kembali ke telakang.
Beberapa saat lamanya Dewa
Arak tercenung. Menilik dari dahinya yang berkernyit, sudah dapat dipastikan
kalau tengah berpikir keras.
Tak lama kemudian kernyit di
dahi Arya lenyap, berganti dengan sinar keceriaan. Bahkan sepasang matanya pun
berbinar-binar. Jelas kalau sebuah gagasan telah ditemukannya.
Dewa Arak segera mengambil dua
bilah papan dan tambang dari sudut perahu, kemudian diikatkan di bawah alas
kakinya.
"Hih ... !"
Arya menggertakkan gigi. Kedua
lututnya menekuk sebentar. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah melayang ke atas.
Dia bersalto beberapa kali di udara, kemudian....
Pyarrr ... !
Air laut memercik tinggi ke
udara begitu kedua kaki Dewa Arak menyentuh permukaan air laut.
Tidak hanya sampai di situ
saja. Begitu kedua kakinya menyentuh permukaan air, Arya lalu kembali melompat
ke udara, dan bersalto beberapa kali. Kemudian kakinya menyentuh permukaan laut
dengan menimbulkan percikan air di sana-sini. Begitu seterusnya.
Memang dengan cara seperti
itu, Arya tidak mengalami kesulitan untuk mendekati daratan pulau. Hanya dalam
beberapa kali lompatan saja, tubuhnya sudah berada dekat dinding Pulau Ular.
"Hih ... !"
Kembali Arya menggertakkan
gigi. Seketika itu juga tubuhnya melayang ke atas. Tapi kali ini lebih tinggi
daripada sebelumnya. Maksudnya memang untuk bisa mendarat di permukaan Pulau
Ular.
Tubuh Dewa Arak lalu melenting
ke atas, dan bersalto beberapa kali di udara. Maka....
"Hu p... !"
Ringan tanpa suara kedua kaki
Dewa Arak mendarat di tanah.
5
Secepat kedua kakinya mendarat
di tanah yang ternyata becek, secepat itu pula Dewa Arak mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Sikapnya benar-benar waspada. Tampak di hadapannya, hamparan
rumput kering berwarna kecoklatan yang tinggi menjulang.
Setelah melepaskan alas
kakinya, Dewa Arak terpaku. Dia tahu tidak ada jalan lain untuk masuk terus ke
dalam pulau itu kecuali melewati hamparan rumput kering yang tinggi membentang.
Kanan kirinya adalah tebing-tebing tinggi, yang di bawahnya terhampar lautan
luas.
Perlahan dan hati-hati sekali
Dewa Arak melangkah mendekati hamparan rumput itu. Kelihatannya dekat saja
letaknya, tapi ketika didekati rupanya jauh juga. Jarak hamparan padang rumput
itu dari tempat Arya tadi berdiri tak kurang dari tiga puluh tombak.
Selangkah demi selangkah Dewa
Arak bergerak mendekat. Arya melangkah hati-hati sekali. Walau suasana di
sekeliling sepi-sepi saja. Kewaspadaannya tetap tidak ditinggalkan. Sepasang
matanya menatap berkeliling. Mendadak....
Blosss ... !
Dewa Arak terperanjat ketika
kaki kanannya amblas ke dalam tanah sampai sebatas betis. Tanah yang dipijaknya
ternyata empuk seperti bubur!
Belum lagi lenyap perasaan
kagetnya, mendadak Arya merasakan adanya kekuatan aneh yang menarik kakinya
terus ke dalam tanah.
"Lumpur hidup...,"
desis Arya dengan hati berdebar tegang. Memang dia telah cukup sering mendengar
tentang lumpur hidup. Tapi, baru kali ini ditemukannya.
Sebuah keuntungan bagi Dewa
Arak, karena hanya sebelah kakinya saja yang masuk ke dalam lumpur hidup itu.
Sementara kaki kirinya masih berada di tempat yang aman. Maka, berkat ilmu
meringankan tubuhnya yang luar biasa, tidak sulit bagi pemuda berambut putih
keperakan itu untuk tidak membiarkan seluruh tubuhnya terserap lumpur hidup.
Tapi hanya sesaat saja Arya
dilanda perasaan bingung. Sesaat kemudian, dia sudah kembali seperti sikapnya
semula. Tenang dan penuh perhitungan.
Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak
segera mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menarik kembali kakinya yang
terbenam dalam lumpur. Sesaat kemudian, adu tarik-menarik pun terjadi. Arya
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali kakinya.
Sementara lumpur hidup itu berusaha menyedot kaki Dewa Arak ke bawah.
Adu tarik-menarik rupanya
tidak berlangsung lama. Dewa Arak dengan tenaga dalamnya yang telah mencapai
tingkatan tinggi, tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk menarik kembali
kakinya. Sesaat kemudian, perlahan-lahan kaki kanannya mulai terangkat naik.
Dan kini dia telah berhasil membebaskan kakinya dari cengkeraman lumpur hidup
itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega.
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu bersyukur, karena tetap bersikap
hati-hati. Kalau saja tadi tidak bersikap hati-hati, mungkin sudah tewas di
dalam lumpur hidup itu.
Mendadak Dewa Arak tersentak.
Dirasakan adanya getar-getar aneh pada kaki kanannya. Bergegas kepalanya
ditolehkan. Dan seketika itu juga sepasang mata Arya terbelalak. Betapa tidak?
Di sekujur kaki sampai sebatas tutut, bertengger benda-benda hidup berwarna
hitam sebesar jari. Lintah! Dan menilik dari bentuknya yang sudah gendut-gendut
itu, bisa dipastikan kalau lintah-lintah itu telah cukup lama mengisap
darahnya!
Menilik dari banyaknya, Arya
tidak mau membunuh mereka dengan tangan. Pemuda berambut putih keperakan ini
merasa jijik membunuh binatangbinatang itu dengan tangan kosong. Maka tanpa
raguragu lagi 'Tenaga Dalam Inti Matahari' segera dikerahkan.
Sebenarnya bisa saja Dewa Arak
membunuh binatang-binatang itu dengan semburan araknya. Tapi, dia tidak ingin
menghamburkan araknya untuk hal-hal yang kurang penting. Karena masih ada hal
yang lebih penting lagi yang membutuhkan araknya. Itulah sebabnya sepanjang
perjalanan menuju kemari, araknya tidak pernah diminum.
Bergegas Arya memusatkan
pikiran. Dan sesaat kemudian, hawa panas dari pusar bergolak ke arah kakinya.
Hanya sekejapan saja, hawa panas itu telah berada di kakinya.
Hebat bukan main akibatnya!
Satu persatu tubuh lintah-lintah itu berguguran ke tanah. Tubuh
binatangbinatang itu melipat, lalu menggeliat-geliat di tanah. Dan akhirnya ,
diam tidak bergerak lagi.
Baru saja lintah-lintah itu
tidak bergerak lagi, mendadak rasa pusing menyerang Arya. Semua yang dilihatnya
seperti berputaran. Bahkan bukan hanya itu saja. Sekujur urat-uratnya pun
terasa mengejang.
Meskipun dalam keadaan seperti
itu, otak Dewa Arak masih sempat berpikir. Tidak salah lagi, lintahlintah itu
pasti beracun! Begitulah kesimpulan yang diambil pemuda berambut putih
keperakan itu.
Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, buntalannya segera dijumput. Kemudian dengan susah, karena
urat-uratnya yang telah mengejang, dan juga karena pandangannya yang sudah
tidak jelas, pemuda berambut putih keperakan ini berhasil mengambil obat yang
dicarinya. Dan begitu didapat, segera ditelannya.
Baru saja obat itu ditelannya,
Arya sudah tidak sanggup lagi menahan rasa pusing yang menyerang. Diiringi
sebuah keluhan tertahan, Dewa Arak roboh pingsan.
***
Entah sudah berapa lama Dewa
Arak tidak sadarkan diri. Yang jelas ketika sadar, matahari telah muncul di
ufuk Timur. Sementara sewaktu perasaan pusing menyerangnya, matahari baru saja
tergelincir dari titik tengahnya. Jadi, paling sedikit Arya telah tidak
sadarkan diri selama semalaman lebih.
Setelah menggeliat-geliatkan
tubuh beberapa saat lamanya, Dewa Arak baru bangkit dari berbaringnya, kemudian
duduk. Dahinya berkernyit mencoba mengingat-ingat kejadian yang dialami sampai
tahutahu tertidur.
Tidak sulit bagi pemuda
berambut putih keperakan ini untuk mengingat-ingat kejadian yang dialami.
Karena, di hadapannya masih terpampang bukti-bukti yang membantunya untuk
mengingat-ingat.
Kini Dewa Arak tercenung.
Sepasang alisnya nampak bertautan. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
Memang, dia tengah memikirkan jalan untuk nelewati lumpur hidup ini.
Dewa Arak yakin, pasti ada
jalan lain untuk menuju ke tengah pulau. Maka, pandangannya diedarkan ke
sekeliling. Pulau tempatnya berdiri ini hanya pulau kecil. Lebarnya tak lebih
dari dua ratus tombak. Kalau panjangnya, Dewa Arak sama sekali tidak bisa
memperkirakan, karena di hadapannya terpampang hamparan rumput ilalang tinggi.
Dan lagi, lebar pulau yang disinggahinya juga tertutup hamparan rumput ilalang!
Yakin pada dugaannya, membuat
semangat Dewa Arak kembali bangkit. Cepat dia bangkit berdiri, kemudian
berjalan ke arah kiri pulau sampai tiba di ujungnya. Tak lupa di sepanjang
perjalanan menuju ke sana, dipungutnya batu-batu sebesar kepala yang berserakan
di sana-sini.
Iseng-iseng Arya melongokkan
kepala ke bawah. Tampak olehnya lautan yang membentang di sana. Agak ciut juga
hatinya. Maka, pandangan Arya segera dipalingkan.
Kini Dewa Arak kembali pada
maksudnya semula, mencari jalan yang aman untuk masuk ke dalam pulau.
"Hih...!"
Arya mulai dengan
percobaannya. Dilemparkannya baru itu ke atas tanpa pengerahan tenaga dalam
sama sekali.
Wuuuttt..!
Baru itu meluncur naik ke
atas. Dan setelah daya lontarannya habis, batu itu meluncur ke tanah dalam
jarak sekitar dua tombak di hadapan Dewa Arak. Brukkk ... !
Batu sebesar kepala itu jatuh
di tanah. Kontan tanah yang kelihatannya keras, langsung melesak. Batu itu
tenggelam sedikit ke dalam tanah yang ternyata bagian dalamnya empuk.
Semula hanya sebagian kecil
saja yang terbenam. Tapi, semakin lama semakin banyak bagian batu yang
tenggelam. Rupanya tanah yang terlihat keras itu di dalamnya adalah lumpur
hidup yang akan menyedot apa pun yang berada di atasnya.
Arya bergidik melihatnya, tak
sanggup membayangkan kalau seandainya terjeblos di lumpur hidup yang tertutup
lapisan tanah tipis itu.
Dewa Arak tidak hanya sekali
saja mencobanya.
Kakinya segera melangkah
sekitar tiga tindak ke tanah, kemudian kembali melemparkan batu sebesar kepala
yang dibawanya. Lagi-lagi batu itu tenggelam. Tapi Dewa Arak tidak putus asa,
dan terus melangkah ke kanan sambil melemparkan batu itu. Hasilnya tidak jauh
berbeda.
Dewa Arak terus saja mencoba
sampai akhirnya tiba di bagian paling kanan pulau itu. Kini pemuda berambut
putih keperakan ini tidak bisa lagi mencobanya karena di sebelah kanannya, nun
jauh di bawah, terbentang lautan luas.
"Hhh ... !"
Dewa Arak menghela napas
panjang, antara bingung dan putus asa. Jelas dari hasil percobaannya dapat diketahui,
tidak ada jalan yang aman untuk masuk ke dalam pulau. Jalan satu-satunya
hanyalah melalui lumpur hidup. Tapi bagaimana caranya?
Untuk yang kesekian kalinya
Dewa Arak tercenung. Pikirannya berputar keras, mencari jalan untuk melewati
lumpur hidup itu. Sepasang alis Arya hampir bertautan saking kerasnya berpikir.
Beberapa saat lamanya Arya
bersikap seperti itu, berdiri dengan sepasang alis berkerut. Sementara ibu jari
dan telunjuknya mengelus-elus dagu. Sepasang matanya menatap tak bergeming pada
satu titik.
Beberapa saat kemudian, wajah
Arya berseri. Kerutan pada sepasang alisnya pun lenyap. Suatu bukti kalau telah
ditemukan suatu cara.
Kini Arya menerawangkan
pandangannya ke depan. Diperkirakannya jarak dari tempatnya berdiri, kehamparan
rerumputan yang terdapat di sana. Menurut perhitungannya, jarak itu tak kurang
dari tiga puluh tombak! Sebuah jarak yang teramat jauh untuk dapat
dilompatinya, sekalipun mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya.
Tapi kini dia telah menemukan
cara untuk mengatasinya. Diambilnya beberapa buah batu sebesar kepalan tangan.
Semuanya dimasukkan ke balik bajunya. Hanya satu saja yang dipegangnya.
"Hih ... !"
Sambil menggertakkan gigi,
Dewa Arak melompat melewati lumpur hidup yang tertutup lapisan tanah tipis.
Tapi seperti yang sudah diperhitungkan, sebelum mencapai tengah-tengah, daya
lontar pada tubuhnya pun habis. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya meluruk
deras ke bawah.
Tapi Dewa Arak tidak menjadi
gugup, karena hal ini memang sudah diperhitungkan. Maka begitu kedua kakinya
hampir menyentuh tanah, batu yang digenggamnya dijatuhkan ke bawah.
Plukkk ... !
Batu sebesar kepalan tangan
itu jatuh di tanah. Seketika itu pula tanah yang kelihatannya keras melesak ke
dalam. Padahal, Arya melontarkan batu itu tanpa mengerahkan tenaga dalam.
Tukkk ... !
Dengan perhitungan matang,
Dewa Arak menotokkan ujung alas kakinya ke batu yang dilontarkan. Dan dengan
meminjam tenaga landasan pada batu itu, tubuh Dewa Arak kembali melenting ke
udara. Sementara, batu itu langsung tenggelam terserap lumpur hidup.
Tapi sebelum mencapai tempat
yang dipenuhi hamparan rumput luas, tubuh Arya telah kembali meluruk turun ke
tanah. Maka kembali dijatuhkannya balu yang dibawa. Kemudian kembali ditotokkan
ujung alas kakinya ke batu. Kembali tubuh pemuda berambut putih keperakan itu
melambung ke atas.
Dewa Arak terus melakukannya
berkali-kali untuk dapat tiba di tempat yang penuh rumput-rumput ilalang
kering.
Hambatan-hambatan yang
diterima Dewa Arak tidak hanya itu saja. Di hamparan rumput itu pun menghadang
hambatan-hambatan yang tidak kalah mengerikan. Ular kecil, kelabang, lintah,
kalajengking, dan bermacam-macam binatang lainnya menyerbu dari balik
rerimbunan alang-alang itu.
Namun berkat kelihaiannya,
Arya mampu mengatasi semuanya meskipun dengan susah payah.
Kini Dewa Arak menatap sebuah
bangunan sederhana yang terpampang di hadapannya.
Tidak salah lagi! Bangunan ini
pasti tempat tinggal Kelelawar Beracun! Maka tanpa ragu-ragu lagi, pemuda
berambut putih keperakan ini segera bergerak menghampiri.
6
"Kelelawar Beracun...!
Keluar kau ... !" Masih dengan napas terengah-engah, Dewa Arak berseru
memanggil. Keras bukan main suaranya, karena dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam.
Kriiit..!
Suara bergerit tajam terdengar
mengiringi terbukanya pintu pondok itu. Dan dari balik pintu yang terkuak,
muncul sesosok tubuh tinggi kurus berpakaian serba hitam. Sepasang matanya yang
kecil dan merah tampak menyeramkan sekali dengan wajahnya yang pucat. Inilah
Kelelawar Beracun, yang membuat Melati terluka!
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Dewa Arak begitu melihat sosok tubuh di ambang pintu itu. Meskipun belum
pernah melihat, tapi dari ciri-ciri yang diceritakan, sudah bisa diduga kalau
itu adalah Kelelawar Beracun!
"Siapa kau, Anjing
Kecil?!" tanya Kelelawar Beracun kasar penuh kemarahan.
Dan memang, Kelelawar Beracun
marah bukan main mendengar panggilan Dewa Arak. Dengan sorot mata penuh
ancaman, kakinya melangkah menghampiri pemuda berambut putih keperakan itu.
Kedua tangan Dewa Arak
menggigil keras karena hawa amarah yang bergelora. Memang, hatinya panas bukan
main mendengar sambutan laki-laki berwajah pucat itu. Apalagi saat itu, Arya
tengah dilanda kemarahan yang amat sangat, mengingat penderitaan yang dialami
kekasihnya yang diakibatkan oleh orang di hadapannya ini.
Tapi karena nasib Melati
tergantung pada pertolongan Kelelawar Beracun, Dewa Arak menelan kemarahan yang
menyesakkan dada.
"Aku Arya...," sahut
Dewa Arak dengan suara bergetar karena hawa amarah yang menyesakkan dada.
"Hmh ... !"
Kelelawar Beracun mendengus. Sikapnya jelas terlihat sangat memandang rendah.
"Lalu, apa keperluanmu memanggilku?"
Dewa Arak menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah yang
bergejolak dalam dada. Sikap dan ucapan lakilaki berwajah pucat itu
benar-benar menjengkelkan.
"Aku ingin kau ikut
denganku...," masih bergetar nada suara Dewa Arak.
"Ikut denganmu?"
Kelelawar Beracun tersenyum mengejek. Perasaan geli bersarang dalam hatinya
mendengar ajakan itu. "Kalau aku tidak mau?"
"Aku akan memaksamu ...
!" tandas Dewa Arak, tegas dan keras.
"Heh...?!"
Berkilat sepasang mata
Kelelawar Beracun. Dia adalah seorang laki-laki yang berwatak angkuh dan selalu
mengagungkan kemampuan sendiri. Maka tidak aneh, jika laki-laki berwajah pucat
ini merasa terkejut mendengar ucapan Dewa Arak.
"Kau akan
memaksaku?"
Arya mengangguk.
"Ha ha ha...!"
Tawa Kelelawar Beracun
meledak, walau terdengar aneh. Kecil dan melengking tak ubahnya tikus
mencicit.
Wajah Dewa Arak memerah,
karena tahu kalau laki-laki berpakaian hitam itu menertawakan dirinya.
Kalau menuruti perasaan,
mungkin sudah sejak tadi Dewa Arak menerjang Kelelawar Beracun. Tapi
kekhawatirannya akan nasib Melati, membuatnya menelan kemarahan itu.
"Diam ... !"
Terpaksa Dewa Arak membentak.
Keras sekali suaranya karena ditopang tenaga dalam tinggi. Bentakan itu tak
ubahnya ledakan halilintar!
Seketika itu juga Kelelawar
Beracun menghentikan tawa. Sikapnya langsung berubah. Dirasakan adanya getaran kuat
yang membuat dadanya terguncang akibat bentakan yang keluar dari mulut pemuda
yang berdiri di hadapannya ini.
Kini laki-laki berwajah pucat
ini sadar, pemuda berambut putih keperakan ini bukan lawan ringan. Dan seiring
timbulnya kesadaran itu, dia pun teringat kalau untuk masuk ke tempatnya, orang
harus melalui berbagai macam rintangan dan hambatan yang penuh bahaya. Tanpa
memiliki kemampuan dan kecerdikan tinggi, tidak akan pernah ada orang yang
mampu masuk ke tempatnya.
Tapi, Arya ternyata mampu! Ini
saja sudah membuktikan kalau Dewa Arak bukan orang sembarangan!
Mendapat dugaan seperti ini
membuat Kelelawar Beracun waspada. Pikirannya pun berputar, mengingat-ingat
barangkali pernah mendengar ada seorang tokoh muda berambut putih keperakan
yang memiliki kepandaian tinggi. Seketika laki-laki berwajah pucat ini
tersentak begitu teringat .
"Jadi..., kau... Dewa
Arak...?!" tanya Kelelawar Beracun terbata-bata. Nada suaranya menyiratkan
keterkejutan yang amat sangat. Dia memang telah mendengar julukan tokoh yang
mengemparkan itu.
"Benar," sahut Dewa
Arak, mantap. "Maka, lebih
baik kau ikut denganku secara
baik-baik sebelum terjadi sesuatu pada dirimu."
Untuk pertama kalinya, Dewa
Arak tidak lagi bersikap merendah. Pemuda berambut putih kepeakan ini tidak
mau membuang-buang waktu lagi. Itulah sebabnya, dia seperti bersikap sombong.
"Hmh ... !"
Kelelawar Beracun mendengus. "Orang lain boleh takut dengan nama besarmu,
Dewa Arak! Tapi jangan harap Kelelawar Beracun akan gentar!"
"Kalau begitu, terpaksa
kau harus kutundukkan dengan kekerasan!"
"Sombong!"
Kelelawar Beracun memaki. Dia
marah bukan main menyaksikan sikap dan ucapan Dewa Arak yang jelasjelas seperti
merendahkannya.
Setelah berkata demikian,
Kelelawar Beracun lalu melompat menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya bergerak
menampar ke arah pelipis. Keras bukan main. Ini terbukti dari deru angin deras
yang menyambar ke arah Dewa Arak.
Dewa Arak tidak mau bersikap
main-main lagi. Segera guci araknya dijumput dan langsung diangkat ke atas
kepala.
Gluk... gluk... gjuk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada hawa hangat yang
menyebar dalam perut Arya. Perlahan hawa hangat itu naik ke kepala. Kontan
kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu mulai oleng.
Sementara itu serangan dari
Kelelawar Beracun meluncur tiba.
Dengan gerakan sempoyongan
yang khas dari ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak mengelakkan serangan itu. Kaki
kanannya melangkah ke belakang sehingga tamparan itu mengenai angin kosong.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukan Arya. Begitu serangan itu berhasil dipunahkan, tubuhnya berputar ke
kiri dengan bertumpu pada kaki kiri. Sekejap kemudian, tubuh Dewa Arak telah
berada di belakang Kelelawar Beracun. Inilah salah satu gerak jurus 'Delapan
Langkah Belalang'.
Dan secepat tubuhnya telah
berada di belakang, secepat itu pula Dewa Arak melancarkan serangan. Kedua
tangannya dengan jari jari membentuk jurus belalang, melancarkan serangan
bertubi-tubi ke bahu belakang kanan Kelelawar Beracun.
Semula Kelelawar Beracun
kebingungan tatkala melihat lawan mendadak lenyap dari hadapannya. Tapi begitu
merasakan desir angin dari belakang, dia segera tahu kalau lawan telah berada
di belakangnya.
Luar biasa! Meskipun dalam
keadaan gawat seperti itu, Kelelawar Beracun masih mampu menyelamatkan diri.
Bahkan laki-laki berwajah pucat itu tidak mengelak. Dia hanya menjejakkan kedua
kaki, maka tubuhnya melenting ke atas. Tak pelak lagi serangan Dewa Arak
mengenai tempat kosong, lewat beberapa jengkal di bawah kaki Kelelawar Beracun.
Arya terperanjat. Sungguh di
luar dugaan kalau lawan akan mengelakkan diri dengan cara seperti itu. Semula
dikira laki-laki berpakaian hitam itu akan mengelak dengan melempar tubuh ke
depan dan bergulingan. Suatu cara yang paling mudah untuk mengelak. Sebenarnya,
mengelak dengan cara seperti itu paling tidak membutuhkan ilmu meringankan
tubuh yang luar biasa!
Bahkan bukan hanya itu saja
yang dilakukan Kelelawar Beracun. Saat tubuhnya bersalto di udara, tangan
kanannya bergerak mengibas.
Serrr ... !
Belasan batang jarum beracun
meluncur ke arah Dewa Arak.
Arya terperanjat dan juga
geram. Sungguh tidak disangka akan mendapat serangan seperti itu.
Meskipun serangan itu
datangnya begitu mendadak dan tiba-tiba, tapi Dewa Arak tidak gugup. Guci
araknya segera dituangkan ke mulutnya.
Tapi berbeda dengan biasanya,
kali ini arak itu tidak diminum. Begitu masuk ke dalam mulutnya, arak itu
langsung disemburkan Dewa Arak.
"Pruhhh ... !"
Tringgg, tringgg...!
Suara berdenting nyaring seperti
beradunya benda-benda logam kecil terdengar, ketika arak yang disemburkan Dewa
Arak berbenturan dengan jarumjarum beracun yang diiepaskan Kelelawar Beracun.
Seketika itu pula semua jarum -jarum yang dilepaskannya runtuh ke tanah.
Memang berkat pengerahan
tenaga dalam Arya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, percikan arak itu
seolah-olah telah berubah menjadi logam-logam kecil.
Bersamaan dengan kedua kaki
Kelelawar Beracun mendarat di tanah, Dewa Arak telah menyampirkan gucinya
kembali ke punggung. Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah
Kelelawar Beracun. Sesaat kemudian pertarungan sengit pun terjadi.
Hebat bukan main pertarungan
antara kedua orang yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi itu. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan ungu, yang
terkadang saling belit dan kemudian saling pisah.
Suara menderu dan mendesing
menyemarakkan pertarungan. Dan, beberapa kali Dewa Arak harus menyemburkan
araknya begitu Kelelawar Beracun melancarkan serangan jarum jarum beracun.
Pertarungan antara kedua tokoh
berbeda aliran ini berlangsung cepat. Memang, keduanya sama-sama memiliki
gerakan cepat, sehingga tidak aneh bila dalam waktu sebentar saja dua puluh
jurus telah berlalu. Dan selama itu, belum nampak ada tandatanda yang akan
terdesak.
Sebuah keuntungan bagi
Kelelawar Beracun, Dewa Arak ternyata bertarung secara hati-hati. Pemuda
berambut putih keperakan ini tidak ingin lawannya tewas atau terluka parah.
Maka, Arya selalu menahan serangan yang diperkirakan akan mengakibatkan halhal
yang tidak diinginkan. Dan tentu saja, hal ini semakin membuat Arya mengalami
kesulitan. Padahal, Kelelawar Beracun bertarung disertai pengerahan seluruh
kemampuannya.
Kelelawar Beracun memang orang
yang cerdik. Dia tahu kalau lawan tidak terlalu bersungguh-sungguh
menghadapinya. Tapi sebenarnya hal ini membuatnya terpukul, di samping rasa
penasaran yang bukan kepalang. Untuk yang kedua kalinya, dia menelan kenyataan
pahit karena harus bertemu lawan yang memiliki kepandaian di atasnya. Dan yang
lebih menyakitkan hati lagi, lawan itu adalah seorang tokoh muda!
Kelelawar Beracun adalah
seorang yang memiliki keangkuhan tinggi. Selama ini, dia selalu mengagulkan
kepandaiannya. Menurut anggapannya, tidak banyak orang yang akan dapat
menandingi kepandaiannya. Dapat dibayangkan, betapa kecewa hati Kelelawar
Beracun tatkala berturut-turut menghadapi kenyataan pahit. Dua kali dibuat
malu oleh tokoh muda! Pertama dengan Melati, dan kali ini dengan Dewa Arak!
Memang harus diakui, sewaktu
menghadapi Melati, seluruh kemampuan yang dimilikinya belum dikerahkan. Dan hal
itu memang tidak mungkin dilakukan. Karena, waktu itu dia menghadapi gadis
berpakaian putih itu bersama-sama Tuyul Tangan Seribu (Untuk jelasnya, baca
serial Dewa Arak dalam episode 'Kelelawar Beracun").
Kalau seluruh kemampuannya
dikeluarkan, bukan hanya Melati yang akan celaka. Rekannya pun pasti akan
celaka pula! Dan itu sama sekali tidak diinginkannya.
Kali ini, dirinya harus
menghadapi Dewa Arak seorang diri. Kini tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan, sehingga bebas mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Dia tidak perlu merasa khawatir lagi.
Sebenarnya sejak tadi Dewa
Arak sudah dilanda perasaan heran. Apakah karena jarum beracun ini, laki-laki
berpakaian hitam itu dijuluki Kelelawar Beracun! Rasanya mustahil! Tapi
mengingat tempat tinggalnya yang begitu penuh dilapisi racun-racun mengerikan,
rasanya tidak mungkin kalau hanya karena jarum jarum dia mendapat julukan
Kelelawar Beracun.
Dewa Arak langsung teringat
pada pamannya yang berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa (Untuk jelasnya, baca
serial Dewa Arak dalam episode per-dananya, "Pedang Bintang").
Pamannya itu memang tidak mengherankan mendapat julukan seperti itu, karena
memang setiap serangannya selalu mengandung racun.
"Hih...!"
Mendadak Kelelawar Beracun
melempar tubuhnya ke belakang, menjauhkan diri dari kancah pertarungan. Dan
begitu telah berada di udara, dia be-putaran beberapa kali ke belakang.
Arya sama sekali tidak
mengejarnya. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah bisa menduga kalau lawan
akan menggunakan ilmu lain. Maka, dia hanya diam menunggu. Dewa Arak tidak
ingin mempergunakan kesempatan itu untuk merobohkan lawan.
Karena Arya tidak mengejarnya,
Kelelawar Beracun sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakan
maksudnya. Dengan gerakan indah dan manis, kedua kakinya mendarat di tanah.
Kini keduanya berdiri berhadapan dalam jarak sekitar tujuh tombak.
Dengan sepasang. mata tak
lepas mengawasi gerak-gerik lawan, Dewa Arak mengangkat guci araknya ke atas
kepala. Dan dengan sikap tenang, araknya dituangkan ke mulut.
Gluk... gluk... gluk ... !
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Arya. Tak lama kemudian, setelah hawa langat
kembali menjalari perut dan kepalanya, kedua kaki pemuda berambut putih
keperakan ini mulai oleng. Langkahnya juga mulai tidak tetap dan
terhuyung-huyung.
Sementara pada saat Dewa Arak
menuangkan arak ke mulutnya, Kelelawar Beracun tengah bersiap mengeluarkan ilmu
andalannya. Kedua tangannya dijulurkan ke depan dengan jari jari tangan terbuka
lurus dan kaku. Sekujur tangannya, mulai dari pangkal lengan sampai pergelangan
mengejang. Suara mencicit pelan, seperti suara seekor tikus terdengar dari
mulutnya. Dan perlahan-lahan, kedua tangan itu direntangkan ke samping.
Tepat ketika tubuh Dewa Arak
mulai sempoyongan, dari seluruh tubuh Kelelawar Beracun mengepul uap tipis
berwarna putih. Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terbelalak. Memang
diakui, dia pun mampu mengeluarkan asap tipis dari sekujur tubuhnya. Tapi itu
dilakukan bila tengah memusatkan pikiran untuk mengeluarkan tenaga dalamnya,
'Tenaga Sakti Inti Matahari'!.
Begitu kedua tangannya telah
merentang ke samping, mendadak Kelelawar Beracun melompat, Dan dari atas, kedua
tangannya dengan jari jari terbuka, bergerak menepuk. Yang kanan menepak
pelipis kiri, sementara yang kiri menepak pelipis kanan Arya. Rupanya dia ingin
menggencet hancur kepala Dewa Arak! .
Arya terperanjat melihat
kecepatan gerak lawan. Apalagi ketika hidungnya mencium bau amis yang
memuakkan, seiring tibanya serangan Kelelawar Beracun. Bau amis itu membuat
kepala Dewa Arak terasa pusing.
Dewa Arak tidak mau bersikap
sembrono dengan menangkis serangan itu. Dia belum tahu keistimewaan ilmu
lawan. Maka diputuskannya untuk mengelakkan serangan itu. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, tubuhnya segera direndahkan dengan cara menekuk lutut.
Plokkk ... !
Suara keras menggelegar
terdengar ketika kedua tangan Kelelawar Beracun saling bertemu satu sama lain,
karena sasaran yang ditujunya telah lenyap.
Ternyata tidak hanya sampai di
situ saja serangan Kelelawar Beracun. Begitu serangannya berhasil dielakkan,
kedua kakinya bergerak menendang ke arah dada. Keras bukan main. Suara angin
menderu menjadi saksi kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
Arya terkejut bukan kepalang.
Apalagi ketika rasa pening yang menyerang kepalanya semakin hebat, seiring
semakin kerasnya bau amis yang semakin menyengat hidung.
Meskipun berada dalam keadaan
yang mengkhawatirkan, Dewa Arak tetap membuktian kehebatannya. Dengan
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' yang membuatnya mampu melakukan gerakan apa
pun dan dalam keadaan sesulit bagaimana pun, dia mampu mengelakkan serangan
itu.
Cepat laksana kilat, kedua
kakinya menekan tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melenting ke belakang.
Akibatnya sudah bisa diduga. Serangan Kelelawar Beracun hanya menghantam tempat
kosong! Karena, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada lagi di situ.
Berbareng mendaratnya kedua
kaki Dewa Arak di tanah, kedua kaki Kelelawar Beracun pun hinggap di tanah
pula. Kembali keduanya berdiri berhadapan dalam jarak lima tombak.
Arya tahu, betapa berbahayanya
setiap serangan yang dilakukan Kelelawar Beracun. Jangankan terkena secara
langsung. Baru angin serangannya saja, sudah membuat kepalanya pusing. Padahal
laki-laki berwajah pucat itu baru menyerang sebanyak dua kali! Semakin banyak
Kelelawar Beracun menyerang, dengan sendirinya suasana di sekitar tempat ini
akan semakin banyak dicemari racun ganas. Baru sedikit saja kepalanya sudah
terasa pusing. Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana kalau Kelelawar Beracun
sudah banyak melancarkan serangan!
Maka tanpa ragu-ragu lagi,
Dewa Arak segera menuangkan arak ke dalam mulutnya kembali.
***
7
Gluk... gluk... gluk ... !
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, hawa hangat mulai
merayap di dalam perutnya, dan terus naik ke kepala. Dan kini sikap kedua kaki
Arya mulai tidak tetap.
Dan seiring dengan itu,
perasaan pusing yang tadi mendera kepalanya pun lenyap seketika. Itulah
keistimewaan yang dimiliki Dewa Arak. Gabungan dari arak dan ilmunya, mampu
mematahkan hawa beracun yang menyerang.
Baru saja Arya menurunkan guci
araknya, Kelelawar Beracun kembali melesat menerjang. Sesaat kemudian
pertarungan sengit kembali terjadi.
Kini Arya baru sadar, mengapa
lawannya ini mendapat julukan Kelelawar Beracun. Laki-laki berwajah pucat ini
bagaikan seorang manusia beracun. Jangankan serangan tangan atau kaki, anginnya
saja mengandung racun kuat yang mampu membuat lawan pusing dan terpecah
perhatiannya.
Pertarungan antara kedua tokoh
yang sama-sama memiliki kecepatan gerak mengagumkan itu berlangsung cepat.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, lima puluh jurus telah berlalu tanpa terasa.
Dan selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Diam-diam Arya merasa bergetar
melihat kedahsyatan ilmu yang dimiliki Kelelawar Beracun. Memang bila
ditujukan baginya, kedahsyatan ilmu itu tidak berarti banyak. Tapi jika
ditujukan untuk orang lain? Kelelawar Beracun memang layak dimusnahkan! Tapi
bila dimusnahkan, bagaimana dengan Melati?
Diam-diam Dewa Arak harus
mengakui, kalau setelah mengeluarkan ilmu andalan ini kelihaian Kelelawar
Beracun semakin menjadi jadi. Dan itu tidak bisa dilayani dengan kemampuan
seperti sebelumnya. Terpaksa kemampuannya ditambah. Meskipun begitu, tetap
saja Arya tidak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Tapi begitu pertarungan
menginjak jurus ke seratus, mulai nampak keunggulan Dewa Arak. Perlahan namun
pasti, Kelelawar Beracun mulai terdesak. Hal ini tidak aneh, karena
keistimewaan ilmunya sama sekali tidak ada gunanya begitu menghadapi Dewa Arak.
Hawa beracun yang telah menyebar ke seluruh tempat itu sama sekali tidak
berarti apa-apa.
Kelelawar Beracun hampir putus
asa. Sebab, setiap serangannya mampu dielakkan Dewa Arak. Memang tingkat
kepandaian Arya Buana di atas Kelelawar Beracun.
Dewa Arak selalu mengelakkan
serangan yang dilancarkan Kelelawar Beracun, dan sekali pun tidak pernah mencoba
menangkisnya. Arya tahu kalau setiap serangan lawan mengandung racun yang tidak
terkirakan ganasnya. Makanya dia tidak berani mencoba-coba menangkisnya. Jadi
selama seratus jurus bertarung, belum pernah terjadi benturan tangan antara
mereka secara langsung. Kelelawar Beracun beberapa kali saja memojokkan untuk
mengadu tenaga, tapi selalu berhasil dielakkan Dewa Arak. Dan andaikata
benturan di antara mereka tidak bisa dihindari lagi, pemuda berambut putih
keperakan itu menangkisnya dengan guci. Akibatnya,
Kelelawar Beracun langsung
terhuyung-huyung mundur. Isi dadanya terasa sesak dan sekujur tangan bergetar
hebat. Padahal Dewa Arak belum mengerahkan seluruh tenaga dalam pada tangkisan
itu.
Merasa putus asa mengajak Dewa
Arak mengadu tangan secara langsung, tambahan lagi menyadari keadaannya yang
mulai terdesak, Kelelawar Beracun terpaksa mengeluarkan senjata andalannya.
Tampak sebuah cambuk yang terbuat dari kulit landak telah tergenggam di
tangannya. Dan menilik dari kebiasaan Kelelawar Beracun, maka sudah bisa
dipastikan kalau senjata yang dimilikinya pun mengandung racun ganas juga.
Ctarrr ... !
Ledakan keras seperti ada
halilintar menyambar terdengar setiap kali Kelelawar Beracun melecutkan
cambuknya. Bukan hanya itu saja. Asap tipis berwarna putih pun mengepul setiap
kali ujung cambuk membelah udara. Dan tentu saja bukan asap sembarangan,
melainkan asap yang mengandung racun ganas. Bau keras yang membuat Arya
berkalikali bersin, tercium dari asap yang berwarna putih itu.
Tentu saja hal ini membuat
Dewa Arak agak kewalahan. Hidungnya terasa seperti dikilik-kilik. Dan tanpa
dapat dicegahnya lagi, dia bersin. Dengan sendirinya hal ini membuat gerakannya
terganggu.
Dengan adanya cambuk kulit
landak di tangannya, Kelelawar Beracun kembali mampu memperbaiki kedudukannya.
Dia kini tidak lagi kewalahan. Bahkan sebaliknya, Dewa Arak yang mulai main
mundur.
Kembali pertarungan sengit
terjadi. Dengan adanya cambuk di tangan, Kelelawar Beracun bagaikan seekor
harimau tumbuh sayap. Laki-laki berwajah pucat ini tampak semakin berbahaya.
Tapi hanya sekitar dua puluh
jurus saja Kelelawar Beracun dapat melakukan serangan gencar. Lewat dari dua
puluh jurus, serangan serangan cambuknya mulai mengendur. Tidak aneh, karena
laki-laki berpakaian hitam ini sudah merasa sangat lelah. Sebelum mengeluarkan
senjata andalan, dia telah bertarung lebih dari seratus lima puluh jurus. Dan
selama itu, seluruh kemampuannya dikerahkan.
Berbeda dengan Kelelawar
Beracun, Dewa Arak sama sekali tidak merasa lelah. Pemuda berambut putih
keperakan ini memang berbeda dengan orang lain. Setiap kali merasa lelah,
araknya langsung ditenggak. Maka, kontan tenaganya pulih kembali. Itulah
sebabnya, meskipun Kelelawar
Beracun telah dilanda rasa
lelah yang amat sangat, Dewa Arak masih tetap segar bersemangat.
Seiring semakin mengendurnya
serangan‑serangan Kelelawar Beracun, serangan Dewa Arak datang
semakin bertubi-tubi. Arya memang ingin secepatnya merobohkan lawan. Sampai
pada suatu saat...
Tukkk...!
Ujung alas kaki Dewa Arak
telak dan keras sekali mengenai pergelangan tangan kanan Kelelawar Beracun.
Seketika laki-laki berwajah pucat ini memekik pelan. Tanpa dapat dicegah lagi,
cambuknya terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah.
Belum lagi laki-laki
berpakaian hitam ini sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Arya telah bergerak
meluncur cepat ke arah perutnya. Kelelawar Beracun mencoba untuk mengelak,
tapi....
Bukkk...!
"Hugh...!"
Kelelawar Beracun mengeluh
tertahan ketika tendangan Dewa Arak telak dan keras sekali menghantam
perutnya. Seketika itu juga tubuhnya terlipat ke depan. Di saat itulah Dewa
Arak kembali melancarkan serangan susulan, berupa totokan ke arah bahu kiri
Kelelawar Beracun.
Tukkk ... !
Telak dan keras sekali totokan
yang dilancarkan Arya mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh Kelelawar
Beracun lemas, tidak mampu digerakkan sama sekali. Hanya saja, sepasang matanya
melotot menatap Dewa Arak penuh kebencian.
"Kelelawar Beracun, aku
bersedia mengampunimu...," kata Arya pelan tapi penuh wibawa. "Asal
kau bersedia memenuhi permintaanku...."
"Cuhhh ... !"
Sambutan ludah kental
Kelelawar Beracun ke arah wajah Arya yang menyambut tawaran itu. Untung pemuda
berambut putih keperakan itu sempat mengelak. Kalau tidak, tentu cairan yang
menjijikkan itu sudah hinggap di wajahnya.
"Jangan kau kira aku
takut mati, Dewa Arak! Aku lebih suka seribu kali mati daripada harus memenuhi
permintaanmu!" tandas Kelelawar Beracun kasar.
Arya tercenung tapi pikirannya
berputar keras. Dia bukan orang yang berwatak kejam. Tapi disadari kalau sikap
seperti itu terkadang diperlukan juga. Maka meskipun rasanya bertentangan
dengan hati nurani, Arya mencoba menguatkan hati .
"Aku tahu kau tidak takut
mati, Kelelawar Beracun," sahut Arya. Dingin dan datar suaranya. Nadanya
terdengar kaku, sekaku wajahnya. "Tapi perlu kau ketahui, aku tidak akan
membiarkanmu mati begitu saja. Kau akan mengalami siksaan yang mungkin belum
pernah dirasakan selama hidupmu! Aku akan membuatmu mati secara
perlahan-lahan."
Meremang bulu kuduk Kelelawar
Beracun mendengar ancaman Dewa Arak. Tertangkap adanya nada ancaman yang hebat
dalam suara itu. Sebagai seorang tokoh persilatan tingkat tinggi, dia tentu
saja tahu kalau Dewa Arak mudah saja menciptakan berbagai macam penyiksaan yang
mengerikan.
Tapi, Kelelawar Beracun adalah
seorang tokoh hitam yang memiliki keangkuhan tinggi. Maka meskipun perasaan
ngeri mencekam hatinya, dia berusaha menyembunyikannya. Sebuah seringai penuh
ejekan terpampang di wajahnya.
"Jangan katakan aku
kejam, Kelelawar Beracun," tegas Dewa Arak dingin. "Aku telah
memberimu pilihan dan kesempatan. Dan kau telah memilih sendiri kemauanmu ...
!"
Setelah berkata demikian,
dengan raut wajah dibuat kaku tanpa perasaan, Dewa Arak membungkukkan tubuh.
Telunjuk tangan kanannya menuding kaku, kemudian perlahan bergerak ke arah
jalan darah di bahu kanan Kelelawar Beracun.
"A..., apa yang akan kau
lakukan, Dewa Arak ... ?" suara Kelelawar Beracun seperti tercekat di
tenggorokan.
Laki-laki berwajah pucat ini
tentu saja tahu, apa yang akan dilakukan Dewa Arak. Pemuda itu memang akan
menotok jalan darah di bahu kanannya. Dewa Arak telah siap menyiksanya! Totokan
pada jalan darah di situ akan membuatnya melolong-lolong, karena dilanda rasa
sakit yang hebat.
Arya tersenyum pahit.
"Hanya sebagai permulaan
dari kematianmu, yang akan kubuat perlahan-lahan tapi penuh penyiksaan,"
sahut Dewa Arak, kalem tapi dengan raut wajah tetap dingin. "Masih banyak
lagi siksaan mengerikan yang akan kau terima. Ini sekadar pemanasan."
Kontan wajah Kelelawar Beracun
pucat pasi. Menilik dari gerak-geriknya, Dewa Arak tidak main- main dengan
ancamannya. Memang diakui, dirinya tidak takut menghadapi maut. Tapi mati
secara perlahan-lahan dalam keadaan sangat tersiksa, siapa yang tidak ciut
nyalinya?
"T..., tunggu dulu, Dewa
Arak...!"
Agak terburu-buru Kelelawar
Beracun berseru mencegah. Arya yang memang sudah sejak tadi menunggu hal ini,
menahan gerakan tangannya. Kemudian, wajahnya menoleh ke arah laki-laki
berwajah pucat, tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Kau berjanji akan
membebaskan diriku kalau bersedia memenuhi permintaanmu?" tanya Kelelawar
Beracun tidak yakin.
"Aku berjanji,"
tegas Dewa Arak.
"Kau tidak akan
mengingkarinya?" kejar Kelelawar Beracun.
Sebagai seorang tokoh sesat
yang terbiasa curang, laki-laki berwajah pucat ini tidak sembarang percaya pada
ucapan orang. Maka dia tidak langsung percaya dengan janji Dewa Arak.
"Jangan sama kan aku
dengan orang sepertimu, Kelelawar Beracun!" sergah Arya keras.
"Kau berani bersumpah
untuk menepati janjimu?" tanpa mempedulikan sama sekali penegasan Arya,
Kelelawar Beracun terus saja membuka suara.
Terdengar suara gemerutuk dari
mulut Dewa Arak begitu mendengar ucapan Kelelawar Beracun. Arya memang dilanda
amarah yang bergolak. Tapi demi keselamatan Melati, kemarahannya berusaha
ditahan.
"Aku berjanji untuk
membebaskan Kelelawar Beracun apabiia bersedia memenuhi permintaanku,"
tegas dan mantap ucapan yang keluar dari mulut Dewa Arak.
Wajah Kelelawar Beracun
seketika berseri begitu mendengar sumpah yang keluar dari mulut Dewa Arak.
Rupanya, ucapan seperti itu sudah cukup baginya.
Setelah mendengar kesediaan
dari mulut Kelelawar Beracun, tanpa ragu-ragu lagi Dewa Arak segera mengulurkan
tangan. Dan sekali jari jarinya bergerak, totokan yang membelenggu Kelelawar
Beracun pun terlepas.
Kelelawar Beracun bangkit
berdiri, kemudian menggeliat-geliatkan tubuhnya sebentar untuk menghilangkan
rasa pegal yang melanda tubuhnya.
"Katakan apa
permintaanmu, Dewa Arak," kata Kelelawar Beracun sesaat kemudian.
"Mudah saja," sahut
Arya. "Obati kawanku yang telah kau lukai."
Berkernyit dahi Kelelawar
Beracun mendengar ucapan itu.
"Kawanmu! Kulukai?"
Arya menganggukkan kepala.
"Siapa kawanmu, Dewa
Arak?" tanya Kelelawar Beracun penasaran.
Benak laki-laki berwajah pucat
itu berputar keras mengingat-ingat orang yang telah dilukainya. Tapi
seingatnya, beberapa hari belakangan ini hanya seorang saja yang bertarung
dengannya. Itu pun mungkin telah tewas. Dia adalah seorang gadis berpakaian
putih yang tinggal di Istana Kerajaan Bojong Gading. Tidak ada lagi yang
lainnya. Diakah orang yang dimaksudkan Dewa Arak? Tapi rasanya mustahil!
Kelelawar Beracun yakin kalau gadis berpakaian putih itu pasti sudah tewas!
Racunnya tak pernah gagal dalam mengambil nyawa!
"Seorang gadis berpakaian
putih...."
"Ah ... !" seruan
kaget dari mulut Kelelawar Beracun membuat Arya menghentikan ucapannya.
"Maksudmu..., gadis berambut panjang yang tinggal di Istana Kerajaan
Bojong Gading?!"
"Benar!" sahut Arya,
mantap.
Seketika wajah Kelelawar
Beracun berubah. "Jadi..., dia belum tewas?"
"Belum. Tapi dia juga
belum sembuh. Makanya, aku datang kemari untuk meminta kau mengobatinya sampai
sembuh."
Kelelawar Beracun tercenung
seketika. Sungguh di luar dugaan kalau Melati belum tewas. Padahal kebenciannya
pada gadis berpakaian putih itu sangat mendalam. Gadis itulah yang telah
membuat Kala Ireng sahabatnya, tewas.
***
Mendadak Kelelawar Beracun
melompat menerjang Dewa Arak. Jari jari kedua tangannya yang menegang lurus dan
kaku melancarkan serangan bertubi-tubi pada ulu hati, dada, dan perut. Suara
mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan itu.
Dewa Arak terperanjat.
Serangan ini datangnya begitu mendadak dan tidak disangka-sangka. Dia memang
tidak menduga kalau lawannya akan selicik itu. Tapi meskipun begitu, sudah
sejak tadi dia bersikap waspada. Arya memang tidak pernah meninggalkan
kewaspadaannya.
Maka begitu mendapat serangan
mendadak, buruburu pemuda berambut putih keperakan ini melompat ke belakang
sehingga serangan yang dilancarkan Kelelawar Beracun mengenai tempat kosong.
Tapi ternyata Kelelawar
Beracun memang tidak terlalu bersungguh-sungguh dengan serangannya. Terbukti,
begitu serangannya berhasil dielakkan, dia melesat meninggalkan Dewa Arak.
Karuan saja hal ini membuat
Arya kaget dan buruburu mengejar. Tapi Kelelawar Beracun tidak tinggal diam.
Sambil terus berlari, dilemparkannya sebuah benda bulat sebesar telur angsa dan
berwarna hitam kecoklatan.
Tercekat hati Arya melihatnya.
Dia tahu, benda bulat yang meluncur ke arahnya itu dapat meledak. Dan seperti
kejadian sebelumnya, sudah bisa diperkirakan kalau benda itu mengandung racun
ganas. Apalagi yang melemparnya Kelelawar Beracun!
Maka sebelum yang
dikhawatirkannya terjadi, Dewa Arak segera menghentikan pengejarannya. Tubuhnya
langsung dilempar ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara.
Darrr ... !
Ledakan keras terdengar begitu
benda bulat sebesar telur angsa itu mengenai tanah. Seketika itu juga asap
tebal berwarna kemerahan muncul seiring terdengarnya suara ledakan itu.
"Hup... !"
Secepat kedua kakinya mendarat
di tanah, secepat itu pula Arya melentingkan tubuh kembali ke belakang. Dewa
Arak berupaya untuk berada sejauhjauhnya dari tempat itu. Indah dan manis
sekali gerakannya. Begitu juga ketika kedua kakinya mendarat di tanah dalam
jarak sekitar delapan tombak dari tempat semula.
Begitu kedua kakinya telah
mendarat di tanah, tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera
memutar-mutarkan kedua tangan di depan dada dengan arah gerakan dari luar ke
dalam.
Hebat bukan main! Dari kedua
tangan yang berputar itu bertiup angin keras yang langsung menyambar ke depan.
Suara keras menderu mengiringi tiupan angin itu.
Maka seketika itu juga asap
berwana kemerahan yang perlahan-lahan bergerak menuju ke arah Dewa Arak, jadi
buyar.
Meskipun asap itu telah tidak
tampak lagi, Dewa Arak terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya di depan
dada. Dengan sendirinya, angin keras tetap saja berhembus ke depan. Arya ingin
menyapu asap itu sebersih-bersihnya.
Beberapa saat setelah yakin
kalau asap itu telah terusir seluruhnya dari tempat itu, Dewa Arak baru
menghentikan gerakannya. Tapi seperti yang sudah dit-duga, Kelelawar Beracun
sudah tidak lagi berada di situ. Laki-laki berwajah pucat itu memang bermaksud
melarikan diri.
Tapi, Dewa Arak mana mungkin
membiarkan lawannya lolos? Tanpa membuang-buang waktu lagi dia bergerak
mengejar.
***
Berbeda dengan biasanya, Dewa
Arak melakukan pengejaran secara hati-hati. Kini tidak lagi seluruh kecepatan
larinya dikerahkan. Memang dia tetap mengerahkan seluruh kelincahan yang
dimiliki, tapi kecepatan larinya hanya dikerahkan sebagian kecil saja. Arya
harus bersikap hati-hati.
Kenyataan telah menunjukkan
kalau pulau aneh ini banyak mengandung bahaya yang tak terduga.
Bukan hanya kecepatan larinya
saja yang dikurangi.
Kewaspadaannya pun jauh
ditingkatkan. Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sekujur urat-urat syaraf
di tubuhnya menegang waspada. Dewa Arak benar-benar bersiap menghadapi ancaman
bahaya yang tidak terduga. Suara berkerisik pelan saja, sudah cukup untuk
membuat aliran darah di sekujur tubuhnya mengalir cepat.
Mendadak Dewa Arak
menghentikan langkahnya. Samar-samar telinganya menangkap adanya suara langkah
kaki ringan di belakang. Halus sekali, dan hampir-hampir tidak tertangkap
pendengarannya. Jelas kalau pemilik langkah itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tinggi.
Kini setelah Arya berdiri diam
mendengarkan, suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Jadi benar, Dewa
Arak ada yang menguntit. Yang lebih mengejutkan pemuda berambut putih keperakan
suara langkah yang didengarnya itu tidak hanya satu, tapi tiga! Tiga langkah
yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Tak terasa
jantung Dewa Arak berdebar tegang. Apakah pemilik langkah itu adalah Kelelawar
Beracun yang datang lagi sambil membawa kawannya? Apabila benar demikian, dia
akan menghadapi lawan yang amat tangguh! .
Ketegangan yang melanda Dewa
Arak semakin memuncak begitu melihat sosok-sosok tubuh yang bergerak mendatangi.
Memang seperti yang sudah diduga, ada tiga sosok tubuh yang berjalan
menghampirinya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dewa Arak pun mengenalnya.
Ini membuatnya terperangah beberapa saat .
Tiga sosok tubuh itu telah
cukup lanjut usianya. Dan masing-masing memiliki ciri-ciri yang saling berbeda.
Tapi yang jelas, ada satu kesamaan pada diri mereka. Yaitu, ketiga sosok itu
sama-sama mengenakan rompi yang terbuat dari kulit macan. Meskipun, kulit macan
yang dikenakan mereka berbeda-beda pula.
Orang yang bertubuh pendek,
gemuk, dan gendut mirip bola serta berkulit merah mengenakan rompi kulit macan
tutul. Sementara, orang yang bertubuh kekar, berkulit hitam, dan berwajah
kasar, mengenakan rompi kulit macan kumbang. Sedangkan orang terakhir bertubuh
tinggi kurus dan berwajah kuning. Sehelai rompi terbuat dari macan loreng
membungkus tubuhnya.
Arya tentu saja mengenal tiga
sosok tubuh ini. Ada pengalaman yang sangat berkesan sehubungan dengan ketiga
tokoh ini. Mereka berjuluk Tiga Macan Lembah Neraka (Untuk jelasnya, baca
serial Dewa Arak dalam episode "Tiga Macan Lembah Neraka").
Jantung Dewa Arak berdetak
kencang. Dia tidak tahu, mengapa Tiga Macan Lembah Neraka berada di sini?
Apakah ketiga tokoh yang memiliki kepandaian inggi itu memiliki urusan pula di
sini? Dan mengapa ketiga orang itu mengejarnya? Ataukah hanya searah saja?
Berbagai macam pertanyaan bergayut dalam benak Arya! Tapi tak ada satu pun yang
terjawab.
Ada satu hal lagi yang membuat
Dewa Arak bingung. Perasaan Tiga Macan Lembah Neraka terhadap dirinya belum
jelas. Masih membenci atau tidak? Tapi Arya yang selalu bersikap hati-hati,
segera memasang sikap waspada.
Ketiga sosok tubuh yang tidak
lain dari Tiga Macan Lembah Neraka menghentikan langkahnya. Mereka menatap
wajah Arya lekat-lekat. Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak jadi bersikap
waspada, dan langsung berjaga jaga terhadap segala kemungkinan yang akan
terjadi.
Diam-diam Dewa Arak terkejut
bukan main melihat keadaan tiga tokoh sakti itu. Kini mereka amat jauh berbeda
dengan yang dikenalnya. Dulu, Tiga Macan Lembah Neraka tampak begitu angker dan
berwibawa. Sorot keganasan dan keangkuhan pun terbayang di wajah mereka. Tapi
kini, mereka telah jauh berubah.
Wajah tiga tokoh Lembah Neraka
ini terlihat begitu layu seperti menanggung beban batin yang amat berat. Sorot
keganasan pun sudah tidak terlihat lagi. Kalau saja tidak menyaksikan sendiri,
Arya tidak mungkin percaya. Padahal, paling lama mereka baru berpisah tiga
bulan! Tapi menilik dari keadaan, sepertinya Dewa Arak sudah tidak berjumpa
dengan Tiga Macan Lembah Neraka selama sepuluh tahun!
"Kau lupa pada kami, Dewa
Arak?" sapa Macan Tutul Lembah Neraka, orang yang sejak dulu selalu
menjadi juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka. Pelan dan tidak bergairah nada
suaranya.
"Mana mungkin aku bisa
melupakan kalian bertiga?" sahut Arya dengan nada bertanya.
Lenyap sudah perasaan tegang
dan bimbang yang melanda hati Dewa Arak. Tampak jelas kalau dalam ucapan dan
sikap Tiga Macan Lembah Neraka tidak bernada permusuhan. Tanpa menaruh perasaan
syak wasangka lagi, Arya segera melangkah mendekati ketiga orang itu.
"Apa keperluan yang
mendorongmu kemari, Macan Tutul?" tanya Dewa Arak mengajukan keheranannya.
Arya merasa lebih baik kalau memanggil ketiga orang itu julukannya saja.
"He he he...!"
Laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu tertawa terkekeh. Dewa Arak yang melihatnya jadi bergidik. Meskipun
kelihatannya tertawa, tapi tampak jelas kalau hanya mulut Macan Tutul Lembah
Neraka saja yang tertawa. Sedangkan wajah dan matanya, sama sekali tidak
menampakkan kegembiraan. Begitu tampak kaku dan dingin.
Menilik dari keadaannya, Dewa
Arak bisa memperkirakan kalau Macan Tutul Lembah Neraka sudah lama tidak
tertawa. Padahal seingatnya, laki-laki bertubuh pendek gemuk ini adalah tokoh
Tiga Macan Lembah Neraka yang paling suka tertawa. Apakah yang terjadi dengan
ketiga orang ini? Atau, kematian Utari yang telah membuat mereka seperti ini?
"Seharusnya kami yang
mengajukan pertanyaan itu, Dewa Arak," tukas Macan Tutul Lembah Neraka
setengah mencela.
"Maksud kalian ...
?!" sepasang mata Dewa Arak terbelalak. Sekelebatan dugaan muncul
dibenaknya. Ucapan juru bicara Tiga Macan Lembah Neraka itu memberi petunjuk
jelas padanya.
"Kalian tinggal di pulau
ini?"
"Benar, Dewa Arak,"
kali ini Macan Kumbang Lembah Neraka yang menyahuti dengan suara khasnya. Keras
dan parau.
"Ahhh ... !"
Seruan penuh rasa terkejut
terdengar dari mulut pemuda berambut putih keperakan itu.
"Kalau menurutku, pulau
ini tidak patut mendapat nama Pulau Ular," Macan Loreng Lembah Neraka ikut
pula angkat bicara.
"Hm...," hanya
gumaman pelan dari mulut Arya yang menyambuti ucapan laki-laki bertubuh tinggi
kurus itu.
"Pulau ini lebih patut
mendapat nama Kepulauan Ular. Karena, memang terdiri dari banyak pulau kecil
yang saling berdekatan dan dipisahkan laut," sambung Macan Loreng Lembah
Neraka lagi.
Arya menganggukkan kepala
pertanda mengerti.
"Mendiang Raksasa Rimba
Neraka juga tinggal di antara deretan pulau-pulau yang ada di sekitar
sini," sambut Macan Tutul Lembah Neraka.
Kembali Arya menganggukkan
kepala meskipun sebenarnya ada perasaan tidak enak bersemayam di hatinya.
Karena, dialah yang telah menewaskan tokoh yang disebutkan Macan Tutul Lembah
Neraka tadi. Sementara Raksasa Rimba Neraka adalah sahabat Tiga Macan Lembah Neraka.
Tapi rupanya ketiga tokoh sakti itu sudah melupakannya. Terbukti, tidak ada
perasaan apa-apa yang tampak di wajah mereka.
"Setiap tokoh memang
mempunyai pulau sendirisendiri, Dewa Arak," jelas Macan Tutul Lembah
Neraka lagi. "Sungguhpun hanya kecil saja. Keadaan masing-masing pulau
berbeda. Kami memiliki tempat yang tandus. Daerahnya belembah-lembah. Apa bila
siang, panasnya bukan kepalang."
Kini Arya mengerti, mengapa
tempat tinggal ketiga tokoh ini dinamakan Lembah Neraka.
"Sedangkan pulau yang
ditempati Raksasa Rimba Neraka, penuh hutan lebat. Pohon besar dan tinggi
memenuhinya. Banyak binatang buas besar dan kecil yang tinggal di dalamnya,
namun semuanya beracun. Kami bersahabat karena pulau kami bersebelahan."
"Lalu, apakah Kelelawar
Beracun termasuk
kawanmu pula, Macan Tutul
Lembah Neraka?" Tanya Arya dengan sikap waspada.
Macan Kumbang Lembah Neraka
menggelengkan kepala.
"Kami tidak suka
bersahabat dengannya, Dewa Arak," jelas laki-laki berkulit hitam itu.
"Kelelawar Beracun seorang tokoh licik dan tidak mempunyai kegagahan.
Walaupun kami sendiri bukan tokoh baikbaik, tapi pantang untuk melakukan
kecurangan dalam pertarungan. Pantang bagi kami bermain racun!"
Arya menghela napas lega.
"Kau punya urusan
dengannya, Dewa Arak?" tanya Macan Tutul Lembah Neraka.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menganggukkan kepala.
"Seorang kawan wanitaku
dilukainya, dan kedatanganku kemari untuk meminta obat penawar itu
darinya."
Kemudian, Dewa Arak pun
menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Sementara Tiga Macan Lembah Neraka
terdiam seketika, begitu Dewa Arak menghentikan ceritanya.
"Lalu kalian hendak ke
mana, Macan Tutul Lembah Neraka?" tanya Dewa Arak pula.
"Mencari Kemamang Danau
Neraka," Macan Loreng Lembah Neraka yang menyahuti. Nampak jelas kalau
nada suaranya mengandung kegeraman.
Diam-diam Arya terkejut bukan
main. Sungguh tidak pernah disangka kalau di Pulau Ular ini terdapat begitu
banyak tokoh. Dan sudah bisa diperkirakan kalau Kemamang Danau Neraka adalah
seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula.
"Apakah Kemamang Danau
Neraka tinggal dl pulau ini?" tanya Arya.
"Ticlak. Pulau ini
bernama Rawa Neraka, clan merupakan tempat tinggal Kelelawar Beracun. Sedangkan
Kemamang Danau Neraka tinggal di sebelah pulau ini. Kami terpaksa mengambil
jalan memutar karena ticlak enak pada pemilik pulau yang lain. Perlu kau
ketahui, Dewa Arak. Bila clihitung dari pulau ini, kami tinggal di urutan yang
ke tiga belas. Paling ujung. Kalau kami ticlak mengambil jalan memutar, berapa
banyak kami harus melalui pulaupulau yang lainnya?" jelas Macan Tutul
Lembah Neraka panjang lebar.
"Kalau boleh kutahu,
mengapa kalian mencari Kemamang Danau Neraka?" tanya Arya hati-hati
"Dia telah melanggar
perjanjian ticlak tertulis, Dewa Arak!" lagi-lagi Macan Kumbang Lembah
Neraka, orang paling beringas di antara Tiga Lembah Neraka yang menyahuti.
Terdengar keras suaranya. Jelas kalau laki-laki berkulit hitam ini merasa marah
bukan main. "Dia akan menguasai pulau sahabat kami yang telah
kosong."
"Pulau milik Raksasa
Rimba Neraka," tanya Arya memastikan.
Macan Kumbang Lembah Neraka
mengangguk.
Suasana menjacli hening
sejenak, begitu Dewa Arak ticlak melanjutkan pertanyaannya. Sementara Tiga
Macan Lembah Neraka pun sepertinya suclah ticlak berminat lagi memperpanjang
pembicaraan.
"Lebih baik, kau ikut
kami, Dewa Arak," ajak Macan Tutul Lembah Neraka memecahkan keheningan
yang terjadi.
Dewa Arak tersentak.
"Jangan salah mengerti,
Dewa Arak," buru-buru laki-laki bertubuh pendek gemuk itu menyambung
pembicaraannya. "Kami tidak bermaksud melibatkanmu dengan urusan kami.
Tapi perlu kau ketahui, Kelelawar Beracun adalah sahabat kental Kemamang Danau
Neraka. Jadi, bukan tidak mungkin kalau lakilaki pengecut itu mengadukan
masalah ini padanya."
Dewa Arak terdiam.
"Dengan ikut bersama
kami, kau tidak khawatir akan adanya jebakan jebakan mendadak. Lagi pula, arah
yang kau tuju ini adalah arah keluar dari pulau milik Kelelawar Beracun. Kau
tengah menuju ke pulau kedua, milik Kemamang Danau Neraka."
Kini Dewa Arak tidak membantah
lagi, dan perlahan kepala nya mengangguk. Memang lebih baik melakukan
perjalanan bersama Tiga Macan Lembah Neraka daripada melakukan perjalanan
sendiri. Tiga tokoh Lembah Neraka itu setidaknya lebih mengetahui semua bahaya
yang terkandung di Pulau Ular ini.
8
Kini Dewa Arak tidak lagi
mengalami kesulitan untuk menuju ke tempat kediaman Kemamang Danau Neraka. Dia
hanya tinggal memperhatikan setiap langkah Tiga Macan Lembah Neraka. Diam-diam,
pemuda berambut putih keperakan ini heran, mengapa Kelelawar Beracun mau
tinggal di sekitar tempat ini? Tempat yang selalu becek dan tidak pernah
kering, meskipun di saat musim panas tiba. Tadi dari mulut Macan Tutul Lembah
Neraka, Arya mendengar kalau tempat tinggal Kelelawar Beracun dinamakan Rawa
Neraka. Sungguhpun tidak panas, tapi maut yang tersembunyi di dalamnya tidak
terhitung!
Tak lama kemudian, keempat
orang ini pun telah tiba di pinggir pulau tempat tinggal Kelelawar Beracun.
Tepat di hadapan mereka, terbentang lautan. Sementara di hadapan mereka
terlihat sebuah pulau. Dekat saja jaraknya dari pulau milik Keleawar Beracun.
Kini Dewa Arak mengerti, mengapa Macan Loreng Lembah Neraka mengatakan Pulau
Ular tidak pantas disebut pulau, tapi lebih patut disebut kepulauan.
Tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya
pulau ini terdiri dari kumpulan pulau kecil? Tentu saja yang mengetahuinya
hanya orang-orang yang tinggal di dalamnya. Sementara, orang persilatan
golongan putih tidak pernah ada yang berani menginjakkan kaki ke dalamnya,
kecuali Dewa Arak.
Arya mengukur lebar laut yang
memisahkan kedua pulau itu dengan pandangan matanya. Menurut perhitungannya,
lebih dari tiga puluh tombak. Jarak yang teramat jauh untuk bisa dilompatinya,
sekalipun ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkatan tinggi.
Tapi rupanya Tiga Macan Lembah
Neraka sudah memperhitungkannya. Hal ini terlihat dari ketenangan sikap mereka.
Seperti juga Arya, tiga tokoh yang menggiriskan itu juga mengukur jarak laut
yang memisahkan kedua pulau.
Kemudian, tangan Tiga Macan
Lembah Neraka bergerak ke pinggang. Dewa Arak hanya mengawasinya saja. Dia
sadar kalau ketiga tokoh Lembah Neraka itu lebih berpengalaman ketimbang
dirinya. Namun demikian sejak tadi benak Dewa Arak berpikir keras, bagaimana
caranya untuk bisa melewati lautan ini?
Seketika wajah Dewa Arak
memerah ketika melihat benda yang diambil masing-masing tokoh Lembah Neraka
itu. Mereka semua melolos sabuk yang melilit pinggang.
"Ah! Betapa dungunya
aku!" maki Dewa Arak dalam hati.
Selama ini Dewa Arak tidak
pernah berpikir untuk menggunakan sabuknya. Dengan sabuk itu, rasanya tidak
perlu repot-repot lagi melalui lumpur hidup di tempat tinggal Kelelawar
Beracun.
Dalam hati, Dewa Arak merasa
salut juga pada Tiga Macan Lembah Neraka. Memang, untuk menempuh lautan yang
tidak begitu jauh, menggunakan sabuk sebagai alat untuk membantu menyeberang
adalah cara yang paling tepat.
"Hih ... !"
Macan Tutul Lembah Neraka
menggertakkan gigi seraya melompat menuju pulau tempat tinggal Kemamang Danau
Neraka! Tapi seperti yang sudah diduga, belum sampai di tengah, kekuatan yang
meluncurkan tubuhnya telah habis. Dengan sendirinya, tubuhnya melayang jatuh ke
lautan.
Tapi laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu tidak nampak gugup. Memang, hal itu sudah diperhitunkannya. Maka
begitu meluncur jatuh, sabuknya segera dilecutkan ketika tubuhnya tinggal
berjarak satu tombak lagi dari permukaan laut yang bergolak.
Ctarrr ... !
Suara nyaring menggelegar
terdengar ketika ujung sabuk itu mengenai permukaan laut. Air berpercikan ke
atas terkena lecutan sabuk yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Dengan meminjam tenaga dari
benturan antara ujung sabuk dengan permukaan air, laki-laki bertubuh pendek
gemuk itu melentingkan tubuhnya ke atas.
Macan Tutul Lembah Neraka
harus melecutkan sabuknya beberapa kali untuk mencapai pulau itu. Dan kini dia
berhasil mendarat di pinggir pulau tempat tinggal Kemamang Danau Neraka.
Begitu melihat Macan Tutul
Lembah Neraka berhasil mendarat, berturut-turut Macan Kumbang Lembah Neraka,
Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa Arak melompat menyeberangi laut. Dan
berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi, bukan
merupakan hal yang sulit bagi mereka untuk menyeberangi lautan itu.
Dan begitu telah berada di
seberang, tanpa membuang-buang waktu, keempat orang itu segera bergerak masuk
ke tengah pulau. Seperti juga pulau yang ditinggali Kelelawar Beracun, pulau
tempat tinggal Kemamang Danau Neraka juga tidak sepi dari air. Tanahnya becek.
Hanya saja, pulau ini tidak memiliki lumpur hidup seperti yang ada di tempat kediaman
Kelelawar Beracun.
"Aneh...," desah
Dewa Arak. Pelan suaranya dan tidak jelas ditujukan untuk siapa.
"Mengapa, Dewa
Arak?" sambut Macan Tutul Lembah Neraka pelan juga.
"Jalan masuk ke tempat
tinggal ini, aman saja. Tidak penuh bahaya seperti waktu aku masuk ke tempat
tinggal Kelelawar Beracun."
Macan Tutul Lembah Neraka
tersenyum pahit
"Bukannya tidak ada
bahaya yang membentang di jalan, Dewa Arak," jawab laki-laki bertubuh
pendek gemuk itu sabar. "Tapi, karena kami telah cukup mengetahui jalan yang
aman. Kalau kau pergi sendiri, kujamin akan banyak hambatan di
perjalanan."
Dewa Arak tercenung. Kini
dimengerti, mengapa jalan menuju pulau tempat tinggal Kemamang Danau Neraka
sama sekali tidak mengandung bahaya. Dia lupa kalau saat ini berjalan bersama
orang-orang yang telah cukup mengetahui jalan jalan yang aman.
Karena pulau itu memang kecil
saja, sementara keempat orang itu melakukan perjalanan dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, maka dalam waktu sebentar saja di hadapan mereka telah terbentang
sebuah danau besar. Dan tepat di tengahtengah danau itu terletak sebuah
bangunan besar dan megah.
"Itulah tempat tinggal
Kemamang Danau Neraka," tunjuk Macan Tutul Lembah Neraka memberi tahu
seraya menudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah bangunan megah itu.
Dewa Arak melayangkan pandang
ke arah bangunan itu. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini memuji
kecerdikan orang yang tinggal di sana. Letak bangunan itu tepat di
tengah-tengah danau. Jadi, dari mana pun lawan akan datang, pemilik rumah itu
akan mengetahuinya.
"Kau lihat danau itu,
Dewa Arak," Macan Kumbang Lembah Neraka ikut pula bicara.
Mendengar ucapan itu, Dewa
Arak memandang ke air danau. Seketika itu juga sepasang mata pemuda berambut
putih keperakan ini terbelalak. Air danau itu ternyata bukan air biasa,
melainkan lahar gunung! Itu bisa diketahui dari cairan yang berbentuk kental
dan suara meletup-letup mengiringi setiap gelembunggelembung yang muncul di
permukaan danau. Uap tipis berwarna putih, tampak mengepul dari permukaannya.
Yang lebih mengejutkan lagi,
jalan yang menuju ke bangunan itu hanya berupa tonggak-tonggak baja yang
berujung runcing mirip lembing. Yang lebih mengerikan lagi, jarak antara ujung
tonggak-tonggak itu hanya sekitar dua jengkal dari permukaan danau yang
bergolak.
Meremang bulu kuduk Arya
melihat hal ini. Kalau bukan orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi,
jelas tak mungkin berani menuju ke bangunan itu. Sudah dapat dipastikan,
sebelum tiba di sana, akan terjatuh ke dalam danau itu. Dan bagaimana nasibnya,
sudah bisa ditebak. Kini Arya paham, mengapa danau itu mempunyai nama yang
begitu mengerikan. Danau Neraka! Ternyata memang sesuai dengan kenyataan yang
disaksikannya.
"Mari kita ke
sana...!" ajak Macan Kumbang Lembah Neraka yang rupanya paling bernafsu di
antara mereka bertiga.
Tampak jelas kalau laki-laki
berkulit hitam itu sudah tidak sabar lagi untuk buru-buru berjumpa Kemamang
Danau Neraka.
Tanpa menunggu jawaban ketiga
orang lainnya, Macan Kumbang Lembah Neraka segera melesat ke arah bangunan
megah itu. Macan Tutul Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa Arak
mau tak mau ikut bergerak mengikuti.
Sesaat kemudian keempat orang
itu telah berada di pinggir danau. Dari sini semakin jelas terlihat,
tonggak-tonggak berujung runcing yang terpancang di danau itu, bagai siap
menembus kaki-kaki siapa saja yang melaluinya.
Arya memperhatikan
tonggak-tonggak itu sejenak. Bisa diperkirakan tonggak itu terbuat dari baja
kuat dan dicampur dengan ramuan tertentu sehingga tahan terhadap air danau.
Tonggak-tonggak itu terpancang membentuk jalan, dan diatur rapi seperti
barisan. Setiap baris terdiri dari enam batang batang tonggak yang
masing-masing berjarak sekitar tiga jengkal.
"Hih...!"
Macan Kumbang Lembah Neraka,
yang paling merasa penasaran segera melompat ke depan. Indah dan manis
gerakannya. Kemudian....
Tappp ... !
Meskipun dengan tubuh agak
bergoyang-goyang sedikit, Macan Kumbang Lembah Neraka berhasil mendaratkan
salah satu kakinya di ujung tonggak yang runcing. Sementara kaki yang sebelah
lagi digunakan sebagai alat untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Sesaat lamanya tubuh laki-laki
berkulit hitam ini bergoyang-goyang. Dan begitu goyangan pada tubuhnya
terhenti, Macan Kumbang Lembah Neraka kembali melompat. Kakinya didaratkan di
ujung tombak yang lain. Begitu seterusnya.
Tidak hanya Macan Kumbang
Lembah Neraka saja yang bergerak cepat menuju bangunan megah milik Kemamang
Danau Neraka. Macan Tutul Lembah Neraka, Macan Loreng Lembah Neraka, dan Dewa
Arak juga bergerak menuju ke sana. Gerakan mereka pun tak kalah indah bila
dibanding Macan Kumbang Lembah Neraka.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang rata-rata sudah mencapai tingkat tinggi, bukan merupakan hal yang sulit
bagi keempat orang itu untuk melakukan perjalanan di ujung tonggak runcing.
Tak lama kemudian, jarak
antara mereka dengan bangunan milik Kemamang Danau Neraka sudah semakin dekat.
Dan dengan demikian, keadaan bangunan itu pun semakin jelas terlihat. Lantai
bangunan itu ternyata berada lebih tinggi dari ujungujung tonggak. Jarak
lantai dengan permukaan air danau tak kurang empat jengkal. Ada beberapa buah
tiang baja besar yang menyangga bangunan megah itu, sehingga bisa berdiri di
atas permukaan danau.
***
Kini keempat orang itu telah
berada dalam jarak sekitar delapan tombak dari bangunan rumah, dan terus saja
berlompatan dari satu tonggak ke tonggak lain.
Mendadak di teras muncul dua
sosok tubuh. Yang seorang dikenali Dewa Arak sebagai Kelelawar Beracun. Tapi
yang seorang lagi tidak dikenalinya. Mungkin inilah tokoh yang berjuluk
Kemamang Danau Neraka.
Orang yang diduga Arya sebagai
Kemamang Danau Neraka ternyata seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus.
Kulitnya berwarna merah, dan rambutnya panjang terurai, namun kaku seperti
sikat kawat. Pakaiannya hanya berapa kain berwarna putih yang dilibat-libatkan
ke tubuhnya. Sangat pas dengan warna kulitnya yang merah.
Yang lebih mengerikan lagi,
adalah sepasang matanya yang selalu terbelalak. Sepertinya, sepasang mata itu
akan melompat keluar dari rongganya! .
Tampak jelas kalau kedua orang
ini merasa terkejut bukan main melihat kedatangan empat sosok tubuh itu.
"Itukah orang yang
berjuluk Dewa Arak?" tanya laki-laki berambut kaku seraya menatap tajam
wajah Arya.
"Benar, Kemamang Danau
Neraka. Dialah Dewa Arak," Kelelawar Beracun menganggukkan kepala
membenarkan.
"Hm...."
Laki-laki bertubuh kurus dan
ternyata berjuluk Kemamang Danau Neraka menggumam pelan. Sementara, Kelelawar
Beracun menjadi kebingungan, ketika melihat empat sosok tubuh semakin mendekati
bangunan Kemamang Danau Neraka.
Tanpa pikir panjang lagi,
Kelelawar Beracun segera memasukkan tangan ke balik bajunya. Dan secepat tangan
itu keluar, secepat itu pula dikibaskan.
Serrr ... !
Suara berdesir pelan terdengar
begitu jarum jarum beracun laki-laki berwajah pucat itu menyambar. Tak
tanggung-tanggung lagi yang dilepaskan Kelelawar Beracun. Belasan batang jarum
beracun, yang semuanya meluncur ke arah Dewa Arak!
"Hmh...!"
Ada suara dengus mengandung
ejekan terdengar dari hidung Kemamang Danau Neraka. Hatinya memang merasa muak
melihat kelicikan dan sikap pengecut yang ditunjukkan Kelelawar Beracun.
Padahal,kedatangan laki-laki berwajah pucat ini tadi untuk meminta
pertolongannya dalam menghadapi Dewa Arak. Tapi belum apa-apa, Kelelawar Beracun
sudah merendahkan dirinya. Kelihatannya, dia tidak percaya kalau laki-laki
berambut seperti kawat itu mampu menghadapi Dewa Arak. Kelelawar Beracun sama
sekali tidak tahu kalau Kemamang Danau Neraka tersinggung atas perbuatannya
tadi.
Bukan hanya Dewa Arak yang
terkejut. Tiga Macan Lembah Neraka pun tersentak melihat kecurangan yang
dilakukan Kelelawar Beracun. Pemuda berambut putih keperakan itu tampaknya
tengah tidak siap untuk menerima serangan. Tambahan lagi, saat itu tubuhnya
sedang berada di udara, karena baru saja melompat untuk hinggap di ujung
tonggak di hadapannya. Maka, serangan jarum beracun dari Kelelawar Beracun
benar-benar merupakan ancaman berbahaya.
Dewa Arak terperanjat Disadari
kalau keadaannya sangat berbahaya. Maka buru-buru dijumputnya guci arak yang
tersampir di punggung. Dan secepat guci arak itu terpegang, secepat itu pula
dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Secepat arak itu masuk ke
dalam mulutnya, secepat itu pula disemburkan ke arah jarum jarum beracun yang
tengah meluncur deras ke arahnya.
Singgg..!
Suara berdesingan nyaring
seperti meluncurnya anak panah dari baja terdengar ketika butiran-butiran arak
itu meluncur ke arah jarum jarum.
Tringgg..., tringgg ... !
Suara berdentingan nyaring
terdengar begitu semburan arak Dewa Arak berbenturan dengan jarum jarum yang
dilepaskan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga, belasan jarum itu runtuh ke
bawah.
"Hup... !"
Meskipun dengan agak
terhuyung-huyung, Dewa Arak berhasil mendaratkan kakinya di ujung tonggak
runcing yang memang hendak disinggahinya.
Tiga Macan Lembah Neraka dan
Kemamang Danau Neraka menggeleng-gelengkan kepala. Mereka semua memuji
kelihaian Dewa Arak. Sementara Kelelawar Beracun hanya bisa kebingungan. Tapi
begitu teringat di sebelahnya ada Kemamang Danau Neraka, hatinya pun tenang
kembali.
Dia yakin, rekannya ini akan
mampu mengatasi Dewa Arak! Hanya saja yang menjadi pertanyaan Kelelawar
Beracun, apa hubungannya pemuda berambut putih keperakan itu dengan Tiga Macan
Lembah Neraka sehingga bisa menuju Danau Neraka bersama-sama? Dia khawatir
kalau tiga tokoh Lembah Neraka itu membantu Dewa Arak. Dan apabila hal itu
terjadi, keadaan akan semakin menyulitkan dirinya.
Meskipun serangan pertamanya
gagal, Kelelawar Beracun tidak jera. Kembali dikirimnya seranganserangan
curang lain. Laki-laki berwajah pucat ini menggunakan berbagai macan senjata
rahasia beracun untuk menghambat tibanya Dewa Arak.
Walaupun yang dicegah adalah
Dewa Arak, tapi tak urung Tiga Macan Lembah Neraka pun terbawa-bawa juga. Tiga
tokoh Lembah Neraka ini tidak berani melanjutkan langkah, karena khawatir
terkena serangan nyasar.
Kelelawar Beracun benar-benar
kalap. Semua senjata rahasia beracun miliknya sudah dikeluarkan, tapi berhasil
dipunahkan Arya. Kalau tidak dielakkan, pasti ditangkis dengan semburan
araknya, atau dengan putaran tangannya yang menimbulkan angin keras menderu.
Entah berapa macam senjata rahasia yang terlontar. Mulai dari jarum, logam
berbentuk bintang segi lima, logam berbentuk ujung anak panah, sampai logam berbentuk
ekor kalajengking. Tapi semuanya sia-sia belaka.
"Huh...!"
Hampir berbareng, Dewa Arak
dan Tiga Macan Lembah Neraka mendaratkan kakinya di teras rumah Kemamang Danau
Neraka.
Macan Kumbang Lembah Neraka
yang sejak tadi sudah beringas terhadap Kemamang Danau Neraka, segera melangkah
maju. Tapi, rupanya tangan Macan Tutul Lembah Neraka telah lebih dulu
mencekalnya. Dan dengan bahasa isyarat, dinasihatkan agar lakilaki berkulit
hitam itu bersikap sabar sebentar. Biar Dewa Arak menyelesaikan masalahnya
dulu.
Meskipun dengan mulut
merengut, Macan Kumbang Lembah Neraka mau juga memenuhi permintaan rekannya
untuk menahan diri agar tidak buru-buru melabrak Kemamang Danau Neraka.
Sementara itu dengan langkah
satu-satu, Dewa Arak maju menghampiri Kelelawar Beracun yang terus mundur.
"Kemamang Danau
Neraka," sebut Kelelawar Beracun sambil menoleh ke arah kakek bertubuh
tinggi kurus itu. "Bukankah kau sudah berjanji membantuku untuk
menghadapinya?"
"Hmh ... !" Kemamang
Danau Neraka mendengus. "Aku muak melihat kelicikanmu. Lebih baik
hadapilah sendiri!"
Seketika wajah Kelelawar
Beracun pucat pasi. Dia memang betul-betul ngeri terhadap Dewa Arak. Terutama
bila teringat ancaman pemuda berambut putih keperakan itu. Laki-laki berwajah
pucat itu memang tidak takut mati. Tapi mati secara perlahanlahan dan secara
menyakitkan, tentu saja ditakutinya.
Semula laki-laki berwajah
pucat ini mengandalkan Kemamang Danau Neraka untuk menghadapi Dewa Arak. Tapi
kini Kemamang Danau Neraka tampak malah melangkah mundur dan membiarkannya
menghadapi Dewa Arak! Dia sama sekali tidak tahu kalau sikap pengecutnya itulah
yang membuat pemilik Danau Neraka menarik diri.
Memang seperti juga Tiga Macan
Lembah Neraka, Kemamang Danau Neraka adalah seorang yang mementingkan
kegagahan. Walaupun sebagai tokoh sesat, laki-laki berambut kaku ini menganggap
dirinya adalah seorang datuk! Pantang baginya untuk bersikap pengecut. Dan dia
malah kagum terhadap sikap yang ditunjukkan Dewa Arak.
"Aku masih memberimu
kesempatan sekali lagi, Kelelawar Beracun," tandas Dewa Arak pelan tapi
penuh ancaman. "Bila yang sekali ini kau berbuat curang lagi, aku tidak
segan-segan melaksanakan ancamanku!"
"Baiklah, Dewa Arak. Aku
menyerah. Aku akan memberi obat penawar buat kawanmu itu."
Setelah berkata demikian,
laki-laki berwajah pucat ini mengeluarkan sebuah buntalan kain hitam sebesar
kepalan dari batik bajunya. Kemudian buntalan itu diangsurkan ke arah Dewa
Arak.
Tentu saja Arya tidak begitu
saja percaya. Dia telah tahu kalau Kelelawar Beracun amat licik. Maka untuk
beberapa saat lamanya, dia ragu-ragu. Sementara Tiga Macan Lembah Neraka, dan
Kemamang Danau Neraka mengawasi semua kejadian yang ada di hadapan mereka, dan
sekali tidak berniat mencampuri.
"Ambillah, Dewa
Arak," ujar Kelelawar Beracun pelan. "Aku tidak berbohong kali
ini."
Setelah berkata demikian,
laki-laki berwajah pucat ini menggoyang-goyangkan buntalan kain hitam yang
berada di tangannya.
Akhirnya Arya memutuskan untuk
mengambilnya. Dengan langkah hati-hati dihampirinya Kelelawar Beracun. Sepasang
matanya menatap laki-laki berwajah pucat ini penuh waspada. Dewa Arak
bersiap-siap apabila Kelelawar Beracun melancarkan serangan mendadak.
Tapi, ternyata tidak terjadi
sesuatu yang dikhawatirkan Arya sampai kedua tangannya menyentuh buntalan yang
ternyata tidak terbuka itu.
Begitu Arya menggenggam
buntalan kain hitam itu, mendadak jari jari Kelelawar Beracun bergerak meremas.
Gerakannya tidak begitu kentara, karena pemuda berambut putih keperakan itu
lebih memusatkan perhatian pada sebelah tangan dan kaki Kelelawar Beracun. Tapi
meskipun begitu, sempat juga diliriknya.
Mendadak dari dalam buntalan
yang tidak terbuka itu melesat benda hitam. Arya terkejut bukan main. Meskipun
hanya melihat sekilas, sempat diketahui kalau benda hitam itu adalah seekor
kelabang. Kelabang biasa saja sudah berbahaya.Apalagi kelabang yang dibawa
Kelelawar Beracun! .
Maka tanpa pikir panjang lagi,
Dewa Arak segera melompat ke belakang. Usaha yang dilakukannya tidak sia-sia,
sergapan kelabang itu berhasil dielakkan.
Tapi Kelelawar Beracun sudah
memperhitungkan hal itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera meluruk
memburu tubuh Dewa Arak yang tengah berada di udara. Cepat bukan main
gerakannya. Sudah dapat dipastikan, Dewa Arak akan mengalami kesulitan untuk
meloloskan diri.
Bukan hanya Dewa Arak saja
yang terperanjat. Tiga Macan Lembah Neraka pun terkejut bukan kepalang.
Serangan itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga mereka pun tidak sempat
berbuat sesuatu.
Tapi mendadak saja, terjadi
sesuatu yang mengejutkan. Tubuh Kelelawar Beracun yang tengah meluruk ke arah
Dewa Arak itu tiba-tiba tersentak ke belakang. Terdengar keluhan tertahan dari
mulut lakilaki berwajah pucat itu. Bahkan bukan hanya itu saja. Suara
gemeretak keras dari tulang-tulang leher yang patah pun terdengar mengiringi.
Brukkk ... !
Terdengar suara berdebukan
keras ketika tubuh Kelelawar Beracun ambruk di lantai, dan diam tidak bergerak
lagi. Nyawa laki-laki berwajah pucat itu melayang seketika. Sepasang matanya
melotot, dan lidahnya pun terjulur keluar. Pada lehernya, nampak terjerat
sebuah cambuk berwarna coklat.
Dewa Arak dan Tiga Macan
Lembah Neraka memandang pada pemilik cambuk yang tengah menggulung senjatanya
dengan sikap tak peduli. Siapa lagi kalau bukan Kemamang Danau Neraka!
"Aku benci pada orang
yang berjiwa pengecut dan licik!" tegas laki-laki bertubuh tinggi kurus
itu.
Tanpa mempedulikan ucapan
Kemamang Danau
Neraka, Dewa Arak segera
berjongkok memeriksa Kelelawar Beracun. Betapa kaget hati Dewa Arak ketika mengetahui
laki-laki berwajah pucat itu telah tewas!
"Dia telah
tewas...," tegas Arya seraya bangkit berdiri.
Pemuda berambut putih
keperakan ini tidak menyalahkan tindakan Kemamang Danau Neraka. Bah-kan
seharusnya berterima kasih. Memang, tanpa pertolongan pemilik Danau Neraka itu,
Dewa Arak mungkin telah tewas!
"Tidak perlu hal itu
dipusingkan, Dewa Arak!" selak Kemamang Danau Neraka. "Aku tahu obat
pemunah untuk racun pada jarum itu. Aku pun memilikinya. Dan aku bersedia
memberikannya padamu, tapi dengan satu syarat."
Memang Kelelawar Beracun telah
menceritakan semua masalah yang dihadapinya pada Kemamang Danau Neraka, karena
menginginkan pertolongan pemilik Danau Neraka itu.
"Apa syaratnya, Kemamang
Danau Neraka?" sambut Dewa Arak cepat penuh gairah. "Aku bersedia
memenuhinya."
"Bila kau sempat,
datanglah kemari. Aku ingin menjajal kepandaianmu."
"Aku janji!" sahut
Dewa Arak cepat.
"Bagus! Kutunggu janjimu,
Dewa Arak! Dan, ingat! Bila kau tidak juga muncul, aku yang akan mencarimu.
Akan kubuat kacau dunia persilatan! Mengerti?!"
Dewa Arak menganggukkan kepala
pertanda mengerti. Sementara Kemamang Danau Neraka segera bergegas masuk ke
dalam. Hanya sebentar saja, dan tak lama kemudian sudah kembali dengan sebuah
kendi kecil yang tertutup rapat.
Meskipun ada sedikit keraguan
yang melanda, Dewa Arak menerima kendi pemberian Kemamang Danau Neraka.
"Terima kasih, Kemamang
Danau Neraka," ucap Dewa Arak setelah kendi kecil itu berada di tangannya.
Tapi sama sekali tidak
terdengar sahutan dari mulut Kemamang Danau Neraka. Orang kasar sepertinya mana
peduli terhadap segala aturan dan sopan santun? .
"Coba kulihat sebentar,
Dewa Arak," pinta Macan Tutul Lembah Neraka sambil melangkah maju
mendekati Dewa Arak. Memang sejak tadi, Tiga Macan Lembah Neraka hanya diam
saja memperhatikan.
Dewa Arak segera memberikannya
pada Macan Tutul Lembah Neraka. Laki-laki bertubuh pendek gemuk itu segera
membuka tutup kendi, dan mencium baunya sesaat. Baru kemudian, kepalanya
terangguk.
"Kalau benar racun yang
melukai kawanmu itu adalah yang terkandung dalam jarum, memang benar ini
obatnya," jelas Macan Tutul Lembah Neraka pelan.
"Dan aku meramunya
berdasarkan daun-daunan yang kupetik dari pulau milik sahabat kalian,"
selak Kemamang Danau Neraka seraya menatap tokohtokoh Tiga Macan Lembah Neraka
berganti-ganti.
Sepasang mata Macan Kumbang
Lembah Neraka terbelalak lebar.
"Jadi, maksudmu datang ke
pulau itu hanya untuk menciptakan penawar racun ini?"
"Hanya mencoba-coba saja,
Macan Kumbang." Suasana hening sejenak. Hilang sudah kemarahan
yang tadi melanda hati Tiga
Macan Lembah Neraka. Kemamang Danau Neraka ternyata tidak bermaksud merampas
pulau!
Semula mereka memang menduga
demikian. Dan kini, jelaslah sudah. Tak ada niatan di hati Kemamang Danau
Neraka untuk merampas pulau yang dulunya milik Raksasa Rimba Neraka.
Sehingga, kini mereka
mengurungkan niatnya untuk mengajak bertarung laki-laki berambut kaku itu.
Tak lama kemudian, Dewa Arak
dan Tiga Macan Lembah Neraka mohon diri. Dan bagi Dewa Arak, tidak lagi
mengalami kesulitan untuk mencari jalan keluar. Tiga Macan Lembah Neraka
bersedia mengantarnya sampai keluar dari laut yang berwarna hitam.
***
"Kang Arya...!"
seruan lirih wanita berpakaian putih yang tergolek di pembaringan indah dan
mewah, membuat seorang pemuda berambut putih keperakan yang tengah
terkantuk-kantuk membelalakkan matanya.
"Melati ... !"
Pemuda berambut putih
keperakan yang tak lain dari Arya berseru keras. Nada suaranya jelas
menyiratkan perasaan gembira yang amat sangat. Sementara sepasang matanya
merayapi wajah kekasihnya. Memang wajah gadis itu sudah tidak berwarna merah
lagi, tapi sudah kembali seperti semula. Meskipun masih agak pucat .
"Kau sudah sadar?"
tanya Dewa Arak.
Kemudian tanpa mempedulikan
orang lain yang ada di sekitar situ, Arya segera memeluk tubuh kekasihnya
erat-erat. Obat yang diberikan Kemamang Danau Neraka ternyata memang manjur.
Tak sia-sia dia bersusah payah menempuh perjalanan menantang maut ke Pulau
Ular.
Prabu Nalanda, Ki Julaga, Ki
Temula, Patih Rantaka, dan Eyang Sagapati segera melangkah meninggalkan
ruangan itu. Mereka sengaja membiarkan sepasang muda-muda itu saling melepaskan
rindu.
Sementara Dewa Arak dan Melati
yang diberi kesempatan, sama sekali tidak tahu-menahu. Sepasang muda-muda itu
masih saja sibuk melepaskan rindu, sehingga melupakan keadaan sekelilingnya.
SELESAI