Serial Dewa Arak 04 - Raksasa Rimba Neraka

Teriakan keras seperti tengah terjadi pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di sebuah tanah lapang yang luas di Lereng Gunung Jarak.
04 - Raksasa Rimba Neraka

"Hiyaaat ... ! Haaat ... !"

Teriakan keras seperti tengah terjadi pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di sebuah tanah lapang yang luas di Lereng Gunung Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih.

"Haaat ... !"

Kembali pemuda itu berteriak nyaring melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya dikibaskan ke sebatang pohon.
Brakkk...!

Seketika itu juga pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi rubuhnya pohon itu ke tanah.

"Bagus sekali, Sapta!" puji seorang kakek yang sejak tadi memperhatikan. Di sebelah kakek itu nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik manis. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya berwarna jingga, sehingga cocok sekali dengan warna kulitnya.

Pemuda bertelanjang dada yang dipanggil Sapta itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya menghadap kakek yang kira-kira berusia enam puluh tahun. Pakaiannya rompi dan celana sebatas bawah lutut tampak penuh tambalan, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Kakek itu ternyata memang seorang pengemis! Di tangan kanannya, tergenggam sebatang tongkat kayu berwarna merah. Dalam rimba persilatan, dia berjuluk Pengemis Tongkat Merah.

"Aku mohon petunjuk, Guru," pinta Sapta yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu.

Pengemis Tongkat Merah yang ternyata guru pe­muda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh.

Dipandanginya sosok tubuh tinggi besar, dan berhidung melengkung di hadapannya sebentar.

"Tidak ada lagi yang dapat kuajarkan, Sapta. Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan Kami," tegas kakek kurus kering itu sambil menoleh kepada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Kau telah menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu, Sapta!"

Wajah pemuda tinggi besar dan berhidung me­lengkung itu memerah, menerima pujian itu.

"Ah, semua ini adalah berkat bimbingan Guru, dan Kami juga," ucapnya merendah.

"Kau memang terlalu rendah diri, Sapta. Aku hanya membantu, sedangkan hasilnya semua tergantung padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh, sehingga tidak aneh kalau hampir setingkat Kami yang telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil tersenyum.

Ucapan Pengemis Tongkat Merah membuat Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa sepuluh tahun silam.

Waktu itu ia, ayah dan ibunya pergi berburu ke sebuah hutan. Karena ayah Sapta adalah seorang kepala desa, tidak aneh jika dalam perburuan itu, mereka dikawal beberapa anak buah ayahnya.

Tapi sesungguhnya di dalam hutan, terjadilah hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak sebagai kepala pengawal, tiba-tiba melompat turun dari kudanya.

"Ha ha ha ! Sekarang adalah akhir dari kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam, dan berkumis melintang itu. Suaranya begitu keras dan kasar. Ketika dijentikkan jarinya, seketika para pengawal yang berjumlah delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar, istrinya dan Sapta, yang waktu itu baru berusia sebelas tahun.

Wajah Ki Panjar dan istrinya langsung berubah. Mereka menyadari adanya ancaman dari ucapan Toga.

"Apa maksudmu, Toga?" tanya Ki Panjar. Suara­nya terdengar tenang.

"Maksudku sudah jelas, Panjar! Kau dan keluargamu ini, akan kukirim ke neraka. Sementara aku akan menggantikan kedudukanmu menjadi kepala desa! Ha ha ha...!"

Wajah Nyi Panjar semakin bertambah pucat. Sebaliknya Ki Panjar tetap tenang-tenang saja.

"Apa yang kau andalkan, Toga? Apakah hanya keroco-keroco tak berguna ini?!" tanya Ki Panjar sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Tawa Toga berhenti. Sepasang alis matanya berkerut. Sikap tenang Ki Panjar membuat si kumis melintang ini merasa curiga. Apalagi kata-kata kepala desa itu, yang mengatakan bahwa delapan orang pengawal itu hanyalah keroco-keroco tak berguna.

Toga memang tahu kalau Ki Panjar memiliki kepandaian. Tapi apakah kepandaian yang dimilikinya cukup tinggi? Paling-paling kepandaiannya hanya dapat menghadapi empat orang pengawal itu!

"Kau terkejut, Toga? Aku pun tahu kalau kau secara sembunyi-sembunyi sering mengintai latihanku. Untunglah aku mencurigai kelakuanmu itu. Maka di depanmu aku melatih ilmu-ilmu tingkat rendahan saja. Sementara ilmu-ilmu lain kulatih saat kau lengah."

Wajah Toga berubah. Benarkah semua yang dikatakan kepala desa ini? Atau hanya bualan belaka? Selagi dia berpikir, tubuh Ki Panjar berkelebat. Gerakannya cukup gesit, jauh di luar dugaan Toga.

Dalam sekejap saja, tubuh Ki Panjar, Nyi Panjar, dan Sapta telah lenyap dari punggung kuda. Segera Toga mengalihkan perhatiannya ke arah Ki Panjar tadi melesat.

Ternyata Ki Panjar tidak pergi jauh jauh. Sekitar tiga tombak dari situ, tampak kepala desa itu berdiri tegak membelakangi anak dan istrinya. Di tangannya tergenggam sebuah keris berkeluk tujuh. "Seraaang ... !" teriak Toga keras.

Belum juga gema suaranya habis, tubuhnya sudah melesat menerjang Ki Panjar. Golok di tangannya yang sudah terhunus, cepat ditusukkan ke perut laki-laki yang sebenarnya adalah atasannya.

Ki Panjar tetap bersikap tenang. Keris di tangannya digerakkan cepat.

Trak!
"Akh...!"

Toga menjerit kesakitan. Ternyata bahu kirinya sobek terserempet keris. Sungguh si kumis melintang ini tidak habis pikir. Padahal, jelas teriihat kalau kepala desa itu menangkis serangan goloknya. Tapi mengapa begitu mengenai goloknya, keris itu melesat ke arah leher? Untung dia cepat mengelak. Terlambat sedikit saja, mautlah baginya.

Toga sama sekali tidak tahu kalau itu adalah keistimewaan ilmu keris Ki Panjar. Begitu menangkis, keris di tangan kepala desa ini dapat terus melesat. Laksana bola, keris itu membal, begitu membentur golok. Hanya saja 'membalnya' keris itu diatur Ki Panjar.

"Kaget, Toga?!" tanya Ki Panjar. Senyum mengejek tersungging di bibirnya. "Sekarang terimalah kematianmu!"

Untung saja sebelum Ki Panjar mengirimkan se­rangan susulan, pengawal yang berjumlah delapan orang, cepat-cepat mengirimkan serangan. Mau tidak mau kepala desa itu memusatkan perhatiannya ke arah mereka.

Ternyata ucapan yang keluar dari mulut Ki Panjar, bukanlah sekadar omong kosong. Delapan orang bekas pengawalnya memang sama sekali tidak berarti menghadapinya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas para pengeroyoknya, mudah saja baginya untuk mengelakkan setiap serangan.

Sebaliknya setiap kali tangannya bergerak, pasti ada sosok tubuh yang rubuh tanpa nyawa. Jerit lengking kematian terdengar saling susul. Dalam sekejap mata saja, sudah tiga orang pengawal yang tewas.

Sementara Toga yang telah selesai menotok jalan darah di sekitar luka agar darah berhenti mengalir, menjadi geram melihat kematian tiga orang anak buahnya. Kembali si kumis melintang menerjang. Golok di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran.

Kini gerakan Ki Panjar mulai agak tertahan. Kepandaian yang dimiliki kepala pengawalnya tidak bisa dibandingkan dengan delapan orang pengawal itu. Kalau tadi Toga terluka, ini karena belum mengetahui keistimewaan permainan keris lawan. Setelah tahu, Toga bersikap hati-hati. Akibatnya beberapa saat lamanya, pertarungan itu berlangsung seru dan se imbbang.

Tapi lewat dua puluh jurus, tampaklah keunggulan Ki Panjar. Pelahan namun pasti, kepala desa ini mulai berada di atas angin. Keris di tangannya kembali mengambil korban. Satu demi satu para pengawal berguguran.

Melihat hal ini, Toga menjadi gelisah. Sudah dapat dipastikan kalau usahanya akan gagal. Ia bersama sisa tiga orang anak buahnya semakin terdesak hebat .

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba saja terdengar tawa bergelak. Belum lagi suara tawa yang membuat istri dan anak Ki Panjar jatuh terduduk itu lenyap, sesosok tubuh tegap berwajah mirip seekor kera telah muncul di tempat itu.

Pertarungan langsung terhenti. Ki Panjar, Toga, dan para pengawal sama-sama menoleh ke arah asal suara.

"Kakang Gajula...!" teriak Toga. Wajahnya lang­sung berseri-seri. Bergegas dihampirinya si wajah kera, yang usianya tak lebih dari empat puluh tahun.

Orang berwajah kera yang bernama Gajula hanya tertawa saja. "Sungguh memalukan kau, Adi Toga! Menghadapi orang seperti itu saja sampai mengandalkan banyak orang!"

Merah wajah si kumis melintang.

"Dia lihai sekali, Kang!" sergah Toga keras. Gajula mendengus. "Ingin kulihat sampai di mana kelihaiannya!"

Setelah berkata demikian, dihampirinya Ki Panjar yang hanya mendengarkan percakapan itu. Orang yang bernama Gajula itu ternyata adalah kakak kepala pengawal yang bernama Toga.

Gajula menatap Ki Panjar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tampak senyum mengejek tersungging di bibirnya.

Melihat hal ini, seketika panas hati Ki Panjar. Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, diterjangnya lawan di hadapannya.

Singgg ... !

Keris di tangan kepala desa itu ditusukkan ke arah leher Gajula. Cepat bukan main gerakannya. Tapi, masih lebih cepat gerakan Gajula! Begitu serangan keris lawan mendekat, dengan sebuah gerakan sederhana, ditarik kepalanya ke belakang. Tepat ketika tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Ki Panjar yang menggenggam keris, Gajula langsung membetotnya.

Tak pelak lagi, tubuh kepala desa itu tertarik ke depan. Belum lagi Ki Panjar sempat berbuat sesuaru, kembali tangan Gajula bergerak.

Krak!
"Akh...!"

Terdengar suara berderak keras ketika tangan itu menghantam telak dan keras bahu Ki Panjar. Kepala desa itu langsung mengeluh tertahan, karena tulang bahunya remuk seketika. Rasa sakit yang amat sangat mendera tubuhnya.

"Ha ha ha...!"

Kembali terdengar tawa Gajula yang bergelak "Hanya sampai di sini sajakah orang yang kau bilang lihai itu, Toga?! Atau, kau sendiri yang kurang becus!? Nih! Kuberikan padamu ... !"

Setelah berkata demikian, Gajula melemparkan tubuh Ki Panjar yang sudah setengah sadar pada Toga.

Si kumis melintang tertawa terkekeh. Tangannya bergerak cepat

Blesss ... !"
"Aaakh ... !"

Ki Panjar memekik tertahan ketika golok Toga menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung! Dan begitu si kumis melintang ini mencabut kembali goloknya, darah langsung muncrat keluar. Beberapa saat lamanya kepala desa itu ambruk, lalu menggele­par-gelepar di tanah. Dan kini diam tidak bergerak lagi.

"Kakang ... !" terdengar jerit penuh kepiluan memecah tawa kemenangan Gajula. Seiring terdengarnya jeritan tadi, seorang wanita setengah baya berlari mendekati tubuh Ki Panjar. Wanita itu adalah istri kepala desa yang kini membujur kaku.

Sementara Sapta hanya memandang mayat ayahnya dengan mata merembang berkaca-kaca. Bibirnya terlihat menggigil gemetar, tapi tidak sedikit pun terdengar isak dari mulutnya.

Nyi Panjar terus menghambur. Tapi sebelum kaki perempuan setengah tua mencapai tubuh suaminya, tangan Toga bergerak.

Singgg...!
Cappp...!
"Akh ... !"

Nyi Panjar memekik tertahan. Ternyata golok yang dilempar kepala pengawal itu menghunjam tubuh wanita itu hingga tembus ke punggung! Tanpa ampun lagi Nyi Panjar ambruk ke tanah. pan saat itu pula, nya-wanya telah melayang meninggalkan raganya.

"Ibu ... !"

Kali ini Sapta tidak bisa lagi menahan perasaannya. Anak yang baru berusia sebelas tahun ini menjerit keras, sambil berlari menubruk ibunya.

"Anak ini akan menjadi bibit penyakit di kemudian hari!" desis Gajula. Seketika didorongkan kedua tangannya ke depan.

Wuuuttt ... !

Angin keras berhembus keluar dari kedua telapak tangan laki-laki berwajah kera itu. Angin itu mehincur deras ke arah Sapta, yang tengah beriari menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di tanah.

Tapi sebelum angin pukulan Gajula itu mengenai Sapta, sesosok bayangan telah lebih dulu berkelebat menyambar bocah kecil itu.

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa tumbang seketika, terkena angin pukulan yang salah sasaran itu.

"Keparat...!" Gajula berteriak memaki.

Digenjotkan kakinya mengejar ke arah berkelebatnya sosok bayangan itu. Tapi, sosok bayangan itu telah lebih dulu lenyap, ditelan kerimbunan semak-semak dan pepohonan.

Sosok bayangan yang ternyata berjuluk Pengemis Tongkat Merah ini, membawa Sapta ke tempat tinggalnya di Lereng Gunung Jarak. Di situ kakek kurus kering ini memilikt sebuah perguruan, yang diberi nama Perguruan Tongkat Merah.

Sejak saat itu, Sapta menjadi muridnya. Apalagi setelah terbukti kalau pemuda ini memiliki bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat.

"Apa yang kau pikirkan, Sapta?" tanya Pengemis Tongkat Merah memenggal lamunan pemuda berhidung melengkung itu.

"Ah ... !" Sapta berdesah kaget "Tidak, Guru. Tidak ada yang kupikirkan."

Pengemis Tongkat Merah tersenyum maklum. "Kau jangan berdusta, Sapta. Berkali-kali kupanggil, kau tidak menyahut. Aku yakin, ada sesuatu yang te­ngah kau pikirkan."

Sapta tertunduk diam.

"Kau tengah memikirkan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, bukan?" duga kakek itu.

Beberapa saat lamanya pemuda berhidung me­lengkung itu hanya terdiam. Pengemis Tongkat Merah dengan sabar menunggu. Dan memang, penantian ka­kek ini tidak sia-sia. Pelahan namun pasti kepala mu­ridnya terangguk pelan.

"Sudah kuduga...," ucap kakek berpakaian rompi tambalan itu. "Memang sudah saatnya kau mengamalkan ilmu yang telah kau pelajari, untuk orang yang membutuhkan. Aku tidak akan menghalangi jika kau ingin membalas dendam atas kematian orang tuamu, Sapta. Hanya satu pesanku. Jangan gunakan ilmu yang kuwariskan ini untuk kejahatan. Sumbangkan ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan semampumu!"

"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru...." Pengemis Tongkat Merah mengangguk-anggukkan kepalanya, dan tampak gembira.

"Kapan kau akan berangkat?" tanya kakek itu. "Besok, Guru!"

Kakek kurus kering ini terdiam sejenak. "Kau setuju, kalau Kami ikut turun gunung bersamamu?"

Sapta menundukkan kepalanya. Dengan ekor mata, diliriknya gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di samping gurunya.

Selama ini Kami-lah yang selalu menemani berlatih. Bahkan kepandaian gadis itu masih berada di atas kepandaiannya. Karena di samping Kami memiliki bakat yang hebat, gadis itu telah dididik lebih dulu oleh Pengemis Tongkat Merah.

"Bagaimana, Sapta?" desak kakek itu ketika melihat pemuda berhidung melengkung itu diam saja.
"Terserah pada Kami, Guru," sahut Sapta mengelak.

"Jawablah sebagaimana seharusnya seorang laki-laki menjawab, Sapta!" tegur kakek pengemis itu. Tajam nada suaranya.

"Kalau aku, setuju saja, Guru. Bahkan merasa senang sekali, bila Dik Kami bersedia ikut!" tegas pemuda itu. Ekor matanya melirik wajah gadis di sebelah gurunya. Dilihatnya wajah gadis itu berseri­seri. Kami memang gadis pendiam. Dan secara diam­diam pula Sapta mencintai putri angkat gurunya ini.

"Ha ha ha...! Itu baru jawaban seorang laki-laki, Sapta! Baik, besok kalian berangkat!"

Keesokan harinya, tampak dua sosok tubuh bergerak menuruni Lereng Bukit Jarak. Mereka adalah Kami dan Sapta. Berkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, tidak sulit bagi keduanya untuk menurum lereng gunung itu.

******

Brakkk...!

Pintu sebuah rumah kecil yang berdinding bilik, hancur berantakan ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya. Diiringi suara hiruk pikuk, kepingan­kepingan pintu itu jatuh berderai di tantai. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang tengah terbaring di dipan bambu langsung terlonjak. Wajahnya kian memucat ketika melihat dua sosok tubuh yang amat dikenalnya berdiri di ambang pintu.

Belum juga rasa kagetnya hilang, sosok tubuh tinggi besar dan berkepala botak yang tadi menendang pintu, berjalan masuk ke dalam. Langkahnya sengaja dibuat lebar-lebar, menampilkan kepongahannya.

"Tua bangka tidak tahu diuntung!" geram si ke­pala botak sambil melayangkan kakinya kembali me­nendang.

Krak!
Brakkk...!
"Aaakh ... !"

Si kakek memekik kesakitan. Kaki salah satu dipan bambu itu langsung patah terkena tendangan. Seketika itu juga, dipan bambu itu pun rubuh bersama kakek itu.

Si kepala botak membungkukkan badan. Dan di saat tegak kembali, tangannya telah mencengkeram leher baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas.

"Hekh ... !"

Si kakek mengeluh tertahan, dan jalan napasnya terasa sesak. Karena tubuh si kakek jauh lebih kecil daripada tubuh si kepala botak, maka tubuhnya jadi seperti menggantung.

"Ampun.... Maafkan aku, Den Sagar. Aku tidak bisa bekerja.... Aku sedang sakit..., ampunkan aku...," ucap kakek itu tersendat-sendat.

"Hugh...!"

Ucapan si kakek terhenti ketika lutut si kepala botak yang bernama Sagar menyodok perutnya. Wajah kakek itu seketika memerah, dan kedua bola matanya membeliak lebar. Sodokan pada perutnya membuat napasnya sesak seketika.

"Enak saja kau bicara! Ingat, Ki Marta! Kau sudah terima upahnya! Mau sakit, kek.... Mau mati, kek.... aku tidak peduli! Yang penting, kau harus bekerja seperti biasanya! Mengerti?!"

Ki Marta menelan ludah, lalu menganggukkan kepala berulang-ulang.

"Bagus!"

Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu diturunkan. Tapi kerena keadaan kakek itu yang memang sedang sakit, apalagi baru saja mendapat sodokan lutut yang amat keras, begitu diturunkan Ki Marta langsung sempoyongan dan jatuh berdebuk di lantai.

Melihat hal itu, Sagar menggeram.

"Bangun, Ki Marta! Cepat ... ! Kita pergi sekarang, sebelum kesabaranku hilang...!" ancam Sagar tak sabar.

Tubuh Ki Marta menggigil. Kedua tangannya bergetar keras, ketika mencoba bertumpu pada kedua tangannya untuk bangkit. Tapi betapapun berusaha, kondisinya yang tidak memungkinkan menggagalkan usahanya.

Melihat hal ini Sagar menjadi tidak sabar. Untuk yang kesekian kalinya, kakinya kembali bergerak

Buk!

Dengan telak tendangan Sagar menghantam perut Ki Marta. Untung saja si kepala botak ini tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak, tentu kakek yang sial itu tewas! Tapi meskipun demikian, tak urung tubuh Ki Marta terlempar dan terguling-guling.

"Rupanya kau memang sudah bosan hidup, tua bangka! Dasar tidak tahu diuntung! Tapi jangan harap akan mati dengan enak! Kau akan kusiksa dulu sebe­lum kubunuh!"

Setelah berkata demikian, Sagar bergerak menyusul tubuh kakek itu.

"Hup...!"

Dengan kaki, dicungkilnya tubuh terkapar yang berusaha bangkit. Tubuh tua itu melayang ke atas. Di saat itu, sapuan kaki laki-laki berkepala botak menyambutnya.

Buk ... !

Kini pinggul Ki Marta yang mendapat giliran. Cukup keras, sehingga membuat tubuh yang sedang berada di udara itu meluruk ke luar.

Brukkk...!

Tubuh kakek itu jatuh deras mencium tanah. Keras bukan main. Tapi Ki Marta rupanya termasuk orang yang keras hati. Buktinya ia kembali berusaha bangkit. Darah segar menetes keluar dari sela-sela bibirnya ketika dirinya memaksakan untuk bangkit.

"Hekh ... !"

Ki Marta memekik tersendat. Dirasakan adanya sebuah kaki yang menekan punggungnya. Dengan susah payah laki-laki tua itu menolehkan kepalanya untuk mengetahui siapa pemilik kaki itu.

"Ha ha ha...!"

Sebuah tawa tergelak dari mulut orang yang menjejak punggung Ki Marta ketika wajahnya bertatapan dengan wajah tua renta itu. Seraut wajah kasar, bertotol-totol hitam. Gurat, namanya.

"Uhk... uh...."

Suara napas Ki Marta tersendat-sendat ketika kaki itu kian keras menekan .

"Ha ha ha...!" Sagar juga tertawa terbahak­bahak. "Rupanya kau pun tidak ingin ketinggalan, Adi Gurat!"

"Begitulah, Kang Sagar!" jawab si wajah totol­totol hitam yang bernama Gurat seraya kian menambahkan tenaga pada kakinya. Karuan saja hal ini membuat napas Ki Marta kian tersendat-sendat

Tuk!
"Akh...!"

Tiba-tiba Gurat memekik. Ternyata sebuah kerikil kecil sebesar kuku jari tangan, telah menghantam tulang kering kakinya yang tengah menekan punggung Ki Marta. Keras bukan main, sehingga membuatnya terlonjak keras dan melepaskan te kanannya.

Laki-laki berwajah kasar itu kontan meloncat­loncat dengan satu kaki. Kedua tangannya memegangi kaki yang terkena sambitan kerikil itu. Sakit sekali rasanya.

"Keparat!" Sagar yang juga melihat sambaran batu kerikil itu berteriak memaki. Diarahkan pandangannya ke tempat batu kerikil itu berasal.

Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, yang berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak darinya. Yang aneh pada diri pemuda itu adalah rambutnya yang meriap dan berwarna putih keperakan.

"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusan kami?!" bentak Sagar penuh ancaman.
"Aku tidak berniat mencampuri urusan kalian, tapi hanya menentang kesewenang-wenangan yang terjadi di depan mataku!" jawab pemuda itu.

"Hm..., rupanya kau seorang pendekar?!" tanya si kepala botak itu. Nada suaranya penuh ejekan. Ia memang tidak tahu berhadapan dengan siapa.

Merah wajah pemuda yang ternyata Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu. "Sebutan itu terlalu tinggi, Kisanak."

"Pergilah kau cepat, Anak Muda! Aku kasihan padamu! Sudah terlalu banyak pahlawan kesiangan yang membuang nyawa percuma di sini! Apakah kau ingin menambah jumlah mereka dengan membela ka­kek pemalas ini?!"

"Apa boleh buat!?" ujar Arya sambil mengangkat bahu. "Aku tidak bisa tinggal diam melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!"

Baru saja Arya menyelesaikan ucapannya, Gurat yang kini kakinya telah sembuh seperti sediakala, telah menerjangnya dengan pukulan keras dan bertubi-tubi.

Sekali lihat saja Dewa Arak telah mengetahui kalau kepandaian yang dimiliki laki-laki berwajah totol­totol hitam ini masih amat rendah.

Buk! Buk! Buk...!

Berkali-kali pukulan itu mendarat telak di sekujur tubuh Dewa Arak yang berdiri diam tidak mengelak. Dibiarkan saja pukulan Gurat menghujani tubuhnya. Dengan tenaga dalam amat kuat dan disalurkan ke bagian tubuh yang dijadikan sasaran pukulan, semua pukulan Gurat tidak berarti apa-apa bagi Arya.

"Ah...!"

Gurat memekik kaget. Kedua tangannya terasa bukan tengah memukuli tubuh manusia, melainkan gumpalan baja yang keras bukan main. Bahkan kini kedua kepalan tangannya menjadi bengkak-bengkak!

Melihat kekejaman Gurat yang menyiksa orang tua tidak berdaya, membuat Dewa Arak bermaksud me mbe ri pe lajaran cukup ke ras padanya. Se te lah membiarkan lawan puas memukuli, tangan Arya ber­gerak cepat.

"Hugh...!"

Gurat memekik tertahan ketika pukulan Dewa Arak telak menghantam perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk, dan perutnya terasa mulas.

Untung saja Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya. Kalau saja dikerahkan seluruhnya, tentu laki-laki berwajah totol-totol hitam itu tewas dengan dada remuk!

Dan kini Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ saja. Tangannya cepat kembali bergerak, menampar.

Plak...!

Telak sekali tamparan itu mendarat di pipi. Seketika itu juga tubuh Gurat melintir, kemudian jatuh berdebuk di tanah. Rasa pusing yang amat sangat menyergap kepala laki-laki itu. Beberapa saat lamanya dia terduduk diam, tidak mampu bangkit kembali.

Sagar terperanjat sekali melihat kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian Gurat, hanya sedikit di bawahnya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat kawannya begitu mudah dirubuhkan.

Sebaliknya Gurat merasa penasaran bukan main. Dia tidak bisa menerima kekalahan yang begitu mudah, oleh seorang pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Itulah sebabnya dia menggeleng-geleng untuk mengusir rasa pening yang menggayuti kepalanya.

Setelah dirasakan peningnya lenyap, segera laki-laki berwajah totol-totol hitam ini bangkit berdiri. Dan....

Srat ... !

Gurat menghunus senjatanya, sebuah golok panjang yang matanya bergerigi mirip gergaji. Kemu­dian ....

"Hiyaaa ... !"
Sambil mengeluarkan teriakan keras, dibabatkan goloknya ke arah leher Dewa Arak.

Sementara, Dewa Arak hanya mengerutkan keningnya melihat sikap keras kepala Gurat. Perasaan tidak senangnya semakin bertambah. Kelihatannya si wajah totol-totol hitam ini benar-benar tidak peduli kalau dia telah bersikap lunak. Maka Arya memutuskan untuk memberi pelajaran yang lebih keras lagi.

Dewa Arak benar-benar membiarkan saja babatan golok itu. Dan ketika serangan itu dekat, tangan kirinya bergerak ke arah sambaran golok itu.

Tap...!

Gurat terperanjat melihat goloknya tahu -tahu telah terjepit dua buah jari tangan kiri Dewa Arak. Segera dikerahkan tenaga dalamnya untuk menarik goloknya, sekaligus hendak membabat putus jari jari lawan.

Tapi walaupun si wajah totol-totol hitam ini me­ngerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, tetap saja golok itu sama sekali tidak bergeming dari jepitan jari Dewa Arak.

Tiba-tiba tanpa diduga-duga, Dewa Arak menggerakkan jari jarinya. Terdengar suara berdetak nyaring, ketika golok bermata gergaji itu patah dua. Dan tiba-tiba saja tubuh Gurat terjengkang, akibat tarikan goloknya.

Brukkk...!

Tak pelak lagi, tubuh laki-laki kasar itu terjatuh di tanah cukup keras. Terbukti begitu bangkit kembali, ia meringis-ringis. Dipegangi pinggulnya yang tadi menghantam tanah.

"Keparat ... !" Gurat berteriak memaki.

Ditolehkan kepalanya ke arah Sagar yang masih berdiri terkesima. Kejadian demi kejadian yang disaksikan membuat laki-laki berkepala gundul itu terkesima.

"Apa yang kau tunggu, Kakang Sagar! Ayo bantu aku menghajar orang sok ini!"

Teriakan Gurat me nyadarkan Sagar dari terkesimanya. Segera dicabut trisulanya yang sejak tadi ditancapkan di tanah.
Wuk! Wuk! Wuk...!

Senjata pendek bermata tiga itu diputar­diputar. Angin menderu keras begitu senjata andalan itu digerakkannya.

"Hiyaaa ... !"

Sagar berteriak keras sambil menusukkan trisula itu ke dada Dewa Arak. Berbarengan dengan itu, serangan golok bermata gergaji milik Gurat yang kini telah tinggal setengah, juga menyambar tiba.

Dan kini, kesabaran Dewa Arak pupus! Kedua orang lawannya ini benar-benar tidak tahu diri, sehingga harus diberikan pelajaran yang lebih keras agar kapok. Tapi tentu saja, menghadapi lawan yang memiliki kepandaian seperti Gurat dan Sagar, Dewa Arak tidak mengeluarkan ilmu andalan. Dia hanya mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Kedua tangannya bergerak cepat, mencari sasaran.

Tap...! Tap...!

Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua senjata itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak. Belum lagi kedua orang lawannya itu berbuat sesuatu, Arya segera menggerakkan tangannya.

Buk ... ! Tuk...!
"Uhk ... !"
"Hugh...!"

Sagar dan Gurat mengeluh tertahan ketika gagang senjata masing-masing begitu keras menghantam dada mereka sendiri. Arya memang menyodokkan senjata-senjata yang ditangkap ke arah perut lawan.

Beberapa saat lamanya kedua orang laki-laki itu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Cairan merah kental nampak di sudut bibir mereka. Sodokan itu keras bukan main! Memang kali ini Dewa Arak se­dikit menambah tenaganya dalam serangan itu.

Kini, Sagar dan Gurat baru menyadari kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali bu­kan tandingan mereka. Apalagi ketika melihat lawan yang menggerakkan sedikit jari jarinya, telah membuat senjata mereka patah-patah. Seolah-olah yang dipatahkan pemuda itu hanya sebatang lidi saja! Jadi, meneruskan pertarungan sama saja mencari mati.

Maka, Sagar dan Gurat tidak mau bertindak bodoh! Apalagi ketika melihat lawan tidak melanjutkan serangannya, dan hanya berdiri menanti. Jelas kalau pemuda itu memang tidak berniat mencari-cari urusan.

Dan tanpa malu-malu lagi, dengan langkah kaki tertarih-tatih mereka meninggalkan tempat itu. Namun demikian tetap saja ada perasaan cemas kalau-kalau pemuda sakti itu tidak membiarkan mereka pergi.

Legalah hari Sagar dan Gurat ketika melihat Dewa Arak sama sekali tidak menahan kepergian mereka. Sebaliknya pemuda itu malah menghampiri tubuh Ki Marta yang tergolek di tanah dengan napas satu-satu.

Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau nyawa kakek ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Luka-luka akibat siksaan tadi terlalu parah. Apalagi itu terjadi sewaktu ia sedang sakit cukup parah.

"Terima.,., kasih atas..., pertolonganmu, Anak Muda. Hhh...," ucap kakek itu terengah-engah. "Tapi..., kusarankan kau..., cepatlahhh pergi... dari si... nii..."

"Sudahlah, Kek. Kakek tidak boleh banyak bicara. Kakek harus beristirahat. Luka-luka Kakek sangat parah," Dewa Arak yang merasa tidak tega, berusaha mencegah.

Ki Marta menggelengkan kepalanya. Terpaksa Dewa Arak menempelkan kedua tapak tangannya ke punggung kakek itu, agar kondisinya jadi lebih baik.

Cukup lama juga Arya menyalurkan hawa murni ke tubuh kakek itu. Setelah dirasakan cukup, baru dilepaskan tangannya.

"Katakanlah, Kek. Apa yang hendak Kakek sam­aikan padaku?" pinta Dewa Arak terburu-buru. Pe­muda berbaju ungu ini tidak ingin kakek itu mati sebelum apa yang hendak diutarakannya tersampaikan.

Ki Marta tersenyum. Dirasakan keadaannya sudah lebih baik sekarang.

"Pesanku hanya singkat, Anak Muda. Pergilah cepat dari sini!"
"Mengapa, Kek?"

"Desa ini penuh orang jahat! Kepala desa yang sekarang juga bekas penjahat. Dulu sewaktu yang menjadi Kepala Desa Gebang ini Ki Panjar, desa ini aman tenteram. Tapi sejak Toga yang menjadi kepala desa, keadaan berubah banyak! Dengan kekerasan, diambilnya semua yang jadi milik kami. Sawah, ladang, ternak, bahkan anak gadis dan istri-istri kami. Penduduk desa hanya menjadi orang upahan. Bekerja di ladang dan di sawah dengan upah yang mencekik leher. Setiap hari kami harus bekerja. Kalau sawah kebetulan tidak panen, maka kami diperintahkan bekerja di ladang, atau beternak. Sakit tidak bisa menjadi halangan. Pokoknya harus bekerja! Tadi kebetulan aku terserang sakit, dan kedua orang itu datang dan memaksaku harus bekerja. Dan seterusnya seperti yang kau lihat sendiri, Anak Muda."

Kepala Dewa Arak terangguk-angguk. "Siapa Toga itu, Kek?"
"Kepala keamanan desa ini, Anak Muda," jelas Ki Marta.
"Lalu, kepala desa yang dulu ke mana, Kek?" ta­nya Arya tidak mengerti
"Ki Panjar, maksudmu?"
"Ya."

Kakek itu menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya.

"Beliau telah tewas."
"Tewas?!" Arya Buana mengerutkan keningnya. "Mengapa?"

Ki Marta mengangguk. "Menurut cerita Toga, se­waktu mereka sedang berburu, segerombolan perampok menyerang. Tentu saja Toga dan para pengawal yang lain tidak tinggal diam. Tapi karena jumlah perampok yang terlalu banyak, mereka jadi tidak bisa melindungi Ki Panjar dan anak istrinya. Setelah melalui sebuah pertarungan sengit, akhirnya mereka berhasil mengusir gerombolan perampok itu. Tapi, Ki Panjar dan istrinya tewas. Sementara anaknya dibawa kawanan perampok itu."

Dewa Arak mengerutkan keningnya.

"Apakah para penduduk desa percaya?"

"Mulanya percaya. Maka kami percayakan kedudukan kepala desa kepadanya. Karena memang menurut kami, dialah yang paling pantas menjabat kedudukan itu. Tapi siapa sangka kalau jadi begini akibat-nya. Belakangan kami semua jadi curiga, jangan jangan tewasnya Ki Panjar pun sudah direncanakan."

Dewa Arak tercenung diam.

"Yang lebih gila lagi, Toga membangun rumah­rumah judi dan pelacuran di desa ini. Akibatnya sudah jelas. Banyak orang yang berdatangan ke desa ini. Sebagian besar adalah orang yang terbiasa bertindak kasar. Maka tak heran jika sering terjadi bentrokan di antara mereka. Desa ini sudah tak ubahnya neraka! Uhk... uhk...!"

Tiba-tiba saja Ki Marta terbatuk-batuk. Beberapa titik cairan merah kental memercik keluar dari mulutnya. Melihat hal ini, Dewa Arak sadar kalau waktu kematian untuk kakek itu sudah hampir tiba. Dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.

Dugaannya memang tidak meleset. Beberapa saat setelati terbatuk-batuk untuk yang kesekian kalinya, tubuh Ki Marta terkulai lemas. Kakek ini pun pergi untuk selama-lamanya.

***

Arya termenung memandangi gundukan tanah merah yang terpampang di hadapannya. Di situlah mayat Ki Marta dikuburkan. Beberapa saat lamanya kepalanya tertunduk.

"Maafkan aku, Ki," bisik Dewa Arak pelahan. "Aku tidak dapat melaksanakan pesanmu untuk pergi dari sini. Tidak bisa kutinggalkan desa ini begitu saja. Aku akan berusaha menumpas kejahatan yang berse­mayam di sini, apa pun akibatnya."

Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu Pikirannya bekerja keras. Memang sejak pertama kali memasuki pintu gerbang desa, sudah timbul rasa curiga di hatinya.

Desa yang kini diketahui bernama Desa Gebang ini, berbeda dengan desa-desa yang biasa disinggahinya. Desa ini terlalu banyak dimasuki orang luar. Dan jika ditilik dari gelagatnya, mereka adalah orang-orang yang terbiasa bertindak kasar. Kini kecurigaannya ternyata beralasan.

Oleh karena itu, Dewa Arak memutuskan untuk tinggal di desa ini beberapa waktu lamanya. Barangkali saja tenaganya bisa diperlukan di sini.

******

Brakkk...!

Sebuah meja bundar besar dari batu marmer, kontan retak ketika tangan seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang, menghantamnya.

"Bodoh! Dungu kalian ... !" teriaknya keras. Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada dua sosok tubuh yang terduduk dengan kepala tunduk.

"Sagar! Gurat! Ceritakan sejelas jelasnya semua yang terjadi! Memalukan! Kalian pulang seperti seekor anjing dipukul ekornya!"

Dua sosok tubuh yang tengah mendapat pelampiasan kemarahan itu ternyata Sagar dan Gurat. Dan kini mereka baru berani mengangkat kepalanya. Kemudian dengan jelas, Sagar menceritakan kejadian yang menimpa mereka.

"Seorang pemuda? Kira-kira berapa usianya?" tanya si kumis melintang yang ternyata Toga. Suaranya terdengar mulai melunak. Terbayang kembali di benaknya, seorang anak berusia sekitar sebelas tahun yang lolos dari tangan mautnya beberapa tahun yang lalu. Bukan tidak mungkin kalau pemuda yang mengalahkan Gurat adalah anak itu, anak Ki Panjar.

Gurat mengerutkan alisnya. Sejenak ia mengingat-ingat "Sekitar..., dua puluh tahun, Tuan."

Toga menolehkan kepalanya ke belakang, menatap sosok tubuh tegap berwajah mirip kera, yang tengah duduk di sebuah kursi. Keningnya berkernyit.

"Apakah bukan anak Ki Panjar, Kang Gajula?" tanya Toga mengemukakan dugaan yang sejak tadi berkecamuk di benaknya. Agak heran juga hatinya melihat sikap kakaknya kali ini.

Laki-laki yang wajahnya mirip kera itu membalas tatapan Toga. Beberapa saat lamanya sepasang matanya terpaku pada wajah si kumis melintang itu, lalu pelahan kepalanya menggeleng.

"Aku yakin bukan...," sahut Gajula dengan suara mengambang.
"Lalu siapa?" tanya Toga putus asa.

"Lebih jelasnya akan kita ketahui nanti. Tapi ciri-ciri pemuda yang dikemukakan Sagar, mengingatkan aku pada seorang tokoh muda yang namanya belum lama ini menggemparkan dunia persilatan."

Toga mengerutkan alisnya. "Siapa yang kau maksud, Kang?"

Gajula sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan itu, tapi sebaliknya malah dialihkan pandangannya pada Sagar.

"Ada satu ciri yang mungkin belum kau ceritakan, Sagar," tegas laki-laki berwajah kera itu.

Sagar mengerutkan alisnya, mencoba mengingat-ingat. Tapi sampai lelah mengingat, tetap saja tidak menemukan lagi ciri yang lainnya.

"Bagaimana dengan kau, Gurat?" tanya Gajula pada si wajah totol-totol hitam. Tapi setelah sekian lama menunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Gurat berusaha keras mengerahkan segenap ingatannya, tapi akhirnya menggelengkan kepalanya juga.

"Hhh ... !" Gajula menghela napas. "Mungkin aku salah. Tapi coba kalian ingat-ingat, apakah pemuda itu membawa guci arak?!"

"Guci?!" serentak Sagar dan Gurat berseru kaget. Berbareng keduanya saling pandang, dan kontan teringat sesuatu. Memang, di punggung pemuda berambut putih keperakan itu tergantung sebuah guci arak.

"Ya! Guci arak!" tegas Gajula. "Bagaimana? Ada atau tidak?"

Sagar menganggukkan kepalanya.

"Katakan yang jelas! Atau kau ingin menjadi orang bisu selamanya?!" sentak Gajula. Dingin dan datar suaranya.

Wajah Sagar kontan memucat. Tenggorokannya terasa kering. Dia tahu betul siapa Gajula itu. Tokoh ini adalah kakak kandung Toga. Dulu, seperti yang didengar dari cerita Toga, Gajula tidak selihai sekarang. Tapi, kini tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian luar biasa.

Tapi bukan karena kepandaiannya yang membuat Sagar gentar, melainkan kekejamannya! Si wajah kera ini memiliki sifat yang luar biasa kejam!

"Benar, Kang," jawab Gurat dengan suara gemetar.
"Betul dugaanku!" teriak Gajula keras.

"Siapa orang itu, Kang?" tanya Toga penasaran. "Pernah dengar julukan Dewa Arak?!" kata Gajula balik bertanya.

Toga mengerutkan alisnya.

"Sedikit" Gajula menghela napas dalam-dalam.

"Kau ketinggalan berita, Toga. Julukan Dewa Arak terkenal sekali. Banyak tokoh tangguh yang telah roboh di tangannya. Aku ragu, apakah mampu menandinginya."

Dahi Toga mengernyit. Agak heran hatinya meli­hat sikap Gajula yang tidak seperti biasanya. Sampai di manakah kelihaian tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu? Batin Toga terus menduga-duga.

"Mengapa belum apa-apa sudah khawatir, Kang?" tegur Toga dengan nada halus. "Apakah Kakang sudah pernah bertarung dengannya?"

Gajula menggelengkan kepalanya.

"Melihat dia bertarung?"

Lagi-lagi si wajah kera menggeleng.

"Lalu, mengapa khawatir, Kang? Berita yang tersebar itu belum tentu benar. Andaikata benar, Dewa Arak mampu mengungguli Kakang, tapi mustahil akan mampu menghadapi kita berdua. Aku tidak percaya kalau ilmu yang diberikan gurumu, dan telah kupelajari dengan tekun darimu, dapat dikalahkannya."

Si wajah kera termenung beberapa saat lamanya. Dipikir-pikir ada benarnya juga semua yang dikatakan Toga. Tapi baru saja Gajula menarik napas lega, seorang anak buah Toga menghambur masuk. Napasnya tampak terengah-engah.

"Ada orang mengamuk di luar, Tuan," lapor orang itu terputus-putus.
"Keparat!" Toga berteriak memaki. "Kalian tidak mampu meringkusnya?! Apa saja yang kalian mampu, heh?!"
"Ampun, Tuan. Mereka memiliki kepandaian tinggi."
"Mereka?" berkerut alis Toga. "Berapa jumlahnya?"
"Dua orang, Tuan."

Belum juga habis ucapan orang itu, tubuh Toga dan Gajula telah berkelebat lenyap dari situ. Kema­rahan yang hebat telah membakar hari mereka. Belum juga urusan mengenai Dewa Arak selesai, kini muncul kembali urusan lain.

Sagar dan Gurat saling pandang sebelum akhirnya melesat ke luar, tak ketinggalan juga orang yang tadi melapor.

Toga dan Gajula berdiri di ambang pintu. Di depan mereka, di halaman luas yang dikelilingi pagar tembok tinggi, terlihat dua sosok tubuh yang tengah mengamuk. yang seorang adalah pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kekar. Wajahnya cukup tampan walaupun hidungnya melengkung. Pemuda ini tak lain adalah Sapta.

Sedangkan yang seorang lag! adalah gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kecil ramping, dan rambutnya digelung ke atas. Wajahnya cantik. Apalagi dengan pakaian warna jingga yang dikenakannya. Gadis ini adalah Kami, putri angkat Pengemis Tongkat Merah.

Toga dan Gajula memperhatikan dua orang itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sementara itu muda-mudi asuhan Pengemis Tongkat Merah terus mengamuk dahsyat dengan senjata di tangan masing­masing. Ke mana senjata itu berkelebat, pastilah di tempat itu ada sesosok tubuh yang rubuh diiringi suara pekik lengking kesakitan.

"Akh ... !"
"Aaa ... !"

Jerit lengking kematian terdengar saling susul Toga dan Gajula memandang mayat-mayat yang bergelimpangan di atas tanah dengan sinar mata kemerahan. Di wajah mereka terpancar kemarahan yang amat sangat. Dan gigi-gigi mereka pun bergemeletuk menahan geram.

"Keparat!" teriak Toga geram. "Mundur...!"

Belasan sosok tubuh yang sedang mengeroyok itu pun bergegas mundur. Kedua murid Pengemis Tongkat Merah itu membiarkan saja. Terlebih Sapta. Keroco-keroco itu memang bukanlah tujuannya. Toga dan Gajulalah yang dicari-cari! Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam melihat dua orang musuh berada di depannya.

"Kau masih ingat padaku, pengkhianat?!" bentak pemuda tinggi besar dan kekar ini. Jari telunjuknya menuding ke arah Toga. Keras dan kasar suaranya.

Seketika merah wajah Toga, mendengar pertanyaan yang bemada kasar itu. Apalagi melihat jari yang menuding ke arahnya.

"Untuk apa aku mengingat anjing buduk sepertimu?!" balas Toga tak kalah kasar.

Sapta menggertakkan giginya. "Aku putra Ki Panjar yang kalian bunuh secara licik itu, akan menagih hutang!"

"Ha ha ha...!" Toga tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa perlu bersusah payah mencari, kau datang sendiri kemari. Sekarang juga akan kutuntaskan pekerjaanku sepuluh tahun yang lalu."

"Tutup mulutmu, pengkhianat! Sekarang kau harus membayar hutang nyawa atas kematian ayah ibu-ku! "

Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar dan kekar ini melompat menerjang. Jari jari kedua tangannya terbuka dan saling bersilang menyerang ke arah dada.

Wut...!

Angin keras berhembus mengiringi tibanya serangan itu. Pertanda kalau serangannya ditunjang tenaga dalam tinggi.

Toga hanya mendengus. Kepandaian yang dimiliki laki-laki itu sekarang tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Selama itu Gajula telah membimbingnya. Sehingga kini kepandaian yang dimilikinya meningkat pesat. Jadi memang, Toga bukanlah tokoh kosong.

"Haaat ... !"

Kepala Desa Gebang ini berteriak keras. Kedua tangannya dalam posisi jari yang sama digerakkannya. Prattt..!

Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi beradu. Akibatnya tubuh Sapta tergetar hebat, sementara tubuh Toga terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main.

Wajah Toga langsung berubah. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki putra Ki Panjar ini sedemikian hebatnya. Padahal selama se­puluh tahun, ia sudah berlatih keras di bawah bimbingan kakaknya.

Sapta yang memang menyimpan dendam hebat, tidak membiarkan lawannya menarik napas. Pemuda itu cepat melompat, dan laksana seekor burung garuda ia menerkam lawannya.

Kepala Desa Gebang ini kaget. Tapi untunglah kekagetan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru dilempar tubuhnya ke depan, dan kemudian bergulingan menjauh. Sehingga serangan Sapta mengenai tempat kosong.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara, kedua kaki Sapta mendarat di tanah. Secepat kakinya hinggap, secepat itu pula kembali menerjang Toga. Tapi Toga yang sekarang sudah mengetahui kelihaian lawannya, tidak berani bertindak gegabah. Dan kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan seru.

Begitu melihat Sapta telah menyerang lawannya, Kami pun tidak tinggal diam. Seketika diserangnya pula orang berwajah kera yang berada di sebelah si kumis melintang. Seperti halnya Sapta, Kami juga membuka serangannya dengan serangan kedua tangannya. Posisi jari jarinya terbuka dan saling bersilang.

Persis seperti yang dilakukan Toga, Gajula pun melakukan tindakan serupa untuk menangkis serangan Kami.

Prattt ... !

Tubuh Kami terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Gajula hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Dari hasil benturan kedua pasang tangan itu dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki Gajula masih lebih unggul sedikit.

Gajula sadar kalau wanita di hadapannya adalah lawan yang tangguh. Maka laki-laki kasar itu tidak mau bersikap sungkan-sungkan. Begitu tubuh gadis itu terhuyung mundur, segera dia bergerak mengejar. Kedua kakinya melakukan tendangan bertubi-tubi ke depan.

Plak! Plak! Wusss...!

Tendangan pertama yang berupa tendangan lurus ke depan, disusul tendangan miring ke arah leher dapat ditangkis Kami. Dan tendangan ketiga, berupa kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan tubuh juga bisa dielakkan gadis itu dengan membungkukkan tubuh.

Tak lama kemudian, Kami dan Gajula pun sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang seru.

***

Sementara itu di arena lain, Toga tampak mulai terdesak ketika melewati dua puluh lima jurus. Me­mang bila dibanding Sapta, ia masih kalah segala­galanya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun dalam hal ilmu meringankan tubuh.

Bahkan menjelang jurus ketiga puluh, Toga hanya mampu bertahan dan mengelak. Dia hanya sesekali balas menyerang. Itu pun hanya untuk mengurangi desakan yang menderu-deru dari pemuda berhidung melengkung ini.

Toga menggeram. Disadari kalau lama­kelamaan dtrinya akan roboh di tangan pemuda ini. Semakin lama keadaannya kian terjepit. Kini Kepala Desa Gebang itu benar-benar hanya mampu bermain mundur.

Berbeda dengan Sapta, keadaan yang dialami Kami malah sebaliknya. Putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini kewalahan menghadapi hujan serangan Gajula. Hanya saja keadaannya tidak separah Toga. Gadis itu masih mampu membalas serangan si wajah kera dengan serangannya yang tak kalah dahsyat.

Keringat dingin sebesar-besar biji jagung bermunculan di sekujur wajah Toga. Semakin lama keadaannya semakin terjepit. Bahkan sudah be be rapa kali tubuhnya terpontang-panting.

Pada jurus ketiga puluh, sebuah sapuan kaki Sapta membuat kepala desa ini terpelanting, dan jatuh telentang.

"Haaat..!"

Sambil berteriak melengking nyaring, putra Ki Panjar ini menerkam tubuh Toga.

Mata si kumis melintang terbelalak lebar. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu atau menangkisnya, karena begitu tiba­tiba datangnya.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, dan belum lagi habis gemanya, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar. Sekitar satu setengah kali manusia sewajarnya.

Rambutnya panjang, lebat, dan terurai. Wajahnya penuh cambang lebat. Sekujur badan bagian depannya nampak dipenuhi bulu, karena si raksasa memang bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana berwarna hitam sebatas lutut. Di bagian lehernya terdapat sebuah kalung yang rantainya tersusun dari rangkaian tulang jari tangan manusia. Sedangkan mata kalung itu dibuat dari kepala manusia dewasa.

Secepat berada di situ, secepat itu pula si raksasa menggerak-gerakkan pelahan tangannya. Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut.

Ketika berada di situ, raksasa tersebut menggerakkan tangannya pelahan saja kea rah Sapta. Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta seperti dipukul oleh godam yang sangat kuat dan terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut!.

Brakkk...!

Lontaran pada tubuh pemuda itu terhenti ketika menabrak sebatang pohon hingga tumbang. Murid Pengemis Tongkat Merah ini berusaha bangkit. Kedua tangannya yang dijadikan tempat bertumpu itu terlihat menggigil keras. Ada cairan merah kental yang mengalir dari sudut bibirnya. Kelihatannya Sapta terluka dalam.

"Ha ha ha...!"

Kembali si raksasa tertawa tergelak. Sapta menatapnya dengan hati ngeri. Disadari kalau dirinya bukanlah tandingan manusia setengah raksasa ini. Hatinya mendadak berdebar tegang ketika teringat penuturan gurunya tentang seorang tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti itu.

Diperhatikannya si raksasa yang masih saja ter­tawa berkakakan sekali lagi. Pada kedua pergelangan tangan dan kakinya tampak melingkar gelang yang terbuat dari tulang-tulang jari tangan manusia.

"Raksasa Rimba Neraka...," desis Sapta. Penge­mis Tongkat Merah memang pernah menceritakan ten- tang tokoh sesat yang kejam, dan gemar makan daging manusia. Tapi menurut cerita gurunya, raksasa itu tinggal di sebuah hutan yang amat jauh letaknya dari Desa Gebang ini. Sebuah hutan yang penuh bahaya maut. Penuh binatang besar, tanaman beracun, lumpur hidup, dan segala macam bahaya maut lainnya. Sehingga, hutan itu dinamai orang Rimba Neraka.

"Grrrh ... !" si, raksasa menggeram. Tampak dua buah taring pada bagian sudut-sudut mulutnya. "Da­gingmu past! empuk sekali, Anak Muda!"

Sambil berkata demikian, si raksasa yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka ini melangkah lambat­lambat menghampiri Sapta. Setiap langkahnya menimbulkan getaran keras di tanah.

Tubuh pemuda tinggi besar ini menggigil keras. Memang diakui kalau tidak takut mati. Tapi tak urung menghadapi kematian yang begitu mengerikan, dimakan hidup-hidup, rasa takutnya pun muncul.

"Kakang...!"
"Hiyaaa ... !"

Kami menjerit melihat bahaya maut yang mengancam Sapta. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya menghadang Raksasa Rimba Neraka. Sadar akan kelihaian lawan, sambil melompat gadis itu segera mencabut pedangnya.

Singgg ... !

Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa.

"Jangan, Kami! Cepat kau pergi selamatkan diri!" Sapta yang tahu pasti kalau gadis itu bukan tandingan Raksasa Rimba Neraka yang sakti, berteriak memperingatkan.

Tapi Kami adalah gadis yang keras hari. Baginya mati bukan suatu hal yang perlu ditakuti. Maka peringatan Sapta tidak digubrisnya.

"Ha ha ha...!"

Raksasa Rimba Neraka kembali tertawa bergelak. Diulurkan tangannya ketika serangan pedang Kami tiba.

Kreppp...!

Tanpa mengalami kesulitan apa-apa, pedang itu sudah dicengkeramnya.

"Akh ... !"

Kami menjerit kaget. Sekuat tenaga gadis itu membetot pedang yang tercengkeram tangan raksasa itu. Tapi betapapun segenap tenaganya telah dikerah­kan, tetap saja pedangnya tak mampu dilepaskan dari cengkeraman tangan itu.

"Ha ha ha...!"

Raksasa Rimba Neraka hanya tertawa-tawa saja. Tak nampak ada tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya. Sementara di hadapannya, Kami terus berusaha sampai napasnya terengah-engah.

'Tidak kusangka, kalau malam ini aku mendapat santapan yang istimewa. Seorang perawan cantik. Ha ha ha...!"

Wajah Gajula berseri-seri ketika tadi melihat kedatangan si Raksasa Rimba Neraka. Karena memang kakek yang memiliki penampilan mengerikan itu adalah gurunya! Namun demikian, di samping rasa gembiranya, timbul pula rasa kecewanya. Kedatangan gurunya berarti membuat laki-laki kasar itu kehilangan kesempatan untuk menikmati tubuh montok Kami.

Gajula tahu persis manusia macam apa gurunya. Di samping gemar makan daging manusia, kakek ini pun gemar terhadap wanita!

"Akh ... !"

Kami memekik tertahan ketika tahu -tahu tubuhnya terlempar ke depan. Memang Raksasa Rimba Neraka telah balas membetot. Dan karena tenaga yang dimilikinya kalah jauh, gadis itu tidak kuasa menahan.

"Hiyaaa ... !"

Putri Pengemis Tongkat Merah terpaksa melepaskan pedangnya. Dan dengan meminjam tenaga betotan, gadis Itu bersalto di udara.

Raksasa Rimba Neraka mendengus. Secepat kilat dijulurkan tangan kanannya ke atas.

Tappp. . .!
"Akh ... !"

Kami memekik tertahan ketika pergelangan kakinya tertangkap. Dan sekali si raksasa itu menarik tangannya kembali, tubuh gadis itu pun terbawa turun.

"Hup...!"

Tubuh molek Kami kini jatuh tepat di pelukan Raksasa Rimba Neraka. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, tangan si raksasa telah lebih dulu bergerak menotok .

Tukkk...!
"Oh...!"

Sekujur tubuh Kami lumpuh seketika. Dan sambil tertawa terkekeh-kekeh si raksasa mulai menjarah sekujur tubuh Kami Dengan rakusnya, mulut besar dan bergigi kuning itu melumat bibir Kami, begitu kasar dan buas.

"Oh...! Jangan.... Bunuh saja aku...," rintih Kami. Gadis ini mulai menyadari adanya ancaman yang mengerikan. Dan kesadaran akan terjadinya hal ini membuat ia takut bukan main. Ciuman kasar raksasa itu membuatnya kehabisan napas. Bau amis yang memuakkan keluar dari mulut dan hidung raksasa di hadapannya ini, membuat gadis itu jadi ingin muntah.

Tapi orang seperti Raksasa Rimba Neraka, mana sudi mendengar rintihan Kami! Bagi orang sepertinya, rintihan para korbannya tak ubahnya sebuah rintihan kenikmatan, yang membuatnya kian bergairah.

Ciuman-ciumannya pun semakin kasar, seiring nafsu birahinya yang semakin berkobar. Ciuman­ciumannya yang liar, kini tidak hanya menjarah bibir, tapi terus turun, ke dagu, ke leher.

Kami yang sekujur tubuhnya lumpuh, hanya dapat merintih-rintih tanpa mampu berbuat apa-apa. "Kami...!"

Sapta menjerit keras. Pemuda ini menyadari betul ancaman mengerikan yang akan menimpa gadis itu. Maka dengan penuh daya upaya, dicobanya menge­rahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekujur tu­buhnya nampak menggigil keras dalam usaha berjuang untuk bangkit .

"Grrrh ... !"

Raksasa Rimba Neraka menggeram hebat karena merasa terganggu. Dihentikan ciuman-ciuman liarnya pada gadis yang masih dipeluknya.

"Rupanya kau minta mati, heh?!"
Brukkk...!

Tubuh Kami jatuh berdebuk di tanah ketika si raksasa yang tengah murka ini melemparkannya. De­ngan tangkah lambat-lambat, dihampirinya Sapta yang masih berusaha bangkit.

Melihat hal ini Gajula buru-buru berlari menghampiri.

"Ampun, Guru...."

Raksasa Rimba Neraka menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Gajula! Apa kau pun ingjn kubunuh?!"

Pucat wajah Gajula. Si wajah kera ini tahu pasti watak aneh gurunya. Bila kemarahannya timbul, siapa pun tanpa kecuali akan dibunuhnya.

"Tentu saja tidak, Guru...," ucap Gajula terputus-putus.

"Lalu?! Kenapa kau menghalangiku membunuh bocah sial ini?" desak raksasa itu, masih keras dan ka­sar nada suaranya.

"Maafkan aku, Guru. Bocah ini adalah orang yang mencoba memberontak terhadap Adi Toga yang merupakan murid Guru juga, karena aku telah mengajarkannya...."

"Aku sudah tahu dari jurusjurus yang dimainkannya! Maka karena itulah aku menolongnya!" selak Raksasa Rimba Neraka.

Gajula membasahi tenggorokannya yang dirasa­kan kering.

"Dan untuk mencegah terjadinya pemberontakan serupa, serta juga untuk memancing kedatangan kawan-kawannya, kami akan mengikatnya di alun-alun desa! Bahkan kami juga akan menyiksanya ... ! Harap Guru maklum!"

Dahi si raksasa berkerut dalam, dan rupanya tengah berpikir. Tak lama kemudian baru keluar ucapannya.

"Terserah padamu! Toh, aku sudah punya santapan yang luar biasa lezat untuk nanti malam!"

Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba Neraka melangkahkan kakinya kembali. Dijumputnya kembali tubuh Kami yang tergolek di tanah tanpa ada yang berani menyentuhnya.

"Hhh ... !"

Gajula menghela napas lega. Untunglah kali ini gurunya bersedia mengerti. Padahal hatinya tadi sudah khawatir kalau-kalau Raksasa Rimba Neraka itu akan marah.

"Mari istirahat di dalam, Guru," ajak Toga sambil mendahului masuk ke dalam. Kini yakinlah kepala desa ini bahwa raksasa ini adalah guru Gajula. Walau sebelumnya sudah diduga, ketika melihat ciri­cirinya, tapi Toga masih ragu.

"Seret si keparat itu, dan ikat di alun-alun!" perintah Toga pada anak buahnya.
"Baik, Tuan!" sahut mereka mengiyakan.

***
Dewa Arak mengerutkan keningnya. Agak heran hatinya melihat di depannya banyak orang berkumpul, merubung sesuatu. Sepertinya ada sesuatu yang te­ngah mereka saksikan. Rasa penasaran membuat Arya mempercepat langkah kakinya. Pendengarannya yang tajam, menangkap adanya ledakan lidah cambuk Ada apa gerangan di sana? Batin Dewa Arak terus bertanya-tanya.

Semakin mendekati tempat kerumunan orang­orang itu, suara yang didengarnya pun semakin jelas. Ctarrr...! Ctarrr...!

Kembali terdengar ledakan cambuk itu. Dan kali ini karena jaraknya sudah dekat, di samping suara ledakan cambuk juga terdengar keluhan tertahan. Keluhan kesakitan.

Jiwa kependekaran dalam diri Arya Buana pun bangkit. Tanpa melihat pun sudah dapat menduga ke­jadian yang teriadi dalam kerumunan orang banyak itu. Apalagi kalau bukan tindak kesewenang­wenangan..

Tanpa mempedulikan suara-suara bernada menggerutu, Dewa Arak menyeruakkan tubuhnya. Disibakkan kerumunan orang-orang, lalu dia masuk terus ke dalam. Sesampainya di bagian terdepan, wajah Dewa Arak memerah. Kemarahan menjalari hatinya. Tampak seorang pemuda berwajah tampan dan berhidung melengkung tengah dihukum cambuk!
Tubuh pemuda itu terikat erat di sebuah tonggak tegak lurus. Sinar matahari yang cukup terik memanggang kulit dadanya yang tidak tertutup pakaian. Sementara di sebelahnya berdiri seseorang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak, tengah menggenggam cambuk .

Dewa Arak yang pantang melihat kekejaman berlangsung di depan matanya, menjadi geram. Sekali lihat saja pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau pemuda berhidung melengkung itu telah menderita luka yang cukup parah. Apalagi ditambah lecutan-lecutan cambuk yang terus-menerus menyengatnya. Sekujur tubuhnya nampak dipenuhi garis hitam memanjang.

"Sungguh tega hati kalian, menontoni orang disiksa," desis Dewa Arak tajam pada salah seorang di sebelahnya.

Orang yang mendapat teguran itu menoleh. Ditatapnya Arya lekat-lekat .

"Rupanya kau bukan penduduk sini, Kisanak! Perlu kau ketahui, kami pun sebenarnya tidak suka melihat penyiksaan ini. Batin kami menjerit. Tapi apa daya? Kami hanya orang lemah. Mereka memaksa un­tuk menonton penyiksaan ini. Kalau ada yang membangkang, pasti akan bernasib serupa...," jelas orang itu dengan suara berbisik.

"Ah...," Dewa Arak mendesah pelan. Seketika timbul perasaan malunya karena telah melempar tuduhan jelek pada orang-orang yang selama ini hidup dalam keadaan jiwa tertekan. "Maafkan saya, Ki...."

"Tidak usah meminta maaf. Aku memaklumi perasaan yang bergayut di hatimu. Pesanku, janganlah ikut campur, Kisanak. Mereka berjumlah banyak, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!"

Dewa Arak terlongong. Trenyuh hatinya mendengar penuturan orang itu. Dalam penderitaan, dia tidak ingin membuat orang lain ikut menderita. Nasihat yang keluar dari mulut orang itu sama persis dengan nasihat Ki Marta.

Tapi tentu saja Dewa Arak tidak mau menuruti nasihat itu. Sejak belajar ilmu silat, dia telah bertekad mengamalkan ilmu yang dimiliki untuk menghancurkan keangkaramurkaan di mana pun. Sekalipun untuk itu harus dibayar dengan nyawanya.

Ctarrr...!

Kembali untuk yang kesekian kalinya ujung cambuk itu menyengat kulit Sapta. Pemuda itu meringis. Tapi tidak terdengar suara keluhan yang keluar dari mulutnya.

Dan kini Dewa Arak tidak bisa bersabar lagi. Tapi baru saja dia hendak bergerak menolong, sesosok bayangan merah berkelebat mendahului. Seketika Arya menahan gerakannya.

Sosok bayangan merah itu ternyata adalah se­orang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus kering, pakaiannya rompi penuh tambalan berwarna hitam. Begitu pula celananya. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna merah.

"Guru...," desah Sapta lemah.

Ternyata laki-laki tua itu adalah Pengemis Tongkat Merah. Ditatapnya orang yang memegang cambuk, yang tak lain adalah Sagar! Dan tiba-tiba....

"Hiyaaat ... !"

Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, kakek kurus kering ini menerjang maju. Tongkat merah yang terbuat dari kayu biasa dan memiliki bentuk yang tak beraturan itu ditusukkan ke perut Sagar.

Angin keras menderu, mengiringi serangan tong-katnya. Sagar kaget bukan main, lalu mencoba menge-lak Tapi serangan Pengemis Tongkat Merah itu terlalu cepat baginya.

Buk!
"Akh...!"

Suara jerit menyayat hari keluar dari mulut Sagar. Seketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir mengalir darah segar.

Brukkk...!

Diiringi suara berdebum keras, tubuh si kepala botak itu jatuh di tanah. Sebentar dia menggelepar­gelepar, lalu diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tulang dadanya hancur berantakan terkena hantaman tongkat yang mengandung tenaga dalam tinggi itu.

Usai merubuhkan Sagar, Pengemis Tongkat Me- rah bergegas menghampiri Sapta yang terikat di tonggak kayu. Tapi....

"Ha ha ha...!"

Sebuah tawa bergelak yang menggema di sekitar tempat itu membuat langkah kaki kakek itu terhenti seketika. Pengemis Tongkat Merah menoleh dengan slkap waspada.

Di belakangnya, dalam jarak sekitar tiga tombak berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan kekar. Dadanya dibiarkan telanjang sehingga memperlihatkan bulu­bulu yang lebat. Rambutnya panjang meriap. Sekujur tubuhnya dipenuhi hiasan tulang-belulang tengkorak manusia.

"Raksasa Rimba Neraka...," desah Pengemis Tongkat Merah dengan raut wajah menampakkan rasa kaget dan tidak percaya. Memang, kakek itu kaget bu­kan main. Dia tahu betul tempat tinggal raksasa ini. Di Rimba Neraka! Tempat itu letaknya sangat jauh dari desa ini. Tapi mengapa tokoh yang mengerikan ini bisa sampai kemari?

"Kau Pengemis Tongkat Merah, bukan?! Apa hubunganmu dengan pemuda itu?" tanya raksasa itu sambil menunjuk tubuh Sapta yang terikat di tonggak.

"Dia muridku. Raksasa Rimba Neraka. Kalau dia memang bersalah, biarlah aku selaku gurunya minta maaf padamu!"

"Ha ha ha...! Fnak saja! Kau tahu, pengemis busuk! Pemuda keparat ini hampir saja membunuh adik kandung muridku! Kalau saja aku tidak cepat­cepat datang, mungkin muridmu ini sudah membunuhnya! Sekarang, begitu enaknya kau datang memintakan ampun untuknya! Jangan harap!"

Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung berubah. Sikap raksasa itu amat merendahkannya. Betapapun disadari kalau dirinya bukanlah tandingan tokoh yang menggiriskan itu, tapi pantang baginya menerima penghinaan. Ditegakkan kepalanya, dan dibusungkan dadanya yang krempeng.

"Kalau begitu..., biarlah kupertaruhkan selembar nyawa tuaku untuk keselamatan muridku!" sambut Pengemis Tongkat Merah, tegas dan mantap suaranya.

"Ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi saja berkata begitu?!"

Tiba-tiba Pengemis Tongkat Merah menggerakkan tangannya. Dan seketika tongkat butut berwarna merah melesak masuk ke dalam tanah, hingga hampir setengahnya ketika kakek kurus ini menekannya. Dia sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki kepandaian luar biasa. Maka Pengemis Tongkat Merah memang tidak mau bersikap sungkan­sungkan lagi.

"Hiyaaat..!"

Diiringi teriakan melengking nyaring memekakkan telinga, Pengemis Tongkat Merah melompat Dan dari atas, dilancarkan serangan bertubi­tubi ke arah ubun-ubun dan pelipis lawannya.

Raksasa Rimba Neraka hanya mendengus. De­ngan keyakinan penuh akan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, dipapaknya serangan kakek kurus kering itu.

Plak! Plak! Plak...!

Benturan antara dua pasang tangan yang sama­sama memiliki tenaga dalam tinggi pun terjadi berkali­kali. Tubuh Pengemis Tongkat Merah yang tengah berada di udara, terlempar kembali ke belakang. Sementara kedua tangan Raksasa Rimba Neraka hanya bergetar saja.

Pengemis Tongkat Merah bersalto beberapa kali dengan meminjam tenaga benturan tadi. Dirasakan se­kujur tangannya terasa seperti lumpuh. Tenaga dalam yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka itu memang luar biasa! .

"Hup... !"

Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek itu hinggap di tanah. Dan secepat kedua kakinya mendarat, secepat itu pula kakek kurus kering ini kembali menyerang. Maka kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.

Di tempat itu kini hanya tiga pasang mata saja yang menjadi penonton pertarungan antara dua orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah Dewa Arak, Sapta, dan Gajula. Sementara para penduduk yang semula menyaksikan, telah bubar ketika Sagar tiba-tiba tewas terbunuh. Mereka memang tidak ingin nantinya terbawa-bawa.

Pengemis Tongkat Merah yang telah mendengar betapa lihainya Raksasa Rimba Neraka, mengerahkan segenap kemampuannya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat mengancam bagian-bagian lemah di tubuh raksasa itu.

Tapi betapapun kakek kurus kering ini bekerja keras, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya. Setiap serangannya selalu kandas. Kalau tidak dielakkan, pasti ditangkis. Dan setiap kali Raksasa Rimba Neraka menangkis serangannya, tubuhnya selalu terhuyung. Dadanya juga terasa sesak. Bahkan sekujur tangannya terasa sakit bukan main.

Tidak sampai dua puluh jurus sudah terlihat keunggulan Raksasa Rimba Neraka. Memang sebenarnya kakek kurus kering ini kalah segala­galanya. Baik dalam, hal tenaga dalam, maupun dalam ilmu meringankan tubuh.

Memasuki jurus ketiga puluh lima, Pengemis Tongkat Merah mulai terdesak. Kakek kurus kering ini hanya mampu main mundur, dan hanya sesekali saja balas menyerang.

Sementara itu, Dewa Arak yang sejak tadi mengawasi pertarungan, segera dapat mengetahui kalau Pengemis Tongkat Merah tak akan lama lagi dapat bertahan. Dan dugaan pemuda berambut putih keperakan ini memang tidak meleset. Pada jurus keempat puluh, kaki kanan Raksasa Rimba Neraka meluncur deras ke arah perut Pengemis Tongkat Merah. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, kakek kurus kering Ini memutuskan untuk menangkisnya.

Plak..!

Dengan kedua tangan terkepal saling bersilang di depan dada, tendangan itu berhasil ditangkisnya. Tapi akibatnya tubuh Pengemis Tongkat Merah terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum lagi kakek kurus kering ini memperbaiki posisi, kaki raksasa yang tertangkis itu secara mengejutkan kembali mengancamnya dengan sebuah tendangan miring ke arah leher.

"Hup...!"

Pengemis Tongkat Merah begitu susah payah mengelakkan serangan itu dengan menggeser kaki ke samping.

"Hiya...!"

Raksasa Rimba Neraka berteriak keras. Berbareng dengan itu, kaki kirinya dikibaskan sambil membalikkan tubuh.

Wuuusss ... !

Angin menderu keras seperti terjadi topan di sekitar tempat itu. Dan memang sebenarnya, dari rentetan serangan kaki yang bertubi-tubi dengan cara mengibas inilah seluruh kekuatan ditumpukan. Tentu saja kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan ini pun sangat dahsyat.

Buk ... !
"Akh ... !"

Tubuh Pengemis Tongkat Merah terlempar deras. Kibasan kaki Raksasa Rimba Neraka telak mendaiat di pangkal lengannya. Mulanya serangan kibasan itu diarahkan ke pelipis. Untungnya, kakek kurus kering ini sempat mengelak, sehingga kibasan yang semula mengarah ke pelipis itu hanya mengenai pangkal lengan.

Meskipun demikian akibat yang diterima kakek kurus kering ini tidak ringan. Bagian yang terkena kibasan kaki terasa sakit bukan main. Seolah-olah tulang-belulangnya remuk. Padahal tadi sudah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi bagian yang terserang.

Belum sempat Pengemis Tongkat Merah memperbaiki posisinya, kini serangan susulan Raksasa Rimba Neraka menyambar tiba. Seketika wajah kakek kurus kering ini pucat.

Di saat kritis itu mendadak sesosok bayangan berkelebat memapak serangan itu.

Plak! Plak ... !

Benturan keras terdengar berkali-kali, disusul terpentalnya kedua sosok tubuh itu ke belakang.

"Grrrh ... !" Raksasa Rimba Neraka menggeram. Diam-diam kakek tinggi besar ini kaget bukan main. Dari benturan yang baru saja terjadi, diketahui kalau sosok bayangan yang menangkis serangannya pasti memiliki tenaga dalam yang tidak rendah. Malah kedua tangannya sampai tergetar hebat dan sakit-sakit karenanya.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati si rak­sasa ini ketika melihat orang yang menangkis serang­annya itu. Tampak di hadapannya dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri seorang pemuda berambut panjang meriap berwarna putih keperakan. Betulkah pemuda ini yang baru saja menangkis serangannya tadi? Padahal serangan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga seluruhnya! Hampir-hampir kakek raksasa ini tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri!

Seumur hidupnya belum pernah ditemukan tokoh yang mampu membuatnya terjengkang ke belakang dalam adu tenaga, kecuali pemuda di hadapannya ini. Apalagi yang berada di hadapannya ini adalah tokoh muda.

"Siapa kau, bocah! Apa hubunganmu dengan kakek itu?!" tanyanya keras. Sepasang mata Raksasa Rimba Neraka yang besar ini pelahan menyipit.

Dewa Arak yang juga merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki kakek raksasa di hadapannya ini, bersikap hati-hati.

"Aku Arya, seorang pengelana. Dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kakek yang hendak kau bunuh itu. Hanya saja, aku tidak bisa membiarkan adanya kekejaman berlangsung di depan mataku!" tegas dan jelas kata-kata pemuda berambut putih keperakan itu.

"Ha ha ha...! Jadi kaulah rupanya orang yang berjuluk Dewa Arak!? Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Memang sudah lama aku ingin menjajal kelihaian tokoh yang katanya menggemparkan dunia persilatan itu.

Sungguh tidak kusangka, julukan yang cukup menyeramkan itu hanya dimiliki seorang pemuda ingusan. Bersiaplah kau, pemuda sombong!"

Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba Neraka menjulurkan kedua tangannya ke depan, kemudian pelahan-lahan mengepalkannya. Terdengar suara bergemeletuk keras seolah-olah sekujur tulang­tulangnya berpatahan.

Dewa Arak yang sudah bisa mengukur kepandaian lawan, tidak berani bersikap main-main. Segera diambil guci yang terikat di punggung, lalu diangkat ke atas kepala. Sebentar saja beberapa teguk arak telah berpindah ke tenggorokannya.

Gluk... gluk... gluk !

Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh pemuda itu pun mulai hangat dan limbung.

"Hiyaaa ... !"

Tiba-tiba terdengar teriakan menggeledek dari mulut Raksasa Rimba Neraka. Dan belum lagi gema suara teriakan itu hilang, tubuhnya sudah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua tangannya yang mengepal, dihantamkan ke arah Arya dalam sebuah pukulan lurus ke dada.

Suara me le dak-le dak se pe rti suara pe rir menggelegar terdengar mengiringi serangan itu. Itu pun masih diiringi hawa panas yang menyambar tiba sebelum pukulan itu sendiri mendekat. Dewa Arak seketika terkejut. Tak disangka kalau lawannya yang mengerikan ini memiliki ilmu begitu ampuh. Jangankan terkena langsung serangan itu, terkena anginnya saja sudah cukup membuat sebuah pohon hancur lebur hangus.

Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan tidak pernah memandang rendah lawan, segera mengeluarkan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk menghadapinya.

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang de­wasa langsung hancur terkena angin pukulan yang ti­dak mengenai sasaran karena tubuh Dewa Arak sudah lenyap dari situ.

"Grrrh ... !" Raksasa Rimba Neraka meraung keras melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari hadapannya. Untuk sesaat ia kebingungan. Tapi begitu terasa ada angin mendesir di belakangnya, segera saja diketahui kalau lawan ada di belakangnya. Dan seketika itu pula raksasa itu melempar tubuhnya ke depan, kemudian menggulingkan tubuhnya.
Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada ka­kek raksasa ini untuk memperbaiki posisinya. Segera diburu tubuh yang sedang bergulingan itu.

Wut!

Diayunkan gucinya ke arah kepala lawannya. "Ah,..!" seru Dewa Arak kaget .

Entah bagaimana caranya, kini posisi kepala itu telah berada di tempat aman, tenaga sepasang kaki yang mempunyai kembangan gerakan tidak terduga­duga.

Walaupun Dewa Arak berusaha keras menjatuhkan serangan pada bagian kepala dan tubuh, tapi niatnya selalu kandas. Setiap serangannya selalu dihadang sepasang kaki yang mempunyai pertahanan luar biasa kokohnya. Raksasa itu menghadapi Dewa Arak dengan posisi tubuh terlentang di tanah! Bahkan beberapa kali Dewa Arak terpaksa menghindar ketika Raksasa Rimba Neraka melancarkan serangan balasan.

"Hm.... 'Jurus Trenggiling'...," desah Pengemis Tongkat Merah yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertempuran itu. Sejak mendengar pemuda berambut putih keperakan itu memperkenalkan namanya, kakek kurus kering ini sudah menduga kalau pemuda itu adalah Dewa Arak.

Maka begitu dugaannya benar, diputuskan untuk menonton pertarungan yang sudah dibayangkan berlangsung dahsyat. Ingin diketahui, siapa di antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi dan menggegerkan rimba persilatan itu.

Tapi melihat tokoh yang digelari Dewa Arak, Pengemis Tongkat Merah merasa kurang yakin kalau tokoh muda itu akan mampu menaklukkan Raksasa Rimba Neraka. Dewa Arak ternyata masih begitu muda, dan sudah pasti belum banyak pengalaman meng­hadapi berbagai macam ilmu yang aneh-aneh. Berbeda dengan Raksasa Rimba Neraka yang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan.

Setelah belasan jurus Dewa Arak berusaha mendesak lawan tanpa hasil, dia menjadi tidak sabar. Disadari kalau ilmu 'Belalang Sakti' di samping mempunyai banyak keistimewaan, tetap saja memiliki kekurangan dan kelemahan. Dan itu memang wajar, karena tidak ada ilmu yang sempurna.

Ilmu 'Belalang Sakti' ternyata menjadi lumpuh dan tidak cocok untuk menghadapi Raksasa Rimba Neraka. Ilmu yang dimiliki Dewa Arak memang tidak dirancang untuk menghadapi ilmu permainan bawah, seperti 'Jurus Trenggiling', atau 'Jurus Kelabang'.

"Okh ... !"

Suara keluhan Sapta menyadarkan Pengemis Tongkat Merah kalau dirinya masih mempunyai sebu­ah urusan yang lebih penting, yaitu menyelamatkan nyawa muridnya.

Dengan perasaan berat, ditinggalkan pertempuran yang tengah berlangsung seru itu. Bergegas kakek itu menghampiri muridnya yang terikat erat di tonggak, setelah terlebih dulu mengambil tongkat bututnya yang tadi ditancapkan di tanah.

Tentu saja Gajula tidak membiarkan Sapta lolos. Begitu melihat Pengemis Tongkat Merah bergerak mendekati tempat pemuda itu terikat, Gajula cepat­cepat bertindak.

Singgg ... ! Singgg ... !

Suara berdesing nyaring terdengar ketika si waj ah ke ra itu me le mparkan be be rapa buah pisau sekaligus ke arah tubuh Sapta yang tergolek tidak berdaya.

"Hih...!"

Pengemis Tongkat Merah yang melihat bahaya maut mengancam muridnya segera menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Wut...!
Trak!

Serentetan angin keras menghambur keluar dari tangannya yang dihentakkan itu, dan menerpa pisau-pisau yang meluncur cepat mengarah tubuh Sapta. Pisau-pisau itu pun langsung runtuh ke tanah dengan keras.

Pengemis Tongkat Merah yang masih merasakan lumpuh pada tangan kirinya, menatap beringas ke arah Gajula. Seketika itu juga, si wajah kera yang mengetahui bahwa dirinya bukan tandingan kakek kurus kering itu segera melompat menjauh.

Pengemis Tongkat Merah tidak mempedulikannya. Segera saja tubuhnya melompat mendekati tubuh muridnya. Sebentar kemudian, tangan kanannya pun bergerak.

Pralll ... !

Kontan rantai baja yang melilit tangan dan kaki Sapta hancur berantakan.

"Hup... !"

Kakek kurus kering ini menjejakkan kakinya, dan sesaat kemudian tubuhnya sudah melesat meninggalkan tempat itu bersama tubuh Sapta berada dalam pondongannya.

"Grrrh ... !" Raksasa Rimba Neraka menggeram keras.

Memang, walaupun tengah bertarung, kakek tinggi besar ini masih sempat melihat Pengemis Tongkat Merah yang telah menyelamatkan muridnya.

Dan ini membuatnya murka bukan main. Dengan 'Jurus Trenggiling', didesaknya Dewa Arak. Tendangannya bertubi-tubi dan susul-menyusul mengancam bagian tubuh yang berbahaya di sekujur tubuh pemuda itu.

Tapi berkat keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya berhasil mengelakkan setiap serangan itu. Hanya saja tidak seperti biasanya, kali ini jurus 'Delapan Langkah Belalang' tidak bisa digunakan untuk mengelak dan langsung mengancam lawan.

Selagi Dewa Arak sibuk mengelakkan serangan­serangan, Raksasa Rimba Neraka melentingkan tubuh­nya menjauh. Dia langsung mengejar Pengemis Tong­kat Merah yang melarikan diri.

Melihat kepergian gurunya, Gajula pun segera melesat kabur dari situ. Dewa Arak yang memang sama sekali tidak mempunyai urusan dengan mereka, tidak mengejar. Yang dipentingkan kali ini adalah menye­lamatkan desa ini dari tangan jahat Toga, si kepala desa.

Dewa Arak pun melesat meninggalkan tempat itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap saja yang nampak hanyalah sebuah titik yang semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.

******

Tubuh Raksasa Rimba Neraka melesat cepat, disertai pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki untuk mengejar Pengemis Tongkat Merah yang berada jauh di depannya.

Sedikit demi sedikit jarak antara mereka mulai dekat. Bayangan tubuh kakek kurus kering yang semula hanya berupa titik kecil hitam di kejauhan, kini semakin lama semakin membesar. Sudah bisa dipastikan kalau akhirnya Raksasa Rimba Neraka berhasil mengejar buruannya.

Tapi senyum yang tadi telah menghias wajah Raksasa Rimba Neraka pelahan mulai melenyap ketika tampak di kejauhan sana membentang sebuah hutan. Sebagai tokoh yang penuh pengalaman, kakek tinggi besar ini tahu kalau Pengemis Tongkat Merah berhasil masuk ke dalam hutan itu, sudah bisa dipastikan akan berhasil lolos.

Raksasa Rimba Neraka mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Tujuannya, menyusul kakek kurus kering itu sebelum sempat memasuki hutan. Tapi betapapun mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja usaha yang dilakukannya tidak mendapatkan hasil. Jarak antara mereka masih terlalu jauh. Sementara jarak antara Pengemis Tongkat Merah dengan hutan itu sudah demikian dekat.

Apa yang dikhawatirkan Raksasa Rimba Neraka pun terjadi. Pengemis Tongkat Merah telah lebih duiu memasuki mulut hutan sebelum berhasil disusul. Jarak antara mereka masih terpisah puluhan tombak.

Beberapa saat setelah kakek pengemis itu memasuki hutan itu, baru laki-laki bertubuh raksasa ini tiba di mulut hutan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Raksasa Rimba Neraka itu melesat masuk.

Tapi sesampainya di dalam hutan, kakek bertubuh raksasa itu menjadi kebingungan. Hutan ini terlalu lebat, ditumbuhi pohon-pohon besar kecil, dan semak-semak. Apalagi akar-akar pohon yang menjalar juga menghalangi pandangan. Sesaat lamanya Raksasa Rimba Neraka ini mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari-cari barangkali ada pohon atau semak yang masih bergoyang. Kalau ada, itu tandanya baru dilewati orang. Tapi, tetap saja itu tidak dijumpainya.

Lalu dia memilih satu arah saja yang diyakininya. Tapi sampai lama mengejar, tak juga nampak tanda-tanda bayangan tubuh kakek pengemis di de pannya. Se te lah lama mencari ke sana ke mari tanpa hasil, meledaklah kemarahan Raksasa Rimba Neraka ini.

"Grrrrh...!" kakek raksasa ini menggeram hebat. Kemudian tangan kanannya yang mengepal dipukulkan ke depan.
Wut ... !
Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang dewasa tumbang seketika, tatkala angin pukulan Raksasa Rimba Neraka ini melandanya. Dengan mengeluarkan suara bergemuruh, pohon besar itu pun tumbang dalam keadaan hancur luluh dan hangus. Tidak hanya sampai di situ saja, tangan dan kakinya terus saja dipu-kulkan ke sana kemari, melampiaskan ke marahannya.

Kontan suara hiruk-pikuk menyemaraki suasana hutan itu. Pohon-pohon yang tumbang dalam keadaan hancur dan hangus, semak-semak yang cerai­berai dalam keadaan mengering layu, mengiringi setiap gerakan tangan atau kaki Raksasa Rimba Neraka.

Cukup lama juga Raksasa Rimba Neraka ini me­lampiaskan amarahnya. Dan kini ditatapnya keadaan dalam hutan yang porak-poranda. Kemudian dilangkahkan kakinya, melesat dari tempat itu.

***

"Hhh ... !" Pengemis Tongkat Merah mendesah lega di tempat persembunyiannya, setelah melihat kepergian Raksasa Rimba Neraka. Memang, kakek ini masih berada di hutan itu, bersembunyi di kerimbunan semak-semak dan pepohonan. Dia memang telah me­lihat semua sepak terjang si raksasa yang mengamuk membabi buta.

Suara lenguh kesakitan Sapta menyadarkan kakek ini dari lamunannya. Kini perhatiannya tercurah pada pemuda berhidung melengkung yang tergolek lemah di tanah.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek kurus kering ini segera memeriksa luka-luka muridnya. Yang menjadi perhatiannya pertama kali adalah, luka­luka bekas cambukan yang menggurat hampir sekujur tubuh pemuda itu.

Sekali lihat saja, Pengemis Tongkat Merah yang penuh pengalaman segera mengetahui kalau luka-luka cambuk itu tidak membahayakan jiwa Sapta, karena hanya luka luar belaka. Yang lebih berbahaya adalah luka-luka dalamnya.

"Guru....," sapa Sapta lirih, begitu tersadar dari pingsannya. Memang sejak kakek kurus kering ini membawanya lari, pemuda ini sudah tidak sadarkan diri lagi.

"Tenanglah, Sapta," sambut kakek itu.

Namun Sapta seolah-olah tidak mendengar peringatan itu. Pemuda itu malah berusaha bangkit. Kedua tangannya yang ditekankan ke tanah, tampak gemetar.

"Berbaringlah dulu, Sapta."

Pemuda berhidung melengkung itu mendengar ada nada ketegasan dalam ucapan gurunya. Perintah yang tidak menghendaki adanya bantahan. Maka se­gera dibaringkan tubuhnya kembali.

"Kami, Guru...."

"Kami?! Ada apa dengan Kami?!" tanya Pengemis Tongkat Merah kaget.

Sikap pemuda di hadapannya ini yang begitu mengkhawatirkan Kami, membuatnya cemas bukan main. Walaupun kakek ini sudah dapat mengira-ngira, tapi mendengar penegasan pemuda itu dia merasa khawatir bukan main.

"Kami tertangkap, Guru...," desah Sapta lirih. "Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Guru untuk menjaga Kami."

Pengemis Tongkat Merah berusaha bersikap tenang. Ia tidak ingin menambah kekalutan hati murid­nya dengan menunjukkan kegelisahannya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang menggayuti benak kakek ini. Terutama ketika melihat Sapta hanya sendiri saja saat ditolong. Juga, apa urusannya sehingga pemuda itu bisa bentrok dengan Raksasa Rimba Neraka.

Memang dari raksasa itu sudah diketahuinya kalau Sapta hampir membunuh adik kandung dari muridnya. Itulah yang menjadi teka-teki lagi baginya. Siapakah adik kandung murid Raksasa Rimba Neraka itu sehingga Sapta hendak membunuhnya?

"Ceritakan semuanya secara jelas, Sapta!"

Sapta pun segera menceritakan semuanya. Mulai dari pertempurannya dengan Toga, sampai akhirnya muncul Raksasa Rimba Neraka yang telah merobohkannya secara mudah.

Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung pucat. Sungguh tidak disangka kalau Toga, musuh besar muridnya ini, mempunyai kakak kandung yang menjadi murid dari Raksasa Rimba Neraka! Dan kini gadis itu menjadi tawanan raksasa yang mengerikan itu.

Kakek kurus kering ini menyadari bahwa dirinya bukanlah tandingan Raksasa Rimba Neraka. Kekalahan yang baru saja diterimanya, telah memperjelas dugaannya selama ini. Kalau saja tidak muncul Dewa Arak menolongnya, mungkin ia sudah tewas di tangan kakek tinggl besar itu.

"Hhh ... !" Pengemis Tongkat Merah menghela napas panjang. "Sungguh tidak kusangka kalau urusannya menjadi begjni pelik, Sapta. Apalagi Raksasa Rimba Neraka juga terlibat dalam urusan ini. Kini jangankan untuk membalas dendam untuk menolong Kami pun kita belum tentu mampu!"

"Tapi biar bagaimanapun aku akan tetap meno­long Kami, Guru. Akan kudatangi lagi tempat si keparat itu. Dan..., kalau bisa membalaskan dendam orang tuaku!" tegas dan mantap kata-kata pemuda itu.

Kakek kurus kering itu tersenyum. Terlihat begitu kering dan dipaksakan senyumnya.

"Tentu saja, Sapta. Untuk kedua hal itu, aku bersedia mengorbankan selembar nyawa tuaku ini. Hhh ... ! Semula aku tidak ingin campur tangan dalam urusan balas dendammu. Tapi kini setelah Raksasa Rimba Neraka berdiri di belakang musuh-musuhmu, aku tidak bisa berpangku tangan lagi."

Dada Sapta terasa sesak oleh rasa haru yang amat sangat melihat pembelaan gurunya yang begitu besar.

"Sekarang yang penting, pulihkan dulu tubuhmu. Jangan bangkit dulu. Aku akan mencari daun-daunan dan akar-akaran untuk mengobati luka­lukamu." Sapta menganggukkan kepalanya.

Pengemis Tongkat Merah pun segera melesat dari situ. Beberapa saat kemudian, kakek itu pun kembali dan telah menggenggam daun-daunan dan akar-akaran yang berkhasiat untuk mengobati luka-luka yang diderita Sapta dan dirinya sendiri.

***

"Auuung ... !"

Lolongan anjing hutan menggaung panjang, merobek kesunyian malam yang mencekam. Padahal malam itu langit bersih tidak berawan. Bulan bersinar penuh, memancarkan sinarnya yang kekuningan di la­ngit. Tapi anehnya dalam suasana secerah itu, di Desa Gebang nampak sepi seperti mati.

Tapi rupanya masih ada juga orang yang berada di luar rumah. Terbukti, tampak sesosok bayangan ungu melesat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Gerakannya gesit sekali. Kalau saja ada penduduk yang melihat, tentu akan disangka hantu. Apalagi ba­yangan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula tubuhnya melesat ke arah tembok pagar sebuah rumah besar yang megah dan berhalaman luas. Beberapa saat lamanya si rambut putih keperakan itu berdiri menempel tembok, baru kemudian menengadahkan kepalanya, mengira-ngira tinggi pagar tembok yang tengah disandarinya.

"Hih ... !"

Tubuhnya direndahkan sedikit, dan sebentar kemudian tubuh si rambut putih keperakan itu melayang ke atas. Suasana malam yang cerah, dan sinar bulan pumama yang cukup terang itu menyoroti wajah itu selagi tubuhnya berada di atas. Ternyata memang si rambut putih keperakan itu adalah Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak!

"Hup...!"

Kedua kaki Dewa Arak hinggap di atas tanah di dalam pekarangan yang luas itu tanpa suara. Sepi-sepi saja suasana di dalam pekarangan ini.

"Hih ... !"

Tubuh Dewa Arak kini melesat dan hinggap di atas atap tanpa suara. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki mendekat. Dugaannya tidak keliru. Tak lama kemudian di tempat dia berdiri tadi, lewat dua orang yang membawa obor dan kentongan.

"Ronda...," bisik hati Arya.

Pelan laksana seekor harimau yang berjalan mengendap-endap menghampiri mangsa, Dewa Arak berjalan di atas atap. Dia memang mencoba mencari­cari kamar kepala desa.

Tapi baru beberapa langkah berjalan, langkah kaki pemuda ini tertahan di udara. Pendengarannya yang tajam, menangkap adanya rintihan lirih di bawah sana. Dan perasaan penasaran mendorong pemuda ini mendekatkan telinganya ke genteng. Suara rintihan itu pun semakin jelas terdengar.

"Jangan.... Jangan lakukan itu..., bunuh saja aku...."

Wajah Arya langsung berubah. Suara rintihan lirih itu berasal dari mulut wanita! Berarti ada seorang wanita yang tengah membutuhkan pertolongan di ba­wah sana.

Dewa Arak memutuskan menjebol atap ini untuk menolong wanita yang diduga dalam bahaya besar itu. Tapi baru saja akan bertindak, sebuah suara lain yang menyambut rintihan itu membuat dia harus menahan gerakannya.

"Ha ha ha...! Fnak saja! Jarang kutemukan wanita istimewa sepertimu, tahu!? Kau memiliki banyak kelebihan dibanding santapan-santapanku sebelumnya. Kau cantik, masih gadis, dan memiliki kepandaian. Ha ha ha...! Betapa bodohnya kalau aku membunuhmu!"

Wajah Arya Buana langsung berubah! Memang, suara dan tawa itu sangat dikenalnya. Dan seketika itu juga jantung Dewa Arak berdebar tegang. Bukankah pemilik suara dan tawa itu adalah musuh tangguh yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka dan baru saja dihadapinya? Lalu, kenapa tokoh sakti yang menggiriskan itu berada di sini? Apa hubungannya dengan Toga, yang menjadi Kepala Desa Gebang? Batin Dewa Arak terus dibebani bermacam-macam pertanyaan.

Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Suara kain robek yang terdengar dari bawah, disusul jerit ketakutan seorang wanita memaksanya bertindak cepat

Brakkk...!

Atap rumah itu hancur berantakan ketika Dewa Arak menghajarnya. Karuan saja hal itu mengejutkan Raksasa Rimba Neraka. Padahal laki-laki tinggi besar itu baru saja menindih tubuh wanita yang tak lain dari Kami. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya.

Wuuuttt ... !

Serentetan angin pukulan yang mengandung hawa panas telah menyambar ke arah Raksasa Rimba Neraka, ketika kedua kakinya hinggap di tanah. Sebentar kemudian, meluncur sesosok bayangan ungu dari atap yang telah ambrol.

"Hih ... !"

Tidak ada jalan lain bagi Raksasa Rimba Neraka, kecuali melompat menghindar. Laki-laki tinggi besar itu menyadari betul kalau angin pukulan yang menyambarnya itu mengandung tenaga dalam yang amat kuat. Dan ia tidak berani berlaku ceroboh.

Brakkk...!

Tembok yang terbuat dari tembok batu itu ambrol terhantam tubuh si raksasa yang menabraknya dalam upaya keluar ruangan.

Blarrr ... !

Lantai tempat kakek tinggi besar tadi berdiri langsung ambrol, ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak mengenai sasaran menghantamnya. Tampak sebuah lubang besar tercipta akibat pukulan itu.

"Hup... !"

Secepat kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula Dewa Arak memalingkan wajahnya. Di sebuah pembaringan nampak tergolek seorang gadis dalam keadaan tanpa busana! Kulitnya yang putih mulus, dan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan membuat Dewa Arak menelan ludah.

Melihat keadaan gadis ini yang diam tidak bergerak, Dewa Arak segera saja tahu kalau gadis ini tertotok lumpuh. Arya segera bergerak mendekati. Tentu saja, mau atau tidak mau tubuh yang mulus indah dan menantang itu terlihat olehnya. Jantung pemuda berambut putih keperakan ini berdebar tegang. Kedua tangannya terasa dingin. Darah kelaki­lakiannya seketika bergolak.

Sambil menarik napas untuk menenangkan hatinya yang terguncang, Arya menggerakkan tangannya membuka totokan yang membuat gadis itu lumpuh.

"Cepat kenakan pakaianmu, dan pergilah...!" perintah Arya sambil melesat keluar, melalui lubang di tembok yang dibuat Raksasa Rimba Neraka tadi.

Kami buru-buru mencari pakalan, dan dengan tergesa-gesa mengenakannya. Dalam hati ia bersyukur, di saat terakhir muncul seorang yang menolongnya.

Sementara itu begitu keluar dari ruangan, Dewa Arak terkejut. Ternyata di luar telah menanti banyak sekali sosok tubuh. Tapi yang menjadi perhatian Arya hanya satu, yaitu sosok yang tingginya satu setengah kali manusia biasa. Siapa lagi kalau bukan Raksasa Rimba Neraka yang amat tangguh.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera meraih guci dari punggungnya. Kemudian diangkatnya ke atas kepala, dn dituangkan ke mulutnya .

Gluk... gluk... gluk...!

Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian langkahnya pun mulai sempoyongan.

"Ha ha ha...! Kiranya kau orangnya!? Pantas begitu usilan!" teriak Raksasa Rimba Neraka keras, begitu melihat Dewa Arak keluar dari ruangan itu. Memang dia sudah merasakan kehebatan pemuda berambut putih keperakan itu tadi siang, terutama tenaga dalamnya.

"Hiyaaa ... !"

Kali ini di luar kebiasaannya, Dewa Arak mendahului menyerang. Pemuda ini bermaksud membuat repot Raksasa Rimba Neraka agar Kami dapat meloloskan diri.

Wuuuttt..!

Guci di tangan kanannya diayunkan deras ke arah kepala si raksasa itu. Angin keras mengiringi tibanya serangan itu.

Raksasa Rimba Neraka yang sudah mengetahui kelihaian pemuda di hadapannya, memang sejak tadi sudah bersiap siaga. Pertarungan tadi siang memang membuatnya penasaran bukan main. Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertanding, belum pernah 'Ilmu Pukulan Tinju Geledek' miliknya ditahan lawannya. Tapi ternyata Dewa Arak ternyata mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya. Ingin dibuktikannya sekali lagi, apakah memang pemuda pemabukan ini mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya? Maka tanpa ragu-ragu lagi, diangkat tangan kirinya melindungi kepala.

Klanggg ... !

Benturan keras yang terjadi antara guci Dewa Arak dengan tangan kiri Raksasa Rimba Neraka, menimbulkan suara berdentang nyaring. Tampak tubuh kakek tinggi besar itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Begitu pula Dewa Arak. Seperti kejadian sebelumnya, tenaga dalam mereka memang berimbang.

Berkat keisrimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak lebih dulu berhasil mematahkan daya dorong yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dan kini, kembali tubuhnya melesat menyambar, sementara gucinya sudah terikat kembali di punggung. Fntah kapan dan bagaimana caranya, guci itu telah berada di punggung kembali. Bahkan Raksasa Rimba Neraka sendiri tidak tahu.

Yang diketahui laki-laki bertubuh raksasa itu, kedua tangan Dewa Arak dengan kecepatan tinggi me­nyambar bertubi-tubi. Gerakan tangannya begitu aneh, mengancam pelipis dan ubun-ubunnya. Raksasa Rim­ba Neraka kaget bukan main. Posisinya tidak memungkinkan untuk menangkis serangan yang nantinya hanya akan memperburuk keadaan. Maka buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian bergulingan menjauh.

Dan tepat pada saat itu, Kami melesat keluar dari kamar.

Namun sayang, ternyata di luar bukan hanya ada Raksasa Rimba Neraka saja. Di situ juga ada Gajula, Toga, dan puluhan anak buahnya. Maka begitu gadis itu keluar, segera mereka mengurungnya.

Dewa Arak sadar kalau keadaan itu amat berbahaya. Kalau tidak bertindak keras, sulit baginya untuk membawa keluar gadis itu. Raksasa Rimba Neraka kelihatannya terlalu tangguh untuk ditaklukkan.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba Dewa Arak berteriak keras. Kedua ta­ngannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang sekali digunakan, kalau tidak terpaksa sekali.

Wuuusss...!

Angin berhawa panas menyambar deras ke arah kerumunan orang yang menghadang langkah Kami. Bresss ... !

Beberapa sosok tubuh terlempar jauh, kemudian ambruk ke tanah dan terguling-gullng jauh. Sekujur tubuh mereka hangus. Dari mulut, hidung, dan te linga mengalir darah segar. Mereka memang tewas seketika! Sementara itu Toga, Gajula, dan belasan orang lain yang berhasil menyelamatkan diri, bergidik ngeri melihat akibat angin pukulan itu.

"Cepat pergi ... !" teriak Arya ketika melihat gadis yang diusahakan setengah mati untuk lotos dari situ, malah terbengong-bengong.

Bentakan Dewa Arak berhasil menyadarkan Kami dari ketertegunannya. Segera gadis ini bergerak kabur dari situ. Tapi Toga dan Gajula tidak membiarkannya lolos! Dan cepat-cepat mereka bergerak mengejar.

Dewa Arak tidak bisa membantu Kami lagi, karena tampak Raksasa Rimba Neraka itu sudah berhasil memperbaiki posisinya. Terpaksa dipusatkan perhatiannya lagi pada kakek raksasa ini kalau masih ingin hidup.

"Hih...!"

Arya menggertakkan gigi. Kembali kedua tangannya dihentakkan ke depan.

Wusss ... !

Raksasa Rimba Neraka tidak mau kalah. Dikepalkan kedua tangannya, lalu dipukulkan ke depan.

"Hiyaaa ... !"
Wuuusss...!
Blarrr ... !

Dua tiupan angin pukulan yang sama-sama me­ngandung hawa panas itu bertemu di udara. Ledakan keras luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh. Ke­adaan di se kitar te mpat itu be rge tar he bat bagai dilanda gempa. Bahkan bangunan-bangunan yang berada di sekitar tempat itu pun bergetar hebat!

Tapi yang lebih hebat lagi, adalah yang dialami kedua tokoh sakti yang tengah bertarung itu. Baik tubuh Dewa Arak maupun tubuh Raksasa Rimba Neraka, sama-sama terjengkang ke belakang. Dan serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh masing masing.

"Akh ... !"

Terdengar pekikan tertahan, disusul terhuyungnya tubuh Kami. Rupanya Toga dan Gajula berhasil mengejarnya. Dan dalam keadaan kondisi tubuh yang kurang sehat, Kami tidak mungkin mampu menghadapi kedua orang lihai itu. Segera saja gadis itu terdesak hebat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan telakToga berhasil mendarat di dadanya.

Walaupun sekujur tubuh Dewa Arak dilanda rasa panas, tapi tidak separah yang diderita Raksasa Rimba Neraka! Dan ketika melihat keadaan Kami, Arya menggertakkan gigi menahan kemarahan yang meluap. Kemudian tubuhnya melesat ke tempat Gajula dan Toga yang tengah mengeroyok Kami.

Karuan saja Gajula dan Toga menjadi gentar bukan main, karena sudah melihat kedahsyatan pemuda berambut putih keperakan itu. Maka begitu melihat tubuh pemuda itu melayang mendekati, keduanya pun berlari menghindar.

Tappp. . .!

Tanpa menghhaukan Toga dan Gajula, Dewa Arak segera menyambar tubuh Kami yang sudah limbung itu. Dipondong dan dibawanya gadis itu kabur dari situ.

Tak ada seorang pun yang berani menghalangi kepergian Dewa Arak. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka, orang satu-satunya yang dapat menahan Arya, tengah sibuk mengusir serangan hawa panas yang merayap di sekujur tubuhnya. Maka, tanpa mengalami kesulitan sama sekali Kami dapat lolos dibawa Dewa Arak.

"Hup...!"

Ringan tanpa suara kedua kaki Arya hinggap di tanah, di luar pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung milik Toga. Tubuhnya tampak terhuyung begitu kedua kakinya mendarat di tanah, tapi tidak dipedulikan. Dan terus berlari. Walaupun disadari kalau dirinya telah terkena serangan hawa panas, pemuda itu juga tidak mempedulikan. Padahal kalau tidak segera diusir akan mengakibatkan luka dalam.

Arya terus berlari cepat, walaupun tempat tinggal kepala desa itu telah jauh dilewatinya. Dan kini perasaan pening mulai menjalari kepala Dewa Arak. Seketika pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya. Dan di saat itu terdengar sebuah bentakan nyaring.

"Manusia cabul! Lepaskan wanita itu!" Belum habis gema suara bentakan itu, sesosok bayangan yang belum terlihat jelas telah menyerangnya. Dan Arya mencoba mengelak, tapi keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan begitu menyulitkannya.

Bukkk ... !

Pukulan dari sosok bayangan itu telak mengenai pangkal lengannya.

"Akh ... !"

Dewa Arak mengeluh tertahan, dan tubuhnya langsung terjengkang. Dan dengan demikian, tubuh Kami yang tengah dipondongnya terlepas dan terlempar. Tapi sebelum tubuh gadis itu terjatuh di tanah, si penyerang telah terleblh dulu bergerak.

Tappp. . .!

Tubuh Kami berhasil ditangkap orang itu.

Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. Hawa panas yang menyerang membuat pandangannya berkunang-kunang. Sehingga, Dewa Arak kini tidak bisa melihat jelas sosok tubuh di hadapannya. Tapi bentuk tubuh pemuda itu masih bisa dikenali. Jelas, dia adalah murid Pengemis Tongkat Merah. Dan kini samar-samar terdengar ucapan si penyerang.

"Kau tidak apa-apa, Kami?"

Tampaklah si penyerang tengah meletakkan gadis itu di bawah sebatang pohon. Pikiran Arya yang ce rdas se ge ra saj a dapat me nduga kalau pemuda itu adalah teman wanita yang ditolongnya. Itu terbukti dari ucapannya tadi. Memang tadi gadis itu sempat mengenalkan nama padanya. Dan nama Kami adalah nama yang disebutkan gadis itu. Jadi kemungkinan pemuda itu salah paham padanya. Dan kini, tampak pemuda teman Kami itu hendak menyerang Dewa Arak.

"Tahan...," ucap Dewa Arak lemah. Digoyang­goyangkan tangannya di depan dada.

Tapi Sapta kelihatannya sudah marah bukan main ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu membawa lari orang yang dicintainya. Dia tidak mempedulikan cegahan itu. Keadaannya yang waktu itu setengah sadar, membuatnya lupa kalau pemuda yang berada di hadapannya inilah yang telah menolong dirinya dan gurunya. Apalagi saat itu kemarahan tengah melanda hatinya. Kembali tangannya bergerak melancarkan serangan.

Dewa Arak kaget sekali. Walaupun tidak melihat jelas serangan itu, tapi dari suara desir angin saja dapat diketahui kalau pemuda di hadapannya tengah menyerangnya secara ganas! Padahal, bukankah pemuda itu tahu kalau dialah yang telah menyelamatkan dirinya dan gurunya dari keganasan Raksasa Rimba Neraka? Kenapa kini pemuda itu hendak membunuhnya?

Perasaan penasaran dan keinginan untuk menyelamatkan nyawanya yang hanya satu-satunya, membuat Dewa Arak jadi mata gelap.

"Hiyaaa ... !"

Sambil berteriak keras Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.

Wuuusss ... !

Angin berhawa panas menyambar deras memapak serangan Sapta. Pemuda tinggi besar ini menjadi kaget bukan main. Cepat dilempar tubuhnya ke samping, dan bergulingan di tanah.

Brakkk...!

Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa hancur berantakan ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak mengenai sasaran menghantam.

"Huakkk ... !"

Tiba-tiba Dewa Arak memuntahkan darah segar dari mulutnya. Memang karena pengerahan tenaga yang dipaksakan, akibatnya hawa panas yang menyebar di seluruh tubuh telah melukainya.

Tapi Arya tidak memperdulikannya. Segera dia melesat kabur dari situ, meninggalkan Sapta yang masih terpaku menatap akibat angin pukulan yang dilepaskan Dewa Arak.

******

"Okh...," Kami mengeluh lirih. Sepasang matanya yang berbulu lenrik mengerjap-ngerjap. Gadis ini memang jatuh pingsan sewaktu Dewa Arak terjengkang diserang Sapta.

Sementara Sapta yang sejak tadi menunggui Kami yang tergolek pingsan, seketika menjadi berseri­seri wajahnya begitu melihat gadis itu sadar.

"Eh! Di mana dia ... ?" tanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini. Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari, seolah-olah mencari sesuatu.

"Mencari siapa, Kami?" Sapta balas bertanya. Kecewa juga hatinya, melihat betapa gadis itu sepertinya tidak me mpe rhatikan dirinya.

"Pemuda yang menolongku...." Ada suatu perasaan aneh yang menyelinap di hati gadis ini ketika teringat Dewa Arak. Wajahnya jantan, keperkasaan, dan tindak-tanduknya yang begitu tenang, begitu mengagumkan hatinya.

Seketika wajah pemuda berhidung melengkung ini berubah.

"Siapa?"
"Pemuda berambut putih keperakan," jelas Kami.
"Pemuda yang memondongmu?" tanya Sapta. Ada nada tidak senang dalam suara itu.

Kami tentu saja merasakan adanya nada ketidak-senangan dalam suara itu. Sepasang alis yang bagus bentuknya itu pun berkerut. Ditatapnya wajah pemuda di hadapannya itu lekat-lekat. Mendadak terbayang kembali, sesosok bayangan yang memukul pemuda yang memondongnya sehingga tubuhnya terlempar, dan jatuh pingsan.

"Jadi..., jadi kau rupanya yang menyerang pe­muda itu sampai terjengkang?!"

Pucat wajah Sapta seketika. Tapi pantang baginya menyembunyikan perbuatannya.

"Ya!"      jawabnya tegas."Akulah yang menyerangnya!"

"Lalu, ke mana dia?!" desak Kami. Tajam dan keras nada suaranya.

"Kabur! Sehabis melepaskan pukulan yang menimbulkan akibat mengerikan pada pohon itu!" sahut Sapta sambil menunjuk pohon yang terkena angin pukulan Dewa Arak.

Kami menolehkan kepalanya, memandang ke arah telunjuk tangan Sapta. Meremang bulu kuduk gadis itu melihat pohon yang begitu besar, hancur berantakan. Beberapa saat lamanya putri angkat Pe­ngemis Tongkat Merah ini terpaku.

"Aku tahu pasti, tidak akan mungkin dia melepaskan pukulan sedahsyat itu kalau nyawanya tidak terancam. Aku tahu dia terluka dalam. Karena berkali-kali sewaktu membawaku lari, langkahnya sempoyongan dan hampir jatuh."

Sapta menghela napas. "Memang kuakui, Kami. Pemuda itu berusaha mencegah seranganku."

"Dan yang pasti, kau menyerangnya dengan se­buah pukulan mematikan, bukan?" selak Kami berapi­api. "Tidak mungkin dia bertindak demikian hingga mengeluarkan pukulan yang sangat menguras tenaga. Kau tahu, saat itu dia telah terluka dalam karena bertarung melawan Raksasa Rimba Neraka dan antek­antek musuh besarmu! Kalau tidak, jangan harap kau dapat merubuhkannya!"

Sapta mengangkat kepalanya. Kesal juga pemuda ini disalahkan terus-menerus.

"Kuakui, aku memang salah. Tapi itu tidak berarti kau terus membela pemuda itu! Aku terpaksa menyerangnya, karena khawatir pemuda itu akan berbuat tidak baik kepadamu!"

Kami tersadar seketika. Memang disadari kalau sikapnya tidak adil. Sapta sebenarnya sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu terpaksa berbuat demikian karena khawatir akan keselamatan dirinya.

"Maafkan aku, Kang," ucap gadis itu pelan. Sapta tersenyum pelahan. Kecerahan pada wajahnya pun nampak kembali.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau sama sekali tidak bersalah. Tapi yang jelas, aku bersalah pada pemuda penolongmu itu. Kelak bila berjumpa kembali dengannya, aku akan meminta maaf," jelas Sapta.

Pemuda ini memang mengakui kalau hatinya terbakar api cemburu terhadap Dewa Arak. Akibatnya, dia menyerang lebih dulu.

Kami hanya dapat mengangguk.

"Nah, sekarang mari kita menemui Guru," ajak Sapta.
"Heh?! Kita kembali ke perguruan?!" Langkah kaki Kami seketika terhenti.
"Tentu saja tidak!"
"Lalu?!"
"Guru memang telah berada di desa ini," jelas Sapta.
"Ayah ada di desa ini?!" tanya Kami setengah ti­dak percaya.

"Ya!" jawab Sapta membenarkan. Kemudian diceritakan semuanya. Sejak dirinya tertangkap sampai dibawa kabur gurunya.

"Dan ketika kami berdua merasa lapar, aku pamit pada Guru untuk berburu binatang. Siapa sangka aku melihat sesosok bayangan tengah memanggul tubuh wanita. Karena curiga, dia kuikuti. Kutinggalkan kelinci yang telah kudapatkan. Sinar bulan membantuku untuk mengetahui kalau kaulah orang yang dibawa lari orang itu. Dan seterusnya kau sendiri pun tahu."

Kami mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat kemudian, keduanya terperangkap dalam keheningan.

"Sekarang, mari kita berangkat," ajak Sapta.

Setelah berkata demikian, tubuh Sapta pun melesat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh ringkat tinggi, agar cepat sampai ke tujuannya. Kami pun segera melesat mengikuti. Tak lama kemudian suasana di sekitar tempat itu pun kembali sepi.

***

Pengemis Tongkat Merah bangkit berdiri. Pende­ngarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki. Semula kakek ini menyangka kalau Sapta-lah pemilik langkah kaki itu. Pemuda itu memang sejak tadi ditunggunya. Tapi, ketika telinganya menangkap dua langkah kaki mendekati tempatnya, kecurigaannya pun timbul.

Dalam sekejap pikiran kakek pengemis ini berpu-tar. Tiba-tiba....

"Hup... !"

Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di cabang sebuah pohon. Dari sini mudah baginya untuk mengetahui, apakah yang datang itu kawan ataukah lawan.

Berkat sinar bulan yang cukup terang, kakek ini dapat melihat cukup jelas, dua orang yang melangkah mendekati tempatnya. Dan begitu jelas teriihat orang yang bergerak mendekatinya, kegembiraan kakek ini pun meledak!

Tampak di bawah sana Sapta dan seorang gadis yang membuatnya gembira bukan main! Betapa tidak? Karena gadis itu adalah Kami! Anak angkatnya yang menurut cerita Sapta tertawan Raksasa Rimba Neraka.

Semula begitu mendengar anak angkatnya tertangkap, Pengemis Tongkat Merah sudah tidak mempunyai harapan lagi akan keselamatan Kami. Dia telah mendengar kebiasaan terkutuk tokoh Rimba Neraka yang menggiriskan itu. Selain kebiasaannya memakan daging manusia, dia juga suka mempermainkan wanita!

Sebenarnya kakek itu bersama Sapta sudah menyusun rencana untuk membebaskan Kami, sehabis mengisi perut. Berhasil atau tidak bukan masalah. Demikian keputusan mereka berdua.

Tapi kenyataannya, kini gadis itu berjalan bersama muridnya dalam keadaan selamat. Apakah Sapta telah pergi ke sana seorang diri dan menyelamatkannya? Ataukah gadis itu sendiri yang berhasil menyelamatkan diri?

"Hup...!"

Ringan tanpa suara Pengemis Tongkat Merah mendaratkan kedua kakinya di tanah, tepat di depan Sapta dan Kami. Tentu saja Sapta dan Kami kaget bukan main. Seketika seluruh urat syaraf di tubuh me­reka menegang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tapi begitu mengenali orang yang secara mendadak berada di hadapan mereka, seketika itu juga urat-urat syaraf di tubuh keduanya kembali mengendur.

"Guru...!" seru Sapta.

"Ayah...!" ujar Kami tak mau kalah. Kedua ta­ngannya langsung dikembangkan. Ditubruknya ayah angkatnya.

Pengemis Tongkat Merah memeluk tubuh anak angkatnya erat-erat. Diusap-usapnya rambut tebal dan hitam milik gadis itu. Suaranya terdengar tersendat.

"Ayah hampir tidak percaya melihatmu, Kami. Menurut penuturan Sapta, kau ditangkap Raksasa Rimba Neraka. Bagaimana kau bisa lolos dari tangan raksasa itu?"

Kami melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah kakek kurus kering di hadapannya dalam­dalam. Sepasang mata gadis ini nampak memerah. Memang, kini rasa takut belum sepenuhnya hilang dari hati Kami. Rasa takut akan terjadinya sesuatu yang mengerikan, dan hampir menghaneurkan masa de pannya.

"Seseorang telah menolongku, Ayah."

"Ah ... !" Pengemis Tongkat Merah berseru kaget. Siapa orang yang berani mati membebaskan tawanan Raksasa Rimba Neraka itu? Perasaan bingung menggayuti hatinya.

"Apakah orang itu Sapta?" tanya kakek itu dalam hati.

Seketika wajah pemuda tinggi besar itu memerah. Jawaban gurunya itu mengingatkan, betapa dia telah melakukan perbuatan tercela. Dia telah melukai penolong Kami, walaupun hal itu tidak disengaja.

"Dewa Arak, Ayah," tegas Kami.

"Dewa Arak...?!" teriak kakek pengemis ini kaget.

Kami me nganggukkan ke pala me mbe narkan . Lalu gadis berpakaian jingga itu pun menceritakan semuanya. Dari mulai kedatangan Dewa Arak di saat ancaman mengerikan hampir menimpanya, sampai De­wa Arak terluka oleh Sapta karena kesalahpahaman.

"Ah ... ! Memang, berita tentang keluhuran budi Dewa Arak tidak berlebihan. Walaupun kita sama sekali bukan kerabat atau sahabatnya, ia rela mempertaruhkan nyawa untuk menolongmu. Sungguh besar budi yang kita terima darinya! Entah kapan dapat membalasnya...," keluh kakek itu. "Dan kau, Sapta. Ingat, kau harus meminta maaf padanya atas perbuatanmu itu. Mengerti?!"

"Mengerti, Guru," pemuda berhidung melengkung itu menganggukkan kepalanya.

"Nah, sekarang pangganglah dulu kelinci hasil tangkapanmu itu, Sapta!" ujar Pengemis Tongkat Me- rah mengalihkan pembicaraan.

Sapta segera mengerjakan perintah gurunya, membakar kelinci yang sejak tadi dijinjingnya. Tak lama kemudian mereka pun sudah sibuk mempersiapkan semuanya.

***

Seorang kakek bertubuh tinggi besar, satu sete­ngah kali manusia biasa, bergerak cepat mendaki Le­reng Gunung Jarak. Kakek tinggi besar ini adalah Raksasa Rimba Neraka. Tujuannya mendaki gunung itu jelas mencari Pengemis Tongkat Hitam. Dan dari penduduk yang tinggal di sekitar lereng gunung itu, Raksasa Rimba Neraka telah tahu markas Perguruan Tongkat Merah.

Raksasa Rimba Neraka memang mempunyai aturan aneh. Setiap lawan yang telah kalah olehnya harus mati. Pengemis Tongkat Merah memang telah dikalahkan. Tapi karena keburu ada yang menolong, kakek kurus kering ini tidak tewas di tangannya.

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tak lama kemudian Raksasa Rimba Neraka telah menemukan tempat itu. Kakek raksasa itu memandangi bangunan yang terbuat dari bilik bambu, dan mempunyai halaman luas yang dikelilingi pagar bambu tinggi. Di atas pintu gerbang, terpampang papan lebar yang bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Tongkat Merah'.

Hanya beberapa kali lompatan saja, kakek raksasa ini sudah berada di depan pintu gerbang. Dan tiba-tiba dua orang murid perguruan yang berjaga di depan pintu gerbang, langsung menghadang langkah kakek ini Mereka saling memiringkan tongkat berwarna merah yang digenggam, sehingga membentuk tanda silang.

"Siapa Kisanak ini? Mengapa memasuki daerah kekuasaan Perguruan Tongkat Merah?" tanya salah seorang yang berjaga jaga. Wajahnya nampak memancarkan kekagetan melihat tubuh kakek yang berdiri di hadapannya. Sikap keduanya nampak waspada. Melihat dandanan kakek di hadapan mereka ini saja, mereka sudah bisa memperkirakan kalau kakek ini bukanlah tokoh baik-baik.

"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa bergelak. "Aku datang untuk membunuh Pengemis Tongkat Merah! Sekaligus ingin menghancurkan perguruan ini!"

"Keparat..!" teriak salah seorang dari penjaga itu. Tongkat merah di tangannya pun disabetkannya. Tujuannya mungkin kepala. Tapi karena si penjaga ini ukuran tubuhnya biasa saja, sementara Raksasa Rimba Neraka memiliki tubuh di atas sewajarnya, maka serangannya pun hanya mengancam bawah pundak kakek raksasa itu.

Raksasa Rimba Neraka tersenyum mengejek. Dibiarkan saja sabetan tongkat ke arah pangkal lengannya itu

Bukkk ... ! Krakkk ... ?

Telak dan keras sekali tongkat itu menghantam sasarannya. Tapi akibatnya, tongkat yang menghajar pangkal lengan Raksasa Rimba Neraka justru yang patah!

"Ha ha ha...!" kembali kakek tinggi besar itu ter­tawa terbahak-bahak. Berbarengen dengan itu, kedua tangannya diulurkan ke depan.

Tappp ... ! Tappp ... !

Tanpa kedua penjaga itu sempat berbuat apa­apa, kuduk keduanya sudah dicengkeram tangan si raksasa itu.

"Akh...!"
"Ah ... !"

Kedua penjaga itu memekik tertahan. Dirasakan tulang leher belakang mereka patah-patah. Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tangan Raksasa Rimba Neraka bergerak.

Prakkk...!

Terdengar suara berderak keras ketika kedua kepala penjaga yang sial itu diadu satu sama lain.

Cairan kental berwarna kemerahan, berikut cairan kental berwarna keputihan langsung muncrat dari kepala yang pecah itu. Tidak ada lagi suara yang ter­dengar. Dan ketika kakek tinggi besar itu melepaskan cengkeramannya, tubuh kedua penjaga yang sial itu pun ambruk ke tanah. Mati.

Tentu saja keributan yang terjadi di depan pintu gerbang itu, segera mengundang murid-murid lainnya. Dalam waktu sekejap saja, seluruh murid Perguruan Tongkat Merah yang berjumlah sekitar dua belas orang berkumpul di depan Raksasa Rimba Neraka dengan sikap mengancam.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati mereka, melihat kematian rekan mereka yang begitu mengerikan. Tanpa banyak tanya lagi mereka pun bergerak menyerbu.

"Hiyaaa ... !"
"Haaattt..!"

Dengan didahului jerit melengking nyaring, tongkat-tongkat mereka pun berkelebat cepat menyambar ke arah berbagai bagian tubuh Raksasa Rimba Neraka.

Bukkk ... ! Bukkk ... ! Takkk...!

Suara berdebukan terdengar susul-menyusul ketika hujan serangan tongkat itu, mendarat pada sasaran masing-masing. Raksasa Rimba Neraka memang tidak menghindari semua serangan itu. Dengan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawan­lawannya, pukulan tongkat-tongkat itu tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan sebagian besar tongkat yang menghantam sasarannya patah-patah.

"Sekarang giliranku ... !" ucap raksasa itu keras ketika tidak ada lagi hujan serangan tongkat menyambarnya. Belum lagi gema suara ucapannya lenyap, tangan kakek raksasa itu bergerak ke sana ke mari. S e de rhana saja ge rakannya, tapi akibatnya hebat bukan main. Ke manapun tangannya bergerak, sudah dapat dipastikan ada satu jiwa yang melayang.
Jerit kematian terdengar saling susul dibarengi berjatuhannya tubuh-tubuh yang sudah ditinggalkan nyawanya.

"Akh ... !"
"Aaa ... !"

Dua jeritan melengking panjang, mengiringi robohnya dua orang terakhir yang masih hidup.

"Ha ha ha...!"

Raksasa Rimba Neraka kembali mengumandangkan tawanya ketika melihat tidak ada lagi sosok tubuh yang masih berdiri. Semuanya telah tewas dalam keadaan mengerikan.

Tapi rupanya kakek tinggi besar ini belum puas terhadap semua perbuatan yang dilakukan. Didekatinya sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa yang berdaun lebat.

Setelah jarak antara dirinya dengan pohon itu hanya sekitar tiga tombak, raksasa ini menjulurkan kedua tangannya ke depan. Kemudian pelahan-lahan tangannya dikepalkan. Suara berkerotokan keras terdengar ketika kakek tinggi besar ini mengepalkan tangannya.

Lambat tapi penuh tenaga, kedua tangan yang telah terkepal keras itu ditariknya ke pinggang. Suara berkerotokan semakin terdengar keras ketika kedua tangan itu ditarik.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras melengking yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Raksasa Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya yang terkepal itu ke depan.

Wuttt ... !
Bresss ... ! Pralll...!

Angin berhawa panas menderu keras, lalu menyambar ke arah rerimbunan dedaunan. Dan secepat angin pukulan itu mengenai rerimbunan dedaunan itu, secepat itu pula dedaunan itu terbakar! Dalam waktu sekejap saja, api telah berkobar besar.

"Haaat ... !"

Sekali lagi Raksasa Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya ke depan. Kali ini ke arah batang pohon besar itu.

Wuuusss...!
Braaakkk...!

Pohon itu langsung rubuh ketika angin pukulan kakek tinggi besar itu menghantamnya. Tampak bagian dalam batang pohon itu hangus bagai terbakar!

"Hih ... !" Kembali kakek raksasa ini menggerakkan tangannya, tapi dengan gerakan berbeda dengan sebelumnya. Kali ini Raksasa Rimba Neraka melakukan gerak mendorong!

Wusss ... ! Wuk ... ! Brakkk...!

Hebat luar biasa tenaga dalam yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka ini. Dengan angin pukulannya, pohon itu didorong sehingga jatuh tepat di depan salah satu bangunan Perguruan Tongkat Merah.

Seketika itu juga api yang tengah membakar po­hon itu, menjalar ke arah bangunan berdinding bilik bambu. Mendapat sasaran yang memang mudah terbakar ini, api pun lebih cepat berkobar.

"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa terbahak-bahak, memandangi api yang berkobar melahap bangunan itu. Sekujur tubuhnya nampak penuh keringat. Napasnya pun memburu hebat. Memang apa yang baru saja dilakukannya, banyak menguras tenaga.

Sebenarnya kalau kakek raksasa ini hanya ingin membakar bangunan itu, tidak perlu bersusah payah seperti itu. Dia bisa langsung mengerahkan 'Tinju Geledek' pada dinding bangunan dari bilik itu. Dan itu akibatnya sama saja. Dan memang, Raksasa Rimba Neraka sebenarnya hanya ingin mengetahui kemampuan dirinya. Dan ternyata memang mampu!

"Ha ha ha...!" Diiringi tawa terbahak-bahak, di­tinggalkannya tempat yang pelahan namun pasti mulai habis dimakan api! Namun tanpa diketahui, ada sesosok tubuh yang berlari meninggalkan tempat itu.

***

"Keparat ... !" Pengemis Tongkat Merah memaki. Wajah kakek kurus kering ini nampak merah padam. Kedua tangannya terkepal erat. Terdengar suara bergemeletak dari tulang-rulang tangan yang mengepal itu.

Dipandangi dalam-dalam sosok tubuh di hadapannya. Sosok tubuh muridnya yang berhasil melarikan diri sewaktu Raksasa Rimba Neraka mengamuk di sana. Sapta dan Kami pun nampak pucat wajahnya.

"Benarkah ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu, Kantara?" tanya kakek pengemis ini lagi, untuk memastikan.

"Benar, Guru."

Pengemis Tongkat Merah mengangkat wajahnya.

"Kalau begitu, aku harus membalas perlakuannya! Mati pun tidak mengapa, asal berhasil membunuh kawanan mereka sebanyak-banyaknya!"

"Aku ikut, Ayah!" tegas Kami buru-buru.
"Aku juga, Guru!" Sapta tak mau kalah.
"Begitu pula aku, Guru," pinta Kantara.

Kakek kurus kering ini, memandangi wajah anak dan murid-muridnya satu persatu. Ada nada kebanggaan terpancar di mata kakek ini.

"Sudah dipertimbangkan masak-masak keputusan kalian itu?"
"Sudah, Guru!" sahut mereka serentak. "Sekalipun taruhannya adalah nyawa kalian sendiri?"
"Kami tidak takut!"

"Bagus! Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak kakek itu seraya beranjak dari situ.

Sapta, Kami dan Kantara, berjalan mengikuti. Telah bulat tekad mereka untuk menumpas gerombolan Toga dan kawan-kawannya sekalipun harus berkorban nyawa!

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Dewa Arak berlari meninggalkan Sapta. Arya tahu kalau murid Pengemis Tongkat Merah salah paham. Mungkin dia disangka hendak berbuat sesuatu yang tidak senonoh terhadap gadis itu. Maka dengan itu, terpaksa ditinggalnya pemuda itu.

Tapi belum berapa jauh berlari, tubuh Dewa Arak mulai limbung dan akhirnya tak mampu bertahan. Tanpa ampun lagi, dia terjatuh di tanah. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda berbaju ungu itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkan saja tubuhnya tergolek di tanah. Arya memang bermaksud meredakan dulu napasnya yang memburu.

Setelah alur napasnya kembali normal, Dewa Arak beringsut mendekati rerimbunan semak yang agak tersembunyi. Di sudut bibir pemuda itu nampak bercak-bercak cairan darah merah. Dikeluarkan sebuah obat pulung yang terjepit di sebuah gulungan kain yang terselip di pinggangnya. Dewa Arak mengambil sebutir, kemudian menelannya. Obat itu memang manjur untuk menyembuhkan luka dalam.

Beberapa saat kemudian, Arya mulai diserang rasa kantuk. Dan pelahan namun pasti, sepasang mata itu mulai mengatup. Tak lama kemudian Dewa Arak pun tertidur.

Cukup lama juga pemuda itu tertidur. Dan ketika terbangun, yang terasa adalah lemas yang amat sangat. Tapi, rasa nyeri yang melanda dadanya sudah tidak ada lagi.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini segera duduk bersila. Punggungnya diluruskan, sementara kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.

Tak lama kemudian, Arya sudah tenggelam dalam keheningan semadi untuk memulihkan tenaganya kembali.

Waktu berlalu tak terasa. Malam pun berganti pagi. Tapi, Arya masih belum juga menghentikan semadinya. Sampai matahari naik tinggi, baru pemuda itu menghentikan semadinya.

"Hhh ... !"

Dewa Arak mendesah lega. Kini seluruh tubuhnya terasa segar kembali dan tenaganya pun telah pulih.

Pelahan Arya bangkit dari bersilanya. Kemudian berdiri menyandar pada sebatang pohon. Sepasang matanya menerawang ke depan, sementara benaknya berpikir keras mengingat hal aneh yang dijumpainya semalam.

Memang Dewa Arak tengah dilanda kebingungan. Mengapa Raksasa Rimba Neraka ada di rumah Kepala Desa Gebang? Padahal menurut cerita Ki Marta, kepala desa itu adalah Toga. Dan dia itu bekas kepala pengawal Ki Panjar.

Juga sebenarnya Toga bukan tokoh golongan hitam. Lalu, bagaimana bisa bersama Raksasa Rimba Neraka?

Tapi sampai otaknya lelah berpikir, Dewa Arak belum juga mendapatkan jawabannya. Pemuda berbaju ungu ini sadar kalau jawaban bagi semua pertanyaannya ada di rumah Kepala Desa Gebang. Maka seketika tubuh Dewa Arak ini pun kembali melesat ke sana.

Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja, yang nampak hanya sebuah titik hitam kecil. Dan akhirnya titik kecil itu lenyap di kejauhan.

***

Empat sosok tubuh berkelebat cepat ke arah ru­mah Kepala Desa Gebang. Mereka adalah Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kantara.

"Ingat, Sapta. Kau tidak perlu menghiraukan diriku. Aku akan mencoba menahan Raksasa Rimba Neraka, dan kau cari musuh besar yang telah membunuh keluargamu. Kami akan membantumu. Mengeiti?!" jelas Pengemis Tongkat Merah sambil terus berlari.

Sapta menganggukkan kepalanya pertanda mengerti.

Tak lama kemudian, keempat sosok tubuh itu pun sudah berada di depan pintu gerbang rumah besar dan megah yang berhalaman luas itu. Rumah Kepala Desa Gebang.

Tentu saja dua orang yang menjaga pintu gerbang itu mengenali Sapta dan Kami, yang telah menewaskan banyak teman mereka. Dan keduanya pun sadar, kalau bukan tandingan muda-mudi yang berkepandaian tinggi itu. Maka, seketika diputuskan untuk memberitahu teman-teman mereka.

Sebelum kedua orang itu sempat berbuat sesuatu, Kami dan Sapta bergerak cepat. Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka telah menghunus senjata masing-masing. Sapta dengan tombak pendek, dan Kami dengan pedang.

Wut ... ! Wuk ... !

Dua buah senjata itu melesat cepat mengiringi melesatnya tubuh mereka.

"Akh ... !"
"Aaa ... !"

Dua jerit kematian terdengar saling susul, mengiringi rubuhnya dua penjaga itu ke tanah. Mereka tewas dengan leher hampir putus.

Tentu saja suara jerit kematian itu menimbulkan kegemparan. Maka berbondong-bondong anak buah Toga, melesat ke arah suara itu berasal.

Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kan-ara tidak bertindak setengah-setengah lagi. Mereka segera menyambut serbuan anak buah Toga dengan penuh semangat. Setiap serangan yang dilancarkan, pasti membuat lawan mereka roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

"Akh ... !"
"Aaa ... !"

Jerit lengking kematian kembali terdengar saling susul. Para penjaga itu bagaikan segerombolan sernut menerjang api, dan satu persatu berguguran.

"Mundur semua...!"

Tiba-tiba terdengar seruan menggelegar, yang membuat sekitar tempat itu sepertinya bergetar hebat. Begitu hebatnya pengaruh bentakan itu, sehingga tan- pa sadar Pengemis Tongkat Merah, dan murid-murid­nya melompat mundur. Mereka semua memandang ke satu arah, ke tempat suara itu berasal.

Sekitar tiga tombak dari arena pertarungan, nampak berdiri seorang kakek tinggi besar yang tak lain Raksasa Rimba Neraka. Dia memang telah kembali, setelah membumihanguskan Perguruan Tongkat Merah. Di belakang kakek itu nampak berdiri Gajula dan Toga.

"Kau urusi saja musuh besarmu, Sapta. Biar kucoba menahan raksasa itu," bisik Pengemis Tongkat Merah.

"Tapi, Guru...," Pemuda berhidung melengkung yang tahu kalau gurunya bukan tandingan Raksasa Rimba Neraka, mencoba membantah.

"Tidak ada bantahan lagi, Sapta! Ini perintah...!" desis kakek pengemis itu tegas.

"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa ter-bahak-bahak. "Tidak kusangka kalau berani datang kemari, pengemis busuk! Apakah kali ini kau tidak akan lari terbirit-birit lagi seperti dulu?!"

Merah wajah Pengemis Tongkat Merah.

"Raksasa Rimba Neraka! Tidak kusangka kalau kau ternyata begitu pengecut! Kau membantai semua muridku selagi aku tidak berada di sana! Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas kekejianmu terhadap semua muridku!"

Setelah berkata demikian, Pengemis Tongkat Merah segera memutar tongkatnya di depan dada. Angin menderu keras, mengiringi putaran tongkat itu.

"Hiyaaat ... !"

Sambil berseru keras, kakek pengemis ini melompat menerjang. Tongkat merah di tangannya disabetkan ke arah leher lawannya. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka cepat-cepat mengangkat tangannya, menangkis.

Plak!

Hebat akibatnya. Tubuh Pengemis Tongkat Merah terjengkang ke belakang. Tangannya yang menggenggam tongkat terasa sakit bukan main. Sementara itu tubuh Raksasa Rimba Neraka hanya bergetar saja.

"Grrrh...!"

Raksasa Rimba Neraka menggeram keras. Telah bulat tekadnya untuk melenyapkan Pengemis Tongkat Merah, setelah kakek pengemis itu tidak ditemukan di perguruannya. Tidak akan dibiarkan kakek pengemis ini berhasil menyelamatkan diri lagi!

Kini kakek itu menjulurkan kedua tangannya ke depan, kemudian mengepalkannya pelahan-lahan. Terdengar bunyi bergemeletuk seolah-olah tulang­belulang kakek raksasa ini berpatahan. Suara itu semakin jelas terdengar ketika Raksasa Rimba Neraka menarik kedua tangannya yang terkepal itu ke sisi pinggang.

"Hiyaaa...!"

Tangan kanan kakek raksasa yang terkepal itu dipukulkan ke depan. Terdengar suara meledak-ledak, seolah-olah ada halilintar menyambar ke arah Penge­mis Tongkat Merah.

"Hup...!"

Kakek kurus kering membanting tubuhnya ke tanah, lalu berguling-gulingan.

Blarrr ... !

Seketika itu juga, tanah berlubang besar terhantam pukulan Raksasa Rimba Neraka yang tidak mengenai sasaran.

Melihat serangannya gagal, si raksasa ini marah bukan main. Maka dihujaninya tubuh lawannya yang tengah bergulingan itu, dengan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara meledak-ledak laksana hali­lintar.

Maka repotlah Pengemis Tongkat Merah dibuat­nya. Tiada jalan lain baginya kecuali terns bergulingan kalau ingin selamat. Berhenti berguling berarti berhenti pula nyawanya. Sementara itu, Sapta dan Kami yang semula ingin menerjang Toga dan Gajula, jadi mengurungkan niat setelah melihat guru mereka dalam keadaan demikian. Namun tiba-tiba....

Sraat ... !

Kami segera menghunus pedangnya.

Wuk ... ! Wuk ... !

Sapta pun memutar-mutarkan tombak pendeknya.

"Hiyaaa.,.!"

Sambil memekik melengking, Kami melompat. Dan seketika itu pula, ujung pedangnya ditusukkan ke arah leher Raksasa Rimba Neraka yang tengah menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan mautnya.

"Haaat...!"

Sapta pun tak ketinggalan. Pemuda berhidung melengkung ini juga melompat. Tombak pendek di ta­ngannya diputar-putarkan di udara, sebelum ditusuk­kan ke perut Raksasa Rimba Neraka.

Menghadapi dua serangan maut ini, Raksasa Rimba Neraka tidak bertindak ceroboh. Terpaksa dialihkan perhatiannya dari Pengemis Tongkat Merah.

"Grrrh ... !"

Sambil mengeluarkan gerengan kemarahan, kakek raksasa ini menggerakkan tangannya menangkis.

Trak ... ! Trak..!
"Ihhh ... !"
"Ahhh ... !"

Sapta dan Kami berbarengan menjerit kaget. Tangan kedua anak muda itu yang menggenggam sen­jata, terasa lumpuh seketika saat tangan telanjang si raksasa menangkis serangan mereka.

Belum lagi hilang rasa terkejut yang melanda hati mereka, tangan Raksasa Rimba Neraka kembali bergerak. Dan....

Tappp ... ! Kreppp...!

Pedang dan tombak pendek milik kedua muda­mudi itu tahu-tahu telah dicengkeram si raksasa. Dan Sapta dan Kami tentu saja tidak membiarkan senjata andalan mereka terampas. Buru-buru mereka me­ngerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk me mbe to t. Tapi, ce kalan pada se njata me re ka sama sekali tidak bergeming. Sebaliknya, begitu Raksasa Rimba Neraka menggerakkan tangan membetot, tubuh Kami dan Sapta pun tertarik maju .

Pengemis Tongkat Merah tentu saja melihat ke­adaan gawat yang dialami murid-muridnya itu. Maka cepat-cepat dia melompat sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala si raksasa. Namun Raksasa Rimba Neraka tentu saja tidak membiarkan kepalanya hancur tersabet tongkat kakek kurus kering. Mau tidak mau dibatalkan betotannya pada Sapta dan Kami.

Wusss ... !

Tongkat merah itu lewat beberapa rambut di depan muka kakek tinggi besar itu ketika raksasa itu menarik kepalanya mundur ke belakang.

Beberapa saat kemudian, keempat orang itu pun sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Kini setelah Sapta dan Kami ikut terlibat, pertarungan berlangsung seimbang.

Sementara itu Toga, Gajula dan anak buahnya, terpukau melihat pertandingan yang menegangkan itu. Demikian pula dengan Kantara yang hanya berdiri mematung tanpa memberi bantuan pada Kami dan Sapta.

Suara mendecit, menderu dan meledak-ledak mengiringi pertempuran mereka. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tidak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.

Tapi setelah pertarungan berlangsung tiga puluh jurus, mulai nampak keunggulan Raksasa Rimba Neraka yang pelahan namun pasti mulai menguasai keadaan.

"Hiyaaa ... !"

Kami berteriak nyaring. Pedang di tangannya berkelebat ke arah tenggorokan. Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan pedang itu.

Melihat hal ini, Raksasa Rimba Neraka menggeram. Tangan kanannya berkelebat cepat.

Takkk ... ! Tappp...!
"Ikh ... !"

Kami berteriak tertahan. Tubuhnya melayang deras ketika tangan si raksasa itu menangkis, sekaligus menangkap dan membetot. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba.

Akibatnya gadis itu tidak mampu berbuat apa-apa, dan membiarkan pedangnya dirampas lawan.

"Hup... !"

Gadis berpakaian jingga itu mendaratkan kedua kakinya di tanah, walaupun tubuhnya agak limbung. Singgg ... !

Secepat pedang Kami dirampas, secepat itu pula dilemparkan ke arah Sapta yang tengah menyerang. Terpaksa pemuda berhidung melengkung itu memba­talkan serangannya, dan menangkis sambitan pedang yang melesat ke arahnya.

Tranggg ... !

Begitu kuatnya tenaga yang terkandung dalam lemparan pedang itu, sehingga begitu Sapta me­nangkis, tombak di tangannya terlepas dari pegangan.

Kini leluasalah Raksasa Rimba Neraka menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan geledeknya.

Kembali untuk yang kesekian kalinya, kakek kurus kering itu berlompatan ke sana kemari menghindari setiap serangan lawan. Tak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi, kakek kurus kering ini tak akan bertahan lama.

Sadar jika keadaan seperti ini berlangsung terus, jelas amat berbahaya baginya. Maka Pengemis Tongkat Merah bertekad menerobos hujan pukulan jarak jauh yang bertubi-tubi me nye rangnya.

"Hiyaaa ... !"

Tubuh kakek pengemis itu melayang ke arah Raksasa Rimba Neraka. Tongkat di tangannya disodokkan ke arah ulu hati. Tapi sebelum serangan itu tiba, si raksasa telah melepaskan pukulan 'Tinju Geledek'-nya.

"Hih...!"
Wuuuttt ... ! Prattt...!
"Akh ... !"

Pengemis Tongkat merah memekik tertahan. Luncuran tubuhnya langsung terhenti di tengah jalan, ketika pukulan 'Tinju Geledek' lawan menyerempet pahanya.

Dengan tubuh sempoyongan, kakek pengemis ini hinggap di tanah. Dan selagi kakek ini belum sempat berbuat apa-apa, serangan susulan lawan menyambar tiba.

Wuuusss...!

Angin berhawa panas menderu keras ketika ilmu 'Tinju Geledek' itu menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah, yang hanya mampu menatap dengan mata membeliak lebar.

Di saat yang amat gawat bagi Pengemis Tongkat Merah, dari arah yang berlawanan, menyambar serentetan angin berhawa panas, yang menderu memapak serangan Raksasa Rimba Neraka.

Blarrr ... !

Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah pukulan jarak jauh yang sama-sama mengandung hawa panas bertemu di udara. Bunyi ledakan yang amat keras terdengar, membuat suasana di tempat itu bergetar seolah terjadi gempa.

Pengemis Tongkat Merah segera membanting tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sementara tubuh Raksasa Rimba Neraka tampak terhuyung. Tanpa me­lihat pun dia sudah dapat menduga orang yang telah mampu membuat dirinya seperti itu.

***8***

Di hadapan Raksasa Rimba Neraka, tampak berdiri tenang seorang pemuda berambut putih kepe­rakan. Sebuah guci arak yang terbuat dari perak, nampak tengah dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk ... !

Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokannya.

"Grrrh ... !"

Raksasa Rimba Neraka menggeram. Kakek pemakan manusia ini memang murka bukan kepalang. Sebab, lagi-lagi Dewa Arak menggagalkan usahanya yang hampir berhasil membunuh Pengemis Tongkat Merah.

"Hih ... !"

Dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi Raksasa Rimba Neraka segera mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tinju Geledek'. Kedua tangannya melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah dada. Setiap gerakan tangannya me n imbulkan suara me le dak-le dak bagai geledek.

Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak tidak mengalami kesulitan menghindari serangan itu. Dengan gerakan terhuyung-huyung se­perti akan jatuh, Arya berkelit. Maka, setiap serangan Raksasa Rimba Neraka kandas dan mengenai tempat kosong.

Yang lebih hebat lagi, begitu mengelak, Dewa Arak langsung berbalik mengancam lawan. Satu keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang'!

Sementara itu, begitu melihat Raksasa Rimba Neraka telah mendapat lawan, Sapta dan Kami tidak mau membuang-buang waktu lagi. Mereka cepat-cepat menerjang musuh besar masing-masing. Sapta mener­jang Toga, sedangkan Kami menerjang Gajula. Sementara Pengemis Tongkat Merah dan Kantara menghadapi pengeroyokan anak buah Toga.

Sapta kini telah menggenggam kembali tombak pendeknya yang tadi terlepas dari pegangan. Dengan senjata itu diterjangnya Toga penuh kemarahan. Tom­bak pendek di tangannya berputaran, menimbulkan suara angin menderu-deru.

Toga yang telah mengetahui kelihaian pemuda putra Ki Panjar ini, tidak mau bertindak gegabah. Maka, segera dicabut goloknya. Dalam hati, Kepala Desa Gebang ini memaki-maki Dewa Arak yang untuk kesekian kalinya mengacau urusannya.

Tranggg ... ! Tranggg...!

Dua kali berturut-turut Toga menangkis serangan Sapta. Dan akibatnya, sekujur tangannya terasa bergetar hebat. Sadarlah si kumis melintang ini kalau tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah Sapta. Walaupun waktu itu, Toga sudah merasakan sendiri kehebatan tenaga dalam pemuda di hadapannya ini, tapi rasa penasaran membuatnya mencoba mengadu tenaga kembali.

Wut ... !

Kembali serangan susulan tombak pendek Sapta menyambar deras. Tombak itu berputaran sejenak, sebelum membabat leher.

Melihat serangan ini, Toga kebingungan. Karena tidak bisa menduga arah serangan itu sebenarnya. Apalagi serangan itu dilakukan secara berputar, se­hingga membuatnya pusing. Dan baru setelah serang­an itu menyambar dekat, diketahuinya arah sasaran serangan itu.

Toga buru-buru mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan tombak itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Dan begitu serangan itu lewat, tanpa membuang-buang waktu lagi golok di tangannya ditusukkan ke bagian perut Sapta yang terbuka lebar.

Tapi murid andalan Pengemis Tongkat Merah ini, tentu saja tidak ingin perutnya ditembus golok. Buru-buru tusukan itu dielakkan sambil tak lupa mengirim serangan balasan yang tak kalah berbahayanya. Kini keduanya sudah terlibat pertarungan mati-matian.

Di bagian lain, Kami tampak tengah berjuang keras menghadapi Gajula. Murid Raksasa Rimba Neraka ini memang cukup lihai. Dan tentu saja Kami harus menguras kemampuan untuk melawannya. Pedang di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran di sekujur tubuh lawan.

Di antara para penyerbu itu, Pengemis Tongkat Merahlah yang paling beruntung. Kakek ini hanya menghadapi puluhan keroco. Dengan gerakan seenaknya, dirangsek lawan-lawannya. Ke mana tongkat di tangannya bergerak, sudah pasti di situ ada sesosok tubuh yang roboh.

Jerit pekik kematian terdengar saling susul. Dalam waktu sebentar saja, sudah delapan orang yang roboh di tangan kakek kurus kering ini.

Pengemis Tongkat Merah bertarung tidak sepenuh hati. Sepasang matanya berkeliaran memperhatikan pertempuran lainnya. Terutama pertempuran Dewa Arak melawan Raksasa Rimba Neraka.

" Akh...!"

Jerit tertahan membuat Pengemis Tongkat Merah yang tengah enak-enaknya membunuhi lawannya jadi terperanjat. Suara itu cukup dikenalnya. Suara Kantara!

Segera saja kepala kakek kurus kering itu ditolehkan ke arah asal suara. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya, melihat Kantara terhuyung­huyung. Di dada pemuda itu tertancap sebatang golok bergerigi mirip gergaji yang tembus sampai ke punggung. Kalau melihat bentuknya, jelas golok itu milik Gurat! Dan memang sejak tadi Kantara be rte mpur melawan Gurat.

Seketika pucat wajah Pengemis Tongkat Merah. Apalagi ketika melihat tubuh Kantara kemudian roboh. Kakek ini melompat meninggalkan arena pertempuran, dan langsung menerjang Gurat. Dan memang, dia pun telah menghabisi lawan-lawannya.

Gurat kaget bukan main. Maka sebisanya dia berusaha mengelak. Tapi gerakannya terlalu lambat bagi guru Kantara.

Prak!
"Aaakh...!"

Tubuh Gurat rubuh di tanah ketika tongkat merah di tangan kakek kurus kering itu, menghantam kepalanya hingga remuk.

Tepat saat Gurat tewas, Sapta berteriak nyaring. Tombak pendek di tangannya melesat cepat ke arah perut Toga yang sudah terdesak. Cepat-cepat kepala desa itu menangkis.

Tranggg ... !

Tangan Toga tergetar hebat. Dart di saat itu kaki kanan Sapta menyambar ke arah siku.

Tukkk ... !

Toga merasakan tangannya mendadak lumpuh, dan golok di tangannya pun terlempar. Di saat itulah, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tombak di tangan Sapta meluruk deras ke arah lambung Toga.

Blesss ... !
"Aaakh ... !"

Toga menjerit memilukan. Beberapa saat lamanya tubuhnya bergetar melawan maut, kemudian roboh untuk selamanya.
"Adi Toga...!"

Gajula menjerit ketika melihat adik kandungnya berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tidak ber­gerak lagi.

"Keparat ... ! Kubunuh kau...!"

Tanpa mempedulikan Kami, Gajula melompat menerkam Sapta laksana seekor macan menerkam mangsa. Kami yang melihat bahaya besar mengancam Sapta, segera melesat memburu. Pedangnya ditusukkan ke depan.

Sementara itu, Sapta hanya terkesiap. Terkaman itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk memapak serangan dengan kedua tangan.

Plak!

Tubuh Sapta terjengkang ke belakang. Memang tenaga dalam yang dimiliki Gajula lebih kuat. Tapi sebelum Gajula sempat memberikan serangan susulan, serangan pedang Kami telah lebih dulu tiba.

Cappp...!
"Akh ... !"

Gajula memekik tertahan. Pedang Kami telah menghunjam punggungnya hingga tembus ke perut. Darah segar kontan muncrat ketika Kami mencabut pedangnya.

Tubuh Gajula sempoyongan. Tampak jelas kalau si wajah kera ini mencoba bertahan. Tapi karena luka-luka yang diderita terlalu parah, dia pun roboh ke tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sejenak, sebe­lum akhirnya diam tidak bergerak lagi.

"Kau tidak apa-apa, Kang?" tanya Kami. Wajah­nya menampakkan kecemasan yang hebat.
Sapta menggelengkan kepalanya. Rasa gembira yang amat sangat melanda hatinya melihat kekhawatiran gadis itu terhadap keselamatannya.

"Hanya dadaku saja yang agak sesak sedikit Si wajah kera itu memang lihai bukan main. Kalau saja tidak ada dirimu...."
"Sudahlah, Kang...," selak Kami cepat.

"Grrrh ... !" terdengar gerengan murka Raksasa Rimba Neraka.

Seratus dua puluh lima jurus telah berlalu, tapi kakek raksasa itu tidak juga mampu mendesak Dewa Arak. Padahal 'Tinju Geledek' yang jadi ilmu andalannya telah digunakan. Bahkan sebaliknya, malah dia yang terdesak.

Kini terpaksa Raksasa Rimba Neraka menggunakan 'Jurus Trenggiling'. Dan memang menghadapi jurus ini, Dewa Arak kebingungan. Ilmu 'Belalang Sakti' jadi lumpuh menghadapi ilmu ini. Posisi lawan yang selalu di bawah, membuat Arya repot bukan main. Sulit baginya untuk menjatuhkan serangan.

Setiap serangan Dewa Arak selalu berhadapan dengan sepasang kaki yang memiliki pertahanan kokoh dan kuat.

Sebaliknya setiap serangan kaki raksasa itu, membuatnya repot bukan main. Pelahan namun pasti Dewa Arak terdesak.

Tapi walaupun terdesak, pikiran Dewa Arak bekerja keras. Dari pengalaman menghadapi lawan­lawan tangguh, pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau tidak ada ilmu yang sempurna. Semua ilmu memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Dewa Arak sibuk berpikir untuk melumpuhkan ilmu lawan yang aneh ini.

Selama dua puluh jurus kemudian, Dewa Arak hanya bisa mengelak. Tanpa mampu balas menyerang. Karena memang tidak bisa menyarangkan serangan satu pun.

"Hait...!"

Sambil berteriak nyaring, Raksasa Rimba Neraka kembali menyerang Dewa Arak. Kedua kakinya bergerak menggunting kaki Arya.

"Hup...!"

Dewa Arak melompat ke belakang. Sehingga guntingan kedua kaki raksasa itu mengenai tempat kosong. Dan begitu tubuhnya berada di udara, Arya menghentakkan kedua tangannya. Dengan jurus 'Pukulan Belalang' dari 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang jarang dipergunakan, Arya mengirimkan serangan.

Wuuusss...!
Blarrrr ... !

Pukulan itu menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka tadi berada. Namun demikian, Dewa Arak terus mencecar raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya, sehingga lawannya hanya bisa berguling-gulingan menghindari serangan yang dahsyat itu!

Serentetan angin pukulan berhawa panas, menyambar deras ke arah Raksasa Rimba Neraka. Kakek raksasa ini kaget bukan main. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya, kemudian berguling-guling menjauh.

Blarrrr...!

Tak pelak lagi pukulan itu menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka berada, hingga berlubang besar. Namun demikian, Dewa Arak tidak membiarkan lawannya lolos. Segera dicecarnya si raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya.

Suara menggelegar terdengar bertubi-tubi, setiap kali Raksasa Rimba Neraka berhasil mengelakkan serangan Dewa Arak. Kini keadaan jadi berbalik, karena Raksasa Rimba Neraka tidak memperoleh kesempatan membalas.

Kakek bertubuh raksasa itu menggeram. Disadari kalau keadaan seperti ini berlangsung terus­menerus, dia akan tewas di tangan lawannya. Maka pada suatu kesempatan, raksasa ini melentingkan tubuhnya ke atas sambil mengirimkan serangan pukulan jarak jauh.

Suara meledak-ledak terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Tapi Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan hal itu, segera membanting tubuh ke tanah. Tepat pada saat itu, Arya melepaskan 'Pukulan Belalang'-nya.

Wuusss...!
Bresss ... !
"Aaakh ... !"

Terdengar jeritan ngeri dari mulut Raksasa Rimba Neraka. Pukulan yang dilepaskan Dewa Arak telak menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuhnya te rle mpar ke be lakang sej auh be be rapa tombak.

Brukkk...!

Disertai suara berdebuk keras, tubuh itu jatuh ke tanah. Tapi kakek raksasa ini memang hebat bukan main. Jurus 'Pukulan Belalang' yang biasanya langsung mematikan lawan, ternyata tidak mampu menewaskannya. Walaupun dengan tertatih-tatih, kakek bertubuh raksasa itu berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya nampak hitam hangus.

Dewa Arak terperangah juga melihat kekuatan Raksasa Rimba Neraka ini. Terpaksa dilepaskannya lagi jurus 'Pukulan Belalang'-nya!

Bresss ... !
"Aaakh ... !"

Diiringi jeritan menyayat hati, tubuh Raksasa Rimba Neraka terpental jauh ke belakang. Beberapa saat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, sebelum akhirnya jatuh ke tanah menimbulkan suara berdebuk keras. Dan seiring jatuhnya tubuh kakek raksasa itu di tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan raganya.

Pengemis Tongkat Merah, Sapta, dan Kami bergegas memburu ke arah tubuh Raksasa Rimba Neraka. Bergidik hati mereka melihat sekujur tubuh si raksasa itu yang tewas dalam keadaan mengerikan, hangus seperti terbakar.

"Hei ... ! Ke mana dia...?"

Sapta yang lebih dulu tersadar karena ingin meminta maaf, merupakan orang pertama yang menyadari kalau Dewa Arak telah tidak ada lagi di situ.

Karuan saja ucapan Sapta membuat kaget Pe­ngemis Tongkat Merah dan juga Kami. Mereka pun menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari Dewa Arak.

"Dewa Arak...! Aku, Sapta meminta maaf padamu! Aku telah berlaku tidak pantas padamu kemarin malam...!"

Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam itu menggema ke sekitarnya. Sapta berdiri diam menunggu. Sayup-sayup di telinga pemuda berhidung melengkung itu terdengar bisikan lirih, yang dikirimkan dari jarak jauh.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sapta. Aku tahu kau tidak bersalah. Semua itu hanya salah paham saja. Lupakanlah ... !"

Seketika wajah Sapta berseri-seri.

"Ada apa, Kang? Mengapa kelihatan gembira sekali?" tanya Kami yang tidak dapat menahan keingintahuannya.
"Dewa Arak memang seorang pendekar sejati...," puji Sapta.
"Maksudmu ... ?" tanya Pengemis Tongkat Merah. Agak tertahan suaranya.
"Dia sama sekali tidak menyalahkan aku, atas peristiwa yang terjadi kemarin malam...."
"Sudah kuduga...," desah kakek kurus kering.

Sementara itu nun jauh di sana, orang yang me­reka percakapkan, tengah melangkah pelahan menyusuri jalan. Sesekali, arak dalam guci yang digenggamnya itu dituangkan ke mulut. Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki kerongkongannya. Dewa Arak terus melangkahkan kakinya. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan selaku seorang pendekar. Nah, para pembaca yang budiman, sampai jumpa pada kisah Dewa Arak selanjutnya.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Terimakasih banyak siiiip mantap ceritanya lanjutkan