04 - Raksasa Rimba Neraka
"Hiyaaat ... ! Haaat ...
!"
Teriakan keras seperti tengah
terjadi pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di sebuah tanah lapang
yang luas di Lereng Gunung Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang
pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih.
"Haaat ... !"
Kembali pemuda itu berteriak
nyaring melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya dikibaskan ke sebatang
pohon.
Brakkk...!
Seketika itu juga pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi rubuhnya
pohon itu ke tanah.
"Bagus sekali,
Sapta!" puji seorang kakek yang sejak tadi memperhatikan. Di sebelah kakek
itu nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik
manis. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya berwarna jingga, sehingga cocok
sekali dengan warna kulitnya.
Pemuda bertelanjang dada yang
dipanggil Sapta itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya menghadap
kakek yang kira-kira berusia enam puluh tahun. Pakaiannya rompi dan celana
sebatas bawah lutut tampak penuh tambalan, membungkus tubuhnya yang kurus
kering. Kakek itu ternyata memang seorang pengemis! Di tangan kanannya,
tergenggam sebatang tongkat kayu berwarna merah. Dalam rimba persilatan, dia
berjuluk Pengemis Tongkat Merah.
"Aku mohon petunjuk,
Guru," pinta Sapta yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu.
Pengemis Tongkat Merah yang
ternyata guru pemuda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh.
Dipandanginya sosok tubuh
tinggi besar, dan berhidung melengkung di hadapannya sebentar.
"Tidak ada lagi yang
dapat kuajarkan, Sapta. Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan
Kami," tegas kakek kurus kering itu sambil menoleh kepada gadis yang
berdiri di sebelahnya. "Kau telah menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu,
Sapta!"
Wajah pemuda tinggi besar dan
berhidung melengkung itu memerah, menerima pujian itu.
"Ah, semua ini adalah
berkat bimbingan Guru, dan Kami juga," ucapnya merendah.
"Kau memang terlalu
rendah diri, Sapta. Aku hanya membantu, sedangkan hasilnya semua tergantung
padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh, sehingga tidak aneh kalau hampir
setingkat Kami yang telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil
tersenyum.
Ucapan Pengemis Tongkat Merah
membuat Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa sepuluh tahun silam.
Waktu itu ia, ayah dan ibunya
pergi berburu ke sebuah hutan. Karena ayah Sapta adalah seorang kepala desa,
tidak aneh jika dalam perburuan itu, mereka dikawal beberapa anak buah ayahnya.
Tapi sesungguhnya di dalam
hutan, terjadilah hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak sebagai
kepala pengawal, tiba-tiba melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha ! Sekarang
adalah akhir dari kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi
kekar, berkulit hitam, dan berkumis melintang itu. Suaranya begitu keras dan
kasar. Ketika dijentikkan jarinya, seketika para pengawal yang berjumlah
delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar, istrinya dan Sapta, yang waktu
itu baru berusia sebelas tahun.
Wajah Ki Panjar dan istrinya
langsung berubah. Mereka menyadari adanya ancaman dari ucapan Toga.
"Apa maksudmu,
Toga?" tanya Ki Panjar. Suaranya terdengar tenang.
"Maksudku sudah jelas,
Panjar! Kau dan keluargamu ini, akan kukirim ke neraka. Sementara aku akan
menggantikan kedudukanmu menjadi kepala desa! Ha ha ha...!"
Wajah Nyi Panjar semakin
bertambah pucat. Sebaliknya Ki Panjar tetap tenang-tenang saja.
"Apa yang kau andalkan,
Toga? Apakah hanya keroco-keroco tak berguna ini?!" tanya Ki Panjar sambil
mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Tawa Toga berhenti. Sepasang alis
matanya berkerut. Sikap tenang Ki Panjar membuat si kumis melintang ini merasa
curiga. Apalagi kata-kata kepala desa itu, yang mengatakan bahwa delapan orang
pengawal itu hanyalah keroco-keroco tak berguna.
Toga memang tahu kalau Ki
Panjar memiliki kepandaian. Tapi apakah kepandaian yang dimilikinya cukup
tinggi? Paling-paling kepandaiannya hanya dapat menghadapi empat orang pengawal
itu!
"Kau terkejut, Toga? Aku
pun tahu kalau kau secara sembunyi-sembunyi sering mengintai latihanku.
Untunglah aku mencurigai kelakuanmu itu. Maka di depanmu aku melatih ilmu-ilmu
tingkat rendahan saja. Sementara ilmu-ilmu lain kulatih saat kau lengah."
Wajah Toga berubah. Benarkah
semua yang dikatakan kepala desa ini? Atau hanya bualan belaka? Selagi dia
berpikir, tubuh Ki Panjar berkelebat. Gerakannya cukup gesit, jauh di luar
dugaan Toga.
Dalam sekejap saja, tubuh Ki
Panjar, Nyi Panjar, dan Sapta telah lenyap dari punggung kuda. Segera Toga
mengalihkan perhatiannya ke arah Ki Panjar tadi melesat.
Ternyata Ki Panjar tidak pergi
jauh jauh. Sekitar tiga tombak dari situ, tampak kepala desa itu berdiri tegak
membelakangi anak dan istrinya. Di tangannya tergenggam sebuah keris berkeluk
tujuh. "Seraaang ... !" teriak Toga keras.
Belum juga gema suaranya
habis, tubuhnya sudah melesat menerjang Ki Panjar. Golok di tangannya yang
sudah terhunus, cepat ditusukkan ke perut laki-laki yang sebenarnya adalah
atasannya.
Ki Panjar tetap bersikap
tenang. Keris di tangannya digerakkan cepat.
Trak!
"Akh...!"
Toga menjerit kesakitan.
Ternyata bahu kirinya sobek terserempet keris. Sungguh si kumis melintang ini
tidak habis pikir. Padahal, jelas teriihat kalau kepala desa itu menangkis
serangan goloknya. Tapi mengapa begitu mengenai goloknya, keris itu melesat ke
arah leher? Untung dia cepat mengelak. Terlambat sedikit saja, mautlah baginya.
Toga sama sekali tidak tahu
kalau itu adalah keistimewaan ilmu keris Ki Panjar. Begitu menangkis, keris di
tangan kepala desa ini dapat terus melesat. Laksana bola, keris itu membal,
begitu membentur golok. Hanya saja 'membalnya' keris itu diatur Ki Panjar.
"Kaget, Toga?!"
tanya Ki Panjar. Senyum mengejek tersungging di bibirnya. "Sekarang
terimalah kematianmu!"
Untung saja sebelum Ki Panjar
mengirimkan serangan susulan, pengawal yang berjumlah delapan orang,
cepat-cepat mengirimkan serangan. Mau tidak mau kepala desa itu memusatkan
perhatiannya ke arah mereka.
Ternyata ucapan yang keluar
dari mulut Ki Panjar, bukanlah sekadar omong kosong. Delapan orang bekas
pengawalnya memang sama sekali tidak berarti menghadapinya. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang berada jauh di atas para pengeroyoknya, mudah saja
baginya untuk mengelakkan setiap serangan.
Sebaliknya setiap kali
tangannya bergerak, pasti ada sosok tubuh yang rubuh tanpa nyawa. Jerit
lengking kematian terdengar saling susul. Dalam sekejap mata saja, sudah tiga
orang pengawal yang tewas.
Sementara Toga yang telah
selesai menotok jalan darah di sekitar luka agar darah berhenti mengalir,
menjadi geram melihat kematian tiga orang anak buahnya. Kembali si kumis
melintang menerjang. Golok di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran.
Kini gerakan Ki Panjar mulai
agak tertahan. Kepandaian yang dimiliki kepala pengawalnya tidak bisa
dibandingkan dengan delapan orang pengawal itu. Kalau tadi Toga terluka, ini
karena belum mengetahui keistimewaan permainan keris lawan. Setelah tahu, Toga
bersikap hati-hati. Akibatnya beberapa saat lamanya, pertarungan itu
berlangsung seru dan se imbbang.
Tapi lewat dua puluh jurus,
tampaklah keunggulan Ki Panjar. Pelahan namun pasti, kepala desa ini mulai
berada di atas angin. Keris di tangannya kembali mengambil korban. Satu demi
satu para pengawal berguguran.
Melihat hal ini, Toga menjadi
gelisah. Sudah dapat dipastikan kalau usahanya akan gagal. Ia bersama sisa tiga
orang anak buahnya semakin terdesak hebat .
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa
bergelak. Belum lagi suara tawa yang membuat istri dan anak Ki Panjar jatuh
terduduk itu lenyap, sesosok tubuh tegap berwajah mirip seekor kera telah
muncul di tempat itu.
Pertarungan langsung terhenti.
Ki Panjar, Toga, dan para pengawal sama-sama menoleh ke arah asal suara.
"Kakang Gajula...!"
teriak Toga. Wajahnya langsung berseri-seri. Bergegas dihampirinya si wajah
kera, yang usianya tak lebih dari empat puluh tahun.
Orang berwajah kera yang
bernama Gajula hanya tertawa saja. "Sungguh memalukan kau, Adi Toga!
Menghadapi orang seperti itu saja sampai mengandalkan banyak orang!"
Merah wajah si kumis
melintang.
"Dia lihai sekali,
Kang!" sergah Toga keras. Gajula mendengus. "Ingin kulihat sampai di
mana kelihaiannya!"
Setelah berkata demikian,
dihampirinya Ki Panjar yang hanya mendengarkan percakapan itu. Orang yang
bernama Gajula itu ternyata adalah kakak kepala pengawal yang bernama Toga.
Gajula menatap Ki Panjar dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Tampak senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Melihat hal ini, seketika
panas hati Ki Panjar. Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring,
diterjangnya lawan di hadapannya.
Singgg ... !
Keris di tangan kepala desa
itu ditusukkan ke arah leher Gajula. Cepat bukan main gerakannya. Tapi, masih
lebih cepat gerakan Gajula! Begitu serangan keris lawan mendekat, dengan sebuah
gerakan sederhana, ditarik kepalanya ke belakang. Tepat ketika tangan kanannya
menangkap pergelangan tangan Ki Panjar yang menggenggam keris, Gajula langsung
membetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh kepala
desa itu tertarik ke depan. Belum lagi Ki Panjar sempat berbuat sesuaru,
kembali tangan Gajula bergerak.
Krak!
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras
ketika tangan itu menghantam telak dan keras bahu Ki Panjar. Kepala desa itu
langsung mengeluh tertahan, karena tulang bahunya remuk seketika. Rasa sakit
yang amat sangat mendera tubuhnya.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa Gajula
yang bergelak "Hanya sampai di sini sajakah orang yang kau bilang lihai
itu, Toga?! Atau, kau sendiri yang kurang becus!? Nih! Kuberikan padamu ...
!"
Setelah berkata demikian,
Gajula melemparkan tubuh Ki Panjar yang sudah setengah sadar pada Toga.
Si kumis melintang tertawa
terkekeh. Tangannya bergerak cepat
Blesss ... !"
"Aaakh ... !"
Ki Panjar memekik tertahan
ketika golok Toga menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung! Dan begitu si
kumis melintang ini mencabut kembali goloknya, darah langsung muncrat keluar.
Beberapa saat lamanya kepala desa itu ambruk, lalu menggelepar-gelepar di
tanah. Dan kini diam tidak bergerak lagi.
"Kakang ... !"
terdengar jerit penuh kepiluan memecah tawa kemenangan Gajula. Seiring
terdengarnya jeritan tadi, seorang wanita setengah baya berlari mendekati tubuh
Ki Panjar. Wanita itu adalah istri kepala desa yang kini membujur kaku.
Sementara Sapta hanya
memandang mayat ayahnya dengan mata merembang berkaca-kaca. Bibirnya terlihat
menggigil gemetar, tapi tidak sedikit pun terdengar isak dari mulutnya.
Nyi Panjar terus menghambur.
Tapi sebelum kaki perempuan setengah tua mencapai tubuh suaminya, tangan Toga
bergerak.
Singgg...!
Cappp...!
"Akh ... !"
Nyi Panjar memekik tertahan.
Ternyata golok yang dilempar kepala pengawal itu menghunjam tubuh wanita itu
hingga tembus ke punggung! Tanpa ampun lagi Nyi Panjar ambruk ke tanah. pan
saat itu pula, nya-wanya telah melayang meninggalkan raganya.
"Ibu ... !"
Kali ini Sapta tidak bisa lagi
menahan perasaannya. Anak yang baru berusia sebelas tahun ini menjerit keras,
sambil berlari menubruk ibunya.
"Anak ini akan menjadi
bibit penyakit di kemudian hari!" desis Gajula. Seketika didorongkan kedua
tangannya ke depan.
Wuuuttt ... !
Angin keras berhembus keluar
dari kedua telapak tangan laki-laki berwajah kera itu. Angin itu mehincur deras
ke arah Sapta, yang tengah beriari menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di
tanah.
Tapi sebelum angin pukulan
Gajula itu mengenai Sapta, sesosok bayangan telah lebih dulu berkelebat
menyambar bocah kecil itu.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan
orang dewasa tumbang seketika, terkena angin pukulan yang salah sasaran itu.
"Keparat...!" Gajula
berteriak memaki.
Digenjotkan kakinya mengejar
ke arah berkelebatnya sosok bayangan itu. Tapi, sosok bayangan itu telah lebih
dulu lenyap, ditelan kerimbunan semak-semak dan pepohonan.
Sosok bayangan yang ternyata
berjuluk Pengemis Tongkat Merah ini, membawa Sapta ke tempat tinggalnya di
Lereng Gunung Jarak. Di situ kakek kurus kering ini memilikt sebuah perguruan,
yang diberi nama Perguruan Tongkat Merah.
Sejak saat itu, Sapta menjadi
muridnya. Apalagi setelah terbukti kalau pemuda ini memiliki bakat yang baik
untuk mempelajari ilmu silat.
"Apa yang kau pikirkan,
Sapta?" tanya Pengemis Tongkat Merah memenggal lamunan pemuda berhidung
melengkung itu.
"Ah ... !" Sapta
berdesah kaget "Tidak, Guru. Tidak ada yang kupikirkan."
Pengemis Tongkat Merah
tersenyum maklum. "Kau jangan berdusta, Sapta. Berkali-kali kupanggil, kau
tidak menyahut. Aku yakin, ada sesuatu yang tengah kau pikirkan."
Sapta tertunduk diam.
"Kau tengah memikirkan
peristiwa sepuluh tahun yang lalu, bukan?" duga kakek itu.
Beberapa saat lamanya pemuda
berhidung melengkung itu hanya terdiam. Pengemis Tongkat Merah dengan sabar
menunggu. Dan memang, penantian kakek ini tidak sia-sia. Pelahan namun pasti
kepala muridnya terangguk pelan.
"Sudah kuduga...,"
ucap kakek berpakaian rompi tambalan itu. "Memang sudah saatnya kau
mengamalkan ilmu yang telah kau pelajari, untuk orang yang membutuhkan. Aku
tidak akan menghalangi jika kau ingin membalas dendam atas kematian orang
tuamu, Sapta. Hanya satu pesanku. Jangan gunakan ilmu yang kuwariskan ini untuk
kejahatan. Sumbangkan ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan
semampumu!"
"Akan kuperhatikan semua
nasihat Guru...." Pengemis Tongkat Merah mengangguk-anggukkan kepalanya,
dan tampak gembira.
"Kapan kau akan
berangkat?" tanya kakek itu. "Besok, Guru!"
Kakek kurus kering ini terdiam
sejenak. "Kau setuju, kalau Kami ikut turun gunung bersamamu?"
Sapta menundukkan kepalanya.
Dengan ekor mata, diliriknya gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di
samping gurunya.
Selama ini Kami-lah yang
selalu menemani berlatih. Bahkan kepandaian gadis itu masih berada di atas
kepandaiannya. Karena di samping Kami memiliki bakat yang hebat, gadis itu
telah dididik lebih dulu oleh Pengemis Tongkat Merah.
"Bagaimana, Sapta?"
desak kakek itu ketika melihat pemuda berhidung melengkung itu diam saja.
"Terserah pada Kami,
Guru," sahut Sapta mengelak.
"Jawablah sebagaimana
seharusnya seorang laki-laki menjawab, Sapta!" tegur kakek pengemis itu.
Tajam nada suaranya.
"Kalau aku, setuju saja,
Guru. Bahkan merasa senang sekali, bila Dik Kami bersedia ikut!" tegas
pemuda itu. Ekor matanya melirik wajah gadis di sebelah gurunya. Dilihatnya
wajah gadis itu berseriseri. Kami memang gadis pendiam. Dan secara diamdiam
pula Sapta mencintai putri angkat gurunya ini.
"Ha ha ha...! Itu baru
jawaban seorang laki-laki, Sapta! Baik, besok kalian berangkat!"
Keesokan harinya, tampak dua
sosok tubuh bergerak menuruni Lereng Bukit Jarak. Mereka adalah Kami dan Sapta.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, tidak sulit bagi keduanya untuk
menurum lereng gunung itu.
******
Brakkk...!
Pintu sebuah rumah kecil yang
berdinding bilik, hancur berantakan ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya.
Diiringi suara hiruk pikuk, kepingankepingan pintu itu jatuh berderai di
tantai. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang tengah terbaring
di dipan bambu langsung terlonjak. Wajahnya kian memucat ketika melihat dua
sosok tubuh yang amat dikenalnya berdiri di ambang pintu.
Belum juga rasa kagetnya
hilang, sosok tubuh tinggi besar dan berkepala botak yang tadi menendang pintu,
berjalan masuk ke dalam. Langkahnya sengaja dibuat lebar-lebar, menampilkan
kepongahannya.
"Tua bangka tidak tahu
diuntung!" geram si kepala botak sambil melayangkan kakinya kembali
menendang.
Krak!
Brakkk...!
"Aaakh ... !"
Si kakek memekik kesakitan.
Kaki salah satu dipan bambu itu langsung patah terkena tendangan. Seketika itu
juga, dipan bambu itu pun rubuh bersama kakek itu.
Si kepala botak membungkukkan
badan. Dan di saat tegak kembali, tangannya telah mencengkeram leher baju kakek
itu dan mengangkatnya ke atas.
"Hekh ... !"
Si kakek mengeluh tertahan,
dan jalan napasnya terasa sesak. Karena tubuh si kakek jauh lebih kecil
daripada tubuh si kepala botak, maka tubuhnya jadi seperti menggantung.
"Ampun.... Maafkan aku,
Den Sagar. Aku tidak bisa bekerja.... Aku sedang sakit..., ampunkan
aku...," ucap kakek itu tersendat-sendat.
"Hugh...!"
Ucapan si kakek terhenti
ketika lutut si kepala botak yang bernama Sagar menyodok perutnya. Wajah kakek
itu seketika memerah, dan kedua bola matanya membeliak lebar. Sodokan pada
perutnya membuat napasnya sesak seketika.
"Enak saja kau bicara!
Ingat, Ki Marta! Kau sudah terima upahnya! Mau sakit, kek.... Mau mati, kek....
aku tidak peduli! Yang penting, kau harus bekerja seperti biasanya!
Mengerti?!"
Ki Marta menelan ludah, lalu
menganggukkan kepala berulang-ulang.
"Bagus!"
Setelah berkata demikian,
tubuh kakek itu diturunkan. Tapi kerena keadaan kakek itu yang memang sedang
sakit, apalagi baru saja mendapat sodokan lutut yang amat keras, begitu
diturunkan Ki Marta langsung sempoyongan dan jatuh berdebuk di lantai.
Melihat hal itu, Sagar
menggeram.
"Bangun, Ki Marta! Cepat
... ! Kita pergi sekarang, sebelum kesabaranku hilang...!" ancam Sagar tak
sabar.
Tubuh Ki Marta menggigil.
Kedua tangannya bergetar keras, ketika mencoba bertumpu pada kedua tangannya
untuk bangkit. Tapi betapapun berusaha, kondisinya yang tidak memungkinkan
menggagalkan usahanya.
Melihat hal ini Sagar menjadi
tidak sabar. Untuk yang kesekian kalinya, kakinya kembali bergerak
Buk!
Dengan telak tendangan Sagar
menghantam perut Ki Marta. Untung saja si kepala botak ini tidak mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak, tentu kakek yang sial itu tewas! Tapi
meskipun demikian, tak urung tubuh Ki Marta terlempar dan terguling-guling.
"Rupanya kau memang sudah
bosan hidup, tua bangka! Dasar tidak tahu diuntung! Tapi jangan harap akan mati
dengan enak! Kau akan kusiksa dulu sebelum kubunuh!"
Setelah berkata demikian,
Sagar bergerak menyusul tubuh kakek itu.
"Hup...!"
Dengan kaki, dicungkilnya
tubuh terkapar yang berusaha bangkit. Tubuh tua itu melayang ke atas. Di saat
itu, sapuan kaki laki-laki berkepala botak menyambutnya.
Buk ... !
Kini pinggul Ki Marta yang
mendapat giliran. Cukup keras, sehingga membuat tubuh yang sedang berada di
udara itu meluruk ke luar.
Brukkk...!
Tubuh kakek itu jatuh deras
mencium tanah. Keras bukan main. Tapi Ki Marta rupanya termasuk orang yang
keras hati. Buktinya ia kembali berusaha bangkit. Darah segar menetes keluar
dari sela-sela bibirnya ketika dirinya memaksakan untuk bangkit.
"Hekh ... !"
Ki Marta memekik tersendat.
Dirasakan adanya sebuah kaki yang menekan punggungnya. Dengan susah payah
laki-laki tua itu menolehkan kepalanya untuk mengetahui siapa pemilik kaki itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa tergelak dari
mulut orang yang menjejak punggung Ki Marta ketika wajahnya bertatapan dengan
wajah tua renta itu. Seraut wajah kasar, bertotol-totol hitam. Gurat, namanya.
"Uhk... uh...."
Suara napas Ki Marta
tersendat-sendat ketika kaki itu kian keras menekan .
"Ha ha ha...!" Sagar
juga tertawa terbahakbahak. "Rupanya kau pun tidak ingin ketinggalan, Adi
Gurat!"
"Begitulah, Kang
Sagar!" jawab si wajah totoltotol hitam yang bernama Gurat seraya kian
menambahkan tenaga pada kakinya. Karuan saja hal ini membuat napas Ki Marta
kian tersendat-sendat
Tuk!
"Akh...!"
Tiba-tiba Gurat memekik.
Ternyata sebuah kerikil kecil sebesar kuku jari tangan, telah menghantam tulang
kering kakinya yang tengah menekan punggung Ki Marta. Keras bukan main,
sehingga membuatnya terlonjak keras dan melepaskan te kanannya.
Laki-laki berwajah kasar itu
kontan meloncatloncat dengan satu kaki. Kedua tangannya memegangi kaki yang
terkena sambitan kerikil itu. Sakit sekali rasanya.
"Keparat!" Sagar
yang juga melihat sambaran batu kerikil itu berteriak memaki. Diarahkan
pandangannya ke tempat batu kerikil itu berasal.
Pandangannya langsung
tertumbuk pada seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, yang berdiri
dalam jarak sekitar tiga tombak darinya. Yang aneh pada diri pemuda itu adalah
rambutnya yang meriap dan berwarna putih keperakan.
"Siapa kau?! Mengapa
mencampuri urusan kami?!" bentak Sagar penuh ancaman.
"Aku tidak berniat
mencampuri urusan kalian, tapi hanya menentang kesewenang-wenangan yang terjadi
di depan mataku!" jawab pemuda itu.
"Hm..., rupanya kau
seorang pendekar?!" tanya si kepala botak itu. Nada suaranya penuh ejekan.
Ia memang tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Merah wajah pemuda yang
ternyata Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.
"Sebutan itu terlalu tinggi, Kisanak."
"Pergilah kau cepat, Anak
Muda! Aku kasihan padamu! Sudah terlalu banyak pahlawan kesiangan yang membuang
nyawa percuma di sini! Apakah kau ingin menambah jumlah mereka dengan membela
kakek pemalas ini?!"
"Apa boleh buat!?"
ujar Arya sambil mengangkat bahu. "Aku tidak bisa tinggal diam melihat
kekejaman berlangsung di depan mataku!"
Baru saja Arya menyelesaikan
ucapannya, Gurat yang kini kakinya telah sembuh seperti sediakala, telah
menerjangnya dengan pukulan keras dan bertubi-tubi.
Sekali lihat saja Dewa Arak
telah mengetahui kalau kepandaian yang dimiliki laki-laki berwajah totoltotol
hitam ini masih amat rendah.
Buk! Buk! Buk...!
Berkali-kali pukulan itu
mendarat telak di sekujur tubuh Dewa Arak yang berdiri diam tidak mengelak.
Dibiarkan saja pukulan Gurat menghujani tubuhnya. Dengan tenaga dalam amat kuat
dan disalurkan ke bagian tubuh yang dijadikan sasaran pukulan, semua pukulan
Gurat tidak berarti apa-apa bagi Arya.
"Ah...!"
Gurat memekik kaget. Kedua
tangannya terasa bukan tengah memukuli tubuh manusia, melainkan gumpalan baja
yang keras bukan main. Bahkan kini kedua kepalan tangannya menjadi
bengkak-bengkak!
Melihat kekejaman Gurat yang
menyiksa orang tua tidak berdaya, membuat Dewa Arak bermaksud me mbe ri pe
lajaran cukup ke ras padanya. Se te lah membiarkan lawan puas memukuli, tangan
Arya bergerak cepat.
"Hugh...!"
Gurat memekik tertahan ketika
pukulan Dewa Arak telak menghantam perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk, dan
perutnya terasa mulas.
Untung saja Dewa Arak hanya
mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya. Kalau saja dikerahkan seluruhnya,
tentu laki-laki berwajah totol-totol hitam itu tewas dengan dada remuk!
Dan kini Dewa Arak tidak
berhenti sampai di situ saja. Tangannya cepat kembali bergerak, menampar.
Plak...!
Telak sekali tamparan itu
mendarat di pipi. Seketika itu juga tubuh Gurat melintir, kemudian jatuh
berdebuk di tanah. Rasa pusing yang amat sangat menyergap kepala laki-laki itu.
Beberapa saat lamanya dia terduduk diam, tidak mampu bangkit kembali.
Sagar terperanjat sekali
melihat kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Dia tahu betul kalau tingkat
kepandaian Gurat, hanya sedikit di bawahnya. Maka dapat dibayangkan betapa
kaget hatinya melihat kawannya begitu mudah dirubuhkan.
Sebaliknya Gurat merasa
penasaran bukan main. Dia tidak bisa menerima kekalahan yang begitu mudah, oleh
seorang pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Itulah sebabnya dia
menggeleng-geleng untuk mengusir rasa pening yang menggayuti kepalanya.
Setelah dirasakan peningnya
lenyap, segera laki-laki berwajah totol-totol hitam ini bangkit berdiri.
Dan....
Srat ... !
Gurat menghunus senjatanya,
sebuah golok panjang yang matanya bergerigi mirip gergaji. Kemudian ....
"Hiyaaa ... !"
Sambil mengeluarkan teriakan
keras, dibabatkan goloknya ke arah leher Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak hanya
mengerutkan keningnya melihat sikap keras kepala Gurat. Perasaan tidak
senangnya semakin bertambah. Kelihatannya si wajah totol-totol hitam ini benar-benar
tidak peduli kalau dia telah bersikap lunak. Maka Arya memutuskan untuk memberi
pelajaran yang lebih keras lagi.
Dewa Arak benar-benar
membiarkan saja babatan golok itu. Dan ketika serangan itu dekat, tangan
kirinya bergerak ke arah sambaran golok itu.
Tap...!
Gurat terperanjat melihat
goloknya tahu -tahu telah terjepit dua buah jari tangan kiri Dewa Arak. Segera
dikerahkan tenaga dalamnya untuk menarik goloknya, sekaligus hendak membabat
putus jari jari lawan.
Tapi walaupun si wajah
totol-totol hitam ini mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, tetap saja
golok itu sama sekali tidak bergeming dari jepitan jari Dewa Arak.
Tiba-tiba tanpa diduga-duga,
Dewa Arak menggerakkan jari jarinya. Terdengar suara berdetak nyaring, ketika
golok bermata gergaji itu patah dua. Dan tiba-tiba saja tubuh Gurat
terjengkang, akibat tarikan goloknya.
Brukkk...!
Tak pelak lagi, tubuh
laki-laki kasar itu terjatuh di tanah cukup keras. Terbukti begitu bangkit
kembali, ia meringis-ringis. Dipegangi pinggulnya yang tadi menghantam tanah.
"Keparat ... !"
Gurat berteriak memaki.
Ditolehkan kepalanya ke arah
Sagar yang masih berdiri terkesima. Kejadian demi kejadian yang disaksikan
membuat laki-laki berkepala gundul itu terkesima.
"Apa yang kau tunggu,
Kakang Sagar! Ayo bantu aku menghajar orang sok ini!"
Teriakan Gurat me nyadarkan
Sagar dari terkesimanya. Segera dicabut trisulanya yang sejak tadi ditancapkan
di tanah.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Senjata pendek bermata tiga
itu diputardiputar. Angin menderu keras begitu senjata andalan itu
digerakkannya.
"Hiyaaa ... !"
Sagar berteriak keras sambil
menusukkan trisula itu ke dada Dewa Arak. Berbarengan dengan itu, serangan
golok bermata gergaji milik Gurat yang kini telah tinggal setengah, juga
menyambar tiba.
Dan kini, kesabaran Dewa Arak
pupus! Kedua orang lawannya ini benar-benar tidak tahu diri, sehingga harus
diberikan pelajaran yang lebih keras agar kapok. Tapi tentu saja, menghadapi
lawan yang memiliki kepandaian seperti Gurat dan Sagar, Dewa Arak tidak
mengeluarkan ilmu andalan. Dia hanya mengeluarkan ilmu warisan ayahnya,
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Kedua tangannya bergerak cepat, mencari
sasaran.
Tap...! Tap...!
Tanpa mengalami kesulitan
sedikit pun, kedua senjata itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak. Belum lagi
kedua orang lawannya itu berbuat sesuatu, Arya segera menggerakkan tangannya.
Buk ... ! Tuk...!
"Uhk ... !"
"Hugh...!"
Sagar dan Gurat mengeluh
tertahan ketika gagang senjata masing-masing begitu keras menghantam dada
mereka sendiri. Arya memang menyodokkan senjata-senjata yang ditangkap ke arah
perut lawan.
Beberapa saat lamanya kedua
orang laki-laki itu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Cairan merah kental
nampak di sudut bibir mereka. Sodokan itu keras bukan main! Memang kali ini
Dewa Arak sedikit menambah tenaganya dalam serangan itu.
Kini, Sagar dan Gurat baru
menyadari kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali bukan
tandingan mereka. Apalagi ketika melihat lawan yang menggerakkan sedikit jari
jarinya, telah membuat senjata mereka patah-patah. Seolah-olah yang dipatahkan
pemuda itu hanya sebatang lidi saja! Jadi, meneruskan pertarungan sama saja
mencari mati.
Maka, Sagar dan Gurat tidak
mau bertindak bodoh! Apalagi ketika melihat lawan tidak melanjutkan
serangannya, dan hanya berdiri menanti. Jelas kalau pemuda itu memang tidak
berniat mencari-cari urusan.
Dan tanpa malu-malu lagi,
dengan langkah kaki tertarih-tatih mereka meninggalkan tempat itu. Namun
demikian tetap saja ada perasaan cemas kalau-kalau pemuda sakti itu tidak
membiarkan mereka pergi.
Legalah hari Sagar dan Gurat
ketika melihat Dewa Arak sama sekali tidak menahan kepergian mereka. Sebaliknya
pemuda itu malah menghampiri tubuh Ki Marta yang tergolek di tanah dengan napas
satu-satu.
Sekali lihat saja Dewa Arak
tahu kalau nyawa kakek ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Luka-luka akibat
siksaan tadi terlalu parah. Apalagi itu terjadi sewaktu ia sedang sakit cukup
parah.
"Terima.,., kasih
atas..., pertolonganmu, Anak Muda. Hhh...," ucap kakek itu terengah-engah.
"Tapi..., kusarankan kau..., cepatlahhh pergi... dari si... nii..."
"Sudahlah, Kek. Kakek
tidak boleh banyak bicara. Kakek harus beristirahat. Luka-luka Kakek sangat
parah," Dewa Arak yang merasa tidak tega, berusaha mencegah.
Ki Marta menggelengkan
kepalanya. Terpaksa Dewa Arak menempelkan kedua tapak tangannya ke punggung
kakek itu, agar kondisinya jadi lebih baik.
Cukup lama juga Arya
menyalurkan hawa murni ke tubuh kakek itu. Setelah dirasakan cukup, baru
dilepaskan tangannya.
"Katakanlah, Kek. Apa
yang hendak Kakek samaikan padaku?" pinta Dewa Arak terburu-buru. Pemuda
berbaju ungu ini tidak ingin kakek itu mati sebelum apa yang hendak
diutarakannya tersampaikan.
Ki Marta tersenyum. Dirasakan
keadaannya sudah lebih baik sekarang.
"Pesanku hanya singkat,
Anak Muda. Pergilah cepat dari sini!"
"Mengapa, Kek?"
"Desa ini penuh orang
jahat! Kepala desa yang sekarang juga bekas penjahat. Dulu sewaktu yang menjadi
Kepala Desa Gebang ini Ki Panjar, desa ini aman tenteram. Tapi sejak Toga yang
menjadi kepala desa, keadaan berubah banyak! Dengan kekerasan, diambilnya semua
yang jadi milik kami. Sawah, ladang, ternak, bahkan anak gadis dan istri-istri
kami. Penduduk desa hanya menjadi orang upahan. Bekerja di ladang dan di sawah
dengan upah yang mencekik leher. Setiap hari kami harus bekerja. Kalau sawah
kebetulan tidak panen, maka kami diperintahkan bekerja di ladang, atau
beternak. Sakit tidak bisa menjadi halangan. Pokoknya harus bekerja! Tadi
kebetulan aku terserang sakit, dan kedua orang itu datang dan memaksaku harus
bekerja. Dan seterusnya seperti yang kau lihat sendiri, Anak Muda."
Kepala Dewa Arak
terangguk-angguk. "Siapa Toga itu, Kek?"
"Kepala keamanan desa
ini, Anak Muda," jelas Ki Marta.
"Lalu, kepala desa yang
dulu ke mana, Kek?" tanya Arya tidak mengerti
"Ki Panjar,
maksudmu?"
"Ya."
Kakek itu menghela napas
sebelum melanjutkan ucapannya.
"Beliau telah
tewas."
"Tewas?!" Arya Buana
mengerutkan keningnya. "Mengapa?"
Ki Marta mengangguk.
"Menurut cerita Toga, sewaktu mereka sedang berburu, segerombolan
perampok menyerang. Tentu saja Toga dan para pengawal yang lain tidak tinggal
diam. Tapi karena jumlah perampok yang terlalu banyak, mereka jadi tidak bisa
melindungi Ki Panjar dan anak istrinya. Setelah melalui sebuah pertarungan sengit,
akhirnya mereka berhasil mengusir gerombolan perampok itu. Tapi, Ki Panjar dan
istrinya tewas. Sementara anaknya dibawa kawanan perampok itu."
Dewa Arak mengerutkan
keningnya.
"Apakah para penduduk
desa percaya?"
"Mulanya percaya. Maka
kami percayakan kedudukan kepala desa kepadanya. Karena memang menurut kami,
dialah yang paling pantas menjabat kedudukan itu. Tapi siapa sangka kalau jadi
begini akibat-nya. Belakangan kami semua jadi curiga, jangan jangan tewasnya Ki
Panjar pun sudah direncanakan."
Dewa Arak tercenung diam.
"Yang lebih gila lagi,
Toga membangun rumahrumah judi dan pelacuran di desa ini. Akibatnya sudah
jelas. Banyak orang yang berdatangan ke desa ini. Sebagian besar adalah orang
yang terbiasa bertindak kasar. Maka tak heran jika sering terjadi bentrokan di
antara mereka. Desa ini sudah tak ubahnya neraka! Uhk... uhk...!"
Tiba-tiba saja Ki Marta
terbatuk-batuk. Beberapa titik cairan merah kental memercik keluar dari
mulutnya. Melihat hal ini, Dewa Arak sadar kalau waktu kematian untuk kakek itu
sudah hampir tiba. Dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Dugaannya memang tidak
meleset. Beberapa saat setelati terbatuk-batuk untuk yang kesekian kalinya,
tubuh Ki Marta terkulai lemas. Kakek ini pun pergi untuk selama-lamanya.
***
Arya termenung memandangi
gundukan tanah merah yang terpampang di hadapannya. Di situlah mayat Ki Marta
dikuburkan. Beberapa saat lamanya kepalanya tertunduk.
"Maafkan aku, Ki,"
bisik Dewa Arak pelahan. "Aku tidak dapat melaksanakan pesanmu untuk pergi
dari sini. Tidak bisa kutinggalkan desa ini begitu saja. Aku akan berusaha
menumpas kejahatan yang bersemayam di sini, apa pun akibatnya."
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu Pikirannya bekerja keras.
Memang sejak pertama kali memasuki pintu gerbang desa, sudah timbul rasa curiga
di hatinya.
Desa yang kini diketahui
bernama Desa Gebang ini, berbeda dengan desa-desa yang biasa disinggahinya.
Desa ini terlalu banyak dimasuki orang luar. Dan jika ditilik dari gelagatnya,
mereka adalah orang-orang yang terbiasa bertindak kasar. Kini kecurigaannya
ternyata beralasan.
Oleh karena itu, Dewa Arak
memutuskan untuk tinggal di desa ini beberapa waktu lamanya. Barangkali saja
tenaganya bisa diperlukan di sini.
******
Brakkk...!
Sebuah meja bundar besar dari
batu marmer, kontan retak ketika tangan seorang lelaki tinggi besar berkumis
melintang, menghantamnya.
"Bodoh! Dungu kalian ...
!" teriaknya keras. Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada dua
sosok tubuh yang terduduk dengan kepala tunduk.
"Sagar! Gurat! Ceritakan
sejelas jelasnya semua yang terjadi! Memalukan! Kalian pulang seperti seekor
anjing dipukul ekornya!"
Dua sosok tubuh yang tengah
mendapat pelampiasan kemarahan itu ternyata Sagar dan Gurat. Dan kini mereka
baru berani mengangkat kepalanya. Kemudian dengan jelas, Sagar menceritakan
kejadian yang menimpa mereka.
"Seorang pemuda?
Kira-kira berapa usianya?" tanya si kumis melintang yang ternyata Toga.
Suaranya terdengar mulai melunak. Terbayang kembali di benaknya, seorang anak
berusia sekitar sebelas tahun yang lolos dari tangan mautnya beberapa tahun
yang lalu. Bukan tidak mungkin kalau pemuda yang mengalahkan Gurat adalah anak
itu, anak Ki Panjar.
Gurat mengerutkan alisnya.
Sejenak ia mengingat-ingat "Sekitar..., dua puluh tahun, Tuan."
Toga menolehkan kepalanya ke
belakang, menatap sosok tubuh tegap berwajah mirip kera, yang tengah duduk di
sebuah kursi. Keningnya berkernyit.
"Apakah bukan anak Ki
Panjar, Kang Gajula?" tanya Toga mengemukakan dugaan yang sejak tadi
berkecamuk di benaknya. Agak heran juga hatinya melihat sikap kakaknya kali
ini.
Laki-laki yang wajahnya mirip
kera itu membalas tatapan Toga. Beberapa saat lamanya sepasang matanya terpaku
pada wajah si kumis melintang itu, lalu pelahan kepalanya menggeleng.
"Aku yakin
bukan...," sahut Gajula dengan suara mengambang.
"Lalu siapa?" tanya
Toga putus asa.
"Lebih jelasnya akan kita
ketahui nanti. Tapi ciri-ciri pemuda yang dikemukakan Sagar, mengingatkan aku
pada seorang tokoh muda yang namanya belum lama ini menggemparkan dunia
persilatan."
Toga mengerutkan alisnya.
"Siapa yang kau maksud, Kang?"
Gajula sama sekali tidak
mempedulikan pertanyaan itu, tapi sebaliknya malah dialihkan pandangannya pada
Sagar.
"Ada satu ciri yang mungkin
belum kau ceritakan, Sagar," tegas laki-laki berwajah kera itu.
Sagar mengerutkan alisnya,
mencoba mengingat-ingat. Tapi sampai lelah mengingat, tetap saja tidak
menemukan lagi ciri yang lainnya.
"Bagaimana dengan kau,
Gurat?" tanya Gajula pada si wajah totol-totol hitam. Tapi setelah sekian
lama menunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Gurat berusaha
keras mengerahkan segenap ingatannya, tapi akhirnya menggelengkan kepalanya
juga.
"Hhh ... !" Gajula
menghela napas. "Mungkin aku salah. Tapi coba kalian ingat-ingat, apakah
pemuda itu membawa guci arak?!"
"Guci?!" serentak
Sagar dan Gurat berseru kaget. Berbareng keduanya saling pandang, dan kontan
teringat sesuatu. Memang, di punggung pemuda berambut putih keperakan itu
tergantung sebuah guci arak.
"Ya! Guci arak!"
tegas Gajula. "Bagaimana? Ada atau tidak?"
Sagar menganggukkan kepalanya.
"Katakan yang jelas! Atau
kau ingin menjadi orang bisu selamanya?!" sentak Gajula. Dingin dan datar
suaranya.
Wajah Sagar kontan memucat.
Tenggorokannya terasa kering. Dia tahu betul siapa Gajula itu. Tokoh ini adalah
kakak kandung Toga. Dulu, seperti yang didengar dari cerita Toga, Gajula tidak
selihai sekarang. Tapi, kini tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian luar
biasa.
Tapi bukan karena kepandaiannya
yang membuat Sagar gentar, melainkan kekejamannya! Si wajah kera ini memiliki
sifat yang luar biasa kejam!
"Benar, Kang," jawab
Gurat dengan suara gemetar.
"Betul dugaanku!"
teriak Gajula keras.
"Siapa orang itu,
Kang?" tanya Toga penasaran. "Pernah dengar julukan Dewa Arak?!"
kata Gajula balik bertanya.
Toga mengerutkan alisnya.
"Sedikit" Gajula
menghela napas dalam-dalam.
"Kau ketinggalan berita,
Toga. Julukan Dewa Arak terkenal sekali. Banyak tokoh tangguh yang telah roboh
di tangannya. Aku ragu, apakah mampu menandinginya."
Dahi Toga mengernyit. Agak
heran hatinya melihat sikap Gajula yang tidak seperti biasanya. Sampai di
manakah kelihaian tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu? Batin Toga terus
menduga-duga.
"Mengapa belum apa-apa
sudah khawatir, Kang?" tegur Toga dengan nada halus. "Apakah Kakang
sudah pernah bertarung dengannya?"
Gajula menggelengkan
kepalanya.
"Melihat dia
bertarung?"
Lagi-lagi si wajah kera
menggeleng.
"Lalu, mengapa khawatir,
Kang? Berita yang tersebar itu belum tentu benar. Andaikata benar, Dewa Arak
mampu mengungguli Kakang, tapi mustahil akan mampu menghadapi kita berdua. Aku
tidak percaya kalau ilmu yang diberikan gurumu, dan telah kupelajari dengan
tekun darimu, dapat dikalahkannya."
Si wajah kera termenung beberapa
saat lamanya. Dipikir-pikir ada benarnya juga semua yang dikatakan Toga. Tapi
baru saja Gajula menarik napas lega, seorang anak buah Toga menghambur masuk.
Napasnya tampak terengah-engah.
"Ada orang mengamuk di
luar, Tuan," lapor orang itu terputus-putus.
"Keparat!" Toga
berteriak memaki. "Kalian tidak mampu meringkusnya?! Apa saja yang kalian
mampu, heh?!"
"Ampun, Tuan. Mereka
memiliki kepandaian tinggi."
"Mereka?" berkerut
alis Toga. "Berapa jumlahnya?"
"Dua orang, Tuan."
Belum juga habis ucapan orang
itu, tubuh Toga dan Gajula telah berkelebat lenyap dari situ. Kemarahan yang
hebat telah membakar hari mereka. Belum juga urusan mengenai Dewa Arak selesai,
kini muncul kembali urusan lain.
Sagar dan Gurat saling pandang
sebelum akhirnya melesat ke luar, tak ketinggalan juga orang yang tadi melapor.
Toga dan Gajula berdiri di
ambang pintu. Di depan mereka, di halaman luas yang dikelilingi pagar tembok
tinggi, terlihat dua sosok tubuh yang tengah mengamuk. yang seorang adalah
pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kekar.
Wajahnya cukup tampan walaupun hidungnya melengkung. Pemuda ini tak lain adalah
Sapta.
Sedangkan yang seorang lag!
adalah gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kecil ramping, dan rambutnya
digelung ke atas. Wajahnya cantik. Apalagi dengan pakaian warna jingga yang
dikenakannya. Gadis ini adalah Kami, putri angkat Pengemis Tongkat Merah.
Toga dan Gajula memperhatikan
dua orang itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sementara itu muda-mudi
asuhan Pengemis Tongkat Merah terus mengamuk dahsyat dengan senjata di tangan
masingmasing. Ke mana senjata itu berkelebat, pastilah di tempat itu ada
sesosok tubuh yang rubuh diiringi suara pekik lengking kesakitan.
"Akh ... !"
"Aaa ... !"
Jerit lengking kematian
terdengar saling susul Toga dan Gajula memandang mayat-mayat yang
bergelimpangan di atas tanah dengan sinar mata kemerahan. Di wajah mereka
terpancar kemarahan yang amat sangat. Dan gigi-gigi mereka pun bergemeletuk
menahan geram.
"Keparat!" teriak
Toga geram. "Mundur...!"
Belasan sosok tubuh yang
sedang mengeroyok itu pun bergegas mundur. Kedua murid Pengemis Tongkat Merah
itu membiarkan saja. Terlebih Sapta. Keroco-keroco itu memang bukanlah
tujuannya. Toga dan Gajulalah yang dicari-cari! Sepasang mata pemuda itu
berkilat-kilat tajam melihat dua orang musuh berada di depannya.
"Kau masih ingat padaku,
pengkhianat?!" bentak pemuda tinggi besar dan kekar ini. Jari telunjuknya
menuding ke arah Toga. Keras dan kasar suaranya.
Seketika merah wajah Toga,
mendengar pertanyaan yang bemada kasar itu. Apalagi melihat jari yang menuding
ke arahnya.
"Untuk apa aku mengingat
anjing buduk sepertimu?!" balas Toga tak kalah kasar.
Sapta menggertakkan giginya.
"Aku putra Ki Panjar yang kalian bunuh secara licik itu, akan menagih
hutang!"
"Ha ha ha...!" Toga
tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa perlu bersusah payah
mencari, kau datang sendiri kemari. Sekarang juga akan kutuntaskan pekerjaanku
sepuluh tahun yang lalu."
"Tutup mulutmu, pengkhianat!
Sekarang kau harus membayar hutang nyawa atas kematian ayah ibu-ku! "
Setelah berkata demikian,
pemuda tinggi besar dan kekar ini melompat menerjang. Jari jari kedua tangannya
terbuka dan saling bersilang menyerang ke arah dada.
Wut...!
Angin keras berhembus
mengiringi tibanya serangan itu. Pertanda kalau serangannya ditunjang tenaga
dalam tinggi.
Toga hanya mendengus.
Kepandaian yang dimiliki laki-laki itu sekarang tidak bisa disamakan dengan
sepuluh tahun yang lalu. Selama itu Gajula telah membimbingnya. Sehingga kini
kepandaian yang dimilikinya meningkat pesat. Jadi memang, Toga bukanlah tokoh
kosong.
"Haaat ... !"
Kepala Desa Gebang ini
berteriak keras. Kedua tangannya dalam posisi jari yang sama digerakkannya.
Prattt..!
Dua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi beradu. Akibatnya tubuh Sapta tergetar
hebat, sementara tubuh Toga terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur
tangannya terasa sakit bukan main.
Wajah Toga langsung berubah.
Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki putra Ki Panjar ini
sedemikian hebatnya. Padahal selama sepuluh tahun, ia sudah berlatih keras di
bawah bimbingan kakaknya.
Sapta yang memang menyimpan
dendam hebat, tidak membiarkan lawannya menarik napas. Pemuda itu cepat melompat,
dan laksana seekor burung garuda ia menerkam lawannya.
Kepala Desa Gebang ini kaget.
Tapi untunglah kekagetan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru dilempar
tubuhnya ke depan, dan kemudian bergulingan menjauh. Sehingga serangan Sapta
mengenai tempat kosong.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki
Sapta mendarat di tanah. Secepat kakinya hinggap, secepat itu pula kembali
menerjang Toga. Tapi Toga yang sekarang sudah mengetahui kelihaian lawannya,
tidak berani bertindak gegabah. Dan kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah
pertarungan seru.
Begitu melihat Sapta telah
menyerang lawannya, Kami pun tidak tinggal diam. Seketika diserangnya pula
orang berwajah kera yang berada di sebelah si kumis melintang. Seperti halnya
Sapta, Kami juga membuka serangannya dengan serangan kedua tangannya. Posisi
jari jarinya terbuka dan saling bersilang.
Persis seperti yang dilakukan
Toga, Gajula pun melakukan tindakan serupa untuk menangkis serangan Kami.
Prattt ... !
Tubuh Kami terhuyung dua
langkah ke belakang. Sementara Gajula hanya terhuyung satu langkah ke belakang.
Dari hasil benturan kedua pasang tangan itu dapat diketahui kalau tenaga dalam
yang dimiliki Gajula masih lebih unggul sedikit.
Gajula sadar kalau wanita di
hadapannya adalah lawan yang tangguh. Maka laki-laki kasar itu tidak mau
bersikap sungkan-sungkan. Begitu tubuh gadis itu terhuyung mundur, segera dia
bergerak mengejar. Kedua kakinya melakukan tendangan bertubi-tubi ke depan.
Plak! Plak! Wusss...!
Tendangan pertama yang berupa
tendangan lurus ke depan, disusul tendangan miring ke arah leher dapat
ditangkis Kami. Dan tendangan ketiga, berupa kibasan kaki yang dilakukan sambil
membalikkan tubuh juga bisa dielakkan gadis itu dengan membungkukkan tubuh.
Tak lama kemudian, Kami dan
Gajula pun sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang seru.
***
Sementara itu di arena lain,
Toga tampak mulai terdesak ketika melewati dua puluh lima jurus. Memang bila
dibanding Sapta, ia masih kalah segalagalanya. Baik dalam hal tenaga dalam
maupun dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Bahkan menjelang jurus ketiga
puluh, Toga hanya mampu bertahan dan mengelak. Dia hanya sesekali balas
menyerang. Itu pun hanya untuk mengurangi desakan yang menderu-deru dari pemuda
berhidung melengkung ini.
Toga menggeram. Disadari kalau
lamakelamaan dtrinya akan roboh di tangan pemuda ini. Semakin lama keadaannya
kian terjepit. Kini Kepala Desa Gebang itu benar-benar hanya mampu bermain
mundur.
Berbeda dengan Sapta, keadaan
yang dialami Kami malah sebaliknya. Putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini
kewalahan menghadapi hujan serangan Gajula. Hanya saja keadaannya tidak separah
Toga. Gadis itu masih mampu membalas serangan si wajah kera dengan serangannya
yang tak kalah dahsyat.
Keringat dingin sebesar-besar
biji jagung bermunculan di sekujur wajah Toga. Semakin lama keadaannya semakin
terjepit. Bahkan sudah be be rapa kali tubuhnya terpontang-panting.
Pada jurus ketiga puluh,
sebuah sapuan kaki Sapta membuat kepala desa ini terpelanting, dan jatuh
telentang.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking
nyaring, putra Ki Panjar ini menerkam tubuh Toga.
Mata si kumis melintang
terbelalak lebar. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan
itu atau menangkisnya, karena begitu tibatiba datangnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa
bergelak, dan belum lagi habis gemanya, di tempat itu telah berdiri sesosok
tubuh tinggi besar. Sekitar satu setengah kali manusia sewajarnya.
Rambutnya panjang, lebat, dan
terurai. Wajahnya penuh cambang lebat. Sekujur badan bagian depannya nampak
dipenuhi bulu, karena si raksasa memang bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan
celana berwarna hitam sebatas lutut. Di bagian lehernya terdapat sebuah kalung
yang rantainya tersusun dari rangkaian tulang jari tangan manusia. Sedangkan
mata kalung itu dibuat dari kepala manusia dewasa.
Secepat berada di situ,
secepat itu pula si raksasa menggerak-gerakkan pelahan tangannya. Tapi
akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta terlempar jauh ke belakang bagai dilanda
angin ribut.
Ketika berada di situ, raksasa
tersebut menggerakkan tangannya pelahan saja kea rah Sapta. Tapi akibatnya
hebat sekali! Tubuh Sapta seperti dipukul oleh godam yang sangat kuat dan
terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut!.
Brakkk...!
Lontaran pada tubuh pemuda itu
terhenti ketika menabrak sebatang pohon hingga tumbang. Murid Pengemis Tongkat
Merah ini berusaha bangkit. Kedua tangannya yang dijadikan tempat bertumpu itu
terlihat menggigil keras. Ada cairan merah kental yang mengalir dari sudut
bibirnya. Kelihatannya Sapta terluka dalam.
"Ha ha ha...!"
Kembali si raksasa tertawa
tergelak. Sapta menatapnya dengan hati ngeri. Disadari kalau dirinya bukanlah
tandingan manusia setengah raksasa ini. Hatinya mendadak berdebar tegang ketika
teringat penuturan gurunya tentang seorang tokoh yang memiliki ciri-ciri
seperti itu.
Diperhatikannya si raksasa
yang masih saja tertawa berkakakan sekali lagi. Pada kedua pergelangan tangan
dan kakinya tampak melingkar gelang yang terbuat dari tulang-tulang jari tangan
manusia.
"Raksasa Rimba
Neraka...," desis Sapta. Pengemis Tongkat Merah memang pernah
menceritakan ten- tang tokoh sesat yang kejam, dan gemar makan daging manusia.
Tapi menurut cerita gurunya, raksasa itu tinggal di sebuah hutan yang amat jauh
letaknya dari Desa Gebang ini. Sebuah hutan yang penuh bahaya maut. Penuh
binatang besar, tanaman beracun, lumpur hidup, dan segala macam bahaya maut
lainnya. Sehingga, hutan itu dinamai orang Rimba Neraka.
"Grrrh ... !" si,
raksasa menggeram. Tampak dua buah taring pada bagian sudut-sudut mulutnya.
"Dagingmu past! empuk sekali, Anak Muda!"
Sambil berkata demikian, si
raksasa yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka ini melangkah lambatlambat
menghampiri Sapta. Setiap langkahnya menimbulkan getaran keras di tanah.
Tubuh pemuda tinggi besar ini
menggigil keras. Memang diakui kalau tidak takut mati. Tapi tak urung
menghadapi kematian yang begitu mengerikan, dimakan hidup-hidup, rasa takutnya
pun muncul.
"Kakang...!"
"Hiyaaa ... !"
Kami menjerit melihat bahaya
maut yang mengancam Sapta. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya menghadang Raksasa
Rimba Neraka. Sadar akan kelihaian lawan, sambil melompat gadis itu segera
mencabut pedangnya.
Singgg ... !
Dengan mengerahkan sepenuh
tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa.
"Jangan, Kami! Cepat kau
pergi selamatkan diri!" Sapta yang tahu pasti kalau gadis itu bukan
tandingan Raksasa Rimba Neraka yang sakti, berteriak memperingatkan.
Tapi Kami adalah gadis yang
keras hari. Baginya mati bukan suatu hal yang perlu ditakuti. Maka peringatan
Sapta tidak digubrisnya.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali
tertawa bergelak. Diulurkan tangannya ketika serangan pedang Kami tiba.
Kreppp...!
Tanpa mengalami kesulitan
apa-apa, pedang itu sudah dicengkeramnya.
"Akh ... !"
Kami menjerit kaget. Sekuat
tenaga gadis itu membetot pedang yang tercengkeram tangan raksasa itu. Tapi
betapapun segenap tenaganya telah dikerahkan, tetap saja pedangnya tak mampu
dilepaskan dari cengkeraman tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka hanya
tertawa-tawa saja. Tak nampak ada tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya.
Sementara di hadapannya, Kami terus berusaha sampai napasnya terengah-engah.
'Tidak kusangka, kalau malam
ini aku mendapat santapan yang istimewa. Seorang perawan cantik. Ha ha
ha...!"
Wajah Gajula berseri-seri
ketika tadi melihat kedatangan si Raksasa Rimba Neraka. Karena memang kakek
yang memiliki penampilan mengerikan itu adalah gurunya! Namun demikian, di
samping rasa gembiranya, timbul pula rasa kecewanya. Kedatangan gurunya berarti
membuat laki-laki kasar itu kehilangan kesempatan untuk menikmati tubuh montok
Kami.
Gajula tahu persis manusia
macam apa gurunya. Di samping gemar makan daging manusia, kakek ini pun gemar
terhadap wanita!
"Akh ... !"
Kami memekik tertahan ketika
tahu -tahu tubuhnya terlempar ke depan. Memang Raksasa Rimba Neraka telah balas
membetot. Dan karena tenaga yang dimilikinya kalah jauh, gadis itu tidak kuasa
menahan.
"Hiyaaa ... !"
Putri Pengemis Tongkat Merah
terpaksa melepaskan pedangnya. Dan dengan meminjam tenaga betotan, gadis Itu
bersalto di udara.
Raksasa Rimba Neraka
mendengus. Secepat kilat dijulurkan tangan kanannya ke atas.
Tappp. . .!
"Akh ... !"
Kami memekik tertahan ketika
pergelangan kakinya tertangkap. Dan sekali si raksasa itu menarik tangannya
kembali, tubuh gadis itu pun terbawa turun.
"Hup...!"
Tubuh molek Kami kini jatuh
tepat di pelukan Raksasa Rimba Neraka. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat
sesuatu, tangan si raksasa telah lebih dulu bergerak menotok .
Tukkk...!
"Oh...!"
Sekujur tubuh Kami lumpuh
seketika. Dan sambil tertawa terkekeh-kekeh si raksasa mulai menjarah sekujur
tubuh Kami Dengan rakusnya, mulut besar dan bergigi kuning itu melumat bibir
Kami, begitu kasar dan buas.
"Oh...! Jangan.... Bunuh
saja aku...," rintih Kami. Gadis ini mulai menyadari adanya ancaman yang
mengerikan. Dan kesadaran akan terjadinya hal ini membuat ia takut bukan main.
Ciuman kasar raksasa itu membuatnya kehabisan napas. Bau amis yang memuakkan
keluar dari mulut dan hidung raksasa di hadapannya ini, membuat gadis itu jadi
ingin muntah.
Tapi orang seperti Raksasa
Rimba Neraka, mana sudi mendengar rintihan Kami! Bagi orang sepertinya,
rintihan para korbannya tak ubahnya sebuah rintihan kenikmatan, yang membuatnya
kian bergairah.
Ciuman-ciumannya pun semakin
kasar, seiring nafsu birahinya yang semakin berkobar. Ciumanciumannya yang
liar, kini tidak hanya menjarah bibir, tapi terus turun, ke dagu, ke leher.
Kami yang sekujur tubuhnya
lumpuh, hanya dapat merintih-rintih tanpa mampu berbuat apa-apa.
"Kami...!"
Sapta menjerit keras. Pemuda
ini menyadari betul ancaman mengerikan yang akan menimpa gadis itu. Maka dengan
penuh daya upaya, dicobanya mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekujur
tubuhnya nampak menggigil keras dalam usaha berjuang untuk bangkit .
"Grrrh ... !"
Raksasa Rimba Neraka menggeram
hebat karena merasa terganggu. Dihentikan ciuman-ciuman liarnya pada gadis yang
masih dipeluknya.
"Rupanya kau minta mati,
heh?!"
Brukkk...!
Tubuh Kami jatuh berdebuk di
tanah ketika si raksasa yang tengah murka ini melemparkannya. Dengan tangkah
lambat-lambat, dihampirinya Sapta yang masih berusaha bangkit.
Melihat hal ini Gajula
buru-buru berlari menghampiri.
"Ampun, Guru...."
Raksasa Rimba Neraka
menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Gajula! Apa kau
pun ingjn kubunuh?!"
Pucat wajah Gajula. Si wajah
kera ini tahu pasti watak aneh gurunya. Bila kemarahannya timbul, siapa pun
tanpa kecuali akan dibunuhnya.
"Tentu saja tidak, Guru...,"
ucap Gajula terputus-putus.
"Lalu?! Kenapa kau
menghalangiku membunuh bocah sial ini?" desak raksasa itu, masih keras dan
kasar nada suaranya.
"Maafkan aku, Guru. Bocah
ini adalah orang yang mencoba memberontak terhadap Adi Toga yang merupakan murid
Guru juga, karena aku telah mengajarkannya...."
"Aku sudah tahu dari
jurusjurus yang dimainkannya! Maka karena itulah aku menolongnya!" selak
Raksasa Rimba Neraka.
Gajula membasahi
tenggorokannya yang dirasakan kering.
"Dan untuk mencegah
terjadinya pemberontakan serupa, serta juga untuk memancing kedatangan
kawan-kawannya, kami akan mengikatnya di alun-alun desa! Bahkan kami juga akan
menyiksanya ... ! Harap Guru maklum!"
Dahi si raksasa berkerut
dalam, dan rupanya tengah berpikir. Tak lama kemudian baru keluar ucapannya.
"Terserah padamu! Toh,
aku sudah punya santapan yang luar biasa lezat untuk nanti malam!"
Setelah berkata demikian,
Raksasa Rimba Neraka melangkahkan kakinya kembali. Dijumputnya kembali tubuh
Kami yang tergolek di tanah tanpa ada yang berani menyentuhnya.
"Hhh ... !"
Gajula menghela napas lega.
Untunglah kali ini gurunya bersedia mengerti. Padahal hatinya tadi sudah
khawatir kalau-kalau Raksasa Rimba Neraka itu akan marah.
"Mari istirahat di dalam,
Guru," ajak Toga sambil mendahului masuk ke dalam. Kini yakinlah kepala
desa ini bahwa raksasa ini adalah guru Gajula. Walau sebelumnya sudah diduga,
ketika melihat ciricirinya, tapi Toga masih ragu.
"Seret si keparat itu,
dan ikat di alun-alun!" perintah Toga pada anak buahnya.
"Baik, Tuan!" sahut
mereka mengiyakan.
***
Dewa Arak mengerutkan
keningnya. Agak heran hatinya melihat di depannya banyak orang berkumpul,
merubung sesuatu. Sepertinya ada sesuatu yang tengah mereka saksikan. Rasa
penasaran membuat Arya mempercepat langkah kakinya. Pendengarannya yang tajam,
menangkap adanya ledakan lidah cambuk Ada apa gerangan di sana? Batin Dewa Arak
terus bertanya-tanya.
Semakin mendekati tempat
kerumunan orangorang itu, suara yang didengarnya pun semakin jelas. Ctarrr...!
Ctarrr...!
Kembali terdengar ledakan
cambuk itu. Dan kali ini karena jaraknya sudah dekat, di samping suara ledakan
cambuk juga terdengar keluhan tertahan. Keluhan kesakitan.
Jiwa kependekaran dalam diri
Arya Buana pun bangkit. Tanpa melihat pun sudah dapat menduga kejadian yang
teriadi dalam kerumunan orang banyak itu. Apalagi kalau bukan tindak
kesewenangwenangan..
Tanpa mempedulikan suara-suara
bernada menggerutu, Dewa Arak menyeruakkan tubuhnya. Disibakkan kerumunan
orang-orang, lalu dia masuk terus ke dalam. Sesampainya di bagian terdepan,
wajah Dewa Arak memerah. Kemarahan menjalari hatinya. Tampak seorang pemuda
berwajah tampan dan berhidung melengkung tengah dihukum cambuk!
Tubuh pemuda itu terikat erat
di sebuah tonggak tegak lurus. Sinar matahari yang cukup terik memanggang kulit
dadanya yang tidak tertutup pakaian. Sementara di sebelahnya berdiri seseorang
bertubuh tinggi besar dan berkepala botak, tengah menggenggam cambuk .
Dewa Arak yang pantang melihat
kekejaman berlangsung di depan matanya, menjadi geram. Sekali lihat saja pemuda
berambut putih keperakan ini tahu kalau pemuda berhidung melengkung itu telah
menderita luka yang cukup parah. Apalagi ditambah lecutan-lecutan cambuk yang
terus-menerus menyengatnya. Sekujur tubuhnya nampak dipenuhi garis hitam
memanjang.
"Sungguh tega hati
kalian, menontoni orang disiksa," desis Dewa Arak tajam pada salah seorang
di sebelahnya.
Orang yang mendapat teguran
itu menoleh. Ditatapnya Arya lekat-lekat .
"Rupanya kau bukan
penduduk sini, Kisanak! Perlu kau ketahui, kami pun sebenarnya tidak suka
melihat penyiksaan ini. Batin kami menjerit. Tapi apa daya? Kami hanya orang
lemah. Mereka memaksa untuk menonton penyiksaan ini. Kalau ada yang
membangkang, pasti akan bernasib serupa...," jelas orang itu dengan suara
berbisik.
"Ah...," Dewa Arak
mendesah pelan. Seketika timbul perasaan malunya karena telah melempar tuduhan
jelek pada orang-orang yang selama ini hidup dalam keadaan jiwa tertekan.
"Maafkan saya, Ki...."
"Tidak usah meminta maaf.
Aku memaklumi perasaan yang bergayut di hatimu. Pesanku, janganlah ikut campur,
Kisanak. Mereka berjumlah banyak, dan rata-rata memiliki kepandaian
tinggi!"
Dewa Arak terlongong. Trenyuh
hatinya mendengar penuturan orang itu. Dalam penderitaan, dia tidak ingin
membuat orang lain ikut menderita. Nasihat yang keluar dari mulut orang itu
sama persis dengan nasihat Ki Marta.
Tapi tentu saja Dewa Arak
tidak mau menuruti nasihat itu. Sejak belajar ilmu silat, dia telah bertekad
mengamalkan ilmu yang dimiliki untuk menghancurkan keangkaramurkaan di mana
pun. Sekalipun untuk itu harus dibayar dengan nyawanya.
Ctarrr...!
Kembali untuk yang kesekian
kalinya ujung cambuk itu menyengat kulit Sapta. Pemuda itu meringis. Tapi tidak
terdengar suara keluhan yang keluar dari mulutnya.
Dan kini Dewa Arak tidak bisa
bersabar lagi. Tapi baru saja dia hendak bergerak menolong, sesosok bayangan
merah berkelebat mendahului. Seketika Arya menahan gerakannya.
Sosok bayangan merah itu
ternyata adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus
kering, pakaiannya rompi penuh tambalan berwarna hitam. Begitu pula celananya.
Di tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna merah.
"Guru...," desah
Sapta lemah.
Ternyata laki-laki tua itu
adalah Pengemis Tongkat Merah. Ditatapnya orang yang memegang cambuk, yang tak
lain adalah Sagar! Dan tiba-tiba....
"Hiyaaat ... !"
Sambil mengeluarkan pekik
melengking nyaring, kakek kurus kering ini menerjang maju. Tongkat merah yang
terbuat dari kayu biasa dan memiliki bentuk yang tak beraturan itu ditusukkan
ke perut Sagar.
Angin keras menderu,
mengiringi serangan tong-katnya. Sagar kaget bukan main, lalu mencoba menge-lak
Tapi serangan Pengemis Tongkat Merah itu terlalu cepat baginya.
Buk!
"Akh...!"
Suara jerit menyayat hari
keluar dari mulut Sagar. Seketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut,
hidung, dan telinganya mengalir mengalir darah segar.
Brukkk...!
Diiringi suara berdebum keras,
tubuh si kepala botak itu jatuh di tanah. Sebentar dia menggelepargelepar,
lalu diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Tulang dadanya hancur berantakan
terkena hantaman tongkat yang mengandung tenaga dalam tinggi itu.
Usai merubuhkan Sagar,
Pengemis Tongkat Me- rah bergegas menghampiri Sapta yang terikat di tonggak
kayu. Tapi....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa bergelak yang
menggema di sekitar tempat itu membuat langkah kaki kakek itu terhenti
seketika. Pengemis Tongkat Merah menoleh dengan slkap waspada.
Di belakangnya, dalam jarak
sekitar tiga tombak berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan kekar. Dadanya
dibiarkan telanjang sehingga memperlihatkan bulubulu yang lebat. Rambutnya
panjang meriap. Sekujur tubuhnya dipenuhi hiasan tulang-belulang tengkorak
manusia.
"Raksasa Rimba
Neraka...," desah Pengemis Tongkat Merah dengan raut wajah menampakkan
rasa kaget dan tidak percaya. Memang, kakek itu kaget bukan main. Dia tahu
betul tempat tinggal raksasa ini. Di Rimba Neraka! Tempat itu letaknya sangat
jauh dari desa ini. Tapi mengapa tokoh yang mengerikan ini bisa sampai kemari?
"Kau Pengemis Tongkat
Merah, bukan?! Apa hubunganmu dengan pemuda itu?" tanya raksasa itu sambil
menunjuk tubuh Sapta yang terikat di tonggak.
"Dia muridku. Raksasa
Rimba Neraka. Kalau dia memang bersalah, biarlah aku selaku gurunya minta maaf
padamu!"
"Ha ha ha...! Fnak saja!
Kau tahu, pengemis busuk! Pemuda keparat ini hampir saja membunuh adik kandung
muridku! Kalau saja aku tidak cepatcepat datang, mungkin muridmu ini sudah
membunuhnya! Sekarang, begitu enaknya kau datang memintakan ampun untuknya!
Jangan harap!"
Wajah Pengemis Tongkat Merah
langsung berubah. Sikap raksasa itu amat merendahkannya. Betapapun disadari
kalau dirinya bukanlah tandingan tokoh yang menggiriskan itu, tapi pantang
baginya menerima penghinaan. Ditegakkan kepalanya, dan dibusungkan dadanya yang
krempeng.
"Kalau begitu..., biarlah
kupertaruhkan selembar nyawa tuaku untuk keselamatan muridku!" sambut
Pengemis Tongkat Merah, tegas dan mantap suaranya.
"Ha ha ha...! Kenapa
tidak sejak tadi saja berkata begitu?!"
Tiba-tiba Pengemis Tongkat
Merah menggerakkan tangannya. Dan seketika tongkat butut berwarna merah melesak
masuk ke dalam tanah, hingga hampir setengahnya ketika kakek kurus ini
menekannya. Dia sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki kepandaian luar
biasa. Maka Pengemis Tongkat Merah memang tidak mau bersikap sungkansungkan
lagi.
"Hiyaaat..!"
Diiringi teriakan melengking
nyaring memekakkan telinga, Pengemis Tongkat Merah melompat Dan dari atas,
dilancarkan serangan bertubitubi ke arah ubun-ubun dan pelipis lawannya.
Raksasa Rimba Neraka hanya
mendengus. Dengan keyakinan penuh akan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki,
dipapaknya serangan kakek kurus kering itu.
Plak! Plak! Plak...!
Benturan antara dua pasang
tangan yang samasama memiliki tenaga dalam tinggi pun terjadi berkalikali.
Tubuh Pengemis Tongkat Merah yang tengah berada di udara, terlempar kembali ke
belakang. Sementara kedua tangan Raksasa Rimba Neraka hanya bergetar saja.
Pengemis Tongkat Merah
bersalto beberapa kali dengan meminjam tenaga benturan tadi. Dirasakan sekujur
tangannya terasa seperti lumpuh. Tenaga dalam yang dimiliki Raksasa Rimba
Neraka itu memang luar biasa! .
"Hup... !"
Ringan tanpa suara, kedua kaki
kakek itu hinggap di tanah. Dan secepat kedua kakinya mendarat, secepat itu
pula kakek kurus kering ini kembali menyerang. Maka kini keduanya sudah
terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Di tempat itu kini hanya tiga
pasang mata saja yang menjadi penonton pertarungan antara dua orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah Dewa Arak, Sapta, dan Gajula.
Sementara para penduduk yang semula menyaksikan, telah bubar ketika Sagar
tiba-tiba tewas terbunuh. Mereka memang tidak ingin nantinya terbawa-bawa.
Pengemis Tongkat Merah yang
telah mendengar betapa lihainya Raksasa Rimba Neraka, mengerahkan segenap
kemampuannya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat mengancam bagian-bagian lemah
di tubuh raksasa itu.
Tapi betapapun kakek kurus
kering ini bekerja keras, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya. Setiap
serangannya selalu kandas. Kalau tidak dielakkan, pasti ditangkis. Dan setiap
kali Raksasa Rimba Neraka menangkis serangannya, tubuhnya selalu terhuyung.
Dadanya juga terasa sesak. Bahkan sekujur tangannya terasa sakit bukan main.
Tidak sampai dua puluh jurus
sudah terlihat keunggulan Raksasa Rimba Neraka. Memang sebenarnya kakek kurus
kering ini kalah segalagalanya. Baik dalam, hal tenaga dalam, maupun dalam
ilmu meringankan tubuh.
Memasuki jurus ketiga puluh
lima, Pengemis Tongkat Merah mulai terdesak. Kakek kurus kering ini hanya mampu
main mundur, dan hanya sesekali saja balas menyerang.
Sementara itu, Dewa Arak yang
sejak tadi mengawasi pertarungan, segera dapat mengetahui kalau Pengemis
Tongkat Merah tak akan lama lagi dapat bertahan. Dan dugaan pemuda berambut
putih keperakan ini memang tidak meleset. Pada jurus keempat puluh, kaki kanan
Raksasa Rimba Neraka meluncur deras ke arah perut Pengemis Tongkat Merah.
Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, kakek kurus kering Ini
memutuskan untuk menangkisnya.
Plak..!
Dengan kedua tangan terkepal
saling bersilang di depan dada, tendangan itu berhasil ditangkisnya. Tapi
akibatnya tubuh Pengemis Tongkat Merah terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum
lagi kakek kurus kering ini memperbaiki posisi, kaki raksasa yang tertangkis
itu secara mengejutkan kembali mengancamnya dengan sebuah tendangan miring ke
arah leher.
"Hup...!"
Pengemis Tongkat Merah begitu
susah payah mengelakkan serangan itu dengan menggeser kaki ke samping.
"Hiya...!"
Raksasa Rimba Neraka berteriak
keras. Berbareng dengan itu, kaki kirinya dikibaskan sambil membalikkan tubuh.
Wuuusss ... !
Angin menderu keras seperti
terjadi topan di sekitar tempat itu. Dan memang sebenarnya, dari rentetan
serangan kaki yang bertubi-tubi dengan cara mengibas inilah seluruh kekuatan
ditumpukan. Tentu saja kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan ini
pun sangat dahsyat.
Buk ... !
"Akh ... !"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah
terlempar deras. Kibasan kaki Raksasa Rimba Neraka telak mendaiat di pangkal
lengannya. Mulanya serangan kibasan itu diarahkan ke pelipis. Untungnya, kakek
kurus kering ini sempat mengelak, sehingga kibasan yang semula mengarah ke
pelipis itu hanya mengenai pangkal lengan.
Meskipun demikian akibat yang
diterima kakek kurus kering ini tidak ringan. Bagian yang terkena kibasan kaki
terasa sakit bukan main. Seolah-olah tulang-belulangnya remuk. Padahal tadi
sudah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi bagian yang
terserang.
Belum sempat Pengemis Tongkat
Merah memperbaiki posisinya, kini serangan susulan Raksasa Rimba Neraka
menyambar tiba. Seketika wajah kakek kurus kering ini pucat.
Di saat kritis itu mendadak
sesosok bayangan berkelebat memapak serangan itu.
Plak! Plak ... !
Benturan keras terdengar
berkali-kali, disusul terpentalnya kedua sosok tubuh itu ke belakang.
"Grrrh ... !"
Raksasa Rimba Neraka menggeram. Diam-diam kakek tinggi besar ini kaget bukan
main. Dari benturan yang baru saja terjadi, diketahui kalau sosok bayangan yang
menangkis serangannya pasti memiliki tenaga dalam yang tidak rendah. Malah
kedua tangannya sampai tergetar hebat dan sakit-sakit karenanya.
Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati si raksasa ini ketika melihat orang yang menangkis serangannya
itu. Tampak di hadapannya dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri seorang
pemuda berambut panjang meriap berwarna putih keperakan. Betulkah pemuda ini
yang baru saja menangkis serangannya tadi? Padahal serangan itu dilakukan
dengan pengerahan tenaga seluruhnya! Hampir-hampir kakek raksasa ini tidak
percaya kalau tidak menyaksikan sendiri!
Seumur hidupnya belum pernah
ditemukan tokoh yang mampu membuatnya terjengkang ke belakang dalam adu tenaga,
kecuali pemuda di hadapannya ini. Apalagi yang berada di hadapannya ini adalah
tokoh muda.
"Siapa kau, bocah! Apa
hubunganmu dengan kakek itu?!" tanyanya keras. Sepasang mata Raksasa Rimba
Neraka yang besar ini pelahan menyipit.
Dewa Arak yang juga merasakan
betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki kakek raksasa di hadapannya ini,
bersikap hati-hati.
"Aku Arya, seorang
pengelana. Dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kakek yang hendak
kau bunuh itu. Hanya saja, aku tidak bisa membiarkan adanya kekejaman
berlangsung di depan mataku!" tegas dan jelas kata-kata pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Ha ha ha...! Jadi kaulah
rupanya orang yang berjuluk Dewa Arak!? Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba.
Memang sudah lama aku ingin menjajal kelihaian tokoh yang katanya menggemparkan
dunia persilatan itu.
Sungguh tidak kusangka,
julukan yang cukup menyeramkan itu hanya dimiliki seorang pemuda ingusan.
Bersiaplah kau, pemuda sombong!"
Setelah berkata demikian,
Raksasa Rimba Neraka menjulurkan kedua tangannya ke depan, kemudian
pelahan-lahan mengepalkannya. Terdengar suara bergemeletuk keras seolah-olah
sekujur tulangtulangnya berpatahan.
Dewa Arak yang sudah bisa
mengukur kepandaian lawan, tidak berani bersikap main-main. Segera diambil guci
yang terikat di punggung, lalu diangkat ke atas kepala. Sebentar saja beberapa
teguk arak telah berpindah ke tenggorokannya.
Gluk... gluk... gluk !
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh pemuda itu pun mulai
hangat dan limbung.
"Hiyaaa ... !"
Tiba-tiba terdengar teriakan
menggeledek dari mulut Raksasa Rimba Neraka. Dan belum lagi gema suara teriakan
itu hilang, tubuhnya sudah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua tangannya yang
mengepal, dihantamkan ke arah Arya dalam sebuah pukulan lurus ke dada.
Suara me le dak-le dak se pe
rti suara pe rir menggelegar terdengar mengiringi serangan itu. Itu pun masih
diiringi hawa panas yang menyambar tiba sebelum pukulan itu sendiri mendekat.
Dewa Arak seketika terkejut. Tak disangka kalau lawannya yang mengerikan ini
memiliki ilmu begitu ampuh. Jangankan terkena langsung serangan itu, terkena
anginnya saja sudah cukup membuat sebuah pohon hancur lebur hangus.
Dewa Arak yang selalu bersikap
hati-hati dan tidak pernah memandang rendah lawan, segera mengeluarkan jurus
'Delapan Langkah Belalang' untuk menghadapinya.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan
dua orang dewasa langsung hancur terkena angin pukulan yang tidak mengenai
sasaran karena tubuh Dewa Arak sudah lenyap dari situ.
"Grrrh ... !"
Raksasa Rimba Neraka meraung keras melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari
hadapannya. Untuk sesaat ia kebingungan. Tapi begitu terasa ada angin mendesir
di belakangnya, segera saja diketahui kalau lawan ada di belakangnya. Dan
seketika itu pula raksasa itu melempar tubuhnya ke depan, kemudian
menggulingkan tubuhnya.
Dewa Arak tidak memberi
kesempatan pada kakek raksasa ini untuk memperbaiki posisinya. Segera diburu
tubuh yang sedang bergulingan itu.
Wut!
Diayunkan gucinya ke arah
kepala lawannya. "Ah,..!" seru Dewa Arak kaget .
Entah bagaimana caranya, kini
posisi kepala itu telah berada di tempat aman, tenaga sepasang kaki yang
mempunyai kembangan gerakan tidak terdugaduga.
Walaupun Dewa Arak berusaha
keras menjatuhkan serangan pada bagian kepala dan tubuh, tapi niatnya selalu
kandas. Setiap serangannya selalu dihadang sepasang kaki yang mempunyai pertahanan
luar biasa kokohnya. Raksasa itu menghadapi Dewa Arak dengan posisi tubuh
terlentang di tanah! Bahkan beberapa kali Dewa Arak terpaksa menghindar ketika
Raksasa Rimba Neraka melancarkan serangan balasan.
"Hm.... 'Jurus
Trenggiling'...," desah Pengemis Tongkat Merah yang sejak tadi
memperhatikan jalannya pertempuran itu. Sejak mendengar pemuda berambut putih
keperakan itu memperkenalkan namanya, kakek kurus kering ini sudah menduga
kalau pemuda itu adalah Dewa Arak.
Maka begitu dugaannya benar, diputuskan
untuk menonton pertarungan yang sudah dibayangkan berlangsung dahsyat. Ingin
diketahui, siapa di antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi
dan menggegerkan rimba persilatan itu.
Tapi melihat tokoh yang
digelari Dewa Arak, Pengemis Tongkat Merah merasa kurang yakin kalau tokoh muda
itu akan mampu menaklukkan Raksasa Rimba Neraka. Dewa Arak ternyata masih
begitu muda, dan sudah pasti belum banyak pengalaman menghadapi berbagai macam
ilmu yang aneh-aneh. Berbeda dengan Raksasa Rimba Neraka yang telah puluhan
tahun malang-melintang di dunia persilatan.
Setelah belasan jurus Dewa
Arak berusaha mendesak lawan tanpa hasil, dia menjadi tidak sabar. Disadari
kalau ilmu 'Belalang Sakti' di samping mempunyai banyak keistimewaan, tetap saja
memiliki kekurangan dan kelemahan. Dan itu memang wajar, karena tidak ada ilmu
yang sempurna.
Ilmu 'Belalang Sakti' ternyata
menjadi lumpuh dan tidak cocok untuk menghadapi Raksasa Rimba Neraka. Ilmu yang
dimiliki Dewa Arak memang tidak dirancang untuk menghadapi ilmu permainan
bawah, seperti 'Jurus Trenggiling', atau 'Jurus Kelabang'.
"Okh ... !"
Suara keluhan Sapta
menyadarkan Pengemis Tongkat Merah kalau dirinya masih mempunyai sebuah urusan
yang lebih penting, yaitu menyelamatkan nyawa muridnya.
Dengan perasaan berat,
ditinggalkan pertempuran yang tengah berlangsung seru itu. Bergegas kakek itu
menghampiri muridnya yang terikat erat di tonggak, setelah terlebih dulu
mengambil tongkat bututnya yang tadi ditancapkan di tanah.
Tentu saja Gajula tidak
membiarkan Sapta lolos. Begitu melihat Pengemis Tongkat Merah bergerak
mendekati tempat pemuda itu terikat, Gajula cepatcepat bertindak.
Singgg ... ! Singgg ... !
Suara berdesing nyaring
terdengar ketika si waj ah ke ra itu me le mparkan be be rapa buah pisau
sekaligus ke arah tubuh Sapta yang tergolek tidak berdaya.
"Hih...!"
Pengemis Tongkat Merah yang
melihat bahaya maut mengancam muridnya segera menghentakkan kedua tangannya ke
depan.
Wut...!
Trak!
Serentetan angin keras
menghambur keluar dari tangannya yang dihentakkan itu, dan menerpa pisau-pisau
yang meluncur cepat mengarah tubuh Sapta. Pisau-pisau itu pun langsung runtuh
ke tanah dengan keras.
Pengemis Tongkat Merah yang
masih merasakan lumpuh pada tangan kirinya, menatap beringas ke arah Gajula.
Seketika itu juga, si wajah kera yang mengetahui bahwa dirinya bukan tandingan
kakek kurus kering itu segera melompat menjauh.
Pengemis Tongkat Merah tidak
mempedulikannya. Segera saja tubuhnya melompat mendekati tubuh muridnya.
Sebentar kemudian, tangan kanannya pun bergerak.
Pralll ... !
Kontan rantai baja yang
melilit tangan dan kaki Sapta hancur berantakan.
"Hup... !"
Kakek kurus kering ini
menjejakkan kakinya, dan sesaat kemudian tubuhnya sudah melesat meninggalkan
tempat itu bersama tubuh Sapta berada dalam pondongannya.
"Grrrh ... !"
Raksasa Rimba Neraka menggeram keras.
Memang, walaupun tengah
bertarung, kakek tinggi besar ini masih sempat melihat Pengemis Tongkat Merah
yang telah menyelamatkan muridnya.
Dan ini membuatnya murka bukan
main. Dengan 'Jurus Trenggiling', didesaknya Dewa Arak. Tendangannya
bertubi-tubi dan susul-menyusul mengancam bagian tubuh yang berbahaya di
sekujur tubuh pemuda itu.
Tapi berkat keistimewaan jurus
'Delapan Langkah Belalang', Arya berhasil mengelakkan setiap serangan itu.
Hanya saja tidak seperti biasanya, kali ini jurus 'Delapan Langkah Belalang'
tidak bisa digunakan untuk mengelak dan langsung mengancam lawan.
Selagi Dewa Arak sibuk
mengelakkan seranganserangan, Raksasa Rimba Neraka melentingkan tubuhnya
menjauh. Dia langsung mengejar Pengemis Tongkat Merah yang melarikan diri.
Melihat kepergian gurunya,
Gajula pun segera melesat kabur dari situ. Dewa Arak yang memang sama sekali
tidak mempunyai urusan dengan mereka, tidak mengejar. Yang dipentingkan kali
ini adalah menyelamatkan desa ini dari tangan jahat Toga, si kepala desa.
Dewa Arak pun melesat
meninggalkan tempat itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap saja
yang nampak hanyalah sebuah titik yang semakin lama semakin mengecil, dan
akhirnya lenyap di kejauhan.
******
Tubuh Raksasa Rimba Neraka
melesat cepat, disertai pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
untuk mengejar Pengemis Tongkat Merah yang berada jauh di depannya.
Sedikit demi sedikit jarak
antara mereka mulai dekat. Bayangan tubuh kakek kurus kering yang semula hanya
berupa titik kecil hitam di kejauhan, kini semakin lama semakin membesar. Sudah
bisa dipastikan kalau akhirnya Raksasa Rimba Neraka berhasil mengejar
buruannya.
Tapi senyum yang tadi telah
menghias wajah Raksasa Rimba Neraka pelahan mulai melenyap ketika tampak di
kejauhan sana membentang sebuah hutan. Sebagai tokoh yang penuh pengalaman,
kakek tinggi besar ini tahu kalau Pengemis Tongkat Merah berhasil masuk ke
dalam hutan itu, sudah bisa dipastikan akan berhasil lolos.
Raksasa Rimba Neraka
mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Tujuannya, menyusul kakek kurus
kering itu sebelum sempat memasuki hutan. Tapi betapapun mengerahkan segenap
kemampuan yang dimiliki, tetap saja usaha yang dilakukannya tidak mendapatkan
hasil. Jarak antara mereka masih terlalu jauh. Sementara jarak antara Pengemis
Tongkat Merah dengan hutan itu sudah demikian dekat.
Apa yang dikhawatirkan Raksasa
Rimba Neraka pun terjadi. Pengemis Tongkat Merah telah lebih duiu memasuki
mulut hutan sebelum berhasil disusul. Jarak antara mereka masih terpisah
puluhan tombak.
Beberapa saat setelah kakek
pengemis itu memasuki hutan itu, baru laki-laki bertubuh raksasa ini tiba di
mulut hutan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Raksasa Rimba Neraka itu melesat
masuk.
Tapi sesampainya di dalam
hutan, kakek bertubuh raksasa itu menjadi kebingungan. Hutan ini terlalu lebat,
ditumbuhi pohon-pohon besar kecil, dan semak-semak. Apalagi akar-akar pohon
yang menjalar juga menghalangi pandangan. Sesaat lamanya Raksasa Rimba Neraka
ini mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari-cari barangkali ada pohon
atau semak yang masih bergoyang. Kalau ada, itu tandanya baru dilewati orang.
Tapi, tetap saja itu tidak dijumpainya.
Lalu dia memilih satu arah
saja yang diyakininya. Tapi sampai lama mengejar, tak juga nampak tanda-tanda
bayangan tubuh kakek pengemis di de pannya. Se te lah lama mencari ke sana ke
mari tanpa hasil, meledaklah kemarahan Raksasa Rimba Neraka ini.
"Grrrrh...!" kakek
raksasa ini menggeram hebat. Kemudian tangan kanannya yang mengepal dipukulkan
ke depan.
Wut ... !
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan
dua orang dewasa tumbang seketika, tatkala angin pukulan Raksasa Rimba Neraka
ini melandanya. Dengan mengeluarkan suara bergemuruh, pohon besar itu pun
tumbang dalam keadaan hancur luluh dan hangus. Tidak hanya sampai di situ saja,
tangan dan kakinya terus saja dipu-kulkan ke sana kemari, melampiaskan ke
marahannya.
Kontan suara hiruk-pikuk
menyemaraki suasana hutan itu. Pohon-pohon yang tumbang dalam keadaan hancur
dan hangus, semak-semak yang ceraiberai dalam keadaan mengering layu,
mengiringi setiap gerakan tangan atau kaki Raksasa Rimba Neraka.
Cukup lama juga Raksasa Rimba
Neraka ini melampiaskan amarahnya. Dan kini ditatapnya keadaan dalam hutan
yang porak-poranda. Kemudian dilangkahkan kakinya, melesat dari tempat itu.
***
"Hhh ... !" Pengemis
Tongkat Merah mendesah lega di tempat persembunyiannya, setelah melihat
kepergian Raksasa Rimba Neraka. Memang, kakek ini masih berada di hutan itu,
bersembunyi di kerimbunan semak-semak dan pepohonan. Dia memang telah melihat
semua sepak terjang si raksasa yang mengamuk membabi buta.
Suara lenguh kesakitan Sapta
menyadarkan kakek ini dari lamunannya. Kini perhatiannya tercurah pada pemuda
berhidung melengkung yang tergolek lemah di tanah.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, kakek kurus kering ini segera memeriksa luka-luka muridnya. Yang menjadi
perhatiannya pertama kali adalah, lukaluka bekas cambukan yang menggurat hampir
sekujur tubuh pemuda itu.
Sekali lihat saja, Pengemis
Tongkat Merah yang penuh pengalaman segera mengetahui kalau luka-luka cambuk
itu tidak membahayakan jiwa Sapta, karena hanya luka luar belaka. Yang lebih
berbahaya adalah luka-luka dalamnya.
"Guru....," sapa
Sapta lirih, begitu tersadar dari pingsannya. Memang sejak kakek kurus kering
ini membawanya lari, pemuda ini sudah tidak sadarkan diri lagi.
"Tenanglah, Sapta,"
sambut kakek itu.
Namun Sapta seolah-olah tidak
mendengar peringatan itu. Pemuda itu malah berusaha bangkit. Kedua tangannya
yang ditekankan ke tanah, tampak gemetar.
"Berbaringlah dulu,
Sapta."
Pemuda berhidung melengkung
itu mendengar ada nada ketegasan dalam ucapan gurunya. Perintah yang tidak
menghendaki adanya bantahan. Maka segera dibaringkan tubuhnya kembali.
"Kami, Guru...."
"Kami?! Ada apa dengan
Kami?!" tanya Pengemis Tongkat Merah kaget.
Sikap pemuda di hadapannya ini
yang begitu mengkhawatirkan Kami, membuatnya cemas bukan main. Walaupun kakek
ini sudah dapat mengira-ngira, tapi mendengar penegasan pemuda itu dia merasa
khawatir bukan main.
"Kami tertangkap,
Guru...," desah Sapta lirih. "Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada
Guru untuk menjaga Kami."
Pengemis Tongkat Merah
berusaha bersikap tenang. Ia tidak ingin menambah kekalutan hati muridnya
dengan menunjukkan kegelisahannya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang menggayuti
benak kakek ini. Terutama ketika melihat Sapta hanya sendiri saja saat
ditolong. Juga, apa urusannya sehingga pemuda itu bisa bentrok dengan Raksasa
Rimba Neraka.
Memang dari raksasa itu sudah
diketahuinya kalau Sapta hampir membunuh adik kandung dari muridnya. Itulah
yang menjadi teka-teki lagi baginya. Siapakah adik kandung murid Raksasa Rimba
Neraka itu sehingga Sapta hendak membunuhnya?
"Ceritakan semuanya
secara jelas, Sapta!"
Sapta pun segera menceritakan
semuanya. Mulai dari pertempurannya dengan Toga, sampai akhirnya muncul Raksasa
Rimba Neraka yang telah merobohkannya secara mudah.
Wajah Pengemis Tongkat Merah
langsung pucat. Sungguh tidak disangka kalau Toga, musuh besar muridnya ini,
mempunyai kakak kandung yang menjadi murid dari Raksasa Rimba Neraka! Dan kini
gadis itu menjadi tawanan raksasa yang mengerikan itu.
Kakek kurus kering ini
menyadari bahwa dirinya bukanlah tandingan Raksasa Rimba Neraka. Kekalahan yang
baru saja diterimanya, telah memperjelas dugaannya selama ini. Kalau saja tidak
muncul Dewa Arak menolongnya, mungkin ia sudah tewas di tangan kakek tinggl
besar itu.
"Hhh ... !" Pengemis
Tongkat Merah menghela napas panjang. "Sungguh tidak kusangka kalau
urusannya menjadi begjni pelik, Sapta. Apalagi Raksasa Rimba Neraka juga
terlibat dalam urusan ini. Kini jangankan untuk membalas dendam untuk menolong
Kami pun kita belum tentu mampu!"
"Tapi biar bagaimanapun
aku akan tetap menolong Kami, Guru. Akan kudatangi lagi tempat si keparat itu.
Dan..., kalau bisa membalaskan dendam orang tuaku!" tegas dan mantap
kata-kata pemuda itu.
Kakek kurus kering itu
tersenyum. Terlihat begitu kering dan dipaksakan senyumnya.
"Tentu saja, Sapta. Untuk
kedua hal itu, aku bersedia mengorbankan selembar nyawa tuaku ini. Hhh ... !
Semula aku tidak ingin campur tangan dalam urusan balas dendammu. Tapi kini
setelah Raksasa Rimba Neraka berdiri di belakang musuh-musuhmu, aku tidak bisa
berpangku tangan lagi."
Dada Sapta terasa sesak oleh
rasa haru yang amat sangat melihat pembelaan gurunya yang begitu besar.
"Sekarang yang penting,
pulihkan dulu tubuhmu. Jangan bangkit dulu. Aku akan mencari daun-daunan dan
akar-akaran untuk mengobati lukalukamu." Sapta menganggukkan kepalanya.
Pengemis Tongkat Merah pun
segera melesat dari situ. Beberapa saat kemudian, kakek itu pun kembali dan
telah menggenggam daun-daunan dan akar-akaran yang berkhasiat untuk mengobati
luka-luka yang diderita Sapta dan dirinya sendiri.
***
"Auuung ... !"
Lolongan anjing hutan
menggaung panjang, merobek kesunyian malam yang mencekam. Padahal malam itu
langit bersih tidak berawan. Bulan bersinar penuh, memancarkan sinarnya yang
kekuningan di langit. Tapi anehnya dalam suasana secerah itu, di Desa Gebang
nampak sepi seperti mati.
Tapi rupanya masih ada juga
orang yang berada di luar rumah. Terbukti, tampak sesosok bayangan ungu melesat
dari satu atap ke atap rumah lainnya. Gerakannya gesit sekali. Kalau saja ada
penduduk yang melihat, tentu akan disangka hantu. Apalagi bayangan itu
memiliki rambut berwarna putih keperakan.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua
kakinya mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula
tubuhnya melesat ke arah tembok pagar sebuah rumah besar yang megah dan
berhalaman luas. Beberapa saat lamanya si rambut putih keperakan itu berdiri
menempel tembok, baru kemudian menengadahkan kepalanya, mengira-ngira tinggi
pagar tembok yang tengah disandarinya.
"Hih ... !"
Tubuhnya direndahkan sedikit,
dan sebentar kemudian tubuh si rambut putih keperakan itu melayang ke atas.
Suasana malam yang cerah, dan sinar bulan pumama yang cukup terang itu
menyoroti wajah itu selagi tubuhnya berada di atas. Ternyata memang si rambut
putih keperakan itu adalah Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa
Arak!
"Hup...!"
Kedua kaki Dewa Arak hinggap
di atas tanah di dalam pekarangan yang luas itu tanpa suara. Sepi-sepi saja
suasana di dalam pekarangan ini.
"Hih ... !"
Tubuh Dewa Arak kini melesat
dan hinggap di atas atap tanpa suara. Pendengarannya yang tajam menangkap
adanya langkah kaki mendekat. Dugaannya tidak keliru. Tak lama kemudian di
tempat dia berdiri tadi, lewat dua orang yang membawa obor dan kentongan.
"Ronda...," bisik
hati Arya.
Pelan laksana seekor harimau
yang berjalan mengendap-endap menghampiri mangsa, Dewa Arak berjalan di atas
atap. Dia memang mencoba mencaricari kamar kepala desa.
Tapi baru beberapa langkah
berjalan, langkah kaki pemuda ini tertahan di udara. Pendengarannya yang tajam,
menangkap adanya rintihan lirih di bawah sana. Dan perasaan penasaran mendorong
pemuda ini mendekatkan telinganya ke genteng. Suara rintihan itu pun semakin
jelas terdengar.
"Jangan.... Jangan
lakukan itu..., bunuh saja aku...."
Wajah Arya langsung berubah.
Suara rintihan lirih itu berasal dari mulut wanita! Berarti ada seorang wanita
yang tengah membutuhkan pertolongan di bawah sana.
Dewa Arak memutuskan menjebol
atap ini untuk menolong wanita yang diduga dalam bahaya besar itu. Tapi baru
saja akan bertindak, sebuah suara lain yang menyambut rintihan itu membuat dia
harus menahan gerakannya.
"Ha ha ha...! Fnak saja!
Jarang kutemukan wanita istimewa sepertimu, tahu!? Kau memiliki banyak
kelebihan dibanding santapan-santapanku sebelumnya. Kau cantik, masih gadis,
dan memiliki kepandaian. Ha ha ha...! Betapa bodohnya kalau aku
membunuhmu!"
Wajah Arya Buana langsung
berubah! Memang, suara dan tawa itu sangat dikenalnya. Dan seketika itu juga
jantung Dewa Arak berdebar tegang. Bukankah pemilik suara dan tawa itu adalah
musuh tangguh yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka dan baru saja dihadapinya?
Lalu, kenapa tokoh sakti yang menggiriskan itu berada di sini? Apa hubungannya
dengan Toga, yang menjadi Kepala Desa Gebang? Batin Dewa Arak terus dibebani
bermacam-macam pertanyaan.
Tapi Dewa Arak tidak bisa
berpikir lebih lama lagi. Suara kain robek yang terdengar dari bawah, disusul
jerit ketakutan seorang wanita memaksanya bertindak cepat
Brakkk...!
Atap rumah itu hancur
berantakan ketika Dewa Arak menghajarnya. Karuan saja hal itu mengejutkan
Raksasa Rimba Neraka. Padahal laki-laki tinggi besar itu baru saja menindih
tubuh wanita yang tak lain dari Kami. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya.
Wuuuttt ... !
Serentetan angin pukulan yang
mengandung hawa panas telah menyambar ke arah Raksasa Rimba Neraka, ketika
kedua kakinya hinggap di tanah. Sebentar kemudian, meluncur sesosok bayangan
ungu dari atap yang telah ambrol.
"Hih ... !"
Tidak ada jalan lain bagi
Raksasa Rimba Neraka, kecuali melompat menghindar. Laki-laki tinggi besar itu
menyadari betul kalau angin pukulan yang menyambarnya itu mengandung tenaga
dalam yang amat kuat. Dan ia tidak berani berlaku ceroboh.
Brakkk...!
Tembok yang terbuat dari
tembok batu itu ambrol terhantam tubuh si raksasa yang menabraknya dalam upaya
keluar ruangan.
Blarrr ... !
Lantai tempat kakek tinggi
besar tadi berdiri langsung ambrol, ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak
mengenai sasaran menghantamnya. Tampak sebuah lubang besar tercipta akibat
pukulan itu.
"Hup... !"
Secepat kedua kakinya mendarat
di tanah, secepat itu pula Dewa Arak memalingkan wajahnya. Di sebuah
pembaringan nampak tergolek seorang gadis dalam keadaan tanpa busana! Kulitnya
yang putih mulus, dan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan membuat Dewa Arak
menelan ludah.
Melihat keadaan gadis ini yang
diam tidak bergerak, Dewa Arak segera saja tahu kalau gadis ini tertotok
lumpuh. Arya segera bergerak mendekati. Tentu saja, mau atau tidak mau tubuh
yang mulus indah dan menantang itu terlihat olehnya. Jantung pemuda berambut
putih keperakan ini berdebar tegang. Kedua tangannya terasa dingin. Darah
kelakilakiannya seketika bergolak.
Sambil menarik napas untuk
menenangkan hatinya yang terguncang, Arya menggerakkan tangannya membuka
totokan yang membuat gadis itu lumpuh.
"Cepat kenakan pakaianmu,
dan pergilah...!" perintah Arya sambil melesat keluar, melalui lubang di
tembok yang dibuat Raksasa Rimba Neraka tadi.
Kami buru-buru mencari
pakalan, dan dengan tergesa-gesa mengenakannya. Dalam hati ia bersyukur, di
saat terakhir muncul seorang yang menolongnya.
Sementara itu begitu keluar
dari ruangan, Dewa Arak terkejut. Ternyata di luar telah menanti banyak sekali
sosok tubuh. Tapi yang menjadi perhatian Arya hanya satu, yaitu sosok yang
tingginya satu setengah kali manusia biasa. Siapa lagi kalau bukan Raksasa
Rimba Neraka yang amat tangguh.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak segera meraih guci dari punggungnya. Kemudian diangkatnya ke
atas kepala, dn dituangkan ke mulutnya .
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu
arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian langkahnya pun mulai sempoyongan.
"Ha ha ha...! Kiranya kau
orangnya!? Pantas begitu usilan!" teriak Raksasa Rimba Neraka keras,
begitu melihat Dewa Arak keluar dari ruangan itu. Memang dia sudah merasakan
kehebatan pemuda berambut putih keperakan itu tadi siang, terutama tenaga
dalamnya.
"Hiyaaa ... !"
Kali ini di luar kebiasaannya,
Dewa Arak mendahului menyerang. Pemuda ini bermaksud membuat repot Raksasa
Rimba Neraka agar Kami dapat meloloskan diri.
Wuuuttt..!
Guci di tangan kanannya
diayunkan deras ke arah kepala si raksasa itu. Angin keras mengiringi tibanya
serangan itu.
Raksasa Rimba Neraka yang
sudah mengetahui kelihaian pemuda di hadapannya, memang sejak tadi sudah
bersiap siaga. Pertarungan tadi siang memang membuatnya penasaran bukan main.
Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertanding, belum pernah 'Ilmu
Pukulan Tinju Geledek' miliknya ditahan lawannya. Tapi ternyata Dewa Arak ternyata
mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya. Ingin dibuktikannya sekali
lagi, apakah memang pemuda pemabukan ini mampu membuat ilmu andalannya itu
tidak berdaya? Maka tanpa ragu-ragu lagi, diangkat tangan kirinya melindungi
kepala.
Klanggg ... !
Benturan keras yang terjadi
antara guci Dewa Arak dengan tangan kiri Raksasa Rimba Neraka, menimbulkan
suara berdentang nyaring. Tampak tubuh kakek tinggi besar itu terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Begitu pula Dewa Arak. Seperti kejadian sebelumnya,
tenaga dalam mereka memang berimbang.
Berkat keisrimewaan ilmu
'Belalang Sakti', Dewa Arak lebih dulu berhasil mematahkan daya dorong yang
membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Dan kini, kembali tubuhnya melesat
menyambar, sementara gucinya sudah terikat kembali di punggung. Fntah kapan dan
bagaimana caranya, guci itu telah berada di punggung kembali. Bahkan Raksasa
Rimba Neraka sendiri tidak tahu.
Yang diketahui laki-laki
bertubuh raksasa itu, kedua tangan Dewa Arak dengan kecepatan tinggi menyambar
bertubi-tubi. Gerakan tangannya begitu aneh, mengancam pelipis dan
ubun-ubunnya. Raksasa Rimba Neraka kaget bukan main. Posisinya tidak
memungkinkan untuk menangkis serangan yang nantinya hanya akan memperburuk
keadaan. Maka buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian bergulingan
menjauh.
Dan tepat pada saat itu, Kami
melesat keluar dari kamar.
Namun sayang, ternyata di luar
bukan hanya ada Raksasa Rimba Neraka saja. Di situ juga ada Gajula, Toga, dan
puluhan anak buahnya. Maka begitu gadis itu keluar, segera mereka mengurungnya.
Dewa Arak sadar kalau keadaan
itu amat berbahaya. Kalau tidak bertindak keras, sulit baginya untuk membawa
keluar gadis itu. Raksasa Rimba Neraka kelihatannya terlalu tangguh untuk
ditaklukkan.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Dewa Arak berteriak
keras. Kedua tangannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'
yang jarang sekali digunakan, kalau tidak terpaksa sekali.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menyambar
deras ke arah kerumunan orang yang menghadang langkah Kami. Bresss ... !
Beberapa sosok tubuh terlempar
jauh, kemudian ambruk ke tanah dan terguling-gullng jauh. Sekujur tubuh mereka
hangus. Dari mulut, hidung, dan te linga mengalir darah segar. Mereka memang
tewas seketika! Sementara itu Toga, Gajula, dan belasan orang lain yang
berhasil menyelamatkan diri, bergidik ngeri melihat akibat angin pukulan itu.
"Cepat pergi ... !"
teriak Arya ketika melihat gadis yang diusahakan setengah mati untuk lotos dari
situ, malah terbengong-bengong.
Bentakan Dewa Arak berhasil
menyadarkan Kami dari ketertegunannya. Segera gadis ini bergerak kabur dari
situ. Tapi Toga dan Gajula tidak membiarkannya lolos! Dan cepat-cepat mereka
bergerak mengejar.
Dewa Arak tidak bisa membantu
Kami lagi, karena tampak Raksasa Rimba Neraka itu sudah berhasil memperbaiki
posisinya. Terpaksa dipusatkan perhatiannya lagi pada kakek raksasa ini kalau
masih ingin hidup.
"Hih...!"
Arya menggertakkan gigi.
Kembali kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Wusss ... !
Raksasa Rimba Neraka tidak mau
kalah. Dikepalkan kedua tangannya, lalu dipukulkan ke depan.
"Hiyaaa ... !"
Wuuusss...!
Blarrr ... !
Dua tiupan angin pukulan yang
sama-sama mengandung hawa panas itu bertemu di udara. Ledakan keras luar biasa
terjadi bagaikan gunung runtuh. Keadaan di se kitar te mpat itu be rge tar he
bat bagai dilanda gempa. Bahkan bangunan-bangunan yang berada di sekitar tempat
itu pun bergetar hebat!
Tapi yang lebih hebat lagi,
adalah yang dialami kedua tokoh sakti yang tengah bertarung itu. Baik tubuh
Dewa Arak maupun tubuh Raksasa Rimba Neraka, sama-sama terjengkang ke belakang.
Dan serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh masing masing.
"Akh ... !"
Terdengar pekikan tertahan,
disusul terhuyungnya tubuh Kami. Rupanya Toga dan Gajula berhasil mengejarnya. Dan
dalam keadaan kondisi tubuh yang kurang sehat, Kami tidak mungkin mampu
menghadapi kedua orang lihai itu. Segera saja gadis itu terdesak hebat. Sampai
akhirnya, sebuah pukulan telakToga berhasil mendarat di dadanya.
Walaupun sekujur tubuh Dewa
Arak dilanda rasa panas, tapi tidak separah yang diderita Raksasa Rimba Neraka!
Dan ketika melihat keadaan Kami, Arya menggertakkan gigi menahan kemarahan yang
meluap. Kemudian tubuhnya melesat ke tempat Gajula dan Toga yang tengah
mengeroyok Kami.
Karuan saja Gajula dan Toga
menjadi gentar bukan main, karena sudah melihat kedahsyatan pemuda berambut
putih keperakan itu. Maka begitu melihat tubuh pemuda itu melayang mendekati,
keduanya pun berlari menghindar.
Tappp. . .!
Tanpa menghhaukan Toga dan
Gajula, Dewa Arak segera menyambar tubuh Kami yang sudah limbung itu. Dipondong
dan dibawanya gadis itu kabur dari situ.
Tak ada seorang pun yang
berani menghalangi kepergian Dewa Arak. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka, orang
satu-satunya yang dapat menahan Arya, tengah sibuk mengusir serangan hawa panas
yang merayap di sekujur tubuhnya. Maka, tanpa mengalami kesulitan sama sekali
Kami dapat lolos dibawa Dewa Arak.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki
Arya hinggap di tanah, di luar pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung
milik Toga. Tubuhnya tampak terhuyung begitu kedua kakinya mendarat di tanah,
tapi tidak dipedulikan. Dan terus berlari. Walaupun disadari kalau dirinya
telah terkena serangan hawa panas, pemuda itu juga tidak mempedulikan. Padahal
kalau tidak segera diusir akan mengakibatkan luka dalam.
Arya terus berlari cepat,
walaupun tempat tinggal kepala desa itu telah jauh dilewatinya. Dan kini
perasaan pening mulai menjalari kepala Dewa Arak. Seketika pemuda berambut
putih keperakan ini memperlambat larinya. Dan di saat itu terdengar sebuah
bentakan nyaring.
"Manusia cabul! Lepaskan
wanita itu!" Belum habis gema suara bentakan itu, sesosok bayangan yang
belum terlihat jelas telah menyerangnya. Dan Arya mencoba mengelak, tapi
keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan begitu menyulitkannya.
Bukkk ... !
Pukulan dari sosok bayangan
itu telak mengenai pangkal lengannya.
"Akh ... !"
Dewa Arak mengeluh tertahan,
dan tubuhnya langsung terjengkang. Dan dengan demikian, tubuh Kami yang tengah
dipondongnya terlepas dan terlempar. Tapi sebelum tubuh gadis itu terjatuh di
tanah, si penyerang telah terleblh dulu bergerak.
Tappp. . .!
Tubuh Kami berhasil ditangkap
orang itu.
Arya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Hawa panas yang menyerang membuat pandangannya berkunang-kunang.
Sehingga, Dewa Arak kini tidak bisa melihat jelas sosok tubuh di hadapannya.
Tapi bentuk tubuh pemuda itu masih bisa dikenali. Jelas, dia adalah murid
Pengemis Tongkat Merah. Dan kini samar-samar terdengar ucapan si penyerang.
"Kau tidak apa-apa,
Kami?"
Tampaklah si penyerang tengah
meletakkan gadis itu di bawah sebatang pohon. Pikiran Arya yang ce rdas se ge
ra saj a dapat me nduga kalau pemuda itu adalah teman wanita yang ditolongnya.
Itu terbukti dari ucapannya tadi. Memang tadi gadis itu sempat mengenalkan nama
padanya. Dan nama Kami adalah nama yang disebutkan gadis itu. Jadi kemungkinan
pemuda itu salah paham padanya. Dan kini, tampak pemuda teman Kami itu hendak
menyerang Dewa Arak.
"Tahan...," ucap
Dewa Arak lemah. Digoyanggoyangkan tangannya di depan dada.
Tapi Sapta kelihatannya sudah
marah bukan main ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu membawa
lari orang yang dicintainya. Dia tidak mempedulikan cegahan itu. Keadaannya
yang waktu itu setengah sadar, membuatnya lupa kalau pemuda yang berada di
hadapannya inilah yang telah menolong dirinya dan gurunya. Apalagi saat itu
kemarahan tengah melanda hatinya. Kembali tangannya bergerak melancarkan
serangan.
Dewa Arak kaget sekali.
Walaupun tidak melihat jelas serangan itu, tapi dari suara desir angin saja
dapat diketahui kalau pemuda di hadapannya tengah menyerangnya secara ganas!
Padahal, bukankah pemuda itu tahu kalau dialah yang telah menyelamatkan dirinya
dan gurunya dari keganasan Raksasa Rimba Neraka? Kenapa kini pemuda itu hendak
membunuhnya?
Perasaan penasaran dan
keinginan untuk menyelamatkan nyawanya yang hanya satu-satunya, membuat Dewa
Arak jadi mata gelap.
"Hiyaaa ... !"
Sambil berteriak keras Dewa
Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuusss ... !
Angin berhawa panas menyambar
deras memapak serangan Sapta. Pemuda tinggi besar ini menjadi kaget bukan main.
Cepat dilempar tubuhnya ke samping, dan bergulingan di tanah.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan
orang dewasa hancur berantakan ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak
mengenai sasaran menghantam.
"Huakkk ... !"
Tiba-tiba Dewa Arak
memuntahkan darah segar dari mulutnya. Memang karena pengerahan tenaga yang
dipaksakan, akibatnya hawa panas yang menyebar di seluruh tubuh telah melukainya.
Tapi Arya tidak
memperdulikannya. Segera dia melesat kabur dari situ, meninggalkan Sapta yang
masih terpaku menatap akibat angin pukulan yang dilepaskan Dewa Arak.
******
"Okh...," Kami
mengeluh lirih. Sepasang matanya yang berbulu lenrik mengerjap-ngerjap. Gadis
ini memang jatuh pingsan sewaktu Dewa Arak terjengkang diserang Sapta.
Sementara Sapta yang sejak
tadi menunggui Kami yang tergolek pingsan, seketika menjadi berseriseri
wajahnya begitu melihat gadis itu sadar.
"Eh! Di mana dia ...
?" tanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini. Sepasang matanya
berkeliaran ke sana kemari, seolah-olah mencari sesuatu.
"Mencari siapa,
Kami?" Sapta balas bertanya. Kecewa juga hatinya, melihat betapa gadis itu
sepertinya tidak me mpe rhatikan dirinya.
"Pemuda yang
menolongku...." Ada suatu perasaan aneh yang menyelinap di hati gadis ini
ketika teringat Dewa Arak. Wajahnya jantan, keperkasaan, dan tindak-tanduknya
yang begitu tenang, begitu mengagumkan hatinya.
Seketika wajah pemuda
berhidung melengkung ini berubah.
"Siapa?"
"Pemuda berambut putih
keperakan," jelas Kami.
"Pemuda yang
memondongmu?" tanya Sapta. Ada nada tidak senang dalam suara itu.
Kami tentu saja merasakan
adanya nada ketidak-senangan dalam suara itu. Sepasang alis yang bagus
bentuknya itu pun berkerut. Ditatapnya wajah pemuda di hadapannya itu
lekat-lekat. Mendadak terbayang kembali, sesosok bayangan yang memukul pemuda
yang memondongnya sehingga tubuhnya terlempar, dan jatuh pingsan.
"Jadi..., jadi kau
rupanya yang menyerang pemuda itu sampai terjengkang?!"
Pucat wajah Sapta seketika.
Tapi pantang baginya menyembunyikan perbuatannya.
"Ya!" jawabnya tegas."Akulah yang
menyerangnya!"
"Lalu, ke mana
dia?!" desak Kami. Tajam dan keras nada suaranya.
"Kabur! Sehabis
melepaskan pukulan yang menimbulkan akibat mengerikan pada pohon itu!"
sahut Sapta sambil menunjuk pohon yang terkena angin pukulan Dewa Arak.
Kami menolehkan kepalanya,
memandang ke arah telunjuk tangan Sapta. Meremang bulu kuduk gadis itu melihat
pohon yang begitu besar, hancur berantakan. Beberapa saat lamanya putri angkat
Pengemis Tongkat Merah ini terpaku.
"Aku tahu pasti, tidak
akan mungkin dia melepaskan pukulan sedahsyat itu kalau nyawanya tidak
terancam. Aku tahu dia terluka dalam. Karena berkali-kali sewaktu membawaku
lari, langkahnya sempoyongan dan hampir jatuh."
Sapta menghela napas.
"Memang kuakui, Kami. Pemuda itu berusaha mencegah seranganku."
"Dan yang pasti, kau
menyerangnya dengan sebuah pukulan mematikan, bukan?" selak Kami
berapiapi. "Tidak mungkin dia bertindak demikian hingga mengeluarkan
pukulan yang sangat menguras tenaga. Kau tahu, saat itu dia telah terluka dalam
karena bertarung melawan Raksasa Rimba Neraka dan antekantek musuh besarmu!
Kalau tidak, jangan harap kau dapat merubuhkannya!"
Sapta mengangkat kepalanya.
Kesal juga pemuda ini disalahkan terus-menerus.
"Kuakui, aku memang
salah. Tapi itu tidak berarti kau terus membela pemuda itu! Aku terpaksa
menyerangnya, karena khawatir pemuda itu akan berbuat tidak baik
kepadamu!"
Kami tersadar seketika. Memang
disadari kalau sikapnya tidak adil. Sapta sebenarnya sama sekali tidak
bersalah. Pemuda itu terpaksa berbuat demikian karena khawatir akan keselamatan
dirinya.
"Maafkan aku, Kang,"
ucap gadis itu pelan. Sapta tersenyum pelahan. Kecerahan pada wajahnya pun
nampak kembali.
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan. Kau sama sekali tidak bersalah. Tapi yang jelas, aku bersalah pada
pemuda penolongmu itu. Kelak bila berjumpa kembali dengannya, aku akan meminta
maaf," jelas Sapta.
Pemuda ini memang mengakui
kalau hatinya terbakar api cemburu terhadap Dewa Arak. Akibatnya, dia menyerang
lebih dulu.
Kami hanya dapat mengangguk.
"Nah, sekarang mari kita
menemui Guru," ajak Sapta.
"Heh?! Kita kembali ke
perguruan?!" Langkah kaki Kami seketika terhenti.
"Tentu saja tidak!"
"Lalu?!"
"Guru memang telah berada
di desa ini," jelas Sapta.
"Ayah ada di desa
ini?!" tanya Kami setengah tidak percaya.
"Ya!" jawab Sapta
membenarkan. Kemudian diceritakan semuanya. Sejak dirinya tertangkap sampai
dibawa kabur gurunya.
"Dan ketika kami berdua
merasa lapar, aku pamit pada Guru untuk berburu binatang. Siapa sangka aku
melihat sesosok bayangan tengah memanggul tubuh wanita. Karena curiga, dia
kuikuti. Kutinggalkan kelinci yang telah kudapatkan. Sinar bulan membantuku untuk
mengetahui kalau kaulah orang yang dibawa lari orang itu. Dan seterusnya kau
sendiri pun tahu."
Kami mengangguk-anggukkan
kepala. Sesaat kemudian, keduanya terperangkap dalam keheningan.
"Sekarang, mari kita
berangkat," ajak Sapta.
Setelah berkata demikian,
tubuh Sapta pun melesat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh ringkat
tinggi, agar cepat sampai ke tujuannya. Kami pun segera melesat mengikuti. Tak
lama kemudian suasana di sekitar tempat itu pun kembali sepi.
***
Pengemis Tongkat Merah bangkit
berdiri. Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki. Semula kakek
ini menyangka kalau Sapta-lah pemilik langkah kaki itu. Pemuda itu memang sejak
tadi ditunggunya. Tapi, ketika telinganya menangkap dua langkah kaki mendekati
tempatnya, kecurigaannya pun timbul.
Dalam sekejap pikiran kakek
pengemis ini berpu-tar. Tiba-tiba....
"Hup... !"
Ringan tanpa suara, kedua
kakinya hinggap di cabang sebuah pohon. Dari sini mudah baginya untuk
mengetahui, apakah yang datang itu kawan ataukah lawan.
Berkat sinar bulan yang cukup
terang, kakek ini dapat melihat cukup jelas, dua orang yang melangkah mendekati
tempatnya. Dan begitu jelas teriihat orang yang bergerak mendekatinya,
kegembiraan kakek ini pun meledak!
Tampak di bawah sana Sapta dan
seorang gadis yang membuatnya gembira bukan main! Betapa tidak? Karena gadis
itu adalah Kami! Anak angkatnya yang menurut cerita Sapta tertawan Raksasa
Rimba Neraka.
Semula begitu mendengar anak
angkatnya tertangkap, Pengemis Tongkat Merah sudah tidak mempunyai harapan lagi
akan keselamatan Kami. Dia telah mendengar kebiasaan terkutuk tokoh Rimba
Neraka yang menggiriskan itu. Selain kebiasaannya memakan daging manusia, dia
juga suka mempermainkan wanita!
Sebenarnya kakek itu bersama
Sapta sudah menyusun rencana untuk membebaskan Kami, sehabis mengisi perut.
Berhasil atau tidak bukan masalah. Demikian keputusan mereka berdua.
Tapi kenyataannya, kini gadis
itu berjalan bersama muridnya dalam keadaan selamat. Apakah Sapta telah pergi
ke sana seorang diri dan menyelamatkannya? Ataukah gadis itu sendiri yang
berhasil menyelamatkan diri?
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Pengemis
Tongkat Merah mendaratkan kedua kakinya di tanah, tepat di depan Sapta dan
Kami. Tentu saja Sapta dan Kami kaget bukan main. Seketika seluruh urat syaraf
di tubuh mereka menegang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tapi begitu
mengenali orang yang secara mendadak berada di hadapan mereka, seketika itu
juga urat-urat syaraf di tubuh keduanya kembali mengendur.
"Guru...!" seru
Sapta.
"Ayah...!" ujar Kami
tak mau kalah. Kedua tangannya langsung dikembangkan. Ditubruknya ayah
angkatnya.
Pengemis Tongkat Merah memeluk
tubuh anak angkatnya erat-erat. Diusap-usapnya rambut tebal dan hitam milik
gadis itu. Suaranya terdengar tersendat.
"Ayah hampir tidak
percaya melihatmu, Kami. Menurut penuturan Sapta, kau ditangkap Raksasa Rimba
Neraka. Bagaimana kau bisa lolos dari tangan raksasa itu?"
Kami melepaskan pelukannya.
Ditatapnya wajah kakek kurus kering di hadapannya dalamdalam. Sepasang mata
gadis ini nampak memerah. Memang, kini rasa takut belum sepenuhnya hilang dari
hati Kami. Rasa takut akan terjadinya sesuatu yang mengerikan, dan hampir
menghaneurkan masa de pannya.
"Seseorang telah
menolongku, Ayah."
"Ah ... !" Pengemis
Tongkat Merah berseru kaget. Siapa orang yang berani mati membebaskan tawanan
Raksasa Rimba Neraka itu? Perasaan bingung menggayuti hatinya.
"Apakah orang itu
Sapta?" tanya kakek itu dalam hati.
Seketika wajah pemuda tinggi
besar itu memerah. Jawaban gurunya itu mengingatkan, betapa dia telah melakukan
perbuatan tercela. Dia telah melukai penolong Kami, walaupun hal itu tidak
disengaja.
"Dewa Arak, Ayah,"
tegas Kami.
"Dewa Arak...?!"
teriak kakek pengemis ini kaget.
Kami me nganggukkan ke pala me
mbe narkan . Lalu gadis berpakaian jingga itu pun menceritakan semuanya. Dari
mulai kedatangan Dewa Arak di saat ancaman mengerikan hampir menimpanya, sampai
Dewa Arak terluka oleh Sapta karena kesalahpahaman.
"Ah ... ! Memang, berita
tentang keluhuran budi Dewa Arak tidak berlebihan. Walaupun kita sama sekali
bukan kerabat atau sahabatnya, ia rela mempertaruhkan nyawa untuk menolongmu.
Sungguh besar budi yang kita terima darinya! Entah kapan dapat
membalasnya...," keluh kakek itu. "Dan kau, Sapta. Ingat, kau harus
meminta maaf padanya atas perbuatanmu itu. Mengerti?!"
"Mengerti, Guru,"
pemuda berhidung melengkung itu menganggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang
pangganglah dulu kelinci hasil tangkapanmu itu, Sapta!" ujar Pengemis
Tongkat Me- rah mengalihkan pembicaraan.
Sapta segera mengerjakan
perintah gurunya, membakar kelinci yang sejak tadi dijinjingnya. Tak lama
kemudian mereka pun sudah sibuk mempersiapkan semuanya.
***
Seorang kakek bertubuh tinggi
besar, satu setengah kali manusia biasa, bergerak cepat mendaki Lereng Gunung
Jarak. Kakek tinggi besar ini adalah Raksasa Rimba Neraka. Tujuannya mendaki
gunung itu jelas mencari Pengemis Tongkat Hitam. Dan dari penduduk yang tinggal
di sekitar lereng gunung itu, Raksasa Rimba Neraka telah tahu markas Perguruan
Tongkat Merah.
Raksasa Rimba Neraka memang
mempunyai aturan aneh. Setiap lawan yang telah kalah olehnya harus mati.
Pengemis Tongkat Merah memang telah dikalahkan. Tapi karena keburu ada yang
menolong, kakek kurus kering ini tidak tewas di tangannya.
Berkat ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tak lama kemudian Raksasa Rimba
Neraka telah menemukan tempat itu. Kakek raksasa itu memandangi bangunan yang
terbuat dari bilik bambu, dan mempunyai halaman luas yang dikelilingi pagar
bambu tinggi. Di atas pintu gerbang, terpampang papan lebar yang bertuliskan
huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Tongkat Merah'.
Hanya beberapa kali lompatan
saja, kakek raksasa ini sudah berada di depan pintu gerbang. Dan tiba-tiba dua
orang murid perguruan yang berjaga di depan pintu gerbang, langsung menghadang
langkah kakek ini Mereka saling memiringkan tongkat berwarna merah yang
digenggam, sehingga membentuk tanda silang.
"Siapa Kisanak ini?
Mengapa memasuki daerah kekuasaan Perguruan Tongkat Merah?" tanya salah
seorang yang berjaga jaga. Wajahnya nampak memancarkan kekagetan melihat tubuh
kakek yang berdiri di hadapannya. Sikap keduanya nampak waspada. Melihat
dandanan kakek di hadapan mereka ini saja, mereka sudah bisa memperkirakan
kalau kakek ini bukanlah tokoh baik-baik.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka tertawa bergelak. "Aku datang untuk membunuh Pengemis
Tongkat Merah! Sekaligus ingin menghancurkan perguruan ini!"
"Keparat..!" teriak
salah seorang dari penjaga itu. Tongkat merah di tangannya pun disabetkannya.
Tujuannya mungkin kepala. Tapi karena si penjaga ini ukuran tubuhnya biasa
saja, sementara Raksasa Rimba Neraka memiliki tubuh di atas sewajarnya, maka
serangannya pun hanya mengancam bawah pundak kakek raksasa itu.
Raksasa Rimba Neraka tersenyum
mengejek. Dibiarkan saja sabetan tongkat ke arah pangkal lengannya itu
Bukkk ... ! Krakkk ... ?
Telak dan keras sekali tongkat
itu menghantam sasarannya. Tapi akibatnya, tongkat yang menghajar pangkal
lengan Raksasa Rimba Neraka justru yang patah!
"Ha ha ha...!"
kembali kakek tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak. Berbarengen dengan itu,
kedua tangannya diulurkan ke depan.
Tappp ... ! Tappp ... !
Tanpa kedua penjaga itu sempat
berbuat apaapa, kuduk keduanya sudah dicengkeram tangan si raksasa itu.
"Akh...!"
"Ah ... !"
Kedua penjaga itu memekik
tertahan. Dirasakan tulang leher belakang mereka patah-patah. Belum lagi mereka
sempat berbuat sesuatu, tangan Raksasa Rimba Neraka bergerak.
Prakkk...!
Terdengar suara berderak keras
ketika kedua kepala penjaga yang sial itu diadu satu sama lain.
Cairan kental berwarna
kemerahan, berikut cairan kental berwarna keputihan langsung muncrat dari
kepala yang pecah itu. Tidak ada lagi suara yang terdengar. Dan ketika kakek
tinggi besar itu melepaskan cengkeramannya, tubuh kedua penjaga yang sial itu
pun ambruk ke tanah. Mati.
Tentu saja keributan yang
terjadi di depan pintu gerbang itu, segera mengundang murid-murid lainnya.
Dalam waktu sekejap saja, seluruh murid Perguruan Tongkat Merah yang berjumlah
sekitar dua belas orang berkumpul di depan Raksasa Rimba Neraka dengan sikap
mengancam.
Dapat dibayangkan betapa
marahnya hati mereka, melihat kematian rekan mereka yang begitu mengerikan.
Tanpa banyak tanya lagi mereka pun bergerak menyerbu.
"Hiyaaa ... !"
"Haaattt..!"
Dengan didahului jerit
melengking nyaring, tongkat-tongkat mereka pun berkelebat cepat menyambar ke
arah berbagai bagian tubuh Raksasa Rimba Neraka.
Bukkk ... ! Bukkk ... !
Takkk...!
Suara berdebukan terdengar
susul-menyusul ketika hujan serangan tongkat itu, mendarat pada sasaran
masing-masing. Raksasa Rimba Neraka memang tidak menghindari semua serangan
itu. Dengan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawanlawannya, pukulan
tongkat-tongkat itu tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan sebagian besar tongkat
yang menghantam sasarannya patah-patah.
"Sekarang giliranku ...
!" ucap raksasa itu keras ketika tidak ada lagi hujan serangan tongkat
menyambarnya. Belum lagi gema suara ucapannya lenyap, tangan kakek raksasa itu
bergerak ke sana ke mari. S e de rhana saja ge rakannya, tapi akibatnya hebat
bukan main. Ke manapun tangannya bergerak, sudah dapat dipastikan ada satu jiwa
yang melayang.
Jerit kematian terdengar
saling susul dibarengi berjatuhannya tubuh-tubuh yang sudah ditinggalkan
nyawanya.
"Akh ... !"
"Aaa ... !"
Dua jeritan melengking
panjang, mengiringi robohnya dua orang terakhir yang masih hidup.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali
mengumandangkan tawanya ketika melihat tidak ada lagi sosok tubuh yang masih
berdiri. Semuanya telah tewas dalam keadaan mengerikan.
Tapi rupanya kakek tinggi
besar ini belum puas terhadap semua perbuatan yang dilakukan. Didekatinya
sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa yang berdaun lebat.
Setelah jarak antara dirinya
dengan pohon itu hanya sekitar tiga tombak, raksasa ini menjulurkan kedua
tangannya ke depan. Kemudian pelahan-lahan tangannya dikepalkan. Suara
berkerotokan keras terdengar ketika kakek tinggi besar ini mengepalkan
tangannya.
Lambat tapi penuh tenaga,
kedua tangan yang telah terkepal keras itu ditariknya ke pinggang. Suara
berkerotokan semakin terdengar keras ketika kedua tangan itu ditarik.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras
melengking yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Raksasa Rimba Neraka
memukulkan kedua tangannya yang terkepal itu ke depan.
Wuttt ... !
Bresss ... ! Pralll...!
Angin berhawa panas menderu
keras, lalu menyambar ke arah rerimbunan dedaunan. Dan secepat angin pukulan
itu mengenai rerimbunan dedaunan itu, secepat itu pula dedaunan itu terbakar!
Dalam waktu sekejap saja, api telah berkobar besar.
"Haaat ... !"
Sekali lagi Raksasa Rimba
Neraka memukulkan kedua tangannya ke depan. Kali ini ke arah batang pohon besar
itu.
Wuuusss...!
Braaakkk...!
Pohon itu langsung rubuh
ketika angin pukulan kakek tinggi besar itu menghantamnya. Tampak bagian dalam
batang pohon itu hangus bagai terbakar!
"Hih ... !" Kembali
kakek raksasa ini menggerakkan tangannya, tapi dengan gerakan berbeda dengan
sebelumnya. Kali ini Raksasa Rimba Neraka melakukan gerak mendorong!
Wusss ... ! Wuk ... !
Brakkk...!
Hebat luar biasa tenaga dalam
yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka ini. Dengan angin pukulannya, pohon itu
didorong sehingga jatuh tepat di depan salah satu bangunan Perguruan Tongkat
Merah.
Seketika itu juga api yang
tengah membakar pohon itu, menjalar ke arah bangunan berdinding bilik bambu.
Mendapat sasaran yang memang mudah terbakar ini, api pun lebih cepat berkobar.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka tertawa terbahak-bahak, memandangi api yang berkobar melahap
bangunan itu. Sekujur tubuhnya nampak penuh keringat. Napasnya pun memburu
hebat. Memang apa yang baru saja dilakukannya, banyak menguras tenaga.
Sebenarnya kalau kakek raksasa
ini hanya ingin membakar bangunan itu, tidak perlu bersusah payah seperti itu.
Dia bisa langsung mengerahkan 'Tinju Geledek' pada dinding bangunan dari bilik
itu. Dan itu akibatnya sama saja. Dan memang, Raksasa Rimba Neraka sebenarnya
hanya ingin mengetahui kemampuan dirinya. Dan ternyata memang mampu!
"Ha ha ha...!"
Diiringi tawa terbahak-bahak, ditinggalkannya tempat yang pelahan namun pasti
mulai habis dimakan api! Namun tanpa diketahui, ada sesosok tubuh yang berlari
meninggalkan tempat itu.
***
"Keparat ... !"
Pengemis Tongkat Merah memaki. Wajah kakek kurus kering ini nampak merah padam.
Kedua tangannya terkepal erat. Terdengar suara bergemeletak dari tulang-rulang
tangan yang mengepal itu.
Dipandangi dalam-dalam sosok
tubuh di hadapannya. Sosok tubuh muridnya yang berhasil melarikan diri sewaktu
Raksasa Rimba Neraka mengamuk di sana. Sapta dan Kami pun nampak pucat
wajahnya.
"Benarkah ciri-ciri orang
yang kau sebutkan itu, Kantara?" tanya kakek pengemis ini lagi, untuk
memastikan.
"Benar, Guru."
Pengemis Tongkat Merah
mengangkat wajahnya.
"Kalau begitu, aku harus
membalas perlakuannya! Mati pun tidak mengapa, asal berhasil membunuh kawanan
mereka sebanyak-banyaknya!"
"Aku ikut, Ayah!"
tegas Kami buru-buru.
"Aku juga, Guru!"
Sapta tak mau kalah.
"Begitu pula aku,
Guru," pinta Kantara.
Kakek kurus kering ini, memandangi
wajah anak dan murid-muridnya satu persatu. Ada nada kebanggaan terpancar di
mata kakek ini.
"Sudah dipertimbangkan
masak-masak keputusan kalian itu?"
"Sudah, Guru!" sahut
mereka serentak. "Sekalipun taruhannya adalah nyawa kalian sendiri?"
"Kami tidak takut!"
"Bagus! Kalau begitu,
mari kita berangkat!" ajak kakek itu seraya beranjak dari situ.
Sapta, Kami dan Kantara,
berjalan mengikuti. Telah bulat tekad mereka untuk menumpas gerombolan Toga dan
kawan-kawannya sekalipun harus berkorban nyawa!
Dengan sisa-sisa tenaga yang
dimiliki, Dewa Arak berlari meninggalkan Sapta. Arya tahu kalau murid Pengemis
Tongkat Merah salah paham. Mungkin dia disangka hendak berbuat sesuatu yang
tidak senonoh terhadap gadis itu. Maka dengan itu, terpaksa ditinggalnya pemuda
itu.
Tapi belum berapa jauh
berlari, tubuh Dewa Arak mulai limbung dan akhirnya tak mampu bertahan. Tanpa
ampun lagi, dia terjatuh di tanah. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda berbaju
ungu itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkan saja tubuhnya tergolek di tanah.
Arya memang bermaksud meredakan dulu napasnya yang memburu.
Setelah alur napasnya kembali
normal, Dewa Arak beringsut mendekati rerimbunan semak yang agak tersembunyi.
Di sudut bibir pemuda itu nampak bercak-bercak cairan darah merah. Dikeluarkan
sebuah obat pulung yang terjepit di sebuah gulungan kain yang terselip di
pinggangnya. Dewa Arak mengambil sebutir, kemudian menelannya. Obat itu memang
manjur untuk menyembuhkan luka dalam.
Beberapa saat kemudian, Arya
mulai diserang rasa kantuk. Dan pelahan namun pasti, sepasang mata itu mulai
mengatup. Tak lama kemudian Dewa Arak pun tertidur.
Cukup lama juga pemuda itu
tertidur. Dan ketika terbangun, yang terasa adalah lemas yang amat sangat.
Tapi, rasa nyeri yang melanda dadanya sudah tidak ada lagi.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda berambut putih keperakan ini segera duduk bersila. Punggungnya
diluruskan, sementara kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Tak lama kemudian, Arya sudah
tenggelam dalam keheningan semadi untuk memulihkan tenaganya kembali.
Waktu berlalu tak terasa.
Malam pun berganti pagi. Tapi, Arya masih belum juga menghentikan semadinya.
Sampai matahari naik tinggi, baru pemuda itu menghentikan semadinya.
"Hhh ... !"
Dewa Arak mendesah lega. Kini
seluruh tubuhnya terasa segar kembali dan tenaganya pun telah pulih.
Pelahan Arya bangkit dari
bersilanya. Kemudian berdiri menyandar pada sebatang pohon. Sepasang matanya
menerawang ke depan, sementara benaknya berpikir keras mengingat hal aneh yang
dijumpainya semalam.
Memang Dewa Arak tengah
dilanda kebingungan. Mengapa Raksasa Rimba Neraka ada di rumah Kepala Desa
Gebang? Padahal menurut cerita Ki Marta, kepala desa itu adalah Toga. Dan dia
itu bekas kepala pengawal Ki Panjar.
Juga sebenarnya Toga bukan
tokoh golongan hitam. Lalu, bagaimana bisa bersama Raksasa Rimba Neraka?
Tapi sampai otaknya lelah
berpikir, Dewa Arak belum juga mendapatkan jawabannya. Pemuda berbaju ungu ini
sadar kalau jawaban bagi semua pertanyaannya ada di rumah Kepala Desa Gebang.
Maka seketika tubuh Dewa Arak ini pun kembali melesat ke sana.
Cepat bukan main gerakannya.
Sehingga dalam sekejap saja, yang nampak hanya sebuah titik hitam kecil. Dan
akhirnya titik kecil itu lenyap di kejauhan.
***
Empat sosok tubuh berkelebat
cepat ke arah rumah Kepala Desa Gebang. Mereka adalah Pengemis Tongkat Merah,
Sapta, Kami, dan Kantara.
"Ingat, Sapta. Kau tidak
perlu menghiraukan diriku. Aku akan mencoba menahan Raksasa Rimba Neraka, dan
kau cari musuh besar yang telah membunuh keluargamu. Kami akan membantumu.
Mengeiti?!" jelas Pengemis Tongkat Merah sambil terus berlari.
Sapta menganggukkan kepalanya
pertanda mengerti.
Tak lama kemudian, keempat
sosok tubuh itu pun sudah berada di depan pintu gerbang rumah besar dan megah
yang berhalaman luas itu. Rumah Kepala Desa Gebang.
Tentu saja dua orang yang
menjaga pintu gerbang itu mengenali Sapta dan Kami, yang telah menewaskan
banyak teman mereka. Dan keduanya pun sadar, kalau bukan tandingan muda-mudi
yang berkepandaian tinggi itu. Maka, seketika diputuskan untuk memberitahu
teman-teman mereka.
Sebelum kedua orang itu sempat
berbuat sesuatu, Kami dan Sapta bergerak cepat. Tanpa sungkan-sungkan lagi
mereka telah menghunus senjata masing-masing. Sapta dengan tombak pendek, dan
Kami dengan pedang.
Wut ... ! Wuk ... !
Dua buah senjata itu melesat
cepat mengiringi melesatnya tubuh mereka.
"Akh ... !"
"Aaa ... !"
Dua jerit kematian terdengar
saling susul, mengiringi rubuhnya dua penjaga itu ke tanah. Mereka tewas dengan
leher hampir putus.
Tentu saja suara jerit
kematian itu menimbulkan kegemparan. Maka berbondong-bondong anak buah Toga,
melesat ke arah suara itu berasal.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta,
Kami, dan Kan-ara tidak bertindak setengah-setengah lagi. Mereka segera
menyambut serbuan anak buah Toga dengan penuh semangat. Setiap serangan yang
dilancarkan, pasti membuat lawan mereka roboh dalam keadaan tidak bernyawa
lagi.
"Akh ... !"
"Aaa ... !"
Jerit lengking kematian
kembali terdengar saling susul. Para penjaga itu bagaikan segerombolan sernut
menerjang api, dan satu persatu berguguran.
"Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar seruan
menggelegar, yang membuat sekitar tempat itu sepertinya bergetar hebat. Begitu
hebatnya pengaruh bentakan itu, sehingga tan- pa sadar Pengemis Tongkat Merah, dan
murid-muridnya melompat mundur. Mereka semua memandang ke satu arah, ke tempat
suara itu berasal.
Sekitar tiga tombak dari arena
pertarungan, nampak berdiri seorang kakek tinggi besar yang tak lain Raksasa
Rimba Neraka. Dia memang telah kembali, setelah membumihanguskan Perguruan
Tongkat Merah. Di belakang kakek itu nampak berdiri Gajula dan Toga.
"Kau urusi saja musuh
besarmu, Sapta. Biar kucoba menahan raksasa itu," bisik Pengemis Tongkat
Merah.
"Tapi, Guru...,"
Pemuda berhidung melengkung yang tahu kalau gurunya bukan tandingan Raksasa
Rimba Neraka, mencoba membantah.
"Tidak ada bantahan lagi,
Sapta! Ini perintah...!" desis kakek pengemis itu tegas.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka tertawa ter-bahak-bahak. "Tidak kusangka kalau berani
datang kemari, pengemis busuk! Apakah kali ini kau tidak akan lari
terbirit-birit lagi seperti dulu?!"
Merah wajah Pengemis Tongkat
Merah.
"Raksasa Rimba Neraka!
Tidak kusangka kalau kau ternyata begitu pengecut! Kau membantai semua muridku
selagi aku tidak berada di sana! Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas
kekejianmu terhadap semua muridku!"
Setelah berkata demikian,
Pengemis Tongkat Merah segera memutar tongkatnya di depan dada. Angin menderu
keras, mengiringi putaran tongkat itu.
"Hiyaaat ... !"
Sambil berseru keras, kakek
pengemis ini melompat menerjang. Tongkat merah di tangannya disabetkan ke arah
leher lawannya. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka cepat-cepat mengangkat
tangannya, menangkis.
Plak!
Hebat akibatnya. Tubuh
Pengemis Tongkat Merah terjengkang ke belakang. Tangannya yang menggenggam
tongkat terasa sakit bukan main. Sementara itu tubuh Raksasa Rimba Neraka hanya
bergetar saja.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram
keras. Telah bulat tekadnya untuk melenyapkan Pengemis Tongkat Merah, setelah
kakek pengemis itu tidak ditemukan di perguruannya. Tidak akan dibiarkan kakek
pengemis ini berhasil menyelamatkan diri lagi!
Kini kakek itu menjulurkan
kedua tangannya ke depan, kemudian mengepalkannya pelahan-lahan. Terdengar
bunyi bergemeletuk seolah-olah tulangbelulang kakek raksasa ini berpatahan.
Suara itu semakin jelas terdengar ketika Raksasa Rimba Neraka menarik kedua
tangannya yang terkepal itu ke sisi pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tangan kanan kakek raksasa
yang terkepal itu dipukulkan ke depan. Terdengar suara meledak-ledak,
seolah-olah ada halilintar menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah.
"Hup...!"
Kakek kurus kering membanting
tubuhnya ke tanah, lalu berguling-gulingan.
Blarrr ... !
Seketika itu juga, tanah
berlubang besar terhantam pukulan Raksasa Rimba Neraka yang tidak mengenai
sasaran.
Melihat serangannya gagal, si
raksasa ini marah bukan main. Maka dihujaninya tubuh lawannya yang tengah
bergulingan itu, dengan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara
meledak-ledak laksana halilintar.
Maka repotlah Pengemis Tongkat
Merah dibuatnya. Tiada jalan lain baginya kecuali terns bergulingan kalau
ingin selamat. Berhenti berguling berarti berhenti pula nyawanya. Sementara
itu, Sapta dan Kami yang semula ingin menerjang Toga dan Gajula, jadi
mengurungkan niat setelah melihat guru mereka dalam keadaan demikian. Namun
tiba-tiba....
Sraat ... !
Kami segera menghunus
pedangnya.
Wuk ... ! Wuk ... !
Sapta pun memutar-mutarkan
tombak pendeknya.
"Hiyaaa.,.!"
Sambil memekik melengking,
Kami melompat. Dan seketika itu pula, ujung pedangnya ditusukkan ke arah leher
Raksasa Rimba Neraka yang tengah menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan
pukulan mautnya.
"Haaat...!"
Sapta pun tak ketinggalan.
Pemuda berhidung melengkung ini juga melompat. Tombak pendek di tangannya
diputar-putarkan di udara, sebelum ditusukkan ke perut Raksasa Rimba Neraka.
Menghadapi dua serangan maut
ini, Raksasa Rimba Neraka tidak bertindak ceroboh. Terpaksa dialihkan
perhatiannya dari Pengemis Tongkat Merah.
"Grrrh ... !"
Sambil mengeluarkan gerengan
kemarahan, kakek raksasa ini menggerakkan tangannya menangkis.
Trak ... ! Trak..!
"Ihhh ... !"
"Ahhh ... !"
Sapta dan Kami berbarengan
menjerit kaget. Tangan kedua anak muda itu yang menggenggam senjata, terasa
lumpuh seketika saat tangan telanjang si raksasa menangkis serangan mereka.
Belum lagi hilang rasa
terkejut yang melanda hati mereka, tangan Raksasa Rimba Neraka kembali
bergerak. Dan....
Tappp ... ! Kreppp...!
Pedang dan tombak pendek milik
kedua mudamudi itu tahu-tahu telah dicengkeram si raksasa. Dan Sapta dan Kami
tentu saja tidak membiarkan senjata andalan mereka terampas. Buru-buru mereka
mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk me mbe to t. Tapi, ce kalan
pada se njata me re ka sama sekali tidak bergeming. Sebaliknya, begitu Raksasa
Rimba Neraka menggerakkan tangan membetot, tubuh Kami dan Sapta pun tertarik
maju .
Pengemis Tongkat Merah tentu
saja melihat keadaan gawat yang dialami murid-muridnya itu. Maka cepat-cepat
dia melompat sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala si raksasa. Namun Raksasa
Rimba Neraka tentu saja tidak membiarkan kepalanya hancur tersabet tongkat
kakek kurus kering. Mau tidak mau dibatalkan betotannya pada Sapta dan Kami.
Wusss ... !
Tongkat merah itu lewat beberapa
rambut di depan muka kakek tinggi besar itu ketika raksasa itu menarik
kepalanya mundur ke belakang.
Beberapa saat kemudian,
keempat orang itu pun sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Kini
setelah Sapta dan Kami ikut terlibat, pertarungan berlangsung seimbang.
Sementara itu Toga, Gajula dan
anak buahnya, terpukau melihat pertandingan yang menegangkan itu. Demikian pula
dengan Kantara yang hanya berdiri mematung tanpa memberi bantuan pada Kami dan
Sapta.
Suara mendecit, menderu dan meledak-ledak
mengiringi pertempuran mereka. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tidak
tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Tapi setelah pertarungan
berlangsung tiga puluh jurus, mulai nampak keunggulan Raksasa Rimba Neraka yang
pelahan namun pasti mulai menguasai keadaan.
"Hiyaaa ... !"
Kami berteriak nyaring. Pedang
di tangannya berkelebat ke arah tenggorokan. Suara mendesing nyaring mengiringi
tibanya serangan pedang itu.
Melihat hal ini, Raksasa Rimba
Neraka menggeram. Tangan kanannya berkelebat cepat.
Takkk ... ! Tappp...!
"Ikh ... !"
Kami berteriak tertahan.
Tubuhnya melayang deras ketika tangan si raksasa itu menangkis, sekaligus
menangkap dan membetot. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba.
Akibatnya gadis itu tidak mampu
berbuat apa-apa, dan membiarkan pedangnya dirampas lawan.
"Hup... !"
Gadis berpakaian jingga itu
mendaratkan kedua kakinya di tanah, walaupun tubuhnya agak limbung. Singgg ...
!
Secepat pedang Kami dirampas,
secepat itu pula dilemparkan ke arah Sapta yang tengah menyerang. Terpaksa
pemuda berhidung melengkung itu membatalkan serangannya, dan menangkis
sambitan pedang yang melesat ke arahnya.
Tranggg ... !
Begitu kuatnya tenaga yang
terkandung dalam lemparan pedang itu, sehingga begitu Sapta menangkis, tombak
di tangannya terlepas dari pegangan.
Kini leluasalah Raksasa Rimba
Neraka menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan geledeknya.
Kembali untuk yang kesekian
kalinya, kakek kurus kering itu berlompatan ke sana kemari menghindari setiap
serangan lawan. Tak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Sudah dapat
dipastikan kalau tak lama lagi, kakek kurus kering ini tak akan bertahan lama.
Sadar jika keadaan seperti ini
berlangsung terus, jelas amat berbahaya baginya. Maka Pengemis Tongkat Merah
bertekad menerobos hujan pukulan jarak jauh yang bertubi-tubi me nye rangnya.
"Hiyaaa ... !"
Tubuh kakek pengemis itu
melayang ke arah Raksasa Rimba Neraka. Tongkat di tangannya disodokkan ke arah
ulu hati. Tapi sebelum serangan itu tiba, si raksasa telah melepaskan pukulan
'Tinju Geledek'-nya.
"Hih...!"
Wuuuttt ... ! Prattt...!
"Akh ... !"
Pengemis Tongkat merah memekik
tertahan. Luncuran tubuhnya langsung terhenti di tengah jalan, ketika pukulan
'Tinju Geledek' lawan menyerempet pahanya.
Dengan tubuh sempoyongan,
kakek pengemis ini hinggap di tanah. Dan selagi kakek ini belum sempat berbuat
apa-apa, serangan susulan lawan menyambar tiba.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menderu
keras ketika ilmu 'Tinju Geledek' itu menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah,
yang hanya mampu menatap dengan mata membeliak lebar.
Di saat yang amat gawat bagi
Pengemis Tongkat Merah, dari arah yang berlawanan, menyambar serentetan angin
berhawa panas, yang menderu memapak serangan Raksasa Rimba Neraka.
Blarrr ... !
Tanpa dapat dicegah lagi, dua
buah pukulan jarak jauh yang sama-sama mengandung hawa panas bertemu di udara.
Bunyi ledakan yang amat keras terdengar, membuat suasana di tempat itu bergetar
seolah terjadi gempa.
Pengemis Tongkat Merah segera membanting
tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sementara tubuh Raksasa Rimba Neraka tampak
terhuyung. Tanpa melihat pun dia sudah dapat menduga orang yang telah mampu
membuat dirinya seperti itu.
***8***
Di hadapan Raksasa Rimba
Neraka, tampak berdiri tenang seorang pemuda berambut putih keperakan. Sebuah
guci arak yang terbuat dari perak, nampak tengah dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk ... !
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu memasuki tenggorokannya.
"Grrrh ... !"
Raksasa Rimba Neraka
menggeram. Kakek pemakan manusia ini memang murka bukan kepalang. Sebab,
lagi-lagi Dewa Arak menggagalkan usahanya yang hampir berhasil membunuh
Pengemis Tongkat Merah.
"Hih ... !"
Dan kini tanpa sungkan-sungkan
lagi Raksasa Rimba Neraka segera mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tinju Geledek'.
Kedua tangannya melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah dada. Setiap gerakan
tangannya me n imbulkan suara me le dak-le dak bagai geledek.
Tapi berkat jurus 'Delapan
Langkah Belalang', Dewa Arak tidak mengalami kesulitan menghindari serangan
itu. Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Arya berkelit. Maka,
setiap serangan Raksasa Rimba Neraka kandas dan mengenai tempat kosong.
Yang lebih hebat lagi, begitu
mengelak, Dewa Arak langsung berbalik mengancam lawan. Satu keistimewaan jurus
'Delapan Langkah Belalang'!
Sementara itu, begitu melihat
Raksasa Rimba Neraka telah mendapat lawan, Sapta dan Kami tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Mereka cepat-cepat menerjang musuh besar
masing-masing. Sapta menerjang Toga, sedangkan Kami menerjang Gajula.
Sementara Pengemis Tongkat Merah dan Kantara menghadapi pengeroyokan anak buah
Toga.
Sapta kini telah menggenggam
kembali tombak pendeknya yang tadi terlepas dari pegangan. Dengan senjata itu
diterjangnya Toga penuh kemarahan. Tombak pendek di tangannya berputaran,
menimbulkan suara angin menderu-deru.
Toga yang telah mengetahui
kelihaian pemuda putra Ki Panjar ini, tidak mau bertindak gegabah. Maka, segera
dicabut goloknya. Dalam hati, Kepala Desa Gebang ini memaki-maki Dewa Arak yang
untuk kesekian kalinya mengacau urusannya.
Tranggg ... ! Tranggg...!
Dua kali berturut-turut Toga
menangkis serangan Sapta. Dan akibatnya, sekujur tangannya terasa bergetar
hebat. Sadarlah si kumis melintang ini kalau tenaga dalam yang dimilikinya
masih di bawah Sapta. Walaupun waktu itu, Toga sudah merasakan sendiri
kehebatan tenaga dalam pemuda di hadapannya ini, tapi rasa penasaran membuatnya
mencoba mengadu tenaga kembali.
Wut ... !
Kembali serangan susulan
tombak pendek Sapta menyambar deras. Tombak itu berputaran sejenak, sebelum
membabat leher.
Melihat serangan ini, Toga
kebingungan. Karena tidak bisa menduga arah serangan itu sebenarnya. Apalagi
serangan itu dilakukan secara berputar, sehingga membuatnya pusing. Dan baru setelah
serangan itu menyambar dekat, diketahuinya arah sasaran serangan itu.
Toga buru-buru mendoyongkan
tubuhnya ke belakang, sehingga serangan tombak itu lewat beberapa senti di
depan lehernya. Dan begitu serangan itu lewat, tanpa membuang-buang waktu lagi
golok di tangannya ditusukkan ke bagian perut Sapta yang terbuka lebar.
Tapi murid andalan Pengemis
Tongkat Merah ini, tentu saja tidak ingin perutnya ditembus golok. Buru-buru
tusukan itu dielakkan sambil tak lupa mengirim serangan balasan yang tak kalah
berbahayanya. Kini keduanya sudah terlibat pertarungan mati-matian.
Di bagian lain, Kami tampak
tengah berjuang keras menghadapi Gajula. Murid Raksasa Rimba Neraka ini memang
cukup lihai. Dan tentu saja Kami harus menguras kemampuan untuk melawannya.
Pedang di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran di sekujur tubuh lawan.
Di antara para penyerbu itu,
Pengemis Tongkat Merahlah yang paling beruntung. Kakek ini hanya menghadapi
puluhan keroco. Dengan gerakan seenaknya, dirangsek lawan-lawannya. Ke mana
tongkat di tangannya bergerak, sudah pasti di situ ada sesosok tubuh yang
roboh.
Jerit pekik kematian terdengar
saling susul. Dalam waktu sebentar saja, sudah delapan orang yang roboh di
tangan kakek kurus kering ini.
Pengemis Tongkat Merah bertarung
tidak sepenuh hati. Sepasang matanya berkeliaran memperhatikan pertempuran
lainnya. Terutama pertempuran Dewa Arak melawan Raksasa Rimba Neraka.
" Akh...!"
Jerit tertahan membuat
Pengemis Tongkat Merah yang tengah enak-enaknya membunuhi lawannya jadi terperanjat.
Suara itu cukup dikenalnya. Suara Kantara!
Segera saja kepala kakek kurus
kering itu ditolehkan ke arah asal suara. Dapat dibayangkan betapa kaget
hatinya, melihat Kantara terhuyunghuyung. Di dada pemuda itu tertancap
sebatang golok bergerigi mirip gergaji yang tembus sampai ke punggung. Kalau
melihat bentuknya, jelas golok itu milik Gurat! Dan memang sejak tadi Kantara
be rte mpur melawan Gurat.
Seketika pucat wajah Pengemis
Tongkat Merah. Apalagi ketika melihat tubuh Kantara kemudian roboh. Kakek ini
melompat meninggalkan arena pertempuran, dan langsung menerjang Gurat. Dan
memang, dia pun telah menghabisi lawan-lawannya.
Gurat kaget bukan main. Maka
sebisanya dia berusaha mengelak. Tapi gerakannya terlalu lambat bagi guru
Kantara.
Prak!
"Aaakh...!"
Tubuh Gurat rubuh di tanah
ketika tongkat merah di tangan kakek kurus kering itu, menghantam kepalanya
hingga remuk.
Tepat saat Gurat tewas, Sapta
berteriak nyaring. Tombak pendek di tangannya melesat cepat ke arah perut Toga
yang sudah terdesak. Cepat-cepat kepala desa itu menangkis.
Tranggg ... !
Tangan Toga tergetar hebat.
Dart di saat itu kaki kanan Sapta menyambar ke arah siku.
Tukkk ... !
Toga merasakan tangannya
mendadak lumpuh, dan golok di tangannya pun terlempar. Di saat itulah, dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata, tombak di tangan Sapta meluruk deras ke arah
lambung Toga.
Blesss ... !
"Aaakh ... !"
Toga menjerit memilukan.
Beberapa saat lamanya tubuhnya bergetar melawan maut, kemudian roboh untuk
selamanya.
"Adi Toga...!"
Gajula menjerit ketika melihat
adik kandungnya berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tidak bergerak lagi.
"Keparat ... ! Kubunuh
kau...!"
Tanpa mempedulikan Kami,
Gajula melompat menerkam Sapta laksana seekor macan menerkam mangsa. Kami yang melihat
bahaya besar mengancam Sapta, segera melesat memburu. Pedangnya ditusukkan ke
depan.
Sementara itu, Sapta hanya
terkesiap. Terkaman itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga tidak ada waktu
lagi untuk mengelak. Terpaksa dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki
untuk memapak serangan dengan kedua tangan.
Plak!
Tubuh Sapta terjengkang ke
belakang. Memang tenaga dalam yang dimiliki Gajula lebih kuat. Tapi sebelum
Gajula sempat memberikan serangan susulan, serangan pedang Kami telah lebih
dulu tiba.
Cappp...!
"Akh ... !"
Gajula memekik tertahan.
Pedang Kami telah menghunjam punggungnya hingga tembus ke perut. Darah segar
kontan muncrat ketika Kami mencabut pedangnya.
Tubuh Gajula sempoyongan.
Tampak jelas kalau si wajah kera ini mencoba bertahan. Tapi karena luka-luka
yang diderita terlalu parah, dia pun roboh ke tanah. Tubuhnya
menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Kau tidak apa-apa,
Kang?" tanya Kami. Wajahnya menampakkan kecemasan yang hebat.
Sapta menggelengkan kepalanya.
Rasa gembira yang amat sangat melanda hatinya melihat kekhawatiran gadis itu
terhadap keselamatannya.
"Hanya dadaku saja yang
agak sesak sedikit Si wajah kera itu memang lihai bukan main. Kalau saja tidak
ada dirimu...."
"Sudahlah, Kang...,"
selak Kami cepat.
"Grrrh ... !"
terdengar gerengan murka Raksasa Rimba Neraka.
Seratus dua puluh lima jurus
telah berlalu, tapi kakek raksasa itu tidak juga mampu mendesak Dewa Arak.
Padahal 'Tinju Geledek' yang jadi ilmu andalannya telah digunakan. Bahkan
sebaliknya, malah dia yang terdesak.
Kini terpaksa Raksasa Rimba
Neraka menggunakan 'Jurus Trenggiling'. Dan memang menghadapi jurus ini, Dewa
Arak kebingungan. Ilmu 'Belalang Sakti' jadi lumpuh menghadapi ilmu ini. Posisi
lawan yang selalu di bawah, membuat Arya repot bukan main. Sulit baginya untuk
menjatuhkan serangan.
Setiap serangan Dewa Arak
selalu berhadapan dengan sepasang kaki yang memiliki pertahanan kokoh dan kuat.
Sebaliknya setiap serangan
kaki raksasa itu, membuatnya repot bukan main. Pelahan namun pasti Dewa Arak
terdesak.
Tapi walaupun terdesak,
pikiran Dewa Arak bekerja keras. Dari pengalaman menghadapi lawanlawan
tangguh, pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau tidak ada ilmu yang
sempurna. Semua ilmu memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Dewa Arak sibuk
berpikir untuk melumpuhkan ilmu lawan yang aneh ini.
Selama dua puluh jurus
kemudian, Dewa Arak hanya bisa mengelak. Tanpa mampu balas menyerang. Karena
memang tidak bisa menyarangkan serangan satu pun.
"Hait...!"
Sambil berteriak nyaring,
Raksasa Rimba Neraka kembali menyerang Dewa Arak. Kedua kakinya bergerak
menggunting kaki Arya.
"Hup...!"
Dewa Arak melompat ke
belakang. Sehingga guntingan kedua kaki raksasa itu mengenai tempat kosong. Dan
begitu tubuhnya berada di udara, Arya menghentakkan kedua tangannya. Dengan
jurus 'Pukulan Belalang' dari 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang jarang
dipergunakan, Arya mengirimkan serangan.
Wuuusss...!
Blarrrr ... !
Pukulan itu menghantam tanah
tempat Raksasa Rimba Neraka tadi berada. Namun demikian, Dewa Arak terus
mencecar raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya, sehingga lawannya
hanya bisa berguling-gulingan menghindari serangan yang dahsyat itu!
Serentetan angin pukulan
berhawa panas, menyambar deras ke arah Raksasa Rimba Neraka. Kakek raksasa ini
kaget bukan main. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya, kemudian berguling-guling
menjauh.
Blarrrr...!
Tak pelak lagi pukulan itu
menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka berada, hingga berlubang besar.
Namun demikian, Dewa Arak tidak membiarkan lawannya lolos. Segera dicecarnya si
raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya.
Suara menggelegar terdengar
bertubi-tubi, setiap kali Raksasa Rimba Neraka berhasil mengelakkan serangan
Dewa Arak. Kini keadaan jadi berbalik, karena Raksasa Rimba Neraka tidak
memperoleh kesempatan membalas.
Kakek bertubuh raksasa itu
menggeram. Disadari kalau keadaan seperti ini berlangsung terusmenerus, dia
akan tewas di tangan lawannya. Maka pada suatu kesempatan, raksasa ini melentingkan
tubuhnya ke atas sambil mengirimkan serangan pukulan jarak jauh.
Suara meledak-ledak terdengar
mengiringi tibanya serangan itu. Tapi Dewa Arak yang memang sudah
memperhitungkan hal itu, segera membanting tubuh ke tanah. Tepat pada saat itu,
Arya melepaskan 'Pukulan Belalang'-nya.
Wuusss...!
Bresss ... !
"Aaakh ... !"
Terdengar jeritan ngeri dari
mulut Raksasa Rimba Neraka. Pukulan yang dilepaskan Dewa Arak telak menghantam
dadanya. Seketika itu juga tubuhnya te rle mpar ke be lakang sej auh be be rapa
tombak.
Brukkk...!
Disertai suara berdebuk keras,
tubuh itu jatuh ke tanah. Tapi kakek raksasa ini memang hebat bukan main. Jurus
'Pukulan Belalang' yang biasanya langsung mematikan lawan, ternyata tidak mampu
menewaskannya. Walaupun dengan tertatih-tatih, kakek bertubuh raksasa itu
berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya nampak hitam hangus.
Dewa Arak terperangah juga
melihat kekuatan Raksasa Rimba Neraka ini. Terpaksa dilepaskannya lagi jurus
'Pukulan Belalang'-nya!
Bresss ... !
"Aaakh ... !"
Diiringi jeritan menyayat
hati, tubuh Raksasa Rimba Neraka terpental jauh ke belakang. Beberapa saat
lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, sebelum akhirnya jatuh ke tanah
menimbulkan suara berdebuk keras. Dan seiring jatuhnya tubuh kakek raksasa itu
di tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan raganya.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta,
dan Kami bergegas memburu ke arah tubuh Raksasa Rimba Neraka. Bergidik hati
mereka melihat sekujur tubuh si raksasa itu yang tewas dalam keadaan
mengerikan, hangus seperti terbakar.
"Hei ... ! Ke mana
dia...?"
Sapta yang lebih dulu tersadar
karena ingin meminta maaf, merupakan orang pertama yang menyadari kalau Dewa
Arak telah tidak ada lagi di situ.
Karuan saja ucapan Sapta
membuat kaget Pengemis Tongkat Merah dan juga Kami. Mereka pun menolehkan
kepalanya ke sana kemari, mencari-cari Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Aku, Sapta
meminta maaf padamu! Aku telah berlaku tidak pantas padamu kemarin
malam...!"
Suara yang dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam itu menggema ke sekitarnya. Sapta berdiri diam
menunggu. Sayup-sayup di telinga pemuda berhidung melengkung itu terdengar
bisikan lirih, yang dikirimkan dari jarak jauh.
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Sapta. Aku tahu kau tidak bersalah. Semua itu hanya salah paham
saja. Lupakanlah ... !"
Seketika wajah Sapta
berseri-seri.
"Ada apa, Kang? Mengapa
kelihatan gembira sekali?" tanya Kami yang tidak dapat menahan
keingintahuannya.
"Dewa Arak memang seorang
pendekar sejati...," puji Sapta.
"Maksudmu ... ?"
tanya Pengemis Tongkat Merah. Agak tertahan suaranya.
"Dia sama sekali tidak
menyalahkan aku, atas peristiwa yang terjadi kemarin malam...."
"Sudah kuduga...,"
desah kakek kurus kering.
Sementara itu nun jauh di
sana, orang yang mereka percakapkan, tengah melangkah pelahan menyusuri jalan.
Sesekali, arak dalam guci yang digenggamnya itu dituangkan ke mulut. Terdengar
suara tegukan ketika arak itu memasuki kerongkongannya. Dewa Arak terus
melangkahkan kakinya. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan selaku seorang
pendekar. Nah, para pembaca yang budiman, sampai jumpa pada kisah Dewa Arak
selanjutnya.
SELESAI