36 Tokoh dari Masa Silam
1
Matahari telah agak
tergelincir dari titik tengahnya. Sinarnya yang masih garang menyiram bumi,
perlahan- lahan mulai terhal ang sekumpulan awan yang berarak. Sehingga membuat
suasana di persada mulai terasa lebih sejuk.
Tampak dua orang tua tengah
melangkah mendekati seorang pemuda yang juga tengah melangkah menghampiri.
Seorang laki-laki berkumis tebal yang berada di sebelah kedua orang tua itu pun
bergerak pula menghampiri pemuda berambut putih keperakan ini.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Dewa Arak," ucap seorang laki-l aki tua yang berpakaian
putih, ketika mereka t elah dekat dengan pemuda berambut putih keperakan yang
ternyata memang Dewa Arak. "Kalau kau tidak datang, mungkin Garuda Laut
Timur telah membinasakan kami."
"Lupakanlah, Ki
Waringin," sahut Arya sambil mengulapkan tangan. "Tolong-menolong
merupakan kewajiban sesama manusia. Bukan tidak mungkin kalau suatu saat nanti
kau akan menolongku, Ki?"
Memang, Dewa Arak baru saja
menyelesaikan kemelut yang terjadi di dalam rimba persilatan. Sebuah
kemelut yang bermula dari
pengiriman sebuah benda di dalam sebuah kereta berkuda. Waktu itu, Ki Waringin
yang membuka usaha pengiriman, mengutus Sangga Juwana untuk ikut serta dalam
pengawalan yang dilakukan oleh murid-murid Perguruan Harimau Terbang.
Namun pada akhirnya, benda itu
berhasil dirampas Garuda Laut Timur. Kemudian, Ki Sancaka yang merupakan
pimpinan Perguruan Naga Laut datang menjelaskan duduk persoalannya kepada Ki
Waringin yang merupakan Ketua Perguruan Harimau Terbang. Dan selagi mereka
berbincang-bincang, Garuda Laut Timur datang karena merasa tertipu. Masalahnya,
ternyata benda yang dirampasnya hanyalah kepala seekor orang hutan! Untung
saja, pada saat yang gawat, Dewa Arak datang membantu (Untuk jelasnya, silakan
baca seri al Dewa Arak dalam episode "Kemelut Rimba Hijau").
Ki Waringin, seorang laki-laki
tua berpakaian coklat, dan seorang laki-laki berkumis tebal, saling
berpandangan. Laki-laki
berpakaian coklat adalah Ki Sancaka. Sedangkan laki-laki yang berkumis tebal
adalah Sangga Juwana. Mereka kemudian melemparkan senyum, mendengar penuturan
Dewa Arak.
"O ya, Ki. Kumohon, kau
memanggilku dengan nama saja. Bukankah Sangga Juwana telah memberitahukan
namaku padamu?"
Ki Waringin menganggukkan
kepala, membenarkan pertanyaan Dewa Arak.
"Dan kau tidak keberatan
memanggilku dengan nama saja kan, Ki?" tanya Arya lagi. "Tentu saja
tidak, De..., eh! Arya," jawab Ki Waringin cepat. "Bukan begitu,
Sancaka?"
"Eh..., ya Ya,
benar," Ki Sancaka yang sama sekali tidak menduga pertanyaan itu menjadi
gugup.
"Kalau begitu, kuucapkan
terima kasih atas kesediaan kalian."
Ki Waringin dan Ki Sancaka
hanya bisa tersenyum. Mereka sama sekali tidak memberikan t anggapan.
Sehingga, suasana menjadi
hening. Masing-masing orang tenggelam
dalam alun pikiran yang
menerawang jauh. "Ah! Mengapa aku sampai lupa?!" pekik keterkejutan
Ki Waringin, memecahkan keheningan yang terj adi.
Ki Sancaka, Arya, dan Sangga
Juwana agak kaget bercampur heran melihat sikap kakek berpakaian putih itu.
Dengan penuh rasa ingin tahu, mereka menatap Ki Waringin.
"Sangga! Mengapa kau
hanya datang sendiri? Mana kawan-kawanmu yang lain?!" t anya Ki Waringin,
bernada sungguh-sungguh.
Rupanya saking tertarik oleh
pertarungan antara Dewa Arak melawan Garuda Laut Timur, Ki Waringin lupa
menanyakan keadaan murid-muridnya yang lain. Sama sekali dia tidak merasa
heran melihat kedatangan Sangga Juwana yang hanya seorang
diri.
Kontan wajah laki-laki
berkumis tebal itu berubah muram mendengar pert anyaan gurunya. Memang,
pertanyaan itu mengingatkan Sangga Juwana akan masib buruk yang menimpa
rekan-rekannya, sesama anggota Perguruan Harimau Terbang.
Ki Waringin bukan orang bodoh.
Melihat perubahan wajah Sangga Juwana, sudah bisa diperkirakan nasib murid-muridnya
yang ditugaskan mengantar barang kiriman. Tapi meskipun demikian, Ketua
Perguruan Harimau Terbang ini ingin mendengar sendiri mengenai kejadian yang
menimpa rombongan perguruannya dari mulut Sangga Juwana.
Bukan hanya Ki Waringin saja
yang ingin mendengar berita tentang rombongan Perguruan Harimau Terbang. Tapi
juga Ki Sancaka, walaupun sudah dapat menduga kejadian yang menimpa. Hal itu
memang terlihat dari sikap Sangga Juwana. Tapi lain halnya bagi Dewa Arak. Dia
memang tidak ingin mengetahuinya, karena telah melihat sendiri kejadiannya.
Maka, pemuda berambut putih keperakan ini pun diam menunggu.
"Katakanlah, Sangga.
Seburuk apa pun berita yang akan kudengar, adalah lebih baik. Daripada, aku
bertanya-tanya sendiri dalam hati tanpa ada kepastian," desak Ki Waringin
ketika Sangga Juwana belum juga menceritakannya.
Sangga Juwana menarik napas
panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Mungkin dia berharap, dengan
melakukan hal itu akan membuat hatinya lebih tenang.
"Mereka semua telah tewas,
Guru," kata Sangga Juwana. Pelan sekali suaranya, sehingga mirip bisikan.
"Hhh...!"
Meskipun sudah menduga, tapi
tak urung Ki Waringin merasakan nyeri pada dadanya. Sehingga, tanpa sengaja
dihelanya napas berat.
Sementara, Ki Sancaka tahu
perasaan yang melanda hati sahabatnya. Maka ditepuk-tepuknya bahu Ki
Waringin untuk memberi
kekuatan batin.
Ki Waringin menoleh sambil
melemparkan senyum penuh terima kasih pada Ketua Perguruan Naga Laut itu. Maka
senyum itu langsung disambut Ki Sancaka dengan anggukan kepala.
"Apakah Garuda Laut Timur
yang telah membunuh mereka, Sangga?" tanya Ki Waringin lagi, masih serak
suaranya. Jelas, berita yang
baru saja didengar mempengaruhi jiwanya.
Sangga Juwana menggelengkan
kepala.
"Raja Ular Beracun yang
telah membunuh mereka semua, Guru. Dengan
cara yang amat mengerikan!" Lalu secara singkat dan jel
as, laki-laki berkumis tebal itu menceritakan kejadiannya. Sementara, Ki
Waringin dan Ki Sancaka
mendengarkan penuh perhatian. Hanya Dewa Arak seorang yang mendengarkannya sambil lalu, karena memang
telah tahu.
"Demikianlah ceritanya,
Guru. Kalau saja Arya tidak datang menolong, aku pun akan menjadi korban
kekejian Raja Ular Beracun itu," tutur Sangga Juwana mengakhiri ceritanya.
Ki Waringin tersenyum getir.
Ditatapnya wajah Sangga Juwana lekat-lekat
"Sayang sekali, Sangga.
Aku tidak akan pernah bisa membalas sakit hati Lantar dan yang lain-lain. Raja Ular Beracun terlalu sakti
bagiku."
Ada nada ketidakberdayaan dan
kegetiran yang amat sangat dalam ucapan Ki Waringin. Sehingga Arya,
Sangga Juwana, dan Ki Sancaka
merasa terharu mendengarnya.
"Ah! Mengapa aku begini
cengeng!" sentak Ki Waringin mendadak dan tiba-tiba.
Rupanya Ketua Perguruan
Harimau Terbang ini mulai menyadari ketidakpantasan sikapnya. Maka diusahakannya
untuk mengeluarkan kata-kata bernada jantan. Tapi, tetap saja terdengar sumbang
di telinga.
"Ah! Aku tolol! Tolol
sekali! Mengapa harus bersedih? Yang telah mati, ya relakan! Sekalipun kita
menangis darah pun, yang telah mati tidak akan hidup kembali! Hey, Sangga!
Hilangkan kesedihanmu! Tidak malukah kalau kecengenganmu dilihat Dewa
Arak?!"
Usai berkata demikian, Ki
Waringin menyunggingkan senyum di bibir. Tapi karena perasaan sedih belum
sepenuhnya hilang, senyum itu lebih mirip seringai kesakitan.
Sangga Juwana pun berusaha
tersenyum, meskipun terasa pahit dan datar. Akibatnya, senyumnya jadi
terlihat kecut.
"Ki...," tegur Arya
hati-hati.
"Ada apa, Arya?"
tanya Ki Waringin. "Ada yang bisa kubantu?" "Banyak, Ki. Banyak
sekali," sahut Arya.
"Kalau begitu,
katakanlah."
Pemuda berambut putih
keperakan itu tidak langsung mengutarakan hal yang ingin dikatakannya. Dia
tercenung sebentar memikirkan kata-kata yang tepat.
"Sebelumnya, aku ingin
minta maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud untuk ikut campur dalam masalah
perguruanmu," kata Arya,
memulai. "Tapi karena masalah ini telah membesar, terpaksa aku
memberanikan diri untuk ikut campur. Dan untuk itu, aku membutuhkan bantuanmu,
Ki."
Ki Waringin tertegun sejenak.
Kemudian, ditat apnya wajah Ki Sancaka. Tapi, yang ditatap malah angkat bahu.
Juwana. "Katakanlah sejel as-jelasnya, Arya. Mereka bingung kau bicara
berputar-putar seperti itu," kata Sangga Rupanya, laki-laki berkumis tebal
itu mengetahui arti raut wajah kedua kakek pemimpin perguruan yang membuka jasa
pengawalan barang itu. Memang wajah Ki Waringin dan Ki Sancaka sama-sama
menyiratkan kebingungan.
"Baiklah kalau
begitu," sahut Arya mengalah. Kemudian, pemuda berpakaian ungu itu menatap
wajah Ki Waringin dan Ki Sancaka berganti-ganti. "Begini, Ki. Kedatanganku
kemari sebenarnya hanya untuk mencari keterangan, yang barangkali saja bisa
kugunakan untuk memecahkan
masalah pelik ini. Yaitu, masalah perampasan barang kawalan Perguruan Harimau
Terbang oleh tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran dan tingkatan."
Arya menghentikan penuturannya
sej enak. Sedangkan Ki Waringin dan Ki Sancaka yang sej ak tadi mendengarkan
penuh perhatian, kini mulai mengerti maksud pembicaraan Arya.
"Kau menemukan adanya
hal-hal yang aneh, Dewa Arak?" duga Ki Sancaka.
Kakek berpakaian coklat itu
lupa memanggil Arya dengan julukannya. Tapi, rupanya pemuda berambut putih
keperakan itu pun lupa. Buktinya, dia sama sekali tidak menegurnya.
"Benar, Ki. Apakah kau
juga menemukan dugaan yang sama?" balas tanya Arya penuh gairah.
Ki Sancaka
mengangguk-anggukkan kepala.
"Baru saja aku dan Ki
Waringin memperbincangkan masalah itu, Arya. Jadi, kau rupanya tertarik untuk
mengungkap rahasia barang kiriman itu?"
"Aku hanya merasa heran
karena banyaknya tokoh persilatan dari berbagai aliran hitam dan tingkatan yang
mencoba merampas barang itu.
Yang menjadi pertanyaan bagiku, apa sebenarnya jenis barang
itu sehingga membuat geger rimba
persilatan."
"Jadi..., kau belum tahu
bentuk barang kiriman itu, Arya?"
Ada nada keheranan dalam suara
kakek berpakaian coklat itu. Dan memang, dia tidak menyangka kalau Dewa Arak
belum mengetahuinya.
"Benar, Ki," jawab
Arya jujur. "Justru karena ingin tahulah aku mengajak Sangga Juwana
kemari. Apa kau
tahu, benda apa yang dikawal
Sangga Juwana dan rekan-rekannya itu, Ki?"
"Kalau secara pasti, aku
juga tidak tahu, Arya," jawab Ki Sancaka terus terang. "Tapi menurut
kabar yang tersiar, barang kawalan itu adalah sebuah kepala manusia."
"Kepala manusia, Ki?
Lalu, mengapa sampai membuat dunia persilatan gempar?" tanya Arya, tanpa
mehyembunyikan perasaan heran.
"Karena kepala itu bukan
sembarang kepala, Arya," jelas Ketua Perguruan Naga Laut itu.
Kemudian Ki Sancaka
menceritakan kepada Arya mengenai kepala itu (Untuk jelasnya, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode "Kemelut Rimba Hijau").
Meskipun yang diceritakan
adalah Arya, tapi Sangga Juwana pun ikut mendengarkan pula. Memang, laki- laki
berkumis tebal itu juga belum mengetahuinya. Sedangkan Ki Waringin hanya diam
saja. Dibiarkan saja sahabatnya yang bercerita kepada Dewa Arak, karena Ki
Sancakalah yang lebih mengetahui.
Arya dan Sangga Juwana
mendengarkan cerita Ki Sancaka penuh perhatian. Sama sekali cerita kakek
berpakaian coklat itu tidak diselaknya hingga selesai.
Suasana menjadi hening ketika
Ki Sancaka menyelesaikan cerita. Masing-masing telah tenggelam dalam
alun pikiran.
"Sekarang satu persoalan
telah berhasil ditemukan jawabannya. Yakni, teka-teki mengenai barang kiriman
itu," kata Arya setelah beberapa saat lamanya termenung. "Sekarang
tinggal dua masalah lagi."
"Apa itu, Arya?"
tanya Ki Waringin, angkat bicara.
"Orang yang telah
menyebarkan berita mengenai barang kiriman. Dan, untuk apa barang kiriman
itu?" jelas
Arya.
"Aku tidak setuju dengan
pendapatmu, Arya," selak Ki Sancaka. "Kalau menurutku, belum ada satu
pun
masalah yang terpecahkan.
Semuanya masih gelap!"
Arya terkejut mendengar ucapan
Ketua Perguruan Naga Laut itu. Sedangkan Ki Sancaka tahu perasaan yang tengah
berkecamuk dalam hati Dewa Arak.
"Barang yang dikawal
Sangga Juwana dan kawan-kawannya belum tentu kepala manusia. Bahkan kalau boleh
kutebak, tengkorak itu adalah tengkorak kepala monyet besar. Sejenis orang
hutan!"
Usai berkata demikian, Ki
Sancaka menudingkan telunjuknya ke arah kepala orang hutan yang tergelet ak di
tanah.
"Itulah benda yang
terdapat di dalam peti yang akan dikirimkan rombongan Perguruan Harimau Terbang
ke
tempat yang telah
disepakati," runjuk Ki Sancaka
Arya, dan Sangga Juwana
mengikuti arah tudingan t elunjuk Ki Sancaka. Maka, kontan sepasang mata mereka
terbelalak.
"Mengapa benda itu bisa
berada di sini?" tanya Sangga Juwana.
"Garuda Laut Timur yang
membawanya. Dan karena benda itulah, dia ingin membunuh gurumu, Sangga."
"Mengapa demikian, Ki?" tanya Sangga Juwana masih belum mengerti.
"Garuda Laut Timur jauh-jauh datang untuk merampas barang kawalanmu.
Konon, dia telah mendengar berita yang t ersiar di dunia persilatan, bahwa i
ring-iringan Perguruan Harimau Terbang membawa kepala tokoh sesat pemilik ilmu
'Rawa Rontek' yang meninggal dunia seratus lima puluh tahun yang lalu. Maka,
bisa kau bayangkan sendiri kemarahannya ketika benda yang diperebutkannya
diketahui hanya kepala seekor orang
hutan. Dia merasa dipermainkan."
"Jadi, berita yang tersi
ar di dunia persilatan itu hanya kabar bohong belaka?" Sangga Juwana jadi
bingung sendiri.
"Itulah yang harus kita
pecahkan, karena itulah pokok masalahnya!" sambut Ki Sancaka, cepat.
"Lalu..., bagaimana caranya memecahkan masalah yang rumit itu?" tanya
Sangga Juwana lagi.
Kalau saja rekan-rekannya dari
Perguruan Harimau Terbang masih hidup, pasti akan merasa heran bukan kepalang
melihat sikap Sangga Juwana. Laki-laki berkumis tebal itu dikenal sebagai orang
yang mampu menyelesaikan persoalan, betapapun rumitnya. Tapi sekarang?
"Tentu saja mencari
hal-hal yang ada hubungannya dengan barang itu," sahut Dewa Arak.
"Betapapun tampaknya remeh, tapi jangan diabaikan. Bukan tidak mungkin
dari situlah akan ditemukan pemecahan masalah
pelik ini."
Ki Sancaka dan Ki Waringin
mengangguk-anggukkan kepala, pert anda menyetujui ucapan pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Kalau menurut
pendapatmu, dari mana kita harus memulai, Arya?" tanya Ki Waringin, ingin
tahu
pendapat Dewa Arak.
Dewa Arak tidak langsung
menjawab pert anyaan Ki Waringin. Dia tercenung sejenak, dengan dahi berkernyit
"Kalau menurut
pendapatku..., kita harus menyelidikinya dari awal dulu, Ki?" kata Arya
mengutarakan
pendapat.
"Maksudmu, dari pemilik
barang?" Ki Sancaka yang menyambuti. "Benar, Ki."
"Usulmu sama dengan
rencana yang akan kujalankan, Arya!" sambut Ki Sancaka, gembira.
"Kita harus
yakinkan dulu kalau dari
pemiliknya, barang kiriman itu benar kepala tokoh sesat pemilik ilmu 'Rawa
Rontek'. Dan, bukan kepala seekor orang hutan."
"Dan untuk itu, bantuan
Ki Waringin sangat kita perlukan," sambut Arya, sambil melirik Ketua
Perguruan Harimau Terbang.
"Dengan senang hati aku
akan membantu kalian," mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut
Ki Waringin.
"Apa yang dikatakan Arya
tidak salah, Waringin. Kau adalah satu-satunya saksi hidup yang mengenali
pengirim barang itu. Hanya, kau yang mengenalnya dan bukan orang lain!"
dukung Ki Sancaka.
"Lalu..., ke mana kita
harus mencarinya?" tanya Ki Waringin, bingung. "Aku sama sekali tidak
tahu tempat tinggalnya."
Arya, Sangga Juwana, dan Ki
Sancaka pun terdi am seketika. Kembali mereka menemukan j alan buntu.
Dahi masing-masing tampak
berkernyit, pertanda benak mereka tengah dipakai untuk berpikir keras.
"Mengapa tidak ke tempat tujuan pengiriman saja, Guru?" celetuk
Sangga Juwana tiba-tiba.
Kontan semua wajah berseri.
Sungguh tidak disangka, jalan keluarnya akan bisa ditemukan semudah itu.
"Sebuah usul yang
bagus," puji Arya, tulus.
Berbeda dengan Dewa Arak, Ki
Waringin dan Ki Sancaka sama sekali tidak memuji Sangga Juwana. Tapi, sorot
kebanggaan terpancar jelas pada sinar mata Ketua Perguruan Harimau Terbang itu.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi?" tanya Ki Sancaka bernada teguran. "Mari kita satroni tempat
tujuan
pengiriman barang itu."
Sesaat kemudian, empat orang
gagah ini segera melangkah meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka sudah jelas,
tempat tujuan pengiriman barang. Desa Sintang! 2
Angin kering membawa debu
bertiup lembut. Hari memang belum siang. Matahari juga belum lama muncul di u fuk Timur. Hembusan angin
memang masih semilir. Tapi karena daerahnya kering dan berdebu, maka tiupan
angin itu jadi tidak terasa nikmat sama sekali.
Empat sosok laki-laki yang
mengenakan pakaian berl ainan, mendekapkan tangan ke wajah ketika angin yang
membawa debu berhembus lebih keras dari sebelumnya. Wajah mereka tentu saja
tidak ingin dilumuri debu.
"Itu Desa Sintang,
Arya," kata laki-laki berkumis tebal yang mengenakan pakaian putih. Dia
tak lain dari
Sangga Juwana.
Sambil berkata demikian, Sangga
Juwana menudingkan jari telunjuk kanannya ke depan. Memang, di kejauhan tampak
tembok batas sebuah desa. Apa lagi kalau bukan tembok batas Desa Sintang?
"Jadi di situkah tempat
tinggal Juragan Dursana, Sangga?" tanya pemuda berambut putih keperakan yang
memang Dewa Arak.
Sementara itu, dua orang tua
yang mendampingi mereka tak lain dari Ki Sancaka dan Ki Waringin. Ada sedikit
kelainan pada diri Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Sangga Juwana. Ketiga orang itu
walaupun masih mengenakan pakaian perguruan masing-masing, namun tidak nampak
adanya sulaman gambar harimau bersayap atau naga emas. Memang, atas persetujuan
Ki Waringin dan Ki Sancaka, diputuskan untuk melepaskan saja lambang perguruan
masing-masing demi kelancaran tugas.
"Hehhh...?! Apa
itu?" tanya Arya ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berlari cepat.
Dewa Arak mengernyitkan dahi.
Pandangan matanya yang tajam menangkap adanya keanehan dari sesosok tubuh yang
melesat cepat ke arah mereka. Sebentar saj a, pemuda berpakaian ungu itu tahu kalau
sosok tubuh yang tengah berlari ternyata tidak bertangan kosong. Ada sesuatu
yang dipanggulnya di pundak.
Bukan hanya Arya saja. Sangga
Juwana, Ki Waringin, dan Ki Sancaka
pun memperhatikan penuh perhatian. Dan sesaat kemudian, tampak
jelas terlihat oleh sepasang mata mereka.
Untuk beberapa saat lamanya,
Arya, Ki Waringin, dan Ki Sancaka, serta Sangga Juwana kebingungan. Tapi
sebentar kemudian mereka sadar dan mengerti, ketika mendengar jeritan meminta
pertolongan. Sosok tubuh yang tengah berlari menuju ke arah mereka itu membawa
seseorang di pondongannya.
"Tolong...!
Tolong...!"
Kembali terdengar jeritan yang
menilik dari nadanya, jelas keluar dari mulut seorang wanita.
"Keparat!" geram Sangga Juwana.
Laki-laki berkumis tebal ini
sudah bisa memperkirakan, apa yang tengah terjadi. Sosok tubuh yang tengah
menuju ke arah mereka jelas seorang penculik wanita! Dan tentu saj a sudah bisa
diperkirakan, apa yang akan dilakukannya!
Yakin akan dugaannya, membuat
Sangga Juwana bergerak melesat mendahului tiga
orang teman seperjal anannya.
"Biar aku yang memberi
pelajaran pada makhluk terkutuk itu, Guru."
Begitu ucapan yang dikeluarkan
Sangga Juwana, sebelum tubuhnya melesat menghadang kedatangan sosok tubuh itu.
"Jangan sembrono, Sangga!
Selidiki dulu kebenarannya!" nasihat Ki Waringin.
Sangga Juwana yang sudah
berada beberapa tombak dari tempat semula, tidak sempat menyambutinya lagi.
Dia hanya menganggukkan
kepala, pertanda akan mematuhi nasihat yang diberikan gurunya.
Ki Sancaka, Ki Waringin, dan
Dewa Arak sama sekali tidak mengejar Sangga Juwana. Dibiarkan saja laki- laki
berkumis tebal itu mencoba membereskan masalah. Ketiga orang itu hanya
memperhatikan saja dari kejauhan.
***
Sementara itu, Sangga Juwana
dengan penuh semangat berlari menyongsong kedatangan sosok tubuh yang ternyata
berpakaian kuning. Sosok itu tampak tengah memanggul seseorang yang diyakini
Sangga Juwana sebagai wanita. Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak
mendekat, maka tak berapa lama kemudian jarak mereka telah demikian dekat.
"Berhenti...!"
teriak Sangga Juwana ketika j araknya tinggal tiga tombak lagi dari sosok
berpakaian kuning itu. selidik.
Sosok berpakaian kuning itu
menghentikan larinya. Seketika, dirayapi sekujur tubuh Sangga Juwana penuh
Sangga Juwana juga bertindak sama, merayapi sosok tubuh berpakaian kuning di
hadapannya.
Sosok tubuh berpakaian kuning
itu ternyata seorang laki-laki yang terlihat matang. Usianya tentu tidak akan kurang dari tiga puluh tahun.
Tubuhnya sedang, tertutup pakaian yang terlihat indah. Wajahnya juga cukup
tampan. Apalagi dengan adanya sebaris bulu-bulu halus di bawah hidungnya.
Laki-laki berpakaian kuning itu ternyata
seorang pesolek. Benda kecil berbentuk seekor kumbang terbuat dari emas, tampak
menghiasi keningnya.
"Siapa kau?!
Berani-beraninya kau menghadang jalanku!" bentak laki-laki berpakaian
kuning, keras. "Hmh...! Kukira siapa. Rupanya kau, Kumbang Emas!"
desis Sangga Juwana sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
Rupanya, Sangga Juwana
mengenal laki-laki berpakaian kuning di hadapannya. Dan memang, hal itu tidak
aneh. Sangga Juwana adalah seorang pengawal barang kiriman yang telah puluhan
kali menjalankan tugasnya dengan baik.
Hubungannya dengan tokoh-tokoh dunia persilatan amat luas. Tak aneh kalau tokoh
persilatan dari berbagai aliran banyak dikenalnya. Meskipun, sebagian besar
hanya dikenal lewat ciri-cirinya saja.
Wajah laki-laki berpakaian
kuning itu berubah pucat. Raut keterkejutan tampak jelas di wajahnya.
"Kalau sudah tahu,
mengapa tidak lekas menyingkir?" sambut laki-laki berpakaian kuning yang
ternyata berjuluk Kumbang Emas. Secercah senyum mengejek tersungging di
bibirnya.
Memang, Kumbang Emas semula
terkejut bukan kepalang kalau julukannya banyak dikenal orang. Tapi,
hanya sebentar saja perasaan itu
melanda. Bahkan dia langsung bisa merubah sikap, dengan menggertak Sangga
Juwana.
"Menyingkir katamu,
Manusia Cabul?!" sahut Sangga Juwana tak kalah gertak. "Justru sudah
lama aku mencari-carimu, tahu! Kau adalah manusia terkutuk yang harus
cepat-cepat dimusnahkan dari muka bumi sebelum semua wanita menjadi
korbanmu!"
Sambil berkata demikian,
Sangga Juwana melayangkan pandangan sekilas ke arah sosok dalam pondongan
Kumbang, Emas. Dugaannya tidak salah. Orang yang dipondong Kumbang Emas adalah
seorang wanita berpakaian hijau.
"Kalau begitu, kau
mencari penyakit sendiri, Keparat!"
Si Kumbang Emas menggeram
keras. Dia marah bukan kepalang melihat kekerasan hati orang yang lancang menghadangnya. Namun demikian,
Kumbang Emas bukan orang bodoh! Dia tahu, calon lawannya tidak sendirian. Di
belakangnya masih ada tiga orang lagi. Memang, tadi laki-laki berpakaian kuning
ini melihat kalau Sangga Juwana berjalan bersama-sama dua orang tua, dan
seorang pemuda berambut putih keperakan. Dia pun melihat pula ketika orang di
hadapannya ini memisahkan diri dari rombongan.
Sekali pandang saja, Kumbang
Emas tahu kalau tiga orang yang masih berj arak sekitar sepuluh tombak di
belakang calon lawannya, bukan orang sembarangan. Langkah mereka yang rata-rat
a ringan telah mempertebal dugaan Kumbang Emas.
Kumbang Emas memutar otaknya
untuk mencari jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Dan
karena otaknya memang telah t erbiasa melakukan hal-hal yang licik, sekejap
kemudian sebuah jalan telah ditemukan.
Tampak seulas senyum keji
tersungging di bibir Kumbang Emas. "Kau menginginkan wanita ini, Keparat?!
Ambillah untukmu!"
Pada saat ucapan itu berakhir,
Kumbang Emas melemparkan tubuh wanita yang dipanggulnya ke arah Sangga Juwana.
Wuttt...! "Hey...!"
Sangga Juwana terkejut bukan
kepalang. Disadari kalau tidak buru-buru ditangkapnya, wanita yang hampir saja
menjadi korban kekejian nafsu setan Kumbang Emas akan tewas. Maka tanpa
berpikir dua kali, Sangga Juwana segera membalikkan tubuh dan melesat mengejar
tubuh wanita itu.
Inilah kesempatan licik yang
ditunggu-tunggu Kumbang Emas. Begitu Sangga Juwana membalikkan tubuh dan
melesat mengejar tubuh wanita itu, tangannya segera dimasukkan ke balik baju.
Dan ketika tangan itu keluar lagi, di tangannya telah tergenggam beberapa buah
benda berbentuk kumbang berwarna kuning keemasan. Hanya saja, benda itu tidak
terbuat dari emas sungguhan seperti yang bertengger di dahi.
Wuttt...! Tiba-tiba, wanita
yang dipanggulnya dilemparkan begitu saja oleh Kumbang Emas!
"Hey...!" Sangga
Juwana sangat terkejut. Buru-buru ia melesat mengejar wanita itu. Sangga Juwana
sama sekali tidak menyadari siasat Kumbang Emas! Kini, bahaya sedang
mengintainya! Benda-benda yang berbentuk kumbang itu terbuat dari logam. Lagi
pula, pada bagian kepalanya terdapat bagian yang meruncing. Tampaknya tajam
mengkilat, dan cukup panjang.
Dan secepat benda-benda
berbentuk kumbang itu tergenggam di tangan, secepat itu pula dilemparkan ke
arah Sangga Juwana. Kemudian, dia langsung melesat kabur, menempuh arah ke
kanan.
Wut, wut, wut...!
Sangga Juwana begitu
terperanjat. Walau tidak melihat, tapi dari suara desingan yang tertangkap t
elinga, laki-laki berkumis tebal ini tahu akan ada bahaya yang tengah
mengancam. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Apalagi dia
tengah melompat untuk menangkap tubuh wanita berpakaian hijau.
Haruskah niatnya diurungkan?
Tapi, bagaimana mungkin Sangga Juwana melakukan
hal itu? Kakinya sama sekali tidak mempunyai pijakan
untuk melenting. Dalam waktu sekejap itu, Sangga Juwana mengambil keputusan
nekat! Maksudnya tetap diteruskan untuk menangkap tubuh wanita berpakaian hijau
yang masih melayang. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh Sangga Juwana
menggeliat. Ini dilakukan untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut
yang tidak diketahui bentuknya. Memang, hanya itulah satu-satunya jal an yang
bisa dilakukan, Sangga Juwana.
"Sangga! Awaaas...!"
teriak Ki Waringin memperingatkan.
Memang, Ketua Perguruan
Harimau Terbang ini melihat adanya bahaya mengancam terhadap keselamatan
muridnya. Bukan hanya dia saja yang melihatnya, tapi juga Ki Sancaka, dan Arya.
Tidak cukup dengan peringatan
saja, Ki Waringin segera melesat ke depan untuk menyelamatkan nyawa
muridnya. Dan pada saat yang
bersamaan, Ki Sancaka dan Arya melesat pula.
Ketiga orang ini seperti
berlomba menyelamatkan Sangga Juwana. Raut kecemasan tampak di wajah Ki
Waringin, Ki Sancaka, dan Arya. Memang, serangan mendadak itu sama sekali tidak
diduga.
Sementara itu....
Tappp!
Sangga Juwana berhasil menangkap
tubuh wanita berpakaian hijau. Dan pada saat tubuhnya t engah meluruk turun
itulah beberapa senjata rahasia yang dikirimkan Kumbang Emas meluncur ke
arahnya.
Sudah dapat diperkirakan,
benda-benda berbentuk kumbang ini akan menghunjam tubuh Sangga Juwana.
Namun di saat yang gawat itu,
berhembus serangkum angin keras memapak luncuran senjata-senjata rahasia yang
mengancam tubuh Sangga Juwana. Dewa Arak yang t ahu akan sempitnya waktu,
sambil melompat menghentakkan kedua tangannya ke arah senjata-senjata rahasia
yang dikirimkan Kumbang Emas.
Prattt !
Benda-benda berbentuk kumbang
itu langsung terpental balik ke arah Kumbang Emas, begitu terpapak hembusan
angin keras yang dihentakkan oleh kedua tangan Dewa Arak.
"Hup!"
Ketika kedua kaki Sangga Juwana
hinggap di tanah, Ki Sancaka, Ki Waringin, dan Dewa Arak pun telah berada di
sebelahnya.
"Dugaanku benar,
Guru," lapor Sangga Juwana. "Orang itu adalah penjahat terkutuk! Dia
Kumbang Emas,
Guru!"
Sangga Juwana kemudian segera
membebaskan totokan pada wanita berbaju hijau, yang telah dilakukan
Kumbang Emas. Lalu,
dibiarkannya wanita itu berdiri.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Kang," kata wanita berpakaian hijau itu pada Sangga Juwana.
"Lupakanlah," sahut Sangga Juwana.
***
Sementara itu, Dewa Arak yang
mendengar ucapan Sangga Juwana langsung melesat mengejar Kumbang Emas. Bahkan
Arya tel ah bertekad untuk melenyapkan Kumbang Emas selama-lamanya. Dan untuk
itu, alasan Dewa Arak amat kuat. Memang Dewa Arak paling benci terhadap
penjahat pemerkosa wanita! Tidak ada kata ampun baginya apabila bertemu
penjahat seperti itu.
Kumbang Emas kelabakan ketika
mengetahui dirinya dikejar. Segera seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan
sampai ke puncaknya dalam usaha untuk melarikan diri sejauh-jauhnya.
Dapat dibayangkan betapa kaget
hati tokoh durjana ini ketika ekor matanya melihat seleret bayangan ungu
melesat lewat sebelahnya. Bahkan kemudian menyusulnya. Dan ketika telah
berjarak beberapa tombak di depannya, sosok bayangan ungu itu menghentikan lesatan
dan membalikkan tubuh.
Dengan sendirinya, Kumbang
Emas menghentikan l arinya. Dirayapinya sejenak sekujur tubuh sosok bayangan
ungu yang tak lain dari Dewa Arak. Diam-diam, bulu tengkuk Kumbang Emas
meremang ketika melihat tidak ada tanda-tanda kelel ahan sedikit pun kalau Arya
telah mengerahkan kemampuan untuk mengejar dirinya. Padahal, dia sendiri agak
terengah-engah.
Dari sini saja, sudah dapat
diperkirakan kalau Dewa Arak memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dan
dugaannya semakin menguat ketika teringat senjata-senjat a rahasianya yang
dirobohkan pemuda berambut putih keperakan itu pula.
Tengkuk Kumbang Emas terasa
dingin ketika teringat akan tokoh yang memiliki ciri seperti yang dimiliki
pemuda berambut putih keperakan itu. Dewa Arak! Benarkah pemuda yang berdiri di
hadapannya ini Dewa Arak?! Kalau memang demikian, nasib celakalah yang akan
menimpanya! Mana mungkin dia mampu menghadapi Dewa Arak!
Tanpa pikir panjang lagi,
Kumbang Emas segera membalikkan tubuh. Rupanya, dia bermaksud melarikan
diri ke lain arah. Namun,
langkahnya kontan terhenti ketika di belakangnya berdiri empat sosok tubuh.
Yang berdiri paling depan adalah Ki Waringin. Sementara Ki Sancaka, Sangga
Juwana, dan wanita berpakaian hijau, berdiri di belakangnya.
Seketika wajah Kumbang Emas
pucat pasi. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin bisa lolos lagi!
Maka otaknya segera diputar
untuk bisa meloloskan diri.
"Luar biasa! Apakah
kalian ini adalah gerombolan pengecut yang bermaksud mengeroyokku?! Ha ha
ha...! Majulah! Kumbang Emas tidak bakal
takut menghadapi keroyokan!" teriak Kumbang Emas memulai siasat liciknya.
Ki Waringin, Ki Sancaka,
Sangga Juwana, dan Arya bukan orang bodoh. Mereka tentu saja t ahu maksud
tokoh durjana ini mengucapkan
kata-kata seperti itu. Meskipun demikian, tetap saja membuat wajah mereka
memerah.
"Menghadapi manusia busuk
sepertimu, tidak perlu mengandalkan keroyokan!" tandas Ki Waringin.
"Ah! Begitukah?!"
sambut Kumbang Emas bersikap meremehkan ucapan Ki Waringin. Bahkan seulas
senyum mengejek pun menghias wajahnya. "Jadi, kalian akan menghadapiku
satu persatu! Bila satu di antara kalian kalah, lalu diganti yang lain. Begitu?
Ah, benar! Siasat kalian benar-benar jitu. Aku akan mati kelelahan!"
"Tutup mulutmu, Manusia
Cabul!" bentak Sangga Juwana tak kuat menahan kemarahan. "Untuk
menghadapi orang busuk sepertimu, aku pun sudah cukup! Kalau berhasil
mengalahkan diriku, kau boleh bebas pergi dari sini!"
"Sangga!" seru Ki
Waringin dan Ki Sancaka terkejut.
Ketua Perguruan Harimau
Terbang dan Ketua Perguruan Naga Laut itu memang kaget bukan kepalang mendengar
ucapan Sangga Juwana. Sama sekali tidak disangka kalau Sangga Juwana akan
mengeluarkan perkataan seperti itu. Sungguh merupakan sebuah sikap yang
ceroboh. Bahkan Arya pun diam-diam menyayangkan sikap yang diambil laki-laki
berkumis tebal itu.
Kini mereka hanya dapat
menunggu sambutan Kumbang Emas. Harapan mereka, penjahat cabul itu akan menolak
usul yang diajukan Sangga Juwana. Tapi, ketiga orang lelaki ini tahu kalau hal
itu tidak mungkin. Karena mereka t ahu, Kumbang Emas memang menunggu-nunggu
keluarnya ucapan itu. Buktinya sejak tadi laki-laki berpakaian kuning itu
tengah memancing-mancing keluarnya ucapan itu. Dan dugaan mereka rasanya tidak
akan keliru. Kini tampak sepasang mata Kumbang Emas berkilat-kilat gembira.
"Kalau itu memang sudah
menjadi kehendakmu, akan kuturuti, Kecebong Kecil!" sambut Kumbang Emas
cepat. Hatinya merasa lega karena tidak menyangka siasat yang dijalankannya
berl angsung mulus.
"Semua yang ada di sini menjadi
saksi atas ucapanmu!"
"Kami bukan orang semacam
dirimu, Kumbang Emas!" tandas Sangga Juwana tegas. "Sangga!"
tegur Ki Waringin lagi.
"Biar, Guru. Aku yang
akan menghabisi riwayat penjahat cabul ini!" sergah Sangga Juwana gagah.
"Hhh...!" Ki Waringin menghela napas berat. "Hati-hati,
Sangga!"
"Akan kuperhatikan semua
nasihatmu, Guru!" sahut Sangga Juwana gagah sambil melangkah maju.
Sementara Arya, Ki Waringin,
dan Ki Sancaka terpaksa melangkah mundur untuk memberi tempat pada kedua pihak
yang akan bert arung. Mereka kini memperhatikan gerak-gerik Sangga Juwana dan
Kumbang Emas dengan hati berdebar tegang, dan merasa khawatir akan keselamatan
Sangga Juwana.
Kumbang Emas sebenarnya adalah
seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Dan itu bisa diketahui
dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, dan juga kekuatan tenaga dalamnya
sewaktu melemparkan benda-benda berbentuk kumbang. Akan mampukah laki-laki
berkumis tebal itu menghadapi lawanny a?
Sementara itu, Sangga Juwana
dan Kumbang Emas tampak sudah siap siaga. Kedua belah pihak sudah mengambil
jarak. Sepasang mata mereka menatap satu sama lain. Untuk sesaat lamanya, kedua
belah pihak tidak saling menggebrak, tapi hanya saling menilai kepandaian lawan
melalui pandangan.
"Haaat...!" Kumbang
Emas ternyat a mulai menyerang lebih dulu. Serangannya dibuka dengan sebuah
tendangan lurus ke arah perut.
Wuttt!
Tendangan itu mengenai tempat
kosong ketika Sangga Juwana menarik kaki kanannya mundur sambil mendoyongkan
tubuh ke belakang.
Kumbang Emas tidak merasa
penasaran melihat serangannya berhasil dielakkan lawan secara mudah.
Kembali dilancarkan serangan
susulan. Kakinya yang tidak berhasil disarangkan ke sasaran, ditarik setengah
jal an. Kemudian, kembali diluncurkan dalam bentuk tendangan miring ke arah
leher. Untuk melakukan hal ini, terpaksa Kumbang Emas harus mengubah letak
tubuhnya.
Kali ini, Sangga Juwana tidak
mengelak l agi. Rupanya dia sudah bisa memperkirakan kekuatan tenaga dalam. Dan
kini, laki-laki berkumis tebal itu menangkis tendangan dengan kedua tangannya.
Maksudnya hendak menangkis sekaligus menangkapnya.
Plakkk!
Suara berderak keras terdengar
ketika kaki dan tangan berbenturan. Akibatnya, tubuh Sangga Juwana
terhuyung-huyung tiga langkah ke balakang. Sedangkan lawannya hanya terhuyung
satu langkah. Jelas, tenaga dalam Kumbang Emas lebih kuat daripada Sangga
Juwana.
Kenyataan ini tentu saja tidak
hanya mengejutkan Sangga Juwana, tapi juga Ki Waringin, Ki Sancaka, dan
Arya.
Rupanya Kumbang Emas tidak
ingin memberi kesempatan pada lawan. Secepat kekuatan yang membuat
tubuhnya terhuyung dipatahkan,
secepat itu pula serangan lainnya dilancarkan. Sesaat kemudian, keduanya sudah
terlibat pertarungan sengit. 3
Arya, Ki Sancaka, dan Ki
Waringin memperhatikan jalannya pertarungan
dengan perasaan cemas. Benturan yang pertama kali terjadi
antara Sangga Juwana dan Kumbang Emas, telah membuat mereka mengkhawatirkan
keselamatan laki-laki berkumis tebal itu. Tapi apa yang dapat dilakukan? Sangga
Juwana sendirilah yang telah menentukan pilihannya!
Kini yang dapat mereka lakukan
hanyalah memperhatikan jalannya pertarungan, dan berharap Sangga Juwana dapat
memanfaatkan kesempatan.
Sementara itu, pertarungan
yang berlangsung t elah berjalan semakin sengit. Namun perlahan-lahan, begitu
menginjak jurus ke lima belas,
Kumbang Emas mulai dapat mendesak Sangga Juwana. Hal ini tidak aneh, mengingat
laki-laki berpakaian kuning ini memang memiliki keunggulan dalam segala hal.
Baik tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh. Sepertinya, robohnya Sangga
Juwana hanya tinggal menunggu waktu saja.
Sekarang, Sangga Juwana lebih
banyak bertahan. Serangan-serangan yang dilancarkannya berkurang j auh. Bahkan
menangkis pun jarang dilakukan, karena hal itu akan merugikan dirinya. Kekuatan
tenaga dalamnya yang berada di bawah lawan, menyebabkan tangannya sakit-sakit
setiap kali terjadi benturan.
Semakin lama, keadaan Sangga
Juwana semakin memburuk. Bahkan menginjak jurus
kedua puluh lima, dia sudah tidak
mampu melancarkan serangan lagi. Kini laki-laki berkumis lebat itu hanya
mengelak dari serangan lawan. Itu pun tampak terpontang-panting ke sana kemari
dalam upaya menyelamatkan selembar nyawa.
"Sangga! Kumbang Emas
adalah penjahat keji yang licik. Dia telah berhasil memperdayaimu dengan
tantangannya. Kalau kau kalah, dia akan lolos. Dan aku tidak suka hal itu
terjadi. Kau paham?! Maka aku akan memberi petunjuk padamu. Perhatikan
baik-baik dan ikuti!"
Mendadak Sangga Juwana
tertegun. Dia mendengar adanya suara bisikan halus di telinganya.
Sambil terus mengelakkan
setiap serangan yang dilancarkan, Sangga Juwana mendengarkan ucapan itu. Tanpa
sadar kepalanya terangguk ketika mendengar kalimat terakhir yang terdengar di
telinganya. Sangga Juwana tahu, siapa pemilik suara itu. Dewa Arak! Benar, Aryalah
yang berbicara padanya. Tapi, apakah tidak ada orang lain yang mendengarnya?
Karena perasaan penasaran yang
mendera, Sangga Juwana sekilas memperhatikan wajah-wajah yang berada di
sekitarnya. Terutama sekali, wajah Kumbang Emas! Tapi, tidak nampak adanya
tanda-tanda kalau laki- laki berpakaian
kuning itu mendengarnya.
Sangga Juwana sama sekali
tidak tahu kalau Dewa Arak tel ah menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Bagi orang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak, hal itu seperti
merupakan pekerjaan mudah.
Dewa Arak benar-benar menepati
janjinya. Sesaat set elah ucapan itu dikeluarkan, petunjuk-petunjuk yang
dijanjikan pun muncul.
Sedangkan Sangga Juwana segera mengikuti setiap petunjuk yang diberikan Dewa
Arak.
Memang, setelah Sangga Juwana
mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan Dewa Arak dari j auh, perlahan-lahan
keadaannya yang sudah terdesak hebat mulai berubah. Laki-laki berkumis tebal
ini tidak lagi terpontang-panting seperti sebelumnya. Bahkan dengan gerakan sederhana
serangan Kumbang Emas sudah bisa dielakkannya.
Tak sampai lima jurus setelah
mendapat petunjuk dari Dewa Arak, keadaan telah kembali seperti sewaktu
pertarungan baru menginjak jurus-jurus awal. Bahkan Sangga Juwana sudah bisa
melancarkan serangan-serangan balasan kembali! Hebatnya, bagian-bagian yang
ditujunya adalah celah-celah terlemah dari tubuh lawan. Yang lebih gila lagi,
setiap serangannya selalu dilancarkan secara mendadak dan tiba-tiba.
Karuan saja hal ini membuat
Kumbang Emas kelabakan bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau keadaan
akan berubah seperti ini. Padahal, semula dia sudah yakin akan memenangkan
pertarungan, mengingat keadaan Sangga Juwana yang sudah terdesak.
Kumbang Emas hampir tidak
percaya melihat kenyataan yang dialaminya. Dan memang, hal itu sulit dipercaya!
Jelas-jelas kalau Sangga Juwana hanya memiliki kemampuan di bawahnya. Baik
tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Tapi mengapa dia bisa mendesak?
Bukan hanya laki-laki
berpakaian kuning itu saja yang dilanda perasaan bingung. Ki Sancaka, dan Ki
Waringin pun heran bukan kepalang. Beberapa kali kedua kakek ini menggelengkan
kepala dan mengucek-ucek mata, untuk meyakinkan diri kalau tidak salah lihat.
Namun ketika beberapa kali melakukan hal itu,
tetap saja tidak berubah. Padahal Ki Sancaka dan Ki Waringin yakin kalau mereka
tidak sal ah lihat. Buktinya, Sangga Juwana ternyat a memang berhasil
mengimbangi Kumbang Emas.
Berbeda dengan Kumbang Emas
yang hanya bisa heran melihat perubahan mendadak itu, sementara di pihak Ki
Sancaka dan Ki Waringin bukanlah orang bodoh. Mereka t ahu, Sangga Juwana tidak
akan mungkin bisa melakukan hal seperti itu. Terutama sekali, Ki Waringin yang
tahu pasti kalau gerakan-gerakan yang dilakukan Sangga Juwana berlainan aliran
dengan miliknya.
Ki Sancaka dan Ki Waringin
langsung bisa menduga kalau ada orang yang telah memberi petunjuk pada Sangga
Juwana. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak? Kedua kakek ini tidak merasa heran
kalau Dewa Arak memiliki ilmu mengirimkan suara dari jauh. Sebagai orang-orang
yang telah memiliki tingkat kepandaian
cukup tinggi, mereka sudah pernah
mendengar tentang ilmu itu. Meskipun, mereka tidak memilikinya.
Yakin akan kebenaran
dugaannya, maka kedua ketua perguruan itu pun mengalihkan pandangan ke arah
Arya. Tapi, alis Ki Sancaka dan Ki Waringin langsung berkerut ketika tidak
terlihat adanya tanda-tanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu tengah
mengerahkan ilmu mengirim suara dari jauh. Buktinya, kedua bibir Dewa Arak
tidak bergerak sama sekali.
Ki Sancaka dan Ki Waringin
sama sekali tidak tahu kalau cara yang dilakukan Dewa Arak menandakan kalau
penguasaan ilmunya sudah begitu tinggi. Jadi tidak heran kalau komat-kamitnya
tentu saja tidak akan muncul.
Ki Sancaka dan Ki Waringin saling berpandangan. Maka perasaan bingung kembali melanda kedua
orang
ini. Apakah memang tidak ada
orang yang membantu Sangga Juwana?
Sadar kalau tidak ada gunanya
memikirkan hal itu, Ki Sancaka dan Ki Waringin langsung membuang pertanyaan
yang mengganggu benak mereka. Kini pandangan mereka dialihkan ke arah pert
arungan yang tengah berlangsung sengit.
***
Di arena pertarungan, keadaan
sudah berubah. Baik Sangga Juwana maupun Kumbang Emas
tidak bertarung dengan t angan kosong lagi. Mereka tel ah sama-sama menggenggam
senjata. Kalau Sangga Juwana menggunakan pedang, maka Kumbang Emas menggunakan
kipas baja berwarna kuning yang ujung-ujungnya lancip seperti pisau.
Dengan tel ah digunakannya
senjata masing-masing, maka pert arungan yang berlangsung pun jadi semakin
ramai. Kedua belah pihak tampak telah sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan.
Hebat dan mengagumkan
permainan kipas Kumbang Emas! Benda itu memang merupakan senjata yang
serba guna. Apabila ditutup
bisa seperti pedang, dan bila dibuka berguna sebagai tameng.
Meskipun demikian, permainan
pedang Sangga Juwana tidak kalah hebat. Pedang di tangannya menyambar-nyambar
secara tidak terduga-duga. Bahkan Ki Sancaka dan Ki Waringin yang melihatnya
pun jadi terbeliak kaget. Terutama sekali Ki Waringin! Dia tahu pasti kalau
permainan pedang Sangga Juwana bukan ilmu yang diajarkannya.
Orang yang paling merasakan
kedahsyatan ilmu pedang Sangga Juwana adalah Kumbang Emas! Laki-laki berpakaian
kuning ini merasakan betapa beratnya tekanan pedang yang dilancarkan lawannya.
Betapapun seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan, tapi tetap saja
berada dalam pihak yang terdesak.
Dan pada jurus yang keempat
puluh tujuh....
"Akh. !"
Kumbang Emas menjerit
kesakitan ketika ujung pedang Sangga Juwana menyerempet pergelangan t angan
kanannya. Darah segar mengalir dari luka itu. Seketika itu juga, kipas yang
digenggamnya terlepas dari pegangan.
Dan sebelum Kumbang Emas
sempat berbuat sesuatu, pedang di tangan Sangga Juwana kembali meluncur cepat
ke arah perutnya. Dan....
Blesss! "Aaakh. !"
Kumbang Emas kontan melolong
kesakitan. Pedang Sangga Juwana menancap di perutnya, hingga tembus ke
punggung. Darah muncrat-muncrat seketika dari bagian yang terluka.
Sangga Juwana mencabut kembali
pedangnya dari perut Kumbang Emas. Maka, darah yang muncrat- muncrat pun
semakin banyak keluar.
Tubuh Kumbang Emas jadi
terbungkuk. Sepasang kelopak matanya pun membelalak l ebar. Dengan kedua
tangan, didekapnya luka pada perutnya. Tapi karena t erlalu besar, tetap saja
darah mengalir deras lewat cel ah-celah jarinya. Kedua kakinya pun tampak
menggigil keras. Sangga Juwana hanya memperhatikan saja laki-laki berpakaian
kuning itu berjuang melawan maut. Dia ingin tahu, berapa lama Kumbang Emas
mampu bertahan terhadap panggilan malaikat maut.
Ternyata, Sangga Juwana tidak
menunggu terlalu lama. Sesaat kemudian tubuh Kumbang Emas ambruk ke tanah.
Setelah berkelojotan meregang nyawa sebentar dia tidak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Tewas!
Sangga Juwana menghampiri.
Dibersihkannya batang pedangnya yang berlumuran darah, dengan cara
menggosok-gosokkannya pada pakaian Kumbang Emas. Baru setelah itu, dimasukkan
kembali ke dalam sarungnya.
Trek!
Sangga Juwana menatap wajah Ki
Sancaka, Ki Waringin, dan Arya serta wanita berpakaian hijau. Wajah- wajah
mereka tampak menyiratkan kegembiraan at as kemenangannya.
"Kau hebat, Sangga!
Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa mengalahkan Kumbang Emas. O ya, dari
mana ilmu-ilmu hebat itu kau
dapat? Dan mengapa kau tidak memberitahukannya padaku?" sambut Ki Waringin
ketika Sangga Juwana telah berada di dekatnya.
"Ah! Semuanya karena
bantuan Arya, Guru," jawab Sangga Juwana, gembira. "Terima kasih atas
pertolonganmu, Arya."
"Lupakanlah, Sangga!
Bukankah sekarang kita telah menjadi sahabat? Di antara sahabat, mana bisa ada
sikap sungkan-sungkan?" kalem jawaban yang keluar dari mulut Arya.
Ki Waringin dan Ki Sancaka
saling berpandangan. Jadi, benar. Rupanya Dewa Arak-lah yang telah membantu
Sangga Juwana, dengan memberi petunjuk dari jauh. Tapi, mengapa bibir Arya
tidak berkemik-kemik sama sekali?
"O ya, Arya. Bagaimana
caranya sehingga kau bisa mengirimkan suara padaku tanpa ada orang lain
mendengarnya?" tanya Sangga Juwana, ingin tahu.
Meskipun hanya laki-laki
berkumis tebal itu saja yang mengajukan pertanyaan, tapi secara diam-diam Ki
Sancaka dan Ki Waringin pun
memasang kuping. Mereka rupanya juga ingin tahu jawaban yang akan diberikan Dewa Arak. Hanya seorang saja yang
tidak peduli terhadap masalah yang diributkan keempat orang itu, yakni wanita
berpakaian hijau.
"Aku menggunakan ilmu
mengirimkan suara dari jauh, Sangga," jawab Arya jujur. "Dengan ilmu
itu, aku bisa mengucapkan sesuatu terhadap orang yang kutuju, tanpa ada orang
lain yang mendengarnya."
"Ah...!" desah
Sangga Juwana penuh kagum.
"Luar biasa...!"
"Tapi, mengapa tadi kami
lihat bibirmu tidak bergerak-gerak, Arya?" desak Ki Waringin bernada penuh
harap.
Arya hanya tersenyum.
"Tanda seperti itu hanya
akan nampak pada orang yang belum terlalu tinggi tingkat ilmu mengirim suara dari
jauhnya, Ki," jelas Arya, tanpa bernada menggurui.
Hampir bersamaan, Ki Sancaka
dan Ki Waringin mengangguk-anggukkan kepala. Perasaan kagum mereka terhadap
Dewa Arak menjadi semakin mendalam. Karena, jawaban tadi membuktikan kalau
pemuda berambut putih keperakan itu telah memiliki ilmu mengirimkan suara dari
jauh yang hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
"Bagaimana kalau kita
lanjutkan perjalanan lagi, Ki?" tanya Arya untuk mengalihkan persoalan.
"Boleh," jawab Ki
Waringin, singkat "Tapi..., apa tidak lebih baik kalau kita kembalikan
wanita itu ke tempatnya lebih dulu?"
Hampir bersamaan Arya, Ki
Sancaka, dan Sangga Juwana menganggukkan kepala. Jelas, mereka semua menyetujui
usul Ki Waringin.
Tanpa diminta, Sangga Juwana
segera menghampiri wanita berpakaian hijau itu.
"Siapa namamu, Nisanak?
Kalau aku, Sangga Juwana. Panggil saja aku Sangga," tanya l aki-laki
berkumis tebal itu.
"Namaku Sarini,"
jawab wanita berpakaian hijau, malu-malu.
"Sarini? Sebuah nama yang
bagus," puji Sangga Juwana sambil menatap wajah Sarini.
Karuan saj a wajah Sarini jadi
merah. Jelas dia merasa malu mendapat pujian seperti itu. Wajahnya yang sudah
cantik, jadi semakin menarik seiring memerah wajahnya.
"Kini kau telah selamat,
Sarini," kata Sangga Juwana yang diam-diam mengagumi kecantikan Sarini.
"Sekarang, kami akan mengantarkanmu kembali ke tempat tinggalmu. Bisa kau
beritahukan tempat tinggalmu?"
"Desa Sintang,"
jawab Sarini.
"Desa Sintang?!"
ulang Sangga Juwana, gembira. "Mengapa bisa begitu kebetulan. Kami sendiri
tengah menuju ke sana."
"O ya, Sangga?!"
Sarini tampak terkejut juga. " Apakah ada urusan penting yang membuat
kalian hendak menuju ke desaku?"
berani. Kini Sarini sudah
bisa berbicara agak
banyak. Mungkin sikap Sangga
Juwana-lah yang membuatnya jadi
"Kami memang mempunyai keperluan di sana,"
jawab Sangga Juwana apa adanya. "Kami tengah mencari tempat tinggal orang
yang bernama Juragan Dursana. Dan.... Hey! Kau..., kenapa, Sarini?!"
Sangga Juwana terpaksa
menghentikan ucapannya ketika melihat wajah Sarini mendadak berubah.
Keterkejutan yang amat sangat
tampak jelas pada raut wajah gadis itu.
Bukan hanya Sangga Juwana saja
yang menjadi heran melihat perubahan hebat di wajah wanita berpakaian hijau
itu. Dewa Arak, Ki Sancaka, dan Ki Waringin pun merasa heran juga. Namun dengan
pandainya, mereka menyembunyikan perasaan itu hingga tidak tampak pada wajah.
Meskipun demikian, ketiga orang itu
tidak ingin ikut campur. Mereka
membiarkan saja Sangga Juwana yang mencoba menyelesaikan masalah itu.
"Aku tidak apa-apa,
Sangga," jawab Sarini sambil menyunggingkan senyum. Jelas, wanita
berpakaian hijau ini bermaksud menimbulkan kesan seolah-olah benar-benar tidak
mengalami apa pun.
Tapi Sangga Juwana orang yang
telah berpengalaman. Dia tahu, nama Juragan Dursana mempunyai arti bagi Sarini.
Itulah sebabnya, mengapa gadis itu merasa terkejut bukan kepalang ketika Sangga
Juwana menyebut nama tokoh penting di Desa Sintang itu.
Meskipun demikian, Sangga
Juwana memilih bertindak bijaksana. Maka, Sarini sama sekali tidak dipaksa
untuk menjelaskan mengenai Juragan Dursana. Bahkan sikapnya seolah-olah tidak
mengetahui keterkejutan Sarini.
"Syukurlah kau tidak
apa-apa. Aku khawatir sekali tadi, barangkali kau jatuh sakit?" Sangga
Juwana
mencoba mengalihkan persoalan.
"Mungkin kau benar,
Sangga. Memang tadi aku merasa sedikit pusing," sambut Sarini cepat.
Rupanya, kini dia sudah mendapatkan alasan untuk menutupi keterkejutan hatinya.
"Tapi sekarang, sudah agak sembuh."
"Syukurlah," hanya
itu yang diucapkan Sangga Juwana.
Suasana menjadi hening sejenak
ketika laki-laki berkumis tebal itu tidak berkata-kata lagi. Memang, Sarini pun
tidak bersuara lagi.
"Sebenarnya..., apa
urusanmu dengan Juragan Dursana, Sangga?" tanya Sarini memecahkan
keheningan yang terjadi.
Sangga Juwana tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Sudah diduga kalau gadis itu pasti akan menanyakannya.
Dan itu menunjukkan kalau Sarini ada hubungan dengan Juragan Dursana.
"Sebenarnya, tidak ada
urusan apa pun," jawab Sangga Juwana, jujur. "Kami sebenarnya pun
belum kenal dengan Juragan Dursana. Bahkan mendengar namanya karena orang lain
yang memberitahukannya."
"Kalau tidak ada urusan
apa-apa, mengapa ingin mengunjunginya?" kejar Sarini lagi, tanpa
menyembunyikan perasaan ingin tahunya.
"Kami adalah orang-orang
yang bertugas mengawal barang dengan imbalan bayaran. Dan kedatangan kami hanya
ingin memberitahukan padanya, kalau barang kiriman miliknya telah dirampas
orang. Dan tentu saja kami tidak ingin lepas dari tanggung jawab. Barangkali, kami
bisa mengganti kerugian yang dial ami Juragan Dursana," jawab Sangga
Juwana agak sedikit berbohong.
Arya, Ki Sancaka, dan Ki
Waringin merasa puas mendengar penuturan Sangga Juwana. Mereka sudah khawatir
sekali kalau Sangga Juwana akan mengutarakan apa adanya. Kini, mereka tinggal
menunggu jawaban yang keluar dari mulut Sarini.
Sementara orang yang
ditunggu-tunggu untuk berbicara, masih terdiam. Tarikan wajahnya masih
menyiratkan kebimbangan.
"Sepengetahuanku...,
Juragan Dursana jarang dikirimi barang...," sahut Sarini ragu-ragu.
"Hhh...!"
Sangga Juwana menghela napas
berat.
"Sebenarnya..., siapa
pemilik barang itu kami tidak tahu, Sarini. Yang jelas, ada orang yang membayar
kami untuk mengirimkan barang itu kepada Juragan Dursana di Desa Sintang.
Karena kami tidak tahu alamat pengirim barang itu, yahhh..., terpaksa kami
bermaksud memberitahukannya kepada orang yang menjadi tempat tujuan barang
kiriman," jelas Sangga Juwana, panjang lebar.
"Jadi..., begitu
kiranya?" Sarini mulai mengerti.
"Benar, Sarini. Kau bisa
memberitahukannya pada kami, di mana tempat ringgal Juragan Dursana?"
Sarini menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mari kita
berangkat sekarang," ajak Sangga Juwana.
Maka rombongan kecil itu kini
berangkat menuju Desa Sintang. 4
"Apa kalian tidak salah
alamat?"
Sebuah pert anyaan bernada l
esu terdengar dari dalam sebuah rumah besar dan terkurung pagar kayu bulat
tinggi. Suara itu ternyata berasal dari sebuah ruang tengah yang cukup luas. Di
sana, tampak duduk bersila enam sosok
tubuh. Lima laki-laki, dan seorang wanita. Sedangkan yang berbicara tadi
ternyata seorang laki-laki set engah baya. Pakaian mewah dan indah, membungkus
tubuhnya yang berperut buncit.
Usai berkata demikian,
laki-laki berpakaian mewah itu mengedarkan pandangan berkeliling, ke arah empat
sosok tubuh di depannya. Sedangkan di sebelahnya adalah gadis berpakaian hijau
yang memang Sarini. Sementara empat sosok tubuh yang duduk di hadapannya, tak
lain dari Arya, Ki Sancaka, Ki Waringn, dan Sangga Juwana.
"Aku yakin tidak salah,
Dursa," jawab Ki Waringin, mantap. "Meskipun sudah tua, pendengaranku
tidak kalah dengan orang muda. Jelas sekali kalau pemilik barang itu meminta
agar barangnya diantar ke tempat tinggal Juragan Dursana, di Desa Sintang.
Bukankah kau yang bernama Juragan Dursana?"
"Kuakui, aku yang bernama
Juragan Dursana," jawab laki-laki berperut buncit itu. "T api secara
jujur kutegaskan, aku tidak tahu-menahu mengenai adanya barang kiriman itu
untukku."
"Lalu kalau bukan...,
mengapa minta dikirimkan ke alamat Ayah?" celetuk Sarini.
Sangga Juwana, Ki Sancaka,
Arya, dan Ki Waringin menatap ke arah Sarini. Pertanyaan gadis berpakaian hijau
yang ternyata putri Juragan Dursana itu membuat benak mereka berputar.
Sementara itu, Juragan Dursana
yang mendapat pertanyaan itu langsung mengangkat bahu. "Mana aku tahu,
Sarini?" laki-laki berpakaian mewah itu malah balas bertanya.
"Siapa tahu ada kawan
baik Ayah yang ingin memberi hadiah?" kata Sarini lagi. Juragan Dursana
menggelengkan kepala.
"Sepengetahuanku..., aku tidak
pernah mempunyai kawan seorang wanita muda. Apalagi, yang mempunyai ciri-ciri
seperti itu," bantah Juragan Dursana.
Memang, Ki Waringin telah
menceritakan pada Juragan Dursana tentang orang yang telah mengirimkan
barang.
Ki Sancaka, Ki Waringin, Arya,
dan Sangga Juwana yang memperhatikan tanya jawab anak beranak ini,
langsung berpandangan satu
sama lain. Mereka semua yakin, Juragan Dursana sama sekali tidak terlihat
mengenai barang yang kabarnya berisi kepala tokoh sesat yang tewas seratus lima
puluh tahun lalu. Buktinya, raut wajah laki- laki berperut buncit itu
menyiratkan kesungguhan yang amat sangat.
"Juragan...," ucapan
Arya membuat Sarini men-urungkan niatnya untuk bertanya lagi.
"Hm...," laki-laki berpakaian mewah itu meng-gumam pelan sambil
menoleh.
Jelas, Juragan Dursana ingin
mengetahui hal yang ingin dikatakan Arya. Bahkan, bukan hanya Juragan Dursana,
tapi juga semua orang yang berada di situ. Tak terkecuali Sarini. Sikap tenang
Dewa Arak itulah yang membuat orang ingin tahu hal yang akan dikatakannya.
"Kurasa, ada
ketidakberesan dalam masalah ini," lanjut Arya ketika semua pasang mata t
elah tertuju ke arahnya.
"Maksudmu bagaimana,
Arya?" tanya Juragan Dursana, masih belum mengerti.
Laki-laki berperut buncit ini
memang tel ah mengenal nama empat orang t amunya, karena mereka telah saling
memperkenalkan diri sebelumnya.
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Pandangannya beredar ke arah wajah-wajah di sekelilingnya. Tampak di wajah Ki Waringin
dan Ki Sancaka sama sekali tidak tampak raut kebingungan. Jelas, kedua kakek
itu sudah mengerti maksud pembicaraannya.
"Kami sudah yakin,
Juragan tidak terlibat dalam masalah ini. Dan kami minta maaf, karena telah
mengganggu isrirahat Juragan."
"Ah! Sama sekali tidak,
Arya," sahut Juragan Dursana cepat. Kedua tangannya digoyang-goyangkan
untuk
lebih menjelaskan kenyataan
kalau dia sama sekali tidak merasa terganggu. "Aku justru merasa senang
atas kehadiran kalian. Aku berkata sejujurnya. Tanpa kehadiran kalian, aku
tidak bisa membayangkan hal yang t erjadi pada putriku. "
"Ah! Lupakanlah itu,
Juragan. Bukankah orang hidup memang harus saling tolong-menolong. Lagi pula,
bukan tidak mungkin suatu saat nanti Juragan atau Sarini yang akan ganti
menolongku," sambut Sangga Juwana
cepat.
Arya, Ki Sancaka, dan Ki
Waringin menoleh menatap Sangga Juwana. Arya dengan alis berkernyit, sementara
Ki Waringin dan Ki Sancaka dengan bibir tersenyum. Dua tanggapan yang berbeda
ini terjadi akibat mendengar j awaban Sangga Juwana atas ucapan terima kasih
yang disampaikan Juragan Dursana. Arya bingung karena perasaan dia pernah
mendengar perkataan seperti itu, tapi sayangnya lupa kapan dan di mana
mendengarnya. Sedangkan Ki Waringin dan Ki Sancaka merasa geli, karena
mendengar Sangga Juwana mengulang perkataan Arya. "Tapi merupakan
perbuatan yang wajar pula kalau kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan
kalian.
Coba bagaimana tanggapanmu
kalau..., misalkan..., aku kau tolong, tapi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Bagaimana?" debat Sarini.
"Ini..., ini...,"
Sangga Juwana kebingungan. Dan untuk beberapa saat lamanya, dia hanya
mengucapkan kata-kat a yang tidak jelas maksudnya.
"Nah! Percaya tidak? Biar
bagaimanapun juga, basa-basi itu perlu, Sangga," ujar Sarini, bernada
menang ketika melihat Sangga Juwana sama sekali tidak bisa berbuat apa pun.
Bahkan hanya diam saja tanpa tahu harus berbuat apa.
Ki Sancaka, Dewa Arak, dan Ki
Waringin hanya tersenyum lebar melihat Sangga Juwana sama sekali tidak mampu
membalas bantahan gadis berpakaian hijau itu.
"Sudahlah, Sarini. Kau
ini keterlaluan sekali sampai menggoda orang," t egur Juragan Dursana,
merasa
tidak enak hati.
Sarini pun diam, dan tidak
berkata-kata lagi. Tampak jelas kalau gadis berpakaian hijau ini adalah gadis
yang patuh.
"O ya, Arya," kata
Juragan Dursana sambil menatap pemuda berambut putih keperakan itu lekat -lekat
Rupanya, dia masih ingin
melanjutkan pembicaraannya yang terputus tadi. "Ada apa, Juragan?"
tanya Arya.
"Entah mengapa...,
akhir-akhir ini para penjahat kembali berani melancarkan undak kejahatannya. Di
desa ini saja, hampir setiap hari terjadi kekacauan yang disebabkan orang-orang
aliran hitam itu Ah, aku ingat!"
Juragan Dursana t ersentak.
Dia tercenung beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya kembali. Sementara, Arya dan
rombongan yang sempat terkejut melihat sikap laki-laki berpakaian mewah itu hanya menunggu dengan
sabar.
"Aku ingat sekarang.
Semakin mengganasnya tindakan orang-orang aliran hitam itu semenjak adanya
kabar di dunia persilatan. Kabar mengenai sebuah perkumpulan pengawalan barang
yang membawa kepala tokoh sesat. Bahkan tokoh sesat yang sudah meninggal dunia
seratus lima puluh tahun lalu. Ya! Sejak saat itulah di sana-sini terjadi
kekacauan."
Juragan Dursana menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas.
"Untung saja, Desa
Sintang banyak memiliki tokoh aliran putih. Dan merekalah yang meredam tindak
kejahatan tokoh-tokoh aliran hitam itu."
Kembali Juragan Dursana
menghentikan ceritanya. Kali ini, untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak
kering. Sementara, Arya dan yang lain tetap diam mendengarkan.
"Dalam keadaan tidak aman
seperti itu, Sarini sudah kularang untuk bermain jauh. Tapi, tetap saja aku
kecolongan. Kumbang Emas telah
menculiknya tanpa diketahui. Hhh...! Untung saja ada kalian. Kalau tidak.
"
Sarini bergidik ngeri ketika
teringat kembali akan Kumbang Emas. Sudah bisa dibayangkan, nasib apa yang akan menimpanya.
Sementara itu, Ki Waringin
berdehem ketika suasana tel ah hening, karena tidak ada yang membuka suara
lagi
"Karena tidak ada lagi
yang dapat kami lakukan di sini, kami ingin pamit saja, Dursa," kata Ketua
Perguruan Harimau Terbang itu
seraya bangkit berdiri.
Juragan Dursana tahu, tidak
akan ada gunanya lagi membujuk. Maka rombongan Ki Waringin diantarkannya sampai
pintu pagar rumahnya.
***
"Auuunggg...!"
Lolong anjing hutan mengaung
panjang mengusik kesunyian malam. Bulan sepotong yang ada di langit semakin
menambah keseraman suasana malam ini.
Dalam siraman sinar rembulan,
tampak dua sosok tubuh bergerak cepat menuju Gunung Bubat. Gerakan mereka gesit
bukan main, sehingga yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan yang bergerak
cepat mendaki lereng. Kalau saja ada penduduk yang melihat, tentu akan mengira
sebagai hantu-hantu yang tengah bergentayangan.
Lincah laksana kera, dua sosok
bayangan itu bergerak mendaki l ereng. Sesekali, kaki kedua bayangan itu
menotol bebatuan yang menonjol, untuk kemudian melenting ke atas. Lalu, mereka
menotol lagi ke bebatuan, dan melenting lagi. Gerakan dua sosok bayangan itu
baru berhenti ketika telah berada di depan sebuah gua yang garis tengahnya
sekitar satu tombak.
"Jadi di sini kau
menyembunyikannya, Cendani?" tanya salah satu dari dua sosok bayangan itu.
Orang yang dipanggil Cendani
menganggukkan kepala. Ternyata dia adalah seorang gadis cantik berkulit putih
bersih. Rambutnya juga tampak keriting halus.
"Itu pun masih
menggunakan cara kucing-kucingan. Kalau tidak. "
Cendani tidak melanjutkan
ucapannya. Tapi, rupanya sosok bayangan hitam satu lagi, yang ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kurus
dan bergigi tonggos, sudah mengerti. Buktinya dia tidak melanjutkan ucapannya lagi.
Kini mereka berdua melangkah
menuju ke dalam gua itu. Tapi ketika telah berada di ambang gua, kakek bergigi
tonggos itu menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Ki
Ringkul?" tanya Cendani, heran.
Kakek tinggi kurus yang
ternyata bernama Ki Ringkul tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya
wajah Cendani tajam-tajam.
"Kalau aku berhasil
melaksanakan tugasku ini, kau berjanji akan memenuhi permintaanku?" Ki
Ringkul malah balas bertanya.
"Aku janji, Ki,"
jawab Cendani, mantap.
"Bagus! Sekarang hatiku
tenang! Mari kita ke dalam!"
Cendani dan Ki Ringkul pun
melangkah masuk ke dalam gua. Di dalam gua itu, ternyata tidak ada penerangan
sama sekali. Sehingga, suasana tampak gelap. Tapi baik Cendani maupun Ki
Ringkul sama sekali tidak mempedulikannya, dan terus saja melangkah masuk.
Menembus kegelapan yang pekat.
Tapi setelah melangkah
sebanyak lima tindak, Cendani mengambil dua batang kayu dari selipan
pinggangnya. Kemudian kedua batang kayu itu digosok-gosokkannya. Luar biasa!
Hanya beberapa kali gosok, api pun memercik, dan tak lama kemudian sebatang
obor pun menyala.
Seketika itu pula, suasana di
dalam gua itu terang-benderang. Sehingga, kini mereka berdua dapat melangkah
leluasa.
Gua itu ternyata mempunyai
lorong yang panjang dan berliku-liku. Cendani dan Ki Ringkul harus melalui
belokan demi belokan. Entah berapa banyaknya belokan, kedua orang itu tidak menghitungnya.
Yang jelas, mereka menghentikan langkah ketika tel ah berada di sebuah ruangan
yang luas. Ukurannya tak kurang dari enam tombak kali lima tombak.
Ki Ringkul mengedarkan
pandangan ke sekeliling ruangan itu. Tidak ada apa-apa di dalamnya, kecuali dua
buah peti hitam berukir. Yang satu berukuran dua j engkal kali dua j engkal,
sedangkan yang satunya l agi berukuran biasa. Ukurannya seperti layaknya peti
mati manusia dewasa.
"Dari kedua peti itulah
sesosok mayat harus kau bangkitkan, Ki," kata Cendani, setel ah beberapa
saat lamanya membiarkan kakek bergigi tonggos itu memperhatikan seisi ruangan.
"Hm , ya," hanya itu
jawaban yang keluar dari mulut Ki Ringkul.
Kemudian, Ki Ringkul melangkah
menghampiri kedua peti mati itu. Diperhatikannya sejenak, lalu tubuhnya
berbalik kembali. Kemudian, ditatapnya wajah Cendani lekat-l ekat. Dalam
siraman sinar obor, wajah gadis itu terlihat semakin cantik. Tubuhnya yang
terbungkus pakaian berwarna biru tua tampak montok dan menggiurkan. Hal itu
tidak aneh, karena Cendani baru berusia dua puluh tahun.
"Sebenarnya aku takut
melakukannya, Cendani. Apalagi kalau kuingat cerita leluhur-leluhur kita
dulu....
Aku jadi semakin takut saja.
Kalau saja tubuhmu tidak dijadikan upah atas usahaku ini, tak akan nantinya aku
mau melakukannya."
Cendani tersenyum mengejek.
"Dan. , upah yang akan
kuberikan ini tergantung padamu, Ki Ringkul. Kalau kau ingin mencicipi tubuhku
lebih cepat, tentu saja harus
sesegera mungkin memulai tugasmu."
Usai berkata demikian, Cendani
segera meraih bajunya di bagian dada. Brettt!
Baju itu kontan robek lebar.
Tak pelak lagi, dua buah bukit kembar yang berbentuk indah mencuat ke luar.
Kulit dada Cendani yang putih
halus dan mulus tampak mengkilat-kilat terjilat sinar obor.
Ki Ringkul menelan ludahnya
dengan susah-payah. Sementara, sepasang matanya terbelalak menatap dua bukit
kembar yang mencuat ke luar, seperti menatang.
"Kalau kau ingin cepat
menikmatinya, lakukan pekerjaanmu cepat!" tandas Cendani. "Baik...,
baik.... Akan kulakukan segera ," sahut Ki Ringkul terbata-bat a.
Kemudian, kakek bergigi
tonggos itu mengambil buntalan kain hitam yang tergantung di punggungnya, lalu diletakkannya di lantai.
Dan kini perlahan-lahan dibukanya ikatan buntalan itu. Dari dalam buntalan itu,
Ki Ringkul mengeluarkan bermacam-macam benda. Kain lebar berwarna merah
menyala, beberapa obor kecil, bunga tujuh macam, dan air dari tujuh tempat di
dalam guci.
"Padamkan obor itu,
Cendani," perintah Ki Ringkul dengan suara bergetar.
Tanpa banyak membantah,
Cendani segera memadamkan obor itu. Kontan suasana di dalam gua menjadi gelap.
Tidak terlihat apa pun lagi, kecuali kegelapan.
Tapi, hal itu tidak
berlangsung lama. Dan kini Ki Ringkul telah menyalakan obor-obor kecilnya.
Tapi,
terlebih dulu digelarnya kain
berwarna merah menyala itu, yang ternyata lebar juga. Panjangnya tak kurang
dari satu tombak. Sedangkan lebarnya sekitar setengah tombak.
Kemudian, Ki Ringkul
meletakkan obor-obor kecilnya yang berjumlah tujuh buah di sekeliling kain.
Bau- bauan yang aneh menusuk hidung segera t ercium, dan berasal dari obor-obor
kecil itu. Jelas, obor itu bukan obor sembarangan!
Ki Ringkul memperhatikan
sejenak, kemudian dijumputnya sebagian kembang tujuh macam. Kemudian,
ditaburkannya bunga itu di dalam keliling kain berwarna merah. Sementara,
sebagian lagi direndam ke dalam air.
Cendani memperhatikan semua
perbuatan Ki Ringkul tanpa berkedip. Tampak kakek bergigi tonggos itu
menghampiri kedua peti.
Kriiiet!
Suara berderit tajam terdengar
ketika tutup peti mati terbuka. Ki Ringkul langsung menatap isi peti mati
sekilas. Dan seperti yang sudah diduga, di dalamnya terbujur sesosok mayat
tanpa kepala. Agak meremang bulu kuduk Ki Ringkul ketika menyadari kalau mayat
itu tel ah meninggal dunia seratus lima puluh tahun lalu. Tapi anehnya, mayat
itu sama sekali tidak membusuk. Menilik dari keadaan pakaian yang
dikenakan, jelas pakaian
itu telah berkali-kali diganti dengan yang baru.
Dengan tangan agak menggigil,
Ki Ringkul mengeluarkan tubuh mayat tanpa kepala itu. Kemudian dengan
hati-hati, diletakkannya di atas hamparan kain merah.
Untuk pertama kalinya, Ki
Ringkul merasa takut terhadap mayat. Padahal biasanya, tidak ada sepercik pun
rasa takut. Mungkin karena
mayat kali ini lain dari biasanya, kakek bergigi tonggos ini jadi takut.
Kemudian, Ki Ringkul membuka
peti yang kecil. Dari situ, dikeluarkannya sebuah kepala manusia. Dan kini, kepala itu dibawanya ke tempat
mayat tadi diletakkan. Sesaat kemudian, tubuh mayat itu telah disatukan dengan kepalanya.
Walaupun belum menempel, tapi sudah menciptakan ketegangan.
Ki Ringkul lalu duduk bersila.
Perlahan-lahan, sepasang matanya dipejamkan. Mulutnya tampak komat- kamit,
mengucapkan kata-kata yang tidak j elas. Terkadang, suaranya seperti orang
menggumam. Tapi di lain saat, seperti ada sekumpulan tawon yang sarangnya
diganggu.
Semakin lama, ucapan yang
keluar dari mulut Ki Ringkul terdengar semakin keras. Gerakan pada bibirnya pun
semakin cepat Tubuhnya juga mulai menggigil. Semakin lama semakin keras, lalu
kemudian diam. Hal itu terjadi ketika tubuhnya telah menggigil beberapa saat
lamanya.
Tanpa mempedulikan keringat
yang membasahi wajah dan dahinya, Ki Ringkul mengambil guci
yang berisi air dan kembang. Dihirupnya air itu, lalu disemburkannya ke
sekujur tubuh mayat yang terbujur sebanyak tiga kali.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Ki Ringkul. Mulutnya kembali berkomat-kamit mengucapkan
kalimat-kalimat tak jelas pada guci yang telah didekatkan ke bibirnya.
Beberapa saat lamanya Ki
Ringkul berbuat demikian, kemudian air di dalam kendi dituangkannya ke
sekujur tubuh mayat di atas
kain, mulai dari kaki sampai kepala.
Cesss...!
Ajaib! Seperti besi panas
disiram air dingin, tiba-tiba asap putih tebal mengepul ketika ai r kendi itu
menyiram tubuh mayat yang terbaring! 5
Mula-mula hanya sedikit saja
asap yang timbul. Tapi semakin lama, semakin banyak. Bahkan sampai menyelubungi
seluruh tubuh mayat itu.
Ki Ringkul segera bangkit dan
bersilanya, dan melangkah ke belakang. Tapi, dia berdiri di sebelah Cendani.
Wajah kakek bergigi tonggos ini tampak tegang, seperti orang ketakutan.
Perlahan-lahan asap itu
kembali menipis. Semakin lama, semakin sedikit. Sampai akhirnya, tidak tersisa
asap sama sekali. Sekarang, mayat itu kembali terlihat. Tapi, tidak nampak adanya
perubahan sedikit pun pada mayat itu.
Namun sesaat kemudian,
pemandangan yang mencekam hati dan membuat bulu kuduk berdiri pun terjadi.
Betapa tidak? Jari-jari mayat itu tampak mulai bergerak-gerak. Mula-mula pelan
dan kelihatan sulit, tapi kian lama kian cepat dan lancar.
Tanpa sadar, Cendani melangkah
mundur. Sedangkan Ki Ringkul yang lebih tabah, hanya bisa memandang dengan
wajah pucat pasi. Meskipun demikian, pandangan matanya tetap tidak beralih.
Cukup lama juga hal itu
berlangsung. Sampai akhirnya, tiba-tiba tubuh itu bangkit berdiri. Dan ketika
telah tegak, kepalanya yang kelihatan belum menyambung benar, juga tidak
terlepas. Seperti sudah melekat begitu saja!
Wajah Ki Ringkul semakin
memucat. Tanpa bisa dicegah l agi, kedua kakinya menggigil keras. Hal yang sama
juga terjadi pada Cendani. Bahkan gadis itu mengalaminya sejak tadi.
Kedua orang yang berbeda usia
dan jenis itu sama-sama dilanda ketakutan hebat. Apalagi, ketika mendadak....
Tappp!
Kedua tangan mayat itu
bergerak mengusap lehernya yang masih belum tersambung benar. Setelah diusap,
tidak nampak ada t anda-tanda kalau l eher itu bekas buntung. Kulit leher itu
kembali seperti semula, tidak nampak tanda ada sayatan sama sekali.
"Ha ha ha !"
Mayat hidup itu tertawa
terbahak-bahak. Suaranya keras sekali, sampai-sampai membuat dinding-dinding
gua bergetar hebat, seakan-akan akan runtuh! Jelas, tawa itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam.
***
Memang menggiriskan sekali
keadaan mayat itu. Tubuhnya tinggi kurus, laksana tulang t erbungkus kulit.
Tapi, bukan itu yang membuat orang ngeri. Wajahnya yang pucat karena lama t ak
kena sinar matahari itulah yang membuat orang bergidik memandangnya. Demikian
pula sinar matanya. Rasanya, tak pantas dimiliki manusia, melainkan iblis! Begitu
mengerikan!
Setelah puas tertawa, mayat
hidup yang kalau menilik keadaannya berusia tiga puluh lima tahun itu, menatap
Ki Ringkul dan C endani berganti-ganti. Karuan saja hal itu membuat kedua orang
yang sudah sej ak tadi merasa gentar, melangkah mundur tanpa sadar.
"Ha ha ha...! Jangan
takut !" cegah mayat hidup itu. Suaranya terdengar kering dan parau.
"Aku tidak akan
menyakiti kalian. Bahkan aku
merasa bert erima kasih karena kalian tel ah membangkitkan j asadku dari tidur
panjang. Ha ha ha !"
Cendani dan Ki Ringkul dengan
susah payah menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering.
Sementara, mayat yang telah
bangkit itu seperti berpura-pura tidak tahu tentang perasaan yang berkecamuk di
hati Cendani dan Ki Ringkul. Masih dengan tawa tidak putus-putus, kakinya
melangkah menghampiri.
"Namaku Burangrang,"
kata mayat hidup itu memperkenalkan namanya. "Siapa kalian?"
"Aku. , Ki Ringkul,"
jawab kakek bergigi tonggos. Pelan sekali suaranya, hampir tidak terdengar.
"Hm.... Ki Ringkul,"
ulang mayat hidup yang ternyata bernama Burangrang. "Dan kau. Siapa namamu, Anak Manis?"
"Cendani," jawab
gadis berambut keriting itu, tak kalah lirih dengan Ki Ringkul.
Memang, dalam cekaman rasa
takut yang melanda, lidah Cendani dan Ki
Ringkul terasa kelu. Sehingga, sulit mengeluarkan suara.
Burangrang
mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa maksudnya. Hanya laki-laki berwajah
pucat itu
sendiri yang tahu.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Ki Ringkul," ucap Burangrang parau. "Jangan berterima
kasih padaku. Tapi, berterima kasihlah pada Cendani," jawab Ki Ringkul
tanpa sadar.
Perasaan takut yang melanda,
membuat akal sehat Ki Ringkul menguap entah ke mana. Sehingga, ucapan yang
keluar tercetus tanpa sempat terpikir lebih dulu.
"Heh...?! Mengapa demikian?"
tanya Burangrang heran.
Sambil berkata demikian,
Burangrang menatap wajah Cendani dan Ki Ringkul berganti-ganti.
"Karena..., karena akulah
yang menginginkan kau bangkit kembali," jawab Cendani, masih tetap lirih
suaranya.
Jelas, gadis berambut keriting
ini belum mampu menghilangkan rasa takut yang melanda hatinya.
Sepasang alis Burangrang
berkerut dalam, sehingga hampir saja bertautan satu sama lain.
"Mengapa kau menginginkan
aku bangkit dari kematian, Cendani?" desak Burangrang, penuh tekanan.
Cendani membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.
"Karena kau adalah
buyutku," kali ini Cendani mampu berkata lantang. Bahkan gadis itu mampu
membalas
tatapan Burangrang, meskipun
dengan hati kebat-kebit. "Heh...?!"
Burangrang terjingkat ke belakang.
Jelas, ucapan yang dikeluarkan Cendani amat
mengejutkan hatinya. "Aku buyutmu?!" ulang Burangrang sambil
menudingkan jari telunjuk ke dadanya sendiri. "Tidak
kelirukah kau, Cendani?!
Usiaku belum tiga puluh tahun. Dan tidurku tidak lama. Mana mungkin aku
buyutmu?!" "Kau memang buyutku. Kau
telah tertidur selama seratus
lima puluh tahun lebih," jelas Cendani. "Ahhh...!" desah
Burangrang, kaget "Benarkah aku telah tertidur selama seratus lima puluh
tahun?!"
Cendani mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan. Sementara, Ki Ringkul diam saja. Tidak nampak
adanya tanda-tanda kalau kakek bergigi tonggos itu ingin ikut ambil bagian
dalam pembicaraan.
Burangrang tercenung melihat
anggukan kepala Cendani.
"Mungkin kau benar, kalau
aku tertidur lebih dari seratus lima puluh tahun. Tapi, tetap saja aku bukan
buyutmu. Perlu kau ketahui, Cendani. Aku tidak pernah beristri! Jadi, mana
mungkin mempunyai keturunan."
Pelan dan halus Burangrang
mengeluarkan kata-katanya. Padahal, ini bukan tabiat Burangrang. Tapi entah
mengapa, terhadap Cendani dia tidak sampai hati bersikap kasar.
"Kau memang tidak
beristri. Tapi, berapa banyak wanita yang menjadi korbanmu! Dan kakekku, lahir
dari salah seorang wanita yang menjadi korbanmu! Wanita itulah yang
menceritakan kepada kakek, ketika ditanyakan tentang siapa ayahnya," jelas
Cendani.
Kali ini Burangrang tidak bisa
berkata-kata lagi. "Jadi, aku mempunyai keturunan?!" desah
Burangrang, setengah tak percaya.
Ada nada kegembiraan dalam
ucapan Burangrang. Dan memang, sebenarnya Burangrang merasa gembira
bukan kepalang. Bahkan
bercampur bangga karena keturunannya yang berhasil membebaskannya dari tidur
panjang. "Lalu..., mana kakekmu, ayahmu, ibumu, dan seluruh keluargamu,
Cendani?" tanya Burangrang, penuh
gairah.
Wajah Cendani kontan muram.
Karuan saja hal ini membuat Burangrang heran bukan kepalang. Perasaan
tidak enak pun bersemayam di
hatinya. Dia yakin, ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi terhadap
keluarga Cendani.
"Itulah sebabnya, aku
bersusah-payah menempuh bahaya dan penderitaan hanya untuk membangunkanmu dari
tidur panjang," kata Cendani, serak.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Cendani," sahut Burangrang, heran.
"Semua keluargaku tel ah
tiada, tewas dibunuh orang. Kakekku, ayahku, dan saudaraku, dan juga pamanku.
Dan orang satu-satunya yang
dapat membalaskan semua sakit hati ini adalah kau!" jelas Cendani.
Terdengar geraman keras
laksana binatang terluka dari mulut Burangrang. Jelas, laki-laki berwajah pucat
ini dilanda kemarahan hebat.
"Kakek t ewas di tangan R
aja Ular Beracun. Demikian pula halnya ayah," sambung Cendani lagi.
"Paman
tahu kalau tidak gunanya
membalas dendam bila mempergunakan kemampuan sendiri. Kemudian, diusahakannya
untuk mencari tempat disembunyikannya tubuh dan kepalamu. Paman tahu, kau telah
mati. Tapi, dia tahu pula kalau kau bisa bangkit kembali dari kematian. Maka,
dia pun mulai berkelana untuk mencari tempat beradanya tubuh dan kepalamu.
Hampir sepuluh tahun paman berkelana, baru tempat itu ditemukannya."
Cendani menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas.
"Tapi sayang, usaha
penyelidikan paman diketahui tokoh-tokoh aliran putih yang memang mendapat
tugas dari leluhurnya untuk menjaga tubuh dan kepalamu baik-baik."
"Tapi, bukankah tubuh dan
kepalaku ditempatkan di tempat yang t erpisah j auh?!" kejar Burangrang
ingin
tahu. "Paman dipergoki
sewaktu menyelidiki kepalamu. Tapi sebelum ajal menjemput nyawanya, beliau
sempat memberitahukannya padaku. Dan akulah yang meneruskan usahanya. Waktu
mengambil tubuhmu, sama sekali tidak menemui kesulitan. Tapi sewaktu mengambil
kepalamu, sempat terjadi kegemparan. Perbuatanku diketahui mereka. Untung saja,
itu terjadi setelah aku berada jauh dari tempat itu."
"Lalu...?" tanya
Burangrang tidak sabar ketika melihat Cendani menghentikan ceritanya.
"Aku dikejar," sahut
Cendani cepat. "Dan karena khawatir usahaku gagal, segera kucari jalan
untuk membebaskan diri dari kejaran. Maka kudatangilah Perguruan Harimau
Terbang yang menyediakan j asa pengawalan
barang. Lalu, kumasukkan kepala seekor orang hutan dalam peti kecil, dan
kuminta agar dikirimkan ke Desa Sintang. Dan seperti yang sudah kuduga, hal itu
tersebar luas di dunia persilat an. Perguruan Harimau Terbang yang diburu-buru,
baik oleh tokoh aliran hitam, aliran putih, maupun tokoh-tokoh aliran putih
yang bertugas menjaga kepalamu."
Cendani menghentikan ceritanya sebentar.
"Kau cerdik,
Cendani," puji Burangrang. "Tidak memalukan menjadi
keturunanku."
"Akhirnya, kudengar kalau
para pengejarku tewas di tangan Garuda Laut Timur. Syukurlah! Dengan demikian,
aku aman. Dan dengan leluasa, kusembunyikan kepala dan tubuhmu di gua ini. Di
sini beberapa kali kucoba untuk membangkitkanmu dari kematian, tapi gagal.
Karena putus asa, maka kuhubungi Ki Ringkul, sahabat paman," sambung
Cendani, yang kini tidak lagi menggunakan istilah tidur panjang.
"Lalu, kau meminta
pertolongan padanya kan, Cendani?" duga Burangrang tidak sabar.
"Benar," jawab
Cendani. "Tapi sayang, Ki Ringkul tidak bersedia. Namun setelah
kudesak-desak, dia bersedia juga, walau dengan satu syarat."
"Apa syaratnya,
Cendani?" tanya Burangrang sambil melemparkan kening penuh ancaman pada Ki
Ringkul.
Tentu saja Ki Ringkul jadi
takut bukan kepalang. Tapi apa daya? Tempat Burangrang berdiri membuat
jalan keluar jadi terhalang.
Maka, dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali
menunggu perkembangan yang
akan terjadi.
"Dia memintaku agar
menjadi istrinya." "Jahanam!" seru Burangrang keras.
Terdengar suara berkerotokan
keras seperti ada tulang-tulang patah. Padahal, tokoh yang menggiriskan itu
sama sekali tidak berbuat apa-apa. Suara itu timbul karena t enaga dalamnya
mengalir sendiri, akibat kemarahan yang melanda.
Burangrang menatap Ki Ringkul.
Ada hawa maut yang memancar dari sepasang mata yang memiliki sorot menakutkan
itu.
"Lalu..., kau
menyetujuinya?" desak Burangrang, semakin tinggi nada suaranya.
Cendani menggelengkan kepala.
"Kukatakan terus terang,
kalau aku tidak mau! Tapi Ki Ringkul pun berkeras pula dengan keinginannya.
Kami saling silang pendapat. Cukup lama juga, sampai akhirnya aku mengalah. Aku
bersedia memenuhi permintaannya, tapi hanya sehari!"
"Kau..., kau memenuhi
permintaan gila itu, Cendani?!" tanya Burangrang setengah tidak percaya.
"Apa boleh buat!"
desah Cendani "Tidak ada jal an lain lagi untuk membangkitkanmu dari
kematian. Jadi, permintaannya terpaksa kupenuhi"
"Jadi kau..., sudah
"
Burangrang menghentikan
ucapannya di tengah jalan, tidak sanggup untuk menyambung ucapannya lagi.
Cendani menggelengkan kepala.
"Belum," jawab
Cendani. "Menurut perjanjian yang disepakati, apabila kau berhasil bangkit
dari kematian, baru aku akan memenuhi permintaannya."
"Jangan kau penuhi
permintaan gila itu, Cendani!" tandas Burangrang cepat dan keras.
"Aku tidak ingin keturunanku berjodoh dengan orang sembarangan! Hanya
orang yang bisa mengalahkanku yang akan menjadi jodohmu, Cendani!"
"Tapi..., aku sudah
berjanji pada Ki Ringkul. Dan. "
"Perjanjian tidak berlaku
bila salah satu pihak terpaksa melakukannya! Itu pandanganku! Dan kau
keturunanku, Cendani! Dengan demikian, kau harus ikut pula memegang pandanganku
itu! Saat ini juga, perjanjian dengan Ki Ringkul batal!" potong
Burangrang, cepat.
Wajah Cendani dan Ki Ringkul
berubah. Tapi, gadis berambut keriting itu hanya terkejut saja. Tidak demikian
halnya dengan Ki Ringkul. Kakek bergigi tonggos itu kaget bercampur
gentar, karena tahu ada bahaya
besar yang tengah mengancam.
*** Dengan langkah satu-satu,
Burangrang melangkah menghampiri Ki Ringkul. Kakek bergigi tonggos ini memang
sudah sejak tadi ketakutan, karena t ahu ada bahaya besar yang tengah
mengancamnya. Maka ketika Burangrang menghampiri, dia menjadi kalangkabut.
"Ampun..., ampunkan aku.
Kutarik kembali perjanjianku dengan Cendani..., tapi jangan bunuh aku,"
ratap Ki Ringkul terputus-putus, seraya melangkah mundur.
"Tidak semudah itu,
Ringkul!" desis Burangrang. "Tindakanmu sudah keterlaluan! Dan aku
tidak bisa
mengampuninya lagi! Asal kau
tahu saja, Ringkul! Aku tidak pernah mengampuni orang yang berani menghinaku!
Dan perjanjianmu dengan Cendani sama saja penghinaan untukku! Dan balasannya,
mati!"
Sambil berkata demikian,
Burangrang terus melangkah maju. Lambat-lambat saj a kakinya melangkah. Dia
terus mendekati Ki Ringkul yang melangkah mundur.
Tapi baru beberapa tindak, Ki
Ringkul sudah tidak bisa mundur lagi. Bagian belakangnya adalah dinding gua.
Dan kini, punggungnya telah menyentuh dinding itu.
Wajah Ki Ringkul semakin
memucat ketika menyadari keadaan kalau dirinya tidak bisa mundur lagi.
Dengan raut wajah membayangkan ketakutan amat sangat,
ditatapnya Burangrang yang tengah menghampiri.
Bagi Ki Ringkul, satu tindak
Burangrang melangkah mendekati, berarti satu pukulan keras menghantam dadanya.
Jantungnya yang memang sejak tadi sudah berdegup kencang, semakin keras
berdetak. Maka dalam cengkeraman rasa takut yang memuncak, Ki Ringkul jadi
nekat. Dicabutnya golok yang terselip di pinggang.
Srattt!
Sinar terang menyilaukan
berkelebat ketika golok itu keluar dari sarungnya. Lalu....
"Haaat !"
Diiringi pekik melengking
nyaring, Ki Ringkul melompat menerjang. Goloknya dibabatkan ke arah leher
secara mendatar.
Singgg!
Suara mendesing nyaring,
mengawali tibanya babatan golok itu. "Hmh. !"
Burangrang hanya mendengus
melihat serangan itu. Tanpa berusaha mengelak at au menangkis, dibiarkan
saja golok itu meluncur ke
arahnya. Memang, dia bermaksud menerima serangan itu dengan pengerahan tenaga
dalamnya.
Takkk!
Telak dan keras sekali mata
golok itu menghantam sasaran. Tapi akibatnya, senjata itu yang justru terpental
balik seperti membentur sebuah karet kenyal.
"Ukh. !"
Sebuah keluhan tak terasa
keluar dari mulut Ki Ringkul. Tangan yang menggenggam pedang kontan terasa
sakit-sakit. Sementara, leher Burangrang sama sekali tidak terpengaruh.
Jangankan luka, tergores pun tidak.
"Ha ha ha !"
Tawa bergelak Burangrang
menyambuti perasaan terkejut yang melanda hati Ki Ringkul. "Kau boleh
pilih bagian yang paling lunak di tubuhku, Ringkul!" seru Burangrang.
Ada nada kesombongan dalam
ucapan tokoh sesat yang berasal dari masa silam itu. Perasaan yang timbul
karena dirinya merasa jauh
lebih unggul daripada lawannya. 6
Cendani menatap ngeri semua
kejadian di depan matanya. Meskipun bisa dirasakan kalau Burangrang
menyayanginya, namun tetap saja tidak mampu menghilangkan perasaan takut yang
melanda. Sikap maupun tindak- tanduk Burangrang memang membuat orang merasa
ngeri.
Walaupun demikian, gadis
berambut keriting itu tetap saja memaksakan matanya untuk memperhatikan
kejadian yang terpampang di hadapannya.
Tampak Ki Ringkul tengah
kelabakan. Kakek bergigi tonggos itu nampak terpaku di tempat. Namun hal itu
hanya berlangsung sebentar saj
a, karena sesaat kemudian sudah kembali melancarkan serangan. Goloknya
dikelebatkan ke berbagai bagian tubuh Burangrang.
Tak, tak, tak...!
Berkali-kali golok Ki Ringkul
menghantam sasaran. Menusuk, menetak, membacok, dan membabat. Dan itu dilakukan
pada seluruh bagian tubuh Burangrang. Hasil yang didapatkan kakek bergigi
tonggos tidak berbeda dengan sebelumnya. Sia-sia!
"Ha ha ha...!"
Sambil berkacak pinggang,
Burangrang tertawa terbahak-bahak. Hujan serangan golok Ki Ringkul sama sekali
tidak dirasakannya. Padahal, senjata itu bertubi-tubi menghantam berbagai
bagian tubuhnya.
Akhirnya, Ki Ringkul sendiri
yang kelelahan. Napasnya memburu hebat. Memang, dia telah mengerahkan
seluruh kemampuan dalam
serangan itu.
"Sudah selesai, Ringkul?
Sudah puaskah kau melancarkan serangan-seranganmu?" ejek Burangrang.
Memang, Ki Ringkul sudah
menghentikan serangan-serangannya. Napasnya memburu hebat. Bahkan tubuhnya pun
sampai terbungkuk-bungkuk.
"Sekarang
giliranku," ucap Burangrang lagi, sambil melangkah maju bersikap
mengancam.
Ki Ringkul tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Disadari, tidak ada gunanya melakukan perlawanan yang akan
membuatnya lelah sendiri. Oleh karena itu, Ki Ringkul hanya pasrah saja ketika
melihat Burangrang menghampirinya.
Karena perasaan ngeri, Ki
Ringkul tidak berani menentang pandangan mata Burangrang. Malah kepalanya
ditundukkan, untuk menghindari adu pandang dengan Burangrang. Sepasang mata
laki -laki berwajah pucat yang memiliki sorot mata menakutkan itu, membuat
nyalinya ciut!
"He he he...!"
Burangrang tert awa bernada
menyeramkan. Kemudian, tangan kanannya diulurkan ke arah dada Ki Ringkul. Susunan jari-jari tangannya
seperti membentuk totokan jurus 'Bangau'.
Tukkk.
Tubuh Ki Ringkul langsung
terkulai ketika totokan tangan Burangrang menghantam sasarannya. Bagaikan
sehelai karung basah, tubuh kakek bergigi tonggos itu ambruk ke tanah.
Masih dengan tawa yang belum
putus, Burangrang membungkukkan tubuh. Dilihatnya sejenak tubuh Ki
Ringkul yang tergolek tidak
berdaya, dan hanya bisa memperhatikan semua tindakan Burangrang dengan perasaan
ngeri yang mencekam hati.
"Aku membutuhkan
makanan-makanan berkhasiat untuk mengisi perutku yang sudah l ama tidak terisi,
Ringkul! Untung saja, ada kau di sini sehingga aku tidak repot-repot lagi
mencarinya," kata Burangrang, bernada menyeramkan.
Kontan bulu tengkuk Ki Ringkul
berdiri. Terasa ada ancaman yang mengerikan dalam ucapan Burangrang.
Dan perasaan itu bukan hanya
dialami Ki Ringkul saja, tapi juga oleh Cendani.
Usai berkata demikian,
Burangrang mengulurkan tangan kanannya, dengan jari telunjuk dijulurkan.
Sementara, jari-jari tangannya
dilipat ke dalam.
Cendani dan Ki Ringkul
bergidik ngeri ketika melihat kuku panjang dan hitam yang menyembul dari ujung
jari telunjuk Burangrang. Dan kini, kuku yang menyeramkan itu meluncur ke arah
dahi Ki Ringkul.
Tappp!
Kuku jari yang panjang dan
runcing itu telah menempel di dahi Ki Ringkul. Dan ketika Burangrang
mengerahkan sedikit tenaga dalamnya, maka....
Krrrsss!
Dahi Ki Ringkul kontan amblas,
diiringi darah segar yang merembes keluar. Tapi karena Burangrang memang tidak
bermaksud membenamkan kuku jari tangannya dalam-dalam, darah yang mengalir keluar
pun hanya sedikit saja. Ki Ringkul meringis karena menahan perih pada kulit
dahinya. Rasa heran seketika melanda hatinya. "Apa yang hendak dilakukan
Burangrang?" tanya kakek bergigi tonggos dalam hati.
Tapi, Ki Ringkul tidak terlalu
lama dilanda perasaan heran, karena sesaat kemudian j awabannya telah
ditemukan. Rupanya tangan Burangrang seperti hendak membuat guratan yang
digoreskan ke sekeliling kepala Ki Ringkul, secara mendatar. Mulai dari dahi
melewati belakang kepala, dan kembali lagi ke dahi. Sepertinya, Burangrang
ingin membelah kepala Ki Ringkul menjadi dua bagian!
Rasa sakit yang mendera Ki
Ringkul makin luar biasa! Lolong kesakitan yang keluar dari mulutnya telah
menjadi bukti nyata. Keringat sebesar biji jagung pun bermunculan di selebar
wajahnya yang pucat pasi.
Tapi, Ki Ringkul tidak terlalu
lama mengalami penderitaan itu. Karena sebelum Burangrang menyelesaikan
kekejiannya dengan membelah kepala korbanya menjadi dua bagian, kakek bergigi
tonggos itu sudah tidak mampu lagi bertahan. Ki Ringkul tewas sebelum kepalanya
terbelah menjadi dua bagian!
***
Rasa mual yang amat sangat
mendera Cendani ketika t empurung kepala Ki Ringkul bagian at as terpisah.
Hampir saja isi perut gadis
itu keluar.
Kini, di depan mata Cendani
tampak gumpalan benda putih yang menempel di dalam tempurung kepala bagian
bawah Ki Ringkul. Tempurung kepala bagian bawah itu masih bersatu dengan utuh.
Cendani tahu, gumpalan benda putih itu adalah otak Ki Ringkul!
Meskipun perasaan ngeri yang
amat sangat melanda hati, Cendani
memaksakan diri untuk
terus melihatnya. Dia ingin tahu kelanjutan tindakan tokoh yang menjadi
buyutnya itu.
Cendani melihat Burangrang
tertawa terkekeh-kekeh dengan sepasang mata berbinar-binar. Raut
kegembiraan yang amat sangat
tampak jelas terlihat, karena Burangrang memang tidak menyembunyikannya. Atau,
sengaja tidak menyembunyikannya.
Kemudian sambil mengeluarkan
geraman laksana seekor beruang lapar, tangannya diulurkan ke arah gumpalan otak
Ki Ringkul. Tampak hati-hati sekali laki-laki berwajah pucat itu melakukannya.
Sesaat kemudian, gumpalan otak
itu telah berada di tangan Burangrang. Laki-laki berwajah pucat itu
memandanginya sesaat, lalu..., memakannya dengan lahap! Burangrang memakan otak
Ki Ringkul mentah-mentah, dengan penuh nafsu! Seakan-akan, benda putih lunak
itu adalah makanan lezat!
Cendani yang menyaksikan
kejadiannya itu hampir tidak mampu lagi menahan isi perutnya keluar. Rasa mual
yang amat sangat, timbul ketika menyaksikan adegan itu.
Tak lama kemudian, otak Ki
Ringkul telah habis disantap Burangrang, tanpa bersisa sedikit pun! B ahkan
Burangrang sampai menjilat
jilati seluruh jari tangannya hingga licin tandas.
Tapi, tindakan Burangrang
tidak hanya sampai di situ saja. Begitu otak Ki Ringkul telah habis dilahap,
tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini, ke arah perut Ki Ringkul.
Blosss!
Perut Ki Ringkul kontan jebol
ketika tangan kanan Burangrang menghunjam perutnya. Memang, tokoh dari masa
silam itu mengerahkan tenaga dalamnya sewaktu menjulurkan tangannya.
Untuk yang kesekian kalinya,
darah kembali mengalir keluar dari perut Ki
Ringkul yang ambrol. Sedangkan tangan Burangrang terus
saja menerobos masuk ke dalam perut. Dan ketika keluar kembali, di tangan
yang berlumuran darah itu telah tergenggam hati Ki Ringkul.
Tanpa merasa jijik sama
sekali, Burangrang memakan lahap hati yang masih berlumuran darah itu. Tak
dipedulikannya sama sekali darah yang mengotori wajah dan pakaiannya.
Sementara itu, Cendani yang
masih nekat memperhatikan, kali ini tidak sanggup lagi bert ahan. Tanpa
mampu dicegah lagi, isi
perutnya keluar. "Huakhhh...!"
Tubuh Cendani
terbungkuk-bungkuk ketika isi perutnya keluar. Karuan saja suara muntah-muntah
gadis itu terdengar Burangrang. Tanpa menghentikan kesibukannya, kepala
laki-laki berwajah pucat ini pun menoleh ke belakang. Memang, saat itu Cendani
berada di belakang Burangrang.
"Mengapa, Cendani?"
tanya Burangrang, pelan tapi bernada teguran.
"Aku tidak tahan melihat
kelakuanmu," kata Cendani sambil mengangkat wajah. Suara itu terdengar
cukup lantang, meskipun wajah Cendani masih pucat pasi. "He he
he...!"
Sambil masih tetap
menggeragoti hati Ki Ringkul, Burangrang tertawa terkekeh. "Masih bisa
kumaklumi ucapanmu, Cendani. Tapi apabila tel ah mencoba mencicipi
makanan-makanan berkhasiat ini, aku yakin kau akan ketagihan. Dan yang pasti,
kau akan meninggalkan makanan-makanan yang biasa kau makan," ujar
Burangrang bernada yakin.
"Hal itu tidak akan
mungkin terjadi!" tandas Cendani mantap.
"Kita lihat saja
buktinya, Cendani," sambut Burangrang sambil memasukkan potongan hati Ki
Ringkul yang terakhir ke dalam mulutnya.
Cendani sama sekali tidak
menyambuti ucapan Burangrang. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya
kuat-kuat untuk menghilangkan sisa rasa mual yang masih bersarang.
"Apakah kau bersedia
membantuku, Buyut?" tanya Cendani setelah perasaan mualnya lenyap.
"Maksudmu..., membalas dendam, Cendani?"
Cendani menganggukkan kepala
pertanda membenarkan dugaan buyutnya.
"Tentu saja,
Cendani!" tegas Burangrang. "Akan kubalaskan sakit hati keturunanku!
Katakan, siapa saja orang yang harus kubunuh!"
"Seperti yang telah
kuceritakan sebelumnya, orang pertama adalah Raja Ular Beracun!" tandas
Cendani.
Sepasang mata gadis berambut
keriting itu tampak memancarkan sorot kebencian ketika mengucapkan kata-kat a
terakhir. Jelas, perasaan dendam yang melanda hatinya sangat besar.
"Kalau begitu, tunggu apa
lagi? Mari kita satroni tempatnya!" sambung Burangrang, cepat.
Kontan wajah Cendani
berseri-seri. Dia yakin, dengan perantaraan buyutnya, dendam yang membara di
hatinya dapat terlampiaskan. Memang, kesaktian leluhurnya ini sudah lama
terdengar telinganya.
Sesaat kemudian, dua tokoh
yang berasal dari zaman yang berbeda jauh itu segera melesat meninggalkan
tempat itu. Tak mereka
pedulikan mayat Ki Ringkul yang tergolek diam di tanah, tanpa bentuk lagi.
***
Matahari sudah berada di ufuk
Barat. Bias-bias kemerahan telah tampak di kaki langit, tempat bola raksasa itu
terbenam. Hari telah petang. Tak lama lagi persada akan diliputi kegelapan. Dan
sang Dewi Malam pun akan memulai tugasnya, menyorotkan sinarnya untuk menguak
kepekatan malam.
Dalam suasana yang sebentar
lagi akan diselimuti kegelapan, tampak berkelebatan empat sosok bayangan.
Mereka semuanya menuju ke arah sebuah bangunan cukup besar yang terkurung pagar
kayu bulat tinggi. Di bagian atas pintu gerbang itu tergantung sebuah papan
tebal berukir yang bertuliskan, Perguruan Harimau Terbang.
Karena gerakan empat sosok
tubuh itu rat a-rata cepat, sehingga sukar mengenali mereka. Yang terlihat
hanyalah warna pakaian yang dikenakan. Itu pun tidak terlalu j elas. Satu sosok
mengenakan pakaian ungu, dua sosok mengenakan pakaian putih, dan satu sosok
lagi mengenakan pakaian coklat. Sudah bisa diduga, siapa empat sosok bayangan itu.
Ya! Mereka tak lain adalah Arya, Ki Sancaka, Sangga Juwana, dan Ki Waringin!
"Aneh...," kata Ki
Waringin tanpa menghentikan larinya. "Mengapa di dalam perguruan tampak
terang?"
Ki Sancaka, Arya, dan Sangga
Juwana saling pandang, tanpa menghentikan larinya. Sorot keheranan memancar
pada pandangan mata mereka semua. Memang, sejak kedatangan Garuda Laut Timur,
Ki Waringin telah menyuruh semua pelayan di Perguruan Harimau Terbang untuk
segera meninggalkan tempat itu. Dia tidak ingin mereka menjadi korban. Dan
memang, sebelum keberangkatan Ki Waringin dan rombongan ke Desa Sintang, para
pelayan itu sudah meninggalkan tempat ini. Tapi, mengapa bagian dalam perguruan
tampak terang?
"Mungkin ada pelayan yang
kembali lagi, kemudian menyalakan obor ketika bagian dalam perguruan dilihatnya
gelap, Guru?" sambut Sangga Juwana, terengah-engah.
"Mudah-mudahan dugaanmu
benar, Sangga," hanya itu jawaban yang diberikan Ki Waringin.
Ki Sancaka, Arya, dan Sangga
Juwana tahu kalau Ki Waringin merasa tidak yakin akan dugaan tadi. Kata- kata,
maupun nada suaranya tel ah menjelaskan kenyataan yang telah terjadi. Namun
meskipun demikian, tidak ada lagi yang mengajukan dugaan. Karena memang mereka
sama sekali tidak tahu hal yang tengah terjadi.
Yang dilakukan keempat orang
itu adalah terus melanjutkan langkah, agar bisa secepatnya mengetahui hal yang
tengah terjadi. Maka, sesaat kemudian mereka telah berjarak tiga tombak dari
pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang.
"Hati-hati, Ki,"
seru Arya.
Pemuda berambut putih keperakan
itu terpaksa berkata demikian ketika melihat Ki Waringin hendak menerobos
masuk.
Ucapan Arya seketika
menyadarkan Ki Waringin akan kecerobohan tindakannya. Bukan tidak mungkin kalau
di dalam perguruan telah siap tokoh-tokoh persilatan yang akan menurunkan t
angan j ahat, apa-bila dia telah berada di dalam. Maka, langkahnya pun segera
dihentikan.
"Terima kasih atas
peringatan yang kau berikan, Arya," ucap Ketua Perguruan Harimau Terbang
itu. "Lupakanlah, Ki," sambut Arya cepat
"Kalau menurut perhitunganku...,"
Ki Sancaka angkat bicara. "Rasanya tidak mungkin ada serangan dari orang
yang berada di dalam, Arya!"
Sangga Juwana, Arya, dan Ki
Waringin mengalihkan pandang.
"Dugaanmu sama sekali
tidak salah, Ki," sambut Arya sambil tersenyum lebar. "Memang, aku
yang terlalu hati-hati."
Sangga Juwana menjadi bingung.
"Mengapa kau yakin kalau
dugaan Ki Sancaka benar, Arya?" tanya Sangga Juwana, bingung. Memang,
laki-laki berkumis tebal ini belum mengerti maksud pembicaraan yang terj adi.
"Menurut perhitungan,
tidak mungkin orang yang berada di dalam akan melancarkan serangan, apabila
kita
berada di dalam. Kau tahu,
mengapa?" Arya malah balas bertanya. Sangga Juwana menggelengkan kepala
pertanda tidak tahu.
"Kalau orang yang berada
di dalam hendak membokong orang yang hendak masuk ke dalam dengan serangan
mendadak, mengapa mesti menyalakan lampu?" jelas Ki Waringin berapi-api.
Sangga Juwana
mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Tapi kan..., bisa saja
orang itu terlupa. Atau sengaja memperliihatkan keberadaannya agar orang
menjadi lengah?" bantah Sangga Juwana.
"Itu hanya kemungkinan
kecil saja, Sangga," seiak Ki Sancaka cepat
"Apa yang dikatakan Ki
Sancaka tepat sekali, Sangga," sambung Arya. "Terjadinya serangan
dari orang yang berada di dalam terhadap
orang yang masuk, merupakan kemungkinan yang amat kecil."
"Kalau begitu, mengapa
kau menyuruh guruku berhati-hati, Arya?" kejar Sangga Juwana penasaran.
Arya tersenyum.
"Seperti yang sudah
kukatakan tadi, aku memang mempunyai sikap demikian. Selalu berhati-hati,
bahkan cenderung terlalu berhati-hati. Mungkin dikarenakan seringnya aku
bertemu kelicikan-kelicikan dalam petualanganku," urai Arya members
penjelasan.
Ucapan Arya terhenti ketika
telah berjarak satu tombak dari pintu gerbang Perguruan Harimau Terbang. Memang
meskipun terlibat percakapan, keempat orang itu terus saja melanjutkan langkah.
Dan kini, mereka tidak berlari seperti semula.
Seperti hendak menunjukkan
kenyataan ucapannya, Ki Sancaka langsung saja melangkah mendahului masuk ke
dalam. Ketiga rekannya sama sekali tidak mencegah, dan hanya saling pandang
sejenak sebelum melangkah mengikuti.
Tapi karena langkah Ki
Waringin, Sangga Juwana, dan Arya tidak seperti langkah Ki Sancaka yang
tergesa-gesa, mereka tertinggal agak jauh. Ki Sancaka telah berada di ambang
pintu gerbang, sedangkan rombongan Ki Waringin masih berjarak setengah tombak
lebih di belakangnya.
Tampak oleh mereka Ki Sancaka
melangkah memasuki pintu gerbang. Dan seperti ucapan yang dikeluarkannya,
kakinya melangkah tanpa sikap waspada sama sekali. Bahkan secara sembarangan
saja.
Wunggg, singgg...!
"Ah...!"
Ki Sancaka menjerit tertahan!
Dia merasa kaget bukan kepalang mendengar desingan nyaring, disusul
berkelebatnya beberapa batang senjata ke arahnya. Satu menyambar leher,
sedangkan yang lain mengancam perutnya!
Serangan itu datang mendadak
sekali. Tambahan lagi, Ki Sancaka tengah berada dalam keadaan tidak siap sama
sekali. Dia tengah melangkah masuk secara sembarangan, akibatnya serangan itu
membuatnya jadi kelabakan bukan main.
Meskipun demikian, sebagai
seorang ahli silat yang t elah ratusan kali bertarung, seluruh otot dan urat
syaraf Ki Sancaka seperti telah mempunyai kemauan sendiri. Maka begitu ancaman
bahaya itu muncul, dengan sendirinya Ki Sancaka langsung bertindak
menyelamatkan diri. Dan gerakan itu tanpa diperintah otaknya lagi, melainkan
langsung begitu saja.
Tukkk!
Kaki Ki Sancaka langsung
menotol tanah. Seketika itu juga, tubuhnya melayang ke atas. Memang inilah
jalan satu-satunya bagi Ketua Perguruan Naga Laut ini untuk menyelamatkan diri.
Namun.....
"Ah...!"
Ki Sancaka menjerit tertahan.
Dia merasa kaget bukan kepalang mendengar desingan nyaring, disusul
berkelebatannya beberapa batang senjat a ke arahnya.
Meskipun tidak sempat melihat
jel as karena cepatnya serangan, tapi ekor matanya sempat melihat adanya
dua sosok bayangan yang
melancarkan serangan ke arahnya. Satu menyambar leher, sedangkan yang lain
mengancam perutnya. 7
Crasss...!
"Aaakh...!"
Ki Sancaka menjerit keras
ketika kedua kakinya terbabat putus sampai sebatas lutut. Darah segar langsung
memancur deras seiring jatuhnya dua potongan kaki Ki Sancaka ke tanah.
Memang, elakan yang dilakukan
Ki Sancaka tadi kurang cepat. Sehingga, walaupun serangan yang menuju perutnya
bisa diel akkan, namun serangan yang menuju ke leher tak mampu dielakkannya.
Tubuhnya belum sempat melayang tinggi, ketika babatan senjata itu akhirnya
menyambar kedua kakinya. Dan akibatnya, kedua kaki Ki Sancaka terbabat putus.
"Sancaka...!"
"Ki...!"
Hampir berbareng, Ki Waringin,
Arya, dan Sangga Juwana berseru kaget melihat kejadian yang menimpa Ki Sancaka.
Bagai diperintah, ketiga orang itu segera melesat ke depan. Masing-masing
berlomba untuk lebih dahulu tiba agar bisa menolong Ki
Sancaka segera.
Sementara Ki Sancaka dengan
kedua kakinya yang telah buntung, terus meluncur ke atas. Baru ketika daya
luncuran habis, tubuhnya pun meluruk turun. Dan selama itu, luka yang keluar
dari kedua kakinya yang buntung terus mengucurkan darah segar.
Sebelum mendarat di tanah, Ki
Sancaka segera bertindak cepat dengan bergegas mengulurkan kedua tangannya.
Kakek berpakaian coklat ini bermaksud mendarat dengan kedua tangannya.
Tappp!
Usaha Ki Sancaka tidak
sia-sia. Kedua t elapak tangannya berhasil mendarat di tanah. Dan dengan
sedikit gulingan, tubuhnya langsung menggelinding di tanah.
Dan ketika telah berputar
kembali, kedua tangannya langsung bergerak cepat menotok jalan darah di kedua
lututnya.
Tuk, tuk, tuk...!
Beberapa totokan beruntun l
angsung dilakukan pada jalan darah di sekitar lutut. Sehingga, cucuran darah
yang mengalir keluar kontan terhenti.
Namun sebelum Ki Sancaka
sempat berbuat se suatu, dua orang penyerangnya telah kembali menyerbu.
Senjata-senjata di tangan mereka langsung dikelebatkan ke arah berbagai bagian
tubuh Ki Sancaka yang mematikan. Wajah Ki Sancaka kontan pucat ketika menyadari
kenyataan sulit itu. Maka, jalan satu-satunya adalah menangkis.Tapi menangkis
menggunakan kedua tangan telanj ang terhadap dua senjata yang digerakkan dengan
tenaga dalam cukup tinggi, justru akan membuat tangannya buntung. Dan memang,
tingkat t enaga dalam yang
dimiliki Ki Sancaka belum
mampu memapak serangan senjat a tokoh persilatan dengan tangan kosong.
Di saat gawat bagi keselamatan
Ki Sancaka, tiba-tiba melesat sesosok bayangan ungu yang langsung saja memapak
serangan senjata dua orang penyerang Ki Sancaka, menggunakan tangan kosong.
Tak, tak, tak...!
Suara berderak keras terdengar
ketika tangan dan golok berbenturan. Dan akibatnya, tubuh kedua orang penyerang
Ki Sancaka langsung terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan sosok bayangan ungu
sama sekali tidak terpengaruh.
Sosok bayangan ungu yang tak l
ain dari Dewa Arak itu menatap penuh selidik pada dua orang lawannya. Sedangkan
kedua orang itu tampak tengah tertegun. Rasa ngilu yang mendera kedua tangan,
menjadi penyebab kebingungan mereka.
Kedua orang itu berusia
sekitar empat puluh tahun. Wajah dan bentuk tubuh mereka serupa satu sama lain.
Tapi anehnya, mereka mempunyai kulit tubuh yang saling bertolak belakang.
Yang satu, putih. Sedangkan yang
lain, hitam. Yang lebih aneh lagi, mereka pun mengenakan pakaian yang
sama dengan kulit wajahnya.
"Siapa kalian?! Mengapa
menyerang kawanku?!" tanya Dewa Arak pelan tapi tegas.
Bukannya menjawab pertanyaan
Arya, kedua orang itu malah terlongong. Raut wajah dan sinar mata mereka memancarkan keterkejutan yang
amat sangat
"Kau..., kau.... Bukankah
kau Dewa Arak...?!" tanya orang yang berkulit putih, terbata-bat a.
"Begitulah julukan yang
diberikan orang kepadaku," jawab Arya. "Lalu, siapakah Kisanak
berdua?" "Tidak usah kau tanyakan, Arya!" seru Sangga Juwana
keras. "Aku tahu, siapa kedua orang itu!"
Laki-laki yang berkulit hitam
membalikkan tubuh untuk melihat orang yang berbicara. Di hadapannya tampak
berdi ri dua orang l aki-laki. Yang satu berpakaian warna putih, sedangkan yang
lainnya coklat. Mereka tak lain adalah Ki Waringin dan Sangga Juwana yang tadi
bersama-sama Dewa Arak saling mendahului untuk mencapai tempat Ki Sancaka.
"Kau tahu, siapa mereka,
Sangga?" tanya Arya seraya menatap laki-laki berkumis tebal itu. Sangga
Juwana menganggukkan kepala.
"Dua Dewa Kembar. Yang
satu berjuluk Dewa Hitam. Sedangkan yang satunya Dewa Putih," jelas Sangga
Juwana.
Dewa Arak mengernyitkan dahi.
Sepengetahuannya, kedua orang itu adalah tokoh persilatan aliran putih,
dan amat terkenal di wilayah
Selatan. Kepandaian mereka cukup tinggi. Hanya sayangnya, mereka tidak pernah
mencampuri urusan persilat an. Lalu, mengapa kini mereka menyerang Ki Sancaka?
"Mengapa kalian menyerang
Ki Sancaka?" tanya Arya ingin tahu.
"Siapa pun orangnya yang
bersahabat dengan Ki Waringin, akan kami basmi! Tidak terkecuali kau, Dewa
Arak!" tandas Dewa Hitam keras.
"Mengapa?" kejar
Arya.
"Karena sebentar lagi
akibat tindakan Ki Waringin, akan terjadi bencana di dunia persilatan,"
sahut Dewa Putih yang kelihatannya lebih sabar.
"Maaf. Kurasa kalian
berdua salah paham," ujar Arya hati-hati.
"Tidak!" tandas Dewa
Hitam dan Dewa Putih berbareng. "Kami jelas-jelas mendengar berita itu.
Perguruan Harimau Terbang tel ah membawa barang ki riman yang berupa kepala
Burangrang, tokoh sesat pembawa bencana yang tewas lebih dari seratus lima
puluh tahun lalu!"
Arya tersenyum lebar.
"Kalian salah paham!
Berita itu tidak benar! Kami berempat telah membuktikan ketidakbenaran berita
yang tersiar! Sebenarnya, bukan kepala tokoh sakti yang dlkirim, melainkan
kepala seekor orang hutan! Mungkin ada orang yang ingin menciptakan keresahan
dalam dunia persilatan!" jelas Dewa Arak.
Dewa Hitam dan Dewa Putih
saling berpandangan.
"Bagaimana kalian tahu
kalau kepala itu berisi kepala seekor orang hutan?" tanya Dewa Hitam.
Arya lalu menceritakan
semuanya. Sementara, Dewa Hitam dan Dewa Putih mendengarkan penuh perhatian.
Sekali pun mereka tak menyelak cerita pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara, Ki Waringin tampak
sibuk mengurusi Ki Sancaka yang terluka.
***
"Celaka...!" cetus
Dewa Hitam ketika Dewa Arak mengakhiri ceritanya. "Jangan-jangan, wanita
siluman itu telah mengecoh semua orang!"
"Wanita siluman?"
ulang Arya dengan dahi berkernyit dalam.
"Tentu saja bukan siluman
sungguhan, melainkan seorang manusia seperti kita. Menurut berita yang berhasil
kami peroleh, wanita itu adalah keturunan Burangrang. Hm Dia pasti ingin
membangkitkan leluhurnya
dari kematian," jelas
Dewa Hitam.
Kemudian wajah Dewa Hitam
berpaling ke arah Ki Sancaka yang terbaring dengan kaki buntung, ditemani Ki
Waringin. Lalu, tokoh itu berpaling menatap Dewa Putih. Sementara, yang ditatap
hanya menganggukkan kepala saja.
Sebentar kemudian, Dewa Hitam
dan Dewa Putih menghampiri Ki Sancaka.
"Maafk an kami, Ki.
Sungguh kami tidak tahu kalau ini ternyata siasat wanita itu," ucap Dewa
Hitam.
Ki Sancaka hanya tersenyum
getir. Walaupun dia menyadari kesalahpahaman ini, tapi rasanya berat untuk
memberi maaf. Masalahnya, kedua penyerangnya tidak bertanya lebih dahulu, dan
langsung menyerang.
"Kami berjanji akan
mengobati luka-lukamu, Ki," tambah Dewa Putih.
Ki Sancaka masih diam saja.
Dewa Putih dan Dewa Hitam jadi salah tingkah. Mereka jadi tidak tahu harus
berbuat apa. Sungguh suatu kesalahan bodoh yang baru mereka perbuat kali ini.
Maka sejenak suasana jadi hening.
"Bisa kau ceritakan
sejelas-jelasnya, Dewa Hitam," pinta Ki Waringin yang masih menolong Ki
Sancaka.
Hal itu dilakukan untuk
menghilangkan kekakuan yang terjadi.
Dewa Hitam menatap Ki
Waringin.
"Baik! Kami akan
ceritakan dari awal," Dewa Hitam mengambil keputusan.
Usai berkata demikian,
laki-laki berpakaian hitam ini termenung. Rupanya, dia tengah mencari kata-kata
yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Sejak keturunan sebelum
kami, telah ada kewajiban untuk menjaga sebuah tempat terlarang untuk
didatangi siapa pun. Tempat
itu berisi kepala seorang tokoh sakti angkara murka yang tewas seratus lima puluh
tahun lalu. Burangrang namanya. Maaf, nama tempat itu tidak bisa kami
beritahukan." Dewa hitam menghentikan ceritanya sejenak untuk melihat
tanggapan di antara mereka. Sementara Ki Waringin mengangguk, memaklumi
permintaan maaf Dewa Hitam yang tidak bisa menyebutkan tempat beradanya kepala
Burangrang.
"Kepala Burangrang
digantung di atas langit-langit tempat itu. Maksudnya, agar tak bersentuhan
dengan tanah," sambung Dewa Hitam lagi. "Selama ratusan tahun, tempat
itu aman. Sampai pada suatu saat, ada seorang laki-laki keturunan Burangrang
berusia empat puluh tahun yang mengetahui tempatnya. Untung kami berhasil
membungkam mulutnya untuk selamanya. Tapi entah bagaimana caranya, tahu-tahu
seorang wanita muda yang juga keturunan Burangrang, berhasil membawa l ari
kepala itu. Kami pun mengejarnya karena tidak ingin malapetaka mengerikan
terulang kembali."
Kembali Dewa Hitam
menghentikan ceritanya. Ditelannya ai r liur, untuk membasahi tenggorokannya
yang
kering karena terlalu banyak
berbicara.
Tapi sebelum laki-laki
berpakaian hitam ini melanjutkan cerita, sudah didahului Dewa Putih.
"Sayangnya, pengejaran
yang kami lakukan terlambat. Wanita itu ternyata telah pergi jauh. Maka,
kami pun berpencar untuk mengikuti
jejaknya. Salah seorang dari kami memberi tahukan kalau wanita itu masuk ke
Perguruan Harimau Terbang sambil membawa peti. Dan berita yang kami dapatkan
adalah, wanita siluman itu menitipkan peti pada Perguruan Harimau Terbang.
Maka, rombongan kami pun merencanakan untuk merampasnya. Sebagian menuju ke
tempat asal Burangrang, sedangkan kami berdua menuju tempat persembunyian tubuh
Burangrang, yang memang cukup j auh dari t empat kami. Dan betapa gegernya kami
ketika tahu tubuh Burangrang ternyata telah lenyap!"
Dewa Putih menghentikan ceritanya
untuk mengambil napas. Dan kesempatan itu digunakan oleh Ki Waringin
sebaik-baiknya.
"Apakah wanita yang kau
maksudkan mengenakan pakaian biru, berambut keriting halus, dan berkulit
putih?" tanya Ketua
Perguruan Harimau Terbang ingin memastikan.
Dewa Putih menganggukkan
kepala, pertanda membenarkan dugaan Ki Waringin. "Dialah wanita itu.
Cendani namanya," sambut Dewa Hitam, tak mau ketinggalan.
"Tak kami sangka tel ah
terjadi peristiwa mengerikan. Rombongan yang bertugas mencegat rombongan
Perguruan Harimau Terbang
tewas terbantai bersama-sama tokoh lainnya. Menurut kabar yang berhasil kami dengar, pembunuh itu adalah Garuda Laut
Timur."
"Dari mana kalian tahu,
kalau laki-laki dan wanita itu adalah keturunan Burangrang?" tanya Dewa
Arak ingin tahu.
"Dari berita yang
didapatkan rombongan kami ketika menuju ke t empat asal Burangrang. Bahkan
seorang penganut ilmu hitam di tempat Burangrang tinggal, telah lenyap tanpa
ketahuan kabar beritanya. Kami khawatir kalau kepergian tokoh ahli ilmu hitam itu
berhubungan dengan Burangrang. Bahkan bukan tidak mungkin Cendani yang datang
memintanya untuk membangkitkan Burangrang kembali."
Dewa Hitam menghentikan
ceritanya. Tapi, tidak ada seorang pun yang membuka pembicaraan. Maka Suasana
pun menjadi hening sejenak.
"Andaikata dugaanmu itu
benar, untuk apa Cendani membangkitkan kembali leluhurnya?" tanya Arya
ingin tahu.
Dewa Hitam menarik napas
dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan Arya.
"Semula kami pun merasa
bingung juga. Tapi dari berita yang didapat ketika rombongan kami mendatangi
tempat asal Cendani, kami bisa memperkirakan alasannya. Keluarga Cendani
dibinasakan oleh Raja Ular Beracun. Kalau mengukur kemampuan sendiri, tidak
akan mungkin Cendani bisa mengalahkan Raja Ular Beracun. Jalan satu- satunya
adalah membangkitkan kembali Burangrang Karena, hanya Burangranglah
satu-satunya yang bisa membalaskan sakit hati itu!" jelas Dewa Hitam.
Arya menggangguk-anggukkan
kepala.
"Kalau begitu, bagaimana
kalau kita mendahului Cendani dan Burangrang?" usul Dewa Arak
"Maksudmu..., kita satroni sarang Raja Ular Beracun?" sambut Dewa
Hitam cepat
Arya menganggukkan kepala,
pertanda membenarkan.
"Hal itu pun sudah kami
pikirkan sebelumnya, Dewa Arak. Hanya saja set elah kami pertimbangkan, maksud
itu pun kami urungkan. Apabila Burangrang belum menuju ke sana, akibatnya kami
malah akan bentrok dengan Raja Ular Beracun? Dan itulah yang sama sekali tidak
diinginkan," urai Dewa Hitam.
"Kalau begitu, biar aku
saja yang ke sana," kata Arya. "Kebetulan aku mempunyai urusan dengan
Raja Ular Beracun!"
"Aku ikut, Arya!"
selak Sangga Juwana. Arya menggelengkan kepalanya. "Maaf, Sangga! Bukannya
tidak mengizinkan, t api aku harus bertindak cepat. Maksudku, apabila
Burangrang benar-benar telah bangkit dari kematiannya, dapat segera
kutanggulangi sebelum menelan korban lebih banyak," jelas Dewa Arak.
"Apa yang dikatakan Arya
tidak sal ah, Sangga!" Ki Waringin memberi dukungan pada Arya. "Lebih
baik, kau temani aku mengobati Ki Sancaka!"
"Hhh...!" Sangga
Juwana menghela napas berat. "Kalau demikian, apa boleh buat "
"Benar! Kami juga tetap
akan membantu Ki Waringin untuk mengobati luka-luka Ki Sancaka! Maaf sekali
lagi. Kami benar-benar menyesal atas kejadian yang menimpa Ki Sancaka,"
kata Dewa Putih disertai raut wajah penuh penyesalan.
"Maafk an kami sekali
lagi, Ki Sancaka," ucap Dewa Hitam pula seraya berjongkok di sebelah Ketua
Perguruan Naga Laut itu.
Sementara itu, Dewa Arak tidak
menunggu lebih lama lagi. Setelah berpamitan pada semua orang yang
berada di situ, pemuda
berambut putih keperakan itu melesat cepat. Tujuannya sudah jelas, yakni tempat
kediaman Raja Ular Beracun. Dari Sangga Juwana, Dewa Arak tahu, ke mana harus
pergi. 8
"Ssshhh...!"
Suara desisan tajam terdengar
dari mulut seorang kakek bermata picak. Tubuhnya yang kecil dan kurus,
terbungkus rompi dan celana dari kulit ular.
Kakek itu rupanya tengah berl
atih pernapasan. Tubuhnya membentuk kuda-kuda sej ajar, dengan kedua
tangan tampak menegang penuh
tenaga. Jari-jari kedua tangannya menegang lurus, kaku. "Ssshhh...!"
Seiring keluarnya desisan dari
mututnya, kakek bermata picak yang tak lain dari Raja Ular Beracun itu
menyodokkan tangan kanannya ke depan secara perl ahan-lahan, tapi penuh tenaga.
Lalu setelah semuanya terjulur penuh, tangan kanannya ditarik kembali secara
cepat dan diletakkan di pinggang sambil menarik napas. Kemudian, ganti tangan
kirinya yang dijulurkan. Demikian seterusnya.
Hari masih sangat pagi.
Matahari baru saja muncul di ufuk Timur. Angin yang bertiup pun masih
terasa sejuk di kulit dan nikmat dalam
dada. Dan sepagi itulah, Raja Ular Beracun telah berl atih pemapasan.
Meskipun tengah berlarih,
rupanya kemampuan pendengaran Raja Ular Beracun tetap tidak berkurang.
Terbukti, telinganya menangkap
adanya langkah di balik tembok pelataran tempatnya berlatih. Memang, Raja Ular
Beracun tengah berlatih di halaman samping rumahnya. Dan antara halaman rumah
dengan dunia luar, dibatasi tembok batu setinggi hampir dua tombak! Dan dari
luar itulah suara berasal.
Tapi Raja Ular Beracun sama
sekali tidak mempedulikannya. Dari langkah itu bisa diketahui kalau kepandaian
orang yang berada di luar t embok, tidak perlu ditakutinya. Maka, dia pun terus
saja meneruskan lahhannya.
Raja Ular Beracun bersikap t
enang-tenang saj a sambil menunggu hingga pemilik langkah itu masuk ke dalam.
Ingin diketahuinya, apa yang akan dilakukan orang itu.
Raja Ular Beracun tidak perlu
menunggu terlalu lama, karena sesaat kemudian....
"Hup! Hup!"
Dua sosok bayangan t elah
mendaratkan kakinya di hadapan Raja Ular Beracun, hanya berj arak dua tombak.
Yang seorang mendaratkan kakinya dengan suara terdengar j elas oleh telinga
Raja Ular Beracun. Tapi, tidak demikian halnya dengan sosok tubuh yang satu
lagi. Sepasang kakinya mendarat laksana sehelai daun kering jatuh ke tanah.
Tidak terdengar sedikit pun suara ketika hinggap di tanah. Jelas, ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi
Raja Ular Beracun tidak berani
bertindak sembrono. Buru-buru latihannya dihentikan. Kemudian, ditatapnya dua
sosok tubuh yang berdiri di hadapannya, penuh selidik.
Yang seorang adalah gadis
berambut keriting halus. Wajahnya cantik jelita. Kulit tubuhnya yang putih
halus dan mulus, dibungkus pakaian berwarna biru.
Tapi, Raja Ular Beracun tidak
memperhatikan gadis berambut keriting lama-lama, karena hanya lawan ringan.
Walaupun, tampak ada sorot kebencian yang memancar dari sepasang mata indah dan
bening itu.
Raja Ular Beracun lebih
memusatkan perhatian pada sosok tubuh di sebelah gadis itu. Dia adalah seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya kurus kering seperti seekor cicak
kelaparan. Ada rasa nyeri yang menyelinap di dalam hati kakek berpakaian ular
ini ketika menatap sosok tubuh kurus kering di hadapannya. Sorot matanya memancarkan
kengerian! Rasanya, sinar mata seperti itu tidak akan dimiliki manusia.
Raja Ular Beracun sama sekali
tidak tahu kalau laki-laki yang menumbuhkan rasa takut di hatinya tak lain dari
Burangrang. Walaupun pernah mendengarnya, tapi dia tak pernah melihatnya.
Padahal, tokoh sesat di hadapannya ini kepalanya telah berusaha direbutnya. Dan
memang, dia tidak ingjn tokoh berilmu 'Rawa Rontek' itu bangkit kembali dari
kematiannya. Raja Ular Beracun tahu, kalau Burangrang bangkit kembali dari
kematiannya, kedudukannya sebagai datuk sesat akan bisa tergusur. Alasan yang
sama juga mendorong Garuda Laut Timur untuk merebut kepala Burangrang agar
tidak bisa bersatu kembali dengan tubuhnya.
"Inikah orang yang
berjuluk Raja Ular B eracun itu, Cendani?" tanya Burangrang dengan suara
parau dan serak. kakek!" "Benar, Buyut," jawab Cendani sambil
menganggukkan kepala. "Dialah yang telah membunuh ayah dan Setelah
mendapat pemberitahuan dari Cendani, Burangrang melangkah maju.
"Bersiaplah untuk
menerima kematian, Raja Ular Beracun!" desis tokoh sesat dari masa silam
itu.
Tapi orang seperti Raja Ular
Beracun mana bisa digertak? Apalagi belum pernah melihat orang yang
menggertaknya. Dia malah tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa ngeri
yang melanda hatinya. "Orang seperti kalian ingin merobohkan Raja Ular
Beracun?! Jangan mimpi! Kalian berdualah yang akan kubantai! Dengarkan! Kalian
berdua akan kusiksa sebelum kubunuh karena telah bertindak kurang ajar! Kalian
telah mengganggu latihanku dan juga mengancamku!"
Meskipun tidak mengerti, siapa
ayah dan kakek Cendani yang t elah dibunuhnya, Raja Ular B eracun tidak ingin
memperpanjang urusan itu. Perasaan angkuhlah yang mendorongnya bertindak
demikian.
Burangrang menggeram keras,
hingga terdengar mengerikan sekali! Geraman yang keluar dari mulutnya
seakan-akan keluar dari mulut
seekor binatang buas yang t engah murka. Memang, Burangrang tengah murka bukan
kepalang. Untungnya, meski dalam keadaan seperti itu, dia masih ingat untuk
tidak mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Karena bila hal itu dilakukan,
Cendani pasti akan celaka.
Meskipun demikian, walaupun
hanya mengerahkan sebagian kecil dari tenaga dalamnya, namun toh tetap saja
berpengaruh pada Cendani. Gadis berambut keriting itu cepat mendekapkan kedua
tangannya ke telinga, karena dengungan keras telah menyerangnya.
***
Seiring lenyapnya geraman itu,
Burangrang melompat menerjang Raja Ular Beracun. Kedua tangannya terkembang
membentuk cakar. Dan selagi tubuhnya berada di udara, tangan kanannya bergerak
menyampok kepala Raja Ular Beracun. Arah gerakannya dari atas ke bawah.
Sedangkan tangan kirinya disiapkan di pinggang.
Cittt..!
Suara mencicit nyaring
menyakitkan telinga terdengar ketika cakar itu bergerak menuju sasaran.
Sementara Raja Ular Beracun yang memang sej ak tadi sadar kalau calon lawannya
memiliki kepandaian lihai, tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru dia
melompat ke belakang, sehingga sampokan itu lewat beberapa jengkal di depan
wajahnya.
Luar biasa! Dalam keadaan
tubuh berada di udara seperti itu, Burangrang mampu melancarkan serangan
susulan! Entah bagaimana caranya, tahu-t ahu kaki kanan tokoh sesat dari masa
silam ini tel ah bergerak mengibas. Dan itu dilakukannya sambil membalikkan
tubuh.
Wuttt!!
Kali ini, pelipis Raja Ular
Beracun yang diancam. Menilik dari deru angin keras yang mengawali tibanya
serangan, bisa diperkirakan besarnya kekuatan tenaga dalam yang terkandung.
Memang, jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur
berantakan apabila terl anda kibasan Burangrang.
Untuk yang kedua kalinya, Raja
Ular Beracun tidak berani bertindak sembarangan. Dia tidak sudi melakukan
elakan-elakan jarak pendek, karena belum mengetahui perkembangan ilmu lawannya.
Padahal, serangan itu bisa dielakkan dengan merendahkan tubuh. Tapi karena
belum membaca perkembangan ilmu lawan, Raja Ular Beracun tidak mengelak seperti
itu. Datuk sesat yang merajai daratan itu cepat melempar tubuh ke belakang,
kemudian bersalto beberapa kali di udara. Dan....
"Hup!"
Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, Burangrang pun berhasil mendarat pula. Dan secepat itu pula,
dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah Raja Ular Beracun. Pertarungan
sengit antara dua tokoh sakti pun tidak bisa dielakkan lagi.
Pertarungan yang mendebarkan
hati itu memang hanya disaksikan Cendani seorang. Gadis berambut keriting ini
memperhatikan penuh perhatian. Sepasang matanya hampir tidak pernah berkedip
memperhatikan. Namun betapapun matanya telah disipitkan agar dapat melihat
lebih jelas, tetap saja jalannya pertarungan tidak bisa disaksikan secara
jelas. Memang, gerakan kedua tokoh sakti berbeda zaman itu berlangsung cepat
bukan kepalang.
Yang tampak dari pertarungan
itu hanyalah bayangan hitam dan kuning yang
terkadang saling belit, tapi
tak jarang saling pisah. Namun terpisahnya dua bayangan itu hanya
berlangsung sebentar saja. Karena begitu bayangan kuning terpental dari kancah
pertarungan, bayangan hitam segera melesat memburu. Sesaat kemudian, kedua
bayangan itu telah saling belit kembali.
Raja Ular Beracun
menggertakkan gigi. Hatinya merasa heran bukan kepalang melihat cara bert arung
lawannya. Kelihatannya Burangrang bertarung tanpa mempedulikan keselamatan diri
sendiri. Bahkan seperti sengaja hendak
mengadu nyawa. Yang dilakukan Burangrang adalah melancarkan serangan
terus-menerus, tanpa mempedulikan pertahanan sama sekali.
Tentu saja Raja Ular Beracun
yang belum ingin mati, tidak sudi meladeni
tindakan Burangrang. Dan sebagai
akibatnya, datuk sesat penguasa daratan ini jadi terdesak hebat. Namun sebenarnya,
Raja Ular Beracun menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan ke arah
pertahanan lawan yang terbuka di sana-sini.
Beberapa kali serangan
dilancarkan ke bagian bagian tubuh Burangrang. Memang, banyak cel ah-celah yang terbuka di sana-sini. Tapi, serangannya
segera ditarik kembali oleh Raja Ular Beracun. Karena pada saat serangan itu
dilancarkan, Burangrang sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan dia
melancarkan serangan serupa. Melihat hal ini, Raja Ular Beracun tidak mau mati
konyol.
Maka, pada saat pertarungan
belum mencapai tujuh puluh jurus, Raja Ular Beracun sudah terdesak. Memang,
apabila dibuat perbandingan dengan Burangrang, Raja Ular Beracun kalah
segala-galanya. Baik tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuhnya. Beberapa
kali sewaktu terjadi benturan,
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang disertai rasa nyeri yang amat
sangat.
Kini, Raja Ular Beracun hanya
bisa bermain mundur. Serangan-serangannya yang semula bertubi-tubi kini sudah
tidak terlihat l agi. Dia lebih banyak mengelak. Menangkis pun apabila keadaan
sudah terlahj memaksa saj a. Dengan tingkat tenaga dalam yang berada di bawah
lawan, banyak menangkis hanya akan merugikan dirinya.
Tapi berapa lama Raja Ular
Beracun dapat bertahan? Mengelak terus-menerus, sementara lawan yang
dihadapinya bukan tokoh sembarangan? Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Raja
Ular Beracun pun mengetahui hal itu. Maka, sambil mengelak dicarinya kesempatan
baik.
Sementara, Burangrang terus
saja melakukan serangan bertubi-tubi tanpa mempedulikan pertahanan diri. Hal
ini sebenarnya cukup membuat Raja Ular Beracun jadi kebingungan. Tapi,
buru-buru pikiran itu dihilangkan
dari benaknya. Saat ini, dia tangah menghadapi lawan amat tangguh. Bahkan dalam
keadaan terdesak. Kalau masih harus memusingkan masalah yang mengherankan itu,
dia akan celaka.
***
"Haaat..!"
Pada jurus kedelapan puluh
tiga, disertai suara teriakan nyaring, Burangrang melancarkan serangan bertubi-
tubi. Kedua tangannya meluncur cepat ke arah dada dan ulu hati Raja Ular Beracun.
Raja Ular Beracun memutar
benaknya. Kesempatan baik untuk mendapatkan kemenangan, telah terpampang di
depan mata. Kalau tidak bisa meman faatkan, belum t entu kesempatan baik
seperti ini akan muncul kembali.
Setelah mempertimbangkannya
sej enak, Raja Ular Beracun langsung berrindak. Buru-buru tubuhnya didoyongkan
ke samping kanan untuk mengelakkan serangan. Pada saat yang bersamaan, kaki
kirinya diluncurkan ke arah dada.
Prat, prat... Bukkk!
"Akh...! Akh...!"
Kejadiannya berl angsung
demikian cepat. Serangan-serangan dari Burangrang maupun Raja Ular Beracun
mendarat di tubuh satu sama lain. Hanya saja, serangan-serangan Raja Ular
Beracun mendarat tepat di sasaran. Sedangkan serangan Burangrang meleset dari
sasaran, karena daruk sesat penguasa daratan itu t elah keburu mengelak.
Serangan-serangan Burangrang hanya mengenai dada kiri atas sebanyak dua kali
berturut-turut.
Akibatnya, disertai jeritan
kesakitan dari mulut tubuh kedua tokoh sakti itu terjengkang ke belakang. Dari
mulut masing-masing keluar darah segar. Tapi, darah yang keluar dari mulut
Burangrang jauh lebih banyak. Namun meskipun demikian, bukan berarti Raja Ular
Beracun tidak apa-apa. Luka-luka yang dideritanya ternyata cukup parah. Karena
serangan-serangan Burangrang memang dahsyat bukan kepalang.
"Buyut...!" jerit
Cendani ketika melihat tubuh laki-laki berwajah pucat itu terjengkang deras ke
belakang disertai semburan darah dari mulutnya
Dengan raut wajah beringas,
Cendani memalingkan wajahnya ke arah Raja Ular Beracun. Dan....
"Hiyaaat..!"
Disertai teriakan keras
melengking tinggi, Cendani meluruk ke arah Raja Ular Beracun. Dan ketika berada
di udara, tangan kanannya bergerak mengambil pedang yang tergantung di
punggung. Dan....
Srattt!
Sinar terang berkelebat ketika
pedang Cendani tercabut dari sarungnya. Dan secepat pedang itu tercabut,
secepat itu pula ditusukkan ke perut Raja Ular Beracun.
Datuk sesat penguasa daratan
itu terkejut bukan kepalang. Padahal saat itu tubuhnya tengah terluka dan
tengah terhuyung. Jadi, merupakan suatu hal yang amat sulit untuk mengelak.
Maka, jalan satu-satunya untuk mengelak hanya menangkis! Segera saja Raja Ular
Beracun menggunakan tangan kanannya untuk menangkis serangan itu. Memang tangan
kirinya sudah tidak bisa digunakan lagi. Langsung dipapaknya serangan pedang
itu dengan tangan telanjang.
Trak!
Suara berderak keras terdengar
ketika batang pedang itu berbenturan dengan tangan Raja Ular Beracun.
"Akh. !" Cendani menjerit tertahan. Tangannya yang menggenggam pedang
terasa lumpuh. Akibatnya, senjata yang tergenggam pun terlepas dari pegangan.
Tapi, bukan hanya Cendani saja
yang menderita kerugian dalam benturan itu. Raja Ular Beracun pun mengalami hal
yang sama. Tangannya t ergores pedang, hingga kulit dagingnya sobek. Darah
segar pun mengucur keluar. Memang, sewaktu memapak serangan tadi, Raja Ular
Beracun tidak bisa mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena tengah terluka
cukup parah. Jadi dia hanya mengerahkan separuh tenaganya.
Sementara itu, Cendani rupanya
sudah memperhitungkannya. Karena begitu pedangnya terl epas dari pegangan,
tangan kirinya bergerak ke arah perut Raja Ular Beracun. Ada sinar berkilat
seiring meluncur tangannya. Ternyata, di genggaman tangan gadis itu tercekal
sebilah pisau yang berkilat-kilat saking tajamnya.
Raja Ular Beracun terperanjat.
Namun, sudah tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Maka....
Blesss!
Pisau di tangan Cendani kontan
amblas ke dalam perut sampai ke gagang. Kemudian, gadis berambut keriting itu
langsung melepaskan cekalan pada pisaunya, dan melompat menjauh.
"Hup!"
Baru saja kedua kakinya
hinggap di t anah, terdengar tawa yang amat dikenalnya. Suara tawa Burangrang,
buyutnya! Bagai disengat kalajengking, Cendani menoleh ke belakang. Tampak
Burangrang t engah menghampirinya. Namun, tidak nampak ada tanda-tanda kalau
tokoh sesat dan masa silam itu terluka.
"Kau. , kau tidak apa
apa, Buyut?" tanya Cendani gagap karena kaget
Burangrang menggelengkan
kepala.
"Tidak akan ada seorang
pun yang bisa membinasakanku, Cendani!" sahut Burangrang sombong.
"Tap..., tadi kulihat "
"Memang kubiarkan
serangan itu mengenaiku, Cendani. Karena aku tahu, tidak akan terj adi apa pun
atas
diriku," tenang ucapan
yang keluar dari mulut Burangrang. "Jangan panggil aku Burangrang
kalau cecoro seperti Raja Ular Beracun
mampu melukaiku!"
Karuan saja ucapan Burangrang
membuat wajah Raja Ular Beracun yang sudah pucat karena t engah menjelang ajal,
semakin bertambah pias. Tarikan wajahnya juga menampakkan keterkejutan yang
amat sangat.
"Jadi, kau..., kau.
"
Sebelum sempat menyelesaikan
ucapannya, tubuh Raja Ular Beracun sudah roboh, tidak bangkit lagi untuk
selamanya. Namun di akhir hayatnya, dia sempat tahu kalau pembunuhnya adalah
tokoh sesat dari masa silam yang kepalanya dicari-carinya agar tidak bisa
bersatu dengan tubuhnya.
"He he he !"
Burangrang t ertawa bergelak
panjang, bernada kemenangan. Tapi, mendadak t awanya dihentikan Kepalanya
langsung menoleh ke balik tembok. Memang, pendengaran Burangrang yang tajam
mendengar adanya deheman pelan di balik tembok
"Ada orang lihai
datang," kata Burangrang pada Cendani yang t ampak kebingungan. Burangrang
tahu kalau orang yang berada di balik tembok sengaja mengunjukkan diri.
Belum juga lenyap gema suara
Burangrang, sesosok bayangan ungu
melompat melewati atas tembok. Indah dan manis gerakannya. Ketika
kedua kakinya mendarat di tanah, sedikit
pun tak terdengar suara. Laksana
daun kering yang jatuh ke tanah saja gerakannya.
Begitu berada di dalam,
pandangan mata sosok bayangan ungu yang tak lain dari Dewa Arak itu segera
beredar berkeliling. Yang pertama kali dilihatnya adalah dua sosok tubuh yang
berdiri menghadap ke arahnya. Salah satu dari mereka sudah bisa diduga. Siapa
lagi kalau bukan Cendani! Dan yang satunya lagi, pasti Burangrang.
Dugaan Dewa Arak semakin
menguat ketika melihat mayat R aja Ular B eracun tergelet ak di tanah. Sama
sekali tidak disangka kalau akan keduluan. Dia t ahu, di balik tembok ada
orang. Makanya dia pun berdehem untuk memberitahukan keberadaan dirinya pada
orang yang ada di dalam.
"Siapa kau?" tegur
Burangrang keras.
Burangrang tahu Dewa Arak
adalah seorang calon lawan tangguh. Itu bisa dilihat dari gerakannya tadi, dan
dari sorot matanya yang mencorong taj am. Tokoh sesat masa silam ini tahu,
sorot mata seperti itu hanya dimiliki orang yang telah memiliki tenaga dalam
tinggi.
Arya tidak merasa heran kalau
Burangrang tidak mengenalinya. Tokoh yang menggiriskan ini telah tewas lebih
dari seratus lima puluh tahun yang l alu, dan baru bangkit dari kematian. Jadi
bukan hal yang aneh jika tidak mengenalinya.
"Dia pasti Dewa Arak,
Buyut!" celetuk Cendani yang sudah mendengar berita mengenai Dewa Arak.
"Dewa Arak?!" ulang Burangrang dengan alis berkernyit
"Benar," Cendani
menganggukkan kepala. "Seorang pendekar muda sakti yang telah banyak
merobohkan pentolan golongan hitam! Selama ini, dia belum pernah
terkalahkan!"
Arak. Burangrang
mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. "Lalu, apa maumu, Dewa
Arak?" tanya Burangrang keras.
"Sederhana saja.
Melenyapkanmu selama-lamanya agar tidak mengacau dunia persilatan lagi!"
tegas Dewa
"He he he...! Kau hanya
akan mencari mati, Dewa Goblok!"
"Kematian bukan merupakan
hal yang menyeramkan bagiku, Burangrang! Apalagi, mati di dalam mempertahankan
kebenaran!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Dewa Arak.
"Kalau begitu, mampuslah!"
Usai berkata demikian,
Burangrang melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Serangannya
dibuka dengan sebuah tendangan miring kaki kanan, bertubi-tubi ke arah dada,
ulu hati, dan pusar. Semuanya, dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya. Kalau tepat mengenai sasaran, sudah bisa diperkirakan hal yang akan
terjadi.
Dewa Arak tentu saja
mengetahui hal itu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera
dilempar ke belakang. Lalu, Dewa Arak bersako beberapa kali di udara. Dan
selagi kedua kakinya belum menginjak tanah, diambilnya guci arak yang tersampir
di punggung dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan pemuda berambut putih keperakan itu. Sesaat kemudian, hawa hangat pun
menjalari perutnya dan terus merayap naik ke atas kepala. Dan ketika kedua
kakinya mendarat di tanah, Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu 'Belalang
Sakti'nya.
Tapi, bukan hanya pemuda
berambut putih keperakan itu saja yang telah bersiap sedia. Burangrang pun telah bertindak sama. Sadar kalau lawan t
elah menggunakan ilmu andalan, dikerahkan pula hal yang sama. Entah dari mana
mengambilnya, tahu-tahu di tangan tokoh yang menggiriskan itu telah tergenggam
sebilah kapak besar yang bertangkai
panjang.
"Hiiih...!"
Disertai teriakan keras yang
mendirikan bulu roma, Burangrang mengayunkan kapaknya ke arah pinggang Dewa
Arak Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh lawannya menjadi dua bagian.
Wuttt..!
Babatan kapak itu lewat di
bawah kaki, ketika Dewa Arak melompat ke atas. Tapi, tindakan Burangrang tidak
hanya sampai di situ saja. Kembali dilancarkannya serangan susulan ke arah
Arya. Sesaat kemudian, kedua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi
itu terlibat pertarungan sengit
Kapak besar bergagang panjang
di tangan Burangrang menyambar-nyambar ke arah Dewa Arak disertai deru angin
keras yang menyeramkan. Apabila terkena sedikit saja, maka kulit Dewa Arak akan
robek lebar.
Hebat bukan kepalang permainan
kapak Burangrang, tapi masih tak kalah hebat lagi ilmu 'Belalang Sakti' Dewa
Arak. Guci, kedua tangan, dan semburan araknya saling tunjang-menunjang,
menanggulangi setiap serangan Burangrang.
Beberapa gebrakan kemudian,
tubuh kedua tokoh yang t engah bertarung itu telah tidak terlihat lagi. Yang
tampak hanyalah bayangan ungu dan hitam yang saling sambar dan gempur.
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
Hatinya merasa heran bukan kepalang melihat cara bertempur
Burangrang. Tokoh dari masa
silam itu bertempur tanpa mempedulikan pertahanan. Yang dilakukannya hanya
menyerang dan terus merangsek
Sudah tidak terhitung lagi,
banyaknya cel ah yang terbuka di tubuh lawan. Beberapa kali serangan
dilancarkan, tapi langsung ditarik kembali ketika Burangrang tidak
mempedulikannya. Bahkan malah balik melancarkan serangan.
Pada jurus kedelapan puluh
tiga, Dewa Arak melihat bagian dada Burangrang terbuka lebar. Maka t anpa
membuang-buang waktu lagi, gucinya segera disorongkan.
Bukkk!
Telak dan keras sekali guci
Dewa Arak menghantam sasaran. Seketika
itu juga, tubuh
Burangrang terlempar ke belakang. Darah bermuncratan dari mulutnya.
Brukkk!
Tubuh Burangrang jatuh
berdebuk di tanah, bahkan sampai terguling-guling. Arya sudah menghela napas
lega. Sudah bisa diperkirakan kalau Burangrang pasti akan tewas. Atau paling
tidak gedoran gucinya t adi telah membuat Burangrang terluka parah.
Bahkan Cendani pun menjerit
ngeri. Dia lupa akan ucapan buyutnya tadi. Dengan kemarahan meluap-luap, diserbunya
Dewa Arak. Pedang di tangan Cendani berkelebat cepat membentuk gulungan sinar
terang menyilaukan mata. Kemudian, dari gulungan sinar pedang itu mendadak
mencuat ujung pedang ke arah leher Dewa Arak. Melihat serangan maut yang
meluncur ke arahnya, Dewa Arak bersikap tenang.
Dipapaknya luncuran ujung pedang
itu dengan sentilan jari telunjuknya.
Tinggg! "Ikh!"
Cendani menjerit kaget ketika
t angannya terasa mendadak lumpuh. Maka pedangnya pun terl epas dari pegangan.
Bukan itu saja. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung ke
belakang.
Tapi, Cendani benar-benar
seorang gadis keras kepala. Tangan kirinya segera dimasukkan ke balik baju.
Ketika ditarik kembali, sebilah pisau tampak t elah tergenggam di t angan, dan
langsung dilemparkan ke arah Dewa Arak.
Serangan seperti itu tentu
saja tidak berarti apa pun bagi Dewa Arak. Segera gucinya diayunkan untuk
memapak kedatangan pisau itu.
Tranggg!
Singgg...! Cappp!
"Akh...!"
Kejadiannya berlangsung terl
alu cepat. Tahu-tahu, Cendani menjerit memilukan ketika pisau miliknya menyate
lehernya hingga t embus ke tengkuk. Rupanya, tangkisan guci Dewa Arak membuat
pisau itu membalik ke arah pemiliknya!
Dewa Arak menatap mayat
Cendani dengan sinar mata penuh penyesalan. Memang, hal seperti itu sama sekali
tidak disangka. Walaupun harus diakui, kematian memang lebih baik bagi Cendani.
Sebuah geraman keras bernada
penuh kemarahan, menyadarkan Dewa Arak dari termenungnya. Dapat dibayangkan,
betapa kaget hatinya ketika melihat Burangrang telah bangkit berdiri! Bahkan
terlihat segar bugar, tidak nampak adanya tanda-t anda kalau Burangrang telah
terluka dalam.
"Kubunuh kau. '"
geram Burangrang keras sambil melompat menerjang.
Tokoh dari masa silam itu
memang murka bukan kepalang melihat keturunannya yang bernama Cendani itu
tewas. Akibatnya, kedahsyatan serangannya pun berlipat ganda.
Tapi lawan yang dihadapinya
adalah Dewa Arak, seorang pendekar muda yang memiliki kepandaian menakjubkan.
Ilmu-ilmu yang dimilikinya memungkinkan dirinya untuk menanggulangi setiap
serangan Burangrang. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak tel ah
membuat kandas setiap serangan Burangrang. Sebaliknya, dengan jurus 'Belalang
Mabuk' berkali-kali Dewa Arak berhasil menyarangkan sasaran.
Namun sebenarnya, Dewa Arak
mulai dirayapi perasaan putus asa. Pertarungan telah berlangsung lebih dari dua ratus jurus. Bahkan serangannya
telah berkali-kali mendarat di sasaran, tapi semua sama sekali tidak berarti.
Memang, sewaktu terkena serangannya, tubuh Burangrang tampak tak berdaya. Tapi
ketika tubuhnya menyentuh tanah, dan bisa bangkit kembali, tidak ada
tanda-tanda kalau pentolan sesat seratus lima puluh tahun silam itu terluka!
Kalau seperti ini terus, bukan tidak mungkin kalau dirinya yang akan tewas di
tangan lawan.
Sambil terus berjuang keras
untuk menundukkan lawan, Dewa Arak memutar otaknya. Dan mendadak pemuda itu
tersentak ketika menemukan suatu kesimpulan. Mungkinkah yang membuat Burangrang
tidak bisa mati adalah tanah?! Hampir Dewa Arak bersorak ketika menemukan kenyataan
yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran dugaannya! Setiap kali bangkit
dari tanah, Burangrang kembali segar bugar. Haruskah tokoh ini dibuat tewas
tanpa menyentuh tanah? Maka Dewa Arak pun bersiap melaksanakan rencananya.
Sementara itu, Burangrang sama
sekali tidak t ahu kalau Dewa Arak telah bersiap melakukan rencananya. Tokoh
sesat dari masa silam itu terus saja melakukan penyerangan dahsyat. Memang,
seperti juga Dewa Arak, Burangrang seakan-akan tidak pernah merasakan lelah.
Tenaganya kontan pulih, sehabis bangkit dari tanah. Bahkan kedahsyatan
serangannya sama sekali tidak mengendur.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan menggeledek,
Burangrang melesat memburu Dewa Arak dengan kapak di tangan. Hal itu dilakukan
karena melihat Dewa Arak melompat ke belakang.
Tapi, sama sekali tidak diduga
deh Burangrang kalau hal itu memang sudah direncanakan Dewa Arak
Maka begitu pemuda berambut
putih keperakan itu melihat Burangrang mengejarnya, kedua tangannya dihentakkan
ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas
menyengat, meluruk ke arah tubuh Burangrang yang tengah merangsek maju. Seperti
juga sebelumnya, tokoh dari masa silam ini sama sekali tidak mempedulikannya.
Bahkan kapaknya dibabatkan dengan dahsyat
Bresss! Crattt! Tubuh
Burangrang melayang ke belakang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak mendarat
telak di tubuhnya. Seketika itu juga,
tubuhnya menghitam hangus. Sedangkan Dewa Arak hanya meringis karena
pergelangan tangannya terserempet kapak Burangrang.
Namun, Dewa Arak sama sekali
tidak mempedulikan lukanya. Segera tubuh Burangrang yang tengah melayang
dikejarnya. Kedua tangan pemuda berambut putih keperakan itu terjulur ke depan.
Dan....
Tappp!
Tubuh Burangrang berhasil
ditangkap Dewa Arak. Dan memang, seperti yang sudah diduga, Burangrang tidak
bangkit lagi. Dia tewas dengan seluruh tubuhnya gosong. Samar-samar tercium bau
daging yang terbakar hangus.
Kemudian, dengan satu tangan,
Dewa Arak menotok jalan darah di sekitar lukanya, untuk mencegah cai ran merah
kental lebih banyak membanjir keluar. Sementara mayat Burangrang disangga
dengan satu tangan lainnya.
Tuk, tuk, tuk...!
Seketika aliran darah pada
tangan Dewa Arak terhenti.
Matahari naik semakin tinggi.
Dan kini, telah hampir mencapai titik tengahnya. Angin yang bertiup pun sudah
tidak nyaman di kulit ketika Dewa Arak beranjak meninggalkan tempat itu sambil
memanggul tubuh Burangrang. Entah dibawa ke mana mayat itu. Hanya Dewa Arak
sendiri yang tahu.
SELESAI