Serial Dewa Arak 18 - Kelelawar Beracun

Sang surya sudah lama tenggelam di ufuk Barat. Dan kini kegelapan menyelimuti bumi. Apalagi awan tebal yang menghitam ikut bergumpal-gumpal menghalangi bulan sepotong yang bersinar lemah di langit.
18 - Kelelawar Beracun

Sang surya sudah lama tenggelam di ufuk Barat. Dan kini kegelapan menyelimuti bumi. Apalagi awan tebal yang menghitam ikut bergumpal-gumpal menghalangi bulan sepotong yang bersinar lemah di langit. Suasana malam jadi terasa mencekam. Tambahan lagi, angin dingin yang menggigilkan tulang sesekali berhembus keras. Maka, lengkaplah sudah keadaan yang terasa menakutkan itu. Hening, sepi, dan mati!

Tapi keheningan malam itu ternyata tidak berlang­sung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar derap langkah-langkah kaki kuda yang membuat tanah bergetar. Bisa diperkirakan kalau jumlah kuda itu mencapai belasan ekor!
"Hooop ... !"

Seorang laki-laki berikat kepala merah dan ber­pakaian hitam, mengangkat tangan kirinya ke atas seraya menarik tali kekang kuda dengan tangan kanan. Seketika itu juga langkah binatang tunggangannya berhenti. Begitu pula belasan ekor kuda yang berada di belakangnya. Rupanya laki-laki berpakaian hitam itu bertindak sebagai pemimpin rombongan.

Menilik dari wajah belasan orang itu yang agak kasar, dan sikap yang rata-rata liar, bisa diperkirakan kalau mereka bukan rombongan orang baik-baik.

Laki-laki berpakaian hitam dan berikat kepala merah itu lalu menatap belasan wajah yang berada di sekitarnya.

"Kali ini kita akan berpesta," ujar laki-laki berikat kepala merah itu. Suaranya melengking nyaring seperti suara seorang wanita. "Sasaran kita kali ini adalah Desa Jati Jajar."

Seketika itu juga terdengar suara sorak-sorai riuh menyambuti perkataan itu.

"Mengapa tidak dari dulu-dulu saja, Kang?" sambut seorang yang berkepala botak gembira seraya menatap wajah laki-laki berpakaian hitam itu. "Biar semua tahu, siapa dirimu. Kang!"

"Ya!" sambut orang bergigi tonggos. "Kita tunjukkan pada adipati keparat itu, siapa Kakang Kala Ireng!"

"Akur ... !" sahut yang lain.
"Benar ... !" orang kasar lainnya tak mau ketinggalan. "Setuju ... !"

Seketika itu juga suasana malam yang semula hening, sepi, dan menyeramkan, berubah riuh gembira. Suara-suara keras dan kasar terdengar saling susul, tak mau kalah. Masing-masing orang kasar itu berkata semaunya.

Tapi suara ribut-ribut itu langsung sirna ketika laki­laki berpakaian hitam yang bernama Kala Ireng ini mengangkat tangan kanannya ke atas. Jelas, dia adalah seorang pemimpin yang cukup disegani anak buahnya. Kini semua pasang mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan dikatakan pemimpin mereka.

Dengan sikap tenang, Kala Ireng menatap satu persatu wajah-wajah yang tertuju ke arahnya. Raut wajah Kala Ireng tampak agak kurus. Dahinya terlihat agak lebar karena bagian depan kepalanya tidak ditumbuhi rambut. Mungkin karena pakaiannya yang serba hitam, sehingga dia mendapat julukan Kala Ireng.

"Memang itulah maksud tujuanku sebenarnya," kata Kala Ireng dengan suara melengking nyaring seperti suara seorang wanita.

"Horeee ... !" seru gembira laki-laki berkepala botak.
"Hidup Kakang Kala Ireng...!" teriak seorang lainnya yang berkumis tebal sambil mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Hidup ... !" sambut semua anggota gerombolan serentak. Pohon dan semak-semak sampai bergetar hebat akibat gemuruh suara rawa mereka.

"Ha ha ha...!"

Kala Ireng tertawa terbahak-bahak. Sebuah suara aneh. Kecil dan melengking nyaring.

Kembali laki-laki berikat kepala merah ini mengangkat tangan kanannya ke aras. Seketika itu pula, suara ribut-ribut sirna. Lenyap mendadak, seperti ayam yang dicekik lehernya.

Begitu suasana kembali hening seperti sediakala, Kala Ireng kembali menggerakkan tangannya yang semula terangkat ke atas menuju ke depan. Berbareng dengannya ditarik kembali, tali kekang kudanya dihentakkan. Tidak hanya itu saja. Bagian belakang tubuh binatang itu juga dilecutnya.

Sambil meringkik keras, kuda tunggangan laki-laki berpakaian hitam itu segera melangkah ke depan.

Melihat pemimpinnya telah memacu kuda, belasan orang kasar itu segera menggebah kudanya. Maka, kuda­kuda itu pun bergerak menyusul kuda Kala Ireng.

Suara derap kaki kuda yang menggetarkan bumi pun terdengar. Tujuan mereka sudah jelas. Desa Jati Jajar! Dan akibatnya bagi desa itu sudah bisa diperkirakan. Kehancuran!

***

"Kau dengar suara itu, Dawarsa?" tanya seorang laki­laki bertubuh pendek kekar sambil bergerak bangkit dari tidur miringnya. Melalui gardu penjagaan yang tidak mempunyai daun pintu, pandangannya dilayangkan ke depan, ke arah hutan yang membentang jauh di depan mereka.

Seorang pemuda yang memakai ikat kepala putih menoleh. Bisa diduga kalau dialah yang bernama Dawarsa. Dan memang di gardu penjagaan itu hanya ada dua orang.

Dawarsa menatap wajah rekannya sejenak, kemudian terdiam. Dicobanya untuk mencari tahu, suara apa yang dikatakan laki-laki bertubuh pendek kekar itu. Dahinya berkernyit, berusaha keras membuktikan kebenaran ucapan rekannya. Tapi sampai beberapa saat berbuat seperti itu, tak juga terdengar suara apa-apa. Maka Dawarsa menggelengkan kepala.

"Aku tidak mendengar suara apa-apa, Burasa," tegas Dawarsa kalem. "Mungkin kau hanya salah dengar saja."

"Tidak mungkin, Dawarsa!" sentak laki-laki bertubuh pendek kekar yang dipanggil Burasa, bersikeras. "Jelas sekali aku mendengarnya!"

"Tapi, aku sama sekali tidak mendengarnya, Burasa!" bantah Dawarsa, tak kalah keras. "Mungkin kau bermimpi."

"Aku tidak tidur, Dawarsa. Mana mungkin bisa bermimpi! Kau tahu, aku hanya merebahkan diri untuk menghilangkan rasa pusing yang mendera kepalaku!"

"Hhh ... !" Dawarsa menghela napas. "Siapa tahu, tanpa sadar kau tertidur, meskipun hanya sekejap. Dan dalam tidurmu itu, kau mendengar sesuatu...."

Seketika Burasa terdiam. Disadari, apa yang dika­takan rekannya mungkin saja benar. Memang bukan tidak mungkin dia tertidur sewaktu merebahkan tubuh tadi. Tapi sesaat kemudian, rasa penasaran timbul dalam diri laki-laki bertubuh pendek kekar ini. Dirinya, atau Dawarsa yang salah?
Tentu saja untuk mengetahui hal itu, tidak ada jalan lain kecuali membuktikan kebenaran ceritanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Burasa segera merebahkan diri kembali di bangku panjang di dalam gardu penjagaan.

"Burasa...! Apa yang kau lakukan...?!" tanya Dawarsa agak kaget campur bingung.
"Mencoba membuktikan kebenaran ucapanku," sahut Burasa kalem.

Dawarsa hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban laki-laki bertubuh pendek kekar. Dia pun tidak mempersoalkannya lagi. Dibiarkannya saja Burasa meneruskan maksudnya.

"Ah ... !"

Dawarsa sampai terjingkat kaget tatkala mendengar seru keterkejutan Burasa. Secepat kilat kepalanya menoleh. Pada saat yang bersamaan, laki-laki bertubuh pendek kekar ini melonjak bangkit dari berbaringnya seperti tengah dipagut ular berbisa,
"Ada apa, Burasa?" tanya Dawarsa kaget.

"Apa yang kukatakan tadi tidak salah, Dawarsa," tegas Burasa terputus-putus.
"Maksudmu ... ?" tanya Dawarsa masih kurang mengerti.
"Suara-suara yang kudengar itu," jelas Burasa tidak sabar lagi.
"Hm...," Dawarsa menggumam pelan. Hanya dia sendiri yang tahu, apa arti gumamannya itu.
"Kalau kau masih tidak percaya, kemarilah. Akan kubuktikan, siapa di antara kita yang benar!"

Kata-kata bernada tantangan telah diajukan Burasa. Mau tak mau, Dawarsa terpaksa menghampirinya. Di samping karena tantangan yang diajukan Burasa, juga disebabkan perasaan ingin tahunya. Benarkah apa yang dikatakan rekannya itu?

Dengan agak ragu-ragu, Dawarsa membaringkan tubuhnya di bangku panjang itu. Dan secepat tubuhnya berbaring miring, secepat itu pula tubuhnya terlonjak ke atas seperti disengat kalajengking.

"Kau benar, Burasa!" pekik laki-laki berikat kepala putih, terkejut.

"Kau bisa mengira-ngira suara apa itu, Dawarsa?" tanya Burasa tak menghiraukan ucapan rekannya.

Laki-laki bertubuh pendek kekar sama sekali tidak meributkan kebenaran ucapannya. Suara yang didengar, lebih menarik untuk dibahas daripada diributkan.

"Kalau aku tidak keliru, itu adalah suara langkah kaki kuda. Entah berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak juga."
"Dugaanmu sama dengan dugaanku, Dawarsa," sambut Burasa. "Entah siapa yang di malam seperti ini mengendarai kuda...."

"Jangan jangan...," Dawarsa menghentikan ucap­annya. Sepasang matanya terbelalak lebar menatap ke depan.

"Kau lihat apa yang berada di depan, Burasa?" tanya pemuda berikat kepala putih itu sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke depan.

Burasa menolehkan kepala ke arah yang ditunjuk rekannya. Dan seketika dia terkejut ketika melihat sekelompok sosok bayangan hitam di kejauhan sana. Meskipun tidak jelas bentuknya karena suasana malam, tapi keduanya dapat menduga kalau sekelompok sosok bayangan hitam itu adalah manusia. Dan menilik derap kaki kuda yang terdengar, bisa diperkirakan kalau itu adalah rombongan orang berkuda.

"Serombongan orang berkuda...," desis Burasa dengan suara tegang.
"Rombongan berkuda malam-malam begini? Dugaanmu, siapa mereka, Burasa?"

"Maksudmu ... ?" Burasa merasakan dadanya berdebar tegang. Tanpa bertanya lagi pun sudah bisa diduga, apa yang dikatakan rekannya. Dan hal ini membuatnya tegang.

"Perampok...," desis Dawarsa pelan tapi tajam.

Belum juga gema suara laki-laki berikat kepala putih itu lenyap, tubuh Burasa sudah berlari cepat menuju kentongan yang tergantung di sudut depan gardu penjagaan.
Kemudian pemukulnya diambil, dan dihantamkan pada badan kentongan.

Tong, tong, tong...!

Suara kentongan tanda bahaya terdengar nyaring memecahkan kesunyian malam. Dan penduduk yang mendengar pun memukul pula kentongan yang terdapat di depan rumah mereka.

Hanya dalam waktu sekejap saja, bunyi kentongan terdengar bersahut-sahutan. Seketika itu pula para penduduk berserabutan keluar dari rumah masing-masing sambil membawa senjata di tangan.

***

Singgg ... ! Cappp...!
"Akh ... !"

Terdengar keluhan tertahan dari mulut Burasa, disusul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung. Tangan kanannya mendekap bahu kirinya yang tertembus sebuah logam berbentuk bintang bersegi lima. Seketika cairan merah kental mengalir deras dari bahu yang terluka, menerobos lewat celah jari jemari tangannya.

"Burasa...!"

Dawarsa berseru keras seraya berlari keluar gardu. Dia tadi juga sempat mendengar adanya suara berdesing nyaring, sebelum rekannya menjerit.

Dan begitu Dawarsa berada di luar, tampak beberapa sosok tubuh berlompatan dari punggung belasan ekor kuda yang larinya dihentikan secara mendadak. Begitu hinggap di tanah, sosok-sosok tubuh itu segera menyerbu ke arah Burasa dan Dawarsa.

Tentu saja kedua orang penjaga gardu itu tidak tinggal diam. Dawarsa cepat mencabut goloknya, langsung memapak datangnya serangan yang menuju ke arahnya. Begitu pula Burasa. Tanpa menghiraukan darah yang mengalir dari bahu kirinya, tubuhnya melesat membantu laki-laki berikat kepala putih itu.

Baik Burasa maupun Dawarsa memang tidak asing lagi dengan ilmu silat. Karena kedua orang itu memang memiliki tingkat kepandaian lumayan. Tapi lawan yang dihadapi bukan orang lemah! Kali ini yang mereka hadapi adalah rombongan perampok anak buah Kala Ireng, yang sudah terkenal kebengisannya. Dalam mempertahankan selembar nyawa, mereka terkenal paling gigih. Pekerjaan yang dijalani membuat mereka harus memilih dua kemungkinan. Dibunuh atau membunuh!

"Haaat..!"

Seraya berteriak keras, Dawarsa menebaskan goloknya ke arah leher perampok yang berkepala botak.

"Hmh ... !"

Laki-laki berkepala botak itu hanya mendengus. Tubuhnya didoyongkan ke belakang sambil menarik kepalanya. Maka, serangan golok itu hanya mengenai tempat kosong. Lewat sejengkal dari sasaran.

Bukan hanya itu saja yang dilakukan laki-laki berkepala botak. Begitu serangan Dawarsa lewat, golok besar di tangannya dibabatkan ke arah tangan laki-laki berikat kepala putih itu. Cepat dan tak terduga gerakan laki-laki berkepala botak, sehingga Dawarsa hanya mampu berkelit sedikit.
Wuttt! Crasss ... !

Dawarsa memekik keras. Tangan kanannya buntung sebatas sikut terbabat golok besar laki-laki berkepala botak Itu. Darah segar seketika berhamburan keluar dari tangan yang putus. Belum lagi laki-laki berikat kepala putih itu sempat berbuat sesuatu, kaki kanan laki-laki berkepala botak melayang cepat ke arah perutnya.

Bukkk...!
"Hugk ... !"

Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Da­warsa. Tubuhnya seketika terbungkuk. Dan di saat itulah, golok besar lawan kembali menyambar. Maka....

Crasss ... !

Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh Da­warsa terkulai roboh. Dia tewas seketika dengan seluruh kepala terpisah dari badan.

Dan pada pertarungan lain, Burasa mengalami nasib yang sama. Dia tewas dengan perut tertancap pedang hingga tembus ke punggung.

Tanpa menghiraukan mayat korbannya, kedua orang perampok itu bergegas menyusul rekan-rekannya yang telah menyebar maut di dalam desa.

2

Di Desa Jati Jajar pun terjadi kerusuhan yang tidak kalah mengerikan. Para penduduk yang baru saja keluar dari rumah masing-masing, segera disambut rombongan perampok. Maka pertarungan sengit dan mati-matian pun berlangsung.

Tapi karena sebagian besar para penduduk tidak menguasai ilmu silat, rombongan perampok itu tidak mengalami kesulitan untuk membinasakan mereka satu persatu. Padahal, satu orang perampok menghadapi dua orang lawan.

Memang ada sebagian kecil penduduk yang me­nguasai ilmu silat. Tapi, itu pun hanya sekadarnya saja. Andaikan kepandaian yang dimiliki menyamai para anggota perampok pun, mereka tetap saja tidak mampu menang. Sebab, jelas mereka kalah pengalaman dalam pertempuran. Jadi tidak heran kalau satu persatu para penduduk Desa Jati Jajar berguguran.

Tapi ternyata tidak semua orang di pihak Desa Jati Jajar yang mudah dikalahkan. Ada dua orang di antara mereka yang mampu mengadakan perlawanan sengit. Yang seorang adalah laki-laki bertubuh kekar berotot. Kumis dan alisnya tebal. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki setengah baya berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya telah berwarna dua.

Sambil terus mengadakan penawanan sengit terhadap tiga orang perampok yang mengeroyoknya, laki-laki berpakaian putih tak henti-hentinya memberi semangat pada para penduduk Desa Jati Jajar.

"Jangan mundur ... ! Lawan terus...! Mundur berarti desa kita hancur ... !"

Berkat teriakan laki-laki berpakaian putih itulah, maka para penduduk Desa Jati Jajar terus mengadakan perlawanan. Mereka semua tahu, nasib anak dan istri tergantung pertarungan ini.

Sungguh mengerikan keadaan Desa Jati Jajar. Di sepanjang jalan utama desa terjadi pertarungan mati-matian. Di sana-sini bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa.
Kala Ireng menatap beberapa kelompok pertarungan dengan wajah dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum kebengisan. Ada seri kegembiraan yang memancar di wajahnya, tatkala melihat semua anak buahnya berhasil mengungguli lawan. Dan bahkan terus mendesak masuk ke dalam desa.

Tapi seri di wajah laki-laki berpakaian hitam ini le­nyap begitu melihat dua pertarungan lainnya. Pertarungan antara anak buahnya melawan laki-laki berpakaian putih dan laki-laki bertubuh kekar berotot. Mereka tertahan di sini.

Baik laki-laki berpakaian putih maupun laki-laki bertubuh kekar sudah berhasil menewaskan seorang lawan. Tapi kini mereka belum mampu menambah korban lagi, karena jumlah lawan bertambah. Laki-laki berpakaian putih dikeroyok tiga orang perampok.

Sementara laki-laki bertubuh kekar berotot meng­hadapi empat orang perampok. Dan tampaknya pertarungan kedua kelompok itu berjalan seimbang.

Kala Ireng menggertakkan gigi. Dikenalinya betul, siapa kedua orang itu. Laki-laki berpakaian putih adalah Kepala Desa Jati Jajar. Namanya, Ki Manggala. Sedangkan laki-laki bertubuh kekar berotot bernama Kanigara, seorang guru silat dari Desa Cibening. Sebuah desa yang terhitung besar, tetangga Desa Jati Jajar. Hanya saja Kala Ireng tidak mengetahui, mengapa guru silat itu bisa berada di desa ini.

Tapi Kala Ireng tidak Ingin memikirkan hal Itu lagi. Masalahnya kalau tidak cepat-cepat turun tangan, ketujuh orang anak buahnya pasti akan tetap tertahan di situ. Sementara, tugas yang harus dikerjakan masih belum selesai. Maka laki-laki berpakaian hitam ini segera melompat turun dari punggung kuda.

"Mundur ... !" teriak Kala Ireng begitu berada di belakang anak buahnya yang tengah bertarung menghadapi Kanigara.

Laki-laki bertubuh kekar berotot ini ternyata hebat juga. Dengan pedangnya, membuat empat orang lawan tidak mampu mendesak.

Sementara empat orang lawan Kanigara yang mendengar seruan itu, langsung berlompatan mundur. Mereka tentu saja mengenal, siapa pemilik suara itu.
Berbareng dengari berlompatan mundurnya empat orang perampok itu, Kala Ireng melompat masuk dalam kancah pertarungan. Dia langsung berdiri berhadapan dengan Kanigara.

"Kala Ireng...," desis laki-laki bertubuh kekar berotot itu, begitu melihat laki-laki berpakaian hitam. Ada nada keterkejutan terdengar dalam suara itu. Dia memang telah mengenal Kala Ireng, seorang kepala rampok yang telah malang-melintang dalam Hutan Buaran.

"Hmh ... !" Kala Ireng mendengus. "Bersiaplah untuk mati, Kanigara!"

Kanigara sama sekali tidak menyambuti ancaman itu. Dia tengah merasa tegang melihat Kala Ireng. Sungguh sama sekali tidak disangka bisa bertemu kepala rampok itu di sini. Kala Ireng terkenal amat kejam, di samping memiliki kepandaian yang tinggi.

Kanigara menggertakkan gigi, kemudian melesat menyerang lawannya. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah perut Kala Ireng. Ada suara bercuitan yang cukup nyaring mengiringi serangan itu.

"Hmh ... !"

Lagi-lagi Kala Ireng mendengus. Secercah senyum mengejek tampak tersungging di bibirnya. Dan masih dengan senyum ejekan, laki-laki berpakaian hitam ini mengelakkan serangan Kanlgara.

Mudah saja Kala Ireng mengelak. Kakinya dilang­kahkan ke kiri sambil tubuhnya didoyongkan. Sehingga, tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan pinggangnya. Dan sebelum Kanigara berbuat sesuatu, tangan kanan Kala Ireng telah lebih dulu bergerak.

Wuttt..! Tap...!

Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng keram tangan Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan main. Laki-laki bertubuh kekar berotot ini segera mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali senjatanya. Dan kalau tidak bisa menariknya kembali, paling tidak tangan Kanigara akan terluka. Atau bahkan putus sama sekali akibat tersayat mata pedangnya.

Tapi usaha Kanigara kandas. Wajahnya sampai merah padam karena mengerahkan seluruh tenaga dalam. Nada keluhan terdengar dari mulutnya ketika berusaha keras menarik pulang senjatanya.

***
Berbeda dengan keadaan yang dialami Kanigara, wajah Kala Ireng tampak biasa-biasa saja. Bahkan tidak terlihat tanda-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga.

"Hmh ... !"

Kala Ireng kembali mendengus. Berbareng hilangnya dengusan itu, tangan kanannya bergerak meremas. Hebat akibatnya! Bilah pedang Kanigara langsung hancur, seolah­olah yang diremas laki-laki berpakaian hitam ini hanya sehelai daun kering rapuh!

Akibat yang terjadi sudah bisa diduga. Pada saat itu Kanigara tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menarik pedangnya, tak pelak lagi tubuhnya terjengkang ke belakang.

Tapi berkat kelihaiannya, Kanigara tidak sampai terbanting di tanah. Meskipun agak terhuyung-huyung dan mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

Wajah Kanlgara memucat Sepasang matanya menatap berganti-ganti pada pedang yang telah tinggal separuh di tangannya, dan pada jemari Kala Ireng yang lelah meremas hancur pedangnya. Laki-laki bertubuh kekar ini memang telah mendengar berita kalau Kala Ireng mempunyai suatu ilmu yang membuat kedua tangannya jadi sekuat baja! Dan kini telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita itu! Jari­jari tangan Kala Ireng benar-benar luar biasa!
Wuttt ... ! Tap...!

Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng­keraman tangan Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan main. Laki-laki bertubuh kekar itu segera mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik senjatanya, tapi tetap tidak berhasil!
Meskipun perasaan gentar merayapi hatinya, Kanigara pantang mundur. Dia tahu Kala Ireng tidak akan sudi mengampuninya. Jadi, tidak ada jalan lain baginya kecuali melawan mati-matian!

"Haaat..!"

Kanigara berseru keras. Pedang yang telah tinggal separuh di tangannya, ditusukkan cepat ke arah leher Kala Ireng. Tapi untuk yang kesekian kalinya, pemimpin perampok ini tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk memunahkan serangan itu. Tanpa menggeser kaki, Kala Ireng mendoyongkan kepala ke kanan. Maka serangan itu lewat beberapa jari di sebetah kiri lehernya.

Pada saat yang bersamaan, tangan kiri Kala Ireng dengan jari jari berbentuk cakar itu bergerak.

"Tappp ... !"

Mengkelap jantung Kanigara begitu mengetahui pergelangan tangan kanannya telah tercekal Kala Ireng, Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tangan Kala Ireng yang kuat itu telah bergerak meremas.

Terdengar suara bergemeretakan keras dari tulang­tulang yang remuk seiring dengan remasan jari jari tangan Kala Ireng.

Kanigara mengigit bibirnya sampai berdarah, dalam usahanya agar mulutnya tidak mengeluarkan lolongan kesakitan.

Memang rasa sakit yang melanda benar-benar luar biasa! Keringat sebesar jagung bermunculan di wajah laki­laki kekar itu.

Dengan sendirinya, laki-laki bertubuh kekar berotot ini telah dibuat tidak berdaya oleh Kala Ireng. Dan begitu tangan Kala Ireng bergerak menyentak, tubuh Kanigara tertarik ke depan. Hal ini memang sudah direncanakan laki­laki berpakaian hitam itu. Maka begitu tubuh Kanigara meluruk ke arahnya, cakar tangan kanannya bergerak menyambut.

Crokkk...!

Suara berderak keras terdengar ketika ubun-ubun Kanigara pecah. Cairan merah kental bercampur putih mengalir keluar dari ubun-ubunnya. Hanya sebuah keluhan pelan terdengar ketika laki-laki bertubuh kekar berotot ini tewas! Suara berdebuk keras terdengar saat tubuh kekar itu jatuh di tanah.
***
Kala Ireng menatap mayat lawannya sejenak. Kemudian....

Cuhhh...!

Sepercik ludah kental meluncur keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam, dan hinggap di wajah mayat Kanigara. Kala Ireng kemudian mengalihkan perhatian ke arah Ki Manggala. Tampak laki-laki berpakaian putih itu tengah terdesak hebat Karena lawan-lawan yang semula menghadapi Kanigara, kini ganti mengeroyoknya.

Menghadapi tiga orang saja Ki Manggala tidak mampu menang. Apalagi kini menjadi tujuh orang lawan. Dalam beberapa gebrak saja Kepala Desa Jati Jajar ini terdesak hebat dan terus terhimpit.

Pada jurus ke empat, laki-laki berpakaian putih ini tidak mampu mengelak atau menangkis lagi. Bahkan kini tusukan golok laki-laki berkepaia botak telah menghunjam dalam di perutnya. Darah pun memancar deras dari luka yang terobek lebar.

Tak sampai sekejapan mata, serangan-serangan lain pun menyusul tiba. Babatan golok, tusukan tombak, dan hujan senjata lain hinggap di berbagai bagian tubuhnya. Tapi meskipun demikian, di saat nyawanya hendak melayang, Ki Manggala masih sempat mengajak salah seorang pengeroyok untuk ikut bersamanya ke akhirat!

Ki Manggala melompat menerjang mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaga dalam yang dimiliki. Golok di tangannya menyambar cepat ke arah salah seorang anggota perampok.

Perampok berkumis tebal itu terkejut bukan main mendapat serangan yang tak diduga itu. Maka sebisa bisanya dia berusaha mengelak, tapi terlambat. Golok Kepala Desa Jati Jajar itu telah terlebih dulu menyambar lehernya. Tak pelak lagi, kepala laki-laki berkumis tebal itu pun terpisah dari tubuh. Dia tewas seketika berbarengan dengan tewasnya Ki Manggala.

Dengan tewasnya Kanigara dan Ki Manggala, tidak ada lawan kuat yang dihadapi gerombolan perampok anak buah Kala Ireng. Kini dengan leluasa semua penduduk yang menghalangi tindakan mereka dibantai.

Suara teriakan kesakitan diiringi lolong kematian memecah kesunyian malam, di tengah-tengah hiruk­pikuknya suara senjata beradu.

Gerombolan perampok anak buah Kala Ireng bertindak tak kepalang tanggung. Seluruh isi penduduk yang berjenis laki-laki, tua atau muda, dibantai habis. Bahkan anak kecil pun dibinasakan. Hanya wanita-wanita saja yang tidak dibunuh, dan hanya diseret ke luar. Mereka akan dibawa ke tempat tinggal para perampok untuk dijadikan pemuas nafsu setan.

"Ha ha ha...!"

Kala hreng tertawa terbahak-bahak melihat seluruh isi desa porak-poranda. Mayat-mayat penduduk tampak bergeletakan di sana-sini.

"Bakar ... !" seru Kala Ireng, keras.

Tanpa diperintah dua kali, semua anggota gerombolan itu bergegas mengambil obor-obor yang terpancang di depan rumah. Kemudian obor itu dilempar ke setiap rumah. Tak pelak lagi, rumah-rumah itu pun terbakar. Mula-mula hanya kecil saja, tapi lama kelamaan semakin membesar. Dan hawanya pun terasa panas menyengat kulit.

"Ha ha ha...!"

Kala Ireng dan anak buahnya tertawa-tawa gembira melihat seluruh desa mulai diamuk api. Desa Jati Jajar benar-benar telah menjadi lautan api. Asap tebal dan hitam membumbung tinggi sampai ke udara.

Sambil terus tertawa-tawa gembira. Kala Ireng mengangkat tangan kanan ke atas, seraya melompat naik ke atas punggung kuda. Kemudian tali kekang binatang tunggangannya dihentakkan. Maka kuda coklat itu pun bergerak meninggalkan tempat itu.

Melihat pemimpin mereka telah bergerak mening­galkan tempat itu, seketika para anak buahnya ikut bergerak pula. Kini, rombongan ini membawa serta barang hasil jarahan, serta belasan wanita cantik.

Wanita-wanita Desa Jati Jajar hanya dapat menangis melihat semua kejadian yang menimpa. Menangisi desa mereka yang kini telah menjadi lautan api. Menangisi ayah, suami, adik, atau anak mereka yang tewas oleh kekejaman para perampok itu.

Bukan hanya itu saja yang dipikirkan. Kejadian mengerikan yang akan menimpa mereka pun tak luput dari pikiran. Ingin rasanya membunuh diri, tapi sayangnya kesempatan itu tidak pernah ada. Kini mereka hanya dapat pasrah menerima kenyataan yang ada. Ikut rombongan perampok Kala Ireng.

Siang itu suasana benar-benar tidak menyenangkan. Matahari yang tepat di atas kepala memancarkan sinarnya begitu terik ke bumi. Seakan-akan dengan sinarnya, sang mentari tengah berusaha melelehkan apa pun di bawahnya.

Dalam suasana sepanas itulah, serombongan pasukan berkuda berpacu cepat menuju Hutan Buaran. Derap langkah kaki kuda yang berlari cepat itu cukup mengusik keheningan siang. Debu mengepul tinggi, menambah pengapnya suasana siang yang sudah terasa tidak nikmat

Rombongan berkuda yang jumlahnya tak kurang dari dua puluh orang itu mengenakan seragam prajurit kerajaan. Ternyata rombongan prajurit itu dipimpin seorang gadis yang berkuda paling depan. Wajahnya begitu cantik, dan pakaiannya berwarna putih. Rambutnya panjang terurai, sehingga menambah kecantikannya. Sementara yang berkuda di sebelahnya, adalah seorang laki-laki setengah baya.

"Masih jauhkah sarang gerombolan Kala Ireng itu, Paman Patih?" tanya gadis berpakaian putih seraya menatap laki-laki setengah baya.

Menilik dari nada suara dan wajahnya, dapat diketahui kalau gadis itu sudah merasa tidak sabar untuk bertemu gerombolan Kala Ireng.

"Tidak jauh lagi, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki setengah baya itu. Suaranya lembut dan penuh kasih sayang, seperti layaknya ucapan seorang ayah pada anaknya.

Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading itu menghela napas berat. Kemudian perhatiannya dialihkan kembali ke depan.

"Memangnya kenapa, Gusti Ayu?" tanya laki-laki setengah baya yang dipanggil Melati dengan sebutan paman patih.

Dia memang patih Kerajaan Bojong Gading. Namanya Rantaka (Baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").

"Aku sudah tidak sabar lagi untuk membasmi mereka!" tegas Melati. "Gerombolan itu tidak bisa diampuni lagi. Mereka harus dibasmi semuanya!"
Patih Rantaka tersenyum mendengar ucapan Melati yang berapi-api itu.

"Bukankah Gusti Prabu pun memerintahkan begitu, Gusti Ayu?"

Melati menganggukkan kepala, membenarkan ucapan Patih Rantaka.

"Ayahanda murka sekali, Paman," desah gadis berpakaian pulih yang terkadang memanggil Patih Rantaka dengan paman saja.

"Wajar saja kalau Gusti Prabu marah, Gusti Ayu. Gerombolan Kala Ireng benar-benar biadab. Bahkan sudah tiga desa dihancurkan."

"Begitu kuatkah gerombolan Kala Ireng itu, Paman? Sampai-sampai, Adipati Triwisnu tidak mampu menanggulanginya," tanya Melati tidak yakin.

"Aku sendiri tidak tahu, Gusti Ayu," jawab Patih Rantaka. "Tapi kemungkinan besar memang begitu."

Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu.

"Mengapa Paman menduga demikian?" tanya gadis berpakaian putih itu ingin tahu.

"Apakah Gusti Ayu belum mengetahui, dan belum mendengar cerita mengenai usaha-usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu untuk menghancurkan gerombolan Kala Ireng itu?" laki-laki setengah baya malah balik bertanya, setengah tak percaya.

Melati menggelengkan kepala. "Aku hanya mengetahui sedikit saja, Paman," sahut Melari pelan. "Aku hanya tahu kalau gerombolan Kala Ireng telah membumihanguskan tiga buah desa."

Patih Rantaka tercenung. Sementara Melati pun tidak melanjutkan kata-katanya. Dengan sendirinya, untuk beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka. Kini yang terdengar hanyalah derap langkah kaki rombongan berkuda yang menapak tanah.

"Ketika untuk pertama kalinya gerombolan Kala Ireng keluar dari Hutan Buaran dan membumihanguskan Desa Jati Jajar, Adipati Triwisnu langsung bertindak. Pasukannya dikirimkan untuk menghancurkan gerombolan itu. Dia merasa bertanggung jawab untuk menumpasnya, karena semua itu terjadi di daerah kekuasaannya."

Patih Rantaka menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sesaat sepasang matanya menatap wajah Melati.

"Tapi rombongan yang dikirim Adipati Triwisnu ternyata tidak pernah kembali lagi. Apa yang terjadi dengan pasukan itu, tak seorang pun yang tahu. Dan yang jelas, usaha mereka tidak berhasil. Karena, sebuah desa kembali dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng itu."

"Hm...," Melati hanya menggumam pelan. Entah apa yang digumamkan, hanya gadis itu sendirilah yang tahu.

"Adipati Triwisnu tidak tinggal diam. Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengirimkan pasukannya kembali. Dia ingin menumpas gerombolan itu, sekaligus mencari berita lenyapnya pasukan yang dikirim pertama kali. "

Patih Rantaka kembali menghentikan ceritanya. Dihirupnya udara sejenak, seraya mencari kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.

"Tapi usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu sia-sia. Pasukan yang dikirimnya itu lagi-lagi tak pernah kembali, lenyap seperti ditelan bumi. Dan tak lama kemudian, kembali sebuah desa dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng itu."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru disadari, mengapa Adipati Triwisnu sampai mengirim utusan ke kotaraja.

Dan, mengapa pula Prabu Nalanda mengirimkan pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading untuk menumpas gerombolan Kala Ireng. Rupanya Prabu Nalanda telah mendengar kegagalan usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu, sehingga mengambil keputusan itu mengirimkan pasukan.

"Sekarang aku mengerti, Paman," kata Melati. Sedangkan Patih Rantaka hanya tersenyum lebar. "Menurutmu, mengapa pasukan yang dikirim Adipati Triwisnu itu bisa lenyap, Paman?"

"Aku sendiri juga tidak tahu, Gusti Ayu," sahut Patih Rantaka tidak berani memastikan. "Tapi kalau menurut pendapatku, mereka semua telah tewas di tangan gerombolan itu."

Melati terdiam, tak lagi menyahuti. Patih Rantaka pun tak lagi melanjutkan ucapan. Kini rombongan pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading Itu pun melanjutkan perjalanan tanpa berbicara lagi.

***

Begitu mulai memasuki mulut hutan, rombongan pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading mulai bersikap waspada. Semua pasang mata beredar berkeliling, merayapi sekitarnya. Seluruh urat syaraf mereka menegang waspada, bersiap menghadapi adanya ancaman mendadak.

Tangan-tangan mereka juga telah memegang hulu senjata masing-masing. Napas pun agak ditahan, khawatir kalau-kalau mengganggu pendengaran yang telah dipasang setajam mungkin. Paling tidak, agar suara sekecil apa pun dapat tertangkap telinga mereka.

"Gusti Ayu...," sapa Patih Rantaka pelan seperti bisikan.

"Ada apa, Paman?" tanya Melati seraya menolehkan kepala. Namun demikian, sepasang matanya tak pernah lepas mengawasi keadaan sekitar.

"Apakah tidak lebih baik kalau kuda-kuda itu kita tinggalkan saja?"

Melati tercenung. Dahinya berkernyit pertanda tengah berpikir keras. Sesaat kemudian kepalanya terangguk. Kini kudanya segera dituntun ke arah pohon yang ada di situ. Semua pasukannya juga bertindak demikian.

Kini Melati, Patih Rantaka, dan sekitar dua puluh orang pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu berjalan kaki menerobos ke dalam hutan. Melati dan Patih Rantaka berjalan paling depan, sementara dua puluh orang lainnya berjalan di belakang.

Semua mata menatap daerah sekitar dengan sikap waspada.

Mendadak terdengar hentakan pelan. Melati, Patih Rantaka dan dua puluh orang pasukan khusus mende­ngarnya. Seketika itu pula perhatian mereka dialihkan ke arah asal suara dengan sikap siaga penuh. Tapi, setelah ditunggu beberapa saat, ternyata tidak nampak ada apa-apa. Tiba tiba Melati mendengar suara berkesiur pelan dari atas, disusul, bertiupnya angin semilir. Seketika itu juga gadis berpakaian putih ini mendongakkan kepala ke atas, dan kontan terperanjat. Tampak dari atas melayang turun sebuah jaring, yang sudah dapat dipastikan akan mengurung mereka.

Memang, mereka tepat berada di tengah-tengah sasar­an jaring.

"Menyingkir ... !" seru Melati keras seraya melompat menghindar. Tak lupa, didorongnya tubuh Patih Rantaka agar menjauh dari tempat itu.

Dua puluh pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu pun segera berserabutan melompat melarikan diri.

Pasukan khusus itu memang memiliki wawasan pengetahuan luas. Mereka tahu, apabila terkurung jaring, tidak sulit bagi lawan untuk menghujani mereka dengan serangan mematikan.

Luar biasa! Tidak ada seorang pun dari pasukan khusus itu yang terjaring. Tapi ternyata, hal yang mengejutkan itu tidak berakhir sampai di situ. Tubuh-tubuh yang berlompatan itu seketika menerima kejutan masing­masing.

Ternyata sebagian besar dari mereka mendapat serangan susulan. Dari segenap penjuru seketika meluncur senjata rahasia yang mempunyai bentuk dan ukuran berbeda. Ada logam berbentuk bintang segi-lima, ujung anak panah, ataupun pisau.

Kembali pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat-cepat serangan gelap yang mengancam keselamatan nyawa itu ditangkis.

Tring, tring, tring ... !

Semua serangan gelap berhasil dikandaskan. Bahkan ada yang kembali ke pemiliknya semula. Terbukti, terdengar suara jeritan menyayat dari balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak.

Keadaan yang dialami Melati lebih mengerikan lagi. Dalam usaha menyelamatkan selembar nyawanya, gadis itu melakukan lompatan harimau. Kedua tangannya sudah siap mendarat di tanah, untuk kemudian digunakan sebagai peredam saat bergulingan.

Sungguh di luar dugaan gadis berpakaian putih itu. Tanah berumput yang menjadi tempat bertumpu kedua tangannya tiba-tiba amblas. Tak dapat dicegah lagi, tubuh Melati pun melayang masuk ke dalam lubang.
Serasa copot jantung Melati mengalami hal yang sama sekali tidak diduga ini. Apalagi ketika dia melihat puluhan ujung tombak runcing yang menanti di dasar lubang. Menilik dari bau amis darah yang menyeruak masuk ke dalam hidung, bisa diperkirakan kalau lubang jebakan ini sudah cukup banyak menelan korban.

Melati bertindak cepat. Disadari kalau tidak mungkin kakinya mendarat di ujung tombak-tombak runcing itu. Lubang itu terlalu sempit. Apalagi, sulit baginya untuk memutar tubuh dengan keadaan tengah berada di udara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pedangnya segera dihunus.

Srattt... !

Sinar terang membersit ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya. Dan secepat pedang itu tergenggam, secepat itu pula dijulurkan ke bawah.

Trik ... !

Luar biasa! Dengan perhitungan matang seorang ahli pedang tingkat tinggi, Melati berhasil mendaratkan ujung pedangnya pada salah satu ujung tombak runcing yang sudah menanti, siap menyate tubuhnya.

Beberapa saat lamanya tubuh Melati berada dalam keadaan terbalik. Kepala berada di bawah, dan kaki berada di atas. Ujung pedangnya menempel pada salah satu ujung tombak runcing di dalam lubang itu. Seluruh kekuatan bertumpu pada tangan kanannya yang menggenggam pedang.

"Hih...!"

Perlahan-lahan Melati menekuk tangan kanannya. Dan dengan demikian tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah. Tampak tangan kanan gadis berpakaian putih itu menggigil keras. Memang membutuhkan tenaga dalam yang luar biasa untuk melakukan hal seperti itu.

Ujung tombak itu terlalu runcing dan licin. Kalau saja Melati bukan termasuk gadis pemberani, dan tidak memiliki tenaga dalam tinggi, niscaya tubuhnya akan terpanggang di ujung-ujung tombak.

Begitu tangan kanannya sudah agak banyak tertekuk, mendadak tubuh Melati bersalto ke atas. Rupanya hal itu dilakukan untuk mencari tenaga, dalam usahanya mencapai mulut lubang.

Dan usaha Melati ternyata tidak sia-sia. Tubuhnya segera melesat cepat ke atas. Dan begitu telah berada di luar lubang, gadis berpakaian putih ini bersalto di udara beberapa kali. Kemudian, kakinya mendarat ringan dan mantap di tanah.

Semua peristiwa itu berlangsung singkat. Dan ketika Melati telah mendaratkan kedua kakinya di tanah, pasukan khusus dan Patih Rantaka telah berhasil menyelamatkan diri pula.

Kini Melati, Patih Rantaka, dan seluruh pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading berdiri di tempat itu dengan sikap waspada. Di tangan mereka telah tergenggam senjata terhunus.

"Gusti Ayu, apakah tidak sebaiknya kalau kita serbu mereka?" usul seorang anggota pasukan khusus yang bertahi lalat di pipinya.

"Bagaimana menurut, Paman?" Melati malah melontarkan pertanyaan itu pada Patih Rantaka.

Gadis berpakaian putih tidak ingin bersikap sem­brono. Maka hal itu malah ditanyakannya pada Patih Rantaka, yang sudah pasti mempunyai pengalaman luas.

"Menurut hamba, kalau kita menyerbu merupakan perbuatan tidak bijaksana. Lawan berada di tempat yang tidak diketahui. Lagi pula, bukan tidak mungkin kalau mereka telah menyiapkan jebakan jebakan untuk kita," jawab Patih Rantaka memberi pendapat.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan. Paman?" tanya Melari bingung. "Apakah kita berdiam diri saja di sini sambil menanti mereka keluar dan menyerang kita?"

Patih Rantaka tercenung mendengar bantahan itu. Apa yang dikatakan Melati memang benar. Memang tidak mungkin kalau hanya menunggu terus. Tapi menyerbu pun bukan cara yang bijaksana pula. Maka untuk beberapa saat lamanya, laki-laki setengah baya ini terdiam.

"Bagaimana kalau aku memaksa mereka keluar, Paman?" usul Melati.
"Sebuah usul yang baik. Gusti Ayu," sahut Patih Rantaka.

"Tapi, bagaimana caranya? Gerombolan itu bukan orang bodoh. Mereka pasti tahu kalau kita bukan lawan yang
mudah dikalahkan. Dan sudah pasti mereka tak akan mau bertarung secara terang-terangan."

"Hal itu sudah kupikirkan, Paman," sahut Melati cepat "Mudah-mudahan saja caraku ini dapat memaksa mereka keluar!"

Patih Rantaka terdiam, dan tidak menyahuti lagi. Laki-laki setengah baya ini ingin tahu juga, bagaimana caranya putri angkat junjungannya ini akan memaksa gerombolan itu keluar.

Bukan hanya Patih Rantaka saja yang ingin tahu. Dua puluh orang pasukan khusus itu pun merasa tertarik juga. Kini mereka semua diam, sama sekali tidak bersuara atau bergerak saking ingin tahu apa yang akan dilakukan Melati.

Melati melangkah maju dua tindak. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar naga. Sebentar gadis itu menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Pikirannya dipusatkan pada satu titik. Seketika, kedua tangan Melati sampai sebatas pergelangan, berubah merah, seperti darah! Dan hal seperti ini selalu terjadi setiap kali gadis berpakaian putih ini mengeluarkan tenaga dalamnya.

"Hih ... !"

Mendadak Melati menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika hembusan angin kuat keluar dari kedua tangan yang dihentakkan itu. Rupanya Melati ingin memaksa keluar lawan-lawannya dengan Jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.

Hebat bukan main akibat jurus itu. Sekitar tempat yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh Melati, langsung porak-poranda seperti habis dilanda badai! Pohon-pohon bertumbangan, semak-semak berpencaran ke sana kemari tak tentu arah.

Tidak hanya sekali saja Melati melakukannya. Diumbarnya jurus 'Naga Merah Membuang Mustika' itu ke semua arah semak-semak dan pepohonan yang mengelilingi tempat itu. Sudah dapat diduga akibatnya. Seluruh tempat itu porak-poranda seperti habis dilanda angin topan!
Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading sampai bergidik melihat kedahsyatan ilmu yang dimiliki Melati. Tapi Melati bukan bermaksud pamer kesaktian di depan mereka. Gadis itu hanya berusaha memancing lawan agar menampakkan diri. Maka mereka pun segera mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Usaha yang dilakukan Melati tidak sia-sia. Dan kini tampak banyak sosok tubuh berlompatan dari balik semak­semak dan pepohonan yang terbongkar di sana-sini, akibat terlanda angin pukulan gadis itu.

Tentu saja pasukan khusus ini tidak membiarkan mereka lari begitu saja. Mereka semua bergegas bergerak mengejar, kecuali Patih Rantaka dan Melati. Laki-laki setengah baya ini berdiri di sebelah gadis itu.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, Patih Rantaka tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan lelah setelah mengeluarkan tenaga dalam saat mengobrak-abrik seluruh tempat ini. Maka dia sengaja tidak ikut mengejar, tapi melindungi gadis itu dari serangan lawan.

Sementara itu, gerombolan Kala Ireng tidak bisa menghindar lagi karena pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading telah menghadang langkah mereka.

Maka, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Sesaat kemudian, denting senjata beradu pun terdengar ketika kedua belah pihak mulai saling menyerang hebat.

Baru saja Melati menghentikan amukannya, sesosok bayangan hitam melesat dari balik sebuah kerimbunan semak-semak. Bayangan itu terus melompat ke atas. Dan dari atas, kedua tangannya yang berbentuk cakar, menyambar deras ke arah ubun-ubun gadis itu.

Melati terperanjat melihat serangan maut itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera melompat ke samping, lalu bergulingan di tanah. Sehingga, serangan itu hanya menyambar tempat kosong.

Patih Rantaka tidak tinggal diam. Sebelum sosok bayangan hitam itu kembali menyerang Melati, dia segera meloncat menerjang. Pedang di tangannya cepat ditusukkan ke arah leher, begitu kedua kaki sosok bayangan hitam itu mendarat di tanah.

Berbahaya bukan main serangan yang dilakukan Patih Rantaka. Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba, dan pada saat lawan baru saja hinggap di tanah. Laki-laki setengah baya itu sudah bisa memperkirakan kalau serangannya akan berhasil gemilang.

Tapi sungguh di luar dugaan, sosok bayangan hitam itu ternyata mampu menangkis tusukan pedang dengan cengkeraman tangan kanannya.

Tappp ... !

Bilah pedang Patih Rantaka kini telah dicengkeram sosok hitam itu. Hal ini membuat Patih Rantaka terperanjat, tapi hanya sesaat saja. Kemudian laki-laki setengah baya ini buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk menarik kembali pedangnya. Atau paling tidak memutuskan jari jari tangan yang mencengkeram pedangnya.

Tapi sosok hitam yang tak lain Kala Ireng juga tidak sudi membiarkan senjata itu berhasil ditarik pulang lawan. Maka dia pun mengerahkan tenaga dalamnya untuk mempertahankan tarikan lawan. Tak dapat dihindari, adu tarik-menarik pedang pun berlangsung.

Ternyata tenaga dalam kedua tokoh ini berimbang. Tak heran sampai beberapa saat lamanya, Patih Rantaka dan Kala Ireng saling adu tarik, namun tak juga ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.

Dalam hatinya, diam-diam Patih Rantaka terkejut bukan kepalang melihat Kala Ireng mampu mempertahankan pedang tanpa terluka. Mungkinkah lawan memiliki ilmu kebal, sehingga kulit tubuhnya tak bisa dilukai?

Mendadak Kala Ireng melepaskan cengkeramannya. Padahal, saat itu Patih Rantaka tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menarik kembali pedangnya. Akibatnya bisa diduga! Tubuh laki-laki setengah baya ini terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikan tangannya.

Dan pada saat yang tepat Kala Ireng siap mengi­rimkan serangan susulan. Tangannya bergerak ke balik baju. Dan secepat tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan. Dan....

Singgg ... !
Suara mendesing nyaring terdengar begitu sebuah benda logam berbentuk bintang persegi lima, meluruk cepat ke arah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya ini kaget bukan kepalang. Padahal, saat itu tubuhnya tengah terhuyung-huyung ke belakang akibat tenaga tarikannya sendiri. Mendapat serangan mendadak itu, hatinya terperanjat bukan main.

Untung saja Melati yang sudah memperbaiki ke­adaannya dan tengah memperhatikan jalannya pertarungan, bergegas melesat. Seketika ditariknya tangan Patih Rantaka. Maka serangan itu lewat di sebelah kiri pinggang laki-laki setengah baya itu.

"Terima kasih, Gusti Ayu," ucap Patih Rantaka seraya memberi hormat
"Lupakanlah, Paman. Dan sekarang, menyingkirlah," sahut Melati buru-buru. "Biarlah aku yang menghadapinya."

"Tapi, Gusti Ayu...," Patih Rantaka yang merasa khawatir akan keselamatan Melati mencoba membantah.

Walaupun dia tahu kalau kepandaian gadis berpa­kaian putih ini memang tinggi, tapi biar bagaimanapun dia harus bertanggung jawab atas keselamatannya.

"Jangan khawatir, Paman," hibur Melati. "Aku bisa menjaga diri."

Seketika itu juga Patih Rantaka terdiam, tidak berani membantah lagi. Laki-laki setengah baya ini mendengar adanya tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan dalam suara gadis itu. Dan itulah sebabnya, dia kini tidak berbicara lagi.

Sementara itu, Kala Ireng menggeram melihat calon korbannya berhasil lolos dari maut. Dengan wajah gusar, dipandanginya Melati yang telah menolong Patih Rantaka tadi. Pada saat yang sama, gadis berpakaian putih itu tengah menatapnya pula. Tak pelak lagi, dua pasang mata saling bertemu dan menatap tajam.

"Kaukah orang yang berjuluk Kala Ireng?" tanya Melati, dingin.
"Tidak salah!" sahut Kala Ireng, tegas. Ada nada kebanggaan dalam suaranya.

Memang, laki-laki berpakaian hitam ini mempunyai sifat aneh. Dia merasa bangga kalau ada orang yang
mengenal julukannya. Apalagi, kalau orang yang mengenalnya adalah seorang gadis cantik seperti Melati. "Kalau begitu, kau harus mampus!"

Setelah berkata demikian, Melati melompat me­nerjang. Menyadari kalau laki-laki berpakaian hitam itu begitu lihai, gadis berpakaian putih ini langsung menge­luarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah". Kedua tangannya mengembang membentuk cakar naga.

Melati membuka serangannya dengan sebuah sabetan tangan kanan ke arah pelipis. Sementara tangan yang lain menyilang di depan dada, bersiap-siap melancarkan serangan susulan, sekaligus berjagajaga bila lawan melakukan serangan mendadak.

Kala Ireng adalah seorang tokoh hitam yang memiliki sifat angkuh. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri, di samping suka memandang rendah lawan. Apalagi lawannya kali ini adalah seorang gadis muda!

Laki-laki berpakaian hitam ini begitu terkejut melihat serangan Melati yang demikian cepat datangnya. Apalagi ketika terdengar suara angin mencicit nyaring, mengiringi tibanya serangan. Dari sini saja, Kala Ireng dapat memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan lawannya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kala Ireng segera menarik kaki kanannya ke belakang. Pada saat yang sama, tangan kirinya digerakkan untuk menangkis sampokan Melati.
Prattt.. !

Benturan antara kedua tangan yang sama-sama membentuk cakar pun tidak bisa dielakkan lagi. Hasilnya, kedua belah pihak sama-sama meringis, menahan rasa sakit. Hanya saja, rasa sakit yang mereka derita tentu berbeda.

Melati meringis. Rasa ngilu dan nyeri yang amat sangat seketika mendera sekujur jari jari tangannya. Seluruh jari tangannya seolah-olah terasa seperti bukan berbenturan dengan jari jari tangan manusia, tapi seperti berbenturan dengan batang-batang logam yang amat keras! Akibatnya, sekujur tulang-tulang jarinya sakit dan nyeri.

Sementara itu, Kala Ireng pun dilanda rasa sakit pula. Hanya saja rasa sakit yang diderita bukan pada jari jari tangannya, melainkan pada sekujur tangannya. Tangan yang berbenturan itu terasa bergetar hebat. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung jauh ke belakang akibat benturan tadi.

Dari benturan ini saja, sudah bisa diperkirakan kalau dalam hal tenaga dalam. Melati lebih unggul. Sedangkan Kala Ireng lebih unggul dalam hal kekerasan tulang-tulang jarinya.

Kala Ireng menggeram, seperti tidak bisa menerima kenyataan kalau lawannya yang masih sangat muda itu mampu mengunggulinya. Padahal, Patih Rantaka saja tidak mampu mengalahkan kekuatan tenaga dalamnya. Maka sambil menggerung keras, laki-laki berpakaian hitam ini melancarkan serangan. Kedua tangannya membentuk cakar garuda. Tiga buah jari tangannya terkembang, sementara ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam.

Dan dengan bentuk jari jari tangan seperti itulah. Kala Ireng melancarkan serangan. Kedua jari tangannya meluncur cepat ke arah lawan. Tangan kanan mengancam leher, sedangkan tangan kiri mengancam dada. Kedudukan jari jari tangan kanan menghadap ke atas, sementara ujung­ujung jari tangan kiri menghadap ke bawah.

Melati yang telah mengetahui betapa kerasnya jari jari tangan lawan, tidak ingin mencari penyakit dengan mengadu tangan kembali. Apalagi rasa ngilu dan sakit yang menderanya belum lagi hilang. Dan tentu saja dia tidak mau menambahnya lagi. Maka gadis berpakaian putih ini segera melompat mundur ke belakang, sehingga serangan itu hanya mengenai tempat kosong.

Tapi Kala Ireng tidak mungkin akan membiarkan lawannya lolos. Bahkan memberi kesempatan pun tidak mungkin. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dia melompat memburu. Sesaat kemudian, pertarungan yang cukup sengit pun terjadi.

***

Bukan hanya antara Melati dan Kala Ireng saja yang mengalami pertarungan sengit dan menarik. Di tempat lain, juga terjadi pertarungan yang tidak kalah serunya. Pertarungan antara pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading menghadapi gerombolan Kala Ireng.

Hanya ada seorang saja yang sama sekali tidak ikut bertarung. Dia adalah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya
itu kini malah jadi penonton saja. Dan hal ini tentu saja tidak akan dilakukan kalau pasukannya terdesak. Dan memang, keadaan pihak Kerajaan Bojong, Gading kelihatannya berada di atas angin.

Sebetulnya kalau dihitung dalam hal jumlah orang, gerombolan Kala Ireng masih lebih banyak daripada pihak prajurit Kerajaan Bojong Gading. Jumlah mereka semua tak kurang dari tiga puluh orang, sementara di pihak prajurit hanya dua puluh orang. Maka kini dua orang pasukan khusus menghadapi tiga orang lawan. Namun demikian pihak prajurit tetap tidak terdesak. Maka tak heran bila korban di pihak Kala Ireng mulai berjatuhan.

Bahkan perlahan tapi pasti, pihak pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading mulai dapat mendesak gerombolan Kala Ireng. Tapi di antara mereka semua, keadaan Kala Irenglah yang paling mengkhawatirkan.

Laki-laki bengis berpakaian hitam itu memang terdesak hebat. Dan itu ternyata akibat kesalahannya sendiri yang terlalu menganggap remeh lawan. Kala Ireng yang merasa semakin penasaran segera mengeluarkan senjata andalannya berupa gada berduri. Hal ini membuat Melati terpaksa harus mengeluarkan pedangnya. Dan dengan sendirinya, gadis berpakaian putih ini juga mengeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.

Kini Melati tidak ragu-ragu lagi untuk mengadu senjata. Meskipun jika mengadu senjata tangannya selalu bergetar, tapi hal ini tidak terlalu jadi masalah.

Suara menderu-deru dahsyat terdengar setiap kali Kala Ireng mengayunkan gada berdurinya. Mengerikan sekali! Tapi suara itu masih kalah dahsyat dan mengerikan bila dibanding suara yang keluar dari setiap gerakan pedang Melati. Suara menggerung keras seperti naga murka terdengar setiap kali Melati menggerakkan pedangnya.

"Haaat ... !"

Kala Ireng membabatkan gada berdurinya ke arah pinggang Melati. Suara angin keras menderu mengiringi tibanya serangan itu.

Melati menggertakkan gigi. Kedua kakinya tampak menekan tanah. Pelan kelihatannya. Namun mendadak saja, tubuh bagian bawah gadis ini terangkat naik ke belakang. Sehingga, kini tubuh Melati berada di udara dalam keadaan menelungkup. Keadaan tubuh bagian bawah tampak lebih tinggi daripada bagian atas. Rupanya, gadis berpakaian putih ini telah menggunakan jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor".

Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan gadis itu menusuk ke arah leher Kala Ireng. Cepat bukan main gerakannya, sehingga Kala Ireng sangat terkejut. Dengan sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....

Crottt ... !

Telak dan mantap sekali pedang Melati menghunjam leher Kala Ireng. Cairan merah kental muncrat dari leher yang berlubang tertembus pedang. Ada suara mengorok terdengar dari mulut laki-laki bengis berpakaian hitam itu. Sesaat kemudian, tubuhnya menggelepar, lalu tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya.

Berbarengan dengan diamnya tubuh Kala Ireng, Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Gadis berpakaian putih ini menatap mayat lawannya sejenak, lalu menolehkan kepala ke arah Patih Rantaka.

"Luar biasa! Gusti Ayu benar-benar lihai!" puji Patih Rantaka sambil melangkah mendekati.
"Ah.,.! Paman terlalu memuji...," desah Melati merendah.

"Sama sekali tidak, Gusti Ayu. Aku bicara sejujurnya," tegas Pauh Rantaka. "Kala Ireng yang begitu lihai dapat Gusti Ayu robohkan. Bahkan tidak sampai sepuluh jurus!"

Melati tersenyum pahit. Sekilas sepasang matanya menatap ke sekeliling, memperhatikan pertarungan yang masih berlangsung antara pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading menghadapi gerombolan Kala Ireng. Lega hati gadis berpakaian putih Ini meiihat pasukannya berada di atas angin.
Dengan sekali lihat saja Melati tahu kalau keme­nangan bagi pasukannya hanya tinggal menunggu waktu saja. Jumlah gerombolan Kala Ireng hanya tinggal beberapa gelintir saja. Bahkan sebagian anggota pasukan khusus telah berdiri menganggur, karena kehabisan lawan.

"Jari-Jari tangannya kuat sekali, Paman," kata gadis berpakaian putih seraya mengalihkan perhatian ke arah Patih Rantaka. "Jari jari tanganku sampai sakit-sakit ketika berbenturan dengan jari jari tangannya."

Patih Rantaka menganggukkan kepala membenarkan.
"Semula, kukira dia memiliki kulit yang kebal sewaktu berani mencengkeram pedangku. Ternyata hanya jari jari dan telapak tangannya saja yang kuat. Sementara, bagian lainnya biasa-biasa saja," sahut laki-laki setengah baya itu.

Melati menganggukkan kepala pertanda membe­narkan ucapan Patih Rantaka.

"Mungkin dia hanya melatih tangan sebatas pergelangan," duga Melari.
"Benar," sambut Patih Rantaka. "Memang banyak cara untuk membuat tangan jadi seperti itu."

Melati terdiam. Sementara, Patih Rantaka tidak melanjutkan ucapannya kembali. Kini kedua pimpinan pasukan khusus ini mengalihkan perhatian pada per­tarungan yang terjadi antara pasukan khusus melawan sisa gerombolan Kala Ireng.

Kembali terdengar lolong kematian, diiringi robohnya tubuh beberapa orang perampok di tanah untuk selama­lamanya.

Dan dengan berakhirnya pertarungan itu, maka tidak ada lagi anggota gerombolan Kala Ireng yang tersisa. Semuanya tewas.

Sementara di pihak pasukan khusus, tak ada seorang pun yang tewas. Bahkan luka yang diderita hanya ringan saja.

Bergegas seluruh anggota pasukan khusus meng­hampiri Melati Gadis berpakaian-putih ini menyambut mereka sambil tersenyum puas.

"Aku bangga pada kalian semua," puji Melati dengan senyum di bibir. Sementara Patih Rantaka hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Meskipun begitu, mulutnya menyunggingkan senyum pula.

"Kini sudah jelas, mengapa pasukan yang dikirim Adipati Triwisnu tidak pernah kembali. Pasti mereka semua telah tewas. Kalau saja bukan rombongan kita yang kemari, mungkin sebagian besar sudah tewas sebelum berhadapan dengan mereka," jelas Patih Rantaka teringat pada perangkap demi perangkap yang hampir saja merenggut nyawa pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading.

Melati sama sekali tidak menyahut, meskipun dalam hati mengakui kebenaran ucapan laki-laki setengah baya itu. Memang sulit bagi para prajurit biasa untuk menghindari serangan jaring yang tiba-tiba. Di perangkap pertama saja,
Melati sudah dapat memperkirakan kalau sebagian dari prajurit akan terkurung. Sementara yang lolos pun, belum tentu bisa selamat dari ancaman senjata-senjata rahasia yang menyambar. Sungguh sebuah persiapan yang matang!

Sesaat kemudian, Melati, Patih Rantaka, dan pa­sukannya bergegas meninggalkan tempat itu, kembali menuju Kerajaan Bojong Gading.
Suara kukuk burung hantu terdengar memecah kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada sedikit awan yang menggantung di sana. Itu pun tampak tipis saja. Meskipun bulan hanya sepotong nampak di langit, tapi suasana malam jadi terlihat cukup terang. Karena, sinar bulan tidak terhalang.

Dalam suasana seperti itulah, tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat. Dan karena suasana cukup terang, dua sosok bayangan itu bisa terlihat agak jelas.

"Kau kenal pembunuhnya, Kelelawar Beracun?" tanya salah satu dari dua orang itu.

Aneh sekali keadaan orang ini. Tubuhnya pendek seperti anak-anak berusia delapan tahun. Kepalanya botak. Tidak ada kain yang membungkus tubuhnya, selain secarik celana pendek. Kulitnya putih seperti warna celananya. Tidak ada kumis, jenggot, atau cambang yang menghias wajahnya.

Orang yang dipanggil Kelelawar Beracun itu menoleh, tanpa menghentikan larinya sama sekali. Ciri-ciri yang dimiliki amat berlainan dengan rekannya. Tubuhnya tinggi kurus, berpakaian serba hitam dan longgar. Wajahnya putih pucat. Sementara sepasang matanya kecil dan berwarna merah. Persis mata kelelawar!

Menilik dari keadaannya, usia orang yang berjuluk Kelelawar Beracun ini tak kurang dari empat puluh lima tahun.

"Kenal sih tidak," sahut Kelelawar Beracun Suaranya terdengar mencicit seperti suara kelelawar. "Tapi, apa susahnya mengorek keterangan dari mulut para prajurit nanti, Tuyul Tangan Seribu?"

Laki-laki bertubuh pendek yang ternyata berjuluk Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak menyahuti. Dan rupanya Kelelawar Beracun pun juga tidak berminat untuk melanjutkan ucapannya. Kini kedua orang aneh itu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Cepat bukan main ilmu meringankan tubuh kedua orang itu. Sehingga yang terlihat hanyalah bayangan hitam dan putih yang berkelebatan cepat.
"Itu bangunan Istana Kerajaan Bojong Gading," unjuk Kelelawar Beracun seraya menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar yang menjulang kokoh di kejauhan, tanpa mengendurkan kecepatan larinya.

"Hm...," Tuyul Tangan Seribu hanya menggumam pelan sebagai jawabannya. Sementara kakinya terus saja melangkah.

Hebat memang laki-laki bertubuh pendek ini. Meskipun kedua kakinya pendek, namun sama sekail tidak mengalami kesulitan untuk berlari di sebelah Kelelawar Beracun.

Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu singkat Istana Kerajaan Bojong Gading telah berada di hadapan mereka.

Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu segera merapatkan tubuh ke tembok Istana Kerajaan Bojong Gading. Kepala mereka didongakkan ke atas sebentar, mengira-ngira ketinggian tembok itu. Tak kurang dari tiga tombak tinggi pagar tembok itu.

"Hih ... !"

Kelelawar Beracun menjejakkan kedua kakinya di tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Menggiriskan sekali kelihatannya. Karena, pakaiannya yang berwarna hitam dan longgar berkibaran tertiup angin. Laki­laki berwajah pucat ini tak ubahnya seperti seekor kelelawar raksasa.

Tapi sebelum tubuh itu mencapai atas tembok, luncuran itu terhenti. Kelelawar Beracun yang sudah memperhitungkan hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat tangan kanannya dimasukkan ke balik baju. Dan begitu keluar kembali, sebilah pisau telah berada di tangannya.

Cappp ... !

Seketika pisau itu amblas ke dalam pagar tembok sampai ke gagang ketika Kelelawar Beracun menancapkannya. Tidak hanya sampai di situ saja yang dila­kukan laki-laki berwajah pucat ini. Begitu pisau itu amblas, dengan tangan kanan berpegangan pada gagang pisau, tubuhnya kembali melenting ke atas.

Hebat cara yang dilakukan Kelelawar Beracun untuk melewati pagar tembok. Tapi, masih lebih hebat lagi cara yang dilakukan Tuyul Tangan Seribu. Laki-laki bertubuh pendek ini berusaha melewati pagar tembok istana dengan cara merayap, seperti layaknya seekor cecak berjalan di dinding!

Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki bertubuh pendek itu. Melakukan hal seperti itu paling tidak membutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga dapat menempelkan tangan dan kaki pada pagar tembok.

Karena Tuyul Tangan Seribu menggunakan cara seperti itu, tidak aneh jika baru saja mencapai setengah perjalanan, Kelelawar Beracun telah mendaratkan kakinya di atas pagar tembok. Namun tiba-tiba....

"Siapa kau?!" terdengar teguran salah seorang prajurit yang menjaga pagar tembok Istana Kerajaan Bojong Gading itu.
"Hmh ... !"

Kelelawar Beracun hanya mendengus, namun tangan kanannya cepat bergerak mengibas.

Plakkk ... !

Terdengar suara keras ketika dada prajurit itu terhantam tangan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga tubuh prajurit itu terpental jauh dengan tulang-tulang dada hancur. Nampaknya seluruh isi dadanya remuk. Cairan merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Prajurit yang malang itu kontan tewas sebelum tubuhnya sempat mencium tanah.

Karuan saja hal itu mengagetkan prajurit lain. Maka serentak mereka pun menyerang Kelelawar Beracun. Seketika itu juga beberapa ujung tombak berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian tubuh laki-laki berwajah pucat itu.
"Hmh ... !"

Lagi-lagi Kelelawar Beracun hanya mendengus. Segera kakinya dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah berada di atas kepala para prajurit itu. Dan sekali tangannya bergerak menepuk, tubuh para prajurit itu terdorong ke depan. Begitu kuatnya dorongan itu. Sehingga tanpa mampu dicegah lagi, tubuh para prajurit itu berpentalan menjauh. Terdengar suara jeritan yang memilukan ketika tubuh mereka berjatuhan ke bawah.

***
Ringan tanpa suara sama sekali. Kelelawar Beracun mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dia kini telah berada di dalam istana. Tapi baru saja hinggap, kembali belasan orang prajurit meluruk menyerbu ke arahnya dengan senjata terhunus. Memang, keributan yang ditimbulkan tadi telah memancing tibanya prajurit lain.

Dan kini hujan senjata telah meluruk ke arah ber­bagai bagian tubuh Kelelawar Beracun. Tapi kembali laki-laki berwajah pucat ini hanya mendengus pelan. Kedua tangannya segera bergerak cepat, menangkis serangan­serangan yang datang.

Tak, tak ... !

Suara berdentang keras seperti beradunya dua batang logam terdengar ketika tangan Kelelawar Beracun berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Maka seketika terdengar seruan keterkejutan dari mulut para prajurit itu, tatkala merasakan getaran hebat pada tangan yang menggenggam senjata. Bahkan hampir-hampir senjata itu terlepas dari tangan.

Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu, tangan Kelelawar Beracun bergerak cepat bukan main. Mana mungkin para prajurit yang hanya mempunyai kemampuan pas-pasan itu mampu mengelak? Seketika itu juga tubuh tiga orang prajurit itu terlempar jauh ke belakang seperti diseruduk kerbau! Darah segar langsung memancar deras dari mulut, hidung, dan telinga. Mereka langsung tewas tanpa mampu berteriak lagi.

Kelelawar Beracun tidak bertindak setengah-setengah. Seluruh kemampuan yang dimilikinya dikerahkan. Akibatnya sudah bisa diduga. Para prajurit pun berjatuhan saling susul diiringi jerit kematian mendirikan bulu roma.

Meskipun tahu betapa lihainya laki-laki berwajah pucat itu, namun para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak menjadi gentar karenanya. Dengan semangat tanggung jawab tinggi, mereka segera datang membantu. Maka pembantaian besar-besaran pun terjadi oleh tangan dingin Kelelawar Beracun.
Menggiriskan sekali tindakan Kelelawar Beracun ini. Para prajurit itu seperti semut-semut yang menerjang api. Mereka semua berguguran tanpa mampu berbuat sesuatu.

Belum juga kerusuhan yang ditimbulkan Kelelawar Beracun bisa ditanggulangi, Tuyul Tangan Seribu datang. Dan begitu tiba, langsung saja menceburkan diri dalam arena pertmpuran. Dan yang lebih mengerikan lagi, tindakan Tuyul Tangan Seribu tidak kalah dinginnya dengan amukan Kelelawar Beracun.

Laki-laki bertubuh pendek ini menggerak-gerakkan tangannya. Dan hebatnya, sepasang tangan itu seperti berubah menjadi banyak. Kemana pun tangan itu bergerak, sudah dapat dipastikan ada seorang prajurit yang roboh untuk selamanya.

Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dua orang tokoh sakti itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di sana-sini.

Sudah tak terhitung lagi, berapa prajurit Kerajaan Bojong Gading yang tewas. Meskipun begitu, tetap saja yang lainnya tak menjadi gentar dan tetap saja mengadakan perlawanan sengit.

"Mari kita berlomba menghabisi lawan, Kelelawar Beracun!" ajak Tuyul Tangan Seribu sambil tertawa-tawa gembira.

Tangan kanan laki-laki pendek itu bergerak me­nampar ke arah kepala seorang prajurit Terdengar suara berderak keras ketika pelipis prajurit itu pecah. Maka prajurit malang itu pun tewas seketika.

"Kuterima tantanganmu, Tuyul Tangan Seribu!" sambut Kelelawar Beracun tak mau kalah.

Kaki laki-laki berwajah pucat ini meluncur cepat ke arah dada salah seorang prajurit. Terdengar suara berderak keras diikuti terpentalnya tubuh prajurit yang malang itu ketika tendangan Kelelawar Beracun mengenai dada. Prajurit itu pun roboh untuk selama lamanya dengan seluruh tulang dada hancur!

"Mundur semua...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti mun­culnya dua sosok tubuh berpakaian panglima.
Mendengar bentakan keras menggelegar itu, bergegas belasan orang prajurit yang memang sudah kewalahan itu
berlompatan mundur. Mereka semua mengenal pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Panglima Jatalu.

Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak mengejar para prajurit itu. Mereka hanya berdiri menanti. Pandangan mata kedua orang sakti ini tertuju pada dua orang panglima yang bergerak menghampiri mereka.

Dua orang panglima yang tak lain Panglima Jatalu dan Panglima Garda itu melangkah menghampiri. Panglima Garda dulu tidak ikut dalam pertempuran peristiwa pemberontakan di Kerajaan Bojong Gading karena mendapat tugas dari Prabu Nalanda.

Kali ini Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu bersikap waspada, tidak lagi sembarangan seperti sebelumnya. Sekali lihat saja, mereka tahu kalau kedua orang panglima itu bukan orang sembarangan. Dan itulah sebabnya, mengapa mereka berlaku hati-hati.

"Siapa kalian?! Dan mengapa mengacau Istana Kerajaan Bojong Gading?!" tanya Panglima Jatalu dengan suara khasnya yang keras seperti halilintar.

Laki-laki bertubuh tinggi besar ini memang marah bukan main melihat banyak prajurit Kerajaan Bojong Gading yang bergelimpangan tanpa nyawa di tanah.

"Aku Kelelawar Beracun!" sahut laki-laki berwajah pucat sambil tersenyum mengejek.
"Dan aku, Tuyul Tangan Seribu!" sambung laki-laki bertubuh pendek tak mau kalah.

Berubah wajah Panglima Jatalu dan Panglima Garda begitu mendengar julukan kedua orang itu. Sebab, dua tokoh sesat itu terkenal memiliki kepandaian tinggi dan bersifat telengas.

"Dan kami datang untuk membalaskan dendam! Seorang gadis berpakaian putih dan berambut panjang telah membunuh sahabat kami!" sahut Kelelawar Beracun, dingin.

"Siapa sahabat kalian?" Panglima Garda ikut angkat bicara.

Sudah bisa diperkirakan kalau gadis berpakaian putih yang dimaksud laki-laki berwajah pucat itu adalah Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Melati adalah seorang gadis pendekar. Dan selama petualangannya memang bukan tidak mungkin kalau dia telah membunuh seorang yang menjadi sahabat kedua orang ini.
"Kala Ireng!" tandas Tuyul Tangan Seribu.
"Kala Ireng?!" ulang Panglima Garda dan Panglima Jatalu berbarengan.

Kala Ireng adalah pemimpin gerombolan perampok yang memang belum lama ini ditumpas Melati. Jadi, rupanya kedua orang ini adalah sahabat kepala rampok itu.

"Ya!" Kelelawar Beracun menganggukkan kepala. "Cepat suruh wanita keparat itu keluar untuk menerima kematian di tangan kami! Jangan sampai aku berubah pikiran, hingga harus membunuh kalian!"

Terdengar suara gemeretak keras dari mulut semua orang yang berada di situ. Mereka memang marah bukan main mendengar Melati, wanita yang mereka bangga­banggakan, dimaki seperti itu.

"Sayang sekali, Kisanak!" sahut Panglima Jatalu keras. "Kami sama sekali tidak bisa memenuhi per­mintaanmu. Bahkan justru kamilah yang akan mengadili kalian karena telah membunuh banyak prajurit dan juga menghina junjungan jami!"

"Ha ha ha...!" Tuyul Tangan Seribu tertawa terbahak­bahak. "Kalian mencari penyakit rupanya!"
"Hiyaaat..!"

Panglima Garda yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi segera melompat menerjang. Tiga buah Jari tangannya mengembang membentuk cakar. Sementara ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam. Panglima andalan Kerajaan Bojong Gading itu menggunakan 'Ilmu Garuda Sakti'. Tubuhnya kemudian meluncur turun seraya mengirimkan serangan ke arah ubun-ubun dan pelipis Kelelawar Beracun.

"Hey ...!"

Baik Tuyul Tangan Seribu maupun Kelelawar Beracun terperanjat melihat ilmu yang digunakan Panglima Garda. Sebab, kelihatannya mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki rekan mereka, Kala Ireng.

Memang dugaan kedua orang itu sama sekali tidak salah. Baik Panglima Garda, maupun Kala Ireng sama-sama mempergunakan ilmu yang diambil dari gerakan burung garuda. Baik dalam hal bentuk jari tangan, maupun perilaku binatang itu. Terutama saat menghadapi mangsa maupun musuh yang lebih kuat. Tidak aneh jika ilmu yang dimainkan memiliki persamaan.

Kelelawar Beracun tidak berani bertindak main-main. Dia mendengar adanya suara angin mencicit mengiringi tibanya serangan lawan. Pertanda kalau serangan itu mengandung tenaga dalam tinggi.

Tapi laki-laki berwajah pucat ini adalah orang yang terlalu percaya akan diri sendiri. Dia selalu percaya akan kelihaian yang dimilikinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi tangannya segera diangkat untuk menangkis, seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.

Prattt.. !

Tubuh Panglima Garda terpental balik ke atas kembali begitu tangan mereka saling berbenturan. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main. Bahkan boleh dibilang setengah lumpuh! Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main.

Sedangkan Kelelawar Beracun hanya merasakan betapa kedua tangannya agak bergetar. Tapi kuda-kudanya tetap tidak berubah. Pertanda kalau benturan itu sama sekati tidak mempengaruhinya.

Dengan agak terhuyung-huyung, Panglima Garda mendaratkan kedua kakinya di tanah. Panglima Jatalu yang melihat hal ini menjadi khawatir dan bergegas memburunya.

"Kau tidak apa-apa, Panglima Garda?" tanya Panglima Jatalu agak khawatir.

***

Panglima bertubuh tinggi besar ini tentu saja bisa mengetahui kalau Kelelawar Beracun jauh lebih kuat daripada rekan sekaligus adik seperguruannya. Memang Panglima Jatalu dan Panglima Garda adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama murid utama Perguruan Garuda Sakti (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").

Panglima Garda menggelengkan kepala.

"Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Kang," kata Panglima Garda memberi tahu.
"Biar aku yang menghadapinya," Panglima Jatalu menawarkan diri. "Kau hadapi saja kawannya"

Panglima Garda sama sekail tidak membantah. Kini kedua panglima itu bergerak ke arah yang berlawanan. Panglima Garda ke kiri, sementara Panglima Jatalu ke kanan.
"Ha ha ha...!"

Kelelawar Beracun tertawa bergelak. Laki laki berwajah pucat ini kembali bangkit kesombongannya, begitu telah mengetahui tingkat kepandaian lawan. Sambil masih tertawa-tawa, diperhatikannya Panglima Jatalu yang kini perlahan-lahan mulai menghampiri.

"Haaat..!"

Panglima Jatalu kini melompat menyerang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar garuda meluncur cepat ke arah ulu hati Kelelawar Beracun. Sementara tangan kirinya terpalang di depan dada.

"Hiyaaa ... !"

Kelelawar Beracun melesat memapak serangan Panglima Jatalu. Tangan kanannya dengan jari jari tangan terkembang lebar memapak.

Prattt ... !

Tubuh Panglima Jatalu terjengkang ke belakang. Tangan kanannya terasa lumpuh, setelah beradu dengan tangan Kelelawar Beracun. Rasa sesak yang amat sangat mendera dadanya. Sementara Kelelawar Beracun sama sekali tidak terhuyung. Hanya kedua tangannya bergetar. Tubuhnya yang agak condong ke belakang saja, yang membuktikan kalau benturan dengan Panglima Jatalu itu cukup mempengaruhinya.

Tapi sekejap kemudian. Kelelawar Beracun kembali melompat menerjang, ke atas. Langsung dihujaninya tubuh yang masih terhuyung-huyung itu dengan serangan tusukan tangan bertubi-tubi.

Panglima Jatalu terperanjat. Tidak ada lagi kesem­patan untuk mengelakkan serangan itu, karena dalam keadaan yang tidak memungkinkan. Jalan satu-satunya hanya menangkis. Dan itulah yang terpaksa harus dilakukan panglima bertubuh tinggi besar ini dalam usaha untuk menyelamatkan nyawanya.

Plak, plak, plak ... !

Benturan keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Panglima Jatalu meringis.

Tubuhnya yang memang tengah terhuyung-huyung itu kontan terjengkang, dan jatuh bergulingan di tanah. Sakit yang diderita tangannya tadi belum lagi hilang, kini terpaksa
harus berbenturan lagi. Kedua tangannya saat ini benar­benar tidak bisa digerakkan lagi.

"Ha ha ha...!"

Kembali terdengar suara tawa Kelelawar Beracun. Seperti sebuah tawa kemenangan.

Panglima Jatalu bergerak bangkit. Diam-diam disesalinya sendiri keteledorannya. Kalau saja sejak semula tidak bertindak teledor dengan mengadu benturan tenaga, tidak akan semudah itu akan dipecundangi lawannya.

"Sudah kubilang, cepat panggil wanita keparat itu kemari! Sampai saat ini aku masih mau bersabar, dan tidak membunuhmu. Tapi kalau kau masih bersikeras juga, jangan salahkan kalau aku akhirnya bertindak keji padamu!" ancam Kelelawar Beracun seraya menatap tajam wajah Panglima Jatalu.
"Cuhhh ... !" Panglima Jatalu membuang ludah ke tanah. "Kau kira aku takut mati, Kelelawar Beracun?!"

Merah selebar wajah Kelelawar Beracun. Terdengar suara gemeretak keras dari gigi-giginya, karena kemarahan yang menggelegak. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri Panglima Jatalu yang berusaha bangkit berdiri. Hawa maut terpancar baik pada wajah maupun sorot matanya.

Tentu saja para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak tinggal diam melihat atasan mereka terancam bahaya maut. Serentak mereka semua bergerak, berdiri di depan Panglima Jatalu dengan senjata terhunus.

"Hmh ... !"

Kelelawar Beracun mendengus. Tanpa mempedulikan adanya para prajurit itu, dia tetap melangkah maju. Rupanya tokoh sesat ini bersiap mengirim Panglima Jatalu ke alam baka.
"Serbu ... !"

Diiringi teriakan salah seorang prajurit, belasan prajurit itu menyerang Kelelawar Beracun. Hujan senjata tajam pun berhamburan ke arah laki-laki berwajah pucat itu.

Kelelawar Beracun menyambut serbuan itu. Tak pelak lagi, pertarungan sengit di antara mereka terjadi.

Berbeda dengan pertarungan Panglima Jatalu yang hanya berlangsung beberapa gebrakan, pertempuran antara Panglima Garda dengan Tuyul Tangan Seribu justru berlangsung lebih lama.

Pengalaman yang diterima ketika menghadapi Kelelawar Beracun memang membuat panglima itu berhati­hati. Maka dia tidak berani bertindak ceroboh dengan sembarangan mengadu tenaga dengan Tuyul Tangan Seribu. Tapi karena memang tokoh sesat itu lebih unggul segala­galanya, maka tak heran kalau Panglima Garda terdesak hebat.
Tuyul Tangan Seribu memang memiliki kepandaian luar biasa! Terutama sekali gerakan tangannya yang cepat bukan main. Seolah-olah tangan itu tidak berjumlah dua, tapi banyak! Mungkin itulah sebabnya, mengapa laki-laki bertubuh pendek ini mendapat julukan Tuyul Tangan Seribu.

Panglima Garda kebingungan. Kepalanya terasa pusing bukan main. Sepasang matanya pun berkunang­kunang akibat pergerakan tangan lawan yang sedemikian cepatnya. Tidak sampai tiga jurus dia sudah terdesak hebat. Sudah dapat dipastikan, robohnya Panglima Garda hanya tinggal menunggu waktu saja.

"Haaat ... !"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang meng­getarkan jantung. Belum lagi gema teriakan itu lenyap, sesosok bayangan putih melesat cepat memasuki arena pertarungan antara Tuyul Tangan Seribu dengan Panglima Garda.

Begitu masuk kancah pertempuran, sosok bayangan putih itu langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala dan ubun-ubun Tuyul Tangan Seribu.

Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka, Tuyul Tangan Seribu langsung terperanjat. Meskipun begitu dia tidak gugup. Buru-buru desakannya pada Panglima Garda dibatalkan. Lalu, dia melompat ke samping kanan dan bergulingan menjauh.
Sosok bayangan putih itu sama sekali tidak me­ngejarnya. Begitu Tuyul Tangan Seribu menjauhkan diri, tubuhnya kembali melesat ke arah pertarungan yang terjadi antara Kelelawar Beracun dengan para prajurit Kerajaan Bojong Gading.

Seperti halnya Tuyul Tangan Seribu, Kelelawar Beracun pun terkejut bukan main begitu melihat sekelebatan bayangan putih melesat ke arahnya, menerobos kerumunan prajurit. Bayangan putih itu melancarkan serangan dengan kedua tangan membentuk setengah cakar ke arah dada dan ulu hati.

Angin keras berhembus sebelum serangan itu sendiri tiba. Dari angin serangan itu saja, Kelelawar Beracun sudah bisa memperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.

Tapi karena keyakinannya amat kuat terhadap kemampuan diri, membuat laki-laki berwajah pucat Ini tidak berusaha mengelakkan serangan itu. Dia malah memapaknya dengan jari jari tangan membentuk cakar seperti sosok bayangan putih itu menyerangnya.

Prattt ... !

Tubuh Kelelawar Beracun terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara sosok bayangan putih itu hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Bukan hanya itu saja yang dirasakan laki-laki berwajah pucat ini. Kedua tangan yang berbenturan terasa ngilu bukan main!

"Mundur semua ... !" perintah sosok bayangan putih itu keras begitu kakinya hinggap di tanah. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa.

Tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang mengeroyok Kelelawar Beracun segera berlompatan mundur. Mereka semua telah mengenal pemilik suara itu.

Kelelawar Beracun menatap tajam wajah sosok bayangan putih, begitu berhasil memperbaiki berdirinya. Rasa penasaran menyelimuti hatinya. Baru kali ini ada orang yang sanggup membuatnya terhuyung-huyung dalam adu tenaga.

Perasaan penasaran itu semakin menjadi jadi ketika melihat sosok bayangan putih itu ternyata adalah seorang gadis berpakaian putih yang berambut pan jang terurai.

Hanya seorang gadis muda telah mampu membuatnya terhuyung-huyung! Sungguh sulit dipercaya.

Tapi sesaat kemudian, kemarahan kembali meng­gelegak dalam hatinya. Dia teringat sesuatu. Ciri-ciri gadis di hadapannya ini sangat mirip dengan orang yang dikabarkan telah membunuh Kala Ireng.

"Kaukah orang yang telah membunuh Kala Ireng, Wanita Liar?!" tanya Kelelawar Beracun kasar. Nada suara dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang amat sangat.
Wajah gadis berpakaian putih yang tak lain dari Melati merah padam. Ucapan Kelelawar Beracun membuat amarahnya bangkit. Meskipun begitu kemarahannya berusaha ditahan.

"Kalau memang benar, kau mau apa?!" Melati balas bertanya sambil bertolak pinggang. Sikap maupun nada suaranya penuh tantangan. "Orang seperti Kala Ireng layak untuk mampus!"

"Keparat! "

Sambil berteriak memaki, Kelelawar Beracun segera melancarkan serangan ke arah Melati. Tahu akan kelihaian lawannya, laki-laki berwajah pucat itu tidak bertindak, tanggung-tanggung lagi. Segera dikeluarkan Ilmu andalannya, 'Jari Tombak'.

Kedua tangannya dikepalkan, kecuali jari telunjuknya yang menegang kaku. Dan dengan bentuk jari jari tangan seperti itulah, Kelelawar Beracun menyerang Melati. Dua jari telunjuknya meluncur cepat ke arah gadis itu, mengancam leher dan bawah hidung yang merupakan dua jalan darah kematian!

Terdengar suara mencicit nyaring seperti ada seekor tikus terjepit, mengiringi datangnya serangan itu.

Melati yang tengah murka bukan main melihat ba­nyak pasukan Kerajaan Bojong Gading tewas, dan juga karena ucapan lawan, tidak ingin bertindak main-main lagi. Segera dikeluarkannya pula ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.

Kedua tangan gadis berpakaian putih ini terkembang membentuk cakar naga. Ditambah lagi kedua tangan sampai sebatas pergelangan gadis itu berwarna merah seperti darah.

Melati terkejut bukan main ketika mengetahui beberapa helai rambutnya berputusan tatkala serangan Kelelawar Beracun menyambar dekat. Kalau saja dia belum pernah bertarung dengan orang yang memiliki ilmu semacam ini, pasti dia akan kebingungan beberapa saat lamanya. Ilmu yang dimiliki lawannya mirip dengan yang dimiliki Darba (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar") .

Melihat hal ini, Melati tidak berani bertindak ceroboh. Bergegas kakinya melangkah ke kanan, sehingga serangan itu lewat sekitar sejengkal di samping kiri tubuhnya. Dan secepat dia mengelak, secepat itu pula Melati melancarkan serangan berupa sampokan tangan kiri ke arah pelipis Keielawar Beracun.

Kelelawar Beracun menggeram murka. Sungguh di luar dugaan, kalau dalam segebrakan saja lawannya ini mampu balik mengancam. Padahal sebelumnya keadaan gadis berpakaian putih itu berada dalam pihak terancam.

Tapi Kelelawar Beracun memang bukan orang sembarangan. Menghadapi serangan itu, dia tidak menjadi bingung atau gugup. Segera kepalanya dirundukkan, seraya merendahkan tubuh. Dengan sendirinya, serangan itu lewat sekitar sejengkal di atas kepala.

Rupanya hal itu sudah diperhitungkan Melati. Terbukti, gadis itu langsung melancarkan serangan susulan. Kaki kirinya mencuat mengancam perut Kelelawar Beracun. Andaikan kena, mungkin bisa remuk isi dada laki-laki berwajah pucat itu.

Tidak ada jalan lain bagi Kelelawar Beracun. Segera tubuhnya dilempar ke belakang kemudian bersalto beberapa kali di udara untuk mengelakkan serangan.

Melati sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu lawannya terlihat melempar tubuh ke belalang, gadis berpakaian putih ini bergegas bergerak mengejar. Tapi sebelum niatnya tedaksana, sesosok bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek. Siapa lagi kalau bukan Tuyul Tangan Seribu!

Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak memberi kesempatan pada Melati. Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula serangannya dilancarkan ke arah gadis berpakaian putih. Kedua tangannya menotok bertubi­tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan main gerakannya.

Melati terperanjat. Kecepatan gerak tangan lawan benar-benar membingungkan. Gadis berpakaian putih ini memang tidak ingin bertindak ceroboh, jadi tidak berani langsung menangkis. Dia belum mengetahui perkembangan ilmu lawannya, maka cepat-cepat bergerak mengelak.

Baru saja gadis berpakaian putih mengelakkan serangan itu, Kelelawar Beracun telah kembali menye­rangnya. Maka, kini putri angkat Raja Bojong Gading ini pun dikeroyok dua.

***

Panglima Jatalu, Panglima Garda, dan semua prajurit hanya menonton pertarungan itu dengan hati berdebar tegang. Diam-diam mereka semua merasa kagum pada Melati. Dan memang, mereka semua telah merasakan sendiri, betapa lihainya tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun itu. Menghadapi satu orang saja, mereka mengalami kesulitan. Tapi sekarang, putri angkat junjungan mereka menghadapi keroyokan dua tokoh sakti itu sekaligus. Dari sini saja mereka sudah bisa memperkirakan kelihaian gadis berpakaian putih itu.

Di samping perasaan kagum itu, terselip rasa khawatir yang amat sangat dalam hati mereka semua. Mereka tidak yakin kalau Melati akan mampu menghadapi dua orang lawannya. Dan dengan perasaan harap-harap cemas, mereka menyaksikan jalannya pertarungan.

Meskipun mereka semua menyaksikan jalannya pertarungan, tapi hanya Panglima Jatalu dan Panglima Garda saja yang bisa mengira-ngira keadaan kedua belah pihak yang bertempur.

Pertarungan antara Melati melawan Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun memang berlangsung demikian cepat. Tidak aneh kalau para prajurit Kerajaan Bojong Gading sama sekali tidak bisa mengikuti jalannya pertarungan. Bukannya kelihatan, tapi kepala mereka yang pusing. Dan sepasang mata mereka pun berkunang-kunang ketika memaksakan diri untuk melihat pertarungan itu.

Panglima Garda dan Panglima Jatalu saja yang telah memiliki kepandaian tinggi, tidak dapat melihat jelas pertarungan itu. Sulit untuk mengetahui, mana pihak yang terdesak, dan yang mendesak. Yang menjadi patokan mereka adalah bayangan putih dan hitam yang saling menyerang cepat.

Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu menggertakkan gigi. Mereka marah dan malu bukan main, di samping ada perasaan kagum yang terselip. Padahal mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tapi tak juga mampu mengalahkan lawan. Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak mampu.

Pertarungan memang berlangsung cepat, karena masing-masing pihak memang mengerahkan seluruh kemampuan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, empat puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang terdesak. Terdengar suara mencicit dan menderu menyemaraki pertarungan sengit itu.

Bukan hanya Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu yang merasa kagum. Melati pun diam-diam merasa kagum terhadap kedua orang lawannya ini. Mereka memang memiliki keistimewaan masing masing. Kelelawar Beracun dengan ilmu 'Jari Tombak'nya, sedangkan Tuyul Tangan Seribu dengan iimu 'Tangan Seribu'nya. Melati berjuang keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya sampai setinggi mungkin. Kedua cakarnya dalam pemakaian ilmu 'Cakar Naga Merah' menyambar-nyambar mencari sasaran.

Kembali empat puluh jurus berlalu cepat. Dan selama itu, belum juga ada tanda-tanda yang akan terdesak maupun mendesak. Pertarungan masih kelihatan seimbang. Sementara jumlah prajurit yang menonton pun semakin banyak. Di antara mereka, ternyata telah hadir pula Panglima Gotawa, Panglima Tampaya, Patih Rantaka, dan pasukan khusus kerajaan. Bahkan di sana juga telah berdiri dengan agungnya Prabu Nalanda.

Melihat hal ini, tentu saja Kelelawar Beracun menjadi cemas. Betapapun saktinya dia dan Tuyul Tangan Seribu, tapi tetap saja tidak akan mungkin mampu menghadapi sekian banyaknya lawan. Maka perasaan cemaslah yang mendorongnya menggunakan senjata andalan.
Kelelawar Beracun memasukkan tangannya ke balik baju. Sesaat kemudian tangan itu dikeluarkan kembali, dan secepat itu pula dikibaskan.

Serrr ... !

Terdengar suara berdesir pelan diikuti melesatnya benda-benda kecil berkilauan ke arah Melati.

Melati terperanjat begitu mendengar suara berdesir pelan. Tapi karena suasana malam yang cukup terang, gadis berpakaian putih ini tidak mengalami kesulitan untuk mengetahuinya. Benda itu ternyata adalah jarum yang mungkin puluhan jumlahnya

Bau amis yang memuakkan tercium ketika jarum jarum itu meluncur.

Bukan hanya Melati saja yang merasa terkejut melihat hal ini. Semua orang yang menyaksikan pun terperanjat bukan main. Bahkan Prabu Nalanda tanpa sadar memukulkan kepalan tangan kanan pada telapak tangan kirinya.

"Licik ... !" seru Raja Bojong Gading ini dengan suara berdesis. Raut wajah maupun sinar matanya menyorotkan perasaan cemas yang mendalam.

"Hih ... !"

Melati membanting tubuh ke samping kanan, kemudian bergulingan di tanah menjauhkan diri. Maka semua serangan jarum itu mengenai tempat kosong.

Tuyul Tangan Seribu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Buru-buru dia melompat memburu. Kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh yang tengah bergulingan.

Sungguh di luar dugaan, ternyata dalam keadaan seperti itu Melati mampu melenting ke atas. Tak pelak lagi, semua serangannya mengenai tempat kosong. Sama sekali laki laki bertubuh pendek ini tidak tahu kalau itu adalah salah satu jurus dari rangkaian ilmu 'Cakar Naga Merah', yakni jurus 'Naga Merah Muncul ke Permukaan Laut'. jurus yang belum pernah digunakan gadis berpakaian putih itu, kecuali dalam keadaan terdesak.

Sebelum Tuyul Tangan Seribu sempat berbuat sesuatu, Melati telah melancarkan serangan cakar tangan kanan ke arah ubun-ubun.

Laki-laki bertubuh pendek ini terkesiap. Dengan agak gugup, dia melompat mundur ke belakang. Menurut
perhitungannya, cakar tangan Melati tidak akan bisa mencapainya.

Hampir saja jantung Tuyul Tangan Seribu melompat keluar ketika cakar tangan lawan tetap saja mengancam ubun-ubunnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi, laki-laki bertubuh pendek tidak mengetahuinya. Yang jelas, cakar tangan itu terus memburunya. Sama sekali Tuyul Tangan Seribu tidak tahu kalau itu adalah jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'.

Meskipun berada dalam keadaan terjepit, Tuyul Tangan Seribu masih sanggup membuktikan kalau dirinya adalah seorang tokoh tingkat tinggi. Dalam kesempatan yang hanya sedikit sekali, tubuhnya berusaha digeliatkan.

Plakkk ... !

Cakar tangan Melati menghantam bahu kiri Tuyui Tangan Seribu. Telak, dan keras sekali. Akibatnya tubuh laki­laki bertubuh pendek itu terjengkang ke belakang. Mau tak mau Tuyul Tangan Seribu harus meringis. Darah segar menetes dari sudut-sudut mulut nya. Laki-laki bertubuh pendek ini terluka dalam.

Tapi sebelum Melati sempat mengirimkan serangan susulan, Kelelawar Beracun kembali mengibaskan tangannya.

Serrr...!

Suara berdesir pelan terdengar ketika jarum jarum beracun itu kembali menyambar ke arah Melati. Gadis berpakaian putih ini tentu saja terkejut bukan main. Serangan itu datang terlalu tiba-tiba. Dan lagi, tubuhnya tengah berada di udara. Sulit baginya untuk mengelakkan serangan itu.

Meskipun begitu, Melati tetap berusaha keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Maka tubuhnya segera digeliatkan. Tapi....

Crep, crep, crep...!

Beberapa batang jarum beracun itu tetap menancap di tubuh Melati. Seketika itu juga bagian yang terhunjam jarum jarum itu terasa panas dan gatal-gatal. Sebagai seorang wanita yang telah cukup kenyang merambah dunia persilatan, dia segera tahu kalau jarum jarum itu beracun.

Hebatnya, begitu jarum jarum itu menancap di tubuhnya. Melati masih mampu melakukan serangan balasan. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar itu dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.

Angin keras menderu menyambar ke arah Kelelawar Beracun. Laki-laki berwajah pucat ini kaget bukan main. Dia baru saja mengirimkan serangan jarum jarumnya, dan tubuhnya masih tengah berada di udara. Karuan saja serangan mendadak yang tidak disangka-sangka ini membuat wajahnya pucat seketika.

Sebisa-bisanya Kelelawar Beracun berusaha mengelakkan serangan itu. Tubuhnya digeliatkan se­mampunya. Tapi usaha untuk menghindarkan serangan itu tidak berhasil sepenuhnya. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Melati telak dan keras sekali menghantam bahu kanannya, namun agak menyeleweng dari sasaran semula.

Meskipun begitu, akibat yang diderita Kelelawar Beracun bukan berarti ringan. Tubuh laki-laki berwajah pucat ini melayang jauh ke belakang, dan jatuh keras sekali di tanah. Darah segar menitik deras dari hidung dan mulutnya.

Tapi dalam keadaan seperti itu, Kelelawar Beracun masih sanggup mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan sebuah gerakan manis, kekuatan yang melontarkan tubuhnya berhasil dipatahkan. Kemudian, dia bersalto beberapa kali di udara. Walaupun agak terhuyung-huyung, Kelelawar Beracun berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah.

Beberapa saat sebelum Kelelawar Beracun hinggap di tanah, Melati telah lebih dulu mendarat. Seperti juga halnya Kelelawar Beracun, gadis berpakaian putih ini juga terhuyung-huyung waktu mendarat di tanah. Bedanya, Kelelawar Beracun langsung bisa memperbaiki berdirinya, sedangkan Melati tidak. Gadis berpakaian putih ini memegangi kepalanya. Sekelilingnya terasa berputaran. Sesaat kemudian tubuhnya limbung.

Tentu saja semua orang yang menonton pertarungan itu jadi terkejut. Hampir berbareng, semuanya bergerak menghambur ke arah Melari. Prabu Nalanda dan Patih Rantaka merupakan orang pertama yang berhambur ke arah Melati. Maka Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu pun terlupakan.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu yang melihat kesempatan baik ini tidak menyia-nyiakan lagi. Mereka tahu, tidak ada gunanya lagi berada di situ, karena telah terluka dalam. Dan bila terus memaksakan diri, mereka akan tewas di tangan pasukan Kerajaan Bojong Gading.

Maka begitu melihat kesempatan yang baik, di saat semua perhatian tertumpah pada Melati, kedua orang ini melesat kabur dari situ. Ada satu alasan lagi yang mendorong kedua orang itu bergegas kabur. Racun yang terkandung dalam jarum itu adalah racun yang amat ganas. Kecil sekali kemungkinannya bagi Melati untuk dapat bertahan hidup.
"Melati...!" seru Prabu Nalanda penuh kekhawatiran seraya bergegas melangkah menghampiri putri angkatnya.

Tapi Melati seperti tidak mendengar panggilan itu, dan tetap saja memegangi kepalanya. Letak berdirinya pun sudah tidak tetap lagi. Kadang oleng ke kiri, dan kadang oleng ke kanan seperti orang mabuk.

Dan tepat ketika Raja Bojong Gading ini berada dekat Melari, tubuh gadis berpakaian putih itu mendadak roboh. Sebuah keluhan lirih keluar dari mulutnya. Kelihatannya dia pingsan. Sudah dapat dipastikan tubuh Melati akan jatuh membentur tanah. Untung saja Prabu Nalanda bergerak cepat menyambar.

Tappp ... !

Tangan kanan Melati berhasil ditangkap, tapi seketika itu juga Prabu Nalanda melepaskannya. Ada jerit keterkejutan keluar dari mulutnya. Betapa Raja Bojong Gading ini tidak menjadi terkejut. Begitu dipegang, tangan Melati terasa panas sekali! Menyengat, tak ubahnya bara api!

Lagi-lagi nasib baik tengah berpihak pada Melati. Tubuh gadis berpakaian putih itu disambar Patih Rantaka sebelum menyentuh tanah. Tapi seperti juga Prabu Nalanda, laki-laki setengah baya itu juga terperanjat. Hanya saja, Patih Rantaka bisa menguasai diri, sehingga tidak sampai melepaskan tubuh Melati.

Sebagai orang yang telah penuh pengalaman, Patih Rantaka segera saja mengetahui apa yang terjadi terhadap Melati. Apalagi ketika perlahan namun pasti, tampak wajah gadis berpakaian putih itu mulai memerah.

"Cepat panggil Eyang Sagapati...!" seru laki-laki setengah baya itu pada salah seorang pasukan khusus.

Patih Rantaka sengaja menyuruh salah seorang anggota pasukan khusus, agar lebih mempercepat datangnya pertolongan untuk Melati.

Setelah memberi hormat, tanpa membuang-buang waktu lagi seorang anggota yang berkumis jarang jarang segera berkelebat. Cepat juga gerakannya. Sehingga sebentar saja, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

"Apa yang terjadi. Patih?" tanya Prabu Nalanda. Nada suara maupun sikap Raja Bojong Gading ini menyiratkan perasaan cemas yang tak terhingga.

"Gusti Ayu keracunan, Gusti Prabu," Jelas Patih Rantaka sambil memberi hormat. Kedua telapak tangannya dirapatkan kemudian ditempelkan di depan hidung, seraya membungkukkan tubuh sedikit.

Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu kemudian menelusuri sekujur tubuh Melati. Mencari-cari, di mana adanya jarum yang menancap di tubuh gadis berpakaian putih itu. Memang, tadi Patih Rantaka sempat melihat kalau Melati terkena serangan jarum Kelelawar Beracun.

Sesaat kemudian, laki-laki setengah baya ini telah berhasil menemukannya. Tiga batang jarum itu ternyata menancap di dada atas sebelah kiri. Tanpa ragu-ragu lagi, Patih Rantaka menggerakkan jarinya menotok di sekitar tempat yang terkena jarum untuk mencegah menjalarnya racun ke jantung.

"Cepat bawa dia masuk, Patih...!" sabda Prabu Nalanda dengan suara bergetar karena cemas.

Tanpa diperintah dua kali, Patih Rantaka segera membawa masuk tubuh Melati. Prabu Nalanda dan pasukan khusus segera bergerak mengikuti. Sementara keempat panglima dan seluruh prajurit lain hanya bisa berdiri diam terpaku, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

***
"Bagaimana, Eyang?" tanya Prabu Nalanda tak sabar.

Sepasang mata penguasa Kerajaan Bojong Gading itu menatap penuh harap pada kakek berjenggot putih panjang berpakaian coklat, yang tengah sibuk memeriksa Melati. Sementara gadis berpakaian putih itu kini tergolek di sebuah pembaringan yang indah dan mewah. Sekujur wajah dan bagian tubuh yang tidak tertutup pakaian nampak berwarna merah seperti udang direbus.

"Hhh ... !"

Kakek berpakaian coklat menghela napas berat. Berkali-kali kakek yang tak lain Eyang Sagapati, tabib nomor

satu Istana Kerajaan Bojong Gading, menggeleng-gelengkan kepala.
"Hamba mohon ampun, Gusti Prabu," sahut Eyang Sagapati beberapa saat kemudian.
"Apa.... Apa maksudmu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda dengan raut wajah berubah memucat.

Meskipun sudah dapat menduga ketika melihat kakek itu berkali-kali menggelengkan kepala sewaktu memeriksa, tapi Raja Bojong Gading ini berusaha meyakinkan dirinya. Eyang Sagapati adalah tabib Istana Kerajaan Bojong Gading yang sudah terkenal keahliannya. Belum pemah kakek ini gagal dalam mengobati orang. Namun sekarang?

Bukan hanya Prabu Nalanda saja yang terperanjat dan cemas. Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun dilanda perasaan yang sama. Kini semua wajah memucat begitu mendengar ucapan Eyang Sagapati Meskipun belum dikatakan secara lengkap, tapi sudah bisa diperkirakan ucapan yang akan keluar selanjutnya.

"Hamba siap menerima hukuman, Gusti Prabu," desah kakek berpakaian coklat itu seraya memberi hormat "Hamba tidak mampu mengobati Gusti Ayu...."

"Ohhh ... !"

Terdengar seruan tertahan dari mulut Prabu Nalanda. Raja Bojong Gading ini langsung menundukkan kepala. Kedua tangannya mendekap wajah. Tampak jelas kalau Prabu Nalanda merasa terpukul mendengar ucapan Eyang Sagapati.

Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun sama-sama menundukkan kepala. Seperti Prabu Nalanda, mereka pun terpukul mendengar jawaban itu.

Prabu Nalanda menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja berbuat demikian, tapi beberapa kali.

"Mengapa, Eyang?" tanya Prabu Nalanda setelah berhasil menguasai diri.

Ada nada penasaran dalam suara penguasa Kerajaan Bojong Gading itu. Memang dia merasa penasaran bukan main, karena tidak percaya kalau tabib Istana Kerajaan Bojong Gading yang paling jempolan ini tidak mampu mengobati luka yang diderita putri angkatnya.

"Ampun, Gusti Prabu," kembali Eyang Sagapati memberi hormat "Racun yang merasuk ke dalam tubuh Gusti Ayu adalah racun yang amat ganas. Kalau saja Gusti Ayu tidak memiliki tenaga dalam yang amat kuat, mungkin sudah tewas."
Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak. Di samping untuk mengambil napas, juga mencari kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.

"Racun itu amat aneh, Gusti Prabu," sambung kakek berpakaian coklat lagi. "Dan hamba sama sekali tidak mengenalnya. Hamba siap menerima hukuman atas kebodohan hamba, Gusti Prabu."

"Lupakanlah, Eyang," sabda Prabu Nalanda seraya mengulapkan tangannya.

Suasana menjadi hening sejenak ketika Raja Bojong Gading ini menghentikan ucapannya.

"Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" pinta Patih Rantaka memecah keheningan yang menyelimuti tempat itu.

"Silakan, Patih."
"Eyang," sebut laki-laki setengah baya itu seraya menatap wajah Eyang Sagapati.

Kakek berpakaian coklat itu mengangkat kepala, menatap wajah Patih Rantaka.

"Ada apa, Gusti Patih?"

"Tadi sebelum membawa Gusti Ayu kemari, aku telah menotok jalan darah sekitar luka, agar racun itu tidak menjalar lebih jauh. Lalu, apakah racun itu masih tetap saja menjalar?" tanya Patih Rantaka.

"Racun yang menyerang Gusti Ayu amat ganas, Gusti Patih. Begitu benda yang menjadi perantara itu bersarang di tubuh Gusti Ayu, racun itu langsung menyebar. Jadi, usaha yang kau lakukan sama sekali tidak berarti."

"Berbuatlah sesuatu. Eyang," selak Prabu Nalanda dalam cekaman rasa cemas yang menggelegak.
"Ampun, Gusti Prabu," Eyang Sagapati kembali memberi hormat "Apa yang harus hamba lakukan?"
"Apa saja, Eyang," sahut Raja Bojong Gading se­kenanya. "Yang penting, nyawa putriku dapat diselamatkan."

Eyang Sagapati tercenung sejenak. Dahinya berkerut dalam. Jelas kalau tengah berpikir keras.
"Sepengetahuan hamba, ada beberapa macam obat yang dapat menyelamatkan nyawa Gusti Ayu selain obat penawar dari pemilik racun ini sendiri," jelas Eyang Sagapati setelah beberapa saat lamanya termenung.

"Apa itu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah. "Ampun, Gusti Prabu. Andaikata hamba memberi tahu pun, tidak akan ada gunanya."

"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Eyang?" Raja Bojong Gading mengerutkan alis tak senang,

"Sebelum obat itu tiba di sini, racun itu telah sampai di jantung Gusti Ayu...."

Wajah semua orang yang berada di situ pucat pasi seketika. Ucapan yang keluar dari mulut Eyang Sagapati membuat mereka cemas bukan main.

"Apakah Eyang tidak mampu memperlambat daya kerja racun itu? Yahhh ... ! Paling tidak, sampai obat yang kita butuhkan itu berhasil didapatkan."

"Hhh ... !" kakek berpakaian coklat itu menghela napas panjang. "Sulit Gusti Prabu...."

Seketika itu juga Prabu Nalanda terdiam. Wajah maupun sorot matanya diliputi perasaan putus asa.

"Ampun, Gusti Prabu," lagi-lagi Patih Rantaka menyelak. "Bukankah Gusti Ayu memiliki Batu Kehidupan?"

Prabu Nalanda terlonjak kaget. Melati memang memiliki Batu Kehidupan yang didapat dari Prabu Nalanda sendiri. Raja Bojong Gading sendiri yang memberikannya sebagai bekal bagi gadis itu dalam merambah kerasnya kehidupan dunia persilatan. Dan memang keampuhan Batu Kehidupan itu telah terbukti (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Rahasia Surat Berdarah").

"Kau benar, Patih! Ah ... ! Mengapa aku sampai melupakannya?" desah Raja Bojong Gading ini pada dirinya sendiri. Kini raut kecemasan lenyap dari wajahnya Wajah Prabu Nalanda berseri-seri. Ada secercah harapan yang muncul di hatinya.

"Batu Kehidupan?!" gumam Eyang Sagapati pula tak percaya. Memang, kakek berpakaian coklat ini tidak tahu kalau junjungannya memiliki benda itu. Yang mengetahuinya hanya Patih Rantaka seorang.
"Ya! Bukankah benda itu berkhasiat menawarkan segala macam racun. Eyang?" sahut Prabu Nalanda. "Bisakah benda itu menyembuhkan putriku, Eyang?"

"Entahlah, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa memas­tikan," sahut Eyang Sagapati. "Batu Kehidupan memang salah satu benda langka. Tapi, racun ini pun aneh sekali. Mungkin jika racun yang memasuki tubuh Gusti Ayu belum separah ini, hamba yakin benda itu akan mampu menyembuhkannya. Tapi sekarang, racun ini telah menyebar...."

"Jangan berputus asa dulu, Eyang," sergah Patih Rantaka. "Lebih baik kita segera mengobatinya."

Prabu Nalanda lalu memeriksa bagian pinggang Melati. Dia tahu gadis berpakaian putih itu menyimpannya di situ.

Sesaat kemudian, di tangan kanan Raja Bojong Gading ini telah tercekal sebuah buntalan kain kecil berwarna hitam. Prabu Nalanda lalu membuka ikatannya, kemudian mengeluarkan isinya. Ternyata sebuah benda berwarna bening sebesar kelereng. Inilah Batu Kehidupan itu.

Secepat benda itu dipegangnya, secepat itu pula diserahkannya pada Eyang Sagapati. Bergegas kakek berpakaian coklat itu menerima, kemudian mencelupkannya ke dalam sebuah cawan berisi air putih.

Begitu Batu Kehidupan itu telah tenggelam, dari dasar cawan melayang naik gelembung-gelembung udara. Mula­mula sedikit, tapi kian lama kian banyak. Kemudian perlahan mulai berkurang, sampai akhirnya lenyap sama sekali.

Begitu gelembung-gelembung udara itu lenyap, Eyang Sagapati segera meminumkan larutan itu pada Melati.

"Kini kita hanya tinggal menunggu hasilnya saja," jelas Eyang Sagapati perlahan setelah air itu lenyap ke dalam mulut Melati.

Tidak ada satu pun yang menyahuti ucapan kakek berpakaian coklat itu. Semua yang berada di situ sama-sama dilanda perasaan tegang dan cemas. Eyang Sagapati pun rupanya tidak terlalu mementingkan adanya sambutan atas ucapannya tadi.

***
Waktu terasa merayap begitu lambat Prabu Nalanda, Patih Rantaka, pasukan khusus, dan Eyang Sagapati memperhatikan wajah Melati dengan perasaan cemas. Tapi sampai pagi menjelang, warna merah pada wajah gadis itu tetap tidak lenyap. Hanya saja, warna merahnya tidak lagi bertambah.

Eyang Sagapati kembali memeriksa Melati.

"Apa yang hamba khawatirkan terjadi juga, Gusti Prabu," bisik kakek berpakaian coklat itu.
"Maksud, Eyang?"
"Batu Kehidupan tidak mampu mengusir racun yang telah mengeram dalam tubuh Gusti Ayu...."
"Jadi.... Anakku akan tewas, Eyang?" ada nada keputusasaan dan rasa sedih yang mendalam pada suara itu.
"Tidak, apabila obat penawar racun ini berhasil didapatkan," jelas Eyang Sagapati lagi.

"Tapi bukankah akan percuma saja, Eyang?" bantah Prabu Nalanda. "Mencari obat itu membutuhkan waktu, sementara Melati sama sekali tidak bisa menunggu."

"Ampun, Gusti Prabu. Batu Kehidupan akan mempertahankan nyawa Gusti Ayu sampai obat penawarnya berhasil didapatkan."

"Maksud, Eyang?" tanya Raja Bojong Gading ini tidak mengerti.

"Meskipun Batu Kehidupan tidak mampu mengusir racun itu karena kedatangannya sudah amat terlambat, tapi benda itu masih menunjukkan kegunaannya," ujar Eyang Sagapati menjelaskan.

"Apa kegunaan benda itu, Eyang?" Prabu Nalanda ingin tahu.
"Menahan menjalarnya racun itu menuju ke jantung,"

Prabu Nalanda, Patih Rantaka, dan seluruh anggota pasukan khusus mengangguk-anggukkan kepala. Ada sedikit rasa lega mendengar nyawa Melati masih bisa diperpanjang.

"Apakah obatnya, Eyang?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah. "Segera akan kuutus para prajuritku untuk mendapatkannya."

Eyang Sagapati tercenung sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan itu.

"Menurut sepengetahuan hamba, ada tiga macam pusaka di dunia ini yang dapat menawarkan segala macam racun, Gusti Prabu," jawab kakek berpakaian coklat memberi keterangan. "Pertama, benda langit. Kedua, macan putih. Dan ketiga, Batu Kehidupan."

Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak, menatap wajah orang-orang yang berada di sekelilingnya. Tampak, Patih Rantaka mengangguk-anggukkan kepala.

"Di antara ketiga benda pusaka itu, Batu Kehidupan menempati urutan terbawah dalam hal kemanjuran. Meskipun begitu, telah kita lihat sendiri keampuhannya."

"Jadi..., benda langit dan macan putih itulah yanti harus ditemukan, Eyang?" potong Prabu Nalanda tidak sabar. "Kira-kira, di mana adanya benda itu, Eyang?"

"Hamba juga tidak mengetahuinya, Gusti Prabu," sahut Eyang Sagapati seraya menggelengkan kepala.

"Rasanya sulit untuk mendapatkan kedua benda itu, Eyang Sagapati," Patih Rantaka kembali membuka suara. "Beberapa waktu yang lalu, memang kudengar ada kabar mengenai adanya benda langit dan macan putih di Hutan Bandan. Tapi..., kemudian lenyap begitu saja."

Prabu Nalanda menganggukkan kepala. Memang Raja Bojong Gading ini juga mendengar berita itu.

"Apakah tidak ada obat lain yang dapat menawarkan racun itu. Eyang Sagapati?" tanya Patih Rantaka ingin tahu.
"Memang masih ada lagi, Gusti Patih," sahut kakek berpakaian coklat cepat.

"Apa itu, Eyang?" Prabu Nalanda yang justru bertanya.
"Obat penawar dari Kelelawar Beracun!" tandas Eyang Sagapati.

Sepasang mata Prabu Nalanda kembali berbinar. Secercah harapan kini bersemi kembali di hatinya. Harapan agar Melati bisa diselamatkan.

"Patih...!" panggil Raja Bojong Gading itu pada Patih Rantaka.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Patih Rantaka seraya memberi sembah.

"Perintahkan prajurit untuk mencari benda-benda itu!" sabda Prabu Nalanda. "Dan jangan lupa, cari pula Kelelawar Beracun! Dan beri tahu Dewa Arak serta Ki Julaga mengenal hal ini. Mengerti?!"

"Hamba mengerti. Gusti Prabu!"
"Kalau begitu, cepat pergilah!"

Setelah memberi hormat Patih Rantaka pun bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara anggota pasukan khusus langsung berjagajaga di sekitar ruangan itu. Mereka memang pasukan keselamatan raja.

***
Siang itu udara panas sekali. Matahari yang tepat berada di atas kepala memancarkan sinarnya dengan garang, seakan-akan ingin melelehkan bumi beserta isinya.

"Hhh ... !"

Seorang pemuda berambut putih keperakan menghela napas lega. Wajahnya, terutama sekali dahi dan bawah hidungnya nampak dipenuhi butiran-butiran keringat.

Perlahan-lahan kepala pemuda berambut putih keperakan itu mendongak, menatap sejenak ke arah bola raksasa yang nampak menyilaukan itu. Lalu tangannya digerakkan untuk menghapus peluh yang membasahi dan bawah hidungnya dengan punggung tangan.

Pemuda itu berpakaian ungu. Sebuah guci arak terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Sepertinya tidak ada yang aneh pada pemuda ini, kecuali warna rambutnya yang berwarna putih keperakan itu. Tapi jika orang melihat sepasang matanya, baru terlihat keanehannya. Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu terlihat begitu tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan. Mirip sepasang mata seekor harimau dalam gelap.

Wajah pemuda berambut putih keperakan itu berseri ketika melihat sebatang pohon besar berdaun rindang, tak jauh di hadapannya. Bergegas kakinya melangkah menghampiri, kemudian menghempaskan bokongnya. Dia duduk sebentar, lalu perlahan merebahkan tubuh menelentang.

"Hhh...!"

Sebuah hembusan kelegaan keluar dari mulutnya, kemudian sepasang matanya dipejamkan periahan-lahan.

Belum berapa lama berbaring, pemuda berpakaian ungu ini mengangkat kembali kepalanya. Telinganya yang menempel di tanah, menangkap derap kaki kuda. Menilik dari bunyinya, dia tahu kalau kuda itu tidak hanya seekor saja.

Tapi begitu kepalanya diangkat, derap langkah kuda itu lenyap. Betapa pun pemuda berambut putih keperakan ini memusatkan pendengarannya, tapi bunyi tadi tak juga tertangkap olehnya.

Kini pemuda berpakaian ungu ini sadar kalau kuda yang tengah berlari itu masih terlalu jauh, sehingga pendengarannya yang telah amat tajam itu tidak mampu menangkapnya. Kini dia bangkit dari berbaringnya, lalu duduk bersandar pada batang pohon.

Perlahan namun pasti derap kaki kuda itu semakin keras terdengar. Pertanda kalau kuda itu tengah berlari menuju ke arahnya. Tapi pemuda berambut putih keperakan sama sekali tidak mempedulikan, dan tetap saja duduk bersandar pada sebatang pohon.

Pemuda berpakaian ungu itu tetap saja tak bergeming dari bersandarnya, meskipun para penunggang kuda sudah berada dalam jangkauan pandang mata biasa.

Derap langkah kuda itu ternyata berasal dari lima ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seorang berpakaian prajurit.

Pemuda berambut putih keperakan itu hanya me­liriknya sekejap, kemudian memejamkan matanya kembali. Sama sekali tidak ambil peduli atas kehadiran lima orang penunggang kuda itu.

Meskipun begitu, pendengarannya dipasang tajam-tajam, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Seluruh otot-ototnya tampak menegang waspada.

Pemuda berpakaian ungu mulai merasa curiga begitu langkah kaki kuda itu terdengar semakin mendekat ke arahnya. Tak lama kemudian berhenti sesaat. Lalu, terdengar suara perlahan dan beberapa pasang kaki yang mendarat di tanah.

"Raden...," tiba-tiba terdengar oleh telinga pemuda berambut putih keperakan suara panggilan perlahan.

Karuan saja pemuda itu merasa heran. Dia tidak mengetahui adanya orang lain di sekitar sini. Tapi mengapa ada orang yang memanggil raden? Perasaan penasaran mendorongnya membuka mata.
Seketika sepasang mata pemuda berambut putih keperakan terbelalak. Betapa tidak? Sekitar tiga tombak di depannya, berdiri lima orang prajurit yang tadi dilihatnya. Mereka semua berdiri menghadap ke arahnya dengan kepala tertunduk.

Dirinyalah yang tadi dipanggil raden? Atau orang lain yang berada di sekitar tempat ini? Mendapat dugaan demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, tidak ada seorang pun yang dilihatnya! Jadi, apakah panggilan raden itu ditujukan padanya?

"Maaf, siapakah Kisanak semua?" tanya pemuda berambut pulih keperakan pelan.

"Kami adalah prajurit Kerajaan Bojong Gading, Raden," sahut seorang prajurit yang beralis tebal.

Kini pemuda berambut putih keperakan itu mengerti, mengapa kelima orang prajurit itu memanggilnya raden.

"Aku mohon, kalian semua jangan memanggilku seperti itu," pinta pemuda berambut putih keperakan tegas. "Dan kalau kalian tetap berkeras, aku akan pergi. Panggil saja aku Arya!"

Wajah kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading berubah. Mereka menangkap adanya nada kesungguhan dalam suara pemuda berambut putih keperakan yang memang adalah Arya alias Dewa Arak Maka, mereka tidak berani bersikap main-main.

"Baiklah, Rad.... Eh! Arya," ujar prajurit beralis tebal mengalah. Rupanya dialah yang bertugas menjadi juru bicara dari keempat orang rekannya.

Arya menganggukkan kepala.

"Sekarang katakanlah, mengapa kalian bisa berada di sini?" tanya Arya.
"Kami memang ditugaskan untuk mencari Rad.. eh! Mencarimu, Arya?" sahut prajurit beralis tebal, gugup.

"Heh ... ?!" pemuda berambut putih keperakan terperanjat "Siapa yang menugaskan kalian?"
"Gusti Prabu."

"Gusti Prabu?!" ulang Arya setengah terpekik kaget. Kelima orang prajurit Bojong Gading itu meng­anggukkan kepala, membenarkan.

"Kalau boleh kutahu, apakah keperluan yang mendorong Gusti Prabu menyuruh kalian mencariku?" tanya Arya.
Perasaan tidak enak mulai menjalari hati pemuda berambut putih keperakan ini. Dia tahu, pasti ada suatu masalah yang penting. Sebab, tidak mungkin Raja Bojong Gading itu mengirimkan prajurit untuk memanggilnya, jika tidak ada masalah gawat seperti ini.

Kontan kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu terdiam. Hanya mata mereka saja yang saling pandang. Tampak jelas kalau mereka merasa ragu-ragu untuk menyampaikannya.

"Katakanlah cepat jangan berteka-teki lagi," desak Arya tak sabar.
"Hhh ... !"

Prajurit beralis tebal menghela napas berat. "Gusti Ayu menderita keracunan hebat..," jawab prajurit beralis tebal itu. Pelan sekali, mirip desahan.

"Hah ... ?!" Arya terjingkat bagai disengat kalajengking. "Melati keracunan? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bukankah gadis berpakaian putih itu memiliki pusaka yang dapat menawarkan segala macam racun?"

"Bagaimana kalau kita membicarakannya dalam perjalanan saja, Arya? Gusti Prabu menyuruh kami untuk cepat-cepat membawamu ke istana," usul prajurit beralis tebal hati-hati.

Tanpa pikir panjang lagi, Arya menganggukkan kepala.

"Kalau begitu, mari cepat terangkat!" sambung prajurit lain.

Dia lalu melompat naik ke atas punggung kuda, diikuti keempat orang kawannya. Sementara Arya lebih memilih berlari daripada menaiki seekor kuda bersama-sama. Betapapun kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu mendesak, Arya tetap menolak. Namun akhirnya mereka mengalah.

Prajurit beralis tebal mendecak pelan seraya menghela tali kekang kudanya. Keempat orang rekannya pun berbuat yang sama. Seketika itu juga, binatang-binatang tunggangan itu melesat cepat meninggalkan tempat itu.

Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini telah mengetahui kelihaian Arya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi mereka segera memacu lari kuda itu secepatnya. Mereka sebenarnya juga ingin tahu, mampukah Dewa Arak mengimbangi lari kuda mereka? Sebab, binatang itu adalah kuda-kuda pilihan yang kuat dan memiliki kemampuan lari cepat.

Prajurit Kerajaan Bojong Gading ini jadi kagum ketika mereka melihat sekelebatan bayangan ungu. Dan sesaat kemudian, di sebelah mereka Arya tengah berlari membarengi kuda. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu tampak biasa-biasa saja, tidak nampak kalau tengah mengerahkan tenaga.

Hebatnya, sambil terus beriari Arya menanyakan sebab-sebab Melati bisa terluka. Dengan bergantian, kelima orang prajurit itu menceritakan pada Arya.

Bahkan diceritakan pula kalau Prabu Nalanda telah mengundang seluruh ahli pengobatan di dunia peralatan untuk mengobati Melati. Imbalan besar menanti mereka bila berhasil menyembuhkan gadis berpakaian putih. Tapi, satu persatu ahli-ahli pengobatan itu angkat tangan, tak mampu mengobati Melati.

Karuan saja mendengar cerita itu, Arya merasa khawatir bukan kepalang. Tanpa mempedulikan kelima orang prajurit itu, Dewa Arak lalu menambah kecepatan larinya sampai setinggi mungkin.

Perlahan namun pasti, Arya mulai meninggalkan kelima orang prajurit Kerajaan Bojong Gading itu. Semakin lama semakin jauh, hingga tak dihiraukannya lagi panggilan para prajurit itu. Yang ada di benaknya hanya satu. Segera menemui Melati secepatnya.

8

Prajurit penjaga pintu gerbang terperanjat begitu melihat kedatangan Dewa Arak. Bergegas dia berlari ke dalam menyampaikan berita itu pada seorang anggota pasukan khusus, untuk diteruskan pada Prabu Nalanda.

"Ampun, Gusti Prabu," ucap seorang anggota pasukan khusus seraya memberi hormat.

"Ada apa?" tanya Prabu Nalanda seraya memalingkan kepala dari tubuh Melati yang masih tergolek di pembaringan.

Di sebuah kursi Indah berukir di dekat situ, duduk seorang kakek bertubuh kecil kurus. Alis, kumis, dan jenggotnya telah memutih semua. Jenggotnya panjang hingga mencapai dada. Kelihatannya, kakek itu datang dari kalangan rimba persilatan.

"Prajurit penjaga pintu gerbang melaporkan. Dewa Arak telah berada di depan," jelas anggota pasukan khusus Itu.

"Bawa dia masuk!" sabda Prabu Nalanda penuh wibawa. Wajahnya tampak berseri-seri.

"Baik, Gusti Prabu," sahut anggota pasukan khusus seraya melangkah meninggalkan tempat Itu. Tak lupa dihaturkan hormat kepada junjungannya.

Kakek bertubuh kecil kurus itu berdiri dari bangku­nya begitu mendengar kedatangan Dewa Arak.

"Orang yang kira tunggu-tunggu akhirnya datang juga, Ki," kata Prabu Nalanda pelan. Nada suara maupun sorot matanya memancarkan kegembiraan. Meskipun begitu, sorot kecemasan tidak juga lenyap dari wajahnya.

"Yahhh ... !" kakek bertubuh kecil kurus mendesah pelan. "Memang dialah orang yang harus lebih dulu tahu mengenai nasib Melati."

Prabu Nalanda hanya menganggukkan kepala.

"Bagaimana usaha pencarian terhadap benda langit dan macan putih, Gusti Prabu," tanya kakek bertubuh kecil kurus itu ingin tahu.

"Hhh ... !" Raja Bojong Gading menghela napas berat "Sampai sekarang mereka belum juga kembali."


"Hm...," kakek bertubuh kecil kurus menggumam pelan. "Lalu..., apakah tempat tinggal Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun sudah ditemukan, Gusti Prabu?"

Raja Bojong Gading menggelengkan kepala.

"Kedua tokoh sesat itu telah meninggalkan sarangnya masing-masing. Rupanya mereka khawatir juga kalau Kerajaan Bojong Gading akan mengadakan pembalasan. Ki Temula sendiri yang mengajukan diri, agar aku mengizinkannya mencari kedua tokoh sesat itu."

"Ki Temula?" ulang kakek bertubuh kecil kurus sambil mengernyitkan dahi. "Siapa dia, Gusti Prabu?"
"Ketua Perguruan Garuda Sakti, sekaligus guru beberapa orang panglima Kerajaan Bojong Gading."

Kakek bertubuh kecil kurus mengangguk-anggukkan kepala.

Sementara itu, percakapan mereka terhenti ketika Dewa Arak melangkah masuk diiringi seorang anggota pasukan khusus.

Arya terperanjat ketika melihat kakek bertubuh kecil kurus berada di situ. Dia kenal betul, siapa adanya kakek itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Julaga? Guru Melati!

Pemuda berambut putih keperakan itu segera memberi hormat kepada Prabu Nalanda.

"Bagaimana kau bisa berada di sini, Ki?" tanya Arya heran.
Kakek bertubuh kecil kurus itu tersenyum lebar.

"Pasukan Kerajaan Bojong Gading datang ke tempatku, Arya. Mereka mengabarkan kalau Melati keracunan," sahut Ki Julaga memberi tahu. "Maka buru-buru aku datang ke sini."

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Kini dia mengerti, mengapa kakek bertubuh kecil kurus itu bisa berada di dalam Istana Kerajaan Bojong Gading.

"Bagaimana keadaan Melati, Gusti Prabu?" tanya Arya.

Sebenarnya sudah sejak tadi dia hendak mena­nyakannya. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu diri, dengan menahan pertanyaan yang sejak tadi hendak keluar dari mulutnya.
"Kau lihat saja sendiri, Arya," sahut Raja Bojong Gading itu mempersilakan.
Dewa Arak segera melangkah menghampiri pembaringan. Sejak tadi pun gadis berpakaian pulih itu sudah terlihat. Tapi tanpa perkenan Prabu Nalanda, mana berani dia bersikap lancang menghampiri pembaringan itu. Dan kini setelah Prabu Nalanda memperkenankan, tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini melangkah menghampiri pembaringan.

Hampir saja air mata Dewa Arak tumpah melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.

"Melati-kah Ini?" tanya Dewa Arak dalam hati, hampir tidak percaya.

Gadis berpakaian putih itu kini sungguh berubah jauh. Meskipun Arya masih bisa mengenali kalau sosok tubuh yang terbaring lemah di pembaringan itu adalah Melati, tapi keadaannya membuat kaget bukan main!

Melati kini sangat kurus. Pakaian putih yang mem­bungkus tubuhnya kini telah longgar. Padahal dulu pakaian itu amat ketat membungkus tubuhnya yang kini hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Wajah yang dulu cantik laksana bidadari dan nampak selalu segar berseri itu, kini nampak cekung. Dan yang lebih mengerikan lagi, sekujur kulit tubuh Melati nampak merah.

Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu terpaku. Sepasang matanya terbelalak lebar. Rasa haru dan kasihan yang amat sangat melanda hatinya. Ingin rasanya dia menjerit. Memeluk tubuh yang tergolek lemah dengan sepasang mata terpejam rapat itu.

"Melati! Betapa menderitanya dirimu?" desah Arya dalam hati dengan perasaan pilu. Kalau saja bisa, ingin rasanya Dewa Arak memindahkan penyakit yang menimpa Melati padanya!

Prabu Nalanda, Ki Julaga, Patih Rantaka, dan Eyang Sagapati sama sekali tidak mengganggu. Dibiarkan saja Arya dengan kesibukannya. Tidak ada lagi yang berada dalam ruangan itu kecuali mereka. Prabu Nalanda telah menyuruh semua anggota pasukan khusus untuk meninggalkan ruangan, dan berjaga jaga di luar saja.

"Sudah berapa lama Melati seperti ini, Gusti Prabu?" tanya Arya setelah sekian lamanya terdiam. Suara pemuda berambut putih keperakan ini terdengar serak.
"Tujuh hari...," jawab Prabu Nalanda Kini suaranya terdengar biasa.

Memang, setelah beberapa hari sakitnya Melati, Raja Bojong Gading ini sudah bisa mengendalikan diri. Tidak lagi hanyut terbawa perasaan cemas.

"Dan selama itu..., apakah Melati pernah tersadar, Gusti Prabu?" kembali pemuda berambut putih keperakan ini mengajukan pertanyaan. Masih dengan suara serak.

Prabu Nalanda menggelengkan kepala.

"Untuk menjaga daya tahan tubuhnya, terpaksa kami berikan buah-buahan yang terlebih dahulu diperas. Hal itu dilakukan, agar dia tetap dapat bertahan hidup."

Arya menganggukkan kepala. Kini dia mengerti, mengapa Melati bisa sekurus ini. Dan sekarang, perlahan tangan Arya bergerak, membelai wajah dan rambut Melati penuh kasih sayang. Kalau saja tidak malu, ingin rasanya Arya menangis sambil memanggil-manggil Melati. Tapi, dia tahu hal itu tak mungkin dilakukannya. Yang dapat dilakukan pemuda berambut putih keperakan ini hanyalah mengepalkan kedua tangan sekeras mungkin. Terdengar suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang berpatahan, ketika Dewa Arak mengepalkan tangannya.

Prabu Nalanda dan Patih Rantaka diam-diam terkejut bukan main melihat hal ini. Mereka berdua memang telah mengetahui kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.

"Kelelawar Beracun ... !" desis Dewa Arak pelan tapi tajam. Sepertinya ada ancaman maut tersirat dalam ucapan itu.
Ki Julaga bergegas menghampiri, langsung menepuk­nepuk bahu pemuda berambut putih keperakan untuk menenangkan hatinya.

"Sabarlah, Arya," bujuk kakek bertubuh kecil kurus itu menasihati. 'Tidak baik menuruti nafsu amarah."

"Tapi, Ki.... Perbuatan Iblis itu sudah sangat keterlaluan ... !" sergah Dewa Arak "Apa pun yang terjadi, aku harus mencarinya untuk menuntut balas atas kekejiannya terhadap Melati!"

"Hhh ... !"

Hanya sebuah helaan napas panjang Ki Julaga yang menyahuti ucapan Dewa Arak.

Mendadak Arya membalikkan tubuh. "Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa berlama-lama di sini," ucap pemuda berambut putih keperakan sambil memberi hormat.

"Kau hendak ke mana, Arya?" pelan dan lembut suara Raja Bojong Gading itu. "Kau baru saja tiba. Mengapa buru­buru pergi?"

"Hamba ingin mencari Kelelawar Beracun! Meminta obat bagi Melati!" ucap Dewa Arak. Dia tahu kalau arak dan gucinya pun tak mampu mengobati Melati. Batu Kehidupan saja tidak mampu! Apalagi guci araknya!

Melihat sikap pemuda berambut putih keperakan, Ki Julaga dan Prabu Nalanda tidak berusaha menghalangi. Mereka berdua tahu, Arya tidak mungkin bisa dihalangi lagi.

"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, pergilah, Arya," ujar Prabu Nalanda bijaksana. "Kau tidak usah mengkhawatirkan Melati. Eyang Sagapati berani menjamin, tunanganmu akan sanggup menanti sampai kau kembali dengan membawa obat penawar racun itu."

Ki Julaga mengangguk-anggukkan kepala.

"Aku juga akan menjaganya sampai kau kembali, Arya," Ki Julaga ikut membuka suara.
"Terima kasih, Ki"

Setelah pamit pada semua orang yang berada di dalam ruangan itu, Dewa Arak bergegas melangkah ke luar. Tujuannya sudah jelas. Mencari Kelelawar Beracun!

***

Begitu keluar dari pintu gerbang Istana Kerajaan Bojong Gading, Arya kebingungan. Ke mana harus mencari Kelelawar Beracun? Sama sekali tidak diketahui, di mana tempat tinggal tokoh sesat itu! Lagi pula, Kelelawar Beracun tidak punya tempat tinggal tetap. Di samping itu Kelelawar Beracun pun bukan orang bodoh! Dia pasti akan menjauhkan diri, sebab tahu kalau dirinya akan jadi buruan Kerajaan Bojong Gading.

Menghadapi hal ini, Arya kembali teringat pada gurunya, Ki Gering Langit! Betapa mudahnya bagi kakek berpakaian putih bersih itu untuk mengetahui adanya seseorang. Tapi pemuda berambut putih keperakan ini

merasa malu untuk meminta bantuan Ki Gering Langit Sudah terlalu sering gurunya dimintakan bantuan. Dan kali ini Dewa Arak akan berusaha untuk mencarinya sendiri. Toh, Eyang Sagapati telah menjamin kalau Melati akan sanggup bertahan sampai dia berhasil menemukan obat penawar racun itu.

Kedua hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak bertahan untuk tidak meminta bantuan gurunya. Dia terus saja melakukan perjalanan, mencari jejak Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu. Dari para prajurit Kerajaan Bojong Gading, sudah diketahuinya ciri-ciri kedua tokoh sesat itu. Maka di sepanjang perjalanan, Arya tidak henti-hentinya mencari keterangan tentang keberadaan kedua orang itu.

Tapi sampai lelah bertanya-tanya, tak juga dida­patkannya jejak kedua orang itu. Entah sudah berapa desa disinggahi dan ditanyakan hal itu pada penduduk. Tapi, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban yang diharapkan.

Telah lima hari Arya berusaha keras mencari jejak Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun. Tapi hanya kegagalan saja yang didapatkan. Gelengan kepala pertanda tidak tahu selalu menyambut setiap pertanyaannya.

Hari sudah agak siang ketika pemuda berambut putih keperakan baru saja meninggalkan Desa Karang Sari. Kepala Dewa Arak tertunduk lesu menekuri tanah. Hatinya terpukul karena kembali jawaban serupa yang didapat.

Tapi begitu memasuki Hutan Lawang, Dewa Arak mengangkat kepalanya. Sepasang matanya beredar mengamati keadaan sekelilingnya. Pendengarannya dipasang tajam-tajam. Pemuda berambut putih keperakan terus berlaku seperti itu. Meskipun sampai sekian jauh masuk ke dalam hutan, tidak juga ditemukan tanda-tanda apa pun. Yang terdengar hanyalah suara binatang-binatang penghuni hutan.

Namun mendadak Arya menghentikan langkah. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya rintihan sayup-sayup. Walaupun hanya sayup-sayup, tapi bagi Arya hal itu sudah cukup. Sesaat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu tercenung sejenak, memperkirakan arah suara itu.
Suara itu terlalu lemah. Lagi pula terlalu singkat sehingga membuat Arya kurang bisa menangkap arahnya.

Kembali terdengar rintihan itu. Sama seperti sebelumnya, sayup-sayup dan hanya sebentar. Kali ini Dewa Arak berhasil mengetahui dari mana asal suara itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini segera melesat ke arah yang dituju.

Arya bergerak cepat menerobos kerimbunan semak­semak dan pepohonan lebat Tak jarang dia berlari dan berlompatan di atas pohon apabila semak-semak dan pepohonan yang menghadang jalannya terlalu rapat.

"Uhhh...!"
Srakkk ... !

Dewa Arak menguak kerimbunan semak-semak tempat suara itu berasal. Dan begitu kerimbunan semak­semak itu terkuak, tampak olehnya sesosok tubuh seorang laki-laki berwajah keras dan bertubuh kekar tengah tergolek lemah. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya bisa mengetahui kalau orang ini adalah penduduk desa.

Laki-laki berwajah keras itu rupanya terkejut juga melihat tahu-tahu ada seorang pemuda berambut putih keperakan berada di hadapannya. Wajahnya nampak memancarkan rasa takut yang amat sangat. Dengan beringsut-ingsut dia berusaha menjauhkan diri.

Tanpa memperhatikan lebih jauh lagi pun, Arya sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi pada laki laki berwajah keras itu. Pada pahanya nampak tertancap sebuah logam berbentuk anak panah. Begitu pula pada bahu kanannya. Kedua luka itu tampak masih mengucurkan darah.

"Jangan takut Kisanak," bujuk Dewa Arak mene­nangkan karena tahu kalau laki-laki berwajah keras itu merasa takut terhadapnya. "Aku bukan orang jahat"

"B... be... benarkah...?" Dengan agak menggigil, laki­laki berwajah keras itu membuka suara.

Arya mengangguk. Tak lupa diberikan sebuah se­nyuman lebar untuk lebih menenangkan perasaan orang itu.

"Kau bukan teman orang jahat itu?" tanya laki-laki berwajah keras itu. Nada suara dan raut wajahnya masih memancarkan perasaan tidak percaya.
"Percayalah, Kisanak. Aku kebetulan lewat di sekitar sini. Lalu, aku menuju ke tempat ini karena mendengar tintihanmu," sahut Arya lagi.

"Hhh ... !"

Laki-laki berwajah keras menghela napas lega. Tapi sesaat kemudian mulutnya menyeringai. Rupanya rasa sakit karena senjata yang tertancap di bahu dan pahanya kembali terasa.

"Boleh kuperiksa lukamu, Kisanak?" Arya mena­warkan diri. "Barangkali saja aku bisa memperingan rasa sakitmu."

Laki-laki berwajah keras menganggukkan kepala. Kini sudah lenyap rasa takut di wajahnya. Sekarang dia yakin, pemuda berambut putih keperakan yang berdiri di hadapannya adalah orang baik-baik.

Arya menghampiri, kemudian membungkukkan tubuh. Diperiksanya luka di paha dan bahu laki-laki berwajah keras itu. Lega hati Dewa Arak ketika tidak melihat adanya tanda-tanda keracunan pada kedua luka itu, dan hanya luka biasa. Tanpa mengalami kesulitan, Dewa Arak mencabut kedua senjata itu. Dibersihkan luka itu, kemudian ditaburi obat bubuk.
Laki-laki berwajah keras mendesis begitu Arya menaburkan obat bubuk.

"Memang obat ini sedikit menimbulkan rasa nyeri," jelas Dewa Arak melihat laki-laki berwajah keras itu mendesis. "Tapi percayalah, Kisanak. Obat ini sangat manjur."

"Ah..., tidak apa-apa," sahut laki-laki berwajah keras cepat. "O, ya. Terima kasih atas pertolonganmu."

"Lupakanlah," sahut Dewa Arak cepat "Kalau boleh kutahu, siapa kau, Kisanak? Aku Arya Buana."

Sambil berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan itu mengulurkan tangan. Laki-laki berwajah keras bergegas menyambut dan menggenggamnya erat-erat.

"Aku Brata, penduduk Desa Karang Sari," jawab laki­laki berwajah keras seraya melirik sekilas ke arah rambut Arya.

Memang sebenarnya dia merasa heran melihatnya. Belum pernah dilihat dan didengarnya ada seorang pemuda yang mempunyai rambut berwarna putih. Putih, namun
indah! Entah pengalaman apa yang membuat pemuda itu sampai memiliki rambut demikian. Meskipun begitu, Brata tidak menampakkan keheranannya. Bahkan bersikap biasa saja, karena khawatir pemuda berambut putih keperakan di hadapannya ini akan tersinggung.

"Apakah Kang Brata tidak keberatan menceritakan mengapa hal ini terjadi?"

Brata menggelengkan kepala.

"Tidak, Arya. Bahkan dengan senang hati aku akan menceritakannya padamu."

Setelah berkata demikian, laki-laki berwajah keras itu tercenung sejenak, tidak langsung menjawab. Rupanya dia tengah mengingat-ingat kejadian yang menimpanya.

"Aku dan dua orang kawanku sengaja datang ke hutan ini untuk berburu. Hal ini terpaksa kulakukan untuk memenuhi permintaan istriku...."

Brata menghentikan ceritanya sejenak. Sementara di dalam hati, Arya merasa heran. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini diam saja. Tidak menyelak cerita laki-laki berwajah keras itu.

"Maklum, Arya. Istriku sedang hamil..Dan dia ingin makan daging kelinci."

Kini Arya tidak heran lagi. Pantas saja! Rupanya istri Brata ini tengah mengidam!

"Nasib baik tengah berpihak padaku, Arya," sambung Brata lagi. "Aku berhasil menemukan seekor kelinci. Tapi, sayang binatang itu keburu melarikan diri sebelum aku sempat berbuat sesuatu."

Kembali Brata menghentikan ceritanya untuk mengambil napas sejenak dan mencari kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.

"Tentu saja aku tidak tinggal diam. Segera kuburu binatang itu. Kedua kawanku pun ikut serta pula. Cukup lama juga kami mengejar-ngejar binatang itu, sebelum akhirnya lenyap di balik kerimbunan semak-semak. Tanpa ragu-ragu aku segera memburu. Ketika semak-semak itu kusibak, ternyata di baliknya terdapat gua."

Brata menghentikan ceritanya kembali. Wajahnya nampak murung dan menyorotkan perasaan sedih. Sedangkan Arya segera mengetahui kalau cerita selanjutnya menyedihkan hati laki-laki berwajah keras itu. Dan melihat dari tidak adanya kedua orang kawannya. Dewa Arak bisa memperkirakan nasib kedua orang kawan Brata.

"Aku dan kawanku segera memasukinya," sambung Brata kembali. "Tapi ternyata gua itu berpenghuni. Namun, penghuninya berwatak kejam bukan main. Kedua kawanku tewas dengan sekali sentuh. Sementara aku karena nasib baik, berhasil melarikan diri. Tapi tak urung dia berhasil melukaiku dengan senjata rahasianya."

"Bagaimana ciri-ciri orang Itu?" tanya Arya Ingin tahu.

"Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek. Menilik dari perawakan dan wajahnya, dia seperti seorang anak-anak. Kepalanya botak. Kulitnya putih. Dan hanya mengenakan sebuah celana pendek berwarna putih."

Arya terkejut bukan main mendengarnya. Kaget bercampur gembira. Karena sudah bisa diduga, siapa orang yang telah membunuh dua orang teman Brata.

"Tuyul Tangan Seribu...," desis Dewa Arak. Pelan tapi tajam. Sorot matanya memancarkan cahaya berseri. Satu titik terang telah ditemukannya.

Sepasang mata Brata terbelalak. Wajahnya pun menampakkan keheranan. Dan memang, sebenarnya laki­laki berwajah keras ini merasa heran bercampur geli ketika teringat orang yang telah membunuh kedua orang kawannya.

"Mengapa bisa begitu tepat julukan yang dimiliki orang itu?" tanya hati Brata. Menilik dari potongannya, memang tidak salah orang itu mendapat julukan tuyul.

Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikan perasaan yang bergolak di dalam dada Brata. Dia telah terlalu gembira ketika mengetahui ada orang yang berhasil mengetahui Tuyul Tangan Seribu, sehingga tidak lagi memperhatikan semuanya.

"Kau masih ingat tempat tinggal pembunuh itu, Kang?" tanya Arya penuh gairah.

Brata menganggukkan kepala.

"Bisa kau mengantarku ke sana, Kang?" kembali Dewa Arak bertanya.

Laki-laki berwajah keras terperanjat. Sepasang matanya memancarkan perasaan kaget yang tidak terkira. Gilakah pemuda berambut putih keperakan ini, karena meminta diantar ke tempat Tuyul Tangan Seribu yang dianggapnya gila itu? Laki-laki bertubuh pendek yang tanpa masalah telah membunuh kedua rekannya!

Dewa Arak tentu saja tahu mengapa Brata terkejut. "Mengapa kau ingin ke sana, Arya?" tanya Brata terbata-bata.

"Orang yang telah membunuh kawanmu adalah orang yang selama ini kucari-cari, Kang," sahut Arya kalem.

"Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya. Kurasa orang itu gila. Masak, tanpa sebab dia bermaksud membunuh kami. Lagi pula, dia lihai sekali! Kau akan dibunuhnya, Arya!"

"Biar bagaimanapun juga, aku harus menemukannya, Kang," tegas Arya. "Orang itu telah meracuni kawanku. Dan aku harus menemuinya untuk meminta obat penawar racun darinya. "

"Tapi... tapi ..., " Brata masih mencoba membantah.

"Aku jamin kau selamat, Kang," terpaksa Dewa Arak agak menyombongkan diri untuk menenangkan hati Brata. "Orang itu berjuluk Tuyul Tangan Seribu. Dan dia sengaja bersembunyi, karena tahu kalau tengah dicari-cari. Itulah sebabnya, begitu kau dan dua orang kawanmu melihatnya, dia bermaksud membunuh kalian bertiga. Untuk menutupi jejaknya!"

Brata tercenung sejenak. Alasan yang dikemukakan Dewa Arak cukup kuat. Memang, Tuyul Tangan Seribu sepertinya tengah bersembunyi. Tapi, benarkah orang seusia pemuda berambut putih keperakan di hadapannya mampu menghadapi seorang yang begitu sakti seperti Tuyul Tangan Seribu?

"Kalau masih takut, kau boleh memberitahukan tempatnya dari jarak yang cukup jauh, Kang," desak Dewa Arak memberi pilihan lain.

Kini Brata tidak membantah lagi, karena merasa tidak enak. Arya telah terlalu mengalah dalam meminta petunjuk. Kalau dia masih juga bersikeras, rasanya keterlaluan sekali.

"Bagaimana, Kang?" tanya Dewa Arak lagi begitu melihat laki-laki berwajah keras itu terdiam. "Atau..., bisakah kau memberikan petunjuk tempatnya dari sini ... ?"

Brata tersenyum.

"Aku akan mengantarkanmu, Arya."

Arya balas tersenyum.

"Terima kasih atas kesediaanmu mengantarku, Kang."

Brata tidak menyahuti. Laki-laki berwajah keras ini hanya tersenyum lebar, kemudian bangkit berdiri. Obat bubuk yang diberikan Arya temjata manjur sekali. Kaki dan bahunya sudah tidak terasa sakit lagi. Bahkan terasa enak dan nyaman.

Dewa Arak pun bangkit berdiri, kemudian melangkah mengikuti Brata yang melangkah lebih dulu Brata melangkah menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan lebat. Tapi belum juga melangkah jauh, laki-laki berwajah keras ini menghentikan langkah. Wajahnya seketika pucat. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur beberapa tindak.

Tanpa bertanya pun, Dewa Arak sudah mengetahui penyebab ketakutan Brata. Sekitar delapan tombak di hadapan mereka, tampak sesosok tubuh yang mereka cari­cari. Tuyul Tangan Seribu! Rupanya tokoh sesat itu mengejar Brata. Dan ketika kehilangan jejak dia mencegatnya di mulut hutan.

***
"Itulah orang yang telah membunuh kedua orang kawanku, Arya," jelas Brata.

Tanpa berkata apa-apa, Dewa Arak segera melangkah maju. Lalu, dia berdiri membelakangi Brata dalam jarak dua tombak Matanya menatap tajam sekujur wajah Tuyul Tangan Seribu yang terus melangkah mendekati.

"Inikah tokoh yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu? Tapi mana Kelelawar Beracun?" tanya Arya dalam hati.

Bukan hanya Arya saja yang mengamati. Tuyul Tangan Seribu pun balas menatap tajam begitu melihat Brata melangkah mundur, dan sebaliknya seorang pemuda berambut putih keperakan yang melangkah maju.

Semakin dekat, kedua orang itu semakin mengenal sosok masing-masing.

"Kau yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu?" tanya Arya ketika jarak mereka tinggal tiga tombak lagi.

Laki-laki bertubuh pendek itu tersenyum mengejek.

"Dan..., kalau tidak salah..., bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak?" Tuyul Tangan Seribu balas menduga.

"Jangan membalas pertanyaanku dengan pertanyaan pula!" tegas Dewa Arak.
"Jangan coba-coba menggertakku, Dewa Arak!" bentak Tuyul Tangan Seribu tak mau kalah keras. "Orang lain boleh takut dengan nama besarmu! Tapi, akan kubuktikan pada dunia persilatan kalau Dewa Arak akan tewas di tangan Tuyul Tangan Seribu!"

"Tuyul Tangan Seribu!" sebut Dewa Arak dingin. "Kau tidak usah berlagak sok gagah! Semua orang tahu, kau bersama Kelelawar Beracun telah mengeroyok seorang wanita muda dan melukainya secara licik! Cepat beritahukan padaku, di mana Kelelawar Beracun! Dan aku berjanji tidak akan mengusikmu lagi!"

"Dewa Arak! Manusia sombong! Jangan kira aku takut padamu!" ejek Tuyul Tangan Seribu keras.

Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki bertubuh pendek itu telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua tangannya berputaran cepat laksana baling-baling. Seketika bertiup angin kuat dari kedua tangan yang berputaran itu.

"Menjauh, Kang ... !" teriak Dewa Arak keras. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi, gucinya segera dijumput dan dituangkan ke mulutnya.

Gluk... gluk... gluk ... !

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokannya. Seketika itu pula ada hawa hangat yang menyebar di dalam perutnya, kemudian perlahan naik ke atas kepala.

Bersamaan dengan Arya mengambil guci araknya, Brata segera berlari menjauh.

Wuuuttt... !

Selagi tubuhnya berada di udara. Tuyul Tangan Seribu segera melancarkan serangan ke arah Dewa Arak. Kedua tangannya yang bergerak cepat dan seperti telah berubah menjadi puluhan pasang, menyambar cepat ke arah pelipis dan ubun-ubun.

Dan dengan langkah terhuyung-huyung, Dewa Arak berhasil mengelakkannya. Kaki kanannya melangkah mundur ke belakang, dengan tubuh agak membungkuk sedikit. Gerakannya begitu aneh, terhuyung-huyung seperti orang mabuk! Hebatnya, serangan-serangan Tuyul Tangan Seribu hanya menyambar tempat kosong!

Dengan keras dan penuh kekuatan, kaki kanan Dewa Arak menyambar cepat ke arah Tuyul Tangan Seribu.

Luar biasanya, laki-laki bertubuh pendek dan berkepala botak itu hanya memutar-mutarkan kedua tangannya untuk mematahkan serangan itu!

Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Dewa Arak. Mendadak kaki kanannya kembali dilangkahkan ke depan. Gerakannya pun tidak lagi meliuk-liuk, lemas, dan sempoyongan seperti sebelumnya. Kemudian dengan keras dan penuh kekuatan, kaki kanannya menyambar cepat ke arah dada lawan.
Luar biasa! Hanya dengan memutar-mutarkan kedua tangannya ke bawah, dengan arah gerakan dari luar ke dalam, laki-laki bertubuh pendek ini mampu mengelakkan serangan itu. Tubuhnya bersalto ke atas melewati atas kepala Dewa Arak.

Bukan hanya itu saja! Begitu tubuhnya berada di atas kepala Dewa Arak, kedua tangannya menyampok cepat ke arah belakang kepala Arya. Kalau kena, tak pelak lagi kepala pemuda berambut putih keperakan itu akan hancur.

Lagi-lagi, Dewa Arak membuktikan kelihaian jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya! Kaki kanannya kembali melangkah ke belakang. Sementara kaki kirinya ditekuk dalam-dalam. Sedangkan tubuhnya dicondongkan ke depan.

Wusss ... !

Untuk yang kedua kalinya sampokan Tuyul Tangan Seribu mengenal tempat kosong, lewat sekitar dua jengkal dari sasaran.

Kembali Arya tidak tinggal diam. Begitu serangan lawan berhasil dielakkan, guci araknya diayunkan ke arah kepala Tuyul Tangan Seribu.

Kuat bukan kepalang tenaga yang terkandung dalam ayunan guci itu. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur berkeping-keping bila terkena. Ada hembusan angin keras yang membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalam ayunan guci itu begitu kuat.

Tuyul Tangan Seribu memang luar biasa! Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya benar-benar me­ngagumkan! Gerakannya gesit dan lincah bukan main. Dia bisa melayang-layang di udara tak ubahnya seperti seekor bengkarung. Memang, laki-laki bertubuh pendek ini menciptakan ilmu itu dengan mengamati perilaku bengkarung.

Menakjubkan dan indah dilihat pertarungan antara kedua tokoh sakti itu. Keduanya sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi. Sehingga, pertarungan antara kedua orang itu tak ubahnya pertarungan dua bayangan saja. Yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan putih dan ungu yang saling sambar, kemudian saling pisah.

Hebat bukan main akibat pertarungan itu. Tanah terbongkar di sana-sini. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Suara mendecit dan menderu mengiringi terjadinya pertarungan.

Pada jurus jurus awal pertarungan memang ber­langsung imbang. Dewa Arak masih bersikap hati-hati, karena belum mengenal keistimewaan ilmu lawannya. Tapi menginjak jurus kedua puluh lima, pemuda berambut putih keperakan sudah mulai menguasai keadaan. Dewa Arak kini mampu mendesak lawan.

Hal ini tidak aneh, karena Tuyul Tangan Seribu hanya mampu mengimbangi Dewa Arak dalam hal ilmu meringankan tubuh. Sementara dalam hal mutu ilmu silat dan tenaga dalam, dia kalah jauh. Berkali-kali sewaktu benturan tenaga di antara mereka sudah tidak bisa dihindarkan lagi, Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur tangannya terasa sakit-sakit, dan dadanya terasa sesak bukan main.

Sebuah keuntungan bagi Tuyul Tangan Seribu. Dewa Arak ternyata tidak bersungguh-sungguh menghadapinya. Tuyul Tangan Seribu bertarung seperti macan luka. Seluruh kemampuan yang dimilikinya dikerahkan. Hanya ada dua pilihan baginya. Membunuh atau dibunuh!

Sementara Arya tidak bermaksud seperti itu. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak bermaksud membunuh lawannya. Dia masih membutuhkan Tuyul Tangan Seribu agar dapat menemukan tempat persembunyian Kelelawar Beracun. Itulah sebabnya, Dewa Arak tidak bermaksud membunuh atau melukainya tedalu berat Dengan demikian, dia harus selalu bersikap hati-hati. Hal ini sedikit banyak mengurangi kelihaiannya.

Meskipun begitu, karena memang tingkat kemampuan Dewa Arak berada cukup jauh di atas Tuyul Tangan Seribu, tetap saja pemuda berambut putih keperakan mampu mendesak lawannya.

"Haaat..!"

Sambil memekik nyaring, Tuyul Tangan Seribu menyerang. Kedua tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan main gerakannya.

Tapi gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi Kakinya menjejak tanah, kemudian bersalto ke atas melewati kepala Tuyul Tangan Seribu. Dan selagi berada di udara, kedua tangannya meluncur deras ke arah punggung.Tuyul Tangan Seribu terperanjat Dengan sebisa­bisanya dia berusaha mengelak. Tapi....

Buk, bukkk...!

Tubuh Tuyul Tangan Seribu terhuyung-huyung ke depan. Darah segar melesat keluar dari mulutnya. Pukulan yang menghantam tubuhnya memang telak dan keras bukan main. Laki-laki bertubuh pendek ini jelas terluka dalam.

Sebelum Tuyul Tangan Seribu memperbaiki ber­dirinya, Dewa Arak telah hinggap di tanah. Langsung dikirimkannya serangan susulan. Kaki kanannya bergerak menyapu.

Dukkk...!

Seketika itu juga tubuh Tuyul Tangan Seribu terjerembab dan jatuh telentang. Baru saja laki-laki bertubuh pendek ini hendak bangkit, kaki kanan Dewa Arak kembali bergerak dan menempel di lehernya. Mau tak mau, Tuyul Tangan Seribu mengurungkan niatnya

"Katakan! Di mana Kelelawar Beracun?! Maka aku akan mengampunimu," desak Dewa Arak penuh wibawa.

"Kau kira aku takut mati. Dewa Arak?" Tuyul Tangan Seribu tersenyum mengejek. "Kau keliru kalau menyangka aku dapat digertak seperti itu!"

"Jangan paksa aku berbuat kejam. Tuyul Tangan Seribu!" ancam Dewa Arak. "Kau kira aku akan membunuhmu begitu saja? Tidak! Aku akan menyiksamu sampai kau mau memberi tahu, di mana Kelelawar Beracun! Sebaliknya, aku akan membebaskanmu kalau kau mau memberi petunjuk tempat persembunyian Kelelawar Beracun!"

"Cuhhh...!"

Tuyul Tangan Seribu meludah ke tanah.

"Aku tidak yakin kalau kau masih mau bertahan apabila aku menyiksamu!"

Setelah berkata demikian, Arya segera menggerakkan tangannya ke arah bahu kanan Tuyul Tangan Seribu. Dia hendak menotok jalan darah di bahu kanan itu.

Seketika wajah Tuyul Tangan Seribu memucat. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, dia tahu kalau jalan darah di bahu kanan yang akan ditotok Dewa Arak akan
menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Betapapun beraninya laki-laki bertubuh pendek gemuk ini, tapi menghadapi siksaan seperti itu, tentu saja akan takut juga.

"Bukan hanya ini saja yang akan kulakukan, Tuyul Tangan Seribu! Aku akan menghancurkan seluruh tulang­belulang di tubuhmu! Maka, kau akan mati setelah mengalami siksaan yang mengerikan!"

Kian memucat wajah Tuyul Tangan Seribu. Dirasakan adanya nada kesungguhan dalam ancaman Dewa Arak. Bulu tengkuknya meremang seketika itu juga.

"Baik! Aku akan memulainya ... !" ancam Arya.

Seiring dengan selesai ucapannya, Dewa Arak mengulurkan tangannya ke arah jalan darah di bahu kanan Tuyul Tangan Seribu.

"Tunggu, Dewa Arak...!" cegah Tuyul Tangan Seribu

kalap.
"Hm..., mengapa?" tanya Arya.
"Aku mengaku kalah. Kelelawar Beracun tidak berada di sini lagi...."
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Di Pulau Ular...."
"Pulau Ular?" Dewa Arak mengerutkan alisnya.

"Ya!" sahut Tuyul Tangan Seribu membenarkan. "Dia memang tinggal di sana. Di Rawa Neraka!"

Seketika Dewa Arak tercenung. Dia memang telah mendengar berita mengenai Pulau Ular. Sebuah pulau menyeramkan yang sepatutnya hanya dihuni iblis-iblis saja. Pulau itu benar-benar menyeramkan, penuh dengan bahaya. Letaknya pun jarang orang yang tahu. Jadi, di sanakah Kelelawar Beracun tinggal?

Melihat Dewa Arak tercenung, dan begitu merasakan jejakan pada lehernya mengendur, Tuyul Tangan Seribu bertindak nekat. Tangannya cepat bergerak mengibas. Seketika itu juga sekelebatan benda hitam menyambar ke arah Dewa Arak. Benda itu tak lain adalah logam berbentuk mata anak panah.

Arya terkejut dan cepat melompat mundur. Maka serangan gelap itu mengenai tempat kosong.

Kesempatan yang hanya sedikit itu tidak disia-siakan Tuyul Tangan Seribu. Dia cepat bergerak menerjang Arya dengan serangan maut ke arah ubun-ubun.


Melihat hal ini, Dewa Arak jadi geram. Kedua tangannya dihentakkan ke depan. Melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.

Wusss ... ! Bresss...!

Tuyul Tangan Seribu menjerit memilukan ketika angin keras berhawa panas menyengat telak menghantam dadanya.

Seketika itu juga laki-laki bertubuh pendek itu terlempar jauh. Sekujur tubuhnya hangus. Tuyul Tangan Seribu tewas seketika!

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas berat. Ada sedikit rasa penasaran di hatinya melihat kematian Tuyul Tangan Seribu. Dia memang tidak bermaksud membunuhnya.

Setelah mengamati mayat Tuyul Tangan Seribu sejenak, Dewa Arak melangkah meninggalkan tempat itu. Masih ada tugas baginya, yakni mencari Kelelawar Beracun untuk menyelamatkan nyawa Melati. Dewa Arak tak ingat lagi kalau masih ada Brata yang berdiri terpaku melihat kepergiannya.

Berhasilkah Dewa Arak mencari obat untuk me­nyembuhkan Melati? Padahal, Kelelawar Beracun pemilik obat penawar itu berada di Pulau Ular. Sebuah pulau yang penuh tabir rahasia yang letaknya jarang diketahui orang. Banyak maut yang terbentang sepanjang perjalanan menuju ke sana.

"Perjalanan Menantang Maut" menceritakan tentang perjalanan Dewa Arak menuju ke sana!

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar