47 Bencana Patung Keramat
1
Hari sudah agak siang. Sang
Surya pun sudah mulai meninggi. Angin yang berhembus sudah tidak nikmat lagi
dihirup ke dada, tapi cukup membuat semak-semak dan daun pepohonan di Hutan
Jati bergoyang-goyang.
"Nah, kurasa tempat ini
cocok, Kang. Sepi! Kecil sekali kemungkinan kita akan mendapatkan
gangguan," sebuah suara kecil dan melengking nyaring menyeruak mengatasi
hembusan angin di Hutan Jati itu.
Suara itu ternyata berasal
dari mulut gadis cantik berpakaian serba putih. Rambutnya hitam panjang dan
dibiarkan melambai-lambai tertiup angin.
Gadis itu tidak sendirian. Di
sebelahnya tampak seorang pemuda berpakaian ungu. Seperri si gadis, pemuda itu
pun memiliki rambut panjang. Hanya saja tidak hitam, melainkan putih keperakan.
Indah sekali kelihatannya.
Pemuda yang berambut putih
keperakan tak langsung menanggapi ucapan gadis berpakaian putih itu. Dihentikan
langkahnya, kemudian diedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi yang nampak
hanya pepohonan besar dan rimbun daunnya.
"Kau benar, Melati.
Tempat ini memang cocok. Jauh dari keramaian dan terlindung. Seperti katamu
tadi, kecil sekali kemungkinan akan adanya gangguan," sambut pemuda
berambut putih keperakan, menyetujui usul yang diajukan Melati, gadis
berpakaian putih itu.
Sekarang sudah bisa diketahui,
pemuda berambut putih keperakan itu tak lain Arya, yang lebih dikenal dengan
julukan Dewa Arak.
Melati tersenyum manis
mendengar ucapan persetujuan kekasihnya.
"Kalau begitu tunggu apa
lagi, Kang?! Mari kita mulai," ajak Melati penuh semangat.
"Ayolah!" sahut Arya mengalah.
Melati telah berjalan
mendahului, lalu keduanya nampak mengayunkan kaki menuju sebatang pohon besar
yang berada di dekat situ. Lagi-lagi Melati mendahului duduk di akar pohon yang
menyembul ke atas tanah. Terlihat jelas kalau gadis berpakaian putih itu sudah
merasa tidak sabar.
"Hhh...!" Arya
menghela napas lebih dulu sebelum memulai ucapannya. "Sebenarnya...,
mengapa kau berkeinginan memanggil naga merah di alam gaib itu, Melati?"
"Yang pertama, aku ingin
menambah ilmuku. Kusadari betapa banyak orang sakti di dunia persilatan. Sudah
tidak terhitung banyaknya aku bertemu dengan tokoh-tokoh yang memiliki
kepandaian di atasku. Oleh karena itu timbul keinginanku untuk menambah
ilmu," jawab Melati setelah tercenung beberapa saat lamanya.
"Hm..., mengapa tak
menempuh dengan cara latihan saja, Melati? Dengan sering berlatih dan bersemadi, kemampuanmu
akan meningkat. Dan itu sudah pasti! Akan semakin kuat tenaga dalammu dan
semakin lincah gerakanmu. Dengan sendirinya tingkat kepandaianmu akan
bertambah!" jelas Arya.
"Buru-buru amat Kakang
memberi nasihat?" selak Melati, berpura-pura merengut. "Aku kan belum
mengutarakan semuanya."
"O ya, aku lupa mungkin
ada alasan lain hingga kau berkeinginan memanggil naga merah di alam gaib! Coba
utarakan, Melati!"
"Aku tahu, Kang. Bahkan
tahu pasti, kalau dengan sering berlatih dan bersemadi, kemampuanku akan
meningkat. Tapi, untuk melakukannya sulit sekali. Selalu saja ada masalah yang
kuhadapi. Sehingga membuatku tidak sempat untuk berlatih. Ini alasan kedua,
Kang."
Melati menghentikan ucapannya
untuk mengambil napas.
"Alasan ketiga, karena
rasa ingin tahuku. Bagaimana rasanya kalau tubuh kita termasuki makhluk gaib
itu? Bagaimana rupa naga itu?" lanjut Melati. "Kuakui, di antara ketiga alasan, yang lebih membuatku
bersikeras untuk memasukkan naga di alam gaib ke dalam diriku adalah alasan
yang ketiga."
Keadaan langsung hening ketika
Melati menghentikan ucapannya, dan Arya belum memberikan tanggapan. Yang
terdengar hanya suara binatang-binatang penghuni hutan, dan gemerisik dedaunan
serta semak-semak dihembus angin.
"Aku tak menyalahkan
kalau kau punya keinginan demikian, Melati. Aku sendiri kalau dalam keadaan
seperti dirimu kemungkinan akan melakukan tindakan yang sama," ujar Arya
bijaksana.
"Lalu..., bagaimana,
Kang? Apa keinginanku bisa kau kabulkan?!" tanya Melati ingin mengetahui
tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tentu saja! Jangankan
hanya permintaan seperti itu, yang lebih besar lagi pun akan kuusahakan asal
kau yang meminta!" mantap dan tegas jawaban yang keluar dari mulut Dewa
Arak. "Kapan kau ingin melakukannya?!"
"Sekarang, Kang!"
tegas jawaban Melati.
"Baik, kalau itu yang kau
mau! Nah, sekarang dengarkan baik-baik ucapanku ini, Melati!"
Sampai di sini Arya sengaja
menghentikan ucapannya. Maksudnya memberi
kesempatan pada Melati agar mempersiapkan diri mendengar kelanjutan
ucapannya.
"Sebelum membawa masuk
naga merah di alam gaib itu ke dalam tubuhmu, perlu kau ketahui secara pasti keberadaannya
dan hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan naga merah itu."
Untuk yang kesekian kalinya
Dewa Arak menghentikan ucapannya. Dan itu
dilakukannya dengan sengaja,
agar Melati bisa memahami setiap kata-katanya.
"Naga merah itu bukan
sejenis makhluk ataupun roh, Melati. Dia merupakan sebuah ilmu. Mungkin perlu
kujelaskan sedikit. Di alam gaib, setiap ilmu itu mempunyai bentuk. Hanya saja
tidak bisa kita lihat. Dan karena ilmu, naga merah itu bisa kita bawa masuk ke
dalam tubuh kita. Kau bisa mengerti uraianku ini, Melati?!"
Melati menganggukkan kepala.
Memang, bisa ditangkapnya penjelasan kekasihnya, meskipun tidak begitu jelas.
Tapi secara kasar Melati mengerti maksud pembicaraan Arya.
"Berbeda dengan ilmu-ilmu
yang dimiliki orang lain, ilmu yang kita miliki, utuh bentuknya. Ilmuku,
'Belalang Sakti', di alam gaib berbentuk seekor belalang raksasa. Demikian pula
dengan ilmu 'Cakar Naga Merah' milikmu, di alam gaib bentuknya berupa seekor
naga berwarna merah darah. Sedangkan ilmu-ilmu yang dimiliki orang lain
rata-rata tidak mempunyai bentuk di alam gaib," sambung Dewa Arak
menjelaskan.
"Mengapa demikian, Kang?!
Mengapa hanya ilmu kita yang mempunyai bentuk di alam gaib? tanya Melati heran,
setelah terlebih dulu mengernyitkan kening.
"Karena cara pengambilan
ilmu itu berbeda. Guruku..., yang berarti gurumu juga, mengambil ilmu secara
utuh dari belalang dan naga merah yang ada di alam gaib. Hal ini tidak rumit
baginya. Karena beliau telah lebih dahulu menguasai seluk-beluk alam gaib.
Bahkan, ilmu-ilmu yang dimilikinya sebagian besar merupakan ilmu gaib!"
jawab Arya panjang lebar agar Melati
jelas. "Mengerti, Melati?"
"Mengerti, Kang."
Arya tersenyum lebar.
"Kalau begitu, sekarang
kita masuk pada pokok persoalan. Yaitu, bagaimana caranya memasukkan naga merah
di alam gaib itu ke dalam dirimu," lanjut Dewa Arak.
"Mudahkah menarik naga
merah ke dalam diri kita, Kang?!" tanya Melati ingin tahu.
Pada sepasang mata yang
berbentuk indah milik gadis berpakaian putih itu, terlihat ada kilatan rasa gentar.
Hal ini wajar saja. Karena dirinya memang belum tahu pasti kejadian sebenarnya.
"Dibilang mudah, tidak.
Dikatakan sulit.., sebenarnya juga tidak. Jadi, kira-kira setengah sulitlah.
Sedangkan modal terpenting agar usaha yang dilakukan dapat berhasil yaitu
dengan kemauan keras! Lalu yang kedua, penekanan terhadap alam bawah sadar
kita!" jelas Dewa Arak. Sampai di sini, pemuda berpakaian ungu itu
teringat kembali akan pengalamannya ketika berusaha memasukkan belalang raksasa
ke dalam dirinya (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak, dalam episode:
"Dalam Cengkeraman Biang Iblis"). Membutuhkan kesabaran yang tinggi
untuk bisa memasukkan belalang raksasa itu ke dalam dirinya.
"Jadi..., apa yang harus
kulakukan, Kang?" selak Melati.
Nampaknya gadis itu merasa
belum jelas dengan keterangan kekasihnya. Dia masih belum tahu, bagaimana
caranya memasukkan naga merah ke dalam dirinya.
Dewa Arak tercenung sebentar
untuk mencari kata-kata yang tepat guna memulai nasihatnya.
"Pertama-tama, buang
semua pikiran lain yang ada di benakmu. Kemudian, pusatkan perhatian pada naga
merah yang akan kau bawa masuk ke dalam dirimu. Panggillah dia dalam hati, agar
masuk ke dalam dirimu. Mengerti, Melati?!"
Gadis berpakaian putih hanya
menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sama sekali tak disangka kalau cara
untuk mendapatkan naga merah demikian mudahnya. Memusatkan pikiran, bagi orang
yang memiliki kepandaian seperti Melati bukan hal yang sulit. Betapa tidak?
Semadi, yang dilakukan sejak mempelajari ilmu silat, telah mengajarkan
cara-cara pemusatan pemikiran. Bagaimana setiap kali dalam menarik napas,
dibayangkan kalau udara yang dihirup mengandung kekuatan dahsyat. Yang ada
sebenarnya berasal dari tiada, itulah prinsipnya!
"Boleh kumulai sekarang,
Kang?" Melati meminta pendapat dengan penuh gairah Arya menganggukkan
kepala pertanda menyetujuinya.
Seketika itu pula wajah Melati
berubah cerah. Dengan senyum manis terkembang di bibir, dirinya mulai duduk
bersila, mengambil sikap seperti tengah bersemadi. Namun, kedua tangannya tidak
terletak di depan dada, melainkan di atas lutut. Memang, Melati bukan hendak
bersemadi, tapi memusatkan pikiran agar dapat memanggil naga merah.
Tak lama kemudian, Melati
mulai tenggelam dalam alun pikirannya. Segenap hati, perasaan, dan pikiran
dicurahkan untuk naga merah. Suasana menjadi hening, karena tidak ada lagi di
antara mereka yang bersuara.
Dewa Arak pun berdiam diri di
tempatnya. Jangankan berbicara, bergerak pun tidak. Pemuda berambut putih
keperakan ini khawatir kalau gerakan yang dilakukan akan mengejutkan Melati.
Bahkan, bernapas pun agak ditahan-tahan.
Waktu berlalu terasa demikian
lambat bagi Dewa Arak. Apalagi berdiam diri
begitu saja, tanpa ada yang harus dilakukan. Dengan sendirinya waktu pun
berjalan seperti keong merayap. Lambat sekali!
Semula Dewa Arak mengarahkan
pandangan ke tanah, tapi lama-kelamaan bosan sendiri. Maka biji matanya pun
diedarkan ke sana kemari, memperhatikan sekelilingnya tanpa menggerakkan leher.
Akhirnya bosan juga. Perhatian
Dewa Arak kembali dialihkan. Kali ini ke tubuh Melati. Yang pertama kali
dilihatnya wajah kekasihnya, tampak cantik bukan kepalang. Dan dalam keadaan
mata terpejam seperti itu, Melati seakan tengah menunggu Dewa Arak untuk
berbuat sesuatu.
Karuan saja, hal itu membuat
jantung Arya berdetak kencang. Tenggorokannya pun dirasakan kering, dan
susah-payah ditelan air liurnya. Di benak Arya mulai berputaran pikiran-
pikiran indah.
Perhatian Dewa Arak mulai
beralih. Dan hatinya langsung memuji, setiap kali sepasang matanya terpaku di
satu titik. Mulai dari dahi Melati yang licin, putih, hahis, dan terlihat begitu mulus. Lalu merayap turun
ke pipi yang agak kemerahan, juga hidungnya yang bangir, bibir yang indah,
ranum, terlihat menantang. Semua itu membuat jakun Dewa Arak turun naik.
Serentetan kata-kata pun muncul di relun g hatinya, Melati memang seorang gadis
yang memiliki kecantikan sempurna!
Ada suatu dorongan kuat yang
tiba-tiba membuat Dewa Arak mendekatkan
wajahnya ke wajah Melati. Hati-hati sekali, pemuda berambut putih keperakan ini
melaksanakan tindakannya. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit jarak antara
dua wajah semakin dekat Arya lupa akan keinginannya semula untuk tak mengganggu
kekasihnya.
Cuppp!
Pelan sekali mulut Arya
menyentuh dahi Melati. Tapi, kecupan itu sudah cukup membuat gadis tersentak
kaget dan segera menjauhkan tubuhnya. Raut wajahnya memancarkan
keterkejutan yang amat sangat. Namun, ketika disadari hal yang telah terjadi,
dan orang yang melakukannya, Melati menghembuskan napas lega.
"Hhh...! Kau
mengejutkanku saja, Kang," ujar Melati pelan.
"Maaf, Melati! Aku...,
aku tidak sengaja," sahut Dewa Arak terbata-bata karena gugup. Perasaan
gugup muncul ketika teringat bahwa tindakannya telah mengganggu Melati.
Usaha gadis berpakaian putih
itu batal, dan tentu saja harus diulang dari semula.
"Ah..., tidak apa-apa,
Kang," ucap Melati buru-buru karena tahu perasaan yang tengah berkecamuk
di hati kekasihnya. "Lagi pula, aku sendiri memang sudah ingin
menghentikannya. Untuk pertama kali kurasa cukup sampai di sini dulu.
Perkenalan!" lanjutnya sambil tersenyum pada Dewa Arak,
Memang, cukup lama juga Melati
tengge lam dalam alun pikirannya. Mulai dari matahari belum berada di atas
kepala, sampai hampir condong ke barat!
"Maafkan aku, Melati! Aku
telah membuat usahamu sia-sia. Ah...! Keinginan itu muncul begitu tiba-tiba.
Dan aku tak sempat menyadarinya...," perasaan bersalah yang melanda belum
juga lenyap dari hati Arya.
"Lupakanlah, Kang! Toh,
usahaku sama sekali tak sia-sia. Lagi pula, masih ada kesempatan lainnya
kan?"
Ada nada tantangan dalam
ucapan itu, meskipun samar-samar. Namun, cukup untuk dapat ditangkap Arya.
"Kalau begitu...,"
ucapan pemuda berambut putih keperakan itu terhenti sebelum selesai.
"Kenapa, Kang...?!"
tanya Melati sambil tersenyum menggoda.
Dewa Arak diam. Kelihatan
hatinya merasa ragu-ragu melanjutkan ucapannya. "Kenapa
sih, Kang...?!" rajuk Melati, tak sabarari menunggu ucapan selanjutnya
dari mulut kekasihnya.
"Bagaimana kalau
kuteruskan tindakanku tadi. Hanya saja, kali ini dengan sepengetahuanmu?!"
Arya nekat meneruskan ucapannya meskipun dengan suara bergetar dan serak karena
malu bercampur ragu.
Tak ada tanggapan sama sekali
dari Melati. Baik berupa ucapan maupun anggukan kepala. Gadis berpakaian putih
itu hanya menundukkan kepala. Namun, Arya sama sekali tak khawatir melihat
sikap yang ditunjukkan kekasihnya. Dirinya tahu kalau Melati tak marah padanya.
Dia hafal benar bagaimana tanda-tanda kalau kekasihnya itu tengah marah.
Oleh karena itu, Arya yang sejak
tadi sudah terbuai bayangan-bayangan nikmat yang melintas-lintas di pikirannya,
tanpa ragu-ragu meneruskan tindakannya. Dengan perlahan- lahan dan hati-hati
sekali, pemuda berambut putih keperakan mengulurkan tangannya. Kemudian, dengan
jari telunjuk dipegangnya dagu Melati. Lalu diangkatnya secara perlahan- lahan
dan begitu lembut.
Dan sepeiti yang diduga Dewa
Arak, tak ada perlawanan sama sekali atas tindakan yang dilakukannya. Melati pasrah. Gadis
berpakaian putih itu membiarkan saja tindakan kekasihnya yang memaksanya untuk
saling bertatapan wajah.
Kemudian perlahan-lahan Dewa
Arak mendekatkan wajah. Tetap tak ada tanggapan dari Melati. Bah-kan, ketika
akhirnya wajah Arya menyentuh wajahnya. Melati baru memberikan tanggapan ketika
Arya mulai melumat bibirnya. Gadis berpakaian putih itu balas memagut dengan
tubuh saling berangkulan erat.
Rupanya Arya benar-benar sudah
kehilangan kesadarannya. Yang ada di benaknya hanya menuruti secara membuta,
keinginan yang tak tertahankan. Ciuman dan kecupan yang semula hanya bersarang
di wajah Melati, kini mulai merayap ke leher. Sehingga, membuat tubuh Melati
mengge liat-geliat ke sana ke-mari karena rasa geli bercampur nikmat yang mulai
melanda sekujur tubuhnya.
Tindakan Arya semakin
menggila. Kini, kedua tangannya pun mulai bergerilya, berusaha melepaskan
pakaian Melati. Dan Melati, yang juga sudah lupa daratan, membiarkan saja
tindakan kekasihnya. Bahkan dirinya nampak membantu tangan Dewa Arak membuka
pakaiannya.
Sudah dapat dipastikan
segalanya akan terjadi, kalau saja tidak ada sesuatu yang tiba- tiba membuat
Dewa Arak dan Melati tersentak kaget. Dan sesuatu itu adalah....
"Aaakh !"
Jeritan panjang menyayat
keluar dari mulut seseorang yang berada di ambang kematian, memecahkan
kesunyian yang melingkupi Hutan Jati. Jeritan itulah yang membuat Dewa Arak dan
Melati terkejut, dan seketika langsung menyadari ketidakpantasan sikap mereka,
"Ah..., eh..., ma...
maafkan aku, Melati!" untuk yang kesekian kalinya Arya mengeluarkan ucapan
minta maaf.
Wajah pemuda berambut putih
keperakan itu memerah karena perasaan malu yang mendera, setelah menyadari
ketidakpantasan kelakuannya barusan.
"Ti... tidak apa-apa,
Kang," jawab Melati gugup.
Seperti Arya, dia pun merasa
malu. Apalagi ketika menyadari letak pakaiannya yang sudah tidak karuan.
Buru-buru dirapikan lagi.
"Kau dengar suara jeritan
tadi, Melati?" tanya Dewa Arak mencoba mengalihkan perhatian untuk
menghilangkan kecanggungan yang terjadi di antara mereka. Terdengar jelas kalau
suara Arya belum pulih. Masih bergetar dan memburu akibat dorongan perasaan
yang mendera.
Melati menganggukkan kepala.
Wajahnya nampak dingin dan kaku.
"Sepertinya ada orang
yang membutuhkan pertolongan...," jawab Melati sekenanya. "Kalau
begitu, mari kita ke sana!" ajak Dewa Arak lagi.
Kali ini tidak ada suara
keluar dari mulut Melati. Gadis berpakaian putih itu hanya menganggukkan kepala
pertanda menyetujui ajakan kekasihnya.
Melihat sikap Melati, tanpa
menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak segera melesat menuju asal jeritan keras
tadi. Melati pun mengikuti di belakangnya. Sesaat kemudian, Dewa Arak dan
Melati seperti berlomba untuk bisa lebih dulu tiba.
Begitu cepat lari Dewa Arak
dan Melati. Sehingga, bentuk tubuh mereka lenyap, yang terlihat hanya kelebatan
bayangan putih dan ungu saling mengejar.
Karena ilmu meringankan tubuh
sepasang pendekar muda itu telah mencapai tingkatan tinggi, hanya dalam
beberapa kali lesatan, mereka telah mengetahui penyebab timbulnya jeritan menyayat. Memang, untuk mencapai
tempat itu keduanya harus melalui kerimbunan semak-semak dan pepohonan yang
cukup lebat. Tapi tentu saja bagi sepasang muda-mudi itu, hambatan seperti
demikian sama sekali tak berarti.
Dewa Arak dan Melati langsung
terperanjat, ketika berhasil mengetahui asal timbulnya jeritan menyayat. Tanpa
sadar keduanya melangkah mundur dengan wajah bersemu merah!
Betapa tidak? Di hadapan
mereka, dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri sebuah patung besar yang
berbentuk aneh. Patung itu berwajah manusia dan berbadan kuda, tapi berdiri
dengan dua kaki. Kedua kaki yang di atas, berbentuk seperti tangan manusia
dengan kedudukan jari saling dirangkapkan. Dan pada bagian mulutnya ada taring.
Namun, yang lebih menggiriskan
hati adanya dua buah tanduk pada bagian atas kepalanya. Ditambah sepasang matanya
yang bagaikan hidup, mencorong! Hal itu bisa terjadi karena mata makhluk itu
terbuat dari intan.
Namun, yang menarik perhatian
Dewa Arak dan Melati bukanlah besar dan tinggi patung yang hampir dua kali
lipat manusia biasa. Melainkan sosok yang tergantung di tangan patung itu.
Sosok itu seorang wanita muda yang pakaiannya terkoyak-koyak.
Menilik dari keadaannya, bisa
diketahui, wanita berpakaian compang-camping itu telah tewas. Lidahnya terjulur
keluar, dan sepasang matanya yang membelalak lebar menjadi tanda kematiannya.
Rupanya wanita ini mati tercekik. Memang ada tali yang melilit lehernya dan
terikat pada tangan patung. Sehingga tubuh wanita itu nampak tergantung!
2
"Keparat! Siapa pun
pelaku kekcjian ini, jangan harap akan bisa lolos dari tanganku!" desis
Arya penuh kemarahan.
"Benar, Kang! Penjahat
keji ini harus kita kirim ke akhirat!" sambut Melati dengan suara tak
kalah geram.
Wajar saja kalau Dewa Arak dan
Melati merasa murka. Karena keadaan wanita itu begitu mengenaskan. Memang, dia
mati karena jeratan tambang. Namun, baik Dewa Arak maupun Melati tahu belaka
bahwa sebelum dibunuh, wanita itu telah diperkosa dulu. Tanda- tanda itu nampak
jelas. Baik dari pakaiannya yang compang-camping maupun pada keadaan tubuhnya.
"Lebih baik kau turunkan
tubuhnya dulu, kasihan kalau dia harus tergantung terus di sana," sambil
ber-kata demikian Dewa Arak menundukkan kepala.
Tentu saja ada alasan yang
membuat Dewa Arak melakukan hal seperti itu. Keadaan pakaian mayat wanita yang
compang-camping itulah penyebabnya. Dengan keadaan pakaian seperti itu,
bagian-bagian tubuhnya menyeruak di sana sini.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Melati sege ra menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke
atas. Lalu tangannya pun digerakkan membacok!
Tasss!
Luar biasa! Tali penggantung
tubuh wanita malang itu pun putus. Rupanya dalam pengerahan tenaga dalamnya,
Melati mampu membuat tangannya setajam pedang.
"Hup!"
Dengan sigap Melati menangkap
tubuh wanita berpakaian compang-camping itu sebelum jatuh di tanah. Lalu,...
Jliggg!
Dengan begitu ringan kedua
kaki Melati hinggap di tanah. Dalam keadaan memondong mayat seorang wanita,
gadis berpakaian putih itu mampu mendarat secara manis dan mengagumkan.
Melati mengedarkan pandangan
berkeliling. Hal itu membuat Dewa Arak merasa heran. "Apa yang kau cari,
Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan ingin tahu. "Tempat
yang baik untuk mengubur mayat wanita malang ini, Kang. Aku tidak sampai
hati membiarkan mayatnya
begitu saja. Paling tidak kita bisa memberinya tempat istirahat yang cukup nyaman," jawab
Melati.
"Kau benar, Melati,"
hanya jawaban itu yang diberikan Dewa Arak. Disadari ada kebenaran dalam
pendapat Melati.
Melati hanya melemparkan
seulas senyum tipis. Kemudian diayunkan kakinya menuju sebatang pohon kamboja.
Gadis berpakaian putih bermaksud mengubur wanita yang malang itu di sana.
Sementara itu, Dewa Arak hanya
mengawasi semua tindakan Melati. Namun, sikap pemuda berambut putih keperakan
ini tampak waspada. Nampaknya Dewa Arak telah bersiap- siap untuk menghadapi
kemungkinan yang bakal terjadi. Barangkali saja orang yang telah melakukan
kekejian itu masih berada di sekitarnya dan saat ini tengah bersiap untuk
melancarkan serangan mendadak.
Dewa Arak tidak hanya
mengawasi Melati. Keadaan di sekitarnya pun diperhatikan secara seksama. Namun,
dari hasil pengamatannya, bisa diketahui kalau pelaku tindak kekejian itu sudah
tidak berada lagi di sinl Hanya anehnya, mengapa perasaannya mengatakan, bahwa
ada orang lain selain dirinya, Melati, dan wanita malang itu, di sekitar sini?
Dewa Arak tidak berani
mengenyampingkan perasaannya. Dirinya tahu kalau perasaan itu bukan sembarang
perasaan. Tapi, naluri yang telah dimiliki semenjak belalang raksasa dari alam
gaib masuk ke dalam dirinya. Dan Arya telah beberapa kali membuktikan kebenaran
nalurinya itu.
Melati segera menjejakkan
kakinya dan melayang ke atas. Lalu tangannya pun digerakkan membacok! Tasss!
Luar biasa! Rupanya Melati
mampu membuat tangannya setajam pedang! Tali penggantung tubuh wanita malang
itu pun putus, dan tubuh wanita itu meluncur ke bawah!
Oleh karena itu, kali ini Dewa
Arak tidak mau menyepelekannya begitu saja. Kembali diedarkan pandangannya ke
sekeliling untuk memastikan kebenaran dugaannya. Hasil yang didapatnya sama!
Tidak terlihat seorang pun di sekitar tempat itu.
Mungkin kali ini naluriku
keliru, batin Dewa Arak karena nalurinya tetap mengatakan adanya orang lain di
sekitar tempat itu.
Lalu Arya mengalihkan
perhatian pada Melati yang telah menyelesaikan tugasnya.
Sesaat kemudian Melati telah
berada di dekat Dewa Arak. "Ada apa, Kang?" tanya Melati.
Memang, meskipun Arya tidak
memberitahu, dan pada wajah dan sikapnya tidak menampakkan perasaan apa pun,
Melati telah mengenal kekasihnya secara mendalam. Itulah sebabnya gadis itu
tahu, ada sesuatu yang tengah dipikirkan di benak Dewa Arak.
"Hhh...!" Dewa Arak
lebih dulu menghembuskan napas berat sebelum menjawab pertanyaan kekasihnya.
"Aku merasakan adanya kehadiran orang lain di sekitar sini, Melati.
Tapi..., betapapun telah kupasang mata dan pendengaranku ke sekeliling, tetap
tak kutemukan keberadaan orang itu. Apakah perasaanku keliru?!" pertanyaan
ini seperti tidak ditujukan kepada Melati, melainkan kepada dirinya sendiri.
Melati tidak langsung
menanggapi pertanyaan itu. Wajahnya tercenung sejenak. Telah diketahuinya kalau
Arya mempunyai perasaan yang amat tajam, yang lebih tepat
disebut naluri. Dan biasanya perasaan itu benar. Tapi kini pemuda
berambut putih keperakan itu merasa bimbang terhadap nalurinya sendiri.
"Kalau menurutku...,
perasaanmu benar, Kang. Ada seseorang berada di sekitar sini.
Hanya mungkin berada di tempat
tersembunyi."
"Mungkin kau benar,
Melati. Kalau begitu kita harus lebih berhati-hati. Bukan tak mungkin orang
yang bersembunyi itu tengah merencanakan sesuatu," ujar Dewa Arak pada
Melati dengan suara yang jauh lebih pelan dari sebelumnya.
Melati menganggukkan kepala.
"Kita berada di pihak
yang tidak menguntungkan, Melati. Orang itu tahu kedudukan kita, sedangkan kita
sama sekali tidak tahu keberadaannya. Kita harus meningkatkan
kewaspadaan," lanjut Arya memperingatkan kekasihnya.
Untuk yang kedua kali Melati
hanya menganggukkan kepala. Sementara Dewa Arak mulai mengalihkan perhatian ke
patung besar yang memiliki wujud aneh. Melati pun mengarahkan pandangan seperti
yang dilakukan Arya.
"Kau tidak melihat adanya
keanehan, Melati?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Melati mengedarkan pandangan
ke sekelilingnya sejenak. Kemudian perlahan digelengkan kepalanya.
"Tidak, Kang. Aku tidak
melihat keanehan yang kau maksudkan."
"Patung itu,
Melati," ujar Dewa Arak sambil menudingkan jari telunjuk ke patung yang
tingginya hampir mencapai dua tombak itu.
"Aku tidak melihat adanya
keanehan yang kau maksudkan, Kang," jawab Melati setelah memperhatikan
patung itu beberapa saat "Apakah bentuknya yang kau maksudkan?"
"Bukan, Melati,"
kata Dewa Arak. "Bukan itu keanehan yang kumaksudkan." "Lalu
apa, Kang?" ujar Melati.
"Keberadaan patung ini,
Melati Patung ini berbeda dengan pepohonan dan semak-semak yang ada di
sini..."
"Ah! Ucapanmu semakin
ngawur dan aneh, Kang!" selak Melati cepat, dan tidak sabar. 'Tanpa kau
katakan pun aku tahu, patung itu berbeda dengan pepohonan, semak-semak, dan
juga binatang-binatang." "Bukan itu maksudku, Melati," jelas
Dewa Arak dengan sabar. "Begini. Apakah kau merasa heran dengan keberadaan
pepohonan dan semak-semak yang ada di sekelilingmu, Melati?"
"Lho?! Mengapa aku harus
heran?! Ini hutan, Kang. Merupakan sesuatu yang wajar, dan bahkan keharusan
kalau di tempat ini ada pepohonan dan semak-semak! Mengapa kau malah
mempertanyakannya?" bantah Melati, heran.
"Nah! Itulah yang
kumaksudkan, Melati. Tempat ini adalah hutan. Keberadaan pepohonan dan
semak-semak di tempat ini tidak aneh. Bahkan andaikata tempat ini bukan hutan
pun, keberadaan pepohonan dan semak-semak bukan hal yang patut dipertanyakan.
Mengapa demikian? Karena pepohonan dan semak-semak terjadi atas kekuasaan
Tuhan. Dengan kata lain, bukan buatan manusia. Tapi patung itu...?" tanya
Arya setelah memberi penjelasan panjang lebar.
"Sekarang aku mengerti
maksudmu, Kang," sahut Melati sambil mengangguk- anggukkan kepala.
"Sekarang aku mengerti mengapa kau mengatakan kalau patung ini berbeda
dengan pohon. Patung ini tidak mungkin terjadi begitu saja. Jadi, jelas tak mungkin
berada di sini kalau tidak ada yang menciptakan."
"Tepat! Itulah yang
kumaksudkan, Melati!" sambut Arya cepat. "Ada orang yang membuatnya.
Dan siapa pun orangnya tentu punya maksud tertentu."
Melati kontan tercenung.
Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan kekasihnya. Dan
sekarang, gadis itu tengah memikirkan maksud dan tujuan orang yang telah
membawa patung itu ke hutan ini
"Apa kau sudah punya
dugaan, Kang?" tanya Melati, ingin tahu.
"Ya," jawab pemuda
berambut putih keperakan singkat "Patung ini diciptakan sebagai alat
pembantaian yang ditujukan untuk sebuah maksud. Yahhh..., misalnya pemujaan
terhadap roh-roh yang ada di alam ini. Dan, kalau dugaanku benar, pelakunya
mungkin merupakan sekelompok orang yang menganut suatu kepercayaan keji!"
jelas Arya panjang lebar.
"Ya, mungkin kau benar,
Kang," Melati mendukung dugaan kekasihnya. "Kalau begitu, kita harus
segera mencegah terjadinya tindak kekejian berikutnya, Kang!"
"Tentu saja,
Melati!" tandas Arya mantap. "Kita harus melakukan
penyelidikan."
'Tapi dari mana kita harus
memulainya, Kang? Titik terang persoalan ini sama sekali belum kita
dapatkan."
"Kita mulai saja dari
bukti-bukti yang telah kita dapatkan," jawab Arya. "Patung ini dan
wanita itu. Kau ingat ciri-cirinya kan, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu
menganggukkan kepala. "Nah, kita mulai dari patung ini dulu!"
Usai berkata demikian, maka
pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan anehnya
itu, mengayunkan langkah mendekati patung. Hal yang sama pun dilakukan Melati.
"Hm..., patung ini
ternyata telah lama dibuat, Melati. Menilik dari keadaannya... jelas usianya
jauh lebih tua dari umur kita," ucap Arya seraya memperhatikan penuh
seksama keadaan patung berwujud aneh di hadapannya.
Melati tak memberikan
tanggapan. Namun dirinya mengakui kalau kesimpulan kekasihnya kemungkinan
besar, benar. Keadaan patung memang sudah tidak bisa dikatakan baru lagi.
Selain hampir sekuju r bagian patung telah ditumbuhi lumut, tanda-tanda kalau
usia patung itu telah tua pun terlihat jelas.
"Berarti..., kalau patung
ini merupakan tempat dilangsungkannya sebuah upacara keji sekelompok orang yang
menganut kepercayaan aneh, tentu telah berlangsung lama, tahunan. Bahkan
mungkin belasan, atau puluhan tahun!" lanjut Arya lagi.
"Tapi, sepengetahuanku...
upacara seperti itu hanya dilangsungkan pada waktu-waktu tertentu, Kang.
Misalnya pada waktu bulan purnama. Sedangkan saat ini tidak, Kang," bantah
Melati.
"Hm... kau benar,
Melati," sahut Arya dengan suara mendesah, menyadari kebenaran
bantahan kekasihnya.
"Hhh...! Persoalan ini mulai rumit."
Usai berkata demikian, sejenak
pemuda berambut putih keperakan tercenung.
Kernyitan dahinya,
memperlihatkan kalau Arya tengah berpikir.
"Bagaimana kalau kita
mengungkapnya melalui wanita malang itu, Kang?" usul Melati tiba-tiba.
"Apa boleh buat," ucap Arya sambil mengangkat bahu.
"Penyelidikan tentang patung ini telah buntu sampai di sini. Dan sekarang
kita lanjutkan penyelidikan terhadap wanita itu. Tapi, tidak berarti penyelidikan
kita terhadap patung ini terhenti, Melati. Kita selidiki terus keduanya. Mari,
Melati!"
Lalu Dewa Arak mengayunkan
kaki meninggalkan tempat itu, diikuti Melati. Sepasang muda-mudi itu sama
sekali tidak tahu kalau dari atas sehuah pohon besar yang berdaun rimbun, ada
sepasang mata yang tengah memperhatikan tingkah mereka.
***
"Hhhh...!"
Sebuah helaan napas berat
keluar dari mulut seorang lelaki bertubuh pendek dan kekar yang tengah
mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Raut wajahnya menyiratkan kegelisahan.
Sementara pandangannya tertuju ke satu arah.
"Bagaimana, Kang? Warsini
sudah pulang?"
Seirin g terdengarnya
pertanyaan yang sarat dengan rasa kekhawatiran, di ambang pintu menyeruak sesosok mungil berusia
tidak muda lagi. Seperti juga wajah lelaki pendek kekar, wajah wanita mungil
itu diselimuti perasaan khawatir yang amat sangat.
"Belum, Ni," jawab
lelaki pendek kekar tanpa mengalihkan pandangannya, tetap tertuju ke satu
tempat.
"Kalau begitu, cepat
susul, Kang. Aku khawatir terjadi sesuatu atas dirinya," seru wanita
mungil dengan perasaan khawatir yang sudah tak bisa dibendung lagi.
Kini lelaki pendek itu baru
membalikkan tubuhnya.
"Jangan mengharapkan yang
tidak-tidak, Ni! Desa kita aman. Kau tahu, selama ini tak pernah terjadi peristiwa
yang mencemaskan di sini. Karena itu tenangkanlah dirimu!"
"Bagaimana aku bisa
tenang, Kang!" sergah wanita mungil itu keras. "Warsini itu
anakku, dan sampai sekarang
belum pulang! Hhh...! Kalau tahu akan begini, tak akan kuizinkan dirinya pergi
tadi! Warsini..! Anakku... oh...!"
"Ni...! Tak usah kau
khawatirkan! Tenangkan saja hatimu. Toh, dia tidak sendiri. Ada Barada yang
menyertainya. Aku yakin Barada akan mampu melindunginya kalau ada bahaya
mengancam," ujar lelaki pendek kekar, berusaha menenangkan hati istrinya.
"Tapi mana bukti
kebenaran ucapanmu, Kang?! Nyatanya sekarang Warsini belum juga kembali!
Tanda-tanda kemunculannya pun belum terlihat. Padahal sebentar lagi malam akan
tiba. Ohhh..., Warsini, anakku! Apa yang terjadi atas dirimu, nak!" keluh
wanita mungil itu.
"Diam!" bentak
lelaki pendek kekar kehilangan kesabaran. "Kau pikir hanya kau yang merasa
cemas?! Aku juga! Warsini bukan hanya anakmu! Tapi, juga anakku! Kau dengar?!
Aku juga menyayanginya! Tapi, tidak dengan cara begitu mempertunjukkan perasaan
sayang itu!"
"Kalau begitu, mengapa
kau tidak mencarinya, Kang?! Mengapa?! Mengapa kau malah diam saja di
sini?!" perasaan kalap yang melanda, membuat wanita mungil itu tak bisa
menggunakan pikirannya dengan benar.
"Hhh...!"
Lelaki pendek kekar
menghembuskan napas berat untuk menenangkan gejolak perasaan yang tengah
melandanya. Disadari kalau dirinya menanggapi ucapan-ucapan istrinya dengan
keras, persoalan akan semakin meruncing. Hal itu sama sekali tidak
diinginkannya, sebab saat itu nampak istrinya telah kehilangan pikiran
jernihnya.
"Aku bukan tak mampu
mencarinya, Ni! Aku ha nya khawatir akan terjadi selisih jalan.
Hal itulah yang membuatku ragu
untuk menyusulnya."
"Aku tak peduli! Yang
penting, Warsini harus kembali! Oh, Warsini, anakku! Betapa malangnya nasibmu,
nak!"
Dan wanita mungil itu menangis
mengguguk. "Hhh...!"
Telah yang kesekian kalinya
lelaki pendek kekar menghela napas berat untuk melonggarkan isi dadanya yang
dirasakan sesak. Kalau menuruti perasaan, mungkin sudah dimaki-maki istrinya.
Dirinya tengah kebingun gan hebat, menghadapi tindakan-tindakan istrinya.
Sehingga beban perasaan yang harus ditang-gung semakin berat.
"Baiklah kalau itu yang
kau inginkan, Ni. Aku akan memberitahukan kejadian ini pada yang lain.
Sekarang, lebih baik kau masuk ke dalam. Kunci pintu dan jangan buka sebelum
aku kembali!" Kali ini wanita mungil itu tidak banyak membantah lagi.
Sambil menyusut air matanya dia membalikkan tubuh, kemudian mengayunkan kaki ke
dalam. Dan....
Trakkk!
Pintu rumah telah dikuncinya.
"Hhh !"
Lelaki pendek kekar itu
kembali menghembuskan napas berat sebelum menghampiri kentongan yang tergantung
di sudut rumah. Diulurkan tangan mengambil kayu pemukulnya, lalu dipukulnya ke
badan kentongan itu.
Tong! Tong! Tong!
Bunyi kentongan pun terdengar
memecahkan suasana sepi seluruh desa. Karena malam memang telah turun. Dan
penduduk Desa Ginang yang sebagian besar petani, telah bersiap-siap untuk
melanglang buana ke alam mimpi setelah seharian bekerja keras.
Hal yang sama hendak dilakukan
seorang petani yang tempat tinggalnya tidak jauh dengan lelaki pendek kekar.
Lelaki itu tengah rebahan di balai bambu ketika mendengar suara kentongan.
Tong! Tong! Tong
Kentongan tanda bahaya?
Pikirnya.
Seketika itu pula lelaki
bertubuh tinggi besar ini melompat bangun. "Mau ke mana, Kang?" tegur
istrinya.
"Kau dengar bunyi
kentongan itu?" lelaki tinggi besar itu balas bertanya. Sang istri yang
bertubuh gemuk, menganggukkan kepala.
"Arahnya dari sebelah
kiri, Kang."
"Ya. Kau tunggu di sini.
Ada orang yang membutuhkan pertolongan," sahut petani itu.
Tak lama kemudian, lelaki
tinggi besar itu bergegas keluar dari dalam dan menuju ke pintu. Lalu
membukanya dengan cepat. Dan setelah berada di luar rumah, langsung
dihampirinya kentongan. Sesaat kemudian ,
Tong! Tong! Tong !
Isyarat tanda bahaya yang
dikirimkan lelaki pendek kekar, disambung oleh lelaki tinggi besar. Tak lama
kemudian, bunyi kentongan lain pun menggema di seluruh penjuru Desa Ginang
mengisyaratkan adanya bahaya. Sesaat kemudian, lelaki pendek kekar telah
berkumpul belasan penduduk Desa Ginang dengan obor terangkat tinggi-tinggi di
atas kepala.
"Apa yang telah terjadi,
Gobar?" tanya seorang lelaki setengah baya berpakaian putih. Sikapnya
terlihat penuh wibawa. Apalagi karena raut wajahnya penuh dengan sorot ketenangan. Dialah Kepala Desa Ginang,
Ki Sagotra namanya.
"Anakku, Ki," lapor
lelaki pendek kekar yang ternyata bernama Gondewa. "Anakku belum
kembali."
"Apa yang terjadi dengan
anakmu, Gondewa? Ceritakanlah secara jelas!" masih tetap tenang ucapan Ki
Sagotra. Tampak jelas kematangan sikapnya.
Gondewa tak langsung menjawab
pertanyaan itu. Dia tercenung sebentar, mencari kata- kata yang tepat untuk
memberitahukan peristiwa yang telah terjadi. Sementara Ki Sagotra dan belasan
penduduk Desa Ginang menunggu keluarnya penjelasan Gondewa dengan perasaan tak
sabar.
"Begini, Ki. Tadi
menjelang siang, anakku, Warsini berniat pergi ke rumah kakeknya. Karena tempat
tinggal kakeknya cukup jauh, istriku menyuruh Barada, untuk mengantarkannya.
Memang, Barada yang biasanya mengantarkan jika Warsini hendak ke sana."
Gondewa menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas. Sementara Ki Sagotra dan para penduduk desa
dengan sabar mendengarkan penuturan itu. Sama sekali mereka tak bermaksud
menyelaknya. Mereka semua tahu bahwa Barada adik Gondewa.
"Tapi, sampai sekarang
mereka belum kembali. Padahal, biasanya sebelum matahari condong ke barat,
Warsini dan Barada telah berada di rumah. Aku khawatir terjadi sesuatu terhadap
mereka berdua. Itulah sebabnya segera kupukul kentongan," tutur Gondewa
mengakhiri ceritanya.
"Di mana tempat tinggal
kakeknya, Gondewa?" tanya Ki Sagotra. "Di Desa Dadap," jawab
Gondewa cepat.
"Hm..., berarti kita
harus melewati mulut Hutan Jati," desah Ki Sagotra. "Benar, Ki,"
jawab Gondewa sambil menganggukkan kepala. "Kalau begitu, tunggu apa lagi?
Mari kita mencarinya! Kau tahu jalan yang dilalui anakmu kalau pergi ke sana,
Gondewa?" tanya Ki Sagotra lagi.
Gondewa menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu lewat
jalan mana biasanya anakku pergi. Tapi, aku tahu jalan pintas untuk menuju ke
sana."
"Kalau begitu..., kita
pakai jalan yang biasa kau lalui saja," putus Ki Sagotra. "Mari kita
berangkat!"
Sesaat kemudian rombongan
penduduk Desa Ginang pun mulai bergerak menuju Desa Dadap. Ki Sagotra dan
Gondewa berada di barisan terdepan.
3
"Kang...! Lihat...!"
seru Melati sambil menudingkan jari telunjuknya.
Arya menolehkan pandangan ke
arah yang ditunjuk kekasihnya. Terlihat api obor tengah menuju arah mereka
berdua. Jumlahnya belasan. Alis pemuda berambut putih keperakan itu berkernyit
dalam.
"Aneh...! Apa yang akan
dilakukan mereka malam-malam begini?!" desah Dewa Arak keras. "Apakah
mereka akan menuju Hutan Jati?"
Saat itu, Arya dan Melati baru
saja keluar dari mulut Hutan Jati.
"Jangan-jangan..., mereka
rombongan orang yang akan melakukan upacara keji itu, Kang?!" duga Melati.
"Mungkin dugaanmu benar,
Melati. Tapi lebih baik jangan melakukan tindakan apa pun. Siapa tahu, dugaan kita keliru. Barangkali
mereka rombongan orang yang tengah mencari wanita malang tadi. Aku yakin,
wanita itu berasal dari salah satu desa di sekitar sini," urai Dewa Arak
panjang lebar.
Melati mengangguk -anggukkan
kepala karena merasa kalau dugaan Dewa Arak lebih mendekati kebenaran. Karena
biasanya hanya penduduk desa dan yang kebetulan tengah melakukan suatu
pencarian, beramai-ramai dan menggunakan obor.
"Lalu..., sekarang
bagaimana baiknya, Kang? Kita teruskan perjalanan, atau bersembunyi di sini
sambil mengawasi keadaan selanjutnya?" tanya Melati.
"Kita teruskan
perjalanan," jawab Dewa Arak memberi keputusan.
Melati hanya mengangkat bahu.
Sebenarnya dirinya tak setuju dengan keputusan kekasihnya, tapi sama sekali
tidak membantahnya. Hatinya segera terhibur dengan keyakinan, bahwa tindakan
yang diambil Dewa Arak selalu benar.
Dan karena keyakinan itulah
Melati mengikuti Arya yang terus saja mengayunkan langkahnya. Dewa Arak dan
Melati menuju ke arah rombongan yang membawa obor itu berasal. Sehingga jarak
antara mereka pun semakin dekat. Kedua belah pihak nampak seperti saling
menghampiri.
Seirin g dengan semakin
dekatnya jarak antara kedua belah pihak, mereka pun telah saling melihat
Seperti Dewa Arak dan Melati, rombongan pembawa obor itu juga dapat melihat
mereka berdua.
"Hati-hati...! Siapa tahu
dua orang ini mempunyai maksud tidak baik terhadap kita," ujar lelaki
berpakaian putih yang berdiri terdepan dari rombongannya.
Lelaki ini tak lain Ki
Sagotra. Memang, mereka rombongan penduduk dari Desa Ginang. Mendengar
pemberitahuan itu, belasan orang di belakangnya pun bersikap waspada.
Pemberitahuan yang disampaikan
kepala desa mereka diperhatikan betul-betul.
Namun tidak hanya rombongan
penduduk Desa Ginang saja yang bersikap waspada. Dewa Arak dan Melati pun demikian
pula. Dan semakin dekat jarak mereka, kewaspadaan pun semakin ditingkatkan.
"Selamat malam, Kisanak
semua!" tegur Arya dengan sopan ketika jarak antara dirinya dengan
rombongan penduduk Desa Ginang sekitar dua tombak.
"Selamat malam?"
sambut Ki Sagotra tak kalah ramah,
Seperti juga Arya dan Melati,
Kepala Desa Ginang ini menghentikan langkah. Sehingga gerak maju rombongannya
pun terhenti.
"Kami berdua pengelana,
boleh kami bertanya?" ujar Arya lagi memperkenalkan diri. Dalam waktu
sesingkat itu, sepasang mata tajam pemuda berambut putih keperakan itu langsung
bisa mengetahui kalau rombongan ini bukan orang-o rang yang terbiasa dengan
kerasnya dunia persilatan. Ini bisa diketahuinya dari sikap dan gerakan mereka
yang tidak gesit. Napas mereka pun nampak terengah-engah. Dewa Arak segera
menyimpulkan bahwa rombongan ini adalah penduduk desa. Oleh karena itu, dirinya
bermaksud mengutarakan peristawa yang ditemuinya tadi siang.
"Ooo... silakan, Anak
Muda!" sambut Ki Sagotra cepat.
"Begini, Ki. Kami hanya
ingin tahu, hendak ke manakah kau dan rombongan waktu malam begini?"
Keramahan Ki Sagotra langsung
lenyap. Dan kini ketegasanlah yang tampak di wajahnya.
"Maaf, Anak Muda!
Bukannya kami bersikap tidak sopan. Tapi, kami tidak bisa memberitahukannya.
Kuharap kau bisa mengerti!"
Arya segera
menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
"Tentu saja kami
mengerti, Ki. Kami sama sekali tak menganggap kau dan rombonganmu tidak sopan.
Bisa dimaklumi. Karena kami orang-orang asing, bukan?"
"Terima kasih, kalau kau
dapat mengerti, Anak Muda! Sekarang, kami akan
melanjutkan perjalanan. Dan kuharap kau jangan menghalang-halangi!"
tandas Ki Sagotra mantap.
"Tentu saja tidak, Ki.
Maaf, kalau aku telah bertindak lancang, berani menanyakan sesuatu masalah yang
bukan urusanku. Tapi, ini terpaksa kami lakukan. Tadi siang kami menemui
sesuatu di tengah perjalanan. Barangkali saja hal yang telah kami jumpai ada
hubungannya dengan urusan rombonganmu."
"Menyingk irlah, Anak
Muda! Kami tidak ada waktu untuk berbincang-bincang denganmu! Kami mempunyai
urusan yang lebih penting! Tahu?! Jangan paksa kami bertindak kasar!" seru
Gondewa tak sabar.
Lelaki pendek kekar ini sejak
tadi memang telah menahan-nahan sabar. Hatinya tengah dilanda kegelisahan akan
nasib putrinya. Tentu saja menjadi kesal dengan tindakan Dewa Arak yang
dianggapnya memperlambat tindakan pencarian terhadap Warsini.
Ucapan keras Gondewa membuat
Melati naik darah. Hal ini tidak aneh karena Melati memiliki watak pemarah.
"Mari kita pergi,
Kang!" ajak Melati sambil menggamit tangan Dewa Arak.
Lalu, tanpa memberi kesempatan
pada Dewa Arak untuk berbuat sesuatu, gadis berpakaian putih itu langsung
menarik tangan kekasihnya. Kemudian melangkah untuk meninggalkan rombongan itu.
Dewa Arak terpaksa membiarkan
tindakan kekasihnya yang menariknya untuk meninggalkan tempat itu. Rombongan
penduduk Desa Ginang pun menyeruak memberi jalan. Karena apabila hal itu tidak
dilakukan, tentu mereka ditabrak Melati yang saking kesalnya tak mempedulikan
jalan di hadapannya terhalang rombongan itu. Memang, Melati berjalan biasa,
tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Belum jauh Melati membawa Arya
dari tempat itu. Ketika tiba-tiba....
"Tunggu!" seru Ki
Sagotra keras.
Namun Melati tak menghiraukan
perintah itu dan terus melanjutkan langkahnya dengan setengah menyeret Arya.
Melihat hal ini, Ki Sagotra
tidak tinggal diam.
Memang, Kepala Desa Ginang ini
bukan orang sembarangan. Digenjotkan kakinya.
Maka sesaat kemudian tubuhnya
melesat menuju Melati dan Dewa Arak.
Jliggg!
Setelah bersalto beberapa kali
di udara, Ki Sagotra mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan mantap, tepat di
hadapan Melati dan Arya.
"Tunggu sebentar,
Nisanak!" cegah Ki Sagotra sambil menjulurkan kedua tangannya ke
depan.
"Apa lagi yang kau
inginkan? Menyin gkirlah dari situ sebelum hilang kesabaranku!"
tandas Melati keras.
"Sayang sekali, Nisanak!
Aku tidak akan memenuhi permintaanmu sebelum kawanmu menjelaskan maksud
ucapannya," tolak Ki Sagotra.
"Kalau memang begitu,
mengapa tadi kau biarkan orangmu mengucapkan kata-kata tak pantas pada
kawanku?!" sergah Melati keras. "Kalau hal itu kau anggap suatu
kesalahan, biar aku yang meminta maaf padamu. Tapi, percayalah! Aku tak
bermaksud membiarkannya mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi, karena saat
itu aku tengah berusaha memahami ucapan kawanmu. Jadi, aku tidak sempat
mencegah ucapan kasar tadi. Bahkan mencegah kepergianmu pun akan hampir tidak
sempat'" bantah Kepala Desa Ginang.
Melati kontan terdiam.
Amarahnya mulai mereda. Memang, gadis berpakaian putih ini memiliki watak aneh.
Sifatnya sukar untuk ditebak. Hatinya mudah marah. Tapi, kalau orang minta maaf
padanya maka amarahnya langsung lenyap. Dengan kata lain, kalau orang bersikap
kejam, dia bisa membalas lebih kejam, dan sebaliknya.
Dan kesempatan itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. "Apa yang kau inginkan,
Ki?" tanya Arya tenang.
Sementara itu rombongan
penduduk Desa Ginang bergegas menghampiri, dan berdiri di dekat Ki Sagotra.
Nampaknya mereka bersiap-siap untuk membantu apabila terjadi sesuatu atas diri
Kepala Desa Ginang. Di samping itu, mereka pun ingin mendengar lebih jelas
mengenai hal yang membuat Ki Sagotra mencegah sepasang muda-mudi itu
meninggalkan tempat itu.
"Aku hanya ingin kau
menjelaskan padaku maksud ucapanmu yang tadi, Anak Muda. Bukankah kau tadi
mengatakan, kalau sesuatu yang kau temui dalam perjalananmu itu ada hubungannya
dengan urusan kami?! Nah! Kami ingin tahu apa sebenarnya yang telah kau
temui," jelas Ki Sagotra sabar.
Dewa Arak tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Sejenak matanya menatap satu persatu wajah-wajah di
hadapannya.
"Sebenarnya, agak berat
untuk mengutarakannya, Ki. Karena hal yang akan kukatakan kepadamu ini mungkin
bukan berita yang menyenangkan, bahkan sebaliknya."
"Tidak mengapa, Anak
Muda. Kami siap untuk mendengarnya. Lagi pula, belum tentu hal yang akan kau
beritahukan itu ada hubungannya dengan kami," kelit Ki Sagotra cerdik.
"Aku pun berharap
demikian, Ki. Karena apabila benar ada hubungannya, sulit kubayangkan betapa
kecewa dan sedihnya hati kalian. Terutama bagi orang yang bersangkutan,"
ucap Arya masih belum menuju pokok permasalahan.
Bukan tanpa alasan pemuda
berambut putih keperakan itu berkata demikian. Dirinya tak ingin, jika benar
berita yang dibawanya mempunyai hubungan dengan rombongan Ki Sagotra, akan
berakibat yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya Dewa Arak tidak langsung
mengatakannya.
"Kalau kau memang ingin
mengatakannya, katakanlah, Anak Muda! Tidak usah bertele- tele. Kecuali bila
kau menghendaki lain. Kami, terutama sekali aku tidak akan memaksamu. Kau dan
kawanmu boleh pergi dari sini!" tegas Ki Sagotra.
"Baiklah kalau itu yang
kau inginkan, Ki," sahut Arya memutuskan. "Begini ceritanya, Ki. Tadi
menjelang matahari tenggelam, ketika tengah melewati hutan, kami mendengar
adanya suara jeritan menyayat. Begitu kami menuju ke tempat suara berasal, kami
temui mayat tergantung pada sebuah patung besar. Wanita itu telah tewas,"
lanjutnya menjelaskan.
"Seorang wanita?
Bagaimana ciri-cirinya?!" selak Gondewa penuh nafsu. Ada kecemasan yang
amat sangat dalam suaranya.
Arya menatap wajah Gondewa
sejenak.
"Mengenai pertanyaan itu
aku tidak bisa menjawabnya, Ki. Biar kawanku ini yang akan menjawabnya."
Lalu pemuda berambut putih keperakan ini memberi isyarat pada Melati.
Melati tidak langsung
memberikan jawaban pada Gondewa yang telah menunggu dengan perasaan tidak sabar. Rupanya
kejengkelan atas kelakuan lelaki pendek kekar itu terhadap kekasihnya, masih
membekas di hati.
Gondewa pun rupanya mengetahui
perasaan yang berkecamuk di hati Melati. Maka, meski dengan perasaan berat
karena perasaan ingin tahunya jauh lebih besar, dikuatkan hati untuk berbicara
pada gadis berpakaian putih itu.
"Aku minta maaf atas
ucapanku tadi, Nisanak. Andaikata, sukar bagimu untuk memaafkanku, dengan
memandang muka Ki Sagotra selaku Kepala Desa Ginang, sudilah kiranya kau
memaafkanku," ucap Gondewa dengan suara lirih.
Kejengkelan hati Melati pun
lenyap seperti asap ditiup angin. Kini, tanpa diberitahu pun pikirannya telah bisa menebak, kalau
rombongan ini memang bermaksud akan mencari seorang wanita. Dan, wanita yang
dicari sudah pasti putri Gondewa. Buktinya, dia lah yang paling kalap ketika
mendengar berita dari Dewa Arak tentang mayat seorang wanita. "Kawanku
menyerahkan jawabannya padaku, bukan karena hatinya masih mendendam atas
ucapanmu, Ki. Tapi..., karena dia memang tidak mengetahui ciri-ciri wanita yang
malang ini. Akulah yang tahu, meskipun sebenarnya kami berdua yang menjumpainya
terbunuh," jelas Melati dengan hati lapang.
"Mengapa demikian,
Nisanak?" tanya Ki Sagotra, heran.
"Karena..., karena
keadaan wanita itu amat mengenaskan, Ki. Dia... dia menerima perlakuan tak
patut dari orang yang membunuhnya. Perlakuan yang..., ah sulit bagiku untuk
mengatakannya, Ki," ucap Melat dengan wajah memerah.
"Ya, ya, aku mengerti,
Nisanak," potong Ki Sagotra, cepat
Lelaki berpakaian putih ini
tak tega melihat Melati yang dilanda kebingungan untuk menerangkan kejadian
yang sebenarnya.
"Ceritakan saja
ciri-cirinya, biar kami mengetahuinya secara jelas. Karena terus terang, tujuan
kami semua mencari seorang wanita."
Lalu, tanpa diminta, orang
nomor satu di Desa Ginang ini menceritakan semuanya, lengkap, berdasarkan
cerita yang didapatnya dari Gondewa. Sementara Dewa Arak dan Melati mendengarkan
penuh perhatian.
"Jadi..., Warsini
mengenakan pakaian hijau?!" tanya Melati dengan suara pahit.
"Benar, Nisanak,"
Gondewa yang menyahuti dengan suara bergetar karena perasaan tegang yang
melanda. Lelaki pendek kekar sadar kalau sebuah kenyataan pahit sebentar lagi
akan diterimanya. Pertanyaan bemada minta penegasan dari mulut Melati barusan
menjadi pertanda buruk baginya. Karena anaknya, Warsini memang mengenakan
pakaian hijau!
"Benar, Nisanak,"
jawab Gondewa terbata-bata karena rasa khawatir yang berkecamuk di hati.
"Apakah wanita yang kau temukan mengenakan pakaian hijau?"
Dengan hati berat Melati
menganggukkan kepala, Bisa dibayangkan betapa terpukulnya hati lelaki pendek
kekar ini, apabila wanita malang yang ditemui Melati benar putrinya. Dan hal
itu bisa dirasakan Melati.
Tanggapan yang diberikan
Gondewa memang seperti yang diduga Melati. Lelaki pendek kekar itu kontan
terdiam dengan raut wajah pucat pasi.
"Bisa kau sebutkan
ciri-ciri lainnya, Nisanak?" tanya Ki Sagotra mengambil alih ketika melihat
keadaan Gondewa.
"Tentu saja, Ki,"
jawab Melati sambil menganggukkan kepala. Sementara Dewa Arak hanya bertindak
sebagai pendengar.
"Kalau begitu, tolong
katakan, Nisanak! Barangkali saja wanita yang kau temukan itu bukan Warsini.
Tapi kebetulan mengenakan pakaian yang sama," Ki Sagotra masih berharap
akan kemungkinan lainnya.
"Mudah-mudahan, Ki!"
hampir berbareng Arya dan Melati memberikan harapan. "Wanita yang kami
temukan itu berambut panjang terurai sampai di pinggang," Melati
mulai menurutkan ciri-ciri
yang dimiliki wanita itu.
"Kalau begitu bukan
Warsini!" selak Ki Sagoi penuh perasaan gembira. "Benarkah begitu,
Ki?" tanya Melati dengan perasaan lega.
"Benar," Ki Sagotra
menganggukkan kepala, "Sepengetahuanku Warsini memiliki rambut pendek."
"Warsini berambut
panjang, Ki," selak Gondewa dengan suara getir. "Hanya dia jarang
mengurai rambutnya. Lebih sering digelungn ya. Agar lebih rapi, katanya,"
lanjut Gondewa.
Seketika rasa lega di wajah Ki
Sagotra dan Melat lenyap. Keduanya mulai menyadari adanya kemungkinan kalau
korban itu adalah Warsini.
"Lalu, adakah ciri-ciri
lain yang kau temui, Nisanak?" tanya Gondewa lesu.
"Ada, Ki. Ada. Ada dua
buah tahi lalat yang kulihat. Satu di leher sebelah kanan, dan satu lagi
di…"
Cukup, Nisanak. Tak perlu kau
jelaskan lagi!" potong Gondewa, sambil menjulurkan kedua tangannya.
"Jadi...,"
Ki Sagotra tidak meneruskan
ucapan yang akai dikeluarkan. Ditatapnya wajah lelaki pendek kekar lekat-lekat.
Wajah Kepala Desa Ginang itu pun tampak diiiputi perasaan cemas.
"Ciri-ciri itu hanya
dimiliki Warsini. Warsini, anakku...! Sama sekali tak kuduga kalau nasib
hidupmu demikian buruk!" keluh Gondewa dengan sedih. "Kekhawatiran
ibumu ternyata tidak keliru." "Kalau dia benar Warsini, lalu ke mana
perginya Barada?!" tanya Ki Sagotra sambil menatap wajah Gondewa. Dan
ketika tak ada jawaban, karena Gondewa memang tidak mengetahuinya, dialihkan
perhatiannya ke Melati. "Apakah kau melihat ada orang lain di sekitar
situ, Nisanak? Seorang pemuda "
"Hm... aku tidak melihatnya.
Yang ada di sana hanya mayat wanita itu, tidak ada lainnya."
Suasana langsung hening ketika
Melati menghentikan ucapannya. Mereka terhanyut dalam alun pikiran
masing-masing. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan serangga malam serta
angin yang berhembus di antara pepohonan.
"O ya, Nisanak. Kalau aku
tidak salah dengar, kau mengatakan mayat Warsini tergantung pada sebuah patung.
Padahal, aku tahu betul, di Hutan Jati tak ada patung apa pun. Apalagi patung
yang sebesar ukuran manusia. Apakah kau dan kawanmu ini tidak mengada-ada?!
Maaf, aku tak bermaksud mencurigai kalian. Tapi, di antara keterangan yang kau
berikan, ada beberapa di antaranya yang tidak masuk akal kami "
Bukan hanya Melati yang
mengernyitkan alisnya kali ini Dewa Arak pun demikian pula.
Sepasang muda mudi ini
menyadari adanya kecurigaan dalam pernyataan Ki Sagotra. "Coba katakan,
mana di antara keterangan kami yang tidak masuk akal itu, Ki?"
Arya buru-buru mendahului
bertanya sebelum Melati menyambut ucapan Ki Sagot ra. Pemuda berambut putih
keperakan itu khawatir kekasihnya akan tersinggung dan marah besar, lalu mengakibatkan terjadinya
keributan.
"Pertama, masalah patung
itu. Dan yang kedua, ketidaktahuan kalian atas nasib Barada. Padahal Baradalah
yang mengantarkan Warsini!"
Rombongan penduduk Desa Ginang
itu termakan ucapan Ki Sagotra. Mereka pun, terutama Gondewa, menatap Melati
dan Dewa Arak berganti-ganti dengan sorot mata mengandung keingintahuan besar.
Mereka semua ingin tahu alasan yang dikemukakan sepasang muda-mudi berwajah
elok itu.
"Mengenai patung itu,
perlu kuberitahukan, Ki. Jangankan kau, kami berdua pun sempat merasa heran.
Mengapa patung itu ada di sana? Menurut pendapatku, ada orang yang telah
membawanya ke sana. Entah berapa orang. Tapi yang jelas, andaikata pelaku
tindak kekejian ini hanya seorang, maka tenaga dalamnya sudah pasti amat kuat!
Karena patung itu amat besar!"
"Hm...," Ki Sagotra
bergumam. Tampak jelas kalau laki-laki pendek kekar ini tidak mempercayai
keterangan Dewa Arak. "Lalu..., bagaimana dengan Barada? Kata rekanmu yang
kalian lihat hanya mayat Warsini. Padahal Warsini pergi bersama dengan Barada.
Lebih jelasnya bisa kukatakan kalau Barada bertugas menjaga keselamatan
Warsini. Lalu , mengapa
kalian berdua tidak
melihatnya? Suatu hal yang aneh, bukan?!" urai Ki Sagotra menjelaskan
kecurigaannya.
"Sama sekali tidak, Ki.
Bisa saja Barada dibunuh, sedangkan Warsini dibawa ke tempat itu. Ini kemungk
inan pertama andaikata benar wanita yang terbunuh itu Warsini. Kemungkinan
keduanya, bisa saja Barada pelaku pembunuhan itu. Kalau dia bukan pembunuhnya,
mengapa tidak kembali?! Ini juga dapat dijadikan bahan kecurigaan, Ki?!"
bantah Arya.
"Kau memang pintar
bicara, Anak Muda. Kuakui alasan yang kau jelaskan itu memang masuk akal. Tapi,
kau jangan bergembira dulu. Perasaan curiga terhadapmu tetap belum hilang di
hatiku!" tandas Ki Sagotra tegas.
"Terima kasih atas
kejujuranmu, Ki!"
"Bisa antarkan aku ke
tempat kau mengubur mayat wanita itu, Nisanak?!"
Tanpa mempedulikan Ki Sagotra
dan Arya yang masih berbicara. Gondewa langsung saja menyelaknya. Lelaki pendek
kekar itu tetap belum mengakui kalau mayat yang ditemukan Melati adalah
anaknya.
Itulah sebabnya dia tetap
memanggilnya dengan wanita itu.
Melati tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Malah dialihkan pandangannya ke Dewa Arak. Baru setelah melihat
kekasihnya menganggukkan kepala, gadis itu langsung meluluskan permintaan
Gondewa.
"Aku bersedia
mengantarkanmu ke sana, Ki."
"Terima kasih, Nisanak!
Bisa kita berangkat sekarang?" tanya Gondewa lagi, tidak
sabar. "Bisa, Ki,"
Arya yang memberikan jawaban. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu sudah tak terlibat
pertengkaran lagi dengan Ki Sagotra, setelah tindakan Gondewa yang menyelak
pembicaraan.
"Kalau demikian tunggu
apa lagi?"
Melihat hal ini, Ki Sagotra
hanya mengangkat bahu. Dibiarkannya Gondewa melaksanakan keinginannya. Perasaan
kasihan yang mendorongnya seperti itu.
"Kita selesaikan
persoalannya nanti, Dewa Arak!" kata Kepala Desa Ginang itu bernada
menantang.
Dewa Arak menyambutnya dengan
senyum di bibir. Kemudian diayunkan langkahnya menuju Hutan Jati kembali.
Belasan penduduk Desa Ginang mengikuti di belakangnya.
4
"Itu kuburannya,
Ki," ujar Melati sambil menuding sebuah gundukan tanah berisi mayat wanita
malang yang diduga Warsini.
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, belasan penduduk Desa Ginang meluruk ke gundukan tanah itu. Mereka
seperti saling mendahului untuk segera tiba di Sana. Namun, yang berada paling
depan adalah Gondewa.
Arya, Melati, dan Ki Sagotra serta
beberapa orang penduduk Desa Ginang yang tidak ikut mendekati kuburan Warsini,
hanya mengawasi.
"O ya, di mana patung
yang kau ceritakan itu, Anak Muda?" tanya Ki Sagotra sambil matanya
beredar ke sekeliling tempat itu.
Namun belum sempat Arya maupun
Melati memberikan jawaban, terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka!
Rombongan penduduk desa yang bermaksud membongkar kuburan Warsini rupanya
mendapat masalah.
"Aaakh...!"
"Aduhhh...!"
"Uuukh, kakiku...!"
Terdengar suara-suara jeritan
dari sebagian besar penduduk. Dan tiba-tiba langkah kaki mereka pun terhenti.
Melihat kejadian ini, tanpa
membuang waktu Dewa Arak dan Melati segera melesat ke sana. Tapi, tentu saja
sepasang pendekar muda yang telah kesohor ini tetap selalu berwaspada.
Sebelum mencapai tempat
rombongan penduduk menjerit-jerit kesakitan, keduanya tidak melanjutkan lari
mereka.
Arya dan Melati memperhatikan.
Sesaat kemudian keduanya telah mengetahui penyebabnya. Di sekitar kuburan
Warsini, telah tersebar ratusan bahkan mungkin ribuan paku berukuran cukup
panjang, sehingga mampu menembus alas kaki dan melukai yang menginjaknya.
Paku-paku itu tidak terlihat jelas karena tanah itu ditumbuhi rumput yang
meskipun pendek, cukup untuk menutupi paku-paku itu hingga tidak jelas terlihat mata. Apalagi di waktu malam seperti sekarang
Sekarang para penduduk Desa
Ginang yang sial itu harus mene rima akibat tindakan mereka yang tergesa-gesa.
Telapak kaki mereka tertembus paku dan terluka. Mereka terkejut dan
kebingungan. Betapa tidak? Kedua telapak kaki mereka tertusuk paku-paku
beracun!
Belasan orang penduduk Desa
Ginang itu pun semakin kebingungan. Mereka tak dapat berdiri. Paku-paku beracun
itu telah menembus telapak kaki mereka. Dan sialnya, karena kedua telapak kaki
tertusuk paku menyebabkan kesulitan untuk mencopoti paku yang menancap.
Betapa tidak? Untuk mencopoti
paku-paku itu tentu memerlukan salah satu kaki untuk bertumpu. Dengan
sendirinya luka yang diderita semakin parah, jika paku semakin dalam menembus.
Dan hal itu dialami mereka yang berusaha mencopot paku. Sementara sebagian lagi
hanya berdiam diri saja di tempat karena menyadari sulitnya melakukan tindakan
pertolongan.
Ketika mereka terlibat dalam
kesulitan itulah Dewa Arak dan Melati menghentikan langkah sambil mengawasi keadaan.
Sepasang muda-mudi berwajah elok ini tak berani bertindak gegabah. Itulah
sebabnya mereka tidak langsung memberikan pertolongan. Yang dilakukan hanya
memperharikan sejenak suasana sekitar tempat itu. Tiba-tiba....
"Aaakh !"
Jeritan menyayat hati keluar
dari mulut salah seorang penduduk yang berusaha mencopot paku dari telapak
kakinya. Seiring dengan keluarnya jeritan itu, tubuh penduduk itu
menggelepar-gelepar. Dan dari mulutnya keluar busa putih dan kental!
Kemudian diiringi suara mengo
rok seperti kerbau disembelih, tubuh lelaki yang sial itu ambruk ke tanah. Di
situ, tubuhnya berkelojotan seperti orang ayan. Sementara dari mulutnya
terus-menerus keluar cairan kental berwarna putih.
"Lugira...!" seru
kawan-kawannya yang juga terjebak di tempat itu. Mereka semua terkejut bukan
kepalang melihat kejadian yang menimpa Lugira.
Dewa Arak, Melati, dan Ki
Sagotra, serta penduduk yang bersamanya pun terkejut. Dengan tindakan
tergesa-gesa, Kepala Desa Ginang bersama warga desa yang bersamanya melesat mendekati.
Dan mereka menghentikan langkah ketika telah berada di dekat Dewa Arak dan
Melati.
"Kalian harus bertanggung
jawab atas terjadinya peristiwa ini!" tandas Ki Sagotra keras sambil
menatap Dewa Arak. "Kalianlah yang membuat mereka semua terjerumus di
situ!"
"Simpan dulu kemarahanmu,
Ki. Tindakan yang harus kita lakukan sekarang, menolong mereka sebelum
segalanya terlambat. Hal-hal lain bisa diurus belakangan," sahut Dewa
Arak, cepat
Ki Sagotra melengak. Mengapa
dia begini bodoh?! Mengapa dia meributkan masalah seperti itu di saat genting
seperti ini? Apa yang dikatakan Dewa Arak benar belaka. Pada saat gawat seperti
ini, hal yang paling penting dilakukan mencari jalan untuk menyelamatkan
mereka. Bukan meributkan peristiwa. yang telah terjadi. Maka, lelaki berpakaian
putih pun terdiam. Pikirannya berputar mencari cara untuk menyelamatkan nyawa
warga desanya yang belum menjadi korban.
Tapi sebelum Ki Sagotra
menemukan cara, Dewa Arak telah berhasil mendapatkannya. "Lepaskan sabuk
kalian, dan pergunakan untuk menjerat tubuh mereka," ucap Dewa
Arak tiba-tiba.
Sambil berkata demikian pemuda
berambut putih keperakan itu segera meloloskan sabuk dari pinggangnya. Hal yang
sama dilakukan pula oleh Melati dan Ki Sagotra. Sementara para penduduk Desa
Ginang yang berada bersama kepala desanya hanya bisa saling pandang. Mereka
sama sekali tidak mengenakan sabuk pengikat pinggang. Sebagai petani mereka
tidak terbiasa mengenakan sabuk di pinggang.
Namun, Dewa Arak sama sekali
tidak mempedulikan karena menyadari kalau Ki Sagotra dan penduduk desanya tak
akan mampu melakukan hal yang telah direncanakan. Seruan itu sebenarnya
ditujukan pada Melati. Namun, karena khawatir Ki Sagotra dan lainnya merasa
disepelekan, maka ditujukan ucapannya itu untuk mereka semua.
Dan dugaan pemuda berambut
putih keperakan itu sama sekali tidak keliru. Ki Sagotra meloloskan sabuknya
juga seperti yang dilakukan Dewa Arak dan Melati, tapi raut wajahnya
memancarkan kebingungan.
Sementara itu Dewa Arak dan
Melati langsung bertindak.
"Harap kalian tenang, dan
jangan melakukan tindakan apa pun," teriak Dewa Arak. "Kami hendak
menolong. Apabila sabuk ini telah membelit tubuh kalian, jangan melakukan
tindakan perlawanan. Lemaskan saja, agar pertolongan ini berjalan lancar!"
Lalu....
Ctarrr!
Diawali bunyi ledakan keras,
sabuk di tangan wa Arak dan Melati mulai meluncur menuju para penduduk yang
tengah menunggu maut. Salah seorang di antara mereka telah tewas setelah
menggelepar lepar beberapa saat lamanya.
Siuuut! Rrrttt!
Seperti telah disepakati saja,
sabuk Dewa Arak dan Melati meluncur ke sasaran yang berlainan. Perhitungan yang
tepat, sabuk itu berhasil membelit tubuh dua di antara para penduduk yang
terjebak.
Dan ketika Dewa Arak dan
Melati melakukan sentakan, tubuh-tubuh yang telah terbelit itu pun terbawa ke
arah mereka. "Cepat kau berikan pertolongan pada mereka Melati! Mereka
keracunan. Biar aku yang menarik mereka keluar dari sana," kata Dewa Arak
setelah tubuh dua penduduk itu berada di antara mereka.
***
Tanpa menunggu perintah dua
kali Melati langsung membelitkan sabuknya kembali ke pinggang, ia berjongkok
dan memeriksa keadaan mereka.
Ki Sagotra dan para penduduk
yang bersaman pun ikut berjongkok. Mereka ingin tahu kejadian yang tengah
menimpa kawan-kawan mereka. Ki Sagotra kini telah menyimpan kembali sabuknya
karena menyadari kalau dirinya tidak dapat membantu Dewa Arak.
Karena tugas yang diterima
Melati membutuhkan waktu yang lebih lama, maka ketika Dewa Arak telah
menyelesaikan semua tugasnya, gadis itu baru melakukan tindakan pencegahan
terhadap semua korban. Berarti pertolongan yang diberikan Melati baru
dimaksudkan untuk mencegah racun menjalar lebih jauh.
"Bagaimana, Melati?"
tanya Arya ketika melihat kekasihnya telah selesai memberikan pertolongan pada
orang yang terakhir.
"Ini jenis racun yang
aneh, Kang," jawab Melati sambil menyusut peluh yang membasahi keningnya.
"Ya. Aku juga telah
melihat akibatnya tadi," jawab Dewa Arak sambil menghela napas, karena
merasa tidak yakin apakah mereka akan sanggup menyelamatkan nyawa para penduduk
Desa Ginang yang malang itu.
"Tidak akan ada satu pun
di antara mereka yang selamat, Anak Muda," selak Ki Sagotra sambil menatap
Dewa Arak.
Karuan saja ucapan itu membuat
Dewa Arak dan Melati menolehkan kepala.
"Mengapa kau berkata
demikian, Ki?" tanya Arya bernada penasaran. Sorot perasaan yang sama,
terpancar pula di wajah Melati.
"Hhh...!"
Jawaban bagi pertanyaan Dewa
Arak hanya hembusan napas berat. Tapi hal itu tidak membuat Dewa Arak terkejut.
Yang membuatnya merasa terkejut bukan kepalang justru ketika melihat adanya
kengerian, baik di wajah maupun di mata Ki Sagotra.
"Sebenarnya berat bagiku
untuk mengatakannya, Anak Muda. Tapi, bisa kukatakan secara singkat. Kematian
yang didahului tanda-tanda seperti ini telah pernah terjadi di Desa Ginang dan
di desa-desa sekitarnya," jelas Ki Sagotra dengan suara lirih.
"Maksudmu..., kematian
yang didahului dengan gejala-gejala seperti ini, Ki?!" tanya Arya
menegaskan.
Ki Sagotra menganggukkan
kepala membenarkan pertanyaan Dewa Arak. Sementara Melati tengah sibuk
memerangi racun yang mengendap di tubuh para penduduk yang malang itu. Namun,
seperti yang telah dikatakan Ki Sagotra, tindakan Melati ternyata sia-sia.
Salah seorang di antara mereka tahu-tahu menggelepar-gelepar disertai keluarnya
cairan putih dan kental dari mulutnya, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
"Bisa kau jelaskan padaku
tentang kejadian itu, Ki?" pinta Arya hati-hati.
Ki Sagotra
tidak langsung memberikan tanggapan
terhadap pertanyaan Dewa Arak.
Dilayangkan pandangannya ke
angkasa seolah-olah tengah mencari jawaban di sana. "Sebenarnya..., aku
tak pernah ingin mengingatnya lagi, Anak
Muda. Kejadian itu telah
lama berlalu. Tepatnya puluhan
tahun lalu. Rentetan kejadian mengerikan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Begitu mengerikan!" ujar Ki Sagotra masih dengan tatapan tertuju ke
angkasa. Jelas, ingatan lelaki berpakaian putih itu melayang ke masa puluhan
tahun lalu.
Dewa Arak sama sekali tak
memberikan tanggapan. Dengan sabar ditunggunya hingga Kepala Desa Ginang itu
melanjutkan ucapannya. Sementara itu, Melati masih tetap sibuk menyelamatkan
nyawa para penduduk yang keracunan.
"Puluhan tahun lalu...,
ketika aku seusiamu, terjadi peristiwa-peristiwa mengerikan. Entah dari mana
datangnya tak seorang pun yang tahu. Ada sekelompok orang yang menganut
kepercayaan keji. Suatu kepercayaan yang sangat menggiriskan. Mereka melakukan
pemujaan terhadap roh-roh jahat. Dan demi kesempurnaan pemujaan, mereka harus
mengorbankan seorang wanita yang masih suci. Entah bagaimana kejadiannya aku
tak tahu dengan pasti. Yang jelas, kami
hanya selalu menemukan sesosok mayat wanita tergantung di atas sebuah patung
dalam keadaan mengenaskan!" Ki Sagotra menghentikan ucapannya sejenak
untuk mengambil napas, lalu menelan ludahnya yang terbendung di mulutnya. Dan
kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak untuk mengutarakan
hal yang mengganjal di dadanya.
"Seperti itu pula keadaan
mayat wanita yang kami temukan, Ki," sahut Arya. "Dia pun tergantung
di atas sebuah patung besar yang berwujud mengerikan."
Ki Sagotra tersenyum pahit.
Wajahnya pun tampak tegang.
"Sekarang aku bisa
mempercayai ceritamu, Anak Muda. Tanpa kau jelaskan pun aku tahu bentuk patung
yang kau maksudkan. Bukankah patung itu terdiri dari campuran beberapa macam
bentuk? Badan dan kaki belakangnya berbentuk kuda, wajah dan tangan manusia,
bertaring, dan memiliki tanduk?" tanya Ki Sagotra sambil menatap wajah
Dewa Arak.
Dewa Arak juga menganggukkan
kepala pertanda membenarkan.
"Hhh...! Berarti bencana
yang pernah menghebohkan puluhan tahun lalu akan terulang. Bencana yang terjadi
akibat patung yang dianggap keramat oleh kelompok itu. Padahal, dahulu banyak
tokoh persilatan yang telah membantu, tapi kami tetap mengalami kesulitan. Tak
mampu mengatasi setiap malapetaka mengerikan itu. Apalagi sekarang?! Hhh...!
Entah apa yang bakal terjadi terhadap desa ini!" keluh Ki Sagotra lagi
sambil menghembuskan napas berat.
"Maaf, Ki! Boleh kudengar
cerita selengkapnya sehingga kelompok yang mempunyai kepercayaan keji itu bisa
dimusnahkan?!"
"O ya, aku belum
menyelesaikan ceritaku," Ki Sagotra teringat kembali. "Teror yang
melanda Desa Ginang, puluhan tahun lalu lebih menge rikan lagi. Bukan hanya
wanita yang menjadi korban. Tapi juga para pemuda yang masih perjaka. Tak
sedikit korban yang berjatuhan. Dan hal itu membuat para penduduk memutuskan
untuk melakukan perlawanan. Di bawah pimpinan guru silat desa, kami menyiapkan
perlawanan. Tapi sayang, dengan mudah perlawanan kami dapat dipatahkan."
Ki Sagotra menghentikan
ceritanya kembali untuk mengambil napas sambil berusaha mengingat-ingat
peristiwa mengerikan yang sejak lama diusahakan untuk dilupakannya.
"Untung berita itu
terdengar oleh tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Itu pun berkat usaha guru
silat desa yang sebelum tewas sempat meminta bantuan per-guruan-pergu ruan
silat aliran putih melalui surat. Pertarungan demi pertarun gan pun terjadi.
Tapi tetap saja kemenangan berada di pihak kelompok penganut aliran sesat itu.
Mereka menggunakan ilmu hitam yang mereka dapatkan dari hasil upacara
mengerikan itu!"
Lagi-Iagi Ki Sagotra
menghentikan ucapannya. Ditelannya kembali liur untuk melegakan tenggorokannya
yang kering.
"Dan ketika tokoh-tokoh
persilatan aliran putih mulai putus asa, muncul seorang kakek sakti. Berkat
bantuannya kelompok itu bisa dihancurkan. Dia memiliki ilmu yang membuat ilmu
hitam kelompok itu tak berdaya. Bahkan pimpinan gerombolannya pun berhasil
dibinasakan! Sehingga kelompok keji itu pun berhasil dihancurkan! Ditumpas
habis! Itu keyakinan kami dahulu. Namun nyatanya, sekarang peristiwa ini
berulang lagi. Berarti kelompok itu belum sepenuhnya tuntas. Kupikir masih ada
di antara mereka yang selamat!" Ki Sagotra mengakhiri ceritanya dengan
raut wajah memancarkan kengerian mendalam. Beberapa kali terdengar napasnya
dihembuskan dengan berat karena menahan ketegangan di hatinya.
Dewa Arak tercenun g begitu Ki
Sagotra menyelesaikan cerita. Lalu diedarkan pandangan ke wajah-wajah penduduk
Desa Ginang. Dan seperti juga Ki Sagotra, wajah dan sorot mata mereka semua
memancarkan kengerian yang amat sangat.
Kengerian yang sama melanda
hati Melati. Gadis berpakaian putih ini membayangkan betapa besarnya perasaan
ngeri yang melanda hati para penduduk Desa Ginang puluhan tahun lalu.
"Ki...," sapa Arya
perlahan.
"Hm...," hanya
gumaman pelan Ki Sagotra yang menyambut ucapan pemuda berambut putih keperakan
itu.
"Kalau mendengar ceritamu
tadi, berarti sumber bencana itu tak lain patung yang dianggap keramat oleh
kelompok penganut kepercayaan itu. Bukankah demikian?"
Ki Sagotra mengern yitkan dahi
sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Benar, Anak Muda."
"Barangkali..., kalau
patung aneh itu tidak ada, malapetaka pun tidak akan terjadi lagi?
Begitu kan, sepatutnya?!"
tanya Arya.
Kini kernyitan dahi Ki Sagotra
makin dalam. Rupanya kepala desa itu belum bisa menebak arah pembicaraan Dewa
Arak. Namun, karena pernyataan yang dikemukakan Arya sama sekali tidak salah,
Ki Sagotra mengangguk meskipun kebingungan masih terlihat jelas di wajahnya.
"Kalau begitu..., patung
keramat itu akan kuhancurkan saja! Dengan demikian tidak ada lagi tempat yang
dapat dijadikan peristiwa keji oleh kelompok penganut kepercayaan keji
itu!" tandas Dewa Arak penuh semangat.
"Kau benar, Kang!"
Melatilah yang pertama kali memberikan sambutan. "Biar aku saja yang
menghancurkannya. Bagaimana, Ki?!"
"Sebuah usul yang
bagus!" sambut Ki Sagotra, juga dengan perasaan gembira.
"Apakah hal itu tidak
akan membuat gerombolan keji itu semakin meningkatkan kekejiannya?" bantah
seorang lelaki bertubuh tinggi besar ragu-ragu. Sorot matanya memancarkan
kekhawatiran besar.
"Kalau menurut
pendapatku, sama saja, Ki," sahut Arya, cepat.
"Kau benar, Anak Muda.
Mari kita hancurkan patung keparat itu!" ajak Ki Sagotra penuh semangat
Tapi riak penuh semangat di
wajah Ki Sagotra kontan buyar ketika melihat sikap Dewa Arak dan Melati. Kedua
pendekar muda ini tampak menatap penuh perasaan heran pada satu arah.
"Apa yang terjadi, Anak
Muda?" tanya Ki Sagotra penasaran.
"Patung itu sudah tidak
ada lagi, Ki," jawab Arya tenang. Rupanya pemuda berambut putih keperakan
ini telah mampu menguasai dirinya kembali.
"Apakah tadi sewaktu kita
datang, patung itu masih ada, Anak Muda?" tanya Ki Sagotra ingin tahu.
"Sayang sekali, aku tak
melihatnya, Ki. Urusan mayat wanita itu yang menyebabkan kami tidak ingat sama
sekali. Tapi, barangkali masih ada di sekitar sini. Kau juga di sini, Melati.
Aku akan memeriksa sekitar tempat itu. Siapa tahu patung itu masih ada dan kita hanya keliru tempat!"
"Aku yakin kita tidak
keliru tempat, Kang. Orang itu pasti telah memindahkannya." "Ucapanmu
mungkin benar, Melati. Tapi tak ada salahnya kalau aku memeriksanya
untuk meyakinkan benar
tidaknya," kelit Arya.
"Kalau begitu pergilah,
Kang! Biar aku berjaga-jaga di sini."
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Dewa Arak segera melesat. Ingin
dibuktikannya sendiri kalau patung itu benar-benar sudah tidak berada di
tempatnya lagi.
Berkat sinar bulan dan tidak
adanya awan yang menggantung, suasana di persada cukup terang. Sehingga Arya
tak mengalami kesulitan untuk mengawasi segala sesuatu di sekelilingnya. Dan
memang ucapan Melati benar. Patung keramat yang memiliki bentukaneh itu sudah
tidak berada di situ!
Maka dengan lesu, Arya
mengayunkan langkah kembali ke tempat semula. "Bagaimana, Kang?"
Sebelum Arya tiba di dekat
mereka, Melati telah lebih dulu mengajukan pertanyaan.
Gadis itu merasa tidak sabar
untuk segera mengetahuinya.
"Tidak ada, Melati.
Mungkin dugaanmu benar, orang itu telah lebih dulu menyembunyikan di tempat
yang aman," jawab Arya ketika telah berada di dekat mereka.
"Kalau begitu, kami akan
kembali ke desa, Anak Muda. Tentu saja setelah mengurus mayat-mayat ini,"
ujar Ki Sagotra sambil menudingkan jari telunjuknya ke mayat-mayat yang
tergolek di hadapannya. Memang, tidak ada satu pun yang selamat di antara
orang-orang yang terkena paku beracun.
Ki Sagotra segera memberi
perintah pada para penduduk Desa Ginang yang masih hidup agar membuatkan
kuburan bagi mereka yang tewas karena paku beracun. Tak berapa lama kemudian,
lubang-lubang kuburan pun terbentuk karena Arya dan Melati ikut membantu.
"Bagaimana, Anak Muda? Kau ingin melanjutkan perjalanan sendiri atau ikut
bersama
kami?" tanya Ki Sagotra
ketika urusan penguburan mayat telah selesai.
"Karena sudah telanjur
terlibat, tambahan lagi karena tertarik, kami putuskan untuk ikut bersamamu,
Ki. Meskipun mungkin tidak banyak berarti, akan kami coba untuk membantu
menyelesaikan kemelut ini," ujar Arya panjang lebar.
"Terima kasih, Anak Muda.
Memang itulah yang kami harapkan," sambut Ki Sagotra gembira. Ki Sagotra
merasa gembira mendengar kesanggupan Dewa Arak membantu penyelesaian ini.
Karena telah dilihatnya tadi, kedua pendekar muda itu memperlihatkan, kelihaian
ketika memberi pertolongan kepada penduduknya yang menginjak paku beracun.
Maka sesaat kemudian,
rombongan penduduk Desa Ginang itu pun kembali bergerak. Ada rasa duka dan
ngeri yang menyelimuti hati, ketika teringat bencana yang
bakal mengancam mereka.
5
Keesokan harinya seluruh Desa Ginang
gempar ketika mendengar berita yang dibawa rombongan Ki Sagotra. Kesan
kengerian tampak jelas baik pada wajah maupun sorot mata mereka. Sebagian besar
penduduk masih bersedih karena kematian suami, ayah, anak, ataupun saudara.
Ki Sagotra sengaja mengumpulkan
semua penduduknya di balai desa guna memberitahukan peristiwa yang dialami
rombongan tadi malam.
"Kuharapkan, dengan
adanya pemberitahuan ini, kita semua semakin meningkatkan kewaspadaan!
Hindarilah bepergian jauh. Dan kalau terpaksa, usahakan untuk tidak sendiri.
Paling sedikit bertiga! Ini untuk sekadar pencegahan terhadap terjadinya
hal-hal yang tak kita inginkan!" jelas Ki Sagotra panjang lebar.
Tidak ada tanggapan sama
sekali dari para penduduk. Mereka semua tenggelam dalam alun pikiran masing-masing.
Pikiran-pikiran yang diselimuti kengerian dan ketakutan. Karena itulah,
meskipun kelihatannya mendengarkan, mereka tidak mendengar jelas semua ucapan
Kepala Desa Ginang itu.
"Nah! Kalau kalian semua telah merasa
jelas, kupersilakan meninggalkan
tempat ini!
Tapi ingat baik-baik pesanku,
usahakan untuk tidak berada sendirian! Kalian mengerti?!"
"Mengerti...!" sahut para penduduk meskipun dengan pengertian
setengah-setengah. "Bagus! Sekarang kalian boleh pergi! Tenangkanlah hati
kalian, karena aku tidak akan
berdiam diri begitu saja. Akan
kukirim orang untuk meminta bantuan pada perguruan- perguruan silat aliran
putih. O ya, hampir lupa. Di sini pun telah hadir dua orang pendekar sakti!
Yang lelaki bernama Arya Buana, tapi lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak,"
lanjut Ki Sagotra sambil menolehkan wajah ke Dewa Arak. "Sedangkan
yang di sebelahnya adalah rekan seperjalanannya. Melati namanya. Dirinya pun
memiliki kepandaian yang tidak kalah hebat dibanding Dewa Arak! Merekalah yang
akan membantu kita menumpas sisa-sisa kaum iblis itu!" jelas kepala desa
dengan lantang.
Memang antara Arya, Melati,
dan Ki Sagotra telah saling mengenal lebih jauh. Hal itu dilakukan selama
perjalanan menuju Desa Ginang. Tak aneh kalau kini Ki Sagotra telah bisa
memperkenalkan sepasang pendekar itu pada warganya.
Seketika itu pula puluhan
pasang mata tertuju ke Dewa Arak dan Melati yang duduk di sebelah Ki Sagotra.
Ada sorot ketidakyakinan dalam pancaran sinar mata dan raut wajah para
penduduk, ketika melihat kedua tokoh yang akan membantu mereka menghadapi
penyembah patung keramat itu adalah dua orang muda belia. Sebagai petani,
mereka tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Tak aneh kalau mereka
sama sekali tidak mengenal julukan Dewa Arak yang telah sangat kesohor dalam
dunia persilatan.
Sementara itu, Dewa Arak dan
Melati langsung menganggukkan kepala sambil melemparkan senyum ramah pada para
penduduk Desa Ginang, begitu Ki Sagotra memperkenalkan jati diri mereka.
"Nah! Sekarang kalian boleh kembali ke tempat masing-masing. Kecuali...
kau! Kau, dan kau!" tuding Ki Sagotra pada tiga orang di antara mereka.
"Aku memerlukan kalian untuk menyampaikan surat permintaan tolongku kepada
perguruan-perguruan silat aliran putih."
Seketika itu pula wajah ketiga
orang yang terpilih itu pias. Terlihat jelas kalau mereka dilanda rasa takut
yang amat sangat. Tapi, apa daya? Ini sudah pilihan kepala desa, dan mereka
tidak bisa membantah lagi. Dengan perasaan iri, mereka menatap kawan-kawan
mereka yang tidak terpilih, dan kini tengah beranjak meninggalkan tempat
pertemuan itu.
Dewa Arak dan Melati hanya
bisa mengeluh dalam hati melihat ketakutan yang melanda hati tiga penduduk yang
terpilih itu. Mereka berdua sama sekali tidak bisa menyalahkan. Karena sepasang
pendekar muda ini telah mendengar berita kalau dulu, puluhan tahun lalu, setiap
urusan yang dikirimkan guru silat desa ini tidak pernah sampai di tempat
tujuan! Mereka tewas di tengah jalan dalam keadaan mengerikan!
"Nah! Ini surat yang
harus kalian sampaikan!" kata Ki Sagotra lagi, berusaha untuk tidak
mempedulikan perasaan yang berkecamuk di hati ketiga orang urusan itu.
Dengan hati berat, ketiga
penduduk yang terpilih jadi utusan itu bangkit dan menerima gulungan surat yang
diulurkan kepala desa. Ada dua buah gulungan.
"Serahkan surat ini ke
Perguruan Belibis Putih dan Perguaian Tangan Geledek," perintah Ki
Sagotra. "Kalian tak perlu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, di
dalam surat itu telah kuceritakan semuanya. Jelas?!" pesan Ki Sagotra lagi.
"Jelas, Ki," jawab
tiga orang itu hampir berbareng. "Bagus! Nah, sekarang berangkatlah!"
Tanpa menunggu perintah dua
kali, ketiga utusan yang bertubuh kekar dan berotot karena terbiasa bekerja
keras itu mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Langkah mereka nampak
gontai. Lesu, selesu hati dan wajah mereka yang terus diliputi rasa takut dan
cemas.
Sekarang di tempat itu tinggal
Ki Sagot ra, Arya, dan Melati, serta lima orang
kepercayaan Ki Sagotra. Mereka
termasuk di antara penduduk yang selamat dalam peristiwa paku beracun karena
tak ikut meluruk ke kuburan Warsini.
Setelah ketiga orang utusan
tak terlihat lagi, Ki Sagotra mengalihkan perhatian ke Dewa Arak dan Melati.
Kedua pendekar itu sejak tadi diam saja menyaksikan semua kejadian
di dalam pertemuan warga Desa Ginang.
"Bagaimana dengan nasib
Barada, Ki?! Apakah sudah ada berita mengenai dirinya?!" tanya Arya
tiba-tiba.
"Hhh...! Aku belum sempat
melakukan tindakan apa pun untuk mengusut beritanya, Arya. Mungkin nanti siang
baru kuutus serombongan orang untuk mencari jejaknya. Hhh...! Kali ini kelompok penyembah setan
terkutuk itu memang harus dilenyapkan untuk selama- lamanya. Bahkan patung itu
pun harus dihancurkan! Kalau tidak, bencana ini akan terus datang," desis
Ki Sagotra dengan suara ditekan berat
"Kami berada di
belakangmu, Ki," sambut Dewa Arak, cepat "Percayalah, kami tak akan
meninggalkan Desa Ginang sebelum masalah ini tuntas!"
"Benar, Ki!" Melati
pun menyahut "Dan jangan khawatir masalah ini tidak akan selesai! Kau
tahu, Ki. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak selesai, setiap kali kawanku
ini turun tangan!"
"Melati...," tegur
Arya, pelan mendengar ucapan Melati yang sepintas lalu menunjukkan kesombongan.
"Ah...! Begitukah?! Kalau
benar demikian, seluruh penduduk desa ini, tentu saja termasuk aku akan
berterima kasih sekali pada kalian berdua. Walaupun, untuk kesediaan kalian
membantu kami saja, sudah cukup untuk membuat kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga," ujar Ki
Sagotra dengan sepasang mata berbinar.
"Lupakanlah semua
basa-basi itu, Ki! Bukankah hal paling penting yang harus kita lakukan adalah
melenyapkan pelaku penyebar maut itu?!" Arya berusaha mengalihkan
pembicaraan.
Ki Sagotra
mengangguk-anggukkan kepala membenarkan ucapan pemuda berambut putih keperakan
di sampingnya.
Mendadak Dewa Arak menolehkan
kepala ke kiri. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki
mendekati tempat itu. Namun, belum sempat pemuda berambut putih keperakan itu
berpaling secara penuh, angin telah lebih dulu berkesiut. Dan...
Jliggg! Di tempat itu telah
berdiri seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan berpakaian kuning. Menilik dari
kumis, jenggot, dan rambutnya yang telah memutih, kakek itu telah berusia
lanjut. Mungkin tak kurang dari delapan puluh tahun.
"Eyang Sawunggaling...!"
seru Ki Sagotra agak terkejut.
Kepala Desa Ginang itu
langsung memberi hormat, diikuti lima orang kepercayaannya.
Maka, Dewa Arak dan Melati pun
buru-buru memberi hormat pula.
Kakek berpakaian kuning yang
ternyata bernama Eyang Sawunggaling segera membalas penghormatan mereka.
"Aku mendengar keributan
di desa ini, Sagotra?! Apa yang telah terjadi?! Kudengar kelompok penyembah
patung keramat itu muncul lagi dan meminta korban! Apakah hal itu benar?!"
tanya Eyang Sawunggaling.
Anehnya, kedua bibir kakek
berpakaian kuning sama sekali tidak bergerak! Padahal suara tanya itu jelas
terdengar di telinga mereka.
Dewa Arak dan Melati terkejut
bukan kepalang melihat kenyataan ini, Jelas, kalau kakek itu memiliki
kepandaian tinggi, sehingga mampu berbicara tanpa menggerakkan bibir. Eyang
Sawunggaling mampu berbicara melalui perut!
Sepasang pendekar muda itu
melirik Ki Sagotra dan orang-orang kepe rcayaannya. Ternyata raut wajah mereka
tidak menampakkan perasaan kaget. Hanya ada dua dugaan. Mereka tidak menganggap
hal itu sebagai hal yang aneh, atau mungkin mereka memang sudah mengetahui,
kakek berpakaian kuning itu orang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Benar, Eyang. Semua yang
Eyang dengar itu benar. Korban telah berjatuhan dengan ciri-ciri kematian yang
sama dengan kejadian puluhan tahun lalu. Aku, lima orang kepercayaanku, dan
para penduduk yang selamat telah menyaksikan sendiri kematian beberapa penduduk
desa."
Kemudian secara singkat Ki
Sagotra menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi. "Hm..., benarkah
patung keramat itu telah muncul lagi?!" tanya Eyang Sawunggaling
setengah tak percaya.
"Benar, Eyang. Memang,
kami tidak sempat menyaksikan kebenarannya, begitu juga dengan korban yang
berada di patung itu. Tapi dua orang sahabat ini menyaksikannya," sahut Ki
Sagotra sambil menunjuk Dewa Arak dan Melati sebagai saksinya.
Eyang Sawunggaling menolehkan
kepala ke Dewa Arak dan Melati. Dengan penuh selidik ditatapnya sepasang
pendekar muda itu.
"Hm..., kalian berdua
bukan orang sembarangan rupanya," ujar Eyang Sawunggaling tanpa
menggerakkan bibir, setelah memperhatikan sejenak. "Coba kalian ceritakan
semua yang kalian lihat."
Dewa Arak dan Melati segera
menceritakan semuanya secara bergantian.
"Hm...," Eyang
Sawunggaling mengangguk-anggukkan kepala setelah sepasang pendekar berwajah
elok itu menyelesaikan ceritanya.
"O ya, hampir aku lupa.
Arya, Melati, beliau ini Eyang Sawunggaling. Orang yang telah berhasil menumpas
kepala kelompok penyembah patung keramat itu," Ki Sagotra memperkenalkan
Eyang Sawunggaling pada Melati dan Dewa Arak.
Dewa Arak dan Melati
mengangguk-anggukkan kepala.
Rupanya ini dia tokoh yang
luar biasa itu? Pantas Ki Sagotra dan lima orang kepercayaannya begitu
menghormatinya, pikir kedua pendekar itu.
"Aku juga semula tidak
percaya, Eyang. Bukankah dahulu kita dibantu tokoh-tokoh persilatan aliran
putih telah berhasil menumpas habis gerombolan itu. Bahkan sarang mereka pun
telah kita hancurkan hingga rata dengan tanah! Rasanya mustahil kalau ada dari
antara mereka yang selamat. Bukankah begitu, Eyang?!" ucap Ki Sagotra
lagi.
Eyang Sawunggaling tak
langsung menjawab pertanyaan itu. Kakek berpakaian kuning itu terdiam dengan
dahi berkernyit dalam seperti tengah memikirkan sesuatu. Lalu...,
"Hhh...!" Eyang
Sawunggaling menghela napas berat seolah-olah tengah mengusir suatu ganjalan di
hati. "Sebenarnya tidak semua anggota gerombolan itu tertumpas. Masih ada
di antara mereka yang selamat," lanjutnya.
"Mana mungkin,
Eyang?!" bantah Ki Sagotra, heran. "Aku tahu pasti tak seorang pun di
antara mereka yang selamat. Sekeliling tempat itu telah kita kurung. Demikian
pula dengan jalan rahasia yang menghubungkan sarang mereka dengan tempat lain,
telah kita hadang! Bagaimana bisa ada yang lolos?! Apa kau tidak salah, Eyang?!"
"Tidak, Sagotra. Aku tidak salah. Memang masih ada yang tidak
tertumpas," ujar kakek berpakaian kuning itu dengan yakin.
"Kau mengetahuinya secara
pasti, Eyang?" tany Ki Sagotra meminta ketegasan.
"Benar," Eyang
Sawunggaling menganggu kepala. Terlihat jelas di mata Dewa Arak betapa kakek
berpakaian kuning itu menanggung beban berat. Itu bisa diketahui dari caranya
menjawab pertanyaan Sagotra. Tentu saja hal ini menimbulkan tanda tanya besar
di hati pemuda berambut putih keperakan itu.
"Dan kau membiarkannya,
Eyang?!" kejar Ki Sagotra setengah tak percaya bercampur kaget. Bahkan
saking tidak menyangkanya, pertanyaan itu dikeluarkan dengan setengah menjerit
Kali ini Eyang Sawunggaling
tak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Tapi hal itu sudah cukup untuk
menjelaskan semuanya.
"Hhh...!" Ki Sagotra
menghela napas berat "Kalau tidak mendengar dari Eyang, aku tak akan
percaya, Eyang. Tapi, mengapa kau melakukan hal itu, Eyang? Bukankah kau
sendiri telah mengetahui betapa besar ancaman bahaya kelompok terkutuk itu.
Jangan-jangan kekuatan kelompok setan itu sekarang jauh lebih kuat dari yang
dulu."
"Tidak mungkin!"
tandas Eyang Sawunggalin mantap.
"Mengapa kau begitu
yakin, Eyang?! O ya, kalau boleh, aku ingin tahu mengapa Eyang membiarkannya
lolos dari kematian? Dan bagaimana caranya dia bisa lolos dari maut?!"
"Sayang sekali, Sagotra.
Aku belum bisa menjawabnya sekarang. Tapi, percayalah! Aku yang akan
menangkapnya dan membawanya kepadamu untuk dihukum sesuai dengan tindakan
kejahatannya!"
Usai berkata demikian, kakek
berpakaian kuning itu menghentakkan kaki. Hanya dengan sekali lesatan saja,
tubuhnya telah berada tiga belas tombak di depan. Hal ini menjadi pertanda
kalau ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat kesempurnaan.
Dewa Arak, Melati, dan Ki
Sagotra menatap hingga bayangan tubuh Eyang Sawunggaling lenyap di kejauhan.
"Hhh...! Sama sekali tak
kusangka kalau Eyang Sawunggaling melakukan tindakan yang demikian berbahaya.
Membiarkan anggota kelompok penyembah setan itu lolos. Hhh...! Benar-benar tak
bisa kumengerti," desah Ki Sagotra setengah tidak percaya.
"Tapi kalau mendengar
ceritanya, bisa kusimpulkan kalau yang dibiarkan lolos oleh Eyang Sawungga ling
hanya satu orang," ujar Arya.
"Meskipun hanya satu
orang, tetap saja berbahaya, Arya. Keberanian tindakannya telah menjadi bukti
bahwa dirinya telah memiliki kekuatan! Dan jika hal itu benar, dengan mudah
kami akan dibinasakannya. Masalahnya, saat ini kami belum mempunyai persiapan
sedikit pun untuk menghadapinya," jelas Kepala Desa Ginang setengah
mengeluh.
"Lalu..., sekarang apa
yang hendak kau lakukan, Ki?" tanya Arya ingin tahu. Ki Sagotra mengangkat
bahu.
"Aku belum memikirkan
tindakan apa pun, Arya. Paling-paling mencari tahu di mana kelompok jahanam itu
bersarang. Baru setelah itu, dengan bantuan tokoh-tokoh persilatan yang kami
hubungi, dan juga kalian berdua, serta mungkin Eyang Sawunggaling, tindakan
penyerbuan akan dilakukan."
"Kalau demikian,
bagaimana jika kami mencoba mencari tahu sarang mereka, Ki? Daripada hanya berdiam
diri di sini. Barangkali ada yang kami dapatkan. Kalau tidak sarang penjahat
itu, yahhh..., siapa tahu mayat Barada," usul Dewa Arak.
"Itu pun bagus,
Arya," jawab Ki Sagotra setelah memikirkannya sejenak. "Kalau
demikian, kami pergi dulu, Ki. Ayo, Melati!"
Setelah berkata demikian, Arya
segera melesat meninggalkan tempat itu bersama Melati. Hanya dalam beberapa
lesatan, tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan Ki Sagotra dan anak buahnya.
6
Bunyi derap kaki-kaki kuda
menghantam jalan tanah berdebu
mengiringi perjalanan tiga sosok tubuh
kekar berotot. Menilik pakaian yang dikenakan, mereka adalah para petani. Tidak
salah, ketiga orang ini ternyata penduduk Desa Ginang yang diutus untuk
mengirimkan surat Ki Sagotra kepada Perguruan Belibis Putih dan Perguaian
Tangan Geledek.
Ctar! Ctar! Ctar! "Hiya!
Hiyaaa...!"
Tak henti-hentinya tiga orang
warga Desa Ginang itu melecutkan cambuknya ke bagian belakang tubuh kuda
tunggangannya. Itu pun masih disertai teriakan-teriakan keras. Semua
dimaksudkan agar kuda-kuda itu berlari lebih cepat.
Dalam cekaman rasa takut yang
luar biasa, tiga orang bertubuh kekar itu kehilangan akal jernihnya. Tak
terpikir oleh mereka rasa sakit yang diderita kuda-kuda itu. Yang ada di benak
mereka hanyalah tiba di tempat tujuan secepat mungkin.
Dan hal itu hanya bisa
tercapai kalau kuda-kuda mereka berlari dengan cepat. Sehingga mereka
melecutnya terus-menerus. Ketiga orang itu tidak berpikir kalau kekuatan
binatang- binatang yang mereka tunggangi ada batasnya. Demikian pula kecepatannya.
Debu tebal yang mengepul
tinggi di belakang jadi pertanda betapa cepatnya lari kuda- kuda itu. Tak aneh
kalau sebentar saja mereka telah melewati mulut desa. Dan tak lama lagi mereka
akan melewati Hutan Jati.
Dan seiring dengan semakin
dekatnya dengan mulut Hutan Jati, ketegangan yang melanda hati ketiga orang itu
pun semakin memun cak. Mereka tahu kalau beberapa penduduk Desa Ginang telah
tewas secara mengerikan di dalam hutan itu.
Seirin g dengan menin gkatnya
rasa takut yang mencekam, semakin sering pula pecut- pecut mereka mendarat di
tubuh kuda-kuda itu.
Dan kekhawatiran tiga orang
penduduk Desa Ginang itu terbukti. Ketika mereka baru saja melewati mulut Hutan
Jati, berkelebat sesosok bayangan coklat memotong jalan. Dan...,
"Hup!"
Tepat di hadapan mereka, sosok
bayangan coklat itu mendaratkan kaki. Karuan saja ketiga utusan Ki Sagotra
terkejut bukan kepalang. Tanpa sadar, tali kekang kuda ditarik.
"Hiiieeeh...!"
Diiringi suara ringkikan
nyaring, kuda-kuda itu berhenti, dengan kaki depan terangkat tinggi-tinggi ke
udara.
"Aaah..., kiranya kau,
Den! Hampir saja kami mati kaget...?" seru salah seorang di antara tiga
utusan Ki Sagotra. Suaranya menyiratkan perasaan lega.
Sosok berpakaian coklat itu
menyeringai.
"Hendak ke mana kalian
sampai tergesa-gesa begitu?" tanya sosok yang dipanggil den itu, tidak
ramah suaranya.
"Kami diutus ayahmu untuk
menyampaikan surat kepada Perguruan Belibis Putih dan Perguruan Tangan
Geledek," jawab lelaki itu sambil mengacungkan dua gulungan surat. Lelaki
itu menjawab pertanyaan sambil tersenyum. Dirinya masih menunjukkan sikap
ramah, kendati sosok berpakaian coklat itu memperlihatkan tindak-tanduk
sebaliknya. Dan begitu lelaki itu tersenyum tampak gigi depannya yang patah.
"Kau sendiri mengapa
berada di sini, Den?" tanya lelaki bergigi patah itu.
"Aku?! Kau menanyakan
keberadaanku di sini?! Tidakkah kalian bisa menduganya?!" sambut sosok
berpakaian coklat dengan sikap dan suara yang semakin membuat tiga utusan itu
merasa tidak enak.
"Benar, Den. Kalau kau
tidak keberatan, kita bisa pergi bersama mengantarkan surat ini. Kau tahu, Den.
Sekarang bencana besar tengah mengancam desa kita...," jelas lelaki
bergigi patah dengan suara pelan.
"Benar, Den!"
sambung kawannya mulai bicara.
"Hup!"
Tepat di hadapan mereka,
berkelebat sesosok bayangan coklat yang menghadang.
Karuan saja ketiga penunggang
kuda itu terkejut setengah mati.
"Hieeeh...!"
Disertai ringkikan kuda-kudanya, mereka menghentikan laju kudanya. "Ah!
Kiranya kau, Den!" seru salah seorang penunggang kuda paling depan.
"Hmh...! Tak perlu kalian
memberitahukannya padaku!" tandas sosok berpakaian coklat ketus.
"Bukankah bencana yang diakibatkan munculnya patung keramat itu
lagi?!"
"Benar. Jadi, kau telah
mengetahuinya pula, Den? Apakah ayahmu yang menceritakannya? Tapi, kami yakin
jika Eyang Sawunggaling, gurumu, bersedia turun tangan dan surat-surat ini bisa
sampai di tujuan, kelompok keji itu bisa kita tumpas seperti puluhan tahun
lalu," lelaki bergigi patah terus mengumbar pembicaraan.
"Tutup mulutmu! Jangan
sembarangan membacot! Aku sudah tahu bencana yang akan menimpa Desa Ginang,
karena akulah pelakunya! Kalian dengar?! Aku pelakunya! Dan kalian enak saja
mengatakan kalau aku bakal tertumpas?! Kalian harus mampus! Cabut senjata kalian! Atau ingin mati tanpa melakukan
perlawanan?!"
"Biadab! Jadi, kau pelaku
semua kekejian itu, Bangsat! Kau tahu tindakanmu akan membuat ayah dan gurumu
tak akan bisa mati meram! Kau harus menerima balasannya, Manusia Keji!"
Usai berkata demikian, lelaki
bergigi patah itu melompat turun dari kuda. Dan dengan cukup mantap, kedua
kakinya berhasil mendarat
Tindakan yang sama pun
dilakukan kedua teman-nya. Mereka melompat dari punggung kuda. Dan....
Srat! Srat! Srat!
Sinar terang berkeredep ketika
golok-golok yang tergantung di pinggang, mereka cabut "Kau harus menerima
balasannya, Iblis Keji!
Hiyaaat..!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi
tiga urusan Ki Sagotra langsung melakukan penyerangan terhadap sosok berpakaian
coklat. Golok-golok mereka menyambar deras
ke bagian tubuh putra Ki Sagotra itu.
Tapi sosok berpakaian coklat
hanya tersenyum mengejek melihat serangan lawan- lawannya. Jelas, dirinya
menganggap ringan serangan-se rangan itu. Tak nampak adanya gelagat kalau putra
Ki Sagotra akai melakukan tindakan, baik menangkis maupun mengelak. Dia tetap
berdiam diri dengan senyum penuh ejekan menghias wajahnya.
Tak! Tak! Tak!
Bertubi-tubi tiga batang golok
itu mendarat di dada dan perut sosok berpakaian coklat. Namun bukan tubuh putra
Kepala Desa Ginang yang terbelah, melainkan tubuh tiga utusan itu. yang terhuyung-huyu ng! beberapa langkah
ke belakang.
Mata golok mereka
gompal-gompal. Ketiganya merasakan tangannya begitu sakit. Seolah-olah bukan
tubuh manusia yang mereka bacok melainkan gumpalan baja! Benturan mata golok
dengan tubuh putra Ki Sagotra pun terdengar seperti beradunya dua buah logam
keras.
"Ha ha ha...!"
Sosok berpakaian coklat itu
tertawa bergelak. Tawa gembira bernada penuh kemenangan.
"Kalian boleh pilih
bagian yang paling empuk! Ha ha ha...! Kuberi kalian kesempatan untuk
melancarkan serangan sepuas hati kalian, sebelum aku turun tangan membunuh
kalian! Ha ha ha...!" Tiga orang utusan Ki Sagot ra saling menatap dengan
sorot mata ngeri. Sejak semula pun mereka telah menyadari kalau sosok
berpakaian coklat itu terlalu kuat bagi mereka. Namun, perasaan geram dan
dendam, membuat mereka tak menghiraukannya. Ditambah karena adanya perasaan
nekat karena tahu kalau sosok berpakaian coklat tak akan mau mengampuni mereka.
Tapi sekarang ketiganya sadar
kalau tindakan perlawanan mereka akan sia-sia. Itulah sebabnya meskipun dalam
adu pandang itu tidak terlihat isyarat apa pun. Namun mereka sama-sama mengerti
kalau masing-masing diri membuat keputusan sama. Kabur! Kebetulan kuda-kuda
mereka masih berada di situ.
Maka bagai diberi perintah,
ketiga orang ini membalikkan tubuh dan berlari menuju kuda-kuda mereka.
"Hup!"
Hampir bersamaan waktunya,
ketiga penduduk desa itu telah berhasil duduk di punggung kuda.
***
"Hmh! Mau ke mana kalian?
Jangan harap bisa lolos dari tanganku!" desis sosok berpakaian coklat,
masih dengan sikap tenang. Tidak terlihat sedikit pun tanda-tanda kalau dirinya
merasa kaget melihat tindakan yang diambil tiga orang lawannya.
Dan seiring keluarnya ucapan
itu, tangan kanannya dikibaskan setelah terlebih dulu dimasukkan ke balik baju.
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring
terdengar dari bendar benda yang dikibaskan sosok berpakaian coklat, dan
ternyata paku itu, meluncur.
Cap! Cap! Cap!
"Hieeeh...!"
Baru saja ketiga kuda itu
bcriari beberapa langkah, paku paku yang dilepaskan sosok berpakaian coklat
telah menancap di tubuh bagian belakangnya.
Dan seperti juga paku-paku
yang membantai penduduk Desa Ginang, paku-paku yang dilepaskan sosok berpakaian
coklat kali ini pun mengandung racun. Bahkan mungkin jauh lebih ganas.
Terbukti, daya kerjanya demikian cepat Baru saja berlari beberapa tindak
setelah terhujam paku, ketiga kuda langsung ambruk ke tanah.
Tentu saja hal itu membuat
para penunggangnyaj terkejut bukan kepalang. Tapi karena sama sekali tidak
menyangka terjadinya hal seperti itu, mereka tidak sempat melompat Akibatnya,
tiga utusan Ki Sagotra pun ambruk di tanah bersama kuda-kuda tunggangannya.
Brukkk!
Untungnya di saat terakhir,
mereka masih sempat melakukan tindakan penyelamatan diri, sehingga tidak
tertindih kuda. Jadi, meskipun ikut terbawa jatuh, mereka tetap berada di atas
tubuh kuda.
Tapi keberuntungan mereka
hanya sampai di situ saja. Karena sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tangan
sosok berpakaian coklat kembali dikibaskan.
Sing! Sing! Cap, cap!
"Akh! Akh!"
Jeritan-jeritan tertahan
keluar dari mulut tiga penduduk yang malang itu, ketika paku- paku yang
dilepaskan sosok berpakaian coklat menancap di tubuh mereka. Sesaat kemudian,
akibatnya mulai tampak. Tubuh ketiga orang itu berkelojotan seperti ayam
disembelih! Dan yang lebih mengerikan lagi, dari mulut mereka keluar cairan
putih dan kental.
"Ha ha ha...!"
Sosok berpakaian coklat
tertawa bergelak melihat ketiga lawannya menggelepar-gelepar menjelang ajal.
Masih dengan tawa yang tidak putus, ditunggunya hingga tubuh ketiga orang itu diam, tidak berkutik lagi.
Setelah itu, putra Ki Sagotra
melesat cepat meninggalkan mayat ketiga lawannya. Dan hanya dalam beberapa kali
lesatan tubuhnya telah lenyap ditelan kelebatan Hutan Jati.
Kini di tempat itu tinggal
ketiga mayat utusan Ki Sagotra. Tidak ada lagi suara ribut- ribut yang berasal
dari teriakan-teriakan dan sabetan senjata tajam. Suasana kembaii hening
seperti semula. Yang terdengar hanyalah hembusan angin. Pelan, seperti tengah
bersedih. Bahkan awan pun berarak menutupi sang Surya yang telah hampir berada
di atas kepala. Alam seperti ikut bersedih dengan terjadinya peristiwa itu.
Cukup lama keheningan
berlangsung, sebelum akhirnya dari arah Desa Ginang melesat cepat dua sok
bayangan! Mula-mula tak jelas karena jaraknya yang masih terlalu jauh sehingga
yang terlihat hanya benda hitam sebesar ibu jari kaki.
Namun ternyata benda-benda
hitam itu memiliki kecepatan luar biasa. Terbukti hanya dalam bebera saat saja,
bentuknya telah terlihat jelas. Dua benda itu ternyata dua orang manusia yang
mengenakan pakaian ungu dan putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati.
"Kau lihat itu,
Melati?" sambil tetap berlari, Arya bertanya. Telunjuk kanannya ditudingkan
ke depan.
"Lihat, Kang," sahut
Melati sambil menganggukkan kepala.
Gadis berpakaian putih telah
melihat jelas pemandangan di hadapannya. Tiga sosok tubuh manusia tiga ekor
kuda bergeletakan di atas tanah.
Seperti juga Arya, gadis
berpakaian putih itu menjawab pertanyaan tanpa menghentikan lari. Yang
menakjubkan, mereka sama sekali tidak merasa kesulitan melakukan hal itu. Nada
bicaranya biasa saja, tidak terengah-engah seperti biasanya orang yang
berbicara dalam keadaan berlari.
"Sepertinya...,
korban-korban itu para penduduk yang diutus Ki Sagotra untuk menyampaikan surat
ke Perguman Belibis Putih dan Perguman Tangan Geledek, Kang?" duga Melati.
"Kurasa kau benar,
Melati." "Hih!"
Hampir berbarengan, sepasang
pendekar muda sampai di dekat tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak dan Melati langsung jongkok
memeriksa ketiga mayat itu.
Hariya sebentar mereka melakukan pemeriksaan.
"Benar. Mereka
utusan-utusan yang dikirim Ki Sa gotra, Melati," ucap Arya dengan suara
berdesah.
"Ya.... Dan kematian
mereka sama persis dengan kematian para penduduk yang mencoba mendekati makam
Warsini," sahut Melati. "Berarti mereka dibunuh orang yang
sama." "Lebih tepatnya lagi kelompok yang sama andaikata pelakunya
lebih dari seorang,"
sambung Arya setengah
memperbaiki ucapan kekasihnya.
"Kalau menurut
dugaanmu..., apakah pelakunya lebih dari seorang, Kang?" tanya Melati,
ingin tahu pendapat kekasihnya.
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Diedarkan pandangannya sebentar.
Lalu...,
"Meskipun memang belum
tentu benar, tapi kemungkinannya besar, Melati. Misalnya,
pelaku pencegatan ini seperti
telah tahu kalau ada orang yang akan melalui tempat ini untuk meminta bantuan.
Kau lihat buktlnya? Surat-surat yang dititipkan Ki Sagotra tidak ada di sini.
Berarti pelaku pencegatan ini telah mengambilnya," jelas Arya panjang
lebar.
"Jadi, kalau menurutmu
kelompok penyembah setan itu mempunyai mata-mata, Kang? Dan mata-mata itu hadir
ketika Ki Sagotra memberikan tugas pada ketiga orang ini? Menurutku, sulit,
Kang. Kau tahu sendiri, kalau waktu Ki Sagotra menyerahkan surat-surat itu
hanya ada kita, Ki Sagotra, dan lima orang pengawalnya. Dan sampai kita pergi,
tak ada satu pun di antara mereka yang beranjak dari tempatnya. Kapan mereka
memberitahukan kepada kelompoknya di sini untuk bersiap-siap mencegat?!"
berondong gadis berpakaian putih itu, menyatakan ketidaksetujuannya.
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Bisa diterimanya alasan yang diajukan kekasihnya. Alasan itu demikian
masuk akal.
"Aku lebih condong mendu
ga kalau tindakan yang akan dilakukan Ki Sagotra, sudah ditebak oleh kelompok
keji itu. Tentu, terkaan itu berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan
puluhan tahun ialu. Bagaimana menurutmu, Kang?" tanya Melati penuh
semangat
"Dugaanmu masuk akal,
Melati. Dan mungkin pula benar. Meskipun demikian, aku tetap yakin kalau pelaku
keonaran ini tidak sendirian!" Arya tetap berkeras dengan keyakinannya.
"Aku pun menduga
demikian, Kang," dukung Melati. Arya tak menanggapinya lagi. Dan rupanya
Melati memang telah selesai pula mengeluarkan dugaan yang berkecamuk di
hatinya. Dan sekarang, keduanya mulai sibuk memperhatikan keadaan di sekitar
tempat itu.
"Apakah kau telah
menemukan titik terang yang dapat dijadikan batu loncatan untuk mengungkap
rahasia ini, Kang?" tanya Melati, lagi.
Arya menganggukkan kepala
pertanda membenarkan. "Apakah titik terang itu, Kang?" lanjut Melati
ingin tahu. "Eyang Sawunggaling," jawab Arya singkat.
"Eyang
Sawunggaling," dahi Melati berkernyit "Apakah kau bermaksud mencari
keterangan darinya mengenai kelompok penyembah setan itu, Kang?! Apakah
penjelasan Ki Sagotra kurang jelas?!"
"Bukan hal itu yang
menjadi alasanku, menjadikan Eyang Sawunggaling sebagai titik terang yang dapat
membantu kita mengungkapkan rahasia ini," jawab Arya setengah memperbaiki
ucapan Melati.
"Lalu...,"
"Kau tidak mendengar
percakapan Eyang Sawunggaling dengan Ki Sagotra, Melati?" Dewa Arak malah
balas bertanya.
Kontan Melati termenung.
Benaknya berputar untuk mengingat-in gat pembicaran yang berlangsung antara
Eyang Sawunggaling dan Ki Sagotra di balai desa tadi
"Aku ingat, Kang!"
celetuk Melati setelah beberapa saat lamanya memutar otak. "Bukankah Eyang
Sawunggaling telah membiarkan salah seorang kelompok keji itu lolos dari
maut?!"
'Tepat, Melati! Dan kau dengar
sendiri kan? Eyang Sawunggaling tidak mau memberitahukan pada Ki Sagotra siapa
orang yang ditolongnya dan di mana adanya sekarang!"
"Benar, Kang. Malah Eyang
Sawunggaling seperti berada di pihak pelaku pembunuhan keji itu. Ini berarti
Eyang Sawunggaling punya hubungan erat dengan kelompok keji itu!" dengan penuh semangat Melati
mengutarakan dugaannya.
"Tapi ingat, Melato.
Kakek itulah yang telah menumpas kelompok itu. Mustahil kalau dirinya kini malah
bersekutu," bantah Arya.
"Barangkali dia diancam,
Kang?" kembali Melati mengajukan dugaan.
"Untuk jelasnya lebih
baik kita selidiki nanti. Sekarang yang penting kita harus masuk Hutan Jati
lagi. Barangkali ada sesuatu yang kita temukan di sana."
Kemudian setelah mengubur
mayat utusan Ki Sagotra dan bangkai tiga ekor kuda itu, Dewa Arak dan Melati
melesat memasuki hutan.
7
"Kang...," sapa
Melati.
Saat itu sepasang pendekar
muda telah berada di dalam Hutan Jati. Mereka berjalan saling bersisian.
"Ada apa, Melati?"
tanya Arya seraya menolehkan kepala pada kekasihnya.
"Apakah kau bermaksud
terus mengadakan pencarian?! Ingat, Kang. Kita sudah sejak siang tadi
mengaduk-aduk seluruh hutan ini, tapi mana hasilnya? Tidak! Kini kau masih saja
terus memutari seisi hutan ini! Apakah kau tidak bosan?"
Arya menghentikan langkah.
Kemudian ditatap wajah kekasihnya lekat-lekat. Mau tak mau hal itu membuat
Melati menghentikan langkah kakinya pula. Bahkan, gadis berpakaian putih itu
balas menatap. Dewa Arak tersenyum untuk meredakan ketegangan yang melanda hati
kekasihnya.
"Aku akan terus melakukan
pencarian, Melati. Dan bahkan aku bertekad untuk tinggal di tempat ini sampai
berhasil kudapatkan sebuah titik terang. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau
pemecahan semua masalah ada di Hutan Jati ini. Sekarang, kita cari tempat untuk
beristirahat!" begitu keputusan yang diambil pemuda berambut putih
keperakan itu.
Dan seiring selesai ucapannya,
pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Hanya
sebentar saja. Dalam waktu sesingkat itu telah berhasil ditemukan tempat
istirahat yang tengah dicarinya. Memang, sinar bulan sepotong di langit cukup
jelas untuk menampakkan keadaan di sekitar tempat itu.
"Mari, Melati," ajak
Dewa Arak seraya mengayunkan langkah lebih dulu menghampiri sebatang pohon
besar berdaun rimbun yang tumbuh di dekat situ.
"Apa yang hendak kau
lakukan, Kang?" tanya Melati. Rupanya gadis itu masih belum mengerti
tindakan yang akan dilakukan Dewa Arak.
"Istirahat di tempat yang
aman, Melati," jawab Arya. Kemudian....
"Hih!"
Hanya dengan sekali genjotan
kaki, tubuhnya telah melayang ke atas dan hinggap pada salah satu cabang pohon
itu. Terpaksa Melati pun melakukan tindakan yang sama.
"Mengapa kau jadi berubah
pikiran demikian cepat, Kang?! Bukankah kau bermaksud menyelidiki Eyang
Sawunggaling?!" meskipun telah berada di atas pohon, Melati yang tengah
dilanda rasa penasaran, langsung mengajukan pertanyaan.
"Aku tidak berubah
pikiran, Melati. Justru malah sebaliknya. Aku tengah menunggu Eyang Sawungga
ling di sini. Aku yakin dirinya menuju kemari. Hanya saja aku masih belum
yakin, apakah sudah berada di dalam hutan ini atau belum. Tapi, tidak ada
salahnya kita menunggun ya di sini." Sekarang Melati tidak mengajukan pertanyaan
lagi. Walaupun merasa heran, disembunyikan saja perasaan itu, karena dirinya
tahu tindakan yang diambil kekasihnya, biasanya benar. Maka, gadis itu pun
duduk bersandar pada batang pohon dan menunggu.
Belum berapa lama gadis
berpakaian putih itu berada dalam keadaan seperti itu, Arya telah memberikan
isyarat padanya. Dengan raut wajah dipenuhi pertanyaan, dijauhkan punggungnya
dari batang pohon. Tapi sebelum dirinya sempat mengeluarkan pertanyaan, Dewa
Arak telah mendahuluinya. Pemuda berambut putih keperakan itu membisikkan
peringatan padanya melalui ilmu mengirim suara dari jauh.
"Jangan berisik, Melati!
Aku mendengar ada langkah kaki orang yang mendekati tempat
kita...,"
Mendengar pemberitahuan Dewa
Arak, Melati langsung memusatkan perhatian pada
kedua telinganya, karena ingin
mendengar bunyi langkah yang didengar kekasihnya.
Tanpa bersusah-payah dan
berlama-lama, Melati telah berhasil mendengarnya. Hal itu bukan karena sosok
yang tengah bergerak mendekat memiliki ilmu meringankan tubuh belum sempurna,
melainkan karena langkah kakinya yang menerobos hamparan rumput dan semak-
semak kering. Jelas, sosok yang bergerak mendekati, tidak memilih-milih jalan.
Menilik dari semakin kerasnya
bunyi yang terdengar, dapat diketahui kalau si pemilik langkah memang tengah
menuju tempat Dewa Arak dan Melati berada. Karuan saja hal itu membuat sepasang
muda-mudi berwajah elok ini menjadi tegang. Di tempat persembunyian, keduanya
tak berani bergerak karena khawatir terdengar oleh sosok yang akan melewati
tempat mereka itu.
Dan memang, sesaat kemudian
sosok yang ditunggu-tunggu lewat di dekat tempat persembunyian Dewa Arak dan
Melati. Sepasang pendekar muda itu pun melihatnya. Seketika itu pula, jantung
mereka berdebar tegang. Betapa tidak? Sosok itu ternyata Eyang Sawunggaling!
Pucuk dicinta ulam tiba! Demikian pikir Arya dan Melati.
Berbeda dengan Dewa Arak dan
Melati yang melihat Eyang Sawunggaling, kakek berpakaian kuning itu sama sekali
tidak mengetahui adanya sepasang pendekar berwajah elok itu di dekatnya. Dia terus
saja mengayunkan langkahnya semakin memasuki perut hutan.
"Apa yang harus kita
lakukan, Kang?" tanya Melati dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari
jauh
"Jangan melakukan
rindakan apa pun! Tunggu saja sampai saat yang tepat. Aku ingin tahu ke mana
dia akan pergi. Barangkali dirinya tengah menuju ke tempat pelaku pembunuhan
keji itu. Mudah-mudahan saja hal itu benar, sehingga kita tak perlu repot-repot
lagi untuk mencari sarangnya," jawab Dewa Arak.
Seperti juga Melati, pemuda
berambut putih keperakan itu memberikan jawaban
dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Sementara itu, Eyang
Sawunggaling terus mengayunkan kakinya. Terlihat agak tergesa-gesa, tapi tidak
berlari. Langkah yang digunakannya lebar-lebar.
Dengan pandangan mata, Dewa
Arak dan Melati memperhatikan Eyang Sawunggaling yang mulai menjauh. Baru
setelah dirasakan keadaan aman, Arya merayap turun. Pemuda berambut putin
keperakan itu tidak berani melompat turun karena khawatir bunyi yang terdengar
akan sampai di telinga Eyang Sawunggaling. Telah disaksikan sendiri kelihaian
Eyang Sawunggaling, ketika berada di balai desa. Hal itulah yang menyebabkan
Arya bertindak hati-hati.
Hal yang sama pun dilakukan
Melati. Dan kini dengan langkah hati-hati, serta sesekali berlindung di balik
kerimbunan pepohonan dan semak-semak, sepasang pendekar muda mengikuti Eyang
Sawunggaling dari belakang.
Sementara itu Eyang
Sawunggaling terus mengayunkan langkah tanpa memperhatikan suasana di
sekelilingnya. Sama sekaii tidak ditoleh-tolehkan kepalanya ke belakang. Kakek
berpakaian kuning terus melangkah dengan pasti. Seolah-olah dirinya tak merasa
khawatir sekali kalau ada orang yang menguntit perjalanannya.
Setelah melalui perjalanan
yang berliku-liku, dan terkadang menguak kerimbunan semak-semak, tak lama
kemudian di kejauhan tampak sebuah bangunan.
Dewa Arak dan Melati saling
berpandangan. Mereka sama sekali tak menyangka, di dalam hutan ini terdapat
sebuah bangunan. Mereka telah mengaduk-aduk seluruh penjuru hutan, tapi tak
pernah menemukan adanya bangunan itu.
Meskipun demikian, Dewa Arak
dan Melati langsung bisa menduga kalau bangunan itu sarang kelompok penjahat
keji di waktu puluhan tahun lalu. Benarkah Eyang Sawunggaling tersangkut-paut
dengan peristiwa pembunuhan beruntun belakangan ini? Batin sepasang muda-mudi
ini menduga-duga.
Masih dengan pandangan tertuju
ke depan, Eyang Sawunggaling mengayunkan langkah memasuki bangunan yang sudah
tidak pantas disebut bangunan itu. Keadaannya amat menyedihkan. Di samping
sudah tua, juga terlihat porak-poranda.
Yang lebih parah lagi, tidak
nampak sedikit pun bentuk bangunannya. Hanya pagar tembok melingkari bekas
sebuah bangunan yang terlihat. Pagar itu pun tidak memiliki daun pintu gerbang.
Dan di dalam pagar tembok itu pun hanya hamparan lantai semen dengan sedikit
puing-puing di sana-sini.
Begitu melihat Eyang
Sawunggaling telah berada di dalam lingkungan pagar tembok tinggi itu, Dewa
Arak dan Melati pun melesat cepat ke balik tembok. Merapatkan punggung di sana.
Kemudian dengan langkah hati-hati, menuju ke pagar tembok yang berada di
samping kanan. Di sana, tumbuh sebatang pohon besar berdaun rimbun. Mereka
telah sepakat untuk melakukan pengintaian dari sana.
Tanpa menemui kesulitan
sedikit pun, Dewa Arak dan Melati telah berhasil duduk di salah satu cabang
pohon yang terlindung dedaunan rimbun. Dari sini sepasang pendekar muda
melayangkan pandang ke bawah.
Dugaan mereka ternyata tidak
meleset. Di tengah hamparan lantai semen, di antara puing-puing yang
berserakan, tampak benda yang selama ini dicari-cari Arya, patung keramat!
Patung itu berdiri kokoh seperti menunjukkan kelebihannya atas semua reruntuhan
puing- puing di sekitar situ.
Hampir saja Dewa Arak dan
Melati berseru gem bira saking senangnya melihat pemandangan di bawah mereka.
Apalagi ketika melihat adanya pemuda berpakaian coklat yang duduk bersimpuh di
depan patung itu. Inikah pelaku serangkaian pembunuhan keji itu?! Batin kedua
pendekar itu.
Bukan hanya itu yang dapat
mereka saksikan. Nampak Eyang Sawunggaling tengah mengayunkan langkah mendekati
pemuda berpakaian coklat.
Pemuda berpakaian coklat
rupanya mengetahui kedatangan Eyang Sawunggaling, buktinya langsung bangkit
berdiri sambil membalikkan tubuh. Sikapnya terlihat demikian waspada. Jelas,
pemuda berpakaian coklat itu telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tapi, begitu melihat orang
yang menghampirinya, pemuda berpakaian coklat langsung merubah sikap.
"Guru...," sambut
pemuda berpakaian coklat itu sambil memberi hormat.
"Hm...," sambutan
yang keluar hanya dengus pendek bernada dingin. Ketidaksenangan tampak jelas di
wajah Eyang Sawunggaling.
"Bagus benar kelakuanmu,
Jantara," terdengar dingin ucapan dari mulut Eyang Sawunggaling. Sama
dinginnya dengan tarikan wajah dan sorot sepasang matanya.
"Aku... aku tidak
mengerti maksud ucapanmu, Guru," ujar pemuda berpakaian coklat yang
ternyata bernama Jantara, terbata-bata.
"Rupanya kau masih mau
berpura-pura bodoh, hehhh?! Kau tahu semua perbuatanmu sudah kuketahui! Kau
tidak usah mungkir lagi! Sekarang juga saatnya kau harus menerima kematian,
Manusia Tidak Tahu Diri!" hardik Eyang Sawunggaling, keras. "Dari
mana kau dapatkan patung itu, hehhh?!"
"Aku mengambilnya dari
dalam Danau Songket, Guru," jawab Jantara, bernada salah. "Itulah
tempat aku membuang patung itu, tahu?! Dari mana kau bisa mengetahui
tentang patung itu,
hehhh?!" desak Eyang Sawunggaling masih dengan rasa murka yang tidak
tertahan.
"Maaf, Guru! Aku tidak
bisa memberitahukannya padamu."
"Keparat! Menyesal aku
menyelamatkanmu dulu, Manusia Tidak Tahu Di Untung! Kau tahu siapa dirimu?! Kau
keturunan iblis-iblis berwajah manusia penyembah patung sialan itu! Karena tak
sampai hati, kuselamatkan dirimu dari ancaman maut ketika kelompok jahat
orangtuamu hampir menemui kehancuran!"
Eyang Sawunggaling menghent
ikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Rasa kecewa terhadap kelakuan
muridnya telah menyebabkan dirinya mengeluarkan kata-kata yang kasar.
"Tanpa sepengetahuan
tokoh-tokoh persilatan lain kau telah kuselamatkan. Harapanku,
mudah-mudahan kau tidak
mempunyai kelakuan seperti orangtuamu! Saat itu kau masih bayi. Umurmu belum
ada satu tahun. Dengan harapan agar menjadi orang baik, kuangkat kau sebagai
murid. Bahkan kuminta Ki Sagotra agar bersedia menjadi ayahmu. Karena memandang
diriku, dia bersedia. Sama sekali tidak kusangka kalau kau mempunyai kelakuan
tak beda dengan orangtuamu! Aku lupa kalau buah apel tidak akan jatuh jauh dari
pohonnya. Orangtuanya jahat, mana mungkin keturunannya akan baik!"
"Aku mohon hentikan,
Guru," pinta Jantara memelas. "Kau boleh menghukumku atas kesalahan
yang telah kuperbuat. Tapi, jangan menghina orangtuaku terus-menerus! Betapapun
jahatnya mereka masih tetap orangtuaku, orang yang telah membuatku lahir ke
atas dunia ini. Dan aku tak rela mereka dijelek-jelek-kan!"
"Kau tidak usah
mengajariku, Murid Murtad!" dalam cekaman rasa kecewa yang menggelegak,
Eyang Sawunggaling tidak kuasa mengontrol ucapannya. Kata-kata itu meluncur
begitu saja dari mulutnya.
Sebenarnya, bisa dimaklumi
kekecewaan Eyang Sawunggaling, karena semula berharap banyak pada muridnya itu.
Murid yang membuatnya merasa bangga kalau dalam usia dua
puluh tahun telah berhasil mewarisi seluruh ilmunya.
"Bersiaplah untuk
menerima hukumannya, Murid Murtad! Hih!" Wuttt!
Deru angin keras terdengar ketika
Eyang Sawunggaling melancarkan serangan ke arah dada Jantara. Tapi pemuda
berpakaian coklat itu sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Dia berdiri
tanpa persiapan sama sekali. Bahkan sepasang matanya pun dipejamkan. Jelas,
Jantara telah pasrah menerirna hukuman gurunya.
Semua kejadian itu tidak luput
dari pandangan Melati dan Dewa Arak. Kedua pendekar muda terkejut bukan
kepalang. Mereka tak menyangka kalau masalahnya berkembang seperti itu. Dan
keterkejutan keduanya semakin memuncak ketika melihat sikap pasrah yang
ditunjukkan Jantara!
Perasaan kaget ini membuat
Melati terjingkat. Bunyi gemerisik dedaunan pun timbul. Suara itu tern yata
berpengaruh terhadap Jantara dan Eyang Sawungga ling! Murid dan guru yang sama
sekali tak menyangka ada orang lain di sekitar tempat itu, juga menjadi kaget
karenanya. Dan hal itu kembali menyebabkan perubahan yang tak terduga.
Pukulan yang dilancarkan Eyang
Sawunggaling ja di meleset arahnya. Tidak menghantam ulu hati, melainkan dada
kiri.
Bukkk! "Huakh...!"
Darah segar muncrat dari mulut
Jantara ketika pukulan Eyang Sawunggaling menghantam telak dadanya. Seketika
tubuh pemuda berpakaian coklat itu terlempar deras ke belakang, dan melayang
sejauh beberapa tombak sebelum akhirnya terbanting di tanah.
Tanpa mempedulikan keadaan
Jantara lagi, Eyang Sawunggaling mengalihkan perhatian ke asal suara yang
mengejutkannya bamsan. Tapi belum lagi, dia berbuat sesuatu, telah berkelebat
dua sosok bayangan.
Jliggg!
Begitu ringan kedua sosok
tubuh itu mendarat di dekat Eyang Sawunggaling. Hal ini membuat kakek
berpakaian kuning itu mengalihkan perhatian.
"Ah...! Kiranya kau,
Sagotra, Liwung," ujar Eyang Sawunggaling dengan suara berdesah.
Dua sosok yang baru datang itu
memang Ki Sa gotra bersama seorang pemuda berpakaian coklat. Tubuhnya kekar.
Namun wajah pemuda gagah itu tidak mempunyai kulit yang baik. Kulit wajahnya
rusak, penuh bopeng!
"Guru...!" sebut
pemuda berpakaian coklat yang bernama Liwung itu pada Eyang Sawunggaling.
"Apa yang terjadi, Guru?!"
"Iya. Apa yang telah
terjadi? Mengapa Jantara terkapar di sana? Siapa yang telah melakukannya?
Dan.., bukankah itu patung keramat milik kelompok penyembah setan itu,
Eyang?" Ki Sagotra menudingkan telunjuknya ke patung yang berada tak jauh
dari mereka.
"Hhh...!" Eyang
Sawunggaling menghela napas berat "Ceritanya cukup panjang. Tapi akan
kucoba untuk menjelaskannya pada kalian."
Kakek berpakaian kuning ini
menghentikan ucapannya untuk mencari kata-kata yang tepat guna memulai
ceritanya,
"Begitu kudapat berita
darimu, aku langsung kemari, Sagotra. Mengapa? Karena aku tahu, anggota
kelompok pembunuh keji yang masih tersisa itu akan berada di sini, di tempat
leluhurn ya. Dan dugaanku tidak salah. Kujumpai orang itu di sini. Jantara lah,
orang yang kubiarkan lolos waktu itu, Sagotra. Jantara, saudara seperguruanmu,
sekaligus adikmu adalah keturunan kelompok penyembah setan, Liwung! Maka aku
terpaksa melenyapkannya selama- lamanya!" tutur Eyang Sawunggaling menutup
ceritanya.
"Aaah...! Sama sekaii
tidak kusangka!" desis Liwung setengah tak percaya.
"Untunglah, kau telah
bertindak cepat, Eyang. Sehingga malapetaka selanjutnya tidak akan terjadi
lagi," sambung Ki Sagotra penuh perasaan gembira.
"Semua itu karena
tindakan cepatmu, Sagotra. Kalau tidak ada kau, mungkin peristiwa puluhan tahun
lalu akan terulang kembali. Maafkan aku, Sagotra! Kecerobohanku membuat petaka
ini telah terulang lagi. Bahkan mungkin akan membuatmu malu, bagaimanapun
orang- orang desa hanya tahu kalau Jantara adalah anakmu. Mereka tak tahu kalau
Jantara anak angkatmu!" ujar Eyang Sawunggaling penuh penyesalan.
"Lupakanlah, Eyang! Semua
itu telah terjadi. Tidak ada gunanya lagi disesali," sahut Ki Sagotra
bi-jaksana.
"Kau benar,
Sagotra," ujar Eyang Sawunggaling menganggukkan kepala. "Tapi..., ada
satu masalah yang masih membuatku bingung."
"Apa itu, Eyang?"
tanya Ki Sagotra ingin tahu.
"Dari mana Jantara tahu
kalau dirinya keturunan kelompok penyembah setan itu? Patung keramat itu, dan
bahkan tempat di mana patung itu kubuang! Aku yakin, kalau tidak ada yang
memberitahukannya, dia tak akan pernah tahu. Karena aku tidak pernah
membicarakannya. Bahkan aku selalu mengatakan kalau dia putramu! Aku yakin, ada
yang telah memberitahukannya. Apakah kau tahu dengan siapa dia sering
berbincang-bincang, Sagotra?"
Ki Sagotra tercenung sejenak.
"Aku juga tidak tahu,
Eyang," jawab Ki Sagotra, singkat.
Eyang Sawunggaling mengangguk
-anggukkan kepala dengan dahi berkernyit dalam.
Jelas, kakek berpakaian kuning
ini tengah berpikir keras. "Guru...,"
Mendengar sapaan Liwung itu,
membuat Eyang Sawunggaling meno lehkan kepala ke belakang. Entah kapan, Liwung
berada di belakangnya, Eyang Sawunggaling sama sekali tidak mengetahuinya. Dan
begitu, kepala Eyang Sawunggaling ditolehkan,
Brrr! "Uhp!"
Secepat kilat Eyang
Sawunggaling melindungi wajah dan terutama sekali sepasang matanya ketika
Liwung menyebarkan serbuk ke wajahnya. Kejadian itu berlangsung begitu cepat.
Dan Eyang Sawunggaling tak menyangkanya. Akibatnya, dia sama sekali tak sempat
mengelak selain hanya melindungi wajahnya.
Dan memang Eyang Sawunggaling
berhasil melindungi sepasang matanya dari serbuk- serbuk itu, tapi gagal untuk
menghalangi hidungnya. Begitu terisap, Eyang Sawunggaling merasa kepalanya
mendadak pening.
Saat itulah Ki Sagotra
membokongnya dengan babatan pedang! Wuttt! Crattt!
"Akh...!"
Eyang Sawunggaling memekik
kesakitan ketika pedang Ki Sagotra menyerempet perutnya. Lalu dengan cepat Ki
Sagotra melompat ke belakang, menjauhkan diri dari serangan balasan yang akan
dilancarkan Eyang Sawunggaling. Tindakan yang sama telah dilakukan Liwung
setelah berhasil melaksanakan maksudnya.
"Uh...! Uh...!"
Dengan tubuh terhuyung-huyun g
Eyang Sawunggaling mendekap perutnya yang mengeluarkan darah.
"Kalian..., apa yang
telah kalian lakukan...?" tanya Eyang Sawunggaling terbata-bata.
Raut wajahnya menyiratkan
keheranan yang amat sangat.
"Sederhana saja, Eyang.
Kami ingin membunuhmu," datar ucapan Ki Sagotra.
"Uh... uh...! Tapi,
mengapa?" kejar Eyang Sawunggaling lagi, masih dengan raut wajah yang
menyiratkan ketidakmengertian.
"Tentu saja untuk
membuang ancaman dikemudian hari," enteng jawaban Ki Sagotra.
"Ancaman?! Aku merupakan ancaman bagi kalian?! Aku... aku jadi semakin
tidak
mengerti...!" "Ha ha
ha...!"
Hampir berbareng Liwung dan Ki
Sagotra tertawa bergelak.
"Sebenarnya kau tak perlu
menge rti, Eyang Sa wunggaling! Tapi, karena kau memaksa, akan kami
beritahukan. Tapi, akibatnya kau tahu? Kau tak akan bisa mati meram! Kau akan
mati dengan penuh perasaan menyesal! Mengapa? Karena kau telah membunuh orang
yang sama sekali tak bersalah!" tandas Ki Sagotra.
"Aku membunuh orang yang
tak bersalah?! Aku... aku jadi semakin tak mengerti!" raut keheranan
semakin tampak jelas di wajah Eyang Sawunggaling.
"Hehhh?! Kau tak
mengerti? Bukankah kau baru saja membunuh orang yang tak bersalah, Eyang? Orang
yang sama sekali tidak tahu malapetaka yang tengah menimpa Desa Ginang karena
sibuk dengan patung peninggalan orangtuanya?!"
"Hahhh...? Jadi...,
jadi... Jantara bukan pelaku pembunuhan beruntun terhadap penduduk Desa
Ginang?!" tanya Eyang Sawunggaling dengan perasaan terkejut yang tak
terkira. Sorot penyesalan pun mulai nampak pada wajahnya.
8
"Siapa yang mengatakan
kalau Jantara pembunuh yang cerdik itu?! Tidak ada bukan?
Kau saja yang terlalu terburu
nafsu! Kau!" tuding Ki Sagotra pada Eyang Sawunggaling.
"Oooh..,!"
Masih dengan kedua tangan
memegangi perutnya, Eyang Sawunggaling menundukkan kepala sambil mengeluarkan
keluhan penyesalan.
"Lalu..., siapa
sebenarnya pelaku pembunuhan itu, Sagotra? Pasti kau, bukan?! Kau bersama
Liwung, bukan?!" tebak Eyang Sawunggaling tanpa gairah.
Rasa menyesal yang amat sangat
memenuhi seluruh rongga dada kakek berpakaian kuning itu. Betapa tidak? Dirinya
telah menghukum Jantara yang sama sekali tidak bersalah.
"Dugaanmu tepat, Eyang.
Aku bersama anakkulah pelaku semua pembantaian ini! Aku yang merencanakannya,
dan Liwung yang melaksanakannya. Rapi, bukan?!" jelas Ki Sagotra panjang
lebar.
"Aku masih tidak mengerti
mengapa kau lakukan semua kekejian ini, Sagotra? Padahal, apa yang kau dapatkan
dari semua tindakanmu?" tanya Eyang Sawunggaling tidak mengerti.
Kepala Desa Ginang tak
langsung menjawab pertanyaan itu. Diperhatikannya Eyang Sawunggaling penuh
selidik. Aliran darah dari perut sudah terhenti karena kakek itu telah menotok
jalan darah di sekitar luka. Dilihatnya pula sikap berdiri Eyang Sawunggaling
yang mulai limbung. Ki Sagotra tahu apa penyebabnya. Apalagi kalau bukan bubuk
yang ditaburkan Liwung. Bubuk itu mengandung racun yang dapat membuat orang
kehilangan tenaga dalamnya sekalipun hanya mengisap baunya. Untung dirinya dan
Liwung telah lebih dulu meminum obat penangkalnya sehingga tidak terpengaruh.
Karena tahu kalau kakek
berpakaian kuning yang sakti ini sudah tidak berdaya, Ki Sagotra berani membuka
semua rahasia yang selama ini disimpannya.
"Tentu saja kepuasan
batin, Eyang. Kau tahu kan, puluhan tahun lalu seluru h anggota keluargaku
habis dibantai kelompok penyembah setan itu! Bahkan istriku pun demikian pula.
Adik-adik perempuanku malah mengalami nasib yang lebih mengerikan! Sejak itulah
aku bersumpah untuk membasmi habis kelompok jahanam itu! Akan kuhancurkan semua
orang yang termasuk dalam kelompok itu berikut keturunannya!" terdengar
berapi-api dan penuh dendam ucapan yang keluar dari mulut Ki Sagotra. Rupanya
dirinya teringat kembali sakit hatinya.
"Dapat kau bayangkan
betapa sakitnya hatiku, ketika kutahu kau malah menyelamatkan keturunan
pimpinan kelompok penjahat itu!" sambung Ki Sagotra lagi dengan nada
pahit. Ingatan-ingatan tentang masa lalu, membuat kegembiraannya tertutupi.
"Jadi..., kau tahu kalau
aku menyelamatkan keturunan Sepasang Iblis Kembar itu?" tanya Eyang
Sawunggaling setengah tak percaya. Memang, kelompok penyembah setan itu
dipimpin suami istri tokoh sesat yang berjuluk Sepasang Iblis Kembar. Suami
istri ini sebenarnya saudara kembar. Namun mereka sakti, di samping sangat
kejam. Telah banyak tokoh persilatan yang tewas di tangan mereka. Baik
dikalahkan oleh ilmu silat, maupun ilmu hitam yang mereka miliki.
"Kau kira aku buta, Eyang
Sawunggaling?! Hanya saja aku berpura-pura tidak tahu! Kulayani permainan
sandiwaramu, sambil diam-diam merancang siasat yang baik untuk
menghancurkannya!" tukas Ki Sagotra cepat.
"Oooh..., kalau demikian
akulah yang bodoh!" keluh Eyang Sawunggaling lemas. "Dendamku
semakin berkobar ketika kau
malah menyuruhku mengangkatnya sebagai
anakku. Apalagi ketika kau
menjadikannya murid!" sambung Ki Sagotra dengan suara tinggi. "Aku
pun membencinya pula!" sahut Liwung. "Karena di samping dia
punya bakat yang
lebih baik dariku. Aku iri
padanya. Dan perasaan iri itu berkembang menjadi kebencian dan dendam ketika
dia memikat hati Warsini bermodal ketampanannya. Maka kuputuskan untuk
melenyapkannya agar aku bisa mendapatkan Warsini!"
"Aku tahu perasaan yang
berkobar di hati Liwung. Itulah sebabnya kuajak dia merencanakan suatu jalan
untuk melenyapkan Jantara. Untuk melakukannya secara berterus terang, kami
tidak berani karena Jantar memiliki kepandaian tidak rendah. Belum lagi kau
yang berada di belakangnya. Maka kuputuskan untuk mencari siasat yang dapat
menyingkirkannya sekaligus menghancurkanmu! Tindakan-tindakanmu yang selalu
menyakitikulah yang membuatku mengambil keputusan untuk membawamu serta dalam
pembalasan dendam ini, Eyang," urai Ki Sagotra panjang lebar.
"Dan rencana yang kami
susun ternyata luar biasa. Mula-mula kuceritakan pada Jantara siapa sebenarnya
dirinya. Tentu saja setelah lebih dulu kubuat janji dengannya, agar dia tidak
membicarakan hal itu denganmu."
"Terkutuk! Iblis! Rupanya
kau yang telah memberitahukannya!" maki Eyang Sawunggaling geram. Kini dia
duduk di tanah karena tidak kuat lagi berdiri. Tubuhnya terasa lemas bukan
kepalang.
"Setelah dia berhasil
mengambil patung keramat milik orangtuanya dari danau, pelaksanaan rencana yang
kami susun pun, kami mulai. Keberuntun gan tengah berpihak pada kami, Warsini
dan Barada melakukan perjalanan ke Desa Dadap. Maka rencana pertama pun
kulaksanakan. Barada kubunuh dan mayatnya kubuang ke tempat yang tidak mungkin
kalian temui. Sedangkan Warsini..., tentu saja kunikmati dulu sebelum kubunuh.
Aku sama sekali tidak mimpi akan bisa mendapatkan dara molek itu," ujar
Liwung dengan nada kurang ajar.
"Dan kejadian selanjutnya
berlangsung sesuai rencana kami," sambung Ki Sagotra lagi.
"Oooh...!"
Kembali Eyang Sawunggaling
mengeluarkan keluhan penyesalan. Dilayangkan lagi pandangannya ke sosok tubuh
Jantara yang terkapar. Sorot penyesalan tampak jelas baik pada tarikan wajah
maupun sorot matanya.
"Untuk melaksanakan
pembalasan dendam, kau tega membunuhi penduduk yang sama sekali tidak berdosa,
Sagotra?!"
"Apa boleh buat? Untuk
mencapai sebuah tujuan selalu diperlukan pengorbanan. Lagi pula, bukan aku yang
melakukan pembunuhan, jadi aku sama sekaii tidak menyesal," kelit Ki
Sagotra.
"Aku pun tidak menyesal.
Bahkan aku merasa gembira melakukannya, orang-orang itu sering mengejekku
karena cacat yang kumiliki. Memang, tidak secara langsung tapi aku tahu.
Mengapa aku harus menyesal membunuh orang seperti itu?" bantah Liwung pula.
"Lalu..., tindakanmu
terhadapku?!" kejar Eyang Sawunggaling lagi
"Apa boleh buat,
Eyang," jawab Ki Sagotra. "Hal itu kami lakukan sebagai pembelaan
diri saja. Kau dapat menjadi ancaman di kemudian hari, apabila tidak
dilenyapkan. Karena kami tahu, serapat-rapatnya rahasia disimpan, pasti akan
terbongkar pula. Dan kami tidak ingin itu terjadi! Itulah sebabnya hal ini kami
lakukan!"
"Mereka sama sekali tidak
salah, Liwung. Kaulah yang salah. Watak yang buruk membuat mereka tak suka
padamu. Bukan karena wajahmu. Kenyataannya, semua penduduk menyukai Jantara.
Hhh...! Hanya aku saja yang terburu nafsu, sehingga tak bisa membedakan mana
yang benar dan yang salah!"
"Tutup mulutmu, Tua
Bangka! Dan mampuslah! Hih!" Diawali sebuah teriakan keras yang membuat
suasana di sekitar tempat itu bergetar, Liwung melompat menerjang gurunya.
Golok besar di tangannya disabetkan ke leher Eyang Sawunggaling secara
mendatar.
Wukkk!
Bunyi mengiuk nyaring dari
udara yang terbabat golok mengiringi meluncu rnya serangan itu menuju sasaran.
Sudah dapat dipastikan kalau sebentar lagi kepala kakek berpakaian kuning itu
akan terpisah dari lehernya karena sudah tidak berdaya lagi.
Patut dipuji kebesaran hati
Eyang Sawunggaling. Meskipun maut tengah menghampirinya, tetap tidak merasa
gentar. Bahkan matanya menatap terus senjata Liwung yang tengah meluruk ke
tubuhnya.
Tapi sebelum mata golok itu
mendarat di sasaran, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat memapak!
Trangngng!
Bunga api berpijar ketika
batang golok Liwung berbenturan dengan pedang sosok bayangan putih. Begitu
keras benturan yang terjadi, sehingga mengakibatkan tubuh kedua belah pihak
sama-sama kembali ke tempat semula. Liwung terhuyung-huyun g ke belakang,
sedangkan sosok bayangan putih kembali terlempar ke udara.
Namun dengan sebuah gerakan
manis, baik Liwung maupun sosok bayangan putih berhasil mematahkan kekuatan
yang membuat tubuh mereka terlon-tar ke belakang.
"Keparat! Kiranya kau,
Wanita Jalang! Kau akan menerima ganjaran atas kelancanganmu ini! Kau akan
kutelanjangi lalu kuperkosa sampai mati!" seru Liwung keras.
Wajah sosok bayangan putih
yang tak lain adalah Melati ini kontan merah padam, mendengar ucapan Liwung.
Maka sambil mengeluarkan jeritan melengking nyaring, diteriangnya pemuda
berpakaian coklat itu.
Wungngng!
Bunyi mendengu ng keras
laksana naga murka terdengar ketika Melati menusukkan pedangnya ke leher
Liwung. Dalam kemarahannya gadis berpakaian putih itu mengeluarkan 'Ilmu Pedang
Seribu Naga' andalannya.
Liwung terkejut bukan kepalang
melihat kedahsyatan serangan Melati. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi
gugup. Buru-buru dilempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di
udara untuk menyelamatkan diri.
Usaha yang dilakukan Liwung
tidak sia-sia. Serangan Melati hanya mengenai tempat kosong. Tapi, tentu saja
gadis berpakaian putih itu tidak tinggal diam. Serangan yang dilancarkannya
tidak berhenti sampai di situ. Begitu, serangan pertamanya berhasil dielakkan,
segera dilancarkan serangan susulan. Maka Liwung pun kewalahan menyelamatkan
diri.
***
Wajah Ki Sagotra langsung
berubah ketika mengetahui orang yang telah menyerang putranya. Dirinya tahu
kalau Melati ada, Dewa Arak pasti ada pula. Dan ternyata benar dugaan Kepala
Desa Ginang. Karena sesaat kemudian, berkelebat sosok bayangan biru. Dan
tahu-tahu didekat Eyang Sawunggaling telah berdiri Dewa Arak.
Dewa Arak menatap Ki Sagotra
sekilas. Kemudian menatap pertarungan yang berlangsung antara Melati dan Liwung
sejenak. Baru ketika diyakini kalau Melati akan sanggup menghadapi lawannya,
dialihkan perhatian pada Eyang Sawunggaling.
"Terima kasih atas
pertolongan yang kau berikan, Anak Muda," ucap Eyang Sawunggaling.
"Tapi kumohon, kau periksa dulu keadaan muridku! Barangkali dia belum
tewas."
"Jangan khawatir, Eyang!
Aku akan melaksanakan permintaanmu. Tapi, terlebih dulu aku akan membawa Eyang
ke sana agar bisa lebih leluasa memberikan pertolongan."
Usai berkata demikian, Dewa
Arak membopong tubuh Eyang Sawunggaling. Kemudian membawanya ke tempat tubuh
Jantara tergeletak.
Karuan saja tindakan Dewa Arak
membuat Ki Sagotra khawatir bukan kepalang. Dia tahu kalau Eyang Sawunggaling
tertolong, bahaya besar akan mengancam dirinya dan Liwung. Maka begitu
dilihatnya, pemuda berambut putih keperakan itu tengah menuju ke arah Jantara,
dan tidak mempedulikannya lagi. Langsung saja goloknya dicabut!
Srattt! Singngng!
Ki Sagotra langsung
melemparkan goloknya ke punggung Dewa Arak Tapi serangan itu tak berarti banyak
untuk tokoh yang memiliki kepandaian seperti Dewa Arak. Tanpa membalikkan
tubuh, dipapaknya luncuran golok itu dengan sebuah tendangan kaki kanan ke
belakang.
Takkk! Singngng!
Dengan tendangan seperti itu,
Dewa Arak telah berhasil membuat golok yang ditemparkan Ki Sagotra meluncu r
kembali ke arah dirinya. Dan yang lebih mengerikan lagi, golok itu meluncur
dengan kecepatan yang berlipat ganda.
Tentu saja kejadian itu sama
sekali tidak disangkanya. Ki Sagotra menjadi gugup. Buru- buru dilempar
tubuhnya ke samping dan dengan menggunakan tangan sebagai tumpuan, digulingkan
tubuhnya. Ki Sagotra melakukan lompatan harimau untuk menyelamatkan diri.
"Uuuh...!"
Ki Sagotra menghembuskan napas
lega begitu berhasil menyelamatkan diri dari maut Dihapusnya keringat yang
membasahi kening dengan punggung tangan.
Sementara itu Dewa Arak terus
saja mengayunkan langkahnya. Dirinya sama sekali tak mempedulikan akibat
papakan yang dilakukannya tadi.
Langkah pemuda berambut putih
keperakan itu terhenti ketika telah berada di dekat tubuh Jantara yang
tergolek. Dibungkukkan tubuhnya, lalu diletakkannya tubuh Eyang Sawunggaling di
tanah, di sebelah tubuh Jantara. Setelah itu Dewa Arak baru memeriksa tubuh
Jantara.
Dengan tindakan seorang yang
telah memiliki pengalaman luas, Dewa Arak memeriksa detak jantung dan denyut
nadi Jantara. Hasil pemeriksaan yang didapat membuat wajah Arya berseri.
"Bagaimana keadaannya,
Anak Muda? Ada harapan?" tanya Eyang Sawunggaling tak sabar ingin segera
mengetahui hasilnya. Meskipun dari raut wajah Dewa Arak bisa diperkirakan
hasilnya, tapi kakek ini ingin mendengar jawaban dari Dewa Arak.
"Ada, Eyang," jawab
Dewa Arak sambil menggelengkan kepala.
"Syukurlah," ucap
Eyang Sawunggaling dengan bibir menyunggingkan senyuman. "Yang jelas,
membutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkannya kembali seperti
sediakala."
"Hal itu tidak menjadi
masalah, Anak Muda. Asal dirinya selamat aku sudah sangat bersyukur. Kalau
tidak, aku akan mari penasaran. Hhh...! Sudah dua kali kau menolong kami, Anak
Muda."
"Dua kali?" Dewa
Arak mengernyitkan alis. "Bukankah hanya baru kali ini aku menolongmu,
Eyang."
"Bukankah kau dan kawanmu
yang berada di atas pohon itu?" tanya Eyang Sawunggaling.
"Benar, Eyang," Arya
menganggukkan kepala. "Tapi apa hubungannya?"
"Keberadaan kalian ketika
aku tengah melancarkan serangan terhadap Jantaralah yang telah menyelamatkan
nyawanya. Aku kaget karena tidak menyangka ada orang yang mengintai kami.
Sehingga serangan yang kulakukan meleset. Jantara pun dilanda perasaan yang
sama. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tenaga dalamnya bergolak sehingga tubuhnya
terlindung tenaga dalam sewaktu seranganku menghantamnya. Padahal, aku tahu
kalau semula dirinya tak mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Bukankah itu
berarti kau telah menyelamatkan kami pula?" jelas Eyang Sawunggaling
panjang lebar.
"Kalau begitu kau keliru
dua kali, Eyang. Yang menyelamatkan kalian berdua adalah kawanku. Kedua-duanya
dia yang melakukannya. Pertama dia kaget melihat sikap pasrah Jantara, sehingga
tanpa sadar dia melakukan gerakan yang membuat kau dan muridmu mengetahuinya.
Dan yang kedua, dia pula yang menyelamatkan nyawamu dari tangan Liwung!"
bantah Arya bermaksud meluruskan keadaan yang sebenarnya.
"Kau atau dia sama saja,
Anak Muda. Yang jelas, kami berdua berhutang nyawa padamu. Mudah-mudahan kami
berhasil membalasnya kelak," ucap Eyang Sawunggaling berharap.
"Lupakanlah, Eyang! Orang
hidup di dunia ini memang untuk saling tolong-menolong. Kau pun bertindak
demikian, Eyang. Bukankah kau yang telah membasmi kelompok pemuda setan
itu?!"
Usai berkata demikian, Arya
mengalihkan perhatian ke arah Melati. Ternyata keadaan di kancah pertarungan
sudah mulai berubah. Melati mulai kerepotan menghadapi lawannya. Karena kini
yang dihadapinya bukan hanya Liwung tapi juga Ki Sagotra. Mereka berdua tak
segan-segan mempergunakan racun dalam serangannya. Baik dengan mempergunakan
serbuk- serbuk beracun, maupun serangan berupa senjata rahasia berbentuk paku.
Dewa Arak tak berani mengambil
risiko. Dirinya tidak ingin Melati menjadi korban.
Telah disaksikannya sendiri
kedahsyatan racun yang terkandung dalam paku.
"Menyingk irlah, Melati!
Biar aku yang mengha dapi mereka. Kau jaga Eyang Sawunggaling dan Jantara
saja!" ujar Dewa Arak dengan penggunaan ilmu mengirim suara dari jauh.
Lalu tanpa menunggu lebih lama
lagi, Dewa Arak melesat menuju kancah pertarungan. Dan ketika tubuhnya tengah
berada di udara, diambil guci yang tergantung di punggung, kemudian dituangkan
ke mulutnya.
Gluk...! Gluk...! Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar,
ketika arak itu melewati tenggorokan Arya dalam perjalanannya menuju ke perut.
Seketika itu pula ada hawa hangat yang berputar di perut Dewa Arak. Perlahan-lahan hawa itu naik
ke atas.
Jliggg!
Dewa Arak mendaratkan kedua
kakinya dekat kancah pertarungan dengan kedudukan kaki tidak tetap. Tubuhnya
terhuyung-huyu ng ke sana kemari seperti hendak jatuh. Hal ini menjadi pertanda
kalau Dewa Arak telah siap mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Melihat kekasihnya telah siap
untuk bertarung, Melati pun melempar tubuh ke belakang untuk menjauhkan diri.
Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat tepat di dekat
tubuh Jantara dan Eyang Sawunggaling tergolek.
Liwung dan Ki Sagotra sama
sekali tidak bisa mengejar Melati untuk melancarkan serangan-serangan susulan.
Karena Dewa Arak telah menghadang langkah mereka. Mau tak mau ayah dan anak
yang merupakan orang-orang terpandang Desa Ginang ini menye rbu Dewa Arak.
Tahu kalau Dewa Arak merupakan
lawan yang amat tangguh dan sudah pasti memiliki
kepandaian di atas Melati,
Liwung, dan Ki Sagotra tak ragu-ragu menge luarkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Golok di tangan Liwung dan Ki Sagotra berkelebat cepat mencari- cari
sasaran. Rupanya Ki Sagotra telah mengambil kembali golok miliknya yang tadi
hampir memanggang tubuh Arya.
Tidak hanya itu saja
serangan-serangan yang di kirimkan Liwung dan Ki Sagotra.
Sesekali Liwung melemparkan
paku-paku beracunnya.
Sing! Sing! Sing!
Tapi semua serangan ayah dan
anak ini selalu kandas. Serangan-serangan yang dikirimkan selalu saja mengenai
tempat kosong. Memang, dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' tidak merupakan
hal yang sulit bagi Dewa Arak mengelakkan setiap serangan yang mengancamnya.
Bahkan Dewa Arak membalas dengan serangan-serangan yang membuat Liwung dan Ki
Sagotra kelabakan dan pontang panting berusaha menghindarinya.
Dewa Arak tahu di antara
lawannya, Ki Sagotra yang lebih lemah. Itulah sebabnya desakan-desakan yang
dilancarkan sebagian besar ditujukan pada Ki Sagotra. Karuan saja hal itu
membuat Ki Sagotra kelabakan. Untung berkali-kali Liwung berhasil menyelamatkannya.
Brrr!
Pada jurus ketiga puluh dua,
mendadak Liwung melemparkan serbuk beracunnya. Menurut perkiraan pemuda
berpakaian coklat ini, Dewa Arak pasti akan mengelakkannya seperti yang
dilakukan Melati. Namun dia kecele! Dewa Arak malah meniup serbuk itu. Terlihat
jelas pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa khawatir kalau hawa
beracun itu akan terisap olehnya.
Melihat hal ini Liwung dan Ki
Sagotra merasa girang bukan kepalang. Menurut dugaan mereka, Dewa Arak pasti
akan lemas. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka ketika melihat pemuda
berambut putih keperakan itu sama sekali tidak terpengaruh. Memang, di dalam
penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak seperti kebal akan segala jenis
racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya:
"Pedang Bintang").
Liwung dan Ki Sagotra merasa
takjub bercampur geram melihat kenyataan ini. Sama sekaii tak disangka, kalau
racun mereka sama sekaii tidak berpengaruh terhadap Dewa Arak yang bertarung
bagai orang mabuk itu. Beberapa kali pemuda berambut putih keperakan itu
seperti akan jatuh. Baik dalam mengelak atau melakukan penyerangan. Dan yang
lebih hebat lagi, saat mendapat serangan pemuda berambut putih keperakan itu
malah enak-enakan menenggak araknya. Begitu juga ketika melakukan serangan
Kini pertarungan telah
menginjak jurus ke sembilan puluh sembilan. Keadaan Liwung dan Ki Sagotra
semakin terdesak. Sudah dapat dipastikan kalau mereka akan roboh di tangan
Arya. Lamanya pertarungan itu pun sebagian karena serangan-serangan racun
mereka yang cukup menghambat serangan balasan Dewa Arak.
Penyebab lain yang membuat
pertarungan itu berlangsung lama, kemampuan ayah dan anak ini untuk bekerja
sama. Hal ini tidak aneh karena Liwung dan Ki Sagotra memiliki ilmu yang sama,
ilmu-ilmu milik Eyang Sawunggaling. Liwung menimbanya dari Eyang Sawunggaling,
sedangkan Ki Sagotra mempelajarinya dari putranya.
"Haaat...!"
"Hiyaaat..!"
Pada jurus ke seratus tiga
belas, Liwung dan Ki Sagotra melancarkan serangan berbareng dari dua arah.
Liwung mengirimkan serangan dari depan dengan sebuah babatan ke pinggang Dewa
Arak. Sedangkan Ki Sagotra melancarkan serangan berupa tusukan ke arah punggung
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Hih!"
Dewa Arak menghentakkan kaki
hingga tubuhnya melayang ke atas. Hasilnya serangan-serangan lawannya mengenai
tempat kosong. Pada saat yang bersamaan dengan lompatannya, dilancarkan
serangan ke arah lawan-lawannya dengan kakinya. Kaki kanan ke tubuh Liwung
sedang kaki kiri pada Ki Sagotra. Masing-masing kaki menjulur ke arah yang
berlawanan.
Bukkk! Bukkk!
Bunyi berderak keras
tulang-tulang yang patah terdengar ketika sepasang kaki Dewa Arak mendarat di
tenggorokan kedua lawannya,. Telak dan keras bukan kepalang. Sehingga tubuh
Liwung dan Ki Sagotra terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Darah segar menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga. Saat itu juga
nyawa ayah dan anak itu melayang ke alam baka.
Jiiggg!
Begitu mendaratkan kedua
kakinya di tanah, Dewa Arak memperhatikan tubuh Liwung dan Ki Sagotra tergolek
diam di tanah. Kemudian dilangkahkan kakinya menuju tempat Melati, Jantara, dan
Eyang Sawunggaling berada.
Seirin g dengan selesainya
pertarungan itu, suasana hening pun kembali menyergap. Malam semakin terus
bergulir menuju dini hari, dan tak lama lagi fajar akan muncul mengusir
kegelapan yang menerangi persada.
SELESAI