Serial Dewa Arak 41 Macan-macan Betina

Baca Cersil Indonesia Online: Serial Dewa Arak 41 Macan-macan Betina
41 Macan-macan Betina

1

"Uh! Panas sekali udara di sini, Kang," keluh salah seorang dan dua sosok yang tengah melintasi lapangan berumput.

Dia adalah seorang gadis berwajah cantik. Rambutnya hitam dan panjang terurai. Pakaian ketat berwarna putih pembungkus tubuhnya yang montok dan menggiurkan, semakin menambah kecantikannya.

Sementara yang seorang lagi adalah pemuda tampan berwajah jantan. Rambutnya putih keperakan. Kini pandangannya dialihkan ke arah gadis berpakaian putih itu. Keluhan tadi tidak langsung disambutnya kecuali seulas senyum yang terkembang di bibir. Kemudian napasnya dihembuskan. Sehingga, dadanya yang tegap dan bidang terbungkus pakaian ungu, mengempis beberapa saat lamanya.

Hari ini, matahari memang tepat berada di tengahtengah. Sinarnya memancar garang ke persada. Semua makhluk di bawahnya bagaikan terpanggang saja layaknya. "Benar, Melati," sahut pemuda berambut putih

keperakan sambil mengangguk.

Gadis berpakaian putih itu memang Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Dulu, julukan yang terkenal buat gadis itu adalah Dewi Penyebar Maut.

"Bagaimana kalau kita beristirahat sejenak, Kang," usul Melati.

"Sebuah usul yang baik sekali, Melati."

Pemuda berpakaian ungu yang sudah pasti Arya atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak, cepat menyambut gembira. Sebuah guci yang tergantung di punggung, semakin memperjelas kalau pemuda itu benar-benar Dewa Arak.

"Tak jauh di depan kita ada sebuah hutan yang cukup besar. Hutan Kawi, namanya. Bagaimana kalau kita beristirahat di sana saja, Melati? Sambil beristirahat, kita bisa menikmati santapan di sana. Bagaimana?!"

"Aku setuju sekali. Kang," jawab Melati sambil tersenyum manis. "Ayo kita ke sana!"

Tanpa menunggu tanggapan Arya, Melati segera melesat ke depan. Dan sekali langkah, seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya telah dikeluarkan. Tak heran kalau dalam sekali lesatan saja, tubuhnya telah berjarak sepuluh tombak di depan.

Arya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tindakan kekasihnya. Itu pun hanya dilakukan sebentar saja, karena harus buru-buru menyusul. Kalau tidak, dia tentu akan tertinggal jauh. Sesaat kemudian, tubuh sepasang pendekar muda itu telah lenyap. Yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan putih dan ungu. Bentuk bayangan mereka tidak kelihatan jelas, namun tampak saling berkejaran menuju Hutan Kawi.

***

"Uh, segarnya...!" desah Melati penuh rasa gembira, begitu wajahnya telah dibasuhi air sungai yang jemih.

Usai membasuh wajah, Melati menggulung lengan bajunya hingga melewati siku. Maka, tampakiah tangan yang berkulit putih, halus, dan mulus. Tampak indah dan menggiurkan.

Kali ini, Melati memasukkan kedua tangannya sampai hampir sebatas siku ke dalam sungai, lalu dibasuhnya. Gadis itu sama sekali tidak merasa kesulitan melakukannya. Dia berjongkok di antara batu-batu di pinggir sungai yang tanahnya lebih rendah dan yang lain.

"Hehhh...?!"

Melati kontan menghentikan gerakan membasuhnya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara mendesing nyaring. Seketika itu pula, sekujur urat syarafnya langsung menegang waspada. Secepat kilat kepalanya ditoleh ke arah suara itu. Tampak beberapa buah batu kecil yang diambil dari sekitar tempat itu tengah meluncur ke arahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dijumputnya beberapa buah batu kecil yang berserakan di dekatnya, lalu disambitnya ke arah batu yang meluncur itu.

Siut, siut..!

Pyarrr...!

Patut diacungi jempol ketepatan timpukan Melati. Lima buah batu yang meluncur ke arahnya berhasil dipapak lima buah batu yang dilemparnya. Seketika, batu-batu itu telah hancur di tengah perjalanan sebelum mengenai sasaran.

"Kepandaianmu rupanya tidak sejelek kelakuanmu, Wanita Rendah!"

Sebuah suara melengking tinggi bernada ejekan terdengar, ketika hancuran batu-batu yang berbenturan itu berguguran di tengah jalan. Pedas dan tajam bukan main ejekan itu. Sehingga membuat Melati yang memang memiliki watak keras dan mudah tersinggung, menjadi kalap. Wajahnya langsung merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh kemarahan, ketika menatap ke arah si pemilik suara.

Pemilik suara itu ternyata bertubuh ramping. Pakaiannya berwarna biru. Hanya saja, wajahnya tidak tampak jelas karena tertutup sapu tangan dan caping bambu. Menilik suara dan potongan tubuhnya, dia adalah seorang wanita.

Karena wanita itu berdiri di tebing pinggir sungai, tentu membuat Melati terpaksa mendongakkan kepalanya. Kendati berusaha untuk melihat tetap saja Melati tidak bisa melihat jelas wajah wanita berpakaian biru itu. Sapu tangan penutup wajah itulah yang menyulitkan Melati.

"Siapa kau, Wanita liar?! Ada urusan apa kau menyerangku secara pengecut seperti itu?!" sambut Melati, tak kalah keras.

"Cuhhh...!"

Wanita berpakaian biru menyemburkan ludahnya, walau tidak ditujukan pada Melati. Tapi, tetap saja percikan-percikannya ada yang mengenai tubuh Melati. "Aku tidak sudi mengenalkan diri pada seorang

perempuan rendah dan tidak tahu malu sepertimu, Wanita Sundal!" sambut wanita berpakaian biru itu, kasar.

Melati menggertakkan gigi mendengar sambutan bernada penghinaan itu. Sepasang matanya mencorong kehijauan, seperti mata seekor harimau dalam gelap. Dadanya nampak bergerak cepat naik turun Tandanya, Melati tengah dilanda amarah yang amat sangat.

Tapi, rupanya bukan hanya Melati saja yang dilanda kemarahan. Wanita berpakaian biru itu pun demikian pula. Terbukti dialah yang lebih dulu menghampiri Melati, dengan melompati tebing yang tak begitu tinggi, yang menjorok ke pinggir sungai. Hati Melati agak tercekat ketika melihat gerakan wanita berpakaian biru itu. Betapa tidak? Gerakannya demikian ringan, tak ubahnya seekor burung garuda yang hendak menerkam mangsa.

"Hih...!"

Dan selagi berada di udara, wanita berpakaian biru itu berputaran beberapa kali. Dan tahu-tahu, kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar melayang ke arah ubun-ubun Melati. Serangannya tak ubahnya serangan seekor garuda yang menyambar mangsa!

Suara angin mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya serangan wanita berpakaian biru. Dari sini saja sudah terlihat, betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.

Melati adalah seorang pendekar yang telah cukup kenyang merambah kerasnya rimba persilatan. Dan tentu saja gadis itu tahu, betapa berbahayanya serangan yang dilancarkan lawan. Apabila serangan itu ditangkis, serangan kaki akan menyusul. Itulah sebabnya, diputuskannya untuk mengelak.

Wuttt..!

Serangan wanita berpakaian biru itu hanya mengenai tempat kosong ketika Melati melompat jauh ke belakang.

Jleg! Begitu kedua kaki Melati mendarat di tanah, wanita berpakaian biru itu juga telah mendaratkan kedua kakinya di tanah pula. Tapi itu hanya berlangsung sekejap saja, karena wanita berpakaian biru itu melompat menerjang Melati. Tampaknya serangan susulan yang akan dilancarkannya adalah serangan kaki.

Di saat wanita berpakaian biru itu berada di udara, tubuhnya segera berbalik seraya melancarkan kibasan tangan kanan ke arah kepala.

Kali ini, Melati tidak tinggal diam. Seketika dia pun melompat pula untuk memapak. Rupanya Melati bermaksud menangkis serangan susulan lawan. Hebatnya, gerakannya ternyata sama dengan lawannya. Dia menangkis dengan kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan tubuh ketika berada di udara.

Prattt!

Benturan dua kaki yang sama-sama mengibas seketika terjadi! Keras bukan kepalang seperti benturan dua buah logam keras. Akibatnya tubuh dua orang wanita berkepandaian tinggi itu sama-sama terputar balik, lalu hinggap di tanah. Masing-masing agak terhuyung sedikit tapi cepat dapat memperbaiki keseimbangan kembali. Sebentar kemudian mereka kembali saling menerjang. Kini pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.

Melati tidak berani bertindak setengah-setengah lagi. Disadari kalau lawannya memiliki kepandaian yang amat tinggi. Kecepatan gerak maupun tenaga dalam wanita berpakaian biru itu ternyata tidak di bawahnya. Maka buruburu ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya dikeluarkan.

Kedua tangan Melati disusun mengembang membentuk cakar naga. Bahkan mulai dari ujung-ujung jari sampai pergelangan sudah tampak berwarna merah seperti darah. Dan dalam penggunaan ilmunya, gadis berpakaian putih itu berusaha menanggulangi serangan lawan. Malah kalau bisa melumpuhkannya.

Tapi hal itu hanya mudah direncanakan saja. Pelaksanaannya ternyata sulit bukan kepalang. Wanita berpakaian biru itu ternyata memiliki kepandaian amat tinggi. Tambahan lagi, seluruh kemampuannya juga dikerahkan untuk mengalahkan Melati. Serangan-serangan yang dilancarkannya selalu mengarah pada bagtan bagian yang mematikan! Jelas, maksudnya adalah menewaskan Melati.

Hebat bukan kepalang pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama berkepandaian tinggi ini. Suara menderu, mencicit, dan mengaung, mengiringi setiap gerakan tangan atau kaki. Tampaknya setiap gerakan mereka ditunjang tenaga dalam tinggi.

Enam puluh jurus telah lewat. Tapi selama itu tidak nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan berjalan masih seimbang. Kedua belah pihak masih samasama mampu melancarkan serangan. Dan rupanya, hal ini membuat wanita berpakaian biru itu jadi kehilangan kesabaran.

"Haaat..!"

Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, wanita berpakaian biru itu memperhebat serangan. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawannya.

Melati terperanjat juga melihat perubahan serangan yang begitu mendadak. Tapi, bukan berarti dia jadi gentar. Kekerasan hatinya memaksanya untuk memapak serangan itu.

Plak, plak, plak...!

Semua serangan yang dikirimkan wanita berpakaian biru itu bisa dikandaskan ketika Melati berhasil menangkisnya. Akibatnya tubuh satu sama lain sama-sama terhuyung mundur tiga langkah. Dari sini sudah bisa dinilai kalau tenaga dalam yang mereka miliki berimbang.

Tapi begitu tubuh wanita berpakaian biru itu terhuyung mundur, segera dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dalam keadaan terhuyung-huyung, tangan kanannya cepat bergerak ke arah pinggang, tempat pedangnya tergantung. Dan.... Srattt...!

Sinar terang menyilaukan kontan berkeredep ketika pedang itu keluar dan sarungnya.

"Cabut pedangmu kalau tidak ingin mati percuma, Wanita Tak Tahu Malu...!" teriak wanita berpakaian biru itu keras, di saat tubuhnya masih terhuyung-huyung.

Melati sama sekali tidak membantah ajakan lawannya. Kembali sinar terang memancar, namun kali ini dari pedang Melati.

Kini kedua wanita sakti ini sama-sama saling menatap dalam jarak sekitar dua tombak. Pedang telanjang mereka sama-sama tergenggam di tangan. Tidak ada yang lebih dulu memulai menyerang. Satu sama lain saling memperhatikan gerak gerik dengan sepasang mata hampir tidak berkedip, itu dilakukan sambil melangkah mendekati lawan.

"Haaat..!"

Wanita berpakaian biru itu rupanya tidak sabar lagi menunggu. Diiringi pekikan keras melengking, dia menyerang lebih dahulu. Hal itu dilakukan karena Melati belum menunjukkan tanda-tanda menyerang. Sebagai ahli silat tingkat tinggi, mereka sama-sama tahu, menyerang lebih dulu merupakan tindakan yang merugikan. Dalam persilatan, setiap serangan selalu terdapat celah-celah yang dapat dijadikan sasaran lawan.

Singg!

Pedang di tangan wanita berpakaian biru itu meluncur lurus ke arah leher. Lagi-lagi bagian mematikan yang jadi sasaran.

Wuttt!

Ujung pedang wanita berpakaian biru itu meluncur, lewat beberapa jengkal di alas kepala, begitu Melati merendahkan tubuhnya sebelum serangan tiba. Dan tindakannya tidak hanya sampai di situ saja. Sambil mengelak, pedangnya diluncurkan ke arah ulu hati lawan.

Singgg!

Wanita berpakaian biru itu tidak gugup melihat serangan balasan Melati. Buru-buru kakinya dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang ke atas. Langsung dilewatinya kepala Melati. Dan dari sana, dilancarkannya tusukan ke arah kuduk Melati.

Kali ini, Melati tidak memiliki kesempatan mengelak. Sambil membalikkan tubuh, pedangnya diayunkan ke belakang untuk mencegah agar tengkuknya tidak ditembus senjata lawan.

Tranggg...!

Benturan dua pasang senjata terjadi. Suaranya keras bukan kepalang, disertai percikan bunga-bunga api ke sana kemari.

"Hup!"

Wanita berpakaian biru itu segera hinggap di tanah. Sementara Melati telah bersiap siaga. Dan malah, Melati yang sekarang lebih dulu melancarkan serangan.

Pertarungan yang jauh lebih seru dan menarik dari sebelumnya kembali terjadi. Melati kini mengamuk bagai singa betina terluka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' andalannya dikerahkan, sampai menimbulkan suara menggerung keras, setiap kali pedangnya berkelebat.

Tapi ternyata ilmu pedang wanita berpakaian biru itu ternyata tidak kalah hebat. Terbukti, setiap serangan  Melati mampu dipatahkan. Bahkan serangan balasan tak kalah hebat mampu dilancarkan. Setiap gerakan pedangnya menimbulkan suara mencicit dan mendesing nyaring.

Hanya dalam beberapa gebrakan saja, tubuh kedua wanita sakti itu sudah tidak terlihat lagi. Yang tampak hanya bayangan putih dan biru yang tidak jelas bentuknya. Saling belit, tapi terkadang saling pisah. Bahkan semakin lama, bayangan tubuh yang tidak jelas itu mulai jarang terlihat karena tertutup gerakan pedang masing-masing.

Karena ilmu meringankan tubuh mereka telah samasama mencapai tingkat tinggi, maka pertarungan tampak berlangsung cepat. Hanya dalam waktu yang tak berapa lama, empat puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, belum terlihat tanda-tanda yang lebih unggul. Tampaknya, pertarungan masih berlangsung imbang.

Mendadak....

"Melati...! Masih lamakah kau...! Cepat..! Nanti makanan ini keburu dingin !"

Kontan kedua orang yang tengah bertarung, memisahkan diri. Seketika pertarungan terhenti Masing-masing menatap tajam, dengan dada turun naik.

"Hmh. !"

Wanita berpakaian biru mendengus jengkel, karena merasa terganggu oleh suara tadi. Sambil memutar pedangnya di depan dada laksana baling-baling, dia melompat mundur.

"Kali ini kau bemasib baik, Wanita Liar! Tapi lain kali, jangan harap. !"

Sambil berkata demikian, wanita berpakaian biru itu melesat kabur meninggalkan Melati. Tentu saja Melati yang merasa penasaran sekali tidak membiarkannya. Langsung tubuhnya melesat, mengejar lawannya yang telah berada di tebing pinggir sungai.

Tapi selagi tubuh Melati tengah melayang di udara, wanita berpakaian biru itu mengibaskan tangannya. Dan....

Sing, sing, sing. !

Beberapa bilah pisau berkilat meluncur ke arah Melati. Tanpa ragu-ragu lagi, gadis berpakaian putih ini pun membabatkan pedang untuk menangkis.

Trang, trang, trang. !

Pisau-pisau itu pun berpentalan tak tentu arah, karena tertangkis oleh Melati. Tapi, akibatnya lesatan tubuh Melati pun terhambat. Maka, tubuhnya pun meluncur turun kembali.

Dan ketika Melati kembali melakukan pengejaran hingga sampai di atas tebing sungai, wanita berpakaian biru sudah tidak berada di situ lagi.

"Hhh. !"

Melati hanya bisa menghembuskan napas berat. Dia merasa penasaran dan jengkel bukan kepalang. Betapa tidak? Tanpa ada angin dan tak ada hujan, wanita berpakaian biru itu mati-matian menyerangnya. Dan sialnya, dia tidak mampu mengalahkan. Maka, tindakan wanita berpakaian biru itu tetap menjadi teka-teki baginya.

"Melati...! Masih lamakah kau...?!"

Panggilan dan pemilik suara yang sama kembali terdengar. Dan panggilan itu seketika menyadarkan Melati dari lamunannya. Maka masih dengan perasaan dongkol, kakinya melangkah ke arah asal suara. Memang, Aryalah yang telah memanggilnya.

"Tidak, Kang! Aku sudah selesai...!" sahut Melati, sedikit mengerahkan tenaga dalam. Memang, tempat Melati membasuh muka cukup jauh dari Dewa Arak. Jadi, tak heran kalau suara pertarungan tadi tidak terdengar Arya.

*** 2

Arya mengembangkan senyumnya ketika melihat Melati menuju ke arahnya. Sekitar satu tombak di sebelah kiri pemuda berambut putih keperakan itu, tampak gundukan ranting yang sebagian telah menjadi arang. Asap tipis tampak masih mengepul, pertanda onggokan kayu itu belum lama dimatikan.

Beberapa jari di sebelah kanan Arya berdiri kokoh sebatang pohon yang cukup besar. Pada batangnya, tertancap dua batang ranting yang pada ujungnya terdapat ayam panggang.

Sesaat kemudian, Melati telah berada di dekat Arya. Tanpa berkata apa-apa, gadis berpakaian putih itu menghempaskan pantatnya dan duduk di sebelah kekasihnya.

Arya merasa heran melihat keadaan Melati. Tampak selebar wajah gadis itu berkeringat. Terutama sekali, bagian leher dan dahi. Padahal, bukankah tadi Melati meminta ujin untuk membersihka diri di sungai? Tapi, mengapa malah berpeluh seperti itu. Bahkan napasnya pun terdengar masih memburu. Meskipun demikian, dengan pandainya Arya mampu menyembunyikan perasaan heran yang berkecamuk di hati.

"Makanlah, Melati," kata Arya, pelan. "Nanti keburu dingin."

Seiring keluarnya ucapan itu, Dewa Arak mengulurkan tangannya ke arah ranting yang tertancap di batang pohon. Melati pun mengikuti perbuatannya.

"Enak, Kang," puji Melati setelah mencicipinya sedikit. "Sama sekali tak kusangka kalau kau pandai memasak."

“Tentu saja enak, Melati. Karena kau tengah lapar," sambut Arya cepat, setengah merendah. Padahal, dia juga merasakan sendiri kalau ayam panggang buatannya memang lezat. "Kau tidak jadi ke sungai, Melati?"

Sambil terus mengunyah ayam panggang, Arya mulai mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di hati. Ditatapnya wajah Melati penuh selidik.

Melati tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Dijauhkannya lebih dulu ayam panggang dan mulutnya. Dikunyahnya potongan daging yang baru digigit, lalu ditelannya.

"Jadi, Kang. Memangnya kenapa?" Melati malah balas bertanya.

“Tidak apa-apa. Hanya saja, peluhmu kulihat jauh lebih banyak daripada sebelumnya," sahut Arya kalem.

"Wanita gila itulah yang menjadi penyebabnya, Kang," dengus Melati, penuh kedongkolan.

"Wanita gila?" ulang Arya dengan alis berkerut dalam. Tanpa sadar, dijauhkannya ayam panggang dari mulut.

Sepasang mata Dewa Arak diarahkan ke arah Melati. Ada sorot keingin tahuan yang besar di dalamnya.

"Benar, Kang. Seorang wanita gila yang tiba-tiba menyerangku." tegas Melati menguatkan ucapan sebelumnya.

Kemudian secara ringkas tapi jelas, gadis berpakaian putih itu menceritakan semua kejadian yang dialami. Sementara, Arya mendengarkan penuh keingin tahuan. Sama sekali tidak diselaknya cerita Melati sampai selesai.

"Jadi, kau tetap tidak tahu mengapa dia menyerangmu mati-matian begitu'" tanya Arya, heran.

Melati terpaksa menjawab pertanyaan Arya dengan anggukan kepala saja, karena mulutnya tengah penuh dengan potongan ayam panggang.

"Aneh...," desah Arya. "Apakah dia tidak mengatakan alasannya kepadamu, Melati?"

"Tidak, Kang," jawab Melati sambil menggelengkan kepala.

"Apakah bisa kau tebak, dari aliran mana ilmunya. Barangkali saja gerakan-gerakannya mempunyai kemiripan dengan..., misalnya dengan orang-orang yang dulu pernah kau hadapi, Arya mencoba membantu menyingkap masalah itu.

Melati tercenung sejenak untuk mengingat-ingat. Tapi sesaat kemudian, secara mantap dan pasti kepalanya menggeleng.

"Aku tidak pernah berhadapan dengan orang yang memiliki gerakan mirip dengannya, Kang," tegas gadis berpakaian putih itu.

Arya pun terdiam. Tapi menilik dari kerutan dahinya, bisa diketahui kalau dia tengah berptkir keras.

"Apakah wajahnya sempat kau lihat?"

“Tidak. Wajahnya ditutup saputangan. Dan lagi, ada caping yang menutupinya Aku telah berusaha mengenalinya, tapi tetap saja tidak bisa. Dia terlalu lihai!" jelas Melati panjang lebar.

"Jadi kesimpulannya, kau hanya bisa mengetahui kalau orang itu adalah wanita?" tanya Arya lagi.

"Benar, Kang!" mantap dan tegas jawaban gadis berpakaian putih itu.

"Apakah kau tidak pernah mengenai atau paling tidak bertemu sebelumnya, Melati? Cobalah ingat-ingat. Barangkali saja potongan tubuhnya kau kenali. Atau..., barangkali suaranya."

Mendengar adanya kesungguhan dalam ucapan Arya, Melati tidak tega membantahnya. Dicobanya mengingatingat setiap wanita yang pernah ditemui dalam petualangannya. Kemudian, dicocokkannya dengan wanita berpakaian biru itu. Tapi, tetap saja tidak ada satu pun yang cocok.

"Tidak, Kang." desah Melati bernada mengeluh, setelah menguras ingatan beberapa saat lamanya.

"Aneh," desah Arya.

"Apanya yang aneh?" Melati tak tahan menyimpan pertanyaan.

"Tindakan orang itu!" Jawab Arya cepat. "Mengapa harus menyembunyikan wajah kalau dia tahu kau tidak mengenalnya?" Melati mengangkat bahu.

"Mungkin tidak ingin dikenali," duga Melati sekenanya. "Mungkin," sambut Arya tanpa gairah. "Tapi, aku yakin

masalah ini akan bisa terungkap. Tunggu saja kedatangannya kembali."

Lalu pemuda berambut putih keperakan itu kembali menggigit potongan ayam panggang yang masih bercokol di rantingnya. Melati juga melakukannya.

Kini Arya dan Melati tidak melanjutkan percakapan. Mereka menenggelamkan diri dalam menikmati ayam panggang. Percakapan telah ditutup tanpa adanya titik terang mengenai wanita berpakaian biru yang berusaha mati-matian membunuh Melati.

***

Matahari sudah agak beranjak dari tempat terbitnya. Sinarnya yang hangat, memancar ke seluruh persada ketika Arya dan Melati melihat sebuah kedai di kejauhan. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering, membuat sepasang muda-mudi itu mengarahkan langkahnya ke sana.

Arya mendahului Melati memasuki pintu sebuah kedai. Dan tepat di ambang pintu kedai, pemuda berambut putih keperakan ini menghentikan langkahnya. Pandangannya beredar ke sekeliling untuk melihat meja-meja yang masih kosong.

Ternyata, ada beberapa buah meja yang masih kosong. Arya segera melangkah menuju ke arah sana. Sikapnya masa bodoh, sehingga sama sekali tidak tahu kalau wajah para pengunjung kedai mendadak berubah hebat ketika melihat kehadirannya bersama Melati. Tarikan napas mereka tampak memancarkan kebencian bercampur  takut.

Seorang lelaki setengah tua dan bertubuh pendek gemuk seperti gentong, menghampiri Arya dan Melati yang telah duduk di sebuah meja kosong yang mempunyai dua bangku saling berhadapan.

Sepasang alis Arya agak berkerut ketika melihat sikap laki-laki pendek gemuk yang terlihat begitu ketakutan. Wajahnya terlihat pucat pasi. Bahkan sepasang mata Arya yang tajam dapat melihat kalau tubuh orang itu menggigil keras.

Meskipun telah melihat adanya kejanggalan, Arya berpurapura tidak tahu.

"Mau pesan apa, Den?" tanya laki-laki pendek gemuk yang rupanya pemilik kedai, dengan suara bergetar. Rupanya perasaan takut yang melanda hatinya tidak bisa disembunyikan

Melati yang mendengar adanya kelainan dalam nada suara si pemilik kedai, jadi heran. Dicobanya untuk melihat wajahnya, tapi pemilik kedai itu seperti menyembunyikan diri dari Melati. Yang bisa terlihat hanya punggung pemilik kedai itu.

"Empat batang jagung bakar, seguci kecil teh hangat, dan seguci besar arak." Arya menyebutkan pesanannya.

"Akan kusediakan, Den," kata pemilik kedai cepat, sambil melangkah tergopoh-gopoh meninggalkan tempat Arya.

Arya dan Melati jadi saling berpandangan melihat sikap pemilik kedai itu. Sikap mereka menggambarkan perasaan heran yang mendalam.

"Ki...!"

Laki-laki pemilik kedai itu menghentikan langkah ketika mendengar panggilan terhadapnya. Tanpa menoleh pun sudah dapat dikenali kalau orang yang memanggilnya adalah pemuda berambut putih keperakan.

"Ada yang bisa kubantu. Den?" tanya pemilik kedai itu sambil membalikkan tubuh, tanpa berani menghampiri.

"Boleh kutahu namamu, Ki?" tanya Arya, agak keras. "Gibar," jawab pemilik kedai itu, singkat.

"Terima kasih, Ki," kata Arya.

Pemilik kedai yang ternyata bernama Ki Gibar itu membalikkan tubuh kembali, dan langsung melanjutkan langkahnya yang tertunda. Disiapkannya pesanan untuk dua orang tamunya itu.

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. "Aku melihat keanehan di sini, Melati. Ki Gibar sepertinya amat ketakutan."

"Bukan hanya dia saja, Kang. Tapi juga semua orang yang berada di sini," kata Melati, setengah memperbaiki kata-kata kekasihnya.

Perkataan Melati membuat Arya mengedarkan pandangannya. Seketika dahinya berkerut saat menyaksikan kebenaran ucapan Melati. Para pengunjung kedai,  satu persatu meninggalkan meja masing-masing. Padahal, banyak di antaranya yang belum menghabiskan hidangannya. Tarikan wajah mereka menampakkan ketakutan.

"Sepertinya mereka takut pada kita ," desah Arya. "Lebih tepatnya lagi, takut padaku" tegas Melati mem-

perbaiki ucapan Dewa Arak.

Arya terdiam seketika. Sama sekali tidak dibantahnya ucapan Melati.

"Ada sebuah teka-teki yang membingungkan mengenai dirimu Melati. Bukan tidak mungkin, serangan wanita berpakaian biru yang kau ceritakan padaku, ada hubungannya dengan hal ini." duga Arya.

"Mungkin kau benar, Kang," desah Melati. "Kurasa ada sebuah masalah yang tengah terjadi di sini. Dan tanpa kuketahui, ada orang yang melibatkan diriku."

"Kita harus menyingkap rahasia ini, Melati," ucap Arya memutuskan.

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu, keputusan yang diambil Arya pasti sangat tepat.

Percakapan mereka terhenti ketika Ki Gibar datang sambil mengantarkan makanan yang dipesan. Tampak tangan laki-laki pendek gemuk itu gemetar ketika meletakkan pesanan Arya dan Melati.

Tapi, Arya dan Melati berpura-pura tidak mengetahuinya. Sikap mereka seakan akan tidak peduli. Justru pandangan mereka beralih ke hidangan yang tersedia di atas meja.

Melati menuangkan guci berisi teh hangat ke dalam sebuah gelas bambu yang tersedia di depannya, kemudian dengan tenang diminumnya. Arya pun melakukan hal yang sama. Hanya saja, yang diminum pemuda berambut putih keperakan itu adalah arak.

Setelah membasahi kerongkongan yang kering, Arya dan Melati mulai mengambil jagung bakar, dan mulai menggeragotinya.

Dan hanya dalam waktu sebentar saja, Arya telah menghabiskan sebatang jagung. Diletakkannya bonggol jagung itu ke tempat semula kemudian disambarnya jagung lain. Tapi baru didekatkan ke mulutnya....

"Melati. Siluman Keji...! Keluar kau...! Terimalah pembalasan kami. !"

Wajah Arya dan Melati kontan berubah hebat dan langsung menghentikan gerakan. Tarikan wajah mereka menyiratkan keterkejutan. Hampir bersamaan, mereka mengalihkan pandangan ke luar. Memang, dari sanalah suara itu berasal.

"Cepat keluar, Melati...! Atau.... kami bakar kedai ini. !"

Kembali seruan keras dan luar terdengar. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya, dan bahkan mengandung ancaman.

Tapi Arya dan Melati tetap bersikap tenang. Dan yang kebingungan justru Ki Gibar. Dengan agak tergopoh-gopoh, pemilik kedai itu berlari keluar untuk meminta agar orang yang berada di luar tidak melaksanakan ancamannya. Dan kalau hal itu terjadi, ke mana dia dan keluarganya akan tinggal. Memang, kedai itu merangkap sebagai tempat tinggal baginya.

Tapi, langkah Ki Gibar kontan terhenti ketika Arya mengulurkan tangan menggamit pergelangan tangannya.

"Kau tidak usah keluar, Ki. Kami yang akan keluar. Percayalah. Apabila aku dan kawanku ini keluar, orang itu akan membatalkan maksudnya membakar kedaimu," ujar Arya, lembut. Ki Gibar sama sekali tidak berkata apa-apa. Kepalanya hanya mengangguk-angguk pertanda menyetujui usul tamunya. Sementara Arya melepaskan cekalan ketika melihat Ki Gibar telah berhasil ditenangkan.

"Mari, Melati. Kita jumpai mereka." ajak Dewa Arak seraya bangkit dari kursinya.

Melati tidak menyahut, tapi bangkit dari kursinya. Diletakkannya uang pembayaran makanan yang dipesan di atas meja. Lalu, kakinya melangkah mengikuti Arya yang telah berjalan lebih dulu.

Kepergian Arya dan Melati diikuti Ki Gibar dengan sorot mata keheranan.

"Aneh! Mengapa sikapnya begitu jauh berubah? Apakah karena ada kawannya?" desis hati Ki Gibar.

***

"Ah!" "Heh...?!"

Seruan-seruan keterkejutan terdengar di sana-sini. Beberapa pasang mata dari belasan sosok tubuh yang berdiri beberapa tombak di depan pintu kedai dengan senjata terhunus di tangan, tampak terbelalak lebar. Jelas, mereka tengah dilanda perasaan kaget.

"Bukankah dia Dewa Arak?"

Salah satu dari beiasan orang yang tadi berteriak kaget, menudingkan jari telunjuknya ke arah Arya yang telah berdiri di samping Melati, di ambang pintu kedai.

"Benar! Aku yakin, dia pasti Dewa Arak! Lihat saja ciricirinya. Semua ciri-ciri Dewa Arak ada padanya!" sambung seorang laki-laki yang berkumis tebal.

"Tidak mungkin!" bantah seorang yang bertubuh kekar. "Mana mungkin Dewa Arak bersahabat dengan siluman betina seperti Melati!"

Sesaat kemudian, suasana di sekitar tempat itu jadi riuh. Masing-masing orang mengajukan pendapat. Dan itu diucapkan keras-keras agar terdengar semua orang yang berada di situ. Sementara, Arya dan Melati hanya diam memperhatikan.

Dengan sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau belasan orang itu berasal dari satu perkumpulan. Pakaian yang dikenakan juga sama. Penuh tambalan. Dandanan mereka pun awut-awutan. Dari sini bisa diterka kalau mereka berasal dari perkumpulan pengemis.

Tiba-tiba....

"Diam!"

Suaru bentakan keras terdengar menggeledek pertanda dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Saking kerasnya, hingga mengatasi semua keriuhan yang terjadi. Rupanya pemilik bentakan itu adalah tokoh yang disegani. Buktinya, kegaduhan itu kontan lenyap.

Arya dan Melati mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Tampak seorang pengemis bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit. Potongan tubuhnya sama sekali tidak sesuai dengan suaranya yang keras menggelegar laksana guntur.

"Apakah sepasang mataku tidak salah lihat? Benarkah Dewa Arak yang berdiri di hadapanku?" pengemis tinggi kurus kembali membuka suara.

Tapi, sekarang ditujukan pada Dewa Arak.

"Tidak salah, Kisanak. Kaum rimba persilatan menjulukiku Dewa Arak. Tapi, aku lebih suka di panggil Arya," jawab Arya, kalem. "Kalau boleh kutahu, siapakah kalian?"

Pengemis tinggi kurus tersenyum pahit.

"Rupanya dunia sudah terbalik. Dewa Arak yang digembar-gemborkan sebagai pendekar sakti dan selalu memberantas keangkaramurkaan, kini malah bergaul  rapat dengan siluman betina yang haus darah! Sayang sekali!"

Sampai di sini laki-laki bermata sipit iru menghentikan ucapannya. Ditatapnya wajah Dewa Arak dalam-dalam, seperti menuntut jawaban.

"Memang kami semua tidak terkenal sepertimu, Dewa Arak! Meskipun begitu, pantang bagi kami untuk bergaul rapat dengan siluman haus darah seperti orang di sebelahmu! Kami dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Dan aku sendiri bernama Tombala."

Arya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, untuk meredakan kemarahan yang bergolak dalam dada. Makian pengemis tinggi kurus yang bernama Tombala memang cukup pedas. Tak heran bila kemarahannya muncul. Disadari kalau Tombala dan Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kemungkinan besar salah paham. Tapi meskipun demikian, Dewa Arak tetap merasa tak senang atas penghinaan itu.

Kalau Arya saja yang mempunyai sifat sabar hampir tak kuat menahan amarah, apalagi Melati! Gadis berpakaian putih itu menggertakkan gjgi sambil melangkah maju. Tapi Arya sudah bisa menduga perasaan yang berkecamuk di hati Melati, bertindak lebih cepat. Ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu.

"Sabar, Melati," bujuk Arya untuk menenangkan hati kekasihnya. "Mereka salah paham."

"Tapi mereka telah keterlaluan menghinaku, Kang! Terlalu enak kalau dibiarkan begitu saja!" bantah Melati, keras.

"Percayakanlah padaku untuk menyelesaikannya," bujuk Dewa Arak, tetap kalem suaranya.

Melati menatap wajah kekasihnya. Ada sorot keberatan dalam sinar matanya. Tapi ketika Arya terus menatap lembut, Melati tak kuasa memaksakan kehendaknya. Sampai akhirnya, dihembuskannya napas berat seraya melangkah mundur ke tempat semula.

"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku, Melati."

Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan itu mengalihkan perhatian ke arah orang-orang dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Mereka sejak tadi hanya memperhatikan saja, ketika Dewa Arak berbeda pendapat dengan Melati.

"Kalau saja tidak memandang nama besarmu, mungkin kami sudah menerjang wanita iblis itu untuk mengadu nyawa, Dewa Arak." Tombala telah lebih dulu berkata, sebelum Arya sempat membuka suara. "Oleh karena itu, kumohon kau bersedia menyingkir dari tempatmu. Kami tidak ingin bentrok denganmu. Dan kau bukanlah orang yang kami inginkan."

"Kuucapkan terima kasih atas penghormatan yang kau berikan padaku, Kang Tombala. Tapi, kumohon bersikap sabarlah dalam menghadapi persoalan ini. Mungkin perlu kuberitahukan padaku, kawanku ini bukan orang yang kau tuduhkan. Dan. "

"Dewa Arak!" potong Tombala keras. "Kami bersikap mengalah padamu bukan karena gentar. Perasaan seperti itu tidak ada dalam hatiku! Dan juga dalam hati semua anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Kami tidak ingin bentrok denganmu, karena kau adalah seorang pendekar yang berdiri di jalan kebenaran. Tapi kalau peringatanku tetap tidak diindahkan, terpaksa aku harus bertarung denganmu!"

Keras dan berapi-api ucapan Tombala. Sementara, rombongan Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang rupanya sejak tadi sudah dilanda kemarahan hebat, menyambut gembira ucapan Tombala yang rupanya menjadi pemimpin mereka.

"Hidup, Kakang Tombala...!" teriak seorang pengemis yang berkumis tebal sambil mengacungkan tangannya yang terkepal tinggi-tinggi ke atas.

"Hidup. !" sambut pengemis yang berwajah hitam.

"Basmi si Siluman Pencabut Nyawa. !"

"Gantung !"

"Bakar. !"

Hanya dalam sekejap saja, suasana di sekitar tempat itu kontan gaduh. Semua anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang saling berebutan mengutarakan kebencian terhadap Melati.

"Diam. !"

Untuk yang kedua kaiinya, terdengar teriakan keras yang dimaksudkan untuk menghentikan kegaduhan. Tapi, kali ini bukan keluar dari mulul Tombala, melainkan dari mulut Dewa Arak! Wajah pemuda berambut putih keperakan itu tampak merah padam. Sepasang matanya tampak mencorong kehijauan, seperti mata seekor harimau dalam gelap! Jelas, amarah Dewa Arak telah sampai ke ubun-ubun.

*** 3

Bentakan yang dikeluarkan Dewa Arak menimbulkan  akibat luar biasa! Orang-orang dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang merasakan seperti ada halilintar menggelegar di dekat telinga, hingga sampai berdengung keras. Dada pun kontan berg-tar hebat. Kecuali Tombala, semua anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang segera mendekapkan kedua tangan ke telinga. Padahal, Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kedi tenaga dalamnya. Memang, meskipun hatinya panas terlanda amarah, Dewa Arak masih menghormati keselamatan orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.

"Tombala! Bisa kau jelaskan padaku, apa alasanmu dan seluruh gerombolanmu sehingga melemparkan tuduhan sekeji itu pada kawanku?!" pinta Dewa Arak bernada mendesak, ketika melihat kegaduhan telah berhasil diredakan.

"Baiklah, Dewa Arak." kata Tombala mengalah. "Akan kujelaskan persoalan sebenarnya, agar kau tidak menuduh Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang sebagai orangorang yang suka melempar fitnah."

Tombala menghentikan ucapannya sejenak untuk meredakan keterkejutan yang melanda hatinya. Bentakan Dewa Arak tadi memang membuatnya terkejut, walaupun hanya sesaat.

Dewa Arak sama sekali tidak menyelak ucapan Tombala. Ditunggunya pengemis tinggi kurus itu melanjutkan penjelasannya. Hal yang sama pun dilakukan Melati. Dibiarkannya saja Arya menyelesaikan persoalan itu.

"Kawanmu ini telah membunuh beberapa orang anggota perkumpulan kami. Lebih tepatnya lagi, beberapa orang murid kepala, dan tiga orang murid tingkat  tiga," jelas Tombala, dengan suara bergetar pertanda kemarahannya tengah menggelegak. "Dan bukan hanya itu saja. Dia pun telah membunuh banyak penduduk Desa Gondang. Tidak hanya orang dewasa saja yang dibantainya, tapi juga anak-anak. Bukankah hal itu telah cukup menjadi alasan untuk melenyapkannya?"

Arya menolehkan kepalanya kepada Melati.

"Benar semua yang dikatakan Tombala, Melati?" tanya Arya berbasa-basi. Dan Dewa Arak yakin benar kalau Melati tidak akan mungkin melakukan tindakan sekeji itu.

"Semua yang dituduhkannya fitnah belaka, Kakang. Jangankan membunuh. Menginjakkan kaki di tempat ini pun baru sekali ini!" bantah Melati, berapi-api.

"Mana ada maling mengaku?!" sergah Tombala, sinis. "Keparat! Mulutmu kelihatannya terlalu kurang ajar!

Kalau tidak kuhajar, akan semakin kurang ajar!"

Setelah berkata demikian. Melati melompat menerjang Tombala. Tangan kanannya yang berjari lentik dikibaskan ke arah mulut pengemis bertubuh tinggi kurus Itu.

Wuttt..!

Deru angin keras mengiringi tibanya tangan Melati. Tapi, Tombala bertindak lebih cepat. Meskipun sempat terkejut melihat cepatnya sambaran tangan Melati, namun dia masih sempat melempar tubuh ke belakang. Hasilnya, serangan Melati menyambar tempat kosong!

Melati yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi, tidak membiarkan lawan lolos begitu saja. Dia pun melesat mengejar lawan yang mendarat berjarak tiga tombak dari tempat semula.

Namun sebelum maksud gadis berpakaian putih itu tersampaikan, anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tidak tinggal diam. Begitu melihat Melati meluruk ke arah Tombala, bagai diberi pcrintah tangantangan mereka bergegas bergerak mengibas. Dan....

Sing, sing, sing. !

Entah bagaimana caranya, gelang-gelang berwarna putih yang semula berada di tangan masing-masing anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tahu-tahu melayang ke arah Melati. Anehnya lagi, hanya satu gelang saja yang meluncur dari masing-masing tangan mereka. Hal ini menjadi pertanda kalau mereka sudah terlatih menggunakannya.

Melati tidak berani memandang ringan. Terpaksa serangan terhadap Tombala dibatalkan. Dan kini perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi serangan-serangan yang tengah meluncur ke berbagai bagian tubuhnya.

Hanya sekali lihat saja. Melati Iangsung bisa mengetahui gelang-gelang yang meluncur lebih dulu. Ada dua buah gelang yang berada beberapa jari di depan yang lain. Cepat Melati mengulurkan kedua tangannya.

Tap, tap! "Hih!"

Trang, tring, trang...!

Suara berdentang nyaring terdengar, diselingi berpijarnya bunga-bunga api ke udara. Hal itu terjadi ketika Melati berhasil menangkap dua gelang baja, dan langsung membenturkannya pada gelang-gelang yang meluncur belakangan.

Seketika itu juga, gelang-gelang baja terpental balik. Bahkan beberapa di antaranya meluncur balik ke arah pemiliknya semula. Karuan saja hal itu membuat orangorang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kelabakan! Sedapat-dapatnya, mereka melakukan tindakan menyelamatkan diri. Ada yang melempar tubuh ke belakang, dan sebagian lagi menundukkan tubuh. Sisanya membanting tubuh ke tanah.

Tidak sia-sia tindakan yang dilakukan. Meskipun secara agak tergesa-gesa, tapi nyawa berhasil diselamatkan.

Tapi, Melati tidak tinggal diam. Begitu lawan-lawannya berhasil menyelamatkan diri, dua buah gelang baja yang berada di tangannya segera di luncurkan.

Wung, wung...!

Diiringi suara mengaung yang jauh lebih keras dari luncuran gelang-gelang baja lawan-lawannya, dua buah gelang itu melesat ke arah dua di antara belasan orang anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Hebatnya luncurannya disertai putaran yang begiru cepat.

Kontan wajah dua orang anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang mendapat serangan itu pucat pasi. Luncuran gelang-gelang baja itu terlalu cepat. Tambahan lagi, pada saat itu mereka baru saja mengelakkan serangan senjata yang berbalik. Itu pun dilakukan dengan susah payah.

Tapi sebelum gelang-gelang baja itu mengenai mereka, dari arah yang berlawanan meluncur pula dua buah gelang baja. Dan gelang-gelang baja yang meluncur belakangan ini, tampaknya akan memapak gelang-gelang baja yang dilemparkan Melati.

Trang, trang!

Benturan antara dua buah gelang yang sama bentuk dan ukurannya tak bisa dielakkan lagi. Bunga-bunga api seketika memercik ke udara. Sedangkan gelang-gelang baja yang meluncur belakangan langsung terpental balik ke belakang. Sementara gelang-gelang baja yang dlayangkan Melati hanya terpukul jatuh dan sama sekali tidak terpental ke belakang. Hal ini menjadi pertanda kalau tenaga orang yang memapak, di bawah tenaga Melati.

Melati mengalihkan pandangan ke arah si pengirim gelang-gelang baja itu. Ternyata, orang itu adalah Tombala. "Hampir saja kau menyebarkan maut kembali. Wanita

Sesat!" seru Tombala, penuh geram.

Usai berkata demikian. Tombala memberi isyarat menyerang pada anak buahnya. Maka tanpa menunggu perintah dua kali, belasan anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang bergerak mengurung Melati. Di tangan mereka tergenggam sebatang tongkat pendek terbuat dari baja, dan memiliki ujung runcing.

Melati bersikap waspada, dan sama sekali tidak melakukan tindakan apa-apa. Gadis berpakaian putih ini tetap berdiri di tempat semula, seperti tidak peduli atas kejadian yang berlangsung di sekelilingnya. Tapi menilik dari sepasang biji matanya yang berputaran liar, bisa diketahui kalau Melati telah bersiap menghadap segala kemungkinan yang akan terjadi.

Sementara itu di belakangnya. Dewa Arak sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda membantu Melati. Rupanya, pemuda berambut putih keperakan itu merasa yakin kalau tanpa bantuannya Melati akan mampu membereskan lawan-lawannya.

***

"Serbu...!"

Teriakan keras Tombala menyebabkan anak buahnya yang telah mengurung Melati langsung melancarkan serangan. Tongkat-tongkat baja di tangan mereka diluncurkan ke berbagai bagian tubuh yang mematikan.

Pada saat yang bersamaan, Tombala pun melancarkan serangan pula. Bahkan serangannya langsung dibuka dengan melemparkan gelang-gelang baja, lalu baru melompat menerjang disertai tusukan-tusukan tongkat.

Meskipun serangan meluncur ke berbagai penjuru, Melati tidak gugup. Ditunggunya hingga semua serangan itu mendekat, lalu tangannya bergerak ke punggung.

Srattt!

Sinar terang membersit ketika Melati mencabut pedangnya. Dan secepat pedang itu terhunus, secepat itu pula diputar-putar dengan kecepatan dahsyat. Seketika itu pula tubuhnya lenyap, terbungkus gulungan sinar pedang yang diputarkannya. Dan....

Trang, tring, trang. !

Benturan keras terdengar berulang-ulang ketika senjata para anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang berbenturan dengan pedang Melati. Termasuk di antaranya serangan gelang baja Tombala. Semuanya kandas!

Bahkan juga terdengar pekik-pekik kesakitan begitu tangan yang menggenggam tongkat terasa sakit-sakit dan lumpuh. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, senjatasenjata itu terlepas dari pegangan. Hanya Tombala seorang yang tidak melepaskan senjatanya walau tangannya juga tergetar hebat. Memang, Melati langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam pada putaran pedangnya untuk membentengi dirinya. Maka tentu saja anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu tidak mampu menahan.

Tapi sebelum Melati sempat melancarkan serangan susulan....

"Cukup, Melati. !"

Melati langsung menghentikan gerakan. Tanpa membalikkan badan sudah bisa diketahui kalau orang yang telah mengeluarkan cegahan itu adalah Arya.

"Ada apa, Kang. .?!"

"Nanti kuberi tahu. Sekarang, mari kita pergi!"

Tanpa memberi kesempatan pada Melati untuk mengajukan pertanyaan lagi, Dewa Arak segera melesat meninggalkan tempat itu. Terpaksa, gadis berpakaian putih itu mengikutinya dengan melesat cepat bagai kilat.

Tombala dan seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tidak berdaya mencegah kepergian mereka. Disadari kalau Dewa Arak tidak mengeluarkan cegahan, akan banyak jatuh korban di antara mereka. Kini yang bisa dilakukan hanya menatap tubuh Melati yang semakin mengecil di kejauhan dengan sorot mata geram.

"Hhh…!" Tombala menghembuskan napas berat. "Siluman itu terlalu kuat untuk kita. Sekalipun kita bersamasama, tetap saja dia tidak bisa dilumpuhkan."

Ucapan  Tombala  terdengar  tidak  bersemangat. Lesu.

Selesu tarikan wajahnya. Rupanya, dia merasa terpukul. "Lalu,  apa  yang  akan  kita  lakukan  sekarang, Kang?"

tanya pengemis yang berkumis tebal.

"Tidak ada jalan lain lagi. Kita kembali ke markas dan menceritakan semuanya pada ketua. Hanya ketualah yang bisa membalaskan sakit hati ini," jelas Tombala.

"Wanita siluman itu ternyata memang lihai, Kang. Serangan gabungan kita mudah sekali dipatahkannya. Entah bagaimana jadinya kalau Dewa Arak tidak mencegahnya...?" desah anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang berwajah hitam.

"Mungkin kau sudah mampus!" tukas Tombala, bernada tidak senang.

Pengemis berwajah hitam terperanjat. Dirasakan adanya nada ketidaksenangan dalam ucapan Tombala. Dan hal itulah yang membuatnya heran. Mengapa Tombala marah-marah?

Ternyata bukan hanya pengemis berwajah hitam itu saja yang merasa heran. Yang Iain pun juga terkejut. Dengan raut wajah dan sorot mata kebingungan, mereka menatap Tombala.

"Dewa Arak tidak kalah jahatnya dengan wanita siluman itu! Kalian dengar?!" tegas Tombala yang rupanya mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hati anak buahnya. "Kalian tahu, mengapa kukatakan demikian?!"

Tombala menatap satu persatu wajah-wajah di hadapannya. Tanpa sadar, setiap yang dipandang menggelengkan kepala.

"Sebenarnya Dewa Arak memiliki kemampuan untuk melenyapkan wanita siluman itu. Tapi, entah kenapa tidak dilakukannya. Sebagai akibatnya, korban akan terus berjatuhan! Bukankah itu berarti Dewa Arak tidak kalah jahatnya dengan wanita siluman itu?! Buktinya, wanita siluman itu dibiarkannya saja mengganas!"

Sekarang, baru orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu mengerti maksud ucapan Tombala. Mereka pun mengangguk-anggukkan kepala Sungguh pun tidak terlalu benar, memang.

Melihat anggukan yang mempunyai arti kalau mereka membenarkan kesimpulan yang didapat, Tombala Jadi semakin bersemangat.

"Kehadiran Dewa Arak malah menyulitkan kita dalam membasmi wanita siluman itu. Jelas-jelas terlihat kalau Dewa Arak berada di pihaknya. Aku yakin, dia tidak akan tinggal diam apabila wanita siluman itu berada dalam bahaya!"

Untuk kedua kalinya kepala semua anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang terangguk-angguk pertanda membenarkan ucapan Tombala. Buat mereka, alasan Tombala memang masuk akal. Telah disaksikan sendiri pembelaan Dewa Arak terhadap gadis berpakaian putih itu.

"Sekarang, lebih baik kita kembali ke markas. Tidak ada gunanya lagi mengejar-ngejar wanita siluman itu. Dia terlalu sakti Apalagi dengan adanya Dewa Arak di sampingnya."

Begitu ucapannya selesai, Tombala melangkah meninggalkan tempat itu. Terlihat lesu sekali langkahnya. Dan langkah-langkah yang tak kalah lesu dari anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tampak mengikuti di belakang.

Tombala dan anak buahnya meninggalkan tempat itu tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sama sekali tidak dipedulikan keberadaan penduduk desa yang sebagian besar mengintai dari tempat yang tersembunyi. Dari balik pintu, jendela, semak-semak dan pepohonan yang berada di sekitar tempat itu.

*** "Mengapa kau mencegahku Kang?"

Begitu telah berada sejajar dengan langkah Dewa Arak, Melati langsung mengajukan pertanyaan bernada penuh tuntutan.

"Kau tidak bisa menduganya, Melati?" Arya malah balas bertanya tanpa menghentikan ayunan kakinya.

"Aku tidak mau memikirkan alasannya, Kang," sahut Melati, penasaran. "Yang kutahu, mereka telah terlalu menghinaku. Dan aku tidak sudi membiarkannya!"

Arya tersenyum pahit. Bisa dimaklumi perasaan yang berkecamuk di hati Melati, dan sama sekali tidak bisa disalahkan. Tapi, orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu pun tidak bisa disalahkan! Mereka hanya keliru mengenali orang! Demikian kesimpulan yang didapat Arya.

"Aku tahu perasaan hatimu, Melati. Karena, aku pun mengalaminya. Itulah sebabnya, aku tidak bisa menahan kemarahanku. Dengan kekerasan, kusuruh mereka menghentikan ucapan. Tapi, percayalah. Dalam memecahkan masalah ini, yang dibutuhkan hanyalah ketenangan. Jika tidak masalah yang timbul akan semakin berlarut-larut," ujar Arya panjang lebar.

Melati kontan terdiam, tidak bicara lagi. Dia tahu, ucapan Arya belum selesai. Maka, ditunggunya kelanjutan ucapan itu sambil terus berlari.

"Aku percaya, kau bukan pelaku semua kekejian itu. Tapi aku pun yakin, orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu tidak menyebarkan tuduhan secara membabi buta. Mereka pasti mempunyai alasan kuat!"

"Maksudmu..., ada orang yang menyamar sebagai diriku dan menyebar kejahatan di sini, Kang?!" duga Melati.

"Tepat!"

Melati kontan terdiam. Disadari kalau hal seperti itu bukan tidak mungkin. Baik dirinya maupun Dewa Arak  telah terlalu banyak menumpas keangkaramurkaan. Dan sudah pasti, banyak menebarkan bibit permusuhan dan dendam. Dan tindakan seperti itu merupakan buktinya.

"Kita berhenti di sini, Melati."

Arya menghentikan larinya, diikuti Melati. Kini, mereka berada di bagian desa yang penuh ditumbuhi semaksemak dan pepohonan yang cukup lebat. Dewa Arak segera mengedarkan pandangan berkeliling. Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya. Hal ini membuat Melati mengedarkan pandangannya pula. Padahal, dia tidak tahu apa yang tengah dicari Arya.

Sesaat kemudian, Dewa Arak berjalan menghampiri sebatang pohon yang tumbuh, lalu duduk di atasnya. Kini, Melati tahu apa yang tengah dicari kekasihnya. Tanpa berkata apa-apa, dia juga duduk di sebelah pemuda berambut putih keperakan itu.

"Itulah sebabnya, aku mencegahmu menurunkan tangan jahat pada orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Bahkan kalau bisa, sedapat mungkin harus menjauhi bentrokan. Yang harus dicari adalah orangorang yang telah melakukan kekejian terhadap Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang dan penduduk Desa Gondang." jelas Arya lagi.

"Jadi, kita harus menyingkap rahasia itu, Kang?!" "Benar." jawab Arya, singkat.

"Kapan penyelidikan itu akan dilakukan, Kang?!" tanya Melati lagi. "Aku sudah tidak sabar lagi menghancurkan kepala orang yang telah begitu berani menyamar sebagai diriku'"

"Nanti malam."

Melati tidak mengajukan pertanyaan lagi. Rupanya, sudah tidak ada lagi yang ingin ditanyakannya Dewa Arak pun diam. Maka, suasana jadi hening. Yang terdengar hanyalah suara desau angin menyibakkan daun-daun pepohonan dan semak semak.

"Kang...!"

Sapaan Melati yang bernada sentakan membuat Arya menoleh. Dia tahu, ada hal penting yang akan disampaikan Melati. Sesuatu yang mungkin saja terlintas di benaknya. Maka, ditatapnya gadis itu penuh perhatian.

"Jangan-jangan….., pelaku kekejian itu orang yang menghadangku di tepi sungai. Kelihatannya dia benci sekali padaku. Dan... kepandaiannya cukup tinggi," urai Melati mengajukan dugaan.

Arya tercenung dengan dahi berkernyit. Rupanya, dugaan gadis berpakaian putih itu tengah dipikirkannya.

“Tapi, bukankah orang itu mengenakan pakaian biru?!" bantah Arya.

"Ah! Apa susahnya mengganti pakaian, Kang," sergah Melati.

“Tapi, bukankah orang itu berada ditempa yang jauh dari sini?!" Melati diam. Memang, wanita berpakaian biru berada  di tempat yang cukup jauh dari sini. Masih dipisahkan hamparan padang pasir yang luas.

"Meskipun begitu, orang itu tetap mencurigakan. Sambil mencari keterangan tentang orang yang telah menyamar sebagai dirimu, kita selidiki pula dia."

Arya yang tidak ingin mengecewakan Melati, buru-buru menyambung ucapannya. Dan Melati yang tahu maksudnya jadi tersenyum pula. Kemudian, kepalanya disandarkan di bahu Arya.

*** 4

Sang surya belum lama tenggelam di ufuk Barat, meninggalkan bias-bias berwarna kemerahan di kaki langit tempat terbenamnya. Tugasnya pun digantikan sang dewi malam, sehingga persada tidak selalu terkungkung dalam kegelapan.

Namun meskipun hari belum terhitung malam, suasana di Desa Gondang sudah sepi. Tidak terlihat seorang penduduk pun yang berada di luar rumah. Bahkan rumahrumah pun telah tertutup rapat, baik pintu maupun jendelanya. Tampaknya mereka tengah dicekam perasaan takut yang hebat.

Dalam suasana seperti itu, dua sosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan ungu dan putih tanpa bentuk yang jelas. Kalau ada penduduk yang melihatnya, tentu akan menyangka dua hantu yang tengah be canda di bawah siraman lembut rembulan.

Dua sosok bayangan itu berkelebatan cepat melalui tempat-tempat tersembunyi. Terkadang melalui semaksemak atau pepohonan. Dan kadang pula melalui atap rumah penduduk. Enak saja dua sosok bayangan itu melompat dari satu atap ke atap yang lain. Menilik dari tindakannya bisa diketahui kalau dua sosok bayangan itu, tidak ingin diketahui orang.

Cukup lama juga sosok bayangan ungu dan putih itu berkelebat, sebelum akhirnya berhenti. Mereka berhenti di depan sebuah rumah yang letaknya agak menyendiri.

Dua sosok bayangan itu mengedarkan pandangan berkeliling. Dalam siraman sinar rembulan yang cukup terang, terlihat cukup jelas wajah dan perawakan dua sosok tubuh itu. Mereka tak lain Dewa Arak dan Melati!

Setelah yakin kalau tidak ada orang yang melihat keberadaan mereka. Dewa Arak menghampiri pintu. Lalu didorongnya tanpa mengerahkan dalam. Tapi ternyata pintu itu sama sekali tidak bergeming! Jelas, pintu itu terkunci.

"Dobrak saja, Kang " bisik Melati, mengajukan usul. "Akan terlalu banyak menimbulkan keributan, Melati. Ki

Gibar dan keluarganya pasti akan terkejut. Bukankah kau tidak menginginkan hal itu terjadi?" sahut Arya, memberi alasan.

Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda membenarkan. Tapi Arya hanya sempat melihat sekilas anggukan itu saja, karena sesaat kemudian perhatiannya sudah beralih pada daun pintu rumah milik Ki Gibar.

Arya menempelkan kedua telapak tangannya ke daun pintu. Sesaat kemudian, dari sekujur tangannya mengepul asap tipis. Kalau saja Melati tidak terlalu memperhatikan, mungkin tidak akan terlihat. Tanpa bertanya pun Melati tahu, Arya tengah mengerahkan tenaga dalam andalannya, 'Tenaga Sakti Inti Matahari' Hal itu dilakukannya agar tidak menimbulkan keributan saat membuka pintu.

Beberapa saat kemudian, Dewa Arak melepaskan kedua telapak tangannya di daun pintu.

"Mari kita masuk, Melati," ajak Arya sambil menoleh ke arah Melati.

Setelah berkata demikian, Arya menggerakkan tangan mendorong daun pintu. Dan....

Krakkk!

Terdengar suara berderak pelan seperti ada sesuatu yang patah. Maka, daun pintu itu pun bergerak membuka. Seketika itu juga, mata sepasang pendekar muda itu tertumbuk pada deretan kursi dan meja. Memang, rumah yang dimasuki adalah kedai Ki Gibar.

Tapi, Arya dan Melati sama sekali tidak memperhatikan semua itu. Mereka langsung saja melangkah masuk. Suasana di dalam ruangan itu tampak cukup terang oleh obor kecil di salah satu dindingnya.

Begitu berada di dalam, Arya dan Melati langsung menutup daun pintu kembali. Tapi berbeda dengan Arya yang terus melangkah, Melati masih menyempatkan diri melihat akibat 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Tampak potongan palang pintu dalam keadaan hangus di lantai.

Kekaguman Melati terhadap Arya semakin besar. Dia tahu, kekasihnya memang bermaksud menghanguskan palang pintu dengan penggunaan tenaga dalam yang istimewa. Dengan tingkat kepandaian yang dimiliki Dewa Arak, memang bukan hal yang sulit. Padahal, palang pintu itu berada di bagian dalam. Dari sini saja bisa diperkirakan ketinggian tingkat kepandaian Dewa Arak.

Sementara itu, Arya tanpa peduli langsung duduk di kursi. Melati juga duduk di kursi yang terletak di depan Arya, dan hanya dipisahkan sebuah meja bulat.

Meskipun merasa heran melihat tindakan Arya, Melati tidak mengajukan pertanyaan. Dia tahu, Dewa Arak selalu memikirkan matang-matang sebelum melakukan sesuatu hal.

Mendadak....

Cit, cit, cit. !

Melati terjingkat kaget ketika mendengar suara bercicitan nyaring dan riuh. Seakan-akan, di sekitar tempat itu kedatangan beberapa ekor tikus. Tanpa sadar, kakinya yang tadi berada di lantai diangkat, karena memang merasa jijik terhadap tikus.

Dengan kedua telapak kaki tergantung di atas lantai, Melati mengedarkan pandangan berkeiiling untuk mencari asal suara. Tapi, tetap saja belum ditemukan keberadaan binatang binatang yang menjijikkan itu.

Sementara, Arya terlihat tenang-tenang saja. Tidak mempertihatkan tanda-tanda kalau merasa terganggu oleh suara suara berisik itu. Bahkan tangannya dikibas-kibaskan secara sembarangan ke arah deretan meja dan kursi di sekitarnya, seiring semakin riuhnya cicit tikus-tikus yang tidak ketahuan jelas asalnya.

Suara riuh kontan terdengar. Bunyi yang timbul seakanakan terjadi akibat tikus-tikus yang tengah berkejaran satu sama lain, dan menabrak nabrak meja dan kursi.

Kini Melati mengerti. Tikus-tikus yang ditakutinya sama sekali memang tidak ada. Dan suara-suara mencicit yang terdengar ternyata berasal dari mulut Arya. Perasaan kagum kembali menyeruak dalam hati Melati. Sama sekali tidak disangka kalau Arya pandai menirukan suara binatang demikian miripnya.

***

Melati tahu alasan Arya menimbulkan keributankeributan seperti itu. ApalagI kalau bukan untuk memancing kemunculan Ki Gibar dari dalam. Kini dengan perasaan tenang, kakinya diletakkan kembali di lantai.

Sedangkan Arya semakin menjadi-jadi menimbulkan keributan. Suara bercicitan nyaring dan kegaduhan meja serta kursi terdengar semakin keras. Sepertinya, di tempat itu ada beberapa ekor tikus yang tengah tertibat perkelahian.

Rupanya, membuat keributan seperti itu cukup melelahkan juga. Terbukti, pada kening dan leher Dewa Arak tampak butir-butir keringat. Tapi hal itu tidak dipedulikan dan tetap saja tindakannya diteruskan.

Meskipun demikian. Arya memasang pendengarannya setajam mungkin untuk mengetahui apakah pancingannya telah menarik perhatian. Namun, bukan hanya Arya saja yang memasang pendengarannya. Melati yang sudah mengetahui maksud kekasihnya, melakukan tindakan yang sama.

Wajah mereka kontan berseri ketika mendengar adanya suara langkah-langkah kaki dari dalam. Menilik dari suara yang berat, bisa diketahui kalau langkah itu tidak disertai ilmu meringankan tubuh.

Semakin lama, suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas. Hal ini menandakan sang pemilik tengah menuju tempat mereka.

Arya bersiap-siap. Disadari kalau pemilik langkah yang pasti Ki Gibar melihat mereka, pasti akan lari pontangpanting kembali ke dalam. Maka, dia harus bertindak cepat. Seketika dengan ibu jari dan telunjuknya, dipatahkannya daun meja bagian pinggir.

Seperti yang sudah diduga Arya, begitu membuka pintu penghubung antara ruangan dalam dengan tempat duduk pengunjung. Ki Gibar Iangsung terperanjat melihat keberadaan Arya dan Melati. Langkah Ki Gibar terhenti seketika. Buruburu tubuhnya berbalik. Jelas, laki-laki pendek gemuk ini bermaksud secepat mungkin meninggalkan tempat itu.

Namun tentu saja Arya tidak tinggal diam. Dia tidak mau usahanya sia-sia. Maka, buru-buru tangannya dikibaskan.

Wuttt! Tukkk!

Tubuh Ki Gibar terkulai lemas ketika potongan papan sebesar jari yang dilemparkan Arya, mendarat di jalan darah lehernya. Dan sebelum tubuh Ki Gibar ambruk di tanah. Arya telah lebih dulu bertindak. Sabuk yang melilit pinggangnya segera diloloskan, dan Iangsung dikibaskan.

Wuttt...!

Tanpa menimbulkan suara yang berarti, sabuk itu meluncur cepat ke arah Ki Gibar. Dan sebelum tubuhnya jatuh, sabuk telah mebiit pinggangnya.

Rrrt..!

Secepat sabuk itu melilit pinggang, secepat itu pula Arya menghentakkannya. Tak pelak lagi, tubuh Ki Gibar melayang ke arah Arya. Deras bukan kepalang. Kalau saja bisa, tentu Ki Gibar akan menjerit ketika menyadari tubuhnya melayang. Apalagi, ketika tahu kalau tubuhnya meluncur ke arah meja dan kursi. Tapi, hal itu tidak mampu dilakukannya. Hanya tarikan wajahnya saja yang menunjukkan kalau dia tengah dilanda perasaan takut yang amat sangat. Wajah Ki Gibar jadi tampak pucat seperti mayat.

Tentu saja Arya tidak membiarkan tubuh Ki Gibar yang siap menghempas. Kembali tangannya yang menggenggam sabuk, bergerak. Maka, luncuran tubuh Ki Gibar pun tertahan, dan langsung meluncur turun.

Hal itu sudah diperhitungkan Arya. Maka, Dewa Arak cepat bangkit dari kursinya. Dan sekali tangannya diulur, tubuh Ki Gibar berhasil ditangkapnya. Kemudian Arya menepuk pelan. Maka, seketika itu pula laki-laki pendek gemuk itu bisa bergerak kembali. Rupanya, tepukan Dewa Arak sekaligus untuk membebaskan totokan di tubuh Ki Gibar.

"Ampun.... Jangan bunuh aku...! Anakku masih kecil.

Den." rintih Ki Gibar ketika totokannya telah bebas.

Laki-laki pendek gemuk ini lalu menjatuhkan diri, berkirut di depan Arya dan Melati. Memang, Melati ikut pula bangkit dari kursinya ketika Arya bangkit.

Arya dan Melati saling berpandangan.

"Bangkitlah, Ki. Tidak pantas orang setua dirimu berlutut di hadapan kami. Percayalah, kami bukan orang jahat. Bahkan kami sengaja datang kemari untuk mengetahui lebih jelas semuanya."

Sambil berkata demikian, Arya memegang kedua pangkal lengan Ki Gibar, lalu mengangkatnya bangun. Dikerahkannya sedikit tenaga dalam untuk memaksa laki-laki tua itu bangun.

Ki Gibar menengadahkan wajah Ditatapnya wajah Arya dan Melati. Ada sorot harapan memancar di sana. Harapan untuk hidup. Kemudian, perlahan-lahan tubuhnya bergerak bangkit, karena tahu kalau lama kelamaan tidak akan kuat bertahan dari cekalan kedua tangan yang berusaha keras mengangkatnya.

"Benarkah apa yang kau katakan itu, Den?" tanya Ki Gibar, setelah berdiri tegak. Masih terasa adanya nada ketidakpercayaan dalam suaranya.

Arya menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar. "Aku  dan  kawanku  ini  bukan  orang  jahat,  Ki. Bukan!

Namaku Arya, dan kawanku Melati. Semula, kami bemiat sekadar lewat saja di desa ini. Kemudian kami singgah di kedai ini untuk sekadar mengisi perut. Tapi, sambutan  yang   diterima   terlalu   mengejutkan!   Kami,   atau   lebih tepatnya kawanku ini, malah dituduh sebagai pembunuh keji!"

Arya menghentikan ucapannya. Sementara, Melati dan Ki Gibar mendengarkannya penuh minat.

"Itulah sebabnya, kami sengaja datang kemari, Ki," sambung Arya "Untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai pembunuh itu."

"Benar, Ki," timpal Melati. "Aku sama sekali tidak pernah melakukan semua kekejian seperti yang dituduhkan. Bagaimana mungkin kulakukan berbagai macam kejahatan. Padahal, aku baru saja tiba di desa ini?!"

Ki Gibar menatap wajah Arya dan Melati berganti-ganti. Disadari ada kesungguhan, baik dalam ucapan maupun tarikan wajah sepasang muda mudi di hadapannya. Kini mulai timbul adanya rasa percaya di hatinya terhadap Arya dan Melati.

"Pikirkanlah baik-baik, Ki." kata Dewa Arak lagi. "Kalau memang kami berdua orang jahat, mungkin sudah banyak orang yang kami bunuh! Baik yang berada di kedai ini, maupun anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Tapi buktinya, kau lihat sendiri ‘kan, Ki? Tak seorang pun yang kami bunuh. Padahal, itu hanya sebuah tindakan yang amat mudah!"

Ki Gibar tetap diam. Meskipun demikian, hati kecilnya menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Arya dan Melati. Telah disaksikannya sendiri bukti-bukti ucapan Arya dan Melati.

"Rasanya sulit dipercaya kalau kau bukan pelaku semua kekejian itu, Nisanak," kata Ki Gibar, setengah berdesah. "Wajah, potongan rambut, dan pakaian yang kau kenakan sama persis dengan pembunuh keji itu. Bahkan namanya pun sama. Dia memperkenalkan diri sebagai Melati."

Arya dan Melati saling berpandangan sebentar. "Apakah kau pernah menyaksikan pembunuh keji itu,

Ki?" tanya Melati.

“Tentu saja. Nisanak! Kalau tidak, bagaimana mungkin kukatakan kalau kau sangat mirip dengan si pembunuh?!" sahut Ki Gibar cepat, sambil menganggukkan kepala. "Aku melihat sendiri ketika kau. ah! Maksudku pembunuh itu

membantai orang-orang desa! Dia mengamuk membabi buta. Bahkan anak kecil pun menjadi korbannya!"

"Bisa kau ceritakan sedikit kejadiannya, Ki?" pinta Arya, pelan.

"Baiklah, Arya." sahut Ki Gibar. "Tapi, sebaiknya kita duduk dulu. Mari, mari silakan duduk "

Laki-laki pendek gemuk ini mendahului duduk, diikuti Arya dan Melati. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja berbentuk persegi panjang.

"Peristiwanya terjadi kira-kira sebulan yang lalu. Seorang wanita cantik jelita, berpakaian putih, dan berambut panjang datang. Dan seperti juga kedatangannya yang sama sekali tidak disangka-sangka, gadis itu pun mengamuk tanpa terduga. Setiap orang yang berpapasan dengannya, dibunuh dengan pedangnya yang berukir kepala seekor naga. Seketika seisi Desa Gondang geger!"

Sampai di sini Ki Gibar menghentikan cerita untuk mencari kata-kata yang tepat sebagai penyambung cerita.

"Penduduk yang tidak tinggal diam melihat kekejaman itu, lantas mengadakan perlawanan. Tapi, mereka dengan mudah berhasil ditumpas wanita siluman itu. Bahkan Karaeng, guru silat desa ini tewas di tangannya. Hal ini menyadarkan penduduk desa kalau wanita siluman itu tidak mungkin dilawan. Dengan terpaksa mereka mundur. Sementara, wanita berpakaian putih itu tertawa penuh kemenangan sambil mengucapkan kata-kata bernada penuh kesombongan."

"Apa yang dikatakannya, Ki?" selak Melati tak sabar.

Wajah Melati tampak merah padam. Memang, gadis berpakaian putih ini tengah dilanda amarah oleh tindakan orang yang menyamar sebagai dirinya. Setiap kali Ki Gibar menyebut wanita siluman, Melati merasakan seperti makian itu ditujukan ke arahnya.

Bukannya menjawab, Ki Gibar malah menundukkan kepala. Karuan saja, hal ini membuat Melati semakin tidak sabar. Tapi, Dewa Arak segera menyentuh tangannya untuk menyabarkan. Arya yang tahu kalau Ki Gibar tidak enak untuk mengatakannya, segera membujuk.

"Katakanlah, Ki. Percayalah. Kami telah siap mendengarnya," pinta Arya pelan.

"Hi hi hi...! Orang seperti kalian hendak membunuhku?! Kalian tahu siapa aku?! Namaku Melati, Dewi Penyebar Maut! Akan kubunuh kalian semua!" tutur Ki Gibar, menirukan ucapan Melati palsu.

"Jadi, itu yang dikatakannya?" tanya Arya. Sementara Melati sudah menundukkan kepala.

Ki Gibar menganggukkan kepala.

"Terima kasih atas petunjukmu, Ki. Kau telah banyak membantu kami. Sekarang, kami mohon diri untuk mencari orang yang telah bertindak demikian keji!"

Belum lagi gema suara itu lenyap, tubuh Dewa Arak dan Melati sudah tidak berada lagi di situ. Kini, tinggallah Ki Gibar sendirian.

*** 5

Begitu berada di luar kedai, Arya dan Melati kembali mengedarkan pandangan berkeliling.

"Ke mana kita harus mencari pembunuh keji itu, Kang?" tanya Melati. Nada suaranya menyiratkan kebingungan.

Arya tidak langsung menjawab. Malah ditatapnya wajah Melati sejenak, kemudian beralih ke kanan dan ke kiri.

"Kita ambil jalan kanan saja, Melati. Karena, jalan itulah yang belum kita tempuh," kata Arya memberi keputusan.

Melati hanya mengangkat bahu, pertanda menyerahkan keputusan itu sepenuhnya pada Dewa Arak.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Arya melesat ke arah yang dipilih diikuti Melati dari belakang. Sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu sudah melesat cepat bagai kilat. Yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan ungu dan putih dalam bentuk tak jelas.

Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh Arya dan Melati tinggal berupa titik kecil di kejauhan. Semakin lama, semakin kecil. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali.

Baru saja tubuh Arya dan Melati lenyap, sesosok bayangan putih melesat dari balik kerimbunan semaksemak dan pepohonan lebat. Kemudian, bayangan itu mendarat di tempat Melati dan Arya tadi berdiri.

Sinar rembulan yang terang memperlihatkan kalau bayangan putih itu ternyata seorang wanita cantik jelita berpakaian putih. Rambutnya yang berwarna hitam mengkilat dan panjang, dibiarkan terurai sehingga menambah kecantikannya. Dia tak ubahnya seorang bidadari yang tengah turun ke bumi!

Wanita berpakaian putih itu mengarahkan pandangan ke arah Arya dan Melati lenyap. Agak lama juga dia bertindak seperti itu, sebelum akhirnya melangkah menuju kedai Ki Gibar.

Tak sampai tiga tindak, wanita berpakaian putih itu telah berada di depan pintu. Lalu....

Brakkk!

Daun pintu itu hancur berantakan mengeluarkan suara hiruk pikuk ketika tangan wanita berpakaian putih membenturnya. Kepingan-kepingan daun pintu kontan berhamburan ke dalam! Luar biasa! Gedoran tangan wanita berpakaian putih itu tak ubahnya serudukan seekor kerbau liar! Dahsyat bukan kepalang.

Tentu saja suara gaduh itu membuat Ki Gibar yang masih termenung di ruangan depan, terkejut seperti disengat ular berbisa. Dengan agak kalap, kepalanya menoleh untuk melihat penyebab suara gaduh itu.

Wajah Ki Gibar kontan berubah hebat ketika melihat daun pintunya hancur berantakan. Perasaan kaget yang amat sangat mendera hatinya, tapi tidak sebesar kekagetan yang dialami ketika melihat sosok tubuh di ambang pintu kedainya

"Kau... kau. ," desis Ki Gibar kaget seraya bangkit dari

kursi. Sepasang matanya tampak terbelalak lebar memperlihatkan keterkejutannya.

"Rupanya kau mengenalku, Tua Bangka?!" sambut wanita berpakaian putih itu sambil tersenyum mengejek.

Wanita berpakaian putih itu melangkah mendekati disertai tatapan penuh ancaman.

"Tapi agar lebih jelas, kuperkenalkan diriku. Namaku Melati. Tapi, orang-orang persilatan dulu menjulukiku Dewi Penyebar Maut!" kata wanita berpakaian putih itu ketika telah melangkah tiga tindak.

"Bohong! Tidak mungkin! Kau bukan Melati!" bantah Ki Gibar keras sambil melangkah mundur, karena menyadari adanya ancaman maut pada dirinya.

"Apa kau bilang, Keparat?!" desis wanita berpakaian putih yang mengaku sebagai Melati itu penuh ancaman.

"Kau perempuan keji yang menyamar sebagai Nini Melati!"

Entah mendapat keberanian dari mana. Ki Gibar tanpa takut-takut mengeluarkan ganjalan hatinya.

"Ooo...? Rupanya kau telah mengetahuinya. Tapi, tak akan kubiarkan kau menyebarkan berita ini pada orang lain. Kau harus mati, Tua Bangka Bau Tanah!"

Usai berkata demikian, wanita berpakaian putih itu menggerakkan kakinya

Tukkk! Wuttt!

Kaki mungil itu menghantam sebuah kursi. Pelan saja kelihatannya, tapi akibatnya luar biasa. Kursi itu melayang deras ke arah Ki Gibar.

"Aaa...!"

Ki Gibar tak mampu menahan jeritannya ketika melihat kursi melayang deras ke arahnya. Memang, dia memiliki ilmu silat. Tapi, itu pun hanya sekadarnya saja. Padahal kursi yang tengah mengancamnya meluruk dalam kecepatan tinggi.

Meskipun demikian. Ki Gibar masih sempat bertindak menyelamatkan diri. Disambarnya sebuah ursi yang berada db di dekatnya, kemudian diayunkannya untuk memapak kursi yang tengah mengancamnya.

Brakkk!

Kursi yang berada di tangan Ki Gibar langsung hancur berantakan ketika benturan itu terjadi. Bukan hanya itu saja. Tubuh laki-laki pendek gemuk itu kontan terhuyunghuyung ke belakang. Kedua tangannya terkulai di sisi pinggang. Sambungan tulang pangkal lengan Ki Gibar telah terlepas saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam sambaran kursi.

Hebatnya, meskipun perasaan nyeri dan sakit akibat benturan kursi itu menggigit-gigit, Ki Gibar mampu menahan jeritannya.

"Hi... hi... hi...!"

Wanita berpakaian putih itu tertawa mengikik. Dan masih dengan tawa yang belum lenyap, dia melompat memburu Ki Gibar. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar, meluncur ke arah dada.

Ki Gibar hanya bisa membelalakkan mata melihat maut yang siap mengancamnya. Disadari kalau serangan itu tidak mampu dielakkannya. Saat itu, tubuhnya tengah terhuyung huyung ke belakang. Tambahan lagi, kedua tangannya telah tidak bisa dipergunakan lagi. Dan kini yang dapat dilakukannya hanya menanti datangnya maut!

Jrebbb! "Aaakh...!"

Kali ini, Ki Gibar tidak bisa menahan teriakannya begitu jari-jari tangan wanita berpakaian putih itu amblas ke dadanya. Darah segar kontan muncrat-muncrat dari bagian yang terluka.

Sepasang mata Ki Gibar terbelalak lebar ketika meregang maut. Kedua kakinya tampak menggigil keras. Dan ketika wanita berpakaian putih itu menarik kembali tangannya, tubuh pemilik kedai yang malang itu ambruk di tanah!

"Hi hi hi...!"

Wanita berpakaian putih itu tertawa mengikik. Ditatapnya tubuh Ki Gibar yang sudah tidak bergerak lagi di lantai. Dan tiba-tiba dia berdiri diam. Hal itu dilakukannya karena mendengar adanya suara langkah kaki menuju ke tempatnya. Dan memang, dugaannya sama sekali tidak meleset. Di ambang pintu yang menjadi penghubung antara bagian dalam dan kedai, tahu-tahu muncul seorang wanita setengah baya berpakaian jingga.

"Kang Gibar...!" jerit wanita berpakaian jingga ketika melihat tubuh Ki Gibar tergeletak di lantai bermandikan darah. Seiring keluar jeritannya, wanita itu memeluk ke arah tubuh Ki Gibar berada.

Sementara, wanita berpakaian putih masih berdiri tak jauh dari situ dengan kedua tangan berlumur darah.

"Kang Gibar! Kang...! Jangan tinggalkan aku, Kang...," rintih wanita berpakaian jingga, penuh kesedihan.

Wanita berpakaian jingga itu terus saja menangis sesenggukan sambil memeluki tubuh Ki Gibar, yang tidak lain suaminya sendiri. Sama sekali tidak dipedulikan lagi keberadaan wanita berpakaian putih itu. Padahal secara pasti diketahuinya kalau wanita itu pembunuh suaminya.

Tapi, sikap wanita berpakaian jingga itu sama sekali tidak menimbulkan kemarahan wanita berpakaian putih. Bahkan seulas senyum licik malah terhias di mulutnya.

Lalu sambil memperdengarkan suara tawa yang menggiriskan hati, wanita berpakaian putih itu melesat keluar!

***

Setibanya di luar kedai, wanita berpakaian putih itu melesat menempuh arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Dewa Arak dan Melati. Ilmu meringankan tubuhnya ternyata sangat tinggi. Sehingga, kedua kakinya terlihat seperti tidak menapak tanah ketika berlari.

Rupanya, wanita berpakaian putih itu memang tidak ingin diketahui orang. Buktinya jalan yang dipilihnya adalah tempat tempat sepi, semak-semak, dan pepohonan.

Entah betapa lama berlari, wanita berpakaian putih itu sama sekali tidak mempedulikannya. Tapi, terhadap sesosok tubuh yang tahu-tahu berdiri dalam jarak enam tombak di hadapannya, dia tidak bisa bersikap tak peduli.

Karena sadar kalau sosok tubuh yang berdiri di hadapannya sengaja menghadang jalan,  wanita berpakaian putih itu memperlambat larinya. Meskipun demikian, pandangan matanya tetap diarahkan ke depan. Kemudian larinya dihentikan sama sekali ketika telah berjarak tiga tombak dari si penghadang.

"Siapa kau?! Mengapa menghadang jalanku?!"

Wanita berpakaian putih itu mengajukan pertanyaan sambil memperhartikan sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Dia mengenakan sebuah caping di kepalanya. Pakaian berwarna biru membungkus tubuhnya yang ramping. Menilik dari potongan tubuhnya, wanita berpakaian putih itu tahu kalau penghadangnya seorang wanita.

"Kau tidak periu tahu siapa aku! Yang jelas, aku tidak rela kalau Melati sampai tewas di tangan orang lain. Melati harus tewas di tanganku! Kau dengar?! Melati harus mati di tanganku! Tapi, tindakanmu membuat segalanya menjadi kacau! Melati menjadi orang buruan! Kau harus diberi pelajararan atas kelancangan sikapmu ini!"

Ketus dan tajam ucapan yang keluar dari mulut si penghadang yang tidak lain orang yang telah menyerang Melati di sungai.

Wanita berpakaian putih terkejut bukan kepalang mendengar ucapan itu, karena mengandung pengertian kalau penyamarannya sebagai Melati telah diketahui. Entah bagaimana, wanita berpakaian biru itu mengetahuinya. Yang jelas, wanita berpakaian putih tidak ingin memikirkannya.

"Rupanya kau seorang wanita juga, heh?! Lancang benar mulutmu! Rupanya kau ingin cepat-cepat menghadap malalkat maut?! Baik! Permintaanmu kupenuhi! Hih!"

Wanita berpakaian putih itu membuka serangannya dengan sebuah tendangan terbang. Langsung diterjangnya wanita berpakaian biru itu sambil melancarkan tendangan kaki kanan.

Wuttt..!

Serangan wanita berpakaian putih itu mengenai tempat kosong begitu lawannya terlebih dahulu melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.

Jleggg!

Begitu wanita berpakaian biru itu mendarat, Melati palsu juga mendarat pula.

"Rupanya kau lihai juga, Keparat! Pantas kau berani mencoba melenyapkan Melati! Aku tahu, alasan yang mendorongrnu! Kau ingin mendapatkan cinta Dewa Arak!"

“Tutup mulutmu!" jerit wanita berpakaian biru itu keras. Dan seiring keluarnya ucapan itu, diterjangnya wanita berpakaian putih dengan tinju kanan meluncur cepat ke arah dada.

Wukkk!

Deru angin keras yang mengiringi, menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. Tapi, wanita berpakaian putih itu tidak gugup karenanya, dan tetap bersikap tenang. Bahkan sambil mengeluarkan dengus bernada ejekan, serangan lawan dipapaknya dengan tinju kanan pula.

Dukkk!

Benturan dua tangan yang sama-sama ditopang tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Keras bukan kepalang suara yang timbul, seakan-akan dua batang logam keras yang berbenturan.

"Ikh...!"

Wanita berpakaian putih meringis kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Sedangkan lawannya hanya dua langkah. Rupanya tenaga dalam wanita berpakaian biru itu masih lebih unggul daripadanya. Wanita berpakaian biru yang sudah meluap-luap amarahnya, tidak bertindak hanya sampai di situ saja. Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyunghuyung telah berhasil dipatahkan, kembali dilancarkannya

serangan susulan.

Tapi, Melati palsu ternyata bukan lawan yang mudah dapat ditundukkan. Serangan susulan itu berhasil dielakkannya. Bahkan mampu membalas dengan mengirimkan serangan tak kalah dahsyat. Maka, pertarungan sengit antara kedua tokoh yang sama-sama wanita dan penuh rahasia ini jadi berlangsung sengit.

Baik Melati palsu maupun wanita berpakaian biru mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing. Mereka sama-sama bisa menilai satu sama lain amat tangguh. Apabila bertindak setengah-setengah, nyawalah taruhannya.

Hasilnya, suasana malam yang semula sepi berganti gaduh. Deru angin mencicit mendem, dan mengaung yang timbul akibat setiap gerakan kedua wanita itu menghiasi jalannya pertarungan. Gerakan Melati palsu dan wanita berpakaian biru yang sama-sama cepat membuat tubuh mereka lenyap bentuknya. Kini yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan putih dan biru yang saling belit, tapi terkadang saling pisah.

Di jurus-jurus awal, pertarungan berlangsung seimbang. Masing-masing pihak hampir saling berganti melancarkan serangan. Meskipun memang, wanita berpakaian biru lebih banyak melakukan serangan.

Namun ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh, mulai tampak keunggulan wanita berpakaian biru itu. Perlahan-lahan lawan tampak berhasil terdesak. Hal itu tetjadi karena kecerdikan wanita berpakaian biru. Dia sadar, tenaga dalamnya di atas lawannya. Maka dipergunakannya keunggulan itu untuk mendesak Melati palsu. Memang, hanya ilmu tenaga dalam wanita berpakaian biru lebih unggul. Sedangkan dalam ilmu meringankan tubuh, tingkatan mereka berimbang.

Wanita berpakaian biru tahu keunggulannya dalam hal tenaga itu. Maka dia berusaha sekuat tenaga agar terjadi benturan tenaga dalam antara mereka. Disadari kalau hal itu terjadi, dia mendapat keuntungan.

Wanita berpakaian putih tentu saja mengetahui maksud lawannya. Maka sekuat tenaga dia berusaha menghindari benturan tangan. Tidak heran, serangan wanita berpakaian biru selalu dielakkannya.

Sedikit demi sedikit, serangan-serangan Melati palsu semakin berkurang. Bahkan lebih banyak mengelak. Untuk menangkis pun, jarang dilakukan.

Sedangkan wanita berpakaian biru semakin menggebugebu dalam melancarkan serangan.

Wanita berpakaian putih itu sadar, keadaan sangat tidak menguntungkan bagi dirinya. Tampak lawan terlalu tangguh untuknya. Kalau dipaksakan, jelas akan merugikan diri sendiri .Jadi, dia harus berbuat sesuatu. Maka, benaknya kini diputar.

"Haaat..!" Di jurus ketujuh puluh tujuh, wanita berpakaian biru mengirimkan tendangan lurus ke arah perut.

Wuttt! "Hih!"

Melati palsu segera melempar tubuh ke belakang, sehingga serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Dan pada saat yang bersamaan dengan tindakan penyelamatan diri itu, kedua tangannya dimasukkan ke balik baju. Tapi hanya sebentar saja, karena sesaat kemudian telah keluar kembali dan langsung dikibaskan.

Sing, sing, sing...!

Suara berdesing nyaring terdengar seiring kibasan tangan wanita berpakaian putih itu. Sinar-sinar menyilaukan mata langsung tampak, berbarengan meluncurnya beberapa benda berkilat ke arah wanita berpakaian biru.

"Ahhh...!"

Pekik tertahan bernada keterkejutan terdengar dari mulut wanita berpakaian biru ketika melihat benda-benda berkilat yang tak lain pisau terbang, meluncur ke arahnya. Semuanya berjumlah lima buah. Dan hebatnya luncuran itu membentuk segi lima! Kalau bukan ahlinya, tak akan mungkin bisa berbuat seperti itu. Bahkan wanita berpakaian biru pun yakin, kalau tidak akan mampu mengirimkan serangan pisau seperti itu.

Tahu akan berbahayanya serangan ini, wanita berpakaian biru tidak berani bertindak gegabah. Terpaksa maksudnya semula dibatalkan. Lalu segera pedangnya dicabut dan langsung diputar-putar di depan dada.

Trang, trang, trang!

Beradunya pedang dan pisau pisau terdengar bertubitubi. Bunga-bunga api memercik ke sana kemari, ketika pisau-pisau milik Melati palsu berpentalan tak tentu arah. Dan kesempatan baik ini dipergunakan wanita berpakaian putih itu untuk melarikan diri begitu lawannya berhasil menangkisi pisau-pisaunya.

Sementara wanita berpakaian biru sama sekali belum menyadari tindakan lawannya. Dan begitu sadar, dia langsung melesat ke arah Melati palsu melesat.

Dan usaha wanita berpakaian biru itu ternyata sia-sia, karena telah kehilangan jejak. Dengan pedang masih tercekal di tangan, pandangannya beredar berkeliling. Tapi yang dijumpainya hanya pepohonan dan semak semak. Tidak terlihat seorang pun yang tengah berlari.

"Hhh...!"

Wanita berpakaian biru menghela napas berat kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Dia tahu, tidak ada gunanya meneruskan pengejaran terhadap lawannya. Salah-salah dia sendiri yang tewas terbokong.

*** 6

"Hhh...!" Melati menghembuskan napas kesal. "Kurasa, pencarian kita kaki ini cukup, Kang. Mungkin wanita siluman itu sudah tidak di sini. Atau..., malam ini dia tidak menyebar maut'"

Arya menghentikan lari karena Melati tampak lelah. Gadis berpakaian putih itu kini sudah menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon. Sikapnya terlihat lesu sekali. Arya pun bergegas menghampiri.

"Mungkin dugaanmu benar, Melati. Pencarian kita telah cukup. Lebih baik, kita kembali."

Usai berkata demikian, Arya mengulapkan tangannya. Maka, Melati pun mendekati. Kemudian dengan bergandengan tangan, sepasang pendekar muda ini meninggalkan tempat itu. Arya dan Melati melangkah lambat-lambat, tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.

Belum berapa jauh meninggalkan tempat semula, Melati mendengar suara bisikan di telinganya. Suara Arya, kekasihnya.

"Ada orang yang tengah menuju kemari, Melati. Tapi bersikaplah tenang saja, seakan-akan kita tidak tahu kedatangannya."

Melati tidak membantah, dan langsung bersikap seolah-dah tidak mengetahui akan hadirnya seseorang. Meskipun demikian, pendengarannya dipasang setajam mungkin.

"Aku tidak mendengar suara yang kau maksud, Kang," kata Melati, dengan suara berbisik.

"Pendatang ini memang lihal, Melati."

Hanya itu yang dikatakan Arya. Dan Melati yang tahu gelagat, sengaja tidak mengajukan pertanyaan lagi. Sekarang mereka melanjutkan langkah tanpa bisik-bisik lagi. Tapi baru beberapa tindak melangkah, terdengar bentakan dari belakang.

"Melati! Manusia terkutuk! Hendak kabur ke mana kau?!"

Sekitar tempat itu langsung bergetar hebat. Memang, bentakan itu keras bukan main karena di keluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.

Belum juga gema bentakan itu lenyap, sesosok bayangan berkelebat cepat melewati samping kanan Arya dan Melati.

Jliggg!

Arya dan Melati menatap ke arah sosok bayangan yang kini telah berdiri di depan. Sosok tubuh itu ternyata seorang kakek bertubuh pendek dan berpakaian penuh tambalan. Sebatang tongkat besi berujung runcing tampak tergenggam di tangannya. Rentetan gelang-gelang baja yang melingkari pergelangan tangannya, bisa diketahui kalau kakek pendek itu berasal dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.

Arya yang tidak ingin terjadi kesalahpahaman, segera melangkah maju.

"Siapakah kau, Ki? Mengapa berkata seperti itu?" tanya Arya dengan suara ditekan.

Tampak jelas kalau pemuda berambut putih keperakan itu tengah dilanda amarah. Dan memang, Arya senantiasa marah setiap kali ada orang yang menghina kekasihnya.

"Aku Gumpala, Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Kau, Dewa Arak bukan?" kakek pendek itu malah balik bertanya.

Arya menganggukkan kepala, membenarkan dugaan Gumpala. Pemuda berambut putih keperakan itu masih memberi tanggapan, sekalipun Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang mengajukan pertanyaan tanpa rasa hormat sedikit pun.

"Kurasa, kau tidak perlu lagi mengajukan keheranan atas ucapan yang kukeluarkan tadi terhadap wanita liar ini!" tuding Gumpala pada Dewa Arak. “Tutup mulutmu, Ki! Cabut kembali ucapan mu! Atau..., aku terpaksa mengusirmu dari sini dengan kekerasan!"

Keras dan bergerar sekali ucapan Dewa Arak. Hal ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu tengah dilanda kemarahan menggelegak. Raut wajahnya yang merah padam dan tarikan wajahnya yang membesi, semakin memperjelas gambaran perasaan yang tengah berkecamuk.

"Ha... ha.. ha...!"

Gumpala malah tertawa bergelak.

"Kau kira aku termasuk orang yang bisa kau gebrak, Dewa Arak?! Lucu, lucu sekali! Orang lain boleh takut dengan nama besarmu! Tapi aku bukan orang semacam mereka! Kau keliru bila menyangka akan bisa menggertakku, Dewa Arak!"

Terdengar suara bergemeretak dari mulut Dewa Arak. "Jadi..., apa maumu, Ki?" tanya Arya dengan suara

bergetar karena amarah yang melanda.

"Murid-murid Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang telah menceritakan kegagalan mereka menangkap kawanmu ini! Maka, kuputuskan untuk menangkapnya sendiri. Aku yang akan menghukum wanita siluman yang telah terlalu banyak membuat kekacauan ini!"

Lantang dan penuh semangat ucapan Ki Gumpala. Itu pun masih ditambah lagi dengan tudingan jari telunjuknya terhadap Melati.

Dewa Arak tersenyum pahit.

"Kau keterlaluan, Ki! Sikapmu sudah kelewatan! Kau tidak memberiku pilihan lain!"

"Kedatanganku kemari untuk menangkap kawanmu itu, Dewa Arak! Siluman betina yang telah banyak menyebar bencana. Dan bukan untuk mengadu mulut denganmu!"

Setelah berkata demikian, Ki Gumpala langsung menerjang Melati. Tangan kanannya yang berbentuk cakar segera disampokkan ke arah pelipis Melati. Cepat dan tidak terduga-duga gerakannya.

"Hey...?!" Dewa Arak berseru kaget. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya karena serangan Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang begitu cepat, dan tidak keburu ditangkisnya.

Namun Melati pun bukan orang lemah. Melihat ancaman datang ke arahnya dia pun bertindak cepat. Tangan kirinya cepat menangkis, dengan arah gerakan dari dalam keluar.

Wuttt! Dukkk! "Ikh...!"

Seruan kaget bercampur kesakitan keluar dari mulut Melati ketika tangannya berbenturan dengan tangan Ki Gumpala. Tulang-tulang tangannya terasa sakit dan ngilu. Bahkan tubuhnya terhuyung tiga langkah ke belakang, sementara lawannya hanya terhuyung dua langkah. Jelas, tenaga Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu lebih kuat darinya.

Ki Gumpala sama sekali tidak memberi kesempatan pada Melati untuk memperbaiki keseimbangannya. Kembali dilancarkannya serangan pada gadis berpakaian putih itu, dengan tangan kiri. Tangan yang juga berbentuk cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun dengan arah gerakan dari atas ke bawah.

Melati yang melihat bahaya maut itu sudah bersiap-siap bertindak. Tapi, Dewa Arak bergegas melesat menotong Melati. Arya memang khawatir sekali atas keselamatan kekasihnya. Telah dilihatnya sendiri kehebatan Ki Gumpala.

Dewa Arak memapak serangan cakar Ki Gumpala dengan menggunakan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga’. Pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena telah menyaksikan sendiri kekuatan tenaga dalam lawan.

Prattt!

Benturan keras seperti ada dua batang logam kuat beradu, terdengar ketika dua buah tangan yang samasama dialiri tenaga dalam tinggi terjadi. Akibatnya tubuh Ki Gumpala terhuyung-huyung sejauh empat langkah. Sedangkan Dewa Arak hanya terhuyung dua langkah.

Tapi hasil benturan itu tidak menjadikan Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang gentar. Begitu telah berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, kembali diserangnya Dewa Arak. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.

Ki Gumpala rupanya tidak bertindak setengahsetengah. Seperti juga terhadap Melati, pada Dewa Arak pun selalu dikirimkan serangan-serangan ke arah bagian yang mematikan. Jelas, maksudnya adalah untuk membunuh pendekar muda yang telah mengukir nama besar itu.

Tapi, semua serangan itu dapat dikandaskan Dewa Arak tanpa menemui kesulitan. Bahkan beberapa kali tubuh lawan terhuyung-huyung. Hal itu terjadi  ketika tangan atau kaki mereka berbenturan.

Menggiriskan bukan kepalang pertarungan yang terjadi. Suara mencicit dari udara yang terobek menyemaraki pertarungan. Bahkan daun-daun sampai berguguran dari tangkai pohon ketika tersambar angin serangan mereka.

Semula, pertarungan berjalan cukup seimbang. Kedua belah pihak saling ganti berganti melancarkan serangan. Beberapa kali Ki Gumpala tampak terhuyung-huyung, tapi hanya berlangsung sekejap saja. Kakek pendek itu langsung meluruk kembali ke arah lawannya begitu telah berhasil memperbaiki keadaannya.

Ketika pertarungan mengjnjak jurus ketujuh puluh, mulai tampak keunggulan Dewa Arak. Perlahan tapi pasti, pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan itu mulai bisa menekan lawannya. Malah, Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kini mulai main mundur. Serangan-serangan yang dilancarkannya mulai berkurang. Bahkan lebih banyak mengelak. Menangkis pun hanya sesekali saja dilakukan, karena hanya akan merugikan dirinya.

Ki Gumpala pun sadar kalau keadaan seperti itu tetap dipertahankan dia akan roboh di tangan Dewa Arak. Siasat bertarungnya harus dirubah, kalau masih kepingin melenyapkan Dewa Arak!

Pikiran seperti ini membuat Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang memutar otaknya, untuk mencari jalan keluar dari keadaan terhimpit itu. Dan tugas seperti itu tidak terlalu lama baginya.

"Haaat...!"

Diawali sebuah teriakan nyaring yang membuat seluruh tempat itu bergetar hebat. Ki Gumpala mengibaskan kedua tangannya. Hal itu dilakukannya sambil bergerak mundur, karena tekanan-tekanan Dewa Arak yang terlalu kuat.

Sing, sing, sing...!

Suara berdesing keras terdengar ketika gelang-gelang baja yang berada di pergelangan tangan Ki Gumpala meluncur ke arah Dewa Arak. Tidak hanya satu, tapi enam buah!

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Disadarinya kalau gelang-gelang baja yang dilemparkan Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu tidak bisa dibuat main-main. Gelang-gelang itu terlalu riskan bila ditangkis dengan tangan kosong.

Karena untuk mengambil senjata andalan sudah tidak mungkin lagi, Dewa Arak memutuskan untuk mengelak. Segera dibatalkannya serangan susulan yang akan dilancarkan, kemudian tubuhnya dibanting ke tanah.

"Ha ha ha...! Sekarang rasakan kehebatan senjataku ini, Dewa Arak!"

Sambil tertawa terbahak-bahak, Ki Gumpala kembali mengibaskan kedua tangannya. Maka, gelang-gelang baja putih miliknya kembali meluncur ke arah Dewa Arak. Jelas, kakek pendek ini tidak sudi memberi kesempatan bagi lawan untuk memperbaiki keadaan.

Hebatnya, begitu gelang-gelang yang diluncurkan belakangan melesat, gelang-gelang yang meluncur lebih dulu dan berhasil dielakkan Dewa Arak, membalik ke arahnya. Cepat-cepat Ki Gumpala menangkapnya. Mudah dan enak saja hal itu dilakukannya.

Dewa Arak yang tengah sibuk menggulingkan tubuh di tanah, tentu tidak melihat tindakan Ki Gumpala. Tapi, tidak demikian halnya Melati. Gadts berpakaian putih ini melihat secara jelas ketika Ki Gumpala menangkap gelang-gelang bajanya yang meluncur balik. Kini Melati mengerti, mengapa perkumpulan pengemis itu berani menamakan dirinya Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Ternyata, gelang-gelang yang merupakan senjata andalan itu benarbenar bisa terbang!

Tapi, Melati tidak bisa berlama-lama larut dalam kekaguman. Segera perhatiannya dialihkan pada Dewa Arak. Tampak Arya tengah bergulingan di tanah, sementara guci araknya telah terpegang di tangan. Dan ketika gelanggelang itu meluncur dekat, langsung dipapaknya dengan ayunan guci!

Klang, klang! Cappp...!

Sebagian gelang-gelang baja itu tertangkis guci dan berpentalan tak tentu arah. Sedangkan sebagian lagi menancap di tanah, karena tubuh Dewa Arak sudah tidak berada di situ lagi.

"Hup!"

Begitu telah tegak berdiri di tanah, Dewa Arak segera menuangkan arak ke mulutnya. Gluk... gluk….gluk.

Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu oleng karena kedua kakinya sudah tidak bisa berdiri tegak lagi di tanah. Bisa ditebak, Dewa Arak telah siap menggunakan ilmu ‘Belalang Sakti’ andalannya.

Baru Juga Dewa Arak menjauhkan guci itu dari mulutnya, serangan-serangan gelang Ki Gumpala kembali melayang ke arahnya disertai suara mengaung keras.

Tapi, hanya dengan langkah terhuyung-huyung, yang merupakan ciri khas Jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak berhasil mengkandaskan semua serangan.

Ki Gumpala yang merasa penasaran bukan kepalang, tidak tinggal diam dan terus menghujaninya. Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang ini sama sekali tidak memberi kesempatan lawan untuk mendekat. Gelang-gelang bajanya bertubi-tubi meluncur ke arah Dewa Arak. Ki Gumpala sengaja memaksa Dewa Arak untuk mengadakan pertarungan dalam jarak jauh, karena menguntungkan pihaknya.

***

Melati menyaksikan dengan penuh perhatian jalannya pertarungan. Sekejap pun sepasang matanya tidak berkedip.

Mendadak…. "Melati!"

Panggilan keras yang lebih menyerupai bentakan membuat gadis berpakaian putih itu membalikkan tubuhnya ke belakang, tempat suara berasal. Seketika, Melati kaget bercampur gembira ketika mengenali orang yang telah memanggilnya.

"Syukur kau datang, Keparat! Memang, sudah lama aku mencari-carimu!" ucap Melati, gembira.

Pemilik suara itu ternyata wanita berpakaian biru, orang yang telah menyerang Melati di sungai! Betapa Melati tidak menjadi gembira? Dia memang tengah mencari-cari wanita berpakaian biru itu, untuk mengetahui kebenaran dugaannya. Benarkah wanita berpakaian biru itu yang menjadi pelaku pembunuhan berantai yang telah membuat nama nya tercemar?

"Aku pun sudah lama menunggu kesempatan ini, Wanita Tak Tahu Malu! Sekarang, terimalah kematianmu!"

Srattt!

Sinar terang berkeredep ketika wanita berpakaian biru itu mencabut pedangnya. Telah dirasakannya sendiri kelihaian Melati. Maka, tanpa ragu-ragu lagi kemampuan tertingginya dikeluarkan.

"Hih!" Wanita berpakaian biru itu melompat ke atas, kemudian menukik ke arah Melati. Pedangnya langsung diluncurkan ke arah ubun-ubun lawannya. Menggiriskan sekali serangan gadis berpakaian biru itu, karena mengingatkan orang akan burung garuda yang tengah meluruk menerkam mangsa.

Tapi, Melati yang juga sudah mengetahui kelihaian lawan tidak menjadi gugup. Apalagi, memang sudah bersiap siaga sejak tadi. Maka begitu serangan meluncur tiba, buru-buru kakinya melangkah mundur sambil memutarmutarkan pedang di atas kepala seperti baling-baling.

Wung, wung, wung,..!

Suara menggerung keras seperti ada naga murka terdengar ketika Melati memutar pedangnya laksana balingbaling. Tampaknya, gadis berpakaian putih ini telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.

Trang, trang, trang!

Bunga bunga api memercik ke udara ketika dua batang pedang berbenturan keras. Sehingga, telinga kontan berdengung cukup nyaring.

Tubuh Melati terhuyung dua langkah ke belakang akibat benturan itu. Sedangkan lawannya terpental kembali ke atas.

Jliggg!

Begitu wanita berpakaian biru itu mendarat, Melati berhasil pula memperbaiki keseimbangannya. Mereka saling berpandangan sejenak, sebelum saling terjang kembali. Tidak tertihat secara jelas, siapa di antara mereka yang lebih dulu menerjang. Yang jelas, sesaat kemudian kedua wanita sakti ini sudah terlibat pertarungan sengit.

Hasilnya, kini di tempat itu terdapat dua kancah pertarungan. Pertarungan antara Dewa Arak menghadap Ki Gumpala, dan antara Melati menghadapi wanita berpakaian biru. Dan kedua pertarungan itu sama-sama berlangsung sengit!

Sementara itu, Dewa Arak harus berjuang keras agar bisa memaksa lawannya bertarung dalam jarak dekat. Hal itu terjadi, karena Ki Gumpala tidak ingin pertarungan berlangsung dalam jarak dekat. Dan bila hal itu terjadi, keampuhan gelang-gelang bajanya akan pupus!

Hasilnya, pertarungan yang terjadi berlangsung cukup aneh. Dewa Arak yang berusaha keras mendekati Ki Gumpala, tapi selalu kandas. Karena, kakek pendek itu selalu mencegahnya. Terkadang gerak maju Dewa Arak dihambat dengan lemparan lemparan gelang terbangnya.

Tapi jika hal itu sudah tidak memungkinkan lagi, Ki Gumpala melompat mundur untuk menjauhkan diri. Hasilnya, jarak antara mereka tetap tidak berubah. Sampai belasan jurus, hal itu tetap berlangsung. Berarti, sekian lama itu pula Dewa Arak berada di pihak yang diserang. Apalagi, sejak tadi pemuda berambut putih keperakan itu belum melancarkan serangan balasan sama sekali!

Sebenarnya kalau Dewa Arak mau, bisa saja melancarkan serangan balasan meskipun jarak antara mereka terpisah jauh. Dewa Arak bisa menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'nya. Tapi apabila hal itu dilakukan, nyawa Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang akan terancam! Jurus 'Pukulan Belalang' tidak pernah gagal mencabut nyawa caIon korbannya, apabila mengenai sasaran.

Tak terasa pertarungan antara Ki Gumpala melawan Dewa Arak telah memasuki jurus keseratus empat puluh. Dan selama itu, pertarungan masih berlangsung sengit.

*** 7

Di kancah pertarungan lain. Melati pun tengah berjuang keras untuk bisa menaklukkan lawan. Tapi, tetap saja dia kerepotan. Wanita berpakaian biru itu terlalu tangguh untuk cepat bisa dirobohkan. Permainan pedangnya tidak di bawah permalnan pedang Melati. Padahal, Melati telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.

Patut diakui, ilmu pedang wanita berpakaian biru hebat bukan kepalang. Meskipun demikian, ada perbedaan yang menyolok dalam permainan pedang mereka. Kehebatan ilmu pedang Melati bertumpu pada kekuatan dan kecepatan serangan. Jadi, setiap serangan yang dilancarkan mengandung pengerahan tenaga dan kemampuan sampai ke puncak. Gerakan pedang Melati mengingatkan orang akan badai yang tengah mengamuk!

Hal seperti itu tidak terdapat pada permainan pedang wanita berpakaian biru. Permainan pedangnya tidak menunjukkan adanya kekuatan dahsyat. Tidak terdengar adanya suara menderu-deru keras seperti gerakan Melati.

Gerakan pedang wanita berpakaian biru terlihat cepat dan hampir tak mengeluarkan suara. Gerakannya mirip kilat. Tidak nampak adanya akibat pada tempat yang dilewati, kecuali bila menghantam sasaran. Suatu kedahsyatan tersembunyi! Hanya orang yang berhadapan langsung yang akan merasakannya! Dan ini dialami Melati.

Karena masing-masing pihak memiliki ilmu pedang yang dahsyat, pertarungan jadi berlangsung seimbang. Sampai lebih dari sembilan puluh jurus, tetap saja tidak terlihat adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Kedua belah pihak masih saling berganti melancarkan serangan.

Keadaan di sekitar pertarungan memang sulit digambarkan. Betapa tidak! Baru angin serangannya saja, sudah cukup membuat cabang-cabang pohon yang tidak begitu besar putus dari batangnya.

Akibat yang terjadi tidak hanya pada suasana di sekitarnya, juga pada tempat-tempat berpijak. Tanah langsung berantakan! Sebagian besar terbongkar di sana-sini. Akibatnya, debu pun mengepul tinggi ke udara.

Seperti juga pada pertarungan antara Dewa Arak dengan Ki Gumpala, pertempuran antara Melati menghadapi wanita berpakaian biru jadi bergeser dari tempat semula. Hanya saja, arah geseran mereka semakin menjauhi kancah pertarungan antara Dewa Arak dan Ki Gumpala.

"Haaat...!"

Pada Jurus keseratus tiga, wanita berpakaian biru itu melompat tinggi ke atas. Ketika telah mencapai ketinggian dua tombak, luncuran tubuhnya terhenti, karena tenaga luncuran ke atas sudah tidak ada lagi. Dan saat itulah tubuhnya berbalik. Kini, kepalanya berada di bawah dan kedua kakinya di atas. Jari-jari kedua tangannya disatukan sewaktu menggenggam pedang. Dan kedua tangan itu terjulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh wanita berpakaian biru itu tegak lurus.

Dalam kedudukan seperti itu, tubuh wanita berpakaian biru meluncur turun ke arah Melati yang tepat berada di bawahnya. Yang lebih mengerikan lagi, dalam keadaan seperti itu, tubuhnya berpusing seperti gasing.

Melati terkejut bukan kepalang. Disadari betapa berbahayanya serangan ini. Dia ingin mengelak, tapi ternyata tidak mampu! Sepertinya, ada sebuah kekuatan tak nampak yang membuat tubuhnya terpaku! Apakah kekuatan itu timbul karena wanita berpakaian biru melancarkan serangan?

Memang, Melati telah mendengar dari Dewa Arak mengenai ilmu yang membuat lawan tidak mampu bergerak. Dewa Arak memang pernah menghadapinya. Bahkan bukan hanya membuat tidak bisa bergerak, tapi juga mengalami kesulitan bernapas. Tokoh yang memiliki ilmu itu adalah Jaranta. Dan bernama ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Rahasia Syair Leluhur")

Melati tahu, hanya ada satu jalan bagi dirinya untuk menyelamatkan nyawa. Menangkis! Dan tindakan itulah yang akan dilakukan Melati.

Wunggg...!

Suara menggerung keras terdengar ketika Melati memutar-mutar pedangnya di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya menjadi segundukan sinar berkilauan.

Trang, trang...!

Bunyi dahsyat kontan terdengar akibat benturan dua batang pedang secara tidak sewajarnya. Benturan itu tidak hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Karena serangan pedang itu berputar, seiring berputarannya tubuh wanita berpakaian biru.

Lalu....

Crat! Trak! "Akh!"

"Ikh!"

Rentetan kejadian bedangsung demikian cepat. Sekali pun Melati telah berhasil menangkis serangan, tapi luncuran pedang wanita berpakaian biru ternyata tidak bisa ditahan. Pedang itu terus meluncur dan mengenai bahunya. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, pedang Melati pun berhasil menghantam caping bambu wanita berpakaian biru hingga hancur berantakan. Tak pelak lagi, hasil bentrokan ini membuat kedua belah pihak samasama terpekik kaget. Bahkan bergegas saling menjauhkan diri.

"Hup!"

Begitu kedua kaki wanita berpakaian biru mendarat di tanah, Melati juga sudah selesai menghentikan aliran darah di bahu dengan menotoknya di sekitar luka.

"Kau...?! Ranti. ?!"

Seruan bernada keterkejutan membuat Melati dan wanita berpakaian biru itu menoleh. Di raut wajah keduanya tersirat keterpanaan. Terutama sekali, di wajah wanita berpakaian biru.

Pemilik suara itu ternyata Dewa Arak. Memang, meskipun terlibat dalam pertarungan sengit sesekali Dewa Arak masih menyempatkan diri melihat pertarungan antara Melati melawan wanita berpakaian biru. Dan ketika melihat serangan aneh wanita berpakaian biru pada Melati, dia buru-buru melompat menjauhi Ki Gumpala. Dewa Arak benar-benar khawatir atas keselamatan kekasihnya. Dapat dibayangkan, betapa kaget hatinya ketika melihat wajah orang yang begitu ingin membunuh Melati.

Dewa Arak memang pernah mengenal wanita berpakaian biru yang bernama Ranti. Dia adalah gadis murid utama Perguruan Pedang Perak (Untuk lebih jelasnya mengenai tokoh yang bemama Ranti, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Maut dari Hutan Rangkong").

Ranti tampak gugup. Diiringi keluhan tertahan dari tenggorokan, tubuhnya berbalik dan melesat kabur.

***

Sing, sing, sing! Srattt!

"Akh...!"

Dewa Arak memekik tertahan ketika gelang-gelang baja milik Ki Gumpala menyerempet sisi-sisi pinggangnya. Tidak heran, karena Arya tengah dilanda perasaan terkejut ketika melihat Ranti, sehingga melupakan lawannya. Untung saja di saat terakhir, tubuhnya masih sempat digeliatkan sehingga serangan-serangan Ki Gumpala tidak mendarat telak pada sasaran.

"Ha ha ha...!" Ki Gumpala tertawa bergelak. "Saat ajalmu sudah di ambang pintu, Dewa Arak!"

Sambil mengucapkan perkataan demikian, Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kembali mengibaskan tangannya untuk melontarkan gelang-gelang bajanya. Seketika senjata senjata andalan itu pun melesat ke arah Dewa Arak.

Tapi, kali ini pemuda berambut putih keperakan itu telah siap siaga. Meskpun akibat serempetan gelanggelang baja Ki Gumpala masih mengalirkan darah, sama sekali tidak dipedulikannya.

Dewa Arak langsung menjejakkan kedua kakinya, sehingga tubuhnya melambung tinggi ke udara. Hasilnya, gelang-gelang yang meluncur ke arahnya lewat di bawah kaki. Tindakannya tidak berhenti hanya sampai di situ saja! Dari atas, kedua tangannya dihentakkan ke arah lawan. Dalam keadaan terhimpit seperti itu, Dewa Arak tidak berpikir dua kali untuk mengeluarkan jurus 'Pukulan Belalang' yang menjadi andalannya.

Wusss….!

Deru angin keras berhawa panas menyengat, menyambar keluar dari kedua tangan yang dihentakkan. Tercekat hati Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang ini melihat kedahsyatannya. Maka, tubuhnya buruburu dibanting ke tanah dan bergulingan menjauh. Akibatnya….

Blarrr!

Ledakan keras terdengar menggelegar ketika pukulan jarak jauh itu menghantam tanah tempat Ki Gumpala berpijak sebelumnya. Debu kontan mengepul tinggi ke udara, menghalangi pandangan seiring berpentalannya bongkahan-bongkahan tanah ke sana kemari.

Dan ketika debu yang menutupi pandangan lenyap, tampaklah sebuah lubang besar yang besarnya cukup untuk mengubur bangkai kambing.

Tapi baik Dewa Arak maupun Ki Gumpala sama sekali tidak mempedulikannya. Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang masih sibuk menggulingkan tubuhnya di tanah, sedangkan Dewa Arak langsung menotok jalan darah di sekitar luka, begitu kakinya berhasil mendarat di tanah.

Begitu Dewa Arak selesai menghentikan darah yang mengucur dari luka. Ki Gumpala telah bangkit dan berdiri tegak di tanah. Ada kegentaran dan kekaguman dalam sorot matanya ketika melihat lubang besar yang tercipta akibat jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak. Samar-samar terlihat kepulan asap tipis dari bagian atas lubang.

Ki Gumpala dan Dewa Arak tak langsung saling terjang. Mereka saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya saling melangkah mendekat. Tapi….

"Ketua...! Ketua...!"

Panggilan bernada penuh kekalapan membuat Dewa Arak dan Ki Gumpala menghentikan gerakan. Memang, kedua belah pihak telah bergerak saling mendekati, dan bersiap melancarkan serangan. Hampir berbareng, mereka sama-sama menoleh ke arah asal suara.

Tampaklah sesosok tubuh berpakaian penuh tambalan tengah berlari menuju ke arah mereka. Baik Dewa Arak maupun Ki Gumpala sudah bisa menduga, sosok tubuh itu pasti orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.

"Ada apa, Sora?!" tanya Ki Gumpala bernada tidak senang.

Memang, Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang ini merasa tidak senang dengan gangguan yang ditimbulkan anak buahnya.

"Wanita siluman itu datang lagi, Ketua. Dia mengamuk dan membunuhi orang-orang perkumpulan kita," lapor Sora terengah-engah, begitu telah berada di depan pimpinannya.

"Apa katamu, Sora?! Wanita siluman itu mengamuk di sana?!" Ki Gumpala berseru kaget "Kau tidak salah lihat Sora?!"

"Tidak, Ketua." Jawab Sora mantap.

"Jadi...," Ki Gumpala tidak melanjutkan ucapannya. Tapi pandangan matanya segera diarahkan ke Melati. Sudah bisa diduga perasaan heran yang berkecamuk dalam hatinya.

Sora segera mengedarkan pandangannya ke arah yang sama dengan sepasang mata Ki Gumpala. Dan seketika itu pula dia terjingkat kaget. Memang, dia tadi tidak melihat adanya Melati di situ, saking terburu-burunya. Yang dilihatnya hanya Dewa Arak.

"Tidak ada waktu lagi berdiam diri, Ki. Kita harus bergegas ke sana sebelum siluman itu kabur!" kata Dewa Arak.

Dewa Arak tahu, telah tiba kesempatan untuk membersihkan nama Melati yang tercemar. Maka, dia buru-buru menukas. Disadari kalau tidak bertindak cepat, penyelidikan mereka akan dimulai dari awal lagi.

Ucapan Dewa Arak membuat Ki Gumpala tersadar. Dia tahu, telah salah menuduh orang. Maka tanpa berkata apa pun, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu.

"Ayo, Melati!" ajak Dewa Arak pada Melati yang masih terbengong atas perkembangan yang terjadi.

Maka, gadis berpakaian putih itu pun melesat cepat menyusul Ki Gumpala yang telah berada beberapa tombak di depan. Hampir pada saat yang bersamaan, Dewa Arak juga melesat menyusul.

Tentu saja Sora tidak mau ketinggalan, dan segera berlari menyusul. Tapi karena ketiga orang sakti yang berlari di depannya mengerahkan seluruh kemampuan, dia jadi tertinggal jauh di belakang. Semakin lama semakin jauh, sampai akhirnya lenyap sama sekali.

***

"Kau mengenal wanita berpakaian biru itu, Kang?!"

Melati tidak tahan lagi memendam pertanyaan yang sejak tadi bergayut di benaknya. Maka langsung diutarakannya di sela-sela langkah mereka.

"Benar, Melati. Dia Ranti, murid Perguruan Pedang Perak," Jawab Arya sambil terus berlari cepat.

Melati tercenung. Benaknya langsung berputar untuk mengingat-ingat nama itu. Melati memang pernah mendengar nama itu. Hanya saja, lupa kapan dan di mana.

"lngat peristiwa di Hutan Rangkong yang kuceritakan itu, Melati?" sambung Arya. Rupanya, Dewa Arak telah mengetahui perasaan yang tengah bergelut di benak kekasihnya.

"Ah...! Jadi, dia? Gadis yang telah menewaskan Raja Iblis Baju Hitam itu, Kang?!" tebak Melati yang kini mulai ingat.

"Benar!"

Melati dan Arya seketika terdiam. Kini hanya kaki-kaki mereka saja yang sibuk melakukan pekerjaan. Berlari dengan kecepatan tinggi.

"Hanya yang tidak kumengerti, mengapa dia bermaksud membunuhmu, Melati. Bahkan nampaknya amat membencimu! Apakah kau mempunyai urusan dengannya?!" tanya Arya bernada tidak mengerti.

"Tidak, Kang," jawab Melati sambil menggelengkan kepala.

"Lalu.., kenapa dia begitu ingin membunuhmu?!" "Rahasia wanita, Kang," jawab Melati sambil menyung-

gingkan senyum lebar.

"Maksudmu...? Jangan berteka-teki lagi. Melati."

Kali ini Arya sampai menoleh. Jelas, ucapan Melati membuatnya tertarik bukan kepalang. Namun Melati tidak langsung menjawab. Kakinya terus saja melangkah. Mau tak mau, Arya terpaksa harus bersabar menunggu.

"Meskipun tidak mengatakan urusannya, tapi dari ucapan dan sikap-sikap yang ditunjukkannya padaku, bisa kutebak alasannya. Dan itulah sebabnya kukatakan kalau hal itu rahasia wanita. Dia mencintaimu, Kang," urai Melati panjang lebar.

"Jadi...?"

Terdengar bodoh sekali ucapan yang keluar dari mulut Arya.

"Dia cemburu padaku. Tahu kalau keberadaanku menghalangi maksudnya untuk mendapatkanmu, dia berusaha menyingkirkan aku. Jelas?!"

Arya tidak menyahutinya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya menganggukkan kepala pertanda mengerti. Sekarang mereka tidak berkata-kata lagi. Yang dilakukan hanyalah berlari secepat mungkin agar bisa segera tiba di markas Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Sementara, tubuh Ki Gumpala telah berada beberapa tombak di depan.

*** 8

"Mundur semua…!"

Ki Gumpala berteriak keras ketika telah menjejakkan kakinya di dalam halaman Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Pandangan matanya menyorotkan kegeraman pada sosok tubuh berpakaian putih yang tengah dikeroyok belasan anggota perkumpulannya. Sementara di sana-sini terlihat beberapa sosok tubuh berpakaian tambalan sudah bergeletakan tanpa nyawa. Di antaranya, terdapat Tombala.

Anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tentu saja mengenali suara ketuanya. Maka tanpa menunggu keluarnya perintah kedua, mereka berserabutan mundur, memberi jalan Ki Gumpala untuk menghadapi pembunuh keji yang dianggap Melati.

Jliggg!

Ki Gumpala mendarat di hadapan sosok berpakaian putih yang tak lain dan Melati palsu! Jarak antara mereka berdua terpisah tiga tombak.

"Kali ini jangan harap akan bisa lolos lagi, Wanita Keji!" ancam Ki Gumpala, geram.

Melati palsu tidak menyambuti ucapan Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang, tapi malah melangkah mundur. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Sikapnya menunjukkan kegentaran terhadap Ki Gumpala.

"Cepat buka kedokmu, Wanita Siluman! Aku ingin melihat wajah aslimu di balik wajah wanita tak berdosa yang kau fitnah!" desis Ki Gumpala. "Atau…., kau ingin aku membukanya dengan kekerasan?!"

"Serahkan dia padaku, Ki! Aku yang lebih berhak menghukumnya!"

Melati langsung berseru keras, ketika telah berada di dalam markas Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang bersama Dewa Arak.

Kecuali Ki Gumpala dan Dewa Arak, semua kepala menoleh ke arah asal suara keras itu. Seketika, raut-raut wajah mereka menampakkan keterkejutan. Hanya saja, keterkejutan yang melanda Melati palsu berbeda dengan keterkejutan yang melanda hati semua murid Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.

Murid-murid Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kaget karena tidak menyangka kalau sosok Melati ada dua. Dan itu sama sekali tidak disangka. Sedangkan Melati palsu terkejut karena menyadari keadaan kalau penyamarannya kini telah terbongkar.

"Kau salah, Nini. Akulah yang berhak menghukumnya. Karena, dia telah banyak membunuh anggota perkumpulanku!" bantah Ki Gumpala mengajukan alasan.

"Tapi, dia menyamar sebagai diriku dalam tindakannya itu, Ki. Jadi, aku yang lebih banyak dirugikan!" Melati pun mengajukan keberatannya.

"Biarkanlah Melati yang mengurusnya, Ki. Karena hal itulah yang akan dapat membersihkan namanya yang telah tercemar di dunia persliatan," dukung Arya.

Ki Gumpala tercenung sejenak. "Hhh...! Baiklah kalau demikian."

Sambil berkata demikian, Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang melangkah mundur. Dan kini, Melati yang menggantikan tempatnya. Gadis berpakaian putih itu maju.

Melati tidak langsung melancarkan serangan ketika telah berdiri berhadapan dengan gadis yang menyamar sebagai dirinya. Dirayapinya sekujur tubuh wanita berpakaian putih itu penuh selidik dengan sepasang mata indahnya. Sementara, yang diperhatikan balas memperhatikan pula. Kesempatan di saat Melati tengah berdebat dengan Ki Gumpala tidak digunakannya untuk melarikan diri, karena akan sia-sia belaka.

"Manusia pengecut! Sekarang saatnya kau menebus semua dosa atas kekejian yang telah kau perbuat! Bersiaplah untuk mati di tanganku!" desis Melati penuh geram.

"Kaulah yang akan menerima kematian di tanganku, Melati!"

Usai berkata demikian, Melati palsu melancarkan tendangan lurus ke arah perut Melati asli.

" Wuttt...!

Tapi Melati tidak gugup melihat serangan itu, dan malah bersikap tenang. Meskipun demikian, dia tidak berani bertindak gegabah. Kekuatan tenaga dalam lawan memang belum diketahuinya.

Itulah sebabnya, Melati melompat mundur sehingga terkaman wanita berpakaian putih itu luput. Saat itulah kaki kanan Melati meluncur deras ke arah perut lawan.

"Heh...?!”

Melati palsu tersentak kaget mendapat serangan balasan di saat kedudukannya tengah tidak menguntungkan. Saat itu, tubuhnya memang tengah berada di udara. Meskipun demikian, tidak berarti dia kehilangan akal. Buruburu tangannya yang tadi mengenai tempat kosong disampokkan ke bawah, untuk memapak serangan kaki Melati.

Prattt..!

Dengan mengambil tenaga dan benturan yang terjadi. Melati palsu melenting ke atas melewati kepala Melati. Kemudian, kedua tangannya kembali disampokkan ke arah Melati. Tapi kali ini, bagian kepala belakang yang jadi incarannya.

Wuttt!

Lagi-lagi serangan itu mengenai tempat kosong, karena Melati lebih dulu melakukan lompatan harimau ke depan untuk menyelamatkan diri. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan.

Jliggg!

Pada saat yang bersamaan dengan hinggapnya kaki Melati palsu di tanah, Melati berhasil bangkit dari bergulingnya. Dan secepat kedua wanita sakti itu berdiri tegak, secepat itu pula tubuh masing-masing berbalik. Satu sama lain telah bersiap-siap menghadapi serbuan lawan.

"Haaat..!"

Kali ini Melati yang menyerbu lebih dahulu. Kedua tangannya yang terkepal, diluncurkan bertubi-tubi ke arah kedua rusuk lawan. Menilik dari deru angin berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, bisa diperkirakan kekuatan yang mampu menghancurkan tulang rusuk itu!

Hal ini jelas diketahui Melati palsu. Maka serangan itu tidak dibiarkannya mengenai sasaran. Dengan agak bergegas, kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di samping kirinya.

Tindakan wanita berpakaian putih itu tidak hanya sampai di situ. Begitu serangan Melati berhasil dielakkan, tangan kirinya diluncurkan ke arah pelipis. Jika terkena sedikit saja, cukup mengirim nyawa ke kasih Dewa Arak itu ke alam baka.

Melati tentu saja mengetahuinya. Dan karena untuk menangkis sudah tidak memungkinkan lagi, segera kepalanya ditarik ke belakang. Maka, serangan itu hanya lewat beberapa jari di depan wajahnya.

Wuttt!

Rambut dan sekujur pakaian Melati berkibar keras saking kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan tadi. Tapi, Melati tidak mempedulikannya. Langsung dilancarkannya serangan. Sesaat kemudian dua wanita yang sama-sama sakti itu telah tertibat dalam pertarungan sengit kembali.

***

Semua pasang mata orang-orang yang berada di sekitar tempat itu tidak begitu jelas mengawasi jalannya pertarungan. Sora pun terlihat di antara mereka. Memang, Sora telah tiba pula di situ. Meskipun demikian, hanya Arya dan Ki Gumpala yang dapat jelas menyaksikan jalannya pertarungan. Hal itu tidak aneh, karena gerakan orang yang bertarung itu terlalu cepat untuk bisa diikuti oleh mata dari orang berkepandaian tanggung. Jadi yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan putih yang berkelebatan cepat saling membelit. Sesekali saja kedua sosok bayangan putih itu saling pisah. Itu pun hanya berlangsung sekejap saja, karena sesaat kemudian sudah saling belit kembali.

Sementara itu, orang yang tengah diperhatikan sama sekali tidak peduli, karena tengah teriibat pertarungan sengit. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Meskipun demikian, ilmu andalan masing masing belum dikeluarkan.

Menggiriskan bukan kepalang pertarungan yang berlangsung. Sejak jurus-jurus awal hingga tiga puluh lima jurus, pertarungan masih berlangsung imbang. Kedua belah pihak masih berganti-ganri melancarkan serangan. Tingkat tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki mereka ternyata berimbang. Tak heran kalau dalam setiap benturan yang terjadi, mereka sama-sama terhuyung-huyung dengan mulut meringis.

Melati menggertakkan gigi, karena merasa penasaran bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau lawannya memiliki kemampuan setinggi ini. Ada perasaan terpukul menyelinap di hatinya. Betapa tidak? Dalam waktu berturut-turut, dia telah bertarung melawan wanita muda yang memiliki kepandaian setingkat dengannya. Rasanya, kepandaian yang dimilikinya jadi tidak berarti apa-apa.

Tapi di samping rasa penasaran yang mendera, muncul pula perasaan heran. Hal itu terjadi karena merasa mengenal betul gerakan-gerakan lawannya. Hanya saja, dia lupa kapan dan di mana pernah melihatnya. Melati ingin mengingat-ingatnya. Tapi sama sekali tidak mempunyai kesempatan, terpaksa keinginan itu ditelannya. Dan kini perhatiannya dipusatkan untuk menghadapi Melati palsu.

Ternyata bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan heran Arya dan Ki Gumpala pun dilanda perasaan sama. Memang, seperti juga Melati, kedua tokoh sakti itu merasa pernah melihat gerakan-gerakan lawan Melati.

Hanya saja, keterkejutan yang melanda hati Arya tidak sebesar seperti Ki Gumpala. Wajah Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang ini sampai berubah-ubah ketika melihat gerakan-gerakan Melati palsu.

"Ti..., tidak mungkin! Tidak mungkin dia pembunuh itu," desah Ki Gumpala dengan bibir bergetar, ketika pertarungan telah berlangsung lima puluh tiga jurus.

Pelan saja ucapan yang keluar dari mulut Ki Gumpala, seperti berbicara untuk diri sendiri. Tapi bagi pendengaran Arya, ucapan itu cukup keras. Semua perkataan penuh ketidakpercayaan itu sudah terdengar. Apalagi, jaraknya dengan Ki Gumpala tidak lebih dari dua tombak.

"Kau kenal orang yang berada di balik penyamarannya itu, Ki?" tanya Arya memastikan Ki Gumpala menghela napas berat. "Mungkin. Tapi aku masih tidak yakin, Arya. Aku tidak percaya kalau dia pelaku pembunuhan keji itu," jawab Ki Gumpala setengah hati.

"Siapa orang yang kau maksud itu, Ki?" desak Arya penasaran karena belum mendapatkan jawaban pasti dari Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.

"Jangan paksa aku untuk mengatakannya, Dewa Arak.

Aku tidak sanggup!"

"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. Dia tidak mau memaksa Ki Gumpala untuk mengatakannya. "Sebenarnya aku pun mengenal gerakan-gerakan orang  itu, Ki. Hanya saja, aku lupa kapan dan di mana melihatnya."

Ki Gumpala sama sekali tidak menyambuti ucapan Dewa Arak. Pandangannya yang sejak tadi tertuju pada pertarungan, semakin diarahkan ke sana. Memang, seperti juga Dewa Arak, Ki Gumpala berkata-kata tanpa mengalihkan pandangan dari pertarungan yang tengah berlangsung. "Hanya yang menjadi tanda tanya bagiku mengapa kau juga seperti pernah mengenal gerakannya. Apakah orang yang berada di balik penyamaran itu sama-sama kita kenali?" sambung Dewa Arak lagi.

"Mungkin...," sahut Ki Gumpala setengah berdesah.

Arya tidak mengajukan keheranannya lagi. karena menyadari keadaan kalau Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang sepertinya tidak berminat untuk terlibat dalam percakapan mengenai Melati gadungan. Ki Gumpala tampak gelisah bukan main.

Kini, Dewa Arak dan Ki Gumpala mengedarkan pandangan ke arah pertarungan tanpa berkata-kata lagi.

Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Melati dengan lawannya terlihat semakin sengit. Memang, pertarungan telah berlangsung hampir delapan puluh jurus. Tapi, selama itu belum juga terlihat tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.

"Hih!"

Melati yang kehilangan kesabaran segera mengeluarkan Ilmu 'Cakar Naga Merah' yang diandalkannya. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar naga. Tampak ada warna merah seperti darah mulai dari ujung-ujung jari sampai ke pergelangan tangan. Dan dengan penggunaan ilmu ini, Melati berusaha keras menaklukkan lawannya.

Tapi, bukan hanya Melati saja yang mengeluarkan ilmu andalan. Lawannya pun melakukan hal yang sama. Hasilnya, pertarungan yang jauh lebih sengit pun terjadi. Bahkan kini dua puluh lima jurus telah berlalu cepat. Tapi sampai sekian lamanya, pertarungan masih tetap berlangsung seimbang. Tentu saja hasil ini membuat kedua belah pihak bertambah penasaran.

"Hih...!"

Secara mendadak dan tidak terduga-duga sama sekali, Melati palsu mengibaskan tangannya.

Sing, sing, sing...!

Lima bilah pisau berwarna putih berkilat telah meluncur ke arah Melati. Namun, kekasih Dewa Arak itu sudah bisa memperkirakan kedahsyatan serangan dari angin luncurannya. Makanya, dia tidak berani bertindak ayalayalan. Buru-buru Melati melompat ke belakang. Dan dalam keadaan tubuh masih berada di udara, pedangnya dihunuskan dan langsung dikibaskan dengan cepat ke  arah pisau-pisau yang meluncur ke arahnya.

Trang, trang, trang!

Bunga api memercik ke sana kemari ketika pedang dan pisau-pisau itu berbenturan keras. Namun, serangan Melati palsu tidak hanya sampai di situ saja. Begitu pisau-pisau terbangnya diluncurkan, pedangnya pun dicabut. Kontan diterjangnya Melati dengan tusukan-tusukan pedangnya.

"Hey...?!"

"Ah...!"

Hampir berbarengan Ki Gumpala dan Dewa Arak menjerit kaget. Bukan karena keselamatan Melati yang terancam, tapi karena melihat serangan pisau-pisau terbang itu. Masalahnya, Ki Gumpala telah semakin yakin akan dugaannya. Bahkan Dewa Arak telah teringat akan orang yang memiliki gerakan-gerakan seperti itu. Pisau-pisau terbang itulah yang membantu Dewa Arak mengingatnya.

Tapi, Dewa Arak dan Ki Gumpala tidak bisa berlamalama tenggelam dalam keterkejutan. Karena, pemandangan yang terlihat selanjutnya benar-benar membuat hati mereka mengkelap.

Tampak Melati sama sekali tidak menampakkan tandatanda akan mengelakkan serangan itu. Padahal, tubuh lawannya telah berada di tengah perjalanan. Pedang wanita berpakaian putih itu meluncur ke arah leher Melati asli.

Ternyata, dugaan mereka sama sekali tidak keliru! Melati sama sekali tidak mengelakkan serangan, tapi malah balas melancarkan serangan. Pedangnya ditusukkan ke atas, mengarah ke perut. Sepertinya, Melati mengajak lawannya mengadu nyawa!

Wajah Ki Gumpala dan Dewa Arak berubah. Mereka berharap Melati palsu tidak menanggapi ajakan adu nyawa lawan. Apabila benar demikian, Melati palsu akan membatalkan serangannya, kemudian menangkis serangan Melati. Harapan dua orang sakti itu kandas! Melati palsu ternyata tidak melakukan tindakan seperti yang diharapkan, dan tetap saja meneruskan serangannya. Sudah bisa dipastikan dua wanita yang sama-sama sakti ini akan tewas! Melati dengan leher terobek lebar, sedangkan lawannya dengan perut ambrol!

Tapi....

"Hih!" Cappp! "Aaakh. !"

Keanehan yang sama sekali tidak tersangka-sangka terjadi! Tangan Melati tiba-tiba mulur, lebih satu setengah kali lipat panjang semula. Akibatnya, sebelum pedang lawan mendarat di leher, pedang Melati lebih dulu menghunjam. Akibatnya, perut Melati palsu tertembus pedang hingga ke punggung. Tak pelak lagi, Melati palsu pun menjerit ngeri ketika darah muncrat-muncrat dari luka di perut.

Dan ketika Melati mencabut pedangnya, tubuh Melati palsu pun ambruk di tanah. Tapi, daya tahan tubuhnya memang patut dipuji. Meskipun lukanya terlalu parah, dia masih mampu bertahan hidup. Dan melihat lawannya masih bernapas, Melati bersiap melancarkan serangan terakhir. Tapi....

"Melati! Tahan….!"

Gadis berpakaian putih itu pun menghentikan gerakannya. Dan sebelum kepalanya sempat menoleh, Dewa Arak dan Ki Gumpala berkelebat. Dewa Arak yang tadi berseru mencegah, berdiri di sebelahnya. Sedangkan Ki Gumpala duduk bersimpuh di sebelah tubuh Melati palsu yang tergolek.

"Kakek.... Maafkan aku, Kek Aku mengaku salah. ,"

ucap wanita berpakaian putih terputus-putus.

"Lupakanlah Ningrum. Tapi aku ingin tahu, mengapa kau melakukan semua kekejian ini," kata Ki Gumpala dengan suara serak.

"Ningrum. ?!"

Melati yang mendengar pembicaraan antara Ki Gumpala dengan orang yang telah menyamar sebagai dirinya, seketika terperanjat. Seketika itu pula, dia teringat Ningrum memang putri Raja Pisau Terbang. Dulu, dia pernah bertarung dengan gadis itu. Pantas, gerakangerakan lawannya tadi seperti pernah dikenalnya (Untuk lebih jelasnya mengenai tokoh Ningrum, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode “Pedang Bintang" dan "Dewi Penyebar Maut").

"Aku membenci Melati, Kek. Kalau dia tidak ada, tentu Dewa Arak akan mencintaiku. Itulah sebabnya aku menyamar sebagai dirinya," jawab wanita berpakaian putih yang ternyata Ningrum, semakin terputus-putus dan lemah suaranya.

Ki Gumpala berdehem untuk melonggarkan tenggorokannya, karena suaranya mulai serak. Perasaan haru terhadap cinta Ningrum yang tidak mendapat sambutan itulah yang membuat tenggorokannya seperti tersekat.

“Tapi, kenapa harus membunuhi anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang dan para penduduk Desa Gondang, Ningrum?"

"Aku ingin agar Melati bisa cepat tewas oleh tokohtokoh golongan putih. Oleh sebab itu, dia harus kufitnah. Bahkan kalau bisa, Dewa Arak ikut membencinya. Tapi... ahhh...!"

Ningrum tidak sempat melanjutkan ucapannya. Wanita berpakaian putih yang dulu suka berbaju hijau ini menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Ki Gumpala.

Melihat hal ini, Dewa Arak dan Melati menghampiri. "Aku ikut berduka cita atas peristiwa ini, Kek," ucap

Arya bernada prihatin.

"Lupakanlah, Dewa Arak. Seharusnya akulah yang meminta maaf atas perbuatannya pada kau dan Melati...," sahut Ki Gumpala sambil mengangkat tubuh Ningrum.

"O ya, Ki. Setahuku, kepandaian Ningrum tidak setinggi ini. Apakah. " "Dia mati-matian berlatih diri pada ayahnya. Ketika ilmu ayahnya telah habis, dia lalu berguru padaku. Karena ayahnya kawan baikku, maka dia pun kuterima sebagai murid," urai Ki Gumpala panjang lebar.

Arya dan Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Kini, masalahnya telah jelas. Maka sepasang pendekar muda ini membiarkan saja ketika Ki Gumpala melangkah meninggalkan mereka. Memang, tidak ada lagi hal yang perlu ditanyakan.

Kokok suara ayam jantan mulai terdengar. Ini menjadi pertanda kalau tak lama lagi malam akan berganti pagi. Kegelapan akan terusir oleh sang mentari di ufuk Timur.

SELESAI



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar