41 Macan-macan Betina
1
"Uh! Panas sekali udara
di sini, Kang," keluh salah seorang dan dua sosok yang tengah melintasi
lapangan berumput.
Dia adalah seorang gadis
berwajah cantik. Rambutnya hitam dan panjang terurai. Pakaian ketat berwarna
putih pembungkus tubuhnya yang montok dan menggiurkan, semakin menambah
kecantikannya.
Sementara yang seorang lagi
adalah pemuda tampan berwajah jantan. Rambutnya putih keperakan. Kini
pandangannya dialihkan ke arah gadis berpakaian putih itu. Keluhan tadi tidak
langsung disambutnya kecuali seulas senyum yang terkembang di bibir. Kemudian
napasnya dihembuskan. Sehingga, dadanya yang tegap dan bidang terbungkus
pakaian ungu, mengempis beberapa saat lamanya.
Hari ini, matahari memang
tepat berada di tengahtengah. Sinarnya memancar garang ke persada. Semua
makhluk di bawahnya bagaikan terpanggang saja layaknya. "Benar,
Melati," sahut pemuda berambut putih
keperakan sambil mengangguk.
Gadis berpakaian putih itu
memang Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Dulu, julukan yang terkenal
buat gadis itu adalah Dewi Penyebar Maut.
"Bagaimana kalau kita
beristirahat sejenak, Kang," usul Melati.
"Sebuah usul yang baik
sekali, Melati."
Pemuda berpakaian ungu yang
sudah pasti Arya atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak, cepat menyambut
gembira. Sebuah guci yang tergantung di punggung, semakin memperjelas kalau
pemuda itu benar-benar Dewa Arak.
"Tak jauh di depan kita
ada sebuah hutan yang cukup besar. Hutan Kawi, namanya. Bagaimana kalau kita
beristirahat di sana saja, Melati? Sambil beristirahat, kita bisa menikmati
santapan di sana. Bagaimana?!"
"Aku setuju sekali.
Kang," jawab Melati sambil tersenyum manis. "Ayo kita ke sana!"
Tanpa menunggu tanggapan Arya,
Melati segera melesat ke depan. Dan sekali langkah, seluruh kemampuan ilmu lari
cepatnya telah dikeluarkan. Tak heran kalau dalam sekali lesatan saja, tubuhnya
telah berjarak sepuluh tombak di depan.
Arya hanya
menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tindakan kekasihnya. Itu pun hanya
dilakukan sebentar saja, karena harus buru-buru menyusul. Kalau tidak, dia
tentu akan tertinggal jauh. Sesaat kemudian, tubuh sepasang pendekar muda itu
telah lenyap. Yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan putih dan ungu. Bentuk
bayangan mereka tidak kelihatan jelas, namun tampak saling berkejaran menuju
Hutan Kawi.
***
"Uh, segarnya...!"
desah Melati penuh rasa gembira, begitu wajahnya telah dibasuhi air sungai yang
jemih.
Usai membasuh wajah, Melati
menggulung lengan bajunya hingga melewati siku. Maka, tampakiah tangan yang
berkulit putih, halus, dan mulus. Tampak indah dan menggiurkan.
Kali ini, Melati memasukkan
kedua tangannya sampai hampir sebatas siku ke dalam sungai, lalu dibasuhnya.
Gadis itu sama sekali tidak merasa kesulitan melakukannya. Dia berjongkok di
antara batu-batu di pinggir sungai yang tanahnya lebih rendah dan yang lain.
"Hehhh...?!"
Melati kontan menghentikan
gerakan membasuhnya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara mendesing
nyaring. Seketika itu pula, sekujur urat syarafnya langsung menegang waspada.
Secepat kilat kepalanya ditoleh ke arah suara itu. Tampak beberapa buah batu
kecil yang diambil dari sekitar tempat itu tengah meluncur ke arahnya. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera dijumputnya beberapa buah batu kecil yang
berserakan di dekatnya, lalu disambitnya ke arah batu yang meluncur itu.
Siut, siut..!
Pyarrr...!
Patut diacungi jempol
ketepatan timpukan Melati. Lima buah batu yang meluncur ke arahnya berhasil
dipapak lima buah batu yang dilemparnya. Seketika, batu-batu itu telah hancur
di tengah perjalanan sebelum mengenai sasaran.
"Kepandaianmu rupanya
tidak sejelek kelakuanmu, Wanita Rendah!"
Sebuah suara melengking tinggi
bernada ejekan terdengar, ketika hancuran batu-batu yang berbenturan itu
berguguran di tengah jalan. Pedas dan tajam bukan main ejekan itu. Sehingga
membuat Melati yang memang memiliki watak keras dan mudah tersinggung, menjadi
kalap. Wajahnya langsung merah padam. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh
kemarahan, ketika menatap ke arah si pemilik suara.
Pemilik suara itu ternyata
bertubuh ramping. Pakaiannya berwarna biru. Hanya saja, wajahnya tidak tampak
jelas karena tertutup sapu tangan dan caping bambu. Menilik suara dan potongan
tubuhnya, dia adalah seorang wanita.
Karena wanita itu berdiri di
tebing pinggir sungai, tentu membuat Melati terpaksa mendongakkan kepalanya.
Kendati berusaha untuk melihat tetap saja Melati tidak bisa melihat jelas wajah
wanita berpakaian biru itu. Sapu tangan penutup wajah itulah yang menyulitkan
Melati.
"Siapa kau, Wanita liar?!
Ada urusan apa kau menyerangku secara pengecut seperti itu?!" sambut
Melati, tak kalah keras.
"Cuhhh...!"
Wanita berpakaian biru
menyemburkan ludahnya, walau tidak ditujukan pada Melati. Tapi, tetap saja
percikan-percikannya ada yang mengenai tubuh Melati. "Aku tidak sudi
mengenalkan diri pada seorang
perempuan rendah dan tidak
tahu malu sepertimu, Wanita Sundal!" sambut wanita berpakaian biru itu,
kasar.
Melati menggertakkan gigi
mendengar sambutan bernada penghinaan itu. Sepasang matanya mencorong
kehijauan, seperti mata seekor harimau dalam gelap. Dadanya nampak bergerak
cepat naik turun Tandanya, Melati tengah dilanda amarah yang amat sangat.
Tapi, rupanya bukan hanya
Melati saja yang dilanda kemarahan. Wanita berpakaian biru itu pun demikian
pula. Terbukti dialah yang lebih dulu menghampiri Melati, dengan melompati
tebing yang tak begitu tinggi, yang menjorok ke pinggir sungai. Hati Melati
agak tercekat ketika melihat gerakan wanita berpakaian biru itu. Betapa tidak?
Gerakannya demikian ringan, tak ubahnya seekor burung garuda yang hendak
menerkam mangsa.
"Hih...!"
Dan selagi berada di udara,
wanita berpakaian biru itu berputaran beberapa kali. Dan tahu-tahu, kedua
tangannya yang terkembang membentuk cakar melayang ke arah ubun-ubun Melati. Serangannya
tak ubahnya serangan seekor garuda yang menyambar mangsa!
Suara angin mencicit nyaring
terdengar mengiringi tibanya serangan wanita berpakaian biru. Dari sini saja
sudah terlihat, betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Melati adalah seorang pendekar
yang telah cukup kenyang merambah kerasnya rimba persilatan. Dan tentu saja
gadis itu tahu, betapa berbahayanya serangan yang dilancarkan lawan. Apabila
serangan itu ditangkis, serangan kaki akan menyusul. Itulah sebabnya, diputuskannya
untuk mengelak.
Wuttt..!
Serangan wanita berpakaian
biru itu hanya mengenai tempat kosong ketika Melati melompat jauh ke belakang.
Jleg! Begitu kedua kaki Melati
mendarat di tanah, wanita berpakaian biru itu juga telah mendaratkan kedua
kakinya di tanah pula. Tapi itu hanya berlangsung sekejap saja, karena wanita
berpakaian biru itu melompat menerjang Melati. Tampaknya serangan susulan yang
akan dilancarkannya adalah serangan kaki.
Di saat wanita berpakaian biru
itu berada di udara, tubuhnya segera berbalik seraya melancarkan kibasan tangan
kanan ke arah kepala.
Kali ini, Melati tidak tinggal
diam. Seketika dia pun melompat pula untuk memapak. Rupanya Melati bermaksud
menangkis serangan susulan lawan. Hebatnya, gerakannya ternyata sama dengan lawannya.
Dia menangkis dengan kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan tubuh
ketika berada di udara.
Prattt!
Benturan dua kaki yang
sama-sama mengibas seketika terjadi! Keras bukan kepalang seperti benturan dua
buah logam keras. Akibatnya tubuh dua orang wanita berkepandaian tinggi itu
sama-sama terputar balik, lalu hinggap di tanah. Masing-masing agak terhuyung
sedikit tapi cepat dapat memperbaiki keseimbangan kembali. Sebentar kemudian
mereka kembali saling menerjang. Kini pertarungan sengit pun tidak bisa
dielakkan lagi.
Melati tidak berani bertindak
setengah-setengah lagi. Disadari kalau lawannya memiliki kepandaian yang amat
tinggi. Kecepatan gerak maupun tenaga dalam wanita berpakaian biru itu ternyata
tidak di bawahnya. Maka buruburu ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya
dikeluarkan.
Kedua tangan Melati disusun
mengembang membentuk cakar naga. Bahkan mulai dari ujung-ujung jari sampai
pergelangan sudah tampak berwarna merah seperti darah. Dan dalam penggunaan
ilmunya, gadis berpakaian putih itu berusaha menanggulangi serangan lawan.
Malah kalau bisa melumpuhkannya.
Tapi hal itu hanya mudah
direncanakan saja. Pelaksanaannya ternyata sulit bukan kepalang. Wanita
berpakaian biru itu ternyata memiliki kepandaian amat tinggi. Tambahan lagi,
seluruh kemampuannya juga dikerahkan untuk mengalahkan Melati.
Serangan-serangan yang dilancarkannya selalu mengarah pada bagtan bagian yang
mematikan! Jelas, maksudnya adalah menewaskan Melati.
Hebat bukan kepalang
pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama berkepandaian tinggi ini. Suara
menderu, mencicit, dan mengaung, mengiringi setiap gerakan tangan atau kaki.
Tampaknya setiap gerakan mereka ditunjang tenaga dalam tinggi.
Enam puluh jurus telah lewat.
Tapi selama itu tidak nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan
berjalan masih seimbang. Kedua belah pihak masih samasama mampu melancarkan
serangan. Dan rupanya, hal ini membuat wanita berpakaian biru itu jadi
kehilangan kesabaran.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan
nyaring, wanita berpakaian biru itu memperhebat serangan. Kedua tangannya
dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawannya.
Melati terperanjat juga
melihat perubahan serangan yang begitu mendadak. Tapi, bukan berarti dia jadi
gentar. Kekerasan hatinya memaksanya untuk memapak serangan itu.
Plak, plak, plak...!
Semua serangan yang dikirimkan
wanita berpakaian biru itu bisa dikandaskan ketika Melati berhasil
menangkisnya. Akibatnya tubuh satu sama lain sama-sama terhuyung mundur tiga
langkah. Dari sini sudah bisa dinilai kalau tenaga dalam yang mereka miliki
berimbang.
Tapi begitu tubuh wanita
berpakaian biru itu terhuyung mundur, segera dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dalam
keadaan terhuyung-huyung, tangan kanannya cepat bergerak ke arah pinggang,
tempat pedangnya tergantung. Dan.... Srattt...!
Sinar terang menyilaukan
kontan berkeredep ketika pedang itu keluar dan sarungnya.
"Cabut pedangmu kalau
tidak ingin mati percuma, Wanita Tak Tahu Malu...!" teriak wanita
berpakaian biru itu keras, di saat tubuhnya masih terhuyung-huyung.
Melati sama sekali tidak
membantah ajakan lawannya. Kembali sinar terang memancar, namun kali ini dari
pedang Melati.
Kini kedua wanita sakti ini
sama-sama saling menatap dalam jarak sekitar dua tombak. Pedang telanjang
mereka sama-sama tergenggam di tangan. Tidak ada yang lebih dulu memulai
menyerang. Satu sama lain saling memperhatikan gerak gerik dengan sepasang mata
hampir tidak berkedip, itu dilakukan sambil melangkah mendekati lawan.
"Haaat..!"
Wanita berpakaian biru itu
rupanya tidak sabar lagi menunggu. Diiringi pekikan keras melengking, dia
menyerang lebih dahulu. Hal itu dilakukan karena Melati belum menunjukkan
tanda-tanda menyerang. Sebagai ahli silat tingkat tinggi, mereka sama-sama
tahu, menyerang lebih dulu merupakan tindakan yang merugikan. Dalam persilatan,
setiap serangan selalu terdapat celah-celah yang dapat dijadikan sasaran lawan.
Singg!
Pedang di tangan wanita
berpakaian biru itu meluncur lurus ke arah leher. Lagi-lagi bagian mematikan
yang jadi sasaran.
Wuttt!
Ujung pedang wanita berpakaian
biru itu meluncur, lewat beberapa jengkal di alas kepala, begitu Melati
merendahkan tubuhnya sebelum serangan tiba. Dan tindakannya tidak hanya sampai
di situ saja. Sambil mengelak, pedangnya diluncurkan ke arah ulu hati lawan.
Singgg!
Wanita berpakaian biru itu
tidak gugup melihat serangan balasan Melati. Buru-buru kakinya dijejakkan,
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Langsung dilewatinya kepala Melati. Dan
dari sana, dilancarkannya tusukan ke arah kuduk Melati.
Kali ini, Melati tidak
memiliki kesempatan mengelak. Sambil membalikkan tubuh, pedangnya diayunkan ke
belakang untuk mencegah agar tengkuknya tidak ditembus senjata lawan.
Tranggg...!
Benturan dua pasang senjata
terjadi. Suaranya keras bukan kepalang, disertai percikan bunga-bunga api ke
sana kemari.
"Hup!"
Wanita berpakaian biru itu
segera hinggap di tanah. Sementara Melati telah bersiap siaga. Dan malah,
Melati yang sekarang lebih dulu melancarkan serangan.
Pertarungan yang jauh lebih
seru dan menarik dari sebelumnya kembali terjadi. Melati kini mengamuk bagai
singa betina terluka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' andalannya dikerahkan, sampai
menimbulkan suara menggerung keras, setiap kali pedangnya berkelebat.
Tapi ternyata ilmu pedang
wanita berpakaian biru itu ternyata tidak kalah hebat. Terbukti, setiap
serangan Melati mampu dipatahkan. Bahkan
serangan balasan tak kalah hebat mampu dilancarkan. Setiap gerakan pedangnya
menimbulkan suara mencicit dan mendesing nyaring.
Hanya dalam beberapa gebrakan
saja, tubuh kedua wanita sakti itu sudah tidak terlihat lagi. Yang tampak hanya
bayangan putih dan biru yang tidak jelas bentuknya. Saling belit, tapi
terkadang saling pisah. Bahkan semakin lama, bayangan tubuh yang tidak jelas
itu mulai jarang terlihat karena tertutup gerakan pedang masing-masing.
Karena ilmu meringankan tubuh
mereka telah samasama mencapai tingkat tinggi, maka pertarungan tampak
berlangsung cepat. Hanya dalam waktu yang tak berapa lama, empat puluh jurus
telah berlalu. Dan selama itu, belum terlihat tanda-tanda yang lebih unggul.
Tampaknya, pertarungan masih berlangsung imbang.
Mendadak....
"Melati...! Masih lamakah
kau...! Cepat..! Nanti makanan ini keburu dingin !"
Kontan kedua orang yang tengah
bertarung, memisahkan diri. Seketika pertarungan terhenti Masing-masing menatap
tajam, dengan dada turun naik.
"Hmh. !"
Wanita berpakaian biru
mendengus jengkel, karena merasa terganggu oleh suara tadi. Sambil memutar
pedangnya di depan dada laksana baling-baling, dia melompat mundur.
"Kali ini kau bemasib
baik, Wanita Liar! Tapi lain kali, jangan harap. !"
Sambil berkata demikian,
wanita berpakaian biru itu melesat kabur meninggalkan Melati. Tentu saja Melati
yang merasa penasaran sekali tidak membiarkannya. Langsung tubuhnya melesat,
mengejar lawannya yang telah berada di tebing pinggir sungai.
Tapi selagi tubuh Melati
tengah melayang di udara, wanita berpakaian biru itu mengibaskan tangannya.
Dan....
Sing, sing, sing. !
Beberapa bilah pisau berkilat
meluncur ke arah Melati. Tanpa ragu-ragu lagi, gadis berpakaian putih ini pun
membabatkan pedang untuk menangkis.
Trang, trang, trang. !
Pisau-pisau itu pun
berpentalan tak tentu arah, karena tertangkis oleh Melati. Tapi, akibatnya
lesatan tubuh Melati pun terhambat. Maka, tubuhnya pun meluncur turun kembali.
Dan ketika Melati kembali
melakukan pengejaran hingga sampai di atas tebing sungai, wanita berpakaian
biru sudah tidak berada di situ lagi.
"Hhh. !"
Melati hanya bisa
menghembuskan napas berat. Dia merasa penasaran dan jengkel bukan kepalang.
Betapa tidak? Tanpa ada angin dan tak ada hujan, wanita berpakaian biru itu
mati-matian menyerangnya. Dan sialnya, dia tidak mampu mengalahkan. Maka,
tindakan wanita berpakaian biru itu tetap menjadi teka-teki baginya.
"Melati...! Masih lamakah
kau...?!"
Panggilan dan pemilik suara
yang sama kembali terdengar. Dan panggilan itu seketika menyadarkan Melati dari
lamunannya. Maka masih dengan perasaan dongkol, kakinya melangkah ke arah asal
suara. Memang, Aryalah yang telah memanggilnya.
"Tidak, Kang! Aku sudah
selesai...!" sahut Melati, sedikit mengerahkan tenaga dalam. Memang,
tempat Melati membasuh muka cukup jauh dari Dewa Arak. Jadi, tak heran kalau
suara pertarungan tadi tidak terdengar Arya.
*** 2
Arya mengembangkan senyumnya
ketika melihat Melati menuju ke arahnya. Sekitar satu tombak di sebelah kiri
pemuda berambut putih keperakan itu, tampak gundukan ranting yang sebagian
telah menjadi arang. Asap tipis tampak masih mengepul, pertanda onggokan kayu
itu belum lama dimatikan.
Beberapa jari di sebelah kanan
Arya berdiri kokoh sebatang pohon yang cukup besar. Pada batangnya, tertancap
dua batang ranting yang pada ujungnya terdapat ayam panggang.
Sesaat kemudian, Melati telah
berada di dekat Arya. Tanpa berkata apa-apa, gadis berpakaian putih itu menghempaskan
pantatnya dan duduk di sebelah kekasihnya.
Arya merasa heran melihat
keadaan Melati. Tampak selebar wajah gadis itu berkeringat. Terutama sekali,
bagian leher dan dahi. Padahal, bukankah tadi Melati meminta ujin untuk
membersihka diri di sungai? Tapi, mengapa malah berpeluh seperti itu. Bahkan
napasnya pun terdengar masih memburu. Meskipun demikian, dengan pandainya Arya
mampu menyembunyikan perasaan heran yang berkecamuk di hati.
"Makanlah, Melati,"
kata Arya, pelan. "Nanti keburu dingin."
Seiring keluarnya ucapan itu,
Dewa Arak mengulurkan tangannya ke arah ranting yang tertancap di batang pohon.
Melati pun mengikuti perbuatannya.
"Enak, Kang," puji
Melati setelah mencicipinya sedikit. "Sama sekali tak kusangka kalau kau
pandai memasak."
“Tentu saja enak, Melati.
Karena kau tengah lapar," sambut Arya cepat, setengah merendah. Padahal,
dia juga merasakan sendiri kalau ayam panggang buatannya memang lezat.
"Kau tidak jadi ke sungai, Melati?"
Sambil terus mengunyah ayam
panggang, Arya mulai mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di
hati. Ditatapnya wajah Melati penuh selidik.
Melati tidak langsung menjawab
pertanyaan Arya. Dijauhkannya lebih dulu ayam panggang dan mulutnya.
Dikunyahnya potongan daging yang baru digigit, lalu ditelannya.
"Jadi, Kang. Memangnya
kenapa?" Melati malah balas bertanya.
“Tidak apa-apa. Hanya saja,
peluhmu kulihat jauh lebih banyak daripada sebelumnya," sahut Arya kalem.
"Wanita gila itulah yang
menjadi penyebabnya, Kang," dengus Melati, penuh kedongkolan.
"Wanita gila?" ulang
Arya dengan alis berkerut dalam. Tanpa sadar, dijauhkannya ayam panggang dari
mulut.
Sepasang mata Dewa Arak
diarahkan ke arah Melati. Ada sorot keingin tahuan yang besar di dalamnya.
"Benar, Kang. Seorang
wanita gila yang tiba-tiba menyerangku." tegas Melati menguatkan ucapan
sebelumnya.
Kemudian secara ringkas tapi
jelas, gadis berpakaian putih itu menceritakan semua kejadian yang dialami.
Sementara, Arya mendengarkan penuh keingin tahuan. Sama sekali tidak diselaknya
cerita Melati sampai selesai.
"Jadi, kau tetap tidak
tahu mengapa dia menyerangmu mati-matian begitu'" tanya Arya, heran.
Melati terpaksa menjawab
pertanyaan Arya dengan anggukan kepala saja, karena mulutnya tengah penuh
dengan potongan ayam panggang.
"Aneh...," desah
Arya. "Apakah dia tidak mengatakan alasannya kepadamu, Melati?"
"Tidak, Kang," jawab
Melati sambil menggelengkan kepala.
"Apakah bisa kau tebak,
dari aliran mana ilmunya. Barangkali saja gerakan-gerakannya mempunyai
kemiripan dengan..., misalnya dengan orang-orang yang dulu pernah kau hadapi,
Arya mencoba membantu menyingkap masalah itu.
Melati tercenung sejenak untuk
mengingat-ingat. Tapi sesaat kemudian, secara mantap dan pasti kepalanya
menggeleng.
"Aku tidak pernah
berhadapan dengan orang yang memiliki gerakan mirip dengannya, Kang,"
tegas gadis berpakaian putih itu.
Arya pun terdiam. Tapi menilik
dari kerutan dahinya, bisa diketahui kalau dia tengah berptkir keras.
"Apakah wajahnya sempat
kau lihat?"
“Tidak. Wajahnya ditutup
saputangan. Dan lagi, ada caping yang menutupinya Aku telah berusaha
mengenalinya, tapi tetap saja tidak bisa. Dia terlalu lihai!" jelas Melati
panjang lebar.
"Jadi kesimpulannya, kau
hanya bisa mengetahui kalau orang itu adalah wanita?" tanya Arya lagi.
"Benar, Kang!"
mantap dan tegas jawaban gadis berpakaian putih itu.
"Apakah kau tidak pernah
mengenai atau paling tidak bertemu sebelumnya, Melati? Cobalah ingat-ingat.
Barangkali saja potongan tubuhnya kau kenali. Atau..., barangkali
suaranya."
Mendengar adanya kesungguhan
dalam ucapan Arya, Melati tidak tega membantahnya. Dicobanya mengingatingat
setiap wanita yang pernah ditemui dalam petualangannya. Kemudian, dicocokkannya
dengan wanita berpakaian biru itu. Tapi, tetap saja tidak ada satu pun yang
cocok.
"Tidak, Kang." desah
Melati bernada mengeluh, setelah menguras ingatan beberapa saat lamanya.
"Aneh," desah Arya.
"Apanya yang aneh?"
Melati tak tahan menyimpan pertanyaan.
"Tindakan orang
itu!" Jawab Arya cepat. "Mengapa harus menyembunyikan wajah kalau dia
tahu kau tidak mengenalnya?" Melati mengangkat bahu.
"Mungkin tidak ingin
dikenali," duga Melati sekenanya. "Mungkin," sambut Arya tanpa
gairah. "Tapi, aku yakin
masalah ini akan bisa
terungkap. Tunggu saja kedatangannya kembali."
Lalu pemuda berambut putih
keperakan itu kembali menggigit potongan ayam panggang yang masih bercokol di
rantingnya. Melati juga melakukannya.
Kini Arya dan Melati tidak
melanjutkan percakapan. Mereka menenggelamkan diri dalam menikmati ayam
panggang. Percakapan telah ditutup tanpa adanya titik terang mengenai wanita
berpakaian biru yang berusaha mati-matian membunuh Melati.
***
Matahari sudah agak beranjak
dari tempat terbitnya. Sinarnya yang hangat, memancar ke seluruh persada ketika
Arya dan Melati melihat sebuah kedai di kejauhan. Perut yang kosong dan
tenggorokan yang kering, membuat sepasang muda-mudi itu mengarahkan langkahnya
ke sana.
Arya mendahului Melati
memasuki pintu sebuah kedai. Dan tepat di ambang pintu kedai, pemuda berambut
putih keperakan ini menghentikan langkahnya. Pandangannya beredar ke sekeliling
untuk melihat meja-meja yang masih kosong.
Ternyata, ada beberapa buah
meja yang masih kosong. Arya segera melangkah menuju ke arah sana. Sikapnya
masa bodoh, sehingga sama sekali tidak tahu kalau wajah para pengunjung kedai
mendadak berubah hebat ketika melihat kehadirannya bersama Melati. Tarikan
napas mereka tampak memancarkan kebencian bercampur takut.
Seorang lelaki setengah tua
dan bertubuh pendek gemuk seperti gentong, menghampiri Arya dan Melati yang
telah duduk di sebuah meja kosong yang mempunyai dua bangku saling berhadapan.
Sepasang alis Arya agak
berkerut ketika melihat sikap laki-laki pendek gemuk yang terlihat begitu
ketakutan. Wajahnya terlihat pucat pasi. Bahkan sepasang mata Arya yang tajam
dapat melihat kalau tubuh orang itu menggigil keras.
Meskipun telah melihat adanya
kejanggalan, Arya berpurapura tidak tahu.
"Mau pesan apa,
Den?" tanya laki-laki pendek gemuk yang rupanya pemilik kedai, dengan
suara bergetar. Rupanya perasaan takut yang melanda hatinya tidak bisa
disembunyikan
Melati yang mendengar adanya
kelainan dalam nada suara si pemilik kedai, jadi heran. Dicobanya untuk melihat
wajahnya, tapi pemilik kedai itu seperti menyembunyikan diri dari Melati. Yang
bisa terlihat hanya punggung pemilik kedai itu.
"Empat batang jagung
bakar, seguci kecil teh hangat, dan seguci besar arak." Arya menyebutkan
pesanannya.
"Akan kusediakan,
Den," kata pemilik kedai cepat, sambil melangkah tergopoh-gopoh
meninggalkan tempat Arya.
Arya dan Melati jadi saling
berpandangan melihat sikap pemilik kedai itu. Sikap mereka menggambarkan
perasaan heran yang mendalam.
"Ki...!"
Laki-laki pemilik kedai itu
menghentikan langkah ketika mendengar panggilan terhadapnya. Tanpa menoleh pun
sudah dapat dikenali kalau orang yang memanggilnya adalah pemuda berambut putih
keperakan.
"Ada yang bisa kubantu.
Den?" tanya pemilik kedai itu sambil membalikkan tubuh, tanpa berani
menghampiri.
"Boleh kutahu namamu,
Ki?" tanya Arya, agak keras. "Gibar," jawab pemilik kedai itu,
singkat.
"Terima kasih, Ki,"
kata Arya.
Pemilik kedai yang ternyata
bernama Ki Gibar itu membalikkan tubuh kembali, dan langsung melanjutkan
langkahnya yang tertunda. Disiapkannya pesanan untuk dua orang tamunya itu.
"Hhh...!" Arya
menghembuskan napas berat. "Aku melihat keanehan di sini, Melati. Ki Gibar
sepertinya amat ketakutan."
"Bukan hanya dia saja,
Kang. Tapi juga semua orang yang berada di sini," kata Melati, setengah
memperbaiki kata-kata kekasihnya.
Perkataan Melati membuat Arya mengedarkan
pandangannya. Seketika dahinya berkerut saat menyaksikan kebenaran ucapan
Melati. Para pengunjung kedai, satu
persatu meninggalkan meja masing-masing. Padahal, banyak di antaranya yang
belum menghabiskan hidangannya. Tarikan wajah mereka menampakkan ketakutan.
"Sepertinya mereka takut
pada kita ," desah Arya. "Lebih tepatnya lagi, takut padaku"
tegas Melati mem-
perbaiki ucapan Dewa Arak.
Arya terdiam seketika. Sama
sekali tidak dibantahnya ucapan Melati.
"Ada sebuah teka-teki
yang membingungkan mengenai dirimu Melati. Bukan tidak mungkin, serangan wanita
berpakaian biru yang kau ceritakan padaku, ada hubungannya dengan hal
ini." duga Arya.
"Mungkin kau benar,
Kang," desah Melati. "Kurasa ada sebuah masalah yang tengah terjadi
di sini. Dan tanpa kuketahui, ada orang yang melibatkan diriku."
"Kita harus menyingkap
rahasia ini, Melati," ucap Arya memutuskan.
Melati mengangguk-anggukkan
kepala. Dia tahu, keputusan yang diambil Arya pasti sangat tepat.
Percakapan mereka terhenti
ketika Ki Gibar datang sambil mengantarkan makanan yang dipesan. Tampak tangan
laki-laki pendek gemuk itu gemetar ketika meletakkan pesanan Arya dan Melati.
Tapi, Arya dan Melati
berpura-pura tidak mengetahuinya. Sikap mereka seakan akan tidak peduli. Justru
pandangan mereka beralih ke hidangan yang tersedia di atas meja.
Melati menuangkan guci berisi
teh hangat ke dalam sebuah gelas bambu yang tersedia di depannya, kemudian
dengan tenang diminumnya. Arya pun melakukan hal yang sama. Hanya saja, yang
diminum pemuda berambut putih keperakan itu adalah arak.
Setelah membasahi kerongkongan
yang kering, Arya dan Melati mulai mengambil jagung bakar, dan mulai
menggeragotinya.
Dan hanya dalam waktu sebentar
saja, Arya telah menghabiskan sebatang jagung. Diletakkannya bonggol jagung itu
ke tempat semula kemudian disambarnya jagung lain. Tapi baru didekatkan ke
mulutnya....
"Melati. Siluman Keji...!
Keluar kau...! Terimalah pembalasan kami. !"
Wajah Arya dan Melati kontan
berubah hebat dan langsung menghentikan gerakan. Tarikan wajah mereka
menyiratkan keterkejutan. Hampir bersamaan, mereka mengalihkan pandangan ke
luar. Memang, dari sanalah suara itu berasal.
"Cepat keluar, Melati...!
Atau.... kami bakar kedai ini. !"
Kembali seruan keras dan luar
terdengar. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya, dan bahkan mengandung
ancaman.
Tapi Arya dan Melati tetap
bersikap tenang. Dan yang kebingungan justru Ki Gibar. Dengan agak
tergopoh-gopoh, pemilik kedai itu berlari keluar untuk meminta agar orang yang
berada di luar tidak melaksanakan ancamannya. Dan kalau hal itu terjadi, ke
mana dia dan keluarganya akan tinggal. Memang, kedai itu merangkap sebagai
tempat tinggal baginya.
Tapi, langkah Ki Gibar kontan
terhenti ketika Arya mengulurkan tangan menggamit pergelangan tangannya.
"Kau tidak usah keluar,
Ki. Kami yang akan keluar. Percayalah. Apabila aku dan kawanku ini keluar,
orang itu akan membatalkan maksudnya membakar kedaimu," ujar Arya, lembut.
Ki Gibar sama sekali tidak berkata apa-apa. Kepalanya hanya mengangguk-angguk
pertanda menyetujui usul tamunya. Sementara Arya melepaskan cekalan ketika
melihat Ki Gibar telah berhasil ditenangkan.
"Mari, Melati. Kita
jumpai mereka." ajak Dewa Arak seraya bangkit dari kursinya.
Melati tidak menyahut, tapi
bangkit dari kursinya. Diletakkannya uang pembayaran makanan yang dipesan di
atas meja. Lalu, kakinya melangkah mengikuti Arya yang telah berjalan lebih
dulu.
Kepergian Arya dan Melati
diikuti Ki Gibar dengan sorot mata keheranan.
"Aneh! Mengapa sikapnya
begitu jauh berubah? Apakah karena ada kawannya?" desis hati Ki Gibar.
***
"Ah!"
"Heh...?!"
Seruan-seruan keterkejutan
terdengar di sana-sini. Beberapa pasang mata dari belasan sosok tubuh yang
berdiri beberapa tombak di depan pintu kedai dengan senjata terhunus di tangan,
tampak terbelalak lebar. Jelas, mereka tengah dilanda perasaan kaget.
"Bukankah dia Dewa
Arak?"
Salah satu dari beiasan orang
yang tadi berteriak kaget, menudingkan jari telunjuknya ke arah Arya yang telah
berdiri di samping Melati, di ambang pintu kedai.
"Benar! Aku yakin, dia
pasti Dewa Arak! Lihat saja ciricirinya. Semua ciri-ciri Dewa Arak ada
padanya!" sambung seorang laki-laki yang berkumis tebal.
"Tidak mungkin!"
bantah seorang yang bertubuh kekar. "Mana mungkin Dewa Arak bersahabat
dengan siluman betina seperti Melati!"
Sesaat kemudian, suasana di
sekitar tempat itu jadi riuh. Masing-masing orang mengajukan pendapat. Dan itu
diucapkan keras-keras agar terdengar semua orang yang berada di situ.
Sementara, Arya dan Melati hanya diam memperhatikan.
Dengan sekali lihat saja, Dewa
Arak tahu kalau belasan orang itu berasal dari satu perkumpulan. Pakaian yang
dikenakan juga sama. Penuh tambalan. Dandanan mereka pun awut-awutan. Dari sini
bisa diterka kalau mereka berasal dari perkumpulan pengemis.
Tiba-tiba....
"Diam!"
Suaru bentakan keras terdengar
menggeledek pertanda dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Saking
kerasnya, hingga mengatasi semua keriuhan yang terjadi. Rupanya pemilik
bentakan itu adalah tokoh yang disegani. Buktinya, kegaduhan itu kontan lenyap.
Arya dan Melati mengalihkan
perhatian ke arah asal suara. Tampak seorang pengemis bertubuh tinggi kurus dan
bermata sipit. Potongan tubuhnya sama sekali tidak sesuai dengan suaranya yang
keras menggelegar laksana guntur.
"Apakah sepasang mataku
tidak salah lihat? Benarkah Dewa Arak yang berdiri di hadapanku?" pengemis
tinggi kurus kembali membuka suara.
Tapi, sekarang ditujukan pada
Dewa Arak.
"Tidak salah, Kisanak.
Kaum rimba persilatan menjulukiku Dewa Arak. Tapi, aku lebih suka di panggil
Arya," jawab Arya, kalem. "Kalau boleh kutahu, siapakah kalian?"
Pengemis tinggi kurus
tersenyum pahit.
"Rupanya dunia sudah
terbalik. Dewa Arak yang digembar-gemborkan sebagai pendekar sakti dan selalu
memberantas keangkaramurkaan, kini malah bergaul rapat dengan siluman betina yang haus darah!
Sayang sekali!"
Sampai di sini laki-laki
bermata sipit iru menghentikan ucapannya. Ditatapnya wajah Dewa Arak
dalam-dalam, seperti menuntut jawaban.
"Memang kami semua tidak
terkenal sepertimu, Dewa Arak! Meskipun begitu, pantang bagi kami untuk bergaul
rapat dengan siluman haus darah seperti orang di sebelahmu! Kami dari
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Dan aku sendiri bernama Tombala."
Arya menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat, untuk meredakan kemarahan yang bergolak dalam
dada. Makian pengemis tinggi kurus yang bernama Tombala memang cukup pedas. Tak
heran bila kemarahannya muncul. Disadari kalau Tombala dan Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang kemungkinan besar salah paham. Tapi meskipun demikian, Dewa Arak
tetap merasa tak senang atas penghinaan itu.
Kalau Arya saja yang mempunyai
sifat sabar hampir tak kuat menahan amarah, apalagi Melati! Gadis berpakaian
putih itu menggertakkan gjgi sambil melangkah maju. Tapi Arya sudah bisa
menduga perasaan yang berkecamuk di hati Melati, bertindak lebih cepat.
Ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu.
"Sabar, Melati,"
bujuk Arya untuk menenangkan hati kekasihnya. "Mereka salah paham."
"Tapi mereka telah
keterlaluan menghinaku, Kang! Terlalu enak kalau dibiarkan begitu saja!"
bantah Melati, keras.
"Percayakanlah padaku
untuk menyelesaikannya," bujuk Dewa Arak, tetap kalem suaranya.
Melati menatap wajah
kekasihnya. Ada sorot keberatan dalam sinar matanya. Tapi ketika Arya terus
menatap lembut, Melati tak kuasa memaksakan kehendaknya. Sampai akhirnya,
dihembuskannya napas berat seraya melangkah mundur ke tempat semula.
"Terima kasih atas
kepercayaan yang kau berikan padaku, Melati."
Setelah berkata demikian,
pemuda berambut putih keperakan itu mengalihkan perhatian ke arah orang-orang
dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Mereka sejak tadi hanya memperhatikan
saja, ketika Dewa Arak berbeda pendapat dengan Melati.
"Kalau saja tidak
memandang nama besarmu, mungkin kami sudah menerjang wanita iblis itu untuk
mengadu nyawa, Dewa Arak." Tombala telah lebih dulu berkata, sebelum Arya
sempat membuka suara. "Oleh karena itu, kumohon kau bersedia menyingkir
dari tempatmu. Kami tidak ingin bentrok denganmu. Dan kau bukanlah orang yang
kami inginkan."
"Kuucapkan terima kasih
atas penghormatan yang kau berikan padaku, Kang Tombala. Tapi, kumohon bersikap
sabarlah dalam menghadapi persoalan ini. Mungkin perlu kuberitahukan padaku,
kawanku ini bukan orang yang kau tuduhkan. Dan. "
"Dewa Arak!" potong
Tombala keras. "Kami bersikap mengalah padamu bukan karena gentar.
Perasaan seperti itu tidak ada dalam hatiku! Dan juga dalam hati semua anggota
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Kami tidak ingin bentrok denganmu, karena
kau adalah seorang pendekar yang berdiri di jalan kebenaran. Tapi kalau
peringatanku tetap tidak diindahkan, terpaksa aku harus bertarung
denganmu!"
Keras dan berapi-api ucapan
Tombala. Sementara, rombongan Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang rupanya
sejak tadi sudah dilanda kemarahan hebat, menyambut gembira ucapan Tombala yang
rupanya menjadi pemimpin mereka.
"Hidup, Kakang
Tombala...!" teriak seorang pengemis yang berkumis tebal sambil
mengacungkan tangannya yang terkepal tinggi-tinggi ke atas.
"Hidup. !" sambut
pengemis yang berwajah hitam.
"Basmi si Siluman
Pencabut Nyawa. !"
"Gantung !"
"Bakar. !"
Hanya dalam sekejap saja,
suasana di sekitar tempat itu kontan gaduh. Semua anggota Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang saling berebutan mengutarakan kebencian terhadap Melati.
"Diam. !"
Untuk yang kedua kaiinya,
terdengar teriakan keras yang dimaksudkan untuk menghentikan kegaduhan. Tapi,
kali ini bukan keluar dari mulul Tombala, melainkan dari mulut Dewa Arak! Wajah
pemuda berambut putih keperakan itu tampak merah padam. Sepasang matanya tampak
mencorong kehijauan, seperti mata seekor harimau dalam gelap! Jelas, amarah
Dewa Arak telah sampai ke ubun-ubun.
*** 3
Bentakan yang dikeluarkan Dewa
Arak menimbulkan akibat luar biasa!
Orang-orang dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang merasakan seperti ada
halilintar menggelegar di dekat telinga, hingga sampai berdengung keras. Dada
pun kontan berg-tar hebat. Kecuali Tombala, semua anggota Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang segera mendekapkan kedua tangan ke telinga. Padahal, Dewa Arak
hanya mengerahkan sebagian kedi tenaga dalamnya. Memang, meskipun hatinya panas
terlanda amarah, Dewa Arak masih menghormati keselamatan orang-orang
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.
"Tombala! Bisa kau
jelaskan padaku, apa alasanmu dan seluruh gerombolanmu sehingga melemparkan
tuduhan sekeji itu pada kawanku?!" pinta Dewa Arak bernada mendesak,
ketika melihat kegaduhan telah berhasil diredakan.
"Baiklah, Dewa
Arak." kata Tombala mengalah. "Akan kujelaskan persoalan sebenarnya,
agar kau tidak menuduh Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang sebagai orangorang
yang suka melempar fitnah."
Tombala menghentikan ucapannya
sejenak untuk meredakan keterkejutan yang melanda hatinya. Bentakan Dewa Arak
tadi memang membuatnya terkejut, walaupun hanya sesaat.
Dewa Arak sama sekali tidak
menyelak ucapan Tombala. Ditunggunya pengemis tinggi kurus itu melanjutkan
penjelasannya. Hal yang sama pun dilakukan Melati. Dibiarkannya saja Arya
menyelesaikan persoalan itu.
"Kawanmu ini telah
membunuh beberapa orang anggota perkumpulan kami. Lebih tepatnya lagi, beberapa
orang murid kepala, dan tiga orang murid tingkat tiga," jelas Tombala, dengan suara
bergetar pertanda kemarahannya tengah menggelegak. "Dan bukan hanya itu
saja. Dia pun telah membunuh banyak penduduk Desa Gondang. Tidak hanya orang
dewasa saja yang dibantainya, tapi juga anak-anak. Bukankah hal itu telah cukup
menjadi alasan untuk melenyapkannya?"
Arya menolehkan kepalanya
kepada Melati.
"Benar semua yang
dikatakan Tombala, Melati?" tanya Arya berbasa-basi. Dan Dewa Arak yakin
benar kalau Melati tidak akan mungkin melakukan tindakan sekeji itu.
"Semua yang dituduhkannya
fitnah belaka, Kakang. Jangankan membunuh. Menginjakkan kaki di tempat ini pun
baru sekali ini!" bantah Melati, berapi-api.
"Mana ada maling
mengaku?!" sergah Tombala, sinis. "Keparat! Mulutmu kelihatannya
terlalu kurang ajar!
Kalau tidak kuhajar, akan
semakin kurang ajar!"
Setelah berkata demikian.
Melati melompat menerjang Tombala. Tangan kanannya yang berjari lentik
dikibaskan ke arah mulut pengemis bertubuh tinggi kurus Itu.
Wuttt..!
Deru angin keras mengiringi
tibanya tangan Melati. Tapi, Tombala bertindak lebih cepat. Meskipun sempat
terkejut melihat cepatnya sambaran tangan Melati, namun dia masih sempat
melempar tubuh ke belakang. Hasilnya, serangan Melati menyambar tempat kosong!
Melati yang sudah tidak bisa
menahan kemarahannya lagi, tidak membiarkan lawan lolos begitu saja. Dia pun
melesat mengejar lawan yang mendarat berjarak tiga tombak dari tempat semula.
Namun sebelum maksud gadis
berpakaian putih itu tersampaikan, anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Gelang
Terbang tidak tinggal diam. Begitu melihat Melati meluruk ke arah Tombala,
bagai diberi pcrintah tangantangan mereka bergegas bergerak mengibas. Dan....
Sing, sing, sing. !
Entah bagaimana caranya,
gelang-gelang berwarna putih yang semula berada di tangan masing-masing anggota
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tahu-tahu melayang ke arah Melati. Anehnya
lagi, hanya satu gelang saja yang meluncur dari masing-masing tangan mereka.
Hal ini menjadi pertanda kalau mereka sudah terlatih menggunakannya.
Melati tidak berani memandang
ringan. Terpaksa serangan terhadap Tombala dibatalkan. Dan kini perhatiannya
dipusatkan untuk menghadapi serangan-serangan yang tengah meluncur ke berbagai
bagian tubuhnya.
Hanya sekali lihat saja.
Melati Iangsung bisa mengetahui gelang-gelang yang meluncur lebih dulu. Ada dua
buah gelang yang berada beberapa jari di depan yang lain. Cepat Melati
mengulurkan kedua tangannya.
Tap, tap! "Hih!"
Trang, tring, trang...!
Suara berdentang nyaring
terdengar, diselingi berpijarnya bunga-bunga api ke udara. Hal itu terjadi
ketika Melati berhasil menangkap dua gelang baja, dan langsung membenturkannya
pada gelang-gelang yang meluncur belakangan.
Seketika itu juga,
gelang-gelang baja terpental balik. Bahkan beberapa di antaranya meluncur balik
ke arah pemiliknya semula. Karuan saja hal itu membuat orangorang Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang kelabakan! Sedapat-dapatnya, mereka melakukan tindakan
menyelamatkan diri. Ada yang melempar tubuh ke belakang, dan sebagian lagi
menundukkan tubuh. Sisanya membanting tubuh ke tanah.
Tidak sia-sia tindakan yang
dilakukan. Meskipun secara agak tergesa-gesa, tapi nyawa berhasil diselamatkan.
Tapi, Melati tidak tinggal
diam. Begitu lawan-lawannya berhasil menyelamatkan diri, dua buah gelang baja
yang berada di tangannya segera di luncurkan.
Wung, wung...!
Diiringi suara mengaung yang
jauh lebih keras dari luncuran gelang-gelang baja lawan-lawannya, dua buah
gelang itu melesat ke arah dua di antara belasan orang anggota Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang. Hebatnya luncurannya disertai putaran yang begiru
cepat.
Kontan wajah dua orang anggota
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang mendapat serangan itu pucat pasi.
Luncuran gelang-gelang baja itu terlalu cepat. Tambahan lagi, pada saat itu
mereka baru saja mengelakkan serangan senjata yang berbalik. Itu pun dilakukan
dengan susah payah.
Tapi sebelum gelang-gelang
baja itu mengenai mereka, dari arah yang berlawanan meluncur pula dua buah
gelang baja. Dan gelang-gelang baja yang meluncur belakangan ini, tampaknya
akan memapak gelang-gelang baja yang dilemparkan Melati.
Trang, trang!
Benturan antara dua buah
gelang yang sama bentuk dan ukurannya tak bisa dielakkan lagi. Bunga-bunga api
seketika memercik ke udara. Sedangkan gelang-gelang baja yang meluncur
belakangan langsung terpental balik ke belakang. Sementara gelang-gelang baja
yang dlayangkan Melati hanya terpukul jatuh dan sama sekali tidak terpental ke belakang.
Hal ini menjadi pertanda kalau tenaga orang yang memapak, di bawah tenaga
Melati.
Melati mengalihkan pandangan
ke arah si pengirim gelang-gelang baja itu. Ternyata, orang itu adalah Tombala.
"Hampir saja kau menyebarkan maut kembali. Wanita
Sesat!" seru Tombala,
penuh geram.
Usai berkata demikian. Tombala
memberi isyarat menyerang pada anak buahnya. Maka tanpa menunggu perintah dua
kali, belasan anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang bergerak mengurung
Melati. Di tangan mereka tergenggam sebatang tongkat pendek terbuat dari baja,
dan memiliki ujung runcing.
Melati bersikap waspada, dan
sama sekali tidak melakukan tindakan apa-apa. Gadis berpakaian putih ini tetap
berdiri di tempat semula, seperti tidak peduli atas kejadian yang berlangsung
di sekelilingnya. Tapi menilik dari sepasang biji matanya yang berputaran liar,
bisa diketahui kalau Melati telah bersiap menghadap segala kemungkinan yang
akan terjadi.
Sementara itu di belakangnya.
Dewa Arak sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda membantu Melati. Rupanya,
pemuda berambut putih keperakan itu merasa yakin kalau tanpa bantuannya Melati
akan mampu membereskan lawan-lawannya.
***
"Serbu...!"
Teriakan keras Tombala
menyebabkan anak buahnya yang telah mengurung Melati langsung melancarkan
serangan. Tongkat-tongkat baja di tangan mereka diluncurkan ke berbagai bagian
tubuh yang mematikan.
Pada saat yang bersamaan,
Tombala pun melancarkan serangan pula. Bahkan serangannya langsung dibuka
dengan melemparkan gelang-gelang baja, lalu baru melompat menerjang disertai
tusukan-tusukan tongkat.
Meskipun serangan meluncur ke
berbagai penjuru, Melati tidak gugup. Ditunggunya hingga semua serangan itu
mendekat, lalu tangannya bergerak ke punggung.
Srattt!
Sinar terang membersit ketika
Melati mencabut pedangnya. Dan secepat pedang itu terhunus, secepat itu pula
diputar-putar dengan kecepatan dahsyat. Seketika itu pula tubuhnya lenyap,
terbungkus gulungan sinar pedang yang diputarkannya. Dan....
Trang, tring, trang. !
Benturan keras terdengar berulang-ulang
ketika senjata para anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang berbenturan
dengan pedang Melati. Termasuk di antaranya serangan gelang baja Tombala.
Semuanya kandas!
Bahkan juga terdengar
pekik-pekik kesakitan begitu tangan yang menggenggam tongkat terasa sakit-sakit
dan lumpuh. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, senjatasenjata itu terlepas dari
pegangan. Hanya Tombala seorang yang tidak melepaskan senjatanya walau
tangannya juga tergetar hebat. Memang, Melati langsung mengerahkan seluruh tenaga
dalam pada putaran pedangnya untuk membentengi dirinya. Maka tentu saja
anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu tidak mampu menahan.
Tapi sebelum Melati sempat
melancarkan serangan susulan....
"Cukup, Melati. !"
Melati langsung menghentikan
gerakan. Tanpa membalikkan badan sudah bisa diketahui kalau orang yang telah
mengeluarkan cegahan itu adalah Arya.
"Ada apa, Kang. .?!"
"Nanti kuberi tahu.
Sekarang, mari kita pergi!"
Tanpa memberi kesempatan pada
Melati untuk mengajukan pertanyaan lagi, Dewa Arak segera melesat meninggalkan
tempat itu. Terpaksa, gadis berpakaian putih itu mengikutinya dengan melesat
cepat bagai kilat.
Tombala dan seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang tidak berdaya mencegah kepergian mereka.
Disadari kalau Dewa Arak tidak mengeluarkan cegahan, akan banyak jatuh korban
di antara mereka. Kini yang bisa dilakukan hanya menatap tubuh Melati yang
semakin mengecil di kejauhan dengan sorot mata geram.
"Hhh…!" Tombala
menghembuskan napas berat. "Siluman itu terlalu kuat untuk kita. Sekalipun
kita bersamasama, tetap saja dia tidak bisa dilumpuhkan."
Ucapan Tombala
terdengar tidak bersemangat. Lesu.
Selesu tarikan wajahnya.
Rupanya, dia merasa terpukul. "Lalu,
apa yang akan
kita lakukan sekarang, Kang?"
tanya pengemis yang berkumis
tebal.
"Tidak ada jalan lain
lagi. Kita kembali ke markas dan menceritakan semuanya pada ketua. Hanya
ketualah yang bisa membalaskan sakit hati ini," jelas Tombala.
"Wanita siluman itu
ternyata memang lihai, Kang. Serangan gabungan kita mudah sekali dipatahkannya.
Entah bagaimana jadinya kalau Dewa Arak tidak mencegahnya...?" desah
anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang yang berwajah hitam.
"Mungkin kau sudah
mampus!" tukas Tombala, bernada tidak senang.
Pengemis berwajah hitam
terperanjat. Dirasakan adanya nada ketidaksenangan dalam ucapan Tombala. Dan
hal itulah yang membuatnya heran. Mengapa Tombala marah-marah?
Ternyata bukan hanya pengemis
berwajah hitam itu saja yang merasa heran. Yang Iain pun juga terkejut. Dengan
raut wajah dan sorot mata kebingungan, mereka menatap Tombala.
"Dewa Arak tidak kalah
jahatnya dengan wanita siluman itu! Kalian dengar?!" tegas Tombala yang
rupanya mengetahui perasaan yang tengah berkecamuk di hati anak buahnya.
"Kalian tahu, mengapa kukatakan demikian?!"
Tombala menatap satu persatu
wajah-wajah di hadapannya. Tanpa sadar, setiap yang dipandang menggelengkan
kepala.
"Sebenarnya Dewa Arak
memiliki kemampuan untuk melenyapkan wanita siluman itu. Tapi, entah kenapa
tidak dilakukannya. Sebagai akibatnya, korban akan terus berjatuhan! Bukankah
itu berarti Dewa Arak tidak kalah jahatnya dengan wanita siluman itu?!
Buktinya, wanita siluman itu dibiarkannya saja mengganas!"
Sekarang, baru orang-orang
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu mengerti maksud ucapan Tombala. Mereka
pun mengangguk-anggukkan kepala Sungguh pun tidak terlalu benar, memang.
Melihat anggukan yang
mempunyai arti kalau mereka membenarkan kesimpulan yang didapat, Tombala Jadi
semakin bersemangat.
"Kehadiran Dewa Arak
malah menyulitkan kita dalam membasmi wanita siluman itu. Jelas-jelas terlihat
kalau Dewa Arak berada di pihaknya. Aku yakin, dia tidak akan tinggal diam
apabila wanita siluman itu berada dalam bahaya!"
Untuk kedua kalinya kepala
semua anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang terangguk-angguk pertanda
membenarkan ucapan Tombala. Buat mereka, alasan Tombala memang masuk akal.
Telah disaksikan sendiri pembelaan Dewa Arak terhadap gadis berpakaian putih
itu.
"Sekarang, lebih baik
kita kembali ke markas. Tidak ada gunanya lagi mengejar-ngejar wanita siluman
itu. Dia terlalu sakti Apalagi dengan adanya Dewa Arak di sampingnya."
Begitu ucapannya selesai,
Tombala melangkah meninggalkan tempat itu. Terlihat lesu sekali langkahnya. Dan
langkah-langkah yang tak kalah lesu dari anggota Perkumpulan Pengemis Gelang
Terbang tampak mengikuti di belakang.
Tombala dan anak buahnya
meninggalkan tempat itu tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sama sekali
tidak dipedulikan keberadaan penduduk desa yang sebagian besar mengintai dari
tempat yang tersembunyi. Dari balik pintu, jendela, semak-semak dan pepohonan
yang berada di sekitar tempat itu.
*** "Mengapa kau
mencegahku Kang?"
Begitu telah berada sejajar
dengan langkah Dewa Arak, Melati langsung mengajukan pertanyaan bernada penuh
tuntutan.
"Kau tidak bisa
menduganya, Melati?" Arya malah balas bertanya tanpa menghentikan ayunan
kakinya.
"Aku tidak mau memikirkan
alasannya, Kang," sahut Melati, penasaran. "Yang kutahu, mereka telah
terlalu menghinaku. Dan aku tidak sudi membiarkannya!"
Arya tersenyum pahit. Bisa
dimaklumi perasaan yang berkecamuk di hati Melati, dan sama sekali tidak bisa
disalahkan. Tapi, orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu pun tidak
bisa disalahkan! Mereka hanya keliru mengenali orang! Demikian kesimpulan yang
didapat Arya.
"Aku tahu perasaan
hatimu, Melati. Karena, aku pun mengalaminya. Itulah sebabnya, aku tidak bisa
menahan kemarahanku. Dengan kekerasan, kusuruh mereka menghentikan ucapan.
Tapi, percayalah. Dalam memecahkan masalah ini, yang dibutuhkan hanyalah
ketenangan. Jika tidak masalah yang timbul akan semakin berlarut-larut,"
ujar Arya panjang lebar.
Melati kontan terdiam, tidak
bicara lagi. Dia tahu, ucapan Arya belum selesai. Maka, ditunggunya kelanjutan
ucapan itu sambil terus berlari.
"Aku percaya, kau bukan
pelaku semua kekejian itu. Tapi aku pun yakin, orang-orang Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang itu tidak menyebarkan tuduhan secara membabi buta. Mereka pasti
mempunyai alasan kuat!"
"Maksudmu..., ada orang
yang menyamar sebagai diriku dan menyebar kejahatan di sini, Kang?!" duga
Melati.
"Tepat!"
Melati kontan terdiam.
Disadari kalau hal seperti itu bukan tidak mungkin. Baik dirinya maupun Dewa
Arak telah terlalu banyak menumpas
keangkaramurkaan. Dan sudah pasti, banyak menebarkan bibit permusuhan dan
dendam. Dan tindakan seperti itu merupakan buktinya.
"Kita berhenti di sini,
Melati."
Arya menghentikan larinya,
diikuti Melati. Kini, mereka berada di bagian desa yang penuh ditumbuhi semaksemak
dan pepohonan yang cukup lebat. Dewa Arak segera mengedarkan pandangan
berkeliling. Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya. Hal ini membuat Melati
mengedarkan pandangannya pula. Padahal, dia tidak tahu apa yang tengah dicari
Arya.
Sesaat kemudian, Dewa Arak
berjalan menghampiri sebatang pohon yang tumbuh, lalu duduk di atasnya. Kini,
Melati tahu apa yang tengah dicari kekasihnya. Tanpa berkata apa-apa, dia juga
duduk di sebelah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Itulah sebabnya, aku
mencegahmu menurunkan tangan jahat pada orang-orang Perkumpulan Pengemis Gelang
Terbang. Bahkan kalau bisa, sedapat mungkin harus menjauhi bentrokan. Yang
harus dicari adalah orangorang yang telah melakukan kekejian terhadap
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang dan penduduk Desa Gondang." jelas Arya
lagi.
"Jadi, kita harus
menyingkap rahasia itu, Kang?!" "Benar." jawab Arya, singkat.
"Kapan penyelidikan itu
akan dilakukan, Kang?!" tanya Melati lagi. "Aku sudah tidak sabar
lagi menghancurkan kepala orang yang telah begitu berani menyamar sebagai
diriku'"
"Nanti malam."
Melati tidak mengajukan
pertanyaan lagi. Rupanya, sudah tidak ada lagi yang ingin ditanyakannya Dewa
Arak pun diam. Maka, suasana jadi hening. Yang terdengar hanyalah suara desau
angin menyibakkan daun-daun pepohonan dan semak semak.
"Kang...!"
Sapaan Melati yang bernada
sentakan membuat Arya menoleh. Dia tahu, ada hal penting yang akan disampaikan
Melati. Sesuatu yang mungkin saja terlintas di benaknya. Maka, ditatapnya gadis
itu penuh perhatian.
"Jangan-jangan….., pelaku
kekejian itu orang yang menghadangku di tepi sungai. Kelihatannya dia benci
sekali padaku. Dan... kepandaiannya cukup tinggi," urai Melati mengajukan
dugaan.
Arya tercenung dengan dahi
berkernyit. Rupanya, dugaan gadis berpakaian putih itu tengah dipikirkannya.
“Tapi, bukankah orang itu
mengenakan pakaian biru?!" bantah Arya.
"Ah! Apa susahnya
mengganti pakaian, Kang," sergah Melati.
“Tapi, bukankah orang itu
berada ditempa yang jauh dari sini?!" Melati diam. Memang, wanita berpakaian
biru berada di tempat yang cukup jauh
dari sini. Masih dipisahkan hamparan padang pasir yang luas.
"Meskipun begitu, orang
itu tetap mencurigakan. Sambil mencari keterangan tentang orang yang telah
menyamar sebagai dirimu, kita selidiki pula dia."
Arya yang tidak ingin
mengecewakan Melati, buru-buru menyambung ucapannya. Dan Melati yang tahu
maksudnya jadi tersenyum pula. Kemudian, kepalanya disandarkan di bahu Arya.
*** 4
Sang surya belum lama
tenggelam di ufuk Barat, meninggalkan bias-bias berwarna kemerahan di kaki
langit tempat terbenamnya. Tugasnya pun digantikan sang dewi malam, sehingga
persada tidak selalu terkungkung dalam kegelapan.
Namun meskipun hari belum
terhitung malam, suasana di Desa Gondang sudah sepi. Tidak terlihat seorang
penduduk pun yang berada di luar rumah. Bahkan rumahrumah pun telah tertutup
rapat, baik pintu maupun jendelanya. Tampaknya mereka tengah dicekam perasaan
takut yang hebat.
Dalam suasana seperti itu, dua
sosok bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Yang terlihat hanyalah dua sosok
bayangan ungu dan putih tanpa bentuk yang jelas. Kalau ada penduduk yang
melihatnya, tentu akan menyangka dua hantu yang tengah be canda di bawah
siraman lembut rembulan.
Dua sosok bayangan itu
berkelebatan cepat melalui tempat-tempat tersembunyi. Terkadang melalui
semaksemak atau pepohonan. Dan kadang pula melalui atap rumah penduduk. Enak
saja dua sosok bayangan itu melompat dari satu atap ke atap yang lain. Menilik
dari tindakannya bisa diketahui kalau dua sosok bayangan itu, tidak ingin
diketahui orang.
Cukup lama juga sosok bayangan
ungu dan putih itu berkelebat, sebelum akhirnya berhenti. Mereka berhenti di
depan sebuah rumah yang letaknya agak menyendiri.
Dua sosok bayangan itu
mengedarkan pandangan berkeliling. Dalam siraman sinar rembulan yang cukup
terang, terlihat cukup jelas wajah dan perawakan dua sosok tubuh itu. Mereka
tak lain Dewa Arak dan Melati!
Setelah yakin kalau tidak ada
orang yang melihat keberadaan mereka. Dewa Arak menghampiri pintu. Lalu
didorongnya tanpa mengerahkan dalam. Tapi ternyata pintu itu sama sekali tidak
bergeming! Jelas, pintu itu terkunci.
"Dobrak saja, Kang "
bisik Melati, mengajukan usul. "Akan terlalu banyak menimbulkan keributan,
Melati. Ki
Gibar dan keluarganya pasti
akan terkejut. Bukankah kau tidak menginginkan hal itu terjadi?" sahut
Arya, memberi alasan.
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan. Tapi Arya hanya sempat melihat sekilas anggukan
itu saja, karena sesaat kemudian perhatiannya sudah beralih pada daun pintu
rumah milik Ki Gibar.
Arya menempelkan kedua telapak
tangannya ke daun pintu. Sesaat kemudian, dari sekujur tangannya mengepul asap
tipis. Kalau saja Melati tidak terlalu memperhatikan, mungkin tidak akan
terlihat. Tanpa bertanya pun Melati tahu, Arya tengah mengerahkan tenaga dalam
andalannya, 'Tenaga Sakti Inti Matahari' Hal itu dilakukannya agar tidak
menimbulkan keributan saat membuka pintu.
Beberapa saat kemudian, Dewa
Arak melepaskan kedua telapak tangannya di daun pintu.
"Mari kita masuk, Melati,"
ajak Arya sambil menoleh ke arah Melati.
Setelah berkata demikian, Arya
menggerakkan tangan mendorong daun pintu. Dan....
Krakkk!
Terdengar suara berderak pelan
seperti ada sesuatu yang patah. Maka, daun pintu itu pun bergerak membuka.
Seketika itu juga, mata sepasang pendekar muda itu tertumbuk pada deretan kursi
dan meja. Memang, rumah yang dimasuki adalah kedai Ki Gibar.
Tapi, Arya dan Melati sama
sekali tidak memperhatikan semua itu. Mereka langsung saja melangkah masuk.
Suasana di dalam ruangan itu tampak cukup terang oleh obor kecil di salah satu
dindingnya.
Begitu berada di dalam, Arya
dan Melati langsung menutup daun pintu kembali. Tapi berbeda dengan Arya yang
terus melangkah, Melati masih menyempatkan diri melihat akibat 'Tenaga Sakti
Inti Matahari'. Tampak potongan palang pintu dalam keadaan hangus di lantai.
Kekaguman Melati terhadap Arya
semakin besar. Dia tahu, kekasihnya memang bermaksud menghanguskan palang pintu
dengan penggunaan tenaga dalam yang istimewa. Dengan tingkat kepandaian yang
dimiliki Dewa Arak, memang bukan hal yang sulit. Padahal, palang pintu itu
berada di bagian dalam. Dari sini saja bisa diperkirakan ketinggian tingkat
kepandaian Dewa Arak.
Sementara itu, Arya tanpa
peduli langsung duduk di kursi. Melati juga duduk di kursi yang terletak di
depan Arya, dan hanya dipisahkan sebuah meja bulat.
Meskipun merasa heran melihat
tindakan Arya, Melati tidak mengajukan pertanyaan. Dia tahu, Dewa Arak selalu
memikirkan matang-matang sebelum melakukan sesuatu hal.
Mendadak....
Cit, cit, cit. !
Melati terjingkat kaget ketika
mendengar suara bercicitan nyaring dan riuh. Seakan-akan, di sekitar tempat itu
kedatangan beberapa ekor tikus. Tanpa sadar, kakinya yang tadi berada di lantai
diangkat, karena memang merasa jijik terhadap tikus.
Dengan kedua telapak kaki
tergantung di atas lantai, Melati mengedarkan pandangan berkeiiling untuk
mencari asal suara. Tapi, tetap saja belum ditemukan keberadaan binatang
binatang yang menjijikkan itu.
Sementara, Arya terlihat
tenang-tenang saja. Tidak mempertihatkan tanda-tanda kalau merasa terganggu
oleh suara suara berisik itu. Bahkan tangannya dikibas-kibaskan secara
sembarangan ke arah deretan meja dan kursi di sekitarnya, seiring semakin
riuhnya cicit tikus-tikus yang tidak ketahuan jelas asalnya.
Suara riuh kontan terdengar.
Bunyi yang timbul seakanakan terjadi akibat tikus-tikus yang tengah berkejaran
satu sama lain, dan menabrak nabrak meja dan kursi.
Kini Melati mengerti.
Tikus-tikus yang ditakutinya sama sekali memang tidak ada. Dan suara-suara
mencicit yang terdengar ternyata berasal dari mulut Arya. Perasaan kagum
kembali menyeruak dalam hati Melati. Sama sekali tidak disangka kalau Arya
pandai menirukan suara binatang demikian miripnya.
***
Melati tahu alasan Arya
menimbulkan keributankeributan seperti itu. ApalagI kalau bukan untuk memancing
kemunculan Ki Gibar dari dalam. Kini dengan perasaan tenang, kakinya diletakkan
kembali di lantai.
Sedangkan Arya semakin
menjadi-jadi menimbulkan keributan. Suara bercicitan nyaring dan kegaduhan meja
serta kursi terdengar semakin keras. Sepertinya, di tempat itu ada beberapa
ekor tikus yang tengah tertibat perkelahian.
Rupanya, membuat keributan
seperti itu cukup melelahkan juga. Terbukti, pada kening dan leher Dewa Arak
tampak butir-butir keringat. Tapi hal itu tidak dipedulikan dan tetap saja
tindakannya diteruskan.
Meskipun demikian. Arya
memasang pendengarannya setajam mungkin untuk mengetahui apakah pancingannya
telah menarik perhatian. Namun, bukan hanya Arya saja yang memasang pendengarannya.
Melati yang sudah mengetahui maksud kekasihnya, melakukan tindakan yang sama.
Wajah mereka kontan berseri
ketika mendengar adanya suara langkah-langkah kaki dari dalam. Menilik dari
suara yang berat, bisa diketahui kalau langkah itu tidak disertai ilmu
meringankan tubuh.
Semakin lama, suara langkah
kaki itu terdengar semakin jelas. Hal ini menandakan sang pemilik tengah menuju
tempat mereka.
Arya bersiap-siap. Disadari
kalau pemilik langkah yang pasti Ki Gibar melihat mereka, pasti akan lari
pontangpanting kembali ke dalam. Maka, dia harus bertindak cepat. Seketika
dengan ibu jari dan telunjuknya, dipatahkannya daun meja bagian pinggir.
Seperti yang sudah diduga
Arya, begitu membuka pintu penghubung antara ruangan dalam dengan tempat duduk pengunjung.
Ki Gibar Iangsung terperanjat melihat keberadaan Arya dan Melati. Langkah Ki
Gibar terhenti seketika. Buruburu tubuhnya berbalik. Jelas, laki-laki pendek
gemuk ini bermaksud secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Namun tentu saja Arya tidak tinggal
diam. Dia tidak mau usahanya sia-sia. Maka, buru-buru tangannya dikibaskan.
Wuttt! Tukkk!
Tubuh Ki Gibar terkulai lemas
ketika potongan papan sebesar jari yang dilemparkan Arya, mendarat di jalan
darah lehernya. Dan sebelum tubuh Ki Gibar ambruk di tanah. Arya telah lebih
dulu bertindak. Sabuk yang melilit pinggangnya segera diloloskan, dan Iangsung
dikibaskan.
Wuttt...!
Tanpa menimbulkan suara yang
berarti, sabuk itu meluncur cepat ke arah Ki Gibar. Dan sebelum tubuhnya jatuh,
sabuk telah mebiit pinggangnya.
Rrrt..!
Secepat sabuk itu melilit
pinggang, secepat itu pula Arya menghentakkannya. Tak pelak lagi, tubuh Ki
Gibar melayang ke arah Arya. Deras bukan kepalang. Kalau saja bisa, tentu Ki
Gibar akan menjerit ketika menyadari tubuhnya melayang. Apalagi, ketika tahu
kalau tubuhnya meluncur ke arah meja dan kursi. Tapi, hal itu tidak mampu
dilakukannya. Hanya tarikan wajahnya saja yang menunjukkan kalau dia tengah
dilanda perasaan takut yang amat sangat. Wajah Ki Gibar jadi tampak pucat seperti
mayat.
Tentu saja Arya tidak
membiarkan tubuh Ki Gibar yang siap menghempas. Kembali tangannya yang
menggenggam sabuk, bergerak. Maka, luncuran tubuh Ki Gibar pun tertahan, dan
langsung meluncur turun.
Hal itu sudah diperhitungkan
Arya. Maka, Dewa Arak cepat bangkit dari kursinya. Dan sekali tangannya diulur,
tubuh Ki Gibar berhasil ditangkapnya. Kemudian Arya menepuk pelan. Maka,
seketika itu pula laki-laki pendek gemuk itu bisa bergerak kembali. Rupanya,
tepukan Dewa Arak sekaligus untuk membebaskan totokan di tubuh Ki Gibar.
"Ampun.... Jangan bunuh
aku...! Anakku masih kecil.
Den." rintih Ki Gibar
ketika totokannya telah bebas.
Laki-laki pendek gemuk ini
lalu menjatuhkan diri, berkirut di depan Arya dan Melati. Memang, Melati ikut
pula bangkit dari kursinya ketika Arya bangkit.
Arya dan Melati saling
berpandangan.
"Bangkitlah, Ki. Tidak
pantas orang setua dirimu berlutut di hadapan kami. Percayalah, kami bukan
orang jahat. Bahkan kami sengaja datang kemari untuk mengetahui lebih jelas
semuanya."
Sambil berkata demikian, Arya
memegang kedua pangkal lengan Ki Gibar, lalu mengangkatnya bangun.
Dikerahkannya sedikit tenaga dalam untuk memaksa laki-laki tua itu bangun.
Ki Gibar menengadahkan wajah
Ditatapnya wajah Arya dan Melati. Ada sorot harapan memancar di sana. Harapan
untuk hidup. Kemudian, perlahan-lahan tubuhnya bergerak bangkit, karena tahu
kalau lama kelamaan tidak akan kuat bertahan dari cekalan kedua tangan yang
berusaha keras mengangkatnya.
"Benarkah apa yang kau
katakan itu, Den?" tanya Ki Gibar, setelah berdiri tegak. Masih terasa
adanya nada ketidakpercayaan dalam suaranya.
Arya menganggukkan kepala
sambil tersenyum lebar. "Aku
dan kawanku ini
bukan orang jahat,
Ki. Bukan!
Namaku Arya, dan kawanku
Melati. Semula, kami bemiat sekadar lewat saja di desa ini. Kemudian kami
singgah di kedai ini untuk sekadar mengisi perut. Tapi, sambutan yang
diterima terlalu mengejutkan! Kami,
atau lebih tepatnya kawanku ini,
malah dituduh sebagai pembunuh keji!"
Arya menghentikan ucapannya.
Sementara, Melati dan Ki Gibar mendengarkannya penuh minat.
"Itulah sebabnya, kami
sengaja datang kemari, Ki," sambung Arya "Untuk mengetahui secara
lebih jelas mengenai pembunuh itu."
"Benar, Ki," timpal
Melati. "Aku sama sekali tidak pernah melakukan semua kekejian seperti
yang dituduhkan. Bagaimana mungkin kulakukan berbagai macam kejahatan. Padahal,
aku baru saja tiba di desa ini?!"
Ki Gibar menatap wajah Arya
dan Melati berganti-ganti. Disadari ada kesungguhan, baik dalam ucapan maupun
tarikan wajah sepasang muda mudi di hadapannya. Kini mulai timbul adanya rasa
percaya di hatinya terhadap Arya dan Melati.
"Pikirkanlah baik-baik,
Ki." kata Dewa Arak lagi. "Kalau memang kami berdua orang jahat,
mungkin sudah banyak orang yang kami bunuh! Baik yang berada di kedai ini,
maupun anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Tapi buktinya, kau lihat
sendiri ‘kan, Ki? Tak seorang pun yang kami bunuh. Padahal, itu hanya sebuah
tindakan yang amat mudah!"
Ki Gibar tetap diam. Meskipun
demikian, hati kecilnya menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Arya dan
Melati. Telah disaksikannya sendiri bukti-bukti ucapan Arya dan Melati.
"Rasanya sulit dipercaya
kalau kau bukan pelaku semua kekejian itu, Nisanak," kata Ki Gibar,
setengah berdesah. "Wajah, potongan rambut, dan pakaian yang kau kenakan
sama persis dengan pembunuh keji itu. Bahkan namanya pun sama. Dia
memperkenalkan diri sebagai Melati."
Arya dan Melati saling
berpandangan sebentar. "Apakah kau pernah menyaksikan pembunuh keji itu,
Ki?" tanya Melati.
“Tentu saja. Nisanak! Kalau
tidak, bagaimana mungkin kukatakan kalau kau sangat mirip dengan si
pembunuh?!" sahut Ki Gibar cepat, sambil menganggukkan kepala. "Aku
melihat sendiri ketika kau. ah! Maksudku pembunuh itu
membantai orang-orang desa!
Dia mengamuk membabi buta. Bahkan anak kecil pun menjadi korbannya!"
"Bisa kau ceritakan
sedikit kejadiannya, Ki?" pinta Arya, pelan.
"Baiklah, Arya."
sahut Ki Gibar. "Tapi, sebaiknya kita duduk dulu. Mari, mari silakan duduk
"
Laki-laki pendek gemuk ini
mendahului duduk, diikuti Arya dan Melati. Mereka duduk mengelilingi sebuah
meja berbentuk persegi panjang.
"Peristiwanya terjadi
kira-kira sebulan yang lalu. Seorang wanita cantik jelita, berpakaian putih,
dan berambut panjang datang. Dan seperti juga kedatangannya yang sama sekali
tidak disangka-sangka, gadis itu pun mengamuk tanpa terduga. Setiap orang yang
berpapasan dengannya, dibunuh dengan pedangnya yang berukir kepala seekor naga.
Seketika seisi Desa Gondang geger!"
Sampai di sini Ki Gibar
menghentikan cerita untuk mencari kata-kata yang tepat sebagai penyambung
cerita.
"Penduduk yang tidak
tinggal diam melihat kekejaman itu, lantas mengadakan perlawanan. Tapi, mereka
dengan mudah berhasil ditumpas wanita siluman itu. Bahkan Karaeng, guru silat
desa ini tewas di tangannya. Hal ini menyadarkan penduduk desa kalau wanita
siluman itu tidak mungkin dilawan. Dengan terpaksa mereka mundur. Sementara,
wanita berpakaian putih itu tertawa penuh kemenangan sambil mengucapkan
kata-kata bernada penuh kesombongan."
"Apa yang dikatakannya,
Ki?" selak Melati tak sabar.
Wajah Melati tampak merah
padam. Memang, gadis berpakaian putih ini tengah dilanda amarah oleh tindakan
orang yang menyamar sebagai dirinya. Setiap kali Ki Gibar menyebut wanita siluman,
Melati merasakan seperti makian itu ditujukan ke arahnya.
Bukannya menjawab, Ki Gibar
malah menundukkan kepala. Karuan saja, hal ini membuat Melati semakin tidak
sabar. Tapi, Dewa Arak segera menyentuh tangannya untuk menyabarkan. Arya yang
tahu kalau Ki Gibar tidak enak untuk mengatakannya, segera membujuk.
"Katakanlah, Ki.
Percayalah. Kami telah siap mendengarnya," pinta Arya pelan.
"Hi hi hi...! Orang
seperti kalian hendak membunuhku?! Kalian tahu siapa aku?! Namaku Melati, Dewi
Penyebar Maut! Akan kubunuh kalian semua!" tutur Ki Gibar, menirukan
ucapan Melati palsu.
"Jadi, itu yang
dikatakannya?" tanya Arya. Sementara Melati sudah menundukkan kepala.
Ki Gibar menganggukkan kepala.
"Terima kasih atas
petunjukmu, Ki. Kau telah banyak membantu kami. Sekarang, kami mohon diri untuk
mencari orang yang telah bertindak demikian keji!"
Belum lagi gema suara itu
lenyap, tubuh Dewa Arak dan Melati sudah tidak berada lagi di situ. Kini,
tinggallah Ki Gibar sendirian.
*** 5
Begitu berada di luar kedai,
Arya dan Melati kembali mengedarkan pandangan berkeliling.
"Ke mana kita harus
mencari pembunuh keji itu, Kang?" tanya Melati. Nada suaranya menyiratkan
kebingungan.
Arya tidak langsung menjawab.
Malah ditatapnya wajah Melati sejenak, kemudian beralih ke kanan dan ke kiri.
"Kita ambil jalan kanan
saja, Melati. Karena, jalan itulah yang belum kita tempuh," kata Arya
memberi keputusan.
Melati hanya mengangkat bahu,
pertanda menyerahkan keputusan itu sepenuhnya pada Dewa Arak.
Tanpa menunggu lebih lama lagi,
Arya melesat ke arah yang dipilih diikuti Melati dari belakang. Sesaat kemudian
sepasang pendekar muda itu sudah melesat cepat bagai kilat. Yang terlihat
hanyalah dua sosok bayangan ungu dan putih dalam bentuk tak jelas.
Hanya dalam beberapa kali lesatan
saja, tubuh Arya dan Melati tinggal berupa titik kecil di kejauhan. Semakin
lama, semakin kecil. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali.
Baru saja tubuh Arya dan
Melati lenyap, sesosok bayangan putih melesat dari balik kerimbunan semaksemak
dan pepohonan lebat. Kemudian, bayangan itu mendarat di tempat Melati dan Arya
tadi berdiri.
Sinar rembulan yang terang
memperlihatkan kalau bayangan putih itu ternyata seorang wanita cantik jelita
berpakaian putih. Rambutnya yang berwarna hitam mengkilat dan panjang,
dibiarkan terurai sehingga menambah kecantikannya. Dia tak ubahnya seorang
bidadari yang tengah turun ke bumi!
Wanita berpakaian putih itu
mengarahkan pandangan ke arah Arya dan Melati lenyap. Agak lama juga dia
bertindak seperti itu, sebelum akhirnya melangkah menuju kedai Ki Gibar.
Tak sampai tiga tindak, wanita
berpakaian putih itu telah berada di depan pintu. Lalu....
Brakkk!
Daun pintu itu hancur
berantakan mengeluarkan suara hiruk pikuk ketika tangan wanita berpakaian putih
membenturnya. Kepingan-kepingan daun pintu kontan berhamburan ke dalam! Luar
biasa! Gedoran tangan wanita berpakaian putih itu tak ubahnya serudukan seekor
kerbau liar! Dahsyat bukan kepalang.
Tentu saja suara gaduh itu
membuat Ki Gibar yang masih termenung di ruangan depan, terkejut seperti
disengat ular berbisa. Dengan agak kalap, kepalanya menoleh untuk melihat
penyebab suara gaduh itu.
Wajah Ki Gibar kontan berubah
hebat ketika melihat daun pintunya hancur berantakan. Perasaan kaget yang amat
sangat mendera hatinya, tapi tidak sebesar kekagetan yang dialami ketika
melihat sosok tubuh di ambang pintu kedainya
"Kau... kau. ,"
desis Ki Gibar kaget seraya bangkit dari
kursi. Sepasang matanya tampak
terbelalak lebar memperlihatkan keterkejutannya.
"Rupanya kau mengenalku, Tua
Bangka?!" sambut wanita berpakaian putih itu sambil tersenyum mengejek.
Wanita berpakaian putih itu
melangkah mendekati disertai tatapan penuh ancaman.
"Tapi agar lebih jelas,
kuperkenalkan diriku. Namaku Melati. Tapi, orang-orang persilatan dulu menjulukiku
Dewi Penyebar Maut!" kata wanita berpakaian putih itu ketika telah
melangkah tiga tindak.
"Bohong! Tidak mungkin!
Kau bukan Melati!" bantah Ki Gibar keras sambil melangkah mundur, karena
menyadari adanya ancaman maut pada dirinya.
"Apa kau bilang,
Keparat?!" desis wanita berpakaian putih yang mengaku sebagai Melati itu
penuh ancaman.
"Kau perempuan keji yang
menyamar sebagai Nini Melati!"
Entah mendapat keberanian dari
mana. Ki Gibar tanpa takut-takut mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Ooo...? Rupanya kau
telah mengetahuinya. Tapi, tak akan kubiarkan kau menyebarkan berita ini pada
orang lain. Kau harus mati, Tua Bangka Bau Tanah!"
Usai berkata demikian, wanita
berpakaian putih itu menggerakkan kakinya
Tukkk! Wuttt!
Kaki mungil itu menghantam sebuah
kursi. Pelan saja kelihatannya, tapi akibatnya luar biasa. Kursi itu melayang
deras ke arah Ki Gibar.
"Aaa...!"
Ki Gibar tak mampu menahan
jeritannya ketika melihat kursi melayang deras ke arahnya. Memang, dia memiliki
ilmu silat. Tapi, itu pun hanya sekadarnya saja. Padahal kursi yang tengah
mengancamnya meluruk dalam kecepatan tinggi.
Meskipun demikian. Ki Gibar
masih sempat bertindak menyelamatkan diri. Disambarnya sebuah ursi yang berada
db di dekatnya, kemudian diayunkannya untuk memapak kursi yang tengah
mengancamnya.
Brakkk!
Kursi yang berada di tangan Ki
Gibar langsung hancur berantakan ketika benturan itu terjadi. Bukan hanya itu
saja. Tubuh laki-laki pendek gemuk itu kontan terhuyunghuyung ke belakang.
Kedua tangannya terkulai di sisi pinggang. Sambungan tulang pangkal lengan Ki
Gibar telah terlepas saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam sambaran
kursi.
Hebatnya, meskipun perasaan
nyeri dan sakit akibat benturan kursi itu menggigit-gigit, Ki Gibar mampu
menahan jeritannya.
"Hi... hi... hi...!"
Wanita berpakaian putih itu
tertawa mengikik. Dan masih dengan tawa yang belum lenyap, dia melompat memburu
Ki Gibar. Tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar, meluncur ke arah
dada.
Ki Gibar hanya bisa
membelalakkan mata melihat maut yang siap mengancamnya. Disadari kalau serangan
itu tidak mampu dielakkannya. Saat itu, tubuhnya tengah terhuyung huyung ke
belakang. Tambahan lagi, kedua tangannya telah tidak bisa dipergunakan lagi.
Dan kini yang dapat dilakukannya hanya menanti datangnya maut!
Jrebbb! "Aaakh...!"
Kali ini, Ki Gibar tidak bisa
menahan teriakannya begitu jari-jari tangan wanita berpakaian putih itu amblas
ke dadanya. Darah segar kontan muncrat-muncrat dari bagian yang terluka.
Sepasang mata Ki Gibar
terbelalak lebar ketika meregang maut. Kedua kakinya tampak menggigil keras.
Dan ketika wanita berpakaian putih itu menarik kembali tangannya, tubuh pemilik
kedai yang malang itu ambruk di tanah!
"Hi hi hi...!"
Wanita berpakaian putih itu
tertawa mengikik. Ditatapnya tubuh Ki Gibar yang sudah tidak bergerak lagi di
lantai. Dan tiba-tiba dia berdiri diam. Hal itu dilakukannya karena mendengar
adanya suara langkah kaki menuju ke tempatnya. Dan memang, dugaannya sama
sekali tidak meleset. Di ambang pintu yang menjadi penghubung antara bagian
dalam dan kedai, tahu-tahu muncul seorang wanita setengah baya berpakaian
jingga.
"Kang Gibar...!"
jerit wanita berpakaian jingga ketika melihat tubuh Ki Gibar tergeletak di
lantai bermandikan darah. Seiring keluar jeritannya, wanita itu memeluk ke arah
tubuh Ki Gibar berada.
Sementara, wanita berpakaian
putih masih berdiri tak jauh dari situ dengan kedua tangan berlumur darah.
"Kang Gibar! Kang...!
Jangan tinggalkan aku, Kang...," rintih wanita berpakaian jingga, penuh kesedihan.
Wanita berpakaian jingga itu
terus saja menangis sesenggukan sambil memeluki tubuh Ki Gibar, yang tidak lain
suaminya sendiri. Sama sekali tidak dipedulikan lagi keberadaan wanita
berpakaian putih itu. Padahal secara pasti diketahuinya kalau wanita itu
pembunuh suaminya.
Tapi, sikap wanita berpakaian
jingga itu sama sekali tidak menimbulkan kemarahan wanita berpakaian putih.
Bahkan seulas senyum licik malah terhias di mulutnya.
Lalu sambil memperdengarkan
suara tawa yang menggiriskan hati, wanita berpakaian putih itu melesat keluar!
***
Setibanya di luar kedai,
wanita berpakaian putih itu melesat menempuh arah yang berlawanan dengan arah
yang ditempuh Dewa Arak dan Melati. Ilmu meringankan tubuhnya ternyata sangat
tinggi. Sehingga, kedua kakinya terlihat seperti tidak menapak tanah ketika
berlari.
Rupanya, wanita berpakaian
putih itu memang tidak ingin diketahui orang. Buktinya jalan yang dipilihnya
adalah tempat tempat sepi, semak-semak, dan pepohonan.
Entah betapa lama berlari,
wanita berpakaian putih itu sama sekali tidak mempedulikannya. Tapi, terhadap
sesosok tubuh yang tahu-tahu berdiri dalam jarak enam tombak di hadapannya, dia
tidak bisa bersikap tak peduli.
Karena sadar kalau sosok tubuh
yang berdiri di hadapannya sengaja menghadang jalan, wanita berpakaian putih itu memperlambat
larinya. Meskipun demikian, pandangan matanya tetap diarahkan ke depan.
Kemudian larinya dihentikan sama sekali ketika telah berjarak tiga tombak dari
si penghadang.
"Siapa kau?! Mengapa
menghadang jalanku?!"
Wanita berpakaian putih itu
mengajukan pertanyaan sambil memperhartikan sosok tubuh yang berdiri di
hadapannya. Dia mengenakan sebuah caping di kepalanya. Pakaian berwarna biru
membungkus tubuhnya yang ramping. Menilik dari potongan tubuhnya, wanita berpakaian
putih itu tahu kalau penghadangnya seorang wanita.
"Kau tidak periu tahu
siapa aku! Yang jelas, aku tidak rela kalau Melati sampai tewas di tangan orang
lain. Melati harus tewas di tanganku! Kau dengar?! Melati harus mati di
tanganku! Tapi, tindakanmu membuat segalanya menjadi kacau! Melati menjadi
orang buruan! Kau harus diberi pelajararan atas kelancangan sikapmu ini!"
Ketus dan tajam ucapan yang
keluar dari mulut si penghadang yang tidak lain orang yang telah menyerang
Melati di sungai.
Wanita berpakaian putih
terkejut bukan kepalang mendengar ucapan itu, karena mengandung pengertian
kalau penyamarannya sebagai Melati telah diketahui. Entah bagaimana, wanita
berpakaian biru itu mengetahuinya. Yang jelas, wanita berpakaian putih tidak ingin
memikirkannya.
"Rupanya kau seorang
wanita juga, heh?! Lancang benar mulutmu! Rupanya kau ingin cepat-cepat
menghadap malalkat maut?! Baik! Permintaanmu kupenuhi! Hih!"
Wanita berpakaian putih itu
membuka serangannya dengan sebuah tendangan terbang. Langsung diterjangnya
wanita berpakaian biru itu sambil melancarkan tendangan kaki kanan.
Wuttt..!
Serangan wanita berpakaian
putih itu mengenai tempat kosong begitu lawannya terlebih dahulu melempar tubuh
ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara.
Jleggg!
Begitu wanita berpakaian biru
itu mendarat, Melati palsu juga mendarat pula.
"Rupanya kau lihai juga,
Keparat! Pantas kau berani mencoba melenyapkan Melati! Aku tahu, alasan yang
mendorongrnu! Kau ingin mendapatkan cinta Dewa Arak!"
“Tutup mulutmu!" jerit
wanita berpakaian biru itu keras. Dan seiring keluarnya ucapan itu,
diterjangnya wanita berpakaian putih dengan tinju kanan meluncur cepat ke arah
dada.
Wukkk!
Deru angin keras yang
mengiringi, menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan itu. Tapi, wanita berpakaian putih itu tidak gugup karenanya, dan
tetap bersikap tenang. Bahkan sambil mengeluarkan dengus bernada ejekan,
serangan lawan dipapaknya dengan tinju kanan pula.
Dukkk!
Benturan dua tangan yang
sama-sama ditopang tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Keras bukan
kepalang suara yang timbul, seakan-akan dua batang logam keras yang
berbenturan.
"Ikh...!"
Wanita berpakaian putih
meringis kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. Sedangkan
lawannya hanya dua langkah. Rupanya tenaga dalam wanita berpakaian biru itu
masih lebih unggul daripadanya. Wanita berpakaian biru yang sudah meluap-luap
amarahnya, tidak bertindak hanya sampai di situ saja. Begitu kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyunghuyung telah berhasil dipatahkan, kembali
dilancarkannya
serangan susulan.
Tapi, Melati palsu ternyata
bukan lawan yang mudah dapat ditundukkan. Serangan susulan itu berhasil
dielakkannya. Bahkan mampu membalas dengan mengirimkan serangan tak kalah
dahsyat. Maka, pertarungan sengit antara kedua tokoh yang sama-sama wanita dan
penuh rahasia ini jadi berlangsung sengit.
Baik Melati palsu maupun
wanita berpakaian biru mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing. Mereka
sama-sama bisa menilai satu sama lain amat tangguh. Apabila bertindak
setengah-setengah, nyawalah taruhannya.
Hasilnya, suasana malam yang
semula sepi berganti gaduh. Deru angin mencicit mendem, dan mengaung yang
timbul akibat setiap gerakan kedua wanita itu menghiasi jalannya pertarungan.
Gerakan Melati palsu dan wanita berpakaian biru yang sama-sama cepat membuat
tubuh mereka lenyap bentuknya. Kini yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan
putih dan biru yang saling belit, tapi terkadang saling pisah.
Di jurus-jurus awal, pertarungan
berlangsung seimbang. Masing-masing pihak hampir saling berganti melancarkan
serangan. Meskipun memang, wanita berpakaian biru lebih banyak melakukan
serangan.
Namun ketika pertarungan
menginjak jurus kelima puluh, mulai tampak keunggulan wanita berpakaian biru
itu. Perlahan-lahan lawan tampak berhasil terdesak. Hal itu tetjadi karena
kecerdikan wanita berpakaian biru. Dia sadar, tenaga dalamnya di atas lawannya.
Maka dipergunakannya keunggulan itu untuk mendesak Melati palsu. Memang, hanya
ilmu tenaga dalam wanita berpakaian biru lebih unggul. Sedangkan dalam ilmu
meringankan tubuh, tingkatan mereka berimbang.
Wanita berpakaian biru tahu
keunggulannya dalam hal tenaga itu. Maka dia berusaha sekuat tenaga agar
terjadi benturan tenaga dalam antara mereka. Disadari kalau hal itu terjadi,
dia mendapat keuntungan.
Wanita berpakaian putih tentu
saja mengetahui maksud lawannya. Maka sekuat tenaga dia berusaha menghindari
benturan tangan. Tidak heran, serangan wanita berpakaian biru selalu
dielakkannya.
Sedikit demi sedikit,
serangan-serangan Melati palsu semakin berkurang. Bahkan lebih banyak mengelak.
Untuk menangkis pun, jarang dilakukan.
Sedangkan wanita berpakaian
biru semakin menggebugebu dalam melancarkan serangan.
Wanita berpakaian putih itu
sadar, keadaan sangat tidak menguntungkan bagi dirinya. Tampak lawan terlalu
tangguh untuknya. Kalau dipaksakan, jelas akan merugikan diri sendiri .Jadi,
dia harus berbuat sesuatu. Maka, benaknya kini diputar.
"Haaat..!" Di jurus
ketujuh puluh tujuh, wanita berpakaian biru mengirimkan tendangan lurus ke arah
perut.
Wuttt! "Hih!"
Melati palsu segera melempar
tubuh ke belakang, sehingga serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Dan pada
saat yang bersamaan dengan tindakan penyelamatan diri itu, kedua tangannya dimasukkan
ke balik baju. Tapi hanya sebentar saja, karena sesaat kemudian telah keluar
kembali dan langsung dikibaskan.
Sing, sing, sing...!
Suara berdesing nyaring
terdengar seiring kibasan tangan wanita berpakaian putih itu. Sinar-sinar
menyilaukan mata langsung tampak, berbarengan meluncurnya beberapa benda
berkilat ke arah wanita berpakaian biru.
"Ahhh...!"
Pekik tertahan bernada
keterkejutan terdengar dari mulut wanita berpakaian biru ketika melihat
benda-benda berkilat yang tak lain pisau terbang, meluncur ke arahnya. Semuanya
berjumlah lima buah. Dan hebatnya luncuran itu membentuk segi lima! Kalau bukan
ahlinya, tak akan mungkin bisa berbuat seperti itu. Bahkan wanita berpakaian
biru pun yakin, kalau tidak akan mampu mengirimkan serangan pisau seperti itu.
Tahu akan berbahayanya
serangan ini, wanita berpakaian biru tidak berani bertindak gegabah. Terpaksa
maksudnya semula dibatalkan. Lalu segera pedangnya dicabut dan langsung
diputar-putar di depan dada.
Trang, trang, trang!
Beradunya pedang dan pisau
pisau terdengar bertubitubi. Bunga-bunga api memercik ke sana kemari, ketika
pisau-pisau milik Melati palsu berpentalan tak tentu arah. Dan kesempatan baik
ini dipergunakan wanita berpakaian putih itu untuk melarikan diri begitu
lawannya berhasil menangkisi pisau-pisaunya.
Sementara wanita berpakaian
biru sama sekali belum menyadari tindakan lawannya. Dan begitu sadar, dia
langsung melesat ke arah Melati palsu melesat.
Dan usaha wanita berpakaian
biru itu ternyata sia-sia, karena telah kehilangan jejak. Dengan pedang masih
tercekal di tangan, pandangannya beredar berkeliling. Tapi yang dijumpainya
hanya pepohonan dan semak semak. Tidak terlihat seorang pun yang tengah
berlari.
"Hhh...!"
Wanita berpakaian biru
menghela napas berat kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Dia tahu, tidak
ada gunanya meneruskan pengejaran terhadap lawannya. Salah-salah dia sendiri
yang tewas terbokong.
*** 6
"Hhh...!" Melati
menghembuskan napas kesal. "Kurasa, pencarian kita kaki ini cukup, Kang.
Mungkin wanita siluman itu sudah tidak di sini. Atau..., malam ini dia tidak
menyebar maut'"
Arya menghentikan lari karena
Melati tampak lelah. Gadis berpakaian putih itu kini sudah menyandarkan
punggungnya pada sebatang pohon. Sikapnya terlihat lesu sekali. Arya pun bergegas
menghampiri.
"Mungkin dugaanmu benar,
Melati. Pencarian kita telah cukup. Lebih baik, kita kembali."
Usai berkata demikian, Arya
mengulapkan tangannya. Maka, Melati pun mendekati. Kemudian dengan bergandengan
tangan, sepasang pendekar muda ini meninggalkan tempat itu. Arya dan Melati
melangkah lambat-lambat, tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya.
Belum berapa jauh meninggalkan
tempat semula, Melati mendengar suara bisikan di telinganya. Suara Arya,
kekasihnya.
"Ada orang yang tengah
menuju kemari, Melati. Tapi bersikaplah tenang saja, seakan-akan kita tidak
tahu kedatangannya."
Melati tidak membantah, dan
langsung bersikap seolah-dah tidak mengetahui akan hadirnya seseorang. Meskipun
demikian, pendengarannya dipasang setajam mungkin.
"Aku tidak mendengar
suara yang kau maksud, Kang," kata Melati, dengan suara berbisik.
"Pendatang ini memang
lihal, Melati."
Hanya itu yang dikatakan Arya.
Dan Melati yang tahu gelagat, sengaja tidak mengajukan pertanyaan lagi.
Sekarang mereka melanjutkan langkah tanpa bisik-bisik lagi. Tapi baru beberapa
tindak melangkah, terdengar bentakan dari belakang.
"Melati! Manusia
terkutuk! Hendak kabur ke mana kau?!"
Sekitar tempat itu langsung
bergetar hebat. Memang, bentakan itu keras bukan main karena di keluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Belum juga gema bentakan itu
lenyap, sesosok bayangan berkelebat cepat melewati samping kanan Arya dan
Melati.
Jliggg!
Arya dan Melati menatap ke
arah sosok bayangan yang kini telah berdiri di depan. Sosok tubuh itu ternyata
seorang kakek bertubuh pendek dan berpakaian penuh tambalan. Sebatang tongkat
besi berujung runcing tampak tergenggam di tangannya. Rentetan gelang-gelang
baja yang melingkari pergelangan tangannya, bisa diketahui kalau kakek pendek
itu berasal dari Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.
Arya yang tidak ingin terjadi
kesalahpahaman, segera melangkah maju.
"Siapakah kau, Ki?
Mengapa berkata seperti itu?" tanya Arya dengan suara ditekan.
Tampak jelas kalau pemuda
berambut putih keperakan itu tengah dilanda amarah. Dan memang, Arya senantiasa
marah setiap kali ada orang yang menghina kekasihnya.
"Aku Gumpala, Ketua
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Kau, Dewa Arak bukan?" kakek pendek
itu malah balik bertanya.
Arya menganggukkan kepala,
membenarkan dugaan Gumpala. Pemuda berambut putih keperakan itu masih memberi
tanggapan, sekalipun Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang mengajukan
pertanyaan tanpa rasa hormat sedikit pun.
"Kurasa, kau tidak perlu
lagi mengajukan keheranan atas ucapan yang kukeluarkan tadi terhadap wanita
liar ini!" tuding Gumpala pada Dewa Arak. “Tutup mulutmu, Ki! Cabut
kembali ucapan mu! Atau..., aku terpaksa mengusirmu dari sini dengan
kekerasan!"
Keras dan bergerar sekali
ucapan Dewa Arak. Hal ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih
keperakan itu tengah dilanda kemarahan menggelegak. Raut wajahnya yang merah
padam dan tarikan wajahnya yang membesi, semakin memperjelas gambaran perasaan
yang tengah berkecamuk.
"Ha... ha.. ha...!"
Gumpala malah tertawa
bergelak.
"Kau kira aku termasuk
orang yang bisa kau gebrak, Dewa Arak?! Lucu, lucu sekali! Orang lain boleh
takut dengan nama besarmu! Tapi aku bukan orang semacam mereka! Kau keliru bila
menyangka akan bisa menggertakku, Dewa Arak!"
Terdengar suara bergemeretak dari
mulut Dewa Arak. "Jadi..., apa maumu, Ki?" tanya Arya dengan suara
bergetar karena amarah yang
melanda.
"Murid-murid Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang telah menceritakan kegagalan mereka menangkap kawanmu
ini! Maka, kuputuskan untuk menangkapnya sendiri. Aku yang akan menghukum
wanita siluman yang telah terlalu banyak membuat kekacauan ini!"
Lantang dan penuh semangat
ucapan Ki Gumpala. Itu pun masih ditambah lagi dengan tudingan jari telunjuknya
terhadap Melati.
Dewa Arak tersenyum pahit.
"Kau keterlaluan, Ki!
Sikapmu sudah kelewatan! Kau tidak memberiku pilihan lain!"
"Kedatanganku kemari
untuk menangkap kawanmu itu, Dewa Arak! Siluman betina yang telah banyak
menyebar bencana. Dan bukan untuk mengadu mulut denganmu!"
Setelah berkata demikian, Ki
Gumpala langsung menerjang Melati. Tangan kanannya yang berbentuk cakar segera
disampokkan ke arah pelipis Melati. Cepat dan tidak terduga-duga gerakannya.
"Hey...?!" Dewa Arak
berseru kaget. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya karena serangan Ketua
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang begitu cepat, dan tidak keburu
ditangkisnya.
Namun Melati pun bukan orang
lemah. Melihat ancaman datang ke arahnya dia pun bertindak cepat. Tangan
kirinya cepat menangkis, dengan arah gerakan dari dalam keluar.
Wuttt! Dukkk!
"Ikh...!"
Seruan kaget bercampur
kesakitan keluar dari mulut Melati ketika tangannya berbenturan dengan tangan
Ki Gumpala. Tulang-tulang tangannya terasa sakit dan ngilu. Bahkan tubuhnya
terhuyung tiga langkah ke belakang, sementara lawannya hanya terhuyung dua
langkah. Jelas, tenaga Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu lebih kuat
darinya.
Ki Gumpala sama sekali tidak
memberi kesempatan pada Melati untuk memperbaiki keseimbangannya. Kembali
dilancarkannya serangan pada gadis berpakaian putih itu, dengan tangan kiri.
Tangan yang juga berbentuk cakar itu meluncur ke arah ubun-ubun dengan arah
gerakan dari atas ke bawah.
Melati yang melihat bahaya
maut itu sudah bersiap-siap bertindak. Tapi, Dewa Arak bergegas melesat
menotong Melati. Arya memang khawatir sekali atas keselamatan kekasihnya. Telah
dilihatnya sendiri kehebatan Ki Gumpala.
Dewa Arak memapak serangan
cakar Ki Gumpala dengan menggunakan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga’.
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena
telah menyaksikan sendiri kekuatan tenaga dalam lawan.
Prattt!
Benturan keras seperti ada dua
batang logam kuat beradu, terdengar ketika dua buah tangan yang samasama
dialiri tenaga dalam tinggi terjadi. Akibatnya tubuh Ki Gumpala
terhuyung-huyung sejauh empat langkah. Sedangkan Dewa Arak hanya terhuyung dua
langkah.
Tapi hasil benturan itu tidak
menjadikan Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang gentar. Begitu telah
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, kembali
diserangnya Dewa Arak. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Ki Gumpala rupanya tidak
bertindak setengahsetengah. Seperti juga terhadap Melati, pada Dewa Arak pun
selalu dikirimkan serangan-serangan ke arah bagian yang mematikan. Jelas,
maksudnya adalah untuk membunuh pendekar muda yang telah mengukir nama besar
itu.
Tapi, semua serangan itu dapat
dikandaskan Dewa Arak tanpa menemui kesulitan. Bahkan beberapa kali tubuh lawan
terhuyung-huyung. Hal itu terjadi ketika
tangan atau kaki mereka berbenturan.
Menggiriskan bukan kepalang
pertarungan yang terjadi. Suara mencicit dari udara yang terobek menyemaraki
pertarungan. Bahkan daun-daun sampai berguguran dari tangkai pohon ketika
tersambar angin serangan mereka.
Semula, pertarungan berjalan
cukup seimbang. Kedua belah pihak saling ganti berganti melancarkan serangan.
Beberapa kali Ki Gumpala tampak terhuyung-huyung, tapi hanya berlangsung
sekejap saja. Kakek pendek itu langsung meluruk kembali ke arah lawannya begitu
telah berhasil memperbaiki keadaannya.
Ketika pertarungan mengjnjak
jurus ketujuh puluh, mulai tampak keunggulan Dewa Arak. Perlahan tapi pasti,
pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan itu mulai bisa menekan
lawannya. Malah, Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kini mulai main
mundur. Serangan-serangan yang dilancarkannya mulai berkurang. Bahkan lebih
banyak mengelak. Menangkis pun hanya sesekali saja dilakukan, karena hanya akan
merugikan dirinya.
Ki Gumpala pun sadar kalau
keadaan seperti itu tetap dipertahankan dia akan roboh di tangan Dewa Arak.
Siasat bertarungnya harus dirubah, kalau masih kepingin melenyapkan Dewa Arak!
Pikiran seperti ini membuat
Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang memutar otaknya, untuk mencari jalan
keluar dari keadaan terhimpit itu. Dan tugas seperti itu tidak terlalu lama
baginya.
"Haaat...!"
Diawali sebuah teriakan
nyaring yang membuat seluruh tempat itu bergetar hebat. Ki Gumpala mengibaskan
kedua tangannya. Hal itu dilakukannya sambil bergerak mundur, karena tekanan-tekanan
Dewa Arak yang terlalu kuat.
Sing, sing, sing...!
Suara berdesing keras
terdengar ketika gelang-gelang baja yang berada di pergelangan tangan Ki
Gumpala meluncur ke arah Dewa Arak. Tidak hanya satu, tapi enam buah!
Dewa Arak tidak berani bertindak
gegabah. Disadarinya kalau gelang-gelang baja yang dilemparkan Ketua
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang itu tidak bisa dibuat main-main.
Gelang-gelang itu terlalu riskan bila ditangkis dengan tangan kosong.
Karena untuk mengambil senjata
andalan sudah tidak mungkin lagi, Dewa Arak memutuskan untuk mengelak. Segera
dibatalkannya serangan susulan yang akan dilancarkan, kemudian tubuhnya
dibanting ke tanah.
"Ha ha ha...! Sekarang
rasakan kehebatan senjataku ini, Dewa Arak!"
Sambil tertawa terbahak-bahak,
Ki Gumpala kembali mengibaskan kedua tangannya. Maka, gelang-gelang baja putih
miliknya kembali meluncur ke arah Dewa Arak. Jelas, kakek pendek ini tidak sudi
memberi kesempatan bagi lawan untuk memperbaiki keadaan.
Hebatnya, begitu gelang-gelang
yang diluncurkan belakangan melesat, gelang-gelang yang meluncur lebih dulu dan
berhasil dielakkan Dewa Arak, membalik ke arahnya. Cepat-cepat Ki Gumpala
menangkapnya. Mudah dan enak saja hal itu dilakukannya.
Dewa Arak yang tengah sibuk
menggulingkan tubuh di tanah, tentu tidak melihat tindakan Ki Gumpala. Tapi,
tidak demikian halnya Melati. Gadts berpakaian putih ini melihat secara jelas
ketika Ki Gumpala menangkap gelang-gelang bajanya yang meluncur balik. Kini
Melati mengerti, mengapa perkumpulan pengemis itu berani menamakan dirinya
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang. Ternyata, gelang-gelang yang merupakan
senjata andalan itu benarbenar bisa terbang!
Tapi, Melati tidak bisa
berlama-lama larut dalam kekaguman. Segera perhatiannya dialihkan pada Dewa
Arak. Tampak Arya tengah bergulingan di tanah, sementara guci araknya telah
terpegang di tangan. Dan ketika gelanggelang itu meluncur dekat, langsung
dipapaknya dengan ayunan guci!
Klang, klang! Cappp...!
Sebagian gelang-gelang baja
itu tertangkis guci dan berpentalan tak tentu arah. Sedangkan sebagian lagi
menancap di tanah, karena tubuh Dewa Arak sudah tidak berada di situ lagi.
"Hup!"
Begitu telah tegak berdiri di
tanah, Dewa Arak segera menuangkan arak ke mulutnya. Gluk... gluk….gluk.
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu oleng karena kedua
kakinya sudah tidak bisa berdiri tegak lagi di tanah. Bisa ditebak, Dewa Arak
telah siap menggunakan ilmu ‘Belalang Sakti’ andalannya.
Baru Juga Dewa Arak menjauhkan
guci itu dari mulutnya, serangan-serangan gelang Ki Gumpala kembali melayang ke
arahnya disertai suara mengaung keras.
Tapi, hanya dengan langkah
terhuyung-huyung, yang merupakan ciri khas Jurus 'Delapan Langkah Belalang',
Dewa Arak berhasil mengkandaskan semua serangan.
Ki Gumpala yang merasa
penasaran bukan kepalang, tidak tinggal diam dan terus menghujaninya. Ketua
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang ini sama sekali tidak memberi kesempatan
lawan untuk mendekat. Gelang-gelang bajanya bertubi-tubi meluncur ke arah Dewa
Arak. Ki Gumpala sengaja memaksa Dewa Arak untuk mengadakan pertarungan dalam
jarak jauh, karena menguntungkan pihaknya.
***
Melati menyaksikan dengan
penuh perhatian jalannya pertarungan. Sekejap pun sepasang matanya tidak
berkedip.
Mendadak…. "Melati!"
Panggilan keras yang lebih
menyerupai bentakan membuat gadis berpakaian putih itu membalikkan tubuhnya ke
belakang, tempat suara berasal. Seketika, Melati kaget bercampur gembira ketika
mengenali orang yang telah memanggilnya.
"Syukur kau datang,
Keparat! Memang, sudah lama aku mencari-carimu!" ucap Melati, gembira.
Pemilik suara itu ternyata
wanita berpakaian biru, orang yang telah menyerang Melati di sungai! Betapa
Melati tidak menjadi gembira? Dia memang tengah mencari-cari wanita berpakaian
biru itu, untuk mengetahui kebenaran dugaannya. Benarkah wanita berpakaian biru
itu yang menjadi pelaku pembunuhan berantai yang telah membuat nama nya
tercemar?
"Aku pun sudah lama
menunggu kesempatan ini, Wanita Tak Tahu Malu! Sekarang, terimalah
kematianmu!"
Srattt!
Sinar terang berkeredep ketika
wanita berpakaian biru itu mencabut pedangnya. Telah dirasakannya sendiri
kelihaian Melati. Maka, tanpa ragu-ragu lagi kemampuan tertingginya
dikeluarkan.
"Hih!" Wanita
berpakaian biru itu melompat ke atas, kemudian menukik ke arah Melati.
Pedangnya langsung diluncurkan ke arah ubun-ubun lawannya. Menggiriskan sekali
serangan gadis berpakaian biru itu, karena mengingatkan orang akan burung
garuda yang tengah meluruk menerkam mangsa.
Tapi, Melati yang juga sudah
mengetahui kelihaian lawan tidak menjadi gugup. Apalagi, memang sudah bersiap
siaga sejak tadi. Maka begitu serangan meluncur tiba, buru-buru kakinya
melangkah mundur sambil memutarmutarkan pedang di atas kepala seperti
baling-baling.
Wung, wung, wung,..!
Suara menggerung keras seperti
ada naga murka terdengar ketika Melati memutar pedangnya laksana balingbaling.
Tampaknya, gadis berpakaian putih ini telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu
Naga' andalannya.
Trang, trang, trang!
Bunga bunga api memercik ke
udara ketika dua batang pedang berbenturan keras. Sehingga, telinga kontan
berdengung cukup nyaring.
Tubuh Melati terhuyung dua
langkah ke belakang akibat benturan itu. Sedangkan lawannya terpental kembali
ke atas.
Jliggg!
Begitu wanita berpakaian biru
itu mendarat, Melati berhasil pula memperbaiki keseimbangannya. Mereka saling
berpandangan sejenak, sebelum saling terjang kembali. Tidak tertihat secara
jelas, siapa di antara mereka yang lebih dulu menerjang. Yang jelas, sesaat
kemudian kedua wanita sakti ini sudah terlibat pertarungan sengit.
Hasilnya, kini di tempat itu
terdapat dua kancah pertarungan. Pertarungan antara Dewa Arak menghadap Ki
Gumpala, dan antara Melati menghadapi wanita berpakaian biru. Dan kedua
pertarungan itu sama-sama berlangsung sengit!
Sementara itu, Dewa Arak harus
berjuang keras agar bisa memaksa lawannya bertarung dalam jarak dekat. Hal itu
terjadi, karena Ki Gumpala tidak ingin pertarungan berlangsung dalam jarak
dekat. Dan bila hal itu terjadi, keampuhan gelang-gelang bajanya akan pupus!
Hasilnya, pertarungan yang
terjadi berlangsung cukup aneh. Dewa Arak yang berusaha keras mendekati Ki
Gumpala, tapi selalu kandas. Karena, kakek pendek itu selalu mencegahnya.
Terkadang gerak maju Dewa Arak dihambat dengan lemparan lemparan gelang
terbangnya.
Tapi jika hal itu sudah tidak
memungkinkan lagi, Ki Gumpala melompat mundur untuk menjauhkan diri. Hasilnya,
jarak antara mereka tetap tidak berubah. Sampai belasan jurus, hal itu tetap
berlangsung. Berarti, sekian lama itu pula Dewa Arak berada di pihak yang
diserang. Apalagi, sejak tadi pemuda berambut putih keperakan itu belum
melancarkan serangan balasan sama sekali!
Sebenarnya kalau Dewa Arak
mau, bisa saja melancarkan serangan balasan meskipun jarak antara mereka
terpisah jauh. Dewa Arak bisa menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'nya. Tapi
apabila hal itu dilakukan, nyawa Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang akan
terancam! Jurus 'Pukulan Belalang' tidak pernah gagal mencabut nyawa caIon
korbannya, apabila mengenai sasaran.
Tak terasa pertarungan antara
Ki Gumpala melawan Dewa Arak telah memasuki jurus keseratus empat puluh. Dan
selama itu, pertarungan masih berlangsung sengit.
*** 7
Di kancah pertarungan lain.
Melati pun tengah berjuang keras untuk bisa menaklukkan lawan. Tapi, tetap saja
dia kerepotan. Wanita berpakaian biru itu terlalu tangguh untuk cepat bisa
dirobohkan. Permainan pedangnya tidak di bawah permalnan pedang Melati.
Padahal, Melati telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Patut diakui, ilmu pedang
wanita berpakaian biru hebat bukan kepalang. Meskipun demikian, ada perbedaan
yang menyolok dalam permainan pedang mereka. Kehebatan ilmu pedang Melati
bertumpu pada kekuatan dan kecepatan serangan. Jadi, setiap serangan yang
dilancarkan mengandung pengerahan tenaga dan kemampuan sampai ke puncak.
Gerakan pedang Melati mengingatkan orang akan badai yang tengah mengamuk!
Hal seperti itu tidak terdapat
pada permainan pedang wanita berpakaian biru. Permainan pedangnya tidak
menunjukkan adanya kekuatan dahsyat. Tidak terdengar adanya suara menderu-deru
keras seperti gerakan Melati.
Gerakan pedang wanita
berpakaian biru terlihat cepat dan hampir tak mengeluarkan suara. Gerakannya
mirip kilat. Tidak nampak adanya akibat pada tempat yang dilewati, kecuali bila
menghantam sasaran. Suatu kedahsyatan tersembunyi! Hanya orang yang berhadapan
langsung yang akan merasakannya! Dan ini dialami Melati.
Karena masing-masing pihak
memiliki ilmu pedang yang dahsyat, pertarungan jadi berlangsung seimbang.
Sampai lebih dari sembilan puluh jurus, tetap saja tidak terlihat adanya
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Kedua belah pihak masih saling
berganti melancarkan serangan.
Keadaan di sekitar pertarungan
memang sulit digambarkan. Betapa tidak! Baru angin serangannya saja, sudah
cukup membuat cabang-cabang pohon yang tidak begitu besar putus dari batangnya.
Akibat yang terjadi tidak
hanya pada suasana di sekitarnya, juga pada tempat-tempat berpijak. Tanah
langsung berantakan! Sebagian besar terbongkar di sana-sini. Akibatnya, debu
pun mengepul tinggi ke udara.
Seperti juga pada pertarungan
antara Dewa Arak dengan Ki Gumpala, pertempuran antara Melati menghadapi wanita
berpakaian biru jadi bergeser dari tempat semula. Hanya saja, arah geseran
mereka semakin menjauhi kancah pertarungan antara Dewa Arak dan Ki Gumpala.
"Haaat...!"
Pada Jurus keseratus tiga,
wanita berpakaian biru itu melompat tinggi ke atas. Ketika telah mencapai
ketinggian dua tombak, luncuran tubuhnya terhenti, karena tenaga luncuran ke
atas sudah tidak ada lagi. Dan saat itulah tubuhnya berbalik. Kini, kepalanya
berada di bawah dan kedua kakinya di atas. Jari-jari kedua tangannya disatukan
sewaktu menggenggam pedang. Dan kedua tangan itu terjulur lurus ke bawah,
sehingga kedudukan tubuh wanita berpakaian biru itu tegak lurus.
Dalam kedudukan seperti itu,
tubuh wanita berpakaian biru meluncur turun ke arah Melati yang tepat berada di
bawahnya. Yang lebih mengerikan lagi, dalam keadaan seperti itu, tubuhnya
berpusing seperti gasing.
Melati terkejut bukan
kepalang. Disadari betapa berbahayanya serangan ini. Dia ingin mengelak, tapi
ternyata tidak mampu! Sepertinya, ada sebuah kekuatan tak nampak yang membuat
tubuhnya terpaku! Apakah kekuatan itu timbul karena wanita berpakaian biru
melancarkan serangan?
Memang, Melati telah mendengar
dari Dewa Arak mengenai ilmu yang membuat lawan tidak mampu bergerak. Dewa Arak
memang pernah menghadapinya. Bahkan bukan hanya membuat tidak bisa bergerak,
tapi juga mengalami kesulitan bernapas. Tokoh yang memiliki ilmu itu adalah
Jaranta. Dan bernama ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin' (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Rahasia Syair Leluhur")
Melati tahu, hanya ada satu
jalan bagi dirinya untuk menyelamatkan nyawa. Menangkis! Dan tindakan itulah
yang akan dilakukan Melati.
Wunggg...!
Suara menggerung keras
terdengar ketika Melati memutar-mutar pedangnya di atas kepala, sehingga lenyap
bentuknya menjadi segundukan sinar berkilauan.
Trang, trang...!
Bunyi dahsyat kontan terdengar
akibat benturan dua batang pedang secara tidak sewajarnya. Benturan itu tidak
hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Karena serangan pedang itu berputar, seiring
berputarannya tubuh wanita berpakaian biru.
Lalu....
Crat! Trak! "Akh!"
"Ikh!"
Rentetan kejadian bedangsung
demikian cepat. Sekali pun Melati telah berhasil menangkis serangan, tapi
luncuran pedang wanita berpakaian biru ternyata tidak bisa ditahan. Pedang itu
terus meluncur dan mengenai bahunya. Tapi pada saat yang hampir bersamaan,
pedang Melati pun berhasil menghantam caping bambu wanita berpakaian biru
hingga hancur berantakan. Tak pelak lagi, hasil bentrokan ini membuat kedua
belah pihak samasama terpekik kaget. Bahkan bergegas saling menjauhkan diri.
"Hup!"
Begitu kedua kaki wanita
berpakaian biru mendarat di tanah, Melati juga sudah selesai menghentikan
aliran darah di bahu dengan menotoknya di sekitar luka.
"Kau...?! Ranti. ?!"
Seruan bernada keterkejutan
membuat Melati dan wanita berpakaian biru itu menoleh. Di raut wajah keduanya
tersirat keterpanaan. Terutama sekali, di wajah wanita berpakaian biru.
Pemilik suara itu ternyata
Dewa Arak. Memang, meskipun terlibat dalam pertarungan sengit sesekali Dewa
Arak masih menyempatkan diri melihat pertarungan antara Melati melawan wanita
berpakaian biru. Dan ketika melihat serangan aneh wanita berpakaian biru pada
Melati, dia buru-buru melompat menjauhi Ki Gumpala. Dewa Arak benar-benar khawatir
atas keselamatan kekasihnya. Dapat dibayangkan, betapa kaget hatinya ketika
melihat wajah orang yang begitu ingin membunuh Melati.
Dewa Arak memang pernah
mengenal wanita berpakaian biru yang bernama Ranti. Dia adalah gadis murid
utama Perguruan Pedang Perak (Untuk lebih jelasnya mengenai tokoh yang bemama
Ranti, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Maut dari Hutan
Rangkong").
Ranti tampak gugup. Diiringi
keluhan tertahan dari tenggorokan, tubuhnya berbalik dan melesat kabur.
***
Sing, sing, sing! Srattt!
"Akh...!"
Dewa Arak memekik tertahan
ketika gelang-gelang baja milik Ki Gumpala menyerempet sisi-sisi pinggangnya.
Tidak heran, karena Arya tengah dilanda perasaan terkejut ketika melihat Ranti,
sehingga melupakan lawannya. Untung saja di saat terakhir, tubuhnya masih
sempat digeliatkan sehingga serangan-serangan Ki Gumpala tidak mendarat telak
pada sasaran.
"Ha ha ha...!" Ki
Gumpala tertawa bergelak. "Saat ajalmu sudah di ambang pintu, Dewa
Arak!"
Sambil mengucapkan perkataan
demikian, Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang kembali mengibaskan
tangannya untuk melontarkan gelang-gelang bajanya. Seketika senjata senjata
andalan itu pun melesat ke arah Dewa Arak.
Tapi, kali ini pemuda berambut
putih keperakan itu telah siap siaga. Meskpun akibat serempetan gelanggelang
baja Ki Gumpala masih mengalirkan darah, sama sekali tidak dipedulikannya.
Dewa Arak langsung menjejakkan
kedua kakinya, sehingga tubuhnya melambung tinggi ke udara. Hasilnya,
gelang-gelang yang meluncur ke arahnya lewat di bawah kaki. Tindakannya tidak
berhenti hanya sampai di situ saja! Dari atas, kedua tangannya dihentakkan ke
arah lawan. Dalam keadaan terhimpit seperti itu, Dewa Arak tidak berpikir dua
kali untuk mengeluarkan jurus 'Pukulan Belalang' yang menjadi andalannya.
Wusss….!
Deru angin keras berhawa panas
menyengat, menyambar keluar dari kedua tangan yang dihentakkan. Tercekat hati
Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang ini melihat kedahsyatannya. Maka,
tubuhnya buruburu dibanting ke tanah dan bergulingan menjauh. Akibatnya….
Blarrr!
Ledakan keras terdengar
menggelegar ketika pukulan jarak jauh itu menghantam tanah tempat Ki Gumpala
berpijak sebelumnya. Debu kontan mengepul tinggi ke udara, menghalangi
pandangan seiring berpentalannya bongkahan-bongkahan tanah ke sana kemari.
Dan ketika debu yang menutupi
pandangan lenyap, tampaklah sebuah lubang besar yang besarnya cukup untuk
mengubur bangkai kambing.
Tapi baik Dewa Arak maupun Ki
Gumpala sama sekali tidak mempedulikannya. Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang
Terbang masih sibuk menggulingkan tubuhnya di tanah, sedangkan Dewa Arak
langsung menotok jalan darah di sekitar luka, begitu kakinya berhasil mendarat
di tanah.
Begitu Dewa Arak selesai
menghentikan darah yang mengucur dari luka. Ki Gumpala telah bangkit dan
berdiri tegak di tanah. Ada kegentaran dan kekaguman dalam sorot matanya ketika
melihat lubang besar yang tercipta akibat jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak.
Samar-samar terlihat kepulan asap tipis dari bagian atas lubang.
Ki Gumpala dan Dewa Arak tak
langsung saling terjang. Mereka saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya
saling melangkah mendekat. Tapi….
"Ketua...!
Ketua...!"
Panggilan bernada penuh
kekalapan membuat Dewa Arak dan Ki Gumpala menghentikan gerakan. Memang, kedua
belah pihak telah bergerak saling mendekati, dan bersiap melancarkan serangan.
Hampir berbareng, mereka sama-sama menoleh ke arah asal suara.
Tampaklah sesosok tubuh
berpakaian penuh tambalan tengah berlari menuju ke arah mereka. Baik Dewa Arak
maupun Ki Gumpala sudah bisa menduga, sosok tubuh itu pasti orang Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang.
"Ada apa, Sora?!"
tanya Ki Gumpala bernada tidak senang.
Memang, Ketua Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang ini merasa tidak senang dengan gangguan yang
ditimbulkan anak buahnya.
"Wanita siluman itu
datang lagi, Ketua. Dia mengamuk dan membunuhi orang-orang perkumpulan
kita," lapor Sora terengah-engah, begitu telah berada di depan
pimpinannya.
"Apa katamu, Sora?!
Wanita siluman itu mengamuk di sana?!" Ki Gumpala berseru kaget "Kau
tidak salah lihat Sora?!"
"Tidak, Ketua."
Jawab Sora mantap.
"Jadi...," Ki
Gumpala tidak melanjutkan ucapannya. Tapi pandangan matanya segera diarahkan ke
Melati. Sudah bisa diduga perasaan heran yang berkecamuk dalam hatinya.
Sora segera mengedarkan
pandangannya ke arah yang sama dengan sepasang mata Ki Gumpala. Dan seketika
itu pula dia terjingkat kaget. Memang, dia tadi tidak melihat adanya Melati di
situ, saking terburu-burunya. Yang dilihatnya hanya Dewa Arak.
"Tidak ada waktu lagi
berdiam diri, Ki. Kita harus bergegas ke sana sebelum siluman itu kabur!"
kata Dewa Arak.
Dewa Arak tahu, telah tiba
kesempatan untuk membersihkan nama Melati yang tercemar. Maka, dia buru-buru
menukas. Disadari kalau tidak bertindak cepat, penyelidikan mereka akan dimulai
dari awal lagi.
Ucapan Dewa Arak membuat Ki
Gumpala tersadar. Dia tahu, telah salah menuduh orang. Maka tanpa berkata apa
pun, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Ayo, Melati!" ajak
Dewa Arak pada Melati yang masih terbengong atas perkembangan yang terjadi.
Maka, gadis berpakaian putih
itu pun melesat cepat menyusul Ki Gumpala yang telah berada beberapa tombak di
depan. Hampir pada saat yang bersamaan, Dewa Arak juga melesat menyusul.
Tentu saja Sora tidak mau
ketinggalan, dan segera berlari menyusul. Tapi karena ketiga orang sakti yang
berlari di depannya mengerahkan seluruh kemampuan, dia jadi tertinggal jauh di
belakang. Semakin lama semakin jauh, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
***
"Kau mengenal wanita
berpakaian biru itu, Kang?!"
Melati tidak tahan lagi
memendam pertanyaan yang sejak tadi bergayut di benaknya. Maka langsung
diutarakannya di sela-sela langkah mereka.
"Benar, Melati. Dia
Ranti, murid Perguruan Pedang Perak," Jawab Arya sambil terus berlari
cepat.
Melati tercenung. Benaknya
langsung berputar untuk mengingat-ingat nama itu. Melati memang pernah
mendengar nama itu. Hanya saja, lupa kapan dan di mana.
"lngat peristiwa di Hutan
Rangkong yang kuceritakan itu, Melati?" sambung Arya. Rupanya, Dewa Arak telah
mengetahui perasaan yang tengah bergelut di benak kekasihnya.
"Ah...! Jadi, dia? Gadis
yang telah menewaskan Raja Iblis Baju Hitam itu, Kang?!" tebak Melati yang
kini mulai ingat.
"Benar!"
Melati dan Arya seketika
terdiam. Kini hanya kaki-kaki mereka saja yang sibuk melakukan pekerjaan.
Berlari dengan kecepatan tinggi.
"Hanya yang tidak
kumengerti, mengapa dia bermaksud membunuhmu, Melati. Bahkan nampaknya amat
membencimu! Apakah kau mempunyai urusan dengannya?!" tanya Arya bernada
tidak mengerti.
"Tidak, Kang," jawab
Melati sambil menggelengkan kepala.
"Lalu.., kenapa dia
begitu ingin membunuhmu?!" "Rahasia wanita, Kang," jawab Melati
sambil menyung-
gingkan senyum lebar.
"Maksudmu...? Jangan
berteka-teki lagi. Melati."
Kali ini Arya sampai menoleh.
Jelas, ucapan Melati membuatnya tertarik bukan kepalang. Namun Melati tidak
langsung menjawab. Kakinya terus saja melangkah. Mau tak mau, Arya terpaksa
harus bersabar menunggu.
"Meskipun tidak
mengatakan urusannya, tapi dari ucapan dan sikap-sikap yang ditunjukkannya
padaku, bisa kutebak alasannya. Dan itulah sebabnya kukatakan kalau hal itu
rahasia wanita. Dia mencintaimu, Kang," urai Melati panjang lebar.
"Jadi...?"
Terdengar bodoh sekali ucapan
yang keluar dari mulut Arya.
"Dia cemburu padaku. Tahu
kalau keberadaanku menghalangi maksudnya untuk mendapatkanmu, dia berusaha
menyingkirkan aku. Jelas?!"
Arya tidak menyahutinya.
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya menganggukkan kepala pertanda
mengerti. Sekarang mereka tidak berkata-kata lagi. Yang dilakukan hanyalah
berlari secepat mungkin agar bisa segera tiba di markas Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang. Sementara, tubuh Ki Gumpala telah berada beberapa tombak di
depan.
*** 8
"Mundur semua…!"
Ki Gumpala berteriak keras
ketika telah menjejakkan kakinya di dalam halaman Perkumpulan Pengemis Gelang
Terbang. Pandangan matanya menyorotkan kegeraman pada sosok tubuh berpakaian
putih yang tengah dikeroyok belasan anggota perkumpulannya. Sementara di
sana-sini terlihat beberapa sosok tubuh berpakaian tambalan sudah bergeletakan
tanpa nyawa. Di antaranya, terdapat Tombala.
Anggota Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang tentu saja mengenali suara ketuanya. Maka tanpa menunggu
keluarnya perintah kedua, mereka berserabutan mundur, memberi jalan Ki Gumpala
untuk menghadapi pembunuh keji yang dianggap Melati.
Jliggg!
Ki Gumpala mendarat di hadapan
sosok berpakaian putih yang tak lain dan Melati palsu! Jarak antara mereka
berdua terpisah tiga tombak.
"Kali ini jangan harap
akan bisa lolos lagi, Wanita Keji!" ancam Ki Gumpala, geram.
Melati palsu tidak menyambuti
ucapan Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang, tapi malah melangkah mundur.
Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Sikapnya menunjukkan kegentaran
terhadap Ki Gumpala.
"Cepat buka kedokmu,
Wanita Siluman! Aku ingin melihat wajah aslimu di balik wajah wanita tak
berdosa yang kau fitnah!" desis Ki Gumpala. "Atau…., kau ingin aku
membukanya dengan kekerasan?!"
"Serahkan dia padaku, Ki!
Aku yang lebih berhak menghukumnya!"
Melati langsung berseru keras,
ketika telah berada di dalam markas Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang bersama
Dewa Arak.
Kecuali Ki Gumpala dan Dewa
Arak, semua kepala menoleh ke arah asal suara keras itu. Seketika, raut-raut
wajah mereka menampakkan keterkejutan. Hanya saja, keterkejutan yang melanda
Melati palsu berbeda dengan keterkejutan yang melanda hati semua murid
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.
Murid-murid Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang kaget karena tidak menyangka kalau sosok Melati ada
dua. Dan itu sama sekali tidak disangka. Sedangkan Melati palsu terkejut karena
menyadari keadaan kalau penyamarannya kini telah terbongkar.
"Kau salah, Nini. Akulah
yang berhak menghukumnya. Karena, dia telah banyak membunuh anggota
perkumpulanku!" bantah Ki Gumpala mengajukan alasan.
"Tapi, dia menyamar
sebagai diriku dalam tindakannya itu, Ki. Jadi, aku yang lebih banyak
dirugikan!" Melati pun mengajukan keberatannya.
"Biarkanlah Melati yang
mengurusnya, Ki. Karena hal itulah yang akan dapat membersihkan namanya yang
telah tercemar di dunia persliatan," dukung Arya.
Ki Gumpala tercenung sejenak.
"Hhh...! Baiklah kalau demikian."
Sambil berkata demikian, Ketua
Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang melangkah mundur. Dan kini, Melati yang
menggantikan tempatnya. Gadis berpakaian putih itu maju.
Melati tidak langsung
melancarkan serangan ketika telah berdiri berhadapan dengan gadis yang menyamar
sebagai dirinya. Dirayapinya sekujur tubuh wanita berpakaian putih itu penuh
selidik dengan sepasang mata indahnya. Sementara, yang diperhatikan balas
memperhatikan pula. Kesempatan di saat Melati tengah berdebat dengan Ki Gumpala
tidak digunakannya untuk melarikan diri, karena akan sia-sia belaka.
"Manusia pengecut!
Sekarang saatnya kau menebus semua dosa atas kekejian yang telah kau perbuat!
Bersiaplah untuk mati di tanganku!" desis Melati penuh geram.
"Kaulah yang akan
menerima kematian di tanganku, Melati!"
Usai berkata demikian, Melati
palsu melancarkan tendangan lurus ke arah perut Melati asli.
" Wuttt...!
Tapi Melati tidak gugup
melihat serangan itu, dan malah bersikap tenang. Meskipun demikian, dia tidak
berani bertindak gegabah. Kekuatan tenaga dalam lawan memang belum
diketahuinya.
Itulah sebabnya, Melati
melompat mundur sehingga terkaman wanita berpakaian putih itu luput. Saat
itulah kaki kanan Melati meluncur deras ke arah perut lawan.
"Heh...?!”
Melati palsu tersentak kaget
mendapat serangan balasan di saat kedudukannya tengah tidak menguntungkan. Saat
itu, tubuhnya memang tengah berada di udara. Meskipun demikian, tidak berarti
dia kehilangan akal. Buruburu tangannya yang tadi mengenai tempat kosong
disampokkan ke bawah, untuk memapak serangan kaki Melati.
Prattt..!
Dengan mengambil tenaga dan
benturan yang terjadi. Melati palsu melenting ke atas melewati kepala Melati.
Kemudian, kedua tangannya kembali disampokkan ke arah Melati. Tapi kali ini,
bagian kepala belakang yang jadi incarannya.
Wuttt!
Lagi-lagi serangan itu
mengenai tempat kosong, karena Melati lebih dulu melakukan lompatan harimau ke
depan untuk menyelamatkan diri. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya
digulingkan.
Jliggg!
Pada saat yang bersamaan
dengan hinggapnya kaki Melati palsu di tanah, Melati berhasil bangkit dari
bergulingnya. Dan secepat kedua wanita sakti itu berdiri tegak, secepat itu
pula tubuh masing-masing berbalik. Satu sama lain telah bersiap-siap menghadapi
serbuan lawan.
"Haaat..!"
Kali ini Melati yang menyerbu
lebih dahulu. Kedua tangannya yang terkepal, diluncurkan bertubi-tubi ke arah
kedua rusuk lawan. Menilik dari deru angin berkesiutan yang mengiringi tibanya
serangan, bisa diperkirakan kekuatan yang mampu menghancurkan tulang rusuk itu!
Hal ini jelas diketahui Melati
palsu. Maka serangan itu tidak dibiarkannya mengenai sasaran. Dengan agak
bergegas, kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh, sehingga
serangan itu lewat di samping kirinya.
Tindakan wanita berpakaian
putih itu tidak hanya sampai di situ. Begitu serangan Melati berhasil
dielakkan, tangan kirinya diluncurkan ke arah pelipis. Jika terkena sedikit
saja, cukup mengirim nyawa ke kasih Dewa Arak itu ke alam baka.
Melati tentu saja
mengetahuinya. Dan karena untuk menangkis sudah tidak memungkinkan lagi, segera
kepalanya ditarik ke belakang. Maka, serangan itu hanya lewat beberapa jari di
depan wajahnya.
Wuttt!
Rambut dan sekujur pakaian
Melati berkibar keras saking kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan
tadi. Tapi, Melati tidak mempedulikannya. Langsung dilancarkannya serangan.
Sesaat kemudian dua wanita yang sama-sama sakti itu telah tertibat dalam
pertarungan sengit kembali.
***
Semua pasang mata orang-orang
yang berada di sekitar tempat itu tidak begitu jelas mengawasi jalannya
pertarungan. Sora pun terlihat di antara mereka. Memang, Sora telah tiba pula
di situ. Meskipun demikian, hanya Arya dan Ki Gumpala yang dapat jelas
menyaksikan jalannya pertarungan. Hal itu tidak aneh, karena gerakan orang yang
bertarung itu terlalu cepat untuk bisa diikuti oleh mata dari orang
berkepandaian tanggung. Jadi yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan putih
yang berkelebatan cepat saling membelit. Sesekali saja kedua sosok bayangan
putih itu saling pisah. Itu pun hanya berlangsung sekejap saja, karena sesaat
kemudian sudah saling belit kembali.
Sementara itu, orang yang
tengah diperhatikan sama sekali tidak peduli, karena tengah teriibat
pertarungan sengit. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Meskipun demikian, ilmu andalan masing masing belum dikeluarkan.
Menggiriskan bukan kepalang
pertarungan yang berlangsung. Sejak jurus-jurus awal hingga tiga puluh lima
jurus, pertarungan masih berlangsung imbang. Kedua belah pihak masih
berganti-ganri melancarkan serangan. Tingkat tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki mereka ternyata berimbang. Tak heran kalau dalam setiap
benturan yang terjadi, mereka sama-sama terhuyung-huyung dengan mulut meringis.
Melati menggertakkan gigi,
karena merasa penasaran bukan kepalang. Sama sekali tidak disangka kalau
lawannya memiliki kemampuan setinggi ini. Ada perasaan terpukul menyelinap di
hatinya. Betapa tidak? Dalam waktu berturut-turut, dia telah bertarung melawan
wanita muda yang memiliki kepandaian setingkat dengannya. Rasanya, kepandaian
yang dimilikinya jadi tidak berarti apa-apa.
Tapi di samping rasa penasaran
yang mendera, muncul pula perasaan heran. Hal itu terjadi karena merasa
mengenal betul gerakan-gerakan lawannya. Hanya saja, dia lupa kapan dan di mana
pernah melihatnya. Melati ingin mengingat-ingatnya. Tapi sama sekali tidak
mempunyai kesempatan, terpaksa keinginan itu ditelannya. Dan kini perhatiannya
dipusatkan untuk menghadapi Melati palsu.
Ternyata bukan hanya Melati
saja yang dilanda perasaan heran Arya dan Ki Gumpala pun dilanda perasaan sama.
Memang, seperti juga Melati, kedua tokoh sakti itu merasa pernah melihat
gerakan-gerakan lawan Melati.
Hanya saja, keterkejutan yang
melanda hati Arya tidak sebesar seperti Ki Gumpala. Wajah Ketua Perkumpulan
Pengemis Gelang Terbang ini sampai berubah-ubah ketika melihat gerakan-gerakan
Melati palsu.
"Ti..., tidak mungkin!
Tidak mungkin dia pembunuh itu," desah Ki Gumpala dengan bibir bergetar,
ketika pertarungan telah berlangsung lima puluh tiga jurus.
Pelan saja ucapan yang keluar
dari mulut Ki Gumpala, seperti berbicara untuk diri sendiri. Tapi bagi pendengaran
Arya, ucapan itu cukup keras. Semua perkataan penuh ketidakpercayaan itu sudah
terdengar. Apalagi, jaraknya dengan Ki Gumpala tidak lebih dari dua tombak.
"Kau kenal orang yang
berada di balik penyamarannya itu, Ki?" tanya Arya memastikan Ki Gumpala
menghela napas berat. "Mungkin. Tapi aku masih tidak yakin, Arya. Aku
tidak percaya kalau dia pelaku pembunuhan keji itu," jawab Ki Gumpala
setengah hati.
"Siapa orang yang kau
maksud itu, Ki?" desak Arya penasaran karena belum mendapatkan jawaban
pasti dari Ketua Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang.
"Jangan paksa aku untuk
mengatakannya, Dewa Arak.
Aku tidak sanggup!"
"Hhh...!" Arya
menghembuskan napas berat. Dia tidak mau memaksa Ki Gumpala untuk
mengatakannya. "Sebenarnya aku pun mengenal gerakan-gerakan orang itu, Ki. Hanya saja, aku lupa kapan dan di
mana melihatnya."
Ki Gumpala sama sekali tidak
menyambuti ucapan Dewa Arak. Pandangannya yang sejak tadi tertuju pada
pertarungan, semakin diarahkan ke sana. Memang, seperti juga Dewa Arak, Ki
Gumpala berkata-kata tanpa mengalihkan pandangan dari pertarungan yang tengah
berlangsung. "Hanya yang menjadi tanda tanya bagiku mengapa kau juga
seperti pernah mengenal gerakannya. Apakah orang yang berada di balik
penyamaran itu sama-sama kita kenali?" sambung Dewa Arak lagi.
"Mungkin...," sahut
Ki Gumpala setengah berdesah.
Arya tidak mengajukan
keheranannya lagi. karena menyadari keadaan kalau Ketua Perkumpulan Pengemis
Gelang Terbang sepertinya tidak berminat untuk terlibat dalam percakapan
mengenai Melati gadungan. Ki Gumpala tampak gelisah bukan main.
Kini, Dewa Arak dan Ki Gumpala
mengedarkan pandangan ke arah pertarungan tanpa berkata-kata lagi.
Sementara itu, pertarungan
yang berlangsung antara Melati dengan lawannya terlihat semakin sengit. Memang,
pertarungan telah berlangsung hampir delapan puluh jurus. Tapi, selama itu
belum juga terlihat tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
"Hih!"
Melati yang kehilangan
kesabaran segera mengeluarkan Ilmu 'Cakar Naga Merah' yang diandalkannya. Kedua
tangannya terkembang membentuk cakar naga. Tampak ada warna merah seperti darah
mulai dari ujung-ujung jari sampai ke pergelangan tangan. Dan dengan penggunaan
ilmu ini, Melati berusaha keras menaklukkan lawannya.
Tapi, bukan hanya Melati saja
yang mengeluarkan ilmu andalan. Lawannya pun melakukan hal yang sama. Hasilnya,
pertarungan yang jauh lebih sengit pun terjadi. Bahkan kini dua puluh lima
jurus telah berlalu cepat. Tapi sampai sekian lamanya, pertarungan masih tetap
berlangsung seimbang. Tentu saja hasil ini membuat kedua belah pihak bertambah
penasaran.
"Hih...!"
Secara mendadak dan tidak
terduga-duga sama sekali, Melati palsu mengibaskan tangannya.
Sing, sing, sing...!
Lima bilah pisau berwarna
putih berkilat telah meluncur ke arah Melati. Namun, kekasih Dewa Arak itu
sudah bisa memperkirakan kedahsyatan serangan dari angin luncurannya. Makanya,
dia tidak berani bertindak ayalayalan. Buru-buru Melati melompat ke belakang.
Dan dalam keadaan tubuh masih berada di udara, pedangnya dihunuskan dan
langsung dikibaskan dengan cepat ke arah
pisau-pisau yang meluncur ke arahnya.
Trang, trang, trang!
Bunga api memercik ke sana
kemari ketika pedang dan pisau-pisau itu berbenturan keras. Namun, serangan
Melati palsu tidak hanya sampai di situ saja. Begitu pisau-pisau terbangnya
diluncurkan, pedangnya pun dicabut. Kontan diterjangnya Melati dengan
tusukan-tusukan pedangnya.
"Hey...?!"
"Ah...!"
Hampir berbarengan Ki Gumpala
dan Dewa Arak menjerit kaget. Bukan karena keselamatan Melati yang terancam,
tapi karena melihat serangan pisau-pisau terbang itu. Masalahnya, Ki Gumpala
telah semakin yakin akan dugaannya. Bahkan Dewa Arak telah teringat akan orang
yang memiliki gerakan-gerakan seperti itu. Pisau-pisau terbang itulah yang
membantu Dewa Arak mengingatnya.
Tapi, Dewa Arak dan Ki Gumpala
tidak bisa berlamalama tenggelam dalam keterkejutan. Karena, pemandangan yang
terlihat selanjutnya benar-benar membuat hati mereka mengkelap.
Tampak Melati sama sekali
tidak menampakkan tandatanda akan mengelakkan serangan itu. Padahal, tubuh
lawannya telah berada di tengah perjalanan. Pedang wanita berpakaian putih itu
meluncur ke arah leher Melati asli.
Ternyata, dugaan mereka sama
sekali tidak keliru! Melati sama sekali tidak mengelakkan serangan, tapi malah
balas melancarkan serangan. Pedangnya ditusukkan ke atas, mengarah ke perut.
Sepertinya, Melati mengajak lawannya mengadu nyawa!
Wajah Ki Gumpala dan Dewa Arak
berubah. Mereka berharap Melati palsu tidak menanggapi ajakan adu nyawa lawan.
Apabila benar demikian, Melati palsu akan membatalkan serangannya, kemudian
menangkis serangan Melati. Harapan dua orang sakti itu kandas! Melati palsu
ternyata tidak melakukan tindakan seperti yang diharapkan, dan tetap saja
meneruskan serangannya. Sudah bisa dipastikan dua wanita yang sama-sama sakti
ini akan tewas! Melati dengan leher terobek lebar, sedangkan lawannya dengan
perut ambrol!
Tapi....
"Hih!" Cappp!
"Aaakh. !"
Keanehan yang sama sekali
tidak tersangka-sangka terjadi! Tangan Melati tiba-tiba mulur, lebih satu
setengah kali lipat panjang semula. Akibatnya, sebelum pedang lawan mendarat di
leher, pedang Melati lebih dulu menghunjam. Akibatnya, perut Melati palsu
tertembus pedang hingga ke punggung. Tak pelak lagi, Melati palsu pun menjerit
ngeri ketika darah muncrat-muncrat dari luka di perut.
Dan ketika Melati mencabut
pedangnya, tubuh Melati palsu pun ambruk di tanah. Tapi, daya tahan tubuhnya
memang patut dipuji. Meskipun lukanya terlalu parah, dia masih mampu bertahan
hidup. Dan melihat lawannya masih bernapas, Melati bersiap melancarkan serangan
terakhir. Tapi....
"Melati! Tahan….!"
Gadis berpakaian putih itu pun
menghentikan gerakannya. Dan sebelum kepalanya sempat menoleh, Dewa Arak dan Ki
Gumpala berkelebat. Dewa Arak yang tadi berseru mencegah, berdiri di
sebelahnya. Sedangkan Ki Gumpala duduk bersimpuh di sebelah tubuh Melati palsu
yang tergolek.
"Kakek.... Maafkan aku,
Kek Aku mengaku salah. ,"
ucap wanita berpakaian putih
terputus-putus.
"Lupakanlah Ningrum. Tapi
aku ingin tahu, mengapa kau melakukan semua kekejian ini," kata Ki Gumpala
dengan suara serak.
"Ningrum. ?!"
Melati yang mendengar
pembicaraan antara Ki Gumpala dengan orang yang telah menyamar sebagai dirinya,
seketika terperanjat. Seketika itu pula, dia teringat Ningrum memang putri Raja
Pisau Terbang. Dulu, dia pernah bertarung dengan gadis itu. Pantas,
gerakangerakan lawannya tadi seperti pernah dikenalnya (Untuk lebih jelasnya
mengenai tokoh Ningrum, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode “Pedang
Bintang" dan "Dewi Penyebar Maut").
"Aku membenci Melati,
Kek. Kalau dia tidak ada, tentu Dewa Arak akan mencintaiku. Itulah sebabnya aku
menyamar sebagai dirinya," jawab wanita berpakaian putih yang ternyata
Ningrum, semakin terputus-putus dan lemah suaranya.
Ki Gumpala berdehem untuk
melonggarkan tenggorokannya, karena suaranya mulai serak. Perasaan haru
terhadap cinta Ningrum yang tidak mendapat sambutan itulah yang membuat
tenggorokannya seperti tersekat.
“Tapi, kenapa harus membunuhi
anggota Perkumpulan Pengemis Gelang Terbang dan para penduduk Desa Gondang,
Ningrum?"
"Aku ingin agar Melati
bisa cepat tewas oleh tokohtokoh golongan putih. Oleh sebab itu, dia harus
kufitnah. Bahkan kalau bisa, Dewa Arak ikut membencinya. Tapi... ahhh...!"
Ningrum tidak sempat
melanjutkan ucapannya. Wanita berpakaian putih yang dulu suka berbaju hijau ini
menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Ki Gumpala.
Melihat hal ini, Dewa Arak dan
Melati menghampiri. "Aku ikut berduka cita atas peristiwa ini, Kek,"
ucap
Arya bernada prihatin.
"Lupakanlah, Dewa Arak.
Seharusnya akulah yang meminta maaf atas perbuatannya pada kau dan
Melati...," sahut Ki Gumpala sambil mengangkat tubuh Ningrum.
"O ya, Ki. Setahuku,
kepandaian Ningrum tidak setinggi ini. Apakah. " "Dia mati-matian
berlatih diri pada ayahnya. Ketika ilmu ayahnya telah habis, dia lalu berguru
padaku. Karena ayahnya kawan baikku, maka dia pun kuterima sebagai murid,"
urai Ki Gumpala panjang lebar.
Arya dan Melati
mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Kini, masalahnya telah jelas.
Maka sepasang pendekar muda ini membiarkan saja ketika Ki Gumpala melangkah
meninggalkan mereka. Memang, tidak ada lagi hal yang perlu ditanyakan.
Kokok suara ayam jantan mulai
terdengar. Ini menjadi pertanda kalau tak lama lagi malam akan berganti pagi.
Kegelapan akan terusir oleh sang mentari di ufuk Timur.
SELESAI