29 Ilmu Halimun
1
Angin malam yang dingin
menggigit tulang kembali berhembus. Memang, suasana malam saat ini tampaknya
tidak menyenangkan. Keadaan langit begitu kelam. Apalagi hanya diterangi bulan
sepotong. Bahkan tak ada setitik pun bintang di langit, karena tertutup awan
hitam yang menggumpal. Kini, titik-titik air dari langit mulai jatuh ke bumi
satu persatu diiringi hembusan angin kencang menggigit tulang. Persada mulai
dibasahi hujan gerimis.
"Hujan tidak tahu
diri...," umpat sosok serba hitam yang bergerak cepat menembus kepekatan
malam.
Dia berlari melewati
rumah-rumah penduduk Desa Sampar. Pakaiannya yang berwarna hitam melindunginya
dari pandangan orang. Menilik tindak-tanduk dan juga gerakannya, bisa
diperkirakan kalau dia memiliki kepandaian silat juga.
Tubuhnya sama sekali tidak
menggigil. Padahal suasana malam itu sangat dingin. Apalagi angin kencang
senantiasa berhembus. Hal ini saja sudah membuktikanan kalau sosok tubuh
berpakaian hitam itu memiliki tenaga dalam tinggi.
Sosok berpakaian hitam itu
memiliki bentuk tubuh kekar. Wajahnya tidak jelas, karena dipenuhi coreng
moreng dan lumuran tanah berlumpur.
Beberapa kali tubuh laki-laki
itu terhuyung-huyung dan hampir jatuh, karena tanah yang dipijaknya licin.
Hanya berkat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, dia tidak sampai jatuh di
tanah becek.
Suara air menyiprat mengiringi
langkah kaki laki-laki berpakaian hitam yang terus saja berlari menuju keluar
Desa Sampar. Dan tak lama kemudian, tembok batas Desa Sampar pun telah nampak
di depan mata nya. Namun....
"Hei...! Siapa
itu...?!" tegur salah seorang dari dua penjaga malam yang berada dalam
gardu ronda.
Sebenarnya ada empat orang
yang mendapat tugas menjaga Desa Sampar setiap malam. Dua orang penduduk, dan
dua orang murid Perguruan Kelabang Sakti. Tapi kini dua orang yang terdiri dari
satu orang penduduk dan satu lagi murid perguruan itu tengah keliling desa.
Kepala laki-laki berpakaian
hitam itu cepat menoleh ke arah bentakan tadi. Lalu, tangannya bergerak
mengibas, dan kedua kakinya menjejak tanah. Maka sesaat kemudian tubuhnya
meluncur ke arah gardu ronda itu.
Sing, sing !
Cap, trang !
Satu dari dua buah pisau yang
dilepaskan laki-laki berpakaian hitam itu mendarat di leher salah seorang
peronda. Tak pelak lagi, tubuhnya pun terguling roboh tanpa sempat menjerit
lagi. Tapi penjaga gardu yang seorang lagi adalah murid Perguruan Kelabang
Sakti. Tidak heran kalau dia masih
sempat mencabut pedang dan menangkis pisau yang mengarah ke tubuhnya.
Tapi, akibat yang diterima benar-benar membuatnya kaget. Tangan yang
menggenggam pedang terasa lumpuh, sehingga senjatanya terlepas dari pegangan.
"Hup...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu
sudah mendaratkan kedua kakinya di tanah.
"Hih...!"
Walaupun tanpa senjata lagi,
murid Perguruan Kelabang Sakti langsung menyerang orang berpakaian serba hitam
itu. Segera dikirimkannya tendangan lurus ke arah dada.
Bukkk!
Telak dan keras sekali
tendangan itu mengenai sasaran. Seketika, terdengarlah jeritan kesakitan. Tapi
bukan laki-laki berpakaian hitam yang menjerit kesakitan. Ternyata, justru
murid Perguruan Kelabang Sakti yang berteriak kesakitan, karena kakinya terasa
seperti menghajar dinding baja! Rasa sakit yang amat sangat langsung mendera
kakinya.
Belum sempat murid Perguruan
Kelabang Sakti itu berbuat sesuatu, tangan laki-laki berwajah coreng-moreng itu
telah meluncur cepat ke arah kakinya. Dan...
Tappp...!
Pergelangan kaki murid
Perguruan Kelabang Sakti berhasil ditangkap. Langsung kaki itu disentakkannya.
"Ukh...!"
Murid Perguruan Kelabang Sakti
itu mengeluh tertahan ketika sambungan tulang lututnya terlepas. Memang, betapa
kerasnya sentakan lawan tadi. Bahkan tubuhnya ikut tertarik ke depan.
"Hmh...!"
Laki-laki berwajah
coreng-moreng mendengus. Lalu, tangan kanannya bergerak menyambut tubuh yang
terhuyung ke arahnya dengan jari-jari terkembang membentuk cakar. Dan....
Crokkk !
Ubun-ubun kepala murid
Perguruan Kelabang Sakti itu kontan hancur berantakan. Darah bercampur otak pun
mengalir keluar dari kepalanya yang pecah. Seiring tubuhnya yang roboh di
tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan raga.
Tanpa mempedulikan mayat kedua
orang itu, laki-laki berpakaian hitam ini kembali meneruskan perjalanannya. Dia
berlari cepat menuju luar desa.
Samar-samar telinganya
mendengar kentongan dari dua orang peronda yang bertugas keliling. Tapi nada
kentongannya sama sekali tidak mengisyaratkan apa-apa.
Hanya beberapa kali lesatan
saja, tubuh laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah berada di luar Desa
Sampar. Hujan yang masih turun rintik-rintik sama sekali tidak menghalangi
langkahnya untuk terus berlari.
Lelaki bertubuh kekar itu baru
memperlambat larinya ketika agak jauh di depan. Di sebelah kanannya nampak
berjajar tak teratur gundukan-gundukan tanah. Jelas, itu adalah pemakaman. Dan semakin
lama, langkahnya semakin perlahan. Pada akhirnya, dia berhenti tepat di sebelah
tempat pemakaman itu.
Sesaat lamanya, laki-laki
berwajah coreng-moreng itu berdiri diam. Pandangannya tertuju ke arah
makam-makam yang berjajar di hadapannya.
"Hhh...!"
Setelah terlebih dahulu
menghembuskan napas berat, laki-laki berpakaian hitam itu menghampiri sebatang
pohon, lalu mematahkan beberapa batang rantingnya. Kemudian, batang ranting itu
digosok-gosoknya!
Sulit dipercaya! Hanya
beberapa kali gosok, laki-laki berpakaian hitam itu telah mampu menyalakan api!
Padahal ranting kayu itu agak lembab karena siraman hujan. Jelas, tenaga dalam
orang itu telah cukup tinggi!
Dengan nyala obor di tangan,
laki-laki berwajah coreng- moreng itu memperhatikan satu persatu gundukan makam
yang terhampar. Nampaknya memang ada sesuatu yang tengah dicarinya. Beberapa
saat lamanya dia memperhatikan tiap-tiap makam, kemudian ditinggalkannya.
Begitu seterusnya.
Beberapa kali laki-laki
berpakaian hitam itu bertindak demikian. Akhirnya, langkahnya berhenti ketika
matanya tertumbuk pada sebuah gundukan tanah merah yang masih baru.
"Akhirnya kutemukan juga...," gumam laki-laki berwajah coreng-moreng
itu.
Tampak jelas ada nada
kegembiraan dalam gu- mamannya. Sepasang matanya pun berbinar-binar menampakkan
kegembiraan.
Dengan gerakan terlihat agak
tergesa-gesa, laki-laki berpakaian hitam itu menancapkan obornya di tanah.
Kemudian, dipungutnya sebatang ranting sebesar ibu jari kaki, sepanjang
sejengkal yang berada di situ. Lalu, ranting itu dipergunakannya untuk menggali
makam yang baru saja ditemukannya.
Dengan ranting yang terlihat
lemah itu, sedikit demi sedikit dia mulai menggali makam. Tampaknya orang itu
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untul menggali. Dan hanya dalam waktu sebentar
saja, makam itu sudah tergali. Kini, tampaklah sebuah lubang menganga, dengan
sebuah peti berwarna hitam kelam di dalamnya.
Laki-laki berwajah
coreng-moreng itu kemudian berlutut. Kedua tangannya dijulurkan untuk memegang
sisi-sisi kedua peti itu. Sesaat kedua tangannya tampak mengejang dan bergetar
keras.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi,
kedua tangannya bergerak mengangkat. Lalu, perlahan-lahan peti mati berwarna
hitam itu pun terangkat naik.
Brukkk...!
Laki-laki berpakaian hitam itu
meletakkan peti mati di pinggir lubang. Dipandanginya sejenak, sebelum kedua
tangannya diulurkan ke arah tutup peti mati. Kini jari-jari kedua tangannya
telah mencengkeram sisi-sisi kedua peti mati itu erat- erat.a Kemudian, kedua
tangannya bergerak membuka.
Krakkk...!
Kontan tutup peti mati itu
hancur berantakan. Tampak di dalamnya sesosok tubuh yang terbungkus pakaian
putih.
"Akhirnya, kudapatkan
juga benda ini...," desisan pelan terdengar dari mulut laki-laki berwajah
coreng-moreng itu.
Dan begitu ucapannya selesai,
tangannya bergerak cepat membuka kain putih yang membungkus mayat itu. Melihat
dari caranya yang terlalu hati-hati, bisa diketahui kalau kain putih itu sangat
berarti sekali baginya. Tak lama kemudian, kain putih itu pun telah berhasil
dilepaskan semuanya dari tubuh mayat. Dalam keremangan malam, sepasang mata
laki-laki berpakaian hitam ini tampak berkilat-kilat ketika melipat tain pulih
yang baru saja dilepaskan dari mayat itu.
Dengan terkekeh pelan dan
menyeramkan, laki-laki berwajah coreng-moreng itu menutup peti mati kembali.
Lalu, dilemparkannya peti itu begitu saja ke dalam lubangnya. Dan tanpa
menguruknya lagi, dia melesat kabur dari situ. Seluruh kemampuan yang dimiliki
dikerahkannya agar bisa tiba di mulut Desa Sampar, sebelum para peronda yang
berkeliling mene- mukan rekan-rekannya yang tewas di gardu ronda.
Bila mayat para penjaga malam
di gardu itu keburu diketahui para peronda sebelum dia kembali ke desa, maka
kesulitan akan menghadangnya. Dan laki-laki berpakaian hitam tidak menginginkan
hal itu terjadi. Makanya kuburan yang telah dibongkar tidak dibereskan kembali.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja laki-laki
berpakaian coreng-moreng itu telah tiba di mulut desa.
Ternyata kekhawatirannya sama
sekali tidak beralasan. Mulut desa kelihatan masih tetap sepi. Dan tampaknya,
para penjaga malam yang mengelilingi desa belum kembali ke gardu ronda. Maka
tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki berpakaian hitam itu melesat masuk terus
ke dalam desa. Dan berkat ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat
tinggi, sebentar saja gardu penjagaan itu telah dilalunya.
Laki-laki berpakaian hitam itu
terus saja berlari cepat. Sengaja jalan utama desa tidak dilaluinya. Dia khawatir,
akan berpapasan dengan para peronda malam yang tengah berkeliling.
Tak lama kemudian, dari
kejauhan laki-laki berpakaian serba hitam itu sudah melihat sebuah bangunan
besar yang dikelilingi pagar kayu bulat tinggi. Dia terus berlari cepat. Arahnya
yang ditempuh adalah bangunan besar yang dikelilingi pagar kayu bulat di
hadapannya.
Seiring semakin dekat jaraknya
dengan bangunan besar itu, langkah laki-laki berpakaian hitam semakin tampak
berhati- hati. Kini, dia berlari cepat sambil mengendap-endap.
"Hup...!" Laki-laki
berpakaian hitam itu menggulingkan tubuhnya ke tanah, dan terus bergulingan
mendekati pagar kayu di depannya. Baru setelah tubuhnya menyentuh pagar kayu
itu, dia berhenti berguling. Kemudian dia bangkit berdiri lalu bergerak cepat mengitarinya.
Dan ketika telah berada di bagian pagar kayu bulat yang ditumbuhi pepohonan,
kakinya bergerak menotol. Dan....
"Hih !"
Tubuh laki-laki berpakaian
hitam itu melayang ke atas melewati pagar kayu. Kemudian, kakinya mendarat
ringan tanpa suara di dalam halaman luas itu. Lalu, secepat kedua kakinya
mendarat, secepat itu pula berlari menuju ke arah salah satu dari sekian banyak
bangunan yang ada di sana.
***
Tong, tong, tong !
Bunyi kentongan tanda bahaya
terdengar bertubi-tubi dari arah mulut desa. Tepatnya, dari dalam gardu
penjagaan. Suasana malam yang sepi, membuat suara kuntongan itu terdengar
semakin jelas. Menyeruak, merobek kesunyian malam. Sementara, penduduk Desa
Sampar yang tinggal di dekat gardu ronda, dan mendengar suara kentongan, segera
menyambutnya dengan pukulan kentongan pula. Maka dalam waktu sebentar saja,
suasana malam sudah dirobek oleh suara kentongan bertubi-tubi.
Tak lama kemudian, para
penduduk Desa Sampar keluar dari rumah masing-masing. Di tangan mereka semua
telah tergenggam berbagai macam senjata.
"Ada apa, Wirja?"
tanya seorang dari sekian banyak penduduk pada seorang penduduk yang tinggal
dekat gardu ronda.
Laki-laki bertubuh kekar yang
dipanggil Wirja menggelengkan kepala.
"Aku juga tidak tahu,
Kang Boma. Tapi yang jelas, suara kentongan itu berasal dari mulut desa "
Boma, laki-laki berwajah hitam
yang tadi menemui Wirja, mengernyitkan kening.
"Kalau begitu mari kita
ke sana !"
"Mari, Kang !"
sambut Wirja cepat. Boma berlari-lari paling dulu. Maka rombongan penduduk Desa
Sampar segera bergerak cepat menuju mulut desa.
Semakin dekat dengan tempat
yang dituju, semakin banyak jumlah mereka. Karena, di tengah-tengah perjalanan
bertemu dan bergabung dengan penduduk lain. Akibatnya, malam kelam yang semula
sunyi mencekam, kini menjadi terang- benderang oleh obor-obor yang tergenggam
di tangan para penduduk. Bahkan juga ramai oleh langkah-langkah kaki yang
bertubi-tubi menghantam bumi.
Tak lama kemudian, mereka tiba
di gardu ronda. Tampak salah seorang penjaga malam tengah memukul-mukul
kentongan. Sedangkan satu orang lagi menatap ke sekeliling dengan sinar mata
waspada.
"Ada apa, Dirja?"
tanya seorang laki-laki setengah baya berpakaian putih pada penjaga malam yang
memukul kentongan. Dia sebenarnya adalah
Kepala Desa Sampar. Namanya, Ki Dungkul Taji.
"Dua penjaga yang berada
di gardu, ditemukan tewas sewaktu kami kembali, Ki," lapor orang yang
dipanggil Dirja.
"Ahhh...!" Ki
Dungkul Tap terperanjat. "Mengapa bisa begitu?!"
"Kami pun tidak tahu, Ki.
Tapi, itulah kenyataannya," sahut Dirja.
Ki Dungkul Taji diam seribu
bahasa, dengan pandangan nanar. Kakinya dilangkahkan menuju gardu muda
untuk melihat kenyataan laporan Dirja.
Langkah laki-laki setengah baya itu diikuti puluhan penduduk lainnya. Mau tidak
mau, Dirja ikut melangkah pula.
"Keparat..!" maki Ki
Dungkul Taji ketika melihat keadaan mayat para penjaga malam itu.
Karena tak puas hanya melihat
dari agak jauh, kepala Desa Sampar ini membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan
hati-hati dan seksama, ditelitinya kedua mayat itu.
"Hm...!" gumam Ki
Dungkul Taji sambil mengangguk- anggukkan kepala.
Sementara itu para penduduk
desa dan dua orang penjaga malam hanya bisa memperhatikan semua yang dilakukan
Ki Dungkul Taji. "Jelas kalau orang yang telah melakukan kekejian ini
memiliki kepandaian tinggi," gumam Ki Dungkul Taji, pelan.
"Aku pun menduga
demikian, Ki," sambut penjaga malam
yang menjadi murid Perguruan Kelabang Sakti. "Melihat dari keadaan mayat
rekanku, jelas kalau sebelum tewas, dia telah melakukan perlawanan lebih
dahulu."
"Dari mana kau bisa
mengambil kesimpulan sepertil itu?" Ki Dungkul Taji balas bertanya.
"Pedangnya yang terlempar
jauh dari mayat ini Dan
juga, keadaan kakinya."
"Yahhh...!" sahut Ki
Dungkul Taji, setengah mendeesah. "Sambungan tulang lututnya terlepas
"
Setelah berkata demikian,
Kepala Desa Sampar itu bangkit berdiri.
"Urus baik-baik
mayat-mayat mereka," ujar Ki Dungkul Taji, tanpa penjelasan, kepada siapa
perintah itu ditujukan.
"Hm...!" gumam Ki
Dungkul Taji perlahan. "Jelas kalau orang yang telah melakukan kekejian
ini memiliki kepandaian sangat tinggi." Mendengar itu, para penduduk desa
hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Memperhatikan semua yang dilakukan
Kepala Desa Sampar itu.
Kemudian, beberapa orang
penduduk memisahkan dari kerumunan, lalu bergerak menghampiri mayat dua orang
penjaga malam itu.
"Sudah kau beri tahukan
kejadian ini pada gurumu, Permana?" tanya Ki Dungkul Taji pada murid
Perguruan Kelabang Sakti yang bertubuh pendek kekar.
"Belum, Ki," sahut murid
yang bernama Permana itu. "Begitu, kulihat mayat-mayat di sini, kami
langsung memukul kentongan untuk memberitahukan kejadian ini"
Ki Dungkul Taji
mengangguk-anggukkan kepala. Tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya yang
putih, tapi hanya berjumlah beberapa gelintir.
"Sebaiknya kita beri
tahukan hal ini pada gurumu dulu," usul laki-laki berpakaian putih itu.
Permana menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mari kita ke sana."
Setelah berkata demikian, Ki
Dungkul Taji segera mengalihkan pandangan ke arah penduduk.
"Kalian semua berpencar.
Bikin kelompok-kelompok, dan cari penjahat keji itu. Ingat! Bila bertemu jangan
bertindak gegabah, segera beri tahukan kawan-kawan yang lain. Kalian
mengerti?!"
"Mengerti, Ki!"
sahut puluhan penduduk itu serempak. "Apa itu tidak terlalu berbahaya,
Ki?" selak Permana
berbisik. "Ingat,
pembunuh keji itu memiliki ke pandaian cukup tinggi. Aku khawatir akan jatuh
korban sia-sia di antara penduduk desa "
Ki Dungkul Taji mengernyitkan
kening sebentar. "Tunggu sebentar...! Dengarkan baik-baik," lanjut
laki-
laki berpakaian putih itu pada
kerumunan penduduknya. "Tiap kelompok, paling sedikit berjumlah tujuh
orang. Ingat! Tujuh orang! Kalian, mengerti?!"
"Mengerti, Ki !"
sahut para penduduk serempak.
lagi. "Bagus! Kalian
boleh bubar...!" perintah Ki Dungkul Taji
Tanpa menunggu perintah dua
kali, kerumunan penduduk Desa Sampar itu pun membubarkan diri untuk
melaksanakan perintah Kepala Desa Sampar.
Tak lama kemudian, tempat itu
pun kembali sepi.
Kini yang tinggal di tempat
itu hanya Ki Dungkul Taji dan Permana.
"Ki "
"Hm...!" sahut
Kepala Desa Sampar itu, menggumam
pelan.
"Aku masih belum
mengerti... mengapa kedua orang
penjaga malam itu
dibunuh...?"
"Aku juga tidak mengerti,
Permana," jawab Ki iJungkul Taji. "Tapi yang jelas, mungkin
kedatangan orang itu diketahui para peronda "
"Kira-kira..., apa
maksudnya pembunuh itu datang ke desa ini, Ki?" tanya Permana lagi.
Ki Dungkul Taji mengangkat
bahu.
"Aku sendiri tidak tahu,
Permana, Dan itulah yang akan kubicarakan dengan gurumu. Mari kita ke
sana!"
Sambil berkata demikian,
Kepala Desa Sampar itu berjalan meninggalkan gardu penjagaan. Mau tidak mau,
Permana pun mengikutinya. Kini keduanya sudah berlari cepat menuju Perguruan
Kelabang Sakti.
Ternyata laki-laki berpakaian
putih itu memiliki kepandaian yang lumayan juga. Terbukti, Permana harus
bersusah payah untuk mengimbangi. Bahkan kalau saja Ki Dungkul Taji tidak
berkali-kali memperlambat lari, mungkin murid Perguruan Kelabang Sakti itu
sudah tertinggal jauh. 2
"Hhh...!"
Helaan napas berat keluar dari
mulut seorang laki-laki berwajah keras. Cambang bauk yang lebat dan hitam,
tampak menghias wajahnya. Hal ini semakin menambah kegagahannya saja.
"Jadi... peristiwa itu
telah menimpa Desa Sampar, Dungkul?" tanya laki-laki berwajah keras itu.
Pakaiannya berwarna hitam. Pada bagian dadanya terdapat seekor kelabang yang
disulam oleh benang berwarna merah.
"Benar, Rupaksa,"
jawab Ki Dungkul Taji sambil menganggukkan kepala. "Aku ingin tahu
pendapatmu mengenai masalah ini "
Laki-laki berwajah keras
bernama Rupaksa yang menjadi Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu terdiam
sejenak. Pertanyaan Ki Dungkul Taji tidak langsung dijawabnya.
"Aku belum bisa
memberikan pendapat, Dungkul. Karena, masalah ini masih terlalu gelap. Tapi
yang jelas, siapa pun orang itu, akan berurusan denganku, Rupaksa. Dia telah
berani mengganggu ketenteraman desa ini.... Apalagi, telah berani membunuh
muridku!" tegas Ketua Perguruan Kelabang Sakti mantap.
"Ya! Tindakan pengacau
itu sama saja sebuah tantangan padamu, Rupaksa. Karena, hampir semua orang tahu
kalau Desa Sampar ini berada dalam perlindunganmu!"
Rupaksa mengangguk
membenarkan.
"Lalu, sekarang apa yang
kau ingin lakukan, Rupaksa?" tanya Ki Dungkul Taji lagi.
"Kita tunggu perkembangan
selanjutnya, Dungkul" "Hanya itu?" Ada nada kekecewaan dalam
suara Kepala
Desa Sampar itu.
"Tentu saja tidak. Aku
akan mengutus beberapa orang murid utama untuk menyelidikinya. Kau tahu
sendiri, Dungkul. Masalah ini masih gelap. Aku yakin, masih ada kelanjutan
peristiwa ini. Aku yakin itu "
"Aku juga mempunyai
pikiran yang sama, Rupaksa," sambut Ki Dungkul Taji seraya mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Tapi hanya dinding dan langit-langit rumah yang
terlihat. Memang, mereka berdua berada dalam sebuah ruangan di salah satu
bangunan di Perguruan Kelabang Sakti.
"Kalau begitu... aku
permisi dulu, Rupaksa...," pamit Kepala Desa Sampar itu seraya bergerak
bangkit dari duduk bersilanya.
"Hei? Mengapa buru-buru,
Dungkul? Tidak bisakah kau tinggal lebih lama di sini?"
"Sayang sekali,
Rupaksa," keluh Ki Dungkul Taji bernada menyesal. "Aku harus kembali
ke desa. Barangkali saja penduduk telah menemukan titik terang tentang pembunuh
keji itu."
Rupaksa tidak bisa menahan
lagi. Disadarinya kebenaran dalam ucapan
tokoh nomor satu di Desa Sampar itu.
"Hhh...! Apa boleh
buat..."
Ketua Perguruan Kelabang Sakti
pun bergerak bangkit dari duduk bersilanya, lalu berjalan keluar ruangan
bersama- sama Ki Dungkul Taji.
"Permana...,"
panggil Rupaksa setibanya di luar. Tampak laki-laki bertubuh kekar itu ada di
dekat situ.
"Ya, Guru...!" sahut
Permana seraya bergera mendekat dan memberi hormat pada gurunya.
"Panggil Sempana dan
Garba. Suruh mereka pergi ke pintu gerbang. Aku dan Ki Dungkul Taji menunggu di
sana," perintah Rupaksa dengan suara berwibawa.
"Baik, Guru...!"
Permana pun berlalu untuk
memenuhi perintah gurunya Sedangkan Rupaksa dan Ki Dungkul Taji terus melangkah
menuju pintu gerbang.
Tak lama kemudian dua tokoh
Desa Sampar itu telah hampir mencapai pintu gerbang. Beberapa murid Perguruan
Kelabang Sakti segera membuka daun pintu gerbang, setelah terlebih dahulu
mengangkat palangnya.
"Garba dan Sempana akan
kutugaskan untuk mencari keterangan tentang pengacau itu, Dungkul.
Mudah-mudahan saja, mereka bisa menemukan dan sekaligus meringkusnya"
"Mudah-mudahan,
Rupaksa," sambut Ki Dungkul Taji, penuh harap.
Baru saja Kepala Desa Sampar
itu menghentikan ucapannya, terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempat
mereka. Ki Dungkul Taji dan Rupaksa pun menolehkan kepala. Tampak Permana
bersama dua orang yang berwajah dan bersikap gagah melangkah menghampiri tempat
mereka.
"Guru memanggil kami
berdua?" tanya salah seorang di antara mereka yang bermata sipit, setelah
terlebih dahulu menjura memberi hormat.
"Benar, Sempana. Kau dan
Garba kutugaskan ke desa bersama Ki Dungkul Taji. Ada masalah di sana,"
kata Rupaksa sambil mengangguk.
"Kalau boleh tahu, apa
masalahnya, Guru?" Garba yang bertubuh kekar berotot ikut angkat bicara.
Sesuai keadaan tubuhnya, Garba memiliki suara berat dan mantap.
"Akan sangat membuang
waktu untuk menceritakannya, Garba. Padahal, Ki Dungkul Taji harus segera
kembali ke desa. Nanti saja, beliau yang akan menceritakannya di
perjalanan."
Ki Dungkul Taji
mengangguk-anggukkan kepala mendukung usul Rupaksa.
Sementara Garba dan Sempana
pun diam tidak berkata- kata lagi.
"Aku pamit dulu,
Rupaksa," kata Ki Dungkul Taji setelah agak lama tidak ada yang membuka
pembicaraan lagi.
Rupaksa mengangguk,
menyambuti. "Kami pergi dulu, Guru," pamit Sempana.
"Pergilah. Ingat, jangan
bertindak gegabah," ujar Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu memberi
nasihat.
"Akan kami perhatikan
semua nasihat guru...," sambut
Garba.
Ki Dungkul Taji, Sempana dan
Gaiba pun melesat cepat
menuju ke Desa Sampar. Kepala
Desa Sampar itu melesat lebih dahulu, baru disusul Garba dan Sempana di
belakangnya.
Entah karena hendak menguji
kelihaian kedua murid ketua Perguruan Kelabang Sakti, atau karena hendak
terburu- buru tiba di sana, Ki Dungkul Taji segera mengerahkan seluruh
kemampuan lari yang dimilikinya. Memang, dia memiliki ilmu meringankan tubuh
cukup tinggi. Maka dalam waktu sebentar saja, tubuhnya telah berada belasan
tombak di depan.
Garba dan Sempana
menggertakkan gigi, dan langsung mengerahkan kemampuan larinya. Sesaat,
kemudian, tubuh mereka melesat cepat ke depan, mengejar tubuh Ki Dungkul Taji
yang telah melesat lebih dahulu. Sementara itu, Rupaksa dan beberapa orang
murid Perguruan Kelabang Saku yang masih berdiri di dekat pintu gerbang
perguruan memperhatikan hingga tiga sosok tubuh itu lenyap di kejauhan.
"Tutup pintu
gerbang...!" perintah Rupaksa sambil membalikkan tubuh. Kemudian, kakinya
melangkahi menuju ke dalam.
Murid-murid Perguruan Kelabang
Sakti yang bertugas jaga segera menutupkan pintu gerbang kembali. Lalu, mereka
kembali ke tempat jaga.
***
Hari masih pagi. Sang surya
belum lama menampakkan diri di ufuk Timur. Kicau burung-burung pun masih
terdengar ketika serombongan penduduk Desa Sampar yang dipimpin Ki Dungkul
Taji, dan beberapa orang murid Perguruan Kelabang Sakti yang dipimpin Garba dan
Sempana, bergerak menuju pemakaman. Mereka mengusung dua peti mati, yang
berisikan mayat dua peronda malam yang terbunuh semalam.
Tapi belum juga melangkah
masuk ke areal pemakaman, mereka sudah dikejutkan teriakan keras yang disusul
berlari- larinya sesosok tubuh kekar yang tengah dilanda ketakutan hebat.
"Hm...! Bukankah itu
Suraba. Mengapa dia seperti ketakutan begitu...," kata Ki Dungkul Taji
dengan kening berkernyit.
"Ki...! Ki...!"
Orang bertubuh kekar yang bernama Suraba itu berteriak-teriak seraya
terus berlari cepat menghampiri rombongan penduduk. Saking
terburu-burunya, dia tersandung, Suraba hampir
jatuh, untung saja Garba keburu
cepat menangkap. Tapi, Suraba langsung melepaskan pegangan Garba. "Ki...!
Ki Dungkul...!" Dengan napas terengah-engah yang
menyebabkan ucapannya
terputus-putus.
Suraba menghampiri Kepala Desa
Sampar itu. "Tenanglah, Suraba," ujar Ki Dungkul Taji penuh
wibawa. "Tarik napas
dalam-dalam, dan hembuskan. Kalau sudah tenang, ceritakanlah apa yang telah
terjadi sehingga sikapmu jadi aneh seperti ini." Ucapan Ki Dungkul Taji
menyadarkan Suraba akan ketidakpantasan sikapnya itu. Pandangannya segera
beredar berkeliling. Dan dia pun menjadi semakin malu ketika melihat pandangan
mata penuh tanda tanya para penduduk desa.
Buru-buru laki-laki bertubuh
kekar itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Beberapa
kali hal itu dilakukan, sehingga dia menjadi tenang.
"Sekarang,
ceritakanlah," ujar Ki Dungkul Taji ketika melihat Suraba telah tenang.
"Kuburan Nilam,
Ki..."
"Kuburan Nilam?!"
selak Boma, sebelum Suraba menyelesaikan ucapannya. Langsung disibaknya
kerumunan penduduk yang berada di depannya.
Semua kepala langsung menoleh
ke arah Boma.
"Katakan cepat! Ada apa
dengan kuburan adikku. Katakan!" sentak Boma kalap, seraya memegang kedua
bahu Suraba dan mengguncang-guncangkannya.
Karuan saja perbuatan Boma
malah menyulitkan Suraba untuk melanjutkan cerita. Untung saja Ki Dungkul Taji
cepat bertindak. Ditepuk-tepuknya bahu Boma untuk memberi ketenangan.
"Tenanglah,
Boma...," pelan dan lembut ucapan Kepala Desa Sampar itu.
"Tapi, Ki...," Boma
masih mencoba membantah.
Guncangan tangan pada tubuh
Suraba memang telah dihentikannya. Tapi, pegangannya tetap belum dilepaskan.
"Tindakanmu itu malah
menyulitkan Suraba men- ceritakannya, Boma." Masih tetap halus ucapan yang
keluar dari mulut Ki Dungkul Taji.
Boma terperangah. Disadari ada
kebenaran dalam ucapan laki-laki berpakaian putih itu. Ditatapnya wajah Ki
Dungkul Taji lekat-lekat. Sementara yang ditatap hanya tersenyum lebar,
kemudian menganggukkan kepala.
Bagai kerbau dicocok
hidungnya, Boma melepaskan pegangan tangannya pada kedua bahu Suraba. Kemudian
dia melangkah mundur kembali ke kerumunan penduduk lain.
"Maafkan aku, Suraba. Aku
khawatir," ucap laki-laki berwajah hitam itu pelan sebelum membaurkan diri
dengan kerumunan penduduk lain. "Lupakanlah, Kang. Aku bisa
memakluminya...," jawab Suraba bijaksana.
"Sekarang lanjutkan
ceritamu, Suraba," selak Ki I Jungkul Taji cepat. "Apa yang terjadi
terhadap kuburan Nilam?"
Meskipun yang bertanya hanya
Ki Dungkul Taji, tapi yang dilanda perasaan ingin tahu bukan hanya dia saja.
Semua yang berada di situ juga menanti jawaban Suraba dengan hati berdebar-debar.
Tak terkecuali, Garba dan Sempana. Namun di antara mereka semua, hanya Boma
yang dilanda perasaan paling tegang. Di samping, ada juga rasa khawatir yang
melanda.
"Kuburan Nilam
terbongkar, Ki... Dan...!" "Hah...?!"
Hampir semua mulut ternganga
mendengar berita yang disampaikan Suraba. Memang, laki-laki bertubuh kekar itu
mempunyai pekerjaan sebagai penggali kubur.
"Oh, Tuhan...!"
keluhan tertahan terdengar dari mulut Boma, wajahnya langsung berubah pucat
laksana mayat.
"Bagaimana keadaan mayat
Nilam, Suraba?" tanya Ki Dungkul Taji beberapa saat kemudian ketika
keterkejutan yang melanda telah lenyap.
"Aku tidak tahu,
Ki," jawab Suraba sambil meng gelengkan kepala. "Begitu kulihat
kuburannya terbongkar, aku segera pergi untuk memberitahukanmu.
"Bagaimana kalau kita
melihatnya, Ki," usul Sempana sebelum Kepala Desa Sampar itu menyambuti
ucapan Suraba.
"Memang seharusnya
begitu, Sempana," hanya itu yang diucapkan Ki Dungkul Taji.
"Ayo, Suraba. Antarkan
kami ke kuburan Nilam."
Suraba mengangguk. Sebelum
membalikkan tubuh untuk memenuhi perintah Ki Dungkul Taji, pandangan matanya
tertumbuk pada dua buah peti mati yang digeletakkan di tanah.
"Siapa yang meninggal,
Ki?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu.
"Dua orang peronda malam
tewas dibunuh semalam," jawab Ki Dungkul Taji dengan suara hambar.
"Ah!" seru Suraba
kaget. "Bagaimana itu bisa terjadi,
Ki?"
"Akan kuceritakan sambil
kita menuju kuburan Nilam,"
sahut Ki Dungkul Taji singkat.
Suraba tidak bisa mendesak lagi. Tubuhnya berbalik, kemudian melangkah menuju
kuburan Nilam.
Ki Dungkul Taji dan
rombongannya segera melangkah mengikuti. Kepala Desa Sampar itu berjalan di
samping Suraba. Sedangkan yang lain berjalan di belakang. Sambil mengayunkan
langkah, Ki Dungkul Taji menceritakan kejadian yang menimpa Desa Sampar.
"Jadi, pembunuh itu belum
diketemukan, Ki?" tanya Suraba.
Memang, Ki Dungkul Taji
menceritakan semua peristiwa sampai kembalinya para penduduk yang mencari-cari
pembunuh itu dengan hasil hampa.
"Mungkin pembunuh itu
telah kabur jauh meninggalkan desa, Suraba," sahut Ki Dungkul Taji
sekadarnya. Memang, itu dimaksudkan untuk menghibur hati karena kegagalan dalam
menemukan pembunuh itu.
Suraba tidak menyambutinya. Ki
Dungkul Taji pun tidak melanjutkan ucapannya. Sehingga, suasana menjadi hening.
Kini yang terdengar hanyalah derap langkah kaki yang menapak tanah becek,
karena bekas tersiram hujan semalam.
"Itu kuburan Nilam,
Ki," tunjuk Suraba sera menuding ke sebuah makam yang telah porak-poranda.
Tidak tampak lagi adanya gundukan tanah seperti layaknya sebuah makam.
Ki Dungkul Taji dan rombongan
menatap terbelalak ke arah yang ditunjukkan Suraba. Mereka semua tidak melihat
adanya makam. Yang tampak hanyalah sebuah lubang menganga dan gundukan tanah di
sisi-sisi atas lubang.
"Biadab...!" jerit
kemarahan terdengar dari mulut Boma.
Wajah laki-laki ini merah
padam karena amarah yang bergolak. Kedua tangannya pun tampak mengepal kencang.
Tapi, kali ini Boma tidak menyeruak ke kerumunan penduduk seperti sebelumnya.
Meskipun kemarahan hebat melanda, dan keinginan untuk melihat keadaan lubang
makam adiknya sudah melonjak-lonjak, Boma masih dapat menahan diri untuk tidak
bertindak lancang mendahului Ki Dungkul Taji.
Ki Dungkul Taji membungkukkan
tubuhnya. Ditatapnya lubang yang di dasarnya tampak sebuah peti mati berwarna
hitam. Baru kemudian dia bangkit berdiri kembali.
"Angkat peti itu ke
atas...!" perintah laki-laki berpakaian putih itu dengan suara parau.
Sebelum para penduduk melaksanakan perintah itu, Garba telah lebih dahulu melangkah
maju. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, peti mati itu dikeluarkan dari
dalam lubang, dan diletakkannya di atas.
Semua pasang mata menatap peti
mati yang berisikan mayat Nilam. Dan sekali pandang saja, semua tahu kalau peti
mati itu telah dibuka orang. Tutup peti mati yang rusak menjadi saksi bisu.
Ki Dungkul Taji menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Kemudian tubuhnya membungkuk dan
tangannya terulur untuk menyentuh tutup peti mati itu.
Jelas, dia berusaha
menenangkan hatinya. Memang, Ki Dungkul Taji agak terguncang melihat
pemandangan yang terpampang di hadapannya. Untuk apa orang membongkar kuburan
dan merusak peti mati itu?
Semua pasang mata menatap ke
arah peti mati. Semua jantung berdebar tegang, terutama sekali jantung Boma.
Semua benak sama-sama mengajukan pertanyaan. Masih adakah mayat Nilam di dalam
peti mati itu?
"Nilam...!"
Kali ini Boma tidak bisa
menahan diri lagi ketika melihat seraut wajah cantik seorang wanita yang
terbujur dalam peti mati itu. Melihat keadaannya, dan kalau saja tidak berada
di dalam peti mati itu, mungkin orang akan menyangka kalau gadis cantik itu
tengah tertidur!
Seiring teriakannya, Boma
menyeruak kerumunan penduduk di depannya. Langsung tubuhnya terbungkuk. Kalau
saja Ki Dungkul Taji tidak segera mencegahnya, mungkin laki- laki berwajah
hitam itu telah memeluki mayat yang baru kemarin dikubur.
"Nilam...!"
Boma menjerit-jerit keras.
Sekuat tenaga tangan dan kakinya digerakkan untuk melepaskan diri dari cekalan
Ki Dungkul Taji. Tapi, usahanya sia-sia. Cekalan Kepala Desa Sampar itu terlalu
kuat baginya.
"Boma, sadarlah...! Nilam
tidak apa-apa...," buju Ki Dungkul Taji menenangkan hati laki-laki
berwajah hitam itu.
Tapi bujukan Ki Dungkul Taji
kali ini sia-sia. Rupanya, guncangan yang melanda hati Boma terlalu besar. Dia
tetap saja meronta-ronta. Mulutnya pun terus menjerit-jerit, memanggil nama
adiknya.
"Nilam...!
Nilaaam...!"
Ki Dungkul Taji tahu kalau
Boma tidak akan mungkin bisa ditenangkan lagi. Hatinya begitu tergoncang melihat
kenyataan di hadapannya. Sehingga pikiran sehatnya menguap entah ke mana. Hanya
ada satu cara yang dapat dilakukan untuk menemani Boma yang sedang kalap itu.
Tapi sebelum Ki Dungkul Taji
berbuat sesuai Garba telah lebih dahulu bergerak mendekat. Dan sekali tangan
laki-laki bertubuh kekar berotot itu bergerak menekan tengkuk, tubuh Boma pun
terkulai lemas. Pingsan.
"Terima kasih,
Garba," ucap Ki Dungkul Taji seraya meletakkan tubuh Boma yang pingsan di
bawah sebatang pohon.
Garba hanya tersenyum menanggapi
ucapan terima kasih Kepala Desa Sampar
itu.
"Hhh...!"
Ki Dungkul Taji menghela napas
berat. Perhatiannya dialihkan kembali pada sosok tubuh cantik yang tergolek di
peti mati.
"Pembongkar kuburan itu
ternyata hanya mengambil kain kafan Nilam," keluh laki-laki berpakaian
putih itu pelan. Kemudian, ditutupnya kembali peti mati itu. Dahinya
berkernyit. Jelas, ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Bisa kau perkirakan, apa
maksudnya manusia jahanam itu mencuri kain kafan Nilam, Ki?" tanya Sempana
seraya menatap wajah Ki Dungkul Taji lekat-lekat.
Kini semua pasang mata tertuju
ke arah Kepala Desa Sampar. Seperti juga Sempana, mereka semua ingin tahu
maksud orang mencuri kain kafan Nilam. Keheningan pun menyelimuti tempat itu,
karena semua orang ingin mendengar jawaban Ki Dungkul Taji. 3
Ki Dungkul Taji tidak langsung
menjawab pertanyaan Garba. Sepasang matanya beredar untuk menatap wajah-wajah
di sekelilingnya.
"Rasanya bisa
kuperkirakan maksud pencuri kain kafan itu, Garba...," jawab Kepala Desa
Sampar itu seraya menatap wajah murid utama Perguruan Kelal bang Sakti
tajam-tajam.
"Apa itu, Ki?" desak
Garba yang memang tidak tahu. "Hhh...!" Ki Dungkul Taji menghela
napas panjang
sebelum melanjutkan ucapannya.
"Untuk mengatakan secara pasti, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, kain
kafan itu pasti digunakan untuk menuntut sebuah ilmu hitam."
"Kira-kira ilmu apa itu,
Ki?" selak Wirja yang juga ingin
tahu.
"Kau tidak mendengar
ucapanku tadi, Wiria?" Ki
Dungkul Taji malah balas
bertanya. "Bukankah sudah kukatakan, aku tidak tahu ilmu yang dituntut
pencuri kain kafan itu. Kau tahu, Wirja. Terlalu banyak macam ilmu di dunia
ini. Juga, ada berbagai macam cara pula untuk memperolehnya."
Garba dan Sempana
mengangguk-anggukkan kepala, membenarkan ucapan Kelapa Desa Sampar. Mereka
berdua tahu kalau ucapan Ki Dungkul Taji mengandung kebenaran.
"Mengenai ilmu yang
dituntut pencuri kain kafan Nilam, sama sekali tidak kupikirkan. Dan memang
sulit menduganya," lanjut Ki Dungkul Taji.
"Lalu... apa yang kau
pikirkan sekarang, Ki?" tanya Garba cepat.
Memang, dia menangkap adanya
hal lain yang tengah dipikirkan Ki Dungkul Taji. Dan itu bisa diketahuinya dari
ucapan yang dikeluarkan laki-laki berpakaian putih itu.
"Kau cerdas juga,
Garba," puji Ki Dungkul Taji. "Kau bisa mengetahui kalau aku tengah
memikirkan sesuatu. Kau tahu, aku tengah memikirkan hubungan kejadian yang
menimpa desa kita ini."
"Aku belum mengerti
maksudmu, Ki?" Merah wajah Garba ketika mengungkapkan
ketidakmengertiannya. Baru saja Ki Dungkul Taji memujinya, tapi kini dia
menyatakan tidak mengerti maksud pembicaraan itu. "Aku tengah
memikirkan... apakah kejadian di desa kita ini mempunyai hubungan satu sama
lain," jelas Ki Dungkul Taji.
"Ah...!" seruan
kaget terdengar dari mulut Sempana. Karuan saja hal itu bukan hanya membuat Kl
Dungkul
Taji dan Garba terkejut. Tapi
juga seluruh orang yang berada di situ. Kini semua pasang mata tertuju pada
Sempana. Sorot mata mereka mengandung keingintahuan yang mendalam.
"Dugaanmu mungkin benar,
Ki! Bukankah kejadian terbunuhnya dua orang penjaga malam dan lenyapnya kain
kafan Nilam terjadi pada malam yang sama?" sambut Sempana berapi-api.
"Jadi, maksudmu.... Kedua
kejadian itu dilakukan oleh orang yang sama, Sempana?" tanya Ki Dungkul
Taji ingin memastikan.
"Benar, Ki!" sahut
Sempana.
"Hhh...!" Ki Dungkul
Taji menghela napas berat. "Atas dasar apa kau menduga demikian, Sempana.
Apakah hanya karena kejadian itu berlangsung pada waktu yang bersamaan?"
"Kira-kira begitu,
Ki," lanjut Sempana.
"Hhh...! Dugaanmu membuat
dugaan sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi, Sempana."
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Ki?" tanya Sempana kembali mengernyitkan alisnya.
Ki Dungkul Taji menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Dugaan selama ini,
pelaku pembunuhan dua orang peronda malam itu adalah bukan orang desa kita,
Sempana. Dia pasti berasal dari luar desa. Pembunuhan itu dilakukan dengan
terpaksa, karena dia dipergoki hendak berbuat kejahatan oleh para peronda
malam."
Kepala Desa Sampar itu
menghentikan ucapannya sejenak untuk menarik napas, seraya menatap wajah
laki-laki bermata sipit itu penuh selidik.
"Tapi dengan adanya
dugaanmu itu, dugaan sebelumnya itu akan lenyap. Dugaanmu, mengisyaratkan kalau
pembunuh itu berasal dari desa kita sendiri. Sebuah dugaan yang sama sekali
tidak terlintas di benakku sebelumnya," lanjut Ki Dungkul Taji.
"Mengapa begitu,
Ki?" tanya Permana tak tahan memendam rasa ingin tahu. "Begini,
Permana," Ki Dungkul Taji mengernyitkan kening sejenak untuk memikirkan
kata-kata yang tepat dalam mengawali ceritanya. "Kita misalkan saja dugaan
Sempana benar, bahwa pelaku pencurian kain kafan Nilam dan pembunuh terhadap
dua orang penjaga malam itu dilakukan oleh orang yang sama."
Ki Dungkul Taji menghentikan
ucapannya sejenak. Ditatapnya wajah Permana dan wajah-wajah di sekelilingnya
untuk melihat tanggapan mereka.
"Sekarang aku tanya.
Perbuatan mana yang dilakukan lebih dahulu oleh orang itu? Dan menurutku, kalau
si pelaku lebih dahulu membunuh, baru kemudian mencuri kain kafan, itu tandanya
dia berasal dari Desa Sampar. Tapi kalau mencuri kain kafan dulu lalu membunuh,
untuk apa capai-capai pergi ke Desa Sampar? Hanya untuk membunuh dua orang
penjaga malam? Jadi kesimpulanku, kejadian itu dilakukan oleh satu orang, Dan
sudah pasti, pembunuhan itu dilakukan penduduk Desa Sampar," jelas Ki
Dungkul Taji.
"Kalau begitu, dugaanku
keliru, Ki," desah Sempana pelan.
Ki Dungkul Taji menggelengkan
kepala.
"Benar atau tidaknya
belum bisa kita ketahui sekarang. Tapi yang jelas, dugaanmu telah memberikan
satu dugaan baru yang selama ini tidak pernah hinggap di benakku. Terima kasih,
Sempana."
Laki-laki bertubuh kekar
berotot itu hanya tersenyum
kecil.
"Sekarang, kita harus
waspada penuh. Ingat! Sekarang
ada kemungkinan pelaku semua
kejadian ini adalah orang desa kita sendiri. Memang, rasanya tidak mungkin ada
dua kejadian yang terjadi dalam satu malam, dan pelakunya berlainan. Kecuali...
kalau mereka itu lebih dari satu orang."
Semua kepala terangguk-angguk.
"Mulai malam nanti,
penjagaan harus ditingkatkan. Tapi, ingat. Jangan ada yang berkumpul dalam
kelompok-kelompok kecil. Jumlah kalian paling sedikit tujuh orang dalam tiap
kelompok! Mengerti?!"
"Mengerti, Ki....!"
sahut rombongan penduduk Desa Sampar serempak. Setelah yakin semua penduduk
telah mengerti, Ki Dungkul Taji segera memerintahkan agar mayat-mayat segera
dikubur. Begitu pula mayat Nilam. Tapi, tentu saja setelah dibalut dengan kain
kafan lagi.
Menjelang matahari berada di
atas kepala, iring-iringan penduduk Desa Sampar pun bergerak meninggalkan areal
pemakaman itu.
Kini yang tinggal hanya Suraba
seorang diri karena memang tinggal di sekitar situ.
***
Kepakan kelelawar memecahkan
keheningan malam yang sepi. Kerik jangkrik dan serangga malam lainnya pun
terdengar menyemaraki. Dan di saat itulah sesosok tubuh kekar berpakaian hitam
bergerak cepat keluar dari salah satu bangunan yang terkurung pagar kayu bulat
tinggi.
Begitu telah berada dekat
pagar di bagian belakang, kakinya bergerak menotol. Sesaat kemudian, tubuhnya
telah melayang ke atas, melewati pagar kayu bulat yang tinggi itu. Dan...
"Huppp...!"
Ringan tanpa suara, kedua
kakinya mendarat di tanah luar pagar. Sebentar laki-laki berpakaian hitam itu
berdiri diam di situ. Pandangannya langsung beredar mengawasi sekeliling. Baru
ketika diyakini kalau suasana di sekeliling sepi, dia bergerak cepat menuju ke
mulut desa.
Bangunan besar yang terkurung
pagar kayu bulat tinggi itu letaknya memang jauh dari pemukiman penduduk.
Apalagi, dari mulut desa. Tak aneh kalau laki-laki berpakaian hitam harus
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya agar bisa segera tiba di tempat
yang dituju.
Tak lama kemudian, rumah-rumah
penduduk pun mulai terlihat. Di sini, laki-laki berpakaian hitam itu baru
bersikap hati-hati. Dia kini tidak melesat sembarangan seperti sebelumnya.
Beberapa kali laki-laki
berpakaian hitam itu bergerak menyelinap ke balik semak-semak atau batang
pohon. Dan juga terkadang menyelinap rumah-rumah penduduk ketika berpapasan
dengan serombongan penduduk yang tengah meronda.
Berkat sikap hati-hatinya,
laki-laki berpakaian hitam itu tidak pernah berpapasan dengan rombongan
penduduk yang memang telah memperketat penjagaan. Rupanya, dia tidak ingin
kejadian di malam kemarin terulang kembali.
Memang dengan sikap seperti itu,
perjalanan yang ditempuhnya jadi agak lama. Tapi yang jelas, dia hasil keluar
dari mulut desa dengan aman.
Setelah melalui batas tembok
desa, laki-laki berpakaian hitam itu kembali, mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. Sehingga dalam waktu sebentar saja, tubuhnya telah mengecil di
kejauhan.
Ternyata, laki-laki berpakaian
hitam itu menuju tempat yang didatangi sebelumnya. Memang, kini dia telah
berada di dekat pemakaman. Gerakannya demikian cepat saat menuju ke arah sana.
Yang dituju langsung ke arah makam Nilam.
"Hm...!"
Ada suara gumam perlahan
keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam itu ketika melihat keadaan makam
yang telah kembali rapi seperti sebelumnya. Lalu, perlahan tubuhnya
dibungkukkan. Kemudian diambilnya sebatang ranting yang berada di situ. Dan
dengan ranting kecil di tangan, kuburan Nilam mulai digalinya.
Walau laki-laki berpakaian
hitam itu menggali hanya mempergunakan sebatang ranting, tapi hebatnya tanah
yang terbongkar seolah-olah digali dengan cangkul. Bahkan hanya sekejapan saja,
gundukan tanah makam Nilam sudah lenyap. Dan tak akan lama lagi, peti matinya
pun tampak kembali.
Mendadak laki-laki berpakaian
hitam itu menghentikan gerakan ketika pendengarannya yang tajam, menangkap
adanya langkah kaki mendekati tempatnya. Hanya dengan bergerak ringan, tubuhnya
telah agak jauh dari kuburan Nilam. Dia kini bersembunyi di balik batang pohon
besar. Dari situ, diamatinya arah asal suara langkah kaki tadi.
Tak lama kemudian, muncul
sesosok tubuh kekar lengan obor tergenggam di tangan.
"Ah!" Terdengar
suara keterkejutan dari mulut laki-laki bertubuh kekar yang tak lain Suraba,
ketika pandangan matanya tertumbuk pada
makam Nilam.
"Iblis dari mana yang
melakukan hal keji seperti ini lagi...?" desis Suraba dengan suara
bergetar.
Diangkatnya obor
tinggi-tinggi, kemudian dilayangkan pandangannya ke sekeliling untuk
mencari-cari orang yang telah melakukan kekejian seperti itu.
Wajah Suraba kontan pucat
ketika melihat sesosok tubuh kekar berpakaian hitam menyeringai seraya
melangkah mendekatinya.
"Kkk... kau... kau...!
Jadi.... Kau yang melakukannya?" tanya Suraba terputus-putus.
Tanpa sadar dia melangkah
mundur ke belakang, ketika menyadari ada sorot maut memancar di wajah laki-laki
berpakaian hitam itu.
"Ya!" sahut
laki-laki berpakaian hitam penuh ejekan. "Kalian tidak menyangka
bukan?"
Sambil berkata demikian,
laki-laki berpakaian hitam itu terus melangkah mendekat. Karuan saja Suraba
yang merasa gentar, terus melangkah mundur.
"Akulah yang membunuh dua
orang penjaga malam itu," lanjut laki-laki berpakaian hitam itu pula.
"Dan aku juga yang telah mengambil kain kafan Nilam! Dan kini, aku datang
untuk mencicipi tubuhnya. Namun, aku butuh dua orang mayat gadis yang masih
suci untuk menyempurnakan ilmuku. Dan setelah itu, aku tidak akan memiliki
tandingan lagi. Ha ha ha...!"
"Ap... apa yang akan kau
lakukan pada diriku...?! tanya Suraba dengan suara bergetar seraya terus me
langkah mundur.
"Membunuhmu...,"
ringan saja jawaban laki laki berpakaian hitam itu. "Dan ini bukan kesalahanku,
Suraba. Kau sendiri yang mencari penyakit. Dan aku tidak ingin mati konyol
dengan membiarkan kau hidup, sehingga dapat memberitahukan pada orang lain
perihal diriku."
"Ng.... Lalu... kain
kafan Nilam yang kau curi untuk
apa..?"
Suraba mencoba mengulur waktu.
Barangkali saja ada
orang yang akan datang ke
tempat ini. Meskipun, sepertinya hal itu tidak mungkin. "Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam mendengus. "Aku tahu, kau bermaksud
mengulur-ulur waktu, Suraba. Tapi, biarlah. Hitung-hitung sebagai balas budi
padamu. Pertanyaan ini akan kujawab."
Laki-laki berpakaian hitam itu
menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk meyakinkan hati kalau di
sekitar tempat itu tidak ada orang yang akan menguping pembicaraannya.
"Aku tengah mempelajari
ilmu 'Halimun', Suraba. Dan kain kafan itu adalah syarat pertamanya. Kain kafan
dari seorang yang meninggal di malam jumat kliwon."
"Hanya dengan kain kafan
orang yang meninggal di malam itu, bisa kau dapatkan ilmu 'Halimun'?"
tanya Suraba untuk terus mengulur waktu.
"Tentu saja tidak,
Suraba," sergah laki-laki berpakaian hitam. "Di samping kain kafan,
masih ada lagi yang lainnya. Kembang tujuh rupa, kemenyan, air dari tujuh
tempat, dan tiga gadis suci yang harus kutiduri dalam keadaan telah menjadi mayat."
"Ng... lalu..."
"Cukup, Suraba!"
potong laki-laki berpakaian hitam cepat. "Waktu yang kuberikan untukmu
sudah habis! Kini, sudah saatnya bagimu untuk mati!"
Suraba terperangah. Kalau saja
suasana malam tidak remang-remang, akan tampak jelas wajah Suraba yang pucat
seperti sesosok mayat!
Laki-laki berpakaian hitam
memasuki tangan kanannya ke balik pakaian. Dan ketika tangan itu dikeluarkan,
tampak sinar berkilat-kilat. Di tangan laki-laki berpakaian hitam itu kini
tergenggam sebilah pisau! Hal ini membuat Suraba kalap bukan kepalang.
"Ah! Ja... jangan...!
Tolooong...!"
Tanpa pikir panjang lagi,
Suraba segera mambalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang meninggalkan
tempat itu. Dari mulutnya, keluar jeritan-jeritan ketakutan dan teriakan minta
pertolongan. Tapi, siapa yang akan mendengarnya? Desa Sampar sangat jauh
letaknya dari tempat itu.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam
hanya mendengus. Dibiarkan saja Suraba berteriak-teriak minta tolong
berlari-lari. Baru ketika jarak Suraba sudah sekitar delapan tombak di depan,
tangannya yang menggenggam pisau dikibaskan.
Singgg...! Cappp...!
"Akh...!"
Jeritan kematian keluar dari
mulut Suraba ketika pisau yang dilepaskan laki-laki berpakaian hitam menghunjam
punggungnya hingga tembus ke dada. Seketika itu pula, tubuh Suraba tersungkur.
Beberapa saat lamanya dia menggelepar- gelepar, sebelum akhirnya diam tidak
bergerak lagi. Mati!
"Kau sendiri yang mencari
penyakit. Jangan salahkan aku, Suraba!"
Tanpa mempedulikan mayat
Suraba lagi, laki-laki berpakaian hitam itu kembali menghampiri makam Nilam.
Kemudian, dia kembali sibuk menggali tanah makam yang menutupi peti.
Laki-laki berpakaian hitam itu
mengerahkan seluruh kemampuan untuk menggali tanah. Maka, meskipun yang
digunakan hanya sebatang ranting kecil, waktu yang dipergunakan untuk
menyelesaikan pekerjaannya malah lebih cepat daripada menggali kubur yang
menggunakan cangkul!
Tak lama kemudian, peti mati
Nilam telah berada di atas lubang kembali. Laki-laki berpakaian hitam itu
bergegas mengeluarkan mayat Nilam dari dalamnya. Lalu peti mati itu dibiarkan
berada tetap di situ.
"Ha ha ha...! Sebentar
lagi dunia persilatan akan berada di tanganku. Dan aku akan bebas berbuat apa
saja sekehendak hatiku! Ha ha ha...!"
Setelah puas berkata demikian,
laki-laki berpakaian hitam itu segera melesat dari situ dengan memondong mayat
Nilam.
Hanya dalam beberapa langkah
saja, tubuhnya telah lenyap ditelan kegelapan malam dan kerimbunan pepohonan. 4
Baru saja tubuh laki-laki
berpakaian hitam itu lenyap dari daerah pemakaman, berkelebat cepat dua sosok
bayangan.
"Kau yakin suara minta
tolong itu asalnya dari sini Kang Arya?!" tanya salah satu dari sosok
bayangan itu.
Dia adalah seorang gadis
berpakaian putih, rambutnya panjang tergerai, hingga ke punggung. Wajahnya cantik
jelita. Penampilannya semakin tampak cantik, karena dandanan rambut dan pakaian
yang kenakannya.
"Aku yakin betul,
Melati," sahut sosok bayangan satu
lagi.
Dia adalah seorang pemuda
berwajah tampan.
Pakaiannya ketat berwana ungu.
Rambutnya berwarna putih keperakan. Matanya yang bersinar tajam makin menambah
kejantanan dan kematangan sikapnya. Pemuda yang dipanggil Arya itu segera
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan memang, jika melihat dari ciri-
cirinya, jelas dia adalah Dewa Arak.
Melihat tindakan yang
dilakukan Arya, mau tidak mau Melati mengedarkan pandangan pula.
Memang, mereka telah mendengar
jerit ketakutan dan meminta pertolongan ketika lewat di depan area pemakaman
tadi. Maka, tanpa ragu-ragu lagi mereka segera bergerak cepat memasuki wilayah
pemakaman.
"Kang..!" panggil
Melati. "Lihat ini..!"
Sekali melangkah, Arya yang
tadi berada agak jauh dari putri angkat Raja Bojong Gading itu, kini telah
berada di sebelah Melati. Pandangannya langsung dilayangkan ke arah yang
ditunjuk.
"Biadab!" desis Arya
menahan geram. "Siapa yang yang telah melakukan perbuatan terkutuk seperti
ini?!"
Di hadapan Arya dan Melati,
tergolek sebuah peti mati dalam keadaan terbuka. Gundukan tanah yang berceceran
di sekitar lubang yang menganga lebar, sudah memberi petunjuk pada Dewa Arak
dan Melati tentang kejadian sebenarnya.
"Kang...! Benarkah yang
kulihat ini? Mungkinkah ada orang yang telah mencuri mayat? Dan bila benar,
untuk apa?" tanya Melati, memberondong. Memang gadis berpakaian putih itu
merasa bergidik melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
"Hhh...!"
Dewa Arak mendesah pelan,
sebelum akhirnya menganggukkan kepala membenarkan. Kemudian ditariknya napas
dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Rasanya semua yang kau
lihat ini tidak salah, Melati. Tampaknya ada orang yang telah mencuri mayat.
Dan sepanjang yang pernah kualami, hal ini pasti berkaitan dengan adanya sebuah
ilmu yang tengah tuntut seseorang."
Benak Dewa Arak, kemudian
menerawang pada pengalaman mengerikan yang pernah dialami waktu menghadapi pasangan tokoh sesat yang memiliki
ilmu hitam luar biasa. Dan tokoh-tokoh itu juga menggunakan mayat manusia untuk
mendapatkan ilmu yang ditekuni. Kalau saja tidak ada gurunya dan pertolongan
Malini, putri sepasang tokoh sesat itu, munkin Dewa Arak sudah tewas (Untuk
lebih jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Penganut Ilmu
Hitam").
"Ilmu apa yang dituntut,
kok sampai tega-teganya menggunakan mayat, Kang?" tanya Melati lagi,
penasaran.
"Sulit menduganya,
Melati. Di dunia ini sudah terlampau banyak ilmu. Tapi yang jelas, ilmu yang
dituntut dengan menggunakan jalan seperti itu adalah ilmu hitam!" tandas
Dewa Arak sambil menggelengkan kepala.
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Mari kita cari orang
yang telah menjerit-jerit meminta pertolongan itu. Melati," ajak Arya
mengingatkan.
"O, ya. Aku sampai lupa,
Kang..!" sahut Melati mulai teringat pada maksud semula.
Kini sepasang pendekar muda
itu kembali melangkah sambil mengedarkan pandangan berkeliling untuk
mencari-cari orang yang telah menjerit-jerit meminta tolong.
"Itu dia,
Melati...!" tunjuk Arya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah
mayat yang tak lain adalah Suraba yang tergolek di tanah berjarak tiga tombak
dari mereka. Melati mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk
Arya. Sedangkan pemuda
berambut putih kearakan itu sudah melangkah menghampiri mayat Suraba yang
tertelungkup dengan pisau menghunjam dalam di punggungnya. Perlahan Arya dan
Melati membungkukkan tubuh, dan memperhatikan mayat Suraba beberapa saat.
"Hhh...!"
Sambil mendesah, Dewa Arak
mengulurkan tangan menyentuh punggung mayat Suraba, kemudian membalikkannya.
"Bagaimana, Kang?"
tanya Melati.
"Dia sudah
tewas...," jawab Arya bernada keluh. "Hhh...!"
Melati ikut menghela napas
berat.
"Mengapa orang ini berada
di sini? Bahkan dalam suasana malam selarut ini, Kang?"
"Mungkin dia orang yang
bertugas menjaga kuburan ini, Melati," sahut Arya.
"Kang "
Melati menghentikan ucapannya
saat melihat Dewa Arak menempelkan jari telunjuknya di depan mulut, pertanda
jangan berisik.
"Aku mendengar adanya
langkah-langkah kaki yang bergerak cepat ke sini, Melati," jelas Arya
pelar lebih mirip bisikan.
Melati menelengkan kepalanya,
mencoba menangkap suara-suara yang didengar kekasihnya. Tapi rupanya jarak
pemilik langkah itu masih terlalu jauh dari tempat mereka. Buktinya, putri
angkat Raja Bo jong Gading itu tidak menangkap adanya suara seperti yang
dimaksud Dewa Arak.
"Aku tidak mendengar
apa-apa, Kang?" sahut Melati sambil menggelengkan kepala.
"Jaraknya masih cukup
jauh, Melati," kata Arya dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Sebentar lagi, kau pun akan mendengarnya andaikata mereka menuju
kemari"
"Mereka?"
Melati mengernyitkan dahi.
"Ya," sambut Arya.
"Jumlahnya tidak seorang saja, Melati. Tapi beberapa orang. Bahkan kalau
aku tidak salah tangkap, jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang."
Melati pun terdiam, berusaha
mendengarkan langkah- langkah yang didengar Arya.
Ucapan pemuda berpakaian ungu
itu ternyata bukan bualan belaka. Tak lama kemudian. Melati mulai mendengar
suara-suara yang dikatakan kekasihnya. Semula hanya samar- samar saja, tapi
lama-kelamaan semakin jelas. Ini berarti para pemilik langkah itu tengah menuju
kemari.
"Mungkin mereka ini
adalah orang yang telah mencuri mayat, Kang?" tanya Melati mengajukan
dugaan.
Arya menggelengkan kepala.
"Aku yakin bukan, Melati.
Pencuri itu tidak mungkin bertindak sedemikian bodoh dengan kembali kemari
setelah mendapatkan yang dicari. Lagi pula, jumlah orang yang datang ke sini
terlalu banyak. Aku yakin, pencuri mayat itu tidak akan membawa kawan sebanyak
ini untuk melaksanakan maksudnya."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Apa yang harus kita
lakukan, Kang?" tanya gadis berpakaian putih itu.
"Tidak ada yang perlu
kita lakukan, Melati. Tunggu saja di sini. Lalu, kita lihat perkembangan
selanjutnya."
Semakin lama, suara-suara yang
terdengar semakin jelas di telinga Arya dan Melati. Dan akhirnya, tampak oleh
sepasang pendekar muda itu serombongan obor yang bergerak ke arah mereka.
Memang di tangan masing-masing orang yang datang itu tergenggam sebatang obor.
Sehingga suasana di sekitar tempat itu menjadi terang-benderang.
Arya menghitung jumlah mereka
dengan pandangan matanya. Tepat seperti dugaannya, jumlah mereka tak kurang
dari dua belas orang. Alis Dewa Arak berkerut ketika melihat sebagian besar
rombongan mengenakan pakaian serba hitam. Pada dada kiri, tampak bergambar
seekor kelabang berwarna merah.
Sekali lihat saja, Arya tahu
kalau orang-orang berpakaian hitam itu berasal dari sebuah perguruan. Dan
menilik dari gambar yang tertera, rasanya mereka dari Perguruan Kelabang Sakti.
Perguruan besar yang ditakuti lawan dan disegani kawan! Tokoh persilatan mana
yang tidak pernah mendengar kedigdaya Rupaksa, sang Ketua perguruan itu?
Di mulut Dewa Arak sudah
tersungging sebuah senyuman, bersiap-siap untuk menegur. Tapi niatnya langsung
diurungkan ketika melihat gelagat tak baik dari laki-laki bermata sipit.
Rupanya, dia beranda sebagai pemimpin rombongan. Dia tak lain adalah Sempana!
"Kali ini kau tidak bisa
lolos dari sini, Manusia Jahanam!" seru Sempana keras.
Sepasang mata Sempana menatap
berganti-gantian ke arah Arya dan Melati. Hanya saja, sewaktu beralih ke Melati
pandangan matanya agak berlama-lama. Memang, hampir tidak ada seorang laki-laki
pun yang hanya sekilas memandang Melati. Setiap kali sehabis memandang, selalu
ingin memandang lagi.
"Sabar dulu, Kisanak! Kau
salah terka," sergah Arya mencoba menjelaskan permasalahan sebenarnya.
Tapi Sempana dan rombongan tak
mempeduli alasan Dewa Arak. Mereka langsung menyebar, mengurung Arya dan
Melati. Sikap mereka semua terlihat penuh ancaman.
Sempana yang tepat berada di
hadapan Arya dan Melati melangkah menghampiri. Sebuah senyuman mengejek
tersungging di bibirnya.
"Aku tahu, kata-kata apa
yang akan kau lontarkan, Manusia Keji! Apalagi kalau bukan alasan kuno yang
sudah biasa kami dengar. Kau pasti akan mengelak dari tuduhan sebagai pembunuh
Suraba dan membongkar kuburan Nilam, bukan? Kalian kira kami semua bodoh, heh?!
Mana ada maling mengaku, sekalipun hasil curian ada di tangannya!"
Dewa Arak menghela napas
bera.t Sementara, Melati hanya diam saja mendengarkan. Dia tidak berusaha turut
campur, karena tahu kalau Dewa Arak selalu menemukan jalan keluar yang terbaik
dalam setiap permasalahan.
"Kami berkata sebenarnya,
Kisanak."
"Baik! Baik! Tapi
sekarang, tolong jelaskan padaku. Mengapa kalian berada di sini, di tengah
pekuburan pada malam-malam begini?! Apakah hendak menengok keluarga kalian yang
telah meninggal?!"
Ada nada ejekan dalam ucapan
Sempana. Bahkan mulutnya pun menyunggingkan senyuman sinis pada Dewa Arak.
Tapi, Dewa Arak sama sekali
tidak meladeni sikap dan ucapan Sempana. Wajah dan sikapnya masih tetap tenang.
Tampak jelas kematangan jiwanya. Berbeda dengan Arya yang sama sekali tidak
terpengaruh ejekan Sempana, Melati tidak mampu menahan kemarahannya.
"Kang! Buat apa
merengek-rengek seperti itu. Dia akan menjadi besar kepala nanti. Dikiranya kau
takut padanya. Huh! Lagaknya...!"
"Melati...," panggil
Arya bernada teguran.
Tapi amarah Melati yang telah
bangkit melihat kekasihnya dihina, tak mungkin bisa dicegah lagi. Hanya saja,
tangan atau kakinya tidak bekerja, karena masih tidak mau melancangi Dewa Arak.
Tapi, mulutnya tidak tinggal diam.
"Hei, Monyet Kurus!
Jangan pentang bacot di sini! Jangankan hanya kalian! Biar ditambah sepuluh
kali lipat lagi pun kalau kawanku sudah menjatuhkan tangan kejam, kalian sudah
tidak punya nyawa lagi!"
Hebat bukan main akibat makian
Melati. Seketika itu pula wajah Sempana berubah-ubah. Sebentar pucat, sebentar
memerah. Kemarahan yang hebat memang melanda laki-laki bermata sipit itu.
"Hhh...!"
Dewa Arak hanya bisa menghela
napas berat. Disadarinya kalau pertarungan tidak akan bisa dielakkan lagi.
Tapi, dia tidak bisa menyalahkan Melati. Juga, tidak bisa menyalahkan Sempana.
Wajar saja kalau Sempana bersikap seperti itu. Namun demikian, tidak juga heran
kalau Melati merasa marah melihat kekasihnya direndahkan dan dihina orang!
Dugaan Dewa Arak memang tidak
salah. Bagaikan api yang tengah menyala-nyala disiram minyak tanah, kemarahan
Sempana semakin bergolak, setelah mendengar makian Melati.
"Walaupun kepandaianku
memang tidak bisa di samakan dengan iblis-iblis semacam kalian, tapi bukan
berarti aku akan mundur dan membiarkan kalian menyebar kerusuhan. Biar pun
harus mati di tangan kalian, aku rela!"
Setelah berkata demikian,
dengan nada yang semakin lama semakin meninggi, Sempana melangkah menghampiri
Dewa Arak.
"Haaat..!"
Begitu jarak antara mereka
telah berada sekitar tiga tombak, Sempana melompat ke atas. Dan begitu telah
berada di udara, tubuhnya berputar sambil mengibaskan kaki kanannya ke arah
pelipis Arya.
Wuttt...!
Deru angin keras mengawali
tibanya kibasan kaki Sempana. Menilik dari sini saja, bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya. Jangankan kepala
manusia, pohon yang berhalang besar pun akan tumbang bila terkena kibasan
kakinya.
Dewa Arak pun tahu kedahsyatan
tendangan itu. Tapi, tentu saja bukan hal yang sulit untuk mengelakkan,
sekaligus melumpuhkannya. Maka tubuhnya langsung membungkuk, hingga kibasan itu
lewat di atas kepala. Akibatnya, rambut dan sekujur pakaiannya berkibar keras.
Tidak hanya sampai di situ
saja yang dilakukan Dewa Arak. Begitu kibasan kaki lawan lewat, tangan kanannya
diulurkan. Dan....
Tappp !
Pergelangan kaki Sempana telah
ditangkapnya.
Maka karuan saja hal itu
membuat murid utama Perguruan Kelabang Sakti itu kaget bukan kepalan! Apalagi
ketika belum sempat berbuat sesuatu. Dewa Arak telah memutar-mutarkan
tangannya.
Tak pelak lagi, tubuh Sempana
pun terputar-putar. Dan Dewa Arak terus memutar-mutar tubuh Sempana!
Kejadian yang menimpa Sempana
membuat adik-adik seperguruannya, dan juga penduduk Desa Sampar yang ikut rombongan
itu jadi terkejut bukan kepalang. Maka tanpa ragu- ragu lagi, tangan mereka
semua bergerak ke arah punggung. Sebagian di antaranya menggerakkan tangan ke
arah pinggang. Sesaat kemudian...
Srattt...! Srattt..!
Sinar-sinar terang berkeredep
ketika mereka semua mencabut senjata masing-masing. Dan dengan senjata di
tangan, semuanya bergerak cepat menyerbu Dewa Arak.
"Hiyaaa !"
"Haaat !"
"Hiyaaat !"
Suara-suara teriakan keras
terdengar saling mengiringi tubuh-tubuh yang meluruk cepat ke arah Dewa Arak
dengan senjata di tangan. Tapi, Dewa Arak bersikap tenang, Dewa Arak. Seolah-
olah tidak mengetahui adanya hujan berbagai senjata yang mengancam ke arah
berbagai bagian tubuhnya. Dia tetap saja memutar-mutar tubuh Sempana. Pemuda
berambut putih keperakan itu memang sengaja hendak memberi pelajaran pada
Sempana yang memiliki sikap begitu sombong dan jumawa.
Semakin lama putaran tangan
Dewa Arak semakin cepat. Dan dengan sendirinya, putaran tubuh Sempana pun
semakin cepat pula. Rasa pusing dan mual yang amat sangat kontan mendera murid
utama Perguruan Kelabang Sakti itu. Kalau saja Dewa Arak terus memutar-mutarkan
tubuhnya, laki-laki berata sipit itu pasti akan muntah-muntah!
Untung Dewa Arak tidak
meneruskannya. Cekalan pada kaki Sempana dilepaskannya. Sehingga, tubuh
laki-laki bermata sipit itu terlempar dan melayang jauh.
Saat itulah hujan senjata
rombongan Sempana meluruk tiba. Tapi, tidak tampak adanya tanda-tanda kalau
Dewa Arak akan mengelakkan atau menangkis serangan itu. Dan memang, Dewa Arak membiarkan
saja. Tapi tentu saja, terlebih dahulu mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi kulit tubuhnya.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti
logam-logam keras berbenturan terdengar ketika belasan senjata menghantam
berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
"Ah...!"
Seruan-seruan kaget terdengar
dari mulut rombongan Sempana ketika melihat senjata-senjata mereka sama sekali
tidak mampu melukai tubuh Dewa Arak. Jangankan luka, lecet pun tidak! Malah
sebaliknya, senjata-senjata mereka terpental balik.
Tidak hanya itu saja! Tangan
mereka pun tergetar hebat. Bahkan jari-jari yang menggenggam senjata, terasa
sakit bukan kepalang. Seolah-olah, yang hantam bukan tubuh manusia, melainkan
batang baja yang amat keras!
Beberapa saat lamanya, belasan
orang itu terpaku seolah-olah tak percaya akan kejadian yang dialami. Namun
mereka kembali menyerang dengan senjata-senjata di tangan.
"Hhh...!" Dewa Arak
menghela napas berat. Sudah diduga kalau lawan-lawannya tidak akan mudah begitu
saja menyerah. Maka diputuskan untuk memberikan pelajaran yang lebih keras
lagi.
Dewa Arak segera
mengibas-ngibaskan tangannya secara sembarangan. Tapi hebatnya, dari kedua
tangan yang mengibas itu keluar angin keras. Akibatnya belasan orang yang
bergerak menyerbu berpentalan tak tentu arah ke belakang.
Betapapun murid-murid
Perguruan Kelabang Sakti dan penduduk Desa Sampar berusaha keras bertahan tetap
saja tidak mampu. Tubuh mereka pun berpentalan tak tentu arah dan jatuh bergulingan di tanah. Senjata-senjata
yang digenggam pun terlepas dari pegangan.
"Bagaimana? Masih ingin
diteruskan lagi?" tanya Arya tanpa terdengar adanya nada tantangan atau
kesombongan di dalamnya.
Belasan orang itu merangkak
bangkit. Memang tidak ada satu pun di antara mereka yang terluka. Dewa Arak
memang tidak bermaksud melukainya, dan hanya membuat tubuh mereka berpentalan
tak tentu arah.
Belasan orang itu saling
pandang satu sama lain.
"Perlu kalian ketahui,
kalau aku mau, bukan hal yang sulit untuk membunuh kalian semua! Tapi untuk
apa?! Aku tahu kalian semua salah paham. Dan kalian bukan orang jahat! Itulah
sebabnya, aku tidak mau menurunkan tangan kejam kepada kalian!" tegas Arya
sambil menatap wajah belasan orang itu satu persatu.
"Baiklah agar kalian
lebih percaya lagi, dan tidak memendam curiga padaku..., perhatikan
baik-baik...!"
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak segera menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah batang pohon yang
mempunyai ukuran batang tak kurang dari tiga pelukan orang dewasa.
Wusss....
Brakkk !
Pohon itu kontan tumbang
memperdengarkan suara bergemuruh, ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak
menghantam telak sasarannya. 5
Semua penduduk Desa Sampar dan
murid-murid Perguruan Kelabang Sakti hanya bisa saling pandang dengan sinar
mata penuh kekaguman. Wajah mereka menampakkan perasaan kaget dan ngeri.
Apalagi, jika membayangkan apabila pukulan jarak jauh Dewa Arak diarahkan
kepada mereka. Kini, mereka pun sadar kalau pemuda berambut putih keperakan itu
adalah seorang yang amat sakti.
Setelah yakin kalau belasan
orang itu sama sekali tidak melanjutkan serangan, Dewa Arak berjalan
meninggalkan mereka. Yang dituju adalah Sempana yang tadi dilemparkannya. Dewa
Arak berjalan menghampiri kerimbunan semak-
semak, karena ke situlah tubuh
Sempana dilemparkannya tadi. Dewa Arak melemparkan tubuh lawan memang tidak
sembarangan saja. Tapi lemparannya diarahkan ke tempat yang tidak membahaya
Sempana.
Sebelum Dewa Arak tiba di
tempat yang dituju, terdengar suara
berkerosakan. Disusul, keluarnya tubuh Sempana. Mau tidak mau pemuda berambut
putih keperakan itu pun membatalkan maksudnya semula.
Tapi Sempana sama sekali tidak
menyerang Dewa Arak, karena sudah tidak sanggup melancarkan serangan lagi.
Perutnya terasa mual bukan kepalang. Belum lagi, rasa pusing amat sangat yang
menyerang kepalanya. Jangankan menyerang, untuk melangkah saja sudah sulit.
Beberapa kali tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh karena rasa pusing yang
mendera.
Dua orang murid Perguruan
Kelabang Sakti bergegas menghampiri dan menggamit lengan Sempana, kemudian membawanya
ke tempat rekan-rekan mereka yang lain.
"Kisanak semua...!"
seru Arya. Pandangan Dewa Arak beredar ke arah belasan orang yang berdiri di
hadapannya. Teriakannya pun dikerahkan lewat tenaga dalam.
"Perlu kalian ketahui
semua...! Aku bukan pelaku pembunuhan dan pencurian terhadap mayat seperti yang
kalian duga semula. Keberadaanku bersama kawanku ini karena mendengar jeritan
orang meminta tolong. Tapi ketika tiba di sini, hanya mayat dan peti mati
kosong yang kujumpai! Percayalah! Aku dan kawanku ini akan berusaha menangkap
orang yang telah melakukan semua kekejian ini!"
Dewa Arak menghentikan
ucapannya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ditatapnya satu persatu
wajah-wajah yang berdiri di hadapannya untuk melihat tanggapan mereka.
"Kalau boleh kami tahu,
siapakah namamu, Kisanak?" tanya Permana.
"Namaku Arya. Dan kawanku
ini Melati...!" jelas Arya sambil menunjuk ke arah Melati yang sejak tadi
berdiri diam saja memperhatikan.
Pelan saja ucapan Dewa Arak,
tapi akibatnya tidak sesederhana itu. Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut
murid-murid Perguruan Kelabang Sakti.
"Arya...?! Apakah nama
lengkapmu Arya Buana?" tanya Sempana yang kini sudah berhasil memulihkan
keadaannya setelah menarik napas dan menghembuskannya berulang-ulang.
Meskipun hanya Sempana yang
bertanya, tapi berpasang-pasang mata murid-murid Perguruan Kelabang Sakti
langsung menatap ke arah Dewa Arak. Pandangan mata mereka mengandung
keingintahuan yang mendalam.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas
panjang. Helaan napas yang keluar dikarenakan perasaan lega. Dewa Arak tahu
bila kepalanya terangguk pasti akan lenyap kecurigaan mereka terhadapnya. Namun
hatinya tidak enak karena dirinya kembali dikenal orang. Tapi akhirnya perlahan
pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala.
"Jadi... kau..., Dewa
Arak yang menggemparkan itu, Kisanak?" desak Sempana lagi.
Memang, dia telah mendengar
kabar yang menggemparkan kalau di dunia persilatan telah muncul seorang
pendekar muda yang sakti, dan berjuluk Dewa Arak.
"Begitulah orang
menjulukiku..," sahut Arya pelan. Tidak terdengar adanya kebanggaan atau
kesombongan dalam nada suaranya.
"Ah...!"
Sempana menjerit kaget,
kemudian melangkah tergesa- gesa menghampiri Dewa Arak.
"Kalau begitu, kami telah
salah mengenali orang," kara laki-laki bermata sipit itu. "Aku,
Sempana, mewakili kawan- kawanku semua meminta maaf atas kecerobohan tadi, Dewa
Arak."
"Lupakanlah," desah
Arya bijaksana sambil mengulapkan tangannya. "Tidak ada yang perlu
dimaafkan. Semua ini hanya kesalahpahaman belaka."
"Terima kasih atas
kemurahan hatimu, Dewa Arak. Ah! Aku saja yang tidak tahu diri! Benar kata
kawanmu, Dewa Arak. Jangankan hanya satu, biar ada seribu orang sepertiku, mana
mungkin mampu mengalahkanmu?"
"Ah! Kau terlalu
merendah, Kakang Sempana. Kepandaianmu pun cukup tinggi. Kalau saja kau tidak
terlalu ceroboh, tidak akan semudah itu aku bisa merobohkanmu," sahut Arya
merendah. "Sudah lama kudengar nama Perguruan Kelabang Sakti yang
terkenal. Sama sekali tidak kuduga kalau kali ini aku mendapat kehormatan besar
menjumpai muridnya."
"Kalau begitu kebetulan
sekali, Dewa Arak!" sambut Sempana tiba-tiba.
"Mengapa, Kang
Sempana?" tanya Arya heran. "Guruku sudah lama sekali ingin bertemu
denganmu untuk berbincang- bincang. Sudikah kau ikut bersamaku menemui
beliau?"
"Sungguh sebuah tawaran
yang menarik!" jawab Arya penuh semangat.
"Sudah lama aku mendengar
nama besar Ki Rupaksa. Dan sudah lama pula aku ingin menjumpainya. Mana mungkin
aku akan menolak tawaranmu, Kang Sempana," jawab Arya disertai anggukan
kepala.
"Kalau begitu... mari
kita ke perguruanku, Dewa Arak...!" ajak Sempana penuh semangat.
Sudah terbayang di benak
laki-laki bermata sipit ini, betapa gurunya akan gembira bukan kepalang
mendapat tamu yang tidak disangka-sangka. Dan dia sebagai orang yang telah
menemukan tamu itu, pasti akan menerima pujian dari gurunya.
Dewa Arak mengernyitkan
keningnya.
"Apakah tidak lebih baik
kalau kita mengurus mayat dan kuburan ini dulu?" usul pemuda berambut
putih keperakan itu sambil menatap wajah Sempana lekat-lekat.
"Oh, ya..! Tentu
saja...!" jawab Sempana agak tergagap.
Memang, dalam cekaman rasa
gembiranya, dia sampai melupakan mayat Suraba dan kuburan Nilam yang
terbongkar. Maka, Sempana segera menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah
rombongannya. Kemudian tangan kirinya bergerak mengulap ke depan.
Meskipun laki-laki bermata
sipit itu tidak menga- takannya, tapi semua anggota rombongan tahu maksudnya.
Mereka segera melangkah maju. Sebagian di antara mereka menghampiri mayat
Suraba, sedangkan yang sebagian lagi menghampiri peti mati Nilam.
"Kang Sempana..!"
Seruan kaget Permana, membuat Sempana terperanjat dan menolehkan kepala ke arah
adik seper- guruannya. Tak puas hanya dengan itu, Sempana melangkah menghampiri
Permana.
"Ada apa, Permana?"
"Kau lihat Kang."
Permana sama sekali tidak
menjawab pertanyaan kakak seperguruannya. Bahkan menyuruhnya melihat ke arah
peti mati Nilam.
Dengan hati penasaran dan
benak dipenuhi tanda tanya, Sempana melangkah menghampiri peti mati Nilam.
Dan....
"Hah ?!"
Hampir sepasang mata Sempana
terlompat ketika melihat peti mati Nilam telah kosong!
Bukan hanya laki-laki bermata
sipit itu saja yang terkejut. Penduduk dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti
yang ingin tahu dan ikut melongok ke dalam peti mati itu pun terperanjat bukan
kepalang.
"Ada apa. Kang
Sempana?" tanya Arya sambil melangkah menghampiri.
"Mayat Nilam hilang, Dewa
Arak !"
"Memang sejak aku datang
tadi, peti mati telah kosong, Kang Sempana !"
Sempana mengusapkan tangan ke
wajahnya. "Kasihan kau. Nilam. Manusia jahanam itu rupanya tidak ingin
membiarkanmu tenang di alam kubur.... Tidak henti-henti kau diganggunya "
"Jadi... peristiwa
diganggunya mayat Nilam bukan yang pertama kali?" tanya Arya yang mulai
mengerti persoalan sebenarnya.
Sementara Melati tetap diam
saja. Rupanya, gadis berpakaian putih itu ingin bertindak sebagai pendengar
saja.
Sempana menggelengkan kepala.
"Bagaimana, Kang?" tanya Permana meminta pendapat kakak
seperguruannya.
"Masukkan saja peti mati
itu ke tempatnya. Nanti, baru kita cari mayat Nilam," terdengar lesu
kata-kata yang keluar dari mulut Sempana.
Permana tidak bertanya lagi.
Bersama-sama yang lainnya, segera dikerjakannya perintah kakak seperguruannya.
Sementara sekelompok lainnya menguburkan mayat Suraba tanpa menggunakan peti
lagi.
"Bisa kau ceritakan
padaku, apa yang tengah menimpa desa ini. Kang Sempana?" pinta Arya.
Sempana menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum menjawab pertanyaan pemuda
berambut putih keperakan itu. Dan Dewa Arak hanya diam menunggu ucapan yang
keluar dari mulut laki-laki bermata sipit itu. Ternyata bukan hanya dia saja
yang menunggu, tapi juga Melati.
"Kami juga tidak tahu,
Dewa Arak. Siapa pelakunya dan apa yang diinginkannya, semua masih gelap!"
kata Sempana memulai. Kemudian dicerita semua kejadian di Desa Sampar.
"Setelah menunggu, tidak
juga terlihat ada tanda-tanda pembunuh itu muncul, aku mengajak rombonganku
pergi ke kuburan ini. Barangkali saja, penculik mayat itu datang lagi.
Ternyata, dugaanku tidak keliru. Hanya saja aku datang terlambat. Sehingga,
hanya dapat bertemu denganmu," tutur Sempana menutup ceritanya.
Dewa Arak dan Melati
mengernyitkan keningnya begitu Sempana menghentikan ceritanya. Jelas kalau
sepasang pendekar muda itu tengah berpikir keras.
"Mari kita temui guruku
dulu, Dewa Arak. Barangkali saja beliau bisa memberikan keterangan yang lebih
lengkap dariku."
Dewa Arak hanya menganggukkan
kepala. Memang, para penduduk dan
murid-murid Perguruan Kelabang Sakti telah menyelesaikan pekerjaannya.
Tak lama kemudian, rombongan
Sempana kembali menuju ke Desa Sampar. Kini di dalam rombongan itu ada Dewa
Arak dan Melati.
***
"Paman...! Paman
Suraba...! Kenapa kau tinggalkan aku, Paman...?!" seru seorang pemuda
bertubuh tinggi kurus, berpakaian lusuh sambil duduk bersimpuh di dekat
gundukan tanah yang berisikan mayat Suraba. Suaranya terdengar pilu, mengandung
kesedihan mendalam.
Ternyata pemuda tinggi kurus
itu tidak hanya seorang diri saja di situ. Di belakangnya, berdiri puluhan
orang. Di antara mereka terdapat pula belasan murid Perguruan Kelabang Sakti.
Bahkan di antara mereka terdapat Rupaksa, Garba, Dewa Arak, Melari, Sempana,
serta seorang kakek berpakaian putih longgar. Kumis dan jenggotnya telah
memutih. Dialah penjaga ruang pustaka Perguruan Kelabang Sakti Eyang Baranang
Siang namanya.
Eyang Baranang Siang melangkah
maju. Tangannya diulurkan dan ditepuk-tepuknya bahu laki laki tinggi kurus itu.
"Sudahlah, Giwali. Yang
sudah tiada, lupakanlah. Sekalipun kau mengeluarkan tangis darah, pamanmu tidak
akan bangkit dari lubang kuburnya," hibur Eyang Baranang Siang, lembut.
Rupanya ucapan kakek
berpakaian putih longgat itu termakan juga oleh laki-laki tinggi kurus yang
ternyata bernama Giwali. Kini keluhannya berhenti, lalu bangkit berdiri.
"Akan kucari pembunuh
laknat itu!" desis Giwali penuh dendam. Sepasang matanya berkilat-kilat
tajam. "Aku akan membuat perhitungan dengannya!"
Usai berkata demikian, Giwali
mengepalkan kedua tangannya. Terdengar suara bergemeretak keras ketika
jari-jari tangannya mengepal.
"Apa yang kau andalkan
untuk menghadapi pembunuh itu, Giwali?" tanya Eyang Baranang Siang bernada
teguran. Sementara, ekor matanya melirik ke arah Rupaksa.
Sedangkan Dewa Arak merasa
heran melihat wajah Rupaksa memerah begitu dilirik Eyang Baranang Siang.
"Tentu saja ilmu yang
diwariskan guru padaku!" "Hmh...!"
Eyang Baranang Siang
menggumam. "Jangankan hanya kau yang menerima sebagian kecil dari ilmu
Rupaksa. Garba dan Sempana yang telah mewarisi ilmu banyak saja tidak mampu
membekuk pembunuh itu, Giwali! Camkan itu!" Semakin memerah wajah Rupaksa
mendengar ucapan Eyang Baranang Siang.
"Kuakui, Giwali memang
kurang kuperhatikan, Eyang. Tapi, jangan kira aku tidak tahu kalau kau secara
diam-diam menurunkan ilmu yang kau miliki padanya."
"Itu kulakukan karena kau
menelantarkannya, Rupaksa! Padahal, dia seangkatan dengan Garba dan Sempana.
Tapi, kenapa hanya kedua orang itu saja yang dididik dan digembleng?!"
sergah Eyang Baranang Siang berapi-api. "Aku tahu, kenapa kau bersikap
seperti itu! Karena, bibi Giwali dulu telah menolak lamaranmu!"
"Kurasa, tidak baik
mengungkit-ungkit masalah lama. Eyang. Saat ini, kita berhadapan dengan
pengacau yang tidak kita ketahui orangnya. Ada baiknya urusan sepele itu tidak
dibicarakan lagi!" kata Rupaksa dengan wajah memerah dan suara halus.
Eyang Baranang Siang terdiam
karena menyadari ada kebenaran dalam ucapan Rupaksa. Sementara, Dewa Arak hanya
diam saja dan tidak bermaksud mencampuri pembicaraan tokoh- tokoh utama
Perguruan Kelabang Sakti. Bahkan malah merasa tidak enak hati, karena sebagai
orang luar mendengarkan pembicaraan urusan dalam perguruan.
"Kebetulan di sini ada
tokoh persilatan yang sudah terkenal dan menggemparkan dunia persilatan
Eyang," sambut Rupaksa lagi seraya mengerling ke arah Dewa Arak.
"Hm...!" Eyang
Baranang Siang hanya bergumam tidak
jelas.
"Dia adalah Dewa
Arak!" lanjut Rupaksa. "Dengan
adanya Dewa Arak, aku yakin
pembunuh sekaligus pencuri mayat itu akan berhasil kita tumpas!"
"Hm...!"
Lagi-lagi Eyang Baranang Siang
hanya menggumam. Tapi, sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh selidik.
Rupanya, kakek berpakaian putih ilu tengah menilai kemampuan pemuda berambut
pulih keperakan itu dengan pandangan matanya. Cukup lama juga Eyang Baranang
Siang memperhatikan sekujur tubuh Dewa Arak, sebelum akhirnya melangkah
meninggalkan tempat itu.
Giwali menatap sekali lagi
kuburan pamannya sebelum akhirnya melangkah menyusul tubuh Eyang Baranang
Siang. "Hhh...!"
Ki Dungkul Taji menghela napas
berat Ditatapnya sejenak wajah Rupaksa dan Dewa Arak. Kepalanya dianggukkan
sedikit, baru kemudian melangkah meninggalkan tempat itu.
Melihat kepala desanya telah
berlalu, para penduduk Desa Sampar pun satu persatu berjalan meninggalkan
tempat itu. Dan kini, yang tinggal hanya Dewa Arak, Melati, Rupaksa, dan
murid-murid Perguruan Kelabang Sakti.
"Kalian semua kembali ke
perguruan...," perintah Kupaksa pada murid-muridnya.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, Sempana, Garba, dan murid-murid lainnya melangkah meninggalkan tempat
itu.
Kini hanya Rupaksa, Dewa Arak,
dan Melati saja yang tertinggal di situ.
Rupaksa memandangi hingga
tubuh-tubuh murid- muridnya lenyap dari pandangan mata.
"Ada yang ingin kau
bicarakan denganku, Ki?" tanya Arya ketika Rupaksa mengalihkan pandangan
ke arahnya.
"Benar, Arya," jawab
laki-laki berwajah keras itu sambil menganggukkan kepala.
Dia memanggil pemuda berambut
putih keperakan itu dengan nama saja, karena permintaan Dewa Arak sebelumnya.
Memang, pemuda berpakaian ungu itu merasa risih, dipanggil julukannya oleh
seorang tokoh seperti Rupaksa.
"Katakanlah, Ki. Aku
bersedia mendengarnya."
Rupaksa tidak langsung
mengutarakan hal yang ingin dibicarakannya. Ditariknya napas dalam-dalam,
kemudian dihembuskannya kuat-kuat. Sepertinya, masalah yang akan diutarakan
amat berat untuk dikeluarkan.
"Ini adalah masalah dalam
perguruan. Dan tidak ada seorang pun murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang
mengetahuinya. Kau bersedia merahasiakan hal ini, Arya?"
Sambil berkata demikian,
Rupaksa menatap wajah Dewa Arak tajam-tajam. Seolah-olah, dia ingin menilai
keteguhan hati Dewa Arak dalam menjaga rahasia dengan pandangan matanya.
"Kalau kau merasa ragu...
lebih baik tidak usah kau beri tahukan padaku, Ki," kalem dan tenang Arya
memberikan tanggapan.
"Aku percaya padamu,
Arya," kata Rupaksa buru-buru. "Apakah ini ada hubungannya dengan
peristiwa- peristiwa yang terjadi di Desa Sampar ini, Ki?"
"Kalau tidak, aku tak
akan membicarakan masalah ini denganmu, Arya."
Pemuda berambut putih
keperakan itu hanya tersenyum getir, dan tidak berkata-kata lagi.
Rupaksa menolehkan kepala ke
kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau di sekitar tempat itu tidak ada orang
yang akan mendengarkan penuturannya.
"Leluhurku dulu bukan
orang baik-baik, Arya. Dia adalah seorang tokoh sesat yang selalu berbuat keja
hatan. Berbagai macam kejahatan dan kekejian telah dilakukannya. Maaf, aku
tidak bisa menyebut julukannya," Rupaksa memulai ceritanya.
Dewa Arak dan Melati sama
sekali tidak menampakkan perasaan terkejut mendengar awal cerita Rupaksa. Dari
pengalaman, sepasang pendekar muda itu itu, tidak semua tokoh jahat mempunyai
keturunan jahat juga. Bahkan pernah juga dijumpai, seorang tokoh sesat sadar
dari kesesatannya. Tapi, tentu saja hal itu karena ada satu peristiwa yang
dialami.
"Bukan hanya ilmu silat
saja yang dimiliki leluhurku itu. Tapi juga ilmu hitam! Berbagai ilmu hitam
yang mengerikan dimilikinya. Dan satu di antaranya adalah ilmu 'Halimun'."
Rupaksa menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah sepasang muda-mudi di
hadapannya. Laki-laki berwajah gagah itu ingin melihat tanggapan Dewa Arak dan
Melati atas ceritanya.
Harapan Rupaksa terkabul. Dewa
Arak dan Melari mengernyitkan kening begitu mendengar ceritanya.
"Ilmu 'Halimun'?!"
celeluk Melati tanpa menyembunyikan keheranannya. "Ilmu apa itu, Ki?"
Rupaksa tersenyum lebar
mendengar pertanyaan Melati. Sedikit banyak, hatinya merasa bangga melihat
kawan Dewa Arak itu kebingungan.
"Kau bisa mengira-ngira
ilmu itu, Arya?" Rupaksa mengalihkan pertanyaan Melati pada Dewa Arak.
Ingin diketahuinya, dari tokoh
yang menggemparkan itu akan ilmu yang disebutkan tadi. Namun Dewa Arak tidak
langsung menjawab pertanyaan itu. Dia terdiam sejenak dengan dahi berkernyit
dalam. Jelas, Dewa Arak tengah berpikir keras. "Secara pasti sih, tidak,
Ki," kata Arya jujur. "Tapi sedikit banyak aku sudah bisa
menduganya."
"Katakanlah, Arya,"
Rupaksa memberi angin.
Sementara Melati pun diam pula
mendengarkan. Dia ingin tahu, apakah kekasihnya benar-benar mengenal ilmu
'Halimun'?
"Kalau menurut
perkiraanku... ilmu 'Halimun' adalah sejenis ilmu yang membuat kita mampu
menghilang," tebak Arya.
"Tepat!" kata
Rupaksa membenarkan.
"Ihhh...!" pekik
Melati kaget. "Apakah ilmu seperti itu benar-benar ada, Ki? Kupikir ilmu
itu hanya sekadar dongeng saja "
Rupaksa menggelengkan kepala.
"Kau salah, Nisanak. Ilmu seperti itu memang benar-benar ada. Dan
leluhurku dulu memilikinya," ada nada kebanggaan dalam ucapan Ketua
Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Gila...!" desis
Melati, masih dengan kekagetan yang mendera. "Lalu... bagaimana cara
mengalahkannya, Ki? Maksudku... apabila lawan benar-benar memilikinya?"
Rupaksa terdiam sejenak.
Begitu pula Dewa Arak. Berbeda dengan Melati, pemuda berambut putih ke-
perakan itu memang tidak
merasa aneh, apabila benar ilmu 'Halimun' ada yang memilikinya. Karena, gurunya
sendiri, Ki Gering Langit, banyak memiliki ilmu gaib yang sukar diterima
otaknya.
"Sayang sekali, Nisanak.
Aku sendiri belum pernah mendapatkan keberuntungan menemukan lawan yang
memiliki ilmu 'Halimun' itu," sahut Rupaksa bernada penyesalan.
"Ah! Tidak mengapa,
Ki," kata Melati sambil me- nyunggingkan senyum manis.
Dan memang, gadis berpakaian
putih ini tidak merasa kecewa karena Rupaksa tidak dapat menjawab pertanyaannya.
Suasana menjadi hening ketika
Melati telah me- nyelesaikan ucapannya. Tapi keheningan itu tidak berlangsung
lama, karena Rupaksa telah kembali menyambung ceritanya.
"Oleh keturunan-keturunan
setelah leluhurku, ilmu 'Halimun' sama sekali tidak dipelajari "
"Mengapa begitu, Ki? Apakah mereka tidak sayang membiarkan ilmu itu
akhirnya musnah?" selak Melati tidak kuat menahan perasaan hatinya.
"Hhh...! Karena ilmu
hitam itu, sebuah ilmu keji!" tandas Rupaksa. "Untuk menguasainya
harus melakukan banyak pekerjaan terkutuk!"
Melati terperanjat. Diam-diam
disesali ucapannya. "Beberapa syarat yang harus dipenuhi, dan ini pun
kudengar dari keturunan-keturunan leluhurku, harus mencuri kain kafan dari
orang yang meninggal di malam tertentu."
Melati bergidik. Memang,
walaupun dia seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi, tapi
masih takut juga mendengar cerita tentang hantu dan kuburan.
"Di samping itu juga...
maaf... menggauli mayat gadis yang masih suci. Ada aturan jumlahnya dan tidak
sembarangan saja. Juga syarat yang harus dipenuhi, kemenyan, kembang beberapa
macam, dan juga air dari beberapa tempat."
"Mengerikan!" desis
Melati dengan bulu tengkuk meremang.
"Itulah sebabnya, mengapa
ilmu itu tidak dipelajari, Nisanak. Sampai akhirnya, ilmu itu lenyap!"
"Syukurlah...!"
desah Melati lega.
"Kau bilang ilmu itu kini
telah lenyap, Ki?" selak Arya dengan dahi berkenyit. Nada suaranya
menyiratkan ketidakpercayaan.
Rupaksa menarik napas
dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Semula memang begitu,
Arya...," pelan dan lemah ucapan Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Dan sekarang...,"
potong Arya, sengaja menggantung ucapannya.
"Hhh. "
Rupaksa menghela napas berat
"Itulah sebabnya, aku
mengajakmu berbicara tanpa ada orang lain yang kuikutsertakan, kecuali kawanmu
itu."
Sambil berkata demikian,
Rupaksa menudingkan telunjuknya ke arah Melati. Sementara, Melati kini mulai
mengerti, kalau cerita yang dipaparkan Rupaksa mempunyai hubungan dengan
peristiwa yang tengah melanda Desa Sampar. Jadi, pengacau itu tengah
mempelajari ilmu-ilmu hitam yang kemungkinan besar milik leluhur Ketua
Perguruan Kelabang Sakti itu.
"Mungkinkah kalau
penuntut ilmu hitam itu bukan mempelajari berdasarkan warisan leluhurmu,
Ki?" tanya Arya mengajukan dugaan.
Rupaksa menggelengkan kepala.
"Aku yakin, penuntut ilmu
hitam itu mempelajarinya dari warisan leluhurku!" tandas Rupaksa tidak
ragu-ragu.
"Mengapa kau begitu
yakin, Ki? Padahal, sebagai tokoh tingkat tinggi kurasa kau pun tahu, tidak ada
orang yang paling sakti di dunia ini. Di atas langit masih ada langit. Banyak
sekali orang-orang persilatan vang mempunyai ilmu beraneka ragam."
"Aku mengerti,
Arya," sahut Rupaksa sabar. "Tapi perlu kau ketahui, hanya leluhurku
yang memiliki aturan seperti itu untuk mendapatkan ilmu-ilmu hitam. Dan aku
tahu betul hal itu dari cerita yang kudengar dari salah seorang keturunan
leluhurku yang telah melanglang buana untuk menuntut berbagai ilmu hitam."
"Kalau begitu... ada
orang yang telah mencuri ilmu leluhurmu, Ki."
Ketua Perguruan Kelabang Sakti
itu menggelengkan
kepala.
"Belum pernah ada orang
atau tokoh persilatan lain yang
masuk ke perguruanku, dan
mengacak-acak perpustakaan untuk mencari ilmu hitam peninggalan
leluhurku." Mantap dan penuh keyakinan ucapan yang keluar dari mulut
laki-laki berwajah gagah itu.
Wajah Dewa Arak kontan
berubah. Maksud ucapan Rupaksa telah menggiringnya ke dalam satu kesimpulan.
"Berarti, ada orang dalam
perguruanmu yang diam-diam telah melatih ilmu itu," ucap Arya deng suara
kering.
"Yahhh...," Rupaksa
menganggukkan kepala seraya menghela napas berat.
"Kau bisa mengira-ngira,
siapa orangnya, Ki?" tanya Arya. Dadanya kini berdebar tegang!
Perasaan yang sama pun melanda
Melati. Kini dengan dada berdebar tegang, Dewa Arak dan Melati menunggu jawaban
yang akan keluar dari mulut Rupaksa.
"Bagaimana dengan kau,
Arya? Apakah kau bisa mengira-ngira, siapa pelakunya?" Rupaksa balas
bertanya. 6
Dewa Arak tercenung sejenak.
Sepasang matanya terpaku pada satu titik. Sedangkan ibu jari dan telunjuknya
mengusap-usap ujung hidungnya.
Rupaksa agak heran juga
melihat kelakuan Dewa Arak. Tapi tidak demikian halnya Melati. Gadis berpakaian
putih itu tahu kalau Dewa Arak tengah memutar otak, untuk memecahkan masalah
yang dihadapi. Dan memang, bila persoalan yang dihadapi amat sulit, kebiasaan
kekasihnya adalah mengusap-usap ujung hidungnya.
"Masalah ini cukup pelik
juga, Ki," kata Arya sambil menurunkan tangan dari ujung hidungnya.
Ditatapnya wajah Rupaksa tajam-tajam.
Rupaksa tidak menanggapi
ucapan Dewa Arak. Dia tahu, pemuda berpakaian ungu itu belum menyelesaikan
ucapannya. Maka, dia bersikap diam dan menunggu.
"Tadi kau mengatakan,
murid-murid Perguruan Kelabang Sakti pun tidak tahu kalau leluhurmu dulu adalah
datuk golongan hitam yang banyak memiliki ilmu hitam. Bukankah begitu?"
"Benar," jawab
Rupaksa singkat.
"Berarti, hanya kau
seorang yang mengetahui rahasia leluhurmu," lanjut Arya. "Tapi,
mengapa ada orang yang melakukan perbuatan yang menurut keyakinanmu menuntut
ilmu berdasarkan ilmu warisan leluhurmu? Itulah yang menjadi masalah. Memang
aku pun bisa menduga kalau pelaku semua kejahatan itu, tengah menuntut ilmu
hitam. Tapi sungguh tidak kusangka kalau milik perguruanmu, Ki."
"Maaf, Arya. Kau salah
mengerti ucapanku sebelumnya," kata Rupaksa setelah Dewa Arak menghentikan
ucapannya.
"Maaf, Ki," ucap
Arya buru-buru. "Tapi... ucapan mu yang mana yang salah kuartikan?"
Rupaksa terdiam sejenak.
"Tadi, aku hanya
mengatakan kalau murid-murid Perguruan Kelabang Sakti tidak mengetahui
leluhurku. Tapi, itu bukan berarti hanya aku seorang yang mengetahui rahasia
itu."
"Berarti, ada orang lain
yang tahu rahasia leluhurmu. Dan dia bukan murid Perguruan Kelabang Sakti.
Bukankah itu berarti dia orang luar, Ki? Padahal, tadi jelas-jelas kudengar
kalau kau mengatakan tidak ada orang luar yang mengetahui rahasia leluhurmu.
Aku malah jadi bingung, Ki," selak Melati yang merasa tertarik dengan
percakapan itu. Makanya, gadis itu langsung ikut campur dalam pembicaraan.
"Aku bisa menduga orang
yang kau maksud itu, Ki," kata Arya setelah beberapa saat lamanya
tercenung sehabis mendengar bantahan Rupaksa atas kesimpulan yang didapat.
Melati dan Rupaksa menatap
Dewa Arak.
"Aku tahu, kau akan bisa
menduga, Arya," kalem dan tenang sekali ucapan Ketua Perguruan Kelabang Sakti
itu. "Dan aku yakin kalau dugaanmu itu pasti benar. Coba katakan, siapa
adanya orang itu, Arya?"
"Eyang Baranang
Siang," jawab Arya. Rupaksa menganggukkan kepala.
"Sudah kuduga, kau akan
mampu menduganya dengan tepat, Arya."
Dewa Arak hanya tersenyum
hambar.
"Sebenarnya... apa
hubunganmu dengan Eyang Baranang Siang, Ki? Melihat dari sikapnya terhadapmu...
rasa-rasanya dia memiliki kedudukan yang tidak berada di bawahmu. Maaf, kalau
aku bersikap lancang karena mengajukan pertanyaan ini, Ki"
"Tidak apa, Arya,"
Rupaksa menggelengkan kepala. "Kau wajib tahu, karena bantuanmu kubutuhkan
untuk menyelesaikan kemelut di desa ini. Jangan ragu-ragu untuk menanyakan apa
saja yang ingin kau ketahui"
'Terima kasih atas
pengertianmu, Ki."
"Eyang Baranang Siang
adalah kakak tiriku. Dia anak ayahku, dari ibu yang berlainan."
'Tapi, sepertinya usia kalian
berdua terpaut terlalu jauh,
Ki."
"Tidak terlalu jauh
sebenarnya, Arya. Hanya saja, dia
memang terlihat tua sekali.
Dialah satu-satunya orang selain diriku yang mengetahui rahasia leluhur
kami."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Tapi sepertinya...
antara dirimu dengan Eyang Baranang Siang ada semacam permusuhan tersembunyi,
Ki?" desak Arya lebih berani karena telah mendapat izin dari Ketua
Perguruan Kelabang Sakti itu sendiri. "Yahhh...! Dugaanmu sama sekali
tidak salah, Arya," jawab Rupaksa setengah mengeluh.
"Mengapa bisa demikian,
Ki? Aku yakin, pasti ada sebab- sebabnya. Apakah karena pemuda bernama Giwali
itu?"
Rupaksa menggelengkan kepala.
"Bukan karena Giwali yang
menyebabkan terjadinya perang dingin antara kami, Arya. Memang kuakui, Giwali
semakin menambah meruncingnya persoalan. Tapi sebenarnya kami memang sudah
saling tidak menyukai sejak belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lalu."
"Ah...!" desah Arya
dan Melati kaget.
"Perang dingin itu
berlangsung sejak kami kecil, Arya," lanjut Rupaksa tanpa mempedulikan
keterkejutan yang melanda Dewa Arak dan Melati. "Sebagai orang yang lebih
tua, Kakang Baranang Siang mendapat bimbingan silat dari ayahku lebih dah
daripadaku. Baru beberapa tahun kemudian, aku mendapat giliran."
Laki-laki berwajah gagah itu
menghentikan ucapannya sejenak. Sepasang matanya menerawang ke langit,
seakan-akan di sana terpampang gambaran masa kecilnya.
"Di sinilah perasaan iri
Kakang Baranang Siang timbul. Aku yang dididik belakangan, ternyata cepat
menguasai ilmu- ilmu yang diajarkan ayah. Sementara, dia agak lambat. Tak heran
setelah dididik selama lima tahun, aku berhasil menyamai tingkatannya.
Sehingga, ayah tidak perlu dua kali mendidik. Kalau dulu, beliau harus mengajar
Kakang Baranang Siang, baru kemudian mengajarku. Setelah lima tahun kemudian,
hal itu tidak perlu dilakukannya lagi. Dia bisa mendidik kami sekaligus, karena
aku dan Kakang Baranang Siang telah mencapai tingkatan yang sama."
Rupaksa menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas.
"Setelah berusia tujuh
belas tahun, aku justru berhasil melewati tingkatnya. Hal itu semakin
menimbulkan rasa iri di hati Kakang Baranang Siang. Apalagi kemudian, aku pun
mendapat ilmu-ilmu andalan. Beberapa kali dia berusaha mencelakaiku secara
diam-diam, tapi tidak berhasil."
"Kau tahu kalau dia
bermaksud mencelakaimu, Ki?" selak Melati.
Rupaksa mengangguk-anggukkan
kepala. "Tapi, aku berpura-pura tidak tahu agar pertentangan yang terjadi
tidak semakin meruncing. Memang, tak kusangka kalau dia masih terus memendam
meskipun telah berusia selanjut itu. Dan telah kau lihat sendiri buktinya tadi,
bukan? Di depan orang banyak dia memojokkanku. Apa pendapat orang kalau melihat
Ketua Perguruan Kelabang Sakti diperlakukan seperti itu oleh penjaga
pustaka?!"
Semakin lama, nada suara
Rupaksa semakin tinggi. Jelas kalau amarahnya bangkit ketika teringat akan
peristiwa yang tadi dialaminya.
"Kalau saja tidak ingat
dia itu termasuk saudara, bahkan kakak tiriku, mungkin sudah kulabrak dan
kuajak bertarung," sambung Rupaksa lagi, tetap dengan nada tinggi
"Untung aku masih bisa menahan diri dan mengalihkan pembicaraan."
"Yahhh...!" desah
Arya setengah mengeluh. "Aku juga melihat adanya sorot kebencian di
wajahnya, Ki."
"Mungkinkah Eyang
Baranang Siang orang yang telah melakukan serangkaian kekacauan di Desa Sampar
ini?" celetuk Melati.
"Jangan cepat-cepat
menarik kesimpulan seperti itu, Melati.. Ingat! Persoalan ini masih gelap.
Tidak sepantasnya mengajukan tuduhan seperti itu. Berprasangka boleh-boleh
saja. Karena dengan bekal itu, bisa digunakan untuk menyingkap masalah. Kau
mengerti, Melati?" sergah kekasihnya.
"Aku mengerti,
Kang," sahut gadis berpakaian putih itu sambil menganggukkan kepala.
"Ucapan Arya itu benar,
Nisanak," timpal Rupaksa, mendukung ucapan pemuda berambut putih keperakan
itu. "Tidak baik kalau menuduh seseorang sebelum masalahnya jelas. Iya
kalau dugaan itu benar. Kalau salah? Hanya akan membuat suasana semakin
bertambah kacau!"
"Aku bersedia
menyumbangkan kemampuanku yang tidak seberapa ini untuk menangkap pelaku
kekacauan itu, Ki," Arya menawarkan diri.
"Sebelumnya, kuucapkan
terima kasih atas tawaran bantuanmu itu, Arya. Mulai malam nanti, aku akan
berusaha menyingkap biang kekacauan desa ini!" tegas Rupaksa berapi- api.
"Agar tidak terjadi pemusatan kekuatan di satu tempat bagaimana kalau kita
adakan pembagian tugas, Arya?" "Aku belum mengerti maksudmu, Ki,"
sahut Arya dengan dahi berkemyit.
"Begini, Arya. Kau
bersama kawanmu berjaga-jaga di desa. Sedangkan aku, mengawasi perguruanku.
Kalau memang benar pelaku tindakan kekacauan itu berasal dari dalam
perguruanku, mudah-mudahan saja aku berhasil membekuknya di saat dia tengah melakukan
tindak kejahatan."
"Sebuah usul yang sangat
baik, Ki…" sambut Arya gembira.
"Kau setuju dengan usulku
ini, Arya?" tanya Rupaksa untuk lebih menegaskan lagi.
"Tentu saja, Ki."
"Tapi, Arya "
"Ada apa lagi, Ki?"
tanya pemuda berambut putih keperakan itu, karena menyangka ada yang dilupakan
Rupaksa.
"Kurasa sebaiknya ada
pula yang berjaga-jaga di sekitar kuburan, Arya. Barangkali saja pengacau itu
akan datang ke sana."
"Kau benar, Ki,"
sambut Arya. "Kita pecah kekuatan menjadi tiga. Kau di perguruan, aku
berjaga-jaga di sini, sedangkan Melati di desa. "
Rupaksa mengangguk-anggukkan
kepala. Ada raut kepuasan tergambar di wajahnya.
***
Sang surya agak lama tenggelam
di Barat. Kegelapan pun sudah menyelimuti seluruh mayapada ini. Memang, malam telah
menjelang. Seiring datangnya malam, kesibukan yang luar biasa nampak di dalam
Desa Sampar. Hampir di tiap penjuru desa nampak orang-orang yang berjaga-jaga
bersikap waspada. Obor-obor yang tercekal di tangan, membuat suasana jadi
terang- benderang.
Di antara sekian banyak yang
berjaga-jaga, tampak di antaranya Ki Dungkul Taji, Permana, Sempana, dan Garba,
serta Melati. Mereka semua menjadi pimpinan kelompok.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan yang kesekian
kalinya memecahkan keheningan malam. Bunyi ini keluar dari kentongan yang
dipukul rombongan di bawah pimpinan Ki Dungkul Taji. Kini rombongan itu mulai
melewati kerimbunan semak-semak dan pepohonan yang cukup lebat.
Tibanya rombongan Ki Dungkul
Taji di tempat itu, membuat sosok bayangan hitam yang berkelebat cepat
menghentikan gerakannya. Dia mengendap-endap di antara kerimbunan semak.
Sepasang mata sosok tubuh
hitam itu menatap tajam penuh selidik pada rombongan peronda itu. Malam yang
cukup gelap, dan pakaiannya yang serba hitam, serta tempatnya yang terlindung
semak-semak, membuat keberadaannya sama sekali tidak diketahui rombongan Ki
Dungkul Taji. Sosok tubuh hitam itu diam menunggu. Dia tahu, tak akan lama lagi
rombongan yang dilihatnya akan meninggalkan tempat itu.
Dan ketika rombongan Ki
Dungkul Taji sudah meninggalkan tempat itu, sosok tubuh hitam itu keluar dari
kerimbunan semak-semak. Dia melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dengan
kecepatan yang mengagumkan, tubuhnya berkelebat. Tak heran kalau dalam beberapa
saat saja, bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.
Sosok tubuh hitam itu terus
melesat cepat bagai kilat. Tapi, itu tak berlangsung lama. Beberapa kali
larinya harus diperlambat. Bahkan juga harus dihentikannya. Dia langsung
menyelinap ke balik pepohonan, semak-semak atau di balik rumah, ketika bertemu
rombongan penduduk dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti yang meronda.
Beberapa kali sosok tubuh
hitam itu hampir berpapasan dengan rombongan peronda. Tapi berkat kelihaiannya,
dia berhasil menyelinap atau menyembunyikan diri sebelum diketahui.
"Huppp...!"
Sosok tubuh hitam itu
menyelinap ke balik dinding sebuah rumah penduduk. Sesaat lamanya dia berdiri
bersandar di situ untuk menenangkan debaran hatinya. Sinar bulan yang
remang-remang, menyorot sekujur tubuh laki-laki berpakaian hitam itu. Tampak
kalau tubuh tinggi dan tegap. Wajahnya tidak tampak jelas, karena tertutup
coreng-moreng arang hitam. Rupanya dia memang bermaksud untuk menyembunyikan
wajahnya.
Kemudian dengan langkah
hati-hati, laki-laki berpakaian hitam itu memutari dinding menuju ke depan.
Langkahnya baru dihentikan ketika telah berada tepat di depan pintu. Kepalanya
menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan kalau perbuatannya tidak
dipergoki orang lain. Kemudian tangan kanannya dijulurkan ke depan, ditempelkan
ke daun pintu.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan laki-laki berpakaian hitam itu. Tangan yang menempel di pintu
segera bergerak mendorong. Perlahan saja kelihatannya. Tapi akibatnya, daun
pintu itu jebol berentakan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Dari sini saja sudah
bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Karuan saja suara ribut-ribut
itu membuat pemilik rumah bergegas keluar dari kamar, dan langsung ke depan. Di
tangannya sudah tergenggam sebilah golok.
Lelaki pemilik rumah yang
ternyata Boma, terkejut bukan kepalang ketika melihat adanya sesosok tubuh
berpakaian serba hitam di ambang pintu rumahnya.
"Sss... siapa
kau...?" tanya Boma. Suaranya terdengar terputus-putus karena rasa kaget
yang melanda.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu
hanya mendengus. Dan dengusan itu menyadarkan Boma dari keterkejutannya.
Langsung disadarinya kalau laki-laki berpakaian hitam itu mempunyai maksud yang
tidak baik. Coreng-moreng yang melumuri wajah, dan kedatangannya yang merusak daun
pintu itu, merupakan bukti nyata itikadnya.
"Hiyaaa...!"
Diiringi teriakan membahana,
Boma menyerang laki-laki berpakaian hitam itu. Sambil berlari cepat
menghampiri, golok yang sejak tadi tergenggam di tangan diayunkan ke arah tamu
tak diundang itu dari atas ke bawah. Rupanya, dia hendak membelah tubuh
laki-laki berpakaian hitam itu menjadi dua bagian.
"Hmh...!"
Kembali laki-laki berpakaian
hitam itu hanya men- dengus. Tanpa menggeser kaki dan merubah kedudukannya,
tangan kanannya dengan jari-jari terbuka diulurkan ke atas. Rupanya datangnya
serangan golok itu ingin disambutnya dengan tangan telanjang. Itu pun
dilakukannya setelah serangan menyambar dekat. Boma terkejut melihat tindakan
lawan. Meskipun begitu, serangannya sama sekali tidak dihentikan. Dan...
Tappp...!
Di luar perkiraan Boma,
goloknya sama sekali tidak mampu memutuskan tangan laki-laki berpakaian hitam
itu. Jangankan putus, lecet pun tidak! Bahkan goloknya malah kena cekal.
Tentu saja Boma tidak bisa
tinggal diam. Sekuat tenaga goloknya ditariknya. Dan rasanya, bila laki-laki
berpakaian hitam itu terus mempertahankannya, jari-jari tangannya pasti putus.
Atau paling tidak tangan yang mencekal itu akan terlukai.
Tapi kembali Boma kecele.
Betapa pun seluruh tenaga yang dimilikinya telah dikerahkan, tetap saja golok
itu sama sekali tidak bergeming dari cekalan tangan lawan.
Gagal menarik dengan satu
tangan, tidak membuat Boma putus asa.
Dia memang termasuk orang yang keras hati. Maka, sekarang dia menggunakan dua
buah tangan untuk menarik.
Meskipun demikian, hasil yang
didapatkan Boma pun tetap tidak berubah. Wajahnya sampai merah padam karena
telah mengeluarkan tenaga melampaui batas. Suara lenguhan pun keluar pula dari
mulutnya. Sementara, laki-laki berpakaian hitam itu terlihat seperti tidak
mengerahkan tenaga sedikit pun!
Mendadak, laki-laki berpakaian
hitam itu melepaskan cengkeramannya pada golok. Padahal pada saal itu, Boma
tengah mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk membetot. Tanpa dapat
dicegah lagi tubuh Boma terjengkang ke belakang, terbawa tenaga tarikannya
sendiri.
Tindakan laki-laki berpakaian
hitam itu ternyata tidak berhenti sampai di situ. Di saat tubuh Boma tengah
terhuyung- huyung ke belakang, tangannya dengan jari-jari terkepal meluncur ke
depan.
Wusss...! Bukkk...!
"Aaa...!"
Boma menjerit menyayat ketika
pukulan jarak jauh itu menghantam perutnya, hingga hancur. Darah segar kontan
berhamburan dari mulut Boma, seiring tubuhnya melayang ke belakang, yang
langsung menabrak dinding rumah hingga bergetar hebat. Saat itu juga nyawa
laki-laki berwajah hitam itu melayang. "Kakang...! Jahanam...! Iblis kau!
Kami ini yatim-piatu. Mengapa kau bunuh juga kakakku! Dia adalah pelindungku
satu-satunya...," ratap seorang gadis begitu mendengar jeritan Boma. Dia
langsung menghambur memeluk mayat Boma yang berlumuran darah.
Memang, gadis cantik bernama
Rukmini itu sebenarnya telah mendengar suara ribut-ribut di depan tadi. Tapi
oleh Boma, kakaknya, dia dilarang keluar demi keselamatannya sendiri. Namun
begitu mendengar teriakan Boma, hatinya tak tahan. Apalagi, saat mendapati
kakaknya telah tewas. Maka, air matanya tak terbendung lagi.
"Hm!" orang berbaju
serba hitam itu hanya menggumam perlahan. Matanya liar merayapi tubuh molek
yang kini juga tengah menatap ke arahnya.
"Bajingan! Kubunuh
kau!" tiba-tiba Rukmini bangkit, hendak menyerang laki-laki berpakaian
hitam itu dengan golok bekas kakaknya yang tergeletak tidak jauh dari situ.
Hanya dengan memiringkan tubuh
ke kanan sedikit, orang berpakaian hitam itu menghindari tebasan golok Rukmini.
Tangannya langsung bergerak, ke arah dada dan leher gadis itu.
Tukkk! Tukkk!
Rukmini langsung roboh pingsan
tertotok tangan orang berpakaian hitam itu. Totokan tadi memang tepat bersarang
di dada dan lehernya. Sebelum Rukmini jatuh, orang berpakaian hitam itu segera
meraih tubuhnya.
Orang berpakaian serba hitam
itu kemudian memondong tubuh Rukmini dan bersiap hendak keluar. Gerakannya
ringan sekali saat melesat, dengan tubuh molek seorang gadis dalam
pondongannya.
Tapi sebelum melesat keluar,
laki-laki berpakaian hitam itu menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang
tajam menangkap adanya suara langkah-langkah kaki bergemuruh mendekati
tempatnya.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, laki-laki berpakaian hitam itu segera melesat keluar. Dan seperti yang
sudah diduga, di depan rumah itu telah berkumpul sekitar sepuluh orang
bersenjata lengkap di tangan. Berdiri paling depan adalah Sempana. Sementara di
belakangnya, berdiri penduduk desa dan murid-murid Rupaksa dengan sikap mengancam.
Memang Sempana dan rombongannya tengah mengelilingi sekitar tempat itu. Dan
ketika mendengar jerit kematian Boma dan jeritan Rukmini, mereka bergegas
memburu ke tempat asal suara itu. Tak aneh, sebelum laki-laki berpakaian hitam
itu sempat kabur, mereka telah berhasil memergokinya.
Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang nampak
berkeredep ketika Sempana dan rombongannya menghunus senjata masing-masing.
"Manusia jahanam!"
seru Sempana garang. "Akhirnya kami berhasil memergokimu. Kini jangan harap
bisa lolos dari tangan kami!"
Usai berkata demikian,
laki-laki bermata sipit itu segera melesat menerjang. Golok di tangannya
dibabatkan ke arah leher dengan arah mendatar.
Wuuut..!
Deru angin cukup keras
mengiringi tibanya serangan golok itu.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu
hanya mendengus. Tanpa menggerakkan kaki, dan hanya bertumpu pada pinggang,
tubuhnya diputar. Sehingga, serangan golok itu lewat di atas kepala. Dan di
saat itulah, tangan kanannya bergerak. Maka....
Tappp !
Sempana terperanjat ketika
pergelangan tangan kanannya telah tercekal lawan. Kecepatan gerak lawan benar-
benar tidak bisa diikuti pandangan matanya. Dia hanya tahu sekelebatan bayangan
hitam bergerak. Dan tahu-tahu, pergelangan tangannya telah tercekal.
Belum sempat Sempana berbuat
sesuatu, laki-laki berpakaian hitam itu telah menarik. Kuat sekali tenaga
tariknya, sehingga Sempana tidak mampu menahannya lagi. Tubuh laki- laki
bermata sipit itu langsung tertarik ke depan. Dan pada saat tubuh Sempana
terhuyung-huyung ke depan, langsung disambut dengan sebuah tendangan ke arah
perut dari kaki kanan laki- laki berpakaian hitam itu.
Bukkk! "Hukh !"
Tubuh Sempana melayang ke
belakang. Karena, saat tendangan dilancarkan, laki-laki berpakaian hitam itu
melepaskan cekalannya. Brukkk...!
Diiringi suara keras, tubuh
murid kepala Perguruan Kelabang Sakti itu terbanting keras di tanah, setelah
melayang- layang sejauh enam tombak lebih. Sempana berkelojotan sebentar,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Mati!
Rombongan peronda yang menjadi
anak buah Sempana terkejut melihat kematian pemimpinnya dalam segebrakan di
tangan laki-laki berpakaian hitam itu. Dan untuk sesaat, mereka hanya bisa
terpaku. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik- baiknya oleh laki-laki berpakaian
hitam. Dia melesat kabur dari situ, sebelum kelompok peronda lainnya memergoki.
Melihat laki-laki berpakaian
hitam itu melesai kabur, rombongan anak buah Sempana pun tersadar. Serentak
mereka bergerak mengejar. Sementara, beberapa orang di antara mereka memukul
kentongan tanda bahaya. 7
Tong, tong, tong..!
Bunyi kentongan tanda bahaya
pun memecahkan keheningan malam sepi. Hal ini membuat seisi Desa Sampar bagai
dibangkitkan dari tidur. Para peronda yang mendengar saling pandang sejenak,
sebelum akhirnya bergerak menuju ke arah asal suara. Memang, bunyi itulah yang
tengah mereka tunggu-tunggu.
Di antara sekian banyak orang
berlari-lari menuju ke arah asal suara, terdapat juga Melari. Dengan tingkat
kepandaian yang tinggi, dalam waktu sekejap saja gadis berpakaian putih itu
telah meninggalkan para peronda lainnya di belakang.
Belum berapa lama berlari,
pandangan mata Melari yang tajam menangkap sekelebatan bayangan hitam yang
melesat cepat ke balik kerimbunan pepohonan. Bergegas, gadis berpakaian putih
itu segera bergerak mengejar.
Melati menggertakkan giginya.
Seluruh kemampuan larinya dikerahkan untuk mengejar sosok bayangan hitam itu.
Mata putri angkat Raja Bojong Gading itu sempat melihat adanya sesosok tubuh di
bahu bayangan hitam yang dikejarnya.
Ternyata, ilmu meringankan
tubuh laki-laki berpakaian hitam itu telah mencapai tingkat tinggi. Tak heran
meskipun Melati telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak mampu
menyusul. Hal ini membuat Melati merasa penasaran sekali, di samping rasa kaget
yang melanda.
Kejar-kejaran antara dua tokoh
yang sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi pun berlangsung
di malam yang kelam.
Entah sudah berapa lama Melati
dan laki-laki berpakaian hitam itu saling kejar-kejaran. Memang kedua belah
pihak sama sekali tidak memikirkannya. Sedangkan pihak Melati hanya
menggertakkan gigi menahan geram. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin
mampu mengejar buruannya. Dan hal itu membuatnya cemas dan gelisah.
Kecemasannya semakin menjadi-jadi
ketika akhirinya laki-laki berpakaian hitam itu melesat ke arah kerimbunan
pepohonan lebat, yang tidak jauh di depan. Memang, semula kejar-kejaran itu
berlangsung di sebuah padang rumput yang cukup luas.
"Hhh...!"
Melati hanya bisa
menghembuskan napas kesal ketika melihat tubuh lawannya lenyap di balik
kerimbunan pepohonan. Langkahnya berhenti di situ, seraya menyeka peluh yang
membasahi wajahnya dengan tangan. Dia tidak ingin cari penyakit dengan
melanjutkan pengejaran. Karena, bukan tidak mungkin kalau buruannya akan
membokongnya di tempat gelap. Beberapa saat lamanya Melati terpaku di situ,
sebelum akhirnya menolehkan kepala karena mendengar adanya orang
yang memanggilnya.
"Melati...!"
Kembali pemilik suara itu
memanggilnya, ketika kepala gadis itu sudah menoleh ke arah asal suara. Di
kejauhan tampak melesat sesosok bayangan ungu yang meluncur cepat ke arah
Melati.
Gadis berpakaian putih itu
mengembangkan senyum. Dia tahu, siapa sosok bayangan yang tengah menuju ke
arahnya. Masalahnya, suara dan juga warna pakaian Dewa Arak amat dikenalnya.
Sesaat kemudian, sosok
bayangan ungu yang memang Dewa Arak alias Arya Buana itu telah berada di
dekatnya.
"Bagaimana, Melati?"
tanya Arya begitu telah menghentikan larinya. "Bisa kau kenali pengacau
itu?"
Pemuda berambut putih
keperakan itu tahu kalau Melati tentu gagal menangkap buruannya. Buktinya gadis
berpakaian putih itu hanya sendirian saja di situ.
"Tidak, Kang," jawab
putri angkat Raja Bojong Gading itu. Pelan sekali suaranya, mirip desahan.
"Jangankan melihat wajahnya, mendekatinya saja tidak mampu. Dia memiliki
ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Mungkin berada di atasku."
Agak terkejut juga hati Dewa
Arak mendengar jawaban Melati. Karena, hal itu mempunyai arti kalau orang yang
mengacau Desa Sampar itu pasti memiliki kepandaian tinggi. Dewa Arak tahu,
kekasihnya ini memiliki kepandaian tinggi. Terutama sekali ilmu meringankan
rubuhnya. Tapi, toh ternyata gadis itu tidak mampu mengejar si pengacau.
Hanya saja walau dilanda
kaget, Dewa Arak tidak menampakkan keterkejutan pada wajahnya. Memang, pemuda
berpakaian ungu itu mampu menguasai perasaan, sehingga tidak bisa diketahui
orang lain. Sekalipun, orang itu adalah kekasihnya sendiri.
"Mungkinkah orang itu
Eyang Baranang Siang, Melati?" tanya Arya lagi sengaja kali ini diajukan
satu nama untuk membantu gadis itu mengingat kembal buruannya.
Lagi-lagi, hanya gelengan
kepala Melati saja yang menyambuti pertanyaan Dewa Arak.
"Tapi, Kang..," kata
Melati setelah tercenung beberapa saat.
Dewa Arak mengalihkan
perhatian kembali pada Melati. "Katakanlah, Melati," sambut Arya
memberi dukungan. "Bukan tidak mungkin kalau keteranganmu akan lebih
memudahkan kita dalam mengungkap kerusuhan di Desa Sampar ini."
"Kurasa... orang itu
bukan Eyang Baranang Siang" "Kau yakin, Melati?"
"Yakin sekali,
Kang," sahut Melati tegas dan mantap. "Potongan tubuh orang itu
membuatku yakin kalau orang yang kukejar bukan Eyang Baranang Siang."
"Hm.... Jadi, orang yang
kau kejar itu memiliki tubuh tinggi besar?" sahut Arya mengambil
kesimpulan dari ucapan Melati.
"Tidak juga, Kang,"
bantah Melati memperbaiki ucapan kekasihnya. "Tapi yang jelas, tubuhnya
tidak tinggi kurus seperti Eyang Baranang Siang."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala.
"Keterangan yang kau
berikan sama dengan yang dikatakan rombongan pimpinan Sempana, Melati.
Berarti... Eyang Baranang Siang bisa kita hapus dari daftar orang dicurigai.
Walaupun, sebenarnya bukan tidak mungkin kalau dia terlibat juga dalam masalah
ini."
"Jadi, kau juga telah
menemui rombongan penduduk yang menemui pengacau itu, Kang?"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala. "Aku membatalkan tugasku untuk menjaga kuburan itu, Melati.
Setelah berapa lama kutunggu, ternyata tidak nampak ada orang yang datang ke
sana"
"Lalu kau memutuskan ke
desa, Kang?" potong Melati tidak sabar. "Tidak. Aku memutuskan untuk
menyelidiki ke Perguruan Kelabang Sakti," jawab Arya sambil menggelengkan
kepala. "Tapi di tengah jalan, aku mendengar suara kentongan. Maka
terpaksa maksudku yang semula kubatalkan."
Dewa Arak menghentikan
penjelasannya sejenak untuk mengambil napas.
"Dalam perjalananku
menuju asal suara, aku bertemu rombongan peronda yang berada di bawah pimpinan
Sempana. Dari merekalah aku tahu kalau kau tengah mengejar buruan. Dan mereka
juga mengabarkan kalau Sempana telah tewas," tutur pemuda berambut putih
keperakan itu menyambung ceritanya "Mereka pun memberitahukanku tentang
ciri-ciri laki- laki berpakaian hitam itu. Ternyata, keterangan yang diberikan
sama dengan keteranganmu tadi, Melati. Hanya saja, keterangan mereka lebih
lengkap."
"Bagaimana ciri-ciri
pengacau itu, Kang?" tanya Melati ingin tahu ketika Arya menghentikan
ucapannya.
"Tubuhnya agak tinggi.
Wajahnya tidak memiliki kumis, jenggot, atau cambang. Tapi sayang, mereka tidak
bisa mengenali karena wajahnya tertutup coreng moreng arang hitam dan sedikit
lumpur."
"Jangan-jangan orang itu
adalah Giwali, Kang," duga Melati setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Aku juga semula menduga
begitu, Melati," kata Arya, disertai helaan napas beratnya. "Tapi,
mungkinkah Giwali sampai hati membunuh Suraba yang menjadi pamannya?"
Melati kontan terdiam.
"Mungkin saja. Kang.
Barangkali... yahhh karena Suraba mengetahui rahasianya. Daripada membahayakan
dirinya, bukankah lebih baik kalau dibunuh, Walaupun mungkin... dengan hati
berat"
"Kesimpulan yang kau
ambil tidak berbeda dengan kesimpulanku, Melati. Aku pun menduga demikian.
Tapi, ingat. Ini baru dugaan. Jadi, jangan main labrak dulu. Bukan tak mungkin
kalau Giwali sama sekali tidak bersalah."
"Aku mengerti.
Kang," Melati menganggukkan kepala. "Dan... andaikata benar Giwali
pelaku semua kekacauan
ini, mau tidak mau kita akan
berhadapan dengan Eyang Baranang Siang," lanjut Arya. "Aku tidak
takut, Kang!" sahut Melati cepat. Tegas dan mantap suaranya.
"Aku tahu kau tidak takut
Melati" sahut Arya buru-buru dengan mulut menyunggingkan senyum lebar.
Dia memang telah mengetahui
kekerasan hati kekasihnya. Maka Dewa Arak tidak heran melihat sambutan gadis
itu.
"Bukan masalah takut atau
tidak yang membuatku mengatakan demikian," sambung Arya buru-buru.
"Kau tidak menanyakan alasanku, sehingga berarti mengatakan pendapat kalau
kita akan berhadapan dengan Eyang Baranang Siang?"
Melati menggelengkan kepala.
"Mengapa, Melati? Kau
sudah tahu alasanku?"
Kali ini Melati menganggukkan
kepala. "Sudah bisa kuperkirakan, karena Eyang Baranang Siang tampak
sayang sekali pada Giwali. Bahkan kalau tidak salah dengar, pemuda itu malah
telah menjadi muridnya karena Rupaksa tidak sudi mengajarinya."
"Apa yang kau katakan
benar, Melati. Tapi bukan itu alasannya, sehingga aku mengatakan kalau kita
akan berhadapan dengan Eyang Baranang Siang. Meskipun, memang cukup beralasan
juga."
Dewa Arak menghentikan
ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya sejenak wajah gadis
berpakaian putih itu untuk meyakinkah kalau tidak ada tanggapan atas ucapannya.
"Tapi alasan yang kau
kemukakan itu bisa saja tidak berlaku, Melati. Sungguh pun sayang sekali pada
Giwali, Eyang Baranang Siang tetap tidak membelanya. Hanya saja, apabila kakek
itu seorang yang berada di jalan lurus."
Kini Melati
mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui ucapan Dewa Arak. Disadari
adanya kebenaran dalam penjelasan kekasihnya.
"Mmm.... Lalu, alasanmu
itu sendiri bagaimana, Kang?
Aku jadi ingin
mendengarnya," desak Melati ingin tahu.
Dewa Arak menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum memulai ucapannya.
"Kalau benar Giwali
pelaku kekacauan di Desa Sampar ini, berarti Eyang Baranang Siang terlibat
secara langsung. Dia bukan saja sengaja membiarkan tindak kejahatan itu, tapi
juga menjadi pokok pangkal kekacauan ini. Tanpa Eyang Baranang Siang, kekacauan
ini tidak akan pernah terjadi."
"Mengapa kau bisa menduga
sampai sejauh itu, Kang?" tanya Melati. Raut ketidakmengertian nampak
membayang jelas di wajahnya.
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Kau tidak ingat cerita
Rupaksa tadi pagi, Melati?" tanya Arya bernada mengingatkan.
Putri angkat Raja Bojong
Gading itu mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat semua cerita Rupaksa tadi
pagi. Tapi sampai beberapa saat lamanya mengingat-ingat, tetap saja tidak
menemukan jawabannya.
"Entahlah, Kang. Aku
tidak tahu ucapan Rupaksa mana yang kau maksudkan," desah Melati sambil
menggelengkan kepala.
"Cerita Rupaksa mengenai
rahasia Perguruan Kelabang Sakti yang menyangkut ilmu-ilmu warisan milik
leluhurnya."
"Ah...!"
Seruan keterkejutan keluar
dari mulut Melati.
"Sekarang kau ingat,
kan?" tebak Arya seolah mengerti maksud pekik keterkejutan yang keluar
dari mulut kekasihnya.
"Ingat, Kang. Dan aku
yakin dugaanmu pasti benar." "Jangan terlalu yakin dulu.
Melati," potong Arya cepat
"Ingat, itu hanya sebuah
kemungkinan saja, apabila Giwali memang menjadi pelakunya. Bukankah yang
mengetahui rahasia itu hanya Eyang
Baranang Siang dan Rupaksa? Dari mana lagi, Giwali mengetahuinya kalau tidak
dari Eyang Baranang Siang?"
"Aku yakin dugaanmu tidak
mungkin salah, Kang," tegas Melati yakin.
"Hhh...!"
Hanya helaan napas panjang dan
berat yang keluar dari mulut Dewa Arak menyahuti ucapan gadis berpakaian putih
itu.
"Lalu... sekarang apa
rencanamu, Kang?"
"Esok malam, kita intai
kegiatan di Perguruan Kelabang Sakti," jawab Arya mengambil keputusan.
"Kita berpencar atau
bersama-sama, Kang?" Dewa Arak tercenung sejenak.
"Lebih baik kita mengintai
dari tempat yang berlainan. Ini untuk menjaga kemungkinan pengacau itu lolos
dari tempat yang tidak bisa diperhatikan dari satu arah," jelas Dewa Arak.
"Tapi, ingat. Jangan bertindak ceroboh. Aku akan memberitahukanmu apabila
melihat pengacau itu keluar dari sana. Dan kau juga berbuat yang sama.
Mengerti, Melati?"
"Jangan khawatir,
Kang," jawab Melati. Gadis itu tahu kalau Dewa Arak mengkhawatirkan
keselamatannya kalau mengejar pengacau itu sendiri. "Aku akan segera
memberitahukanmu, begitu melihat laki-laki berpakaian hitam itu."
"Bagus!" puji Arya
dengan mulut menyunggingkan senyum.
Tidak cukup hanya bertindak
seperti itu, ibu jari tangan kanan Dewa Arak pun diacungkan. Sedangkan Melati
menyambutinya dengan cibiran menggoda.
"Sekarang mari kita kembali
untuk memberitahukan Ki Dungkul Taji," ajak Arya. "O, ya Melati.
Jangan katakan pada siapa pun mengenal rencana kita untuk menyelidiki Perguruan
Kelabang Sakti. Aku khawatir, Rupaksa merasa tersinggung karena merasa tidak
dipercayai lagi."
"Tenanglah, Kang. Aku
bukan sejenis nenek-nenek bawel," jawab Melati memberi jaminan.
"Syukurlah kalau begitu." Setelah berkata demikian. Dewa Arak segera
melangkah meninggalkan tempat itu. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati
segera mengikuti, lalu langsung mensejajari. Kini kedua pendekar muda itu
melangkah bersisian menuju Desa Sampar.
Tidak puas hanya dengan jalan
biasa, Dewa Arak dan Melari lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan berlari
cepat. Sehingga yang tampak hanyalah kelebatan bayangan ungu dan putih, yang
melesat cepat seperti saling berlomba.
8
Suara kukuk burung hantu dan
kepak sayap kelelawar membelah keheningan malam. Dari salah satu cabang di
sebuah pohon besar yang tumbuh tidak jauh dari markas Perguruan Kelabang Sakti,
tampak Dewa Arak tengah mengintai.
Nasib sial rupanya tengah
akrab dengan Dewa Arak. Pohon tempatnya bertengger itu ternyata terdapat sarang
semut merah besar-besar, di samping nyamuk yang juga besar-besar.
Binatang-binatang berbeda jenis itu secara leluasa menggigit sekujur kulit
tubuh Dewa Arak. Sementara, pemuda itu tak mampu berbuat apa-apa, karena
khawatir akan menimbulkan suara-suara mencurigakan.
Yang dapat dilakukan pemuda
berambut putih ke- perakan itu hanya mengerahkan tenaga dalamnya agar gigitan
semut dan nyamuk itu tidak menyakitkan.
Dengan tenaga dalamnya yang
memang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, bukan hal yang sulit bagi Dewa Arak
untuk membuat gigitan kedua bina tang itu tidak berarti apa pun baginya.
Tapi lama kelamaan, Dewa Arak
merasa jengkel juga. Apalagi bila nanti semut merah itu akan merayap ke tempat-
tempat yang tidak diinginkan. Maka, dikerahkannya 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Namun tentu saja tidak sepenuhnya. Karena bila dikerahkan seluruhnya, dari
tubuhnya akan keluar asap tipis yang tentu saja akan menarik perhatian.
Padahal, hal itu sama sekali tidak diinginkannya. Tentu saja Dewa Arak tidak
ingin kehadirannya di situ diketahui orang!
Memang hebat akibat yang
ditimbulkan oleh 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Semut-semut merah besar yang
tadi seenaknya saja merayap di sekujur tubuh Dewa Arak, satu persatu
berjatuhan. Tubuh binatang-binatang itu kontan mati dan mengering! Demikian
pula nyamuk-nyamuk yang menyerangnya.
Setelah kejadian itu, tidak
ada nyamuk atau pun semut yang berani menggigit tubuh Dewa Arak lagi. Rupanya,
binatang-binatang itu sadar kalau mangsa mereka kali ini bukan mangsa empuk.
Kini Dewa Arak dapat leluasa
meneruskan maksudnya, mengintai kemunculan laki-laki berpakaian hitam yang
telah mengacau Desa Sampar.
Waktu bagi Dewa Arak terasa
berjalan begitu lambat. Sampai bosan menunggu dan sampai lelah sepasang matanya
karena menatap terus ke arah markas Perguruan Kelabang Sakti, tapi yang
ditunggu tak kunjung terlihat.
"Bagaimana dengan
Melati?" kata Arya dalam hati. "Apakah dia belum juga melihat
kemunculan laki-laki berpakaian hitam itu? Hm. Pasti Melati belum melihatnya.
Kalau telah melihat, tentu akan memberitahukan padaku."
"Kang! Kemari, cepat! Aku
telah melihat buruan kita "
Tiba-tiba terdengar suara
Melati di telinga Suara yang dikirimkan dari jauh, dan khusus ditujukan pada
Dewa Arak. Memang, Dewa Arak dan Melati telah membuat kesepakatan untuk
memberitahukan pesan lewat ilmu mengirim suara dari jauh. Hal seperti itu amat
mudah dilakukan bagi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
Dewa Arak tidak berani
menunggu lebih lama lagi. Segera saja dia bersiap untuk menuju bagian depan.
Memang, Melati berjaga-jaga di bagian depan Perguruan Kelabang Sakti.
Tapi gerakan Dewa Arak
langsung terhenti seketika. Pandangan matanya menangkap adanya sesosok bayangan hitam yang melesat keluar dari salah
satu bangunan. Gerak- geriknya terlihat mencurigakan sekali. Sosok bayangan
hitam itu melesat cepat, dengan gerakan mengendap-endap menuju ke salah satu
pohon.
Karuan saja hal ini membuat
Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Ternyata dia juga melihat laki-laki
berpakaian hitam itu. Bukankah buruan itu berada di bagian belakang perguruan,
dan Melati telah menyuruhnya ke sana? Mengapa kini pengacau itu tahu-tahu telah
berada di sini? Apakah dia orang yang sama dengan yang dimaksud Melati? Tapi
kalau benar, mengapa Melati tidak memberitahukannya? Atau, pengacau itu tidak
hanya satu orang? Berbagai macam, pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
"Kang! Cepat! Orang itu
bergerak cepat menuju ke luar desa !"
Dewa Arak terkejut ketika
melihat sesosok bayangan mengendap-endap menuju bagian depan perguruan.
Bukankah buruan itu tadi berada di belakang? Mengapa pengacau itu tahu- tahu
telah berada di sini? Atau, pengacau itu tidak hanya satu orang? Berbagai macam
pertanyaan bergelayut di benak Dewa Arak!
Kembali pemberitahuan Melati
terdengar Dewa Arak. Dan kali ini, Dewa Arak segera mengambil keputusan. Siapa
pun yang telah dilihatnya, tidak dipedulikan lagi. Langsung diputuskannya untuk
menuju ke tempat Melati. Dia tidak ingin kekasihnya itu menjadi korban pengacau
yang diyakini memiliki kepandaian lihai itu.
Setelah mengambil keputusan
demikian, Dewa Arak segera melesat cepat ke arah depan. Dengan berlindung di
balik suasana malam yang remang-remang, tubuhnya melesat cepat bagai kilat.
Hanya dalam beberapa lesat
saja, Dewa Arak telah berada di bagian depan. Punggungnya dirapatkan dengan
pagar kayu yang mengelilingi Perguruan Kelabang Sakti. Ini dilakukannya untuk
berjaga-jaga agar tidak terlihat murid- murid Perguruan Kelabang Sakti yang
tengah bertugas jaga.
"Melati! Beri tahukan
arah yang harus kutempuh...!" bibir Dewa Arak berkemik pelan mengirimkah
pertanyaan lewat ilmu mengirimkan suara dari jauh.
"Ke arah Barat, Kang...!"
jawab Melati dalam penggunaan ilmu yang sama.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Dewa Arak melesat cepat ke arah yang ditunjuk Melati. Seluruh ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan. Sehingga, yang tampak hanyalah sekelebatan
bayangan ungu yang melesat cepat tanpa ketahuan bentuknya.
Setelah cukup lama berlari,
pandangan Dewa Arak telah tertumbuk pada sosok bayangan putih yang tengah
melaju cepat. Sementara, tak jauh di depannya bergerak cepat sesosok bayangan
hitam.
Adu kejar-kejaran pun terjadi
antara laki-laki berpakaian hitam, Melati, dan Dewa Arak!
***
"Tidak usah kita susul
dulu, Melati," bisik Arya ketika telah berhasil membarengi kekasihnya.
Kali ini, Dew Arak tidak menggunakan lagi ilmu mengirimkan suara jarak jauh.
"Kita akan tangkap dia sewaktu hendak mengambil calon korbannya."
Melati menganggukkan kepala,
pertanda menyetujui usul kekasihnya.
"Rasanya ada keanehan
sedikit, Kang...," kata Melati setelah beberapa saat lamanya mereka berdua
berdiam diri, walaupun terus bergerak cepat mengikuti langkah laki-laki
berpakaian hitam itu.
"Keanehan? Apa maksudmu,
Melati?" tanya Arya teraya menolehkan kepala karena merasakan adanya nada
keheranan dalam ucapan kekasihnya.
"Nggg.... Rasa-rasanya,
kepandaian laki-laki berpakaian hitam ini menurun, Kang. Kecepatan larinya
sekarang tidak seperti dulu lagi. Aku yakin, kalau saja kukerahkan seluruh
kemampuan lari yang kumiliki, dia akan berhasil kususul sejak tadi."
"Mungkin saja dia tidak
tahu kalau kita mengikutinya. Melati. Sehingga, dia tidak mengerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya. Sedangkan waktu itu, dia tahu kalau kau dan penduduk
desa serta murid-murid Perguruan Kelabang Sakti mengejarnya," jelas Arya
memberi alasan. Melati kontan terdiam.
"Jika masih kurang yakin,
bagaimana kalau kita berteriak sambil terus mengejarnya," usul Arya untuk
meyakinkan hati gadis berpakaian putih itu.
"Boleh juga.
Kang..!"
"Manusia jahanam! Jangan
lari kau...!" teriak Arya begitu Melati telah memberi persetujuan.
Seperti yang sudah diduga
Melati dan Dewa Arak, laki- laki berpakaian hitam itu kontan terkejut ketika
mendengar teriakan tadi. Kepalanya menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali
lurus ke depan. Dia kemudian terus melesat cepat meneruskan tujuannya.
Melati dan Dewa Arak tentu
saja tidak tinggal diam. Melati mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya,
sedangkan Dewa Arak tidak. Karena, bila hal itu dilakukan, kekasihnya akan
tertinggal jauh.
Melati dan Dewa Arak
mengernyitkan keningnya ketika menyadari jarak mereka dengan laki-laki ber
pakaian hitam itu semakin bertambah dekat saja.
"Kang! Aku yakin, orang
ini bukan orang yang kukejar waktu itu," kata Melati di sela-sela
kesibukannya berlari.
Dewa Arak tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Benaknya langsung berputar cepat, mengingat sosok bayangan
hitam lain yang dilihatnya tepat saat Melati juga melihat sosok bayangan hitam.
"Benar tidaknya, dia
harus tetap diringkus dulu. Bukan tidak mungkin kalau rencana kita telah
diketahui. Dan orang yang kita kejar kali ini digunakan sebagai alat untuk
membuat kita mengalihkan perhatian dari sasaran yang sesungguhnya."
Melati langsung tercenung
karena menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Dewa Arak.
"Biar aku yang
meringkusnya, Melati!"
Setelah berkata demikian, Dewa
Arak segera me- ngerahkan ilmu meringankan tubuh sampai puncaknya.
Perlahan-lahan tubuh Melati
mulai tertinggal. Se- mentara jarak antara Dewa Arak dengan laki-laki
berpakaian hitam itu semaian dekat.
"Hih...!"
Dewa Arak menggenjotkan kaki.
Sesaat kemudian, tubuhnya telah melesat ke atas. Dia berputar beberapa kali di
udara melewati atas kepala laki-laki berpakaian hitam. Dan....
"Hup !"
Ringan tanpa suara kedua kaki
pemuda berambut putih keperakan itu mendarat di tanah, berjarak tiga tombak di
hadapan laki-laki berpakaian hitam yang tadi dikejarnya.
Laki-laki berpakaian hitam itu
terperanjat, dan langsung menghentikan larinya. Kemudian, tubuhnya berbalik
untuk melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan arah semula yang ditempuh.
Tapi maksudnya langsung
diurungkan. Di hadapannya, dalam jarak dua tombak telah berdiri Melati.
Seperti juga Dewa Arak, gadis
berpakaian putih itu telah bersiap-siap meringkus. "Kau...?! Rupanya
dugaan kami tidak salah! Jadi, kaulah pengacau terkutuk itu, Giwali?" seru
Melati setelah memperhatikan wajah laki-laki berpakaian hitam itu.
"Hhh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu
memang tidak lain dari Giwali menghela napas berat. Tidak tampak adanya
tanda-tanda kalau akan mengadakan perlawanan. Bahkan kepalanya pun ditundukkan
ke bawah. Sikapnya menunjukkan kalau hatinya tengah terpukul.
Mendengar seruan Melati, Dewa
Arak menjadi terkejut bukan kepalang. Begitu hebatkah sepasang mata Melati sehingga mampu mengenali wajah yang tertutup
coreng-moreng arang hitam dan lumpur?
"Hhh...!" Didahului
helaan napas berat yang kedua kalinya, Giwali mengangkat kepala.
"Aku memang Giwali,
Nisanak. Tapi bukan pengacau terkutuk itu!"
"Kau bohong,
Giwali!" bentak Melati keras. "Kau "
"Sabar, Melati,"
potong Arya pelan seraya mengangkat tangannya ke atas.
Melati pun tidak melanjutkan
ucapan lagi. Dibiarkannya Dewa Arak yang akan menyelesaikan ma salah itu.
Sedangkan Dewa Arak telah melangkah menghampiri Giwali dan melewatinya, lalu
berdiri di samping Melati.
"Kalau kau bukan pengacau
biadab itu, lalu mengapa keluar secara gelap begini. Bahkan dengan pakaian
seperti ini?" tanya Arya sambil menatap tajam wajah Giwali.
Seketika itu juga pemuda
berambut putih keperakan itu mengerti, mengapa Melati bisa mengenali kalau
laki-laki berpakaian hitam itu adalah Giwali. Wajah pemuda tinggi kurus itu
sama sekali tidak dihias coreng-moreng arang hitam dan borehan lumpur. Lain
halnya, wajah pengacau biadab itu.
"Sebenarnya aku malu
mengatakannya, Dewa Arak," kata Giwali, pelan. "Tapi aku percaya, kau
dan kawanmu ini tidak akan menceritakannya pada orang lain."
Dewa Arak menyunggingkan
senyum lebar. "Kami tahu, mana yang harus dirahasiakan dan mana yang tidak
perlu, Giwali. Percayalah. Kami bukan sejenis orang yang suka membuka aib orang
lain. Ceritakanlah semuanya, agar kau
bebas dari tuduhan."
"Sekitar sebulan yang
lalu, aku berjumpa putri Ki Dungkul Taji," Giwali memulai ceritanya.
"Aku mencintainya, dan sebaliknya dia juga mencintaiku. Padahal, putri
kepala desa kami itu telah dijodohkan dengan putra kepala desa lain."
Giwali menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas.
Sementara, Dewa Arak dan Melati saling pandangan. Tanpa diceritakan lagi pun,
sebenarnya mereka sudah bisa menduga kisah yang akan terjadi selanjutnya.
"Betapapun aku telah
berusaha membuang perasaan ini, tapi tetap saja tidak mampu. Hal yang sama pun
menimpa putri Ki Dungkul Taji. Akibatnya, kami lalu sepakat mengadakan
pertemuan secara rahasia. Dan agar sukar dilihat pada malam hari, aku
mengenakan pakaian seperti ini," tutur Giwali, menutup ceritanya.
"Kau tahu, kalau desa ini
tengah dikacau orang yang memakai pakaian seperti ini, bukan?" pancing
Arya.
Giwali menganggukkan kepala.
"Sebenarnya, aku juga
ingin menangkapnya untuk membalaskan sakit hati Paman Suraba!" desis
pemuda tinggi kurus itu penuh dendam.
"Lebih baik buka
seragammu itu, Giwali! Agar tidak terjadi kesalahpahaman nantinya!"
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan membuat Arya,
Melati, dan Giwali terperanjat. Sesaat, mereka hanya saling pandang. Sementara,
Giwali segera membuka seragam hitamnya tak lama kemudian mereka melesat cepat
menuju ke arah asal suara kentongan itu. Memang, bunyi kentongan tanda bahaya
menjadi pertanda kebenaran pengakuan Giwali.
Dewa Arak yang memiliki ilmu
meringankan tubuh paling tinggi, berada paling depan. Kemudian diikuti Melati,
dan baru Giwali yang kini telah tidak mengenakan pakaian hitam lagi.
Dewa Arak memang mengerahkan
seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, karena tidak ingin buruannya
lolos. Maka tak lama kemudian, pandangan matanya telah tertumbuk pada kerumunan
penduduk. Bahkan telinganya telah mendengar suara pertempuran tokoh-tokoh
tingkat tinggi. Hanya dalam beberapa langkah saja. Dewa Arak telah berada di
antara kerumunan penduduk yang masing-masing membawa obor. Sehingga suasana di
situ jadi terang-benderang. Dan tanpa ragu-ragu langsung disibaknya kerumunan
itu. Sedangkan kakinya terus melangkah ke depan.
Jelas sudah hal yang
menyebabkan penduduk itu berkerumun. Dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari
situ, terjadi pertarungan mati-matian antara dua tokoh tingkat tinggi. Mungkin
bagi orang yang memiliki kepandaian rendah yang terlihat hanya kelebatan dua
buah bayangan hitam dan putih. Sedangkan Dewa Arak saja membutuhkan waktu
beberapa saat untuk mengetahui tokoh-tokoh yang tengah bertempur.
Sosok bayangan putih itu
diketahui Dewa Arak sebagai Eyang Baranang Siang. Tapi sosok yang satu lagi
belum bisa dikenalinya. Meskipun begitu Dewa Arak tahu, orang yang menjadi
lawan Eyang Baranang Siang pasti pengacau biadab itu!
Dewa Arak tidak merasa
terkejut ketika melihat kedua orang yang tengah bertarung mempunyai gerakan
mirip satu lain. Memang ada perbedaan di sana-sini, tapi bisa diketahui kalau
kedua orang itu berasal dari saru aliran.
Yang mengejutkan hati Dewa
Arak ketika melihat keadaan Eyang Baranang Siang yang berada dalam keadaan
bahaya. Kakek berpakaian putih longgar itu tampak terdesak hebat. Dewa Arak
tahu, robohnya Eyang Baranang Siang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Perkiraan Dewa Arak tidak
melesat. Terdengar suara berdebuk keras yang disusul terpental tubuh Eyang
Baranang Siang dari kancah pertarungan. Tubuh kakek berpakaian putih itu
terjengkang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah segar rampak mengalir deras
dari sudut-sudut mulutnya. Memang, pukulan yang dilancarkan laki-laki
berpakaian hitam itu keras sekali. Sehingga walaupun hanya mengenai bahu, cukup
membuat Eyang Baranang Siang terluka cukup parah dan tidak bisa bangkit lagi.
"He he he...! Kini saat
ajalmu tiba, Baranang Siang...'" desis laki-laki berpakaian hitam itu
pongah, seraya melangkah menghampiri kakek berpakaian putih yang sudah tidak
mampu bangkit lagi.
"Hentikan, Rupaksa!"
teriak Arya, tanpa ragu-ragu lagi memanggil laki-laki berpakaian hitam itu.
Perkembangan gerak Eyang Baranang Siang yang mirip laki-laki berpakaian hitam,
telah menimbulkan sebuah dugaan di benak Dewa Arak. Dan dugaan itu diperkuat
oleh suara laki-laki berpakaian hitam setelah merobohkan Eyang Baranang Siang.
Suara itu jelas-jelas milik Rupaksa. Maka tak heran bila Dewa Arak langsung
menyebut nama itu.
"Heh...?"
Laki-laki berpakaian hitam itu
terjingkat kaget. Kepalanya segera menoleh ke arah asal suara itu. Dan
kepalanya pun terangguk-angguk ketika melihat Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Ha ha
ha...! Sungguh tidak kusangka aku mendapat kehormatan untuk melenyapkanmu
selama-lamanya dari muka bumi ini!"
Sambil berkata demikian,
lelaki berpakaian hitam yang ternyata Rupaksa melangkah menghampiri Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak melangkah menghampirinya. Dewa Arak sama sekali tidak
terkejut melihat tidak adanya cambang bauk lebat yang menghiasi wajah Rupaksa.
Jelas, cambang bauk itu palsu!
"Sungguh tidak kusangka
kalau kau yang menjadi Iblis itu, Rupaksa! Berarti semua cerita yang kau
suguhkan padaku bohong belaka. Bukan begitu, Iblis Berwajah Manusia?!"
"Ha ha ha Kau tidak
menyangka, bukan? Sebenarnya
semua ceritaku tidak salah.
Dewa Dungu. Hanya saja mengenai lakon aku dan Eyang Baranang Siang,
kedudukannya kurubah. Sebenarnya, akulah yang di pihak yang selalu merasa iri
padanya. Maka secara diam-diam semua ilmu hitam milik leluhurku kupelajari
untuk menghadapinya. Kau tahu, kenapa itu kulakukan?" tutur Rupaksa.
"Dengar! Ini karena dendam lama! Setelah keparat Baranang Siang membuat
iri hatiku, dia juga telah merebut kekasihku! Tapi untuk mengalahkannya aku
tidak mampu. Maka hanya inilah jalan satu-satunya. Walaupun ilmu 'Halimun'ku
belum sempurna betul, tapi aku sudah sanggup untuk mengalahkanmu, Dewa Dungu!
Kau harus mati!"
Setelah berkata demikian,
Rupaksa langsung me- ngirimkan serangan ke arah Dewa Arak. Serentetan
pukulannya yang bertubi-tubi diarahkan ke ulu hati dan dada lawan. Angin
berkesiutan nyaring, mengiringi serangan itu. Jelas betapa kuatnya tenaga dalam
Rupaksa. Karuan saja, kerumunan penduduk itu membuyar. Sementara, Dewa Arak
yang tidak ingin ada orang yang terluka apabila serangan itu dielakkan
menangkis.
Plak, plak, plak...!
Laki-laki berpakaian hitam
alias Rupaksa terhuyung- huyung dua langkah ke belakang akibat tangkisan itu.
Sementara, Dewa Arak hanya terhuyung selangkah ke belakang. Dari benturan ini
saja sudah bisa diukur kehebatan tenaga dalam Dewa Arak.
Rupaksa terkejut juga ketika
menyadari kalau kekuatan tenaga dalam lawan ternyata berada di atasnya. Apalagi
ketika tangannya terasa sakit-sakit. Meskipun begitu, bukan berarti hatinya
menjadi gentar. Bahkan kemarahannya justru semakin berkobar.
Di pihak Dewa Arak begitu
tubuhnya terhuyung langsung digunakan untuk meraih guci peraknya. Arak dalam
guci itu segera dituangnya ke mulut.
Gluk... gluk.. gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
arak itu melewati kerongkongan Dewa Arak. Perut dan kepalanya segera dialiri
hawa hangat. Kemudian, tubuhnya mulai oleng ke kanan dan ke kiri. Kini Dewa
Arak telah bersiap menghadapi lawannya dengan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Diiringi teriakan menggeledek,
Rupaksa melancarkan serangan ke arah Dewa Arak. Tapi mudah sekali Dewa Arak
dapat mengelakkan serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'
andalannya.
Tentu tidak hanya itu saja
yang dilakukan Dewa Arak. Serangan balasan yang tak kalah dahsyat pun segera
dikirimkannya. Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat dalam
pertarungan sengit
Di saat kedua tokoh yang
sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu terlibat pertarungan, Melati dan
Giwali tiba. Melati langsung menyaksikan jalannya pertarungan. Sementara,
Giwali segera memburu tubuh Eyang Baranang Siang yang tengah duduk bersila
untuk memulihkan lukanya. Kemudian, dia berdiri di sebelah gurunya. Pandangan
matanya tanpa berkedip tertuju ke arah pertempuran yang tengah berlangsung.
Memang dahsyat pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak melawan Rupaksa.
Meskipun Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu masih di bawah Dewa Arak dalam ilmu
meringankan tubuh dan tenaga dalam, tapi berkat memiliki ilmu-ilmu aneh yang
membingungkan, dia masih mampu mengimbangi. Bahkan sampai hampir seratus jurus
pertarungan berlangsung masih seimbang.
Sementara itu keadaan di
sekitar kancah pertarungan sudah tidak karuan lagi. Tanah terbongkar di
sana-sini. Pohon- pohon bertumbangan menimbulkan suara bergemuruh. Angin
berkesiutan mengiringi setiap gerakan Dewa Arak dan Rupaksa.
Sedikit demi sedikit
pertarungan mulai berpindah tanpa disadari. Bahkan mereka seperti tidak peduli
ketika titik-titik air dari langit mulai membasahi bumi.
Menjelang jurus keseratus
sepuluh, Rupaksa melempar tubuhnya ke belakang sehabis melancarkan serangan
bertubi- tubi sehingga harus memaksa Dewa Arak mundur.
"Huppp...!"
Begitu mendarat di tanah,
Rupaksa langsung berdiri dengan kedua kaki dirapatkan. Kedua tangannya,
dipertemukan di depan dada dengan jari-jari terbuka lurus ke atas. Sepasang
mata Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu pun terpejam.
Dewa Arak tidak berani
bertindak ceroboh. Dengan waspada, diperhatikannya gerak-gerik lawan. Dia ingin
tahu, apa yang ingin dilakukan Rupaksa.
Perlahan-lahan, muncul asap di
sekeliling tubuh Rupaksa. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin menebal.
Dan seiring munculnya asap itu, tubuh Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu mulai
lenyap dari pandangan.
"Ilmu Halimun...,"
desis Eyang Baranang Siang yang sudah selesai mengobati luka dalamnya.
Raut wajah kakek berpakaian
putih ini memperlihatkan keterkejutan yang amat sangat.
Bukan hanya Eyang Baranang
Siang saja yang merasa terkejut. Tapi juga Dewa Arak, Giwali, Melati dan
seluruh penduduk yang menyaksikan. Dengan mata terbelalak mereka semua
memperhatikan tubuh Rupaksa yang semakin lama semakin tidak terlihat dan
akhirnya lenyap sama sekali.
"Ha ha ha...! Dewa
Arak..! Sekarang hadapilah ilmuku ini. Ha ha ha...!" "Jangan gugup.
Dewa Arak! Jangan kau pergunakan matamu untuk melawannya," seru Eyang
Baranang Siang memberi nasihat.
Sebenarnya tanpa diberi tahu
pun, Dewa Arak telah mengerti. Gurunya, Ki Gering Langit memiliki banyak ilmu
gaib yang sukar diterima akal. Dan darinya pula Arya mendapat sedikit
pengertian mengenai ilmu-ilmu gaib yang masih ada di dunia persilatan.
Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa
Arak memejamkan mata. Kini kedua belah telinganya digunakan untuk mengetahui,
keberadaan lawan, dan tibanya serangan.
Tapi karena Rupaksa memiliki
tingkat kepandaian yang hampir sejajar dengannya, Dewa Arak jadi dibuat
kedodoran. Setiap kali serangan Rupaksa datang, dia hanya mampu bergerak
mengelak tanpa membalas.
Kini keadaan berubah seratus
delapan puluh derajat. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Dewa Arak telah
dibuat pontang-panting untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Beberapa kali
untuk mengurangi desakan yang bertubi-tubi, serangan yang dilancarkan hanya
membabi buta. Untungnya berkat keanehan jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa
Arak berhasil menyelamatkan diri dari setiap serangan maut Rupaksa. Di bawah
selimut malam dan siraman hujan yang rintik-
rintik, terjadi pertarungan
aneh. Dewa Arak seperti orang gila saja layaknya. Dia melompat menunduk, dan
sesekali memukul, tanpa ketahuan siapa yang tengah dilawannya.
Belasan jurus kembali telah
berlalu. Namun selama itu, tak satu pun serangan Rupaksa yang berhasil mendarat
di sasaran. Dewa Arak dengan keanehan jurus 'Delapan Langkah Belalang' selalu berhasil
mengelak setiap serangan lawan meskipun dengan susah payah. Dan kini, Dewa Arak
juga sudah membuka matanya. Pada kenyataannya, dia seperti melawan angin saja.
Walaupun tengah bergulat
dengan maut, Dewa Arak tetap memutar otak untuk mencari cara, agar dapat
memunahkan ilmu lawannya. Kini satu hal telah diketahuinya. Tubuh Rupaksa tetap
berada di sekitar pertarungan, namun tidak terlihat. Memang, Rupaksa
menggunakan ilmu yang membuat tubuhnya tidak bisa dilihat orang. Jadi, harus
dicari sebuah cara agar tubuh lawannya jadi terlihat. "Akh...!"
Dewa Arak menjerit ketika mata
kakinya terhantam sesuatu yang diyakini pasti kaki Rupaksa. Rupanya, Ketua
Perguruan Kelabang Sakti itu menyerang dengan sapuan kaki, ketika Dewa Arak
baru saja mendaratkan di tanah, sehabis menghindari sebuah serangan.
Tak pelak lagi, tubuh Dewa
Arak pun terjatuh, tepat di tanah berlumpur yang tergenang air berwarna
kecoklatan.
Pyarrr...!
Air berwarna kecoklatan dan
lumpur memercik ke sana kemari. Dalam suasana yang terang benderang oleh cahaya
obor, tampak sepasang mata Dewa Arak terbelalak. Ternyata beberapa percikan air
kecoklatan dan lumpur itu terapung di udara, seperti menempel pada sesuatu yang
tidak nampak. Tanpa berpikir lagi Dewa Arak pun tahu, air kecoklatan itu pasti
melekat di bagian tubuh Rupaksa!
Hampir meledak dada Dewa Arak
karena rasa gembira yang amat sangat. Tampak percikan air kecoklatan dan lumpur
itu bergerak cepat ke arahnya, disusul deru angin keras. Jelas, Rupaksa tengah
melancarkan serangan.
Maka, Dewa Arak segera
menggulingkan tubuhnya di tanah becek, seraya mengibaskan tangannya yang telah
berlumur air kecoklatan yang berlumpur. Dan seperti yang sudah diduga, percikan
air kecoklatan dan lumpur seperti tertahan di udara.
Kini, semakin banyak percikan
air kecoklatan dan lumpur yang menempel di udara. Dan dengan sendirinya,
semakin terlihatlah sosok Rupaksa. Dan itu berarti ilmu 'Halimun'nya sudah
tidak ada gunanya lagi. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera
menghentakkan kedua tangannya ke arah lawan. Langsung dilancarkannya jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!"
Tubuh Rupaksa melayang deras
ke belakang. Darah segar mengucur saat tubuhnya melayang di udara.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk keras,
tubuh Rupaka ambruk di tanah becek. Sesaat tubuh itu berkelojotan, kemudian
diam tidak bergerak lagi. Mati! "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat
seraya bangkit dari berbaringnya. Kemudian dia melangkah menuju ke arah Melati
yang telah berlari cepat ke arahnya. Raut kecemasan masih belum lenyap dari
wajah gadis berpakaian putih itu. Apalagi ketika melihat Dewa Arak tadi
terjatuh. Hampir saja dia terjun ke dalam kancah pertarungan.
"Kau hebat. Dewa
Arak...!" puji Eyang Baranang Siang seraya melangkah menyambuti.
"Kau berhasil menemukan
cara untuk memunahkan ilmu 'Halimun' itu."
"Hanya kebetulan. Eyang
Baranang Siang," sahut Arya
jujur.
"Sayang, aku mengetahui
semua ini setelah sudah ada
korban jatuh," keluh
Eyang Baranang Siang menyesali dirinya sendiri. "Hhh...! Tak kusangka
kalau Rupaksa akan sejahat ini. Bahkan dia sampai hati membunuh Suraba orang
telah menanam budi besar padanya. Suraba telah berusaha keras membujuk bibi
Giwali agar suka berjodoh dengannya."
"Sudahlah, Eyang. Tidak
perlu disesali lagi. Toh, sumber kejahatan itu telah berhasil
dilenyapkan," hibur Arya.
Eyang Baranang Siang hanya
mengangguk-anggukkan
kepala.
"O, ya, Eyang. Maaf, kami
tidak bisa tinggal lebih lama
lagi karena ada urusan lain
yang harus diselesaikan," ucap Arya lagi.
Eyang Baranang Siang hanya
mengangkat bahu saja. Dia tidak berusaha menahan, karena tahu kalau Dewa Arak
memang tidak bisa ditahan lagi. Memang terasa adanya nada kesungguhan dalam
ucapan Arya.
Dewa Arak menyentuh tangan
Melati. Dan hampir berbarengan, sepasang pendekar muda ini melesat dari situ.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh mereka telah berubah menjadi
titik hitam yang semakin mengecil di kejauhan. Sementara, puluhan pasang mata
menatap kepergian
Dewa Arak dan Melati dengan
pandangan kagum. Baru setelah tubuh pasangan pendekar muda itu tak terlihat
lagi, mereka beranjak menghampiri mayat Rupaksa.
"Eyang, apakah Rukmini
sudah ditemukan?" tanya
Giwali. "Sudah, Giwali.
Dia ditemukan di tepi pemakaman, ketika Rupaksa akan membuangnya di sana setelah
dibunuh dan dinodai terlebih dahulu," Ki Dungkul Taji yang mengikuti.
"Dan, saat Rupaksa
dipergoki oleh Eyang Baranang Siang, hingga bertarung," tambah Permana.
"Yahhh.... Ternyata ilmu
'Halimun' Rupaksa belum sempurna. Dia masih membutuhkan satu orang gadis lagi,
tapi sudah lebih dahulu terbongkar kedoknya. Mudah-mudahan saja tidak ada lagi
orang yang menuntut ilmu seperti itu," desah Eyang Baranang Siang.
Kini para penduduk Desa Sampar
dan murid-murid Perguruan Kelabang Sakti segera menggotong mayat Rupaksa. Lalu,
mereka bersama-sama menuju ke Perguruan Kelabang Sakti untuk mengantarkan mayat
itu ke sana. Kini, hari hampir menjelang pagi. Sayup-sayup terdengar kokok ayam
yang bersahut-sahutan, mengiringi langkah-langkah mereka.
SELESAI