22 Maut Dari Hutan Rangkong
1
Kepak kelelawar terdengar
memecah keheningan malam yang sepi. Bulan penuh yang nampak di
langit,perlahan-lahan mulai tertutup awan hitam tebal yang berarak. Angin
dingin yang berhembus dan sesekali keras itu semakin memperkuat dugaan kalau
hujan akan turun.
Benar saja. Beberapa saat
kemudian, hujan mulai turun. Mula-mula berupa gerim is kecil, dan satu-satu.
Tapi semakin lama semakin besar. Hingga akhirnya benar-benar lebat. Air yang
jatuh bagai ditumpahkan dari langit.
Langit yang gelap itu sesekali dibelah oleh halilintar
yang menggelegar. Untuk sesaat lamanya, suasana malam jadi terang benderang.
Dan dalam suasana terang yang
sekejap seperti itulah, tampak sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah
bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat
tinggi. Bangunan itu tampak besar
dan megah, serta memiliki halaman luas.
"Hih...!"
Sosok bayangan itu me lesat
cepat melompati pagar kayu bulat yang tinggi. Indah dan manis sekali
gerakannya. Baik ketika melompati pagar kayu, maupun ketika mendaratkan kedua
kakinya di luar pagar.
Pyarrr...!
Genangan air memercik ke sana
kemari ketika sepasang kaki itu menjejak tanah yang dibasahi hujan. Glarrr!
Halilintar menyambar kembali.
Dan untuk sesaat suasana malam jadi terang benderang kembali. Meskipun begitu,
sudah cukup jelas untuk mengenali wajah sosok bayangan itu.
Dia ternyata adalah seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, dan
berpakaian hitam. Wajahnya kasar dan sebuah penutup kepala yang berbentuk
setengah tempurung kelapa bertengger di atas kepalanya.
Secepat kedua kakinya mendarat
di luar pagar kayu, secepat itu pula dia
melesat dari situ. Gerakannya
cukup cepat. Jelas, kalau laki-laki tinggi besar
ini memiliki kepandaian tidak
rendah.
Tanpa menghiraukan suasana
malam yang gelap, angin dingin yang berhembus keras menusuk tulang, dan curahan
hujan lebat yang menyiram tubuhnya, sosok
bayangan itu terus saja berlari
cepat.
Glarrr! Halilintar kembali
menggelegar membelah angkasa. Lagi- lagi keadaan alam kembali terang benderang sekejap. Saat itu, di atas pintu gerbang bangunan
besar berpagar kayu bulat tinggi, terlihat sebuah kayu lebar tidak begitu tebal
yang terukir halus. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan itu,
Perkumpulan Pedang Perak.
Sosok bayangan itu terus saja
berlari dengan kecepatan tinggi. Sama sekali tidak diperlambat larinya,
meskipun berkali-kali tergelincir dan hampir jatuh karena jalan yang ditempuh
demikian licin.
Lari bayangan itu baru diperlambat
ketika telah memasuki mulut sebuah hutan. Dan akhirnya berhenti sama sekali
ketika telah berada di dalamnya.
Dengan napas terengah-engah,
laki-laki berpakaian serba hitam itu berteduh di bawah sebatang pohon yang
berdaun rindang. Kedua tangannya nampak bersedakap di depan dada. Rupanya angin
yang berhembus cukup kencang membuat tubuhnya kedinginan.
Sebentar sosok itu
mengeringkan tangannya, lalu memasukkannya ke balik baju. Sesaat kemudian telah
keluar lagi, bersama sebuah kitab di tangannya.
Glarrr...!
Halilintar kembali menyambar.
Seketika itu juga sana di sekitar tempat itu jadi terang benderang. Sehingga
huruf- huruf yang tertera di kulit kitab itu tampak
cukup jelas terbaca, 'Ilmu Tangan
Racun Pasir Merah'.
Tampak seulas senyuman menghias
i wajah laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Sebentar kemudian kitab itu dimasukkan kembali ke balik
bajunya. Dan kini kedua tangannya kembali disedakapkan di depan dada.
Tak lama kemudian hujan mulai
mereda, hingga akhirnya tinggal gerimis kecil yang jatuh satu persatu ke bumi
Di saat itulah, laki-laki berpakaian hitam ini melanjutkan perjalanannya
kembali. Melesat cepat menembus kepekatan malam. Rintik hujan yang mengenai
tubuhnya sama sekali tidak dihiraukan.
***
Matahari sudah cukup lama menampakkan
diri. Suara cicit burung pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan angin yang
berhembus sudah tidak terlalu nikmat
untuk dihirup. Ketika itu, tampak dua sosok tubuh tengah
melangkah bergegas menuju mulut Hutan Rangkong.
Dari bentuk tubuh mereka yang
kekar dan kuat, jelas kalau kedua orang itu sudah terbiasa bekerja berat .
Wajahnya pun terlihat keras. Hanya saja saat itu, mereka tampak penuh diliputi
kecemasan.
"Aku khawatir akan kese
lamatan Guradi, Kang Banyupaksi," ucap salah seorang dari dua sosok itu.
Wajahnya yang berkulit coklat, dan penuh bercak putih yang lebar-lebar,
terlihat menyiratkan perasaan cemas yang tidak terkira.
"Mudah-mudahan saja dia
selamat, Jatmika," sahut orang yang dipanggil Banyupaksi bernada
menghibur. Dia bertubuh kekar, berkumis, dan berjenggot yang terawat baik
Suasana hening sejenak begitu
Banyupaksi menghentikan ucapannya. Kini yang terdengar hanyalah gemerisik rerumputan yang terpijak kaki mereka.
"Kang...," kembali
Jatmika membuka suara, seraya menoleh.
Menilik dari ucapannya yang
terhenti di tengah Jalan, jelas kalau laki-laki berwajah penuh bercak-bercak
putih ini merasa ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Ada apa lagi,
Jatmika?" tanya Banyupaksi sabar. "Rasanya..., aku tidak yakin kalau Guradi masih hidup, Kang. "
"Hm.... Mengapa kau
berkata seperti itu, Jatmika?" tegur Banyupaksi. Sepasang mata laki-laki
bertubuh kekar ini menatap penuh teguran. "Apakah kau tidak ingin anakmu
selamat?"
"Bukan begitu maksudku,
Kang," sahut Jatmika huru-buru. "Tapi, kenapa justru kau mengharapkan
yang bukan-
bukan?"
"Aku sama sekali tidak
berharap begitu."
"Hm. ," Banyupaksi
hanya menggumam tidak jelas.
"Tapi..., kenyataan yang
kuterima kali ini membuatku ragu," sambung Jatmika lagi.
"Maksudmu?" tanya
Banyupaksi dengan dahi berkernyit.
Jelas kalau dia masih belum
mengerti maksud Jatmika.
"Tidak biasanya Guradi
pergi selama ini. Dia sudah sering mencari kayu bakar atau berburu di hutan.
Tapi tidak pernah sampai se lama ini. Bayangkan, Kang. Guradi pergi kemarin pagi.
Dan sampai sekarang belum pulang !"
Banyupaksi
mengangguk-anggukkan kepala. Cerita mengenai kepergian Guradi ke Hutan Rangkong
dan belum kembali memang sudah didengarnya dari mulut Jatmika sendiri. Dan hal
inilah yang membuatnya terpaksa ikut
mencari orang yang bernama Guradi itu.
"Berdoalah agar dia
selamat," hanya itu kata-kata bernada menghibur dari Banyupaksi. "Aku
percaya Guradi bisa menjaga diri. Mungkin dia hanya tersesat.”
"Aku juga berharap
begitu, Kang. Tapi rasanya tidak mungkin, Kang. Guradi te lah puluhan kali
keluar masuk hutan. Atau..., jangan-jangan dia diterkam binatang buas."
Banyupaksi menatap wajah Jatmika tajam-tajam.
"Kalau begitu..., kau
meremehkan kemampuanku, Jatmika." "Maksudmu, Kang?"
"Aku yang mendidik dan
mengajarkannya ilmu silat. Bertahun-tahun aku melatihnya. Dan kau enak saja
mengatakan kalau Guradi mati diterkam binatang buas. Itu sama sekali tidak
memandang kepadaku, Jatmika!"
Berubah wajah Jatmika seketika
mendengar ucapan bernada keras dari
laki-laki bertubuh kekar itu.
"Maafkan aku, Kang.
Aku.... Aku tidak bermaksud begitu. Sungguh...!" sahut laki-laki berwajah
penuh bercak-bercak putih itu terbata-bata.
"Hhh...!" Banyupaksi
menghela napas panjang.
Amarah laki-laki berkum is
rapi yang mulai bangkit perlahan mengendur kembali mendengar permintaan maaf
Jatmika. Dia tahu kalau laki-laki di sampingnya ini tidak bermaksud
merendahkan. Jatmika mengatakannya tanpa sadar, karena didorong kecemasan
menggelegak.
"Lupakanlah,
Jatmika," sahut Banyupaksi berdesah. "Tapi perlu kau ketahui,
Jatmika. Jangankan hanya satu, dua
binatang buas pun, aku yakin Guradi
mampu menghadapinya!"
Jatmika hanya
mengangguk-anggukkan kepala.
Kembali keheningan menyelimuti
mereka berdua. Kini Jatmika dan Banyupaksi melanjutkan langkah menuju Hutan
Rangkong yang sudah semakin dekat tanpa berkata-kata lagi.
***
Begitu memasuki hutan, Jatmika
dan Banyupaksi mengedarkan pandangan berkeliling. Dengan ranting yang
ditemukan, mereka menguak kerimbunan semak-semak. Hati mereka berharap, barangkali
saja orang yang dicari berada di situ.
"Guradi...!"
Jatmika yang sudah tidak kuat
lagi menahan cemas dan tidak sabar,
berteriak memanggil. Kini mereka sudah
cukup jauh masuk ke dalam hutan. Tapi, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda
adanya Guradi. Baik Jatmika maupun Banyupaksi langsung berdiam diri.
Pendengaran mereka ditajamkan agar apabila Guradi menjawab, dapat terdengar.
Tapi sampai lelah berdiam
diri, tak juga terdengar sahutan yang dinantikan, kecuali cicit burung yang
selalu mengusik telinga.
Jatmika dan Banyupaksi terus
melangkah sambil menyibakkan semak-semak. Sepasang mata mereka berkeliaran ke sana kemari, sambil
sesekali diselingi panggilan-panggilan terhadap Guradi.
Dan begitu akan memanggil
lagi, mendadak langkah kedua orang itu terhenti. Wajah mereka pucat seketika.
Sepasang mata mereka menatap membelalak ke depan, seakan-akan tidak percaya
akan apa yang dilihat.
Sekitar lima tombak di hadapan
Banyupaksi dan Jatmika, terpampang pemandangan menggiriskan hati.
Tampak seorang remaja berusia belasan tahun tengah tergantung di atas
cabang pohon dengan leher terjerat seutas tambang. Dadanya telanjang, tak
tertutup baju. Sehingga, terlihat jelas luka-luka yang memenuhi sekujur
tubuhnya.
Dengan sekali lihat saja, baik
Jatmika maupun Banyupaksi bisa mengetahui kalau remaja itu telah tewas. Dan
beberapa saat lamanya, mereka hanya mampu berdiri terpaku.
Lidah pun terasa kelu. Suara seperti tercekat di tenggorokan. Hanya
sepasang mata mereka saja yang seolah-olah ingin mengungkapkan sesuatu.
"Guradi...!"
Terdengar teriakan keras dari
mulut Jatmika setelahh beberapa saat lamanya
berdiri terpaku. Laki-laki berwajah penuh bercak putih ini memerlukan
waktu beberapa saat lamanya untuk dapat mengetahui kalau orang
yang tergantung di atas pohon itu adalah putranya.
Seiring panggilannya, tubuh
Jatmika berlari berhambur ke arah sosok yang tergantung itu. Kemudian Banyupaksi pun ikut bergerak mengikuti. Dia
pun cepat mengenali pula kalau sosok tubuh itu benar-benar Guradi. Orang yang
mereka cari- cari.
"Guradi...,
Guradi...," panggil Jatmika
pilu. Kedua tangannya sibuk
memeluki tubuh yang tergantung itu.
Banyupaksi menggertakkan gigi.
Seketika dadanya terasa sesak oleh amarah dan sedih yang meng-gayut Tapi
laki-laki berkumis rapi ini berusaha menahan diri. Pikirannya berusaha dibuat
setenang mungkin. Seketika tenaganya dikempos, dan sesaat kemudian, tubuhnya
melesat ke atas. Dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung tubuh
Guradi pun putus.
Untungnya Jatmika tengah
memeluk tubuh putranya, sehingga tubuh itu tidak sampai terbanting keras ke
tanah. Jatmika sempat menangkapnya. Tapi akibatnya, dia ikut terjatuh terbawa beban tubuh Guradi.
Berbareng tergulingnya tubuh
Guradi dan Jatmika ke tanah, sepasang kaki Banyupaksi pun hinggap. Kemudian,
laki-laki berkumis rapi ini menyarungkan kembali golok yang tadi dicabutnya
sewaktu memutuskan tambang yang mengikat tubuh Guradi.
"Hentikan segala
kecengengan Ini, Jatmika," tegur Banyupaksi, kemudian sepasang matanya menatap penuh teguran pada
laki-laki yang wajahnya penuhi bercak putih itu. Sambil tetap memeluk tubuh
putranya, Jatmika beranjak bangkit. Sepasang matanya balas menatapi tak kalah
tajam.
"Tapi, Kang. Dia anakku
satu-satunya! Dosakah aku bersedih hati melihat kematiannya?" bantah
Jatmika. Suaranya pelan, tapi penuh tuntutan.
"Aku tidak me larangmu,
Jatmika," sahut Banyupaksi dengan suara tetap lembut. Tapi tetap penuh
wibawa. "Aku hanya tidak suka melihat kesedihanmu yang terlalu berlebihan."
"Tapi, Kang...," Jatmika masih mencoba
membantah. "Guradi tidak akan
hidup kembali, sekalipun tangisanmu
berupa darah
sampai empat puluh
hari.”potong Banyupaksi
tanpa menghiraukan bantahan
Jatmika.
Seketika Jatmika terdiam.
Bukan karena nasihat Banyupaksi, tapi
karena rasa segannya pada laki-laki berkum is tipis itu.
"Sekarang yang
paling penting adalah mencari pelaku
pembunuhan ini," sambung Banyupaksi ketika Jatmika tampak terdiam.
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Jatmika begitu mendengar ucapan ini. Banyupaksi benar. Yang paling
penting sekarang adalah mencari pembunuh putranya. Tapi, tentu saja sehabis
mengebumikan Guradi secara layak.
"Menilik dari luka-luka
yang diderita Guradi, aku yakin kalau pelakunya adalah seorang tokoh aliran
hitam yang berjiwa luar biasa kejam," duga Banyupaksi. Sementara sepasang
matanya terus menyelusuri sekujur tubuh Guradi yang penuh luka-luka. "Ke
mana pun..., aku akan mencarinya Dan..., seluruh tubuhnya akan
kulumatkan!" desis Jatmika penuh dendam. Tangan kanannya mengepal keras
dan kepalanya mendongak ke atas ketika kata-kata itu diucapkan. Banyupaksi
tidak menanggapi. Dia yakin kalau Jatmika bukan tandingan pembunuh Guradi.
Jatmika memang tidak memiliki kepandaian sedikit pun. Lalu, bagaimana akan bisa
membalas dendam? Oleh karena itu Banyupaksi bertekad akan ikut mencari pembunuh
Guradi.
"Sekarang mari kita
kembali dulu ke desa, Jatmika," ajak Banyupaksi pelan. Dipegangnya bahu
kanan laki-laki berwajah bercak-bercak putih itu, kemudian ditepuk-tepuknya.
Jatmika menatap Banyupaksi
penuh tanda tanya.
"Kita kuburkan dulu mayat
Guradi...," sambung Banyupaksi.
Kali ini Jatmika tidak
membantah lagi. Perlahan kakinya melangkah meninggalkan hutan itu. Sementara
Banyupaksi mengikuti di belakangnya. Laki-laki berkumis rapi ini segera
mengedarkan pandangannya berrkeliling, memperhatikan suasana di sekitarnya.
Masalahnya bukan tidak mungkin kalau pembunuh itu masih berada di situ.
Tapi tidak ada sesuatu pun
yang mencurigakan. Keadaan di sekitar tempat itu sepi-sepi saja. Yang terdengar
hanyalah suara cicit burung dan binatang-binatang hutan.
Baru juga kedua orang itu me
langkah beberapa tindak, terdengar suara tawa menggelegar laksana guntur.
Suaranya menggema di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan
tawa itu. Tubuh Jatmika seketika terbungkuk. Terdengar keluhan keras keluar
dari mulutnya. Pegangannya pada tubuh
putranya pun terlepas, sehingga
Guradi terjatuh di tanah.
Bukan hanya itu saja
akibatnya. Jatmika pun merasa dadanya
sakit bukan main, seperti diseruduk kerbau liar. Bahkan telinganya seperti akan
pecah. Betapapun laki-laki berwajah penuh bercak-bercak itu berusaha bertahan
dan mendekap kedua telinganya, tak urung tubuhnya terguling jatuh.
Jatmika bukan satu-satunya
orang yang menerima serangan suara tawa
dahsyat itu. Banyupaksi pun mengalami hal yang serupa. Dada laki-laki berkum is
rapi ini terasa terguncang hebat. Telinganya pun terasa berdengung keras.
Sebagai ahli silat, dia tahu kalau ada orang yang tengah menyerang dengan suara
tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal ini membuat
Banyupaksi kaget.
Bukan main. Dari cara
penyerangan ini saja sudah menandakan kelihaian lawan. Jelas orang itu memiliki
tingkat tenaga dalam tinggi. Dan dia merasa bukan tandingan orang itu. Ciut
hati Banyupaksi membayangkan kalau seandainya pemilik tawa itu adalah orang
yang telah membunuh Guradi. Karena bila hal itu benar, sampai kapan pun mereka
tidak akan bisa membalas dendam.
Kalau saja suara tawa itu
terus berlangsung, mungkin Jatmika dan Banyupaksi tidak akan tahan. Kedua orang
itu akan tewas dengan dada pecah dan gendang telinga hancur. Tapi untungnya,
tawa itu kemudian berhenti.
Dan begitu tawa itu berhenti,
berkelebat sesosok bayangan hitam. Gerakannya cepat bukan main. Maka tahu-tahu
saja, di depan Banyupaksi dan Jatmika telah berrdiri sosok
tubuh tinggi besar.
Banyupaksi dan Jatmika menatap
sosok tubuh yang telah berdiri di hadapan mereka. Sosok tubuh berpakaian hitam.
Wajahnya kasar, dipenuhi cambang bauk lebat. Menilik dari keadaannya, usia
laki-laki itu tak kurang dari lima puluh tahun. Sebuah penutup kepala berbentuk
setengah tempurung kelapa menutupi kepalanya. Matanya menatap tajam ke
arah Jatmika. "Kudengar kau hendak mencari pembunuh anak itu,"
kata laki-laki bercambang bauk lebat itu, kalem. "Akulah
pembunuhnya."
Seketika itu pula Jatmika bangkit
berdiri. Wajahnya langsung
beringas. Sepasang matanya menatap tajam, penuh pancaran hawa membunuh. Kedua
tangannya yang mengepal itu nampak mengejang keras "Kau...?!" suara
Jatmika tercekat di tenggorokan karena saking besarnya amarah yang bergolak
dalam dadanya.
Laki-laki berpakaian hitam itu
hanya tersenyum mengejek. Wajah dan sorot matanya tampak jelas memandang rendah
Jatmika.
"Kubunuh kau...!"
teriak Jatmika keras.
Dan berbareng dengan ucapan
itu, Jatmika me lompat menyerang. Kedua tangnnya yang terkepal, dipukulkan
bertubi-tubi ke berbagai bagian tubuh laki-laki bercambang lebat itu.
"Jatmika...!
Tahan...!" teriak Banyupaksi mencegah. Tapi terlambat Serangan Jatmika
tidak mungkin ditarik kembali. Maka Banyupaksi tidak bisa berbuat apa-apa lagi,
dan hanya bisa bersikap waspada kalau- kalau jiwa laki-laki berwajah
bercak-bercak putih itu terancam.
Laki-laki berpakaian hitam itu
tertawa mengejeki. Bahkan tidak terlihat kalau akan mengelak atau menangkis.
Sampai akhirnya semua serangan Jatmika telak mengenai sasarannya.
Buk, buk, bukkk...!
Suara berdebukan keras
terdengar berkali-kali ketika pukulan-pukulan Jatmika mengenai dada, perut, dan
ulu hati laki-laki berpakaian hitam itu.
Akibatnya sungguh aneh. Bukan
laki-laki bercambang bauk lebat itu yang merasa kesakitan. Bahkan ia hanya
terkekeh penuh ejekan. Suara jerit kesakitan justru terdengar dari mulut
Jatmika. Bahkan sampai-mpai membelalakkan mata ketika kedua tangannya jadi
bengkak-bengkak.
Jatmika menggeram keras.
Amarah yang tidak terlampiaskan, membuat sekujur tubuhnya menggigil keras.
Kedua kepalannya seperti bukan memukul tubuh manusia yang terdiri dari daging
dan tulang, tapi gundukan besi!
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika
Jatmika yang tengah kalap itu mencabut
goloknya. Dan seiring tercabutnya senjata itu, Jatmika kembali menerjang. Golok
di tangannya langsung ditusukkan cepat ke arah perut. hitam. Banyupaksi tahu, Jatmika sudah tidak
bisa dicegah lagi. Maka dia pun segera membantunya. Laki- laki berkumis rapi
ini tahu, Jatmika sama sekali bukan tandingan orang itu.
Srattt..!
Sinar terang kembali
berkilatan ketika Banyupaksi menghunus goloknya. Dan secepat senjata itu terhunus,
secepat itu pula diputar- putarkan di depan dada. Baru kemudian, senjata itu
meluncur deras ke arah ulu hati laki-laki berpakaian Meskipun Banyupaksi
menyerang belakangan, namun karena
kelihaiannya, serangannya menjadi bersamaan datangnya dengan Jatmika. Padahal,
laki-laki berrwajah bercak-bercak putih itu lebih dulu menyerang
Takkk! Takkk!
Suara berderak keras terdengar
ketika dua batang golok itu mengenai sasaran. Tetapi akibatnya luar biasa. Dua
batang golok itu terpental balik, sementara laki-laki berpakaian hitam itu seperti tidak merasakan apa-apa.
Bahkan kedua tangan penyerangnya yang terasa seperti lumpuh.
"Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu
mendengus. Sama sekali tidak dipedulikannya serangan yang
mengancam.
Takkk, takkk...!
Suara berdetak keras seperti
ada dua benda logam berbenturan,
terdengar ketika dua batang golok itu mengenai sasaran. Akibatnya luar biasa.
Dua batang golok itu jadi terpental balik. Bahkan sekujur tangan kedua penyerangnya
seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah lagi, senjata itu terlepas dari
pegangan.
Dan belum sempat Banyupaksi
dan Jatmika berbuat sesuatu, tangan
laki-laki berpakaian hitam itu cpat bagai kilat bergerak. Cepat sekali
gerakannya, hingga kedua orang itu tidak sempat mengelak lagi.
Terdengar suara berderak keras
ketika kedua tangan laki- laki berpakaian hitam itu mengenai ubun-ubun mereka,
hingga pecah. Cairan merah kental bercampur otak seketika muncrat- muncrat.
Banyupaksi dan Jatmika limbung sebentar, kemudian hampir sama-sama ambruk di tanah. Sebentar mereka meregang nyawa,
lalu diam tak berkutik lagi. Mati.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu
kembali tertawa tergelak.
Keras dan panjang, hampir
tidak putus-putus. Setelah puas tertawa, laki-laki bercambang bauk itu melangkah
meninggalkan kedua mayat yang telah menjadi korbannya
Sesaat kemudian, suasana
hening kembali menyelimuti Hutan Rangkong. Tidak terdengar lagi jeritan keras,
tawa, ataupun teriakan menyayat Kini yang terdengar hanyalah cicit burung yang
berkicau riang di dahan.
***
2
"Hhh...! Mengapa Jatmika
dan Banyupaksi belum juga muncul, Ki?" tanya seorang laki-laki bertubuh
kecil kurus. Matanya tetap menatap wajah seorang laki-laki setengah baya
berpakaian abu-abu dan berkum is tebal.
Laki-laki berpakaian abu-abu
yang sebenarnya bernama Ki Saketi, dan menjabat sebagai Kepala Desa
Kangkong itu mengalihkan pandangan yang
sejak tadi tertuju ke Hutan Rangkong. Menilik dari s ikap dan wajahnya, jelas
memang ada yang ditunggunya
Ternyata bukan hanya laki-laki
berpakaian abu-abu itu saja yang mengalihkan pandangan. Belasan orang laki-laki
dewasa lain yang berdiri di mulut desa itu pun menatap ke arah laki- laki
bertubuh kecil kurus ini. Kemudian mereka memandang harap-harap cemas ke arah
Hutan Rangkong. Menilik dari pakaian, jelas kalau belasan orang itu adalah
penduduk Desa Kangkong. Mereka semua menanti kembalinya Jatmika dan Banyupaksi
yang telah pergi ke Hutan Rangkong
"Mana aku tahu,
Wadira," jawab Ki Saketi seraya menggelengkan kepala. "Aku juga
heran, apakah mereka mendapat kesulitan di sana? Sebenarnya, aku munyesalkan
kepergian mereka berdua yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dan sayangnya
lagi, Nyi Jatmika pun memberi tahu kita
setelah kedua orang itu telah pergi "
"Aku yakin, Banyupaksi
akan mampu mengatasi kesulitan itu, Ki," duga salah seorang penduduk lain yang bertubuh pendek gemuk. "Dia
kan, guru silat kenamaan desa kita.
Bahkan kepandaiannya terkenal sampai ke desa-desa sekitar."
"Hhh. !"
Ki Saketi menghela napas
berat. Sama sekali tidak disambutnya ucapan
yang bernada penuh keyakinan itu. Sementara para penduduk yang lain
mengangguk-anggukkan kepala. Jelas kalau mereka semua membenarkan ucapan laki-
laki bertubuh pendek gemuk itu.
"Kalau begitu, kita
tunggu sampai besok pagi," Kepala Desa Rangkong itu mengambil
keputusan."Kalau sampai besok mereka berdua belum kembali terpaksa
akan kusuruh beberapa orang di antara
kalian untuk mencari mereka. Bagaimana? Kalian bersedia?"
Setelah berkata demikian, laki-laki berkum is tebal ini mengedarkan
pandangan ke arah belasan orang yang berdiri di sekelilingnya.
"Bersedia, Ki !"
Laki-laki bertubuh kecil
kurus bergegas menyahuti. Memang di antara belasan orang
penduduk di situ, hanya dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Kalian semua,
bagaimana?" Ki Saketi mengalihkan perhatian ke arah belasan orang lainnya.
Namun belasan penduduk itu
hanya saling pandang satu sama lain. Tidak ada satu pun kepala yang langsung mengangguk. Jelas kalau
mereka merasa ragu untuk menerima perintah itu. "Aku butuh
enam orang lagi di antara kalian untuk
menemani Wadira," sambung Kepala Desa Rangkong cepat "Aku tidak akan
membiarkan Wadira pergi sendiri ke sana.
Tapi kalau kalian semua tidak bersedia, biar aku sendiri yang akan menemani
Wadira ke sana."
Tegas dan mantap sekali
kata-kata yang keluar dari mulut Kepala Desa Rangkong itu.
Kembali belasan orang penduduk
itu saling pandang dengan wajah memerah.
Mereka malu mendengar laki-laki berkumis tebal itu akan pergi ke hutan apabila
mereka tidak bersedia menemani Wadira.
"Aku bersedia, Ki,"
laki-laki bertubuh pendek gemuk menyahuti seraya mengacungkan tangan.
"Hm. Siapa lagi?"
"Aku, Ki," sambut
laki-laki berkumis jarang-jarang tak mau kalah.
"Aku juga, Ki," yang
lainnya ikut menyambut. "Aku ikut..!"
Ki Saketi
mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar kesediaan enam orang
penduduk lainnya.
"Bagus...!" puji
laki-laki berpakaian abu-abu ini "Aku hargai kesediaan kalian. Pesanku,
berhati-hati Dan kalian pergi setelah
Banyupaksi dan Jatmika tidak kembali besok pagi. Mengerti?"
"Mengerti, Ki l"
sahut tujuh orang itu serempak.
"Bagus...! Sekarang mari
kita kembali ke desa....'"I ajak Ki Saketi seraya melangkah meninggalkan
tempat itu. Sementara di belakangnya berjalan belasan orang warganya. Enam
orang di antara mereka, tampak beri jalan lesu. Merekalah yang menyatakan diri
bersedia menemani Wadira pergi ke Hutan Rangkong.
*** Matahari pagi sudah sejak
tadi menampakkan diri ketika beberapa orang penduduk Desa Rangkong bergerak
menuju Hutan Rangkong. Berjalan paling depan adalah seorang laki- laki bertubuh kurus. Sedangkan di
belakangnya, enam orang penduduk lainnya mengikuti.
Dan memang, mau tak mau
rombongan penduduk yang berjumlah tujuh orang ini bergerak menuju ke dalam
Hutan Rangkong. Karena, sampai menjelang pagi Banyupaksi dan Jatmika belum
kembali. Dan sesuai perintah Kepala Desa Rangkong, mereka harus, menyusul kedua
orang itu.
"Bagaimana menurutmu,
Wadira? Apakah kau juga punya perasaan seperti Ki Saketi?" tanya laki-laki
berkum is jarang- jarang, memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.
Memang, sejak tadi ke tujuh orang itu berjalan tanpa berkata-kata.
"Aku belum mengerti
maksud pertanyaanmu, Kang?" sahut orang yang dipanggil Wadira seraya
mengernyitkan alisnya.
Rupanya Wadira belum
mengetahui arah pertanyaan laki- laki berkum is jarang-jarang yang jelas-jelas
terlihat jauh lebih tua darinya. Itulah sebabnya, ia memanggil laki-laki berkum
is jarang-jarang itu dengan sebutan kakang.
"Hm.... Maksudku...,
apakah kau juga mempunyai dugaan yang sama dengan Ki Saketi, kalau Banyupaksi
dan Jatmika mendapat kesulitan di perjalanan sehingga tidak bisa kembali ke
desa?"
Laki-laki berkum is
jarang-jarang yang bernama Jampa tercenung sejenak. Tapi seperti juga enam
orang lainnya, kakinya segera melangkah. Sementara yang lainnya mendengarkan
saja pembicaraan itu. "Kalau pertanyaan
itu kau ajukan kemarin, pasti jawaban yang kuberikan akan lain,
Kang," kata Wadira sambil sedikit berputar.
"Maksudmu...?" Jampa
mengernyitkan alisnya. "Kalau pertanyaan itu kau ajukan kemarin,
dengan tegas dan tanpa ragu akan kujawab
kalau aku tidak percaya orang seperti Kakang Banyupaksi akan mendapat
kesulitan. Kita semua tahu, siapa Kakang Banyupaksi. Dia adalah orang yang
memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di desa kita!"
"Jadi..., sekarang kau
tidak yakin kalau Banyupaksi akan mampu mengatasi kesulitan yang
menghadangnya?" desak laki-laki berkumis jarang-jarang. Nada suara maupun
sikapnya menampakkan penasaran yang amat sangat
"Yahhh... kira-kira
begitu. Kang. Kenyataan telah menunjukkan, Kakang Banyupaksi dan Kakang Jatmika
belum kembali. Apakah kau mengira mereka
akan menginap di hutan?"
Jampa menarik napas
dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Alasan yang dikemukakan Wadira
memang kuat dan beralasan, dan sulit dibantai lagi
Suasana menjadi hening ketika
Wadira menghentikan ucapannya. Dan tak lama kemudian, mereka telah sampai
tidak jauh dari mulut hutan. Baik Wadira maupun keenam orang lainnya merasakan
jantung mereka berdebar tegang. Seketika ada perasaan genta yang melanda hati
tatkala melihat mulut hutan itu. Perasaan yang tidak pernah dirasakan
sebelumnya. Tapi kejadian demi kejadian dengan lenyapnya satu-persatu para
penduduk Desa Rangkong, membuat hati mereka ciut seketika.
Itulah sebabnya, untuk
beberapa saat lamanya mereka semua terpaku di tempat itu. Mereka hanya berdiri
diam sambil memperhatikan Hutan Rangkon dari kejauhan.
Wadira menggertakkan gigi
untuk lebih menguatkan hati dan menghilangkan rasa takut yang melanda. Kemudian
dengan langkah lebar-lebar, laki-laki bertubuh kecil kurus ini melangkah maju.
Melihat Wadira telah melangkah maju, keenam
orang lainnya mau tak mau ikut melangkah maju. Dan kini selangkah demi
se langkah, jarak antara rombongan itu dengan mulut Hutan Rangkong semakin
dekat bahkan kini tinggal sekitar lima tombak lagi.
Srattt..!
Wadira langsung mencabut
goloknya. Diputarnya golok itu sebentar di atas kepala, baru kemudian kakinya
melangkah mendekati mulut hutan. Sikap laki-laki bertubuh kecil kurus ini
terlihat waspada, dengan sepasang mata merayapi sekeliling.
Perbuatan Wadira ditiru
rekan-rekannya, yang juga segera mencabut senjata masing-masing. Rupanya mereka
semua berbekal senjata yang sama
berupa golok. Sinar-sinar berkilatan nampak berpendar
ketika senjata-senjata tajam itu keluar dari sarungnya.
Seperti juga halnya Wadira,
enam orang itu pun mengedarkan pandangan ke sana kemari. Menilik dari putaran
tangan yang menggenggam golok, jelas terlihat ketegangan yang melanda hati mereka.
Tubuh mereka seperti menggigil, menanti sesuatu yang bakal terjadi.
Kini ketujuh orang penduduk
Desa Rangkong itu mulai memasuki mulut hutan. Dan se iring masuknya ke dalam,
perasaan tegang semakin jelas terlihat di wajah mereka.
Srakkk...!
Suara berkerosakan terdengar
berkali-kali begitu golok- golok di tangan ketujuh orang itu silih berganti
menguak kerimbunan semak. Tapi sampai beberapa kali menguak semak-semak, tetap
saja yang dicari tidak diketemukan. Dan semakin lama, langkah kaki mereka semakin
masuk ke dalam hutan.
"Bagaimana kalau kita
memanggil-manggil nama mereka, Wadira?" usul Jampa berbisik pelan.
"Sebaiknya jangan. Kang," sahut Wadira. Nada suaranya terdengar
gemetar sekalipun berbisik. Memang, hati laki-laki bertubuh kecil kurus ini
tegang bukan main.
Jampa pun terdiam. Tadi pun
sewaktu mengajukan usul, sebenarnya tidak begitu bersungguh-sung guh. Usul itu diajukan hanya sekadar untuk
menghilangkan rasa takut saja.
Sekarang ketujuh orang itu
kembali melanjutkan langkah. Tapi baru juga beberapa tindak, langkah mereka
terhenti. Ketujuh orang itu langsung saling pandang. Jelas ada sesuatu yang
menyebabkan mereka bertindak seperti itu.
"Kau dengar suara itu,
Kang Jampa?" tanya Wadira pelan. Laki-laki berkum is jarang-jarang itu
mengangguk-
anggukkan kepala. Ternyata
bukan hanya dia saja yang mengangguk,
tapi juga yang lainnya.
"Kau bisa mengira-ngira
suara apa Itu, Kang? tanya Wadira iagi. Masih berbisik.
Hanya gelengan kepala pertanda
tidak tahu yang menyambut! pertanyaan laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
"Suara itu aneh
sekali, Wadira," sahut salah seorang penduduk membuka suara. Rupanya,
dia juga tidak betah hanya bertindak
sebagai pendengar saja.
Orang itu menganggukkan
kepalanya. Memang, suara itu juga terdengar olehnya Suara angin mendecit
nyaring, seperti ada benda tajam. Tapi tak jarang terdengar mengaung,
sepertinya ada puluhan ekor lebah mengamuk.
"Bagaimana menurutmu.
Kang?" tanya Wadira seraya memandang wajah Jampa.
"Bagaimana apanya,
Wadira?" Jampa malah bahu bertanya. "Kita selidiki asal suara itu...,
atau tidak?" Jampa mengangkat bahu. "Kuserahkan keputusan itu padamu,
Wadira."
"Kalau begitu, kita cari
pemilik suara itu!" Tegas dan mantap jawaban yang terdengar dari mulut
Wadira, sungguhpun dengan berbisik. Jawaban itu pun dikeluarkan setelah
beberapa saat lamanya tercenung.
Setelah berkata demikian,
Wadira segera melangkah menuju ke arah
asal suara. Mau tak mau, keenam orang rekannya mengikuti.
Kembali keheningan menyelimuti
mereka. Kini yang terdengar hanyalah kerosak suara rerumputan yang terlanda
kaki mereka, atau suara semak-semak yang tersibak golok.
Semakin rombongan penduduk
Desa Rangkong itu menerobos masuk ke dalam hutan, suara yang terdengar tadi
semakin jelas. Memang apa yang didengar semula tidak salah. Suara yang
terdengar adalah suara angin yang terkadang mencicit, tapi tak jarang pula
mengaung.
Srakkk...!
Wadira menyibak kerimbunan
semak di hadapannya. Suara yang didengarnya, jelas-jelas terdengar dari balik
kerimbunan semak itu. Maka bergegas kembali disibaknya semak-semak di depannya.
Begitu kerimbunan semak-semak
itu tersibak, Wadira menjulurkan kepala. Dia
ingin tahu, 'makhluk' apa yang bersuara aneh itu.
"Akh...!"
Laki-laki bertubuh kecil kurus
ini memekik tertahan. Betapa tidak? Begitu kepalanya dijulurkan,tahu-tahu
ada sebuah tangan kuat mencekal lehernya
dari batik kerimbunan semak- semak. Keras bukan main cekalan tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa keras bernada menyeramkan terdengar begitu pekikan Wadira
usai.
Karuan saja kejadian tidak
disangka-sangka itu bukan hanya Wadira yang kaget, tapi juga
keenam orang rekannya. Memang, sejak tadi hati mereka telah dilanda ketegangan.
Tentu saja kejadian mengejutkan itu membuat
mereka serentak melompat ke belakang dengan raut wajah sepucat mayat
Sebelum mereka semua sempat
berbuat sesuatu, tangan kekar yang mencekal leher Wadira telah bergerak
mencengkeram.
Krrrkh...!
Suara bergemeretak tulang
leher yang patah terdengar seiring remasan tangan yang mencekal. Tanpa sempat berteriak lagi, Wadira tewas seketika.
Tubuhnya pun ambruk ke tanah ketika tangan kekar itu melepaskan
cekatannya.
Keenam orang penduduk desa itu
menatap wajah Wadira dengan pandangan ngeri. Apalagi ketika melihat darah segar
yang memancur deras dari mulut, hidung, dan telinga laki-laki bertubuh kecil
kurus itu.
Tapi pandangan mereka semua
lalu beralih begitu, terdengar suara berkerosakan keras diiringi tersibaknya
semak yang tadi disibak oleh Wadira. Dan tak lama, keluarlah sosok tubuh tinggi
besar dan berpakaian hitam.
Jampa dan kelima orang
rekannya menatap sosok tubuh yang baru saja keluar dari balik semak-semak.
Sosok tubuh itu tampaknya
benar-benar mengiriskan. Sekujur
tubuhnya dipenuhi bulu hitam. Wajahnya- kasar, dan ditumbuhi cambang bauk yang
lebat. Dan pada bagian atas kepalanya bertengger sebuah penutup kepala
yang terbuat dari setengah tempurung kelapa. "ha ha
ha...! Sungguh tidak kusangka masih ada monyet- monyet kecil yang mau
mengantarkan nyawa," kata laki-laki berpakaian hitam itu dengan suara
khasnya yang keras dan menggelegar.
Keenam orang penduduk Desa
Rangkong itu sama sekali tidak menyambut ucapan itu. Perasaan tegang dan ngeri
melihat kematian Wadira yang mengerikan,
serta perbawa laki-laki bercambang bauk lebat itu membuat lidah mereka
seperti kelu. Tak mampu mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
"Kalian ingin melihat
monyet-monyet kecil yang telah mendahului kalian?"
Setelah berkata demikian,
laki-laki bertubuh tinggi besar itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah kerimbunan
semak tempat dirinya keluar tadi.
Hebat luar biasa akibatnya.
Padalah jelas terlihat kalau laki- laki berpakaian hitam itu hanya mengibaskan
tangan secara sembarangan saja ke arah kerimbunan semak-semak
tadi. Tapi akibatnya semak-semak itu terlempar jauh ke belakang,
tercabut hingga ke akar-akarnya.
Tindakan yang baru disaksikan
itu saja, sudah membuat bulu tengkuk mereka merinding. Tapi, pemandangan yang
tampak di balik kerimbunan semak-semak lebih membuat mereka dilanda rasa ngeri.
Tampak di atas pepohonan, di
balik semak-semak itu tergantung tiga sosok tubuh. Walaupun keadaannya sudah
tidak karuan lagi, tetapi masih dapat dikenali.
Tiga sosok tubuh itu bukan lain dari
Banyupaksi, Jatmika, dan Guradi.
Memang, semula laki-laki
berpakaian hitam itu meninggalkan ketiga mayat itu. Tapi
akhirnya berubah pikiran, dan mengambilnya. "Banyupaksi, Jatmika, dan
Guradi...," desah Jampa dengan bibir bergetar. Suaranya terdengar serak
karena dilanda ketegangan yang memuncak.
Tanpa diberi tahu pun, kelima
orang penduduk yang lain bisa mengenali orang-orang yang tergantung di atas
pohon
"Ha ha ha...!”
Laki-laki bercambang bauk
lebat tertawa bergelak-gelak melihat wajah keenam orang penduduk itu pucat pasi bagai tak pernah dialiri darah.
"Semula aku sudah merasa
kebingungan mencari orang untuk kujadikan kelinci percobaan atas ilmu baru vang
tengah kupelajari. Dan sungguh tidak kusangka kalian datang. Ha ha ha...!
Nasibku memang benar-benar baik. Aku tidak perlu susah-susah mencari, buktinya
sudah ada ikan kena umpanku!"
Keenam orang penduduk Desa
Rangkong sudah bisa menebak kalau
laki-laki berpakaian serba hitam itu
memiliki ilmu dahsyat. Dan mereka semua merasa kalau bukan tandingan
orang itu. Melawan sama saja membuang nyawa percuma. Melihat dari mayat
Banyupaksi, sudah bisa diperkirakan kesaktian laki-laki yang menyeramkan ini.
Belum lagi saat dia membongkar kerimbunan semak-semak dengan sebuah kibasan
lengan sembarangan saja. Sukar untuk dibayangkan, sampai di mana ketinggian
ilmu kepandaian kakek tinggi besar ini.
Seperti telah disepakati saja,
mendadak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan
tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki berpakaian serba
hitam itu tertawa bergelak. Dan sekali bergerak, tubuhnya telah berada di
hadapan enam orang penduduk Desa Rangkong itu. Enam orang penduduk Desa
Rangkong tadi hanya melihat sekelebatan bayangan hitam saja yang melewati
mereka. Dan kini tahu-tahu laki-laki bertubuh tinggi besar itu
telah berada di hadapan mereka. Karuan saja hal ini membuat mereka
terkejut bukan main dan langsung menghentikan langkah. Rasa gentar yang amat
sangat merayapi hati mereka semua.
Tanpa pikir panjang lagi
mereka membalikkan tubuh kembali dan
berlari ke arah yang berlawanan dari arah tujuan semula. Kini mereka berlari
kian masuk ke dalam hutan.
"Ha ha ha...! Jangan
mimpi bisa lolos dari Raja Iblis Baju Hitam..!"
Diiringi tawa bergelak yang
memekakkan telinga laki-laki bercambang bauk lebat yang ternyata berjuluk Raja
Iblis Baju Hitam itu berseru sombong.
Untung bagi keenam orang
penduduk Desa Rangkong itu. Sebab laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak
mengerahkan tenaga dalam pada suaranya. Kalau saja dikerahkan, pasti semuanya
akan tewas dengan dada pecah.
Setelah beberapa kali mencoba
tanpa hasil, keenam orang penduduk desa itu pun
tahu kalau tidak ada gunanya
berusaha melarikan diri. Maka diputuskanlah untuk melawan mati-matian. Keenam
orang ini tahu kalau Raja Iblis Baju Hitam tidak akan mengampuni.
"Hiaaat...!"
Diiringi teriakan keras
menggelegar, Jampa melompat menerjang.
Golok di tangannya dibabatkan cepat ke arah leher.
Melihat rekan mereka telah
bergerak menyerang, lima orang lainnya pun ikut menyerang pula. Dalam
sekejapan saja, enam batang golok te lah menyambar ke berbagai bagian tubuh
laki-laki berpakaian hitam. "Hmh...!" Raja Iblis Baju Hitam hanya
mendengus. Tidak tampak tanda-tanda kalau akan mengelak atau menangkis serangan itu. Sekali lihat saja, telah
diketahui kalau enam orang itu hanya sekadarnya saja menguasai Ilmu silat.
Tenaga dalam mereka pun amat rendah. Maka, dibiarkannya saja enam batang golok
itu menyambar sasaran. Laki-laki bercambang bauk lebat ini hanya mengerahkan
tenaga dalam untuk melindungi kulit tubuhnya. Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras seperti
beradunya logam-logam keras terdengar berulang-ulang ketika enam batang golok
mengenai tubuhnya.
Enam orang penduduk Desa
Rangkong itu terpekik kaget ketika menyadari serangan golok mereka sama sekali
tidak mampu melukai tubuh lawan. Malah
sebaliknya, golok di tangan mereka
terpental balik, bukan hanya itu saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun
terasa sakit bukan main.
Sebelum keenam orang penduduk
itu sadar dari keterkejutannya, tangan Raja Iblis Baju Hitam telah bergerak.
Cepat bukan main gerakannya, sehingga para penduduk desa yang hanya mempunyai
kemampuan sekadarnya tak menyadari hal
itu. Mereka semua hanya melihat seleret sinar kehitaman menyambar, dan
tahu-tahu golok di tangan mereka telah terlepas dari pegangan.
Jampa dan kelima orang temannya
memandang dengan mata terbelalak lebar melihat kenyataan . Dan kini di kedua
tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu tergenggam enam batang golok. Entah
bagaimana caranya, senjata-senjata itu berpindah tangan. Bahkan enam orang
penduduk itu sama sekali tidak mengetahuinya.
Sambil tertawa terbahak-bahak,
Raja Iblis Baju Hitam menggerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja
kelihatannya, tapi akibatnya luar biasa. Suara gema retak keras terdengar,
diikuti berpatahannya golok-golok itu. "Ilmu iblis...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu
mendesis penuh kengerian. Memang cara Raja Iblis Baju Hitam mema tah-matahkan
keenam golok itu luar biasa sekali. Padahal, semua senjata itu terbuat dari
logam keras, Tapi dia ternyata mampu mematahkannya seperti mematahkan lidi!
"Sekarang saatnya aku
mencoba ilmu yang se lama ini kulatlh.
"
Setelah berkata demikian, Raja
Iblis Baju Hitam mendorongkan kedua tangan dengan jari-jarinya terbuka, ke
depan. Pelan gerakannya, tapi penuh tenaga. Suara berkerotokan keras seperti ada
tulang-tulang patah mengiringi gerakannya. Dan begitu kedua tangan itu telah
terjulur ke depan, kedua telapak tangan itu berubah merah seperti darah.
Seketika tercium bau amis yang memualkan perut, se iring berubahnya warna
telapak tangan itu. Jelas kalau Raja Iblis Baju Hitam menggunakan ilmu yang
mengandung racun.
"Hih. !"
Mendadak tubuh Raja Iblis Baju
Hitam melesat cepat ke depan. Enam orang penduduk itu terkejut, iktn
sebisa-bisanya berusaha mengelak. Tapi...
Plak, plak, plak. !
Enam kali berturut-turut
telapak tangan laki-laki bercambang bauk
lebat itu menyentuh tubuh enam orang penduduk Desa Rangkong. Pelan saja
gerakannya. Memang, Raja Iblis Baju Hitam hanya mengerahkan sebagian kecil
tenaga dalamnya. Dia memang tidak berniat membunuh atau menyiksa dengan tenaga
dalamnya. Tapi hanya sekadar mencoba keampuhan ilmu racun yang beberapa
lama ini dipelajarinya.
Akibatnya luar biasa. Begitu
kedua telapak tangan Raja Iblis Baju Hitam menyentuh, enam orang penduduk itu
menggeliat- geliat. Rasa gatal dan panas yang amat sangat seketika menyerang tubuh mereka. Mula-mula
hanya melanda bagian yang tersentuh, tapi cepat kali menyebar ke seluruh bagian
tubuh. Enam orang penduduk itu menjerit melolong-lolong. Rasa gatal yang tidak
terkira membuat mereka tanpa pikir panjang lagi menggaruk keras-keras.
Anehnya semakin digaruk, rasa gatal itu
semakin menyiksa. Maka mereka pun menggaruk semakin membabi-buta.
"Ha ha ha...!"
Raja Iblis Baju Hitam tertawa
bergelak-gelak melihat pemandangan di
hadapannya. Memang, tokoh sesat yang menggiriskan ini memiliki kebiasaan.
Hatinya merasa senang melihat orang lain tersiksa menderita. Semakin tersiksa
dan menderita, semakin gembira hatinya. Tak heran bila menyaksikan penderitaan
enam orang penduduk Desa Rangkong dia malah tertawa-tawa gembira.
Sementara enam orang penduduk
desa itu saja menggaruk sekujur tubuh. Karena rasa gatal menyebar ke seluruh
tubuh, maka garukan tangan mereka pun menjarah sekujur tubuh.
Tak lama kemudian, sekujur kulit tubuh mereka mulai hancur. Di
samping akibat pengaruh racun juga
akibat garukan tangan mereka sendiri.
Cukup lama juga pemandangan
mengerikan berlangsung, sebelum akhirnya mereka tidak bergerak lagi untuk
selama- lamanya. Tewas dalam keadaan tubuh tercabik-cabik tangan sendiri.
"Ha ha ha...! Tidak
sia-sia rupanya aku mempelajari ilm u 'Tangan Racun Pasir Merah'. Memang luar
biasa akibatnya. Ha ha ha...! Bidadari Sabuk Emas. Kita buktikan, siapa di
antara kita yang paling jago kini! Ha ha ha...!"
Masih dengan suara tawa yang
tidak putus, Raja Iblis Baju Hitam meninggalkan mayat enam orang penduduk itu.
~Dewi-KZ~
3
Senandung kecil terdengar
meningkahi cicit riang ini urung- burung menyambut datangnya pagi. Bola api
raksasa berwarna merah muncul di ufuk Timur, mengulir kabut yang masih
tertinggal di lereng Gunung Rangkong.
Sesosok tubuh renta milik
seorang kakek kecil kurus, bergerak lincah menuruni lereng gunung itu. Mulutnya
agak meruncing ke depan, menyiutkan senandung tak jelas iramanya. Rupanya dari
mulut kakek inilah senandung itu berasal.
Kakek Itu mengenakan pakaian
berwarna kuning. Wajahnya nampak
segar kemerahan, seperti bukan wajah seorang kakek. Padahal menilik dari rambut,
aliss, kumis, dan jenggotnya yang telah memutih, bisa diperkirakan kalau usianya sudah lebih enam puluh Inhun.
Di tangan kanannya terjinjing sebuah keranjang intan.
Sambil terus bersiul-siul,
kakek ini bergerak lincah. Dia melompat dari satu batu ke batu lainnya.
Gerakannya cukup cepat dan lincah. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah
begitu tinggi.
Bola api raksasa di ufuk
Timur, sudah tidak berwarna kemerahan lagi. Bahkan sinarnya pun sudah mulai
menyilaukan mata, ketika kakek berpakaian kuning ini tiba di mulut Hutan
Rangkong. Di sini, baru kakek itu menghentikan larinya.
Kini kakek berpakaian kuning
itu melangkahkan kakinya lambat-lambat Sedangkan sepasang matanya beredar
mengawasi sekelilingnya. Jelas, ada sesuatu yang dicarinya. Beberapa kali kakek
ini melangkah menghampiri ketika melihat apa yang dicarinya. Ternyata dia tengah mencari tumbuh-tumbuhan. Beberapa
kali, dicabutnya beberapa tanaman yang memang dicarinya, lalu diambil akarnya.
Terkadang pula bijinya. Tapi, tak jarang daun atau kulit batangnya.
Matahari telah berada di atas
kepala, ketika akhirnya keranjang rotan kakek itu telah penuh segala
macam tanaman.
Sambil bersiul-siul, kakek
berpakaian kuning ini kembali melangkahkan kakinya kembali ke lereng gunung.
Tidak nampak ada kelelahan pada wajahnya, walaupun telah berputar putar di dalam Hutan Rangkong
selama setengah hari.
Tapi gerakannya langsung
terhenti ketika sepasang matanya melihat
serombongan orang bergerak mendaki lereng. Menilik dari pakaian dan gerakan,bisa
diduga kalau rombongan itu adalah para penduduk desa di sekitar Gunung
Rangkong.
Kakek berpakaian kuning itu
diam-diam menghitung jumlah mereka dengan matanya. Ada delapan orang. Dua
di antaranya nampak lemas dan dipapah. Dari sini bisa diperkirakan kalau
mereka menderita sakit.
Setelah mengamati beberapa
saat, kakek berpakaian kuning ini lalu melesat ke arah
mereka. Cepat bukan main gerakannya, sehingga yang terlihat hanyalah
sekelebatan sinar berwarna kekuningan.
Sesaat kemudian, kakek
berpakaian kuning itu telah berada di depan delapan orang penduduk Desa
Rangkong. Begitu mendadak kehadirannya, sehingga membuat delapan
orang itu berjingkat kaget Tapi, raut kagetan segera lenyap begitu
mengenali sosok tubuh yang tahu-tahu berada di depan mereka. "Eyang Balunglaga...,"
sebut salah seorang dari mereka yang berjenggot hitam panjang.
"Siapa kalian? Dan ada
keperluan apa mendaki lereng ini?" tanya kakek berpakaian kuning yang
ternyata bernama Eyang Balunglaga. Sekilas, ditatapnya wajah dua orang yang
dipapah mereka. Kemudian, pandangannya beralih ke arah laki-laki berjenggot
panjang.
"Kami adalah penduduk
Desa Rangkong, Eyang," jawab laki-laki berjenggot panjang yang rupanya
menjadi juru bicara rombongan itu.
Eyang Balunglaga hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Kakek ini tahu, Desa Rangkong adalah salah satu
desa yang terletak di kaki Gunung Rangkong.
Pandangannya kembali dialihkan ke arah wajah dua inang yang dipapah,
seorang laki- laki dan seorang wanita.
"Maksud kami mendaki
lereng ini untuk mencari eyang," sambung laki-laki berjenggot panjang.
"Kami ingin meminta pertolongan."
Sambil berkata demikian,
pandangan mata laki laki berjenggot panjang itu berpindah ke arah dua orang
yang dipapah. Tanpa sadar, Eyang Balunglaga juga mengedarkan pandangan ke arah
yang sama. Memang, kakek berpakaian kuning ini sangat ahli dalam ilmu
pengobatan. Keahliannya bahkan telah tersebar ke seluruh desa di kaki Gunung
Rangkong.
"Inikah orang yang butuh
pertolongan itu?" tanya Eyang Balunglaga sambil melangkah menghampiri.
Ditatapnya wajah kedua orang laki-laki itu, lalu diperiksa panas tubuhnya.
"Mereka keracunan...,"
jelas kakek berpakaian kuning itu pelan. "Ceritakan, bagaimana hal ini
bisa terjadi?" Laki-laki berjenggot panjang mengangkat bahu pertanda tidak
mengetahuinya. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah rekannya, seorang laki-laki
muda bertubuh kekar berotot.
"Aku juga tidak mengerti,
Eyang," kata laki-laki bertubuh kekar itu. "Hanya yang kutahu,
sebelumnya Paman dan Bibi memakan ikan hasil tangkapan Paman."
"Hm. Lalu?" desak
Eyang Balunglaga.
'Tak lama kemudian.... Paman
dan Bibi muntah-muntah. Tubuhnya pun kejang. Dari mulut mereka keluar buih
berbau busuk. Maka segera kupanggil mereka semua untuk menolongku membawa dua
orang ini kemari."
"Kau tahu, ikan apa yang
dimakannya?" tanya Eyang Balunglaga.
Karena sebagai seorang ahli
pengobatan, kakek ini tahu kalau ada beberapa jenis ikan yang memang mengandung
racun. Ikan buntal m isalnya. Tapi ikan jenis itu hanya hidup di laut.
"Ikan air tawar biasa,
Eyang."
"Aneh," ucap Eyang
Balunglaga dengan dahi berkernyit dalam.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkan
laki-laki tua itu. Sementara delapan
orang penduduk Desa Rangkong diam saja.
Mereka tidak mau mengganggu pikiran kakek berpakaian kuning itu.
"Bawa mereka ke
pondokku," ujar Eyang Balunglaga, seraya melangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu, mendahului mereka menuju ke lereng.
Enam orang penduduk Desa
Rangkong membaringkan dua sosok tubuh yang mereka papah ke dipan bambu.
Kemudian, mereka duduk diam menunggu. Sementara di dalam, Eyang Balunglaga
sibuk memeriksa luka-luka dua orang penduduk yang keracunan itu.
"Hhh...l"
Kakek berpakaian kuning itu
menghela napas berat, setelah memeriksa luka-luka kedua orang itu berapa saat
lamanya. Menilik dari sikap dan raut wajahnya, jelas ada sesuatu yang tidak
menyenangkan hati kakek kecil kurus ini.
Dengan langkah lambat dan raut
wajah lesu. Eyang Balunglaga melangkah
ke luar.
"Bagaimana, Eyang?"
tanya pemuda bertubuh kekar penuh gairah.
Saking tegangnya menunggu
nasib kedua orang keluarganya, dia tidak sempat memperhatikan wajah dan sikap Eyang Balunglaga yang lesu.
"Sayang sekali, Anak
Muda," sahut kakek bertubuh kecil kurus itu pelan. Tampak kalau dia merem
berat hati untuk menyampaikannya.
"Maksud, Eyang?"
tanya laki-laki bertubuh kekar itu kalap. "Racun yang menyerang mereka
tidak kukenal," sahut
Eyang Balunglaga bernada
keluhan. "Terus terang, aku tidak mampu menolong mereka."
"Jadi...?!" suara
laki-laki bertubuh kekar itu terdengar gemetar.
"Kita serahkan semuanya
pada kekuasaan Tuhan...," hanya itu yang bisa diucapkan Eyang Balunglaga.
"Ohhh...!"
Seraya mengeluarkan keluhan
putus asa, laki-laki bertubuh kekar itu melesat cepat ke ruang dalam. Eyang
Balunglaga sama sekali tidak mencegahnya. Hatinya merasa terpukul karena tidak
mampu mengobati luka kedua orang itu. Untuk pertama kali Eyang Balunglaga gagal
dalam mengobati orang.
Perlahan kakek bertubuh kecil
kurus ini mengalihkan perhatian pada penduduk
lain yang ikut mengantar kedua orang yang keracunan itu. Perasaan terpukul
yang melandanya pun semakin besar.
Dilihatnya satu-persatu kepala
penduduk itu tertunduk Sepertinya, mereka semua menyalahkan kakek itu karena
tidak mampu mengobati penduduk Desa Rangkong Itu. "Paman...!
Bibi...!"
Mendadak dari ruangan dalam
terdengar teriakan keras, namun lebih patut disebut lolong kesedihan, serentak
empat orang penduduk lainnya itu berlomba masuk ke dalam. Meskipun sudah dapat
menduga apa yang terjadi, tapi tak urung mereka ingin menyaksikannya juga.
Eyang Balunglaga tak
ketinggalan pula. Kakek berpakaian kuning ini melangkah masuk paling akhir.
Tapi langkah Eyang Balunglaga
berhenti di depan pintu, seperti juga empat orang penduduk itu begitu melihat pemandangan di hadapan
mereka.
Tampak di pinggir pembaringan,
pemuda bertubuh kekar itu duduk sambil menelungkupkan wajah. Sementara
di balai- balai bambu, tergolek diam dua sosok tubuh.
Tanpa melihat dari dekat pun,
Eyang Balunglaga sudah bisa mengetahui kalau kedua orang itu sudah tewas. Tanpa
sadar, sebuah helaan napas berat keluar dari mulutnya.
Tanpa berkata-kata, laki-laki
bertubuh kekar itu mengangkat salah satu mayat dan
membawanya ke luar. Bagai kucing ditakut-takuti lidi, para
penduduk dan Eyang Balunglaga yang berdiri di ambang pintu bergerak menyingkir.
Masih dengan tanpa suara,
laki-laki bertubuh kekar itu melangkah melewati ambang pintu. Jangankan bicara, menoleh pun tidak. Pandangan matanya
menatap kosong ke depan. Jelas kalau hatinya merasa terpukul menerima kenyataan
ini.
Melihat laki-laki bertubuh
kekar itu telah melangkah ke luar, laki-laki berjenggot panjang memberi isyarat
pada salah satu dari tiga orang penduduk
Tanpa menunggu diperintah
dua kali, penduduk yang bertubuh pendek
menghampiri balai-balai bambu. Diangkatnya tubuh penduduk desa mereka yang
telah menjadi mayat.
Laki-laki berjenggot panjang
menunggu, hingga laki-laki bertubuh pendek itu melewati ambang pintu. Setelah
lewat, baru dia bersama dua orang
penduduk lainnya bergerak meninggalkan ruangan itu. Tak lupa sebelum
meninggalkan tempat itu, laki-laki berjenggot panjang menoleh ke arah Eyang Balunglaga.
"Maafkan atas sikap kami
semua, Eyang. Biar bagaimanapun juga, Eyang telah berusaha sekuat
tenaga. Tapi, yahhh. Tuhan telah berkehendak lain."
Hanya senyum getir tersungging
di mulut Eyang Balunglaga yang menyambuti ucapan laki-laki berjenggot
panjang itu. Mata laki-laki tua itu
kemudian menatap enam sosok tubuh yang
semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
***
Tok, tok, tok...!
Seorang laki-laki bertubuh
tinggi kurus mengetuk daun pintu sebuah
rumah. Menilik dari ketukannya yang berturut- turut, bisa diperkirakan kalau
dia tengah terburu-buru.
"Ki...! Ki
Saketi...!"
Sambil terus
mengetuk-ngetukkan tangan pada daun pintu, laki-laki bertubuh tinggi kurus itu
berteriak-teriak memanggil. Jelas kalau dia terburu-buru sekali. Panggilannya
berhenti setelah terdengar langkah kaki diseret mendekati pintu.
Suara derit pelan terdengat
ketika daun pintu itu tergerak membuka.
"Hm.... Kau rupanya,
Tirta?" sapa orang yang dipanggil Ki Saketi tadi.
Kepala Desa Rangkong ini tampak berwajah kuyu dan lusuh. Kejadian demi kejadian yang
menimpa desanya membuat laki-laki
berkumis tebal ini menjadi berwajah demikian. Dia yakin, pasti ada kejadian
lagi. Sehingga orang yang dipanggil T irta bertindak begitu kalap.
"Ada apa, Tirta?"
"Anu, Ki...," masih
dengan napas memburu. T irta mencoba bercerita.
"Lebih baik kita masuk
dulu dan bicara di dalam,"ujar Ki Saketi.
Kepala desa itu mengajak Tirta
masuk. Dia tahu, laki-laki kurus itu butuh ketenangan untuk bercerita. Tapi,
perasaan terburu-burunya untuk menyampaikan
sesuatu sudah tidak bisa ditahan
lagi. Daripada mendengar cerita yang terputus- putus, Kepala DesaRang kong ini
mengajak Tirta masuk ke rumahnya.
Laki-laki tinggi kurus itu
tidak bisa membantah lagi karena Ki
Saketi telah mendahului melangkah masuk
"Minum lah dulu agar
hatimu tenang," Ki Saketi mempersilakan, begitu mereka berdua telah duduk
di dalam.
Lagi-lagi Tirta tidak
membantah ucapan laki-laki berpakaian abu-abu itu. Segera tangannya diulurkan
untuk mengambil minuman yang disediakan. "Nah, Sekarang, katakanlah apa
yang ingin kau ceritakan padaku!" tagih Kepala Desa Rangkong begi tu Tirta telah meletakkan kembali gelas
bambu di meja
"Celaka, Ki!" belum
apa-apa laki-laki bertubuh tinggi kurus itu sudah kalap.
'Tenanglah, Tirta," ujar
Ki Saketi menasihati.
"Para penduduk yang mandi
di sungai, terserang penyakit aneh, Ki," lanjut T irta.
'Penyakit aneh?" Ki
Saketi mengernyitkan dahinya.
"Benar, Ki. Penyakit
aneh," ulang Tirta menguatkan ucapan sebelumnya. "Begitu selesai
mandi, sekujur tubuh mereka terasa gatal-gatal amat luar biasa Mereka merasa
tidak tahan untuk tidak menggaruk."
Tirta mengatur napasnya
sejenak. Caranya bercerita yang terlalu berapi-api, membuat napasnya
tersengal-sengal. Sementara Ki Saketi langsung mengerutkan alisnya mendengar cerita laki-laki bertubuh
tinggi kurus itu.
"Tak lama kemudian, di sekujur tubuh mereka timbul bintik-bintik.
Lalu, kulit mereka seperti hancur,
Sampai di sini Tirta
menghentikan ceritanya, lalu menutupkan muka dengan kedua telapak tangannya.
"Di mana mereka
sekarang?" tanya Ki Saketi dengan suara bergetar menahan perasaan ngeri.
Sepercik ucapan terbetik di hatinya. Apa dosa penduduk Desa Rangkong, sehingga
sampai menerima malapetaka beruntun ini?
Padahal tujuh orang penduduk ynng tiga hari lalu pergi menyusul
Banyupaksi dan
.latmika pun belum ketahuan
kabarnya. Kini sudah muncul lagi masalah baru.
"Masih di pinggir sungai,
Ki," pelan dan tidak bersemangat jawaban Tirta. Sungguh berbeda dengan ucapan
sebelumnya yang begitu berapi-api. "Kalau begitu, mari kita ke sana!"
Setelah berkata demikian, Kepala Desa Rangkong Ini bergegas bangkit dari
duduknya. Mau tidak mau, Tirta pun bergerak bangkit mengikuti laki-laki berkum
is lebal yang terus saja melangkah ke luar.
Tapi sesampainya di luar, Ki
Saketi terpaksa menunggu Tirta karena memang dialah yang mengetahui di sungai
sebelah mana para penduduk yang keracunan itu.
Seperti semula sewaktu datang,
kali ini pun Tirta berlari-lari bagai dikejar hantu. Mau tak mau, Ki Saketi
terpaksa berlari- lari juga kalau tidak ingin tertinggal.
Kepala Desa Rangkong ini tidak
bisa menyalahkan Tirta karena dia pun ingin buru-buru melihat kenyataan ucapan
warganya itu.
Masih cukup jauh jarak yang
dimaksud Tirta, namun Ki Saketi sudah bisa mengetahui tempat pastinya.
Kerumunan para penduduk yang merubungi
sebuah tempat, sudah merupakan jawaban pertanyaannya.
Melihat hal itu, Tirta dan Ki
Saketi semaki mempercepat langkahnya.
Sebelum kedua orang itu tiba,
seorang penduduk yang wajahnya penuh panu sudah melihat kedatangan mereka.
"Minggir...! Menyingkir
semua...! Beri jalan pada Ki
Saketi...!" teriak laki-laki berwajah penuh panu seraya menepuk-nepuk bahu
beberapa orang penduduk untuk lebih memperjelas pemberitahuannya. Maka
kerumunan para penduduk itu pun menyeruak, memberi jalan pada Ki Saketi.
Kepala Desa Rangkong ini
menganggukkan kepala kepada para warganya, kemudian bergegas menghampiri
sosok-sosok tubuh yang tergolek dengan sekujur kulit memerah seperti darah.
Dengan pandangan matanya, Ki Saketi menghitung jum lah mereka. Ada enam orang.
Dan semuanya tergolek diam. Matikah mereka?
Laki-laki berpakaian abu-abu
ini buru-buru berjongkok. Melihat keadaan tubuh mereka, Ki Saketi sama sekali
tidak berani menyentuhnya. Dia tahu keenam orang penduduknya itu keracunan hebat
"Hhh...!"
Kepala Desa Rangkong ini
menghela napas berat. Melihat tidak adanya perut yang bergerak turun naik, bisa
diperkirakan kalau mereka yang terbaring sudah lewas. Keadaan mereka begitu
mengerikan. Sekujur kulit memerah seperti
udang rebus.
Yang lebih mengerikan lagi,
sekujur kulit tubuh mereka pun seperti hancur. Jadi lunak seperti telah
membusuk. Luka-luka bekas garukan tangan akibat rasa gatal yang mendera, nampak
di sekujur kulit yang merah dan lunak itu.
Perlahan-lahan Ki Saketi
bangkit berdiri. Wajahnya penuh diliputi kengerian. Memang, laki-laki
berpakaian abu-abu ini merasa ngeri bukan ma in melihat keadaan mayat-mayat
para warganya.
Bukan hanya di wajah Ki Saketi
saja yang menampakkan kengerian. Di
wajah para penduduk yang lainnya
pun demikian pula.
"Apa yang harus kita
lakukan dengan mayat mereka, Ki?" tanya penduduk yang bertubuh pendek.
Suaranya terdengar serak. Jelas kalau dia belum bisa menata dirinya dari perasaan
terkejut yang melanda hati.
Ki Saketi tercenung sesaat
lamanya, sambil menatap wajah orang yang bertanya sejenak. Kemudian
perlahan-lahan kepalanya menggeleng. "Aku pun tidak tahu...," jawab
orang nomor satu di Desa Rangkong ini. "Rasanya sulit bagi kita
untuk menguburkannya. "
"Mengapa, Ki?" tanya
Tirta.
Bodoh benar pertanyaan itu.
Padahal sebetulnya laki-laki bertubuh tinggi kurus ini bukan orang bodoh. Tapi
kenyataan yang disaksikan membuat pikiran jernihnya menguap entah ke mana.
Hanya kebuntuan yang mencekam di benaknya.
"Bagaimana kita bisa
menguburkannya, Tirta?" Ki Saketi mulai menjawab dengan mengajukan
pertanyaan lebih dulu. Nada suaranya terdengar lesu, selesu wajahnya. "Aku
yakin, sekujur tubuh keenam orang ini telah
mengandung racun yang mengerikan.
Bukan tidak mungkin kita akan ketularan kalau menyentuh mereka."
Tirta mengangguk-anggukkan
kepalanya, tanda mengerti.
Suasana menjadi hening sejenak
begitu Ki Saketi menghentikan ucapannya. Keheningan yang mencekam, karena hati semua penduduk diliputi
kengerian. Jelas mereka takut akan kembali terjadi peristiwa mengerikan di desa
mereka.
"Mayat-mayat itu harus
dibakar."
Sebuah suara pelan tapi
mengandung getaran yang cukup kuat terdengar. Meskipun hanya pelan saja, tapi karena saat itu suasana di tempat itu heningi maka
suara itu jadi terdengar jelas.
Bagai diberi aba-aba, kepala
semua penduduk itu menoleh ke arah asal suara, tak terkecuali Ki Saketi
sendiri.
Ternyata dua tombak jaraknya
dari mereka telah berdiri seorang kakek berwajah segar. Sehelai pakaian
yang berwarna kuning membungkus tubuhnya yang kecil kurus. "Ah....
Rupanya Eyang Balunglaga...," sapa Ki
Saketi dengan wajah berseri-seri. Ada perasaan lega -yang menyeruak di
harinya melihat kedatangan kakek ahli pengobatan itu.
Meskipun Kepala Desa Rangkong
ini telah mendengar akan kegagalan kakek kecil kurus ini mengobati paman
dan bibi salah seorang warganya, namun
rasa hormatnya pada Eyang Balunglaga tidak s irna karenanya.
Laki-laki berkum is tebal ini
tahu, meskipun Eyang Balunglaga selama
ini mampu mengobati luka-luka keracunan, tapi keracunan yang tidak berat. Bukan
keracunan akibat tindakan seseorang yang terbiasa bermain racun.
Apalagi racun ganas. Sementara racun yang menyerang warga Desa Rangkong
adalah racun yang dibuat orang yang terbiasa main racun. Tidak aneh kalau kakek
kecil kurus itu tidak mampu mengobatinya.
"Jadi jalan satu-satunya
untuk mencegah penularan racun ini, mayat-mayat ini harus dibakar, Eyang?"
tanya Kepala Desa Rangkong untuk memastikan ucapan yang tadi terdengar
telinganya. "Benar!" jawab Eyang Balunglaga pelan. Ki Saketi menoleh
ke arah Tirta. "Uruslah mayat-mayat ini."
"Baik, Ki,"
laki-laki bertubuh tinggi kurus itu
sigap menjawab.
"Ajak beberapa orang
untuk mengumpulkan ranting-ranting kering!"
"Baik, Ki."
Tirta dan beberapa orang
penduduk lainnya beri gegas meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugas
yang diberikan kepala desanya.
Eyang Balunglaga melangkah
menghampiri mayat-mayat yang tergolek di tanah. Raut wajah maupun
sepasang matanya menyiratkan penyesalan yang mendalam. Memang, kakek
bertubuh kecil kurus ini merasa penasaran bukan kepalang akibat
ketidakmampuannya mengenali racun yang menyerang para penduduk Desa Rangkong.
Eyang Balunglaga adalah
seorang pandai obat sejati Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada
melihat kesembuhan orang yang berobat padanya. Sebaliknya, tidak ada kesedihan
yang lebih besar selain melihat orang
yang sakit, tewas di hadapannya.Dan perasaan itulah yang melanda hatinya
sekarang ini.
Kakek bertubuh kecil kurus ini
berjongkok. Sepasang matanya merayapi sekujur tubuh mayat-mayat itu. Helaan
napas beratnya selalu terdengar keluar dari mulutnya. Sementara para
penduduk hanya memperhatikan semua kelakuan
kakek ahli pengobatan itu.
"Menurut berita yang
kudapat, sehabis mandi di sungai sekujur tubuh mereka gatal-gatal dan panas.
Apakah
mereka tewas karena mandi di
sungai ini, Eyang?" Ki Saketi mulai mengajukan pertanyaan.
"Kalau melihat dari keadaan mereka, jelas itu akibat keracunan.
Tapi kebenaran akan dugaan kalau racun itu berasal dari sungai perlu
dibuktikan."
Eyang Balunglaga menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Bila benar sungai ini
adalah penyebabnya berarti ada orang
yang baik sengaja atau tidak, telah membuang racun ke sungai itu. O, ya. Apakah
penduduk yang keracunan akibat makan ikan waktu itu, ikannya diambil dari
sungai ini?"
"Tidak, Eyang,"
laki-laki berjenggot panjang yang menjawab pertanyaan itu "Mereka
menangkapnya di danau dekat pinggir hutan."
Eyang Balunglaga
mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pinggir sungai. Diperhatikannya
sejenak air sungai Itu. Baik warna maupun baunya. "Hhh...!"
Sebuah helaan napas berat
terdengar dari mulut kakek bertubuh kecil kurus ini.
"Bagaimana, Eyang?"
Ki Saketi yang berdiri di belakang kakek berpakaian kuning itu tidak sabar lagi
bertanya.
"Sungai ini memang telah
mengandung racun ganas," sahut Eyang Balunglaga setengah
mengeluh. "Jadi...?"
"Jangan gunakan lagi air
sungai ini untuk mandi atau mencuci. Apalagi untuk minum," Eyang
Balunglaga memperingatkan.
Ki Saketi mengerutkan alisnya.
Jelas kalau tengah dilanda perasaan bingung. Maklum, sungai ini memang
satu-satunya sumber kehidupan penduduk Desa Rang kong. Memang ada mata air
lainnya, tapi letaknya terlalu jauh dari desa mereka. Tapi, hal ini akan
dikatakannya nanti pada para penduduknya.
"Aku yakin,
peristiwa keracunan ini ada hubungannya
dengan kejadian-kejadian sebelumnya," duga Ki Saketi
"Kejadian apa, Ki?"
tanya Eyang Balunglaga.
Memang, kakek ahli pengobatan
ini belum mendengar tentang peristiwa beruntun yang terjadi atas penduduk Desa
Rangkong.
Ki Saketi pun menceritakan
semua kejadian itu dari awal. Dengan seksama, Eyang Balunglaga mendengarkannya.
Kakek berpakaian kuning ini sama sekati tidak menyelak cerita Ki Saketi sedikit
pun.
"Mungkin dugaanmu benar,
Ki," dukung kakek bertubuh kecil
kurus ini. "Kalau tidak salah, bukankah sungai ini berhulu dari dalam
Hutan Rangkong?"
Ki Saketi mengangguk.
"Dan penduduk Desa Rangkong semuanya hilang di dalam hutan itu,"
sambung kakek bertubuh kecil kurus penuh semangat "Jelas, pokok pangkal
semu masalah ini berasal dari Hutan Rangkong."
"Itulah yang
menyebabkanku menduga demikian pula,
Eyang," sambut Ki Saketi berapi-api.
"Jadi, kesimpulanmu bagaimana, Ki?" Kepala Desa Rangkong
terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
"Kalau menurut dugaanku,
ada seorang tokoh aliran hitam yang bertempat tinggal di hutan itu. Tapi,
dia tidak ingin diketahui orang lain.
Atau juga tidak senang diganggu. Maka setiap penduduk yang bertemu dengannya di
dalam hutan, langsung dibunuhnya," Jelas laki-laki berpakaian abu-abu itu
panjang lebar.
"Ada yang janggal dalam
penjelasanmu, Ki," selak Eyang Balunglaga. "Kalau dia tidak ingin
diketahui orang, kenapa menaburkan racun di sungai ini?"
Ki Saketi menarik napas
panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat
"Itulah yang membuatku
bingung, Eyang." Pembicaraan kedua orang itu berhenti ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempat itu. Langkah kaki yang
tampaknya bertubi-tubi menghantam bumi dengan cepatnya. Jelas kalau ada orang
yang tengah berlari.
Eyang Balunglaga dan Ki Saketi
menoleh. Tampak Tirta dan beberapa orang penduduk lain telah datang membawa
banyak ranting kering.
Tanpa menunggu diperintah,
semua penduduk yang sejak tadi diam mendengarkan pembicaraan antara kepala desa
mereka dengan Eyang Balunglaga, bergegas mengambil ranting-ranting kering itu.
Kemudian ranting-ranting itu diletakkan di sekeliling mayat enam orang rekan
mereka. Setelah mendapatkan perintah dari Ki Saketi, baru mereka semua
menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun membumbung tinggi membakar mayat-mayat
orang yang keracunan.
Semakin lama, api yang menyala
semakin membesar. Dan dengan sendirinya, suasana di sekitar tempat itu mulai
terasa panas. Maka, semua yang berada di situ bergegas melangkah mundur.
Kini mereka semua
memperhatikan api yang melahap ranting
dan mayat rekan-rekan mereka. Menilik
dari pandangan yang tertuju pada satu titik, bisa diketahui kalau mereka
semua terlibat dalam lamunan masing-masing.
Dan memang hal itu benar.
Dalam hati mereka semua, timbul pertanyaan. Bencana apa lagi yang akan menimpa
mereka? Dan siapa nanti yang akan mendapat giliran?
Perlahan api mulai mengecil,
suara letupan-letupan api mulai jarang. Dan seiring matinya api, habislah
mayat-mayat itu dan juga ranting keringnya. Yang tinggal hanyalah
onggokan tulang yang habis terbakar dan onggokan sisa pembakaran.
***
4
Hari sudah begitu siang. Sinar
matahari pun sudah tidak terasa nikmat lagi di kulit. Saat itu seorang I
perempuan tua berpakaian merah muda dan berambut panjang terurai tengah
melangkah perlahan-lahan memasuki tembok batas
Desa Layur. Dia seperti tidak mempedulikan teriknya sengatan matahari.
Kalau melihat wajah dan
perawakannya, tidak nampak adanya sesuatu yang mengerikan pada nenek ini.
Bahkan perasaan kasihan yang timbul begitu melihat nenek yang begitu ringkih
ini berjalan. Mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi, dan rambutnya yang
seluruhnya telah berwarna putih semakin menambah keringkihannya. Dari sini,
bisa ditaksir usianya. Paling tidak, tak kurang dari tujuh puluh tahun.
Tapi jika melihat sorot
matanya, orang akan bergidik ngeri. Sorot matanya mencorong tajam dan berwarna
kehijauan, seperti sinar mata seekor kucing dalam gelap. Dan yang lebih
mengerikan lagi, ada sinar kekejaman yang membayang dalam matanya.
Begitu memasuki mulut desa,
pandangan mata nenek berambut putih panjang itu menatap ke sekeliling. Tapi,
hanya kesunyian saja yang ditemuinya. Apalagi saat itu hari sudah siang. Jadi,
sebagian besar penduduk memang tengah sibuk di sawah atau di kebun. Hanya
sebagian kecil saja yang tinggal di rumah.
Hanya sebentar saja nenek
berpakaian merah muda itu menatap ke sekeliling. Pandangannya kemu dian
tertumbuk pada sebuah pondok yang terletak agak terpisah dari pondok- pondok
lainnya
Mendadak sepasang mata nenek
itu berkilat menyiratkan kekejaman. Seringai menyeramkan pun tampak di mulutnya
yang telah mengeriput. Tapi seringai itu hanya timbul sesaat saja, kemudian
lenyap. Dan seiring dengan
lenyap seringainya, nenek berpakaian
merah muda itu bergerak menghampiri pondok.
Luar biasa. Gerakan nenek
berambut panjang itu cepat bukan main. Sungguh tidak sesuai dengan keadaan
tubuhnya yang terlihat. Hanya sekali langkah saja, jarak tujuh tombak telah
terlampaui.
Sekejap kemudian nenek
berpakaian merah mudai itu te lah berada di depan pintu pondok yang tertutup
rapat
"Hi hi hi...l" Nenek
berambut panjang terurai itu tertawa, sehingga terdengar mengerikan sekali.
Suara tawa itu tak ubahnya keluar dari
mulut kuntilanak.
Seiring lenyap gema suara
tawanya, tangan kanan nenek itu menepak daun pintu. Kelihatannya perlahan saja, tapi
akibatnya....
Brakkk.l
Suara berderak keras terdengar
ketika daun pintu pondok itu hancur berkeping-keping. Seolah-olah,
bukan tepakan halus tangan
keriput seorang nenek yang menghantamnya, melainkan serudukan seekor kerbau
liar.
Tentu saja suara berderak
ribut itu membuat pemilik pondok
terperanjat. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berkulit coklat.
Suatu kebetulan dia tidak pergi ke sawah, karena giginya sakit
Dapat dibayangkan, betapa
gusarnya hati laki-laki bertubuh kekar ini begitu mendengar suara berisik dari
arah depan. Dengan amarah menggelegak, dia bergegas ke luar. Tak lupa
disambarnya golok yang tergantung di dinding.
Kemarahannya kembali bergolak
begitu melihat pintu pondoknya hancur berantakan. Suara gemeretak keras
terdengar dari mulutnya karena perasaan geram melihat rumahnya dirusak.
Perasaan amarah yang melanda
membuat pikiran laki-laki bertubuh kekar ini seperti buntu. Yang ada di
benaknya hanya satu. Memberi pelajaran pada orang yang telah mengganggu
ketenangannya, dan sekaligus merusak pintu rumahnya.
Kalau saja laki-laki bertubuh
kekar ini mau menggunakan akal sehat sedikit saja, tentu sudah bisa
memperkirakan kepandaian orang yang telah mampu menghancurkan pintunya. Jelas
orang itu bukanlah orang sembarangan. Namun hal itu sama sekali belum
terpikirkan olehnya. Kemarahan yang melandanya baru menciut begitu melihat
sosok yang berdiri di ambang pintu. Tampak di matanya seorang nenek tua renta
yang bertubuh ringkih.
"Nenek inikah yang telah
menghancurkan pintu rumahku?" tanya pemilik pondok dalam hati dengan,
perasaan tidak percaya. "Tapi kaiau bukan nenek ini, siapa lagi?
Buktinya tidak nampak ada orang lain lagi di sekitar sini."
Maka meskipun dengan perasaan
ragu, dihampirinya nenek berpakaian merah muda itu. Hanya saja kemarahan yang
melandanya sebagian besar telah menguap. Kini yang tinggal hanyalah perasaan
penasaran dan rasa sakit yang mendera giginya.
"Siapa kau, Nek? Mengapa
merusak pintu rumahku?" tanya laki-laki berkulit coklat itu. Sengaja
pertanyaan itu diajukan, meskipun yakin nenek itu bukan pelakunya. Sudah dapat
diterka, nenek itu pasti akan menyangkal.
"Bukan hanya pintu pondok
ini saja yang kuhancurkan. Tapi juga kau!"
Dapat dibayangkan, betapa
kaget hati milik pondok itu begitu
mendengar jawaban yang keluar dari mulut nenek berpakaian merah muda ini.
Seiring ucapan Itu tadi,
sepasang mata nenek Itu mencorong seperti memancarkan sinar berapi. Karuan saja
hal ini membuat laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat. Seketika itu pula
disadari kalau nenek di hadapannya bukan orang sembarangan.
Maka tanpa membuang-buang
waktu lagi, pemilik pondok itu me lompat menerjang. Golok di tangannya berkelebat
membacok dari atas ke bawah. Rupanya,
dia bermaksud membelah tubuh nenek itu.
"Hmh...!" Nenek
berpakaian merah muda itu hanya
mendengus. Tidak tampak ada tanda-tanda kalau akan menangkis atau
mengelak Jelas, nenek itu tidak memandang serangan itu sebagai sesuatu yang
berbahaya.
Baru setelah serangan itu
menyambar dekat, tangan nenek berpakaian merah muda itu terjulur ke depan. Luar
biasa. Serangan golok itu disambut dengan tangannya.
Laki-laki bertubuh kekar itu
terkejut melihat hal ini. Gilakah sebenarnya nenek ini? Kalau tidak gila, mengapa hendak mengadu golok itu dengan
tangannya yang kurus kering dan keriput?
Mau tak mau, perasaan
ragu-ragu laki-laki itu membuat tenaganya yang mengayunkan golok jadi mengendur. Meskipun begitu, tetap saja ayunan
golok itu cukup untuk memutuskan tangan. Apalagi kelihatannya tangan nenek berambut panjang
itu terlihat lemah.
Takkk...!
Suara berdetak keras seperti
dua benda kuat berbenturan terdengar ketika golok itu beradu dengan tangan
nenek berpakaian merah muda. Luar biasa. Tangan nenek itu sama sekali tidak
putus. Bahkan sebaliknya, tangan pemilik pondok itu yang bergetar hebat.
Tangannya terasa seolah-olah lumpuh. Terutama, jari-jari
tangannya yang menggenggam. Tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu terlepas
dari cekalan tangannya.
Dan sebelum laki-laki bertubuh
kekar itu sempat berbuat sesuatu, tangan nenek itu kembali bergerak. Cepat bukan main gerakannya. Dan....
Tappp !
Tak pelak lagi, tangan
laki-laki bertubuh kekar itu tercekal tangan keriput nenek berpakaian merah
muda. Dan dengan cepat, tangan nenek itu bergerak meremas. Krrrkkk...!
Suara bergemeretak keras
terdengar ketika tulang-tulang tangan pemilik pondok itu hancur berantakan.
Seakan-akan tangan itu terbuat dari tahu.
Laki-laki berkulit coklat itu
seketika menjerit memilukan, seiring gerakan meremas tangan nenek berambut
panjang. Rasa sakit tak tertahankan yang melanda, membuatnya tak kuasa menahan
jeritan.
Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, tangan nenek berpakaian merah muda Itu sudah kembali bergerak.
Langsung disampoknya pelipis laki-laki kekar itu.
Prakkk!
Tanpa sempat mengeluarkan
suara lagi, tubuh laki-laki berkulit coklat Itu ambruk ke tanah dengan pelipis
pecah. Sebentar dia menggelepar, lalu tewas tanpa bersambat lagi. Darah nampak
menggenang di lantai rumahnya.
"Hi hi hi...! Orang
sepertimu berani menantang Bidadari Sabuk Emas?! Cuhhh...!" dengan kasar,
nenek berambut panjang yang ternyata berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu meludahi
wajah mayat pemilik rumah Itu.
Sambil tertawa terkikih, nenek
berpakaian merah muda itu lalu melangkah meninggalkan mayat yang membujur tergenang darah. Suasana sekitar tempat Itu
memang sepi, sehingga keributan kecil itu sama - sekali tidak mengundang
penduduk lain. Apalagi, rumah
penduduk yang malang itu terpisah jauh
dari rumah penduduk lainnya.
"Hi hi hi...!"
Kembali Bidadari Sabuk Emas
tertawa terkikih ketika langkah kakinya berhenti di depan
sebuah pintu rumah yang tertutup rapat Masih dengan suara tawa mengikik, nenek
berpakaian merah muda ini mengeluarkan sebuah sabuk berwarna kuning keemasan
dari pinggang, kemudian melecutkannya.
Ctarrr...! Brakkk..!
Suara hiruk pikuk diiringi
hancurnya daun pintu hingga berkeping-keping terdengar ketika ujung sabuk
itu melecutnya.
Suara hiruk pikuk itu membuat
penghuninya yang berada di dalam rumah melangkah keluar dengan takut-takut.
Mereka adalah seorang nenek dan kakek yang tua dan ringkih. Jelas kedua orang
itu adalah sepasang suami istri
yang telah berusia lanjut. Bahkan sang
Kakek telah agak bungkuk tubuhnya.
"Hi hi hi...!"
Nenek berpakaian merah muda
yang berjuluk Bidadari Sabuk Emas itu tertawa
terkikih. Kembali sabuk di tangannya digerakkan. Sabuk itu lemah gemulai
melenggak-lenggok, ke kanan dan ke kiri. Lalu mendadak....
Rrrttt..!
Laksana seekor ular sanca,
sabuk itu melilit pinggang nenek pemilik rumah. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu,
tangan Bidadari Sabuk Emas bergerak
Terdengar jerit kengerian dari
mulut nenek pemilik rumah ketika tubuhnya terlempar ke depan. "Nyi "
Kakek pemilik rumah memekik
keras ketika melihat istrinya terlempar ke atas. Dengan tertatih-tatih 1
kakinya melangkah keluar karena khawatir dengan keselamatan istrinya
Tapi baru beberapa tindak
melangkah, Bidadari Sabuk Emas telah
menggerakkan kembali sabuknya. Dan....
Ctarrr. ! Suara lecutan cukup
keras terdengar ketika ujung sabuk yang berwarna kuning keemasan itu menyengat
dada kakek bertubuh agak bungkuk itu.
Hebat akibatnya. Tubuh kakek
pemilik rumah itu terjajar ke belakang. Untung baginya, nenek berpakaian merah
muda itu hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalam. Kalau tidak, tentu
seluruh isi dadanya pasti hancur lebur.
Meskipun begitu, tak urung
darah segar memercik dari sudut-sudut mulut kakek bungkuk itu. Tubuhnya pun
cukup keras menghantam dinding rumah.
Tubuh kakek bungkuk itu
merosot perlahan-lahan ke lantai. Untuk beberapa saat lamanya dia berdiam diri
saja dengan sikap tubuh terduduk.
Keadaan tubuhnyalah yang membuatnya
tidak dapat segera bangkit, walaupun
keinginan itu begitu besar.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Bidadari Sabuk Emas. Tanpa mengenal rasa kasihan, kembali tabuk di
tangannya dilecutkan. Ctar, ctar, ctar...!
Bertubi-tubi ujung sabuk itu
kini menghujani berbagai bagian tubuh nenek pemilik rumah. Seketika itu pula
jeritan menyayat kembali terdengar saling susul diiringi menggebat- geliatnya
tubuh nenek pemilik rumah itu.
"Hi hi hi...!"
Nenek berambut panjang itu
tertawa terkikih-kikih melihat calon korbannya menggeliat-geliat
kesakitan. Memang, Bidadari Sabuk Emas
bermaksud menyiksa nenek bertahi lalat besar itu. Maka, lecutan-lecutan
sabuknya yang bertubi-tubi ditujukan hanya untuk menimbulkan rasa sakit Sakit,
pedih, dan panas mendera nenek pemilik rumah.
Pakaian nenek bertahi lalat
besar itu sudah koyak-koyak di sana-sini. Bahkan kulit tubuhnya pun pecahpecah
sehingga darah segar pun merembes ke luar. Rupanya pemandangan yang
menyayat hati Itu amat menyenangkan
Bidadari Sabuk Emas. Ini terbukti dari tawanya yang tak putus-putus mengiringi
lecutan sabuknya.
"Iblis biadab...!"
Kakek pemilik rumah berseru
keras melihat penderitaan istrinya. Dia menggeram marah, sambil ber. usaha menguatkan diri untuk bangkit Dan dia
berhasil.
Secepat tubuhnya telah
berdiri, secepat itu pula kakek bungkuk ini berlari menuju ke arah tempat
istrinya disiksa!
"Hmh...!"
Bidadari Sabuk Emas mendengus.
Kini sabuk di tangannya digerakkan untuk menyerang kakek bertubuh bungkuk itu.
Wuttt..! Tukkk!
"Akh...!"
Telak dan keras sekali ujung
sabuk yang tiba-tiba
mengejang kaku laksana tombak
Itu menyengat lutut sebelah kanan si kakek. Terdengar suara berderak keras
mengiringi robohnya tubuh kakek pemilik rumah di tanah.
Kini Bidadari Sabuk Emas
mengalihkan penyiksaannya. Lecutan-lecuan sabuknya kini meluncur deras dan
bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh s i kakek.
Akibatnya sudah bisa diduga!
Setiap kali ujung sabuk itu melecut, tubuh kakek bungkuk Itu menggeliat.
Beberapa kali tubuhnya mengejang kaku bila
ujung sabuk itu mengenal sasaran. Keluhan diiringi seringai kesakitan
selalu terdengar dan terlihat tatkala ujung sabuk itu menemui
sasarannya. "Iblis keji! Hentikan...!"
Bentakan keras menggelegar
pertanda didukung tenaga dalam cukup tinggi, membuat Bidadari Sabuk Emas
menghentikan penyiksaannya. Dengan wajah merah padam menahan amarah, tubuhnya
berbalik ke arah belakangnya. Dari s itulah
suara itu berasal.
Kini di hadapannya dalam jarak
empat tombak, berdiri tiga sosok tubuh berpakaian biru yang rata-rata berusia
muda. Di dada kiri mereka terdapat gambar sepasang pedang yang disulam dari
benang perak.
"Hmh...! Tikus-tikus
kecil dari Perkumpulan Pedang Perak rupanya...," dengus Bidadari Sabuk
Emas. Nada suara dan sikapnya terlihat jelas memandang rendah.
Tiga orang berpakaian biru
yang ternyata murid Perkumpulan Pedang Perak itu menggertakkan gigi. Memang
mereka merasa tersinggung mendengar hinaan yang
keluar dari mulut nenek berpakaian merah muda itu. Ucapan yang
jelas-jelas menghina dan merendahkan!
'Tutup mulutmu, Nenek
Peot...!" bentak salah seorang dari murid Perkumpulan Pedang Perak yang
bercambang lebat
"Keparat..! Berani kau
membentakku, T ikus Kecil? Apa kau sudah mempunyai nyawa rangkap sehingga
berani berkata seperti itu pada Bidadari Sabuk Emas?! Jangan harap kalian semua
akan bisa lolos dari s ini dalam keadan hidup!"
Wajah ketiga orang murid
Perkumpulan Pedang Perak seketika berubah begitu mendengar nenek berpakaian
merah muda itu menyebut julukannya. Memang, mereka semua telah mendengar
julukan itu. Bidadari Sabuk Emas adalah sa lah seorang tokoh sesat dunia
persilatan. Kegemarannya adalah menyiksa orang sampai mati!
"Kalau begitu, sudah
menjadi kewajiban kami untuk melenyapkan tokoh berhati iblis
sepertimu...!" tegas murid Perkumpulan Pedang Perak yang wajahnya penuh
jerawat
Srat, srat, srattt..!
Sinar terang berkelebat ketika
ketiga orang itu menghunus pedang yang tersampir di pinggang. Begitu mengetahui
siapa adanya nenek berpakaian merah muda itu, mereka tidak berani bersikap ma in-ma in lagi Dengan
langkah menggeser tanah, mereka melangkah maju, dan langsung menyebar.
Mengurung nenek berambut panjang itu dari segala arah.
"Hi hi hi...!"
Bidadari Sabuk Emas tertawa
terkikih melihat ketiga orang lawannya menghunus senjata. Nenek itu sama sekali
tidak tampak waspada, sekalipun ketiga orang lawannya telah siap dengan senjata
terhunus. I
"Serbu...!"
Laki-laki yang bercambang
lebat berseru keras.
Sambil melompat menerjang,
pedangnya ditusukkan rapat ke arah leher Bidadari Sabuk Emas.
Pada saat yang bersamaan,
kedua orang rekannyajuga segera menyerang. Pedang laki-laki berwajah penuh jerawat itu membabat cepat ke
arah leher. Sementara rekan yang satunya lagi menusukkan peningnya ke arah
punggung.
Suara angin mencicit
mengiringi tibanya serangan itu. Dari serangan ini saja bisa diketahui kalau
ketiga orang berpakaian biru ini bukan tokoh sembarangan. Memang di Perkumpulan
Pedang Perak, ketiga orang ini memiliki tingkat kepandaian sedikit di bawah
murid-murid kepala. Padahal, Perkumpulan Pedang Perak adalah sebuah perkumpulan
aliran putih yang besar. Tingkat kepandaian ketuanya, dikabarkan tidak di bawah tingkat datuk-datuk dunia persilatan.
Jadi, bisa diperkirakan, kelihaian ketiga orang ini.
Bidadari Sabuk Emas pun
menyadari hal itu. Maka, dia tidak berani menerima serangan lawan dengan
tubuhnya. Cepat laksana kilat kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya
melayang ke atas.
Hasilnya, semua serangan itu
hanya menyambar tempat kosong, jauh di bawah kakinya. Tidak hanya itu saja yang
dilakukan nenek berambut panjang itu. Tatkala
rubuhnya berada di udara, sabuk di tangannya mematuk ke arah ubun-ubun
laki-laki bercambang lebat.
Namun laki-laki bercambang
lebat tidak gugup melihat hal ini. Dia memang sudah bersiap siaga
untuk menghadapi serangan mendadak, begitu diketahui kalau lawannya
adalah tokoh sesat yang menggiriskan. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang.
Ctarrr...!
Ledakan keras seperti ada
halilintar menyambal terdengar ketika sabuk itu melecut tempat kosong.
Kedua orang rekan laki-laki
bercambang lebat tidak tinggal diam begitu melihat rekannya didesak Bidadari
Sabuk Emas. Bergegas mereka bergerak membantu,
menghujani lawan dengan serangan-serangan maut. Sehingga, Bidadari Sabuk
Emas terpaksa menghentikan desakannya pada laki-laki bercambang lebat
Pertarungan sengit pun tidak
bisa dihindari lagi. Bidadari Sabuk Emas yang memang sudah berniat membunuh
ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak
tidak tanggung-tanggung lagi
menyerang. Kedua belah pihak pun mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing.
Sebenarnya kalau dibuat
perbandingan, kepandaian masing-masing murid Perkumpulan Pedang Perak itu masih
amat jauh di bawah Bidadari Sabuk Emas. Tapi karena ketiga orang ini maju
bersama-sama, tambahan lagi ketiganya mampu bekerja sama, untuk beberapa saat
lamanya pertarungan berjalan seimbang.
Suara riuh rendah menyemaraki pertarungan antara seorang
nenek yang terlihat ringkih menghadapi ketiga orang lawan yang masih muda-muda
dan terlihat kuat. Desingan pedang ketiga murid Perkumpulan Pedang Perak,
diiringi ledakan-ledakan sabuk Bidadari
Sabuk Emas menambah ramainya
pertarungan.
Ctarrr...!
Untuk yang kesekian karinya
ujung sabuk Bidadari Sabuk Emas menghantam tanah. Kontan hasilnya menambah
banyaknya lubang besar yang terbentuk
akibat lecutan cambuk pada tanah.
Tapi ketiga orang murid
Perkumpulan Pedang Perak hanya mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja.
Ketika memasuki jurus ketiga puluh satu, nenek berpakaian merah muda itu mulai
dapat mendesak lawan-lawannya.
Bahkan Bidadari Sabuk Emas
kini sudah bisa membuat kerja sama
ketiga orang lawannya berantakan. Serangan- serangan murid Perkumpulan Pedang
Perak itu semakin jarang, dan kini lebih sering
mengelak
Sebaliknya, serangan-serangan
Bidadari Sabuk Emas datang semakin
bertubi-tubi. Sabuknya menghujani berbagai bagian yang berbahaya di tubuh
ketiga orang lawannya.
Mendadak pada jurus yang
keempat puluh satu, gerakan sabuk nenek berpakaian merah muda Itu berubah
cepat. Kini sabuk itu bergerak meliuk-liuk seperti seekor ular. Kemudian,
secara tidak terduga-duga mematuk salah satu bagian mematikan di tubuh lawan.
Memang, Bidadari Sabuk Emas
kini sudah mengeluarkan jurus-jurus sabuk andalannya. Dan akibatnya, ketiga
orang lawan itu kebingungan melihat gerakan sabuk yang meliuk-liuk seperti ular
sehingga sulit diduga arahnya.
Prattt..!
Laki-laki bercambang lebat
terjengkang ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Tanpa bersuara sedikit
pun, dia t idak bangun lagi untuk se lamanya ketika sabuk itu menotok keras
lehernya. Dia tewas karena tulang lehernya
hancur berentakan.
Hampir berbarengan dengan
robohnya laki-laki bercambang lebat, kedua orang rekannya pun roboh pula.
Laki-laki berwajah penuh jerawat tewas dengan pelipis pecah. Sedangkan
rekannya terkena totokan keras pada dadanya.
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa terkikih,
Bidadari Sabuk Emai melesat pergi dari situ. Tak dipedulikannya lagi lima sosok
tubuh yang tergeletak di tanah. Hanya dalam beberapa kali lompat saja, tubuhnya
sudah berubah menjadi sebuah titik di kejauhan. Semakin lama semakin mengecil,
dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
~dewi-KZ~
5
Ah...
Seruan kaget terdengar dari
mulut seorang pemuda berwajah tampan berambut putih keperakan. Pakaiannya
berwarna ungu, membungkus tubuhnya yang tegap berisi, dibanduli sebuah guci
arak dari perak. Sepasang matanya menatap ke depan. Memang, pemandangan yang
terpampang di hadapannyalah membuat hatinya terkejut. Betapa tidak? Dalam jarak
sekitar tujuh tombak darinya, terlihat lima sosok tubuh bergeletakan di tanah.
Pemuda berpakaian ungu itu melesat cepat menghampiri. Sambil terus menatap, dihapusnya keringat yang membasahi
wajahnya dengan punggung tangan. Saat ini, matahari memang tepat di atas
kepalanya. Sinarnya memancar terik ke bum i, seperti hendak membakar seluruh
makhluk yang ada. Hanya sekali lesat saja, tubuh pemuda berpakaian ungu itu
telah berada di hadapan lima sosok tubuh yang tergolek. Perlahan-lahan tubuhnya
dibungkukkan dan berjongkok Kemudian diperhatikannya satu persatu sosok-sosok
tubuh yang membujur tak tentu arah. "Hhh...!"
Pemuda berambut putih
keperakan itu menghela napas berat Kepalanya digeleng-gelengkan ketika melihat
keadaan mereka.
Lima sosok tubuh itu terdiri
dari tiga orang pemuda berpakaian biru, yang di dada kirinya terdapat gambar
sebatang pedang yang disulam dari benang perak. Sedangkan dua orang lagi adalah
kakek dan nenek yang telah tewas. Sekujur tubuh mereka penuh luka luka lecutan.
Pemuda berpakaian ungu itu
memeriksa tubuh tubuh yang tergolek satu persatu. Beberapa kali kepalanya
menggeleng setiap kali menyadari kalau orang yang diperiksa telah tewas.
Tapi pada saat memeriksa sosok
tubuh yang berpakaian biru, wajah pemuda
berambut putih keperakan ini berseri. Ada denyut halus di pergelangan tangan
pemuda berkulit putih itu. Ternyata dia masih hidup.
Pemuda berambut putih
keperakan itu tahu kalau nyawa pemuda berkulit putih ini tidak bisa dise
lamatkan lagi. Memang, luka pada dadanya terlampau parah. Tapi melihat
kenyataan kalau pemuda yang tergolek ini
masih hidup, betapa gembiranya
hati pemuda berambut putih keperakan itu. Hal ini setidak-tidaknya bisa
diketahui dari mulutnya yang bergerak-gerak sedikit.
Tanpa membuang-buang
waktu lagi, pemuda berambut putih
keperakan itu menotok beberapa bagian tubuh sosok yang tergolek ini.
"Katakan, siapa yang
telah melakukan semua ini?" tanya pemuda berpakaian ungu itu,
tergesa-gesa. Dia tahu, kalau tidak cepat-cepat, nyawa pemuda berpakaian biru
itu telah lebih dulu melayang
meninggalkan raganya.
"B.... Bi.,., Bidadari
Sabuk Emas...," jawab murid Perkumpulan Pedang Perak itu terputus-putus.
"Ha.... Bidadari Sabuk
Emas...," ulang pemuda berambut putih keperakan itu seraya mengernyitkan
dahi. Memang, dia belum pernah mendengar julukan Itu, karena baru
pertama kali tiba di daerah ini.
"Kami Diutus ketua kami dari Perkumpulan Pedang Perak
untuk mencari
pencuri kitab pusaka
perkumpulan kami....
Kitab itu berisi ilmu yang
terlarang untuk dipelajari. Ilmu Tangan Racun Pasir Merah... Dan..., ah.
!"
Sebelum berhasil menyelesaikan
ucapannya, kepala murid Perkumpulan Pedang Perak itu telah lebih dulu terkulai.
Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.'
"Hhh. !"
Seraya menghembuskan napas
berat, pemuda berambut putih keperakan itu bangkit berdiri. Kini masalah
Itu telah sedikit dimengerti. Rupanya
ketiga orang gagah itu diutus gurunya untuk mencari pencuri kitab pusaka perkumpulan
mereka. Tapi, mereka semua tewas di tangan Bidadari Sabuk Emas.
"Hm.... Tokoh itukah yang
mencurinya?" tanyanya dalam hari.
'Pembunuh keparat! Rasakan
pembalasanku. !"
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring diiringi suara desing tajam yang menyakitkan telinga. Seketika pemuda
berpakaian ungu itu menghentikan jalan pikirannya. Apalagi tatkala terasa ada
desir angin tajam yang meluruk cepat ke arahnya. Suaranya mendecit, seperti ada
puluhan ekor tikus mencicit Buru-buru pemuda berambut putih keperakan ini melakukan lompatan harimau. Tubuhnya
melambung ke depan setinggi setengah
tombak, lalu mendarat di tanah bertumpu dengan kedua tangannya. Sesaat
kemudian, tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kati, lalu berdiri tegak menghadap orang yang membokongnya.
Pemuda berpakaian ungu itu
menatap ke arah seorang gadis berwajah
cantik jelita dan berpakaian biru. Matanya merayapi tiga sosok mayat murid
Perkumpulan Pedang Perak Raut wajah maupun sinar matanya menyiratkan kemarahan
hebat.
Begitu melihat pakaian gadis
itu, pemuda berambut putih keperakan ini jadi cemas juga. Hatinya
khawatir kalau gadis itu adalah rekan tiga orang murid
Perkumpulan Pedang Perak yang tewas. Dan menilik dari makian yang tadi sempat didengarnya, bisa diterka
kalau gadis itu menuduhnya sebagai pelaku pembantaian ini.
Kekhawatiran pemuda berambut
putih keperakan itu ternyata terbukti. Setelah
memperhatikan mayat-mayat itu beberapa saat lamanya, perhatian gadis
berpakaian biru ini beralih ke arah pemuda berpakaian ungu. Dan memang, pada
dada sebelah kiri pakaiannya terdapat gambar sebatang pedang yang disulam dari
benang perak. Jelas, gadis ini adalah kawan tiga mayat pemuda itu.
Diam-diam, pemuda berpakaian
ungu ini harus mengakui kalau wajah gadis berpakaian biru itu amat cantik
laksana bidadari. Rambutnya yang hitam, halus, dan dikepang dua semakin
memperjelas kecantikannya. Meskipun tengah marah, kecantikannya sama kali tidak
berkurang. Bahkan justru lebih terlihat menarik.
Kulit wajahnya nampak memerah
seperti tomat masak. Sementara, sepasang matanya yang bersinar-sinar, tampak
semakin nyata keindahannya sewaktu melotot. "Jangan harap bisa lolos dari
tanganku, Pembunuh Keji...!" desis gadis berambut kepang itu tajam. Ada
ancaman maut yang tersembunyi di dalam ucapannya.
Setelah berkata demikian,
gadis itu langsung melompat menerjang. Pedang di tangannya menusuk cepat
ke arah leher. Suara mengaung keras
terdengar seiring tibanya serangan. Jelas, serangan itu
mengandung pengerahan tenaga
dalam kuat.
Pemuda berambut putih
keperakan itu seketika terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam
gadis itu demikian kuat. Suara mengaung
keras yang mengiringi serangan
pedang itulah yang membuktikannya.
Meskipun begitu, pemuda
berpakaian ungu ini bersikap tenang. Walaupan agak bergegas, buru-buru kaki
kirinya melangkah ke samping kiri seraya mendoyongkan tubuh sehingga tusukan
pedang itu hanya mengenai tempat kosong, lewat sekitar setengah Jeng kal di
sebelah kanan lehernya.
Luar biasa. Hampir pemuda
berambut putih keperakan ini tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Begitu
serangan berhasil dielakkan, pedang gadis berpakaian biru itu melingkar
melewati atas kepalanya. Kemudian, dari samping kanan membabat cepat ke arah
leher.
Pemuda berpakaian ungu itu
tidak punya pilihan lain lagi. Segera kedua, kakinya dijejakkan ke tanah,
sesaat kemudian melempar tubuhnya ke belakang.
Wunggg...!
Suara mengaung keras terdengar
begitu babatan pedang lewat di bawah kaki pemuda berambut putih keperakan itu.
Sebenarnya bukan hanya pemuda
berambut putih keperakan itu saja yang
terkejut melihat kehebatan lawan. Gadis
berpakaian biru ini pun begitu
terperanjat melihat serangannya bisa dihindari pemuda di hadapannya. Padahal,
datangnya serangan begitu tiba-tiba. Lagi pula, lawan tengah dalam keadaan
tidak menguntungkan. Dari sini saja, dia sudah bisa memperkirakan kalau
lawannya bukan orang sembarangan.
Tapi gadis berpakaian biru ini
tidak membiarkan benaknya dipenuhi pikiran itu. Tanpa membuang-buang waktu
lagi tubuhnya segera melompat mengejar pemuda berambut putih keperakan
yang masih berada di udara. Pedang di tangannya meluncur deras mengeluarkan
suara mengaung keras.
Pemuda berpakaian ungu itu
terkejut bukan main. Serangan susulan yang dilakuan lawan
datang begitu tiba-tiba. Tidak ada lagi kesmpatan baginya untuk mengelak.
Apalagi tubuhnya tengah berada di udara. Segera dijumput guci araknya yang tersampir di punggung, kemudian disorongkan ke arah pedang yang
tengah meluncur deras ke dada.
Klanggg...!
Suara berdentang nyaris
terdengar begitu kedua benda yang berbeda jenis itu berbenturan.
"Hup...!"
Gadis berpakaian biru
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sekujur tanganya yang menggenggam pedang
terasa bergetar hebat hampir lumpuh. Jelas, tenaga dalam lawan masih di
atasnya.
"Nisanak...! Tunggu sebentar...!
Kau salah paham Aku
Arya Buana. Aku sama sekali
tidak tahu-menahu dengan pembunuhan ini!" cegah pemuda berambut putih
keperakan yang memang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak, begitu kedua
kakinya mendarat di tanah. Tangan kanannya pun langsung dijulurkan ke depan.
"Tidak usah berbasa-basi,
Pengecut! Aku, Ranti. Bukan termasuk
orang yang suka berbasa-basi.' Bersiaplah menerima pembalasanku!" Setelah
berkata demilan, gadis berpakaian biru
yang ternyata bernama Ranti kembali menyerang. Mau tak mau, Arya meladeninya.
Tentu saja Dewa Arak tidak sudi mati
secara sia-sia. Menghadapi orang selihai Ranti tanpa melakukan perlawanan,
adalah suatu perbuatan bodoh. Bukan tidak mungkin dirinya akan tewas di tangan
lawannya ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi,
guci araknya segera dituang ke dalam mulurnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika
cairan arak melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu mulai limbung ketika hawa hangat yang semula merayapi perut
naik ke atas kepalanya. Arya kini sudah siap menggunakan ilmu andalannya, ilmu
'Belalang Sakti'.
Pertarungan tidak bisa
dihindari lagi. Kemarahan gadis berpakaian biru itu rupanya memang sudah tidak
bisa dicegah lagi. Diserangnya Dewa Arak selalu dengan bertubi-tubi ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Diam-diam Arya merasa kagum
melihat kepandaian yang dim iliki gadis
berambut kepang ini. Serangan-serangan pedangnya datang susul-menyusul laksana
gelombang laut. Suara mengaung keras mengiringi set iap kibasan pedang itu.
Jelas kalau Ranti memiliki ilm u pedang yang patut diperhitungkan.
Tapi yang dihadapinya kali ini
adalah Dewa Arak. Seorang tokoh yang walaupun masih muda, tapi mengukir nama
besar dalam rimba persilatan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang
aneh, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengalami kesulitan untuk
menghindari set iap serangan yang dilancarkan Ranti. Ranti menggertakkan gigi
tatkala mengetahui semua serangannya mudah sekali dielakkan lawan. Bahkan
dengan gerakan aneh, yang lebih mirip orang mabuk.
Jurus demi jurus berlalu
cepat. Dan memang, kedua orang yang bertarung itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tinggi. Tak terasa, empat puluh jurus telah berlalu. Tapi sampai sekian lamanya, tetap saja Ranti tidak
mampu mendesak Dewa Arak. Padahal,
seluruh kemampuan yang dim ilikinya telah dikerahkan.
Hal ini membuat Ranti geram
bukan kepalang. Padahal di Perkumpulan Pedang Perak, dialah satu-satunya murid
yang kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Bahkan hanya berada
sedikit di bawah sang Ketua sendiri.
Kini kepandaian yang telah
dilatihnya secara susah payah, sama sekali tidak berarti ketika menghadapi
pemuda berambut putih keperakan ini. Lalu, bagaimana bila bertemu tokoh-tokoh
dunia persilatan?
Yang lebih menyakitkan hati
Ranti, ternyata lawannya sama sekali belum balas menyerang. Selama lebih dari
empat puluh jurus menyerang, lawan hanya mengelak saja. Tak sekali pun pemuda
berambut putih keperakan itu melancarkan serangan balasan. Jelas, Dewa Arak
tidak bersungguh-sungguh menghadapinya. Dan bagi Ranti, ini berarti
kepandaian yang dim ilikinya sama sekali
tidak dianggap.
Pikiran seperti itu membuat
Ranti menyerang lebih gencar lagi. Sama sekali gadis ini tidak tahu kalau Arya
bukan menganggap rendah kepandaiannya. Tapi, Dewa Arak tidak ingin keadaan jadi
semakin bertambah buruk, bila melakukan serangan balasan.
Maka Arya menggunakan keanehan
jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk me lakukan perlawanan tanpa balas
menyerang. Dengan keistimewaan jurusnya, tidak sulit baginya untuk mengelakkan
setiap serangan yang datang bertubi-tubi.
Beberapa kali sewaktu Ranti
menyerang, Arya menuangkan arak ke mulutnya. Dan itu memang me rupakan salah
satu gerakan dalam ilmu 'Belalang Sakti'. Tapi gadis berambut kepang itu tidak
menganggapnya demikian. Dewa Arak berbuat seperti itu dikira untuk
menunjukkan keunggulannya. Dan sebagai akibatnya, serangan Ranti semakin menggebu-
gebu.
Suara mengaung keras dan
mencicit menyakitkan telinga, dise lingi tegukan ketika Arya menenggak araknya,
menyemaraki jalannya pertarungan.
Puluhan jurus telah kembali
berlalu. Hingga kini, pertarungan tengah berlangsung hampir seratus jurus. Dan
selama itu Ranti tetap saja belum mampu mendesak Dewa Arak.
Kesabaran Arya akhirnya habis
juga. Sungguh tidak disangka kalau Ranti
akan begitu keras kepala. Maka terpaksa Dewa Arak memutuskan untuk
menundukkannya dengan kekerasan.
Setelah memutuskan demikian,
Dewa Arak mulai menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'. Dan kini otot-otot tubuhnya
mengejang, serta melemas secara mendadak.
Sementara Ranti menggertakkan
giginya. Begitu Dewa Arak mulai menyerang, baru dirasakan kehebatannya.
Serangan- serangan Arya yang dilakukan dengan gerakan-gerakan aneh itu membuat
Ranti bingung.
Tapi meskipun terlihat aneh,
Ranti merasakan beratnya tekanan setiap serangan Arya. Tak sampai dua puluh
jurus saja, gadis itu sudah terdesak hebat. Memang, dia belum berpengalaman menghadapi berbagai jenis
ilmu silat. Maka menghadapi ilmu semacam yang dimiliki Dewa Arak, jelas jadi
kebingungan. Tambahan lagi, Dewa Arak telah cukup mengetahui perkembangan ilmu
lawannya. Maka, bukanlah suatu hal yang sulit untuk menekan lawan.
Gerakan-gerakan tangan yang meliuk-liuk aneh, ditambah serangan guci membuat Ranti
pusing. Belum lagi semburah-semburan arak yang keluar dari mulut Arya. Itu
semua membuat Ranti kewalahan bukan main.
Kini serangan pedang Ranti
tidak lagi menggebu-gebu seperti semula. Ganti Dewa Arak yang melakukan
desakan- desakan. Ranti kini lebih banyak mengelak, ketimbang menyerang. Bahkan
menangkis pun hampir tidak dilakukannya.
Karena setiap kali berbenturan,
tangannya selalu kesemutan hebat.
Menjelang jurus keempat puluh,
gadis berambut kepang ini sudah pontang-panting ke sana kemari untuk mengelakkan
serangan Arya. Sudah bisa diperkirakan kalau robohnya gadis ini hanya tinggal menunggu saat saja.
Pada jurus keempat puluh tiga,
saat naas Ranti pun tiba. Sebuah totokan jari tangan Dewa Arak tak mampu
dielakkan lagi. Tak pelak lagi, tubuh gadis itu roboh ke tanah. Lemas tanpa
tenaga. "Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas
lega ketika lawannya yang keras kepala itu berhasil dilumpuhkan Perlahan-lahan
tubuhnya dibungkukkan, lalu berjongkok.
"Mau apa kau?!"
tanya Ranti. Suaranya jelas menunjukkan rasa takut yang hebat. Bahkan wajahnya
yang cantik jelita itu terlihat tegang.
Namun, Arya sama sekali tidak
menyambutnya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya terse nyum lebar.
"Kalau berani bertindak
macam-macam, kubunuh kau...!" ancam Ranti, di tengah-tengah
ketidakberdayaannya. Namun ucapan maupun raut
wajahnya menyiratkan kesungguhan hati. Merah wajah Dewa Arak
mendengar ucapan itu. Meskipun gadis berambut kepang ini baru mengatakannya
sampai di situ, tapi sudah bisa
ditangkap maksudnya. Ranti mengira, lawannya akan bertindak tidak senonoh.
"Lebih baik jaga mulutmu,
Nisanak!" sentak Arya
Ucapan dan juga nada suara
Dewa Arak menyiratkan kalau dia merasa tersinggung atas ucapan Ranti. Dan itu
memang tidak sa lah. Dewa Arak memang sangat tersinggung bila dituduh me lakukan tindakan kotor.
Apakah orang seperti dirinya mirip penjahat pemerkosa wanita?!Keterlaluan
sekali gadis berpakaian biru ini! Mulutnya terlalu keji!
Ranti terdiam begitu mendengar
sentakan keras Arya. Gadis itu bukan orang bodoh. Maka dia
bisa tahu, pemuda berambut putih keperakan yang mempunyai kepandaian luar biasa
ini merasa tersinggung.
"Perlu kau ketahui, aku
bukan orang yang berwatak rendah seperti dugaanmu, Nisanak," jelas Arya
penuh ketegasan. "Aku bukan pembunuh
lima orang Itu!"
Ranti tersentak mendengar
ucapan Arya Benarkah pemuda berambut putih keperakan ini bukan pembunuh ketiga
orang rekannya?
"Sayang, aku tidak tahu
siapa pembunuh mereka," keluh Dewa Arak. "Sewaktu aku tiba, mereka
semuanya telah bergeletakan. Tapi begitu kuperiksa, ternyata ada salah seorang di antara mereka yang belum
tewas. Untungnya dia sempat memberitahuku lebih dahulu, siapa orang yang telah
melakukan semua ini."
Wajah Ranti berubah begitu
mendengar penegasan Dewa Arak.
"Siapa orang yang telah
me lakukannya...?" tanya Ranti, mulai lembut suaranya. Kini gadis itu
mulai meragu kalau pelaku pembunuhan Itu adalah Dewa Arak. Meskipun begitu, tetap saja perasaan curiga masih berkecamuk dalam
hatinya. Dia masih belum percaya sepenuhnya terhadap pemuda di depannya.
"Kalau tidak sa
lah..., pelaku pembunuhan itu adalah
Bidadari Sabuk Emas...." "Bidadari Sabuk Emas...?!"
"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala "Itulah julukan yang kudengar dari mulut orang yang
tadi masih hidup!" jelas Dewa Arak sambil menudingkan telunjuk tangan
kanannya ke arah murid Perkumpulan Pedang Perak yang berkulit putih.
"Pantas saja, setelah
kitab itu dicuri, Bidadari Sabuk Emas juga menyatroni perkumpulan kami.
Rupanya, dia juga berminat pada kitab
itu. Dan begitu tahu kalau kitab itu telah dicuri, dia pun membunuhi
murid-murid Perkumpulan Pedang Perak," jelas Ranti.
Dugaan Ranti sebenarnya ada
benarnya. Sewaktu Bidadari Sabuk Emas membunuh kakek dan nenek penduduk Desa
Rangkong, kebetulan memang ada tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak. Dan
alasan membunuh suami istri lanjut usia itu, sebenarnya hanya kekesalan
Bidadari Sabuk Emas, karena Kitab Tangan Racun Pasir Merah telah dicuri.
Kekesalan itu kemudian dilampiaskan pada penduduk tak berdosa. Melihat
pembantaian itu, maka tentu saja tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak
tidak membiarkan begitu saja. Namun akhirnya, mereka harus rela mengorbankan
nyawa.
"Kalau kau benar bukan
orang jahat.., cepat bebaskan
totokanmu...," pinta Ranti dengan wajah merah padam karena malu. Dewa Arak
tersenyum lebar.
"Aku berjanji akan
memunahkan tatokan itu, dengan syarat..."
"Apa syaratnya?"
selak Ranti dengan perasaan geram ditahan. Perasaan curiga kembali muncul di
hati gadis itu. Dan sudah bersiap-siap
mengucapkan makian, apabila pemuda
berambut putih keperakan itu mengajukan syarat yang kurang ajar.
"Kau tidak lagi menyerang
membabi buta seperti tadi," jawab Arya kalem.
Plong...!
Lega hati gadis berambut
kepang itu mendengar jawaban Dewa Arak. Diam-diam, Ranti memaki dirinya
sendiri. Mengapa dia terlalu menyangka buruk terhadap pemuda berambut
putih keperakan itu? Apakah karena rambutnya yang mengerikan? Mendapat dugaan
seperti itu, membuat Ranti berpikir. Apa yang menyebabkan rambut pemuda di
hadapannya ini jadi seperti itu? Kalau
karena pengalaman, bisa
dibayangkan betapa mengerikannya pengalaman itu. Ataukah karena pukulan batin
yang hebat sehingga membuat rambutnya jadi berwarna seperti itu? Berbagai macam
pertanyaan terus bergayut di dalam hati Ranti.
"Bagaimana, Ranti?"
tanya Arya begitu gadis itu malah terdiam, jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya. Atau, tengah mempertimbangkan syarat yang diajukannya?
"Nggg..., baik! Aku
bersedia!" jawab Ranti agak terbata- bata.
Dalam hati, Ranti memaki dirinya
sendiri. Mengapa dirinya begitu bodoh, sehingga sampai me lamun di depan Dewa
Arak? Dan karena sibuk memaki dirinya sendiri, Ranti sampai tidak memperhatikan
kalau Arya telah memanggilnya dengan namanya.
"Betul?" tanya Arya
lagi memastikan.
Pemuda berambut putih
keperakan itu memang kurang percaya atas jawaban yang diberikan Ranti, Apalagi
gadis berpakaian biru itu sepertinya ragu-ragu menjawabnya. Kontan wajah gadis
berambut kepang itu memerah.
"Kau kira, aku orang
macam apa? Aku bukan orang yang suka menjilat ludah sendiri!" tegas Ranti.
Dewa Arak terperanjat
mendengar ucapan berapi- api gadis itu. Sungguh tidak disangka kalau Ranti
memiliki sifat yang demikian keras. Mirip Melati, kekasihnya. Lalu, di manakah
Melati kini? Teringat akan Melati, rindu Dewa Arak kembali menyeruak.
"Maaf...! Maaf...!"
sahut Arya buru-buru. "Bukannya aku tidak percaya. Tapi, aku tidak ingin
mandi keringat apabila kau nanti mengamuk lagi."
Mau tak mau, Ranti merasa geli
mendengar ucapan Arya. Tapi dengan sekuat tenaga, perasaan geli itu ditahannya.
Sehingga pada wajahnya yang cantik, sama
sekali tidak tampak tersirat perasaan apa-apa.
Sehabis berkata demikian, Dewa
Arak segera mengulurkan tangan dan bergerak menepuk. Seketika
Ranti te lah bebas dari
pengaruh totokan.
Gadis berpakaian biru itu
segera bangkit berdiri. Kini rasa percayanya semakin besar, bahwa Dewa Arak
bukan pelaku pembunuhan terhadap ketiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak. Jelas, kalau pemuda
itu tidak bermaksud jahat padanya. Kini dia mengerti, mengapa sampai puluhan
jurus lamanya pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak melawannya.
Meskipun begitu, Ranti tetap
tidak meninggalkan kewaspadaannya. Kecurigaannya pada Dewa Arak masih terselip di hatinya.
"Kalau boleh tahu, apa hubunganmu
dengan ketiga orang itu?" tanya Arya sambil menudingkan telunjuk kanannya
ke arah tubuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang Perak yang tergeletak tanpa
nyawa di tanah. "Mereka adalah tiga orang saudara seperguruanku,"
jawab Ranti, sendu. Sebenarnya dia merasa terpukul melihat tewasnya ketiga
rekannya itu.
"Sukar kubayangkan,
sampai di mana ketinggian ilmu yang dim iliki Bidadari Sabuk Emas yang telah
mampu membunuh ketiga orang saudara seperguruanmu itu. Padahal, mengalahkanmu
saja aku sudah susah payah," kata
Dewa Arak setelah sekian lamanya tercenung.
"Kepandaian mereka tidak
set inggi kepandaianku' jawab Ranti cepat. "Hm...," hanya gumaman
perlahan Arya yang menyambut ucapan gadis berpakaian biru itu.
"Sejak masih kecil, aku
dididik langsung olah guruku. Bahkan
diperbolehkan mempelajari kitab-kitab yang ada di perpustakaan. Sementara,
mereka hanya dididik oleh murid kepala perkumpulan kami. Kau tidak usah heran.
Kepandaian mereka bertiga, sekalipun digabung, masih belum menyamai kepandaianku.
Jadi, janganlah merasa bingung
membayangkan kepandaian Bidadari Sabuk Emas."
Arya menganggukkan kepala
pertanda mengerti. Kini pemuda berambut
putih keperakan ini tahu, mengapa Bidadari Sabuk Emas mampu membinasakan mereka
semua.
"Apakah kau juga mempunyai
tugas yang sama dengan mereka?" tanya Arya lagi.
"Hm. Maksudmu?"
Ranti mengerutkan alisnya.
"Mencari kitab pusaka
perkumpulan kalian yang dicuri orang," jelas Dewa Arak.
"Dari mana kau tahu
tentang hal itu?" tanya Ranti penuh selidik.
Sikap Ranti mendadak tegang
lagi. Perasaan curiganya kembali timbul. Dia
memang belum sepenuhnya percaya terhadap Arya. Maka begitu mendengar
ucapan yang mengetahui tugas yang diberikan gurunya, dia kembali merasa curiga.
Masalahnya, peristiwa pencurian kitab pusaka itu memang amat dirahas iakan. Di
Perkumpulan Pedang Perak sendiri, tidak semua murid perkumpulan mengetahuinya.
Jadi, wajar saja kalau Ranti merasa curiga tatkala pemuda di hadapannya ini tahu tentang
tugasnya.
"Kau tidak usah bersikap
setegang itu, Ranti," sergah Arya sambil tersenyum lebar. Kembali dipanggilnya
gadis berpakaian biru itu dengan namanya. "Aku mengetahui dari
mulut temanmu sebelum dia tewas."
Mendengar jawaban itu, seluruh
urat-urat tubuh Ranti yang tadi mengejang, kembali mengendur.
"Apa saja yang
dikatakannya padamu?" tanya Ranti
lagi, ingin tahu. Dia masih belum mau memanggil Dewa Arak dengan namanya
saja. "Hanya dua masalah itu saja." Gadis berambut kepang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya Sementara suasana menjadi hening sejenak begitu
Dewa Arak menghentikan ucapannya. Apalagi, .Ranti juga tidak melanjutkan
pertanyaannya. Kini kedua orang itu sama-sama berdiam diri. Masing-masing
tenggelam dalam lamunannya sendiri-sendiri.
~Dewi.KZ~
6
Mendadak Arya dan Ranti
menolehkan kepala ke satu arah. Dan memang terdengar suara banyak langkah kaki
yang menuju ke tempat mereka. Mendengar langkah-langkah yang berat, jelas kalau
mereka sama sekali tidak memiliki ilmu meringankan tubuh.
Benar saja. Di kejauhan, dalam
jarak lebih dari dua puluh tombak dari tempat Dewa Arak dan Ranti berdiri,
nampak berjalan puluhan, bahkan mungkin seratus orang. Menilik dari pakaian
yang dikenakan, nampaknya mereka adalah para penduduk desa.
Arya dan Ranti saling pandang
dengan sinar mata memancarkan keheranan. Memang kedua orang itu merasa heran,
karena di bahu dan tangan para penduduk itu tidak kosong. Mereka semua membawa
barang-barang maupun perbekalan. Bisa diperkirakan, rombongan orang itu hendak
pergi jauh. Ataukah hendak pindah?
Arya dan Ranti semakin heran
ketika rombongan itu menghentikan langkah. Sepasang mata puluhan orang itu
menatap ke arah mereka berdua tanpa berkedip. Jelas, kalau keberadaan Arya dan
Ranti di situlah yang membuat rombongan itu menghentikan perjalanan.
Seperti diberi aba-aba, Dewa
Arak dan Ranti melangkah menghampiri rombongan yang berada dalam jarak sekitar
delapan tombak di depan mereka. Kedua muda-muda itu ingin tahu, mengapa
penduduk desa itu beramai-ramai melakukan perjalanan, atau lebih tepatnya lagi
ingin pindah. Apalagi dalam rombongan itu terdapat anak
kecil, wanita, dan orang- orang lanjut usia. Bahkan ada yang tengah menggendong
bayinya.
Kecurigaan Dewa Arak dan Ranti
semakin besar begitu melihat tanggapan rombongan penduduk begitu dihampiri. Beberapa orang yang masih
muda dan gagah melangkah maju. Sikap
mereka jelas terlihat melindungi anggota rombongan yang lain. Mereka berdiri di
hadapan wanita, anak- anak, dan orang-orang lanjut usia.
Srat, srat, srattt...!
Sinar-sinar terang berkilauan
berkelebat ketika belasan orang laki-laki muda dan gagah itu mencabut senjata
masing- masing. Jelas, kalau mereka telah siap bertempur. Melihat sikap mereka,
Arya dan Ranti jadi semakin heran. Kalau tidak ada kejadian yang menimpa, tak
mungkin mereka akan bersikap seperti itu.
Arya bergegas memberi isyarat
pada Ranti untuk menghentikan langkah. Sekali lihat saja, sudah diketahuinya
kalau belasan orang itu telah kalap.
Kalau mereka berdua terus bergerak mendekat, tidak
mustahil akan diserang.
Untungnya, Ranti bisa diatur.
Gadis itu seketika menghentikan langkahnya begitu pemuda berambut Putih
keperakan itu menghentikan langkahnya. Kini mereka berdiri berhadapan dengan
rombongan itu dalam jarak sekitar lima tombak.
“Kisanak semua!" kata
Arya disertai pengerahan tenaga dalam sehingga terdengar sampai ke tempat jauh
“Mengapa kalian menghunus senjata? Kami berdua bukan orang jahat!"
Seorang laki-laki berkum is
tebal dan berpakaian abu-abu, dan berusia sekitar empat puluh lima tahun me
langkah maju beberapa langkah. Jelas, dia adalah pemimpin rombongan itu. Dan
memang, dia adalah kepala desa. Laki-laki berkum is tebal itu tak lain adalah
Ki Saketi, Kepala Desa Rangkong.
Sementara rombongan yang berada di belakangnya adalah penduduk Desa Rangkong.
Di antara mereka ada pula Eyang Balunglaga. Ternyata dia ikut juga mengungsi.
Memang kakek ini hanya memiliki ilmu pengobatan dan ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi. Sementara ilmu silat dan
tenaga dalam hanya dikuasa i sekadarnya saja.
'Tidak usah berbasa-basi, anak
muda," sambut Ki Saketi. Datar dan dingin suaranya. "Kami bukan anak
kecil yang mudah dibodohi. Bukti mayat-mayat yang berada di belakang kalian
telah menunjukkan semuanya."
Sambil berkata demikian,
laki-laki berpakaian abu-abu ini menudingkan telunjuknya ke arah mayat
murid-murid Perkumpulan Pedang Perak dan sepasang suami istri yang telah
berusia lanjut.
Mendengar ucapan ini Arya
terdiam. Disadari kalau kenyataan yang terlihat, telah menyudutkan mereka
berdua. Sesaat lamanya dia tercenung bingung. Benaknya berputar keras mencari
bantahan untuk menolak tuduhan yang
dilontarkan Ki Saketi.
"Bagaimana, Anak
Muda?" tanya Kepala Desa Rangkong yang merasa telah menang. "Masih
mau mungkir lagi? Bicaralah semaumu. Tapi perlu kau
ketahui, kami sama sekali tidak akan terpengaruh. Semua ucapan yang keluar dari
mulutmu, tak ubahnya dengan angin busuk yang keluar dari lubang pantatmu!"
Keras dan tajam sekali ucapan
Ki Saketi sehingga wajah Dewa Arak sampai merah padam karenanya.
Tapi walaupun kemarahan yang
hebat melanda hatinya, Arya berusaha menahan diri. Dia tahu, laki-laki berkum
is tebal ini salah paham. Dan kalau dihadapi dengan kemarahan pula, keadaan
jadi semakin berlarut-larut.
Pemuda berambut putih
keperakan ini menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat untuk
menenangkan perasaannya yang mulai bergolak.
Berbeda dengan Arya, Ranti
sama sekali tidak mampu menahan kesabarannya mendengar ucapan itu. Meskipun
sebenarnya makian tadi ditujukan pada Dewa Arak, tapi tak urung gadis ini jadi
tersinggung juga. Karena, mau tak mau hinaan itu tidak hanya ditujukan pada
Arya, tapi juga padanya.
"Mulutmu kotor sekali,
Tua Bangka...!" desis Ranti tajam.
Sepasang mata gadis itu
menyorotkan ancaman. Terdengar suara berkerotokan keras ketika se luruh tenaga dalam gadis
ini menyebar ke seluruh tubuh. Semua urat syaraf dan ototnya pun
mengejang keras "Sabar,
Ranti...," bujuk Arya sambil
menoleh ke arah gadis berkepang itu. "Dalam menghadapi setiap persoalan,
jangan tempatkan perasaan di depan.
Tempatkanlah di belakang. Pikiran sehatlah yang harus ditempatkan di depan.
Hati boleh panas, tapi kepala mesti dingin agar tetap dapat berpikir jernih.
Tahu mana yang salah, dan yang benar."
Bagai bara api yang disiram
air es, amarah Ranti langsung menguap. Apa yang dikatakan pemuda berambut putih
keperakan itu memang mengandung
kebenaran yang tidak dibantah lagi. Kontan percayanya pada Arya semakin
menebal.
Seiring semakin menebalnya
rasa percayanya pada pemuda berambut putih keperakan itu, rasa curiganya pun
semakin menyusut. Dewa Arak benar-benar seorang pemuda yang berpikiran seperti
orang tua. Bijaksana, tidak hanya menuruti hawa nafsu semata-mata.
"Hmh...!"
Ki Saketi mendengus mendengar
ucapan Arya. Memang, dia juga mendengar
ucapan yang ditujukan pada gadis itu. Pemuda berpakaian ungu itu memang cukup
keras bicaranya.
Tidak cukup hanya dengan
dengusan dan raut wajah yang mengejek, laki-laki berpakaian abu-abu ini terus
menyambung dengan ucapannya.
"Luar biasa...! Ada Iblis
kotor yang mengucapkan kata-kata seperti malaikat Lucu! Lucu sekali...!"
Amarah Ranti yang tadi sudah
mulai surut, kembari bangkit mendengar hinaan Ki Saketi. Aneh! K ini gadis itu
tidak senang mendengar Arya dihina! Pemuda berpakaian ungu itu membiarkan saja
orang menghinanya! Padahal, dengan kepandaian yang dim iliki, hanya sekali
kibas pasti nyawa Kepala Desa Rangkong itu akan melayang ke alam baka. Tapi,
Arya tidak melakukannya! Bahkan Dewa Arak menelan mentah-mentah saja semua
hinaan itu.
Ternyata bukan hanya Ranti
saja yang menjadi bangkit amarahnya. Dewa Arak pun demikian pula. Ki Saketi
sudah terlalu menghinanya. Tapi meskipun
begitu, dia masih mencoba bersabar. Pasti ada alasan kuat sehingga
membuat laki-laki berkum is tebal itu bersikap demikian.
Lagi-lagi Arya menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat untuk meredakan amarah yang menyesakkan dada.
Ranti tahu, Arya berbuat
seperti itu untuk meredakan amarahnya. Maka, dia pun ikut-ikutan bertindak
serupa. Dan memang setelah berkali-kali hal itu dilakukan, amarahnya mulai
turun kembali. Cara itu ternyata manjur juga! Apakah amarah itu keluar bersama
dengan keluarnya napas yang dihembuskan, Ranti sama sekali tidak tahu.
Berbeda dengan sebelumnya,
kini Ranti sama sekali tidak berani bertindak lancang. Dia tahu, dirinya belum
tentu bisa menahan amarah. Maka diputuskan untuk menyerahkan saja masalah itu
pada Dewa Arak
"Kau boleh memakiku apa
saja, Ki," kata Arya datar, tapi dengan suara bergetar.
Dari sini saja sudah bisa
diterka kalau Dewa Arak dilanda amarah. Sehingga walaupun bisa menahannya, tapi
tetap saja tidak bisa mengatur suaranya. "Yang jelas, kami bukan pelaku
pembunuhan itu,"sambung Dewa Arak.
Arya menghentikan ucapannya
sejenak, untuk meredakan napasnya yang memburu. Ternyata dalam keadaan dikuasai
amarah, deru napasnya jadi seperti orang habis berlari jauh.
"Perlu kau ketahui,
Ki," sambung Dewa Arak lagi, "Kami sendiri tengah mencari pelaku
pembunuhan ini, karena tiga di antara lima orang itu adalah saudara seperguruan
kami."
Meskipun ucapan Arya ada bohongnya,
tapi Ranti sama sekali tidak menyelak. Dia tahu, kalau ucapan itu Arya mewakili dirinya pula. Maka pemuda berambut
putih keperakan itu terpaksa berbohong dengan mengatakan tiga orang
murid Perkumpulan Pedang Perak sebagai saudara
seperguruannya.
Hanya senyum mengejek dan
pandang mata penuh penghinaan yang menyambut ucapan Dewa Arak.
Dan itu tidak hanya dilakukan Ki
Saketi saja, tapi semua penduduk yang berada di belakangnya.
"Kalau kau masih tidak
percaya, perhatikan saja pakaian yang dikenakan sahabatku ini."
Sambil berkata demikian, Arya
menudingkan telunjuknya ke arah Ranti. Mau tak mau, Ki Saketi dan rombongan
penduduk Itu mengarahkan perhatian ke arah yang sama. Dan memang, pakaian yang
dikenakan gadis berambut kepang itu ternyata sama dengan pakaian tiga orang
yang tergolek di tanah.
"Apa susahnya memalsukan
pakaian seperti itu, Iblis Keji?!" Tirta ikut angkat suara.
"Kalau kami ingin
membunuh kalian semua, sama mudahnya
dengan membuang ludah ke tanah!" Ranti yang sudah memutuskan untuk tidak
ikut campur, jadi tak tahan juga.
"Mengapa kalian tidak
lakukan?!" tantang Ki Saketi tak kalah keras.
"Karena kami bukan
pembunuhnya, Ki...!" sahut Arya,
cepat Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir, .Ranti akan meluap
amarahnya.
"Keparat..!" Ranti
menggeram.
Dan begitu ucapannya selesai,
kedua tangannya dihentakkan ke samping.
Wuttt..!
Hembusan angin keras meluruk
dari kedua tangan yang dihentakkan itu, dan.... Blarrr...! Suara keras
terdengar begitu tanah yang terkena pukulan jarak jauh itu terbongkar. Debu
seketika mengepul tinggi ke udara. Dan begitu kumpulan debu itu sirna,
terbentuk sebuah lubang yang cukup untuk mengubur mayat lima orang sekaligus!
Semula Arya terkejut begitu
melihat Ranti terlihat seperti akan melakukan sesuatu, dan sudah bersiap-siap
mencegah. Tapi begitu dilihatnya sasaran yang dituju gadis berpakaian biru itu, gerakannya cepat di
tahan.
Ki Saketi dan seluruh
rombongan penduduk Desa Rangkong terbelalak melihat hal itu. Tanpa sadar, mereka semua melangkah mundur
dua tindak. Seketika ciut hati mereka melihat hasil tindakan gadis berpakaian
biru itu.
"Apakah tubuh kalian
lebih keras daripada itu?!" ejek Ranti keras. "Ketahuilah.... Hanya
empat kali kulepaskan pukulan seperti itu, kalian semua sudah tewas dengan
tubuh hancur lebur! Apalagi kawanku ini! Kepandaiannya jauh berada di atasku!
Mungkin hanya sekali hentakan tangan, kalian semua sudah tewas dengan seluruh
tubuh tercerai berai!"
Tidak terdengar lagi adanya
sambutan dari mulut para penduduk Desa Rangkong. Bahkan Ki Saketi pun kali ini
tidak mengucapkan separah kata pun. Laki-laki berpakaian abu-abu ini memang
terkejut bukan main melihat pertunjukan yang terjadi di hadapannya.
"Apa yang dikatakan
kawanku itu benar, Ki," sambung Dewa Arak "Kalau kami ingin
membunuh, sama mudahnya dengan membuang ludah ke tanah. Tapi kami bukan orang
seperti itu. Justru kami tengah mencari orang yang telah melakukan pembunuhan
terhadap kawan kami. Percayalah, Ki. Kami bukan orang jahat"
Kali ini tidak ada alasan bagi
Ki Saketi untuk t idak percaya. Telah terlihat bukti kehebatan gadis berpakaian
biru. Ngeri juga membayangkan, bagaimana
seandainya pukulan itu diarahkan pada mereka semua. Belum lagi kalau yang melakukannya adalah pemuda
berambut putih keperakan itu. Bukankah gadis berambut kepang itu mengatakan
kalau kawannya memiliki kepandaian jauh di atasnya?
"Maafkan, kami telah sa
lah menduga, Anak Muda," ucap Kepala Desa Rangkong terbata-bata.
"Maklum, kami telah berkali-kali dilanda musibah. Sehingga, maklumlah
kalau kami mencurigai kalian berdua. Apalagi, kalian berada di antara
mayat-mayat itu!" Sambil berkata demikian, Ki Saketi menudingkan telunjuk
ke arah mayat-mayat yang tergolek di belakang Dewa Arak dan Ranti. Tampak kalau
tangan laki-laki berkumis tebal itu menggigil,
karena jelas tengah dilanda perasaan ngeri yang amat sangat.
Meskipun merasa geli melihat
hal itu, Dewa Arak mampu menutupinya sehingga tidak tampak pada raut wajahnya.
Raut wajah pemuda berambut putih keperakan itu tetap tenang, tidak tampak
adanya gambaran perasaan apa pun.
Namun tidak demikian halnya
dengan Ranti. Gadis berpakaian biru itu merasa geli bukan main. Betapapun telah
diusahakan untuk tidak menampakkannya, tapi tetap saja tidak mampu. Mulutnya yang berbentuk
indah itu mengembangkan senyum. Itulah sebabnya kepalanya ditundukkan sehingga
senyuman itu tidak terlihat.
"Kalau boleh kami tahu,
apa yang terjadi di desamu, Ki? Dan
mengapa kalian semua pergi berbondong-bondong begini? Apakah kalian semua
hendak mengungsi?” tanya Arya sambil mengedarkan pandangan ke arah
rombongan penduduk yang berdiri belakang Ki Saketi.
“Hhh …”
Laki-laki berpakaian abu-abu
itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ki Saketi lebih dulu menghela
napas berat, seperti hendak membuang masalah yang memberatkan dadanya. “Desa
kami telah dilanda musibah, Anak Muda’ tutur Kepala Desa Rangkong itu pelan.
Kemudian secara gamblang diceritakannya pada Dewa Arak, akan apa yang terjadi
di desanya.
Arya mendengarkannya
penuh perhatian. Sama
sekali cerita Kepala Desa Rangkong Itu tidak dise laknya. Beberapa kali dahinya berkernyit begitu
mendengar cerita demi cerita yang keluar dan mulut Ki Saketi.
“Begitulah ceritanya, Anak
Muda,” kata Iaki-laki berpakaian abu-abu ini menutup ceritanya. “Sehingga, mau
tak mau kami terpaksa mengungsi kalau tidak ingin mati konyol. Padahal,
sebenarya kami merasa berat hati untuk meninggalkan tempat tinggal kami.”
“Bisa kau ceritakan, bagaimana
keadaan tubuh penduduk yang keracunan air sungai itu, Ki?” Ranti yang diam-diam
mendengarkan cerita Ki Saketi buru-buru bertanya. Nada suaranya terdengar
tegang, setegang raut wajahnya.
Ki Saketi mengernyitkan
alisnya mendengar nada tegang, baik dalam suara maupun raut wajah gadis
berpakaian biru itu. Memang
Kepala Desa Rangkong itu merasa heran juga.
Semula, Arya pun merasa heran
ketika Ranti menanyakan hal itu. Tapi ketika teringat kalau gadis berpakaian
biru ini tengah mencari jejak orang yang telah membawa Iari kitab pusaka
perkumpulannya dia tidak merasa heran lagi. Bahkan jadi ikut mendengarkan
jawaban yang akan diberikan Ki Saketi.
“Sekujur kulit mereka memerah,
seperti udang rebus. Merah dan hancur
seperti membusuk. Dan lagi, sepertinya racun itu gatal bukan main. Karena
kulihat sebelum tewas, tangan mereka semua sibuk mencakar sekujr kulit”
“Ilmu ‘Tangan Racun Pasir
Merah’,..,” desis Ranti tajam. “Kau tidak keliru, Ranti?” desak Dewa Arak
“Tidak” sahut gadis berambut kepang itu yakin. “Memang begitu akibat yang
ditimbulkannya.”
“Kalau begitu, kita harus
cepat ke sana, Ranti..!” ajak Dewa Arak memutuskan. “Sebelum malapetaka ini
menjalar ke desa- desa sekitar.”
“Kau benar, Arya.”
Untuk pertama kalinya, gadis
berpakaian biru ini memanggil nama pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi
karena perasaan tegang yang melanda, baik Dewa
Arak maupun Ranti sama sekali
tidak memperhatikan perubahan panggilan itu.
“Ki! Kami akan pergi untuk
mencari mereka. Tolong kuburkan mayat-mayat itu...!"
Tanpa menunggu jawaban Kepala
Desa Rangkong, Dewa Arak dan Ranti me lesat meninggalkan tempat itu. Tujuan
mereka sudah jelas. Hutan Rankong.
Dewa Arak dan Ranti berlari
cepat mengerahkan Ilmu meringankan tubuh yang dim iliki untuk tiba di Hutan
Rangkong secepatnya.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang telah mencapai tingkat tinggi, Dewa Arak tidak
begitu kesulitan mengimbangi lari Ranti. Bahkan kalau mau, akan mampu
melewatinya. Dalam waktu tak lama, Hutan
Rangkong kini telah tampak di depan mata.
Tanpa mengurangi kecepatan
sedikit pun, Arya dan Ranti terus berlari. Dan sesaat kemudian, mereka telah
memasuki mulut Hutan Rangkong.
Sesampainya di sini, Dewa Arak
dan Ranti menghentikan larinya. Mereka lalu me langkah perlahan-lahan seraya
mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekujur otot dan urat syaraf di tubuh
sepasang muda-mudi itu menegang waspada, bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Selangkah demi selangkah Dewa Arak dan Ranti semakin jauh masuk ke
dalam hutan. Dan selama itu, tidak tampak adanya sesuatu yang mencurigakan.
Padahal, telah tak terhitung lagi semak-semak dan pepohonan yang disibak dalam usaha menemukan tokoh yang telah
menimbulkan kekacauan itu.
"Kau dengar suara itu,
Ranti?" tanya Dewa Arak ketika samar-samar telinganya menangkap adanya
suara.
Ranti menggelengkan
kepala. "Apakah kau mendengarnya?"
Arya mengangguk
"Arahnya dari sebelah
sana...!" sahut Dewa Arak sambil menudingkan te lunjuknya ke arah Timur.
"Kalau begitu, mari
kita ke sana..!" Ranti menanggapi
penuh semangat.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Arya dan gadis berambut kepang itu melangkah cepat ke arah Timur.
"Kau benar,
Arya...!" kata Ranti tiba-tiba. "Kau juga mendengar suara itu,
Ranti?"
"Ya. Sekarang aku
mendengarnya," jawab gadis berpakaian biru itu seraya mempercepat
langkahnya
Semakin lama, suara yang
terdengar semakin jelas. "Suara itu
berasal dari balik semak-semak itu. Kang Arya."
Tanpa sadar, lagi-lagi Ranti
merubah panggilannya. Dan seperti juga sebelumnya, Dewa Arak sama sekali tidak
menyadarinya.
Dengan hati-hati agar tidak
menimbulkan suara, Arya dan Ranti menghampiri kerimbunan semak-semak Masih
bersikap hati-hati pula. Dewa Arak menyibaknya. Lalu bersama-sama, sepasang
muda-mudi itu mengintai dari kerimbunan semak- semak yang dikuak Arya. Begitu
dekatnya wajah-wajah mereka, sampai-sampai kedua pipi sepasang muda-mudi itu
hampir bersentuhan.
Dada Arya seketika berdebar
keras. Hidungnya mencium adanya bau harum yang menebar dari tubuh gadis
berpakaian biru itu. Seketika itu juga wajahnya
memerah. Terus terang, ada keinginan
yang mendorongnya untuk memeluk tubuh Ranti. Dan itu wajar saja, karena Arya
adalah seorang pemuda yang masih berdarah panas.
Perasaan yang bergolak akibat
pipinya bersentuhan dengan pipi gadis berambut kepang itu membuat pikiran Arya
buntu. Hampir-hampir pembicaraan dua sosok tubuh di balik semak- semak yang
tengah berdiri berhadapan dalam jarak sekitar
dua tombak tidak bisa ditangkapnya.
"Sekarang, jangan harap
kau akan bisa mengalahkanku lagi,
Bidadari Sabuk Emas...!" teriak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
berpakaian serba hitam dan bercambang bauk lebat. Sebuah topi berbentuk
setengah tempurung kelapa bertengger di a las kepalanya.
Arya dan Ranti yang mendengar
julukan yang disebut kakek tinggi besar
itu merasa geli bercampur heran. Mengapa orang setua nenek itu berjuluk bidadari?
Sama sekali keduanya tidak tahu kalau
julukan itu didapat waktu nenek itu masih muda dan cantik jelita.
"Ha ha ha...! Jangan
besar kepala karena telah berhasil mempelajari ilmu curian itu, Raja Iblis Baju
Hitam!" sambut nenek berpakaian merah muda dan berambut panjang yang
memang Bidadari Sebuk Emas. "Akan kubuktikan kalau dalam pertemuan kali
ini, akulah yang akan memenangkan pertarungan. Dan, kau terpaksa harus berlatih
keras lagi."
"Akan kau lihat sendiri
buktinya, Bidadari Sabuk Emas! K ita buktikan, siapa di antara kita yang patut
bergelar datuk!" Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu sudah siap untuk bergebrak Tapi....
"Tunggu dulu, Raja
Iblis!" Bidadari Sabuk Emas
menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Aku mendengar ada suara aneh.
Jangan-jangan, ada orang yang tengah mengintai kita."
Raja Iblis Baju Hitam pun menghentikan gerakannya. Kepalanya pun ditolehkan ke arah yang sama dengan pandangan
Bidadari Sabuk Emas. Dia memang tidak mendengar suara apa pun, karena tadi
tengah berteriak- teriak.
Melihat kedua tokoh sesat itu
telah mengetahui tempat persembunyian mereka, mau tak mau Dewa Arak keluar dari
tempat persembunyiannya. Kemudian dihampirinya kedua tokoh sesat yang berdiri diam menunggu.
Ranti pun terpaksa mengikuti.
Diam-diam gadis berpakaian biru itu merasa heran, mengapa Arya sampai
mengeluarkan suara napas menderu yang membuat tempat persembunyian mereka
diketahui? Memang, deru napas Dewa Araklah yang membuat persembunyian mereka
diketahui.
"Kau kenal kedua tokoh
itu, Ranti?" tanya Arya pelan untuk menutup perasaan malunya. Diam-diam
dia memaki dirinya sendiri, mengapa sampai bisa terpengaruh?
"Kenal sih, tidak. Tapi
guruku telah menceritakan siapa adanya mereka," jawab gadis berambut
kepang itu. "Mereka adalah datuk-datuk dunia persilatan. Tapi sekitar dua
tahun yang lalu, Raja Iblis Baju Hitam menghilang dari dunia persilatan, dan tidak terdengar
beritanya lagi. Orang mengira dia te lah mati."
"Rupanya dia mengasingkan
diri untuk memperdalam ilmunya, karena telah dikalahkan Bidadari Sabuk Emas.
Bahkan sampai-sampai mencuri kitab
pusaka perkumpulanmu," tambah Dewa Arak. Ranti hanya menganggukkan
kepala pertanda membenarkan ucapan Dewa Arak.
"Bagaimana dia bisa masuk
ke perkumpulanmu dan mencuri
kitab?" tanya Arya sambil terus melangkah menghampiri kedua tokoh sesat
itu dengan sikap waspada.
"Menerobos masuk ke dalam
perkumpulan dengan menewaskan beberapa orang penjaga, tanpa ada seorang pun
yang tahu," keluh Ranti. "Baru pada pagi harinya, kami semua mengetahuinya
Maka guru cepat-cepat memerintahkan untuk mencari pencuri itu."
"Hi hi hi...! Dewa Arak
rupanya telah menjadi pengintai hina?!" B idadari Sabuk Emas langsung
mengejek.
Nenek ini memang telah lama
mendengar semua tentang Arya. Baik mengenai ciri-cirinya, maupun sepak
terjangnya. Maka bisa langsung ditebak tepat, siapa pemuda berambut putih
keperakan itu.
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbareng Ranti dan
Raja Iblis Baju Hitam menggumamkan nama itu, sama-sama dengan nada
keterkejutan. Ranti memang sama sekali tidak menduga kalau pemuda yang selama
ini berada bersamanya adalah pemuda yang menggemparkan dunia persilatan itu. Padahal, semua tokoh persilatan telah
didengar dari gurunya. Dan Dewa Arak adalah salah satu di antara orang yang
disebut gurunya.
"Tapi, benarkah Arya
adalah Dewa Arak? Ah! Mengapa aku begitu pelupa! Bukankah guru telah mengatakan
kalau nama asli Dewa Arak adalah Arya Buana. Dan pemuda berambut putih
keperakan itu pun telah menyebutkan namanya. Arya Buana! Mengapa aku jadi begitu
bodoh?" maki Ranti dalam hati.
Ranti terdiam, seperti
mengutuk diri sendiri. Dia sebenarnya
ingin memperjelas keingintahuannya tentang Dewa Arak. Tapi saat ini mereka
tengah bersikap waspada terhadap dua tokoh sesat yang selama ini dicari-cari. Ranti
hanya memendam pertanyaan itu dalam
hati. Rasanya memang tidak pantas untuk
menanyakannya.
Sementara Ranti masih terpaku
dengan kekagumannya pada Dewa Arak, maka Arya sendiri telah berada sekitar dua
tombak di depan Bidadari Sabuk Emas dan Raja Iblis Baju Hitam. Begitu sadar,
gadis itu segera menghampiri Dewa Arak.
Dewa Arak sengaja membiarkan
Ranti memilih lawannya. Gadis berpakaian biru itu lalu bergerak menghampiri
Raja Iblis Baju Hitam. Jadi, Arya terpaksa melangkah menghampiri Bidadari Sabuk
Emas.
Nenek berpakaian merah muda
itu tertawa terkekeh. "Sudah lama
aku berniat menjajal
kepandaianmu, Dewa
Arak! Sungguh
tidak kusangka kalau
akhirnya bisa bertemu
denganmu...!"
Arya hanya tersenyum getir.
"Bidadari Sabuk Emas...! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan kejimu
yang telah membunuh tiga orang murid Perkumpulan Pedang
Perak!" kata Dewa Arak
keras, Dia memang ingin membuktikan pada Ranti kalau pembunuh itu bukan dia!
Memang, begitu mendengar
ucapan itu Ranti menoleh. Gadis itu
ingin mendengar jawaban nenek berpakaian merah muda itu.
"Hi hi hi...! Bukan hanya
mereka saja yang kubunuh! Tapi kau juga akan kubunuh, Dewa Arak...! Kau akan
menemani tiga orang monyet kecil yang
berani menantangku!"
Mendengar ucapan ini, hati Dewa
Arak lega. Dia telah berhasil
membuktikan kalau dia sama sekali tidak bersalah.
"Bersiaplah kau, Dewa
Arak...!" dengan bersikap sebagaimana layaknya orang gagah. Bidadari Sabuk
Emas berseru memperingatkan Lalu.... "Haaat..!"
Sambil berteriak me lengking
nyaring, Bidadari Sabuk Emas mencabut sabuknya. Dan secepat senjata andalannya tercabut, secepat itu pula
dilecutkannya ke arah ubun-ubun Dewa Arak.
Dewa Arak sejak tadi sudah
bersiap siaga. Maka begitu metihat sabuk yang meluncur deras ke arah ubun-ubunnya,
cepat dia melompat ke belakang. Langsung dijumputnya guci arak yang bertengger
di punggung.
Ctaar...!
Ledakan keras terdengar begitu
ujung sabuk Bidadari Sabuk Emas mengenai tempat kosong.
Pada saat yang sama ketika
kedua kakinya hinggap di tanah, Dewa
Arak menuangkan arak ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk..!
Suara tegukan yang cukup
nyaring terdengar ketika
arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga ada hawa hangat yang berputar di dalam perut
Arya, kemudian merayap naik ke atas kepala. Sekejap saja, kedua kaki Dewa Arak
pun oleng.
Di saat itulah, serangan sabuk
nenek berambut panjang ini kembali menyambar ke arah Dewa Arak. Tapi dengan
jurus 'Delapan Langkah Belalang', pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mengelakkannya
Sesaat kemudian, keduanya
sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit dan menarik. Kedua gerakan
itu sama- sama meliuk-liuk. Baik gerakan
sabuk Bidadari Sabuk Emas, maupun gerakan Dewa Arak yang sempoyongan ke sana
kemari dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti'.
Sementara itu, Ranti telah
berdiri berhadapan dengan Raja Iblis Baju Hitam. "Jadi, rupanya kau yang
telah mencuri kitab pusaka perkumpulan kami, Raja Iblis!" desah Ranti
penuh geram.
"Ha ha ha...! Kalau benar
begitu, kau mau apa, Bocah?!" sahut Raja Iblis Baju Hitam kalem. Nada
suaranya-terdengar meremehkan sekali.
"Membunuhmu!"
Setelah berkata demikian,
Ranti langsung mencabut pedangnya. Dan secepat pedang itu tercabut, secepat itu
pula dibabatkan cepat ke arah leher.
Ngunggg...!
Suara mengaung keras terdengar
mengiringi tibanya serangan pedang itu.
Raja Iblis Baju Hitam
terperanjat melihat hal ini. Sungguh tidak disangka kalau serangan gadis
berpakaian biru itu begitu dahsyat. Suara mengaung keras yang mengiringi tibanya serangan telah
menunjukkan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Maka laki-laki
berpakaian hitam ini tidak berani bertindak main-main Cepat-cepat tubuhnya
direndahkan. Dan.... Wusss...!
Pedang Ranti menyambar lewat
di atas kepalanya, hanya berjarak setengah jengkal. Rambut dan sekujur pakaian
yang dikenakan Raja Iblis Baju Hitam ini sampai berkibar keras. Dari sini saja
sudah bisa diperkirakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan itu.
Serangan gadis berambut kepang
ini ternyata tidak hanya sampai di s itu saja. Begitu babatannya berhasil
dielakkan, kaki kanannya langsung mencuat ke arah perut Dan karena sikap tubuh
laki-laki bercambang bauk lebat Itu tengah menunduk, serangan kaki itu jadi
mengancam dada.
Wuttt...!
Deru angin keras mengiringi
tibanya serangan Ranti. Raja Iblis Baju Hitam terperanjat. Tokoh sesat yang
menggiriskan ini memang tidak menyangka kalau serangan susulan lawan akan
datang begitu cepat. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya dilempar ke
belakang. Lalu, dia bersalto beberapa
kali di udara, dan mendarat beberapa tombak dari tempatnya semula.
Ranti sama sekali tidak
memberi lawan kesempatan. Begitu lawan melempar tubuh ke belakang, tubuhnya
segera melesat memburu. Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah lawan, diiringi suara mengaung
menggetarkan jantung.
Berbahaya sekali serangan yang
dilancarkan gadis berpakaian biru itu. Apalagi, saat itu tubuh Raja Iblis Baju
Hitam tengah berada di udara.
Meskipun begitu, tidak
percuma laki-laki berpakaian hitam ini menjadi seorang datuk sesat. Di
saat yang berbahaya ini serangan itu masih sanggup dielakkan. Tubuhnya menggeliat di udara, sehingga serangan itu
tidak mengenai sasaran.
Berbareng hinggapnya kedua
kaki Ranti di tanah, Raja Iblis Baju Hitam pun mendaratkan kakinya pula di
tanah. Dan secepat kedua pihak berada di tanah, secepat itu pula saling
menyerang dahsyat Pertarungan sengit dan mati-matian pun terjadi.
Di arena lain, Dewa Arak
pun tengah berjuang keras menaklukkan
lawannya. Ilmu 'Belalang Sakti' miliknya dikeluarkan sampai ke tingkat akhir.
Kedua tangannya, guci, dan juga semburan-semburan araknya dikeluarkan. Beberapa
kali sambil mengelakkan serangan lawan, Dewa Arak menenggak araknya. Suara
tegukan pun kembali terdengar di sela-sela ledakan sabuk Bidadari Sabuk Emas.
Memang, pertarungan yang
berlangsung antara Dewa Arak dan Bidadari Sabuk Emas berlangsung seru dan
menarik. Perempuan tua itu memang telah mendengar kelihaian lawannya. Maka
sudah sejak semula senjata andalannya dikeluarkan. Bahkan langsung menyerang dengan mengeluarkan seluruh
kemampuan yang dim iliki.
Karena kedua belah pihak
sama-sama memiliki ilm u meringankan
tubuh yang tinggi pertarungan yang terjadi pun berlangsung cepat. Yang
tampak hanyalah kelebatan bayangan kemerahan dan ungu, yanq
terkadangg saling belit Tapi, tak jarang pula saling pisah.
Di antara kelebatan cahaya
ungu dan merah, tampak meliuk-liuk sabuk yang berwarna kuning keemasan.
Memang luar biasa permainan
sabuk nenek berpakaian merah muda itu. Terkadang sabuk itu me lecut
mengeluarkan ledakan nyaring seperti gelegar halilintar, tapi tak jarang pula
menegang kaku seperti sebatang tombak dan meluncur cepat ke arah berbagai
bagian tubuh Dewa Arak. Bahkan tak kalah seringnya pula sabuk itu meliuk-liuk
laksana seekor ular, sehingga sukar
diterka ke mana arah yang dituju.
Perubahan permainan sabuk
itulah yang merepotkan Dewa Arak. Sehingga sampai puluhan jurus berlangsung,
lawannya belum mampu didesak. Perubahan permainan sabuk itu berlangsung secara
tiba-tiba dan tak terduga sehingga menyulitkannya. Dan inilah yang membuat Arya
kewalahan menghadapinya.
Bukan hanya Arya saja yang
merasa penasaran Bidadari Sabuk Emas pun dilanda perasaan yang sama. Seluruh kemampuannya
dalam memainkan sabuk telah dikerahkan,
tapi tetap saja tidak satu pun serangannya yang berhasil mengenai tubuh lawan.
Jangankan mengenai, mendesak pun tidak mampu.
Tak terasa puluhan jurus telah
berlalu. Kini pertarungan telah
menginjak jurus keseratus. Tapi sampai selama itu, pertarungan masih
berlangsung seimbang.
Tidak nampak ada tanda-tanda,
siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Wuttt..! Pada jurus yang keseratus dua
puluh tujuh, untuk yang kesekian kalinya sabuk di tangan Bidadari Sabuk Emas
meliuk- liuk. Kemudian secara tidak terduga-duga, menotok ke arah pelipis
seperti ular mematuk.
Cepat gerakan sabuk itu, tapi
masih lebih cepat lagi gerakan Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu memiringkan kepalanya sehingga
patukan sabuk itu mengenai tempat kosong. Dan...
Prrruh...!
Arya menyemburkan arak yang
sejak tadi berada dalam mulutnya Seketika Itu juga, butiran-butiran arak itu me
luncur cepat ke arah Bidadari Sabuk Emas.
Nenek berpakaian merah muda
Itu terkejut bukan main mendapat serangan yang tidak disangka-sangka. Tak
terpikir olehnya akan serangan itu, karena Arya
tidak terlihat meminum araknya.
Sama sekali tidak disangka kalau Arya memang sengaja menyimpannya.
Dengan agak gugup, Bidadari
Sabuk Emas menundukkan kepalanya. Meskipun begitu, dia berhasil pula
menyelamatkan diri. Dia tahu, arak yang disemburkan Dewa Arak tidak bisa dibuat
main-ma in. Semburannya tak ubahnya luncuran panah! Bila terkena kulit, pasti
akan luka-luka. Bahkan bila terkena mata, pasti akan hancur.
Dan nenek berambut panjang Ini
sama sekali tidak menyangka kalau serangan itu hanya pancingan saja.
Tappp...! Ujung sabuk itu
berhasil ditangkap Dewa Arak, dan pemuda
itu langsung membetotnya.
"Ah...!" Bidadari
Sabuk Emas menjerit kaget ketika tubuhnya tertarik ke depan dan melayang di
udara. Perempuan tua itu memang tidak menyangka kalau Dewa Arak mampu menangkap sabuknya! Dewa Arak
sengaja melakukannya untuk mengalihkan perhatian nenek itu dari sabuknya. Dan
mendadak.... Tappp...!
Ujung sabuk itu telah berhasil
ditangkap Dewa Arak yang langsung membetotnya begitu sabuk itu telah dicengkeramnya.
"Ah...!"
Bidadari Sabuk Emas menjerit
kaget ketika tubuhnya tertarik ke depan
dan melayang di udara. Perempuan tua itu memang tidak bersiap
menghadapinya.
Dan di saat tubuh nenek
berpakaian merah muda itu tengah berada di udara, Arya melepaskan pegangan
tangannya. Dan dengan gerakan sukar diikuti mata, gucinya disampirkan kembali
di punggung. Dan secepat guci itu tersampir, secepat itu
pula Arya menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang'. Wusss...!
Angin keras berhawa panas
menyengat meluncur ke arah tubuh Bidadari Sabuk Emas. Seketika nenek berpakaian
merah muda itu terperanjat dan berusaha mengelak sebisa-bisanya. Tapi....
Bressss…
Jeritan menyayat keluar dari
mulut nenek berambut panjang itu,
tatkala angin pukulan Dewa Arak menghantam, telak dan keras dadanya. Seketika
itu juga, tubuh Bidadari Sabuk Emas terlempar jauh ke belakang . Nenek berambut
panjang ini gagaI menyelamatkan diri. Keadaan
tubuhnya yang tengah berada di
udara menyulitkannya untuk mengelak. Tambahan lagi, dia masih terbawa tarikan
Dewa Arak tadi.
Brukkk..!
Suara berdebuk keras terdengar
ketika tubuh Bidadari Sabuk Emas
menghantam tanah. Seketika itu juga nyawanya terlepas dari raga. Dia kini
tewas dalam keadaan menyedihkan. Sekujur tubuhnya
hangus terbakar. Samar- samar tercium
bau sangit daging terbakar.
Sementara itu jerit kematian
Bidadari Sabuk Emas membuat Raja Iblis Baju Hitam
terperanjat. Seketika itu juga perhatiannya terpecah. Padahal bagi seorang
tokoh tingkat tinggi yang tengah bertarung, kelengahan lawan betapapun
kecilnya, adalah sebuah kesempatan untuk memasukkan serangan.
Apalagi pertarungan antara
Raja Iblis Baju Hitam dan Ranti memang berjalan se imbang sejak tadi Maka
ketika laki-laki berpakaian hitam itu lengah, pedang di tangan Ranti meluncur
cepat ke arah dadanya. Dan....
Cappp !
Pedang Ranti menghunjam dalam
di perut laki-laki berpakaian hitam itu hingga tembus ke punggung. Kontan darah segar muncrat dari bagian tubuh yang
terluka.
"Hih. !"
Ranti segera mencabut
pedangnya. Maka darah segar kembali berhamburan dari bagian tubuh yang terluka.
Dan bukan hanya itu saja yang dilakukannya. Kakinya pun menendang cepat ke arah
dada Raja Iblis Baju Hitam.
Desss. !
Suara berderak keras terdengar
ketika tulang-tulang dada laki-laki berbaju
hitam itu hancur berantakan.
Seketika nyawanya pun melayang seiring melayangnya tubuhnya ke belakang.
Ranti bergegas menghampiri
mayat Raja Iblis Baju Hitam. Segera disobeknya bagian baju tokoh sesat itu.
Dugaannya ternyata benar. Kitab pusaka perkumpulannya berada di balik baju Raja
Iblis Baju Hitam.
Gadis berpakaian biru ini
tersenyum gembira. Semua jerih payahnya ternyata tidak sia-sia. Diperhatikannya
kitab yang bertuliskan Ilmu Tangan Racun Pasir Merah, dengan pandang mata
berbinar-binar. Kemudian kepalanya menoleh
untuk memberi tahu Dewa Arak.
Tapi tidak ada seorang pun
yang dijumpainya di situ. Suasana di sekeliling tempat itu sepi-sepi saja.
Walau Ranti telah mengedarkan pandangan ke sekeliling, tetap saja bayangan
tubuh Dewa Arak tidak terlihat
Karuan saja hal ini membuat
Ranti merasa cemas bukan main. Segumpal perasaan cemas menyeruak. Segumpal
perasaan cemas menyeruak di hatinya, karena takut Dewa Arak telah pergi meninggalkannya.
"Kang Arya...!"
Dalam puncak kecemasan yang
menggelegak Ranti berteriak memanggil.
Tak tanggung-tanggung lagi se luruh tenaga dalamnya dikerahkan sewaktu
memanggil. Akibatnya sudah bisa diduga. Suara keras yang memekakkan telinga
terdengar mengoyak kesunyian Hutan Rangkong.
Ranti menunggu sesaat Tapi
sampai jemu menanti, orang yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Hanya
gema suaranya yang bersahut-sahutan menyambut panggilannya.
"Kang Arya...!"
Ranti memanggil lagi dengan
suara lebih keras, tapi tetap saja orang yang dipanggilnya tak kunjung Baru
saja hendak memanggil lagi, gadis berpakaian biru ini segera mengurungkan
niatnya. Pandangannya tertumbuk pada
sebuah benda yang terpacak di pohon.
Benda itu adalah se lembar
kain yang menempel di batang pohon, karena ditusuk sebatang ranting kecil.
Jelas membutuhkan tenaga dalam tinggi untuk membuat ranting kecil yang lemah itu mampu menembus
batang pohon yang demikian keras.
Ranti segera menghampiri. Dan
seperti yang sudah diduga, ada deretan huruf-huruf yang tertera di atasnya.
Dengan agak tergesa-gesa dibacanya huruf-huruf itu.
Ranti....
Aku ikut merasa gembira,
karena kau telah berhasil menunaikan tugas yang diberikan gurumu. Aku pergi
dulu. kelak kita akan bertemu kembali.
Ranti segera mencampakkan
ranting itu, dan meremas kain yang bertuliskan pesan Arya hingga hancur luluh.
Kemudian sekali menggerakkan kaki, tubuhnya telah melesat pergi dari situ.
Sementara di kejauhan, Dewa
Arak tengah melangkah perlahan-lahan dengan perasaan lega. Kembali sebuah tugas
menentang kejahatan telah berhasil dise lesaikannya dengan baik
SELESAI
Serial Dewa Arak dalam episode
Maut dari Hutan Rangkong
"Guradi...!" Jatmika
menjerit keras begitu melihat putranya tergantung di atas pohon. Sementara
Banyupaksi hanya diam terpaku Ternyata musibah itu tidak sampai di situ saja.
Kematian demi kematian dalam keadaan mengerikan terus menimpa penduduk Desa
Rangkong.
Ranti, seorang murid wanita
utusan Perkumpulan Pedang Perak berusaha menyingkap rahas ia pembunuhan ini.
Gadis cantik jelita itu memang tengah mencari kitab pusaka perkumpulannya.
Kitab yang berisikan ilmu 'Tangan Racun Pasir Merah'.
Siapakah orang yang telah
mencuri kitab perkumpulannya? Dan siapa pula orang yang menyebar Maut dari
Hutan Rongkong? Lalu mengapa Dewa Arak dituduh sebagai pembunuhnya oleh Ranti?!