Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 11-20

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 11-20 Laki-laki itu merogoh sakunya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya, disesapkan ke dalam tangan Kim Lo,
Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 11-20
Laki-laki itu merogoh sakunya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya, disesapkan ke dalam tangan Kim Lo, katanya kemudian: “Kau simpanlah barang ini aku titipkan padamu dan kau jangan memberikan kepada orang lain! Nanti suatu saat aku akan mencarimu untuk mengambil barang ini! Kau bersedia untuk menolongku, bukan?”

Kim Lo kaget, benda itu dingin sekali. Dia pun bingung, karena orang itu tidak dikenalnya, sedangkan orang tersebut juga tidak mengetahui siapa Kim Lo dan tinggal di mana, lalu bagaimana kelak ia ingin mencarinya untuk mengambil kembali barangnya ini…….?

“Paman……!” Kata Kim Lo ingin menjelaskan.

“Jangan banyak bicara, waktu tinggal sedikit dan mendesak sekali, kau kantongilah barang itu!” Kata orang tua tersebut.

Kim Lo tidak bisa-bilang apa-apa, dia memasukkan benda itu, yang dingin dan lengket oleh sesuatu cairan, ke dalam sakunya.

“Jika nanti tidak lama lagi kau bertemu dengan serombongan orang, dan menanyakan apakah kau melihat seseorang yang lari dengan kaki yang pincang, kau memberitahukan bahwa aku mengambil arah selatan. Mengertikah kau?”

Dengan ragu-ragu Kim Lo mengiyakan. Dan orang tua itu tidak membuang waktu telah melarikan diri pula ke arah barat.

Lama Kim Lo berdiri tertegun di tempatnya sampai akhirnya ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan benda itu. Namun belum lagi ia mengeluarkan barang tersebut, justeru dari sebelah depan, dari arah di mana tadi orang tua itu mendatangi terlihat beberapa sosok tubuh.

Mereka adalah laki-laki semuanya, yang mengenakan pakaian seragam sebagai pahlawan kerajaan. Dan juga mereka semuanya memiliki tubuh yang tinggi besar dengan wajah yang sangat bengis.

Waktu itu salah seorang telah berseru: “Lihat, di sana ada mahluk ajaib!”

Kim Lo membatalkan keinginannya untuk mengeluarkan benda yang dingin itu dari dalam sakunya dan dia berdiri diam saja. Cuma saja hatinya jadi tidak senang mendengar dia disebut sebagai makhluk ajaib. Karena itu dia mengawasi saja kepada orang-orang itu cepat sekali telah tiba di dekat Kim Lo.

Salah seorang di antara mereka, yang mukanya bengis dan penuh berewok telah membentak: “Bocah, apakah kau melihat orang terluka parah tubuhnya, larinya pincang, lewat tempat ini?”

Kim Lo mengangguk.

“Benar, orang inilah yang dimaksudkan si pemilik barang itu!” berpikir Kim Lo Dan dia pun segera menyahutinya: “Ya, aku melihatnya tadi orang itu mengambil arah ke selatan!”

Orang-orang itu saling pandang, tampaknya mereka ragu-ragu. Sejenak mereka pun mengawasi sekitar tempat itu, kemudian kepada tetes darah dekat kaki Kim Lo. Muka mereka seketika berobah.

“Bocah kau jangan coba-coba main gila di hadapan kami! Dimana orang tua itu bersembunyi?” bentak salah seorang di antara mereka.

Kim Lo tercekat hatinya waktu melihat orang-orang itu memperhatikan tetes darah di dekat kakinya, di atas tanah. Ia segera menduga tentu orang-orang itu akan curiga padanya. Dan dugaannya memang benar, sebab orang-orang itu segera mencurigainya.

“Aku tidak tahu apa-apa....... tadi aku cuma melihat orang itu berlari terpincang-pincang menuju ke selatan....... entah dia mau pergi ke mana?” Kim Lo masih berusaha untuk mendustai orang-orang itu.

Tapi orang yang satu itu, yang rupanya jadi pimpinan rombongan dari pahlawan kerajaan itu, tidak sabar lagi menjambak dada Kim Lo.

Dengan sendirinya melihat tangan orang itu diulurkan untuk menjambak dadanya, Kim Lo berkelit ke samping. Gerakannya sangat cepat sekali, jari tangan orang itu cuma menyerempet bajunya, tapi tidak berhasil untuk menjambaknya.

“Ihhh!” Orang tersebut mengeluarkan seruan heran. Namun wajahnya tampak kian menyeramkan, iapun membentak: “Bagus! Rupanya kau memiliki kepandaian juga! Hemmmm, tentu kau orangnya si pemberontak itu……!”

Sambil berkata begitu, kembali orang itu mengulurkan tangannya untuk menjambak. Jika tadi dia menjambak dengan tidak sesungguhnya hanya sembarangan saja tapi sekarang justeru dia menjambak dengan mempergunakan jurus “Sepasang Naga Keluar Goa”, di mana tangannya itu bergerak serentak, seperti juga ada di kiri dan kanan sulit diterka arah sasaran yang sebenarnya, dan tenaga menjambaknya itu kuat sekali.

Kim Lo walaupun masih kecil, tapi ia sejak bayi telah digembleng oleh Oey Yok Su. Karena dari itu melihat tangan orang itu ingin menjambak dadanya lagi, Kim Lo cepat-cepat menekuk tangan kanannya, dia memiringkan tubuhnya, tangan orang itu jatuh di tempat kosong, dan kemudian Kim Lo menggerakkan sikut tangannya.

“Plakkk!” Telak sekali menghantam mata orang tersebut, sampai dia menjerit kaget dan melompat mundur.

Diapun sebelum bisa membuka matanya untuk melihat dengan baik telah berseru kepada kawan-kawannya: “Tangkap setan kecil itu, dia tentu anak buahnya si pemberontak.”

Serentak belasan orang pahlawan kerajaan telah menyerbu kepada Kim Lo. Mereka semuanya memiliki kepandaian yang tinggi. Walaupun Kim Lo adalah “cucu” Oey Yok Su, yang sejak kecil telah digembleng dan dididik oleh Oey Yok Su, akan tetepi dikeroyok seperti itu, jelas ia tidak bisa memberikan perlawanan, terlebih lagi memang diapun tidak berpengalaman.

Mati-matian       memberikan perlawanan tapi hanya sekejap mata ia telah kena di bekuk oleh belasan orang pahlawan kerajaan itu. Malah pemimpin rombongan itu, sengit sekali, karena tadi matanya kena disikut dan sakit bukan main, telah menghampiri di saat Kim Lo telah diringkus, dan dia menghantam dengan jitakan yang kuat sekali ke kepalanya kemudian menamparnya juga, diiringi bentakannya:

“Bagus? Rupanya memang kau mata-mata si pemberontak.”

Kim Lo sangat mendongkol, Kong-kongnya belum pernah memperlakukan kasar seperti itu padanya. Segera juga ia mementang mulutnya, “Kalian akan memperoleh hajaran dari Kong-kong! Lihat saja nanti!”

Orang-orang itu tertawa mengejek, sedangkan salah seorang di antara mereka telah berteriak, “Lihat! Tangannya berlumuran darah!”

Pemimpin rombongan itu juga segera melihat telapak tangan Kim Lo berlumuran darah. Mukanya seketika berobah.

“Geledah tubuhnya!” perintahnya.

Seketika Kim Lo diperiksa dan digeladah. Dan dari sakunya telah dikeluarkan barang yang tadi dititipkan orang tua pincang yang sudah melarikan diri.

Seketika terdengar orang-orang itu berseru kegirangan, karena mereka melihat barang yang mereka keluarkan adalah benda yang tengah mereka cari-cari. Dan diwaktu itu juga, yang memimpin rombongan itu telah bekata: “Lihatlah, akhirnya kita berhasil memperoleh barang ini!!”

Kim Lo melihat, barang yang tadi dititipkan padanya adalah semacam batu Giok berwarna putih. Dan diwaktu itu, ia juga melihat jelas, batu itu berlumuran darah.

Dan dia baru teringat, mengapa tadi waktu barang itu disesapkan ke tangannya terasa lengket-lengket, dan juga Kim Lo melihat, bentuk dari batu tersebut sangat aneh sekali. Batu itu membuat orang-orang tersebut jadi kegirangan, entah batu itu barang pusaka apa?!

Tengah Kim Lo terheran-heran, menduga entah benda pusaka apa batu itu, justeru tubuhnya telah didorong oleh salah seorang pahlawan kerajaan, diiringi dengan suara bentakan: “Ayo jalan!”

“Kita bawa ke markas!” berseru seorang lainnya.

“Ya, kita bisa mengorek keterangan dari mulutnya!” kata pimpinan rombongan tersebut.

Kim Lo berusaha meronta, namun ia mana bisa menandingi tenaga dari belasan orang yang meringkusnya itu? Dengan sendirinya, dia tidak berkutik waktu dikempit oleh salah seorang dan dibawa lari.

Kim Lo berusaha meronta dan memaksa kalang kabutan.

“Jika Kong-kongku datang, tentu kalian akan dihajar mampus semuanya!” Mengomel Kim Lo kalang kabutan.

Tapi orang-orang itu tidak mau mempedulikan makiannya. Hanya pemimpin rombongan tersebut yang menyahuti dengan suara dingin.

“Biar kakekmu datang karena memang kami ingin membekuknya juga! Lebih baik lagi jika dia datang ke markas kami....... Hahaha!”

Dan sambil tertawa bergelak-gelak, pemimpin rombongan itu telah melontarkan batu berlumuran darah itu, ke tengah udara kemudian ditampinnya lagi,

“Ohhhh, Giok-sie! Giok-sie! Sekarang akhirnya kau berada di tangan kami! Tentu kami akan menerima hadiah yang sangat besar dari Hong-siang.”

Kim Lo terkejut mendengar kata-kata orang itu. Apakah batu putih itu yang berlumuran darah adalah Giok-sie, cap kerajaan, yang sering didengarnya belakangan ini sejak ia ikut dengan Kong-kongnya datang ke tempat ini? Entah apa artinya Giok-sie itu bagi kerajaan, dan juga mengapa sampai demikian gembiranya orang-orang itu seakan juga segumpal batu putih itu benar-benar merupakan barang yang sangat berharga.

Setelah dikempit dibawa lari beberapa saat lamanya, akhirnya mereka sampai di sebuah gedung yang sangat besar dan terang benderang oleh lampu pelita yang dipasang di berbagai tempat.

Kim Lo dibawa ke ruang dalam, kemudian oleh orang yang mengempitnya si bocah dilemparkannya ke lantai, tubuh terbanting di lantai. Anak lelaki ini merasakan tubuhnya sakit sekali, tapi ia tidak menjerit.

Di ruang tersebut berdiri seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, ia memakai baju kebesaran, seperti juga seorang pembesar kerajaan. Rambutnya ditao-cang sangat panjang. Dialah pembesar Boan, yang tampak berdiri angkuh sekali.

Belasan orang yang yang menangkap Kim Lo segera menjatuhkan diri berlutut. Pemimpin rombongan orang itu segera juga berkata dengan suara yang nyaring!

“Tayjin. Kami berhasil menangkap bocah ini yang kami duga mata-mata si pemberontak! Juga dari sakunya kami telah berhasil menemui Giok-sie.......”

Sambil berkata begitu, pemimpin rombongan tersebut mengangkat batu putih itu dengan kedua tangannya, dipersembahkan kepada pembesar itu dengan sikap menghormati sekali.

“Hemmm,” hanya itu saja dengus pembesar Boan tersebut, kemudian menyambuti batu putih itu. Ia membalik-balikan beberapa saat wajahnya berangsur jadi terang yang berseri-seri. Malah, sambil menimang-nimang batu putih itu, ia bilang: “Apakah ini sebenarnya Giok- sie yang asli?”

Pemimpin rombongan tersebut cepat-cepat mengangguk.

“Hamba kira memang itulah Giok-sie yang sesungguhnya, yang asli!” Katanya dengan suara yang nyaring, “Dan Tayjin tentunya dapat mengujinya untuk mengetahui apakah Giok-sie itu asli atau tidak....... karena memang kita harus mengingat, betapapun juga pemberomntak itu sangat licin dan licik. Siapa tahu justeru dia sengaja membuat Giok-sie yang palsu!”

Pembesar Boan itu mengangguk-angguk beberapa kali sambil matanya tidak lepas-lepas memperhatikan Giok-sie.

“Kalian telah mendirikan jasa yang sangat besar, tentu Hong-siang sangat bersyukur atas kerja keras kalian yang herhasil memperoleh Giok-sie. Karena dari itu, jika memang nanti telah dilaporkan kepada Hong-siang, niscaya kalian akan dianugrahi hadiah yang tidak sedikit!”

“Kami memang memohon kemurahan hati Tayjin untuk menyampaikan sedikit jerih payah kami kepada Hong-siang?” Kata orang-orang itu hampir berbareng.

Kemudian dengan mata yang tajam, Pembesar Boan itu menoleh kepada Kim Lo.

“Bawa anak itu kemari!” katanya.

Pemimpin rombongan pahlawan kerajaan, segera juga menyeret Kim Lo ke dekat pembesar Boan tersebut.

Dengan wajah yang bengis dan suara yang dingin, pembesar Boan itu bilang: “Aneh, mukanya demikian buruk, dan ia lebih mirip sebagai seorang anak kera dibandingkan sebagai manusia!”

Muka Kim Lo jadi merah padam dan marah bukan main, karena ia tahu dirinya dihina.

Tapi belum lagi Kim Lo sempat memaki pembesar itu, didengarnya pembesar Boan tersebut, membentak dingin sekali. “Siapa namamu dan masih ada hubungan apa kau dengan Liok Kie Bun?”

Kim Lo mementang matanya lebar-lebar.

“Jangan mendelik begitu!” Bentak pembesar Boan tersebut. “Atau memang kau menginginkan sepasang matamu itu dicongkel?”

Kim Lo membalas membentak: “Hemmm, jika memang nanti Kong-kongku itu datang niscaya kalian akan dihajar mampus!”

Pembesar Boan itu tertawa, ia bilang: “Apakah Liok Kie Bun itu adalah kakek mu?'

“Aku tak kenal siapa itu Liok Kie Bun,” menyahuti Kim Lo ketus.

“Lalu siapa kakekmu.......?” tanya pembesar Boan itu dengan menyeringai dingin.

Kim Lo Baru saja ingin menyebutkan nama Oey Yok Su, tapi tiba-tiba ia merobah pikirannya, karena segera juga ia bilang,

“Hemmm, aku tidak mau memberitahukan pada kalian siapa kakekku!”

Pembesar Boan tersebut tertawa dingin, tangannya menimang-nimang batu putih yang disebutnya sebagai Giok-sie.

“Hemmm, walaupun kau tak mau memberitahukannya kami sudah tahu siapa itu kakekmu!”

“Siapa?” tanya Kim Lo dasar masih kanak-kanak.

“Liok Kie Bun!” Menyahuti pembesar Boan itu.

“Bukan! Kau manusia bodoh! Sudah kukatakan aku tidak kenal siapa itu Liok Kie Bun! Hemmm, kakekku itu orang hebat, dan jika memang dia datang, tentu kalian akan menggigil dan ketakutan dan terkencing-kencing, memohon pengampunan!”

Tapi pembesar Boan itu tidak marah, dia menyeringai, dengan tawar tanyanya: “Apakah kakekmu itu yang memberikan batu Giok-sie ini kepadamu?”

Kim Lo melirik kepada Giok -sie yang berada di tangan pembesar Boan tersebut.

“Bukan!” sahutnya kemudian.

Diamnya Kim Lo diduga oleh orang-orang itu sebagai sikap ragu-ragu, demikian juga pembesar Boan itu. Dia menyeringai lagi, kemudian katanya: “Kau jangan coba-coba mendustai kami! Sudah jelas kau cucu Liok Kie Bun! Nah, siapa namamu?”

“Aku tidak mau memberitahukan!” kata Kim Lo.

“Apakah namamu jelek dan tidak enak didengar?”

Mendengar ejekan pembesar Boan itu bukan main gusarnya Kim Lo. Dasar memang masih kanak-kanak, dibakar dengan pancingan seperti itu, segera termakan.

“Bukan! Aku memang tak mau memberitahukan namaku padamu,” kata Kim Lo berteriak.

“Hemmm kami tahu, tentu namamu itu sama buruknya dengan rupa dan tampangmu yang seperti kera, karena dari itu kau malu buat memberitahukan namamu kepada kami!” kata pembesar Boan tersebut dengan sikap mengejek.

Kim Lo jadi semakin gusar, ia membentak dengan suara galak karena belum pernah anak ini marah seperti itu. “Jika memang nanti Kong-kongku datang, akan kuberitahukan padanya bahwa kalian telah menghinaku, aku akan minta agar kalian dihajar setengah mati…….!”

“Kukira, kakekmu itu tentu tidak berani datang kemari!” Kata pembesar Boan tersebut. “Hemmm, jika memang dia berani datang kemari, itu berarti dia membuang jiwa. Kami justeru hendak menangkap dan dia selalu melarikan diri, mencari tempat persembuyian! Mana mungkin dia berani datang kemari untuk mengantarkan jiwanya?”

Kim Lo tertegun sejenak.

“Kalian tahu siapa kakekku itu?” tanyanya kemudian.

“Kami sudah tahu!” menyahuti pembesar Boan tersebut menyeringai.

“Hemmm, ayo kau sebutkan namanya kakekku itu jika memang benar-benar kalian mengetahui!” tantang Kim Lo.

“Apa sulit!? Kami memang telah mengetahuinya! Tidak perlu kami beritahukan lagi kepadamu! Tetapi sekarang yang kami ingin ketahui, dimana bersembunyi kakekmu itu?” Dingin sekali suara dan sikap pembesar Boan itu.

“Bersembunyi? Kakekku tidak pernah bersembunyi!” bentak Kim Lo jadi mendongkol dan marah. “Atau memang kalian anggap kakekku seorang pengecut?”

“Hemmm, memang kami lihat kakekmu itu seorang pengecut!” kata pembesar Boan itu.

“Jangan kau bicara sembarangan!” Meledak kemarahan Kim Lo. Bocah itu hendak meronta, tapi tenaganya tidak cukup untuk melepaskan diri dari cekalan orang-orang itu.

“Hemmm, kami telah bisa membuktikan bahwa kakekmu itu pengecut!” Kata pembesar Boan tersebut. Jika memang dia bukan seorang pengecut, tentu dia telah datang kemari untuk menolongmu! Buktinya? Sekarang ini bayangannya saja tidak terlihat! walaupun cucunya telah kami tawan!”

Tubuh Kim Lo gemetaran karena menahan marahnya. Teriaknya: “Aku pergi tanpa diketahui kakek.......!”

“Kau pergi tanpa diketahui kakekmu?” Tanya pembesar Boan itu dengan suara. “Hemm, kau jangan bermimpi bocah! Kau tidak bisa mendustai kami! Jika kau pergi diam-diam tanpa diketahui kakekmu, tentu kau tidak akan menyimpan Giok-sie ini di sakumu!”

“Aku diberi oleh orang tua yang tidak ku kenal!” menyahuti Kim Lo sengit. “Dia minta tolong kepadaku untuk menyimpan Giok-sie itu! Aku tidak tahu barang apa itu, namun akhirnya kalian menyebut-nyebut sebagai Giok-sie!”

Muka pembesar Boan itu berobah, tapi kemudian sikapnya pulih sebagaimana biasa lagi, dengan sikap dingin mengejak dia bilang: “Jika memang benar-benar orang itu bukan kakekmu, orang yang memberikan kepadamu batu kumala putih ini, maka kau bisa menyebutkan ciri-cirinya kepada kami!”

Kim Lo segera memberitahukan ciri-ciri orang itu, yang larinya pincang juga tubuhnya terluka parah.

Pembesar Boan itu bersama para pahlawannya saling pandang. Kemudian pembesar Boan tersebut tertawa bergelak-gelak, katanya lagi, “Dan sekarang orang itu bersembunyi di mana?”

“Mana aku tahu! Dia cuma bilang, jika nami kalian tanya beritahukan saja dia pergi ke selatan……!” Menyahuti Kim Lo sengit.

“Lalu sesungguhnya dia melarikan diri ke arah mana?” tanya pembesar Boan itu.

“Ke.......!” Tapi berkata sampai di situ, Kim Lo ragu-ragu, dan ia tersadar, tidak bisa memberitahukan kepada pembesar Boan itu, ke arah mana orang tua pincang itu pergi. Bukankah dia telah menyanggupi akan menolongnya dan berjanji akan menuruti apa yang dipesankan orang tua itu?

Melihat sikap dan kelakuan para pembesar kerajaan ini, tampaknya mereka bukan manusia baik-baik dan Kim Lo juga teringat orang tua pincang itu dalam keadaan terluka parah. Jika dia memberitahukan ke arah mana orang tua itu pergi, bukankah para pahlawan kerajaan ini akan mengejar dan menawannya, lalu menyiksanya sampai mati?

Karena berpikir seperti itu, jadi bungkam.

“Ayo kau beritahukan, ke arah mana orang itu melarikan diri? Jika memang kau memberitahukan dengan jujur, maka kau akan kami bebaskan,” kata pembesar Boan itu.

“Hemmm, tentu saja ke Selatan. Bukankah tadi telah kukatakan bahwa orang itu berpesan dia akan pergi ke selatan?” menjawab Kim Lo pada akhirnya.

“Jangan dusta!” bentak pembesar Boan itu bengis, “Kau jangan main-main dengan kami, Setan cilik!”

Kim Lo tidak melayani, dia tertawa dingin dan bungkam saja.

Pembesar Boan itu melirik kepada pemimpin rombongan pahlawan kerajaan.

Rupanya pemimpin dari rombongan pahlawan kerajaan mengetahui arti isyarat pembesar Boan, dia melangkah mendekati Kim Lo, mengulurkan tangannya yang kanan, dan,

“Plakkk, plakkk!” Dua kali Kim Lo ditempelengnya, sampai anak itu merasakan matanya berkunang-kunang sebab kepalanya pusing.

“Ayo bicara yang benar dan jujur!” bentak pembesar Boan itu bengis, “Jika memang kau keras kepala dan mau berdusta terus, hemmm, tentu kau akan menderita sendirinya!”

Kim Lo mementang matanya lebar-lebar kemudian katanya: “Baiklah aku akan bicara yang jujur!”

“Nah, begitulah, baru anak manis!” kata pembesar Boan tersebut. “Jika memang kau bicara jujur, bukan saja kau akan kami bebaskan dan boleh pergi ke mana kau suka, maka kami juga akan menghadiahkan kau limapuluh tail emas……!”

“Baik! Dengarlah baik-baik! Orang yang kakinya pincang dan tubuhnya berlumuran darah penuh luka itu, telah mengambil ke arah selatan untuk melarikan diri....... dan memang begitulah pesannya!”

Bukan main gusarnya pembesar Boan karena mengetahui bahwa Kim Lo memang sengaja hendak mempermainkan dirinya. Maka ia memberi isyarat lagi kepada pemimpin rombongan pahlawan yang wajahnya berewokan bengis, ia melompat dan mencekal tangan Kim Lo, di telikung ke belakang.

Kim Lo kesakitan tapi anak itu tidak menjerit. Dan ia merasakan tangannya seperti akan patah.

“Plakkk! Plooookkk!” Kembali muka Kim Lo di tempeleng.

“Ingat, jika Kong-kongku datang, semua ini akan dibalasnya dengan berikut bunganya!” kata Kim Lo saking marah tanpa tidak berdaya.

Pembesar Boan itu memberikan isyarat lagi kepada pimpinan pahlawan itu, yang menyiksa Kim Lo dengan ditekan pundaknya, bocah itu terjerunuk terjerembab di lantai. Kemudian punggungnya diinjak.

“Jika kau tidak mau bicara yang jujur dan sebenarnya, aku akan menginjak punggungmu sampai tulang dadamu remuk!” mengancam si berewok dengan suara yang bengis.

Kim Lo kesakitan, tapi ia tidak takut, katanya: “Hemmm, kalian cuma pandai menghina anak kecil!”

Si berewok jadi tertegun, teriaknya kemudian: “Baiklah! Aku Bun Siu Thang akan melayani kakekmu! Dimana kakekmu?”

“Jangan bicara sombong! Jangankan ingin melawan kakekku melihat saja kau akan gemetar!” Menjawab Kim Lo.

Dia memang sering mendengar cerita ibunya tentang kakeknya merupakan tokoh sakti rimba persilatan, dan dihormati oleh seluruh orang Kang-ouw. Bahkan orang-orang yang mengambil jalan hitam semuanya menggigil ketakutan begitu mendengar nama Oey Yok Su.

“Hemmm, baik! Nanti kita lihat saja! Apakah kakekmu benar-benar seorang yang luar biasa, sehingga aku harus jeri padanya! Kau beritahukan di mana tempat bersembunyinya?”

Sambil membentak-bentak begitu, Bun Siu Thang menginjak lebih keras. Kakinya menekan pundak Kim Lo. Dan anak itu merasakan dadanya yang menekan batu lantai jadi sakit bukan main. Dia merasakan tulang dadanya seperti hendak patah.

Karena menahan sakit yang hebat Kim Lo jadi mengucurkan keringat, mukanya pias. Tapi luar biasa, anak ini biarpun mukanya jelek seperti muka kera, tapi berkat bimbingan Oey Yok Su yang merupakan seorang tokoh sakti, tabiat anak ini juga jadi agak luar biasa kerasnya.

Ia sama sekali tidak menjerit. Malah ia telah berseru nyaring: “Baik, aku akan memberitahukan kepada kalian siapa adanya orang tuaku!”

Kim Lo mengambil keputusan itu, karena ia berpikir di dalam hatinya: “Orang-orang ini jahat sekali tentu mereka akan takut sekali mendengar nama Kong-kong. Bukankah Mama, selalu menceritakan, banyak orang-orang rimba persilatan begitu mendengar nama Kong-kong saja akan pingsan ketakutan. Siapa tahu begitu aku menyebut nama Kong-kong mereka akan ketakutan dan cepat-cepat membebaskan aku?”

Bun Siu Thang mengangkat kakinya, bentaknya: “Ayo sebutkan, siapa nama kakekmu yang kau agul-agulkan itu?!”

Kim Lo merangkak untuk berdiri, tapi Bun Siu Thang menyepak pinggulnya, sampai anak itu bergulingan.

“Cepat katakan!” bentak Bun Siu Thang lagi.

“Kakekku she Oey!” kata Kim Lo nyaring, “Dan namanya Yok Su. Kukira kalian telah mendengar! Dialah majikan pulau Tho-hoa-to!”

Sambil berkata begitu Kim Lo telah sempat bangun, sebab Bun Siu Thang dan yang lainnya jadi berdiri tertegun seperti kaget dan hanya bengong takjub mengawasi Kim Lo. Mereka seperti patung-patung belaka, sempat Kim Lo melihatnya, betapa orang-orang itu memandangnya dengan muka yang pucat pias.

Di dalam hati Kim Lo sangat girang, iapun berpikir. “Hemmm, memang apa yang diceritakan Mama tidak bohong, mereka ketakutan bukan main, muka mereka pucat! Sekarang baru rasa kalian…….”

“Kong-kongmu bernama Oey.......0ey .......Oey Yok Su?” tanya pembesar Boan itu kemudian suaranya tidak lampias dan juga tidak lancar.

“Tidak salah?” Mengangguk Kim Lo sambil tertawa dingin, wajahnya memancarkan perasaan bangga.

Tiba-tiba pembesar Boan itu berseru: “Tangkap! Bekuk dia!”

Belasan orang pahlawan kerajaanpun segera melesat mengepungnya dan meringkusnya.

Kim Lo kaget semangatnya terbang.

“Celaka!” Dia berseru perlahan karena seketika ia jadi putus asa, melihat bahwa orang-orang itu hendak menawannya lagi, pasti ia akan disiksa lagi.

“Hemm,” Bun Siu Thang si berewok juga telah berkata nyaring dan bengis. “Kita harus menebas rumput menghilangkan jejak! Anak ini tidak boleh dibiarkan hidup……”

Ternyata karena Kim Lo mengakui dirinya sebagai cucu Oey Yok Su, Bun Siu Thang dan yang lainnya memang kaget tidak terkira. Mereka juga jadi ketakutan. Bukankah tadi mereka telah menyiksa Kim Lo?

Dan jika memang anak ini mengadu kepada Oey Yok Su, bukankah mereka akan celaka, sebab Oey Yok Su akan mencari mereka? Tidak mungkin mereka bisa menghadapi dan melawan majikan pulau Tho-hoa-to itu.

Karenanya segera juga yang terpikir oleh mereka adalah membunuh Kim Lo, agar mereka bisa lolos dari Oey Yok Su. Kim Lo dibinasakan, berarti jejak mereka telah lenyap dan Oey Yok Su tidak akan mengetahui siapa yang telah membunuh cucunya tersebut.

Waktu itu tampak Kim Lo dengan mudah telah diringkus oleh belasan orang pahlawan kerajaan, karena bocah itu biarpun memiliki ilmu silat kelas wahid yang luar biasa dari Oey Yok Su, namun memiliki tenaga yang kecil dan juga pengalaman yang cetek. Karena itu, dalam usia seperti itu, Kim Lo tidak bisa menghadapi belasan orang pahlawan kerajaan. Dia kena ditawan lagi.

Bun Siu Thang menoleh kepada pembesar Boan itu,

“Ong-ya, apakah kita binasakan saja bocah ini?” tanyanya.

Ong-ya itu yang bernama Khuluk Khan, tertawa dingin. Tapi dia tidak segera menyahuti, karena dia ragu-ragu dan tengah berpikir keras. Tangannya menimang-nimang Giok-sie yang berlumuran darah, ia mengawasi sejenak.

“Ya. Kita harus membunuh dan melenyapkan bocah itu! Tapi yang kita perhatikan adalah cara bagaimana sebaik-baiknya menghilangkan jejak dari Oey Yok Su!

“Jika sekarang kita membinasakannya, kemudian Oey Yok Su mengetahui kita yang membunuh cucunya itu, jelas kitapun tidak akan lolos dari kematian! Karena dari itu, kita harus memikirkan cara yang sebaik-baiknya untuk menghilangkan jejak kita sedangkan bocah itu kita binasakan.......

“Adanya bocah ini di sini, berarti Oey Yok Su pun berada di sekitar tempat ini! Selanjutnya kita harus hati-hati.”

Setelah berkata begitu, ia mengawasi belasan orang pahlawan kerajaan, kemudian katanya lagi, “Untuk sementara bocah itu kita tahan saja dulu, nanti kupikirkan dengan cara bagaimana sebaiknya menyingkirkan bocah itu yang pasti, bocah itu sudah tidak bisa kita lepaskan dalam keadaan hidup.

“Sebab jika ia sampai lolos dari tangan kita, celakalah kita. Sekali saja ia mengadu kepada Oey Yok Su, maka habislah kita, tidak mungkin seorangpun di antara kita yang sanggup menghadapi tua bangka sesat itu……!”

Belasan pahlawan kerajaan itu mengiyakan dan kemudian mereka menanyakan juga Kim Lo hendak ditahan di mana. Oleh pembesar Khuluk Khan, ia perintahkan Kim Lo dikurung di dalam salah sebuah kamar di gedungnya itu. Di pintu kamar harus dijaga empat orang pahlawan kerajaan.

Begitulah Kim Lo diseret ke sebuah kamar. Dia didorong kasar sekali dengan tubuh terikat. Dan kemudian pintu dikunci dari luar. Kim Lo merasa kesakitan, waktu ia didorong ke dalam kamar itu ia terjerembab dan mukanya membentur lantai. Pintu kamar itu tertutup dan keadaan di dalam kamar gelap sekali.

Kim Lo memandang sekelilingnya. Gelap. Tidak ada sesuatu yang bisa di lihatnya.

Setelah berdiam sejenak, Kim Lo berusaha mengerahkan tenaganya, dia bermaksud ingin membuka ikatan tali di tangannya. Tapi tali yang mengikat tangannya bukan tali sembarangan, sebab itulah tali yang dibuat dari urat harimau, alot dan kuat, walanpun tipis dan kecil.

Malah Kim Lo mengerahkan tenaganya untuk meronta, tali itu jadi semakin mengikat kencang, seakan menekan, dan masuk ke dalam dagingnya, menjepit dan mengikat keras sekali, sakit bukan main. Sampai akhirnya Kim Lo berhenti untuk meronta.

Entah berapa lama, Kim Lo berada di kamar yang gelap itu, sampai akhirnya matanya menjadi bisa untuk melihat di tempat gelap. Samar-samar ia melihat kamar itu adalah sebuah kamar tidur, yang cukup mewah cuma saja tidak berpenghuni.

Kim Lo berpikir keras untuk berusaha melepaskan dan meloloskan diri dari tangan pembesar Boan dan orang-orangnya. Ia tidak tahu dengan cara bagaimana bisa meloloskan diri. Untuk meloloskan diri tidak mudah, ia pun melihat kamar itu tidak memiliki jendela, tentu saja tidak mudah buat dia meloloskan diri dari situ, pasti jendela itu akan dijaga oleh orang-orang Khuluk Khan.

Diam-diam Kim Lo pun jadi menyesal, telah meninggalkan kamar di rumah penginapan tanpa setahu kong-kongnya, tentu sekarang ini kong-kongnya tengah sibuk mencarinya berkuatir sekali. Tanpa diinginkan, dua butir air mata menitik berlinang di pipinya.

Sebenarnya hati Kim Lo sangat keras dan tabah. Walaupun ia tadi telah disiksa hebat oleh Bun Siu Thang, tokh tetap saja ia tidak menjerit walaupun ia kesakitan. Ia juga tidak menangis. Tapi sekarang teringat kepada Kong-kongnya yang sangat memanjakan dan sayang padanya, membuat dia benar-benar jadi sedih dan menyesal, sampai menitikkan air mata.

<> 

Di luar kamar itu, Khuluk Khan dengan orang-orangrya justeru tengah gembira. Mereka telah membersihkan Giok-sie dari noda darah. Mereka memperhatikan. Dan Giok-sie itu memang benda yang luar biasa.

Dibuat dari batu kumala putih pusaka, yang jarang sekali bisa diperoleh. Dan waktu Giok-sie itu dibuat, memang Kaisar Cin dulu mencarikan Giok putih itu dari benda-benda pusaka miliknya.

Dengan demikian Giok-sie bukanlah benda yang sembarangan. Terlebih lagi arti dari Giok-sie itu, yang setiap raja yang berkuasa di daratan Tiong-goan, selalu menginginkan Giok-sie sebagai lambang kebesarannya atas kekuasaan yang ada di tangannya.

Demikian juga halnya Kublai Khan menginginkan sekali Giok-sie. Telah bertahun tahun dikerahkan para pahlawannya mencari Giok-sie, sejauh itu belum juga diperoleh kabar berita tentang cap kerajaan tersebut.

Siapa tahu sekarang justeru cap kerajaan itu jatuh di tangannya tentu saja hal ini menyenangkan benar hati Khuluk Khan. Dan ia tidak hentinya mengawasi Giok-sie.

Bun Siu Thang dan kawan-kawannya juga mengawasi Giok-sie dengan mata bersinar-sinar tajam, mereka berkumpul di ruang tengah gedung pembesar Boan tersebut.

Di atas batu kumala putih itu terukir delapan huruf model Toan-jie yang berbunyi:

“Siu Beng Ie Thian, Kie Tay Eng Ciang”

yang berarti:

Menerima Firman Tuhan, Makmur Untuk Selama-lamanya.

Demikian angker huruf-huruf ukiran di batu Giok putih tersebut, dan benar¬benar benda ini merupakan barang yang sangat kuat daya tariknya. Dan entah sudah berapa banyak darah membanjiri daratan Tiongkok hanya disebabkan perebutan Giok-sie itu.

Giok-sie yang diperoleh dalam keadaan berlumuran darah, walaupun telah dibersihkan tokh dari Giok-sie seakan juga terpancar sesuatu yang menyeramkan, hawa yang dingin dan seakan meminta korban jiwa yang lebih banyak disamping pancaran keagungan dan keangkeran cap kerajaan itu.

Akhirnya Khuluk Khan menghela napas dalam-dalam, wajahnya berseri-seri.

“Sungguh tak sangka bahwa akhirnya aku memiliki rejeki demikian besar, sehingga bisa memperoleh Giok-sie. Dan jika kelak telah dipersembahkan kepada Hong-siang, niscaya aku akan dianugrahi pangkat sebagai Raja Muda ataupun setingkat dengan itu! Jelas akupun tak akan melupakan budi dan jasa kalian, yang telah bekerja demikian baik, sehingga Giok-sie berhasil jatuh di tangan kita.......!”

Bun Siu Thang mengangguk-angguk, demikian juga yang lainnya.

“Ya, semoga saja Ong-ya lebih jaya, tentu kami akan kecipratan juga rejeki yang lumayan, kami hanya turut dengan Ong-ya,” kata mereka. “Nasib kami berada di tangan Ong-ya.”

Khuluk Khan tertawa, dia meletakkan Giok-sie di atas meja kayu cendana. Katanya,

“Kalian jangan berkata seperti itu, tanpa adanya kalian tokh Giok-sie tak akan berada di tanganku! Maka jasa kalianpun sangat besar. Nanti akan kubicarakan kepada Hong-siang agar kalian sedikitnya dinaikkan tingkat, dan kedudukkan empat tingkat. Mungkin kalian akan menjadi Gubernur di sebuah kota. Dan jika demikian, hidup kalian tentu senang, bukan?”

Senang hati Bun Siu Thang dan kawan-kawannya, mereka menjura dalam-dalam menyatakan terima kasihnya.

“Sekarang yang terpenting ialah kita harus mengatur pengiriman Giok-sie ke kota raja sebaik mungkin, agar hal ini tidak tersiar di dalam rimba persilatan! Sekali saja tersiar, berarti kita akan menghadapi rintangan, yang tidak kecil, tentu banyak tokoh rimba persilatan yang akan turut memperebutkan Giok-sie, mereka berusaha merampas Giok-sie, dan kita pasti harus berusaha lebih giat lagi melindunginya.

“Karenanya, jalan yang terbaik ialah merahasiakan rapat-rapat perihal jatuhnya Giok-sie ke tangan kita. Nah, Bun Siu Thang, apakah kau memiliki usul untuk rencana pengiriman Giok-sie ke kota raja?”

Bun Siu Thang segera menjura: “Percayalah pada hamba, Ong-ya, tentu hamba dengan kawan-kawan lainnya berusaha untuk membawa Giok-sie tiba di kota raja dengan selamat! Walaupun harus mengorbankan jiwa, hamha sekalian tentu akan mempertahankan Giok-sie dari incaran…… Hei!”

Belum lagi Bun Siu Thang selesai berkata-kata, ia telah berseru kaget, dibarengi dengan tangan kanannya bergerak menghantam ke atas langit-langit.

“Bukk!” Terdengar tenaga dalam Bun Siu Thang menghantam langit-langit ruangan tersebut, menyusul dengan mana juga terdengar suara orang-orang tertawa geli, seperti juga mengejek.

Khuluk Khan terkejut mengetahui ada musuh, dan ia kagum untuk tajamnya pendengaran Bun Siu Thang, karena ia mengetahui kedatangan tamu tak diundang itu. Segera juga tangannya meraih Giok-sie, dan memasukkan ke dalam sakunya.

Beberapa orang pahlawan kerajaan juga telah melompat ke samping Khuluk Khan, untuk melindunginya dari segala kemungkinan.

“Tikus mana yang berani lancang datang ke mari? Cepat perlihatkan diri!” bentak Bun Siu Thang sambil menjejakkan kakinya, tubuhnya ingin melompat ke langit-langit ruangan yang telah berlobang akibat hantamannya itu.

Tapi waktu tubuhnya baru melayang dua tombak lebih dari lantai, dari atas telah meluncur turun sesosok tubuh. Gerakan orang itu lincah dan tangannya sebat. Sinar kuning berkelebat menyambar ke arah muka Bun Siu Thang.

Terkesiap Bun Siu Thang menerima serangan seperti itu, tidak berayal lagi ia mencabut pedangnya, mengibaskan untuk menangkis sambatan senjata lawan.

“Tranggg…….!” terdengar benturan dua senjata itu, Bun Siu Thang mempergunakan kesempatan tersebut buat meluncur turun, dan lalu hinggap di lantai tanpa kurang sesuatu.

Masih bagus Bun Siu Thang memiliki kepandaian yang tinggi, jika memang tidak, jangan harap ia bisa meloloskan diri dari serangan setengah membongkong dari orang yang tengah meluncur turun itu. Diam-diam Bun Siu Thang mengucurkan keringat dingin, sebab ia membentur pedangnya dengan senjata lawan, menyebab kan telapak tangannya pedih dan sakit.

Orang yang meluncur turun dari atas langkan itu, telah hinggap ringan di lantai tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Itulah gin-kang yang terlatih mahir. Menyusul dengan orang itu segera melompat turun dua orang lainnya.

Ternyata orang yang turun pertama adalah seorang lelaki berusia hampir enampuluh tahun, di tangannya tercekal seruling emas dan digerak-gerakannya berulang kali, sikapnya angkuh sekali. Ia memiliki potongan muka kuaci, dan matanya sipit seperti mata tikus. Dan telinganya lebar sebelah kanan, dibandingkan dengan sebelah kirinya. Lebarnya daun telinga yang kanan melebihi dari daun telinga yang wajar.

Dua orang kawannya itu adalah seorang laki-laki berpakaian seperti petani, dengan senjatanya sebatang cangkul terbuat dari perak. Kelihatannya berat cangkul orang yang berpakaian seperti petani itu sedikitnya tigaratus kati.

Mukanya empat persegi, dadanya bidang dan kekar, matanya besar dan seperti tengah mendelik tampaknya bengis sekali. Kumisnya tumbuh kasar dan jarang- jarang. Tampaknya memang ia seorang yang berperangai kasar.

Yang seorang lagi adalah seorang laki-laki yang kurus tinggi. Mukanya panjang seperti potongan labuh. Dan ia memakai jubah seperti siucai (pelajar) dengan kipas terbuat dari emas digoyangkan tidak hentinya. Mukanya biasa saja, cuma di lihat dari bibirnya yang tipis, jelas dia seorang yang licik sekali.

“Hahaha,” Tertawa orang yang potongan mukanya seperti kuaci. “Tidak di sangka Bun Siu Thang telah memperoleh kemajuan yang mengagumkan?”

Bun Siu Thang dan kawan-kawannyapun merobah mukanya karena terkejut sekali. Melihat orang tua berpotongan muka seperti kuaci itu seketika mereka mengenalinya.

“Kong-yang Sun. Rupanya kau……?” suara Bun Siu Thang agak tergetar.

Orang tua itu, tidak menanti Bun Siu Thang menjelaskan kata-katanya, telah memotongnya: “Benar! Tepat sekali. Memang kami berkunjung untuk main-main kemari dan juga kami ingin ikut merasakan keberuntungan menyaksikan Giok-sie.......!” Dingin sekali suara Kong-yang Sun.

Walaupun ia berkata-kata dengan sabar, tapi di dalam nada suaranya terdapat sesuatu yang mengerikan. Ia mengibaskan seruling di tangan kanannya itu dua kali, kemudian katanya:

“Telah lama aku kehilangan kegembiraan untuk meniup serulingku, karena selama itu aku rindu kepada Giok-sie. Siapa tahu, justeru kini aku memiliki keberuntungan buat ikut menyaksikan betapa agung dan angkernya Giok-sie!”

Muka Bun Siu Thang berobah jadi tidak sedap dilihat, dia menyadari bahwa kedatangan Kong-yang Sun bukanlah dengan maksud baik. Dan ia telah mengerling kepada rekan-rekannya agar mereka bersiap-siap, karena Bun Siu Thang menyadari akan terjadi pertempuran yang sulit dihindarkan.

Khuluk Khan juga waktu itu bersiap-siap untuk mengundurkan diri ke ruang lain. Ia telah menggeser kedua kakinya pelahan-lahan dengan maksud mempergunakan kesempatan tamu-tamu tidak diundang itu tidak memperhatikannya, dan tengah sibuk bicara dengan Bun Siu Thang.

Ia ingin menyingkirkan diri karena bahaya tengah mengancam Giok-sie yang telah berada di sakunya, dipegangnya dengan tangannya, seakan juga ia kuatir kalau saja memang Giok-sie itu dapat terbang sendiri keluar dari sakunya.

Hanya saja, dua langkah dia menggeser kakinya, mendadak di dengarnya Kong-yang Sun bilang dengan suara yang dingin: “Selangkah lagi anda akan melangkah, maka jiwa anda sulit untuk dilindungi!”

Dingin luar biasa nada itu, mengandung hawa pembunuhan. Dan Kong-yang Sun bukan tengah bergurau, ia tengah mengawasi dengan tatapan mata yang tajam pada Khuluk Khan.

Semangat Khuluk Khan serasa terbang. Dia merupakan putera dari pangeran Doluk dan karena itu ia masih berdarah bangsawan Boan-ciu, dan ia dipangil dengan sebutan Ong-ya. Tapi walaupun memiliki kedudukan tinggi, ia sama sekali tidak mengerti ilmu silat.

Jika memang ilmu memanah dan juga menunggang kuda seperti orang-orang Mongol lainnya, memang ia mahir, namun jelas menghadapi orang-orang rimba persilatan dia tidak akan berdaya. Sekarang datang musuh yang menginginkan Giok-sie, jelas ini berbahaya sekali untuk dirinya.

Namun jika ia tetap ingin menyingkir, jelas orang-orang yang mengincar Giok-sie itu akan menerjang dan menyerangnya, kalau memang Bun Siu Thang berhasil melindunginya, jika tidak? Maka dengan sendirinya ia telah menahan langkah kakinya, dia berdiam diri dengan gelisah sekali.

Bun Siu Thang cepat-cepat merangkapkan sepasang tangannya menjura kepada Kong-yang Sun katanya: “Kong-yang Sun taihiap, telah lama memang kami mendengar nama besar Tayhiap. Hanya saja kami belum memiliki kesempatan untuk pergi menjenguk Tayhiap dan menunjukkan hormat, untuk itu kami memohon maaf.

“Tapi, sekarang ini disebabkan kesehatan Ong-ya kurang baik, biarlah kami yang melayani Tayhiap bertiga, dan Ong-ya akan mengundurkan diri dulu untuk beristirahat…….”

Kong-yang Sun tertawa gelak-gelak mendengar perkataan Bun Siu Thang seperti itu. “Hem memang kami bertiga yang tidak tahu diri, disaat Ong-ya kalian tengah kurang enak badan dan sakit, kami datang mengganggu. Sebetulnya kami ini juga menyesali sekali waktu yang tidak bertepatan ini.

“Namun kami memiliki satu urusan yang penting, yang ingin kami sampaikan kepada Ong-ya kalian, dan karena itu kami meminta, jika kami memohon, agar Ong-ya kalian tidak meninggalkan tempat ini dulu! Oh ya, jika memang tidak salah, Ong-ya kalian itu yang bernama Khuluk Khan, bukan? Keponakan dari Kaisar sendiri?”

Bun Siu Thang jadi salah tingkah. Ia memang sering mendengar akan kehebatan Kong-yang Sun. Iapun mengetahui kepandaian Kong-yang Sun sangat tinggi. Iapun seorang yang berperangai sangat aneh sekali, dan sulit sekali untuk didekati maupun juga untuk dilawan.

Pertama, ia paling sulit diajak berunding jika tengah menghadapi suatu persoalan. Tapi, untuk mengambil jalan kekerasan dengannya pun sulit karena kepandaiannya yang memang tinggi. Karena dari itu, tidak mengherankan jika Bun Siu Thang jadi salah tingkah.

Memang Kong-yang Sun terkenal sekali di daerah propinsi Ciat-kang, sebagai perampok tunggal. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi ia disegani, dan terlebih lagi dengan pekerjaannya sebagai begal tunggal yang acap sekali menurunkan tangan telengas dan kejam. Dan juga, iapun tak pernah mengampuni orang-orang yang jatuh ke dalam tangannya.

Duapuluh tahun Kong-yang Sun malang melintang, selama itu boleh dibilang ia tidak pernah memperoleh tandingan. Cuma saja, lima tahun terakhir sejak peperangan dan kerajaan Song selatan jatuh dalam tangan Kublai Khan, maka Kong-yang Sun telah lenyap dan ia seperti yang tidak pernah muncul dalam rimba persilatan. Tidak ada seorangpun yang mengetahui dimana ia sekarang berada.

Namun tidak disangka-sangka, justeru ia telah muncul di gedung Khuluk Khan. Sebelumnya banyak orang rimba persilatah menduga begal tunggal yang tangannya telengas itu, telah menghembuskan napasnya yang terakhir oleh serangan penyakit yang ganas. Tapi kini ia berdiri segar bugar dihadapan Bun Siu Thang.

Setelah menenangkan goncangan hatinya, Bun Siu Thang berpikir: “Hemmm, mustahil kami belasan orang tidak bisa menghadapi, kalian bertiga! Kepandaian kalian boleh tinggi, tapi kami akan mengantarkan jiwa untuk melindungi Giok-sie.”

Berpikir seperti itu, cepat-cepat Bun Siu Thang menjura lagi kepada Kong-yang Sun, katanya: “Kong-yang Tayhiap, sebetulnya ada kata-kata apakah yang hendak disampaikan Tayhiap buat Ong-ya kami?”

Kong-yang Sun mengibaskan seruling emasnya. ia tertawa, yang lebih mirip dengan menyeringai, melirik kepada kawannya yang kurus kerempeng berpakaian sebagai pelayan yang tak hentinya tengah mengibas-ngibaskan kipas emasnya. Katanya: “Adikku, apa yang ingin kita katakan kepada Ong-ya dari Bun Tayjin.”

Muka Bun Siu Thang berobah merah, karena ia disebut Bun Tayjin, pembesar Bun. Ia tahu dirinya tengah diejek, walaupun ia sebagai pahlawan kerajaan, tapi jika orang mengejek dengan sebutan Bun Tayjin, jelas ia tersinggung.

Ada sebabnya, ia orang Han. Dan hanya bertekuk lutut pada kerajaan penjajah bekerja untuk bangsa Boan. Dan jika ada orang yang sengaja memperolok-olok sebutannya dengan Bun-tayjin ia jadi malu bercampur murka.

Sedangkan kawan Kong-yang Sun, yang berpakaian sebagai pelajar sambil mengibas-ngibaskan kipasnya telah tertawa. Aneh sekali suara tertawanya, tidak sedap didengar, dan seperti suara wanita, perlahan dan juga suara tertawanya itu mengandung nada maupun hawa pembunuhan.

“Ya, memang kita memiliki persoalan yang penting dengan Ong-ya dari Bun Tayjin,” katanya kemudian setetah tertawa panjang, sambil berkata begitu tampak ia melangkah perlahan-lahan mendekati Bun Siu Thang.

Malah waktu masih terpisah beberapa tombak, dengan gerakan yang perlahan ia mengerakkan kipas emasnya. Luar biasa, dari kipasnya menyambar angin yang menyampok kuat sekali kepada Bun Siu Thang.

Waktu itu memang Bun Siu Thang telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, namun tidak urung ia kaget juga waktu serangkum angin yang kuat sekali menerjang kakinya. Dan juga diwaktu itu kuda-kudanya telah tergempur.

Ketika Bun Siu Thang cepat-cepat memperbaiki kuda-kuda sepasang kakinya justeru sudah terlambat. Karena kawan Kong-yang Sun mengibaskan kipasnya lagi, seketika tubuh Bun Siu Thang terjengkang, bergulingan di lantai diiringi teriakan kaget bercampur kesakitan.

Kong-yang Sun tertawa bergelak-gelak menyaksikan semua itu, dan ia telah melangkah maju juga.

“Khuluk Khan!” katanya dengan suaranya nyaring dan bengis. “Kau silahkan memilih menyerahkan Giok-sie pada kami atau memang kalian semua akan binasa!” Setelah berkata begitu Kong-yang Sun tertawa bergelak-gelak.

Belasan orang kawan Bun Siu Thang, para pahlawan kerajaan segera melompat maju untuk mengepung Kong-yang Sun dan dua orang kawannya itu, mereka menyadari bahwa bahaya tengah mengancam mereka.

Tapi, kawan Kong-yang Sun yang berpakaian sebagai pelajar telah mengibaskan kipas emasnya. Seketika bergemuruh suara menderunya angin yang kuat.

Tiga orang pahlawan kerajaan terjungkel bergulingan. Mereka merasakan tulang-tulang mereka seakan juga hendak terlepas.

Khuluk Khan waktu itu tidak berani membuang-buang waktu, ia memutar tubuhnya, segera berlari akan menyingkirkan diri. Namun Kong-yang Sun mana mau membiarkan Khuluk Khan pergi begitu saja. Bukanlah Giok-sie berada di saku Khuluk Khan?

Karena itu, segera juga ia menjejakan kakinya, tubuhnya melesat pesat sekali, dia pun telah membentak bengis: “Khuluk Khan, kau jangan bermimpi untuk pergi dari tempat ini dengan selamat jika tidak mau menyerahkan Giok-sie kepada kami. Terimalah ini!”

Ia menggerakkan serulingnya, dan berkesiuran angin yang kuat sekali ke punggung Khuluk Khan, malah, ujung seruling itu bermaksud akan menotok jalan darah Yan-hu-hiat di punggung Khuluk Khan. Dan serangan itu bukan totokan sembarangan, itulah totokan yang bisa mematikan korban totokan itu.

Khuluk Khan memang tidak memiliki ilmu silat yang berarti, dia cuma mahir menunggang kuda dan melepaskan panah. Karena itu biarpun ia merasakan di belakang pungungnya menyambar angin serangan yang begitu kuat, akan tetapi tetap saja dia tidak berdaya untuk menghindari diri.

Malah di waktu itu terlihat, dia hampir saja tertotok. Jika memang tidak ada seorang pahlawan kerajaan, yang telah melesat pesat dan menggerakkan pedangnya, menangkis dengan kuat, sehingga membuat seruling dari Kong-yang Sun melesat ke samping, tidak berhasil menotok tepat pada sasarannya.

Khuluk Khan walaupun tidak memiliki ilmu silat, namun sebagai seorang yang cerdik segera juga dia membuang dirinya ke samping bergulingan di lantai. Barulah kemudiam dia melompat berdiri lagi.

Celakanya justeru dia berdiri, Khuluk Khan segera mengetahui bahwa Giok-sie yang tadi telah keluar dan terjatuh menggeletak di lantai. Mengetahui itu, cepat-cepat Khuluk Khan memutar tubuhnya. Dia bermaksud berjongkok untuk mengambil Giok-sie itu.

Cuma saja Kong-yang Sun yang juga melihat Giok-sie jatuh ke lantai dan menggeletak di situ, tidak mensia-siakan waktu lagi, ia melesat cepat sekali. Tubuhnya bagaikan seekor elang, melompat menubruk Giok-sie.

Gerakan Khuluk Khan mana bisa menyamai kecepatan gerakan tubuh Kong-yang Sun karena itu, Kong-yang Sun yang tampak akan menguasai Giok-sie.

Kong-yang Sun gembira bukan main melihat sebentar lagi Giok-sie akan terjatuh di dalam tangannya, dan untuk selanjutnya tidak begitu sulit ia mempertahankannya, karena kepandaiannya yang memang tinggi sekali.

Tapi dikala tangan Kong-yang Sun yang terulur tinggal satu tombak lagi, justeru diwaktu itu terlihat betapa sesosok tubuh menerjang nekad sekali, sengaja sosok tubuh itu membenturkan tubuhnya kepada tubuh Kong-yang Sun kemudian ia telah mengulurkan tangannya bermaksud akan mengambil Giok-sie.

Bukan main murkanya Kong-yang Sun, karena dengan dibentur tubuhnya orang itu gagallah usaha Kong-yang Sun untuk memperoleh Giok-sie, tubuhnya sampai terdorong beberapa tombak. Orang itu tidak lain Bun Siu Thang.

Rupanya tadi setelah terpelanting, Bun Siu Thang cepat sekali melompat berdiri. Betapa kagetnya Bun Siu Thang ketika menyaksikan bahwa Giok-sie tengah terancam dirampas oleh Kong-yang Sun, diwaktu mana tubuh Kong-yang Sun tengah melayang di tengah udara.

Sedangkan Khuluk Khan yang memang tidak memiliki ilmu silat tentu tidak bisa untuk mempertahankan Giok-sie dari sambaran Kong-yan Sun dengan segera tanpa berpikir dua kali lagi, Bun Siu Thang segera melompat untuk menerjang tubuh Kong-yang Sun. Usahanya memang berhasil, benturan yang dilakukannya dengan sekuat tenaga, membuat tubuh Kong-yang Sun oleng dan uluran tangannya hendak merampas Giok-sie jatuh di tempat kosong.

Mempergunakan kesempatan Bun Siu Thang sendiri yang telah menyambar Giok-sie. Ia berhasil, Giok-sie dicekalnya sangat kuat. Malah melesat ke tengah udara, dia bermaksud melarikan diri dari ruangan.

Kong-yang Sun yang tengah murka segera membentak: “Mau kabur ke mana kau?” Membarengi itu serulingnya telah bekerja, dia melompat sambil menotok.

Bun Siu Thang merasakan sambaran angin serangan seruling lawan, dia mempergunakan tangan kirinya buat menangkis ke belakang, tapi tubuhnya tetap meluncur, dan ketika tangannya saling bentur dengan seruling Kong-yang Sun, justeru tubuhnya itu telah terpental semakin kuat, sebab di saat itu tubuhnya seperti didorong oleh kekuatan yang hebat berasal dari seruling lawan.

Bun Siu Thang gembira sekali, ia yakin akan dapat melarikan diri keluar. Di dalam beberapa detik itu ia sudah memutuskan, begitu ia tiba di luar, maka dia akan melarikan diri sekuat tenaganya, dia akan menyembunyikan diri dan jika telah aman dia akan langsung melakukan perjalanan ke kota raja, untuk menyerahkan langsung Giok-sie kepada Kaisar Kublai Khan!

Dengan demikian sudah terbayang betapa hadiah yang akan diterimanya. Dan juga sedikitnya Kublai Khan akan memberikan pangkat yang tidak rendah! Dan sudah tidak mau memikirkan lagi, keselamatan Khuluk Khan.

Tapi disaat dia tengah gembira seperti itu, justeru tiba-tiba dadanya seperti dihantam palu yang besar sekali, matanya menjadi gelap dan tubuhnya seperti menubruk sesuatu yang keras melebihi baja. Terpental balik, jatuh ambruk di lantai dan kemudian pingsan.

Rupanya, di kala Bun Siu Thang menangkis serangan seruling Kong-yang Sun, ia segera menggerakan tangan kirinya ke belakang dengan kepalanya menoleh ke belakang dan juga melirik. Namun tidak diketahuinya bahwa kawan Kong-yang Sun yang seorangnya lagi yang tubuhnya tinggi besar dengan muka empat persegi yang berpakaian sebagai petani dan membawa senjata pacul yang terbuat baja hitam itu, tetah diayunkannya dengan kuat.

Tentu saja dada Bun Siu Thang seperti memapak pacul itu, dan seketika dia telah kena dihantam kuat sekali. Itulah sebabnya mengapa tubuh Bun Siu Thang terpental dan bergulingan ke belakang, terbanting di lantai dan pingsan tidak sadarkan diri.

Kong-yang Sun berdua dengan kawannya yang berpakaian seperti petani itu serentak melompat kepada Bun Siu Thang, mereka mengambil Giok-sie.

Namun enam orang pahlawan kerajaan segera mengepung mereka, menghalangi mereka mengambil Giok-sie yang masih tercekal di tangan Bun Siu Thang.

Ternyata, Kong-yang Sun memang benar-benar lihay, sebab dia bisa mempergunakan serulingnya dengan cepat sekali, setiap serangannya tentu berhasil merubuhkan seorang lawan. Setelah menggetakkan serulingnya beberapa saat, tampak empat orang kawan Bun Siu Thang rubuh tidak bergerak, sebab tertotok.

Sedangkan kawan Kong-yang Sun juga telah berhasil menotok jalan darah seorang pahlawan kerajaan, menghantam punggung seorang pahlawan kerajaan yang lainnya dengan paculnya. Seketika orang itu pingsan.

Tapi waktu itu telah datang empat orang pahlawan kerajaan yang lainnya.

Ke dua orang itu, Kong-yang Sun berdua dengan kawannya yang berpakaian sebagai petani itu, telah menghadapi empat orang pahlawan kerajaan. Kali ini tidak mudah Kong-yang Sun berdua kawannya merubuhkan empat orang pahlawan ini, karena ke empat orang pahlawan kerajaan ini justeru memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.

Tidak sabar lagi Kong-yang Sun menyerang semakin hebat, dan dia ingin cepat-cepat bisa merubuhkan empat orang pahlawan itu, karena memang ia sudah tidak sabar ingin merampas Giok-sie.

Dikala Kong-yang Sun dan kawannya yang berpakaian sebagai petani sibuk menghadapi empat orang pahlawan kerajaan itu, pertempuran yang melibatkan mereka pada keadaan yang tidak memungkinkan memecah perhatian, justeru kawan Kong-yang Sun yang seorang itu, yang berpakaian sebagai pelajar, telah melompat ke samping tubuh Bun Siu Thang yang masih pingsan.

Sambil tertawa dengan nada yang nyaring melengking seperti tertawa seorang wanita dia telah mengambil Giok-sie dan menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat keluar ingin meninggalkan gedung itu.

Kong-yang Sun berdua kawannya yang berpakaian sebagai petani jadi girang, mereka yakin, begitu kawan mereka dapat mangambil Giok-sie dan bisa melarikan diri, niscaya Giok-sie sudah jatuh ke dalam tangan mereka.

Jika sebelum tadi Kong-yang Sun berdua kawannya mati-matian buat merubuhkan empat orang pahlawan itu, sekarang mereka justeru hanya melihat ke empat orang pahlawan kerajaan itu, agar tidak sempat mengejar kawannya yang berpakaian sebagai pelajar.

Empat orang pahlawan itu segera juga kelabakan dan bingung, mereka sempat menyaksikan betapa Giok-sie telah kena diambil oleh kawannya Kong-yang Sun, karena itu mereka herusaha memisahkan diri dari dua orang lawan mereka, untuk mengejar kawan Kong-yang Sun yang seorang itu.

Akan tetapi mereka tidak berhasil, karena usaha mereka selalu gagal, dimana Kong-yang Sun berdua kawannya yang bersenjata pacul selalu merintanginya.

Dengan gerakan “Naga Melompat ke Mega”, tampak salah seorang pahlawan kerajaan yang berusia limapuluh tahun, rupanya nekad hendak mengejar orang yang melarikan Giok-sie. Dia tidak membiarkan totokan seruling Poan-koan-pitnya dan tubuhnya melesat hendak keluar dari kalangan.

“Tranggg!” Senjata Kong-yang Sun saling bentur keras sekali dengan senjata orang itu.

Dan tubuh orang itu, dengan meminjam tenaga serangan seruling Kong-yang Sun, melesat ke arah pintu. Pahlawan kerajaan ini memang nekad dan kalap, walaupun bagaimana ia hendak mencegah dirampasnya Giok-sie.

Kong-yang Sun tertawa dingin: “Hem mau kemana kau?” membarengi dengan itu tubuhnya juga telah mengejar dengan pesat, seruling dua kali bergerak akan menotok. Dia mempergunakan jurus “Capung Mematuk air Tiga Kali”

Dan dia juga telah menghantam lagi dengan jurus berikutnya: “Harimau Menggoyangkan Ekornya” dimana serulingnya telah menyambar ke jalan darah yang mematikan di punggung pahlawan kerajaan tersebut, karena yang diincarnya adalah jalan darah “Wie-tiong-hiat”!

Kali ini pahlawan kerajaan tersebut tidak berani berlaku ayal, ia menangkis. tapi, itulah serangan menggertak belaka karena Kong-yang Sun segera menarik pulang serulingnya, disusul kemudian dengan totokan sesungguhnya mempergunakan jurus “Yang Liu Bergoyang Dihembus Angin” dimana serulingnya digentakan dan tidak diketahui arah dan sasaran mana yang dipilihnya, karena serulingnya itu seperti juga mengincar delapan jalan darah di tubuh pahlawan kerajaan yang seorang itu.

Karena tengah bingung dan pikirannya juga kalut melihat Giok-sie dilarikan musuh maka pahlawan kerajaan itu tambah panik melihat datangnya serangan aneh seperti itu. Ia berusaha menyampok dengan Poan-koan-pitnya cuma saja dia gagal.

Totokan dari lawannya, yang disangka akan menotok lengannya ternyata menyambar ke perutnya, Tidak ampun lagi seketika ia rubuh terguling tidak bisa bergerak lagi.

Malah diwaktu itu juga terlihat, betapa seruling dari Kong-yang Sun tidak diam saja setelah berhasil menotok salah satu jalan darah di tubuh pahlawan kerajaan itu. Dia mengemplang kepala pahlawan kerajaan itu.

“Tukk!” batok kepala dari pahlawan kerajaan itu telah kena dihantam dan seketika remuk! Napasnya juga seketika melayang meninggalkan raganya!

Itulah ketelengasan dari Kong-yang Sun, dia tidak mau rewel lagi, kalau-kalau nanti pahlawan kerajaan itu, yang berhasil membebaskan diri dari totokan akan mempersulit lagi, dan ia lebih baik memilih membunuh mati saja pahlawan kerajaan tersebut.

Sedangkan si petani yang bersenjata pacul itu telah menyerang hebat kepada sisa tiga orang pahlawan kerajaan. Dia menggerakkan paculnya yang diputarnya dengan cepat, angin menderu-deru dengan dahsyatnya.

Segera tiga pahlawan kerajaan itu berhasil menenangkan hati mereka, karena mereka menyadari, jika mereka tidak bisa tenang berarti mereka akan rubuh dan terbinasa di tangan lawan mereka yang telengas itu. Mereka tidak mau memikirkan Giok-sie lagi, mereka bertiga segera menggabung tenaga dan pikiran menjadi satu, mereka menyerang dengan kerja sama yang baik, dan setiap serangan mereka juga mengandung maut bagi lawan.

Begitulah, mereka melakukan pertempuran dengan seru, mati-matian seakan juga mempertaruhkan jiwa masing-masing.

Kong-yang Sun segera berseru pada kawannya: “Anak kambing dibawa harimau.” Dan ia sendiri telah melesat keluar untuk berlalu.

Dengan kata-kata sandi itu ia ingin menganjurkan pada kawannya agar meninggalkan tiga orang pahlawan kerajaan itu, karena Giok-sie telah dibawa pergi oleh kawan mereka.

Petani yang bersenjata pacul tidak membuang waktu lagi mendesak dengan paculnya yang menyambar dengan hebat sekali, dia memutarnya ke sana ke mari dengan tenaga serangan yang mendatangkan angin menderu-deru. Dan diwaktu lawan-lawannya mengelak mundur, ia mempergunakan kesempatan itu buat menjejakkan kakinya, tubuhnya seketika melambung ke dekat pintu, dia menyusul Kong-yang Sun untuk melarikan diri.

Tapi baru saja tubuhnya hinggap di lantai dekat pintu, mendadak sekali mendengar jeritan.

“Aduh.......!” Disusul dengan suara “Bukk! bukk!” Beberapa kali, dan sosok tubuh melayang menyambar kepada dirinya, maka dengan terkejut, dengan mengeluarkan seruan heran dan kaget, tampak si petani yang bersenjata pacul itu mengayunkan paculnya, dia ingin memacul sosok tubuh yang tengah melayang menyambar ke dirinya.

Tapi waktu paculnya digerakan, dia bisa melihat jelas bahwa sosok tubuh yang tengah menyambar ke dirinya tidak lain dari kawannya sendiri, yaitu Kong-yang Sun!

Bukan main terkesiap hati si petani, dia segera mati-matian, menarik pulang paculnya agar paculnya itu tidak menyerang kawannya sendiri. Tapi karena menyambarnya sosok tubuh itu cepat sekali, dia pun terpaksa harus membuang dirinya sendiri bergulingan di lantai. Jika tidak tubuhnya akan kena diterjang oleh Kong-yang Sun dan paculnya akan menghantam Kong-yang Sun!

Dan baru saja dia ingin bangkit didengarnya suara bantingan yang keras sekali, karena Kong-yang Sun terbanting di lantai. Demikian juga terdengar suara jeritan tertahan, yang seperti tidak bisa keluar dari lehernya.

Belum lagi berkurang rasa kaget dan herannya, si petani melihat keadaan kawannya itu, tahu-tahu berkesiuran angin lagi yang menyambar kepada dirinya. Dia kaget tidak terkira, bersiap-siap dengan paculnya dia memutar tubuhnya. Kembali hatinya tercekat, terkesiap melihat yang menyambar ke dirinya tidak lain dua kawannya juga yang berpakaian sebagai pelajar.

Dia melompat berkelit ke samping kanan, dan berusaha mengeluarkan tangan kirinya buat menjambret tubuh kawannya. Tapi gagal, tubuh kawannya terbanting di lantai, mengeluarkan suara jeritan tertahan, seperti suaranya juga itu menyumbat tenggorokannya. Paculnya untung saja bisa disingkirkan sehingga tidak memacul kawannya yang berpakaian sasterawan tersebut.

Di waktu itu, segera juga dilihatnya, tepat di ambang pintu, melintang untuk menghalangi mereka keluar, sesosok tubuh berpakaian panjang, thung-shia, yang berwarna hijau, berdiri dengan tubuh yang tegak. Merekalah seorang laki-laki tua yang jenggotnya telah memutih panjang dan muka dingin.

Hati petani itu tambah terkesiap lagi setelah melihat jelas orang itu. Dia sampai mundur dua langkah ke belakang, dengan tubuh agak tergetar. Jantungnya tergoncang keras, matanya terbeliak lebar-lebar, samar-samar terdengar dia mengucapkan:

“Oey....... Oey....... Locianpwe....... Oey…. Yok.. Su..?!” Seakan juga tidak mempercayainya apa yang dilihatnya.

Sosok tubuh berbaju hijau tersebut tertawa dingin, katanya dengan tawar: “Hemmm, kalian ternyata bermaksud memiliki Giok-sie, sungguh suatu cita-cita yang terlalu melambung tinggi dan….. tahukah kalian, jika memang kalian menginginkan Giok-sie, berarti kalian harus mempersembahkan jiwa kalian?!”

Kata orang itu dibarengi dengan tangannya yang digerak-gerakkan untuk menimang-nimang Giok-sie yang telah dirampasnya dari tangan kawannya Kong-yang Sun. Orang itu memang tidak lain Oey Yok Su, majikan pulau Tho-hoa-to.

Tubuh si petani jadi tergoncang keras sekali, dan dia mencelos setelah yakin babwa orang yang berdiri di ambang pintu memang tidak lain dari Oey Yok Su. Dengan demikian kandaslah cita-citanya.

Ia mengetahui manusia apa Oey Yok Su. Dan walaupun sekarang ini dia tumbuh sepasang sayap dan punya enam tangan tiga kepala, jangan harap dia bisa menghadapi tokoh rimba persilatan yang sakti itu!

Kepandaian Oey Yok Su yang sempurna itu memang sukar dijajaki, dan ia meyakinkan dirinya sendiri, begitu ia menyerang Oey Yok Su justeru ia sendiri yang akan terbinasa. Lututnya juga seketika jadi lemas. Tanpa disadarinya, dia telah menekuk kedua kakinya, berlutut, dan memanggut-manggutkan kepalanya.

“Ampunilah, ampunilah Siauw-jin (hamba yang rendah)....... Harap Oey locianpwe mengampuni kami.......!” Dia sesambatan.

Oey Yok Su berdiri tegak dengan muka yang dingin, tidak terlihat perasaan apapun juga pada mukanya itu, sehingga mukanya yang dingin itu bagaikan muka mayat. Pucat dingin dan tidak ada senyumnya. Tangannya masih juga menimang-nimang Giok-sie.

Demikian juga halnya dengan tiga orang pahlawan kerajaan, yang jadi ketakutan setelah mengetahui yang muncul itu Oey Yok Su, tokoh sakti, majikan Pulau Tho-hoa-to. Merekapun menggigil dan berlutut.

Mereka tahu perangai Oey Yok Su, yang bisa turunkan tangan telengas disamping memang kepandaiannya yang sangat tinggi dan sulit untuk dihadapi. Karena dari itu merekapun cepat-cepat memanggut-manggutkan kepala berulang kali sambil memohon pengampunan.

Demikian takutnya orang-orang tersebut, malah sikap mereka memuakan hati Oey Yok Su, ia berdiam diri saja, sampai akhirnya ia bertanya dengan suara yang dingin. “Apakah kalian melihat seorang, anak laki-laki berusia sepuluh tahun lebih……. Ia memiliki tubuh yang berbulu.” Suara Oey Yok Su terdengar perlahan sekali, sambil bertanya ia menyapu sekeliling ruangan tersebut.

Salah seorang dari tiga orang kerajaan itu telah mengangkat kepala. Ia segera dapat menduga, tentu yang dicari Oey Yok Su adalah Kim Lo.

Bukankah Kim Lo memang sudah mengakui bahwa kong-kongnya adalah Oey Yok Su. Dan rupanya pernyataan anak itu memang tidak salah. Rasa takut semakin hebat mengusai hatinya.

Untuk bermuka-mukaan pada Oey Yok Su, segera juga pahlawan kerajaan yang seorang itu berkata.

“Apakah....... apakah Oey Locianpwe, mencari seorang anak bermuka seperti kera, yang mengakui dirinya sebagai cucu Oey Locianpwe?”

Baru selesai orang tersebut bertanya seperti itu, berkelebat bayangan hijau, disusul dengan jeritan orang itu, yang tubuhnya terpental keras. Oey Yok Su yang mendengar cucunya disebut bermuka kera jadi murka bukan main, wajahnya dingin sekali ketika ia berkelebat melompat ke dekat orang itu.

Demikian cepatnya ia bergerak, sehingga yang terlihat cuma bayangan hijau belaka, dan tangannya bekerja mengibas membuat tubuh orang itu terpental. Tapi tenaga kibasan itu demikian hebat, menghantam dada pahlawan kerajaan yang seorang itu, membuat dia sesak napas, pandangan matanya gelap dan pingsan menggeletak di lantai tidak sadarkan diri setelah memuntahkan darah segar dua kali.

Masih untung Oey Yok Su turunkan tangan tidak terlalu keras dan memang tidak bermaksud mengambil jiwanya. Jika saja Oey Yok Su menambahkan tenaganya sedikit lagi pada kibasan tangannya itu niscaya akan membuat pahlawan kerajaan itu terbinasa di saat itu juga.

Dan Oey Yok Su sendiri menyesal telah membuat orang itu rubuh pingsan, bukankah justeru orang itu yang mengetahui di mana adanya Kim Lo? Tapi seketika ia teringat masih ada beberapa orang pahlawan kerajaan yang lainnya, segera juga ia memutar tubuhnya.

Kebetulan dilihatnya dua orang pahlawan kerajaan dan si petani bersenjatakan pacul itu tengah melesat akan melarikan diri ke dekat pintu. Rupanya mereka hendak mempergunakan kesempatan Oey Yok Su meninggalkan pintu, mereka mau melarikan diri.

“Mau kemana kalian?” tegur Oey Yok Su dengan suara yang dingin, malah tubuh Oey Yok Su telah melesat sangat cepat sekali, tangannya digerakkan, maka terdengar seruan kaget tiga orang itu, tubuh mereka terpelanting kembali ke dalam ruangan. Begitu cepat Oey Yok Su menyusuI mereka dan juga serangannya membuat tiga orang itu tidak keburu melangkah ke luar dari pintu.

Malah si petani yang bersenjata pacul tersebut, tadi waktu Oey Yok Su ingin mengulurkan tangannya hendak menjambak punggungnya buat melemparkannya, dia berusaha menyapu dengan paculnya. Dia bermaksud mencegah agar dirinya tidak kena dicengkeram, tentu jelas ia masih memiliki kesempatan buat melarikan diri keluar dari pintu itu.

Cuma saja, justeru yang dihadapinya adalah tokoh sakti yang kepandaiannya sulit untuk dijajaki lagi, karenanya ayunan paculnya itu seperti menghantam tempat kosong, dan tubuhnya yang terjerunuk. Waktu dia berusaha memperkuat dan memperbaiki kuda-kuda sepasang kakinya, justeru diwaktu itu Oey Yok Su menghantam dengan telapak tangannya pada punggung orang itu, sehingga dia merasakan tulang punggungnya seperti juga hendak patah hancur, dia terjerunuk dan terguling di lantai! Kemudian, untuk sejenak lamanya dia tidak bisa bangun, dia merintih kesakitan.

“Manusia-manusia tidak tahu malu!” menggumam Oey Yok Su dengan suara yang dingin menyeramkan. “Kalian merupakan manusia rendah yang tidak perlu dibiarkan hidup lebih lama lagi. Sekarang aku yakin, pasti kalian yang telah mengganggu cucuku.......!” Setelah berkata begitu, Oey Yok Su yang telah berdiri tegak kembali diambang pintu mengawasi dengan sorot mata yang sangat tajam.

Dua orang pahlawan kerajaan dan si petani bersenjata pacul itu menggigil ketakutan. Malah si petani telah bilang dengan suara gemetar:

“Oey locianpwe, sungguh........ sungguh kami tidak tahu menahu perihal cucu Oey locianpwe, kami datang kemari untuk mencari Khuluk Khan, dan kami tak pernah melihat seorang anak lelaki yang locianpwe maksudkan…...!”

Tapi Oey Yok Su tak melayani kata-kata orang itu, ia menoleh mengawasi tajam kepada dua orang pahlawan kerajaan itu, katanya bengis: “Cepat beritahukan, di mana cucuku?”

Dua orang pahlawan itu menyadari, sulit sekali mereka berharap bisa hidup terus, karena usaha mereka untuk melarikan diri telah gagal, berarti Oey Yok Su tidak akan mengampuni mereka.

“Kami…… kami cuma mengurungnya....... mengurungnya!” kata salah seorang diantara mereka dengan suara yang tidak lancar.

Oey Yok Su tidak sabar, tubuhnya berkelebat. Belum lagi pahlawan kerajaan yang seorang itu menyadari apa yang terjadi, justeru bajunya telah dicengkeram oleh Oey Yok Su yang mengangkat tubuhnya. “Di mana cucuku?!”

Bengis sekali suaranya.

Pahlawan kerajaan itu ketakutan, tubuhnya menggigil. Diapun telah menunjuk ke arah dalam ruang itu.

“Di kamar itu……!” katanya tergagap.

“Baiklah!” Oey Yok Su membanting rubuh orang itu ke lantai. “Sekarang kalian masing-masing masih mau hidup atau tidak?”

Pahlawan kerajaan itu yang telah merangkak untuk berlutut, segera mengangguk-anggukkan kepalanya, tubuhnya menggigil, begitu juga dengan kawannya, dan si petani bersenjata pacul.

Mereka melihatnya, betapa lihaynya Oey Yok Su karena mereka yang biasanya garang dengan kepandaian yang lumayan, kini di hadapan Oey Yok Su seperti juga mereka anak-anak kecil yang tidak berdaya apa-apa. Mereka dapat diperlakukan sekehendak hati oleh Oey Yok Su.

Bahkan setiap kali Oey Yok Su menyerang mereka, sama sekali mereka tidak memiliki kesempatan buat menghindarkan diri. Karena dari itu, mereka jadi tambah ketakutan, mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Kami memang ingin memohon kemurahan hati Oey locianpwe……!” menyahuti mereka serentak.

“Hemmm,” mendengus Oey Yok Su. “Baik! Kalian akan diampuni dan cukup jika kalian menghadiahkan dua daun telingamu masing-masing! Ayo potong dua daun telinga kalian masing-masing!”

Rupanya mereka menyadari itulah hukuman yang paling ringan buat mereka, sama sekali tak berani berayal, karena mereka kuatir kalau saja Oey Yok Su merobah pendiriannya lagi. Cepat-cepat dua orang pahlawan kerajaan menggerakkan pedang mereka.

“Bles! Bles!” Sepasang daun telinga mereka masing-masing telah ditebas putus. Darah seketika mengucur deras sekali. Tapi mereka sambil menahan sakit, telah berlutut lagi: “Apakah........., apakah sekarang kami boleh pergi Oey locianpwe?”

“Hemmm!” dingin sekali wajah Oey Yok Su. “Menggelindinglah kalian!”

Dua orang pahlawan kerajaan itu tidak berani berayal. Mereka segera menganggukkan kepala mereka satu kali dan hendak berlalu.

“Tunggu dulu!” Bentak Oey Yok Su, “Kalian baru boleh pergi jika cucuku telah di bawa ke mari!”

Muka kedua pahlawan kerajaan itu berobah pucat. Mereka memutar tubuh, setelah saling lirik, akhirnya cepat-cepat mereka berlari ke dalam.

Oey Yok Su mengawasi si petani yang bersenjata pacul itu.

“Kau rupanya lebih sayang daun telingamu dari jiwamu?” tanyanya tawar.

Muka petani itu pucat pias. Dia ragu-ragu tapi tubuhnya semakin menggigil, tapi akhirnya dia jadi nekad tahu-tahu dia telah menerjang pada Oey Yok Su mengayunkan paculnya. Dia memang biasanya mengandalkan kepandaiannya malang melintang di dalam kalangan Kang-aow, sekarang berhadapan dengan Oey Yok Su dia mati kutu.

Memang dia mendengarnya bahwa Oey Yok Su merupakan seorang tokoh sakti, tapi dia tak yakin kalau memang melakukan perlawanan nekad, bisa terbinasa dengan mudah. Dia menyerang karena dia tidak rela daun telinganya dikutungkan. Dan paculnya itu menyambar cepat sekali pada Oey Loshia!

Oey Yok Su semakin dingin mukanya, dia mengawasi pacul itu menyambar semakin dekat padanya. Tapi sama sekali Oey Yok Su tidak bergerak dari tempatnya berdiri, cuma matanya saja yang bersinar semakin tajam dibandingkan dengan tadi.

Terdengar suara jeritan yang menyayatkan hati, tubuh si petani yang tengah meluncur di tengah udara, mendadak merandek karena kena dikibas oleh lengan baju Oey Yok Su, malah mukanya seketika pucat pias seperti putihnya kertas, dan tubuhnya terapung di tengah udara, di mana belum lagi tubuhnya meluncur turun terbanting di lantai, justeru mulutnya telah terpentang menyusuli jeritannya itu dengan memuntahkan darah segar berapa kali.

Tubuhnya segera ambruk di lantai tidak bergerak lagi, karena waktu tubuhnya tengah meluncur turun, napasnyapun telah berhenti. Rupanya Oey Yok Su telah turunkan kematian buatnya.

Lama juga Oey Yok Su berdiri disitu, dia mengawasi banyak orang yang pingsan, termasuk Khuluk Khan dan pahlawan kerajaan lainnya. Dan dua orang pahlawan kerajaan yang tadi diperintahkannya membawa Kim Lo belum lagi muncul, dia jadi curiga.

Segera tubuhnya berkelebat ke ruang dalam, ia melihat dua orang pahlawan kerajaan itu tengah berdiri mematung di depan kamar yang pintunya telah dibuka lebar.

Tubuhnya menggigil keras terlebih lagi waktu mereka melihat Oey Yok Su mendatangi, mereka kebingungan sekali. Muka mereka pucat pias. Malah mereka cepat-cepat berlutut memanggut-manggutkan kepala, sampai kening mereka membentur lantai dengan keras.

“Ampuni kami Locianpwe......... Ampuni kami…..!” Meratap mereka.

Hati Oey Yok Su tercekat, dia segera membentak: “Mana cucuku?”

“Telah…… telah diculik orang, Oey Locianpwe.......!” menyahuti dua orang pahlawan kerajaan itu dengan suara gemetar, tubuh mereka menggigil.

Oey Yok Su melompat masuk ke dalam kamar. Diapun jadi tertegun, matanya terpentang lebar.

Kamar itu kosong, Tapi pada dinding sebelah kanan tampak tembok telah berlobang besar sekali. Rupanya telah dihantam oleh sesuatu kekuatan yang sangat kuat dan di atas tembok, yang tepat di bagian dekat lobang yang besar itu, terlihat tulisan-tulisan dari tenaga yang sangat kuat, karena tampaknya huruf-huruf di tembok itu ditulis dengan mempergunakan jari telunjuk, tembok itu telah melesak dan lekuk-lekuk membentuk huruf, dan juga bunyinya agak luar biasa:

“Aku membutuhkan darah Sin-tong (anak ajaib) ini, karena itu aku mengambilnya. Harap kalian mengetahuinya! Aku Mo-in-kim-kun (Iblis Awan Pukulan Emas) sangat berterima kasih sekali pada kalian.”

Menggigil tubuh Oey Yok Su karena menahan murka. Tidak perduli iblis mana atau setan dari neraka sekalipun, tentu Oey Yok Su akan membinasakannya, jika berani mengganggu cucunya. Terlebih lagi ditembok itu ditulis dengan kata:

“Aku membutuhkan darah Sin-tong ini.......”

bahwa itu merupakan sesuatu yang sangat menyakitkan hati Oey Yok Su. Karena berarti orang itu, yang menyebut dirinya sebagai Mo-in-kim-kun, akan membunuh Kim Lo dan mengambil darahnya!

Tanpa memperdulikan lagi dua orang pahlawan kerajaan itu, yang masih ketakutan menggigil berlutut, karena mereka menduga Oey Yok Su pasti murka dan menurunkan tangan kematian padanya.

Oey Yok Su setelah melompat keluar dari lobang di tembok itu, ternyata tembok itu menghubungi dengan di luar dekat pekarangan gedung Khuluk Khan. Dan setelah melesat ke atas tembok, maka terlihat jalan raya.

Rupanya Mo-in-kim-kun mengambil jalan raya itu, sebab tidak ada jalan lainnya. Dilihat dari debu pada tembok itu, yang masih mengepul di dalam ruangan, maka Oey Yok Su yang memang berpengalaman, dapat menduganya bahwa Mo-in-kim-kun tentu belum pergi jauh.

Ia mementangkan gin-kangnya, tubuhnya secepat angin telah melesat menyusuri jalan itu. Berlari belasan lie, tiba di pinggiran kota, dia terus berlari.

Ada dua jalur jalan ke kiri ke kanan, Oey Yok Su ragu-ragu sejenak, namun matanya yang tajam melihat di atas tanah ada tanda bekas tapak kaki, walaupun tidak begitu jelas, namun dia segera menduga tentunya Mo-in-kim-kun telah menempuh jalan yang ke kanan itu. Dia segera mengempos semangatnya, dan mengejarnya.

Benar saja, setelah berlari beberapa lie, dia melihat sesosok bayangan di depannya. Dia pun mendengar suara tertawa bergelak-gelak di depannya itu:

“Hi-hi-hi-hi! Oey Loshia mari kita adu lari…….! Mengapa sejak tadi kau seperti orang bingung saja.”

Oey Yok Su tersadar. Rupanya Mo-in-kim-kun itu mengetahui perihal dirinya, juga mengetahui tentang kedatangannya di gedung Khuluk Khan. Dan memang Mo-in-kim-kun itu, yang rupanya memiliki kepandaian tinggi, bermaksud hendak mempermainkan dirinya.

Maka dari itu, Oey Yok Su tidak membuang waktu lagi, melesat berlari semakin cepat, sehingga saking cepatnya dia berlari, tidak dapat dilihat jelas wajah dan tubuhnya, cuma merupakan segulungan warna hijau dari warna bajunya.

Mo-in-kim-kun rupanya mengetahui Oey Yok Su mengejar lagi, dia berlari dengan di tangannya mengempit Kim Lo. Dia tidak jeri, malah dia tertawa dan berlari lagi.

Sekarang larinya semakin cepat. Ginkangnya rupanya mahir sekali. Jika tadi ia berlari tidak terlalu cepat, sehingga dia kena disusul Oey Yok Su itulah disebabkan Mo-in-kim-kun memang sengaja hendak mempermainkan Oey Yok Su, sengaja hendak menunggu sampai Oey Yok Su datang dekat padanya, dan baru akan diajaknya lomba lari.

Oey Yok Su jadi berpikir di dalam hatinya, entah siapa adanya orang itu, yang bergelar Mo-in-kim-kun tersebut? Dilihat gin-kangnya, tampaknya dia pun seorang tokoh sakti. Tapi Oey Yok Su mana mau memperdulikan hal itu.

Dia memang memiliki tabiat yang ku-koay dan sekarang dia telah ditantang oleh Mo-in-kim-kun, karenanya dia mengerahkan tenaganya, untuk berlari lebih cepat. Malah dihatinya telah timbul tekad, jika saja sampai terkejar, Mo-in-kim-kun itu akan dihajarnya sampai binasa. Terutama sekali untuk menyelamatkan Kim Lo dan juga untuk melampiaskan penasaran hatinya.

Mo-in-kim-kun memang memiliki gin-kang yang terlatih mahir sekali, karena dia bisa berlari begitu cepat sekali. Jarak mereka, antara Mo-in-kim-kun dengan Oey Yok Su, tidak semakin dekat, tetap saja Mo-in-kim-kun bisa menjaga jarak mereka itu seperti juga terpisah tetapi sejauh tiga tombak lebih.

Dan Mo-in-kim-kun sendiri berlari seperti bayangan saja, saking cepatnya sepasang kakinya seperti sudah menginjak tanah. Walaupun tangannya mengempit Kim Lo, rupanya tidak menjadi rintangan dan halangan buat dia berlari cepat.

Oey Yok Su semakin penasaran! Dia mengetahui siapa-siapa di dalam rimba persilatan yang memiliki gin-kang hampir berimbang dengannya tapi tidak pernah dia mengetahui ada seorang Mo-in-kim-kun yang memiliki gin-kang yang berimbang dengannya. Benar-benar dia sangat penasaran, karena sejauh itu ia mengejar masih juga belum berhasil untuk menyandak dan memperpendek jarak antara dia dengan Mo-in-kim-kun.

Dengan segera Oey Yok Su mengerahkan tenaganya lagi, mengemposnya, dia mengeluarkan suara siulan yang nyaring, tubuhnya mencelat semakin cepat.

Malah untuk memperlambat larinya Mo-in-kim-kun, dia telah menyentil dengan jari telunjuknya! Ternyata dalam keadaan seperti itu, Oey Yok Su terpaksa harus mempergunakan ilmu sakti It-cie-sin-kang, yaitu Jari Tunggal yang sakti.

Hebat memang angin serangan itu, walaupun mereka berpisah beberapa tombak, telah menderu menyambar punggung dari Mo-in-kim-kun, dan membuat Mo-in-kim-kun harus cepat-cepat mengibaskan tangan ke belakang.

“Hahaha........ hanya sebegini sajakah kepandaian daii Oey Loshia yang begitu terkenal menggetarkan rimba persilatan?” Tertawa Mo-in-kim-kun.

Di waktu itu, Oey Yok Su semakin penasaran, dia telah menghantam lagi dengan sentilan jari sakti It-cie-sin-kang, dari tenaga yang dipergunakannya kali ini jauh lebih kuat, karena dia mempergunakan delapan bagian tenaga dalamnya. Di dalam hatinya juga berpikir:

“Hem entah siapakah orang ini…… dia memang sengaja untuk mempemainkan diriku! Belum pernah aku bertemu dengan dia.......?”

Tapi karena penasarannya itu, membuat Oey Yok Su tidak segan-segan untuk mempergunakan ilmunya yang setinggi dan telengas, jika memang serangan seperti itu mengenai lawannya pada sasaran yang tepat, tidak perduli lawannya itu memiliki kepandaian yang tinggi, dia pasti akan celaka!

Tapi kali ini Mo-in-kim-kun tidak menangkis, dia cuma menggelak. Cara mengelakan serangan itu dilakukannya memang agak luar biasa, karena tubuhnya telah melesat ke depan lebih cepat tiga langkah, dengan begitu dia terhindar dari sentilan jari sakti Oey Yok Su. Dan juga telah membuat Oey Yok Su tertinggal semakin jauh juga.

Karenanya Oey Yok Su kembali harus mengempos semangatnya, dia berusaha dan larinya Mo-in-kim-kun, jika memang dia tidak mau tertinggal lebih jauh.

Di waktu itu Mo-in-kim-kun telah berkata lagi, dingin suaranya: “Oey Loshia, mari kita berlomba berlari! Mengapa engkau begitu pengecut main serang belakang? Ayo kerahkan tenagamu, mari kita berlomba berlari.......!”

Sambil berkata begitu, tampak Mo-in-kim-kun telah mengerahkan tenaganya dan berlari terus semakin cepat, diiringi dengan suara tertawanya yang semakin nyaring. Dia memang sengaja hendak memerintahkan Oey Yok Su.

Diwaktu itu terlihat Oey Yok Su benar-benar sudah naik darah, ia bersiul satu kali lagi seketika dia berlari dengan pesat sekali, jauh lebih cepat dari tadi. Malah ketika tangan kanannya digetakan, dia telah membentak: “Berhenti!”

“Apakah kau kira aku seekor kuda yang mudah untuk diperintahkan berhenti! Jika memang kau memiliki kepandaian, kejarlah aku, dan susullah aku, barulah aku akan berhenti berlari!” Mengejek Mo-in-kim-kun.

Tidak kepalang marahnya Oey Yok Su, dia mendelu sekali, sampai dia merasakan dadanya seakan-akan hendak meledak. Diwaktu itu dia telah mengeluarkan seluruh kekuatannya.

Tanpa mereka sadari, kedua orang yang tengah saling kejar itu, hanya di dalam waktu yang sangat singkat, telah duapuluh lie lebih yang mereka lalui.

Tapi setelah berlari sepuluh lie lagi, Oey Yok Su masih belum bisa mengimbangi lari dari orang itu. Mereka memang tampaknya seimbang gin-kangnya, sebab mereka itu berlari terus dengan jarak pisah yang tidak pernah berobah, tidak semakin jauh dan tidak menjadi semakin dekat.

“Hemmm, jika saja kau terkejar, aku akan membuat engkau menjadi manusia tidak bisa menjadi setanpun tidak dapat!” Berpikir di hati Oey Yok Su karena murka bukan main. Diam-diam dia juga menguatirkan sekali keselamatan jiwa Kim Lo.

Setelah mengempos lagi semangatnya, barulah Oey Yok Su memperpendek setengah tombak. Tapi kini dia sudah berusia lanjut, walaupun memang gin-kangnya sangat mahir dan ilmu silatnya sempurna, tokh faktor usia memegang peranan tidak kecil. Napasnya mulai memburu, dan napasnya itu juga agak pendek karena dadanya mulai sesak. Diam-diam Oey Yok Su mengeluh.

Kalau saja sepuluh tahun yang lalu, niscaya sampai di mana pun Mo-in-kim-kun melarikan diri, ia akan mengejarnya terus. Dan karena sudah menyadarinya bahwa tidak mungkin dia meneruskan cara mengejar seperti itu, dia mengeluark an tiga butir biji catur, dan melontarkannya.

Tiga butir biji catur itu menyambar ke kiri dan kanan kemudian yang sebutir lagi ke arah pinggang Mo-in-kim-kun.

Cara menyerang Oey Yok Su adalah menutup jalan larinya Mo-in-kim-kun lebih jauh. Dan benar saja, menerima serangan aneh seperti itu, Mo-in-kim-kun tidak berani main-main, dia telah mengibaskan tangannya yang satu untuk meruntuhkan biji catur yang menyambar ke pinggangnya, dia juga menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke udara, dia telah menghindarkan diri dari dua biji catur yang lainnya.

Dengan demikian, dia telah berhasil menghindarkan diri dari ancaman bahaya maut. Kalau saja salah satu dari biji catur itu mengenai sasarannya, niscaya lawan ini akan terbinasa diincar oleh biji catur itu adalah jalan darah yang mematikan!

Membarengi dengan biji catur tersebut justeru Oey Yok Su telah menghantam dengan mempergunakan telapak tangannya. Seketika tanah di bawah kaki dari Mo-in-kim-kun telah berhamburan seperti juga adanya ledakan yang memekakkan anak telinga!

Dan di waktu itulah, tampak tubuh Mo-in-kim-kun telah melesat ke tengah udara, dan hinggap di puncak sebatang pohon! Jika tidak, tentu ia akan terhantam oleh pukulan telapak tangan Oey Yok Su dan biji caturnya.

Oey Yok Su tidak membuang waktu sedikit pun juga, karena tubuhnya pun telah melambung ke tengah udara, kedua kakinya ringan sekali hinggap di puncak pohon yang satunya lagi. Dan tingginya pohon itu kurang lebih sembilan tombak, tapi juga merupakan tempat yang paling lunak dan alot, sehingga tubuh mereka jika tidak memiliki keseimbangan sempurna, niscaya akan jatuh oleh goyangan pucuk pohon tersebut.

Diam-diam Oey Yok Su heran dan bercampur kagum, dia tidak tahu entah siapa adanya Mo-in-kim-kun yang begitu hebat ilmu silatnya, dan rupanya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya. Karena dengan mengempit Kim Lo di tangannya, dia masih bisa menghadapi dan mengimbangi Oey Yok Su, itulah bukan suatu pekerjaan yang mudah.

Dengan, muka yang dingin tidak mengandung perasaan apa pun juga, Oey Yok Su membentak: “Jika selembar rambut saja dari cucuku itu terganggu walaupun kau melarikan diri ke ujung langit, tidak nantinya akan kubiarkan!”

Mo-in-kim-kun tertawa bergelak-gelak, suara tertawanya menggema di sekitar tempat itu.

“Jika aku hendak menghilangkan jejak, mengapa tadi aku harus menungguimu? Bukankah aku bisa saja membawa anak ini begitu saja dan kau akan kehilangan jejak?” Setelah berkata begitu, dia mengangkat tubuh Kim Lo.

Bocah itu dalam keadaan tertotok tidak bisa bergerak, cuma matanya belaka yang memandang pada Oey Yok Su dengan sorot seperti hendak meminta pertolongan Kong-kongnya. Oey Yok Su jadi semakin gusar kepada Mo-in-kim-kun, bengis sekali dia melesat menerjang kepada Mo-in-kim-kun.

Namun Mo-in-kim-kun telah mengelakannya, dia menggerakkan tubuhnya ke samping doyong di puncak pohon itu dan serangan Oey Yok Su gagal dan tubuhnya melayang tidak memiliki tempat berpijak, tapi dia lihay, maka dia mengeluarkan sebutir biji caturnya, dia segera melepaskan biji caturnya di dekat kakinya dan menjejak menotok biji catur itu, tubuhnya melesat lagi dan kembali ke puncak pohon di mana tadi dia berada.

“Hati-hati! Kau jangan menganggap rendah kepadaku! Memang selama ini kau merasakan dirimu sebagai jago nomor wahid dan tidak memiliki tandingan lagi! Jadi jika terhadapku kau memandang rendah, hem hem, tentu engkau sendiri yang akan rugi!” Dan setelah berkata begitu, kembali Mo-in-kim-kun tertawa bergelak-gelak,

Oey Yok Su mengawasi orang itu tajam sekali, dia melihat tubuh Mo-in-kim-kun tinggi besar. Dan wajahnya menyeramkan, mukanya itu tidak wajar sebagai muka manusia, banyak sekali bekas-bekas luka di mukanya.

Dan matanya mendelik lebar sekali pada sebelah kiri, mata kirinya itu memiliki biji mata yang seperti akan meletos, sedangkan mata kanannya biasa seperti mata yang wajar dan normal. Pada pipinya tampak goresan-goresan bekas luka yang mungkin saja puluhan goresan-goresan. Keningnya lebar. Sekali melihat saja, maka orang akan menduga ialah seorang iblis.

“Siapa kau? Dan jelaskan asal usulmu yang jelas!” Bentak Oey Yok Su sengit.

“Sabar! Kau tidak bisa main perintah seperti itu kepadaku! Sedangkan untuk mengejar diriku saja kau tidak sanggup, bagaimana kau masih membawa lagak seperti tingkah menghadapi orang dari tingkatan muda?”

Mendengar perkataan Mo-in-kim-kun, semakin meledak kemarahan Oey Yok Su. Waktu itu angin berhembus cukup keras, sehingga puncak pohon itu bergerak-gerak. Memang gin-kang Oey Yok Su maupun Mo-in-kim-kun telah mencapai tingkat yang paling mahir, maka mereka masih sanggup berdiri di puncak pohon tersebut, malah mereka berhadapan saling pandang.

Mo-in-kim-kun telah bilang, “Aku ada syarat. Jika memang kau bisa penuhi, maka anak ini, yang semula ingin kuambil darahnya akan kuserahkan kembali kepadamu.......!”

“Syarat apa?” tanya Oey Yok Su menindih kemurkaan hatinya, dia mengawasi tajam sekali.

“Hem, bukankah Giok-sie ada padamu?” tanya Mo-in-kim-kun dengan suara yang dingin.

Oey Yok Su segera menyadari apa maunya Mo-in-kim-kun.

“Kau hendak meminta Giok-sie itu sebagai ganti cucuku itu?” tanya Oey Yok Su.

“Tidak salah! tapi ingat bukan sebagai pengganti! Justeru sebagai penebus! Kau tentu mengetahui, anak ini adalah seorang Sin-tong, anak mujijat, ajaib, yang memiliki darah yang luar biasa.

“Jika kita mengelolahnya dengan beberapa ramuan… Hemmm! Jika memang aku bisa memperoleh darah bocah ini, niscaya tenaga dalamku akan bertambah beberapa lipat!

“Kau lihat saja, muka anak ini tidak mirip-miripnya manusia, hemm, tentu dia memiliki sesuatu kemujijatan sehingga bisa hidup sampai saat sekarang ini! Bagaimana tawaranku itu, kukira Giok-sie tidak berharga buat dirimu. Dan anak ini jauh lebih penting, bukan?”

Ditanya begitu, Oey Yok Su tidak ragu-ragu segera mengangguk, hatinya berpikir: “Biarlah, setelah Kim Lo dibebaskan aku akan berusaha merampas Giok-sie dari tangannya!” sambil berpikir begitu Oey Yok Su merogoh sakunya dia menimang-nimang Giok-sie itu.

“Inikah yang kau kehendaki?” tanya Oey Yok Su.

Mata Mo-in-kim-kun yang sebelah kiri yang memang meletos itu, tampak terbuka dan menonjol semakin ke depan, seakan juga memang biji matanya itu akan meletos. Dia tampaknya girang sekali.

“Benar! Nah, kau lemparkanlah! Anak ini segera akan kubebaskan Oey Loshia!”

“Tunggu!” Kata Oey Yok Su, “Tidak semudah itu kau meminta Giok-sie. Hemm, sekarang kau bebaskan dulu cucuku, baru nanti aku akan memberikan Giok-sie ini, kalau saja memang tidak ada sesuatu yang terjadi pada diri cucuku! Jika memang terganggu seujung rambutnya saja, hemm….. hemm aku terus akan mengadakan perhitungan dengan kau!”

Mo-in-kim-kun tertawa mengejek.

“Kau mau menukarnya atau tidak?!” Tanyanya mendadak.

Mendengar nada suara yang mengancam seperti itu, Oey Yok Su tergerak hatinya.

“Kau lemparkan cucuku padaku, dan aku akan melemparkan Giok-sie kepadamu.......!” Katanya.

Mo-in-kim-kun ragu-ragu, namun akhirnya ia mengangguk.

“Kau lemparkan Giok-sie, begitu Giok-sie meluncur di tengah udara, cucumu ini akan segera kulemparkan! Siapa tahu, tua-tua kau semakin licik, Oey Loshia, begitu aku melemparkan cucumu, kau justeru malah tidak melemparkan Giok-sie.”

Karena memang berada dalam keadaan tertekan memikirkan dan menguatirkan keselamatan Kim Lo, untuk sejenak itu Oey Yok Su mau mengalah, jago tua yang sakti itu mengangguk.

“Baiklah!” Sambil berkata begitu, dia melontarkan Giok-sie. Benda itu meluncur pesat sekali pada Mo-in-kim-kun.

Melihat Oey Yok Su sudah melontarkan Giok-sie, Mo-in-kim-kun juga melontarkan Kim Lo. Tubuh bocah itu meluncur cepat sekali kepada Oey Yok Su.

Majikan pulau Tho-hoa-to itu telah menyanggapi tubuh Kim Lo. Anak itu masih dalam keadaan tertotok, dan sepasang tangan maupun kakinya masih terikat oleh tali urat harimau. Karena itu, Oey Yok Su melompat turun ke tanah, ia membuka totokan pada diri anak itu, dia juga telah membuka ikatan tambang urat harimau.

Waktu itu ia melirik, dilihatnya Mo-in-kim-kun baru saja menyanggapi dan memasukan Giok-sie ke dalam sakunya, malah tubuh Mo-in-kim-kun segera melayang untuk menjauhi diri meninggalkan tempat tersebut.

“Terima kasih, Oey-loshia, nanti kita bertemu lagi kalau memang ada jodoh! Atau jika memang kau hendak mencariku, kau boleh datang ke lembah Pit-mo-gay (lembah iblis) di gunung Song-san!”

Dan dalam sekejap mata tubuh Mo-in-kim-kun telah lenyap dari pandangan mata Oey Yok Su.

Bukan main mendelunya Oey Yok Su, seumur hidup, mungkin baru kali ini ia mengalami peristiwa seperti itu di mana dia seperti tak berdaya buat menghajar mampus orang yang dibencinya.

Biasanya, setiap orang rimba persilatan akan menggigil ketakutan kalau berhadapan dengannya. Dan jika ada seseorang yang dibenci Oey Yok Su, niscaya dengan mudah ia menghadiahkan kematian, atau sedikitnya membuat bercacad orang yang tidak disenanginya itu.

Tapi sekarang ini, justeru Oey Yok Su merasakan dirinya sendiri yang seakan-akan dipermainkan oleh Mo-in-kim-kun, yang belum lagi diketahuinya, entah siapa sebenarnya Mo-in-kim-kun itu.

Kim Lo setelah dibebaskan totokan di tubuhnya, segera bangun, dia bilang pada Kong-kongnya. “Kong-kong, pembesar Boan itu jahat sekali! Dia bekerja sama dengan para pahlawan kerajaan itu berusaha menyiksa diriku…….!”

Oey Yok Su menanyakan apakah ada sesuatu yang dirasakan oleh bocah itu, dia juga menyuruh duduk dulu buat bersemedhi kemudian majikan pulau Tho-hoa-to ini memeriksa nadi tangan bocah tersebut. Dan ia memperoleh kenyataan memang tidak ada perobahan pada jalan darah Kim Lo, yang lurus dan lancar.

Jadi bocah ini tidak mengalami sesuatu yang bisa mengancam kesehatan tubuhnya. Cuma saja, wajah Kim Lo yang sembam karena telah ditempeleng berulang kali oleh Bun Siu Thang dan juga telah diperlakukannya kasar oleh para pahlawan kerajaan itu.

“Sudahlah! Aku telah menghajar mereka!” Kata Oey Yok Su kemudian, suaranya perlahan sedangkan hatinya masih panas dan penasaran memikirkan Mo-in-kim-kun. “Dan mengapa engkau bisa jatuh ke dalam tangan mereka, Kim Lo?”

Kim Lo segera menceritakan ketika ia oleh seseorang diminta pertolongan untuk menyimpan Giok-sie lalu orang itu melarikan diri. Giok-sie berdarah itu juga telah dimasukkan ke dalam sakunya, namun telah diketahui oleh Bun Siu Thang waktu bocah tersebut ditangkap mereka.

Malah kemudian ketika ia memberitahukan, dirinya adalah cucu dari Oey Yok Su, dia hendak dibunuh, untuk menghilangkan jejak. Khuluk Khan sendiri kegirangan memperoleh Giok-sie sampai akhirnya Kim Lo menceritakan dia dikurung di dalam kamar itu, dan telah datang orang luar biasa yang mukanya menyeramkan, dia yang menotok Kim Lo.

Cara datangnya luar biasa. Tembok telah dipukul hancur berlobang besar dan membawa Kim Lo keluar lagi dari lobang yang dibuatnya di tembok. Malah sebelum pergi, dengan jari telunjuknya dia menulis sesuatu di tembok.

Oey Yok Su menghela napas mendengar cerita Kim Lo. Hatinya tergerak, Mo-in-kim-kun memang lihay, dan sekarang tampaknya Giok-sie akan memancing kekeruhan di dalam rimba persilatan.

Entah Mo-in-kim-kun itu berdiri di pihak mana. Apakah dia berdiri di pihak kerajaan atau memang bekerja untuk orang-orang yang cinta negara, para pahlawan yang hendak mengusir kerajaan Tay Goan? Atau memang Mo-in-kim-kun bermaksud memiliki Giok-sie untuk kepentingan pribadinya sendiri?

Dan semua itu masih belum lagi diketahui oleh Oey Yok Su. Bahkan dia pun belum mengetahui, entah Mo-in-kim-kun itu berasal dari aliran mana, tidak tahu juga Oey Yok Su sebetulnya Mo-in-kim-kun penduduk Tiong-goan atau memang orang asing datang ke Tiong-goan.

“Hemmm tampaknya memang urusan Giok-sie akan memancing kekeruhan yang hebat di hari mendatang kelak!” Menggumam Oey Yok Su perlahan sekali, sambil mengerutkan alisnya.

Dia teringat kepada usianya yang lanjut benar, kalau tentu dia pun akan mati- matian melibatkan diri untuk memiliki Giok-sie, yang akan dihadiahkan kelak kepada pahlawan pencinta negeri untuk dipakai mengerakkan rakyatnya, mengadakan perlawanan pada kerajaan Tay Goan.

Usianya yang benar-benar telah lanjut memang dapat dirasakannya benar tadi oleh Oey Yok Su, di mana napasnya tidak panjang seperti dulu, cepat lelah dan juga biar kepandaiannya memang sangat mahir dan sempurna. Namun tetap saja napasnya tidak panjang dan cepat letih, merupakan kelemahan yang sangat fatal buat dia, jika bertempur dengan seorang yang memiliki kepandaian berimbang dengannya.

“Kong-kong, sesungguhnya Giok-sie itu benda apakah?” tanya Kim Lo sambil menatap kepada kakeknya.

Oey Yok Su menghela napas.

“Itulah cap kerajaan........ Siapa yang memiliki Giok-sie, dia akan sanggup menggerakkan rakyat, dan dia akan naik tahta menjadi Kaisar!” menjelaskan Oey Yok Su.

“Jadi…… barang tadi, batu Giok putih itu adalah Giok-sie yang sejati?” Tanya Kim Lo lagi.

Oey Yok Su menggeleng perlahan: “Aku sendiri belum bisa memastikan! Baiklah, nanti kita akan melihatnya.”

Setelah berkata begitu, Oey Yok Su mengajak Kim Lo berdiri, lalu katanya: “Kita akan pergi ke Pit-mo-gay, untuk merampas Giok-sie dari tangan Mo-in-kim-kun.......! Entah siapa sebenarnya Mo-in-kim-kun itu! Tapi jika kita telah tiba di tempat Pit-mo-gay, kita mengetahuinya dengan jelas seluruh rahasia dan tanda tanya ini akan terjawab.

Kim Lo tidak mengerti, dia cuma mengiyakan saja perkataan Kong-kongnya, karena memang diapun sudah bersyukur, sebab dirinya tertolong oleh Kong-kongnya. Coba kalau saja Kong-kongnya ini tidak berhasil menemukannya dan juga tidak berhasil menolongnya, bukankah dia yang akan menderita?!

Begitulah, kakek dengan cucunya tersebut, telah meninggalkan tempat itu. Oey Yok Su ngempit Kim Lo, yang akan diajaknya pergi ke Pit-mo-gay, atau Lembah Iblis itu, karena memang Oey Yok Su ingin mengetahui apa sesungguhnya yang terdapat di lembah itu, lalu siapa Mo-in-kim-kun, juga iapun jika dapat, ingin Giok-sie pula, yang kelak akan diserahkan kepada Kwee Ceng ataupun Yoko.

Gunung Song-san terpisah dari tempat itu mungkin ribuan lie, dan baru akan dapat dicapainya setelah lewat tiga minggu atau satu bulan. Tergantung dari perjalanan yang ditempuhnya, apakah dilakukan dengan cepat, siang dan malam, atau memang perjalanan itu dilakukan dengan lambat.

Tapi memang nekad Oey Yok Su. Biar bagaimana, ia pergi ke Pit-mo-gay sebab Mo-in-kim-kun bagaikan menantangnya agar Oey Loshia ini, Si sesat tua datang ke Pit-mo-gay!

<> 

Dua baris pasukan pengawal bersenjata lengkap dengan pakaian seragam yang terbuat sebagian dari besi sehingga tampak gagah, berdiri tegak di depan istana berbatu pualam putih dan mata dua baris pasukan pengawal itu terbeliak lebar-lebar mengawasi kepada seorang Lhama tua yang mengenakan jubah warna merah.

Usia Lhama yang mungkin sudah tujuhpuluh. Kepalanya lanang, alisnya tumbuh putih, tumbuh panjang terjuntai di sisi matanya, dan kumis jenggotnya pun telah memutih tumbuh agak panjang, melebihi pangkal leher.

Lhama itu seorang yang agung dan angker sikapnya pun memperhatikan bahwa ia bukan orang sembarangan. Cara berdirinya tegak bagaikan gunung yang menjulang membuktikan ia memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Ia tidak memperhatikan sikap dari barisan pengawal istana yang berdiri dengan sikap penuh perhatian mengawasi dirinya karena Lhama itu tengah memusatkan segenap perhatiannya kepada diri seseorang lainnya.

Orang yang diperhatikan Lhama itu adalah seorang yang tengah menderita sakit terbaring, lemah sekali. Pembaringan kayu berukir itu terletak di tengah-tengah ruangan di mana orang sakit itu tengah rebah dengan muka pucat pias. Pakaiannya yang mentereng dan mewah. Jelas ia merupakan seorang perwira kerajaan Tay Goan yang cukup tinggi pangkatnya.

Bukan cuma mukanya yang pucat, napasnya juga senen kemis, walaupun tubuhnya tampaknya kekar dan tinggi tegap, disaat itu ia rebah lemah sekali. Matanya yang mengawasi kepada Lhama yang mengawasi yang berdiri tidak jauh dari dirinya dengan sinar yang guram, seakan juga pelita yang akan segera padam.

Dua orang pengawal istana berdiri paling belakang sedang bercakap-cakap dengan berbisik-bisik. Salah seorang di antaranya telah bilang: “Sebenarnya. jarang sekali Ong-ya kita bersikap secermat dan serius seperti sekarang ini! Apakah kau mengetahui siapakah sebenarnya Lhama tua itu?”

“Apa yang kudengar, Lhama tua itu bergelar Bun Ong Hoat-ong. Ia sengaja diundang oleh Ong-ya, untuk pergi menghadap Kaisar, karena selanjutnya mungkin ia yang bisa diandalkan untuk menghadapi tikus-tikus Tiong-goan (yang dimaksudkan dengan tikus-tikus Tiong-goan adalah jago-jago bangsa Han) agar di waktu selanjutnya tidak ada pemberontakan!” menjawab yang seorang.

“Ohhh, pantas Ong-ya kita juga demikian menghargai dan menghormatinya!” kata kawannya.

“Oh, tidak! Tidak demikian halnya! Ong-ya seorang yang tegas, tanpa pandang bulu dalam bertindak dan mengambil keputusan. Jika Lhama tua ini tidak memiliki kepandaian sejati, yang tinggi dan sakti, tidak mungkin terpakai oleh Ong-ya.

“Lihat saja, bukankah sekarangpun Lhama tua itu tengah diuji di depan umum untuk membuktikan ketegasan sikap Ong-ya tidak pilih kasih, di mana Lhama tua itu diharuskan membuktikan kehebatan ilmunya.

“Sekarang ini justeru Lhama itu diharuskan menyembuhkan Tan Goanswe (Jenderal Tan) yang terluka parah oleh seorang! Hem, dilihat demikian, memang tampaknya tidak mudah menyembuhkan Tan Goanswe karena seluruh jalan darahnya kabarnya telah terbalik, berbagai racun telah mengendap di dalam tubuhnya.

“Jadi sekarang Lhama tua itu ingin mengobati Tan Goanswe?” Tanya kawannya.

“Kukira begitu……. ahh, sebentar lagipun kita akan menyaksikannya apa yang akan dilakukan Lhama tua itu. Nah, lihat itu! Sssssttttt, Ong-ya sudah datang!”

Keadaan di sekitar ruang pendopo istana jadi sunyi, dan semua orang berdiam diri sedangkan Lhama baju merah yang bergelar Bun Ong Hoat-ong, menoleh ke kiri, dilihatnya serombongan orang yang tengah memasuki pendopo istana.

Segera juga terlihat senyum Bun Ong Hoat-ong, ia memutar tubuhnya dan menjurah katanya, “Bun-ong menghaturkan hormat untuk Ong-ya, menanyakan kesehatan Ong-ya!”

Rombongan orang yang baru memasuki pendopo istana ada enam orang. Seorang di antaranya, yang jalan paling depan, adalah yang disebut Ong-ya.

Dia seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, pakaiannya mentereng. Sedangkan lima orang lainnya rupanya merupakan pengawal pribadinya yang selalu harus menjaga dan melindungi Ong-ya tersebut.

Terlihat juga lima orang pengawal pribadinya yang selalu harus menjaga dan melindungi Ong-ya itu telah memisahkan diri ke samping kiri dan kanan, mereka selalu mengawasi keadaan di sekitar tempat itu.

Ong-ya tersebut juga merangkapkan tangannya membalas hormat Bun Ong Hoat-ong.

“Jangan Taysu banyak peradatan!” Katanya dengan sikap yang ramah dan senyum tipis menghiasi bibirnya. “Sesungguhnya, kami bersyukur sekali Taysu mau juga datang memenuhi undangan kami.”

Lhama tua itu tersenyum.

“Ong-ya, sesungguhnya untuk mengobati Tan Goanswe tidak mudah!” Kata Bun-ong Hoat- ong kemudian.

“Lalu….. apakah Tan Goanswe sulit untuk disembuhkan, Taysu?” Menegaskan Ong-ya itu.

Bun Ong Hoat-ong mengangguk.

“Seharusnya memang demikian! Tapi Ong-ya jangan kecil hati, karena Lolap akan berusaha menyembuhkannya. Tampaknya masih ada harapan juga!” katanya.

Senyum mereka lagi di bibir Ong-ya tersebut, katanya: “Syukurlah jika demikian! Memang kami sangat mengandalkan sekali akan kehebatan Taysu, jiwa Tan Goanswe berada di tangan Taysu!”

“Ong-ya terlalu memuji!” Kata Bun Ong Hoat-ong. “Dan ini memang Lolap hanya sekedar untuk mencobanya saja dulu. Berhasil atau tidaknya itu tergantung dari nasib dan umur, Tan Goanswe sendiri. Ia terluka hebat, seluruh tubuhnya telah terbalik kedudukannya, juga banyak yang tersumbat dan terputuskan pada nadi-nadi yang penting.

Disamping itu banyak pula tulang-tulang yang sudah remuk, juga ia terluka di dalam yang berat sekali, sangat parah! Yang terhebat lagi, racun yang mengendap di dalam tubuh Tan Goanswe bukan sejenis, justeru beberapa jenis. Itupun merupakan racun-racun yang sangat dahsyat cara bekerjanya!

“Jika memang tidak memperoleh pengobatan yang tepat, niscaya Tan Goanswe sulit memperoleh kesembuhannya! Beruntung Lolap memang mengerti sedikit ilmu pengobatan dengan mengandalkan sedikit tenaga latihan lwekang Lolap, cobalah kita coba mengobati Tan Goanswe. Semoga saja Tan Goanswe memiliki umur panjang!”

Setelah berkata begitu, tampak Bun Ong Hoat-ong menjurah lagi memberi hormat kapada Ong-ya yang sikapnya keagung-agungan itu. “Harap Ong-ya mengijinkan Lolap untuk mulai mengobatinya!”

“Silahkan! Silahkan Taysu........ kami memang menggantungkan nasib Tan Goanswe di tangan Taysu!” Kata Ong-ya.

Lhama tua itu setelah memberi hormat, memutar tubuhnya segera juga ia menghampiri dua langkah ke dekat pembaringan kayu ukir. Dia berdiri diam dengan sepasang tangan diturunkan di samping tubuhnya. Iapun telah mengeluarkan seruan perlahan, seperti desahan yang panjang. Tampaknya dia tengah mengerahkan tenaga dalamnya.

Dua baris pengawal di pendopo istana mengawasi dengan tegang, mereka tidak mengerti dengan cara apa Lhama tua itu akan mengobati Tan Goanswe yang terluka tidak ringan itu. Tampaknya dia mendesah seperti itu seakan juga tengah membaca mantera. Apakah Tan Goanswe akan diobati dengan cara dibacakan mantera-mantera.

Sedangkan Bun Ong Hoat-ong, telah mengangkat kedua tangannya perlahan-lahan. Dia mengangkat terus, sampai dua tangannya itu melewati kepalanya.

Semua semakin tegang, karena mereka melihat keringat mulai mengucur keluar dari sekujur tubuh Bun Ong Hoat-ong. Entah apakah yang akan dilakukan oleh Lhama tua tersebut. Dan memang semua orang yang hadir di ruang pendopo istana jadi bertanya-tanya dengan cara bagaimana Lhama itu akan mengobati dan menyembuhkan Tan Goanswe yang terluka parah seperti itu.

Tiba-tiba Bun Ong Hoat-ong berseru dengan suara mengguntur, seakan juga suara gunturnya menggelegar di pendopo tersebut. Dan seruannya itu mendadak sekali, di antara keheningan dan ketenangan yang ada. Karuan saja telah mengejutkan semua orang yang hadir di tempat itu, sampai beberapa orang pengawal telah melompat mundur saking kagetnya.

Lima orang pengawal pribadi dari Ong-ya tersebut juga telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka terkejut waktu mendadak sekali mendengar seruan mengguntur dari Bun Ong Hoat-ong, mereka cepat-cepat mengambil sikap bersiaga. Bagi mereka, apapun yang terjadi, yang terpenting adalah pertama-tama melindungi keselamatan Ong-ya mereka.

Cuma Ong-ya saja yang bersikap tenang walaupun ia kaget dengan adanya seruan mengguntur dari Bun Ong Hoat-ong yang meledakkan keheningan mereka. Tokh dia tidak bergeming dari tempatnya berdiri, cuma mengawasi apa yang tengah dilakukan Bun Ong Hoat-ong dengan mata yang bersinar tajam, dan juga bibirnya tersenyum lebar.

Rupanya, Bun Ong Hoat-ong berseru keras mengguntur itu dibarengi dengan kedua tangannya yang meluncur turun, menghantam dada dan paha dari Tan Goanswe!

Kali ini semua orang kaget lagi. Dihantam seperti itu, jelas dengan sepasang tangan yang berisikan kekuatan lwekang yang sangat dahsyat itu. Sedangkan Tan Goanswe sedang terluka parah seperti itu, mana mungkin dia bisa menerima hantaman sekuat itu! Sedikitnya tentu dada dan pahanya akan remuk oleh hantaman tersebut.

Tapi sungguh luar biasa Tan Goanswe yang tengah dalam keadaan sekarat, sama sekali tidak menjerit, dia hanya diam saja, sinar matanya memang tetap redup dan guram, tapi dia tidak memperlihatkan tanda-tanda kesakitan.

Semua orang heran, tapi ketajuban mereka bertambah lagi, karena dari tubuh Tan Goanswe segera juga melesat keluar empat batang jarum yang halus, yang melesat ke atas penglarian dan menancap dalam sekali di atas penglarian itu.

Bun Ong Hoat-ong mengulangi sampai tiga kali dari menghantam seperti itu sehingga jarum yang keluar itu pada pukulan kedua sebanyak enam batang, pukulan ketiga lima batang, dan pukulan keempat sebanyak dua batang.

Barulah Bun Ong Hoat-ong menepuk-nepuk tangannya, dia bilang sambil menghela napas dan menyusut keringatnya: “Selesailah tahap pertama!”

Ong-ya menepuk tangannya beberapa kali sambil memuji akan kehebatan Bun Ong Hoat-ong.

“Memang Taysu sangat hebat sekali!” Memuji Ong-ya itu. “Menakjubkan sekali. Mungkin di dalam dunia ini tidak ada orang yang memiliki lwekang sesempurna seperti Taysu!”

Cepat-cepat Bun Ong Hoat-ong menjurah memberi hormat, katanya: “Ong-ya terlalu memuji!”

Ternyata, dengan mengandalkan lwekangnya, Bun Ong Hoat-ong telah menepuk tubuh Tan Goanswe, sehingga jarum-jarum beracun yang semula bersarang di tubuh Tan Goanswe dapat didesak keluar dengan tenaga tepukannya itu, jarum itu melesat keluar dari tubuh Tan Goanswe dan menancap semua di penglarian.

Setelah tersebar, semua orang yang hadir di ruang pendopo istana tersebut bertepuk tangan dan memuji akan kehebatan Lhama itu. Bahkan Ong-ya tidak hentinya memuji lagi.

“Selanjutnya adalah mengobati letak jalan darah dari Tan Goanswe, akan pulih dan kembali duduknya di tempat semula dengan baik!” kata Bun Ong Hoat-ong.

Dia berdiam diri beberapa saat, tampaknya tengah mengumpulkan tenaga dalamnya, karena dia tadi menepuk dengan cara seperti itu terlalu banyak mempergunakan tenaga dalamnya. Waktu tenaganya sudah pulih dan kesegarannya telah kembali, Bun Ong Hoat-ong mendekati pembaringan kecil kayu berukiran itu, dia mengurut mulai dari kaki Tan Goanswe, dia mengurutnya itu naik sampai ke kepala. Dengan cepat ia mengulangi dua kali mulai dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.

Waktu diurut seperti itu oleh si pendeta tampaknya Tan Goanswe menderita kesakitan yang hebat, ia tak dapat mengeluarkan suara jeritan kesakitan karena hanya suaranya yang serak dan seperti tersumbat ditenggorokannya.

Sedangkan Bun Ong Hoat-ong tidak memperdulikan keadaan Tan Goanswe, dia tetap mengurut tidak hentinya, dan setiap urutannya membuat muka Tan Goanswe meringis dengan otot-ototnya yang seakan juga tertarik menjadi kejang.

Ong-ya mengawasi dengan sepasang alis mengkerut. Ia mengetahui bahwa Bun Ong Hoat-ong tengah menyalurkan lwekangnya untuk memulihkan duduknya urat-urat dan otot di tubuh Tan Goanswe. Dan juga dengan cara mengurut seperti itu, Bun Ong Hoat-ong memang telah mengorbankan lwekangnya, jangan harap Tan Goanswe bisa dipulihkan kesehatannya.

Tapi yang membuat Ong-ya berkuatir, dia melihat Tan Goanswe meringis menahan sakit yang hebat tanpa sanggup menjerit, dia kuatir kalau saja Tan Goanswe itu terlalu kesakitan kemudian mati!

Keadaan jadi tegang sekali, semua mata terbeliak mengawasi dengan sikap yang tegang.

Dikala itu Bun Ong Hoat-ong mengurut terus, sampai akhirnya dia menyudahi urutannya itu, dia menyusuli dengan pukulan-pukulan perlahan tangannya.

Setelah melakukannya dari ujung kaki dan sampai ke ujung rambut, barulah dia menghentikannya.

“Tahap kedua telah selesai!” Kata Bun Ong Hoat-ong lagi. “Dan juga sekarang kita mulai mengobati pada tahap ketiga, yaitu melenyapkan racun yang mengendap di tubuh Tan Goanswe.”

Dikala itu, tampak Ong-ya telah bertepuk tangan lagi, memuji akan kehebatan Bun-ong Hoat-ong. “Benar- benar Taysu menyerupai dewa yang sakti…….”

“Tunggu dulu!” kata Bun Ong Hoat-ong. “Janganlah Ong-ya memuji dulu, karena belum tentu lolap berhasil mengobatinya……”

Setelah berkata begitu, tanpa menoleh lagi kepada Ong-ya, tampak Bun Ong Hoat-ong merogoh sakunya, dia mengeluarkan sebuah kotak, dari dalam kotak kecil terbuat dari emas itu, dia mengambil beberapa macam obat pulung. Dia memasukkannya ke dalam mulut Tan Goanswe, dan memijit rahang Tan Goanswe, sehingga obat itu tertenggak masuk ke dalam tenggorokannya.

Setelah lewat beberapa waktu lamanya, barulah tampak perobahan pada diri Tan Goanswe. Dia mulai tenang, mukanya tidak meringis seperti tadi waktu dia menahan rasa sakit yang bukan main. Mukanyapun tidak mengejang lagi seperti tadi, malah perlahan-lahan matanya itu tertutup, napasnya teratur, dia telah terlelap dalam tidur.

Bun Ong Hoat-ong menyusut keringatnya, dia menghela napas memutar tubuhnya dan tertawa kepada Ong-ya, katanya: “Sekarang biarkan saja Tan Goanswe tidur, untuk memperoleh tenaga yang mungkin diperlukan nanti, waktu menjalankan pengobatan yang terakhir!”

“Sungguh beruntung Tan Goanswe atas pertolongan seorang sakti seperti Taysu!” Memuji Ong-ya. Dia juga merangkapkan tangannya dan pembesar ini memberi hormat kepada Bun Ong Hoat-ong, katanya lagi. “Atas nama Hong-siang, maka kami mengucapkan terima kasih dan rasa syukur kepada Taysu!”

“Jangan Ong-ya banyak peradatan dan terlalu memuji……. Apa yang dapat Lolap lakukan ini hanya sekedar untuk membuktikan betapa pun juga memang Lolap bermaksud bekerja untuk kepentingan Hong-siang dan kerajaan Tay Goan yang jaya!”

Ong-ya segera perintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan meja perjamuan.

Siapakah Ong-ya itu?

Dia tidak lain dari Hakarsan, putera Tuli. Dan dialah yang merupakan pangeran paling berkuasa di kerajaan Tay Goan, karena kaisar Kublai Khan telah menyerahkan tanggung jawab dan kekuasaan sebesar-besarnya kepada Hakarsan untuk memimpin tentara pengawal istana, pasukan peperangan yang membawahi kekuasaan dari Menteri peperangan, juga seluruh pahlawan istana harus di bawah kordinir pangeran ini.

Karena dari itu, waktu kerajaan Tay Goan tengah sulit menghadapi tantangan para pencinta negeri dari bangsa Han, Hakarsan berusaha mencari orang-orang pandai dari negerinya! Ia mendatangkan beberapa orang Mongolia yang di negeri asalnya merupakan jago-jago terhebat. Tapi juga masih merasa kurang, ia menyebar orang ke Tibet dan beberapa negeri lainnya, untuk mencari jago-jago yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi.

Dia berhasil mengundang Bun Ong Hoat-ong yang bersedia untuk bekerja pada kerajaan Tay Goan, tentu saja dengan janji akan diberikan kedudukan dan pangkat yang tinggi. Tapi, karena memang sudah menjadi sifat pangeran Hakarsan, setiap orangnya harus diteliti dengan cermat, iapun telah menguji Bun Ong Hoat-ong untuk menyembuhkan semua luka-luka yang di derita Tan Goanswe. Sebelumnya, tidak ada yang berhasil menyembuhkan luka yang diderita Tan Goanswe.

Sedangkan Tan Goanswe atau jenderal Tan itu bernama lengkap Tangarlut, dia seorang jenderal yang sangat diandalkan oleh Hakarsan. Dan memang diapun telah melakukan tugasnya dengan baik sekali, sampai akhirnya ia terluka begitu hebat.

Waktu dijamu oleh Hakarsan, maka Bun Ong Hoat-ong suatu kali menanyakan sebab-sebabnya Tan Goanswe terluka separah itu dan siapa yang melukainya.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar