Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 81-90
Kim Lo berdiam diri mendengar
kata-kata itu, ia tengah berpikir keras.
Bukankah ia memang harus pergi
ke Yang-cung, buat menemui jago-jago gagah perkasa, untuk berkumpul dengan
mereka? Dan selanjutnya ia memiliki tugas yang berat.
Juga, pengemis ini merupakan
salah seorang yang berada di pihaknya, namun setelah ia memikirkan, ia tetap
tidak bersedia memberitahukan dulu siapa dirinya sebenarnya.
“Biarlah disana saja tokh
akhirnya dia mengetahui siapa aku sebenarnya!” berpikir Kim Lo pada akhirnya.
Melihat pemuda itu seperti
tengah memikirkan sesuatu dan termenung, si pengemis tertawa.
“Siauwhiap (pendekar muda),
sesungguhnya aku ini biasanya di dalam Kay-pang terkenal sekali sebagai
pengemis yang nakal. Aku duduk pada kedudukan keempat dalam barisan Tiang-lo!
Akulah Tiang-lo keempat dalam Kay-pang!”
Mendengar demikian Kim Lo
terkejut.
“Ohhh, kiranya Locianpwe!
Maaf! Maaf boanpwee tadi berlaku tidak hormat! Bukankah Locianpwe yang terkenal
sebagai Kim Cie Sin-kay (Pengemis sakti berjari emas)?”
“Ya, benar!” Sahutnya,
“Rupanya panjang dan tajam juga pendengaranmu, Siauwhiap !”
Kim Lo segera, menggelengkan
kepalanya.
“Itulah karena guruku telah
memberitahukannya, siapa-siapa tokoh Kay-pang!” Kata si pemuda
“Oh ya, siapakah guru Kongcu?”
Kim Lo sangsi.
Walaupun dia mengetahui bahwa
pengemis ini adalah orang sendiri, namun dia sangsi untuk memberitahukan siapa
dirinya sebenarnya. Dia kuatir dinding bertelinga.
“Nanti dalam suatu kesempatan
yang baik Boanpwe pasti akan menceritakan segalanya kepadanya Locianpwe!” Janji
Kim Lo pada akhirnya: “Harap Locianpwe harus bersabar, dan mau memaafkan atas
kekurangan ajaran Boanpwe yang belum lagi bisa memberitahukan hal tersebut
kepada locianpwe?”
Sambil berkata begitu. Kim Lo
telah merangkapkan tangannya, ia membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Kim Cie Sin-kay tersenyum.
“Baiklah! Aku mengerti akan
kesulitanmu dan aku tentu saja tidak bisa mendesakmu!” Dan setelah berkata
begitu, iapun tertawa dan meneruskan lagi kata-katanya: “Kau sekarang hendak
kemana, Siauwhiap?”
“Justeru tadi Boanpwe
mendengar bahwa locianpwe hendak pergi ke Yang-cung, untuk berkumpul dengan
para pendekar gagah. Jika memang locianpwe tidak keberatan, boanpwe ingin
sekali pergi ke sana, juga ingin berkenalan dengan para pendekar gagah dan
meminta petunjuk mereka.......”
Muka Kim Cie Sin-kay
berseri-seri.
“Oh, benarkah begitu? Tentu
sangat menggembirakan sekali, sehingga aku bisa memperoleh teman perjalanan,
tak jadi kesepian lagi!”
“Apakah locianpwe tak
keberatan kalau Boanpwe ikut serta dengan locianpwe?”
“Mengapa harus keberatan?
Bukankah kau tidak minta untuk kugendong?”
Kim Lo tersenyum.
“Terima kasih locianpwe!”
“Baiklah, sebelum kita pergi
ke Yang-cung, aku ingin mengajakmu buat menyelidiki siapa-siapa saja maling
pemetik bunga di kota ini, buat membasmi mereka!”
“Akur! Itulah tujuan
boanpwe…….!”
“Kalau demikian kita memiliki
pendirian yang sama, dan kukira tak ada kesulitan lagi di antara kita buat
melakukan perjalanan bersama!”
“Terima kasih locianpwe!”
Begitulah mereka sambil
berjalan bercakap-cakap dengan gembira.
Buat Kim Lo sendiri, berteman
dengan pengemis dari Kay-pang ini merupakan hal yang menggembirakan. Bukankah
memang pengemis Kay-pang merupakan temannya juga, dimana Oey Yok Su sering
mengatakan. Di antara orang gagah yang akan berkumpul, tentu terdapat orang
Kay-pang, mengingat bahwa Oey Yong pernah menjabat Pangcu Kay-pang setelah Ang
Cit Kong.
Setelah berjalan beberapa
saat, mereka melihat rumah makan. Ia mengajak si pengemis buat singgah di rumah
makan itu, untuk mengisi perut.
Kim Cie Sin-kay tertawa.
“Kau tidak malu?” tanyanya.
“Malu?” Tanyanya Kim Lo heran.
“Ya, apakah kau tidak merasa
malu melakukan perjalanan bersama denganku?”
“Mengapa harus merasa malu?”
“Dan jika kita bersama-sama
masuk ke rumah makan itu, orang melihat Siauwhiap datang bersamaku, bersantap
bersama-sama denganku si pengemis mesum. Tentu mereka akan memandang heran dan
mengejek kepadamu! Apakah kau tidak malu?”
Kim Lo tertawa.
“Locianpwe ada-ada saja!”
Katanya. “Biar saja, mereka ingin memandang bagaimana pun juga, yang terpenting
memang kita bersahabat. Dan bersahabat dengan seorang Locianpwe dari kay-pang,
mengapa harus malu? Malah membanggakan sekali!”
“Bagus!” berseru Kim Cie
Sin-kay. Rupanya kau memang orang yang sangat mengagumkan dan memiliki
pandangan yang luas! Terima kasih! Jika memang engkau tidak meremehkan aku!”
“Ayo kita ke sana, locianpwe?”
Ajak Kim Lo.
“Tunggu dulu…...!”
“Ada apa lagi,
Locianpwe.......!?”
“Kalau nanti pelayan rumah
makan itu menolak aku dan tidak boleh masuk, bagaimana?”
Kim Lo membuka matanya
lebar-lebar.
“Melarang Locianpwe?”
Tanyanya.
Kim Cie Sin-kay mengangguk.
“Ya……. dia melarang aku masuk.
Apa yang harus kulakukan? Aku sudah terlalu sering dilarang masuk rumah makan!”
Menjelaskan Kim Cie Sin-kay tersenyum.
Kim Lo jadi sengit.
“Kita hajar saja pelayan yang
kurang ajar itu. Seharusnya dia menghormati Locianpwe!”
“Tapi ada yang lupa!”
“Apa itu Locianpwe?”
“Aku seorang pengemis!”
“Seorang pengemis? Hemmm,
walaupun seorang pengemis, hati Locianpwe luhur dan mulia lebih berarti dari
manusia-manusia yang berpakaian bersih sekalipun! Malah, jika mereka mengetahui
bahwa Locianpwe bermaksud untuk membasmi para penjahat pemetik bunga di kota
ini, seharusnya mereka bersyukur dan harus menghormati locianpwe dan
menjamunya!”
Si pengemis tersenyum.
“Tapi manusia di dunia ini
selalu silau oleh harta, karena itu mereka tidak bisa dipersalahkan.”
“Tapi tidak seharusnya jika
mereka melarang locianpwe masuk ke dalam rumah makan itu! Mengapa locianpwe
tidak menghajar pelayan yang kurang ajar itu jika memang ada yang berani
melarang locianpwe memasuki salah satu rumah makan di mana saja!”
Kim Cie Sin-kay tertawa.
“Siauwhiap !” Katanya kemudian. “Sesungguhnya,
memang tidak ada yang ditakuti. Terlebih lagi kepandaianku tinggi dan
menghadapi seorang pelayan yang tidak artinya! Hemmm, tapi ada satu yang
kutakuti!”
“Apa itu, locianpwe?!”
“Larangan Kay-pang!”
“Larangan Kay-pang…..?”
“Ya, larangan partaiku, bahwa
aku tidak boleh memaksa minta uang, tidak boleh juga merampas hak milik orang.
Tidak boleh juga sembarangan masuk ke dalam rumah makan.
“Jika aku masuk ke dalam rumah
makan dan pelayan melarangnya, tetap saja aku tidak boleh memaksa. Aku harus
bersikap seakan juga aku tidak mengerti ilmu silat, karena akulah si pengemis
miskin yang melarat, yang harus siap sedia menerima hinaan setiap saat……!”
Kim Lo jadi tercengang
mengawasi si pengemis kemudian dan menghela napas.
“Apakah peraturan di dalam
Kay-pang tidak boleh dikurangi atau sekali-sekali dilanggar?” tanya Kim Lo.
Mendengar pertanyaan Kim Lo
seperti itu muka si pengemis jadi berobah, ia memperlihatkan sikap
sungguh-sungguh.
“Walaupun aku harus menerima
hukuman pancung kepala, harus ditebas buntung sepasang tangan maupun sepasang
kakiku, atau aku harus menerima hukuman mati, tapi sedikitpun aku tidak berani
menambah dan melanggar peraturan partai!
“Aku harus menghormati
peraturan partai. Jika memang kami sebagai anggotanya tidak menghormati
peraturan partai, lalu siapa lagi yang bisa menghormati partai kami?!”
Kaget Kim Lo melihat sikap si
pengemis yang demikian sungguh-sungguh. Dia telah merangkapkan sepasang
tangannya dengan sikap menyesal, dia bilang, “Maafkan locianpwe.......!”
“Oh, kau Siauwhiap, jangan
meminta maaf!” kata Kim Cie Sin-kay cepat.
“Tapi Boanpwe tadi telah
lancang bicara meremehkan hal-hal itu!”
“Itulah disebabkan kau tidak
mengetahui peraturan di dalam pintu perguruan kami!”
“Karena itu maafkanlah
Locianpwe!”
“Sudahlah! Kita bukankah sudah
bersahabat tadi aku cuma memberitahukan betapapun seorang pengemis tidak dapat
membawa tingkah. Jika memang nanti di rumah makan itu aku dilarang masuk maka
kita tidak boleh memakai kekerasan!
“Baik locianpwe!”
“Jika memang kau menghajar
pelayan yang melarangku masuk, dan urusan itu karena disebabkan diriku, tetap
saja oleh partai aku dipersalahkan.”
“Aku mengerti locianpwe! Nanti
kita mempergunakan cara yang sebaik-baiknya.”
“Cara sebaik-baiknya bagaimana?”
“Kita gunakan cara yang halus
saja!”
Kim Cie Sin-kay memandang
heran.
“Cara halus bagaimana?”
“Kita jangan ribut dengan
pelayan itu.” Menjelaskan Kim Lo. “Nanti aku katakan saja bahwa locianpwe
adalah kawanku, yang hendak kuundang makan dan makanan itu akan kubayar. Dengan
demikian pelayan tersebut tidak akan mengusir locianpwe, karena pelayan itu tidak
perlu kuatir bahwa locianpwe tidak akan membayar makanan yang telah locianpwe
makan.
Kim Cie Sin-kay tertawa.
“Siauwhiap, tampaknya kau
masih belum mengerti keseluruhannya,” kata si pengemis.
Kim Lo memang tidak mengerti.
“Apa lagi locianpwe?”
“Sesungguhnya sebab-sebab
setiap pelayan rumah makan melarang kaum pengemis masuk ke dalam rumah makan
mereka bukan karena kuatir tidak dibayar! Belum tentu pengemis tidak memiliki
uang.” Menjelaskan Kim Cie Sin-kay.
“Lalu apa sebabnya?”
“Justeru mereka jijik dengan
cara dan berpakaian kami yang mesum. Mereka beranggapan, jika kami dibiarkan
masuk, akan menimbulkan rasa jijik buat tamu-tamu lainnya, berarti rumah makan
mereka akan jadi sepi, berarti mereka akan jadi bangkrut.
“Oh, begitu!” Kim Lo mengerti.
“Karena itu, cara yang
siauwhiap katakan tadi belum tentu bisa dilakukan! Jika pelayan itu
rewel.......”
“Ya, jika pelayan itu rewel,
kita jadi tidak jadi makan…….!”
“Bagus! Cara yang baik!”
“Aku akan membeli makanan dan
memakannya di luar rumah makan itu bersama-sama dengan Locianpwe.”
“Hahahaha, itu hanya akan
mempersulit kau saja, Siauwhiap!”
“Tidak! Bukankah kita telah
bersahabat? Senang atau susah sama-sama merasakannya!”
“Bagus!” Kim Cie Sin-kay
mengunjukan ibu jarinya tinggi-tinggi. “Tidak percuma aku berkenalan dengan
kau, Siauwhiap. Memang benar julukan Pendekar Aneh Berseruling Sakti cocok
sekali buat kau!”
Pipi Kim Lo berobah merah.
“Kembali Locianpwe bergurau.
“Bukan bergurau, tapi
bersungguh-sungguh.”
“Baiklah locianpwe mari kita
ke sana mungkin juga pelayan itu tidak melarang kita, dan kita bisa makan
nikmat di dalam ruang rumah makan itu! Kalau memang dilarang, kita pun tidak
kurang nikmatnya makan di luar rumah makan itu.”
Kim Cie Sin-kay tertawa,
mereka melangkah menghampiri rumah makan itu.
Ketika akan memasuki rumah
makan itu, benar saja, mereka disambut oleh seorang pelayan.
Muka pelayan itu tidak enak
dilihat, karena dia melihat si pengemis dengan mengerutkan alisnya.
Kim Lo tak memperdulikan sikap
si pelayan, ia mengajak Kim Cie Sin-kay masuk terus.
Si pelayan menghadang di depan
mereka.
“Tunggu dulu.......!” Kata si
pelayan dengan tergagap.
Kim Lo menahan langkah
kakinya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Toaya....... di rumah makan
kami ini terdapat peraturan!” kata pelayan tersebut.
“Peraturan apa?” Tanya Kim Lo
sambil mengawasi pelayan itu
“Kami telah terikat oleh suatu
peraturan, bahwa setiap…... setiap….. pengemis dilarang masuk.”
“Oh, peraturan itu! Baik!
Biarlah kami tidak makan di dalam. Kau cepat ambilkan kami makanan, biar kami
makan di luar!”
“Makan di luar?”
“Ya! Cepat ambilkan kami
makanan!” Sambil berkata begitu, Kim Lo merogoh sakunya, ia mengeluarkan satu
tail emas.
“Ini berjumlah empatpuluh
sembilan tail perak. Nah, tentu ini lebih dari cukup untuk membeli beberapa
ekor panggang ayam yang harum! Sisanya kau boleh ambil!”
Pelayan itu jadi kegirangan.
“Terima kasih, Toaya.......
Terima kasih Toaya!”
Dia memanggil tamu ini dengan
sebutan ‘Toaya' tuan besar, karena dia tidak bisa melihat muka Kim Lo yang
tertutup kain putih. Dia kegirangan sebab menerima hadiah yang tentunya berjumlah
sangat banyak.
Tidak lama kemudian pelayan
itu telah kembali membawa lima ekor ayam panggang, duapuluh bak-pauw tanpa isi.
Diberikan kepada Kim Lo.
Segera Kim Lo mengajak Kim Cie
Sin-kay duduk di depan rumah makan, melahap ayam panggang dan bak-pauw itu.
Si pelayan jadi canggung
dengan sendirinya. Dia jadi tak enak hati.
Cepat-cepat dia ke dalam dan
mengambil kursi.
“Silahkan Toaya berdua duduk
di sini!” Katanya sambil meletakkan kursi itu.
Kim Lo menggelengkan
kepalanya.
“Tidak usah!” Katanya, “Lebih
nikmat makan dengan cara demikian.” Dia menolak kebaikkan hati si pelayan.
Kim Cie Sin-kay tertawa
bergelak-gelak.
“Benar-benar cocok gelarmu
sebagai Pendekar Aneh.” Kata si pengemis.
Kim Lo cuma tertawa.
Waktu dia ingin mulai makan
ayam panggang itu, dia tetap tidak membuka tutup mukanya. Dia cuma menyingkap
sedikit bawah dari kain putih itu, dan dia mulai makan dengan makanan dimasukan
lewat bawah kain putih.
Sebelumnya Kim Cie Sin-kay
memang mengawasi. Dia yakin pemuda ini tentu, akan membuka tutup mukanya buat
makan. Dia tentu bisa melihat muka si pemuda.
Siapa tahu justeru dia melihat
cara makan si pemuda, membuat dia mengawasi bengong.
Kebetulan Kim Lo menoleh
melihat si pengemis tengah mengawasi bengong seperti itu kepadanya. Dia juga
tertawa dan tidak bilang apa-apa dia terus makan dengan nikmat ayam panggang
dan bak-pauw.
Akhirnya si pengemis pun ikut
makan. Tampaknya dia gembira sekali.
Dia tidak menyangka sama
sekali bahwa Kim Lo bersedia makan di luar rumah makan itu duduk di emperan
rumah makan. Sikapnya sama seperti yang dilakukan pengemis-pengemis.
Tentu saja sikap dan keadaan
Kim Lo semua itu membuat Kim Cie Sin-kay jadi girang, bahwa ia memiliki seorang
sabahat yang dapat mengerti dan tidak terlalu mementingkan gengsi.
Diam-diam Kim Cie Sin-kay pun
jadi kagum. Dia tambah yakin bahwa Kim Lo memang seorang pendekar muda yang
memiliki perangai aneh.
Disamping itu kepandaian Kim
Lo pun memang tinggi. Dia telah menyaksikan sendiri betapa Kim Lo sangat Iihay dan
tangguh.
Dan orangnya pun sederhana
sekali, tidak angkuh dan tidak sombong. Dengan begitu, si pengemis jadi
diam-diam menghormati Kim Lo.
Cuma saja selama itu pula dia
menduga-duga entah siapa pemuda ini? Murid siapa? Dan juga ia tidak mengetahui
apa sebabnya si pemuda selalu menutupi mukanya dengan kain putih itu? Sampai
diwaktu makan pun dia tidak mau membuka tutup mukanya itu.
Setelah selesai makan, mereka
bersiap-siap hendak melanjutkan perjalanan.
Tapi tiba-tiba Kim Cie Sin-kay
menunjuk ke arah ujung jalan, dia pun bilang: “Lihat, Siauwhiap!”
“Ada apa Locianpwe?” Tanya Kim
Lo sambil menoleh ke arah yang ditunjuk si pengemis.
“Gadis itu yang tadi
dikejar-kejar si pendeta.”
Kim Lo pun telah melihat, di
ujung lorong itu tengah berjalan mendatangi seorang gadis.
Hati Kim Lo jadi berdebar. Ia
seketika mengenali, itulah si gadis yang pernah bertemu dengannya. Karena gadis
itu tidak lain Yo Bie Lan.
“Nona Yo!” Tiba-tiba Kim Lo
berdiri sambil memanggil gadis tersebut.
Bie Lan melihat Kim Lo, dia
jadi girang. Cepat-cepat dia menghampiri.
“Hai, kau juga berada di kota
ini?” Tegurnya sambil tersenyum.
Kim Lo mengangguk.
“Ya…… dan kau sudah sampai di
sini, nona Yo?” Tanya si pemuda.
“Hai! Hai! Rupanya kalian
sudah saling kenal, heh? Teriak Kim Cie Sin-kay sambil menghampiri. “Gadis yang
nakal, punya sahabat tangguh, tapi pura-pura meminta pertolonganku!”
“Ohhh, kiranya Lopeh?” Tanya
Bie Lan waktu mengenali si pengemis. “Apakah Lopeh sudah menolongiku dengan
mengakali si pendeta busuk itu?”
Pengemis itu mengangguk.
“Aku sampai dikejar-kejar
olehnya, hendak dibunuhnya! Untung saja ada Siauwhiap ini yang telah
menolongi!”
Kim Lo jadi malu hati, dia
bilang: “Nona Yo sesungguhnya Locianpwe ini adalah Tianglo Kay-pang yang
keempat, yaitu Kim Cie Sin-kay locianpwe…….!”
Kaget Bie Lan. Cepat-cepat dia
memberi hormat kepada si pengemis.
“Maafkan Locianpwe atas
kekurang ajaran Boanpwe!”
“Sudahlah!” si pengemis
tertawa.
“Siapakah pendeta yang
mengejar-ngejarmu itu?” Tanya Kim Cie Sin-kay kemudian.
Kemudian si gadis
menceritakannya.
“Hemm, memang tidak salah apa
yang kuduga!” Menggumam Kim Cie Sin-kay.
“Apa yang telah Locianpwe
duga?”
“Pendeta itu adalah pendeta
busuk!”
“Benar!” Kata Kim Lo. “Boanpwe
juga menduga begitu!
“Ya, memang dia bermaksud
buruk pada Boanpwe!” Menjelaskan Bie Lan.
“Hemm, memang kota ini telah
dicengkeram oleh hantu-hantu, yang jahat dan membuat penduduk kota ini jadi
menderita! Tentu pendeta itu memiliki kawan yang tidak sedikit,
setidak-tidaknya anak buahnya!”
“Ya, kepandaiannya pun tidak
rendah…….!” Kata Bie Lan sambil memperlihatkan sikap yang bersungguh-sungguh.
“Tapi oleh Siauwhiap ini, si
Pendekar Aneh Berseruling Sakti, ia dihajar babak belur!” Kata Kim Cie Sin-kay
sambil tertawa.
Kim Lo jadi malu.
“Locianpwe hanya bergurau…….!”
Katanya.
“Tapi kenyataan. bukan? Dia
akhirnya sembunyi ekor sipat kuping, kabur meninggalkan kita?” Kata si pengemis
sambil memperlihatkan sikap sungguh-sungguh.
Kim Lo tidak bisa bilang apa.
“Jadi kau sudah menghajarnya
Kongcu?” Tanya Bie Lan pada Kim Lo.
“Dibayar Locianpwe!”
“Hemm, kau ingin merendahkan
diri, ya,” kata Kim Cie Sin-kay menggoda lagi.
Kim Lo semakin jengah.
“Baiklah! Memang benar nona
Yo, kami telah bertempur dan pendeta itu akhirnya angkat kaki. Dia bilang akan
datang lagi mencari kami buat mengadakan perhitungan!”
“Hemm, akupun telah bertempur
dengannya. Cuma saja dia jauh lebih lihay dariku!”
“Di mana sarang pendeta itu?”
“Aku sendiri tidak tahu!”
“Jika kita mengetahui
sarangnya, kita bisa menyatroni! Memang Kim Cie Sin-kay locianpwe bermaksud
menumpas mereka?”
“Kalau begitu, boanpwe ikut
serta, locianpwe! Boleh?”
“Mengapa tidak boleh?” tertawa
si pengemis.
Bie Lan girang.
“Terimakasih, locianpwe!”
“Kok engkau yang bilang
terimakasih kepadaku? Bukankah seharusnya aku si pengemis busuk dan mesum ini
yang harus berterima kasih, karena nona ingin membantui menumpas pendeta itu?”
“Sama saja, 1ocianpwe. Tapi
yang terpenting locianpwe tidak keberatan aku ikut serta sudah merupakan suatu
keberuntungan buatku, karena akan tambah pengalaman.”
“Kalau begitu, kita harus
menyelidiki jejaknya.”
“Tidak sulit! Dengan adanya
nona Yo di sini kita akan mudah saja memancing pendeta itu.”
Bie Lan dan Kim Lo tidak
mengerti.
“Mengapa begitu locianpwe?”
“Karena kita bisa saja
membiarkan nona Yo jalan lebih dulu, kita di belakangnya.”
“Dan dengan berjalan seorang
diri atau pun jika bersama kita, di kota yang sudah tidak ada wanitanya ini,
nona Yo akan menarik perhatian semua orang. Dan si pendeta tentu akan muncul
juga pada akhirnya buat menangkap nona Yo!
“Atau jika si keledai gundul
itu, sedikitnya anak buahnya! Jika kita telah menangkap anak buahnya. Soal
dimana letak sarang si pendeta, itu urusan yang paling gampang.”
Kim Lo dan Bie Lan girang.
Memang apa yang dikatakan si pengemis benar adanya.
“Baiklah kalau begitu, aku
jalan dulu,” Kata Bie Lan pada Kim Lo.
“Eh, tunggu dulu!” Cegah Kim
Cie Sin-kay.
“Ada apa, locianpwe…….?”
“Kau sudah makan?” tanya Kim
Cie Sin-kay.
Si gadis menggeleng.
“Belum!”
“Nah, kau makanlah,” Kata Kim
Cie Sin-kay sambil memberikan sisa ayam panggangnya.
Si gadis tersenyum, dia
menyambuti dan kemudian menggerogoti ayam panggang itu dengan nikmat. Tanpa
malu-malu dia telah makan di depan rumah makan tersebut.
Pelayan rumah makan itu
mengawasi dengan perasaan heran. Takjub karena seorang gadis cantik jarang
sekali bisa dilihat di kota ini, justeru tengah mengerogoti panggang ayam.
Setelah selesai, si gadis
menoleh kepada Kim Lo dan Kim Cie Sin-kay.
“Mari kita berangkat!”
katanya.
Si pengemis mengangguk.
Kim Lo bilang: “Kau jalan
dulu, nona, nona Yo......., kami akan mengikuti dari jarak tertentu!”
Si gadis mengangguk.
Demikianlah, Bie Lan berjalan
di sebelah depan, sedangkan Kim Lo berdua dengan Kim Cie Sin-kay berjalan di
belalang si gadis, mengikuti dalam jarak terpisah cukup jauh, yaitu belasan
tombak. Dengan demikian mereka berusaha mencegah timbulnya kecurigaan dari
pihak Jay-hoa-cat, dan ketika hendak memancing Jay-hoa-cat.
Setelah berjalan melewati
beberapa jalur jalan raya, di mana semua mata orang-orang yang berpapasan
dengan si gadis memandang takjub dan heran. Juga mereka selain mengagumi
kecantikan yang dimiliki gadis itu, merekapun sangat menguatirkan keselamatan
gadis yang cantik itu.
Mereka mengetahui betapa
berbahayanya si gadis berada di kota Yu-kang ini, sebuah kota yang paling
terancam oleh sepak terjang Jay-hoa-cat.
Tapi si gadis sama sekali
tidak memperdulikan sikap orang-orang itu, dia berjalan dengan tenang, sama
sekali dia tidak mengacuhkan orang-orang itu.
Malah jika Bie Lan melihat ada
yang mengawasinya dengan mata yang terbeliak lebar-lebar mengagumi
kecantikannya, maka si gadis malah melontarkan senyumnya. Tentu saja membuat
orang itu semakin kesima tersengsam. Memang jarang sekali dan hampir boleh di
bilang sama sekali tidak bisa bertemu dengan seorang wanita, apa lagi seorang
cantik, di kota ini.
Kim Lo dan Kim Cie Sin-kay
setiap mengikuti dari belakang si gadis, selama itu memang masih belum juga
terlihat ada tanda-tanda bahwa akan ada gangguan buat si gadis.
“Apakah penjahat pemetik bunga
itu akan muncul memperlihatkan diri?” Demikian menggumam Kim Cie Sin-kay
seperti bertanya kepada Kim Lo.
Kim Lo menghela napas.
“Kukira mereka akan
memperlihatkan diri, locianpwe! Mereka pasti akan terpancing oleh nona Yo?”
“Kau memanggil gadis ini
dengan sebutan nona Yo, nona Yo, apakah memang gadis itu berasal dari keluarga
Yo?”
Kim Lo menggeleng perlahan.
“Entahlah locianpwe, kami pun
bertemu di tengah jalan dan kemudian berpisah, tidak banyak yang kuketahui
tentang dia!” Menyahuti Kim Lo dengan jujur.
“Hemmmm, sebetulnya ada
keluarga Yo yang sangat hebat sekali, malah dulu beberapa puluh tahun yang
lalu, Sin Tiauw Tay-hiap Yo Ko merupakan orang yang paling di segani oleh semua
orang-orang rimba persilatan. Entah gadis itu memiliki hubungan dengan keluarga
Yo yang kumaksudkan atau tidak?”
“Entahlah!” menyahuti Kim Lo.
“Apakah gadis itu tak pernah
membicarakannya denganmu?”
“Tidak!” jawab Kim Lo.
“Lalu apa saja yang kau
ketahui?”
“Katanya ia ingin pergi ke
Yang-cung untuk apa, belum begitu jelas!”
“Ohh..............” kata Kim
Cie Sin-kay sambil membuka mata lebar-lebar. “Kalau begitu tampaknya ia memang
memiliki tujuan yang sama dengan kita. Jangan-jangan ia masih ada hubungan
dengan keluarga Sin Tiauw Tay-hiap Yo Ko?
“Bukankah ia she Yo? Bukankah
ia memiliki kepandaian yang tinggi? Dan bukankah iapun hendak pergi ke
Yang-cung, berarti ia hendak berkumpul dengan para pendekar gagah lainnya.
Tentunya ia atas utusan keluarganya buat pergi ke Yang-cung……..?”
“Mungkinkah itu locianpwe?”
tanya Kim Lo sambil mengawasi si pengemis.
“Maksudmu?”
“Mungkinkah dia benar-benar
memiliki hubungan dengan Sin Tiauw Tay-hiap Yo Ko?”
“Hemmm, jika memang dilihat kepandaiannya,
dia merupakan orang yang sulit diterka karena ilmu gin-kangnya yang waktu
dipergunakannya buat meloloskan diri dari kejaran si pendeta busuk itu, dia
mempergunakan gin-kang yang biasa keluarga Yo gunakan!” Menjelaskan si
pengemis.
Kim Lo terdiam, dia jadi
berpikir.
“Gadis ini dan memiliki
kepandaian yang tinggi. Memang dia gadis yang menarik…..!” Tapi berpikir sampai
di situ, wajah Kim Lo jadi berobah merah dan panas.
Si pengemis melihat perobahan
sikap Kim Lo. Dia melihat kelakuan si pemuda.
“Hahahaha…..” tertawa Kim Cie
Sin-kay, “Aku tahu, kau tentu sedang memikirkan tentang nona Yo mu itu?”
Karuan Baja muka Kim Lo tambah
merah, dia kaget sekali. Dia segera membantah.
Mendadak sekali, Kim Cie
Sin-kay menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke depan.
Kim Lo segera mengangkat
kepalanya, dia melihat rupanya si gadis tengah mengelakkan serangan dua orang.
Tanpa membuang waktu, Kim Lo
juga melesat ke depan menyusul Kim Cie Sin-kay.
Ternyata Bie Lan tengah
dikeroyok dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan tegap. Mereka
garang sekali, mereka menyerang berusaha membekuk Bie Lan.
Cuma saja si gadis tampak
memang gesit dan ilmunya liehay, walaupun kepandaian dua orang pengeroyoknya
itu liehay, tokh mereka tak bisa cepat-cepat buat membekuk Bie Lan.
Dalam keadaan seperti itu, ia
tengah berkelit dua kali dari totokan tangan salah seorang lawannya, justeru
Kim Cie Sin-kay telah tiba.
Tanpa mengeluarkan bentakan,
Kim Cie Sin-kay malah menerobos maju terus dengan tangan kanannya menghantam
jalan darah Yang-ciu-hiat di tubuh lawan Bie Lan.
Bie Lan girang melihat si
pengemis telah datang begitu cepat. Tadi dia disergap dari samping jalan
tersebut oleh ke dua lawannya, namun karena si gadis memang lihay dan gesit,
dia tidak sampai kena di bokong. Dan dia masih ragu-ragu, apakah Kim Cie
Sin-kay berdua Kim Lo bisa tiba di tempat itu dengan cepat?
Siapa tahu sekarang Kim Cie
Sin-kay telah datang, maka semangat si gadis terbangun. Dengan segera ia
mengempos semangatnya dia mengeluarkan bentakan, tangannya cepat sekali
berkelebat ke sana ke mari, dan dia menyerang gencar sekali.
Apa yang dilakukannya memang
merupakan hantaman yang bertubi-tubi pada dua orang lawannya, mereka jadi kaget
melihat perobahan cara bersilat si gadis.
Yang seorang lawan Bie Lan
jadi lebih kaget. Tengah dia heran, serangan Bie Lan yang berobah jadi lebih
libay, justeru dia merasakan dari arah sampingnya menyambar angin pukulan yang
kuat sekali. Tidak buang waktu lagi tangannya menyampok buat menangkis.
“Buuukkkkk!” Tangan dia telah
membentur tangan Kim Cie Sin-kay.
Sedangkan Kim Cie Sin-kay
mempergunakan tenaga yang tidak kecil, waktu dia menyerang, dia menghantam
dengan enam bagian tenaga, dalamnya.
Karenanya, begitu tenaga
mereka saling bentur, tubuh lawan Kim Cie Sin-kay sampai terpental dua langkah.
Dia segera memutar tubuhnya.
Kim Cie Sin-kay begitu
tangannya tertangkis, tidak tinggal diam, dia sudah menyusuli dengan hantaman
lainnya. Hebat sekali tenaga serangannya.
Orang itu jadi kaget. Dia
seperti tidak dibiarkan bernapas oleh Kim Cie Sin-kay.
“Tahan!” Teriak orang tersebut
sambil menghindarkan diri dari sambaran tangan si pengemis.
Dia tidak mau menangkis,
karena dia merasakan betapa tadi tangannya menangkis jadi sakit sekali, malah
dia yang terpental. Maka dia sudah tahu, bahwa orang yang menyerang tentu
memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
Waktu itu Kim Lo juga sudah
tiba di tempat itu. Dia justeru menyerang lawan Bie lan yang satunya lagi.
Kepandaian Kim Lo jauh di atas
Bie Lan, maka begitu dia tiba dan menyerang, lawan Bie Lan tidak bisa berkutik
lagi, punggungnya kena dihantam kuat, dia terpental keras sekali hampir dia
terjerembab.
Untung saja dia masih sempat
mengerahkan tenaga dalamnya pada kedua kakinya dia bisa mempertahankan dirinya
dan tidak sampai terjerembab. Walaupun demikian, dia memutar tubuhnya, mukanya
pucat.
Kim Cie Sin-kay memang sudah
tidak menyerang lebih jauh lagi. Dia membentak: “Manusia hina, rupanya
kalianlah Jay-hoa-cat yang selalu mengganggu keamanan kota ini!”
Muka orang itu berobah.
“Jangan menuduh sembarangan!”
Bentak orang itu bengis. “Hemm, mengapa tidak hujan tidak angin kau
menyerangku?”
“Hemm, pantaskah seorang gadis
dikeroyok oleh kalian berdua? Atau memang itu perbuatan seorang gagah sejati?
“Tidak malukah kalian manusia
manusia rendah! Kami tahu, tentu kalian memang Jay-hoa-cat yang selalu
berkeliaran di kota ini!”
“Jangan ngaco belo! Kami
adalah pahlawan istana Kaisar! Bagaimana mungkin kami melakukan perbuatan yang
bisa merugikan rakyat?” bengis sekali suara dan sikap orang itu.
Kim Cie Sin-kay terkejut, tapi
segera ia tertawa mengejek.
“Kalian pahlawan istana?”
tanyanya, “Hemmm, budak-budak bangsa Boan! Manusia tak tahu malu! Kalian
menjual diri kepada bangsa asing dan penjajah!”
Muka orang itu jadi bengis
sekali.
“Wang Chia Tat tak akan
membiarkan kau bicara sembarangan seperti itu!” Teriaknya bengis. “Tahukah kau
hukuman apa yang menantimu?”
“Hem, apa hukumannya manusia
rendah?”
“Kau akan digantung!”
“Aku si pengemis melarat tak
takut menghadapi manusia busuk tidak tahu malu seperti kau!”
Muka orang itu, Wang Cia Tat,
jadi berobah merah padam karena murka yang tidak terkira. Hanya saja dia
mengetahui pengemis ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia tidak segera
menerjang buat menyerbu pada si pengemis. Dia masih berusaha menahan diri dengan
kemarahan yang seperti hendak meledakkan dadanya.
Ada yang diingatnya lagi-lagi
tadi si pendeta Pu San Hoat-ong pimpinannya, telah pulang dengan murung.
Justeru mereka mendengar Pu San Hoat-ong ketemu batunya, dan telah dihajar oleh
si pengemis dan orang bertopeng kain putih.
Walaupun memang Pu San
Hoat-ong tidak menceritakan dia kena ditotok satu kali oleh Kim Lo, tokh semua
anak buahnya mengerti bahwa si pendeta telah rubuh. Kalau tidak nantinya si
pendeta mau sudah begitu saja urusannya.
Pu San Hoat-ong malah telah
memerintah anak buahnya buat menyebar diri. Mencari si gadis yang nyaris
menjadi mangsanya beberapa waktu yang lalu! Juga mencari jejak si pengemis dan
orang yang mukanya ditutup oleh kain putih.
Maka anak buah Pu San Hoat-ong
menyebar diri.
Siapa tahu Wang Chia Tat
bersama kawannya yang bernama Yang Ie, telah melihat si gadis. Mereka mengenali
gadis itu, karena mereka yang terlihat di rumah penginapan, di mana mereka
telah bertempur dengan gadis itu.
Mereka girang. Mereka melihat
si gadis berjalan seorang diri, maka mereka hendak membokong siapa tahu si
gadis memang memiliki kepandaian yang tinggi. Gadis itu bisa menghadapi mereka,
sampai muncul si pengemis, dan disusul dengan orang yang mukanya, yang ditutupi
kain putih itu, Kim Lo.
Maka Wang Cia Tat jadi
tergetar. Memang dia tidak jeri tapi dia menyadari Pu San Hoat-ong yang
memiliki kepandaian lebih tinggi darinya saja tidak berdaya menghadapi si
pengemis dan orang yang mukanya ditutup kain putih, maka dia menyadari dirinya
tentu lebih celaka lagi kalau membentur pengemis itu.
Terlebih lagi memang tadi
waktu dia menangkis tangan si pengemis yang membuat dia terpental.
Itulah sebabnya, mengapa
walaupun marah bukan main tokh tetap saja Wang Chia Tat tidak berani menyerbu
dan segera menyerang si pengemis.
Wang Chia Tat malah masih
ingin mempergunakan pengaruhnya sebagai pahlawan istana, buat menggertak musuh.
Siapa nyana, justeru Kim Cie
Sin-kay bukannya jeri, malah jadi gusar bukan main mengetahui bahwa orang yang
di hadapannya ini adalah budaknya bangsa Boan,
“Hemmm, maju! Mari, Maju!”
Tanya si. pengemis.”Mengapa kau cuma bawel mementang mulut di situ? Ayo maju!”
Wang Chia Tat ragu-ragu, tapi
dia malu. Malah dia juga telah didesak, segera dia melesat maju. Dia menyerang
hati-hati sekali.
Dia pun berpikir di dalam
hatinya: “Walaupun kepandaian si pengemis busuk ini lihay, belum tentu dia bisa
merubuhkan diriku! Hemm,” Dia menghibur dirinya.
Si pengemis tertawa dingin.
“Serangan bang-pak!” Ejeknya.
Waktu itu cepat sekali
sepasang tangan Kim Cie Sin-kay bergerak menyambuti serangan Wang Chia Tat.
Cuma saja Wang Chia Tat
membatalkan serangannya, karena memang dia hanya menggertak belaka. Kemudian
dia menyusuli lagi dengan serangan jauh lebih kuat.
Kim Cie Sin-kay melayani terus
dengan berulang kali melontarkan kata-kata ejekan, yang membuat muka Wang Chia
Tat jadi merah padam karena gusar yang tidak kepalang.
Sedangkan Kim Lo sudah
menghadapi kawan Wang Chia Tat, yaitu Yang Ie.
“Hemmm, kau rupanya penjahat
pemetik bunga yang tengah kami cari!” Kata Kim Lo dengan suara yang bengis,
karena memang Kim Lo benci sekali kepada penjahat pemetik bunga dan ia sudah
bersumpah di dalam hatinya.
“Jika memang penjahat pemetik
bunga terjatuh ditangannya, niscaya tak akan diberi hati dan tak akan
diampuninya. Ia akan menghajarnya habis-habisan. Jika perlu akan
dibinasakannya, maka dari itu, ia tak perlu sungkan-sungkan pada Yang Ie.”
Tapi Yang Ie licik, ia
membusungkan dadanya, ia membentak, seakan juga ia tak jeri terhadap Kim Lo,
walaupun hatinya tergetar.
Sama seperti yang dialami Wang
Chia Tat iapun teringat pada cerita Pu San Hoat-ong, tentang orang yang mukanya
ditutup kain putih.
“Kau jangan bicara
sembarangan!” bentaknya bengis. “Aku adalah pembesar kerajaan, akulah pahlawan
istana Kaisar!”
Mendengar jawaban Yang ie, Kim
Lo kaget.
“Kau……?” pemuda ini jadi
ragu-ragu.
Memang Kim Lo belum lagi
berpengalaman dan ia kaget mengetahui tuduhannya meleset, malah orang ini
adalah pahlawan istana Kaisar.
Tentu saja sebagai pahlawan
istana kaisar orang ini tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan rakyat.
Bie Lan melihat kelakuan Kim
Lo, jadi gelisah. Dia kuatir Kim Lo melepaskan orang itu.
Belum lagi Bie Lan berteriak
kepada Kim Lo menganjurkan agar pemuda itu membekuk dulu Yang Ie, dia telah
didului oleh Yang Ie.
“Hemmm, kau tahu dosa apa yang
kau bawa jika berani mengganggu kami, pahlawan istana Kaisar? Tentu Hong-siang
tak akan membiarkan diri tentu akan dikejar, walaupun ke ujung dunia…….!”
Kim Lo benar-benar kurang
pengalaman dia telah merangkapkan sepasang tangannya.
“Maaf! Maaf! Maaf! Atas
tuduhan Siauwte yang ternyata keliru!” Katanya dengan jujur.
Justeru saat memberikan hormat
seperti itu tubuh Kim Lo membungkuk.
Yang Ie girang. Dia tidak
mensia-siakan kesempatan yang ada, dia tahu-tahu mengayunkan kepalan tangan
kanannya, dia bermaksud menghantam punggung Kim Lo. Tenaga pukulan yang
dilakukannya kuat sekali, karena dia mempergunakan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya.
Bie Lan kaget bukan main.
“Hati-hati…….!”
Justeru baru saja Bie Lan
berteriak seperti itu, tahu-tahu terdengar jeritan yang nyaring.
Hati Bie Lan jadi ciut, dia
menyangka Kim Lo telah kena dihajar dan tentunya terluka parah atau kemungkinan
juga bisa terbinasa di tangan lawannya.
Waktu itu, dia melihat
seseorang telah terpental keras sekali! Si gadis setengah menjerit menutupi
mulutnya.
Tapi apa yang dilihatnya
benar-benar membuat dia jadi takjub dan tidak mengerti.
Kim Lo masih berdiri tegak di
tempatnya dengan sikap yang gagah sekali.
Justeru yang menjerit tadi dan
terpental keras adalah Yang Ie!
Mengapa bisa menjadi begitu?
Ternyata waktu Kim Lo tengah
membungkukkan tubuhnya memberi hormat, justeru waktu itu Kim Lo merasakan
menyambar angin pukulan yang dahsyat.
Pemuda itu kaget. Tapi dia
tenang sekali, tidak gugup dan dapat bergerak cepat dan tepat.
Dia tidak membenarkan letak
tubuhnya, dia tetap membungkuk, dengan posisi tubuh tidak tegak seperti itu,
tahu-tahu telapak tangan kanannya menghantam ke atas.
Telak sekali dada Yang Ie kena
dihantamnya, membuat tubuh orang itu terpental keras.
Tentu saja, karena tubuhnya
terpental. Dia tidak sampai berhasil dengan pukulannya.
Bie Lan menghela napas lega.
Dia berlari menghampiri Kim Lo.
“Kau tidak apa-apa?” Tanyanya
dengan penuh perhatian.
Melihat muka si gadis,
mimiknya yang begitu memperhatikan keadaan dirinya, hati Kim Lo jadi tergetar.
Dia juga merasakan hatinya senang bukan main.
“Tidak! Tidak apa-apa!”
katanya dengan sikap malu-malu. Untung saja mukanya memang tertutup kain putih,
kalau tidak, niscaya si gadis bisa melihat wajahnya yang memerah karena malu.
Sedangkan Kim Cie Sin-kay
dengan Wang Chia Tat masih hertempur terus. Mereka tampaknya tengah saling
serang dengan hebat. Setiap pukulan Wang Chia Tat yang menyerang Kim Cie
Sin-kay mati-matian sekuat tenaganya, selalu dapat dihindarkan oleh si
pengemis.
Dan Kim Cie Sin-kay sementara
waktu itu memang belum membuka serangan yang menentukan, sebab dia hendak
melihat dulu, berapa tinggi kepandaian yang dimiliki Wang Chia Tat dan juga
ingin mencari kelemahannya. Dia lebih banyak menghindarkan diri dan mengecoh
saja, cuma sekali-kali saja membalas menyerang.
Wang Chia Tat semakin lama
semakin kalap. Apa lagi ia mendengar suara jeritan kawannya, Yang Ie. Maka dia
semakin gencar menyerang Kim Cie Sin-kay.
Cuma saja, karena dia
menyerang kalap, dengan sendirinya hal ini membawa kerugian tidak kecil buat
dirinya.
Di dalam kalangan Kang-ouw,
memang terdapat pantangan buat seorang ahli silat, yaitu kehilangan ketenangan
jiwa dan hatinya.
Sekali saja orang itu
kehilangan keseimbangan ketenangannya, maka dengan begitu akan punahlah pusat
perhatiannya. Jelas ini membahayakan dirinya.
Kim Cie Sin-kay girang bukan
main melihat keadaan lawannya seperti itu. Namun pengemis ini tetap saja belum
mau bertindak, ia masih mengelakkan diri dan membiarkan lawannya menyerang
tidak hentinya.
Yang Ie yang terpental,
meringis dengan muka yang pucat pias. Tadinya terserang kuat sekali, membuat ia
sendiri terluka tak ringan.
Tapi ia malu memperlihatkan
kelemahannya, begitu rasa sakitnya berkurang, segera ia melangkah menghampiri
Kim Lo, yang tengah mengawasinya.
“Kau berani turunkan tangan
jahat pada pahlawan istana Kaisar, heh?” Tegurnya.
Kim Lo merangkapkan tangannya
memberi hormat pada pahlawan raja ini.
“Maaf, maafkan! Aku hanya
membela diri bukankah Taijin tadi menyerangku?”
“Hemmmm, kau telah
membokongku!” kata Yang Ie tidak mau mengerti. “Tahukah kau berapa besar
dosamu?”
Kim Lo menghela napas.
“Tapi Taijin sendiri yang
mendesakku menurunkan tangan seperti itu.”
Muka Yang Ie jadi merah padam.
“Tampaknya kau bukan manusia
baik-baik. Tentunya kau ini sebangsa perampok dan penjahat tengik yang harus
dibasmi oleh kerajaan!” Kata Yang Ie.
Kim Lo jadi tidak senang
hatinya.
“Hemmm, justeru Taijin yang
menyerangku dan Taijin mendesakku demikian rupa?” Teriaknya.
Melihat Kim Lo sudah tidak
membawa sikap menghormat seperti tadi, hati Yang Ie tambah ciut karena memang
ia menyadari dirinya bukan lawan Kim Lo. Maka dia pikir hendak mengambil jalan
lunak.
“Baiklah, karena kau telah
meminta maaf aku mau memaafkanmu!” katanya.
Setelah berkata begitu, ia
memutar tubuhnya hendak pergi menghampiri kawannya yang tengah bertempur dengan
Kim Cie Sin-kay. Dia bermaksud hendak mengajak kawannya itu angkat kaki saja,
dirasakannya itulah cara dan jalan tang terbaik.
Tap, baru saja ia memutar
tubuhnya, Kim Lo justeru telah bilang: “Maaf Taijin! Tunggu dulu!”
Yang Ie tercekat hatinya, ia
memutar tubuhnya lagi menghadapi Kim Lo.
“Apakah dia ingin
mempersulitku lagi?!” Pikirnya dalam hati.
Waktu itu Kim Lo telah bilang,
“Taijin, karena Taijin mengaku sebagai hamba kerajaan tentunya Taijin
mengetahui bahwa kota ini tak aman, terutama sekali buat kaum wanitanya…....!”
Muka Yang Ie berobah, tapi
cepat sekali pulih, ia memperlihatkan sikap yang bengis.
“Mengapa kau tanyakan hal itu
kepadaku? Apa hubungannya keadaan itu denganku? Soal keamanan kota ini
ditangani oleh Tiek-wan, kau bisa menanyakannya pada Tie-kwan.”
Kim Lo mengangguk.
“Memang benar apa yang
diucapkannya, tapi justeru tadi kami melihat Taijin berdua dengan kawanmu itu
telah menyerang kawan kami ini yaitu nona Yo! Maka dari itu, kami mau meminta
keterangan Taijin dengan alasan apa Taijin berdua hendak menyergap kawan kami
ini?”
Muka Yang Ie berobah pucat dan
merah bergantian sampai akhirnya dengan agak gugup dia biang: “Ini …….ini…….!”
Kim Lo tertawa dingin.
“Katakanlah Taijin, apa alasan
Taijin berdua hendak menyergap kawan kami ini?”
Muka Yang Ie merah padam.
“Karena kami
mencurigainya.......!” Dia menjawab juga seenaknya saja.
Kim Lo mementang matanya
lebar-lebar, sikapnya bersungguh-sungguh sekali.
“Mencurigai kawan kami?
Mencurigai nona Yo?” Tanya Kim Lo menegasi pula.
“Ya!”
“Mengapa mencurigai kawan
kami!”
“Karena……. karena kemaren
malam terjadi pencurian di gedung Walikota Wie-sung Taijin!” Menjawab Yang Ie
sekenanya lagi.
“Dan menurut petugas keamanan
di sana, yang melakukan pencurian itu adalah seorang gadis!”
Kim Lo tertawa dingin.”
“Hemmmmmmmm, benarkah itu?”
“Apakah kau menganggap aku
berdusta?” Bentak Yang Ie murka, tapi hatinya kecil sekali.
Kim Lo tertawa dengan sikap
mengejek.
“Apakah bukan disebabkan
Taijin berdua hendak menyergap kawanku ini, untuk....... kalian perkosa?” Tanya
Kim Lo kemudian dengan suara yang keras.
Seketika merah muka Yang Ie.
“Kau jangan bicara
sembarangan!”
“Jawab!” Tiba-tiba suara Kim
Lo jadi keras sekali. “Apakah benar kau bermaksud buruk pada nona Yo itu?”
“Kau........?!”
“Hemmmm, jangan kau harap
sebelum Taijin bicara dari hal yang sebenarnya, Taijin bisa meninggalkan tempat
ini!” kata Kim Lo.
“Kau mengancam?”
“Bukan mengancam? Tapi tetap
saja kami tak mungkin melepaskan Taijin berdua, sebelum Taijin membuktikan
bahwa Taijin memang tak memiliki maksud buruk pada nona Yo!”
“Kalau memang kami memiliki
maksud buruk?”
“Hemmm, justeru inilah yang
kami cari! Tentu saja kami tak akan melepaskan Taijin berdua sebelum kalian
berdua bicara dari hal yang sebenarnya!”
Yang Ie sendiri takut dan
murka bukan main, karena terdesak, akhirnya ia nekad.
“Baiklah!” katanya kemudian.
“Aku ingin melihat apa yang ingin kau lakukan terhadap pahlawan istana
Kaisar……..!”
Setelah berkata begitu, Yang
Ie memperlihatkan sikap bersiap sedia buat menerima serangan.
“Benar-benar taijin tak mau
bicara secara baik-baik guna memberitahukan, di mana markas teman-temanmu?”
Tanya Kim Lo, menegasi sambil mengawasi tajam sekali.
Yang Ie sudah tidak menyahuti,
dia mengibaskan tangannya. Tahu-tahu dia melepaskan beberapa batang jarum, yang
meluncur ke arah Kim Lo. Jarum itu berwarna hitam. Tentunya itulah jarum yang
beracun dan berbahaya.
Sambil menimpuk seperti itu,
Yang Ie memutar tubuhnya, dia bermaksud hendak melarikan diri.
Tapi Kim Lo mana bisa
diperlakukan seperti itu? Walaupun jarum-jarum tersebut menyambar deras sekali
ke arahnya, tokh dia dengan mudah menghindarkan diri. Dan telah mengibas dengan
lengan bajunya, maka jarum-jarum itu terlempar ke arah lain.
Kini Kim Lo juga sudah
menjejak. Dia meluncur dengan pesat menerjang Yang Ie.
Yang Ie baru saja berlari
beberapa tombak. Dia memang bermaksud hendak melarikan diri. Tahu-tahu dia
merasakan dari arah belakangnya menyambar angin pukulan yang kuat.
Cepat-cepat Yang Ie memutar
tubuhnya, terpaksa dia membatalkan maksudnya hendak melarikan diri. Dia juga
telah menangkisnya dengan kuat ke belakang.
Tapi, dia menangkis angin
kosong karena Kim Lo menarik pulang tangannya. Hanya tubuhnya yang telah
meluncur terus. Dan barulah kemudian dia mengulurkan tangannya buat
mencengkeram pundak Yang Ie.
Walaupun Yang Ie jeri pada Kim
Lo tokh dia adalah pahlawan kerajaan yang memiliki kepandaian tidak rendah.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, dia tidak mau manda berdiam diri saja untuk
dicengkeram. Karena dari itu, dia telah membalas menyerang setelah berkelit.
Tiga kali beruntun.
Dalam keadaan nekad seperti
itu, setiap serangannya seperti juga pukulan yang hendak mengadu jiwa.
Lincah sekali Kim Lo
menghindarkan diri dari setiap serangan tersebut.
Sedangkan Yang Ie
mempergunakan kesempatan itu telah mencabut pedangnya.
Justeru Yang Ie mencabut
pedangnya, berarti dia telah mencari penyakitnya sendiri. Kim Lo juga tidak
ayal telah mengeluarkan serulingnya.
Waktu itu Yang Ie menikam dua
kali, tokh cepat sekali Kim Lo mengeluarkan serulingnya dan tahu-tahu telah
menotok jalan darah Mang-su-hiat di dada si pahlawan istana kaisar itu.
Pahlawan Kaisar itu terkejut,
dia berusaha berkelit. Namun gerakan seruling Kim Lo aneh sekali. Mata ujung
seruling seperti bisa berobah menjadi beberapa batang, dan menyambar berbagai
tempat, membuat Yang Ie belum tahu apa-apa dia telah tertotok, seketika
tubuhnya jadi lemas, tenaganya berkurang banyak.
Hampir saja dia jatuh terduduk
lemas, untung saja dia memiliki latihan lwekang yang kuat, maka dia masih bisa
mengempos seluruh sisa tenaga yang ada padanya buat mempertahankan kuda-kuda
sepasang kakinya.
Kim Lo tidak membiarkan sampai
di situ,
“Terimalah serangan!” Berseru
Kim Lo, dan pesat sekali serulingnya menyambar lagi.
“Tukkk!” Jalan darah Yang Ie
tertotok lagi.
Dia tubuh terjengkang dengan
muka pucat. Dia beringsut hendak melarikan diri, dan menimpukkan pedangnya
kepada Kim Lo.
Namun Kim Lo bisa mengelakan
sambaran pedang yang ditimpukkan Yang Ie.
“Hemmm, kau mau bicara atau
tidak, Taijin? Atau memang memaksa aku mempergunakan kekerasan buat memaksa
dirimu?” Tanya Kim Lo kemudian.
Muka Yang Ie pucat pias.
Bie Lan mengawasi semua itu
dengan penuh kagum. Ia tidak menyangka si pemuda yang mukanya selalu ditutupi
oleh kain putih itu, yang mengaku sebagai cucu Oey Yok Su, benar-benar memang
memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
Bie Lan sudah menyaksikan,
dalam beberapa gebrakan saja, Kim Lo sudah dapat merubuhkan Yang Ie dengan
mudah sekali. Itulah kepandaian yang tinggi, karena Yang Ie memang memiliki
kepandaian tidak rendah.
Sedangkan Wang Chia Tat, yang
tengah bertempur dengan si pengemis Kim Cie Sin-kay, mengalami kesulitan juga,
dia tengah terdesak hebat.
Karena waktu itu Wang Chia Tat
sudah tidak memiliki kesempatan buat membalas menyerang kepada Kim Cie Sin-kay,
dia repot menghindarkan diri dari sambaran tangan si pengemis.
Sedangkan menyusul dia
mendengar teriakkan Yang Ie membuat hati Wang Chia Tat tergetar. Dia melirik
dan melihat kawannya rubuh terjungkel karena tertotok jalan darahnya.
Dia putus asa, dan waktu dia
melirik begitu di saat perhatiannya terpecahkan, Kim Cie Sin-kay justru telah
menyambar gesit sekali, tangannya mencengkeram tulang pie-penya, sehingga
terpaksa dia menyerah. Tenaganya jadi lenyap, dia tidak bisa meronta lagi.
“Jika kau berpikir masih
hendak melawan maka aku akan meremas lebih kuat lagi agar tulang pie-pemu ini
hancur dan kepandaianmu semuanya musnah.” Ancaman Kim Cie Sin-kay.
Menggigil tubuh Wang Chia Tat,
kini hancurlah nyalinya, lenyap pula keberanian dan keangkuhannya.
“Apa....... apa yang kau
inginkan dariku?” tanya Wang Chia Tat kemudian.
“Hemm....... sekarang kau
katakan, apakah kau yang selama ini bekerja sebagai Jay-hoa-cat mengganggu
wanita-wanita di dalam kota ini?” Tanya Kim Cie Sin-kay dengan suara bengis.
“Bu....... bukan!”
“Jangan dusta!”
“Sungguh....... bukan aku!”
“Hemm, kalau kau tak mau
bicara terus terang, baiklah! Aku akan meremas hancur tulang pie-pemu!” ancam
Kim Cie Sin-kay.
“Jangan…….!” teriak Wang Chia
Tat, ia mengerti apa artinya kalau sampai tulang pie-penya itu kena diremas
hancur oleh Kim Cie Sin-kay, berarti seluruh kepandaiannya yang dilatihnya
selama puluhan tahun, akan musnah.
“Kau mau bicara…….!”
“Aku bicara.......!”
“Ayo cepat beritahukan,
siapa-siapa saja yang bekerja sebagai penjahat pemetik bunga?”
“Sebenarnya……. sebenarnya Pu
San Hoat-ong….... yang…….. yang.......!”
“Pu San Hoat-ong? Jadi seorang
pendeta?”
“Be……. benar!”
Wang Chia Tat melirik.
“Hemmm, kalau begitu memang
dia!” Kata Kim Cie Sin-kay kemudian menggumam seorang dari.
“Apakah…….. apakah kau sudah
bertemu muka dengan Pu San Hoat-ong?” sengaja dia bertanya seperti itu, seakan
juga dia tidak mengetahui apa yang pernah dialami Pu San Hoat-ong.
Sebenarnya, dia memang telah
mendengar dari Pu San Hoat-ong, bahwa kepandaian si pengemis dan orang yang
mukanya berselubung kain putih itu sangat tinggi. Dan sekarang dia telah
membuktikan.
Namun dia tengah berusaha
mencuci tangan. Dia ingin menimpahkan seluruh kesalahan pada Pu San Hoat-ong,
maka dari itu, dia bersikap seperti itu.
Kim Cie Sin-kay melirik tajam
sekali, sinar matanya bengis, karena pengemis ini yakin bahwa Wang Chia Tat
memang salah satu Jay-hoa-cat yang mengganggu keamanan kota ini.
“Hemmm, kau juga terus
bersahabat baik sekali dengan pendeta itu, bukan? Tentunya kau sendiri pun
sering mengganggu gadis-gadis dan wanita lainnya di kota ini?”
“Ti……. tidak…..”
“Jangan dusta!” Bentak Kim Cie
Sin-kay sambil meremas lebih kuat.
Tulang pie-pe itu diremas
lebih kuat, jelas mendatangkan rasa sakit yang hebat buat Wang Chia Tat.
“Aduh….. aduh…….. jangan…..!”
Dia berseru dengan tubuh lemas tidak bertenaga, kesakitan dan juga bercampur
rasa ketakutan yang sangat.
“Kau bicara yang jujur!”
Bentak Kim Cie Sin-kay!
“Aku akan bicara!”
“Ayo jelaskan yang jujur!”
“Aku…….. aku memang pernah
satu-dua kali ikut melakukan, tapi atas bujukan dari Pu San Hoat-ong.”
“Hemmmm, tepat kalau begitu!
Kau lah si Jay-hoa-cat itu! Dan sekarang kau beritahukan di mana kawan-kawanmu
berdiam dan juga si pendeta busuk itu?!”
“Aku……. aku…….!”
“Cepat katakan dan tunjukkan
kepada kami!” bentak Kim Cie Sin-kay, dia meremas lebih keras lagi.
“Aduh…… lepaskan dulu, aku
akan memberitahukannya!” Kata Wang Chia Tat teraduh-aduh.
“Cepat katakan atau memang kau
hendak mengalami hancurnya tulang pie-pemu?”
“Aku akan membawa kalian ke
sana!” Kata Wang Chia Tat saking mati kutu dan tidak berdaya, juga memang dia
ketakutan sekali kalau sampai tulang pie-penya itu diremas hancur. Selanjutnya
seluruh ilmunya yang telah dilatih puluhan tahun jadi lenyap dan dia menjadi
manusia bercacad.
“Baik! Jika kau bersedia
mengantarkan kami, nanti kami akan mempertimbangkan, jika memang kau insaf
tentu kau akan kami ampuni.”
Setelah berkata begitu, tangan
Kim Cie Sin-kay menotok salah satu jalan darah di dekat bawah dada, di atas
perut. Dia menotok cukup keras.
Wang Chia Tat merasa sakit
bukan main sedangkan Kim Cie Sin-kay sudah melepaskan cengkeraman tulang pie-pe
orang ini. Dia bilang:
“Jalan darah telah kutotok.
Jangan harap ada orang yang bisa membuka jalan darah itu! Hemm siapapun tentu
tidak akan sanggup membebaskan kau dari totokan itu selain diriku! Memang
sekarang ini totokan tersebut belum terpengaruh apa-apa tapi setelah lewat
seminggu kau akan mampus perlahan-lahan!”
Wang Chia Tat memang mengerti
apa artinya jika jalan darah Hua-lun-hiat kena ditotok maka ia akan sengsara
jika tidak cepat-cepat jalan darah dibuka. Tadi dia memang merasa jalan
darahnya tertotok, mendatangkan rasa sakit yang hebat. Karenanya dia percaya
bahwa si pengemis bukan sekedar mengancam saja.
Waktu itu Kim Cie Sin-kay
menoleh pada Kim Lo, yang tengah mendesak Yang Ie.
“Mereka ini memang kaum
Jay-hoa-cat, dan kita akan pergi ke sarang mereka!” teriaknya.
“Ya, kawannya inipun telah
mengakuinya.”
Dengan tubuh lesu, Wang Chia
Tat dan Yang Ie melangkah akan mengajak Kim Cie Sin-kay bertiga ke gedung
Wie-sung Taijin, untuk di pertemukan dengan Pu San Hoat-ong dan kawan-kawan
mereka.
Di hati Wang Chia Tat memang
sudah berpikir, ia tidak memiliki jalan lain. Mau atau tidak dia harus membawa
ketiga orang itu kepada Pu San Hoat-ong, karena dia bermaksud Pu San Hoat-ong
menolonginya.
Bukankah di sana bukan hanya
Pu San Hoat-ong saja seorang? Masih ada belasan kawan mereka, yang memiliki
kepandaian tinggi.
Mustahil dengan jumlah yang
demikian banyak mereka tidak bisa membekuk Kim Cie Sin-kay, Kim Lo dan Bie Lan
bertiga? Dan juga mereka bisa meminta bantuan dari anak buah Wie-sung Taijin si
walikota itu, yang tentunya bisa saja mengerahkan tentaranya dan juga para
jago-jagonya buat menghadapi Kim Cie Sin-kay bertiga.
Setelah berjalan beberapa
saat, Kim Cie Sin-kay membentak pada Wang Chia Tat, “Nah sekarang kau katakan
juga pada kami, apa maksud kalian, para pahlawan istana Kaisar, bisa berada di
kota ini, yang sesunggunya terpisah jauh sekali dari kotaraja?!”
“Kami…… kami tidak mengetahui!
Karena Pu San Hoat-ong adalah komandan kami dia yang mengetahuinya!
“Kami semua tidak
diberitahukan, apa maksud keberangkatan kami ini, yang perlu kami taati adalah
melaksanakan perintah tanpa banyak bicara! Menurut Pu San Hoat-ong, jika sudah
tiba di tempat tujuan barulah kami akan diberitahukan apa-apa saja tugas kami!”
Kim Cie Sin-kay tertawa
dingin.
“Hem, kembali kau main gila!”
Bentak Kim Cie Sin-kay. “Tentu hendak memutar-mutar lidahmu itu....... atau
memang kau hendak aku Si pengemis tua yang melarat menghajar kau dulu, baru
engkau mau bicara dengan jujur?”
Muka Wang Chia Tat, berobah
pucat, ia mengerti bahaya yang sewaktu-waktu bisa menimpah dirinya. Dia dalam
keadaan tidak berdaya, jika sampai Kim Cie Sin-kay menyiksa dirinya, berarti
dia tidak bisa memberikan perlawanan.
Dia akan tersiksa dan
menderita sekali. Dia telah melihatnya betapa Kim Cie Sin-kay memang tidak
segan-segan menurunkan tangan bengis kepadanya.
“Tapi…… tapi aku telah bicara
dari hal yang sebenarnya.” Dia membela diri.
Kim Cie Sin-kay tersenyum
mengejek. Dia menoleh kepada Kim Lo.
“Siauwhiap, tindakan apa yang
harus kita lakukan terhadap manusia berkepala batu ini?” Tanyanya.
Kim Lo tidak segera menyahuti,
dia melirik kepada Yang Ie. Dilihatnya Yang Ie berjalan dengan kepala
tertunduk. Tapi jelas dia tengah ketakutan juga, dia kini berpura-pura tidak
mendengar tanya jawab itu, sebab ia kuatir nanti Kim Cie Sin-kay mengalihkan
pertanyaan padanya, mukanya pucat sekali.
“Hemm, bagaimana nona Yo?”
Tanya Kim Lo akhirnya pada si gadis
“Jika memang mulut mereka
terkancing dan sulit dibuka, kita pakai tangan besi saja buat merobek mulut
mereka!” menyahuti Bie Lan dengan tenang.
Karuan saja hati Wang Chia Tat
dan Yang Ie tambah ketakutan karena mereka menyadari, berarti mereka akan
menghadapi kesulitan tidak kecil.
Diam-diam mereka mengharapkan
agar cepat-cepat bisa tiba di gedung Wie-sung Taijin.
Atau juga, mereka mengharapkan
dalam perjalanan ini mereka bisa berjumpa dengan kawan-kawan mereka, atau
memang Pu San Hoat-ong, setidak-tidaknya. Merekapun berharap bisa bertemu dengan
rombongan anak buah Wie-sung Taijin.
Akan tetapi, sepanjang jalan
hanya penduduk kota itu yang mengawasi mereka dengan hati bertanya-tanya.
Kim Cie Sin-kay telah bilang
lagi: “Baiklah, karena kau tidak mau bicara jelas, maka biarlah kalian akan
kami pukuli dulu biar dilihat oleh penduduk kota ini, bahwa pahlawan Kaisar
telah dihajar babak belur si pengemis tua yang sudah mau mampus ini……!”
Bukan main kecut hati Wang
Chia Tat dan Yang Ie. Apa lagi mereka melihat Kim Cie Sin-kay dan Kim Lo telah
melangkah lebih lebar semakin mendekati mereka, dengan sikap siap untuk
menghajar mereka.
“Tahan!” Teriak Wang Chia Tat
yang sudah tidak bisa menahan rasa takutnya. “Aku akan bicara!”
“Nah, begitu baru jadi anak
baik!” Kata Kim Cie Sin-kay mengejek. “Ayo cepat beritahukan apa maksud
kedatangan kalian ke kota ini?”
Wang Chia Tat ragu-ragu. Ia
melirik kepada Yang Ie. Kawannya itu pun melirik dia dengan sikap bimbang.
Namun akhirnya Yang Ie mengangguk.
“Kami…… kami diperintahkan
Hong-siang (kaisar)!” kata Wang Chia Tat pada akhirnya.
“Hemmm, kau tidak perlu
menggertak kami dengan membawa-bawa nama raja buntutmu itu!” bentak Kim Cie
Sin-kay sengit. “Ayo cepat katakan, apa maksud tujuan kalian yang sebenarnya?”
“Ya……, kami memang
diperintahkan Hong-siang untuk….. untuk pergi ke Yang-cung……!”
“Pergi ke Yang-cung?” Tanya
Kim Cie Sin-kay, tampaknya si pengemis terkejut sekali.
Kim Lo dan Bie Lan pun
tampaknya terkejut. Tentu saja rasa terkejut ketiga orang itu tidak lepas dari
mata Wang Chia Tat dan Yang Ie.
Seketika mereka terpikir:
“Hemm, tentu kalian adalah orang-orang yang hendak berkumpul di Yang-cung!”
Karenanya Wang Chia Tat segera
juga bilang: “Hong-siang perintahkan kami buat jago-jago yang akan berkumpul di
sana, untuk mengundang mereka datang ke kota raja, untuk memberikan kedudukan
serta pangkat yang tinggi, karena Hong-siang ingin sekali mengikat tali
persahabatan dengan mereka!”
“Plak!” Tiba-tiba tangan Kim
Cie Sin-kay melayang menempiling muka Wang Chia Tat, dan disusul oleh jerit
kesakitan, “Aduuhh!” dari pahlawan istana Kaisar tersebut.
“Hemmmm!” Mendengus Kim Cie
Sin-kay dengan muka bengis. “Kau jangan ngibul di depan aku si pengemis tua!
Aku tahu, kau ngibul dan hendak mendustai kami! Katakan yang sebenarnya! Apa
maksud raja bututmu perintahkan kalian ke Yang-cung?”
Wang Chia Tat merasakan
pipinya masih sakit bukan main. Dia juga kaget bercampur kesakitan, karenanya,
hatinya jadi ciut. Dia jadi tergagap waktu menyahuti!
“Sebenarnya....... sebenarnya
kami diperintahkan Hongsiang…….!”
Dia ragu-ragu lagi buat
meneruskan kata-katanya. Sebab dia sendiri telah menduga bahwa Kim Cie Sin-kay
bertiga dengan Kim Lo dan Bie Lan adalah orang-orang yang akan berkumpul di
Yang-cung!
“Apa? Cepat katakan? Atau
memang engkau mau dihajar dulu baru mau bicara!” Bentak Kim Cie Sin-kay. “Kau
lihatlah, penduduk mulai banyak menonton, atau kau hendak kami hajar babak
belur untuk jadi tontonan mereka?”
Wang Chia Tat jadi mati kutu.
Dia ketakutan sekali kalau saja pengemis itu membuktikan ancamannya.
“Sebetulnya kami……. kami
diperintahkan buat mengacaukan pertemuan para orang gagah itu!” akhirnya Wang
Chia Tat bisa juga menjawab dengan hati yang berdebar, karena dia kuatir kena
dihajar lagi oleh si pengemis yang tangannya enteng itu.
Kim Lo dan Bie Lan saling
pandang kemudian telah mendengus dengan muka merah sebab marah.
“Hemmm, rupanya memang
manusia-manusia busuk, yang bukan main jahatnya!” Menggumam Kim Lo. “Justeru,
mereka disaat tengah melakukan tugas seperti itu, merekapun mengganggu penduduk
yang tidak berdaya!
“Pantas saja kejahatan di kota
ini merajalela tanpa bisa dikendalikan oleh walikota maupun Tie-kwan (hakim) di
kota ini. Karena merekalah orang-orang Kaisar! Kasihan adalah penduduk yang
tidak berdaya, yang menjadi korban keganasan mereka!”
Waktu berkata begitu, Kim Lo
murka bukan main. Jika memang menuruti hati kecilnya tentu dia sudah menghajar
hancur bagian batok kepala Yang Ie. Namun dia masih bisa menahan diri. Dia
menoleh kepada Kim Cie Sin-kay.
“Locianpwe, apa yang harus
kita lakukan terhadap manusia-manusia iblis yang ganas ini?”
Kim Cie Sin-kay tidak segera
menyahuti, karena ia tengah berpikir keras, untuk menentukan sikap. Ia pun
tengah berpikir, bahwa apa yang terjadi sekarang ini merupakan suatu persoalan
yang cukup penting.
Ia bersyukur juga bahwa
justeru hari ini berhasil membekuk Wang Chia Tat maupun Yang Ie, kedua anak
buah Pu San Hoat-ong, dua orang pahlawan istana Kaisar. Dengan demikian ia bisa
mengetahui ancaman yang bisa saja terjadi buat orang-orang gagah yang akan
berkumpul di Yang-cung.
“Baiklah!” Kata Kim Cie
Sin-kay kemudian, ia berpikir jauh. Ia tidak jadi menghajar Yang Ie maupun Wang
Chia Tat. “Kita akan menentukan nanti setelah bertemu dengan teman-teman ke dua
manusia busuk ini!”
Kim Lo dan Bie Lan mengangguk,
mereka bisa menangkap apa maksud Kim Cie Sin-kay.
Sedangkan Wang Chia Tat dan
Yang Ie jadi bersyukur. Mereka lega, karena mereka berdua tidak jadi dihajar
oleh tiga orang ini. Sebelumnya mereka sangat kuatir sekali, mereka ketakutan,
bahwa mereka akan di hajar di sini juga.
Begitulah, Wang Chia Tat dan
Yang Ie digiring Kim Cie Sin-kay berdua Kim Lo dan Yo Bie Lan, ke gedung
Wie-sung Taijin.
Pu San Hoat-ong kaget menerima
laporan dan beberapa orang anak buah Wie-sung Taijin, tentang digiringnya Wang
Chia Tat bersama Yang Ie dengan tiga orang yang tampaknya memang telah
menguasai kedua anak buah Pu San Hoat-ong tersebut, segera ia keluar melihat.
Waktu melihat Kim Cie Sin-kay,
Kim Lo dan Bie Lan, ia segera mengenali tiga orang yang pernah mempermainkannya.
Kemarahannya jadi meluap. Ia pun berpikir bahwa ini adalah kesempatannya, buat
menghajar ke tiga orang itu. Bukankah di sarangnya ini ia memiliki jumlah
tenaga yang besar, belum lagi dibantu oleh para jagonya Wie-sung Taijin.
Melihat munculnya Pu San
Hoat-ong, tampak Kim Cie Sin-kay tertawa dingin.
“Hemmm, ternyata kau biang
keladi dari kerusuhan yang terjadi kota ini…..!” mendengus si pengemis.
Sedangkan Pu San Hoat-ong yang
telah naik darahpun berkata dengan suara yang dingin, mengandung hawa
pembunuhan: “Bagus! Kalian rupanya ingin mengantarkan jiwa…….! Bagus! Bagus!”
“Apanya yang bagus?” Tegur Bie
Lan dengan suara mengejek, “Hemm, ternyata kau memang pendeta busuk yang perlu
dimampusi. Hanya mengganggu dan mencelakai rakyat!”
Muka Pu San Hoat-ong merah
padam. Ia membentak nyaring sambil melompat maju ke depan:
“Kau bocah busuk, kau pun
harus mampus!”
Kim Lo tertawa tawar: “Jangan
bicara takbur, mungkin kau bersama anak buahmu yang akan kami basmi!”
Yang Ie dan Wang Chia Tat
memandang dengan sikap seperti memohon bantuan Pu San Hoat-ong.
Sedangkan anak buah Pu San
Hoat-ong lainnya, telah keluar pula. Mereka mengambil sikap mengepung.
Demikian juga dengan belasan
orang anak buah Wie-sung Taijin, mereka ikut mengepung.
Kim Cie Sin-kay menoleh kepada
Kim Lo dan Bie Lan, ia berbisik perlahan, “Kepandaian mereka tidak rendah,
kalian hati-hati menghadapi mereka!”
Kim Lo dan Bie Lan cuma
mengangguk. Merekapun sudah bersiap-siap untuk menghadapi Pu San Hoat-ong
dengan orang-orangnya itu.
Waktu Pu San Hoat-ong sudah
memberikan isyarat kepada anak buahnya, empat orang pahlawan Kaisar segera
melompat buat menyerang Bie Lan.
Mereka tahu di antara tiga
orang itu Bie Lan lah yang kepandaian paling lemah. Dan karena dari itu, mereka
telah mengincar si gadis.
Tapi Kim Lo tidak mau berdiam
diri. Melihat Bie Lan diserang, ia yang mewakilinya.
Tubuhnya berkelebat, dengan
serulingnya di tangan berkelebat, maka keempat orang itu terhuyung mundur
dengan terkejut. Karena mereka merasakan sambaran angin yang tajam. Dan jika
tadi mereka tidak cepat-cepat menghindarkan diri, niscaya akan membuat mereka
tertotok oleh seruling si pemuda.
Pu San Hoat-ong memang sudah
mengetahui bahwa Kim Lo, Kim Cie Sin-kay merupakan orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi dan tidak mudah untuk merubuhkannya. Sengaja dia tidak mau
turun tangan dulu.
Ia ingin mengerahkan anak
buahnya buat mengepung tiga orang tersebut, menunggu sampai mereka lelah,
barulah Pu San Hoat-ong akan turun tangan sendiri. Dengan cara demikian niscaya
dia akan lebih mudah merebut kemenangan.
Kim Cie Sin-kay sendiri sudah
dapat, membaca pikiran si pendeta. Barulah ia tertawa mengejek ketika diserbu
oleh anak buah Pu San Hoat-ong.
Karena yang menyerbu itu bukan
bukan tentara biasa, melainkan pahlawan Kaisar yang memiliki kepandaian tinggi,
maka Kim Cie Sin-kay pun tak bisa cepat-cepat merubuhkan mereka. Iapun terlibat
dalam pertempuran yang tak berkesudahan, karena tak mudah juga Kim Cie Sin-kay
melepaskan diri dari libatan orang-orang itu.
Bie Lan sudah mencabut
pedangnya, ia melesat ke sana ke mari untuk menghadapi orang-orangnya Pu San
Hoat-ong.
Kim Lo sambil menghadapi anak
buah Pu San Hoat-ong, selalu berusaha menggeser kedudukan dirinya buat
mendekati si pendeta.
Ketika merasa jaraknya dengan
si Pendeta terpisah tidak terlalu jauh lagi, segera ia mengeluarkan suara
bentakan nyaring. Tubuhnya melesat ke tengah udara dan sepasang tangannya
bergerak menghantam pada Pu San Hoat-ong.
Sebetulnya Pu San Hoat-ong
tengah berdiri tak bersiap sedia, karena ia tak menyangka sama sekali Kim Lo
bisa mendadak saja meninggalkan lawan-lawannya, dan tahu-tahu telah melesat
begitu cepat padanya, sambil menghantam.
Dengan demikian, jelas membuat
si pendeta kaget dan segera mengadakan penyambutan yang mendadak sekali. Ia
menangkis dengan mengerahkan tujuh bagian tenaganya.
Menangkis pukulan, dia tidak
berani buat mengerahkan tenaganya tanggung-tanggung, karena dia tahu Kim Lo
memiliki kepandaian yang tinggi. Dan tangan mereka saling bentrok keras sekali.
Tubuh Kim Lo yang terapung di
tengah udara, segera berputar, tahu-tahu sudah hinggap di belakang si pendeta.
Dia menyusuli lagi hantamannya.
Pu San Hoat-ong kaget
bercampur kagum atas kegesitan orang yang mukanya terselubung kain putih itu.
Dan cepat-cepat menghindar lagi.
Tiga orang anak buah Pu San
Hoat-ong segera melompat menerjang kepada Kim Lo, buat membantui Pu San
Hoat-ong. Mereka terdiri dari dua orang laki-laki kurus dan seorang bertumbuh
sedang.
Yang bertumbuh sedang ini
bersenjata tombak pendek bercagak, sedangkan kedua kawannya bersenjata pedang.
Mereka melihat Kim Lo dengan serangan berbahaya. Memang tiga orang kawan Pu San
Hoat-ong memiliki kepandaian cuma satu tingkat di bawah Pu San Hoat-ong.
Kepandaian mereka tinggi dan
sekarang mereka sekaligus maju bertiga buat mengepung Kim Lo, maka Kim Lo tidak
bisa cepat-cepat merubuhkan mereka. Terlihat lagi Pu San Hoat-ong sudah mulai
menerjang maju memukul dahsyat sekali pada Kim Lo.
Tapi Kim Lo besar hatinya dan
juga sangat berani. Dia menghadapi dengan baik sekali. Memang pemuda ini
memiliki gin-kang yang mahir melesat ke sana ke mari.
Sementara waktu dia
menghindarkan serangan lawan-lawannya karena ia hendak melihat kelemahan dari
lawan-lawannya itu. Setelah lewat beberapa jurus, barulah Kim Lo memutar
serulingnya.
Dia telah mengelak ke sana ke
mari mengancam lawan-lawannya. Setiap totokannya selalu mengincar bagian yang
mematikan, membuat lawannya tidak dapat mendesak terlalu dekat padanya.
Kim Lo berseru nyaring,
tahu-tahu tubuhnya seperti bayangan, telah berada di belakang kawan Pu San
Hoat-ong yang bertubuh sedang. Serulingnya menotok telak sekali pada punggung
orang itu, tubuh lawannya terhuyung sambil menjerit kaget, tubuhnya tergoncang,
namun ia tak sampai rubuh.
Melihat kawannya terancam, Pu
San Hoat-ong menerjang dengan pukulan yang dahsyat. Namun Kim Lo bisa
menghindarkan diri, malah serulingnya telah mengibas, membentur tulang
pergelangan tangan Pu San Hoat-ong.
Walaupun kepandaian Pu San
Hoat-ong tinggi, tokh terbentur dengan seruling Kim Lo, membuat lengannya itu
sangat sakit. Ia mundur beberapa langkah. Hatinya kagum sekali buat kelihayan
orang yang mukanya terselubung kain putih ini.
Waktu Kim Lo hendak mendesak
Pu San Hoat-ong dan yang lainnya, mendadak ia mendengar jeritan Bie Lan. Nona
Yo kena terserempet pedang pada pundaknya. Tebasan pedang lawannya yang
menyerang membokong dari belakangnya.
Kim Lo batal buat mendesak Pu
San Hoat-ong, ia mendesak ke dekat si gadis.
“Kenapa kau nona?” tegurnya
dengan kuatir.
Si gadis mengeleng perlahan.
“Tidak apa-apa.......!”
Katanya sambil memutar pedangnya buat menghadapi terus lawannya.
Tapi Kim Lo tahu dengan
keadaan terluka seperti itu niscaya si gadis tidak leluasa lagi menghadapi
lawan-lawannya. Dia jadi tidak mau berada jauh dari si gadis. Serulingnya telah
mengancam biji mata salah seorang lawannya.
Waktu dia mengelak, tangan
kiri Kim Lo cepat sekali menyambar, mencengkeram baju di dekat ketiak orang
itu. Begitu Kim Lo mengerahkan tenaganya, seketika orang tersebut terlontar ke
tengah udara.......
“Mari kugendong!” Kata Kim Lo.
Dan dia tidak menunggu
persetujuan si gadis. Tangannya menyambar pinggang si gadis, sedangkan tangan
kanannya telah memutar serulingnya.
Dia menjejakkan kakinya,
mengempit si gadis keluar dari kepungan orang-orang itu. Waktu itu tampak Kim
Cie Sin-kay pun tengah dikepung oleh lawan-lawannya, dan mendengar jerit
kesakitan Bie Lan.
Sebetulnya si pengemis
berusaha menerjang keluar dari kepungan. Cuma saja ia tidak berhasil, ia telah
merubuhkan tiga orang lawannya tapi jumlah lawan yang mengepungnya sangat
banyak sekali.
Karena dari itu, ia telah
berusaha merubuhkan lawan-lawannya lagi. Ia berusaha menerjang keluar dari
kepungan.
Melihat Kim Lo berhasil
membawa Bie Lan menyingkir keluar kalangan pertempuran itu hatinya jadi agak
lega.
“Siauwhiap, kau bawalah nona
Yo ke tempat yang yang aman!” berseru Kim Cie Sin-kay, “biarlah aku yang
menghadapi mereka!”
“Baik!” berseru Kim Lo. Dia
memang menguatirkan keselamatan Bie Lan. Ia ingin membawa dulu si gadis ke
tempat yang aman, kemudian kembali buat membantu Kim Cie Sin-kay.
Belum lagi Kim Lo menjejakkan
kakinya, Pu San Hoat-ong bersama enam orang pahlawan Kaisar lainnya, telah
datang mengepungnya lagi. Mereka semuanya memiliki kepandaian yang liehay.
Juga Pu San Hoat-ong dalam
keadaan murka, bernafsu sekali hendak membunuh Kim Lo. Serangannya selalu
mengandung maut. Dan kepungan yang dilakukan memang ketat sekali.
Dalam keadaan seperti itu,
untuk sementara waktu Kim Lo tidak bisa membawa menyingkir Bie Lan, malah
keadaannya terancam. Sebab dia dengan tangan kiri mengempit pinggang si gadis
dan cuma mengandalkan tangan kanannya, membuat gerakannya tidak leluasa dan ia
terkepung rapat sekali.
Kim Cie Sin-kay melihat
keadaan kawan-kawannya, jadi mengeluh juga, Dengan gusar ia menghantam pada
salah seorang lawannya di sebelah kanan. Orang itu terjengkang, Kim Cie Sin-kay
berusaha menerobos terus.
Tapi kepungan lawan lawannya
sangat rapat sekali. Dan pengemis ini kembali terlibat dalam kepungan itu.
Lawan-lawannya sekarang pun
berlaku licik, mereka tidak beradu, dan tangan mereka hanya mengepung dan
mengancam, dan selalu mundur jika didesak oleh si pengemis. Dengan demikian,
Kim Cie Sin-kay gusar tanpa dapat melampiaskannya, diapun tidak melepaskan diri
dari kepungan lawan-lawannya itu.
Kim Lo sendiri mengeluh,
karena Pu San Hoat-ong dengan enam orang kawannya mengepung rapat sekali. Dia
tengah membawa-bawa Bie Lan, membuat dia tidak leluasa. Juga telah datang
belasan orang jago Wie-sung Taijin yang bersiap-siap hendak menerjang maju.
Jika keadaan seperti itu
berlangsung lebih lama, tentu aku merugikan pihaknya.
Bie Lan sendiri melihat
ancaman yang ada. Dia segera bilang: “Turunkan aku….. lukaku tidak terlalu
berat!” Katanya.
Tapi Kim Lo mana mau memenuhi
permintaan si gadis, karena dia tahu, jika si gadis dikepung rapat seperti dia,
tentu si gadis akan celaka. Bukankah kepandaian si gadis memang berada di sebelah
bawah kepandaian Kim Lo? Juga, bukankah dia tengah terluka?
Begitulah pertempuran
tersebut, suatu pertempuran yang pincang. Karena pengeroyokan dengan jumlah
yang jauh lebih besar, berlangsung terus.
Pu San Hoat-ong girang, dia
yakin, akhirnya dia akan berhasil merubuhkan Kim Lo menawan Bie Lan. Berulang
kali ia berseru memberikan semangat, kepada kawan-kawannya, agar menyerang jauh
lebih hebat lagi.
Dalam keadaan seperti itulah,
mendadak sekali di tengah udara terdengar suara pekik burung. Kim Lo melirik.
Dia melihat seekor burung rajawali putih tengah terbang melayang-layang di
tengah udara.
Waktu Kim Lo melirik ke atas.
Tangan Pu San Hoat-ong meluncur pesat sekali ke arah pundaknya. Kim Lo
terkejut. Untung dia masih bisa mengelakkan hantaman itu.
Dan membarengi dengan
mengelakkan diri seperti itu, serulingnya segera menghantam tengkuk salah
seorang lawan yang ada didekatnya. Hantaman itu telak sekali, orang itu
terhuyung kesakitan dan memuntahkan darah segar!
Kim Lo tidak memecahkan
perhatiannya, dia mengempos semangatnya, dia juga menghadapi lawannya dengan
penuh perhatian lagi. Dia mengamuk ke sana ke mari.
Burung rajawali yang tengah
terbang di tengah udara memekik nyaring, kemudian meluncur turun. Burung
rajawali itu berbulu putih serta berukuran besar. Sepasang sayapnya yang
dikibas-kibaskan mendatangkan desau angin yang keras.
Malah begitu turun, segera
sayap kanannya telah menghantam kuat sekali kepada dua orang lawan Kim Lo.
Orang itu memiliki tenaga yang kuat, tapi disampok oleh sayap burung rajawali
putih tersebut, mereka terpelanting, terpental seperti kapas saja.
Pu San Hoat-ong kaget, tapi
belum lagi dia mengetahui apa yang harus dilakukannya, sayap burung rajawali
itu menyampok kepadanya. Melihat tadi hebatnya tenaga sampokan burung rajawali
ini, Pu San Hoat-ong menjejakkan kakinya buat melompat ke belakang,
menghindarkan diri.
Tapi terlambat. Sayap burung
itu telah tiba dan tubuh Pu San Hoat-ong terhantam dengan dahsyat, sehingga
diapun terpelanting. Cuma saja, disebabkan gin-kang Pu San Hoat-ong lebih
tangguh lagi dari kawan-kawannya maka ia bisa mangendalikan dirinya, tidak
sampai terpelanting hebat.
Sedangkan Kim Lo sendiri jadi girang
bukan main. Dia segera menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat ke atas punggung
burung rajawali itu.
Karena gin-kang Kim Lo memang
telah mahir, maka dia bisa hinggap di punggung rajawali tersebut dengan baik.
Kemudian dia telah meletakkan si gadis she Yo di punggung burung itu, sehingga
si gadis dapat duduk di situ.
Kim Lo telah menepuk leher
burung rajawali itu. “Sin Tiauw (burung Rajawali Sakti) aku titipkan nona Yo
kepadamu! Kau lindungilah!” Dan Kim Lo sendiri melompat turun lagi ke tanah,
karena ia hendak membantu Kim Cie Sin-kay.
Burung rajawali putih itu
seperti mengerti apa yang dikatakan Kim Lo, karena ia telah mengibas-ngibaskan
sepasang sayapnya yang lebar. Tubuhnya segera naik membubung di tengah udara,
terbang tinggi sekali.
Dengan duduk di punggung
burung rajawali itu, jelas keselamatan Bie Lan terjamin.
Sedangkan Kim Lo sekarang bisa
dengan tenang menghadapi lawan-lawannya.
“Locianpwe, kita hajar babak
belur mereka ini!” teriak Kim Lo.
Kim Cie Sin-kay pun girang.
“Ya, rupanya telah datang
Sin-tiauw Tayhiap teriak si pengemis sambil mengempos semangatnya, Diwaktu itu
semangatnya terbangun, setiap serangannya jadi lebih hebat dari sebelumnya. Dan
juga, memang kini ia tak perlu dikuatirkan lagi keselamatan Bie Lan, ia bisa
bertempur dengan tenang.
Iapun menduga dengan datangnya
burung rajawali putih itu, maka jelas Ko Tie dan Giok Hoa, dua orang tokoh
rimba persilatan, yang diketahuinya memiliki seekor burung rajawali putih yang
besar, telah datang ke tempat itu juga. Karenanya hati si pengemis bertambah
besar juga.
Kim Lo telah mengamuk dengan
serulingnya. Lawan-lawannya walaupun berjumlah banyak, namun tidak berani untuk
mendesak terlalu rapat.
Demikianlah, mereka bertempur
beberapa lamanya, sampai akhirnya burung rajawali putih yang membawa Bie Lan
terbang di punggungnya, telah memekik dengan suara yang nyaring
Menyusul dengan suara pekikan
itu, tampak meluncur dua sosok tubuh yang gesit sekali gerakannya sangat
lincah. Mereka mendatangi ke tempat pertempuran tersebut.
Dalam waktu singkat, mereka
telah berada di situ.
Burung rajawali tersebut
segera meluncur turun dan hinggap di samping mereka.
Kedua orang yang baru datang
itu tidak lain sepasang lelaki dan wanita setengah baya. Mereka tampaknya
seperti sepasang suami isteri.
Dan melihat rajawali itu
hinggap di samping mereka, juga sikap rajawali tersebut, tampaknya ke dua orang
ini adalah majikan burung itu.
Kim Cie Sin-kay walaupun
tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya, namun dia sempat melirik.
Melihat kedua orang yang baru
datang tersebut, ia jadi girang, “Ko Tie taihiap dan Giok Hoa Liehiap!” Berseru
Kim Cie Sin-kay dengan suara gembira, kegirangan yang meluap-luap.
Kedua orang itu memang tidak
lain dari Ko Tie dan Giok Hoa. Burung rajawali putih itu, memang burung
rajawali peliharaan mereka. Dan justeru karena burung rajawali tersebut terbang
di tengah udara lebih dulu dari mereka, dengan sendirinya burung rajawali itu
tiba di tempat pertempuran tersebut lebih dulu dari mereka.
Mereka segera mengetahui ada
sesuatu yang tidak beres waktu melihat burung rajawali mereka membawa seseorang
di punggungnya. Karena itu juga, maka mereka telah berlari lebih cepat lagi
untuk tiba di tempat itu.
Setelah tiba di tempat
pertempuran yang tengah berlangsung dan rajawali itu telah hinggap turun
disamping mereka, Giok Hoa segera bisa mengenali bahwa gadis yang berada
dipunggung rajawali tersebut tidak lain Yo Bie Lan.
“Yo Kouwnio, kenapa kau?”
Tanya Giok Hoa dengan kuatir, karena melihat pundak si gadis berlumuran darah.
Bie Lan juga jadi girang, dia
mengenali Ko Tie dan Giok Hoa, “Peh-hu, Peh-bo. keponakanmu dihina manusia
jahat!” Kata Bie Lan sambil melompat turun dari punggung burung rajawali tersebut.
Ia memanggil Ko Tie dan Giok
Hoa dengan sebuan Peh-hu atau Peh-bo, yaitu paman dan bibi. Dan memang Ko Tie
serta Giok Hoa, isterinya, sering mengunjungi Yo Him dan Sasana. Mereka juga
kenal baik Bie Lan.
Pertemuan yang terjadi ini
terus saja mengembirakan mereka. Giok Hoa segera memeriksa luka di pundak si
gadis, iapun segera membalut luka tersebut!
“Siapa yang melukaimu?” Tanya
Giok Hoa dengan suara yang halus.
“Pendeta cabul itu, dia hendak
mencelakai dan menghina keponakanmu Peh-bo!”
Sambil berkata begitu Bie Lan
menunjuk kepada Pu San Hoat-ong.
Darah Giok Hoa meluap.
“Kurang ajar sekali pendeta
busuk itu!” Menggumam dia.
Dan segera tubuhnya melesat
meninggalkan Bie Lan. Giok Hoa sudah menerjunkan dirinya dalam kancah
pertempuran itu. Pedangnya segera berkelebat ke sana ke mari.
Karena kepandaian Giok Hoa
sudah mencapai tingkat tinggi, seketika lawan-lawan Kim Lo dan Kim Cie Sin-kay
jungkir balik banyak di antara mereka yang sudah terluka.
Ko Tie tidak turun tangan. Dia
melihatnya dengan isterinya turun tangan, orang-orang itu telah dapat dibikin
kucar kacir.
Pu San Hoat-ong murka bukan
main dia melompat mendekati Giok Hoa. Kemudian dengan segera ia menyerang
beruntun tiga kali pada Giok Hoa.
Apa yang dilakukannya sangat
cepat dan kuat sekali, tapi dia mana bisa menandingi Giok Hoa yang
kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi dan selama ini telah
memperoleh kemajuan yang sangat pesat?
Mudah sekali Giok Hoa
menghindarkan diri dari serangan si pendeta, kemudian dia telah menghantam
dengan telapak tangan kirinya. Dia telah menikam juga dengan pedangnya beruntun
sampai beberapa kali, ke bagian yang mematikan, di tubuh lawannya.
Pu San Hoat-ong kaget tidak
terkira, ia mengeluarkan jeritan kaget, tubuhnya segera melompat ke belakang,
dan dia segera juga meneriaki kawan-kawannya, buat membantui dia.
Empat orang anak buahnya
segera menyerbu kepada Giok Hoa. Mereka menyerang dengan gencar.
Dalam keadaan seperti itu Giok
Hoa memutar pedangnya, dia telah mengamuk hebat sekali. Setiap gerakan
pedangnya, selalu mengancam lawannya dengan hebat.
Kim Lo dan Kim Cie Sin-kay
jadi girang melihat datangnya Ko Tie dengan Giok Hoa.
Kim Lo masih mengenali kedua
orang itu, malah ia masih ingat, betapa senjata yang dipergunakannya sekarang
ini, yaitu seruling, adalah hadiah pemberian Ko Tie, karena dari itu, ia bilang
berseru: “Ko Tie Peh-hu! Giok Hoa Peh-bo!”
Giok Hoa heran, ia menoleh. Ia
melihat orang yang berseru itu adalah seorang yang mukanya ditutup oleh sehelai
kain putih. Ia tidak tahu entah siapa orang itu.
Tapi mata Giok Hoa tajam
sekali, segera ia melihat senjata yang ada di tangan orang yaitu sebatang
seruling yang berkilauan kuning, indah sekali.
Seketika Giok Hoa teringat
kepada seseorang.
“Apakah dia…….?” pikir Giok
Hoa.
Karena tengah berpikir begitu,
perhatiannya jadi terpecah. Pu San Hoat-ong melihat kesempatan tersebut, sambil
membentak nyaring sekali tubuhnya telah melesat akan menghantam dada Giok Hoa.
Angin pukulan itu sangat cepat
dan kuat sekali tiba, dan hampir saja menghantam telak pada dada Giok Hoa,
kalau saja Giok Hoa tidak cepat-cepat menghindarkan diri. Dia telah terkejut
waktu tersadar akan keadaannya, namun dia tidak gugup. Dia telah menjengkangkan
tubuhnya, dengan demikian dia tidak sampai terserang.
Malah dalam keadaan
terjengkang seperti itu Giok Hoa tidak berdiri saja, melainkan pedangnya telah
menikam.
“Cepppp!” Tepat sekali mata
pedang itu menancap di paha si pendeta.
Pu San Hoat-ong kesakitan. Dia
melesat ke belakang dengan muka yang pucat.
Dia tidak menyangka bahwa
kepandaian yang dimiliki Giok Hoa demikian tinggi, malah diapun tidak berani
sembarangan buat menyerbu lagi. Dia malah telah membiarkan anak buahnya yang
menghadapi. Dia sendiri telah memutar tubuh, untuk menghilang di dalam gedung
Wie-sung Taijin.
Sekarang dalam keadaan kakinya
terluka seperti itu, jelas semakin sulit buat menghadapi Giok Hoa, karena tadi
saja dalam keadaan tidak terluka, dia sudah tidak berdaya apa-apa. Dan sebagai
seorang yang licik, dia berpikir untuk menyelamatkan dirinya dulu, barulah dia
nanti akan mengadakan perhitungan.
Diwaktu itu, Kim Cie Sin-kay
telah berseru nyaring. Ia berhasil merubuhkan dua orang lawannya. Dan segera
Kim Cie Sin-kay mengamuk terus.
Kim Lo juga jadi terbangun
semangatnya, tidak hentinya dia menyerang lawannya dengan serulingnya itu. Apa
yang dilakukannya membuat lawannya jadi kalang kabut, karena seruling Kim Lo
jadi berobah seakan juga semakin liehay.
Demikianlah, pihak Pu San
Hoat-ong telah dibikin kucar kacir.
Akhirnya, sisanya yang belum
terluka atau terluka ringan, cepat-cepat memutar tubuh, untuk menyembunyikan
ekor di dalam gedung Wie-sung Taijin.
Kim Lo ingin mengejar, namun
Giok Hoa telah menahannya.
“Jangan!” cegahnya.
Kim Cie Sin-kay juga
membatalkan maksudnya untuk menerobos masuk ke dalam gedung itu.
“Mari kita lihat keadaan
temanmu itu!” Kata Giok Hoa kepada Kim Lo.
Kim Lo cepat-cepat
menghampiri, ia memberi hormat: “Peh-bo! Apakah Peh-bo dalam keadaan
sehat-sehat saja selama ini? Kim Lo memberi hormat!”
“Hemmm, anak........ engkaulah
yang dibawa oleh Oey Yok Su locianpwe beberapa waktu yang lalu?” Tanya Giok
Hoa.
Kim Lo mengangguk,
“Benar, Peh-bo, dari mana
Peh-bo bisa mengetahui?!”
“Seruling itu……..!”
Kim Lo menunduk melihat
serulingnya. “Ya, seruling ini memang diberikan oleh Peh-hu, telah dihadiahkan
kepadaku…….!”
Giok Hoa tertawa senang.
“Ternyata sekarang kau telah
besar dan gagah sekali! Tidak kecewa Oey Yok Su Locianpwe telah mendidikmu!?”
“Terima kasih Peh-bo!”
Kim Cie Sin-kay juga
merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Giok Hoa.
“Bagaimana kesehatan Liehiap?
Aku si pengemis tua yang melarat Kim Cie Sin-kay menanyakan kesehatanmu!”
Giok Hoa membuka matanya
lebar-lebar, dia tidak mau menerima hormat si pengemis. Malah dia sendiri yang
telah memberi hormat.
“Locianpwe, siapa kira bisa
bertemu di sini? Inilah pertemuan yang menyenangkan sekali.” Kata Giok Hoa.
Sedangkan Ko Tie bersama Bie
Lan telah datang menghampiri. Ko Tie mendahului memberi hormat kepada Kim Cie
Sin-kay. Tanyanya, “Kim Cie Sin-kay locianpwe, apakah kau sehat-sehat saja?
Terimalah hormat Ko Tie!”
Ko Tie mengetahui bahwa pengemis
itu adalah Kim Cie Sin-kay dari Bie Lan, itu yang telah memberitahukannya.
Kemudian Ko Tie melirik pada
Kim Lo.
Kim Lo tidak berayal lagi
segera menekuk kedua kakinya berlutut memberi hormat pada Ko Tie.
“Peh-hu, apakah sehat-sehat
saja? Kim Lo memberi hormat!” Katanya.
“Bangunlah nak. Kau ternyata
sudah besar dan gagah sekali! Bagaimana kesehatan Oey locianpwe?”
“Baik-baik saja!”
“Siapa sangka, kita telah
bertemu di sini!”
“Ya…… Boanpwe memang hendak pergi
ke Yang-cung untuk menemui Peh-hu dan para orang gagah lainnya!”
“Hemm, pendeta busuk itu
jangan kita layani lagi! Pertemuan di Yang-cun tinggal satu hari lagi,
pertemuan itu akan dibuka.
“Jika memang kita datang
terlambat, tentu tak akan menyenangkan hati orang-orang gagah, dan kita pun
tentunya kurang enak hati pada mereka! Mari kita pergi dulu biarkan saja
pendeta cabul itu kita urus nanti setelah pertemuan itu selesai!”
“Tapi Peh-hu….!” Kata Kim Lo
ragu-ragu.
“Kenapa?”
Mereka justeru orang-orangnya
Kaisar busuk itu!”
“Pahlawan istana Kaisar?”
“Ya, mereka diperintahkan buat
mengacaukan pertemuan itu!”
“Hemmm!” mendengus Ko Tie.
“Jangan bermimpi. Sekarang saja menghadapi kita mereka tidak sanggup, apa lagi
ingin mengacaukan pertemuan orang gagah! Mari kita berangkat!”
Kim Lo dan yang lainnya tidak
berani menentang keputusan Ko Tie. Mereka pun segera berangkat meninggalkan
kota itu, buat pergi ke Yang-cung.......
◄Y►
Yang-cung merupakan sebuah
dusun kecil tapi pada waktu itu dusun tersebut sangat ramai sekali. Banyak
orang-orang rimba persilatan dari semua penjuru berdatangan ke kampung ini,
karena mereka mendengar di Yang-cung akan berkumpul para pendekar gagah.
Dan juga, dalam kesempatan ini
akan muncul seorang pemuda yang mereka canangkan sebagai jago yang mereka
gembleng, dan kelak sebagai jago yang hebat tanpa tanding. Karena tujuan dari
pertemuan para orang gagah itu tidak lain ialah buat membantu mendidik anak tersebut,
yang konon kabarnya merupakan “cucu” Oey Yok Su.
Katanya pemuda yang akan
mereka didik itu adalah seorang yang luar biasa, seseorang yang sebetulnya
banyak memiliki keluar biasaan!
Tentu saja orang-orang
Kang-ouw yang mendengar hal itu, jadi tertarik, dan mereka telah berdatangan ke
Yang-cung. Hal ini menyebabkan Yang-cung jadi sangat ramai sekali.
Pagi itu tampak banyak sekali
orang-orang Kang-ouw, dengan bermacam-macam cara berpakaian mereka, telah
berkumpul di Yang-cung. Ada yang berusia masih muda, ada yang telah lanjut
usia, juga ada yang wanitanya.
Tapi semuanya di antara
mereka, rata-rata membawa senjata dan mereka tampak jelas sebagai orang
Kang-ouw, yang hidupnya senang berkelana.
Banyak sekali orang dari
Kay-pang, pengemis-pengemis yang berkeliaran, juga orang-orang dari berbagai
pintu perguruan ternama.
Cuma satu yang belum lagi
mereka ketahui, yaitu pertemuan yang ingin mereka saksikan itu akan dibuka di
bagian mana dari kampung Yang-cung ini.
Karena dari itu, mereka cuma
berkumpul di kampung tersebut. Mereka masih menduga-duga entah di bagian mana
dari kampung tersebut akan berkumpul jago-jago perkasa itu. Dan mereka telah
berusaha menyelidikinya.
Di rumah makan “Tu-yung”,
sebuah rumah makan yang tidak begitu besar, yang biasanya tidak pernah penuh
dan tidak pernah terlalu ramai, karena letaknya di sebuah kampung kecil seperti
Yang-cung, justeru hari itu tampak penuh sesak.
Bahkan pemilik rumah makan
tersebut telah menambah puluhan kursi panjang, untuk menampung tamu-tamu yang
membanjir berdatangan. Karena dari itu juga, telah membuat majikan rumah makan
ini bersama beberapa orang pelayannya, telah bekerja sejak pagi-pagi buta
melayani para tamunya.
Tamu yang berkumpul di rumah
makan tersebut terdiri dari orang Kang-ouw bermacam golongan. Ada yang
berpakaian sebagai pendeta, yang mukanya alim sabar, tapi ada juga yang mukanya
berewokan dan garang sekali.
Ada juga yang alim dan tenang,
dengan berpakaian sebagai seorang pelajar. Dan juga ada wanita-wanitanya, yang
semuanya tampak gagah sekali, menunjukkan mereka pun pendekar wanita dari
kalangan Kang-ouw!
Tapi di antara tamu-tamu yang
berkumpul di rumah makan tersebut, terdapat seorang yang berpakaian sebagai
seorang pelajar. Tubuhnya cukup gemuk, tinggi besar.
Mukanya pun agak bulat.
Sepasang alisnya tebal. Usianya mungkin baru tigapuluh tahun lebih. Dia tengah
duduk termenung.
Di sampingnya, duduk seorang
Tojin, dia mengibas-ngibaskan hud-timmya menggumam tidak hentinya.
“Hemmm, pertemuan bang-pak!
Pertemuan ini belum lagi kepastian, tapi semua orang sudah berkumpul di sini!”
Selalu saja Tojin itu, imam telah menggumam juntrungannya.
Sedangkan si pemuda yang
berpakaian sebagai pelajar, telah berdiam diri saja. Cuma sekali-sekali dia
melirik, memperlihatkan sikap tidak simpatik pada Tojin itu, yang dirasakannya
sangat mengganggu ketenangannya.
Dia merasa sebal sekali pada
imam itu. Jika bisa malah dia akan menyuruh si imam menggelinding pergi dari
tempatnya itu.
Imam itu sering melirik kepada
si pemuda pelajar, sampai akhirnya imam itu menegur, “Hai Kongcu, apakah
engkaupun memang ingin menyaksikan keramaian?”
Pemuda itu menghela napas,
segan sekali dia menyahuti pertanyaan Tojin itu.
“Ya, sekarangpun sudah ramai?”
Katanya.
“Bukan itu yang Pinto
maksudkan!”
“Lalu apa yang Cinjin
maksudkan?”
“Pertemuan para orang gagah!”
“Apakah yang berkumpul di
rumah makan ini semuanya bukan orang gagah? Atau mereka ingin diartikan oleh
Cinjin sebagai manusia-manusia rendah?”
Tojin itu tertegun sejenak,
tapi kemudian dia tertawa dengan hati mendongkol.
“Tajam sekali lidahmu,
Kongcu!” Katanya. “Hemmm, mengapa tampaknya kau tidak senang pada pinto?”
“Tidak senang pada Cinjin?
Siapa yang mengatakan?” Tanya si pemuda.
“Tidak ada yang mengatakannya,
tadi aku telah melihat dari sikapmu itu!”
Pemuda itu tertawa tawar.
“Cinjin ternyata sangat halus
sekali memiliki perasaan. Perasaan Cinjin itu justeru merupakan hal yang sangat
keliru, yang selalu membawa Cinjin pada hal-hal yang tidak benar!”
“Hemmm, tapi merasakannya!”
“Terserah pada Cinjin, aku
tidak mengatakan tidak menyukai Cinjin!”
Tojin itu mendongkol. Dia
mengawasi tajam pada si pemuda pelajar tersebut.
“Kau tampaknya angkuh sekali!”
“Jika memang aku angkuh, tentu
aku tidak akan melayani Cinjin buat berbicara!”
“Anak muda, kau terlalu
sekali!” kata si Tojin habis sabar.
Pelajar itu melirik.
“Keterlaluan kenapa?”
tanyanya.
“Hemmm, aku mengajak kau
bicara baik-baik tapi kau malah melayani aku bicara dengan sikap acuh tak acuh
dan malah kata-katamu itu seakan juga akan hendak mempermainkan diriku!”
“Itu sudah kukatakan, hanya
perasaan Cinjin saja!”
“Bukan!”
“Bukan bagaimana?”
“Aku merasakannya kau memang
tak memandang sebelah mata padaku!”
“Oya? Kukira tidak! Aku setiap
kali melihat pada Cinjin tentu akan mempergunakan sepasang mataku!”
Dada si Tojin jadi tergoncang
karena menahan marah, tapi rupanya ia belum lagi menjatuhi alasan tepat buat
mencari ribut. Ia mendengus, kemudian katanya:
“Siapa namamu? Dan kau dari
perguruan mana?” tanyanya kemudian.
Pelajar itu menggeleng
perlahan.
“Tidak perlu Cinjin
mengetahuinya.” Katanya. “Jika memang aku memberitahukannya tokh akan percuma
juga, karena Cinjin tidak memiliki hubungan apapun juga denganku!”
“Oh, itulah jawaban yang
kurang ajar sekali!” kata si imam dengan mendongkol, “Sikapmu sangat kurang
ajar begitu. Apakah kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?”
Pelajar itu melirik.
“Ya, memang aku tengah
berhadapan dengan Cinjin, bukan?” Tanyanya dingin.
Tojin itu semakin mendongkol,
karena dia merasakan dirinya benar-benar tengah dipermainkan.
“Hemm, kau benar-benar tidak
kenal dan tidak mengetahui siapa diriku?”
“Kukira memang aku tidak
memerlukan untuk mengetahui siapa adanya Tojin itu!”
Mendengar jawaban si pelajar
yang ketus seperti itu si Tojin jadi semakin sengit.
“Belum pernah seumur hidupku
di dalam kalangan Kang-ouw menerima perlakuan sekasar ini!”
“Itu hanya perasaan Cinjin
saja!”
“Perasaan bagaimana?” bentak
si Tojin.
“Ya, aku tak merasa
memperlakukan Cinjin dengan kasar!” kata si pelajar itu.
Tojin itu benar-benar
mendongkol, ia sudah tak bisa mempertahankan kemendongkolan hatinya, dengan
sengit hud-tim di tangannya dikebutkan kemuka si pelajar.
Pelajar itu merasakan sambaran
angin hud-tim, ia jadi gusar ia berkelit.
“Tojin kau, mengapa kau
menyerangku?” makinya. Malah tangannya segera menotok ke biji mata Tojin itu.
Tojin itu berkelit.
“Hai! Hai! Hai! Jangan
berkelahi!” teriak beberapa orang di dekat mereka.
Tojin itu memang tak menyerang
lagi.
“Untung ada yang memisahkan,
sehingga aku tidak jadi menghantam batok kepalamu sampai pecah!” kata si Tojin
lagi.
“Hemmm, seharusnya kau
bersyukur, ada yang memisahkan, sehingga kau tidak perlu kuhajar!” menyahuti si
pelajar juga jadi sengit bukan main.
Tojin itu meluap lagi
darahnya.
“Mulutmu memang benar-benar
kurang ajar!”
“Kok mempersalahkan mulutku?
Kau sendiri yang tidak bisa membawa diri! Tua-tua tidak tahu diri!”
Benar-benar si Tojin tidak
bisa membendung perasaan sengitnya, Hud-timnya menyambar lagi.
Pelajar itu juga tidak
mengelakkan, dia telah menyambuti untuk bertempur dengan Tojin itu.
Beberapa orang di dekat mereka
segera memisahkan.
Tapi Tojin itu dengan si
pelajar terlibat dalam pertempuran yang rapat, mereka sudah tidak bisa
dipisahkan lagi.
Pelajar itu melihat Tojin ini
memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, serangannya juga selalu mengincar
bagian yang bisa mematikan.
Namun pelajar tidak jeri,
diapun tidak rendah kepandaiannya. Mereka bertempur terus.
Seorang laki-laki tua mungkin manusia
enampuluh tahun, tiba-tiba melompat di tengah-tengah ke dua orang yang sedang
bertempur itu, tangannya dikibasnya.
Tojin dengan si pelajar jadi
terhuyung mundur terpisah satu dengan yang lainnya. Itulah disebabkan karena
kibasan tangan si orang tua sangat kuat.
“Mie An Tojin, tampaknya kau
selalu mencari keributan di mana saja!” Tegur orang tua itu.
Tojin itu yang disebut Mie An
Tojin bilang sengit: “Tua bangka she Kouw, mengapa kau selalu mencampuri
urusanku selalu?”
“Hemmm, sudah kukatakan kau
selalu mau mencari keributan saja tidak peduli kau berada dimana?” Menyahuti
orang tua she Kouw yang memisahkan mereka.
Kemudian menoleh kepada si
pelajar katanya: “Kongcu, kau tidak perlu melayani Tojin sinting itu.”
Meluap darah Mie An Tojin,
sambil membentak Hud-timnya menyambar ke alis orang tua itu…….
Tapi mudah sekali orang she
Kouw bergerak mengelakkan diri. Malah tangan kanannya tahu-tahu bergerak dengan
sebat sekali, sulit buat diikuti oleh pandangan mata. Tahu-tahu hud-tim si
Tojin telah pindah tangan kena dirampasnya.
Disaat itu juga tampak si
Tojin berdiri mematung. Dia kaget dan heran, dia tidak mengerti bagaimana orang
tua she Kouw itu merebut hud-timnya.
Justeru disaat itu, orang tua
she Kouw itu telah memainkan hud-tim yang kena dirampasnya.
“Hemmm, sudah kubilang,
kepandaianmu sangat bengkok dan buruk, tapi terlalu keras kepala dan selalu
berusaha mencari keributan saja! Nih, kukembalikan hud-timmu!”
Sambil bilang begitu, orang
tua she Kouw tersebut melemparkan hud-tim itu, bukan melemparkan kepada Tojin,
melainkan dia melemparkan ke atas meja.
Ujung kepala hud-tim itu
menyambar keras permukaan meja, menancap dalam sekali.
Tojin itu mengawasi dengan ragu-ragu,
dia sendiri jadi tidak tahu harus melakukan apa. Berdiri diam saja juga salah,
menerjang maju dia sudah tidak berani, karena dia tahu akan menelan pil pahit
lagi.
Waktu itu orang tua she Kouw
telah bilang kepada si pelajar: “Kongcu, pergilah pindah ke tempat lain!”
Pelajar itu merangkapkan kedua
tangannya.
“Terima kasih Lopeh……. Boanpwe
Ting Pu mengucapkan terima kasih!” Setelah bilang begitu, si pelajar yang
mengaku bernama Ting Pu, pindah ke meja lain. Setelah pergi, dia mendelik pada
si Tojin.
Tojin itu juga memang tidak
mengetahui apa yang harus dilakukannya terhadap si pelajar, apakah dia
menerjang lagi atau memang membiarkan pelajar itu pergi.
Keadaan jadi tenang lagi.
Dengan muka masih diliputi kemendongkolan dan penasaran Tojin tersebut telah
mengambil Hud-timnya. Dia telah mengibas-ngibaskan jubahnya, lalu duduk dengan
muka muram.
Waktu itu tampak beberapa
orang di antara jago-jago yang berkumpul di situ telah mengawasi dengan sikap
tidak menyukai si Tojin.
Sedangkan Tojin itu telah bilang
dengan suara menggumam: “Hemm, pertemuan bang-pak hanya membikin jengkel hati
belaka!”
Orang tua she Kouw sudah
kembali ke mejanya, kepada teman-temannya, dia telah bilang: “Kembali Tojin bau
tidak tahu diri berada di sini!”
“Tojin goblok!” memaki
kawannya.
“Ya, Tojin bodoh!”
Mereka tertawa.
Tojin itu melirik dengan mata
mendelik, dia mengetahui tentu dirinya yang tengah ditertawai mereka. Tapi dia
tidak memiliki keberanian buat menerjang dan menghantam mereka. Sedangkan menghadapi
orang tua she Kouw itu saja, dia sudah tidak sanggup.
Rumah makan itu tambah ramai,
dan tamu-tamu yang berdatangan semakin banyak.
Tiba-tiba ada yang memukul
meja dengan keras sekali, disusul teriakan: “Pelayan…….!”
Pelayan rumah penginapan itu
tengah sibuk melayani tamu lainnya, tapi pukulan orang itu pada meja demikian
kerasnya. Teriakannya pun nyaring bukan main, bengis sekali. Pelayan itu jadi
tidak berani berayal, segera manghampiri.
Orang yang memanggil pelayan
dengan memukul meja adalah seorang laki-laki bertubuh besar. Dia telah
mengawasi si pelayan dengan mata mendelik.
“Sejak tadi aku telah tiba di
situ, mengapa sekian lama tidak dilayani? Atau memang kalian anggap aku akan
makan nganglap dan tidak membayar, heh?”
“Bu…… bukan begitu, Toaya?!
Kata si pelayan yang jadi gugup dan salah tingkah. Dia jeri melihat orang itu
yang mendelik bangun.
“Hemm, bukan begitu, bukan
begitu bagaimana?” bentak orang itu.
Diapun bukan sekedar
membentak, sebab tangan kanannya mendorong. Kuat tenaganya.
Tubuh si pelayan seperti
sehelai daun kering, terjengkang ke belakang, bergulingan di lantai
berteriak-teriak kesakitan. Dia segera merayap bangun, dia jadi marah dan
penasaran karena orang itu mau pukul seperti itu.
“Kau….. kau…… kau berani main
pukul, hehe?!” Katanya sengit.
“Hei, kau berani
meng‘kau'kau’kan aku, heh?” Dan tangan orang itu menyambar lagi.
“Plakkk!” Muka si pelayan kena
ditampar.
Tamparan orang itu kuat
sekali, karena dia menukul dengan tenaga penuh. Tubuh si pelayan jadi terputar
seperti gansing sambil menjerit kesakitan, kemudian rubuh terguling di lantai
lagi.
Tamu-tamu banyak yang
menertawai si pelayan.
Kasir rumah makan itu cepat-cepat
menghampiri dengan tubuh terbungkuk-bungkuk.
“Maaf, Maaf Toaya, mungkin
pelayanannya kurang baik! Lohu akan segera mempersiapkan pesanan Toaya!” Kata
kasir itu.
“Hemm!” Orang bertubuh tinggi
besar itu mendengus. “Kalian anggap apa aku ini. Hek-sim-houw (Harimau Berhati
Hitam), heh?”
“Maafkan Toaya, mungkin tadi
tidak terlihat olehnya!” Kata kasir itu sambil memberi hormat.
Tapi rupanya Hek-sim-houw
masih tidak puas, dia melayangkan tangannya. Dan bermaksud hendak menampar si
kasir!
Kasir itu kaget. Matanya
terbeliak lebar-lebar namun dia tidak mengerti ilmu silat. Dia tidak tahu
dengan cara apa harus mengelakkan tangan Hek-sim-houw tersebut.
Tangan Hek-sim-houw meluncur
cepat sekali, dia ingin melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan menampar si
kasir. Tapi tangan itu belum lagi mengenai si pipi si kasir, tangan
Hek-sim-houw tiba-tiba tercekal kuat sekali oleh seseorang dan tangan itu
merandek di tengah udara tidak bisa meluncur lebih jauh.
Hek-sim-houw murka bukan main,
dia menoleh, Ternyata orang yang mencekal tangannya adalah seorang wanita
berusia tigapuluh tahun lebih, memakai baju warna merah.
“Hei, kau mau mencampuri
urusanku, heh?” Bentaknya sambil menarik tangan kanannya itu disusul dengan
tangan kirinya menyambar ke dada perempuan itu.
“Laki-laki ceriwis, kurang
ajar!” Mengejek perempuan tersebut, tahu-tahu dia meremas pergelangan tangan
Hek-sim-houw, membuat dia kesakitan setengah mati, karena rasa sakit itu sampai
menusuk ke ulu hatinya. Malah tangan kirinya yang dipakai menyerang dada
perempuan itu jadi batal sebelum tiba pada sasaran.
Malah lebih celakanya, ketika
wanita itu menggentak tangannya, maka seketika tubuh orang itu terpental keras,
diiringi oleh teriakan kaget Hek-sim-houw. Tubuhnya ambruk di sebuah meja,
sehingga meja itu hancur berikut mangkok dan piringnya.
Mata Hek-sim-houw
berkunang-kunang. Dia memandang ke arah wanita itu dengan hati dibakar
kemarahan. Cuma saja matanya berkunang-kunang membuat pandangannya kabur,
bayangan perempuan itu bergoyang-goyang tidak hentinya.
“Hemmm tidak memiliki
kepandaian, tapi terlalu bertingkah!” Mengejek perempuan itu.
Hek-sim-houw melompat bangun.
“Sebutkan namamu! Hek-sim-houw
pantang menghina perempuan!” Teriak Hek-sim-houw.
“Apa kau bilang?”
“Aku pantang menghina wanita!”
“Hemm, jika memang kau
bermaksud menghinaku apakah kau bisa melakukannya?”
Disamping begitu Hek-sim-houw
tergagap.
“Aku justeru memang harus
memberikan hajaran keras kepadamu, perempuan iblis!”
“Hemm, dalam waktu beberapa
detik saja pendirianmu telah berobah! Bukankah tadi kau bilang tidak mau
menghina perempuan!”
“Sebutkan namamu?”
“Oh tidak perlu ya,” kata
perempuan itu. “Memang kau kekasihku, sehingga perlu diberitahukan namaku?”
Semua orang yang berada di
ruang makan tersebut jadi tertawa bergelak.
Mereka anggap apa yang
dilakukan wanita itu dan kelakuan Hek-sim-houw lucu sekali.
“Baik aku ingin meminta
pengajaran dari kau!”
“Syukur jika memang demikian!
Mari! Mari! Tapi aku harap kau tidak menjadi murid yang terlalu bodoh, aku
memang ingin sekali memberikan pengajaran padamu!” Dan setelah berkata begitu,
tangan si wanita melambai, dia seperti memanggil Hek-sim-houw.
Hek-sim-houw merasakan dadanya
seperti mau meledak karena murka bukan kepalang.
“Hemm, perempuan
iblis.......!” Dia memaki. Dan cepat sekali tubuhnya melesat, dia telah
menerjang kepada perempuan itu, sepasang tangannya bergerak dengan menggunakan
seluruh tenaga dalamnya.
Tapi perempuan itu yang
dilihat dari cara berpakaiannya memperlihatkan dia seorang wanita pengelana,
tidak gentar. Dia sama sekali tidak bermaksud berkelit dari serangan
Hek-sim-houw. Dia menantikan di tempatnya.
Waktu pukulan Hek-sim-houw
akan tiba, tahu-tahu tangan perempuan itu diulurkan ke depan.
“Bukk!” Telak sekali kedua
tangan perempuan itu menghantam dada Hek-sim-houw.
Gagal keinginan Hek-sim-houw
buat menyerang perempuan tersebut.
Malah celakanya buat dia,
tubuhnya seketika terpental ke tengah udara, ambruk lagi dengan mengeluarkan
suara bantingan yang keras dan juga dia pingsan tidak sadarkan diri.
Semua orang yang melihatnya
jadi tertawa sedangkan perempuan itu dengan sikap gagah berdiri tegak, ia
mengangkat kepalanya.
“Saudara-saudara sekalian!”
Katanya dengan suara yang nyaring tentunya, “kedatangan saudara-saudara
sekalian di desa ini memiliki tujuan yang sama denganku, yaitu ingin menghadiri
pertemuan para pendekar gagah, bukan?”
Di tanya begitu, banyak
orang-orang di dalam ruang rumah makan itu mengiyakan.
“Bagus!” Kata perempuan itu
lagi. “Aku adalah Ang Hoa Liehiap, akupun ingin menyaksikan pertemuan itu!
Tahukah kalian pertemuan itu akan diselenggarakan di sebelah mana dari dusun
Yang-cung ini?”
“Tidak!” Jawab orang-orang itu
serentak,
Mereka terkejut, mendengar
wanita itu adalah Ang Hoa Liehiap, seorang pendekar wanita yang sangat terkenal
di dalam rimba persilatan pada waktu di belakang ini. Pendekar wanita Bunga
Merah, yang liehay tangannya maupun pedangnya.
“Baiklah! Jika memang
sahabat-sahabat tidak mengetahui, aku akan memberitahukannya! Kebetulan aku
mengetahuinya!” Kata Ang Hoa Liehiap lagi.
Semua orang jadi memandang ke
arahnya.
“Di mana? Di mana?” suara
mereka jadi ribut dan berisik lagi. “Ayo beritahukan pada kami....... ayo
beritahukan!”
Ang Hoa Liehiap tersenyum, ia
menyapu semua orang dengan sorot mata yang tajam.
“Pertemuan para orang gagah
akan diselenggarakan malam ini di sebuah lembah kecil. Di mana letak lembah itu
berada di pintu sebelah selatan kampung ini!”
“Ohh, benarkah itu?”
“Ayo kita pergi ke sana!”
“Mari kita berangkat, nanti
terlambat!”
Begitulah terdengar ramai
sekali suara-suara orang yang berada di rumah makan itu.
Ang Hoa Liehiap tersenyum.
“Tenang, sabar.” Katanya.
Suasana jadi hening, semuanya
mengawasi Pendekar Wanita Bunga Merah itu.
“Dengarlah dulu kata-kataku,”
Kata Ang Hoa Liehiap kemudian. “Seperti kalian ketahui yang akan berkumpui di
tempat itu adalah jago-jago ternama, selama pertemuan itu berlangsung kalian
semua harus pandai mengekang diri dan tidak menimbulkan keributan. Sekali saja
kalian menimbulkan keributan niscaya kalian tidak akan diberi hati, dibajar
oleh mereka.”
“Kami mengerti.” Menyahuti
orang-orang itu.
Ang Hoa Liehiap tersenyum.
“Baiklah, mari kita
berangkat!” Ajak pendekar wanita ini kemudian.
Ramailah suara orang-orang
itu, mereka segera berbondong-bondong meninggalkan rumah makan itu.
Dengan dipimpin Pendekar
Wanita Bunga Merah itu, mereka pergi ke tempat tujuan.
Benar saja sepanjang jalan
mereka menemui banyak sekali pengemis. Semakin mendekati lembah kecil itu,
pengemis yang berjajar di pinggir jalan semakin banyak.
Pengemis-pengemis itu bukan
pengemis sembarangan, Mereka adalah orang-orang Kay-pang yang melakukan penjagaan
untuk keamanan di sekitar tempat ini.
Sengaja mereka melakukan
penjagaan. Sebab pihak pimpinan Kay-pang telah menyanggupi untuk menjaga
keamanan di daerah ini!
Semua orang mengangguk
mengiakan. Mereka terus juga memasuki lembah itu.
Benar saja, waktu itu di dalam
lembah sudah berkumpul cukup banyak orang dari segala aliran dan golongan.
Di tengah-tengah lapangan
rumput terbuka duduk cukup banyak orang-orang yang tampaknya semua memiliki
kepandaian sangat tinggi.
Di antara mereka muncul Ko
Tie, Giok Hoa, Kim Cie Sin-kay, Bie Lan dan lain-lainnya. Mereka telah
berkumpul.
Orang-orang yang baru datang
ini pun melihat di antara orang-orang yang berkumpul di tengah lapangan rumput
itu terdapat seseorang yang mukanya tertutup kain putih.
Mereka tidak mengetahui, entah
siapa orang tersebut yang mukanya bersulubung kain putih itu.
Sesungguhnya orang tersebut
tidak lain dari Kim Lo, si pendekar aneh berseruling sakti.
Rupanya pertemuan itu belum
lagi dibuka karena menantikan tibanya sang malam.
Dan orang-orang yang hanya
datang buat menyaksikan belaka, sebagai peninjau, telah duduk agak jauh dari
lingkaran di lapangan rumput itu.
Justeru selain dari orang yang
disebutkan di atas, masih banyak jago lainnya yang berkumpul disitu. Banyak
yang mereka kenali sebagai tokoh rimba persilatan. Ada yang berasal dari
Siauw-lim-sie maupun dari pintu perguruan lainnya.
Kim Cie Sin-kay yang sejak
tadi mengawasi betapa orang-orang yang berdatangan semakin banyak juga,
diam-diam jadi berbisik di telinga Kim Lo.
“Siauwhiap……. tampaknya memang
semakin banyak juga orang yang datang buat menyaksikan pertemuan ini! Rupanya
rencana berkumpul telah tersiar demikian luasnya........
“Mereka datang untuk
menyaksikan pertemuan ini? Mereka terdiri dari orang-orang berbagai macam
golongan, juga mereka memang memiliki kepandaian ilmu silat yang berbeda-beda
tingkatnya. Kalau memang nanti terjadi kerusuhan, jelas mereka pun hanya
menimbulkan dan menambah ketegangan dan juga menambah keributan belaka!”
“Ya, mengapa pertemuan ini
tidak dirahasiakan?! Mengapa semua orang dari segala macam golongan bisa
mengetahuinya?” Kata Kim Lo dengan berbisik juga.
Kim Cie Sin-kay mengangkat
bahunya.
“Entahlah......., aku sendiri
heran. Apakah pertemuan kali ini memang akan berlangsung dengan disaksikan
orang-orang Kang-ouw itu?” Kata Kim Cie Sin-kay.
Sedangkan Kim Lo menghela
napas. Dia tahu, justeru jago-jago atau pendekar gagah perkasa yang akan
berkumpul di tempat ini semuanya berkat untuk kepentingan Kim Lo.
Dan karena itu dia merupakan
pokok persoalannya. Dia jadi canggung sendirinya, melihat yang hadir demikian
banyak.
Hari merangkak terus, dan
mendekati malam......., sedangkan orang-orang yang berdatangan semakin banyak.
Ko Tie waktu itu menoleh
kepada Kim Cie Sin-kay, dia bilang: “Locianpwe, apakah pertemuan ini sudah
boleh dibuka?”
“Tunggu dulu, mungkin masih
ada sahabat-sahabat yang belum datang…….!”
Ko Tie mengangguk.
Benar saja, masih saja datang
orang-orang dari berbagai penjuru. Jumlah mereka sangat banyak sekali.
Tak lama kemudian Kim Cie
Sin-kay memberitahukan isyarat kepada Ko Tie, bahwa pertemuan itu boleh dibuka.
Padahal, masih ada beberapa orang sahabat mereka yang belum lagi hadir.
Ko Tie kagum sendiri.
“Sahabat-sahabat!” kata Ko Tie
kemudian dengan suara yang nyaring, membuka pertemuan itu. “Tahukah mengapa
kami mengadakan pertemuan?”
Semua orang membungkam.
“Silahkan sahabat-sahabat
mengemukakan dugaan kalian!”
“Untuk mencari siapa tertinggi
kepandaiannya, buat mengadu ilmu!” menyahuti beberapa orang di antara mereka.
“Untuk menentukan siapa yang
Tee It Enghiong!”
“Untuk mengukur ilmu!”
“Semuanya meleset!” kata Ko
Tie kemudian dengan suara nyaring. “Sebenarnya, kami berkumpul di sini buat
menyambut kedatangan seseorang.”
Mendengar kata-kata Ko Tie seperti
itu, orang-orang itu jadi bisik-bisik.
Lalu ada diantara mereka yang
bertanya,
“Apakah orang yang kita
nanti-nantikan itu seorang yang sangat liehay sekali, dari tingkat golongan tua
yang sakti? Siapakah orang itu? Bolehkah kami mengetahui?”
Ko Tie tersenyum, ia
mengangkat ke dua tangannya, memberikan isyarat agar semua orang tenang dan tak
gaduh. Setelah keadaan menjadi sepi dan tenang, Ko Tie baru berkata dengan
suara yang nyaring:
“Sahabat-sahabat, sebetulnya
orang yang tengah kita nantikan dan akan disambut itu telah berada di sini!
Dialah seorang pemuda, yang kepandaiannya sangat tinggi.
Justeru kita akan memilih dia
sebagai orang yang dapat kita andalkan kelak, untuk memimpin para pendekar
gagah mengadakan perlawanan pada pemerintah Boan-ciu penjajah itu!”