Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 111-120
Jika memang Hui-houw-to
bertanya, dia hanya menjawab seperlunya saja. Satu atau dua patah perkataan
saja.
Disaat itu tampak si pengemis
sudah tiba di depan kuil tersebut. Dia menoleh kepada Hui-houw-to, katanya:
“Toaya tunggu di sini……! Aku akan memberikan laporan dulu!”
Setelah berkata begitu, tanpa
menantikan jawaban dari Hui-houw-to, pengemis itu mendorong pintu kuil yang
berwarna merah, kemudian menyelinap masuk. Dia menghilang di dalam kuil.
Hui-houw-to menantikan si
pengemis dengan hati tidak tenang. Dia tengah diliputi keraguan karena dia
tidak mengetahui entah siapa orang yang hendak bertemu dengannya itu. Dan yang
membuat dia jadi bingung, justeru sekarang ini dia tengah memikirkan urusan yang
sangat penting sekali, yaitu harus menyelamatkan surat Ciangbunjin
Khong-tong-pay.
Kalau memang pengemis yang
hendak bertemu dengannya itu nanti menginginkan sesuatu darinya dan bermaksud
tidak baik, bukankah Hui-houw-to seperti membiarkan dirinya terlibat urusan
yang tidak-tidak.
Apa yang mengherankan hati
Hui-houw-to yaitu si pengemis tadi mengetahui begitu jelas gelaran dan nama
Hui-houw-to. Darimana dia mengetahui gelaran nama Hui-houw-to?
Dan bagaimana sekali lihat
saja mengetahui orang yang dicarinya adalah Hui-houw-to yang mendatangi ke arah
kampung itu? Atau dia telah pernah diberitahukan tentang keadaan dan bentuk
mukanya.
Tengah Hui-houw-to berdiam
diri dengan pikirannya seperti itu, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut
di dalam kuil.
Dia mengawasi dengan heran dan
terkejut ke arah pintu kuil. Tidak lama kemudian tampak keluar berlari dengan
cepat sekali pengemis yang tadi. Dia menerobos begitu cepat, penuh dengan
darah. Demikian juga tubuhnya berlumuran darah.
“Toaya, cepat lari!” Berseru-seru
si pengemis menganjurkan Hui-houw-to melarikan diri.
Hui-houw-to jadi tertegun
tercengang di tempatnya. Dia diam saja mematung. Dia kaget karena keadaan
demikian mendadak sekali, tak tahu entah apa yang terjadi.
Yang lebih mengejutkannya adalab
keadaan pegemis itu yang terluka demikian parah. Entah apa yang sudah terjadi
di dalam kuil itu? Dan apakah si pengemis sudah dianiaya seseorang?
Tengah Hui-houw-to tertegun
begitu mendadak saja, dia melihat dari dalam kuil itu menerobos tiga sosok tubuh.
Mereka adalah seorang
laki-laki bertubuh tegap, berusia tigapuluh tahun lebih, berpakaian lengkap
sebagai perwira kerajaan. Sikap maupun wajahnya garang sekali. Dia telah
melompat keluar dengan gesit, malah tahu-tahu sudah berada di dekat si
pengemis.
Yang seorang lainnya adalah
seorang laki-laki setengah baya, mungkin berusia empatpuluh tahun lebih.
Gerakannya pun sama gesitnya kemudian diapun sudah berada di dekat si pengemis.
Orang yang ketiga, yang
melompat keluar dari dalam kuil paling akhir, adalah seorang wanita, berusia
tigapuluh tahun lebih. Wajahnya cantik. Dia mengenakan baju yang serba merah,
rambutnya di sanggul, dan cantik bukan main, bentuk tubuhnya juga montok
sekali.
Gerakannya tidak kalah
gesitnya dengan kedua orang kawannya. Karena dia pun sudah berada di dekat si
pengemis, malah yang luar biasa, tangan kanannya sudah diulurkan, dan “Brett!”
Muka si pengemis telah kena
dicakarnya sehingga tertinggal jalur-jalur yang panjang di muka si pengemis.
Darah mengucur deras sekali. Pengemis itu meraung kesakitan, dia terguling
rubuh di tanah bergulingan.
Dalam kesakitan seperti itu si
pengemis masih sempat buat menganjurkan Hui-houw-to buat angkat kaki
meninggalkan tempat itu.
“Cepat Toaya……. lari, lari!”
Teriaknya.
Perempuan cantik itu mendengus
dingin, di antara kecantikan wajahnya.
Tangan kanannya sudah bergerak
lagi dan “Sreeettt!” Sekarang tubuh si pengemis yang telah dicakarnya. Darah
juga mengucur deras sekali.
Sedangkan Hui-houw-to sendiri
sudah tersadar cepat. Dia berseru nyaring. “Tahan! Tahan! Mengapa kalian
menyiksa pengemis itu?”
Orang yang memakai baju
seragam sebagai tentara kerajaan menoleh, tertawa dingin.
“Hemmm! Bagus Kau memang
tengah kami tunggu!” Katanya dengan suara yang parau menyeramkan.
Hui-houw-to heran, tapi
melihat sikap tentara kerajaan itu, dia yakin, ketiga orang ini, tentara
kerajaan, orang tua itu dan wanita cantik tersebut yang mengenakan pakaian
merah menyala, bukanlah sebangsa manusia baik-baik. Dia segera bilang.
“Tunggu dulu! Kalian hentikan
penyiksaan terhadap pengemis ini? Atau memang kalian manusia pengecut, menyiksa
orang yang sudah tidak berdaya?!”
Orang itu tertawa tawar, dia
ikut bicara. “Bagus! Kau rupanya satu-satunya orang yang paling gagah di kolong
langit ini, sedangkan kami ini adalah manusia-manusia rendah yang menyiksa
orang yang sudah tidak berdaya!”
Orang tua itu bukan sekedar
berkata saja, tubuhnya sudah melesat ke depan Hui-houw-to.
Karena menduga orang tidak
bermaksud baik padanya, Hui-houw-to bersiap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan.
Malah, cepat sekali tangan
kanannya meraba pinggangnya dia bersiap-siap akan mencabut golok pendeknya.
Namun orang tua itu tidak
segera menyerangnya. Dengan bola mata yang tajam berkilat mengandung hawa
pembunuhan, dia telah membentak lagi.
“Engkau yang bergelar
Hui-houw-to Khang Lam Cu, heh?”
“Benar, memang aku bernama
Khang Lam Cu dan bergelar Hui-houw-to. Apakah ada urusan denganku?” Tanya
Hui-houw-to dengan sikap yang tenang, namun matanya balas menatap dengan tajam,
sebab dia ingin bersiap-siap jika saja orang tua itu menyerangnya.
Orang tua itu tiba-tiba
tertawa bergelak-gelak terbahak. Suaranya begitu keras tampaknya dia girang dan
sangat puas sekali!
“Bagus, bagus!” Katanya.
Kemudian menoleh kepada orang
yang berpakaian seragam tentara kerajaan, dan juga kepada wanita cantik yang
mengenakan baju merah menyala itu, katanya lagi!
“Ini dia orangnya dan tidak
kecewa kita bercapai lelah menanti di sini!”
Pengemis yang dalam keadaan
terluka parah rebah di tanah menggeliat dia berusaha untuk merangkak bangun.
“Toaya……. lari....... jangan
layani mereka…..!” Teriaknya dengan seluruh sisa suaranya yang sember.
Orang tua itu menoleh kepada
si pengemis, bola matanya mencilak.
Tahu-tahu dia melompat, tangan
kanannya merabah punggungnya, dia mencengkeram tulang pie-pe si pengemis.
Pengemis itu menggeliat,
terdengar suara tulang hancur, dan kemudian si pengemis mendelik, suaranya
tersendat-sendat di tenggorokannya, lalu diam. Kepalanya terkulai, napasnya
berhenti. Dia sudah mati.
Hati Hui-houw-to panas bukan
main, dia melompat ke dekat orang tua itu.
“Kau……. mengapa kau membunuh
dia?” Tegurnya tidak senang, matanya mengawasi marah.
Orang tua itu balik menatap
tajam padanya.
“Ohhh, Kau tidak senang? Baik!
Baik! Kau juga harus merasakan cengkeraman mautku!”
Sambil bilang begitu, tangan
kananaya cepat sekali bergerak mencengkeram tulang pie-pe Hui-houw-to.
Namun Hui-houw-to mana mau
membiarkan tulang pie-penya kena dicengkeram oleh orang tua itu. Walaupun orang
tua itu bergerak sangat lincah dan mengulurkan tangannya sangat pesat, tokh dia
tidak berhasil dengan serangannya itu.
Karena Hui-houw-to berhasil
mengelakkannya dan memunahkan cengkeraman tersebut. Juga di tangan Hui-houw-to
telah tercekal golok pendeknya. Golok pendek itu dikibaskannya.
“Kalian, manusia-manusia
biadab....... tentu kalian bukan sebangsa manusia baik-baik!” Kata Hui-houw-to
dengan suara mendesis geram, matanya mengawasi tajam sekali.
Orang tua itu penasaran bukan
main sebab cengkeraman tangannya tidak berhasil pada sasarannya. Malah telah
membuat dia diejek seperti itu.
Namun dia tidak memberikan
penyahutan, hanya mukanya yang merah padam. Gesit sekali melompat ke dekat
Hui-houw-to, dia mengeluarkan tangannya lagi buat mencengkeram. Kali ini yang
jadi sasaran adalah dada Hui-houw-to.
Hui-houw-to tidak tinggal diam
saja, dia menggerakkan golok pendeknya, menabas tangan orang itu.
Tangannya terancam seperti itu
membuat orang tua itu menarik pulang tangannya. Tapi dia terus menyusuli lagi
dengan cengkeraman berikutnya.
Waktu itu, dia juga berhasil
membuat golok pendek Hui-houw-to terpental oleh sentilan jari tangannya yang
satu.
Hui-houw-to kaget
Ketika golok pendeknya kena
disentil orang tua itu, dia merasakan telapak tangannya pedih sekali. Sentilan
itu sangat kuat menunjukan lweekang atau tenaga dalam orang tua itu telah
mencapai tingkat yang tinggi.
Waktu Hui-houw-to tengah
terkejut dan hampir saja dia terhuyung mundur, tangan orang tua yang satunya
telah menyambar datang. Terpaksa dia mengelakkannya dengan segera.
Beruntun Hui-houw-to diserang
oleh orang tua itu, sampai akhirnya ia terdesak benar.
Wanita cantik itu tertawa.
“Toako, mengapa kau yang harus
turun tangan? Minggirlah! Biarkan siauw-moay yang menghadapinya........ tapi
dalam beberapa jurus siauw-moay sudah dapat membekuknya!” Wanita cantik itupun
melompat ke dekat Hui-houw-to.
Orang tua itu sebetulnya masih
penasaran, beberapa kali dia mendesak Hui-houw-to namun dia tidak pernah
berhasil dengan serangannya. Sekarang melihat wanita cantik itu telah melompat
maju, dia jadi mundur ke dekat orang, yang mengenakan seragam kerajaan.
Tapi hatinya tidak puas, dia
masih berteriak: “Berikan ganjaran yang keras padanya!”
“Ya! Jangan kuatir, Toako!”
Berseru wanita cantik itu, tertawa juga. Tangan kanannya menyambar datang, dan
akan mencengkeram. Mencakar seperti apa yang dilakukannya tadi pada si
pengemis.
Cepat-cepat Hui-houw-to
mengayunkan golok pendeknya, dia menangkis dengan bacokan.
Tapi wanita cantik itu tidak
jeri buat golok pendek yang mengancam tangannya. Malah dia meneruskan
cakarannya itu. Dan golok yang menyambar ke tangannya tidak diperdulikannya.
Hui-houw-to sendiri yang jadi
kaget, karena dia kuatir kalau-kalau tangan wanita cantik itu buntung oleh
tebasan golok pendeknya. Dia mengurangi bacokannya, dan dia pula berusaha
melompat mundur.
Namun di waktu dia terkejut
seperti itu, tangan wanita cantik itu dengan jelas, menyampok golok pendek
Hui-houw-to.
“Trrangggg………!” Golok pendek
itu terpental.
Hui-houw-to kembali kaget.
Walau goloknya membacok tangan wanita cantik itu, goloknya membacok benda
keras, seperti logam.
Mata Hui-houw-to seketika
melihat tangan wanita cantik itu, hatinya jadi tercekat. Itulah jari-jari
tangan besi! Namun demikian halus sekali, warnanya pun seperti tangan, maka
dari itu, dilihat sekilas tampaknya seperti tangan biasa saja.
Tidak tahunya tangan itu
terbuat dari besi. Pantas saja wanita cantik itu tidak gentar membenturkan
tangannya terbacok oleh golok Hui-houw-to.
Sedangkan wanita cantik itu
tertawa bergelak.
“Terimalah ini…….!” Tangan
kanannya itu menyambar lagi, jari-jari tangannya berkilat. Itulah jari-jari
tangan besi.
Hui-houw-to tidak berani
membuang-buang waktu, dia mengelakkannya.
Cuma saja, gerakannya
terlambat, di mana jari-jari tangan besi itu, tiba lebih cepat dari gerakan
mengelakkan yang dilakukan Hui-houw-to. Dan “Srettttt…..” Pundak Hui-houw-to
kena dicakar oleh jari-jari tangan besi itu.
Sakit dan kaget Hui-houw-to
ketika tercakar seperti itu. Baju di bagian pundaknya juga sudah robek.
Cepat-cepat Hui-houw-to
melompat ke samping buat menjauhi diri dari wanita cantik itu. Dia memutar
golok pendeknya dengan cepat sekali, buat melindungi dirinya.
Namun wanita cantik itu merangkak
terus dengan cepat dan sebat. Tangannya itu menyerang bertubi-tubi, dia tidak
takut buat membenturkan tangannya dengan golok pendek Hui-houw-to, tangannya
itu yang terbuat dari logam yang keras sekali, selalu meluncur menyambar ke
berbagai bagian tubuh Hui-houw-to maupun mukanya.
Kelabakan juga Hui-houw-to
mengelakkan diri dari setiap sambaran tangan besi itu. Ia benar-benar terdesak,
golok pendeknya seperti juga sudah tidak membawa manfaat apa-apa buat dirinya.
Malah tampaknya tidak lama lagi, dia akan rubuh di tangan perempuan cantik tapi
ganas itu?
Diam-diam Hui-houw-to
mengeluh.
Wanita cantik itu sebaliknya
girang. Dia telah berseru nyaring, “Hmm, kau mau menyerah secara baik-baik atau
tidak?” tegurnya.
Hui-houw-to tak menyahuti, ia
masih berusaha memutar golok pendeknya dengan cepat.
Melihat Hui-houw-to memberikan
perlawanan terus, tak berayal wanita cantik itu mempergencar setiap serangan
tangan besinya, berulang kali ia mendesak.
Suatu kali, karena terlambat
lagi mengelak, lengan Hui-houw-to kena dicakar lagi. Darah seketika mengucur
dari lukanya itu.
Akibat cakaran itu membuat
tangan Hui-houw-to seperti kehilangan tangannya, kaku dan sulit digerakkan.
Tengah Hui-houw-to kaget dan
agak panik, jari tangan besi itu menyambar ke maka Hui-houw-to.
Bukan kepalang kagetnya
Hui-houw-to, mati-matian ia berusaha mengelakkan sambaran jari-jari tangan itu.
Cepat sekali jari-jari tangan
besi itu singgah di pipinya, yang tergores dalam sekali. Dan juga terlihat,
tubuh Hui-houw-to terhuyung-huyung.
Dikala itu, tampak Hui-houw-to
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya pada ke dua tangannya, namun ia gagal,
karena jari-jari tangan besi itu telah menyambar pahanya, segera ujung jari
tangan itu menancap di pahanya.
Tubuh Hui-houw-to terguling,
dan ia rubuh di tanah dengan menderita kesakitan.
Baru saja ia hendak merangkak
bangun, wanita cantik itu sudah berdiri disampingnya bersiap-siap dengan tangan
besinya yang akan dihujamkan pada punggung Hui-houw-to.
“Tahan!” berseru orang yang
memakai baju seragam tentara kerajaan.
Wanita cantik itu mematuhi
cegahan itu, ia tertawa-tawa, batal menyerang. Dan ia menjejakkan kakinya,
tubuhnya melompat mundur, berdiri dekat orang tua dan orang yang memakai
seragam sebagai perwira kerajaan.
“Hemm, monyet kecil itu
terlalu bermulut besar dan bertingkah. Ia tak tahu kelihayan kita!” menggumam
wanita cantik itu sambil memperlihatkan wajah yang angkuh.
Orang tua itu menghampiri
Hui-houw-to.
“Hui-houw-to Khang Lam Cu,
sekarang kau jawab pertanyaanku, apakah kau mau mampus atau memang ingin tetap
hidup. Kau boleh memilih dua tawaran kami itu! Ayo jawab!”
Hui-houw-to tengah menderita
kesakitan yang hebat, tubuhnya yang terluka terasa kaku. Dia menduga pada ujung
jari tangan besi wanita cantik itu jelas mengandung racun.
Perlahan-lahan dia mengangkat
kepalanya. Mukanya pucat dengan pipi berlumuran darah, sebab pipinya itu tadi
kena dicakar juga.
“Siapa kalian! Dan
sesungguhnya apa yang kalian kehendaki?” Tanya Hui-houw-to sambil menahan
sakit.
“Hemmm, kau tidak perlu
mengetahui siapa kami dan juga tidak perlu rewel- rewel! Sekarang kau jawab
saja pertanyaanku tadi! Apakah kau ingin mampus atau memang masih mau hidup
terus?”
Hui-houw-to menggigit
bibirnya.
“Tentu saja aku ingin hidup.”
“Bagus, Tapi kau harus patuh
terhadap perintah!”
“Perintah apa?”
“Nanti kujelaskan. Sekarang
kau bersedia untuk patuh terhadap perintahku! Semua perintahku!”
Hui-houw-to bimbang.
“Hemmm, kau tidak memiliki
pilihan lain lagi, kau patuh dan mau melaksanakan semua perintah kami tanpa
rewel berarti kau bisa hidup terus. Tapi jika kau berkepala batu dan coba
menimbulkan kesulitan bagi kami berarti engkau akan kami kirim ke neraka! Kau
cepat jawab!”
Hui-houw-to yakin orang-orang
ini sebangsa manusia yang akan membuktikan ancamannya. Karena dari itu, jika di
waktu seperti ini dia mengeluarkan kata-kata yang tidak disenangi orang-orang
itu, dirinya akan menderita sekali disiksa oleh ke tiga orang itu sampai mati.
Karenanya dia pikir memang
tidak ada salahnya jika ia menyanggupi permintaan orang-orang tua itu, karena
Hui-houw-to pun ingin sekali mengetahui sebetulnya siapakah mereka dan apa yang
diinginkan mereka.
“Baik! Aku akan mematuhi semua
perintahmu!” Kata Hui-houw-to pada akhirnya.
“Hmm kau sungguh-sungguh
dengan keputusanmu itu?” Tanya orang tua itu menegasi. “Perlu kau ketahui, jika
mau main-main dengan keputusan itu, dan nanti kau menolak salah satu
perintahku, berarti engkau akan menderita hebat sekali, hidup tidak bisa buat
matipun sulit!”
“Ya, aku akan patuh terhadap
perintah kalian!” Kata Hui-houw-to.
Pada waktu itu Hui-houw-to
menyadari dia perlu mengulur waktu. Karena memang diwaktu itu ia telah terluka
dan tenaganya seperti lenyap, tangan dan tubuhnya jadi kaku akibat lukanya itu.
Dan disebabkan itulah, Hui-houw-to memutuskan dia memang mengulur waktu,
menanti kesempatan baik buat meloloskan diri dari ke tiga orang itu, yang
tampak memiliki kepandaian yang tinggi.
Sedangkan Hui-houw-to heran
bukan main. Mengapa si pengemis dibunuh ketiga orang itu?
Lalu mengapa pengemis itu tadi
menganjurkan mati-matian padanya, agar angkat kaki melarikan diri dari tiga
orang itu?
Tengah Hui-houw-to termenung
begitu, disaat pikirannya tengah terganggu oleh dugaan-dugaan yang bermacam
ragam dan tidak terjawab olehnya. Orang tua itu telah berkata lagi dengan suara
yang nyaring.
“Bagus! Jika memang demikian
kau ternyata seorang yang mengenal selatan! Sekarang aku ingin bertanya
kepadamu! Ini adalah perintahku yang pertama, dan setiap pertanyaanku harus kau
jawab dengan jujur.”
“Baik!” Hui-houw-to coba
merangkak berdiri. Tapi tubuhnya kaku. Dia tidak berhasil. Dia rubuh terguling
di tanah. Terduduk.
“Apakah kau bergelar
Hui-houw-to?”
“Benar!”
“Apakah kau benar Khang lam
Cu?”
“Tidak salah!”
“Apakah kau tengah menjalankan
tugas dari Ciangbunjin Khong-tong-pay?”
Ditanya begitu, muka
Hui-houw-to berobah. Dia terdiam beberapa saat lamanya.
“Hemm, kau jangan coba-coba
berdusta. Aku sudah mengatakan tadi, kau harus menjawabnya dengan jujur, sekali
saja kau berdusta, berat untuk kau, karena akan kami siksa kau dengan siksaan
yang berat sekali.”
Hui-houw-to mengangguk pada
akhirnya.
“Benar!” Jawabnya.
“Tugas apa yang tengah kau
jalankan dari Ciangbunjin Khong-tong-pay?”
“Membawa sesuatu!”
“Apa itu yang disebut
‘sesuatu’?”
“Sepucuk surat!”
“Bagus! Benar! Memang kamipun
ingin sekali melihat surat itu! Mana surat itu?”
Muka Hui-houw-to semakin
berobah merah dan pucat bergantian. Ia gelisah karena Hui-houw-to segera depat
menduga apa maksud sebenarnya ke tiga orang ini.
“Ayo jawab!” bentak orang tua
itu.
“Surat itu tidak ada
padaku.......!” Kata Hui-houw-to pada akhirnya, suaranya perlahan sekali.
Muka orang tua itu berobah.
“Hahaha……. satu kali kau telah
berdusta!” kata orang itu dengan suara menyeramkan. “Tapi aku masih mau
mengampuni kebohonganmu itu!” Setelah berkata begitu, muka orang tua itu
berobah bengis sekali, dia bilang lagi:
“Ayo keluarkan surat itu! Atau
perlu aku yang menggeledahnya sendiri dan akhirnya setelah memperoleh surat itu
kau kusiksa hebat?”
Benar-benar Hui-houw-to
gelisah. Dia tidak berdaya, karenanya dia terjepit.
Perlahan-lahan tangannya merogoh
sakunya. Di dalam hatinya bergolak pemikiran yang berbeda-beda. Pertarungan
pendapat dihatinya. Dia berpikir untuk memusnahkan surat itu saja, atau memang
memberikan kepada orang tua itu?
Tapi, jika dia menghancurkan
surat tersebut pun sudah tidak terlalu besar manfaatnya. Bukankah Giok-tiauw
Sian-lie, Kauw-cu Hek-pek-kauw sudah pernah membaca surat ini. Mungkin juga
telah disalinnya walaupun Giok-tiauw Sian-lie mengatakan bahwa dia tidak
menyalinnya di kertas lain dan cuma diingatnya di dalam otaknya.
Akhirnya Hui-houw-to
memutuskan, dia menyerahkan saja surat itu kepada orang tua ini. Dia mau lihat
apa yang hendak dilakukan ke tiga orang ini.
“Cepat keluarkan surat itu!”
teriak orang tua tersebut, suaranya bengis sekali.
Hui-houw-to perlahan-lahan
merogoh sakunya, ia mengeluarkan surat Ciangbunjin Khong-tong-pay yang ada
padanya, surat yang telah diperebutkannya dan berhasil diambil kembali dari
tangan Kauw-cu Hek-pek-kauw yaitu Giok-tiauw Sian-lie. Tapi sekarang ia harus
menyerahkannya pada orang ini.
Melihat surat itu tanpa
menunggu lagi Hui-houw-to Khang Lam Cu menyerahkannya, orang tua itu sudah
mengulurkan tangan untuk mengambilnya.
Muka orang tua itu
berseri-seri, sedangkan wanita cantik berbaju merah dan juga orang yang
berpakaian lengkap sebagai perwira kerajaan sudah melompat ke samping orang tua
itu. Mereka rupanya tak sabar ingin melihat isi surat itu.
Orang tua itu membuka surat
tersebut, ia membacanya.
“Hem, memang benar!” menggumam
orang tua itu selesai mambaca surat itu, sambil menoleh mengawasi wanita cantik
berbaju merah itu dan si perwira kerajaaan.
Mereka, ke dua orang itu
mengangguk.
“Ya, memang harus pergi ke
sana!” Kata wanita cantik itu, “Kalau memang kita terlambat, niscaya kita akan
tertinggal, akan ada orang lain yang mendahului…….!”
Waktu itu alis orang tua
tersebut berkerut dalam-dalam, dia menoleh kepada Hui-houw-to, tanyanya lagi,
“Apakah sebelumnya surat ini sudah ada yang lihat?”
Hui-houw-to mengangguk.
“Ya!” Katanya. “Memang sudah
ada yang pernah melihat surat itu!”
“Siapa?”
“Kauw-cu Hek-pek-kauw……!”
“Giok-tiauw Sian-lie?”
“Benar!” Mengangguk
Hui-houw-to lagi. “Dia yang pernah merebut surat itu, namun akhirnya aku jadi
bisa mengambilnya kembali.”
Muka orang tua itu bersama
kedua temannya jadi berobah, mereka saling lirik, sampai akhirnya orang tua itu
bilang, “Jika demikian kita harus bekerja cepat…….!”
“Ya....... tentu Giok-tiauw
Sian-lie sudah menyalin surat ini atau setidak-tidaknya, kalau memang dia cuma
sekedar membacanya, maka berarti dia sudah mengetahui berada di mana barang itu
dan tempat si nelayan!”
Orang yang berpakaian sebagai
perwira kerajaan itu menghela napas. Tampaknya dia jadi agak bingung.
“Urusan itu telah tersiar,
kita harus berusaha untuk mendahului dan memperoleh barang itu. Kalau gagal
berarti kita memperoleh kesulitan tidak kecil……. Inilah urusan yang memang
langsung berurusan dengan Hong-siang (Kaisar).”
Dan setelah berkata begitu,
dengan tampang yang bengis sekali., orang berpakaian sebagai perwira kerajaan
sudah membentak Hui-houw-to.
“Sebetulnya, apa maksud
Ciangbunjin Khong-tong-pay ini menulis surat ini. Dan juga tentunya kepada
orang pandai ia tujukan suratnya ini bukan? Siapakah yang di dalam surat ini
disebut Kam Toako?”
Hui-houw-to menggeleng.
“Aku cuma diperintahkan
membawa surat tersebut, sama sekali tidak mengetahui apa isi surat tersebut?
Juga akupun belum pernah membaca isinya…….”
Orang tua itu bertiga dengan
si wanita cantik berbaju merah dan orang yang berpakaian sebagai perwira
tersebut telah saling pandang. Mereka yakin bahwa Hui-houw-to kali ini tidak
berbohong.
Akhirnya orang itu bilang.
“Baiklah, kalau demikian lebih baik kita tahan saja dulu dan kita menantikan
sie-te datang kemari!”
Yang lainnya setuju.
Orang tua itu mengulurkan
tangan kanannya, dia menotok jalan darah Wie-liu-hiat di dekat ketiak
Hui-houw-to sehingga tubuh Hui-houw-to kejang kaku tidak bisa digerakkan untuk
satu harian. Jika memang totokan itu tidak dibuka, niscaya tubuhnya akan kejang
kaku dan tidak mungkin bisa melarikan diri.
Dengan ringan orang tua itu
menenteng Hui-houw-to dibawa masuk ke dalam kuil.
Sedangkan orang yang berpakaian
perwira kerajaan itu mengayunkan kaki kanannya, menendang tubuh si pengemis,
yang menggeletak di luar kuil. Tubuh itu tertendang kuat sekali!
Seperti bola saja, terpental
sampai belasan tombak jatuh di samping kuil. Mungkin juga maksud perwira
kerajaan itu agar mayat pengemis itu disingkirkan, sehingga tidak menarik
perhatian orang yang lewat di dekat kuil tersebut. Lalu sambil
mengibas-ngibaskan baju perwira kerajaan itu sudah melangkah ke dalam kuil
juga.
Waktu dibawa ke dalam kuil,
Hui-houw-to, melihat dipekarangan kuil tersebut menggeletak beberapa sosok
mayat. Dia lihat dari pakaiannya yang penuh tambalan, jelas beberapa sosok
mayat itu adalah pengemis-pengemis yang sudah mati mungkin cukup lama.
Mayat mereka malang melintang
tidak teratur. Tubuh merekapun berlumuran darah. Mungkin sebelum menemui
kematiannya, pengemis-pengemis itu sudah terluka parah!
Dan pengemis-pengemis itu
rupanya kawan-kawan pengemis yang baru saja mati, yang membawa Hui-houw-to ke
kuil ini. Dia di antaranya tentu terdapat pengemis yang hendak bicara dengan
Hui-houw-to. Entah yang mana.
Hui-houw-to juga dapat
menerkanya orang yang telah membinasakan semua pengemis-pengemis itu pasti
adalah orang tua itu dengan ke dua orang kawannya.
Hui-houw-to dilempar ke dalam
kuil tempat sembahyang, di sebelah sudut. Hui-hauw-to terbanting dan
menyebabkan ia kesakitan, namun ia dalam keadaan tak berdaya, iapun dalam
keadaan tertotok.
Di dalam hati Hui-houw-to
menduga-duga entah siapa ke tiga orang ini, yang pasti tentu mereka itu
menghendaki Giok-sie juga. Dan ada satu orang lagi yang mereka tunggu, yaitu
sie-te atau adik keempat.
Entah siapa adik keempat itu?
Dan apa langkah yang akan mereka lanjutkan seterusnya, setelah surat itu
terjatuh ke dalam tangan mereka?
Hui-houw-to tidak bisa
menjawab semua pertanyaan yang mengaduk pikirannya, sedangkan si tua telah
menghampiri Hui-houw-to, bilang:
“Karena tadi kau telah bicara
jujur, maka kami mau mengampuni jiwamu. Kami tengah menunggu kedatangan sie-te
kami. Jika ia setuju kau dibiarkan hidup, kami akan mengampuni kau!
“Tapi jika sie-te tidak
bersedia mengampuni kau, maka terpaksa kau akan kami binasakan. Sekarang kau
berdoalah, agar sie-te kami kelak setuju kau diampuni…….!” Setelah berkata
begitu orang tua tersebut tertawa bergelak-gelak, suara tertawanya nyaring
sekali.
Sedangkan wanita cantik
berbaju merah dan tangannya terdiri dari besi yang keras itu, sudah menoleh.
Panggilnya: “Toako, kemari kau!”
Cepat-cepat orang tua itu
menghampiri wanita cantik baju merah tersebut.
“Ada apa, Jie-moay? Ada
perkembangan baru?” Tanya orang tua itu.
Wanita baju merah itu
menggeleng.
“Kami ingin merundingkan
sesuatu dengan kau, Toako! Tapi jangan di dekat orang itu, karena jika bisa
mendengar pembicaraan kita, siapa tahu ia memiliki nasib baik dan akhirnya
tidak mampus. Bukankah kelak ia bisa saja banyak bicara?!”
Orang tua itu tertawa. Ia ikut
si wanita pergi menjauhi, mereka bertiga duduk saling berhadapan, tampak mereka
sibuk sekali merundingkan sesuatu.
Tidak jarang terlihat orang
tua itu bersikeras, entah apa yang di pertentangkannya, tidak jarang juga orang
yang berpakaian sebagai perwira kerajaan itu sudah mencak-mencak. Tapi
Hui-hauw-to tetap saja tidak berhasil mendengar apa yang mereka katakan dan
ucapkan satu dengan yang lain.
Cuma akhirnya tampak si
perwira kerajaan sudah melompat berdiri dengan muka merah padam:
“Aku tidak setuju. Walau
bagaimana barang itu harus diserahkan pada Hong-siang!” Suaranya kali ini keras
sekali.
Dengan demikian Hui-houw-to
dapat menerkanya, tentu barang yang dimaksudkan si perwira kerajaan itu adalah
Giok-sie. Dan mereka rupanya tengah memperdebatkan barang itu akan menjadi
milik siapa dan akan dipergunakan untuk apa.
Orang tua itu tampak
menggerak-gerak tangan mengucapkan sesuatu. Walaupun muka si perwira kerajaan
masih merah padam, tapi dia duduk kembali.
Melihat si perwira kerajaan
itu, Hui-houw-to jadi berpikir lagi. Entah berapa tinggi kepandaian si perwira
kerajaan itu?
Tapi dilihat dari gerak
geriknya, kepandaian si perwira tersebut sangat tinggi sekali. Terbukti juga
bahwa wanita berbaju merah itu dan si orang tua tampaknya menyegani dan menaruh
rasa hormat pada perwira kerajaan itu.
Lama juga mereka berunding,
sampai akhirnya selesai juga, karena merekapun pergi mengasoh, mereka
merebahkan diri di lantai, sedangkan si wanita baju merah menyenderkan tubuh di
tiang kuil itu.
“Mengapa sie-te belum juga
datang?”
Tanya orang tua itu pada
wanita berbaju merah, tampaknya ia heran sekali dan agak bingung. Ia bertanya
dengan suara yang keras, karenanya Hui-houw-to mendengarnya.
“Entahlah!” jawab wanita
berbaju merah itu sambil melirik pada orang tua itu, “Kukira ada suatu halangan
yang dialami oleh sie-te!”
“Apakah perlu kita pergi
mencarinya?” Tanya orang tua itu lagi.
“Tidak perlu!” jawab wanita
berbaju merah itu.
“Hemm, tapi jika terjadi
sesuatu di diri sie-te…….!” menggumam orang tua itu.
“Kita tunggu sampai fajar
menyingsing!” Kata si perwira kerajaan, yang ikut bicara.
“Baiklah!” orang tua itu
bersama dengan si wanita berbaju merah menyetujui!
Demikianlah, mereka
beristirahat.
Malam itu sepi sekali, tidak
terdengar suara apapun juga. Malam kian larut.
Hui-houw-to merasakan tubuhnya
sakit-sakit. Dia tidak bisa menggerakkan tangan maupun kakinya. Dia rebah
meringkuk dalam keadaan tertotok.
Angin malam sangat dingin
sekali. Dia tidak bisa tidur. Dia mengawasi orang tua, wanita berbaju merah dan
juga si perwira kerajaan itu bergantian.
Mereka bertiga tengah
beristirahat. Walaupun mata mereka masing-masing terpejam, namun mereka
tentunya tidak tidur. Karena mereka pasti berwaspada.
Hui-houw-to menghela napas.
Selama beberapa hari ini sudah
mengalami banyak sekali peristiwa yang berbahaya, yang selalu menyebabkan jiwa
terancam kematian.
Sekarang saja, di tangan orang
tua itu bertiga. Keselamatan jiwa Hui-houw-to belum lagi bisa dijamin, karena
sewaktu-waktu mereka bisa saja membinasakan Hui-houw-to.
Karena dari itu, Hui-houw-to
mati-matian berusaha mengerahkan lweekangnya, buat membuka totokannya tersebut.
Dia juga berusaha membendung racun yang mengendap di dalam tubuhnya.
Dia tahu kuku jari-jari tangan
besi wanita berbaju merah itu mengandung racun, walaupun racun yang tidak
terlalu dahsyat daya kerjanya. Namun jika sampai racun sudah menjalar ke
jantung niscaya akan membawa kematian buat dirinya.
Di waktu itu, tampak juga
Hui-houw-to berusaha mengemposkan hawa murninya ke Tan-tian, namun usahanya itu
selalu gagal. Sebab memang dia tidak memiliki kekuatan sin-kangnya yang cukup,
buat mendesak dan membendung racun itu keluar dari lukanya.
Terlebih lagi memang kini dia
tengah dalam keadaan terluka yang tidak ringan. Juga dalam keadaan tertotok,
sehingga dia tidak bisa menggerakan tangan dan kakinya.
Siapakah ke tiga orang itu?
Ternyata yang memakai baju
perwira kerajaan adalah seorang murid Bu-tong-pay yang murtad. Dia telah
memasuki pasukan Kim-ie-wie, yaitu pasukan pengawal Kaisar yang berbaju emas.
Dia memiliki kepandaian yang tinggi.
Orangnya pun kejam sekali.
Namanya Hoan Cie Sun, seorang yang selalu menurunkan tangan kematian buat
lawannya. Gelarnya adalah Bu-eng-cu si Tanpa Bayangan. Itulah disebabkan
gin-kangnya yang mahir sekali, dia bisa bergerak secepat angin.
Sedangkan yang memakai baju
merah bernama Thio Sam Nio, seorang murid Kheng-shia-pay yang cabul sekali. Ia
paling gemar paras cakap, dan selalu pula berhubungan gelap dengan laki-laki
yang disenanginya.
Diapun pernah kawin tapi
pernikahannya itu tidak membawa kebahagiaan, berakhir dengan perceraian.
Semuanya itupun atas salahnya sendiri, karena dia telah menyeleweng dengan
laki-laki lain dan diketahui suaminya.
Beruntung dia bisa menandingi
suaminya, mereka bertempur setengah harian, sebab suaminya hendak membinasakannya.
Sampai akhirnya Thio Sam Nio bisa merubuhkan suaminya dan kejam sekali dia
membunuhnya.
Sejak menjanda, kecabulannya
semakin menjadi-jadi? Gelarannya di dalam kalangan Kang-ouw adalab Bwee Hoa
Niang-niang (Bidadari Bunga Bwee).
Kepandaiannya semakin hari
semakin meningkat dan menjadi mahir karena setiap ada pendekar silat yang
memiliki kepandaian tinggi. Dia akan mempergunakan kecantikan buat mendekati
pendekar silat itu.
Kemudian merayunya, meminta
agar ia diajari ilmu silat pendekar itu. Tentu saja Thin Sam Nio selalu
memberikan tubuhnya sebagai imbalannya.
Kalau si tua itu, dia
bertangan telengas berhati dingin. Di dalam rimba persilatan dia disegani dan
ditakuti, karena kekejamannya itu dia bergelar Iblis dari Neraka. Namanya Wang
Hu.
Justru Wang Hu bertiga dengan
Thio Sam Nio dan Hoan Cie Sun tengah melaksanakan perintah Menteri Giok Tayjin,
untuk mencari Giok-sie!
Perintah mencari Giok-sie
turun dari Kaisar dan Menteri Giok Tayjin memang memerintahkan ratusan orang
yang memiliki kepandaian tinggi buat pergi mencarinya. Tentu saja orang orang
gagah yang memiliki kepandaian tinggi, semuanya yang sudah bertekuk lutut
bekerja untuk kerajaan demi pangkat dan harta.
Giok Tayjin memang terkenal
sangat lihay sekali lidahnya. Diapun menempel jago-jago yang disegani di dalam
rimba persilatan, dirangkulnya. Dengan demikian membuatnya memiliki banyak
sekali kawan dan kaki tangan di dalam rimba persilatan.
Dan peristiwa surat yang
dibawa oleh Hui-houw-to pun sudah diketahuinya. Dia pun perintahkan lima orang
anak buahnya untuk pergi mencari Hui-houw-to guna merampas surat itu, dan buat
mengetahui di mana nelayan yang beruntung memperoleh Giok-sie itu, buat
merampasnya.
Disamping ke lima orang anak
buahnya, ia pun mengutus Wang Hu, Thio Sam Nio dan Hoan Cie Sun. Bersama mereka
masih ada seorang lainnya yang tadi disebut-sebut sebagai sie-te adik keempat
oleh Wang Hu.
Sie-te itu bernama Thang Bian
Yang, seorang yang liehay sekali ilmu pedangnya. Dia bergelar Ban-kiam-hiap
(Pendekar Selaksa Pedang). Tapi, waktu dalam perantauan mereka terpisah, karena
ada sesuatu yang hendak diurus oleh Thang Bian Yang! Mereka berjanji akan
bertemu di kuil ini.
Namun sampai malam itu, mereka
masih belum dapat berkumpul disebabkan Thang Bian Yang belum juga datang.
Padahal Thang Bian Yang yang paling cerdas otaknya, paling cerdik di antara
mereka berempat. Dan lebih banyak Wang Hu bertiga mengandalkan sie-te mereka
itu.
Justeru waktu tiba di kuil
tersebut, merekapun memergoki beberapa orang pengemis Kay-pang yang tengah
berunding, yang ingin menantikan kedatangan Hui-houw-to, yang akan mereka
sambut untuk membicarakan soal surat yang dibawanya. Pengemis-pengemis Kay-pang
itupun menyebut-nyebut tentang Giok-sie.
Karenanya Wang Hu bertiga
segera menyerbu masuk, mereka bertempur. Namun pengemis-pengemis itu sampai
napas mereka yang terakhir tidak juga mau bicara.
Demikianlah, Wang Hu bertiga
selain menantikan sie-te merekapun menantikan Hui-houw-to. Siapa sangka
Hui-houw-to telah diajak oleh pengemis yang seorang inilah yang memang terjadi
kebetulan sekali.
Wang Hu bertiga tidak
menyangka akan demikian mudah mereka mencari Hui-houw-to dan memperoleh surat
yang ditulis oleh Ciangbunjin Khong-tong-pay. Karena itu mereka kegirangan.
Mereka merundingkan juga,
apakah segera berangkat ke Put-hay, untuk mencari nelayan yang disebutkan di
dalam surat itu atau menantikau sie-te mereka. Thio Sam Nio justeru bersikeras
hendak menantikan sampai sie-te mereka tiba dan berangkat bersama-sama.
Lalu mereka merundingkan juga,
setelah Giok-sie diperoleh. Apakah diserahkan kepada Giok Tayjin atasan
mereka,sehingga tidak akan ada urusan lainnya yang bisa mempersulit mereka,
sebab Giok Tayjin bisa menyampaikan lebih jauh kepada Kaisar.
Tapi, justeru Hoan Cie Sun,
yang berpakaian sebagai perwira kerajaan itu, bersikeras hendak menyampaikan
Giok-sie yang mereka cari langsung kepada Kaisar. Menurut pendapat dia, mereka
yang bertiga akan menerima hadiah dan penghargaan yang jauh lebih besar,
dibandingkan jika mereka memberikan kepada Giok Tayjin.
Menurut Hoan Cie Sun, jika
Giok-sie diberikan kepada Giok Tayjin, niscaya yang dapat penghargaan dari
Kaisar adalah Giok Tayjin sendiri. Jika mereka menyampaikannya langsung kepada
Kaisar bukankah mereka memperoleh pangkat dan harta?
Akhirnya setelah berdebat.
Thio Sam Nio berdua dengan Wang Hu setuju dengan usul Hoan Cie Sun. Cuma saja,
mereka belum menyetujui sepenuhnya, karena mereka masih menantikan sie-te
mereka setuju dengan usul Hoan Cie Sun, barulah merekapun setuju sepenuhnya.
Demikianlah, mereka menantikan sie-te mereka itu, yaitu Phang Bian Yang.
Malam demikian larut dan
dingin sekali sedangkan Hui-houw-to rebah tidak bisa bergerak. Tubuhnya terasa
kejang kaku.
Hui-houw-to melihat Wang Hu
bertiga masih di tempat masing-masing. Mereka tengah beristirahat.
Dalam keheningan malam itulah,
tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang ringan di atas genting.
Wang Hu yang mendengarnya
pertama kali, dia memberikan isyarat kepada Thio Sam Nio dan Hoan Cie Sun. Tapi
ke dua orang itu rupanya pun telah mendengarnya, cuma mereka tidak langsung
bergerak hanya berdiam di tempat masing-masing seakan-akan juga tidak
mengetahui adanya suara orang yang berjalan di atas genting.
Didengar dari suara langkah
kaki di atas genting yang datang tidak kurang dari, belasan orang. Malah
beberapa sosok bayangan tampak melompat turun ke bawah.
Sedangkan Hoan Cie Sun sudah
melompat berdiri, diikuti oleh Thio Sam Nio dan Wang Hu. Hui-houw-to tidak bisa
bergerak, dia cuma bisa mengawasi saja dengan tubuh tetap rebah di atas lantai.
Dia heran, entah siapa belasan
orang yang datang di malam selarut ini. Kawan ke tiga orang itu atau memang
lawannya.
“Wang Hu!!” Tiba-tiba
terdengar salah seorang di antara belasan orang itu sudah berteriak dengan
suara yang nyaring, “Kau serahkan surat itu kepada kami, dan kalian bertiga
boleh angkat kaki meninggalkan tempat ini!”
Wang Hu bertiga tercekat
hatinya. Begitu cepatkah berita tentang mereka memperoleh surat yang ditulis
Ciangbunjin Khong-tong-pay itu? Belum lagi satu malaman, mereka sudah disatroni
lawan.
Wang Hu melompat ke depan. Dia
melihat belasan orang yang berdiri berjajar di pekarangan kuil, dengan sikap
yang gagah. Semuanya mengenakan baju warna hitam. Disamping itu muka mereka pun
tertutup rapat oleh topeng.
“Siapa kalian?” Tanya Wang Hu
kemudian dengan suara yang dingin.
Orang yang berdiri paling
depan yang tadi berteriak, sudah menyahut: “Kami dari Hek-pek-kauw! Kalian
tentu mengetahui jika bentrok dengan pihak kami, tidak akan menguntungkan
kalian!”
Wang Hu saling pandang dengan ke
dua orang kawannya. Jadi belasan orang yang datang ini adalah anak buah
Hek-pek-kauw. Mereka jadi heran juga.
Tadi menurut Hek-pek-kauw,
yaitu Giok-tiauw Sian-lie, sudah membaca surat itu bahkan diduga sudah
menyalinnya isi surat itu. Mengapa sekarang hendak memperebutkan kembali surat
itu?
Setelah tertegun sejenak, Wang
Hu tertawa dingin.
“Hemm, kalian jangan mimpi.
Kalian menyebut-nyebut tentang surat. Kami benar-benar tak mengerti surat apa
yang kalian inginkan?”
Orang itu juga tertawa tawar.
“Kau jangan coba-coba
mendustai kami! Kami sudah mengetahui kau berhasil memperoleh surat itu dari
tangan Hui-houw-to yang kini tengah kalian tawan!
“Memang, sejak dari markas
kami orang she Khang itu diikuti oleh kami. Semua yang dialaminya telah kami
saksikan. Sekarang, ayo cepat, jangan, rewel-rewel, serahkan surat itu!”
Muka Wang Hu berobah, demikian
juga muka Hoan Cie Sun maupun Thio Sam Nio.
“Hemm, enak saja kalian
meminta orang menyerahkan barang, padahal kami memperolehnya dengan sulit dan
bersusah payah. Hemmm, kalian datang dan langsung cuma meminta begitu saja!
Aturan mana yang kalian pakai!
“Sampaikan pada Kauw-cu
kalian, Giok-tiauw Sian-lie, kami sewaktu-waktu memang ingin bertemu dengannya.
Justeru kami ingin melihat apakah ia memang pantas memakai gelaran sebagai
Giok-tiauw Sian-lie.”
Belasan orang itu rupanya
gusar karena terdengar suara menggumam, mereka yang mengandung kemarahan.
“Kau, siluman rase tak perlu
banyak bicara, kau mau menyatakan berdiri sejajar dengan Kauw-cu kami, mana
bisa begitu? Kau si manusia rendah, sedangkan Kauw-cu kami ialah orang yang
sangat agung dan terhormat!”
Mendengar makian itu, yang
merupakan ejekan pedas dan ketus, membuat Thio Sam Nio meluap darahnya, bukan
main murkanya.
Walaupun Giok-tiauw Sian-lie,
datang sendiri ke mari berlutut memintakan pengampunan buat kau yang bermulut
lancang, aku Thio Sam Nio tak akan mengampuni jiwamu!”
Orang itu masih tertawa sini
mengejek.
“Hem, kepandaian apa sih yang
kau miliki? Sedangkan, seorang kawanmu saja sudah berada di tangan kami,
ditawan Kuw-cu?”
Kata-kata orang itu
mengejutkan Thio Sam Nio bertiga.
“Siapa kawan kami yang kau
maksudkan itu?” Tanyanya dengan suara yang bengis.
“Kalian ingin tahu?”
“Ya.”
“Serahkan dulu surat itu pada
kami!”
“Hemm, tentunya kau hanya
membual belaka?” Kata Wang Hu mendesis mereka. “Kau cuma asal bicara saja, buat
menipu kami. Padahal buat nama kawan kami saja kau tidak mengetahuinya?”
Orang itu mendengus dia
bilang: “Siapa yang tidak mengetahui? Bukankah sudah kukatakan bahwa kawan
kalian itu sudah menjadi tawanan kami? Dialah manusia yang paling tidak berguna
gentong nasi.
“Dia orang she Thang bernama
Bian Yang merupakan manusia paling tolol dan kepandaiannya hanyalah merupakan
tarian-tarian yang tidak punya guna! Dalam dua jurus saja dia telah dirubuhkan
Kauw-cu kami.
“Kini dia tengah merangkak di
dalam kamar tahanan! Jika memang kalian tidak mau menyerahkan surat itu kepada
kami, hemm, hemm!”
“Apa itu, hem, hemm?” teriak
Thio Sam Nio murka bukan main.
Memang dia bersama Wang Hu dan
Hoan Cie Sun kaget tidak terkira mendengar Thang Bian Yang sudah ditawan oleh
orang-orang Hek-pek-kauw. Akan tetapi untuk menutupi rasa kagetnya itu, sengaja
dia membentak begitu.
“Jika memang kalian tidak mau
menyerahkan surat itu kepada kami, berarti teman kalian itu harus berpisah
dengan dunia ini,” menyahuti orang tersebut.
Bukan kepalang marahnya Thio
Sam Nio bertiga, namun sekarang mereka tidak berani bertindak ceroboh. Mereka
tidak berani sembarangan karena jika benar apa yang diucapkan oleh orang itu,
berarti keselamatan jiwa Thang Bian Yang tengah terancam sekali dan mereka
harus segera menolonginya.
“Baiklah. Ajaklah kami bertemu
dengan Kauw-cu kalian,” Kata Wang Hu akhirnya mengambil keputusan.
“Hemm kalian ingin bertemu
dengan Kauw-cu kami?”
“Ya!”
“Untuk apa?”
“Kami akan membicarakan urusan
ini!”
“Tidak mudah!”
“Apanya yang tidak mudah?!”
“Buat kalian bertemu dengan
Kauw-cu kami.”
“Tanpa bertemu dengan Kauw-cu
kalian, bagaimana mungkin urusan ini bisa selesai!”
“Oh mudah! Kalian cuma
menyerahkan surat kepada kami, nanti teman kalian itu kami bebaskan!”
“Tapi ada kata-kata yang
hendak kami rundingkan dengan Kauw-cu kalian!”
“Tidak perlu!”
“Kalau kalian mengambil sikap
seperti itu, berarti kalian tidak menghendaki urusan ini diselesaikan dengan
baik.”
“Selesai dengan baik atau
buruk, itu bukan urusan kami! Kami hanya menerima perintah mengambil surat itu
dari tangan kalian. Cuma itu saja!”
Muka Wang Hu bertiga merah
padam. Malah Hoan Cie Sun, sudah tak bisa menahan sabar. Dia bilang, “Baiklah!
Kalau demikian, biarlah ini mampusi kalian dulu!”
Orang itu tertawa
bergelak-gelak nyaring sekali.
“Belum tentu dalam waktu
singkat, kalian bisa menumpas kami? Belum tentu, kalian bisa membinasakan kami!
“Tapi yang sudah pasti dan
jelas kawanmu itu segera akan dibinasakan begitu salah seorang temanku ini
pulang ke markas kami…… memberitahukan pada Kauw-cu bahwa kalian tidak mau
menyerahkan surat itu.”
Hoan Cie Sun sebetulnya sudah
bergerak bersiap-siap hendak menerjang. Mendengar kata-kata orang itu, kembali
dia bimbang. Dia berdiam diri saja dengan ragu-ragu.
Wang Hu menghela napas. Dia
menoleh kepada Thio Sam Nio.
“Apakah kita perlu
mendengarkan ocehan mereka? Kita basmi saja mereka itu, urusannya sie-te
biarlah tergantung pada nasibnya saja! Kita akan segera pergi menolongnya jika
memang masih bisa.”
Thio Sam Nio menggeleng
perlahan. Berat dia membiarkan sie-tenya yang menurut berita orang itu sudah
terjatuh ke dalam tangan orang-orang Hek-pek-kauw tersebut.
“Jangan, biar aku yang bicara
dengan mereka!” Kata Thio Sam Nio.
Wang Hu mengangguk.
“Ya.......!” katanya. “Tapi
kau harus hati-hati!”
Thio Sam Nio mengiakan. Dia
melangkah menghampiri orang-orang Hek-pek-kauw tersebut.
“Apakah kalian tetap mendesak
kami agar menyerahkan surat yang kalian inginkan di sini saja?” Tanya Thio Sam
Nio.
Orang Hek-pek-kauw, yang
rupanya jadi pemimpin itu mengangguk,
“Benar!”
“Tapi.......!” Thio Sam Nio
mengawasinya tajam sekali.
“Tapi kenapa?”
“Kami kuatir jika saja apa
yang kalian bilang tadi tidak benar…….!”
“Kau kuatir kami mendustai?”
“Bukan mendustai! Mungkin
benar sie-te kami sudah terjatuh dalam tangan orang-orang Hek-pek-kauw. Justeru
kami ragu-ragu bahwa kalian adalah orang-orang Hek-pek-kauw.”
Orang itu menggumam karena
mendongkol tersinggung oleh kata-kata Thio Sam Nio.
“Apakah kalian bisa memberikan
bukti, bahwa kalian ini benar orang Hek-pek-kauw?” Tanya Thio Sam Nio lagi.
“Bisa!”
“Apa bukti itu?”
“Ini!” sambil bilang begitu,
orang itu melesat sangat cepat sekali.
Ia sudah menerjang pada Thio
Sam Nio. Kepandaian orang itu tampaknya memang cukup tinggi, karena hantaman
kepalan tangannya mendatangkan sambaran angin yang dahsyat ke arah dada Thio
Sam Nio.
Thio Sam Nio tak berusaha
berkelit ketika tangan orang itu menyambar dekat, segera tangan kanannya
bergerak, tangan besinya.
“Brettt…….!” tangan orang
Hek-pek-kauw itu kena dicakar oleh tangan besinya.
Orang itu menjerit kesakitan
bercampur kaget. Ia melompat mundur dengan muka pucat, malah seketika ia
merasakan tangannya jadi kaku, seakan tak bisa digerakkan lagi.
Seketika ia menyadari bahwa
jari tangan besi lawannya itu mengandung racun. Diapun tidak menyangka bahwa
jari tangan wanita ini terdiri dari besi yang keras dan beracun, maka dari itu
dia tidak bersiap-siap membuat tangannya mudah sekali dicakar oleh Thio Sam
Nio.
“Tangan dia....... beracun!”
Hanya itu yang bisa diucapkannya, memperingati teman-temannya.
Kawan-kawannya sudah melompat
maju, mengepung Thio Sam Nio. Mereka juga mencabut senjata tajam mereka
masing-masing. Ada yang mempergunakan golok, ada yang mencekal pedang.
Thio Sam Nio tertawa dingin.
“Hemm, kalian benar-benar
tidak mengenal selatan! Apakah kalian benar-benar tidak dapat membuktikan bahwa
kalian adalah orang-orang Hek-pek-kauw? Atau memang kami perlu untuk membasmi
kalian dengan cara kami sendiri, baiklah!
“Karena kalian tidak bisa
memperlihatkan bukti-bukti bahwa kalian adalah orang-orang Hek-pek-kauw, kami
akan melayani kalian! Jika memang kalian orang-orang Hek-pek-kauw, jelas kami akan
mempertimbangkan dengan menghormati Kauw-cu kalian.”
Licik Thio Sam Nio ini.
Sengaja dia berkata seperti itu, yaitu memojokkan orang-orang itu.
Dia mengambil sikap seakan
juga tidak mempercayai bahwa belasan orang itu adalah anak buah Hek-pek-kauw. Maka
jika memang nanti terhadap Kauw-cu Hek-pek-kauw dia bisa saja bilang bahwa dia
tidak menyangka sama sekali belasan orang itu adalah anak buah Hek-pek-kauw,
sebab mereka tidak bisa memperlihatkan buktinya.
Dan tentu saja hal ini tak
akan memberatkan Thio Sam Nio bertiga. Mereka bisa saja meminta maaf kepada
Kauw-cu Hek-pek-kauw itu, jika memang perlu.
Belasan orang yang memakai
topeng pada muka mereka, telah menerjang kepada Thio Sam Nio. Mereka menyerang
dengan senjata masing-masing.
Wang Hu dan Hoan Cie Sun tidak
berdiam diri saja. Merekapun melompat maju untuk membantu Thio Sam Nio.
Kepandaian belasan orang itu
umumnya cukup tinggi. Akan tetapi kenyataannya, mereka tidak dapat menghadapi
Wang Hu, Thio Sam Nio dan Hoan Cie Sun bertiga, karena kepandaian ke tiga orang
itu memang sangat tinggi.
Di waktu itu, tampak Wang Hu
bergerak ke sana ke mari dengan tubuh yang ringan sekali seakan juga tengah
terbang melayang ke sana ke mari tubuhnya seperti melayang di tengah udara dan
sepasang kakinya seperti tidak menginjak tanah. Dia bergerak begitu cepat dan
sepasang tangannya pun sebat bukan main.
Seketika terdengar suara
jeritan di antara belasan orang itu. Malah Thio Sam Nio berdua dengan Hoan Cie
Sun pun tidak tinggal diam. Mereka telah merubuhkan beberapa orang
Hek-pek-kauw.
Malah yang luar biasa, setiap
kali Thio Sam Nio, Hoan Cie Sun, maupun Wang Hu berhasil merubuhkan salah
seorang lawannya itu akan rubuh terbinasa dan terluka parah? Tidak seorangpun
di antara mereka diberikan kesempatan buat melarikan diri.
Memang Thio Sam Nio sudah
memutuskan buat menumpas semua musuh mereka. Karena Thio Sam Nio yakin, jika
seorang saja dibiarkan lolos, niscaya akan membuat orang itu sempat meminta
bantuan kepada Hek-pek-kauw dan mengadu yang tidak-tidak.
Kalau memang semua orang
Hek-pek-kauw itu terbinasa tentu tidak ada saksi.
Sedangkan kepada Kauw-cu dari
Hek-pek-kauw nanti mereka bisa saja mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui
bahwa belasan orang itu adalah orang-orang Hek-pek-kauw. Karena memutuskan
begitu, Thio Sam Nio sudah mempergunakan kata-kata sandi, menganjurkan Hoan Cie
Sun dan Wang Hu membasmi semua orang-orang itu.
Demikianlah, dalam waktu yang
singkat, mereka telah melukai dan membinasakan sehagian besar dari lawan-lawan
mereka. Tinggal delapan orang yang mati-matian memberikan perlawanan.
Ke delapan orang ini memang
yang memiliki kepandaian tertinggi di antara kawan-kawan mereka yang sudah
rubuh itu. Karenanya juga, mereka sudah dapat bertahan terus, dan melakukan
perlawanan dengan gigih.
Dua orang di antara mereka
sudah terluka namun mereka mengempos lweekang mereka, buat mengadakan
perlawanan terus.
Thio Sam Nio dalam suatu
kesempatan telah berhasil menancapkan jari-jari tangan besinya di punggung
salah seorang lawannya. Dia menarik tangan kuat sekali, tubuh orang itu,
terpental ke atas dan melambung ke tengah udara terbanting.
Dia tidak bisa segera bangun
berdiri karena racun sudah bekerja. Dia merasakan tubuhnya jadi kaku. Mukanya
pucat pias, meringis menahan sakit yang luar biasa.
Di waktu itu, Hoan Cie Sun pun
sudah berhasil menghantam dada seorang lawannya dengan telapak tangannya yang
kanan. Telapak tangan itu telak sekali mengenai sasarannya sehingga tulang
dadanya remuk melesak sampai ke dalam.
Tubuh orang itu terhuyung
mundur ke belakang, mukanya juga meringis, mulutnya terbuka. Dia memuntahkan
darah segar, dan terguling, lalu napasnya terhenti……. Topengnya sudah terbuka.
Wang Hu pun tidak mau
ketinggalan, dia melompat ke dekat seorang lawannya. Dia mencengkeram jalan
darah Phang-su-hiat di lengan orang itu. Mencekalnya sangat kuat sekali.
Orang itu lemas tidak,
bertenaga. Tangan Wang Hu yang satunya sudah menghantam batok kepala orang itu.
“Prakk!” Batok kepala lawan
Wang Hu hancur remuk ketika cekalan tangan Wang Hu dilepaskan. Ia rubuh dengan
napas yang siang-siang sudah putus.
Tiga orang anak buah
Hek-pek-kauw sudah melompat ke tembok pekarangan, mereka hendak melarikan diri.
“Mau kabur ke mana kalian?”
sambil membentak begitu Thio Sam Nio menimpuk. Seketika tiga batang paku
menancap di tubuh ke tiga orang itu, mereka rubuh berkelejetan, kemudian putus
napas, karena mereka keracunan oleh racun yang bekerja keras sekali.
Sisanya yang dua orang lagi
berdiri mematung, kemudian saking ketakutan mereka menekuk ke dua kaki mereka
meminta pengampunan, mereka mengangguk-anggukan kepala mereka.
Thio Sam Nio menghampiri
mereka.
“Kalian minta hidup?!”
“Be….. benar.......!”
ketakutan sekali kedua orang itu, tubuh mereka menggigil.
“Hemm, baik! Kalian boleh
hidup!” Kata Thio Sam Nio nyaring sekali. “Tapi di neraka!”
Waktu ia selesai dengan
kata-katanya, tangan Thio Sam Nio menghantam kepala kedua orang itu.
Seketika kepala kedua orang
itu hancur remuk, jiwa mereka melayang……..
Waktu itu Thio Sam Nio
menghampiri beberapa orang Hek-pek-kauw yang, terluka rebah di tanah tanpa bisa
bergerak, tapi mereka masih hidup, napas mereka masih jalan dengan lancar.
Tanpa bilang suatu apa-apa
juga, Thio Sam Nio mengayunkan tangannya beruntun. Setiap kali tangannya
meluncur turun terdengar jerit kematian! Dan seorang lawannya telah dibunuhnya.
Begitulah bagi yang terluka telah dibinasakannya sekalian.
Demikian kejam dan telengasnya
tidak seorang pun anak buah Hek-pek-kauw yang diberikan kesempatan buat hidup.
Wang Hu menghampiri Thio Sam
Nio, tanyanya. “Apa maksudmu dan rencanamu dengan membasmi mereka?”
“Kita bisa mencuci tangan
pura-pura tidak mengetahui kematian mereka! Bukankah hal ini bisa kita lakukan?
Jika tadi kita membiarkan salah seorang di antara mereka tetap hidup berarti
kita akan memperoleh kesulitan yang tidak kecil!”
Wang Hu berdua dengan Hoan Cie
Sun mengangguk-angguk membenarkan pendapat Thio Sam Nio.
Waktu itu Thio Sam Nio
memberikan isyarat kepada ke dua kawannya buat menyingkirkan mayat-mayat itu.
Mereka bekerja cepat, karena
mereka cuma menyambar berulang kali mayat-mayat itu setiap kali mereka
melempar, maka di waktu itu juga tampak mayat-mayat itu terlempar ke samping
pekarangan kuil tersebut.
Dalam waktu singkat,
mayat-mayat itu telah dapat disingkirkan.
Hui-houw-to yang diam-diam
menyaksikan semua peristiwa itu, diam-diam jadi menggidik.
Korban yang jatuh sangat
besar, belasan orang hanya dalam waktu yang singkat.
Semua itu disebabkan
memperebutkan surat yang ditulis oleh Ciangbunjin Khong-tong-pay.
Bukankah apa yang dikatakan
oleh Tang-ting Hweshio beberapa waktu yang lalu. bahwa surat itu mau meminta
korban yang banyak, terlebih lagi Giok-sie, memang tidak meleset dan telah
terbukti.
Hui-houw-to menghela napas.
Justeru helaan napasnya itu
dapat didengar oleh Thio Sam Nio. Cepat sekali perempuan cantik berbaju serba
merah itu melompat ke dekatnya.
“Hemm, kau bersedih hati
melihat orang-orang itu kami basmi, bukan?”
Hui-houw-to tidak menyahuti.
“Jawab!” Teriak Thio Sam Nio,
suaranya tiba-tiba sekali meninggi, dia berteriak dengan muka yang bengis.
Hui-houw-to mengangkat
kepalanya, dia mengangguk-anggukh perlahan-lahan.
“Ya!” Katanya.
“Hem, sekarang kaupun harus
memikirkan keselamatan jiwamu sendiri! Karena satu kali saja kau membantah dan
tak mematuhi perintah kami, berarti engkau pun akan kami kirim ke neraka!”
“Ya…….!”
“Dan sekarang, kau harus
baik-baik menceritakan apa sebenarnya yang menjadi rahasia surat itu. Karena
pihak Hek-pek-kauw yang telah pernah membaca surat itu pun masih berusaha merebut
kembali surat tersebut. Berarti di dalam surat itu terdapat rahasianya…….”
Hui-houw-to menghela napas.
“Aku sungguh-sungguh tidak
mengetahui!” Katanya kemudian sambil memperlihatkan sikap yang
bersungguh-sungguh.
“Sungguh?” Bengis sekali muka
Thio Sam Nio.
“Sungguh!?”
Hoan Cie Sun sudah melompat ke
dekat Thio Sam Nio.
“Kita mampusi saja!” Dia
menyarankan.
“Jangan!” mencegah Thio Sam
Nio. “Aku sudah mengetahui bahwa di surat itu terdapat rahasianya, karena ketua
Hek-pek-kauw yang telah pernah membaca surat itu, masih menghendaki surat itu.
Dengan demikian tentu saja akan menyebabkan kita harus berpikir dengan
sebaik-baiknya apakah sebenarnya yang menjadi rahasia dari tempat itu…….”
Hoan Cie Sun mengangguk
mengiakan, dia baru berpikir akan kata-kata orang Hek-pek-kauw itu, keinginan
mereka yang menghendaki surat itu.
Bukankah menurut cerita
Hui-houw-to bahwa Kauw-cu Hek-pek-kauw yang pernah membaca surat itu?
Dengan biji mata mendelik
lebar-lebar, ia mengawasi Hui-houw-to.
“Sekarang tinggal dua pilihan,
tak ada pilihan lain lagi. Jika kau menjawabnya tetap main-main, sekali hantam
batok kepalamu akan kuhancurkan. Tapi jika kau menjawab dengan jujur, maka aku
akan membebaskan kau!”
Setelah berkata begitu, Hoan
Cie Sun mengangkat tangannya, di atas kepala Hui-houw-to bersiap-siap akan
menghantam batok kepala itu.
“Benarkah Kauw-cu Hek-pek-kauw
pernah membaca surat itu?” tanyanya, bengis sekali.
“Benar! Tapi itupun kudengar
dari pengakuan Kauw-cu Hek-pek-kauw sendiri!”
“Bagaimana bisa terjadi
begitu?!” Tanya Hoan Cie Sun tambah bengis.
Hui-houw-to segera
menceritakan pengalamannya waktu ia bersama Tang-ting Hweshio meminta kembali
surat itu dari tangan Tiauw Sian Lie.
“Hemmm!” Muka Hoan Cie Sun dan
ke dua kawannya berobah hebat. “Tang-ting Hweshio dari Siauw-lim-sie juga
bermaksud untuk memperebutkan Giok-sie?”
Hui-houw-to mengangguk.
“Benar…….”
“Sekarang Tang-ting Hweshio
berada dimana?”
“Entah……. kami telah
berpisah!”
“Bohong!”
“Sungguh!”
“Kau jangan berdusta!” Dan
Hoan Ci Sun menurunkan tangannya sedikit, bergerak seakan-akan hendak
menghantam kepala Hui-houw-to dengan tangannya itu.
“Sungguh, aku tidak
mengetahui!” Kata Hui-houw-to.
“Baiklah! Mungkin kau telah
bicara dari hal yang sebenarnya? Tapi sekarang kau harus menjelaskan,
sebetulnya surat itu mengandung rahasia apa?”
“Aku belum pernah melihat isi
surat itu.”
“Baik kami akan memperlihatkan!”
Setelah berkata begitu, Hoan
Cie Sun menoleh pada Thio Sam-nio, memberikan isyarat dan Thio Sam-nio mengerti
apa yang dikehendaki kawannya. Ia menghampiri, mengeluarkan surat yang tadi
diambilnya dari Hui-houw-to.
Dibukanya saurat itu, ternyata
isi surat itu cuma beberapa baris sajak saja.
Hui-houw-to membacanya bunyi
sajak itu sebagai berikut:
“Di puncak Thian-san.
Rembulan bersinar
lembut sekali.
Di antara deru angin,
di antara mata hari
yang bersinar terang,
tampak golok
yang bercahaya
terang sekali.
Di kaki dan tangan
semuanya memang merupakan
titik pertemuan.”
Tidak terdapat huruf lainnya,
sedangkan sebetulnya surat itu untuk diberikan pada seseorang, yang kata
Ciangbunjin Khong-tong-pay, buat memberitahukan dimana tinggalnya nelayan yang
beruntung memperoleh Giok-sie.
Bukan main herannya
Hui-houw-to, ia membaca berulang kali.
“Aneh!” akhirnya Hui-houw-to
menggumam sendirinya.
Thio Sam-nio bertiga mengawasi
bengis kepadanya.
“Ayo, apa artinya surat ini?!”
Bentak Thio Sam-nio.
“Aku….. aku kurang tahu!”
Thio Sam-nio membalik surat
itu, dia memperlihatkan kepada Hui-houw-to.
“Lihatlah di sini juga
tertulis nama orang yang harus kau temui dan memberikan surat ini…….” Katanya.
Hui-houw-to membacanya.
Ternyata di situ, hanya tertulis huruf yang berbunyi:
“Kam Toako.”
tidak terdapat lagi huruf
lainnya.
“Sebagai kurir yang akan
mengantar surat ini kepada seseorang, tentu kau mengetahui siapa itu Kam Toako,
bukan?” Bentak Thio Sam Nio. “Kau jangan berdusta. Karena sekali saja kau
berdusta maka kami tak akan sungkan-sungkan buat membinasakan dirimu!”
Hui-houw-to menghela napas.
“Sebenarnya aku diperintahkan
oleh Ciangbunjin Khong-tong-pay buat mengantarkan surat itu kepada …….kepada!”
“Kepada siapa?”
Hui-houw-to ragu-ragu.
“Cepat katakan!” bentak Hoan
Cie Sun mulai tidak sabar.
“Orang itu bernama Kam Yu!”
“Kam Yu?”
“Benar!'
“Kami belum pernah mendengar
nama itu di dalam rimba persilatan!”
“Aku sendiri tidak pernah
bertemu dengan orang itu, juga tidak mengetahui siapa orang itu! Cuma saja,
diberitahukan agar aku mencari seorang bernama Kam Yu di Shoa-tang, dan
memberikannya surat itu.”
“Di Shoa-tang?`
“Benar……..!”
“Gila kau? Shoa-tang sangat
besar! Bagaimana mungkin kau bisa mencari seorang yang bernama Kam Yu!”
“Ya....... alamat yang
benarnya adalah di desa Yu-cung.”
“Hemm, Kam Yu di Yu-cung,”
Menggumam Wang-hu dengan suara perlahan.
“Kalau begitu kita pergi
mencarinya saja, mungkin dia memecahkan arti sajak ini. Kita akan memaksanya…….
dan perlu membinasakannya, kalau memang dia tidak mau menjelaskan arti dari
sajak ini!”
Yang lainnya mengangguk
Sedangkan Hui-houw-to
menyadari, dirinya seperti telur di ujung pedang sewaktu-waktu dia bisa
kehilangan jiwanya, karena orang-orang itu mudah saja membinasakannya di saat
dia dalam keadaan tidak berdaya seperti itu.
Thio Sam Nio sudah berkata
lagi dengan suara yang sinis:
“Baiklah! Kau kami tinggalkan
di sini? Totokan pada jalan darahmu akan terbuka jika nanti matahari sudah naik
tinggi, tepat lohor……. diwaktu itu kau hanya perlu mencari obat buat memunahkan
racun yang menjalar di darahmu.
“Dalam tiga hari kau sudah
harus memperoleh obat yang tepat bagi racun itu. Karena jika tidak, hemmm, terlambat
setengah harian saja, kau tidak akan tertolong lagi!”
Hui-houw-to mengawasi Thio Sam
Nio. Kemudian ragu-ragu dia bilang: “Bagaimana engkau saja yang memberikan obat
pemunah itu kepadaku?”
“Aku memberikan obat pemunah
kepadamu?” Tertawa Thio Sam Nio dengan suara yang mengejek.
Hui-houw-to mengangguk.
“Ya!”
“Hemm, jika memang kau
mengharapkan obat pemunah dariku, berarti engkau mengharap hujan turun dari
langit! Aku cuma mengerti racun tapi tidak mengerti obat penawarnya.”
Lesu Hui-houw-to, lemas tidak
bersemangat. Karena habislah harapannya.
Walaupun dia dibiarkan hidup,
dan tidak dibunuh, tapi tanpa diberikan obat pemunahnya dimana dia memang dalam
keracunan seperti sekarang ini, niscaya akan membuat dia tokh akhirnya menemui
kematiannya. Cuma saja kematiannya itu akan datang secara perlahan-lahan.
Waktu itu Hoan Cie Sun telah
bilang lagi dengan suara yang ragu-ragu kepada Thio Sam Nio, “Tunggu dulu,
apakah kita akan pergi sekarang.......?”
“Ya?!” Thio Sam Nio menoleh
kepada Hoan Cie Sun dengan matanya yang menatap agak disipitkan.
“Lalu bagaimana, sie-te?”
“Itu urusan yang mudah! Nanti
kita mengunjungi markas Hek-pek-kauw.......?”
“Mereka terlalu kuat,
anggotanya terlampau banyak, dan terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi.
Kalau memang pergi menyatroni seseorang mereka berarti kita semua saja memasuki
goa harimau.”
“Tapi aku ada cara buat
menghadapi Kauw-cu Hek-pek-kauw itu!” Kata Thio Sam Nio kemudian.
Muka Hoan Cie Sun dan Wang Hu
berseri.
“Cara bagaimana?” Tanya mereka
serentak.
Thio Sam Nio tidak segera
menjelaskan, dia menarik tangan kedua kawannya buat menjauhi Hui-houw-to.
Setelah cukup jauh barulah dia menjelaskan.
“Bukankah ketua Hek-pek-kauw
menghendaki surat ini? Kita salin dulu! Bukankah hanya kita yang mengetahui di
mana beradanya Kam Yu, yaitu Yu-cung?
“Nah, kita berikan surat yang
asli ini kepada Kauw-cu Hek-pek-kauw itu, tentu saja tukar ganti dengan sie-te!
Pihak Hek-pek-kauw tidak akan mau pusing, dia tentu akan menerimanya……..!”
Sedangkan kita dengan salinan sajak itu pergi mencari Kam Yu di Yu-cung!”
“Bagus! Bagus!” Berseru Hoan
Cie Sun dan Wang Hu memuji kepintaran dan kecerdikan Thio Sam Nio.
Girang Thio Sam Nio mendengar
dipuji.
“Lalu bagaimana dengan bocah
itu?” Tanya Wang Hu, sambil melirik kepada Hui-houw-to. “Jika kita membiarkan
dia hidup tentu bisa menimbulkan kerewelan!”
“Biarkan saja dia hidup…….,
tokh paling lama juga tiga hari dia akan mampus sendirinya!”
Kembali Wang Hu dan Hoan Cie
Sun mengangguk-angguk tanda setuju!
Mereka bertiga telah
tertawa-tawa dan meninggalkan kuil. Sedangkan matahari fajar mulai memancar
hangat.
<>
Hui-houw-to masih rebah di
lantai seorang diri. Di kuil itu tidak terdapat orang lainnya, cuma mayat-mayat
dari orang-orang Hek-pek-kauw dan juga orang Kay-pang, yang telah menggeletak
tidak bernapas itu.
Lama sekali Hui-houw-to
menantikan beredarnya waktu, sampai akhirnya tiba tengah hari, matahari persis
berada di tengah-tengah langit.
Seperti apa yang diberitahukan
Thio Sam Nio, memang totokan pada jalan darahnya terbuka dengan sendirinya.
Darahnya bisa beredar kembali.
Walaupun totokan itu sudah
terbuka, cuma saja Hui-houw-to tidak bisa segera bergerak. Seharian penuh dia
rebah dalam keadaan tertotok, tubuhnya pegal sekali dan sakit-sakit?
Dia mengerahkan lweekangnya.
Setelah semangatnya pulih, dan cuma rasa sakit-sakit di dalam tubuhnya
disebabkan racun yang bekerja, dia melompat berdiri.
Cepat-cepat Hui-houw-to keluar
dari kuil itu sepi. Tidak dijumpainya seorang manusia pun juga. Dia mengawasi
sekitarnya.
Hui-houw-to tidak mengetahui
dia hendak pergi ke mana. Surat yang dititipkan Ciangbunjin Khong-tong-pay,
sudah lenyap dari tangannya lagi, jatuh ke dalam tangan Thio Sam Nio.
Malah Hui-houw-to telah sampai
membuka rahasia, kepada siapa surat itu hendak diberikannya yaitu Kam Yu di
Yu-cung.
Waktu itu, tampak Hui-houw-to
berdiri diam beberapa saat akhirnya dia pun menuju ke pintu perkampungan. Dia
bermaksud mencari rumah makan, karena perutnya lapar sekali!
Dilihatnya tidak jauh dari
pintu perkampungan itu terdapat sebuah rumah makan yang tidak terlalu besar.
Tapi tamu yang sedang bersantap di situ cukup banyak.
Segera Hui-houw-to memasuki
rumah makan itu, seorang pelayan melayaninya. Ia memesan beberapa macam
makanan.
Tapi, waktu itulah terdengar
salah seorang tamu, yang duduk di sebelah kanan, dekat jendela berkata: “Jangan
layani dia, biarkan pengemis itu kelaparan!”
Si pelayan heran. Dia menoleh
dan memandang aneh kepada orang itu, sedangkan Hui-houw-to juga memandang
kepada orang itu.
Ternyata orang itu adalah
seorang pemuda berusia duapuluh tahun lebih. Tubuhnya semampai, dia mengenakan
baju yang berwarna putih, seorang pelajar.
Pemuda itu tersenyum mengejek,
katanya: “Apa kau lihat-lihat seperti itu? Atau memang kau baru keluar dari
hutan, sehingga merasa aneh jika melihat manusia.”
Kini Hui-houw-to yakin, pemuda
pelajar itu yang berusia masih muda, memang sengaja menunjukkan kata-kata
ejekan itu buat dirinya maka dia menghampirinya. Mendongkol sekali hatinya.
“Apa maksudmu? Siapa kau?”
Tanya Hui-houw-to dengan suara agak keras, karena dia menahan kemendongkolan
hatinya.
Pelajar itu tertawa
terbahak-bahak sambil memukul meja.
“Bagus! Bagus, sudah
dirubuhkan orang berulangkali, kau masih berani jual lagak kepadaku?” Katanya
nyaring. Dia telah tertawa dingin, barulah dia melanjutkan kata-katanya lagi.
“Aku tahu ini seorang dewa, kau tahu? Dewa. Kau tahu apa itu dewa?”
Itulah ejekan buat
Hui-houw-to. Dia sudah tidak bisa menahan kesabaran hatinya. Tahu-tahu tangan
kanannya diulurkan buat menyambar baju di dada pemuda itu.
Tangan Hui-houw-to sebetulnya
bergerak cepat sekali, sayangnya pemuda itu bisa bergerak sangat cepat dengan
menggerakkan tubuhnya sedikit dan masih tetap duduk di tempatnya, dia bisa
menyingkirkan tangan Hui-houw-to.
Malah diwaktu itu, secepat
kilat tangan kiri pemuda pelajar itu tahu-tahu mengetuk pergelangan tangan
Hui-houw-to.
Kaget Hui-houw-to menarik
pulang tangannya, karena dia kesakitan. Ketukan tangan pemuda itu sangat keras
sekali.
Sedangkan pemuda pelajar itu
tertawa.
“Mengapa tidak jadi menjambak
bajuku?” Tanyanya dengan sikap mengejek.
Hui-houw-to masih merasakan
pergelangan tangannya sakit bukan main, namun dia juga sangat penasaran.
“Baik, aku ingin minta
pengajaran dari kau!” sambil berkata begitu tangannya menyambar lagi. Kali ini
buat menghantam.
Beda dengan tadi, sekarang
Hui-houw-to berlaku sangat hati-hati dan penuh perhitungan, karena dia telah
menyadari bahwa pemuda pelajar ini liehay ilmu silatnya.
Pemuda pelajar itu tetap saja
tidak berkisar dari tempat duduknya. Hanya saja waktu telapak tangan
Hui-houw-to hampir mengenai pundaknya, cepat sekali tangannya menyambutinya.
Telapak tangan bertemu dengan telapak tangan, saling bentur keras sekali.
Hui-houw-to merasakan kuatnya
tenaga tangkisan pemuda pelajar itu. Dia pun memang tengah terluka akibat
keracunan dengan demikian tidak leluasa dia mengerahkan seluruh lweekangnya.
Cepat-cepat Hui-houw-to
menarik pulang tangannya, tapi bukan buat berdiam diri. Dia sudah menyusuli
dengan beberapa kali serangannya.
Pemula pelajar itu tidak
bergerak dari tempat duduknya. Benar-benar dia tidak memandang sebelah masa
kepada Hui-houw-to.
Waktu tangan Hui-houw-to
menyambar-nyambar beruntun kepadanya. Cepat bukan main tangannya mengimbangi,
dia mengibas dan menangkis, setiap serangan yang dilakukan Hui-houw-to memang
sangat kuat sekali.
Setelah diserang lima kali
beruntun, dan dapat menangkisnya waktu itu si pemuda pelajar itu tahu-tahu
menyambar kipasnya yang berada dipermukaan meja. Gerakan tangan kanannya itu
sangat cepat sekali.
Diiringi siulan, kipasnya
menyambar kepada dada Hui-houw-to. Malah kipas itu dalam keadaan terbuka lebar.
Dada Hui-houw-to seperti
dihantam oleh lempengan baja, keras sekali. Malah belum lagi Hui-houw-to bisa
melakukan sesuatu tubuhnya sudah terpental, sebab kuda-kuda sepasang kakinya
sudah tergempur dan dia terbanting di lantai.
Cepat-cepat Hui-houw-to
melompat berdiri lagi.
Keadaan di dalam rumah makan
itu jadi ribut dan banyak tamu-tamu jadi panik dan berlomba keluar meninggalkan
rumah makan itu. Pelayan sibuk sekali berseru-seru. “Jangan berkelahi….. jangan
berkelahi tuan-tuan.......!”
Terlebih lagi kasir yang
berseru-seru. “Jangan berkelahi, jangan berkelahi….. kami hanya bermodal kecil,
kami bisa bangkrut!”
Tapi si pemuda pelajar tidak
memperdulikan teriak-teriakan pelayan maupun kasir rumah makan itu. Dia tetap
duduk di tempatnya mengawasi Hui-houw-to sambil tersenyum sinis.
“Bagaimana kau hendak minta
dihajar lagi?” Tanyanya dengan suara yang dingin.
Hui-houw-to tidak menerjang
lagi, sebab dalam berbagai gebrakan itu saja dia sudah dapat menakarnya
kepandaian pemuda pelajar itu, memang satu tingkat atau dua tingkat di atas
kepandaiannya.
“Jika dia kalah dan menerjang
nekad berarti dia mencari kesulitan buat dirinya sendiri. Karena dari itu
Hui-houw-to menahan diri. Dia tidak menerjang. Cuma matanya mengawasi tajam
sekali.
“Siapa kau sebenarnya dan apa
yang kau kehendaki dariku?” Tanya Hui-houw-to.
Dia yakin bahwa pemuda pelajar
ini memang sengaja mencari urusan dengannya. Tentunya pemuda pelajar itu
bermaksud untuk melakukan sesuatu pada dirinya atau juga mengharapkan sesuatu
kepadanya. Karena dari itu, kembali dia mengulangi pertanyaannya itu.
Tapi pelajar berbaju putih itu
tertawa dingin.
“Orang seperti kau tidak
pantas mengetahui namaku…..!” Katanya dengan suara yang dingin, “Hemm, lebih
baik kau datang ke mari mendekat kepadaku dengan sikap menghormat. Nanti aku
baru akan beritahukan apa yang ku inginkan dari kau!”
Hui-houw-to menghampiri,
benar-benar dia melangkah mendekati meja pemuda pelajar itu.
“Nah sekarang kau katakanlah,
apa yang kau inginkan dari aku?” Tanyanya.
Aku menghendaki surat yang
ditulis oleh Ciangbunjin Khong-tong-pay. yang selama ini kau bawa-bawa.”
Kaget Hui-houw-to mendengar
permintaan pemuda pelajar itu. Dia mengawasi pemuda pelajar itu beberapa saat,
lalu menggelengkan kepalanya.
“Sayang…….!” Katanya.
“Apanya yang sayang…….?”
“Sayang sekali surat itu tidak
ada padaku!” Kata Hui-houw-to dengan sikap bersungguh-sungguh.
“Bohong!”
“Benar, memang surat itu sudah
tidak berada di tanganku lagi!” Waktu bicara begitu, Hui-houw-to tetap
memperlihatkan sikap yaug bersungguh-sungguh.
Sedangkan muka pelajar berbaju
putih itu berobah. Dia mengawasi tajam sekali.
“Hemm, kau jangan main-main
denganku sebab jika aku habis sabar, aku akan membinasakan kau dan nanti baru
menggeledah tubuhmu!”
“Sungguh, surat itu memang
sudah tidak berada di tanganku!”
“Hemm, benar begitu?” Tawar
sekali suara pelajar baju putih tersebut.
Hui-houw-to mengangguk lagi.
“Ya……. terserah kepadamu, mau
mempercayai keteranganku atau tidak! Surat itu telah jatuh ke dalam tangan Thio
Sam Nio bertiga dengan kedua orang kawannya, yaitu Hoan Cie Sun dan juga Wang
Hu.
Mendengar disebutnya nama
ketiga orang itu, muka si pelajar baju putih berobah hebat.
“Jadi mereka yang telah
merampas surat itu?!” Tanyanya.
Hui-houw-to mengangguk.
Dihatinya dia bersyukur, justeru ketiga orang itu pernah memberitahukan nama
mereka, waktu akan meninggalkan Hui-houw-to di kuil itu, sehingga dia bisa
memberitahukan kepada pelajar baju putih siapa yang telah mengambil surat itu.
Dengan demikian tampaknya si pelajar baju putih itu baru mau mempercayai
keterangannya.
“Ya mereka yang telah
mengambil surat itu. Mereka telah menotok diriku, merekapun telah melukai aku,
menyebabkan aku keracunan.”
Sepasang alis pemuda pelajar
berbaju putih itu mengkerut, dia berdiam diri tidak mengatakan suatu apapun
juga. Lama sekali dia seperti termenung sampai akhirnya dia bilang.
“Baiklah jika demikian.
Duduklah…..!” Dia menunjuk kursi di sebelah depannya, dan Hui-houw-to memang
duduk dihadapannya.
Setelah mengawasi Hui-houw-to
beberapa saat lamanya, barulah pelajar baju putih itu bilang lagi. Sekarang kau
harus menjawab yang jujur pertanyaanku!”
Hui-houw-to mengangguk.
“Katakanlah pertanyaan apa
yang hendak kau ajukan?!” Tanyanya.
“Apakah kau pernah melihat
surat itu? lsi surat yang kau bawa itu dan telah dirampas Thio Sam Nio dengan
kawan-kawannya itu? Maksudku bunyinya surat itu?!”
Hui-houw-to ragu-ragu, akan
tetapi kemudian dia mengangguk.
“Pernah…….!”
“Nah, sekarang kau coba
beritahukan kepadaku, apa saja isi surat itu……?” Tanya si pelajar baju putih.
Matanya memandang tajam sekali, bersinar sangat terang.
Hui-houw-to ragu-ragu lagi.
Tapi sekarang dia pikir, Kauw-cu dari Hek-pek-kauw saja sudah membaca surat
itu.
Demikian juga, sekarang surat
itu terjatuh ke dalam tangan Thio Sam Nio bertiga dengan Hoan Cie Sun dan Wang
Hu. Karenanya tidak perlu lagi dia merahasiakan bunyinya surat itu.
Memang tadi Hui-houw-to telah
membaca surat itu, dan dia ingat dengan baik. Dia membacakan bunyinya sajak di
dalam surat itu.
Sepasang alis si pelajar jadi
mengkerut dalam-dalam.
“Aneh!” Dia menggumam.
“Apanya yang aneh?!”
“Bunyinya surat itu…….”
setelah berkata begitu, si pelajar baju putih itu mengawasi Hui-houw-to tajam
sekali dengan sikap sungguh-sungguh dia bilang, “Sekarang kau katakan yang
jujur, benarkah isi surat itu dalam bentuk syair?”
“Ya!”
“Hemmm, apakah surat itu bukan
dipalsukan oleh seseorang?” si pelajar baju putih itu lagi.
Hui-houw-to menggeleng.
“Surat itu memang telah
dialamatkan kepada seseorang karenanya aku yakin memang surat itu asli dan yang
sebenarnya!”
“Hemm, kau yakin akan hal
itu?”
“Ya!”
“Baiklah kalau begitu.
Bukankah kau juga mengetahui bahwa sebenarnya surat yang dikirim oleh
Ciangbunjin Khong-tong-pay tersebut hendak memberitahukan seorang kawannya
bahwa seorang nelayan di Put-hay beruntung memperoleh dan menemukan Giok-sie.
Bukankah begitu?”
Hui-houw-to mengangguk lagi.
“Benar.”
“Lalu, siapakah orang itu?”
“Aku……. aku……!”
“Kau jangan berdusta, kau
sebagai kurir membawa surat itu. Dengan demikian jelas kau mengetahui kepada
siapa surat itu harus disampaikan.
“Karenanya juga, jika memang
engkau mengatakannya tidak mengetahui berarti engkau berdusta dan aku tidak
akan segan-segan membunuhmu…....!!” Sambil berkata begitu, dia memandang dengan
sorot mata yang tajam, dan mengancam.
Di waktu itu terlihat
Hui-houw-to tambah ragu namun akhirnya dia menghela napas,
“Baiklah, aku akan segera
memberitahukan kepadamu siapa orang itu…….!
“Sebutkan!”
“Orang itu she Kam.......!”
“'Apa namanya?”
“Yu!”
“Nama tunggal?”
“Ya…….!”
“Dia tinggal di mana?”
“Di Yu-cung……..!”
“Hemm....... baiklah! Kau
tentunya tidak dusta dengan keteranganmu itu, bukan?”
Kembali Hui-houw-to
mengangguk.
“Ya, aku tidak mendustaimu,
aku telah memberitahukan kepadamu apa adanya.”
“Hemm, jika memang nanti
setelah kubuktikan kau cuma mendustai aku, walaupun engkau lari ke ujung dunia
maka aku akan tetap mencarimu, buat memperhitungkan semua ini…….!”
Hui-houw-to cuma berdiam saja,
dia menunduk.
Betapapun, selama beberapa
hari belakangan ini memang dia selalu bertemu dengan orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi melebihi dia. Karena dari itu dia menyesal mengapa dia
menerima tugas yang diberikan Ciangbunjin Khong-tong-pay buat menyampaikan surat
itu kepada Kam Yu.
Jika memang dia mengetahui,
betapa rintangan yang harus diterjangnya dan juga harus dihadapinya itu sangat
berat tentu dia akan membatalkan saja tugasnya itu. Dan menyatakan tidak
sanggup kepada Ciangbunjin Khong-tong-pay.
Waktu itu, Hui-houw-to
menghela napas saja, pelayan sudah mengantarkan makanan yang tadi di pesannya.
“Nah, kau bersantaplah……..
masih ada beberapa pertanyaan yang akan kuajukan, tapi setelah kau selesai
bersantap!” Kata pelajar berbaju putih itu!
Hui-houw-to tidak bilang
apa-apa dia hanya bersantap perlahan dengan berdiam diri. Dia tidak tenang,
bergelisah sekali karena dia menyadari bahwa pelajar berbaju putih ini akan
menimbulkan kesulitan juga bagi dirinya.
Selesai bersantap, tampak si
pelajar berbaju putih itu mengawasi Hui-houw-to sambil memperlihatkan senyumnya
yang sinis.
“Kau tidak tambah lagi?”'
Tanyanya. “Sudah kenyang?”
Hui-houw-to mengangguk.
“Sudah cukup……”
“Sekarang aku akan mulai
mengajukan pertanyaan!”
“Ya! Pertanyaan apa lagi.”
“Tentang surat itu.”
“Tanyakanlah! Aku akan
menjawabnya.”
“Selain syair itu, apakah
tidak terdapat huruf lainnya, tulisan lainnya, baik di halaman itu atau di
halaman lainnya di belakang surat tersebut?”
Hui-houw-to menggeleng!
“Tidak ada.”
“Ingat-ingat dulu…….!”
“Ya, memang tidak ada lagi.
Paling ada hanya nama dari orang yang harus kutemui itu pun ditulis hanya
dengan kata-kata Kam-toako saja.”
Pelajar baju putih tersebut
mengangguk sambil tersenyum.
“Ya. Aku mengerti, tentunya
yang kau maksudkan itu adalah Kam Cu, bukan?”
“Ya.”
“Dan juga, kau tidak
menyebutkan alamatnya……..!”
“Memang tidak terdapat di
dalam surat itu. Alamatnya cuma diberikan oleh Ciangbunjin Khong-tong-pay,
memang tidak tertulis di surat itu!”
“Hemmmm. begitu?”
“Ya…….!”
“Baiklah, sekarang ada satu
lagi pertanyaan yang hendak kuajukan.”
“Tanyakanlah!”
“Sebetulnya kau bersedia
menjadi kurir buat mengantarkan surat itu kepada Kam Yu, apakah engkau memang
murid Khong-tong-pay?” Waktu bertanya seperti itu, dia telah mengawasi tajam
kepada Hui-houw-to.
Hui-houw-to menggeleng.
“Aku bukan murid
Khong-tong-pay…….!”
“Tapi mengapa Ciangbunjin
Khong-tong-pay bisa mempercayai tugas berat itu kepadamu? Bukankah Ciangbunjin
Khong-tong-pay sudah menyadari, bahwa pengiriman surat itu bukanlah tugas yang
ringan, di mana di dalam perjalanan pasti akan timbul berbagai rintangan yang
berat sedangkan apa yang kulihat kepandaianmu tidak terlalu tinggi……. karenanya
aku jadi bercuriga……..!”
Hui-houw-to menghela napas.
“Memang aku bukan murid
Khong-tong-pay, aku cuma menerima sepuluhribu tail perak.”
“Begitu banyak, sebagai
upahnya?!”
“Ya!”
“Hebat sekali! Banyak sekali
upah yang kau terima! Pantaslah kau jadi nekad.”
Sambil tertawa begitu si
pemuda pelajar tersebut mengawasi Hui-houw-to dangan sorot mata yang bercuriga.
“Terus terang aku jadi curiga
mendengar engkau menerima upah demikian besar.”
“Bercuriga tentang apa?”
“Tentang kau! Pasti ada
sesuatu yang masih engkau rahasiakan……..!”
Muka Hui-houw-to berobah, dia
tertawa. Dia pun segera menggelengkan kepala.
“Aku tidak menyimpan rahasia
apapun juga.”
Mulut si pelajar itu merekah
tersenyum. Tapi tiba-tiba sekali mulutnya terkatup dan ia memukul meja dengan
keras, mukanya jadi bengis,
“Kau jangan berdusta! Ayo
katakan apa yang kau rahasiakan?” Suaranya sangat nyaring sekali.
Hui-houw-to sampai terjengkit
dari duduknya karena kaget dibentak seperti itu, disamping gebrakan pada meja
yang memang sangat keras sekali.
“Ayo katakan, rahasia apa yang
kau simpan!” bentak pelajar baju putih itu lagi.
Hui-houw-to menghela napas.
“Memang ada yang harus
kulakukan disamping mengantarkan surat itu kepada Kam Yu. Di mana aku…… aku…..”
“Ayo katakan!” Desak pelajar
baju putih itu.
Hui-houw-to semakin bimbang.
“Ketua Khong-tong-pay telah
berpesan kepadaku, sekalipun dalam keadaan terdesak dan terpaksa, aku tidak boleh
membuka rahasia itu jika memang aku melanggar sumpah aku akan celaka…….!”
“Aku yang akan melindungi
kau!”
“Tapi…….!”
“Ayo katakan, nanti aku yang
akan melindungi kau? Walaupun Ciangbunjin Khong-tong-pay itu sendiri akan
kuhadapi! Kau jangan kuatir, aku bisa melindungi kau dengan baik.”
Muka Hui-houw-to masih pucat
dia masih gelisah diliputi kebimbangan.
“Untuk ini……. sebatulnya aku
telah bersumpah bahwa aku tidak akan membuka ini walaupun kepada siapa pun…….
Tapi aku sudah melihat bahwa pengiriman surat itu benar-benar berbahaya, dimana
hampir berulangkali aku selalu terancam maut…….
“Karena dari itu aku berpikir
buat mengembalikan saja upah yang diberikan Ciangbunjin Khong-tong-pay karena
aku tidak berhasil buat melakukan dan melaksanakan dengan baik tugas yang
diberikan kepadaku……!”
“Jangan tolol! Upah yang telah
kau terima itu boleh kau kantongi. Nanti aku membantu kau. Aku akan merampas
kembali surat itu dari tangan Thio Sam Nio, dimana aku akan mengembalikan surat
itu kepadamu, dan kau boleh mengantarkannya kepada Kam Yu dengan dilindungi
olehku? Aku cuma menumpang melihat saja surat itu, hanya perlu membacanya satu
kali saja.
Hui-houw-to mengawasi pemuda
pelajar berbaju putih itu dengan sorot mata bimbang.
“Kau tidak percaya?” Tanya
pemuda pelajar berbaju putih itu. “Aku bersumpah, bahwa aku akan melindungi
kau. Juga akan menjelaskan sumpahku itu bahwa aku akan melindungi kau, juga
akan mengambilkan surat itu, untuk diberikan kepadamu, merampasnya dari Thio
Sam Nio.
“Juga kau bisa melaksanakan
tugasmu mengantarkan surat itu ke tempat tujuannya. Dengan demikian jika memang
aku ingkar pada sumpahku, biarlah aku terbinasa dengan tubuh yang tidak utuh.”
Sikap si pelajar baju putih
itu bersungguh-sungguh, dengan demikian Hui-houw-to mau mmpercayainya. Tapi
tadi dia melihat pemuda baju putih ini memperlakukannya dengan kasar maka
kepercayaannya yang baru tumbuh itu jadi lenyap lagi.
Dia menduga tentunya pemuda
pelajar berbaju putih itu cuma sekedar untuk membujuknya belaka, di mana
setelah diperoleh surat yang ditulis Ciangbunjin Khong-tong-pay, dia malah akan
dicelakai oleh pemuda pelajar berbaju putih tersebut!
Teringat kemungkinan seperti
itu, Hui-houw-to menghela napas dalam-dalam. Ia menyesal sekali telah menerima
tugas yang berat ini, berulang kali ia seperti keluar masuk dilobang jarum
kematian. Ia selalu terancam bahaya yang tak kecil, yang membuat ia nyaris
beberapa kali terbinasa.
Di waktu itu, si pelajar
berbaju putih itu rupanya sudah tak sabar lagi, ia bilang: “Ayo cepat kau
beritahukan apa yang kau rahasiakan itu?!”
Hui-houw-to masih tetap
ragu-ragu, ia benar-benar bimbang, karena ia telah bersumpah walaupun
bagaimana, ia tidak boleh membuka rahasia itu.
Sekali saja Hui-houw-to
membuka rahasia itu, niscaya ia akan mengalami malapetaka yang berat sekali
buat keselamatan jiwanya.
“Cepat! Ayo katakan!” si
pelajar baju putih itu semakin tak sabar.
Hui-houw-to menghela napas.
“Sebetulnya, selain harus
menyampaikan surat itu kepada Kam Yu, akupun mempunyai tugas lainnya yaitu
berusaha untuk mengambil kembali Giok-sie dari tangan Kam Yu, dengan cara apa
pun juga merampasnya!”
Mata pelajar baju putih itu
terbuka lebar-lebar.
“Jadi…….!”
Hui-houw-to mengangguk.
“Ya benar! Memang Ciangbunjin
Khong-tong-pay hanya ingin meminjam tangan Kam Yu buat mengambil Giok-sie dari
tangan si nelayan dan kemudian aku harus berusaha mencurinya atau dengan cara
apa saja, untuk mengambil Giok-sie dari tangan Kam Yu. Jika perlu dan aku juga
memiliki kesempatan, aku harus membinasakan Kam Yu!”
Pelajar baju putih itu tertawa
dingin, dia bilang: “Kalau demikian Ciangbunjin Khong-tong-pay itu seorang
manusia yang paling licik sekali!”
Hui-houw-to menghela napas.
“Aku tidak mau tahu hal itu,
sebelumnya, akupun tidak terpikir untuk memperebutkan Giok-sie. Aku hanya
tertarik kepada upah saja yang diberikan yang sangat begitu besar…….
“Aku memang tengah membutuhkan
uang, dan diberikan demikian banyak, maka aku telah menyanggupi buat melakukan
dan melaksanakan tugas itu! Siapa sangka justeru tugas itu berat sekali…....!”
Setelah berkata begitu,
Hui-houw-to menghela napas berulangkali, karena dia sendiri terbayang kembali
betapa berulangkali ia nyaris terbinasa.
“Jadi kau menyesal…….?” Tanya
si pelajar baju putih itu.
Hui-houw-to mengangkat
kepalanya.
“Ya…..!” Akhirnya dia
mengangguk.
“Kalau demikian, kau tidak mau
meneruskan tugasmu itu sampai selesai?”
Hui-houw-to menghela napas
lagi,
“Aku memiliki kesulitan…….!”
“Apa kesulitan itu?”
“Waktu menerima upah yang
diberikan Ciangbunjin Khong-tong-pay itu, aku sudah bersumpah. Jika memang aku
tidak berhasil melaksanakan tugas itu. berarti aku harus membayarnya dengan
jiwaku…….!”
“Oh begitu? Kalau demikian
lebih bijaksana jika memang engkau berusaha melarikan diri ke sebuah tempat
yang jauh. Di sana kau menyembunyikan diri dan tentunya Ciangbunjin
Khong-tong-pay pun tidak akan dapat mencari jejakmu…….!”
Hui-houw-to mengawasi pelajar
berbaju putih tersebut. Dia telah ragu-ragu sejenak.
“Kau mau kubantu?” Tanya si
pelajar baju putih itu.
Hui-houw-to memandang
ragu-ragu kepada si pelajar, tapi kemudian mengangguk.
“Baik! Akupun senang kalau
bisa membantumu!” Kata pelajar baju putih itu. “Tapi, engkau harus mendengar
dengan patuh semua petunjukku. Aku jamin, engkau akan selamat dan tak kurang
suatu apapun juga.
“Engkau dapat menghindarkan
diri dari Ciangbunjin Khong-tong-pay. Disamping itu kau dapat hidup terus
sampai tua dengan tenang dan tentram?”
Hui-houw-to mengawasi dengan
penuh harap.
“Apa saja yang harus
kulakukan?” Tanyanya.
Pelajar itu tersenyum.
“Kau bersedia mematuhi semua
petunjukku bukan?”
Hui-houw-to mengangguk.
“Ya, tentu saja. Cara apa saja
yang harus kulakukan untuk dapat menghindarkan diri dari Ciangbunjin
Khong-tong-pay?”
“Mudah! Itu urusan mudah!
Pasti kau bisa menyelamatkan dirimu, tidak akan terganggu lagi oleh siapa pun!”
Setelah berkata begitu, si
pelajar baju putih tersebut mengawasi Hui-houw-to sejenak lamanya. Sikap si
pelajar baju putih ini membuat Hui-houw-to jadi gelisah.
“Maukah kau memberitahukan apa
saja yang harus kulakukan?” Desak Hui-houw-to.
Pelajar baju putih itu
tersenyum, ia bilang, “Yang pertama, kau harus membantuku dulu agar aku bisa
pergi menemui nelayan yang dimaksudkan Ciangbunjin Khong-tong-pay. Kau bersedia
bukan?”
Kaget Hui-houw-to. Dia sampai
memandang dengan mata terbelalak kepada pelajar baju putih itu.
Pelajar baju putih tersebut
tersenyum. Dia bilang, “Sekarang kau katakan dulu, apakah engkau bersedia untuk
mengajakku mencari nelayan itu?”
Hui-houw-to jadi bimbang.
“Katakanlah, apakah kau
keberatan buat mengajak aku menemui dan mencari si nelayan itu?”
Hui-houw-to menghela napas.
“Justeru aku tak mengetahui
jelas dimana ia berada dan Ciangbunjin Khong-tong-pay cuma meminta aku
menyampaikan suratnya pada Kam Yu. Nanti dia yang mencari nelayan itu, dan aku
hanya mencari Kam Yu buat merampas Giok-sie. Cuma itu saja!”
“Hem, tapi kita bisa pergi
mencarinya!”
“Surat itu…….!”
“Jangan banyak berpikir yang
tidak-tidak, yang penting memang kita berusaha dulu nanti kita melihat
perkembangannya lagi!”
Hui-houw-to menghela napas, ia
bilang pada akhirnya: “Baiklah, jika memang demikian, akupun tak berdaya
apa-apa lagi, asal kau pun nanti menepati janjimu, tak akan mendustai aku dan
menyelamatkan aku.......!”
“Aku akan menunjukkan padamu
tempat yang benar-benar tersembunyi dan kau tak akan dapat dicari Ciangbunjin
Khong-tong-pay maupun orang-orangnya!”
“Terima kasih! Di manakah
letak tempat itu?”
“Nanti akan kuberitahukan,
jika urusan kita dengan nelayan itu sudah selesai dan kita berhasil mencarinya!
Perlu kau ketahui, aku sama sekali tidak tamaha buat memiliki Giok-sie!”
Hui-houw-to mengangguk-angguk
ragu. Tapi di dalam hatinya, dia meragukan perkataan orang ini. Karena
biasanya, orang yang berusaha mencari jejak Giok-sie, niscaya memang bertekad
hendak memiliki Giok-sie.
Bagaimana mungkin bahwa
pelajar baju putih ini tidak menghendaki Giok-sie? Bukankah dia hendak mencari
si nelayan yang dikabarkan telah beruntung memperoleh Giok-sie itu?
Melihat Hui-houw-to, berdiam
diri saja, si pelajar baju putih hendak berkata lagi, sebelumnya dia tertawa.
Tapi, mendadak dia melihat seseorang tengah melangkah masuk ke dalam rumah
makan ini.
Muka si pelajar baju putih
jadi berubah. Dia berdiam. Lama matanya mengawasi orang yang tengah melangkah
itu.
Hui-houw-to segera menoleh,
dia melihat orang itu mengenakan baju putih. Mukanya tidak bisa dilihat dengan
jelas, karena ditutup oleh sehelai kain, dengan demikian mukanya itu tidak bisa
dilihat oleh siapapun juga.
Di samping itu, usia orang
tersebut tidak diketahui dengan pasti. Cuma saja melihat rambutnya yang masih
hitam lebat, bentuk tubuhnya juga, pasti orang itu adalah seorang pemuda, yang
masih berusia muda, mungkin duapuluh tahun lebih.
Dan diwaktu itu memang tampak
jelas sekali betapa pun juga, pemuda baju putih itu tidak mengacuhkan keadaan
di sekelilingnya, dimana dia telah melangkah dengan tindakan kaki yang ringan,
dia menuju ke sebuah meja! Ia duduk di situ di layani oleh pelayan yang segera
datang dengan cepat.
Pelajar baju putih itu
mengawasi terus, sampai akhirnya dia bilang, “Kita jangan membicarakan apa-apa
dulu!” Bisiknya perlahan.
“Kenapa?” Tanya Hui-houw-to
heran bukan main.
“Nanti aku akan
menjelaskannya.”
“Siapakah orang itu?”
“Nanti kau akan mengetahui!”
“Lie-hay kah dia? Mengapa
mulutnya ditutupi oleh sehelai kain?”
“Nanti akan kuberitahukan,
sekarang kau jangan rewel dulu……..”
Hui-houw-to jadi tutup mulut.
Dia berdiam diri tapi matanya jadi sering melirik kepada tamu yang baru datang
itu, orang berpakaian putih, dengan muka yang diselubungi tertutup oleh sehelai
kain sehingga mukanya tidak bisa dilihat.
Dia, orang berbaju putih itu
juga tidak membekal senjata. Tidak ada pedang atau golok yang terlihat bersama
dengan dirinya. Sikapnya tenang sekali. Dia duduk tegak di kursinya.
Waktu pelayan sudah menyajikan
makanan buatnya, menghidangkan dengan sikap menghormat bercampur perasaan aneh.
Sebab tamu yang seorang ini menutup mukanya dengan kain, bagaimana nanti dia
bisa makan?
Orang itu ternyata memasukkan
makanan dengan tangannya diulurkan masuk ke dalam sehelai kain topengnya itu,
sehingga dia makan tanpa membuka kain penutup mukanya.
Dia makan tenang sekali,
perlahan-lahan. Matanya sama sekali tidak pernah mengacuhkan sekelilingnya.
Tidak pernah dia menoleh ke sana ke mari!
Waktu itu si pelajar baju
putih telah bangun berdiri, dia menghampiri orang yang memakai topeng pada
mukanya itu. Dia menghampiri dengan langkah kaki perlahan-lahan.
Ketika sudah dekat dengan meja
orang berbaju putih itu, yang mukanya tertutup sehelai kain, dia menghentikan
tindakan kakinya. Dia berdiam sejenak.
Sedangkan orang yang mukanya
ditutup oleh sehelai kain, telah melirik sejenak, tapi dia tidak bilang
apa-apa. Dia melanjutkan makannya.
Pelajar baju putih itu maju
dua langkah sambil merangkapkan sepasang tangannya, dia memberi hormat kepada
orang yang mukanya ditutup topeng tersebut.
“Apakah anda yang bergelar
Pendekar Aneh Seruling Sakti?” tanyanya dengan suara yang menghormat.
Orang itu melirik sejenak pada
si pelajar baju putih, dan mengawasi tajam sekali. Biji matanya seperti
bersinar. Namun sinar matanya itu kembali seperti biasa:
“Hemmm!” Cuma terdengar
dengusan perlahan dari orang itu.
Sedangkan pelajar baju putih
itu sudah berkata. “Jika memang anda adalah Pendekar Aneh Seruling Sakti maka
aku ingin sekali mengundang anda untuk makan minum bersama. Apakah anda
bersedia?”
Kembali orang yang mukanya
tertutup kain itu menoleh, dan dia mendengus perlahan lagi. Dia tidak melayani
sikap si pelajar baju putih itu.
“Apakah anda menerima
undanganku?” Tanya si pelajar baju putih itu, karena orang yang mukanya
ditutupi kain itu tidak bilang apa juga.
Orang yang mukanya ditutupi
oleh kain menggelengkan kepalanya perlahan-lahan,
“Tidak!” Katanya kemudian.
Datar suaranya.
Muka si pelajar baju putih
berobah.
“Mengapa?”
“Aku tidak mau menerima
undangan siapa pun juga. Termasuk kau!”
“Ya, mengapa? Tentu ada
alasannya.”
“Hemm, mengapa begitu rewel?”
“Rewel? Aku bermaksud baik
padamu….. kau!”
“Pergilah!”
Muka si pelajar baju putih
semakin berobah, dia telah berkata dengan sikap mendongkol.
“Baiklah! Kau memperlakukan
aku demikian kasar, mungkin disebabkan engkau belum lagi mengetahui siapa
adanya aku ini?”
“Aku tidak mau tahu siapa
kau!”
“Aku adalah Pek Ie Siu-cay!” menjelaskan
si pelajar baju putih tanpa memperdulikan sikap orang yang mukanya ditutup kain
putih tersebut.
“Hemm, kau Ang Ie Siucay
ataupun Pek Ie Siu-cay, aku tidak kenal dengan kau.”
Muka Pek Ie Siu-cay berobah
lagi. Ia semakin tidak senang, ia sebetulnya di dalam rimba persilatan memiliki
nama sangat terkenal. Kepandaiannya pun sangat tinggi, seperti Hui-houw-to saja
dirubuhkannya dengan sangat mudah karenanya bisa dibayangkan, betapa kepandaian
yang dimilikinya memang sangat tinggi.
Dia mendengus bahwa orang yang
mengenakan kain penutup muka itu adalah si pendekar Aneh Seruling Sakti yang
telah menggemparkan rimba persilatan baru-baru ini, maka dia berlaku manis.
Siapa tahu dia ketemu batunya, dia diperlakukan kasar dan dingin seperti itu.
Dia tidak memperoleh muka. Dia jadi mendongkol dan marah.
“Baik! Aku ingin lihat,
sesungguhnya siapakah orang yang memakai gelaran sebagai Pendekar Aneh Seruling
Sakti itu?” Sambil bilang begitu, cepat sekali tangan kanannya diulurkannya,
dia berusaha menjambret penutup muka orang tersebut.
Orang yang mukanya berpenutup
itu, yang memang tidak lain dari Kim Lo, tetap saja berdiam diri. Dia
membiarkan tangan Pek Ie Siu-cay yang tengah menjulur dekat padanya, hanya
terpisah beberapa dim lagi.
Waktu jari tangan itu akan
menyentuh kain penutup mukanya. Kim Lo mendengus dingin, tahu-tahu mukanya
melejit ke samping, tangan kanannya telah menyambar dan menangkis dengan
sampokan yang cukup kuat kepada tangan Pek Ie Siu-cay. Sampokan tersebut
membuat tangan Pek Ie Siu-cay terpental ke arah lain.
Pek Ie Siu-cay juga terkejut,
sampokan itu dirasakannya sangat kuat sekali. Tangannya tergetar dan sakit.
Hanya saja sebagai orang yang memiliki nama terkenal di dalam rimba persilatan
mana dapat ia menerima diperlakukan seperti itu? Iapun jadi penasaran sekali.
Tadi ia sudah bergerak begitu
cepat buat menarik lepas topeng muka orang yang diduganya sebagai si Pendekar
Aneh Seruling Sakti, justeru masih bisa ditangkis dan dipunahkan. Kembali ia
mengulangi jambretan tangannya.
Cuma saja, jambretannya kali
ini selain jauh lebih cepat. Diapun mempergunakan taktik, yaitu dia mengulurkan
tangan kanannya sebagai gertakan belaka, disusul dengan tangan kirinya yang
menjambret sungguh-sungguh pada topeng muka Kim Lo.
Kim Lo tertawa dingin.
“Kau, terlalu mendesak,
sahabat!” Katanya datar.
Bersama dengan kata-katanya
itu, tangan Kim Lo bergerak sebat bukan main. Luar biasa, Pek Ie Siu-cay tidak
bisa melihat jelas gerakan tangan Kim Lo.
Malah diwaktu itu ia merasakan
tangannya sudah kesampok ke samping, malah dadanya terasa sakit, sebab telah
terpukul keras sekali sampai Pek Ie Siu-cay mundur dua langkah. Dia kaget
sendirinya, karena dia takut kalau saja dirinya terluka di dalam.
Namun waktu dia mengempos
semangatnya mengerahkan hawa murninya, tidak terjadi perobahan dan kelainan di
tubuhnya dia bisa bernapas lagi. Rupanya Kim Lo memang tidak bermaksud jelek
padanya. Ia tidak turunkan tangan kejam pada Pek Ie Siu-cay.
Pek Ie Siu-cay sendiri salah
paham. Ia menyangka kekuatan tenaga dalam Kim Lo hanya sampai di situ saja, dan
hanya memiliki gerakan yang cepat. Dia tertawa dingin hatinya bukan main
penasaran?
“Baiklah! Aku sudah mengajak
kau bicara baik-baik malah kau memperlakukan aku seperti ini….... Aku Pek Ie
Siu-cay ingin sekali melihat kepandaian apa yang kau miliki.”
Membarengi dengan perkataannya
itu tampak tangan kanan Pek Ie Siu-cay sudah menjambret pedang, yang tergemblok
di punggungnya dan menghunus pedangnya itu, menabas ke arah batang leher Kim
Lo. Tangan itu malah sudah membuat angin yang berkeselusupan sangat keras di
samping sangat keras di samping kilatan sinar yang putih gemerlapan.
Tapi Kim Lo tetap
tenang-tenang duduk di kursinya, sama sekali tidak berusaha bangkit dari
kursinya itu, dia diam saja. Dan pedang menyambar dekat sekali pada lehernya.
“Hemm, kau memaksa aku turun
tangan sahabat!” Mendesis Kim Lo dengan suara mengumam.
Tahu-tahu tangan kanannya
bergerak. Dan dua batang sumpit melesat sangat cepat sekali menyambar ke arah
mata Pek Ie Siu-cay.
Tercekat hati Pek Ie Siu-cay,
karena ini sangat berbahaya sekali dimana dia terancam. Matanya bisa menjadi
buta, kalau saja ia tidak bisa mengelakkan sambaran sepasang sumpit itu.
Kalau memang dia meneruskan
serangan dengan pedangnya, niscaya akan menyebabkan matanya menjadi sasaran
yang empuk dari sepasang sumpit tersebut. Terlebih lagi ke dua batang sumpit
itu menyambar sangat pesat, masing-masing batangnya mengincar biji mata Pek Ie
Siu-cay, kiri kanan.
Terpaksa Pek Ie Siu-cay
akhirnya membatalkan tabasannya. Pedangnya dipergunakan untuk menyampok
sepasang sumpitnya tersebut, dia menabas putus sepasang sumpit tersebut.
Tapi yang membuat dia kaget,
walaupun sepasang sumpit itu sudah terpotong putus menjadi empat potong, yang
dua potong di sebelah depan telah menyambar terus ke arah biji mata Pek Ie
Siu-cay.
Karena itu, mau atau tidak Pek
Ie Siu-cay harus mengelakkan sambaran potongan sepasang sumpit itu dengan
melompat ke samping.
“Hemm, kalau kau masih rewel,
aku mau turunkan tangan yang lebih keras lagi. Kini aku masih mau mengampuni
jiwamu!” Datar dan dingin sekali suara Kim Lo.
Pek Ie Siu-cay tidak menyerang
lagi. Dia berdiri mengawasi Kim Lo, benar-benar sangat tinggi. Kalau memang dia
memaksakan diri buat menyerang dan mendesak terus, kemungkinan dirinya yang
bisa menderita kerugian yang tidak kecil.
Terlebih lagi, bisa terjadi
dia akan rubuh dan terluka di tangan Kim Lo. Karenanya, dia bimbang buat
meneruskan penyerangan dengan pedangnya.
Waktu itu Kim Lo sudah
meneruskan makannya. Tetapi dia tidak membuka tutup mukanya, dia hanya
memasukkan makanan dari bawah kain penutup mukanya.
Kim Lo rupanya memang sudah
memisahkan diri dari teman-temannya, karena ia ingin cepat-cepat tiba di
Put-hay. Memang, Kim Lo pun memiliki alasan sendiri lagi, mengapa ia memisahkan
diri dari kawan-kawannya.
Dan ini semua disebabkan
hendak pergi dan cepat tiba di Put-hay, di mana dia akan tiba lebih dulu dari
teman-teman rombongannya, sehingga Kim Lo bisa memiliki kesempatan buat
melakukan penyelidikan di mana tempat berdiamnya si nelayan yang beruntung
sudah memperoleh Giok-sie. Dan juga, dia akan mencari jejak si nelayan jika
bertemu, dia akan melindungi nelayan itu, menanti sampai rombongannya tiba.
Siapa tahu, justeru di rumah
makan ini sudah bentrok dengan Pek Ie Siu-cay. Cuma saja, iapun mengetahui
bahwa Pek Ie Siu-cay, walaupun pada parasnya tampak ia sebagai orang baik-baik,
tokh hatinya tidak bersih.
Dia bisa mengetahuinya
disebabkan Kim Lo ini sudah mendengar sekalian dari percakapan Pek Ie Siu-cay
dengan Hui-houw-to! Karenanya, dia tidak mau memberi muka kepada Pek Ie
Siu-cay. Pek Ie Siu-cay dilihatnya sebagai manusia yang licik sekali.
Hui-houw-to yang menyaksikan
apa yang tengah terjadi di ruang rumah makan tersebut hanya memandang dengan
pandangan mata mendelong. Sebab ia menyadari, bahwa kepandaian yang dimilikinya
benar-benar belum ada artinya.
Tadi, dia pernah dirubuhkan
oleh Pek Ie Siu-cay hanya dalam satu-dua gebrakan saja, dan dia tidak berdaya.
Namun sekarang ia melihat orang yang mukanya ditutup kain, jauh lebih lihay
lagi, di mana orang yang mukanya ditutup kain tersebut sekali gebrak sudah
dapat membuat Pek Ie Siu-cay tidak berdaya.
Diam-diam Hui-houw-to menghela
napas.
“Di atas orang pandai ternyata
banyak orang pandai lainnya. Aku akan mengundurkan diri dari rimba persilatan
kalau saja urusanku sudah selesai…….
“Percuma saja, sebab aku
berlatih sampai duapuluh tahun lagi, belum tentu aku bisa mengimbangi
kepandaian Pek Ie Siu-cay. Terlebih lagi buat mengimbangi kepandaian orang aneh
yang mukanya selalu berpenutup itu…….”
Sambil berkata begitu,
Hui-houw-to menghela napas berulang.
Sedangkan Pek Ie Siu-cay
berdiri bimbang beberapa saat lamanya, sampai akhirnya ia menghela napas. Dia
memasukkan pedangnya ke dalam sarangnya.
Ia malah memperdengarkan
tertawanya yang sabar, ia bilang, “Sahabat jika memang engkau keberatan buat
bersahabat denganku, tentu saja aku pun tidak akan memaksa. Tapi bolehkah aku
mengetahui siapa namamu dan gelarmu yang mulia?”
“Bukankah tadi engkau sudah
menyebutkan gelaranku?” Tawar sekali suara Kim Lo.
Muka Pek Ie Siu-cay berobah.
“Jadi memang benar-benar sesungguhnya,
kau Pendekar Aneh Seruling Sakti!”
“Tidak salah! Kaget!?”
Muka Pek Ie Siu-cay berobah.
Ia berdiam diri tergetar karena menahan marah. Tapi ia bimbang kalau harus
menerjang lagi, sebab ia sudah menyaksikan betapa kepandaian Kim Lo memang
sangat tinggi.
“Mengapa diam saja?” tegur Kim
Lo tawar.
Pek Ie Siu-cay merasakan,
itulah suatu penghinaan buat dirinya. Namun ia masih bisa menahan diri.
“Baiklah! Nanti jika ada
kesempatan aku ingin sekali main-main dengan kau, untuk melihat sesungguhnya
siapakah yang lebih tinggi kepandaiannya di antara kita!”
“Mengapa harus nanti? Jika
memang belum puas, sekarang pun aku tidak keberatan buat menemani kau
main-main! Yang pasti memang aku menemui kau buat babak belur karena kau
seorang manusia yang ceriwis…….!”
Ini merupakan penghinaan yang
benar-benar tidak bisa diterima begitu saja oleh Pek Ie Siu-cay. Karenanya, ia
berseru nyaring dia mencabut lagi pedangnya.
“Baiklah! Kau tidak memandang
sebelah mata padaku dan tidak mau memberi muka sedikit pun, karena itu aku akan
minta kau menemani aku main-main di luar sana.”
Setelah berkata begitu tubuh
Pek Ie Siu-cay gesit sekali melompat keluar. Dan dia menantang berdiri di
pekarangan rumah makan itu dengan pedang terhunus di tangan, mukanya merah
padam.
Kim Lo masih duduk di
kursinya, ia cuma dua kali memperdengarkan suara, “Hemm!”
“Ayo keluar! Mengapa berdiam
di situ saja?!” Teriak Pek Ie Siu-cay, karena benar-benar Kim Lo seakan
mengejeknya dan memandang rendah sekali padanya.
Hui-houw-to mengawasi Kim Lo,
hati Hui-houw-to jadi tegang sendirinya.
Di waktu itu perlahan-lahan Kim
Lo berpaling. Ia melambaikan tangannya pada pelayan dan memanggil, pelayan itu
segera menghampirinya.
“Hitung harga makanan yang
telah kuhabisi, karena aku keluar dari ruang ini tidak untuk masuk kembali!”
Nelayan itu mengiakan dengan
sikap takut serta hormat. Kemudian ia menyebutkan harga makanan yang harus
dibayar oleh Kim Lo.
Kim Lo membayarnya. Ia bangkit
perlahan dan tenang sekali dari duduknya. Iapun telah melangkah keluar dari
rumah makan itu.
Hui-houw-to cepat-cepat
mengikutinya, ia ingin tahu apa yang terjadi dan juga apa yang akan dilakukan
oleh Kim Lo. Juga yang pasti ia akan menyaksikan pertunjukan yang menarik hati.
Langkah kaki Kim Lo satu-satu,
tenang sekali, sama sekali ia seakan juga tak akan bertempur, dia seperti
tengah berjalan seenaknya saja.
Dalam saat seperti itu, Pek Ie
Siu-cay sudah tak sabar, ia mengibaskan pedangnya.
“Cabut senjatamu!” bentaknya.
Kim Lo mendengus perlahan.
“Aku tidak mempergunakan
senjata, sebab jika aku mengeluarkan serulingku, berarti kau harus mati!”
“Hemmm, kau jangan bicara
besar dulu! Nanti kita lihat saja, siapa yang mampus! Keluarkanlah serulingmu
itu!”
Kim lo telah melangkah terus
mendekati Pek Ie Siu-cay.
“Aku akan menghadapi kau
dengan ke dua tanganku ini!”
Muka Pek Ie Siu-cay jadi
berobah merah padam. Sebagai orang ternama di dalam rimba persilatan, sikap Kim
Lo itu merupakan ejekan dan hinaan baginya, ia mengibaskan pedangnya.
“Baiklah! Jika kau mampus
jangan mempersalahkan aku yang telah mempergunakan pedangku ini!”
Sambil berkata begitu, tubuh
Pek Ie Siu-cay menerjang maju, begitu ia menyerang dengan pedangnya, serentak
dua jurus beruntun yang dipergunakannya, ia menebas dan menikam.
Kim Lo tetap berdiri tenang di
tempatnya. Pelayan rumah makan, juga para tamu berdiri dengan sikap berkuatir,
mereka mengawasi per¬tempuran yang akan berlangsung.
Mereka kuatir sekali melihat
Kim Lo tak mencekal senjata, sedangkan pedang menyambar begitu cepat. Melihat
pedang yang berkelebat, sudah jelas pedang itu bukan pedang sembarangan, pasti
pedang yang ampuh sekali.
Dalam keadaan seperti itu,
sikap Kim Lo tidak berobah, tetap tenang. Cuma saja, waktu pedang lawannya
menyambar datang, ia hanya menyentil dengan jari telunjuknya, sentilan itu
sangat kuat sekali.
“Triinngggg…….!” Kuat sekali
sentilan tersebut menghantam pedang Pek Ie Siu-cay.
Sentilan yang dilakukan oleh
Kim Lo bukan sentilan sembarangan. Tapi sentilan satu jari yang sakti. Itulah
It-yang-cie! Karenanya tidak terlalu mengherankan kalau pedang di tangan Pek Ie
Siu-cay terdengar keras sekali.
Pek Ie Siu-cay sendiri
merasakan telapak tangannya sakit bukan main. Ia berseru nyaring mengempos
semangatnya.
Walaupun hatinya tercekat
kaget, tokh dia penasaran. Dia ingin berusaha untuk memperlihatkan hahwa
dirinya sebenarnya tidak lemah. Karenanya berulang kali ia menyerang lagi.
Kali ini Kim Lo tidak
menyentil seperti tadi, melainkan ia mengelak ke sana ke mari dengan lincah.
Tubuhnya seperti bayangan saja.
Acapkali, tikaman maupun
tabasan pedang Pek Ie Siu-cay jatuh di tempat kosong.
Bukan main penasarannya hati
Pek Ie Siu-cay. Beberapa kali dia sudah mmgempos semangatnya, menikam dan
menabas dengan serangan yang gencar.
Ia menyusuli jurus “Angin
Topan Melanda Gunung”, kemudian “Matahari Menyengat Kulit” disusul lagi dengan
“Keledai Menendang Tiga Arah”, Pedangnya itu menyambar tiga arah. Tapi tetap
saja tidak berhasil mengenai sasarannya.
Diwaktu itulah. Tampak Kim Lo
merasa sudah cukup mempermainkan Pek Ie Siu-cay, karenanya iapun berseru
nyaring: “Sekarang kau yang harus hati-hati…..!”
Sambil berkata begitu, Kim Lo
merobah cara bertempurnya. Tahu-tahu sepasang tangannya sudah bergerak-gerak ke
sana ke mari dengan lincah sekali. Ke dua tangan itupun berulang kali menyambar
ke bagian yang berbahaya di tubuh lawannya.
Karena terlalu cepatnya
sepasang tangan Kim Lo menyambar ke sana ke mari, mata Pek Ie Siu-cay jadi
nanar. Dia merasa pusing. Pandangan matanya jadi kabur. Iapun melihatnya betapa
pun juga, memang kepandaian lawannya luar biasa.
Untuk melindungi keselamatan
dirinya, dia memutar pedangnya cepat sekali, pedang itu bergulung sangat rapat,
dan seandainya setitik airpun tidak akan berhasil menembusi kurungan sinar
pedangnya. Dia yakin dengan memutar pedangnya rapat seperti itu, Kim Lo
tentunya tidak bisa memaksa buat menerobosnya.
Tapi Kim Lo memperdengarkan
suara mendengus, tahu-tahu tubuhnya sudah melesat sangat lincah. Dia memutari
tubuh Pek Ie Siu-cay, tubuh Kim Lo seperti bayangan putih. Dia mengelilinginya
semakin lama semakin cepat, membuat Kim Lo seakan sudah menjelma menjadi
belasan Kim Lo di sekeliling Pek Ie Siu-cay.
Malah sekarang Pek Ie Siu-cay
yang tercekat hatinya sebab dia kaget sendirinya. Dia tidak mengetahui lagi,
yang mana Kim Lo yang sebenarnya dan yang mana bayangannya belaka.
Untuk melindungi dirinya, Pek
Ie Siu-cay memutar pedangnya semakin kuat dan cepat.
“Sekarang sudah tiba waktunya,
berhati-hatilah kau!” terdengar peringatan Kim Lo.
Pek Ie Siu-cay tergetar
hatinya, namun diapun berpikir, “Mustahil dia itu bisa menerobos kurungan sinar
pedangku…….!”
Baru saja ia berpikir begitu.
Kim Lo justeru menghajar dengan sepasang telapak tangannya lurus ke depan.
Pek Ie Siu-cay kaget. Dia
merasakan angin yang sangat kuat sekali menerobos kepadanya dia menjerit kaget,
sebab pedangnya seakan juga terdorong dan mental akan menyambar pada mukanya
sendiri. Untuk menyelamatkan dan meloloskan diri dari tekanan tangan dorongan
Kim Lo, dia melompat mundur.
Waktu melompat mundur seperti
itu dia menghentikan gerakan memutar pedangnya. Kesempatan itulah yang
dipergunakan oleh Kim Lo. Tubuhnya berkelebat, tahu-tahu sudah berdiri di
belakang Pek Ie Siu-cay.
Pek Ie Siu-cay cuma merasakan
berkesiuran angin yang dingin lewat di sisi tubuhnya! Di waktu itu, dia hanya
terdiam dengan muka yang pucat.
Hui-houw-to yang sejak tadi menyaksikan
jalannya pertempuran tersebut, pun memandang bengong. Dia tidak mengerti
mengapa pertempuran berkesudahan hanya sampai di situ saja! Dia mengawasi,
tampaknya Pek Ie Siu-cay tidak terluka.
Memang benar muka Pek Ie
Siu-cay tampak pucat. Tapi pucatnya dia itu bukan disebabkan dia terluka. Atau
memang dia terluka di dalam yang tidak terlihat oleh mata!
Sedang Hui-houw-to tertegun
seperti itu, Pek Ie Siu-cay sendiri sudah memutar tubuhnya. Dilihatnya Kim Lo
tenang sekali. Matanya yang bersinar tajam tampak jelas sekali dan kedua lobang
kain penutup mukanya.
Pek Ie Siu-cay merangkapkan
tangannya, dia memberi hormat kepada Kim Lo, katanya. “Terima kasih atas
pengampunan yang Tay-hiap berikan tadi…… maafkan dan ampuni kelancangan boanpwe
yang tadi berani berlaku kurang ajar! Budi Tay-hiap tak akan boanpwe lupakan!”
Setelah berkata begitu, Pek Ie
Siu-cay memutar tubuhnya untuk berlalu.
Bukan main kaget dan herannya
Hui-houw-to maupun orang lainnya. Tadi mereka melihat Pek Ie Siu-cay tidak
terluka, masih dalam keadaan segar bugar.
Tapi dia sudah memberi hormat
kepada Kim Lo. Malah kini dia membahasakan dirinya dengan sebutan boanpwe,
orang dari tingkatan muda, sedangkan dia membahasakan Kim Lo dengan sebutan
Tayhiap atau pendekar besar.
Tengah orang-orang tertegun
waktu itu, Kim Lo juga cuma memperdengarkan suara!
“Hemmm!” melihat betapa Pek Ie
Siu-cay sudah memutar tubuh buat angkat kaki, mendadak sekali terdengar orang
berseru nyaring,
“Siancay, Siancay. Tunggu
dulu!”
Tampak berkelebat sesosok
bayangan merah. Dan di depan Kim Lo sudah berdiri seorang Nie-kouw, pendeta
wanita berwajah cantik sekali.
Mata pendeta wanita itu
berkilat-kilat tajam sekali. Dia tersenyum-senyum tampaknya genit sekali sikap
nie-kouw tersebut. Ia mengenakan jubah panjang kependetaannya berwarna merah
darah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang hud-tim.
Kim Lo mengerutkan alisnya
melihat nie-kouw tersebut sedangkan Pek Ie Siu-cay sudah menahan langkah
kakinya. Dia melirik kepada si pendeta. Dia tidak mengenal, entah siapa si
pendeta tersebut.
Dia jadi tertarik, dilihat
dari gerakannya waktu melompat keluar dari dalam ruangan rumah itu tampaknya
memang nie-kouw ini memiliki gin-kang yang tinggi. Karena dia ingin melihat apa
yang ingin dilakukan si nie-kouw.
“Siancay, kau jangan pergi
dulu!” Kata nie-kouw itu, dan kata-kata itu ditujukan buat Pek Ie Siu-cay.
Sikapnya genit sekali, nie-kouw itupun melontarkan senyum pada Pek Ie Siu-cay.
Pek Ie Siu-cay semakin heran.
Nie-kouw itu menahan dia, agar tidak berlalu dulu. Apakah yang akan dilakukan
si nie-kouw? Ataukah dia sahabat Kim Lo?
Karena berpikir begitu, tampak
wajah Pek Ie Siu-cay berobah, dia berpikir apakah dia akan memperoleh kesulitan
lagi dengan datangnya nie-kouw tersebut?
Diwaktu itu, tampak jelas
nie-kouw ini tertarik sekali pada Kim Lo, karena ia sudah tidak melayani Pek Ie
Siu-cay. Dia sudah bilang dengan suara yang nyaring:
“Kau sebetulnya manusia yang
baru-baru ini sudah menggemparkan rimba persilatan, bukan? Dan juga dalam keadaan
sekarang, kau ingin mengembangkan sayap, bukan? Nah, kalau memang kau seorang
Ho-han, bukalah kain penutup mukamu itu, aku ingin melihat siapa kau
sebenarnya.”
Kim Lo tertawa dingin.
“Cara bicaramu sama seperti
seorang Tie-kwan!” dan setelah berkata begitu, iapun membalikkan tubuhnya. Ia
ingin meninggalkan tempat itu, untuk meninggalkan nie-kouw itu, yang tak ingin
dilayaninya.
Walaupun bagaimana nie-kouw
itu adalah pendeta wanita dan juga akan membuat ia merasa tak layak buat
melayaninya. Jika memang ia melayaninya, niscaya akan membuatnya nanti menjadi
bahan tertawa orang-orang rimba persilatan, karena dari itu ia ingin angkat
kaki saja.
Melihat sikap Kim Lo, bukan
main gusarnya nie-kouw itu. Ia tak memperoleh sambutan baik dari si pemuda itu,
ia tertawa dingin. Lalu melompat untuk menghadang pemuda itu di mana ia sudah
melompat sambil tangannya diulurkan juga. Ia ingin menjambret kain penutup muka
pemuda itu.
Gerakan yang dilakukannya itu
benar-benar sangat cepat sekali. Dia bermaksud untuk dapat sekali mengulurkan
tangannya berhasil melepaskan kain penutup muka orang itu, yang dia ingin
melihat mukanya.
Tapi Kim Lo mana mau
membiarkan kain penutup mukanya ditarik dan dilepas oleh nie-kouw tersebut.
Segera ia memiringkan
kepalanya berkelit. Gerakannya lincah sekali.
“Jangan mencari-cari urusan!”
Katanya dengan suara yang dingin.
Tapi nie-kouw itu justeru
tambah penasaran. Dia tertawa dingin, dan menyambar lagi!
“Aku ingin melihat wajahmu.
Kepandaianmu tinggi sekali tentu kau sangat tampan!”
Sambil berkata begitu malah
sepasang tangan nie-kouw tersebut bergerak bergantian. Ia sudah menyambar
berulang kali.
Namun sejauh itu tampak Kim
Lo, mudah sekali untuk mengelakkan setiap serangan tangan nie-kouw tersebut.
Dia saat seperti itu,
sebetulnya kesabaran Kim Lo sudah habis. Tapi diapun masih berusaha membatasi,
sebab dia merasa tidak pantas kalau saja ia melayani seorang wanita.
Walaupun memang benar, itulah seorang
nie-kouw, yang terdiri dari seorang wanita juga yang memiliki kepandaian tinggi
dan tampaknya merupakan orang rimba persilatan. Cuma saja tetap Kim Lo
beranggapan dia tidak pantas buat bertempur dengan nie-kouw tersebut.
Di waktu itulah tampak Kim Lo
dua kali menjejakan kakinya, tubuhnya melesat jauh sekali dan dia bermaksud
meninggalkan nie-kouw itu.
Nie-kouw yang jubah pendetanya
itu berwarna merah menyala sudah melompat mengejarnya, dan selalu dapat
menghadangnya, karena memang nie-kouw tersebut memiliki gin-kang yang sangat
tinggi dan juga dia penasaran sekali. Karenanya, dia tidak mau melepaskan Kim
Lo berlalu begitu saja.
Tapi di waktu Kim Lo
menghadapi Pek Ie Siu-cay, memang ia sudah menyaksikan, betapa Kim Lo sangat
lihay, kepandaiannya sangat tinggi sekali. Karena dari itu, iapun segera juga
telah bertekad hendak menguji betapa tinggi kepandaian pemuda ini.
Sebelum dia berhasil membuka
kain penutup muka Kim Lo dan juga menguji kepandaiannya, ia tak mau untuk
berdiam dari dan menyudahi urusan sampai di situ saja. Ia ingin sekali untuk
mengetahui sampai berapa tinggi kepandaian Kim Lo sebenarnya.
Tapi kesabaran Kim Lo pun
akhirnya habis. Karena iapun sudah dilibat terus oleh nie-kouw itu.
“Jika Sinnie tidak mau
minggir, biarlah aku akan membuka jalan dengan kekerasan!” kata Kim Lo dengan
suara yang nyaring. Ia menyampok tangan nie-kouw yang tengah menyambar mukanya,
sehingga tangan nie-kouw itu terpental.
Sedangkan disaat itu si
nie-kouw memperdengarkan tertawanya, nadanya sangat centil dan genit sekali. Ia
sudah melompat lagi mencakar. Cakarannya itu tentu saja ditujukan pada kain
penutup muka Kim Lo, karena ia ingin merebut kain penutup muka tersebut yang
hendak dibukanya.
Dalam saat seperti itu,
betapapun juga Kim Lo sudah tidak memiliki pilihan lain, buat menghindarkan
diri begitu saja. Jelas memang ia tak dapat.
Ia sudah menghadapi dengan
kekerasan, dengan sepasang tangannya. Dia mengulurkan ke dua tangannya itu dan
diarahkan pada tangan nie-kouw tersebut. Dua kekuatan tenaga dalam saling
bentur di tengah udara.
Nie-kouw itu merasakan
tubuhnya tergetar keras, tapi kuda-kuda sepasang kakinya tidak tergempur. Dan
diwaktu itu iapun sudah dapat menguasai goncangan di dalam tubuhnya, dia mengerahkan
tenaga dalamnya, bermaksud akan menyerang lagi.
Di hatinya dia tambah kagum
untuk kehebatan Kim Lo, dia merasakan betapa tenaga pemuda ini memang sangat
tinggi sekali. Tapi dia mendengar orang yang mukanya berpenutup kain tersebut
adalah Pendekar Aneh Seruling Sakti yang terkenal sekali belakangan ini di
dalam rimba persilatan, orang yang baru muncul tapi sudah banyak sekali
melakukan perbuatan yang menggemparkan.