Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 91-100
Seketika ramai suara tamu-tamu
di luar kalangan, mereka segera dapat menduga tentunya pertemuan ini
diselenggarakan buat mengadakan pertemuan dan menghimpun kekuatan guna
mengadakan perlawanan pada Kaisar Kublai Khan yang tengah berkuasa disaat itu,
bangsa Mongolia dan mengusirnya.
Setelah keadaan tenang
kembali, Ko Tie bilang lagi: “Tahukah sahabat-sahabat, siapakah orang yang
tengah kita nantikan itu?”
“Kami tidak tahu! Silahkan
sebutkan!” Teriak beberapa orang.
“Hemmmm, orang itu adalah cucu
dari Oey Yok Su Locianpwe, Tong-shia atau tocu dari pulau Tho-hoa-to!”
“Apa?” terdengar seruan dari
orang-orang itu.
“Dia cucu si sesat?”
“Dia cucu Oey Yok Su?”
Begitulah ramai dengan
pertanyaan-pertanyaan orang-orang itu, tampaknya sulit buat mereka mempercayai
keterangan Ko Tie.
Oey Yok Su merupakan tokoh
sakti yang dihormati seluruh rimba persilatan.
Walaupun Oey Yok Su terkenal
sebagai si sesat, tapi tokh dia memang sangat dihormati. Setiap perbuatannya
sangat aneh dan di luar dugaan, dia digelari Tong-shia, tapi diapun seorang
yang kepandaiannya tidak ada duanya dijaman itu.
Mereka semua sudah mengetahui
siapa itu Oey Yok Su. Mereka tidak menyangka, justeru pertemuan di mana mereka
juga hadir ternyata buat menyambut cucu Oey Yok Su.
Hati mereka jadi tertarik dan
menduga-duga entah bagaimana muka dan kepandaian cucu Oey Yok Su itu, tentunya
dia telah mewarisi seluruh kepandaian Oey Yok Su.
Sedangkan Kim Lo mengawasi
semua orang itu dengan hati yang berdebar. Bukankah nanti dia harus muncul
memperkenalkan diri? Baru kali ini Kim Lo berurusan dengan masa dalam jumlah
demikian banyak.
Ko Tie telah bilang: “Ada lagi
yang terpenting dalam pertemuan ini! Sesungguhnya penyambutan pada cucu Oey Yok
Su sangat penting tokh ada yang lebih penting, yang harus kita bicarakan.
Urusan yang Siauwte katakan itu adalah urusan yang menyangkut dengan perkara
lenyapnya cap kerajaan, Giok-sie yang sekarang tengah jadi rebutan.
“Karena pihak kerajaan
Mongolia berusaha memperoleh Giok-sie Yang telah dibuang ke laut Lam-hay oleh
kaisar lama…….. Kudengar, seorang nelayan telah berhasil memperoleh Giok-sie
itu....... dan juga Giok-sie ini kini tengah menjadi rebutan dari orang-orang
rimba persilatan.
“Dengan Giok-sie kita bisa
menggerakkan rakyat dan dengan demikian juga, orang yang berhasil memperoleh
Giok-sie berarti orang itu, memiliki kesempatan untuk menjadi raja! Dia akan
memperoleh tahta dan negeri!”
Ramailah segera suara
orang-orang itu saling berbisik-bisik.
“Dengarkanlah baik-baik!” kata
Ko Tie lagi.
“Tunggu dulu!” Tiba-tiba
terdengar suara seseorang berseru nyaring.
“Ya.”
“Dapatkah kami diberitahukan,
mengapa justeru cucu Oey Yok Su yang akan kita sambut?”
“Karena dia mewarisi seluruh
kepandaian Oey Yok Su, dan iapun telah dididik dengan baik sekali, dimana Oey
Yok Su menghendaki agar cucunya itu kelak dapat membangun negeri…….!”
“Apakah tidak ada yang lebih
pantas lagi orang yang memiliki pengetahuan luas dan kepandaian tinggi?
Bukankah kita bisa mencari seorang pendekar gagah buat diserahi Giok-sie kelak
buat memimpin kita!”
“Kini Giok-sie belum lagi kita
peroleh maka dari itu berarti kita masih harus bekerja memperoleh Giok-sie itu
dengan jalan apa pun juga! Nanti setelah Giok-sie diperoleh, barulah kita
membicarakannya lebih jauh!”
“Nah, inilah urusan yang
saling memancing keributan!” Kata beberapa orang di antara orang-orang yang
berkumpul di situ.
Seketika di sekitar tempat
tersebut ribut oleh suara bisik-bisik di antara mereka.
Ko Tie mengangkat tangannya.
“Dengarlah dulu
kawan-kawan…….!” Katanya. “Harap tenang!”
Keadaan jadi tenang lagi. Ko
Tie mengawasi orang-orang ini dengan tajam.
“Sekarang aku minta agar orang
yang tadi mengatakan urusan ini, bisa memancing kerusuhan, agar menjelaskan
alasannya!”
Dari rombongan tamu itu
melompat berdiri seorang laki-laki tua.
“Dengarlah!” Katanya dengan
suara gagah dan nyaring, “Justeru tadi Kongcu mengatakan kita belum lagi
memperoleh Giok-sie dan kita tidak perlu terlalu membicarakan kepada siapa
Giok-sie itu kelak akan kita berikan.
“Inilah yang akan memancing
kerusuhan, karena nanti setelah Giok-sie itu berhasil kita peroleh tentu akan
terjadi perebutan di antara kita, pasti akan terdapat paham-paham yang
berlainan……
“Bukankah itu merupakan suatu
keributan? Dan kerusuhan akan muncul di dalam kalangan Kang-ouw!”
Ko Tie tersenyum.
“Maksud siauwte adalah
Giok-sie itu tetap saja nanti akan diserahkan pada cucu Oey Yok Su
Locianpwee....... Tapi yang siauwte maksudkan dengan membicarakannya nanti,
kita bisa melihatnya. Bagaimana hebatnya perangai cucu Oey Yok Su Locianpwe
itu, bagaimana liehay kepandaiannya! Karena ia telah menerima didikan yang
sepenuhnya dari Oey locianpwee!”
“Kami tak percaya!” teriak
beberapa orang di antara tamu-tamu itu.
“Apa yang tak dipercayai oleh
kalian?”
“Mengapa seorang pemuda yang
masih bau kencur bisa diserahi tugas begitu berat? Walaupun ia terlatih sejak
di dalam kandungan, tidak nantinya ia bisa memiliki kepandaian yang luar biasa
sekali!”
“Tapi, memang ini membutuhkan
dukungan kita!” kata Ko Tie kemudian.
“Dukungan bagaimana?”
“Kita mendukungnya, agar anak
itu benar-benar kelak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi!”
“Jadi kita yang harus
mendukungnya?”
“Ya!”
“Hemmm, mengapa kita tidak
memilih seorang pendekar gagah perkasa saja, seorang pendekar sejati, buat
diserahi tugas yang berat itu? Mengapa kita tidak berusaha untuk mencari
seseorang yang memiliki pengetahuan luas untuk ketatanegaraan?
“Mengapa kita tidak mengambil
salah seorang keturunan raja Sung? Mengapa sekarang justeru kita harus
menyerahkan Giok-sie itu kepada cucu Oey Yok Su, jika memang nanti cap kerajaan
berhasil kita peroleh!”
Ko Tie menghela napas.
“Dengarkanlah dulu. Aku belum
lagi bicara habis!” Kata Ko Tie kemudian.
Kembali sunyi.
“Dengarlah, aku hendak
memberitahukan dulu pada sahabat-sahabat, betapapun tugas kita adalah mendukung
cucu Oey locianpwe dan ini memang penting sekali! Kita akan mengangkat cucu Oey
Locianpwe calon terkuat pemilik Giok-sie bukanlah demikian.
“Dengan adanya pengaruh Oey
locianpwe, juga puterinya, Oey Yong maupun Kwee Ceng, dan jago-jago lainnya,
maka akan besar sekali manfaatnya untuk kepatuhan orang-orang Kang-ouw, guna
bekerja membangun negeri……. Kita sudah bisa melihatnya dengan jelas, bahwa
usaha kita ini adalah usaha yang besar yang akan dapat membangun negara dan
mengusir penjajah!”
“Tapi bukan cara seperti itu,
kita dimana harus mendukung dan memberikan Giok-sie kepada cucu Oey Yok Su
sedangkan kita sendiri belum lagi pernah bertemu dengannya. Bagaimana mungkin
kita bisa menyetujuinya?!”
Bie Lan sudah tidak bisa tahan
sabar. dia melompat berdiri. Dengan suara lantang dia bilang, “Walaupun cucu
Oey Yok Su berusia masih muda, belum tentu kepandaiannya lebih lemah dari
kalian!”
Muka jago-jago tua yang
berumpul di baris depan jadi berobah merah padam.
Mereka tampaknya jadi gusar
bukan main.
“Hemm, bocah bau pupuk!
Mengapa kau ikut bicara! Atau memang kalian sudah tidak menganggap lagi
kami-kami ini, dan membiarkan seorang bocah bau pupuk itu buat bicara demikian
dihadapan kami.”
Ko Tie jadi salah tingkah.
Memang apa yang ditegur jago-jago itu benar adanya. Bie Lan tidak berhak ikut
bicara. Dia dari golongan muda.
Tapi gadis itu terlanjur sudah
bicara maka tidak bisa untuk ditarik kembali kata-katanya.
Giok Hoa melihat kesulitan
suaminya, dia melompat berdiri. Dirangkapkan sepasang tangannya.
“Maafkan atas kelancangan
keponakan kami!” kata Giok Hoa kemudian. Dia menoleh kepada Bie Lan, katanya:
“Bie Lan, duduklah.”
Bie Lan mendongkol. Sebetulnya
ia ingin membawa adatnya. Tapi melihat mata Giok Hoa yang bersinar, dia jadi
menuruti juga perintah Giok Hoa.
Setelah Bie Lan duduk, Giok
Hoa segera bertanya kepada orang-orang yang berkumpul di situ,
“Sahabat-sahabat, tahu kalian, siapa sebenarnya gadis itu, keponakan kami itu?”
Semua orang berdiam diri.
Memang mereka tidak mengetahuinya dan mereka jadi mengawasi Giok Hoa.
“Itulah puteri Sin-tiauw
Thian-lam Yo Him, cucu Sin-tiauw Tay-hiap Yo Ko! Kalian tentu telah mendengar
nama kedua pendekar gagah perkasa itu, bukan? Yo Him adalah ayah dari gadis
itu, dan Sin-tiauw Tay-hiap Yo Ko adalah kakek dari Yo Bie Lan!
“Karena dari itu kalian jangan
memandang remeh padanya! Walaupun benar dia dari tingkatan muda akan tetapi
kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali!”
Setelah berkata begitu, Giok
Hoa merangkapkan tangannya memberi hormat, dan dia duduk kembali.
Sedangkan orang-orang yang
berkumpul di tempat itu setelah mengetahui Bie Lan adalah puteri Yo Him dan
cucunya Yo Ko, mereka jadi tidak berani banyak bicara lagi.
Sedangkan Ko Tie telah berkata
lagi: “Dengan bantuan dari sahabat-sahabat sekalian, tentu dengan mudah kita
bisa mengerahkan kembali rakyat, agar bangun dan mengadakan perlawanan kepada
penjajah!”
Sunyi keadaan di sekitar
tempat itu
Tiba-tiba terdengar seseorang
berkata: “Pinto ingin bicara!”
Segera tampak dari rombongan
para tamu itu seorang Tojin berdiri tegak. Tubuhnya tegak dan tinggi besar.
Diapun memiliki mata yang bersinar sangat tajam sekali.
Ko Tie dan yang lainnya jadi
menoleh memandang kepadanya.
“Silahkan!” Kata Ko Tie.
“Ada sesuatu yang hendak pinto
tanyakan, bolehkah?”
“Silahkan Cinjin……. apa yang
akan Cinjin tanyakan?” Tanya Ko Tie.
“Mengenai cucu Oey Yok Su!”
“Ya, ada apa dengan cucu Oey
locianpwe?” Tanya Ko Tie.
“Apakah orangnya sudah ada di
sini?”
Ko Tie mengangguk.
“Mengapa dia tidak keluar
memperlihatkan diri?!”
“Sebentar lagi ia akan keluar
untuk berkenalan dengan sahabat-sahabat yang berada di sini!”
“Mengapa tidak sekarang?!”
“Justeru Siauwte hendak
menyampaikan dulu tujuan dari berkumpulnya kita di sini!”
Tojin itu menggangguk.
“Pinto justeru ingin
melihatnya dulu sekarang, karena sebelum kita membicarakan lebih jauh, tanpa
kenal dengan orangnya bukankah kita sulit untuk menyatakan pendapat kita?”
Ko Tie terdiam sejenak.
Sedangkan Kim Lo sendiri sejak
tadi duduk gelisah sekali. Dia kuatir jika memang Ko Tie nanti meminta dia maju
untuk memperlihatkan diri.
Dia sama sekali tidak
menyangka, bahwa tujuan dari berkumpulnya para pendekar gagah di tempat ini, di
Yang-cung, ternyata mengandung tujuan dan maksud besar dan sangat penting yaitu
bermaksud menghimpun kekuatan baru untuk mengadakan perlawanan kepada penjajah.
Tadinya, ia hanya menerima perintah dari Oey Yok Su untuk menemui para pendekar
gagah.
Semula Kim Lo menduga dia
hanya diperintahkan buat meminta petunjuk belaka. Siapa sangka, justeru
sekarang ini memang Ko Tie telah membeber semua tujuan pertemuan itu.
Kim Lo jadi kuatir dan
bimbang. Dia kuatir bahwa dia tidak akan sanggup untuk mengemban dan menerima
tugas yang begitu berat.
Tapi, disebabkan berada di
tempat tersebut, berkumpul demikian banyak orang, dia tidak bisa menyampaikan
perasaannya itu pada Ko Tie.
Dan sekarang ada Tojin itu
yang ingin memintanya keluar memperlihatkan diri. Ini membuat Kim Lo tambah
gelisah.
Setelah berdiam diri sejenak,
Ko Tie mengangguk.
“Baiklah! Segera siauwte akan
meminta cucu Oey locianpwe keluar, memperlihatkan diri.”
Berkata sampai disitu, Ko Tie
menoleh kepada Kim Lo, katanya: “Hiantit, silahkan kau keluar memperkenalkan
diri!”
Kim Lo ragu-ragu. Tapi Ko Tie
telab perintahkan padanya untuk keluar memperkenalkan diri. Ia bangun berdiri.
Melangkah perlahan-lahan mendekati Ko Tie.
Setelah berada disamping Ko
Tie, Kim Lo semakin gelisah. Ia melihat semua orang mengawasinya. Terpaksa dia
merangkapkan tangannya memberi hormat.
“Boanpwe Kim Lo memberi hormat
kepada Cianpwe sekalian!” Kata Kim Lo pada akhirnya.
Seketika di tempat itu ramai
oleh bisik-bisik.
Tojin yang tadi meminta agar
Kim Lo keluar memperlihatkan diri telah mengawasi Kim Lo dengan tajam. Tidak
senang hatinya melihat muka Kim Lo ditutupi oleh kain putih.
“Mengapa muka cucu Oey Yok Su
harus memakai penutup seperti itu?” Tegurnya. “Sedangkan kami diminta
mendukung, dan cucu Oey Yok Su main kucing-kucingan dengan kami. Apakah urusan
ini bisa selesai dengan baik?”
Muka Ko Tie berobah. Dia
sendiri memang belum pernah melihat muka Kim Lo. Dulu memang waktu ia
menghadiahkan serulingnya pada Kim Lo, waktu Kim Lo masih kecil dia telah
melihat muka anak ini tidak begitu baik.
Dan sekarang setelah dia
melihat Kim Lo dewasa, dengan kain penutup muka, dia menduga paling tidak muka
Kim Lo memang kurang baik bentuknya. Justeru pendeta itu mendesaknya begitu dia
terpojok.
“Baiklah Hiantit, kau bukalah
penutup mukamu!” Katanya memerintahkan Kim Lo agar dia membuka tutup mukanya
itu.
Kim Lo jadi serba salah.
Dia merangkapkan kedua
tangannya ke segala penjuru dan jurusan, dia bilang. “Maaf Boanpwe sekarang ini
memiliki kesulitan yang belum lagi bisa Boanpwe ceritakan……. Nanti jika memang
sudah tiba saatnya, tentu Boanpwe akan membuka tutup muka ini.”
Tojin itu tertawa dingin.
“Bocah kurang ajar! Hemmm kau
anggap aku ini apa? Hemmm pinto adalah ketua Khong-tong-pay Ciangbunjin sebuah
pintu perguruan yang tidak kecil!!
“Pinto diminta datang untuk
memberikan dukungan. Tapi seorang yang hendak didukung itu seorang yang main
kucing-kucingan. Sampai soal mukanya saja tidak mau memperlihatkannya! Baiklah
jika memang demikian lebih baik Pinto mengundurkan diri.”
Setelah berkata begitu, dia
mengibaskan hud-timnya, dan dia memutar tubuhnya untuk berlalu. Bersamaan
dengan itu, bangun belasan orang Tojin, yang ingin pergi, siapanya murid-murid
si Tojin.
Ko Tie jadi kaget.
“Tunggu dulu locianpwe…….!”
Namun ketua Khong-tong-pay itu
sudah tidak memperdulikan cegahan Ko Tie. Dia melangkah terus diikuti oleh
murid-muridnya buat berlalu.
Banyak tamu-tamu lainnya yang
berdiri dan kemudian memutar tubuh untuk berlalu.
Sisanya tetap duduk berdiam
diri di situ.
Ko Tie jadi salah tingkah, dia
merangkapkan sepasang tangannya dan bilang, “Maafkan sesungguhnya memang
keponakan kami ini memiliki kesulitan yang belum lagi bisa diceritakan. Harap
sahabat-sahabat mau memakluminya.
Tapi waktu itu justeru telah
bangun lagi beberapa orang, yang segera memutar tubuh untuk meninggalkan tempat
tersebut, dengan hati tersinggung.
Mereka justeru merasa
mendongkol, karena Kim Lo tidak mau membuka tutup mukanya. Dengan begitu mereka
merasakan bahwa Kim Lo tidak menghargai mereka.
Sedangkan kedatangan mereka ke
tempat itu justeru hendak memberikan dukungan pada Kim Lo, dan dengan adanya
sebutan para pendekar sejati, mereka juga hendak membangunkan diri. Siapa tahu
mereka dikecewakan seperti itu.
Malah di antara tamu-tamu yang
masih berada di tempat itu tertawa keras, mereka tampaknya mengejek. Dan ada
yang nyetetuk bilang, “Ya untuk apa kita mendukung seseorang yang demikian
pengecut, sampai wajahnya saja tidak berani diperlihatkan?!”
Begitulah, seorang demi
seorang telah pergi meninggalkan tempat itu, maka sebentar saja keadaan di
tempat itu jadi sepi. Dan yang tinggal jago-jago yang datang dari berbagai
penjuru yang duduk di situ sebagai peninjau belaka.
Ko Tie menghela napas.
“Memang untuk menghimpun para
orang gagah dibutuhkan Giok-sie. Dengan Giok-sie kita bisa menggerakkan rakyat
sekarang ini. Jika tanpa Giok-sie, kita sulit mempersatukan orang-orang gagah.”
Walaupun tamu-tamu itu
meninggalkan tempat tersebut dengan cara mereka, tokh Ko Tie tidak tersinggung.
Giok Hoa juga cuma menghela
napas.
Bie Lan mengawasi Kim Lo. Dia
heran sekali, mengapa Kim Lo keberatan membuka tutup mukanya.
“Mengapa kau tidak membuka
tutup mukamu itu agar mereka tidak mencapmu sebagai manusia pengecut?” tanya Yo
Bie Lan setelah Kim Lo duduk di sisinya.
Kim Lo menghela napas.
“Aku memiliki kesukaran nona
Yo…...!” katanya dengan nada suara mengandung penyesalan.
Bie Lan menghela napas.
“Dengan keberatan kau membuka
tutup muka, itu merupakan suatu penghinaan bagi mereka.”
“Tapi....... kakekku tak
pernah memberitahukan bahwa aku akan diserahi tugas seberat itu!” menggumam Kim
Lo kemudian, seperti menyesali dirinya sendiri.
Bie Lan tak bilang apa-apa
lagi, ia berdiam diri dengan wajah yang muram.
Sedangkan Giok Hoa sudah
menoleh pada Kim Lo, ia bilang, “Hiantit sebetulnya apakah ada sesuatu yang tak
beres pada mukamu?!”
Kim Lo tidak menyetujui, ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Jawablah Hiantit, jika memang
benar begitu, kami juga tidak akan mendesakmu!”
Kim Lo mengangkat kepalanya.
Ia mengawasi Giok Hoa, kemudian Bie Lan lalu Kim Cie Sin-kay dan Ko Tie barulah
ia mengangguk,
“Wajahku terlalu buruk buat
diperlihatkan kepada orang ramai!” Katanya dengan suara tersendat seakan juga
dia sedih bukan main.
Ko Tie teringat kepada wajah
Kim Lo waktu masih kecil. Demikian juga Giok Hoa. Mereka menduga apakah wajah
Kim Lo masih sejelek itu? Dan mereka jadi menghela napas.
“Kita telah gagal buat
menghimpun orang-orang gagah, agar memberikan dukungannya.” Dan suara Ko Tie
sedih
“Sudahlah!” Kata Giok Hoa,
“Nanti kita bisa mengusahakan dulu buat memperoleh Giok-sie. Dengan adanya
Giok-sie di tangan tentu kita bisa mengerahkan orang gagah untuk menentang
penjajah!”
Ko Tie kemudian berdiri, dia
memberi hormat kepada tamu-tamu lainnya.
“Maafkan atas ketidak lancaran
pertemuan ini. Harap sahabat-sababat mau memaafkan!” Katanya dengan penuh
penyesalan. Itulah suatu cara halus untuk membubarkan orang-orang itu
Tiba-tiba di antara
orang-orang itu ada yang tertawa dan melontarkan kata-kata ejekan.
Dan mata Kim Cie Sin-kay yang
tajam segera melihat orang-orang yang melontarkan kata-kata ejekan itu adalah
orang-orangnya Pu San Hoat-ong.
Sebetulnya jika memang menurut
hati kecilnya, dia akan melompat buat membekuk mereka. Namun akhirnya dia
teringat kalau memang dia membekuk orang itu, niscaya orang-orang yang lainnya
akan menduga lain dan salah paham. Tentu akan timbul kerusuhan.
Karenanya Kim Lo telah
membiarkan saja. Dia cuma mendelik kepada orang-orang itu!
Orang-orang lainnya mendengar
caci yang dilontarkan oleh beberapa orang anak buah Pu San Hoat-ong yang memang
telah menyelusup ke dalam pertemuan tersebut, jadi ikut menggerutu tidak
senang. Mereka jadi ikut memaki dan menyesali akan pertemuan yang gagal ini!
Malah ada di antara mereka, yang tidak segan-segan melontarkan makian untuk Oey
Yok Su maupun Yo Ko.
Begitulah orang-orang itu
telah bubar! Keadaan di tempat itu jadi sunyi.
Tiba-tiba Kim Cie Sin-kay
menepuk lututnya.
“Hai!” Teriaknya sambil
melompat berdiri, seakan-akan ia teringat sesuatu.
“Ada apa, locianpwe?” Tanya Ko
Tie sambil mengawasi si pengemis.
“Sekarang aku baru ingat!
Pasti ada sesuatu yang tak beres pada diri orang-orang Khong-tong-pay itu!”
“Kenapa?”
“Mereka tentu telah dihasut
oleh si keledai gundul Pu San Hoat-ong. Mereka justeru diperalat untuk
menggagalkan pertemuan ini!” Dan setelah berkata begitu, kembali Kim Cie
Sin-kay berjingkrak karena gusar.
Ko Tie juga terkejut.
“Kemungkinan itu memang bisa
saja terjadi!” kata Giok Hoa dengan wajah yang muram.
“Ya, tentu dengan segala cara
Pu San Hoat-ong berusaha menggagalkan pertemuan ini!” kata Ko Tie.
“Hemm, memang kita telah
salah!”
“Salah?”
“Ya salah! Kita melakukan
kesalahan!”
“Maksud locianpwe?”
“Mengapa kita tidak membasmi
mereka waktu beberapa hari yang lalu?!”
“Tapi, inilah resikonya untuk
menghimpun suatu kekuatan, sayangnya pihak Khong-tong-pay itu tak memiliki
pengertian sedikitpun juga sehingga membuat yang lainnya ikut-ikutan!”
“Justeru mereka yang telah
diperalat oleh Pu San Hoat-ong……. dengan cara seperti itu, memang mereka
berhasil untuk mengacaukan dan menggagalkan pertemuan ini!”
“Hemm, tapi itu hanya dugaan
kita, tentunya belum pasti bukan?”
“Jika memang nanti terbukti,
hem, hem, aku akan mencari si keledai gundul itu. Aku Kim Cie Sin-kay si
pengemis tua yang melarat, niscaya akan mengadakan perhitungan dengannya!”
Waktu itu Kim Lo telah maju,
ia merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat pada semua orang itu, Kim Cie
Sin-kay, Giok Hoa, Ko Tie maupun Bie Lan.
“Maafkanlah aku yang telah
menyebabkan para paman dan Locianpwe menerima kesulitan seperti ini!” Katanya
dengan penuh penyesalan,
Ko Tie menghela napas
dalam-dalam.
“Ini bukan gara-garamu Kim
Lo!” katanya kemudian sambil menepuk-nepuk pundak si pemuda. “Nanti kita akan
berhasil untuk menghimpun orang-orang gagah. Yang terpenting sekarang ialah
kita harus berusaha memperoleh Giok-sie.
“Jika memang Giok-sie berhasil
kita peroleh, niscaya kita bisa menggerakkan rakyat dan menghimpun para orang
gagah untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah!”
Setelah berkata begitu Ko Tie
menoleh pada Bie Lan, ia bertanya, “Apakah ayah dan ibumu akan datang kemari
juga?”
“Menurut ayah dan ibu, mereka
akan menyusul datang ke mari! Tapi aneh, mereka masih belum juga tiba di sini?”
“Bagus! Jika memang mereka
nanti datang kita minta pendapatnya dan nasehat mereka!” kata Ko Tie.
Giok Hoa kemudian menyarankan
agar mereka beristirahat dulu. yang lainnya menyetujui.
Begitulah mereka telah pulang
ke rumah seorang penduduk yang tidak jauh terpisah dari lembah tersebut. Memang
kemarin mereka telah menginap di rumah penduduk itu. Mereka memberikan hadiah
uang yang cukup besar.
Tapi biarpun mereka merebahkan
diri di pembaringan, masing-masing tidak bisa tidur. Mereka merasakan, betapa
hati mereka diganggu oleh berbagai macam kemelut yang merisaukan dan
menggelisahkan hati.
Terlebih lagi Ko Tie.
Bukankah rencananya telah
gagal, untuk menghimpun suatu kekuatan? Oey Yok Su telah mempercayai sepenuhnya
pada Ko Tie, buat menghimpun kekuatan, guna mengadakan perjuangan dan juga
perlawanan kepada penjajah.
Disamping itu, Oey Yok Su
yakin, Ko Tie akan berhasil dengan usahanya itu. Karenanya Oey Yok Su pun telah
menjanjikan mengirim Kim Lo ke tempat ini yaitu, Yang-cung tempat pertemuan
orang gagah. Tapi pertemuan itu telah macet di tengah telah mengalami
kegagalan. Dengan sendirinya membuat Ko Tie menyesal bukan main.
Ko Tie menyadari, jika memang
waktu diselenggarakan pertemuan itu ia mempergunakan kekerasan, niscaya hanya
menimbulkan kesan buruk belaka. Karena dari itu, dia tidak mau mengambil
tindakan kekerasan. Walaupun para pendeta Khong-tong-pay itu bersikap kurang
ajar dan agak menghina, tokh Ko Tie tidak mengambil tindakan apapun juga.
Giok Hoa yang melihat keadaan
suaminya seperti itu, segera menghiburnya. Dia bisa merasakan apa yang tengah
dirasakan oleh suaminya tersebut yaitu kekecewaan.
Besoknya mereka berunding, apa
yang akan mereka lakukan.
“'Yang pertama-tama harus kita
usahakan, ialah harus berusaha memperoleh Giok-sie cap kerajaan!” Kata Ko Tie.
“Tapi kita tidak mengetahui
dimana sekarang Giok-sie berada!” Kata Giok Hoa.
“Bukankah kita telah
mendengarnya bahwa seorang nelayan di Lam-hay berhasil menemukan Giok-sie…….
kita bisa menyelidiki di Lam-hay untuk mengetahui apakah berita itu benar
adanya! Jika benar, kita harus berusaha buat memperoleh Giok-sie itu!”
Kim Lo cuma mendengarkan saja.
Demikian juga halnya dengan Bie Lan.
Giok Hoa menghela napas.
“Untuk memperoleh Giok-sie pun
bukan pekerjaan yang mudah!” Kata Giok Hoa. “Kita harus menantikan dulu Yo
Pe-peh dan Sasana Peh-bo. Kepada mereka kita bisa jelaskan semua duduk persoalan,
dan kita bisa meminta pendapat mereka!”
Ko Tie mengangguk beberapa
kali.
Demikianlah, mereka menetap
selama beberapa hari di rumah penduduk itu. Pihak Kay-pang banyak melakukan
sesuatu untuk mereka seperti menyelidiki dan mencarikan berita buat mereka,
termasuk barang makanan dan kebutuhan uang.
Kim Cie Sin-kay adalah Tianglo
nomor empat di Kay-pang kekuasaannya sangat besar. Karena dari itu, dia bisa
perintahkan ketua daerah Kay-pang di Yang-cung untuk mengerahkan seluruh
kekuatan Kay-pang, untuk mengumpulkan berita, yang hendak mereka ketahui adalah
tentang Yo Him dan Sasana, apakah ke dua orang itu telah datang.
Bie Lan sendiri, selama
beberapa hari itu selalu riang bermain dengan rajawali putih yang mengajak dia
terbang ke tengah udara untuk berkeliling dengan asyik sekali. Di mana memang
tampaknya Bie Lan belum lagi kurang sifat kekanak-kanakkannya. Dia masih saja
bermain dengan gembira sekali.
Terlebih lagi memang burung
rajawali putih itu sangat jinak. Selalu menurut apa yang dikehendaki oleh Bie
Lan karena burung itu seperti mengerti apa yang diucapkan oleh Bie Ian.
Giok Hoa tidak melarang Bie
Lan bermain-main dengan burung rajawalinya itu. Dan juga Ko Tie sepanjang hari
berunding dengan Kim Cie Sin-kay serta Kim Lo, apa yang mereka lakukan.
Namun setelah lewat sepuluh
hari mereka menanti sia-sia belaka, Yo Him dan Sasana tak juga muncul.
Bie Lan pun heran.
“Ayah dan ibu mengatakan akan
segera menyusulku ke Yang-cung. Mereka memintaku melakukan perjalanan dulu.
Tapi aneh sekali, mereka masih belum juga tiba. Apakah mereka bertemu rintangan?”
Diwaktu itu tampak Bin Lan
gelisah juga.
Akhirnya setelah menunggu dua
hari lagi dan setelah merundingkan diambil keputusan bahwa mereka akan
melakukan perjalanan ke Lam-hay untuk menyelidiki tentang Giok-sie cap kerajaan
itu.
Demikianlah, rombongan itu
akhirnya meninggalkan Yang-cung, mereka bermaksud pergi ke laut selatan yaitu
Lam-hay.
Memang selama ini tersiar
berita, Giok-sie telah diperoleh seorang nelayan di Lam-hay dan mereka ingin
menyelidiki apakah berita itu benar atau hanya sekedar berita burung belaka.
Kim Cie Sin-kay sendiri telah
memberitahukan kepada Ko Tie dan yang lainnya, nanti di Lam-hay dia akan
mengerahkan pengemis-pengemis di sana buat menyelidiki dengan ketat.
Jika memang berita yang
tersiar itu benar maka dengan mudah pengemis-pengemis Kay-pang akan dapat
mengetahuinya dengan pasti.
Begitulah, Kim Lo bersama-sama
dengan Ko Tie, Giok Hoa, Kim Cie Sin-kay dan Bie Lan melakukan perjalanan ke
Lam-hay. Selama itulah mereka bilang kepadanya, sementara waktu Kim Lo tidak
usah memikirkan yang tidak-tidak, sampai nanti Giok-sie diperoleh.
Sebelumnya Kim Lo sangat
murung. Dia jarang sekali bicara dengan mereka akhir-akhir itu. Karena pemuda
ini memang tampaknya jadi bingung, sebab sekarang dia baru mengetahui di
pundaknya terdapat tugas yang berat.
Cuma saja yang naembuat Kim Lo
jadi heran serta tidak mengerti, mengapa justeru dia yang dipilih, mengapa
bukan orang lain atau dipilihnya seorang pendekar gagah perkasa seorang gagah
sejati?
Justeru disebabkan Ko Tie
telah memberitahukan padanya, agar dia tidak terlalu murung dan telah membuat
dia berlapang hati. Karena janji Ko Tie setelah diperoleh Giok-sie, barulah dia
akan mempertimbangkan lagi, tindakan apa yang akan mereka lakukan…….
Perjalanan ke Lam-hay memang
tidak terlalu sulit. Cuma saja, untuk mencapai tempat tujuan, mereka memerlukan
waktu sampai dua bulan……
<>
Angin tenggara di selat
Lay-ciu, di daerah propinsi Shoatang, berhembus cukup keras. Di dekat teluk
Put-hay, teluk Chili tampak seorang penunggang kuda tengah melarikan kuda
tanggangannya dengan cepat.
Kuda itu tampak sehat sekali,
karena binatang tunggangan ini dapat berlari dengan pesat, dimana memang kuda
itupun memiliki tenaga yang sangat kuat. Kuda itu tinggi besar, berbulu coklat
tua, dengan kombinasi bulu putih di bagian perutnya. Tampaknya kuda dari Arab
atau memang juga kuda dari Mongolia dan lari kuda secepat angin.
Penunggang kuda itupun
memiliki tubuh yang sehat, walaupun sikapnya tampak ia lesu bukan main. Ia
melarikan kudanya itu seperti juga tengah mengejar sesuatu.
Pada wajahnya terlihat
perasaan kuatir. Ia berusia empatpuluh tahun lebih mengenakan baju warna biru
langit dan celananya yang cukup ketat berwarna coklat muda.
Dia pandai sekali
mengendalikan kuda tunggangannya, walaupun kuda itu berlari sangat pesat, namun
tubuhnya sama sekali tidak terguncang terlalu hebat. Dia dapat duduk dengan
posisi yang baik.
Setelah melarikan kuda
tunggangannya itu sekian lama, dia melewati daerah yang termasuk teluk Put-hay
tersebut karena ia sudah mulai memasuki daerah daratan-daratan yang penuh
dengan rumput-rumput yang hijau. Hanya saja sejauh mata memandang, tidak
terlihat sebuah rumah penduduk pun.
Jika tadi, dia memang melihat
di teluk Put-hay banyak sekali rumah penduduk yang umumnya adalah nelayan. Dan
dia tidak bermaksud untuk singgah.
Dia memang ingin melakukan
perjalanannya itu cepat-cepat, agar lebih segera bisa tiba di tempat tujuannya.
Setelah tiba di lapangan rumput itu, orang tersebut menarik tali kendali
kudanya. Binatang tunggangan itu berhenti berlari. Orang itu memandang
sekelilingnya.
Sejauh mata memandang lepas,
hanya tampak lapangan rumput yang sangat luas, juga rumput-rumput yang tumbuh
di situ subur sekali. Tidak terlihat sebuah rumah penduduk atau seseorang
lainnya. Sepi dan langgeng.
Laki-laki itu menghela napas.
“Untuk mencapai Kiu-ciu,
mungkin masih memerlukan waktu tiga hari…… entah masih keburu atau tidak, aku
memberitahukan urusan yang sangat penting itu kepada mereka?” Menggumam
laki-laki tersebut.
Dia menghela napas dan
kemudian menggumam pula, “Jika memang terlambat, tentu banjir darah sulit untuk
dielakkan…….!”
Setelah beristirahat sejenak
seperti itu, tanpa turun dari atas kudanya. Laki-laki ini membedal lagi
kudanya, yang segera berlari pesat sekali di atas lapangan rumput yang luas
itu.
Rupanya kuda ini berselera
sekali melihat rumput yang tebal, ia berhenti sejenak ketika berlari sekian
jauhnya, dia memakan rumput itu. Dan penunggangnya tidak memaksa dia berlari
terus. Membiarkan kuda tunggangannya itu menikmati rumput itu. Lewat kurang
lebih sepasangan satu batang hio, dia mengendut lagi tali kendali kuda itu,
melarikan kuda tunggangannya pula.
Kuda itu sudah makan cukup
banyak, semangatnya juga telah kumpul. Dia berlari jauh lebih cepat
dibandingkan dengan tadi karena kuda itu seperti juga anak panah yang dilepas
dari busurnya, melesat seperti kilat.
Laki-laki di punggung kuda itu
membedal terus kudanya. Dia yakin sebelum dua hari dia sudah bisa tiba di
tempat tujuannya, kalau saja kudanya bisa berlari terus menerus seperti
sekarang.
Sayangnya, binatang
tunggangannya ini tidak mungkin dilarikan terus menerus selama dua hari tanpa
beristirahat sedikitpun, dan walaupun bagaimana memang kuda itu memerlukan
waktu buat beristirahat, dan tentu waktu perjalanan akan lebih lama lagi. Dia
merencanakan dalam tiga hari sudah bisa tiba di tempat tujuannya.
Walaupun demikian laki-laki
itu mengusahakan agar kudanya dapat berlari lebih cepat lagi, karena semakin
cepat ia tiba di tempat tujuannya, akan menjadi semakin baik lagi.
Tengah laki-laki itu membandel
kudanya seperti kerasukan setan, tapi dengan posisi tubuh duduk dengan sikap
yang baik sekali, tiba-tiba dari sebelah depannya, di kejauhan, juga tampak
tengah berlari seekor kuda. Cepat pula, semakin lama semakin dekat dan semakin
jelas.
Kuda yang tengah mendatangi
itu berbulu hitam, dan juga penunggangnya juga mengenakan pakaian warna hitam.
Malah di pundak penunggang kuda yang tengah mendatangi itu tergemblok sebatang
pedang.
Dia memiliki muka yang empat
persegi, tubuhnya tegap dan kuat sekali kelihatan tenaganya. Dia duduk mantap
di atas punggung kudanya. Dan sama seperti penunggang kuda yang pertama itu,
diapun melarikan kuda tunggangannya sangat cepat.
Karena kedua kuda
masing-masing berlari cepat seperti itu, dalam waktu singkat kedua kuda itu
menghampiri semakin dekat.
Hati laki-laki pertama, yang
mengenakan baju warna biru langit itu tercekat.
“Hemmm, tentu ini penyakit
lainnya yang berusaha menggagalkan tugasku! Tadi aku baru saja melewati dua
macam penyakit!”
Walaupun dia berpikir begitu
dan memiliki dugaan bahwa orang yang berpakaian serba hitam yang tengah
mendatangi itu bukan sebangsa manusia baik-baik, dia tetap membawa sikap yang
tenang. Dia tetap melarikan kuda tunggangannya.
Akhirnya kedua kuda itu saling
berpapasan. Namun kuda hitam itu berlari seakan juga hendak menerjang dan
menubruk kuda si orang berbaju biru.
Menghindarkan tabrakan, orang
berpakaian baju biru itu menarik tali kendali kudanya. Kuda tunggangannya yang
tengah berlari cepat, jadi kaget waktu tali kendali di mulutnya tertarik
kuat-kuat, dia meringkik sambil menarik ke dua kaki depannya naik ke atas.
Kuda hitam itupun berhenti.
Penunggang kuda hitam itu, seorang berusia hampir limapuluh tahun. Cuma saja
matanya bengis, mengawasi orang berbaju biru. Dia memperdengarkan suara tertawa
dingin.
“Bukankah kau Hui-houw-to?!”
Tegurnya. Dia menyebut Hui-houw-to atau Golok Harimau Terbang.
Orang berbaju biru itu
tercengang sejenak, dia berpikir, “Aneh, dia mengetahui siapa aku!”
“Benar!” Walaupun dia berpikir
begitu, tokh dia menyahuti juga. “Memang tidak salah, aku Hui-houw-to Kang Lam
Cu!”
“Hemmm....... jika memang kau
ingin melanjutkan perjalanan dengan tubuh yang utuh, surat yang tengah kau bawa
harus diserahkan kepadaku…......”
Muka Hui-houw-to berobah.
Orang bicara dengan sikap yang bengis, terus dia memang bermaksud tidak baik.
Terlebih sekarang sudah diketahui, apa maksud orang itu yang menghadangnya,
yaitu meminta surat yang tengah di bawanya.
“Hemm, siapa kau?” Tanya Hui-houw-to
tanpa menjawab perkataan orang itu.
“Tidak perlu, kau ketahui
siapa aku! Tapi sudah kuberitahukan, jika memang engkau hendak melanjutkan
perjalanan dengan selamat dan tubuh tetap utuh, surat yang tengah kau bawa itu
harus diserahkan kepadaku!”
Tiba-tiba orang berbaju biru
itu, Hui-houw-to, mengangkat kepalanya, menengadah mengawasi langit. Mulutnya
dibuka lebar-lebar, terdengar suara tertawanya yang bergelak-gelak, keras dan
nyaring sekali.
“Apakah demikian mudah?!”
Tanya Hui-houw-to dengan suara dingin: “Apakah kau kira akan sedemikian mudah
untuk mengambil surat yang ada padaku?!”
“Itu terserah kepadamu! Aku
memberikan dua pilihan, kau boleh memilihnya! Yang pertama adalah jalan
kehidupan, di mana kau bisa hidup terus dengan tubuh yang utuh, asal kau
menyerahkan surat itu kepadaku.
“Tapi jika memang tidak mau
menyerahkan surat itu berarti kau memilih jalan kedua yaitu engkau akan
terbinasa dengan tubuh tidak utuh. Sedangkan surat di tanganmu akan terjatuh
juga ke tanganku. Mengerti kau?”
Hui-houw-to tidak hanyak
bicara lagi. Tahu-tahu tubuhnya melesat turun dari punggung kudanya. Tubuhnya
bergerak lincah sekali.
Sepasang kakinya hinggap di
tanah berumput itu dengan ringan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga.
Itulah gin-kang yang sangat mahir sehingga bisa membuat tubuh jadi begitu
ringan.
“Bagus!” Berseru Hui-houw-to
ketika ke dua kakinya sudah hinggap di tanah berumput itu. “Aku justeru ingin
melihat, jika aku memilih jalan kematian, apa yang engkau bisa lakukan?”
Sambil berkata begitu,
Hui-houw-to mengambil sikap bersiap-siap untuk menghadapi setiap terjangan dan
serangan orang berpakaian hitam itu, yang tidak mau menyebutkan dan
memperkenalkan namanya. Dengan sikapnya seperti itu, Hui-houw-to memang
menantang orang-orang itu buat segera turun tangan, karena dia bermaksud akan
melayaninya dengan cara keras di lawan keras.
Orang berpakaian baju hitam
yang duduk di puuggung kuda hitam itu memperdengarkan suara tawanya yang dingin
menyeramkan. Sikapnya tenang sekali.
Dia memang mendongkol
ditantang seperti itu oleh Hui-houw-to, namun dia bisa menguasai diri. Dia
masih tetap duduk di punggung kudanya.
“Apakah benar-benar engkau
tidak mau mendengar kata-kata baik dariku?” Tegurnya.
Hui-houw-to menggeleng.
“Silahkan!” Tanyanya lagi.
Orang berbaju hitam itu
tertawa.
“Baiklah. Rupanya memang
engkau sudah tidak sabar ingin cepat-cepat pergi ke Giam-lo-ong!”
Setelah berkata begitu, tubuh
orang berbaju hitam itu melompat dari punggung kudanya. Tapi dia melompat bukan
buat hinggap di atas tanah berumput, melainkan tubuhnya seperti anak panah yang
lepas dari busurnya, tampak telah melesat menerjang kepada Hui-houw-to.
Tangannya berkelebat akan menghantam batok kepala Hui-houw-to.
Pukulan yang dilakukan orang
berbaju hitam itu kuat sekali, karena Hui-houw-to merasakan, belum lagi tangan
orang itu tiba dekat, justeru angin pukulannya sudah berkesiuran menerjang ke arah
batok kepalanya.
Ccpat-cepat Hui-houw-to
mengelakkannya dengan melompat dua tombak ke samping kanan.
Tapi, waktu itu justeru tubuh
orang berbaju hitam itu hinggap di tanah berumput sambil tangannya sudah
menghunus pedangnya dan tangannya itu tidak tinggal diam saja, karena dia telah
menabas.
Dia rupanya hendak
memanfaatkan kesempatan yang ada, yaitu waktu sepasang kakinya hinggap
tangannya menghunus pedang sambil diayunkan menabasnya. Tebasan itu pun sangat
kuat, menimbulkan angin berkesiuran dasyat.
Hui-houw-to sama sekali tidak
gentar. Dia berkelit lagi! Hanya dengan mundur satu langkah ke belakang. Waktu
pedang lawannya meluncur lewat di depan mukanya dia mengulurkan tangannya, buat
menjepit pedang itu, yang hendak dipatahkannya dengan jepitan tangannya.
Dalam keadaan seperti inilah,
segera terlihat betapapun juga, memang Hui-houw-to kalah gesit dibandingkan
dengan orang berbaju hitam itu. Begitu pedangnya hendak dijepit, orang berbaju
hitam itu menarik pulang pedangnya tahu-tahu mata pedang telah mengincar dada
Hui-houw-to.
Tentu saja Hui-houw-to
terkejut, dia tetap tidak gugup dalam perasaan kaget seperti itu. Cuma saja dia
kagum buat hebatnya ilmu pedang lawannya, yang dapat menyerangnya begitu cepat
dan aneh sekali gerakan maupun jurusnya.
Cepat-cepat Hui-houw-to
mengelakkan ke sana ke mari dengan lincah.
“Bagus!” Dia malah berseru
nyaring.
Tangannya meraih ke dalam
bajunya, seketika ia mengeluarkan golok pendeknya. Panjang goloknya itu cuma
beberapa kaki, dan berkilauan terang sekali.
Berbeda dengan golok biasa,
golok ini pendek dan bentuknya lebar, sehingga mirip dengan golok pemotong
babi. Cuma saja, bentuk di ujungnya yang memiliki kaitan besar, menunjukkan
bahwa golok itu bukanlah golok pemotong babi.
Golok itu telah dihunus dan
segera dipergunakan buat menyampok pedang orang berbaju hitam. Lelatu api
segera muncrat ke mana-mana.
Orang berbaju hitam sendiri
merasakan tangannya tergetar akibat benturan itu.
Demikian juga dengan
Hui-houw-to ia merasakan tangannya kesemutan, goloknya tergetar.
“Kuat tenaganya…….!” pikir
Hui-houw-to di dalam hati, namun ia tak gentar, karena segera saja golok
pendeknya telah diputar. Ia telah mulai balas menyerang dengan gencar.
Orang berbaju hitam itu
memutar pedangnya sehingga beradu beberapa kali pedang dengan golok, dan
muncratnya lelatu api yang tidak hentinya.
Saat itu terlihat Hui-houw-to
berusaha membalas mendesak lawannya. Cuma saja ia selalu gagal.
Karena lawannya memiliki
kepandaian yang tidak lemah dan bisa memberikan perlawanan yang sama gigihnya.
Diwaktu itu malah orang berpakaian serba hitam itu berulang kali berusaha mau
mendesak dan menyerang lebih gencar kepada Hui-houw-to.
Demikianlah kedua orang itu
telah saling menyerang dengan gencar, bertempur seru sekali.
Sedangkan Hui-houw-to
diam-diam berpikir di dalam hati: “Aku harus dapat merubuhkan orang ini secepat
mungkin. Jika tidak aku hanya membuang-buang tenaga percuma saja!”
Waktu itu dia bersiul nyaring,
tahu-tahu goloknya seperti hujan menyambar bertubi-tubi kepada lawannya,
gerakannya begitu cepat, sulit diterka. Malah yang luar biasa golok pendek itu
berobah menjadi sepuluh batang menyambar, mengelilingi tubuh lawan Hui-houw-to.
Dan juga, diwaktu itu Hui-houw-to
telah mempergunakan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling bisa diandalkannya.
Dia telah menyerang tidak hentinya.
Dengan penyerangan yang gencar
seperti itu membuat lawannya harus main mundur. Karena sementara itu dia tak
bisa mengetahui, yang mana serangan yang sesungguhnya dan yang mana golok yang
sebenarnya.
Disaat itu tampak Hui-houw-to
telah bersiul nyaring. Dan kuda coklatnya telah berlari ke dekatnya. Sambil
menjejakkan kakinya, Hui-houw-to bilang.
“Sampai berjumpa lagi maaf,
aku tidak bisa menemanimu main-main terlalu lama!”
Usai berkata begitu, kudanya
dibedal dengan cepat sekali dan kuda tunggangan itu berlari pesat seperti
terbang.
Orang berpakaian serba hitam
itu jadi kaget.
“Kau mau kabur kemana?!”
sambil berseru begitu, dia melesat menghampiri kudanya. Dan melompat naik ke
punggung kudanya, membedalnya dan berusaha mengejarnya.
Namun Hui-houw-to sudah
melarikan kudanya cukup jauh, dia membedal terus sambil menjepit perut kuda
itu.
Sudah menjadi keputusan
Hui-houw-to, bahwa dia memang harus dapat melepaskan diri dari lawannya itu,
dan harus dapat melarikan kudanya itu lebih cepat lagi. Dengan demikian orang
berbaju hitam itu tidak bisa menyandaknya dan diwaktu itulah baru dia akan
terlepas dari kejaran lawannya.
Sedangkan orang berpakaian
serba hitam itu sama sekali tidak mau melepaskan buruannya. Dia pun menjepit
kuat-kuat perut kudanya, dia melarikannya dengan pesat, berusaha untuk
menyandak kuda Hui-houw-to.
Begitulah kedua ekor kuda itu,
yang cokelat di sebelah depan dan kuda berbulu hitam di belakangnya, saling
kejar berlari pesat sekali, seakan juga kedua ekor kuda itu masing-masing ingin
memperlihatkan bahwa mereka dapat berlari semakin cepat jika memang majikan mereka
menghendakinya.
Hui-houw-to mengetahui bahwa
lawannya mengejar di belakangnya sama cepatnya. Dan kuda lawannya itupun bukan
kuda sembarangan karenanya dia tidak berani berayal sejenak pun juga.
Dia terus membedal kudanya,
malah dia berseru berulang kali: “Ayo cepat….. ayo....... Jika kita sudah
meninggalkan dia, kita akan pesta makan. Aku akan memberikan kepadamu nanti
rumput muda yang harum!”
Sambil membisiki begitu, dia
mengusap-usap leher kuda itu, dia telah membisikinya berulang kali. Dan memang
dia berhasil.
Kuda itu seperti juga
mengerti, karena kuda itu telah berlari semakin cepat. Dan akhirnya jarak
antara kuda Hui-houw-to dengan kuda hitam itu terpisah semakin jauh juga.
Walaupun orang yang berpakaian
hitam itu mati-matian berusaha melarikan kuda tunggangannya itu lebih cepat,
tetap saja jarak mereka semakin jauh.
Orang berpakaian serba hitam
itu berulang kali menepuk-nepuk leher kudanya, dia juga telah merogoh sakunya,
mengeluarkan senjata rahasianya karena sewaktu-waktu dia akan mempergunakannya
buat menimpuk lawannya, jika saja memang kelak jarak mereka sudah semakin
dekat.
Tengah Hui-houw-to asyik
membisiki kudanya agar kuda itu berlari lebih cepat justeru matanya yang tajam
melihat, dari arah depannya datang lari memapaki seekor kuda lainnya. Kuda yang
lari dengan cepat sekali.
Kuda itu berbulu hitam juga,
tapi penunggang bukan seorang laki-laki, melainkan seorang wanita, yang usianya
mungkin baru tigapuluh tahun lebih.
Waktu itu, Hui-houw-to telah
berusaha untuk memperhatikan baik-baik wanita itu, dan dia melihatnya bahwa
wanita membawa pedang di punggungnya. Tampak wanita itu memang merupakan orang
musuhnya yang berpakaian hitam di belakangnya, karena terlihat dia pun hendak
menghadang Hui-houw-to.
Diwaktu itu, dengan cepat
sekali kuda Hui-houw-to sudah berlari mendekati kuda yang tengah memapaknya.
Tangan kiri Hui-houw-to segera
juga merogoh sakunya, dia mengeluarkan beberapa biji Tiat-lian-cu. Dia
mempersiapkannya untuk melepaskan senjata rahasianya.
Ketika kuda mereka hampir
bertubrukan, Hui-houw-to sengaja tidak menahan larinya sang kuda. Dia membedal
terus, malah tangan kirinya segera menimpuk melepaskan biji Tiat-lian-cu!
Sedangkan wanita itu melihat
menyambar biji-biji Tiat-lian-cu, jadi memiringkan tubuhnya. Dia tidak
mengelakkan sambaran Tiat-lian-cu, sedangkan tangan kanannya telah mencabut
pedangnya yang tergemblok di punggungnya, dia hendak mempergunakan pedangnya
buat menabas batang leher Hui-houw-to.
Namun sayang sekali, biarpun
wanita itu bisa menggelakkan diri dari samparan Tiat-lian-cu tidak urung dua
butir Tiat-lian-cu mengenai leher kudanya.
Kuda itu kesakitan, dia
meringkik dan mengamuk dengan mengangkat-angkat kedua kaki depannya, dengan
begitu lenyap keseimbangan tubuh wanita itu, dia berusaha mengendalikan
kudanya, tapi gagal, malah tubuhnya telah terlempar keras dari punggung kudanya
itu.
Untung saja wanita itu
memiliki gin-kang yang mahir, sehingga dia bisa mengendalikan tubuhnya yang
tengah terlambung di tengah udara. Dan dia telah berusaha jumpalitan agar
tubuhnya itu tidak rubuh terbanting di tanah.
Dia bisa hinggap di tanah
dengan baik sekali dengan kedua kakinya tiba lebih dahulu.
Begitulah, mereka telah
tertinggal oleh kuda Hui-houw-to yang berlari keras terus.
Kuda hitam itu dikendalikan
oleh laki-laki berbaju hitam itu tiba dengan cepat. Dan wanita tersebut tanpa
bilang apa-apa telah melompat ke punggung kuda orang berbaju hitam itu.
“Cepat kejar.......!” katanya.
Tampaknya wanita ini sengit
sekali, sebab hampir saja tadi dia terbanting dari atas kudanya. Maka dari itu,
panas hatinya, dia ingin mengejar Hui-houw-to sampai dapat.
Sedangkan laki-laki berbaju
hitam itu mengiakannya, ia membedal kudanya dengan segera. Ia mengetahui bahwa
wanita itu menumpang di kudanya, karena wanita ini tak mau membuang-buang waktu
lagi dengan mengejar kudanya yang telah berlari jauh itu. Dan ia membedal kuda
hitamnya itu, agar berlari lebih cepat lagi.
Sedangkan wanita itu tampaknya
tidak sabar ketika melihat jarak antara Hui-houw-to dengan kuda mereka semakin
terpisah jauh.
“Ayo cepat kejar....... ayo
larikan kuda lebih cepat!” ia mendesak lelaki baju hitam itu.
“Ya....... ya…..!” kata lelaki
baju hitam itu berulang kali, dan ia membedal terus kudanya.
“Hemm, walaupun bagaimana,
kita harus dapat mengejarnya, tak mungkin ia melarikan kudanya terus menerus,
karena akhirnya pasti ia akan berhenti buat beristirahat, kita kejar terus
walaupun dia melarikan diri ke ujung langit……!”
Lelaki baju hitam itu
mengiakan lagi, kuda hitam itu berlari terus dengan pesat.
Cuma saja, disebabkan sekarang
penunggangnya bertambah seorang, lari kuda hitam itu bukannya semakin cepat
malah semakin lama jadi semakin perlahan dan lebih lambat. Karuan saja jarak
pisah antara kuda Hui-houw-to dengan kuda itu semakin jauh.
Keadaan seperti itu membuat
orang berpakaian hitam dan wanita itu jadi panik bukan main. Karena memang
mereka mengetahuinya kalau saja Hui-houw-to berlari untuk melarikan kudanya
terus, akibatnya mereka akan tertinggal jauh sekali.
Sedangkan Hui-houw-to sendiri
telah melarikan kudanya semakin cepat saja. Karena dia mengetahui, sekali saja
dia terkejar, niscaya akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil.
Karena dari itu, dia telah
melarikan kudanya tersebut semakin cepat. Dia tidak memperdulikan segala apa
pun juga. Kudanya itu dilarikan seperti menerjang sesuatu yang sangat hebat,
menerjang udara dan juga rumput-rumput yang kena diterjang ke empat kakinya
menjadi rusak.
Kuda itu seperti mengetahui
bahwa majikannya tengah mengalami ancaman bahaya yang tidak kecil, ia berlari
secepat angin. Mereka telah dapat berlari memisahkan diri dalam jarak yang
jauh, malah akhirnya kuda hitam itu sudah tak terlihat oleh mata.
Namun Hui-houw-to tidak berani
mengendorkan lari kudanya, terus juga ia melarikan kudanya.
Sambil membedal kudanya, iapun
berpikir entah siapa orang berbaju hitam dan juga wanita yang datang belakangan
itu.
Tiba-tiba Hui-houw-to
mengeluarkan suara tertahan karena ia seperti terkejut, dan ia memang teringat
sesuatu.
Rupanya ia jadi kaget, wanita
itu tadi dilihatnya mengenakan kalung kumala yang besar sekali, berbentuk
burung rajawali, maka dari itu, seketika ia teringat pada sesoorang.
Tubuh Hui-houw-to jadi menggigil.
Dia teringat pada Giok-tiauw
Sian-lie atau Bidadari Burung Rajawali Kumala.
“Apakah dia?” Pikir dalam
hatinya penuh kebingungan.
Sedangkan kudanya tetap saja
dibedalnya dengan cepat, berlari pesat. Cuma hati Hui-houw-to yang tergoncang
keras. Karena jika memang wanita tadi adalah Giok-tiauw Sian-lie akan celakalah
dia.
Giok-tiauw Sian-lie seorang
wanita yang ganas sekali di dalam kalangan Kang-ouw. Bahwa Giok-tiauw Sian-lie
merupakan iblis wanita yang paling ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan.
Apalagi memang ditangannya dia
telengas, setiap lawannya tidak pernah dibiarkannya hidup dengan tubuh utuh.
Juga diapun seorang wanita iblis yang paling liehay kepandaiannya.
Jika tadi Hui-houw-to bisa
meloloskan diri dari wanita itu kalau memang benar wanita itu adalah Giok-tiauw
Sian-lie. Itulah hanya kebetulan saja, karena diwaktu itu dia masih menunggangi
kudanya, dan dia bisa menghindar menjauh disaat Giok-tiauw Sian-lie terlempar
dari kuda tunggangannya.
Ada lagi yang membuat hati
Hui-houw-to tergoncang kalau memang benar wanita tadi adalah wanita iblis
Giok-tiauw Sian-lie, niscaya dia akan memperoleh kesulitan tidak sedikit di
sebelah depan.
Giok-tiauw Sian-lie memiliki
banyak sekali anak buah dan anak buahnya terdiri dari orang-orang yang mempunyai
kepandaian tinggi.
Memang di teluk Put-hay,
Giok-tiauw Sian-lie menguasai dan terkenal sekali.
“Mudah-mudahan saja bukan
dia……!” Membatin Hui-houw-to.
Karena jika memang benar
wanita itu adalah Giok-tiauw Sian-lie, niscaya dia akan memperoleh kesulitan
besar. Sedangkan dia harus melakukan perjalanan mungkin masih memakan waktu
tiga hari lamanya.
Tapi, Hui-houw-to biarpun
hatinya tergoncang keras, dia tidak berani untuk mengendorkan lari kudanya.
Terus saja dia membedal kudanya itu.
Namun sekuat-kuat kudanya itu
hanya tetap seekor kuda juga. Setelah dibedal terus menerus begitu keras tanpa
beristirahat, akhirnya kuda itu kehabisan tenaga!
Selalu mulut binatang
tunggangan itu yang berbusa, juga keempat kakinya jadi lemas. Setelah berlari
lagi sekian lama, akhirnya kuda itu tersungkur, karena sepasang kaki depannya
tertekuk.
Hampir saja Hui-houw-to
terlempar. Untung dia masih bisa menguasai tubuhnya di udara.
Dia berjumpalitan di tengah
udara, dengan begitu dia berhasil menguasai turun tubuhnya tidak terbanting.
Malah sepasang kakinya lebih dulu hinggap di tanah.
Cepat-cepat Hui-houw-to
memeriksa keadaan kudanya. Dia jadi mengeluh.
Kaki depan sebelah kanan dari
kudanya patah! Inilah celakanya! Kuda itu tidak bisa dipakai lagi.
Akhirnya, dengan sepasang alis
berkerut dalam-dalam, Hui-houw-to berpikir keras, memutuskan bahwa dia harus
meninggalkan kudanya ini dan dia harus melanjutkan perjalanannya dengan segera
dan berlari mempergunakan gin-kangnya.
Dia mengambil keputusan dengan
cepat, bararg-barang yang dibutuhkannya segera diambilnya dipindahkan dari
kuda, ke punggungnya, setelah mengikat kencang, iapun mengempos semangatnya.
Ia menepuk leher kuda itu,
“Selamat tinggal…..!” Dia pun berlari seperti terbang.
Dengan mempergunakan
gin-kangnya, ia bisa berlari sama cepatnya seperti menunggang seekor kuda.
Namun tentu saja ia tak bisa bertahan lama seperti larinya seekor kuda.
Dia paling tidak cuma bisa berlari
puluhan lie belaka. Nanti ia harus mencari kuda lagi untuk dibelinya dipakai
buat melanjutkan perjalanannya.
Untuk sementara ini, karena
kuatir terkejar oleh lawannya di belakang, membuat ia harus menjauhi diri.
Setelah berlari tigapuluh lie
lebih, napas Hui-houw-to sudah memburu. Dia melihat di pinggir jalanan dari
lapangan rumput itu terdapat sebuah hutan kecil.
Cepat-cepat Hui-houw-to
menghampiri hutan itu menyelinap ke dalam. Ia duduk dibawah sebatang pohon, untuk
beristirahat, karena dia bermaksud untuk mengasoh. Dan jika memang kedua orang
musuhnya lewat di tempat itu, tak akan melihatnya.
Tengah Hui-houw-to
beristirahat, tiba-tiba ia mendengar suara derap kaki kuda. Ia jadi mengeluh,
ia menduga bahwa tentunya pengejarnya sudah tiba di situ juga.
Dia menyelinap ke dalam
gerombolan bunga liar, untuk lebih meyakinkan dirinya tidak akan terlihat oleh
musuhnya. Ia mengintai keluar.
Benar saja, dengan kuda hitam,
yang sudah tidak bisa berlari cepat, tampak wanita itu bersama laki-laki
berbaju hitam, telah tiba di tempat itu.
“Tentu dia tak akan lari
terlalu jauh, kudanya telah ditinggalkan begitu saja!” terdengar yang wanita
bicara.
Hati Hui-houw-to tercekat
kaget. Ia tak menyangka bahwa musuhnya dapat berpikir sejauh itu. Sedangkan ia
tadi, karena terlalu terburu-buru ia tidak ingat lagi buat menyingkirkan dulu
kudanya.
Karenanya kedua musuhnya itu
mengetahui bahwa dia telah kehilangan kudanya. Sebab kaki kanan sebelah depan
dari kuda itu telah patah dan tidak mungkin bisa dipergunakan buat berlari
terus.
Dan dengan begitu juga,
membuat wanita itu maupun laki-laki berbaju hitam dapat menduganya, bahwa
Hui-houw-to telah mengambil jalan kaki belaka, melanjutkan perjalanannya.
Hati Hui-houw-to berdebar
keras. Diwaktu itu dia melihatnya, betapa pun juga, memang wanita bersama
temannya laki-laki berbaju hitam, tengah memperhatikan keadaan di sekeliling
tempat itu. Mereka tengah mencari sesuatu.
“Coba periksa di dalam hutan
itu!” Perintah wanita itu dengan suara yang dingin.
Karenanya Hui-houw-to jadi
tercekat gelisah. Jika memang orang berpakaian hitam itu memeriksa keadaan di
dalam hutan, niscaya dia akan dapat dilihat olehnya. Dan ini akan membuat dia
akan bertempur lagi dengan mereka.
Sedangkan orang berpakaian
hitam itu melompat turun dari kudanya, dia menghampiri permukaan hutan. Hati
Hui-houw-to semakin gelisah saja. Berdebar keras. Dia bersiap-siap untuk
bertempur dengan lawannya itu.
Sedangkan orang berpakaian
hitam itu sudah mendatangi semakin dekat sampai akhirnya dia telah bilang
sambil memutar tubuhnya, memandang kepada wanita itu.
“Tidak mungkin dia
beristirahat di daerah ini, dia tentu telah melarikan diri lebih jauh! Kalau
kita mencari-carinya di sekitar tempat ini, berarti, kita telah membuang-buang
waktu dan dia akan bisa lari lebih jauh.......!”
Wanita itu, yang masih duduk
di punggung kuda hitam, tampak berpikir dengan muka yang murung. Rupanya dia
bisa menerima juga alasan dari temannya itu. Ia mengangguk.
“Baiklah! Mari cepat kita
mengejarnya lagi!” Katanya sambil melambaikan tangannya.
Laki-laki baju hitam itu
mengangguk dan menghampiri dia melompat ke punggung kuda itu, kemudian
melarikannya dengan cepat meninggalkan permukaan hutan tersebut.
Hui-houw-to bernapas lega,
karena kedua orang musuhya telah pergi.
Sedangkan saat itu keadaan di
sekitar tempat itu sunyi sekali, langgeng.
Yang sekarang menjadi
pemikiran Hui-houw-to, ia tentu saja tidak boleh mengambil jurusan yang
ditempuh oleh wanita itu, karena jika memang arah yang sama, niscaya ia akan
kepergok oleh mereka.
Walaupun cukup jauh dan lebih
jauh dua kali dari perjalanan itu, Hui-houw-to akan menempuh jalan berputar. Ia
akan mengambil arah ke sebelah kiri dulu, ke arah timur, barulah kemudian ia
akan melanjutkan perjalanannya ke selatan.
Dengan cara demikian memang ia
akan berputar dan menempuh perjalanan yang jauh lebih lama, yaitu kemungkinan
dalam seminggu baru bisa tiba di tempat tujuannya. Namun untuk menghindarkan
kericuhan, ia harus menempuh dengan cara itu.
“Hanya saja, jika aku
terlambat dan dalam tiga hari ini tidak berhasil mencapai tempat tujuanku, bukankah
banjir darah sudah segera dimulai?”
Berpikir Hui-houw-to dalam
hati. Ia jadi bingung dan gelisan sendirinya.
Demikianlah Hui-houw-to
beristirahat dengan hati yang bingung, sampai akhirnya ia telah menghela napas
dalam-dalam, sejauh itu ia masih belum bisa mengambil keputusan. Setelah merasa
lelahnya berkurang, ia keluar dari hutan kecil itu, ia bermaksud melanjutkan
perjalanannya.
Masih diliputi oleh keraguan,
ia melangkah perlahan-lahan ke arah timur. Ia bermaksud buat menempuh
perjalanan memutar, tapi justeru yang membuat ia ragu-ragu kalau saja ia
terlambat datang ke tempat tujuannya.
Tengah ia berjalan
perlahan-lahan seperti itu baru satu atau tiga lie, tiba-tiba ia mendengar
suara derap langkah kaki kuda. Malah disusul dengan kata-kata: “Nah, itu
dia.......”
Hui-houw-to menoleh, hatinya
tercekat.
Kiranya kuda hitam dengan
penunggang¬nya lelaki baju hitam dengan wanita yang diduganya sebagai
Giok-tiauw Sian-lie tengah mendatangi dengan cepat.
Rupanya, laki-laki berbaju
hitam itu memang licik sekali. Waktu dia mau memasuki permukaan hutan itu, dia
telah berpikir, bahwa kalau memang Hui-houw-to bersembunyi di sekitar hutan
itu, sulit buat dia mencarinya. Kemungkinan dia yang akan diserang secara
menggelap.
Karena dari itu, sengaja dia
mengajak Giok-tiauw Sian-lie pergi, seakan juga mereka tidak mencurigai bahwa
Hui-houw-to ini bersembunyi disitu. Dan sengaja mereka melarikan kuda mereka
belasan lie, setelah itu barulah mereka kembali, untuk memergoki lawan mereka.
Siasat mereka ternyata
berhasil. Memang Hui-houw-to tidak berpikir bahwa musuhnya tengah mempergunakan
siasat, karenanya dia telah terpancing keluar dari tempat persembunyiannya.
Melihat mereka, segera juga
Hui-houw-to tanpa berpikir dua kali menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat cepat
sekali ke depan. Dia berlari sekuat tenaganya, mengempos semangatnya dan
mengerahkan gin-kangnya.
Tadi Giok-tiauw Sian-lie,
wanita itu tidak mau melepaskannya lagi. Dia melesat turun dari atas punggung
kudanya, dia telah berlari dengan cepat sekali mengejar Hui-houw-to.
Sedangkan kuda hitam itu, yang
kini sudah berkurang bebannya, karena cuma orang berbaju hitam itu saja seorang
dari yang duduk di punggungnya, dapat berlari lebih cepat mengikuti di belakang
Giok-tiauw Sian-lie.
Begitulah mereka tampak saling
kejar mengejar, sedangkan Hui-houw-to berusaha berlari sekuat tenaganya.
Giok-tiauw Sian-lie ternyata
memang hebat sekali, gin-kangnya pun sangat mahir karena dia mengejar seperti
juga terbang, sepasang kakinya tidak menginjak tanah seperti tubuhnya melayang
di tengah udara saking cepat. Dia berlari dan bajunya berkibar-kibar.
Hui-houw-to mengeluh, dia
tidak berani mengurangi sedikit pun larinya. Malah dia berusaha berlari lebih
cepat lagi, buat menjauhi diri dari Giok-tiauw Sian-lie.
Hanya saja, gin-kang
Giok-tiauw Sian-lie rupanya berada di atas Hui-houw-to. Dalam waktu singkat dia
sudah bisa memperpendek jarak antara dirinya dengan Hui-houw-to.
Hati Hui-houw-to jadi gelisah
bukan main. Dia merogoh sakunya mengeluarkan Tiat-lian-cu.
Di waktu itu, dia pun segera
menggerakkan tangannya, menimpuk ke belakang.
Giok-tiauw Sian-lie sangat
gesit. Dia mengelakan sambaran Tiat-lian-cu. Dia malah melesat lebih cepat
lagi. Sedikit pun larinya tidak berhenti atau berkurang kecepatannya.
Setelah saling kejar beberapa
saat lagi, jarak mereka cuma dua tombak lebih.
“Berhenti!” Bentak Giok-tiauw
Sian-lie sambil mengayunkan tangannya.
Dua batang hui-to atau golok
terbang menyambar ke punggung Hui-houw-to.
Di waktu itu, Hui-houw-to
tidak bisa berlari terus, karena jika dia tidak mengelakkan diri dari sambaran
hui-to itu, punggungnya akan jadi sasaran. Karenanya dia telah merandek,
berhenti berlari dan mengibaskan tangannya menangkis hui-to itu.
Dia berhasil meruntuhkan
hui-to, tapi begitu ia mengibaskan tangannya meruntuhkan hui-to justeru diwaktu
itu Giok-tiauw Sian-lie sudah berada di depannya.
Muka Giok-tiauw Sian-lie
memperlihatkan senyuman mengejek.
“Hemmm, kau mana bisa
meloloskan diri dari Giok-tiauw Sian-lie,” katanya mengejek sinis sekali.
Muka Hui-houw-to yang sudah
berobah pucat, berobah lagi memerah dan kemudian pucat lagi. Ia memang kaget
karena memang sebenar-benarnya wanita ini adalah Giok-tiauw Sian-lie. Ia jadi
mengeluh di dalam hatinya.
“Apa yang kau inginkan
dariku?” Tanya Hui-houw-to dengan suara yang dingin. Ia berusaha mengendalikan
goncangan hatinya, dan berusaha bersikap tenang.
“Serahkan surat yang kau bawa
padaku!” Menyahuti Giok-tiauw Sian-lie dengan suara yang tawar. “Kau boleh
pergi dengan kepala masih utuh…….!”
Hui-houw-to tidak menyahuti,
dia menggeleng saja.
Mata Giok-tiauw Sian-lie berkilat
tajam.
“Kau membangkang?”
“Aku tidak membawa surat
apa-apa!”
“Hemm, kau hendak berdusta?”
“Sungguh……..!”
“Kalau demikian, kau harus
dimampusi dulu, biar nanti kami yang akan menggeledah mayatmu,” Kata Giok-tiauw
Sian-lie singkat saja keputusannya.
Malah dia bukan sekedar bicara
belaka, karena tangan kanannya menyambar kepada pundak Hui-houw-to.
Hui-houw-to mengelak.
Tapi dia kecele, sebab tangan
Giok-tiauw Sian-lie cuma serangan gertakan belaka. Malah tangan yang satunya
merupakan serangan sesungguhnya.
Waktu tubuh Hui-houw-to tengah
miring mengelakkan, tangan Giok-tiauw Sian-lie yang satunya itu telah menyambar
masuk.
“Buk!” Tubuh Hui-houw-to
terpental keras ke tengah udara.
Memang sebelumnya Hui-houw-to
telah menyadari bahwa dirinya akan menjadi bulan-bulanan Giok-tiauw Sian-lie.
Karena kepandaiannya terpaut jauh beberapa tingkat di bawah Giok-tiauw Sian-lie.
Giok-tiauw Sian-lie terkenal
sebagai iblis wanita telengas dengan kepandaian yang bukan main tingginya.
Hui-houw-to sudah meramalkan dirinya akan mengalami celaka jika terjatuh di
tangan iblis perempuan itu.
Ternyata sekarang bahwa dia
memang dalam segebrakan dibuat tidak berdaya, telah kena dihantam oleh iblis
wanita Giok-tiauw Sian-lie tersebut.
Tubuh Hui-houw-to terlambung
tinggi di tengah udara, dan meluncur turun akan terbanting.
Untung saja Hui-houw-to masih
ingin buat menyelamatkan diri agar tidak terbanting. Dia berjungkir balik. Ke
dua kakinya hinggap di tanah.
Cuma justeru begitu kedua
kakinya menginjak tanah, tubuhnya terhuyung. Karena dia tidak bisa
mempertahankan kuda-kuda kedua kakinya. Dan juga dia terhuyung ke belakang
disebabkan kuda-kuda kedua kakinya telah tergempur akibat dari kerasnya tadi
tangan Giok-tiauw Sian-lie membuat tubuhnya melambung begitu.
Sedangkan laki-laki berbaju
hitam itu, telah tiba di situ dengan kuda hitamnya.
Giok-tiauw Sian-lie melirik
kepada laki-laki baju hitam itu.
“Bekuk dia!” Perintahnya.
Laki-laki itu mengiakan.
Gesit sekali dia melompat
turun dari kudanya kemudian tubuhnya melesat kepada Hui-houw-to. Tangannya
bergerak akan menghantam pundak Hui-houw-to.
Walaupun tadi dadanya kena
terserang membuat dia menderita kesakitan, dan dia pun telah melihatnya bahwa
dirinya sedikit sekali memiliki harapan bisa meloloskan diri. Karena dia juga
tadi telah nekad, dia masih bisa memberikan perlawanan kepada laki-laki baju
hitam itu.
Waktu itu tangan si baju hitam
itu meluncur datang. Hui-houw-to tidak mengelakannya, dia menantikan tibanya
lawannya tersebut.
Kemudian dia menangkis dengan
kekerasan. Tapi justeru dia menangkis, orang berbaju hitam itu menarik pulang
tangannya, ia membuat tubuh Hui-houw-to kehilangan keseimbangan tubuh, jari
telunjuk tangan kanannya menyambar ke pinggang Hui-houw-to, akan menotok.
Hui-houw-to mengeluh. Melihat
cara bertempur orang berbaju hitam ini. Memang diapun bukan orang sembarangan
dan kepandaiannya tinggi juga.
Cepat-cepat Hui-houw-to
mengelakan diri. Dia melompat ke samping, dan menghantam ke belakang.
Sekali ini orang berbaju hitam
itu tidak keburu menahan tangkisan Hui-houw-to, dia merasakan tangannya
tergetar.
Tapi, tangan mereka tetap saja
saling menempel satu dengan yang lainnya. Dan disaat itu juga mereka tampaknya
saling mengadu kekuatan.
Hui-houw-to yang sudah terluka
di dalam akibat gempuran tenaga pukulan Giok-tiauw Sian-lie tadi, tidak bisa
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Dia merasakan perlahan-lahan
tenaga dalam dari laki-laki baju hitam itu mulai mendesaknya.
Dia mengeluh jika memang
keadaan ini memang berlangsung terus, niscaya akhirnya dia yang akan jatuh di
bawah angin. Dan akan membuat dia rubuh dengan sendirinya, karena kehabisan
tenaga.
Waktu itu Giok-tiauw Sian-lie
justeru tadi tidak sabar menyaksikan mereka tengah mengadu tenaga dalam. Dia
melangkah menghampiri Hui-houw-to dengan tindakan kaki yang ringan.
Tiba-tiba sekali dia
menghantam dengan Pek-kong-ciang. Dan Hui-houw-to seperti diterjang badai dan
topan karena tubuhnya terhantam keras sekali oleh terjangan angin pukulan itu,
waktu sampai seperti dihantam lempengan besi. Dia memuntahkan darah segar serta
tubuhnya terpental enpat tombak lebih.
Laki-laki baju hitam itu
mendengus memperdengarkan suara tertawa dingin waktu melihat Hui-houw-to rebah
di tanah dengan berlumuran darah di mulutnya. Kemudian dia menoleh kepada
Giok-tiauw Sian-lie, katanya:
“Hebat sekali Liehiap!”
“Hemm!” Giok-tiauw Sian-lie
cuma mendengus, dan menghampiri Hui-houw-to.
Waktu itu Hui-houw-to
benar-benar, dalam keadaan terluka parah. Dia merasakan tubuhnya sakit-sakit
dan juga napasnya sesak sekali.
Melihat Giok-tiauw Sian-lie menghampiri
dia berusana menggerakkan tubuhnya.
Namun dia gagal.
Giok-tiauw Sian-lie sudah
datang dekat, dia membentak: “Hemm, engkau yang meminta dan memaksa aku
turunkan tangan kejam seperti ini. Terpaksa!”
Dan setelah berkata begitu,
dia memeriksa tubuh Hui-houw-to.
Sebetulnya Hui-houw-to hendak
memberikan perlawanan. Cuma saja dia tengah terluka parah sekali, tenaganya
seperti habis.
Diapun menyadari, jika diwaktu
itu dia berusaha menggerakkan tangannya buat menyerang, pasti itu serangan yang
gagal. Namun Giok-tiauw Sian-lie akan menghantam kepalanya, sehingga batok
kepalanya remuk dan dia akan terbinasa di saat itu juga! Dan akhirnya
Hui-houw-to cuma berdiam diri saja.
Setelah mengeluarkan isi
kantong baju Hui-houw-to, muka Giok-tiauw Sian-lie berseri-seri. Dia melihat
sepucuk surat, yang kemudian dibuka dan dibacanya. Tampaknya dia girang sekali.
Kepalanya mengangguk-angguk beberapa kali.
“Bagus! Akhirnya memang telah
dapat juga diperoleh surat ini! Hemm, jika saja tadi kau memberikannya secara
baik-baik tentu engkau tidak perlu menderita seperti ini…….”
Setelah berkata begitu,
Giok-tiauw Sian-lie menghampiri laki-laki berbaju hitam itu.
“Ayo kita berangkat!” Katanya.
Dia juga melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
Begitu juga laki-laki baju
hitam telah melesat naik ke atas punggung kuda itu. Mereka menunggangi kuda itu
bersama-sama. Karena sudah tidak perlu mengejar sesuatu, kuda hitam tersebut
tidak dilarikan terlampau cepat.
Hui-houw-to yang menderita
kesakitan hebat, akhirnya tidak kuat bertahan lebih lama lagi. Dia mengeluh,
kepalanya terkulai teklok, karena dia pingsan tidak sadarkan diri. Dia terluka
di dalam parah sekali akibat hantaman Giok-tiauw Sian-lie yang benar-benar
telengas dan hebat!
<>
Waktu matahari tengah
memancarkan sinarnya yang sangat terik, tampak seorang pendeta tengah melangkah
dengan tindakan kaki yang satu-satu di lapangan rumput yang luas itu. Pendeta
itu sangat sabar sekali, karena dilihat dari cara melangkahnya saja begitu tenang
dan sabar dia melangkah satu-satu.
Ketika pendeta tersebut
mengangkat kepalanya, tampak jelas di bawah terik matahari, keringat yang
memenuhi mukanya. Dia menghapusnya.
Dan dia seorang pendeta yang
kepalanya gundul dengan usia enampuluh tahun lebih. Dia memelihara kumis dan
jenggot yang panjang dan sebagian besar telah memutih.
Dia mengenakan jubah
kependetaannya yang berwarna putih bersih. Diapun mengenakan sepatu yang tipis.
Setelah menghapus keringatnya,
pendeta itu melanjutkan jalannya lagi. Dia melangkah perlahan-lahan.
Sikap pendeta itu memang lemah
lembut dan sabar sekali. Namun melihat pada matanya yang bersinar tajam ketika
dia mengangkat kepalanya mengawasi matahari yang tengah bersinar terik itu,
tentunya seorang pendeta yang patut membaca liam-keng, juga dia seorang yang
memiliki ilmu silat tinggi, sin-kang yang mahir sekali.
Tengah si hweshio melangkah
begitu, tiba-tiba dikejauhan dia melihat sesosok tubuh yang menggeletak diam
tidak bergerak. Cepat-cepat si pendeta mempercepat langkahnya yang jadi lebar.
Malah akhirnya ia menjejakkan
ke dua kakinya di tanah dan tubuhnya itu melesat ringan sekali. Hanya beberapa
kali lompatan saja, dia sudah bisa tiba di samping sisi sosok tubuh itu.
Gin-kangnya menakjubkan
sekali. Karena jarak yang kurang lebih belasan tombak itu cuma beberapa kali
lompatan saja telah berhasil dicapainya dengan mudah.
Hweshio itu melihat sekarang
bahwa sosok tubuh yang menggeletak tidak bergerak itu adalah seorang laki-laki
berusia empatpuluh tahun lebih. Laki-laki itu rebah diam tidak bergerak.
“Siancay! Siancay!” Bilang
pendeta itu sambil merangkapkan sepasang tangannya memuji kebesaran Buddha. Dia
berjongkok dan memeriksa tubuh orang itu.
“Omitohud!” Memuji lagi
pendeta itu.
Dia memperoleh kenyataan orang
itu terluka di dalam yang cukup parah.
Dia merogoh saku jubahnya
mengeluarkan beberapa butir pil pulungan. dimasukkan ke dalam mulut lelaki itu.
Kemudian dia menguruti sekujur
tubuh lelaki tersebut. Dan akhirnya terdengar suara lelaki itu yang mengeluh
serta membuka matanya.
Lelaki yang menggeletak, dalam
keadaan terluka parah itu di atas rumput tersebut tidak lain dari Hui-houw-to.
Dia memang terluka dalam yang parah sekali. Justeru waktu dia membuka matanya,
dia merasakan pandangan matanya masih gelap dan juga berkunang-kunang.
“Omitohud! Omitohud!” Memuji
lagi pendeta itu.
Hui-houw-to seketika teringat
sesuatu. Dia telah melompat untuk berdiri.
Namun tenaganya seperti
lenyap. Dia masih lemah sekali. Dia juga telah terdiam hampir terpelanting
lagi.
Untung saja hweshio itu cepat
memegang sepasang lengannya, membantuinya buat direbahkan kembali.
“Jangan terlalu banyak
bergerak dulu, Siecu!” Kata si Hweshio. “Kesehatan siecu belum lagi pulih
keseluruhannya…….!”
Hui-houw-to menghela napas,
segera dia teringat kejadian yang menimpa dirinya, di tangan Giok-tiauw
Sian-lie dan laki-laki berbaju hitam itu. Dia menghela napas, tampaknya dia
sangat berduka.
“Habis! Habislah semua!”
Mengeluh Hui-houw-to dengan suara yang agak serak.
“Kenapa?” tanya hweshio itu,
“Apakah siecu telah mengalami suatu kesulitan…..?”
Hui-houw-to menghela napas
lagi.
“Ya!”
“Kesulitan apa?”
“Surat yang dipercayakan
kepadaku untuk membawanya pergi ke seseorang telah jatuh ke tangan penjahat!”
Mengeluh pula Hui-houw-to dengan suara sember.
“Sudahlah, siancay! Yang
terpenting keselamatan jiwa siecu masih tidak terganggu sedikit pun. Sekarang
siecu tengah terluka di dalam yang tidak ringan. Kalau memang siecu tidak mau
beristirahat baik-baik kemungkinan kesehatau siecu akan menjadi buruk!”
Hui-houw-to menghela napas
dalam-dalam. Hweshio itu mengawasi Hui-houw-to beberapa saat, kemudian
tanyanya: “Siapakah siecu? Bolehkah Pinceng, mengetahui nama siecu yang mulia?”
Hui-houw-to menghela napas.
“Aku Hui-houw-to Khang Lam
Cu!”
“Ohh, sudah lama Pinceng
mendengar nama besar siecu. Memang seorang pendekar dari kalangan putih!”
Hui-houw-to menoleh melirik
kepada si pendeta. Dia kaget setelah tersadar bahwa orang yang menolonginya
adalah seorang hweshio, dia cepat-cepat bergerak hendak bangun.
“Jangan banyak bergerak dulu,
Siecu!” Si pendeta telah mendorong pundak Hui-houw-to.
“Terima kasih Taysu…….!” Kata
Hui-houw-to kemudian dengan suara tersendat. “Hanya membikin repot Taysu saja!”
“Itu sudah menjadi kewajiban
pinceng! Tapi, tadi kalau tidak salah siecu bilang bahwa siecu telah dihadang
penjahat dan surat yang dititipkan salah seseorang pada siecu telah dirampas
penjahat itu!”
“Benar.”
“Apakah surat itu surat
penting?”
“Sangat penting, Taysu!”
“Siapakah penjahat yang telah
merampas, surat itu?”
“Giok-tiauw Sian-lie!”
“Ohh, dia?”
“Ya…….. Taysu kenal
dengannya?”
“Pernah mendengarnya, kabarnya
iblis wanita itu sangat ganas sekali.”
“Justeru memang aku dilukai
olehnya!”
“Hemmmm……!”
“Dia bersama seorang laki-laki
berpakaian serba hitam…….!”
“Hemmm, sebetulnya apakah
siecu mengetahui mereka dari golongan mana?”
“Sayang aku tidak begitu
mengetahui!”
“Biarlah pinceng akan coba
untuk mengejarnya, guna merampas kembali surat yang diambil mereka! Mereka
mengambil jurusan mana?”
Hui-houw-to memandang
ragu-ragu.
“Taysu?”
“Jangan kuatir, Pinceng tidak
akan mengalami kesulitan! Siecu beritahukan saja, ke mana perginya mereka!”
“Siapakah Taysu?”
“Ya, orang menyebut pinceng
sebagai pendeta kelana, mereka biasanya memanggil pinceng dengan gelaran
Tang-ting Hweshio!”
Kaget Hui-houw-to tak terkira.
“Tang-ting Hweshio?” tanyanya
takjub.
“Ya!” mengangguk si pendeta.
Seketika, timbul semangat
Hui-houw-to. Dia pernah mendengar bahwa Tang-ting Hweshio merupakan seorang
pendeta sakti yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Dan memang Tang-ting Hweshio merupakan
tokoh persilatan yang selalu menolongi orang yang tengah dalam kesulitan.
Tang-ting Hweshio paling membenci kejahatan. Dia pun seorang pendeta yang sabar
sekali.
“Taysu, jika memang Taysu mau
menolong aku, maka aku pasti bisa selamat.......!” Kata Hui-houw-to.
“Jangan berkata begitu, siecu.
Aku hanya ingin membantu di mana bisa aku lakukan…… mudah-mudahan saya
berhasil!” Kata Tang-ting Hweshio.
“Jika Taysu bersedia
menolongku, tentu akan dapat merubuhkan Giok-tiauw Sian-lie dan orang-orangnya,
buat mengambil pulang surat penting itu…….”
“Kalau pinceng boleh
mengetahui, sesungguhnya surat penting itu merupakan surat penting apakah?”
“Surat yang sangat penting
sekali Taysu!” berkata sampai di situ Hui-houw-to tampak ragu-ragu.
“Jika memang siecu ada
kesulitan janganlah meneruskan kata siecu. Pinceng juga tidak akan memaksa.”
Kata si pendeta sambil tersenyum.
“Tidak Taysu, aku harus
menjelaskannya. Bukankah Taysu ingin menolongku? Sebetulnya surat itu adalah
surat dari Ciangbunjin Khong-tong-pay yang ingin memberitahukan kepada ketua
cabang Lam-hay, bahwa di Lam-hay tersiar berita ditemukannya Giok-sie…….!”
“Giok-sie?” Tampaknya si
pendeta jadi kaget tidak terkira.
Hui-houw-to mengangguk.
“Benar Taysu…….., kabarnya
Giok-sie itu telah ditemukan oleh seorang nelayan…….!”
Mendengar itu, Tang-ting
Hweshio terdiam sejenak seperti juga dia tengah memikirkan sesuatu.
Hui-houw-to segera mengawasi
si pendeta.
“Taysu?”
“Ya?”
“Apakah kedatangan Taysu di
daerah inipun memiliki hubungan dengan urusan Giok-sie?” Tanya Hui-houw-to.
Si pendeta tidak segera
menyahuti, dia terdiam sejenak, baru kemudian dia mengangguk.
“Ya!”
Hui-houw-to jadi memandang
ragu.
“Jadi…….. Taysu bekerja untuk
siapa?”
“Sebetulnya, kedatangan
Pinceng ke mari memang memiliki hubungan dengan urusan Giok-sie…….!”
Menjelaskan si pendeta. “Tapi tentu saja urusan ini bukan menyebabkan Pinceng
harus dikendalikan oleh segolongan manusia!”
“Jadi…….?”
“Pinceng dari Siauw-lim-sie,
dan Pinceng telah menerima perintah dari Hong-thio agar pergi menyelidiki
perihal Giok-sie!
“Menurut Hong-thio justeru
persoalan Giok-sie itu bisa menimbulkan gelombang yang hebat di dalam rimba
persilatan….... Karenanya Pinceng telah diutus datang kemari untuk melihat dan
berusaha meredakan pergolakan yang mungkin bisa saja terjadi.......!”
“Kalau begitu…….!” Hui-houw-to
tidak meneruskan lagi kata-katanya.
Si pendeta memandang heran
padanya.
“Kenapa siecu? Katakanlah!”
“Sesungguhnya....... jika
memang urusan Giok-sie tak ingin menimbulkan gelombang yang hebat dalam rimba
persilatan, jelas ini harus disertai oleh turunnya tokoh-tokoh sakti yang
menangani persoalan ini.
“Selama Giok-sie masih berada
di tengah-tengah orang kang-ouw, tentu perebutan itu masih terus terjadi. Akan
selalu terjadi orang Kang-ouw memperebutkannya!”
Tang-ting Hweshio tersenyum.
“Maksud siecu?!”
“Jika Giok-sie jatuh ke dalam
tangan seorang tokoh sakti yang disegani oleh semua orang kang-ouw, berarti
tidak akan terjadi perebutan lagi. Dan korban jiwa akan berhenti atau
sedikitnya berkurang!”
Tang-ting Hweshio mengangguk
beberapa kali sambil tersenyum sabar.
“Benar, apa yang dikatakan
siecu memang ada benarnya juga! Cuma saja tokoh sakti mana yang siecu maksudkan
itu?”
Hui-houw-to berpikir sejenak.
“Aku tak berani menunjuk
seseorang, Taysu, karena mungkin Taysu jauh lebih mengetahui!”
Tang-ting Hweshio menepuk
bahunya.
“Sama seperti siecu, justeru
Pinceng pun tidak mengetahui sesungguhnya siapakah orang yang siecu maksudkan
itu?”
“Tapi Taysu?”
“Ya!”
“Sebetulnya jika memang
Giok-sie di simpan di Siauw-lim-sie, niscaya takkan ada orang yang berani
memperebutkannya kembali!” Kata Hui-houw-to.
Tang-ting Hweshio merangkapkan
ke dua tangannya.
“Omitohud!”
Kemudian si pendeta menoleh
pada Hui-houw-to, ia telah bilang dengan suara yang sabar: “Apakah siecu yakin
jika memang Giok-sie disimpan dalam kuil Siauw-lim-sie tak akan timbul
pergolakan lagi?”
“Benar Taysu!”
“Belum tentu!”
“Belum tentu Taysu?”
“Ya!”
“Kenapa begitu, Taysu?”
“Karena justeru akan
menyebabkan kuil Siauw-lim-sie merupakan tempat pergolakan itu terjadi! Yang
akan datang memperebutkan Giok-sie itupun terdiri dari orang-orang yang jauh
lebih hebat lagi. Orang yang sungguh-sungguh tak bisa diremehkan dan ini
menimbulkan pergolakan yang jauh lebih hebat ……..!”
Hui-houw-to mengawasi si
pendeta.
Sedangkan Tang-ting Hweshio
telah meneruskan kata-katanya, “Sesungguhnya siecu berpikir baik sekali, memang
siecu berpendirian, jika sampai Giok-sie disimpan oleh seorang yang benar-benar
liehay dan memiliki kepandaian tentu akan meredahkan pergolakan di dalam rimba
persilatan!
“Namun Siauw-lim-sie rasanya
masih belum begitu yakin akan dapat melaksanakan tugas yang berat itu. Karena
selain masih ada partai-partai lain yang semuanya terdiri dari orang-orang yang
liehay dan tidak boleh diremehkan.
“Jika sampai Siauw-lim-sie
bentrok dengan semua pintu perguruan itu, bukankah hal itu juga akan
menimbulkan pergolakan yang jauh lebih hebat lagi. Api akan berkobar di dalam
rimba persilatan.
Hui-houw-to mengawasi si
pendeta, dia tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan Tang-ting Hweshio.
“Apakah siecu sudah bisa
menangkap maksud perkataan Pinceng?” Tanya Tang-ting Hweshio.
“Maksud Taysu.......!”
“Omitohud! Sesungguhnya,
Pinceng memang bermaksud hendak meredahkan pergolakan di dalam rimba
persilatan. Dan jangan sampai menimbulkan pergolakan yang terus menerus yang
hanya akan menelan korban jiwa lagi.
“Jalan satu-satunya ialah
memusnahkan Giok-sie. Dengan begitu tidak akan ada perebutan pula di kalangan
rimba persilatan!!”
Muka Hui-houw-to berubah
pucat.
“Taysu…….!” Dia berseru dan
saking kagetnya dia lupa bahwa dia tengah terluka berat, dia hendak bangun dan
duduk.
Tiba-tiba Hui-houw-to meringis
kesakitan sebab sekujur tubuhnya sakit, demikian juga dadanya yang merasa jadi
sakit bukan main.
Cepat-cepat Tang-ting Hweshio
membantui Hui-houw-to agar rebah lagi.
“Jangan banyak bergerak dulu
siecu, kau masih belum pulih kesehatanmu! Diamlah saja……. jika nanti sudah
Pinceng obati sembuh, diwaktu itu siecu boleb bangun!”
Hui-houw-to mengangguk, tapi
dia masih meringis! Waktu itu hatinya jadi tidak tenang.
“Taysu……. Tentunya apa yang
dikatakan Taysu itu hanya sekedar main-main dan bergurau saja?” Tanya
Hui-houw-to kemudian sambil mengawasi si pendeta tajam-tajam.
“Omitohud! Siancay, siancay
sesungguhnya Pinceng tidak pernah bergurau! Orang beragama yang putih seperti
pinceng tentu saja tidak boleh memperolok-olok persoalan.
“Terlebih lagi urusan Giok-sie
ini adalah persoalan yang sangat penting sekali……. Perlu kesungguhan buat
menyelesaikannya!”
“Kalau begitu........ maksud
Taysu........ maksud Taysu!” Kata Hui-houw-to tidak lancar.
Tang-ting Hweshio tersenyum.
“Benar! Memang maksud Pinceng
ingin mencari Giok-sie, nanti akan memusnahkannya, seperti yang diperintah yang
diberikan Hong-thio. Semua ini tentu saja demi keselamatan orang-orang rimba
persilatan, agar dengan musnahnya Giok-sie, maka akan berkurang atau
berakhirlah perebutan yang selalu meminta korban jiwa itu.
“Taysu…… tidak boleh Taysu
melenyapkan dan memusnahkan Giok-sie!” Tergagap Hui-houw-to akhirnya bisa juga
kata-kata suaranya sember.
“Mengapa??”
“Karena……. karena.......!”
“Katakanlah siecu..........”
“Sebetulnya urusan Giok-sie
adalah urusan besar, di mana orang yang bisa memiliki Giok-sie akan duduk
sebagai Kaisar dan pemimpin negeri.”
Mendengar Hui-houw-to berkata
sampai di situ, si pendeta tertawa bergelak-gelak.
“Lucu!” Kata si pendeta.
Hui-houw-to menoleh.
“Apanya yang lucu Taysu?”
“Justeru pandangan seperti itu
yang lucu yang telah memancing pergolakan sehingga berjatuhan korban sangat
besar di dalam rimba persilatan. Seperti siecu ketahui, Giok-sie hanya sepotong
batu kumala belaka dan tidak mungkin seseorang yang memiliki Giok-sie bisa
menguasai negeri dan menjadi pemimpin jadi Kaisar……..!”
“Taysu!”
“Percayalah Siecu, seorang
Kaisar diperlukan oleh rakyat, tapi tentu saja orang yang menjadi Kaisar harus
orang yang sangat cerdas, bijaksana dan pandai untuk memimpin negeri, bukan mengandalkan
batu kumala yang disebut Giok-sie itu.......”
Hui-houw-to terdiam, dia
bimbang.
“Coba siecu bayangkan. Jika
seorang yang memiliki pendidikan rendah, sebagai rakyat kecil yang
pengetahuannya tidak luas, dia memiliki rejeki dan nasib sangat baik, sehingga
dia bisa memiliki Giok-sie dan jika memang benar apa yang siecu katakan dia
dengan sendirinya jadi Kaisar.
“Apakah siecu mau memiliki
seorang Kaisar seperti orang itu? Apakah siecu rela siecu diperintahkan oleh
seorang yang jauh lebih bodoh dari siecu? Tentu tidak, bukan?
“Nah, karena dari itu, tidak
mungkin orang itu akan menjadi Kaisar. Sebab rakyat pun tidak akan setuju jika
memang raja mereka harus diangkat dari orang yang tidak berpengetahuan luas dan
juga tidak berpendidikan tinggi.......!”
Sambil berkata begitu si
pendeta telah mengawasi Hui-houw-to dalam-dalam.
“Coba siecu katakan, apakah
siecu memiliki pandangan yang sama dengan Pinceng?”
“Ya…..!” Akhirnya Hui-houw-to
menyahut dengan sikap ragu-ragu.
“Nah, jika memang siecu telah
mengerti, terus siecu dapat berpikir jauh lebih jernih dan siecu bisa berpikir
lebih luas. Dan lebih jauh betapapun jika dibandingkan dengan korban yang
berjatuhan, maka harga Giok-sie itu terlalu mahal dan harus dimusnahkan.
“Jika tidak dimusnahkan, niscaya
akan menyebabkan korban berjatuhan lebih banyak, maka kita harus dapat
memusnahkan Giok-sie itu…….!”
Hui-houw-to menghela napas.
“Lalu, apa rencana Taysu?”
Tanyanya kemudian.
Si pendeta menggeleng
perlahan.
“Siancay, tidak ada rencana
apa-apa hanya mencari Giok-sie itu dan jika memang berhasil menemukannya tentu
pinceng bisa segera memusnahkannya.”
Hui-houw-to menghela napas
lagi.
Si pendeta memperlihatkan
sikap terus dia bilang: “Siecu ada yang hendak Pinceng tanyakan.”
“Ya!”
“Persoalan Giok-sie itu?”
“Katakanlah Taysu.”
“Apakah berita yang mengatakan
bahwa seorang nelayan di teluk Put-hay telah berhasil menemukan Giok-sie, itu
adalah berita yang benar?”
Hui-houw-to ragu- ragu namun
akhirnya dia mengangguk.
“Memang berita itu bukan
berita bohong. Justeru Ciangbunjin Khong-tong-pay menulis surat itu.
Menjelaskan siapa nelayannya dan juga apa yang akan dilakukan, dengan adanya
Giok-sie di tangan nelayan itu.
“Merebutnya?”
Hui-houw-to ragu-ragu. Tapi akhirnya
dia mengangguk juga.
“Benar Taysu!”
“Nah, bukankah itu pergolakan
yang akan mengandung korban jiwa lagi?”
Hui-houw-to menghela napas.
“Urusan Giok-sie adalah urusan
yang besar, Taysu, yang perlu diperjuangkan!”
“Siecu bilang begitu. Urusan
Giok-sie bisa dianggap besar karena siecu beranggapan Giok-sie memang
menyangkut urusan besar.
“Tapi jika siecu menganggap
urusan Giok-sie itu adalah urusan yang kecil, maka dengan sendirinya persoalan
Giok-sie itu adalah ususan yang kecil. Besar kecilnya sebuah persoalan
tergantung pada kita juga.”
Hui-houw-to terdiam saja.
Hatinya diliputi kebingungannya. Ia sebelumnya bersedia untuk mempertaruhkan
jiwanya demi Giok-sie.
Tapi sekarang dia berpikir,
apa yang diucapkan pendeta itu ada benarnya juga, yaitu sebuah persoalan bisa
dianggap persoalan kecil atau besar, tergantung dari manusianya. Dia jadi
bimbang dengan sendirinya.
Sedangkan Tang-ting Hweshio
tertawa sabar, katanya dengan suara yang lembut: “Sekarang siecu harus rebah
dulu, karena Pinceng akan mengurut jalan darah siecu, untuk dapat mengobati
luka di dalam siecu!”
Hui-houw-to mengangguk.
“Terima kasih, Taysu…….!”
“Jangan bilang terima kasih
seperti itu karena memang ini menjadi urusan Pinceng!”
“Sebetulnya…….!” Hui-houw-to
tidak meneruskan kata-katanya lagi.
“Kenapa siecu?”
“Aku baru ingat. Taysu
sesungguhnya luka yang kuderita inipun akibat sampingan dari persoalan Giok-sie
itu.” Kata Hui-houw-to.
Tang-ting Hweshio mengangguk.
“Tepat....... kalau demikian
siecu tampaknya sudah bisa menyadari persoalan yang sebenarnya.”
“Tapi Taisu, jika hanya kita
saja yang berpandangan seperti itu lalu bagaimana dengan yang lainnya, kalau
memang mereka masih terus juga memperebutkannya?”
“Jangan perdulikan orang lain
dulu, yang terpenting adalah kita mengurusi diri kita. Jika kita sudah memiliki
pandangan yang benar dan tepat, dimana kita sudah yakin, bahwa kita tidak akan
terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh buruk, barulah kita memikirkan bagaimana
membantu orang lain……
“Di waktu itu kita harus
berusaha untuk mencegah sebanyak mungkin korban jiwa yang akan berjatuhan. Dan
jika memang bisa, kita harus melenyapkan dan memusnahkan sumber jatuhnya korban
jiwa itu!”
Hui-houw-to mengangguk.
“Terima kasih, Taysu.”
“Nah, sekarang Siecu harus
rebah diam. Tarik napas satu-satu dan panjang, buang napas perlahan-lahan dan
teratur.
“Usahakan agar hawa murni bisa
berkumpul di mulut jalan darah Yuang-sie-hiat, di dekat dada sebelah kanan,
tiga dim dari ruang rusuk pertama!”
“Baik Taysu.”
“Begitulah, si pendeta mulai
mengurut. Sedangkan Hui-houw-to selalu mematuhi petunjuk yang diberikan si
pendeta. Dia menarik dan membuang napas teratur.
Tidak lama kemudian,
Hui-houw-to telah merasakan dari ujung-ujung jari tangan si pendeta mengalir
hawa yang hangat, yang menyelusup masuk ke dalam tubuhnya. Menembus kulitnya
dan hangat sekali, sehingga membuat darahnya beredar dengan lancar.
Berangsur-angsur perasaan
sakit berkurang namun tiba-tiba sekali Hui-houw-to terjangkit kesakitan.
“Tahan! Memang akan jauh lebih
sakit lagi, tapi ini penentuannya. Siecu, harus dapat bertahan…….!”
“Ba….. baik Taysu…….!”
menyahuti Hui-houw-to dengan suara tergagap tidak lancar.
Perasaan sakit itu memang
semakin lama semakin hebat, dan Hui-houw-to Khang Lam Cu menggigit bibirnya
menahan sakit yang tak terkira itu.
Sedangkan si pendeta mengurut
dengan cepat sekali. Jari tangannya jatuh di setiap jalan darah dan
mengurutnya, keringat mulai mengalir membasahi muka dan tubuh si pendeta.
Sedangkan waktu itu si pendeta
sendiri bernapas memburu, karena semakin lama ia mempergunakan sin-kangnya yang
semakin besar.
Hui-houw-to mengerang-erang
kesakitan waktu perasaan sakit itu semakin menghebat dan dia berulangkali juga
berusaha untuk menahan rasa sakit itu.
Akhirnya Hui-houw-to gagal,
karena dia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit itu dia jatuh pingsan tidak
sadarkan diri.
Entah berapa lama Hui-houw-to
pingsan sedangkan si pendeta terus juga menguruti tubuhnya. Akhirnya
Hui-houw-to siuman. Dan membuka matanya merasakan tubuhnya pegal-pegal. Tapi
rasa sakit sudah lenyap.
Ketika dia memandang ke
samping kanan dia melihat si pendeta Tang-ting Hweshio, tengah duduk bersila
dengan memejamkan matanya. Rupanya si pendeta tengah mengatur jalan
pernapasannya buat memulihkan hawa murni dan kesegaran tubuhnya. Tadi dia telah
mempergunakan tenaga dalamnya cukup besar.
Hui-houw-to tidak memanggil.
Dia berdiam saja mengawasi si pendeta tengah bersemedhi itu sampai akhirnya
Tang-ting Hweshio membuka matanya.
“Siancay! Siecu sudah
tersadar? Bagaimana perasaan siecu? Lebih segar?!”
Hui-houw-to mengangguk dengan
perasaan berterima kasih.
“Benar Taysu, lebih sehat!”
“Luka di dalam tubuh siecu
telah sembuh, siecu sudah boleh duduk, namun belum boleh mempergunakan tenaga
yang berlebihan, disamping itu, siecu masih lemah sekali……..!”
Hui-houw-to mencoba duduk.
Benar saja ia bisa duduk dengan baik. Malah perasaan sakit di dada dan di
beberapa bagian anggota tubuhnya telah hilang. Cuma, seperti yang dibilang si
pendeta, ia masih merasa lemas, seakan juga tenaganya belum lagi berkumpul
semuanya.
Tang-ting Hweshio merogoh
sakunya, mengeluarkan beberapa macam obat, diberikan pada Hui-houw-to dan
memberitahukan cara memakannya, di mana obat-obat itu harus dimakan teratur
sampai habis selama sepuluh hari.
“Jika telah memakan habis obat
ini, kesehatan tubuh siecu tidak akan kurang suatu apa pun juga!”
Hui-houw-to cepat-cepat
bangun, dia membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada si pendeta.
“Terima kasih atas pertolongan
Taysu……. aku berhutang budi pada Taysu….. berhutang jiwa, karena jiwaku telah
diselamatkan oleh Taysu. Entah dengan cara bagaimana nanti akau membalas budi,
Taysu?”
Si pendeta membanguni
Hui-houw-to.
“Siecu jangan bilang
begitu....... janganlah memperoleh suatu persoalan!” Menghibur si pendeta.
“Memang menjadi kewajiban pinceng untuk menolongi siecu.
“Juga sudah menjadi kehendak
alam dan Thian, bahwa pinceng bisa bertemu dengan siecu, sehingga pinceng bisa
mengobati siecu. Dan berkat kemurahan hati Thian juga, maka siecu bisa
disembuhkan.
“Coba, jika pertemuan itu
berlangsung terlambat. Bukankah siecu tidak akan tertolong, walaupun pinceng
mau untuk menolongi!”
Diwaktu itu Hui-houw-to
mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan si pendeta, dia cuma
mengangguk-angguk beberapa kali sambil mengiakan. Hatinya terharu sekali.
Sedangkan si pendeta banyak
memberikan petunjuk kepada Hui-houw-to.
Waktu itu, tampak Hui-houw-to
telah bilang: “Banyak yang telah dapat kupelajari dari petuah Taysu. Terima
kasih untuk semua nasehat ini Taysu……!”
“Kemana rencana siecu
sekarang?”
Melihat Hui-houw-to tergagap
dengan jawabannya itu, si pendeta tersenyum.
“Siancay! Tentunya siecu
bermaksud hendak pergi mencari Giok-tiauw Sian-lie?”
Hui-houw-to jadi berobah merah
mukanya, tampaknya dia jengah sekali isi hatinya dapat diterka si pendeta.
“Benar Taysu!” Jawabnya agak
malu-malu.
“Siancay! Apakah siecu masih
tertarik hendak mengurus Giok-sie…….?”
Hui-houw-to jadi salah tingkah
akhirnya dia bilang juga: “Sebetulnya, urusan ini tidak menyangkut langsung
dengan urusan pribadiku, Taysu, justeru menyangkutkan dengan masalah
kepercayaan.
“Jika pribadiku, aku sudah
tidak mau mencampuri lagi urusan Giok-sie. Akan tetapi kepercayaan yang telah
diberikan pemimpinku, maka aku harus menjaga kepercayaan itu
sebaik-baiknya........”
Tang-ting Hweshio
mengangguk-angguk beberapa kali…….
“Benar? Memang sebuah
kepercayaan itu jauh lebih berat pertaruhannya dari dicintai. Jika memang
seorang telah memperoleh kepercayaan, maka orang itu harus menjaga kepercayaan
tersebut dengan demikian, barulah dia berarti hidup sebagai manusia! Siancay!
“Baiklah! Ke mana tujuan siecu
hendak pergi mencari Giok-tiauw Sian-lie? Pinceng akan ikut dengan siecu. Siapa
tahu ada sesuatu yang bisa pinceng lakukan buat membantu dan menyelesaikan
persoalan siecu?”
Bukan main girangnya
Hui-houw-to. Dia cepat-cepat memberi hormat.
“Aku sangat bersyukur jika
memang Taysu bersedia menolongiku sungguh membahagiakan sekali.
“Tapi menurut dugaanku tentu
Giok-tiauw Sian-lie pergi ke kota Lu-shia, di sana memang kabarnya berkumpul
anak buah Giok-tiauw Sian-lie dalam jumlah banyak. Tentu ia akan langsung pergi
ke sana!”
“Dimana letak kota Lu-shia
itu?”
“Mungkin memakan waktu
perjalanan dua hari dari sini!”
“Kalau begitu mari kita pergi
dari sini, untuk menuju ke Lu-shia. Siapa tahu kita bisa untuk mencari
Giok-tiauw Sian-lie itu!”
Dan setelah berkata begitu
segera ia memimpin Hui-houw-to untuk bangun.
Sedangkan Hui-houw-to sudah
bangun, juga ia sudah melihat bahwa pendeta ini memang bermaksud
sungguh-sungguh buat membantunya.
Hui-houw-to yakin kalau memang
si pendeta membantunya, jelas ia akan berhasil dengan maksudnya itu. Dan juga
ia akan dapat menghadapi Giok-tiauw Sian-lie karena kepandaian si pendeta telah
jarang ada orang yang bisa menandinginya.
Tadi saja si pendeta telah
dapat menyembuhkan luka di dalamnya. Dan memang dari lweekang yang
dipergunakannya, lewat pucuk-pucuk jari tengahnya, Hui-houw-to mengetahui,
betapa sempurnanya lweekang si pendeta.
Begitulah mereka telah
melakukan perjalanan, buat menuju ke Lu-shia.
<>
Hari sudah mendekati magrib,
karena waktu itu matahari sudah turun akan berlindung di sebelah barat.
Hui-houw-to belum saja sembuh
dari lukanya di dalam tubuh, semangatnya belum berkumpul sepenuhnya. Karena
dari itu, dia juga tahu, betapapun dia tidak bisa mempergunakan tenaganya
sepenuhnya.
Dia harus dapat membawa diri
baik-baik. Sekali saja dia mempergunakan tenaga berlebihan, niscaya akan
membuat dia terluka di dalam lagi yang lebih parah. Karena itu pula dia meminta
kepada si pendeta agar melakukan perjalanan tidak terlalu cepat.
Tang-ting Hweshio tertawa.
“Tentu saja........ tidak
mungkin pinceng mengajak siecu melakukan perjalanan cepat-cepat. Sebab tidak
ada gunanya. Bukankah ada pepatah kita mengejar-ngejar sesuatu yang belum lagi
menjadi hak kita, tentu kita tetap saja gagal. Dan semua itu telah diatur oleh
Thian.
“Sekarang jika kita melakukan
perjalanan tergesa-gesa, belum tentu kita bisa mencari ketemu Giok-tiauw
Sian-lie! Tapi jika memang sudah tiba waktunya, tentu kita bisa menemuinya.”
Hui-houw-to mengangguk.
“Benar Taysu…… terimakasih
Taysu….. dan selanjutnya aku ingin sekali meminta petunjuk Taysu yang sangat
berharga. Aku Khang Lam Cu mengharapkan agar Taysu bisa memberikan petunjuk
yang jauh lebih luas, agar dapat menuntun aku bisa menyelusuri jalan yang
sangat berliku-liku ini.”
“Ya! Jika memang siecu
bersedia untuk mempelajari apa arti dan makna hidup ini, tentu saja pinceng
bersedia untuk memberikan pengertian…….”
“Terima kasih Taysu!!”
“Terutama sekali perihal
Giok-sie itu, tentu saja siecu harus mengerti dengan sebaik-baiknya! Betapapun
jangan sampai siecu dikendalikan oleh benda itu, sepotong batu kumala, karena
kemelut yang ditimbulkan oleh Giok-sie itu terlalu hebat!
“Bayangkan saja siecu,
sepotong batu kumala, bisa menyebabkan kematian bagi banyak orang. Tidakkah itu
luar biasa?
“Dan yang menjadi korban
umumnya merupakan orang-orang yang tidak mengerti akan hidup ini, sehingga
mereka bersedia diperbudak oleh sepotong batu kumula. Jika saja mereka mengerti
maksud dari hidup ini niscaya mereka tidak mudah seperti itu dikendalikan oleh
batu kumala tersebut! Mengertikah siecu?”
“Mengerti Taysu, terima
kasih!”
“Bagus, pinceng nilai, memang
siecu akan memperoleh kebaikan dari pengertian yang sudah siecu miliki sekarang
ini. Mudah-mudahan saja siecu dapat mengerti lebih lagi jika kelak siecu harus
berurusan dengan persoalan Giok-sie itu!”
Hui-houw-to mengiakan, dan ia
pun memang akan mengingat baik-baik apa yang dinasehati oleh pendeta itu,
karena dia yakin, tentu nasehat itu akan membawa banyak faedahnya buat dirinya.
Maka dari itu, ia sangat berterima kasih sekali pada Tang-ting Hweshio
tersebut.
Perjalanan ke Lu-shia tidak
memakan waktu terlalu lama, karena pada keesokan siangnya mereka telah tiba di
pintu kota tersebut.
Lu-shia merupakan kota yang
tidak terlalu besar, namun cukup padat penduduknya. Kota ini merupakan kota
perdagangan yang banyak sekali pedagang dari berbagai penjuru berdatangan untuk
menjual dan membeli hasil bumi maupun barang pecah belah.
Tidak terlalu mengherankan
juga, kalau di kota terdapat banyak perusahaan piauw-kiok, yaitu perusahaan
ekspedisi yang kerjanya hanya khusus mengawal orang-orang yang ingin melakukan
perjalanan jauh.
Umumnya para pedagang yang
hendak melakukan perjalanan jauh meminta kepada piauwsu atau pengawal untuk
mengawal diri mereka. Karena mereka membawa uang yang banyak atau barang
dagangan yang besar nilainya.
Sehingga banyak orang yang
mempelajari ilmu silat di kota itu karena banyak juga piauwsu-piauwsu tua yang
membuka pintu perguruan silat. Dengan demikian telah menyebabkan banyaknya
pemuda-pemuda yang giat sekali berlatih diri dengan berbagai ilmu silat.
Dan karena banyaknya pemuda
yang berlatih silat, tidak jarang juga ada di antara mereka yang telah memiliki
kepandaian tinggi dan membawa sikap angkuh, menyebabkan sering terjadi
keributan di antara para pemuda itu!
Di dalam kota Lu-shia
tersebut, terdapat sebuah perkumpulan yang sangat berpengaruh yaitu perkumpulan
Hek-pek-kauw, atau perkumpulan Hitam dan Putih. Perkumpulan ini memiliki
anggota yang banyak sekali.
Namun perkumpulan itu sendiri
memiliki riwayat sendiri. Dulu yang membangun dan mendirikan perkumpulan
tersebut adalah sepasang pendekar yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Mereka disegani oleh semua
orang Kang-ouw dan mereka juga mudah dikenali. Karena mereka memiliki muka yang
mirip satu dengan yang lainnya, walaupun mereka terdiri dari sepasang laki-laki
dan wanita.
Yang wanita bermuka putih
bersih seperti salju justeru yang prianya bermuka hitam seperti pantat kuali.
Karena dari itu, dengan demikian telah membuat mereka digelari sebagai Hek Pek
Siang-sat dan juga, karena mereka digelari sebagai Hek Pek Siang-sat, waktu
mereka membangun perkumpulan tersebut, banyak orang yang memberikan perkumpulan
itu dengan nama Hek-pek-kauw. Dan akhirnya menerima juga nama perkumpulan
mereka.
Begitulah sejak saat itu telah
dipergunakan nama Hek-pek-kauw untuk perkumpulan yang dibangun Hek Pek
Siang-sat.
Sedangkan di saat itu kegiatan
dari Hek-pek-kauw sebetulnya hampir mirip dengan tugas seorang piauwsu yaitu
mengawal pengiriman barang, mengawal para pedagang yang hendak melakukan
perjalanan jauh.
Dan umumnya mereka dapat
mengawal dengan baik, karena Hek Pek Siang-sat disegani sekali oleh kalangan
Liok-lim. Dengan begitu setiap pengawalan mereka selalu tiba di tempat tujuan
dengan selamat tanpa kurang suatu apapun juga.
Banyak piauwsu yang tidak senang
dengan sukses yang dicapai oleh Hek Pek Siang-sat.
Pernah terjadi belasan orang
piauwsu bekerja sama mencari keributan dengan Hek Pek Siang-sat. Namun mudah
sekali Hek Pek Siang-sat merubuhkan orang Piauwsu itu membuat mereka tunduk dan
akhirnya mengangkat Hek Pek Siang-sat sebagai pemimpin mereka.
Dengan demikian Hek-pek-kauw
akhirnya berkembang sebagai perkumpulan yang telah mengurus semua piauw-tiam di
kota itu. Di mana semua piauwkiok di kota itu harus memberikan upeti setiap
bulannya dalam jumlah tidak sedikit.
Dan secara tidak langsung,
Hek-pek-kauw pun telah menjamin keselamatan piauwkiok itu. Dengan begitu
Hek-pek-kauw sebagai tulang punggung dari semua piauwkiok di kota itu.
Ketika Hek Pek Siang-sat
meninggal dunia maka kedudukan ketua jatuh pada puterinya yang bernama Mei
Ling, Anak ini memakai she ayahnya yaitu Coa.
Sebagai puteri tunggal Hek Pek
Siang-sat, Coa Mei Ling mewarisi seluruh kepandaian ayah dan ibunya, sehingga
dia memang disegani semua jago di kalangan kang-ouw, sebab ilmu silatnya
menakjubkan sekali. Pernah terjadi dia merubuhkan duapuluh orang penjahat
dengan hanya seorang diri dan bertangan kosong.
Coa Mei Ling inilah yang duduk
kemudian sebagai Kauw-cu Hek-pek-kauw. Dan juga, ia bergelar Giok-tiauw
Sian-lie atau Bidadari Rajawali Kumala.
Dia memiliki adat yang
temberang sekali, angkuh sekali, angkuh dan tangannya telengas. Orang tidak
boleh melakukan suatu kesalahan padanya. Karena jika terjadi seseorang
melakukan suatu kesalahan dan menyinggung perasaan Coa Mei Ling, niscaya orang
itu akan terbang jiwanya…….
Dalam tangan Coa Mei Ling,
Hek-pek-kauw semakin berkembang luas kekuasaannya, malah Hek-pek-kauw berusaha
menelan beberapa pintu perguruan yang terdapat di Lu-shia. Dengan cara demikian,
sebetulnya banyak juga orang rimba persilatan yang merasa tidak senang dan
tidak menyukai Coa Mei Ling, namun Giok-tiauw Sian-lie Coa Mei Ling memang
tangguh dan memiliki kepandaian tinggi.
Dengan demikian dia bisa
memperlihatkan kepada dunia persilatan bahwa ia merupakan seorang jago wanita
yang sulit ditandingi. Dan juga, kekuatannya itu semakin berkembang luas.
Siapa tahu belum lama yang
lalu, Coa Mei Ling sudah mendengar bahwa seorang nelayan di Put-hay telah
berhasil menemukan Giok-sie yaitu cap kerajaan. Juga Giok-tiauw Sian-lie telah
mendengar kabar lebih jauh, jika seseorang memiliki Giok-sie, maka orang itu
bisa menjadi Kaisar, menjadi pemimpin negeri itu.
Besar keinginan Giok-tiauw
Sian-lie untuk memperoleh Giok-sie, karena itu, dia telah menyebar kaki
tangannya untuk menyelidiki tentang Giok-sie. Hal ini disebabkan Coa Mei Ling
memiliki cita-cita ingin menjadi seorang raja wanita…….
Tidak lama lalu, diapun
mendengar bahwa Khong-tong-pay mengetahui, nelayan mana yang telah berhasil
memperoleh Giok-sie. Dan karena itu, dia segera menghadang utusan dari
Khong-tong-pay yang membawa surat dari ketua Khong-tong-pay karena di dalam
surat tersebut dijelaskan bahwa Giok-sie berada di tangan nelayan mana dan
tinggal di mana.
Dusun yang terdapat di Put-hay
sangat banyak sekali, meliputi puluhan dusun. Maka, jika tidak mengetahui
dengan pasti nelayan mana yang beruntung sudah memperoleh Giok-sie tersebut,
juga dari dusun mana, sulit buat menyelidiki dengan baik.
Coa Mei Ling telah mengatur
segala-galanya dengan baik mungkin. Kurir dari Khong-tong-pay itu, Hui-houw-to.
telah dihadang oleh orang-orang Hek-pek-kauw. Tapi mereka selalu gagal karena
Hui-houw-to memiliki kepandaian yang tinggi dan selalu bisa meloloskan diri.
Sampai akhirnya Coa Mei Ling
turun tangan sendiri buat menghadapi Hui-houw-to. Dan memang dia berhasil. Dia
juga telah dapat mengambil surat yang dibawa oleh Hui-houw-to dimana iapun
berhasil melukai Hui-houw-to, yang terluka dalam parah sekali.
Dengan kegembiraannya yang
meluap-luap Coa Mei Ling kembali ke Lu-shia. Ia ingin mengadakan pesta dan
kemudian baru mengerahkan orangnya buat mencari nelayan yang tersebut dalam
surat Ciangbunjin Khong-tong-pay.
Besar sekali cita-cita Coa Mei
Ling untuk menjadi seorang Ratu. Seorang Ratu, Kaisar wanita yang penuh dengan
kekuasaan, berkuasa penuh di daratan Tiong-goan, dan iapun yakin ia akan
berhasil.
Hek-pek-kauw sudah mengundang
juga orang-orang kang-ouw untuk diberitahukan bahwa Coa Mei Ling telah berhasil
memperoleh petunjuk yang jelas tentang Giok-sie. Giok-tiauw Sian-lie meminta
mereka agar bersedia membantu agar Giok-sie berhasil diperolehnya.
Semua jago-jago Kang-ouw yang
diundang itu umumnya merupakan orang yang mengambil jalan Hek-to, jalan hitam,
yaitu dunia kejahatan. Dengan demikian, merekapun memiliki rencana
sendiri-sendiri.
Cuma saja di hadapan
Giok-tiauw Sian-lie mereka tidak berani memperlihatkan sikap membangkang.
Mereka malah akan berjanji akan membantu Giok-tiauw Sian-lie buat mencari
Giok-sie.
Tapi disamping itu mereka
telah mengatur rencana sendiri. Jika nanti mereka sudah mengetahui dimana
tempat tinggal nelayan yang dimaksudkan itu, mereka akan bekerja
sendiri-sendiri untuk dapat merebut Giok-sie dan juga untuk memiliki sendiri.
Maka mereka tidak mau kalau
sampai rencana mereka itu gagal. Mereka sengaja pura-pura patuh pada Giok-tiauw
Sian-lie, karena memang tengah berusaha mengetahui nelayan mana yang
dimaksudkan oleh ketua Khong-tong-pay dalam suratnya itu.
Demikianlah, selama beberapa
hari ini kota Lu-shia semakin ramai saja karena berdatangan jago-jago Kang-ouw
yang diundang Coa Mei Ling. Ketika Hui-houw-to bersama dengan Tang-ting Hweshio
tiba di kota itu justeru hari sudah mendekati sore, dengan melihat kota sangat
ramai sekali.
“Lebih baik kita tidak
memperlihatkan diri secara berterang, tentu banyak anak buah Hek-pek-kauw yang
mengenalmu, siecu!” Kata Tang-ting Hweshio.
Hui-houw-to mengangguk, dia
setuju dengan pikiran si pendeta.
Mereka segera mencari sebuah
rumah penginapan, dan sore itu mengurung diri di dalam kamar rumah penginapan.
Karena mereka ingin menanti hari menjadi malam, barulah mereka akan bekerja.
Hari berjalan terus, dan sore
telah diganti oleh sang malam, karena rembulan sudah naik semakin tinggi dan
memancarkan sinarnya yang cemerlang.
Kota Lu-shia semakin permai,
karena penduduk kota itu telah menyalakan lampu-lampu penerangan, disamping itu
juga, lampu-lampu tengtoleng jalanan telah dinyalakan, sehingga sepanjang jalan
tampak terang benderang. Dengan demikian, sudah membuat kota dalam keadaan
mentereng dengan bermandian cahaya lampu penerangan.
Orang yang berlalu lalang di
kota itupun sangat ramai sekali, banyak pedagang yang menjajakan barang
dagangan mereka. Ramai sekali suara mereka.
Hui-houw-to telah selesai
bersemedhi, dia turun dari pembaringan, menghampiri Tang-ting Hweshio yang
tengah duduk di lantai beralasan tikar bulat. Hweshio itu memang tengah
mengerahkan sin-kangnya, untuk memperoleh kesegaran dan memulihkan kekuatan
tenaga dalamnya.
Waktu melihat Hui-houw-to
menghampirinya, si pendeta tersenyum.
“Taysu, apakah kita sudah
boleh bekerja sekarang?!” Tanya Hui-houw-to.
Si pendeta menggeleng.
“Belum, kita harus menanti
dulu beberapa saat lagi!” Kata si pendeta. “Kita harus sabar, karena kalau kita
bekerja dengan ceroboh niscaya rencana kita akan menjadi gagal. Sekali saja
Giok-tiauw Sian-lie mengetahui bahwa kau datang di kota ini, tentu dia akan
mengerahkan orang-orangnya, untuk menganiaya dirimu!”
Hui-houw-to mengangguk.
“Baik Taysu.”
“Bagaimana kesehatanmu? Apakah
sudah lebih baik lagi?” Tanya si pendeta.
Hui-houw-to mengangguk.
“Ya!” sahutnya. “Terima kasih
Taysu dan semua ini berkat pertolongan Taysu juga.......!”
Si pendeta tersenyum.
“Malam ini tampaknya siecu
memang sudah lebih kuat dan kesehatanmu sudah pulih sebagaimana biasa. Karena
dari itu siecu dapat ikut untuk menyelidiki di mana markas Giok-tiauw Sian-lie.
Jika memang memungkinkan, kita akan merampas kembali Giok-sie dari tangan
perempuan itu…….!”
Hui-houw-to mengangguk dengan
wajah berseri-seri dan mengucapkan terima kasih.
Sedangkan saat itu si pendeta
telah bangun berdiri. Dia membereskan jubahnya kemudian bilang lagi pada
Hui-houw-to, “Apakah kau bisa mengerahkan tenaga dalammu kepada jalan darah
Tan-tian!”
“Sudah berhasil, Taysu!”
“Bagus! sekarang coba siecu
pergunakan bahwa hawa murninya buat menerobos jalan darah Yu-nan-hiat.
“Baik Taysu.”
Segera Hui-houw-to duduk
bersila. Dia mengerahkan hawa murninya pada jalan darah Yu-nan-hiat, seperti
yang diberitahukan si pendeta.
Dia berhasil memusatkan tenaga
dalamnya itu, bahkan dia telah berhasil untuk mengerahkannya menembus sampai ke
Tan-tiannya. Inilah hasil yang menggirangkan sekali.
Karena dulu jika memang dia
mengerahkan hawa murninya lewat jalan darah Yu-nan-hiat, maka dia tidak akan
berhasil buat menerobos sampai ke Tan-tian. Tapi sekarang, dia telah berhasil
menembusnya sampai ke Tan-tian.
Dengan demikian jelas adanya
suatu kemajuan yang telah dicapainya. Dan berkat juga pemberitahuan dan
pengajaran yang diberikan si pendeta Siauw-lim-sie yang tangguh itu.
Segera Hui-houw-to Khang Lam
Cu memberitahukan apa yang berhasil dicapainya. Si pendeta Siauw-lim-sie pun
girang. Ia menganjurkan kepada Hui-houw-to agar dihari-hari mendatang melatih
lebih giat lagi.
“Jika memang siecu mau
berlatih lebih giat seperti menurut petunjuk yang pinceng berikan niscaya
lweekang siecu akan pesat sekali memperoleh kemajuan.......!” Kata si pendeta.
Hui-houw-to mengangguk sambil
tak lupa mengucapkan terima kasih, dimana ia pun telah bilang, “Jika memang
Taysu tak keberatan, maka aku ingin sekali untuk meminta petunjuk Taysu, di
bidang lainnya, yaitu ilmu memainkan senjata tajam…….!”
Si pendeta tersenyum.
“Jangan tergesa-gesa, karena
masih banyak waktu kita. Nanti memang pinceng akan coba mengajarkan kepada
siecu beberapa jurus ilmu pedang, agar siecu kelak dapat mempergunakannya untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia ini…….!”
Mendengar janji yang diberikan
Tang-ting Hweshio, bukan main girangnya Hui-houw-to. Dia segera menekuk ke dua
kakinya, berlutut di hadapan si pendeta. Dia mengucapkan terima kasihnya,
sedangkan Tang-ting Hweshio cepat-cepat membangunkan Hui-houw-to.
“Jangan banyak peradatan!”
Kata Tang ting Hweshio, “Bukankah sudah Pinceng beritahukan, Pinceng kurang
menyukai segala macam adat peradatan yang berlebihan?!”
Setelah berkata begitu
Tang-ting Hweshio merapikan jubahnya. Dia menoleh kepada Hui-houw-to, tanyanya:
“Apakah siecu sudah
bersiap-siap, tidak lama lagi kita akan segera keluar dari kamar ini untuk
menyelidiki keadaan di luar……. Siapa tahu malam ini juga kita bisa mencari
jejak Giok-tiauw Sian-lie!”
“Sudah! Sudah siap Taysu!”
Kata Hui-houw-to segera.
Si pendeta mengangguk. Dia
telah berkata lagi: “Baiklah, apakah siecu sudah tidak perlu melatih tenaga
dalammu pula?!”
Hui-houw-to mengangguk.
“Tidak Taysu…….!”
Si pendeta mengangguk
menghampiri jendela ia mendorongnya dan membuka jendela itu.
Waktu itu angin dari luar
berhembus dingin sekali, terasa sangat menusuk tulang karena hari sudah larut
malam.
Sedangkan saat itu Hui-houw-to
mengikat pinggangnya lebih kencang menyingsetkan pakaiannya.
Dengan ringan Tang-ting
Hweshio melompat keluar dari jendela itu, ringan sekali gerakannya.
Hui-houw-to kagum bukan main
menyaksikan keringanan tubuh si pendeta, ia pun segera melompat keluar dari
jendela itu, keadaan di luar sangat gelap sekali.
Sedangkan Tang-ting Hweshio
sudah melompat ke atas genting rumah penginapan dan mulai berlari-lari.
Hui-houw-to tidak berani
berayal, ia menjejakkan kakinya, tubuhnya pun segera melesat ke atas genting.
Ia juga berlari-lari mengikuti si pendeta.
Tang-ting Hweshio berlari
tidak terlalu cepat, karena ia memaklumi bahwa Hui-houw-to baru saja sembuh.
Dan dengan sendirinya, tak bisa memaksa Hui-houw-to berlari cepat lagi, kalau
memang tak menginginkan nanti tenaga Hui-houw-to habis karena lelah.
Bukankah beberapa saat mendatang,
jika memang Giok-tiauw Sian-lie bisa ditemukan maka Hui-houw-to mau tak mau
harus bertempur juga dan memerlukan juga tenaga yang tidak kecil.
Kedua orang itu berlari di
atas genting dengan lincah sekali, gerakan tubuh mereka memang tampak ringan, berlari
di atas genting tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga.