Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 91-100

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 91-100 Seketika ramai suara tamu-tamu di luar kalangan, mereka segera dapat menduga tentunya pertemuan ini diselenggarakan buat.....
Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 91-100
Seketika ramai suara tamu-tamu di luar kalangan, mereka segera dapat menduga tentunya pertemuan ini diselenggarakan buat mengadakan pertemuan dan menghimpun kekuatan guna mengadakan perlawanan pada Kaisar Kublai Khan yang tengah berkuasa disaat itu, bangsa Mongolia dan mengusirnya.

Setelah keadaan tenang kembali, Ko Tie bilang lagi: “Tahukah sahabat-sahabat, siapakah orang yang tengah kita nantikan itu?”

“Kami tidak tahu! Silahkan sebutkan!” Teriak beberapa orang.

“Hemmmm, orang itu adalah cucu dari Oey Yok Su Locianpwe, Tong-shia atau tocu dari pulau Tho-hoa-to!”

“Apa?” terdengar seruan dari orang-orang itu.

“Dia cucu si sesat?”

“Dia cucu Oey Yok Su?”

Begitulah ramai dengan pertanyaan-pertanyaan orang-orang itu, tampaknya sulit buat mereka mempercayai keterangan Ko Tie.

Oey Yok Su merupakan tokoh sakti yang dihormati seluruh rimba persilatan.

Walaupun Oey Yok Su terkenal sebagai si sesat, tapi tokh dia memang sangat dihormati. Setiap perbuatannya sangat aneh dan di luar dugaan, dia digelari Tong-shia, tapi diapun seorang yang kepandaiannya tidak ada duanya dijaman itu.

Mereka semua sudah mengetahui siapa itu Oey Yok Su. Mereka tidak menyangka, justeru pertemuan di mana mereka juga hadir ternyata buat menyambut cucu Oey Yok Su.

Hati mereka jadi tertarik dan menduga-duga entah bagaimana muka dan kepandaian cucu Oey Yok Su itu, tentunya dia telah mewarisi seluruh kepandaian Oey Yok Su.

Sedangkan Kim Lo mengawasi semua orang itu dengan hati yang berdebar. Bukankah nanti dia harus muncul memperkenalkan diri? Baru kali ini Kim Lo berurusan dengan masa dalam jumlah demikian banyak.

Ko Tie telah bilang: “Ada lagi yang terpenting dalam pertemuan ini! Sesungguhnya penyambutan pada cucu Oey Yok Su sangat penting tokh ada yang lebih penting, yang harus kita bicarakan. Urusan yang Siauwte katakan itu adalah urusan yang menyangkut dengan perkara lenyapnya cap kerajaan, Giok-sie yang sekarang tengah jadi rebutan.

“Karena pihak kerajaan Mongolia berusaha memperoleh Giok-sie Yang telah dibuang ke laut Lam-hay oleh kaisar lama…….. Kudengar, seorang nelayan telah berhasil memperoleh Giok-sie itu....... dan juga Giok-sie ini kini tengah menjadi rebutan dari orang-orang rimba persilatan.

“Dengan Giok-sie kita bisa menggerakkan rakyat dan dengan demikian juga, orang yang berhasil memperoleh Giok-sie berarti orang itu, memiliki kesempatan untuk menjadi raja! Dia akan memperoleh tahta dan negeri!”

Ramailah segera suara orang-orang itu saling berbisik-bisik.

“Dengarkanlah baik-baik!” kata Ko Tie lagi.

“Tunggu dulu!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru nyaring.

“Ya.”

“Dapatkah kami diberitahukan, mengapa justeru cucu Oey Yok Su yang akan kita sambut?”

“Karena dia mewarisi seluruh kepandaian Oey Yok Su, dan iapun telah dididik dengan baik sekali, dimana Oey Yok Su menghendaki agar cucunya itu kelak dapat membangun negeri…….!”

“Apakah tidak ada yang lebih pantas lagi orang yang memiliki pengetahuan luas dan kepandaian tinggi? Bukankah kita bisa mencari seorang pendekar gagah buat diserahi Giok-sie kelak buat memimpin kita!”

“Kini Giok-sie belum lagi kita peroleh maka dari itu berarti kita masih harus bekerja memperoleh Giok-sie itu dengan jalan apa pun juga! Nanti setelah Giok-sie diperoleh, barulah kita membicarakannya lebih jauh!”

“Nah, inilah urusan yang saling memancing keributan!” Kata beberapa orang di antara orang-orang yang berkumpul di situ.

Seketika di sekitar tempat tersebut ribut oleh suara bisik-bisik di antara mereka.

Ko Tie mengangkat tangannya.

“Dengarlah dulu kawan-kawan…….!” Katanya. “Harap tenang!”

Keadaan jadi tenang lagi. Ko Tie mengawasi orang-orang ini dengan tajam.

“Sekarang aku minta agar orang yang tadi mengatakan urusan ini, bisa memancing kerusuhan, agar menjelaskan alasannya!”

Dari rombongan tamu itu melompat berdiri seorang laki-laki tua.

“Dengarlah!” Katanya dengan suara gagah dan nyaring, “Justeru tadi Kongcu mengatakan kita belum lagi memperoleh Giok-sie dan kita tidak perlu terlalu membicarakan kepada siapa Giok-sie itu kelak akan kita berikan.

“Inilah yang akan memancing kerusuhan, karena nanti setelah Giok-sie itu berhasil kita peroleh tentu akan terjadi perebutan di antara kita, pasti akan terdapat paham-paham yang berlainan……

“Bukankah itu merupakan suatu keributan? Dan kerusuhan akan muncul di dalam kalangan Kang-ouw!”

Ko Tie tersenyum.

“Maksud siauwte adalah Giok-sie itu tetap saja nanti akan diserahkan pada cucu Oey Yok Su Locianpwee....... Tapi yang siauwte maksudkan dengan membicarakannya nanti, kita bisa melihatnya. Bagaimana hebatnya perangai cucu Oey Yok Su Locianpwe itu, bagaimana liehay kepandaiannya! Karena ia telah menerima didikan yang sepenuhnya dari Oey locianpwee!”

“Kami tak percaya!” teriak beberapa orang di antara tamu-tamu itu.

“Apa yang tak dipercayai oleh kalian?”

“Mengapa seorang pemuda yang masih bau kencur bisa diserahi tugas begitu berat? Walaupun ia terlatih sejak di dalam kandungan, tidak nantinya ia bisa memiliki kepandaian yang luar biasa sekali!”

“Tapi, memang ini membutuhkan dukungan kita!” kata Ko Tie kemudian.

“Dukungan bagaimana?”

“Kita mendukungnya, agar anak itu benar-benar kelak menjadi seorang yang berkepandaian tinggi!”

“Jadi kita yang harus mendukungnya?”

“Ya!”

“Hemmm, mengapa kita tidak memilih seorang pendekar gagah perkasa saja, seorang pendekar sejati, buat diserahi tugas yang berat itu? Mengapa kita tidak berusaha untuk mencari seseorang yang memiliki pengetahuan luas untuk ketatanegaraan?

“Mengapa kita tidak mengambil salah seorang keturunan raja Sung? Mengapa sekarang justeru kita harus menyerahkan Giok-sie itu kepada cucu Oey Yok Su, jika memang nanti cap kerajaan berhasil kita peroleh!”

Ko Tie menghela napas.

“Dengarkanlah dulu. Aku belum lagi bicara habis!” Kata Ko Tie kemudian.

Kembali sunyi.

“Dengarlah, aku hendak memberitahukan dulu pada sahabat-sahabat, betapapun tugas kita adalah mendukung cucu Oey locianpwe dan ini memang penting sekali! Kita akan mengangkat cucu Oey Locianpwe calon terkuat pemilik Giok-sie bukanlah demikian.

“Dengan adanya pengaruh Oey locianpwe, juga puterinya, Oey Yong maupun Kwee Ceng, dan jago-jago lainnya, maka akan besar sekali manfaatnya untuk kepatuhan orang-orang Kang-ouw, guna bekerja membangun negeri……. Kita sudah bisa melihatnya dengan jelas, bahwa usaha kita ini adalah usaha yang besar yang akan dapat membangun negara dan mengusir penjajah!”

“Tapi bukan cara seperti itu, kita dimana harus mendukung dan memberikan Giok-sie kepada cucu Oey Yok Su sedangkan kita sendiri belum lagi pernah bertemu dengannya. Bagaimana mungkin kita bisa menyetujuinya?!”

Bie Lan sudah tidak bisa tahan sabar. dia melompat berdiri. Dengan suara lantang dia bilang, “Walaupun cucu Oey Yok Su berusia masih muda, belum tentu kepandaiannya lebih lemah dari kalian!”

Muka jago-jago tua yang berumpul di baris depan jadi berobah merah padam.

Mereka tampaknya jadi gusar bukan main.

“Hemm, bocah bau pupuk! Mengapa kau ikut bicara! Atau memang kalian sudah tidak menganggap lagi kami-kami ini, dan membiarkan seorang bocah bau pupuk itu buat bicara demikian dihadapan kami.”

Ko Tie jadi salah tingkah. Memang apa yang ditegur jago-jago itu benar adanya. Bie Lan tidak berhak ikut bicara. Dia dari golongan muda.

Tapi gadis itu terlanjur sudah bicara maka tidak bisa untuk ditarik kembali kata-katanya.

Giok Hoa melihat kesulitan suaminya, dia melompat berdiri. Dirangkapkan sepasang tangannya.

“Maafkan atas kelancangan keponakan kami!” kata Giok Hoa kemudian. Dia menoleh kepada Bie Lan, katanya: “Bie Lan, duduklah.”

Bie Lan mendongkol. Sebetulnya ia ingin membawa adatnya. Tapi melihat mata Giok Hoa yang bersinar, dia jadi menuruti juga perintah Giok Hoa.

Setelah Bie Lan duduk, Giok Hoa segera bertanya kepada orang-orang yang berkumpul di situ, “Sahabat-sahabat, tahu kalian, siapa sebenarnya gadis itu, keponakan kami itu?”

Semua orang berdiam diri. Memang mereka tidak mengetahuinya dan mereka jadi mengawasi Giok Hoa.

“Itulah puteri Sin-tiauw Thian-lam Yo Him, cucu Sin-tiauw Tay-hiap Yo Ko! Kalian tentu telah mendengar nama kedua pendekar gagah perkasa itu, bukan? Yo Him adalah ayah dari gadis itu, dan Sin-tiauw Tay-hiap Yo Ko adalah kakek dari Yo Bie Lan!

“Karena dari itu kalian jangan memandang remeh padanya! Walaupun benar dia dari tingkatan muda akan tetapi kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali!”

Setelah berkata begitu, Giok Hoa merangkapkan tangannya memberi hormat, dan dia duduk kembali.

Sedangkan orang-orang yang berkumpul di tempat itu setelah mengetahui Bie Lan adalah puteri Yo Him dan cucunya Yo Ko, mereka jadi tidak berani banyak bicara lagi.

Sedangkan Ko Tie telah berkata lagi: “Dengan bantuan dari sahabat-sahabat sekalian, tentu dengan mudah kita bisa mengerahkan kembali rakyat, agar bangun dan mengadakan perlawanan kepada penjajah!”

Sunyi keadaan di sekitar tempat itu

Tiba-tiba terdengar seseorang berkata: “Pinto ingin bicara!”

Segera tampak dari rombongan para tamu itu seorang Tojin berdiri tegak. Tubuhnya tegak dan tinggi besar. Diapun memiliki mata yang bersinar sangat tajam sekali.

Ko Tie dan yang lainnya jadi menoleh memandang kepadanya.

“Silahkan!” Kata Ko Tie.

“Ada sesuatu yang hendak pinto tanyakan, bolehkah?”

“Silahkan Cinjin……. apa yang akan Cinjin tanyakan?” Tanya Ko Tie.

“Mengenai cucu Oey Yok Su!”

“Ya, ada apa dengan cucu Oey locianpwe?” Tanya Ko Tie.

“Apakah orangnya sudah ada di sini?”

Ko Tie mengangguk.

“Mengapa dia tidak keluar memperlihatkan diri?!”

“Sebentar lagi ia akan keluar untuk berkenalan dengan sahabat-sahabat yang berada di sini!”

“Mengapa tidak sekarang?!”

“Justeru Siauwte hendak menyampaikan dulu tujuan dari berkumpulnya kita di sini!”

Tojin itu menggangguk.

“Pinto justeru ingin melihatnya dulu sekarang, karena sebelum kita membicarakan lebih jauh, tanpa kenal dengan orangnya bukankah kita sulit untuk menyatakan pendapat kita?”

Ko Tie terdiam sejenak.

Sedangkan Kim Lo sendiri sejak tadi duduk gelisah sekali. Dia kuatir jika memang Ko Tie nanti meminta dia maju untuk memperlihatkan diri.

Dia sama sekali tidak menyangka, bahwa tujuan dari berkumpulnya para pendekar gagah di tempat ini, di Yang-cung, ternyata mengandung tujuan dan maksud besar dan sangat penting yaitu bermaksud menghimpun kekuatan baru untuk mengadakan perlawanan kepada penjajah. Tadinya, ia hanya menerima perintah dari Oey Yok Su untuk menemui para pendekar gagah.

Semula Kim Lo menduga dia hanya diperintahkan buat meminta petunjuk belaka. Siapa sangka, justeru sekarang ini memang Ko Tie telah membeber semua tujuan pertemuan itu.

Kim Lo jadi kuatir dan bimbang. Dia kuatir bahwa dia tidak akan sanggup untuk mengemban dan menerima tugas yang begitu berat.

Tapi, disebabkan berada di tempat tersebut, berkumpul demikian banyak orang, dia tidak bisa menyampaikan perasaannya itu pada Ko Tie.

Dan sekarang ada Tojin itu yang ingin memintanya keluar memperlihatkan diri. Ini membuat Kim Lo tambah gelisah.

Setelah berdiam diri sejenak, Ko Tie mengangguk.

“Baiklah! Segera siauwte akan meminta cucu Oey locianpwe keluar, memperlihatkan diri.”

Berkata sampai disitu, Ko Tie menoleh kepada Kim Lo, katanya: “Hiantit, silahkan kau keluar memperkenalkan diri!”

Kim Lo ragu-ragu. Tapi Ko Tie telab perintahkan padanya untuk keluar memperkenalkan diri. Ia bangun berdiri. Melangkah perlahan-lahan mendekati Ko Tie.

Setelah berada disamping Ko Tie, Kim Lo semakin gelisah. Ia melihat semua orang mengawasinya. Terpaksa dia merangkapkan tangannya memberi hormat.

“Boanpwe Kim Lo memberi hormat kepada Cianpwe sekalian!” Kata Kim Lo pada akhirnya.

Seketika di tempat itu ramai oleh bisik-bisik.

Tojin yang tadi meminta agar Kim Lo keluar memperlihatkan diri telah mengawasi Kim Lo dengan tajam. Tidak senang hatinya melihat muka Kim Lo ditutupi oleh kain putih.

“Mengapa muka cucu Oey Yok Su harus memakai penutup seperti itu?” Tegurnya. “Sedangkan kami diminta mendukung, dan cucu Oey Yok Su main kucing-kucingan dengan kami. Apakah urusan ini bisa selesai dengan baik?”

Muka Ko Tie berobah. Dia sendiri memang belum pernah melihat muka Kim Lo. Dulu memang waktu ia menghadiahkan serulingnya pada Kim Lo, waktu Kim Lo masih kecil dia telah melihat muka anak ini tidak begitu baik.

Dan sekarang setelah dia melihat Kim Lo dewasa, dengan kain penutup muka, dia menduga paling tidak muka Kim Lo memang kurang baik bentuknya. Justeru pendeta itu mendesaknya begitu dia terpojok.

“Baiklah Hiantit, kau bukalah penutup mukamu!” Katanya memerintahkan Kim Lo agar dia membuka tutup mukanya itu.

Kim Lo jadi serba salah.

Dia merangkapkan kedua tangannya ke segala penjuru dan jurusan, dia bilang. “Maaf Boanpwe sekarang ini memiliki kesulitan yang belum lagi bisa Boanpwe ceritakan……. Nanti jika memang sudah tiba saatnya, tentu Boanpwe akan membuka tutup muka ini.”

Tojin itu tertawa dingin.

“Bocah kurang ajar! Hemmm kau anggap aku ini apa? Hemmm pinto adalah ketua Khong-tong-pay Ciangbunjin sebuah pintu perguruan yang tidak kecil!!

“Pinto diminta datang untuk memberikan dukungan. Tapi seorang yang hendak didukung itu seorang yang main kucing-kucingan. Sampai soal mukanya saja tidak mau memperlihatkannya! Baiklah jika memang demikian lebih baik Pinto mengundurkan diri.”

Setelah berkata begitu, dia mengibaskan hud-timnya, dan dia memutar tubuhnya untuk berlalu. Bersamaan dengan itu, bangun belasan orang Tojin, yang ingin pergi, siapanya murid-murid si Tojin.

Ko Tie jadi kaget.

“Tunggu dulu locianpwe…….!”

Namun ketua Khong-tong-pay itu sudah tidak memperdulikan cegahan Ko Tie. Dia melangkah terus diikuti oleh murid-muridnya buat berlalu.

Banyak tamu-tamu lainnya yang berdiri dan kemudian memutar tubuh untuk berlalu.

Sisanya tetap duduk berdiam diri di situ.

Ko Tie jadi salah tingkah, dia merangkapkan sepasang tangannya dan bilang, “Maafkan sesungguhnya memang keponakan kami ini memiliki kesulitan yang belum lagi bisa diceritakan. Harap sahabat-sahabat mau memakluminya.

Tapi waktu itu justeru telah bangun lagi beberapa orang, yang segera memutar tubuh untuk meninggalkan tempat tersebut, dengan hati tersinggung.

Mereka justeru merasa mendongkol, karena Kim Lo tidak mau membuka tutup mukanya. Dengan begitu mereka merasakan bahwa Kim Lo tidak menghargai mereka.

Sedangkan kedatangan mereka ke tempat itu justeru hendak memberikan dukungan pada Kim Lo, dan dengan adanya sebutan para pendekar sejati, mereka juga hendak membangunkan diri. Siapa tahu mereka dikecewakan seperti itu.

Malah di antara tamu-tamu yang masih berada di tempat itu tertawa keras, mereka tampaknya mengejek. Dan ada yang nyetetuk bilang, “Ya untuk apa kita mendukung seseorang yang demikian pengecut, sampai wajahnya saja tidak berani diperlihatkan?!”

Begitulah, seorang demi seorang telah pergi meninggalkan tempat itu, maka sebentar saja keadaan di tempat itu jadi sepi. Dan yang tinggal jago-jago yang datang dari berbagai penjuru yang duduk di situ sebagai peninjau belaka.

Ko Tie menghela napas.

“Memang untuk menghimpun para orang gagah dibutuhkan Giok-sie. Dengan Giok-sie kita bisa menggerakkan rakyat sekarang ini. Jika tanpa Giok-sie, kita sulit mempersatukan orang-orang gagah.”

Walaupun tamu-tamu itu meninggalkan tempat tersebut dengan cara mereka, tokh Ko Tie tidak tersinggung.

Giok Hoa juga cuma menghela napas.

Bie Lan mengawasi Kim Lo. Dia heran sekali, mengapa Kim Lo keberatan membuka tutup mukanya.

“Mengapa kau tidak membuka tutup mukamu itu agar mereka tidak mencapmu sebagai manusia pengecut?” tanya Yo Bie Lan setelah Kim Lo duduk di sisinya.

Kim Lo menghela napas.

“Aku memiliki kesukaran nona Yo…...!” katanya dengan nada suara mengandung penyesalan.

Bie Lan menghela napas.

“Dengan keberatan kau membuka tutup muka, itu merupakan suatu penghinaan bagi mereka.”

“Tapi....... kakekku tak pernah memberitahukan bahwa aku akan diserahi tugas seberat itu!” menggumam Kim Lo kemudian, seperti menyesali dirinya sendiri.

Bie Lan tak bilang apa-apa lagi, ia berdiam diri dengan wajah yang muram.

Sedangkan Giok Hoa sudah menoleh pada Kim Lo, ia bilang, “Hiantit sebetulnya apakah ada sesuatu yang tak beres pada mukamu?!”

Kim Lo tidak menyetujui, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Jawablah Hiantit, jika memang benar begitu, kami juga tidak akan mendesakmu!”

Kim Lo mengangkat kepalanya. Ia mengawasi Giok Hoa, kemudian Bie Lan lalu Kim Cie Sin-kay dan Ko Tie barulah ia mengangguk,

“Wajahku terlalu buruk buat diperlihatkan kepada orang ramai!” Katanya dengan suara tersendat seakan juga dia sedih bukan main.

Ko Tie teringat kepada wajah Kim Lo waktu masih kecil. Demikian juga Giok Hoa. Mereka menduga apakah wajah Kim Lo masih sejelek itu? Dan mereka jadi menghela napas.

“Kita telah gagal buat menghimpun orang-orang gagah, agar memberikan dukungannya.” Dan suara Ko Tie sedih

“Sudahlah!” Kata Giok Hoa, “Nanti kita bisa mengusahakan dulu buat memperoleh Giok-sie. Dengan adanya Giok-sie di tangan tentu kita bisa mengerahkan orang gagah untuk menentang penjajah!”

Ko Tie kemudian berdiri, dia memberi hormat kepada tamu-tamu lainnya.

“Maafkan atas ketidak lancaran pertemuan ini. Harap sahabat-sababat mau memaafkan!” Katanya dengan penuh penyesalan. Itulah suatu cara halus untuk membubarkan orang-orang itu

Tiba-tiba di antara orang-orang itu ada yang tertawa dan melontarkan kata-kata ejekan.

Dan mata Kim Cie Sin-kay yang tajam segera melihat orang-orang yang melontarkan kata-kata ejekan itu adalah orang-orangnya Pu San Hoat-ong.

Sebetulnya jika memang menurut hati kecilnya, dia akan melompat buat membekuk mereka. Namun akhirnya dia teringat kalau memang dia membekuk orang itu, niscaya orang-orang yang lainnya akan menduga lain dan salah paham. Tentu akan timbul kerusuhan.

Karenanya Kim Lo telah membiarkan saja. Dia cuma mendelik kepada orang-orang itu!

Orang-orang lainnya mendengar caci yang dilontarkan oleh beberapa orang anak buah Pu San Hoat-ong yang memang telah menyelusup ke dalam pertemuan tersebut, jadi ikut menggerutu tidak senang. Mereka jadi ikut memaki dan menyesali akan pertemuan yang gagal ini! Malah ada di antara mereka, yang tidak segan-segan melontarkan makian untuk Oey Yok Su maupun Yo Ko.

Begitulah orang-orang itu telah bubar! Keadaan di tempat itu jadi sunyi.

Tiba-tiba Kim Cie Sin-kay menepuk lututnya.

“Hai!” Teriaknya sambil melompat berdiri, seakan-akan ia teringat sesuatu.

“Ada apa, locianpwe?” Tanya Ko Tie sambil mengawasi si pengemis.

“Sekarang aku baru ingat! Pasti ada sesuatu yang tak beres pada diri orang-orang Khong-tong-pay itu!”

“Kenapa?”

“Mereka tentu telah dihasut oleh si keledai gundul Pu San Hoat-ong. Mereka justeru diperalat untuk menggagalkan pertemuan ini!” Dan setelah berkata begitu, kembali Kim Cie Sin-kay berjingkrak karena gusar.

Ko Tie juga terkejut.

“Kemungkinan itu memang bisa saja terjadi!” kata Giok Hoa dengan wajah yang muram.

“Ya, tentu dengan segala cara Pu San Hoat-ong berusaha menggagalkan pertemuan ini!” kata Ko Tie.

“Hemm, memang kita telah salah!”

“Salah?”

“Ya salah! Kita melakukan kesalahan!”

“Maksud locianpwe?”

“Mengapa kita tidak membasmi mereka waktu beberapa hari yang lalu?!”

“Tapi, inilah resikonya untuk menghimpun suatu kekuatan, sayangnya pihak Khong-tong-pay itu tak memiliki pengertian sedikitpun juga sehingga membuat yang lainnya ikut-ikutan!”

“Justeru mereka yang telah diperalat oleh Pu San Hoat-ong……. dengan cara seperti itu, memang mereka berhasil untuk mengacaukan dan menggagalkan pertemuan ini!”

“Hemm, tapi itu hanya dugaan kita, tentunya belum pasti bukan?”

“Jika memang nanti terbukti, hem, hem, aku akan mencari si keledai gundul itu. Aku Kim Cie Sin-kay si pengemis tua yang melarat, niscaya akan mengadakan perhitungan dengannya!”

Waktu itu Kim Lo telah maju, ia merangkapkan sepasang tangannya memberi hormat pada semua orang itu, Kim Cie Sin-kay, Giok Hoa, Ko Tie maupun Bie Lan.

“Maafkanlah aku yang telah menyebabkan para paman dan Locianpwe menerima kesulitan seperti ini!” Katanya dengan penuh penyesalan,

Ko Tie menghela napas dalam-dalam.

“Ini bukan gara-garamu Kim Lo!” katanya kemudian sambil menepuk-nepuk pundak si pemuda. “Nanti kita akan berhasil untuk menghimpun orang-orang gagah. Yang terpenting sekarang ialah kita harus berusaha memperoleh Giok-sie.

“Jika memang Giok-sie berhasil kita peroleh, niscaya kita bisa menggerakkan rakyat dan menghimpun para orang gagah untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah!”

Setelah berkata begitu Ko Tie menoleh pada Bie Lan, ia bertanya, “Apakah ayah dan ibumu akan datang kemari juga?”

“Menurut ayah dan ibu, mereka akan menyusul datang ke mari! Tapi aneh, mereka masih belum juga tiba di sini?”

“Bagus! Jika memang mereka nanti datang kita minta pendapatnya dan nasehat mereka!” kata Ko Tie.

Giok Hoa kemudian menyarankan agar mereka beristirahat dulu. yang lainnya menyetujui.

Begitulah mereka telah pulang ke rumah seorang penduduk yang tidak jauh terpisah dari lembah tersebut. Memang kemarin mereka telah menginap di rumah penduduk itu. Mereka memberikan hadiah uang yang cukup besar.

Tapi biarpun mereka merebahkan diri di pembaringan, masing-masing tidak bisa tidur. Mereka merasakan, betapa hati mereka diganggu oleh berbagai macam kemelut yang merisaukan dan menggelisahkan hati.

Terlebih lagi Ko Tie.

Bukankah rencananya telah gagal, untuk menghimpun suatu kekuatan? Oey Yok Su telah mempercayai sepenuhnya pada Ko Tie, buat menghimpun kekuatan, guna mengadakan perjuangan dan juga perlawanan kepada penjajah.

Disamping itu, Oey Yok Su yakin, Ko Tie akan berhasil dengan usahanya itu. Karenanya Oey Yok Su pun telah menjanjikan mengirim Kim Lo ke tempat ini yaitu, Yang-cung tempat pertemuan orang gagah. Tapi pertemuan itu telah macet di tengah telah mengalami kegagalan. Dengan sendirinya membuat Ko Tie menyesal bukan main.

Ko Tie menyadari, jika memang waktu diselenggarakan pertemuan itu ia mempergunakan kekerasan, niscaya hanya menimbulkan kesan buruk belaka. Karena dari itu, dia tidak mau mengambil tindakan kekerasan. Walaupun para pendeta Khong-tong-pay itu bersikap kurang ajar dan agak menghina, tokh Ko Tie tidak mengambil tindakan apapun juga.

Giok Hoa yang melihat keadaan suaminya seperti itu, segera menghiburnya. Dia bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh suaminya tersebut yaitu kekecewaan.

Besoknya mereka berunding, apa yang akan mereka lakukan.

“'Yang pertama-tama harus kita usahakan, ialah harus berusaha memperoleh Giok-sie cap kerajaan!” Kata Ko Tie.

“Tapi kita tidak mengetahui dimana sekarang Giok-sie berada!” Kata Giok Hoa.

“Bukankah kita telah mendengarnya bahwa seorang nelayan di Lam-hay berhasil menemukan Giok-sie……. kita bisa menyelidiki di Lam-hay untuk mengetahui apakah berita itu benar adanya! Jika benar, kita harus berusaha buat memperoleh Giok-sie itu!”

Kim Lo cuma mendengarkan saja. Demikian juga halnya dengan Bie Lan.

Giok Hoa menghela napas.

“Untuk memperoleh Giok-sie pun bukan pekerjaan yang mudah!” Kata Giok Hoa. “Kita harus menantikan dulu Yo Pe-peh dan Sasana Peh-bo. Kepada mereka kita bisa jelaskan semua duduk persoalan, dan kita bisa meminta pendapat mereka!”

Ko Tie mengangguk beberapa kali.

Demikianlah, mereka menetap selama beberapa hari di rumah penduduk itu. Pihak Kay-pang banyak melakukan sesuatu untuk mereka seperti menyelidiki dan mencarikan berita buat mereka, termasuk barang makanan dan kebutuhan uang.

Kim Cie Sin-kay adalah Tianglo nomor empat di Kay-pang kekuasaannya sangat besar. Karena dari itu, dia bisa perintahkan ketua daerah Kay-pang di Yang-cung untuk mengerahkan seluruh kekuatan Kay-pang, untuk mengumpulkan berita, yang hendak mereka ketahui adalah tentang Yo Him dan Sasana, apakah ke dua orang itu telah datang.

Bie Lan sendiri, selama beberapa hari itu selalu riang bermain dengan rajawali putih yang mengajak dia terbang ke tengah udara untuk berkeliling dengan asyik sekali. Di mana memang tampaknya Bie Lan belum lagi kurang sifat kekanak-kanakkannya. Dia masih saja bermain dengan gembira sekali.

Terlebih lagi memang burung rajawali putih itu sangat jinak. Selalu menurut apa yang dikehendaki oleh Bie Lan karena burung itu seperti mengerti apa yang diucapkan oleh Bie Ian.

Giok Hoa tidak melarang Bie Lan bermain-main dengan burung rajawalinya itu. Dan juga Ko Tie sepanjang hari berunding dengan Kim Cie Sin-kay serta Kim Lo, apa yang mereka lakukan.

Namun setelah lewat sepuluh hari mereka menanti sia-sia belaka, Yo Him dan Sasana tak juga muncul.

Bie Lan pun heran.

“Ayah dan ibu mengatakan akan segera menyusulku ke Yang-cung. Mereka memintaku melakukan perjalanan dulu. Tapi aneh sekali, mereka masih belum juga tiba. Apakah mereka bertemu rintangan?”

Diwaktu itu tampak Bin Lan gelisah juga.

Akhirnya setelah menunggu dua hari lagi dan setelah merundingkan diambil keputusan bahwa mereka akan melakukan perjalanan ke Lam-hay untuk menyelidiki tentang Giok-sie cap kerajaan itu.

Demikianlah, rombongan itu akhirnya meninggalkan Yang-cung, mereka bermaksud pergi ke laut selatan yaitu Lam-hay.

Memang selama ini tersiar berita, Giok-sie telah diperoleh seorang nelayan di Lam-hay dan mereka ingin menyelidiki apakah berita itu benar atau hanya sekedar berita burung belaka.

Kim Cie Sin-kay sendiri telah memberitahukan kepada Ko Tie dan yang lainnya, nanti di Lam-hay dia akan mengerahkan pengemis-pengemis di sana buat menyelidiki dengan ketat.

Jika memang berita yang tersiar itu benar maka dengan mudah pengemis-pengemis Kay-pang akan dapat mengetahuinya dengan pasti.

Begitulah, Kim Lo bersama-sama dengan Ko Tie, Giok Hoa, Kim Cie Sin-kay dan Bie Lan melakukan perjalanan ke Lam-hay. Selama itulah mereka bilang kepadanya, sementara waktu Kim Lo tidak usah memikirkan yang tidak-tidak, sampai nanti Giok-sie diperoleh.

Sebelumnya Kim Lo sangat murung. Dia jarang sekali bicara dengan mereka akhir-akhir itu. Karena pemuda ini memang tampaknya jadi bingung, sebab sekarang dia baru mengetahui di pundaknya terdapat tugas yang berat.

Cuma saja yang naembuat Kim Lo jadi heran serta tidak mengerti, mengapa justeru dia yang dipilih, mengapa bukan orang lain atau dipilihnya seorang pendekar gagah perkasa seorang gagah sejati?

Justeru disebabkan Ko Tie telah memberitahukan padanya, agar dia tidak terlalu murung dan telah membuat dia berlapang hati. Karena janji Ko Tie setelah diperoleh Giok-sie, barulah dia akan mempertimbangkan lagi, tindakan apa yang akan mereka lakukan…….

Perjalanan ke Lam-hay memang tidak terlalu sulit. Cuma saja, untuk mencapai tempat tujuan, mereka memerlukan waktu sampai dua bulan……

<> 

Angin tenggara di selat Lay-ciu, di daerah propinsi Shoatang, berhembus cukup keras. Di dekat teluk Put-hay, teluk Chili tampak seorang penunggang kuda tengah melarikan kuda tanggangannya dengan cepat.

Kuda itu tampak sehat sekali, karena binatang tunggangan ini dapat berlari dengan pesat, dimana memang kuda itupun memiliki tenaga yang sangat kuat. Kuda itu tinggi besar, berbulu coklat tua, dengan kombinasi bulu putih di bagian perutnya. Tampaknya kuda dari Arab atau memang juga kuda dari Mongolia dan lari kuda secepat angin.

Penunggang kuda itupun memiliki tubuh yang sehat, walaupun sikapnya tampak ia lesu bukan main. Ia melarikan kudanya itu seperti juga tengah mengejar sesuatu.

Pada wajahnya terlihat perasaan kuatir. Ia berusia empatpuluh tahun lebih mengenakan baju warna biru langit dan celananya yang cukup ketat berwarna coklat muda.

Dia pandai sekali mengendalikan kuda tunggangannya, walaupun kuda itu berlari sangat pesat, namun tubuhnya sama sekali tidak terguncang terlalu hebat. Dia dapat duduk dengan posisi yang baik.

Setelah melarikan kuda tunggangannya itu sekian lama, dia melewati daerah yang termasuk teluk Put-hay tersebut karena ia sudah mulai memasuki daerah daratan-daratan yang penuh dengan rumput-rumput yang hijau. Hanya saja sejauh mata memandang, tidak terlihat sebuah rumah penduduk pun.

Jika tadi, dia memang melihat di teluk Put-hay banyak sekali rumah penduduk yang umumnya adalah nelayan. Dan dia tidak bermaksud untuk singgah.

Dia memang ingin melakukan perjalanannya itu cepat-cepat, agar lebih segera bisa tiba di tempat tujuannya. Setelah tiba di lapangan rumput itu, orang tersebut menarik tali kendali kudanya. Binatang tunggangan itu berhenti berlari. Orang itu memandang sekelilingnya.

Sejauh mata memandang lepas, hanya tampak lapangan rumput yang sangat luas, juga rumput-rumput yang tumbuh di situ subur sekali. Tidak terlihat sebuah rumah penduduk atau seseorang lainnya. Sepi dan langgeng.

Laki-laki itu menghela napas.

“Untuk mencapai Kiu-ciu, mungkin masih memerlukan waktu tiga hari…… entah masih keburu atau tidak, aku memberitahukan urusan yang sangat penting itu kepada mereka?” Menggumam laki-laki tersebut.

Dia menghela napas dan kemudian menggumam pula, “Jika memang terlambat, tentu banjir darah sulit untuk dielakkan…….!”

Setelah beristirahat sejenak seperti itu, tanpa turun dari atas kudanya. Laki-laki ini membedal lagi kudanya, yang segera berlari pesat sekali di atas lapangan rumput yang luas itu.

Rupanya kuda ini berselera sekali melihat rumput yang tebal, ia berhenti sejenak ketika berlari sekian jauhnya, dia memakan rumput itu. Dan penunggangnya tidak memaksa dia berlari terus. Membiarkan kuda tunggangannya itu menikmati rumput itu. Lewat kurang lebih sepasangan satu batang hio, dia mengendut lagi tali kendali kuda itu, melarikan kuda tunggangannya pula.

Kuda itu sudah makan cukup banyak, semangatnya juga telah kumpul. Dia berlari jauh lebih cepat dibandingkan dengan tadi karena kuda itu seperti juga anak panah yang dilepas dari busurnya, melesat seperti kilat.

Laki-laki di punggung kuda itu membedal terus kudanya. Dia yakin sebelum dua hari dia sudah bisa tiba di tempat tujuannya, kalau saja kudanya bisa berlari terus menerus seperti sekarang.

Sayangnya, binatang tunggangannya ini tidak mungkin dilarikan terus menerus selama dua hari tanpa beristirahat sedikitpun, dan walaupun bagaimana memang kuda itu memerlukan waktu buat beristirahat, dan tentu waktu perjalanan akan lebih lama lagi. Dia merencanakan dalam tiga hari sudah bisa tiba di tempat tujuannya.

Walaupun demikian laki-laki itu mengusahakan agar kudanya dapat berlari lebih cepat lagi, karena semakin cepat ia tiba di tempat tujuannya, akan menjadi semakin baik lagi.

Tengah laki-laki itu membandel kudanya seperti kerasukan setan, tapi dengan posisi tubuh duduk dengan sikap yang baik sekali, tiba-tiba dari sebelah depannya, di kejauhan, juga tampak tengah berlari seekor kuda. Cepat pula, semakin lama semakin dekat dan semakin jelas.

Kuda yang tengah mendatangi itu berbulu hitam, dan juga penunggangnya juga mengenakan pakaian warna hitam. Malah di pundak penunggang kuda yang tengah mendatangi itu tergemblok sebatang pedang.

Dia memiliki muka yang empat persegi, tubuhnya tegap dan kuat sekali kelihatan tenaganya. Dia duduk mantap di atas punggung kudanya. Dan sama seperti penunggang kuda yang pertama itu, diapun melarikan kuda tunggangannya sangat cepat.

Karena kedua kuda masing-masing berlari cepat seperti itu, dalam waktu singkat kedua kuda itu menghampiri semakin dekat.

Hati laki-laki pertama, yang mengenakan baju warna biru langit itu tercekat.

“Hemmm, tentu ini penyakit lainnya yang berusaha menggagalkan tugasku! Tadi aku baru saja melewati dua macam penyakit!”

Walaupun dia berpikir begitu dan memiliki dugaan bahwa orang yang berpakaian serba hitam yang tengah mendatangi itu bukan sebangsa manusia baik-baik, dia tetap membawa sikap yang tenang. Dia tetap melarikan kuda tunggangannya.

Akhirnya kedua kuda itu saling berpapasan. Namun kuda hitam itu berlari seakan juga hendak menerjang dan menubruk kuda si orang berbaju biru.

Menghindarkan tabrakan, orang berpakaian baju biru itu menarik tali kendali kudanya. Kuda tunggangannya yang tengah berlari cepat, jadi kaget waktu tali kendali di mulutnya tertarik kuat-kuat, dia meringkik sambil menarik ke dua kaki depannya naik ke atas.

Kuda hitam itupun berhenti. Penunggang kuda hitam itu, seorang berusia hampir limapuluh tahun. Cuma saja matanya bengis, mengawasi orang berbaju biru. Dia memperdengarkan suara tertawa dingin.

“Bukankah kau Hui-houw-to?!” Tegurnya. Dia menyebut Hui-houw-to atau Golok Harimau Terbang.

Orang berbaju biru itu tercengang sejenak, dia berpikir, “Aneh, dia mengetahui siapa aku!”

“Benar!” Walaupun dia berpikir begitu, tokh dia menyahuti juga. “Memang tidak salah, aku Hui-houw-to Kang Lam Cu!”

“Hemmm....... jika memang kau ingin melanjutkan perjalanan dengan tubuh yang utuh, surat yang tengah kau bawa harus diserahkan kepadaku…......”

Muka Hui-houw-to berobah. Orang bicara dengan sikap yang bengis, terus dia memang bermaksud tidak baik. Terlebih sekarang sudah diketahui, apa maksud orang itu yang menghadangnya, yaitu meminta surat yang tengah di bawanya.

“Hemm, siapa kau?” Tanya Hui-houw-to tanpa menjawab perkataan orang itu.

“Tidak perlu, kau ketahui siapa aku! Tapi sudah kuberitahukan, jika memang engkau hendak melanjutkan perjalanan dengan selamat dan tubuh tetap utuh, surat yang tengah kau bawa itu harus diserahkan kepadaku!”

Tiba-tiba orang berbaju biru itu, Hui-houw-to, mengangkat kepalanya, menengadah mengawasi langit. Mulutnya dibuka lebar-lebar, terdengar suara tertawanya yang bergelak-gelak, keras dan nyaring sekali.

“Apakah demikian mudah?!” Tanya Hui-houw-to dengan suara dingin: “Apakah kau kira akan sedemikian mudah untuk mengambil surat yang ada padaku?!”

“Itu terserah kepadamu! Aku memberikan dua pilihan, kau boleh memilihnya! Yang pertama adalah jalan kehidupan, di mana kau bisa hidup terus dengan tubuh yang utuh, asal kau menyerahkan surat itu kepadaku.

“Tapi jika memang tidak mau menyerahkan surat itu berarti kau memilih jalan kedua yaitu engkau akan terbinasa dengan tubuh tidak utuh. Sedangkan surat di tanganmu akan terjatuh juga ke tanganku. Mengerti kau?”

Hui-houw-to tidak hanyak bicara lagi. Tahu-tahu tubuhnya melesat turun dari punggung kudanya. Tubuhnya bergerak lincah sekali.

Sepasang kakinya hinggap di tanah berumput itu dengan ringan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga. Itulah gin-kang yang sangat mahir sehingga bisa membuat tubuh jadi begitu ringan.

“Bagus!” Berseru Hui-houw-to ketika ke dua kakinya sudah hinggap di tanah berumput itu. “Aku justeru ingin melihat, jika aku memilih jalan kematian, apa yang engkau bisa lakukan?”

Sambil berkata begitu, Hui-houw-to mengambil sikap bersiap-siap untuk menghadapi setiap terjangan dan serangan orang berpakaian hitam itu, yang tidak mau menyebutkan dan memperkenalkan namanya. Dengan sikapnya seperti itu, Hui-houw-to memang menantang orang-orang itu buat segera turun tangan, karena dia bermaksud akan melayaninya dengan cara keras di lawan keras.

Orang berpakaian baju hitam yang duduk di puuggung kuda hitam itu memperdengarkan suara tawanya yang dingin menyeramkan. Sikapnya tenang sekali.

Dia memang mendongkol ditantang seperti itu oleh Hui-houw-to, namun dia bisa menguasai diri. Dia masih tetap duduk di punggung kudanya.

“Apakah benar-benar engkau tidak mau mendengar kata-kata baik dariku?” Tegurnya.

Hui-houw-to menggeleng.

“Silahkan!” Tanyanya lagi.

Orang berbaju hitam itu tertawa.

“Baiklah. Rupanya memang engkau sudah tidak sabar ingin cepat-cepat pergi ke Giam-lo-ong!”

Setelah berkata begitu, tubuh orang berbaju hitam itu melompat dari punggung kudanya. Tapi dia melompat bukan buat hinggap di atas tanah berumput, melainkan tubuhnya seperti anak panah yang lepas dari busurnya, tampak telah melesat menerjang kepada Hui-houw-to. Tangannya berkelebat akan menghantam batok kepala Hui-houw-to.

Pukulan yang dilakukan orang berbaju hitam itu kuat sekali, karena Hui-houw-to merasakan, belum lagi tangan orang itu tiba dekat, justeru angin pukulannya sudah berkesiuran menerjang ke arah batok kepalanya.

Ccpat-cepat Hui-houw-to mengelakkannya dengan melompat dua tombak ke samping kanan.

Tapi, waktu itu justeru tubuh orang berbaju hitam itu hinggap di tanah berumput sambil tangannya sudah menghunus pedangnya dan tangannya itu tidak tinggal diam saja, karena dia telah menabas.

Dia rupanya hendak memanfaatkan kesempatan yang ada, yaitu waktu sepasang kakinya hinggap tangannya menghunus pedang sambil diayunkan menabasnya. Tebasan itu pun sangat kuat, menimbulkan angin berkesiuran dasyat.

Hui-houw-to sama sekali tidak gentar. Dia berkelit lagi! Hanya dengan mundur satu langkah ke belakang. Waktu pedang lawannya meluncur lewat di depan mukanya dia mengulurkan tangannya, buat menjepit pedang itu, yang hendak dipatahkannya dengan jepitan tangannya.

Dalam keadaan seperti inilah, segera terlihat betapapun juga, memang Hui-houw-to kalah gesit dibandingkan dengan orang berbaju hitam itu. Begitu pedangnya hendak dijepit, orang berbaju hitam itu menarik pulang pedangnya tahu-tahu mata pedang telah mengincar dada Hui-houw-to.

Tentu saja Hui-houw-to terkejut, dia tetap tidak gugup dalam perasaan kaget seperti itu. Cuma saja dia kagum buat hebatnya ilmu pedang lawannya, yang dapat menyerangnya begitu cepat dan aneh sekali gerakan maupun jurusnya.

Cepat-cepat Hui-houw-to mengelakkan ke sana ke mari dengan lincah.

“Bagus!” Dia malah berseru nyaring.

Tangannya meraih ke dalam bajunya, seketika ia mengeluarkan golok pendeknya. Panjang goloknya itu cuma beberapa kaki, dan berkilauan terang sekali.

Berbeda dengan golok biasa, golok ini pendek dan bentuknya lebar, sehingga mirip dengan golok pemotong babi. Cuma saja, bentuk di ujungnya yang memiliki kaitan besar, menunjukkan bahwa golok itu bukanlah golok pemotong babi.

Golok itu telah dihunus dan segera dipergunakan buat menyampok pedang orang berbaju hitam. Lelatu api segera muncrat ke mana-mana.

Orang berbaju hitam sendiri merasakan tangannya tergetar akibat benturan itu.

Demikian juga dengan Hui-houw-to ia merasakan tangannya kesemutan, goloknya tergetar.

“Kuat tenaganya…….!” pikir Hui-houw-to di dalam hati, namun ia tak gentar, karena segera saja golok pendeknya telah diputar. Ia telah mulai balas menyerang dengan gencar.

Orang berbaju hitam itu memutar pedangnya sehingga beradu beberapa kali pedang dengan golok, dan muncratnya lelatu api yang tidak hentinya.

Saat itu terlihat Hui-houw-to berusaha membalas mendesak lawannya. Cuma saja ia selalu gagal.

Karena lawannya memiliki kepandaian yang tidak lemah dan bisa memberikan perlawanan yang sama gigihnya. Diwaktu itu malah orang berpakaian serba hitam itu berulang kali berusaha mau mendesak dan menyerang lebih gencar kepada Hui-houw-to.

Demikianlah kedua orang itu telah saling menyerang dengan gencar, bertempur seru sekali.

Sedangkan Hui-houw-to diam-diam berpikir di dalam hati: “Aku harus dapat merubuhkan orang ini secepat mungkin. Jika tidak aku hanya membuang-buang tenaga percuma saja!”

Waktu itu dia bersiul nyaring, tahu-tahu goloknya seperti hujan menyambar bertubi-tubi kepada lawannya, gerakannya begitu cepat, sulit diterka. Malah yang luar biasa golok pendek itu berobah menjadi sepuluh batang menyambar, mengelilingi tubuh lawan Hui-houw-to.

Dan juga, diwaktu itu Hui-houw-to telah mempergunakan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling bisa diandalkannya. Dia telah menyerang tidak hentinya.

Dengan penyerangan yang gencar seperti itu membuat lawannya harus main mundur. Karena sementara itu dia tak bisa mengetahui, yang mana serangan yang sesungguhnya dan yang mana golok yang sebenarnya.

Disaat itu tampak Hui-houw-to telah bersiul nyaring. Dan kuda coklatnya telah berlari ke dekatnya. Sambil menjejakkan kakinya, Hui-houw-to bilang.

“Sampai berjumpa lagi maaf, aku tidak bisa menemanimu main-main terlalu lama!”

Usai berkata begitu, kudanya dibedal dengan cepat sekali dan kuda tunggangan itu berlari pesat seperti terbang.

Orang berpakaian serba hitam itu jadi kaget.

“Kau mau kabur kemana?!” sambil berseru begitu, dia melesat menghampiri kudanya. Dan melompat naik ke punggung kudanya, membedalnya dan berusaha mengejarnya.

Namun Hui-houw-to sudah melarikan kudanya cukup jauh, dia membedal terus sambil menjepit perut kuda itu.

Sudah menjadi keputusan Hui-houw-to, bahwa dia memang harus dapat melepaskan diri dari lawannya itu, dan harus dapat melarikan kudanya itu lebih cepat lagi. Dengan demikian orang berbaju hitam itu tidak bisa menyandaknya dan diwaktu itulah baru dia akan terlepas dari kejaran lawannya.

Sedangkan orang berpakaian serba hitam itu sama sekali tidak mau melepaskan buruannya. Dia pun menjepit kuat-kuat perut kudanya, dia melarikannya dengan pesat, berusaha untuk menyandak kuda Hui-houw-to.

Begitulah kedua ekor kuda itu, yang cokelat di sebelah depan dan kuda berbulu hitam di belakangnya, saling kejar berlari pesat sekali, seakan juga kedua ekor kuda itu masing-masing ingin memperlihatkan bahwa mereka dapat berlari semakin cepat jika memang majikan mereka menghendakinya.

Hui-houw-to mengetahui bahwa lawannya mengejar di belakangnya sama cepatnya. Dan kuda lawannya itupun bukan kuda sembarangan karenanya dia tidak berani berayal sejenak pun juga.

Dia terus membedal kudanya, malah dia berseru berulang kali: “Ayo cepat….. ayo....... Jika kita sudah meninggalkan dia, kita akan pesta makan. Aku akan memberikan kepadamu nanti rumput muda yang harum!”

Sambil membisiki begitu, dia mengusap-usap leher kuda itu, dia telah membisikinya berulang kali. Dan memang dia berhasil.

Kuda itu seperti juga mengerti, karena kuda itu telah berlari semakin cepat. Dan akhirnya jarak antara kuda Hui-houw-to dengan kuda hitam itu terpisah semakin jauh juga.

Walaupun orang yang berpakaian hitam itu mati-matian berusaha melarikan kuda tunggangannya itu lebih cepat, tetap saja jarak mereka semakin jauh.

Orang berpakaian serba hitam itu berulang kali menepuk-nepuk leher kudanya, dia juga telah merogoh sakunya, mengeluarkan senjata rahasianya karena sewaktu-waktu dia akan mempergunakannya buat menimpuk lawannya, jika saja memang kelak jarak mereka sudah semakin dekat.

Tengah Hui-houw-to asyik membisiki kudanya agar kuda itu berlari lebih cepat justeru matanya yang tajam melihat, dari arah depannya datang lari memapaki seekor kuda lainnya. Kuda yang lari dengan cepat sekali.

Kuda itu berbulu hitam juga, tapi penunggang bukan seorang laki-laki, melainkan seorang wanita, yang usianya mungkin baru tigapuluh tahun lebih.

Waktu itu, Hui-houw-to telah berusaha untuk memperhatikan baik-baik wanita itu, dan dia melihatnya bahwa wanita membawa pedang di punggungnya. Tampak wanita itu memang merupakan orang musuhnya yang berpakaian hitam di belakangnya, karena terlihat dia pun hendak menghadang Hui-houw-to.

Diwaktu itu, dengan cepat sekali kuda Hui-houw-to sudah berlari mendekati kuda yang tengah memapaknya.

Tangan kiri Hui-houw-to segera juga merogoh sakunya, dia mengeluarkan beberapa biji Tiat-lian-cu. Dia mempersiapkannya untuk melepaskan senjata rahasianya.

Ketika kuda mereka hampir bertubrukan, Hui-houw-to sengaja tidak menahan larinya sang kuda. Dia membedal terus, malah tangan kirinya segera menimpuk melepaskan biji Tiat-lian-cu!

Sedangkan wanita itu melihat menyambar biji-biji Tiat-lian-cu, jadi memiringkan tubuhnya. Dia tidak mengelakkan sambaran Tiat-lian-cu, sedangkan tangan kanannya telah mencabut pedangnya yang tergemblok di punggungnya, dia hendak mempergunakan pedangnya buat menabas batang leher Hui-houw-to.

Namun sayang sekali, biarpun wanita itu bisa menggelakkan diri dari samparan Tiat-lian-cu tidak urung dua butir Tiat-lian-cu mengenai leher kudanya.

Kuda itu kesakitan, dia meringkik dan mengamuk dengan mengangkat-angkat kedua kaki depannya, dengan begitu lenyap keseimbangan tubuh wanita itu, dia berusaha mengendalikan kudanya, tapi gagal, malah tubuhnya telah terlempar keras dari punggung kudanya itu.

Untung saja wanita itu memiliki gin-kang yang mahir, sehingga dia bisa mengendalikan tubuhnya yang tengah terlambung di tengah udara. Dan dia telah berusaha jumpalitan agar tubuhnya itu tidak rubuh terbanting di tanah.

Dia bisa hinggap di tanah dengan baik sekali dengan kedua kakinya tiba lebih dahulu.

Begitulah, mereka telah tertinggal oleh kuda Hui-houw-to yang berlari keras terus.

Kuda hitam itu dikendalikan oleh laki-laki berbaju hitam itu tiba dengan cepat. Dan wanita tersebut tanpa bilang apa-apa telah melompat ke punggung kuda orang berbaju hitam itu.

“Cepat kejar.......!” katanya.

Tampaknya wanita ini sengit sekali, sebab hampir saja tadi dia terbanting dari atas kudanya. Maka dari itu, panas hatinya, dia ingin mengejar Hui-houw-to sampai dapat.

Sedangkan laki-laki berbaju hitam itu mengiakannya, ia membedal kudanya dengan segera. Ia mengetahui bahwa wanita itu menumpang di kudanya, karena wanita ini tak mau membuang-buang waktu lagi dengan mengejar kudanya yang telah berlari jauh itu. Dan ia membedal kuda hitamnya itu, agar berlari lebih cepat lagi.

Sedangkan wanita itu tampaknya tidak sabar ketika melihat jarak antara Hui-houw-to dengan kuda mereka semakin terpisah jauh.

“Ayo cepat kejar....... ayo larikan kuda lebih cepat!” ia mendesak lelaki baju hitam itu.

“Ya....... ya…..!” kata lelaki baju hitam itu berulang kali, dan ia membedal terus kudanya.

“Hemm, walaupun bagaimana, kita harus dapat mengejarnya, tak mungkin ia melarikan kudanya terus menerus, karena akhirnya pasti ia akan berhenti buat beristirahat, kita kejar terus walaupun dia melarikan diri ke ujung langit……!”

Lelaki baju hitam itu mengiakan lagi, kuda hitam itu berlari terus dengan pesat.

Cuma saja, disebabkan sekarang penunggangnya bertambah seorang, lari kuda hitam itu bukannya semakin cepat malah semakin lama jadi semakin perlahan dan lebih lambat. Karuan saja jarak pisah antara kuda Hui-houw-to dengan kuda itu semakin jauh.

Keadaan seperti itu membuat orang berpakaian hitam dan wanita itu jadi panik bukan main. Karena memang mereka mengetahuinya kalau saja Hui-houw-to berlari untuk melarikan kudanya terus, akibatnya mereka akan tertinggal jauh sekali.

Sedangkan Hui-houw-to sendiri telah melarikan kudanya semakin cepat saja. Karena dia mengetahui, sekali saja dia terkejar, niscaya akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil.

Karena dari itu, dia telah melarikan kudanya tersebut semakin cepat. Dia tidak memperdulikan segala apa pun juga. Kudanya itu dilarikan seperti menerjang sesuatu yang sangat hebat, menerjang udara dan juga rumput-rumput yang kena diterjang ke empat kakinya menjadi rusak.

Kuda itu seperti mengetahui bahwa majikannya tengah mengalami ancaman bahaya yang tidak kecil, ia berlari secepat angin. Mereka telah dapat berlari memisahkan diri dalam jarak yang jauh, malah akhirnya kuda hitam itu sudah tak terlihat oleh mata.

Namun Hui-houw-to tidak berani mengendorkan lari kudanya, terus juga ia melarikan kudanya.

Sambil membedal kudanya, iapun berpikir entah siapa orang berbaju hitam dan juga wanita yang datang belakangan itu.

Tiba-tiba Hui-houw-to mengeluarkan suara tertahan karena ia seperti terkejut, dan ia memang teringat sesuatu.

Rupanya ia jadi kaget, wanita itu tadi dilihatnya mengenakan kalung kumala yang besar sekali, berbentuk burung rajawali, maka dari itu, seketika ia teringat pada sesoorang.

Tubuh Hui-houw-to jadi menggigil.

Dia teringat pada Giok-tiauw Sian-lie atau Bidadari Burung Rajawali Kumala.

“Apakah dia?” Pikir dalam hatinya penuh kebingungan.

Sedangkan kudanya tetap saja dibedalnya dengan cepat, berlari pesat. Cuma hati Hui-houw-to yang tergoncang keras. Karena jika memang wanita tadi adalah Giok-tiauw Sian-lie akan celakalah dia.

Giok-tiauw Sian-lie seorang wanita yang ganas sekali di dalam kalangan Kang-ouw. Bahwa Giok-tiauw Sian-lie merupakan iblis wanita yang paling ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan.

Apalagi memang ditangannya dia telengas, setiap lawannya tidak pernah dibiarkannya hidup dengan tubuh utuh. Juga diapun seorang wanita iblis yang paling liehay kepandaiannya.

Jika tadi Hui-houw-to bisa meloloskan diri dari wanita itu kalau memang benar wanita itu adalah Giok-tiauw Sian-lie. Itulah hanya kebetulan saja, karena diwaktu itu dia masih menunggangi kudanya, dan dia bisa menghindar menjauh disaat Giok-tiauw Sian-lie terlempar dari kuda tunggangannya.

Ada lagi yang membuat hati Hui-houw-to tergoncang kalau memang benar wanita tadi adalah wanita iblis Giok-tiauw Sian-lie, niscaya dia akan memperoleh kesulitan tidak sedikit di sebelah depan.

Giok-tiauw Sian-lie memiliki banyak sekali anak buah dan anak buahnya terdiri dari orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi.

Memang di teluk Put-hay, Giok-tiauw Sian-lie menguasai dan terkenal sekali.

“Mudah-mudahan saja bukan dia……!” Membatin Hui-houw-to.

Karena jika memang benar wanita itu adalah Giok-tiauw Sian-lie, niscaya dia akan memperoleh kesulitan besar. Sedangkan dia harus melakukan perjalanan mungkin masih memakan waktu tiga hari lamanya.

Tapi, Hui-houw-to biarpun hatinya tergoncang keras, dia tidak berani untuk mengendorkan lari kudanya. Terus saja dia membedal kudanya itu.

Namun sekuat-kuat kudanya itu hanya tetap seekor kuda juga. Setelah dibedal terus menerus begitu keras tanpa beristirahat, akhirnya kuda itu kehabisan tenaga!

Selalu mulut binatang tunggangan itu yang berbusa, juga keempat kakinya jadi lemas. Setelah berlari lagi sekian lama, akhirnya kuda itu tersungkur, karena sepasang kaki depannya tertekuk.

Hampir saja Hui-houw-to terlempar. Untung dia masih bisa menguasai tubuhnya di udara.

Dia berjumpalitan di tengah udara, dengan begitu dia berhasil menguasai turun tubuhnya tidak terbanting. Malah sepasang kakinya lebih dulu hinggap di tanah.

Cepat-cepat Hui-houw-to memeriksa keadaan kudanya. Dia jadi mengeluh.

Kaki depan sebelah kanan dari kudanya patah! Inilah celakanya! Kuda itu tidak bisa dipakai lagi.

Akhirnya, dengan sepasang alis berkerut dalam-dalam, Hui-houw-to berpikir keras, memutuskan bahwa dia harus meninggalkan kudanya ini dan dia harus melanjutkan perjalanannya dengan segera dan berlari mempergunakan gin-kangnya.

Dia mengambil keputusan dengan cepat, bararg-barang yang dibutuhkannya segera diambilnya dipindahkan dari kuda, ke punggungnya, setelah mengikat kencang, iapun mengempos semangatnya.

Ia menepuk leher kuda itu, “Selamat tinggal…..!” Dia pun berlari seperti terbang.

Dengan mempergunakan gin-kangnya, ia bisa berlari sama cepatnya seperti menunggang seekor kuda. Namun tentu saja ia tak bisa bertahan lama seperti larinya seekor kuda.

Dia paling tidak cuma bisa berlari puluhan lie belaka. Nanti ia harus mencari kuda lagi untuk dibelinya dipakai buat melanjutkan perjalanannya.

Untuk sementara ini, karena kuatir terkejar oleh lawannya di belakang, membuat ia harus menjauhi diri.

Setelah berlari tigapuluh lie lebih, napas Hui-houw-to sudah memburu. Dia melihat di pinggir jalanan dari lapangan rumput itu terdapat sebuah hutan kecil.

Cepat-cepat Hui-houw-to menghampiri hutan itu menyelinap ke dalam. Ia duduk dibawah sebatang pohon, untuk beristirahat, karena dia bermaksud untuk mengasoh. Dan jika memang kedua orang musuhnya lewat di tempat itu, tak akan melihatnya.

Tengah Hui-houw-to beristirahat, tiba-tiba ia mendengar suara derap kaki kuda. Ia jadi mengeluh, ia menduga bahwa tentunya pengejarnya sudah tiba di situ juga.

Dia menyelinap ke dalam gerombolan bunga liar, untuk lebih meyakinkan dirinya tidak akan terlihat oleh musuhnya. Ia mengintai keluar.

Benar saja, dengan kuda hitam, yang sudah tidak bisa berlari cepat, tampak wanita itu bersama laki-laki berbaju hitam, telah tiba di tempat itu.

“Tentu dia tak akan lari terlalu jauh, kudanya telah ditinggalkan begitu saja!” terdengar yang wanita bicara.

Hati Hui-houw-to tercekat kaget. Ia tak menyangka bahwa musuhnya dapat berpikir sejauh itu. Sedangkan ia tadi, karena terlalu terburu-buru ia tidak ingat lagi buat menyingkirkan dulu kudanya.

Karenanya kedua musuhnya itu mengetahui bahwa dia telah kehilangan kudanya. Sebab kaki kanan sebelah depan dari kuda itu telah patah dan tidak mungkin bisa dipergunakan buat berlari terus.

Dan dengan begitu juga, membuat wanita itu maupun laki-laki berbaju hitam dapat menduganya, bahwa Hui-houw-to telah mengambil jalan kaki belaka, melanjutkan perjalanannya.

Hati Hui-houw-to berdebar keras. Diwaktu itu dia melihatnya, betapa pun juga, memang wanita bersama temannya laki-laki berbaju hitam, tengah memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu. Mereka tengah mencari sesuatu.

“Coba periksa di dalam hutan itu!” Perintah wanita itu dengan suara yang dingin.

Karenanya Hui-houw-to jadi tercekat gelisah. Jika memang orang berpakaian hitam itu memeriksa keadaan di dalam hutan, niscaya dia akan dapat dilihat olehnya. Dan ini akan membuat dia akan bertempur lagi dengan mereka.

Sedangkan orang berpakaian hitam itu melompat turun dari kudanya, dia menghampiri permukaan hutan. Hati Hui-houw-to semakin gelisah saja. Berdebar keras. Dia bersiap-siap untuk bertempur dengan lawannya itu.

Sedangkan orang berpakaian hitam itu sudah mendatangi semakin dekat sampai akhirnya dia telah bilang sambil memutar tubuhnya, memandang kepada wanita itu.

“Tidak mungkin dia beristirahat di daerah ini, dia tentu telah melarikan diri lebih jauh! Kalau kita mencari-carinya di sekitar tempat ini, berarti, kita telah membuang-buang waktu dan dia akan bisa lari lebih jauh.......!”

Wanita itu, yang masih duduk di punggung kuda hitam, tampak berpikir dengan muka yang murung. Rupanya dia bisa menerima juga alasan dari temannya itu. Ia mengangguk.

“Baiklah! Mari cepat kita mengejarnya lagi!” Katanya sambil melambaikan tangannya.

Laki-laki baju hitam itu mengangguk dan menghampiri dia melompat ke punggung kuda itu, kemudian melarikannya dengan cepat meninggalkan permukaan hutan tersebut.

Hui-houw-to bernapas lega, karena kedua orang musuhya telah pergi.

Sedangkan saat itu keadaan di sekitar tempat itu sunyi sekali, langgeng.

Yang sekarang menjadi pemikiran Hui-houw-to, ia tentu saja tidak boleh mengambil jurusan yang ditempuh oleh wanita itu, karena jika memang arah yang sama, niscaya ia akan kepergok oleh mereka.

Walaupun cukup jauh dan lebih jauh dua kali dari perjalanan itu, Hui-houw-to akan menempuh jalan berputar. Ia akan mengambil arah ke sebelah kiri dulu, ke arah timur, barulah kemudian ia akan melanjutkan perjalanannya ke selatan.

Dengan cara demikian memang ia akan berputar dan menempuh perjalanan yang jauh lebih lama, yaitu kemungkinan dalam seminggu baru bisa tiba di tempat tujuannya. Namun untuk menghindarkan kericuhan, ia harus menempuh dengan cara itu.

“Hanya saja, jika aku terlambat dan dalam tiga hari ini tidak berhasil mencapai tempat tujuanku, bukankah banjir darah sudah segera dimulai?”

Berpikir Hui-houw-to dalam hati. Ia jadi bingung dan gelisan sendirinya.

Demikianlah Hui-houw-to beristirahat dengan hati yang bingung, sampai akhirnya ia telah menghela napas dalam-dalam, sejauh itu ia masih belum bisa mengambil keputusan. Setelah merasa lelahnya berkurang, ia keluar dari hutan kecil itu, ia bermaksud melanjutkan perjalanannya.

Masih diliputi oleh keraguan, ia melangkah perlahan-lahan ke arah timur. Ia bermaksud buat menempuh perjalanan memutar, tapi justeru yang membuat ia ragu-ragu kalau saja ia terlambat datang ke tempat tujuannya.

Tengah ia berjalan perlahan-lahan seperti itu baru satu atau tiga lie, tiba-tiba ia mendengar suara derap langkah kaki kuda. Malah disusul dengan kata-kata: “Nah, itu dia.......”

Hui-houw-to menoleh, hatinya tercekat.

Kiranya kuda hitam dengan penunggang¬nya lelaki baju hitam dengan wanita yang diduganya sebagai Giok-tiauw Sian-lie tengah mendatangi dengan cepat.

Rupanya, laki-laki berbaju hitam itu memang licik sekali. Waktu dia mau memasuki permukaan hutan itu, dia telah berpikir, bahwa kalau memang Hui-houw-to bersembunyi di sekitar hutan itu, sulit buat dia mencarinya. Kemungkinan dia yang akan diserang secara menggelap.

Karena dari itu, sengaja dia mengajak Giok-tiauw Sian-lie pergi, seakan juga mereka tidak mencurigai bahwa Hui-houw-to ini bersembunyi disitu. Dan sengaja mereka melarikan kuda mereka belasan lie, setelah itu barulah mereka kembali, untuk memergoki lawan mereka.

Siasat mereka ternyata berhasil. Memang Hui-houw-to tidak berpikir bahwa musuhnya tengah mempergunakan siasat, karenanya dia telah terpancing keluar dari tempat persembunyiannya.

Melihat mereka, segera juga Hui-houw-to tanpa berpikir dua kali menjejakkan kakinya, tubuhnya melesat cepat sekali ke depan. Dia berlari sekuat tenaganya, mengempos semangatnya dan mengerahkan gin-kangnya.

Tadi Giok-tiauw Sian-lie, wanita itu tidak mau melepaskannya lagi. Dia melesat turun dari atas punggung kudanya, dia telah berlari dengan cepat sekali mengejar Hui-houw-to.

Sedangkan kuda hitam itu, yang kini sudah berkurang bebannya, karena cuma orang berbaju hitam itu saja seorang dari yang duduk di punggungnya, dapat berlari lebih cepat mengikuti di belakang Giok-tiauw Sian-lie.

Begitulah mereka tampak saling kejar mengejar, sedangkan Hui-houw-to berusaha berlari sekuat tenaganya.

Giok-tiauw Sian-lie ternyata memang hebat sekali, gin-kangnya pun sangat mahir karena dia mengejar seperti juga terbang, sepasang kakinya tidak menginjak tanah seperti tubuhnya melayang di tengah udara saking cepat. Dia berlari dan bajunya berkibar-kibar.

Hui-houw-to mengeluh, dia tidak berani mengurangi sedikit pun larinya. Malah dia berusaha berlari lebih cepat lagi, buat menjauhi diri dari Giok-tiauw Sian-lie.

Hanya saja, gin-kang Giok-tiauw Sian-lie rupanya berada di atas Hui-houw-to. Dalam waktu singkat dia sudah bisa memperpendek jarak antara dirinya dengan Hui-houw-to.

Hati Hui-houw-to jadi gelisah bukan main. Dia merogoh sakunya mengeluarkan Tiat-lian-cu.

Di waktu itu, dia pun segera menggerakkan tangannya, menimpuk ke belakang.

Giok-tiauw Sian-lie sangat gesit. Dia mengelakan sambaran Tiat-lian-cu. Dia malah melesat lebih cepat lagi. Sedikit pun larinya tidak berhenti atau berkurang kecepatannya.

Setelah saling kejar beberapa saat lagi, jarak mereka cuma dua tombak lebih.

“Berhenti!” Bentak Giok-tiauw Sian-lie sambil mengayunkan tangannya.

Dua batang hui-to atau golok terbang menyambar ke punggung Hui-houw-to.

Di waktu itu, Hui-houw-to tidak bisa berlari terus, karena jika dia tidak mengelakkan diri dari sambaran hui-to itu, punggungnya akan jadi sasaran. Karenanya dia telah merandek, berhenti berlari dan mengibaskan tangannya menangkis hui-to itu.

Dia berhasil meruntuhkan hui-to, tapi begitu ia mengibaskan tangannya meruntuhkan hui-to justeru diwaktu itu Giok-tiauw Sian-lie sudah berada di depannya.

Muka Giok-tiauw Sian-lie memperlihatkan senyuman mengejek.

“Hemmm, kau mana bisa meloloskan diri dari Giok-tiauw Sian-lie,” katanya mengejek sinis sekali.

Muka Hui-houw-to yang sudah berobah pucat, berobah lagi memerah dan kemudian pucat lagi. Ia memang kaget karena memang sebenar-benarnya wanita ini adalah Giok-tiauw Sian-lie. Ia jadi mengeluh di dalam hatinya.

“Apa yang kau inginkan dariku?” Tanya Hui-houw-to dengan suara yang dingin. Ia berusaha mengendalikan goncangan hatinya, dan berusaha bersikap tenang.

“Serahkan surat yang kau bawa padaku!” Menyahuti Giok-tiauw Sian-lie dengan suara yang tawar. “Kau boleh pergi dengan kepala masih utuh…….!”

Hui-houw-to tidak menyahuti, dia menggeleng saja.

Mata Giok-tiauw Sian-lie berkilat tajam.

“Kau membangkang?”

“Aku tidak membawa surat apa-apa!”

“Hemm, kau hendak berdusta?”

“Sungguh……..!”

“Kalau demikian, kau harus dimampusi dulu, biar nanti kami yang akan menggeledah mayatmu,” Kata Giok-tiauw Sian-lie singkat saja keputusannya.

Malah dia bukan sekedar bicara belaka, karena tangan kanannya menyambar kepada pundak Hui-houw-to.

Hui-houw-to mengelak.

Tapi dia kecele, sebab tangan Giok-tiauw Sian-lie cuma serangan gertakan belaka. Malah tangan yang satunya merupakan serangan sesungguhnya.

Waktu tubuh Hui-houw-to tengah miring mengelakkan, tangan Giok-tiauw Sian-lie yang satunya itu telah menyambar masuk.

“Buk!” Tubuh Hui-houw-to terpental keras ke tengah udara.

Memang sebelumnya Hui-houw-to telah menyadari bahwa dirinya akan menjadi bulan-bulanan Giok-tiauw Sian-lie. Karena kepandaiannya terpaut jauh beberapa tingkat di bawah Giok-tiauw Sian-lie.

Giok-tiauw Sian-lie terkenal sebagai iblis wanita telengas dengan kepandaian yang bukan main tingginya. Hui-houw-to sudah meramalkan dirinya akan mengalami celaka jika terjatuh di tangan iblis perempuan itu.

Ternyata sekarang bahwa dia memang dalam segebrakan dibuat tidak berdaya, telah kena dihantam oleh iblis wanita Giok-tiauw Sian-lie tersebut.

Tubuh Hui-houw-to terlambung tinggi di tengah udara, dan meluncur turun akan terbanting.

Untung saja Hui-houw-to masih ingin buat menyelamatkan diri agar tidak terbanting. Dia berjungkir balik. Ke dua kakinya hinggap di tanah.

Cuma justeru begitu kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya terhuyung. Karena dia tidak bisa mempertahankan kuda-kuda kedua kakinya. Dan juga dia terhuyung ke belakang disebabkan kuda-kuda kedua kakinya telah tergempur akibat dari kerasnya tadi tangan Giok-tiauw Sian-lie membuat tubuhnya melambung begitu.

Sedangkan laki-laki berbaju hitam itu, telah tiba di situ dengan kuda hitamnya.

Giok-tiauw Sian-lie melirik kepada laki-laki baju hitam itu.

“Bekuk dia!” Perintahnya.

Laki-laki itu mengiakan.

Gesit sekali dia melompat turun dari kudanya kemudian tubuhnya melesat kepada Hui-houw-to. Tangannya bergerak akan menghantam pundak Hui-houw-to.

Walaupun tadi dadanya kena terserang membuat dia menderita kesakitan, dan dia pun telah melihatnya bahwa dirinya sedikit sekali memiliki harapan bisa meloloskan diri. Karena dia juga tadi telah nekad, dia masih bisa memberikan perlawanan kepada laki-laki baju hitam itu.

Waktu itu tangan si baju hitam itu meluncur datang. Hui-houw-to tidak mengelakannya, dia menantikan tibanya lawannya tersebut.

Kemudian dia menangkis dengan kekerasan. Tapi justeru dia menangkis, orang berbaju hitam itu menarik pulang tangannya, ia membuat tubuh Hui-houw-to kehilangan keseimbangan tubuh, jari telunjuk tangan kanannya menyambar ke pinggang Hui-houw-to, akan menotok.

Hui-houw-to mengeluh. Melihat cara bertempur orang berbaju hitam ini. Memang diapun bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tinggi juga.

Cepat-cepat Hui-houw-to mengelakan diri. Dia melompat ke samping, dan menghantam ke belakang.

Sekali ini orang berbaju hitam itu tidak keburu menahan tangkisan Hui-houw-to, dia merasakan tangannya tergetar.

Tapi, tangan mereka tetap saja saling menempel satu dengan yang lainnya. Dan disaat itu juga mereka tampaknya saling mengadu kekuatan.

Hui-houw-to yang sudah terluka di dalam akibat gempuran tenaga pukulan Giok-tiauw Sian-lie tadi, tidak bisa mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Dia merasakan perlahan-lahan tenaga dalam dari laki-laki baju hitam itu mulai mendesaknya.

Dia mengeluh jika memang keadaan ini memang berlangsung terus, niscaya akhirnya dia yang akan jatuh di bawah angin. Dan akan membuat dia rubuh dengan sendirinya, karena kehabisan tenaga.

Waktu itu Giok-tiauw Sian-lie justeru tadi tidak sabar menyaksikan mereka tengah mengadu tenaga dalam. Dia melangkah menghampiri Hui-houw-to dengan tindakan kaki yang ringan.

Tiba-tiba sekali dia menghantam dengan Pek-kong-ciang. Dan Hui-houw-to seperti diterjang badai dan topan karena tubuhnya terhantam keras sekali oleh terjangan angin pukulan itu, waktu sampai seperti dihantam lempengan besi. Dia memuntahkan darah segar serta tubuhnya terpental enpat tombak lebih.

Laki-laki baju hitam itu mendengus memperdengarkan suara tertawa dingin waktu melihat Hui-houw-to rebah di tanah dengan berlumuran darah di mulutnya. Kemudian dia menoleh kepada Giok-tiauw Sian-lie, katanya:

“Hebat sekali Liehiap!”

“Hemm!” Giok-tiauw Sian-lie cuma mendengus, dan menghampiri Hui-houw-to.

Waktu itu Hui-houw-to benar-benar, dalam keadaan terluka parah. Dia merasakan tubuhnya sakit-sakit dan juga napasnya sesak sekali.

Melihat Giok-tiauw Sian-lie menghampiri dia berusana menggerakkan tubuhnya.

Namun dia gagal.

Giok-tiauw Sian-lie sudah datang dekat, dia membentak: “Hemm, engkau yang meminta dan memaksa aku turunkan tangan kejam seperti ini. Terpaksa!”

Dan setelah berkata begitu, dia memeriksa tubuh Hui-houw-to.

Sebetulnya Hui-houw-to hendak memberikan perlawanan. Cuma saja dia tengah terluka parah sekali, tenaganya seperti habis.

Diapun menyadari, jika diwaktu itu dia berusaha menggerakkan tangannya buat menyerang, pasti itu serangan yang gagal. Namun Giok-tiauw Sian-lie akan menghantam kepalanya, sehingga batok kepalanya remuk dan dia akan terbinasa di saat itu juga! Dan akhirnya Hui-houw-to cuma berdiam diri saja.

Setelah mengeluarkan isi kantong baju Hui-houw-to, muka Giok-tiauw Sian-lie berseri-seri. Dia melihat sepucuk surat, yang kemudian dibuka dan dibacanya. Tampaknya dia girang sekali. Kepalanya mengangguk-angguk beberapa kali.

“Bagus! Akhirnya memang telah dapat juga diperoleh surat ini! Hemm, jika saja tadi kau memberikannya secara baik-baik tentu engkau tidak perlu menderita seperti ini…….”

Setelah berkata begitu, Giok-tiauw Sian-lie menghampiri laki-laki berbaju hitam itu.

“Ayo kita berangkat!” Katanya. Dia juga melompat ke atas punggung kuda hitam itu.

Begitu juga laki-laki baju hitam telah melesat naik ke atas punggung kuda itu. Mereka menunggangi kuda itu bersama-sama. Karena sudah tidak perlu mengejar sesuatu, kuda hitam tersebut tidak dilarikan terlampau cepat.

Hui-houw-to yang menderita kesakitan hebat, akhirnya tidak kuat bertahan lebih lama lagi. Dia mengeluh, kepalanya terkulai teklok, karena dia pingsan tidak sadarkan diri. Dia terluka di dalam parah sekali akibat hantaman Giok-tiauw Sian-lie yang benar-benar telengas dan hebat!

<> 

Waktu matahari tengah memancarkan sinarnya yang sangat terik, tampak seorang pendeta tengah melangkah dengan tindakan kaki yang satu-satu di lapangan rumput yang luas itu. Pendeta itu sangat sabar sekali, karena dilihat dari cara melangkahnya saja begitu tenang dan sabar dia melangkah satu-satu.

Ketika pendeta tersebut mengangkat kepalanya, tampak jelas di bawah terik matahari, keringat yang memenuhi mukanya. Dia menghapusnya.

Dan dia seorang pendeta yang kepalanya gundul dengan usia enampuluh tahun lebih. Dia memelihara kumis dan jenggot yang panjang dan sebagian besar telah memutih.

Dia mengenakan jubah kependetaannya yang berwarna putih bersih. Diapun mengenakan sepatu yang tipis.

Setelah menghapus keringatnya, pendeta itu melanjutkan jalannya lagi. Dia melangkah perlahan-lahan.

Sikap pendeta itu memang lemah lembut dan sabar sekali. Namun melihat pada matanya yang bersinar tajam ketika dia mengangkat kepalanya mengawasi matahari yang tengah bersinar terik itu, tentunya seorang pendeta yang patut membaca liam-keng, juga dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, sin-kang yang mahir sekali.

Tengah si hweshio melangkah begitu, tiba-tiba dikejauhan dia melihat sesosok tubuh yang menggeletak diam tidak bergerak. Cepat-cepat si pendeta mempercepat langkahnya yang jadi lebar.

Malah akhirnya ia menjejakkan ke dua kakinya di tanah dan tubuhnya itu melesat ringan sekali. Hanya beberapa kali lompatan saja, dia sudah bisa tiba di samping sisi sosok tubuh itu.

Gin-kangnya menakjubkan sekali. Karena jarak yang kurang lebih belasan tombak itu cuma beberapa kali lompatan saja telah berhasil dicapainya dengan mudah.

Hweshio itu melihat sekarang bahwa sosok tubuh yang menggeletak tidak bergerak itu adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih. Laki-laki itu rebah diam tidak bergerak.

“Siancay! Siancay!” Bilang pendeta itu sambil merangkapkan sepasang tangannya memuji kebesaran Buddha. Dia berjongkok dan memeriksa tubuh orang itu.

“Omitohud!” Memuji lagi pendeta itu.

Dia memperoleh kenyataan orang itu terluka di dalam yang cukup parah.

Dia merogoh saku jubahnya mengeluarkan beberapa butir pil pulungan. dimasukkan ke dalam mulut lelaki itu.

Kemudian dia menguruti sekujur tubuh lelaki tersebut. Dan akhirnya terdengar suara lelaki itu yang mengeluh serta membuka matanya.

Lelaki yang menggeletak, dalam keadaan terluka parah itu di atas rumput tersebut tidak lain dari Hui-houw-to. Dia memang terluka dalam yang parah sekali. Justeru waktu dia membuka matanya, dia merasakan pandangan matanya masih gelap dan juga berkunang-kunang.

“Omitohud! Omitohud!” Memuji lagi pendeta itu.

Hui-houw-to seketika teringat sesuatu. Dia telah melompat untuk berdiri.

Namun tenaganya seperti lenyap. Dia masih lemah sekali. Dia juga telah terdiam hampir terpelanting lagi.

Untung saja hweshio itu cepat memegang sepasang lengannya, membantuinya buat direbahkan kembali.

“Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Siecu!” Kata si Hweshio. “Kesehatan siecu belum lagi pulih keseluruhannya…….!”

Hui-houw-to menghela napas, segera dia teringat kejadian yang menimpa dirinya, di tangan Giok-tiauw Sian-lie dan laki-laki berbaju hitam itu. Dia menghela napas, tampaknya dia sangat berduka.

“Habis! Habislah semua!” Mengeluh Hui-houw-to dengan suara yang agak serak.

“Kenapa?” tanya hweshio itu, “Apakah siecu telah mengalami suatu kesulitan…..?”

Hui-houw-to menghela napas lagi.

“Ya!”

“Kesulitan apa?”

“Surat yang dipercayakan kepadaku untuk membawanya pergi ke seseorang telah jatuh ke tangan penjahat!” Mengeluh pula Hui-houw-to dengan suara sember.

“Sudahlah, siancay! Yang terpenting keselamatan jiwa siecu masih tidak terganggu sedikit pun. Sekarang siecu tengah terluka di dalam yang tidak ringan. Kalau memang siecu tidak mau beristirahat baik-baik kemungkinan kesehatau siecu akan menjadi buruk!”

Hui-houw-to menghela napas dalam-dalam. Hweshio itu mengawasi Hui-houw-to beberapa saat, kemudian tanyanya: “Siapakah siecu? Bolehkah Pinceng, mengetahui nama siecu yang mulia?”

Hui-houw-to menghela napas.

“Aku Hui-houw-to Khang Lam Cu!”

“Ohh, sudah lama Pinceng mendengar nama besar siecu. Memang seorang pendekar dari kalangan putih!”

Hui-houw-to menoleh melirik kepada si pendeta. Dia kaget setelah tersadar bahwa orang yang menolonginya adalah seorang hweshio, dia cepat-cepat bergerak hendak bangun.

“Jangan banyak bergerak dulu, Siecu!” Si pendeta telah mendorong pundak Hui-houw-to.

“Terima kasih Taysu…….!” Kata Hui-houw-to kemudian dengan suara tersendat. “Hanya membikin repot Taysu saja!”

“Itu sudah menjadi kewajiban pinceng! Tapi, tadi kalau tidak salah siecu bilang bahwa siecu telah dihadang penjahat dan surat yang dititipkan salah seseorang pada siecu telah dirampas penjahat itu!”

“Benar.”

“Apakah surat itu surat penting?”

“Sangat penting, Taysu!”

“Siapakah penjahat yang telah merampas, surat itu?”

“Giok-tiauw Sian-lie!”

“Ohh, dia?”

“Ya…….. Taysu kenal dengannya?”

“Pernah mendengarnya, kabarnya iblis wanita itu sangat ganas sekali.”

“Justeru memang aku dilukai olehnya!”

“Hemmmm……!”

“Dia bersama seorang laki-laki berpakaian serba hitam…….!”

“Hemmm, sebetulnya apakah siecu mengetahui mereka dari golongan mana?”

“Sayang aku tidak begitu mengetahui!”

“Biarlah pinceng akan coba untuk mengejarnya, guna merampas kembali surat yang diambil mereka! Mereka mengambil jurusan mana?”

Hui-houw-to memandang ragu-ragu.

“Taysu?”

“Jangan kuatir, Pinceng tidak akan mengalami kesulitan! Siecu beritahukan saja, ke mana perginya mereka!”

“Siapakah Taysu?”

“Ya, orang menyebut pinceng sebagai pendeta kelana, mereka biasanya memanggil pinceng dengan gelaran Tang-ting Hweshio!”

Kaget Hui-houw-to tak terkira.

“Tang-ting Hweshio?” tanyanya takjub.

“Ya!” mengangguk si pendeta.

Seketika, timbul semangat Hui-houw-to. Dia pernah mendengar bahwa Tang-ting Hweshio merupakan seorang pendeta sakti yang memiliki kepandaian sangat tinggi.

Dan memang Tang-ting Hweshio merupakan tokoh persilatan yang selalu menolongi orang yang tengah dalam kesulitan. Tang-ting Hweshio paling membenci kejahatan. Dia pun seorang pendeta yang sabar sekali.

“Taysu, jika memang Taysu mau menolong aku, maka aku pasti bisa selamat.......!” Kata Hui-houw-to.

“Jangan berkata begitu, siecu. Aku hanya ingin membantu di mana bisa aku lakukan…… mudah-mudahan saya berhasil!” Kata Tang-ting Hweshio.

“Jika Taysu bersedia menolongku, tentu akan dapat merubuhkan Giok-tiauw Sian-lie dan orang-orangnya, buat mengambil pulang surat penting itu…….”

“Kalau pinceng boleh mengetahui, sesungguhnya surat penting itu merupakan surat penting apakah?”

“Surat yang sangat penting sekali Taysu!” berkata sampai di situ Hui-houw-to tampak ragu-ragu.

“Jika memang siecu ada kesulitan janganlah meneruskan kata siecu. Pinceng juga tidak akan memaksa.” Kata si pendeta sambil tersenyum.

“Tidak Taysu, aku harus menjelaskannya. Bukankah Taysu ingin menolongku? Sebetulnya surat itu adalah surat dari Ciangbunjin Khong-tong-pay yang ingin memberitahukan kepada ketua cabang Lam-hay, bahwa di Lam-hay tersiar berita ditemukannya Giok-sie…….!”

“Giok-sie?” Tampaknya si pendeta jadi kaget tidak terkira.

Hui-houw-to mengangguk.

“Benar Taysu…….., kabarnya Giok-sie itu telah ditemukan oleh seorang nelayan…….!”

Mendengar itu, Tang-ting Hweshio terdiam sejenak seperti juga dia tengah memikirkan sesuatu.

Hui-houw-to segera mengawasi si pendeta.

“Taysu?”

“Ya?”

“Apakah kedatangan Taysu di daerah inipun memiliki hubungan dengan urusan Giok-sie?” Tanya Hui-houw-to.

Si pendeta tidak segera menyahuti, dia terdiam sejenak, baru kemudian dia mengangguk.

“Ya!”

Hui-houw-to jadi memandang ragu.

“Jadi…….. Taysu bekerja untuk siapa?”

“Sebetulnya, kedatangan Pinceng ke mari memang memiliki hubungan dengan urusan Giok-sie…….!” Menjelaskan si pendeta. “Tapi tentu saja urusan ini bukan menyebabkan Pinceng harus dikendalikan oleh segolongan manusia!”

“Jadi…….?”

“Pinceng dari Siauw-lim-sie, dan Pinceng telah menerima perintah dari Hong-thio agar pergi menyelidiki perihal Giok-sie!

“Menurut Hong-thio justeru persoalan Giok-sie itu bisa menimbulkan gelombang yang hebat di dalam rimba persilatan….... Karenanya Pinceng telah diutus datang kemari untuk melihat dan berusaha meredakan pergolakan yang mungkin bisa saja terjadi.......!”

“Kalau begitu…….!” Hui-houw-to tidak meneruskan lagi kata-katanya.

Si pendeta memandang heran padanya.

“Kenapa siecu? Katakanlah!”

“Sesungguhnya....... jika memang urusan Giok-sie tak ingin menimbulkan gelombang yang hebat dalam rimba persilatan, jelas ini harus disertai oleh turunnya tokoh-tokoh sakti yang menangani persoalan ini.

“Selama Giok-sie masih berada di tengah-tengah orang kang-ouw, tentu perebutan itu masih terus terjadi. Akan selalu terjadi orang Kang-ouw memperebutkannya!”

Tang-ting Hweshio tersenyum.

“Maksud siecu?!”

“Jika Giok-sie jatuh ke dalam tangan seorang tokoh sakti yang disegani oleh semua orang kang-ouw, berarti tidak akan terjadi perebutan lagi. Dan korban jiwa akan berhenti atau sedikitnya berkurang!”

Tang-ting Hweshio mengangguk beberapa kali sambil tersenyum sabar.

“Benar, apa yang dikatakan siecu memang ada benarnya juga! Cuma saja tokoh sakti mana yang siecu maksudkan itu?”

Hui-houw-to berpikir sejenak.

“Aku tak berani menunjuk seseorang, Taysu, karena mungkin Taysu jauh lebih mengetahui!”

Tang-ting Hweshio menepuk bahunya.

“Sama seperti siecu, justeru Pinceng pun tidak mengetahui sesungguhnya siapakah orang yang siecu maksudkan itu?”

“Tapi Taysu?”

“Ya!”

“Sebetulnya jika memang Giok-sie di simpan di Siauw-lim-sie, niscaya takkan ada orang yang berani memperebutkannya kembali!” Kata Hui-houw-to.

Tang-ting Hweshio merangkapkan ke dua tangannya.

“Omitohud!”

Kemudian si pendeta menoleh pada Hui-houw-to, ia telah bilang dengan suara yang sabar: “Apakah siecu yakin jika memang Giok-sie disimpan dalam kuil Siauw-lim-sie tak akan timbul pergolakan lagi?”

“Benar Taysu!”

“Belum tentu!”

“Belum tentu Taysu?”

“Ya!”

“Kenapa begitu, Taysu?”

“Karena justeru akan menyebabkan kuil Siauw-lim-sie merupakan tempat pergolakan itu terjadi! Yang akan datang memperebutkan Giok-sie itupun terdiri dari orang-orang yang jauh lebih hebat lagi. Orang yang sungguh-sungguh tak bisa diremehkan dan ini menimbulkan pergolakan yang jauh lebih hebat ……..!”

Hui-houw-to mengawasi si pendeta.

Sedangkan Tang-ting Hweshio telah meneruskan kata-katanya, “Sesungguhnya siecu berpikir baik sekali, memang siecu berpendirian, jika sampai Giok-sie disimpan oleh seorang yang benar-benar liehay dan memiliki kepandaian tentu akan meredahkan pergolakan di dalam rimba persilatan!

“Namun Siauw-lim-sie rasanya masih belum begitu yakin akan dapat melaksanakan tugas yang berat itu. Karena selain masih ada partai-partai lain yang semuanya terdiri dari orang-orang yang liehay dan tidak boleh diremehkan.

“Jika sampai Siauw-lim-sie bentrok dengan semua pintu perguruan itu, bukankah hal itu juga akan menimbulkan pergolakan yang jauh lebih hebat lagi. Api akan berkobar di dalam rimba persilatan.

Hui-houw-to mengawasi si pendeta, dia tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan Tang-ting Hweshio.

“Apakah siecu sudah bisa menangkap maksud perkataan Pinceng?” Tanya Tang-ting Hweshio.

“Maksud Taysu.......!”

“Omitohud! Sesungguhnya, Pinceng memang bermaksud hendak meredahkan pergolakan di dalam rimba persilatan. Dan jangan sampai menimbulkan pergolakan yang terus menerus yang hanya akan menelan korban jiwa lagi.

“Jalan satu-satunya ialah memusnahkan Giok-sie. Dengan begitu tidak akan ada perebutan pula di kalangan rimba persilatan!!”

Muka Hui-houw-to berubah pucat.

“Taysu…….!” Dia berseru dan saking kagetnya dia lupa bahwa dia tengah terluka berat, dia hendak bangun dan duduk.

Tiba-tiba Hui-houw-to meringis kesakitan sebab sekujur tubuhnya sakit, demikian juga dadanya yang merasa jadi sakit bukan main.

Cepat-cepat Tang-ting Hweshio membantui Hui-houw-to agar rebah lagi.

“Jangan banyak bergerak dulu siecu, kau masih belum pulih kesehatanmu! Diamlah saja……. jika nanti sudah Pinceng obati sembuh, diwaktu itu siecu boleb bangun!”

Hui-houw-to mengangguk, tapi dia masih meringis! Waktu itu hatinya jadi tidak tenang.

“Taysu……. Tentunya apa yang dikatakan Taysu itu hanya sekedar main-main dan bergurau saja?” Tanya Hui-houw-to kemudian sambil mengawasi si pendeta tajam-tajam.

“Omitohud! Siancay, siancay sesungguhnya Pinceng tidak pernah bergurau! Orang beragama yang putih seperti pinceng tentu saja tidak boleh memperolok-olok persoalan.

“Terlebih lagi urusan Giok-sie ini adalah persoalan yang sangat penting sekali……. Perlu kesungguhan buat menyelesaikannya!”

“Kalau begitu........ maksud Taysu........ maksud Taysu!” Kata Hui-houw-to tidak lancar.

Tang-ting Hweshio tersenyum.

“Benar! Memang maksud Pinceng ingin mencari Giok-sie, nanti akan memusnahkannya, seperti yang diperintah yang diberikan Hong-thio. Semua ini tentu saja demi keselamatan orang-orang rimba persilatan, agar dengan musnahnya Giok-sie, maka akan berkurang atau berakhirlah perebutan yang selalu meminta korban jiwa itu.

“Taysu…… tidak boleh Taysu melenyapkan dan memusnahkan Giok-sie!” Tergagap Hui-houw-to akhirnya bisa juga kata-kata suaranya sember.

“Mengapa??”

“Karena……. karena.......!”

“Katakanlah siecu..........”

“Sebetulnya urusan Giok-sie adalah urusan besar, di mana orang yang bisa memiliki Giok-sie akan duduk sebagai Kaisar dan pemimpin negeri.”

Mendengar Hui-houw-to berkata sampai di situ, si pendeta tertawa bergelak-gelak.

“Lucu!” Kata si pendeta.

Hui-houw-to menoleh.

“Apanya yang lucu Taysu?”

“Justeru pandangan seperti itu yang lucu yang telah memancing pergolakan sehingga berjatuhan korban sangat besar di dalam rimba persilatan. Seperti siecu ketahui, Giok-sie hanya sepotong batu kumala belaka dan tidak mungkin seseorang yang memiliki Giok-sie bisa menguasai negeri dan menjadi pemimpin jadi Kaisar……..!”

“Taysu!”

“Percayalah Siecu, seorang Kaisar diperlukan oleh rakyat, tapi tentu saja orang yang menjadi Kaisar harus orang yang sangat cerdas, bijaksana dan pandai untuk memimpin negeri, bukan mengandalkan batu kumala yang disebut Giok-sie itu.......”

Hui-houw-to terdiam, dia bimbang.

“Coba siecu bayangkan. Jika seorang yang memiliki pendidikan rendah, sebagai rakyat kecil yang pengetahuannya tidak luas, dia memiliki rejeki dan nasib sangat baik, sehingga dia bisa memiliki Giok-sie dan jika memang benar apa yang siecu katakan dia dengan sendirinya jadi Kaisar.

“Apakah siecu mau memiliki seorang Kaisar seperti orang itu? Apakah siecu rela siecu diperintahkan oleh seorang yang jauh lebih bodoh dari siecu? Tentu tidak, bukan?

“Nah, karena dari itu, tidak mungkin orang itu akan menjadi Kaisar. Sebab rakyat pun tidak akan setuju jika memang raja mereka harus diangkat dari orang yang tidak berpengetahuan luas dan juga tidak berpendidikan tinggi.......!”

Sambil berkata begitu si pendeta telah mengawasi Hui-houw-to dalam-dalam.

“Coba siecu katakan, apakah siecu memiliki pandangan yang sama dengan Pinceng?”

“Ya…..!” Akhirnya Hui-houw-to menyahut dengan sikap ragu-ragu.

“Nah, jika memang siecu telah mengerti, terus siecu dapat berpikir jauh lebih jernih dan siecu bisa berpikir lebih luas. Dan lebih jauh betapapun jika dibandingkan dengan korban yang berjatuhan, maka harga Giok-sie itu terlalu mahal dan harus dimusnahkan.

“Jika tidak dimusnahkan, niscaya akan menyebabkan korban berjatuhan lebih banyak, maka kita harus dapat memusnahkan Giok-sie itu…….!”

Hui-houw-to menghela napas.

“Lalu, apa rencana Taysu?” Tanyanya kemudian.

Si pendeta menggeleng perlahan.

“Siancay, tidak ada rencana apa-apa hanya mencari Giok-sie itu dan jika memang berhasil menemukannya tentu pinceng bisa segera memusnahkannya.”

Hui-houw-to menghela napas lagi.

Si pendeta memperlihatkan sikap terus dia bilang: “Siecu ada yang hendak Pinceng tanyakan.”

“Ya!”

“Persoalan Giok-sie itu?”

“Katakanlah Taysu.”

“Apakah berita yang mengatakan bahwa seorang nelayan di teluk Put-hay telah berhasil menemukan Giok-sie, itu adalah berita yang benar?”

Hui-houw-to ragu- ragu namun akhirnya dia mengangguk.

“Memang berita itu bukan berita bohong. Justeru Ciangbunjin Khong-tong-pay menulis surat itu. Menjelaskan siapa nelayannya dan juga apa yang akan dilakukan, dengan adanya Giok-sie di tangan nelayan itu.

“Merebutnya?”

Hui-houw-to ragu-ragu. Tapi akhirnya dia mengangguk juga.

“Benar Taysu!”

“Nah, bukankah itu pergolakan yang akan mengandung korban jiwa lagi?”

Hui-houw-to menghela napas.

“Urusan Giok-sie adalah urusan yang besar, Taysu, yang perlu diperjuangkan!”

“Siecu bilang begitu. Urusan Giok-sie bisa dianggap besar karena siecu beranggapan Giok-sie memang menyangkut urusan besar.

“Tapi jika siecu menganggap urusan Giok-sie itu adalah urusan yang kecil, maka dengan sendirinya persoalan Giok-sie itu adalah ususan yang kecil. Besar kecilnya sebuah persoalan tergantung pada kita juga.”

Hui-houw-to terdiam saja. Hatinya diliputi kebingungannya. Ia sebelumnya bersedia untuk mempertaruhkan jiwanya demi Giok-sie.

Tapi sekarang dia berpikir, apa yang diucapkan pendeta itu ada benarnya juga, yaitu sebuah persoalan bisa dianggap persoalan kecil atau besar, tergantung dari manusianya. Dia jadi bimbang dengan sendirinya.

Sedangkan Tang-ting Hweshio tertawa sabar, katanya dengan suara yang lembut: “Sekarang siecu harus rebah dulu, karena Pinceng akan mengurut jalan darah siecu, untuk dapat mengobati luka di dalam siecu!”

Hui-houw-to mengangguk.

“Terima kasih, Taysu…….!”

“Jangan bilang terima kasih seperti itu karena memang ini menjadi urusan Pinceng!”

“Sebetulnya…….!” Hui-houw-to tidak meneruskan kata-katanya lagi.

“Kenapa siecu?”

“Aku baru ingat. Taysu sesungguhnya luka yang kuderita inipun akibat sampingan dari persoalan Giok-sie itu.” Kata Hui-houw-to.

Tang-ting Hweshio mengangguk.

“Tepat....... kalau demikian siecu tampaknya sudah bisa menyadari persoalan yang sebenarnya.”

“Tapi Taisu, jika hanya kita saja yang berpandangan seperti itu lalu bagaimana dengan yang lainnya, kalau memang mereka masih terus juga memperebutkannya?”

“Jangan perdulikan orang lain dulu, yang terpenting adalah kita mengurusi diri kita. Jika kita sudah memiliki pandangan yang benar dan tepat, dimana kita sudah yakin, bahwa kita tidak akan terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh buruk, barulah kita memikirkan bagaimana membantu orang lain……

“Di waktu itu kita harus berusaha untuk mencegah sebanyak mungkin korban jiwa yang akan berjatuhan. Dan jika memang bisa, kita harus melenyapkan dan memusnahkan sumber jatuhnya korban jiwa itu!”

Hui-houw-to mengangguk.

“Terima kasih, Taysu.”

“Nah, sekarang Siecu harus rebah diam. Tarik napas satu-satu dan panjang, buang napas perlahan-lahan dan teratur.

“Usahakan agar hawa murni bisa berkumpul di mulut jalan darah Yuang-sie-hiat, di dekat dada sebelah kanan, tiga dim dari ruang rusuk pertama!”

“Baik Taysu.”

“Begitulah, si pendeta mulai mengurut. Sedangkan Hui-houw-to selalu mematuhi petunjuk yang diberikan si pendeta. Dia menarik dan membuang napas teratur.

Tidak lama kemudian, Hui-houw-to telah merasakan dari ujung-ujung jari tangan si pendeta mengalir hawa yang hangat, yang menyelusup masuk ke dalam tubuhnya. Menembus kulitnya dan hangat sekali, sehingga membuat darahnya beredar dengan lancar.

Berangsur-angsur perasaan sakit berkurang namun tiba-tiba sekali Hui-houw-to terjangkit kesakitan.

“Tahan! Memang akan jauh lebih sakit lagi, tapi ini penentuannya. Siecu, harus dapat bertahan…….!”

“Ba….. baik Taysu…….!” menyahuti Hui-houw-to dengan suara tergagap tidak lancar.

Perasaan sakit itu memang semakin lama semakin hebat, dan Hui-houw-to Khang Lam Cu menggigit bibirnya menahan sakit yang tak terkira itu.

Sedangkan si pendeta mengurut dengan cepat sekali. Jari tangannya jatuh di setiap jalan darah dan mengurutnya, keringat mulai mengalir membasahi muka dan tubuh si pendeta.

Sedangkan waktu itu si pendeta sendiri bernapas memburu, karena semakin lama ia mempergunakan sin-kangnya yang semakin besar.

Hui-houw-to mengerang-erang kesakitan waktu perasaan sakit itu semakin menghebat dan dia berulangkali juga berusaha untuk menahan rasa sakit itu.

Akhirnya Hui-houw-to gagal, karena dia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit itu dia jatuh pingsan tidak sadarkan diri.

Entah berapa lama Hui-houw-to pingsan sedangkan si pendeta terus juga menguruti tubuhnya. Akhirnya Hui-houw-to siuman. Dan membuka matanya merasakan tubuhnya pegal-pegal. Tapi rasa sakit sudah lenyap.

Ketika dia memandang ke samping kanan dia melihat si pendeta Tang-ting Hweshio, tengah duduk bersila dengan memejamkan matanya. Rupanya si pendeta tengah mengatur jalan pernapasannya buat memulihkan hawa murni dan kesegaran tubuhnya. Tadi dia telah mempergunakan tenaga dalamnya cukup besar.

Hui-houw-to tidak memanggil. Dia berdiam saja mengawasi si pendeta tengah bersemedhi itu sampai akhirnya Tang-ting Hweshio membuka matanya.

“Siancay! Siecu sudah tersadar? Bagaimana perasaan siecu? Lebih segar?!”

Hui-houw-to mengangguk dengan perasaan berterima kasih.

“Benar Taysu, lebih sehat!”

“Luka di dalam tubuh siecu telah sembuh, siecu sudah boleh duduk, namun belum boleh mempergunakan tenaga yang berlebihan, disamping itu, siecu masih lemah sekali……..!”

Hui-houw-to mencoba duduk. Benar saja ia bisa duduk dengan baik. Malah perasaan sakit di dada dan di beberapa bagian anggota tubuhnya telah hilang. Cuma, seperti yang dibilang si pendeta, ia masih merasa lemas, seakan juga tenaganya belum lagi berkumpul semuanya.

Tang-ting Hweshio merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa macam obat, diberikan pada Hui-houw-to dan memberitahukan cara memakannya, di mana obat-obat itu harus dimakan teratur sampai habis selama sepuluh hari.

“Jika telah memakan habis obat ini, kesehatan tubuh siecu tidak akan kurang suatu apa pun juga!”

Hui-houw-to cepat-cepat bangun, dia membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada si pendeta.

“Terima kasih atas pertolongan Taysu……. aku berhutang budi pada Taysu….. berhutang jiwa, karena jiwaku telah diselamatkan oleh Taysu. Entah dengan cara bagaimana nanti akau membalas budi, Taysu?”

Si pendeta membanguni Hui-houw-to.

“Siecu jangan bilang begitu....... janganlah memperoleh suatu persoalan!” Menghibur si pendeta. “Memang menjadi kewajiban pinceng untuk menolongi siecu.

“Juga sudah menjadi kehendak alam dan Thian, bahwa pinceng bisa bertemu dengan siecu, sehingga pinceng bisa mengobati siecu. Dan berkat kemurahan hati Thian juga, maka siecu bisa disembuhkan.

“Coba, jika pertemuan itu berlangsung terlambat. Bukankah siecu tidak akan tertolong, walaupun pinceng mau untuk menolongi!”

Diwaktu itu Hui-houw-to mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan si pendeta, dia cuma mengangguk-angguk beberapa kali sambil mengiakan. Hatinya terharu sekali.

Sedangkan si pendeta banyak memberikan petunjuk kepada Hui-houw-to.

Waktu itu, tampak Hui-houw-to telah bilang: “Banyak yang telah dapat kupelajari dari petuah Taysu. Terima kasih untuk semua nasehat ini Taysu……!”

“Kemana rencana siecu sekarang?”

Melihat Hui-houw-to tergagap dengan jawabannya itu, si pendeta tersenyum.

“Siancay! Tentunya siecu bermaksud hendak pergi mencari Giok-tiauw Sian-lie?”

Hui-houw-to jadi berobah merah mukanya, tampaknya dia jengah sekali isi hatinya dapat diterka si pendeta.

“Benar Taysu!” Jawabnya agak malu-malu.

“Siancay! Apakah siecu masih tertarik hendak mengurus Giok-sie…….?”

Hui-houw-to jadi salah tingkah akhirnya dia bilang juga: “Sebetulnya, urusan ini tidak menyangkut langsung dengan urusan pribadiku, Taysu, justeru menyangkutkan dengan masalah kepercayaan.

“Jika pribadiku, aku sudah tidak mau mencampuri lagi urusan Giok-sie. Akan tetapi kepercayaan yang telah diberikan pemimpinku, maka aku harus menjaga kepercayaan itu sebaik-baiknya........”

Tang-ting Hweshio mengangguk-angguk beberapa kali…….

“Benar? Memang sebuah kepercayaan itu jauh lebih berat pertaruhannya dari dicintai. Jika memang seorang telah memperoleh kepercayaan, maka orang itu harus menjaga kepercayaan tersebut dengan demikian, barulah dia berarti hidup sebagai manusia! Siancay!

“Baiklah! Ke mana tujuan siecu hendak pergi mencari Giok-tiauw Sian-lie? Pinceng akan ikut dengan siecu. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa pinceng lakukan buat membantu dan menyelesaikan persoalan siecu?”

Bukan main girangnya Hui-houw-to. Dia cepat-cepat memberi hormat.

“Aku sangat bersyukur jika memang Taysu bersedia menolongiku sungguh membahagiakan sekali.

“Tapi menurut dugaanku tentu Giok-tiauw Sian-lie pergi ke kota Lu-shia, di sana memang kabarnya berkumpul anak buah Giok-tiauw Sian-lie dalam jumlah banyak. Tentu ia akan langsung pergi ke sana!”

“Dimana letak kota Lu-shia itu?”

“Mungkin memakan waktu perjalanan dua hari dari sini!”

“Kalau begitu mari kita pergi dari sini, untuk menuju ke Lu-shia. Siapa tahu kita bisa untuk mencari Giok-tiauw Sian-lie itu!”

Dan setelah berkata begitu segera ia memimpin Hui-houw-to untuk bangun.

Sedangkan Hui-houw-to sudah bangun, juga ia sudah melihat bahwa pendeta ini memang bermaksud sungguh-sungguh buat membantunya.

Hui-houw-to yakin kalau memang si pendeta membantunya, jelas ia akan berhasil dengan maksudnya itu. Dan juga ia akan dapat menghadapi Giok-tiauw Sian-lie karena kepandaian si pendeta telah jarang ada orang yang bisa menandinginya.

Tadi saja si pendeta telah dapat menyembuhkan luka di dalamnya. Dan memang dari lweekang yang dipergunakannya, lewat pucuk-pucuk jari tengahnya, Hui-houw-to mengetahui, betapa sempurnanya lweekang si pendeta.

Begitulah mereka telah melakukan perjalanan, buat menuju ke Lu-shia.

<> 

Hari sudah mendekati magrib, karena waktu itu matahari sudah turun akan berlindung di sebelah barat.

Hui-houw-to belum saja sembuh dari lukanya di dalam tubuh, semangatnya belum berkumpul sepenuhnya. Karena dari itu, dia juga tahu, betapapun dia tidak bisa mempergunakan tenaganya sepenuhnya.

Dia harus dapat membawa diri baik-baik. Sekali saja dia mempergunakan tenaga berlebihan, niscaya akan membuat dia terluka di dalam lagi yang lebih parah. Karena itu pula dia meminta kepada si pendeta agar melakukan perjalanan tidak terlalu cepat.

Tang-ting Hweshio tertawa.

“Tentu saja........ tidak mungkin pinceng mengajak siecu melakukan perjalanan cepat-cepat. Sebab tidak ada gunanya. Bukankah ada pepatah kita mengejar-ngejar sesuatu yang belum lagi menjadi hak kita, tentu kita tetap saja gagal. Dan semua itu telah diatur oleh Thian.

“Sekarang jika kita melakukan perjalanan tergesa-gesa, belum tentu kita bisa mencari ketemu Giok-tiauw Sian-lie! Tapi jika memang sudah tiba waktunya, tentu kita bisa menemuinya.”

Hui-houw-to mengangguk.

“Benar Taysu…… terimakasih Taysu….. dan selanjutnya aku ingin sekali meminta petunjuk Taysu yang sangat berharga. Aku Khang Lam Cu mengharapkan agar Taysu bisa memberikan petunjuk yang jauh lebih luas, agar dapat menuntun aku bisa menyelusuri jalan yang sangat berliku-liku ini.”

“Ya! Jika memang siecu bersedia untuk mempelajari apa arti dan makna hidup ini, tentu saja pinceng bersedia untuk memberikan pengertian…….”

“Terima kasih Taysu!!”

“Terutama sekali perihal Giok-sie itu, tentu saja siecu harus mengerti dengan sebaik-baiknya! Betapapun jangan sampai siecu dikendalikan oleh benda itu, sepotong batu kumala, karena kemelut yang ditimbulkan oleh Giok-sie itu terlalu hebat!

“Bayangkan saja siecu, sepotong batu kumala, bisa menyebabkan kematian bagi banyak orang. Tidakkah itu luar biasa?

“Dan yang menjadi korban umumnya merupakan orang-orang yang tidak mengerti akan hidup ini, sehingga mereka bersedia diperbudak oleh sepotong batu kumula. Jika saja mereka mengerti maksud dari hidup ini niscaya mereka tidak mudah seperti itu dikendalikan oleh batu kumala tersebut! Mengertikah siecu?”

“Mengerti Taysu, terima kasih!”

“Bagus, pinceng nilai, memang siecu akan memperoleh kebaikan dari pengertian yang sudah siecu miliki sekarang ini. Mudah-mudahan saja siecu dapat mengerti lebih lagi jika kelak siecu harus berurusan dengan persoalan Giok-sie itu!”

Hui-houw-to mengiakan, dan ia pun memang akan mengingat baik-baik apa yang dinasehati oleh pendeta itu, karena dia yakin, tentu nasehat itu akan membawa banyak faedahnya buat dirinya. Maka dari itu, ia sangat berterima kasih sekali pada Tang-ting Hweshio tersebut.

Perjalanan ke Lu-shia tidak memakan waktu terlalu lama, karena pada keesokan siangnya mereka telah tiba di pintu kota tersebut.

Lu-shia merupakan kota yang tidak terlalu besar, namun cukup padat penduduknya. Kota ini merupakan kota perdagangan yang banyak sekali pedagang dari berbagai penjuru berdatangan untuk menjual dan membeli hasil bumi maupun barang pecah belah.

Tidak terlalu mengherankan juga, kalau di kota terdapat banyak perusahaan piauw-kiok, yaitu perusahaan ekspedisi yang kerjanya hanya khusus mengawal orang-orang yang ingin melakukan perjalanan jauh.

Umumnya para pedagang yang hendak melakukan perjalanan jauh meminta kepada piauwsu atau pengawal untuk mengawal diri mereka. Karena mereka membawa uang yang banyak atau barang dagangan yang besar nilainya.

Sehingga banyak orang yang mempelajari ilmu silat di kota itu karena banyak juga piauwsu-piauwsu tua yang membuka pintu perguruan silat. Dengan demikian telah menyebabkan banyaknya pemuda-pemuda yang giat sekali berlatih diri dengan berbagai ilmu silat.

Dan karena banyaknya pemuda yang berlatih silat, tidak jarang juga ada di antara mereka yang telah memiliki kepandaian tinggi dan membawa sikap angkuh, menyebabkan sering terjadi keributan di antara para pemuda itu!

Di dalam kota Lu-shia tersebut, terdapat sebuah perkumpulan yang sangat berpengaruh yaitu perkumpulan Hek-pek-kauw, atau perkumpulan Hitam dan Putih. Perkumpulan ini memiliki anggota yang banyak sekali.

Namun perkumpulan itu sendiri memiliki riwayat sendiri. Dulu yang membangun dan mendirikan perkumpulan tersebut adalah sepasang pendekar yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Mereka disegani oleh semua orang Kang-ouw dan mereka juga mudah dikenali. Karena mereka memiliki muka yang mirip satu dengan yang lainnya, walaupun mereka terdiri dari sepasang laki-laki dan wanita.

Yang wanita bermuka putih bersih seperti salju justeru yang prianya bermuka hitam seperti pantat kuali. Karena dari itu, dengan demikian telah membuat mereka digelari sebagai Hek Pek Siang-sat dan juga, karena mereka digelari sebagai Hek Pek Siang-sat, waktu mereka membangun perkumpulan tersebut, banyak orang yang memberikan perkumpulan itu dengan nama Hek-pek-kauw. Dan akhirnya menerima juga nama perkumpulan mereka.

Begitulah sejak saat itu telah dipergunakan nama Hek-pek-kauw untuk perkumpulan yang dibangun Hek Pek Siang-sat.

Sedangkan di saat itu kegiatan dari Hek-pek-kauw sebetulnya hampir mirip dengan tugas seorang piauwsu yaitu mengawal pengiriman barang, mengawal para pedagang yang hendak melakukan perjalanan jauh.

Dan umumnya mereka dapat mengawal dengan baik, karena Hek Pek Siang-sat disegani sekali oleh kalangan Liok-lim. Dengan begitu setiap pengawalan mereka selalu tiba di tempat tujuan dengan selamat tanpa kurang suatu apapun juga.

Banyak piauwsu yang tidak senang dengan sukses yang dicapai oleh Hek Pek Siang-sat.

Pernah terjadi belasan orang piauwsu bekerja sama mencari keributan dengan Hek Pek Siang-sat. Namun mudah sekali Hek Pek Siang-sat merubuhkan orang Piauwsu itu membuat mereka tunduk dan akhirnya mengangkat Hek Pek Siang-sat sebagai pemimpin mereka.

Dengan demikian Hek-pek-kauw akhirnya berkembang sebagai perkumpulan yang telah mengurus semua piauw-tiam di kota itu. Di mana semua piauwkiok di kota itu harus memberikan upeti setiap bulannya dalam jumlah tidak sedikit.

Dan secara tidak langsung, Hek-pek-kauw pun telah menjamin keselamatan piauwkiok itu. Dengan begitu Hek-pek-kauw sebagai tulang punggung dari semua piauwkiok di kota itu.

Ketika Hek Pek Siang-sat meninggal dunia maka kedudukan ketua jatuh pada puterinya yang bernama Mei Ling, Anak ini memakai she ayahnya yaitu Coa.

Sebagai puteri tunggal Hek Pek Siang-sat, Coa Mei Ling mewarisi seluruh kepandaian ayah dan ibunya, sehingga dia memang disegani semua jago di kalangan kang-ouw, sebab ilmu silatnya menakjubkan sekali. Pernah terjadi dia merubuhkan duapuluh orang penjahat dengan hanya seorang diri dan bertangan kosong.

Coa Mei Ling inilah yang duduk kemudian sebagai Kauw-cu Hek-pek-kauw. Dan juga, ia bergelar Giok-tiauw Sian-lie atau Bidadari Rajawali Kumala.

Dia memiliki adat yang temberang sekali, angkuh sekali, angkuh dan tangannya telengas. Orang tidak boleh melakukan suatu kesalahan padanya. Karena jika terjadi seseorang melakukan suatu kesalahan dan menyinggung perasaan Coa Mei Ling, niscaya orang itu akan terbang jiwanya…….

Dalam tangan Coa Mei Ling, Hek-pek-kauw semakin berkembang luas kekuasaannya, malah Hek-pek-kauw berusaha menelan beberapa pintu perguruan yang terdapat di Lu-shia. Dengan cara demikian, sebetulnya banyak juga orang rimba persilatan yang merasa tidak senang dan tidak menyukai Coa Mei Ling, namun Giok-tiauw Sian-lie Coa Mei Ling memang tangguh dan memiliki kepandaian tinggi.

Dengan demikian dia bisa memperlihatkan kepada dunia persilatan bahwa ia merupakan seorang jago wanita yang sulit ditandingi. Dan juga, kekuatannya itu semakin berkembang luas.

Siapa tahu belum lama yang lalu, Coa Mei Ling sudah mendengar bahwa seorang nelayan di Put-hay telah berhasil menemukan Giok-sie yaitu cap kerajaan. Juga Giok-tiauw Sian-lie telah mendengar kabar lebih jauh, jika seseorang memiliki Giok-sie, maka orang itu bisa menjadi Kaisar, menjadi pemimpin negeri itu.

Besar keinginan Giok-tiauw Sian-lie untuk memperoleh Giok-sie, karena itu, dia telah menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki tentang Giok-sie. Hal ini disebabkan Coa Mei Ling memiliki cita-cita ingin menjadi seorang raja wanita…….

Tidak lama lalu, diapun mendengar bahwa Khong-tong-pay mengetahui, nelayan mana yang telah berhasil memperoleh Giok-sie. Dan karena itu, dia segera menghadang utusan dari Khong-tong-pay yang membawa surat dari ketua Khong-tong-pay karena di dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Giok-sie berada di tangan nelayan mana dan tinggal di mana.

Dusun yang terdapat di Put-hay sangat banyak sekali, meliputi puluhan dusun. Maka, jika tidak mengetahui dengan pasti nelayan mana yang beruntung sudah memperoleh Giok-sie tersebut, juga dari dusun mana, sulit buat menyelidiki dengan baik.

Coa Mei Ling telah mengatur segala-galanya dengan baik mungkin. Kurir dari Khong-tong-pay itu, Hui-houw-to. telah dihadang oleh orang-orang Hek-pek-kauw. Tapi mereka selalu gagal karena Hui-houw-to memiliki kepandaian yang tinggi dan selalu bisa meloloskan diri.

Sampai akhirnya Coa Mei Ling turun tangan sendiri buat menghadapi Hui-houw-to. Dan memang dia berhasil. Dia juga telah dapat mengambil surat yang dibawa oleh Hui-houw-to dimana iapun berhasil melukai Hui-houw-to, yang terluka dalam parah sekali.

Dengan kegembiraannya yang meluap-luap Coa Mei Ling kembali ke Lu-shia. Ia ingin mengadakan pesta dan kemudian baru mengerahkan orangnya buat mencari nelayan yang tersebut dalam surat Ciangbunjin Khong-tong-pay.

Besar sekali cita-cita Coa Mei Ling untuk menjadi seorang Ratu. Seorang Ratu, Kaisar wanita yang penuh dengan kekuasaan, berkuasa penuh di daratan Tiong-goan, dan iapun yakin ia akan berhasil.

Hek-pek-kauw sudah mengundang juga orang-orang kang-ouw untuk diberitahukan bahwa Coa Mei Ling telah berhasil memperoleh petunjuk yang jelas tentang Giok-sie. Giok-tiauw Sian-lie meminta mereka agar bersedia membantu agar Giok-sie berhasil diperolehnya.

Semua jago-jago Kang-ouw yang diundang itu umumnya merupakan orang yang mengambil jalan Hek-to, jalan hitam, yaitu dunia kejahatan. Dengan demikian, merekapun memiliki rencana sendiri-sendiri.

Cuma saja di hadapan Giok-tiauw Sian-lie mereka tidak berani memperlihatkan sikap membangkang. Mereka malah akan berjanji akan membantu Giok-tiauw Sian-lie buat mencari Giok-sie.

Tapi disamping itu mereka telah mengatur rencana sendiri. Jika nanti mereka sudah mengetahui dimana tempat tinggal nelayan yang dimaksudkan itu, mereka akan bekerja sendiri-sendiri untuk dapat merebut Giok-sie dan juga untuk memiliki sendiri.

Maka mereka tidak mau kalau sampai rencana mereka itu gagal. Mereka sengaja pura-pura patuh pada Giok-tiauw Sian-lie, karena memang tengah berusaha mengetahui nelayan mana yang dimaksudkan oleh ketua Khong-tong-pay dalam suratnya itu.

Demikianlah, selama beberapa hari ini kota Lu-shia semakin ramai saja karena berdatangan jago-jago Kang-ouw yang diundang Coa Mei Ling. Ketika Hui-houw-to bersama dengan Tang-ting Hweshio tiba di kota itu justeru hari sudah mendekati sore, dengan melihat kota sangat ramai sekali.

“Lebih baik kita tidak memperlihatkan diri secara berterang, tentu banyak anak buah Hek-pek-kauw yang mengenalmu, siecu!” Kata Tang-ting Hweshio.

Hui-houw-to mengangguk, dia setuju dengan pikiran si pendeta.

Mereka segera mencari sebuah rumah penginapan, dan sore itu mengurung diri di dalam kamar rumah penginapan. Karena mereka ingin menanti hari menjadi malam, barulah mereka akan bekerja.

Hari berjalan terus, dan sore telah diganti oleh sang malam, karena rembulan sudah naik semakin tinggi dan memancarkan sinarnya yang cemerlang.

Kota Lu-shia semakin permai, karena penduduk kota itu telah menyalakan lampu-lampu penerangan, disamping itu juga, lampu-lampu tengtoleng jalanan telah dinyalakan, sehingga sepanjang jalan tampak terang benderang. Dengan demikian, sudah membuat kota dalam keadaan mentereng dengan bermandian cahaya lampu penerangan.

Orang yang berlalu lalang di kota itupun sangat ramai sekali, banyak pedagang yang menjajakan barang dagangan mereka. Ramai sekali suara mereka.

Hui-houw-to telah selesai bersemedhi, dia turun dari pembaringan, menghampiri Tang-ting Hweshio yang tengah duduk di lantai beralasan tikar bulat. Hweshio itu memang tengah mengerahkan sin-kangnya, untuk memperoleh kesegaran dan memulihkan kekuatan tenaga dalamnya.

Waktu melihat Hui-houw-to menghampirinya, si pendeta tersenyum.

“Taysu, apakah kita sudah boleh bekerja sekarang?!” Tanya Hui-houw-to.

Si pendeta menggeleng.

“Belum, kita harus menanti dulu beberapa saat lagi!” Kata si pendeta. “Kita harus sabar, karena kalau kita bekerja dengan ceroboh niscaya rencana kita akan menjadi gagal. Sekali saja Giok-tiauw Sian-lie mengetahui bahwa kau datang di kota ini, tentu dia akan mengerahkan orang-orangnya, untuk menganiaya dirimu!”

Hui-houw-to mengangguk.

“Baik Taysu.”

“Bagaimana kesehatanmu? Apakah sudah lebih baik lagi?” Tanya si pendeta.

Hui-houw-to mengangguk.

“Ya!” sahutnya. “Terima kasih Taysu dan semua ini berkat pertolongan Taysu juga.......!”

Si pendeta tersenyum.

“Malam ini tampaknya siecu memang sudah lebih kuat dan kesehatanmu sudah pulih sebagaimana biasa. Karena dari itu siecu dapat ikut untuk menyelidiki di mana markas Giok-tiauw Sian-lie. Jika memang memungkinkan, kita akan merampas kembali Giok-sie dari tangan perempuan itu…….!”

Hui-houw-to mengangguk dengan wajah berseri-seri dan mengucapkan terima kasih.

Sedangkan saat itu si pendeta telah bangun berdiri. Dia membereskan jubahnya kemudian bilang lagi pada Hui-houw-to, “Apakah kau bisa mengerahkan tenaga dalammu kepada jalan darah Tan-tian!”

“Sudah berhasil, Taysu!”

“Bagus! sekarang coba siecu pergunakan bahwa hawa murninya buat menerobos jalan darah Yu-nan-hiat.

“Baik Taysu.”

Segera Hui-houw-to duduk bersila. Dia mengerahkan hawa murninya pada jalan darah Yu-nan-hiat, seperti yang diberitahukan si pendeta.

Dia berhasil memusatkan tenaga dalamnya itu, bahkan dia telah berhasil untuk mengerahkannya menembus sampai ke Tan-tiannya. Inilah hasil yang menggirangkan sekali.

Karena dulu jika memang dia mengerahkan hawa murninya lewat jalan darah Yu-nan-hiat, maka dia tidak akan berhasil buat menerobos sampai ke Tan-tian. Tapi sekarang, dia telah berhasil menembusnya sampai ke Tan-tian.

Dengan demikian jelas adanya suatu kemajuan yang telah dicapainya. Dan berkat juga pemberitahuan dan pengajaran yang diberikan si pendeta Siauw-lim-sie yang tangguh itu.

Segera Hui-houw-to Khang Lam Cu memberitahukan apa yang berhasil dicapainya. Si pendeta Siauw-lim-sie pun girang. Ia menganjurkan kepada Hui-houw-to agar dihari-hari mendatang melatih lebih giat lagi.

“Jika memang siecu mau berlatih lebih giat seperti menurut petunjuk yang pinceng berikan niscaya lweekang siecu akan pesat sekali memperoleh kemajuan.......!” Kata si pendeta.

Hui-houw-to mengangguk sambil tak lupa mengucapkan terima kasih, dimana ia pun telah bilang, “Jika memang Taysu tak keberatan, maka aku ingin sekali untuk meminta petunjuk Taysu, di bidang lainnya, yaitu ilmu memainkan senjata tajam…….!”

Si pendeta tersenyum.

“Jangan tergesa-gesa, karena masih banyak waktu kita. Nanti memang pinceng akan coba mengajarkan kepada siecu beberapa jurus ilmu pedang, agar siecu kelak dapat mempergunakannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia ini…….!”

Mendengar janji yang diberikan Tang-ting Hweshio, bukan main girangnya Hui-houw-to. Dia segera menekuk ke dua kakinya, berlutut di hadapan si pendeta. Dia mengucapkan terima kasihnya, sedangkan Tang-ting Hweshio cepat-cepat membangunkan Hui-houw-to.

“Jangan banyak peradatan!” Kata Tang ting Hweshio, “Bukankah sudah Pinceng beritahukan, Pinceng kurang menyukai segala macam adat peradatan yang berlebihan?!”

Setelah berkata begitu Tang-ting Hweshio merapikan jubahnya. Dia menoleh kepada Hui-houw-to, tanyanya:

“Apakah siecu sudah bersiap-siap, tidak lama lagi kita akan segera keluar dari kamar ini untuk menyelidiki keadaan di luar……. Siapa tahu malam ini juga kita bisa mencari jejak Giok-tiauw Sian-lie!”

“Sudah! Sudah siap Taysu!” Kata Hui-houw-to segera.

Si pendeta mengangguk. Dia telah berkata lagi: “Baiklah, apakah siecu sudah tidak perlu melatih tenaga dalammu pula?!”

Hui-houw-to mengangguk.

“Tidak Taysu…….!”

Si pendeta mengangguk menghampiri jendela ia mendorongnya dan membuka jendela itu.

Waktu itu angin dari luar berhembus dingin sekali, terasa sangat menusuk tulang karena hari sudah larut malam.

Sedangkan saat itu Hui-houw-to mengikat pinggangnya lebih kencang menyingsetkan pakaiannya.

Dengan ringan Tang-ting Hweshio melompat keluar dari jendela itu, ringan sekali gerakannya.

Hui-houw-to kagum bukan main menyaksikan keringanan tubuh si pendeta, ia pun segera melompat keluar dari jendela itu, keadaan di luar sangat gelap sekali.

Sedangkan Tang-ting Hweshio sudah melompat ke atas genting rumah penginapan dan mulai berlari-lari.

Hui-houw-to tidak berani berayal, ia menjejakkan kakinya, tubuhnya pun segera melesat ke atas genting. Ia juga berlari-lari mengikuti si pendeta.

Tang-ting Hweshio berlari tidak terlalu cepat, karena ia memaklumi bahwa Hui-houw-to baru saja sembuh. Dan dengan sendirinya, tak bisa memaksa Hui-houw-to berlari cepat lagi, kalau memang tak menginginkan nanti tenaga Hui-houw-to habis karena lelah.

Bukankah beberapa saat mendatang, jika memang Giok-tiauw Sian-lie bisa ditemukan maka Hui-houw-to mau tak mau harus bertempur juga dan memerlukan juga tenaga yang tidak kecil.

Kedua orang itu berlari di atas genting dengan lincah sekali, gerakan tubuh mereka memang tampak ringan, berlari di atas genting tanpa mengeluarkan suara sedikitpun juga.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar