Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 71-80
“Aku....... aku….” si pelayan
tampaknya jadi agak gugup, ia bicara tergagap perlahan sekali.
“Kenapa?” Bie Lan heran bukan
main.
“Siauwjin ingin mengatakan
sesuatu.......!”
“Katakanlah! Apakah mulutmu
sudah jadi kaku membuat kau tak bisa bicara dengan lancar?” tanya si gadis.
Pelayan itu menggelengkan
kepalanya.
“Siauwjin ingin memberitahukan
pada Kouwnio, keadaan di kota ini tak aman, maka setelah selesai makan, nona
silahkan melanjutkan perjalananmu lagi……!”
Setelah berkata begitu, tanpa
menantikan jawaban si gadis, pelayan ini memutar tubuhnya ia segera meninggalkan
si gadis.
Bie Lan jadi tertegun heran.
Tapi belum lagi dia bertanya sesuatu, si pelayan telah pergi meninggalkannya.
Sebagai seorang yang cerdas,
seketika Bie Lan menyadari bahwa pelayan itu jelas bermaksud baik. Ia ingin
memberitahukan padanya bahwa ada bahaya yang sewaktu-waktu bisa mengincar
dirinya.
Cuma saja, tampaknya pelayan
itu tidak leluasa buat menyampaikan hal itu kepadanya. Karenanya, si pelayan
jadi salah tingkah.
Dan setelah memberitahukan hal
itu, si pelayan juga pergi dengan segera, seakan juga tidak pernah mengatakan
apa-apa, membuktikan di ruang rumah makan ini, pasti ada yang mengawasi, dan si
pelayan kuatir nanti dia dicurigai orang itu, telah membongkar rahasia.
Kemudian juga Bie Lan,
memandang menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam. Dia melihat hampir
semua tamu-tamu yang berada di ruang makan itu memang tengah mengawasi dirinya
dengan sorot mata yang aneh sekali.
Bie Lan tertawa dingin,
kemudian dengan tenang melanjutkan makannya, dia menggerakkan sumpitnya dan meneruskan
makannya dengan hati berpikir tidak hentinya, karena diliputi perasaan heran.
“Mengapa kelakuan mereka aneh
sekali? Mengapa si pelayan tidak berani memberitahuban secara berterang?
“Atau memang pelayan itu
mengetahui si jahat di ruang ini dan mengancam keselamatanku, sehingga dia
memberikan bisikan seperti itu?” Pikir Bie Lan dalam hatinya.
Tapi biarpun Bie Lan berpikir
keras, walaupun memang dia sangat cerdas, tapi tetap saja ia tidak berhasil
memecahkan persoalan tersebut.
Tidak lama kemudian pelayan
telah membawa pesanannya. Meletakkan sayur itu di atas meja.
“Untuk keselamatan juga, nona,
setelah bersantap lebih baik kau meninggalkan kota ini.......!”
Masih si pelayan memperingati
begitu padanya. Tiba-tiba tangan Bie Lan bergerak menyambar tangan si pelayan,
ia mencekalnya, karena dilihatnya si pelayan hendak pergi lagi.
Muka si pelayan jadi berobah
pucat.
“Kouwnio…….?” gugup sekali si
pelayan.
“Tunggu dulu!” Kata si gadis.
“Kau jangan pergi!”
Setelah berkata begitu, si
gadis merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sepuluh tail perak. Disesapkan ke dalam
tangan si pelayan, dan ia bilang,
“Kau jangan takut, beritahukan
padaku, apakah di ruang makan ini ada si jahat yang mengancam keselamatan? Jika
memang benar, kau tidak perlu kuatir, nanti aku hajar si jahat itu setengah
mampus!”
Pelayan itu jadi kesima
menerima hadiah sebesar itu, juga mendengar kata-kata si gadis yang demikian
gagah! Melihat sikap si gadis tampaknya si gadis ini bukanlah sebangsa gadis-gadis
lainnya, dan ia gagah sekali. Atau memang gadis ini adalah seorang gadis
pengelana dalam kalangan Kang-ouw.
Karena melihat sikap si gadis
yang tenang dan berani, ia jadi lebih tenang.
“Baiklah Kouwnio, lepaskan
dulu tanganmu!” Kata si pelayan dengan suara yang tetap perlahan, seperti
berbisik. “Nanti aku ceritakan segalanya!”
Si gadis melepaskan cekalan
tangannya, ia bilang, “Nah, kau beritahukan padaku!”
Si pelayan melirik sekitarnya,
ia melihat semua tamu tengah mengawasi dia dengan si gadis. Dia jadi ragu-ragu
lagi. Kemudian sambil pura-pura membereskan mangkok dan piring, dia menundukan
kepalanya ke dekat si gadis, diapun berbisik,
“Benar! Kota ini tidak aman.
Tidakkah nona melihat, tidak ada seorang gadis pun di kota ini? Hanya nona
seorang diri....... cantik malah! Kota ini benar-benar tidak aman, maka lebih
baik jika nona cepat-cepat meninggalkan kota neraka ini…....!”
Mendengar perkataan si
pelayan, tersadarlah Bie Lan, ia baru dapat menerka apa yang terjadi
sebenarnya. Pantas saja, begitu ia memasuki kota ini, ia jadi pusat perhatian
semua orang. Dan ia pun segera bisa menerka, apa saja yang terjadi di kota ini.
“Apakah kota ini diganggu oleh
jay-hoa-cat?” Tanya si gadis. Ia menyebut jay-hoa-cat yang berarti maling
pemetik bunga, yaitu tukang pemerkosa gadis dan isteri penduduk.
Pelayan itu mengangguk
perlahan.
“Aku tidak bisa bicara
banyak-banyak, karena di dalam ruang ini ada beberapa orang di antaranya!” Kata
si pelayan dengan suara perlahan sekali. Diapun bermaksud hendak berlalu
membawa piring kosong.
“Tunggu dulu!” Cegah si gadis.
Pelayan itu jadi gelisah.
Mukanya juga berobah jadi tidak tenang.
“Aku perlu ke belakang, buat
membereskan piring mangkok yang kotor, Kouwnio.” Katanya mengelak.
Si gadis tersenyum.
“Sebentar saja!”
Pelayan itu mau tidak mau
harus menghentikan langkah kakinya.
“Ada apa lagi Kouwnio?”
Tanyanya.
“Banyakkah jay-hoa-cat di kota
ini? Jadi bukan hanya satu orang saja penjahatnya?” tanya si gadis.
Pelayan itu ragu-ragu lagi.
“Ayo katakan!” Desak si gadis.
“Jangan takut, nanti aku yang akan menghajar mereka.”
Si pelayan jadi tambah sangsi.
“Mengapa harus bimbang?
Bukankah jika mereka tidak dibasmi, maka keamanan kota ini selamanya akan
terganggu?” Tanya si gadis kemudian.
Pelayan itu berdiam diri
sejenak, kemudian mengangguk perlahan.
“Ya, jumlah mereka memang
sangat banyak sekali. Bukan hanya satu orang saja, mereka selalu bekerja
beramai-ramai. Mereka adalah orang-orang dari kota raja, yang bekerja sebagai
pahlawan Kaisar…….!”
Berkata seperti itu, ia
kemudian memutar tubuhnya dengan wajah yang pucat, ia telah menunduk, karena
dia mau segera cepat-cepat meninggalkan si gadis. Ia kuatir telah membuka
rahasia tersebut, bisa berakibat jelek untuk dirinya.
Si gadis menghela napas.
“Hemm! Pantas! Pantas!”
Menggumam si gadis. “Rupanya memang mereka itu yang menimbulkan kerusuhan di
sini! Pantas, keamanan di kota ini tidak baik, karena Walikota dari kota ini
pun jeri pada mereka, takut buat bertindak bukankah mereka itu orang-orang Kaisar?”
Sambil menggumam begitu, si
gadis telah meneruskan makannya, tapi diam-diam diapun melirik mengawasi
orang-orang di dalam rumah makan tersebut.
Ia melihat semua tamu memang
masih mengawasinya. Tapi mereka umumnya mengawasi dia dengan sorot mata mengandung
kekuatiran buat keselamatan si gadis.
Berbeda sekali dengan dua
orang tamu yang duduk terpisah kurang lebih lima meja dari meja si gadis, yang
memelihara berewok dan kawannya yang mukanya pun bengis.
Mereka tengah mengawasi si
gadis dengan sorot mata yang tajam, sinar mata mereka memancarkan kerakusan
yang bukan main bengis dan menakutkan sekali. Mereka tampaknya memang bukan
sebangsa manusia baik-baik.
Sedangkan Bie Lan sama sekali
tidak jeri, dia tetap tenang. Cuma saja, perhatiannya terjatuh pada ke dua
orang tersebut yang ia curigai.
Dan sejak saat itulah Bie Lan
bersikap jauh lebih hati-hati, malah sekarang diapun telah memperhatikan ke dua
orang itu, yang dia perhatikan dengan lirikannya.
Sedangkan kedua orang tamu itu
terus menerus memandangi Bie Lan, sampai akhirnya Bie Lan telah melihatnya,
bahwa ke dua orang itu, memang seperti mengandung sesuatu maksud yang buruk
terhadap dirinya. Mereka berbisik dan seringkali cengar-cengir tidak hentinya.
Jika memang menuruti hati si
gadis, yang saat itu telah mendongkol dan tidak senang melihat kelakuan ke dua
orang tersebut, ia ingin sekali melompat buat menghajar ke dua orang tersebut.
Akan tetapi si gadis bisa menenangkan dirinya, mengawasi saja dengan
lirikannya, dan berwaspada. Dia ingin melihat yang ingin dilakukan ke dua orang
itu.
Dan dia ingin sekali
mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Ia sama sekali tidak takut karena ia
sudah memutuskan, jika memang kedua orang itu bermaksud tidak baik padanya
tentu dia akan menghajar habis- habisan.
Jika mendengar kata-kata si
pelayan tampaknya memang si jahat bukan kedua orang itu belaka. Tentu masih
banyak si jahat yang belum berada di tempat itu.
Namun hati si gadis besar dan
sama sekali tidak takut buat menghadapi si jahat itu....... Dia malah ingin
terus berdiam di tempat ini, untuk melihat apa yang terjadi dan apa yang hendak
dilakukan oleh orang-orang yang memang mengandung maksud jahat itu.
Malah Bie Lan sudah
memutuskan, bahwa ia akan mencari rumah penginapan dimana dia akan bermalam
satu atau dua malam di kota ini untuk melihat perkembangan yang akan terjadi.
Jika memang memungkinkan dia
malah bermaksud hendak membasmi si jahat menghindarkan kota ini dari segala
kejahatan dan ancaman buat penduduk kota ini.
Karena dari itu, akhirnya si
gadis bersantap terus dengan nikmat. Sama sekali dia tidak mengacuhkan lagi
sikap dari tamu-tamu yang lainnya, yang terus juga mengawasi dirinya.
Akhirnya setelah selesai
bersantap, dengan tenang Bie Lan melambaikan tangannya.
“Pelayan!” Panggilnya sambil
menyusut bibirnya yang kecil mungil itu.
Pelayan menghampiri dengan
segera.
“Hitung semuanya.......!”
perintah si gadis.
Pelayan itu segera pergi ke kasir
dan dia telah kembali dengan membawa bon.
Waktu itu, dia mukanya pun
pucat dan tidak tenang. Waktu menunggui kasir membuatkan bon si gadis, dia
sebentar-sebentar melirik kepada si gadis.
Rupanya pelayan itu memang
tengah diliputi kegelisahan yang sangat.
Waktu itu tampak juga, bahwa
si kasir telah kasak-kusuk dengan si pelayan, seakan juga ada yang tengah
ditanyakannya. Pelayan itupun menjawabnya satu-satu.
Waktu membawa bon buat si
gadis, langkah si pelayan tampaknya ragu-ragu.
Akhirnya, setelah membayar
uang dan harga makanan yang telah dihabisinya, Bie Lan bangkit dari duduknya,
dia bilang: “Aku ingin bermalam satu atau dua malam di kota ini....... bisakah
kau pergi mencarikan rumah penginapan?”
Pelayan itu kaget. Dia
memandang gadis itu dengan mata terbeliak lebar-lebar.
“Apakah....... apakah nona
tidak sedang bergurau?” Tanya si pelayan,
Bie Lan menggeleng.
“Tidak! Aku
bersungguh-sungguh.”
“Atau memang Kouwnio tidak
takut menghadapi ancaman bahaya yang bisa menimpah dirimu?!”
Si gadis menggeleng.
“Tidak!” Sahutnya.
“Tapi…….!”
“Sudahlah, kau jangan kuatir!
Aku pasti dapat menghadapi si jahat.”
“Mereka tangguh-tangguh!”
“Aku tahu! Tapi aku pasti bisa
menghadapi mereka,” jawab Bie Lan. “Nah bisakah kau mencarikan rumah penginapan
yang baik buatku?”
“Bisa,” mengangguk si pelayan
setelah ragu-ragu sejenak. “Mari Kouwnio ikut dengan siauwjin.”
Segera juga mereka keluar dari
rumah makan. Pelayan itu memberi Bie Lan ke sebuah rumah penginapan yang tidak
jauh letaknya dari rumah makan tempat ia bekerja.
Tampaknya pelayan rumah
penginapan pun jadi kaget dan heran. Juga matanya memancarkan kecurigaan dan
kekuatiran yang sangat.
Pelayan dari rumah makan telah
membisikkan sesuatu padanya. Dia mengangguk-angguk.
“Silahkan kouwnio ikut dengan
siauwjin!” Kata pelayan rumah penginapan itu.
Si gadis cuma mengangguk.
Dia melirik, dilihatnya dua
orang tadi yang berewok dan yang mukanya bengis tengah berjalan menghampiri
rumah penginapan juga. Mereka tampaknya memang tengah mengikut si gadis.
Cuma saja mereka tidak segera
masuk ke dalam rumah penginapan. Mereka telah berdiri diam di luar rumah
penginapan.
Si gadis tidak memperdulikan
mereka, dia cuma tertawa dingin dengan hati mendongkol. Kemudian mengikuti si
pelayan buat diberitahukan kamar mana yang bisa ditempatinya.
Sedangkan pelayan rumah makan
yang hendak kembali ke tempatnya bekerja, telah dihadang oleh kedua orang itu,
dan mereka menanyakan sesuatu.
Si pelayan tampak
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengulap-ulapkan tangannya. Malah, masih
sempat Bie Lan melihat kedua orang itu membentak-bentak si pelayan. Sedangkan
si pelayan tetap menggelengkan kepalanya berulang kali. Malah, wajahnya pucat
sekali.
Akhirnya si pelayan rumah
makan telah dibiarkan pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan kedua orang
bermuka bengis dan yang satu brewok itu, masih tetap berdiri di luar pekarangan
rumah penginapan tersebut.
Bie Lan tidak memperdulikan
mereka lagi, telah melangkah masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamar
setelah memberi hadiah pada pelayan dua tail perak.
Walaupun pintu kamar telah
ditutup rapat tokh pelayan itu masih juga belum lagi berlalu, ia berdiri di
situ, seakan juga tertegun. Pelayan tersebut membayangkan betapa ngerinya,
malam ini pasti terjadi sesuatu pada diri si gadis tersebut.
Ia yakin, tentu malam ini si
gadis akan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Ia merasa kuatir dan berkasihan
pada gadis itu, namun ia tidak berdaya. Ia tidak tahu bagaimana harus
memberitahukan kepada gadis itu betapapun bahaya tengah mengintai.
Bie Lan rebah di pembaringan.
Otaknya bekerja, ia telah memikirkan kata-kata si pelayan rumah makan, bahwa di
kota ini banyak sekali penjahat pemetik bunga.
Ia pun baru menyadari mengapa
kota ini jarang sekali terlihat wanita. Terlebih lagi gadis-gadis. Jika memang
ia melihat ada juga wanita, itulah wanita yang sudah lanjut usia yang sudah
nenek, atau yang buruk rupa.
Rupanya kota ini telah dilanda
mala petaka seperti ini cukup lama dan penduduk kota Yu-kang ini selalu
dihantui oleh perasaan takut akan bahaya yang mengintai. Dan jelas penduduk
yang memiliki isteri cantik atau puteri, mereka akan mengirim anak isterinya ke
kota lain, untuk menghindar sementara dari ancaman bahaya itu.
Setelah rebah sesaat lamanya
Bie Lan duduk bersemedhi. Ia yakin malam ini ia harus menghadapi penjahat
pemetik bunga. Pasti penjahat itu akan menyatroni padanya.
Dan itu berarti juga bahwa ia
harus bertempur. Bertempur juga jelas membutuhkan tenaga. Maka dari itu, Bie
Lan bermaksud memelihara tenaga dulu.
Setelah hari menjelang malam,
Bie Lan mematikan api penerangan kamarnya. Ia rebah di pembaringan, akan tetapi
bukan untuk tidur. Ia pun tetap rebah dengan pakaian yang utuh, tanpa salin
pakaian. Hal ini akan mempermudah dia bergerak jika kelak penjahat itu sudah
datang.
Waktu beredar terus, hari semakin
larut malam dan gelap.
Benar saja, di antara
kesunyian malam pendengaran Bie Lan yang tajam mendengar suara yang halus
sekali di atas genting. Suara yang dikenalinya sebagai langkah orang yang
memiliki gin-kang tinggi.
Bie Lan pernah mendengar cerita
dari ayah dan ibunya, bahwa di dalam rimba persilatan memang terdapat banyak
sekali Jay-hoat-cat yaitu penjahat yang senang mengganggu anak dan isteri
orang. Karenanya mereka selalu beraksi dengan mempergunakan obat pulas.
Dan Bie Lan tidak berani berlaku
ayal, dia berwaspada, melompat, turun dari pembaringannya. Ia menghampiri
jendela kamar.
Benar saja, di luar di antara
sinar rembulan tampak bayangan seseorang, disusul lagi dengan lompatan beberapa
orang lainnya.
“Hemm, mereka tidak seorang
diri, mereka datang dalam jumlah yang cukup banyak sedikitnya empat orang!”
menduga Bie Lan. Dan gadis ini jadi lebih waspada lagi.
Dia mengawasi, betapa dari
luar orang itu berusaha merusak kertas jendela. Memang biasanya, jay-hoa-cat
memasukkan asap pulasnya lewat celah-celah jendela kamar agar sang korban tidak
sadarkan diri. Rupanya jay-hoa-cat yang ini pun hendak mempergunakan asap
pulasnya.
Tidak buang waktu lagi, Bie
Lan mengayunkan tangannya menghantam jendela itu.
“Brak!” Disusul dengan jerit
kaget orang di luar.
Karena orang itu waktu
melobangi kertas jendela dengan lidahnya dan ia berada dekat sekali dengan
jendela tersebut. Sekarang tahu-tahu jendela itu dihantam kuat sekali oleh Bie
Lan.
Walaupun sebelum serangan itu
mengenai jendela ia sudah merasakan sambaran angin serangan, toh ia tidak
keburu buat mengelakkan diri keseluruhannya. Dia tidak keburu lagi buat menarik
kepalanya. Maka dia terhajar juga dan membuat dia terhuyung mundur.
Malah tak lama kemudian
terdengar seruan tertahan beberapa orang lainnya.
Bie Lan bekerja cepat sekali.
Ia mendorong daun jendela dan melompat keluar sambil memutar pedangnya mencegah
adanya serangan membokong dari lawannya.
Apa yang dilakukan oleh Bie
Lan rupanya berada diluar dugaan orang-orang di luar kamar itu. Mereka tengah
berdiri tertegun waktu tubuh si gadis tahu-tahu telah berada di luar kamarnya
dan berdiri di hadapan mereka.
Bie Lan melihat orang-orang
itu semuanya berjumlah empat orang. Ternyata dugaannya memang tak meleset sama
sekali. Dan mereka semua memiliki wajah yang bengis. Mereka juga mengenakan
pakaian khusus untuk peranti jalan malam yang berwarna hitam gelap.
Dan di antara orang-orang itu
terdapat dua orang yang kemaren mengikuti Bie Lan dari rumah makan sampai ke
rumah penginapan ini.
“Hemmm, manusia-manusia cabul
dan rendah!” bentak Bie Lan gusar, iapun segera menikam dengan pedang, sama
sekali gadis ini tak mau membuang-buang waktu.
Empat orang itu tengah
tertegun, karena mereka tak menyangka bahwa kawan mereka tadi akan terserang
seperti itu. Juga mereka kagum, menyaksikan gin-kang si gadis yang mahir.
Tapi mereka tersadar begitu
pedang Bie Lan meluncur berkilauan, mereka cepat-cepat menghindar. Gerakan
mereka gesit, malah dua di antara mereka telah mencabut senjatanya, yang
seorang mencabut keluar sebatang pedang panjang, sedangkan yang seorang lagi
menghunus tombak bercagaknya. Mereka membalas menyerang si gadis.
Kawan mereka yang dua lagi
juga tak berayal mencabut senjata mereka. Masing-masing sebatang pedang. Mereka
juga segera mengepung si gadis.
Terjadilah pertempuran, ramai
suara terbenturnya pedang dan bentakan, juga tampak jelas sekali, betapa mereka
saling mendesak.
Bie Lan memiliki kepandaian
yang tinggi. Tidak percuma ia sebagai puteri Yo Him, karena ia bisa menyerang
bertubi-tubi dengan dahsyat sekali. Lawan-lawannya jadi kaget, karena mereka
tidak menyangka sama sekali calon korban mereka memiliki kepandaian demikian
tinggi.
“Ceess……!” Orang yang berewok
malah telah kena ditikam lengan kanannya. Pedangnya sampai terlepas dan jatuh
nyaring di atas tanah. Iapun menjerit sambil memegangi tangannya yang luka dan
melompat mundur.
Tiga orang kawannya segera
serentak menyerang Bie Lan, mereka ingin melindungi kawan mereka.
Pelayan rumah penginapan
tersebut mendengar suara ribut-ribut itu. Tapi mereka tidak berani untuk keluar
menyaksikan karena mereka tahu apa yang tengah terjadi.
Mereka melihat si gadis sore
tadi, karenanya mereka tahu apa yang kini tengah berlangsung. Tentunya tengah
terjadi pertempuran. Namun yang membuat hati mereka tertarik sekali, kini
mereka baru mengetahui bahwa gadis yang kemarin sore mereka kuatirkan menjadi
korban keganasan jay-hoa-cat, ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi, karena
mereka mendengar suara beradunya senjata tajam dan juga bentakan-bentakan si
gadis.
Pertempuran itu berlangsung
belasan jurus lagi, barulah kemudian tampak betapa ke tiga orang lawannya
terdesak hebat oleh Bie Lan. Sedangkan gadis itu tidak pernah mengendorkan
serangannya, karena memang ia mengetahui empat orang ini adalah manusia-manusia
busuk.
Karena dari itu, ia telah
turun tangan tidak tanggung-tanggung. Ia sudah menyerang bertubi-tubi. Malah
terakhir ia mengeluarkan Ilmu andalannya. Pedangnya berputar seperti kitiran,
membuat tiga orang lawannya terdesak hebat sekali.
Lawan Bie Lan yang seorang, si
berewok yang tangannya terluka itu, berdiri di pinggiran. Tampaknya dia tadi
gusar dan bergelisah. Melihat temannya terdesak dan memperoleh kenyataan ilmu
pedang si gadis yang ingin dijadikan mangsa mereka sangat mahir dan tinggi, ia
segera berseru:
“Angin keras…….!” Itulah
anjuran buat kawan-kawaanya angkat kaki.
Dia sendiri telah melompat
gesit meninggalkan tempat itu, pekarangan rumah penginapan. Tubuhnya melompati
tembok pekarangan dan lenyap dalam kegelapan.
Tiga orang kawannya mendengar
anjuran kawan mereka, segera mendesak si gadis dengan serentak. Tapi Bie Lan
tetap menghadapi mereka dengan baik. Dia berkelit ke sana ke mari dan kemudian
membalas menyerang.
Walaupun tiga orang itu
bermaksud melarikan diri tokh mereka tidak bisa segera angkat kaki.
“Cess…….!” Malah paha salah
seorang di antara tiga orang itu kena tertikam lagi oleh pedang si gadis.
Ia mengeluarkan jerit
kesakitan, tubuhnya terhuyung mundur. Dia kemudian tanpa memperdulikan rasa
malu lagi, memutar tubuhnya, menjejakkan kakinya yang terpincang-pincang itu,
melesat ke atas tembok, lenyap dalam kegelapan.
Dua orang kawan mereka, sisa
yang masih bertempur itu, jadi gelisah. Tadi saja dikepung berempat, Bie Lan
masih tidak dapat mereka desak. Apalagi sekarang mereka cuma berdua. Tentu saja
mereka berdua jadi terdesak oleh serangan si gadis yang datang bertubi-tubi.
Tiba-tiba salah seorang di
antara mereka merogoh sakunya, mengeluarkan seraupan senjata rahasia.
“Awas…… senjata rahasia
beracun!” Berseru orang itu, sambil melontarkan senjata rahasia tersebut ke
muka Bie Lan.
Terpaksa sekali si gadis harus
melompat mundur sambil mengibaskan pedangnya yang diputar bergulung, sehingga
senjata rahasia itu dapat diruntuhkannya.
Waktu si gadis hendak
menyerang lagi, justeru ke dua lawannya itu telah mempergunakan kesempatan
tersebut buat melarikan diri. Mereka telah melompati tembok pekarangan rumah
penginapan itu lenyap dalam kegelapan malam.
Bie Lan sebenarnya hendak
mengejarnya namun akhirnya ia membatalkan maksudnya.
Perlahan-lahan ia memasukkan
pedang ke dalam sarungnya, ia melompat masuk ke dalam kamarnya.
Dengan tenang Bie Lan
merebahkan tubuhnya di pembaringan dan ia tidur dengan tenang karena ia yakin,
malam itu tak mungkin datang mengganggu lagi jay-hoa-cat lainnya.
Memang malam itu berlalu tanpa
terjadi sesuatu apapun juga, aman. Dan si gadis bisa tidur dengan tenang dan
nyenyak.
Keesokan paginya, pelayan
rumah penginapan itu dan beberapa orang tamu di rumah penginapan, ramai
membicarakan peristiwa malam itu.
Mereka merasa kagum sekali
pada si gadis, karena mereka tahu, tentu penjahat pemetik bunga yang datang
bukan seorang diri. Mendengar dari benturan senjata tajam mereka, tentunya
jumlah mereka sangat banyak sekali.
Tapi kenyataannya si gadis
tidak kurang suatu apapun juga, malah besok paginya si gadis telah keluar dari
dalam kamarnya dengan keadaan yang mulus dan tidak kurang suatu apapun juga.
Dengan tenang si gadis telah
pergi ke ruang samping rumah penginapan, tempat para tamu bersantap. Ia
memanggil pelayan dan memesan makanan untuk sarapan paginya, yaitu semangkok
bubur dan juga beberapa macam sayurnya.
Pelayan itu melayani Bie Lan
sambil sebentar-bentar mengawasi si gadis. Dengan cara mencuri pandang, ia
telah melihat si gadis tetap tenang dan tidak terluka sedikit pun juga.
Hati si pelayan jadi
menghormati si gadis. Karena memang sekarang dia mengerti bahwa gadis ini
tentunya seorang liehiap yang tangguh, yang memiliki kepandaian yang tinggi.
Kalau memang gadis ini tidak
memiliki kepandaian yang tinggi, tentu tidak dapat menghadapi penjahat-penjahat
pemetik bunga itu. Lagi pula penjahat itu bukan seorang diri, melainkan
beberapa orang.
Kepandaian penjahat pemetik
bunga itu pun tinggi, karena selama ini tidak pernah ada seorang pun yang
sanggup buat menghadapi mereka. Apa lagi memang selama ini penjahat pemetik
bunga itu selalu berkeliaran dengan leluasa, tanpa ada yang ditakuti.
Wie Sung Taijin sendiri jeri pada
Jai-hoa-cat tersebut, karenanya telah membuat penduduk kota itu mengirim anak
isteri mereka ke kota lainnya.
Tapi gadis ini, yang masih
berusia muda sekali, ternyata memiliki kepandaian tinggi dan bisa menghadapi
penjahat pemetik bunga yang berjumlah tak sedikit.
Akan tetapi, mereka juga
yakin, tentunya gadis ini tak akan aman, selalu saja gadis ini akan diancam
oleh Jay-hoa-cat lainnya.
Dengan cara apapun, tentunya
para penjahat pemetik bunga itu akan berusaha mencelakai si gadis.
Terlebih lagi memang di dalam
kota ini sudah dapat dibilang tak terdapat seorang wanita pun yang memenuhi
syarat buat seorang penjahat pemetik bunga.
Dan keadaan seperti itu
keadaan yang ‘sepi’ buat penjahat pemetik bunga ini sudah berlangsung cukup
lama. Sekarang datang mangsa yang masih demikian muda dan sangat cantik.
Tentu saja mereka tidak akan
mau sudah begitu saja. Walaupun bagaimana mereka akan berusaha untuk dapat
menawan si gadis, dan kemudian menjadikannya sebagai korban keganasan mereka.
Tapi Bie Lan sendiri,
bersantap tenang sekali. Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan dia
berkuatir.
Tengah dia bersantap, telah masuk
ke rumah penginapan itu seorang pendeta. Pendeta tersebut bertubuh tinggi besar
dan mukanya bengis usianya mungkin empatpuluh tahun lebih. Pendeta ini langsung
menuju ke ruang samping tempat para tamu bersantap.
Ketika memasuki ruangan
tersebut, matanya mendelik, mengawasi seisi ruangan. Semua yang ada di situ
disapu dengan tatapan mata yang tajam sekali.
Bie Lan kebetulan tengah
mengangkat kepalanya, sehingga pandangan matanya terbentur dengan sorot mata
tajam si pendeta. Hati Bie Lan tercekat juga. Pendeta ini memilki kepandaian
tinggi, untuk ini merasa pasti, karena sinar mata pendeta itu tajam bukan main,
seakan pisau yang runcing.
Segera Bie Lan menunduk, entah
siapa pendeta itu, ia bertanya-tanya dalam hatinya.
Saat itu, si pendeta setelah
melihat si gadis. Di wajahnya yang bengis tampak tersungging seulas senyuman
yang sangat aneh dan mengandung nafsu yang jahat sekali.
Segera ia melangkah
menghampiri meja yang masih kosong, terpisah tidak jauh dari si gadis. Pendeta
duduk disitu, matanya tak juga lepas dari si gadis, yang terus saja diawasinya
dengan sorot mata yang tajam.
Bie Lan kemudian menoleh waktu
ia meletakkan sumpitnya di atas meja. Ia melihat pendeta itu masih saja
mengawasinya dengan sorot mata yang begitu tajam. Hati Bie Lan muak bukan main.
“Matanya mata bangsat.......!”
berpikir Bie Lan dalam hati, dan ia berhati-hati karenanya.
Setelah menyusut bibirnya yang
kecil mungil, Bie Lan melambaikan tangannya.
“Pelayan!” panggilnya.
Pelayan segera menghampirinya.
Ia tampak ragu-ragu waktu melihat si pendeta seakan juga ia terkejut dan
berkuatir sekali. Bibirnya bergerak perlahan, seperti hendak mengatakan sesuatu
namun akhirnya tak jadi diucapkannya, maka akhirnya ia telah membisu saja.
Bie Lan heran melihat sikap si
pelayan. Ia menoleh ke arah si pendeta. Dilihatnya mata si pendeta tengah
mengawasi pelayan tajam sekali sinar matanya mengancam. Menggidik hati Bie Lan
melihat sorot mata yang begitu bengis.
“Hitung semua yang kumakan, mana
bonnya?” tanya Bie Lan kemudian.
“Baik Kouwnio…… tunggu
sebentar, Siauwjin mengambilkannya di kasir.......!” kata pelayan tersebut,
yang segera mengeloyor pergi dengan tergesa-gesa.
Selama menunggu pelayan itu
kembali, Bie Lan sering melirik pada pendeta yang garang tersebut. Setiap kali
pula ia melihat pendeta itu selalu mengawasinya, hati Bie Lan jadi tambah muak.
Jika menuruti adatnya tentu dia sudah menegur pendeta yang dipandangnya kurang
ajar itu.
Pendeta tersebut juga berulang
kali memperdengarkan tertawanya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dia
cuma mengawasi Bie Lan terus, wajahnya terang kemerah-merahan. Wajah seorang
yang tengah dirangsang oleh nafsu birahinya.
Tidak lama kemudian pelayan
itu kembali dengan bon makanan dari kasir.
“Hati-hati Kouwnio!” Bisik
pelayan itu perlahan sekali sambil meletakkan bon tersebut.
Si gadis mendengar bisikan si
pelayan, namun pura-pura tidak mendengar. Dia cuma mengangguk sedikit, karena
dia mengerti maksud si pelayan, tentu agar ia berhati-hati pada pendeta itu.
Dan dia tidak mau
memperlihatkan bahwa pelayan itu memperingatinya, karena bisa membahayakan si
pelayan sendiri. Ia membayar harga makanan yang telah dimakannya. Kemudian
berdiri.
Waktu Bie Lan berdiri seperti
itu, si pendeta juga berdiri malah sambil bilang: “Tunggu dulu nona.......!”
iapun melangkah menghampiri.
Bie Lan menoleh.
“Ada apa Taysu?” tanya si
gadis sambil menyabarkan hatinya.
Pendeta itu menghampiri lebih
dekat.
“Loceng ingin menyampaikan
sesuatu!” kata si pendeta kemudian.
Bie Lan mengawasi tajam.
“Menyampaikan apa?”
“Tentang kuil Loceng!”
“Kuil? Ada urusan apa kuil
Taysu dengan diriku?” Tanya Bie Lan kemudian sambil mengerutkan alisnya.
“Tentang derma, nona.......!”
“Derma?”
“Ya, Loceng ingin meminta
kemurahan hati nona buat menderma perbaikan kuil Loceng…….!” kata si pendeta
kemudian dengan tersenyum. Senyumannya licik sekali.
Si gadis menghela napas.
“Maaf taysu, aku tidak
memiliki banyak uang!”
“Tidak banyak sumbangan yang
Loceng minta!”
“Berapa?”
“Seribu tail mas saja!”
“Seribu tail mas?!”
“Ya.”
“Aku tak memiliki uang
sebanyak itu!”
“Tapi nona harus menderma!”
“Ya, aku bersedia menderma,
asal memang kuat untuk memberikan derma!”
“Tapi itu tidak banyak bukan?”
“Tidak banyak bagaimana?”
“Seribu tail emas tentu tak
berarti banyak buat nona!” Menyahuti si pendeta.
Si gadis habis sabar.
“Apakah memang demikian cara
meminta derma?” tegur si gadis kemudian.
“Maksud nona?”
“Dengan cara memaksa seperti
ini?”
“Loceng tidak memaksa! Loceng
meminta derma dari nona!” menyahuti si pendeta.
“Hemmm, meminta derma dengan
cara memaksa, sudah kukutakan, aku tidak memiliki uang sebanyak itu buat
menderma, maka kau harus mengerti!”
“Tapi nona harus menderma!”
Mendesak si pendeta sambil tersenyum.
Si gadis habis sabar.
“Baik, aku siap menderma!”
Kata si gadis kemudian. Dia tahu-tahu tangannya bergerak dan “Sreeng.” Dia
telah menghunus pedangnya, malah pedang itu dipakai buat menikam ke perut si
pendeta.
Pendeta itu tidak gentar.
Malah sikapnya tenang sekali. Dia mengawasi pedang gadis itu yang tengah
meluncur menyambar ke arah perutnya.
Sama sekali dia tidak
bergerak, juga tidak terlihat bahwa dia memang bermaksud untuk menghindarkan
diri. Dia telah berdiam diri saja menantikan sampai mata pedang itu sudah dekat
sekali pada perutnya, barulah ia mengibaskan lengan bajunya.
Luar biasa. Ia mengibaskan
lengan jubahnya perlahan. Namun kesudahannya memang kuat sekali menerpah pedang
itu yang tersampok ke samping. Dan juga diwaktu itu tangan si gadis tergetar.
Sedangkan Bie Lan kaget tidak
terhingga. Ia merasakan pedangnya tersampok sangat kuat sekali dan pedangnya
itu tergetar keras. Kalau memang dia tidak mengeraskan cekalannya, niscaya
pedangnya tersebut telah terpental lepas dari cekalannya. Telapak tangannya
pedih.
Dalam satu kali gerakan itu
saja, seketika ia merasakan bahwa sin-kang pendeta tersebut memang tinggi, dan
inilah yang tak disangkanya.
Dia pun segera menyadari bahwa
pendeta ini niscaya bukan pendeta sembarangan. Sebab dia memiliki kepandaian
yang sangat tinggi sekali.
Seketika begitu pedangnya
tersampok ke samping dan tergetar. Bie Lan mengempos semangatnya, segera dia
menarik pulang pedangnya. Dia berlaku waspada sekali, karena sekarang dia tahu
tengah menghadapi lawan yang tangguh.
Cepat bukan main, pedangnya
telah menikam dua kali secara beruntun. Dan pedang itu cepat sekali berkelebat
meluncur mengincar bagian yang mematikan di tubuh si pendeta.
Seperti tadi, pendeta itu
tetap saja berdiam diri. Dia berdiri tegak mengawasi datangnya serangan.
Waktu pedang menyambar, dia
sama sekali tidak bergerak dan tidak mengibaskan lengan bajunya. Dia cuma
mengeluarkan tangannya, menyambuti.
“Tranggg.......!” Sentilan
jari telunjuknya mengenai tubuh pedang itu.
Sentilan itu dilakukannya
perlahan sekali tampaknya, tapi kesudahannya memang luar biasa. Pedang si gadis
tergetar keras, terhentak dan kemudian si gadis sendiri harus melompat ke
belakang dua langkah. Dia telah memandang pada si pendeta dengan wajah yang berobah
pucat dan mengandung keberangan sangat.
“Keledai gundul, siapa kau?
Sungguh tua bangka tak tahu-malu!” Memaki Bie Lan sengit.
Pendeta itu tetap tenang. Ia
mengawasi si gadis. Ia mengawasi dengan sorot mata sangat tajam sekali. Dia
bilang: “Kau ingin mengetahui gelaran Loceng? Dengarkan baik-baik! Loceng
adalah Pu San Hoat-ong!”
Ternyata, memang pendeta itu
tidak lain Pu San Hoat-ong. Ia telah mendengar laporan dari kawan-kawannya,
bahwa mereka telah kebentur batunya, di tangan si gadis yang cantik ini.
Pu San Hoat-ong memang sudah
lama tidak memperoleh mangsa gadis cantik. Sekarang mendengar di kota itu
datang seorang gadis cantik tentu saja jadi girang. Dia segera pergi
menyelidiki.
Kebetulan waktu ia datang di
rumah penginapan itu, ia melihat si gadis tengah keluar dari kamarnya dan pergi
ke ruang makan di samping rumah penginapan itu. Dia sengaja ingin mencari
gara-gara untuk mencoba ilmu serta kepandaian si gadis, baru nanti menawannya.
Muka Bie Lan merah padam. Dia
mengawasi tajam pada pendeta itu. Dia bilang: “Menurut apa yang kulihat, kau
tidak bersungguh-sungguh buat meminta derma. Itu hanya alasan belaka buat
mencari keributan denganku! Apa maksudmu sebenarnya?”
Pu San Hoat-ong tertawa
dingin.
“Sudah Loceng bilang, Loceng
butuh derma buat perbaikan kuil Loceng…….!” Menyahuti si pendeta dengan suara
yang tawar. “Siapa yang ingin mencari keributan dengan kau? Atau memang kau
merasa memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga merasa pantas buat ribut
dengan Loceng?”
Ditanya seperti itu Bie Lan
naik darahnya.
“Baik, aku ingin melihat
berapa tinggi kepandaian yang kau miliki!”
Setelah membentak begitu,
cepat sekali Bie Lan menjejakan kakinya. Tubuhnya segera melesat ke depan. Dia
mempergunakan ilmu pedang warisan Yo Him, yaitu ilmu pedang
“Kim-sian-kiam-hoat” semacam ilmu pedang ciptaan dari Yo Him yang khusus
diwarisi kepada puterinya ini.
Berbeda seperti tadi, pedang
Bie Lan sekarang menyambar-nyambar sulit diterka arah tujuannya dan sasaran
yang diincarnya, karena pedang itu menyambar-nyambar cepat sekali. Pedang itu
seperti juga seekor naga yang bergulung-gulung dan naga itu tengah mengamuk.
Pu San Hoat-ong mengeluarkan
seruan heran melihat cara bersilat si gadis yang berobah. Ia juga kaget, karena
ilmu pedang yang digunakan si gadis kali ini jauh lebih liehay dari tadi.
Sebagai orang yang memiliki
kepandaian tinggi, tentu saja Pu San Hoat-ong segera menyadari bahwa ia tidak
boleh berlaku sembrono. Sedikit saja ia bertindak ceroboh, niscaya akan
menyebabkan dia terjerumus dalam perangkap ilmu pedang si gadis yang memang
penuh teka-teki setiap jurusnya, yang tidak bisa diketahui bagian mana yang
diincar sebagai sasarannya.
Pu San Hoat-ong mengeluarkan
seruan nyaring. Ia menepuk sepasang tangannya, nyaring sekali kemudian tubuhnya
agak menjongkok. Dia telah mengulurkan tangannya yang menempel itu ke depan,
kemudian dibukanya, dia membarengi dengan seruannya,
“Rubuh kau…….!”
Kaget Bie Lan mendengar
bentakan tersebut karena ia merasakan serangkum angin pukulan yang sangat kuat
sekali. Ia menjerit kaget dan membatalkan tikamannya. Dia mengibaskan
pedangnya. Akan tetapi tenaga dorongan dari pendeta itu terus juga menerjang
padanya.
Bie Lan segera merasakan
dadanya sesak.
“Hemm!” mendengus Pu San
Hoat-ong.
Angin dorongan tangannya kuat
mendesak terus diri si gadis.
Bie Lan mati-matian berusaha
melompat ke belakang. Cuma saja angin pukulan itu seperti mengikutinya terus.
Dalam keadaan seperti itu
segera juga Bie Lan mempergunakan jurus “Sepasang Belibis Bermain di Air” maka
tubuhnya seperti juga belibis yang ringan main dipermukaan air, telah melompat
ke sana ke mari tidak hentinya.
Dengan cara seperti itu,
punahlah tenaga dorongan si pendeta.
Pu San Hoat-ong mengeluarkan
seruan, hatinya heran bukan main.
“Lihay gadis ini! Entah siapa
gurunya! Usianya masih muda, tapi dia sudah memiliki ilmu yang tangguh!”
Berpikir si pendeta di dalam hatinya.
Sedangkan Bie Lan sudah bisa
berdiri tetap lagi, tapi ia mengeluarkan keringat dingin. Apa yang dialaminya
tadi hampir saja membuat dia nyaris rubuh dan terluka di tangan si pendeta .
“Hemm, kepandaian yang manis!”
Berseru Pu San Hoat-ong. “Rupanya dengan memiliki kepandaian seperti itu, kau
jadi bertingkah, nona manis.”
Dan Pu San Hoat-ong bukan
sekedar berkata saja, karena sepasang tangannya sudah bergerak lagi, lebih
lincah dan kuat, dia menjambak ke sana ke mari.
Si gadis menggerakkan
pedangnya, yang diputar seperti kitiran. Dia melindungi dirinya di antara sinar
pedang yang berkelebat tidak hentinya.
Akan tetapi si pendeta justru
sama sekali tidak jeri terhadap pedang itu. Ia terus juga menjambak berulang
kali saling susul dengan sepasang tangannya tersebut. Apa yang dilakukannya
memang merupakan kepandaian yang sulit dihadapi.
Jika memang seorang yang
berkepandaian tanggung-tanggung, tentu tak berani melakukan apa yang dilakukan
si pendeta. Bisa-bisa tangannya tertabas kutung!
Tapi lain dengan Pu San
Hoat-ong. Ia lihay dan juga sin-kangnya sudah tinggi. Dia bisa bergerak gesit
dan sebat, karena itu seakan juga pedang Bie Lan tidak berdaya buat menabas
tangan si pendeta.
Bie Lan mengeluh juga. Ia
tidak menyangka si pendeta demikian tangguh. Ia mati-matian berusaha memberikan
perlawanan.
“Aneh, sekali! Siapakah
pendeta ini, yang kepandaiannya demikian tinggi?” Begitulah hati Bie Lan selalu
bertanya-tanya karena tidak mengerti mengapa lawannya bisa tangguh seperti itu.
Padahal kepandaian si gadis
tidak rendah. Dari ayah dan ibunya, bahkan dari Yaya maupun neneknya ia telah
menerima pendidikan ilmu-ilmu yang hebat.
Kalau memang sekarang dia bisa
terdesak inilah suatu bukti lawannya merupakan pendeta yang tangguh sekali.
Sedangkan pelayan rumah
penginapan dan beberapa orang tamu sudah siang-siang menyingkir keluar. Mereka
tampak berdiri takut-takut menyaksikan jalannya pertempuran itu.
Tidak hentinya mereka memuji
gadis itu yang kepandaiannya sangat tinggi.
Memang tadi pagi mereka telah
mendengar cerita tentang kehebatan gadis ini, yang bisa menghadapi beberapa
orang Jay-hoa-cat, yang telah bisa mengusir penjahat pemetik bunga itu. Namun
siapa sangka sekarang mereka bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Mereka
melihat gadis itu memang liehay sekali.
Pu San Hoat-ong mulai tidak
sabar. Berulangkali ia membentak. Ia melancarkan pukulan yang semakin hebat,
karena ia sudah tidak mau membuang-buang waktu.
Karenanya, Bie Lan semakin
terdesak juga. Si gadis telah berusaha menghadapinya sebaik mungkin. Cuma saja,
sekarang dia telah mandi keringat dingin.
Waktu itu si gadis masih
berusaha untuk membendung terjangan Pu San Hoat-ong. Berulangkali ia mengganti
cara bersilatnya. Tetap saja ia terdesak.
Pu San Hoat-ong bertanya pada
suatu kesempatan: “Nona, apakah kau tetap tidak mau menderma?”
“Pendeta bangsat! Kau meminta
derma dengan cara memaksa seperti ini, siapa yang sudi memberikan derma itu?”
Bentak Bie Lan tidak kalah
galaknya. Walaupun ia mulai terdesak, namun dia tidak mau memperlihatkan
kelemahannya.
“Jadi benar-benar kau tidak
mau memberikan derma kepada Loceng?”
“Tidak!”
“Sungguh?
“Ya!”
“Hemmmm, kalau begitu kau yang
akan menerima akibatnya!” bentak si pendeta.
“Aku bersedia menanggungnya,
pendeta busuk!” Menyahuti Bie Lan nyaring.
Begitulah si pendeta semakin
gencar mendesak Bie Lan, dan serangannya semakin berbahaya juga.
Sedangkan orang-orang yang
menyaksikan pertempuran itu, mengawasi dengan berkuatir.
Bie Lan melihat, pendeta ini
memang tangguh. Ia juga harus mengakui, bahwa ia masih kalah satu tingkat.
Kalau satu tingkat bukan
berarti kepandaiannya itu kalah dari si pendeta, justeru kepadaiannya merupakan
kepandaian kelas satu. Cuma si gadis kalah pengalaman dan kalah tenaga.
Karena dari itu perlahan-lahan
Bie Lan jatuh di bawah angin dan semakin terdesak.
“Aku berikan kesempatan lagi
kepadamu buat pikir-pikir dengan baik!” kata si pendeta.
“Pikirkan apa lagi?”
“Kau mau memberikan darma atau
tidak?”
“Tidak!”
“Walaupun hanya seratus tail
perak?” Tanya si pendeta kemudian menegasi.
“Ya!”
“Apakah kau tidak percaya
bahwa kuil Loceng membutuhkan perbaikan?”
“Hemmm!”
“Jika memang kau tidak
mempercayainya, silahkan nona datang buat melihat sendiri kuil Loceng itu!”
kata si pendeta kemudian dengan suara nyaring.
“Tidak sudi aku melihat kuil
kotormu!” Teriak Bie Lan.
Walaupun mereka dalam keadaan
tanya jawab, akan tetapi serangan mereka tetap saja tidak pernah berhenti.
Mereka terus saja saling menyerang. Terlebih lagi si pendeta, Pu San Hoat-ong,
yang gencar sekali mendesak Bie Lan.
Waktu itu Bie Lan beberapa
kali terdesak. Namun dasarnya memang kepandaian si gadis merupakan ilmu yang
sangat tinggi dan kelas satu ilmu yang murni, dengan demikian telah membuat dia
masih bisa bertahan dari desakan si pendeta.
“Hemmm, kau keras kepala!”
mendengus Pu San Hoat-ong dengan mendongkol.
“Keras kepala bagaimana?”
Mengejek si gadis.
“Loceng sudah meminta derma
secara baik-baik, tapi kau malah sengaja hendak mencari keributan.
“Kau jangan memutar balik
urusan! Nonamu tidak gentar menghadapi manusia seperti kau!”
“Benar?”
“Sungguh!”
“Tidak takut mati?”
“Tidak!!”
“Hemmm, kau masih berusia muda
sekali, bukankah sangat sayang jika kau mati muda?”
“Apa pedulinya dengan kau?”
“Tidak menyesal?”
“Tidak! Jaga serangan!” Dan
pedang si gadis sempat membalas menyerang dua kali.
“Hemm, tidak mungkin kau bisa
menghadapiku!” Mengejek si pendeta. “Kau harus ingat, kau cantik sekali, masih
muda. Bukankah jika mampus di tangan Loceng, hal itu harus dibuat sayang?
Bukankah lebih baik bersenang-senang dengan loceng? Loceng jamin, pelukan
loceng sangat hangat…….!”
Setelah berkata begitu si
pendeta menghantam beberapa kali. Dan juga tertawa keras bukan main.
Si gadis berobah mukanya merah
padam karena marah yang meluap. Ia menyerang terus dengan gencar mempergunakan
pedangnya, karena dalam marahnya itu ia seperti jadi kalap.
Tapi si pendeta masih bisa
mengelakkannya dengan mudah.
“Kau tak mau bersenang-senang
dengan Loceng di saat usiamu masih begitu muda?” Tegur si pendeta lagi dengan
ejekannya.
“Pendeta kotor!” teriak Bie
Lan. “Akan kutebas batang lehermu! Kau rupanya salah seorang penjahat pemetik
bunga yang mengganggu ketenteraman kota ini!”
Dan Bie Lan nekad sekali. Ia
mengeluarkan seluruh ilmu andalannya, yang pernah dipelajari dari ayah dan
ibunya, dari kakek maupun neneknya. Dia bersilat hebat sekali, dalam keadaan
marah seperti itu.
Bie Lan sudah melupakan
keselamatan dirinya. Ia bersilat begitu cepat dan ganas, pedangnya berkelebatan
liehay sekali. Dengan demikian, sementara waktu ia bisa membendung si pendeta
tidak mendesak ia lebih jauh, karena si pendeta jadi sibuk buat mengelakan
setiap terjangan si gadis.
Waktu itu Bie Lan terus juga
gencar sekali menerjang dengan pedangnya. Angin pedang itu berkesiuran kuat. Ia
mengempos seluruh tenaga dalamnya, ia juga telah beberapa kali mengeluarkan
jurus-jurus yang berbahaya.
Pu San Hoat-ong jadi habis
sabar.
Jika sejak tadi ia masih
mengalah pada si gadis, sebab ia kuatir serangannya nanti melukai si gadis. Hal
ini membuat si gadis masih bisa bernapas dan menghadapinya terus.
Sekarang, karena ia sudah
jengkel, ia mengempos semangatnya. Tahu-tahu ia menghantam dengan pukulan yang
jauh lebih liehay dan kuat.
Sedangkan Bie Lan sendiri
kaget tidak terkira. Ia seperti juga diterjang oleh tenaga yang berkekuatan
seperti gunung runtuh. Ia sampai menjerit kaget dan melompat menghindar.
Namun masih terlambat, karena
tubuhnya telah terguling di lantai.
Si pendeta tertawa dingin,
tubuhnya melesat ringan akan menghampiri si gadis.
Semua orang yang menyaksikan
itu jadi kaget dan berkuatir sekali buat keselamatan si gadis.
Bie Lan sendiri melihat
ancaman bahaya yang datang, dan si pendeta sudah datang dekat.
Diiringi bentakannya yang
nyaring, tahu-tahu tubuh Bie Lan meletik ke tengah udara, seperti juga seekor
ikan lee-ie dan tubuhnya itu terapung. Kemudian pedangnya itu diputarnya.
Dan dia telah membuat si
pendeta membatalkan maksudnya mendekati si gadis. Dia mundur dua langkah,
menahan langkah kakinya.
“Gadis berkepala batu!”
Menggumam si pendeta jengkel sekali.
Semula Pu San Hoat-ong
menduga, dengan mudah, dalam satu-dua jurus, dia sudah akan dapat membekuk
gadis cantik ini.
Siapa tahu, sudah lewat
puluhan jurus ternyata ia masih belum juga berhasil merubuhkan dan menawan
gadis itu, malah tampaknya gadis inipun sulit buat dirubuhkan dalam waktu yang
dekat. Dia jadi mendongkol.
Sedangkan Bie Lan berhasil
dengan serangannya itu dengan cara meletik ke tengah udara segera berdiri tegak
lagi. Tadi dalam keadaan terancam ia mempergunakan jurus “Lee-ie-kim-san” atau
“Jika Gabus Mendaki Gunung Emas” dan itulah salah satu jurus paling diandalkan
Yo Him, yang baru dipergunakan jika memang tengah dalam ancaman bahaya.
Bie Lan yang tengah terancam,
teringat akan jurus tersebut dan dia mempergunakannya!
Benar saja dia berhasil.
Dilihatnya Pu San Hoat-ong
berdiri dengan muka yang merah padam.
Si gadis tertawa mengejek:
“Hemmm, kita teruskan?” tanyanya berani sekali.
Muka Pu San Hoat-ong semakin
merah dan tidak enak buat dilihat orang.
“Hemmm, gadis bandel berkepala
batu!” bentak si pendeta. “Aku akan memberikan ganjaran padamu!”
Setelah menggumam begitu,
tubuhnya berputar-putar seperti gangsing, dan juga dia berputar dengan gesit
sekali, tubuhnya seperti terputar oleh desau angin puyuh.
Bie Lan mengawasi heran.
Entah sekali ini apa yang
hendak dilakukan si pendeta untuk merubuhkannya, Bie Lan jadi mengawasinya
dengan hati-hati, agar tidak, kena dirubuhkan si pendeta yang tangguh itu. Ia
berlaku waspada sekali.
Si pendeta telah gusar dan
penasaran, juga memang dia sudah tidak sabar. Karena dari itu dia bermaksud
cepat merubuhkan dan menawan Bie Lan.
Dia mengeluarkan ilmu
andalannya, yaitu, “Angin Puyuh Melihat Kota”, maka tubuhnya berputaran terus
dengan cepat sekali, di mana sepasang tangannya bergerak menghantam ke sana ke
mari.
Seorang pelayan rumah
penginapan yang kurang jelas berdiri di luar ruangan telah mengintai di dekat
tiang pintu. Dia berdiri dengan menongolkan kepalanya.
Tahu-tahu mendadak sekali, si
pelayan menjerit dengan suara menyayatkan. Tubuh pelayan itu terpelanting
dengan kelepakkan. Dia memegangi kepalanya. Tampaknya dia menderita kesakitan
hebat.
Kiranya waktu ia menongolkan
kepalanya itu, justeru angin yang keluar dari sepasang tangan Pu San Hoat-ong
dan juga dari putaran tubuhnya, bisa menjangkau sampai ke tempat yang jauh
sekali, membuat kepala si pelayan seperti juga dihantam oleh pukulan yang kuat
sekali.
Dia menjerit kesakitan dengan
kepala yang pusing dan mata berkunang-kunang. Seketika tubuhnya rubuh, iapun
tidak ingat orang lagi. Dia pingsan!
Maka bisa dibayangkan, betapa
ilmu dan tenaga dalam yang dipergunakan si pendeta memang hebat sekali karena
pelayan itu yang terpisah demikian jauh telah kena dihantam demikian kuat.
Bie Lan sendiri bukan tidak
terkejut menyaksikan semua itu. Dengan melihat cara bersilat si pendeta saja,
dia segera menyadari bahwa dia akan menghadapi kesulitan.
Ilmu silat yang dipergunakan
oleh si Pendeta merupakan ilmu kelas tinggi cabang atas yang tangguh sekali.
Dulu ayahnya memang pernah
menceritakan padanya, di dalam rimba persilatan terdapat semacam ilmu yang
hebat sekali, mengandalkan kekuatan tenaga dalam yang mahir, dengan tubuh
berputar, tenaga pukulan orang semakin kuat.
Maka Bie Lan segera menduga,
ternyata Pu San Hoat-ong mempergunakan ilmu sejenis yang diceritakan ayahnya
beberapa waktu yang lalu.
Bie Lan jadi berwaspada. Dia
mengawasi baik-baik cara bersilat si pendeta, sampai akhirnya waktu ia
merasakan terjangan tenaga dalam si pendeta, dia berseru nyaring, pedangnya
berkelebat, dia menikam.
Si pendeta tertawa dingin, dia
menyampok dengan tangannya. Tubuhnya tetap berputar.
“Traangg!” Luar biasa sekali!
Pedang si gadis kena disampok angin serangannya, dan malah pedang itu segera
terlempar, terlepas dari cekalan Bie Lan.
Hal ini disebabkan tenaga
dalam si pendeta yang kuat luar biasa.
Gadis itu pun kaget tidak
terkira, wajahnya sampai berobah pucat. Malah Bie Lan telah melompat mundur
dengan mata memandang lebar-lebar pada si pendeta.
Pu San Hoat-ong masih berputar
terus, dia telah menegur lagi: “Apakah sekarang kau mau bicara baik-baik dengan
Loceng?”
“Hemm, kau kira mudah buat
menghinaku? Kau tidak mungkin dapat menghina diriku! Kau memang dapat
membunuhku. Tapi ingat, suatu saat ayah dan ibuku akan membalaskan sakit hatiku
ini!” Benar-benar murka Bie Lan.
Si pendeta itu tertegun, malah
gerakan berputarnya sampai terlambat dan perlahan.
“Siapa ayah dan ibumu?”
tanyanya, karena sekarang dia baru teringat, betapa pun dalam usia demikian
muda Bie Lan sudah memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Tentu ayah dan
ibunya pun memiliki kepandaian yang hebat dan merupakan tokoh rimba persilatan
yang memiliki nama tidak kecil!
Bie Lan tertawa mengejek!
“Hemmm, begitu kau mendengar
nama ayah dan ibuku, tentu kau akan cepat-cepat bunuh diri!” Ejeknya.
Muka Pu San Hoat-ong merah
padam. Dia berhenti berputar, dan mengawasi mendelik pada si gadis.
“Sebutkan siapa ayah ibumu
itu!” Bentaknya dengan suara yang bengis.
“Hemmmm, kau mau tahu juga?”
“Ya!”
“Tidak takut pingsan?”
Muka si pendeta tambah merah.
“Cepat sebutkan! Atau memang
kau hendak kuhajar mampus sekarang juga!”
Muka Bie Lan merah padam. Dia
memang seorang gadis yang cerdas. Tapi dia juga beradat keras sekali. Ia
menuruni adat keras kakeknya.
Sekarang melihat pendeta itu
demikian mendesaknya, ia bukannya segera menyebutkan nama ayah dan ibunya,
malah ia telah sengaja tertawa mengejek.
“Hemm, aku justeru tak sudi
memberitahukan padamu!” Katanya.
Muka, si pendeta tambah
bengis.
“Sebentar lagi aku akan
turunkan tangan keras padamu! Jika memang terjadi sesuatu padamu, kau jangan
mempersalahkan aku!” Kata Pu San Hoat-ong. “Lain jika memang kau sebutkan nama
ayah dan ibumu. Mungkin aku bisa berkasihan dan mempertimbangkannya lagi.”
Bie Lan tertawa mengejek. Ia
tahu si pendeta berkata begitu sama saja dengan mengejeknya, tapi ia tak mau
kalah.
“Hemmm, kau minta aku menyebut
nama ayah dan ibuku? Kau memaksa terus? Hemm, aku tahu! Aku tahu! Justeru aku
tahu kau takut untuk mencelakai aku! Kau jeri pada ayah dan ibuku!”
Bukan main gusarnya Pu San
Hoat-ong, ia sampai berjingkrak.
“Hemm, kau minta mampus
sekarang?” Teriaknya sambil berputar dan mengayunkan tangannya.
Si gadis sudah tidak mencekal
pedang lagi. Tentu dia lebih mudah merubuhkan si gadis. Telapak tangannya yang
lebar dan besar menyambar dengan pesat kepada Bie Lan.
Bie Lan sendiri bersiap buat
menerima serangan itu walaupun hatinya mengeluh, dia yakin tidak mungkin kuat
menerima serangan si pendeta dengan cara keras dilawan keras tetapi serangan
datang telah dekat. Terpaksa si gadis mengempos semangatnya. Mau atau tidak ia
memang harus mengadakan perlawanan.
Sedangkan si pendeta sendiri
waktu mengayunkan tangannya, jadi berpikir: “Dia pasti anak seorang tokoh rimba
persilatan! Hemmm dia juga cantik sekali, mengapa aku tidak tangkap dia
hidup-hidup?”
Setelah berpikir begitu,
tenaga serangannya dikurangi, sehingga tak sekuat tadi.
Bie Lan merasakan matanya
berkunang-kunang dan dadanya sesak. Tapi tiba-tiba tekanan yang kuat itu
berkurang maka mempergunakan kesempatan ini buat melompat ke samping.
Pu San Hoat-ong tak mendesak
lebih jauh.
“Sekarang kau beritahukan nama
ayah dan ibumu!” bentak Pu San Hoat-ong bengis. “Tadi kau lihat, jika aku ingin
membinasakan dirimu sama mudahnya seperti aku membalik telapak tanganku!”
Bie Lan berdiri dengan muka
yang pucat, hatinya berdebar keras, nyaris tadi ia hampir terluka atau
terbinasa di tangan si pendeta. Hatinya masih tergoncang dan ia mengeluarkan
keringat dingin.
Tapi gadis itu tak
memperlihatkan kekagetannya itu, berusaha membawakan sikap seperti biasa saja.
“Hemm!” Pu San Hoat-ong
tertawa dingin. “Jika kau tetap berlambat-lambat, terpaksa aku akan turunkan
tangan keras!”
Bie Lan tertawa. Ia membawa
sikap lincah, sama sekali berobah dengan sikapnya yang tadi, tampaknya ia jadi
riang, ia juga bilang: “Taysu ternyata kepandaianmu hebat sekali! Maafkan
keponakanmu yang kurang ajar ini!”
Malah setelah berkata begitu,
Bie Lan merangkapkan sepasang tangannya. Dia menjurah memberi hormat.
Kaget si pendeta. Dia tidak
menyangka akan perobahan si gadis, yang jadi periang dan manis. Tapi diapun
jadi girang juga melihat perobahan sikap si gadis.
Bukankah dengan demikian
berarti dia akan lebih mudah mempengaruhi gadis ini? Bukankah orang demikian
cantik dan muda.
“Ya, aku maafkan!” Kata si
pendeta kemudian sambil tersenyum. Berkurang sikap bengisnya.
“Sekarang coba kau beritahukan
nama ayah dan ibumu! Mungkin juga mereka itu sahabat-sahabatku? Untung saja kau
belum melukai dirimu. Bukankah jika terjadi demikian dimana aku telah melukai
kau, lalu baru kuketahui kau adalah gadisnya teman-temanku, maka hal ini akan
membuat aku tidak enak seumur hidup!”
Bie Lan tertawa. Ia bilang
lagi: “Sebenarnya Taysu, tadi aku yang muda telah berlaku kurang ajar, dengan
ini sebenarnya membuatku sungguh tidak enak hati walaupun Taysu telah
memaafkan!”
Setelah berkata begitu, si
gadis melangkah dekat. “Tentang nama orang tuaku itu adalah!”
Waktu si gadis berkata sampai
di situ, justeru ia sudah datang dekat. Sedangkan Pu San Hoat-ong mengawasi
dengan sikap ingin mengetahui nama orang tua si gadis.
Dikala berkata sampai
disitulah, Bie Lan mendadak menyerang dengan jari telunjuknya, dia menotok
dengan cepat sekali. Totokan itu dilakukan sangat tiba-tiba sekali, juga
jaraknya memang sangat dekat sekali.
Pu San Hoat-ong tengah
mencurahkan seluruh perhatiannya pada perkataan si gadis, yang dilihatnya
hendak memberitahukan nama ayah dan ibunya! Justeru dia diserang, dia kaget dan
hendak mengelakkan.
Dia memang tidak menjadi
gugup, cuma saja, gerakan yang dilakukannya terlambat sekali. Dengan begitu,
dia terhuyung, karena jalan darah Hiang-hui-hiatnya kena tersentuh juga,
walaupun tidak keseluruhannya. Itu telah cukup membuat tubuh si pendeta akan
terpelanting.
Untung saja Pu San Hoat-ong
memang memiliki sin-kang yang kuat, dengan begitu segera ia bisa mengempos
semangatnya. Ia telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya, buat membuka
sendiri totokan si gadis. Dengan demikian ia tak perlu sampai terpelanting.
Bukan main murkanya Pu San
Hoat-ong. Begitu ia bisa berdiri lagi, segera ia melompat, ia menghantam dengan
ke dua tangannya.
Itulah pukulan yang kuat
sekali, yang mengandung kematian. Jika memang pukulan itu mengenai sasarannya,
niscaya akan membuat si gadis terpukul binasa di saat itu juga.
Tapi Bie Lan sendiri memang
telah bersiap-siap. Dia sangat menyesal, mengapa ia menotok dengan
mempergunakan ilmu It-yang-cie yaitu menotok dengan jari tunggal yang sakti,
jaraknya pun dekat sekali, iapun memang telah menyerang dengan cara membokong,
dengan tiba-tiba sekali namun masih gagal.
Ia begitu melihat si pendeta
tak rubuh, si gadis sudah melompat ke belakang. Dengan demikian ia berhasil
menghindarkan dari hantaman si pendeta, karena ia melihat datangnya tangan Pu
San Hoat-ong, segera melompat lagi.
Pu San Hoat-ong yang dibokong
seperti itu jadi murka bukan main, mana mau ia melepaskan gadis ini, melihat
pukulannya jatuh di tempat kosong dia membarengi menghantam lagi. Malah sekali
ini beruntun beberapa kali.
Bie Lan tetap mengandalkan
kelincahannya buat menghindarkan diri ke sana ke mari.
Pu San Hoat-ong semakin gesit,
serangannya semakin gencar.
Bie Lan mengeluh juga di dalam
hatinya. Ia tahu jika keadaan seperti ini berlangsung terus, niscaya akhirnya
dia bisa bercelaka di tangan Pu San Hoat-ong.
“Tahan dulu Taysu!” Katanya
dengan suara teriakan yang nyaring sekali, “Tahan dulu!”
“Tahan dulu, apa?” Bentak si
pendeta sengit. “Monyet kecil tidak tahu mampus, apakah kau kira bisa menipu
Loceng lagi buat kedua kalinya?”
“Tadi ada yang hendak boanpwe
bicarakan!” Teriak Bie Lan nyaring, dia juga mengelakan serangan si pendeta.
“Kau ingin mengatakan apa?”
“Hentikan dulu serangan
Taysu!”
Pu San Hoat-ong ragu-ragu tapi
walaupun demikian, tetap saja ia merangsek maju mendesak si gadis.
“Apakah Taysu tidak mau
mendengarkan dulu kata-kata boanpwe?” Tanya Bie Lan tetap suaranya nyaring. Dia
bicara seperti itu buat mempengaruhi si pendeta.
Pu San Hoat-ong tidak
menjawab, dia benar-benar ragu dan telah menyerang terus dengan cepat dan kuat.
Dia tidak mau kalau sampai harus tertipu lagi.
Tapi Bie Lan terus juga
berseru nyaring meminta si pendeta mendengar dulu kata-katanya.
Setelah Bie Lan berteriak
beberapa kali, akhirnya si pendeta menahan tangannya juga.
“Nah, katakanlah apa yang
ingin kau katakan!” Bentak Pu San Hoat-ong, “tapi ingat jika kau main gila
hendak mempermainkan aku, hemmm, hemmm, Loceng akan turunkan tangan kematian
buat kau!”
Waktu bilang begitu, mata si
pendeta menatap tajam sekali, wajahnya juga sangat bengis.
Bie Lan tersenyum.
“Boanpwe ingin memberitahukan
bahwa tadi boanpwe cuma ingin mencoba apakah memang benar-benar ilmu boanpwe
belum ada artinya. Sengaja boanpwe menyerang Taysu, untuk mengetahui hal itu
dan memang kenyataannya ilmu boanpwe belum berarti apa-apa karena Taysu sangat
liehay sekali.”
Si pendeta memandang
ragu-ragu.
“Benarkah itu?” Tanyanya.
“Benar Taysu!”
“Kau bukan sedang main gila?”
“Mana berani boanpwe main gila
terhadap Locianpwe?” kata si gadis tertawa.
Sedangkan otak Bie Lan sendiri
sebetulnya saat itu tengah bekerja keras. Ia berusaha untuk mencari jalan
keluar, untuk dapat melepaskan diri dari si pendeta. Karena dari itu dia tidak
hentinya sengaja mengulurkan waktu.
Ia mengetahui, jika si pendeta
menyerang terus menerus, niscaya ia akan kewalahan dan juga akan membuat
akhirnya rubuh tanpa daya. Karena memang kepandaian si gadis masih berada di
sebelah bawah kepandaian pendeta itu.
“Sekarang sebutkan siapa nama
ayah dan ibumu itu?” bentak Pu San Hoat-ong.
“Nama orang tua boanpwe adalah
Kim Ie dan Lu Sian!” Kata Bie Lan berbohong.
Mata si pendeta mencilak.
Walaupun dia tidak yakin si gadis berbohong, namun hati ciliknya merasakan
bahwa nama itu adalah nama yang asal sebut saja oleh si gadis.
“Hemmmm, bocah! Kau ternyata
mau main gila lagi!” Kata Pu San Hoat-ong sambil melangkah maju.
Hati Bie Lan tercekat. Dia tak
menyangka bahwa si pendeta bisa mengendus dia berdusta.
“Sungguh Taysu........ Boanpwe
telah bicara dari hal yang sebenarnya!”
“Bohong!”
“Sungguh Taysu!”
“Hemmmm. Sudahlah! Akupun
tidak perlu lagi mengetahui nama orang tuamu! Terpenting kau harus Loceng
tawan!” Bentak Pu San Hoat-ong melangkah maju dan bersiap-siap hendak menyerang
lagi kepada Bie Lan.
Memang Pu San Hoat-ong telah
berpikir, adalah lebih baik dia membekuk dulu gadis ini, urusan belakangan.
Bukankah si gadis sangat cantik?
Bie Lan mengeluh, dia tahu
bahwa dirinya terancam bahaya yang tidak keci1. Kalau memang sampai terjatuh ke
dalam tangan Pu San Hoat-ong, akan habis dayanya. Terlebih lagi jika ia telah
tertawan dan dalam keadaan tertotok, selanjutnya ia akan kehilangan kesempatan.
“Tunggu dulu Taysu!” Teriak
Bie Lan.
Pu San Hoat-ong tertawa
dingin.
“Hemmm, apa lagi?” Tanyanya
sinis.
“Tunggu, Boanpwee ingin
membicarakan sesuatu lagi!”
“Loceng sudah tidak perlu
lagi!”
“Tapi dengarlah dulu, Taysu!”
“Hemm, kau bocah licik, tidak
perlu dibiarkan mengoceh terus!” Kata Pu San Hoat-ong.
“Tapi tadi Taysu ingin
mengetahui siapa orang tuaku, bukan? Mereka tadi aku sengaja menyebutkan nama
samaran mereka jika tengah merantau! Aku tidak bohong! Hemm, Taysu tidak
menanti aku bicara habis, kau sudah memotong dan menyebut aku telah
mendustaimu!”
“Hemm, benarkah itu?” si
pendeta jadi ragu-ragu kembali menahan langkah kakinya.
“Benar Taysu…….!”
“Nah, sebutkan, siapa orang
tuamu?”
“Mereka adalah orang-orang
ternama di dalam kalangan rimba persilatan!”
“Aku tahu! Kau memiliki
kepandaian yang lumayan, tentu ke dua orang tuamu itu orang ternama!” Kata Pu
San Hoat-ong tidak sabar.
Bie Lan melirik ke arah
pedangnya yang menggeletak di lantai yang terpisah tidak jauh darinya. Memang
sejak tadi dia bicara sambil mundur mendekati pedangnya itu, sekarang diapun
menggeser kakinya, dia bilang lagi,
“Mereka terkenal sebagai
Pasangan pendekar yang sangat disegani orang-orang Kang-ouw…….!”
“Aku tidak perlu dengan ocehan
seperti itu!” bentak Pu San Hoat-ong, “Sebutkan saja siapa nama orang tuamu!”
Mendadak si pendeta melihat
pedang si gadis dan dia melihat gerakan Bie Lan yang hendak meraih pedangnya.
“Tunggu, jangan kau mimpi bisa
mengambil pedangmu itu!” bentak Pu San Hoat-ong setelah menyadari apa yang akan
terjadi dan ingin dilakukan oleh Bie Lan.
Sambil membentak begitu dia
juga mengibas dengan lengan jubahnya. Dari lengan jubahnya meluncur angin yang dahsyat
menyambar ke arah pedang.
Sebetulnya si gadis hampir
saja berhasil meraih pedang itu. Ia tidak memperdulikan teriakan si pendeta,
karena dia meneruskan mengulurkan tangannya buat meraih pedang itu.
Dan ia memang girang sebab
pedang itu hampir saja kena diraihnya cuma kagetnya ia merasakan berkesiuran
angin yang kuat sekali. Pedangnya yang menggeletak di lantai telah kena
disampok oleh angin lengan jubah si pendeta. Pedang itu terpental sampai dua
tombak lebih dari tempatnya.
Bie Lan mengeluh.
Pu San Hoat-ong tertawa
bergelak.
“Bocah! Ternyata memang kau
tidak boleh dipercaya!” Kata si pendeta sambil melangkah lebar buat mendekati
Bie Lan. “Kau licik sekali……. tidak bisa aku membiarkan kau tetap bebas, karena
kau cukup berbahaya…….”
“Tunggu Taysu!”
“Hemm, kau terima ini!” Pu San
Hoat-ong tidak memperdulikan kata-kata si gadis. Rupanya dia sudah menghantam
dengan tangan kanannya.
Hati si gadis mendongkol, dia
merasakan sambaran angin yang kuat sekali. Dia menjejakkan kakinya. Tubuhnya
melesat ke tengah udara buat menghindarkan diri dari serangan Pu San Hoat-ong.
Akan tetapi semangat si gadis
jadi terbang dari tubuhnya. Dia kaget tidak terkira. Sebab disaat tubuhnya
sedang berada di tengah udara, tenaga serangan Pu San Hoat-ong seperti bisa
berpindah tempat dan tahu-tahu telah naik ke atas dan menyambar kepada Bie Lan.
Bie Lan tengah berada di
tengah udara, karena dari itu tidak leluasa dia bisa mengelakkan diri dari
sambaran tenaga serangan itu. Namun dia memang telah terdidik baik oleh ayah,
ibu, kakek maupun neneknya.
Segera juga dia berputar
dengan lincah di tengah udara. Dia tidak menjadi gugup. Kemudian dia menepuk
dengan telapak tangannya.
Tenaga tepukannya itu
menangkis tenaga serangan Pu San Hoat-ong. Dan tangkisan dari dua tenaga yang
saling bentur itu membuat tubuh si gadis terpental keras sebab memang Bie Lan
meminjam tenaga benturan tersebut, tubuhnya telah meluncur turun dan hinggap di
lantai dengan cepat sekali.
Saat itu tampak Pu San
Hoat-ong tercengang menyaksikan hebatnya gadis itu mengelakkan dan
menghindarkan diri dari ancaman tenaga dalamnya. Ia melihat, ilmu dan cara yang
dipergunakan si gadis bukan ilmu sembarangan.
Karena dari itu, dia jadi
teringat seseorang yang ilmunya serupa dengan itu. Tapi ia ragu-ragu apakah
gadis ini memang ada hubungannya dengan orang itu.......”
Bie Lan berdiri di tanah,
segera ia tertawa dengan sikap yang riang sekali. Walaupun hatinya tadi ciut
karena nyaris dia terluka berat di tangan si pendeta, tokh dia bisa menutupi
keterkejutannya, karena itu dia telah tertawa dengan sikap yang riang.
“Taysu, kau terlalu keras
untuk main-main denganku?” Katanya menegur. Namun sikapnya sangat jenaka
sekali.
Muka Pu San Hoat-ong merah
padam. Dia mengawasi mendelik kepada si gadis itu.
“Hemm, terlalu keras?”
Tanyanya.
“Ya!”
“Apa yang keras?” Dan sambil
bertanya begitu Pu San Hoat-ong tertawa dingin.
“Sikap Taysu!”
“Kau bocah yang terlalu keras
kepala.”
“Tidak! Justru aku hanya ingin
mengajak Taysu main-main!” Kata Bie Lan.
“Mengajak Loceng main-main?”
Tanya Pu San Hoat-ong, sikapnya seketika berobah, tidak bengis seperti tadi dan
berobah menjadi manis.
“Ya!” Mengangguk Bie Lan.
“Baik! Jika memang kau ingin
bersahabat dengan Loceng, maka Loceng juga tak keberatan bersahabat denganmu!”
kata si pendeta cepat.
Hati Bie Lan muak dan
mendongkol bukan main pada pendeta ini, tapi ia membawa sikap seakan-akan ia
girang.
“Benarkah Taysu?” Waktu
bertanya begitu Bie Lan sengaja tertawa.
Pu San Hoat-ong mengangguk,
“Benar! Dan kita bersahabat!”
Si gadis cepat-cepat
merangkapkan kedua tangannya memberi hormat pada si pendeta.
“Terima kasih atas kebaikan
Taysu yang mau bersahabat denganku!” Katanya.
“Ya, memang ada baiknya jika
bersahabat!” kata Pu San Hoat-ong, girang bukan main, sedangkan di dalam
hatinya ia berpikir; “Gadis ini tampaknya liar sekali, akan tetapi aku pasti
bisa menghadapinya....... dan juga biarlah sekarang aku sengaja mengajak ia
bersahabat!”
Sedangkan Bie Lan sudah
bertanya lagi, “Apakah aku boleh mengambil pedangku?”
“Silahkan!”
“Terima kasih Taysu!”
Gesit sekali si gadis melompat
mengambil pedangnya.
Pelayan dan para tamu yang
menyaksikan semua itu jadi menguatirkan keselamatan si gadis. Mereka mengetahui
siapa itu Pu San Hoat-ong. Tapi mereka tidak berdaya apa-apa!
Pu San Hoat-ong bilang:
“Apakah sekarang kau mau pergi melihat-lihat kuil Loceng?”
“Jadi taysu mesih tetap akan
mendesak padaku agar memberikan derma?”
“Oh, tidak. Sekarang Loceng
tidak jadi meminta derma, hanya sebagai sahabat ingin memperlihatkan kuil
Loceng kepada kau nona. Karena Loceng akan memperlihatkan bagaimana rencana
Loceng memperbaiki kuil itu kelak.”
Bie Lan berpikir di dalam
hatinya: “Hemm, kau ingin menjebakku….. lihat saja nanti!”
Walaupun berpikir begitu, Bie
Lan pura-pura memperlihatkan sikap gembira. Bahkan seperti seorang anak yang
kegirangan memperoleh hadiah, dia melompat-lompat sambil katanya, “Sungguh
menggembirakan sekali! Sungguh menggembirakan sekali!”
“Ya…….!” Pu San Hoat-ong
mengangguk: “Jika memang nona bersedia ikut denganku untuk melihat-lihat kuil
Loceng, betapa hal itu sangat menggembirakan sekali.”
Si gadis mengangguk.
“Tentu saja aku mau pergi
melihatnya!”
“Syukurlah kalau begitu! Mari
sekarang kita berangkat!” Ajak si pendeta.
“Tunggu dulu, aku belum lagi
membereskan pakaianku!” kata si gadis.
“Biarkan saja, bukankah kau
akan kembali ke mari nona?” Kata Pu San Hoat-ong.
“Tidak! Aku bermaksud setelah
melihat-lihat kuil Taysu, aku akan meneruskan perjalanan!”
“Baiklah kalau begitu.”
“Tunggu sebentar taysu, aku
akan segera kembali ke mari! Tapi kau jangan meninggalkan aku! Tidak lama!”
Kata Bie Lan pura-pura memperlihatkan sikap girang bukan main.
Pu San Hoat-ong mengangguk.
“Ya, jangan lama-lama!”
Si gadis berlari pergi ke
kamarnya.
Tapi begitu si gadis menutup
pintu kamarnya seketika timbul kecurigaan di hati Pu San Hoat-ong.
“Tidakkah bisa saja terjadi si
gadis melarikan diri lewat jendela kamarnya?”
Karena dari itu si pendeta
cepat-cepat menghampiri pintu kamar si gadis.
Sepi sekali tidak terdengar
suara apapun.
“Nona…….!” Panggilnya.
Tidak ada jawaban.
“Nona........!” panggilnya
lebih keras, malah telah mengetuk pintu kamar itu.
Tetapi sama sekali tidak
memperoleh jawaban.
Hati Pu San Hoat-ong semakin
curiga, akhirnya telah mendorong pintu kamar itu.
Terkunci dari dalam.
Kecurigaannya semakin besar.
“Nona, mari kita berangkat!”
Panggilnya lebih keras.
Tetap tidak ada jawaban. Tidak
ayal lagi Pu San Hoat-ong menghantam pintu itu dengan tangan kanannya.
“Brakkk!” Daun pintu menjeblak
terbuka lebar, kamar itu telah kosong.
Bukan main gusarnya si
pendeta, dia melihat daun jendela terbuka. Udara menghembus masuk ke dalam
kamar.
Gesit sekali tubuh si pendeta
melompat ke jendela, dia sudah segera bisa menduga, gadis itu memang melarikan
diri lewat jendela kamar tapi dia belum tentu pergi jauh.
Tanpa membuang waktu Pu San
Hoat-ong melesat keluar dari jendela kamar itu. Tubuhnya lincah sekali,
melompat ke atas genting.
Di kejauhan masih sempat
dilihatnya si gadis yang tengah berlari-lari di atas genting rumah penduduk
menuju ke arah selatan. Dengan mengempos semangatnya, dia mengejarnya. Memang
Pu San Hoat-ong, memiliki kepandaian yang sangat tinggi, maka dia dapat mengejar
dengan cepat sekali.
Tapi si gadis juga tidak mau
menyerah begitu saja, sebab waktu dia mengetahui si pendeta mengejarnya, dia
juga mengempos semangatnya, dia berlari sekuat tenaganya.
“Hemmm, bocah! Mau lari kemana
kau!” Berseru Pu San Hoat-ong gesit, dia mengejar terus dengan cepat.
Demikianlah, dua orang itu
saling kejar mengejar, cuma saja lama kelamaan si gadis melihat jarak pisah
mereka semakin dekat juga.
Jika kejar mengejar itu
berlangsung lebih lama lagi, niscaya akhirnya Bie Lan akan terkejar juga oleh
Pu San Hoat-ong.
Sedangkan Pu San Hoat-ong
menambah tenaganya mengempos untuk berlari lebih cepat, karena dia tidak mau
kehilangan calon mangsanya itu.
Bie Lan sendiri sambil berlari
cepat berpikir keras untuk mencari akal buat meloloskan diri dari kejaran si
pendeta itu, yang diduganya bukanlah seorang pendeta baik.
Tapi justeru kepandaian Pu San
Hoat-ong memang sangat tinggi, sulit sekali meloloskan diri. Kesempatan buat
dapat meloloskan diri memang tampaknya tidak mungkin.
Akhirnya, ketika Bie Lan telah
berlari sekian lama, dia melihat ke bawah.
Lorong yang berliku-liku, dia
segera melompat turun tanpa pikir panjang lagi.
Waktu itu Pu San Hoat-ong
sudah datang dekat malah sambil membentak: “Mau ke mana kau bocah busuk?”
Pu San Hoat-ong tidak buang
waktu melompat turun juga, buat mengejar si gadis.
Bie Lan sengaja berlari
menikung ke sana ke mari tidak hentinya. Kebetulan sekali jalan itu memang
memiliki banyak lorong yang berliku-liku, dengan demikian membawa keuntungan
juga buat Bie Lan.
Sebab si pendeta tidak bisa
mengejar terlalu cepat. Dia kuatir salah memotong jalan yang dilaluinya.
Jarak mereka tetap tidak
dekat.
Waktu itu mendadak Bie Lan
melihat di sebelah ada tikungan empat. Dia melihat seorang pengemis tua yang
tengah duduk rebah di jalan. Tampaknya dia lemah sekali. Cepat-cepat si gadis
menghampiri.
“Lopeh!” panggil si gadis
membangunkan pengemis itu. “Aku ingin minta tolong padamu!”
Pengemis itu membuka matanya,
mengedip-ngedipkan matanya, tanyanya: “Nona mau minta tolong apa?”
“Kalau nanti ada pendeta yang
datang ke mari bertanya padamu, Lopeh, Aku mengambil jalan ke mana. Kau bilang
aku ke kanan!”
“Baik!” si pengemis
mengangguk.
Tanpa membuang waktu lagi Bie
Lan menikung ke kiri. Ia berlari sekuat tenaganya.
Benar saja. Tak lama kemudian
Pu San Hoat-ong pun tiba di tempat itu.
Dia tak melihat bayangan si
gadis, cuma melihat si pengemis yang rebah terbatuk-batuk di tepi jalan.
Tanpa membuang waktu ia
mendekati si pengemis.
“Hei jembel, kau lihat seorang
gadis lewat di sini?” Tanya Pu San Hoat-ong kasar sekali, mukanya bengis.
Pengemis itu menoleh,
tampaknya ia mengantuk sekali.
“Taysu tanya apa?” tanyanya.
“Kau tuli? Melihat ada gadis
yang lewat di jalan ini atau tidak?” bentak Pu San Hoat-ong.
“Oya! Ya! Ia mengambil jalan
ke kanan.” Menyahuti si pengemis. “Kesana!”
Pu San Hoat-ong mengawasi
mendelik pada si pengemis.
“Kau tidak membohong?”
“Ohh tidak! Tentu saja tidak!”
Pu San Hoat-ong segera berlari
akan berbelok ke kanan, tapi waktu ia melewati sisi si pengemis, justeru ia
merasakan ada sesuatu yang menggaet kakinya.
Karena tak menyangka akan
terjadi hal seperti itu, ia kaget bukan main, ia keserimpet.
Untung saja Pu San Hoat-ong
memang memiliki gin-kang yang tinggi, sehingga cepat ia bisa menguasai
keseimbangan tubuhnya, ia tak sampai terjerembab.
Waktu ia menoleh, dilihatnya
si pengemis menyender dengan memejamkan matanya, seakan tak terjadi apa-apa.
Kaki si pengemis itulah yang
terlonjor, dan Pu San Hoat-ong gusar bukan main.
Kalau ia tak ingat si gadis
yang tengah dikejarnya akan hilang jejaknya, jika ia berlama-lama di situ, ia
tentu akan menghajar si pengemis. Namun ia cuma mendengus saja, kemudian ia
telah berlari lagi.
Cuma saja baru beberapa
langkah, dari arah belakangnya menyambar angin yang kuat sekali, angin
serangan.
Si pendeta jadi heran dan
kaget, ia menyampok ke belakang, ia juga telah memutar tubuhnya.
Segera juga ia melihat si
pengemis tengah melompat akan duduk menyender lagi. Seketika ia tersadar, bahwa
yang telah menyerangnya adalah si pengemis.
Pu San Hoat-ong merasakan
dadanya seakan ingin meledak karena hawa amarah yang tak kepalang. Ia tak
mengatakan apa pun juga telah melompat ke arah si pengemis, telapak tangannya
meluncur cepat akan menghantam kepala si pengemis.
Si pengemis melihat
menyambarnya telapak tangan si pendeta jadi berseru: “Hei! Hei! Apa-apaan ini?”
Tapi dia menyampok dengan tangan kanannya.
“Plakkk!” Tangan si pendeta
tertangkis. Itulah tangkisan yang dilakukannya seakan juga tidak disengaja.
Kesudahannya Pu San Hoat-ong
kaget tidak terkira. Memang pengemis itu seakan juga menggerakkan tangannya
perlahan sekali, seperti tidak sengaja menangkis pukulan yang dilakukan Pu San
Hoat-ong.
Namun kenyataan yang ada
tangkisan si pengemis bukanlah kibasan tangan yang perlahan, karena tenaga
tangkisan itu kuat sekali, membuat tubuh Pu San Hoat-ong terhuyung ke belakang.
Dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.
Untung saja Pu San Hoat-ong
masih sempat buat mengerahkan tenaga gin-kang pada kuda-kuda ke dua kakinya,
dia bisa mempertahankan dirinya tidak sampai terguling.
Si pengemis tetap membawa
sikap tidak acuh, dia tetap rebah. Malah dia menguap.
“Hemmmm, kau rupanya hendak
mempermainkan Loceng!” Bentak Pu San Hoat-ong sengit.
Pengemis itu menguap lagi.
“Ada apa Taysu?” Tanyanya
sikap dan mimik wajahnya memperlihatkan seakan juga memang dia tengah
terheran-heran dan seperti tidak mengetahui apa yang terjadi tadi.
Pu San Hoat-ong tidak banyak
bicara lagi tahu tahu tubuhnya melesat cepat sekali, sepasang tangannya
bergerak menyambar, kepada si pengemis.
“Berdiri!” Bentak Pu San
Hoat-ong, begitu dia bisa mencengkeram sepasang tangan si pengemis, dengan
membungkukkun tubuhnya, dia bermaksud menggetak buat mengangkat naik tubuh si
pengemis.
Tapi, Pu San Hoat-ong tidak
berhasil.
Pengemis itu tetap saja rebah
diam, tidak terangkat sedikitpun juga, walaupun Pu San Hoat-ong telah
mengangkat kuat sekali.
“Mengapa aku si pengemis tua
yang sudah mau mampus disuruh berdiri oleh Taysu?” Tanya si pengemis seperti juga
terheran-heran memandang kepada Pu San Hoat-ong dengan mata yang dibuka
lebar-lebar.
Tidak kepalang murkanya Pu San
Hoat-ong tapi iapun kaget tak terkira.
Dia segera menyadari pengemis
ini seorang ahli dan jago silat yang mahir sekali sin-kang atau tenaga
dalamnya, karena diangkat seperti itu, masih saja tubuhnya tak bergerak.
Dan juga, yang membuat Pu San
Hoat-ong tambah kaget, karena tahu-tahu telapak tangannya pedih sekali. Seperti
juga dari tangan si pengemis mengeluarkan uap yang panas bukan main, sehingga
uap panas itu mau menyelusup ke dalam telapak tangan si pendeta.
Biarpun Pu San Hoat-ong sudah
mengerahkan sin-kangnya buat melawan uap yang panas itu, menyalurkan kekuatan
tenaga dalamnya pada telapak tangannya, namun ia gagal. Dan ia merasakan betapa
telapak tangannya tambah nyeri. Terpaksa sekali ia melepaskan cekalannya malah
ia berseru kaget, begitu panasnya pergelangan tangan si pengemis yang
dicekalnya.
Si pengemis mengangkat
kepalanya.
“Mengapa Taysu?” tanyanya.
Pu San Hoat-ong tidak segera menjawab.
“Aduh……. pergelanganku sampai
sakit dicengkeram oleh Taysu!” kata si pengemis lagi sambil mengusap-usap
pergelangan tangannya.
Pu San Hoat-ong sendiri heran.
Tapi dia semakin waspada, karena dia yakin bahwa pengemis ini bukan orang
sembarangan. Kepandaiannya tinggi sekali, walaupun sikapnya seperti orang yang
tolol dan bodoh tidak mengerti persoalan.
Tadi Pu San Hoat-ong memang
telah mengerahkan tenaga dalamnya pada ke lima jari tangannya, dia meremasnya,
namun dia gagal buat meremukkan tulang pergelangan tangan si pengemis.
Jika memang seseorang yang
berkepandaian tanggung-tanggung, begitu diremas tulang pergelangan tangannya
oleh kekuatan seperti yang dipergunakan Pu San Hoat-ong niscaya tulang
pergelangan tangannya itu akan remuk hancur. Tapi kenyataan pengemis itu tidak
kurang suatu apa pun juga.
Tapi Pu San Hoat-ong ketika
tersadar bahwa pengemis ini pasti memang hendak mempermainkan dan melindungi
calon mangsanya. Tentu si gadis telah pergi entah ke mana dan pengemis ini yang
berusaha membendungnya agar ia tidak bisa mengejar terus gadis itu.
Teringat akan hal ini,
seketika Pu San Hoat-ong merobah keputusannya. Dia tidak mau melayani si
pengemis lebih jauh, selain memang orang sangat liehay dan sulit buat
dirubuhkan dan dia kuatir akan kehilangan jejak calon mangsanya.
Maka dia berkata bengis,
“Nanti Loceng akan datang mencarimu buat memperhitungkan semua ini!”
Setelah berkata begitu, tanpa
menantikan jawaban si pengemis, Pu San Hoat-ong sudah memutar tubuhnya. Dia
bermaksud meninggalkan si pengemis, ia ingin mengejar terus calon mangsanya,
Bie Lan.
Tapi, baru saja ia memutar
tubuhnya ia mendengar suara si pengemis: “Mau ke mana Taysu? Mari Taysu temani
aku untuk main catur…….!” sambil berkata begitu, tangan si pengemis telah
bergerak. Maka Pu San Hoat-ong seketika mendengar sambaran angin yang tajam.
Dia mandek dan mengibaskan
tangannya. Tapi dia cuma bisa menyambuti dua butir batu yang ditimpuk pengemis.
Kemudian menyambar lagi angin yang tajam.
Pu San Hoat-ong bukan main
mendongkolnya. Dia menyampok lagi ke belakang.
Tiga butir batu telah kena
disampoknya.
Demikianlah, Pu San Hoat-ong
jadi gagal buat meninggalkan tempat itu dan si pengemis.
Bukan main murkanya Pu San
Hoat-ong. Ia membentak bengis dan batal buat pergi. Melainkan tubuhnya melesat
sangat cepat sekali dan menghantam dengan sepasang tangannya. Sekali ini, Pu
San Hoat-ong benar-benar sudah tidak bisa menahan diri.
Apa yang dilakukan Pu San
Hoat-ong kali ini tidak bisa diremehkan oleh si pengemis. Itulah serangan yang
disertai tenaga dalam yang dahsyat sekali.
Dengan demikian si pengemis
juga tidak bisa berdiam diri, sebab dia segera melesat bangun berdiri. Dia
bukan cuma melompat berdiri. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, dia melompat
lagi ke belakang satu tombak lebih.
Pukulan Pu San Hoat-ong jatuh
di tempat kosong, menambah penasaran si pendeta.
“Kau harus mampus di tangan
Loceng!” Teriak Pu San Hoat-ong yang sudah bisa mempertahankan kemarahan
hatinya. Dia marah karena si pengemis menghalanginya, berarti dia telah
kehilangan kesempatannya, buat menangkap calon mangsanya, yaitu Bie Lan.
Disamping itu, dia telah
mempermainkannya terus, menambah rasa penasarannya. Maka dia telah menyerang
tidak tanggung-tanggung.
Tenaga dalam yang
dipergunakannya sangat kuat sekali. Dia telah mengempos sebagian besar tenaga
sin-kangnya, buat menyerang dengan jurus-jurus yang mematikan.
Cuma saja, dasarnya si
pengemis memang memiliki sin-kang dan gin-kang yang mahir. Disamping dia selalu
dapat bergerak gesit sekali juga si pengemis dapat saja buat menghindarkan dan
memunahkan tenaga serangan Pu San Hoat-ong.
Tiga kali Pu San Hoat-ong
mendesak si pengemis namun tetap saja gagal.
Pengemis itupun tidak mau
tinggal diam karena tubuhnya tampak berkelebat-kelebat dengan lincah sekali.
Pu San Hoat-ong yang
dikelilingi si pengemis jadi berdiam diri, mengawasi saja dengan mata yang
mencil tajam serta bengis.
Pengemis itu bergerak sangat
lincah sekali sehingga tubuhnya yang berputar-putar mengelilingi Pu San
Hoat-ong, saking cepatnya, dia seperti jadi beberapa orang pengemis, yang terus
mengelilingi Pu San Hoat-ong.
Si pendeta berdiam tidak
segera menyerang karena buat sementara waktu itu dia jadi tidak mengetahui arah
sasaran yang tetap. Dia tidak mau menyerang sembarangan lagi.
Diam-diam ia telah memusatkan
kekuatan tenaga dalamnya yang disalurkan pada kedua telapak tangannya. Dia
bersiap-siap akan mempergunakannya begitu juga dia melihat ada kesempatan
tersebut. Namun tetap saja yang mengelilinginya adalah bayangan tubuh si
pengemis.
Pu San Hoat-ong memasang
pendengarannya. Ia memiliki pendengaran yang tajam, karena dari itu, ia dapat
mendengarkan dengan baik.
Dan akhirnya ia mengetahui ke
arah mana berputarnya si pengemis, dengan mengandalkan pendengarannya,
mendengarkan desir angin yang berkesiuran akibat berputarnya tubuh si pengemis.
Pu San Hoat-ong mulai dapat
menangkap di arah mana, pengemis itu berada. Maka setelah yakin, mendadak
sekali ia membentak dibarengi dengan sepasang tangannya yang menghantam.
Kali ini ia memukul kuat
sekali, angin pukulan itu berkesiuran dahsyat bukan main.
Pengemis itu tertawa.
“Bagus! Ternyata Taysu memang
pandai bermain catur!” katanya. Itulah ejekan.
Dan pengemis itu bukan
berkelit, ia masih tetap berputar, cuma saja pukulan yang dilakukan Pu San
Hoat-ong, ditangkisnya dengan kuat. Tenaga tangkisan yang dilakukannya juga tak
kalah kuatnya dibandingkan dengan tenaga serangan Pu San Hoat-ong.
“Dukkk!” Tangan Pu San
Hoat-ong dengan tangan si pengemis saling bentur. Dan benturan tersebut membuat
tubuh mereka masing-masing tergetar keras.
Pu San Hoat-ong tidak sampai
disitu saja, dia menghantam lagi. Dua kali beruntun. Dan si pengemis juga
beruntun menangkis dengan keras lawan keras.
Terdengar beruntun dua kali
benturan yang keras, tubuh mereka jadi berhadapan. Si pengemis tidak berputar
lagi.
“Siapa kau sebenarnya,
pengemis busuk!” Bentak Pu San Hoat-ong sambil mengawasi dengan mata mendelik
garang, mengandung hawa pembunuhan.
Pengemis itu tetap membawa
sikap yang tenang, dia tertawa.
“Kau ingin mengetahui siapa
aku, Taysu? Akulah si tukang pukul kepala gundul!” Kata si pengemis.
Dada Pu San Hoat-ong seperti
mau meledak.
“Sekarang mari kita main catur
lagi!” Belum lagi Pu San Hoat-ong membentak, justeru si pengemis yang tampaknya
senang mempermainkan si pendeta, telah menghantam.
Sekali ini dia tidak main-main
karena dialah yang menghantam si pendeta. Dia telah membiarkan Pu San Hoat-ong
mendesaknya seperti tadi.
Jika tadi memang dia cuma
mengelak maupun juga cuma menangkis memunahkan serangan yang dilakukan Pu San
Hoat-ong. Justeru sekarang ini dia yang mendesak Pu San Hoat-ong, sekaligus dia
telah menghantam sampai enam-tujuh kali.
Pukulan yang dilakukannya
begitu kuat dan dahsyat. Dan telah membuat Pu San Hoat-ong jadi sibuk buat
mengelakkan diri.
Benar-benar Pu San Hoat-ong bisa
melihat bahwa si pengemis memang sebenarnya, bukanlah orang sembarangan.
Kepandaiannya sangat hebat. Dan berarti dia tidak boleh memandang remeh dan
memperlakukan sembarangan.
Berulang kali dia mengelakkan
diri dari serangan yang dilakukan oleh si pengemis. Setelah diserang empat kali
dengan desakan yang kuat, maka Pu San Hoat-ong baru memiliki kesempatan buat
balas menyerang, sekali ini dia menyerang dengan dahsyat sekali. Dia memang
seakan jadi kalap.
Tapi pemuda itu mudah sekali
menghindarkan pukulan Pu San Hoat-ong. Sambil mengelakkan diri, dia telah
berseru: “Hai! Hai! Menakutkan sekali! Mengerikan!”
Setelah berseru begitu, dia
memutar tubuhnya, di tempat kosong dia menjejakkan kakinya, dia berlari akan
meninggalkan pendeta tersebut. Malah dia masih berseru nyaring:
“Ngeri bukan main jika
menghadapi pendeta yang sedang kalap! Sungguh galak. Mengerikan!”
Dan dia tertawa
bergelak-gelak. Itulah ejekan yang benar-benar menyakitkan hati Pu San
Hoat-ong, karena tampaknya memang pengemis tidak memandang sebelah mata padanya
dan masih terus juga mempermainkannya.
Berang sekali Pu San Hoat-ong
mengejarnya. Karena dia jadi penasaran. Belum pernah seumur hidupnya
dipermainkan seperti ini.
Dengan mengerahkan gin-kangnya
Pu San Hoat-ong mengejar cepat sekali. Tapi pengemis itupun berlari gesit luar
biasa.
Rupanya gin-kang pengemis itu
mahir bukan main dan sesungguhnya ia ingin mempermainkan si pendeta.
Sambil berlari si pengemis
berpikir: “Pendeta ini berkepandaian tinggi, siapakah dia? Tampaknya ia bukan
orang sembarangan. Aku harus hati-hati!”
Pu San Hoat-ong, berseru:
“Berhenti! Mari kita main-main, mengapa kau pengecut seperti itu? Atau memang
kau hendak lari meloloskan diri?”
Setelah berkata begitu,
tangannya diayunkan, ia melemparkan beberapa senjata rahasia yang berbentuk
roda bergigi, yang menyambar cepat sekali pada si pengemis.
Merasakan sambaran angin yang
kuat di belakangnya, segera si pengemis membuang diri bergulingan di tanah. Ia
berhasil menghindarkan beberapa senjata rahasia yang tadi menyambar
punggungnya.
Tiga senjata berbentuk roda
bergigi itu menancap dalam sekali di tembok, dengan mengeluarkan suara yang
keras. Amblas, melihat itu si pengemis mengerutkan keningnya.
Kalau tadi dia tidak keburu
menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia tersebut, bukankah punggungnya
akan berlobang sampai ke dada oleh senjata rahasia yang dilemparkan Pu San
Hoat-ong dengan kekuatan lweekang yang dahsyat?
“Hemmm, tampaknya memang dia
hendak membunuhku!” Demikianlah pikir si pengemis. “Aku harus waspada sekali,
karena dia tidak boleh diremehkan.”
Walaupun hatinya terkejut
melihat hebatnya tenaga sin-kang Pu San Hoat-ong, tokh si pengemis tidak jeri.
Dia malah sudah meletik bangun dan berlari lagi dengan dikejar terus oleh Pu
San Hoat-ong.
Tangan Pu San Hoat-ong sudah
merabah jubahnya, dia bermaksud akan mengulangi lagi menyerang si pengemis
dengan senjata rahasianya yang luar biasa itu.
Namun belum lagi dia menarik
keluar tangannya dari saku jubahnya, dia melihat di depan si pengemis tengah
mendatangi seorang pemuda. Masih muda sekali pemuda itu.
Diapun menutupi mukanya dengan
kain putih sehingga tidak bisa terlihat jelas wajahnya. Pakaiannya pun berwarna
putih.
Dia tengah mendatangi dengan
tenang, dan ketika melihat pengemis yang tengah dikejar-kejar oleh si pendeta,
dia mengerutkan alisnya. Dia menahan langkah kakinya, dan berdiri diam.
Cepat sekali pengemis itu tiba
dihadapan si pemuda yang menutupi mukanya dengan kain putih itu.
“Ada apa lopeh?” Tanya si
pemuda berselubung muka kain putih itu, sabar suaranya.
“Aduh tolong aku, Kongcu.
Tolong aku! Aku dikejar pendeta gila.” Kata si pengemis.
Meluap amarah Pu San Hoat-ong
mendengar kata-kata si pengemis. Dia tiba dengan segera.
Pengemis itu segera berputar
mengelilingi si pemuda, dikejar terus oleh Pu San Hoat-ong.
Malah, jailnya si pengemis
berulang kali memperlihatkan mimik muka seperti mengejek.
Kalap sekali Pu San Hoat-ong,
dia mengejar terus.
“Aduh....... tolong aku,
Kongcu……. jangan biarkan aku ditangkap pendeta gila itu!” Berseru si pengemis
dengan suara yang nyaring menambah kemurkaan Pu San Hoat-ong.
Karena saking murka dan
menganggap dia mengganggunya, sehingga sulit dia menangkap si pengemis segera
tangan Pu San Hoat-ong menghantam pundak si pemuda. Maksudnya membuat si pemuda
terpelanting dengan begitu dia bisa menangkap si pengemis.
Tapi, begitu tangan si pendeta
menyambar, pemuda ini menyampok dengan tangan kirinya perlahan dan tenang
sekali. Tapi tangan si pendeta kena disampok keras, dan malah Pu San Hoat-ong
merasa kesakitan.
Pu San Hoat-ong seketika
berhenti mengejar si pengemis. Dia mengawasi mendelik pemuda itu.
“Siapa kau?” Bentak si
pendeta.
“Tenang Taysu, mari kita
bicara!”
“Hemmmm, kau tidak tahu urusan
yang sebenarnya!” Bentak Pu San Hoat-ong bengis.
“Tapi, marilah kita bicara
dulu! Ada persoalan apakah antara Taysu dengan Lopeh itu?” Sambil bertanya
demikian si pemuda telah menunjuk si pengemis, yang telah duduk di tepi jalan
sambil memperlihatkan mimik muka mengejek Pu San Hoat-ong.
Meluap darah Pu San Hoat-ong.
Akan tetapi dia sekarang, tidak bisa segera menangkap si pengemis. Dia
bersumpah, jika dia bisa membekuk pengemis itu tentu dia akan menghancurkan
batok kepalanya untuk melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan hatinya.
“Kau ingin mencampuri urusan
kami?!” Bentak si pendeta pada orang yang memakai selubung muka itu.
Tenang sekali sikap orang itu.
Dia memperdengarkan tertawa perlahan.
“Tidak baik marah-marah
seperti itu, Taysu........ tenanglah!” Kata orang itu.
“Sebutkan namamu!” Bentak Pu
San Hoat-ong dengan suara yang bengis.
Orang itu mengangguk.
“Baik! Baik! Siauwte adalah
Kim Lo. Itu saja, Taysu bisa memanggilku dengan sebutan itu saja!”
“Kim Lo?”
“Ya!”
Aneh sekali nama itu, sampai
Pu San Hoat-ong jadi curiga bahwa orang inipun tengah mempermainkannya.
“Benar-benar namamu Kim Lo?”
ia bertanya mengulangi lagi dengan muka bengis.
Orang itu mengangguk.
“Ya benar!” Membenarkan orang
itu.
Pu San Hoat-ong mengawasi
bengis.
“Mengapa mukamu tertutup
seperti itu? Atau memang kau takut untuk memperlihatkan mukamu?” Tegur Pu San
Hoat-ong sambil terus menatap ke muka orang itu.
Pemuda itu yang tak lain
memang Kim Lo tertawa tawar. Ia bilang, “Belum tiba waktunya. Jika memang telah
tiba waktunya, aku akan membuka tutup muka ini!”
“Hemmm, dengan menutupi muka
seperti itu kau kuatir akan ada orang yang mengenali dirimu, tentunya kau
pernah melakukan sesuatu perbuatan tidak baik!”
Walaupun pendeta itu berkata
kasar seperti itu, Kim Lo tak jadi gusar.
“Jangan menduga yang
tidak-tidak Taysu!” Katanya sabar. “Aku ada kesulitan yang belum dapat
diungkapkan sekarang! Hemmm, sekarang jika memang Taysu mau bicara dengan baik
bersama lopeh ini, siauwte tentu saja tak berani mencampuri urusan ini!”
“Pengemis itu terlalu kurang
ajar! Aku ingin menghajarnya!”
“Tapi masih bisa dibicarakan
secara baik-baik!” Kata Kim Lo sabar.
“Bocah! Jika memang kau ingin
kepalamu tetap utuh di atas lehermu, maka kau harus cepat-cepat menyingkir!”
Kata Pu San Hoat-ong habis sabar. “Kau masih belum terlambat angkat kaki
meninggalkan tempat ini!”
Walaupun Pu San Hoat-ong
bicara dengan sikap bengis dan keras seperti itu, tapi diam-diam di hatinya ia
berpikir:
“Bocah ini tampaknya liehay,
ia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Tadi ia menangkis pukulanku, tanganku
sakit bukan main, padahal ia menangkis dengan perlahan! Aku tak boleh mencari
urusan lagi dengannya, karena bisa repot……. yang terpenting aku harus mengurus
si pengemis…….!”
Karena berpikir seperti
itulah, membuat Pu San Hoat-ong mengambil sikap lebih lunak dan mempersilahkan
Kim Lo buat meninggalkan tempat itu.
Kim Lo menghela napas.
“Taysu, bukankah tak baik jika
mendesak seorang yang sudah tak berdaya?” Tanya Kim Lo lagi.
“Apa?”
“Lopeh itu tampaknya sudah tak
berdaya kau kejar-kejar, dan kau juga mendesaknya terus, bukankah itu tak baik
jadinya?”
Pu San Hoat-ong tertegun
sejenak, namun segera ia tertawa bergelak-gelak.
“Ha ha ha!” tertawanya. “Kau
tahu apa? Dia memiliki kepandaian yang tidak rendah, justeru ia hendak
mempermainkan Loceng! Nah, sekarang kau minggirlah! Jangan mencampuri urusan
Loceng.”
Kim Lo menggeleng.
“Sayang sekali urusan ini
tidak dapat Siau-wie dibiarkan begitu saja! Bagaimana kalau memang nanti sampai
Lopeh itu terbinasa di tangan Taysu?”
“Itu urusan Loceng!” Bentak Pu
San Hoat-ong habis sabar.
Kim Lo tertawa.
“Tapi, ini urusan jiwa
manusia, Taysu.” Katanya dengan yang sabar.
“Ohhh, kau terlalu rewel.”
Sambil begitu, tangan kanan Pu
San Hoat-ong diulur buat mendorong Kim Lo.
Tapi belum lagi tangan itu
sampai pada sasaran, tangannya yang satu telah menjulur panjang akan
mencengkeram, tangannya yang kanan telah ditarik pulang. Rupanya memang dia
hanya melakukan serangan gertakan belaka buat pertama kalinya, dia kuatir orang
berkelit. Justeru dia menyerang dengan sebenarnya mempergunakan tangan kirinya,
yang akan mencengkeram hebat sekali.
Waktu itu tampak jelas Kim Lo
berdiri tenang di tempatnya.
Dia tidak berusaha berkelit
dari tangan si pendeta. Dia berdiri diam saja. Begitu tangan si pendeta sudah
dekat, tahu-tahu dia menyentil dengan telunjuknya.
“Tukk!” Tangan kiri Pu San
Hoat-ong kena disentilnya. Dan Pu San Hoat-ong menjerit sambil mundur dua
langkah.
Memang sentilan yang dilakukan
si pemuda bukan sentilan sembarangan. Kim Lo menyentil dengan mempergunakan
ilmu yang hebat sekali, yaitu It-yang-cie, ilmu yang semula menjadi milik raja
Toan-lie, yaitu Toan Ceng It Teng Taysu. Justeru akhirnya ilmu itu dapat
dipelajari oleh Oey Yok Su, yang kemudian mewarisinya kepada Kim Lo.
Muka Pu San Hoat-ong jadi
berobah pucat.
“Siapa kau sebenarnya?”
Tegurnya dengan suara yang bengis.
Pengemis itu yang melihat Kim
Lo mempergunakan jurus It-yang-cie dengan mudah sekali, sekali sentil, membuat
tubuh si pendeta terhuyung begitu dan serangan yang dilakukan. Pu San Hoat-ong
kena digagalkannya, ikut mengeluarkan seruan tertahan.
Mata pengemis itu terbuka
lebar-lebar karena memang dia mengenali itulah It-yang-cie. Dia jadi
menduga-duga entah siapa orang yang terselubung kain putih itu, yang tampaknya
sangat liehay sekali.
Kim Lo tampak membungkukkan
tubuhnya sambil menjurah memberi hormat.
“Maaf Taysu, aku telah
kesalahan turun tangan!” Katanya sabar, “Maaf!”
Pu San Hoat-ong mendengus. Dia
tidak bilang apa-apa. Justeru disaat orang tengah membungkuk seperti itu,
tangan Pu San Hoat-ong menyambar, akan menarik kain putih penutup muka Kim Lo,
dengan gerakan yang cepat sekali.
Kim Lo merasakan sambaran
angin yang dahsyat ke arah mukanya, dia melirik. Dia melihat tangan Pu San
Hoat-ong yang tengah menyambar. Maka dari itu, dia segera menarik tubuhnya ke
belakang, kepalanya dimiringkan sedikit, sambaran tangan Pu San Hoat-ong tidak
berhasil menyambar kain putih muka Kim Lo.
Malah, karena sambaran yang
gagal waktu tubuhnya doyong ke depan, Kim Lo telah membarengi dengan mendorong
perlahan mempergunakan tangan kanannya.
“Dukkk!”
Ketika Pu San Hoat-ong kena
dihantam, sebetulnya Pu San Hoat-ong melihat menyambarnya tangan Kim Lo. Dia
bermaksud menghindarkan diri.
Tokh dia tidak berhasil.
Ketiaknya kena dihantam. Walaupun tidak keras, tokh tubuhnya jadi terjungkal ke
belakang hampir terpelanting.
Dengan muka yang pucat dia
mengawasi ke arah Kim Lo penuh dendam dan penasaran.
“Hemmmm, kalau demikian memang
kau bukan ingin jadi orang penengah, kau memihak dan membela pengemis itu?
Baik! Baik! Kau diberi jalan ke sorga tapi kau memilih jalan ke neraka!” Sambil
berkata begitu tubuh Pu San Hoat-ong segera menerjang, dia beruntun menghantam
lima kali.
Tadi karena dia tidak
bersiap-siap dan memang dia tidak menyangka bahwa pemuda itu memiliki
kepandaian yang demikian tinggi. Dia tidak berwaspada, itulah sebabnya berulang
kali dia telah kena dimakan oleh Kim Lo.
Tapi sekarang dia menyerang
dengan mengempos semangat murninya, mengerahkan ilmunya yang hebat. Dia
bersungguh-sungguh dan hati-hati, dia tengah marah, bisa dibayangkan betapa
hebatnya angin pukulan yang dilakukannya.
Debu malah telah terbang
karena sambaran angin pukulan si pendeta.
Si pengemis sendiri mengawasi
kuatir kepada si pemuda. Walaupun dia melihat Kim Lo tadi begitu mudah
memunahkan serangan Pu San Hoat-ong dan malah telah berhasil dua kali menyerang
Pu San Hoat-ong, seakan mempermainkan pendeta itu tokh tidak urung kali ini
jadi menguatirkan keselamatan Kim Lo.
Karena dia melihat cara
menyerang dari Pu San Hoat-ong, bukanlah serangan yang sembarangan. Itulah
serangan yang sungguh-sungguh, hebat dan mengandung kekuatan yang bisa
mematikan.
Si pendeta jadi bersiap-siap,
jika memang keselamatan jiwa Kim Lo terancam, dia akan segera melompat maju
buat membantui dan menolongnya.
Tapi Kim Lo ternyata luar
biasa, karena ia sangat tenang dapat bergerak lincah sekali.
Setiap hantaman Pu San
Hoat-ong dielakkannya mudah sekali. Malah Kim Lo masih sempat bilang.
“Tenang Taysu, mari kita
bicara baik-baik. Tenang Taysu!”
Pu San Hoat-ong mana bisa
mengerti dengan cara seperti itu? Malah semakin murka, karena dia seperti
dipermainkan pemuda tersebut. Setiap serangannya tentu jatuh di tempat kosong.
Dengan segera, Pu San Hoat-ong
mengempos semangatnya. Ia menghantam lebih hebat. Malah sekarang dia telah
mengeluarkan ilmu andalannya.
Jika memang satu kali saja
pukulannya bisa jadi mengenai sasaran, jangan harap Kim Lo bisa jadi orang,
pasti dia akan terhantam binasa disaat itu juga.
“Hemm, tangan pendeta ini
telengas sekali.” Pikir Kim Lo dalam hati. “Melihat kelakuannya, pendeta ini
perlu diberi hajaran agar dia tidak merajalela lagi!”
Karena berpikir seperti itu,
Kim Lo juga jadi tak sungkan-sungkan lagi. Jika sebelumnya ia selalu
mengelakkan diri dari seorang Pu San Hoat-ong, malah ia selalu berusaha
menghentikan penyerangan si pendeta dengan bujukan-bujukannya, tapi sekarang
justeru Kim Lo balas menyerang.
Setiap kali ada kesempatan ia
tentu mendesak Pu San Hoat-ong, karena memang ia memiliki kepandaian yang
tinggi. Mudah saja ia membalas menyerang, dan membuat Pu San Hoat-ong semakin
mendongkol bukan main.
“Aneh! Hari ini mengapa aku
bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi? Si gadis yang
kepandaiannya tak rendah. Si pengemis dan sekarang orang bertopeng ini!”
Berpikir Pu San Hoat-ong.
Namun jelas ia tak mau
mengalah. Ia tak mau mengendurkan serangannya, malah semakin lama serangannya
itu, jadi semakin hebat, setiap pukulannya mengandung maut.
Suatu kali, karena melihat ia
masih tetap tidak berhasil mendesak Kim Lo, walaupun mereka telah melewati
seratus jurus lebih akhirnya Pu San Hoat-ong merabah jubahnya. Dari dalam dia
mengeluarkan sebuah pecut besi yang lemas, yang digerakkan dengan kuat sekali
bunyinya menggeletar sangat dahsyat.
Pu San Hoat-ong memang
memiliki senjata yang unik ini. Jika dia tidak terdesak dan tidak memerlukan
sama sekali, dia tidak akan mencabut keluar senjatanya itu. Dan jarang sekali,
dia terpaksa mempergunakan cambuknya yang luar biasa itu.
Cambuk Pu San Hoat-ong terbuat
dari berbagai macam logam yang sangat baik dan terpilih, yang digabung menjadi
satu, diolah menjadi sebatang cambuk yang kuat dan ulet. Cambuk itu lemas, tapi
kuat sekali. Pedang mustika tidak sembarangan dapat menebas putus cambuknya
tersebut.
Dengan mengeluarkan cambuknya
itu Pu San Hoat-ong jadi bertambah lihay. Dan setiap cambuknya selalu mengancam
Kim Lo dengan rapat.
Kim Lo mula-mula mengelak ke
sana ke mari dengan gerakan lincah, tapi setelah menyaksikan bahwa cambuk si
pendeta memang lihay diapun segera mengeluarkan serulingnya.
Waktu dia mengeluarkan
serulingnya, justeru cambuk si pendeta tengah menyambar ke arah pahanya. Cepat
sekali menurunkan serulingnya dia menyampok.
Terjadi benturan antara
seruling dengan cambuk si pendeta. Terdengar suaranya nyaring.
“Hem, kali ini kau harus
mampus di tangan loceng!” Mendengus Pu San Hoat-ong. Dia menyerang terus gencar
sekali, cambuknya lihay luar biasa.
Tapi Kim Lo tenang.
“Baiklah Taysu, mari kita
main-main!” katanya segera juga seruling Kim Lo bergerak-gerak lincah. Dan
mereka jadi terlibat dalam pertempuran yang seru.
Cuma saja, setelah lewat
belasan jurus kembali Pu San Hoat-ong harus diliputi perasaan heran dan kaget.
Karena dia menyaksikan ilmu seruling pemuda ini lihay sekali.
Walaupun cambuk Pu San
Hoat-ong panjang setombak lebih dan seruling si pemuda cuma beberapa kaki, tokh
kenyataannya pemuda itu bisa melayani dengan baik.
Padahal dengan senjata yang
lebih panjang Pu San Hoat-ong sudah bisa merampas keuntungan tak sedikit, hanya
saja lawannya ini selain lincah, ilmu serulingnya juga sangat liehay.
“Aneh, siapakah dia? Mengapa
ia demikian liehay? Diapun tak mau memperlihatkan mukanya....... Aneh sekali
kelakuan orang ini. Hemm, aku harus berusaha merubuhkannya!” Setelah berpikir
seperti itu, cambuknya menggeletar keras dan mencambuk berulang kali.
Seruling Kim Lo berputar-putar
sangat lincah. Tubuh pemuda inipun seperti bayangan belaka, mereka bertempur
seru sekali.
Dan akhirnya, ketika melihat
cambuk Pu San Hoat-ong menyambar ke pundaknya, Kim Lo segera menerobos maju.
Dia bukannya mundur, malah sebaliknya menerjang ke depan.
Itulah hal yang tidak
disangka-sangka oleh Pu San Hoat-ong. Juga apa yang dilakukan oleh Kim Lo
merupakan perbuatan yang berani sekali, yang sangat berbahaya buat diri pemuda
itu sendiri.
Cuma saja Kim Lo sudah
memiliki perhitungan sendiri. Dia memang sengaja menerjang maju dikala cambuk
Pu San Hoat-ong menyambar ke pundaknya. Di waktu itu serulingnya inilah yang
telah menotok tepat pada jalan darah Hie-liong-hiat si pendeta.
Begitu tertotok, si pendeta
seketika merasa lemas tangan kanannya, sambaran cambuknya jadi terbendung dan
berkurang kekuatannya. Tadi melihat seruling Kim Lo menyambar dia kaget dan
hendak mengelakkan, tapi sudah tidak keburu, sehingga jalan darahnya itu
tertotok. Dan dia mundur beberapa langkah. Mereka jadi berdiri berhadapan.
Terdengar Kim Lo tertawa
sabar.
“Bagaimana Taysu, apakah ingin
diteruskan?” Tanya si pemuda.
“Hemmmm, siapa kau
sebenarnya?!”
“Bukankah Siauwte sudah
beritahukan bahwa nama Siauwte adalah Kim Lo!!”
“Hemm, apakah itu bukan nama
samaran?!”
“Bukan!”
“Baiklah! Siapa gurumu?”
“Ku kira hal itu tidak perlu
kau ketahui!”
Muka Pu San Hoat-ong berobah
merah.
“Hemm, suatu saat Loceng akan
mencarimu! Baiklah, sekarang Loceng tidak bisa mengambil batok kepalamu, tapi
nanti, hemm hemm, hemm!”
“Jadi Taysu masih tetap
bersikeras hendak memusuhi diriku? Padahal di antara kita tidak terdapat
permusuhan.”
“Tapi aku tetap mau menangkap
dan membinasakan kau! Lihatlah nanti!”
Pu San Hoat-ong berkata
begitu, karena ia berpikir tidak ada baiknya dia melayani Kim Lo terus.
Bukankah dia melihat pemuda itu memang liehay?
Jika dia bertempur terus,
belum tentu dia bisa memperoleh kemenangan. Kemungkinan dia yang akan kena
dirubuhkan oleh pemuda tersebut. Jika memang seandainya dia itu tidak
dirubuhkan, tokh tenaga dalamnya sudah terhambur dan juga semangatnya sudah
terbuang berkurang banyak sekali.
Sedangkan di tempat itu masih
ada si pengemis. Pengemis itupun memiliki kepandaian tidak rendah.
Karena dari itu, dia tidak mau
menempuh bahaya seperti itu. Dan juga memang diapun tahu, kalau sampai nanti
dia harus melayani si pengemis yang memiliki kepandaian tidak rendah, berarti
dia yang akan menderita kerugian.
Itulah sebabnya akhirnya dia
mengambil keputusan buat menyudahi saja dulu persoalan sampai di situ. Dia akan
memanggil kawan-kawannya, dan akan datang lagi mencari si pengemis dan juga
mencari si pemuda yang aneh tapi liehay ini.
Kim Lo tertawa sambil
mengangkat bahunya.
“Terserah pada Taysu! Tapi
perlu kujelaskan kepada Taysu. Alangkah baiknya jika memang Taysu menyudahi
urusan sampai di sini karena di antara kita tidak terdapat permusuhan apa pun
juga, bukan?”
“Hemm!” Mendengus Pu San
Hoat-ong, dia tidak menjawab. Dia melirik kepada si pengemis sikapnya sangat
galak sekali lalu memutar tubuhnya dan berlari menenteng cambuk besinya itu dengan
cepat menghilang dari tempat tersebut……..
Melihat si pendeta telah
pergi, si pengemis menghampiri Kim Lo. Dia tertawa.
“Anak muda, kau liehay
sekali!” Pujinya.
Kim Lo menoleh. Terdengar
iapun tertawa. Malah dia telah memasukkan serulingnya.
“Mengapa Lopeh bisa bermusuhan
dengan pendeta itu dan dikejar-kejar olehnya?” Tanya Kim Lo.
Pengemis itu tersenyum.
“Sebetulnya bukan aku yang
bertengkar dan bentrok dengannya! Justeru aku menolongi seorang gadis, yang
meminta kepadaku agar membantunya!”
Segera juga si pengemis
menceritakan apa yang telah dialaminya.
Waktu itu Kim Lo mendengarkan
dengan hati yang berpikir keras! Apakah bukan si gadis itu adalah Bie Lan?
“Tahukah lopeh, siapa nama
gadis itu?” Tanya Kim Lo pada si pengemis.
Pengemis itu menggeleng.
“Dia begitu tergesa-gesa dan
memang kami tak saling kenal sebelumnya!” Kata si pengemis.
Kim Lo menghela napas.
“Kalau demikian, pendeta itu
bukan sebangsa pendeta baik-baik!”
“Memang jika diperhatikan,
dialah seorang pendeta iblis! Dia mengejar-ngejar gadis itu karena dia hendak
menawan si gadis, dia hendak menjadikan si gadis sebagai mangsanya. Karena dari
itu, dia berusaha untuk memperoleh jejak si gadis, dan merasa murka karena
dihalangi olehku!”
“Tahukah Kongcu bahwa di kota
ini terjadi kemesuman yang membuat penduduk jadi menderita! Hemmm, pendeta itu
bersama kawan-kawannya telah merajalela!
“Mereka mengganggu anak dan
isteri orang, memperkosa gadis-gadis cantik, sehingga banyak gadis-gadis dan
isteri-isteri penduduk yang telah dikirim ke kota lain. Kota ini hampir sama
sekali tidak terdapat gadis maupun perempuan yang lumayan cantik!
“Hemmm, keamanan kola ini
benar-benar terganggu sekali! Justeru aku baru tiba di sini belum juga satu
minggu. Aku mendengar hal itu dan hendak menyelidiki!
“Menurut penglihatanku,
penjahat-penjahat jay-hoa-cat tersebut bukan bekerja sendiri. Mereka terdiri
dari beberapa orang yang memiliki kepandaian tinggi.
“Karena dari itu, aku
bermaksud hendak menyelidiki mereka dan ingin membasminya. Hemm, pendeta itu
tentu termasuk salah seorang penjahat jay-hoa-cat tersebut!”
Sepasang alis Kim Lo
mengkerut.
“Kalau memang siauwte tahu
bahwa pendeta itu adalah seorang pendeta busuk, hemm, tentu siauwte akan
menghajar keras padanya.”
“Tapi sekarang juga belum
terlambat, kita tentu akan bertemu lagi dengannya. Dia pasti akan mengajak
kawannya buat mencari kita guna mengadakan perhitungan!”
Kim Lo mengangguk.
Sedangkan si pengemis telah
mengawasi Kim Lo.
“Siapakah Kongcu sebenarnya?”
Kim Lo tersenyum.
“Nama Siauwte Kim Lo!”
“Ohhh, jadi memang Kongcu
bukan tengah mendustai pendeta busuk itu?”
“Tidak, Memang nama siauwte
Kim Lo!”
“Kalau Kongcu tidak keberatan
bolehkah aku si pengemis miskin mengetahui, dari manakah asal Kongcu? Dari
pintu perguruan mana dan siapa guru Kongcu yang mulia?”
Di tanya begitu Kim Lo
ragu-ragu.
“Lopeh, sebenarnya....... ada
kesulitan buatku menceritakan semua itu!”
“Oh ya?” Kata si pengemis.
“Jika memang Kongcu ada kesulitan, sudahlah! Aku pun tidak berani mendesaknya
terus!”
“Maafkan Lopeh!”
“Tidak apa-apa! Tapi ada satu
lagi yang ingin kutanyakan mungkin Kongcu tidak keberatan menjawabnya!”
“Tanyalah lopeh!”
“Mengapa Kongcu menutupi muka
dengan kain putih itu?” Tanya si pengemis.
“Inipun ada sebab-sebabnya!”
Menyahuti Kim Lo.
Si pengemis jadi memandang
tertegun.
“Tampaknya Kongcu sangat aneh
segalanya! Juga kepandaianmu hebat sekali! Hem, engkaulah seorang pendekar
aneh,” Kata si pengemis.
“Dan kau cocok sekali jika
memakai gelaran sebagai Pendekar Aneh Berseruling Sakti! Karena tadi, aku si
pengemis miskin menyaksikan betapa liehaynya ilmu seruling Kongcu!”
Kim Lo tertawa,
“Lopeh bisa saja!” Katanya,
“sudahlah lopeh kau jangan memuji terlalu tinggi karena nanti kau membantingnya
pula!”
“Aku bukan memuji kosong!
Justeru ini kenyataan. Hemmm, nantipun aku akan memberitahukan kawan-kawan
rimba persilatan bahwa di dalam kalangan kang-ouw sekarang ini telah lahir dan
muncul seorang jago muda yang sakti sekali, yaitu Pendekar Aneh Berseruling
Sakti Kim Lo.
“Hemmm, bukankah gelaran itu
cocok sekali dengan keadaan Kongcu, yang serba aneh dan juga penuh dengan
kemisteriusan karena tak dapat diketahui asal usulnya. Tak bisa dilihat
wajahnya dan ilmu serulingnya yang memang benar-benar sakti sekali.
“Terima kasih lopeh! Tapi aku
tak berani menerima pujian lopeh. Jika memang lopeh tidak keberatan, bolehkah
siauwte mengetahui siapakah lopeh sebenarnya?”
Pengemis itu tertawa.
“Aku pengemis miskin dari
Kay-pang!”
“Ohh, dari Kay-pang?”
“Ya!”
“Sudah lama siauwte mendengar
kehebatan Kay-pang!”
“Ya, memang sebetulnya
Kay-pang merupakan perkumpulan yang nomor satu di dalam kalangan Kang-ouw. Cuma
saja setelah generasi Ang Cit Kong Pangcu, maka keadaan Kay-pang menjadi
merosot banyak…….”
“Apakah lopeh menetap di kota
ini?”
“Tidak!”
“Ohhh, mengapa bisa berada di
sini? Atau memang lopeh tengah melakukan perjalanan?”
“Ya! Memang aku ingin pergi ke
suatu tempat, untuk menemui seseorang, berkumpul dengan para orang gagah di
sana!”
Setelah berkata begitu, si
pengemis memandang pada Kim Lo, dan dia meneruskan lagi kata-katanya,
“Aku ingin pergi ke Yang-cung.
Di sana tidak lama lagi akan berkumpul pendekar gagah buat menyambut seseorang,
yaitu cucunya Oey Yok Su.”
“Ohhh!” Kim Lo terkejut,
karena dialah orangnya yang dimaksud si pengemis.
Tapi Kim Lo bisa menahan diri,
dia tidak segera memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Ia bilang, “Lalu
sekarang lopeh hendak menyelesaikan dulu, urusan di kota ini, bukan?”
“Maksudmu?”
“Membasmi para Jay-hoa-cat,
bukan?”
“Ya! Ya! Memang begitulah!
Tapi, kukira untuk urusan ini tidak bisa diselesaikan dengan cepat, karena
Jay-hoa-cat itu pun tidak bodoh, mereka tidak akan sembarangan memperlihatkan
diri! Sedangkan aku harus segera melanjutkan perjalanan, karena tinggal beberapa
hari pertemuan di Yang-cung segera dibuka!”
“Menarik sekali!” Kata Kim Lo.
“Jika memang locianpwe tidak keberatan, mau Siauwte ikut bersama locianpwe
pergi ke Yang-cung.”
Si pengemis jadi girang.
“Tentu saja aku senang
mengajakmu. Karena kepada para pendekar gagah, akan kuberi tahukan, bahwa
kaulah Si Pendekar Aneh Berseruling Sakti itu.”