Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 71-80

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 71-80 Aku....... aku….” si pelayan tampaknya jadi agak gugup, ia bicara tergagap perlahan sekali.
Pendekar Aneh Seruling Sakti Jilid 71-80
“Aku....... aku….” si pelayan tampaknya jadi agak gugup, ia bicara tergagap perlahan sekali.

“Kenapa?” Bie Lan heran bukan main.

“Siauwjin ingin mengatakan sesuatu.......!”

“Katakanlah! Apakah mulutmu sudah jadi kaku membuat kau tak bisa bicara dengan lancar?” tanya si gadis.

Pelayan itu menggelengkan kepalanya.

“Siauwjin ingin memberitahukan pada Kouwnio, keadaan di kota ini tak aman, maka setelah selesai makan, nona silahkan melanjutkan perjalananmu lagi……!”

Setelah berkata begitu, tanpa menantikan jawaban si gadis, pelayan ini memutar tubuhnya ia segera meninggalkan si gadis.

Bie Lan jadi tertegun heran. Tapi belum lagi dia bertanya sesuatu, si pelayan telah pergi meninggalkannya.

Sebagai seorang yang cerdas, seketika Bie Lan menyadari bahwa pelayan itu jelas bermaksud baik. Ia ingin memberitahukan padanya bahwa ada bahaya yang sewaktu-waktu bisa mengincar dirinya.

Cuma saja, tampaknya pelayan itu tidak leluasa buat menyampaikan hal itu kepadanya. Karenanya, si pelayan jadi salah tingkah.

Dan setelah memberitahukan hal itu, si pelayan juga pergi dengan segera, seakan juga tidak pernah mengatakan apa-apa, membuktikan di ruang rumah makan ini, pasti ada yang mengawasi, dan si pelayan kuatir nanti dia dicurigai orang itu, telah membongkar rahasia.

Kemudian juga Bie Lan, memandang menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam. Dia melihat hampir semua tamu-tamu yang berada di ruang makan itu memang tengah mengawasi dirinya dengan sorot mata yang aneh sekali.

Bie Lan tertawa dingin, kemudian dengan tenang melanjutkan makannya, dia menggerakkan sumpitnya dan meneruskan makannya dengan hati berpikir tidak hentinya, karena diliputi perasaan heran.

“Mengapa kelakuan mereka aneh sekali? Mengapa si pelayan tidak berani memberitahuban secara berterang?

“Atau memang pelayan itu mengetahui si jahat di ruang ini dan mengancam keselamatanku, sehingga dia memberikan bisikan seperti itu?” Pikir Bie Lan dalam hatinya.

Tapi biarpun Bie Lan berpikir keras, walaupun memang dia sangat cerdas, tapi tetap saja ia tidak berhasil memecahkan persoalan tersebut.

Tidak lama kemudian pelayan telah membawa pesanannya. Meletakkan sayur itu di atas meja.

“Untuk keselamatan juga, nona, setelah bersantap lebih baik kau meninggalkan kota ini.......!”

Masih si pelayan memperingati begitu padanya. Tiba-tiba tangan Bie Lan bergerak menyambar tangan si pelayan, ia mencekalnya, karena dilihatnya si pelayan hendak pergi lagi.

Muka si pelayan jadi berobah pucat.

“Kouwnio…….?” gugup sekali si pelayan.

“Tunggu dulu!” Kata si gadis. “Kau jangan pergi!”

Setelah berkata begitu, si gadis merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sepuluh tail perak. Disesapkan ke dalam tangan si pelayan, dan ia bilang,

“Kau jangan takut, beritahukan padaku, apakah di ruang makan ini ada si jahat yang mengancam keselamatan? Jika memang benar, kau tidak perlu kuatir, nanti aku hajar si jahat itu setengah mampus!”

Pelayan itu jadi kesima menerima hadiah sebesar itu, juga mendengar kata-kata si gadis yang demikian gagah! Melihat sikap si gadis tampaknya si gadis ini bukanlah sebangsa gadis-gadis lainnya, dan ia gagah sekali. Atau memang gadis ini adalah seorang gadis pengelana dalam kalangan Kang-ouw.

Karena melihat sikap si gadis yang tenang dan berani, ia jadi lebih tenang.

“Baiklah Kouwnio, lepaskan dulu tanganmu!” Kata si pelayan dengan suara yang tetap perlahan, seperti berbisik. “Nanti aku ceritakan segalanya!”

Si gadis melepaskan cekalan tangannya, ia bilang, “Nah, kau beritahukan padaku!”

Si pelayan melirik sekitarnya, ia melihat semua tamu tengah mengawasi dia dengan si gadis. Dia jadi ragu-ragu lagi. Kemudian sambil pura-pura membereskan mangkok dan piring, dia menundukan kepalanya ke dekat si gadis, diapun berbisik,

“Benar! Kota ini tidak aman. Tidakkah nona melihat, tidak ada seorang gadis pun di kota ini? Hanya nona seorang diri....... cantik malah! Kota ini benar-benar tidak aman, maka lebih baik jika nona cepat-cepat meninggalkan kota neraka ini…....!”

Mendengar perkataan si pelayan, tersadarlah Bie Lan, ia baru dapat menerka apa yang terjadi sebenarnya. Pantas saja, begitu ia memasuki kota ini, ia jadi pusat perhatian semua orang. Dan ia pun segera bisa menerka, apa saja yang terjadi di kota ini.

“Apakah kota ini diganggu oleh jay-hoa-cat?” Tanya si gadis. Ia menyebut jay-hoa-cat yang berarti maling pemetik bunga, yaitu tukang pemerkosa gadis dan isteri penduduk.

Pelayan itu mengangguk perlahan.

“Aku tidak bisa bicara banyak-banyak, karena di dalam ruang ini ada beberapa orang di antaranya!” Kata si pelayan dengan suara perlahan sekali. Diapun bermaksud hendak berlalu membawa piring kosong.

“Tunggu dulu!” Cegah si gadis.

Pelayan itu jadi gelisah. Mukanya juga berobah jadi tidak tenang.

“Aku perlu ke belakang, buat membereskan piring mangkok yang kotor, Kouwnio.” Katanya mengelak.

Si gadis tersenyum.

“Sebentar saja!”

Pelayan itu mau tidak mau harus menghentikan langkah kakinya.

“Ada apa lagi Kouwnio?” Tanyanya.

“Banyakkah jay-hoa-cat di kota ini? Jadi bukan hanya satu orang saja penjahatnya?” tanya si gadis.

Pelayan itu ragu-ragu lagi.

“Ayo katakan!” Desak si gadis. “Jangan takut, nanti aku yang akan menghajar mereka.”

Si pelayan jadi tambah sangsi.

“Mengapa harus bimbang? Bukankah jika mereka tidak dibasmi, maka keamanan kota ini selamanya akan terganggu?” Tanya si gadis kemudian.

Pelayan itu berdiam diri sejenak, kemudian mengangguk perlahan.

“Ya, jumlah mereka memang sangat banyak sekali. Bukan hanya satu orang saja, mereka selalu bekerja beramai-ramai. Mereka adalah orang-orang dari kota raja, yang bekerja sebagai pahlawan Kaisar…….!”

Berkata seperti itu, ia kemudian memutar tubuhnya dengan wajah yang pucat, ia telah menunduk, karena dia mau segera cepat-cepat meninggalkan si gadis. Ia kuatir telah membuka rahasia tersebut, bisa berakibat jelek untuk dirinya.

Si gadis menghela napas.

“Hemm! Pantas! Pantas!” Menggumam si gadis. “Rupanya memang mereka itu yang menimbulkan kerusuhan di sini! Pantas, keamanan di kota ini tidak baik, karena Walikota dari kota ini pun jeri pada mereka, takut buat bertindak bukankah mereka itu orang-orang Kaisar?”

Sambil menggumam begitu, si gadis telah meneruskan makannya, tapi diam-diam diapun melirik mengawasi orang-orang di dalam rumah makan tersebut.

Ia melihat semua tamu memang masih mengawasinya. Tapi mereka umumnya mengawasi dia dengan sorot mata mengandung kekuatiran buat keselamatan si gadis.

Berbeda sekali dengan dua orang tamu yang duduk terpisah kurang lebih lima meja dari meja si gadis, yang memelihara berewok dan kawannya yang mukanya pun bengis.

Mereka tengah mengawasi si gadis dengan sorot mata yang tajam, sinar mata mereka memancarkan kerakusan yang bukan main bengis dan menakutkan sekali. Mereka tampaknya memang bukan sebangsa manusia baik-baik.

Sedangkan Bie Lan sama sekali tidak jeri, dia tetap tenang. Cuma saja, perhatiannya terjatuh pada ke dua orang tersebut yang ia curigai.

Dan sejak saat itulah Bie Lan bersikap jauh lebih hati-hati, malah sekarang diapun telah memperhatikan ke dua orang itu, yang dia perhatikan dengan lirikannya.

Sedangkan kedua orang tamu itu terus menerus memandangi Bie Lan, sampai akhirnya Bie Lan telah melihatnya, bahwa ke dua orang itu, memang seperti mengandung sesuatu maksud yang buruk terhadap dirinya. Mereka berbisik dan seringkali cengar-cengir tidak hentinya.

Jika memang menuruti hati si gadis, yang saat itu telah mendongkol dan tidak senang melihat kelakuan ke dua orang tersebut, ia ingin sekali melompat buat menghajar ke dua orang tersebut. Akan tetapi si gadis bisa menenangkan dirinya, mengawasi saja dengan lirikannya, dan berwaspada. Dia ingin melihat yang ingin dilakukan ke dua orang itu.

Dan dia ingin sekali mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Ia sama sekali tidak takut karena ia sudah memutuskan, jika memang kedua orang itu bermaksud tidak baik padanya tentu dia akan menghajar habis- habisan.

Jika mendengar kata-kata si pelayan tampaknya memang si jahat bukan kedua orang itu belaka. Tentu masih banyak si jahat yang belum berada di tempat itu.

Namun hati si gadis besar dan sama sekali tidak takut buat menghadapi si jahat itu....... Dia malah ingin terus berdiam di tempat ini, untuk melihat apa yang terjadi dan apa yang hendak dilakukan oleh orang-orang yang memang mengandung maksud jahat itu.

Malah Bie Lan sudah memutuskan, bahwa ia akan mencari rumah penginapan dimana dia akan bermalam satu atau dua malam di kota ini untuk melihat perkembangan yang akan terjadi.

Jika memang memungkinkan dia malah bermaksud hendak membasmi si jahat menghindarkan kota ini dari segala kejahatan dan ancaman buat penduduk kota ini.

Karena dari itu, akhirnya si gadis bersantap terus dengan nikmat. Sama sekali dia tidak mengacuhkan lagi sikap dari tamu-tamu yang lainnya, yang terus juga mengawasi dirinya.

Akhirnya setelah selesai bersantap, dengan tenang Bie Lan melambaikan tangannya.

“Pelayan!” Panggilnya sambil menyusut bibirnya yang kecil mungil itu.

Pelayan menghampiri dengan segera.

“Hitung semuanya.......!” perintah si gadis.

Pelayan itu segera pergi ke kasir dan dia telah kembali dengan membawa bon.

Waktu itu, dia mukanya pun pucat dan tidak tenang. Waktu menunggui kasir membuatkan bon si gadis, dia sebentar-sebentar melirik kepada si gadis.

Rupanya pelayan itu memang tengah diliputi kegelisahan yang sangat.

Waktu itu tampak juga, bahwa si kasir telah kasak-kusuk dengan si pelayan, seakan juga ada yang tengah ditanyakannya. Pelayan itupun menjawabnya satu-satu.

Waktu membawa bon buat si gadis, langkah si pelayan tampaknya ragu-ragu.

Akhirnya, setelah membayar uang dan harga makanan yang telah dihabisinya, Bie Lan bangkit dari duduknya, dia bilang: “Aku ingin bermalam satu atau dua malam di kota ini....... bisakah kau pergi mencarikan rumah penginapan?”

Pelayan itu kaget. Dia memandang gadis itu dengan mata terbeliak lebar-lebar.

“Apakah....... apakah nona tidak sedang bergurau?” Tanya si pelayan,

Bie Lan menggeleng.

“Tidak! Aku bersungguh-sungguh.”

“Atau memang Kouwnio tidak takut menghadapi ancaman bahaya yang bisa menimpah dirimu?!”

Si gadis menggeleng.

“Tidak!” Sahutnya.

“Tapi…….!”

“Sudahlah, kau jangan kuatir! Aku pasti dapat menghadapi si jahat.”

“Mereka tangguh-tangguh!”

“Aku tahu! Tapi aku pasti bisa menghadapi mereka,” jawab Bie Lan. “Nah bisakah kau mencarikan rumah penginapan yang baik buatku?”

“Bisa,” mengangguk si pelayan setelah ragu-ragu sejenak. “Mari Kouwnio ikut dengan siauwjin.”

Segera juga mereka keluar dari rumah makan. Pelayan itu memberi Bie Lan ke sebuah rumah penginapan yang tidak jauh letaknya dari rumah makan tempat ia bekerja.

Tampaknya pelayan rumah penginapan pun jadi kaget dan heran. Juga matanya memancarkan kecurigaan dan kekuatiran yang sangat.

Pelayan dari rumah makan telah membisikkan sesuatu padanya. Dia mengangguk-angguk.

“Silahkan kouwnio ikut dengan siauwjin!” Kata pelayan rumah penginapan itu.

Si gadis cuma mengangguk.

Dia melirik, dilihatnya dua orang tadi yang berewok dan yang mukanya bengis tengah berjalan menghampiri rumah penginapan juga. Mereka tampaknya memang tengah mengikut si gadis.

Cuma saja mereka tidak segera masuk ke dalam rumah penginapan. Mereka telah berdiri diam di luar rumah penginapan.

Si gadis tidak memperdulikan mereka, dia cuma tertawa dingin dengan hati mendongkol. Kemudian mengikuti si pelayan buat diberitahukan kamar mana yang bisa ditempatinya.

Sedangkan pelayan rumah makan yang hendak kembali ke tempatnya bekerja, telah dihadang oleh kedua orang itu, dan mereka menanyakan sesuatu.

Si pelayan tampak menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengulap-ulapkan tangannya. Malah, masih sempat Bie Lan melihat kedua orang itu membentak-bentak si pelayan. Sedangkan si pelayan tetap menggelengkan kepalanya berulang kali. Malah, wajahnya pucat sekali.

Akhirnya si pelayan rumah makan telah dibiarkan pergi meninggalkan tempat itu. Sedangkan kedua orang bermuka bengis dan yang satu brewok itu, masih tetap berdiri di luar pekarangan rumah penginapan tersebut.

Bie Lan tidak memperdulikan mereka lagi, telah melangkah masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamar setelah memberi hadiah pada pelayan dua tail perak.

Walaupun pintu kamar telah ditutup rapat tokh pelayan itu masih juga belum lagi berlalu, ia berdiri di situ, seakan juga tertegun. Pelayan tersebut membayangkan betapa ngerinya, malam ini pasti terjadi sesuatu pada diri si gadis tersebut.

Ia yakin, tentu malam ini si gadis akan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Ia merasa kuatir dan berkasihan pada gadis itu, namun ia tidak berdaya. Ia tidak tahu bagaimana harus memberitahukan kepada gadis itu betapapun bahaya tengah mengintai.

Bie Lan rebah di pembaringan. Otaknya bekerja, ia telah memikirkan kata-kata si pelayan rumah makan, bahwa di kota ini banyak sekali penjahat pemetik bunga.

Ia pun baru menyadari mengapa kota ini jarang sekali terlihat wanita. Terlebih lagi gadis-gadis. Jika memang ia melihat ada juga wanita, itulah wanita yang sudah lanjut usia yang sudah nenek, atau yang buruk rupa.

Rupanya kota ini telah dilanda mala petaka seperti ini cukup lama dan penduduk kota Yu-kang ini selalu dihantui oleh perasaan takut akan bahaya yang mengintai. Dan jelas penduduk yang memiliki isteri cantik atau puteri, mereka akan mengirim anak isterinya ke kota lain, untuk menghindar sementara dari ancaman bahaya itu.

Setelah rebah sesaat lamanya Bie Lan duduk bersemedhi. Ia yakin malam ini ia harus menghadapi penjahat pemetik bunga. Pasti penjahat itu akan menyatroni padanya.

Dan itu berarti juga bahwa ia harus bertempur. Bertempur juga jelas membutuhkan tenaga. Maka dari itu, Bie Lan bermaksud memelihara tenaga dulu.

Setelah hari menjelang malam, Bie Lan mematikan api penerangan kamarnya. Ia rebah di pembaringan, akan tetapi bukan untuk tidur. Ia pun tetap rebah dengan pakaian yang utuh, tanpa salin pakaian. Hal ini akan mempermudah dia bergerak jika kelak penjahat itu sudah datang.

Waktu beredar terus, hari semakin larut malam dan gelap.

Benar saja, di antara kesunyian malam pendengaran Bie Lan yang tajam mendengar suara yang halus sekali di atas genting. Suara yang dikenalinya sebagai langkah orang yang memiliki gin-kang tinggi.

Bie Lan pernah mendengar cerita dari ayah dan ibunya, bahwa di dalam rimba persilatan memang terdapat banyak sekali Jay-hoat-cat yaitu penjahat yang senang mengganggu anak dan isteri orang. Karenanya mereka selalu beraksi dengan mempergunakan obat pulas.

Dan Bie Lan tidak berani berlaku ayal, dia berwaspada, melompat, turun dari pembaringannya. Ia menghampiri jendela kamar.

Benar saja, di luar di antara sinar rembulan tampak bayangan seseorang, disusul lagi dengan lompatan beberapa orang lainnya.

“Hemm, mereka tidak seorang diri, mereka datang dalam jumlah yang cukup banyak sedikitnya empat orang!” menduga Bie Lan. Dan gadis ini jadi lebih waspada lagi.

Dia mengawasi, betapa dari luar orang itu berusaha merusak kertas jendela. Memang biasanya, jay-hoa-cat memasukkan asap pulasnya lewat celah-celah jendela kamar agar sang korban tidak sadarkan diri. Rupanya jay-hoa-cat yang ini pun hendak mempergunakan asap pulasnya.

Tidak buang waktu lagi, Bie Lan mengayunkan tangannya menghantam jendela itu.

“Brak!” Disusul dengan jerit kaget orang di luar.

Karena orang itu waktu melobangi kertas jendela dengan lidahnya dan ia berada dekat sekali dengan jendela tersebut. Sekarang tahu-tahu jendela itu dihantam kuat sekali oleh Bie Lan.

Walaupun sebelum serangan itu mengenai jendela ia sudah merasakan sambaran angin serangan, toh ia tidak keburu buat mengelakkan diri keseluruhannya. Dia tidak keburu lagi buat menarik kepalanya. Maka dia terhajar juga dan membuat dia terhuyung mundur.

Malah tak lama kemudian terdengar seruan tertahan beberapa orang lainnya.

Bie Lan bekerja cepat sekali. Ia mendorong daun jendela dan melompat keluar sambil memutar pedangnya mencegah adanya serangan membokong dari lawannya.

Apa yang dilakukan oleh Bie Lan rupanya berada diluar dugaan orang-orang di luar kamar itu. Mereka tengah berdiri tertegun waktu tubuh si gadis tahu-tahu telah berada di luar kamarnya dan berdiri di hadapan mereka.

Bie Lan melihat orang-orang itu semuanya berjumlah empat orang. Ternyata dugaannya memang tak meleset sama sekali. Dan mereka semua memiliki wajah yang bengis. Mereka juga mengenakan pakaian khusus untuk peranti jalan malam yang berwarna hitam gelap.

Dan di antara orang-orang itu terdapat dua orang yang kemaren mengikuti Bie Lan dari rumah makan sampai ke rumah penginapan ini.

“Hemmm, manusia-manusia cabul dan rendah!” bentak Bie Lan gusar, iapun segera menikam dengan pedang, sama sekali gadis ini tak mau membuang-buang waktu.

Empat orang itu tengah tertegun, karena mereka tak menyangka bahwa kawan mereka tadi akan terserang seperti itu. Juga mereka kagum, menyaksikan gin-kang si gadis yang mahir.

Tapi mereka tersadar begitu pedang Bie Lan meluncur berkilauan, mereka cepat-cepat menghindar. Gerakan mereka gesit, malah dua di antara mereka telah mencabut senjatanya, yang seorang mencabut keluar sebatang pedang panjang, sedangkan yang seorang lagi menghunus tombak bercagaknya. Mereka membalas menyerang si gadis.

Kawan mereka yang dua lagi juga tak berayal mencabut senjata mereka. Masing-masing sebatang pedang. Mereka juga segera mengepung si gadis.

Terjadilah pertempuran, ramai suara terbenturnya pedang dan bentakan, juga tampak jelas sekali, betapa mereka saling mendesak.

Bie Lan memiliki kepandaian yang tinggi. Tidak percuma ia sebagai puteri Yo Him, karena ia bisa menyerang bertubi-tubi dengan dahsyat sekali. Lawan-lawannya jadi kaget, karena mereka tidak menyangka sama sekali calon korban mereka memiliki kepandaian demikian tinggi.

“Ceess……!” Orang yang berewok malah telah kena ditikam lengan kanannya. Pedangnya sampai terlepas dan jatuh nyaring di atas tanah. Iapun menjerit sambil memegangi tangannya yang luka dan melompat mundur.

Tiga orang kawannya segera serentak menyerang Bie Lan, mereka ingin melindungi kawan mereka.

Pelayan rumah penginapan tersebut mendengar suara ribut-ribut itu. Tapi mereka tidak berani untuk keluar menyaksikan karena mereka tahu apa yang tengah terjadi.

Mereka melihat si gadis sore tadi, karenanya mereka tahu apa yang kini tengah berlangsung. Tentunya tengah terjadi pertempuran. Namun yang membuat hati mereka tertarik sekali, kini mereka baru mengetahui bahwa gadis yang kemarin sore mereka kuatirkan menjadi korban keganasan jay-hoa-cat, ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi, karena mereka mendengar suara beradunya senjata tajam dan juga bentakan-bentakan si gadis.

Pertempuran itu berlangsung belasan jurus lagi, barulah kemudian tampak betapa ke tiga orang lawannya terdesak hebat oleh Bie Lan. Sedangkan gadis itu tidak pernah mengendorkan serangannya, karena memang ia mengetahui empat orang ini adalah manusia-manusia busuk.

Karena dari itu, ia telah turun tangan tidak tanggung-tanggung. Ia sudah menyerang bertubi-tubi. Malah terakhir ia mengeluarkan Ilmu andalannya. Pedangnya berputar seperti kitiran, membuat tiga orang lawannya terdesak hebat sekali.

Lawan Bie Lan yang seorang, si berewok yang tangannya terluka itu, berdiri di pinggiran. Tampaknya dia tadi gusar dan bergelisah. Melihat temannya terdesak dan memperoleh kenyataan ilmu pedang si gadis yang ingin dijadikan mangsa mereka sangat mahir dan tinggi, ia segera berseru:

“Angin keras…….!” Itulah anjuran buat kawan-kawaanya angkat kaki.

Dia sendiri telah melompat gesit meninggalkan tempat itu, pekarangan rumah penginapan. Tubuhnya melompati tembok pekarangan dan lenyap dalam kegelapan.

Tiga orang kawannya mendengar anjuran kawan mereka, segera mendesak si gadis dengan serentak. Tapi Bie Lan tetap menghadapi mereka dengan baik. Dia berkelit ke sana ke mari dan kemudian membalas menyerang.

Walaupun tiga orang itu bermaksud melarikan diri tokh mereka tidak bisa segera angkat kaki.

“Cess…….!” Malah paha salah seorang di antara tiga orang itu kena tertikam lagi oleh pedang si gadis.

Ia mengeluarkan jerit kesakitan, tubuhnya terhuyung mundur. Dia kemudian tanpa memperdulikan rasa malu lagi, memutar tubuhnya, menjejakkan kakinya yang terpincang-pincang itu, melesat ke atas tembok, lenyap dalam kegelapan.

Dua orang kawan mereka, sisa yang masih bertempur itu, jadi gelisah. Tadi saja dikepung berempat, Bie Lan masih tidak dapat mereka desak. Apalagi sekarang mereka cuma berdua. Tentu saja mereka berdua jadi terdesak oleh serangan si gadis yang datang bertubi-tubi.

Tiba-tiba salah seorang di antara mereka merogoh sakunya, mengeluarkan seraupan senjata rahasia.

“Awas…… senjata rahasia beracun!” Berseru orang itu, sambil melontarkan senjata rahasia tersebut ke muka Bie Lan.

Terpaksa sekali si gadis harus melompat mundur sambil mengibaskan pedangnya yang diputar bergulung, sehingga senjata rahasia itu dapat diruntuhkannya.

Waktu si gadis hendak menyerang lagi, justeru ke dua lawannya itu telah mempergunakan kesempatan tersebut buat melarikan diri. Mereka telah melompati tembok pekarangan rumah penginapan itu lenyap dalam kegelapan malam.

Bie Lan sebenarnya hendak mengejarnya namun akhirnya ia membatalkan maksudnya.

Perlahan-lahan ia memasukkan pedang ke dalam sarungnya, ia melompat masuk ke dalam kamarnya.

Dengan tenang Bie Lan merebahkan tubuhnya di pembaringan dan ia tidur dengan tenang karena ia yakin, malam itu tak mungkin datang mengganggu lagi jay-hoa-cat lainnya.

Memang malam itu berlalu tanpa terjadi sesuatu apapun juga, aman. Dan si gadis bisa tidur dengan tenang dan nyenyak.

Keesokan paginya, pelayan rumah penginapan itu dan beberapa orang tamu di rumah penginapan, ramai membicarakan peristiwa malam itu.

Mereka merasa kagum sekali pada si gadis, karena mereka tahu, tentu penjahat pemetik bunga yang datang bukan seorang diri. Mendengar dari benturan senjata tajam mereka, tentunya jumlah mereka sangat banyak sekali.

Tapi kenyataannya si gadis tidak kurang suatu apapun juga, malah besok paginya si gadis telah keluar dari dalam kamarnya dengan keadaan yang mulus dan tidak kurang suatu apapun juga.

Dengan tenang si gadis telah pergi ke ruang samping rumah penginapan, tempat para tamu bersantap. Ia memanggil pelayan dan memesan makanan untuk sarapan paginya, yaitu semangkok bubur dan juga beberapa macam sayurnya.

Pelayan itu melayani Bie Lan sambil sebentar-bentar mengawasi si gadis. Dengan cara mencuri pandang, ia telah melihat si gadis tetap tenang dan tidak terluka sedikit pun juga.

Hati si pelayan jadi menghormati si gadis. Karena memang sekarang dia mengerti bahwa gadis ini tentunya seorang liehiap yang tangguh, yang memiliki kepandaian yang tinggi.

Kalau memang gadis ini tidak memiliki kepandaian yang tinggi, tentu tidak dapat menghadapi penjahat-penjahat pemetik bunga itu. Lagi pula penjahat itu bukan seorang diri, melainkan beberapa orang.

Kepandaian penjahat pemetik bunga itu pun tinggi, karena selama ini tidak pernah ada seorang pun yang sanggup buat menghadapi mereka. Apa lagi memang selama ini penjahat pemetik bunga itu selalu berkeliaran dengan leluasa, tanpa ada yang ditakuti.

Wie Sung Taijin sendiri jeri pada Jai-hoa-cat tersebut, karenanya telah membuat penduduk kota itu mengirim anak isteri mereka ke kota lainnya.

Tapi gadis ini, yang masih berusia muda sekali, ternyata memiliki kepandaian tinggi dan bisa menghadapi penjahat pemetik bunga yang berjumlah tak sedikit.

Akan tetapi, mereka juga yakin, tentunya gadis ini tak akan aman, selalu saja gadis ini akan diancam oleh Jay-hoa-cat lainnya.

Dengan cara apapun, tentunya para penjahat pemetik bunga itu akan berusaha mencelakai si gadis.

Terlebih lagi memang di dalam kota ini sudah dapat dibilang tak terdapat seorang wanita pun yang memenuhi syarat buat seorang penjahat pemetik bunga.

Dan keadaan seperti itu keadaan yang ‘sepi’ buat penjahat pemetik bunga ini sudah berlangsung cukup lama. Sekarang datang mangsa yang masih demikian muda dan sangat cantik.

Tentu saja mereka tidak akan mau sudah begitu saja. Walaupun bagaimana mereka akan berusaha untuk dapat menawan si gadis, dan kemudian menjadikannya sebagai korban keganasan mereka.

Tapi Bie Lan sendiri, bersantap tenang sekali. Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan dia berkuatir.

Tengah dia bersantap, telah masuk ke rumah penginapan itu seorang pendeta. Pendeta tersebut bertubuh tinggi besar dan mukanya bengis usianya mungkin empatpuluh tahun lebih. Pendeta ini langsung menuju ke ruang samping tempat para tamu bersantap.

Ketika memasuki ruangan tersebut, matanya mendelik, mengawasi seisi ruangan. Semua yang ada di situ disapu dengan tatapan mata yang tajam sekali.

Bie Lan kebetulan tengah mengangkat kepalanya, sehingga pandangan matanya terbentur dengan sorot mata tajam si pendeta. Hati Bie Lan tercekat juga. Pendeta ini memilki kepandaian tinggi, untuk ini merasa pasti, karena sinar mata pendeta itu tajam bukan main, seakan pisau yang runcing.

Segera Bie Lan menunduk, entah siapa pendeta itu, ia bertanya-tanya dalam hatinya.

Saat itu, si pendeta setelah melihat si gadis. Di wajahnya yang bengis tampak tersungging seulas senyuman yang sangat aneh dan mengandung nafsu yang jahat sekali.

Segera ia melangkah menghampiri meja yang masih kosong, terpisah tidak jauh dari si gadis. Pendeta duduk disitu, matanya tak juga lepas dari si gadis, yang terus saja diawasinya dengan sorot mata yang tajam.

Bie Lan kemudian menoleh waktu ia meletakkan sumpitnya di atas meja. Ia melihat pendeta itu masih saja mengawasinya dengan sorot mata yang begitu tajam. Hati Bie Lan muak bukan main.

“Matanya mata bangsat.......!” berpikir Bie Lan dalam hati, dan ia berhati-hati karenanya.

Setelah menyusut bibirnya yang kecil mungil, Bie Lan melambaikan tangannya.

“Pelayan!” panggilnya.

Pelayan segera menghampirinya. Ia tampak ragu-ragu waktu melihat si pendeta seakan juga ia terkejut dan berkuatir sekali. Bibirnya bergerak perlahan, seperti hendak mengatakan sesuatu namun akhirnya tak jadi diucapkannya, maka akhirnya ia telah membisu saja.

Bie Lan heran melihat sikap si pelayan. Ia menoleh ke arah si pendeta. Dilihatnya mata si pendeta tengah mengawasi pelayan tajam sekali sinar matanya mengancam. Menggidik hati Bie Lan melihat sorot mata yang begitu bengis.

“Hitung semua yang kumakan, mana bonnya?” tanya Bie Lan kemudian.

“Baik Kouwnio…… tunggu sebentar, Siauwjin mengambilkannya di kasir.......!” kata pelayan tersebut, yang segera mengeloyor pergi dengan tergesa-gesa.

Selama menunggu pelayan itu kembali, Bie Lan sering melirik pada pendeta yang garang tersebut. Setiap kali pula ia melihat pendeta itu selalu mengawasinya, hati Bie Lan jadi tambah muak. Jika menuruti adatnya tentu dia sudah menegur pendeta yang dipandangnya kurang ajar itu.

Pendeta tersebut juga berulang kali memperdengarkan tertawanya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dia cuma mengawasi Bie Lan terus, wajahnya terang kemerah-merahan. Wajah seorang yang tengah dirangsang oleh nafsu birahinya.

Tidak lama kemudian pelayan itu kembali dengan bon makanan dari kasir.

“Hati-hati Kouwnio!” Bisik pelayan itu perlahan sekali sambil meletakkan bon tersebut.

Si gadis mendengar bisikan si pelayan, namun pura-pura tidak mendengar. Dia cuma mengangguk sedikit, karena dia mengerti maksud si pelayan, tentu agar ia berhati-hati pada pendeta itu.

Dan dia tidak mau memperlihatkan bahwa pelayan itu memperingatinya, karena bisa membahayakan si pelayan sendiri. Ia membayar harga makanan yang telah dimakannya. Kemudian berdiri.

Waktu Bie Lan berdiri seperti itu, si pendeta juga berdiri malah sambil bilang: “Tunggu dulu nona.......!” iapun melangkah menghampiri.

Bie Lan menoleh.

“Ada apa Taysu?” tanya si gadis sambil menyabarkan hatinya.

Pendeta itu menghampiri lebih dekat.

“Loceng ingin menyampaikan sesuatu!” kata si pendeta kemudian.

Bie Lan mengawasi tajam.

“Menyampaikan apa?”

“Tentang kuil Loceng!”

“Kuil? Ada urusan apa kuil Taysu dengan diriku?” Tanya Bie Lan kemudian sambil mengerutkan alisnya.

“Tentang derma, nona.......!”

“Derma?”

“Ya, Loceng ingin meminta kemurahan hati nona buat menderma perbaikan kuil Loceng…….!” kata si pendeta kemudian dengan tersenyum. Senyumannya licik sekali.

Si gadis menghela napas.

“Maaf taysu, aku tidak memiliki banyak uang!”

“Tidak banyak sumbangan yang Loceng minta!”

“Berapa?”

“Seribu tail mas saja!”

“Seribu tail mas?!”

“Ya.”

“Aku tak memiliki uang sebanyak itu!”

“Tapi nona harus menderma!”

“Ya, aku bersedia menderma, asal memang kuat untuk memberikan derma!”

“Tapi itu tidak banyak bukan?”

“Tidak banyak bagaimana?”

“Seribu tail emas tentu tak berarti banyak buat nona!” Menyahuti si pendeta.

Si gadis habis sabar.

“Apakah memang demikian cara meminta derma?” tegur si gadis kemudian.

“Maksud nona?”

“Dengan cara memaksa seperti ini?”

“Loceng tidak memaksa! Loceng meminta derma dari nona!” menyahuti si pendeta.

“Hemmm, meminta derma dengan cara memaksa, sudah kukutakan, aku tidak memiliki uang sebanyak itu buat menderma, maka kau harus mengerti!”

“Tapi nona harus menderma!” Mendesak si pendeta sambil tersenyum.

Si gadis habis sabar.

“Baik, aku siap menderma!” Kata si gadis kemudian. Dia tahu-tahu tangannya bergerak dan “Sreeng.” Dia telah menghunus pedangnya, malah pedang itu dipakai buat menikam ke perut si pendeta.

Pendeta itu tidak gentar. Malah sikapnya tenang sekali. Dia mengawasi pedang gadis itu yang tengah meluncur menyambar ke arah perutnya.

Sama sekali dia tidak bergerak, juga tidak terlihat bahwa dia memang bermaksud untuk menghindarkan diri. Dia telah berdiam diri saja menantikan sampai mata pedang itu sudah dekat sekali pada perutnya, barulah ia mengibaskan lengan bajunya.

Luar biasa. Ia mengibaskan lengan jubahnya perlahan. Namun kesudahannya memang kuat sekali menerpah pedang itu yang tersampok ke samping. Dan juga diwaktu itu tangan si gadis tergetar.

Sedangkan Bie Lan kaget tidak terhingga. Ia merasakan pedangnya tersampok sangat kuat sekali dan pedangnya itu tergetar keras. Kalau memang dia tidak mengeraskan cekalannya, niscaya pedangnya tersebut telah terpental lepas dari cekalannya. Telapak tangannya pedih.

Dalam satu kali gerakan itu saja, seketika ia merasakan bahwa sin-kang pendeta tersebut memang tinggi, dan inilah yang tak disangkanya.

Dia pun segera menyadari bahwa pendeta ini niscaya bukan pendeta sembarangan. Sebab dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali.

Seketika begitu pedangnya tersampok ke samping dan tergetar. Bie Lan mengempos semangatnya, segera dia menarik pulang pedangnya. Dia berlaku waspada sekali, karena sekarang dia tahu tengah menghadapi lawan yang tangguh.

Cepat bukan main, pedangnya telah menikam dua kali secara beruntun. Dan pedang itu cepat sekali berkelebat meluncur mengincar bagian yang mematikan di tubuh si pendeta.

Seperti tadi, pendeta itu tetap saja berdiam diri. Dia berdiri tegak mengawasi datangnya serangan.

Waktu pedang menyambar, dia sama sekali tidak bergerak dan tidak mengibaskan lengan bajunya. Dia cuma mengeluarkan tangannya, menyambuti.

“Tranggg.......!” Sentilan jari telunjuknya mengenai tubuh pedang itu.

Sentilan itu dilakukannya perlahan sekali tampaknya, tapi kesudahannya memang luar biasa. Pedang si gadis tergetar keras, terhentak dan kemudian si gadis sendiri harus melompat ke belakang dua langkah. Dia telah memandang pada si pendeta dengan wajah yang berobah pucat dan mengandung keberangan sangat.

“Keledai gundul, siapa kau? Sungguh tua bangka tak tahu-malu!” Memaki Bie Lan sengit.

Pendeta itu tetap tenang. Ia mengawasi si gadis. Ia mengawasi dengan sorot mata sangat tajam sekali. Dia bilang: “Kau ingin mengetahui gelaran Loceng? Dengarkan baik-baik! Loceng adalah Pu San Hoat-ong!”

Ternyata, memang pendeta itu tidak lain Pu San Hoat-ong. Ia telah mendengar laporan dari kawan-kawannya, bahwa mereka telah kebentur batunya, di tangan si gadis yang cantik ini.

Pu San Hoat-ong memang sudah lama tidak memperoleh mangsa gadis cantik. Sekarang mendengar di kota itu datang seorang gadis cantik tentu saja jadi girang. Dia segera pergi menyelidiki.

Kebetulan waktu ia datang di rumah penginapan itu, ia melihat si gadis tengah keluar dari kamarnya dan pergi ke ruang makan di samping rumah penginapan itu. Dia sengaja ingin mencari gara-gara untuk mencoba ilmu serta kepandaian si gadis, baru nanti menawannya.

Muka Bie Lan merah padam. Dia mengawasi tajam pada pendeta itu. Dia bilang: “Menurut apa yang kulihat, kau tidak bersungguh-sungguh buat meminta derma. Itu hanya alasan belaka buat mencari keributan denganku! Apa maksudmu sebenarnya?”

Pu San Hoat-ong tertawa dingin.

“Sudah Loceng bilang, Loceng butuh derma buat perbaikan kuil Loceng…….!” Menyahuti si pendeta dengan suara yang tawar. “Siapa yang ingin mencari keributan dengan kau? Atau memang kau merasa memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga merasa pantas buat ribut dengan Loceng?”

Ditanya seperti itu Bie Lan naik darahnya.

“Baik, aku ingin melihat berapa tinggi kepandaian yang kau miliki!”

Setelah membentak begitu, cepat sekali Bie Lan menjejakan kakinya. Tubuhnya segera melesat ke depan. Dia mempergunakan ilmu pedang warisan Yo Him, yaitu ilmu pedang “Kim-sian-kiam-hoat” semacam ilmu pedang ciptaan dari Yo Him yang khusus diwarisi kepada puterinya ini.

Berbeda seperti tadi, pedang Bie Lan sekarang menyambar-nyambar sulit diterka arah tujuannya dan sasaran yang diincarnya, karena pedang itu menyambar-nyambar cepat sekali. Pedang itu seperti juga seekor naga yang bergulung-gulung dan naga itu tengah mengamuk.

Pu San Hoat-ong mengeluarkan seruan heran melihat cara bersilat si gadis yang berobah. Ia juga kaget, karena ilmu pedang yang digunakan si gadis kali ini jauh lebih liehay dari tadi.

Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja Pu San Hoat-ong segera menyadari bahwa ia tidak boleh berlaku sembrono. Sedikit saja ia bertindak ceroboh, niscaya akan menyebabkan dia terjerumus dalam perangkap ilmu pedang si gadis yang memang penuh teka-teki setiap jurusnya, yang tidak bisa diketahui bagian mana yang diincar sebagai sasarannya.

Pu San Hoat-ong mengeluarkan seruan nyaring. Ia menepuk sepasang tangannya, nyaring sekali kemudian tubuhnya agak menjongkok. Dia telah mengulurkan tangannya yang menempel itu ke depan, kemudian dibukanya, dia membarengi dengan seruannya,

“Rubuh kau…….!”

Kaget Bie Lan mendengar bentakan tersebut karena ia merasakan serangkum angin pukulan yang sangat kuat sekali. Ia menjerit kaget dan membatalkan tikamannya. Dia mengibaskan pedangnya. Akan tetapi tenaga dorongan dari pendeta itu terus juga menerjang padanya.

Bie Lan segera merasakan dadanya sesak.

“Hemm!” mendengus Pu San Hoat-ong.

Angin dorongan tangannya kuat mendesak terus diri si gadis.

Bie Lan mati-matian berusaha melompat ke belakang. Cuma saja angin pukulan itu seperti mengikutinya terus.

Dalam keadaan seperti itu segera juga Bie Lan mempergunakan jurus “Sepasang Belibis Bermain di Air” maka tubuhnya seperti juga belibis yang ringan main dipermukaan air, telah melompat ke sana ke mari tidak hentinya.

Dengan cara seperti itu, punahlah tenaga dorongan si pendeta.

Pu San Hoat-ong mengeluarkan seruan, hatinya heran bukan main.

“Lihay gadis ini! Entah siapa gurunya! Usianya masih muda, tapi dia sudah memiliki ilmu yang tangguh!” Berpikir si pendeta di dalam hatinya.

Sedangkan Bie Lan sudah bisa berdiri tetap lagi, tapi ia mengeluarkan keringat dingin. Apa yang dialaminya tadi hampir saja membuat dia nyaris rubuh dan terluka di tangan si pendeta .

“Hemm, kepandaian yang manis!” Berseru Pu San Hoat-ong. “Rupanya dengan memiliki kepandaian seperti itu, kau jadi bertingkah, nona manis.”

Dan Pu San Hoat-ong bukan sekedar berkata saja, karena sepasang tangannya sudah bergerak lagi, lebih lincah dan kuat, dia menjambak ke sana ke mari.

Si gadis menggerakkan pedangnya, yang diputar seperti kitiran. Dia melindungi dirinya di antara sinar pedang yang berkelebat tidak hentinya.

Akan tetapi si pendeta justru sama sekali tidak jeri terhadap pedang itu. Ia terus juga menjambak berulang kali saling susul dengan sepasang tangannya tersebut. Apa yang dilakukannya memang merupakan kepandaian yang sulit dihadapi.

Jika memang seorang yang berkepandaian tanggung-tanggung, tentu tak berani melakukan apa yang dilakukan si pendeta. Bisa-bisa tangannya tertabas kutung!

Tapi lain dengan Pu San Hoat-ong. Ia lihay dan juga sin-kangnya sudah tinggi. Dia bisa bergerak gesit dan sebat, karena itu seakan juga pedang Bie Lan tidak berdaya buat menabas tangan si pendeta.

Bie Lan mengeluh juga. Ia tidak menyangka si pendeta demikian tangguh. Ia mati-matian berusaha memberikan perlawanan.

“Aneh, sekali! Siapakah pendeta ini, yang kepandaiannya demikian tinggi?” Begitulah hati Bie Lan selalu bertanya-tanya karena tidak mengerti mengapa lawannya bisa tangguh seperti itu.

Padahal kepandaian si gadis tidak rendah. Dari ayah dan ibunya, bahkan dari Yaya maupun neneknya ia telah menerima pendidikan ilmu-ilmu yang hebat.

Kalau memang sekarang dia bisa terdesak inilah suatu bukti lawannya merupakan pendeta yang tangguh sekali.

Sedangkan pelayan rumah penginapan dan beberapa orang tamu sudah siang-siang menyingkir keluar. Mereka tampak berdiri takut-takut menyaksikan jalannya pertempuran itu.

Tidak hentinya mereka memuji gadis itu yang kepandaiannya sangat tinggi.

Memang tadi pagi mereka telah mendengar cerita tentang kehebatan gadis ini, yang bisa menghadapi beberapa orang Jay-hoa-cat, yang telah bisa mengusir penjahat pemetik bunga itu. Namun siapa sangka sekarang mereka bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Mereka melihat gadis itu memang liehay sekali.

Pu San Hoat-ong mulai tidak sabar. Berulangkali ia membentak. Ia melancarkan pukulan yang semakin hebat, karena ia sudah tidak mau membuang-buang waktu.

Karenanya, Bie Lan semakin terdesak juga. Si gadis telah berusaha menghadapinya sebaik mungkin. Cuma saja, sekarang dia telah mandi keringat dingin.

Waktu itu si gadis masih berusaha untuk membendung terjangan Pu San Hoat-ong. Berulangkali ia mengganti cara bersilatnya. Tetap saja ia terdesak.

Pu San Hoat-ong bertanya pada suatu kesempatan: “Nona, apakah kau tetap tidak mau menderma?”

“Pendeta bangsat! Kau meminta derma dengan cara memaksa seperti ini, siapa yang sudi memberikan derma itu?”

Bentak Bie Lan tidak kalah galaknya. Walaupun ia mulai terdesak, namun dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya.

“Jadi benar-benar kau tidak mau memberikan derma kepada Loceng?”

“Tidak!”

“Sungguh?

“Ya!”

“Hemmmm, kalau begitu kau yang akan menerima akibatnya!” bentak si pendeta.

“Aku bersedia menanggungnya, pendeta busuk!” Menyahuti Bie Lan nyaring.

Begitulah si pendeta semakin gencar mendesak Bie Lan, dan serangannya semakin berbahaya juga.

Sedangkan orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu, mengawasi dengan berkuatir.

Bie Lan melihat, pendeta ini memang tangguh. Ia juga harus mengakui, bahwa ia masih kalah satu tingkat.

Kalau satu tingkat bukan berarti kepandaiannya itu kalah dari si pendeta, justeru kepadaiannya merupakan kepandaian kelas satu. Cuma si gadis kalah pengalaman dan kalah tenaga.

Karena dari itu perlahan-lahan Bie Lan jatuh di bawah angin dan semakin terdesak.

“Aku berikan kesempatan lagi kepadamu buat pikir-pikir dengan baik!” kata si pendeta.

“Pikirkan apa lagi?”

“Kau mau memberikan darma atau tidak?”

“Tidak!”

“Walaupun hanya seratus tail perak?” Tanya si pendeta kemudian menegasi.

“Ya!”

“Apakah kau tidak percaya bahwa kuil Loceng membutuhkan perbaikan?”

“Hemmm!”

“Jika memang kau tidak mempercayainya, silahkan nona datang buat melihat sendiri kuil Loceng itu!” kata si pendeta kemudian dengan suara nyaring.

“Tidak sudi aku melihat kuil kotormu!” Teriak Bie Lan.

Walaupun mereka dalam keadaan tanya jawab, akan tetapi serangan mereka tetap saja tidak pernah berhenti. Mereka terus saja saling menyerang. Terlebih lagi si pendeta, Pu San Hoat-ong, yang gencar sekali mendesak Bie Lan.

Waktu itu Bie Lan beberapa kali terdesak. Namun dasarnya memang kepandaian si gadis merupakan ilmu yang sangat tinggi dan kelas satu ilmu yang murni, dengan demikian telah membuat dia masih bisa bertahan dari desakan si pendeta.

“Hemmm, kau keras kepala!” mendengus Pu San Hoat-ong dengan mendongkol.

“Keras kepala bagaimana?” Mengejek si gadis.

“Loceng sudah meminta derma secara baik-baik, tapi kau malah sengaja hendak mencari keributan.

“Kau jangan memutar balik urusan! Nonamu tidak gentar menghadapi manusia seperti kau!”

“Benar?”

“Sungguh!”

“Tidak takut mati?”

“Tidak!!”

“Hemmm, kau masih berusia muda sekali, bukankah sangat sayang jika kau mati muda?”

“Apa pedulinya dengan kau?”

“Tidak menyesal?”

“Tidak! Jaga serangan!” Dan pedang si gadis sempat membalas menyerang dua kali.

“Hemm, tidak mungkin kau bisa menghadapiku!” Mengejek si pendeta. “Kau harus ingat, kau cantik sekali, masih muda. Bukankah jika mampus di tangan Loceng, hal itu harus dibuat sayang? Bukankah lebih baik bersenang-senang dengan loceng? Loceng jamin, pelukan loceng sangat hangat…….!”

Setelah berkata begitu si pendeta menghantam beberapa kali. Dan juga tertawa keras bukan main.

Si gadis berobah mukanya merah padam karena marah yang meluap. Ia menyerang terus dengan gencar mempergunakan pedangnya, karena dalam marahnya itu ia seperti jadi kalap.

Tapi si pendeta masih bisa mengelakkannya dengan mudah.

“Kau tak mau bersenang-senang dengan Loceng di saat usiamu masih begitu muda?” Tegur si pendeta lagi dengan ejekannya.

“Pendeta kotor!” teriak Bie Lan. “Akan kutebas batang lehermu! Kau rupanya salah seorang penjahat pemetik bunga yang mengganggu ketenteraman kota ini!”

Dan Bie Lan nekad sekali. Ia mengeluarkan seluruh ilmu andalannya, yang pernah dipelajari dari ayah dan ibunya, dari kakek maupun neneknya. Dia bersilat hebat sekali, dalam keadaan marah seperti itu.

Bie Lan sudah melupakan keselamatan dirinya. Ia bersilat begitu cepat dan ganas, pedangnya berkelebatan liehay sekali. Dengan demikian, sementara waktu ia bisa membendung si pendeta tidak mendesak ia lebih jauh, karena si pendeta jadi sibuk buat mengelakan setiap terjangan si gadis.

Waktu itu Bie Lan terus juga gencar sekali menerjang dengan pedangnya. Angin pedang itu berkesiuran kuat. Ia mengempos seluruh tenaga dalamnya, ia juga telah beberapa kali mengeluarkan jurus-jurus yang berbahaya.

Pu San Hoat-ong jadi habis sabar.

Jika sejak tadi ia masih mengalah pada si gadis, sebab ia kuatir serangannya nanti melukai si gadis. Hal ini membuat si gadis masih bisa bernapas dan menghadapinya terus.

Sekarang, karena ia sudah jengkel, ia mengempos semangatnya. Tahu-tahu ia menghantam dengan pukulan yang jauh lebih liehay dan kuat.

Sedangkan Bie Lan sendiri kaget tidak terkira. Ia seperti juga diterjang oleh tenaga yang berkekuatan seperti gunung runtuh. Ia sampai menjerit kaget dan melompat menghindar.

Namun masih terlambat, karena tubuhnya telah terguling di lantai.

Si pendeta tertawa dingin, tubuhnya melesat ringan akan menghampiri si gadis.

Semua orang yang menyaksikan itu jadi kaget dan berkuatir sekali buat keselamatan si gadis.

Bie Lan sendiri melihat ancaman bahaya yang datang, dan si pendeta sudah datang dekat.

Diiringi bentakannya yang nyaring, tahu-tahu tubuh Bie Lan meletik ke tengah udara, seperti juga seekor ikan lee-ie dan tubuhnya itu terapung. Kemudian pedangnya itu diputarnya.

Dan dia telah membuat si pendeta membatalkan maksudnya mendekati si gadis. Dia mundur dua langkah, menahan langkah kakinya.

“Gadis berkepala batu!” Menggumam si pendeta jengkel sekali.

Semula Pu San Hoat-ong menduga, dengan mudah, dalam satu-dua jurus, dia sudah akan dapat membekuk gadis cantik ini.

Siapa tahu, sudah lewat puluhan jurus ternyata ia masih belum juga berhasil merubuhkan dan menawan gadis itu, malah tampaknya gadis inipun sulit buat dirubuhkan dalam waktu yang dekat. Dia jadi mendongkol.

Sedangkan Bie Lan berhasil dengan serangannya itu dengan cara meletik ke tengah udara segera berdiri tegak lagi. Tadi dalam keadaan terancam ia mempergunakan jurus “Lee-ie-kim-san” atau “Jika Gabus Mendaki Gunung Emas” dan itulah salah satu jurus paling diandalkan Yo Him, yang baru dipergunakan jika memang tengah dalam ancaman bahaya.

Bie Lan yang tengah terancam, teringat akan jurus tersebut dan dia mempergunakannya!

Benar saja dia berhasil.

Dilihatnya Pu San Hoat-ong berdiri dengan muka yang merah padam.

Si gadis tertawa mengejek: “Hemmm, kita teruskan?” tanyanya berani sekali.

Muka Pu San Hoat-ong semakin merah dan tidak enak buat dilihat orang.

“Hemmm, gadis bandel berkepala batu!” bentak si pendeta. “Aku akan memberikan ganjaran padamu!”

Setelah menggumam begitu, tubuhnya berputar-putar seperti gangsing, dan juga dia berputar dengan gesit sekali, tubuhnya seperti terputar oleh desau angin puyuh.

Bie Lan mengawasi heran.

Entah sekali ini apa yang hendak dilakukan si pendeta untuk merubuhkannya, Bie Lan jadi mengawasinya dengan hati-hati, agar tidak, kena dirubuhkan si pendeta yang tangguh itu. Ia berlaku waspada sekali.

Si pendeta telah gusar dan penasaran, juga memang dia sudah tidak sabar. Karena dari itu dia bermaksud cepat merubuhkan dan menawan Bie Lan.

Dia mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu, “Angin Puyuh Melihat Kota”, maka tubuhnya berputaran terus dengan cepat sekali, di mana sepasang tangannya bergerak menghantam ke sana ke mari.

Seorang pelayan rumah penginapan yang kurang jelas berdiri di luar ruangan telah mengintai di dekat tiang pintu. Dia berdiri dengan menongolkan kepalanya.

Tahu-tahu mendadak sekali, si pelayan menjerit dengan suara menyayatkan. Tubuh pelayan itu terpelanting dengan kelepakkan. Dia memegangi kepalanya. Tampaknya dia menderita kesakitan hebat.

Kiranya waktu ia menongolkan kepalanya itu, justeru angin yang keluar dari sepasang tangan Pu San Hoat-ong dan juga dari putaran tubuhnya, bisa menjangkau sampai ke tempat yang jauh sekali, membuat kepala si pelayan seperti juga dihantam oleh pukulan yang kuat sekali.

Dia menjerit kesakitan dengan kepala yang pusing dan mata berkunang-kunang. Seketika tubuhnya rubuh, iapun tidak ingat orang lagi. Dia pingsan!

Maka bisa dibayangkan, betapa ilmu dan tenaga dalam yang dipergunakan si pendeta memang hebat sekali karena pelayan itu yang terpisah demikian jauh telah kena dihantam demikian kuat.

Bie Lan sendiri bukan tidak terkejut menyaksikan semua itu. Dengan melihat cara bersilat si pendeta saja, dia segera menyadari bahwa dia akan menghadapi kesulitan.

Ilmu silat yang dipergunakan oleh si Pendeta merupakan ilmu kelas tinggi cabang atas yang tangguh sekali.

Dulu ayahnya memang pernah menceritakan padanya, di dalam rimba persilatan terdapat semacam ilmu yang hebat sekali, mengandalkan kekuatan tenaga dalam yang mahir, dengan tubuh berputar, tenaga pukulan orang semakin kuat.

Maka Bie Lan segera menduga, ternyata Pu San Hoat-ong mempergunakan ilmu sejenis yang diceritakan ayahnya beberapa waktu yang lalu.

Bie Lan jadi berwaspada. Dia mengawasi baik-baik cara bersilat si pendeta, sampai akhirnya waktu ia merasakan terjangan tenaga dalam si pendeta, dia berseru nyaring, pedangnya berkelebat, dia menikam.

Si pendeta tertawa dingin, dia menyampok dengan tangannya. Tubuhnya tetap berputar.

“Traangg!” Luar biasa sekali! Pedang si gadis kena disampok angin serangannya, dan malah pedang itu segera terlempar, terlepas dari cekalan Bie Lan.

Hal ini disebabkan tenaga dalam si pendeta yang kuat luar biasa.

Gadis itu pun kaget tidak terkira, wajahnya sampai berobah pucat. Malah Bie Lan telah melompat mundur dengan mata memandang lebar-lebar pada si pendeta.

Pu San Hoat-ong masih berputar terus, dia telah menegur lagi: “Apakah sekarang kau mau bicara baik-baik dengan Loceng?”

“Hemm, kau kira mudah buat menghinaku? Kau tidak mungkin dapat menghina diriku! Kau memang dapat membunuhku. Tapi ingat, suatu saat ayah dan ibuku akan membalaskan sakit hatiku ini!” Benar-benar murka Bie Lan.

Si pendeta itu tertegun, malah gerakan berputarnya sampai terlambat dan perlahan.

“Siapa ayah dan ibumu?” tanyanya, karena sekarang dia baru teringat, betapa pun dalam usia demikian muda Bie Lan sudah memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Tentu ayah dan ibunya pun memiliki kepandaian yang hebat dan merupakan tokoh rimba persilatan yang memiliki nama tidak kecil!

Bie Lan tertawa mengejek!

“Hemmm, begitu kau mendengar nama ayah dan ibuku, tentu kau akan cepat-cepat bunuh diri!” Ejeknya.

Muka Pu San Hoat-ong merah padam. Dia berhenti berputar, dan mengawasi mendelik pada si gadis.

“Sebutkan siapa ayah ibumu itu!” Bentaknya dengan suara yang bengis.

“Hemmmm, kau mau tahu juga?”

“Ya!”

“Tidak takut pingsan?”

Muka si pendeta tambah merah.

“Cepat sebutkan! Atau memang kau hendak kuhajar mampus sekarang juga!”

Muka Bie Lan merah padam. Dia memang seorang gadis yang cerdas. Tapi dia juga beradat keras sekali. Ia menuruni adat keras kakeknya.

Sekarang melihat pendeta itu demikian mendesaknya, ia bukannya segera menyebutkan nama ayah dan ibunya, malah ia telah sengaja tertawa mengejek.

“Hemm, aku justeru tak sudi memberitahukan padamu!” Katanya.

Muka, si pendeta tambah bengis.

“Sebentar lagi aku akan turunkan tangan keras padamu! Jika memang terjadi sesuatu padamu, kau jangan mempersalahkan aku!” Kata Pu San Hoat-ong. “Lain jika memang kau sebutkan nama ayah dan ibumu. Mungkin aku bisa berkasihan dan mempertimbangkannya lagi.”

Bie Lan tertawa mengejek. Ia tahu si pendeta berkata begitu sama saja dengan mengejeknya, tapi ia tak mau kalah.

“Hemmm, kau minta aku menyebut nama ayah dan ibuku? Kau memaksa terus? Hemm, aku tahu! Aku tahu! Justeru aku tahu kau takut untuk mencelakai aku! Kau jeri pada ayah dan ibuku!”

Bukan main gusarnya Pu San Hoat-ong, ia sampai berjingkrak.

“Hemm, kau minta mampus sekarang?” Teriaknya sambil berputar dan mengayunkan tangannya.

Si gadis sudah tidak mencekal pedang lagi. Tentu dia lebih mudah merubuhkan si gadis. Telapak tangannya yang lebar dan besar menyambar dengan pesat kepada Bie Lan.

Bie Lan sendiri bersiap buat menerima serangan itu walaupun hatinya mengeluh, dia yakin tidak mungkin kuat menerima serangan si pendeta dengan cara keras dilawan keras tetapi serangan datang telah dekat. Terpaksa si gadis mengempos semangatnya. Mau atau tidak ia memang harus mengadakan perlawanan.

Sedangkan si pendeta sendiri waktu mengayunkan tangannya, jadi berpikir: “Dia pasti anak seorang tokoh rimba persilatan! Hemmm dia juga cantik sekali, mengapa aku tidak tangkap dia hidup-hidup?”

Setelah berpikir begitu, tenaga serangannya dikurangi, sehingga tak sekuat tadi.

Bie Lan merasakan matanya berkunang-kunang dan dadanya sesak. Tapi tiba-tiba tekanan yang kuat itu berkurang maka mempergunakan kesempatan ini buat melompat ke samping.

Pu San Hoat-ong tak mendesak lebih jauh.

“Sekarang kau beritahukan nama ayah dan ibumu!” bentak Pu San Hoat-ong bengis. “Tadi kau lihat, jika aku ingin membinasakan dirimu sama mudahnya seperti aku membalik telapak tanganku!”

Bie Lan berdiri dengan muka yang pucat, hatinya berdebar keras, nyaris tadi ia hampir terluka atau terbinasa di tangan si pendeta. Hatinya masih tergoncang dan ia mengeluarkan keringat dingin.

Tapi gadis itu tak memperlihatkan kekagetannya itu, berusaha membawakan sikap seperti biasa saja.

“Hemm!” Pu San Hoat-ong tertawa dingin. “Jika kau tetap berlambat-lambat, terpaksa aku akan turunkan tangan keras!”

Bie Lan tertawa. Ia membawa sikap lincah, sama sekali berobah dengan sikapnya yang tadi, tampaknya ia jadi riang, ia juga bilang: “Taysu ternyata kepandaianmu hebat sekali! Maafkan keponakanmu yang kurang ajar ini!”

Malah setelah berkata begitu, Bie Lan merangkapkan sepasang tangannya. Dia menjurah memberi hormat.

Kaget si pendeta. Dia tidak menyangka akan perobahan si gadis, yang jadi periang dan manis. Tapi diapun jadi girang juga melihat perobahan sikap si gadis.

Bukankah dengan demikian berarti dia akan lebih mudah mempengaruhi gadis ini? Bukankah orang demikian cantik dan muda.

“Ya, aku maafkan!” Kata si pendeta kemudian sambil tersenyum. Berkurang sikap bengisnya.

“Sekarang coba kau beritahukan nama ayah dan ibumu! Mungkin juga mereka itu sahabat-sahabatku? Untung saja kau belum melukai dirimu. Bukankah jika terjadi demikian dimana aku telah melukai kau, lalu baru kuketahui kau adalah gadisnya teman-temanku, maka hal ini akan membuat aku tidak enak seumur hidup!”

Bie Lan tertawa. Ia bilang lagi: “Sebenarnya Taysu, tadi aku yang muda telah berlaku kurang ajar, dengan ini sebenarnya membuatku sungguh tidak enak hati walaupun Taysu telah memaafkan!”

Setelah berkata begitu, si gadis melangkah dekat. “Tentang nama orang tuaku itu adalah!”

Waktu si gadis berkata sampai di situ, justeru ia sudah datang dekat. Sedangkan Pu San Hoat-ong mengawasi dengan sikap ingin mengetahui nama orang tua si gadis.

Dikala berkata sampai disitulah, Bie Lan mendadak menyerang dengan jari telunjuknya, dia menotok dengan cepat sekali. Totokan itu dilakukan sangat tiba-tiba sekali, juga jaraknya memang sangat dekat sekali.

Pu San Hoat-ong tengah mencurahkan seluruh perhatiannya pada perkataan si gadis, yang dilihatnya hendak memberitahukan nama ayah dan ibunya! Justeru dia diserang, dia kaget dan hendak mengelakkan.

Dia memang tidak menjadi gugup, cuma saja, gerakan yang dilakukannya terlambat sekali. Dengan begitu, dia terhuyung, karena jalan darah Hiang-hui-hiatnya kena tersentuh juga, walaupun tidak keseluruhannya. Itu telah cukup membuat tubuh si pendeta akan terpelanting.

Untung saja Pu San Hoat-ong memang memiliki sin-kang yang kuat, dengan begitu segera ia bisa mengempos semangatnya. Ia telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya, buat membuka sendiri totokan si gadis. Dengan demikian ia tak perlu sampai terpelanting.

Bukan main murkanya Pu San Hoat-ong. Begitu ia bisa berdiri lagi, segera ia melompat, ia menghantam dengan ke dua tangannya.

Itulah pukulan yang kuat sekali, yang mengandung kematian. Jika memang pukulan itu mengenai sasarannya, niscaya akan membuat si gadis terpukul binasa di saat itu juga.

Tapi Bie Lan sendiri memang telah bersiap-siap. Dia sangat menyesal, mengapa ia menotok dengan mempergunakan ilmu It-yang-cie yaitu menotok dengan jari tunggal yang sakti, jaraknya pun dekat sekali, iapun memang telah menyerang dengan cara membokong, dengan tiba-tiba sekali namun masih gagal.

Ia begitu melihat si pendeta tak rubuh, si gadis sudah melompat ke belakang. Dengan demikian ia berhasil menghindarkan dari hantaman si pendeta, karena ia melihat datangnya tangan Pu San Hoat-ong, segera melompat lagi.

Pu San Hoat-ong yang dibokong seperti itu jadi murka bukan main, mana mau ia melepaskan gadis ini, melihat pukulannya jatuh di tempat kosong dia membarengi menghantam lagi. Malah sekali ini beruntun beberapa kali.

Bie Lan tetap mengandalkan kelincahannya buat menghindarkan diri ke sana ke mari.

Pu San Hoat-ong semakin gesit, serangannya semakin gencar.

Bie Lan mengeluh juga di dalam hatinya. Ia tahu jika keadaan seperti ini berlangsung terus, niscaya akhirnya dia bisa bercelaka di tangan Pu San Hoat-ong.

“Tahan dulu Taysu!” Katanya dengan suara teriakan yang nyaring sekali, “Tahan dulu!”

“Tahan dulu, apa?” Bentak si pendeta sengit. “Monyet kecil tidak tahu mampus, apakah kau kira bisa menipu Loceng lagi buat kedua kalinya?”

“Tadi ada yang hendak boanpwe bicarakan!” Teriak Bie Lan nyaring, dia juga mengelakan serangan si pendeta.

“Kau ingin mengatakan apa?”

“Hentikan dulu serangan Taysu!”

Pu San Hoat-ong ragu-ragu tapi walaupun demikian, tetap saja ia merangsek maju mendesak si gadis.

“Apakah Taysu tidak mau mendengarkan dulu kata-kata boanpwe?” Tanya Bie Lan tetap suaranya nyaring. Dia bicara seperti itu buat mempengaruhi si pendeta.

Pu San Hoat-ong tidak menjawab, dia benar-benar ragu dan telah menyerang terus dengan cepat dan kuat. Dia tidak mau kalau sampai harus tertipu lagi.

Tapi Bie Lan terus juga berseru nyaring meminta si pendeta mendengar dulu kata-katanya.

Setelah Bie Lan berteriak beberapa kali, akhirnya si pendeta menahan tangannya juga.

“Nah, katakanlah apa yang ingin kau katakan!” Bentak Pu San Hoat-ong, “tapi ingat jika kau main gila hendak mempermainkan aku, hemmm, hemmm, Loceng akan turunkan tangan kematian buat kau!”

Waktu bilang begitu, mata si pendeta menatap tajam sekali, wajahnya juga sangat bengis.

Bie Lan tersenyum.

“Boanpwe ingin memberitahukan bahwa tadi boanpwe cuma ingin mencoba apakah memang benar-benar ilmu boanpwe belum ada artinya. Sengaja boanpwe menyerang Taysu, untuk mengetahui hal itu dan memang kenyataannya ilmu boanpwe belum berarti apa-apa karena Taysu sangat liehay sekali.”

Si pendeta memandang ragu-ragu.

“Benarkah itu?” Tanyanya.

“Benar Taysu!”

“Kau bukan sedang main gila?”

“Mana berani boanpwe main gila terhadap Locianpwe?” kata si gadis tertawa.

Sedangkan otak Bie Lan sendiri sebetulnya saat itu tengah bekerja keras. Ia berusaha untuk mencari jalan keluar, untuk dapat melepaskan diri dari si pendeta. Karena dari itu dia tidak hentinya sengaja mengulurkan waktu.

Ia mengetahui, jika si pendeta menyerang terus menerus, niscaya ia akan kewalahan dan juga akan membuat akhirnya rubuh tanpa daya. Karena memang kepandaian si gadis masih berada di sebelah bawah kepandaian pendeta itu.

“Sekarang sebutkan siapa nama ayah dan ibumu itu?” bentak Pu San Hoat-ong.

“Nama orang tua boanpwe adalah Kim Ie dan Lu Sian!” Kata Bie Lan berbohong.

Mata si pendeta mencilak. Walaupun dia tidak yakin si gadis berbohong, namun hati ciliknya merasakan bahwa nama itu adalah nama yang asal sebut saja oleh si gadis.

“Hemmmm, bocah! Kau ternyata mau main gila lagi!” Kata Pu San Hoat-ong sambil melangkah maju.

Hati Bie Lan tercekat. Dia tak menyangka bahwa si pendeta bisa mengendus dia berdusta.

“Sungguh Taysu........ Boanpwe telah bicara dari hal yang sebenarnya!”

“Bohong!”

“Sungguh Taysu!”

“Hemmmm. Sudahlah! Akupun tidak perlu lagi mengetahui nama orang tuamu! Terpenting kau harus Loceng tawan!” Bentak Pu San Hoat-ong melangkah maju dan bersiap-siap hendak menyerang lagi kepada Bie Lan.

Memang Pu San Hoat-ong telah berpikir, adalah lebih baik dia membekuk dulu gadis ini, urusan belakangan. Bukankah si gadis sangat cantik?

Bie Lan mengeluh, dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya yang tidak keci1. Kalau memang sampai terjatuh ke dalam tangan Pu San Hoat-ong, akan habis dayanya. Terlebih lagi jika ia telah tertawan dan dalam keadaan tertotok, selanjutnya ia akan kehilangan kesempatan.

“Tunggu dulu Taysu!” Teriak Bie Lan.

Pu San Hoat-ong tertawa dingin.

“Hemmm, apa lagi?” Tanyanya sinis.

“Tunggu, Boanpwee ingin membicarakan sesuatu lagi!”

“Loceng sudah tidak perlu lagi!”

“Tapi dengarlah dulu, Taysu!”

“Hemm, kau bocah licik, tidak perlu dibiarkan mengoceh terus!” Kata Pu San Hoat-ong.

“Tapi tadi Taysu ingin mengetahui siapa orang tuaku, bukan? Mereka tadi aku sengaja menyebutkan nama samaran mereka jika tengah merantau! Aku tidak bohong! Hemm, Taysu tidak menanti aku bicara habis, kau sudah memotong dan menyebut aku telah mendustaimu!”

“Hemm, benarkah itu?” si pendeta jadi ragu-ragu kembali menahan langkah kakinya.

“Benar Taysu…….!”

“Nah, sebutkan, siapa orang tuamu?”

“Mereka adalah orang-orang ternama di dalam kalangan rimba persilatan!”

“Aku tahu! Kau memiliki kepandaian yang lumayan, tentu ke dua orang tuamu itu orang ternama!” Kata Pu San Hoat-ong tidak sabar.

Bie Lan melirik ke arah pedangnya yang menggeletak di lantai yang terpisah tidak jauh darinya. Memang sejak tadi dia bicara sambil mundur mendekati pedangnya itu, sekarang diapun menggeser kakinya, dia bilang lagi,

“Mereka terkenal sebagai Pasangan pendekar yang sangat disegani orang-orang Kang-ouw…….!”

“Aku tidak perlu dengan ocehan seperti itu!” bentak Pu San Hoat-ong, “Sebutkan saja siapa nama orang tuamu!”

Mendadak si pendeta melihat pedang si gadis dan dia melihat gerakan Bie Lan yang hendak meraih pedangnya.

“Tunggu, jangan kau mimpi bisa mengambil pedangmu itu!” bentak Pu San Hoat-ong setelah menyadari apa yang akan terjadi dan ingin dilakukan oleh Bie Lan.

Sambil membentak begitu dia juga mengibas dengan lengan jubahnya. Dari lengan jubahnya meluncur angin yang dahsyat menyambar ke arah pedang.

Sebetulnya si gadis hampir saja berhasil meraih pedang itu. Ia tidak memperdulikan teriakan si pendeta, karena dia meneruskan mengulurkan tangannya buat meraih pedang itu.

Dan ia memang girang sebab pedang itu hampir saja kena diraihnya cuma kagetnya ia merasakan berkesiuran angin yang kuat sekali. Pedangnya yang menggeletak di lantai telah kena disampok oleh angin lengan jubah si pendeta. Pedang itu terpental sampai dua tombak lebih dari tempatnya.

Bie Lan mengeluh.

Pu San Hoat-ong tertawa bergelak.

“Bocah! Ternyata memang kau tidak boleh dipercaya!” Kata si pendeta sambil melangkah lebar buat mendekati Bie Lan. “Kau licik sekali……. tidak bisa aku membiarkan kau tetap bebas, karena kau cukup berbahaya…….”

“Tunggu Taysu!”

“Hemm, kau terima ini!” Pu San Hoat-ong tidak memperdulikan kata-kata si gadis. Rupanya dia sudah menghantam dengan tangan kanannya.

Hati si gadis mendongkol, dia merasakan sambaran angin yang kuat sekali. Dia menjejakkan kakinya. Tubuhnya melesat ke tengah udara buat menghindarkan diri dari serangan Pu San Hoat-ong.

Akan tetapi semangat si gadis jadi terbang dari tubuhnya. Dia kaget tidak terkira. Sebab disaat tubuhnya sedang berada di tengah udara, tenaga serangan Pu San Hoat-ong seperti bisa berpindah tempat dan tahu-tahu telah naik ke atas dan menyambar kepada Bie Lan.

Bie Lan tengah berada di tengah udara, karena dari itu tidak leluasa dia bisa mengelakkan diri dari sambaran tenaga serangan itu. Namun dia memang telah terdidik baik oleh ayah, ibu, kakek maupun neneknya.

Segera juga dia berputar dengan lincah di tengah udara. Dia tidak menjadi gugup. Kemudian dia menepuk dengan telapak tangannya.

Tenaga tepukannya itu menangkis tenaga serangan Pu San Hoat-ong. Dan tangkisan dari dua tenaga yang saling bentur itu membuat tubuh si gadis terpental keras sebab memang Bie Lan meminjam tenaga benturan tersebut, tubuhnya telah meluncur turun dan hinggap di lantai dengan cepat sekali.

Saat itu tampak Pu San Hoat-ong tercengang menyaksikan hebatnya gadis itu mengelakkan dan menghindarkan diri dari ancaman tenaga dalamnya. Ia melihat, ilmu dan cara yang dipergunakan si gadis bukan ilmu sembarangan.

Karena dari itu, dia jadi teringat seseorang yang ilmunya serupa dengan itu. Tapi ia ragu-ragu apakah gadis ini memang ada hubungannya dengan orang itu.......”

Bie Lan berdiri di tanah, segera ia tertawa dengan sikap yang riang sekali. Walaupun hatinya tadi ciut karena nyaris dia terluka berat di tangan si pendeta, tokh dia bisa menutupi keterkejutannya, karena itu dia telah tertawa dengan sikap yang riang.

“Taysu, kau terlalu keras untuk main-main denganku?” Katanya menegur. Namun sikapnya sangat jenaka sekali.

Muka Pu San Hoat-ong merah padam. Dia mengawasi mendelik kepada si gadis itu.

“Hemm, terlalu keras?” Tanyanya.

“Ya!”

“Apa yang keras?” Dan sambil bertanya begitu Pu San Hoat-ong tertawa dingin.

“Sikap Taysu!”

“Kau bocah yang terlalu keras kepala.”

“Tidak! Justru aku hanya ingin mengajak Taysu main-main!” Kata Bie Lan.

“Mengajak Loceng main-main?” Tanya Pu San Hoat-ong, sikapnya seketika berobah, tidak bengis seperti tadi dan berobah menjadi manis.

“Ya!” Mengangguk Bie Lan.

“Baik! Jika memang kau ingin bersahabat dengan Loceng, maka Loceng juga tak keberatan bersahabat denganmu!” kata si pendeta cepat.

Hati Bie Lan muak dan mendongkol bukan main pada pendeta ini, tapi ia membawa sikap seakan-akan ia girang.

“Benarkah Taysu?” Waktu bertanya begitu Bie Lan sengaja tertawa.

Pu San Hoat-ong mengangguk,

“Benar! Dan kita bersahabat!”

Si gadis cepat-cepat merangkapkan kedua tangannya memberi hormat pada si pendeta.

“Terima kasih atas kebaikan Taysu yang mau bersahabat denganku!” Katanya.

“Ya, memang ada baiknya jika bersahabat!” kata Pu San Hoat-ong, girang bukan main, sedangkan di dalam hatinya ia berpikir; “Gadis ini tampaknya liar sekali, akan tetapi aku pasti bisa menghadapinya....... dan juga biarlah sekarang aku sengaja mengajak ia bersahabat!”

Sedangkan Bie Lan sudah bertanya lagi, “Apakah aku boleh mengambil pedangku?”

“Silahkan!”

“Terima kasih Taysu!”

Gesit sekali si gadis melompat mengambil pedangnya.

Pelayan dan para tamu yang menyaksikan semua itu jadi menguatirkan keselamatan si gadis. Mereka mengetahui siapa itu Pu San Hoat-ong. Tapi mereka tidak berdaya apa-apa!

Pu San Hoat-ong bilang: “Apakah sekarang kau mau pergi melihat-lihat kuil Loceng?”

“Jadi taysu mesih tetap akan mendesak padaku agar memberikan derma?”

“Oh, tidak. Sekarang Loceng tidak jadi meminta derma, hanya sebagai sahabat ingin memperlihatkan kuil Loceng kepada kau nona. Karena Loceng akan memperlihatkan bagaimana rencana Loceng memperbaiki kuil itu kelak.”

Bie Lan berpikir di dalam hatinya: “Hemm, kau ingin menjebakku….. lihat saja nanti!”

Walaupun berpikir begitu, Bie Lan pura-pura memperlihatkan sikap gembira. Bahkan seperti seorang anak yang kegirangan memperoleh hadiah, dia melompat-lompat sambil katanya, “Sungguh menggembirakan sekali! Sungguh menggembirakan sekali!”

“Ya…….!” Pu San Hoat-ong mengangguk: “Jika memang nona bersedia ikut denganku untuk melihat-lihat kuil Loceng, betapa hal itu sangat menggembirakan sekali.”

Si gadis mengangguk.

“Tentu saja aku mau pergi melihatnya!”

“Syukurlah kalau begitu! Mari sekarang kita berangkat!” Ajak si pendeta.

“Tunggu dulu, aku belum lagi membereskan pakaianku!” kata si gadis.

“Biarkan saja, bukankah kau akan kembali ke mari nona?” Kata Pu San Hoat-ong.

“Tidak! Aku bermaksud setelah melihat-lihat kuil Taysu, aku akan meneruskan perjalanan!”

“Baiklah kalau begitu.”

“Tunggu sebentar taysu, aku akan segera kembali ke mari! Tapi kau jangan meninggalkan aku! Tidak lama!” Kata Bie Lan pura-pura memperlihatkan sikap girang bukan main.

Pu San Hoat-ong mengangguk.

“Ya, jangan lama-lama!”

Si gadis berlari pergi ke kamarnya.

Tapi begitu si gadis menutup pintu kamarnya seketika timbul kecurigaan di hati Pu San Hoat-ong.

“Tidakkah bisa saja terjadi si gadis melarikan diri lewat jendela kamarnya?”

Karena dari itu si pendeta cepat-cepat menghampiri pintu kamar si gadis.

Sepi sekali tidak terdengar suara apapun.

“Nona…….!” Panggilnya.

Tidak ada jawaban.

“Nona........!” panggilnya lebih keras, malah telah mengetuk pintu kamar itu.

Tetapi sama sekali tidak memperoleh jawaban.

Hati Pu San Hoat-ong semakin curiga, akhirnya telah mendorong pintu kamar itu.

Terkunci dari dalam.

Kecurigaannya semakin besar.

“Nona, mari kita berangkat!” Panggilnya lebih keras.

Tetap tidak ada jawaban. Tidak ayal lagi Pu San Hoat-ong menghantam pintu itu dengan tangan kanannya.

“Brakkk!” Daun pintu menjeblak terbuka lebar, kamar itu telah kosong.

Bukan main gusarnya si pendeta, dia melihat daun jendela terbuka. Udara menghembus masuk ke dalam kamar.

Gesit sekali tubuh si pendeta melompat ke jendela, dia sudah segera bisa menduga, gadis itu memang melarikan diri lewat jendela kamar tapi dia belum tentu pergi jauh.

Tanpa membuang waktu Pu San Hoat-ong melesat keluar dari jendela kamar itu. Tubuhnya lincah sekali, melompat ke atas genting.

Di kejauhan masih sempat dilihatnya si gadis yang tengah berlari-lari di atas genting rumah penduduk menuju ke arah selatan. Dengan mengempos semangatnya, dia mengejarnya. Memang Pu San Hoat-ong, memiliki kepandaian yang sangat tinggi, maka dia dapat mengejar dengan cepat sekali.

Tapi si gadis juga tidak mau menyerah begitu saja, sebab waktu dia mengetahui si pendeta mengejarnya, dia juga mengempos semangatnya, dia berlari sekuat tenaganya.

“Hemmm, bocah! Mau lari kemana kau!” Berseru Pu San Hoat-ong gesit, dia mengejar terus dengan cepat.

Demikianlah, dua orang itu saling kejar mengejar, cuma saja lama kelamaan si gadis melihat jarak pisah mereka semakin dekat juga.

Jika kejar mengejar itu berlangsung lebih lama lagi, niscaya akhirnya Bie Lan akan terkejar juga oleh Pu San Hoat-ong.

Sedangkan Pu San Hoat-ong menambah tenaganya mengempos untuk berlari lebih cepat, karena dia tidak mau kehilangan calon mangsanya itu.

Bie Lan sendiri sambil berlari cepat berpikir keras untuk mencari akal buat meloloskan diri dari kejaran si pendeta itu, yang diduganya bukanlah seorang pendeta baik.

Tapi justeru kepandaian Pu San Hoat-ong memang sangat tinggi, sulit sekali meloloskan diri. Kesempatan buat dapat meloloskan diri memang tampaknya tidak mungkin.

Akhirnya, ketika Bie Lan telah berlari sekian lama, dia melihat ke bawah.

Lorong yang berliku-liku, dia segera melompat turun tanpa pikir panjang lagi.

Waktu itu Pu San Hoat-ong sudah datang dekat malah sambil membentak: “Mau ke mana kau bocah busuk?”

Pu San Hoat-ong tidak buang waktu melompat turun juga, buat mengejar si gadis.

Bie Lan sengaja berlari menikung ke sana ke mari tidak hentinya. Kebetulan sekali jalan itu memang memiliki banyak lorong yang berliku-liku, dengan demikian membawa keuntungan juga buat Bie Lan.

Sebab si pendeta tidak bisa mengejar terlalu cepat. Dia kuatir salah memotong jalan yang dilaluinya.

Jarak mereka tetap tidak dekat.

Waktu itu mendadak Bie Lan melihat di sebelah ada tikungan empat. Dia melihat seorang pengemis tua yang tengah duduk rebah di jalan. Tampaknya dia lemah sekali. Cepat-cepat si gadis menghampiri.

“Lopeh!” panggil si gadis membangunkan pengemis itu. “Aku ingin minta tolong padamu!”

Pengemis itu membuka matanya, mengedip-ngedipkan matanya, tanyanya: “Nona mau minta tolong apa?”

“Kalau nanti ada pendeta yang datang ke mari bertanya padamu, Lopeh, Aku mengambil jalan ke mana. Kau bilang aku ke kanan!”

“Baik!” si pengemis mengangguk.

Tanpa membuang waktu lagi Bie Lan menikung ke kiri. Ia berlari sekuat tenaganya.

Benar saja. Tak lama kemudian Pu San Hoat-ong pun tiba di tempat itu.

Dia tak melihat bayangan si gadis, cuma melihat si pengemis yang rebah terbatuk-batuk di tepi jalan.

Tanpa membuang waktu ia mendekati si pengemis.

“Hei jembel, kau lihat seorang gadis lewat di sini?” Tanya Pu San Hoat-ong kasar sekali, mukanya bengis.

Pengemis itu menoleh, tampaknya ia mengantuk sekali.

“Taysu tanya apa?” tanyanya.

“Kau tuli? Melihat ada gadis yang lewat di jalan ini atau tidak?” bentak Pu San Hoat-ong.

“Oya! Ya! Ia mengambil jalan ke kanan.” Menyahuti si pengemis. “Kesana!”

Pu San Hoat-ong mengawasi mendelik pada si pengemis.

“Kau tidak membohong?”

“Ohh tidak! Tentu saja tidak!”

Pu San Hoat-ong segera berlari akan berbelok ke kanan, tapi waktu ia melewati sisi si pengemis, justeru ia merasakan ada sesuatu yang menggaet kakinya.

Karena tak menyangka akan terjadi hal seperti itu, ia kaget bukan main, ia keserimpet.

Untung saja Pu San Hoat-ong memang memiliki gin-kang yang tinggi, sehingga cepat ia bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, ia tak sampai terjerembab.

Waktu ia menoleh, dilihatnya si pengemis menyender dengan memejamkan matanya, seakan tak terjadi apa-apa.

Kaki si pengemis itulah yang terlonjor, dan Pu San Hoat-ong gusar bukan main.

Kalau ia tak ingat si gadis yang tengah dikejarnya akan hilang jejaknya, jika ia berlama-lama di situ, ia tentu akan menghajar si pengemis. Namun ia cuma mendengus saja, kemudian ia telah berlari lagi.

Cuma saja baru beberapa langkah, dari arah belakangnya menyambar angin yang kuat sekali, angin serangan.

Si pendeta jadi heran dan kaget, ia menyampok ke belakang, ia juga telah memutar tubuhnya.

Segera juga ia melihat si pengemis tengah melompat akan duduk menyender lagi. Seketika ia tersadar, bahwa yang telah menyerangnya adalah si pengemis.

Pu San Hoat-ong merasakan dadanya seakan ingin meledak karena hawa amarah yang tak kepalang. Ia tak mengatakan apa pun juga telah melompat ke arah si pengemis, telapak tangannya meluncur cepat akan menghantam kepala si pengemis.

Si pengemis melihat menyambarnya telapak tangan si pendeta jadi berseru: “Hei! Hei! Apa-apaan ini?” Tapi dia menyampok dengan tangan kanannya.

“Plakkk!” Tangan si pendeta tertangkis. Itulah tangkisan yang dilakukannya seakan juga tidak disengaja.

Kesudahannya Pu San Hoat-ong kaget tidak terkira. Memang pengemis itu seakan juga menggerakkan tangannya perlahan sekali, seperti tidak sengaja menangkis pukulan yang dilakukan Pu San Hoat-ong.

Namun kenyataan yang ada tangkisan si pengemis bukanlah kibasan tangan yang perlahan, karena tenaga tangkisan itu kuat sekali, membuat tubuh Pu San Hoat-ong terhuyung ke belakang. Dia sampai mengeluarkan seruan tertahan.

Untung saja Pu San Hoat-ong masih sempat buat mengerahkan tenaga gin-kang pada kuda-kuda ke dua kakinya, dia bisa mempertahankan dirinya tidak sampai terguling.

Si pengemis tetap membawa sikap tidak acuh, dia tetap rebah. Malah dia menguap.

“Hemmmm, kau rupanya hendak mempermainkan Loceng!” Bentak Pu San Hoat-ong sengit.

Pengemis itu menguap lagi.

“Ada apa Taysu?” Tanyanya sikap dan mimik wajahnya memperlihatkan seakan juga memang dia tengah terheran-heran dan seperti tidak mengetahui apa yang terjadi tadi.

Pu San Hoat-ong tidak banyak bicara lagi tahu tahu tubuhnya melesat cepat sekali, sepasang tangannya bergerak menyambar, kepada si pengemis.

“Berdiri!” Bentak Pu San Hoat-ong, begitu dia bisa mencengkeram sepasang tangan si pengemis, dengan membungkukkun tubuhnya, dia bermaksud menggetak buat mengangkat naik tubuh si pengemis.

Tapi, Pu San Hoat-ong tidak berhasil.

Pengemis itu tetap saja rebah diam, tidak terangkat sedikitpun juga, walaupun Pu San Hoat-ong telah mengangkat kuat sekali.

“Mengapa aku si pengemis tua yang sudah mau mampus disuruh berdiri oleh Taysu?” Tanya si pengemis seperti juga terheran-heran memandang kepada Pu San Hoat-ong dengan mata yang dibuka lebar-lebar.

Tidak kepalang murkanya Pu San Hoat-ong tapi iapun kaget tak terkira.

Dia segera menyadari pengemis ini seorang ahli dan jago silat yang mahir sekali sin-kang atau tenaga dalamnya, karena diangkat seperti itu, masih saja tubuhnya tak bergerak.

Dan juga, yang membuat Pu San Hoat-ong tambah kaget, karena tahu-tahu telapak tangannya pedih sekali. Seperti juga dari tangan si pengemis mengeluarkan uap yang panas bukan main, sehingga uap panas itu mau menyelusup ke dalam telapak tangan si pendeta.

Biarpun Pu San Hoat-ong sudah mengerahkan sin-kangnya buat melawan uap yang panas itu, menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya pada telapak tangannya, namun ia gagal. Dan ia merasakan betapa telapak tangannya tambah nyeri. Terpaksa sekali ia melepaskan cekalannya malah ia berseru kaget, begitu panasnya pergelangan tangan si pengemis yang dicekalnya.

Si pengemis mengangkat kepalanya.

“Mengapa Taysu?” tanyanya.

Pu San Hoat-ong tidak segera menjawab.

“Aduh……. pergelanganku sampai sakit dicengkeram oleh Taysu!” kata si pengemis lagi sambil mengusap-usap pergelangan tangannya.

Pu San Hoat-ong sendiri heran. Tapi dia semakin waspada, karena dia yakin bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan. Kepandaiannya tinggi sekali, walaupun sikapnya seperti orang yang tolol dan bodoh tidak mengerti persoalan.

Tadi Pu San Hoat-ong memang telah mengerahkan tenaga dalamnya pada ke lima jari tangannya, dia meremasnya, namun dia gagal buat meremukkan tulang pergelangan tangan si pengemis.

Jika memang seseorang yang berkepandaian tanggung-tanggung, begitu diremas tulang pergelangan tangannya oleh kekuatan seperti yang dipergunakan Pu San Hoat-ong niscaya tulang pergelangan tangannya itu akan remuk hancur. Tapi kenyataan pengemis itu tidak kurang suatu apa pun juga.

Tapi Pu San Hoat-ong ketika tersadar bahwa pengemis ini pasti memang hendak mempermainkan dan melindungi calon mangsanya. Tentu si gadis telah pergi entah ke mana dan pengemis ini yang berusaha membendungnya agar ia tidak bisa mengejar terus gadis itu.

Teringat akan hal ini, seketika Pu San Hoat-ong merobah keputusannya. Dia tidak mau melayani si pengemis lebih jauh, selain memang orang sangat liehay dan sulit buat dirubuhkan dan dia kuatir akan kehilangan jejak calon mangsanya.

Maka dia berkata bengis, “Nanti Loceng akan datang mencarimu buat memperhitungkan semua ini!”

Setelah berkata begitu, tanpa menantikan jawaban si pengemis, Pu San Hoat-ong sudah memutar tubuhnya. Dia bermaksud meninggalkan si pengemis, ia ingin mengejar terus calon mangsanya, Bie Lan.

Tapi, baru saja ia memutar tubuhnya ia mendengar suara si pengemis: “Mau ke mana Taysu? Mari Taysu temani aku untuk main catur…….!” sambil berkata begitu, tangan si pengemis telah bergerak. Maka Pu San Hoat-ong seketika mendengar sambaran angin yang tajam.

Dia mandek dan mengibaskan tangannya. Tapi dia cuma bisa menyambuti dua butir batu yang ditimpuk pengemis. Kemudian menyambar lagi angin yang tajam.

Pu San Hoat-ong bukan main mendongkolnya. Dia menyampok lagi ke belakang.

Tiga butir batu telah kena disampoknya.

Demikianlah, Pu San Hoat-ong jadi gagal buat meninggalkan tempat itu dan si pengemis.

Bukan main murkanya Pu San Hoat-ong. Ia membentak bengis dan batal buat pergi. Melainkan tubuhnya melesat sangat cepat sekali dan menghantam dengan sepasang tangannya. Sekali ini, Pu San Hoat-ong benar-benar sudah tidak bisa menahan diri.

Apa yang dilakukan Pu San Hoat-ong kali ini tidak bisa diremehkan oleh si pengemis. Itulah serangan yang disertai tenaga dalam yang dahsyat sekali.

Dengan demikian si pengemis juga tidak bisa berdiam diri, sebab dia segera melesat bangun berdiri. Dia bukan cuma melompat berdiri. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, dia melompat lagi ke belakang satu tombak lebih.

Pukulan Pu San Hoat-ong jatuh di tempat kosong, menambah penasaran si pendeta.

“Kau harus mampus di tangan Loceng!” Teriak Pu San Hoat-ong yang sudah bisa mempertahankan kemarahan hatinya. Dia marah karena si pengemis menghalanginya, berarti dia telah kehilangan kesempatannya, buat menangkap calon mangsanya, yaitu Bie Lan.

Disamping itu, dia telah mempermainkannya terus, menambah rasa penasarannya. Maka dia telah menyerang tidak tanggung-tanggung.

Tenaga dalam yang dipergunakannya sangat kuat sekali. Dia telah mengempos sebagian besar tenaga sin-kangnya, buat menyerang dengan jurus-jurus yang mematikan.

Cuma saja, dasarnya si pengemis memang memiliki sin-kang dan gin-kang yang mahir. Disamping dia selalu dapat bergerak gesit sekali juga si pengemis dapat saja buat menghindarkan dan memunahkan tenaga serangan Pu San Hoat-ong.

Tiga kali Pu San Hoat-ong mendesak si pengemis namun tetap saja gagal.

Pengemis itupun tidak mau tinggal diam karena tubuhnya tampak berkelebat-kelebat dengan lincah sekali.

Pu San Hoat-ong yang dikelilingi si pengemis jadi berdiam diri, mengawasi saja dengan mata yang mencil tajam serta bengis.

Pengemis itu bergerak sangat lincah sekali sehingga tubuhnya yang berputar-putar mengelilingi Pu San Hoat-ong, saking cepatnya, dia seperti jadi beberapa orang pengemis, yang terus mengelilingi Pu San Hoat-ong.

Si pendeta berdiam tidak segera menyerang karena buat sementara waktu itu dia jadi tidak mengetahui arah sasaran yang tetap. Dia tidak mau menyerang sembarangan lagi.

Diam-diam ia telah memusatkan kekuatan tenaga dalamnya yang disalurkan pada kedua telapak tangannya. Dia bersiap-siap akan mempergunakannya begitu juga dia melihat ada kesempatan tersebut. Namun tetap saja yang mengelilinginya adalah bayangan tubuh si pengemis.

Pu San Hoat-ong memasang pendengarannya. Ia memiliki pendengaran yang tajam, karena dari itu, ia dapat mendengarkan dengan baik.

Dan akhirnya ia mengetahui ke arah mana berputarnya si pengemis, dengan mengandalkan pendengarannya, mendengarkan desir angin yang berkesiuran akibat berputarnya tubuh si pengemis.

Pu San Hoat-ong mulai dapat menangkap di arah mana, pengemis itu berada. Maka setelah yakin, mendadak sekali ia membentak dibarengi dengan sepasang tangannya yang menghantam.

Kali ini ia memukul kuat sekali, angin pukulan itu berkesiuran dahsyat bukan main.

Pengemis itu tertawa.

“Bagus! Ternyata Taysu memang pandai bermain catur!” katanya. Itulah ejekan.

Dan pengemis itu bukan berkelit, ia masih tetap berputar, cuma saja pukulan yang dilakukan Pu San Hoat-ong, ditangkisnya dengan kuat. Tenaga tangkisan yang dilakukannya juga tak kalah kuatnya dibandingkan dengan tenaga serangan Pu San Hoat-ong.

“Dukkk!” Tangan Pu San Hoat-ong dengan tangan si pengemis saling bentur. Dan benturan tersebut membuat tubuh mereka masing-masing tergetar keras.

Pu San Hoat-ong tidak sampai disitu saja, dia menghantam lagi. Dua kali beruntun. Dan si pengemis juga beruntun menangkis dengan keras lawan keras.

Terdengar beruntun dua kali benturan yang keras, tubuh mereka jadi berhadapan. Si pengemis tidak berputar lagi.

“Siapa kau sebenarnya, pengemis busuk!” Bentak Pu San Hoat-ong sambil mengawasi dengan mata mendelik garang, mengandung hawa pembunuhan.

Pengemis itu tetap membawa sikap yang tenang, dia tertawa.

“Kau ingin mengetahui siapa aku, Taysu? Akulah si tukang pukul kepala gundul!” Kata si pengemis.

Dada Pu San Hoat-ong seperti mau meledak.

“Sekarang mari kita main catur lagi!” Belum lagi Pu San Hoat-ong membentak, justeru si pengemis yang tampaknya senang mempermainkan si pendeta, telah menghantam.

Sekali ini dia tidak main-main karena dialah yang menghantam si pendeta. Dia telah membiarkan Pu San Hoat-ong mendesaknya seperti tadi.

Jika tadi memang dia cuma mengelak maupun juga cuma menangkis memunahkan serangan yang dilakukan Pu San Hoat-ong. Justeru sekarang ini dia yang mendesak Pu San Hoat-ong, sekaligus dia telah menghantam sampai enam-tujuh kali.

Pukulan yang dilakukannya begitu kuat dan dahsyat. Dan telah membuat Pu San Hoat-ong jadi sibuk buat mengelakkan diri.

Benar-benar Pu San Hoat-ong bisa melihat bahwa si pengemis memang sebenarnya, bukanlah orang sembarangan. Kepandaiannya sangat hebat. Dan berarti dia tidak boleh memandang remeh dan memperlakukan sembarangan.

Berulang kali dia mengelakkan diri dari serangan yang dilakukan oleh si pengemis. Setelah diserang empat kali dengan desakan yang kuat, maka Pu San Hoat-ong baru memiliki kesempatan buat balas menyerang, sekali ini dia menyerang dengan dahsyat sekali. Dia memang seakan jadi kalap.

Tapi pemuda itu mudah sekali menghindarkan pukulan Pu San Hoat-ong. Sambil mengelakkan diri, dia telah berseru: “Hai! Hai! Menakutkan sekali! Mengerikan!”

Setelah berseru begitu, dia memutar tubuhnya, di tempat kosong dia menjejakkan kakinya, dia berlari akan meninggalkan pendeta tersebut. Malah dia masih berseru nyaring:

“Ngeri bukan main jika menghadapi pendeta yang sedang kalap! Sungguh galak. Mengerikan!”

Dan dia tertawa bergelak-gelak. Itulah ejekan yang benar-benar menyakitkan hati Pu San Hoat-ong, karena tampaknya memang pengemis tidak memandang sebelah mata padanya dan masih terus juga mempermainkannya.

Berang sekali Pu San Hoat-ong mengejarnya. Karena dia jadi penasaran. Belum pernah seumur hidupnya dipermainkan seperti ini.

Dengan mengerahkan gin-kangnya Pu San Hoat-ong mengejar cepat sekali. Tapi pengemis itupun berlari gesit luar biasa.

Rupanya gin-kang pengemis itu mahir bukan main dan sesungguhnya ia ingin mempermainkan si pendeta.

Sambil berlari si pengemis berpikir: “Pendeta ini berkepandaian tinggi, siapakah dia? Tampaknya ia bukan orang sembarangan. Aku harus hati-hati!”

Pu San Hoat-ong, berseru: “Berhenti! Mari kita main-main, mengapa kau pengecut seperti itu? Atau memang kau hendak lari meloloskan diri?”

Setelah berkata begitu, tangannya diayunkan, ia melemparkan beberapa senjata rahasia yang berbentuk roda bergigi, yang menyambar cepat sekali pada si pengemis.

Merasakan sambaran angin yang kuat di belakangnya, segera si pengemis membuang diri bergulingan di tanah. Ia berhasil menghindarkan beberapa senjata rahasia yang tadi menyambar punggungnya.

Tiga senjata berbentuk roda bergigi itu menancap dalam sekali di tembok, dengan mengeluarkan suara yang keras. Amblas, melihat itu si pengemis mengerutkan keningnya.

Kalau tadi dia tidak keburu menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia tersebut, bukankah punggungnya akan berlobang sampai ke dada oleh senjata rahasia yang dilemparkan Pu San Hoat-ong dengan kekuatan lweekang yang dahsyat?

“Hemmm, tampaknya memang dia hendak membunuhku!” Demikianlah pikir si pengemis. “Aku harus waspada sekali, karena dia tidak boleh diremehkan.”

Walaupun hatinya terkejut melihat hebatnya tenaga sin-kang Pu San Hoat-ong, tokh si pengemis tidak jeri. Dia malah sudah meletik bangun dan berlari lagi dengan dikejar terus oleh Pu San Hoat-ong.

Tangan Pu San Hoat-ong sudah merabah jubahnya, dia bermaksud akan mengulangi lagi menyerang si pengemis dengan senjata rahasianya yang luar biasa itu.

Namun belum lagi dia menarik keluar tangannya dari saku jubahnya, dia melihat di depan si pengemis tengah mendatangi seorang pemuda. Masih muda sekali pemuda itu.

Diapun menutupi mukanya dengan kain putih sehingga tidak bisa terlihat jelas wajahnya. Pakaiannya pun berwarna putih.

Dia tengah mendatangi dengan tenang, dan ketika melihat pengemis yang tengah dikejar-kejar oleh si pendeta, dia mengerutkan alisnya. Dia menahan langkah kakinya, dan berdiri diam.

Cepat sekali pengemis itu tiba dihadapan si pemuda yang menutupi mukanya dengan kain putih itu.

“Ada apa lopeh?” Tanya si pemuda berselubung muka kain putih itu, sabar suaranya.

“Aduh tolong aku, Kongcu. Tolong aku! Aku dikejar pendeta gila.” Kata si pengemis.

Meluap amarah Pu San Hoat-ong mendengar kata-kata si pengemis. Dia tiba dengan segera.

Pengemis itu segera berputar mengelilingi si pemuda, dikejar terus oleh Pu San Hoat-ong.

Malah, jailnya si pengemis berulang kali memperlihatkan mimik muka seperti mengejek.

Kalap sekali Pu San Hoat-ong, dia mengejar terus.

“Aduh....... tolong aku, Kongcu……. jangan biarkan aku ditangkap pendeta gila itu!” Berseru si pengemis dengan suara yang nyaring menambah kemurkaan Pu San Hoat-ong.

Karena saking murka dan menganggap dia mengganggunya, sehingga sulit dia menangkap si pengemis segera tangan Pu San Hoat-ong menghantam pundak si pemuda. Maksudnya membuat si pemuda terpelanting dengan begitu dia bisa menangkap si pengemis.

Tapi, begitu tangan si pendeta menyambar, pemuda ini menyampok dengan tangan kirinya perlahan dan tenang sekali. Tapi tangan si pendeta kena disampok keras, dan malah Pu San Hoat-ong merasa kesakitan.

Pu San Hoat-ong seketika berhenti mengejar si pengemis. Dia mengawasi mendelik pemuda itu.

“Siapa kau?” Bentak si pendeta.

“Tenang Taysu, mari kita bicara!”

“Hemmmm, kau tidak tahu urusan yang sebenarnya!” Bentak Pu San Hoat-ong bengis.

“Tapi, marilah kita bicara dulu! Ada persoalan apakah antara Taysu dengan Lopeh itu?” Sambil bertanya demikian si pemuda telah menunjuk si pengemis, yang telah duduk di tepi jalan sambil memperlihatkan mimik muka mengejek Pu San Hoat-ong.

Meluap darah Pu San Hoat-ong. Akan tetapi dia sekarang, tidak bisa segera menangkap si pengemis. Dia bersumpah, jika dia bisa membekuk pengemis itu tentu dia akan menghancurkan batok kepalanya untuk melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan hatinya.

“Kau ingin mencampuri urusan kami?!” Bentak si pendeta pada orang yang memakai selubung muka itu.

Tenang sekali sikap orang itu. Dia memperdengarkan tertawa perlahan.

“Tidak baik marah-marah seperti itu, Taysu........ tenanglah!” Kata orang itu.

“Sebutkan namamu!” Bentak Pu San Hoat-ong dengan suara yang bengis.

Orang itu mengangguk.

“Baik! Baik! Siauwte adalah Kim Lo. Itu saja, Taysu bisa memanggilku dengan sebutan itu saja!”

“Kim Lo?”

“Ya!”

Aneh sekali nama itu, sampai Pu San Hoat-ong jadi curiga bahwa orang inipun tengah mempermainkannya.

“Benar-benar namamu Kim Lo?” ia bertanya mengulangi lagi dengan muka bengis.

Orang itu mengangguk.

“Ya benar!” Membenarkan orang itu.

Pu San Hoat-ong mengawasi bengis.

“Mengapa mukamu tertutup seperti itu? Atau memang kau takut untuk memperlihatkan mukamu?” Tegur Pu San Hoat-ong sambil terus menatap ke muka orang itu.

Pemuda itu yang tak lain memang Kim Lo tertawa tawar. Ia bilang, “Belum tiba waktunya. Jika memang telah tiba waktunya, aku akan membuka tutup muka ini!”

“Hemmm, dengan menutupi muka seperti itu kau kuatir akan ada orang yang mengenali dirimu, tentunya kau pernah melakukan sesuatu perbuatan tidak baik!”

Walaupun pendeta itu berkata kasar seperti itu, Kim Lo tak jadi gusar.

“Jangan menduga yang tidak-tidak Taysu!” Katanya sabar. “Aku ada kesulitan yang belum dapat diungkapkan sekarang! Hemmm, sekarang jika memang Taysu mau bicara dengan baik bersama lopeh ini, siauwte tentu saja tak berani mencampuri urusan ini!”

“Pengemis itu terlalu kurang ajar! Aku ingin menghajarnya!”

“Tapi masih bisa dibicarakan secara baik-baik!” Kata Kim Lo sabar.

“Bocah! Jika memang kau ingin kepalamu tetap utuh di atas lehermu, maka kau harus cepat-cepat menyingkir!” Kata Pu San Hoat-ong habis sabar. “Kau masih belum terlambat angkat kaki meninggalkan tempat ini!”

Walaupun Pu San Hoat-ong bicara dengan sikap bengis dan keras seperti itu, tapi diam-diam di hatinya ia berpikir:

“Bocah ini tampaknya liehay, ia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Tadi ia menangkis pukulanku, tanganku sakit bukan main, padahal ia menangkis dengan perlahan! Aku tak boleh mencari urusan lagi dengannya, karena bisa repot……. yang terpenting aku harus mengurus si pengemis…….!”

Karena berpikir seperti itulah, membuat Pu San Hoat-ong mengambil sikap lebih lunak dan mempersilahkan Kim Lo buat meninggalkan tempat itu.

Kim Lo menghela napas.

“Taysu, bukankah tak baik jika mendesak seorang yang sudah tak berdaya?” Tanya Kim Lo lagi.

“Apa?”

“Lopeh itu tampaknya sudah tak berdaya kau kejar-kejar, dan kau juga mendesaknya terus, bukankah itu tak baik jadinya?”

Pu San Hoat-ong tertegun sejenak, namun segera ia tertawa bergelak-gelak.

“Ha ha ha!” tertawanya. “Kau tahu apa? Dia memiliki kepandaian yang tidak rendah, justeru ia hendak mempermainkan Loceng! Nah, sekarang kau minggirlah! Jangan mencampuri urusan Loceng.”

Kim Lo menggeleng.

“Sayang sekali urusan ini tidak dapat Siau-wie dibiarkan begitu saja! Bagaimana kalau memang nanti sampai Lopeh itu terbinasa di tangan Taysu?”

“Itu urusan Loceng!” Bentak Pu San Hoat-ong habis sabar.

Kim Lo tertawa.

“Tapi, ini urusan jiwa manusia, Taysu.” Katanya dengan yang sabar.

“Ohhh, kau terlalu rewel.”

Sambil begitu, tangan kanan Pu San Hoat-ong diulur buat mendorong Kim Lo.

Tapi belum lagi tangan itu sampai pada sasaran, tangannya yang satu telah menjulur panjang akan mencengkeram, tangannya yang kanan telah ditarik pulang. Rupanya memang dia hanya melakukan serangan gertakan belaka buat pertama kalinya, dia kuatir orang berkelit. Justeru dia menyerang dengan sebenarnya mempergunakan tangan kirinya, yang akan mencengkeram hebat sekali.

Waktu itu tampak jelas Kim Lo berdiri tenang di tempatnya.

Dia tidak berusaha berkelit dari tangan si pendeta. Dia berdiri diam saja. Begitu tangan si pendeta sudah dekat, tahu-tahu dia menyentil dengan telunjuknya.

“Tukk!” Tangan kiri Pu San Hoat-ong kena disentilnya. Dan Pu San Hoat-ong menjerit sambil mundur dua langkah.

Memang sentilan yang dilakukan si pemuda bukan sentilan sembarangan. Kim Lo menyentil dengan mempergunakan ilmu yang hebat sekali, yaitu It-yang-cie, ilmu yang semula menjadi milik raja Toan-lie, yaitu Toan Ceng It Teng Taysu. Justeru akhirnya ilmu itu dapat dipelajari oleh Oey Yok Su, yang kemudian mewarisinya kepada Kim Lo.

Muka Pu San Hoat-ong jadi berobah pucat.

“Siapa kau sebenarnya?” Tegurnya dengan suara yang bengis.

Pengemis itu yang melihat Kim Lo mempergunakan jurus It-yang-cie dengan mudah sekali, sekali sentil, membuat tubuh si pendeta terhuyung begitu dan serangan yang dilakukan. Pu San Hoat-ong kena digagalkannya, ikut mengeluarkan seruan tertahan.

Mata pengemis itu terbuka lebar-lebar karena memang dia mengenali itulah It-yang-cie. Dia jadi menduga-duga entah siapa orang yang terselubung kain putih itu, yang tampaknya sangat liehay sekali.

Kim Lo tampak membungkukkan tubuhnya sambil menjurah memberi hormat.

“Maaf Taysu, aku telah kesalahan turun tangan!” Katanya sabar, “Maaf!”

Pu San Hoat-ong mendengus. Dia tidak bilang apa-apa. Justeru disaat orang tengah membungkuk seperti itu, tangan Pu San Hoat-ong menyambar, akan menarik kain putih penutup muka Kim Lo, dengan gerakan yang cepat sekali.

Kim Lo merasakan sambaran angin yang dahsyat ke arah mukanya, dia melirik. Dia melihat tangan Pu San Hoat-ong yang tengah menyambar. Maka dari itu, dia segera menarik tubuhnya ke belakang, kepalanya dimiringkan sedikit, sambaran tangan Pu San Hoat-ong tidak berhasil menyambar kain putih muka Kim Lo.

Malah, karena sambaran yang gagal waktu tubuhnya doyong ke depan, Kim Lo telah membarengi dengan mendorong perlahan mempergunakan tangan kanannya.

“Dukkk!”

Ketika Pu San Hoat-ong kena dihantam, sebetulnya Pu San Hoat-ong melihat menyambarnya tangan Kim Lo. Dia bermaksud menghindarkan diri.

Tokh dia tidak berhasil. Ketiaknya kena dihantam. Walaupun tidak keras, tokh tubuhnya jadi terjungkal ke belakang hampir terpelanting.

Dengan muka yang pucat dia mengawasi ke arah Kim Lo penuh dendam dan penasaran.

“Hemmmm, kalau demikian memang kau bukan ingin jadi orang penengah, kau memihak dan membela pengemis itu? Baik! Baik! Kau diberi jalan ke sorga tapi kau memilih jalan ke neraka!” Sambil berkata begitu tubuh Pu San Hoat-ong segera menerjang, dia beruntun menghantam lima kali.

Tadi karena dia tidak bersiap-siap dan memang dia tidak menyangka bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Dia tidak berwaspada, itulah sebabnya berulang kali dia telah kena dimakan oleh Kim Lo.

Tapi sekarang dia menyerang dengan mengempos semangat murninya, mengerahkan ilmunya yang hebat. Dia bersungguh-sungguh dan hati-hati, dia tengah marah, bisa dibayangkan betapa hebatnya angin pukulan yang dilakukannya.

Debu malah telah terbang karena sambaran angin pukulan si pendeta.

Si pengemis sendiri mengawasi kuatir kepada si pemuda. Walaupun dia melihat Kim Lo tadi begitu mudah memunahkan serangan Pu San Hoat-ong dan malah telah berhasil dua kali menyerang Pu San Hoat-ong, seakan mempermainkan pendeta itu tokh tidak urung kali ini jadi menguatirkan keselamatan Kim Lo.

Karena dia melihat cara menyerang dari Pu San Hoat-ong, bukanlah serangan yang sembarangan. Itulah serangan yang sungguh-sungguh, hebat dan mengandung kekuatan yang bisa mematikan.

Si pendeta jadi bersiap-siap, jika memang keselamatan jiwa Kim Lo terancam, dia akan segera melompat maju buat membantui dan menolongnya.

Tapi Kim Lo ternyata luar biasa, karena ia sangat tenang dapat bergerak lincah sekali.

Setiap hantaman Pu San Hoat-ong dielakkannya mudah sekali. Malah Kim Lo masih sempat bilang.

“Tenang Taysu, mari kita bicara baik-baik. Tenang Taysu!”

Pu San Hoat-ong mana bisa mengerti dengan cara seperti itu? Malah semakin murka, karena dia seperti dipermainkan pemuda tersebut. Setiap serangannya tentu jatuh di tempat kosong.

Dengan segera, Pu San Hoat-ong mengempos semangatnya. Ia menghantam lebih hebat. Malah sekarang dia telah mengeluarkan ilmu andalannya.

Jika memang satu kali saja pukulannya bisa jadi mengenai sasaran, jangan harap Kim Lo bisa jadi orang, pasti dia akan terhantam binasa disaat itu juga.

“Hemm, tangan pendeta ini telengas sekali.” Pikir Kim Lo dalam hati. “Melihat kelakuannya, pendeta ini perlu diberi hajaran agar dia tidak merajalela lagi!”

Karena berpikir seperti itu, Kim Lo juga jadi tak sungkan-sungkan lagi. Jika sebelumnya ia selalu mengelakkan diri dari seorang Pu San Hoat-ong, malah ia selalu berusaha menghentikan penyerangan si pendeta dengan bujukan-bujukannya, tapi sekarang justeru Kim Lo balas menyerang.

Setiap kali ada kesempatan ia tentu mendesak Pu San Hoat-ong, karena memang ia memiliki kepandaian yang tinggi. Mudah saja ia membalas menyerang, dan membuat Pu San Hoat-ong semakin mendongkol bukan main.

“Aneh! Hari ini mengapa aku bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi? Si gadis yang kepandaiannya tak rendah. Si pengemis dan sekarang orang bertopeng ini!” Berpikir Pu San Hoat-ong.

Namun jelas ia tak mau mengalah. Ia tak mau mengendurkan serangannya, malah semakin lama serangannya itu, jadi semakin hebat, setiap pukulannya mengandung maut.

Suatu kali, karena melihat ia masih tetap tidak berhasil mendesak Kim Lo, walaupun mereka telah melewati seratus jurus lebih akhirnya Pu San Hoat-ong merabah jubahnya. Dari dalam dia mengeluarkan sebuah pecut besi yang lemas, yang digerakkan dengan kuat sekali bunyinya menggeletar sangat dahsyat.

Pu San Hoat-ong memang memiliki senjata yang unik ini. Jika dia tidak terdesak dan tidak memerlukan sama sekali, dia tidak akan mencabut keluar senjatanya itu. Dan jarang sekali, dia terpaksa mempergunakan cambuknya yang luar biasa itu.

Cambuk Pu San Hoat-ong terbuat dari berbagai macam logam yang sangat baik dan terpilih, yang digabung menjadi satu, diolah menjadi sebatang cambuk yang kuat dan ulet. Cambuk itu lemas, tapi kuat sekali. Pedang mustika tidak sembarangan dapat menebas putus cambuknya tersebut.

Dengan mengeluarkan cambuknya itu Pu San Hoat-ong jadi bertambah lihay. Dan setiap cambuknya selalu mengancam Kim Lo dengan rapat.

Kim Lo mula-mula mengelak ke sana ke mari dengan gerakan lincah, tapi setelah menyaksikan bahwa cambuk si pendeta memang lihay diapun segera mengeluarkan serulingnya.

Waktu dia mengeluarkan serulingnya, justeru cambuk si pendeta tengah menyambar ke arah pahanya. Cepat sekali menurunkan serulingnya dia menyampok.

Terjadi benturan antara seruling dengan cambuk si pendeta. Terdengar suaranya nyaring.

“Hem, kali ini kau harus mampus di tangan loceng!” Mendengus Pu San Hoat-ong. Dia menyerang terus gencar sekali, cambuknya lihay luar biasa.

Tapi Kim Lo tenang.

“Baiklah Taysu, mari kita main-main!” katanya segera juga seruling Kim Lo bergerak-gerak lincah. Dan mereka jadi terlibat dalam pertempuran yang seru.

Cuma saja, setelah lewat belasan jurus kembali Pu San Hoat-ong harus diliputi perasaan heran dan kaget. Karena dia menyaksikan ilmu seruling pemuda ini lihay sekali.

Walaupun cambuk Pu San Hoat-ong panjang setombak lebih dan seruling si pemuda cuma beberapa kaki, tokh kenyataannya pemuda itu bisa melayani dengan baik.

Padahal dengan senjata yang lebih panjang Pu San Hoat-ong sudah bisa merampas keuntungan tak sedikit, hanya saja lawannya ini selain lincah, ilmu serulingnya juga sangat liehay.

“Aneh, siapakah dia? Mengapa ia demikian liehay? Diapun tak mau memperlihatkan mukanya....... Aneh sekali kelakuan orang ini. Hemm, aku harus berusaha merubuhkannya!” Setelah berpikir seperti itu, cambuknya menggeletar keras dan mencambuk berulang kali.

Seruling Kim Lo berputar-putar sangat lincah. Tubuh pemuda inipun seperti bayangan belaka, mereka bertempur seru sekali.

Dan akhirnya, ketika melihat cambuk Pu San Hoat-ong menyambar ke pundaknya, Kim Lo segera menerobos maju. Dia bukannya mundur, malah sebaliknya menerjang ke depan.

Itulah hal yang tidak disangka-sangka oleh Pu San Hoat-ong. Juga apa yang dilakukan oleh Kim Lo merupakan perbuatan yang berani sekali, yang sangat berbahaya buat diri pemuda itu sendiri.

Cuma saja Kim Lo sudah memiliki perhitungan sendiri. Dia memang sengaja menerjang maju dikala cambuk Pu San Hoat-ong menyambar ke pundaknya. Di waktu itu serulingnya inilah yang telah menotok tepat pada jalan darah Hie-liong-hiat si pendeta.

Begitu tertotok, si pendeta seketika merasa lemas tangan kanannya, sambaran cambuknya jadi terbendung dan berkurang kekuatannya. Tadi melihat seruling Kim Lo menyambar dia kaget dan hendak mengelakkan, tapi sudah tidak keburu, sehingga jalan darahnya itu tertotok. Dan dia mundur beberapa langkah. Mereka jadi berdiri berhadapan.

Terdengar Kim Lo tertawa sabar.

“Bagaimana Taysu, apakah ingin diteruskan?” Tanya si pemuda.

“Hemmmm, siapa kau sebenarnya?!”

“Bukankah Siauwte sudah beritahukan bahwa nama Siauwte adalah Kim Lo!!”

“Hemm, apakah itu bukan nama samaran?!”

“Bukan!”

“Baiklah! Siapa gurumu?”

“Ku kira hal itu tidak perlu kau ketahui!”

Muka Pu San Hoat-ong berobah merah.

“Hemm, suatu saat Loceng akan mencarimu! Baiklah, sekarang Loceng tidak bisa mengambil batok kepalamu, tapi nanti, hemm hemm, hemm!”

“Jadi Taysu masih tetap bersikeras hendak memusuhi diriku? Padahal di antara kita tidak terdapat permusuhan.”

“Tapi aku tetap mau menangkap dan membinasakan kau! Lihatlah nanti!”

Pu San Hoat-ong berkata begitu, karena ia berpikir tidak ada baiknya dia melayani Kim Lo terus. Bukankah dia melihat pemuda itu memang liehay?

Jika dia bertempur terus, belum tentu dia bisa memperoleh kemenangan. Kemungkinan dia yang akan kena dirubuhkan oleh pemuda tersebut. Jika memang seandainya dia itu tidak dirubuhkan, tokh tenaga dalamnya sudah terhambur dan juga semangatnya sudah terbuang berkurang banyak sekali.

Sedangkan di tempat itu masih ada si pengemis. Pengemis itupun memiliki kepandaian tidak rendah.

Karena dari itu, dia tidak mau menempuh bahaya seperti itu. Dan juga memang diapun tahu, kalau sampai nanti dia harus melayani si pengemis yang memiliki kepandaian tidak rendah, berarti dia yang akan menderita kerugian.

Itulah sebabnya akhirnya dia mengambil keputusan buat menyudahi saja dulu persoalan sampai di situ. Dia akan memanggil kawan-kawannya, dan akan datang lagi mencari si pengemis dan juga mencari si pemuda yang aneh tapi liehay ini.

Kim Lo tertawa sambil mengangkat bahunya.

“Terserah pada Taysu! Tapi perlu kujelaskan kepada Taysu. Alangkah baiknya jika memang Taysu menyudahi urusan sampai di sini karena di antara kita tidak terdapat permusuhan apa pun juga, bukan?”

“Hemm!” Mendengus Pu San Hoat-ong, dia tidak menjawab. Dia melirik kepada si pengemis sikapnya sangat galak sekali lalu memutar tubuhnya dan berlari menenteng cambuk besinya itu dengan cepat menghilang dari tempat tersebut……..

Melihat si pendeta telah pergi, si pengemis menghampiri Kim Lo. Dia tertawa.

“Anak muda, kau liehay sekali!” Pujinya.

Kim Lo menoleh. Terdengar iapun tertawa. Malah dia telah memasukkan serulingnya.

“Mengapa Lopeh bisa bermusuhan dengan pendeta itu dan dikejar-kejar olehnya?” Tanya Kim Lo.

Pengemis itu tersenyum.

“Sebetulnya bukan aku yang bertengkar dan bentrok dengannya! Justeru aku menolongi seorang gadis, yang meminta kepadaku agar membantunya!”

Segera juga si pengemis menceritakan apa yang telah dialaminya.

Waktu itu Kim Lo mendengarkan dengan hati yang berpikir keras! Apakah bukan si gadis itu adalah Bie Lan?

“Tahukah lopeh, siapa nama gadis itu?” Tanya Kim Lo pada si pengemis.

Pengemis itu menggeleng.

“Dia begitu tergesa-gesa dan memang kami tak saling kenal sebelumnya!” Kata si pengemis.

Kim Lo menghela napas.

“Kalau demikian, pendeta itu bukan sebangsa pendeta baik-baik!”

“Memang jika diperhatikan, dialah seorang pendeta iblis! Dia mengejar-ngejar gadis itu karena dia hendak menawan si gadis, dia hendak menjadikan si gadis sebagai mangsanya. Karena dari itu, dia berusaha untuk memperoleh jejak si gadis, dan merasa murka karena dihalangi olehku!”

“Tahukah Kongcu bahwa di kota ini terjadi kemesuman yang membuat penduduk jadi menderita! Hemmm, pendeta itu bersama kawan-kawannya telah merajalela!

“Mereka mengganggu anak dan isteri orang, memperkosa gadis-gadis cantik, sehingga banyak gadis-gadis dan isteri-isteri penduduk yang telah dikirim ke kota lain. Kota ini hampir sama sekali tidak terdapat gadis maupun perempuan yang lumayan cantik!

“Hemmm, keamanan kola ini benar-benar terganggu sekali! Justeru aku baru tiba di sini belum juga satu minggu. Aku mendengar hal itu dan hendak menyelidiki!

“Menurut penglihatanku, penjahat-penjahat jay-hoa-cat tersebut bukan bekerja sendiri. Mereka terdiri dari beberapa orang yang memiliki kepandaian tinggi.

“Karena dari itu, aku bermaksud hendak menyelidiki mereka dan ingin membasminya. Hemm, pendeta itu tentu termasuk salah seorang penjahat jay-hoa-cat tersebut!”

Sepasang alis Kim Lo mengkerut.

“Kalau memang siauwte tahu bahwa pendeta itu adalah seorang pendeta busuk, hemm, tentu siauwte akan menghajar keras padanya.”

“Tapi sekarang juga belum terlambat, kita tentu akan bertemu lagi dengannya. Dia pasti akan mengajak kawannya buat mencari kita guna mengadakan perhitungan!”

Kim Lo mengangguk.

Sedangkan si pengemis telah mengawasi Kim Lo.

“Siapakah Kongcu sebenarnya?”

Kim Lo tersenyum.

“Nama Siauwte Kim Lo!”

“Ohhh, jadi memang Kongcu bukan tengah mendustai pendeta busuk itu?”

“Tidak, Memang nama siauwte Kim Lo!”

“Kalau Kongcu tidak keberatan bolehkah aku si pengemis miskin mengetahui, dari manakah asal Kongcu? Dari pintu perguruan mana dan siapa guru Kongcu yang mulia?”

Di tanya begitu Kim Lo ragu-ragu.

“Lopeh, sebenarnya....... ada kesulitan buatku menceritakan semua itu!”

“Oh ya?” Kata si pengemis. “Jika memang Kongcu ada kesulitan, sudahlah! Aku pun tidak berani mendesaknya terus!”

“Maafkan Lopeh!”

“Tidak apa-apa! Tapi ada satu lagi yang ingin kutanyakan mungkin Kongcu tidak keberatan menjawabnya!”

“Tanyalah lopeh!”

“Mengapa Kongcu menutupi muka dengan kain putih itu?” Tanya si pengemis.

“Inipun ada sebab-sebabnya!” Menyahuti Kim Lo.

Si pengemis jadi memandang tertegun.

“Tampaknya Kongcu sangat aneh segalanya! Juga kepandaianmu hebat sekali! Hem, engkaulah seorang pendekar aneh,” Kata si pengemis.

“Dan kau cocok sekali jika memakai gelaran sebagai Pendekar Aneh Berseruling Sakti! Karena tadi, aku si pengemis miskin menyaksikan betapa liehaynya ilmu seruling Kongcu!”

Kim Lo tertawa,

“Lopeh bisa saja!” Katanya, “sudahlah lopeh kau jangan memuji terlalu tinggi karena nanti kau membantingnya pula!”

“Aku bukan memuji kosong! Justeru ini kenyataan. Hemmm, nantipun aku akan memberitahukan kawan-kawan rimba persilatan bahwa di dalam kalangan kang-ouw sekarang ini telah lahir dan muncul seorang jago muda yang sakti sekali, yaitu Pendekar Aneh Berseruling Sakti Kim Lo.

“Hemmm, bukankah gelaran itu cocok sekali dengan keadaan Kongcu, yang serba aneh dan juga penuh dengan kemisteriusan karena tak dapat diketahui asal usulnya. Tak bisa dilihat wajahnya dan ilmu serulingnya yang memang benar-benar sakti sekali.

“Terima kasih lopeh! Tapi aku tak berani menerima pujian lopeh. Jika memang lopeh tidak keberatan, bolehkah siauwte mengetahui siapakah lopeh sebenarnya?”

Pengemis itu tertawa.

“Aku pengemis miskin dari Kay-pang!”

“Ohh, dari Kay-pang?”

“Ya!”

“Sudah lama siauwte mendengar kehebatan Kay-pang!”

“Ya, memang sebetulnya Kay-pang merupakan perkumpulan yang nomor satu di dalam kalangan Kang-ouw. Cuma saja setelah generasi Ang Cit Kong Pangcu, maka keadaan Kay-pang menjadi merosot banyak…….”

“Apakah lopeh menetap di kota ini?”

“Tidak!”

“Ohhh, mengapa bisa berada di sini? Atau memang lopeh tengah melakukan perjalanan?”

“Ya! Memang aku ingin pergi ke suatu tempat, untuk menemui seseorang, berkumpul dengan para orang gagah di sana!”

Setelah berkata begitu, si pengemis memandang pada Kim Lo, dan dia meneruskan lagi kata-katanya,

“Aku ingin pergi ke Yang-cung. Di sana tidak lama lagi akan berkumpul pendekar gagah buat menyambut seseorang, yaitu cucunya Oey Yok Su.”

“Ohhh!” Kim Lo terkejut, karena dialah orangnya yang dimaksud si pengemis.

Tapi Kim Lo bisa menahan diri, dia tidak segera memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Ia bilang, “Lalu sekarang lopeh hendak menyelesaikan dulu, urusan di kota ini, bukan?”

“Maksudmu?”

“Membasmi para Jay-hoa-cat, bukan?”

“Ya! Ya! Memang begitulah! Tapi, kukira untuk urusan ini tidak bisa diselesaikan dengan cepat, karena Jay-hoa-cat itu pun tidak bodoh, mereka tidak akan sembarangan memperlihatkan diri! Sedangkan aku harus segera melanjutkan perjalanan, karena tinggal beberapa hari pertemuan di Yang-cung segera dibuka!”

“Menarik sekali!” Kata Kim Lo. “Jika memang locianpwe tidak keberatan, mau Siauwte ikut bersama locianpwe pergi ke Yang-cung.”

Si pengemis jadi girang.

“Tentu saja aku senang mengajakmu. Karena kepada para pendekar gagah, akan kuberi tahukan, bahwa kaulah Si Pendekar Aneh Berseruling Sakti itu.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar