Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 15

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Rajawali Lanjutan (Beruang Salju) Jilid 15
 
Anak rajawali Jilid 15

Karena dia yakin, jika dia berlari cepat seperti itu, tentu orang yang mengikuti jejaknya akan sulit mengejarnya. Jika memang orang itu memiliki gin-kang yang tinggi, tentu dia dapat mengejar dan mengikuti terus. Namun sulit bagi orang itu untuk segera menyembunyikan diri, jika sewaktu-waktu Ko Tie membalikkan tubuhnya.

Waktu itu terlihat betapapun juga Ko Tie masih penasaran. Dia telah mengerahkan seluruh kesanggupannya buat berlari dengan pesat sekali, mempergunakan gin-kangnya yang sangat tinggi. Namun sekali-sekali dia masih mendengar suara berkeresek dan juga malah sekarang diapun mengetahui di belakangnya mengikutinya seseorang.

Ko Tie tiba-tiba memutar tubuhnya. Dia memutarnya begitu mendadak sekali, sambil menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya melesat ke depan. Dengan demikian dia seperti memapak orang yang tengah mengikutinya.

Orang yang tengah mengikutinya rupanya kaget, karena dia tidak menyangka bahwa Ko Tie akan melakukan gerakan seperti itu. Karenanya, dia mengeluarkan seruan tertahan dan berusaha untuk melompat ke samping, guna menghindarkan diri.

Ko Tie tidak memberikan kesempatan kepada orang itu menyingkirkan diri. Dia telah menghantam dengan tangan kanannya, mengancam akan menggempur punggung orang itu.

Angin pukulan yang begitu kuat, membuat orang yang hendak melarikan diri itu kembali mengeluarkan seruan tertahan. Dia mengibas ke belakang. Maka Ko Tie merasakan sampokan tenaga yang dahsyat.

Waktu tadi Ko Tie mengincar punggung orang itu dengan kepalan tangannya, itu hanya pukulan menggertak belaka, agar orang itu tidak melarikan diri terus. Siapa tahu, orang tersebut telah mengibaskan tangannya dan tenaga tangkisannya itu sangat kuat sekali sampai Ko Tie merasakan tangannya tergetar dan mendatangkan rasa sakit yang nyeri.

Cepat-cepat dia menarik pulang tangannya. Waktu itu dipergunakan buat memandang jelas orang yang diburunya itu, yang tidak lain dari seorang gadis cantik luar biasa, mengenakan baju warna kuning dan kun warna hijau.

Dalam keadaan seperti itu Ko Tie jadi tertegun sejenak, karena dilihatnya gadis ini berusia masih muda sekali dan benar-benar merupakan wanita yang cantik luar biasa. Mungkin seumur hidupnya Ko Tie kira belum pernah bertemu dengan gadis secantik itu!

Melihat Ko Tie tertegun seperti itu justeru gadis tersebut mempergunakan kesempatan ini. Dia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya telah berkelebat melarikan diri. Gerakan begitu lincah sekali, dalam waktu yang singkat Ko Tie telah tertinggal jauh.

Ko Tie baru tersadar mimpinya, segera dia mengejarnya. Namun gin-kang gadis itupun tampaknya tidak lemah, walaupun Ko Tie telah mengejarnya sekian lama, tetap saja dia tidak berhasil untuk mendekati gadis tersebut.

Gadis yang memakai baju kuning dengan kun hijau yang cantik jelita tersebut rupanya juga gugup, karena mengetahui Ko Tie mengejarnya terus. Semula dia menduga dengan mempergunakan gin-kangnya yang telah tinggi itu, dia akan dapat meninggalkan Ko Tie dengan mudah.

Namun siapa tahu, justeru dia melihat dirinya tak bisa melepaskan diri dari kejaran Ko Tie. Malah semakin lama jarak mereka jadi semakin dekat juga.

Gadis berpakaian kuning dengan kun hijau tersebut mengempos semangatnya. Dia telah mengerahkan gin-kangnya buat berlari lebih cepat lagi, sehingga tubuhnya itu bagaikan seringan kapas telah berlari bagaikan terbang.

Ko Tie yang melihat gadis itu berlari semakin cepat, telah mengempos semangatnya, di mana dia telah berusaha mengejarnya lebih dekat lagi.

Begitulah, mereka berdua saling kejar mengejar, tubuh mereka sudah seperti bayangan yang berkelebat cepat sekali, juga waktu itu kaki mereka seperti sudah tidak menginjak tanah lagi.

Angin yang berkesiuran di sisi telinga Ko Tie pun dirasakan sangat keras sekali. Namun Ko Tie yang sudah penasaran tidak mau melepaskan gadis tersebut begitu saja, dia mengejarnya terus dengan cepat.

Tetapi, ada kelemahan pada Ko Tie. Dia kurang begitu mengenal keadaan di sekitar tempat tersebut, karenanya tidak jarang dia kehilangan jejak gadis tersebut. Cuma saja disebabkan Ko Tie memang memiliki gin-kang yang tinggi dan juga pendengaran dan penglihatannya memang tajam, maka dia berhasil menemui jejak gadis itu dan mengejar terus.

Gadis itu rupanya memang mengenal baik sekali keadaan di puncak gunung Heng-san, dia dapat berlari ke sana ke mari dengan gesitnya dan malah telah berusaha berlari ke tempat-tempat yang sukar untuk dilalui.

Tidak jarang gadis itupun lari melewati jurang-jurang yang licin dan berbahaya. Namun disebabkan gin-kang Ko Tie memang telah tinggi, dia bisa mengejarnya terus.

Semakin lama gadis itu jadi semakin gugup. Memang sekarang ini dia belum terkejar, hanya terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Tetapi jika nanti Ko Tie mengejarnya terus, tentu jarak pisah mereka semakin pendek juga, berarti akhirnya gadis itu akan terkejar. Andaikata tidak terkejar pun, ia akan menjadi serba salah, karena ia harus berlari-lari terus menjauhi diri dari Ko Tie.

Karena melihat Ko Tie masih mengejarnya terus, dan mengetahui Ko Tie tidak akan melepaskannya, di mana gadis itupun merasa biarpun dia berlari setengah harian, tidak mungkin dia bisa melepaskan diri dari Ko Tie, maka dia telah berhenti berlari.

Dia berdiri tegak dan menantikan Ko Tie. Mukanya yang cantik tampak memerah memperlihatkan kegusaran dan kemarahan bercampur kemendongkolan.

Ko Tie tiba cepat sekali. Diapun telah berhenti mengejarnya. Hanya saja, mata Ko Tie tidak lekang mengawasi wajah gadis itu yang cantik jelita.

“Apa maksudmu mengikuti aku terus?!” bentak gadis itu dengan suara yang nyaring merdu. Walaupun marah, wajahnya malah kian cantik juga dengan pipi yang memerah seperti apel.

Ko Tie seperti tersadar dari kesimanya, maka dia merangkapkan sepasang tangannya, membungkuk memberi hormat.

“Maaf..... maaf..... bukan Siauwte hendak mengikuti nona terus-menerus, tetapi..... tetapi.....!” Dan Ko Tie tidak meneruskan perkataannya, dia telah mengawasi gadis itu beberapa saat lamanya. Tampaknya apa yang ingin diutarakannya itu sulit dilontarkan dari mulutnya.

“Tetapi apa? Sudah jelas engkau selalu membuntuti aku!” kata gadis itu, tetap memperlihatkan bahwa dia marah.

Ko Tie diam-diam membathin di dalam hatinya: “Hemmm, engkau sejak tadi mengikuti aku, main kucing-kucingan, dan berusaha mengikuti aku terus menerus tanpa ingin meninggalkan jejak, juga tidak mau memperlihatkan diri! Sekarang setelah tertangkap basah, engkau justeru telah membalikkan bahwa akulah yang kau tuduh sebagai orang yang membuntuti kau selalu!”

Tetapi Ko Tie tidak mendongkol, malah tampak saat itu dia masih tidak habis-habisnya mengagumi akan kecantikan paras muka gadis itu. Demikian cantik dengan tubuh yang memiliki potongan sangat baik dan indah sekali.

“Nona, sesungguhnya aku tidak memiliki maksud mengikutimu....., tetapi tadi nona lah yang mengikuti aku dengan cara sembunyi-sembunyi....., cukup jauh nona telah mengikuti aku.

“Dan sekarang, setelah aku mengetahui siapa orang yang mengikuti aku, apakah aku ini bersalah? Bukankah nona berusaha meloloskan diri dariku dan karena tidak dapat melepaskan diri dari kejaranku, berbalik nona menjadi marah?”

Waktu mereka berkata begitu, Ko Tie tersenyum manis sekali, sabar dan sama sekali dia tidak merasa tersinggung oleh sikap gadis itu.

Pipi gadis cantik itu berobah semakin memerah. Disanggapi seperti itu dia jadi tambah marah. Dari malu dia menjadi marah, dan sekarang kemarahannya itu jadi dimuntahkannya, katanya: “Engkau jangan sembarangan menuduh kepadaku! Siapa yang telah mengikuti dirimu secara sembunyi-sembunyi.”

Ko Tie tersenyum: “Sabar nona..... bukankah memang benar tadi nona telah mengikuti aku secara sembunyi-sembunyi, sampai akhirnya aku berhasil untuk menjebakmu, sehingga aku mengetahui bahwa engkaulah yang telah mengikuti aku?”

Muka gadis itu tambah merah, dia bilang: “Pemuda kurang ajar, mulutmu terlalu jahat.....!”

Sambil berkata penuh kemarahan, si gadis itu melompat sambil menggerakkan tangan kanannya yang dilonjorkan ke depan akan menampar Ko Tie.

NamunKo Tie hanya berkelit belaka, dia tidak menangkis atau membalas menyerang.

“Sabar nona, tidak baik menuruti kemarahan hati!” kata Ko Tie. “Kitapun sebelumnya tidak saling kenal. Dan kukira, nonapun tidak mengandung maksud apa-apa mengikuti aku secara sembunyi-sembunyi begitu, bukan?”

Gadis itu melihat tamparannya mengenai tempat kosong, jadi tambah penasaran.

“Hemmmm, engkau rupanya memiliki kepandaian sehingga kau anggap bisa menghina diriku, heh?!” dan dia telah menyerang lagi.

Kini gerakan dari tubuh si gadis bukan gerakan sembarangan, karena dia bukan hanya sekedar ingin menempeleng Ko Tie, melainkan dia telah menyerang dengan kepalan tangannya yang mengandung tenaga lweekang sangat hebat.

Dengan begitu, Ko Tie juga tidak berani bersikap meremehkan lagi, karena telah dilihatnya bahwa gadis ini menyerangnya dengan pukulan yang bersungguh-sungguh. Maka dari itu, Ko Tie cepat-cepat telah mengelak.

Namun dua kali beruntun gadis tersebut telah menyerang pula.

Ko Tie beruntun berkelit dan menangkis dengan mudah. Tangkisannya membuat gadis jadi tambah marah, karena dia merasakan tangannya yang tertangkis oleh tangan Ko Tie jadi sakit sekali. Dia jadi tambah berang dan marah, tangan kiri dan tangan kanannya bergerak sangat cepat sekali, berulang kali dia telah menghantam.

“Kepandaian gadis itu tinggi sekali, entah dia murid siapa?” diam-diam Ko Tie berpikir di dalam hati, “Hanya adatnya benar-benar aneh. Jelas dia yang bersalah, telah membuntuti aku secara sembunyi-sembunyi, justeru dia yang sekarang marah dan menuduh aku yang telah mengikutinya..... sungguh ku-koay! Sungguh aneh sekali!”

Dan Ko Tie juga tidak boleh berayal. Dia harus bergerak gesit buat menyelamatkan dirinya kalau memang tidak mau menjadi korban pukulan dari gadis itu. Karenanya tubuhnya telah berkelebat ke sana ke mari dengan lincah sekali, setiap serangannya pada gadis itu hanya menggertak belaka, agar gadis itu membatalkan pukulannya.

Gadis itu melihat beberapa kali pukulan tangannya tidak juga mengenai sasarannya, dan selalu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Ko Tie, membuatnya jadi tambah penasaran. Namun di hatinya timbul, perasaan kagum.

Gadis itu melihat Ko Tie pun berusia belum begitu tua, baru sekitar duapuluh tahun lebih. Namun kepandaiannya demikian tinggi. Maka dari itu, gadis itu diam-diam jadi tergerak hatinya, diapun berpikir:

“Dia sangat sabar, memang sebenarnya aku yang telah membuntutinya..... tetapi dia seperti hendak mengejekku, seperti juga aku ini tidak mungkin bisa merubuhkannya..... Dia seperti tidak memandang sebelah mata pada kepandaianku!”

Karena berpikir begitu, perasaan kagum yang telah timbul di hatinya, segera juga tersingkir. Dan diapun telah berseru nyaring. Kemudian mempergunakan jurus-jurus ilmu pukulan tangan kosong yang jauh lebih kuat dan hebat, di samping ke dua tangannya menyambar-nyambar semakin cepat dan sebat, ke bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Ko Tie.

Sedangkan Ko Tie semakin lama harus bergerak semakin gesit kalau memang tidak mau terserang oleh pukulan si gadis. Diapun diam-diam mengagumi gadis ini.

“Pasti gadis ini murid dari seorang tokoh sakti, karena walaupun usianya masih demikian muda, tokh dia dapat memiliki kepandaian yang tinggi seperti ini..... hanya saja, dia seorang gadis yang sulit diajak bicara.....!”

Begitulah, tubuh Ko Tie dan gadis itu telah berkelebat-kelebat ke sana ke mari dengan lincah sekali. Mereka telah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya yang dianggap hebat, karena itu, tampak Ko Tie dan gadis tersebut semakin lama terlibat dalam pertempuran semakin seru.

Benar, memang Ko Tie sama sekali tidak memiliki maksud hendak mencelakai gadis itu dan mempergunakan tenaganya setengah-setengah dengan hati yang sangat bimbang. Namun gadis itu sendiri terlalu mendesaknya, yang membuat Ko Tie akhirnya harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya juga. Dengan demikian mereka bertempur semakin seru saja.

Di waktu itu terlihat Ko Tie berulang kali telah menyingkirkan diri dan berusaha membujuk gadis itu untuk menghentikan penyerangannya.

“Marilah kita bicara dulu..... Kita tokh bukannya yang harus bertempur mempertaruhkan jiwa? Bukankah kita baru saja bertemu? Bagaimana jika aku sampai salah turun tangan dan melukaimu.....?” membujuk Ko Tie.

Namun gadis itu benar-benar memiliki perangai yang aneh. Mendengar bujukan Ko Tie itu, ia malah menjadi tambah penasaran dan marah.

“Hemm, kau kira aku takut padamu? Apakah kau memang tidak memandang sebelah mata terhadap kepandaianku ini? Lihatlah aku akan mempertihatkan kepadamu, bukan aku yang akan dapat kau lukai, tetapi justeru engkau yang akan kulukai.”

Selesai berkata begitu, cepat sekali gadis tersebut memperhebat serangannya, sepasang tangannya bergerak semakin gencar. Malah kekuatan tenaga serangannya itu semakin mendesak hebat kepada Ko Tie, sehingga angin menderu-deru di sekeliling mereka.

Ko Tie terkejut juga melihat gadis itu merobah cara menyerangnya, di mana tangannya itu tambah berbahaya juga. Setiap jurus yang dipergunakannya selalu mengancam bagian-bagian yang bisa mendatangkan celaka buatnya, maka terpaksa Ko Tie harus mengeluarkan juga kepandaiannya yang lebih tinggi untuk mempertahankan diri.

“Hemmm, dia mengatakan kuatir melukai aku. Dengan berkata begitu, ia benar-benar tidak memandang sebelah mata padaku!”

Waktu itu gadis tersebut sambil mendesak Ko Tie juga berpikir, “Aku akan memperlihatkan kepadanya bahwa aku bukan sebangsa manusia yang mudah untuk diperhina olehnya.....!”

Setelah berpikir begitu, gadis itu malah telah mengempos semangatnya, dia telah mendesak Ko Tie bertambah hebat. Semangat bertempurnya semakin tinggi, di mana dia berusaha mempergunakan semua jurus-jurusnya yang benar-benar hebat, yang akan mempercepat waktu merubuhkan lawannya.

“Gadis ini bersungguh-sungguh dalam menyerangku..... Ilmu silatnya tinggi sekali, ilmu pukulan tangan kosongnya juga sangat lihay..... Murid siapakah gadis ini? Ilmunya itu berasal dari aliran lurus dan bersih, tidak memperlihatkan kesesatan dan mungkin dia marah kepadaku karena dia salah paham......!”

Begitulah. Ko Tie selalu diliputi oleh tanda tanya di dalam hatinya. Semakin lama bertempur, sehingga semakin banyak dia memiliki kesempatan melihat kecantikan paras muka gadis yang menjadi lawannya itu.

Melihat sepasang alis yang melengkung sangat tipis dan indah, mata yang tampak hitam jeli, dan hidung yang bangir, dengan bibir yang tipis memerah segar, dan kulit pipi yang putih halus, dengan bentuk tubuhnya yang elok indah. Hai, benar-benar gadis yang tengah menjadi lawannya ini merupakan seorang gadis yang sangat cantik elok rupawan, dan juga akan menggentarkan hati!

Walaupun Ko Tie bertempur dengan mempergunakan tenaga dalam yang kuat dan juga setiap jurus ilmu pukulannya merupakan pukulan yang berbahaya sekali, tokh dia tidak bersungguh hati. Karena dia merasa sayang sekali kalau sampai melukai kulit yang begitu putih halus dan indah. Di samping itu, juga dia tidak sampai hati jika melukai gadis tersebut.

Betapa cantiknya gadis yang menjadi lawannya itu, dan betapa halus kulitnya. Jika sampai dia mempersakiti gadis tersebut, inilah yang tidak diinginkan oleh Ko Tie.

Hanya saja, disebabkan keragu-raguannya itu, membuat Ko Tie banyak sekali melakukan kesalahan. Dia juga telah beberapa kali hampir terpukul oleh tangan si gadis tersebut. Hanya saja disebabkan Ko Tie memiliki gin-kang yang tinggi, menyebabkan dia selalu masih bisa menyelamatkan dirinya.

Dalam keadaan seperti ini, si gadis tersebut malah semakin penasaran. Sikap mengalah dari Ko Tie malah dianggapnya sebagai sikap meremehkan dan menghinanya, karena itu dia menyerang semakin hebat

Sedangkan Ko Tie semakin lama jadi semakin tidak gembira melayani gadis tersebut, karena dia kuatir kesalahan tangan dan melukai gadis itu. Hal ini menyebabkan Ko Tie pun berulang kali telah berusaha membujuk agar gadis itu menghentikan penyerangannya.

Namun gadis itu tidak memperdulikannya, dia telah merangsek terus dengan pukulan-pukulan yang mengandung maut. Malah gadis itu dengan semangat yang semakin menyala-nyala bernafsu sekali untuk merubuhkan Ko Tie.

Pertempuran di antara mereka berdua berlangsung sampai puluhan jurus lagi, namun sejauh itu belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang di antara mereka akan ada yang kalah. Walaupun memang Ko Tie mengalah dan tidak jarang menyebabkan Ko Tie seperti juga terdesak, tokh dia bisa bertahan dengan baik, sehingga dia bisa melayani gadis itu terus.

Si gadis yang telah penasaran bukan main tidak bisa merubuhkan Ko Tie, jadi habis sabar. Setelah gagal menyerang sekali lagi dengan kepalan tangan kanannya, dia kemudian melompat mundur.

Ko Tie menduga bahwa gadis itu ingin menyudahi pertempuran di antara mereka. Hati Ko Tie jadi girang, dia berseru nyaring sambil katanya: “Bagus..... memang ada baiknya jika kita bicara secara baik-baik.....!”

Tetapi baru saja Ko Tie berkata sampai di situ, justeru di saat itu si gadis telah mencabut pedangnya dari balik kun nya yang berwarna hijau, dan pedang itu dikibaskannya.

“Cabutlah senjatamu, mari kita main-main dengan senjata tajam! Hemm, mulutmu yang kurang ajar dan ceriwis itu harus diberikan ganjaran!”

Waktu berkata begitu, masih tampak jelas gadis ini diliputi penasaran, kemendongkolan dan kemarahan, juga sikapnya sangat gagah. Seorang gadis cantik jelita, dengan pedang di tangan kanan, dan berdiri tegak, dengan sepasang mata yang indah terbuka lebar-lebar, dan juga bibir yang dimonyongkan mengandung kemarahan, sungguh merupakan sikap yang gagah sekali!

Ko Tie tertegun.

“Nona..... apakah engkau telah memikirkan kemungkinan kecelakaan yang bisa ditimbulkan dari senjata tajam itu? Tidak baik kita main-main dengan senjata tajam..... karena jika aku kesalahan tangan, tentu akan melukaimu.....!” Ko Tie berusaha membujuknya.

Akan tetapi dia gagal. Bukannya gadis itu menerima anjurannya agar mereka berhenti bertempur, malah mereka tampaknya akan terlibat dalam pertempuran yang lebih seru lagi, di mana tampak gadis itu telah menggerakkan pedangnya untuk mulai menikam!

Gerakan dari pedang gadis itu sangat cepat sekali, dan juga arah yang diincarnya itu merupakan arah yang bisa membawa kematian buat Ko Tie kalau saja dia terlambat mengelakkan diri dari terjangan pedang yang menikam ke arah ulu hatinya. Cepat-cepat Ko Tie melompat mundur, karena memang diwaktu itu dilihatnya dirinya sudah tak diberi kesempatan lagi buat bicara membujuk gadis itu.

Yang mengherankan Ko Tie, justeru jurus-jurus yang dipergunakan oleh gadis tersebut merupakan jurus ilmu pedang yang sangat ampuh sekali, seakan juga pernah melihat jurus-jurus ilmu pedang itu. Walaupun terdapat banyak sekali perobahan pada jurus-jurus tersebut.

Ko Tie tidak sempat berpikir terlalu lama, karena waktu itu dia telah melihatnya bahwa semakin lama serangan pedang gadis tersebut semakin gencar. Karena itu, dia telah berusaha mengeluarkan juga ketangkasannya.

Sepasang tangan Ko Tie menyambar-nyambar mengancam akan menyerang bagian yang berbahaya di tubuh si gadis. Dan usahanya itu memang berhasil cukup baik, gadis itu tidak bisa terlalu merangsek padanya.

Dalam keadaan demikian terlihatlah bahwa Ko Tie tidak tinggal diam. Setelah gadis itu melompat mundur, diapun mencabut pedangnya dan kemudian menghadapi gadis itu dengan pedangnya. Sinar pedang berkelebat-kelebat ke sana ke mari dengan cepat sekali, seperti juga dua ekor naga yang tengah memperebutkan mutiara!

Sedangkan sinar pedang Ko Tie yang berwarna kuning kebiru-biruan, menunjukkan bahwa itulah pedang yang sangat baik dan bagus, telah bergulung-gulung berusaha membendung tikaman dari pedang si gadis.

Tetapi pedang si gadis rupanya tidak kurang berbahayanya, seperti juga singa yang tengah mengamuk. Sinar pedang yang putih bagaikan salju telah menyambar berkelebat-kelebat ke sana ke mari mengincar bagian-bagian yang mematikan di tubuh Ko Tie.

Walaupun Ko Tie mengeluarkan ilmu pedangnya, tokh dia bersikap hati-hati sekali dalam mengerakkan pedangnya. Karena sekali saja dia kesalahan tangan, niscaya dia akan melukai gadis itu, dan inilah yang tidak diinginkannya.

Maka, dia selalu berusaha menahan pedangnya. Kalau saja pedangnya itu meluncur akan menikam dada dari si gadis, paha dan bagian lainnya. Dengan demikian, itu merupakan suatu keuntungan bagi si gadis, karena sikap mengalah dari Ko Tie bisa dimanfaatkannya. Dia telah merangsek semakin gencar dan hebat.

Tampak dia telah mempergunakan jurus-jurus ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat, yang merupakan ilmu pedang yang memiliki banyak sekali perobahan-perobahannya di sana sini, sehingga sukar sekali diketahui ke arah mana sasaran yang sebenarnya diincar gadis tersebut.

Memang semakin lama Ko Tie menghadapi kesukaran yang cukup berat, karena dia sudah tidak bisa main-main lagi. Dia harus menghadapi gadis itu dengan seluruh kepandaiannya untuk menandingi ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat nya si gadis yang luar biasa. Sehingga mereka benar-benar terlibat dalam pertempuran yang seru sekali.

Ko Tie juga telah berpikir: “Jika memang aku berlaku setengah hati, niscaya akan menyebabkan dia lebih ganas menyerangku..... Dengan demikian tentu akan membuat dia lebih gencar lagi menikamku..... aku harus menghadapinya dengan penuh perhatian dan berusaha menundukkannya.....!”

Karena berpikir begitu, cepat sekali Ko Tie telah merobah cara bersilatnya. Pedangnya telah berkelebat-kelebat dengan sebatnya, dimana selain dia menangkis, juga dia telah berusaha membalas menyerang.

Dengan demikian, pedangnya itu telah berkelebat-kelebat bagaikan seekor naga yang meluncur ke sana ke mari melingkar dengan segala keganasan dan kedahsyatannya. Dalam keadaan seperti ini memang telah membuat gadis itu terdesak juga sedikit, di mana dia tidak bisa menyerang terlalu gencar.

Si gadis jadi tambah penasaran, dia telah herseru nyaring, di mana pedangnya itu berkelebat-kelebat dengan cepat sekali, berusaha untuk menikam bagian-bagian yang mematikan di tubuh Ko Tie.

Begitulah, setelah bertempur sekian puluh jurus, terlihat mereka seperti juga berimbang, ilmu pedang mereka seperti juga setingkat. Malah tampak Ko Tie telah mulai menyerang lagi dengan pedangnya itu cepat sekali, dia berusaha menindih ilmu pedang dari si gadis. Dan dalam keadaan seperti itulah segera juga tampak bahwa gadis itu mulai terdesak sedikit demi sedikit.

Gadis itu menyadarinya bahwa Ko Tie memang sangat tinggi sekali kepandaiannya dan merupakan lawan yang cukup berat. Juga Ko Tie diakuinya sebagai pemuda yang memiliki ilmu pedang yang tangguh sekali.

Dalam keadaan seperti inilah, terlihat bahwa Ko Tie sangat dikaguminya, namun rasa kagumnya itu tertindih oleh rasa marahnya, karena itu dia telah memandang dengan mata yang terbuka lebar-lebar, tiba-tiba dia berseru nyaring sekali dan kemudian menyerang lagi dengan pedangnya. Tikaman-tikaman yang dilancarkannya itu merupakan tikaman yang sangat hebat, berbeda dengan serangannya yang sebelumnya, karena dia telah mempergunakan jurus-jurus inti ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat.

Diam-diam Ko Tie telah mengeluh di dalam hatinya, karena dia mengetahui, jika mereka bertempur dengan cara seperti itu, niscaya akan membuatnya jadi terdesak terus, dan akhirnya terlibat dalam pertempuran yang berkepanjangan. Dan akan membuat mereka jadi bercelaka jika saja Ko Tie telah mengambil tindakan yang keras.

Di waktu itulah, dengan cepat Ko Tie telah menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melesat ke belakang menjauhi gadis itu. Dia telah berseru: “Hentikan! Hentikan!”

Tetapi gadis itu bukannya berhenti menyerang, dia menjejakkan ke dua kakinya melompat mengejarnya. Malah gadis itu telah berseru: “Sebelum aku bisa menyobekkan mulutmu yang kurang ajar itu, maka tidak akan mau sudah!”

Setelah berkata begitu, pedang gadis itu bergerak lagi dengan sebat, dia telah menikam tidak hentinya. Setiap tikaman itu mengandung maut dan memaksa Ko Tie harus menangkis atau mengelakkan diri.

Sedangkan Ko Tie berulang kali melompat mundur lagi, karena memang tidak mau terlibat dalam pertempuran yang berlarut-larut.

Dan juga, di saat-saat seperti ini, Ko Tie terus juga berusaha menyadarkan si gadis, bahwa di antara mereka tidak tersangkut suatu apapun juga. Tetapi melihat gadis itu masih saja menyerangnya, akhirnya habislah kesabaran Ko Tie.

Dia telah menjejakkan kakinya, tubuhnya tahu-tahu mencelat ke tengah udara, kemudian tubuhnya itu berputar-putar di tengah udara dengan gerakan yang manis sekali. Di saat pedang gadis itu menyambar ke arah pahanya, cepat sekali pedang Ko Tie telah menyambar menangkisnya. Tangkisan yang dilakukan oleh Ko Tie telah menyebabkan pedang gadis itu jadi tergetar keras.

Dan kemudian gadis itu melompat mundur sebab telapak tangannya dirasakan sangat pedih sekali, seperti juga kulit telapak tangannya pecah, akibat kuatnya benturan yang terjadi itu.

Begitulah, ke dua orang ini bertempur dengan pedang mereka menyambar-nyambar hebat ke sana ke mari bagaikan dua gulungan sinar yang menyerupai sepasang naga yang tengah bertempur dengan dahsyat.

Dalam keadaan seperti itu, terlihat betapapun juga, memang kepandaian Ko Tie menang setingkat dari gadis itu, dan diwaktu Ko Tie telah mengeluarkan seluruh kepandaian ilmu Kiam-hoatnya, maka diwaktu itulah dia telah dapat mendesak gadis tersebut, sehingga gadis itu berulang kali harus melompat mundur ke sana-ke mari. Namun, dasarnya gadis itu keras kepala, tokh tetap saja sehabis mengelak dia menerjang pula ke arah Ko Tie.

Pertempuran ke dua orang itu, yang masing masing mempergunakan pedang yang hebat, merupakan pertempuran yang berkepanjangan. Telah seratus jurus lebih yang mereka lewatkan dan sejauh itu masih juga belum terlihat ada tanda-tanda bahwa mereka akan menyudahi pertempuran tersebut.

Memang Ko Tie telah mengagumi sekali kecantikan yang dimiliki gadis tersebut, dan juga dia merasa kagum akan kehalusan kulit tubuh gadis tersebut, karena dari itu, dalam keadaan demikian tentu akan membuat dia menyesal, jika saja kulit yang begitu halus dan bagus, serta putih menarik, akan terluka oleh ujung pedangnya.

“Jika memang aku belum merubuhkannya dan membuatnya takluk, gadis tentu tidak mau menyudahi pertempuran ini!” pikir Ko Tie.

Segera Ko Tie mengempos semangatnya, ia menambah kekuatan pada tangannya, setiap kali menggerakkan pedangnya, maka dia telah mempergunakan tenaga yang kuat sekali.

Dengan demikian, beberapa kali gadis tersebut harus melompat mundur, karena dilihatnya betapapun juga tenaga yang terkandung dalam penyerangan pedang Ko Tie sangat dahsyat sekali. Jika tokh gadis itu menangkis, malah tangkisan tersebut akan membuat gadis itu menerima kerugian yang tidak kecil, di samping pedangnya itu akan terpental kena disampok pedang Ko Tie, kemungkinan kulit telapak tangannya akan terluka lagi, pecah.

Disebabkan itulah, maka gadis ini main lompat sana sini berkelit dengan lincah sekali, karena dia tidak mau mengadu kekerasan.

Walaupun mengetahui dirinya masih kalah setingkat dengan Ko Tie, tokh gadis ini tetap tidak mau menyudahi pertempurannya itu. Ia telah menyerang terus menerus, sambil mencari kesempatan untuk membalas menyerang.

Sedangkan Ko Tie kali ini sudah tidak bertindak tanggung-tanggung, dia juga mengerahkan hawa inti Es yang dimilikinya ke ujung pedangnya. Maka setiap kali pedang itu berkelebat menyambar ke arah gadis itu, gadis tersebut merasakan sambaran angin yang dingin sekali.

Sengaja Ko Tie tidak mau menyerang dengan telapak tangannya mempergunakan tenaga Inti Es, karena, sekali saja dia mempergunakan telapak tangannya dengan disertai tenaga Inti Esnya, tentu gadis itu akan menghadapi bahaya tidak kecil.

Disaat itu, pasti sedikitnya gadis itu akan terluka di dalam. Itu pula sebabnya mengapa Ko Tie hanya mengerahkan tenaga dalamnya pada ujung pedangnya. Dia telah menyerang dengan inti es nya, tetapi hanya mempergunakan sebagian saja.

Sekali ini gadis tersebut kaget tidak terkira. Setiap kali pedang Ko Tie berkelebat di dekatnya dan dia mengelak, maka`dia merasakan sambaran angin yang dingin bukan main, sedingin es, membuat dia menggigil.

Semakin lama, semakin sering dia mengelak dan pedang itu semakin cepat menyambar-nyambar kepadanya, maka dia merasakan hawa dingin itu semakin hebat menyerang dirinya, sehingga dia merasakan tubuhnya jadi gemetaran keras sekali.

Melihat keadaan demikian sebetulnya Ko Tie merasa kasihan dan tidak tega untuk menyerang terus gadis itu dengan mempergunakan tenaga Inti Esnya. Namun dia pun segera berpikir, jika dia tidak mendesak terus gadis itu, agar tak ikut takluk, tentu selanjutnya ia tetap akan menghadapi kesulitan. Itu pula sebabnya pedangnya telah menyambar-nyambar dengan dahsyat, serta menimbulkan hawa yang dingin luar biasa.

Si gadis merasakan tubuhnya menggigil keras sekali, seperti juga tubuhnya itu diselubungi es yang dingin luar biasa.

Semakin kuat gadis itu mengerahkan lweekangnya buat mengadakan perlawanan, maka semakin sulit dia menggerakkan tangannya. Akibat hawa dingin itu gerakannya jadi lebih lambat dan membuat diapun tidak leluasa dalam menyerang Ko Tie.

Gadis itu semakin penasaran dan marah. Karena dia menduga Ko Tie mempergunakan semacam ilmu siluman yang sesat. Dia mengeluarkan suara bentakan yang sangat nyaring sekali, kemudian mengempos semangat dan hawa murninya.

Namun seketika dia merasakan bahwa hawa dingin yang menyerang dirinya itu semakin hebat, bahkan hawa dingin itu telah membuat gadis tersebut hampir saja menggigil melepaskan cekalan pada pedangnya.

Ko Tie baru saja hendak melompat mundur untuk menyudahi pertempuran tersebut, tiba-tiba terdengar suara yang sabar dan halus:

“Mengapa tidak membuka Kiu-yang-hiat? Mengapa tidak menutup Im-yang-hiat?!”

Mendengar suara itu, muka gadis tersebut berobah girang berseri-seri, dia telah berseru perlahan: “Suhu......!”

Gadis itu segera mengetahuinya bahwa peringatan itu ditujukan kepadanya. Maka ia menuruti petunjuk tersebut dia membuka Kiu-yang-hiat dan kemudian menutup Im-yang-hiat.

Benar, mula-mula dia masih merasa serangan hawa dingin itu, tetapi setelah lewat beberapa saat, akhirnya hawa dingin itu mulai berangsur berkurang, seperti juga hawa dingin yang meluncur dari ujung pedang Ko Tie, sudah tidak dirasakannya lagi.

Dengan demikian, gadis itu bisa bersilat dengan baik kembali, dia telah memutar pedangnya dengan cepat sekali. Malah semangatnya sekarang jadi terbangun semakin kuat karena dia yakin dengan ada suhunya, dia tidak perlu kuatir akan dirubuhkan pemuda yang menjadi lawannya.

Orang yang tadi memberikan petunjuk kepada gadis tersebut, perlahan-lahan telah muncul melangkah keluar dari balik sebatang pohon. Dialah seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih, dengan paras yang cantik, pipi yang memerah dan mengenakan pakaian kuning.

Sambil keluar, wanita itu telah berkata dengan suara yang tenang sekali:

“Mengapa harus bertempur sehebat itu? Giok Hoa, mengapa tampaknya engkau jadi demikian tidak bisa mengendalikan diri? Apakah memang kalian telah saling kenal satu dengan yang lainnya? Dan juga apakah di antara kalian berdua terdapat permusuhan yang sudah tidak bisa diselesaikan lagi dengan jalan damai?!”

Mendengar teguran dari gurunya, muka Giok Hoa berobah merah. Dia pun merasakan bahwa dia telah menyerang dan mendesak pemuda itu keterlaluan, di mana dia juga telah memaksa pemuda itu untuk bertempur dengan dahsyat. Padahal memang di antara mereka tidak saling kenal satu dengan yang lainnya, dan juga di antara mereka tidak terdapat permusuhan apapun juga.

Maka, setelah ditegur seperti itu oleh gurunya, gadis itu yang tidak lain dari Giok Hoa, telah menikam hebat ke perut Ko Tie. Waktu Ko Tie mengelak, maka dia menjejakkan ke dua kakinya, tubuhnya telah melompat dengan gerakan yang sangat lincah sekali, ke samping gurunya.

“Maafkan suhu!” katanya kemudian dengan kepala tertunduk dalam-dalam. “Sesungguhnya pemuda itu terlalu kurang ajar sekali mulutnya.”

Wanita berbaju kuning itu, guru Giok Hoa, telah tersenyum sabar, kemudian katanya: “Baiklah, mari kutanyakan kepadanya, apa maksudnya datang ke mari......”

Setelah berkata begitu, dengan tenang dan sabar tampak wanita berpakaian serba kuning itu telah melangkah menghampiri Ko Tie.

Sedangkan Ko Tie waktu melihat wanita berpakaian serba kuning tersebut telah menghampiri kepadanya. Dia membawa sikap yang menghormat, karena dia mengetahui, sebagai guru dari gadis itu, tentu saja wanita berpakaian serba kuning ini merupakan seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali.

Maka dia telah merangkapkan ke dua tangannya, dan menjura: “Maafkan Boanpwee yang berlaku lancang datang ke tempat ini..... dapatkah Boanpwe mengetahui, siapakah adanya Locianpwe.....?!”

Wanita berpakaian serba kuning itu tersenyum, dia bilang: “Dengan memanggilku sebagai Locianpwe, maka engkau ingin mengartikan aku ini sebagai seorang nenek tua yang telah lanjut usia.....?!”

Mendengar teguran seperti itu, walaupun teguran itu diucapkan sambil disertai dengan senyum, membuat Ko Tie jadi likat sendirinya. Segera juga, sambil masih membungkuk memberi hormat, dia telah merobah panggilan buat wanita itu, katanya: “Maafkan Peh-bo..... sesungguhnya memang Boanpwe agak lancang dan mata Boanpwe ini buta.....!”

Setelah berkata begitu, segera juga terlihat bahwa Ko Tie telah membungkuk menjurah dalam-dalam, seperti juga dia ingin memperlihatkan sikap menyesalnya.

“Mulutnya memang terlalu lancang dan kotor sekali, Suhu!” Giok Hoa yang waktu itu berdiri di belakang gurunya, telah mengadu dengan muka yang memerah.

Disaat itulah terlihat betapun juga memang wanita berpakaian baju kuning ini tengah mengagumi Ko Tie. Tadi sebetulnya telah cukup lama dia datang ke tempat itu menyaksikan pertempuran yang berlangsung antara Ko Tie dengan muridnya.

“Kepandaianmu sangat tinggi sekali dan baik, pemuda!” kata wanita berbaju kuning itu. “Siapakah gurumu?!”

Ko Tie tidak berani memperlihatkan sikap kurang ajar di hadapan wanita berbaju kuning ini, yang diduganya tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Bukankah gadis yang tadi menjadi lawannya merupakan murid dari wanita berbaju kuning ini?

Maka Ko Tie dengan memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh telah berkata. “Sesungguhnya Boanpwee murid dari Insu Swat Tocu.....!”

Muka wanita berbaju kuning itu jadi berobah, kemudian tertawa.

“Ohhhh, kalau begitu kita orang sendiri,” katanya dengan gembira. “Swat Tocu yang kau maksudkan itu adalah Tocu dari pulau es, bukan?”

Ko Tie mengangguk membenarkan, di waktu itulah dia menjadi girang mendengar wanita berbaju kuning tersebut mengatakan bahwa mereka adalah orang sendiri.

Dengan segera Ko Tie melirik kepada Giok Hoa, yang waktu itu masih cemberut. Tetapi walaupun masih cemberut marah, tokh Giok Hoa cantik bukan main, malah semakin cantik!

“Kita orang sendiri.....!” katanya. “Siapa yang sangka! Pantas tadi waktu..... waktu bertempur dengan nona itu terdapat perasaan yang kurang enak pada hati Boanpwe, yang cepat-cepat buat menyudahi pertempuran itu! Tetapi nona itu..... tidak juga mau menyudahi pertempuran kami.....!”

Wanita berpakaian serba kuning itu telah tersenyum, katanya: “Ya..... memang Giok Hoa belum pernah turun gunung, sehingga tentu saja belum pernah mengetahui apapun juga tentang dunia luar. Karena dari itulah, dalam keadaan seperti sekarang, tentu engkau mau maklum dan juga memaafkannya?!”

Mendengar perkataan gurunya seperti itu yang meminta maaf kepada Ko Tie, muka Giok Hoa jadi semakin cemberut marah, karena memang dia telah melihatnya bahwa Ko Tie tentunya semakin congkak, sebab gurunya sendiri yang telah mempersalahkannya dan bahkan meminta maaf kepada Ko Tie! Inilah yang membuat Giok Hoa jadi tidak senang.

Di waktu itu Giok Hoa telah memutar tubuhnya memandang ke arah lain, karena dilihatnya Ko Tie tersenyum lebar. Dan Giok Hoa beranggapan itulah senyum mengejek buatnya, Hatinya jadi semakin penasaran, dia sampai berpikir: “Nanti dalam kesempatan yang ada, tentu aku akan memperlihatkan kepandaianku yang sebenarnya kepadamu.....!”

Wanita berpakaian kuning itu telah menoleh kepada Giok Hoa, katanya. “Jangan membawa sikap seperti itu, Giok Hoa..... tidak baik..... karena akan membuat engkau ditertawakan oleh Siauw-ko ini.....!”

Sambil berkata begitu, segera juga tampak bahwa wanita berpakaian serba kuning itu telah perintahkan kepada Giok Hoa agar memberikan hormat kepada Ko Tie, perintahnya. “Kau harus meminta maaf kepada Siauw-ko ini, Giok Hoa.....!”

Tentu saja Giok Hoa semakin mendongkol dan penasaran, namun dia tidak berani membantah perintah gurunya. Karena itu dia telah mendekati kepada Ko Tie, kemudian merangkapkan ke dua tangannya dan memberi hormat kepada Ko Tie.

“Maafkanlah sikapku tadi.....!” katanya.

Tetapi setelah berkata begitu Giok Hoa memutar tubuhnya tidak mau melihat lagi kepada Ko Tie. Jelas diapun meminta maaf karena memang dia sangat terpaksa sekali.

Wanita berbaju kuning itu telah tersenyum katanya: “Nah, jika engkau telah meminta maaf, tentu Siauw-ko itu tidak akan keberatan memberikan maafnya kepadamu..... karena bukankah kita orang sendiri dan tadi harus terjadi suatu kesalah pahaman belaka.....?”

Ko Tie juga cepat-cepat merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat kepada Giok Hoa dan wanita berbaju kuning itu, dia telah berkata dengan suara yang bersungguh-sungguh: “Peh-bo dan kau nona, harap mau memaafkan kelancanganku tadi..... karena memang aku sendiri terpaksa sekali harus mengeluarkan pedang. Beruntung bahwa kita tidak sampai bentrok terlalu jauh......!”

Tampak Giok Hoa telah melirik kepada Ko Tie yang memberi hormat beberapa kali dengan tubuh yang dibungkukkan dalam sekali.

Sedangkan wanita berpakaian baju kuning itu telah berkata, “Sudahlah jangan banyak peradatan, bukankah kita orang sendiri, dan kesalah pahaman itu telah diselesaikan?”

Sambil berkata begitu, wanita berpakaian serba kuning tersebut telah mengulurkan tangannya. Waktu itu Ko Tie tengah membungkuk dalam sekali, dan wanita berbaju kuning itu seperti juga hendak membangunkannya.

Tetapi di saat itulah terlihatlah betapa Ko Tie kaget, karena dia merasakan dari telapak tangan wanita berpakaian serba kuning itu, yang telapak tangannya begitu halus, telah tersalur keluar kekuatan tenaga yang dahsyat sekali sehingga dia merasakan pundaknya bagaikan ditindih oleh kekuatan laksaan kati.....

Ko Tie segera menyadari bahwa wanita berpakaian kuning tersebut tentunya hendak menguji dirinya, hendak melihat berapa kekuatan tenaga lweekangnya. Karena itu, dia telah tersenyum dan tetap akan meluruskan tubuhnya lagi.

Namun Ko Tie gagal, karena tenaga dari telapak tangan wanita berbaju kuning itu seperti juga laksaan kati, yang membebani pundaknya, sehingga dia tidak bisa menegakkan dan meluruskan tubuhnya lagi.

Sehingga Ko Tie jadi mengeluh. Jika sampai dia mempergunakan tenaga lweekangnya yang terlalu kuat, sehingga bersifat keras dilawan keras, niscaya akan menyebabkan kurang sedap tanggapan wanita berbaju kuning itu pada dirinya.

Tetapi jika dia harus membungkuk terus seperti itu tanpa dapat menegakkan dan meluruskan kembali tubuhnya, niscaya akan membuatnya jadi menderita malu yang tidak terhingga. Terlebih lagi gurunya, Swat Tocu merupakan seorang tokoh sakti di dalam rimba persilatan, yang disegani oleh seluruh orang-orang gagah dalam rimba persilatan.

Dan sekarang, dia sebagai murid tunggalnya, yang menerima langsung warisan kepandaian dari gurunya itu tidak dapat untuk menegakkan tubuhnya lagi hanya dicekal oleh ke dua tangan wanita berpakaian kuning itu.

Dan alasan lainnya yang membuat Ko Tie mengeluh, dia merasa malu kepada Giok Hoa. Gadis yang cantik manis sejak pertama kali dilihatnya itu memang mendatangkan perasaan yang aneh pada dirinya dan di dalam hatinya timbul perasaan menyukai gadis itu. Namun dalam keadaan seperti ini tentu saja diapun menyadari, gadis itu akan mengejek dan menganiaya, karena dia telah tidak berdaya untuk menegakkan tubuhnya lagi, dan juga tidak bisa berdiri lurus.

Disebabkan itu pula telah membuat Ko Tie memutar otak dan berusaha untuk dapat mengatasi tekanan dari tenaga dalam wanita berpakaian baju kuning itu.

Karena tidak mungkin dia melawan dengan kekerasan dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga lweekangnya, maka dia telah mengendorkan seluruh otot-ototnya, di mana dia telah melunakkan pada bagian punggungnya, sehingga tenaga menindih dari wanita baju kuning itu seperti menindih pada dasar yang tidak berkekuatan.

Tenaga itu jadi nyelonong, mengejutkan wanita berpakaian baju kuning itu. Karena dia kuatir akan melukai di dalam tubuh Ko Tie, kalau sampai tenaga itu tidak bisa ditahan lagi. Maka dia cepat-cepat bermaksud menarik pulang tenaga dalamnya.

Tetapi waktu wanita berbaju kuning itu hendak menarik pulang tenaga dalamnya, dan Ko Tie telah mengerahkan tenaga dalamnya menolak tenaga dari wanita baju kuning itu. Disebabkan memang tidak memiliki sifat menindih lagi, dan juga di waktu itu tenaga dalam wanita baju kuning hendak ditarik pulang, membuat Ko Tie dapat menolak tenaga itu dengan mudah.

Wanita baju kuning itu kaget tidak terkira, tetapi dalam keadaan seperti ini, dia menarik pulang tenaga dalamnya. Dia telah tersenyum dan katanya: “Hebat kau!”

Giok Hoa tambah penasaran mendengar gurunya memuji Ko Tie. Dia memang juga mengetahui waktu gurunya itu mengulurkan tangannya buat menyanggah pundak Ko Tie, sesesungguhnya gurunya telah mempergunakan tenaga dalamnya buat menahan pundak Ko Tie, tetapi sampai sekarang Ko Tie telah dapat berdiri tegak kembali.

Itulah urusan yang benar-benar sangat mengagumkan. Rupanya Ko Tie telah berhasil untuk menghadapi kekuatan tenaga dalam gurunya gadis itu.

Karena itu Giok Hoa diam-diam, di samping penasaran, diapun merasa kagum sekali.

Giok Hoa telah melangkah beberapa tindak menjauhi wanita baju kuning itu. Gurunya juga tidak menahannya, dia hanya bilang kepada Ko Tie.

“Sesungguhnya apa maksud kedatanganmu ke mari? Apakah memang sengaja ingin menemui kami?!” tanyanya.

Ko Tie menggeleng.

“Maafkan Peh-bo..... sesungguhnya kedatangan Boanpwee ke mari bukan untuk suatu maksud, Boanpwee, hanya kebetulan saja singgah di Heng-san ini, karena ingin mencari suatu tempat untuk dipergunakan Insu menyepi diri.”

Mendengar perkataan Ko Tie seperti itu, wajah wanita berbaja kuning itu berobah.

“Jadi..... jadi gurumu itu bermaksud memilih sebuah tempat yang akan dipergunakan mengasingkan diri?” tanya wanita baju kuning itu.

Ko Tie mengangguk.

“Ya..... malah mungkin Heng-san merupakan tempat yang cocok dan sesuai dengan keinginan Insu.....” kata Ko Tie kemudian. “Telah banyak tempat yang Boanpwee datangi, tetapi belum juga ada yang cocok buat Insu......!”

Wanita berbaju kuning itu mengangguk-angguk beberapa kali tampaknya dia ragu-ragu.

“Sesungguhnya pulau es tempat berdiam Swat Tocu Locianpwee merupakan tempat yang sangat baik dan menyenangkan sekali. Mengapa justeru Locianpwee itu hendak mencari tempat lain sebagai tempat kediamannya?” tanyanya kemudian.

Ko Tie telah mengangkat bahunya sambil tersenyum, katanya: “Boanpwee tidak begitu jelas..... tetapi menurut keterangan Insu, bahwa beliau memang hendak berdiam di daratan Tiong-goan, tidak di seberang lautan seperti sekarang.....!”

Wanita berbaju kuning itu mengangguk lagi beberapa kali, kemudian ia bertanya: “Nah Hiante, sesungguhnya engkau seorang murid yang terampil sekali dari Swat Locianpwe, karena engkau memiliki kepandaian yang demikian tinggi, walaupun usiamu masih begitu muda.”

“Peh-bo terlalu memuji.....!” kata Ko Tie kemudian merendah. “Sesungguhnya dalam hal ini berkat bantuan dan budi besar dari Insu juga yang telah menyebabkan Boanpwe bisa memiliki kepandaian seperti sekarang.”

“Kalau begitu, sesungguhnya kedatangan Hiante ke tempat ini tentunya ingin mencari tempat yang sesuai buat gurumu itu?!”

Ko Tie mengangguk.

“Ya..... memang begitulah, tetapi sejauh itu Boanpwe masih belum juga berhasil menemui tempat yang sesuai buat Insu..... dan jika memang Peh-bo tidak keberatan, dapatkah Peh-bo menjelaskan kepada Boanpwe, di manakah tempat yang sekiranya cocok buat Insu di Heng-san ini....... Tentunya Peh-bo jauh lebih mengetahui keadaan di sekitar tempat ini?”

Mendengar pertanyaan Ko Tie seperti itu, wanita berbaju kuning itu telah berkata: “Tentu, tentu saja aku bersedia untuk menunjukkan kepadamu tempat-tempat yang bagus di Heng-san ini. Tetapi cocok atau tidaknya dengan keinginan gurumu itu, inilah yang tidak berani aku mengatakannya.”

Di waktu itulah Ko Tie teringat sesuatu, ia telah bertanya dengan ragu: “Tadi..... tadi waktu Boanpwe main-main dengan adik itu.....” dan Ko Tie telah menunjuk Giok Hoa, yang telah terpisah cukup jauh dari tempatnya berada. “Jika tidak salah, pedang itu yang memiliki banyak kemiripan dengan ilmu pedang dari keluarga Yo..... maksud Boanpwe adalah Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko.....!”

Wanita berbaju kuning itu mengangguk.

“Ya, memang itulah ilmu pedang Giok-lie-kiam-hoat!” kata si wanita baju kuning menjelaskan.

“Pantas..... pantas begitu hebat, sehingga membuat Boanpwe sulit bernapas waktu menghadapinya!” memuji Ko Tie.

Mendengar pujian tersebut, senang hati wanita baju kuning itu. Diapun melihat Ko Tie tidak meneruskan perkataannya itu, hanya memandangi saja kepadanya. Dan wanita baju kuning ini mengerti, bahwa tentunya Ko Tie ingin sekali menanyakan siapakah sebenarnya dirinya ini yang mengerti Giok-lie-kiam-hoat dan tadi menyatakan kepada Ko Tie bahwa mereka adalah orang sendiri.

“Tentunya engkau menduga-duga entah siapa adanya aku ini, bukan?!” tanya wanita berbaju kuning itu dengan sikap yang sabar.

Ko Tie mengangguk.

“Ya..... memang itulah yang ingin Boanpwe ketahui, jika memang Peh-bo tidak keberatan untuk memberitahukannya!” menyahuti Ko Tie cepat.

Di saat itu, wanita berbaju kuning ini telah bertanya dulu: “Sesungguhnya, engkau pernah bertemu dengan Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko atau memang belum?!”

Ko Tie mengangguk.

“Sudah..... malah Tayhiap itu telah memberikan beberapa petunjuk pada Boanpwe.....!” menyahuti Ko Tie.

“Nah, Hiante, sesungguhnya apa yang kukatakan tadi bahwa kita orang sendiri tidak salah! Akupun telah melihat, beberapa jurus ilmu pukulan tangan kosongmu tadi memiliki banyak kemiripan dengan ilmu pukulan tangan kosong ayah angkatku itu!” kata wanita berpakaian kuning itu.

Mata Ko Tie jadi terbuka lebar-lebar mengawasi wanita baju kuning itu seperti juga tidak mempercayai apa yang didengarnya.

“Kalau begitu..... kalau begitu.....!” katanya tidak lampias.

“Aku adalah anak angkat dari Sin-tiauw-tay-hiap Yo Ko.....!” mengangguk wanita baju kuning itu.

“Oh, Yo Peh-bo..... sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan Yo Peh-bo..... memang waktu berkumpul dengan Tayhiap, pernah juga disinggung-singgung mengenai Peh-bo, yang disebut-sebut oleh Peh-bo Siauw Liong Lie kau tengah pergi berkelana untuk melakukan perbuatan mulia dan memberantas segala kebusukan di dunia ini!”

Setelah berkata begitu, Ko Tie menepuk keningnya, katanya: “Akh, mengapa tidak sejak tadi Boanpwee ingat bahwa Peh-bo senang sekali memakai baju kuning, seperti yang dijelaskan oleh Siauw Liong Lie Peh-bo.....”

Wanita baju kuning itu tersenyum.

“Nah, sekarang aku mengundang engkau untuk singgah di tempat kami, guna minum satu-dua cawan teh dan juga bercakap-cakap menceritakan pengalamanmu, Hiante.....!” kata wanita berbaju kuning itu.

“Apakah..... apakah ini tidak akan merepotkan Yo Peh-bo?!” tanya Ko Tie.

Wanita berbaju kuning itu menggeleng.

“Sudah tentu tidak..... ayo ikut dengan kami!” ajaknya. “Cuma saja, kami tentu tidak bisa menjamumu dengan segala macam santapan yang lezat-lezat..... karena memang kami tinggal di gunung..... menjadi orang gunung......!”

Mendengar gurau wanita baju kuning itu Ko Tie tersenyum dan mengeluarkan kata-kata yang menyenangkan si wanita baju kuning.

“Giok Hoa, kemari kau.....!” panggil wanita baju serba kuning itu.

Giok Hoa waktu itu masih cemberut saja, tetapi wajahnya jadi semakin cantik dan manis, dan Ko Tie melihat gadis itu yang kekanak-kanakan, jadi tersenyum.

“Siapkan dan bersihkan kamar belakang, buat tamu kita ini.....!” perintah wanita baju kuning itu kemudian.

Muka Giok Hoa berobah, sikap tidak senangnya makin tampak sekali.

“Dia..... dia akan menginap di rumah kita?!” tanyanya kemudian sambil melirik kepada Ko Tie.

Sang guru tersenyum dan bergurau: “Kau jangan cemberut terus menerus seperti itu, nanti engkau cepat tua......!”

Giok Hoa semakin cemberut, sedangkan Ko Tie hanya tersenyum saja. Melihat pemuda itu memandangnya dengan tersenyum, Giok Hoa ,jadi semakin gemas, jengkel dan juga semakin tidak karuan rasanya.

Sedangkan wanita baju kuning itu telah mengajak Ko Tie untuk singgah di rumahnya, di mana Giok Hoa telah berlari mendahului buat melaksanakan perintah gurunya, membersihkan kamar belakang buat Ko Tie.

Terlihat sebuah ruangan yang sederhana, namun sangat bersih sekali, ketika Ko Tie di- bawa ke sebuah rumah yang memang dibangun sangat sederhana sekali. Wanita berbaju kuning itu mempersilahkan Ko Tie duduk dikursi yang dibuat kasar dari kayu batang pohon yang dihaluskan.

“Sebuah rumah yang tidak pantas untuk menyambut kedatanganmu, sebetulnya!” kata wanita baju kuning itu. “Tetapi memang kami harus berdiam di tempat ini, untuk lebih mudah mendidik Giok Hoa, agar dia dapat melatih diri dengan sebaik-baiknya!” menjelaskan wanita baju kuning itu.

“Ya, inilah tempat yang sangat baik sekali, menyenangkan, Yo Peh-bo!” kata Ko Tie sambil memandang kagum sekeliling ruangan tersebut. “Jauh dari keramaian yang akan melibatkan kita dalam berbagai urusan. Di tempat ini tentunya kita dapat berdiam dengan tenang..... terlebih lagi memang adik Giok Hoa membutuhkan waktu-waktu yang tenang untuk mempelajari ilmu silat yang akan diwarisi oleh Peh-bo.....!”

Wanita berpakaian kuning itu mengangguk.

“Ya, memang begitulah maksudku..... rupanya kau sangat cerdas sekali, Hiante..... pantas engkau menjadi murid tunggal dari Swat Tocu Locianpwe.....!” memuji wanita berbaju kuning itu.
Ko Tie cepat-cepat mengeluarkan kata-kata merendah.

Waktu itu Giok Hoa telah keluar membawakan minuman buat Ko Tie dan gurunya, dua cawan teh hangat.

Muka gadis itu, walaupun masih cemberut, tetapi tidak segalak tadi. Malah dia agak canggung waktu meletakkan ke dua cawan itu.

“Berapa lama kau akan berdiam di sini, Hiante?” tanya wanita baju kuning itu.

“Mungkin beberapa hari, Peh-bo, untuk mencari-cari tempat yang sekiranya cocok buat Insu.....!” menjelaskan Ko Tie.

“Bagus!” berseru wanita baju kuning itu, yang segera menoleh kepada Giok Hoa, katanya: “Giok Hoa, selanjutnya untuk beberapa hari, engkau akan mempunyai seorang kawan dengan demikian engkaupun akan bisa bertanya-tanya minta nasehat dari tamu kita ini.

“Tetapi ingat, bahwa engkau tidak boleh berlaku kurang ajar dan manja..... Jika aku tahu, tentu aku akan menghukummu! Engkau harus pandai-pandai memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta nasehat dan petunjuk dari Lie Koko ini.....!”

Setelah berkata begitu, wanita baju kuning tersebut tertawa nyaring, rupanya dia puas telah mengoda muridnya.

Muka Giok Hoa berobah memerah malu. Dia sengit dan gemas sekali, gurunya menggodanya seperti itu di hadapan Ko Tie, langsung di depan pemuda itu. Cepat-cepat setelah meletakkan cawan teh itu, dia memutar tubuhnya, berlari dengan segera.

Dikala itu, wanita berbaju kuning itu tengah bercakap-cakap beberapa saat lagi, kemudian mempersilahkan Ko Tie buat beristirahat.

◄Y►

Waktu rebah di pembaringan kecil yang beralaskan putih bersih dan nyaman, pikiran Ko Tie jadi melayang-layang teringat kepada gurunya.

Heng-san memang merupakan tempat yang sangat baik dan gunung yang indah sekali. Tentu banyak sekali tempat-tempat yang sekiranya akan cocok dipergunakan sebagai tempat menyendiri gurunya itu.

Akan tetapi Ko Tie mengetahui benar akan sifat dan tabiat gurunya itu. Tidak mungkin gurunya akan menerima anjurannya untuk memilih Heng-san sebagai tempat menyendiri, berdiam di puncak gunung itu, karena walaupun bagaimana Swat Tocu tidak mau kalau tempat di mana ia akan menyendiri itu sudah didahului oleh orang lain, hidup bersama-sama.

Juga, Ko Tie sesungguhnya lebih cenderung menganjurkan buat gurunya mengambil puncak Heng-san sebagai tempat menyendiri. Hal ini disebabkan ada alasannya yang lainnya. Dimana jika Swat Tocu memilih puncak Heng-san sebagai tempat menyendirinya, maka kesempatan buat Ko Tie bertemu Giok Hoa semakin terbuka luas. Dengan demikian Ko Tie dapat sering-sering bertemu dengan gadis yang cantik jelita itu, yang telah menarik hatinya.

Sedangkan saat itu, tampak Ko Tie juga mulai digeluti oleh suatu perasaan aneh. Entah mengapa terhadap Giok Hoa, ia memiliki semacam perasaan yang benar-benar tidak dimengertinya, karena ia sangat menyukai sekali gadis itu. Dan juga ia semakin senang melihat Giok Hoa yang cemberut, di mana dia jadi melihat gadis itu semakin cantik juga, jika tengah marah dan cemberut, menimbulkan gemas di hati Ko Tie.....

Setelah termenung beberapa saat, akhirnya Ko Tie tertidur juga. Pada sore harinya dia terbangun dari tidurnya.

Setelah merapihkan pakaiannya dan juga cuci muka, dia keluar dari kamarnya. Maksudnya, dia ingin pergi mengelilingi puncak Heng-san buat melihatnya apakah ada tempat yang sekiranya baik untuk dijadikan tempat menyendiri dari gurunya.

Di waktu itu memang terlihat jelas sekali. Ko Tie berlaku hati-hati. Dia menyadari bahwa dirinya menumpang di sebuah rumah yang penghuninya hanya dua orang wanita. Karena itu, dia selalu menjaga baik-baik setiap gerak-geriknya, agar tidak menimbulkan kesan bahwa dia akan berbuat kurang ajar.

Ketika dia keluar dari kamarnya, sengaja dia telah mendehem beberapa kali. Kebetulan sekali, entah disengaja atau tidak, pada waktu itu Giok Hoa pun tengah lewat di lorong itu. Ketika mendengar batuk-batuk Ko Tie, gadis tersebut menoleh.

Kontan pipi Giok Hoa berobah merah, tanpa menyapa lagi dia memutar tubuhnya berlari meninggalkan tempat tersebut.

Ko Tie jadi berdiri tertegun di tempatnya. Sebetulnya dia ketika melihat Giok Hoa, ingin menyapanya buat mengajak gadis itu bercakap-cakap. Namun entah mengapa, mulutnya juga seperti terkunci, hanya hatinya yang berdebar-debar keras sekali ketika melihat gadis itu.

Akhirnya Ko Tie dapat menguasai perasaan.

Sedangkan Giok Hoa yang telah berlari keluar dari rumah tersebut, telah berlari terus memasuki sebuah hutan. Dia malu sekali.

Memang sesungguhnya, Giok Hoa sendiri memiliki perasaan yang tidak keruan. Dia merasa benci, tetapi juga menyukai Ko Tie. Dia pun merasa gemas, tetapi juga menyenangi pemuda itu.

Dan bermacam-macam perasaan telah mengganggu hatinya. Dangan demikian telah membuat gadis itu selama siang itu tidak bisa diam dengan tenang, gelisah sekali.

Sedangkan gurunya, wanita berbaju kuning itu, tengah mengurung diri bersemedhi buat mengatur jalan pernapasannya, seharian itu. Dan karena iseng, dan tidak ada yang harus dikerjakan lagi, Giok Hoa telah keluar dari kamarnya, dengan maksud hendak jalan-jalan di depan rumahnya, guna menghirup udara segar.

Namun waktu dia lewat di ruang tengah, ruang yang menghubungi dengan lorong ke kamar belakang rumah tersebut, waktu itu terdapat suatu keinginan untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Ko Tie.

Demikian kuat keinginannya itu, sehingga gadis ini tidak bisa membendung lagi keinginannya itu. dia telah melangkah menghampirinya, dan dilihatnya bahwa pintu kamar Ko Tie tertutup rapat.

Giok Hoa kemudian keluar rumah, namun kembali dia gelisah. Dia jadi memikirkan entah apa yang tengah dikerjakan tamunya tersebut.

Tetapi yang paling utama hati nona ini terganggu oleh senyum Ko Tie, di mana sejak tadi memang Giok Hoa selalu teringat senyuman pemuda itu.

Memang Ko Tie seorang pemuda tampan. Dan juga kepandaiannya sangat tinggi. Tetapi di samping itu juga dia merupakan seorang pemuda yang menjengkelkan dan mendatangkan rasa gemas di hati Giok Hoa.

Bermacam-macam perasaan bercampur aduk dalam hati gadis itu. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk pergi melihat lagi ke kamar Ko Tie.

Karena itu, Giok Hoa telah masuk ke dalam rumah dan kemudian menyusuri lorong itu.

Dia mendekati kamar tidur yang di tempati Ko Tie. Tetapi setelah menghampiri dekat dan melihat pintu kamar itu tertutup rapat, gadis ini ragu-ragu. Lama dia berdiri di situ untukmengawasi saja pintu kamar.

Diam-diam di dasar hatinya terpikir juga, kalau saja Ko Tie tidak sedang tidur, dan pintu kamarnya ini tidak tertutup rapat, tentu Giok Hoa bisa saja mencari jalan dan alasan agar dapat mengajak pemuda itu bercakap-cakap! Dan hal itu tentu menggembirakan sekali. Namun apa yang dilihatnya justeru memang pintu itu tertutup rapat-rapat.

Karena itn, Giok Hoa hanya berdiri diam saja mengawasi pintu kamar tersebut, sampai akhirnya dia telah memutar tubuhnya untuk meninggalkan tempat tersebut. Dia bermaksud akan pergi keluar dari rumahitu, untuk pergi ke puncak Heng-san.

Namun baru saja dia melangkah sampai di ujung lorong, dia mendengar seperti juga pintu terbuka. Waktu dia ingin menoleh untuk melihat, justeru Ko Tie telah keluar, juga telah terdengar suara dehemnya. Maka dari itu, cepat-cepat Giok Hoa melarikan diri keluar rumah, pipinya memerah panas, dia malu sekali karena dia kuatir kalau-kalau Ko Tie mengetahui tadi dia berulang kali melewati lorong itu dan berdiri ragu-ragu di depan kamar Ko Tie.

Cepat sekali gadis tersebut berlari-lari menuju ke arah puncak tinggi Heng-san.

Setelah tiba di puncak tinggi Heng-san dan berdiri di dekat air terjun, barulah Giok Hoa agak tenang, karena dia melihat tidak ada yang mengejarnya. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu dia mulai menggerakkan ke dua tangannya bersilat, untuk mengalihkan perhatian dan pikirannya pada bayang-bayang Ko Tie.

Tetapi di saat gadis itu tengah berlatih, justeru tiba-tiba sekali terdengar suara yang bertepok tangan dan juga telah disusul lagi dengan pujian: “Sungguh kepandaian yang terlatih baik sekali.....!”

Ketika Giok Hoa menoleh, untuk kaget dan malunya, dilihatnya Ko Tie tengah berdiri di atas sebungkah batu yang cukup tinggi, dengan sikapnya yang gagah, wajahnya yang tampan dan senyumnya begitu menawan.

Rasa malu yang diliputi Giok Hoa begitu hebat, sehingga rasanya Giok Hoa bagaikan hendak menyusupkan kepalanya ke dalam bumi saja, untuk bersembunyi dari tatapan mata Ko Tie.

Mengapa Ko Tie bisa sekonyong-konyong tiba di tempat tersebut? Ternyata waktu melihat Giok Hoa berlari meninggalkan rumah, Ko Tie cepat-cepat menyusul.

Pemuda ini merasa aneh, mengapa Giok Hoa begitu melihatnya, segera berlari. Namun sekilas Ko Tie juga masih melihat pipi gadis itu memerah, seperti juga gadis itu kaget dan malu sekali.

Sebagai seorang pemuda yang sangat cerdas, segera juga Ko Tie dapat menduga, pasti Giok Hoa telah melakukan sesuatu yang dianggapnya tentu akan mendatangkan rasa malu yang besar jika saja Ko Tie mengetahui.

Karena tertarik, dan ingin mengetahui Giok Hoa akan pergi kemana, Ko Tie segera memutuskan untuk mengikuti gadis itu mendaki puncak Heng-san.

Namun dia tidak mau mengikuti secara berterang. Selain membatasi jaraknya cukup jauh, diapun tidak mengejar langsung dan lurus. Ko Tie telah mengambil arah dari sebelah samping kanan, dari tempatnya mana dia bisa menyaksikan Giok Hoa terus juga mendaki puncak tertinggi puncak Heng-san tersebut.

Setelah melihat Giok Hoa tiba di puncak tertinggi gunung Heng-san, maka Ko Tie mempercepat larinya. Dia telah melompat ringan sekali di balik sebungkah batu, bersembunyi di situ.

Sengaja Ko Tie tidak mau terlalu dekat, dia kuatir kalau-kalau gadis itu mendengar suara langkah kakinya. Jika memang Giok Hoa mengetahui dirinya dibuntuti, tentu akan sulit sekali mengetahui apa yang ingin dilakukan Giok Hoa, disebabkan itulah Ko Tie tetap bersembunyi terus dibalik batu itu mengamat-amati saja gerak-gerik gadis itu.

Dia memperoleh kenyataan Giok Hoa berdiri di pinggir air terjun, wajahnya murung sekali. Dia seperti tertegun mengawasi mengalirnya air dan berulang kali tampak dia menghela napas. Rupanya gadis itu tengah bersusah hati.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar