Buku 069
“Aku kira, jika ada
prajurit-prajurit peronda sampai ke daerah ini, maka tentu ada gardu-gardu dan
tempat-tempat pengawas yang menjadi tempat peristirahatan dan pusat-pusat
perondaan.”
“Mungkin demikian,” Kiai
Gringsing pun mengangguk-angguk.
“Jika demikian, kita dapat
menempuh jalan yang semula akan kita lalui. Bukan jalan ini,” berkata Agung
Sedayu kemudian.
Tiba-tiba Swandaru mengerutkan
keningnya. Sambil berpaling kepada seorang penyamun yang menyerah ia bertanya,
“Apakah benar bahwa kadang-kadang ada peronda dari Mataram yang nganglang
sampai ke mulut lorong itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Aku bertanya, menurut
pengetahuanmu. Apakah selama kau menyamun kau pernah melihat, mendengar, atau
bahkan menjumpai peronda-peronda dari Mataram yang sampai ke lorong itu.”
Penyamun itu merenung sejenak.
Namun kemudian ia menggeleng, “Tidak. Tidak pernah ada.”
“Benar? Tidak pernah ada?”
“Ya, memang tidak pernah ada.”
Swandaru pun kemudian
mendekatinya. Katanya seakan-akan bergumam kepada diri sendiri, “Lebih baik
mereka disembelih, atau digantung di batang pohon dengan kepala di bawah supaya
seekor harimau meraihnya dan melobangi wajahnya dengan kukunya.”
“Swandaru?” ayahnya memanggil.
Tetapi Swandaru melangkah
terus. Bahkan gurunya berkata, “Baiklah Swandaru. Ikat saja mereka di
pepohonan. Kami tidak memerlukan mereka lagi.”
“Jangan, jangan,” orang itu
memohon seperti yang merengek melihat ayahnya membawa sehelai cambuk.
Ki Demang menjadi bingung.
Namun Agung Sedayu menggamitnya sambil berbisik, “Biarkan saja, Ki Demang.
Swandaru tidak akan berbuat apa-apa.”
Semakin dekat juntai ujung
cambuk Swandaru, semakin takutlah orang yang sudah menyerah itu. Sekali lagi ia
memohon, “Jangan diikat aku pada sebatang pohon.”
“Kenapa tidak? Tentu kami
tidak akan dapat membawa kalian ke Menoreh, karena kami akan mengunjungi Ki
Gede Menoreh sebagai tamu yang terhormat.”
“Kami tidak perlu dibawa ke
Menoreh?”
“Dan kami tidak dapat
melepaskan kau di hutan. Kau akan sangat berbahaya.”
“Jangan dilepaskan kami, asal
kami jangan dibunuh dan jangan diikat pada sebatang pohon, karena hutan ini
memang banyak dihuni harimau loreng.”
“Lalu kami harus menunggui
kalian di sini?”
Penyamun itu tertunduk.
“Jika kalian membuat kami
bingung, maka jalan satu-satunya memang membunuh kalian.”
“Tidak, tidak,” tiba-tiba yang
lain berteriak, “ada prajurit yang sering meronda di jalan itu. Ada pusat-pusat
perondaan di tengah-tengah hutan. Pengawal-pengawal dari Mataram yang kuat
berada di gardu-gardu. Bahkan bersama beberapa orang pemimpinnya.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, sementara Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Namun dengan demikian mereka
mengerti, bahwa Mataram tidak tinggal diam menghadapi persoalan ini. Mereka
agaknya menyadari bahwa orang-orang yang telah mengganggu ketenteraman daerah
yang sedang tumbuh ini adalah orang-orang yang kuat, sehingga mereka terpaksa
menempatkan beberapa buah gardu di tengah-tengah hutan.
Ki Demang yang kemudian
menangkap maksud anaknya itu pun mengumpat di dalam hati. Bahkan sambil
tersenyum ia berbisik kepada Agung Sedayu, “Aku memang terlalu bodoh.”
Agung Sedayu pun tersenyum.
Katanya, “Bukan, tetapi Ki Demang kurang terbiasa bersikap seperti kami.
Apalagi Swandaru, ia segera dapat menyesuaikan diri dengan sikap guru.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam, sementara ia mendengar Kiai Gringsing berkata, “Kita kembali lewat
jalan yang biasa dilalui orang. Kita bawa semua orang yang tertawan.” Lalu
kepada orang-orang yang semula menjadi ketakutan Kiai Gringsing itu pun
bertanya, “Lalu bagaimana dengan kalian?”
“Kami memang akan pergi ke
Mataram.”
“Ikutlah kami.”
Mereka pun segera berkemas.
Tawanan-tawanan yang tidak dapat berjalan tegak lagi mereka taruh di atas
punggung kuda. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru berjalan mengiringinya
bersama dengan orang-orang yang semula menjadi putus asa. Di antara mereka yang
terluka pun mendapat kesempatan pula mempergunakan kuda Kiai Gringsing dan
Sumangkar.
Iring-iringan itu pun kemudian
mengambil jalan yang sudah mereka lalui. Mereka berputar lagi menuju lorong
yang biasa dilalui orang, karena jalan yang sedang terbentang di bawah kaki
mereka itu adalah jalan jebakan.
Sebelum mereka sampai ke tanah
pategalan, ternyata mereka masih menemukan seorang kawan dari orang-orang yang
berjalan lebih dahulu dan hampir saja dibinasakan oleh para perampok itu.
Tetapi demikian hatinya dicengkam oleh ketakutan, maka untuk beberapa lama ia
tidak mau keluar dari gerumbul tempatnya bersembunyi. Namun demikian desah
nafasnya serta kadang keluhan-keluhan yang tertahan telah menunjukkan di mana
ia berada.
Tetapi akhirnya, atas bujukan
kawan-kawannya ia mau keluar juga dari persembunyiannya yang tidak tersembunyi
itu. Perlahan-lahan kepercayaannya atas tanggapan inderanya mulai timbul
kembali.
Demikianlah, akhirnya
iring-iringan itu pun sampai ke warung yang kini sudah kosong. Gardu yang
kosong dan mulut lorong yang sepi. Meskipun demikian di warung itu masih
terdapat beberapa jenis makanan yang dijajakan. Namun Kiai Gringsing tetap
mencurigai jenis makanan itu, meskipun ia pun berpendapat bahwa tidak semua
makanan berisi jebakan racun yang lemah, karena ternyata tidak semua orang
telah diberinya racun itu. Hanya mereka yang menurut dugaannya orang-orang yang
berbahaya sajalah yang telah dicobanya untuk diracun, seperti Kiai Gringsing,
Sumangkar, Ki Demang, beserta kedua anak-anak muda itu.
Sejenak kemudian maka mereka
pun telah melintasi hutan Tambak Baya yang lebat. Tetapi karena jalur jalan
yang mereka lalui adalah jalan yang sering disentuh kaki manusia, maka jalan
itu agaknya memang tidak begitu sulit.
Di dalam perjalanan itu Kiai
Gringsing masih juga sempat bertanya kepada para penyamun yang ditawannya.
Katanya, “Apakah jalan ini masih sering dilalui orang, maksudku, orang yang
dengan sengaja kalian lepaskan?”
Para penyamun itu ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Hanya
kadang-kadang. Jika kebetulan para prajurit Mataram meronda sampai ke ujung
lorong, kami tidak dapat berbuat apa-apa. Orang-orang yang akan lewat jalan ini
pun lewatlah bersama para prajurit itu.”
“Apakah pemimpinmu itu tidak
dapat membinasakan hanya sekelompok prajurit?”
“Tentu. Tetapi dengan demikian
kami akan mengundang kesiagaan yang lebih tinggi lagi dari para prajurit
Mataram, sehingga barangkali justru di mulut lorong itu diberinya gardu
penjaga.”
“Di mana gardu penjaga yang
pertama?”
“Tidak begitu jauh lagi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya pada keterangan itu. Gardu itu tentu
tidak begitu jauh. Jika tidak demikian, maka para penyamun itu tidak perlu
menyesatkan calon-calon korbannya ke jalur jalan jebakan itu.
Namun dalam pada itu tiba-tiba
saja Kiai Gringsing bertanya, “Siapakah pemimpinmu itu?”
Penyamun itu mengerutkan
keningnya.
“Siapa?”
“Kami tidak mengenalnya lebih
jauh selain yang kami lihat sehari-hari.”
“Siapa? Siapa namanya?”
Penyamun itu menjadi
ragu-ragu. Namun katanya kemudian, “Kami memanggilnya Kiai Wedung. Hanya itulah
yang kami ketahui tentang dirinya.”
“Kenapa kau ikut orang yang
kau sebut Kiai Wedung itu?”
“Kami tidak mempunyai pilihan
lain.”
“Aku tidak tahu maksudmu.
Kenapa kau tidak mempunyai pilihan lain? Apakah yang kau kerjakan sebelum kau
menjadi penyamun?”
Orang itu masih ragu-ragu.
“Apakah kau memang ditugaskan
untuk menyamun sebagai tabir saja dari usaha Kiai Wedung membatasi orang-orang
yang masuk ke Mataram?”
“Tidak. Kami memang penyamun
sejak lama. Tetapi kami dikalahkan oleh Kiai Wedung dan orang-orangnya.
Akhirnya mereka memaksakan suatu kerja sama. Kami diperkenankan merampas semua
milik orang-orang yang lewat, dan membunuhnya. Hanya sebagian kecil saja yang
harus kami serahkan kepadanya, sementara semua tanggung jawab diambil alih oleh
Kiai Wedung.”
Kiai Gringsing memandang
Sumangkar sejenak. Tetapi Sumangkar tidak memberikan tanggapan apa pun.
Sehingga Kiai Gringsing pun bertanya pula, “Apakah kau pernah mendengar tentang
seorang panembahan di daerah hutan ini?”
“Panembahan? Maksudmu
panembahan siapa?”
“Bukan siapa pun. Tetapi
apakah kau pernah mendengar seorang panembahan di sebuah padepokan di sekitar
Alas Tambak Baya ini atau di sekitar Alas Mentaok?”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku mengenal seorang demang yang mempunyai pengaruh yang
besar di kalangan demang-demang yang lain. Agaknya ia menaruh perhatian juga
terhadap Alas Mentaok.”
“Siapa?”
“Demang di tlatah Mangir.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam, sedang Sumangkar memandanginya dengan sorot mata yang aneh.
Tetapi menurut dugaan Kiai
Gringsing, demang tlatah Mangir itu tentu tidak ada hubungannya sama sekali
dengan panembahan yang tidak bernama itu.
Namun demikian, bahwa seorang
demang dari tlatah Mangir telah tertarik pada perkembangan Alas Mentaok itu pun
bukan suatu hal yang mustahil. Bahkan mungkin bukan hanya demang di tlatah
Mangir itu saja, selain panembahan yang mengaku tidak bernama itu. Tetapi
mungkin masih ada juga beberapa orang yang berkepentingan dengan Alas Mentaok.
Bahkan mungkin juga Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Dan tiba-tiba saja Kiai
Gringsing bertanya pula ke penyamun itu, “Kenapa kau sebut demang di tlatah
Mangir itu, he? Apakah kebetulan saja kau mengetahuinya bahwa demang itu dengan
penuh minat mengikuti perkembangan Mataram atau kau mendengar bahwa ia pernah
berkata, bahwa ia tertarik sekali kepada Mataram atau dengan cara yang lain
lagi?”
Orang itu menjadi
termangu-mangu.
“Bagaimana kau dapat
mengatakan hal itu?”
“Aku tidak mendengar sendiri
atau melihat sikap itu.”
“Lalu kenapa kau dapat
mengatakannya?”
“Menurut Kiai Wedung. Kiai
Wedung-lah yang mengetahui hal itu.”
Kiai Gringsing memandanginya
dengan tajamnya, mudian ia menggeram, “Itukah ajaran pemimpinmu yang licik itu?
Dengan demikian mulutmu akan menjadi racun yang paling berbisa, yang dapat
menumbuhkah pertentangan tanpa sebab. Pemimpinmu yang gila itu tentu
mengajarimu untuk menumbuhkan pertentangan antara tlatah Mangir dengan Mataram.
Jika kau menyebutnya hal itu di hadapan orang-orang Mataram, yang ternyata
mereka bukan orang-orang yang bodoh, maka mulutmu pasti akan disumbat. Mungkin
dengan sabut kelapa, tetapi mungkin juga dengan tangkai pedang.”
Orang itu tidak menyahut lagi.
Tetapi dadanya menjai berdebar-debar. Memang menurut gambarannya orang-orang
Mataram yang sedang berjuang membuka tanah dan berjuang melawan alam yang
keras, apalagi gangguan-gangguan yang tidak ada habis-habisnya itu, bukannya
orang-orang yang lembut dan ramah-tamah. Mereka pasti orang-orang yang berwajah
keras dan berhati keras.
Demikianlah maka iring-iringan
itu pun semakin lama semakin dalam menusuk ke dalam Alas Tambak Baya. Meskipun
hutan ini sudah menjadi kian sempit, tetapi jantungnya masih merupakan hutan
yang lebat sekali.
Jalur jalan yang mereka lalui
itu meskipun merupakan jalur yang sering dilewati, namun kadang-kadang mereka
masih menjumpai gerumbul yang liar dan sulur-sulur berduri.
Sejenak kemudian, maka jalan
yang mereka lewati itu pun menjadi semakin baik. Bagi mereka yang lewat, hal
ini merupakan pertanda bahwa daerah ini adalah daerah yang lebih sering dijamah
kaki. Dan mereka pun menduga bahwa mereka telah berada dekat dengan gardu
penjaga.
“Apakah kita sudah dekat?”
bertanya Kiai Gringsing kepada penyamun itu.
Penyamun itu menjadi
termangu-mangu. Namun ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil menyahut,
“Ya. Kita sudah dekat dengan gardu penjaga.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Kini
angan-angannya justru sedang membayangkan, siapakah prajurit-prajurit yang ada
di gardu itu. Apakah mereka akan mempercayainya atau tidak, karena para
penyamun itu pun akan dapat berkata lain.
“Tetapi ke delapan orang ini
pun akan dapat mengiakan keteranganku,” berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya.
Demikianlah maka sejenak
kemudian, mereka pun sudah dapat melihat sebuah barak kecil di tengah-tengah
hutan itu. Namun agaknya para prajurit yang bertugas di dalam barak itu cukup
berhati-hati, karena ternyata pepohonan di sekitar barak itu sudah dibersihkan.
“Itulah,” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun kesan yang didapatnya adalah bahwa di daerah sekitar tempat
ini memang dianggap daerah yang gawat, ternyata bahwa yang disebut gardu
penjaga itu adalah sebuah barak yang tentu berisi lebih dari sepuluh orang.
Ternyata prajurit yang sedang
bertugas mengawasi barak itu pun segera melihat kehadiran iring-iringan itu,
dan segera ia memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Dalam waktu yang singkat, maka
di sekitar barak itu telah siap menyambut kedatangan mereka lebih dari sepuluh
orang prajurit. Mereka telah bersiaga dengan senjata telanjang, karena iring-iringan
itu adalah iring-iringan yang mencurigakan.
“Siapakah kalian?” bertanya
prajurit yang sedang bertugas. “Berhenti di situ.”
Kiai Gringsing pun kemudian
memberikan isyarat agar iring-iringan itu berhenti.
“Kemarilah satu atau dua orang
yang dapat memberikan keterangan tentang kalian,” perintah pengawal itu pula.
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Kemudian katanya, “Siapakah yang akan pergi bersamaku? Ki Demang atau
Adi Sumangkar.”
“Silahkan, Ki Demang,” berkata
Sumangkar.
Ki Demang termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Sumangkar sajalah. Aku tinggal di sini.”
Ki Sumangkar-lah yang kemudian
pergi bersama Kiai Gringsing ke barak itu menemui para pengawal yang sedang
bertugas di tengah-tengah hutan.
“Siapakah kau?” bertanya
prajurit yang bertugas.
“Kami datang dari Sangkal
Putung, Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing.
Prajurit itu memandang Kiai
Gringsing sejenak, lalu dipandanginya pula Ki Sumangkar. Bahkan kemudian
ditebarkannya tatapan matanya kepada orang-orang yang berdiri agak jauh dari
mereka.
“Apakah kalian semuanya datang
dari Sangkal Putung?”
“Tidak, tidak semua.”
Prajurit-prajurit yang ada di
sekitar barak itu pun tertarik kepada beberapa orang yang ternyata telah
terluka, sehingga salah seorang dari mereka melangkah mendekat sampai beberapa
depa.
“Kenapa kawan-kawanmu
terluka,” bertanya pengawal yang sedang berbicara dengan Kiai Gringsing itu.
“Kami membawa cerita yang
panjang,” berkata Kiai Gringsing, lalu, “sedang iring-iringan ini terdiri dari
tiga rombongan.”
“Tiga rombongan?”
“Ya. Yang pertama adalah
rombongan kami dari Sangkal Putung. Yang kedua adalah rombongan yang datang,
lebih dahulu dari kami, dan yang ketiga adalah penyamun-penyamun.”
“Penyamun?” para pengawal yang
mendengar keterangan itu menjadi heran.
Kiai Gringsing pun kemudian
menceritakan apa yang diketahuinya tentang penyamun-penyamun itu kepada para
pengawal, dan maksudnya untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal.
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Sejenak kemudian ia melangkah mendekat sambil bertanya, “Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Ya, silahkan bertanya kepada
orang-orang yang datang sebelum kami dan yang hampir saja binasa oleh para
penyamun itu.”
“Kenapa kalian tidak
dibinasakan sama sekali, maksudku siapakah sebenarnya kalian sehingga kalian
dapat membebaskan diri dari para penyamun itu dan bahkan menawannya?”
Kiai Gringsing tidak segera
menyahut. Dipandanginya Ki Sumangkar dan kemudian ia pun berpaling pula kepada
Ki Demang di Sangkal Putung.
“Kami memerlukan keterangan
yang selengkap-lengkapnya,” berkata pengawal itu. “Kami tidak mengenalmu dan
tidak mengenal orang-orang yang kau sebut penyamun itu. Juga kami tidak
mengenal orang-orang yang datang lebih dahulu daripadamu dan hampir saja
dibinasakan oleh penyamun-penyamun itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kecurigaan para pengawal itu.
“Kau dapat memutar-balikkan
cerita yang sebenarnya,” berkata prajurit itu kemudian. “Yang hitam kau katakan
putih dan yang putih kau katakan hitam karena kebetulan kau dapat menguasai
mereka dengan kekerasan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia berpikir, lalu katanya, “Salah seorang saksi yang dapat
dibuktikan adalah Ki Demang di Sangkal Putung. Jika diperlukan maka dapat
dibuktikan bahwa ia benar-benar Demang di Sangkal Putung. Ia dapat memberikan
kesaksian apa yang telah terjadi.”
“Apakah bedanya Demang Sangkal
Putung dan orang-orang yang lain? Jika kau mengancamnya bahwa ia harus berkata
seperti yang kau kehendaki, maka ia akan berkata seperti itu.”
Meskipun Swandaru berdiri agak
jauh, tetapi ia dapat mendengar kata-kata itu sehingga tiba-tiba saja ia
menyahut. “Aku adalah anak Ki Demang Sangkal Putung. Aku pun sanggup memberikan
kesaksian tanpa dipaksa dan bahkan dengan mengucapkan sumpah.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Lalu, “Apakah aku dapat mempercayaimu bahwa kau adalah anak Ki
Demang Sangkal Putung.”
“Kalian dapat datang ke
Sangkal Putung dan bertanya kepada setiap orang. Terlebih-lebih kepada istri Ki
Demang Sangkal Putung itu.”
“Kau sangat yakin bahwa kami
tidak akan melakukan pembuktian itu, sehingga kau dapat mengucapkannya dengan
sangat lancar.”
Swandaru mendengarkan jawaban
itu dengan dada yang berdebaran, sehingga hampir di luar sadarnya ia berkata,
“Jadi bagaimana kami harus membuktikan bahwa kami benar-benar telah melakukan
seperti apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu?”
“Kiai Gringsing?” ulang
pengawal itu. “Yang mana yang kau sebut dengan Kiai Gringsing itu?”
Swandaru tiba-tiba menjadi
ragu-ragu. Gurunya sendiri belum mengucapkan namanya, dan kini ia telah
menyebutkannya. Namun karena hal itu sudah terlanjur maka ia tidak akan dapat
menariknya kembali.
“Itulah,” katanya, “yang
berbicara dengan Ki Sanak.”
Pengawal itu memandang Kiai
Gringsing dengan saksama. Namun sekali lagi ia berkata, “Aku belum pernah
mengenalnya.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Bahkan ia sudah menjadi agak jengkel karenanya,
sehingga dengan suara datar ia bergumam, “Lalu apa yang harus kami kerjakan?
Apa?”
Dalam pada itu, selagi
Swandaru dan rombongannya menjadi bingung untuk membuktikan kebenaran
keterangannya, maka tiba-tiba penyamun yang duduk di punggung kuda karena
lukanya itu pun berkata dengan suara parau dan terputus-putus, “Tuan, bukankah
Tuan pengawal Tanah Mataram? Tolonglah kami. Kami adalah petani-petani dari
Cupu Watu. Kami tidak tahu apakah maksud orang-orang ini membawa kami dan
menyiksanya di sepanjang jalan ini.”
Kata-kata itu telah
mengejutkan semua orang yang mendengarnya. Para prajurit, Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya, orang-orang yang telah diselamatkannya dan bahkan
penyamun-penyamun yang lain pun terkejut pula. Namun mereka pun segera mengerti
maksud keterangan itu, sehingga seorang penyamun yang lain pun segera
menyambung, “Ya, Tuan. Kami mohon perlindungan. Kami sama sekali tidak mengerti
apa kesalahan kami. Apakah karena kami tidak mau pergi dari Cupu Watu seperti
yang mereka kehendaki, atau ada sebab-sebab lain.”
Prajurit yang sedang bertugas
itu menjadi tegang. Dan tiba-tiba saja ia berkata lantang, “Nah, kau dengar
kata-kata itu? Jika aku tergesa-gesa mempercayai keteranganmu, maka aku pasti
akan terjerumus ke dalam kesulitan. Nah, ternyata dengan kekuatan kau ingin
menentukan sesuatu yang pasti akan mengganggu ketenangan tanah yang baru dibuka
ini. Kau tentu telah mengancam orang-orang itu untuk mengatakan seperti yang
kau kehendaki, termasuk Ki Demang Sangkal Putung.”
“Tidak, Ki Sanak,” sahut Ki
Demang Sangkal Putung sambil melangkah maju. “Aku bebas menentukan sikap dan
kata-kataku. Aku masih bersenjata dan senjataku bernoda darah. Jika seseorang
dan siapa pun juga ingin memaksakan kehendaknya dengan menakut-nakuti aku, maka
aku akan menentangnya sampai ujung umurku.” Ki Demang berhenti sejenak, lalu,
“Aku menjadi saksi apa yang telah terjadi. Dan aku telah membunuh seorang dari
para penyamun yang menyerang aku.”
Para prajurit itu mengerutkan
keningnya. Namun sebelum salah seorang dari mereka memberikan tanggapannya,
Swandaru tiba-tiba saja tertawa. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Ki
Sanak memang aneh.”
“Kenapa kau tertawa,” para
pengawal Tanah Mataram itu menjadi heran.
“Mungkin kalian adalah
pengawal baru yang terbentuk di Mataram. Jika kalian pengawal-pengawal yang
dibentuk dari bekas prajurit-prajurit Pajang, mungkin kalian akan berpikir
lain.”
“Gila kau,” bentak seorang
pengawal, “aku bekas prajurit Pajang. Aku datang kemari karena sebuah
cita-cita. Aku bukan orang yang pantas kau tertawakan.”
“Hampir kami semuanya pernah
menjadi prajurit di Pajang,” berkata yang lain. “Jangan menghina kami.”
Dan pengawal yang berdiri
dengan tegangnya di tengah-tengah mereka itu pun membentak keras-keras, “Kenapa
kau tertawa, he?”
Swandaru berusaha menghentikan
suara tertawanya. Ia melihat sekilas Kiai Gringsing pun ikut menjadi tegang.
Namun ia berkata, “Jika demikian aku keliru. Tetapi tentu bukan semuanya bekas
prajurit. Aku bahkan menyangka hanya ada seorang dua saja. Tetapi sekali lagi,
aku keliru.”
“Apakah sebenarnya maksudmu?”
bentak prajurit yang sedang memeriksa Kiai Gringsing.
Swandaru melangkah maju.
Tetapi seorang pengawal membentaknya, “Kau tetap di situ.”
“Baik, baik. Aku akan tetap di
sini.” Swandaru berdiri di tempatnya sambil berpaling. Dipandanginya
orang-orang yang ada di dalam rombongannya termasuk para penyamun. Katanya
kemudian, “Jika kami membawa orang-orang ini dengan paksa tanpa salah, apakah
kira-kira kami akan datang kemari dan menyerahkan orang-orang ini kepada para
pengawal di sini? Kami menganggap bahwa orang-orang ini semula tidak akan
pernah mempunyai niat untuk memutar balikkan keadaan. Tetapi kecurigaan Ki
Sanak yang berterus-terang itu memang menimbulkan suatu ilham kepada mereka,
untuk memutar-balikkan keadaan seperti yang dikatakannya.”
Para prajurit itu mengerutkan
keningnya.
“Nah, apakah keuntungan kami
dengan membawa orang-orang Cupu Watu ini kemari dalam keadaan luka dan payah,
dan kemudian menyerahkannya kepada kalian? Jika kami ingin membinasakan mereka,
kami pasti sudah melakukannya.”
Keterangan Swandaru itu memang
masuk akal. Satu dua orang dari mereka mulai mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi prajurit yang sudah terlanjur membentak-bentak itu masih juga berkata,
“Itu pun omong kosong. Kalian tentu dapat mengambil keuntungan dengan melakukan
hal yang gila itu. Kalian dapat melepaskan tanggung jawab kalian. Dan kalian
mengharap bahwa kami akan dengan begitu saja memberikan hukuman kepada
orang-orang yang kau sebut penyamun itu tanpa memeriksanya dengan teliti.”
Tetapi Swandaru masih
tersenyum. Katanya, “Semula aku memang bingung, bagaimana mengatakan yang
sebenarnya kepada kalian. Kalian tidak percaya kepada Kiai Gringsing, tidak
pula percaya kepada ayahku, Ki Demang di SangKal Putung. Namun tentu aku
mempunyai suatu bukti yang dapat kalian lihat. Tidak begitu jauh dari tempat
ini. Kami baru saja bertempur. Di sana masih ada beberapa sosok mayat yang
tergolek yang sebenarnya akan kami serahkan pula kepada kalian di sini untuk
mendapat perawatan yang sewajarnya.”
“Mayat siapa?” bertanya
prajurit itu.
“Para penyamun dan seorang
lagi adalah seorang dari antara orang yang akan melintasi Alas Tambak Baya ini.
Jika benar kami membawa orang-orang ini dari Cupu Watu, maka bekas pertempuran
itu pasti tidak ada. Jika kalian melihat tempat itu, maka kalian akan dapat
mengambil kesimpulan. Bukan saja perkelahian itu sendiri, tetapi lebih dalam
daripada itu adalah latar belakang dari pertempuran yang terjadi itu, dan
kenapa para penyamun berusaha untuk menutup jalan menuju ke Mataram. Bukan saja
jalan perdagangan, tetapi juga arus orang yang ingin menetap di tlatah yang
kini sedang tumbuh itu.”
Para prajurit itu mendengarkan
keterangan Swandaru dengan dahi yang berkerut-merut. Mereka mulai mempercayai
keterangan orang-orang yang mereka curigai itu. Bahkan prajurit yang mula-mula
menyangkal keterangan Kiai Gringsing itu pun mulai mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Dalam pada itu, selagi
persoalan yang timbul pada mereka itu masih belum terpecahkan sepenuhnya,
mereka mendengar derap kaki-kaki kuda di dalam lebatnya Alas Mentaok. Gemanya
seakan-akan bergulung-gulung datang dari segala arah. Namun bagi mereka yang
memiliki pendengaran yang tajam segera mengerti, dari manakah kuda-kuda itu
datang.
Sejenak kemudian sebuah
iring-iringan prajurit memasuki halaman barak itu. Agaknya yang berkuda paling
depan adalah pemimpin dari prajurit-prajurit itu.
“Nah, ia datang,” berkata
prajurit yang langsung minta keterangan kepada Kiai Gringsing, “ialah yang akan
menentukan apakah kita dapat mempercayai kalian.”
Kiai Gringsing pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia pun kemudian tersenyum ketika orang
yang berkuda di paling depan itu terkejut melihatnya. Kemudian dengan
bergegas-gegas ia meloncat turun dan berkata, “Kiai, kaukah itu Kiai Truna
Podang, eh, Kiai Gringsing.”
“Ki Wanakerti,” desis Kiai
Gringsing, “aku dan murid-muridku bersama Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal
Putung sedang mengalami pemeriksaan yang teliti. Aku senang melihat ketelitian
para prajurit Mataram.”
Ki Wanakerti pun kemudian
menyambut tangan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Dengan wajah yang cerah ia
memandang kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Kalian benar-benar memenuhi
undanganku.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun
menganggukkan kepala mereka. Sambil tersenyum Agung Sedayu yang selama itu
hanya mendengarkan perdebatan adik seperguruannya itu berkata, “Kami datang ke
barak ini tidak dengan kami sengaja.”
“Kenapa?” Ki Wanakerti
mengerutkan keningnya.
Sambil menunjuk orang-orang
yang ada di sekitarnya ia berkata, “Kami mengantarkan mereka ini.”
Ki Wanakerti memandangi mereka
dan kemudian para prajurit. Dilihatnya wajah para prajurit yang ada di
sekitarnya menjadi berkerut-merut.
“Apa yang sudah terjadi?” ia
bertanya.
Para prajurit itu tidak segera
menyahut, sehingga Kiai Gringsing-lah yang berkata, “Tidak terjadi apa-apa di
sini. Aku baru saja datang.”
Ki Wanakerti memandang Kiai
Gringsing sejenak, kemudian kembali kepada wajah para prajurit yang tunduk.
“Apakah telah terjadi salah
paham?” Ki Wanakerti bertanya.
“Tidak. Tidak terjadi apa-apa.
Aku baru akan mulai menceriterakan apa yang terjadi.”
Para prajurit itu terdiam
bagaikan patung yang membeku, sedang penyamun yang telah berusaha
memutar-balikkan keadaan itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa bersalah dua
kali lipat, sehingga karena itu, tubuhnya yang lemah menjadi semakin lemah.
“Marilah, aku persilahkan
kalian masuk ke dalam gardu yang jelek ini,” berkata Wanakerti kemudian.
“Tetapi gardu ini jauh lebih
baik dari gardumu di Alas Mentaok, di daerah yang berhantu itu.”
Ki Wanakerti tertawa.
“Marilah,” sekali lagi mempersilahkan.
“Maaf Ki Wanakerti,” berkata
Kiai Gringsing, “aku datang bersama beberapa orang dalam kedudukan yang
berbeda-beda.”
“O, siapa?”
Kiai Gringsing memandang
orang-orang yang ada di sebelah-menyebelah Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal
Putung. Kemudian katanya, “Aku mempunyai cerita yang menarik tentang mereka.”
“Tetapi marilah, kami
persilahkan kalian duduk. Marilah aku persilahkan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Mereka pun saling
berpandangan. Dan Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Marilah. Marilah, Ki
Demang,” namun kemudian ia berkata kepada Ki Wanakerti, “Ki Wanakerti, kami
akan memenuhinya, tetapi bagaimana dengan tawanan kami ini?”
“Tawanan?”
“Mereka adalah para penyamun
yang telah mencoba menghentikan perjalanan kami.”
Para penyamun itu menjadi semakin
gemetar. Kini mereka tidak berani lagi membuat cerita palsu itu, karena agaknya
Ki Wanakerti sudah mengenal orang bercambuk itu dengan baik.
“Jadi kalian menawan penyamun
sekian banyaknya?” bertanya Wanakerti kemudian.
“Bukan semuanya. Yang lain adalah
korban-korban mereka yang belum sempat mereka binasakan.”
Ki Wanakerti memandang
penyamun-penyamun itu dengan tajamnya. Lalu katanya kepada
prajurit-prajuritnya, “Awasi mereka. Bawa mereka ke serambi dan biarlah yang
lain beristirahat.”
Para prajurit itu mengangguk.
Katanya, “Baiklah. Kami akan mengurusnya.”
Demikianlah maka Kiai
Gringsing dan rombongannya kemudian dipersilahkan masuk ke dalam gubug itu.
Setelah saling bertanya tentang keadaan masing-masing sejenak, maka Kiai
Gringsing pun kemudian menceritakan tentang orang orang yang telah ditawannya
itu.
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah, aku memang mendapat
tanggung jawab di daerah ini. Kami akan mengurusnya sebaik-baiknya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikian pula di luar sadarnya yang lain pun
mengangguk-angguk pula.
“Ada beberapa orang terpaksa
terbunuh di dalam perkelahian. Tetapi sayang, bahwa kami tidak dapat menangkap
puncak dari kekuatan mereka,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Siapakah orang itu?” bertanya
Wanakerti.
“Akulah yang ingin bertanya,
apakah di daerah ini ada seseorang yang menyebut dirinya seorang panembahan.”
“Panembahan siapa?”
“Ia menyebut dirinya
panembahan tidak bernama.”
Ki Wanakerti mengerutkan
keningnya. Namun sejenak kemudian ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
Katanya, “Aku belum pernah mendengar.”
“Tentu namanya yang sebenarnya
tidak disebutkannya,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Tetapi, apakah orang itu
dapat lolos dari tangan Kiai dan kawan-kawan Kiai ini?”
“Ya.”
Ki Wanakerti menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tentu bukan orang kebanyakan jika ia dapat melepaskan
diri dari tangan Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Katanya, “Orang itu memang perlu mendapat perhatian. Aku sudah mencoba mendengarkan
keterangan tawanan-tawanan itu. Tetapi tidak seorang pun yang dapat mengatakan
sesuatu tentang panembahan tidak bernama itu.”
“Baiklah. Kami akan mencoba
mendapat keterangan dari mereka, meskipun sudah tentu keterangan itu tidak akan
memuaskan.”
“Tetapi hal itu dapat kau
pergunakan sebagai bahan yang cukup penting di daerah tugasmu sekarang ini.”
“Ya. Jika orang itu dapat
lolos dari tangan Kiai, maka kami di sini, para prajurit, perlu
mempertimbangkan. Mungkin pada suatu saat ia akan datang dan melepaskan
dendamnya terhadap para prajurit. Karena itu, kami harus bersiap menghadapinya,
meskipun akan terlampau berat.”
“Ada suatu hal yang dapat kau
jadikan dasar perhitungan menurut pengamatanku, Ki Wanakerti,” berkata Kiai
Gringsing kemudian. “Meskipun ada satu dua orang yang menonjol di antara
mereka, namun kekuatan mereka sama sekali tidak seimbang yang seorang dengan
yang lain. Ada di antara mereka yang mampu meloloskan diri dari tangan kami,
tetapi ada yang hampir tidak berarti. Justru kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang kasar yang tidak mempunyai dasar ilmu apa pun selain kekasarannya
itu. Sedangkan para prajurit, meskipun di antaranya tidak ada yang mampu
mengimbangi Ki Gede Pemanahan, namun hampir semuanya memiliki kemampuan dan
ilmu yang sejajar, sehingga apabila terpaksa kalian harus berhadapan dengan
mereka, maka kalian dapat membentuk kelompok-kelompok yang kuat.”
Ki Wanakerti
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku harus sudah menyusunnya. Dan kelompok-kelompok
itu harus meyakinkan. Jika kita meronda di sekitar tempat ini dan di jalan
menuju ke luar, kami harus melepaskan kelompok-kelompok itu.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
lalu ia pun bertanya, “sampai ke mana saja para pengawal tanah Mataram ini
meronda?”
“Kami tidak keluar terlalu
jauh dari Alas Tambak Baya. Sebenarnya kami tidak ingin memasuki hutan ini
karena hutan ini dapat menimbulkan persoalan. Hutan ini bukan bagian tersendiri
dari Alas Mentaok. Tetapi hutan ini adalah hutan yang terpisah dan berdiri
sendiri. Orang-orang Pajang akan dapat mempersoalkannya jika mereka menyadari
akan hal ini. Tetapi kami terpaksa memasuki hutan ini karena para penyamun dan
orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berkembang berusaha untuk
menghentikan arus manusia yang dapat membuat Mataram menjadi semakin ramai.
Bahkan jalur-jalur perdagangan hampir berhenti sama sekali. Karena itu, kami
mengirimkan beberapa orang untuk mengawasi hutan ini, dan saat ini kebetulan
akulah yang sedang bertugas di sini.” Ki Wanakerti berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi tugas kami belum memenuhi keinginan kami. Ternyata arus manusia dan
arus perdagangan masih belum dapat pulih kembali. Setiap kali masih saja ada
orang yang hilang dan pedagang yang mengalami perampokan.”
“Dan sekarang Ki Wanakerti
mengetahui, bahwa orang-orang yang berada di mulut lorong ini sebenarnya adalah
mereka itu. Orang-orang yang berjualan dan beberapa orang yang tampaknya
sebagai petani-petani yang sedang beristirahat itu.”
“Itulah kebodohan kami. Kami
sama sekali tidak memperhitungkan mereka. Apalagi penjual makanan itu.”
“Ialah pemimpin dari setiap
perampokan itu. Dan orang itu pulalah yang menyebut dirinya panembahan tidak
bernama itu.”
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Kiai Gringsing menceritakan para penyamun
itu lebih jauh lagi.
“Syukurlah. Aku baru saja
datang dari meronda di daerah barat sambil mengantarkan tiga orang pedagang
sampai ke daerah peronda gardu berikutnya di pintu Alas Tambak Baya. Jika saat
itu akulah yang berjumpa dengan panembahan tidak bernama itu, maka aku dan
sekelompok pasukanku akan binasa. Tetapi kini aku akan membentuk
kelompok-kelompok yang Kiai maksudkan itu.”
“Ya, hati-hatilah. Mungkin
kekalahannya kali ini akan merangsang orang itu untuk melakukan perbuatan yang
lebih jauh lagi.”
“Tetapi kami dapat tidur
nyenyak selama Kiai ada di sini.”
“Aku tidak akan berhenti di
sini. Aku sedang mengantar Ki Demang Sangkal Putung ke Menoreh.”
Ki Wanakerti mengerutkan
keningnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dan kawan-kawannya dengan heran.
“Jadi Kiai tidak sedang pergi
ke Mataram?” bertanya Ki Wanakerti.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Kali ini kami akan pergi ke Menoreh.”
“Kenapa Kiai tidak singgah
sebentar dan menemui Raden Sutawijaya. Ia tentu senang sekali menerima kunjungan
Kiai di saat seperti ini. Sebenarnyalah bahwa Kiai dan kedua murid Kiai itu
sudah ditunggu.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Pada suatu saat kami akan singgah. Mungkin setelah kami kembali
dengan selamat dari Menoreh. Apabila kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan
baik, maka kami akan mendapat kesempatan barang sehari dua hari untuk singgah.”
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya pula, “Berapa hari Kiai
berada di Menoreh?”
“Kami tidak dapat
mengatakannya. Tetapi kami harus secepatnya kembali ke Sangkal Putung. Ki
Demang tidak dapat meninggalkan tugasnya terlampau lama bersama-sama dengan
anak laki-lakinya sekaligus.”
Wanakerti masih
mengangguk-angguk.
“Nah, salamku kepada Raden
Sutawijaya dan kepada Ki Lurah Branjangan.”
“Ki Lurah Branjangan?”
“Ya. Aku bertemu dengan Ki
Lurah pada perhelatan perkawinan Untara.”
“O. Ia memang mendapat tugas
untuk datang saat itu.”
“Dan ia pun mengalami sesuatu
yang dapat dijadikan bahan pembicaraan dengan Raden Sutawijaya dan Ki Gede
Pemanahan. Sedang kini, kau di sini menghadapi hal yang hampir serupa.”
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku sudah mendengar cerita Ki Lurah
Branjangan.”
“Dan kini Ki Lurah Branjangan
harus mendengar pula ceritamu.”
“Ya,” sahut Ki Wanakerti,
“semua pemimpin dari tanah Mataram harus mendengarnya. Tetapi ada satu yang
sama dari ceriteraku dan cerita Ki Lurah Branjangan.”
“Apa?”
“Bahwa baik peristiwa di Jati
Anom dan Banyu Asri itu, mau pun peristiwa di Alas Tambak Baya, bahkan di Alas
Mentaok ketika Kiai Damar dan Kiai Tapak Jalak masih merajalela, selalu muncul
beberapa orang bercambuk dan seorang yang bersenjata Trisula yang aneh. Kini
orang itu muncul pula di sini. Malahan bersama Ki Demang Sangkal Putung.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing,
“itu hanya suatu kebetulan. Tentu ada berpuluh-puluh peristiwa yang telah
terjadi dan ditangani sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya.”
“Tentu. Tetapi justru
peristiwa yang tidak kalah besar telah dengan kebetulan kalian selesaikan. Dan
sudah barang tentu Ki Gede Pemanahan akan mengucapkan terima kasih kepada
kalian.”
“Lain kali kami akan singgah.
Tetapi kali ini kami terpaksa sekali meneruskan perjalanan, karena perjalanan
kami kali ini adalah perjalanan yang sangat penting bagi kami dan terutama bagi
Swandaru.”
Ki Wanakerti tidak dapat
menahan lebih lama lagi. Kiai Gringsing dan kawan-kawannya tidak mau tinggal
lebih lama lagi di gardu itu. Tetapi alasan mereka dapat dimengerti oleh Ki
Wanakerti, sehingga Ki Wanakerti tidak menahan lebih lama lagi.
“Kami mengucapkan selamat
jalan. Tetapi yang telah terjadi merupakan peringatan bagi kami. Ternyata bahwa
di hutan ini ada kekuatan yang tidak dapat kami anggap ringan. Bahkan yang
sebenarnya adalah jauh lebih besar dari kekuatan kami seorang demi seorang.”
“Ingat, Ki Wanakerti. Berapa
orang yang mempunyai kekuatan yang tidak terduga itu. Kiai Damar, Kiai Telapak
Jalak, orang-orang yang menyerang Jati Anom dan sekarang dua orang lagi.
Meskipun dari yang dua itu seorang telah terbunuh, namun masih ada seorang lagi
yang mungkin dapat mencari kawan baru yang memiliki kekuatan serupa. Tetapi
mungkin juga orang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama itu justru
termasuk orang terpenting dari lingkungan yang masih merupakan rahasia bagi Mataram.”
“Ya. Aku segera
menyampaikannya kepada Ki Gede Pemanahan. Segera setelah kami menyadari, kami
akan membentuk beberapa kelompok pengawal untuk menghadapi setiap kemungkinan.”
“Baiklah. Kami akan segera
mohon diri. Terserahlah orang-orang yang datang bersama kami. Baik para
penyamun maupun orang-orang yang sebenarnya ingin pergi ke Mataram itu.
Selebihnya kami serahkan juga mayat-mayat yang masih berserakan di hutan itu.
Kami harap mayat-mayat itu dapat diselenggarakan seperlunya.”
“Baik, Kiai. Kami mengucapkan
terima kasih, tentu Raden Sutawijaya menunggu kedatangan kalian di Mataram.”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Tetapi ia pun segera minta diri bersama Ki Sumangkar, kedua
murid-muridnya, dan Ki Demang Sangkal Putung. Mereka ingin segera sampai ke
tempat tujuan, setelah perjalanan mereka terganggu beberapa lamanya. Dan mereka
pun menyadadari bahwa mereka akan bermalam di perjalanan.
Tetapi bagi mereka, bermalam
di mana pun juga bukan merupakan persoalan lagi, karena mereka sudah membiasakan
diri bertualang, selain Ki Demang Sangkal Putung.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing bersama rombongan kecilnya itu pun segera meninggalkan gardu yang
ternyata dipimpin oleh Ki Wanakerti itu. Beberapa orang pengawal memandang
mereka dengan hati yang berdebar-debar. Hampir saja timbul salah paham di
antara mereka. Jika terjadi sesuatu, maka Ki Wanakerti tentu akan sangat marah
kepada mereka
Tetapi ketika Ki Wanakerti
sempat bercerita tentang Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya, maka para
pengawal itu hanya dapat mengusap dadanya. Nama Kiai Gringsing memang pernah
mereka dengar. Tetapi mereka tidak berpikir jauh. Seandainya terjadi sesuatu,
bukan Ki Wanakerti marah kepada mereka, tetapi Ki Wanakerti akan merenungi
mayat-mayat mereka yang berserakan seperti mayat penyamun itu.
“Jadi mereka itulah yang
disebut orang-orang bercambuk itu, Ki Wanakerti?” bertanya seorang pengawal.
“Ya. Bukankah kalian melihat
senjata orang-orang itu adalah hanya sehelai cambuk.”
“Tetapi cambuk itu mampu
membunuh. Mampu membelah lambung.”
“Itulah keahlian mereka.
Cambuk itu berkarah besi baja yang tipis, hampir tidak terlihat. Jika mereka
menghendaki, maka tarikan yang khusus dari permainan cambuknya akan menyobek
daging. Tetapi jika mereka tidak menghendaki, maka dengan cara yang hanya dapat
dipelajari dalam waktu yang lama, maka bekas lukanya pun seakan-akan tidak
lebih parah dari lecutan cambuk gembala kambing.”
Para prajurit Mataram itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah agaknya yang membuat luka-luka yang
berbeda-beda pada para penyamun itu pada tubuh mereka. Ternyata bahwa Kiai
Gringsing dan kedua muridnya benar-benar menguasai permainan cambuk mereka
dengan baik.
Dalam pada itu, maka Ki
Wanakerti pun segera memerintahkan pengawal-pengawal itu untuk menyelenggarakan
mayat para penyamun yang terbunuh. Tetapi sehubungan dengan keterangan Kiai
Gringsing bahwa masih ada seorang yang perlu mendapat perhatian, orang yang
menyebut dirinya panembahan tidak bernama itu, maka Ki Wanakerti pun telah
membagi anak buahnya menjadi dua kelompok. Yang separo tinggal di gardu dan
yang lain pergi ke bekas arena perkelahian itu untuk mengubur mayat-mayat yang
masih berhamburan.
Sementara itu, Kiai Gringsing
bersama kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan Ki Sumangkar, telah menjadi
semakin jauh terbenam ke dalam hutan yang lebat meskipun tidak begitu luas.
Namun mereka masih harus melintasi hutan yang lebih besar lagi, yaitu Alas
Mentaok yang sedang dibuka untuk menjadi suatu daerah yang ramai dan dinamai
Mataram di bawah pimpinan Raden Sutawijaya.
Tetapi pembukaan hutan itu
tidak dapat berlangsung secepat dikehendaki oleh orang-orang Mataram. Banyak
rintangan yang harus dihadapi. Namun satu demi satu rintangan-rintangan itu
dapat di atasinya.
Demikianlah ketika malam tiba,
Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya masih belum menyeberangi Kali Praga.
Mereka sengaja bermalam di sebelah Timur sungai di sebuah padang perdu tidak
begitu jauh lagi dari tepian.
Setelah mengikat kuda-kuda
mereka, maka mereka pun mencari tempat yang baik dan tidak berbahaya, karena
kadang-kadang ular banyak berkeliaran di padang perdu. Tetapi karena di dekat
Kali Praga, tanahnya berpasir, maka agaknya ular tidak begitu senang tinggal di
daerah itu.
“Bagaimana kita besok
menyeberang?” bertanya Swandaru kepada Kiai Gringsing.
“Kita bergeser sedikit ke
Selatan. Di jalur jalan perdagangan antara sebelah barat dan sebelah timur
sungai itu pasti terdapat tempat penyeberangan.”
“Jalur jalan yang mana yang
Guru maksud?” bertanya Swandaru pula.
“Sudah sejak beberapa waktu
yang lalu, hubungan antara daerah di sebelah barat dan di sebelah timur
berlangsung dengan ramainya. Meskipun pada waktu-waktu yang lampau, pusat
perdagangan di sebelah timur Kali Praga berpusat di ujung selatan, di daerah
Kademangan Mangir dan sekitarnya. Kemudian daerah Pliridan yang lewat jalur
yang agak sulit menghubungkan daerah itu dengan daerah Prambanan lewat jalan
selatan, dan yang akhir-akhir ini mulai ramai pula jalan tembus di Hutan Tambak
Baya dan Hutan Mentaok. Namun yang kemudian terhenti karena para penyamun itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Agung Sedayu pun bertanya, “Apakah hanya ada sebuah tempat
penyeberangan?”
“Tentu tidak. Di musim kering,
kita dapat menyeberang tanpa perahu meskipun agak berbahaya di daerah yang agak
ke utara. Tetapi lebih baik kita menyeberang di daerah penyeberangan itu dengan
getek. Apalagi kini kita membawa beberapa ekor kuda.”
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bagi Sumangkar, jalan ke Menoreh itu sama
sekali tidak menjadi persoalan. Ia sudah sering menyeberangi sungai-sungai yang
besar di sebelah timur, dan ia pun pernah juga menyeberangi Sungai Praga
bersama Sekar Mirah seperti juga Agung Sedayu dan Swandaru. Namun pada saat itu
mereka memang tidak membawa kuda.
Namun bagi Ki Demang,
menyeberangi Kali Praga itu masih juga menjadi pikirannya. Tetapi untunglah
bahwa bukan musimnya Kali Praga menjadi besar dan apalagi banjir.
Demikianlah, maka malam itu
mereka bermalam di sebelah Kali Praga. Ternyata tempat itu merupakan tempat
yang tenang dan tidak berbahaya sama sekali.
Meskipun demikian, mereka
tidak kehilangan kewaspadaan. Berganti-ganti mereka berjaga-jaga. Meskipun
tampaknya tempat itu tidak berbahaya, tetapi tidak seorang pun yang mengetahui
apa yang tersembunyi di balik dedaunan dan pepohonan.
Di setengah malam pertama,
Kiai Gringsing mendapat giliran bersama Swandaru, sedang di setengah malam
kedua Ki Sumangkar berjaga-jaga bersama Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal
Putung.
Demikianlah, ketika fajar menyingsing
di timur, mereka pun segera berkemas. Mereka membersihkan diri di Kali Praga
dan kemudian menyusur ke selatan.
Semakin dekat dengan laut
selatan, maka Kali Praga itu tampaknya menjadi semakin lebar dan dalam. Airnya
tidak mengalir deras lagi. Tetapi rasa-rasanya sungai itu menjadi bertambah
garang.
Karena masih terlampau pagi,
maka belum banyak orang yang menyeberang di seberangan Kali Praga itu. Tetapi
sudah ada satu dua getek yang menyusur tepian sebelah-menyebelah.
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya
pun kemudian memanggil sebuah getek untuk menyeberang. Mereka berlima dan
kuda-kuda mereka.
Mula-mula pemilik getek itu
dan seorang kawannya tampak ragu-ragu. Bahkan kawannya itu hampir saja tidak
bersedia. Namun Kiai Gringsing dengan hati-hati mencoba memberikan kesan, bahwa
mereka adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan yang jauh.
“Apakah tidak pernah ada orang
berkuda menyeberang sungai ini?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ada juga, Ki Sanak. Tetapi
akhir-akhir ini kami melihat kesibukan yang meningkat di Mataram. Para pengawal
menjadi terlampau sibuk. Beberapa orang kadang-kadang tampak mengawasi tempat
ini. Bahkan kadang-kadang mereka duduk hampir sehari penuh di tepian.”
“Apakah salahnya?”
“Tidak apa-apa, Ki Sanak.
Tetapi jika kami menyusur sungai ini lebih ke selatan. Maka kami melihat
kesibukan yang serupa. Tetapi bukan pengawal dari Mataram. Mereka adalah
pengawal dari kademangan di tlatah Mangir.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Apakah terjadi sedikit ketegangan antara Mataram yang sedang tumbuh
ini dengan Mangir?
Tetapi Kiai Gringsing tidak
bertanya lebih lanjut. Ia pura-pura tidak memperhatikan persoalan pengawal dari
Mataram dan pengawal-peengawal Kademangan Mangir.
“Ki Sanak,” berkata pemilik
getek itu, “ternyata bukan saja di sebelah timur sungai. Tetapi di sebelah
barat sungai ini pun tampak kegiatan para pengawal yang meningkat. Sebelumnya
kami hampir tidak pernah melihat seorang pengawal pun dari Tanah Perdikan
Menoreh yang sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi kini sekali dua kali kami
melihat pengawal-pengawal berkuda seakan-akan mengawasi daerah penyeberangan
ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa hatinya berdebaran, namun sama sekali
tidak berkesan apa pun di wajahnya. Bahkan ia masih juga bertanya, “Jadi di
sebelah barat sungai ini, sudah termasuk daerah kekuasaan Tanah Menoreh.”
“Ya. Tanah Perdikan Menoreh
terbentang dari ujung selatan sampai ke utara. Agak panjang, meskipun tidak
terlampau melebar ke Barat. Namun Tanah Perdikan Menoreh, termasuk daerah yang
luas. Tetapi di dalam daerah yang luas itu, beberapa bagian terdiri dari
bukit-bukit yang tandus, meskipun bagian yang lain adalah dataran yang subur.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia sebenarnya sudah memahami daerah Tanah Perdikan Menoreh
itu. Bukit-bukit yang keras membentang ke utara. Namun di sebelah timur dari
bukit-bukit padas itu adalah tanah yang subur.
“Ki Sanak,” bertanya Kiai
Gringsing kemudian, “apakah dengan demikian berarti kegiatan perdagangan lewat
daerah penyeberangan ini menjadi susut?”
“Tidak,” pemilik getek itu
menggeleng, “tetapi aku kenal hampir semua pedagang yang sering lewat daerah
ini. Aku mengenal mereka seorang demi seorang dengan baik. Dan kami memang agak
ragu-ragu melihat Ki Sanak serombongan kecil ini, karena Ki Sanak bukan
pedagang-pedagang yang kami kenal itu. Apalagi ujud dan sikap kalian memang
bukan sikap yang sering kami jumpai di dalam penyeberangan ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ternyata para pemilik getek di daerah penyeberangan ini mempunyai
pandangan yang tajam terhadap orang-orang yang lewat.
“Mereka setiap hari melihat
orang-orang yang kemudian mereka kenal itu menyeberang. Bahkan sikap dan
kebiasaan mereka. Mungkin barang-barang yang mereka bawa,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya.
“Ki Sanak,” katanya kemudian,
“sebaiknya Ki Sanak tidak ragu-ragu. Kami memang orang-orang yang jarang sekali
lewat daerah ini. Tetapi bukan berarti bahwa kami tidak pernah sama sekali
lewat. Mungkin kecurigaan Ki Sanak atas kami beralasan. Namun sebenarnyalah
kami adalah orang-orang yang ingin berkunjung kepada sanak saudara kami yang
kebetulan tinggal di Menoreh. Di Tanah Perdikan Menoreh.”
Pemilik getek itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka merenung. Namun kemudian pemilik
getek itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Marilah Ki Sanak naik.”
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya, Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian naik ke atas
getek bersama dengan kuda-kuda mereka. Sejenak kemudian maka getek itu pun
mulai bergerak dan melintas arus Kali Praga yang tidak begitu deras.
Di tengah-tengah sungai, Kiai
Gringsing masih sempat juga bertanya, “Apakah Ki Sanak pernah mendapat
kesulitan dari orang-orang yang menyeberang?”
Tukang getek itu tidak segera
menyahut. Dipandanginya wajah kawan-kawannya sejenak. Tampaklah keragu-raguan
membayang di tatapan mata mereka.
Namun pemilik getek itu
akhirnya menjawab, “Pada umumnya tidak, Ki Sanak.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Kemudian katanya pula, “Aku dapat menangkap keteranganmu.
Pada umumnya memang tidak. Tetapi dengan demikian kadang-kadang kau pernah juga
mendapat kesulitan itu.”
Dengan ragu-ragu orang itu
mengangguk.
“Apakah yang pernah terjadi?”
bertanya Kiai Gringsing pula. “Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku ingin
mendengar cerita dan pengalaman Ki Sanak selama menjadi tukang getek ini.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing, “aku memang orang yang jarang sekali menyeberang. Karena itu aku dan
kawan-kawanku ingin berhati-hati, barangkali tiba-tiba saja kami dihadapkan
pada suatu persoalan yang tidak kami duga-duga sebelumnya.”
Tukang satang itu menelan
ludahnya. Namun kemudian katanya, “Tidak banyak kesulitan yang pernah aku alami
di sini. Hanya memang pernah terjadi, seorang penumpang getek ini berbuat kasar
terhadap penumpang yang lain. Bahkan merampas segala barang-barang yang mereka
bawa.”
“O, mereka adalah penyamun.”
“Ya. Mereka telah menyamun
semua barang-barang milik para penumpang. Bahkan salah seorang telah mereka
lukainya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Dan Ki Sumangkar yang selama itu mendengarkan ceritera itu
pun bertanya, “Ki Sanak saat itu menyeberangkan para penumpang itu dari sisi
timur ke barat atau sebaliknya.”
“Aku membawa mereka dari sisi
barat ke timur. Begitu getek kami merapat di tepian, orang itu pun segera
meloncat dan lari menghilang di dalam semak-semak. Kami sama sekali tidak dapat
berbuat apa-apa. Apalagi orang itu bersenjata.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya,
“Apakah penyamun itu hanya seorang? Dan berapa orangkah yang telah dirampas
barangnya?”
“Ya. Penyamun itu hanya
seorang. Waktu itu semua penumpang getek ini adalah enam orang.”
“Semuanya laki-laki?”
“Ya, Semuanya laki-laki.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang yang lambat memberikan
barang-barangnya telah dilukainya dengan senjatanya itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi menurut dugaannya orang itu adalah penyamun biasa.
Bukan golongan orang-orang yang mendapat tugas untuk memagari Mataram. Meskipun
demikian kemungkinan itu pun dapat juga terjadi, betapa pun kecilnya.
Sejenak kemudian mereka pun
tidak lagi berbicara untuk beberapa saat. Swandaru duduk di bibir getek sambil
memandangi air yang berwarna coklat keputih-putihan. Sekali-sekali tanpa
disadarinya tangannya menyentuh air yang agak keruh itu.
Namun tiba-tiba saja terasa
bulu-bulunya meremang ketika ia melihat sesuatu yang hanyut di dalam air yang
keruh itu. Tidak terlalu cepat, karena arus air Kali Praga semakin dekat dengan
muaranya menjadi semakin lamban, sekali-sekali tampak sesuatu itu mengambang di
atas air, namun sekali-sekali hilang di bawah permukaan.
“Guru,” terdengar suaranya
bergetar, “lihat.”
Semua orang berpaling ke
arahnya.
“Lihat,” ia mengulangi sambil
menunjuk kepada benda yang terapung itu.
“Uh,” Ki Demang berdesah,
sementara Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Apakah hal itu sering
terjadi?” bertanya Kiai Gringsing kepada tukang getek itu.
Tetapi wajah tukang getek itu
pun menjadi tegang. Jawabnya, “Akhir-akhir ini kadang-kadang memang terdapat
mayat yang hanyut di Kali Praga. Dua hari yang lalu, kami melihatnya pula.”
“Sebelum dua hari yang lalu,
apakah hal yang serupa pernah terjadi?”
Tukang getek itu menggelengkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, “Hampir sebulan yang lalu. Tetapi aku tidak
melihatnya sendiri.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi berbagai pertanyaan menyentuh dasar hatinya.
“Apakah mungkin pula penyamun seperti
yang pernah terjadi di sini?” desis Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba saja ia
bertanya, “Apakah di sebelah utara terdapat pula tempat penyeberangan?”
“Ya, tetapi agak jauh.”
“Apakah mungkin mayat-mayat
itu hanyut dari tempat itu?”
Pemilik getek itu tidak
menyahut. Tetapi dilayangkannya tatapan matanya menyusur sungai yang panjang
dan luas itu.
“Jika pada suatu ketika hal
itu menjalar kemari,” tukang getek yang lain bergumam, “kami akan kehilangan
mata pencaharian, karena tidak ada lagi orang yang mau menyeberang.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah mayat itu dibiarkannya
saja hanyut?”
“Apakah yang dapat kita
lakukan?”
“Apakah tidak ada yang
mengambilnya dan menguburkannya baik-baik.”
Pemilik getek itu merenung sejenak,
lalu, “Ada juga niat kami melakukannya. Tetapi kami tidak tahu sebab kematian
orang itu. Bagaimana jika ada penyakit yang menular?”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan Swandaru pun ikut mengangguk-angguk
pula. Ternyata para tukang getek di Kali Praga itu pun sudah mempunyai
pertimbangan yang jauh.
Sambil memandangi mayat yang
terapung-apung itu, Agung Sedayu berkata pula, “Memang ada juga bahayanya jika
terjadi ada penyakit menular di padukuhan-padukuhan sebelah-menyebelah sungai
ini. Tetapi apakah mungkin seseorang yang meninggal karena penyakit menular
dilemparkan begitu saja ke dalam sungai?”
“Tentu kami tidak mengetahui
dengan pasti. Tetapi kemungkinan itu memang ada. Orang-orang yang terkena
penyakit menular kadang-kadang diasingkan sehingga tidak ada orang yang
mengurusinya. Mungkin ia mati selagi ia berada di tepi sungai ini, atau
sebab-sebab yang lain, sehingga ia terjerumus masuk ke dalamnya.”
Agung Sedayu masih
mengangguk-angguk meskipun rasa-rasanya masih saja ia ingin mendengar
penjelasan orang itu. Namun demikian ia tidak bertanya lagi.
Tetapi dalam pada itu Kiai
Gringsinglah yang bertanya, “Ki Sanak. Memang mungkin penyakit menular itu
menghantui kalian di sini. Tetapi apakah ada alasan lain daripada penyakit
menular itu?”
Pemilik getek itu
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Tidak ada alasan apa pun.”
Kiai Gringsing memandanginya
dengan tajamnya, lalu, “Ki Sanak. Aku minta maaf kalau kali ini aku salah
menebak. Tetapi menurut dugaanku, memang ada persoalan lain yang membuat kalian
di sini ragu-ragu untuk mengambil mayat-mayat itu.” Kiai Gringsing berhenti
sejenak, lalu, “Menurut dugaanku, kalian selain takut akan kemungkinan penyakit
menular itu kalian juga takut terlibat pada suatu tindakan kejahatan apabila kalian
mengambil mayat itu, karena kalian menduga bahwa di bagian atas dari padukuhan
di pinggir sungai ini telah terjadi kerusuhan. Agar kalian tidak terseret dalam
suatu persoalan yang kalian tidak tahu-menahu, maka kalian lebih baik sama
sekali tidak campur tangan. Bukankah begitu?”
Pemilik getek itu mengerutkan
keningnya. Sejenak ia diam mematung. Namun sejenak kemudian ia berkata dengan
suara gemetar, “Tidak. Tidak. Aku tidak mengatakan begitu.”
“Tetapi apakah kau menganggap
bahwa tidak ada perasaan itu di dalam hatimu?”
Pemilik getek itu tidak segera
menyahut. Namun kemudian ia berkata, “Kita sudah sampai.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Mereka memang sudah sampai di seberang.
“Terima kasih,” berkata Kiai
Gringsing, “kami akan melakukan perjalanan di daerah Menoreh. Tetapi
beritahukan kepada kami, apakah pernah kau lihat sesuatu terjadi di daerah ini?
Misalnya kekerasan dan semacamnya yang dapat kau lihat dari getekmu?”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak.”
“Benar?”
Orang itu memandang ke
sekitarnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang membayangi perasaannya. Namun
kemudian ia berkata, “Tidak. Tidak ada sesuatu yang pernah terjadi. Daerah itu
diawasi dengan saksama oleh para pengawal Tanah Perankan Menoreh. Seperti yang
aku katakan, setiap kali ada peronda yang lewat di daerah ini.”
“Terima kasih,” sahut Kiai
Gringsing.
Setelah memberikan upah
penyeberangannya, maka mereka berlima pun naik ke tepian sebelah barat sambil
menuntun kuda mereka. Kemudian setelah mereka berada di tempat yang datar,
mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka di atas punggung kuda.
Jalan yang mereka lalui adalah
jalan yang rata. Berbeda dengan perjalanan mereka selama di hutan Tambak Baya
dan Mentaok, mereka pun tidak menemui hambatan-hambatan. Kuda-kuda mereka dapat
berlari meskipun tidak terlalu kencang karena berbagai macam pertimbangan. Agar
tidak menumbuhkan kecurigaan mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian dan
berbuat sesuatu yang asing.
“Daerah ini masih tetap subur
dan tenang,” berkata Swandaru.
“Ya. Seperti ketika kita
meninggalkannya,” sahut Agung Sedayu.
“Tetapi ada juga bedanya,”
berkata Kiai Gringsing, “ternyata Menoreh menganggap perlu meningkatkan
pengawasannya di sepanjang Kali Praga. Tentu hal itu dilakukannya bukan tanpa
alasan.”
Ki Sumangkar-lah yang
menyahut, “Ya. Tentu ada alasannya. Tetapi menurut pendapatku, hal itu bukan
timbul karena persoalan yang terjadi di Menoreh sendiri.”
“Ya. Aku sesuai. Menoreh tidak
mau menjadi tempat pelarian, atau alas dan sarang dari orang-orang yang menjadi
buruan di Mataram dengan berbagai alasan,” sahut Kiai Gringsing.
“Itulah alasan yang tepat,” Ki
Demang yang selama itu berdiam diri itu menyahut, “aku pun sama sekali tidak
akan membiarkan daerahku menjadi tempat persembunyian orang-orang buruan dari
tlatah di sekitar Sangkal Putung.”
“Yang menjadi persoalan
kemudian,” berkata Kiai Gringsing, “apakah Menoreh sudah mencium persoalan
orang-orang yang berusaha memagari Mataram, atau Menoreh sendiri tidak senang
melihat Mataram berkembang.”
“Tentu bukan,” Swandaru-lah
yang menyahut. “Menoreh tidak akan mengambil sikap demikian.”
Kiai Gringsing memandang
Swandaru sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Tentu. Ki Gede
Menoreh tidak akan mengambil sikap demikian. Ki Gede Menoreh adalah orang yang
berjiwa besar. Apalagi ia yakin akan perkembangan daerahnya sendiri. Tetapi Ki
Gede Menoreh tidak berdiri sendiri.”
“Maksud Guru orang-orang yang
ada di sekitarnya? Pembantunya atau pelaksana di padukuhan-padukuhan apalagi
yang jauh dari padukuhan induk?”
Kiai Gringsing memandang
Swandaru sejenak. Kemudian kepalanya terangguk kecil sambil menjawab, “Semuanya
baru merupakan dugaan. Mungkin benar dan mungkin sama sekali tidak benar.
Seperti di Pajang, ada perwira-perwira yang dengan keras menentang perkembangan
Mataram, sedang yang lain masih dapat menilai keadaan dengan tenang.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Memang mungkin.”
“Orang-orang di sebelah sungai
ini mempunyai kepentingan langsung dengan perkembangan Mataram,” berkata Ki
Sumangkar kemudian. “Ada yang merasa beruntung apabila di seberang timur sungai
menjadi ramai. Tetapi ada yang merasa disaingi. Semula orang-orang di sebelah
selatan Alas Mentaok mengambil bahan-bahan keperluan sehari-hari di sebelah barat
Kali Praga. Tetapi jika Alas Mentaok sudah menjadi ramai dan menjadi sumber
bahan-bahan yang serupa, maka hal itu akan menjadi persaingan yang berat bagi
daerah seberang sungai. Orang-orang di sekitar Alas Mentaok tidak perlu lagi
menyeberangi Kali Praga untuk mendapat bahan keperluannya yang sebelumnya harus
dibelinya dari daerah Menoreh.”
“Tetapi tentu bukan atas
persetujuan Ki Gede Menoreh,” sahut Swandaru.
“Tentu tidak,” berkata
Sumangkar selanjutnya, “dan sikap itu adalah sikap yang mencerminkan kekerdilan
pikiran. Tetapi ada saja orang yang berpikiran kerdil serupa itu.”
Swandaru merenung sejenak.
Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Tetapi,” Kiai Gringsing-lah
yang berbicara kemudian, “orang-orang yang mempunyai pandangan jauh justru akan
menyambut perkembangan Mataram dengan senang hati, karena perkembangan Mataram
tentu akan menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan baru meskipun ada juga
persaingan yang akan timbul. Tetapi Mataram pasti memerlukan banyak hal yang
tidak dapat dihidupinya sendiri, sehingga harus ada hubungan timbal-balik yang
saling menguntungkan dengan daerah di sekitarnya. Jika Mataram akan membuka
tanah pertanian yang luas, sehingga mereka tidak memerlukan padi dari Menoreh,
namun Mataram harus mengambil ternak dan barangkali barang pecah belah,
jembangan, kendi, mangkuk, dan gerabah lainnya.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Bahkan Agung Sedayu dan Ki Demang pun mengangguk-angguk pula. Mereka dapat
mengerti, bahwa goncangan yang dapat timbul karena lahirnya daerah baru itu,
apabila tidak dilandasi dengan prasangka, akan tidak menumbuhkan pengaruh
buruk. Bahkan apabila kedua belah pihak berbuat dengan jujur, maka akan dapat
menimbulkan hubungan yang menguntungkan.
“Tetapi apakah hubungan yang
demikian dapat dijalin antara Mataram dengan Menoreh,” pertanyaan itu masih
juga sering timbul. Apalagi pertanyaan yang serupa, “Bagaimana dengan Pajang?”
Sejenak kelima orang berkuda
itu saling berdiam diri. Matahari yang menjadi semakin tinggi memancarkan
cahayanya yang cerah di langit yang bersih. Di hadapan mereka terbentang tanah
persawahan yang subur dan luas. Tetapi sebentar lagi, di seberang Kali Praga
itu pun akan terdapat tanah persawahan yang serupa.
Dalam pada itu, ternyata
perjalanan mereka telah menarik perhatian beberapa orang petani yang sedang
bekerja di sawah. Meskipun mereka sering juga melihat orang-orang berkuda yang
lewat jalan itu, tetapi kelima orang berkuda yang lewat itu pasti bukan para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun demikian, para petani
itu segera tidak menghiraukannya lagi. Bukan hal yang aneh jika orang-orang itu
adalah orang-orang yang sekedar melintas, atau seandainya mereka ingin
berkunjung kepada sanak kadangnya yang tinggal di Menoreh pun, bukannya suatu
hal yang mengherankan.
Namun demikian, rasa-rasanya
ada juga pertanyaan yang tumbuh di hati mereka sehubungan dengan perkembangan
keadaan terakhir. Terutama di seberang Kali Praga yang sedang tumbuh menjadi
suatu negeri yang ramai.
Demikianlah Kiai Gringsing
bersama rombongan kecilnya berkuda di sepanjang bulak yang panjang. Meskipun
tidak terlalu cepat tetapi kuda mereka itu pun berlari, sehingga mereka tidak
memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mencapai kademangan induk Tanah
Perdikan Menoreh.
“Apakah perjalanan ini masih
panjang?” bertanya Ki Demang.
“Kita mengharap sebelum tengah
hari kita sudah akan sampai,” jawab Kiai Gringsing, “asal tidak ada gangguan
apa pun di perjalanan.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dalam pada itu, ia pun memperhatikan daerah yang masih agak asing
baginya, meskipun ia pernah lewat sepintas ketika ia masih muda. Hanya lewat
daerah ini ketika ia sedang menempuh perjalanan yang jauh bersama ayahnya
dahulu, ketika ayahnya mengunjungi orang yang sangat dihormati di sebelah barat
pegunungan Menoreh. Orang itu adalah kakek ayahnya yang tinggal di lingkungan
keluarga neneknya. Karena itulah ia hampir tidak dapat mengenali lagi tlatah
Menoreh yang berkembang dengan pesatnya itu. Hutan-hutan menjadi semakin sempit
dan jarang. Sedang sawah dan pategalan menjadi semakin luas.
Tetapi Menoreh sekarang
rasa-rasanya menjadi semakin cantik dengan tanamannya yang hijau terbentang
sampai ke kaki pebukitan.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
dan rombongan kecilnya maju terus. Semakin lama semakin dekat dengan padukuhan
induk. Di sepanjang jalan, mereka tidak banyak berbicara tentang apa pun juga.
Bahkan tentang perjalanan itu sendiri.
Semakin dekat dengan padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh, Swandaru-lah yang menjadi semakin berdebar-debar.
Bahkan kadang-kadang terlontar pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah Pandan
Wangi masih ingat kepadanya?”
“Tentu,” pertanyaan itu
dijawabnya sendiri, “sebagai seorang yang setia, ia tidak boleh mengingkari
janji yang pernah diucapkannya.” Ia merenung sejenak, lalu, “Kecuali jika Ki
Gede Menoreh tidak telaten lagi menunggu karena justru Ki Gede-lah yang
menganggap aku telah ingkar.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dan dipersalahkannya dirinya sendiri. Bahkan gurunya. Ia terlalu
lama berada di Alas Mentaok, melayani hantu-hantu yang berkeliaran. Kemudian
perkawinan Untara dan segala macam persoalan yang menghambat perjalalannya.
Meskipun ia hanya terhambat beberapa saat saja, rasa-rasanya ia benar-benar
terganggu.
Bukan hanya Swandaru sajalah
yang menjadi cemas. Bahkan Kiai Gringsing pun mulai berpikir juga. Pandan Wangi
adalah seorang gadis yang mekar. Jika ia menganggap Swandaru terlalu lama
melupakannya, dan bahkan ia menganggap bahwa Swandaru tidak akan datang kembali
ke Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pun tidak terikat lagi.
“Apakah yang akan terjadi jika
kini Pandan Wangi telah bersuami?” pertanyaan itu pun tumbuh pula di dalam hati
Kiai Gringsing.
Namun demikian mereka berjalan
terus. Mereka harus membuktikannya lebih dahulu, apakah memang demikian, atau
hal itu hanyalah semata-mata angan-angan mereka saja.
Kelima orang itu menjadi
termangu-mangu ketika mereka melihat debu yang mengepul di jalan berbatu-batu
di hadapan mereka. Beberapa ekor kuda berlari-lari berlawanan arah dengan
rombongan kecil itu.
“Para pengawal,” desis Kiai Gringsing.
“Apakah mereka dapat
menghalangi perjalanan kita?” bertanya Ki Demang.
“Mungkin tidak. Kita akan
berkata berterus terang.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi. Meskipun demikian keningnya
berkerut juga ketika para pengawal Tanah Perdikan itu menjadi semakin dekat.
Dugaan mereka tentang
orang-orang berkuda itu ternyata tepat. Yang datang itu adalah beberapa orang
pengawal berkuda. Empat orang. Mereka adalah anak muda yang belum pernah
dikenal oleh Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
Ketika kuda-kuda itu menjadi
semakin dekat, seorang pengawal yang ada di paling depan mengangkat tangannya
dan sekaligus menarik kekang kudanya, sehingga keempat pengawal itu pun segera
berhenti. Demikian pula Kiai Gringsing dan iring-iringan kecilnya pun telah
berhenti pula.
Anak muda yang agaknya
memimpin keempat pengawal itu maju beberapa langkah. Kemudian dengan nada datar
ia bertanya, “Siapakah kalian?”
Kiai Gringsing-lah yang
menjawab, “Kami adalah orang-orang Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung?” pemimpin
pengawal itu mengulang. Agaknya ia belum pernah mendengar nama Sangkal Putung.
“Ya. Sangkal Putung,” sahut Ki
Demang, “apakah Ki Sanak belum pernah mendengarnya?”
Pengawal itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku belum pernah mendengar.”
“Sangkal Putung adalah sebuah
kademangan di sebelah timur Alas Tambak Baya. Masih agak jauh. Masih melintasi
daerah Prambanan dan menyeberangi Kali Wedi.”
Anak muda itu menggelengkan
kepalanya. Namun kemudian ia berdesis, “Di seberang Alas Tambak Baya. Bukankah
Alas Tambak Baya itu terletak di sebelah timur Alas Mentaok.”
“Ya,” sahut Swandaru.
“Jadi kalian datang dari
jauh?”
“Ya. Kami datang dari jauh.”
“Apakah keperluan kalian.”
Kiai Gringsing-lah yang
kemudian menyahut, “Kami akan menghadap Ki Gede Menoreh.”
“Menghadap Ki Gede?” bertanya
pemimpin pengawal itu hampir di luar sadarnya.
“Ya, kami adalah
sahabat-sahabat Ki Gede Menoreh. Sudah lama kami tidak bertemu. Itulah sebabnya
dari jauh kami perlukan datang kepadanya.”
Pemimpin pengawal itu menjadi
ragu-ragu. Sejenak ia berpikir. Lalu dengan nada yang masih tetap ragu-ragu ia
bertanya, “Siapakah nama Ki Sanak?”
“Namaku Kiai Gringsing,”
jawabnya. Kemudian sambil menunjuk Ki Sumangkar ia pun memperkenalkannya, “Ini
Ki Sumangkar. Kami berdua pernah tinggal di Tanah Perdikan Menoreh beberapa
lama bersama kedua anak-anak kami ini. Sedang yang seorang ini adalah Ki Demang
di Sangkal Putung.”
“O,” pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, salah seorang
dari pengawal yang masih muda itu mendesak maju sambil berkata, “Jadi Ki Sanak
ini Agung Sedayu dan Swandaru? Dan Kiai ini adalah Kiai Gringsing?”
Kiai Gringsing memandang anak
muda itu sejenak. Tetapi ia belum mengenalnya. Ketika ia berpaling kepada Agung
Sedayu dan Swandaru, kedua muridnya itu pun menggelengkan kepalanya.
“Tentu kalian tidak mengenal
aku,” berkata pengawal yang masih muda itu. “Aku hanya seorang dari antara
sekian banyaknya anak-anak muda Menoreh yang waktu itu ikut bertempur melawan
pasukan Sidanti dan gurunya.”
“O,” Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, “saat itu kau sudah ikut?” bertanya Kiai
Gringsing kemudian.
“Ya. Aku sudah ikut
berlari-lari sambil membawa senjata meskipun di paling belakang. Aku ikut bersama
pasukan Ki Gede Menoreh menyingkir dari induk Tanah Perdikan ini. Tentu aku dan
orang-orang yang waktu itu ikut di dalam pasukan pengawal Ki Gede Menoreh
mengenal Kiai.”
“Tidak semua,” sahut pemimpin
pengawal itu, “aku belum begitu mengenalnya.”
“Kau tidak berada di induk
pasukan waktu itu. Kau berjuang di tempat lain dalam kelompok-kelompok kecil.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Kami agak terpisah dari induk
pasukan dan kami waktu itu harus mengambil sikap sendiri menghadapi Sidanti.
Tetapi karena Ki Gede Menoreh tetap bertempur, kami pun tetap berjuang.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil berkata, “Dan kita sekarang bertemu
lagi. Sudah cukup lama kami tidak menginjakkan kaki kami di atas Tanah Perdikan
ini. Itulah sebabnya kami memerlukan datang untuk sekedar menengok Ki Gede
Menoreh.”
Para pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemimpin pengawal itu pun kemudian berkata,
“Jika benar kalian adalah orang-orang yang pernah membantu perjuangan Ki Gede,
maka kedatangan kalian pasti akan sangat menyenangkah hatinya di saat-saat
seperti ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dan sebelum ia bertanya Swandaru telah mendahului, “Kenapa dengan
saat seperti ini?”
Pemimpin pengawal itu memandang
Swandaru. Sejenak. Lalu jawabnya, “Sejak pertempuran yang menentukan itu, dan
sejak Ki Gede menjadi cacat, kesehatannya berangsur-angsur turun. Meskipun
hasrat Ki Gede untuk tetap melaksanakan tugasnya terlampau besar, namun agaknya
pertempuran yang terjadi di saat terakhir itu mempunyai akibat yang parah di
bagian dalam tubuhnya, sehingga lambat laun, kesehatannya menjadi semakin
buruk.”
“O,” Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, “jadi bagaimana dengan Ki Gede sekarang?”
“Ki Gede masih tetap melakukan
tugasnya. Tetapi sebenarnyalah ia sudah harus beristirahat,” pengawal itu
berkata selanjutnya. “Selain keadaan kesehatannya, sebenarnyalah usia Ki Gede
memang sudah menjadi semakin tua.”
“Belum terlalu tua,” sahut
Kiai Gringsing, “umurnya kira-kira sebaya dengan umurku. Tetapi benturan
kekuatan yang terjadi di saat terakhir melawan Ki Tambak Wedi memang sangat
berpengaruh. Ternyata Ki Gede tidak dapat sembuh sepenuhnya.”
Pengawal itu
mengangguk-angguk. Suaranya menjadi dalam, “Ya. Dan kedatangan kalian akan
membuatnya gembira.”
“Tetapi,” tiba-tiba saja
Swandaru menyela, “apakah tidak ada orang lain yang dapat membantunya?”
“Setiap orang dengan sepenuh
hati membantunya. Tetapi, tidak semua orang harus bertanggung jawab atas Tanah
Perdikan ini.”
“Maksudku apakah tidak ada
anggauta keluarganya yang ikut memikul beban tanggung jawab itu. Ki Argajaya
misalnya.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Justru mereka menjadi semakin percaya kepada Kiai Gringsing dan
rombongan kecilnya karena ternyata Swandaru mengenal Ki Argajaya pula.
“Tentu Ki Argajaya
membantunya,” jawab pengawal itu kemudian, “tetapi Ki Gede-lah yang harus
mempertanggung-jawabkannya. Dan ia masih tetap melakukannya.”
“Apakah Ki Argajaya
benar-benar sudah baik?”
Pengawal itu memandang Swandaru
sejenak. Lalu, “Ya. Ki Argajaya benar-benar sudah menjadi baik. Ia benar-benar
menyadari kesalahannya di waktu lampau. Dan kini ia menebus kesalahannya itu
dengan kerja, ia telah membuat bendungan dan memperbaiki saluran air hampir di
seluruh daerah Tanah Perdikan ini.”
“Syukurlah,” Kiai Gringsing
pun berdesis.
“Nah,” tiba-tiba suara
pengawal itu meninggi, “marilah. Kita tidak akan berbicara di tengah jalan
begini sampai sehari penuh. Marilah, kami antar kalian menghadap Ki Gede.
Akhir-akhir ini Ki Gede jarang keluar.”
“Marilah,” jawab Kiai
Gringsing, “aku pun ingin segera bertemu dengan Ki Gede.”
Demikianlah kuda-kuda mereka
pun segera bergerak. Tetapi sebenarnya masih ada satu soal yang tersangkut di
hati Swandaru. Pengawal-pengawal itu sama sekali tidak menyebut anak gadis Ki
Gede Menoreh.
“Kenapa?” bertanya Swandaru
kepada diri sendiri. “Mungkin pengawal itu lupa saja menyebut bahwa gadis itu
mampu juga membantu ayahnya di dalam menjalankan tugasnya. Karena ia memiliki
kelebihan dari gadis-gadis kebanyakan. Atau barangkali gadis itu sudah tidak
ada di Tanah Perdikan ini dan pergi mengikuti seseorang di tempat yang lain?”
Dada Swandaru menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia agak malu untuk menanyakannya. Dan ia mengumpat-umpat
di dalam hatinya, kenapa Agung Sedayu juga tidak bertanya sesuatu, apalagi
tentang Pandan Wangi.
Tetapi Agung Sedayu
benar-benar tidak menanyakan tentang sesuatu. Sekali ia memandang wajah
Swandaru yang tegang. Namun kemudian ia pun memandang ke kejauhan, memandang
pepohonan yang hijau dan burung yang beterbangan di langit.
Swandaru pun kemudian
mendekatinya sambil menggamit Agung Sedayu ia bertanya, “He, apakah kau tidak
ingin mengetahui tentang sesuatu di Menoreh ini?”
Agung Sedayu memandang
Swandaru sesaat. Namun ia pun kemudian mengerti apa yang dimaksudkan oleh anak
yang gemuk itu. Sorot matanya yang bagaikan menyala dan wajahnya yang tegang
penuh keragu-raguan, namun agak kemerah-merahan.
Karena itu justru ia ingin
mengganggunya. Sambil menggeleng Agung Sedayu menyahut acuh tidak acuh, “Tidak.
Aku tidak ingin mengetahui apa pun tentang Tanah Perdikan Menoreh.”
Swandaru menggeram. Sementara
itu kuda-kuda mereka berjalan terus mendekati induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Kau tidak ingin bertanya
tentang keadaan Ki Gede Menoreh, atau Ki Argajaya atau anak laki-lakinya itu,
atau apa pun lainnya?”
Sekali lagi Agung Sedayu
menggeleng. Jawabnya masih dengan acuh tidak acuh, “Tidak ada yang menarik
perhatianku di Menoreh. Aku sudah mendengar cerita tentang Ki Gede, tentang adiknya
dan tentang orang-orang di sekitarnya. Apalagi yang ingin aku tanyakan.”
“O, kau memang pemimpi.
Ternyata kau tertidur di perjalanan. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi
sekarang. Dan kau masih saja terkantuk-kantuk di atas punggung kuda.” Swandaru
berhenti sejenak, lalu, “Bangun, bangunlah Kakang Sedayu. Lihat, kita berada di
atas Tanah Perdikan Menoreh.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Ya. Aku tahu bahwa kita berada di atas Tanah Perdikan
Menoreh. Aku mendengar seluruh percakapan Guru dengan anak-anak muda pengawal
Tanah Perdikan itu, aku mendengar semuanya. Justru karena itu aku tidak perlu
bertanya lagi. Kaulah yang agaknya tertidur di perjalanan. Dan jika ada yang
ingin kau tanyakan kenapa kau tidak bertanya sendiri?”
“Persetan,” Swandaiu masih
saja menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. Namun ketika ia melihat Agung Sedayu
tersenyum maka ia pun mendekat semakin rapat dan berbisik, “Awas jika kelak
kita kembali ke Sangkal Putung. Kau akan mengalami nasib yang jelek.”
Agung Sedayu tidak dapat
menahan hati lagi. Betapa pun juga ia menahan, namun ia pun tertawa pula.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Demang berpaling mendengar suara tertawa Agung Sedayu yang
tertahan-tahan. Sekilas mereka melihat wajah Swandaru yang buram, namun mereka
tidak bertanya sesuatu karena mereka tahu bahwa Agung Sedayu sedang mengganggu
Swandaru.
Demikianlah, mereka semakin
lama menjadi semakin dekat dengan induk Tanah Perdikan Menoreh. Sedang hati
Swandaru pun menjadi semakin berdebar-debar karenanya.
Ketika mereka lewat di jalan
berdebu tidak jauh dari sebuah hutan sempit yang menjadi salah satu daerah
perburuan, hati Swandaru bergetar. Bahkan di luar sadarnya ia berkata kepada
diri sendiri, “Apakah Pandan Wangi masih sering berburu? Di hutan itulah ia
kadang-kadang berburu. Tetapi kadang-kadang di hutan yang membujur di ujung
selatan dari Tanah Perdikan ini. Jika ia berburu di hutan itu, dan kebetulan
melihat iring-iringan ini, ia pasti akan mendekat.”
Tetapi ternyata tidak ada
seorang pun yang tampak keluar dari hutan itu. Pepohonan yang hijau bagaikan
membeku. Bahkan angin pun seolah-olah telah berhenti bertiup.
“Sepi,” desah Swandaru di
dalam hatinya. Namun, katanya kemudian, “Hutan itu tidak hanya seluas sepatok
sawah. Jika ia berada di tengah-tengah atau bahkan di sisi seberang, ia tentu
tidak akan melihat iring-iringan ini.”
Tetapi Swandaru tidak
mengatakannya kepada siapa pun. Ketika ia melihat Agung Sedayu memandang ke
kejauhan tanpa berkedip, ia pun mengumpat di dalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu tidak
menghiraukannya. Ia mengagumi perkembangan Tanah Perdikan Menoreh. Yang
dilihatnya kini jalur-jalur air yang lebih baik dari yang pernah dilihatnya
dahulu. Sawah pun rasa-rasanya menjadi semakin subur dan luas. Ia tidak melihat
lagi padang perdu yang kering di pinggir hutan. Namun padang perdu itu telah
menjadi tanah pategalan dan padang-padang alang-alang pun sudah menjadi sawah.
Hutan rasanya menjadi sempit, dan lereng pegunungan menjadi hijau.
Ternyata Tanah Perdikan ini
menyimpan banyak sekali kemungkinan. Jika Mataram kelak berkembang, daerah ini
pun akan berkembang juga. Mataram dan Menoreh akan dapat saling mencukupi
kebutuhan. Betapa pun juga, Mataram akan menjadi negeri yeng ramai, yang
memerlukan banyak sekali kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dicukupinya
sendiri. Tanah perluasan dari Alas Mentaok yang ditebanginya tentu tidak akan
dapat menjadi tanah persawahan yang cukup luas untuk menampung kebutuhan
orang-orang yang mengalir membanjiri negeri itu. Kebutuhan akan ternak, kain tenun,
dan alat-alat kebutuhan sehari-hari pasti harus didatangkan dari daerah di
sekitarnya. Dan Menoreh akan dapat menampung kebutuhan-kebutuhan itu, di
samping daerah-daerah yang lain. Kademangan Mangir, Prambanan, dan bahkan
mungkin sampai juga ke daerah Jati Anom dan Sangkal Putung.
Agung Sedayu terkejut ketika
terasa pundaknya digamit oleh Swandaru. Ketika ia berpaling, Swandaru berkata,
“Apakah kau masih ingat bahwa hutan itu merupakan hutan perburuan?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengerutkan keningnya.
Jawab Agung Sedayu ternyata terlampau pendek. Karena itu maka Swandaru-lah yang
kemudian berkata pula, “Orang-orang Menoreh senang sekali berburu.”
“Ya. Orang-orang Menoreh suka
sekali berburu,” jawab Agung Sedayu pendek.
Swandaru menggeram. Tetapi ia
tidak berkata apa pun juga. Ia tahu Agung Sedayu sengaja mengganggunya.
Meskipun Agung Sedayu tahu bahwa Swandaru ingin mempercakapkan seorang gadis
Menoreh yang suka berburu, tetapi Agung Sedayu dengan sengaja tidak
menanggapinya.
Swandaru pun kemudian terdiam.
Tetapi sekali-sekali ia masih memandang wajah Agung Sedayu. Wajah yang sangat
menjengkelkan sekali, karena terbayang senyum kecil di bibirnya.
Tetapi Swandaru pun pura-pura
tidak menghiraukannya lagi. Dipercepatnya kudanya meninggalkan Agung Sedayu,
melampaui gurunya dan Ki Sumangkar serta Ki Demang Sangkal Putung. Katanya,
“Aku ingin berbicara dengan para pengawal yang di depan itu.”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya sambil menyahut, “Berbicaralah. Kau tentu akan banyak bertanya tentang
tanah ini.”
Swandaru tersenyum. Tetapi
ketika ia berpaling dan dilihatnya Agung Sedayu tertawa, maka senyumnya pun
segera lenyap dari bibirnya.
Sejenak kemudian Swandaru
telah berkuda di antara para pengawal yang masih sangat muda itu. Mereka asyik berbicara
tentang Tanah Perdikan Menoreh. Tentang Ki Gede dan keluarganya. Tetapi seperti
ketika ia bercakap-cakap dengan Agung Sedayu, maka para pengawal itu pun sama
sekali tidak menyinggung Pandan Wangi.
“Kenapa sebenarnya dengan
Pandan Wangi?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. “Tidak seorang pun yang
menyebutkan namanya. Apakah ia sudah tidak berada di Tanah Perdikan ini lagi?”
Tetapi ia masih tetap malu
untuk bertanya tentang gadis itu.
Demikianlah mereka menjadi
semakin dekat, dan dada Swandaru pun menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan
kemudian timbul kecemasan di dalam hatinya bahwa kunjungannya bersama ayahnya
kali ini justru akan menumbuhkan kekecewaan yang amat sangat.
Ketika mereka memasuki daerah
induk Tanah Perdikan, maka Swandaru telah berada di samping Agung Sedayu.
Sekali-sekali dilihatnya orang-orang Menoreh yang bekerja di sawah dan ladang,
berhenti bekerja sejenak untuk memperhatikan iring-iringan itu. Tetapi karena
tampaknya bahwa para pengawal tidak bersiaga, mereka pun tidak mencurigai
orang-orang berkuda yang memasuki induk tanah mereka.
Sebenarnya bukan saja Swandaru
yang menjadi berdebar-debar ketika mereka memasuki induk Tanah Perdikan. Kiai
Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar pula. Sudah cukup lama
mereka tidak bertemu dengan Ki Gede Menoreh yang ketika ditinggalkan dalam
keadaan yang masih belum pulih kembali.
Ki Demang pun menjadi
berdebar-debar justru karena ia belum pernah bertemu dengan Ki Gede Menoreh dan
ketika sekali ia datang, ia telah membawa suatu keperluan yang penting.
Sebagai seorang pemimpin di
daerahnya, Ki Demang merasa kagum juga melihat tata susunan Tanah Perdikan
Menoreh. Meskipun Sangkal Putung tidak kalah subur dan hijau, namun Menoreh
memiliki ragam yang lebih banyak, dari Sangkal Putung. Menoreh masih mempunyai
daerah hutan yang lebat di lereng-lereng bukit, tetapi juga hutan-hutan
perburuan yang lebih kecil. Pegunungan yang seakan-akan memagari Tanah Perdikan
yang besar ini. Lebih besar dari Sangkal Putung, meskipun sebagian merupakan daerah
yang tandus dan berbatu-batu padas.
Ki Demang mengerutkan
keningnya ketika ia melintasi regol induk kademangan. Dilihatnya beberapa orang
Menoreh yang berada di dalam halaman rumah masing-masing berdiri memandangi
iring-iringan itu. Mereka menjadi bertanya-tanya pula, siapakah orang-orang
yang datang diantar oleh para pengawal itu.
Seorang anak muda yang berdiri
di simpang tiga memandang iring-iringan itu dengan saksama. Bahkan kemudian ia
menggamit seorang yang sudah setengah umur yang berdiri di sampingnya sambil
memanggul cangkul, “He Paman. Apakah Paman masih mengenal orang itu?”
“Siapa?” bertanya orang
setengah umur itu.
“Ketika daerah ini dikacaukan
oleh Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Bukankah orang-orang itu pada saat itu ada di
Tanah Perdikan ini pula. Bukankah gembala itulah yang telah membantu Ki Gede
membinasakan Ki Tambak Wedi dan pasukannya.”
Orang setengah umur itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Aku ingat sekarang. Orang itu
dengan kedua anak-anaknya. O, mereka datang kembali. Ki Gede tentu senang
sekali menyambut kedatangan mereka.”
Anak muda itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu katanya, “Aku akan memberitahukan
kepada kawan-kawanku yang dahulu ikut bersama pasukan Ki Gede Menoreh. Mereka
tentu senang mendengar kedatangan anak-anak muda itu. He, siapakah nama
anak-anak muda itu?”
Orang setengah umur itu
menggelengkan kepalanya. Lalu katanya, “Kedatangannya memang menyenangkan
sekali. Mereka sempat melihat Menoreh bangkit kembali, setelah dilanda oleh badai
yang hampir saja menghanguskan Tanah Perdikan ini.”
Anak muda kawannya berbicara
itu masih mengangguk-angguk. Ditatapnya iring-iringan itu sampai hilang di
kelokan jalan. Kemudian ia pun berdesis, “Ya. Ia ikut memadamkan api yang
membakar Tanah Perdikan Menoreh. Dan kini ia melihat Menoreh menjadi hijau
kembali.”
Anak muda itu tidak menunggu
jawaban, ia pun segera meloncat berlari-lari mencari kawan-kawannya. Ia ingin
mengabarkan bahwa anak-anak muda yang dahulu ikut bertempur di pihak mereka
melawan Sidanti dan Ki Tambak Wedi, kini datang lagi ke Menoreh bersama
beberapa orang.
Dalam pada itu, iring-iringan
itu telah menyusuri jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka
lewat di depan banjar kademagan, Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya
tersentuh juga hatinya.
Sejenak kemudian maka regol
halaman rumah Ki Gede Menoreh pun sudah tampak di hadapan mereka. Mereka tidak
lagi melihat orang-orang bersenjata berkeliaran. Yang mereka lihat adalah
orang-orang yang berjalan tergesa-gesa memanggul cangkul atau alat-alat
pertanian yang lain. Seorang anak muda memanggul bajak di pundaknya dan
memegangi tali pengikat dua ekor lembu yang berjalan berlawanan arah. Anak muda
itu hanya memandangi iring-iringan itu sejenak. Namun ia pun tidak memperhatikannya
lagi.
Kiai Gringsing memandang
pagar-pagar batu di sebelah-menyebelah jalan. Pagar batu itu sudah ada sejak ia
berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi pagar-pagar itu agaknya baru saja
diperbaharui.
“Tanah ini tampaknya tenang
sekali,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawal.
“Ya. Tanah ini memang tenang,”
jawab pengawal itu. “Di induk Tanah Perdikan ini tidak terasa adanya gejolak
yang menyentuh daerah di pinggir Kali Praga, meskipun satu dua orang
mempercakapkan juga.”
“O,” sahut Kiai Gringsing,
“sebenarnya aku ingin mendengar cerita tentang Kali Praga itu.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Biarlah Ki Gede sajalah yang menceriterakan.”
Kiai Gringsing tidak bertanya
lagi. Kini mereka benar-benar telah berada di regol halaman rumah Ki Gede
Menoreh.
Yang ada di regol itu hanyalah
seorang penjaga yang duduk di gardu sambil terkantuk-kantuk. Seorang pengawal
Tanah Perdikan yang juga masih muda.
“Baru sejak beberapa hari
regol ini ditunggui oleh seorang pengawal,” berkata pengawal berkuda itu,
“sebelumnya tidak seorang pun yang menjaga halaman ini, karena memang tidak
pernah terjadi sesuatu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Siapa?” bertanya penjaga
regol itu.
Seorang pengawal berkuda
menyahut, “Apakah kalian tidak mengenal mereka lagi?”
Penjaga itu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia memang tidak segera ingat, siapakah orang-orang yang
disebut itu.
“Kau sudah ikut di dalam
pergolakan beberapa waktu yang lampau melawan Sidanti?”
“O, aku ingat sekarang. Ya,
aku ingat. Marilah, silahkan. Kebetulan sekali, Ki Gede ada di rumah sekarang.
Baru saja Ki Gede pulang dari daerah sebelah utara yang baru saja longsor.”
“He?” Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya.
“Tidak apa-apa. Hanya sebuah
guguran padas yang tidak seberapa. Yang agak mengganggu adalah karena longsoran
batu-batu padas itu telah menutup sebuah jalur air yang agak besar, sehingga
beberapa kotak sawah diancam oleh bahaya kekurangan air. Tetapi untunglah bahwa
kesulitan itu segera dapat diatasi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
“Apakah Ki Gede Menoreh pergi
bersama anak gadisnya?” bertanya Swandaru, tetapi hanya di dalam hatinya.
Demikianlah maka para pengawal
dan iring-iringan kecil itu pun segera turun dari kuda mereka ketika mereka
telah memasuki halaman.
“Sampaikan kepada Ki Gede,
bahwa ada serombongan tamu dari seberang Kali Praga,” berkata salah seorang
pengawal berkuda itu kepada penjaga regol.
Penjaga itu pun segera
bergegas pergi ke belakang lewat longkangan gandok. Disampaikannya kabar
kedatangan Kiai Gringsing itu kepada seorang pelayan yang melangsungkannya
kepada Ki Gede Menoreh.
“Siapa?” bertanya Ki Gede
Menoreh.
“Tamu dari seberang Kali
Praga.”
Ki Gede Menoreh termangu-mangu
sejenak. Menurut pengertiannya seberang Kali Praga kini lahir sebuah daerah
baru yang mulai ramai, dan disebut Mataram.
Karena itu, ia pun menjadi
berdebar-debar, justru dalam keadaan terakhir yang meragukan itu.
“Silahkan mereka duduk di
pendapa,” berkata Ki Gede, “sebentar lagi aku akan menemuinya.”
Pelayan itu pun kemudian
dengan tergesa-gesa mempersilahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya, Ki
Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung duduk di pendapa, sementara Ki Gede
Menoreh sedang membenahi pakaiannya, memperbaiki lipatan ikat kepalanya dan
membetulkan kamusnya yang agak miring.
Dengan hati yang
berdebar-debar ia melangkah ke pintu depan. Ia tidak banyak berhubungan dengan
Mataram yang baru tumbuh selama ini.
Perlahan-lahan Ki Gede Menoreh
membuka pintu pendapa. Dari sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang
duduk di atas sehelai tikar pandan.
Dada Ki Gede Menoreh berdesir.
Ketika seorang tua yang duduk di antara mereka berpaling oleh derit pintu, maka
Ki Gede Menoreh yang berdiri bertelekan sebuah tongkat itu berkata lantang di
luar sadarnya, “Kiai, kaukah itu Kiai?”
Kiai Gringsing pun berlonjak
berdiri. Bergegas-gegas ia mendapatkan Ki Gede Menoreh dengan wajah yang cerah.
Seakan-akan dua orang sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu.
Dengan senyum yang lebar Kiai
Gringsing mengguncang-guncang tangan Ki Gede Menoreh sambil berkata, “Ki
Argapati, kau tampak semakin sehat dan muda.”
Ki Gede Menoreh tertawa.
Jawabnya, “Aku menjadi semakin tua dan lemah. Tetapi aku gembira sekali Kiai
datang ke Tanah Perdikan ini. Tanah Perdikan yang semakin lama semakin tidak
terurus.”
Keduanya pun kemudian
melangkah ke pendapa kembali. Kiai Gringsing membimbing Ki Gede Menoreh yang
berjalan bertelekan tongkatnya, sedang yang lain-lain pun telah berdiri pula.
Sejenak Ki Gede Menoreh
memandang Swandaru dan Agung Sedayu sejenak sambil masih saja tersenyum.
Kemudian Ki Sumangkar pun menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Akhirnya
kami datang juga Ki Gede.”
“Tentu, tentu. Aku yakin bahwa
kalian tentu akan datang,” Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ketika tatapan
matanya bertemu dengan pandangan Ki Demang, ia mengerutkan keningnya.
Seakan-akan ia bertanya, siapakah orang yang masih belum dikenalnya ini.
Kiai Gringsing yang menyadarinya
segera berkata, “Ki Argapati, inilah Ki Demang di Sangkal Putung.”
“O,” kening Ki Gede Menoreh
berkerut. Namun kemudian ia pun mengulurkan tangannya sambil berkata, “Aku
senang sekali Ki Demang datang berkunjung ke Tanah Perdikan ini. Aku mengucapkan
selamat datang.”
“Terima kasih, Ki Gede,” jawab
Ki Demang, “kami memang memerlukan datang mengunjungi Ki Gede. Aku sudah banyak
mendengar tentang Ki Gede, tetapi aku belum pernah bertemu muka. Itulah
sebabnya, maka pada suatu kesempatan aku ingin sekali dapat menghadap Ki Gede
Menoreh.”
“Ah,” Ki Gede berdesah, “kini,
setelah Ki Demang melihat orangnya, tentu Ki Demang menjadi kecewa. Orangnya
tidak lebih dari orang cacat seperti ini.”
“Ah, tentu tidak Ki Gede. Aku
bangga dapat bertemu dengan Ki Gede Menoreh, dan aku pun kagum melihat Tanah
Perdikan ini. Tanah Perdikan yang luas dan subur, dipagari oleh pegunungan.
Sawah yang luas dihiasi dengan hutan-hutan yang masih membuka kesempatan
perkembangan baru di atas Tanah Perdikan ini.”
Ki Gede Menoreh tertawa.
Katanya kemudian, “Terima kasih. Dan sekarang kami persilahkan kalian duduk.”
Mereka pun duduk kembali di
atas tikar pandan yang putih. Sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru
berganti-ganti, maka Ki Gede Menoreh pun bertanya, “Bagaimana aku harus
memanggil kalian? Gupala dan Gupita atau nama yang lain itu?”
Kedua anak-anak muda itu
tersenyum. Katanya, “Terserahlah kepada Ki Gede.”
Ki Gede Menoreh tertawa.
Katanya, “Nama mana yang kau pilih? Atau kau sudah membuat nama lain lagi?”
Keduanya tertawa. Tetapi
keduanya tidak menjawab.
Demikianlah mereka duduk
kembali dalam satu lingkaran. Mereka membicarakan tentang keselamatan mereka
masing-masing. Kemudian mulailah Ki Gede Menoreh menceriterakan perkembangan
Tanah Perdikannya.
“Atas pertolongan Kiai dan
murid-murid Kiai itu, kini Tanah ini menjadi semakin baik.”
“Kenapa pertolonganku?”
bertanya Kiai Gringsing. “Ki Argapati-lah yang memiliki kemampuan yang luar
biasa. Dalam waktu yang terhitung singkat, Tanah ini telah menjadi pulih
kembali.”
“Bukan pekerjaan yang sulit.
Jika saat itu, Tanah ini benar-benar hangus dibakar oleh api pertentangan yang
memalukan di antara keluarga sendiri itu, maka tidak ada orang yang akan mampu
membangun Menoreh. Siapa pun. Dan sekarang, ternyata kami di sini masih
mendapat kesempatan itu. Meskipun demikian, aku yang menjadi semakin tua dan
lemah, hampir tidak dapat berbuat apa-apa.”
Kiai Gringsing tertawa.
Katanya, “Jika seperti ini, Ki Argapati masih menyebut tidak dapat berbuat
apa-apa, tentu Ki Argapati mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari yang
kita lihat ini. Mudah-mudahan di masa mendatang, angkatan yang bakal
menggantikan para pemimpin di Tanah Perdikan ini mampu membangun Menoreh lebih
baik lagi.”
Ki Argapati tertawa. Katanya,
“Tentu, Kiai. Cita-cita pada umumnya mendahului ujud pencapaian kita. Dan kami
memang bercita-cita. Tentu bukan hanya kami, juga Kiai dan setiap orang
bercita-cita.”
“Aku sudah tua.”
“Ah,” Ki Gede Menoreh tertawa,
“aku pun sudah tua. Tetapi apakah cita-cita kita dapat dibatasi oleh ketuaan
kita?” lalu sambil berpaling kepada Ki Demang, “Bukankah begitu, Ki Demang?”
Ki Demang tertawa pula.
Katanya, “Ya. Cita-cita kita mengatasi umur kita sendiri karena angkatan yang
bakal datang akan melanjutkan dan mewujudkan cita-cita itu. Cita-cita kita
ternyata akan berkembang terus. Apalagi mengenai suatu daerah seperti Tanah
Perdikan Menoreh. Dari angkatan yang satu kepada angkatan yang kemudian.”
Kiai Gringsing tertawa.
Dipandanginya kedua muridnya sejenak. Lalu katanya, “Ki Demang benar. Cita-cita
kita adalah cita-cita buat masa depan angkatan sesudah kita. Tentu kita tidak
sekedar hidup untuk kita sendiri. Jika kita memanjakan kamukten buat diri kita
sendiri, memanjakan segala macam nafsu badani, kita memang akan kehilangan masa
depan anak-anak kita.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sedang Argapati pun tersenyum pula, katanya, “Demikianlah aku
berusaha membuat Menoreh menjadi harapan bagi masa mendatang.”
Hampir di luar sadarnya Agung
Sedayu berpaling pada Swandaru. Sedang ketika Swandaru pun memandanginya, maka
cepat-cepat ia memalingkan wajahnya sambil mencibirkan bibirnya. Namun dalam
pada itu, Swandaru masih saja digelut oleh pertanyaan, di mana Pandan Wangi?
Apalagi ketika beberapa saat
kemudian, setelah mereka berbicara kian kemari, seorang pelayan perempuan
menghidangkan minum dan makanan buat tamu-tamu Ki Gede Menoreh itu. Yang
menghidangkan minum dan makanan itu sama sekali bukan Pandan Wangi.
Di luar kebiasaan yang pernah
dilihat oleh Swandaru. Apabila ada tamu yang dihormati, maka biasanya adalah
Pandan Wangi sendiri yang menghidangkan suguhan bagi mereka. Namun yang
menghidangkan adalah seorang pelayan saja.
Dengan wajah yang berkerut,
Swandaru mencoba memandang ke halaman di sekitar pendapa itu. Tetapi ia tidak
melihat seorang pun kecuali beberapa orang pekerja yang lewat melintasi halaman
itu.
Ternyata orang-orang tua yang
sedang bercakap-cakap tentang berbagai masalah itu seakan-akan tidak teringat
lagi kepada anak-anak muda itu. Mereka mempunyai keasyikan sendiri, hingga
seolah-olah Swandaru yang gelisah dan Agung Sedayu itu tidak ada di antara
mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru
terkejut ketika mereka melihat seorang anak yang masih sangat muda melintas di
atas punggung kuda di halaman. Ketika ia melihat beberapa orang tamu di
pendapa, maka ia pun dengan tergesa-gesa menarik kekang kudanya dan meloncat
turun. Kemudian dengan tergesa-gesa pula dituntunnya kudanya ke belakang.
Swandaru mengerutkan keningnya
melihat anak muda yang tampan itu. Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika
Agung Sedayu berbisik di telinganya, “Bukankah itu anak Ki Argajaya.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam, “Ya, ia adalah putera Ki Argajaya.”
Swandaru itu tiba-tiba
bergeser setapak maju. Agung Sedayu tersenyum melihat wajahnya yang tegang.
Sekilas Swandaru yang kebetulan tidak mendengarkan percakapan orang-orang tua
itu karena kuda yang melintas di halaman, mendengar Ki Argapati menyebut nama
anak gadisnya, Pandan Wangi.
“Apa yang dikatakannya?” bisik
Swandaru kepada agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Dan ia bertanya kembali, “Tentang apa?”
“Tadi, baru saja.”
“O, tentang kuda itu.”
“Bukan tentang kuda.”
“Tentang apa?”
“Sesudah membicarakan masalah
kuda.”
“Ah, aku tidak mendengarnya.
Aku baru memperhatikan kuda yang melintas di halaman itu.”
“Ah kau,” Swandaru menggeram.
Namun sekali lagi ia mendengar Ki Argapati menyebut nama Pandan Wangi.
“Ia sedang berburu,” berkata
Ki Argapati, “ia mengantarkan seorang tamu pula.”
Swandaru tertarik sekali kepada
pembicaraan itu. Dan apalagi ketika Argapati mengatakan, “Sebenarnya masih ada
sangkut pautnya juga. Anak muda itu masih kadang sendiri. Tetapi sudah agak
jauh. Ia adalah salah seorang pada garis keluarga ibu Pandan Wangi.”
Kiai Gringsing ternyata menaruh
perhatian juga kepada cerita itu. Maka ia pun bertanya, “Jadi, Ki Gede sekarang
sedang menerima tamu juga di rumah ini?”
“Ya. Kadang sendiri. Dan bukan
dari jauh.”
“Dari mana?”
“Dari daerah Tempuran.”
“Tempuran?”
“Ya, sebuah daerah kecil di sebelah
utara Tanah Perdikan ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Ki Sumangkar-lah yang kemudian bertanya,
“Apakah tamu Ki Gede itu juga baru saja datang?”
“Tidak. Sudah dua malam mereka
bermalam di tempat ini. Ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki yang sekarang
sedang pergi berburu bersama Pandan Wangi.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti juga Kiai Gringsing. Tanpa
dikehendakinya sendiri ia memalingkan wajahnya memandang Swandaru. Ternyata
wajah Swandaru menegang. Ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Jika yang
pergi berburu bersama Pandan Wangi itu meskipun masih keluarga tetapi sudah
jauh, maka dapat tumbuh persoalan yang dapat mengganggu perasaannya.
Tetapi Swandaru tidak dapat
mengatakannya kepada siapa pun bahkan ia berusaha sejauh-jauhnya menyimpan
perasaan itu di dalam sudut hatinya yang paling dalam. Bahkan apabila mungkin
menghilangkan sama sekali kesan yang dapat timbul di wajahnya.
Selain Swandaru, sebenarnya
Agung Sedayu pun menjadi tegang pula. Meskipun ia tidak langsung tersangkut,
tetapi rasa-rasanya adalah juga keberatannya mendengar keterangan Ki Gede
Menoreh.
“Siapakah sebenarnya anak muda
itu,” Agung Sedayu bertanya kepada diri sendiri.
Ada berbagai dugaan yang
melintas di benaknya, bahkan ia sudah membayangkan peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi.
“Mungkin kami terlalu lama
membiarkan Ki Argapati menunggu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya pula.
Demikianlah, selagi gambaran
yang beraneka ragam mengganggu orang-orang yang sedang dijamu oleh Ki Argapati
itu, terutama Swandaru, Ki Demang dan Kiai Gringsing, di hutan perburuan,
Pandan Wangi berpacu di atas punggung kudanya mengikuti jejak seekor rusa.
Dengan susah payah ia menunggu tidak begitu jauh dari sebuah sumber air yang
menurut dugaannya menjadi tempat minum binatang-binatang buruannya. Tetapi
agaknya arus angin tidak menguntungkan ketika tiba-tiba saja angin berubah
arah. Ketika seekor rusa sedang berjalan perlahan-lahan mendekati sumber air
itu, maka oleh angin yang berganti arah itu, dihanyutkannya bau manusia,
sehingga rusa itu pun segera lari terbirit-birit.
Betapa kuda Pandan Wangi
berlari kencang, namun kuda itu sudah tidak akan mungkin lagi dapat menyusul
rusa itu, karena rusa itu segera pula menghilang di antara gerumbul-gerumbul
perdu.
Alangkah kecewanya Pandan
Wangi. Buruannya ternyata sama sekali tidak dapat ditangkapnya.
Dalam pada itu, kawannya
berburu, selain beberapa orang pengiring, adalah masih ada sangkut paut
kekeluargaan meskipun agak jauh. Tetapi ternyata anak muda itu tidak dapat
membantu sama sekali. Justru kadang-kadang ia telah mengganggu Pandan Wangi.
Setiap kali ia berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya dan Pandan Wangi.
“Sayang sekali,” desis Pandan
Wangi. Ia masih maju beberapa puluh langkah lagi dengan kudanya. Namun ketika
ia kemudian berpaling, ia sudah tidak melihat saudaranya itu.
“Kemana ia pergi?” bertanya
Pandan Wangi di dalam hatinya.
Dan sejenak kemudian Pandan
Wangi pun mendengar suaranya bergema, “Pandan Wangi, Pandan Wangi, di mana
kau?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Dengan kesal ia berbalik untuk mengambil anak muda yang
berteriak-teriak di dalam hutan, meskipun sekedar hutan buruan. Namun di dalam
hutan buruan itu benar-benar masih terdapat beberapa ekor harimau.
Ketika Pandan Wangi mendekat,
ia masih sempat mendengar seorang pengawal berkata, “Marilah, kita
menyusulnya.”
“Jangan terlampau cepat.”
“Pandan Wangi memburu seekor
rusa. Jika kita tidak cepat, kita akan kehilangan jejak.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya.
Namun sebelum ia menjawab, ia melihat Pandan Wangi datang menyongsongnya.
“Pandan Wangi, kenapa kau
selalu meninggalkan aku?”
“Kita berburu di hutan,” jawab
Pandan Wangi.
“Aku belum pernah berburu
seperti caramu.”
“O, kau pernah juga berburu?”
“Tidak, maksudku aku tidak
pernah berburu di hutan begini. Kadang-kadang aku memang pergi menyumpit.
Tetapi hanya sekedar mencari burung-burung kecil. Burung tilang, podang, dan
sebagainya.”
Pandan Wangi tersenyum. Tetapi
ia pun berkata, “Tidak ada bedanya. Kau dengan sumpit, aku memakai panah.
Sedang yang aku kejar berlari kencang sekali, yang kau kejar tidak.”
“O, kau sangka kecepatan
terbang burung podang kalah cepat dengan lari seekor rusa.”
“Tidak, memang tidak. Tetapi
kau tidak pernah menyumpit burung yang sedang terbang. Sedang pemburu di hutan,
kadang-kadang ia harus memanah buruannya yang sedang berlari.”
“Memanah sambil naik kuda?”
bertanya anak muda itu.
“Ya, berkuda sambil melepaskan
anak panah.”
“Bagaimana mungkin. Dengan
tangan kirimu kau memegang busur, sedang tangan kananmu menarik anak panahnya.”
“Maksudmu kendali?”
“Ya.”
“Aku sering melepaskan kendali
sama sekali karena kudaku ini sudah terlampau jinak dan penurut. Tetapi
kadang-kadang aku menjepitnya dengan lutut.”
“Berbahaya sekali.”
“Tidak. Mungkin apabila kita
naik seekor kuda yang nakal. Tetapi kudaku sangat baik kepadaku.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun bertanya, “Kau dapatkan rusa
itu?”
“Tidak,” sahut Pandan Wangi.
“Kita membuang-buang waktu.”
“O, kau tidak senang berburu
di hutan yang sejuk ini?”
Anak muda itu ragu-ragu
sejenak, lalu, “Senang, senang sekali.”
Pandan Wangi menjadi heran.
Anak muda itulah yang mengajaknya berburu. Tetapi ternyata ia tidak begitu
tertarik pada perburuan lagi ketika mereka sudah berada di hutan.
“Rusa itu terkejut mendengar
suaramu berteriak-teriak itu,” berkata Pandan Wangi kemudian. “Kita harus diam,
supaya seekor binatang tidak segera melarikan diri sebelum kita sempat
membidiknya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi nafasnya menjadi terengah-engah. Agaknya
berburu di hutan dengan naik di punggung kuda kurang menyenangkan. Meskipun
demikian ia tidak mau mengatakan berterus terang.
Pandan Wangi agaknya dapat
membaca isi hatinya. Karena itu maka ia pun berkata, “Apakah perburuan ini kita
akhiri sekian saja?”
“Jangan. Berburulah sehingga
kita mendapatkan seekor binatang buruan.”
“Dan kau akan tetap
berteriak-teriak mengusir binatang yang sedang aku bidik?”
“Tidak. Aku akan diam saja.”
Pandan Wangi termenung sejenak
Tetapi kegairahannya untuk berburu terus telah turun sama sekali.
“Teruskanlah Pandan Wangi,”
berkata anak muda itu selanjutnya. “Kenapa kau termenung.”
“Aku tidak bernafsu lagi.
Marilah kita kembali ke rumahku. Ayah sudah menunggu.”
“Bukankah ayahmu sudah
mengetahui bahwa kau berburu bersama aku? Ia tidak akan mencarimu. Agaknya ia
percaya kepadaku.”
“Maksudmu?” bertanya Pandan
Wangi.
“Maksudku, ayahmu tidak akan
mencemaskan kau selama kau pergi bersamaku. Aku akan melindungimu dan membawamu
pulang dengan selamat.”
“O,” suara Pandan Wangi
bernada tinggi, namun kemudian merendah, “ya. Tentu Ayah akan percaya bahwa aku
akan selamat sampai di rumah.”
“Karena itu jangan
tergesa-gesa pulang. Kita teruskan perburuan ini, aku tidak akan memanggilmu
lagi.” Tetapi kemudian, “Meskipun demikian, aku harus selalu mengawasimu karena
aku harus melindungimu.”
“Aku sudah lelah sekali,”
berkata Pandan Wangi, “aku ingin keluar dari hutan ini.”
“Tidak. Kita akan berburu
bersama-sama.”
Pandan Wangi menjadi agak
bingung menanggapi sikap anak muda itu, tetapi sambil tersenyum ia berkata,
“Marilah kita keluar dahulu dari hutan ini. Jika kita akan berburu lagi, kita
akan melakukannya.”
Pandan Wangi tidak menunggu
jawabannya. Ia pun kemudian menggerakkan kudanya mendahului menuju ke luar
hutan.
Anak muda itu tidak dapat
berbuat lain daripada mengikutinya bersama beberapa orang pengiring Pandan
Wangi. Meskipun ia agak kecewa, karena Pandan Wangi nampaknya tidak lagi berminat
meneruskan perburuan ini karena sikapnya.
Sejenak kemudian mereka pun
telah sampai ke pinggir hutan. Rasa-rasanya seperti seseorang yang baru saja
muncul dari dalam goa yang lembab, terasa betapa sejuknya udara terbuka di luar
hutan perburuan itu, meskipun juga terasa panas matahari yang bagaikan
menyengat wajah dedaunan yang hijau segar.
Tetapi angin yang lemah
membuat udara di pinggir hutan itu tetap sejuk. Suara gemerisik yang menyentuh
telinga, membuat hati bagaikan dibelai oleh bisikan-bisikan yang lembut.
Belum lagi Pandan Wangi turun
dari kudanya, dilihatnya debu yang mengepul di kejauhan, dilemparkan oleh kaki
beberapa ekor kuda yang berlari di sepanjang jalan berdebu.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia pun segera mengerti bahwa mereka adalah beberapa orang peronda
yang sedang nganglang di sepanjang jalan Tanah Perdikan Menoreh yang terutama
di bagian selatan dan timur, mulai tersentuh oleh persoalan-persoalan yang
dapat menimbulkan kegelisahan rakyatnya.
Para peronda berkuda yang berlari
di sepanjang jalan itu pun agaknya dapat melihat Pandan Wangi. Sejenak mereka
berbicara di antara mereka. Namun kemudian salah seorang dari mereka
mengacu-acukan tangannya.
Pandan Wangi memandangi mereka
dengan heran. Ia tidak segera mengerti maksudnya. Namun ia pun tidak segera
berbuat sesuatu.
Ternyata beberapa ekor kuda
itu pun berhenti sejenak. Kemudian mereka berbelok ke arah Pandan Wangi yang
memandangi mereka dengan hati yang berdebar-debar.
“Pandan Wangi,” salah seorang
dari para peronda itu berkata meskipun ia belum dekat benar, “apakah kau tidak
ingin segera pulang?”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Ditunggunya orang itu menjadi semakin dekat dan baru kemudian ia
bertanya, “Kenapa tergesa-gesa pulang?”
Para peronda itu pun kemudian berhenti
beberapa langkah dari Pandan Wangi. Wajahnya tampak aneh dan tanpa sebab orang
itu tersenyum-senyum sendiri.
“Ada apa?” Pandan Wangi
bertanya pula.
“Seharusnya kau pulang.”
“Ya, ada apa?” gadis itu
menjadi jengkel.
“Ada tamu di rumahmu.”
“Ah, apa salahnya ada tamu.
Ayah terlalu sering menerima tamu dari mana saja.”
“Tetapi sekali ini tamu ayahmu
agak lain. Tamu yang tentu tidak kau duga akan datang hari ini.”
Pandan Wangi memandang orang
itu dengan heran. Dan sekali lagi ia mendesak, “Siapakah tamu Ayah kali ini?”
“Tamu Ki Gede datang dari
seberang Kali Opak. Bahkan dari seberang Alas Mentaok, dari seberang Alas
Tambak Baya.”
“Siapa, siapa?”
“Dari seberang Candi
Prambanan. He, kau pernah lihat candi itu? Candi yang sangat indah?”
Pandan Wangi tidak segera
menangkap maksud para pengawal itu. Karena itu ia masih saja berdiri
termangu-mangu. Sedang para pengawal itu masih saja tersenyum-senyum.
“Apakah kalian mendapat
perintah dari Ayah untuk menyusul aku?”
“Tidak. Tidak,” jawab para
pengawal itu, “aku hanya melihat tamu-tamu itu, dan kebetulan aku melihat kau
di sini.”
“Siapakah sebenarnya tamu
itu?” Pandan Wangi menjadi jengkel.
Tetapi para pengawal itu masih
saja tersenyum-senyum. Sedangkan Pandan Wangi menjadi semakin jengkel karenanya,
sehingga ia berkata, “Jika kalian tidak segera mengatakan siapa tamu itu, aku
akan mengejutkan kuda kalian dan kalian akan dibawanya berlari sambil
melonjak-lonjak. Jika ada di antara kalian yang terlempar karenanya, itu bukan
salahku.”
“Jangan. Jangan,” para
pengawal itu hampir berbareng menyahut.
“Jika demikian, sebut tamu
itu.”
“Tamu itu datang dari Sangkal
Putung. Ki Demang Sangkal Putung bersama putranya yang gemuk itu. Kau sudah
mengenalnya bukan?”
“He,” sekilas terpancar
kegembiraan dimata Pandan Wangi. Namun kemudian ia berusaha menghapus kesan itu
dan berkata, “Aku tidak kenal mereka.”
“He,” salah seorang pengawal
itu pun menyahut, “kau tidak kenal mereka? Dua anak muda yang pernah berada di
Tanah Perdikan ini pada saat tanah ini dibakar oleh api kedengkian dan iri
hati?”
“Cukup.”
“Maaf, Pandan Wangi. Bukan
maksudku mengingatkan pertentangan yang pernah terjadi. Tetapi aku ingin
mengingatkan kau pada kedua anak-anak muda itu. Yang seorang gemuk namun
tampan. Dengan wajah yang agak ke kanak-kanakan. Sedang yang lain sedang dan
agak lebih bersungguh-sungguh.”
“Aku tidak ingat mereka lagi.
Dan aku tidak sempat mengingatnya,” lalu ia pun berpaling kepada anak muda yang
diajaknya berburu. “Marilah apakah kau masih ingin berburu?”
Anak muda itu meniadi heran.
Ia tidak mengerti perubahan sikap yang tiba-tiba saja. Karena itu ia tidak
segera menjawab.
“Katakan, apa keinginanmu
sekarang?” bertanya Pandan Wangi.
Anak muda itu tidak mengerti
maksud Pandan Wangi yang sebenarnya. Sekenanya saja ia menjawab, “Apakah kita
sebaiknya pulang saja?”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah,
“jika kita harus pulang, sama sekali bukan karena ada tamu itu. Tetapi karena
kaulah yang ingin pulang.”
Anak muda itu menjadi semakin
bingung, sedang para pengawal itu pun masih saja tersenyum-senyum.
“Pergilah. Jika kalian
mempunyai kewajiban, lakukanlah. Jangan mengganggu aku lagi. Aku masih ingin
berburu dan masih ingin berbuat apa saja sebelum aku pulang, dan kapan aku akan
pulang tergantung kepadaku. Ada atau tidak ada tamu.”
“Baiklah,” jawab peronda itu
sambil menganggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Kami memang akan melanjutkan
tugas kami mengelilingi daerah selatan ini sampai ke Kali Praga. Dan aku pun
tidak mendapat perintah dari Ki Gede agar menjemputmu. Aku tidak tahu, pembicaraan
apakah yang sedang berlangsung, tetapi aku melihat wajah-wajah yang buram.
Mula-mula Ki Gede akan memerintahkan adikmu sepupu untuk menjemputmu, tetapi
tiba-tiba niat itu dibatalkan. Adikmu sepupu telah ada di regol ketika Ki Gede
berteriak dengan nada yang tinggi.”
Wajah Pandan Wangi menegang.
Lalu dengan cemas ia bertanya, “Apa yang dikatakan Ayah ?”
“Aku tidak tahu. Mungkin
adikmu itu berbuat kesalahan, atau apa pun. Tetapi Ki Gede agaknya marah
sekali.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Aku akan pulang.”
“Ki Gede tidak menunggu kau.
Justru sebaiknya kau menunggu perintahnya.”
“Sudah aku katakan. Terserah
kepadaku. Apakah aku akan pulang atau tidak.”
“Baik, baik.”
“Pergi. Cepat pergi.”
Para peronda itu pun kemudian
meninggalkan Pandan Wangi. Tetapi mereka masih saja tersenyum-senyum. Namun
salah seorang dari mereka berkata, “Kau sudah keterlaluan. Bagaimana jika
Pandan Wangi tergesa-gesa pulang dan bertanya tentang ceritamu itu kepada Prastawa.”
“Tidak apa-apa. Prastawa akan
menjadi kebingungan. Tetapi Pandan Wangi akan segera tahu, bahwa kita
berbohong.”
“Dan besok jika kita bertemu
dengan gadis itu, kita akan dilabraknya.”
“Besok ia pasti sudah lupa.
Anak yang gemuk itu akan sangat menarik perhatiannya.”
“Tetapi jika ia masih ingat
akan kelakarmu ini, terserahlah kepadamu. Mungkin kepalamu akan dikerawunya
dengan ampas kelapa.”
Kawannya justru tertawa.
Tetapi suara tertawanya terputus ketika ia mendengar derap kuda berlari
kencang. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi dan tamunya itu berpacu
pulang diikuti oleh beberapa orang pengiring.
“Tentu ia menyangka sesuatu
telah terjadi. Ia pasti mengira bahwa terjadi perselisihan antara tamunya dan
ayahnya tentang dirinya.”
Kawannya tersenyum. Lalu,
“Kita memang harus berhati-hati besok, jika ia masih mengingatnya.”
Para pengawal itu melanjutkan
perjalanan mereka. Namun mulailah mereka merasa cemas. Jika tiba-tiba saja
Pandan Wangi berbuat sesuatu di rumahnya, siapakah yang harus bertanggung
jawab? Dan hampir di luar sadarnya pengawal yang mencoba mengganggu Pandan
Wangi itu berkata hampir kepada diri sendiri, “Tetapi, jika Pandan Wangi
langsung marah-marah di rumahnya dan berbuat di luar dugaan karena sifatnya
yang keras, dan agak seperti seorang laki-laki itu, siapakah yang dapat
dipersalahkan?”
“Kau, kau,” kawannya
menudingnya, “kau memang kurang berhati-hati. Kau kurang menempatkan diri
apabila kau berhasrat bergurau. Persoalan ini bagi Pandan Wangi bukan persoalan
kecil. Sekian lamanya ia menunggu, tiba-tiba saja ia dihadapkan pada suatu
persoalan yang tidak diinginkannya.”
“Aku tidak mengatakan apa-apa
tentang anak muda Sangkal Putung itu.”
“Tetapi kau sengaja memberikan
gambaran yang salah pada Pandan Wangi.”
“Dan kau tidak mencegahnya.
Sekarang kau menyalahkan aku pula.”
Kawannya tidak menjawab. Ia
menjadi kasihan juga melihat wajah pengawal yang merasa terdorong terlampau
jauh itu.
“Aku akan kembali. Mungkin
sesuatu akan terjadi.”
Tetapi kawannya menggeleng,
“Kami sedang menjalankan tugas. Jika selama kita di perjalanan kembali terjadi
sesuatu di sini, dosa kita akan bertambah-tambah. Bukankah kadang-kadang di
daerah ini timbul sesuatu yang tidak dapat kita mengerti, yang sampai saat ini
masih merupakan teka-teki? Meskipun kita mengetahuinya bahwa persoalan yang
sebenarnya tidak terjadi di Menoreh, tetapi di daerah di seberang Kali Praga,
namun sentuhan peristiwa itu di daerah Menoreh tidak dikehendaki oleh Ki Gede.
Dan jika kita tidak bertindak tegas sejak permulaan, maka semakin lama
persoalannya akan menjadi semakin sulit dipecahkan dan semakin sulit diatasi.”
Pengawal yang merasa menyesal
atas kelakarnya yang berbahaya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata,
“Aku menjadi gelisah sekarang.”
“Salahmu.”
“Bagaimana jika aku kembali
seorang diri, dan kalian meneruskan tugas kita.”
“Terserah kepadamu.”
Orang itu merenung sejenak,
lalu, “Biarlah aku terus bersama kalian. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.
Tolong bantulah aku berdoa.”
Kawan-kawannyalah yang kemudian
tersenyum. Tetapi karena mereka tidak sampai hati melihat kegelisahan dan
kecemasan yang mencengkam jantung kawannya itu, hampir berbareng kawan-kawannya
menjawab, “Baiklah. Kami akan berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.”
Pengawal yang sedang menyesal
itu memandangi wajah kawan-kawannya berganti-ganti. Tetapi ia tidak mengatakan
apa-apa lagi.
Sementara itu, Pandan Wangi
berpacu kembali ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Tiba-tiba saja hatinya menjadi
gelisah. Ia memang dicemaskan oleh cerita pengawai itu, seakan-akan telah
terjadi sesuatu di rumahnya. Seolah-olah kedatangan tamu-tamu ayahnya dari
Sangkal Putung itu membawa persoalan yang kurang menyenangkan.
Karena itu, ia hampir tidak
menghiraukan lagi anak muda yang berburu bersamanya, yang masih ada hubungan
darah dengan keluarganya meskipun sudah agak jauh.
“Pandan Wangi,” anak muda itu
memanggilnya, “jangan terlalu cepat.”
Pandan Wangi tidak
menghiraukannya. Ia masih saja berpacu lewat jalan berdebu.
Beberapa orang petani yang
melihat Pandan Wangi bergegas pulang itu mengerutkan keningnya. Namun seorang
anak muda yang lewat di pematang berkata kepada petani itu, “Pandan Wangi
tergesa-gesa pulang karena ada tamu di rumahnya. He, apakah Paman tidak melihat
iring-iringan orang berkuda lewat jalan di sebelah Utara itu? Mereka datang
dari Sangkal Putung.”
Petani itu menggeleng.
“O, jika Paman melihatnya,
Paman tidak akan heran lagi. Tamu itu adalah anak muda yang beberapa saat yang
lalu ada di Tanah ini, ketika Tanah ini dibakar oleh pertentangan antara Ki
Argapati dan Ki Argajaya bersama Sidanti.”
“O,” petani itu
mengangguk-angguk.
“Bukankah Paman ikut dalam
pertempuran-pertempuran yang terjadi saat itu?”
“Ya. Pertentangan itu kini
sudah kita lupakan.”
“Tentu. Tetapi bahwa anak muda
itu pernah di sini itulah yang aku ingat. Dan anak muda itu memang mempunyai
persoalan tersendiri dengan Pandan Wangi.”
Petani itu tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Pantas Pandan Wangi tidak sabar
lagi.”
Dan ketika petani itu mengangkat
wajahnya, dilihatnya debu yang meloncat ke udara dilemparkan oleh kaki-kaki
kuda yang berlari kencang.
Di regol padukuhan induk,
Pandan Wangi mengurangi kecepatan derap kudanya. Bahkan sejenak ia menjadi
ragu-ragu. Apakah ia akan langsung pulang ke rumahnya atau akan singgah dahulu
di mana pun juga untuk mengetahui keadaan di rumahnya. Apakah benar
tamu-tamunya itu datang dari Sangkal Putung, atau pengawal itu keliru
menjawabnya.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya ketika seorang anak muda di regol padukuhannya tertawa tanpa alasan
sambil memandanginya.
“He, kenapa kau tertawa?”
bertanya Pandan Wangi.
“Tidak apa-apa. Tetapi
pulanglah. Ada tamu yang membawa oleh-oleh yang sangat menarik.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia sadar bahwa anak muda itu sengaja mengganggunya. Karena itu maka
ia pun berpura-pura tidak mengetahuinya dan bertanya lebih lanjut, “Siapa tamu
itu?”
“Aku kurang tahu. Tetapi yang
aku ketahui mereka datang dari jauh dan membawa oleh-oleh buatmu. Khusus
buatmu.”
“Terima kasih. Aku akan
melihat tamu yang membawa oleh-oleh itu.”
Anak muda di regol pedukuhan
itu tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Pandan Wangi yang maju perlahan
oleh keragu-raguan.
“He, siapakah sebenarnya orang
yang selalu disebut-sebut itu Pandan Wangi?” bertanya anak muda yang berburu
bersama Pandan Wangi itu.
“Aku tidak tahu,” jawab Pandan
Wangi.
“Mustahil. Aku menangkap kesan
yang aneh pada setiap orang yang memberitahukan tentang tamu itu. Mereka
tertawa-tawa seperti orang kesurupan, dan bahkan ada yang mirip-mirip dengan
orang gila.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “Dan sikapmu sendiri menjadi
aneh. Tentu kau sudah tahu siapakah tamumu itu.”
“Aku tidak tahu.”
“Setidak-tidaknya kau dapat
menduga, siapakah tamumu, yang oleh anak muda di regol ini disebut membawa
oleh-oleh yang sangat menarik buatmu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
“Tentu kau tidak berkeberatan
mengatakan kepadaku, siapakah tamumu itu. Apakah yang mereka maksudkan adalah
keluargaku?”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tentu tidak. Kau tidak datang hari ini. Kau sudah ada
dirumahku. Dan mereka tidak mengatakan apa-apa tentang kedatanganmu, karena
tetangga-tetanggaku belum mengenalmu dengan baik.”
“Aku pernah datang ke rumahmu
sebelumnya.”
“Tetapi sudah lama sekali.”
Anak muda itu tidak menyahut
lagi. Tampaklah keningnya berkerut-merut. Ia mencoba untuk mengetahui siapakah
tamu Ki Gede Menoreh kali ini, yang agaknya lebih penting dari dirinya sendiri.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat memberitahukan kepadanya. Karena Pandan
Wangi sendiri tidak mau menyebut tamunya, maka para pengiringnya pun tentu
tidak akan mau mengatakannya.
“Aku akan langsung pulang,”
tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.
Anak muda yang bersamanya itu
tidak mengerti maksudnya. Kenapa Pandan Wangi harus berkata demikian. Jika ia
tidak pulang ke rumah, maka ke mana saja ia akan pergi.
Demikianlah maka mereka pun
langsung menyelusur jalan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun masih juga ragu-ragu,
namun Pandan Wangi langsung menuju ke regol rumahnya. Ketika ia akan memasuki
regol itu, tiba-tiba saja berkata, “Kemarilah.”
Anak muda yang berburu
bersamanya itu menjadi heran. Tetapi Pandan Wangi berkata sekali lagi, “Marilah
kita bersama memasuki regol itu. Jangan terlalu lambat. Kita langsung masuk ke
longkangan samping dan berhenti di belakang.”
“Kenapa?”
“Ikut kataku.”
Anak muda itu tidak sempat
bertanya lagi. Pandan Wangi sudah mempercepat lagi derap kudanya dan memberi
isyarat agar anak muda itu berkuda di sampingnya.
Sambil menengadahkan wajahnya
Pandan Wangi memasuki halaman rumahnya bersama anak muda itu. Sama sekali tidak
berpaling ke pendapa dan langsung menuju ke longkangan samping.
“Itulah Pandan Wangi,” berkata
Ki Argapati.
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
Tetapi orang-orang yang berada
di pendapa itu menjadi heran. Pandan Wangi berpaling pun tidak.
“Tentu ia belum tahu bahwa ada
tamu di pendapa ini.”
Kiai Grlngsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dalam pada itu, terasa sesuatu
berdesir di dada Swandaru. Ia belum mengenal anak muda itu. Meskipun ia sudah
mendengar bahwa anak muda itu masih ada sangkutan darah pada garis keturunan
ibu Pandan Wangi. Namun sikapnya agak memanaskan hatinya. Apalagi Pandan Wangi
sendiri sama sekali tidak berpaling dan tidak menghiraukan kehadirannya.
Tetapi ia pun mencoba
menghibur dirinya sendiri dengan kalimat yang dikatakan oleh Ki Argapati,
“Tentu ia belum tahu bahwa ada tamu di pendapa ini.”
“Tetapi anak muda yang lebih
dahulu berpacu melintasi halaman ini melihat bahwa kami duduk di sini dan
dengan tergesa-gesa turun,” berkata Swandaru di dalam hatinya pula.
Tidak ada yang dapat
dimintainya pertimbangan. Agung Sedayu tentu hanya akan mengganggunya saja.
Namun dalam pada itu, Agung
Sedayu pun menjadi heran melihat sikap Pandan Wangi. Apakah mungkin Pandan
Wangi tidak melihat tamu-tamu yang ada di pendapa, ini atau ia memang mengalami
perubahan selama ini?
Namun sikap itu memang
menimbulkan berbagai pertanyaan di hati anak-anak muda yang sedang duduk di
pendapa itu bersama Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu Pandan Wangi
yang terus saja membawa kudanya ke longkangan langsung pergi ke belakang
rumahnya. Dengan tenangnya ia meloncat turun dan menambatkan kudanya pada
sebatang pohon. Tanpa menghiraukan apa pun juga, maka Pandan Wangi pun langsung
masuk ke bagian belakang rumahnya itu.
Anak muda yang pergi berburu
bersamanya itu pun mengikutinya saja. Ia sama sekali tidak mengerti maksud
Pandan Wangi. Sedang ia masih belum mendapat kesempatan untuk bertanya lebih
lanjut.
Di bagian belakang dari
rumahnya itu Pandan Wangi bertemu dengan adik sepupunya, dan langsung saja ia
bertanya, “Kenapa ayah marah?”
Prastawa memandang Pandan
Wangi dengan heran. Tetapi sebelum ia menjawab Pandan Wangi mendesaknya,
“Kenapa? Apakah tamu-tamu di pendapa itu membawa berita buruk atau penghinaan
terhadap kita di sini?”
“Aku tidak mengerti,” Prastawa
terheran-heran.
“Kenapa ayah marah? Kenapa?”
“Paman Argapati sama sekali
tidak marah.”
“He?” Pandan Wangi mengerutkan
keningnya, lalu, “Tetapi kenapa kau dipanggilnya setelah kau sampai di regol
halaman pada saat kau akan memanggil aku pulang?”
“Aku tidak mengerti. Aku tidak
akan memanggil kau pulang. Kami di sini mengetahui bahwa kau tidak akan berburu
terlalu lama. Karena itu, kami sama sekali tidak bermaksud memanggil kau
pulang.”
Pandan Wangi menjadi agak
bingung. Tetapi ia masih mendesaknya, “Aku tidak peduli, tetapi kenapa ayah
marah dan pembicaraan antara ayah dan tamu-tamu di pendapa itu tidak
berlangsung dengan baik?”
“Tidak ada yang marah. Mereka
berbicara dengan baik. Ketika kami menghidangkan makanan dan minuman, semuanya
tertawa-tawa dengan cerah. Tidak ada apa-apa. Sungguh, tidak ada apa-apa dengan
tamu-tamu itu.”
“Jadi, kau tidak dipanggil
ayah ketika kau akan memanggil aku pulang?”
“Aku tidak akan memanggil kau
pulang.”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Dicobanya mengingat wajah para pengawal itu. Dan tiba-tiba ia
menggeram, “Gila, Mereka pasti membohongi aku. Mereka sengaja menggangguku.
Awas, jika besok aku bertemu lagi, aku pilin telinganya sampai putus. Jika
tidak ada orang gila itu, aku tentu masih belum pulang saat ini.”
Prastawa memandang Pandan
Wangi dengan heran. Lalu ia pun bertanya, “Apakah sebenarnya yang telah
terjadi?”
“Tidak apa-apa. Tidak
apa-apa.”
Pandan Wangi pun kemudian
membanting dirinya duduk di atas sebuah amben bambu. Dipandanginya adik
sepupunya itu sejenak namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, menyesali
ketergesa-gesaannya. Bahkan kemudian ia berkata di dalam hati, “Tentu
orang-orang menyangka, bahwa aku tergesa-gesa pulang karena tamu-tamu itu.”
Dalam pada itu, anak muda yang
pergi berburu bersamanya menjadi sangat heran akan tingkah laku Pandan Wangi.
Karena itu, setelah Pandan Wangi agak tenang dan duduk di amben bambu ia
mencoba bertanya, “Pandan Wangi, apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
Pandan Wangi memandanginya
sejenak, lalu, “Tidak ada apa-apa yang terjadi.”
“Tetapi tampaknya kau menjadi
bingung.”
Pandan Wangi mengangguk kecil,
lalu, “Ya, aku menjadi bingung karena para pengawal itu telah
memperolok-olokkan aku. Awas, jika aku bertemu mereka besok.”
Anak muda itu masih tetap
tidak mengerti. Dan tanpa disadarinya ia telah bertanya, “Siapakah tamu-tamu
itu, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi memandang anak muda
itu sejenak, lalu, “Bertanyalah kepada Prastawa.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Sambil menganggukkan kepalanya ia meninggalkan Pandan Wangi dan
mendekati Prastawa yang masih juga heran melihat sikap Pandan Wangi.
“Siapakah tamu-tamu itu?”
Prastawa ragu-ragu sejenak.
Kemudian jawabnya, “Bertanyalah kepada Pandan Wangi.”
“He?” anak muda itu menjadi
termangu-mangu pula. Katanya, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Dan
siapakah sebenarnya orang di pendapa itu? Aku bertanya kepada Pandan Wangi,
disuruhnya aku bertanya kepadamu. Sekarang aku bertanya kepadamu, kau suruh aku
bertanya kepada Pandan Wangi.”
“O, apakah Pandan Wangi
menyuruhmu bertanya kepadaku?”
“Ya.”
Prastawa masih ragu-ragu.
Namun kemudian ia menjawab, “Mereka datang dari seberang Alas Tambak Baya,
bahkan dari seberang candi Prambanan.”
“Jauh?”
“Ya. Cukup jauh. Salah seorang
dari mereka adalah Demang di Sangkal Putung.”
“Demang di Sangkal Putung,”
anak muda itu mengulangi.
“Ya, Demang di Sangkal Putung.
Sedang anak-anak muda yang ada di antara mereka adalah anak-anak muda yang
pernah tinggal di rumah ini.”
“Tinggal di rumah ini?
Kenapa?”
Prastawa menjadi
berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Peristiwa yang pernah terjadi di atas
Tanah Perdikan Menoreh merupakan goresan yang tajam di hatinya. Ia ingin
melupakannya sama sekali. Karena itu, maka ia tidak dapat menjawab sebenarnya.
Katanya, “Mereka berada di sini untuk beberapa lamanya. Mereka adalah perantau
yg berkeliling dari satu daerah ke daerah lain tanpa tujuan.”
“Perantau? Apakah mereka tidak
mempunyai tempat tinggal untuk menetap.”
Prastawa tidak segera
menyahut. Dipandanginya anak muda itu sejenak, seakan-akan ingin mengetahui
alasan pertanyaan-pertanyaannya itu.
Dan anak muda itu mendesaknya,
“Jadi mereka tidak mempunyai rumah?”
Prastawa menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tentu. Sudah aku katakan, mereka berasal dari Sangkal
Putung. Mereka merantau karena panggilan hatinya, bukan karena mereka tidak
mempunyai tempat tinggal. Yang seorang dari mereka itu adalah Demang Sangkal
Putung Dan sudah barang tentu Ki Demang itu bukan perantau seperti yang lain,
karena ia mempunyai tugas tertentu di rumahnya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya lagi, “Kenapa mereka
datang kemari?”
“Mereka adalah sahabat-sahabat
Ki Gede. Dan anak-anak muda yang ada di antara mereka adalah sahabat anak-anak
muda Menoreh.”
“Sahabat anak-anak muda
Menoreh. Bagaimana mungkin?”
“Cerita panjang sekali. Tetapi
yang penting kau ketahui adalah bahwa anak muda yang gemuk itu adalah putra Ki
Demang di Sangka Putung. Tentu mereka mempunyai kepentingan khusus karena
mereka datang dari jarak yang jauh.”
“Apakah kepentingan khusus
itu?
“Bertanyalah kepada Pandan
Wangi.”
“Tentu ia tidak akan menjawab.
Tentu ia akan menyuruhku bertanya kepadamu lagi. Ternyata kalian
memperolok-olokkan aku sehingga aku menjadi bingung.”
“Semua orang merasa dirinya
diperolok-olokkan. Aku tidak tahu bagaimana aku harus melayani kalian.
Sudahlah. Nanti kalian akan tahu juga apa kepentingan mereka datang kemari.”
Anak muda itu tidak bertanya
lagi. Sebenarnya ia memang ingin bertanya kepada Pandan Wangi. Tetapi ketika ia
berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sudah berdiri dan melangkah masuk ke ruang
dalam, dan langsung ke dalam biliknya.
Setelah menutup pintu
rapat-rapat, maka Pandan Wangi pun merebahkan dirinya di pembaringan. Bagaimana
pun juga ia tidak dapat mengingkari perasaan yang sebenarnya bergejolak di
dalam hatinya.
Sudah terlalu lama ia
menunggu. Bahkan hampir saja ia menjadi berputus asa. Seakan-akan ia sedang
menunggu terbitnya bulan di musim hujan. Setiap kali ia menengadahkan wajahnya,
maka langit selalu gelap disaput olen hawa yang kelabu.
Namun tiba-tiba saja kini yang
ditunggunya itu datang, “Apakah mereka datang untuk memenuhi upacara seperti
yang lazim, melamar dengan resmi atau justru sebaliknya?” pertanyaan itu masih
juga mengganggunya. Untuk menenangkan dirinya sendiri. Pandan Wangi berkata di
dalam hati, “Jika tidak demikian, aku kira mereka tidak akan datang. Sejauh-jauhnya
mereka akan menyuruh seseorang untuk menyampaikannya kepada Ayah.”
Terasa sesuatu bergejolak di
dalam hati Pandan Wangi. Ia tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya sedang
dihadapi. Tetapi harapan yang selama ini rasa-rasanya menjadi semakin pudar itu
pun tumbuh kembali.
Di luar sadarnya Pandan Wangi
pun kemudian bangkit perlahan-lahan. Diamat-amatinya jari-jari tangannya yang
lentik tetapi tidak sehalus tangan gadis pingitan, karena tangannya itu sering
tersentuh tangkai pedang atau menggenggam busur dan anak panah, kadang-kadang
memegangi kendali kuda.