Buku 088
Kiai Kelasa Sawit
memperhatikan kuda-kuda yang berderap meninggalkan halaman rumah yang kotor
itu. Demikian kuda-kuda itu lenyap di balik regol, maka ia pun segera memanggil
orang-orang yang paling dekat dengan dirinya sambil menghentakkan kakinya,
“Gila. Siapakah yang membawa prajurit-prajurit itu kemari?”
Seorang yang bertubuh kurus
sambil menyandang sebuah canggah bertangkai pendek di bahunya menyahut,
“Bukankah kau sendiri yang mempersilahkan mereka memasuki padepokan ini?”
“Ya, setelah mereka berada di
mulut padepokan ini.”
“Dan kenapa kau biarkan
prajurit-prajurit itu pergi? Jika kita menangkapnya, dan mengubur mereka
hidup-hidup di sini, maka tidak akan ada persoalan apa pun juga.”
“Kau memang bodoh!” geram Kiai
Kelasa Sawit. “Jika pada saat yang ditentukan, prajurit-prajurit itu tidak
kembali ke Jati Anom, maka Untara akan mengerahkan prajuritnya mendaki Gunung
Merapi dan menghancurkan padepokan ini.”
“Kita tidak peduli. Bukankah
kita akan segera meninggalkan padepokan ini?”
“Tetapi bukan hari ini. Kita
masih harus menunggu penghubung yang akan datang itu.”
“Tetapi sekarang kita mendapat
pekerjaan gila itu. Jika kita tidak mengerjakannya, akibatnya juga tidak
menyenangkan bagi kita,” orang bertubuh kurus dan membawa sebuah canggah itu
berhenti sejenak. Lalu, “Apakah kekuatan prajurit Pajang di Jati Anom perlu
dicemaskan? Saat ini, sepasukan sedang berada di padepokan ini dalam
perjalanannya ke timur. Bukankah dengan demikian, kita memiliki kekuatan yang
cukup untuk melawan pasukan Pajang itu?”
“Kita belum akan bertempur
melawan prajurit-prajurit Pajang pada saat ini, sesuai dengan pertimbangan yang
menentukan. Karena itu, biarlah orang-orang kita yang akan keluar hari ini ikut
mencari anak bernama Rudita itu. He, bukankah namanya Rudita?”
“Daerah ini benar-benar daerah
kering. Di sini tinggal beberapa kelompok penjahat kecil yang tidak tahu aturan
sama sekali.”
“Kita tidak akan tergantung
pada daerah ini. Bukankah yang kalian lakukan hanyalah untuk sementara, agar
kita tidak kelaparan? Tentu kalian tidak akan berbuat seperti penjahat-penjahat
kecil itu. Kalian tidak akan merampas beberapa keping uang yang ada pada
seseorang dan merupakan seluruh miliknya. Kalian tidak akan mencari seekor
ayam, betapapun besarnya. Tetapi kalian akan mengambil dua atau tiga ekor
lembu.”
“Baiklah. Aku akan berpesan
kepada mereka yang akan keluar dalam sepuluh hari ini. He, apakah kita masih
akan tetap tinggal di sini dalam sepuluh hari?”
Kiai Kelasa Sawit menggeleng.
Katanya, “Tentu tidak sampai sepuluh hari. Tetapi, baiklah kita pergunakan
hari-hari yang ada untuk membantu prajurit-prajurit Pajang. Jika kita berhasil
menemukan anak itu, kita akan mendapat kepercayaan, betapapun kecilnya.”
“Tetapi prajurit-prajurit
Pajang itu menganggap kita sebagai budaknya. Ia mengucapkan perintah seperti
kepada bawahannya saja.”
“Itu tidak akan lama lagi
berlangsung. Pada suatu saat yang pendek, yang terjadi akan sebaliknya.”
Orang bertubuh kurus itu
mengangguk-angguk, ia pun kemudian meninggalkan Kiai Kelasa Sawit yang masih
berdiri termangu-mangu.
Sebenarnyalah bahwa hati Kiai
Kelasa Sawit sendiri pun bagaikan disentuh bara api melihat sikap
prajurit-prajurit Pajang. Tetapi ia masih mampu mengendalikan dirinya, sehingga
sikapnya tidak merugikannya. Karena dengan demikian, prajurit-prajurit Pajang
itu tidak mengambil sikap atau perhatian yang khusus terhadap orang-orangnya,
yang untuk sementara singgah di padepokan yang sepi itu.
Sekelompok prajurit Pajang
yang datang ke Tambak Wedi itu, sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang
berjaga-jaga, disebelah-menyebelah jalan, dengan senjata telanjang. Namun
demikian, mereka pun tidak lewat begitu saja. Dalam ketidak acuhan itu, mereka
masih juga menangkap kesan dengan pandangan seorang prajurit.
Demikianlah, mereka melampaui
penjaga terakhir dicelah-celah batu-batu padas, maka pemimpin prajurit itu pun
bergumam, “Kelompok ini mempunyai kelainan dengan kelompok-kelompok penjahat
yang lain.”
“Ki Lurah,” salah seorang
prajurit berkata, “mereka bukan kelompok kecil yang sekedar menggantungkan diri
kepada pencuri ayam atau kambing.”
“Ya. Yang tinggal di Tambak
Wedi sekarang adalah sepasukan penjahat yang kuat. Tetapi agaknya mereka belum
melakukan kegiatan apa pun di daerah ini.”
“Meskipun demikian, kita harus
berhati-hati. Ada untungnya juga kita menuruti permintaan Kiai Raga Tunggal
untuk datang ke Padepokan Tambak Wedi itu. Dengan demikian kita mendapat
gambaran tentang kesiagaan mereka.”
Pemimpin prajurit itu
meng-angguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Tambak Wedi pernah juga menjadi
sebuah padepokan yang kuat, yang bahkan kemudian menjadi pusat pemberontakan
yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi Apakah Kiai Kelasa Sawit akan mencoba
mengulanginya?” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, ia harus belajar dari
peristiwa yang pernah terjadi. Pemberontakan yang demikian tidak akan membawa
hasil apa pun juga selain kehancuran, kematian, dan pelanggaran atas
nilai-nilai kemanusiaan. Pemberontak-pemberontak kecil harus menyakiti dirinya.
Dan mereka yang akan mencobanya harus dapat membayangkan, bahwa Pajang adalah
suatu negara besar, yang terdiri dari pusat pemerintahan di Pajang, dan
kekuatan yang terbesar di bawah pimpinan para Adipati. Dengan demikian,
orang-orang yang sekedar didorong oleh kebanggaan pribadi seperti Ki Tambak
Wedi, tidak akan dapat menghasilkan apa-apa.”
Prajurit-prajurit yang lain
pun mengangguk-angguk pula. Yang pernah terjadi memang mengajarkan, bahwa sikap
seperti yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi, apa pun alasannya, tidak akan
menghasilkan apa-apa.
Kelompok prajurit itu pun
kemudian dengan cepat menuruni lereng Gunung Merapi. Mereka menyusuri jalan
yang mereka lalui buat mereka naik.
Ketika mereka melampaui
pedukuhan sarang sekelompok orang yang mendapat pengawasan dari
prajurit-prajurit Pajang, dan yang dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal, maka
iring-iringan kecil itu pun berhenti, karena mereka melihat Kiai Raga Tunggal
berdiri di pinggir jalan, seolah-olah dengan sengaja sedang menunggu mereka.
“Apakah kalian sudah bertemu
dengan Kiai Kelasa Sawit?” bertanya Kiai Raga Tunggal sambil tersenyum.
“Ya. Kami telah diterima di
pendapa padepokan Tambak Wedi, yang sudah semakin rusak.”
Kiai Raga Tunggal mengerutkan
dahinya. Lalu, “Apa kata kalian tentang Kiai Kelasa Sawit?”
“Kenapa?” bertanya pemimpin
prajurit itu. “Tidak ada apa-apa dengan Kiai Kelasa Sawit. Menilik orang-orang
yang ada di padepokan itu, maka Kiai Kelasa Sawit tidak lebih dari kau di sini.
Kenapa?”
Kiai Raga Tunggal
termangu-mangu sejenak. Lalu, “Apakah kalian sudah melihat seluruh
kekuatannya?”
“Aku tidak tahu, apakah mereka
sudah memperlihatkannya kepada kami. Tetapi yang ada hanyalah beberapa tikus
kecil. Tidak lebih.”
Kiai Raga Tunggal akhirnya
tertawa. Katanya, “Jika demikian, kalian telah dikelabuhinya.”
“Tentang apa?”
“Tentang kekuatannya. Di
padepokan itu terdapat pasukan segelar sepapan.”
“Persetan.”
“Jika kalian tidak percaya,
pada suatu saat kalian akan terjebak.”
Pemimpin prajurit itu tidak
menghiraukannya. Ia pun kemudian memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk
melanjutkan perjalanan.
Namun di sepanjang jalan di
dalam padukuhan itu, ia pun melihat kesiagaan yang meningkat. Beberapa orang
anak buah Kiai Raga Tunggal nampak berjaga-jaga. Tetapi kesiagaan itu tidak
nampak terlampau menyolok dibanding dengan padepokan Tambak Wedi.
Ketika iring-iringan prajurit
Pajang dari Jati Anom itu sudah berada di luar padukuhan itu, maka pemimpin
prajurit itu pun berkata, “Kiai Raga Tunggal bukan lawan Kiai Kelasa Sawit,
jika mereka terlibat dalam persaingan yang kasar.”
“Kita tidak dapat mengatakan
demikian secara pribadi. Mungkin Kiai Raga Tunggal memiliki kelebihan dari Kiai
Kelasa Sawit. Tetapi secara keseluruhan, Kiai Raga Tunggal tidak akan banyak
berarti.”
Pemimpin prajurit itu pun
mengangguk-angguk. Namun ia tidak banyak memberikan tanggapan atas kedua daerah
itu. Katanya kemudian, “Jika kawan-kawan kita yang pergi ke padukuhan-padukuhan
lain dan sarang-sarang penjahat yang ada di sekitar daerah ini telah berkumpul,
kita akan dapat memperbandingkannya.”
Demikianlah, maka sekelompok
kecil prajurit-prajurit itu pun langsung kembali ke Jati Anom. Di hari
berikutnya, mereka akan mulai dengan pencarian langsung di sekitar Jati Anom
dan terutama di lereng selatan Gunung Merapi.
Ketika kelompok-kelompok
prajurit itu sudah berada kembali di Jati Anom, maka satu demi satu mereka
menyampaikan laporan kepada Untara, tentang perjalanan masing-masing. Mereka
telah memerintahkan setiap kelompok orang-orang yang mendapat pengawasan dari
prajurit-prajurit Pajang, untuk ikut mencari seorang anak muda yang bernama
Rudita. Namun sampai saat itu, tidak ada sekelompok pun yang sudah pernah
bertemu atau mendengar tentang seorang anak muda yang bernama Rudita itu.
Agaknya di antara mereka,
laporan yang paling menarik adalah tentang Kiai Kelasa Sawit di padepokan
Tambak Wedi. Bahkan Untara minta laporan terperinci tentang orang-orang yang
ada di padepokan itu.
“Mereka tidak akan lama berada
di padepokan itu,” berkata Untara.
“Darimana Ki Untara
mengetahuinya?” bertanya pemimpin prajurit yang telah datang langsung ke
padepokan itu.
“Kau tidak menceritakan usaha
mereka memperbaiki padepokan yang rusak itu. Pintu gerbang, pendapa dan apalagi
beberapa rumah yang lain.”
“Ya. Memang tidak ada usaha
untuk memperbaikinya. Bahkan membersihkan pun tidak.”
“Dengan demikian, kita dapat
mengambil kesimpulan, bahwa mereka hanya singgah saja untuk beberapa saat.
Mungkin sekelompok kecil akan tetap berada di tempat itu. Tetapi menurut
perhitunganku, sesuai dengan laporanmu, mereka tidak akan tinggal lama. Tetapi
yang sebentar itu agaknya mempunyai arti yang penting, ternyata mereka
menempatkan penjagaan yang sangat kuat.”
“Ya. Agaknya memang demikian.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Lalu, “Kita akan mengadakan pengamatan khusus di daerah itu. Kita
tidak boleh lengah, sehingga akan dapat merugikan kita sendiri, Jika ada
pertimbangan lain, mereka tiba-tiba menyergap kita di situ, kita harus bersiaga
menanggulanginya.”
“Tetapi apa alasan mereka?”
Untara menggelengkan
kepalanya. Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak dapat
mengatakannya. Tetapi kemungkinan serupa itu dapat saja terjadi. Kita pun tidak
dapat mengetahui, alasan apakah yang membuat mereka bersiaga dengan kekuatan
yang besar di padepokan terpencil itu.”
Pemimpin prajurit yang datang
ke Padepokan Tambak Wedi itu pun mengangguk. Katanya, “Memang kita tidak
mengetahuinya.”
“Baiklah,” berkata Untara,
“dalam usaha kita membantu Kiai Gringsing mencari anak muda yang bernama Rudita
itu, kita pun ternyata mendapat gambaran tentang keadaan kita sekarang. Jika
kita tidak sedang mencari Rudita, mungkin kita tidak akan tersesat sampai ke
Tambak Wedi,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Sekarang kalian dapat beristirahat.
Besok kalian akan mulai dengan pencarian yang sesungguhnya. Kalian akan
mengelilingi lereng Gunung Merapi sebelah selatan dan timur. Namun selain itu,
aku akan menempatkan pengawasan yang tertib, di jalur jalan khusus menuju ke
daerah yang gawat itu.”
“Pengawas kita yang pertama
adalah Kiai Raga Tunggal,” berkata pemimpin prajurit itu.
Untara mengangguk-angguk.
Bahkan kemudian ia pun berkata, “Apakah kesiagaan Kiai Kelasa Sawit itu ada
hubungannya dengan persaingan di antara mereka? Mungkin Kelasa Sawit yang
merasa orang baru dibayangi oleh kecurigaan, bahwa ia akan diserang, bahkan
dimusnahkan oleh kelompok-kelompok yang telah ada lebih dahulu di daerah Gunung
Merapi ini.”
“Mungkin demikian. Tetapi
memang ada kemungkinan yang lain.”
“Karena itu, kita memang harus
berhati-hati. Aturlah orang-orangmu sebaik-baiknya, baik dalam usaha pencarian
itu, maupun dalam kesiagaan.”
Demikianlah, maka para
kelompok prajurit itu pun segera beristirahat, meskipun di antara mereka masih
saja terdengar pembicaraan mengenai daerah-daerah yang baru saja mereka jalani.
Di pagi harinya,
kelompok-kelompok itu pun sudah siap untuk mulai dengan pencarian di lereng
Gunung Merapi. Para pemimpinnya pun segera menghadap Ki Untara untuk mendapat
perintah dan petunjuk-petunjuk.
”Kita tidak tahu, dimanakah
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya bermalam. Kita pun tidak tahu, apakah mereka
sudah menemukan jejak anak muda yang mereka cari. Tetapi, selama kita belum
menerima laporan, maka kita menganggap bahwa kita masih harus melakukan tugas
perikemanusiaan ini.”
“Agaknya mereka bertiga belum
berada di tempat yang jauh,” berkata salah seorang pemimpin kelompok, “Agaknya
mereka mencoba mencari dengan teliti. Setiap orang yang mereka jumpai, mereka
tanya tentang anak muda itu.”
Ki Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Orang-orang tua memang bekerja dengan teliti, meskipun kadang
lamban.”
Namun demikian, Untara sendiri
tidak yakin akan kata-katanya. Dalam beberapa hal, justru Kiai Gringsing dapat
bertindak lebih cepat dari para senapati muda.
Setelah mendapat pesan
secukupnya, maka Ki Untara pun segera melepaskan beberapa kelompok untuk
membantu Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, mencari anak muda yang
bernama Rudita itu.
Meskipun demikian, ada sedikit
pertanyaan yang menyangkut di hati senapati muda itu. Jika yang dicari adalah
Rudita yang sudah dewasa, apalagi yang dengan sengaja pergi meninggalkan
rumahnya, apakah dapat dilakukan hanya oleh tiga orang yang pergi bersama-sama.
Seandainya prajurit-prajurit Pajang tidak menawarkan diri ikut serta
mencarinya, apakah anak muda yang bernama Rudita itu akan dapat diketemukan
dalam waktu sebulan bahkan tiga atau empat bulan?
Tetapi Untara tidak menanyakan
kepada Kiai Gringsing atau Ki Sumangkar dan apalagi Ki Waskita. Di samping
pertanyaan yang terselip di hatinya itu, ia menduga bahwa ketiga orang-orang
tua itu tentu mempunyai caranya sendiri, yang tidak diketahui oleh orang lain.
Namun sebenarnyalah, bahwa
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, bukan saja sekedar mencari Rudita,
tetapi sekaligus mereka mencari kemungkinan untuk dapat mendengar,
terlebih-lebih menemukan jejak kedua pusaka yang telah hilang. Jika yang sebuah
telah dapat diketahui arahnya, maka mereka ingin menemukan jejak pusaka yang
sebuah lagi, yaitu berujud tombak.
Ketika para prajurit Pajang
berangkat dari Jati Anom di pagi-pagi hari, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar
dan Ki Waskita telah bersiap-siap pula untuk melanjutkan perjalanan. Mereka
telah bermalam di ujung sebuah hutan yang rindang. Agaknya ketiganya tidak
mengalami kesulitan dan gangguan apa pun, selagi mereka bermalam di tempat
terbuka. Sebagai orang-orang tua yang memiliki pengalaman masing-masing, yang
serba beraneka ragam, maka tidur di tempat terbuka, di ujung hutan, sama sekali
tidak merupakan persoalan bagi mereka. Juga seandainya ada seekor, bahkan tiga
ekor harimau sekaligus datang mendekati atau menyerang mereka bertiga, maka hal
itu tidak banyak membuat kesulitan apa pun.
“Apakah Ki Waskita dapat
membuat hubungan atau melihat isyarat tentang anak itu?” bertanya Kiai
Gringsing.
Ki Waskita menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Sudah bergeser dari yang aku lihat kemarin sore. Agaknya
malam ini Rudita melanjutkan perjalanannya. Tidak terlampau jauh. Tetapi kita
agaknya sudah berada di arah yang mendekati. Mungkin ia bergeser lagi, tetapi
tidak akan begitu jauh.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian, maka kita akan segera
mengikutinya. Mungkin kita akan segera dapat menemukannya. Besok atau lusa.”
“Mudah-mudahan,” berkata Ki
Waskita, “semakin cepat kita selesai, semakin baik. Ki Demang di Sangkal Putung
tidak selalu dibayangi oleh kegelisahan menjelang hari perkawinan anaknya.
Agung Sedayu pun tidak akan terlalu lama merasa kesepian.”
“Apalagi jika kakaknya datang
ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi sikap Untara dapat
dimengerti,” berkata Ki Sumangkar, “Agung Sedayu adalah adiknya. Dan ia ingin
melihat adiknya menjadi seorang yang terpandang. Di Sangkal Putung, Agung
Sedayu seolah-olah hanya orang menumpang hidup.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pun dapat mengerti. Aku juga merasa prihatin
akan hal itu. Aku tidak akan dapat membawa Agung Sedayu dalam keadaannya
seperti sekarang,” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi aku pun belum
melihat jalan keluar bagi Angger Untara, kedudukan yang baik bagi adiknya
adalah kedudukan yang mapan dalam pemerintahan. Angger Untara tidak dapat
membayangkan, bahwa pada kedudukan yang lain pun, Agung Sedayu akan dapat
menemukan tempat yang sesuai dengan dirinya, wataknya dan sifat-sifatnya. Tidak
usah menjadi seorang dukun seperti aku.”
“Mungkin sebuah padepokan
kecil, yang dikelilingi oleh sawah yang hijau,” sahut Ki Sumangkar, “Apakah kau
membayangkan bahwa Agung Sedayu harus membuka hutan seperti angger Sutawijaya?
Tetapi dalam bentuk yang lebih kecil?”
“Kenapa tidak dapat terjadi?
Agung Sedayu dapat menjadi cikal bakal sebuah padepokan. Ia akan dapat memohon
kepada Kangjeng Sultan, lewat angger Untara, sudut kecil dari Alas Tambak Baya.
Atau hutan yang manapun juga.”
“Apakah hal itu akan sesuai
dengan Agung Sedayu?”
“Ia seorang yang pada masa
kanak-kanaknya hidup dalam lingkungan keluarga yang mengerjakan tanah garapan.”
“Ki Sadewa?” Ki Sumangkar
menjadi heran.
“Ya. Di Jati Anom Ki Sadewa
adalah seorang yang tekun mengerjakan sawahnya.”
“Apakah ada kejanggalan, Ki
Sumangkar?” bertanya Ki Waskita.
“Tidak,” Ki Sumangkar
menggelengkan kepalanya. “Tetapi Ki Sadewa mempunyai banyak persoalan di dalam
dirinya.”
Ki Waskita tidak bertanya
lebih jauh. Ia mengerti, bahwa Kiai Gringsing pun telah digelisahkan oleh
muridnya yang satu itu, dalam hubungan masa depannya. Apalagi jika
sekali-sekali Kiai Gringsing menyebut-nyebut tentang Sekar Mirah, yang
mempunyai harapan yang terlampau banyak. Dan Sumangkar, guru Sekar Mirah itu
pun mengetahuinya dengan pasti. Ia sudah berusaha untuk mengendapkannya. Tetapi
usaha itu tidak terlalu banyak membawa hasil.
Demikianlah, sambil berbicara
tentang murid-murid mereka, maka ketiga orang itu pun telah bersiap untuk
meneruskan perjalanan. Mereka mulai dengan tuntunan isyarat yang ada pada Ki
Waskita.
Ternyata yang mereka lewati
bukanlah jalan yang licin dan rata, tetapi mereka menempuh jalan-jalan sempit
dan kecil, yang agaknya jarang dilalui orang. Meskipun demikian, jika pada
suatu saat mereka sampai di padukuhan-padukuhan kecil, mereka pun selalu
bertanya, apakah di padukuhan itu pernah lewat seorang anak muda, bernama
Rudita.
Hampir setiap orang yang
ditanyainya menggelengkan kepalanya. Ada yang justru menjadi curiga, dan sama
sekali tidak mau memberikan keterangan apa pun juga.
“Memang sulit,” berkata Ki
Waskita, “mungkin mereka menganggap kita adalah sebagian dari orang-orang yang
sering datang mengganggu mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Jumlah prajurit Pajang yang terbatas, sulit untuk
menguasai seluruh daerah yang luas, dan apalagi daerah-daerah terpencil seperti
ini. Tetapi nampaknya daerah ini pun telah mendapat perhatian Untara. Kita
melihat beberapa orang anak muda yang berkumpul di gardu-gardu. Apakah
anak-anak muda itu sudah pernah mendapat setidak-tidaknya petunjuk dari
prajurit-prajurit Pajang?”
“Mungkin, Kiai, memang mungkin
sekali. Sikap mereka pun agaknya sudah lain dari daerah yang nampaknya sama
sekali belum pernah mendapat sentuhan dari prajurit-prajurit Pajang itu.”
Tetapi ketiga orang tua itu
sama sekali tidak berbuat apa pun juga, yang dapat menumbuhkan kecurigaan yang
tajam. Orang-orang tua itu hanya lewat, dan sekali-sekali bertanya tentang
seorang anak muda yang disebutnya telah hilang.
Namun dalam pada itu, di
padukuhan yang lain, beberapa ekor kuda telah berderap dengan garangnya.
Beberapa orang prajurit kadang-kadang berloncatan turun dan bertanya kepada
orang-orang di padukuhan itu, apakah mereka menjumpai seorang anak muda yang
bernama Rudita.
Pada umumnya kedatangan prajurit
Pajang mendatangkan ketenangan di hati penduduknya. Karena itu, maka dengan
senang hati mereka pun memberikan semua keterangan yang diminta.
Tetapi mereka pun
menggelengkan kepalanya, ketika prajurit-prajurit itu bertanya tentang seorang
anak muda, yang bernama Rudita.
“Baru saja tiga orang tua
telah lewat di padukuhan ini, dan bertanya pula tentang anak muda yang bernama
Rudita,” berkata salah seorang dari penghuni padukuhan itu.
“O,” pemimpin prajurit itu
mengangguk-angguk, “salah seorang dari ketiganya adalah ayah dari anak yang
hilang itu.”
Penghuni padukuhan itu
mengangguk-anggukkan kepala. Ada di antara mereka yang menyesal, bahwa mereka
tidak berusaha memberikan keterangan sebanyak-banyaknya yang dapat
diberikannya. Bahkan rasa-rasanya ada keseganan untuk mengatakan sesuatu.
“Ke arah manakah ketiga orang
itu pergi?” bertanya pemimpin prajurit itu.
“Ke sana. Mereka pergi ke
selatan.”
“Terima kasih,” sahut pemimpin
prajurit itu, yang kemudian segera minta diri kepada orang-orang yang telah
menerima mereka dengan baik.
Demikian mereka meninggalkan
padukuhan itu, maka pemimpin prajurit itu pun berkata, “Kita susul mereka.”
“Apakah ada sesuatu yang akan
kita bicarakan?”
“Tidak. Tetapi rasa-rasanya
aku ingin melihat mereka, dan sekedar mempertunjukkan diri, bahwa kita pun
sudah membantu mereka mencari anak yang hilang itu. Dengan demikian, maka
mereka akan menjadi agak lebih tenang dan mantap.”
Prajurit-prajurit yang lain
hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak ada keberatan apa pun bagi mereka
untuk menyusul perjalanan Kiai Gringsing dan kedua kawannya, karena mereka pun
sedang menempuh perjalanan tanpa tujuan.
Setelah mereka melalui
beberapa padukuhan dan bertanya kepada beberapa orang yang mereka temui, bukan
saja tentang anak muda yang bernama Rudita, tetapi juga arah perjalanan Kiai
Gringsing dan kawannya, maka akhirnya mereka pun berhasil menyusul ketiga orang
tua itu.
“O,” Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, ketika ia berpaling oleh suara derap kaki kuda. “ada
sekelompok prajurit yang menyusul kita.”
“Apakah mereka sudah menemukan
Rudita?” desis Ki Waskita yang gelisah.
“Mungkin mereka pun sedang
dalam perjalanan pencarian,” sahut Sumangkar.
Ketiganya pun terdiam. Mereka
menunggu sekelompok prajurit itu lewat.
Ketika prajurit-prajurit itu
sampai ke hadapan ketiga orang-orang tua itu, maka pemimpinnya pun segera
memberikan isyarat, sehingga sekelompok prajurit itu pun segera berhenti dan
meloncat turun.
“Selamat siang, Kiai,” sapa
pemimpin prajurit itu. Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun tersenyum. Sambil
membungkukkan kepalanya, Kiai Gringsing menyahut, “Selamat siang, Ki Sanak. Eh,
apakah prajurit-prajurit Pajang yang dengan senang hati telah menolong kami,
sudah dapat menemukan Rudita?”
“Maaf, Kiai. Kami belum menemukannya.
Perjalanan kami sekarang ini pun adalah dalam rangka pencarian itu.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Dugaannya ternyata tepat sekali.
Kiai Gringsing pun
mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Kita akan berusaha bersama. Tetapi
agaknya kalian dapat menempuh perjalanan yang lebih panjang, karena kalian
berkuda. Tetapi kami dapat menempuh jalan yang lebih rumit. Lorong-lorong kecil
dan bahkan goa-goa di lereng-lereng yang terjal.”
“Ya, mudah-mudahan dengan
demikian kita dapat menemukannya. Ada beberapa kelompok yang hari ini menyebar
di daerah selatan dan timur Gunung Merapi. Kemarin aku mendapat tugas untuk
menjumpai dua kelompok yang berpengaruh di daerah Sebelah timur Gunung Merapi.”
Ketiga orang tua itu
mengangguk-angguk.
“Kelompok yang satu sudah
banyak kami kenal, dan bahkan sudah kami pahami dengan baik. Tetapi kelompok
yang lain merupakan kelompok yang baru kita kenal. Mereka berada di padepokan
Tambak Wedi.”
“O,” Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-angguk semakin dalam.
“Siapakah yang berada di
padepokan itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Pemimpin prajurit itu pun
kemudian menceritakan serba sedikit tentang orang yang menyebut dirinya Kiai
Kelasa Sawit, di padepokan Tambak Wedi.
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya hanya mengangguk-angguk saja mendengar cerita itu. Meskipun kesiagaan
yang berlebih-lebihan itu juga menarik perhatiannya, tetapi sebagian besar dari
persoalan yang dapat tumbuh, tentu akan dapat diatasi dengan baik oleh Untara
dengan pasukannya yang kuat di Jati Anom.
Tetapi justru bagian yang
tidak penting, yang dikatakan oleh pemimpin prajurit itu sambil lalu saja,
sangat menarik perhatian ketiga orang-orang tua itu.
“Kiai Kelasa Sawit nampaknya
memang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Ujud lahiriahnya saja sudah
memberikan kesan, bahwa ia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lukisan seekor
kelelawar di dadanya, ia nampaknya menjadi lebih garang lagi.”
“Kelelawar?” hampir bersamaan
ketiga orang tua itu mengulang.
“Ya, kelelawar. Mengapa?”
Wajah-wajah itu menjadi tegang
sejenak. Namun ketiganya pun segera dapat menghapus kesan itu dari wajah
mereka. Tanpa menimbulkan kecurigaan, Ki Sumangkar bertanya, “Kelelawar atau
binatang yang lain? Ada beberapa ekor binatang yang hampir bersamaan. Kelelawar,
codot, kalong.”
Pemimpin prajurit itu tertawa.
Katanya, “Aku tidak dapat membedakan ketiga-tiganya di dalam lukisan. Bukankah
bedanya hanyalah besar dan kecil saja. Mungkin warnanya yang satu agak coklat,
sedang yang lain kehitam-hitaman.
Betapapun hambarnya, namun
Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun tertawa juga. Ki Sumangkar pun berkata
disela-sela tertawanya, “Kalian benar. Memang hampir tidak ada bedanya. Apalagi
dalam lukisan yang terpahat di tubuh seseorang,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi,
apakah semua orang di dalam kelompok itu memakai ciri gambar kelelawar atau
hanya terdapat pada Kiai Kelasa Sawit saja?”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Kemudian jawabnya, “Yang aku ketahui adalah pada Kiai Kelasa Sawit,”
ia mengingat sejenak. Lalu, “Tetapi agaknya tidak pada setiap orang. Aku dan
barangkali kawan-kawanku tidak melihat pada orang lain.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Tetapi ia agak terkejut ketika pemimpin prajurit itu
bertanya, “Apakah lukisan itu menarik perhatian kalian?”
“O, tidak. Tidak,” sahut Ki
Sumangkar, “yang menarik adalah justru Kiai Kelasa Sawit, yang sekarang tinggal
di padepokan Tambak Wedi itu.”
“Ya. Memang menarik sekali.
Tetapi Ki Untara sudah mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengatasinya,
jika ada maksud tertentu dari penghuni padepokan yang nampaknya cukup kuat
itu.”
“Syukurlah,” desis Kiai
Gringsing, “dan agaknya kami percaya bahwa Ki Untara akan dapat mengatasi
setiap persoalan yang timbul.”
“Mudah-mudahan,” jawab
pemimpin kelompok itu. Lalu, “Nah, baiklah, Kiai. Biarlah kami meneruskan usaha
kami untuk hari ini. Agaknya Rudita tidak tersesat ke daerah para penjahat,
karena menurut pertimbangan kami, semua sarang orang-orang yang pantas
dicurigai, sudah didatangi. Tetapi tidak ada di antara mereka yang mengetahui
tentang anak muda yang bernama Rudita itu. Karena itu, di hari kedua ini, kami
harus mencari di sepanjang padukuhan.”
“Terima kasih. Terima kasih.
Silahkan berjalan dahulu. Kami akan mencari di tempat-tempat yang terpencil.”
Prajurit-prajurit itu pun
kemudian meloncat ke punggung kudanya, dan sejenak kemudian mereka pun telah
meninggalkan ketiga orang-orang tua yang termangu-mangu di tempatnya, sambil
meninggalkan pesan, “Kami telah memerintahkan semua orang yang kami curigai,
untuk mencari Rudita. Mungkin pada suatu saat, Kiai akan bertemu dengan
kelompok-kelompok mereka. Jika demikian, maka sebaiknya Kiai berterus terang,
siapakah Kiai bertiga itu. Salah seorang dari kalian bertiga adalah ayah dari
anak yang hilang itu.”
Kiai Gringsing tidak sempat
menjawab. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun menjadi semakin menjauh,
meninggalkan hamburan debu putih yang segera hanyut ditiup oleh angin di lereng
pegunungan.
“Jadi orang-orang yang
disebutkannya sebagai orang-orang yang dicurigai itu siapa?” bertanya Ki
Waskita.
“Agaknya kelompok-kelompok
penjahat-penjahat kecil yang ada di lereng Gunung Merapi,” jawab Kiai
Gringsing.
“Penjahat-penjahat kecil
saja?” potong Ki Sumangkar, “Apakah orang yang disebut Kiai Raga Tunggal, Kiai
Kelasa Sawit dan sebagainya itu juga penjahat kecil?”
“Secara pribadi, aku tidak
dapat mengatakan dengan pasti. Mungkin Kiai Raga Tunggal, Kiai Kelasa Sawit
adalah orang-orang yang memeliki kelebihan. Tetapi apa yang mereka lakukan di
daerah ini tidak banyak menumbuhkan persoalan pada Untara. Sudah tentu, angger
Untara pun tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka itu di
tempat-tempat yang jauh.”
Kedua kawan-kawannya pun
mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat, bahwa di daerah lereng Gunung
Merapi, orang-orang itu tidak akan berbuat banyak.
“Apalagi kini, anak-anak muda
di padukuhan-padukuhan di lereng Gunung Merapi ini sudah mulai bangun. Angger
Untara telah mengirimkan beberapa orang prajurit khusus untuk melatih anak-anak
muda di padukuhan-padukuhan, untuk kemudian menjaga padukuhan masing-masing
dari gangguan penjahat-penjahat kecil itu.”
“Apakah anak-anak muda itu
mampu melakukannya?”
“Mereka berada di bawah
perlindungan prajurit Pajang. Sudah barang tentu, jika terjadi sesuatu atas
mereka, maka prajurit-prajurit Pajang pun akan bertindak.”
“Apakah dengan demikian
berarti, bahwa kejahatan yang kemudian terjadi adalah kejahatan-kejahatan kecil
yang dilakukan di luar pengawasan? Maksudku, pencurian di malam hari atau di
saat-saat tidak diketahui oleh siapapun.”
“Hampir serupa itu. Sedang di
beberapa waktu yang lalu, kadang-kadang masih juga terdapat perampokan
kecil-kecilan. Namun setiap kali mereka harus menghapuskan jejak, dari kelompok
manakah mereka yang telah melakukan hal itu, agar Untara tidak dapat langsung
menangkap mereka atau pemimpin kelompoknya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar berdesis, seolah-olah kepada
dirinya sendiri, “Tetapi bagaimana dengan orang yang di tubuhnya terlukis tanda
yang sangat menarik perhatian itu?”
“Memang hal itu perlu mendapat
perhatian khusus,” berkata Kiai Gringsing, “Setelah kita menemukan Rudita, maka
kita akan menyelidiki padepokan yang kini telah dipergunakan lagi oleh
sekelompok orang-orang yang belum banyak diketahui kegiatannya. Tetapi
mempergunakan ciri yang sangat menarik.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Dengan suara yang ragu-ragu ia berkata, “Kiai. Persoalan itu agaknya
cukup penting bagi kita dan terutama bagi Mataram. Menurut pertimbanganku,
Rudita berada di tempat yang aman. Ia masih dapat bergeser dari satu tempat ke
tempat yang lain. Apalagi menurut keterangan para prajurit, ia tidak ada di
tangan penjahat yang ada di sekitar tempat ini.”
Kiai Gringsing merenungi
kata-kata itu sejenak. Ketika ia memandang Ki Sumangkar, nampaknya Ki Sumangkar
pun sedang memikirkannya.
Namun kemudian Kiai Gringsing
itu pun berkata, “Ki Waskita. Memang ada dua pilihan yang dapat kita
pertimbangkan. Tetapi menurut pendapatku, aku masih condong kepada menemukan
angger Rudita lebih dahulu. Peristiwa yang dapat terjadi atasnya sama sekali
tidak dapat diperhitungkan. Justru di daerah yang asing dan tidak berketentuan
ini.”
Sebelum Ki Waskita menjawab,
Ki Sumangkar pun telah menyambung, “Kita berusaha untuk secepatnya menemukan
angger Rudita. Kemudian kita akan melihat, apakah kelelawar itu serupa dengan
kelelawar yang kita lihat pada perak hitam yang ditinggalkan oleh orang-orang
yang mencuri pusaka itu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk
sambil berkata, “Terima kasih, Kiai. Dengan demikian aku merasa, bahwa Kiai
berdua adalah orang yang sangat baik kepadaku dan anakku. Aku tidak akan dapat
membalas kebaikan itu dengan cara apa pun juga. Karena itu, yang dapat aku
lakukan adalah memohon kepada Tuhan, agar kebaikan Kiai berdua mendapat imbalan
sepantasnya.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkai tersenyum.
“Ki Waskita,” berkata Kiai
Gringsing, “Ki Waskita memang seorang yang rendah hati. Tetapi baiklah, memang
semuanya yang terjadi harus kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun
marilah kita berusaha, karena usaha adalah merupakan suatu kewajiban bagi
kita.”
Dan Ki Sumangkar pun
menyambung, “Dengan demikian, maka Ki Waskita pun harus berusaha membalas
kebaikan budi kami berdua.”
“Ah,” Ki Waskita tertawa. Dan
kedua orang kawannya pun tertawa pula.
Namun tiba-tiba saja suara
tertawa mereka terhenti. Telinga mereka yang tajam telah menangkap derap kaki
kuda di kejauhan, namun agaknya sedang menuju ke tempat mereka.
“Mungkin mereka adalah
kelompok orang-orang yang menurut istilah prajurit-prajurit Pajang, sedang
dicurigai atau dalam pengawasan itu,” desis Ki Waskita.
“Jika demikian, kita harus
mengaku, bahwa kita pun sedang mencari Rudita,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku malas bertemu dengan
mereka,” berkata Ki Sumangkar, “pertanyaan mereka tentu akan berkepanjangan.
Bahkan mungkin menyakiti hati, meskipun mereka tidak akan berani mengganggu
kita, karena kita berada di dalam perlindungan para prajurit.”
“Jadi?”
“Kita bersembunyi saja.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
pun berpandangan sejenak. Namun mereka berdua hampir bersamaan menganggukkan
kepalanya.
Karena derap kaki kuda itu
terdengar semakin dekat, maka mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa
berloncatan ke balik gerumbul di pinggir jalan yang mereka lalui. Masing-masing
berusaha untuk menguncupkan tubuhnya, agar orang-orang berkuda yang akan lewat,
tidak dapat melihat mereka.
Sejenak kemudian, beberapa
ekor kuda muncul dari balik tikungan. Menilik pakaian penunggangnya, maka
mereka memang termasuk orang-orang yang berada di dalam pengawasan prajurit
Pajang. Namun Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun sadar, bahwa pakaian dan
bentuk yang nampak pada wujud lahiriah, belum merupakan kepastian.
Beberapa ekor kuda itu berlari
perlahan-lahan saja di jalan yang berdebu. Seseorang yang agaknya menjadi
pemimpin di antara mereka, berkuda di paling depan sambil membawa sebuah
senjata yang mendebarkan. Sebuah bindi, tetapi seolah-olah bergerigi. Di
belakangnya, seorang yang sudah melampaui pertengahan abad. Rambut yang berjuntai
di bawah ikat kepalanya sudah nampak keputih-putihan. Tetapi wajahnya masih
nampak keras dan garang. Di tangannya tergenggam sebuah canggah bertangkai
pendek. Di belakangnya, berurutan beberapa orang dengan senjata masing-masing.
“Tugas kita kali ini adalah
tugas yang paling gila,” desis orang yang berada di paling depan.
“Kita kembali saja ke
padepokan,” sahut orang yang berada di belakangnya.
Yang berkuda di paling depan
tidak menyahut. Tetapi seorang yang berada di belakang berkata lantang,
“Prajurit-prajurit Pajang memang sudah gila. Jika kita menemukan anak yang
mengguncangkan seluruh lereng Merapi itu, kita cekik saja sampai mati. Kemudian
kita lemparkan saja ke dalam jurang. Tidak ada orang yang akan mengetahuinya.”
“Kita diberi waktu sepuluh hari.
Jika yang sepuluh hari itu lewat, dan anak itu tidak diketemukan, mungkin akan
terjadi sesuatu di lereng gunung ini. Karena itu, kita tidak akan dapat berbuat
seperti yang kau katakan,” jawab orang yang berkuda di paling depan.
“Untara tidak akan berbuat
seperti yang dikatakan oleh prajurit-prajurit itu. Mereka sekedar
menakut-nakuti kita, agar kita mau ikut serta mencarinya.”
“Lebih baik kita tidak mencari
persoalan. Kehadiran iblis di padepokan Tambak Wedi itu sudah merupakan
persoalan bagi kita. Karena itu, lebih baik kita menjauhi kesulitan yang dapat
timbul dengan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Dan pemimpin kelompok itu berkata terus, “Kita sedang mencari
hubungan dengan kelompok yang lain untuk menghadapi iblis-iblis di Tambak
Wedi.”
Agaknya mereka masih
meneruskan percakapan itu, tetapi kata-kata mereka sudah tidak begitu jelas
lagi.
Ketiga orang yang bersembunyi
di balik gerumbul itu pun kemudian merangkak keluar. Sambi mengangguk-anggukkan
kepalanya, Kiai Gringsing berkata, “Kita telah mendengar serba sedikit apa yang
akan terjadi di lereng Gunung Merapi.”
Ki Waskita memandang arah
sekelompok orang berkuda itu menghilang. Katanya, “Kita tidak tahu siapakah
mereka itu. Tetapi yang pasti, ada pertentangan di antara kelompok-kelompok itu
di lereng Merapi. Yang agaknya harus berdiri sendiri menghadapi beberapa
kelompok yang akan bergabung, adalah Kiai Kelasa Sawit, yang dikatakan
mempunyai ciri seekor kelelawar yang terlukis di dadanya.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Namun Kiai Gringsing berkata, “Kita belum tahu, siapakah Kiai Kelasa Sawit itu.
Tetapi jika terjadi sesuatu atasnya, maka kita akan kehilangan salah satu
kemungkinan untuk menemukan jejak sekelompok orang yang mempunyai ciri seekor
kelelawar. Meskipun mungkin juga kelelawar di dada Kiai Kelasa Sawit itu, tidak
ada hubungannya sama sekali dengan pahatan kelelawar pada kepingan perak bakar
itu.”
“Tetapi aku rasa, hal itu
masih perlu diyakini. Kita sebaiknya memerlukan sekedar waktu untuk melihat
kemungkinan itu,” berkata Ki Sumangkar, “Namun kita pun mengetahuinya, bahwa
tugas itu adalah tugas yang sangat berbahaya.”
Ki Waskita mengangguk-angguk
kecil. Lalu katanya, “Aku ingin menawarkan sekali lagi. Apakah kita akan
mencari Rudita, atau melihat kemungkinan yang ada di padepokan Tambak Wedi?”
“Ah, aku tetap pada
pendirianku, Ki Waskita. Kita berusaha menemukan Rudita lebih dahulu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk
sambil bergumam, “Terima kasih atas kesempatan pertama itu.”
“Marilah, kita meneruskan
perjalanan ini. Kita akan berusaha secepatnya menemukan anak itu.”
Demikianlah, ketiga orang itu
pun meneruskan perjalanan mereka. Tetapi mereka tidak menyusuri jalan itu lagi.
Mereka memotong lewat jalan-jalan kecil dan sempit. Bahkan jalan-jalan terjal
dan sulit.
“Kita akan menempuh arah ini
seterusnya,” berkata Ki Waskita, “aku mempunyai isyarat yang kuat, bahwa kita
akan segera menemukan.”
Namun wajah Ki Waskita
tiba-tiba menjadi tegang. Lalu katanya, “Ada sesuatu yang agaknya terjadi.”
“Apa maksud Ki Waskita?”
bertanya Ki Sumangkar.
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Tanpa disadarinya ia meraba dadanya yang agaknya sedang bergejolak.
“Ada sesuatu yang terjadi dengan Rudita, Kiai.”
Kiai Gringsing pun mengerutkan
keningnya sambil berkata, “Kita akan mempercepat perjalanan ini. Marilah.
Bukankah kita masih dapat berlari-lari di lereng bukit ini.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
menggangguk-angguk. Sejenak mereka memandang jalan sempit di hadapan mereka.
“Marilah,” berkata Ki Waskita,
“kita menempuh jalan ini.”
Demikianlah, ketiga orang itu
pun berjalan semakin cepat. Bahkan kadang-kadang mereka berlari-lari kecil
mengikuti Ki Waskita yang berada di paling depan.
“Kita sudah tidak terlalu jauh
lagi,” berkata Ki Waskita, “Mudah-mudahan hari ini kita dapat menemukannya.”
Dalam pada itu, Rudita yang
sedang dicari oleh ayahnya bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu, memang
benar-benar ingin pergi ke Sangkal Putung. Tetapi ia lebih senang berjalan di
sepanjang lereng Gunung sambil memperdalam ilmunya. Di tempat-tempat yang sepi,
ia berhenti untuk satu dua hari, sehingga perjalanannya memang menjadi terlalu
lama.
Namun dengan demikian, maka
wujud lahiriahnya pun menjadi semakin lama semakin kusut. Jika semula Rudita
adalah seorang anak muda yang bersih dan rapi, kini ia tidak lebih dari seorang
yang berpakaian kumal dan sobek di sana-sini.
Kadang-kadang Rudita sendiri
menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan dapat dikenal oleh Swandaru dan Agung Sedayu.
Tetapi ia yakin, bahwa kedua anak-anak muda itu tidak akan melupakannya.
Keduanya bukan anak-anak muda yang sombong, yang hanya mau berkenalan dengan
orang-orang tertentu saja.
“Meskipun aku berpakaian
compang-camping seperti pengemis, jika keduanya benar-benar tidak lupa
kepadaku, aku tentu akan diterimanya dengan baik.”
Tetapi akibat lain yang
terjadi atas Rudita, semula sama sekali tidak diduganya. Jika sekali-sekali ia
berpapasan dengan beberapa orang yang berwajah garang, maka orang-orang itu
sama sekali tidak menghiraukannya. Tetapi ketika ia memasuki sebuah padukuhan
yang nampak agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan yang lain, maka terjadilah
malapetaka itu.
Padukuhan Cangkring yang
dilaluinya itu, nampaknya sudah jauh lebih baik dari padukuhan-padukuhan lain.
Jalan-jalan yang membelah padukuhan yang meskipun tidak begitu besar itu,
nampak bersih dan rapi. Di beberapa sudut terdapat beberapa buah gardu peronda.
Dan di sepanjang sisi jalan, terdapat pagar batu yang tersusun serasi.
Semula Rudita merasa aman
memasuki padukuhan itu, karena ia melihat anak-anak mudanya yang nampak selalu
bersiaga. Bahkan mereka yang berada di sawahpun nampaknya siap untuk melakukan
apa saja bagi kepentingan padukuhannya, karena ternyata di samping alat-alat
persawahan, mereka pun membawa senjata.
Tetapi Rudita mulai
berdebar-debar ketika dua orang anak muda menghampirinya sambil bertanya
garang, “Siapa kau, he?”
Rudita membungkukkan badannya
dalam-dalam. Jawabnya, “Aku Rudita, Ki Sanak.”
Kedua anak-anak muda itu
memandanginya dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Keduanya
memandang setiap bagian tubuhnya, dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Apakah kau pengemis?”
bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.
Rudita menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Bukan, Ki Sanak. Aku bukan pengemis.”
Tetapi agaknya kedua anak-anak
muda itu benar-benar mencurigainya. Maka yang seorang, yang bertubuh tinggi
tegap, mendekatinya sambil bertanya, “Apakah yang kau bawa?”
“Ini adalah bekal yang aku
bawa dari rumah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung. Aku mempunyai dua orang
sahabat yang tinggal di sana.”
“Dimana rumahmu?”
“Di seberang Kali Praga.”
Keduanya nampak menjadi
tegang. Yang seorang, yang lebih kecil bertanya, “Kenapa kau mengambil jalan
ini? Kenapa kau tidak melalui daerah baru yang sudah menjadi semakin baik di
Alas Mentaok? Jalan di daerah itu jauh lebih mudah dilalui daripada daerah
lereng Gunung ini.”
“Aku sengaja ingin
melihat-lihat lereng Gunung Merapi,” jawab Rudita.
Tetapi anak yang bertubuh
tinggi itu pun berkata, “Kau menimbulkan kecurigaan pada kami. Jika kau
menyebut dirimu seorang pengemis, mungkin masih akan dapat aku mengerti, dan
sejauh-jauhnya kau hanya akan kami usir dari padukuhan kami, karena pengemis
hanya akan membuat daerah ini menjadi kotor.”
“Aku bukan pengemis, Ki Sanak.
Tetapi aku adalah seorang perantau. Aku berjalan dari satu tempat ke tempat
yang lain. Aku ingin melihat segi-segi kehidupan yang ternyata mempunyai ragam
warnanya tersendiri.”
Kedua anak muda itu
mengerutkan keningnya. Yang seorang kemudian berkata, “Kata-katamu membuat kami
semakin tidak mengerti. Apakah sebenarnya keuntunganmu dengan melihat apa yang
kau sebut segi-segi kehidupan itu? Apakah kau, di rumahmu, tidak mempunyai
pekerjaan apa pun? Di sawah, misalnya?”
Rudita menggeleng. Katanya,
“Semua pekerjaan di rumahku sudah ada yang mengerjakannya. Aku bebas untuk
melakukan apa pun yang aku senangi, termasuk merantau.”
“Kau membuat kami semakin
curiga. Nah, apakah yang kau bawa di dalam kampilmu itu?”
“O, kantong ini tidak berisi
apa pun yang pantas untuk dipersoalkan. Aku membawa beberapa keping uang untuk
bekal perjalananku, dan seikat rontal yang kadang-kadang aku pergunakan untuk
mengisi waktu di perjalanan. Jika aku lelah dan beristirahat di bawah sebatang
pohon yang rindang di siang hari, aku membaca rontal itu.”
“Uang?” bertanya anak muda
yang bertubuh tinggi.
“Ya.”
“Darimana kau dapatkan uang
itu?”
“Dari rumah. Aku membawa bekal
uang dari rumah.”
Kedua anak-anak muda itu
menjadi semakin curiga. Yang seorang, yang bertubuh lebih kecil itu pun
kemudian berkata, “Perlihatkan kampilmu itu.”
“Apakah ada gunanya?”
“Perlihatkan.”
Rudita menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia pun mengambil kantongnya, yang selalu tergantung
diikat pinggangnya. Diambilnya rontalnya dari kampil itu, dan kemudian
diperlihatkannya kampilnya kepada anak muda itu.
“Kau membawa uang,” desisnya.
“Ya. Semula uang dan beberapa
lembar pakaian. Tetapi pakaianku rusak selembar demi selembar. Ada yang
tertinggal saat gunung ini berguncang. Dan ada yang aku berikan kepada orang
yang memerlukan di sepanjang jalan.”
“O, kau mengigau. Pakaianmu
sendiri compang-camping, kau dapat bersombong diri,” anak muda yang bertubuh
tinggi itu memotong, “tetapi uang yang ada di dalam kantongmu memang menarik
perhatian. Darimana kau dapat?”
“Sudah aku katakan, aku
membawa dari rumah.”
Kedua anak muda itu
berpandangan sejenak. Lalu, “Aku tidak dapat mengerti keteranganmu yang simpang
siur itu. Aku terpaksa membawamu. Daerah ini adalah daerah yang sangat peka
terhadap kejahatan. Kami sedang bangkit melawan setiap usaha mengacaukan
keamanan di padukuhan kami. Dan kau agaknya sangat mencurigakan.”
“Maksudmu?”
“Mungkin kau salah seorang
dari para penjahat yang sedang berusaha menjajagi padukuhan kami.”
“Tidak, Ki Sanak. Aku bukan
orang yang berniat buruk. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa akhirnya aku
akan dituduh berbuat demikian jahatnya.”
“Jangan membantah. Di sini ada
orang-orang yang bertugas menentukan apakah kau bersalah atau tidak.”
“Ki Jagabaya?”
“Tidak perlu. Di sini ada
anak-anak muda, yang sudah menerima beberapa petunjuk dari para prajurit,
bagaimana mengatasi kesulitan yang tumbuh.”
“Jadi, apa yang akan kalian
lakukan?”
“Ikut kami ke banjar padukuhan
ini.”
Rudita menjadi termangu-mangu.
Ketika ia memandang berkeliling, ternyata di sekitarnya sudah mulai berdatangan
beberapa anak muda yang lain. Bahkan seorang di antaranya adalah seorang yang
bukan anak muda lagi, berkumis lebat dan bermata tajam, mendekatinya.
“Siapakah anak ini?” bertanya
orang itu.
“Ia mengaku bernama Rudita,”
jawab salah seorang dari kedua anak muda itu.
Orang berkumis itu memandang
Rudita seperti memandang hantu di siang hari. Perlahan-lahan ia mendekat sambil
berkata, “Kau datang dari kelompok yang mana? Atau barangkali kau salah seorang
anggota kelompok yang baru saja datang di Tambak Wedi?”
Rudita menjadi bingung. Dan ia
berkata sejujur-jujurnya, “Aku tidak mengerti. Aku datang dari seberang Kali
Praga.”
Rudita terkejut ketika
tiba-tiba orang berkumis itu mencengkam bajunya sambil membentak, “Jangan
mencoba menipu kami. Jawab pertanyaanku. Kau datang dari kelompok yang mana?
Atau kau seorang penjahat kecil yang sering mencuri ayam di siang hari?”
“Jangan berprasangka buruk,”
Rudita masih sareh, “aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya sekedar lewat saja di
padukuhan ini, seperti aku lewat di padukuhan-padukuhan lain. Di padukuhan lain
aku tidak pernah mengalami perlakuan seperti ini.”
Orang berkumis itu mengguncang
baju Rudita sambil membentak pula, “Jangan mengajari kami. Padukuhan kami adalah
padukuhan terbaik di seluruh daerah kaki Gunung Merapi. Ki Untara sendiri
pernah datang dan memberikan pujian. Karena itu, mungkin kau dapat lolos di
padukuhan yang lain. Tetapi tidak di sini.”
Rudita menjadi semakin
berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja orang itu mendorongnya sambil melepaskan
bajunya. Katanya, “Bawa anak Ini ke banjar. Kita harus memeriksanya dengan
teliti, ia tentu datang dari salah satu kelompok penjahat. Atau ia sendiri
adalah seorang pencuri ayam,” Orang itu menggeram, “Sayang. Kau masih semuda
itu sudah menjadi seorang pencuri.”
Rudita tidak menjawab. Ia
tahu, bahwa tidak ada gunanya menjawab kata-kata itu.
Karena itu, ketika seseorang
mendorongnya, maka ia pun berjalan saja seperti yang diperintahkan kepadanya.
Sekali-sekali ia mengerling kepada kantongnya yang masih berisi beberapa keping
uang. Namun rontalnya telah ada padanya dan disimpannya di dalam kantong
bajunya di bagian dalam.
Setiap kali Rudita merasa
bahwa punggungnya telah didorong oleh anak-anak muda yang mengikutinya, semakin
lama semakin banyak.
Tetapi Rudita yang sekarang
sudah bukan Rudita yang dahulu. Ia tidak lagi menggigil ketakutan. Kini ia
berjalan dengan tenang, tanpa menunjukkan kegelisahan. Ia menyadari, bahwa jika
terjadi salah paham, maka akibatnya akan menyulitkannya. Namun sejak ia
berangkat dari rumahnya, ia sudah pasrah. Ia merasa bahwa ia selalu berada di
dalam perlindungan Yang Menciptakannya. Jika harus terjadi sesuatu, maka itu
memang sudah seharusnya terjadi, dan ia tidak akan dapat mengingkari lagi.
Tetapi di dalam kesulitan itu, Rudita tidak akan pernah merasa sendiri.
Dengan demikian, Rudita yang
sudah menemukan dirinya di dalam hubungannya dengan Sumbernya, adalah Rudita
yang lain dari Rudita yang selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan
beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu, iring-iringan
yang semakin panjang itu pun akhirnya sampai juga di Banjar padukuhan. Beberapa
orang anak muda segera memerintahkan orang-orang yang tidak berkepentingan
meninggalkan banjar.
“Kalian hanya membuat ribut
saja di sini. Sudahlah. Tinggalkan banjar ini.”
Beberapa kali perintah itu
diteriakkan. Tetapi orang-orang yang berkerumun, terutama anak-anak yang masih
terlampau muda, tidak segera meninggalkan banjar itu. Bahkan seorang anak yang
sedang meningkat menjadi remaja berteriak, “Serahkan kepada kami!”
Anak-anak muda yang
berteriak-teriak menyuruh orang-orang yang tidak berkepentingan pergi itu pun
akhirnya menjadi jemu. Dan mereka tidak lagi berbuat apa-apa, ketika
orang-orang itu justru mendesak maju.
“Serahkan kepada kami!”
anak-anak yang merasa dirinya sudah menjadi seorang anak muda, berteriak-teriak
semakin keras.
Tetapi Rudita pun kemudian
justru dibawa masuk ke dalam banjar, ia didorong ke dalam ruang dalam, agar
selanjutnya tidak terganggu oleh teriakan-teriakan anak-anak remaja yang
meningkat dewasa.
Sekali lagi Rudita harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang serupa saja. Tetapi karena jawab
Rudita masih juga serupa, maka pertanyaan-pertanyaan itu pun diucapkan semakin
lama menjadi semakin keras.
“Kau tahu, di luar ada banyak
sekali anak-anak remaja?”
“Ya, aku tahu,” jawab Rudita
dengan tatag.
“Kau tahu akibatnya, jika kau
aku lemparkan kepada mereka itu?”
“Ya, aku tahu.”
“Nah, sekarang jawab
pertanyaanku. Dari kelompok atau gerombolan mana kau datang? Kau tentu tengah
mengamat-amati padukuhan ini. Dan kau merasa dirimu aman karena kawan-kawanmu
akan mencoba melindungimu,” orang berkumis yang membawa Rudita ke banjar itu
masih juga mendesaknya, “tetapi gerombolan-gerombolan semacam itu tidak berarti
apa-apa bagi kami di sini. Kami sudah siap menjaga ketenangan padukuhan kami.
Dan sekarang kau datang untuk mengacau.”
Rudita menarik nafas.
Jawabnya, “Aku tidak dapat mengatakan apa-apa, karena aku tidak tahu sama
bekali tentang gerombolan-gerombolan itu.”
Orang berkumis lebat itu
agaknya sudah kehilangan kesabaran. Namun ia masih belum mempunyai alasan yang
kuat untuk memaksa Rudita berbicara dengan kekerasan.
Selagi orang-orang yang ada
dibangsal itu termangu-mangu, maka datanglah seorang anak muda sambil
berlari-lari ke banjar padukuhan itu.
Semua orang yang ada di luar
dan di dalam banjar berpaling ke arahnya. Beberapa orang yang berdiri di tangga
pun segera menyibak dan memberi jalan kepadanya.
“Ki Rena,” berkata anak muda itu
dengan nafas terengah-engah, kepada orang berkumis lebat yang sedang mencoba
mendengar keterangan Rudita. “ada beberapa orang dalam gerombolan, lewat di
pinggir padukuhan.”
“He?” wajah Ki Rena menjadi
tegang. “Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka akan merampok?”
“Agaknya kali ini tidak.
Pemimpinnya mengangkat tangan kanannya sambil bertanya tentang seorang anak
muda bernama Rudita.”
“Rudita?” Ki Rena berpaling
kepada Rudita, “siapa namamu, he?”
“Rudita. Memang namaku
Rudita.”
“Ha, sekarang ternyata bahwa
kau memang berasal dari salah sebuah gerombolan itu,” Ki Rena berpaling kepada
anak muda yang datang berlari-lari itu. “Dari gerombolan manakah yang datang,
menurut pengamatanmu?”
“Kali ini agak lain dari yang
pernah kita kenal di sini.”
“Lain? Kau belum pernah
mengenal ciri-cirinya?”
“Belum. Belum pernah.
Nampaknya mengerikan sekali. Tetapi pemimpinnya bersikap baik dan tidak
menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan kejahatan.”
“Tentu, karena ia ingin
melepaskan anak buahnya ini. He, siapakah pemimpinnya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi ia
mempergunakan selembar kulit untuk menutup bahunya.”
“Kulit?” Ki Rena menjadi
semakin tegang.
“Ya, kulit harimau.”
“Bagaimana bentuk tubuh orang
itu?”
“Agaknya tinggi, tegap dan
kekar.”
Ki Rena menjadi semakin gelisah.
Katanya kemudian seakan-akan kepada diri sendiri, “Apakah orang itu yang
bernama Kiai Kelasa Sawit? Aku pernah mendengar serba sedikit tentang ciri-ciri
orang itu.”
“Ya. ya. Aku ingat sekarang.
Ia menyebut dirinya bernama Kelasa Sawit.”
“Gila,” tiba-tiba saja
wajahnya menjadi merah. Dipandanginya Rudita dengan sorot mata yang tajam.
Katanya, “Jadi kau dari gerombolan yang akhir-akhir ini berada di Tambak Wedi?
Jadi, kau adalah anak buah Kiai Kelasa Sawit?” Ki Rena berhenti sejenak. Lalu
dengan suara gemetar ia bertanya, kepada anak muda yang memberikan laporan
tentang Kiai Kelasa Sawit, “Lalu apa jawabmu?”
“Aku mengatakan, bahwa tidak
ada seorang anak muda asing yang berada di padukuhan ini.”
“Bagus, bagus. Lalu apa
katanya?”
“Orang itu nampaknya tidak
begitu menaruh perhatian. Kiai Kelasa Sawit itu mengangguk dalam-dalam, sambil
tertawa kecil. Dan ia pun segera minta diri dengan sopan, untuk melanjutkan
perjalanan mencari anak muda yang bernama Rudita itu.”
Ki Rena termangu-mangu
sejenak. Dan anak muda itu masih berkata, “Ki Rena. Nampaknya gerombolan ini
agak lain dengan gerombolan yang dahulu sering datang kemari, sebelum kita
dapat mengamankan padukuhan ini atas bimbingan prajurit-prajurit Pajang. Orang
yang memakai kulit harimau itu memang mengerikan, tetapi agaknya ia ramah
sekali. Kami tidak dapat menentukan apakah ia seorang penjahat atau benar-benar
seorang yang sedang mencari keluarganya yang hilang.”
“Kau bodoh sekali. Kiai Kelasa
Sawit adalah orang baru di daerah ini. Tentu ia tidak akan menakut-nakuti
kita.”
“Tetapi orang-orang lain
justru berusaha agar kita menjadi ketakutan dan memenuhi semua tuntutannya.”
“Ia tahu, kita siap untuk
mempertahankan ketenteraman padukuhan kita.” Ki Rena berpaling kepada Rudita,
“Nah, sekarang kau sendiri. Orang yang mencari kau itu, dengan mudah dapat kita
kelabui. Kau tidak akan mendapat perlindungan dari siapa pun lagi.”
Rudita menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu, siapakah orang yang mencari aku dan
menyebut dirinya bernama Kiai Kelasa Sawit.”
“Tentu kau mengingkari,” jawab
Ki Rena. Lalu katanya kepada anak-anak muda yang ada di banjar itu, “Siapkan
dua ekor kuda. Dua orang di antara kalian akan pergi ke Jati Anom melaporkan
apa yang terjadi di sini. Jika benar-benar Kiai Kelasa Sawit telah menjamah
padukuhan ini, maka kita masih harus mohon perlindungan kepada
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”
Anak muda yang diperintah itu
pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, Ki Rena. Kami akan segera
melakukannya. Tetapi bagaimana jika kami bertemu dengan orang-orang dari Tambak
Wedi itu? Kami tidak akan diganggu lagi oleh kelompok-kelompok lain yang sudah
kita kenal. Tetapi kelompok yang satu itu masih merupakan teka-teki bagi kita.”
“Jangan menunjukkan sikap yang
mencurigakan. Katakan saja bahwa kau akan mengunjungi saudaramu yang berada di
Banyu Asri atau Sendang Gabus.”
“Baiklah. Kami akan segera
berangkat.”
“Sementara itu, kami di sini
akan menyelesaikan persoalan dengan anak muda yang bernama Rudita dan yang
menyamar sebagai pengemis ini. Katakan bahwa seorang dari Tambak Wedi telah
dapat kami tangkap.”
“Aku bukan orang Tambak Wedi,”
potong Rudita. Tetapi kata-katanya terputus ketika tangan Ki Rena menampar pipi
Rudita sambil membentak, “Diam! Diam, kau.”
Rudita terkejut bukan buatan
mengalami perlakuan itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa sambil menunggu apa
yang akan terjadi atasnya.
Ternyata kemarahan Ki Rena
sudah tidak tertahankan lagi. Wajahnya menjadi merah dan dadanya bagaikan
terguncang oleh detak jantungnya yang menjadi semakin cepat.
“Cepat, pergilah sekarang,”
berkata Ki Rena kepada anak muda yang akan pergi ke Jati Anom, “pasukan Pajang
di Jati Anom itu harus segera datang. Mungkin orang-orang Tambak Wedi itu akan
kembali lagi kemari, dengan kekuatan yang lebih besar lagi.”
Anak muda yang mendapat
perintah untuk pergi ke Jati Anom itu pun segera meninggalkan banjar.
Dalam pada itu, Rudita menjadi
semakin berdebar-debar. Kini Ki Rena berdiri menghadap kepadanya. Wajahnya
masih tegang dan kemerah-merahan oleh kemarahan yang memuncak di dalam dadanya.
“Apakah kau masih akan
ingkar?” bertanya Ki Rena kepada Rudita.
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku bukan ingkar. Tetapi aku berkata sebenarnya.”
“Cukup!” Ki Rena membentak.
Sedang anak-anak muda yang ada di banjar itu pun mendesak maju. Seorang anak
muda yang bertubuh tegap dan kokoh, menyibak kawan-kawannya dan berdiri di
belakang Ki Rena. Katanya, “Ki Rena, kali ini Ki Rena nampaknya sabar sekali.”
“Cucurut ini memang pandai
membuat dirinya seolah-olah perlu dikasihani,” jawab Ki Rena, “Tetapi aku
justru menjadi sangat muak kepadanya.”
“Ki Sanak,” berkata Rudita
kemudian, “kenapa tiba-tiba telah terjadi salah paham seperti ini? Aku bukan
orang jahat yang akan berbuat buruk di padukuhan ini. Sebenarnyalah aku seorang
perantau yang lewat. Jika salah paham seperti ini sering terjadi, maka alangkah
malangnya nasib orang yang lewat di daerah padukuhan Cangkring yang cantik
ini.”
“Gila!” teriak Ki Rena yang
marah sekali. “Kau masih dapat mengigau, he? Sekali lagi aku peringatkan, jika
kau masih berputar-putar, kau akan aku serahkan kepada anak-anak remaja di luar
banjar. Anak-anak muda di dalam banjar ini sudah mampu berpikir lebih baik, dan
mempunyai belas kasihan. Tetapi anak-anak yang sedang meningkat dewasa di luar,
akan menyobek tubuhmu menjadi sayatan-sayatan daging.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah desah, “Kasihan
anak-anak itu.”
“He?” mata anak muda yang
bertubuh tegap dan kokoh itu tiba-tiba terbelalak, “Siapa yang kau sebut
kasihan itu?”
“Anak-anak di luar. Mereka
akan kehilangan rasa kasih sayang kepada sesama. Setiap kali mereka dihadapkan
pada sifat dan sikap yang keras seperti ini. Tidakkah ada cara yang lebih baik
untuk mendidik mereka, agar menjadi anak-anak muda yang bertanggung jawab,
tetapi tidak berbuat sewenang-wenang seperti yang kalian katakan itu?”
Sesuatu telah menyentuh hati
orang-orang yang mendengarkan kata-kata Rudita itu. Tetapi ternyata bahwa Ki
Rena tidak memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mencernakannya, seperti
Ki Rena berusaha untuk mengingkari pengaruh kata-kata Rudita itu di dalam
hatinya. Dengan suara lantang ia pun kemudian berkata, “Kau memang penjahat
yang paling licik. Kenapa kau tidak berusaha melepaskan dirimu dengan
kekerasan? Kenapa kau berusaha menyelamatkan dirimu dengan sikap pengecut?”
“Aku tidak mengenal kekerasan
seperti itu, Ki Sanak. Aku tidak mengerti, bagaimana aku harus berbuat kasar
dan keras? Sejak kecil aku adalah seorang anak pupuk bawang saja di dalam
pergaulan. Apalagi sekarang.”
“Tetapi kata-katamu mengandung
bisa, melampaui bisa ular yang paling ganas.”
“Ki Sanak,” berkata Rudita,
“sebenarnyalah bahwa aku merasa kasihan terhadap anak-anak remaja di luar dan
anak-anak muda di dalam banjar ini. Aku mengerti, bahwa selama ini mereka
dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Pada suatu saat, maka jiwa yang
tertekan itu tiba-tiba meledak. Dan ini adalah wujud dari peledakan itu. Tetapi
tidak selalu harus seperti yang terjadi di sini. Aku mempunyai seorang sahabat
yang baik. Jiwanya tertekan dan pada suatu saat memang juga meledak. Namun ia
tidak kehilangan kepribadiannya. Ia masih tetap berada di dalam jangkauan kasih
antara sesama.”
“Diam, diam!” anak muda yang
bertubuh kokoh kuat itulah yang kemudian tidak bersabar pula. Tangannya lah
yang kemudian terayun menghantam pipi Rudita, sehingga Rudita berpaling sambil
menahan gejolak di hatinya.
“Lidahmu memang sangat
berbisa,” berkata anak muda itu, “kau telah menghina kami. Bukan saja suatu
cara yang licik untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi yang kau
lakukan adalah penghinaan dan fitnahan yang keji. Semula kami memang akan
mempertimbangkan sikap yang lebih baik padamu, anak gila. Tetapi sikapmu sangat
menyakiti hati kami. Karena itu, maka kau akan benar-benar kami lemparkan
kepada anak-anak muda itu sampai kau mengaku, dari kelompok yang manakah
sebenarnya kau ini.”
“Aku tidak mempunyai jawaban
lain,” berkata Rudita, “aku bukan dari kelompok yang manapun, karena aku datang
dari seberang Kali Praga.”
“Persetan,” anak muda itu
melangkah maju. “Maaf, Ki Rena. Apakah aku dapat menyelesaikan pekerjaan ini?”
Ki Rena yang masih marah itu
pun kemudian berkata, “Salahmu sendiri, anak muda. Kau telah kehilangan semua
kesempatan, kecuali jika kau mengaku.”
“Jadi kalian menganggap bahwa
dengan kekerasan seperti itu, kalian dapat menyelamatkan padukuhan kalian dari
kekerasan yang lain? Bukankah dengan demikian akan sangat sulit dicari bedanya,
antara kalian dan kelompok-kelompok penjahat itu?” bertanya Rudita.
Pertanyaan Rudita yang
terakhir itu telah membingungkan anak-anak muda Cangkring untuk beberapa saat.
Namun kemudian Ki Renalah yang menjawab, “Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang
bodoh sekali. Kami melakukannya untuk mempertahankan hak kami, justru dari
kejahatan yang mereka lakukan? Apakah kau masih belum melihat bedanya?”
“Aku melihat perbedaan arah,
sikap dan tindakan kalian,” jawab Rudita, “Tetapi, apakah yang kemudian kalian
lakukan untuk melaksanakan tindakan itu berbeda? Jika penjahat-penjahat itu
melakukan kekerasan dan kadang-kadang di luar perikemanusiaan, kemudian kalian
pun melakukan tindakan serupa untuk memperoleh pengakuan, apakah hal itu dapat
dibenarkan oleh hati nurani kalian masing-masing?”
Wajah Ki Rena menjadi merah
padam. Tetapi ternyata anak muda yang bertubuh kokoh kuat itulah yang lebih
dahulu bertindak. Sekali lagi sebuah pukulan yang keras mengenai kening Rudita.
Demikian kerasnya, sehingga anak muda yang bertubuh kokoh kuat itu sendiri
menyeringai, karena tangannya terasa menjadi nyeri.
Rudita melangkah mundur
selangkah. Dengan wajah yang tegang ia memandangi orang-orang yang ada di
sekitarnya. Masih ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi tiba-tiba saja,
anak muda yang memukulnya itu menangkap tangannya sambil berkata lantang,
“Tidak ada kebaikan hati yang dapat kami berikan kepadamu, kepada orang yang
mulutnya menyebarkan bisa dan racun. Sebelum kau mengaku, darimanakah kau
datang, maka kau akan menjadi sasaran kemarahan anak-anak tanggung di padukuhan
ini.”
Ketika anak muda itu menyeret
Rudita, ia mencoba bertahan. Namun kemudian Ki Rena pun ikut menyeretnya pula.
Bahkan beberapa anak muda yang lain.
Rudita masih mencoba bertahan.
Karena itu, ia masih belum bergeser sejengkal pun dari tempatnya. Namun
akhirnya, ia pun tidak lagi berusaha untuk melawan. Ia mengikut saja, kemana ia
akan dibawa.
Ternyata Rudita tidak dibawa
kemana pun juga. Ia didorong oleh anak-anak muda itu dengan sekuat tenaga,
menuruni tangga banjar. Di bawah tangga itu, anak-anak yang sedang meningkat
dewasa telah menunggunya dengan wajah yang tegang.
Demikian Rudita turun di
antara mereka, maka tangan-tangan yang gatal itu pun segera menghujani tubuhnya
tanpa pertimbangan apa-pun lagi.
“Mengakulah!” teriak Ki Rena
“sebelum kau menjadi bubur.”
Anak-anak muda di halaman
banjar itu sama sekali tidak sempat mendengar pertanyaan itu. Mereka sama
sekali tidak memberi kesempatan Rudita untuk berbicara.
Selagi anak-anak muda itu
dengan tanpa perhitungan memukuli Rudita beramai-ramai, maka seorang anak muda
yang agak lebih tenang dan pendiam, bergeser mendekati Ki Rena sambil bertanya,
“Ki Rena. Kita sudah terlanjur mengirimkan dua orang untuk melaporkan kehadiran
anak muda yang bernama Rudita itu kepada prajurit-prajurit di Jati Anom. Jika
mereka kemudian datang kemari, dan kita tidak lagi dapat menunjukkan anak itu,
karena telah menjadi mayat, apakah itu bukan berarti suatu kesulitan?”
Ki Rena mengerutkan keningnya.
Lalu, “Kita akan melaporkan kepada Ki Demang.”
“Ki Demang sama sekali tidak
tahu menahu tentang hal ini,” jawab anak muda itu, “bukankah kita sama sekali
tidak melaporkannya? Ki Jagabaya pun tentu akan marah, jika ia mengetahui apa
yang sudah kita lakukan di sini.”
“Tidak. Mereka tidak akan
marah. Sebentar lagi mereka tentu akan mendengar dan datang ke banjar.”
“Tetapi sementara itu, Rudita
lelah hancur.”
“Persetan! Akulah yang akan
bertanggung jawab. Aku akan mengatakan kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya jika
mereka marah kepada kita. Anak itu berusaha melarikan diri dan melawan. Nah,
apa lagi yang kita cemaskan?”
“Tetapi, Ki Rena, bukankah
semuanya belum pasti?”
“O, kau memang selalu
ragu-ragu. Aku tahu pasti. Anak ini sengaja membuat dirinya bodoh, dungu dan
sedikit gila. Tetapi ia justru orang penting bagi para penjahat.”
Anak muda itu tidak menjawab
lagi. Ketika ia memandang ke halaman, ia menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia
pun kemudian memalingkan wajahnya. Rudita telah jauh bergeser dari tempatnya.
Sambil berteriak-teriak penuh kemarahan, anak-anak yang meningkat dewasa itu
pun memukulinya tanpa menghiraukan apa pun juga. Bahkan ada di antara mereka
yang tiba-tiba saja telah mengambil sepotong kayu dari pinggir halaman dan
dengan berteriak-teriak mendesak maju di antara kawan-kawannya, “Minggir,
minggir. Aku akan memecahkan kepalanya.”
Dalam pada itu, selagi
anak-anak itu sibuk dengan cara mereka untuk memeras keterangan Rudita, maka
dua orang anak muda yang lain telah berlari-lari pula dari ujung padesan.
Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Ada sekelompok penjahat lagi yang
lewat. Tentu dari Randu Pitu. Kami sudah mengenal mereka. Setidak-tidaknya,
seorang dari mereka.”
“Dari Randu Pitu?” desis Ki
Rena, “Gila. Kelompok yang sangat licik, selicik anak buah Kiai Raga Tunggal.
He, apakah yang mereka lakukan?”
“Mereka juga mencari seorang
anak muda yang bernama Rudita.”
“Ha,” sahut Ki Rena, “Sekarang
kau tahu. Anak itu memang seorang penjahat yang pantas dijadikan abu di sini.”
Ki Rena ternyata menjadi
semakin mantap. Orang-orang Randu Pitu yang mencari seorang anak muda yang
bernama Rudita, seolah-olah membuatnya jantungnya semakin menyala.
Namun dalam pada itu, anak
muda pendiam yang dapat berpikir lebih tenang itu pun bertanya, “Ki Rena. Jika
demikian menurut dugaan Ki Rena, Rudita itu datang darimana? Dari Tambak Wedi,
Randu Pitu atau dari kelompok penjahat yang mana? Dan apakah sebabnya maka
beberapa kelompok penjahat sekaligus mencari seseorang yang menurut dugaan Ki
Rena adalah salah seorang dari kelompok mereka?”
Ki Rena menjadi termangu-mangu.
Kerut di keningnya nampak menjadi semakin dalam.
Tetapi ternyata Ki Rena tidak
mau berpikir lebih jauh. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak
peduli dari gerombolan yang manakah anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi
ia pantas mendapat sedikit pengalaman, bahwa ingkar tidak membawa keuntungan
apa-apa.”
“Memang kita tidak peduli dari
kelompok yang manakah anak itu. Tetapi kita harus peduli, seandainya anak itu
benar bukan dari kelompok yang manapun.”
Sekali lagi, wajah Ki Rena menjadi
berkerut-merut. Tetapi sekali lagi ia menggeleng sambil berkata lantang, “Aku
tidak peduli. Itu salahnya sendiri, kenapa ia tidak berkata berterus terang dan
jujur.”
“Jika ia berkata jujur?”
“Maksudmu?”
“Sebenarnya, seperti yang
dikatakan?”
Ki Rena termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian, “Tidak mungkin. Ia tentu seorang penjahat. Jika tidak,
kenapa penjahat-penjahat itu mencarinya? Mungkin memang untuk dibunuh, karena
ia berasal dari kelompok yang bersaing, atau diketahui dari kelompok yang tidak
dikenal di sini, sehingga ia memasuki wilayah dan jangkauan penjahat-penjahat
yang tidak selingkungan. Tetapi dengan demikian, ia adalah seorang penjahat.
Dan seorang penjahat tidak akan mendapat tempat di daerah Cangkring, yang
merupakan daerah yang paling terpuji di seluruh lereng Gunung Merapi, selain
Jati Anom sendiri.”
Anak muda pendiam yang dapat
berpikir lebih tenang itu, menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba
memandang gejolak anak-anak remaja yang sedang memeras pengakuan Rudita,
seperti wajah sebuah kolam yang bergejolak karena perkelahian antara seekor hiu
melawan seekor buaya yang ganas sekali.
Dan sekali lagi anak muda itu
memalingkan wajahnya. Bahkan ia pun kemudian melangkah menepi, dan berdiri di
belakang punggung kawan-kawannya yang termangu-mangu.
Dalam pada itu, selagi
anak-anak yang sedang meningkat dewasa di padukuhan itu sedang memaksa Rudita
untuk menyebut nama sebuah kelompok, yang sebenarnya tidak diketahuinya sama
sekali, maka Ki Waskita dan kedua orang kawannya berjalan dengan tergesa-gesa
menurut isyarat yang ditangkapnya. Dengan wajah yang tegang, Ki Waskita berkata
kepada kedua kawannya, “Aku tidak akan salah lagi. Ia berada di padukuhan di
seberang bulak itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk sambil bertanya, “Apakah ada sesuatu yang agaknya terjadi
atasnya?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi
agaknya memang demikian.”
Kiai Gringsing menjadi tegang.
Sedang Ki Sumangkar mengerutkan keningnya sambil berdesis, “Daerah ini
nampaknya bukan daerah yang membahayakan bagi seseorang. Tetapi memang siapa
tahu, bahwa telah terjadi salah paham.”
Ki Waskita hanya
mengangguk-angguk saja. Tetapi langkahnya menjadi semakin cepat.
Mereka tertegun ketika mereka
mendengar derap beberapa ekor kuda. Dengan tergesa-gesa Ki Waskita berkata,
“Kita bersembunyi saja lagi, agar tidak menimbulkan persoalan yang dapat
menghambat perjalanan kita.”
“Ya, aku sependapat,” sahut Ki
Sumangkar.
Tetapi mereka tidak sempat
melakukannya, karena di kejauhan mereka telah melihat beberapa orang berkuda
muncul dengan cepat.
“Terlambat,” desis Kiai
Gringsing.
“Baiklah,” berkata Ki Waskita,
“kita akan menjawab tiap-tiap pertanyaan seperti yang dipesankan oleh para
prajurit itu. Jika karena sesuatu hal terjadi persoalan dan salah paham, maka
kita sesatkan saja mereka dengan bentuk-bentuk semu, agar kita segera dapat
meneruskan perjalanan.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-angguk, sementara sekelompok kecil orang berkuda itu
menjadi semakin dekat.
Meskipun Ki Waskita, Ki
Sumangkar dan Kiai Gringsing sudah menepi, namun seperti yang mereka duga,
orang-orang berkuda itu pun berhenti pula. Dipandanginya ketiga orang tua-tua
itu dengan tajamnya.
Pemimpinnya, yang bertubuh
gemuk namun agaknya tidak begitu tinggi, menunjuk Ki Waskita dan kawan-kawannya
dengan jarinya yang pendek, sambil bertanya, “He, siapakah kalian?”
Ternyata suaranya agak
mengejutkan ketiga orang yang mendengarnya. Orang gemuk di atas punggung kuda
itu, suaranya melengking tinggi hampir seperti suara seorang perempuan.
“Ki Sanak,” jawab Ki Waskita,
“aku dan kedua saudaraku ini sedang mencari anakku yang hilang.”
“He, siapakah nama anakmu?”
“Rudita. Dan aku sudah
melaporkannya kepada Angger Untara.”
“Gila!” geram orang gemuk itu,
“Jadi kaulah orangnya yang telah mengguncang lereng Gunung Merapi ini, sehingga
semua orang harus ikut menjadi sibuk?”
Ki Waskita terkejut mendengar
jawaban itu. Dengan demikian ia harus berhati-hati. Jika orang-orang itu
menganggap bahwa hilangnya Rudita akan menjadi beban yang menjengkelkan bagi
mereka, maka kejengkelan itu akan dapat dibebankan kepadanya.
“Siapa namamu?” bertanya orang
gemuk di atas punggung kuda itu.
“Waskita,” jawab Ki Waskita
ragu-ragu.
“Kenapa anakmu itu hilang, he?
Apakah ia minggat?”
“Begitulah kira-kira, Ki
Sanak.”
“Kau memang bodoh. Kau tidak
dapat memelihara hubungan baik antara orang tua dan anak. Kenapa anakmu minggat
jika bukan karena kebodohan orangtuanya? Jika kau berhasil mendidik anakmu
dengan baik-baik, ia tidak akan berbuat seperti itu. Ia akan menurut kepada
orang tuanya dan bahkan ia merupakan kurnia dari Tuhan yang tiada taranya. Kenapa
kau sia-siakan kurnia yang akan dapat menyambung namamu itu, he? Bagaimana jika
anak itu tidak kau ketemukan? Gila, bodoh, dungu. Kau tentu punya istri muda
sehingga anakmu marah dan pergi. Atau kau dan istrimu terlalu mementingkan
dirimu sendiri, tanpa memberikan apa pun juga kepada anakmu. Sekarang kau tentu
menganggap bahwa anakmu yang bodoh dan tidak tahu adat. Atau barangkali kau
menyesal dan mencarinya dengan harapan-harapan baik, serta berjanji kepada diri
sendiri akan memperlakukan anak itu dengan baik. Dalam keadaan seperti
sekarang, kau tidak dapat membebankan kesalahan atas hubungan yang buruk itu
kepada anakmu. Mengerti?”
Ki Waskita dan kedua kawannya
berdiri terheran-heran. Menilik sikap kasar dan senjatanya, serta beberapa
orang pengikutnya, orang ini tentu termasuk salah satu kelompok dari kelompok
kecil orang-orang yang mendapat pengawasan Ki Untara, setelah daerah ini
menjadi semakin tertib. Tetapi dari mulut orang itu telah meloncat
nasehat-nasehat yang sebenarnya cukup baik untuk didengar.
Karena itulah, untuk beberapa
saat Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menjadi termangu-mangu.
Mereka mengangkat kepala
mereka memandang orang yang gemuk itu, ketika ia berkata lantang, “Pergilah,
carilah anakmu sampai ketemu. Kemudian bawa ia kembali dan jaga dengan baik.
Kau harus mengerti perasaannya. Kami sekarang pun sedang mencari anak itu atas
perintah Ki Untara. He, kau siapa sebenarnya? Apakah ada hubungan keluarga
dengan Untara?”
Ki Waskita masih bimbang.
Tetapi untuk memberikan kesan yang mantap dan menghindari persoalan-persoalan
yang lain yang dapat timbul, maka ia menjawab, “Ya, Ki Sanak, meskipun kami
adalah keluarga yang sudah jauh.”
Orang gemuk itu mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak menemukan anak itu di sepanjang
perjalananku. Aku mencarinya di tepi jurang Sruni. Sebulan yang lalu
diketemukan sesosok mayat yang tergantung di bawah sebatang pohon cangkring.
Seorang anak muda yang barangkali bunuh diri dengan menggantungkan diri pada
pohon cangkring itu. Mayatnya diketemukan setelah beberapa hari, sehingga sudah
tidak berbentuk lagi meskipun masih tergantung.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak bertanya. Yang dikatakan itu terjadi sebulan yang
lalu, di daerah yang diduga menjadi daerah perjalanan Rudita. Tetapi sampai
saat terakhir, ayah Rudita masih mempunyai sentuhan isyarat dengan anaknya.
Orang gemuk itu agaknya
melihat ketiga orang-orang tua itu termangu-mangu. Maka katanya, “Sudah tentu
anak muda yang menggantung atau digantung itu bukan anakmu, itu sudah lama
terjadi.”
Ki Waskita mengangguk.
Katanya, “Ya. Yang terjadi itu sudah lama.”
“Nah, sekarang kita berpisah.
Kau menuju ke arah yang berlawanan dengan aku. Tetapi jika kau mengikuti jalan
yang baru saja aku lalui, maka kau tidak akan menemui siapapun juga kecuali
anak-anak padukuhan yang merasa dirinya sudah menjadi pahlawan. Dengan belajar
sedikit memegang pedang dan tombak, mereka merasa dirinya berilmu melampaui
prajurit Pajang, yang mengajari mereka bermain-main dengan senjata.”
“Terima kasih, Ki Sanak,”
jawab Ki Waskita, “aku akan mencari ke tempat yang barangkali tidak dilalui
orang. Di tempat yang rumit dan terasing. Mungkin anakku berada di
tempat-tempat seperti itu.”
“Cari sajalah. Tetapi lereng
Gunung ini tidak hanya selebar daun beringin. Meskipun demikian cari sajalah.
Jika pada suatu saat anak itu diketemukan, perlakukan ia dengan baik. Anak
adalah harapan bagi masa mendatang.”
Orang yang gemuk itu pun
kemudian meninggalkan Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang
termangu-mangu.
“Aneh,” berkata Ki Waskita.
“Memang aneh,” desis Ki
Sumangkar, “kadang-kadang kita tidak mengerti sifat dan sikap seseorang.
Ternyata orang-orang yang kita anggap tidak mengetahui baik dan buruk,
mempunyai sikap pula terhadap sesuatu. Sikap yang baik dan terpuji. Apakah kita
dapat menduga, bahwa orang yang bentuknya, pakaiannya dan sifat-sifat
lahiriahnya demikian kasar dan barangkali kejam, dapat mengucapkan nasehat yang
baik itu?”
“Sebenarnya orang itu bukan
tidak mengerti baik dan buruk,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi ia tidak mampu
lagi memilih apa yang harus dilakukannya. Ada orang yang memang tidak tahu,
yang manakah yang baik dan yang buruk. Ada yang sama sekali tidak menghiraukan
lagi yang manakah yang baik dan yang manakah yang buruk. Tetapi ada yang
mengetahui dengan pasti, tetapi ia tidak mampu melakukan pilihan.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang dimaksud oleh Kiai Gringsing,
sehingga Ki Sumangkar pun menanggapinya, “Ya. Demikianlah agaknya. Seperti yang
kita lihat pada beberapa orang yang dengan sengaja memilih jalan sesat. Tentu
bukan karena ia tidak mengerti baik dan buruk. Juga Raden Sutawijaya mengerti,
bahwa hubungannya dengan gadis Kalinyamat itu bukan pekerjaan yang baik. Tentu
beberapa orang pemimpin Pajang mengerti, bahwa hidup melimpah-limpah dalam
suasana prihatin bukan pilihan yang tepat. Apalagi dengan memeras, memaksa dan
tindakan-akan lain yang tercela. Mereka mengerti bahwa hal itu buruk, ternyata
mereka menganjurkan kepada orang lain agar tidak melakukannya. Tetapi ia
sendiri berbuat demikian. Nah, agaknya pada sisi yang inilah orang yang gemuk
itu berdiri. Betapapun juga, ia mengharap bahwa ia masih dapat, meskipun hanya
sekedar menyebut, sesuatu yang dianggapnya baik.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
lah yang kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun sejenak kemudian,
perhatian mereka telah tertarik pada jalur jalan panjang di bawah kaki mereka.
“Nah, kita akan berjalan
terus,” berkata Ki Waskita, “Aku yakin, bahwa jalan ini adalah jalan yang
benar. Aku tidak tahu kenapa orang-orang itu tidak menemukan Rudita di
sepanjang perjalanannya.”
Ketiga orang itu pun kemudian
melanjutkan perjalanan mereka dengan tergesa-gesa. Ki Waskita yang berada di
paling depan, telah menyingsingkan wiru kain panjangnya dan menyelipkannya pada
ikat pinggangnya.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar berjalan di belakangnya dengan cepat pula. Sekali-sekali mereka
mengerinyitkan alis mereka jika semakin lama semakin cepat, dan bahkan hampir
berlari-lari.
“Kiai,” bisik Sumangkar, “kita
sekarang benar berlomba berjalan cepat. Aku masih ingat. Di sebelah Sangkal
Putung, menjelang hari-hari terakhir angger Macan Kepatihan, Kiai mengajak aku
berlomba lari. Agaknya baru sekarang kita benar-benar mencobanya, meskipun
sekedar berjalan cepat.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan ia pun kemudian mempercepat langkahnya
mendekati Ki Waskita yang berjalan semakin cepat pula.
“Kita akan memasuki padukuhan
di muka kita. Rasa-rasanya Rudita sudah semakin dekat. Tetapi bayangan itu
nampak kabur dan gelap. Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak itu?”
Kiai Gringsing tidak menyahut,
ia maju semakin dekat di belakang Ki Waskita bersama Ki Sumangkar.
Semakin lama, mereka bertiga itu
pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan di seberang bulak, di hadapan
mereka. Sebuah tikungan yang tajam, di balik gerumbul-gerumbul perdu,
seolah-olah telah mematahkan jalan lurus menuju ke padukuhan di hadapan mereka.
Semakin dekat mereka dengan
padukuhan itu, maka rasa-rasanya Ki Waskita menjadi semakin yakin, bahwa
anaknya memang berada di padukuhan itu.
“Tetapi kenapa orang-orang
berkuda itu tidak dapat menemukannya?” bertanya Ki Waskita di dalam hatinya.
Ternyata pertanyaan yang
serupa bukan saja hinggap di dada Ki Waskita. Bahkan Ki Sumangkar pun kemudian
bertanya kepada Ki Waskita, “Ki Waskita, apakah Ki Waskita masih tetap merasa
berada di arah yang benar?”
“Ya. Aku merasa demikian.”
“Tetapi orang-orang berkuda
itu tidak menemukannya.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Aku berharap bahwa Rudita memang telah
disembunyikan oleh orang-orang padukuhan yang mencoba melindunginya. Jika
Rudita jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka ia akan mengalami
akibat yang kurang baik.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Waskita. Katanya, “Mungkin
orang-orang yang tinggal di padukuhan itu adalah mereka yang pernah mendapat
sedikit tuntunan dari para prajurit di Pajang, seperti yang dikatakan oleh
orang-orang berkuda itu. Agaknya anak-anak muda di padukuhan itu pulalah yang
disebut oleh orang-orang berkuda itu seolah-olah dirinya pahlawan.”
“Kita akan mengucapkan terima
kasih yang tiada taranya kepada mereka,” desis Kiai Gringsing, “menyembunyikan
Rudita memerlukan keberanian. Apalagi anak-anak muda itu tentu belum mengerti
bahwa Rudita telah mendapat perlindungan dari para prajurit Pajang di Jati Anom
dan memerintahkan orang-orang yang berada di dalam pengawasan para prajurit
itu, untuk membantu mencarinya.”
“Tentu, Kiai,” berkata Ki
Waskita, “kita akan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.”
Dengan demikian maka ketiga
orang itu pun segera mempercepat langkah mereka. Agaknya mereka sudah pasti,
bahwa Rudita berada di dalam perlindungan anak-anak muda di padukuhan di
seberang bulak itu.
Di regol padukuhan Cangkring,
beberapa orang anak muda masih selalu berjaga-jaga. Mereka bersiaga sepenuhnya
menghadapi semua kemungkinan yang dapat terjadi. Apalagi karena di dalam
padukuhan itu, telah ditangkap seorang anak muda yang diduga menjadi petugas
sandi untuk mencari kemungkinan baru bagi para penjahat yang ruang jelajahnya
menjadi semakin sempit.
Anak-anak muda yang
berjaga-jaga di regol itu melihat kedatangan tiga orang yang berjalan dengan
tergesa-gesa itu, dengan penuh kecurigaan pula.
“Siapa pula mereka itu?”
bertanya salah seorang anak muda yang berdiri di bibir regol.
Sejenak tidak terdengar
jawaban. Namun kemudian seorang yang bertubuh pendek berdesis, “Kita akan
menghentikannya.”
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar sama sekali tidak membayangkan apa yang telah terjadi sebenarnya
dengan Rudita. Karena itu, maka mereka pun sama sekali tidak bercuriga. Bahkan
dengan tergesa-gesa mereka mendekati beberapa orang anak muda yang berada di
regol padukuhan, yang menurut dugaan ketiga orang tua itu, justru telah
melindungi Rudita.
Ketiga orang itu pun kemudian
menjadi semakin dekat dengan regol itu, ketika seorang di antara anak-anak muda
menyongsong mereka dengan wajah yang tegang.
Anak muda yang bertubuh pendek
itu pun kemudian berdiri bertolak pinggang di tengah jalan, sambil menatap
ketiga orang yang mendekat itu dengan tajamnya.
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar pun menyadari, bahwa anak-anak muda padukuhan di hadapan mereka
itu tentu menerimanya dengan curiga. Tetapi jika mereka sudah mengetahui bahwa
salah seorang dari ketiganya adalah ayah dari Rudita, maka tanggapan mereka
tentu akan berubah.
Ki Waskita-lah yang oleh
kegelisahan yang menekan, berjalan di paling depan menemui anak muda yang
bertolak pinggang di tengah jalan itu.
Anak muda itu maju selangkah.
Ketika Ki Waskita menganggukkan kepalanya, ia pun mengangguk pula, meskipun
hanya sekedar bergerak.
“Siapakah kalian?” bertanya
anak muda itu.
“Ki Sanak,” berkata Ki
Waskita, “kami, adalah tiga orang tua yang sedang digelisahkan oleh anak kami.
Kami datang ke padukuhan ini untuk mencari anak kami yang hilang.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Kemudian dengan nada yang penuh kecurigaan ia bertanya, “Siapakah
anakmu itu, he?”
“Namanya Rudita. Apakah, Ki
Sanak menemukan seorang anak muda yang bernama Rudita?”
Pertanyaan itu telah
mengejutkan bukan saja anak muda yang bertolak pinggang itu. Tetapi juga
anak-anak muda yang lain sehingga mereka pun segera bergeser maju.
“Siapakah kalian?” bertanya
anak yang bertubuh pendek itu.
“Aku adalah ayah anak yang
hilang itu.”
“Sudah kau katakan. Tetapi
siapakah kau sebenarnya? Apakah kau datang dengan segerombolan pengacau untuk
merusakkan suasana tenang di padukuhanku?”
“Aku tidak mengerti.”
“Tentu kau berpura-pura tidak
mengerti. Tetapi kami tidak tahu menahu tentang anak yang kau sebut bernama
Rudita itu. Dua kelompok penjahat telah datang, dan menanyakan seorang anak
muda yang bernama Rudita. Sekarang, kelompok yang ketiga agaknya telah menyamar
dirinya, seolah-olah kalian adalah orang baik-baik. Tetapi kami tidak akan
dapat kalian kelabui. Kau bertiga tentu termasuk dalam kelompok-kelompok
penjahat yang hampir kehilangan ladang di daerah ini. Sekarang kalian
mempergunakan cara yang lain untuk mencari sesuap nasi.”
Ki Waskita terkejut mendengar
jawaban itu. Dengan penuh kebimbangan ia berpaling memandang Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar berganti-ganti.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia pun maju selangkah sambil berkata, “Anakmas. Mungkin
kita telah salah paham. Aku dapat mengerti, bahwa anak-anak muda padukuhan ini
selalu menaruh kecurigaan terhadap siapa pun juga, sehingga kalian memandang
perlu untuk melindungi anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi kami adalah
orang tuanya. Jika anak itu memang berada di sini, kalian dapat mempertemukan
kami dan menanyakan kebenaran keterangan kami kepadanya.”
“Siapa yang kau sangka
melindungi anak muda yang sedang kau cari itu?” bentak salah seorang anak muda
yang berada di regol itu.
Kiai Gringsing memandang anak
itu dengan tatapan mata yang penuh dengan berbagai macam pertanyaan. Namun
sebelum ia sempat mengucapkannya, maka anak muda yang bertubuh pendek itu pun
berkata, “Pergilah. Jangan mencoba mengganggu ketenangan kami. Meskipun kalian
tidak berkuda, dan berpakaian rapi seperti itu, tetapi kalian adalah
orang-orang yang akan membuat onar di sini. Kami tahu bahwa anak muda yang
kalian cari adalah bagian dari kelompok-kelompok penjahat seperti kalian.”
“Ki Sanak,” Ki Waskita pun
memotong keterangan itu dengan serta merta, “jadi anak itu memang berada di
sini, apa pun menurut tanggapanmu?”
Anak muda itu menggeleng.
“Tidak ada anak muda yang manapun juga, selain anak-anak muda Cangkringan.”
Ki Waskita termenung sejenak.
Namun ia pun merasakan sentuhan isyarat yang pasti. Rudita ada di padukuhan
itu.
Karena itu, maka ia pun
mendesak pula, “Ki Sanak. Bagaimanakah caranya, agar aku dapat meyakinkan Ki
Sanak, bahwa aku adalah ayah anak itu? Jika benar anak itu mendapat
perlindungan di sini, aku tentu akan mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Sudah aku katakan, pergilah.
Jika kau memaksa, maka aku akan memaksamu pergi pula.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,”
berkata Ki Waskita, “kami datang dengan perasaan prihatin karena anak kami yang
hilang itu. Tetapi kami kecewa bahwa kami tidak dapat meyakinkan kalian dengan
cara kami ini. Meskipun demikian, kami mohon agar Ki Sanak mempercayai kami.”
“Persetan. Sudah aku katakan,
tidak ada siapapun di sini. Pergilah. Jangan membuat anak-anak Cangkringan
menjadi marah. Sampai saat ini, kami telah berhasil mengamankan padukuhan kami.
Dengan halus atau dengan kasar. Jika kalian tidak dapat di ajak berbicara
dengan mulut, maka kami akan mengambil jalan lain.”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Tetapi agaknya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk memasuki
padukuhan itu, karena nampaknya anak-anak muda Cangkringan itu sedang diliputi
oleh kecurigaan.
Sejenak ketiga orang tua itu
berdiri termangu-mangu. Ada niat mereka untuk mencoba sekali lagi memberikan
penjelasan. Tetapi anak-anak muda itu nampaknya tidak akan memberi kesempatan
lagi. Bahkan anak muda yang bertubuh pendek itu berkata, “Pergilah. Jangan
menunda sampai kalian kehilangan kesempatan.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah anak muda. Jika kami memang tidak
boleh memasuki padukuhan ini, biarlah kami meninggalkan Cangkringan dengan
teka-teki yang tidak terjawab.”
“Tidak ada teka-teki atau
semacam itu. Tidak ada anak muda yang bernama Rudita di sini. Kami sudah
mengusir dua kelompok penjahat yang juga mencari Rudita. Tentu kalian adalah
kelompok yang ketiga.”
Sebelum Ki Waskita menjawab,
anak muda itu meneruskan, “Kalian tidak usah menerangkan lagi, tidak ada gunanya.
Kami tahu bahwa setiap kata kalian adalah bohong semata-mata.”
Ki Waskita tidak menyahut
lagi. Ia pun kemudian minta diri, meninggalkan regol padukuhan itu.
“Jadi kita tidak sempat
membuktikan, apakah Rudita benar-benar berada di padukuhan itu?” bertanya Ki
Sumangkar.
“Aku yakin ia berada
dipadukuhan itu,” jawab Ki Waskita.
“Lalu, apakah yang akan kita
lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kita masuk lewat jalan lain.
Tentu tidak semua tempat mendapat pengawasan. Kita dapat meloncat pagar batu di
tempat yang agak sepi.”
“Tetapi jika kita
melakukannya, maka tentu akan ada akibat yang dapat menumbuhkan geseran
pendapat dan bahkan mungkin kekerasan.”
“Tetapi kami berniat baik.
Kami tidak akan melakukan apapun juga selain menemui Rudita. Jika terpaksa
terjadi sesuatu, maka kami akan melakukan sesuatu sekedar untuk menyelamatkan
diri.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar pun mengangguk-angguk. Mereka memang berdiri di jalan simpang yang
sulit. Mereka tentu tidak akan sampai hati membiarkan Rudita untuk waktu yang
terlalu lama dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Apalagi setelah mereka
bertemu dengan anak-anak muda dari Cangkringan. Maka tanggapan mereka mengenai
Rudita menjadi ragu-ragu.
“Kecurigaan mereka agak
berlebih-lebihan,” desis Ki Waskita, “apakah itu bukan berarti kesulitan bagi
Rudita? Memang aku menangkap isyarat yang agak buram. Agaknya ada sesuatu yang
kurang mapan atau suatu kesalah-pahaman.”
“Hatiku pun menjadi
berdebar-debar. Meskipun tidak ada isyarat yang dapat aku tangkap, tetapi aku mendapat
firasat, bahwa memang sesuatu terjadi atas angger Rudita,” sahut Kiai Gringsing
kemudian.
Ketiganya pun kemudian
berjalan semakin cepat menjauhi regol padukuhan. Tetapi, ketika mereka sampai
pada sebuah jalan simpang, mereka pun segera berbelok.
Tetapi karena mereka berjalan
di bulak yang terbuka, maka mereka memerlukan waktu yang lama untuk melingkari
padukuhan itu dan mendekati dari arah yang lain. Mereka memintas lewat
pematang, menyusup di antara batang-batang jagung yang tumbuh subur.
Dengan hati-hati mereka
mendekati padukuhan, justru dari arah yang tidak biasa dilalui orang. Mereka
sudah memutuskan untuk tidak memasuki padukuhan itu lewat lorong yang sempit
sekalipun, karena menurut perhitungan mereka, setiap lorong tentu mendapat
pengawasan yang ketat dari anak-anak muda Cangkringan yang sedang dibakar oleh
kecurigaan itu.
Beberapa saat lamanya mereka
berdiri di tepi pagar batu. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada seorang pun
yang melihat, maka mereka pun segera meloncat masuk.
“Kita berada di kebun
seseorang,” desis Kiai Gringsing ketika mereka sudah berada di dalam pagar.
“Apaboleh buat,” desis Ki
Waskita, “kita harus berusaha untuk sampai ke pusat padukuhan.”
“Sulit,” desis Ki Sumangkar,
“kecuali jika kita tidak menolak semua akibat yang dapat terjadi.”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Lalu, “Kita akan bergeser sepanjang kebun salak yang rimbun itu.
Kemudian kita akan mencari sebuah lorong. Jika kita sudah berada di lorong itu,
maka kita akan dapat berjalan lebih aman, meskipun ada kecurigaan dari setiap
orang yang melihat kita.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Damikianlah, maka mereka
bertiga dengan hati-hati bergeser selangkah demi selangkah di balik gerumbul
salak yang berduri tajam. Namun mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Yang
menjadi pusat perhatian mereka adalah Rudita, yang pasti berada di padukuhan
itu.
Dengan susah payah, akhirnya
mereka bertiga dapat mencapai sebuah lorong kecil. Dengan hati-hati sekali,
ketiganya pun kemudian meloncat melalui pagar batu yang rendah, memasuki lorong
itu.
“Kita pergi ke kanan,” desis
Ki Waskita, “Rudita ada di arah itu.”
Ketiganya pun kemudian
berjalan menyusuri jalan kecil itu. Dengan hati yang berdebar-debar, mereka
memandangi setiap pintu rumah di tepi lorong yang mereka lalui.
“Padukuhan ini sepi sekali,”
desis Ki Sumangkar.
“Hanya satu dua, kami lihat
perempuan di dalam rumahnya. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan
apa-apa, termasuk kita.”
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya berjalan terus dengan hati yang bertanya-tanya, “Apakah yang sudah
terjadi di padukuhan ini?” Mereka hampir tidak melihat anak muda atau seorang
laki-laki di rumahnya.
“Mereka berada di sekitar
padukuhan ini,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “mereka harus berjaga-jaga
oleh kecurigaan yang telah mencengkam padukuhan ini. Semua anak-anak muda dan
semua laki-laki.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Sedangkan kaki mereka menjadi semakin cepat melangkah,
seolah-olah mereka semakin yakin bahwa sesuatu memang telah terjadi.
Namun tiba-tiba langkah mereka
tertegun. Di hadapan mereka, di mulut lorong yang turun ke jalan yang lebih
besar, nampak beberapa orang laki-laki berdiri di simpang tiga itu.
“Itulah mereka,” berkata Ki
Waskita dengan gelisah, “agaknya mereka berkumpul di gardu-gardu, meskipun di
siang hari. Tentu ada sesuatu yang telah memaksa mereka berbuat demikian.”
“Ya. Mungkin karena beberapa
kelompok penjahat telah lewat di padukuhan ini mencari Rudita, maka anak-anak
muda Cangkring pun merasa bahwa mereka wajib bersiap-siap menghadapi setiap
kemungkinan yang terjadi.”
“Lalu bagaimana dengan kita?”
bertanya Ki Sumangkar.
“Kita berjalan terus. Kita
akan minta kepada mereka, agar kita diperkenankan mencari anak itu di dalam
padukuhan ini,” sahut Ki Waskita.
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain yang dapat mereka tempuh.
Namun sebelum mereka mendekat
orang-orang yang berkerumun di simpang tiga, di sekitar gardu perondan,
orang-orang di simpang liga itu pun telah melihat kedatangan ketiga orang tua
itu. Karena itu, maka mereka pun segera mempersiapkan diri ketika seseorang
berkata lantang, “He, lihatlah. Siapakah yang datang itu?”
Setiap orang pun kemudian
berdiri berjejalan di mulut lorong. Mereka memandang Ki Waskita dan kedua
kawannya dengan herannya.
“Bagaimana mungkin tiba-tiba
saja mereka berada di lorong itu?” desis salah seorang dari mereka.
Seorang laki-laki yang sudah
separo baya pun kemudian mendekati Ki Waskita dengan kedua kawannya itu. Dengan
wajah yang tegang ia pun bertanya, “Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak ini? Dan
bagaimana caranya, maka Ki Sanak tiba-tiba saja telah berada di situ?”
“Kami masuk padukuhan ini
lewat pintu gerbang seperti biasa,” jawab Ki Waskita.
“Itu tidak mungkin. Setiap
pintu gerbang sudah dijaga.”
“Memang. Tetapi kami mendapat
ijin untuk masuk.”
“Siapakah kalian?”
“Aku adalah Ki Waskita,” jawab
Ki Waskita, “kedua orang ini adalah saudara-saudaraku.”
“Apa kerjamu di sini?”
“Aku sudah mengatakan kepada
anak-anak muda yang bertugas di regol, bahwa aku sedang mencari anakku yang
bernama Rudita.”
“Rudita?” seorang anak muda
mendesak maju di antara laki-laki yang berdiri di mulut lorong, “apakah anak
muda yang bernama Rudita itu anakmu?”
“Ya, anakku.”
“Jika demikian, maka kau tentu
salah seorang dari sekelompok penjahat yang mondar-mandir di sekitar padukuhan
ini.”
“Kenapa kau mengambil
kesimpulan demikian?”
“Beberapa kelompok penjahat
sedang mencari anak yang disebutnya bernama Rudita. Menurut pertimbangan kami,
Rudita itu adalah salah seorang dari mereka.”
“Atau sebaliknya,” berkata Ki
Waskita, “yang benar adalah, bahwa Rudita memang sedang dikejar-kejar oleh
beberapa kelompok penjahat.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya.
“Mereka menyangka bahwa Rudita
membawa beberapa keping uang dan barangkali emas. Mereka tentu mengira bahwa
menilik pakaian dan tingkah lakunya, Rudita adalah seorang yang kaya.”
“Itulah yang gila,” berkata
anak muda itu. Ia tahu betul bahwa Rudita adalah seorang anak muda yang
berpakaian kusut dan sobek di sana-sini. Sama sekali tidak membawa harta benda
berupa apa pun.
Tetapi sebelum anak muda itu
berkata sesuatu. Kiai Gringsing melanjutkan, “Tetapi ternyata bahwa Rudita
telah berada di bawah perlindungan prajurit Pajang di Jati Anom, sehingga
penjahat-penjahat itu tidak dapat berbuat apa-apa kepadanya.”
Beberapa orang laki-laki itu
saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Kata-katamu
membingungkan, Ki Sanak. Dengan demikian, kami mengambil kesimpulan, bahwa
kalian pun wajib aku curigai.”
“Kenapa kalian mencurigai
aku?” berkata Kiai Gringsing.
“Kalian harus kami tangkap,
dan kami bawa ke banjar,” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia bertanya, “dimanakah letak banjar itu?”
“Di pusat padukuhan ini.”
Ia memandang Ki Waskita
sejenak. Lalu, “Baiklah, kita tidak akan melawan. Bukankah begitu?”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
pun segera menangkap maksudnya. Karena itu mereka pun segera mengangguk pula.
“Sudah tentu kita tidak akan
melawan,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi siapakah yang berada dibanjar itu, Ki
Demang, atau siapa?”
“Kita tidak memerlukan Ki
Demang. Ayo berjalan. Jangan terlalu banyak bertanya lagi.”
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar pun kemudian digiring oleh beberapa orang laki-laki menuju ke
banjar padukuhan itu.
Tidak banyak yang
dipercakapkan di perjalanan. Namun dari pembicaraan beberapa orang yang
mengawalnya. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Sumangkar, menjadi semakin
yakin, bahwa Rudita memang berada di padukuhan itu.
Dalam pada itu, di halaman
banjar padukuhan, anak-anak yang sedang menjelang dewasa merasa dirinya sedang
melakukan tugas yang besar. Mereka dengan sepenuh tekad sedang berusaha memaksa
Rudita untuk mengaku, dari kelompok manakah ia datang untuk mengamati padukuhan
Cangkring.
Tidak ada seorang pun yang
dapat menahan gejolak kemarahan anak-anak yang masih sedang tumbuh itu. Rudita
yang jatuh ke tangan mereka, seolah-olah tidak dianggapnya sebagai sesama
mereka lagi. Setiap orang ingin menunjukkan kejantanan mereka dengan tindakan
yang paling kasar dan keras.
Rudita yang berada
ditengah-engah mereka, bagaikan permainan yang terdorong ke sana kemari. Sekali
ia bergeser ke depan. Kemudian terlempar lagi ke belakang.
Halaman Banjar itu menjadi
semakin riuh ketika beberapa anak muda berlari-lari sambil berteriak, “Kita
menangkap tiga orang lagi. Tiga orang-orang tua.”
Teriakan itu benar-benar
mengejutkan orang-orang yang ada di banjar. Orang-orang yang sudah separo baya
dan anak-anak muda, yang sedang menyaksikan kawan-kawan mereka mencoba memaksa
Rudita untuk berbicara. Bahkan beberapa orang dengan serta-merta telah
berlari-lari mendapatkan kawan-kawannya, yang membawa tiga orang tua menuju ke
halaman banjar.
Dalam pada itu, Ki Waskita
yang berjalan di paling depan, dapat melihat keributan yang terjadi di halaman
banjar lewat pintu gerbang yang terbuka. Hampir di luar sadarnya ia pun
bertanya kepada anak muda yang mengawalnya, “Apakah yang telah terjadi di
halaman banjar itu?”
Anak muda itu memandangnya
dengan tatapan mata yang kecut. Bahkan kemudian dengan suara yang penuh ejekan
menjawab, “Kau masih juga bertanya? itulah akibat kebodohannya. Dan kau akan
mengalami nasib yang serupa, jika kau tidak mau menyebut dirimu dengan
sebenarnya.”
Jawaban itu telah menggetarkan
dada Ki Waskita dan kedua orang kawannya. Bahkan langkahnya pun tertegun
sejenak. Matanya menjadi gelisah dan memancarkan kecurigaan yang tajam.
“Apa maksudmu, Ki Sanak?”
bertanya Ki Waskita.
“Jangan ribut. Berjalanlah.
Kau akan tahu apa yang terjadi.”
Ki Waskita termangu-mangu.
Namun Kiai Gringsing kemudian berbisik, “Kita berjalan terus. Kita akan melihat
apa yang terjadi.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia melangkah menuju ke regol banjar.
“He, siapakah mereka itu?”
tiba-tiba seorang laki-laki berkumis lebat keluar dari regol halaman banjar
sambil berteriak.
Anak-anak muda yang membawa Ki
Waskita bersama kedua orang kawannya itu pun hampir berbareng menjawab, “Mereka
orang yang tidak dikenal.”
Orang berkumis itu mendekati
Ki Waskita sambil mengerutkan keningnya. Lalu membentaknya, “Dari mana kau
memasuki padukuhan ini?”
“Dari gerbang, Ki Sanak.”
“Tidak mungkin,” orang itu
semakin marah, “semua regol telah ditutup untuk orang-orang yang tidak dikenal.
Hanya mereka yang dapat meyakinkan para penjaga sajalah yang dapat lewat jalan
ini.”
“Aku telah dapat meyakinkan
mereka,” jawab Ki Waskita.
“Bohong,” tiba-tiba seorang
anak muda mendesak maju. “He, bukankah orang-orang ini telah kita tolak, ketika
mereka akan memasuki padukuhan? Kenapa tiba-tiba saja mereka sudah berada di
dalam padukuhan?”
Orang berkumis lebat itu pun
memandang Ki Waskita dengan wajah yang merah oleh kemarahan yang memuncak.
Tiba-tiba saja ia telah menggeram, “Jadi ketiga orang inikah, yang telah kau
laporkan mencari anak bernama Rudita?”
“Ya, Ki Rena,” jawab anak muda
itu.
“Jika demikian, maka nasibmu
akan menjadi seperti anak yang kau cari itu. Ia telah membohongi kami, dan
tidak mau mengaku tentang dirinya sendiri.”
Kata-kata itu benar-benar
telah mengejutkan hati ketiga orang tua itu. Bahkan Ki Waskita telah bergeser
maju. Jawaban itu langsung menimbulkan pertimbangan yang buram, seperti yang
dilihatnya telah terjadi di halaman banjar itu.
“Ki Sanak,” suara Ki Waskita
mulai gemetar, “apa yang telah terjadi dengan Rudita?”
“Ia harus menebus
kepalsuannya.”
“Apa yang terjadi?” tiba-tiba
Ki Waskita kehilangan kesabarannya. Ia dapat menahan diri terhadap caci-maki
dan bahkan hinaan terhadap dirinya sendiri. Tetapi Rudita adalah satu-satunya
anaknya. Hidup ibu Rudita itu seakan-akan tergantung pula pada anak itu
sehingga apabila terjadi sesuatu, maka hidupnya tentu akan diguncang oleh
malapetaka yang tidak akan teratasi.
“Apa pedulimu dengan Rudita?”
bertanya orang berkumis lebat itu.
“Aku adalah ayahnya,” geram Ki
Waskita.
“Jika kau ayahnya, kau mau
apa, he?”
“Aku menuntut anakku. Sekarang
dimanakah anak itu dan kenapa?”
“Salahnya sendiri. Lihatlah
apa yang terjadi atasnya. Jika kau berkeras kepala, maka nasibmu akan serupa.”
Ki Waskita benar-benar telah
kehilangan kesabaran. Ia pun kemudian berlari-lari mendekati pintu gerbang
halaman banjar yang di jaga oleh beberapa orang anak muda.
“Biarkan ia melihat apa yang
terjadi,” desis Ki Rena. Beberapa orang yang telah melangkah untuk menahan Ki
Waskita itu pun melangkah surut. Mereka membiarkan Ki Waskita mendekati regol,
tetapi mereka tetap menjaga agar Ki Waskita tidak memasuki halaman banjar itu.
Dari regol, Ki Waskita melihat
apa yang telah terjadi. Ia melihat beberapa anak yang menjelang usia dewasa,
sedang berusaha untuk memaksa seseorang berbicara. Tangan mereka pun
terayun-ayun menyambar tubuh Rudita yang terdorong kesana-kemari.
Sekilas Ki Waskita justru
kehilangan akal. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu telah terjadi
dengan anaknya satu-satunya. Anak-anak yang masih sangat muda itu memperlakukan
Rudita seperti mereka sedang memperlakukan seorang penjahat yang tertangkap.
Mereka menghukum tanpa mengadilinya terlebih dahulu.
Ki Waskita melihat anaknya itu
menundukkan kepalanya. Kedua tangannya berusaha untuk menutup wajahnya dari
ayunan tangan anak-anak yang masih sangat muda itu. Namun dengan demikian
bertubi-tubi, pukulan yang mengenai tengkuk dan punggungnya.
Ki Waskita adalah seorang tua
yang seakan-akan telah menguasai dirinya sebaik-baiknya, seakan-akan ia tidak
dapat lagi didorong, sekedar oleh perasaannya saja tanpa pertimbangan akal. Ia
adalah seorang yang telah masak dan mengendap menghadapi segala sesuatu
persoalan.
Tetapi, melihat anaknya
diperlakukan demikian, maka dada Ki Waskita bagaikan pecah. Anak itu adalah
anak satu-satunya. Anak yang sangat dikasihinya. Apalagi oleh ibunya. Kepada
anak itulah tergantung semua harapan bagi masa mendatang.
Betapa ia mencoba menguasai
dirinya, namun rasa-rasanya Ki Waskita telah terlepas dari segala ikatan.
Seolah-olah ia telah dilepaskan di tengah-tengah rimba yang paling lebat. Rimba
yang tidak lagi mempunyai ketentuan yang dapat melindungi anaknya dari
malapetaka, kecuali kekerasan.
Itulah agaknya, maka darah Ki
Waskita benar-benar telah mendidih. Jika dirinya sendiri yang diperlakukan
demikian, mungkin ia masih mempunyai beberapa pertimbangan. Tetapi yang
diperlakukan demikian adalah anaknya, Rudita, dengan pakaian yang telah menjadi
compang-camping tidak menentu.
Tiba-tiba saja Ki Waskita itu
meloncat maju. Tetapi beberapa anak muda telah berdiri menahannya. Bahkan
seorang anak muda yang bertubuh tegap telah mendorongnya mundur sambil
menggeram, “Kau hanya boleh melihat, bahwa anakmu harus menebus kedunguannya.
Ia akan mengalami perlakuan demikian, sampai ia mengaku. Tetapi karena kalian
datang menyusul, maka kalian pun akan mendapat giliran diperlakukan demikian.”
Dalam keadaan yang biasa,
mungkin Ki Waskita akan segera melangkah surut. Namun dalam keadaan yang
seolah-olah dibayangi oleh sikap dan perasaan di luar sadarnya, tiba-tiba saja
ia menarik tangan anak itu dan mengibaskannya.
Akibatnya sungguh di luar
dugaan. Anak muda itu terpelanting menimpa beberapa orang kawannya. Demikian
kerasnya ayunan tubuh anak muda itu, sehingga beberapa orang anak muda
sekaligus telah terbanting jatuh berguling-guling di atas tanah.
Perlakuan Ki Waskita itu
benar-benar telah menimbulkan kemarahan beberapa anak muda yang berada di pintu
regol itu. Dengan serta merta mereka pun segera menyerang bersama-sama. Bukan
saja anak-anak yang menjelang dewasa, tetapi mereka adalah anak-anak muda
pengawal padukuhan itu, bersama beberapa orang yang lebih tua dari mereka.
Yang mereka serang ternyata
bukan saja Ki Waskita. Tetapi Ki Rena pun kemudian berteriak, “Tangkap mereka.
Dan perlakukan mereka seperti anak itu, sehingga mereka menyebut salah satu
kelompok penjahat yang ada di sekitar padukuhan kita.”
Kiai Gringsing terkejut
melihat perkembangan keadaan. Tetapi yang terjadi itu demikian cepatnya, sehingga
ia tidak sempat berbuat apa-apa. Apalagi Kiai Gringsing mengerti sepenuhnya,
betapa perasaan Ki Waskita tersayat melihat perlakuan yang tidak diduganya sama
sekali telah terjadi dengan anaknya. Dari jarak yang lebih jauh, Kiai Gringsing
melihat perlakuan yang memang langsung menyentuh perasaan keadilan. Apalagi
Kiai Gringsing tahu pasti, bahwa Rudita tentu tidak akan berbuat sesuatu yang
dapat menyeret dirinya ke dalam keadaan yang memang seharusnya diperlakukan
demikian. Bahkan seandainya Rudita telah berbuat salah sekalipun, namun apakah
sudah sewajarnya ia diperlakukan demikian, di halaman banjar padukuhan itu?
“Sebentar lagi anak itu akan
menjadi tontonan yang mengerikan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“tubuhnya tentu akan merah biru dan wajahnya akan kehilangan bentuk. Bahkan
mungkin bagian tubuhnya akan dapat rusak oleh pukulan yang tiada terhitung
jumlahnya itu.”
Tetapi Kiai Gringsing tidak
dapat berangan-angan lebih lama. Sejenak kemudian, beberapa orang anak muda
telah menyerangnya dengan garangnya.
Agak berbeda dengan Ki
Waskita, Kiai Gringsing masih dapat mengekang dirinya. Ia tahu, bahwa telah
terjadi salah paham, bahkan salah paham yang parah. Karena itu, maka ketika
serangan itu datang dari segenap penjuru, ia sekedar berusaha mengelakkannya
dan sekali-sekali saja menangkis serangan-serangan itu. Demikian pula agaknya
yang dilakukan oleh Ki Sumangkar, meskipun keduanya sadar bahwa pada suatu saat
mereka tidak akan dapat berbuat demikian itu terus-menerus.
Tetapi sementara itu, Ki
Waskita telah berbuat lain. Dengan kemarahan dan kecemasan yang bercampur-baur,
maka ia pun mulai memberikan perlawanan. Bahkan sekali-sekali tangannya
terjulur memukul orang-orang yang menyerangnya beramai-ramai.
Dan ternyata, pukulan Ki
Waskita itu akibatnya adalah parah sekali.
Meskipun Ki Waskita tidak
bermaksud menciderai seseorang, karena yang dilakukannya hampir di luar
sadarnya, namun tangan Ki Waskita benar-benar telah menyebabkan beberapa orang
menjadi pingsan.
Sebenarnya yang dilakukan Ki Waskita
hanyalah sekedar menyibakkan orang-orang yang menghalanginya. Tetapi setiap
kali seseorang jatuh olehnya, sengaja atau tidak sengaja, maka kemarahan
orang-orang Cangkring menjadi semakin meluap-luap.
“Kita benar-benar harus
bertempur melawan penjahat-penjahat ini,” teriak Ki Rena, “jangan ragu-ragu
lagi. Pergunakan senjata kalian.”
Perintah itu benar-benar telah
mengejutkan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Jika orang-orang Cangkring
benar-benar mempergunakan senjata, sedang Ki Waskita masih tetap tidak dapat
menguasai perasaannya karena dorongan kemarahan dan kecemasannya, maka
akibatnya akan sangat parah bagi kedua belah pihak. Korban tentu akan jatuh.
Dan setiap korban yang jatuh akan membuat orang-orang Cangkring menjadi semakin
kalap. Betapapun juga, Ki Waskita tidak akan dapat melawan orang sepadukuhan,
karena kemampuan seseorang tentu akan ada batasnya. Sedangkan jika orang-orang
Cangkring menyerangnya tanpa kekangan, maka akibatnya akan mengerikan sekali.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar menjadi berdebar-debar melihat orang-orang Cangkring mulai bergerak
dengan senjata di tangan. Bukan saja mengepung Ki Waskita, tetapi juga Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar itu.
“Mungkin dengan mengorbankan
beberapa orang, Ki Waskita dapat mengusir orang-orang Cangkring,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya, “Jika dengan tangannya ia membunuh orang yang
berdiri di paling depan, maka ada kemungkinan orang-orang di lapisan berikutnya
akan ketakutan. Tetapi dengan demikian, Ki Waskita harus mempertanggung-jawabkannya
kepada prajurit Pajang di Jati Anom.”
Dalam kebimbangan itu, Kiai
Gringsing melihat orang-orang yang mengepungnya menjadi semakin dekat. Bahkan
beberapa buah senjata telah mulai teracu.
Sekilas ia melihat Ki Waskita
berdiri dengan garangnya. Namun hati Kiai Gringsing bagaikan meledak ketika ia
melihat Ki Waskita tiba-tiba saja telah melepaskan ikat kepalanya dan
membebatkannya pada tangan kirinya.
Kiai Gringsing pernah
mendengar apa yang dapat dilakukan oleh Ki Waskita dengan cara yang demikian.
Senjata Panembahan Agung, yang seolah-olah dapat merobohkan gunung itu, tidak
mampu menembus bebatan ikat kepala di tangan Ki Waskita. Apalagi senjata
anak-anak ingusan dari Cangkring itu.
“Ki Waskita telah benar-benar
kehilangan kesadarannya,” berkata Kiai Gringsing yang termangu-mangu.
“Tidak ada cara lain,” berkata
Kiai Gringsing kemudian, “aku harus menarik perhatian setiap orang yang ada di
tempat ini. Aku berharap bahwa ceritera tentang cambukku telah mereka dengar.”
Kiai Gringsing tidak sempat mempertimbangkan
cara lain, karena orang-orang yang mengepungnya telah menjadi semakin dekat.
Karena itu, maka ia pun segera mengurai cambuk yang membelit lambung di bawah
bajunya.
Ki Sumangkar yang tidak
mengetahui maksud Kiai Gringsing pun terkejut. Bahkan ia bertanya kepada
dirinya sendiri, “He, apakah Kiai Gringsing juga sudah kehilangan akal?”
Tetapi senjata yang teracu-acu
di seputarnya memang membuat orang tua itu berdebar-debar, ia tentu tidak akan
dapat melawan senjata itu hanya dengan tangannya. Karena itu, tangan Ki
Sumangkarpun telah mulai meraba trisula kecilnya. Katanya kepada diri sendiri,
“Setidak-tidaknya aku harus menangkis setiap serangan, agar aku tidak terbunuh
di sini.”
Namun sekejap kemudian, selagi
orang-orang Cangkring yang bersenjata itu mempersempit kepungannya atas Ki
Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar dalam lingkaran yang terpisah-pisah,
maka setiap hati telah terguncang ketika di luar regol halaman banjar itu telah
meledak dengan dahsyatnya suara cambuk Kiai Gringsing. Tidak hanya sekali,
tetapi berkali-kali.
Suara cambuk itu benar-benar
telah mencengkam setiap jantung. Orang-orang Cangkring pada umumnya telah
pernah mendengar cerita tentang orang bercambuk. Cerita yang menjalar sejak
beberapa waktu yang lampau, sejak di Tambak Wedi masih tinggal seseorang yang
sangat ditakuti oleh setiap orang di lereng Merapi.
Dan kini, tiba-tiba suara
cambuk itu meledak di halaman mereka.
Sementara orang itu
termangu-mangu, maka Kiai Gringsing pun tiba-tiba telah berteriak, “He orang-orang
dari padukuhan ini. Apakah kalian pernah mendengar suara cambuk yang lain
meledak seperti petir di langit? Jika kalian pernah mendengarnya sekali saja di
dalam hidupmu, maka aku akan melepaskan cambukku untuk selama-lamanya, karena
hanya akulah orang yang dapat mempergunakan cambuk untuk membunuh dua ratus
orang dengan sekali ayun.”
Suara Kiai Gringsing yang
menggelegar itu benar-benar telah mencengkam jantung orang-orang Cangkring.
Suara cambuk itu sudah membuat mereka gemetar. Apalagi kata-kata Kiai Gringsing
itu, karena mereka sadar bahwa yang berdiri di hadapannya sudah tentu orang
bercambuk yang namanya sudah mereka dengar sebelumnya.
Agaknya suara cambuk Kiai
Cringing benar-benar berhasil merampas suasana. Setiap orang telah mematung di
tempatnya, juga mereka yang berada di halaman banjar pun rasa-rasanya bagaikan
membeku di tempatnya pula.
Ternyata bukan saja mereka
yang sedang beramai-ramai memeras keterangan Rudita-lah yang terkejut dan
membeku. Rudita pun menjadi terkejut pula karenanya. Ketika tidak terasa lagi
pukulan yang menghunjam di tubuhnya, perlahan-lahan ia mencoba mengangkat
wajahnya untuk melihat apakah yang sebenarnya telah terjadi di sekitarnya.
Sejenak ia termangu-mangu.
Yang dilihatnya adalah wajah-wajah anak yang masih terlampau muda yang tegang
membeku.
Kiai Gringsing melihat
perubahan suasana yang tiba-tiba itu. Ki Sumangkar pun kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat menangkap maksud Kiai Gringsing dengan sikapnya, karena
biasanya Kiai Gringsing tidak pernah menyombongkan dirinya.
Tetapi agaknya saat itu Kiai
Gringsing telah memaksa dirinya untuk bersombong. Ia berusaha menakut-nakuti
orang-orang Cangkring, sehingga dengan demikian tindakan kekerasan berikutnya
akan dapat dicegahnya.
Ki Sumangkar pun kemudian
melihat, perlahan-lahan beberapa orang bergeser surut. Mereka dengan cemas
memandang cambuk Kiai Gringsing yang masih terayun-ayun di tangannya.
Namun dalam pada itu, selagi
setiap orang mulai menyadari dengan siapa mereka berhadapan, Rudita tersentak
dari kediamannya. Di sela-sela anak-anak muda Cangkring yang kecemasan, ia
melihat seseorang yang berdiri tegak bagaikan patung besi. Di tangan kirinya
membelit ikat kepalanya.
Jantung Rudita rasa-rasanya
telah berhenti berdegup. Orang itu adalah ayahnya. Dan ia tahu benar, sikap
apakah yang telah dilakukan oleh ayahnya itu.
Karena itu, maka dengan serta
merta ia berlari mendapatkan ayahnya, langsung memeluknya sambil berkata,
“Ayah, apakah yang akan ayah lakukan terhadap anak-anak ini?”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Dibelainya kepala anaknya sambil berdesis, “Apakah aku tidak
terlambat, Rudita?”
“Tidak. Tentu tidak. Kenapa?”
Ayahnya menjadi heran.
Didorongnya Rudita perlahan-lahan. Kemudian dengan tangannya Ki Waskita
mengangkat wajah anaknya. Meskipun dengan ragu-ragu, ia pun berusaha dapat
melihat, bagaimana bentuk wajah anaknya itu.
Tetapi yang dilihatnya adalah
mengejutkan sekali. Bahkan juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, yang sudah
mendekati anak muda itu tanpa menghiraukan orang-orang Cangkring yang masih
membeku.
“Kau tidak apa-apa, Rudita?”
bertanya ayahnya dengan heran, ia memang melihat noda-noda biru di wajah anak
itu. Tetapi wajah itu tetap tidak berubah. Tidak ada bagian yang membengkak,
apalagi berdarah.
Rudita tersenyum. Katanya, “Aku
tidak apa-apa, Ayah.”
“Tetapi, bukankah kau telah
ditangkap dan diperlakukan tidak adil, seperti seorang penjahat yang tertangkap
saat melakukan kejahatan? Dan bukankah kau tidak melakukan kejahatan apa pun
juga?”
“Aku tidak berbuat apa-apa,
Ayah.”
“Tetapi, kenapa kau
diperlakukan seperti itu? Berpuluh-puluh anak-anak muda telah mengeroyokmu
tanpa belas kasihan.”
“Tetapi bukankah aku tidak
apa-apa?”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Dan sebelum ia berkata sesuatu, Rudita telah mendahuluinya, “Ternyata
Ayah telah kehilangan kesabaran.”
Ki Waskita masih berdiri
termangu-mangu. Sementara Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mendekati anak muda
itu. Dengan jari-jarinya yang memiliki pengenalan atas tubuh seseorang, Kiai
Gringsing meraba punggung, pundak dan lengan anak itu sambil berkata, “Kau
benar-benar tidak mengalami sesuatu, Rudita?”
“Tidak, Kiai, sebagaimana Kiai
melihatnya.”
“Tetapi perlakuan anak-anak
muda itu sangat mencemaskan ayahmu.”
Rudita tersenyum.
Dipandanginya wajah Ki Rena yang tegang.
“Kiai,” berkata Rudita
kemudian, “aku tahu, jika ayah sudah bersikap demikian, maka ayah benar-benar
telah kehilangan kesabaran. Dan apakah kira-kira yang akan terjadi, jika ayah
yang kehilangan kesabaran itu mengamuk di tengah-engah anak-anak yang tidak
tahu apa-apa ini?”
“Tetapi mereka telah
memperlakukan kau dengan tidak adil, Rudita,” berkata Kiai Gringsing, “Dan
itulah yang telah mempengaruhi perasaan dan pertimbangan nalar ayahmu.”
Rudita memandang ayahnya
sejenak. Lalu katanya, “Ayah harus memaafkan mereka. Anak-anak itu tidak tahu
menahu apa yang mereka lakukan.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Kepalanya pun kemudian tertunduk lesu.
“Kiai berdua,” berkata Ki
Waskita dengan suara yang datar, “ternyata aku masih harus belajar kepada
anakku. Baru sekarang aku menyadari, apa yang telah terjadi sebenarnya. Rudita
telah mengutip sebagian dari isi rontalku. Dan yang sebagian itu kini telah
nampak hasilnya, ia masih tetap utuh dan sehat dalam keadaan yang demikian,
meskipun ada juga bekas-bekasnya pada tubuhnya. Tetapi tidak berakibat sangat
buruk.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-angguk.
“Itulah sebabnya, Ayah. Aku
hanya mempelajari sebagian saja dari ilmu yang tertulis di dalam rontal Ayah.
Aku hanya mempelajari bagian-bagian yang dapat melindungi diriku tanpa
mencederai orang lain. Jika aku mempelajari ilmu itu seluruhnya, dan aku
menjadi seperti Ayah, atau setidak-tidaknya memiliki sebagian kecil dari ilmu
Ayah, mungkin aku akan berbuat lain dalam keadaan seperti ini. Mungkin aku
tidak dapat melihat, bahwa anak-anak muda di padukuhan ini sama sekali tidak
mengerti apa yang mereka lakukan. Mungkin aku akan menjadi panas, dan melawan
mereka seperti yang hampir saja Ayah lakukan.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ayah. Bukankah dengan
demikian, persoalannya justru akan berkepanjangan? Anak-anak muda Cangkring
adalah anak-anak muda yang mendapat perlindungan, dan bimbingan langsung dari
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom tentu tidak akan tinggal diam.”
Ki Waskita menundukkan
kepalanya. Rasa-rasanya ia sedang dihadapkan pada noda di wajahnya. Ia tidak
dapat mengingkari ketelanjurannya. Hampir saja ia kehilangan akal dan melakukan
sesuatu, yang akan dapat menimbulkan akibat yang berkepanjangan. Jika selagi ia
kehilangan pengamatan diri itu, ia bertindak sesuatu, maka akibatnya akan
mengerikan sekali. Setiap ayunan tangannya dalam puncak ilmunya, Ki Waskita
akan dapat memecahkan kepala anak-anak muda Cangkring, yang baru mulai belajar
tata bela diri yang paling sederhana itu.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar yang berdiri di samping Ki Waskita merasa, bahwa mereka pun telah
melakukan perbuatan kekerasan, meskipun masih dalam pengendalian nalar.
“Ayah,” berkata Rudita
kemudian, “sekarang, sebaiknya Ayah minta maaf kepada mereka. Di sini orang
yang agaknya paling berpengaruh adalah orang itu.”
Ki Waskita, Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar berpaling. Mereka memandang Ki Rena yang berdiri termangu-mangu.
Bahkan kakinya kemudian terasa menjadi gemetar.
“Apakah Ki Demang dari
Cangkring tidak ada di sini?” bertanya Ki Waskita.
Rudita mengerutkan keningnya.
Katanya “Sependengaranku, Ki Demang tidak ada di sini.”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Sambil memandang kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
berganti-ganti, ia pun bertanya, “Bagaimana, Kiai?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam sekali, katanya, “Kita memang harus minta maaf kepada mereka, Ki
Waskita.” Lalu sambil menunjuk kepada beberapa anak muda yang mulai sadar dari
pingsannya, ia berkata, “Ki Waskita sudah membuat lebih dari tiga orang menjadi
pingsan.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Selebihnya, Ki Waskita harus
mengucap syukur, bahwa angger Rudita telah mencegah Ki Waskita berbuat lebih
jauh lagi.”
Ki Waskita memandang anaknya
dengan tatapan mata yang sayu. “Kiai Gringsing benar. Ternyata kau memiliki
kesabaran yang jauh lebih besar daripada aku. Meskipun umurmu masih muda,
ternyata kau telah berhasil menguasai perasaan dengan sikap damai itu.”
“Aku memang sedang mencoba,
Ayah, apakah aku dapat mengatasi nafsu di dalam diriku. Aku sudah berhasil
menguasai wujud jasmaniah dengan segala macam sikap dan tindak tanduk. Aku
dapat mengesampingkan perasaan sakit, lelah dan letih. Namun yang kini sedang
aku matangkan, adalah sikap rohaniahku. Apakah aku juga mampu menguasai nafsu
dan keinginan yang dapat mempunyai seribu macam bentuk dan wujud.”
“Bersyukurlah, Rudita.”
“Tetapi meskipun demikian,
Ayah, aku pun masih seorang manusia yang lemah dan dicengkam oleh ketidak
percayaan. Ternyata bahwa aku berusaha untuk mempelajari ilmu yang tertulis di
dalam rontal Ayah, meskipun hanya sebagian. Aku masih harus mempelajari ilmu
untuk melindungi tubuhku, seolah-olah aku tidak mempercayai perlindungan yang
paling rapat. Bukankah aku dapat mempercayakan diriku kepada Tuhan Yang Maha
pengasih dan Penyayang? Ayah, aku masih seorang manusia yang kadang-kadang
kehilangan penyerahan diri dan pasrah. Namun, mudah-mudahan, aku tidak
terlampau jauh meninggalkan-Nya, karena yang aku dapatkan sekarang, meskipun
berdasarkan atas tindak dan laku seperti yang tertulis di dalam rontal, tetapi
semuanya itu aku mohonkan kepada Yang Maha Kuasa itu pula.”
Kata-kata Rudita itu
benar-benar telah menyentuh hati ayahnya. Bahkan juga Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar. Seolah-olah Rudita memberitahukan kepada mereka, alangkah lemahnya
hati ketiga orang tua itu. Jika mereka yakin dan percaya mutlak kepada
penciptanya, maka mereka tentu tidak akan pernah mempelajari ilmu kanuragan jenis
yang manapun juga, karena bagi mereka yang yakin dan percaya, maka perlindungan
yang paling utama adalah perlindungan Yang Maha Kuasa itu jualah. Bukan
perlindungan yang dibuat oleh seseorang dengan kekuatannya sendiri.
Namun kelemahan seseorang yang
didorong oleh naluri untuk mempertahankan hidup dan jenisnyalah, maka manusia
kadang-kadang mencari jalan untuk memiliki perisai yang dapat menyelamatkan
dirinya dengan cara badaniah. Tetapi selama dengan kekuatan yang didapatkannya
itu, ia masih tetap berusaha berjalan di jalan lurus, maka ia masih akan dapat
mencapai jalan menuju kepada-Nya.
Tetapi kadang-kadang manusia
telah didorong oleh nafsu badani, sehingga mereka melupakan sumber hakiki dari
keseluruhan wujud dan bentuk, bahkan yang kasat mata, yang tidak kasat mata,
dan yang tanpa bentuk.
Kecenderungan untuk
mendapatkan kekuatan atas usaha sendiri dan melupakan Sumber dari semuanya yang
ada itulah, kadang-kadang telah menuntun seseorang sampai ke daerah-daerah
hitam yang kelam. Mereka menyangka bahwa di daerah yang hitam itu, mereka akan
menemukan yang dicarinya. Tetapi agaknya mereka telah tersesat. Pada
wujud-wujud wadag yang justru menyeret mereka semakin jauh dari titik akhir
yang abadi, dalam kedamaian yang bening.
Tetapi ketiga orang-orang tua
itu tidak sempat untuk merenunginya terlampau lama. Rudita yang berpakaian
compang-camping itu mendorong ayahnya sekali lagi, “Ayah, mintalah maaf kepada
Ki Rena. Orang yang paling berpengaruh yang ada di banjar ini. Kemudian Ayah
akan dapat pergi kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya yang sekarang belum juga
hadir di sini. Mudah-mudahan tidak akan ada salah paham lagi yang terjadi
antara Ayah dan Ki Rena, apalagi dengan Ki Demang dan Ki Jagabaya nanti.”
Ki Waskita masih
termangu-mangu di tempatnya. Setiap kali ia memandang Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar berganti-ganti.
Kiai Gringsing pun kemudian
bergeser semakin dekat pada Ki Waskita. Sekilas dilihatnya keadaan Rudita.
Bahkan karena noda-noda yang kemerah-merahan di tubuhnya, karena ternyata
tubuhnya masih tetap segar, tetapi karena pakaiannya yang menjadi
compang-camping oleh perlakuan yang kasar dari orang-orang Cangkring.
Dalam pada itu, orang-orang
Cangkring berdiri mematung di tempatnya. Mereka sama sekali tidak mengerti
apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Apalagi ketika mereka melihat
keadaan Rudita. Ketika mereka beramai-ramai memukulinya, mereka belum melihat
akibat dari perbuatan mereka. Tetapi kemudian ternyata, bahwa anak muda yang
satu ini lain sekali dengan yang memang pernah terjadi. Jika orang-orang
Cangkring sedang marah, karena kejahatan-kejahatan kecil, mereka kadang-kadang
tidak dapat mengendalikan diri dan memperlakukan orang-orang yang dapat mereka
tangkap itu dengan semena-mena, seperti yang mereka lakukan atas Rudita.
Tetapi biasanya, orang yang
diperlakukan demikian, akan menjadi bengkak-bengkak dan berdarah dari mulut dan
hidungnya. Mereka akan menjadi pingsan dan kadang-kadang sampai berhari-hari,
bahkan berpekan-pekan harus berbaring di pembaringan.
Tetapi Rudita itu nampaknya
masih tetap segar. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu atasnya, selain
pakaiannya yang kemudian menjadi compang-camping.
“Apakah anak itu anak iblis?”
orang-orang Cangkring itu mulai bertanya-tanya.
Satu dua orang di antara
mereka mulai menghubung-hubungkan Rudita dengan orang bercambuk itu. Dengan
dada yang berdebar-debar seorang anak muda berkata, “Apakah ia murid orang
bercambuk itu? Jika demikian, kita akan celaka.”
Kawannya yang berdiri di
sampingnya tidak menyahut. Tetapi hatinya pun menjadi sangat kecut.
“Kita tidak akan menjadi cemas
seperti sekarang ini, seandainya kita benar-benar berhadapan dengan sekelompok
penjahat yang berkeliaran itu,” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Apalagi mereka merasa yakin akan perlindungan prajurit-prajurit Pajang di Jati
Anom, sehingga para penjahat itu tidak akan pernah berani mengganggu mereka.
Tetapi kali ini yang datang
untuk mengambil seseorang, yang telah mengalami perlakuan yang sangat buruk
itu, adalah orang bercambuk itu. Bahkan anak muda yang diperlakukan buruk
sekali itu pun ternyata adalah anak muda yang sangat membingungkan. Bahkan
seorang anak muda berkata, “Anak itu agaknya memiliki ilmu kebal. Ia tidak
dapat disakiti dan dilukai. Lihat, ia sama sekali tidak apa-apa.”
“Ya,” desis yang lain, “kita
tidak menyadari apa yang terjadi, selama kita sibuk memukulinya. Baru sekarang
kita sadar, bahwa jika anak itu marah, akan terjadi malapetaka yang tiada
taranya bagi Cangkring.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Berbagai perasaan telah menyentuh hati anak-anak muda yang berada di sekitar
banjar itu. Apalagi mereka yang mendengar percakapan antara Rudita dan ayahnya.
Ki Rena masih berdiri
termangu-mangu. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia merasa bahwa
ia telah mendorong anak-anak muda itu untuk berlaku kasar. Hampir setiap kali
ialah yang memimpin anak-anak itu berbuat demikian terhadap orang-orang yang
mereka curigai, dan apalagi mereka yang tertangkap selagi melakukan
kejahatan-kejahatan kecil, seolah-olah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang
sedang berjuang di medan perang.
Ki Rena tiba-tiba menjadi
gemetar, ketika ia melihat Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bersama
Rudita mendekatinya. Ia pun menyadari bahwa ternyata anak muda yang bernama
Rudita itu, adalah anak yang seolah-olah tidak mempan oleh pukulan-pukulan yang
menghujaninya. Orang-orang lain yang diperlakukan demikian, tentu sudah menjadi
bengkak-bengkak dan berdarah hidung dan mulutnya, bahkan tentu sudah pingsan.
Tetapi Rudita sama sekali tidak mengalami cidera apa pun karenanya.
“Apakah sebenarnya yang
dikehendaki oleh anak ini,” Ki Rena bertanya-tanya kepada diri sendiri dengan
penuh kebimbangan. “Ia tentu bukan saja kebal, tetapi juga memiliki kekuatan
yang luar biasa. Apalagi ketiga orang tua-tua itu, yang seorang di antaranya
adalah orang bercambuk, yang namanya sudah dikenal hampir di seluruh Pajang.”
hatinya menjadi semakin berdebar-debar, dan ia pun dengan penyesalan yang
mendalam berkata di dalam hati, “Celakalah padukuhan Cangkring sekarang ini.
Tidak oleh penjahat-penjahat yang bersarang di sekitar padukuhan ini, tetapi
justru oleh orang-orang yang selama ini disegani, bukan saja oleh para
penjahat, tetapi juga oleh prajurit Pajang.”
Meskipun Ki Rena juga melihat
sikap Rudita yang tidak bermusuhan, namun Ki Waskita dan Kiai Gringsing masih
tetap mendebarkan jantung. Ki Waskita yang merasa anaknya diperlakukan tidak
adil, dan Kiai Gringsing yang masih menggenggam cambuknya.
Setiap langkah Ki Waskita,
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar terasa bagaikan hentakan di dalam dada.
Tubuhnya terasa menjadi
semakin gemetar ketika ia mendengar suara Ki Waskita, “Ki Rena, apakah kau yang
bernama Ki Rena?”
“Ya, Ayah,” Rudita-lah yang
menyahut, “aku mendengar orang lain memanggilnya demikian.”
“Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Rena
dengan suara yang bergetar pula.
“Kau agaknya orang yang paling
berpengaruh sekarang ini, sebelum kita bertemu dengan Ki Demang atau Ki
Jagabaya.”
“Bukan. Bukan aku, Ki Sanak.
Kami sama-sama melakukan semua tindakan ini. Aku tidak mempunyai kedudukan apa
pun di padukuhan ini.”
Ki Waskita memandang orang itu
dengan tajamnya. Namun hatinya yang sudah mengendap itu, kemudian menjadi
sangat kecewa karena sikap orang yang bernama Ki Rena itu.
“Ki Rena,” berkata Ki Waskita,
“tidak ada persoalan yang akan dapat mengeruhkan keadaan lagi. Aku hanya ingin
berbicara dengan orang yang barangkali paling berpengaruh di sini.”
“Tidak. Tidak ada orang yang
paling berpengaruh.”
“Tetapi, bukankah Ki Rena
mempunyai pengaruh atas anak-anak muda itu?” berkata Rudita, “Bukankah Ki Rena
dapat memerintahkan mereka untuk berbuat sesuatu. Maksudku, bukan karena aku
ingin menuntut pertanggungan jawab. Tetapi tentu saja Ayah tidak akan dapat
berbicara dengan semua orang ini sekaligus, tetapi sebaiknya ada seorang atau
dua orang yang mewakili mereka.”
“Tetapi jangan aku. Aku tidak
berbuat apa-apa.”
“Ki Rena,” tiba-tiba seorang
anak muda mendesak maju, “Bukankah Ki Rena dapat mengambil tanggung jawab itu?
Ki Rena-lah yang mendorong kami untuk melakukan perbuatan ini.”
“Tidak. Bukan aku. Aku tidak
apa-apa.”
“Bukan hanya sekali dua kali,”
berkata anak muda itu, “Setiap kali, Ki Rena telah memerintahkan kepada kami
untuk melakukan hal yang serupa.”
“Tidak. Aku tidak berhak
memerintah kalian.”
“Tetapi itu telah kau
lakukan,” potong anak muda yang lain.
Ki Rena masih akan menjawab,
tetapi Rudita menengahi, “Baiklah. Jika di antara kalian tidak ada yang berani
bertanggung jawab atas peristiwa yang baru saja terjadi. Aku memang tidak akan
menuntut apa pun juga. Ayahku pun tidak. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar juga
tidak. Ayah hanya akan mengucapkan sepatah dua patah kata penyesalan. Tidak
lebih.”
Anak-anak muda Cangkring itu
menjadi heran. Kenapa justru penyesalan. Namun sebagian dari mereka mengira,
bahwa Ki Waskita itu akan menyesali perbuatan anak-anak Cangkring yang lancang
dan tidak berperhitungan itu.
“Anak-anak muda dari padukuhan
Cangkring,” berkata Ki Waskita, “karena tidak ada yang dapat aku ajak
berbicara, biarlah aku berkata langsung kepada kalian,” Ki Waskita berhenti
sejenak sambil memandang berkeliling. Kemudian, “Aku akan minta maaf kepada
kalian, bahwa hampir saja aku kehilangan pengamatan diri dan bertindak di luar
sadar. Jika demikian maka akibatnya akan buruk sekali bagi kita semuanya.”
Anak-anak muda Cangkring itu
saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa orang itu justru minta maaf.
Seharusnya merekalah yang minta maaf kepadanya.
“Mungkin anakku telah
menimbulkan persoalan di padukuhan ini,” berkata Ki Waskita lebih lanjut,
“Untunglah bahwa kesulitan yang lebih parah lagi dapat dihindari,” ia berhenti
sejenak. Lalu, “Namun demikian, aku mempunyai permintaan kepada kalian, bahwa
untuk selanjutnya, kalian sebaiknya bertindak lebih hati-hati. Jika terjadi
korban yang tidak bersalah, maka hal itu tentu akan sangat menyedihkan kita
semuanya. Katakanlah seorang anak muda yang sebaya dengan anakku. Apalagi jika
ia adalah satu-satunya anak yang menjadi gantungan harapan masa depan.”
Anak-anak muda Cangkring itu
menundukkan kepalanya.
“Tindakan kalian dapat
menimbulkan bencana. Bahkan kematian. Seandainya anakku bersalah sekalipun,
kalian tidak berwenang untuk memperlakukannya demikian.”
Nampak beberapa orang di
antara anak-anak muda Cangkring itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kami mengetahui,” berkata Ki
Waskita lebih lanjut, “bahwa dalam waktu yang lama kalian telah dicengkam oleh
kecemasan, kegelisahan dan kemarahan, karena gangguan-gangguan yang sering
terjadi. Namun setelah kalian mendapat sedikit bimbingan dari prajurit-prajurit
Pajang, maka terjadilah ledakan itu. Ledakan yang seharusnya dapat penyaluran
yang sewajarnya.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ada banyak persoalan yang terasa berdesakan untuk meloncat dari
bibirnya. Tetapi ia tidak ingin menyakiti hati orang-orang Cangkring itu.
Karena itu, maka katanya
kemudian, “Karena itulah, maka sebaiknya kita berhati-hati untuk seterusnya.
Marilah hal ini kita anggap tidak pernah terjadi. Dan mudah-mudahan benar-benar
tidak akan pernah terjadi lagi. Sekali lagi aku minta maaf. Kami berempat akan
segera minta diri. Kami akan kembali ke Jati Anom, karena sebenarnyalah kami
sudah mendapat ijin dari Senapati Untara untuk melakukan pencarian ini. Dengan
demikian kami pun masih akan minta diri kepadanya.”
Tidak ada seorang pun yang
menyahut. Semuanya bagaikan mematung di tempatnya.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba terdengar hiruk pikuk di luar lingkaran anak-anak muda Cangkring. Di
antara keributan itu terdengar suara seseorang yang agak serak-serak, “He,
siapakah yang telah membuat keributan ini?”
Anak-anak muda Cangkring itu
pun menyibak. Yang datang ternyata adalah Ki Demang diiringi oleh Ki Jagabaya.
“Siapakah orang itu,” bertanya
Ki Demang lantang, “hanya akulah yang berhak berbicara langsung kepada
rakyatku. Apakah orang itu telah mempengaruhi kalian? Dan apakah orang itu yang
dikatakan datang dari salah sebuah gerombolan panjahat yang bersarang di
sekitar tempat ini?”
Ki Waskita menjadi
berdebar-debar. Dipandanginya wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
berganti-ganti.
“Mudah-mudahan ia dapat diajak
berbicara,” berkata Kiai Gringsing perlahan-lahan.
Dalam pada itu Ki Demang pun
telah memasuki lingkaran anak-anak muda Cangkring. Sekilas ia melihat Ki Rena
yang berdiri termangu-mangu.
Tiba-tiba Ki Demang tertegun
sejenak. Bahkan kemudian ia mendekati Ki Rena dengan wajah yang buram.
“Apakah kau lagi yang membuat
gaduh di sini, Ki Rena?” bertanya Ki Demang.
Ki Rena termangu-mangu
sejenak. Tetapi kemudian ia berpaling kepada Ki Waskita dan kedua
kawan-kawannya.
“Apakah mereka itu?” bertanya
Ki Demang pula. Tidak ada jawaban. Ki Rena masih berdiri termangu-mangu.
Ki Demang pun kemudian
melangkah ke depan. Dipandanginya wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
Tiba-tiba saja dari antara
anak-anak muda itu muncul seseorang, yang agaknya memiliki ketenangan yang agak
lebih dalam dari kawan-kawannya. Ia lah yang sudah mencoba memperingatkan Ki
Rena, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya.
“Ki Demang,” berkata anak muda
itu, “semuanya telah terjadi seperti yang pernah terjadi. Ki Rena menangkap
seorang yang dicurigainya dan di sini kami beramai-ramai mencoba untuk memeras
keterangannya.”
“Apakah kalian berhasil?”
“Tidak,” jawab anak muda itu,
“tangkapan Ki Rena itu sama sekali tidak mau menyebut kelompok-kelompok yang
manapun juga, seperti yang dikehendaki oleh Ki Rena.”
“Jadi, anak itu tidak mau
mengaku? Tetapi apakah ia bersalah?” bertanya Ki Demang, “Aku tidak ingin
melihat korban yang tidak bersalah lagi.”
Anak muda itu menggeleng.
Katanya, “Ia memang tidak bersalah, Ki Demang.”
“Jadi bagaimana? Ia luka
parah? Inilah kegilaan yang selalu berulang. Aku bangga kalian memiliki ilmu
kanuragan. Tetapi sudah barang tentu tidak dipergunakan di sembarang keadaan.
Bahkan dipergunakan untuk memaksakan kehendak atas orang lain,” Ki Demang
berhenti sejenak. Lalu, “He, dimana korban kalian kali ini.”
Anak muda itu termangu-mangu.
Namun kemudian ia menunjuk kepada Rudita sambil berkata, “Kali ini kami
menjumpai seorang anak muda yang lain. Betapapun juga anak-anak Cangkring
memukulinya, namun ia sama sekali tidak terluka. Bahkan hampir-hampir tidak
terpengaruh, seolah-olah ia tidak tersentuh sama sekali oleh perasaan sakit.”
“Kebal, jadi anak itu kebal?”
“Agaknya memang demikian, Ki
Demang.”
Ki Demang termangu-mangu
sejenak, ditatapnya tubuh Rudita yang tetap segar. Selangkah ia maju dengan
tatapan mata yang tegang. Lalu katanya, “Jadi kau kebal ya?”
Rudita ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian ia menggeleng, “Tidak, Ki Demang. Aku sama sekali tidak kebal.
Kulitku akan sobek jika tergoresi oleh duri yang lemah sekalipun.”
“Tetapi kau nampaknya tidak
apa-apa?”
“Tentu tidak apa-apa.
Anak-anak muda Cangkring pun tidak berbuat dengan bersungguh-sungguh. Mereka
hanya sekedar mencoba menakut-nakuti aku. Memang ada di antara mereka yang
berpura-pura memukuli aku. Tetapi sudah tentu tidak sampai menimbulkan akibat
yang gawat.”
Ki Demang menjadi bingung.
Bahkan anak-anak muda yang mendengar jawaban Rudita itu pun menjadi bingung
pula.
“Sudahlah, Ki Demang,” berkata
Ki Waskita kemudian, “Marilah kita lupakan saja peristiwa yang baru saja
terjadi.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah ayah anak ini.
Ketika aku sampai di sini, memang sedang terjadi sedikit keributan. Tetapi
tidak membawa akibat apa pun juga.”
Ki Demang termangu-mangu
sejenak. Kemudian ia berpaling kepada Ki Jagabaya, seolah-olah ingin mendengar
pendapatnya.
“Ki Demang,” berkata Ki
Jagabaya, “aku menjadi bingung juga mendengar keterangan yang bersimpang siur.
Sebaiknya marilah kita bawa keempat orang itu ke Kademangan, bersama Ki Rena.”
“Aku tidak apa-apa, aku tidak
apa-apa,” desis Ki Rena.
Ki Demang menjadi heran.
Biasanya Ki Rena tidak mempedulikan sama sekali peringatan yang pernah
diberikan. Bahkan seolah-olah anak-anak muda Cangkring itu lebih banyak
terpengaruh oleh Ki Rena, daripada Ki Demang dan Ki Jagabaya. Mereka hanya
tunduk kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya di hadapannya saja. Tetapi jika kedua
orang itu tidak ada, dan perabot-perabot padukuhan yang lain tidak melihat,
mereka dapat saja melakukan tindakan-akan yang aneh-aneh, di bawah pengaruh Ki
Rena. Ki Kena sendiri yang memiliki sekedar ilmu kanuragan merasa, bahwa ia
adalah orang yang paling kuat di padukuhan Cangkring.
Namun ternyata di hadapan
orang bercambuk itu, semua keberanian, kesombongan dan ketamakannya, bagaikan
lenyap ditiup angin.
“Ki Demang,” berkata Ki
Waskita, “baiklah. Aku berterima kasih jika aku diperkenankan singgah di rumah
Ki Demang untuk menjelaskan persoalan ini.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Marilah, kita dapat berbicara lebih lelulasa.”
Demikianlah, maka Ki Waskita,
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Rudita pun diajak oleh Ki Demang pergi ke
rumahnya, untuk didengar penjelasannya.
Namun dalam pada itu, ternyata
kehadiran orang bercambuk itu telah sangat menarik perhatian. Berita
kehadirannya itu tidak hanya akan tersebar di kalangan rakyat Cangkring, tetapi
juga sampai ke sarang-sarang penjahat di sekitarnya.
Agaknya hal itu baru disadari
oleh Kiai Gringsing ketika ia berjalan sambil menundukkan kepalanya, menuju ke
rumah Ki Demang Cangkring.
“Aku sama sekali tidak sempat
memikirkan hal itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Lalu, “tetapi apa
boleh buat. Semuanya sudah terjadi, sehingga aku tidak akan dapat menarik
kembali.”
Meskipun demikian, Kiai
Gringsing tidak dapat mengesampingkan kecemasannya tentang murid-muridnya, yang
ditinggalkannya di Sangkal Putung. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka itu
adalah akibat dari kecerobohannya.
“Tetapi Angger Rudita sudah
dapat di ketemukan. Hari ini juga, aku dapat kembali ke Sangkal Putung,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi agaknya langit akan
segera menjadi suram. Jika ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu, maka baru
malam hari ia akan sampai di Jati Anom. Sudah tentu bahwa ia masih harus
menunggu sampai matahari terbit esok pagi.
Di rumah Ki Demang Cangkring,
ternyata tidak banyak yang mereka bicarakan. Ketika Ki Demang mengetahui semua
persoalan yang terjadi, maka tidak henti-hentinya ia minta maaf kepada Ki
Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Terutama kepada Rudita.
“Jika aku boleh berterus
terang,” berkata Ki Demang, “hal seperti ini bukan terjadi untuk yang pertama
kalinya. Meskipun yang pernah terjadi, pada umumnya karena anak-anak itu benar
melihat kejahatan terjadi, meskipun betapa kecilnya, namun hal seperti itu
sangat mencemaskan.”
“Mereka memerlukan penyaluran,
Ki Demang,” berkata Ki Waskita.
“Ya, Agaknya memang demikian.
Setiap kali aku memperingatkan mereka, mereka nampaknya juga mendengarkannya.
Tetapi di lain kesempatan, mereka telah mengulanginya lagi. Bahkan nampaknya
ada di antara mereka yang sangat kecewa terhadap sikapku. Di antara mereka
adalah Ki Rena. Ia memang mempunyai pengaruh terhadap anak-anak, terutama yang
menjelang usia dewasa.”
“Nampaknya memang demikian,”
desis Rudita.
“Angger,” berkata Ki Demang,
“seharusnya anak-anak itu memang mendapat pelajaran. Kenapa Angger tidak
melawannya, sehingga mereka menjadi jera? Menilik keadaan Angger, setelah
Angger mengalami perlakuan kasar itu, Angger adalah seorang anak muda yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mungkin Angger benar-benar seorang
anak muda yang kebal.”
“Ah tidak, Ki Demang. Sudah
berulang kali aku katakan, aku sama sekali tidak kebal.”
“Meskipun tidak,” berkata Ki
Demang, “tetapi Angger sudah menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Dan Angger
tentu dapat mempergunakannya untuk membuat anak-anak itu menjadi jera.”
Tetapi Rudita menggeleng.
Katanya, “Ki Demang, jika aku melawan, maka keadaan tentu akan menjadi semakin
buruk. Tentu anak-anak muda itu menjadi semakin marah, dan bahkan mungkin
mereka akan mempergunakan senjata. Jika demikian, maka akibatnya tentu tidak
kita harapkan,” Rudita berhenti sejenak. Lalu, “Lebih daripada itu, Ki Demang,
sebenarnyalah bahwa aku tidak akan mampu untuk berkelahi.”
“Ah,” Ki Demang mengerutkan
keningnya, “kau bergurau. Dan itulah yang sangat mengagumkan. Angger yang
memiliki ilmu katakanlah sejenis ilmu kebal, sama sekali tidak berbuat apa-apa
dalam keadaan yang sangat buruk itu.”
“Benar, Ki Demang. Aku tidak
dapat dan sama sekali tidak memiliki ilmu untuk bertempur.”
Ki Demang justru tertawa.
Tetapi Kiai Gringsing yang kemudian berkata, “Sebenarnya demikian Ki Demang.
Sebenarnya aku pun iri atas sikap damai anak itu. Rudita telah memilih jalan
hidup yang jauh lebih mulia dari yang barangkali kita pilih bersama, ia
mempelajari ilmu yang disadapnya dari seseorang yang sakti tiada taranya.
Sebenarnya ia leluasa mengambil seluruh ilmu yang tersedia di dalam rontal.
Tetapi anak itu memilih pada bagian yang seperti kita lihat sekarang. Ia
memilih sekedar untuk melindungi diri dalam sikap damainya, tanpa mempergunakan
kekerasaan. Itu pun dengan penyesalan, bahwa dengan demikian telah mengurangi
hubungan kepercayaan yang seharusnya mutlak dengan Penciptanya.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Luar biasa. Tetapi benar-benar tidak dapat dimengerti.
Di jaman seperti sekarang ini, ada juga seorang anak muda yang hidup dalam alam
cita-cita hakiki dari setiap manusia. Namun yang sampai saat ini jarang sekali,
jika tidak dapat dikatakan tidak ada, orang yang berani mencobanya.”
“Ah,” potong Rudita, “Ki
Demang jangan memuji. Jika aku berbuat demikian, itu adalah karena aku
mempunyai latar belakang sikap dan jiwa yang tidak sama pula dengan anak-anak
muda sebayaku. Aku adalah seorang penakut yang manja.”
“Tidak, tentu tidak. Sudah aku
katakan, tidak ada orang yang memiliki keberanian seperti Angger.”
Rudita tidak menjawab lagi.
Ketika ia memandang wajah Kiai Gringsing nampak wajahnya yang lesu menunduk
dalam-dalam.
Ternyata Kiai Gringsing sedang
memperbandingkan Rudita dengan Agung Sedayu yang memiliki sifat yang hampir
bersamaan di masa kanak-anaknya. Tetapi ternyata perkembangan selanjutnya
adalah sangat berbeda.
“Akulah yang tidak mempunyai
keberanian untuk melakukannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati, lalu,
“karena aku adalah orang yang hidup di dalam kebimbangan dan ketidakpastian.
Aku ingin berbuat tanpa kekerasan, tetapi aku mempelajari ilmu kekerasan dengan
sebaik-baiknya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun demikian, ia masih mencoba untuk melapangkan dadanya,
“Tetapi bagaimanapun juga, aku harus berusaha bahwa yang aku lakukan adalah
untuk suatu tujuan yang baik, yang sesuai dengan kehendak-Nya. Di dalam jaman
yang keras ini, memang tidak dapat diingkari, bahwa kadang-kadang diperlukan
juga kemampuan dalam olah kanuragan untuk melindungi sesuatu. Sesuatu yang
dapat dianggap baik, dari keruntuhan karena perbuatan yang salah.”
Kiai Gringsing seakan-akan
terbangun dari angan-angannya, ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata, “Ki
Sanak sekalian. Apakah yang selanjutnya dapat aku lakukan untuk menyatakan
penyesalan yang sedalam-dalamnya dari seluruh penghuni padukuhan ini, bahwa
yang terjadi adalah suatu kesalahan yang besar.”
Ki Waskita-lah yang menjawab,
“Tidak ada, Ki Demang. Tidak ada yang wajib Ki Demang lakukan untuk kami.
Tetapi barangkali ada yang harus Ki Demang lakukan untuk rakyat padukuhan ini.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya.
“Ki Demang. Mungkin ada
sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Usaha prajurit Pajang di Jati Anom untuk
menempa anak-anak muda di padukuhan Cangkring adalah benar. Tetapi selain
bimbingan kanuragan, anak-anak muda Cangkring harus mendapat bimbingan
kejiwaan, sehingga dengan demikian, maka perkembangan anak-anak muda Cangkring
akan menjadi seimbang. Jika mereka untuk selanjutnya hanya mendapat tempaan
jasmaniah saja, maka akibatnya akan dapat menjadi salah langkah. Anak-anak muda
itu akan berkembang dengan pesatnya, namun hanya di belahan luar. Tidak di belahan
dalam diri mereka.”