Betapapun kebimbangan
bergelora di dalam batinnya, namun akhirnya Sumangkar itu tidak juga dapat
membiarkan kekalahan demi kekalahan melanda pasukan murid kakak seperguruannya.
Karena itu berkali-kali terdengar ia berdesah, kemudian menggeram. Wajahnya semakin
lama menjadi semakin tegang. Dan orang tua itu menjadi semakin kuat menggenggam
senjatanya.
Ketika ia mendengar
orang-orang Pajang bersorak, seakan-akan dirinyalah yang disorakinya. Seorang
tua yang tidak berarti dan tidak tahu diri.
Di dalam arena pertempuran itu
sendiri, Sanakeling terpaksa melihat kenyataan, bahwa adik Untara yang bernama
Agung Sedayu itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Anak muda yang
lincah dan cekatan. Geraknya kadang-kadang terasa aneh dan membingungkan.
Sebenarnya Agung Sedayu mempunyai cara yang khusus dalam olah pertempuran. la
tidak saja mempergunakan unsur-unsur yang dipelajarinja dari gurunya, dari
ayahnya, dari kakaknya, dan dari pengalamannya yang sedikit itu, tetapi Agung
Sedayu telah berhasil membuat cara-cara dan unsur-unsur tersendiri, karena
ketekunannya membuat gambar-gambar di atas rontal.
Sehingga Sanakeling yang
dengan tatag berani melawan Widura kini terpaksa bertempur dengan memeras
segenap ilmu yang dimilikinya.
Di induk pasukan Tohpati pun
mengalami banyak kesulitan. Apalagi setelah Untara dapat melepaskan segenap
perhatiannya atas sayap kanannya yang agak mengalami kesulitan. Kini sayap itu
telah menjadi mantap kembali. Karena itu ia tinggal memusatkan perhatiannya
kepada Tohpati dan induk pasukannya. Namun Sonya, di sisi kiri dan Swandaru di
sisi kanan, ternyata banyak membantunya, memperingan tekanan-tekanan yang
Iangsung ke pusat pasukannya.
Apalagi di sayap kiri, Widura
telah mencoba mempengaruhi seluruh medan lewat sayapnya. Dikerahkannya kekuatan
sayapnya untuk mendesak semakin maju. Kemenangan yang dicapainya diharapkannya
dapat langsung menimbulkan pengaruh pada induk pasukan lawan dan lebih-lebih
bagi Tohpati sendiri. Menurut perhitungan Widura, kini telah sampai saatnya,
Tohpati mengalami kesulitan yang sama seperti yang dialami oleh Untara di
permulaan peperangan ini.
Sekali-sekali terdengar di
induk pasukan, Tohpati menggeram sambil menggeretakkan giginya. Kemarahannya
telah memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Tetapi ia tidak mau hangus
terbakar oleh kemarahannya. Karena itu, ia masih mempergunakan segenap
kesadaran serta perhitungan. Ia harus bertanan sampai matahari terbenam
meskipun seandainya harus menarik mundur pasukannya benerapa langkah untuk
beberapa kali. Tetapi ia harus memelihara agar pasukannya tidak terpecah. Sebab
dengan demikian, maka akan hilanglah gairah segenap anak buahnya. Hati mereka
akan berkeriput sekecil hati tikus. Apapun yang akan dilakukan besok, apabila
hati anak buahnya masih tetap terpelihara seperti hari ini, maka
kemungkinan-kemungkinan lain masih akan terjadi.
Namun ia masih harus
menghadapi kenyataan. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung mendesaknya seperti
prahara.
Sumangkar yang melihat
kekalahan-kekalahan yang semakin lama semakin sering, menjadi kehilangan
segenap keragu-raguannya. Bara yang menyala di dalam dadanya terasa menjadi
semakin panas. Dan tiba-tiba terdengar ia bergumam, “Tahanlah sesaat Ngger,
mudah-mudahan aku akan dapat membantumu.”
Kata-kata Sumangkar itu,
seakan-akan merupakan sebuah perintah bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba terasa
darahnya bergolak. Usianya yang sudah lanjut itu sama sekali tidak berpengaruh
atas ilmu dan ketangkasannya. Bahkan semakin tua ilmunya menjadi semakin masak,
dan segala geraknya menjadi semakin mapan.
Demikianlah dengan sigapnya
Sumangkar meloncat turun dari bongkahan tanah padas. Kemudian diamat-amatinya
tongkatnya sambil bergumam kepada diri sendiri, “Masa itu datang kembali.” Dan
kepada tongkatnya ia berkata, “Kau sudah terlalu lama beristiratat. Marilah
kita bekerja kembali. Aku tidak akan membawamu bertempur melawan
kelinci-kelinci yang tidak berdaya dari sangkal Putung dan Pajang. Pekerjaanmu
hanya mempengaruhi tekad dan gairah peperangan itu. Tolonglah aku, karena aku
terpaksa, menyingkirkan Angger Untara.”
Sumangkar itu kemudian
mengangkat wajahnya. Di berbagai tempat dilekukan-lekukan tanah yang dalam,
masih dilihatnya air yang tergenang sisa hujan semalam, meskipun karena panas
yang terik di sana-sini tampak debu yang berhamburan.
“Maafkan aku Angger Untara,”
desisnya, “aku terpaksa melakukannya.”
Sumangkar itu kemudian
menggigit bibirnya, seolah-olah ia sedang mengusir parasaan lain yang
mengganggunya. Kemudian dengan dada tengadah ia melangkah menuju kearena
peperangan.
Namun tiba-tiba langkah orang
tua itu terhenti. Lamat-lamat ia mendengar orang memanggilnya. Perlahan-lahan
seperti sebuah bisikan.
“Adi Sumangkar. Adi,
berhentilah sebentar.”
Langkah Sumangkar tertegun.
Dipalingkannya wajahnya. Dan ia benar-benar terkejut ketika dilihatnya
seseorang duduk di bawah sebuah gerumbul kecil di samping bongkahan tanah padas
tempatnya berdiri menyaksikan peperangan itu.
Tetapi Sumangkar itupun telah
menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya, sehingga sesaat
kemudian ia sudah berhasil menguasai dirinya. Bahkan sambil tersenyum ia
menjawab, “Ah. Aku terkejut mendengar sapa Ki Sanak.”
Orang itu mengangguk. “Maafkan
kalau aku mengejutkanmu. Bukan maksudku berbuat demikian, sehingga karena itu,
aku menyapamu perlahan-lahan.”
“Ya, ya. Kau sudah
berhati-hati. Tetapi orang-orang tua seperti aku ini memang mudah menjadi
terkejut. Bukankah begitu.”
Orang itupun tersenyum. Orang
itupun sudah setua Sumangkar, bahkan setahun dua tahun di atasnya. Sambil
tersenyum ia menjawab, “Benar. Kau benar Adi. Orang-orang tua mudah benar
menjadi terkejut.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Apakah Ki Sanak memerlukan aku?”
“Ya,” sahut orang itu. “Aku
ingin mempunyai seorang kawan untuk melihat peperangan itu.”
“Baik,” jawab Sumangkar, “aku
akan mengawanimu. Tetapi biarlah aku melihatnya dahulu dari dekat. Nanti aku
akan segera kembali.”
Orang tua itu menggeleng.
Sambil masih duduk bersandar sebongkah padas ia menggeleng, “Jangan nanti. Dan
sebaiknya Adi tidak usah pergi ke arena. Bukankah di sana tempat anak-anak muda
saling menyombongkan kecakapan mereka memainkan senjata? Sama sekali bukan
tempatnya orang-orang tua seperti kita?”
Dada Sumangkar berdesir.
Sebagai seorang yang telah cukup makan asin pahit penghidupan, segera ia
menyadari maksud kata-kata itu. Karena itu maka kemudian iapun tersenyum. Ia
berdiri menghadap orang yang duduk bersandar padas itu. Perlahan-lahan
mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyumnya membayangkan tanggapannya atas
orang itu.
Sumangkar itupun segera
mengerti siapakah yang duduk di hadapannya. Orang itu pasti seorang yang pilih
tanding sehingga Sumangkar sama sekali tidak mengetahui kehadirannya. Sikapnya
dan kata-katanya yang tenang meyakinkan. Sorot matanya yang tajam menembus
langsung ke pusat jantungnya.
Dan ternyata sesaat kemudian
Sumangkar segera mengetahui, meskipun ia belum pasti. Tetapi tidak ada orang
lain yang dapat disangkanya, orang yang duduk di hadapannya itu. Sehingga
karena itu maka segera ia berkata, “Hem. Bukankah Kakang yang menamakan diri
Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk sambil
tertawa kecil. Katanya, “Dari mana Adi tahu tentang aku?”
“O,” sahut Sumangkar,
“bukankah kita pernah bertemu? Bukankah Kiai pernah mengunjungi daerah ini
bersama dua orang murid Kakang selagi aku sedang bermain-main dengan K i Tambak
Wedi bersama muridnya yang bernama Sidanti.”
Orang tua itu, yang sebenarnya
adalah Kiai Gringsing, tertawa pula. Katanya, “Benar. Benar. Ingatanmu baik
sekali Adi. Ternyata meskipun saat itu malam tidak terlalu terang, kau masih
juga dapat mengenal aku.”
Sumangkar tertawa pula. Namun
hatinya berdebar-debar menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja tumbuh. Sudah
tentu Kiai Gringsing akan berbuat sesuatu, apabila ia benar-benar akan terjun
ke dalam arena. Karena itu, maka ia harus menentukan suatu sikap untuk
mengatasi setiap perkembangan keadaaan.
Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia
berpaling ke arah peperangan yang masih saja berkobar dengan dahsyatnya. Sekali
lagi dadanya berdesir. Ia melihat beberapa bagian dari gelar Dirada Meta telah
terdesak-mundur. Gelar perang yang tangguh itu benar-benar sudah berada dalam
bahaya.
“Kiai,” berkata Sumangkar itu
kemudian, “aku tidak banyak mempunyai waktu. Apakah Kiai tidak berkeberatan
apabila Kiai duduk di sini sebentar? Aku akan pergi ke arena itu, ikut serta
dengan anak-anak Jipang bermain-main senjata.”
“Ah,” sahut Kiai Gringsing
perlahan-lahan. “Sudahlah. Jangan melelahkan diri sendiri, marilah duduk di
sini. Kita lihat pertunjukan itu.”
“Kau aneh Kiai,” berkata Sumangkar.
“Pertunjukan itu terlalu menjemukan bagiku. Apakah tidak demikian bagimu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ia melihat Sumangkar berdiri tegak seperti sebatang tonggak yang
kokoh. Karena itu maka perlahan-lahan orang tua itupun berdiri. Banyak hal yang
dapat terjadi menilik sikap Sumangkar itu.
“Apakah yang akan kau lakukan
atas permainan yang menjemukan itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
Sumangkar terdiam sesaat.
Sekali lagi ia berpaling, dan sekali lagi ia melihat pasukan Jipang yang
terdorong mundur beberapa langkah.
“Kiai Gringsing,” berkata
Sumangkar, “aku adalah seorang bawahan dari Macan Kepatihan. Apakah aku akan
dapat berdiam diri melihat pertempuran itu? Ternyata Angger Untara memliliki
kecemerlangan rencana untuk menghadapi Macan Kepatihan. Sebelum ini aku
mengagumi ketangguhan dan ketangkasan pasukan Jipang di bawah pimpinan Tohpati.
Namun ketika akan melihat cara yang ditempuh dan perhitungan-perhitungan yang
matang dari Angger Untara, maka aku benar-benar menundukkan kepala untuk itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk kepalanya. Sahutnya, “Lalu, bagaimana sekarang?”
“Aku harus ikut dalam
permainan itu. Kiai berkeberatan?”
“O, tidak. Tentu tidak. Adalah
menjadi kewajibanmu untuk melakukannya. Bukankah kau seorang prajurit?”
Sumangkar menjadi bimbang
mendengar jawaban itu. Ia tidak dapat mengerti kenapa Kiai Gringsing
seakan-akan membiarkan untuk berbuat sesuatu atas pertempuran itu. Namun
Sumangkar bukan anak-anak yang mudah terpedaya oleh ucapan-ucapan yang
meragukan. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mempercayainya, seandainya Kiai
Gringsing dengan sukarela membiarkannya masuk ke dalam arena. Meskipun demikian
katanya, “Terima kasih Kiai. Agaknya Kiai akan bersabar menunggu aku kembali
dari arena.”
“Nanti dulu, Adi,” sahut Ki
Tanu Metir.
Sumangkar tertegun sejenak.
Tetapi ia sebelumnya telah memperhitungkannya, bahwa pekerjaannya akan
bertambah berat. Ia tidak akan begitu saja dapat hadir di dalam peperangan itu,
apalagi memusnahkan Untara, selagi Kiai Gringsing masih berada di tempat itu.
“Jangan tergesa-gesa.”
“Waktuku hanya sedikit Kakang.
Lihatlah, pasukan Jipang telah terdesak jauh ke belakang garis benturan antara
kedua gelar itu.”
“Belum Adi. Mereka sekarang
berada pada garis yang terjadi pada saat kedua pasukan itu berbenturan. Kau
hanya melihat pasukan Jipang terus menerus mundur. Tetapi aku melihat sejak
pertempuran itu terjadi. Mula-mula pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal
Putunglah yang terdesak sampai jauh ke belakang garis itu. Sekarang mereka
mendesak maju. Namun belum terlalu jauh melampaui garis benturan itu.”
“O, agaknya kau lebih dahulu
sampai di sini Kiai?”
“Aku melihat sejak peperangan
itu mulai. Sejak pasukan Jipang muncul dari balik pepohonan hutan dangan
panji-panji kebesaran, rontek dan umbul-umbul yang megah itu. Aku melihat
pasukan Pajang dan anak-anak Sangkal Putung datang dari arah yang lain dengan
ketiga panji-panji yang mereka agung-agungkan. Dan aku melihat bagaimana mereka
berbenturan.”
“Hem,” Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Kalau demikian, kau melihat kedatanganku pula Kakang.”
“Ya, aku melihat kau berdiri
di sini. Sekali-sekali kau meloncat naik ke atas tanah padas itu. Sekali kau
meloncat turun. Aku tidak akan mendekatimu, kalau aku tidak tertarik pada
tongkat yang kau bawa itu. Tongkat itu mirip benar dengan tongkat Macan
Kepatihan.”
Sumangkar mengangguk-angukkan
kepalanya, “Ya tongkat ini memang mirip dengan tongkat Angger Tohpati.”
“Apakah Tohpati membagikan
tongkat semacam itu kepada para prajuritnya?”
Sumangkar menarik alisnya.
Namun demikian ia tersenyum. Jawabnya, “Pertanyaanmu membingungkan Kiai.
Baiklah aku mencoba menjawabnya. Tongkat ini adalah ciri dari perguruan Kedung
Jati. Aku kira Kiai sudah mengetahuinya pula.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” sahutnya. “Macan Kepatihan adalah murid
Mantahun. Saudara seperguruanmu.”
“Tepat. Bukanlah wajar kalau
aku membantunya? Selain paman gurunya, aku adalah prajurit Jipang pula.”
“Sudah aku katakan, bahwa
adalah kewajibanmu membantu Angger Tohpati. Namun aku ingin memberitahukan pula
kepadamu. Kalau Tohpati itu murid kakak seperguruanmu, maka Untara adalah kakak
dari muridku.”
Sumangkar menarik nafas. Ia
melihat kemungkinan yang ada di hadapannya. Namun ia masih tersenyum. Katanya,
“Kalimat yang disilang-balikkan. Membingungkan Kiai.”
“Tidak terlalu sulit,” jawab
Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.
“Angger Tohpati adalah murid
dari kakak seperguruanku. Jelas?”
“Ya, aku tahu.”
“Kalau demikian, maka
kewajibanmu atas Angger Tohpati tidak akan jauh berbeda dari kewajibanku atas
Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing pula. “Namun aku tetap berdiam diri
melihat Angger Untara terdesak dengan sengitnya, sebelum laskar cadangan itu
datang.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Semuanya sudah pasti baginya. Tak ada jalan lain. Karena itu, maka
lebih baik segala sesuatunya segera terjadi daripada masih harus menunggu
perkembangan yang kecil sekali kemungkinannya.
Karena itu maka katanya, “Ada
satu perbedaan Kiai. Aku prajurit Jipang. Apakah Kiai prajurit Pajang atau
laskar Sangkal Putung? Seandainya demikian, maka kita berbeda pendirian.
Mungkin Kiai dapat berdiam diri terhadap Untara, tetapi aku tidak akan dapat
berbuat demikian. Aku harus menyingkirkan Angger Untara.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditatapnya wajah Sumangkar dengan tajamnya, namun sekali-sekali ia
berpaling memandangi arena pertempuran pula. Ia tahu benar bahwa Sumangkar
tidak akan dapat dicegahnya dengan kata-kata. Tetapi ia masih ingin mencoba
untuk memperpanjang waktu sehingga Sumangkar akan terlambat. Kiai Gringsing
itupun melihat pula, bahwa pasukang Jipang sudah semakin lemah dan terus
menerus terdesak mundur.
Maka katanya sambil tersenyum,
“Jangan begitu Adi. Jangan berkata sekeras itu. Bukankah kita, yang tua-tua ini
sudah tidak pantas ikut bermain-main dengan senjata? Sebaiknya kita duduk saja
di sini sambil melihat. Kalau Adi setuju, marilah kita bertaruh, siapakah yang
akan menang.”
“Apakah yang akan kita
pertaruhkan?” bertanya Sumangkar. “Apakah Kiai, mempunyai barang-barang
berharga?”
“Apa saja dapat kita
pertaruhkan,” sahut Kiai Gringsing, “ikat kepala, kain panjang kita, atau
timang kita?”
“Bagaimana kalau aku usulkan
Kiai?” berkata Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Boleh. Barangkali Adi
mempunyai usul yang baik.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Taruhan kita adalah anak-anak muda itu. Macan
Kepatihan dan Untara.”
“He?” bertanya Kiai Gringsing
sambil mengusap keningnya, “bagaimana mungkin? Kalau kita mengadu ayam, maka
mereka adalah ayam jantan kita masing-masing.”
“Permainannyalah yang harus
kita tentukan” potong Sumangkar.
“Oh” Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sumangkar sudah tidak akan
dapat diperlunak lagi. Ternyata orang itu berkata, “Marilah kita yang berlomba,
bukan hanya sekedar membuat taruhan.”
“Apakah perlombaan itu?”
“Kita berlomba lari sampai ke
arena” ajak Sumangkar.
Kiai Gringsing menggeleng.
“Aku bukan seorang pelari. Tetapi kalau Adi akan berlari, mungkin aku akan
mencoba menangkanp ujung kainmu.”
Orang-orang tua itu sudah
sampai pada kemungkinan terakhir, menyelesaikan soal mereka dengan cara yang
tak mereka kehendaki. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain. Mereka
ternyata telah berada dalam puncak kemungkinan itu.
“Kiai Gringsing,” berkata
Sumangkar kemudian, “Kiai telah pernah melihat aku bermain-main melawan Ki
Tambak Wadi, tetapi aku belum pernah melihat, bagaimana Kiai melontarkan kaki.
Karena itu, maafkan aku. Aku akan mulai dengan usulku. Terserahlah kepada Kiai,
apakah Kiai akan turut serta berlomba lari atau tidak.”
Sumangkar tidak menunggu
jawaban lagi. Segera ia melontar surut sambil memutar tubuhnya. Ia mengharap
Kiai Gringsing akan meloncat mencegatnya. Tetapi Sumangkar menjadi kecewa. Kiai
Gringsing belum beranjak dari tempatnya. Katanya, “Apakah aku harus
mengejarmu?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Sambil menahan gelora di dadanya ia bertanya, “Kenapa Kiai tidak
mengejar aku dan menangkap kainku seperti kata Kiai.”
“Aku akan mencobanya kalau kau
betul-betul telah mulai dengan lomba itu.”
“Hem,” desis Sumangkar. Ia
menjadi jengkel melihat ketenangan Kiai Gringsing. “Kiai yakin benar akan
perhitungan Kiai? Aku pasti tidak akan berlari terus meninggalkan Kiai dengan
membiarkan diriku membalakangi Kiai. Begitu? Aku tidak akan membiarkan
punggungku tersentuh oleh tangan Kiai. Karena itu Kiai tidak perlu mengejar
aku. Tetapi bagaimana seandainya aku membuat perhitungan pula, bahwa Kiai tidak
akan mengejar dan mencegat aku, lalu aku benar-benar berlari ke arena yang
semakin parah bagi Jipang itu?”
“Adi,” berkata Kiai Gringsing,
“sebenarnya apa yang akan kita lakukan itu tidak akan ada gunanya. Seandainya
kita membuat permainan sendiri, maka permainan kita tidak akan mempengaruhi
pertempuran itu. Betapapun lemahnya satu di antara kita, tetapi kita pasti akan
memerlukan waktu. Dan lihatlah kini. Betapa laskar Jipang telah terdesak
semakin jauh.”
Dada Sumangkar bergetar
mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu. Ia dapat mengerti dan ia sependapat
pula. Menurut perhitungan, seandainya Kiai Gringsing memiliki ilmu yang tidak
terpaut banyak daripadanya, maka waktu yang diperlukan pasti akan lebih banyak
dari waktu yang diperlukan oleh pasukan Pajang untuk memecah barisan Macan
Kepatihan.
Tetapi kadang-kadang perasaan
seseorang tidak sejalan dengan pikirannya. Meskipun Sumangkar menyadarinya,
namun apakah ia akan duduk diam dan menonton pasukan Jipang terpecah belah
tanpa berbuat sesuatu? Dan benarkah bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu yang
cukup baik untuk bertahan cukup lama.
Akhirnya Sumangkar tidak lagi
ingin membuat perhitungan-perhitungan. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Karena
itu maka katanya, “Kiai, aku kagum melihat sikap dan ketenangan Kiai. Tetapi
aku tidak akan terpengaruh oleh apapun. Aku tetap dalam pendirianku. Angger
Untara harus dilenyapkan supaya prajurit Pajang menjadi kehilangan pegangan,
dan bertempur tanpa ikatan.”
“Jangan supaya aku tidak
berusaha meniadakan Macan Kepatihan pula.”
“Terserah kepadamu. Aku tetap
akan melakukan rencanaku.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Setapak ia maju, ia tidak akan membiarkan Sumangkar berlari ke arena, dan
langsung membunuh Untara.
Melihat Kiai Gringsing
bergerak, Sumangkar tiba-tiba merenggangkan kakinya. Tongkatnya digenggamnya
dengan tangan kanannya dan sinar matanya tajam hinggap di wajah Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing kini sudah
tidak tersenyum lagi. Ia pernah melihat Sumangkar bertempur melawan Tambak
Wedi. Tetapi Sumangkar tidak mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu. Kini
senjata itu berada dalam genggamannya. Karena itu maka nilai orang itu pasti
akan berbeda. Sumangkar kali ini pasti akan berada di puncak kemampuannya.
Kedua orang tua itu, Kiai
Gringsing dan Sumangkar kini telah berdiri berhadapan. Keduanya adalah
orang-orang yang berfikir bening dan berilmu hampir mumpuni. Namun kini mereka
terpaksa berdiri dalam kesiagaan yang paling tinggi.
“Adi Sumangkar, apakah kita
orang tua-tua inipun terpaksa tidak tahu diri dan saling bertengkar seperti
anak-anak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku tidak ingin itu terjadi
Kiai, bukankah aku hanya ingin menyingkirkan Untara dari peperangan itu” sahut
Sumangkar.
“Baiklah. Aku tidak mempunyai
pilihan lain. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Untara adalah kakak dari murid
perguruanku?”
“Terserah kepada Kiai. Aku
sudah siap.”
Kiai Gringsing kemudian
menarik ujung kainnya dan diselipkan di ikat pinggangnya. Kain itu adalah kain
gringsing. Perlahan-lahan ia mengambil sesuatu dari bawah bajunya, melingkar di
perutnya.
“Senjata Sumangkar adalah
senjata pilihan,” desisnya di dalam hati. “Aku harus berhati-hati.”
Tiba-tiba di tangan Kiai
Gringsing itupun tergenggam sebuah cambuk yang pendek namun berjuntai panjang.
Itulah senjatanya yang paling berbahaya.
Sumangkar mengerutkan
keningnya melihat senjata itu. Ia mencoba mengingat-ingat. Perguruan manakah
yang mempunyai ciri khusus sebuah cambuk yang berjuntai panjang, kira-kira satu
setengah kali panjang pedang biasa. Tetapi Sumangkar belum berhasil menemukannya.
“Hem,” katanya dalam hati,
”orang semacam Kiai Grinsing itu pasti seorang yang berbahaya sekali. Meskipun
aku belum melihat geraknya, tetapi agaknya ia lebih berbahaya dari Ki Tambak
Wedi.”
Dalam pada itu Kiai Gringsing
pun berkata di hatinya, “Alangkah tinggi tekad Sumangkar. Dan alangkah tabah
hatinya menghadapi persoalan yang semakin gawat ini. Agaknya ia masih mencoba
untuk mengatasi persoalan ini. Persoalan antara dirinya sendiri dan persoalan
anak-anak Jipang itu.”
Dan ketika tiba-tiba Sumangkar
mendengar sorak di medan perang, ia berpaling sekali lagi. Dilihatnya pasukan
Jipang terdesak dalam jarak yang cukup panjang. Meskipun kemudian mereka
berhenti dan mencoba bertahan lagi, namun Sumangkar semakin menjadi cemas bahwa
pasukan itu segera akan pecah sebelum senja.
Tanpa disengajanya, tiba-tiba
ia melangkah maju mendekati Kiai Gringsing. “Tak ada pilihan lain,” desisnya.
Kiai Gringsing mengangguk, “Ya
tak ada pilihan lain.”
“Apakah Kiai siap?” bertanya
Sumangkar sambil menggerakkan ujung tongkatnya yang kuning dan berbentuk
tengkorak.
Kiai Gringsing mengangguk.
“Aneh,” desisnya, “aku bersembunyi karena aku takut Angger Untara membawa aku
serta dalam peperangan itu. Tetapi tiba-tiba aku terpaksa menghadapi seorang
lawan.”
“Jangan terlalu merendahkan
diri Kiai,” sahut Sumangkar, ”marilah, sebelum anak-anak itu selesai
bermain-main.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ia mempersiapkan dirinya menyambut segala kemungkinan.
Sumangkar pun kemudian maju
selangkah. Kini tongkatnya telah bergerak-gerak. Dan ketika ia mendengar sekali
lagi sorak yang gemuruh maka tiba-tiba ia meloncat menyerang Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing telah bersiap
menyambut serangan itu. Selangkah meloncat ke samping dan tiba-tiba ia
mengerakkan tangannya. Ujung cambuknya bergetar cepat sekali menyambar lawannya
yang melontar di sampingnya.
Sumangkar benar-benar terkejut
melihat ujung cambuk yang seakan-akan mengejar untuk mematuk tengkuknya. Cepat
ia menghindar sambil merendahkan dirinya. Tetapi sekali lagi ia terkejut, ujung
cambuk yang tidak menyentuhnya itu meledak di atas kepalanya seperti ledakan
petir di langit.
Sumangkar menggeram. Sekali
lagi ia meloncat ke samping untuk mengambil jarak yang cukup. Namun Sumangkar
adalah orang yang cukup cekatan mengimbangi gerak Kiai Gringsing. Demikian ia
berjejak di atas tanah, demikian ia melontar menyusup ke dalam batas pertahanan
lawannya. Tongkatnya terayun deras sekali ke arah kaki Kiai Gringsing.
Kini Kiai Gringsinglah yang
terkejut. Tetapi ia adalah orang yang cukup berpengalaman menghadapi setiap
kemungkinan. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping dan dengan lincahnya pula
ia menggerakkan senjatanya.
Sumangkar yang gagal mengenai
lutut Kiai Gringsing cepat-cepat melontar surut menghadapi kejaran ujung cambuk
lawannya yang seakan-akan mempunyai biji mata. Hanya karena ketrampilannya maka
ia berhasil melepaskan diri dari sengatan-sengatan ujung cambuk itu.
Demikian mereka terbenam dalam
pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Orang-orang tua itu bertempur dalam
jarak yang tidak demikian jauhnya dari garis pertempuran. Sekali-sekali mereka
mendengar sorak yang gemuruh dari kedua belah pihak. Pasukan Jipang yang
walaupun selalu terdesak mundur namun sekali-sekali mereka masih juga menjumpai
kemenangan-kemenangan kecil. Bahkan sekali-sekali mereka juga berhasil maju
selangkah dua langkah. Tetapi sesaat kemudian mereka terdesak kembali.
Sorak-sorai yang gemuruh itu
seakan-akan adalah sorak-sorai para penonton yang menyoraki kedua orang-orang
trua itu. Bagaimanapun juga maka suara-suara itu telah mempengaruhi perasaaan
mereka. Seolah-olah para prajurit itu melihat bahwa sekali-sekali Kiai
Gringsing terpaksa berloncatan surut namun disaat yang lain Sumangkar terpaksa
berguling-guling menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing.
Pertempuran di kedua arena itu
berlangsung terus meskipun sifatnya sangat berbeda. Di satu lingkaran, mereka
bertempur dalam garis perang yang panjang. Benturan antara dua kekuatan yang
besar dalam gelar yang sempurna. Masing-masing dipimpin oleh Senapati yang
cukup tangguh dan beberapa senapati pengapit. Sedangkan di arena kecil, tidak
begiitu jauh dari garis perang itu, dua orang yang sudah menjelang hari-hari
tuanya, bertempur dengan serunya pula. Keduanya mampu bergerak melampaui
kecepatan gerak orang kebanyakan. Di antara bayangan yang berloncatan
mengeletarlah suara letupan-letupan cambuk Kiai Gringsing dan kilatan cahaya
keputih-putihan dari tongkat baja kuning Sumangkar. Sekali-sekali cahaya
kekuningan seleret-seleret menyambar seperti pijar bara api.
Kedua arena pertempuran yang
berbeda bentuk dan sifat itu semakin lama menjadi semakin seru. Dan matahari
pun semakin lama semakin menurun disisi langit sebelah Barat.
Untara yang mempimpin seluruh
kekuatan Pajang dan Sangkal Putung melihat bahwa ia akan dapat mengatasi
keadaan. Karena itu, semakin besarlah usahanya untuk segera mengakhiri
peperangan sebelum korban menjadi semakin lama semakin banyak di kedua belah
pihak.
Dengan penuh tanggung jawab ia
bertempur melawan Macan Kepatihan sambil sekali-sekali mengawasi setiap sudut
pertempuran. Ketika ia yakin bahwa kedudukan sayap-sayapnya pun menjadi
bertambah baik, maka seperti angin taufan ia memperkuat serangan-serangannya
atas Macan Kepatihan.
Sekali-sekali Macan Kepatihan
itu menggeram dan menggertakkan giginya. Semakin lama disadarinya, bahwa
pasukannya menjadi semakin kalut. Satu-satu korban berjatuhan dan sekali-kali
ia mendengar pekik dan keluh kesah, bahkan sekali sebuah jeritan melengking
menyayat hatinya yang parah.
Widura pun melihat keadaan
itu. Kesempatan ini tidak boleh lampau. Ia tidak boleh menunggu anak-anak muda
Sangkal Putung yang datang kemudian menjadi kelelahan dan dengan demikian
kekuatan seluruh pasukannya menjadi surut kembali. Karena itu, maka ia pun
segera memperketat tekanan atas sayap lawan. Pedangnya yang berat terayun-ayun
seperti baling-baling. Lawannya, Alap-Alap Jalatunda yang bertempur bertiga
melawannya dengan gigih. Tetapi Widura adalah seorang Senapati yang
berpengalaman menghadapi setiap keadaan medan, sehingga dengan mudahnya ia
berhasil mempersempit kesempatan lawannya.
Di sayap yang lain, Agung
Sedayu gigih melawan Sanakeling. Dalam pertempuran itu Sanakeling terpaksa
mengakui, anak yang masih sangat muda, adik Untara itu tidak dapat
diabaikannya. Bahkan beberapa kali ia mengalami kesulitan dengan unsur-unsur
gerak yang aneh dan hampir tak dapat dimengertinya. Untunglah bahwa Sanakeling
adalah prajurit sejak mudanya. Karena itu, maka dengan bekal kemampuan dan
pengalamannya ia masih tetap bertahan mengimbangi kecepatan bergerak Agung
Sedayu.
Namun Agung Sedayu benar-benar
telah lupa akan kewajibannya yang lain. Ia merasa bahwa ia berada dalam keadaan
sendiri, lepas dari kewajiban-kewajiban lainnya. Untunglah Hudaya masih tetap
berada disampingnya meskipun kian lama ia menjadi semakin pucat dan lemah.
Darah masih saja mengalir dari lukanya meskipun tidak begitu deras. Meskipun
demikian ia tidak dapat meninggalkan arena, karena ia pun menyadari sepenuhnya,
bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang mampu bertempur dengan baik,
tetapi ia belum seorang Senapati yang baik, yang melihat pertempuran dalam
keseluruhan.
Demikian tegalan kering itu
telah menjadi kancah pertempuran yang dasyat. Tanah yang telah menjadi merah
berlumuran darah, menghamburkan debunya menjulang tinggi ke langit. Matahari
menjadi suram karenanya, sesuram wajah anak gadis yang ditinggalkan kekasihnya
ke medan pertempuran.
Kilatan cahaya yang terpantul
di ujung-ujung senjata masih gemerlapan. Panji-panji, rontek dan umbul-umbul masih
tegak di kedua pihak meskipun tidak lagi semegah semula. Namun angin yang
semakin kencang telah menyentuh-nyentuhnya dan melambaikan daun-daun rontek dan
umbul-umbul. Panji-panji yang megah berkibaran seperti tangan yang menggelepar
menyentak-nyentak, seolah-olah tangan seorang senapati sedang memberi aba-aba.
Agak jauh dari mereka,
Sumangkar masih bertempur melawan Kiai Gringsing dengan gigihnya. Kedua orang
tua yang telah kenyang makan pahit manis perkelahian itu, bertempur dengan cara
mereka sendiri.
Tetapi bagaimanapun juga,
mereka tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh peperangan yang berlangsung di
sebelah. Sorak-sorai yang gemuruh dan gerakan-gerakan surut dari salah satu
pihak dari antara mereka.
Sejenak kemudian, tiba-tiba
Sumangkar melontar mundur beberapa langkah sambil berdesis, ”Tunggu Kiai. Aku
ingin melepaskan diri sebentar.”
Kiai Gringsing mendengar desis
itu. Ia adalah seorang yang dapat menghadapi lawan dengan hati lapang. Ia tidak
mau berbuat curang selagi lawan dalam keadaan yang tidak wajar, karena itu
demikian ia mendengar desis Sumangkar itu, ia pun segera menghentikan
serangannya. Dan bahkan terdengar ia bertanya, “Apa yang mengganggumu Adi?”
Sumangkar tidak menjawab.
Namun ia tahu pasti bahwa Kiai Gringsing akan menghargai nilai-nilai
kejantanannya, sehingga ia tidak akan menyerangnya selagi ia tidak bersiaga.
Kini ia berdiri tegak bagaikan
patung batu. Nafasnya yang tersengal-sengal satu-satu, meluncur lewat
lubang-lubang hidungnya. Ia mengakui kini bahwa Kiai Gringsing adalah seorang
yang luar biasa. Seorang yang tidak kalah nilainya dari Ki Tambak Wedi yang
merasa dirinya tidak terlawan. Namun ternyata orang yang tidak dikenal ini sama
sekali tidak berada di bawah tingkat ilmu Ki Tambak Wedi. Bahkan diam-diam ia
mengakui, bahwa ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya.
Tetapi bukan itulah yang
mendebarkan jantungnya. Bahkan di luar sadarnya ia berkata, “Lihatlah Kiai,
pasukan Jipang terdorong jauh ke belakang.”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing
singkat.
Namun dengan serta merta
terloncatlah dari mulut Sumangkar yang gelisah, “Umbul-umbul itu kini sudah
tidak tegak lagi.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ia melihat apa yang dikatakan oleh Sumangkar. Pasukan Jipang terdorong
jauh. Namun tiba-tiba garis perang itu terhenti bergeser. Kiai Gringsing dan
Sumangkar melihat apa yang terjadi. Macan Kepatihan sedang berusaha
mempersempit gelarnya.
“Bukan main,” guman Kiai
Gringsing.
Sumangkar berpaling, “Apa yang
bukan main Kiai”
“Murid kakak seperguruanmu,”
jawab Kiai Gringsing, “ia berhasil menemukan cara untuk mengurangi tekanan
lawannya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tohpati telah berusaha memperpendek garis perangnya.
Dengan kekuatan yang lebih
baik, seorang-seorang, ia mengharap dapat mengurangi kekalahan-kekalahan yang
selama ini dideritanya. Macan Kepatihan mengharap, bahwa dalam keadaan yang
demikian, anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan mendapat kesempatan yang
baik. Bahkan ketika pertempuran itu baru mulai, mereka menjadi kebingungan
untuk mengambil tempat.
Tetapi Widura di sayap kiri
bukan orang yang mudah dikelabuhi. Ketika ia melihat gelar lawannya menyempit,
segera ia menebarkan ujung sayapnya, mencoba melingkar dan mencapai garis
serangan dari belakang gelar lawannya. Tetapi Alap-Alap Jalatunda tidak
membiarkannya, sehingga terpaksa ujung pasukannyapun menebar pula mencegah
pasukan Widura yang ingin memotong garis di belakang gelar.
Tohpati menggeram melihat cara
Widura melawan gelarnya. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Bahkan ia pun akan
mengambil sikap serupa seperti apa yang dilakukan oleh Alap-Alap Jalatunda
apabila ia menghadapi keadaan yang serupa.
Tetapi Tohpati tidak juga
dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika matahari menjadi semakin rendah,
pasukannya telah benar-benar terdesak jauh ke belakang. Ketengah-tengah padang
rumput yang terbentang di sisi hutan tempat persembunyian Macan Kepatihan.
Sekali-sekali Macan Kepatihan
masih mencoba meneriakkan aba-aba. Namun gunanya hampir tidak ada sama sekali.
Pasukannya telah benar-benar menjadi payah dan kehilangan kesempatan. Betapa
Sanakeling mencoba menekan lawannya, namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya
dengan baik. Bahkan sekali-sekali terdengar Sanakeling mengumpat dengan
kata-kata yang kotor.
Kini Macan Kepatihan sudah
tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Hatinya menyala seperti nyala matahari
di langit. Tetapi banyak hal yang telah mengganggunya selama ini. Ketika ia
berkesempatan menebarkan pandangan matanya sesaat kepada pasukannya maka
hatinya berdesir. Pasukannya benar-benar telah menjadi payah. Kalau Untara
berhasil memecah pasukannya itu segera sebelum gelap dan masih jauh dari hutan
itu maka pasukannya kali ini akan benar-benar hancur. Kesempatan untuk
mengundurkan diri dengan selamat, sangat kecil. Pasukannya pasti akan diremuk
lumatkan saat mereka mencoba mengundurkan dirinya. Korban pasti akan
bertimbun-timbun dan untuk seterusnya akan sulit baginya untuk menyusun
kekuatan kembali.
Karena itu, maka ia harus
berjuang sekuat-kuat tenaga untuk bertahan sampai matahari terbenam atau mundur
dalam gelar yang teratur sampai ke tepi hutan itu.
Tetapi Untara bukan tidak
dapat menebak maksud itu. Ia tahu benar bahwa Macan Kepatihan sedang berusaha
mencari kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan pasukannya. Karena
itulah justru beberapa kali terdengar ia meneriakkan aba-aba, aba-aba yang
sebenarnya hanya merupakan cara-cara yang dapat mempengaruhi daya dan gairah
bagi prajurit-prajuritnya.
Sumangkar yang melihat
peperangan itu menjadi semakin tegang. Ia melihat umbul-umbul dan rontek,
bahkan panji-panji Jipang kadang-kadang telah tidak tegak lagi. Sekali-sekali
ia melihat umbul-umbul itu condong bahkan hampir roboh didorong oleh geseran
garis perang. Sekali-sekali ia melihat sebuah rontek dari antara sekian banyak
rontek, terseret jauh di belakang pasukan Jipang yang sedang bertahan
mati-matian. Bahkan semakin lama, Sumangkar tidak dapat melihat umbul-umbul dan
rontek, serta panji-panji Jipang masih berada di tempat yang seharusnya bagi
sebuah gelar Dirada Meta.
Sementara itu peperangan
menjadi semakin riuh. Hati Macan Kepatihan menjadi semakin cemas, matahari
baginya berjalan terlampau lambat. Bahkan seakan-akan telah berhenti di langit.
Sedang korban di pihaknya, satu-satu berjatuhan tak henti-hentinya. Di sayap
kirinya, betapapun Sanakeling berusaha, namun Agung Sedayu mampu
mengimbanginya.
Kini yang ditempuh oleh Macan
Kepatihan adalah cara yang kedua. Perlahan-lahan pasukannya bergeser surut
terus-menerus. Mereka mencoba mendekati hutan yang sudah menjadi semakin dekat.
Pasukan itu harus mundur dalam gelar yang teratur apabila mereka masih ingin
sebagian besar dapat menyelamatkan diri. Meskipun dengan demikian, korban akan
tetap berjatuhan.
Tetapi Untara tidak dapat
membiarkannya. Segera ia memberi pertanda kepada beberapa orang penghubungnya.
Dan naiklah panji-panji pimpinan di belakangnya dengan gerak-gerak yang khusus
diulang-ulang. Gerak dari panji-panji itu adalah perintah, gelar dari pasukan
Pajang dan Sangkal Putung harus segera berubah. Gelar Sapit Urang.
Tampaklah beberapa perubahan
di dalam gelar Pajang. Macan Kepatihan yang melihat perubahan itu, mencoba
mempergunakan kesempatan. Dengan kemarahan yang menyala-nyala ia menyerang
langsung ke induk pasukan berserta beberapa orang pengiringnya. Namun induk
pasukan itu telah siap menerimanya, sehingga usahanya itu sama sekali tidak
berarti.
Dengan kemarahan yang
seakan-akan meledakkan dadanya ia melihat Widura merubah sikap sayapnya menjadi
sebuah sapit raksasa, yang siap memotong usaha Dirada Meta itu mengundurkan
dirinya. Meskipun Agung Sedayu tidak cepat mengatur sayapnya, namun Hudaya
telah membantunya. Meskipun dalam saat perubahan itu terjadi, sayap kanan
terpaksa surut beberapa langkah. Sehingga gelar Untara menjadi agak condong.
Namun sesaat kemudian sapit kanan itupun segera dapat mengimbangi sapit yang
lain, melingkar dalam usaha pencegahan pasukan Jipang tenggelam ke dalam hutan.
Darah Macan Kepatihan seakan
telah mendidih melihat sikap gelar pasukan Untara. Terdengar ia menggeram keras
sekali. Tetapi ia tidak dapat hanya sekedar marah-marah saja. Ia harus cepat
mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang-orangnja.
Macan Kepatihan sesaat menjadi
bimbang. Namun tiba-tiba melonjaklah di dalam benaknya, beberapa persoalan yang
beberapa saat yang lampau mempengaruhi perasaannya. Pertemuannya dengan orang
tua di pinggir sungai. Beberapa persoalan tentang orang-orangnya sendiri,
kejemuan, dan berpuluh-puluh macam persoalan lagi. Apakah ia masih harus
melihat pertentangan yang terjadi itu berkepanjangan tanpa ujung dan pangkal?
Apakah ia masih harus melihat bencana menimpa rakyat Demak yang sedang dilanda
oleh perpecahan yang semakin dahsyat? Pembunuhan-pembunuhan liar, perampokan,
pemerasan, perkosaan terhadap peradaban. Dan yang terakhir terngiang kembali adalah
kata-katanya sendiri, “Kali ini adalah kali yang terakhir.”
Gigi Macan Kepatihan
gemeretak. Tetapi ia telah menemukan keputusan di dalam dirinya. Pertempuran
ini harus merupakan pertempuran yang terakhir bagi pasukannya. Kalau
umbul-umbul, rontek, dan panji-panji Jipang itu akan roboh di arena ini,
biarlah umbul-umbul, rontek, dan panji-panji itu tidak akan bangkit kembali.
Yang tidak akan muncul lagi dalam percaturan sejarah kerajaan Demak. Kalau
pasukannya mau hancur, hancurlah sekarang. Persoalan akan segera selesai.
Kejemuan dan ketidak-pastian bagi sisa anak buahnya akan hilang.
Tatapi apakah ia harus
mengorbankan orang-orangnya? Orang-orang yang di antaranya sama sekali tidak
ikut bertanggung jawab atas pertentangan antara Jipang dan Pajang? Orang-orang
yang hanya terseret oleh arus permusuhan tanpa tahu sebab-sebabnya? Bahkan
orang-orang yang sama sekali tidak mengenal siapakah Arya Penangsang, dan
siapakah Adipati Adiwijaya yang juga bernama Jaka Tingkir di masa kecilnya?
Semua itu bergolak di dalam
kepala Tohpati justru pada saat-saat yang sangat berbahaya. Pada saat-saat
sapit-sapit raksasa dari gelar Sapit Urang itu bergerak melingkar untuk mencoba
mengurungnya dalam lingkaran maut.
Dalam keadaan yang cukup baik,
Macan Kepatihan dapat segera merubah gelarnya dalam bentuk yang lain, yang
sanggup menghadapi lawan dari setiap arah, dan sanggup mematahkan kepungan di
setiap sisi. Gelar Cakra Byuha. Gelar sebuah lingkaran bergerigi. Namun dalam
keadaan yang telah payah benar itu, Macan Kepatihan tidak melihat manfaatnya.
Bahaya setiap usaha merubah gelar akan memberi peluang bagi lawannya di
saat-saat perubahan itu terjadi. Tetapi Macan Kepatihan, seorang Senopati
Jipang yang terpercaya itupun tidak akan dapat mengorbankan orang-orangnya.
Sumangkar melihat pertempuran
itu dengan dada yang berdebar-debar. Setiap kali ia melihat sebuah umbul-umbul
roboh, setiap kali terasa segores luka membekas di dalam hatinya.
Ialah yang pernah
menyelamatkan umbul-umbul, rontek dan panji-panji Jipang dari Kepatihan ketika
Jipang dipukul hancur oleh pasukan Pajang di bawah pimpinan Ki Gade Pemanahan.
Kini ia menyaksikan satu demi satu umbul-umbul, rontek dan panji-panji itu
roboh. Karena itulah maka jantungnya serasa dibelah dengan sembilu. Namun ia
kini tidak dapat menghindari kenyataan. Di sampingnya berdiri seorang yang
tidak dikenal sebelumnya, namun orang itu pasti akan dapat mencegahnya, apa
saja yang akan dilakukan.
Ketika sekali lagi ia melibat
sebuah umbul-umbul roboh maka tanpa sesadarnya ia berdesis, “Harapan itu kini
telah tenggelam sama sekali seperti tenggelamnya umbul-umbul dan rontek itu di
dalam arus peperangan.”
Kiai Gringsing yang mendengar
desis itu maju selangkah. Kesan permusuhan pada wajah kedua orang itu kini sama
sekali tidak berbekas. Bahkan dengan nada yang serupa Kiai Gringsing berkata,
“Ya. Pasukan Jipang itu tidak akan dapat ditolong lagi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Angger Macan Kepatihan kali ini mengambil tindakan yang
akibatnya dapat berbahaya sekali, seperti apa yang ternyata sedang terjadi
kini.”
“Ya” sahut Kiai Gringsing.
Sesaat keduanya terdiam. Namun
wajah-wajah mereka kini menjadi tegang. Mereka sedang menyaksikan saat-saat
terakhir dari peperangan itu. Sumangkar hatinya dicengkam oleh kecemasan, kepedihan
dan kepahitan yang tiada taranya. Sedang Kiai Gringsing sedang mencemaskan
sikap para prajurit Pajang. Apakah mereka cukup berjiwa besar menghadapi
kehancuran lawannya? Apakah mereka tidak akan kehilangan diri mereka sebagai
manusia yang mengagungkan kemanusiaan sebagai ungkapan bakti mereka kepada
Sumber Hidup mereka ?
Sebenarnyalah saat itu Macan
Kepatihan telah melakukan tindakan terakhir untuk menyelamatkan orang-orangnya.
Dengan lantang ia berteriak, memerintahkan segenap pasukannya menarik diri ke
dalam hutan yang sudah tidak terlampau jauh. Mereka diberi kesempatan selagi
sapit raksasa lawan itu belum selesai dalam usaha mereka mengepung pasukan yang
sedang payah.
Sanakeling menggeram melihat
isyarat itu. Tetapi ia tidak mampu berbuat apapun juga. Iapun harus meyakini,
bahwa kali ini mereka tidak akan berhasil mengalahkan laskar Sangkal Putung
yang bertempur bersama-sama dengan para prajurit Pajang. Karena itu maka
perlahan-lahan ia membuat gerakan-gerakan untuk mempersiapkan pengunduran pasukannya
dengan hati-hati dan penuh bahaya. Sebab apabila gerakan mundur ini gagal pula,
maka akan tumpaslah segenap anak buahnya.
Tetapi Sanakeling itu terkejut
ketika ia melihat Tohpati dengan tongkat baja putihnya ia mengamuk
sejadi-jadinya. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Macan Kepatihan
bertempur dengan gigihnya. Bahkan ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya
meskipun laskarnya telah surut beberapa langkah.
“Raden Tohpati,” teriak
Sanakeling yang mencemaskan.
“Cepat mundur!” teriak Tohpati
tidak kalah kerasnya.
Sanakeling tidak tahu maksud
Macan Kepatihan yang sama sekali tidak ada tanda-tanda untuk menarik dirinya
mengikuti laskarnya.
“Cepat!” teriak Macan
Kepatihan itu kemudian. “Kalau kau terlambat, maka kaulah yang akan aku penggal
lehermu.”
Sanakeling menggigit bibirnya.
Kedua senjatanya masih bergerak dengan cepatnya, melindungi dirinya.
Berkali-kali ia meloncat menyelamatkan diri dari terkaman Agung Sedayu yang
menjadi semakin garang, sehingga sekali-sekali Sanakeling mengeluh di dalam
hati, “Gila adik Untara ini.”
Namun perintah Macan Kepatihan
yang terakhir benar-benar mengejutkannya. Bahkan Untara pun terkejut pula
mendengar perintah Macan Kepatihan yang keras bagi anak buahnya.
Tetapi Sanakeling tidak berani
melawan perintah itu. Perlahan-lahan ia menarik dirinya di antara pasukannya
mengundurkan diri ke tepi padang yang berbatasan dengan hutan.
“Licik,” geram Untara. Namun
ia tidak yakin akan perkataannya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Macan
Kepatihan adalah suatu sikap wajar yang mencerminkan kematangannya dalam olah
peperangan. Apabila terasa bahwa pasukannya tidak mungkin bertahan lebih lama
lagi, maka pasti dicari jalan untuk menyelamatkan diri.
Untara segera mengetahui apa
yang sedang dilakukan oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu maka segera jatuhlah
printahnya, untuk memecah pasukan lawan sebelum berhasil menyembunyikan diri di
balik pepohonan dan lenyap ke dalam hutan.
Pasukan Pajang pun serentak
mendesak maju. Mereka mencoba untuk mengurungkan usaha Macan Kepatihan dengan
menggagalkan gerak mundur yang teratur itu.
Betapa beratnya usaha yang
dilakukan oleh Macan Kepatihan dan senapati-senapati bawahannya. Tekanan
prajurit Pajang semakin terasa menekan hampir tak tertahankan. Hanya kesadaran
mereka, bahwa apabila gelar mereka terpecah sebelum mereka mencapai hutan,
berarti kehancuran mutlak, itulah yang masih tetap mengikat mereka dalam satu
kesatuan.
Macan Kepatihan melihat,
tekanan yang semakin lama semakin menjadi pepat. Itulah sebabnya, maka
tiba-tiba ia melontar jauh ke samping dan segera melepaskan Untara dari
lingkaran perkelahian. Dengan garangnya ia berloncatan melindungi pasukannya
yang masih mencoba mencapai jarak yang semakin dekat.
“Gila,” geram Untara. Dengan
satu ayunan tongkat, ia melihat dua prajuritnya jatuh terkapar di tanah. Karena
itu alangkah marahnya Senapati Pajang itu, dengan serta merta ia meloncat
mengejar Macan Kepatihan. Tetapi Macan Kepatihan selalu berusaha menjauhinya.
Di antara prajurit Pajang ia berloncatan sambil memutar senjatanya untuk
menahan arus pasukan Pajang yang menjadi semakin deras. Setiap kali ia meluncur
seperti tatit mencari tempat baru untuk melepaskan kemarahannya dan menahan
arus lawan.
Sekali lagi Untara menggeram.
Dengan marahnya ia mendesak terus mengejar Macan Kepatihan. Namun Macan
Kepatihan selalu berloncatan kian kemari.
Sanakeling yang melihat Macan
Kepatihan segera menyadari, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya berusaha
mencoba menghambat gerak maju pasukan Pajang. Perkelahian di dalam lingkungan
prajurit-prajurit Pajang melawan Tohpati yang berkeliaran itu berpengaruh juga
atas gerak maju pasukan Pajang. Sebab mereka selalu saja memperhatikan,
jangan-jangan tongkat Tohpati itu tiba-tiba hinggap di punggung mereka, atau
kepala mereka terpecahkan oleh tongkat baja putih yang mengerikan itu.
Tetapi Sanakeling tidak dapat
berbuat lain daripada membawa pasukannya mengundurkan diri. Meskipun demikian,
ia melihat beberapa orang yang terlalu setia kepada Macan Kepatihan,
membatalkan niatnya untuk beringsut mundur. Bahkan seperti Macan Kapatihan
mereka menceburkan diri mereka ke tengah-tengah pasukan lawan, seperti serangga
yang menyeburkan diri mereka ke dalam api. Namun usaha Macan Kepatihan dan
beberapa orang yang setia kepadanya itu berguna pula. Meskipun satu demi satu
orang-orang itu tergilas oleh arus kemarahan para prajurit Pajang dan Sangkal
Putung, namun gerak itu mendapat kesempatan lebih banyak dari semula.
Widura pun kemudian melihat
cara yang ditempuh oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu, maka segera ia harus
ikut serta mengatasinya. Maka dihentikannya usahanya untuk mengejar Alap-Alap
Jalatunda. Usaha itu diserahkannya kepada anak buahnya. Bagaimanapun juga,
Alap-Alap Jalatunda sedang berusaha seperti Sanakeling membawa orang-orangnya
bergeser mundur, sehingga Alap-Alap itu hampir-hampir sama sekali tidak
berbahaya.
Dengan tangkasnya Widura pun
mencoba menyusup di antara prajurit Pajang sendiri. Ia melihat Macan Kepatihan
semakin lama semakin dekat ke sayapnya, sebab Untara selalu berusaha mengejarnya.
Dengan penuh tanggung jawab, tiba-tiba Widura berhasil berdiri berhadapan
dengan senapati Jipang itu.
“Setan tua,” teriak Tohpati,
“kau mencoba mengganggu aku, Paman Widura? “
Widura tidak menjawab, tetapi
pedangnya terjulur lurus ke arah dada Macan Kepatihan. Namun Macan Kepatihan
itu dengan garangnya menggeram dan menghindar, melepaskan diri dari tusukan
pedang itu, sekaligus dengan melontarkan serangan balasan. Tongkatnya terayun
dengan derasnya ke arah pelipis Widura. Namun Widura pun segera berhasil
menghindarkan dirinya. Cepat ia beringsut ke samping dan meloncat kembali dalam
satu putaran menyambar lambung lawannya.
Tetapi Tohpati tiba-tiba
meloncat jauh-jauh dan sesaat kemudian ia telah tenggelam dalam hiruk pikuk
pasukan Pajang. Sekali-sekali tampak tongkatnya terayun-ayun, dan bertebarlah
para prajurit Pajang menjauhkan diri dari padanya. Widura melihat peristiwa itu
dengan darah yang mendidih. Ketika ia meloncat maju, dilihatnya Untara pun
telah sampai pula di samping Macan Kepatihan itu.
Dada Macan Kepatihan berdesir
ketika ia melihat dua orang Senapati Pajang itu bersama-sama datang kepadanya.
Sesaat ia diam mematung sambil berpikir. Namun tiba-tiba ia meloncat dengan
cepatnya menyusup masuk ke dalam lingkungan prajurit-prajurit Pajang sambil
mengayunkan tongkat kian kemari. Dengan loncatan-loncatan yang panjang ia
berusaha meninggalkan Widura dan Untara. Namun sama sekali tak dikehendakinya
untuk ikut serta mundur bersama-sama dengan pasukannya. Sebab dengan demikian,
apabila ia ikut serta menarik diri, pasukan Pajang akan mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk memecah pasukannya yang telah menjadi semakin parah.
Widura dan Untara, ketika
melihat Tohpati mencoba menghilang di antara pasukannya, segera mengejarnya.
Tetapi Untara dan Widura tidak dapat berbuat seperti Tohpati. Melanggar siapa
saja yang berada di hadapannya. Menerjang dan bahkan menginjak tubuh yang
terdorong jatuh. Untara dan Widura harus mencari jalan di antara mereka.
Kadang-kadang menunggu seseorang menyibak, dan kadang-kadang harus mendorong
seseorang ke samping, tetapi tidak sekasar Tohpati. Untara dan Widura tidak
dapat mencari jalan dengan memutar pedangnya di antara laskarnya sendiri. Dan
laskarnyapun tidak akan berdesak-desakan menyisih seperti apabila mereka melihat
Tohpati dengan beberapa orang yang paling setia kepadanya lewat di antara
mereka. Meskipun para prajurit Pajang bukanlah prajurit-prajurit pengecut,
namun mereka pasti masih harus mempunyai berbagai pertimbangan untuk langsung
berhadapan dengan Macan Kepatihan beserta tongkat baja putihnya.
Karena itulah, maka Untara dan
Widura tidak dapat cepat menyusul Tohpati. Meskipun demikian Tohpati itu tidak
terlepas dari pengamatan mereka. Kemana Tohpati itu pergi, maka Untara dan
Widura selalu berada di belakangnya. Dengan demikian Tohpati pun tidak
mempunyai keleluasaan untuk bertempur di satu titik. Setiap kali ia harus
melontar pergi meninggalkan seorang atau dua orang korban luka, atau bahkan ada
pula yang tak mampu bertahan karena hantaman tongkat baja putih itu.
Tetapi para prajurit Pajang
bukannya dengan sukarela menyerahkan diri mereka. Dengan gigih mereka
memberikan perlawanan apabila mereka sudah tidak mungkin lagi untuk menghindar.
Dengan demikian, maka setiap kali mereka melihat seseorang di antara mereka
jatuh di tanah, apakah ia terluka apakah ia gugur dalam peperangan itu, namun
setiap kali pula ujung-ujung pedang tergores pada tubuh senapati Jipang yang
perkasa itu.
Dengan demikian, maka baju dan
bahkan segenap pakaian Tohpati itu telah dibasahi bukan saja oleh keringat yang
mengalir semakin deras, namun percikan-percikan darah telah menodainya di
sana-sini. Goresan-goresan yang bahkan ada yang cukup dalam dan panjang telah
membekas di tubuh itu, seperti guratan-guratan pada tubuh seekor harimau dalam
rampogan di alun-alun. Seekor macan jantan yang garang, yang dilepaskan di
alun-alun di antara prajurit bertombak dalam hari-hari besar yang khusus.
Demikian itulah keadaan Macan
Kepatihan yang tidak kalah garangnya dengan harimau jantan yang betapapun
besarnya.
Di sayap kanan, Agung Sedayu
yang mencoba memberikan tekanan yang semakin berat kepada Sanakeling selalu
berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada senapati Jipang itu mengatur
anak buahnya menarik diri dari peperangan. Apalagi dibantu oleh Hudaya yang
lebih cakap daripadanya mengatur pasukannya. Namun ternyata Sanakeling masih
mampu juga, perlahan-lahan menarik seluruh pasukannya dengan teratur, meskipun
beberapa kali mereka mengalami kesulitan. Satu-satu anak buahnya berjatuhan.
Namun baginya tidak ada cara lain yang lebih baik. Cara itu adalah cara yang
paling sedikit menyerahkan korban-korban di antara anak buahnya.
Agung Sedayu yang sedang
dengan gigih bertempur melawan Sanakeling yang bertempur dengan olah-playu di
dalam suasana yang paling mungkin dilakukan itu, tiba-tiba terkejut, ketika
terjadi hiruk pikuk di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya
kilatan-kilatan tongkat baja putih di antara ujung senjata anak buahnya. Dalam
cahaya matahari yang semakin rendah tongkat itu memantulkan sinarnya yang sudah
menjadi kemerah-merahan.
Dada Agung sedayu berdesir.
Ketika sekali lagi Sanakeling menarik diri jauh-jauh dari padanya, ia tidak
mengejarnya. Bahkan kemudian ia terpaksa memperhatikan apakah yang terjadi
dalam hiruk-pikuk itu.
Agung Sedayu melihat beberapa
orang terpaksa menyibak. Hudaya yang terluka itupun terpaksa menjauh dari
ayunan tongkat baja putih itu. Ia sama sekali tidak sekedar menyelamatkan
nyawanya, tetapi dengan penuh kesadaran dan perhitungan, beberapa orang telah
berusaha secara bersama-sama mengepung Macan Kepatihan yang sedang mengamuk.
“Hem,” desis Agung Sedayu.
“Macan yang garang itu sampai di sayap ini pula.”
Sekali ia berpaling kepada
Sanakeling. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Sanakeling telah menjadi
semakin jauh. Tanpa Agung Sedayu usahanya menjadi bertambah lancar.
Berangsur-angsur ia membawa anak buahnya semakin jauh mendekati hutan yang
berada tidak jauh lagi dari mereka.
Tetapi Agung sedayu tidak
dapat membiarkan Macan Kepatihan merusak orang-orangnya di belakang garis
peperangan. Karena itu, dengan serta merta ia meloncat surut dan langsung masuk
ke dalam lingkaran pertempuran itu.
Macan Kepatihan melihat
senapati di sayap kanan itu. Dengan serta merta ia menyerangnya. Namun Agung
Sedayu berhasil menghindarinya. Bahkan dengan kelincahannya ia segera
menyerangnya kembali.
Macan Kepatihan heran melihat
kelincahan lawannya. Anak yang masih sangat muda ini. Tetapi hatinya yang telah
menjadi semakin gelap telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang.
Dalam pada itu, Untara dan
Widura pun telah menjadi semakin dekat dengan lingkaran pertempuran antara
Agung Sedayu dan Macan Kepatihan yang lukanya telah menjadi arang kranjang.
Ketika mereka melihat, bahwa
Agung Sedayu telah terlibat dalam pertempuran melawan Tohpati yang mengamuk
itu, maka keduanya tertegun. Sesaat mereka berdua melihat, betapa Agung Sedayu
mampu melawan Macan yang garang itu. Mereka melihat bahwa kelincahan dan
ketangkasan anak muda itu benar-benar membanggakan. Namun dalam siasat dan
tangguh, ternyata bahwa pengalaman Macan Kepatihan berlipat-lipat berada di
atas Agung Sedayu.
Untara dan Widura tidak
terlalu lama membiarkan Agung Sedayu bertempur sendiri melawan Tohpati, Mereka
menyadari bahwa setiap gerak Macan Kepatihan mempunyai kemungkinan yang
membahayakan jiwa Agung sedayu. Karena itu maka segera mereka berdua
berloncatan maju.
Demikian Tohpati melihat
Untara dan Widura, maka segera ia melepaskan lawannya yang masih muda itu.
Dengan cepatnya ia mencoba menyusup kembali ke tengah-tengah lawan. Ketika
sebuah goresan yang panjang menyilang di lambungnya. Macan Kepatihan sama
sekali tidak menghiraukannya. Ternyata pedang Agung Sedayu masih sempat
menyentuhnya, pada saat Tohpati berusaha menghindari Untara dan Widura. dan
menambah segores lagi luka pada tubuh Senapati Jipang yang perkasa itu. Darah
yang merah segera mengalir dari luka itu seperti darah yang mengalir dari
luka-luka yang lain. Namun luka ini agaknya lebih dalam dari luka-luka yang
telah lebih dahulu menghiasi tubuh Tohpati.
Untara dan Widura melihat
usaha menghindar itu. cepat mereka berusaha memotong arah. Tetapi mereka
terkejut, ketika mereka tiba, sebuah pedang yang besar, dengan derasnya
menyambar tubuh Macan Kepatihan itu.
Macan Kepatihan pun terkejut.
Tak ada waktu baginya untuk menghindar. Karena itu, maka segera dilawannya
pedang itu dengan tongkatnya.
Terjadilah sebuah benturan
yang dahsyat. Seolah-olah bunga api memercik ke udara dari titik benturan itu.
Pedang yang berat itu
terpantul. Terasa tangan yang menggerakkannya bergetar. Seakan-akan perasaan
pedih menjalar dari tajam pedangnya menyengat tangannya. Tetapi pedang itu
tidak terlepas dari tangan seperti beberapa saat yang lampau. Pedang itu masih
tetap dalam genggaman dan bahkan sesaat kemudian pedang itu telah terayun-ayun
kembali.
Sekali lagi Tohpati terkejut.
Setelah ia meninggalkan Agung Sedayu ditemuinya pula seorang anak muda yang
mengherankan baginya. Seorang anak muda yang memiliki kekuatan raksasa.
Ternyata dalam benturan itu tangan Tohpatipun bergetar meskipun tongkatnya
tidak terpantul seperti pedang yang menghantamnya. Anak muda itu adalah seorang
anak muda yang gemuk bulat. Ketika Tohpati menatap wajah anak muda itu,
tampaklah sekilas wajah itu menyeringai menahan pedih, namun sesaat kemudiam
wajah itu telah tersenyum.
“He kelinci bulat,” teriak
Tohpati, “kau ingin membunuh dirimu?”
Sambil tersenyum anak muda
itu, yang tidak lain adalah Swandaru Geni menjawab, “Jumlah lukamu seperti
bintang yang melekat di langit. Tanpa dapat dihitung lagi. Apakah kau masih
akan bertempur terus.”
Macan Kepatihan tidak
menjawab. Tongkatnya dengan kerasnya terayun ke kepala Swandaru. Swandaru yang
telah dapat mengukur kekuatan Macan Kepatihan segera menghindar. Ia tidak
berani melawan pukulan tongkat itu dengan pedangnya. Demikian tongkat itu
meluncur beberapa jari saja dari kepalanya, pedangnya segera terjulur
lurus-lurus ke lambung lawannya. Tohpati yang tidak dapat mengenai lawannya
melihat pedang itu cepat ia meloncat surut. Namun kembali ia terkejut, Agung
Sedayu telah berada di sampingnya sambil menggerakkan pedangnya pula.
Cepat Macan Kepatihan
melontarkan diri jauh-jauh. Ia berusaha menghindari setiap senapati Pajang. la
hanya ingin menahan arus desakan pasukan lawannya atas pasukannya yang sedang
mundur. Namun tak teraba apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Berkali-kali
terngiang di dalam dadanya, “Serangan ini akan merupakan serangan terakhir
bagiku.”
Tohpati itupun kemudian
mengayun-ayun tongkatnya sambil berloncatan di antara para prajurit Pajang.
Kekacauan yang ditimbulkannya memang berpengaruh atas tekanan-tekanan pasukan
Pajang. Sekali-sekali mereka terganggu pula karena hiruk pikuk yang ditimbulkan
oleh amuk Tohpati.
Sanakeling yang melihat betapa
senapatinya telah terluka arang kranjang menjadi berdebar-debar. Betapapun
juga, terasa luka itu seperti luka pada tubuhnya sendiri. Karena itu, maka ia
berteriak, “Raden, mundurlah. Kami akan melindungi.”
“Gila kau Sanakeling,” teriak
Tohpati yang bertempur tidak demikian jauh dari Sanakeling yang sedang
menyelamatkan anak buahnya. “Kalau kau gagal, kepalamu menjadi taruhan. Bukan
kau yang melindungi kalian. Selamatkan orang-orangmu. Jangan keras kepala.”
Sanakeling tidak menjawab.
Tetapi ia berdesah hati. Apalagi ketika dilihatnya Macan Kepatihan kemudian
menjadi semakin lemah. Meskipun demikian, tandangnya justru menjadi semakin
garang.
Laskar Jipang itu semakin lama
menjadi semakin dekat dengan batas hutan. Di sana-sini telah bertebaran
gerumbul-gerumbul liar. Ternyata keadaan medan telah memberikan sedikit
perlindungan kepada sisa pasukan Jipang itu. Sesaat lagi mereka telah sampai ke
batas hutan, dan sesaat lagi mataharipun akan tenggelam di bawah cakrawala.
Tetapi waktu yang sesaat itu adalah waktu yang menentukan bagi Macan Kepatihan
sendiri yang mati-matian mencoba melindungi anak buahnya sejauh-jauh yang dapat
dilakukan.
Setiap kali goresan-goresan
ditubuhnya itu bertambah-tambah juga. Setiap kali ia menghindari seorang
senapati Pajang, maka setiap kali ditemuinya senapati yang lain, seakan-akan
segenap jalan telah tertutup rapat baginya.
Untara, Widura, Agung Sedayu
dan anak yang gemuk bulat itu. Anak yang mewakili anak-anak muda Sangkal
Putung. Tidak seperti dalam pertempuran yang terdahulu, maka kini Swandaru
telah memiliki bekal dari gurunya, Kiai Gringsing, meskipun belum setinggi
Agung Sedayu.
Macan Kepatihan melihat bahwa
kemungkinannya untuk menghindar telah tertutup rapat-rapat. Tetapi ia melihat
juga, bahwa pasukannya telah hampir mencapai ujung hutan dan bahkan ia melihat
juga bahwa warna merah di langit sudah menjadi semakin suram.
Setiap pemimpin kelompok
prajurit Pajang telah berusaha untuk memperlambat gerakan mundur pasukan
Jipang. Tetapi setiap kali usaha mereka terganggu oleh hiruk pikuk yang
ditimbulkan oleh Tohpati dan beberapa orang yang terlalu setia kepadanya.
Meskipun satu demi satu orang-orang itu terpaksa menjadi korban. Namun beberapa
langkah lagi, pertempuran itu telah sampai di batas hutan. Batas yang
menentukan, bahwa pasukan Jipang telah berhasil dalam gerakan menghindarkan
diri dari kehancuran mutlak meskipun untuk tujuan itu, korban harus berjatuhan.
Dalam pada itu Macan Kepatihan
masih juga berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dalam hiruk-pikuk yang semakin riuh,
dalam ketegangan yang semakin memuncak sejalan dengan jarak hutan yang semakin
pendek dan matahari yang semakin rendah, betapa Macan Kepatihan harus berjuang
melawan prajurit-prajurit Pajang yang berkerumun di sekitarnya seperti semut
mengerumuni gula. Namun sekali-kali lingkaran prajurit Pajang itu menebar
apabila tongkat Tohpati terayun berputaran.
Tetapi Widura, Untara, Agung
Sedayu dan Swandaru tidak turut berpencaran mundur. Mereka siap menunggu setiap
kemungkinan dengan pedang di tangan mereka. Setiap kali Macan Kepatihan
meloncat ke salah seorang dari mereka, maka pedang di dalam genggaman
menyambutnya dengan penuh gairah. Dan setiap kali pula tubuh Tohpati menjadi
bertambah rapat dihiasi dengan luka-luka yang mengalirkan darahnya yang merah.
Seakan-akan warna merah bara yang menyala.
Tetapi tubuh Tohpati itu
adalah tubuh yang terdiri dari kulit daging dan tulang. Betapa besar tekad yang
menyala di dalam dadanya, namun kekuatan tubuhnya ternyata sangat terbatas
sebagai tubuh manusia biasa. Sehingga semakin lama, Macan yang garang itu pun
menjadi semakin lemah, meskipun tekadnya sama sekali tidak surut.
Sumangkar menyaksikan semuanya
itu dari jarak yang semakin dekat. Sumangkar sendiri kini berdiri di batas
hutan, di atas sebongkah batu padas. Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang, dan
sekali-sekali ia memalingkan wajahnya. Meskipun warna-warna senja telah menjadi
suram, namun Sumangkar yang tua itu masih dapat menyaksikan betapa Macan
Kepatihan mengamuk seperti harimau lapar.
Tetapi di sekitarnya berdiri
senapati-senapati Pajang, Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun
keempat orang itu ternyata telah dikekang oleh kejantanan mereka sehingga
mereka tidak bertempur berpasangan bersama-sama. Dan bahkan seakan-akan mereka
menunggu dengan tekunnya, siapakah di antara mereka yang dipilih oleh Macan
Kepatihan itu melawannya. Namun Tohpati tidak segera berbuat demikian. Ia masih
saja berusaha untuk melepaskan dirinya dan berjuang di antara hiruk-pikuk
pasukan-pasukan Pajang, meskipun ternyata usahanya sia-sia.
Tetapi tiba-tiba gerak Tohpati
itu terhenti. Ditegakkannya lehernya tinggi-tinggi. Ia masih melihat pasukan
yang bertempur itu susut seperti air yang tergenang dan tiba-tiba mendapatkan
saluran untuk mengalir. Bahkan seolah-olah seluruh pasukan yang bertempur itu
terhisap masuk ke dalam hutan. Hati Tohpati itu berdesir. Tiba-tiba terdengar
ia berteriak, “Hei, apakah kalian berhasil?”
Tak ada jawaban. Tetapi dengan
demikian Tohpati itu yakin bahwa pasukannya telah berhasil menyelamatkan diri
ke dalam hutan itu. Apalagi matahari telah sedemikian rendahnya sehingga di
dalam hutan itu pasti sudah menjadi semakin gelap.
Terdengarlah kemudian suara
tertawa Tohpati itu meledak. Berkepanjangan seperti gelombang laut menempa
pantai, beruntun bergulung-gulung berkepanjangan. Di antara derai tertawanya
terdengar kata-katanya, “Bagus. Bagus. Kalian telah berhasil.”
Untara, Widura, Agung Sedayu
dan Swandaru melihat pula pasukan Jipang yang berhasil melepaskan diri itu.
Terdengar gigi mereka gemeretak. Hampir-hampir mereka berloncatan mengejar
pasukan yang berlari itu. Tetapi kesadaran mereka, bahwa hal itu tidak akan
berarti sama sekali, telah mencegah mereka. Dan bahkan kemudian mereka
menyadari, bahwa di antara mereka masih berdiri senapati Jipang yang
terpercaya, Macan Kepatihan.
Keempat senapati Pajang itu
berdiri mematung. Ujung-ujung pedang mereka lurus-lurus terarah kepada Macan
Kepatihan yang masih saja tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan sama sekali tidak
dilihatnya keempat senapati yang berdiri mengitarinya. Untara. Widura, Agung
Sedayu dan Swandaru itupun belum juga mengganggunya. Dibiarkannya Macan
Kepatihan itu tertawa sepuas-puasnya. Baru ketika suara tertawa itu mereda,
mereka berempat seperti berjanji maju beberapa langkah mendekati.
Tohpati itupun kemudian
tersadar bahwa ia masih berada dalam kepungan. Apalagi terasa olehnya bahwa
darahnya telah terlampau banyak mengalir. Namun ia adalah seorang Senapati.
Karena itu dengan lantang ia berkata, “Ayo, inilah Macan Kepatihan. Majulah
bersama-sama hai orang-orang Pajang.”
Untara mengerutkan alisnya.
Ketika ia memandangi keadaan di sekelilingnya, dilihatnya beberapa orang
prajurit masih berdiri mengerumuninya, selain mereka yang berusaha mengejar
prajurit Jipang ke dalam hutan, yang pasti tidak akan banyak hasilnya. Tetapi dalam
keadaan yang demikian, terasa seakan-akan ia tidak sedang berada dalam
peperangan yang masing-masing telah memasang gelar yang sempurna. Kini, ia
merasa seakan-akan ia berhadapan seorang dengan seorang. Untara dan Macan
Kepatihan. Karena itu, maka Untara itupun melangkah maju sambil berkata,
“Kakang Tohpati. Kalau Kakang bertempur seorang diri, maka salah seorang dari
kamipun akan melayani seorang diri pula.”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Kemudian terdengar ia menggeram. Namun di dalam hatinya terbersitlah perasaan
hormatnya kepada senapati muda ini. Dalam peperangan sebenarnya Untara dapat
menempuh jalan lain untuk membunuhnya. Ia dapat memerintahkan setiap orang dan
senapati bawahannya untuk membunuhnya beramai-ramai. Tetapi Untara tidak
berbuat demikian. Ia masih menghargai nilai-nilai keperwiraan orang-seorang,
sehingga betapa berat akibatnya, ia menyediakan diri untuk melakukan perang
tanding.
Macan Kepatihan itu tidak
segera menjawab. Perlahan-lahan ia memandang seorang demi seorang. Untara,
Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Ketika mata Tohpati hinggap pada anak muda
yang bertubuh bulat itu, hati Untara menjadi berdebar-debar. Barulah disadari
kesalahannya.
Ia tidak dengan tegas
menawarkan dirinya sendiri untuk menghadapi Tohpati, tetapi ia memberi
kesempatan kepada Macan Kepatihan untuk memilih lawan. Apabila kemudian Macan
Kepatihan itu memilih Swandaru atau Agung Sedayu sekalipun maka keadaan
anak-anak muda itu pasti akan sangat mengkhawatirkan. Meskipun Tohpati sudah
bermandikan darah karena luka-luka pada seluruh tubuhnya, namun tandangnya
masih saja segarang Macan Kepatihan pada saat ia terjun di dalam arena
peperangan itu.
Tetapi agaknya Swandaru sama
sekali tidak menginsyafi bahaya itu. Ketika Tohpati memandangnya dengan
tajamnya, anak muda itu tersenyum. Senyum yang hampir-hampir tak pernah hilang
dari bibirnya. Ia kini sama sekali tidak takut menghadapi harimau yang garang
itu. Bahkan ia ingin tahu, mencoba, sampai di mana kemampuannya setelah ia
berguru kepada Kiai Gringsing.
Tetapi Tohpati bukan seorang
yang licik. Ia tidak dapat merendahkan harga dirinya, sebagaimana Untara telah
bersikap jantan pula kepadanya. Ia tahu benar, bahwa yang paling lemah dari
mereka berempat adalah anak yang gemuk bulat itu. Tetapi dengan lantang ia
menjawab, “Baik Adi Untara. Kalau kau menawarkan lawan, baiklah aku memilih.
Orang yang aku pilih adalah Adi sendiri. Untara, senapati Pajang yang mendapat
kepercayaan untuk menyelesaikan sisa-sisa pasukan Jipang di Lereng Gunung
Merapi.”
Hati Untara berdesir mendengar
jawaban itu. Sebagaimana Tohpati merasa hormat akan keputusannya untuk
melakukan perang tanding, maka Untara pun menganggukkan kepalanya sebagai
ungkapan perasaan hormatnya. “Terima kasih” sambutnya. “Aku telah bersedia.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Selangkah ia maju menghadap kepada Untara. Sementara Untara maju
pula, mendekatinya. Dalam pada itu Untara masih sempat berbisik kepada Widura,
“Paman, tariklah seluruh pasukan. Sangat berbahaya untuk bekejar-kejaran di
dalam hutan yang kurang kita kenal.”
Widura mengangguk. Tetapi ia
tidak mau meninggalkan perang tanding itu. Karena itu, diperintahkannya seorang
penghubung untuk memukul tanda, dan memerintahkannya supaya Hudaya menghimpun
kembali segenap pasukan.
Sementara itu, Untara kini
telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tohpati pun telah berdiri dengan kaki
renggang menghadapi senapati muda itu. Tongkatnya erat tergenggam di tangannya
yang telah basah oleh darah. Seleret-seleret warna merah tergores pula pada
tongkat baja putihnya. Pada saat-saat tongkat itu menyambar kening lawan, maka
darah yang terpercik daripadanya pasti membasahi tongkatnya pula.
“Ayo, mulailah Untara. Senja
telah hampir menjelang kelam. Kita selesaikan, persoalan di antara kita sebelum
malam,” geram Tohpati.
Untara tidak menjawab. Ia
melangkah selangkah lagi maju. Pedangnya segera menunduk tepat mengarah ke dada
lawannya. Dalam pada itu, Tohpati tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia
meloncat menyerang dengan sebuah ayunan tongkat baja putihnya. Meskipun lukanya
arang kranjang, namun kecepatannya bergerak masih belum susut barang
serambutpun.
Untara yang telah bersiap
menghadapi kemungkinan itu, dengan cepatnya menghindarkan diri. Bahkan
pedangnyapun segera terjulur mematuk lambung. Namun Tohpati masih sempat pula
mengelakkan dirinya.
Demikianlah kini mereka
terlihat dalam perang tanding yang dahsyat. Tohpati memeras ilmunya dalam
kemungkinan yang terakhir. Disadarinya bahwa Untara adalah seorang senapati
yang pilih tanding. Dalam keadaan yang sempurnapun ia tidak akan dapat
mengalahkannya, apalagi kini. Darahnya telah menetes dari luka, dan
keringatnyapun seolah-olah telah kering terperas. Tetapi ia adalah seorang
senapati besar yang sadar akan kebesaran dan harga dirinya sebagai seorang
laki-laki jantan.
Meskipun senja telah menjadi
semakin suram namun Sumangkar masih dapat melihat apa yang terjadi di
tengah-tengah arena itu. Ia melihat dari daerah yang lebih kelam karena
dedaunan. Bahkan kemudian ia tidak puas melihat peristiwa itu dari tempatnya.
Tiba-tiba ia melompat turun
dari bongkahan batu padas itu dan menyusur tepi hutan yang kegelapan maju
semakin dekat. Di belakangnya Kiai Gringsing selalu mengikutinya. la tidak
ingin melepaskan Sumangkar. Kalau-kalau orang itu berbuat sesuatu dengan
tiba-tiba. Tetapi ternyata Sumangkar itu tidak langsung menuju ke arena.
Beberapa langkah ia berhenti, dan kembali ia mencari tempat yang agak tinggi
untuk menyaksikan perkelahian antara Macan Kepatihan dan Tohpati. Sedang Kiai
Gringsing pun tidak kalah nafsunya untuk melihat pertempuran itu, sehingga
kemudian ia berdiri tepat di belakang Sumangkar.
Dengan tegangnya Sumangkar
mengikuti perkelahian itu. Selangkah demi selangkah dinilainya dengan seksama.
Ia sama sekali tidak memperdulikan hiruk-pikuk para prajurit Pajang yang sedang
berhimpun kembali, tidak jauh di hadapannya, namun para prajurit Pajang itupun
sama sekali tidak memperhatikannya, karena ujung malam yang turun
perlahan-lahan, seperti kabut yang hitam merayap dari langit merata ke seluruh
permukaan bumi.
Tetapi pertempuran antara
Macan Kepatihan dan Untara masih berlangsung terus. Semakin lama semakin
dahsyat. Sedang Sumangkar yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin
tegang.
Tiba-tiba ketegangan Sumangkar
itupun memuncak. Kini ia berdiri di atas ujung kakinya dan dijulurkannya
lehernya, supaya ia dapat melihat semakin jelas.
“Oh,” desahnya kemudian.
Suaranya seolah-olah tersekat di kerongkongan, dan darahnya serasa berhenti
mengalir. Diangkatnya kedua belah tangannya menutup wajahnya. Perlahan-lahan ia
berpaling. Gumamnya perlahan-lahan dengan suara parau, “Raden.”
Kiai Gringsing pun melihat apa
yang terjadi. Ia melihat Tohpati menyerang dengan kekuatannya yang terakhir.
Namun tubuh Untara yang masih segar sempat menghindarinya, tetapi ujung
pedangnya dijulurkannya lurus-lurus tepat mengarah ke lambung lawannya. Tohpati
yang sudah menjadi semakin lemah, kurang tepat memperhitungkan waktu. Ia
terdorong oleh kekuatannya sendiri, dan langsung lambungnya tersobek oleh
pedang Untara. Terdengar Tohpati menggeram pendek. Selangkah ia surut. sebuah
luka yang dalam menganga pada lambungnya.
Betapa kemarahannya membakar
jantungnya, namun tiba-tiba tarasa tulang-tulangnya seolah-olah terlepas dari
tubuhnya. Meskipun demikian tanpa disadari oleh Untara, Macan Kepatihan
melontarkan tongkatnya secepat petir menyambar di udara. Betapa Untara terkejut
melihat sambaran tongkat baja putih berkepala tengkorak itu.
Dengan kecepatan yang mungkin
dilakukan ia merendahkan dirinya dan berusaha memukul tongkat itu dengan
pedangnya. Tetapi demikian cepatnya sehingga ia tidak dapat melakukannya dengan
sempurna. Pedangnya berhasil menyentuh kepala tongkat itu, tetapi dengan
demikian ujung yang lain menjadi oleng dan dengan kerasnya memukul kening
Untara.
Untara yang sedang merendahkan
diri itu terdorong mundur, dan sesaat ia kehilangan keseimbangan. Dengan
kerasnya ia terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling. Matanya terasa
menjadi gelap dan kepalanya menyadi sangat pening. Seakan-akan sebuah bintang
di langit telah jatuh menimpanya.
Namun ia masih cukup sadar. Ia
sadar bahwa lawannya, Macan Kepatihan masih tegak berdiri di hadapannya. Karena
itu cepat ia memusatkan kekuatannya dan meskipun dengan tertatih-tatih ia
mencoba berdiri, bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi
atasnya. Tetapi kini ia sudah tidak menggenggam pedang lagi. Pedangnya
terpelanting dari tangannya, pada saat ia jatuh berguling di tanah.
Meskipun demikian terasa
kening Untara masih sedemikian sakitnya. Bintik-bintik putih seolah-olah
berterbangan di dalam rongga matanya. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu. Karena
itu maka dengan sekuat tenaganya, ia mencoba untuk menembus keremangan ujung
malam dengan pandangan matanya yang kabur.
Untara itu melihat Tohpati
maju selangkah mendekatinya. Namun tiba-tiba ia terhuyung-huyung. Sesaat
kemudian Macan yang garang itu terjatuh pada lututnya dan mencoba menahan
tubuhnya dengan kedua tangannya.
Untara masih tetap berdiri di
tempatnya. Sekilas matanya menyambar orang-orang yang berdiri mengitarinya.
Widura, Agung Sedaju, Swandaru Geni dan kini beberapa orang lain telah hadir
pula. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin kelompok. Ketika ia
kembali memandangi Tohpati, maka dilihatnya orang itu menjadi semakin lemah.
Sesaat tepi hutan itu
dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang tegang. Desir angin di dedaunan
terdengar seperti tembang megatruh yang menawan hati. Sayup-sayup di kejauhan
suara burung hantu terputus-putus seperti sedu sedan yang pedih, sepedih hati
biyung kehilangan anaknya di medan peperangan.
Dalam kesenyapan itu,
tiba-tiba terdengar suara Tohpati bergetar di antara desah angin malam yang
lirih, “Adi Untara, aku mengakui kemenanganmu.”
Dada Untara berdesir mendengar
suara itu. Bukan saja Untara, tetapi juga Widura, Agung Sedaju, Swandaru, Ki
Demang Sangkal Putung dan beberapa orang yang lain. Namun di antara mereka yang
paling dalam merasakan sentuhan suara itu adalah Untara sendiri, sehingga
justru sesaat ia diam mematung. la tersadar ketika sekali lagi Tohpati berkata
dengan suaranya yang parau dalam, “Aku mengucapkan selamat atas kemenangan ini
Adi Untara.”
Untara tidak dapat menahan
hatinya lagi mendengar pengakuan yang jujur itu. Pengakuan dari seorang
senapati jantan dari Jipang. Karena itu, maka beberapa langkah ia maju
mendekati Macan Kepatihan yang sudah menjadi sangat lemas. “Kakang Tohpati…”
terdengar suara Untara patah-patah, “maafkan aku.”
Tohpati menggeleng, “Jangan
berkata demikian Untara. Berkatalah dengan nada seorang senapati yang menang
dalam peperangan. Supaya aku puas mengalami kekalahan ini.”
Untara terdiam. la tidak tahu
apa yang akan diucapkannya. Karena itu kembali ia mematung. Matanya tajam-tajam
menembus malam yang semakin gelap, hinggap pada tubuh yang sudah menjadi kian
lemah dan lemah.
Perlahan-lahan Tohpati
terduduk di tanah. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram, “Aku akan mati.”
Untara maju selangkah lagi. Ia
melihat dengan wajah yang tegang Tohpati menjatuhkan dirinya, terlentang sambil
menahan desah yang kadang-kadang terlontar dari mulutnya.
Sumangkar melihat Tohpati itu
terbujur di tanah, dalam hatinya terasa menjadi sangat pedih. Anak itu bukan
anaknya, bukan muridnya, tetapi ia telah berada dalam satu lingkungan yang
sama-sama dialami. Pahit, manis dan lebih-lebih lagi ia adalah murid saudara
seperguruannya. Harapan sebagai penerus ilmu perguruan Kedung Jati. Tetapi anak
itu kini terbujur dengan darah yang mengalir dari luka-lukanya yang arang
kranjang.
Darah Sumangkar itupun
tiba-tiba bergelora. Dengan tangkasnya ia meloncat turun dari bongkahan batu
padas sambil menggeram, “Biarkan aku, Kiai…”
Kiai Gringsing terkejut
melihat sikap itu, sehingga untuk sesaat ia masih berdiam diri. Namun
lamat-lamat ia melihat wajah Sumangkar yang kosong memancarkan perasaan putus
asa.
“Kiai,” berkata Sumangkar
pula, “tak ada yang menahan aku untuk hidup terus. Karena itu, marilah kita
membuat perhitungan terakhir. Perhitungan orang-orang tua.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam, tetapi ia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan ia masih sempat
berpaling dan melihat Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru beserta
beberapa orang lain berlutut di samping Macan Kepatihan yang nafasnya
seakan-akan tinggal tersangkut di ujung kerongkongannya.
“He Kiai,” panggil Sumangkar,
“turunlah. Kita bertempur seorang lawan seorang. Antarkan aku menemani Angger
Macan Kepatihan.”
Sekali lagi Kiai Gringsing
memandangi orang-orang yang berdiri mengerumuni Macan Kepatihan dan orang yang
berlutut di sekitarnya. Ternyata tak seorangpun di antara mereka yang mendengar
kata-kata Sumangkar, sehingga mereka berdua masih tetap belum dilihat oleh
mereka.
Namun Kiai Gringsing masih
belum bergerak. Tetapi ia menjadi kian berhati-hati. Ketika dilihatnya
Sumangkar menggenggam tongkatnya semakin erat pada pangkalnya siap untuk
digunakannya.
Dan apa yang disangkanya itu
terjadi. Ketika Kiai Gringsing tidak juga mau turun dari bongkahan batu padas,
tiba-tiba Sumangkar berkata, “Baiklah kalau Kiai tidak mau mulai. Aku yang akan
mulai. Terserahlah kepadamu apakah kau bersedia untuk melawan dan membunuhku,
atau aku yang akan membunuhmu.”
Sumangkar tidak menunggu lebih
lama lagi. Segera ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyambar lutut Kiai
Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing telah bersiaga. Segera ia meloncat menghindar
dan sekaligus melontar turun dari atas batu padas itu.
Namun Sumangkar tidak
melepaskannya. Dengan sebuah loncatan yang panjang dan cepat ia mengejarnya.
Seperti orang kerasukan, tongkatnya terayun-ayun deras sekali
menyambar-nyambar. Seolah-olah ia telah kehilangan segenap perhitungan dan
pikirannya yang bening seperti Macan Kepatihan sendiri.
Kiai Gringsing pun segera
berloncatan menghindari. Dengan lincahnya ia melontar-lontarkan dirinya,
menyusup disela-sela putaran tongkat baja putih berkepala tengkorak yang
bergerak secepat tatit. Tetapi Kiai Gringsing mampu bergerak melampaui
kecepatan tongkat itu, sehingga berkali-kali ia masih saja dapat menghindari
setiap serangan yang datang
Sumangkar benar-benar telah
waringuten. Tongkatnya bergerak semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian
seolah-olah telah berubah menyadi gumpalan awan putih yang mengejar Kiai
Gringsing kemana ia pergi. Gumpalan awan yang siap untuk menelannya dan
menghancur-lumatkan.
Demikianlah maka serangan
Sumangkar itu menyadi semakin lama semakin dahsyat seperti prahara yang
mengamuk di padang-padang yang dengan dahsyatnya pula menghantam bukit-bukit
dan lereng-lereng gunung. Namun Kiai Gringsing adalah lawan yang tangguh
baginya. Dengan kecepatan yang melampaui kecepatan prahara, ia selalu mampu
menghindari setiap serangan yang datang.
Betapapun kalutnya otak
Sumangkar, namun ia bukanlah seorang yang mudah kehilangan harga diri dan
kejantanan. Usianya yang telah lanjut itupun telah menuntunnya menjadi seorang
yang dapat melikat sikap-sikap yang tidak wajar. Demikian pula kali ini.
Beberapa kali ia mencoba meyakinkan dugaannya dengan memperketat
serangan-serangannya atas Kiai Gringsing itu. Namun akhirnya ia yakin, bahwa
Kiai Gringsing menghadapinya dalam sikap yang tidak wajar.
Orang itu sama sekali tidak
pernah membalasnya dengan serangan-serangan, tetapi orang itu hanya sekedar
menghindari serangan-serangannya yang bahkan dapat berakibat maut. Karena itu,
maka betapapun gelap pikirannya, namun ia masih mampu untuk menilai sikap itu.
Sehingga tiba-tiba ia menghentikan serangannya sambil berkata, “Kiai, kenapa
Kiai tidak melawan? Kenapa Kiai hanya sekedar menghindar dan meloncat surut?
Apakah menurut anggapan Kiai, Sumangkar tidak cukup bernilai untuk berdiri
sebagai lawan Kiai?”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Dengan dahi yang berkerut-kerut ia menjawab, “Tidak. Sama sekali tidak. Aku
menghargai Adi Sumangkar sebagai murid kedua dari perguruan Kedung Jati yang
tak kalah nilainya dari Ki Patih Mantahun sendiri. Tetapi kini kau tidak sedang
bertempur melawan Kiai Gringsing, sehingga karena itu aku tidak dapat
melayanimu.”
“He,” Sumangkar terkejut.
“Kenapa aku kau anggap tidak sedang bertempur melawan Kiai Gringsing?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dijawabnya, “Adi Sumangkar. Ternyata kau tidak
sedang bertempur, tetapi kini kau sedang membunuh dirimu. Karena itu aku tidak
dapat menjadi alat untuk itu.”
Dada Sumangkar berdesir
mendengar jawaban itu. Terasa sesuatu menyentuh langsung ke pusat jantungnya.
Sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian tangannya menjadi lemah.
Tongkatnya kini tergantung lunglai pada tangan kanannya yang kendor.
Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, “Hem, Kiai menebak tepat. Aku memang
sedang membunuh diri, dan aku mengharap Kiai dapat membantuku.”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tidak Adi Sumangkar. Aku tidak dapat melakukannya.”
“Aku tidak peduli. Kalau Kiai
tidak mau membunuhku, maka jangan menyesal kalau aku yang membunuhmu.” Namun
kata-kata Sumangkar itu sama sekali tidak meyakinkan. Tangannya masih
tergantung lemah dan genggamannya atas senjatanyapun tidak bertambah erat.
“Adi Sumangkar” berkata Kiai
Gringsing. “Apakah keputusanmu itu sudah kau pertimbangkan baik-baik.”
“Tentu” Sahut Sumangkar.
“Keputusanku tidak akan dapat berubah.”
Kiai Gringsing memandangi
wajah Sumangkar tajam-tajam. Meskipun malam telah menjadi semakin kelam namun
terasa oleh Kiai Gringsing, bahwa pada wajah Sumangkar benar-benar terbayang
keputusasaan yang dalam.
“Adi,” berkata Kiai Gringsing,
“kenapa kau akan membunuh dirimu?”
“Aku telah jemu melihat
kehidupan, Kiai. Hidupku, hidup orang-orang Jipang dan hidup kita semua.”
“Apakah Adi sudah berpikir
jauh? Mungkin Adi ingin menghindari kepahitan yang mencengkeram jantung Adi,
namun dengan jalan yang sama sekali salah. Macan Kepatihan telah mati terbunuh
dalam peperangan sebagai seorang jantan. Tetapi bagaimana kata orang dengan
Sumangkar? Murid kedua dari perguruan Kedung Jati?”
“Aku mati dalam peperangan
melawan seorang sakti bernama Kiai Gringsing.”
Kiai Gringsing menggeleng.
“Tidak. Kesannya akan menjadi lain sekali. Sumangkar mati membunuh diri, itupun
terserah kepadamu Adi. Tetapi aku tidak dapat mendengar orang lain mengatakan,
Kiai Gringsinglah yang telah melakukan itu. Tidak. Aku bukan alat untuk
membunuh diri.”
“Tak ada orang yang
mengetahui, bahwa kau membunuh aku pada saat hatiku gelap.”
“Ada.”
“Siapa?”
“Hatiku sendiri.”
“Persetan!” geram Sumangkar.
“Terserah kepadamu. Kalau kau tidak mau, maka aku akan membunuhmu.”
“Aku akan lari meninggalkan
tempat ini sejauh-jauhnya. Kau pasti tidak akan dapat mengejar aku. Dan aku
akan bersembunyi sampai terdengar kabar, bahwa Sumangkar telah mati. Entah ia
membunuh diri, entah ia mati dikeroyok orang.”
Kembali dada Sumangkar menjadi
bergelora. Terasa bahwa kata-kata Kiai Gringsing itu menyentuh langsung ke
pusat jantungnya, sehingga karena itu ia diam sesaat mencoba memandangi wajah
Kiai Gringsing yang seolah-olah ditabiri oleh sebuah selaput yang kelam.
Yang terdengar kemudian adalah
suara Kiai Gringsing kembali, “Adi Sumangkar. Daripada Adi sibuk membunuh diri,
apakah tidak lebih baik Adi mencoba melihat, apakah Raden Tohpati itu masih
hidup ataukah benar-benar sudah mati?”
“Tak ada gunanya,” geram
Sumangkar.
“Mungkin ada. Kalau ia masih
hidup ia akan dapat memberi pesan kepada Adi.”
“Kalau ia sudah mati?”
“Adi akan dapat mengurusnya.
Menguburkannya dengan baik sebagai murid dari kakak seperguruanmu.”
Kembali Sumangkar terdiam.
Namun tiba-tiba ia berkata, “Apakah Untara akan mengijinkan aku mendekatinya?”
“Aku sangka ia tidak akan
berkeberatan.”
“Apakah Kiai yakin?”
“Ya.”
“Kalau ia menolak kehadiranku,
maka aku akan tersinggung sekali karenanya. Padahal aku sama sekali tidak ingin
membunuh lagi. Bahkan aku ingin terbunuh oleh siapapun.”
“Marilah kita pergi bersama.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Namun Kiai Gringsing seakan-akan tidak mempedulikannya lagi. Ia
berjalan ke arah orang-orang yang berkerumun itu sambil bergumam, “Marilah
Adi.”
Sumangkar menjadi ragu-ragu sesaat.
Tetapi kemudian iapun melangkah di samping Kiai Gringsing, berjalan ke arah
Macan Kepatihan terbaring.
Ketika kemudian beberapa orang
mendengar langkahnya, mereka menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Tetapi
dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berkata, “Aku, Tanu Metir.”
“Oh,” desah beberapa orang.
Untara, Agung Sedayu dan
orang-orang lainpun mendengar suara itu. Serentak mereka mengangkat kepala
mereka dan mencoba mengetahui arah suara yang melontar dari luar lingkaran
orang-orang yang sedang berkerumun.
“Apakah itu Ki Tanu Metir?”
bertanya Untara.
“Ya” sahut suara itu.
“Kiai datang tepat pada
waktunya,” berkata Untara itu kemudian.
Kiai Gringsing sama sekali
tidak tahu maksud kata-kata itu. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia berjalan langsung
manerobos beberapa orang yang menyibak, memberinya jalan. Namun beberapa orang
itu bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah orang yang berjalan bersama
Ki Tanu Metir itu?
Demikian Agung Sedayu dan
Swandaru melihat kedatangan Kiai Gringsing beserta Sumangkar, segera mereka
berdiri. Diamatinya orang itu, dan terasa bahwa mereka pernah melihatnya.
Namun yang pertama-tama
menyebut namanya adalah Agung Sedayu. Dengan nada yang penuh kebimbangan ia
berkata, “Apakah paman ini Paman Sumangkar?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Sekali ia berpaling memandang wajah anak muda itu dan kemudian
jawabnya, “Ya Ngger. Aku adalah Sumangkar.”
Dalam pada itu tanpa
sesadarnya Untara pun segera meloncat berdiri. Selangkah ia surut. Ditatapnya
wajah itu dengan tajamnya. la pernah mengenalinya dahulu, sebeum terjadi
persoalan antara Jipang dan Pajang, meskipun hanya sepintas. Tetapi bersamaan
dengan pecahnya Jipang orang itupun kemudan menghilang. Baru kemudian ternyata
bahwa orang itu datang pada saat Macan Kepatihan hampir menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Kenapa ia tidak datang bersama pasukannya seperti yang mereka
perhitungkan sejak semula?
Tetapi ketika Untara melihat
kehadiran Ki Tanu Metir bersama Sumangkar, maka hatinya menjadi agak tenang.
Meskipun demikin ia masih tetap berdiri kaku di tempatnya.
Melihat kecurigaan Uptara,
Sumangkar menarik nafas panjang-panjang. Timbullah kembali kecemasannya,
seandainya tiba-tiba Untara itu mengusirnya, atau bahkan mencoba untuk
menangkapnya. Ia sama sekali sudah tidak berhasrat untuk bertempur, apalagi
membunuh seseorang. Namun apabila hatinya tersinggung, maka hal itu akan dapat
terjadi. Tetapi kemudian disadarinya bahwa Kiai Gringsing berdiri di
sampingnya. Maka apabila terjadi demikian, ia mengharap Kiai Gringsing akan
membunuhnya saja.
Sesaat mereka dicengkam oleh
kebekuan yang tegang. Masing-masing saling berpandangan dengan penuh
kecurigaan.
Kebekuan itupun kemudian
dipecahkan oleh sebuah gumam perlahan sekali. “Siapakah yang datang?” suara itu
adalah suara Tohpati.
Semua berpaling kepada Tohpati
yang terbaring diam. Hanya dadanya saja yang masih tampak bergelombang,
menghembuskan nafas yang tidak teratur lagi.
Yang menjawab pertanyaan itu
adalah Sumangkar. “Aku Raden, pamanmu Sumangkar.”
“O,” desah Tohpati, “apakah
Paman dapat mendekati aku?”
Sumangkar menjadi ragu-ragu.
Ditatapnya wajah Untara, seolah-olah ia meminta ijin kepadanya.
Untarapun tidak segera
mengatakan sesuatu. Seperti Sumangkar ia menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia
berpaling kepada Ki Tanu Metir. Dalam keremangan malam ia melihat Ki Tanu Metir
menganggukkan kepalanya, sehingga Untara itupun kemudian berkata, “Silahkan,
Paman.”
“Terima kasih Ngger” gumam
Sumangkar, yang kemudian berjongkok di samping Macan Kepatihan.
Untara, Widura, Agung Sedayu,
Swandaru dan beberapa orang lain masih berdiri di tempatnya. Mereka sadar bahwa
Sumangkar adalah seorang yang tidak dapat diduga-duga kesaktiannya. Kalau
tiba-tiba saja ia menggerakkan tongkat baja putihnya, maka akibatnya tidak
dapat dibayangkan. Meskipun ada di antara mereka itu seorang yang bernama Kiai
Gringsing, namun Kiai Gringsing pun pasti memerlukan waktu untuk mengatasi
keadaan. Sedang dalam waktu yang tiba-tiba itu, pasti sudah jatuh korban di
antara mereka.
Di samping Sumangkar itu,
kemudian mereka melihat Kiai Gringsing berjongkok pula. Dengan saksama
diamat-amatinya tubuh Tohpati yang arang kranjang itu.
“Paman Sumangkar” terdengar
suara Macan Kepatihan perlahan-lahan sekali.
Sumangkar itu menggeram.
Tiba-tiba terasa tenggorokannya menjadi kering, ketika dilihatnya luka-luka
yang tiada terhitung di tubuh murid kakak seperguruahnya itu. “Angger,”
desisnya, “lukamu tiada terhitung jumlahnya. Kau telah berjuang untuk
melindungi seluruh anak buahmu dengan mengorbankan dirimu sendiri.”
Macan Kepatihan mencoba untuk
memperbaiki pernafasannya. Tetapi terasa bahwa nafas itu semakin lemah.
Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar suara Untara di belakang Kiai Gringsing, “Kiai, apakah Kiai masih
melihat kemungkinan untuk mengobati Kakang Tohpati?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun sebelum menjawab terdengar suara lemah Macan Kepatihan, “Tak
ada gunanya. Tak akan ada gunanya, karena aku sudah terlalu lemah. Bahkan
seandainya mungkinpun, maka kesembuhanku akan berakibat tidak baik bagi
keadaan.”
“Kenapa?” bertanya Untara.
“Kematianku adalah akhir
daripada bencana yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari
senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku
mengharap bahwa mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan. Bukankah begitu
Paman Sumangkar?”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Jawabnya singkat, namun meluncur dari dasar hatinya, “Ya Ngger.”
“Baik. Baik” Macan Kepatihan
meneruskan. Suaranya menjadi semakin lambat, sedang nafasnya menjadi semakin
tak teratur. Kepada Untara kemudian ia berkata, “Adi Untara. Di manakah kau?”
Untara itu melangkah maju. Ia
sudah lupa akan setiap bahaya yang mengancamnya, apabila Sumangkar itu berbuat
hal-hal di luar dugaan. Kini ia berjongkok dekat di samping kepala Macan
kepatihan.
“Adi Untara, kau benar-benar
seorang kesatria. Kau mampu melupakan dendam atas seseorang yang menghadapi
saat-saat kematiannya. Jarang orang dapat berbuat seperti kau ini.”
Untara tidak menjawab. Dan
didengarnya suara Macan kepatihan terputus-putus, “Paman Sumangkar tidak
bersalah. Orang itu tidak pernah turut bertanggung jawab dalam segala gerak dan
perbuatan pasukan Jipang. Karena itu aku minta maaf untuknya.”
Untara menganggukkan kepalanya
pula. Dari mulutnya demikian saja meluncur jawabnya, “Ya. Paman Sumangkar tidak
turut bertanggung jawab.”
“Seluruh tanggung jawab ada
padaku Adi.”
“Ya” sahut Untara.
“Angger,” tiba-tiba Sumangkar
memotong, “biarlah kita berbagi tanggung jawab. Kenapa aku tidak ikut
bertanggung jawab pula atas segalanya yang telah terjadi?”
“Jangan membantah Paman,”
sahut Macan Kepatihan. “Ini adalah kata-kataku terakhir.”
Sumangkar tertegun. Tetapi ia
tidak berkata apapun. Dan didengarnya kemudian suara Macan kepatihan
terputus-putus, “Paman. Adakah paman dapat membantu aku?”
“Tentu Ngger, tentu” sahut
Sumangkar cepat-cepat.
“Terima kasih, Paman. Paman
akan sudi menguburkan mayatku, apabila Adi Untara tidak berkeberatan.
Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tidak ada gunanya perselisihan ini
akan berlangsung terus.”
Tohpati mencoba menarik nafas
dalam-dalam, namun ia menjadi semakin lemah, semakin lemah. Getar darahnyapun
semakin lama semakin menjadi lemah pula. Ketika ia mencoba memandangi
orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, maka yang dilihatnya hanyalah
bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dikenalnya lagi.
“Paman” desisnya.
Sumangkar beringsut maju
semakin dekat. Dirabanya tangan Macan Kepatihan yang menjadi bertambah dingin.
“Adi Untara” panggilnya
lambat.
Untara pun berkisar pula ke
samping Sumangkar.
Agaknya Tohpati ingin minta
kepada mereka. Tetapi nafasnya menjadi semakin lamban.
“Angger” panggil Sumangkar.
Terasa tangan Tohpati
bergetar, dan mulutnya berdesis. Sumangkar segera meletakkan telinganya ke
bibir murid kakak seperguruannya itu, dan didengarnya kata-kata terakhir.
“Mudah-mudahan Tuhan mengampuni aku.”
“Mohonlah Ngger. Mohonlah
ampun.”
Tetapi Tohpati sudah tidak
mampu menjawab. Kini matanya sudah berpejam dan nafasnya menjadi kian lemah.
Sesaat kemudian tangannya tergerak sedikit dan nafasnyapun berhentilah untuk
selama-lamanya.
“Angger” desis Sumangkar.
Tetapi Tohpati tidak lagi
dapat menyahut. Ketika Sumangkar itu kemudian yakin bahwa Macan Kepatihan yang
garang itu sudah tidak dapat mendengar panggilannya, tiba-tiba ia menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Nafasnya
sendiri serasa akan putus pula seperti nafas Macan Kepatihan itu.
Sumangkar yang tua itu
terkejut sendiri ketika terasa setetes air jatuh ke tangannya. “Hem,” ia
menarik nafas dalam-dalam. “Anak ini telah pergi mendahului aku.”
Suasana di pinggir hutan itu
kemudian menjadi hening. Daun-daun pepohonan seolah-olah menundukkan tangkai
mereka, dan angin berhenti berhembus. Di kejauhan terdengar suara burung hantu
menyentuh ulu hati. Ngelangut.
Mereka semuanya tersentak
ketika mereka mendengar guruh meledak di udara, didahului oleh cahaya kilat
yang memercik sekilas. Seperti berjanji mereka menengadahkan wajah-wajah mereka
menatap langit. Dan kembali mereka terkejut ketika mereka melihat awan yang
kelam menggantung di langit. Mendung yang seakan-akan siap untuk meluncur turun
ke permukaan bumi.
“Adi Sumangkar,” terdengar
suara Kiai Gringsing, “bagaimana dengan Angger Macan Kepatihan?”
“Aku akan mencoba memenuhi
pesannya, Kiai, apabila Angger Untara mengijinkannya.”
“Silahkan Paman” sahut Untara.
“Aku akan segera kembali. Dan
aku menunggu keputusan Angger atas diriku.”
Untara menggigit bibirnya.
Kemudian katanya, “Paman telah menunjukkan kesediaan Paman untuk tidak lagi
berbuat hal-hal yang bakal merugikan Pajang. Karena itu, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan bahwa Paman tidak turut serta bertanggung jawab atas
segala tingkah laku pasukan Jipang, maka aku akan mencoba memohonkan ampun
untuk Paman Sumangkar.”
Tiba-tiba Sumangkar
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak ingin belas kasihan. Aku tidak
ingin mengingkari tanggung jawab yang betapapun beratnya, yang akan turut
menentukan hukuman atasku.”
Untara mengerutkan keningnya.
Katanya, “Lalu apakah arti kata-kata Macan kepatihan pada saat terakhir ini?”
“Ia ingin membebankan
kesalahan pada dirinya sendiri.”
“Kalau begitu Paman tidak
ingin mengakui kebenaran kata-katanya. Sehingga Paman menolak setiap pemaafan?”
“Aku tidak ingin mendapatkan
belas kasihan itu.”
“Kalau begitu apa maksud Paman
sebenarnya? Apakah Paman akan mengambil alih pimpinan dari tangan Macan
Kepatihan?” desak Untara.
Tiba-tiba Sumangkar berdiri.
Dipandanginya wajah Untara yang telah berdiri pula di hadapamnya.
“Angger” berkata Sumangkar
yang hatinya sedang kelam seperti kelamnya langit. “Aku telah berkata bahwa aku
akan kembali dan akan menerima semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Kau
tidak percaya? Apakah kau akan mencoba menangkap Sumangkar sekarang?”
“Paman” terdengar suara Untara
menjadi semakin berat. Sebagai seorang senapati muda maka ia tidak segera dapat
mengatasi gelora di dalam dadanya sendiri. Hatinya benar-benar tersinggung
ketika ia mendengar penolakan Sumangkar atas tawarannya uutuk mendapatkan keringanan
hukuman dan pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya.
Karena itu sebagai seorang
pengemban tugas ia berkata, “Aku adalah senapati Pajang yang mendapat
kepercayaan di daerah ini. Aku telah mencoba melihat kebenaran dan kealpaan pada
tempatnya sendiri-sendiri. Tetapi penolakan Paman sangat menyakitkan hati.
Karena itu apakah aku harus meneruskan tindakan pengamanan dengan cara yang
telah aku tempuh sampai saat ini terhadap Macan Kepatihan?”
Sumangkar itu mundur
selangkah. Tiba-tiba digenggamnya tongkat baja putihnya erat-erat. Dengan
tajamnya dipandanginya wajah Untara. Dari sela-sela bibirnya yang gemetar ia
berkata, “Baik. Kalau itu yang kau inginkan Ngger. Silahkan. Aku bersedia
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi atasku. Umurku sudah lanjut,
dan aku sudah jemu untuk melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk di muka bumi
ini. Karena itu, marilah. Apa yang akan kau lakukan atasku.”
Untara pun tiba-tiba
menggeram. Dari matanya seolah-olah memancar api kemarahan. Ia adalah senapati
Pajang yang berwenang untuk melakukan kebijaksanaan di daerah ini. Karena itu,
maka tanpa sesadarnya, ia memandang berkeliling. Kepada Widura, Agung Sedayu,
Swandaru, dan kepada para pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.
Sambaran mata Untara itu,
seakan-akan merupakan perintah bagi mereka, bagi Widura, Agung Sedayu, Swandaru
dan semua orang yang berdiri mengitari mereka serentak mereka bersiaga dan
serentak pedang-pedang mereka siap untuk menerkam Sumangkar yang berdiri di
tengah-tengah lingkaran manusia itu.
Tiba-tiba dalam ketegangan
yang memuncak itu, terdengarlah suara tertawa. Perlahan-lahan, namun nadanya
seakan-akan menghantam dinding jantung.
Suara itu adalah suara Ki Tanu
Metir, yang masih saja berada di tempatnya. Namun kini iapun telah berdiri,
menghadap ke arah Sumangkar. Di antara suara tertawanya yang perlahan-lahan itu
terdengar ia berkata, “Adi Sumangkar yang bijaksana. Apakah sebenarnya yang
akan kau lakukan? Apakah kau masih ingin membunuh dirimu? Barangkali cara
inipun akan dapat kau tempuh. Mati dikeroyok orang. Apakah cara ini juga dapat
memberi kepuasan kepadamu?”
“Tidak. Aku hanya bersedia
mati oleh tangan Kiai Gringsing yang cukup bernilai bagiku. Bukan karena tangan
anak-anak ataupun siapa saja. Sumangkar akan bertahan sampai kesempatan yang
terakhir. Kecuali kalau kau ikut serta dengan mereka. “
Kembali suara tertawa Kiai
Gringsing mengumandang di pinggiran hutan itu, seolah-olah menelusur sampai ke
kaki bukit. Katanya, “Untara. Naluri keprajuritan Adi Sumangkar masih terlalu
tebal. Ia melihat murid kakak seperguruannya mati karena tusukan pedang. Ia
melihat Macan Kepatihan bukan saja sebagai senapati yang dibanggakannya, tetapi
Raden Tohpati adalah penerus dari perguruan Kedung Jati. Itulah sebabnya ia
merasa kehilangan. Perasaan itu sedemikian menusuk hatinya, sehingga betapapun
mengendapnya hati Adi Sumangkar, namun kadang-kadang ia kehilangan keseimbangan
dalam kejutan yang tiba-tiba semacam ini. Harga dirinya sama sekali tidak
tersentuh seandainya Macan Kepatihan itu tidak lebih dan tidak kurang dari
panglima perangnya saja. Tetapi karena Macan kepatihan itu bersangkut-paut
dengan perguruannya, maka ternyata sentuhan itu agak terlalu tajam baginya.”
Untara mendengar penjelasan
itu, kata demi kata. Baginya apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu cukup
jelas. Tidak lain adalah permintaan yang serupa seperti yang telah diucapkan.
Pengampunan. Namun ternyata Kiai Gringsing mengucapkan dalam nada yang berbeda.
Meskipun demikian, ia masih tetap berdiri tegak dengan pedang di dalam
genggamannya siap untuk bertindak apabila keadaan memaksa.
Namun bagi Sumangkar,
kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar telah melemahkan segala sendi
tulangnya. Ia merasa seolah-olah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar untuk
melihat dirinya sendiri. Kegugupan, kegelisahan, kecemasan, harga diri,
putus-asa dan segala perasaan bercampur baur sehingga ia tidak menemukan
keserasian nalar dan perasaan. Tiba-tiba orang tua itu menundukkan kepalanya.
Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing pun telah mencoba meredakan kemarahan Untara dan
mencoba mencegah ia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyulitkan
keadaan.
Sesaat suasana kembali menjadi
sepi-senyap. Kembali di kejauhan terdengar suara burung hantu seperti
mengetuk-ngetuk dada. Dan malampun serasa bertambah dalam.
“Adi Sumangkar” kembali
terdengar suara Kiai Gringsing. “Bagaimana kalau aku ulangi kata-kata Macan
Kepatihan? Bahwa sepeninggalnya perselisihan akan tidak berlangsung terus?”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Jawabnya lirih, “Ya, Kakang.”
“Nah, sekarang marilah kita
singkirkan perasaan harga diri kita masing-masing yang terlalu
berlebih-lebihan. Sekarang lakukan yang kau kehendaki. Menguburkan Tohpati
dengan baik menurut cara yang kau inginkan. Sesudah itu, kau akan kembali dan
persoalan akan selesai. Begitu?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kata-kata Kiai Gringsing itu sama sekali tidak berbeda dengan
kata-kata Untara. Tetapi kini ia telah menjadi semakin menyadari keadaannya.
Bahkan kemudian ia berkata sambil membungkukkan kepalanya. “Baik Kakang. Aku
akan menerima segala persoalan dengan senang hati. Kalau aku harus menerima
pengampunan, biarlah aku mengucapkan terima kasih. Kalau aku akan menerima
hukuman, biarlah hukuman itu akan aku jalani.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia melihat Untara akan mengucapkan sesuatu, cepat-cepat ia
mendahului, “Sekarang, bukankah Adi Sumangkar akan kau persilahkan membawa
Raden Tohpati. Ngger?”
Untara tertegun sejenak. Namun
ia menganggukkan kepalanya. “Ya Kiai.”
“Dan kau akan menerimanya
kembali kelak?”
Kembali Untara mengangguk, “Ya
Kiai.”
“Bagus. Aku bukan panglima
prajurit Pajang, bahkan seorang prajuritpun bukan. Tetapi, aku yakin bahwa
Angger Untara memang akan berbuat demikian.”
Hati Untara itupun menjadi
luluh pula melihat sikap Sumangkar yang kini seakan-akan melepaskan segala
macam kepentingan sendiri. Bahkan harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka
terdengar Untara itupun kemudian berkata, “Silahkan Paman Sumangkar. Kesempatan
itu akan Paman dapat seperti yang Paman kehendaki.”
Sekali lagi Sumangkar
menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Aku akan membawa
Angger Tohpati di antara anak buahnya. Aku akan mengucapkan kembali kata-kata
terakhirnya, bahwa kematiannya akan menjadi pertanda bahwa perselisihan tidak
akan berlangsung terus.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sesaat dadanya terasa bergetar. Ada yang akan dikatakannya, namun ia
menjadi bimbang. Namun setelah melalui beberapa pertimbangan ia berkata, “Demi
kekuasaan yang ada padaku Paman Sumangkar, aku akan memberikan pengampunan
kepada anak buah Macan Kepatihan yang dengan suka rela dan tulus menyerahkan
dirinya. Namun seterusnya aku akan melakukan tugasku sebaik-baiknya, apabila
ada di antara mereka yang menolak uluran tangan ini.”
Sekali lagi dada Sumangkar
berdesir. Namun betapapun juga ia harus melihat kenyataan, memang sebenarnyalah
bahwa perkataan Untara itu benar. Apa yang terjadi bukannya satu persetujuan
antara seorang senapati Jipang dan seorang senapati Pajang. Tetapi yang terjadi
adalah penyerahan. Manyerah karena tak ada lagi kekuatan untuk melawan.
Betapapun rasa sakit
menghentak-hentak dada, namun Sumangkar tidak lagi membantah kata-kata senapati
muda dari Pajang itu. Betapapun pahitnya kata-kata yang dipergunakan,
menyerahkan diri, namun tidak ada lain yang dapat dilakukan untuk menghentikan
kerusuhan-kerusuhan yang masih akan berkembang berlarut-larut. Meskipun bagi
dirinya sendiri masih akan banyak dicari kemungkinan-kemungkinan lain, bahkan
kemungkinan yang terakhir, yang baginya lebih baik daripada menyerah itu, yaitu
mati, tetapi kematiannya tidak akan berarti apa-apa bagi ketenteraman yang akan
dicarinya. Ketenteraman bagi rakyat Demak. Ketenteraman seperti yang dipesankan
oleh Tohpati.
Bahkan kematian Tohpati pun
akan tidak berarti apa-apa bila tanpa penyerahan dari anak buahnya. Malahan
kerusuhan akan menjadi semakin memuncak, sebab sisa-sisa prajurit Jipang itu
akan menjadi semakin tak terkekang. Namun mudah-mudahan hilangnya pemimpin mereka,
akan memperlunak hati mereka. Mudah-mudahan mereka menjadi seakan-akan
kehilangan pegangan. Dan dalam keadaan yang demikian, mereka akan mendengar
kabar pengampunan yang diberikan oleh Untara, bagi mereka yang bersedia
menyerahkan diri.
Tetapi bukan saja bagi
Sumangkar kata-kata itu mengetuk hati. Widura yang mendengar kata-kata Untara
itu mengangkat kepalanya. Sesaat hatinya bergelora. Namun kemudian ia berhasil
mengendapkannya. Dalam saat yang pendek ia dapat mangerti maksud dari
kemanakannya itu. Dan iapun kemudian tidak berkata apa-apa. Hatinya
dikendalikannya. Sebagai seorang prajurit yang telah cukup berpengalaman, maka
nalarnya mampu menguasai perasaannya yang melonjak-lonjak menghadapi keputusan
itu.
Namun tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka melihat beberapa orang hampir bersamaan mendesak maju.
Yang paling depan dari mereka adalah Swandaru. Dengan kalimat yang patah-patah
karena desakan perasaannya yang bergejolak ia berkata, “Kakang Untara. Apakah
artinya pengampunan itu?”
Untara mengerutkan keningnya.
Terasa bahwa keputusannya mengejutkan beberapa anak buahnya sendiri. Dan
barulah kini terasa bahwa seharusnya ia tidak tergesa-gesa mengucapkannya
sebelum ia berbicara dengan beberapa orang pemimpin pasukan Pajang dan Sangkal
Putung, serta memberi penjelasan kepada mereka. Namun kata-kata itu sudah
diucapkannya, karena itu maka jawabnya , “Adi Swandaru. Kata-kataku cukup
jelas. Aku akan memberikan pengampunan bagi mereka yang dengan suka rela
menyerah, meskipun bukan pengampunan yang mutlak. Tetapi bagi mereka yang tidak
mematuhi perintah itu, akan aku hancurkan sampai lumat.”
“Keputusan itu terlalu lunak.
Kakang tidak memperhitungkan kesalahan dan bencana yang telah mereka
timbulkan.”
Untara manggigit bibirnya. Ia
dapat mengerti pertanyaan yang dilontarkan oleh Swandaru itu. Maka jawabnya,
“Kau benar Swandaru. Tetapi kita tidak akan membiarkan diri kita terus menerus
berada dalam suasana perang. Perkelahian demi perkelahian. Pertempuran demi
pertempuran. Korban yang akan terus menerus berjatuhan. Dan kegelisahan yang
semakin meningkat di antara rakyat.”
“Tidak!” tiba-tiba terdengar
suara lain. “Mereka akan kita musnahkan dalam waktu yang singkat. Lihat, Kakang
Citra Gati telah menjadi korban. Aku telah terluka dan beberapa anak buah telah
terbunuh hanya dalam satu kali pertempuran, kali ini. Belum lagi terhitung
dalam peperangan-peperangan yang lain. Apakah kita akan dapat melupakan
korban-korban yang telah berjatuhan itu? Apakah kita dapat melihat kehadiran
orang-orang yang tangannya bergelimang darah kawan-kawan kita itu hidup di
antara kita sendiri dengan tenteram? Tidak. Hati kita akan selalu dikejar oleh
perasaan tanggung jawab dan kesetia-kawanan.”
Untara berpaling ke arah suara
itu. Dilihatnya Hudaya berdiri dengan teguhnya sebagai menara baja. Di
tangannya masih tergenggam pedangnya yang berjalur-jalur merah karena darah.
“Kau benar Hudaya,” sahut
Untara, “kau benar. Swandaru pun benar. Tak ada lagi kini yang dapat
menghalangi kita untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan Jipang yang sudah
kehilangan pemimpinnya itu. Mereka telah menjadi demikian lemahnya sehingga
kita akan dapat menumpasnya.”
“Nah, kenapa kita akan
memberikan pengampunan?” teriak Hudaya yang disusul oleh Sendawa, “Kita
musnahkan saja mereka.”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Sedang Sumangkar yang berdiri di hadapannya bergeser setapak menghadap suara
itu. Terasa dadanya yang pedih bertambah pedih. Lebih pedih dari tusukan pedang
di dada itu. Tetapi ketika ia akan memotong kata-kata itu terasa Kiai Gringsing
menggamitnya, sehingga Sumangkar itu hanya mendekap kepedihan itu di dalam
hatinya.
“Kalian benar,” terdengar
kembali suara Untara. “Kami akan dapat melakukannya. Dan hal itu pasti akan
kita lakukan. Tetapi bagaimana dengan orang-orang Jipang yang kemudian menyesal
atas segala perbuatannya? Bagaimanakah kemudian dengan musuh-musuh kita yang
merasa dirinya bersalah dan ingin menghentikan perlawanannya? Tidak semua dari
mereka tahu benar apa yang telah dilakukan. Nah, bagi mereka yang dengan jujur
merasa bersalah dan menyerah, kita tunjukkan kebesaran jiwa kita. Sebagai mana
Tuhan akan mengampunkan dosa-dosa kita, kitapun harus bersedia memaafkan
kesalahan sesama. Tentu bagi mereka yang jujur. Tuhan melihat kejujuran dan
kecurangan di hati kita. Tetapi kita tidak dapat melihat hati sesama. Namun
kita mempunyai cara-cara untuk itu. Melalui penelitian dan percobaan. Nah,
serahkanlah hal itu kepada pimpinan Pajang. Namun dengan demikian kita
mengharap bahwa ketenteraman akan segera dapat dipulihkan. Sedang kita akan segera
melihat, siapakah yang dapat kita maafkan, dan siapakah yang harus kita
hancurkan. Meskipun aku harus mengatakan sekali lagi, bahwa pengampunan yang
aku maksudkan, bukanlah pengampunan yang mutlak membebaskan mereka dari
tanggung jawab atas segala perbuatan mereka.”
Untara itu berhenti sejenak.
Dicobanya untuk melihat penilaian orang-orang yang berdiri di sekitarnya atas
kata-katanya. Tetapi malam menjadi semakin gelap di pinggiran hutan itu,
sehingga Untara menjadi sulit untuk dapat melihat setiap wajah dari anak
buahnya.
Namun sesaat tak ada
seorangpun yang menyahut. Batas hutan itu kembali diliputi oleh suasana yang
sepi. Kembali terdengar semakin jelas suara burung hantu di kejauhan.
Dalam kesunyian itu terdengar
kemudian suara Untara kembali. “Nah. Apakah kalian dapat mengerti maksudku?”
Jawaban Swandaru mengejutkan.
Katanya, “Tidak.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ia masih juga mendengar beberapa orang bergumam di antara mereka.
“Jadi bagaimana kenginanmu
Swandaru?” bertanya Untara langsung kepada Swandaru.
Swandaru terkejut mendengar
namanya disebut. Namun ia menjawab, “Dihancurkan sampai tujuh turunan.”
“Hem,” sekali lagi Untara
menarik nafas. Kemudian katanya, “Jadi kita menutup pintu bagi mereka yang
ingin menyerah tanpa kecuali? Jadi kita mengingkari penglihatan kita, bahwa ada
di antara mereka yang berada di pihak Adipati Jipang hanya karena terpaksa dan
kemudian tidak dapat melepaskan dirinya karena berbagai persoalan. Persoalan
yang sangkut-menyangkut. Ketakutan mereka terhadap ancaman kawan sendiri,
ketakutan mereka terhadap sikap para prajurit Pajang yang tidak dapat
dimengertinya, ketakutan mereka terhadap bayangan mereka sendiri. Lebih-lebih
bagi mereka yang pada saat belum ada persoalan antara Jipang dan Pajang tidak
lebih dari seorang hamba dan prajurit Kadipaten. Mereka tidak menyadari apa
yang akan terjadi atas mereka. Dan bahkan mereka telah mengutuk Arya Penangsang
sedalam lautan. Namun mereka tidak melihat jalan kembali, sehingga mereka
harus, mau tidak mau, turut serta dalam peperangan melawan kita. Kepada mereka
itulah kita akan mencoba membuka pintu.”
“Bagaimana kita dapat
membedakan satu dengan yang lain di antara mereka? Bagaimana kalau kemudian
orang-orang semacam Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda datang memenuhi seruan
itu?” bertanya Hudaya dengan suara parau bergetar.
“Mereka harus menghadapi
pertanggungan jawab. Mereka yang benar-benar sadar akan perlawanannya, kepada
mereka itu akan berlaku hukuman yang akan diberikan oleh pimpinan Pajang
melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku.”
“Sesudah mereka membunuh
banyak orang di antara kita?” desak Sendawa.
“Ya. Kita akan memperhitungkan
setiap perbuatan mereka. Sebab mereka telah melakukannya dengan sengaja dan
sepenuh kesadaran mereka.”
Kembali mereka terlempar dalam
kesepian. Swandaru, Hudaya, Sendawa dan banyak lagi di antara mereka yang
menjadi pening. Mereka tidak mengerti arti dari pengampunan yang diberikan oleh
Untara. Tetapi mereka mencoba untuk melihat, apakah yang kelak akan terjadi.
Betapa perasaan mereka melonjak-lonjak, tetapi mereka tidak dapat berdebat
dengan senapati mereka. Sebagai seorang prajurit mereka masih cukup menyadari
kedudukan mereka. Karena itu merekapun berdiam diri. Meskipun bukan berarti
bahwa mereka sependapat dengan senapatinya.
Untarapun kemudian tidak ingin
berbantah terlampau lama. Ia akan memberi penjelasan nanti kepada anak buahnya
di kademangan, atau kepada beberapa orang yang penting, untuk di teruskan
kepada setiap prajurit dan orang Sangkal Putung. Ia sendiri dapat merasakan
betapa beratnya keputusan yang diambilnya itu. Namun salah satu saran yang
pernah di dengar langsung dari Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan, adalah
pengampunan semacam itu atas mereka yang sama sekali tidak turut bertanggung
jawab terhadap persoalan antara Jipang dan Pajang sepeninggal Sultan Trenggana.
Karena itu, maka kemudian ia
berpaling kepada Sumangkar yang masih berdiri dengan tegangnya. “Paman
Sumangkar ambillah tubuh Macan Kepatihan. Terserah kepada paman, apakah yang
akan Paman lakukan.”
Sumangkar tersadar dari
ketegangan yang mencengkamnya. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Lalu
berlahan-lahan ia melangkah mendekati tubuh Tohpati yang terbaring membeku.
“Terima kasih Ngger,” katanya,
“biarlah anak buahnya melihatnya. Dan biarlah peristiwa ini menimbulkan
kesan-kesan baru terhadap sikap mereka selama ini.”
“Bagus” sahut Untara.
Sumangkar kemudian mengangkat
tubuh itu dan disangkutkannya di atas pundaknya. Sekali ia memandang
berkeliling, atas orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Kemudian ia melangkah
surut sambil berkata, “Aku akan meninggalkan tempat ini atas ijin Angger
Untara.”
“Silahkanlah Paman” berkata
Untara.
Sejenak kemudian Sumangkar itu
melangkah di antara beberapa orang yang menyibak memberinya jalan. Sesaat kemudian
bayangan itupun masuk ke dalam gelap malam di antara dedaunan yang rimbun.
Sepeninggal Sumangkar
tiba-tiba Untara berkata, “Sedayu, ada perintah untukmu.”
Sedayu terkejut, selangkah ia
maju. Dengan wajah yang bertanya-tanya ia menunggu perintah yang dikatakan oleh
kakaknya.
“Ikuti Paman Sumangkar dengan
diam-diam. Kau harus dapat melaporkan kepadaku, di mana letak perkemahan mereka
dengan tepat. Sudut-sudut yang lemah dan penjagaan-penjagaan yang ada di antara
mereka.”
Agung Sedayu terkejut mendengar
perintah itu. Namun tidak ada kesempatan untuk mempersoalkannya. Kakaknya
menyebutnya dengan perintah. Perintah seorang senapati harus dilakukannya
betapapun beratnya. Mengikuti Sumangkar bukanlah pekerjaan yang mudah. Orang
itu adalah seorang yang sakti, yang pendengarannya jauh lebih tajam dari
pendengarannya sendiri.
Meskipun demikian, dada Agung
Sedayu dijalari pula oleh suatu perasaan yang tidak dapat diingkarinya. Bangga,
namun juga cemas. Bangga atas tugas yang dipercayakan kepadanya, tidak kepada
orang lain. Namun ia cemas bahwa ia akan gagal melakukannya. Bukan karena ia
tidak berani, tetapi disadarinya sepenuhnya, siapa yang dihadapinya kali ini.
Dalam pada itu terdengar
kakaknya berkata, “Agung Sedayu kau harus kembali sebelum malam besok.”
Tanpa berpikir Agung Sedayu
menjawab, ”Baik Kakang.”
“Nah, cepat berangkat. Kalau
kau terlambat kau akan kehilangan jejak Paman Sumangkar.”
“Baik Kakang,” sahut Sedayu
pula.
Namun sebelum Sedayu
berangkat, terdengar Kiai Gringsing berkata, “Apakah kau sungguh-sungguh,
Untara.”
Untara berpaling. Ditatapnya
wajah Kiai Gringsing. Kemudian jawabnya, “Tentu, Kiai. Aku memerlukan laporan
tentang daerah lawan, keadaannya, kekuatannya dan segala macam persoalan yang
mungkin dapat kita perhitungkan dalam setiap saat dan keadaan yang perlu.”
“Bukankah kau mempunyai
beberapa orang pembantu dan bahkan ada yang dekat dengan lingkungan mereka?”
“Aku kurang mempercayainya
seperti aku mempecayai Agung Sedayu. Mungkin aku berhadapan dengan ular
berkepala dua, karena itu aku harus mencocokkan keadaan, sebelum aku melakukan
tindakan terakhir. Bukankah Sumangkar akan menunjukkan jalan itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kenapa Agung Sedayu, bukan orang lain, Angger
Widura misalnya?”
Untara menggigit bibirnya.
Sesaat ia terdiam, namun kemudian ia menjawab, “Paman Widura adalah pimpinan
prajurit Sangkal Putung. Ia tidak dapat meninggalkam tugasnya.”
“Bagus, bagus,” desah Kiai
Gringsing, “kau cerdik Untara.”
“Kenapa?” bertanya Untara.
“Tidak apa-apa” sahut Kiai
Gringsing. “Pergilah Agung Sedayu.”
“Baik Kiai” sahut Agung
Sedayu. Kemudian dengan ringkas ia mohon diri kepada kakak dan pamannya. “Aku
berangkat Kakang, dan aku minta doa Paman Widura, semoga berhasil.”
Widura berdiri tegak seperti
patung. Ia menyadari bahaya yang dapat terjadi atas kemanakannya. Sumangkar
bukan orang yang setingkat dengan anak muda itu, karena itu ia ragu-ragu
melepaskannya. Meskipun demikian, perintah itu datang dari senapati yang
mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang, karena itu
dengan hati berat ia menjawab, “Hati-hatilah Agung Sedayu. Tugasmu terlampau
berat.”
Agung Sedayu tidak berkata
apa-apa lagi. Ia takut kehilangan jejak. Karena itu, segera ia melangkah,
meninggalkan kakaknya, pamannya dan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal
Putung.
Swandaru yang tertegun
keheranan atas perintah itu, tiba-tiba seperti orang tersadar dari mimpi.
Terbata-bata ia berkata, “Aku ikut serta Kakang Sedayu.”
Sebelum Sedayu menjawab,
terdengar Untara menyahut. “Jangan Swandaru. Biarlah ia berjalan sendiri.”
Yang mendengar jawaban Untara
itupun menjadi heran pula. Apakah sebenarnya maksud Untara dengan perintahnya
kepada adiknya itu. Perintah yang sangat berbahaya dan hampir-hampir tak masuk
akal mereka. Agung Sedayu harus mengikuti jejak orang sesakti Sumangkar.
Namun kemudian mereka
benar-benar harus melepaskan Agung Sedayu. Mereka hanya dapat memandang anak
muda itu berjalan dan menghilang di dalam gelap searah dengan menghilangnya
Sumangkar.
Demikian Agung Sedayu masuk ke
dalam hutan, demikian ia merasa terlempar ke dalam suatu daerah kelam yang sama
sekali tak dikenalnya, yang dapat dilihatnya hanyalah tabir hitam pekat
menyelubunginya. Satu-satu ia dapat melihat remang-remang pepohonan yang sudah
sedemikian dekat dengan hidungnya. Namun yang lain tak dapat dilihatnya.
Barulah ia kini menyadari,
betapa sulit tugas yang dibebankan kepadanya. Ia tidak tahu, ke mana ia harus
berjalan dan bagaimana mungkin ia dapat mengikuti jejak orang yang bernama
Sumangkar. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kaki, desah nafas dan apalagi
melihatnya.
Tetapi ia tidak dapat kembali.
Ia telah berangkat membawa tugas Karena itu tugas itu harus dilakukannya
sebaik-baiknya. Apapun yang akan terjadi.
Sekali-sekali timbul di dalam
hatinya perasaan-perasaan aneh seperti yang pernah dimilikinya dahulu. Gendruwo
bermata satu, macan putih dari Lemah Tengkar, hantu berwajah tampan dari Gunung
Gowok. Satu-satu kenangan itu timbul tenggelam di dalam benaknya. Namun Agung
Sedayu kini bukanlah Agung Sedayu yang dahulu. Meskipun perasaannya tentang
hal-hal serupa masih saja sering membuat lehernya meremang.
Agung Sedayu itu pun kemudian
berjalan setapak demi setapak maju. Tangan kirinya meraba-raba batang-batang
pohon yang dilampauinya, sedang lengan kanannya kadang-kadang meraba hulu
pedangnya, di lambung kiri. Setiap saat ia memerlukan pedang itu, sebab setiap
saat ia akan bertemu dengan bahaya.
Setelah agak lama Agung Sedayu
berada di dalam gelapnya hutan, maka perlahan-lahan matanya dapat menyesuaikan
diri dengan keadaan. Perlahan-lahan ia dapat melihat beberapa bagian hutan itu
di sekitarnya. Bahkan ketika ia menengadahkan wajahnya, ia masih dapat melihat
bayangan langit yang gelap karena mendung yang mengalir dari Selatan di
celah-celah dedaunan. Namun di antara awan yang kelabu itu, Agung Sedayu
kadang-kadang melihat seleret bintang seolah-olah berkeredip kepadanya.
“Hem” Agung Sedayu menarik
nafas. Ia masih belum tahu sama sekali, ke mana ia akan pergi. Ia menjadi
cemas; jangan-jangan akan tersesat dan tidak dapat menemukan jalan keluar.
Tetapi bagaimanapun
perasaannya bergolak, namun Agung Sedayu itu berjalan terus. Ia tidak tahu,
apakah ia akan dapat bertemu dengan jejak Sumangkar atau tidak. Tetapi ia begitu
saja memilih jurusan tanpa diketahui arahnya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu
berjalan terus. Setiap kali ia berhenti memperhatikan kalau-kalau ia mendengar
sesuatu. Mungkin langkah seseorang atau mungkin tarikan nafasnya. Tetapi yang
didengarnya hanyalah desir angin yang menggerakkan dedaunan. Gemerisik
lambat-lambat.
Agung Sedayu berjalan terus.
Perlahan-lahan di antara semak-semak yang tumbuh di bawah pepohonan yang besar.
Agung Sedayu tidak saja harus hati-hati menghadapi lawan-lawannya, tetapi ia harus
hati-hati pula menghadapi segala macam binatang. Lebih-lebih lagi ular.
Binatang yang sangat berbahaya dan hampir-hampir tak dapat dilihatnya bagaimana
binatang itu menyerang.
Dalam keremangan malam yang
gelap itu, tiba-tiba Agung Sedayu melihat sesuatu. Ia melihat gerumbul-gerumbul
tumbuh tidak wajar. Namun kemudian ia mengambil kesimpulan, bahwa gerumbul itu
baru saja diterobos oleh seseorang. Tidak hanya seseorang menilik dahan-dahan
yang patah dan daun yang terinjak-injak.
Dengan saksama Agung sedayu
mencoba memperhatikan gerumbul-gerumbul itu. Lama sekali, sebab malam pun gelap
sekali. Hampir ia mengamat-amati setiap daun dan ranting. Diraba-raba dengan
tangannya. Akhirnya Agung Sedayu berkesimpulan, bahwa bukan Sumangkar yang
ditemukannya jejaknya, tetapi prajurit Jipang yang mengundurkan diri.
“Bukankah sama saja,” pikir
Agung Sedayu, “kedua-duanya membawa aku ke sarang mereka.”
Tetapi dengan demikian Agung
Sedayu menjadi semakin menyadari, betapa sulitnya pekerjaannya. Betapa bahaya
yang dihadapinya. Mungkin ia akan bertemu dengan beberapa orang dari prajurit
Jipang yang mengundurkan diri itu. Dan ia harus bertempur di dalam hutan.
Meskipun ia sering berlatih bertempur malam hari dengan pamannya dan kakaknya
Untara, namun bertempur di dalam hutan yang gelap, memerlukan kecakapan yang
khusus.
“Jangan-jangan anak buah Macan
Kepatihan sudah terlalu biasa bertempur dalam gelap” katanya di dalam hati.
Namun ditepiskannya untuk menghibur dirinya sendiri. “Ah, tidak. Mereka masih
memerlukan obor waktu mereka menyerang Sangkal Putung di malam hari. Kalau
demikian, maka kita akan mendapat kemungkinan yang sama apabila kita harus
bertempur di malam gelap.”
Kembali Agung Sedayu maju
perlahan-lahan. Ia tidak mau kehilangan jejak. Setiap kali ia berhenti mengamat-amati
setiap dahan-dahan perdu yang patah dan daun-daun yang tersibak. Ditelusurinya
bekas-bekas itu selangkah demi selangkah. Dan ia tidak mau jejak itu terputus.
“Mereka berjalan
tergesa-gesa,” pikir Agung Sedayu seterusnya, “sehingga jejak mereka menjadi
sangat jelas. Mudah-mudahan aku dapat menemukan sarang mereka.”
Semakin lama Agung Sedayu
tenggelam semakin dalam ke hutan itu. Sedang malam pun semakin lama menjadi
semakin dalam tenggelam ke pusatnya. Dalam pada itu Agung sedayu pun menjadi semakin
mengenal jejak-jejak yang harus diikutinya.
Namun kemudian terasa tubuhnya
semakin lama menjadi semakin penat. Sehari ia bertempur. Sehari ia tidak makan
dan minum kecuali makan pagi. Karena itu, kini terasa, betapa ia lapar dan
haus. Dengan demikian langkahnya pun menjadi semakin lambat, bahkan kemudian ia
berpikir, “Apakah tidak lebih baik aku beristirahat? Besok apabila hari menjadi
terang, aku pasti akan dapat menemukan sarang mereka.”
Namun kemudian timbullah
pikirannya yang lain, “Tetapi di siang hari kedatanganku pasti segera diketahui
oleh mereka. Padahal besok sebelum malam aku harus sudah melaporkannya kepada
Kakang Untara.”
Agung Sedayu menjadi bimbang.
Akhirnya, betapapun letihnya, betapapun haus dan lapar, ia berjalan terus. Ia
mengharap dapat menemukan tempat itu, kemudian ia mengharap hujan turun supaya
ia mendapatkan air untuk minum.
“Tetapi apabila hujan turun,
aku akan kehilangan jejak. Dan mungkin aku tidak akan dapat kembali menemukan
jalan ini” pikirnya.
“Ah, aku harus membuat
tanda-tanda sendiri” desisnya tiba-tiba .
Agung Sedayu itu pun segera
menarik pedangnya. Ia ingin membuat tanda-tanda yang lebih jelas dengan pedang
itu, supaya besok ia tidak tersesat pulang apabila hujan menghapuskan
jejak-jejak yang ditinggalkan oleh orang-orang Jipang. Apabila daun-daun yang
tersibak itu akan menjadi kabur karena hujan, dan karena daun-daun itu
ditundukkan oleh air hujan yang lebat.
Dengan pedangnya, Agung Sedayu
membuat goresan-goresan yang dalam pada batang-batang pepohonan, dan memotong
dahan-dahan yang agak besar. Membuat tanda-tanda dengan menancapkan beberapa
potong kayu di tanah dan berbagai macam yang lain dengan sangat teliti, supaya
suaranya tidak mengganggu ketenangan malam di dalam hutan itu.
Ketika kemudian terdengar burung
hantu di kejauhan, kembali leher Agung Sedayu meremang. Burung hantu mempunyai
kesan yang khusus bagi yang mendengarnya. “Ah,” katanya di dalam hati, “suara
itu adalah suara burung hantu. Ia tidak dapat bersiul dengan cara yang lain,
seperti burung kepodang misalnya.” Namun meskipun demikian, setiap bunyi burung
itu, terasa sebuah ketukan di jantungnya.
Tetapi Agung Sedayu itu
tiba-tiba tertegun. la mendengar sebuah suara yang lain. Bukan suara burung
hantu. Perlahan-lahan, namun terus menerus.
Agung Sedayu itu pun berhenti.
Diperhatikannya suara itu dengan saksama. Suara itu bukan suara binatang.
Tetapi suara itu adalah suara seseorang.
Agung Sedayu menarik nafas.
Pedangnya masih di dalam genggamannya, dan dengan ujung pedang mendatar
setinggi perutnya ia berjalan dengan sangat hati-hati.
Dengan penuh kewaspadaan ia
mengamat-amati keadaan. Mencoba menangkap setiap suara dan melihat setiap
gerak. Namun keadaan di hutan itu terlampau sepi. Dan suara itu masih saja,
didengarnya.
Agung Sedayu itu pun kemudian
berhenti. Semakin lama, semakin jelas, bahwa suara itu adalah suara rintihan
seseorang.
“Siapa?” desis Sedayu di dalam
hatinya.
Tetapi Agung Sedayu tidak
segera mendekatinya. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Apakah suara
itu suara rintihan seseorang yang terluka dalam suatu perkelahian? Kalau
demikian maka lawan orang itu pasti masih ada di sekitarnya dalam keadaan yang
baik. Tetapi bagaimana kalau karena sebab lain?
Agung Sedayu itu pun kemudian
malahan mencoba mencari perlindungan di belakang dedaunan. Mungkin sesuatu
terjadi. Namun beberapa saat kemudian rintihan itu masih saja didengarnya.
Selain itu sepi, sehingga Agung Sedayu itu menjadi tidak sabar. Meskipun ia
tidak kehilangan kewaspadaan, namun ia berusaha mendekatinya. Perlahan-lahan,
menyusur gerumbul-gerumbul yang cukup pekat. Agung Sedayu masih cukup sadar,
bahwa bahaya mungkin akan menerkamnya dengan tiba-tiba. Karena itu, maka setiap
gerak selalu disertai dengan kesiagaan tertinggi.
Tetapi suara itu masih saja
didengarnya. Terus menerus dan dari arah yang sama. Maka dengan tidak banyak
kesukaran Agung Sedayu kemudian berhasil mendekatinya.
Ketika Agung Sedayu telah
berada beberapa langkah saja dari suara itu. Agung Sedayu berhenti. Ia kini
berada di dalam sebuah gerumbul kecil. Sekali-sekali terasa tubuhnya tersentuh
beberapa macam tumbuh-tumbuhan berduri. Namun ia berdiri saja tidak bergerak.
Bahkan ia mencoba menguasai suara pernafasannya.
Dan suara itu masih saja
didengarnya. Sebuah rintihan yang panjang. Terus menerus tidak henti-hentinya.
Ketika Agung Sedayu mencoba mengamati keadaan di sekelilingnya, maka tiba-tiba
dilihatnya orang itu. Orang yang merintih-rintih dengan pedihnya.
Dalam keremangan. malam, Agung
sedayu melihat tubuh orang itu tergolek di tanah, di antara pohon-pohon perdu.
Sesaat Agung Sedayu masih
tegak di tempatnya. Ia masih ragu-ragu, apakah orang itu benar merintih karena
sesuatu penderitaan jasmaniah, atau karena sebab-sebab lain. Bahkan dalam
keadaan serupa itu, Agung Sedayu dapat berprasangka bahwa orang itu sebenarnya
sama sekali tidak menderita apapun, namun dengan sengaja telah memancingnya
untuk mendekat. Adalah berbahaya sekali apabila tiba-tiba orang itu
menyerangnya selagi ia kehilangan kewaspadaan.
Namun suara orang itu selalu
menyentuh-nyentuh perasaannya. Rintihan itu terdengar sedemikian pedihnya.
Bahkan beberapa kali ia mencoba untuk memanggil beberapa nama. Tetapi Agung
Sedayu tidak begitu jelas mendengarnya.
Akhirnya Agung Sedayu, yang
perasaannya mudah tergetar karena bermacam-macam hal dan keadaan, menjadi tidak
sabar lagi.
Seakan-akan ia melihat
seseorang yang sedang bergulat melawan maut. Itulah sebabnya, maka dengan
sangat hati-hati ia melangkah maju lagi. Pedangnya terjulur lurus-lurus ke arah
tubuh yang terbaring itu. Setiap gerakan akan cukup menjadi alasan untuk sekali
loncat dan pedangnya akan membenam di tubuh itu.
Tetapi tubuh itu terbaring
diam. Hanya suara rintihannya sajalah yang terdengar menggamit hati.
Ketika jarak orang itu tinggal
beberapa langkah lagi, Agung Sedayu berhenti. Ditatapnya tubuh yang tergeletak
itu dengan saksama. Namun dalam keremangan malam, ia sama sekali tidak dapat
mengetahui, apakah ada sesuatu cedera jasmaniah pada orang itu.
Dalam keadaan yang penuh
dengan keragu-raguan dan ketegangan terdengar Agung Sedayu berdesis, “Siapa
kau, dan kenapa kau terbaring di situ?”
Orang yang merintih itu
agaknya mendengar suaranya. Dengan suara yang parau dan tertahan-tahan ia
menyapa lirih, “Siapakah kau?”
“Aku bertanya siapa kau?”
sahut Agung Sedayu curiga.
Agung Sedayu melihat orang itu
bergerak. Selangkah ia meloncat surut, dan pedangnya terjulur lurus ke depan.
Namun orang itu tidak bangkit dan suara rintihannya kembali terdengar.
Tetapi Agung Sedayu masih saja
dicengkam kebimbangan, karena ia belum memliki pengalaman yang cukup menghadapi
berbagai keadaan yang belum dikenalnya. Yang terdengar kemudian adalah desis
yang sayu, “Aku hampir mati karena lukaku. Apakah kau dapat memberi aku air?”
“Air?” ulang Agung Sedayu.
“Ya, kerongkonganku serasa kering.”
Agung Sedayu menjadi bingung,
Darimana ia mendapatkan air, sedang ia sendiri haus bukan main. Karena itu maka
jawabnya,”Sayang. Aku tidak tahu kemana aku harus mencari air.”
“Oh,” orang itu mengeluh, lalu
katanya, “siapakah kau?”
“Kau siapa? Dan kenapa kau
terluka?
“Prajurit Pajang lah yang
telah melukai aku.”
Dada Agung Sedayu berdesir.
Cepat ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa orang itu adalah orang Jipang.
Tetapi kenapa ia terbaring sendiri di tengah-tengah hutan ini? Apakah ini bukan
sekedar pancingan untuk menjebaknya.
Tetapi Agung Sedayu telah
terlanjur berdiri didekat orang itu, karena itu maka ia bertanya pula, “Hem.
Kenapa kau dilukainya?”
Orang yang terbaring itu
menjawab sayup-sayup, “Kami sedang berperang. He, siapakah kau? Apakah kau
bukan kawan kami ?”
Agung Sedayu berbimbang
sesaat. Kemudian jawabnya, ”Bukan.”
“Oh, apakah kau orang Pajang?
Kalau begitu selesaikan pekerjaanmu. Bunuhlah aku dari pada aku tersiksa
disini?”
“Kemana kawan-kawanmu?”
“Aku tidak tahu. Aku berjalan
di ujung belakang karena lukaku, sehingga tubuhku menjadi sangat lemah. Ketika
aku terjatuh disini, tak seorangpun yang melihatnya.”
Agung Sedayu terdiam sesaat.
Dicobanya untuk mengurai persoalan yang dihadapinya itu. Namun kata-kata orang
yang terbaring itu masuk di akalnya. Meskipun demikian ia tidak dapat segera
mempercayainya. Maka kembali ia bertanya, ”Orang manakah kau? Dan kenapa kau
berperang dengan orang Pajang?”
Orang itu tidak segera
menyawab. Dicobanya untuk bergerak, tetapi kemudian terdengar ia mengeluh
panjang, ”Aku sudah tidak dapat menggerakkan tubuhku sama sekali. Darahku sudah
terlampau banyak mengalir. Karena itu aku tidak perlu merahasiakan diriku lagi.
Aku adalah prajurit Jipang. Apakah kau bukan orang Pajang?”
Kembali Agung Sedayu terdiam
sesaat. Bagaimana ia harus menyawab pertanyaan itu. Namun sehelum ia menyawab,
terdengar suara lemah dan parau dari orang yang terbaring itu, ”Kalau kau orang
Pajang kau pasti tahu, kenapa kami berperang melawan prajurit Pajang.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Baru kemudian menjawab, ”Ya.
Aku memang orang Pajang.”
Orang yang terbaring itu
menggeram. Kemudian katanya, ”Bagus. Kenapa kau bertanya segala macam sebab
peperangan ini? Kau hanya berpura-pura untuk memancing pendirianku. Sekarang
bunuhlah aku daripada aku menderita.”
“Ki Sanak,” berkata Agung
Sedayu kemudian, “kenapa kawan-kawanmu tidak menolongmu?”
“Apa kepentinganmu menanyakan
itu? Bukankah kau telah membunuh kawan-kawanku pula. Sekarang apa yang kau
tunggu lagi? Hadiahmu akan bertambah sehelai kampuh karena kau berhasil
membunuh seorang lagi dari antara kami.”
“Jangan berkata begitu.”
“Kenapa?”
“Di dalam peperangan kita
saling membunuh. Itu bukan kemauan kita orang seorang. Tetapi kita dihadapkan
pada suatu keadaan yang tak dapat kita hindari. Bukankah kau merasakannya
juga.”
Terdengar nafas orangyang
terbaring itu terengah-engah. Rupa¬rupanya di dalam dadanya yang semakin lemah
itu telah menyala api kemarahan yang membakar segenap darah dagingnya.
“Persetan” geramnya. Namun terdengar suaranya menjadi semakin dalam, ”Sekarang
bunuhlah aku supaya aku tidak membunuhmu. Bukankah di dalam peperangan hanya
ada satu pilihan dari dua kemungkinan, membunuh atau dibunuh?”
“Kita sekarang tidak berada
dalam peperangan. Kita dapat menemukan kemungkinan yang lain” sahut Agung
Sedayu.
“Kenapa kau mengingkari
tugasmu sebagai seorang prajurit? Bunuhlah musuhmu. Habis perkara.”
“Seorang prajurit bukanlah
seorang manusia yang biadab. Prajurit harus memiliki sifat kejantanan, namun
harus memiliki pula sifat-sifat kesatria.”
Agung Sedayu berhenti sesaat.
Ketika orang yang terbaring itu tidak menyahut, maka diteruskannya, ”Seorang
kesatria harus memiliki pengabdian yang lengkap. Bukan saja pengabdian
lahiriah. Pengabdian kepada tanah tumpah darah, kepada kampung halaman, tetapi
harus juga memiliki pengabdian rohaniah. Pengabdiannya kepada tanah tumpah
darah, kepada kampung halaman harus dilambari atas pengabdian dan kebaktiannya
kepada Sumber Hidupnya dan kepada kemanusiaan.”
“Jangan sesorah. Aku tidak
dapat mendengar lagi,” sahut orang itu terbata-bata, ”kalau benar kau memiliki
sifat-sifat yang tajam dalam pengabdianmu atas kemanusiaan, kenapa kau tidak
membunuh aku? Supaya aku tidak menderita?”
“Kau belum mati. Setiap nyawa
yang masih melekat ditubuhnya masih ada kemungkinan untuk hidup terus. Kalau
aku membunuhmu dengan dalih kemanusian, maka kemanusiaan yang demikian adalah
kemanusiaan yang tidak berpijak pada Sumber Hidupnya, kepada Tuhannya.”
“Dalam peperangan kau juga
membunuh.”
“Bukankah kita membunuh karena
kita ingin menghindarkan pembunuhan yang lebih besar? Kita membunuh dalam
batas-batas peri kemanusiaan. Sebab kita mempunyai keyakinan bahwa kita sedang
mempertahankan unsur kemanusiaan yang lebih besar. Kita menghindarkan
pembunuhan yang bakal terjadi karena perbuatan lawan kita atas kami dan
keluarga kami. Meskipun cara yang dipergunakan berbeda-beda. Bahkan pembunuhan
dengan cara perlahan-lahan adalah lebih mengerikan. Kalau musuh kita merampas segala
milik kita, menindas kita dan memperlakukan kita diluar batas peri-kemanusiaan,
itu adalah sama kejamnya dengan pembunuhan itu sendiri. Penghisapan, pemerasan,
dan pengingkaran atas keadilan dan kebenaran sejati.”
Orang yang terbaring itu tidak
menyahut.
“Ki Sanak. Lukamu agak parah.
Kau tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi bagi kami. Karena itu aku tidak dapat
membunuhmu. Tetapi aku tidak mempunyai alat dan cara untuk menolongmu.”
Orang tu masih terdiam.
“Bagaimana?”
Terdengar keluhan yang panjang
dari mulut orang yang terbaring itu. Kemudian katanya, “Terserah kepadamu.
Kalau kau tidak mau membunuhku, aku tidak dapat memaksamu.”
“Kenapa kawan-kawanmu
meninggalkan kau sendiri?”
“Mereka tidak mengetahuinya.
Aku terjatuh jauh dibelakang mereka. Dan suaraku tidak cukup keras untuk
memanggil mereka.”
“Apakah mereka belum lama
lewat disini?”
“Belum.”
“Apakah Paman Sumangkar juga
baru saja lewat disini?”
“Sumangkar? la adalah juru
masak kami, ia tinggal di perkemahan.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Meskipun tidak diketahuinya, apakah benar kata orang itu bahwa Sumangkar
seorang juru masak, namun menurut orang itu ternyata ia belum lewat tempat ini.
Karena itu, maka kembali Agung
Sedayu berdebar-debar. Kalau saja Sumangkar itu lewat dan melihatnya; apakah
katanya? Tetapi kembali timbul keragu-raguannya. Sumangkar sudah berjalan lebih
dahalu, apalagi ia seorang sakti yang telah mengenal daerah dengan baik.
Mustahil kalau Sumangkar dapat dilampauinya.
Maka kemudian ia
bertanya,”Apakah ada jalan lain ke perkemahanmu selain jalan ini?”
“Ada seribu jalan.”
“Kenapa seribu?”
“Seribu jalan atau tak ada
jalan sama sekali. Semua arah dapat dilalui. Semua arah merupakan hutan yang
pepat.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua kata-katanya masuk akal baginya. Terasa
orang yang telah terluka itu berkata seadanya. Seakan-akan tak ada yang
disembunyikannya lagi. Meskipun demikian Agung Sedayu tetap tidak kehilangan
kewaspadaan. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dan sekali lagi ia mendengar orang
itu mengerang,, ”Aku sangat haus.”
Timbullah iba yang dalam
dihati Agung Sedayu. Tetapi apa yang akan dilakukannya? Ketika ia melangkah
semakin dekat, ujung pedangnya sama sekali tidak bergeser dari arah tubuh orang
yang terbaring itu. Agung Sedayu kemudian melihat sesuatu terletak
disampingnya. Sebatang tombak. Agaknya tombak itu adalah senjatanya.
“Kau tak perlu bersiaga,”
desah orang itu, “aku tidak kuat lagi mengangkat tombakku. Ambillah dan tusukan
ke dadaku. Aku sudah tidak mampu melawan.”
“Tidak” sahut Sedayu. Namun
pedangnya tidak juga menunduk.
Orang itu mengeluh. Dan
keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena
ibanya.
Dalam pada itu kebimbangan di
dadanya menjadi kian melonjak-lonjak. Tetapi semakin dekat, Agung Sedayu dapat
merasakan, betapa nafas orang itu terengah-engah. Perlahan-lahan erangnya
menyentuh hatinya.
“Apakah lukamu parah?”
“Hampir mencabut nyawaku. Aku
ingin itu lekas terjadi.”
“Jangan,” potong Agung Sedayu.
Orang itu tidak menyawab. Dalam
keadaan yang tegang Agung Sedayu mencoba mencari jalan untuk dapat menolong
orang itu. la kini telah menemukan jejak yang dapat membawanya ke perkemahan
orang-orang Jipang. Kalau ia dapat menolong orang ini, membawanya menepi dan
keluar dari hutan ini: mungkin orang ini akan tertolong. Seterusnya ia dapat
meninggalkannya di tepi hutan setelah diberinya minum, atau menyerahkannya
kepada kawan-kawannya apabila masih ada yang dapat dijumpai di bekas-bekas
pertempuran. Mereka yang bertugas merawat orang yang terluka.
Tetapi kemudian ia menjadi
ragu-ragu. Bagaimana kalau dengan demikian tugasnya terlambat. Bagaimana kalau
kemudian hujan yang lebat menghapus bekas-bekas jejak orang-orang Jipang,
sehingga ia tidak dapat menemukannya lagi? Bagaimanakah kalau perintah yang
harus dilakukannya itu gagal?
Agung Sedayu menjadi bimbang.
Disatu pihak ia merasa wajib melakukan tugasnya, namun di lain pihak ia merasa
wajib menolong jiwa yang sedang berjuang melawan maut.
Dalam keragu-raguan itu Agung
Sedayu bahkan berdiri saja ditempatnya seperti patung. Sekali-sekali ia ingin
meneruskan perjalannya, namun sesaat kemudian rintih orang yang terluka itu
seakan-akan menggores dalam di jantungnya.
Dalam kegelapan malam Agung
Sedayu mencoba memperhatikan tubuh itu sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ia
melangkah semakin dekat lagi.
“Kau ingin melihat luka itu?”
desah orang yang terbaring itu.
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu
berkata, ”Ya.”
“Mendekatlah. Lambungku sobek
karena tusukan tombak orang Pajang.”
Agung Sedayu mendekatkan
wajahnya. Pedangnya kini bahkan telah melekat di dada orang itu. Sehingga
akhirnya ia dapat melihat luka itu. Benar-benar sebuah luka yang parah.
Darahnya masih saja mengalir tak henti-hentinya. Karena itu, maka tiba-tiba ia
menggeser pedangnya, dan meraba luka itu dengan sebelah tangannya.
Orang itu’ mengeluh. Dan
keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena
ibanya.
Dalam pada itu kebimbangan di
dadanya menjadi kian melonjak-lonjak. Ketika ia sibuk mempertimbangkan
keputusan yang akan di ambilnya, maka hutan itu menjadi sepi. Betapapun orang
yang terbaring itu mencoba menahan diri, namun masih juga terdengar ia
mengeluh.
“Aku sangat haus” katanya.
“Disini tidak ada air” sahut
Sedayu.
Orang itu terdiam. Agung
Sedayupun terdiam pula.
Namun tiba-tiba Agung
terkejut. Ia mendengar gemerisik daun disampingnya. Cepat ia menegakkan
pedangnya. Dengan satu loncatan ia telah tegak diatas kedua kakinya yang kokoh.
Pedangnya telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Gemerisik dedaunan itu masih
di dengarnya. Bahkan semakin jelas. Dan tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh
muncul dari dalam rimbunnya dahan perdu. Bukan sesosok tubuh saja, tetapi
sesosok orang lain tergantung dipundaknya.
“Paman Sumangkar” desis Agung
Sedayu.
Sumangkar memandangi Agung
Sedayu dengan tajamnya. Seakan-akan mata itu dapat menyala di dalam gelap. Dari
sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram, ”Angger Agung Sedayu, kenapa Angger
berada ditempat ini?”
Agung Sedayu menjadi bimbang.
Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu? Karena itu untuk sesaat ia berdiam
diri. Namun keringat dinginnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam pada itu terdengar
Sumangkar berkata perlahan-lahan, ”Aku sudah menyangka, bahwa seseorang pasti
akan mengikuti jalanku.”
Agung Sedayu masih berdiri
kaku tegang di tempatnya, seakan-akan anak muda itu membeku. Namun tanpa
dikehendakinya sendiri pedangnya perlahan-lahan terangkat dalam genggamannya
yang semakin kuat.
Yang terdengar adalah suara
Sumangkar, ”Ternyata dugaanku tepat. Malahan Angger Agung Sedayu sendiri yang
telah mendapat kehormatan mengikuti jejakku. Namun agaknya Angger terlalu
tergesa-gesa. Angger tidak mencari jejakku, tetapi Angger telah terjerumus ke
dalam bekas-bekas jejak orang-orang Jipang yang mengundurkan diri.”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya, ia melihat bahaya menghadang di hadapannya. Namun sejak ia berangkat,
ia telah menyadari tugasnya. Tugas itu sangat berat. Tugas untuk mengikuti
seorang sakti seperti Sumangkar. Ternyata bahwa bukan ia yang mengikuti orang
itu tetapi sebaliknya, Sumangkarlah yang telah mengikutinya. Namun semuanya
sudah terjadi. Kini ia sudah langsung berhadapan dengan bahaya. Terasa dada
Agung Sedayu berdesir.
“Tetapi agaknya Angger Agung
Sedayu menganggap bahwa tak ada bedanya mengikuti jejakku atau jejak prajurit
Jipang itu. Memang sebagian anggapan Angger benar, karena Angger pasti akan
sampai pula di perkemahan kami.”
Agung Sedayu masih berdiri
mematung. Sepatah katapun ia belum menjawab.
Karena Agung Sedayu masih berdiam
diri, kembali terdengar suara Sumangkar, “Nah, Ngger, apakah Angger masih tetap
akan meneruskan usaha Angger untuk menemukan tempat itu?”
Terdengar Agung Sedayu
menggeram. Pertanyaan itu benar-benar memusingkan kepalanya. Ia mendapat tugas
untuk melihat dengan mata kepala sendiri perkemahan itu. Menelusuri jalan-jalan
yang dapat dilalui, bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh
kekuatan pasukan Pajang. Kakaknya agaknya kurang puas dengan laporan-laporan
yang telah diterimanya mengenai perkemahan itu, sehingga salah seorang
kepercayaannya harus sempat mengetahui kebenarannya. Namun apakah di hadapan
Sumangkar ia dapat mengatakan yang sebenarnya.
Dalam kebimbangan itu
terdengar Sumangkar mendesak, “Bagaimana?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Diaturnya debar jantungnya, ketika ia menjadi agak tenang maka ia menjawab,
“Aku telah menerima perintah itu, dan aku harus melakukannya. Kecuali kalau hal
itu tidak mungkin aku lakukan.”
“Apakah menurut penilaian
Angger, Angger akan mungkin melakukannya?”
“Aku tidak tahu, tetapi aku
harus mencoba.”
“Apakah Angger tidak
menyadari, bahwa aku adalah salah seorang dari penghuni perkemahan itu?”
“Ya.”
“Bahwa aku akan dapat membunuh
Angger Sedayu dengan mudah apabila aku mau.”
“Ya.”
“Nah, sekarang apakah Angger
masih tetap dalam pendirian Angger untuk berjalan terus?”
Dada Agung Sedayu bergolak. Ia
adalah seorang anak muda yang pada dasarnya tidak senang cepat mati. Bahkan
demikian takutnya Agung Sedayu kepada kematian itu, sehingga ia pernah
mengalami suatu masa yang sangat memalukan. Namun kini, betapa ia tidak ingin
mati, tetapi terasa sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tugas yang
diberikan oleh kakaknya, seakan-akan sedemikian berat membebani diri dalam
pertanggungjawaban atas kehormatannya.
Karena itu, maka pertanyaan
Sumangkar itu tiba-tiba telah membakar jantungnya. Dengan wajah yang menyalakan
tekad yang membara di dalam dadanya terdengar Agung Sedayu menjawab, “Paman
Sumangkar, aku telah berangkat melakukan tugas atas perintah senapati Pajang
yang ditempatkan di daerah ini, dan aku telah menyanggupkan diri untuk
melakukannya. Karena itu, aku harus berjalan terus. Kalau aku harus terbunuh
dalam tugas ini, maka itu adalah salah satu akibat yang selalu dapat terjadi
atas seseorang yang sedang melakukan kewajiban yang penting.”
Jantung Sumangkar berdentangan
mendengar jawaban itu. Bahkan terasa mulutnya menjadi gemetar, sehingga
kata-katanya pun gemetar pula, karenanya. “Angger, kau telah membuat aku
bingung.”
Agung Sedayu berdiam diri.
Namun ia cukup bersiaga.
“Aku menyesal bahwa aku
mengintip terlalu lama di belakang gerumbul, sehingga aku melihat bagaimana
Angger telah berbuat atas salah seorang kawanku ini.”
Tanpa disengaja Agung Sedayu
berpaling ke arah orang itu yang masih nampak mengerang, betapapun ia mencoba
menahan sakitnya.
“Orang itu benar-benar
terluka,” katanya di dalam hati. “Kalau apa yang dilakukan itu hanya sekedar
pancingan, maka setelah Paman Sumangkar hadir di tempat ini, ia tidak perlu
masih harus berbaring di tanah yang lembab dan kotor itu.”
Tetapi yang didengarnya adalah
kata-kata Sumangkar, “Kalau aku tidak melihat, apa yang telah Angger lakukan
dan Angger katakan kepada orang yang terluka ini, maka aku tidak usah berpikir
terlampau panjang, mungkin Angger telah terbunuh saat ini karena Angger telah
mencoba memata-matai aku.”
Gelora di dalam dada Agung
Sedayu pun menjadi semakin keras dan ia mendengar Sumangkar berkata terus.
“Kenapa Angger tidak mau membunuh atau membinasakan saja orang itu, supaya aku
tidak ragu-ragu melakukan perbuatan serupa atas Angger. Kenapa Angger tidak
membelah dadanya dan menyilang punggungnya dengan pedang seperti yang pernah
dilakukan oleh Angger Sidanti atas Plasa Ireng dahulu?”
Agung Sedayu masih terbungkam.
Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya karena berbagai perasaan yang
bergelut di dalam dadanya.
Sejenak mereka terdiam.
Sumangkar berdiri termangu-mangu dengan Tohpati masih di pundaknya. Agung
Sedayu tegak, seperti patung seorang prajurit yang siap menusukkan pedang di
lambung lawannya. Sedang di sampingnya masih terbaring seorang yang luka parah
sambil mengerang kesakitan.
Angin malam yang dingin
perlahan-lahan mengusik tubuh mereka. Daun-daun yang bergetaran membuat suara
gemerisik, seperti suara orang yang saling berbisik di antara batang-batang
yang tegak berserak-serak.
Yang terdengar kemudian adalah
suara orang yang terluka itu perlahan-lahan, “Apakah kau Sumangkar juru masak
itu?”
“Ya, aku Sumangkar juru
masak.”
“Apa kerjamu di sini?”
“Tidak apa-apa.”
Orang itu mengerang kembali.
Kemudian katanya, “Apa kau dapat menolong aku?”
Sumangkar tertegun sejenak.
Dan orang itu berkata terus, “Rupa-rupanya kau sedang membujuk prajurit Pajang
itu untuk membunuhku Sumangkar, kalau kau dapat usahakanlah. Aku memang sudah
tidak akan dapat sembuh.”
“Tidak.”
Tiba-tiba terdengar suara
Agung Sedayu meledak. Suara itu seakan-akan dilontarkannya dengan serta merta
untuk melepaskan tekanan-tekanan yang selama itu menghimpit dadanya.
Sumangkar terkejut mendengar
teriakan itu. Bahkan orang yang sudah terbaring itupun terkejut. Sekali ia
menggeliat namun kemudian kembali terdengar keluhnya semakin pedih dan
melambat.
“Paman Sumangkar,” berkata
Agung Sedayu lantang, ”lakukanlah apa yang akan kau lakukan, kalau kau akan
mencoba membunuhku cobalah. Kalau aku mati terbunuh cepatlah terjadi. Kalau aku
mampu menyelamatkan diriku biar segera terjadi pula. Kemudian salah seorang
dari kita akan mendapat kesempatan untuk menolong orang ini.”
Yang terdengar adalah tarikan
nafas Sumangkar. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh, “Hem, kenapa Angger
Agung Sedayu yang mendapat tugas ini.”
“Apa bedanya?”
“Baiklah” berkata Sumangkar
sambil mengangkat wajahnya. “Aku adalah seorang prajurit. Aku tidak boleh
tenggelam dalam kebimbangan perasaanku. Aku harus dapat mengendalikan
perasaanku dengan nalar. Karena itu, maka bagaimanapun juga Angger Agung Sedayu
harus tidak dapat mengikuti jejakku maupun jejak para prajurit Jipang.”
“Aku sudah bersiap,” sahut
Agung Sedayu dengan tatagnya, “apapun yang akan kau lakukan.”
Terdengar Sumangkar menggeram.
Namun ia tidak beranjak dari tempatnya. Jantungnya terasa berdentangan dan
otaknya diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Sebagai seorang prajurit ia
tidak dapat mengorbankan pasukannya terjebak dalam perangkap lawan. Namun
sebagai manusia, ia tidak dapat berbuat apa-apa atas Agung Sedayu setelah ia
melihat dan mendengar bagaimana anak muda itu bersikap dan berpendirian
terhadap salah seorang prajurit Jipang.
Kembali mereka terdampar dalam
keheningan yang semakin tegang. Angin malam terdengar seperti suara gemerisik,
seolah-olah suara tarikan nafas berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus orang yang
sedang mengintai kedua orang yang berdiri kaku di tempat masing-masing.
Namun tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara orang yang luka parah itu, meskipun sangat
perlahan-lahan, “Aku haus. Air. Air.”
Dada Agung Sedayu tersentak
mendengar keluhan itu. Suara itu langsung menyentuh dadanya. Sehingga sesaat ia
berjuang untuk mengatasi perasaannya, namun terloncat pula kata-katanya. “Orang
itu perlu air.”
Sumangkar mengangguk. “Ya, ia
sangat memerlukan air.”
Tetapi keduanya tidak tahu,
bagaimana cara untuk menolongnya sebab masing-masing sedang terikat dalam
kewajiban mereka sendiri-sendiri.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba
kembali mereka dikejutkan oleh suara gemerisik yang lain. Seperti digerakkan
oleh satu tenaga gaib, mereka berpaling, bahkan digerakkan oleh naluri mereka
masing-masing, maka segera mereka bersiap menghadapi setiap kemungkinan.