Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-012

S.H Mintardja, Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-012 Betapapun kebimbangan bergelora di dalam batinnya, namun akhirnya Sumangkar itu tidak juga dapat membiarkan kekalahan demi kekalahan....
Betapapun kebimbangan bergelora di dalam batinnya, namun akhirnya Sumangkar itu tidak juga dapat membiarkan kekalahan demi kekalahan melanda pasukan murid kakak seperguruannya. Karena itu berkali-kali terdengar ia berdesah, kemudian menggeram. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Dan orang tua itu menjadi semakin kuat menggenggam senjatanya.

Ketika ia mendengar orang-orang Pajang bersorak, seakan-akan dirinyalah yang disorakinya. Seorang tua yang tidak berarti dan tidak tahu diri.

Di dalam arena pertempuran itu sendiri, Sanakeling terpaksa melihat kenyataan, bahwa adik Untara yang bernama Agung Sedayu itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Anak muda yang lincah dan cekatan. Geraknya kadang-kadang terasa aneh dan membingungkan. Sebenarnya Agung Sedayu mempunyai cara yang khusus dalam olah pertempuran. la tidak saja mempergunakan unsur-unsur yang dipelajarinja dari gurunya, dari ayahnya, dari kakaknya, dan dari pengalamannya yang sedikit itu, tetapi Agung Sedayu telah berhasil membuat cara-cara dan unsur-unsur tersendiri, karena ketekunannya membuat gambar-gambar di atas rontal.

Sehingga Sanakeling yang dengan tatag berani melawan Widura kini terpaksa bertempur dengan memeras segenap ilmu yang dimilikinya.

Di induk pasukan Tohpati pun mengalami banyak kesulitan. Apalagi setelah Untara dapat melepaskan segenap perhatiannya atas sayap kanannya yang agak mengalami kesulitan. Kini sayap itu telah menjadi mantap kembali. Karena itu ia tinggal memusatkan perhatiannya kepada Tohpati dan induk pasukannya. Namun Sonya, di sisi kiri dan Swandaru di sisi kanan, ternyata banyak membantunya, memperingan tekanan-tekanan yang Iangsung ke pusat pasukannya.


Apalagi di sayap kiri, Widura telah mencoba mempengaruhi seluruh medan lewat sayapnya. Dikerahkannya kekuatan sayapnya untuk mendesak semakin maju. Kemenangan yang dicapainya diharapkannya dapat langsung menimbulkan pengaruh pada induk pasukan lawan dan lebih-lebih bagi Tohpati sendiri. Menurut perhitungan Widura, kini telah sampai saatnya, Tohpati mengalami kesulitan yang sama seperti yang dialami oleh Untara di permulaan peperangan ini.

Sekali-sekali terdengar di induk pasukan, Tohpati menggeram sambil menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Tetapi ia tidak mau hangus terbakar oleh kemarahannya. Karena itu, ia masih mempergunakan segenap kesadaran serta perhitungan. Ia harus bertanan sampai matahari terbenam meskipun seandainya harus menarik mundur pasukannya benerapa langkah untuk beberapa kali. Tetapi ia harus memelihara agar pasukannya tidak terpecah. Sebab dengan demikian, maka akan hilanglah gairah segenap anak buahnya. Hati mereka akan berkeriput sekecil hati tikus. Apapun yang akan dilakukan besok, apabila hati anak buahnya masih tetap terpelihara seperti hari ini, maka kemungkinan-kemungkinan lain masih akan terjadi.

Namun ia masih harus menghadapi kenyataan. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung mendesaknya seperti prahara.

Sumangkar yang melihat kekalahan-kekalahan yang semakin lama semakin sering, menjadi kehilangan segenap keragu-raguannya. Bara yang menyala di dalam dadanya terasa menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba terdengar ia bergumam, “Tahanlah sesaat Ngger, mudah-mudahan aku akan dapat membantumu.”

Kata-kata Sumangkar itu, seakan-akan merupakan sebuah perintah bagi dirinya sendiri. Tiba-tiba terasa darahnya bergolak. Usianya yang sudah lanjut itu sama sekali tidak berpengaruh atas ilmu dan ketangkasannya. Bahkan semakin tua ilmunya menjadi semakin masak, dan segala geraknya menjadi semakin mapan.

Demikianlah dengan sigapnya Sumangkar meloncat turun dari bongkahan tanah padas. Kemudian diamat-amatinya tongkatnya sambil bergumam kepada diri sendiri, “Masa itu datang kembali.” Dan kepada tongkatnya ia berkata, “Kau sudah terlalu lama beristiratat. Marilah kita bekerja kembali. Aku tidak akan membawamu bertempur melawan kelinci-kelinci yang tidak berdaya dari sangkal Putung dan Pajang. Pekerjaanmu hanya mempengaruhi tekad dan gairah peperangan itu. Tolonglah aku, karena aku terpaksa, menyingkirkan Angger Untara.”

Sumangkar itu kemudian mengangkat wajahnya. Di berbagai tempat dilekukan-lekukan tanah yang dalam, masih dilihatnya air yang tergenang sisa hujan semalam, meskipun karena panas yang terik di sana-sini tampak debu yang berhamburan.

“Maafkan aku Angger Untara,” desisnya, “aku terpaksa melakukannya.”

Sumangkar itu kemudian menggigit bibirnya, seolah-olah ia sedang mengusir parasaan lain yang mengganggunya. Kemudian dengan dada tengadah ia melangkah menuju kearena peperangan.

Namun tiba-tiba langkah orang tua itu terhenti. Lamat-lamat ia mendengar orang memanggilnya. Perlahan-lahan seperti sebuah bisikan.

“Adi Sumangkar. Adi, berhentilah sebentar.”

Langkah Sumangkar tertegun. Dipalingkannya wajahnya. Dan ia benar-benar terkejut ketika dilihatnya seseorang duduk di bawah sebuah gerumbul kecil di samping bongkahan tanah padas tempatnya berdiri menyaksikan peperangan itu.

Tetapi Sumangkar itupun telah menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya, sehingga sesaat kemudian ia sudah berhasil menguasai dirinya. Bahkan sambil tersenyum ia menjawab, “Ah. Aku terkejut mendengar sapa Ki Sanak.”

Orang itu mengangguk. “Maafkan kalau aku mengejutkanmu. Bukan maksudku berbuat demikian, sehingga karena itu, aku menyapamu perlahan-lahan.”

“Ya, ya. Kau sudah berhati-hati. Tetapi orang-orang tua seperti aku ini memang mudah menjadi terkejut. Bukankah begitu.”

Orang itupun tersenyum. Orang itupun sudah setua Sumangkar, bahkan setahun dua tahun di atasnya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Benar. Kau benar Adi. Orang-orang tua mudah benar menjadi terkejut.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Apakah Ki Sanak memerlukan aku?”

“Ya,” sahut orang itu. “Aku ingin mempunyai seorang kawan untuk melihat peperangan itu.”

“Baik,” jawab Sumangkar, “aku akan mengawanimu. Tetapi biarlah aku melihatnya dahulu dari dekat. Nanti aku akan segera kembali.”

Orang tua itu menggeleng. Sambil masih duduk bersandar sebongkah padas ia menggeleng, “Jangan nanti. Dan sebaiknya Adi tidak usah pergi ke arena. Bukankah di sana tempat anak-anak muda saling menyombongkan kecakapan mereka memainkan senjata? Sama sekali bukan tempatnya orang-orang tua seperti kita?”

Dada Sumangkar berdesir. Sebagai seorang yang telah cukup makan asin pahit penghidupan, segera ia menyadari maksud kata-kata itu. Karena itu maka kemudian iapun tersenyum. Ia berdiri menghadap orang yang duduk bersandar padas itu. Perlahan-lahan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyumnya membayangkan tanggapannya atas orang itu.

Sumangkar itupun segera mengerti siapakah yang duduk di hadapannya. Orang itu pasti seorang yang pilih tanding sehingga Sumangkar sama sekali tidak mengetahui kehadirannya. Sikapnya dan kata-katanya yang tenang meyakinkan. Sorot matanya yang tajam menembus langsung ke pusat jantungnya.

Dan ternyata sesaat kemudian Sumangkar segera mengetahui, meskipun ia belum pasti. Tetapi tidak ada orang lain yang dapat disangkanya, orang yang duduk di hadapannya itu. Sehingga karena itu maka segera ia berkata, “Hem. Bukankah Kakang yang menamakan diri Kiai Gringsing?”

Orang itu mengangguk sambil tertawa kecil. Katanya, “Dari mana Adi tahu tentang aku?”

“O,” sahut Sumangkar, “bukankah kita pernah bertemu? Bukankah Kiai pernah mengunjungi daerah ini bersama dua orang murid Kakang selagi aku sedang bermain-main dengan K i Tambak Wedi bersama muridnya yang bernama Sidanti.”

Orang tua itu, yang sebenarnya adalah Kiai Gringsing, tertawa pula. Katanya, “Benar. Benar. Ingatanmu baik sekali Adi. Ternyata meskipun saat itu malam tidak terlalu terang, kau masih juga dapat mengenal aku.”

Sumangkar tertawa pula. Namun hatinya berdebar-debar menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja tumbuh. Sudah tentu Kiai Gringsing akan berbuat sesuatu, apabila ia benar-benar akan terjun ke dalam arena. Karena itu, maka ia harus menentukan suatu sikap untuk mengatasi setiap perkembangan keadaaan.

Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia berpaling ke arah peperangan yang masih saja berkobar dengan dahsyatnya. Sekali lagi dadanya berdesir. Ia melihat beberapa bagian dari gelar Dirada Meta telah terdesak-mundur. Gelar perang yang tangguh itu benar-benar sudah berada dalam bahaya.

“Kiai,” berkata Sumangkar itu kemudian, “aku tidak banyak mempunyai waktu. Apakah Kiai tidak berkeberatan apabila Kiai duduk di sini sebentar? Aku akan pergi ke arena itu, ikut serta dengan anak-anak Jipang bermain-main senjata.”

“Ah,” sahut Kiai Gringsing perlahan-lahan. “Sudahlah. Jangan melelahkan diri sendiri, marilah duduk di sini. Kita lihat pertunjukan itu.”

“Kau aneh Kiai,” berkata Sumangkar. “Pertunjukan itu terlalu menjemukan bagiku. Apakah tidak demikian bagimu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia melihat Sumangkar berdiri tegak seperti sebatang tonggak yang kokoh. Karena itu maka perlahan-lahan orang tua itupun berdiri. Banyak hal yang dapat terjadi menilik sikap Sumangkar itu.

“Apakah yang akan kau lakukan atas permainan yang menjemukan itu?” bertanya Ki Tanu Metir.

Sumangkar terdiam sesaat. Sekali lagi ia berpaling, dan sekali lagi ia melihat pasukan Jipang yang terdorong mundur beberapa langkah.

“Kiai Gringsing,” berkata Sumangkar, “aku adalah seorang bawahan dari Macan Kepatihan. Apakah aku akan dapat berdiam diri melihat pertempuran itu? Ternyata Angger Untara memliliki kecemerlangan rencana untuk menghadapi Macan Kepatihan. Sebelum ini aku mengagumi ketangguhan dan ketangkasan pasukan Jipang di bawah pimpinan Tohpati. Namun ketika akan melihat cara yang ditempuh dan perhitungan-perhitungan yang matang dari Angger Untara, maka aku benar-benar menundukkan kepala untuk itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk kepalanya. Sahutnya, “Lalu, bagaimana sekarang?”

“Aku harus ikut dalam permainan itu. Kiai berkeberatan?”

“O, tidak. Tentu tidak. Adalah menjadi kewajibanmu untuk melakukannya. Bukankah kau seorang prajurit?”

Sumangkar menjadi bimbang mendengar jawaban itu. Ia tidak dapat mengerti kenapa Kiai Gringsing seakan-akan membiarkan untuk berbuat sesuatu atas pertempuran itu. Namun Sumangkar bukan anak-anak yang mudah terpedaya oleh ucapan-ucapan yang meragukan. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mempercayainya, seandainya Kiai Gringsing dengan sukarela membiarkannya masuk ke dalam arena. Meskipun demikian katanya, “Terima kasih Kiai. Agaknya Kiai akan bersabar menunggu aku kembali dari arena.”

“Nanti dulu, Adi,” sahut Ki Tanu Metir.

Sumangkar tertegun sejenak. Tetapi ia sebelumnya telah memperhitungkannya, bahwa pekerjaannya akan bertambah berat. Ia tidak akan begitu saja dapat hadir di dalam peperangan itu, apalagi memusnahkan Untara, selagi Kiai Gringsing masih berada di tempat itu.

“Jangan tergesa-gesa.”

“Waktuku hanya sedikit Kakang. Lihatlah, pasukan Jipang telah terdesak jauh ke belakang garis benturan antara kedua gelar itu.”

“Belum Adi. Mereka sekarang berada pada garis yang terjadi pada saat kedua pasukan itu berbenturan. Kau hanya melihat pasukan Jipang terus menerus mundur. Tetapi aku melihat sejak pertempuran itu terjadi. Mula-mula pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putunglah yang terdesak sampai jauh ke belakang garis itu. Sekarang mereka mendesak maju. Namun belum terlalu jauh melampaui garis benturan itu.”

“O, agaknya kau lebih dahulu sampai di sini Kiai?”

“Aku melihat sejak peperangan itu mulai. Sejak pasukan Jipang muncul dari balik pepohonan hutan dangan panji-panji kebesaran, rontek dan umbul-umbul yang megah itu. Aku melihat pasukan Pajang dan anak-anak Sangkal Putung datang dari arah yang lain dengan ketiga panji-panji yang mereka agung-agungkan. Dan aku melihat bagaimana mereka berbenturan.”

“Hem,” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau demikian, kau melihat kedatanganku pula Kakang.”

“Ya, aku melihat kau berdiri di sini. Sekali-sekali kau meloncat naik ke atas tanah padas itu. Sekali kau meloncat turun. Aku tidak akan mendekatimu, kalau aku tidak tertarik pada tongkat yang kau bawa itu. Tongkat itu mirip benar dengan tongkat Macan Kepatihan.”

Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya, “Ya tongkat ini memang mirip dengan tongkat Angger Tohpati.”

“Apakah Tohpati membagikan tongkat semacam itu kepada para prajuritnya?”

Sumangkar menarik alisnya. Namun demikian ia tersenyum. Jawabnya, “Pertanyaanmu membingungkan Kiai. Baiklah aku mencoba menjawabnya. Tongkat ini adalah ciri dari perguruan Kedung Jati. Aku kira Kiai sudah mengetahuinya pula.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” sahutnya. “Macan Kepatihan adalah murid Mantahun. Saudara seperguruanmu.”

“Tepat. Bukanlah wajar kalau aku membantunya? Selain paman gurunya, aku adalah prajurit Jipang pula.”

“Sudah aku katakan, bahwa adalah kewajibanmu membantu Angger Tohpati. Namun aku ingin memberitahukan pula kepadamu. Kalau Tohpati itu murid kakak seperguruanmu, maka Untara adalah kakak dari muridku.”

Sumangkar menarik nafas. Ia melihat kemungkinan yang ada di hadapannya. Namun ia masih tersenyum. Katanya, “Kalimat yang disilang-balikkan. Membingungkan Kiai.”

“Tidak terlalu sulit,” jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.

“Angger Tohpati adalah murid dari kakak seperguruanku. Jelas?”

“Ya, aku tahu.”

“Kalau demikian, maka kewajibanmu atas Angger Tohpati tidak akan jauh berbeda dari kewajibanku atas Angger Untara,” berkata Kiai Gringsing pula. “Namun aku tetap berdiam diri melihat Angger Untara terdesak dengan sengitnya, sebelum laskar cadangan itu datang.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya sudah pasti baginya. Tak ada jalan lain. Karena itu, maka lebih baik segala sesuatunya segera terjadi daripada masih harus menunggu perkembangan yang kecil sekali kemungkinannya.

Karena itu maka katanya, “Ada satu perbedaan Kiai. Aku prajurit Jipang. Apakah Kiai prajurit Pajang atau laskar Sangkal Putung? Seandainya demikian, maka kita berbeda pendirian. Mungkin Kiai dapat berdiam diri terhadap Untara, tetapi aku tidak akan dapat berbuat demikian. Aku harus menyingkirkan Angger Untara.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sumangkar dengan tajamnya, namun sekali-sekali ia berpaling memandangi arena pertempuran pula. Ia tahu benar bahwa Sumangkar tidak akan dapat dicegahnya dengan kata-kata. Tetapi ia masih ingin mencoba untuk memperpanjang waktu sehingga Sumangkar akan terlambat. Kiai Gringsing itupun melihat pula, bahwa pasukang Jipang sudah semakin lemah dan terus menerus terdesak mundur.

Maka katanya sambil tersenyum, “Jangan begitu Adi. Jangan berkata sekeras itu. Bukankah kita, yang tua-tua ini sudah tidak pantas ikut bermain-main dengan senjata? Sebaiknya kita duduk saja di sini sambil melihat. Kalau Adi setuju, marilah kita bertaruh, siapakah yang akan menang.”

“Apakah yang akan kita pertaruhkan?” bertanya Sumangkar. “Apakah Kiai, mempunyai barang-barang berharga?”

“Apa saja dapat kita pertaruhkan,” sahut Kiai Gringsing, “ikat kepala, kain panjang kita, atau timang kita?”

“Bagaimana kalau aku usulkan Kiai?” berkata Sumangkar.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Boleh. Barangkali Adi mempunyai usul yang baik.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Taruhan kita adalah anak-anak muda itu. Macan Kepatihan dan Untara.”

“He?” bertanya Kiai Gringsing sambil mengusap keningnya, “bagaimana mungkin? Kalau kita mengadu ayam, maka mereka adalah ayam jantan kita masing-masing.”

“Permainannyalah yang harus kita tentukan” potong Sumangkar.

“Oh” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sumangkar sudah tidak akan dapat diperlunak lagi. Ternyata orang itu berkata, “Marilah kita yang berlomba, bukan hanya sekedar membuat taruhan.”

“Apakah perlombaan itu?”

“Kita berlomba lari sampai ke arena” ajak Sumangkar.

Kiai Gringsing menggeleng. “Aku bukan seorang pelari. Tetapi kalau Adi akan berlari, mungkin aku akan mencoba menangkanp ujung kainmu.”

Orang-orang tua itu sudah sampai pada kemungkinan terakhir, menyelesaikan soal mereka dengan cara yang tak mereka kehendaki. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain. Mereka ternyata telah berada dalam puncak kemungkinan itu.

“Kiai Gringsing,” berkata Sumangkar kemudian, “Kiai telah pernah melihat aku bermain-main melawan Ki Tambak Wadi, tetapi aku belum pernah melihat, bagaimana Kiai melontarkan kaki. Karena itu, maafkan aku. Aku akan mulai dengan usulku. Terserahlah kepada Kiai, apakah Kiai akan turut serta berlomba lari atau tidak.”

Sumangkar tidak menunggu jawaban lagi. Segera ia melontar surut sambil memutar tubuhnya. Ia mengharap Kiai Gringsing akan meloncat mencegatnya. Tetapi Sumangkar menjadi kecewa. Kiai Gringsing belum beranjak dari tempatnya. Katanya, “Apakah aku harus mengejarmu?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sambil menahan gelora di dadanya ia bertanya, “Kenapa Kiai tidak mengejar aku dan menangkap kainku seperti kata Kiai.”

“Aku akan mencobanya kalau kau betul-betul telah mulai dengan lomba itu.”

“Hem,” desis Sumangkar. Ia menjadi jengkel melihat ketenangan Kiai Gringsing. “Kiai yakin benar akan perhitungan Kiai? Aku pasti tidak akan berlari terus meninggalkan Kiai dengan membiarkan diriku membalakangi Kiai. Begitu? Aku tidak akan membiarkan punggungku tersentuh oleh tangan Kiai. Karena itu Kiai tidak perlu mengejar aku. Tetapi bagaimana seandainya aku membuat perhitungan pula, bahwa Kiai tidak akan mengejar dan mencegat aku, lalu aku benar-benar berlari ke arena yang semakin parah bagi Jipang itu?”

“Adi,” berkata Kiai Gringsing, “sebenarnya apa yang akan kita lakukan itu tidak akan ada gunanya. Seandainya kita membuat permainan sendiri, maka permainan kita tidak akan mempengaruhi pertempuran itu. Betapapun lemahnya satu di antara kita, tetapi kita pasti akan memerlukan waktu. Dan lihatlah kini. Betapa laskar Jipang telah terdesak semakin jauh.”

Dada Sumangkar bergetar mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu. Ia dapat mengerti dan ia sependapat pula. Menurut perhitungan, seandainya Kiai Gringsing memiliki ilmu yang tidak terpaut banyak daripadanya, maka waktu yang diperlukan pasti akan lebih banyak dari waktu yang diperlukan oleh pasukan Pajang untuk memecah barisan Macan Kepatihan.

Tetapi kadang-kadang perasaan seseorang tidak sejalan dengan pikirannya. Meskipun Sumangkar menyadarinya, namun apakah ia akan duduk diam dan menonton pasukan Jipang terpecah belah tanpa berbuat sesuatu? Dan benarkah bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu yang cukup baik untuk bertahan cukup lama.

Akhirnya Sumangkar tidak lagi ingin membuat perhitungan-perhitungan. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Karena itu maka katanya, “Kiai, aku kagum melihat sikap dan ketenangan Kiai. Tetapi aku tidak akan terpengaruh oleh apapun. Aku tetap dalam pendirianku. Angger Untara harus dilenyapkan supaya prajurit Pajang menjadi kehilangan pegangan, dan bertempur tanpa ikatan.”

“Jangan supaya aku tidak berusaha meniadakan Macan Kepatihan pula.”

“Terserah kepadamu. Aku tetap akan melakukan rencanaku.”

Kiai Gringsing menarik nafas. Setapak ia maju, ia tidak akan membiarkan Sumangkar berlari ke arena, dan langsung membunuh Untara.

Melihat Kiai Gringsing bergerak, Sumangkar tiba-tiba merenggangkan kakinya. Tongkatnya digenggamnya dengan tangan kanannya dan sinar matanya tajam hinggap di wajah Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing kini sudah tidak tersenyum lagi. Ia pernah melihat Sumangkar bertempur melawan Tambak Wedi. Tetapi Sumangkar tidak mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu. Kini senjata itu berada dalam genggamannya. Karena itu maka nilai orang itu pasti akan berbeda. Sumangkar kali ini pasti akan berada di puncak kemampuannya.

Kedua orang tua itu, Kiai Gringsing dan Sumangkar kini telah berdiri berhadapan. Keduanya adalah orang-orang yang berfikir bening dan berilmu hampir mumpuni. Namun kini mereka terpaksa berdiri dalam kesiagaan yang paling tinggi.

“Adi Sumangkar, apakah kita orang tua-tua inipun terpaksa tidak tahu diri dan saling bertengkar seperti anak-anak?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku tidak ingin itu terjadi Kiai, bukankah aku hanya ingin menyingkirkan Untara dari peperangan itu” sahut Sumangkar.

“Baiklah. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Untara adalah kakak dari murid perguruanku?”

“Terserah kepada Kiai. Aku sudah siap.”

Kiai Gringsing kemudian menarik ujung kainnya dan diselipkan di ikat pinggangnya. Kain itu adalah kain gringsing. Perlahan-lahan ia mengambil sesuatu dari bawah bajunya, melingkar di perutnya.

“Senjata Sumangkar adalah senjata pilihan,” desisnya di dalam hati. “Aku harus berhati-hati.”

Tiba-tiba di tangan Kiai Gringsing itupun tergenggam sebuah cambuk yang pendek namun berjuntai panjang. Itulah senjatanya yang paling berbahaya.

Sumangkar mengerutkan keningnya melihat senjata itu. Ia mencoba mengingat-ingat. Perguruan manakah yang mempunyai ciri khusus sebuah cambuk yang berjuntai panjang, kira-kira satu setengah kali panjang pedang biasa. Tetapi Sumangkar belum berhasil menemukannya.

“Hem,” katanya dalam hati, ”orang semacam Kiai Grinsing itu pasti seorang yang berbahaya sekali. Meskipun aku belum melihat geraknya, tetapi agaknya ia lebih berbahaya dari Ki Tambak Wedi.”

Dalam pada itu Kiai Gringsing pun berkata di hatinya, “Alangkah tinggi tekad Sumangkar. Dan alangkah tabah hatinya menghadapi persoalan yang semakin gawat ini. Agaknya ia masih mencoba untuk mengatasi persoalan ini. Persoalan antara dirinya sendiri dan persoalan anak-anak Jipang itu.”

Dan ketika tiba-tiba Sumangkar mendengar sorak di medan perang, ia berpaling sekali lagi. Dilihatnya pasukan Jipang terdesak dalam jarak yang cukup panjang. Meskipun kemudian mereka berhenti dan mencoba bertahan lagi, namun Sumangkar semakin menjadi cemas bahwa pasukan itu segera akan pecah sebelum senja.

Tanpa disengajanya, tiba-tiba ia melangkah maju mendekati Kiai Gringsing. “Tak ada pilihan lain,” desisnya.

Kiai Gringsing mengangguk, “Ya tak ada pilihan lain.”

“Apakah Kiai siap?” bertanya Sumangkar sambil menggerakkan ujung tongkatnya yang kuning dan berbentuk tengkorak.

Kiai Gringsing mengangguk. “Aneh,” desisnya, “aku bersembunyi karena aku takut Angger Untara membawa aku serta dalam peperangan itu. Tetapi tiba-tiba aku terpaksa menghadapi seorang lawan.”

“Jangan terlalu merendahkan diri Kiai,” sahut Sumangkar, ”marilah, sebelum anak-anak itu selesai bermain-main.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia mempersiapkan dirinya menyambut segala kemungkinan.

Sumangkar pun kemudian maju selangkah. Kini tongkatnya telah bergerak-gerak. Dan ketika ia mendengar sekali lagi sorak yang gemuruh maka tiba-tiba ia meloncat menyerang Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing telah bersiap menyambut serangan itu. Selangkah meloncat ke samping dan tiba-tiba ia mengerakkan tangannya. Ujung cambuknya bergetar cepat sekali menyambar lawannya yang melontar di sampingnya.

Sumangkar benar-benar terkejut melihat ujung cambuk yang seakan-akan mengejar untuk mematuk tengkuknya. Cepat ia menghindar sambil merendahkan dirinya. Tetapi sekali lagi ia terkejut, ujung cambuk yang tidak menyentuhnya itu meledak di atas kepalanya seperti ledakan petir di langit.

Sumangkar menggeram. Sekali lagi ia meloncat ke samping untuk mengambil jarak yang cukup. Namun Sumangkar adalah orang yang cukup cekatan mengimbangi gerak Kiai Gringsing. Demikian ia berjejak di atas tanah, demikian ia melontar menyusup ke dalam batas pertahanan lawannya. Tongkatnya terayun deras sekali ke arah kaki Kiai Gringsing.

Kini Kiai Gringsinglah yang terkejut. Tetapi ia adalah orang yang cukup berpengalaman menghadapi setiap kemungkinan. Dengan lincahnya ia meloncat ke samping dan dengan lincahnya pula ia menggerakkan senjatanya.

Sumangkar yang gagal mengenai lutut Kiai Gringsing cepat-cepat melontar surut menghadapi kejaran ujung cambuk lawannya yang seakan-akan mempunyai biji mata. Hanya karena ketrampilannya maka ia berhasil melepaskan diri dari sengatan-sengatan ujung cambuk itu.

Demikian mereka terbenam dalam pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Orang-orang tua itu bertempur dalam jarak yang tidak demikian jauhnya dari garis pertempuran. Sekali-sekali mereka mendengar sorak yang gemuruh dari kedua belah pihak. Pasukan Jipang yang walaupun selalu terdesak mundur namun sekali-sekali mereka masih juga menjumpai kemenangan-kemenangan kecil. Bahkan sekali-sekali mereka juga berhasil maju selangkah dua langkah. Tetapi sesaat kemudian mereka terdesak kembali.

Sorak-sorai yang gemuruh itu seakan-akan adalah sorak-sorai para penonton yang menyoraki kedua orang-orang trua itu. Bagaimanapun juga maka suara-suara itu telah mempengaruhi perasaaan mereka. Seolah-olah para prajurit itu melihat bahwa sekali-sekali Kiai Gringsing terpaksa berloncatan surut namun disaat yang lain Sumangkar terpaksa berguling-guling menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing.

Pertempuran di kedua arena itu berlangsung terus meskipun sifatnya sangat berbeda. Di satu lingkaran, mereka bertempur dalam garis perang yang panjang. Benturan antara dua kekuatan yang besar dalam gelar yang sempurna. Masing-masing dipimpin oleh Senapati yang cukup tangguh dan beberapa senapati pengapit. Sedangkan di arena kecil, tidak begiitu jauh dari garis perang itu, dua orang yang sudah menjelang hari-hari tuanya, bertempur dengan serunya pula. Keduanya mampu bergerak melampaui kecepatan gerak orang kebanyakan. Di antara bayangan yang berloncatan mengeletarlah suara letupan-letupan cambuk Kiai Gringsing dan kilatan cahaya keputih-putihan dari tongkat baja kuning Sumangkar. Sekali-sekali cahaya kekuningan seleret-seleret menyambar seperti pijar bara api.

Kedua arena pertempuran yang berbeda bentuk dan sifat itu semakin lama menjadi semakin seru. Dan matahari pun semakin lama semakin menurun disisi langit sebelah Barat.

Untara yang mempimpin seluruh kekuatan Pajang dan Sangkal Putung melihat bahwa ia akan dapat mengatasi keadaan. Karena itu, semakin besarlah usahanya untuk segera mengakhiri peperangan sebelum korban menjadi semakin lama semakin banyak di kedua belah pihak.

Dengan penuh tanggung jawab ia bertempur melawan Macan Kepatihan sambil sekali-sekali mengawasi setiap sudut pertempuran. Ketika ia yakin bahwa kedudukan sayap-sayapnya pun menjadi bertambah baik, maka seperti angin taufan ia memperkuat serangan-serangannya atas Macan Kepatihan.

Sekali-sekali Macan Kepatihan itu menggeram dan menggertakkan giginya. Semakin lama disadarinya, bahwa pasukannya menjadi semakin kalut. Satu-satu korban berjatuhan dan sekali-kali ia mendengar pekik dan keluh kesah, bahkan sekali sebuah jeritan melengking menyayat hatinya yang parah.

Widura pun melihat keadaan itu. Kesempatan ini tidak boleh lampau. Ia tidak boleh menunggu anak-anak muda Sangkal Putung yang datang kemudian menjadi kelelahan dan dengan demikian kekuatan seluruh pasukannya menjadi surut kembali. Karena itu, maka ia pun segera memperketat tekanan atas sayap lawan. Pedangnya yang berat terayun-ayun seperti baling-baling. Lawannya, Alap-Alap Jalatunda yang bertempur bertiga melawannya dengan gigih. Tetapi Widura adalah seorang Senapati yang berpengalaman menghadapi setiap keadaan medan, sehingga dengan mudahnya ia berhasil mempersempit kesempatan lawannya.

Di sayap yang lain, Agung Sedayu gigih melawan Sanakeling. Dalam pertempuran itu Sanakeling terpaksa mengakui, anak yang masih sangat muda, adik Untara itu tidak dapat diabaikannya. Bahkan beberapa kali ia mengalami kesulitan dengan unsur-unsur gerak yang aneh dan hampir tak dapat dimengertinya. Untunglah bahwa Sanakeling adalah prajurit sejak mudanya. Karena itu, maka dengan bekal kemampuan dan pengalamannya ia masih tetap bertahan mengimbangi kecepatan bergerak Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu benar-benar telah lupa akan kewajibannya yang lain. Ia merasa bahwa ia berada dalam keadaan sendiri, lepas dari kewajiban-kewajiban lainnya. Untunglah Hudaya masih tetap berada disampingnya meskipun kian lama ia menjadi semakin pucat dan lemah. Darah masih saja mengalir dari lukanya meskipun tidak begitu deras. Meskipun demikian ia tidak dapat meninggalkan arena, karena ia pun menyadari sepenuhnya, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang mampu bertempur dengan baik, tetapi ia belum seorang Senapati yang baik, yang melihat pertempuran dalam keseluruhan.

Demikian tegalan kering itu telah menjadi kancah pertempuran yang dasyat. Tanah yang telah menjadi merah berlumuran darah, menghamburkan debunya menjulang tinggi ke langit. Matahari menjadi suram karenanya, sesuram wajah anak gadis yang ditinggalkan kekasihnya ke medan pertempuran.

Kilatan cahaya yang terpantul di ujung-ujung senjata masih gemerlapan. Panji-panji, rontek dan umbul-umbul masih tegak di kedua pihak meskipun tidak lagi semegah semula. Namun angin yang semakin kencang telah menyentuh-nyentuhnya dan melambaikan daun-daun rontek dan umbul-umbul. Panji-panji yang megah berkibaran seperti tangan yang menggelepar menyentak-nyentak, seolah-olah tangan seorang senapati sedang memberi aba-aba.

Agak jauh dari mereka, Sumangkar masih bertempur melawan Kiai Gringsing dengan gigihnya. Kedua orang tua yang telah kenyang makan pahit manis perkelahian itu, bertempur dengan cara mereka sendiri.

Tetapi bagaimanapun juga, mereka tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh peperangan yang berlangsung di sebelah. Sorak-sorai yang gemuruh dan gerakan-gerakan surut dari salah satu pihak dari antara mereka.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Sumangkar melontar mundur beberapa langkah sambil berdesis, ”Tunggu Kiai. Aku ingin melepaskan diri sebentar.”

Kiai Gringsing mendengar desis itu. Ia adalah seorang yang dapat menghadapi lawan dengan hati lapang. Ia tidak mau berbuat curang selagi lawan dalam keadaan yang tidak wajar, karena itu demikian ia mendengar desis Sumangkar itu, ia pun segera menghentikan serangannya. Dan bahkan terdengar ia bertanya, “Apa yang mengganggumu Adi?”

Sumangkar tidak menjawab. Namun ia tahu pasti bahwa Kiai Gringsing akan menghargai nilai-nilai kejantanannya, sehingga ia tidak akan menyerangnya selagi ia tidak bersiaga.

Kini ia berdiri tegak bagaikan patung batu. Nafasnya yang tersengal-sengal satu-satu, meluncur lewat lubang-lubang hidungnya. Ia mengakui kini bahwa Kiai Gringsing adalah seorang yang luar biasa. Seorang yang tidak kalah nilainya dari Ki Tambak Wedi yang merasa dirinya tidak terlawan. Namun ternyata orang yang tidak dikenal ini sama sekali tidak berada di bawah tingkat ilmu Ki Tambak Wedi. Bahkan diam-diam ia mengakui, bahwa ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya.

Tetapi bukan itulah yang mendebarkan jantungnya. Bahkan di luar sadarnya ia berkata, “Lihatlah Kiai, pasukan Jipang terdorong jauh ke belakang.”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing singkat.

Namun dengan serta merta terloncatlah dari mulut Sumangkar yang gelisah, “Umbul-umbul itu kini sudah tidak tegak lagi.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia melihat apa yang dikatakan oleh Sumangkar. Pasukan Jipang terdorong jauh. Namun tiba-tiba garis perang itu terhenti bergeser. Kiai Gringsing dan Sumangkar melihat apa yang terjadi. Macan Kepatihan sedang berusaha mempersempit gelarnya.

“Bukan main,” guman Kiai Gringsing.

Sumangkar berpaling, “Apa yang bukan main Kiai”

“Murid kakak seperguruanmu,” jawab Kiai Gringsing, “ia berhasil menemukan cara untuk mengurangi tekanan lawannya.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tohpati telah berusaha memperpendek garis perangnya.

Dengan kekuatan yang lebih baik, seorang-seorang, ia mengharap dapat mengurangi kekalahan-kekalahan yang selama ini dideritanya. Macan Kepatihan mengharap, bahwa dalam keadaan yang demikian, anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan mendapat kesempatan yang baik. Bahkan ketika pertempuran itu baru mulai, mereka menjadi kebingungan untuk mengambil tempat.

Tetapi Widura di sayap kiri bukan orang yang mudah dikelabuhi. Ketika ia melihat gelar lawannya menyempit, segera ia menebarkan ujung sayapnya, mencoba melingkar dan mencapai garis serangan dari belakang gelar lawannya. Tetapi Alap-Alap Jalatunda tidak membiarkannya, sehingga terpaksa ujung pasukannyapun menebar pula mencegah pasukan Widura yang ingin memotong garis di belakang gelar.

Tohpati menggeram melihat cara Widura melawan gelarnya. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Bahkan ia pun akan mengambil sikap serupa seperti apa yang dilakukan oleh Alap-Alap Jalatunda apabila ia menghadapi keadaan yang serupa.

Tetapi Tohpati tidak juga dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika matahari menjadi semakin rendah, pasukannya telah benar-benar terdesak jauh ke belakang. Ketengah-tengah padang rumput yang terbentang di sisi hutan tempat persembunyian Macan Kepatihan.

Sekali-sekali Macan Kepatihan masih mencoba meneriakkan aba-aba. Namun gunanya hampir tidak ada sama sekali. Pasukannya telah benar-benar menjadi payah dan kehilangan kesempatan. Betapa Sanakeling mencoba menekan lawannya, namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya dengan baik. Bahkan sekali-sekali terdengar Sanakeling mengumpat dengan kata-kata yang kotor.

Kini Macan Kepatihan sudah tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Hatinya menyala seperti nyala matahari di langit. Tetapi banyak hal yang telah mengganggunya selama ini. Ketika ia berkesempatan menebarkan pandangan matanya sesaat kepada pasukannya maka hatinya berdesir. Pasukannya benar-benar telah menjadi payah. Kalau Untara berhasil memecah pasukannya itu segera sebelum gelap dan masih jauh dari hutan itu maka pasukannya kali ini akan benar-benar hancur. Kesempatan untuk mengundurkan diri dengan selamat, sangat kecil. Pasukannya pasti akan diremuk lumatkan saat mereka mencoba mengundurkan dirinya. Korban pasti akan bertimbun-timbun dan untuk seterusnya akan sulit baginya untuk menyusun kekuatan kembali.

Karena itu, maka ia harus berjuang sekuat-kuat tenaga untuk bertahan sampai matahari terbenam atau mundur dalam gelar yang teratur sampai ke tepi hutan itu.

Tetapi Untara bukan tidak dapat menebak maksud itu. Ia tahu benar bahwa Macan Kepatihan sedang berusaha mencari kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan pasukannya. Karena itulah justru beberapa kali terdengar ia meneriakkan aba-aba, aba-aba yang sebenarnya hanya merupakan cara-cara yang dapat mempengaruhi daya dan gairah bagi prajurit-prajuritnya.

Sumangkar yang melihat peperangan itu menjadi semakin tegang. Ia melihat umbul-umbul dan rontek, bahkan panji-panji Jipang kadang-kadang telah tidak tegak lagi. Sekali-sekali ia melihat umbul-umbul itu condong bahkan hampir roboh didorong oleh geseran garis perang. Sekali-sekali ia melihat sebuah rontek dari antara sekian banyak rontek, terseret jauh di belakang pasukan Jipang yang sedang bertahan mati-matian. Bahkan semakin lama, Sumangkar tidak dapat melihat umbul-umbul dan rontek, serta panji-panji Jipang masih berada di tempat yang seharusnya bagi sebuah gelar Dirada Meta.

Sementara itu peperangan menjadi semakin riuh. Hati Macan Kepatihan menjadi semakin cemas, matahari baginya berjalan terlampau lambat. Bahkan seakan-akan telah berhenti di langit. Sedang korban di pihaknya, satu-satu berjatuhan tak henti-hentinya. Di sayap kirinya, betapapun Sanakeling berusaha, namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya.

Kini yang ditempuh oleh Macan Kepatihan adalah cara yang kedua. Perlahan-lahan pasukannya bergeser surut terus-menerus. Mereka mencoba mendekati hutan yang sudah menjadi semakin dekat. Pasukan itu harus mundur dalam gelar yang teratur apabila mereka masih ingin sebagian besar dapat menyelamatkan diri. Meskipun dengan demikian, korban akan tetap berjatuhan.

Tetapi Untara tidak dapat membiarkannya. Segera ia memberi pertanda kepada beberapa orang penghubungnya. Dan naiklah panji-panji pimpinan di belakangnya dengan gerak-gerak yang khusus diulang-ulang. Gerak dari panji-panji itu adalah perintah, gelar dari pasukan Pajang dan Sangkal Putung harus segera berubah. Gelar Sapit Urang.

Tampaklah beberapa perubahan di dalam gelar Pajang. Macan Kepatihan yang melihat perubahan itu, mencoba mempergunakan kesempatan. Dengan kemarahan yang menyala-nyala ia menyerang langsung ke induk pasukan berserta beberapa orang pengiringnya. Namun induk pasukan itu telah siap menerimanya, sehingga usahanya itu sama sekali tidak berarti.

Dengan kemarahan yang seakan-akan meledakkan dadanya ia melihat Widura merubah sikap sayapnya menjadi sebuah sapit raksasa, yang siap memotong usaha Dirada Meta itu mengundurkan dirinya. Meskipun Agung Sedayu tidak cepat mengatur sayapnya, namun Hudaya telah membantunya. Meskipun dalam saat perubahan itu terjadi, sayap kanan terpaksa surut beberapa langkah. Sehingga gelar Untara menjadi agak condong. Namun sesaat kemudian sapit kanan itupun segera dapat mengimbangi sapit yang lain, melingkar dalam usaha pencegahan pasukan Jipang tenggelam ke dalam hutan.

Darah Macan Kepatihan seakan telah mendidih melihat sikap gelar pasukan Untara. Terdengar ia menggeram keras sekali. Tetapi ia tidak dapat hanya sekedar marah-marah saja. Ia harus cepat mengambil tindakan untuk menyelamatkan orang-orangnja.

Macan Kepatihan sesaat menjadi bimbang. Namun tiba-tiba melonjaklah di dalam benaknya, beberapa persoalan yang beberapa saat yang lampau mempengaruhi perasaannya. Pertemuannya dengan orang tua di pinggir sungai. Beberapa persoalan tentang orang-orangnya sendiri, kejemuan, dan berpuluh-puluh macam persoalan lagi. Apakah ia masih harus melihat pertentangan yang terjadi itu berkepanjangan tanpa ujung dan pangkal? Apakah ia masih harus melihat bencana menimpa rakyat Demak yang sedang dilanda oleh perpecahan yang semakin dahsyat? Pembunuhan-pembunuhan liar, perampokan, pemerasan, perkosaan terhadap peradaban. Dan yang terakhir terngiang kembali adalah kata-katanya sendiri, “Kali ini adalah kali yang terakhir.”

Gigi Macan Kepatihan gemeretak. Tetapi ia telah menemukan keputusan di dalam dirinya. Pertempuran ini harus merupakan pertempuran yang terakhir bagi pasukannya. Kalau umbul-umbul, rontek, dan panji-panji Jipang itu akan roboh di arena ini, biarlah umbul-umbul, rontek, dan panji-panji itu tidak akan bangkit kembali. Yang tidak akan muncul lagi dalam percaturan sejarah kerajaan Demak. Kalau pasukannya mau hancur, hancurlah sekarang. Persoalan akan segera selesai. Kejemuan dan ketidak-pastian bagi sisa anak buahnya akan hilang.

Tatapi apakah ia harus mengorbankan orang-orangnya? Orang-orang yang di antaranya sama sekali tidak ikut bertanggung jawab atas pertentangan antara Jipang dan Pajang? Orang-orang yang hanya terseret oleh arus permusuhan tanpa tahu sebab-sebabnya? Bahkan orang-orang yang sama sekali tidak mengenal siapakah Arya Penangsang, dan siapakah Adipati Adiwijaya yang juga bernama Jaka Tingkir di masa kecilnya?

Semua itu bergolak di dalam kepala Tohpati justru pada saat-saat yang sangat berbahaya. Pada saat-saat sapit-sapit raksasa dari gelar Sapit Urang itu bergerak melingkar untuk mencoba mengurungnya dalam lingkaran maut.

Dalam keadaan yang cukup baik, Macan Kepatihan dapat segera merubah gelarnya dalam bentuk yang lain, yang sanggup menghadapi lawan dari setiap arah, dan sanggup mematahkan kepungan di setiap sisi. Gelar Cakra Byuha. Gelar sebuah lingkaran bergerigi. Namun dalam keadaan yang telah payah benar itu, Macan Kepatihan tidak melihat manfaatnya. Bahaya setiap usaha merubah gelar akan memberi peluang bagi lawannya di saat-saat perubahan itu terjadi. Tetapi Macan Kepatihan, seorang Senopati Jipang yang terpercaya itupun tidak akan dapat mengorbankan orang-orangnya.

Sumangkar melihat pertempuran itu dengan dada yang berdebar-debar. Setiap kali ia melihat sebuah umbul-umbul roboh, setiap kali terasa segores luka membekas di dalam hatinya.

Ialah yang pernah menyelamatkan umbul-umbul, rontek dan panji-panji Jipang dari Kepatihan ketika Jipang dipukul hancur oleh pasukan Pajang di bawah pimpinan Ki Gade Pemanahan. Kini ia menyaksikan satu demi satu umbul-umbul, rontek dan panji-panji itu roboh. Karena itulah maka jantungnya serasa dibelah dengan sembilu. Namun ia kini tidak dapat menghindari kenyataan. Di sampingnya berdiri seorang yang tidak dikenal sebelumnya, namun orang itu pasti akan dapat mencegahnya, apa saja yang akan dilakukan.

Ketika sekali lagi ia melibat sebuah umbul-umbul roboh maka tanpa sesadarnya ia berdesis, “Harapan itu kini telah tenggelam sama sekali seperti tenggelamnya umbul-umbul dan rontek itu di dalam arus peperangan.”

Kiai Gringsing yang mendengar desis itu maju selangkah. Kesan permusuhan pada wajah kedua orang itu kini sama sekali tidak berbekas. Bahkan dengan nada yang serupa Kiai Gringsing berkata, “Ya. Pasukan Jipang itu tidak akan dapat ditolong lagi.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Angger Macan Kepatihan kali ini mengambil tindakan yang akibatnya dapat berbahaya sekali, seperti apa yang ternyata sedang terjadi kini.”

“Ya” sahut Kiai Gringsing.

Sesaat keduanya terdiam. Namun wajah-wajah mereka kini menjadi tegang. Mereka sedang menyaksikan saat-saat terakhir dari peperangan itu. Sumangkar hatinya dicengkam oleh kecemasan, kepedihan dan kepahitan yang tiada taranya. Sedang Kiai Gringsing sedang mencemaskan sikap para prajurit Pajang. Apakah mereka cukup berjiwa besar menghadapi kehancuran lawannya? Apakah mereka tidak akan kehilangan diri mereka sebagai manusia yang mengagungkan kemanusiaan sebagai ungkapan bakti mereka kepada Sumber Hidup mereka ?

Sebenarnyalah saat itu Macan Kepatihan telah melakukan tindakan terakhir untuk menyelamatkan orang-orangnya. Dengan lantang ia berteriak, memerintahkan segenap pasukannya menarik diri ke dalam hutan yang sudah tidak terlampau jauh. Mereka diberi kesempatan selagi sapit raksasa lawan itu belum selesai dalam usaha mereka mengepung pasukan yang sedang payah.

Sanakeling menggeram melihat isyarat itu. Tetapi ia tidak mampu berbuat apapun juga. Iapun harus meyakini, bahwa kali ini mereka tidak akan berhasil mengalahkan laskar Sangkal Putung yang bertempur bersama-sama dengan para prajurit Pajang. Karena itu maka perlahan-lahan ia membuat gerakan-gerakan untuk mempersiapkan pengunduran pasukannya dengan hati-hati dan penuh bahaya. Sebab apabila gerakan mundur ini gagal pula, maka akan tumpaslah segenap anak buahnya.

Tetapi Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Tohpati dengan tongkat baja putihnya ia mengamuk sejadi-jadinya. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Macan Kepatihan bertempur dengan gigihnya. Bahkan ia sama sekali tidak berkisar dari tempatnya meskipun laskarnya telah surut beberapa langkah.

“Raden Tohpati,” teriak Sanakeling yang mencemaskan.

“Cepat mundur!” teriak Tohpati tidak kalah kerasnya.

Sanakeling tidak tahu maksud Macan Kepatihan yang sama sekali tidak ada tanda-tanda untuk menarik dirinya mengikuti laskarnya.

“Cepat!” teriak Macan Kepatihan itu kemudian. “Kalau kau terlambat, maka kaulah yang akan aku penggal lehermu.”

Sanakeling menggigit bibirnya. Kedua senjatanya masih bergerak dengan cepatnya, melindungi dirinya. Berkali-kali ia meloncat menyelamatkan diri dari terkaman Agung Sedayu yang menjadi semakin garang, sehingga sekali-sekali Sanakeling mengeluh di dalam hati, “Gila adik Untara ini.”

Namun perintah Macan Kepatihan yang terakhir benar-benar mengejutkannya. Bahkan Untara pun terkejut pula mendengar perintah Macan Kepatihan yang keras bagi anak buahnya.

Tetapi Sanakeling tidak berani melawan perintah itu. Perlahan-lahan ia menarik dirinya di antara pasukannya mengundurkan diri ke tepi padang yang berbatasan dengan hutan.

“Licik,” geram Untara. Namun ia tidak yakin akan perkataannya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Macan Kepatihan adalah suatu sikap wajar yang mencerminkan kematangannya dalam olah peperangan. Apabila terasa bahwa pasukannya tidak mungkin bertahan lebih lama lagi, maka pasti dicari jalan untuk menyelamatkan diri.

Untara segera mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu maka segera jatuhlah printahnya, untuk memecah pasukan lawan sebelum berhasil menyembunyikan diri di balik pepohonan dan lenyap ke dalam hutan.

Pasukan Pajang pun serentak mendesak maju. Mereka mencoba untuk mengurungkan usaha Macan Kepatihan dengan menggagalkan gerak mundur yang teratur itu.

Betapa beratnya usaha yang dilakukan oleh Macan Kepatihan dan senapati-senapati bawahannya. Tekanan prajurit Pajang semakin terasa menekan hampir tak tertahankan. Hanya kesadaran mereka, bahwa apabila gelar mereka terpecah sebelum mereka mencapai hutan, berarti kehancuran mutlak, itulah yang masih tetap mengikat mereka dalam satu kesatuan.

Macan Kepatihan melihat, tekanan yang semakin lama semakin menjadi pepat. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba ia melontar jauh ke samping dan segera melepaskan Untara dari lingkaran perkelahian. Dengan garangnya ia berloncatan melindungi pasukannya yang masih mencoba mencapai jarak yang semakin dekat.

“Gila,” geram Untara. Dengan satu ayunan tongkat, ia melihat dua prajuritnya jatuh terkapar di tanah. Karena itu alangkah marahnya Senapati Pajang itu, dengan serta merta ia meloncat mengejar Macan Kepatihan. Tetapi Macan Kepatihan selalu berusaha menjauhinya. Di antara prajurit Pajang ia berloncatan sambil memutar senjatanya untuk menahan arus pasukan Pajang yang menjadi semakin deras. Setiap kali ia meluncur seperti tatit mencari tempat baru untuk melepaskan kemarahannya dan menahan arus lawan.

Sekali lagi Untara menggeram. Dengan marahnya ia mendesak terus mengejar Macan Kepatihan. Namun Macan Kepatihan selalu berloncatan kian kemari.

Sanakeling yang melihat Macan Kepatihan segera menyadari, bahwa Macan Kepatihan dengan caranya berusaha mencoba menghambat gerak maju pasukan Pajang. Perkelahian di dalam lingkungan prajurit-prajurit Pajang melawan Tohpati yang berkeliaran itu berpengaruh juga atas gerak maju pasukan Pajang. Sebab mereka selalu saja memperhatikan, jangan-jangan tongkat Tohpati itu tiba-tiba hinggap di punggung mereka, atau kepala mereka terpecahkan oleh tongkat baja putih yang mengerikan itu.

Tetapi Sanakeling tidak dapat berbuat lain daripada membawa pasukannya mengundurkan diri. Meskipun demikian, ia melihat beberapa orang yang terlalu setia kepada Macan Kepatihan, membatalkan niatnya untuk beringsut mundur. Bahkan seperti Macan Kapatihan mereka menceburkan diri mereka ke tengah-tengah pasukan lawan, seperti serangga yang menyeburkan diri mereka ke dalam api. Namun usaha Macan Kepatihan dan beberapa orang yang setia kepadanya itu berguna pula. Meskipun satu demi satu orang-orang itu tergilas oleh arus kemarahan para prajurit Pajang dan Sangkal Putung, namun gerak itu mendapat kesempatan lebih banyak dari semula.

Widura pun kemudian melihat cara yang ditempuh oleh Macan Kepatihan itu. Karena itu, maka segera ia harus ikut serta mengatasinya. Maka dihentikannya usahanya untuk mengejar Alap-Alap Jalatunda. Usaha itu diserahkannya kepada anak buahnya. Bagaimanapun juga, Alap-Alap Jalatunda sedang berusaha seperti Sanakeling membawa orang-orangnya bergeser mundur, sehingga Alap-Alap itu hampir-hampir sama sekali tidak berbahaya.

Dengan tangkasnya Widura pun mencoba menyusup di antara prajurit Pajang sendiri. Ia melihat Macan Kepatihan semakin lama semakin dekat ke sayapnya, sebab Untara selalu berusaha mengejarnya. Dengan penuh tanggung jawab, tiba-tiba Widura berhasil berdiri berhadapan dengan senapati Jipang itu.

“Setan tua,” teriak Tohpati, “kau mencoba mengganggu aku, Paman Widura? “

Widura tidak menjawab, tetapi pedangnya terjulur lurus ke arah dada Macan Kepatihan. Namun Macan Kepatihan itu dengan garangnya menggeram dan menghindar, melepaskan diri dari tusukan pedang itu, sekaligus dengan melontarkan serangan balasan. Tongkatnya terayun dengan derasnya ke arah pelipis Widura. Namun Widura pun segera berhasil menghindarkan dirinya. Cepat ia beringsut ke samping dan meloncat kembali dalam satu putaran menyambar lambung lawannya.

Tetapi Tohpati tiba-tiba meloncat jauh-jauh dan sesaat kemudian ia telah tenggelam dalam hiruk pikuk pasukan Pajang. Sekali-sekali tampak tongkatnya terayun-ayun, dan bertebarlah para prajurit Pajang menjauhkan diri dari padanya. Widura melihat peristiwa itu dengan darah yang mendidih. Ketika ia meloncat maju, dilihatnya Untara pun telah sampai pula di samping Macan Kepatihan itu.

Dada Macan Kepatihan berdesir ketika ia melihat dua orang Senapati Pajang itu bersama-sama datang kepadanya. Sesaat ia diam mematung sambil berpikir. Namun tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya menyusup masuk ke dalam lingkungan prajurit-prajurit Pajang sambil mengayunkan tongkat kian kemari. Dengan loncatan-loncatan yang panjang ia berusaha meninggalkan Widura dan Untara. Namun sama sekali tak dikehendakinya untuk ikut serta mundur bersama-sama dengan pasukannya. Sebab dengan demikian, apabila ia ikut serta menarik diri, pasukan Pajang akan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk memecah pasukannya yang telah menjadi semakin parah.

Widura dan Untara, ketika melihat Tohpati mencoba menghilang di antara pasukannya, segera mengejarnya. Tetapi Untara dan Widura tidak dapat berbuat seperti Tohpati. Melanggar siapa saja yang berada di hadapannya. Menerjang dan bahkan menginjak tubuh yang terdorong jatuh. Untara dan Widura harus mencari jalan di antara mereka. Kadang-kadang menunggu seseorang menyibak, dan kadang-kadang harus mendorong seseorang ke samping, tetapi tidak sekasar Tohpati. Untara dan Widura tidak dapat mencari jalan dengan memutar pedangnya di antara laskarnya sendiri. Dan laskarnyapun tidak akan berdesak-desakan menyisih seperti apabila mereka melihat Tohpati dengan beberapa orang yang paling setia kepadanya lewat di antara mereka. Meskipun para prajurit Pajang bukanlah prajurit-prajurit pengecut, namun mereka pasti masih harus mempunyai berbagai pertimbangan untuk langsung berhadapan dengan Macan Kepatihan beserta tongkat baja putihnya.

Karena itulah, maka Untara dan Widura tidak dapat cepat menyusul Tohpati. Meskipun demikian Tohpati itu tidak terlepas dari pengamatan mereka. Kemana Tohpati itu pergi, maka Untara dan Widura selalu berada di belakangnya. Dengan demikian Tohpati pun tidak mempunyai keleluasaan untuk bertempur di satu titik. Setiap kali ia harus melontar pergi meninggalkan seorang atau dua orang korban luka, atau bahkan ada pula yang tak mampu bertahan karena hantaman tongkat baja putih itu.

Tetapi para prajurit Pajang bukannya dengan sukarela menyerahkan diri mereka. Dengan gigih mereka memberikan perlawanan apabila mereka sudah tidak mungkin lagi untuk menghindar. Dengan demikian, maka setiap kali mereka melihat seseorang di antara mereka jatuh di tanah, apakah ia terluka apakah ia gugur dalam peperangan itu, namun setiap kali pula ujung-ujung pedang tergores pada tubuh senapati Jipang yang perkasa itu.

Dengan demikian, maka baju dan bahkan segenap pakaian Tohpati itu telah dibasahi bukan saja oleh keringat yang mengalir semakin deras, namun percikan-percikan darah telah menodainya di sana-sini. Goresan-goresan yang bahkan ada yang cukup dalam dan panjang telah membekas di tubuh itu, seperti guratan-guratan pada tubuh seekor harimau dalam rampogan di alun-alun. Seekor macan jantan yang garang, yang dilepaskan di alun-alun di antara prajurit bertombak dalam hari-hari besar yang khusus.

Demikian itulah keadaan Macan Kepatihan yang tidak kalah garangnya dengan harimau jantan yang betapapun besarnya.

Di sayap kanan, Agung Sedayu yang mencoba memberikan tekanan yang semakin berat kepada Sanakeling selalu berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada senapati Jipang itu mengatur anak buahnya menarik diri dari peperangan. Apalagi dibantu oleh Hudaya yang lebih cakap daripadanya mengatur pasukannya. Namun ternyata Sanakeling masih mampu juga, perlahan-lahan menarik seluruh pasukannya dengan teratur, meskipun beberapa kali mereka mengalami kesulitan. Satu-satu anak buahnya berjatuhan. Namun baginya tidak ada cara lain yang lebih baik. Cara itu adalah cara yang paling sedikit menyerahkan korban-korban di antara anak buahnya.

Agung Sedayu yang sedang dengan gigih bertempur melawan Sanakeling yang bertempur dengan olah-playu di dalam suasana yang paling mungkin dilakukan itu, tiba-tiba terkejut, ketika terjadi hiruk pikuk di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya kilatan-kilatan tongkat baja putih di antara ujung senjata anak buahnya. Dalam cahaya matahari yang semakin rendah tongkat itu memantulkan sinarnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.

Dada Agung sedayu berdesir. Ketika sekali lagi Sanakeling menarik diri jauh-jauh dari padanya, ia tidak mengejarnya. Bahkan kemudian ia terpaksa memperhatikan apakah yang terjadi dalam hiruk-pikuk itu.

Agung Sedayu melihat beberapa orang terpaksa menyibak. Hudaya yang terluka itupun terpaksa menjauh dari ayunan tongkat baja putih itu. Ia sama sekali tidak sekedar menyelamatkan nyawanya, tetapi dengan penuh kesadaran dan perhitungan, beberapa orang telah berusaha secara bersama-sama mengepung Macan Kepatihan yang sedang mengamuk.

“Hem,” desis Agung Sedayu. “Macan yang garang itu sampai di sayap ini pula.”

Sekali ia berpaling kepada Sanakeling. Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Sanakeling telah menjadi semakin jauh. Tanpa Agung Sedayu usahanya menjadi bertambah lancar. Berangsur-angsur ia membawa anak buahnya semakin jauh mendekati hutan yang berada tidak jauh lagi dari mereka.

Tetapi Agung sedayu tidak dapat membiarkan Macan Kepatihan merusak orang-orangnya di belakang garis peperangan. Karena itu, dengan serta merta ia meloncat surut dan langsung masuk ke dalam lingkaran pertempuran itu.

Macan Kepatihan melihat senapati di sayap kanan itu. Dengan serta merta ia menyerangnya. Namun Agung Sedayu berhasil menghindarinya. Bahkan dengan kelincahannya ia segera menyerangnya kembali.

Macan Kepatihan heran melihat kelincahan lawannya. Anak yang masih sangat muda ini. Tetapi hatinya yang telah menjadi semakin gelap telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang.

Dalam pada itu, Untara dan Widura pun telah menjadi semakin dekat dengan lingkaran pertempuran antara Agung Sedayu dan Macan Kepatihan yang lukanya telah menjadi arang kranjang.

Ketika mereka melihat, bahwa Agung Sedayu telah terlibat dalam pertempuran melawan Tohpati yang mengamuk itu, maka keduanya tertegun. Sesaat mereka berdua melihat, betapa Agung Sedayu mampu melawan Macan yang garang itu. Mereka melihat bahwa kelincahan dan ketangkasan anak muda itu benar-benar membanggakan. Namun dalam siasat dan tangguh, ternyata bahwa pengalaman Macan Kepatihan berlipat-lipat berada di atas Agung Sedayu.

Untara dan Widura tidak terlalu lama membiarkan Agung Sedayu bertempur sendiri melawan Tohpati, Mereka menyadari bahwa setiap gerak Macan Kepatihan mempunyai kemungkinan yang membahayakan jiwa Agung sedayu. Karena itu maka segera mereka berdua berloncatan maju.

Demikian Tohpati melihat Untara dan Widura, maka segera ia melepaskan lawannya yang masih muda itu. Dengan cepatnya ia mencoba menyusup kembali ke tengah-tengah lawan. Ketika sebuah goresan yang panjang menyilang di lambungnya. Macan Kepatihan sama sekali tidak menghiraukannya. Ternyata pedang Agung Sedayu masih sempat menyentuhnya, pada saat Tohpati berusaha menghindari Untara dan Widura. dan menambah segores lagi luka pada tubuh Senapati Jipang yang perkasa itu. Darah yang merah segera mengalir dari luka itu seperti darah yang mengalir dari luka-luka yang lain. Namun luka ini agaknya lebih dalam dari luka-luka yang telah lebih dahulu menghiasi tubuh Tohpati.

Untara dan Widura melihat usaha menghindar itu. cepat mereka berusaha memotong arah. Tetapi mereka terkejut, ketika mereka tiba, sebuah pedang yang besar, dengan derasnya menyambar tubuh Macan Kepatihan itu.

Macan Kepatihan pun terkejut. Tak ada waktu baginya untuk menghindar. Karena itu, maka segera dilawannya pedang itu dengan tongkatnya.

Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Seolah-olah bunga api memercik ke udara dari titik benturan itu.

Pedang yang berat itu terpantul. Terasa tangan yang menggerakkannya bergetar. Seakan-akan perasaan pedih menjalar dari tajam pedangnya menyengat tangannya. Tetapi pedang itu tidak terlepas dari tangan seperti beberapa saat yang lampau. Pedang itu masih tetap dalam genggaman dan bahkan sesaat kemudian pedang itu telah terayun-ayun kembali.

Sekali lagi Tohpati terkejut. Setelah ia meninggalkan Agung Sedayu ditemuinya pula seorang anak muda yang mengherankan baginya. Seorang anak muda yang memiliki kekuatan raksasa. Ternyata dalam benturan itu tangan Tohpatipun bergetar meskipun tongkatnya tidak terpantul seperti pedang yang menghantamnya. Anak muda itu adalah seorang anak muda yang gemuk bulat. Ketika Tohpati menatap wajah anak muda itu, tampaklah sekilas wajah itu menyeringai menahan pedih, namun sesaat kemudiam wajah itu telah tersenyum.

“He kelinci bulat,” teriak Tohpati, “kau ingin membunuh dirimu?”

Sambil tersenyum anak muda itu, yang tidak lain adalah Swandaru Geni menjawab, “Jumlah lukamu seperti bintang yang melekat di langit. Tanpa dapat dihitung lagi. Apakah kau masih akan bertempur terus.”

Macan Kepatihan tidak menjawab. Tongkatnya dengan kerasnya terayun ke kepala Swandaru. Swandaru yang telah dapat mengukur kekuatan Macan Kepatihan segera menghindar. Ia tidak berani melawan pukulan tongkat itu dengan pedangnya. Demikian tongkat itu meluncur beberapa jari saja dari kepalanya, pedangnya segera terjulur lurus-lurus ke lambung lawannya. Tohpati yang tidak dapat mengenai lawannya melihat pedang itu cepat ia meloncat surut. Namun kembali ia terkejut, Agung Sedayu telah berada di sampingnya sambil menggerakkan pedangnya pula.

Cepat Macan Kepatihan melontarkan diri jauh-jauh. Ia berusaha menghindari setiap senapati Pajang. la hanya ingin menahan arus desakan pasukan lawannya atas pasukannya yang sedang mundur. Namun tak teraba apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Berkali-kali terngiang di dalam dadanya, “Serangan ini akan merupakan serangan terakhir bagiku.”

Tohpati itupun kemudian mengayun-ayun tongkatnya sambil berloncatan di antara para prajurit Pajang. Kekacauan yang ditimbulkannya memang berpengaruh atas tekanan-tekanan pasukan Pajang. Sekali-sekali mereka terganggu pula karena hiruk pikuk yang ditimbulkan oleh amuk Tohpati.

Sanakeling yang melihat betapa senapatinya telah terluka arang kranjang menjadi berdebar-debar. Betapapun juga, terasa luka itu seperti luka pada tubuhnya sendiri. Karena itu, maka ia berteriak, “Raden, mundurlah. Kami akan melindungi.”

“Gila kau Sanakeling,” teriak Tohpati yang bertempur tidak demikian jauh dari Sanakeling yang sedang menyelamatkan anak buahnya. “Kalau kau gagal, kepalamu menjadi taruhan. Bukan kau yang melindungi kalian. Selamatkan orang-orangmu. Jangan keras kepala.”

Sanakeling tidak menjawab. Tetapi ia berdesah hati. Apalagi ketika dilihatnya Macan Kepatihan kemudian menjadi semakin lemah. Meskipun demikian, tandangnya justru menjadi semakin garang.

Laskar Jipang itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan batas hutan. Di sana-sini telah bertebaran gerumbul-gerumbul liar. Ternyata keadaan medan telah memberikan sedikit perlindungan kepada sisa pasukan Jipang itu. Sesaat lagi mereka telah sampai ke batas hutan, dan sesaat lagi mataharipun akan tenggelam di bawah cakrawala. Tetapi waktu yang sesaat itu adalah waktu yang menentukan bagi Macan Kepatihan sendiri yang mati-matian mencoba melindungi anak buahnya sejauh-jauh yang dapat dilakukan.

Setiap kali goresan-goresan ditubuhnya itu bertambah-tambah juga. Setiap kali ia menghindari seorang senapati Pajang, maka setiap kali ditemuinya senapati yang lain, seakan-akan segenap jalan telah tertutup rapat baginya.

Untara, Widura, Agung Sedayu dan anak yang gemuk bulat itu. Anak yang mewakili anak-anak muda Sangkal Putung. Tidak seperti dalam pertempuran yang terdahulu, maka kini Swandaru telah memiliki bekal dari gurunya, Kiai Gringsing, meskipun belum setinggi Agung Sedayu.

Macan Kepatihan melihat bahwa kemungkinannya untuk menghindar telah tertutup rapat-rapat. Tetapi ia melihat juga, bahwa pasukannya telah hampir mencapai ujung hutan dan bahkan ia melihat juga bahwa warna merah di langit sudah menjadi semakin suram.

Setiap pemimpin kelompok prajurit Pajang telah berusaha untuk memperlambat gerakan mundur pasukan Jipang. Tetapi setiap kali usaha mereka terganggu oleh hiruk pikuk yang ditimbulkan oleh Tohpati dan beberapa orang yang terlalu setia kepadanya. Meskipun satu demi satu orang-orang itu terpaksa menjadi korban. Namun beberapa langkah lagi, pertempuran itu telah sampai di batas hutan. Batas yang menentukan, bahwa pasukan Jipang telah berhasil dalam gerakan menghindarkan diri dari kehancuran mutlak meskipun untuk tujuan itu, korban harus berjatuhan.

Dalam pada itu Macan Kepatihan masih juga berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dalam hiruk-pikuk yang semakin riuh, dalam ketegangan yang semakin memuncak sejalan dengan jarak hutan yang semakin pendek dan matahari yang semakin rendah, betapa Macan Kepatihan harus berjuang melawan prajurit-prajurit Pajang yang berkerumun di sekitarnya seperti semut mengerumuni gula. Namun sekali-kali lingkaran prajurit Pajang itu menebar apabila tongkat Tohpati terayun berputaran.

Tetapi Widura, Untara, Agung Sedayu dan Swandaru tidak turut berpencaran mundur. Mereka siap menunggu setiap kemungkinan dengan pedang di tangan mereka. Setiap kali Macan Kepatihan meloncat ke salah seorang dari mereka, maka pedang di dalam genggaman menyambutnya dengan penuh gairah. Dan setiap kali pula tubuh Tohpati menjadi bertambah rapat dihiasi dengan luka-luka yang mengalirkan darahnya yang merah. Seakan-akan warna merah bara yang menyala.

Tetapi tubuh Tohpati itu adalah tubuh yang terdiri dari kulit daging dan tulang. Betapa besar tekad yang menyala di dalam dadanya, namun kekuatan tubuhnya ternyata sangat terbatas sebagai tubuh manusia biasa. Sehingga semakin lama, Macan yang garang itu pun menjadi semakin lemah, meskipun tekadnya sama sekali tidak surut.

Sumangkar menyaksikan semuanya itu dari jarak yang semakin dekat. Sumangkar sendiri kini berdiri di batas hutan, di atas sebongkah batu padas. Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang, dan sekali-sekali ia memalingkan wajahnya. Meskipun warna-warna senja telah menjadi suram, namun Sumangkar yang tua itu masih dapat menyaksikan betapa Macan Kepatihan mengamuk seperti harimau lapar.

Tetapi di sekitarnya berdiri senapati-senapati Pajang, Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun keempat orang itu ternyata telah dikekang oleh kejantanan mereka sehingga mereka tidak bertempur berpasangan bersama-sama. Dan bahkan seakan-akan mereka menunggu dengan tekunnya, siapakah di antara mereka yang dipilih oleh Macan Kepatihan itu melawannya. Namun Tohpati tidak segera berbuat demikian. Ia masih saja berusaha untuk melepaskan dirinya dan berjuang di antara hiruk-pikuk pasukan-pasukan Pajang, meskipun ternyata usahanya sia-sia.

Tetapi tiba-tiba gerak Tohpati itu terhenti. Ditegakkannya lehernya tinggi-tinggi. Ia masih melihat pasukan yang bertempur itu susut seperti air yang tergenang dan tiba-tiba mendapatkan saluran untuk mengalir. Bahkan seolah-olah seluruh pasukan yang bertempur itu terhisap masuk ke dalam hutan. Hati Tohpati itu berdesir. Tiba-tiba terdengar ia berteriak, “Hei, apakah kalian berhasil?”

Tak ada jawaban. Tetapi dengan demikian Tohpati itu yakin bahwa pasukannya telah berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan itu. Apalagi matahari telah sedemikian rendahnya sehingga di dalam hutan itu pasti sudah menjadi semakin gelap.

Terdengarlah kemudian suara tertawa Tohpati itu meledak. Berkepanjangan seperti gelombang laut menempa pantai, beruntun bergulung-gulung berkepanjangan. Di antara derai tertawanya terdengar kata-katanya, “Bagus. Bagus. Kalian telah berhasil.”

Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru melihat pula pasukan Jipang yang berhasil melepaskan diri itu. Terdengar gigi mereka gemeretak. Hampir-hampir mereka berloncatan mengejar pasukan yang berlari itu. Tetapi kesadaran mereka, bahwa hal itu tidak akan berarti sama sekali, telah mencegah mereka. Dan bahkan kemudian mereka menyadari, bahwa di antara mereka masih berdiri senapati Jipang yang terpercaya, Macan Kepatihan.

Keempat senapati Pajang itu berdiri mematung. Ujung-ujung pedang mereka lurus-lurus terarah kepada Macan Kepatihan yang masih saja tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan sama sekali tidak dilihatnya keempat senapati yang berdiri mengitarinya. Untara. Widura, Agung Sedayu dan Swandaru itupun belum juga mengganggunya. Dibiarkannya Macan Kepatihan itu tertawa sepuas-puasnya. Baru ketika suara tertawa itu mereda, mereka berempat seperti berjanji maju beberapa langkah mendekati.

Tohpati itupun kemudian tersadar bahwa ia masih berada dalam kepungan. Apalagi terasa olehnya bahwa darahnya telah terlampau banyak mengalir. Namun ia adalah seorang Senapati. Karena itu dengan lantang ia berkata, “Ayo, inilah Macan Kepatihan. Majulah bersama-sama hai orang-orang Pajang.”

Untara mengerutkan alisnya. Ketika ia memandangi keadaan di sekelilingnya, dilihatnya beberapa orang prajurit masih berdiri mengerumuninya, selain mereka yang berusaha mengejar prajurit Jipang ke dalam hutan, yang pasti tidak akan banyak hasilnya. Tetapi dalam keadaan yang demikian, terasa seakan-akan ia tidak sedang berada dalam peperangan yang masing-masing telah memasang gelar yang sempurna. Kini, ia merasa seakan-akan ia berhadapan seorang dengan seorang. Untara dan Macan Kepatihan. Karena itu, maka Untara itupun melangkah maju sambil berkata, “Kakang Tohpati. Kalau Kakang bertempur seorang diri, maka salah seorang dari kamipun akan melayani seorang diri pula.”

Tohpati mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia menggeram. Namun di dalam hatinya terbersitlah perasaan hormatnya kepada senapati muda ini. Dalam peperangan sebenarnya Untara dapat menempuh jalan lain untuk membunuhnya. Ia dapat memerintahkan setiap orang dan senapati bawahannya untuk membunuhnya beramai-ramai. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Ia masih menghargai nilai-nilai keperwiraan orang-seorang, sehingga betapa berat akibatnya, ia menyediakan diri untuk melakukan perang tanding.

Macan Kepatihan itu tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia memandang seorang demi seorang. Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru. Ketika mata Tohpati hinggap pada anak muda yang bertubuh bulat itu, hati Untara menjadi berdebar-debar. Barulah disadari kesalahannya.

Ia tidak dengan tegas menawarkan dirinya sendiri untuk menghadapi Tohpati, tetapi ia memberi kesempatan kepada Macan Kepatihan untuk memilih lawan. Apabila kemudian Macan Kepatihan itu memilih Swandaru atau Agung Sedayu sekalipun maka keadaan anak-anak muda itu pasti akan sangat mengkhawatirkan. Meskipun Tohpati sudah bermandikan darah karena luka-luka pada seluruh tubuhnya, namun tandangnya masih saja segarang Macan Kepatihan pada saat ia terjun di dalam arena peperangan itu.

Tetapi agaknya Swandaru sama sekali tidak menginsyafi bahaya itu. Ketika Tohpati memandangnya dengan tajamnya, anak muda itu tersenyum. Senyum yang hampir-hampir tak pernah hilang dari bibirnya. Ia kini sama sekali tidak takut menghadapi harimau yang garang itu. Bahkan ia ingin tahu, mencoba, sampai di mana kemampuannya setelah ia berguru kepada Kiai Gringsing.

Tetapi Tohpati bukan seorang yang licik. Ia tidak dapat merendahkan harga dirinya, sebagaimana Untara telah bersikap jantan pula kepadanya. Ia tahu benar, bahwa yang paling lemah dari mereka berempat adalah anak yang gemuk bulat itu. Tetapi dengan lantang ia menjawab, “Baik Adi Untara. Kalau kau menawarkan lawan, baiklah aku memilih. Orang yang aku pilih adalah Adi sendiri. Untara, senapati Pajang yang mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan sisa-sisa pasukan Jipang di Lereng Gunung Merapi.”

Hati Untara berdesir mendengar jawaban itu. Sebagaimana Tohpati merasa hormat akan keputusannya untuk melakukan perang tanding, maka Untara pun menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan perasaan hormatnya. “Terima kasih” sambutnya. “Aku telah bersedia.”

Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Selangkah ia maju menghadap kepada Untara. Sementara Untara maju pula, mendekatinya. Dalam pada itu Untara masih sempat berbisik kepada Widura, “Paman, tariklah seluruh pasukan. Sangat berbahaya untuk bekejar-kejaran di dalam hutan yang kurang kita kenal.”

Widura mengangguk. Tetapi ia tidak mau meninggalkan perang tanding itu. Karena itu, diperintahkannya seorang penghubung untuk memukul tanda, dan memerintahkannya supaya Hudaya menghimpun kembali segenap pasukan.

Sementara itu, Untara kini telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tohpati pun telah berdiri dengan kaki renggang menghadapi senapati muda itu. Tongkatnya erat tergenggam di tangannya yang telah basah oleh darah. Seleret-seleret warna merah tergores pula pada tongkat baja putihnya. Pada saat-saat tongkat itu menyambar kening lawan, maka darah yang terpercik daripadanya pasti membasahi tongkatnya pula.

“Ayo, mulailah Untara. Senja telah hampir menjelang kelam. Kita selesaikan, persoalan di antara kita sebelum malam,” geram Tohpati.

Untara tidak menjawab. Ia melangkah selangkah lagi maju. Pedangnya segera menunduk tepat mengarah ke dada lawannya. Dalam pada itu, Tohpati tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat menyerang dengan sebuah ayunan tongkat baja putihnya. Meskipun lukanya arang kranjang, namun kecepatannya bergerak masih belum susut barang serambutpun.

Untara yang telah bersiap menghadapi kemungkinan itu, dengan cepatnya menghindarkan diri. Bahkan pedangnyapun segera terjulur mematuk lambung. Namun Tohpati masih sempat pula mengelakkan dirinya.

Demikianlah kini mereka terlihat dalam perang tanding yang dahsyat. Tohpati memeras ilmunya dalam kemungkinan yang terakhir. Disadarinya bahwa Untara adalah seorang senapati yang pilih tanding. Dalam keadaan yang sempurnapun ia tidak akan dapat mengalahkannya, apalagi kini. Darahnya telah menetes dari luka, dan keringatnyapun seolah-olah telah kering terperas. Tetapi ia adalah seorang senapati besar yang sadar akan kebesaran dan harga dirinya sebagai seorang laki-laki jantan.

Meskipun senja telah menjadi semakin suram namun Sumangkar masih dapat melihat apa yang terjadi di tengah-tengah arena itu. Ia melihat dari daerah yang lebih kelam karena dedaunan. Bahkan kemudian ia tidak puas melihat peristiwa itu dari tempatnya.

Tiba-tiba ia melompat turun dari bongkahan batu padas itu dan menyusur tepi hutan yang kegelapan maju semakin dekat. Di belakangnya Kiai Gringsing selalu mengikutinya. la tidak ingin melepaskan Sumangkar. Kalau-kalau orang itu berbuat sesuatu dengan tiba-tiba. Tetapi ternyata Sumangkar itu tidak langsung menuju ke arena. Beberapa langkah ia berhenti, dan kembali ia mencari tempat yang agak tinggi untuk menyaksikan perkelahian antara Macan Kepatihan dan Tohpati. Sedang Kiai Gringsing pun tidak kalah nafsunya untuk melihat pertempuran itu, sehingga kemudian ia berdiri tepat di belakang Sumangkar.

Dengan tegangnya Sumangkar mengikuti perkelahian itu. Selangkah demi selangkah dinilainya dengan seksama. Ia sama sekali tidak memperdulikan hiruk-pikuk para prajurit Pajang yang sedang berhimpun kembali, tidak jauh di hadapannya, namun para prajurit Pajang itupun sama sekali tidak memperhatikannya, karena ujung malam yang turun perlahan-lahan, seperti kabut yang hitam merayap dari langit merata ke seluruh permukaan bumi.

Tetapi pertempuran antara Macan Kepatihan dan Untara masih berlangsung terus. Semakin lama semakin dahsyat. Sedang Sumangkar yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin tegang.

Tiba-tiba ketegangan Sumangkar itupun memuncak. Kini ia berdiri di atas ujung kakinya dan dijulurkannya lehernya, supaya ia dapat melihat semakin jelas.

“Oh,” desahnya kemudian. Suaranya seolah-olah tersekat di kerongkongan, dan darahnya serasa berhenti mengalir. Diangkatnya kedua belah tangannya menutup wajahnya. Perlahan-lahan ia berpaling. Gumamnya perlahan-lahan dengan suara parau, “Raden.”

Kiai Gringsing pun melihat apa yang terjadi. Ia melihat Tohpati menyerang dengan kekuatannya yang terakhir. Namun tubuh Untara yang masih segar sempat menghindarinya, tetapi ujung pedangnya dijulurkannya lurus-lurus tepat mengarah ke lambung lawannya. Tohpati yang sudah menjadi semakin lemah, kurang tepat memperhitungkan waktu. Ia terdorong oleh kekuatannya sendiri, dan langsung lambungnya tersobek oleh pedang Untara. Terdengar Tohpati menggeram pendek. Selangkah ia surut. sebuah luka yang dalam menganga pada lambungnya.

Betapa kemarahannya membakar jantungnya, namun tiba-tiba tarasa tulang-tulangnya seolah-olah terlepas dari tubuhnya. Meskipun demikian tanpa disadari oleh Untara, Macan Kepatihan melontarkan tongkatnya secepat petir menyambar di udara. Betapa Untara terkejut melihat sambaran tongkat baja putih berkepala tengkorak itu.

Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan ia merendahkan dirinya dan berusaha memukul tongkat itu dengan pedangnya. Tetapi demikian cepatnya sehingga ia tidak dapat melakukannya dengan sempurna. Pedangnya berhasil menyentuh kepala tongkat itu, tetapi dengan demikian ujung yang lain menjadi oleng dan dengan kerasnya memukul kening Untara.

Untara yang sedang merendahkan diri itu terdorong mundur, dan sesaat ia kehilangan keseimbangan. Dengan kerasnya ia terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling. Matanya terasa menjadi gelap dan kepalanya menyadi sangat pening. Seakan-akan sebuah bintang di langit telah jatuh menimpanya.

Namun ia masih cukup sadar. Ia sadar bahwa lawannya, Macan Kepatihan masih tegak berdiri di hadapannya. Karena itu cepat ia memusatkan kekuatannya dan meskipun dengan tertatih-tatih ia mencoba berdiri, bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Tetapi kini ia sudah tidak menggenggam pedang lagi. Pedangnya terpelanting dari tangannya, pada saat ia jatuh berguling di tanah.

Meskipun demikian terasa kening Untara masih sedemikian sakitnya. Bintik-bintik putih seolah-olah berterbangan di dalam rongga matanya. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu. Karena itu maka dengan sekuat tenaganya, ia mencoba untuk menembus keremangan ujung malam dengan pandangan matanya yang kabur.

Untara itu melihat Tohpati maju selangkah mendekatinya. Namun tiba-tiba ia terhuyung-huyung. Sesaat kemudian Macan yang garang itu terjatuh pada lututnya dan mencoba menahan tubuhnya dengan kedua tangannya.

Untara masih tetap berdiri di tempatnya. Sekilas matanya menyambar orang-orang yang berdiri mengitarinya. Widura, Agung Sedaju, Swandaru Geni dan kini beberapa orang lain telah hadir pula. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin kelompok. Ketika ia kembali memandangi Tohpati, maka dilihatnya orang itu menjadi semakin lemah.

Sesaat tepi hutan itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang tegang. Desir angin di dedaunan terdengar seperti tembang megatruh yang menawan hati. Sayup-sayup di kejauhan suara burung hantu terputus-putus seperti sedu sedan yang pedih, sepedih hati biyung kehilangan anaknya di medan peperangan.

Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Tohpati bergetar di antara desah angin malam yang lirih, “Adi Untara, aku mengakui kemenanganmu.”

Dada Untara berdesir mendengar suara itu. Bukan saja Untara, tetapi juga Widura, Agung Sedaju, Swandaru, Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang yang lain. Namun di antara mereka yang paling dalam merasakan sentuhan suara itu adalah Untara sendiri, sehingga justru sesaat ia diam mematung. la tersadar ketika sekali lagi Tohpati berkata dengan suaranya yang parau dalam, “Aku mengucapkan selamat atas kemenangan ini Adi Untara.”

Untara tidak dapat menahan hatinya lagi mendengar pengakuan yang jujur itu. Pengakuan dari seorang senapati jantan dari Jipang. Karena itu, maka beberapa langkah ia maju mendekati Macan Kepatihan yang sudah menjadi sangat lemas. “Kakang Tohpati…” terdengar suara Untara patah-patah, “maafkan aku.”

Tohpati menggeleng, “Jangan berkata demikian Untara. Berkatalah dengan nada seorang senapati yang menang dalam peperangan. Supaya aku puas mengalami kekalahan ini.”

Untara terdiam. la tidak tahu apa yang akan diucapkannya. Karena itu kembali ia mematung. Matanya tajam-tajam menembus malam yang semakin gelap, hinggap pada tubuh yang sudah menjadi kian lemah dan lemah.

Perlahan-lahan Tohpati terduduk di tanah. Bahkan kemudian terdengar ia menggeram, “Aku akan mati.”

Untara maju selangkah lagi. Ia melihat dengan wajah yang tegang Tohpati menjatuhkan dirinya, terlentang sambil menahan desah yang kadang-kadang terlontar dari mulutnya.

Sumangkar melihat Tohpati itu terbujur di tanah, dalam hatinya terasa menjadi sangat pedih. Anak itu bukan anaknya, bukan muridnya, tetapi ia telah berada dalam satu lingkungan yang sama-sama dialami. Pahit, manis dan lebih-lebih lagi ia adalah murid saudara seperguruannya. Harapan sebagai penerus ilmu perguruan Kedung Jati. Tetapi anak itu kini terbujur dengan darah yang mengalir dari luka-lukanya yang arang kranjang.

Darah Sumangkar itupun tiba-tiba bergelora. Dengan tangkasnya ia meloncat turun dari bongkahan batu padas sambil menggeram, “Biarkan aku, Kiai…”

Kiai Gringsing terkejut melihat sikap itu, sehingga untuk sesaat ia masih berdiam diri. Namun lamat-lamat ia melihat wajah Sumangkar yang kosong memancarkan perasaan putus asa.

“Kiai,” berkata Sumangkar pula, “tak ada yang menahan aku untuk hidup terus. Karena itu, marilah kita membuat perhitungan terakhir. Perhitungan orang-orang tua.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan ia masih sempat berpaling dan melihat Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru beserta beberapa orang lain berlutut di samping Macan Kepatihan yang nafasnya seakan-akan tinggal tersangkut di ujung kerongkongannya.

“He Kiai,” panggil Sumangkar, “turunlah. Kita bertempur seorang lawan seorang. Antarkan aku menemani Angger Macan Kepatihan.”

Sekali lagi Kiai Gringsing memandangi orang-orang yang berdiri mengerumuni Macan Kepatihan dan orang yang berlutut di sekitarnya. Ternyata tak seorangpun di antara mereka yang mendengar kata-kata Sumangkar, sehingga mereka berdua masih tetap belum dilihat oleh mereka.

Namun Kiai Gringsing masih belum bergerak. Tetapi ia menjadi kian berhati-hati. Ketika dilihatnya Sumangkar menggenggam tongkatnya semakin erat pada pangkalnya siap untuk digunakannya.

Dan apa yang disangkanya itu terjadi. Ketika Kiai Gringsing tidak juga mau turun dari bongkahan batu padas, tiba-tiba Sumangkar berkata, “Baiklah kalau Kiai tidak mau mulai. Aku yang akan mulai. Terserahlah kepadamu apakah kau bersedia untuk melawan dan membunuhku, atau aku yang akan membunuhmu.”

Sumangkar tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyambar lutut Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing telah bersiaga. Segera ia meloncat menghindar dan sekaligus melontar turun dari atas batu padas itu.

Namun Sumangkar tidak melepaskannya. Dengan sebuah loncatan yang panjang dan cepat ia mengejarnya. Seperti orang kerasukan, tongkatnya terayun-ayun deras sekali menyambar-nyambar. Seolah-olah ia telah kehilangan segenap perhitungan dan pikirannya yang bening seperti Macan Kepatihan sendiri.

Kiai Gringsing pun segera berloncatan menghindari. Dengan lincahnya ia melontar-lontarkan dirinya, menyusup disela-sela putaran tongkat baja putih berkepala tengkorak yang bergerak secepat tatit. Tetapi Kiai Gringsing mampu bergerak melampaui kecepatan tongkat itu, sehingga berkali-kali ia masih saja dapat menghindari setiap serangan yang datang

Sumangkar benar-benar telah waringuten. Tongkatnya bergerak semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian seolah-olah telah berubah menyadi gumpalan awan putih yang mengejar Kiai Gringsing kemana ia pergi. Gumpalan awan yang siap untuk menelannya dan menghancur-lumatkan.

Demikianlah maka serangan Sumangkar itu menyadi semakin lama semakin dahsyat seperti prahara yang mengamuk di padang-padang yang dengan dahsyatnya pula menghantam bukit-bukit dan lereng-lereng gunung. Namun Kiai Gringsing adalah lawan yang tangguh baginya. Dengan kecepatan yang melampaui kecepatan prahara, ia selalu mampu menghindari setiap serangan yang datang.

Betapapun kalutnya otak Sumangkar, namun ia bukanlah seorang yang mudah kehilangan harga diri dan kejantanan. Usianya yang telah lanjut itupun telah menuntunnya menjadi seorang yang dapat melikat sikap-sikap yang tidak wajar. Demikian pula kali ini. Beberapa kali ia mencoba meyakinkan dugaannya dengan memperketat serangan-serangannya atas Kiai Gringsing itu. Namun akhirnya ia yakin, bahwa Kiai Gringsing menghadapinya dalam sikap yang tidak wajar.

Orang itu sama sekali tidak pernah membalasnya dengan serangan-serangan, tetapi orang itu hanya sekedar menghindari serangan-serangannya yang bahkan dapat berakibat maut. Karena itu, maka betapapun gelap pikirannya, namun ia masih mampu untuk menilai sikap itu. Sehingga tiba-tiba ia menghentikan serangannya sambil berkata, “Kiai, kenapa Kiai tidak melawan? Kenapa Kiai hanya sekedar menghindar dan meloncat surut? Apakah menurut anggapan Kiai, Sumangkar tidak cukup bernilai untuk berdiri sebagai lawan Kiai?”

Kiai Gringsing menarik nafas. Dengan dahi yang berkerut-kerut ia menjawab, “Tidak. Sama sekali tidak. Aku menghargai Adi Sumangkar sebagai murid kedua dari perguruan Kedung Jati yang tak kalah nilainya dari Ki Patih Mantahun sendiri. Tetapi kini kau tidak sedang bertempur melawan Kiai Gringsing, sehingga karena itu aku tidak dapat melayanimu.”

“He,” Sumangkar terkejut. “Kenapa aku kau anggap tidak sedang bertempur melawan Kiai Gringsing?”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dijawabnya, “Adi Sumangkar. Ternyata kau tidak sedang bertempur, tetapi kini kau sedang membunuh dirimu. Karena itu aku tidak dapat menjadi alat untuk itu.”

Dada Sumangkar berdesir mendengar jawaban itu. Terasa sesuatu menyentuh langsung ke pusat jantungnya. Sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian tangannya menjadi lemah. Tongkatnya kini tergantung lunglai pada tangan kanannya yang kendor. Perlahan-lahan terdengar ia bergumam, “Hem, Kiai menebak tepat. Aku memang sedang membunuh diri, dan aku mengharap Kiai dapat membantuku.”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Adi Sumangkar. Aku tidak dapat melakukannya.”

“Aku tidak peduli. Kalau Kiai tidak mau membunuhku, maka jangan menyesal kalau aku yang membunuhmu.” Namun kata-kata Sumangkar itu sama sekali tidak meyakinkan. Tangannya masih tergantung lemah dan genggamannya atas senjatanyapun tidak bertambah erat.

“Adi Sumangkar” berkata Kiai Gringsing. “Apakah keputusanmu itu sudah kau pertimbangkan baik-baik.”

“Tentu” Sahut Sumangkar. “Keputusanku tidak akan dapat berubah.”

Kiai Gringsing memandangi wajah Sumangkar tajam-tajam. Meskipun malam telah menjadi semakin kelam namun terasa oleh Kiai Gringsing, bahwa pada wajah Sumangkar benar-benar terbayang keputusasaan yang dalam.

“Adi,” berkata Kiai Gringsing, “kenapa kau akan membunuh dirimu?”

“Aku telah jemu melihat kehidupan, Kiai. Hidupku, hidup orang-orang Jipang dan hidup kita semua.”

“Apakah Adi sudah berpikir jauh? Mungkin Adi ingin menghindari kepahitan yang mencengkeram jantung Adi, namun dengan jalan yang sama sekali salah. Macan Kepatihan telah mati terbunuh dalam peperangan sebagai seorang jantan. Tetapi bagaimana kata orang dengan Sumangkar? Murid kedua dari perguruan Kedung Jati?”

“Aku mati dalam peperangan melawan seorang sakti bernama Kiai Gringsing.”

Kiai Gringsing menggeleng. “Tidak. Kesannya akan menjadi lain sekali. Sumangkar mati membunuh diri, itupun terserah kepadamu Adi. Tetapi aku tidak dapat mendengar orang lain mengatakan, Kiai Gringsinglah yang telah melakukan itu. Tidak. Aku bukan alat untuk membunuh diri.”

“Tak ada orang yang mengetahui, bahwa kau membunuh aku pada saat hatiku gelap.”

“Ada.”

“Siapa?”

“Hatiku sendiri.”

“Persetan!” geram Sumangkar. “Terserah kepadamu. Kalau kau tidak mau, maka aku akan membunuhmu.”

“Aku akan lari meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Kau pasti tidak akan dapat mengejar aku. Dan aku akan bersembunyi sampai terdengar kabar, bahwa Sumangkar telah mati. Entah ia membunuh diri, entah ia mati dikeroyok orang.”

Kembali dada Sumangkar menjadi bergelora. Terasa bahwa kata-kata Kiai Gringsing itu menyentuh langsung ke pusat jantungnya, sehingga karena itu ia diam sesaat mencoba memandangi wajah Kiai Gringsing yang seolah-olah ditabiri oleh sebuah selaput yang kelam.

Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing kembali, “Adi Sumangkar. Daripada Adi sibuk membunuh diri, apakah tidak lebih baik Adi mencoba melihat, apakah Raden Tohpati itu masih hidup ataukah benar-benar sudah mati?”

“Tak ada gunanya,” geram Sumangkar.

“Mungkin ada. Kalau ia masih hidup ia akan dapat memberi pesan kepada Adi.”

“Kalau ia sudah mati?”

“Adi akan dapat mengurusnya. Menguburkannya dengan baik sebagai murid dari kakak seperguruanmu.”

Kembali Sumangkar terdiam. Namun tiba-tiba ia berkata, “Apakah Untara akan mengijinkan aku mendekatinya?”

“Aku sangka ia tidak akan berkeberatan.”

“Apakah Kiai yakin?”

“Ya.”

“Kalau ia menolak kehadiranku, maka aku akan tersinggung sekali karenanya. Padahal aku sama sekali tidak ingin membunuh lagi. Bahkan aku ingin terbunuh oleh siapapun.”

“Marilah kita pergi bersama.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun Kiai Gringsing seakan-akan tidak mempedulikannya lagi. Ia berjalan ke arah orang-orang yang berkerumun itu sambil bergumam, “Marilah Adi.”

Sumangkar menjadi ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian iapun melangkah di samping Kiai Gringsing, berjalan ke arah Macan Kepatihan terbaring.

Ketika kemudian beberapa orang mendengar langkahnya, mereka menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Tetapi dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berkata, “Aku, Tanu Metir.”

“Oh,” desah beberapa orang.

Untara, Agung Sedayu dan orang-orang lainpun mendengar suara itu. Serentak mereka mengangkat kepala mereka dan mencoba mengetahui arah suara yang melontar dari luar lingkaran orang-orang yang sedang berkerumun.

“Apakah itu Ki Tanu Metir?” bertanya Untara.

“Ya” sahut suara itu.

“Kiai datang tepat pada waktunya,” berkata Untara itu kemudian.

Kiai Gringsing sama sekali tidak tahu maksud kata-kata itu. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia berjalan langsung manerobos beberapa orang yang menyibak, memberinya jalan. Namun beberapa orang itu bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah orang yang berjalan bersama Ki Tanu Metir itu?

Demikian Agung Sedayu dan Swandaru melihat kedatangan Kiai Gringsing beserta Sumangkar, segera mereka berdiri. Diamatinya orang itu, dan terasa bahwa mereka pernah melihatnya.

Namun yang pertama-tama menyebut namanya adalah Agung Sedayu. Dengan nada yang penuh kebimbangan ia berkata, “Apakah paman ini Paman Sumangkar?”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling memandang wajah anak muda itu dan kemudian jawabnya, “Ya Ngger. Aku adalah Sumangkar.”

Dalam pada itu tanpa sesadarnya Untara pun segera meloncat berdiri. Selangkah ia surut. Ditatapnya wajah itu dengan tajamnya. la pernah mengenalinya dahulu, sebeum terjadi persoalan antara Jipang dan Pajang, meskipun hanya sepintas. Tetapi bersamaan dengan pecahnya Jipang orang itupun kemudan menghilang. Baru kemudian ternyata bahwa orang itu datang pada saat Macan Kepatihan hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kenapa ia tidak datang bersama pasukannya seperti yang mereka perhitungkan sejak semula?

Tetapi ketika Untara melihat kehadiran Ki Tanu Metir bersama Sumangkar, maka hatinya menjadi agak tenang. Meskipun demikin ia masih tetap berdiri kaku di tempatnya.

Melihat kecurigaan Uptara, Sumangkar menarik nafas panjang-panjang. Timbullah kembali kecemasannya, seandainya tiba-tiba Untara itu mengusirnya, atau bahkan mencoba untuk menangkapnya. Ia sama sekali sudah tidak berhasrat untuk bertempur, apalagi membunuh seseorang. Namun apabila hatinya tersinggung, maka hal itu akan dapat terjadi. Tetapi kemudian disadarinya bahwa Kiai Gringsing berdiri di sampingnya. Maka apabila terjadi demikian, ia mengharap Kiai Gringsing akan membunuhnya saja.

Sesaat mereka dicengkam oleh kebekuan yang tegang. Masing-masing saling berpandangan dengan penuh kecurigaan.

Kebekuan itupun kemudian dipecahkan oleh sebuah gumam perlahan sekali. “Siapakah yang datang?” suara itu adalah suara Tohpati.

Semua berpaling kepada Tohpati yang terbaring diam. Hanya dadanya saja yang masih tampak bergelombang, menghembuskan nafas yang tidak teratur lagi.

Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sumangkar. “Aku Raden, pamanmu Sumangkar.”

“O,” desah Tohpati, “apakah Paman dapat mendekati aku?”

Sumangkar menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Untara, seolah-olah ia meminta ijin kepadanya.

Untarapun tidak segera mengatakan sesuatu. Seperti Sumangkar ia menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia berpaling kepada Ki Tanu Metir. Dalam keremangan malam ia melihat Ki Tanu Metir menganggukkan kepalanya, sehingga Untara itupun kemudian berkata, “Silahkan, Paman.”

“Terima kasih Ngger” gumam Sumangkar, yang kemudian berjongkok di samping Macan Kepatihan.

Untara, Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan beberapa orang lain masih berdiri di tempatnya. Mereka sadar bahwa Sumangkar adalah seorang yang tidak dapat diduga-duga kesaktiannya. Kalau tiba-tiba saja ia menggerakkan tongkat baja putihnya, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan. Meskipun ada di antara mereka itu seorang yang bernama Kiai Gringsing, namun Kiai Gringsing pun pasti memerlukan waktu untuk mengatasi keadaan. Sedang dalam waktu yang tiba-tiba itu, pasti sudah jatuh korban di antara mereka.

Di samping Sumangkar itu, kemudian mereka melihat Kiai Gringsing berjongkok pula. Dengan saksama diamat-amatinya tubuh Tohpati yang arang kranjang itu.

“Paman Sumangkar” terdengar suara Macan Kepatihan perlahan-lahan sekali.

Sumangkar itu menggeram. Tiba-tiba terasa tenggorokannya menjadi kering, ketika dilihatnya luka-luka yang tiada terhitung di tubuh murid kakak seperguruahnya itu. “Angger,” desisnya, “lukamu tiada terhitung jumlahnya. Kau telah berjuang untuk melindungi seluruh anak buahmu dengan mengorbankan dirimu sendiri.”

Macan Kepatihan mencoba untuk memperbaiki pernafasannya. Tetapi terasa bahwa nafas itu semakin lemah.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Untara di belakang Kiai Gringsing, “Kiai, apakah Kiai masih melihat kemungkinan untuk mengobati Kakang Tohpati?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun sebelum menjawab terdengar suara lemah Macan Kepatihan, “Tak ada gunanya. Tak akan ada gunanya, karena aku sudah terlalu lemah. Bahkan seandainya mungkinpun, maka kesembuhanku akan berakibat tidak baik bagi keadaan.”

“Kenapa?” bertanya Untara.

“Kematianku adalah akhir daripada bencana yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari senapati yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku mengharap bahwa mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan. Bukankah begitu Paman Sumangkar?”

Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya singkat, namun meluncur dari dasar hatinya, “Ya Ngger.”

“Baik. Baik” Macan Kepatihan meneruskan. Suaranya menjadi semakin lambat, sedang nafasnya menjadi semakin tak teratur. Kepada Untara kemudian ia berkata, “Adi Untara. Di manakah kau?”

Untara itu melangkah maju. Ia sudah lupa akan setiap bahaya yang mengancamnya, apabila Sumangkar itu berbuat hal-hal di luar dugaan. Kini ia berjongkok dekat di samping kepala Macan kepatihan.

“Adi Untara, kau benar-benar seorang kesatria. Kau mampu melupakan dendam atas seseorang yang menghadapi saat-saat kematiannya. Jarang orang dapat berbuat seperti kau ini.”

Untara tidak menjawab. Dan didengarnya suara Macan kepatihan terputus-putus, “Paman Sumangkar tidak bersalah. Orang itu tidak pernah turut bertanggung jawab dalam segala gerak dan perbuatan pasukan Jipang. Karena itu aku minta maaf untuknya.”

Untara menganggukkan kepalanya pula. Dari mulutnya demikian saja meluncur jawabnya, “Ya. Paman Sumangkar tidak turut bertanggung jawab.”

“Seluruh tanggung jawab ada padaku Adi.”

“Ya” sahut Untara.

“Angger,” tiba-tiba Sumangkar memotong, “biarlah kita berbagi tanggung jawab. Kenapa aku tidak ikut bertanggung jawab pula atas segalanya yang telah terjadi?”

“Jangan membantah Paman,” sahut Macan Kepatihan. “Ini adalah kata-kataku terakhir.”

Sumangkar tertegun. Tetapi ia tidak berkata apapun. Dan didengarnya kemudian suara Macan kepatihan terputus-putus, “Paman. Adakah paman dapat membantu aku?”

“Tentu Ngger, tentu” sahut Sumangkar cepat-cepat.

“Terima kasih, Paman. Paman akan sudi menguburkan mayatku, apabila Adi Untara tidak berkeberatan. Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda bahwa tidak ada gunanya perselisihan ini akan berlangsung terus.”

Tohpati mencoba menarik nafas dalam-dalam, namun ia menjadi semakin lemah, semakin lemah. Getar darahnyapun semakin lama semakin menjadi lemah pula. Ketika ia mencoba memandangi orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, maka yang dilihatnya hanyalah bayangan-bayangan hitam yang tidak dapat dikenalnya lagi.

“Paman” desisnya.

Sumangkar beringsut maju semakin dekat. Dirabanya tangan Macan Kepatihan yang menjadi bertambah dingin.

“Adi Untara” panggilnya lambat.

Untara pun berkisar pula ke samping Sumangkar.

Agaknya Tohpati ingin minta kepada mereka. Tetapi nafasnya menjadi semakin lamban.

“Angger” panggil Sumangkar.

Terasa tangan Tohpati bergetar, dan mulutnya berdesis. Sumangkar segera meletakkan telinganya ke bibir murid kakak seperguruannya itu, dan didengarnya kata-kata terakhir. “Mudah-mudahan Tuhan mengampuni aku.”

“Mohonlah Ngger. Mohonlah ampun.”

Tetapi Tohpati sudah tidak mampu menjawab. Kini matanya sudah berpejam dan nafasnya menjadi kian lemah. Sesaat kemudian tangannya tergerak sedikit dan nafasnyapun berhentilah untuk selama-lamanya.

“Angger” desis Sumangkar.

Tetapi Tohpati tidak lagi dapat menyahut. Ketika Sumangkar itu kemudian yakin bahwa Macan Kepatihan yang garang itu sudah tidak dapat mendengar panggilannya, tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Nafasnya sendiri serasa akan putus pula seperti nafas Macan Kepatihan itu.

Sumangkar yang tua itu terkejut sendiri ketika terasa setetes air jatuh ke tangannya. “Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam. “Anak ini telah pergi mendahului aku.”

Suasana di pinggir hutan itu kemudian menjadi hening. Daun-daun pepohonan seolah-olah menundukkan tangkai mereka, dan angin berhenti berhembus. Di kejauhan terdengar suara burung hantu menyentuh ulu hati. Ngelangut.

Mereka semuanya tersentak ketika mereka mendengar guruh meledak di udara, didahului oleh cahaya kilat yang memercik sekilas. Seperti berjanji mereka menengadahkan wajah-wajah mereka menatap langit. Dan kembali mereka terkejut ketika mereka melihat awan yang kelam menggantung di langit. Mendung yang seakan-akan siap untuk meluncur turun ke permukaan bumi.

“Adi Sumangkar,” terdengar suara Kiai Gringsing, “bagaimana dengan Angger Macan Kepatihan?”

“Aku akan mencoba memenuhi pesannya, Kiai, apabila Angger Untara mengijinkannya.”

“Silahkan Paman” sahut Untara.

“Aku akan segera kembali. Dan aku menunggu keputusan Angger atas diriku.”

Untara menggigit bibirnya. Kemudian katanya, “Paman telah menunjukkan kesediaan Paman untuk tidak lagi berbuat hal-hal yang bakal merugikan Pajang. Karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa Paman tidak turut serta bertanggung jawab atas segala tingkah laku pasukan Jipang, maka aku akan mencoba memohonkan ampun untuk Paman Sumangkar.”

Tiba-tiba Sumangkar menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak ingin belas kasihan. Aku tidak ingin mengingkari tanggung jawab yang betapapun beratnya, yang akan turut menentukan hukuman atasku.”

Untara mengerutkan keningnya. Katanya, “Lalu apakah arti kata-kata Macan kepatihan pada saat terakhir ini?”

“Ia ingin membebankan kesalahan pada dirinya sendiri.”

“Kalau begitu Paman tidak ingin mengakui kebenaran kata-katanya. Sehingga Paman menolak setiap pemaafan?”

“Aku tidak ingin mendapatkan belas kasihan itu.”

“Kalau begitu apa maksud Paman sebenarnya? Apakah Paman akan mengambil alih pimpinan dari tangan Macan Kepatihan?” desak Untara.

Tiba-tiba Sumangkar berdiri. Dipandanginya wajah Untara yang telah berdiri pula di hadapamnya.

“Angger” berkata Sumangkar yang hatinya sedang kelam seperti kelamnya langit. “Aku telah berkata bahwa aku akan kembali dan akan menerima semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Kau tidak percaya? Apakah kau akan mencoba menangkap Sumangkar sekarang?”

“Paman” terdengar suara Untara menjadi semakin berat. Sebagai seorang senapati muda maka ia tidak segera dapat mengatasi gelora di dalam dadanya sendiri. Hatinya benar-benar tersinggung ketika ia mendengar penolakan Sumangkar atas tawarannya uutuk mendapatkan keringanan hukuman dan pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya.

Karena itu sebagai seorang pengemban tugas ia berkata, “Aku adalah senapati Pajang yang mendapat kepercayaan di daerah ini. Aku telah mencoba melihat kebenaran dan kealpaan pada tempatnya sendiri-sendiri. Tetapi penolakan Paman sangat menyakitkan hati. Karena itu apakah aku harus meneruskan tindakan pengamanan dengan cara yang telah aku tempuh sampai saat ini terhadap Macan Kepatihan?”

Sumangkar itu mundur selangkah. Tiba-tiba digenggamnya tongkat baja putihnya erat-erat. Dengan tajamnya dipandanginya wajah Untara. Dari sela-sela bibirnya yang gemetar ia berkata, “Baik. Kalau itu yang kau inginkan Ngger. Silahkan. Aku bersedia menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi atasku. Umurku sudah lanjut, dan aku sudah jemu untuk melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk di muka bumi ini. Karena itu, marilah. Apa yang akan kau lakukan atasku.”

Untara pun tiba-tiba menggeram. Dari matanya seolah-olah memancar api kemarahan. Ia adalah senapati Pajang yang berwenang untuk melakukan kebijaksanaan di daerah ini. Karena itu, maka tanpa sesadarnya, ia memandang berkeliling. Kepada Widura, Agung Sedayu, Swandaru, dan kepada para pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.

Sambaran mata Untara itu, seakan-akan merupakan perintah bagi mereka, bagi Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan semua orang yang berdiri mengitari mereka serentak mereka bersiaga dan serentak pedang-pedang mereka siap untuk menerkam Sumangkar yang berdiri di tengah-tengah lingkaran manusia itu.

Tiba-tiba dalam ketegangan yang memuncak itu, terdengarlah suara tertawa. Perlahan-lahan, namun nadanya seakan-akan menghantam dinding jantung.

Suara itu adalah suara Ki Tanu Metir, yang masih saja berada di tempatnya. Namun kini iapun telah berdiri, menghadap ke arah Sumangkar. Di antara suara tertawanya yang perlahan-lahan itu terdengar ia berkata, “Adi Sumangkar yang bijaksana. Apakah sebenarnya yang akan kau lakukan? Apakah kau masih ingin membunuh dirimu? Barangkali cara inipun akan dapat kau tempuh. Mati dikeroyok orang. Apakah cara ini juga dapat memberi kepuasan kepadamu?”

“Tidak. Aku hanya bersedia mati oleh tangan Kiai Gringsing yang cukup bernilai bagiku. Bukan karena tangan anak-anak ataupun siapa saja. Sumangkar akan bertahan sampai kesempatan yang terakhir. Kecuali kalau kau ikut serta dengan mereka. “

Kembali suara tertawa Kiai Gringsing mengumandang di pinggiran hutan itu, seolah-olah menelusur sampai ke kaki bukit. Katanya, “Untara. Naluri keprajuritan Adi Sumangkar masih terlalu tebal. Ia melihat murid kakak seperguruannya mati karena tusukan pedang. Ia melihat Macan Kepatihan bukan saja sebagai senapati yang dibanggakannya, tetapi Raden Tohpati adalah penerus dari perguruan Kedung Jati. Itulah sebabnya ia merasa kehilangan. Perasaan itu sedemikian menusuk hatinya, sehingga betapapun mengendapnya hati Adi Sumangkar, namun kadang-kadang ia kehilangan keseimbangan dalam kejutan yang tiba-tiba semacam ini. Harga dirinya sama sekali tidak tersentuh seandainya Macan Kepatihan itu tidak lebih dan tidak kurang dari panglima perangnya saja. Tetapi karena Macan kepatihan itu bersangkut-paut dengan perguruannya, maka ternyata sentuhan itu agak terlalu tajam baginya.”

Untara mendengar penjelasan itu, kata demi kata. Baginya apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu cukup jelas. Tidak lain adalah permintaan yang serupa seperti yang telah diucapkan. Pengampunan. Namun ternyata Kiai Gringsing mengucapkan dalam nada yang berbeda. Meskipun demikian, ia masih tetap berdiri tegak dengan pedang di dalam genggamannya siap untuk bertindak apabila keadaan memaksa.

Namun bagi Sumangkar, kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar telah melemahkan segala sendi tulangnya. Ia merasa seolah-olah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar untuk melihat dirinya sendiri. Kegugupan, kegelisahan, kecemasan, harga diri, putus-asa dan segala perasaan bercampur baur sehingga ia tidak menemukan keserasian nalar dan perasaan. Tiba-tiba orang tua itu menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing pun telah mencoba meredakan kemarahan Untara dan mencoba mencegah ia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyulitkan keadaan.

Sesaat suasana kembali menjadi sepi-senyap. Kembali di kejauhan terdengar suara burung hantu seperti mengetuk-ngetuk dada. Dan malampun serasa bertambah dalam.

“Adi Sumangkar” kembali terdengar suara Kiai Gringsing. “Bagaimana kalau aku ulangi kata-kata Macan Kepatihan? Bahwa sepeninggalnya perselisihan akan tidak berlangsung terus?”

Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya lirih, “Ya, Kakang.”

“Nah, sekarang marilah kita singkirkan perasaan harga diri kita masing-masing yang terlalu berlebih-lebihan. Sekarang lakukan yang kau kehendaki. Menguburkan Tohpati dengan baik menurut cara yang kau inginkan. Sesudah itu, kau akan kembali dan persoalan akan selesai. Begitu?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata Kiai Gringsing itu sama sekali tidak berbeda dengan kata-kata Untara. Tetapi kini ia telah menjadi semakin menyadari keadaannya. Bahkan kemudian ia berkata sambil membungkukkan kepalanya. “Baik Kakang. Aku akan menerima segala persoalan dengan senang hati. Kalau aku harus menerima pengampunan, biarlah aku mengucapkan terima kasih. Kalau aku akan menerima hukuman, biarlah hukuman itu akan aku jalani.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia melihat Untara akan mengucapkan sesuatu, cepat-cepat ia mendahului, “Sekarang, bukankah Adi Sumangkar akan kau persilahkan membawa Raden Tohpati. Ngger?”

Untara tertegun sejenak. Namun ia menganggukkan kepalanya. “Ya Kiai.”

“Dan kau akan menerimanya kembali kelak?”

Kembali Untara mengangguk, “Ya Kiai.”

“Bagus. Aku bukan panglima prajurit Pajang, bahkan seorang prajuritpun bukan. Tetapi, aku yakin bahwa Angger Untara memang akan berbuat demikian.”

Hati Untara itupun menjadi luluh pula melihat sikap Sumangkar yang kini seakan-akan melepaskan segala macam kepentingan sendiri. Bahkan harga dirinya sekalipun. Karena itu, maka terdengar Untara itupun kemudian berkata, “Silahkan Paman Sumangkar. Kesempatan itu akan Paman dapat seperti yang Paman kehendaki.”

Sekali lagi Sumangkar menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Aku akan membawa Angger Tohpati di antara anak buahnya. Aku akan mengucapkan kembali kata-kata terakhirnya, bahwa kematiannya akan menjadi pertanda bahwa perselisihan tidak akan berlangsung terus.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat dadanya terasa bergetar. Ada yang akan dikatakannya, namun ia menjadi bimbang. Namun setelah melalui beberapa pertimbangan ia berkata, “Demi kekuasaan yang ada padaku Paman Sumangkar, aku akan memberikan pengampunan kepada anak buah Macan Kepatihan yang dengan suka rela dan tulus menyerahkan dirinya. Namun seterusnya aku akan melakukan tugasku sebaik-baiknya, apabila ada di antara mereka yang menolak uluran tangan ini.”

Sekali lagi dada Sumangkar berdesir. Namun betapapun juga ia harus melihat kenyataan, memang sebenarnyalah bahwa perkataan Untara itu benar. Apa yang terjadi bukannya satu persetujuan antara seorang senapati Jipang dan seorang senapati Pajang. Tetapi yang terjadi adalah penyerahan. Manyerah karena tak ada lagi kekuatan untuk melawan.

Betapapun rasa sakit menghentak-hentak dada, namun Sumangkar tidak lagi membantah kata-kata senapati muda dari Pajang itu. Betapapun pahitnya kata-kata yang dipergunakan, menyerahkan diri, namun tidak ada lain yang dapat dilakukan untuk menghentikan kerusuhan-kerusuhan yang masih akan berkembang berlarut-larut. Meskipun bagi dirinya sendiri masih akan banyak dicari kemungkinan-kemungkinan lain, bahkan kemungkinan yang terakhir, yang baginya lebih baik daripada menyerah itu, yaitu mati, tetapi kematiannya tidak akan berarti apa-apa bagi ketenteraman yang akan dicarinya. Ketenteraman bagi rakyat Demak. Ketenteraman seperti yang dipesankan oleh Tohpati.

Bahkan kematian Tohpati pun akan tidak berarti apa-apa bila tanpa penyerahan dari anak buahnya. Malahan kerusuhan akan menjadi semakin memuncak, sebab sisa-sisa prajurit Jipang itu akan menjadi semakin tak terkekang. Namun mudah-mudahan hilangnya pemimpin mereka, akan memperlunak hati mereka. Mudah-mudahan mereka menjadi seakan-akan kehilangan pegangan. Dan dalam keadaan yang demikian, mereka akan mendengar kabar pengampunan yang diberikan oleh Untara, bagi mereka yang bersedia menyerahkan diri.

Tetapi bukan saja bagi Sumangkar kata-kata itu mengetuk hati. Widura yang mendengar kata-kata Untara itu mengangkat kepalanya. Sesaat hatinya bergelora. Namun kemudian ia berhasil mengendapkannya. Dalam saat yang pendek ia dapat mangerti maksud dari kemanakannya itu. Dan iapun kemudian tidak berkata apa-apa. Hatinya dikendalikannya. Sebagai seorang prajurit yang telah cukup berpengalaman, maka nalarnya mampu menguasai perasaannya yang melonjak-lonjak menghadapi keputusan itu.

Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa orang hampir bersamaan mendesak maju. Yang paling depan dari mereka adalah Swandaru. Dengan kalimat yang patah-patah karena desakan perasaannya yang bergejolak ia berkata, “Kakang Untara. Apakah artinya pengampunan itu?”

Untara mengerutkan keningnya. Terasa bahwa keputusannya mengejutkan beberapa anak buahnya sendiri. Dan barulah kini terasa bahwa seharusnya ia tidak tergesa-gesa mengucapkannya sebelum ia berbicara dengan beberapa orang pemimpin pasukan Pajang dan Sangkal Putung, serta memberi penjelasan kepada mereka. Namun kata-kata itu sudah diucapkannya, karena itu maka jawabnya , “Adi Swandaru. Kata-kataku cukup jelas. Aku akan memberikan pengampunan bagi mereka yang dengan suka rela menyerah, meskipun bukan pengampunan yang mutlak. Tetapi bagi mereka yang tidak mematuhi perintah itu, akan aku hancurkan sampai lumat.”

“Keputusan itu terlalu lunak. Kakang tidak memperhitungkan kesalahan dan bencana yang telah mereka timbulkan.”

Untara manggigit bibirnya. Ia dapat mengerti pertanyaan yang dilontarkan oleh Swandaru itu. Maka jawabnya, “Kau benar Swandaru. Tetapi kita tidak akan membiarkan diri kita terus menerus berada dalam suasana perang. Perkelahian demi perkelahian. Pertempuran demi pertempuran. Korban yang akan terus menerus berjatuhan. Dan kegelisahan yang semakin meningkat di antara rakyat.”

“Tidak!” tiba-tiba terdengar suara lain. “Mereka akan kita musnahkan dalam waktu yang singkat. Lihat, Kakang Citra Gati telah menjadi korban. Aku telah terluka dan beberapa anak buah telah terbunuh hanya dalam satu kali pertempuran, kali ini. Belum lagi terhitung dalam peperangan-peperangan yang lain. Apakah kita akan dapat melupakan korban-korban yang telah berjatuhan itu? Apakah kita dapat melihat kehadiran orang-orang yang tangannya bergelimang darah kawan-kawan kita itu hidup di antara kita sendiri dengan tenteram? Tidak. Hati kita akan selalu dikejar oleh perasaan tanggung jawab dan kesetia-kawanan.”

Untara berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya Hudaya berdiri dengan teguhnya sebagai menara baja. Di tangannya masih tergenggam pedangnya yang berjalur-jalur merah karena darah.

“Kau benar Hudaya,” sahut Untara, “kau benar. Swandaru pun benar. Tak ada lagi kini yang dapat menghalangi kita untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan Jipang yang sudah kehilangan pemimpinnya itu. Mereka telah menjadi demikian lemahnya sehingga kita akan dapat menumpasnya.”

“Nah, kenapa kita akan memberikan pengampunan?” teriak Hudaya yang disusul oleh Sendawa, “Kita musnahkan saja mereka.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Sedang Sumangkar yang berdiri di hadapannya bergeser setapak menghadap suara itu. Terasa dadanya yang pedih bertambah pedih. Lebih pedih dari tusukan pedang di dada itu. Tetapi ketika ia akan memotong kata-kata itu terasa Kiai Gringsing menggamitnya, sehingga Sumangkar itu hanya mendekap kepedihan itu di dalam hatinya.

“Kalian benar,” terdengar kembali suara Untara. “Kami akan dapat melakukannya. Dan hal itu pasti akan kita lakukan. Tetapi bagaimana dengan orang-orang Jipang yang kemudian menyesal atas segala perbuatannya? Bagaimanakah kemudian dengan musuh-musuh kita yang merasa dirinya bersalah dan ingin menghentikan perlawanannya? Tidak semua dari mereka tahu benar apa yang telah dilakukan. Nah, bagi mereka yang dengan jujur merasa bersalah dan menyerah, kita tunjukkan kebesaran jiwa kita. Sebagai mana Tuhan akan mengampunkan dosa-dosa kita, kitapun harus bersedia memaafkan kesalahan sesama. Tentu bagi mereka yang jujur. Tuhan melihat kejujuran dan kecurangan di hati kita. Tetapi kita tidak dapat melihat hati sesama. Namun kita mempunyai cara-cara untuk itu. Melalui penelitian dan percobaan. Nah, serahkanlah hal itu kepada pimpinan Pajang. Namun dengan demikian kita mengharap bahwa ketenteraman akan segera dapat dipulihkan. Sedang kita akan segera melihat, siapakah yang dapat kita maafkan, dan siapakah yang harus kita hancurkan. Meskipun aku harus mengatakan sekali lagi, bahwa pengampunan yang aku maksudkan, bukanlah pengampunan yang mutlak membebaskan mereka dari tanggung jawab atas segala perbuatan mereka.”

Untara itu berhenti sejenak. Dicobanya untuk melihat penilaian orang-orang yang berdiri di sekitarnya atas kata-katanya. Tetapi malam menjadi semakin gelap di pinggiran hutan itu, sehingga Untara menjadi sulit untuk dapat melihat setiap wajah dari anak buahnya.

Namun sesaat tak ada seorangpun yang menyahut. Batas hutan itu kembali diliputi oleh suasana yang sepi. Kembali terdengar semakin jelas suara burung hantu di kejauhan.

Dalam kesunyian itu terdengar kemudian suara Untara kembali. “Nah. Apakah kalian dapat mengerti maksudku?”

Jawaban Swandaru mengejutkan. Katanya, “Tidak.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia masih juga mendengar beberapa orang bergumam di antara mereka.

“Jadi bagaimana kenginanmu Swandaru?” bertanya Untara langsung kepada Swandaru.

Swandaru terkejut mendengar namanya disebut. Namun ia menjawab, “Dihancurkan sampai tujuh turunan.”

“Hem,” sekali lagi Untara menarik nafas. Kemudian katanya, “Jadi kita menutup pintu bagi mereka yang ingin menyerah tanpa kecuali? Jadi kita mengingkari penglihatan kita, bahwa ada di antara mereka yang berada di pihak Adipati Jipang hanya karena terpaksa dan kemudian tidak dapat melepaskan dirinya karena berbagai persoalan. Persoalan yang sangkut-menyangkut. Ketakutan mereka terhadap ancaman kawan sendiri, ketakutan mereka terhadap sikap para prajurit Pajang yang tidak dapat dimengertinya, ketakutan mereka terhadap bayangan mereka sendiri. Lebih-lebih bagi mereka yang pada saat belum ada persoalan antara Jipang dan Pajang tidak lebih dari seorang hamba dan prajurit Kadipaten. Mereka tidak menyadari apa yang akan terjadi atas mereka. Dan bahkan mereka telah mengutuk Arya Penangsang sedalam lautan. Namun mereka tidak melihat jalan kembali, sehingga mereka harus, mau tidak mau, turut serta dalam peperangan melawan kita. Kepada mereka itulah kita akan mencoba membuka pintu.”

“Bagaimana kita dapat membedakan satu dengan yang lain di antara mereka? Bagaimana kalau kemudian orang-orang semacam Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda datang memenuhi seruan itu?” bertanya Hudaya dengan suara parau bergetar.

“Mereka harus menghadapi pertanggungan jawab. Mereka yang benar-benar sadar akan perlawanannya, kepada mereka itu akan berlaku hukuman yang akan diberikan oleh pimpinan Pajang melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku.”

“Sesudah mereka membunuh banyak orang di antara kita?” desak Sendawa.

“Ya. Kita akan memperhitungkan setiap perbuatan mereka. Sebab mereka telah melakukannya dengan sengaja dan sepenuh kesadaran mereka.”

Kembali mereka terlempar dalam kesepian. Swandaru, Hudaya, Sendawa dan banyak lagi di antara mereka yang menjadi pening. Mereka tidak mengerti arti dari pengampunan yang diberikan oleh Untara. Tetapi mereka mencoba untuk melihat, apakah yang kelak akan terjadi. Betapa perasaan mereka melonjak-lonjak, tetapi mereka tidak dapat berdebat dengan senapati mereka. Sebagai seorang prajurit mereka masih cukup menyadari kedudukan mereka. Karena itu merekapun berdiam diri. Meskipun bukan berarti bahwa mereka sependapat dengan senapatinya.

Untarapun kemudian tidak ingin berbantah terlampau lama. Ia akan memberi penjelasan nanti kepada anak buahnya di kademangan, atau kepada beberapa orang yang penting, untuk di teruskan kepada setiap prajurit dan orang Sangkal Putung. Ia sendiri dapat merasakan betapa beratnya keputusan yang diambilnya itu. Namun salah satu saran yang pernah di dengar langsung dari Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan, adalah pengampunan semacam itu atas mereka yang sama sekali tidak turut bertanggung jawab terhadap persoalan antara Jipang dan Pajang sepeninggal Sultan Trenggana.

Karena itu, maka kemudian ia berpaling kepada Sumangkar yang masih berdiri dengan tegangnya. “Paman Sumangkar ambillah tubuh Macan Kepatihan. Terserah kepada paman, apakah yang akan Paman lakukan.”

Sumangkar tersadar dari ketegangan yang mencengkamnya. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Lalu berlahan-lahan ia melangkah mendekati tubuh Tohpati yang terbaring membeku.

“Terima kasih Ngger,” katanya, “biarlah anak buahnya melihatnya. Dan biarlah peristiwa ini menimbulkan kesan-kesan baru terhadap sikap mereka selama ini.”

“Bagus” sahut Untara.

Sumangkar kemudian mengangkat tubuh itu dan disangkutkannya di atas pundaknya. Sekali ia memandang berkeliling, atas orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Kemudian ia melangkah surut sambil berkata, “Aku akan meninggalkan tempat ini atas ijin Angger Untara.”

“Silahkanlah Paman” berkata Untara.

Sejenak kemudian Sumangkar itu melangkah di antara beberapa orang yang menyibak memberinya jalan. Sesaat kemudian bayangan itupun masuk ke dalam gelap malam di antara dedaunan yang rimbun.

Sepeninggal Sumangkar tiba-tiba Untara berkata, “Sedayu, ada perintah untukmu.”

Sedayu terkejut, selangkah ia maju. Dengan wajah yang bertanya-tanya ia menunggu perintah yang dikatakan oleh kakaknya.

“Ikuti Paman Sumangkar dengan diam-diam. Kau harus dapat melaporkan kepadaku, di mana letak perkemahan mereka dengan tepat. Sudut-sudut yang lemah dan penjagaan-penjagaan yang ada di antara mereka.”

Agung Sedayu terkejut mendengar perintah itu. Namun tidak ada kesempatan untuk mempersoalkannya. Kakaknya menyebutnya dengan perintah. Perintah seorang senapati harus dilakukannya betapapun beratnya. Mengikuti Sumangkar bukanlah pekerjaan yang mudah. Orang itu adalah seorang yang sakti, yang pendengarannya jauh lebih tajam dari pendengarannya sendiri.

Meskipun demikian, dada Agung Sedayu dijalari pula oleh suatu perasaan yang tidak dapat diingkarinya. Bangga, namun juga cemas. Bangga atas tugas yang dipercayakan kepadanya, tidak kepada orang lain. Namun ia cemas bahwa ia akan gagal melakukannya. Bukan karena ia tidak berani, tetapi disadarinya sepenuhnya, siapa yang dihadapinya kali ini.

Dalam pada itu terdengar kakaknya berkata, “Agung Sedayu kau harus kembali sebelum malam besok.”

Tanpa berpikir Agung Sedayu menjawab, ”Baik Kakang.”

“Nah, cepat berangkat. Kalau kau terlambat kau akan kehilangan jejak Paman Sumangkar.”

“Baik Kakang,” sahut Sedayu pula.

Namun sebelum Sedayu berangkat, terdengar Kiai Gringsing berkata, “Apakah kau sungguh-sungguh, Untara.”

Untara berpaling. Ditatapnya wajah Kiai Gringsing. Kemudian jawabnya, “Tentu, Kiai. Aku memerlukan laporan tentang daerah lawan, keadaannya, kekuatannya dan segala macam persoalan yang mungkin dapat kita perhitungkan dalam setiap saat dan keadaan yang perlu.”

“Bukankah kau mempunyai beberapa orang pembantu dan bahkan ada yang dekat dengan lingkungan mereka?”

“Aku kurang mempercayainya seperti aku mempecayai Agung Sedayu. Mungkin aku berhadapan dengan ular berkepala dua, karena itu aku harus mencocokkan keadaan, sebelum aku melakukan tindakan terakhir. Bukankah Sumangkar akan menunjukkan jalan itu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kenapa Agung Sedayu, bukan orang lain, Angger Widura misalnya?”

Untara menggigit bibirnya. Sesaat ia terdiam, namun kemudian ia menjawab, “Paman Widura adalah pimpinan prajurit Sangkal Putung. Ia tidak dapat meninggalkam tugasnya.”

“Bagus, bagus,” desah Kiai Gringsing, “kau cerdik Untara.”

“Kenapa?” bertanya Untara.

“Tidak apa-apa” sahut Kiai Gringsing. “Pergilah Agung Sedayu.”

“Baik Kiai” sahut Agung Sedayu. Kemudian dengan ringkas ia mohon diri kepada kakak dan pamannya. “Aku berangkat Kakang, dan aku minta doa Paman Widura, semoga berhasil.”

Widura berdiri tegak seperti patung. Ia menyadari bahaya yang dapat terjadi atas kemanakannya. Sumangkar bukan orang yang setingkat dengan anak muda itu, karena itu ia ragu-ragu melepaskannya. Meskipun demikian, perintah itu datang dari senapati yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang, karena itu dengan hati berat ia menjawab, “Hati-hatilah Agung Sedayu. Tugasmu terlampau berat.”

Agung Sedayu tidak berkata apa-apa lagi. Ia takut kehilangan jejak. Karena itu, segera ia melangkah, meninggalkan kakaknya, pamannya dan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.

Swandaru yang tertegun keheranan atas perintah itu, tiba-tiba seperti orang tersadar dari mimpi. Terbata-bata ia berkata, “Aku ikut serta Kakang Sedayu.”

Sebelum Sedayu menjawab, terdengar Untara menyahut. “Jangan Swandaru. Biarlah ia berjalan sendiri.”

Yang mendengar jawaban Untara itupun menjadi heran pula. Apakah sebenarnya maksud Untara dengan perintahnya kepada adiknya itu. Perintah yang sangat berbahaya dan hampir-hampir tak masuk akal mereka. Agung Sedayu harus mengikuti jejak orang sesakti Sumangkar.

Namun kemudian mereka benar-benar harus melepaskan Agung Sedayu. Mereka hanya dapat memandang anak muda itu berjalan dan menghilang di dalam gelap searah dengan menghilangnya Sumangkar.

Demikian Agung Sedayu masuk ke dalam hutan, demikian ia merasa terlempar ke dalam suatu daerah kelam yang sama sekali tak dikenalnya, yang dapat dilihatnya hanyalah tabir hitam pekat menyelubunginya. Satu-satu ia dapat melihat remang-remang pepohonan yang sudah sedemikian dekat dengan hidungnya. Namun yang lain tak dapat dilihatnya.

Barulah ia kini menyadari, betapa sulit tugas yang dibebankan kepadanya. Ia tidak tahu, ke mana ia harus berjalan dan bagaimana mungkin ia dapat mengikuti jejak orang yang bernama Sumangkar. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kaki, desah nafas dan apalagi melihatnya.

Tetapi ia tidak dapat kembali. Ia telah berangkat membawa tugas Karena itu tugas itu harus dilakukannya sebaik-baiknya. Apapun yang akan terjadi.

Sekali-sekali timbul di dalam hatinya perasaan-perasaan aneh seperti yang pernah dimilikinya dahulu. Gendruwo bermata satu, macan putih dari Lemah Tengkar, hantu berwajah tampan dari Gunung Gowok. Satu-satu kenangan itu timbul tenggelam di dalam benaknya. Namun Agung Sedayu kini bukanlah Agung Sedayu yang dahulu. Meskipun perasaannya tentang hal-hal serupa masih saja sering membuat lehernya meremang.

Agung Sedayu itu pun kemudian berjalan setapak demi setapak maju. Tangan kirinya meraba-raba batang-batang pohon yang dilampauinya, sedang lengan kanannya kadang-kadang meraba hulu pedangnya, di lambung kiri. Setiap saat ia memerlukan pedang itu, sebab setiap saat ia akan bertemu dengan bahaya.

Setelah agak lama Agung Sedayu berada di dalam gelapnya hutan, maka perlahan-lahan matanya dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Perlahan-lahan ia dapat melihat beberapa bagian hutan itu di sekitarnya. Bahkan ketika ia menengadahkan wajahnya, ia masih dapat melihat bayangan langit yang gelap karena mendung yang mengalir dari Selatan di celah-celah dedaunan. Namun di antara awan yang kelabu itu, Agung Sedayu kadang-kadang melihat seleret bintang seolah-olah berkeredip kepadanya.

“Hem” Agung Sedayu menarik nafas. Ia masih belum tahu sama sekali, ke mana ia akan pergi. Ia menjadi cemas; jangan-jangan akan tersesat dan tidak dapat menemukan jalan keluar.

Tetapi bagaimanapun perasaannya bergolak, namun Agung Sedayu itu berjalan terus. Ia tidak tahu, apakah ia akan dapat bertemu dengan jejak Sumangkar atau tidak. Tetapi ia begitu saja memilih jurusan tanpa diketahui arahnya.

Dengan hati-hati Agung Sedayu berjalan terus. Setiap kali ia berhenti memperhatikan kalau-kalau ia mendengar sesuatu. Mungkin langkah seseorang atau mungkin tarikan nafasnya. Tetapi yang didengarnya hanyalah desir angin yang menggerakkan dedaunan. Gemerisik lambat-lambat.

Agung Sedayu berjalan terus. Perlahan-lahan di antara semak-semak yang tumbuh di bawah pepohonan yang besar. Agung Sedayu tidak saja harus hati-hati menghadapi lawan-lawannya, tetapi ia harus hati-hati pula menghadapi segala macam binatang. Lebih-lebih lagi ular. Binatang yang sangat berbahaya dan hampir-hampir tak dapat dilihatnya bagaimana binatang itu menyerang.

Dalam keremangan malam yang gelap itu, tiba-tiba Agung Sedayu melihat sesuatu. Ia melihat gerumbul-gerumbul tumbuh tidak wajar. Namun kemudian ia mengambil kesimpulan, bahwa gerumbul itu baru saja diterobos oleh seseorang. Tidak hanya seseorang menilik dahan-dahan yang patah dan daun yang terinjak-injak.

Dengan saksama Agung sedayu mencoba memperhatikan gerumbul-gerumbul itu. Lama sekali, sebab malam pun gelap sekali. Hampir ia mengamat-amati setiap daun dan ranting. Diraba-raba dengan tangannya. Akhirnya Agung Sedayu berkesimpulan, bahwa bukan Sumangkar yang ditemukannya jejaknya, tetapi prajurit Jipang yang mengundurkan diri.

“Bukankah sama saja,” pikir Agung Sedayu, “kedua-duanya membawa aku ke sarang mereka.”

Tetapi dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin menyadari, betapa sulitnya pekerjaannya. Betapa bahaya yang dihadapinya. Mungkin ia akan bertemu dengan beberapa orang dari prajurit Jipang yang mengundurkan diri itu. Dan ia harus bertempur di dalam hutan. Meskipun ia sering berlatih bertempur malam hari dengan pamannya dan kakaknya Untara, namun bertempur di dalam hutan yang gelap, memerlukan kecakapan yang khusus.

“Jangan-jangan anak buah Macan Kepatihan sudah terlalu biasa bertempur dalam gelap” katanya di dalam hati. Namun ditepiskannya untuk menghibur dirinya sendiri. “Ah, tidak. Mereka masih memerlukan obor waktu mereka menyerang Sangkal Putung di malam hari. Kalau demikian, maka kita akan mendapat kemungkinan yang sama apabila kita harus bertempur di malam gelap.”

Kembali Agung Sedayu maju perlahan-lahan. Ia tidak mau kehilangan jejak. Setiap kali ia berhenti mengamat-amati setiap dahan-dahan perdu yang patah dan daun-daun yang tersibak. Ditelusurinya bekas-bekas itu selangkah demi selangkah. Dan ia tidak mau jejak itu terputus.

“Mereka berjalan tergesa-gesa,” pikir Agung Sedayu seterusnya, “sehingga jejak mereka menjadi sangat jelas. Mudah-mudahan aku dapat menemukan sarang mereka.”

Semakin lama Agung Sedayu tenggelam semakin dalam ke hutan itu. Sedang malam pun semakin lama menjadi semakin dalam tenggelam ke pusatnya. Dalam pada itu Agung sedayu pun menjadi semakin mengenal jejak-jejak yang harus diikutinya.

Namun kemudian terasa tubuhnya semakin lama menjadi semakin penat. Sehari ia bertempur. Sehari ia tidak makan dan minum kecuali makan pagi. Karena itu, kini terasa, betapa ia lapar dan haus. Dengan demikian langkahnya pun menjadi semakin lambat, bahkan kemudian ia berpikir, “Apakah tidak lebih baik aku beristirahat? Besok apabila hari menjadi terang, aku pasti akan dapat menemukan sarang mereka.”

Namun kemudian timbullah pikirannya yang lain, “Tetapi di siang hari kedatanganku pasti segera diketahui oleh mereka. Padahal besok sebelum malam aku harus sudah melaporkannya kepada Kakang Untara.”

Agung Sedayu menjadi bimbang. Akhirnya, betapapun letihnya, betapapun haus dan lapar, ia berjalan terus. Ia mengharap dapat menemukan tempat itu, kemudian ia mengharap hujan turun supaya ia mendapatkan air untuk minum.

“Tetapi apabila hujan turun, aku akan kehilangan jejak. Dan mungkin aku tidak akan dapat kembali menemukan jalan ini” pikirnya.

“Ah, aku harus membuat tanda-tanda sendiri” desisnya tiba-tiba .

Agung Sedayu itu pun segera menarik pedangnya. Ia ingin membuat tanda-tanda yang lebih jelas dengan pedang itu, supaya besok ia tidak tersesat pulang apabila hujan menghapuskan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh orang-orang Jipang. Apabila daun-daun yang tersibak itu akan menjadi kabur karena hujan, dan karena daun-daun itu ditundukkan oleh air hujan yang lebat.

Dengan pedangnya, Agung Sedayu membuat goresan-goresan yang dalam pada batang-batang pepohonan, dan memotong dahan-dahan yang agak besar. Membuat tanda-tanda dengan menancapkan beberapa potong kayu di tanah dan berbagai macam yang lain dengan sangat teliti, supaya suaranya tidak mengganggu ketenangan malam di dalam hutan itu.

Ketika kemudian terdengar burung hantu di kejauhan, kembali leher Agung Sedayu meremang. Burung hantu mempunyai kesan yang khusus bagi yang mendengarnya. “Ah,” katanya di dalam hati, “suara itu adalah suara burung hantu. Ia tidak dapat bersiul dengan cara yang lain, seperti burung kepodang misalnya.” Namun meskipun demikian, setiap bunyi burung itu, terasa sebuah ketukan di jantungnya.

Tetapi Agung Sedayu itu tiba-tiba tertegun. la mendengar sebuah suara yang lain. Bukan suara burung hantu. Perlahan-lahan, namun terus menerus.

Agung Sedayu itu pun berhenti. Diperhatikannya suara itu dengan saksama. Suara itu bukan suara binatang. Tetapi suara itu adalah suara seseorang.

Agung Sedayu menarik nafas. Pedangnya masih di dalam genggamannya, dan dengan ujung pedang mendatar setinggi perutnya ia berjalan dengan sangat hati-hati.

Dengan penuh kewaspadaan ia mengamat-amati keadaan. Mencoba menangkap setiap suara dan melihat setiap gerak. Namun keadaan di hutan itu terlampau sepi. Dan suara itu masih saja, didengarnya.

Agung Sedayu itu pun kemudian berhenti. Semakin lama, semakin jelas, bahwa suara itu adalah suara rintihan seseorang.

“Siapa?” desis Sedayu di dalam hatinya.

Tetapi Agung Sedayu tidak segera mendekatinya. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Apakah suara itu suara rintihan seseorang yang terluka dalam suatu perkelahian? Kalau demikian maka lawan orang itu pasti masih ada di sekitarnya dalam keadaan yang baik. Tetapi bagaimana kalau karena sebab lain?

Agung Sedayu itu pun kemudian malahan mencoba mencari perlindungan di belakang dedaunan. Mungkin sesuatu terjadi. Namun beberapa saat kemudian rintihan itu masih saja didengarnya. Selain itu sepi, sehingga Agung Sedayu itu menjadi tidak sabar. Meskipun ia tidak kehilangan kewaspadaan, namun ia berusaha mendekatinya. Perlahan-lahan, menyusur gerumbul-gerumbul yang cukup pekat. Agung Sedayu masih cukup sadar, bahwa bahaya mungkin akan menerkamnya dengan tiba-tiba. Karena itu, maka setiap gerak selalu disertai dengan kesiagaan tertinggi.

Tetapi suara itu masih saja didengarnya. Terus menerus dan dari arah yang sama. Maka dengan tidak banyak kesukaran Agung Sedayu kemudian berhasil mendekatinya.

Ketika Agung Sedayu telah berada beberapa langkah saja dari suara itu. Agung Sedayu berhenti. Ia kini berada di dalam sebuah gerumbul kecil. Sekali-sekali terasa tubuhnya tersentuh beberapa macam tumbuh-tumbuhan berduri. Namun ia berdiri saja tidak bergerak. Bahkan ia mencoba menguasai suara pernafasannya.

Dan suara itu masih saja didengarnya. Sebuah rintihan yang panjang. Terus menerus tidak henti-hentinya. Ketika Agung Sedayu mencoba mengamati keadaan di sekelilingnya, maka tiba-tiba dilihatnya orang itu. Orang yang merintih-rintih dengan pedihnya.

Dalam keremangan. malam, Agung sedayu melihat tubuh orang itu tergolek di tanah, di antara pohon-pohon perdu.

Sesaat Agung Sedayu masih tegak di tempatnya. Ia masih ragu-ragu, apakah orang itu benar merintih karena sesuatu penderitaan jasmaniah, atau karena sebab-sebab lain. Bahkan dalam keadaan serupa itu, Agung Sedayu dapat berprasangka bahwa orang itu sebenarnya sama sekali tidak menderita apapun, namun dengan sengaja telah memancingnya untuk mendekat. Adalah berbahaya sekali apabila tiba-tiba orang itu menyerangnya selagi ia kehilangan kewaspadaan.

Namun suara orang itu selalu menyentuh-nyentuh perasaannya. Rintihan itu terdengar sedemikian pedihnya. Bahkan beberapa kali ia mencoba untuk memanggil beberapa nama. Tetapi Agung Sedayu tidak begitu jelas mendengarnya.

Akhirnya Agung Sedayu, yang perasaannya mudah tergetar karena bermacam-macam hal dan keadaan, menjadi tidak sabar lagi.

Seakan-akan ia melihat seseorang yang sedang bergulat melawan maut. Itulah sebabnya, maka dengan sangat hati-hati ia melangkah maju lagi. Pedangnya terjulur lurus-lurus ke arah tubuh yang terbaring itu. Setiap gerakan akan cukup menjadi alasan untuk sekali loncat dan pedangnya akan membenam di tubuh itu.

Tetapi tubuh itu terbaring diam. Hanya suara rintihannya sajalah yang terdengar menggamit hati.

Ketika jarak orang itu tinggal beberapa langkah lagi, Agung Sedayu berhenti. Ditatapnya tubuh yang tergeletak itu dengan saksama. Namun dalam keremangan malam, ia sama sekali tidak dapat mengetahui, apakah ada sesuatu cedera jasmaniah pada orang itu.

Dalam keadaan yang penuh dengan keragu-raguan dan ketegangan terdengar Agung Sedayu berdesis, “Siapa kau, dan kenapa kau terbaring di situ?”

Orang yang merintih itu agaknya mendengar suaranya. Dengan suara yang parau dan tertahan-tahan ia menyapa lirih, “Siapakah kau?”

“Aku bertanya siapa kau?” sahut Agung Sedayu curiga.

Agung Sedayu melihat orang itu bergerak. Selangkah ia meloncat surut, dan pedangnya terjulur lurus ke depan. Namun orang itu tidak bangkit dan suara rintihannya kembali terdengar.

Tetapi Agung Sedayu masih saja dicengkam kebimbangan, karena ia belum memliki pengalaman yang cukup menghadapi berbagai keadaan yang belum dikenalnya. Yang terdengar kemudian adalah desis yang sayu, “Aku hampir mati karena lukaku. Apakah kau dapat memberi aku air?”

“Air?” ulang Agung Sedayu.

“Ya, kerongkonganku serasa kering.”

Agung Sedayu menjadi bingung, Darimana ia mendapatkan air, sedang ia sendiri haus bukan main. Karena itu maka jawabnya,”Sayang. Aku tidak tahu kemana aku harus mencari air.”

“Oh,” orang itu mengeluh, lalu katanya, “siapakah kau?”

“Kau siapa? Dan kenapa kau terluka?

“Prajurit Pajang lah yang telah melukai aku.”

Dada Agung Sedayu berdesir. Cepat ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa orang itu adalah orang Jipang. Tetapi kenapa ia terbaring sendiri di tengah-tengah hutan ini? Apakah ini bukan sekedar pancingan untuk menjebaknya.

Tetapi Agung Sedayu telah terlanjur berdiri didekat orang itu, karena itu maka ia bertanya pula, “Hem. Kenapa kau dilukainya?”

Orang yang terbaring itu menjawab sayup-sayup, “Kami sedang berperang. He, siapakah kau? Apakah kau bukan kawan kami ?”

Agung Sedayu berbimbang sesaat. Kemudian jawabnya, ”Bukan.”

“Oh, apakah kau orang Pajang? Kalau begitu selesaikan pekerjaanmu. Bunuhlah aku dari pada aku tersiksa disini?”

“Kemana kawan-kawanmu?”

“Aku tidak tahu. Aku berjalan di ujung belakang karena lukaku, sehingga tubuhku menjadi sangat lemah. Ketika aku terjatuh disini, tak seorangpun yang melihatnya.”

Agung Sedayu terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengurai persoalan yang dihadapinya itu. Namun kata-kata orang yang terbaring itu masuk di akalnya. Meskipun demikian ia tidak dapat segera mempercayainya. Maka kembali ia bertanya, ”Orang manakah kau? Dan kenapa kau berperang dengan orang Pajang?”

Orang itu tidak segera menyawab. Dicobanya untuk bergerak, tetapi kemudian terdengar ia mengeluh panjang, ”Aku sudah tidak dapat menggerakkan tubuhku sama sekali. Darahku sudah terlampau banyak mengalir. Karena itu aku tidak perlu merahasiakan diriku lagi. Aku adalah prajurit Jipang. Apakah kau bukan orang Pajang?”

Kembali Agung Sedayu terdiam sesaat. Bagaimana ia harus menyawab pertanyaan itu. Namun sehelum ia menyawab, terdengar suara lemah dan parau dari orang yang terbaring itu, ”Kalau kau orang Pajang kau pasti tahu, kenapa kami berperang melawan prajurit Pajang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Baru kemudian menjawab, ”Ya. Aku memang orang Pajang.”

Orang yang terbaring itu menggeram. Kemudian katanya, ”Bagus. Kenapa kau bertanya segala macam sebab peperangan ini? Kau hanya berpura-pura untuk memancing pendirianku. Sekarang bunuhlah aku daripada aku menderita.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kenapa kawan-kawanmu tidak menolongmu?”

“Apa kepentinganmu menanyakan itu? Bukankah kau telah membunuh kawan-kawanku pula. Sekarang apa yang kau tunggu lagi? Hadiahmu akan bertambah sehelai kampuh karena kau berhasil membunuh seorang lagi dari antara kami.”

“Jangan berkata begitu.”

“Kenapa?”

“Di dalam peperangan kita saling membunuh. Itu bukan kemauan kita orang seorang. Tetapi kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tak dapat kita hindari. Bukankah kau merasakannya juga.”

Terdengar nafas orangyang terbaring itu terengah-engah. Rupa¬rupanya di dalam dadanya yang semakin lemah itu telah menyala api kemarahan yang membakar segenap darah dagingnya. “Persetan” geramnya. Namun terdengar suaranya menjadi semakin dalam, ”Sekarang bunuhlah aku supaya aku tidak membunuhmu. Bukankah di dalam peperangan hanya ada satu pilihan dari dua kemungkinan, membunuh atau dibunuh?”

“Kita sekarang tidak berada dalam peperangan. Kita dapat menemukan kemungkinan yang lain” sahut Agung Sedayu.

“Kenapa kau mengingkari tugasmu sebagai seorang prajurit? Bunuhlah musuhmu. Habis perkara.”

“Seorang prajurit bukanlah seorang manusia yang biadab. Prajurit harus memiliki sifat kejantanan, namun harus memiliki pula sifat-sifat kesatria.”

Agung Sedayu berhenti sesaat. Ketika orang yang terbaring itu tidak menyahut, maka diteruskannya, ”Seorang kesatria harus memiliki pengabdian yang lengkap. Bukan saja pengabdian lahiriah. Pengabdian kepada tanah tumpah darah, kepada kampung halaman, tetapi harus juga memiliki pengabdian rohaniah. Pengabdiannya kepada tanah tumpah darah, kepada kampung halaman harus dilambari atas pengabdian dan kebaktiannya kepada Sumber Hidupnya dan kepada kemanusiaan.”

“Jangan sesorah. Aku tidak dapat mendengar lagi,” sahut orang itu terbata-bata, ”kalau benar kau memiliki sifat-sifat yang tajam dalam pengabdianmu atas kemanusiaan, kenapa kau tidak membunuh aku? Supaya aku tidak menderita?”

“Kau belum mati. Setiap nyawa yang masih melekat ditubuhnya masih ada kemungkinan untuk hidup terus. Kalau aku membunuhmu dengan dalih kemanusian, maka kemanusiaan yang demikian adalah kemanusiaan yang tidak berpijak pada Sumber Hidupnya, kepada Tuhannya.”

“Dalam peperangan kau juga membunuh.”

“Bukankah kita membunuh karena kita ingin menghindarkan pembunuhan yang lebih besar? Kita membunuh dalam batas-batas peri kemanusiaan. Sebab kita mempunyai keyakinan bahwa kita sedang mempertahankan unsur kemanusiaan yang lebih besar. Kita menghindarkan pembunuhan yang bakal terjadi karena perbuatan lawan kita atas kami dan keluarga kami. Meskipun cara yang dipergunakan berbeda-beda. Bahkan pembunuhan dengan cara perlahan-lahan adalah lebih mengerikan. Kalau musuh kita merampas segala milik kita, menindas kita dan memperlakukan kita diluar batas peri-kemanusiaan, itu adalah sama kejamnya dengan pembunuhan itu sendiri. Penghisapan, pemerasan, dan pengingkaran atas keadilan dan kebenaran sejati.”

Orang yang terbaring itu tidak menyahut.

“Ki Sanak. Lukamu agak parah. Kau tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi bagi kami. Karena itu aku tidak dapat membunuhmu. Tetapi aku tidak mempunyai alat dan cara untuk menolongmu.”

Orang tu masih terdiam.

“Bagaimana?”

Terdengar keluhan yang panjang dari mulut orang yang terbaring itu. Kemudian katanya, “Terserah kepadamu. Kalau kau tidak mau membunuhku, aku tidak dapat memaksamu.”

“Kenapa kawan-kawanmu meninggalkan kau sendiri?”

“Mereka tidak mengetahuinya. Aku terjatuh jauh dibelakang mereka. Dan suaraku tidak cukup keras untuk memanggil mereka.”

“Apakah mereka belum lama lewat disini?”

“Belum.”

“Apakah Paman Sumangkar juga baru saja lewat disini?”

“Sumangkar? la adalah juru masak kami, ia tinggal di perkemahan.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Meskipun tidak diketahuinya, apakah benar kata orang itu bahwa Sumangkar seorang juru masak, namun menurut orang itu ternyata ia belum lewat tempat ini.

Karena itu, maka kembali Agung Sedayu berdebar-debar. Kalau saja Sumangkar itu lewat dan melihatnya; apakah katanya? Tetapi kembali timbul keragu-raguannya. Sumangkar sudah berjalan lebih dahalu, apalagi ia seorang sakti yang telah mengenal daerah dengan baik. Mustahil kalau Sumangkar dapat dilampauinya.

Maka kemudian ia bertanya,”Apakah ada jalan lain ke perkemahanmu selain jalan ini?”

“Ada seribu jalan.”

“Kenapa seribu?”

“Seribu jalan atau tak ada jalan sama sekali. Semua arah dapat dilalui. Semua arah merupakan hutan yang pepat.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua kata-katanya masuk akal baginya. Terasa orang yang telah terluka itu berkata seadanya. Seakan-akan tak ada yang disembunyikannya lagi. Meskipun demikian Agung Sedayu tetap tidak kehilangan kewaspadaan. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dan sekali lagi ia mendengar orang itu mengerang,, ”Aku sangat haus.”

Timbullah iba yang dalam dihati Agung Sedayu. Tetapi apa yang akan dilakukannya? Ketika ia melangkah semakin dekat, ujung pedangnya sama sekali tidak bergeser dari arah tubuh orang yang terbaring itu. Agung Sedayu kemudian melihat sesuatu terletak disampingnya. Sebatang tombak. Agaknya tombak itu adalah senjatanya.

“Kau tak perlu bersiaga,” desah orang itu, “aku tidak kuat lagi mengangkat tombakku. Ambillah dan tusukan ke dadaku. Aku sudah tidak mampu melawan.”

“Tidak” sahut Sedayu. Namun pedangnya tidak juga menunduk.

Orang itu mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena ibanya.

Dalam pada itu kebimbangan di dadanya menjadi kian melonjak-lonjak. Tetapi semakin dekat, Agung Sedayu dapat merasakan, betapa nafas orang itu terengah-engah. Perlahan-lahan erangnya menyentuh hatinya.

“Apakah lukamu parah?”

“Hampir mencabut nyawaku. Aku ingin itu lekas terjadi.”

“Jangan,” potong Agung Sedayu.

Orang itu tidak menyawab. Dalam keadaan yang tegang Agung Sedayu mencoba mencari jalan untuk dapat menolong orang itu. la kini telah menemukan jejak yang dapat membawanya ke perkemahan orang-orang Jipang. Kalau ia dapat menolong orang ini, membawanya menepi dan keluar dari hutan ini: mungkin orang ini akan tertolong. Seterusnya ia dapat meninggalkannya di tepi hutan setelah diberinya minum, atau menyerahkannya kepada kawan-kawannya apabila masih ada yang dapat dijumpai di bekas-bekas pertempuran. Mereka yang bertugas merawat orang yang terluka.

Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana kalau dengan demikian tugasnya terlambat. Bagaimana kalau kemudian hujan yang lebat menghapus bekas-bekas jejak orang-orang Jipang, sehingga ia tidak dapat menemukannya lagi? Bagaimanakah kalau perintah yang harus dilakukannya itu gagal?

Agung Sedayu menjadi bimbang. Disatu pihak ia merasa wajib melakukan tugasnya, namun di lain pihak ia merasa wajib menolong jiwa yang sedang berjuang melawan maut.

Dalam keragu-raguan itu Agung Sedayu bahkan berdiri saja ditempatnya seperti patung. Sekali-sekali ia ingin meneruskan perjalannya, namun sesaat kemudian rintih orang yang terluka itu seakan-akan menggores dalam di jantungnya.

Dalam kegelapan malam Agung Sedayu mencoba memperhatikan tubuh itu sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ia melangkah semakin dekat lagi.

“Kau ingin melihat luka itu?” desah orang yang terbaring itu.

Tanpa sesadarnya Agung Sedayu berkata, ”Ya.”

“Mendekatlah. Lambungku sobek karena tusukan tombak orang Pajang.”

Agung Sedayu mendekatkan wajahnya. Pedangnya kini bahkan telah melekat di dada orang itu. Sehingga akhirnya ia dapat melihat luka itu. Benar-benar sebuah luka yang parah. Darahnya masih saja mengalir tak henti-hentinya. Karena itu, maka tiba-tiba ia menggeser pedangnya, dan meraba luka itu dengan sebelah tangannya.

Orang itu’ mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena ibanya.

Dalam pada itu kebimbangan di dadanya menjadi kian melonjak-lonjak. Ketika ia sibuk mempertimbangkan keputusan yang akan di ambilnya, maka hutan itu menjadi sepi. Betapapun orang yang terbaring itu mencoba menahan diri, namun masih juga terdengar ia mengeluh.

“Aku sangat haus” katanya.

“Disini tidak ada air” sahut Sedayu.

Orang itu terdiam. Agung Sedayupun terdiam pula.

Namun tiba-tiba Agung terkejut. Ia mendengar gemerisik daun disampingnya. Cepat ia menegakkan pedangnya. Dengan satu loncatan ia telah tegak diatas kedua kakinya yang kokoh. Pedangnya telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.

Gemerisik dedaunan itu masih di dengarnya. Bahkan semakin jelas. Dan tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh muncul dari dalam rimbunnya dahan perdu. Bukan sesosok tubuh saja, tetapi sesosok orang lain tergantung dipundaknya.

“Paman Sumangkar” desis Agung Sedayu.

Sumangkar memandangi Agung Sedayu dengan tajamnya. Seakan-akan mata itu dapat menyala di dalam gelap. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram, ”Angger Agung Sedayu, kenapa Angger berada ditempat ini?”

Agung Sedayu menjadi bimbang. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu? Karena itu untuk sesaat ia berdiam diri. Namun keringat dinginnya telah membasahi seluruh tubuhnya.

Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata perlahan-lahan, ”Aku sudah menyangka, bahwa seseorang pasti akan mengikuti jalanku.”

Agung Sedayu masih berdiri kaku tegang di tempatnya, seakan-akan anak muda itu membeku. Namun tanpa dikehendakinya sendiri pedangnya perlahan-lahan terangkat dalam genggamannya yang semakin kuat.

Yang terdengar adalah suara Sumangkar, ”Ternyata dugaanku tepat. Malahan Angger Agung Sedayu sendiri yang telah mendapat kehormatan mengikuti jejakku. Namun agaknya Angger terlalu tergesa-gesa. Angger tidak mencari jejakku, tetapi Angger telah terjerumus ke dalam bekas-bekas jejak orang-orang Jipang yang mengundurkan diri.”

Agung Sedayu menggigit bibirnya, ia melihat bahaya menghadang di hadapannya. Namun sejak ia berangkat, ia telah menyadari tugasnya. Tugas itu sangat berat. Tugas untuk mengikuti seorang sakti seperti Sumangkar. Ternyata bahwa bukan ia yang mengikuti orang itu tetapi sebaliknya, Sumangkarlah yang telah mengikutinya. Namun semuanya sudah terjadi. Kini ia sudah langsung berhadapan dengan bahaya. Terasa dada Agung Sedayu berdesir.

“Tetapi agaknya Angger Agung Sedayu menganggap bahwa tak ada bedanya mengikuti jejakku atau jejak prajurit Jipang itu. Memang sebagian anggapan Angger benar, karena Angger pasti akan sampai pula di perkemahan kami.”

Agung Sedayu masih berdiri mematung. Sepatah katapun ia belum menjawab.

Karena Agung Sedayu masih berdiam diri, kembali terdengar suara Sumangkar, “Nah, Ngger, apakah Angger masih tetap akan meneruskan usaha Angger untuk menemukan tempat itu?”

Terdengar Agung Sedayu menggeram. Pertanyaan itu benar-benar memusingkan kepalanya. Ia mendapat tugas untuk melihat dengan mata kepala sendiri perkemahan itu. Menelusuri jalan-jalan yang dapat dilalui, bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh kekuatan pasukan Pajang. Kakaknya agaknya kurang puas dengan laporan-laporan yang telah diterimanya mengenai perkemahan itu, sehingga salah seorang kepercayaannya harus sempat mengetahui kebenarannya. Namun apakah di hadapan Sumangkar ia dapat mengatakan yang sebenarnya.

Dalam kebimbangan itu terdengar Sumangkar mendesak, “Bagaimana?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diaturnya debar jantungnya, ketika ia menjadi agak tenang maka ia menjawab, “Aku telah menerima perintah itu, dan aku harus melakukannya. Kecuali kalau hal itu tidak mungkin aku lakukan.”

“Apakah menurut penilaian Angger, Angger akan mungkin melakukannya?”

“Aku tidak tahu, tetapi aku harus mencoba.”

“Apakah Angger tidak menyadari, bahwa aku adalah salah seorang dari penghuni perkemahan itu?”

“Ya.”

“Bahwa aku akan dapat membunuh Angger Sedayu dengan mudah apabila aku mau.”

“Ya.”

“Nah, sekarang apakah Angger masih tetap dalam pendirian Angger untuk berjalan terus?”

Dada Agung Sedayu bergolak. Ia adalah seorang anak muda yang pada dasarnya tidak senang cepat mati. Bahkan demikian takutnya Agung Sedayu kepada kematian itu, sehingga ia pernah mengalami suatu masa yang sangat memalukan. Namun kini, betapa ia tidak ingin mati, tetapi terasa sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tugas yang diberikan oleh kakaknya, seakan-akan sedemikian berat membebani diri dalam pertanggungjawaban atas kehormatannya.

Karena itu, maka pertanyaan Sumangkar itu tiba-tiba telah membakar jantungnya. Dengan wajah yang menyalakan tekad yang membara di dalam dadanya terdengar Agung Sedayu menjawab, “Paman Sumangkar, aku telah berangkat melakukan tugas atas perintah senapati Pajang yang ditempatkan di daerah ini, dan aku telah menyanggupkan diri untuk melakukannya. Karena itu, aku harus berjalan terus. Kalau aku harus terbunuh dalam tugas ini, maka itu adalah salah satu akibat yang selalu dapat terjadi atas seseorang yang sedang melakukan kewajiban yang penting.”

Jantung Sumangkar berdentangan mendengar jawaban itu. Bahkan terasa mulutnya menjadi gemetar, sehingga kata-katanya pun gemetar pula, karenanya. “Angger, kau telah membuat aku bingung.”

Agung Sedayu berdiam diri. Namun ia cukup bersiaga.

“Aku menyesal bahwa aku mengintip terlalu lama di belakang gerumbul, sehingga aku melihat bagaimana Angger telah berbuat atas salah seorang kawanku ini.”

Tanpa disengaja Agung Sedayu berpaling ke arah orang itu yang masih nampak mengerang, betapapun ia mencoba menahan sakitnya.

“Orang itu benar-benar terluka,” katanya di dalam hati. “Kalau apa yang dilakukan itu hanya sekedar pancingan, maka setelah Paman Sumangkar hadir di tempat ini, ia tidak perlu masih harus berbaring di tanah yang lembab dan kotor itu.”

Tetapi yang didengarnya adalah kata-kata Sumangkar, “Kalau aku tidak melihat, apa yang telah Angger lakukan dan Angger katakan kepada orang yang terluka ini, maka aku tidak usah berpikir terlampau panjang, mungkin Angger telah terbunuh saat ini karena Angger telah mencoba memata-matai aku.”

Gelora di dalam dada Agung Sedayu pun menjadi semakin keras dan ia mendengar Sumangkar berkata terus. “Kenapa Angger tidak mau membunuh atau membinasakan saja orang itu, supaya aku tidak ragu-ragu melakukan perbuatan serupa atas Angger. Kenapa Angger tidak membelah dadanya dan menyilang punggungnya dengan pedang seperti yang pernah dilakukan oleh Angger Sidanti atas Plasa Ireng dahulu?”

Agung Sedayu masih terbungkam. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya karena berbagai perasaan yang bergelut di dalam dadanya.

Sejenak mereka terdiam. Sumangkar berdiri termangu-mangu dengan Tohpati masih di pundaknya. Agung Sedayu tegak, seperti patung seorang prajurit yang siap menusukkan pedang di lambung lawannya. Sedang di sampingnya masih terbaring seorang yang luka parah sambil mengerang kesakitan.

Angin malam yang dingin perlahan-lahan mengusik tubuh mereka. Daun-daun yang bergetaran membuat suara gemerisik, seperti suara orang yang saling berbisik di antara batang-batang yang tegak berserak-serak.

Yang terdengar kemudian adalah suara orang yang terluka itu perlahan-lahan, “Apakah kau Sumangkar juru masak itu?”

“Ya, aku Sumangkar juru masak.”

“Apa kerjamu di sini?”

“Tidak apa-apa.”

Orang itu mengerang kembali. Kemudian katanya, “Apa kau dapat menolong aku?”

Sumangkar tertegun sejenak. Dan orang itu berkata terus, “Rupa-rupanya kau sedang membujuk prajurit Pajang itu untuk membunuhku Sumangkar, kalau kau dapat usahakanlah. Aku memang sudah tidak akan dapat sembuh.”

“Tidak.”

Tiba-tiba terdengar suara Agung Sedayu meledak. Suara itu seakan-akan dilontarkannya dengan serta merta untuk melepaskan tekanan-tekanan yang selama itu menghimpit dadanya.

Sumangkar terkejut mendengar teriakan itu. Bahkan orang yang sudah terbaring itupun terkejut. Sekali ia menggeliat namun kemudian kembali terdengar keluhnya semakin pedih dan melambat.

“Paman Sumangkar,” berkata Agung Sedayu lantang, ”lakukanlah apa yang akan kau lakukan, kalau kau akan mencoba membunuhku cobalah. Kalau aku mati terbunuh cepatlah terjadi. Kalau aku mampu menyelamatkan diriku biar segera terjadi pula. Kemudian salah seorang dari kita akan mendapat kesempatan untuk menolong orang ini.”

Yang terdengar adalah tarikan nafas Sumangkar. Bahkan kemudian terdengar ia mengeluh, “Hem, kenapa Angger Agung Sedayu yang mendapat tugas ini.”

“Apa bedanya?”

“Baiklah” berkata Sumangkar sambil mengangkat wajahnya. “Aku adalah seorang prajurit. Aku tidak boleh tenggelam dalam kebimbangan perasaanku. Aku harus dapat mengendalikan perasaanku dengan nalar. Karena itu, maka bagaimanapun juga Angger Agung Sedayu harus tidak dapat mengikuti jejakku maupun jejak para prajurit Jipang.”

“Aku sudah bersiap,” sahut Agung Sedayu dengan tatagnya, “apapun yang akan kau lakukan.”

Terdengar Sumangkar menggeram. Namun ia tidak beranjak dari tempatnya. Jantungnya terasa berdentangan dan otaknya diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Sebagai seorang prajurit ia tidak dapat mengorbankan pasukannya terjebak dalam perangkap lawan. Namun sebagai manusia, ia tidak dapat berbuat apa-apa atas Agung Sedayu setelah ia melihat dan mendengar bagaimana anak muda itu bersikap dan berpendirian terhadap salah seorang prajurit Jipang.

Kembali mereka terdampar dalam keheningan yang semakin tegang. Angin malam terdengar seperti suara gemerisik, seolah-olah suara tarikan nafas berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus orang yang sedang mengintai kedua orang yang berdiri kaku di tempat masing-masing.

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang yang luka parah itu, meskipun sangat perlahan-lahan, “Aku haus. Air. Air.”

Dada Agung Sedayu tersentak mendengar keluhan itu. Suara itu langsung menyentuh dadanya. Sehingga sesaat ia berjuang untuk mengatasi perasaannya, namun terloncat pula kata-katanya. “Orang itu perlu air.”

Sumangkar mengangguk. “Ya, ia sangat memerlukan air.”

Tetapi keduanya tidak tahu, bagaimana cara untuk menolongnya sebab masing-masing sedang terikat dalam kewajiban mereka sendiri-sendiri.

Dalam ketegangan itu tiba-tiba kembali mereka dikejutkan oleh suara gemerisik yang lain. Seperti digerakkan oleh satu tenaga gaib, mereka berpaling, bahkan digerakkan oleh naluri mereka masing-masing, maka segera mereka bersiap menghadapi setiap kemungkinan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar