Buku 084
“Gila!” Sorohpati menggeram.
Kemudian katanya di dalam hati, “Sesudah Kanjeng Kiai Pleret, kini Kanjeng Kiai
Mendung. Apakah artinya ini semua? Apakah sebenarnya Kanjeng Sultan di Pajang
sudah mengetahui bahwa kekuasaan Pajang akan berpindah ke Mataram?”
Sejenak Sorohpati berdiam
diri. Kemudian seperti orang terbangun dari mimpinya, ia melihat dua orang
lewat beberapa langkah di hadapannya.
“Pergilah!” tiba-tiba
Sorohpati menggeram. “Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kau harus segera
bersiap meninggalkan Mataram. Katakan kepada Ki Rambatan, bahwa pesannya sudah
sampai padaku.”
“Baiklah, Ki Sorohpati.”
“Ingat, jangan membunuh diri
dengan kebodohan dan kesalahan yang tidak perlu.”
Orang itu menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi ia pun kemudian sadar, bahwa ia sudah berada di dalam
lingkungan yang kelam.
Semisal orang yang
menyeberangi sungai, ia sudah terlanjur basah. Karena itu, ia tidak akan dapat
ingkar lagi.
Prajurit itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata kepada diri sendiri, “Aku adalah
seorang prajurit. Sejak aku memasuki lingkungan ini, aku sudah mengerti, bahwa
aku akan bermain-main dengan nyawaku. Jika permainanku kali ini dapat
mendatangkan kesenangan, kenapa aku harus menepi dan bahkan lari ?”
Dengan demikian, prajurit itu
tidak lagi menjadi gelisah. Ia sudah berdiri ditempatnya dengan tenang, bahkan
kemudian dengan sepenuh hati.
Sejenak kemudian ia sudah
meninggalkan Ki Sorohpati. Ia tidak menampakkan dirinya di daerah persinggahan
prajurit-prajurit Pajang yang mengawal beberapa orang pemimpin dan senapati
yang sedang melayat. Karena itu, ia dengan diam-diam berhasil meninggalkan
halaman rumah Ki Gede Pemanahan dan berhasil meninggalkan Mataram apabila
matahari telah naik.
Sementara itu, di halaman
rumah Ki Gede Pemanahan nampak kesibukan mulai meningkat. Hari itu juga,
jenazah Ki Gede akan dikebumikan dengan upacara, karena sebenarnyalah bahwa Ki
Gede adalah orang yang menjadi cikal bakal tanah Mataram yang dibuka dengan
menetas hutan yang lebat dan berbahaya, Alas Mentaok.
Karena itulah, maka seluruh
tanah Mataram yang sedang dibuka itu pun diliputi perasaan duka cita. Mereka
tidak menyangka, bahwa secepat itu Ki Gede Pemanahan harus meninggalkan mereka.
Meninggalkan Alas Mentaok yang sudah mulai terbuka dan dikenal oleh Pajang dan
daerah yang tersebar dari ujung barat sampai ke ujung timur.
Bukan saja dari Mataram dan
Pajang. Tetapi ternyata berita meninggalnya Ki Gede pemanahan cepat tersebar.
Sahabatnya dari padukuhan-padukuhan terpencil pun memerlukan datang menghormat
jenazahnya.
Ketika matahari mulai merambat
naik di atas cakrawala, maka Mataram benar-benar menjadi sibuk. Hampir setiap
orang telah keluar dari rumahnya memenuhi jalan-jalan. Sebagian dari mereka
berduyun-duyun mendekati rumah Ki Gede Pemanahan, yang lain menunggu di
jalan-jalan yang akan dilalui oleh jenazah pemimpin Tanah Mataram itu.
Para pedagang dan perantau
yang kebetulan berada di Mataram pun telah terhenti untuk ikut memberikan
penghormatan terakhir. Mereka menunda perjalanan mereka barang setengah hari
sambil menunggu jenazah diberangkatkan ke makam. Dan merekalah yang kemudian
telah menyebarkan berita tentang kematian Ki Gede Pemanahan ke segala penjuru.
Ketika saatnya telah tiba,
maka jenazah pun telah disiapkan dalam keranda di pendapa. Para senapati dan
pemimpin dari Pajang serta para keluarganya duduk melingkari keranda itu,
sementara semua persiapan diselenggarakan.
Sejenak kemudian, maka para
senapati dan pemimpin pemerintahan dari Pajang, para pemimpin di Mataram dan keluarga
Ki Gede yang ada di Mataram dan yang datang dari Sela pun turun ke halaman.
Para pengawal Tanah Mataram segera mengangkat keranda itu dan membawanya ke
halaman pula.
Orang-orang yang ada di
halaman itu pun menundukkan kepala, ketika mereka mendengar doa mengumandang di
sela-sela isak tangis keluarga Ki Gede. Bau yang harum mengambar menusuk setiap
hidung yang sedang menunduk. Namun bau yang harum itu telah menambah hati
menjadi semakin sendu.
Dalam pada itu, seorang
pengawal berdiri dengan kepala tunduk. Tanpa disadarinya, terasa titik air yang
menghangat di pipinya.
Dengan lengan bajunya,
pengawal itu mengusap matanya. Sementara itu, tangannya yang lain dengan
gemetar menggenggam sebuah songsong berwarna kuning bergaris hijau.
Orang itu adalah Ki Lurah
Branjangan. Ia merasa seperti kehilangan saudara tua sendiri. Bahkan Ki Gede
Pemanahan bukan saja seperti kakak kandungnya, tetapi sekaligus gurunya.
Meninggalnya Ki Gede telah benar-benar menggetarkan jantung Ki Lurah
Branjangan, yang mulai melihat Mataram menjadi berkembang.
Di belakangnya, seorang anak
muda berdiri tegak seperti patung. Dengan wajah yang beku ia memandang
orang-orang yang sibuk mengatur persiapan keberangkatan jenazah itu. Tetapi
rasa-rasanya anak muda, yang tidak lain adalah Sutawijaya itu, tidak dapat lagi
menahan gejolak perasaannya. Ada semacam perasaan bersalah bergejolak di
dadanya. Ia pada saat terakhir tetap tidak mau menurut perintah ayahandanya,
sampai ayahandanya menghadap kembali kepada Tuhannya. Ia tetap tidak mau pergi
ke Pajang menghadap Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
Sutawijaya menggigit bibirnya
ketika terasa matanya menjadi panas. Tetapi rasa-rasanya air matanya tidak
dapat terbendung lagi.
Namun Sutawijaya tidak mau
menunjukkan kelemahan hatinya. Karena itu, mumpung masih ada kesempatan, ia pun
segera berlari masuk ke dalam untuk menghapus air mata, yang sudah mulai
mengembun di matanya.
Tetapi ketika ia akan kembali
ke halaman depan, ia tertegun. Lamat-lamat ia masih mendengar doa yang menggema
di halaman, serasa menyusup sampai ke tulang. Namun ia tidak mengerti kenapa
tiba-tiba saja ia ingin masuk ke sentong tengah yang ditutup dengan sebuah
tirai yang menggantung rapat.
Ia adalah penghuni rumah itu.
Bahkan ia adalah pewaris rumah itu. Bukan saja rumah itu, tetapi Mataram dengan
isinya. Namun rasa-rasanya saat itu bulunya meremang, ketika tangannya meraba
tirai yang tergantung di muka pintu.
Perlahan-lahan ia membuka
tirai itu. Dan dadanya pun bergejolak ketika terlihat olehnya, sebuah payung
yang ditutup dengan selongsong putih,
“Payung inilah yang kemarin
dibawa oleh Ki Juru Martani,” berkata Sutawijaya kepada diri sendiri.
Tiba-tiba saja Sutawijaya
tidak dapat menahan nafasnya. Perlahan-lahan ia mendekati payung itu dengan
dada yang berdebar-debar. Namun, ketika ia meraba selongsong payung itu,
rasa-rasanya darahnya berhenti mengalir dan nafasnya menjadi sesak. Tangannya
terasa gemetar dan menjadi lemah.
Perlahan-lahan Sutawijaya
melangkah surut. Sesuatu terasa telah mengusik hati. Tetapi ia berkata di dalam
hatinya, “Tentu tidak apa-apa. Keragu-raguan dan kecemasanku sendirilah yang
telah menghentikan jantungku berdetak, sehingga rasa-rasanya aku kehilangan
segenap kekuatan.”
Meskipun demikian, Sutawijaya
ingin mempengaruhi perasaan sendiri agar kegelisahan dan debar dadanya tidak
berulang. Perlahan-lahan ia maju lagi dan mengangkat tangannya, menyembah
songsong yang masih tertutup itu.
Baru kemudian ia mendekat
lagi. Kali ini ia berhasil menyentuh, bahkan menarik selongsong payung itu.
Payung yang berwarna kuning seutuhnya.
“Kuning emas,” desisnya,
“tentu songsong ini lebih bagus dari songsong yang dipakai untuk mengiringi
jenazah ayahanda itu.”
Sejenak, Sutawijaya berdiri
mematung. Tiba-tiba saja tumbuh keinginannya untuk mempergunakan payung itu.
Payung yang menurut pendapatnya lebih bagus dari payung yang dipergunakan untuk
memayungi jenazah ayahandanya.
Karena itu, Sutawjaya pun
kemudian tidak berpikir panjang. Diambilnya payung itu dan dibawanya berlari
keluar.
Pada saat itu, upacara
pemberangkatan jenazah sudah selesai. Ki Juru Martani yang memimpin upacara itu
pun kemudian mempersilahkan keluarga Ki Gede untuk melakukan upacara sumurup.
Putra dan seluruh keluarganya berturut-turut menyusup di bawah jenazah, sebelum
jenazah itu berangkat ke makam.
“Dimana Angger Sutawijaya?”
bertanya Ki Juru.
“Ya, dimana?”
Ki Lurah Branjangan berpaling.
Raden Sutawijaya semula berdiri di belakangnya. Tetapi anak muda, itu sudah
tidak ada.
“Panggil jebeng Sutawijaya,”
berkata Ki Juru, “ia pun harus ikut dalam upacara sumurup ini.”
Tetapi sebelum orang yang
disuruhnya mencari beranjak dari tempatnya, semua orang yang ada di halaman itu
pun terkejut ketika mereka melihat Sutawijaya berlari-lari sambil membawa
sebuah payung bertangkai panjang. Payung yang berwarna kuning emas seluruhnya.
Yang paling terkejut di antara
mereka adalah Ki Juru Martani. Payung itu adalah payung yang dibawanya dari
Pajang, yang diletakkannya di sentong tengah. Payung itu masih belum
diserahkannya dengan resmi kepada Sutawijaya, dan ia pun masih belum mengatakan
pesan dan perintah yang dikatakan oleh Kangjeng Sultan Pajang bagi anak muda
itu.
Tetapi kini Sutawijaya membawa
payung itu berlari-lari ke halaman. Payung yang mempunyai arti tersendiri,
bukan sekedar payung yang mempunyai warna yang menarik.
“Angger Sutawijaya,” Ki Juru
Martani menghentikannya.
Tetapi Sutawijaya seolah-olah
tidak mendengarnya. Dengan serta merta payung berwarna kuning emas dan
bertangkai panjang itu pun dibukanya.
Demikian payung itu terbuka,
maka setiap Senapati dan prajurit serta para pemimpin Pajang, terkejut bukan
buatan. Bahkan Ki Juru Martani pun rasa-rasanya membeku di tempatnya. Ternyata
yang ada di tangan Raden Sutawijaya itu adalah benar-benar songsong kebesaran
Demak, yang telah di bawa ke Pajang, Kiai Mendung.
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Payung itu telah terbuka.
Ketika ia membawa payung itu
dari Pajang, ia sama sekali tidak mengerti, bahwa payung itu adalah Kiai
Mendung. Baru kini setelah payung itu terbuka, dan nampak pada jari-jarinya
gemerlapnya permata, yang didapatkannya dari pecahan batu yang jatuh dari
langit yang terselut emas, serta rumbai-rumbai yang justru berwarna hitam,
tidak pada tepi payung tetapi pada pangkal jari-jarinya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
yang melihat pula payung itu pun menjadi berdebar-debar. Hampir di luar
sadarnya ia menekan dadanya. Payung itu adalah payung kebesaran. Bagi Kiai
Gringsing payung itu sudah dikenalnya sejak lama, seperti juga para pemimpin
Pajang yang lain. Juga Ki Sumangkar sudah mengenal payung itu. Bahkan Ki
Waskita yang belum pernah melihat Kiai Mendung seutuhnya, langsung dapat
menyebut, bahwa payung itu adalah Kai Mendung.
Suasana di halaman rumah Ki
Gede Pemanahan itu menjadi tegang. Setiap mata memandang payung yang telah
terbuka itu, dan yang dengan langkah yang pasti dibawa oleh Sutawijaya
mendekati jenazah ayahandanya.
“Guru,” bisik Agung Sedayu
yang berdiri di samping Kiai Gringsing, “payung apakah itu?”
“Itu adalah songsong yang bernama
Kanjeng Kiai Mendung,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak bertanya
lebih lanjut. Ia mengerti bahwa payung itu tentu mempunyai arti tersendiri,
sehingga setiap orang bagaikan mematung memperhatikannya.
Ki Juru Martani pun kemudian
perlahan-lahan mendekati Sutawijaya yang berdiri termangu-mangu. Tanpa
mengucapkan sepatah katapun, Ki Juru menepuk bahu Raden Sutawijaya.
Rasa-rasanya mulutnya terlampau sulit untuk mengatakan sesuatu.
Sutawijaya pun termangu-mangu
sejenak. Ia tidak mengerti apakah sebenarnya yang telah terjadi. Sebagai
seorang anak yang masih sangat muda, ia kurang mengerti arti dari payung yang
berwarna kuning emas dan bernama Kanjeng Kiai Mendung itu. Ia memang pernah
melihat songsong itu dimandikan pada bulan pertama disetiap tahun. Tetapi ia
tidak terlampau banyak mengerti makna dari payung itu. Ayahandanya pun belum
pernah menceriterakan serba sedikit tentang payung itu kepadanya.
“Pamanda Ki Juru Martani,”
berkata Raden Sutawijaya, “bukankah songsong yang Pamanda bawa dari Pajang ini
jauh lebih baik dari songsong yang dipergunakan untuk memayungi jenazah
ayahanda itu? Dan bukankah Jenazah ayahanda pantas mendapat penghormatan yang
tertinggi pada hari ini? Jika Pamanda membawa songsong yang apabila tidak salah
bernama Kanjeng Kiai Mendung ini dari Pajang, tentu Kanjeng Sultan sudah
mengijinkannya apabila payung ini dipergunakan di Mataram.”
Perlahan-lahan Ki Juru Martani
mengangguk. Baru setelah ia berusaha mengatur nafasnya, ia dapat menjawab, “Ya,
ya, Sutawijaya. Ayahandamu memang berhak mempergunakan payung itu.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membaca, gejolak hati Ki Juru yang berkata
kepada dirinya sendiri, “Agaknya memang sudah pasti, bahwa Ki Gede Pemanahan
akan menurunkan seorang yang akan menjadi seorang raja yang besar di tanah
ini.”
Dengan demikian, maka Ki Lurah
Branjangan pun kemudian menguncupkan songsong yang dibawanya. Kemudian menerima
songsong yang dibawa oleh Sutawijaya setelah ia menyembahnya.
“Hati-hati, Ki Lurah,” berkata
Ki Juru Martani, “kau pernah menjadi seorang prajurit di Pajang.
Prajurit-prajurit sebayamu tentu lebih banyak mengetahui tentang Kanjeng Kiai
Mendung daripada anak-anak muda.”
“Ya, Ki Juru,” berkata Ki
Lurah Branjangan.
“Kanjeng Kiai Mendung
mempunyai arti tersendiri di dalam perkembangan kerajaan Pajang, sejak
dipindahkannya pusat pemerintahan dari Demak.”
“Ya, Ki Juru.”
“Nah, hormatilah songsong itu.
Dan lebih daripada itu, jagalah baik-baik. Kau dapat memerintahkan sejumlah
pengawal untuk mengawal songsong itu.”
Demikianlah, maka empat orang
pengawal terpilih telah berada di belakang Ki Lurah Branjangan, dengan senjata
di lambung, untuk mengawal songsong Kanjeng Kiai Mendung yang pada saat
pemakaman Ki Gede Pemanahan itu dipergunakan.
Adalah di luar kemampuan nalar
untuk memperhitungkannya, bahwa tiba-tiba langit menjadi buram. Selapis awan
telah menebar di langit, sehingga sengatan terik matahari tidak terasa lagi
menggigit kulit.
Setiap orang yang ada di
halaman itu mencoba menghubungkan awan yang menebar di langit itu dengan
songsong Ki Gede Pemanahan. Songsong Kanjeng Kiai Mendung adalah sebuah payung
yang mempunyai kekuatan yang ajaib, sehingga awan pun terpengaruh olehnya
apabila songsong itu dibuka. Betapa cerahnya langit, dan betapa panasnya cahaya
matahari, maka apabila payung yang berwarna kuning emas dengan batu permata
yang jatuh dari langit di jari-jarinya dan rumbai-rumbai hitam di pangkal
jari-jari dibuka, maka awan pun akan segera menebar. Seolah-olah begitu saja
tumbuh di udara.
Di antara mereka yang
menyaksikan payung yang berwarna kuning emas itu adalah Sorohpati. Dengan dada
yang berdebar-debar, ia berkata kepada diri sendiri, “Sebenarnyalah payung itu
adalah Kanjeng Kiai Mendung.”
Sorohpati menarik nafas
dalam-dalam. Kecemasan yang sangat telah merayap di hatinya, seolah-olah ia
dihadapkan pada suatu kepastian, bahwa pimpinan pemerintahan akan berpindah
dari Pajang ke Mataram.
“Apakah Kakang Panji tidak
akan berhasil?” Ia bertanya kepada diri sendiri. “Guru Kakang Panji adalah keturunan
langsung dari Prabu Brawijaya di Majapahit. Ia berhak memiliki tahta kerajaan
yang temurun dari Majapahit ke Demak, kemudian ke Pajang itu daripada
Sutawijaya, anak Ki Gede Pemanahan itu.”
Tetapi kemudian katanya,
“Mula-mula Kanjeng Kiai Pleret, kemudian Kanjeng Kiai Mendung. Apakah kemudian
Kanjeng Kiai Crubuk juga akan diberikan kepada Raden Sutawijaya, bahkan Kanjeng
Kiai Sangkelat dan Kanjeng Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten? Jika demikian, maka
kekuasaan Pajang akan benar-benar kering dari kekuatan genggaman wahyu,
sehingga kekuasaan itu benar-benar akan bergeser ke Mataram.”
Namun Sorohpati pun kemudian
menggeram sambil bergumam di dalam hati, “Tetapi jika benar-benar demikian,
maka harus ada sarana yang dilakukan sehingga wahyu itu jengkar dari Mataram.
Benda-benda yang keramat itu merupakan tempat hinggapnya wahyu, seperti sarang
bagi seekor burung yang terbang di langit. Jika benda-benda itu dapat dikuasai
oleh Kakang Panji, maka ia tentu akan menjadi sarang bagi wahyu kerajaan,
apalagi gurunya adalah memang berdarah Majapahit. Darah Maharaja yang pernah
menguasai seluruh kepulauan di sekitar pulau Jawa.”
Selain angan-sangan yang
membubung, Sorohpati pun mencoba untuk menilai kekuatan yang ada di Mataram.
Menjelang jenazah Ki Gede Pemanahan diberangkatkan, maka Sorohpati dapat
melihat, pimpinan pengawal dan pimpinan pemerintahan di Mataram. Ia melihat
senapati-senapati yang masih muda dengan wajah yang tegang dan keras. Wajah
yang dibentuk di dalam kerasnya perjuangan melawan kelebatan Alas Mentaok,
binatang buas dan orang-orang yang menentang dengan kekerasan usaha membuka
hutan yang lebat dan buas itu.
“Mereka tentu anak-anak muda
yang berhati dan bertubuh sekeras baja,” berkata Sorohpati kepada diri sendiri,
“tetapi mereka tentu anak-anak muda yang bodoh dan dungu. Yang mereka kenal
tidak lebih dari alat-alat untuk menebang hutan. Barangkali mereka berlatih
mempergunakan pedang. Tetapi mereka akan mempergunakan pedang seperti mereka
menebas batang-batang raksasa di Alas Mentaok. Mereka tidak akan dapat
memperhitungkan, bahwa dalam olah kanuragan mereka akan bertemu dengan
batang-batang yang dapat bergerak dan melawan, bukan batang-batang mati seperti
pohon tal yang tegak tinggi tetapi mati.”
Dengan cermat Sorohpati
mencoba menilai mereka. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, yang ada hanyalah Ki
Juru Martani.
“Jika Ki Juru Martani tidak
ada, Sutawijaya akan menjadi seorang diri. Ia tidak akan mampu memecahkan
persoalan-persoalan yang pelik dan rumit.”
Ketika terpandang olehnya
orang-orang tua yang ada di halaman itu, maka Sorohpati pun tersenyum,
“Orang-orang tua itu pun hanyalah karena terlampau banyak menyimpan umur.
Mereka tentu berkepala kosong dan dungu.”
Namun Sorohpati menjadi
berdebar-debar ketika teringat olehnya, bahwa pada suatu saat, Panembahan Agung
telah berhasil dimusnahkan oleh Sutawijaya dan orang-orang yaug berpihak
kepadanya.
“Gila!” Sorohpati menggeram di
dalam hati.
Namun Sorohpati tidak dapat
ingkar dari kenyataan itu. Ia pernah mendengar ceritera tentang orang-orang
bercambuk yang membantu orang-orang Mataram. Bahkan sejak Ki Gede Pemanahan
masih menjadi Panglima di Pajang, dengan menahan laskar yang dipimpin oleh
Tohpati di Sangkal Putung.
“Aku tidak yakin bahwa mereka
benar-benar orang yang tidak terkalahkan seperti cerita yang aku dengar.
Panembahan Agung memang orang yang pilih tanding. Tetapi ia tetap seorang
manusia yang mempunyai kelemahan. Dan orang-orang bercambuk itu pun adalah
manusia yang mempunyai kelemahan,” berkata Sorohpati di dalam dirinya.
Sorohpati menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya semua upacara sudah selesai. Dan sejenak kemudian, jenazah
Ki Gede Pemanahan pun dilepaskan meninggalkan halaman rumahnya.
Tangis yang tertahan-tahan
terdengar mengiringi jenazah itu sampai ke regol halaman. Kemudian jerit yang
melengking memecah ketegangan. Putri-putri Ki Gede tidak dapat menahan
perasaannya, melepaskan ayahandanya pergi untuk selamanya.
Sutawijaya hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia berjalan terus mengikuti jenazah itu. Sudah ada
orang- orang tua yang akan menyabarkan hati adik-adiknya yang ditinggalkannya
di halaman. Orang-orang tua yang datang dari Sela, padukuhan asal orang tuanya.
Sejenak kemudian, maka sebuah
iring-iringan yang panjang berjalan melalui jalan-jalan yang membelah kota Mataram.
Jalan-jalan yang sudah nampak rata dan teratur dengan baik.
Perjalanan ke makam merupakan
perjalanan yang cukup panjang. Namun seakan-akan memberi kesempatan kepada
tamu-tamu yang datang dari luar Mataram untuk mengenal kota Mataram, yang sudah
nampak menjadi besar dan ramai.
Sorohpati yang ada di antara
para senapati dari Mataram itu pun menjadi heran. Sutawijaya kenar-benar
seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Dalam waktu yang terhitung pendek,
ia dapat merubah Alas Mentaok menjadi sebuah kota yang menarik.
“Tetapi Ki Gede sekarang sudah
tidak ada. Semuanya tentu atas petunjuk dan bimbingan Ki Gede Pemanahan,”
berkata Sorohpati di dalam hati.
Namun ia dihadapkan pada
kenyataan pula, bahwa Mataram memang sudah menjadi besar.
Pada saat Ki Gede Pemanahan
meninggalkan Pajang untuk mulai dengan kerjanya, membuka Alas Mentaok, tidak
banyak orang yang percaya bahwa ia akan berhasil. Bahkan beberapa orang
senapati muda saat itu mentertawakan Raden Sutawijaya, yang dengan penuh
kesungguhan mengatakan bahwa Alas Mentaok akan menjadi sebuah kota yang ramai.
“Itu tidak mungkin,” desis
seorang senapati pada waktu itu, yang ternyata dapat didengar oleh Raden
Sutawijaya.
Betapa telinga Raden
Sutawijaya menjadi panas bagaikan tersentuh api. Dengan lantang anak muda itu
pun kemudian berkata sambil berdiri di atas tangga paseban di Pajang, “Aku
tidak akan menginjakkan kakiku di atas tangga ini sebelum Mentaok menjadi kota
yang ramai.”
Dan kini apa yang dikatakan
oleh Raden Sutawijaya itu sebagian sudah terwujud. Kota Mataram di atas Alas
Mentaok yang sudah menjadi ramai, meskipun Raden Sutawijaya sendiri masih belum
puas.
“Apalagi di Mataram kini
tersimpan tombak Kanjeng Kiai Pleret, songsong Kanjeng Kiai Mendung.”
Sorohpati menarik nafas
dalam-dalam. Mataram ternyata telah maju dengan pesatnya.
Yang kemudian menjadi
pertimbangan Sorohpati terutama ditujukan pada pusaka-pusaka yang ada di
Mataram. Bagaimana pusaka-pusaka itu dapat dikuasainya.
“Tanpa Kanjeng Kiai Pleret,
tanpa songsong Kanjeng Kiai Mendung, maka Sutawijaya tidak akan dapat
mempertahankan wahyu kerajaan.” Sorohpati termenung sejenak. Namun kemudian ia
menggeram sambil berkata di dalam hati, “Tidak! Desas-desus itu adalah
desas-desus ngayawara. Tentu dengan sengaja disebarkan oleh Ki Gede Pemanahan
bahwa ia mendapatkan sebuah kelapa muda di paga di dalam dapur rumah Kiai Ageng
Giring. Dengan sengaja, Ki Gede membuat cerita seolah-olah kelapa muda itu
mempunyai kekuatan yang ajaib bagi siapa yang dapat meneguk airnya sampai
habis.” Sorohpati mengigit bibirnya. Ia masih berjalan dalam iring-iringan para
senapati dan pemimpin dari Pajang, mengikuti jenazah Ki Gede Pemanahan, dalam
iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang.
“Begitu mudahnya untuk
menurunkan raja-raja di pulau Jawa,” berkata Sorohpati di dalam hatinya pula,
“hanya dengan minum air kelapa muda sampai habis.”
Tetapi Sorohpati masih tetap
sadar, bahwa ia berada di antara para senapati, sehingga ia tetap
menyembunyikan gejolak perasaan di dalam dadanya itu.
Sementara iring-iringan yang
semakin panjang itu pun merayap terus. Hampir seluruh penghuni kota telah
berdiri berderet-deret di tepi jalan yang akan dilalui jenazah Ki Gede
Pemanahan, untuk memberikan penghormatan yang terakhir. Mereka menyadari bahwa
Mataram yang telah di bentuk dari ujudnya yang lama, sebuah hutan yang lebat
dan penuh dengan bermacam-macam bahaya yang mengerikan, menjadi sebuah kota
yang ramai, adalah karena tekad yang semula menyala hanya di dalam hati Ki Gede
Pemanahan dan putranya, Raden Sutawijaya. Baru kemudian api itu menjalar, dan
seolah-olah telah membakar Alas Mentaok, dan menjelmakannya menjadi kota yang
sekarang.
Karena itulah, maka
meninggalnya Ki Gede Pemanahan bagi rakyat Mataram tidak kurang daripada
meninggalnya seorang ayah yang sangat mereka cintai.
Dan pada hari itu, mereka
melepas ayah mereka yang mereka cintai itu untuk dimakamkan dengan upacara
kebesaran.
Mataram benar-benar sedang
berkabung. Langit nampak suram dilapisi oleh mendung yang tipis. Tetapi awan
yang kelabu itu nampaknya bukan awan yang cukup basah untuk menjatuhkan hujan.
Seperti para senapati dan
pemimpin dari Pajang dan sebagian besar orang-orang yang mengiringi jenazah
itu, maka rakyat Mataram pun menghubungkan awan yang merata di langit itu
dengan wafatnya Ki Gede Pemanahan dan songsong yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya. Kuning keemasan, dengan permata di jari-jarinya dan rumbai-rumbai
yang berwarna hitam, yang letaknya agak lain dengan songsong yang pernah mereka
lihat.
Demikianlah, maka Ki Gede
Pemanahan dimakamkan pada hari itu dengan upacara yang mengesankan. Pada saat
terakhir nampak betapa Ki Gede Pemanahan benar-benar seorang yang besar, yang
dihormati oleh kawan-kawannya dan disegani oleh lawan-lawannya. Meskipun Ki
Gede Pemanahan sendiri selalu menghindarkan diri dari pertentangan, tetapi di
dalam hidupnya ia tidak sepi dari kesalahan dan tidak luput pula dari
pertentangan, yang dapat saja timbul karena seribu satu macam sebab.
Beberapa orang yang tidak
dapat menahan perasaannya, dengan gelisah mengusap mata mereka yang basah.
Bahkan bukan saja perempuan, tetapi ada juga beberapa orang laki-laki yang
tidak dapat menahan hatinya menyaksikan upacara pemakaman Ki Gede Pemanahan
itu.
Sementara itu, Sorohpati dapat
menyaksikan bahwa sebenarnya Mataram sudah mulai menjadi kuat. Tetapi Mataram
masih belum merupakan bahaya yang sebenarnya bagi Pajang, jika Kanjeng Sultan
bertindak tegas. Tetapi sebaliknya, Kanjeng Sultan malahan memberi ciri-ciri
kebesarannya kepada Sutawijaya, seakan-akan Kanjeng Sultan Pajang lah yang
dengan sengaja ingin memindahkan pusat pemerintahan ke Mataram.
“Tetapi Kangjeng Sultan harus
ingat, bahwa ia juga berputra seorang laki-laki. Pangeran Benawa-lah yang
seharusnya menggantikan kedudukannya, karena Pangeran Benawa adalah putranya
yang sebenarnya. Sedang Raden Sutawijaya adalah sekedar anak angkatnya.
Persetan dengan desas-desus bahwa Sultan telah mengadakan hubungan dengan Nyai
Gede Pemanahan, sehingga melahirkan Sutaiwijaya itu,” namun tiba-tiba Sorohpati
tersenyum, “Cerita yang menarik untuk menjatuhkan martabat Sutawijaya sendiri.
Bahkan mungkin dapat mengurangi kewibawaan Sultan Pajang.”
Sorohpati yang berada di
antara para senapati itu tiba-tiba mengangguk-angguk di luar sadarnya, sehingga
senapati yang duduk di sebelahnya menggamitnya sambil berbisik, “Kenapa kau,
Kakang Sorohpati?”
“O,” Sorohpati tergagap. Juga
tanpa disadarinya ia mengusap matanya. Namun kemudian dengan sengaja ia
berkata, “Mengharukan sekali. Mataram baru nampak mulai berkembang, Ki Gede
sudah mendahului meninggalkan usaha yang mulai nampak hasilnya, dan
meninggalkan Raden Sutawijaya berjuang sendiri meneruskan usaha yang besar
itu.”
Senapati yang ada di
sebelahnya mengangguk-angguk. Tetapi senapati itu berkata, “Raden Sutawijaya
tidak sendiri.”
“Siapa? Ki Juru Martani?
Mungkin ia dapat membantu, tetapi Ki Juru Martani adalah orang yang lebih
senang hidup menyendiri dan mempelajari olah kajiwan, daripada melihat
kenyataan hidup dan berjuang untuk mengembangkannya.”
“Tetapi tentu ia dapat memberikan
banyak petunjuk,” Jawab senapati itu, “selebihnya, tentu Kanjeng Sultan sendiri
tidak akan membiarkannya.”
Terasa dada Sorohpati
tergetar. Bahkan kemudian ia mengumpat di dalam hati, “O, senapati yang dungu.
Sebentar lagi Pajang tentu akan digilas oleh ketamakan Sutawijaya.”
Namun kemudian Sorohpati itu
pun berkata pula di dalam hati, “Memang keduanya harus dimusnahkan. Mataram,
kemudian Pajang. Jika Kakang Panji dan gurunya berhasil membenturkan Pajang dan
Mataram, maka separo dari tugas kami sudah selesai. Sedangkan Pangeran Benawa
bagi kami tidak akan ada artinya apa-apa. Meskipun secara pribadi dan dalam
olah kanuragan ia memiliki kelebihan seperti ayahandanya, tetapi jiwanya sangat
lemah dan seolah-olah hidup baginya hanyalah sebuah perjalanan yang tanpa
tujuan selain menuju ke lubang kubur. Dan itu sebagian terbesar adalah
kesalahan Karebet, yang mabuk kamukten. Ia menghabiskan kesenangan dan kepuasan
hidup bagi dirinya sendiri, sehingga anak laki-lakinya menjadi sangat prihatin
menyaksikan cara hidupnya. Akhirnya Pangeran Benawa menjadi seorang pendiam
yang sama sekali tidak bercita-cita.”
Namun dengan demikian,
kedatangan Sorohpati ke Mataram ternyata mendapatkan banyak sekali bahan-bahan
yang dapat diperbincangkan dengan orang yang disebutnya Kakang Panji. Ia tidak
menghiraukan lagi tawanan yang tertangkap oleh Ki Juru Martani dan yang masih
ditahan di Mataram.
“Persetan dengan orang itu,”
gumamnya di dalam hati. “Ki Legawa sudah mati meskipun harus disertai oleh Ki
Sanggabumi. Sayang, Ki Sanggabumi adalah seorang yang baik. Tetapi adalah tidak
disangka-sangka bahwa ia harus mati sampyuh dengan Ki Legawa.”
Namun Ki Sorohpati tidak dapat
menutup kenyataan bahwa hal itu sudah terjadi. Dan Ki Legawa bagi prajurit
Pajang memang merupakan seorang perwira yang disegani, meskipun ia masih belum
mencapai jenjang pangkat yang memadai.
“Mudah-mudahan Dadap Wereng
tidak mati pula. Dan aku sempat berbuat sesuatu di hari mendatang. Keturunan
Majapahit yang sebenarnya harus mendapatkan kembali kedudukannya,” namun
kemudian, “Tetapi tidak hanya ada seorang keturunan Majapahit. Ada dua, tiga,
dan bahkan mungkin berpuluh-puluh, yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Tetapi
persetan.”
Sorohpati memang mengharap
bahwa orang yang disebutnya Kakang Panji akan mendapatkan kemukten. Akan
mendapatkan kedudukani yang tinggi, jika gurunya dapat menemukan kembali tahta
Majapahit yang lenyap sejak berdirinya Demak.
“Memang nama Kakang Panji
tidak akan dapat mengimbangi kebesaran nama Ki Gede Pemanahan dan putra angkat
Sultan Pajang. Tetapi gurunya, keturunan langsung dari Majapahit,” berkata
Sorohpati di dalam hatinya. Dan berkali-kali ia menyebut di dalam hatinya itu,
bahwa keturunan Majapahit akan mendapatkan tempatnya kembali.
Demikianlah, maka jenazah Ki
Gede pun telah dimakamkan dengan penghormatan yang besar, sesuai dengan
perbuatan dan tindak-tanduknya semasa hidupnya. Meskipun ada pihak-pihak yang
tidak senang melihat tumbuhnya Mataram, namun ternyata bahwa sahabat-sahabat Ki
Gede masih tetap menghormatinya.
Setelah semua upacara
pemakaman selesai seluruhnya, maka lautan manusia yang seolah-olah
menenggelamkan seluruh makam itu pun mulai surut. Seperti saluran yang dibuka,
maka mengalirlah orang-orang yang melayat itu ke segenap penjuru, meninggalkan
makam Ki Gede Pemanahan. Makam yang ditandai dengan seonggok tanah merah dan
dua buah kayu maesan. Setumpuk taburan bunga serta asap kemenyan, menumbuhkan
bau yang semerbak namun mengharukan.
Beberapa orang tua, keluarga
dan anak-anak muda yang dekat dengan Ki Gede Pemanahan, masih berdiri di
sekitar makam yang baru itu. Ki Juru Martani memandang taburan bunga di seputar
makam itu dengan wajah yang suram. Di sebelahnya, Raden Sutawijaya
menggeretakkan giginya untuk menahan gejolak di dalam dadanya.
Di belakang mereka adalah Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, Ki Waskita dan Agung Sedayu
serta Swandaru. Mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya
sekali-kali kedua anak-anak muda itu mengerling kepada songsong yang berwarna
kuning emas, yang masih tetap terbuka di tangan Ki Lurah Branjangan.
“Marilah kita kembali,”
berkata Ki Juru kemudian.
Raden Sutawijaya tidak
menjawab. Sekilas ditatapnya wajah beberapa orang pengawal dan pengiring yang
masih ada di sekitar makam itu. Kemudian di luar sadarnya, maka kepalanya pun
menunduk dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menggerakkan kakinya meninggalkan
seonggok tanah yang masih merah dan ditaburi dengan setumpuk bunga itu.
Ki Juru Martani pun kemudian,
menggamit Ki Lurah Branjangan yang tunduk. Matanya menjadi merah, dan
kerongkongannya terasa panas.
“Payung itu harus ditutup,”
berkata Ki Juru, “Pemakaman ini sudah selesai.”
Ki Lurah Branjangan tergagap.
Kemudian perlahan-lahan ia menengadahkan wajahnya memandang jari-jari payung
yang di bawanya. Jari-jari payung yang dihiasi dengan batu permata yang
diketemukan jatuh dari langit.
Perlahan-lahan, terloncat
kata-kata dari bibirnya, “Kanjeng Kiai Mendung. Ki Juru, apakah artinya bahwa
Kanjeng Kiai Mendung berada di Mataram?”
Ki Juru menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Kita tidak dapat berbicara di sini. Marilah kita kembali.
Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu.”
Demikianlah, maka Ki Lurah
Branjangan pun menutup songsong yang berwarna kuning emas itu. Kemudian
dipandunya songsong itu seperti memandu sebatang tombak pusaka.
Hampir di luar sadar, beberapa
orang bersama-sama menengadahkan wajahnya ke langit. Tepat pada saat upacara
selesai, mendung bagaikan mengalir ke utara. Langit menjadi jernih dan matahari
mulai memancarkan panasnya serasa membakar kulit.
“Angin mulai bertiup,” desis
seseorang, “dan mendung pun hanyut ke utara.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Tetapi matanya mengerling kepada payung yang sudah tertutup. Payung yang
disebut Kanjeng Kiai Mendung.
Agaknya kawannya yang mula-mula
berbicara, melihat tatapan mata kawannya itu. Maka katanya, “Apakah kau
menganggap bahwa karena Kangjeng Kiai Mendung ditutup, maka langit pun menjadi
cerah dan mendung ini hanyut ke utara?”
Kawannya ragu-ragu. Tetapi
akhirnya ia mengangguk kecil.
“Aku tidak menolak, tetapi
juga tidak mempercayai sepenuhnya,” desis kawannya.
Yang diajak berbicara sama
sekali tidak berani menjawab. Ia bahkan berjalan semakin cepat, menjauhi
kawannya yang mempersoalkan songsong yang berwarna kuning keemasan itu.
Namun ternyata bukan saja
orang-orang itu yang membicarakannya. Bahkan Swandaru pun bertanya seperti
orang itu, “Apakah ada pengaruhnya? Setelah payung itu ditutup, maka langit
menjadi cerah.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Namun terdengar Ki Waskita berbisik, “Angger Swandaru. Apakah kau merasakan
silirnya angin?”
Swandaru mengangguk.
“Angin inilah yang telah
menyingkirkan mendung di langit. Mendung yang tipis, sehingga dengan mudahnya
hanyut oleh angin yang semilir.”
“Dan songsong itu.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Lihatlah. Di utara mendung itu bagaikan tertimbun di lereng Gunung Merapi. Itu
adalah mendung yang sebenarnya, karena dengan sedikit permainan aku dapat
membuat mendung semu. Namun meskipun kita berada di bawah mendung yang tebal
menggantung di langit, sengatan matahari tentu masih akan terasa menggigit
tubuh kita.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia tidak begitu mengerti maksud Ki Waskita. Karena itu, maka ia pun
tidak memberikan tanggapan apa pun juga.
Agaknya Ki Waskita menyadari
bahwa keterangannya tidak begitu dapat dipahami oleh Swandaru. Maka katanya,
“Swandaru. Kadang-kadang kita memang dihadapkan pada suatu peristiwa yang sulit
kita mengerti. Permainan yang terjadi di luar nalar. Tetapi jika yang
seakan-akan terjadi itu bukannya yang seharusnya terjadi, maka kita tidak dapat
menganggap bahwa hal itu telah terjadi. Seperti permainan semuku itu pun
bukannya sesuatu yang dapat dianggap ada, karena memang sebenarnya tidak ada.”
Swandaru masih belum mengerti.
Tetapi ia tidak dapat bertanya karena rasa-rasanya malu juga untuk terlampau
berterus terang atas kemampuan berpikirnya yang masih belum masak.
Namun sebelum Ki Waskita
menjelaskan, Kiai Gringsing sudah mendahuluinya, “Swandaru, yang dikatakan oleh
Ki Waskita adalah tanggapan perasaan kita. Memang perasaan kita kadang-kadang
dapat melihat yang tidak nampak, bahkan tidak ada. Kita dapat menganggap ada
meskipun tidak ada. Dan pengaruhnya pun hampir tidak ada bedanya dengan ada
yang sebenarnya. Seperti bentuk-bentuk semu yang tidak ada, tetapi serasa ada
itu. Bahkan bukan saja pengaruh getaran yang menyentuh pusat-pusat syaraf kita
dari luar diri kita, tetapi kita sendiri kadang-kadang melihat ke dalam
ketiadaan. Jika kita tidak mampu lagi mengendalikan perasaan yang demikian,
maka kita tidak lagi dapat disebut sadar.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Samar-samar ia dapat mengerti maksud gurunya. Dan di luar sadarnya
ia berpaling kepada Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu pun memperhatikan pula
keterangan Ki Waskita dan gurunya, sehingga dahinya masih nampak
berkerut-merut.
Swandaru tidak bertanya lagi.
Sekali lagi ia menengadahkan wajahnya. Langit memang sudah menjadi cerah. Dan
sebuah pertanyaan timbul di dalam dirinya, “Apakah pada saat songsong Kiai
Mendung dibuka aku tidak melihat awan yang sebenarnya di langit? Atau aku
memang melihat awan yang kebetulan saja menebar dan perlahan-lahan, ditiup
angin ke Utara?”
Seperti Swandaru, Agung Sedayu
ternyata tertarik juga pada pembicaraan itu. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata di dalam hatinya, “Sudah tiga empat hari awan yang tipis
berarak dan kemudian berkumpul di lereng Merapi seperti sekarang ini. Hampir
bersamaan waktunya di setiap hari. Kemarin tanpa songsong Kiai Mendung, awan
juga menebar tipis di langit seperti dua dan tiga hari yang lalu.”
Namun demikian, baik Agung
Sedayu maupun Swandaru tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan yang aneh
terhadap songsong Kanjeng Kiai Mendung itu. Seolah-olah songsong itu memang
memiliki pengaruh yang luas atas keadaan di seputarnya.
Meskipun demikian, keduanya
tidak membicarakannya lagi. Mereka berjalan saja di dalam iring-iringan yang
sudah menjadi semakin pendek. Beberapa langkah di hadapan mereka, Ki Lurah
Branjangan berjalan bersama Raden Sutawijaya. Sedang Ki Juru Martani berjalan
justru di belakangnya, seorang diri sambil menundukkan kepalanya. Seolah-olah
ia memang sedang tidak ingin diganggu, karena angan-angannya yang sedang
mengembara ke dunia yang asing.
Iring-iringan itu berjalan
perlahan-lahan meninggalkan makam Ki Gede Pemanahan. Seakan-akan masing-masing
berjalan menuruti langkah kakinya sambil menundukkan kepala. Seakan-akan yang
satu tidak menghiraukan yang lain.
Beberapa langkah lagi di
belakang Kiai Gringsing dan sekelompok kawan-kawannya dari Sangkal Putung dan
Ki Waskita, beberapa orang pemimpin dan senapati dari Pajang berjalan pula
dengan kepala tunduk. Mereka masing-masing seolah-olah sedang dihanyutkan oleh
angan-angan mereka seperti juga Ki Juru Martani.
Namun tiba-tiba Ki Juru
mengangkat wajahnya. Dipandanginya Raden Sutawijaya yang berjalan di
hadapannya, diiringi oleh Ki Lurah Branjangan.
“Mumpung para senapati dan
pemimpin dari Pajang ada di sini,” katanya kepada diri sendiri, “apa salahnya
jika aku menyampaikan kepada mereka keputusan Kanjeng Sultan Hadiwijaya di
Pajang. Mungkin satu dua orang pemimpin itu sudah tahu, bahkan sudah diajak
memperbincangkan kemungkinan-kemungkinannya. Jika belum, biarlah mereka
mengetahui keputusan Kanjeng Sultan bahwa Raden Sutawijaya telah diangkat
menjadi Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia
sudah mendapat kepastian bahwa ia akan melakukannya. Tentu hal itu akan
menimbulkan berbagai tanggapan. Tetapi lambat atau cepat, pengangkatan itu
memang harus diumumkan.
Karena itulah maka Ki Juru
tidak lagi berjalan dengan kepala tunduk. Ketika ia berpaling dan melihat Kiai
Gringsing berjalan di belakangnya, maka ia pun memperlambat langkahnya.
“Kiai,” berkata Ki Juru ketika
Kiai Gringsing sudah berjalan di sisinya, “Aku mempunyai pertimbangan khusus
mengenai songsong Kanjeng Kiai Mendung dan pesan Kanjeng Sultan tentang Raden
Sutawijaya.”
“Maksud, Ki Juru?”
“Aku akan memanfaatkan
kehadiran para pemimpin dan senapati Pajang atas wisuda yang diberikan kepada
Raden Sutawijaya, atas perkenan Kanjeng Sultan Pajang.”
“Wisuda yang manakah yang Ki
Juru maksudkan?”
Ki Juru menarik nafas
dalam-dalam. Beberapa kali ia berpaling. Agaknya hanya sekelompok kecil dari
Sangkal Putung dan Ki Waskita sajalah, yang berjalan bersamanya. Maka katanya,
“Tentu Ki Waskita sudah mengatakan tentang wisuda bagi Raden Sutawijaya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar serba sedikit. Tetapi persoalannya
tentu masih belum cukup jelas. Karena itu maka katanya, “Sebagian kecil dari
persoalan itu memang sudah aku dengar.”
“Begini, Kiai,” berkata Ki
Juru, “ternyata bahwa Kanjeng Sultan benar-benar mengasihi Raden Sutawijaya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Juru Martani
menjelaskan rencananya kepada Kiai Gringsing, “Bukankah sudah pernah aku
ceritakan meskipun serba sedikit tentang wisuda yang barangkali sudah
dilengkapi oleh Ki Waskita? Songsong kuning yang ternyata Kanjeng Kiai Mendung
itu, tentu mempunyai arti tersendiri.”
“Memang Ki Waskita pernah menceriterakan
tentang wisuda yang tidak dihadiri oleh Raden Sutawijaya, menjadi Senapati Ing
Ngalaga. Ki Waskita juga menceritakan betapa tulus pengangkatan yang
dikurniakan kepada Raden Sutawijaya itu, menilik sikap dan tekanan kata-kata
Kanjeng Sultan pada waktu itu.”
“Ya,” sahut Ki Juru, “apalagi
setelah ternyata bahwa songsong berwarna kuning itu adalah Kanjeng Kiai
Mendung. Maka sudah pastilah kedudukan Raden Sutawijaya itu.”
“Jadi?”
“Aku akan mengumumkan di
hadapan para senapati dan pimpinan pemerintahan Pajang yang hadir di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku kira memang
ada baiknya, Ki Juru. Tetapi apakah Ki Juru Martani sudah mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi? Tentu ada orang yang tidak senang
mendengar keputusan itu.”
“Tetapi keputusan itu tentu
akan diumumkan juga di Pajang, bahwa Raden Sutawijaya telah diangkat menjadi
Senapati ing Ngalaga. Dan lebih daripada itu, Kanjeng Sultan telah
menghadiahkan songsong Kangjeng Kiai Mendung kepada Raden Sutawijaya.”
Kiai Gringsing berpaling
kepada Sumangkar. Sumangkar adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang baik
di masa pemerintahan Adipati Arya Panangsang di Jipang.
“Kau mempunyai pendapat, adi?”
Sumangkar menarik nafas dalam
dalam. Lalu, “Jika itu keputusan Kanjeng Sultan, maka tidak akan ada orang yang
dapat menyanggah. Apalagi Raden Sutawijaya adalah putra angkat Kanjeng Sultan
itu sendiri. “
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk pula. Katanya, “Demikianlah. Jika itu sudah keputusan Kanjeng
Sultan, maka tidak akan ada orang yang mengganggu gugat. Senang atau tidak
senang. Karena itu, maka aku kira tidak ada jeleknya hal itu dilakukan.”
Ki Juru memandang Kiai
Gringsing sejenak. Kemudian memandang Raden Sutawijaya yang berjalan di depan
dengan kepala tunduk.
“Baiklah. Aku akan
melakukannya. Malam nanti tamu-tamu dari Pajang masih akan bermalam di Mataram.
Aku akan mempergunakan kesempatan itu. Sekaligus mengumumkan kepada rakyat
Mataram. Namun hal itu tentu akan mempengaruhi juga kedewasaan berpikir Raden
Sutawijaya. Dengan demikian, ia merasa menjadi seorang yang benar-benar sudah
dewasa dan bertanggung jawab atas suatu keadaan yang tidak dapat dianggap
sambilan saja. Apalagi Raden Sutawijaya tidak lama lagi akan menjadi seorang
ayah, karena putri dari Kalinyamat itu sudah saatnya melahirkan.”
Kiai Gringsing masih saja
mengangguk-angguk. Memang tidak ada sikap lain yang lebih baik dari mengiakan
rencana Ki Juru Martani itu.
Demikianlah, maka agaknya Ki
Juru sudah berniat bulat untuk mempergunakan kesempatan itu. Karena itu, maka
pembicaraan yang dilakukan di sepanjang jalan itu, ternyata iustru telah
melahirkan sikap yang penting bagi Mataram dan bagi Raden Sutawijaya pribadi,
setelah ia ditinggalkan oleh ayahandanya, Ki Gede Pemanahan.
Ternyata Ki Juru Martani
benar-benar melaksanakan maksudnya. Malam itu para tamu dari Pajang masih
bermalam satu malam lagi di Mataram. Mereka masih ingin memberikan sedikit
hiburan bagi keluarga Ki Gede yang ditinggalkan. Jika mereka langsung
meninggalkan Mataram, maka rumah Ki Gede tentu akan terasa menjadi sangat sepi.
“Kiai Gringsing,” berkata Ki
Juru kepada Kiai Gringsing yang berada di gandok bersama Ki Sumangkar, Ki
Waskita, Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu serta Swandaru. “Aku
persilahkan Kiai naik ke pendapa bersama para sesepuh ini. Aku akan mengumumkan
wisuda itu sekarang.”
“Ki Juru, silahkanlah.
Sebaiknya aku tidak menemui para pemimpin Pajang itu pada saat yang demikian.
Aku akan berada di halaman, di bawah bayang-bayang yang suram, untuk mengetahui
akibat dari pengumuman Ki Juru.”
“Ah, itu tidak perlu. Kiai
adalah orang yang kami anggap telah ikut mengasuh Mataram sejak lahirnya.”
“Terima kasih, Ki Juru.
Silahkan. Aku tidak tahu, kenapa aku ingin berbuat demikian.”
Ki Juru menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang tidak suka
menampakkan diri. Bahkan ia lebih senang tidak dikenal sama sekali. Dan karena
itulah maka, ia lebih senang tinggal di Dukuh Pakuwon daripada menyebut dirinya
seorang yang berdarah Majapahit.
Karena itu, Ki Juru tidak
memaksanya.
Dalam pada itu di pendapa,
para tamu dari Pajang sedang duduk sambil berbicara di antara mereka. Berbicara
tentang bermacam-macam hal, menurut perhatian mereka masing-masing.
Namun sebagian dari mereka
telah membicarakan perkembangan Mataram yang sangat pesat menurut penilaian
mereka.
“Aku belum pernah menginjakkan
kakiku ke pusat Alas Mentaok setelah Ki Gede Pemanahan mulai membukanya,”
berkata seorang senapati, “Ternyata kini yang aku jumpai adalah sebuah kota
yang sedang tumbuh. Meskipun Mataram sekarang masih belum terlampau ramai,
namun sebentar lagi tanah ini akan menjadi tanah harapan.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Meskipun ada di antara mereka yang diselipi oleh perasaan iri dan dengki. Namun
pada umumnya mereka tidak ingkar dari kenyataan, bahwa Mataram berkembang
dengan pesatnya.
Di antara para senapati itu
terdapat Sorohpati. Setiap kali ia mengangguk-angguk. Bahkan kadang-kadang ia
menyambung pembicaraan itu dan ikut memuji kemampuan Ki Gede Pemanahan dan
Raden Sutawijaya. Namun ia berkata di dalam hati, “Mataram yang sekarang harus
dilenyapkan. Demikian juga Pajang yang hanya mengagungkan kemukten itu. Harus
tumbuh seorang Raja yang Maha Bijaksana dan Maha Adil,” namun kemudian, “Dan
aku adalah seorang Panglima tertinggi di negara yang akan lahir itu.”
Dalam pada itu, selagi para
pemimpin dan Senapati berbincang di antara mereka, Ki Juru Martani yang sudah
naik ke atas pendapa pun kemudian berkata, “Maaf saudara-saudaraku. Para
pemimpin pemerintahan, para senapati dan prajurit dari Pajang. Para pemimpin
dan pengawal di Tanah Mataram. Aku ingin menyela di antara pembicaraan kalian
sejenak.”
Pendapa itu menjadi hening.
Setiap orang memandang Ki Juru dengan tajamnya. Namun sebagian dari mereka
menyangka, bahwa Ki Juru Martani hanya akan sekedar menyampaikan ucapan terima
kasih, bahwa mereka telah datang memberikan penghormatan terakhir.
Terapi ternyata bukan sekedar
ucapan terima kasih. Ki Juru memang menyatakan terima kasihnya kepada para
pemimpin dan senapati. Namun setelah ucapan terima kasih atas kehadiran mereka,
maka Ki Juru berkata, “Selain pernyataan terima kasih yang tidak terhingga dari
seluruh keluarga Ki Gede Pemanahan, maka ada sesuatu yang penting yang akan aku
beritahukan kepada saudara-saudara yang hadir di pendapa ini.”
Semua orang terdiam karenanya.
“Seperti yang kalian lihat,
bahwa songsong yang dipergunakan oleh Sutawijaya untuk memayungi jenazah
ayahandanya adalah songsong kerajaan yang bernama Kiai Mendung. Songsong itu
memang sudah dikurniakan oleh Kanjeng Sultan kepada putranya yang kini berada
di Mataram. Bahkan sebagai pertanda wisuda bagi Raden Sutawijaya.”
Semua wajah menjadi tegang.
Sorohpati bagaikan membeku di tempatnya.
Di dalam bayangan kegelapan,
Kiai Gringsing berdiri berdua dengan Ki Waskita di halaman. Beberapa langkah
daripadanya, di belakang sebatang pohon sawo, Ki Sumangkar berdiri pula berdua
dengan Ki Demang Sangkal Putung. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri agak
jauh dari mereka.
Tetapi mereka sama sekali
tidak menarik perhatian, karena di halaman itu memang berdiri beberapa orang
pengawal dan orang-orang Mataram yang ikut mendengarkan penjelasan Ki Juru
Martani. Bahkan ada pula di antara mereka yang duduk di tangga pendapa.
“Ki Sanak semuanya,” berkata
Ki Juru pula, “adalah tidak salah jika pada saat ini aku menyatakan keputusan
yang sangat bijaksana bagi Raden Sutawijaya. Sebagai putra Kanjeng Sultan
Hadiwijaya yang bertahta di Pajang, maka Raden Sutawijaya mendapat wisuda
sebagai Senapati Ing Ngalaga di Mataram.”
Keterangan itu memang
mengejutkan sekali. Bahkan Sutawijaya sendiri terkejut, meskipun Ki Juru
Martani sudah mengatakan serba sedikit tentang pesan Kanjeng Sultan. Tetapi
keterangan yang dinyatakan terbuka di hadapan para pemimpin dan senapati itu,
telah membuat dadanya menjadi berdebar-debar.
Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya melihat, berbagai tanggapan nampak pada wajah para senapati dan
pemimpin pemerintahan yang hadir di pendapa. Terutama mereka yang datang dari
Pajang.
Pemimpin dari Mataram,
terutama Ki Lurah Branjangan, tidak dapat menyembunyikan kegembiraan hati atas
pengakuan itu. Dalam sekejap semua prasangka dan keragu-raguan atas Kanjeng
Sultan Hadiwijaya di Pajang pun lenyap.
Namun bagi pemimpin-pemimpin
dari Pajang, pernyataan itu telah mendapat penilaian khusus. Mereka tidak
tergesa-gesa menanggapi dengan sikap dan pekataan. Tetapi dari sorot mata
mereka dan perubahan wajah, nampak bahwa ada di antara mereka yang menyambut
dengan besar hati, tetapi ada yang kecewa dan berhati-hati.
Tetapi tanggapan yang
bermacam-macam itu memang sudah diduga oleh Ki Juru Martani. Karena itu ia
tidak terkejut lagi. Bahkan ia berbicara seterusnya, “Ki Sanak. Sudah barang
tentu kurnia derajat dan pangkat itu merupakan beban yang tidak ringan bagi
Raden Sutawijaya. Namun sebagai putra Kangjeng Sultan, maka sudah sepantasnya
ia menerima dengan penuh rasa tanggung jawab. Bukan sekedar sudi menerima
derajatnya saja, tetapi juga harus menerima beban yang ada akibat derajat itu.
Tegasnya, harus menerima hak dan sekaligus kewajiban yang timbul karenanya.”
Para pemimpin dan senapati
Pajang yang ada di pendapa itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih
berhati-hati sekali menanggapi pernyataan Ki Juru Martani. Bukan karena mereka
tidak percaya, karena pada umumnya mereka sudah mengenal Ki Juru Martani dengan
baik, sebagai seorang yang pernah menjadi saudara seperguruan dengan Ki Gede
Pemanahan, tetapi juga dengan Kanjeng Sultan di Pajang dan Ki Penjawi.
Serohpati yang mendengarkan
pernyataan Ki Juru Martani itu dengan saksama, menjadi berdebar-debar pula.
Dengan demikian berarti bahwa kedudukan Raden Sutawijaya telah diakui dan
dinyatakan dengan resmi. Senapati Ing Ngalaga di Mataram.
“Agaknya Kanjeng Sultan
menyadari sepenuhnya, bahwa ada orang yang dengan sengaja ingin membenturkan
Pajang dan Mataram,” berkata Sorohpati di dalam hatinya, “Dan pengangkatan ini
adalah jawaban langsung dari usaha tersebut.”
Mau tidak mau, Sorohpati harus
mengakui ketajaman sikap Kanjeng Sultan menghadapi orang-orang yang menentang
tumbuhnya Mataram. Bahkan Sorohpati berkata di dalam hati, “Apakah Kanjeng
Sultan sudah mengetahui pula usaha Kakang Panji, bukan saja menghapus Mataram
yang sedang tumbuh, tetapi juga Pajang?”
Tetapi Sorohpati tidak mau
mengambil kesimpulan sendiri. Ia masih mempunyai beberapa orang kawan. Orang
yang disebutnya Kakang Panji dan Dadap Wereng. Mereka lah yang harus menentukan
sikap terakhir menghadapi perkembangan Mataram.
Pernyataan Ki Juru Martani itu
tidak diperpanjang lagi. Ia mengakhiri keterangannya dengan ucapan terima kasih
sekali lagi. Dan dengan rendah hati ia berkata, “Tentu Raden Sutawijaya akan
memerlukan bantuan dari Ki Sanak sekalian. Baik yang ada di Mataram, maupun
yang berada di luar Mataram.”
Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya yang ada di luar pendapa, mencoba untuk menangkap kesan dari
para pemimpin di Pajang. Tetapi mereka tidak mendapatkan jawaban yang pasti.
Wajah-wajah yang ada di pendapa tidak menunjukkan sikap tertentu, sehingga yang
membayang adalah keterkejutan mereka saja. Selebihnya adalah sikap yang kabur.
Ketika malam telah lampau, dan
para senapati serta pemimpin dari Pajang yang bermalam di Mataram sudah berada
kembali di dalam bilik masing-masing, maka mereka masih saja memperbincangkan
wisuda yang diterima oleh Raden Sutawijaya tanpa menghadap Kanjeng Sultan ke
Pajang. Suatu peristiwa yang sepanjang pengetahuan mereka belum pernah terjadi
di Pajang, bahkan Demak.
“Tetapi Raden Sutawijaya
adalah putra terkasih,” berkata beberapa orang senapati di dalam hati.
Sutawijaya menanggapi
pengangkatannya dengan hati yang buram. Sebagian dari perasaannya masih
tercengkam oleh meninggalnya Ki Gede Pemanahan. Sebagian lagi oleh kebingungan.
Justru karena Kanjeng Sultan telah mengurniakan pangkat yang cukup tinggi
baginya.
“Apakah artinya semua ini?”
desisnya. Tetapi yang pasti bagi senapati adalah keharusan senapati untuk
mempertanggung- jawabkan jabatannya itu kepada Kanjeng Sultan pada saat-saat
tertentu.
Dalam cengkaman kebimbangan.
Raden Sutawijaya duduk di sudut gandok seorang diri. Dipandanginya malam yang
gelap, yang menyelubungi seluruh wajah tanah Mataram yang sedang berkembang
itu.
Raden Sutawijaya berpaling,
ketika didengarnya langkah mendekat. Dilihatnya Ki Lurah Branjangan perlahan-lahan
mendekatinya dengan kepala tunduk.
“Marilah, Paman,” berkata
Sutawijaya sambil bergeser. Ki Lurah Branjangan duduk di sebelahnya. Sekali ia
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Keterangan Ki Juru Martani
membuat aku dan orang-orang lain yang mendengarnya sangat terkejut.”
“Ya,” jawab Sutawijaya.
“Aku tidak tahu, apakah maksud
Ki Juru mengumumkannya di hadapan pemimpin-pemimpin di Pajang sendiri, dan
justru pada saat kita baru saja memakamkan Ki Gede Pemanahan,” berkata Lurah
Branjangan.
“Aku juga tidak tahu, Paman.
Tetapi barangkali Ki Jruu hanya mengambil kesempatan, mumpung mereka berada di
Mataram menghadiri pemakaman Ayahanda.”
“Tetapi bukankah wisuda itu
akan diumumkan di Pajang oleh Kanjeng Sultan sendiri? Dan bukankah wisuda itu
tidak cukup dengan sebuah pernyataan seperti yang dikatakan oleh Ki Juru?”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
“Raden. Pada saatnya Raden
tentu akan hadir di pendapa agung istana Pajang. Raden akan duduk di sebelah
kiri ayahanda Kanjeng Sultan dengan pakaian kebesaran, karena Angger adalah
Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Meskipun jabatan itu adalah jabatan
keprajuritan, namun menurut pertimbangan Kanjeng Sultan, Mataram yang sedang
tumbuh ini memang perlu mendapat penanganan yang khusus, dibanding dengan
daerah-daerah yang lain.”
Raden Sutawijaya tidak
menyahut.
“Raden,” berkata Ki Lurah
selanjutnya, “Jika aku tidak mengingat bahwa di pendapa banyak tamu, aku sudah
menangis mendengar kurnia Sultan di Pajang. Hanya aku tidak mengerti kenapa
begitu saja wisuda itu sudah terjadi.”
Ia berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi aku mempunyai dugaan bahwa Ki Juru baru mendengar rencana wisuda itu.
Pelaksanaanya tentu akan dilakukan di Pajang.”
Tetapi Raden Sutawijaya
menggelengkan kepalanya, “Tidak, Paman. Ayahanda Sultan tahu pasti, bahwa aku
tidak akan datang ke Pajang. Aku tidak akan naik ke pendapa agung, sebelum
usahaku menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai ini berhasil.”
“Tetapi Raden ….”
“Aku sudah berketetapan hati.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Namun di dalam hati ia bergumam, “Alangkah kerasnya hati
anak muda ini.”
Dengan demikian, maka untuk
beberapa saat lamanya keduanya hanya saling berdiam diri. Raden Sutawijaya
memang sudah tidak dapat dilunakkan lagi hatinya. Ia tidak akan pergi ke Pajang
sebelum Mataram menjadi ramai. Tetapi Ki Lurah Branjangan kemudian bertanya
kepada diri sendiri, “Apakah batasan dari negeri yang ramai itu? Mataram
sekarang sudah menjadi ramai dan besar di bandingkan dengan tempat-tempat yang
lebih kecil. Tetapi memang masih kecil dan sepi dibandingkan dengan Pajang.
Tetapi jika Raden Sutawijaya menunggu Mataram menjadi ramai seperti Pajang,
maka untuk menghadap ayahanda angkatnya ia memerlukan waktu dua puluh atau dua
puluh lima tahun lagi.”
Ki Lurah Branjangan
terperanjat ketika ia mendengar Raden Sutawijaya berkata, “Paman. Aku menerima
wisuda itu dengan sangat hati-hati.”
“Apakah Raden masih saja
dibayangi kecurigaan?”
“Bukan kecurigaan. Tetapi
sikap hati-hati.”
K. Lurah menarik nafas dalam
dalam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk lemah.
Untuk beberapa saat lamanya,
mereka berdua masih duduk di tempatnya. Namun kemudian Ki Lurah Branjangan pun
mempersilahkan Raden Sutawijaya untuk beristirahat, “Raden. Malam menjadi
semakin larut.”
Raden Sutawijaya mengangguk.
“Tidurlah, Raden. Sebaiknya
Raden bersikap wajar, agar keluarga Raden yang baru saja mengalami kesusahan
tidak terpengaruh. Agaknya mereka kini menggantungkan diri kepada Raden
Sutawijaya.”
Raden Sutawijaya mengangguk
lagi, “Malam sudah larut,”
Raden Sutawijaya pun kemudian
berdiri dan melangkah masuk ke ruang dalam. Dilihatnya beberapa orang
keluarganya sudah tidur di dalam bilik masing-masing. Tetapi ada di antara
mereka yang masih terbangun.
“Sebenarnyalah mereka sekarang
memandang aku sebagai tiang induk. Jika aku lemah dan apalagi miring, maka hati
mereka pun menjadi semakin kecut menghadapi gelombang kehidupan yang rumit
ini.”
Sutawijaya pun kemudian duduk
di antara adik-adiknya dan mencoba berbicara dengan mereka tentang persoalan-persoalan
yang dapat membelokkan perhatian mereka terhadap kepedihan hati yang baru saja
mereka alami.
Ketika matahari di esok
paginya sudah hampir muncul di ujung pagi, barulah Sutawijaya itu lelap
sejenak. Hanya sejenak, karena ia pun harus segera bangun. Tamu-tamunya yang
datang dari Pajang telah berkemas untuk minta diri dan kembali ke Pajang.
Sutawijaya yang hanya sempat
mencuci muka dan membenahi pakaiannya pun segera naik ke pendapa.
Ki Juru Martani dan
orang-orang tua di Mataram tengah mengucapkan berbagai macam pernyataan terima
kasihnya. Mereka mengharap agar para pemimpin dan Senapati di Pajang membantu
agar suasana tetap selalu jernih.
“Kami tidak dapat menutup mata
bahwa ada usaha untuk mengeruhkan suasana. Ternyata dengan peristiwa yang dialami
oleh adi Pemanahan,” berkata Ki Juru.
“Kami berduka cita karenanya,”
sahut seorang senapati yang dianggap tertua, “kami berjanji akan membantu usaha
Mataram yang sedang berkembang. Lebih dari itu, membersihkan Pajang dari
usaha-usaha yang dapat merugikan kedua belah pihak.”
“Terima kasih. Kini Ki Gede
Pemanahan tidak ada lagi. Yang ada hanyalah seorang anak muda yang masih jauh
dari kemampuan yang diperlukan untuk memimpin Mataram, yang sedang berkembang.
Karena itu, Raden Sutawijaya memerlukan bantuan sejauh-jauhnya.”
“Hanya orang-orang yang dengki
dan iri hati sajalah yang sampai saat ini berusaha untuk menggagalkan usaha Ki
Gede Pemanahan,” berkata Sorohpati, “Apalagi ketika aku sudah melihat dengan
mata kepala sendiri perkembangan Mataram sampai saat ini.”
“Terima kasih,” sahut Ki Juru,
“kesediaan Ki Sanak sekalian membuat hati kami menjadi teguh dan tidak gentar
menghadapi apapun juga.”
Demikianlah, maka sejenak
kemudian para pemimpin dan senapati dari Pajang itu pun minta diri kepada Ki
Juru, Raden Sutawijaya dan orang-orang tua di Mataram.
Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya sengaja tidak menampakkan dirinya di antara para orang-orang tua
di Mataram. Apalagi Sumangkar, yang sudah banyak dikenal oleh senapati Pajang.
Ia hanya hadir sejenak ketika para senapati itu justru sudah bergerak
meninggalkan halaman rumah Raden Sutawijaya.
Namun demikian, kehadiran
Sumangkar di Mataram, memang menjadi bahan pembicaraan juga oleh para senapati
dan pemimpin dari pajang itu.
“Ia memang sepantasnya datang
untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Gede Pemanahan,” berkata salah
seorang senapati di perjalanan mereka kembali ke Pajang, “Ki Gede Pemanahan-lah
yang telah mengampuni kesalahannya di saat pasukan Tohpati dapat digulung oleh
Untara dan Widura.”
“Jika demikian, kehadirannya
tidak menjadi soal. Tetapi jika ia masih mendendam atas kekalahan Jipang dari
Pajang, maka ia akan dapat menghasut Raden Sutawijaya, agar Raden Sutawijaya
dapat dijadikan alat untuk melepaskan dendamnya kepada Pajang.”
“Tetapi di Mataram kini ada Ki
Juru Martani. Kita tahu orang tua itu adalah orang yang sangat cerdik.”
Senapati yang mempunyai
sedikit prasangka terhadap Sumangkar itu mengangguk-angguk. Memang di Mataram
ada Ki Juru yang akan menjaga agar Raden Sutawijaya tidak jatuh di bawah
pengaruh Sumangkar.
“Tetapi berapa lama Ki Juru
berada di Mataram?” bertanya senapati itu tiba-tiba, hampir ditujukan kepada
diri sendiri.
Kawannya berbicara, yang
mendengar pertanyaan itu berkata, “Sumangkar pun tidak akan lama berada di
Mataram.”
Pembicaraan itu pun kemudian
terhenti. Sekilas nampak di hadapan mereka debu yang menghambur tinggi.
“Kuda yang sedang berpacu,”
desis salah seorang senapati.
“Ya,” sahut yang lain.
Tetapi kuda itu berpacu
menjauh. Semakin lama justru menjadi semakin jauh.
“Mungkin aku terlampau
berprasangka. Tetapi kenapa kuda itu berpacu menjauh? Meskipun aku tidak
melihat dengan jelas, namun aku mempunyai dugaan bahwa penunggangnya adalah
orang yang tidak ingin berpapasan dengan kita. Bahkan aku mempunyai dugaan
tidak baik terhadap orang itu,” berkata seorang senapati.
“Apa kira-kira yang akan
dilakukan terhadap sekian banyak orang?” bertanya yang lain.
“Tentu ia tidak akan berbuat
apa-apa. Tetapi seakan-akan orang itu sengaja mengawasi kita. Ketika ia melihat
kita, maka ia pun segera memacu kudanya.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Tetapi ia berkata, “Sebaiknya kita tdak menghiraukannya lagi.”
Kawannya memandang ke arah
kuda yang telah menghilang itu. Namun ia pun tidak menjawab apa-apa.
Demikianlah, iring-ringan itu
berjalan terus. Semakin lama semakin jauh dari Mataram.
Sorohpati yang juga melihat
orang berkuda di kejauhan itu pun menjadi berdebar-debar pula. Ia mempunyai
dugaan bahwa orang itu tentu petugas yang dipasang oleh Dadap Wereng, atau
justru oleh orang yang disebutnya Kakang Panji itu sendiri, untuk melihat
apakah para senapati dan pemimpin Pajang yang berada di Mataram sudah kembali.
Tetapi ketika orang itu
kemudian ternyata telah menghilang, maka hatinya pun menjadi tenang.
Demikianlah, maka
iring-iringan itu pun kemudian berjalan dengan tanpa gangguan sesuatu apa.
Apalagi gangguan-gangguan kecil di perjalanan oleh orang-orang yang sekedar
berniat ingin merampok harta kekayaan. Agaknya setiap orang dengan cepat
mengetahui bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan senapati-senapati
perang dari Pajang dan pemimpin-pemimpin pemerintahan, apalagi dengan sekedar
pengawalan. Jika ada seseorang atau sekelompok penjahat yang berani
menghentikan mereka, apalagi merampok, maka orang itu tentu akan segera menjadi
makanan cacing tanah.
Di sepanjang sisa perjalanan
mereka kembali ke Pajang, tidak banyak lagi yang mereka percakapkan. Selain
matahari merayap menjadi semakin panas, maka rasa-rasanya mereka pun menjadi
semakin malas bercakap-cakap yang satu dengan yang lain.
Ternyata di sepanjang
pembicaraan mereka yang kembali ke Pajang, tidak banyak di antara mereka yang
tertarik kepada kehadiran Kiai Gringsing. Banyak di antara mereka yang tidak
mengenalnya. Apalagi Ki Waskita dan Ki Demang Sangkal Putung. Jika satu dua
orang mengenalnya sebagai orang yang pernah berjasa kepada Mataram, maka
pengenalan itu pun sangat terbatas sekali.
Dan memang itulah yang
diharapkan oleh Kiai Gringsing. Ia sama sekali tidak ingin menjadi perhatian,
apalagi bahan pembicaraan orang-orang yang datang dari Pajang. Dan agaknya
demikian pulalah sikap Ki Waskita. Mereka merasa diri mereka lebih tenang tanpa
pengenalan dari orang-orang yang berkedudukan penting di Pajang itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah
sepeninggal para senapati dan pemimpin dari Pajang, Raden Sutawijaya merasa
rumahnya menjadi sangat sepi. Meskipun di rumah itu masih ada Kiai Gringsing,
Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang Sangkal Putung dan kedua anak-anak muda
murid Kiai Gringsing itu.
Hilangnya seorang saja dari
penghuni rumah itu, serasa sebagian hidupnya telah hilang pula, karena yang
seorang itu adalah ayahandanya, Ki Gede Pemanahan.
Tetapi bahwa Ki Juru Martani
akan tinggal untuk sementara di Mataram, membuat hatinya agak terhibur sedikit.
Ki Juru adalah saudara seperguruan dengan ayahandanya. Namun hubungannya
bagaikan saudara sekandung sendiri. Tidak ada lagi masalah yang membatasi
antara keduanya. Seolah-olah persoalan Ki Gede Pemanahan adalah persoalan pula
bagi Ki Juru Martani, dan demikian pula sebaliknya. Kekalahan Jipang dari
Pajang, sebagian juga karena pertimbangan-pertimbangan dan
perhitungan-perhitungan yang diberikan oleh Ki Juru Martani itu.
Namun sudah barang tentu bahwa
waktu-waktu berikutnya tidak akan dapat menahan Kiai Gringsing dan kawan-
kawannya lebih lama lagi. Mereka masih dapat menahan diri barang satu dua hari
di Mataram. Namun mereka pun mempunyai kepentingan mereka sendiri. Apalagi
apabila mereka mengingat, bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan yang
khusus. Mereka pergi dari Sangkal Putung untuk melamar seorang gadis dari Tanah
Perdikan Menoreh.
Dan perjalanan mereka agaknya
telah tertunda-tunda oleh beberapa sebab. Karena itu, maka datang pula saatnya
mereka harus meninggalkan Mataram. Terlebih-lebih lagi Ki Demang Sangkal Putung
yang gelisah. Ia sudah terlampau lama meninggalkan kademangannya, istri dan
anak gadisnya. Perjalanan yang demikian itu belum pernah dilakukannya
sebelumnya. Bahkan ia masih saja merasa ngeri mengenang apa yang terjadi di
mulut padepokan Panembahan Agung.
Jika saat itu ia dan Swandaru
ikut tertimbun di bawah reruntuhan kekayuan dan batu-batu padas sebesar kerbau,
maka apakah yang akan terjadi dengan Sangkal Putung dan Sekar Mirah? Apalagi
jika Agung Sedayu ikut serta tertimbun di bawahnya?
Ki Demang Sangkal Putung
menarik nafas panjang sambil bersyukur jika ia menyadari bahwa ia masih selamat
segar bugar. Demikian juga anak laki-lakinya Swandaru dan Agung Sedayu, anak
muda yang mempunyai hubungan batin dengan anak gadisnya itu.
Dengan demikian, maka Ki
Demang Sangkal Putung pun kemudian minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka
melanjutkan perjalanan kembali ke Sangkal Putung, karena agaknya Sutawijaya
telah berhasil mengatur perasaannya.
Tetapi sebelum mereka minta
diri, Mataram dikejutkan oleh kehadiran seorang senapati muda yang memacu
kudanya menyusur jalan-jalan kota yang terasa sepi, diiringi oleh beberapa
orang pengawal.
Para penjaga pintu gerbang
seakan-akan terpesona melihat kehadirannya yang tiba-tiba dan tergesa-gesa,
sehingga mereka seakan-akan tidak sempat menyapanya. Apalagi para penjaga itu
pun sebagian sudah mengenal bahwa yang datang itu adalah senapati yang
bertanggung jawab atas daerah Pajang di bagian Selatan.
Sebenarnyalah yang datang
adalah Untara. Dengan tanpa menghiraukan orang-orang yang memandanginya dengan
heran, ia langsung menuju ke pusat kota, ke rumah Raden Sutawijaya.
Kedatangan Untara benar-benar
mengejutkan. Para penjaga regol di rumah Raden Sutawijaya terperanjat pula.
Namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, kuda Untara dan pengawalnya telah
memasuki halaman.
Raden Sutawijaya yang
mendengar derap kaki kuda berpacu memasuki halaman rumahnya itu pun segera
turun ke halaman. Ketika dilihatnya Untara meloncat dari punggung kudanya, ia
pun terkejut pula. Sekilas telah tumbuh berbagai macam tanggapan atas kehadiran
senapati muda itu. Ia tidak nampak di antara para senapati Pajang yang datang
melayat saat ayahandanya meninggal. Tetapi kini Untara itu datang tanpa
memberikan kabar terlebih dahulu.
Sebelum Sutawijaya menyadari
apa yang dihadapinya, ia bagaikan tercengkam melihat sikap Untara. Tiba-tiba
saja Untara itu berlari ke arahnya dan dengan serta-merta memeluknya, seperti
memeluk anak-anak.
“Raden,” suaranya bagaikan
sesak, “sebenarnyalah aku tidak mengetahui bahwa Ki Gede Pemanahan telah wafat.
Aku tidak tahu, apakah ada kesengajaan dari para senapati dan pemimpin di
Pajang untuk tidak memberitahukan hal itu kepadaku. Aku mendengar setelah
terlambat. Dan mula-mula aku memang tidak mempercayainya. Aku masih harus
memerintahkan seseorang untuk mengetahui kebenaran berita itu, karena saat ini
kita kadang-kadang dikisruhkan dengan kabar-kabar yang tidak menentu.”
Sejenak Sutawijaya tidak dapat
menyahut. Terasa jantungnya bagaikan berhenti mengalir. Semula Raden
Sutawijaya, betapa kecilnya, masih dipengaruhi oleh prasangka terhadap Untara.
Namun kini ia merasa, bahwa Untara mengucapkan kata-katanya dengan jujur dan
setulus hatinya.
Kiai Gringsing yang kemudian
juga turun ke halaman mendekatinya dan berkata, “Kau datang terlambat, Angger.”
Untara melepaskan pelukannya.
Dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu sebelumnya, Kiai.”
Apalagi ketika Untara melihat Ki Juru Martani, maka ia pun berlari
mendekatinya. Sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, “Maafkan aku, Ki Juru
Martani. Memang hampir tidak masuk akal jika aku tidak mendengar, bahwa Ki Gede
Pemanahan telah wafat. Tetapi sebenarnyalah demikian. Ketika kemudian aku
mendengar, aku diliputi oleh keragu-raguan. Akhirnya aku yakin setelah terlambat
beberapa saat.”
“Marilah, Angger,” berkata Ki
Juru, “silahkan naik ke pendapa. Bukan kau saja yang harus minta maaf. Tetapi
kami pun harus minta maaf, bahwa kami tidak mengirimkan seorang penghubung yang
khusus. Saat itu nalar kami bagaikan buntu.”
“Aku mengerti, Ki Juru. Dalam
keadaan yang demikian, tentu tidak akan ada orang yang dapat menyalahkan.
Banyak sekali yang harus dilakukan oleh Ki Juru, sehingga banyak pula yang
terlupakan dan terlampaui. Tetapi itu adalah wajar sekali.”
Demikianlah, maka Untara dan
beberapa orang pengawalnya pun diajak naik ke pendapa. Setelah Ki Juru dan
Raden Sutawijaya menanyakan keselamatan mereka, maka mulailah mereka
mempercakapkan saat-saat wafatnya Ki Gede Pemanahan.
“Seharusnya aku dapat
mencegahnya,” desis Untara, “tetapi kebodohankulah yang menyebabkan kelambatan
itu.”
“Jangan menyalahkan diri
sendiri, Ngger,” berkata Ki Juru. “Luka Ki Gede tidak membahayakan jiwanya.
Apalagi di sini ada Kiai Gringsing yang akan sanggup mengobatinya, jika luka
itu sekedar luka senjata.”
“Jadi?”
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Sebelum ia mengatakan sesuatu, dilihatnya Raden Sutawijaya
menundukkan kepalanya dalam-dalam, seolah-olah ia menyadari bahwa Ki Juru akan
mengatakan bahwa karena sikap Sutawijaya yang keras itulah, yang telah
mempercepat wafatnya Ki Gede Pemanahan.
Tetapi Ki Juru cukup
bijaksana. Katanya, “Angger Untara. Sebenarnyalah bahwa kita adalah sekedar
singgah untuk minum. Dan itu pun kita tidak dapat menentukan sendiri, kapan
kita datang dan kapan kita harus pergi. Tetapi semuanya sudah ditentukan oleh
batas yang tidak dapat bergeser lagi. Dan batas itu telah dilalui oleh Ki Gede
Pemanahan tanpa dapat ingkar lagi, karena sebenarnyalah Maha Kekuasaan atas
dirinya telah berlaku.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Demikianlah agaknya jika perjalanan sudah sampai ke batas.
Tiba-tiba saja Untara telah
terlempar ke dalam dunia angan-angannya. Sebuah pertanyaan telah tersembul di
dalam hatinya, “Apakah yang sudah aku lakukan sebelum batas itu sampai?”
Untara merenungi dirinya
sejenak. Terbayang di dalam angan-angannya peperangan yang seolah-olah tiada
akhir. Pertentangan dan pergulatan di antara sesama. Dan ia sendiri selalu ada
di dalamnya.
Hampir di luar sadarnya,
Untara memandang jari-jarinya. Dan pertanyaan itu tumbuh lagi, “Berapa orang
yang sudah kau bunuh? Dan apakah kau dapat berbangga kelak di dunia langgeng
menyebut jumlah itu?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Bahkan seakan-akan melihat apa yang akan terjadi atas dirinya
kelak, apabila janji itu telah sampai.
Untara terkejut ketika ia
mendengar suara Ki Juru, “Baiklah kita menyerahkan yang seharusnya berlaku
kepada perjalanan yang harus ditempuh. Angger Untara tidak usah
mempersoalkannya apakah sebabnya dan menyesali apa yang telah terjadi, karena
tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya.”
Untara mengangguk-angguk.
Katanya seolah-olah sekedar bergumam, “Ya, Ki Juru. Semuanya memang harus
berlaku.”
“Sekarang Ki Gede Pemanahan.
Besok mungkin orang lain. Dan pada suatu saat, tentu akan sampai kepada giliran
kita masing-masing.”
Sekali lagi Untara mengangguk.
“Nah, karena itu, sebaiknya
kita berbicara tentang hal yang lain. Tentang perjalanan Angger dari Jati Anom
sampai ke Mataram. Perjalanan itu sebenarnya tidak terlampau jauh, tetapi barangkali
banyak yang Angger lihat di perjalanan.”
Untara mengerutkan, keningnya.
Tetapi ia menyadari bahwa Ki Juru memang sengaja mengalihkan pembicaraan.
Apalagi ketika kemudian ikut
pula berbicara Swandaru dan Agung Sedayu, yang sudah lama tidak bertemu dengan
kakaknya itu.
“Tidak ada perkembangan yang
menarik di Jati Anom,” berkata Untara. “Semuanya berjalan seperti biasanya,
yang justru seakan-akan telah berhenti. Setiap hari yang kita jumpai serupa
saja dengan yang kita jumpai kemarin. Petani-petani yang bangun tidur,
membersihkan halaman. Kemudian pergi ke sawah. Menjelang matahari sampai ke
puncak langit, gadis-gadis membawa makan ke sawah dan anak-anak mulai berjalan
sepanjang pematang sambil menjinjing keranjang untuk menyabit rumput, setelah
mereka mengikat kambing-kambing mereka di dalam kandang.”
“Di kejauhan terdengar suara
pandai besi menempa di depan perapian, dengan keringat yang bercucuran,”
Swandaru melanjutkan, “dibarengi dengan tangis anak-anak yang haus minta
disusui ibunya, yang masih menumbuk padi di depan kandang.”
Ki Juru Martani tersenyum.
Katanya, “Kita Jarang menjumpainya di kota. Apalagi kota Pajang yang ramai,
yang penuh dengan rumah-rumah yang besar, dilingkari dinding batu yang tinggi.
Rumah-rumah pegawai istana dan pemimpin pemerintahan serta senapati perang.”
“Itulah yang sering
menumbuhkan kerinduan,” berkata Kiai Gringsing, “Suasana padesan yang terasa
sejuk dan damai. Suasana yang bening seperti air yang baru memancar dari mata
airnya. Tetapi setelah melalui perjalanan yang panjang, melalui tanah yang
gembur dan kotor, maka air itu menjadi keruh, sekeruh suasana di dalam kota.
Apalagi kota-kota yang besar dan ramai.”
“Jika demikian, apakah kita
tidak perlu membangun kota seperti Pajang, Jipang, Pati, dan kemudian Mataram
yang sedang berkembang ini?” bertanya Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Tentu bukan begitu. Tetapi kita harus mempunyai saringan rangkap,
agar suasana di kota dapat disaring sebaik-baiknya. Karena kota bagaikan waduk
raksasa yang mengatur arus air yang mengalir dari sumbernya itu.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ia mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama, pembicaraan yang baginya memang
cukup menarik.
Demikianlah, maka pembicaraan
itu pun kemudian bergeser dari satu masalah ke masalah yang lain. Namun
kemudian, sebagian besar dari pembicaraan itu pun berkisar kepada perkembangan
Mataram, yang nampaknya akan menjadi besar.
Untara sendiri tidak mempunyai
sikap apa pun terhadap Mataram. Ia memandangnya dari segi kedudukannya sebagai
seorang prajurit. Selama atasannya menganggap bahwa perkembangan Mataram harus
ditanggapi dengan sewajarnya, ia tidak menentukan sikap apa pun selain
berhati-hati dan waspada. Meskipun demikian, Untara tidak ingkar, bahwa
beberapa orang prajurit, bahkan perwira-perwira di lingkungannya, ada yang
bersikap tajam menghadapi perkembangan Mataram.
Namun demikian, ketika
pembicaraan mereka sampai kepada kurnia yang tiada taranya dari Kanjeng Sultan
Hadiwijaya terhadap Raden Sutawijaya, justru saat meninggalnya Ki Gede
Pemanahan, berupa pangkat Senapati Ing Ngalaga di Mataram dan songsong berwarna
kuning, dan yang bernama Kiai Mendung, Untara terkejut karenanya. Untuk
beberapa saat ia terdiam memandang Raden Sutawijaya dengan tegang. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku mengucapkan selamat,
Raden. Keluhuran yang Raden terima adalah seimbang dengan kedudukan Raden
sebagai putra Kanjeng Sultan di Pajang, yang dengan keringat sendiri telah
membuka Alas Mentaok, yang kini menjadi sebuah negeri bernama Mataram.”
Raden Sutawijaya termenung
sejenak. Ia melihat perubahan wajah Untara yang meskipun hanya sejenak. Tetapi
ia tidak dapat membaca arti perubahan itu dengan pasti.
Namun dalam pada itu, setelah
Untara mendengar wisuda dan songsong Kiai Mendung berada di Mataram, sikapnya
menjadi agak lain. Ia menjadi semakin hormat terhadap Raden Sutawijaya, yang
bergelar Senapati Ing Ngalaga.
“Raden,” bertanya Untara
kemudian, “apakah masih akan ada wisuda resmi di hadapan Kanjeng Sultan di
Pajang atas pengangkatan Raden itu?”
Raden Sutawijaya tidak segera
dapat menjawab. Sekilas ia memandang Ki Juru Martani. Agaknya Ki Juru mengerti
bahwa Raden Sutawijaya agak kebingungan. Maka jawabnya, “Angger Untara. Menurut
dugaanku, Kanjeng Sultan tidak menghendaki wisuda itu dilakukan resmi di
pendapa agung Istana Pajang. Jika demikian tentu songsong Kanjeng Kiai Mendung
itu tidak akan dikirimkan ke Mataram langsung.”
Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Sebenarnyalah Raden pantas menerima jabatan itu. Raden adalah putra
yang sebenarnya dari seorang panglima yang besar di Pajang. Apalagi putra
angkat Kanjeng Sultan sendiri. Aku yakin bahwa sebentar lagi Mataram akan
menjadi besar. Kebesaran Mataram adalah benar-benar berkat kebesaran jiwa Raden
dan ayahanda Raden yang baru saja meninggal.”
Sutawijaya hanya dapat
mengangguk-angguk sambil menundukkan kepalanya saja. Namun dengan demikian
kecurigaannya kepada Untara justru menjadi berkurang. Namun ia masih juga
berkata kepada diri sendiri, “Tetapi Untara adalah seorang prajurit yang sangat
baik. Yang dilakukan adalah sikap dan keputusan Pajang. Meskipun ia tidak
mempunyai prasangka apa pun terhadap Mataram, tetapi jika Kanjeng Sultan atau
panglima perang yang ada sekarang, memerintahkannya untuk menggilas negeri yang
baru tumbuh itu, maka betapapun berat hatinya, perintah itu tentu akan
dilakukannya, jika itu memang sikap Pajang.”
Untuk beberapa saat, Untara
masih sempat bercakap-cakap. Minum dan makan beberapa potong makanan. Namun
agaknya Untara memang tidak akan terlalu lama berada di Mataram. Karena itu,
maka ia pun segera mohon diri.
Ki Juru terkejut mendengarnya.
Katanya, “Aku kira, kau akan bermalam di sini, Untara?”
“Terima kasih, Ki Juru. Kami
harus segera kembali. Meskipun tidak ada peristiwa yang gawat, tetapi sebaiknya
aku berada di antara anak buahku.”
“Tentu tidak,” Swandaru-lah
yang menyahut. “Bukan karena anak buah Kakang Untara.”
Untara mengerutkan keningnya.
Dan ia pun bertanya, “Jika tidak, karena apa?”
“Coba Kakang Untara masih saja
seperti Kakang Agung Sedayu. Kakang tentu tidak akan tergesa-gesa.”
Untara tersenyum. Ia pun dapat
menanggapi gurau Swandaru. Jawabnya, “Sebentar lagi, Adi Swandaru pun tentu
tidak akan betah pergi barang semalam.”
Semua yang mendengar gurau itu
tertawa. Sutawijaya pun tertawa. Namun nampak pada wajahnya ada sesuatu yang
tersembunyi di balik tertawanya itu. Dan Untara pun mengerti, bahwa Raden
Sutawijaya tidak dapat bergurau seperti dirinya dan Swandaru, karena putri dari
Kalinyamat itu tidak dibawanya sebagai seorang istri yang sewajarnya. Meskipun
Sutawijaya tidak ingkar, dan menyelesaikan persoalannya sebaik-baiknya, namun
putri itu sampai saat terakhir tidak berada di Mataram. Bahkan sampai saatnya
anaknya akan lahir.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian Untara benar-benar minta diri. Ia tidak dapat terlampau lama
meninggalkan anak buahnya, meskipun tidak ada peristiwa-peristiwa yang gawat.
“Sebenarnya aku ingin pergi
bersama Angger Untara,” desis Ki Demang Sangkal Putung.
Kiai Gringsing tersenyum. Ia
mengerti bahwa Ki Demang pun sebenarnya telah sangat merindukan keluarganya.
Namun ia masih berkata, “Besok pagi kita akan kembali bersama-sama Ki Demang.
Sangkal Putung kini tidak jauh lagi dari Mataram, setelah jalan menjadi baik
dan aman.”
“Kenapa kita tidak pergi bersama
Angger Untara?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing tertawa.
Katanya, “Tidak apa-apa. Kita hanya tidak ingin menghambat perjalanan Angger
Untara.”
Ki Demang tidak dapat
memaksakan niatnya. Ia terpaksa menunggu Kiai Gringsing dan kawan-kawannya besok.
Untara pun minta diri pula
kepada orang-orang tua yang ada di Mataram, dan berpesan kepada Agung Sedayu,
supaya sekali-sekali ia datang ke Jati Anom.
“Agung Sedayu,” Untara
berbisik ketika ia turun dari pendapa, “kau pada suatu saat akan menjadi seorang
kepala keluarga. Apakah kau akan tetap saja dengan petualanganmu? Sudah pernah
aku peringatkan, bahwa kedudukanmu lain dengan kedudukan Adi Swandaru. Setiap
saat Adi Swandaru dapat menempatkan dirinya sebagai demang di Sangkal Putung,
karena ia adalah satu-satunya anak laki-laki Ki Demang yang sekarang. Tetapi
kau? Kau harus mempunyai pegangan, Agung Sedayu. Apalagi menurut pengamatanku,
Sekar Mirah adalah seorang gadis yang memiliki selera dan gegayuhan yang
tinggi. Jika kau benar-benar ingin mengambilnya sebagai seorang istri, kau
harus dapat menyesuaikan dirimu.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun menjawab dengan berbisik, “Aku akan memikirkannya, Kakang.”
“Sejak dahulu kau hanya akan
memikirkannya saja, Agung Sedayu. Kau harus mengambil keputusan. Bukan hanya
mempertimbangkan terus-menerus. Kau agaknya masih saja dipengaruhi
sifat-sifatmu semasa kanak-kanak. Ragu-ragu, bimbang, dan
pertimbangan-pertimbangan yang berkepanjangan. Pada suatu saat, kau harus cepat
mengambil sikap. Apalagi saat-saat semacam yang kau hadapi sekarang.” Untara
berhenti sejenak, lalu, “Nah, pikirkanlah. Kemudian kau katakan kepadaku kapan
aku harus menghadap Ki Demang.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Ia berjalan saja di samping Untara tanpa dapat mengucapkan sepatah
kata pun. Dan Untara masih melanjutkan, “Tetapi sebelum aku berbicara dengan Ki
Demang tentang Sekar Mirah, kau harus bukan lagi seorang petualang. Kau sudah
harus mempunyai pegangan hidup yang mantap.”
Agung Sedayu masih tetap
berdiam diri. Kepalanya masih saja tunduk, seolah-olah sedang menghitung ujung
jari kakinya.
Sejenak kemudian, maka Untara
pun telah berada di antara pengawalnya. Seorang dari pengawal-pengawalnya itu
memberikan kudanya dan sambil memegang kendali kudanya, Untara sekali lagi
minta diri kepada orang-orang yang hadir di halaman itu.
Sutawijaya kemudian
mendekatinya sambil berkata, “Terima kasih atas kunjunganmu. Mudah-mudahan
perjalananmu kembali tidak menjumpai apa pun juga.”
“Aku minta agar Raden
sekali-sekali berkunjung ke Jati Anom. Bukan saja mengunjungi aku, tetapi
barangkali ada baiknya Raden menghibur diri, menyelusuri lereng-lereng gunung
melihat-lihat lembah yang hijau.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya,
“Baiklah. Pada suatu saat, aku tentu akan sampai ke Jati Anom. Kau tentu akan
segera memanggil orang-orang tua di Jati Anom, jika saatnya membicarakan
persoalan adikmu itu. Kini Swandaru telah selesai dibicarakan oleh orang-orang
tua. Tentu sebentar lagi Agung Sedayu.”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah,
sedang Untara tersenyum. “Aku akan segera mengundang Raden dan para sesepuh di
Mataram.”
Sutawijaya dan orang-orang
yang mendengar jawaban itu tertawa. Hanya Agung Sedayu sajalah yang menundukkan
kepalanya dalam-dalam.
Demikianlah, maka Untara pun
kemudian meninggalkan rumah Raden Sutawijaya, kembali ke Jati Anom. Ternyata
yang dijumpainya di Mataram bukan saja Raden Sutawijaya yang berwajah sedih dan
muram, tetapi juga Raden Sutawijaya yang kini telah memiliki songsong Kiai
Mendung di samping pusaka yang pernah diterima lebih dahulu, Kanjeng Kiai
Pleret.
Tetapi setiap kali Untara
berusaha untuk melenyapkan pikiran-pikiran yang tumbuh selain daripada tugasnya
sebagai seorang prajurit. Ia tidak boleh berpendirian sendiri. Terutama
menghadapi berkembangnya Mataram.
“Tetapi pasti akan dapat
menumbuhkan tanggapan-tanggapan yang bermacam-macam di antara para perwira di
Jati Anom, apalagi di Pajang,” berkata Untara di dalam hatinya.
Sepeninggal Untara, para tamu
yang masih ada di Mataram pun mulai berkemas. Mereka hanya tinggal akan
bermalam satu malam saja lagi. Besok pagi-pagi benar, mereka akan meninggalkan
Mataram menuju ke Sangkal Putung.
Sebenarnya para pemimpin di
Mataram masih berusaha menahan mereka barang sepekan. Tetapi agaknya Ki Demang
sudah tidak tahan lagi melawan kerinduannya, kepada kademangannya dan
keluarganya.
“Apa kata orang jika aku
terlampau lama pergi untuk keperluan keluargaku? Seolah-olah aku terlampau
mementingkan diriku sendiri daripada Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki
Demang ketika mereka bercakap-cakap di gandok dengan Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, dan Ki Waskita.
“Tetapi Ki Demang tidak
mementingkan diri sendiri. Di Tanah Perdikan Menoreh dan di sini, Ki Demang
menjumpai persoalan yang harus mendapat bantuan pemecahan. Dan Ki Demang bersama-sama
kami telah mencoba membantu sesuai dengan kemampuan kami masing-masing,” sahut
Ki Sumangkar.
“Tetapi rakyat Sangkal Putung
tidak mengetahuinya. Yang mereka ketahui, aku adalah pemimpin mereka. Dan aku
pergi untuk waktu yang sangat lama menurut perhitungan mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Demang. Besok kita akan kembali ke
Sangkal Putung.”
Seperti yang mereka
rencanakan, maka mereka pun minta diri kepada Ki Juru Martani, bahwa besok
pagi-pagi mereka benar-benar akan kembali ke Sangkal Putung.
Semula Ki Juru mencoba
menahannya, tetapi agaknya, usahanya itu tidak akan berhasil. Karena itu maka
katanya, “Ki Demang Sangkal Patung, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, serta Ki
Waskita, jika kami tidak dapat menahan lagi barang satu dua hari, maka yang
dapat kami lakukan hanyalah mengucapkan terima kasih atas segalanya yang pernah
terjadi di depan padepokan Panembahan Agung dan di Mataram. Kami tidak akan
pernah dapat melupakannya. Apa lagi setelah kami mengetahui serba sedikit
tentang dukun tua dari Dukuh Pakuwon.”
“Ah,” Kiai Gringsing berdesah.
Sekilas ia melihat pertanyaan yang meloncat pada sorot mata Raden Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru. Namun seakan-akan Kiai Gringsing tidak
menghiraukannya, dan bahkan tidak mengetahuinya.
“Tetapi tentu malam ini bukan
malam terakhir Kiai berada di Mataram,” berkata Ki Juru Martani, “demikian juga
Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang, dan kedua anak-anak muda itu. Pada suatu
saat kami akan tetap menunggu salah seorang dari kalian atau bersama-sama
mengunjungi kami.”
“Tentu,” sahut Kiai Gringsing,
“kami adalah petualang yang akan selalu berjalan mengelilingi padesan,
menjelajahi padukuhan dari pintu ke pintu. Dan kami akan singgah di Mataram
pada suatu saat yang baik.”
Demikianlah, maka pada malam
terakhir itu, mereka berbicara seakan-akan tidak akan berhenti. Seakan-akan
mereka akan menghabiskan semua masalah yang ada di dalam hati dalam waktu
semalam.
Baru setelah lewat tengah
malam, maka para tamu itu pun masuk ke dalam biliknya untuk beristirahat barang
sejenak. Besok mereka akan kembali ke Sangkal Putung, setelah sekian lamanya
mereka melakukan perjalanan.
Namun demikian, di dalam
gandok, para tamu itu masih berbicara beberapa saat sebelum mereka kemudian
membaringkan dirinya di atas amben bambu yang besar. Sedangkan Agung Sedayu dan
Swandaru tidur di bilik tersendiri, yang dibatasi oleh dinding bambu.
Meskipun demikian, tetapi
agaknya Kiai Gringsing tidak segera tertidur. Ada sesuatu yang seolah-olah
mengganggunya. Bukan karena persoalan-persoalan yang sedang di hadapinya,
karena masalahnya justru sudah menjadi terang. Baik persoalan yang menyangkut
Raden Sutawijaya, maupun yang akan menyangkut Swandaru dan Agung Sedayu. Kedua
anak-anak muda itu harus segera mendapat perhatian bagi kesejahteraan hidupnya,
karena keduanya memang sudah sepantasnya untuk segera kawin.
Malam itu rasa-rasanya
terlampau sepi bagi Kiai Gringsing. Ada sesuatu yang lain daripada malam-malam
sebelumnya. Angin malam yang lembut berdesir di atas atap gandok rumah Raden
Sutawijaya itu. Terdengar dedaunan yang bergoyang saling bersentuhan.
Suasana malam itu terasa lain.
Perlahan-lahain Kiai Gringsing
bergeser dan duduk di bibir amben. Sekilas ia melihat orang-orang lain yang
telah tertidur di ujung amben, Ki Demang Sangkal Putung tidur dengan
nyenyaknya. Di sebelahnya, Ki Sumangkar berbaring menelentang dengan mata
terpejam. Di sisi yang lain, Ki Waskita terbujur miring.
Namun sejenak kemudian, Kiai
Gringsing sadar, bahwa sebenarnya baik Ki Sumangkar maupun Ki Waskita agaknya
masih belum tidur. Hanya Ki Demang Sangkal Putung-lah, yang benar-benar telah
tertidur dengan nyenyak.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
menyapa kedua orang yang berbaring itu. Ia memusatkan perhatiannya kepada
suasana di luar gandok. Diperhatikannya silirnya angin malam dan sekali-sekali
di kejauhan suara burung malam yang bagaikan desah yang lesu.
“Ada suatu yang terasa aneh,”
Kiai Gringsing berkata kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
mengerti, apakah yang sedang bergolak di dalam hati kedua orang yang meskipun
matanya terpejam tetapi tidak tertidur itu.
Tidak ada di antara mereka
yang berada di dalam gandok itu mulai berbuat sesuatu atau berkata apa pun
juga. Mereka agaknya menunggu, apa yang akan terjadi di rumah Raden Sutawijaya
itu.
Tetapi ternyata tidak ada
sesuatu yang terjadi. Tidak ada peristiwa yang mengikuti gejala yang aneh di
malam yang sepi itu.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia masih saja duduk untuk beberapa lamanya. Bahkan sampai
menjelang fajar, Kiai Gringsing belum membaringkan diri kembali di pembaringan.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing
merasakan suasana mulai berubah. Angin malam masih berdesir dengan lembut.
Dedaunan masih terdengar saling bersentuhan. Tetapi ada sesuatu yang lain.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Seolah-olah yang mencemaskannya telah pergi, meskipun Kiai
Gringsing tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya sedang dihadapi.
Yang bergejolak di dalam
hatinya bukan isyarat seperti yang sengaja dilontarkan oleh Ki Waskita, saat ia
berusaha menemuinya di tanah Mataram ini. Tetapi yang dirasanya memang suatu
isyarat yang lain, yang belum diketahuinya dengan pasti.
Ketika udara rasa-rasanya
telah bersih menurut tangkapan perasaan Kiai Gringsing, meskipun sebentar lagi
fajar akan segera menyingsing, Kiai Gringsing pun membaringkan dirinya di
sebelah Ki Waskita. Tetapi ia pun tersenyum ketika Ki Waskita itu kemudian
berbisik, “Adakah sesuatu yang dapat Kiai tangkap dari isyarat itu?”
Kiai Gringsing menggeleng.
Jawabnya, “Aku tidak dapat mengerti, apa yang sedang terjadi. Mungkin hanya
perasaanku saja.”
“Perasaan kita bersama-sama
telah terganggu oleh sesuatu yang tidak kita ketahui,” terdengar suara yang
lain.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
berpaling. Keduanya tersenyum ketika keduanya melihat Ki Sumangkar masih saja
berbaring menelentang sambil memejamkan matanya. Tetapi hanya bibirnya sajalah
yang bergerak.
“Ki Sumangkar seperti sedang
menakuti anak-anak,” desis Ki Waskita.
Ki Surnangkar pun tersenyum
sambil membuka matanya. Katanya, “Ternyata kita sama-sama diganggu oleh
perasaan aneh. Apakah kita memang sudah tidak betah tinggal di Mataram?”
“Bukan itu. Justru Ki Demang
tidur dengan nyenyaknya. Selain tubuhnya yang lelah, ia memang ingin bermimpi
tentang anak laki-lakinya yang gemuk itu,” desis Kiai Gringsing.
“Nah, apakah menurut
perhitungan Kiai?” bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing menggeleng.
Katanya, “Aku kurang mengerti. Namun agaknya memang mendebarkan jantung. Besok
sepeninggal kita, apakah Mataram akan mengalami sesuatu yang dapat
menggoncangkan kedudukan Raden Sutawijaya. Atau yang kita tangkap samar-samar
itu akan mengikuti kita sampai ke Sangkal Putung?”
“Kita memang tidak tahu,”
berkata Ki Sumangkar, “tangkapan perasaan kita ini ditujukan kepada kita atau
kepada Mataram.”
“Di sini ada Ki Juru Martani.
Mudah-mudahan tidak ada peristiwa apa pun yang akan mengganggu tanah yang
sedang tumbuh ini, dan mengganggu rencana keberangkatan kita. Kasihan Ki
Demang, dan Swandaru. Mereka telah terlalu lama pergi.”
Orang-orang tua itu pun
kemudian terdiam ketika mereka mendengar derit amben di sebelah dinding.
Agaknya kedua anak-anak muda, yang tidur di tempat itu, sudah terbangun pula.
“Kita akan menghubungi Ki Juru
Martani, apakah ia merasakan hal yang serupa pula” bisik Kiai Gringsing
kemudian.
Yang lain hanya
mengangguk-angguk saja, karena sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Swandaru
memang sudah terbangun. Mereka pun kemudian turun dari pembaringannya dan
keluar dari dalam bilik.
Sementara itu, Ki Demang pun
telah menggeliat. Perlahan-lahan ia membuka matanya, dan dilihatnya Kiai
Gringsing telah duduk di bibir amben. Ki Waskita dan Ki Sumangkar pun telah
bangkit pula dan bergeser menepi.
Ki Demang kemudian duduk pula
sambil menggosok matanya. Katanya, “Aku dapat tidur nyenyak sekali malam ini.
Bahkan aku bermimpi seolah-olah aku sudah berada di Sangkal Putung.”
“Sebenarnya bukan jarak yang
jauh, Ki Demang,” sahut Kiai Gringsing.
“Betapapun dekatnya jarak itu,
tetapi jika tidak kita jalani, maka kita tidak akan sampai juga.”
Yang mendengar jawaban itu
tertawa. Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun tersenyum pula.
Demikianlah, maka tamu-tamu
Raden Sutawijaya dari Sangkal Putung itu pun kemudian bersiap-siap untuk
menempuh perjalanan kembali. Mereka merasa betapa rindunya kepada Kademangan
Sangkal Patung itu. Terutama Ki Demang dan Swandaru. Mereka sudah terlampau
lama meninggalkan sawah dan ladang yang hijau. Sungai yang jernih, dan
parit-parit yang menyelusuri pematang dan pinggir-pinggir jalan. Di pagi hari,
gunung Merapi nampak megah kebiru-biruan, dengan puncak yang bagaikan membara
dibakar oleh cahaya matahari yang baru terbit.
“Kita akan segera kembali,”
desis Swandaru di dalam hatinya. Ia pun sebenarnya sudah rindu kepada ibunya
dan kepada adiknya Sekar Mirah, meskipun jika mereka berkumpul, hampir setiap
hari mereka selalu bertengkar,
Setelah semuanya bersiap, maka
mereka pun kemudian menemui Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya, yang disertai
beberapa orang tetua dan pemimpin dari Tanah Mataram yang sedang berkembang
itu.
“Jadi kalian semuanya
benar-benar akan meninggalkan Mataram?” bertanya Ki Juru Martani.
“Apa boleh buat, Ki Juru,”
jawab Ki Demang, “kami harus kembali cepat atau lambat. Dan agaknya kami sudah
terlampau lambat pulang. Orang-orang di Sangkal Putung tentu sudah gelisah dan
cemas, karena aku tidak segera berada di antara mereka.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Katanya, “Tidak ada yang dapat aku katakan selain ucapan terima kasih. Telah
banyak sekali yang kalian lakukan bagi Tanah Mataram yang sedang tumbuh ini.
Karena itu, maka apabila Ki Demang memerlukan kami, jika kami dapat melakukan,
kami akan melakukannya dengan senang hati. Termasuk saat-saat Angger Swandaru
menempuh jenjang kehidupan baru.”
“Terima kasih, Ki Juru. Terima
kasih. Sudah tentu pada saatnya kami akan memberitahukan apakah yang ingin kami
minta dari Tanah Mataram yang sedang berkembang ini,” sahut Ki Demang.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan kedua anak-anak muda
seperguruan itu minta diri. Sementara itu, agaknya Ki Waskita pun telah
bersepakat untuk ikut pergi mengawani perjalanan itu ke sangkal Putung.
Ki Juru Martani, Raden
Sutawijaya dan para pemimpin Mataram tidak dapat menahan mereka lagi, sehingga
mereka pun kemudian mengantarkan tamu-tamu mereka, yang akan meninggalkan
Mataram sampai ke pintu gerbang halaman.
“Selamat jalan,” desis Ki Juru
dari Raden Sutawijaya hampir bersamaan.
Ketika iring-iringan kecil
berkuda itu mulai bergerak, maka terasa kesunyian seolah-olah semakin
mencengkam hati Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru yang hampir sebaya
dengannya itu merupakan kawan berbicara yang rasa-rasanya paling sesuai. Tetapi
ia tidak dapat menahannya lebih lama lagi.
Dalam pada itu, Ki Juru
Martani pun bagaikan membeku memandang iring-iringan berkuda itu. Bukan saja
karena hatinya merasa sepi seperti Sutawijaya karena kehilangan kawan berbicara
dan berbincang, namun ia mendapat bisikan dari Kiai Gringsing sesaat sebelum
pergi, “Apakah kau merasakan sesuatu semalam, Ki Juru?”
Ki Juru tidak menyahut. Saat
itu ia hanya mengangguk kecil. Namun dengan demikian Ki Juru itu menjadi yakin,
bahwa ia tidak sekadar diganggu oleh perasaannya saja, ketika semalam terasa
angin yang lembut berdesir di atas atap rumah itu.
“Memang ada sesuatu yang tidak
sewajarnya,” berkata Ki Juru di dalam hatinya. Tetapi seperti juga Kiai
Gringsing dan tamu-tamunya yang lain, Ki Juru juga tidak dapat menebak, apakah
sebenarnya yang telah terjadi di Mataram. Namun bahwa Mataram harus berhati-hati,
tidak lagi dapat dielakkan lagi.
Seperti juga tamu-tamunya yang
baru saja meninggalkan Mataram, Ki Juru pun dapat menduga, bahwa sesuatu yang
memiliki kelebihan telah mulai menyentuh Tanah yang sedang berkembang itu.
Tetapi Ki Juru Martani bukan
anak kemarin sore. Ia adalah seseorang yang telah kenyang makan garamnya
kehidupan yang serba rumit dan pelik.
Karena itu, sebelum semuanya
terjadi, Ki Juru pun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mungkin ada
sesuatu yang dengan sengaja ingin mengganggu Mataram, seperti yang selalu
terjadi sampai saat terakhir. Pada saat ia datang menghadap Sultan Pajang untuk
memberitahukan bahwa Ki Gede Pemanahan telah wafat, ada juga orang-orang yang
telah mencegatnya.
Dengan demikian, maka segala
kemungkinan yang kurang baik masih dapat terjadi atas Mataram yang sedang
tumbuh.
“Tetapi mungkin juga perasaan
kami yang masih saja dipengaruhi oleh prasangka-prasangka buruk,” berkata Ki
Juru di dalam hatinya.
Meskipun demikian, Ki Juru
menyadari bahwa di Mataram ada dua buah pusaka yang memiliki nilai yang tinggi
bagi pemegang pimpinan atas tanah ini. Kiai Pleret dan Kiai Mendung. Kedua
pusaka itu akan membuat orang-orang yang tidak senang kepada Mataram semakin
bernafsu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tercela.
Tetapi Ki Juru Martani tidak
tergesa-gesa memberitahukan hal itu kepada orang lain. Ia masih harus
meyakinkan, apakah perasaannya itu tidak hanya sekedar diganggu oleh angin
pancaroba dalam pergantian musim. Bahkan kepada Sutawijaya pun ia tidak
mengutarakannya, karena ternyata Sutawijaya belum menangkap isyarat apa pun
juga.
“Mungkin ia masih terlampau
muda untuk dapat menyentuh getaran yang sangat halus itu,” berkata Ki Juru di
dalam hatinya. Namun kemudian dilanjutkannya, “Atau aku memang sudah terlampau
tua, untuk tidak berprasangka buruk terhadap persoalan yang sebenarnya tidak
akan berakibat apa pun juga.”
Dengan demikan, maka Ki Juru
masih ingin meyakinkan, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan iring-iringannya menjadi semakin jauh dari Mataram. Ki Demang Sangkal
Putung yang berada di paling depan, memacu kudanya semakin cepat, seakan-akan
ia sudah tidak sabar lagi berada di perjalanan yang terasa menjemukan sekali.
Ia ingin segera bertemu dengan keluarganya, dengan bebahu kademangannya dan
dengan tetangga-tetangga yang baik di Sangkal Putung.
Kiai Gringsing sama sekali
tidak menahannya. Bahkan, ia pun mengikuti kecepatan lari kuda Ki Demang,
bersama kawan-kawannya yang lain.
Di paling belakang dari
iring-iringan itu adalah Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka hampir tidak
bercakap-cakap sama sekali. Swandaru yang banyak berbicara itu pun agaknya
lebih banyak berbicara di dalam angan-angannya tentang dirinya sendiri, tentang
masa depan yang sudah menerawang di angan-angan.
Agung Sedayu pun ternyata
telah diganggu pula oleh perasaannya sendiri. Masih terngiang kata-kata Untara
di tangga pendapa rumah Raden Sutawijaya di Mataram.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Pertanyaan yang serupa itu telah menyentuh hatinya dan bahkan
tumbuh pula dari dirinya sendiri, “Apakah aku akan tetap menjadi seorang
petualang sampai hari tuaku? Jika pada suatu saat aku ingin hidup seperti
lazimnya hidup berkeluarga, aku memang tidak akan dapat setiap hari hanya
menyelusuri jalan-jalan dan padesan.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Di luar sadarnya ia memperhatikan gurunya yang ada di depannya.
Sebuah pertanyaan yang lain telah tumbuh pula, “Apakah guru memang hidup
seorang diri sejak muda, tanpa pernah mengalami hidup kekeluargaan sebagaimana
lazimnya?”
Di luar sadarnya, Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menambah kepalanya menjadi pening
memikirkan keadaan gurunya.
Bahkan kemudian di luar
kehendaknya, Agung Sedayu mulai menilai keadaan Swandaru. Seperti yang
dikatakan oleh Untara, Swandaru telah mempunyai pegangan hidup yang kuat,
pegangan hidup lahiriah. Ia adalah satu-satunya anak laki-laki Ki Demang
Sangkal Putung. Ia dengan sendirinya akan mewarisi pangkat Demang itu, dan ia
akan menjadi Ki Demang setiap saat ayahnya menyerahkan jabatan itu kepadanya,
apabila ia menjadi semakin tua dan merasa tidak mampu lagi bekerja.
“Dan bakal istri Swandaru
adalah satu-satunya anak Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh,” berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya. “Ia adalah satu-satunya orang yang berhak
mewarisi Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka baik Swandaru maupun
Pandan Wangi akan menjadi pewaris-pewaris dari daerah yang luas dan subur,
sehingga mereka tidak akan lagi dicemaskan oleh perjuangan hidup lahiriah,”
sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Sebaliknya, apakah
yang aku punyai di Jati Anom? Secuil sawah yang harus dibagi dua dengan Kakang
Untara. Rumah peninggalan Ayah yang meskipun cukup besar dan baik, tetapi kini
oleh Kakang Untara seakan-akan telah diserahkan bagi kepentingan prajurit
Pajang, karena Kakang Untara sendiri adalah seorang perwira. Meskipun Kakang
Untara kemudian tinggal di rumah itu bersama istrinya, namun rumah itu masih
tetap menjadi ajang kegiatan keprajuritan.”
Di luar sadarnya, Agung Sedayu
berpaling memandang wajah Swandaru. Wajah yang bulat itu nampak cerah
dipanasnya matahari pagi.
Sepercik perasaan iri
menyentuh hati Agung Sedayu. Perasaan yang melonjak dari dasar hati. Namun
Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang sudah lama belajar mengendalikan
perasaan. Bahkan kadang-kadang terlampau kuat, sehingga ia mampu mendesak
perasaan yang tumbuh dengan wajar itu dari hatinya.
Dengan penuh kesadaran ia
menilai perasaannya itu. Dengan penuh kesadaran ia mencoba mengatasi perasaan
iri di hatinya.
“Aku tidak boleh merasa iri
hati atas keberuntungan Swandaru,” katanya di dalam hati, “Perasaan iri adalah
pertanda desah dan ketidak-relaan menerima kasih yang sudah dilimpahkan oleh
Yang Maha Pencipta, seolah-olah suatu tuntutan ketidak-adilan atas nasib yang
disandangnya.”
Namun kemudian, “Tetapi yang
Maha Pengasih pun tidak akan merubah nasib seseorang, jika orang itu sendiri
tidak berbuat apa-apa. Dan berbuat apa-apa itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang
telah berusaha sebagai kenyataan permohonan yang dipanjatkan kehadapan-Nya.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sebuah pertanyaan pun kemudian melonjak di hatinya, “Dan apakah
yang sudah aku lakukan menjelang hari depan?”
Sekali-sekali masih juga
terngiang kata-kata kakaknya, bahwa sebaiknya ia menjadi seorang prajurit
seperti kakaknya.
“Kau memiliki bekal yang
cukup,” berkata Untara. Tetapi Agung Sedayu selalu ragu-ragu. Dan bahkan ia
berkata di dalam hati, “Aku bukan seorang prajurit yang baik. Setiap kali
tanganku menjadi gemetar, jika aku mengayunkan senjata di peperangan. Apalagi
jika sepercik darah telah menyembur dari luka akibat tanganku. Dan itu bukan
sifat seorang prajurit yang baik.”
Meskipun demikian, Agung
Sedayu tidak dapat ingkar, bahwa tangannya bukan saja sekedar mencabut sebuah
nyawa, tetapi telah beberapa kali ia membunuh di peperangan.
Tanpa disengaja, Agung Sedayu
memandang tangannya, jari-jarinya dan telapak tangannya.
Sekali lagi ia menarik nafas
dalam-dalam.
Sementara itu kudanya berlari
terus, meskipun tidak terlalu kencang. Beberapa kali mereka harus memperlambat
derap kaki-kaki kuda, karena jalan yang masih belum sempurna sama sekali. Namun
kemudian kudanya dapat berlari lagi semakin cepat.
Ki Demang Sangkal Putung masih
tetap berada di paling depan. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi mengikuti derap
kaki kudanya yang malas dan lamban.
Tidak ada peristiwa apa pun
yang terjadi di sepanjang jalan. Tidak ada orang yang mencoba mencegat
perjalanan mereka. Penjahat tidak, dan orang-orang yang mempunyai kepentingan
yang lain pun tidak. Mereka dapat menempuh perjalanan dengan aman dan lancar.
Sekali-sekali mereka berhenti sejenak, memberi kesempatan kuda mereka minum air
di parit yang mengalir di tepi jalan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan
mereka menyusuri jalan yang semakin lama terasa semakin baik.
Iring-iringan itu melintasi
alas Tambak Baya yang sudah tidak dihantui lagi oleh para penjahat, meskipun
kadang-kadang masih ada perampok-perampok kecil yang mencoba bermain-main
dengan nasib.
Meskipun sebenarnya jarak
antara Mataram dan Sangkal Putung tidak terlampau jauh, namun rasa-rasanya
perjalanan mereka terlampau lama.
Di saat-saat matahari condong
ke barat, mereka berhenti sejenak oleh terik matahari yang rasa-rasanya
membakar punggung. Kuda mereka pun menjadi haus. Iring-iringan kecil itu pun
kemudian berhenti di sebuah sungai yang menyilang jalan dan membiarkan kuda
mereka minum dan makan rerumputan di tepian. Sementara itu,
penunggang-penunggangnya pun duduk sebentar melepaskan lelah dan berlindung
dari teriknya matahari.
“Alangkah sejuknya mandi,”
desis Swandaru.
“Kita tentu tidak terlalu lama
berhenti. Kecuali jika kau ingin ditinggalkan sendiri di sini,” sahut Agung
Sedayu.
“Di sebelah ada pedesan. Kita
sudah tidak terlampau jauh lagi dari Sangkal Putung,” berkata Swandaru. “He,
bukankah daerah ini termasuk daerah jelajah pasukan Tohpati? Kau ingat hutan
rindang di sebelah itu?”
“Ya,”
Swandaru akan berbicara lagi.
Tetapi ia menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Tidak apa-apa.”
“Kau akan mengatakan sesuatu,
tetapi kau urungkan.”
“Ya. Hampir saja aku
mengatakan, bahwa aku ingin melihat daerah itu. Gubug-gubug liar dan barangkali
masih ada satu dua orang yang tertinggal.”
“Kau memang sedang bermimpi.”
“He, siapa tahu di hutan yang
tidak terlampau lebat itu terdapat sesuatu,” Swandaru tiba-tiba berbisik.
“Sesuatu apa?”
“Mungkin Tohpati pernah
menyembunyikan harta benda atau apa pun yang dibawanya dari Jipang, dari
Kepatihan.”
Agung Sedayu tersenyum sambil
memandang Sumangkar yang duduk sambil merenung, bersandar sebuah batu besar.
“Ada orang tua itu, jika Tohpati menyimpan harta karun di sana, Ki Sumangkar
tentu mengetahuinya.”
“Mungkin ia mengetahui, tetapi
ia tidak berkata kepada siapa pun.”
“Sudahlah. Mimpimu berbahaya.”
Swandaru pun tertawa kecil.
Namun tiba-tiba ia berdesah, “Ayah memang aneh. Nampaknya ia tergesa-gesa.
Tetapi setelah Sangkal Putung menjadi semakin dekat, justru kita harus berhenti
dan beristirahat.”
“Bukan kita yang lelah. Tetapi
kuda-kuda kita,” Jawab Agung Sedayu. “Selebihnya, Ki Demarg sedang mengatur
perasaannya, mengarang jawaban yang tentu akan tertumpah dari Nyai Demang.
Perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh yang dapat ditempuh dalam waktu sepekan
itu, ternyata telah menjadi panjang sekali.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Namun kemudian sambil tersenyum ia menjawab, “Aku dapat membantu Ayah
memberikan jawaban.”
Agung Sedayu tidak menjawab
lagi. Ia pun kemudian duduk bersandar sebatang pohon di pinggir sungai, sambil
memandangi kuda-kuda yang sedang makan rerumputan segar.
Demikianlah, setelah mereka
beristirahat beberapa saat, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan.
Tidak terlampau jauh lagi di hadapan mereka berdiri sebuah tiang, sebagai pertanda
bahwa mereka akan segera memasuki daerah Kademangan Sangkal Putung.
Ketika mereka melampaui tiang
kayu itu, maka Ki Demang merasa seolah-olah telah sampai di rumah. Udara
rasa-rasanya bertambah segar dan angin semakin sejuk. Sambil menarik nafas dalam-dalam,
ia berkata, “Akhirnya aku sampai juga di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Apakah selama ini Ki Demang cemas, bahwa ada kemungkinan Ki Demang
tidak akan sampai di rumah?”
“Mula-mula tidak, Kiai. Tetapi
jika terkenang batang-batang kayu dan batu-batu besar yang runtuh di tebing, di
hadapan mulut padepokan Panembahan Agung, rasa-rasanya bulu-bulu tengkuk ini
tegak berdiri.”
Yang mendengar jawaban itu
tertawa. Ki Waskita-lah yang kemudian menyahut, “Menurut pendengaranku, di tlatah
Sangkal Putung pernah juga terjadi pertempuran yang gawat. Benturan antara
pasukan Jipang yang telah terpecah-pecah, dengan prajurit-prajurit Pajang di
bantu oleh anak-anak muda Sangkal Putung. Apakah saat itu Ki Demang tidak cemas
mendengar nama Macan Kepatihan atau lebih-lebih lagi paman gurunya, yang
mempunyai juga tongkat yang berkepala tengkorak berwarna kuning, dan bergelar
Ki Sumangkar?”
Ki Demang pun tertawa.
Jawabnya, “Tidak. Aku tidak cemas sama sekali. Di Kademangan Sangkal Putung ada
seorang dukun yang bernama Ki Tanu Metir. Tentu Ki Tanu Metir dapat mamasang
guna-guna, agar Ki Sumangkar menjadi jinak.”
Ki Sumangkar pun tertawa pula.
Meskipun terkilas perasaan perih di hatinya. Kenangan itu ingin dilupakannya
sama sekali. Tetapi agaknya ia masih harus mendengarkannya, gurau Ki Demang
tentang kehancuran laskar Jipang, yang terakhir di bawah pimpinan Tohpati yang
bergelar Macan Kepatihan.
Sekilas terbayang orang-orang
yang saat itu menjadi kebanggaan Jipang. Pande Besi dari Sendang Gabus. Alap-Alap
Jalatunda, seorang anak muda yang sebenarnya menyimpan harapan di masa
depannya, Plasa Ireng, dan masih banyak lagi yang harus mengorbankan nyawanya
untuk tujuan yang sebenarnya sudah sangat kabur. Bahkan kemudian masih disusul
peristiwa yang pahit. Sidanti yang lepas dari pengaruh Widura dan bahkan
kemudian bergabung dengan sisa-sisa pasukan Tohpati, sepeninggal Tohpati itu
sendiri.
Api yang menyala di padepokan
Tambak Wedi di lereng Gunung Merapi itulah yang kemudian merembet sampai ke
Tanah Perdikan Menoreh. Sidanti, salah seorang anak muda yang dilahirkan di
Tanah Perdikan Menoreh, dengan persoalan yang sudah dibawanya sejak lahir bukan
atas kehendaknya sendiri.
Ki Waskita pun pernah
mendengar cerita itu selama ia bergaul dengan orang-orang dari Sangkal Putung
itu. Di saat-saat mereka duduk sambil minum minuman panas, mereka pun
kadang-kadang berbincang tentang api yang pernah membakar Tanah Perdikan
Menoreh. Perang di antara saudara sendiri, dan bahkan Sidanti yang terbunuh di
luar sadar oleh Pandan Wangi, adiknya sendiri.
Tidak seorang pun yang
membayangkan, bahwa api akan berkobar lagi di atas Tanah Perdikan Menoreh itu.
Peristiwa Panembahan Agung bukannya persoalan Tanah Perdikan itu sendiri
meskipun terjadi di atas pebukitan, di tlatah Menoreh.
Namun kadang-kadang di dalam
saat-saat merenung, Ki Waskita di kejutkan oleh isyarat-isyarat yang
mencemaskan, yang dapat terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan kadang-kadang Ki
Waskita bertanya di dalam hati, “Apakah isyarat ini ada hubungannya dengan
isyarat yang buram dari perkawinan yang bakal terjadi antara Swandaru dan
Pandan Wangi, anak satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”
Ki Waskita setiap kali hanya
menggelengkan kepalanya saja, seolah-olah ia ingin mengusir isyarat yang
dilihatnya dengan mata batinnya yang tajam itu. Bahkan kadang-kadang ia ingin
mengingkari tangkapan isyarat itu dan mencoba mencari jawaban yang lain dari
tanggapan yang sebenarnya harus diberikan.
“Tidak. Api itu sudah padam.
Tidak akan ada nyala api lagi di atas Tanah Perdikan Menoreh,” katanya kepada
diri sendiri.
Tetapi kebohongan yang betapa
pun besarnya, tidak akan dapat membohongi dirinya sendiri. Ia sudah melihat
isyarat itu. Dan ia tidak akan dapat menghapuskannya. Yang dapat dilakukan
adalah ingkar, hanya itu. Tetapi yang telah dilihatnya itu adalah suatu isyarat
yang sudah nampak. Dan Ki Waskita tidak kuasa menghapusnya lagi.
Ki Waskita terkejut ketika
tiba-tiba saja Ki Sumangkar menggamitnya dan bertanya, “Ki Waskita. Kenapa diam
saja? Apakah Ki Waskita juga sudah mulai merindukan kampung halaman dan anak
istri?”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Sudah tentu, Ki Sumangkar. Apalagi Rudita yang sudah mulai mengenal dirinya
sendiri. Perkembangannya benar-benar menakjubkan. Dan apakah sebaiknya aku
membatalkan niatku untuk pergi ke Sangkal Putung?”
Ki Demang tertawa. Katanya,
“Ki Waskita sudah menginjak tanah Kademangan Sangkal Putung. Sebaiknya Ki
Waskita mencicipi hasil tanahnya. Airnya tentu lebih segar, dan buah-buahan
akan terasa lebih manis dari daerah lain.”
Ki Waskita tertawa, katanya di
antara suara tertawanya yang tertahan, “Baru sekarang Ki Demang sempat tertawa.
Sebenarnya tertawa, bukan sekedar tertawa kecut. Setelah Ki Demang berada di
daerah Sangkal Putung, dan setelah ternyata padi mulai menguning di bentangan
sawah yang luas. Tentu Ki Demang merasa betapa sejuknya angin yang membelai
butir-butir padi yang sudah merunduk.”
Ki Demang masih saja tertawa.
Tetapi ia tidak menjawab. Kepalanya yang terangkat memandang jauh ke depan,
mendahului derap kaki kudanya yang terasa terlampau lamban.
Ketika seorang petani yang
duduk di tanggul parit di pinggir jalan melihatnya, tiba-tiba saja ia berdiri
ternganga. Ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi kerongkongannya
seolah-olah tersumbat.
“He, kau, Kerta,” Justru Ki
Demang-lah yang menyapanya lebih dahulu, sambil memperlambat kudanya.
“Ki Demang, Ki Demang,” suara
Kerta tergagap.
“Ya,” sahut Ki Demang sambil
tersenyum.
Orang yang kemudian berdiri
itu masih termangu-mangu, ketika kuda Ki Demang menjadi semakin jauh. Baru
kemudian ia menyadari sepenuhnya, bahwa Ki Demang yang sudah beberapa saat
tidak ada di kademangannya itu pulang, bersama anak laki-lakinya yang gemuk dan
beberapa orang tamu yang sudah dikenalnya, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan
saudara seperguruan Swandaru. Tetapi yang satu masih belum pernah dilihatnya.
Karena itulah, maka petani itu
pun dengan tergesa-gesa mendatangi kawan-kawannya yang sedang bekerja di sawah
sambil berkata, “Ki Demang sudah pulang.”
“Dari mana kau tahu?”
“Aku melihat iring-iringan di
tengah bulak. Bersama dukun tua dan saudara seperguruan Swandaru, Ki Sumangkar,
dan seorang lagi.”
“Dan, Swandaru?”
“Ya. Bersama Swandaru.”
Berita kedatangan Ki Demang
itu pun kemudian segera tersebar di seluruh kademangan. Setiap orang tahu,
bahwa Ki Demang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melamar seorang gadis
yang akan dijadikan istri Swandaru yang gemuk itu. Karena itu, mereka pun ingin
juga segera mengetahui hasil perjalanan yang menurut ukuran mereka justru
terlampau lama itu.
“Wajah-wajah mereka nampak
cerah,” berkata Kerta bersungguh-sungguh.
“Jika demikian, mereka tentu
berhasil.”
“Tentu,” sahut yang lain,
“yang membuka pembicaraan adalah justru anak-anak itu sendiri. Orang-orang tua
hanya sekedar dengan resmi membicarakan penyelesaiannya saja.”
Seorang berambut putih menarik
nafas. Katanya, “Itulah sekarang kerja orang-orang tua. Kita tidak lagi dapat
berbuat banyak atas anak-anak muda. Tetapi anak-anak muda kadang-kadang tidak
menanggung akibatnya. Jika mereka kawin atas kehendak sendiri, mereka tidak mau
membiayai diri sendiri. Mereka masih memaksa orang tua mengeluarkan uang buat
membiayai perhelatan perkawinan mereka.”
“Ah, bukankah itu sudah
menjadi kewajiban orang tua?” sahut yang lain.
Yang mendengarkan percakapan
itu tertawa. Orang berambut putih itu pun tertawa pula. Katanya, “Mestinya
tidak begitu, jika mereka menyerahkan jodoh mereka kepada orang-orang tua, maka
orang-orang tualah yang harus rnembiayai perhelatan perkawinan itu. Tetapi jika
mereka memilih jodoh mereka sendiri, maka biarlah mereka membiayai perhelatan
mereka.”
“Dan kau akan cuci tangan?”
Orang berambut putih itu
tertawa semakin keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Tidak, tentu
bukan begitu.”
Sementara itu, perjalanan Ki
Demang sudah semakin mendekati padukuhan induk di Kademangan Sangkal Putung.
Semakin dekat mereka dengan rumah kademangan, hati Ki Demang pun menjadi
semakin berdebar-debar. Demikian juga Swandaru dan bahkan Agung Sedayu. Karena
di rumah itu tinggal seorang gadis cantik yang bernama Sekar Mirah. Meskipun
agak keras hati, namun gadis itu memiliki tatapan mata yang bagaikan mengikat.
Terngiang sekilas di telinga
Agung Sedayu kata-kata Untara, “Nah, kapan aku harus datang ke Sangkal Putung?”
kemudian, “Tetapi kau harus mempunyai pegangan lebih dahulu.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Sekali lagi terbayang kemungkinan yang dapat terjadi atasnya dan atas Swandaru.
Swandaru tentu akan mempunyai
pegangan yang mapan. Sedang apakah yang akan dapat diberikan kepada Sekar
Mirah? Padahal menurut sikap lahiriahnya, Sekar Mirah bukan seorang gadis yang
dengan rela menerima kesederhanaan tata cara hidup, seperti juga Swandaru.
“Ia mempunyai harga diri yang
kadang-kadang agak berlebih-lebihan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Teringat olehnya bagaimana Sekar Mirah menjadi kurang senang pada saat mereka
mengunjungi perhelatan perkawin Untara, hanya karena tempat duduk dan tegur
sapa yang kurang berkenan di hatinya.
Tetapi bagaimanapun juga,
gadis itu telah memikat hatinya di dalam keseluruhan. Ia tidak akan dapat
memisahkan sifat-sifat baiknya dari sifat-sifat yang kurang baik. Dan ia tidak
akan dapat menerima Sekar Mirah dari segi yang baik saja dan menolak segi yang
lain. Jika ia menerima gadis itu, maka itulah Sekar Mirah seutuhnya.
Dengan demikian, maka justru
Agung Sedayu-lah yang kemudian menjadi sangat gelisah. Bukan sekedar menghadapi
kehadiran mereka di rumah Ki Demang Sangkal Putung dan berbagai pertanyaan yang
bakal tertumpah, tetapi justru menghadapi masa depannya. Masa depan yang
panjang.
Setiap kali terngiang
kata-kata Untara di telinganya. Namun setiap kali ia selalu bertanya pula
kepada diri sendiri, “Jika aku menghentikan petualangan ini, apakah yang akan
aku kerjakan? Aku tidak pantas menjadi seorang prajurit. Tetapi aku tidak dapat
pula mendapatkan pekerjaan lain. Untuk menjadi petani biasa, maka semuanya akan
menjadi serba kekurangan bagi Sekar Mirah, karena sawah peninggalan ayah yang
tidak begitu luas masih harus dibagi dengan Kakang Untara.”
Kadang-kadang terbayang hutan
yang lebat dan luas di Mataram. Jika ia ikut membuka hutan itu dengan
sebenarnya, bukan sekedar mengejar hantu-hantuan atau orang-orang lain yang
dengan sengaja menghalangi pembukaan hutan itu, maka ia akan mendapatkan tanah
yang cukup luas. Mungkin ia akan mendapat hak khusus untuk membuka dua atau
tiga bagian tanah lebih banyak dari orang-orang lain. Tetapi membuka hutan
membutuhkan waktu dan perkembangan. Apalagi sampai saat itu Agung Sedayu masih
belum mulai sama sekali.
Tiba-tiba angan-angan Agung
Sedayu pun pecah, ketika ia mendengar beberapa orang anak-anak muda berteriak,
“Ki Demang, Ki Demang sudah datang.”
Agung Sedayu mengangkat
wajahnya. Dilihatnya beberapa orang anak muda berdiri di sudut desa. Mereka berlari-larian
menyongsong demangnya yang datang dari bepergian jauh, dan untuk waktu yang
cukup lama.
Namun ternyata, ketika
iring-iringan Ki Demang menjadi semakin dekat, yang menjadi pusat perhatian
mereka adalah Swandaru. Seorang anak muda dengan melambaikan tangannya berkata,
“Kami sudah membuat tandu untuk pengantinmu, Swandaru.”
Anak-anak muda itu tertawa.
Swandaru pun tertawa pula. Katanya, “Terima kasih. Tetapi kau harus membuat
bambu usungannya rangkap. Aku menjadi semakin gemuk sekarang. Karena itu,
kalian harus hati-hati menyediakan tandu buatku.”
“Tidak untukmu,” sahut yang
lain, “tetapi untuk pengantinmu. Seperti seorang kesatria di dalam dongeng,
isterinya naik tandu dan suaminya naik kuda, diiring dengan sebuah pengawal
pasukan berkuda.”
Swandaru tertawa. Tetapi ia
masih mendengar seorang kawannya berkata, “Kuda lumping. Tepat sekali bagi
Swandaru. Pengantinnya pun harus naik kuda lumping pula.”
Anak-anak muda itu tertawa.
Swandaru pun tertawa pula. Bahkan Ki Demang pun tertawa seperti anak-anak muda
itu juga.
Ki Waskita yang baru pertama
kalinya datang ke Sangkal Putung, melihat betapa akrabnya hubungan anak-anak
muda di Sangkal Putung. Agaknya hal itu terbentuk sejak saat mereka
bersama-sama menghadapi bahaya yang mengancam kademangan mereka, ketika Tohpati
ada di depan hidung Kademangan Sangkal Putung, dengan tongkat berkepala
tengkorak kuningnya.
Tetapi Swandaru tidak berhenti
dan iring-iringan itu pun tidak berhenti pula. Anak-anak muda itu menyambut
dengan caranya sendiri di pojok desa.
Sejenak kemudian, maka
iring-iringan itu pun telah memasuki induk kademangan. Mereka menyusuri jalan
yang langsung menuju ke rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Kabar tentang kedatangan Ki
Demang itu pun segera tersebar ke seluruh kademangan. Dan mereka pun segera
mencari arti dari senyum dan gurau Swandaru.
“Agaknya lamaran mereka tidak
menjumpai kesulitan apa pun,” berkata orang-orang Sangkal Putung. Dan mereka
pun ikut bergembira, karena dengan demikian, maka sebentar lagi Sangkal Putung
akan segera merayakan hari perkawinan Swandaru. Swandaru Geni, anak laki-laki
satu-satunya dari Ki Demang, dan yang kelak, pada suatu saat akan menggantikan
kedudukan ayahnya, apabila ayahnya sudah tidak dapat menjalankan tugasnya lagi.
Demikianlah, ketika iring-iringan
itu mendekati regol kademangan, beberapa orang yang kebetulan berada di depan
regol segera memberitahukan kehadiran Ki Demang itu kepada seisi rumah.
Nyai Demang dan Sekar Mirah
memang sudah lama sekali menanti Ki Demang. Karena itu, mereka pun segera
berlari-larian turun ke halaman, menyongsong kedatangan iring-iringan itu.
Kedatangan Ki Demang dan
Swandaru bersama segenap orang dalam iring-iringan itu, telah membuat halaman
kademangan menjadi riuh. Swandaru pun dengan serta-merta mendapatkan ibunya.
Dan seperti terhadap Swandaru di saat masih kanak-kanak, ibunya pun memeluknya
sambil berkata, “Kau selamat, anakku. Bukankah perjalananmu tidak menjumpai
kesulitan? Kalian, pergi terlampau lama sehingga hatiku menjadi sangat cemas.”
“Tidak apa-apa, Ibu. Aku
selamat seperti yang Ibu lihat sekarang.”
Dalam pada itu, Sekar Mirah
pun mulai memuntahkan pertanyaan-pertanyaannya kepada ayahnya. Kenapa mereka
terlalu lama pergi, kenapa tidak segera kembali, apakah ada sesuatu di
perjalanan, atau hambatan apa pun yang dijumpainya.
“Nantilah, Sekar Mirah,”
berkata ibunya. “Marilah, marilah. Silahkan naik ke pendapa.”
Ki Demang dan kawan-kawannya
seperjalanan itu pun segera mencuci kakinya dengan air di jembangan, di bawah
sebatang pohon kemuning di halaman. Kemudian mereka pun segera naik ke pendapa,
duduk melingkar di atas sehelai tikar pandan yang putih.
Hanya Ki Demang sajalah yang
langsung masuk ke dalam rumah diikuti oleh istrinya dan Sekar Mirah.
“Nanti aku akan menceritakan
kisah perjalananku yang sangat menarik,” berkata Ki Demang, “sekarang aku sudah
selamat sampai di rumah ini kembali.”
“Tetapi Ayah terlalu lama. Aku
sudah memutuskan, jika dalam pekan ini Ayah tidak pulang, aku akan menyusul,”
berkata Sekar Mirah.
Ki Demang tertawa. Ditepuknya
bahu anak gadisnya yang manja itu.
Tetapi Sekar Mirah berkata,
“Ayah dapat tertawa. Tetapi kami di sini tidak. Mungkin selama ini Ayah dan
Kakang Swandaru selalu tertawa di perjalanan. Tetapi selama ini kami di sini
selalu berdebar-debar menunggu Ayah pulang.”
“Jangan kau sangka
perjalananku menyenangkan seluruhnya, Sekar Mirah. Kami sudah terlibat dalam
persoalan Mataram tanpa kami sadari.”
“Apakah Ayah singgah di
Mataram?”
“Untuk beberapa hari.”
“Apalagi untuk beberapa hari.
Mataram hanya berada sejengkal dari Sangkal Putung. Kenapa Ayah tidak pulang
dahulu, dan apabila persoalannya memang belum selesai, Ayah dapat kembali ke
Mataram setiap saat. Begitu Ayah bangun tidur dan menggeliat, Ayah sudah sampai
di Mataram.”
“Nanti sajalah, Sekar Mirah,”
cegah ibunya. “Biarlah ayahmu beristirahat saja dahulu.”
“Nah, begitulah,” berkata Ki
Demang.
Dan Nyai Demang menyahut pula,
“Silahkan, Kakang Demang. Mungkin Kakang Demang akan berganti pakaian atau akan
menyimpan pusaka dan senjata, setelah pergi untuk waktu yang lama, tanpa
mengirimkan kabar.”
“Aku tidak menduga bahwa
perjalanan ini akan terlalu lama.”
“Tetapi selama di Tanah
Perdikan Menoreh atau di Mataram, Ki Demang dapat mengirimkan seorang atau dua
orang yang memberikan kabar keselamatan Ki Demang dan Swandaru.”
“Siapa orang-orang itu?”
“Bukankah di Mataram atau
Tanah Perdikan Menoreh banyak orang yang dapat diutus kemari?”
Sekar Mirah-lah yang kemudian
memotong pembicaraan itu, “Nanti sajalah, Ibu. Biarlah Ayah beristirahat saja
dahulu.”
“He,” ibunya termangu-mangu.
Namun ia pun kemudian tersenyum.
Ki Demang pun kemudian masuk
ke dalam biliknya untuk menyimpan pusakanya. Tetapi ia tidak berganti pakaian
karena ia pun segera pergi ke pendapa menemui tamu-tamunya.
Sejenak kemudian, maka
dapurlah yang menjadi sibuk. Nyai Demang dan pembantu-pembantunya dengan
tergesa-gesa menyiapkan minum dan makanan bagi mereka yang baru saja datang
dari perjalanan yang terasa sangat lama itu.
Ketika kemudian minuman hangat
dan makanan telah dihidangkan, maka Nyai Demang dan Sekar Mirah pun ikut pula
duduk di pendapa kademangan. Beberapa orang bebahu kademangan pun telah datang
pula, setelah mereka mendengar bahwa Ki Demang telah datang.
Dari mereka, Ki Demang
mendengar bahwa selama ini Kademangan Sangkal Putung tidak diganggu oleh
kerusuhan-kerusuhan macam apa pun. Sekali-sekali masih juga ada
kejahatan-kejahatan kecil. Tetapi tidak berpengaruh sama sekali atas
keseluruhan keseimbangan keamanan di Sangkal Putung.
Akhirnya datang giliran Ki
Demang harus bercerita tentang perjalanan mereka. Kenapa mereka harus begitu
lama baru kembali.
Sekar Mirah-lah yang selalu
mendesak, seolah-olah ia tidak sabar lagi mendengar alasan ayahnya, kenapa
ayahnya pergi terlampau lama.
“Tentu bukan Ayah, yang
sebenarnya kau tunggu dengan gelisah,” berkata Swandaru.
“Jadi siapa?” bertanya Sekar
Mirah dengan lantang. “Kau kira aku menunggu kau dengan gelisah? Tentu tidak.
Buat apa kau tergesa-gesa pulang? Tempatmu di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tentu juga bukan aku. Kau
lebih senang jika aku tidak segera pulang, supaya jika Ibu menyembelih ayam,
kau mendapat berutunya.”
“Jadi siapa?”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi dengan sebuah senyum yang dibuat-buat, ia menunjuk Agung Sedayu dengan
ujung ibu jarinya.
“Bohong, bohong,” Sekar Mirah
sudah bergeser dari tempatnya. Tetapi Swandaru pun dengan cepatnya merangkak
dan berpindah di belakang Agung Sedayu, sehingga Sekar Mirah tidak mengejarnya
lagi, justru karena Swandaru berada di belakang Agung Sedayu itu.
Tetapi dengan wajah
kemerah-merahan gadis itu berkata, “Awas kau, Kakang. Jika aku sempat
menangkapmu, aku pilin kupingmu,”
“He. Tidak boleh. Bukankah aku
saudara tuamu?”
“Tetapi kau nakal sekali.”
“Sudahlah, Mirah,” potong
ibunya, “kita semua menunggu cerita ayahmu. Dan barangkali juga Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar.”
“Juga tamu kita yang satu
itu,” berkata Ki Demang yang sudah memperkenalkan Ki Waskita kepada keluarganya
dan kepada para bebahu di Sangkal Putung.
Ki Waskita hanya tersenyum
saja seperti juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sejenak kemudian, Ki Demang
pun mulai bercerita. Diceritakannya apa yang terjadi sepanjang perjalanannya
dengan singkat. Tetapi Ki Demang belum menceritakan peristiwa-peristiwa yang
terjadi di perjalanannya sampai bagian yang sekecil-kecilnya. Ia masih belum
menceritakan bahwa Ki Waskita memiliki ilmu yang aneh. Juga belum
diceritakannya mengenai perkembangan Mataram yang terakhir. Tetapi ia sudah
mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan telah wafat.
“Berita itu sudah sampai di
kademangan ini,” berkata seorang bebahu, “dan kami sudah mengira, bahwa Ki
Demang tentu berada di Mataram saat itu.”
Ki Demang Sangkal Putung pun
menganguk-angguk. Berita tentang wafatnya Ki Gede Pemanahan tentu sudah
tersebar di seluruh Pajang, karena Ki Gede pernah menjabat pangkat tertinggi di
kalangan keprajuritan Pajang.
Namun dalam pada itu, Sekar
Mirah menyela, “Nah, apakah sulitnya Ayah pulang sebentar pada saat menjelang
pemakaman Ki Gede Pemanahan? Bukankah Ki Juru Martani sempat juga pergi ke
Pajang? Padahal jalan ke Pajang lewat di sebelah Kademangan ini.”
“Tentu tidak mungkin, Mirah,”
jawab ayahnya. “Aku tidak akan dapat pergi selagi Mataram sibuk
menyelenggarakan jenazah Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi Ki Juru Martani pergi
juga.”
“Itu pun termasuk dalam
rangkaian penyelenggaraan jenazah Ki Gede. Saat itu Ki Juru pergi menghadap
Kanjeng Sultan Pajang.”
“Tetapi sebenarnya Ayah dapat
berpesan kepada Ki Juru untuk singgah sebentar di Sangkal Putung dan
memberitahukan kepada kami, bahwa Ayah masih berada di Mataram. Dengan
demikian, kami tidak terlampau gelisah menunggui Ayah pulang.”
“Ah, tentu tidak mungkin,
Mirah. Ki Juru adalah seorang tua yang dihormati oleh seluruh rakyat Mataram,
dan bahkan Pajang. Adalah tidak sopan, jika aku mohon agar Ki Juru bersedia
singgah sebentar di Sangkal Putung.”
Sekar Mirah memandang ayahnya
dengan heran. Kemudian katanya, “Apakah orang-orang terhormat tidak bersedia
menolong orang lain?”
“Bukan begitu. Tetapi waktu
itu, Ki Juru pun sangat tergesa-gesa.”
Sambil menarik nafas dalam-dalam,
Sekar Mirah berkata, “Nah, alasan yang kedua ini agak lebih baik
kedengarannya.”
Agung Sedayu yang mendengarkan
saja pembicaraan itu menjadi berdebar-debar. Ia menjadi heran mendengar
tanggapan Sekar Mirah atas orang-orang yang dianggap terhormat. Kenapa ia
bersikap demikian datar terhadap Ki Juru Martani dan bahkan sama sekali tidak
mau mengerti, kenapa Ki Demang tidak berani berpesan kepadanya agar singgah di
Sangkal Putung.
“Mungkin Sekar Mirah yang
sepanjang hidupnya berada di kademangan yang cukup jauh dari kota tidak
mengerti, bagaimana ia harus bersikap terhadap orang-orang yang dianggap
penting di Pajang, atau barangkali sikap tinggi hatinyalah yang justru
mendorongnya dengan sengaja menunjukkan sikap yang demikian, seolah-olah
derajatnya tidak harus lebih rendah dari orang yang bernama Ki Juru Martani
itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun demikian, Agung Sedayu
masih juga mencoba mencari jalan keluar dari sifat-sifat Sekar Mirah itu.
“Kelak aku akan dapat menuntunnya, meskipun barangkali akan terasa sulit
sekali.”
Demikianlah, setelah
pembicaraan itu berjalan beberapa lamanya, maka makan pun telah siap. Ki Demang
dan tamu- tamunya segera membenahi dirinya dan mandi di pakiwan sementara nasi
dihidangkan di pendapa.
Ketika kemudian Sangkal Putung
menjadi gelap, dan para bebahu kademangan sudah meninggalkan pendapa untuk
memberi kesempatan Ki Demang dan tamu-tamunya beristirahat, setelah menempuh
perjalanan meskipun tidak begitu jauh, maka mulailah Ki Demang berbicara dengan
istrinya. Agaknya Nyai Demang tidak sabar menunggu sampai besok pagi atau
saat-saat yang lain.
Sementara itu, tamu-tamu Ki
Demang sudah dipersilahkan beristirahat di gandok. Agaknya mereka sudah
terlampau biasa berada di rumah itu, selain Ki Waskita. Kiai Gringsing sudah
berada di rumah itu untuk beberapa lamanya, apalagi Ki Sumangkar yang telah
menempa Sekar Mirah menjadi seorang gadis yang lain dari gadis-gadis sebayanya.
Di ruang dalam, Ki Demang
duduk berdua dengan istrinya. Mereka sibuk membicarakan masalah Swandaru yang
memang sudah sepantasnya untuk kawin.
Nyai Demang merasa gembira
sekali bahwa tidak ada kesulitan apa pun di dalam pembicaraan mengenai anak
laki-lakinya. Apalagi setelah ia mendapat gambaran serba sedikit tentang
keadaan Tanah Perdikan Menoreh.
“Tanah itu subur sekali,
terutama di bagian timur,” berkata Ki Demang.
“Tetapi, bukankah Menoreh
merupakan sebuah pebukitan batu padas yang keras dan tandus?” bertanya
istrinya.
“Tentu saja Tanah Perdikan
Menoreh bukan sekedar gunung berbatu-batu. Tetapi lembahnya hijau, terbentang
dari kaki bukit sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Begitu luasnya?”
“Ya, begitu luasnya,” tetapi
Ki Demang pun kemudian bertanya, “Apakah kau dapat menduga, berapa luasnya
Tanah Perdikan itu?”
Nyai Demang menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak.”
“Jauh lebih luas dari
kademangan ini. Tetapi ada sesuatu yang membuat aku lebih berbangga terhadap
kademangan ini daripada Tanah Perdikan Menoreh.”
“Apa?”
“Sela-sela bukit batu itu
merupakan tempat persembunyian beberapa orang penjahat. Memang tempatnya
memungkinkan sekali. Dan seperti yang kau duga, sebagian dari tanah yang luas
itu adalah bukit-bukit tandus. Meskipun demikian, Tanah Perdikan Menoreh
mempunyai cukup tanah persawahan, untuk memberikan makan kepada seluruh
rakyatnya.”
Nyai Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba membayangkan betapa cantiknya Tanah
Perdikan Menoreh.