Dalam kediaman mereka, para
prajurit itu bertanya-tanya di dalam hati, kenapa tiba-tiba saja sikap anak
Jati Anom itu berubah. Anak muda itu tidak lagi menepuk dada sambil menyebut
namanya, dan tidak lagi berkata tentang Untara. Sama sekali tidak ada lagi
bekas kesombongannya pada pengakuannya yang ikhlas itu. Bahkan sikapnya yang
menyakitkan hati, bahwa seolah-olah Untara, senapati mereka yang mereka
hormati, harus juga dianggapnya terlampau remeh, dan seolah-olah dalam keadaan
serupa itu harus datang kepadanya dan menyatakan terima kasih serta mohon maaf
atas segala kesalahannya. Hal yang bagi para prajurit itu tidak akan mungkin
sekali terjadi.
Untara adalah seorang senapati
yang menggenggam tanggung jawab atas wilayah di sekitar Gunung Merapi, bahkan
di dataran yang membentang sampai ke pesisir kidul. Meskipun Untara juga anak
yang dilahirkan dan dibesarkan di Jati Anom, namun kedudukannya terlampau jauh
terpaut dari anak muda yang bernama Wuranta itu. Seandainya pada masa-masa
kecilnya mereka berkawan dan bermain bersama dalam satu lingkaran permainan,
tetapi keadaan telah membentuk mereka di kedudukan mereka masing-masing.
Belum sempat salah seorang
dari mereka dapat memecahkan kediaman itu, maka mereka pun dikejutkan oleh
bayangan yang mendekati mereka. Tidak hanya seorang, tetapi lima orang. Mereka
mendengar langkah mereka semakin lama semakin dekat, dan melihat mereka semakin
jelas. Di dalam remang-remang cahaya obor di kejauhan mereka dapat memastikan
bahwa sebagian dari mereka adalah prajurit-prajurit Pajang.
“Para perwira” desah para
prajurit hampir bersamaan. Mereka menyangka bahwa kelima orang itu adalah satu
atau dua orang perwira bersama dengan para pengawalnya mengadakan peninjauan
keliling. Melihat para prajurit yang sedang bertugas dan melihat orang-orang
yang terluka atau terbunuh di peperangan. Adalah menjadi kebiasaan para perwira
Pajang untuk melihat, bahkan menangani sendiri tugas-tugas yang berat dan
sulit.
Ketika orang-orang yang datang
itu menjadi semakin dekat, maka para prajurit itu pun berdiri berjajar, memberi
mereka jalan, dan bersiap apabila mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Sedang Wuranta pun kemudian bergeser di belakang para prajurit itu. Ternyata
kelima orang itu berjalan ke arah para prajurit itu, sehingga para prajurit itu
pun terpaksa mempersiapkan diri mereka untuk menerima kunjungan para perwira.
Sejenak mereka menebarkan pandangan mata mereka, untuk mengetahui di mana
kawan-kawan mereka berada. Mungkin mereka harus membawa para perwira itu ke
tempat-tempat perondan, ke tempat para prajurit mengumpulkan orang-orang yang
terluka yang belum sempat dibawa ke pendapa banjar, bahkan mungkin melihat
mayat-mayat yang sudah dikumpulkan untuk dikuburkan besok pagi.
Ketika terlihat oleh para
prajurit itu mayat laki-laki tua beserta isterinya, maka mereka pun berpaling.
Hanya sejenak. Ketika mereka melihat Wuranta di belakang mereka, maka mereka
menganggap bahwa seharusnya Wurantalah yang wajib memberikan keterangannya.
Kelima orang itu menjadi
semakin dekat. Hampir tidak percaya para prajurit itu menajamkan matanya, yang
satu di antara mereka ternyata adalah Untara sendiri.
“Ki Untara” salah seorang dari
mereka berdesis.
“Oh,” sahut kawannya
perlahan-lahan, “ya, Ki Untara sendiri.”
Ketiga prajurit itu kini
berdiri tegak berjajar. Untara memang sering berbuat demikian. Meninjau keadaan
langsung di tempat-tempat yang dianggapnya penting. Seperti kebiasaannya
berdiri di ujung peperangan, maka ia pun selalu berada di dalam kesibukan
akibat dari setiap peperangan, di antara para prajuritnya.
Para prajurit itu
menganggukkan kepala mereka ketika Untara lewat di hadapan mereka.
Untara dan para pengawalnya
pun menganggukkan kepala mereka pula. Namun tiba-tiba Untara itu menghentikan
langkahnya. Ia berdiri di hadapan para prajurit itu. Dengan demikian maka para
prajurit itu pun menjadi berdebar-debar.
Sejenak Untara hanya berdiri
saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ternyata yang dipandangnya bukan
wajah-wajah prajurit yang berdiri tegak di hadapannya, tetapi orang yang
berdiri di belakang mereka. Wuranta.
Para prajurit itu melihat arah
pandangan mata Untara. Mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Apakah yang
akan dilakukan oleh senapati itu? Apakah ia telah mendengar laporan bahwa
Wuranta pernah merendahkannya? Dan apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh
Wuranta setelah ia berhadapan langsung dengan Untara yang namanya sering
disebut-sebutnya.
Sejenak suasana dicengkam oleh
kesepian. Untara berdiri saja di tempatnya, dan Wuranta seolah-olah menjadi
beku.
Namun kemudian mereka melihat
Untara itu mengerutkan keningnya sambil berdesis, “Wuranta, bukankah kau itu?”
Wuranta menjadi
termangu-mangu. Bagaimana ia harus bersikap terhadap senapati itu di dalam
suasana peperangan? Apakah ia harus bersikap seperti para prajurit itu dan
menjawabnya seperti jawaban seorang prajurit pula?
Tetapi kata-kata Untara
berikutnya telah mengejutkannya dan bahkan mengejutkan para prajurit yang
berdiri tegak itu. Katanya, “Aku memang mencarimu Wuranta, sambil melihat-lihat
keadaan.”
Wuranta menjadi semakin
berdebar-debar. Apakah sebabnya Untara mencarinya? Tiba-tiba ia teringat akan
sikapnya selama ini. Karena itu maka ia bertanya di dalam hatinya, seperti
pertanyaan yang bergetar di dalam dada para prajurit itu. “Apakah Untara telah
benar-benar mendengar sikap Wuranta yang kadang-kadang merendahkannya sebagai
seorang senapati, dan ia datang sendiri untuk mengambil tindakan terhadapnya?”
Wuranta yang berdiri tegak
seperti para prajurit itu masih saja tegak seperti sebatang tonggak. Namun
sejenak kemudian ia berhasil menguasai perasaannya yang tidak lagi
melonjak-lonjak. Ia mencoba menenangkan dirinya dan berkata di dalam hati,
“Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila lagi di hadapan Untara sendiri.”
Para prajurit yang berdiri di
muka Wuranta pun menjadi berdebar-debar pula. Tiba-tiba mereka merasa iba
seandainya Untara marah dan mengambil sesuatu tindakan atas Wuranta. Pengakuan
Wuranta yang ikhlas atas kesalahannya pada saat-saat terakhir telah
menyingkirkan sama sekali kebencian para prajurit itu atasnya. Tetapi
seandainya Untara sendiri yang datang mencarinya, dan kemudian berbuat sesuatu
atasnya, maka tidak seorang pun dari mereka yang dapat menolongnya.
Sejenak kemudian terdengar
Untara berkata pula “Wuranta, kemarilah.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Namun dalam ketenangan kini ia dapat menanggapi persoalannya. Ia
telah memutuskan untuk tidak bersikap sebagai seorang prajurit. Ia memang bukan
seorang prajurit. Ia adalah anak Jati Anom, dan Untara adalah anak Jati Anom
pula.
Perlahan-lahan ia melangkah
maju, berjalan di sisi ketiga prajurit yang masih berdiri berjajar dengan
tegapnya.
“Apakah kau memerlukan aku
Untara?” bertanya Wuranta. Hati para prajurit itu pun menjadi semakin
berdebar-debar.
“Ya, aku memerlukanmu” sahut
Untara.
“Apakah ada sesuatu yang
penting di antara kita?” bertanya Wuranta sareh.
“Tentu,” sahut Untara, “aku
memang sengaja datang kepadamu karena aku dengar kau tidak ingin pergi ke
banjar padepokan ini. Apakah memang begitu?”
Sejenak Wuranta menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia ingin berkata sejujurnya, seperti yang terjadi. Maka
katanya, “Ya, aku memang tidak ingin pergi ke banjar padepokan. Dari manakah
kau tahu?”
Ketiga prajurit itu masih saja
diliputi oleh kecemasan. Apalagi ketika mereka melihat sikap Wuranta. Untara
adalah senapati perang. Sedang Wuranta menanggapi seperti terhadap teman
sepermainan. Meskipun seandainya dahulu memang demikian, tetapi keadaan kini
harus sudah berbeda.
“Kenapa kau tidak mau pergi ke
banjar?” bertanya Untara.
“Tidak apa-apa,” jawab
Wuranta, “aku menunggui kakek tua yang meninggal bersama isterinya.”
“Ya, aku mendengar dari Ki
Tanu Metir. Semuanya dikatakannya kepadaku tentang kau. Dan aku dapat mengerti
kenapa kau tidak mau datang ke banjar.”
Wuranta mengerutkan keningnya.
Apa sajakah yang telah dikatakan oleh Ki Tanu Metir itu tentang dirinya? Dan Wuranta
mendengar Untara meneruskan, “Tetapi Ki Tanu Metir tidak mengatakannya kepada
Agung Sedayu. Mungkin waktunya dianggapnya kurang tepat. Karena itu ketahuilah,
bahwa Agung Sedayu menjadi bingung menanggapi sikapmu. Tetapi aku tidak bingung
Wuranta. Aku mengerti, sebab Ki Tanu Metir mengatakan kepadaku. Juga tentang
laki-laki tua itu.” Untara berhenti sejenak, lalu diteruskannya, “Aku datang
kepadamu untuk mengucapkan terima kasih atas segala jasa-jasamu Wuranta. Dan
aku minta kau datang ke banjar padepokan ini. Aku tahu apa yang kau rasakan.
Bukan saja karena laki-laki tua seperti yang kau sebutkan.”
Sejenak Wuranta terbungkam.
Tidak terlintas di dalam otaknya, bahwa benar-benar Untara telah datang
kepadanya untuk mengucapkan terima kasih.
Apalagi ketiga prajurit yang
kini berdiri di belakangnya. Mereka berdiri dengan mulut ternganga. Apa yang
tidak mungkin baginya ternyata kini benar-benar telah terjadi. Bahwa senapati
yang bernama Untara itu datang kepada Wuranta, anak Jati Anom untuk mengucapkan
terima kasih.
Sejenak suasana menjadi sepi,
yang terdengar hanyalah nafas Wuranta yang berdesah. Di kejauhan satu dua orang
prajurit masih berkeliaran di dalam tugasnya.
“Wuranta,” terdengar Untara
berkata “aku minta kepadamu, datanglah ke banjar padepokan ini. Hadapilah
persoalanmu dengan jiwa yang besar. Aku adalah anak muda pula seperti kau, dan
aku adalah kakak Agung Sedayu itu. Aku pun merasakan sesuatu di dalam diriku,
justru karena aku seorang kakak, seorang yang lebih tua, yang sepantasnya telah
melakukannya lebih dahulu. Tetapi kesibukanku ternyata tidak memberi aku
kesempatan.”
Wuranta tidak segera menjawab.
Ia masih diliputi oleh suatu perasaan yang aneh. Ia tiba-tiba saja dihadapkan
pada suatu kenyataan yang diharapkannya terjadi di dalam kegelapan hati. Dalam
kegelapan ia memang mengucapkan kata-kata itu, bahwa seharusnya Untaralah yang
datang kepadanya dan mengucapkan terima kasih. Tetapi bahwa hal itu terjadi
justru setelah hatinya menjadi tenang, malahan membuatnya menjadi
termangu-mangu.
Namun ternyata sesuatu telah
menyusup di dalam hati anak muda itu. Lamat-lamat tergores di dalam hatinya,
suatu jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengganggunya. “Apakah aku masih
diperlukan oleh para prajurit Pajang? Dan apakah aku berhak ikut menikmati
kemenangan ini?”
Kalau Untara, senapati
tertinggi di daerah ini datang kepadanya dan mengucapkan terima kasih, maka
seharusnya ia dapat berbangga karenanya. Seharusnya ia merasa bahwa dirinya
bukan sekedar sampah yang disisihkan, yang tidak lagi dapat dipergunakan.
“Wuranta,” berkata Untara
kemudian, “aku pasti akan menyetujui permintaanmu tentang laki-laki tua yang
kau maksud beserta isterinya. Aku dapat mengerti bahwa laki-laki itu pun
mendapat penghargaan khusus. Tetapi biarlah para prajurit yang berkewajiban
mengurusnya. Mereka akan tahu apa yang harus mereka lakukan,” Untara itu
berhenti sejenak. “Nah, bagaimana?”
“Apakah yang harus aku
lakukan?” bertanya Wuranta.
“Beristirahat di banjar
padepokan. Besok pada saatnya kita bersama-sama pergi ke Jati Anom. Aku akan
meninggalkan separo dari prajurit Pajang di padepokan ini dengan beberapa orang
penghubung berkuda. Sedang aku sendiri akan tetap berada di Jati Anom.”
Wuranta masih saja tegak
seperti patung. Ia justru menjadi bingung menghadapi peristiwa yang tiba-tiba
dan tidak diduga sama sekali. Untara sendiri datang kepadanya dan minta ia
beristirahat di banjar padepokan.
Kalau yang datang dan minta
kepadanya itu Untara sudah tentu sangat sulitlah baginya untuk menolak. Tetapi
perasaannya tidak cukup kuat untuk menerima permintaan itu dan hatinya pasti
tidak akan cukup besar menghadapi Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang berada di
banjar itu pula.
Tetapi sejenak kemudian Untara
berkata, “Wuranta, baiklah aku beritahukan bahwa aku telah menyetujui
permintaan Sekar Mirah dan kedua anak-anak muda yang bersamanya, untuk
berpindah tempat peristirahatan. Tidak di banjar itu. Tetapi mereka kini berada
di rumah di sebelah banjar. Rumah yang tidak dipakai menyimpan orang-orang
sakit apalagi mayat-mayat para prajurit yang terbunuh di peperangan. Di banjar
padepokan Sekar Mirah selalu berada dalam ketakutan.”
Wuranta tiba-tiba mengangkat
wajahnya. Jadi di banjar sudah tidak ada lagi Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan
Swandaru. Tetapi kenapa Ki Tanu Metir tidak mengatakannya?
Agaknya Untara mengerti
pertanyaan di dalam dada Wuranta, sehingga ia berkata, “Mereka meninggalkan
banjar ketika Ki Tanu Metir pergi bersamamu. Bukankah kau juga pergi ke banjar
tetapi kau tidak singgah di pringgitan?”
Wuranta mengangguk, “Ya,
Untara. Aku memang pergi ke banjar untuk memanggil Ki Tanu Metir.”
“Tetapi kedatangan orang tua
itu terlambat. Kakek yang kau maksud suami isteri itu telah meninggal. Bukankah
begitu?”
“Ya, itulah mayat mereka.”
Untara berpaling. Dilihatnya
dalam keremangan cahaya obor, seorang perempuan membeku di dada suaminya yang
beku pula. Terasa dada Untara berdesir. Ia sudah melihat mayat di peperangan
dalam keadaan yang paling mengerikan. Tetapi baru kali ini ia melihat seorang
isteri mati memeluk suaminya yang mati pula. Mengharukan.
“Mereka akan mendapat
perawatan yang sewajarnya. Aku mengerti, bahwa laki-laki tua itu turut
menentukan saat-saat yang terakhir dari peperangan ini. Seandainya ia tidak
berusaha memberi kau jalan maka keadaan akan menjadi berbeda. Jasanya tidak
kalah dengan setiap orang prajurit Pajang. Jasanya hampir sebesar jasamu
sendiri.”
“Ah” Wuranta berdesah. Jasa
laki-laki tua itu tidak kalah dengan jasa setiap prajurit Pajang. Tetapi jasa
itu masih belum sebesar jasanya. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang senapati
seperti Untara, senapati yang memimpin sendiri peperangan ini.
Wuranta justru menjadi
terbungkam. Tetapi perlahan-lahan ia merasakan bahwa di dalam dadanya
berkembang sebuah kebanggaan. Ia tidak perlu merasa dirinya terlampau rendah.
Sehingga ia tidak perlu mencari cara yang aneh-aneh untuk menggelembungkan
dirinya, menyembunyikan kekerdilannya.
Karena Wuranta tidak berkata
sepatah kata pun, maka Untara meneruskan “Nah, marilah kita pergi ke banjar
padepokan ini.”
Wuranta tidak dapat menolak
lagi. Karena itu ia hanya dapat menganggukkan kepalanya dan berdesis, “Baiklah,
Untara.”
“Besok atau lusa, apabila
keadaan telah menjadi tenteram sebagian pasukanku akan kembali ke Jati Anom.
Aku akan tetap berkedudukan di sana. Kita tidak perlu mencemaskan kekuatan
orang-orang Jipang lagi di daerah ini. Juga orang-orang dari padepokan Tambak
Wedi. Kita telah berhasil menyumbat mulut sarang mereka dan menangkap segenap
isinya di dalam sarang ini, Mungkin masih ada satu dua kelompok kecil
orang-orang Jipang yang keras kepala di-daerah-daerah lain. Tetapi itu pun
pasti akan segera diselesaikan.”
Kemudian kepada para prajurit
yang berdiri tegak di belakang Wuranta, Untara berkata, “Nah, kau sudah
mendengar tentang laki-laki tua itu. Usahakan besok mayatnya berdua telah
berada di banjar. Mayat itu akan dikuburkan bersama dengan orang-orang Pajang
yang gugur. Mungkin kalian masih belum dapat merasakan jasa laki-laki tua itu,
tetapi pada saatnya kalian akan mengetahuinya.”
Sejenak kemudian Untara dan
para pengawalnya telah kembali ke banjar padepokan bersama Wuranta. Di banjar
itu benar-benar tidak dijumpainya lagi Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah,
yang berada di sana tinggal beberapa orang perwira prajurit Pajang dan Ki Tanu
Metir.
Ternyata sikap para perwira
yang langsung mengerti tugas-tugas berat Wuranta agak berbeda dengan sikap para
prajurit. Namun setelah Wuranta berhasil merenungkan dengan tenang, maka sumber
dari sikap yang tidak menyenangkan dari para prajurit itu adalah dirinya
sendiri. Usahanya untuk menutupi kekerdilannya, ternyata telah banyak
menyinggung perasaan orang lain.
Para prajurit yang
ditinggalkan oleh Wuranta di halaman di belakang halaman banjar padepokan,
sejenak saling berpandangan. Salah seorang dari mereka kemudian berdesis, “He,
ternyata kata-kata anak muda itu benar terjadi. Untaralah yang mencarinya dan mengucapkan
terima kasih kepadanya.”
“Memang menurut pendengaranku,
apa yang dilakukannya dapat menentukan penyelesaian ini.”
“Aku menyangka ia terlampau
sombong. Tetapi aku menjadi heran, bahwa pada saat-saat terakhir ia seakan-akan
mengakui kesalahannya, mengakui sikapnya yang tidak sewajarnya.”
“Ah,” desah prajurit yang
lain, “kenapa hal itu kita risaukan. Biarlah para perwira mengurusnya. Urusan
kita adalah, berkeliling padepokan, terutama di sekitar banjar.”
“Tetapi mayat kedua suami
isteri itu?”
“Oh, biarlah mereka yang
bertugas untuk itu. Kita beritahukan saja kepada mereka, apa yang harus mereka
lakukan.”
Ketika para prajurit itu
kemudian melakukan tugas masing-masing, maka tempat itu pun menjadi sepi
kembali.
Di dalam lingkungan para
perwira yang sebagian besar dari mereka telah mengerti benar-benar akan
peranannya, maka Wuranta merasa telah menemukan dirinya kembali. Betapa
penyesalan dan kecewa melanda dadanya apabila diingatnya segala tindak
tanduknya selama ini. Bahkan ia merasa heran sendiri, kenapa ia seakan-akan
menjadi liar dan kehilangan pegangan.
Meskipun demikian setiap kali
ia teringat akan Sekar Mirah maka hatinya masih terasa pahit. Gadis itu belum
lama dikenalnya. Baru beberapa hari. Tetapi yang beberapa hari itu ternjata
telah menjadikannya hampir gila.
Malampun menjadi semakin
malam. Di kejauhan terdengar anjing-anjing liar berteriak-teriak berebut makan.
Terasa betapa angin membawa bau darah menyentuh hidung mereka yang tajam.
Sekali-sekali terdengar suara burung hantu dan burung kedasih seakan-akan
sahut-menyahut, meneriakkan kepedihan yang ngelangut.
Sementara para prajurit yang
bertugas masih saja sibuk hampir semalam suntuk, maka di sebuah rumah yang
tidak begitu jauh dari banjar itu, Sekar Mirah duduk berpegangan tangan
kakaknya. Meskipun ia sudah tidak lagi berada di antara mayat dan orang-orang
yang terluka, namun ia masih diburu saja oleh takut dan ngeri.
“Kemanakah Ki Tanu Metir
kini?” bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu.
“Entahlah. Mungkin masih
berada di banjar atau kemana. Mungkin guru sedang mencari Wuranta itu lagi.
Atau mungkin kini sedang tidur nyenyak.”
Swandaru terdiam. Gurunya
kadang-kadang tidak memberitahukan kemana ia pergi. Bahkan kadang-kadang sampai
berhari-hari. Tetapi dalam suasana seperti ini, maka mereka seolah-olah selalu
ingin berada bersamanya. Bukan karena perasaan takut bahwa tiba-tiba mereka
harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi, tetapi perasaan sepi seakan-akan
menghunjam dalam-dalam di jantung mereka.
Sesaat mereka saling berdiam
diri. Namun dengan demikian maka terasa malam menjadi kian sepi. Kesepian itu
ternyata tidak menyenangkan sekali, sehingga tanpa sesadarnya Agung Sedayu
berbicara sekedar untuk menyentakkan perasaan sepi itu, “Apakah kita tidak akan
tidur?”
Swandaru mengangkat wajahnya.
Dipandanginya lampu minyak yang menyala berkeredipan. Kemudian Swandaru itu pun
berkata kepada Sekar Mirah, “Mirah, tidurlah.”
Sekar Mirah menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku ngeri, Kakang.”
“Di sini tidak ada apa-apa,
Mirah” berkata kakaknya. “Di sini tidak seperti banjar padepokan yang penuh
dengan orang-orang terluka. Di sini kita mendapat tempat yang baik. Agaknya
pemilik rumah ini pun orang yang baik pula”
“Tetapi ia mendendam seperti
orang-orang Tambak Wedi yang lain, Kakang. Siapa tahu” Sekar Mirah berhenti
sejenak sambil memandang berkeliling kalau-kalau ada orang lain di dalam
ruangan itu. Ketika tidak dilihatnya seseorang maka ia berkata perlahan-lahan,
“Siapa tahu bahwa ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk melepaskan
dendamnya.”
“Tetapi tidak seorang pun dari
rumah ini terbunuh. Suami perempuan itu ternyata hanya terluka, tidak terlampau
parah. Dan sekarang laki-laki itu berada di banjar.”
“Itu sudah cukup membuat
hatinya mendendam.”
Agung Sedayu dan Swandaru
kemudian berdiam diri. Mereka melihat wajah Sekar Mirah yang dibayangi oleh
ketakutan dan kecemasan.
“Kenapa kita tidak kembali
saja ke Sangkal Putung, Kakang?” bertanya Sekar Mirah tiba-tiba.
“Ah, bukankah hari masih
malam?” jawab kakaknya.
“Tetapi itu lebih baik
daripada aku berada di sini. Aku tidak juga dapat tidur dikejar oleh perasaan
takut dan ngeri.”
“Jalan masih cukup berbahaya,
Mirah,” sahut Agung Sedayu.
“Bukankah orang-orang Jipang
dan Tambak Wedi mutlak dihancurkan di sini.”
“Tetapi justru orang-orang
yang terpenting dapat meloloskan diri. Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.”
“Tetapi mereka pasti lari
jauh-jauh. Mereka tidak akan berada di sekitar padepokan ini. Apalagi di jalan
ke Sangkal Putung. Mereka pasti tidak akan menyangka bahwa kita akan berjalan
malam ini.”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. Kini pertimbangan-pertimbangannya datang kembali. Tidak seperti pada
saat ia berangkat dari Sangkal Putung. Pada saat ia merasa kehilangan Sekar
Mirah. Pada saat itu ia kehilangan sama sekali setiap pertimbangan apapun. Ia
hanya ingin pergi dari Sangkal Putung segera untuk berusaha membebaskan Sekar
Mirah. Tetapi kini, setelah Sekar Mirah itu bebas dari cengkeraman Sidanti,
maka sifat-sifatnya telah datang kembali. Pertimbangan-pertimbangannya
bermunculan dari bermacam-macam segi.
“Perjalanan yang demikian akan
sangat berbahaya,” berkata Agung Sedayu.
“Bagiku perjalanan itu akan
lebih baik. Aku tidak kehilangan waktu semalam ini. Daripada kita duduk tanpa
arti di sini, bukankah lebih baik kita berjalan ke Sangkal Putung? Besok kita
pasti sudah mencapai kademangan itu. Dan besok kita sudah dapat bersama dengan
ayah dan ibu.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi Sekar Mirah berkata terus,
“Apakah yang kita dapatkan dengan duduk-duduk saja begini? Aku sudah terlampau
rindu kepada ayah dan ibu. Ayah dan ibu pun pasti akan terlalu gelisah
menunggu.”
Swandaru tidak menjawab dan
Agung Sedayu pun berdiam diri. Tetapi pertimbangannya sama sekali tidak sejalan
dengan keinginan Sekar Mirah itu.
“Bagaimana, Kakang?” bertanya
Sekar Mirah. “Marilah kita pulang sekarang.”
Swandaru pun menjadi bimbang.
Sebenarnya ia juga ingin segera pulang ke Sangkal Putung. Ia akan segera
berkata kepada ibunya, bahwa janjinya telah terpenuhi. Pulang dengan membawa
Sekar Mirah. Dan ibunya pun pasti akan bergembira karenanya. Kalau ibunya masih
saja menangis, maka ibunya akan menjadi tenang.
Dalam kebimbangan itu ia
mendengar Sekar Mirah mendesaknya, “Bagaimana, Kakang? Apakah tidak lebih baik
kita pulang saja. Di sini kita sama sekali tidak berarti apa-apa. Mungkin
orang-orang Pajang menganggap kita hanya memberati pekerjaan mereka saja.”
Akhirnya Agung Sedayu terpaksa
mencegahnya. Katanya, “Jangan, Sekar Mirah. Aku kira kurang baik kiranya
apabila kita tergesa-gesa kembali ke Sangkal Putung.”
“Ah,” Sekar Mirah berdesah,
“sekehendakmulah kalau kau tidak akan pergi ke Sangkal Putung. Aku kira kau
memang tidak akan pergi ke Sangkal Putung lagi. Kau sudah kembali ke kampung
halamanmu, bersama kakakmu pula. Apa gunanya lagi kau pergi ke Sangkal Putung?
Tetapi aku pasti harus pulang. Ayah dan ibuku menunggu aku. Mungkin ibuku
selalu menangis dan ayahku tidak tenang bekerja. Karena itu aku akan segera
kembali malam ini.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Selama ini ia tidak berpikir bahwa ia telah berada dekat dengan
kampung halamannya. Kalau ia ingin kembali pulang, maka ia seharusnya pulang ke
Jati Anom, ke rumah peninggalan ayahnya yang isinya telah hancur karena pokal
Sidanti dan orang-orang Jipang. Tetapi selama ini ia seakan-akan merasa dirinya
harus kembali ke Sangkal Putung. Ke tempat tugas pamannya, Widura.
Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu
dihadapkan pada kebimbangannya sendiri. Apakah ia harus pergi ke Sangkal Putung
atau ia akan tinggal di Jati Anom.
“Ayolah, Kakang Swandaru,”
ajak Sekar Mirah, “kita pergi berdua. Di sini kita tidak mempunyai teman
seorang pun kecuali kita berdua. Tetapi di Sangkal Putung setiap hidung adalah
teman-teman kita yang baik, yang mengerti kesusahan dan kepedihan hati kita.
Tetapi di sini kita seperti orang asing, yang dianggap mengganggu pekerjaan
mereka saja.”
“Jangan berprasangka, Mirah”
sahut Agung Sedayu. “Tak seorang pun yang menganggap bahwa kita di sini hanya
menambah pekerjaan orang-orang Pajang. Bukankah kita tidak mengganggu mereka.
Kita dapat mengurus diri kita sendiri. Tetapi yang penting diperhatikan adalah
kemungkinan yang akan kita temui di sepanjang jalan.”
“Kalau kau ingin tinggal di
sini tinggallah” potong Sekar Mirah.
“Aku datang bersama Adi
Swandaru. Aku dan Adi Swandaru telah menyanggupkan diri kepada Ki Demang
Sangkal Putung untuk mencarimu. Kalau kau diketemukan, maka sepantasnya bahwa
kami berdualah yang harus menyerahkan kau kepada Ki Demang berdua.”
“Tidak perlu,” sahut Sekar
Mirah, “kau tidak perlu pergi ke Sangkal Putung. Aku akan pulang bersama Kakang
Swandaru. Kau hanya akan memperlambat perjalanan saja. Ternyata kau masih ingin
tinggal di sini. Bahkan kau pasti masih ingin singgah di Jati Anom sehari atau
dua hari.”
“Tidak Mirah. Aku tidak akan
singgah di Jati Anom” jawab Agung Sedayu. Tetapi ia menjadi heran mendengar
jawaban itu, jawabannya sendiri. Dan sekali lagi ia menjadi bimbang, apakah ia
akan pergi ke Sangkal Putung? Namun selanjutnya berkata, “Aku akan pergi ke
Sangkal Putung mengantarkanmu. Tetapi jangan malam ini. Kita harus
memperhitungkan setiap keadaan. Apalagi Kakang Untara pasti akan mencari kita.
Sebab kita adalah sebagian dari tanggung jawabnya.”
“Bohong” bantah Sekar Mirah.
“Untara sama sekali tidak mempedulikan kita lagi. Apakah kita pergi, apakah
kita tinggal di sini. Untara tidak akan mempertimbangkan. Bahkan orang-orangnya
sajalah yang akan menggerutu karena mereka harus melihat kehadiran kita di
sini.”
Agung Sedayu terdiam. Tetapi
hatinya bergolak. Ia ingin membantah pendapat gadis itu, tetapi ia tidak ingin
bertengkar. Sedang Swandaru yang kebingungan duduk saja sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya itu terasa pening.
Mereka terperanjat ketika
mereka mendengar suara tertawa lirih. Kemudian terdengar pintu berderit.
Perlahan-lahan seorang tua masuk ke dalam ruangan itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.
“Hem,” orang tua itu berdesah,
“memang bermacam-macam pikiran dan perasaan bergulat di dalam padepokan ini.”
Ketiga anak muda yang berada
di dalam ruangan itu memandanginya sambil bertanya-tanya di dalam hati. Apakah
yang dimaksud oleh Ki Tanu Metir itu?
“Baru saja aku melihat Angger
Wuranta yang sedang digoncangkan oleh perasaannya. Ia mengalami persoalan jiwa yang
ternyata menggoyahkan keseimbangannya.”
Ketika Ki Tanu Metir terdiam
sejenak maka Agung Sedayu pun bertanya, “Apakah yang telah terjadi dengan
Wuranta, Guru?”
“Sekarang tidak apa-apa.
Angger Wuranta telah bersedia pergi ke banjar padepokan. Aku kira ia telah
berhasil menguasai perasaannya.”
“Apakah yang telah
menggoncangkan perasaan itu, Kiai?”
“Ah, entahlah. Mungkin salah
mengerti, salah tafsir, tetapi mungkin juga karena ia tidak puas terhadap
kenyataan yang dihadapinya. Mula-mula Angger Wuranta merasa dirinya tidak
mendapat perhatian dari pimpinan prajurit Pajang. Padahal ia merasa bahwa
dialah yang telah membuka jalan masuk ke padepokan ini. Memang sebenarnyalah
demikian. Tanpa Angger Wuranta maka semuanya akan menjadi lain. Mungkin sampai
saat ini Angger Untara belum berhasil memasuki padepokan ini. Tetapi itu hanya
perasaannya saja. Sebenarnya pimpinan prajurit Pajang menaruh perhatian
terhadap semua unsur di dalam padepokan ini.”
Ki Tanu Metir berhenti
sejenak. Dicobanya untuk menangkap kesan kata-katanya pada wajah anak-anak muda
itu. Tetapi yang ditangkapnya adalah berbagai pertanyaan yang memancar dari
sorot mata mereka, seolah-olah mereka bertanya, “Apakah yang telah
dilakukannya?”
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia meneruskan kata-katanya, “Hampir saja Angger Wuranta
terjerumus ke dalam sikap yang tidak terpuji. Bahkan hampir mencelakakan
dirinya. Sikapnya terhadap para prajurit Pajang terlampau kasar. Justru karena
rasa rendah diri yang menjalari dadanya. Tetapi itu sudah lampau. Angger
Wuranta telah menyadari keadaannya, bahwa orang-orang Pajang di sini mempunyai
banyak sekali persoalan yang harus diselesaikan. Di antaranya adalah soal yang
menyangkut Angger Wuranta itu sendiri.”
Ketiga anak-anak muda itu
masih terdiam. Tetapi Sekar Mirah yang menundukkan wajahnya, tiba-tiba berkata,
“Apakah Kiai menyindir aku?”
“Oh” Ki Tanu Metir
terperanjat. Tetapi kemudian ia tersenyum, “Jangan salah sangka, Ngger. Aku
tidak ingin menyindir seseorang. Aku sudah mengatakan bahwa dalam keadaan
serupa ini banyak sekali persoalan yang tumbuh dan bahkan berkembang di
padepokan ini. Angger Wuranta adalah gambaran dari seorang anak muda yang
kecewa. Aku tidak tahu apakah yang mengecewakannya. Kemudian seolah-olah ia
membuat sebuah neraca. Neraca yang menimbang berat jasa dan penghargaan. Hampir
ia berteriak “Jasaku tidak dihargai orang”. Untunglah bahwa hal itu belum
terjadi. Nah, aku kira persoalan Angger agak berbeda, Angger sama sekali tidak
ingin dihargai karena jasa-jasa Angger. Bukankah begitu?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
“Mungkin padepokan ini
terlampau sepi buat Angger Sekar Mirah. Mungkin tidak seramai Kademangan
Sangkal Putung. Di sana Angger pasti akan dikerumuni oleh orang-orang Sangkal
Putung, para pemimpin kademangan dan para pemimpin prajurit Pajang. Tetapi
keadaan Sangkal Putung berbeda dengan keadaan di sini. Di Sangkal Putung
orang-orang sudah tidak disibukkan oleh berbagai macam persoalan. Sedang di
sini sangat berlainan.”
“Aku tahu. Aku tahu, Kiai”
potong Sekar Mirah. “Maksud Kiai ingin mengatakan bahwa aku terlampau manja.
Bukankah begitu? Nah, buat apa aku bermanja-manja di sini. Itu pun salah satu
sebab kenapa aku harus segera pulang ke Sangkal Putung.”
“Bukan begitu, Ngger,” sahut
Kiai Gringsing, “meskipun dugaan Angger itu sebagian benar. Tetapi maksudku
adalah, bahwa Angger telah cukup dewasa. Karena itu Angger seharusnya
menghadapi setiap persoalan dengan sikap dewasa. Bukan sebagai seorang gadis
kecil yang patah hati ditinggal kekasih. Lalu lari tanpa mempertimbangkan
persoalan yang akan dihadapi di tengah jalan. Tetapi Angger tidak akan berbuat
demikian. Angger adalah puteri seorang Demang yang cukup bijaksana. Karena
itulah maka kebijaksanaan itu pasti juga Angger miliki. Juga pada Angger
Swandaru yang setiap hari mengikuti cara Ki Demang melakukan tugasnya.” sekali
lagi Ki Tanu Metir berhenti. Sekali lagi ia menunggu kesan yang terbayang di
wajah anak-anak muda itu. Kemudian katanya, “Nah, kalau Angger sependapat, maka
aku harap Angger tidak meninggalkan padepokan ini untuk sementara. Aku
menyangka bahwa Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti masih berkeliaran di
sekitar tempat ini. Setiap orang yang dijumpainya pasti akan menjadi korban
pelepasan dendamnya. Nah, bayangkan apa yang akan dilakukan oleh Sidanti apabila
Angger nanti bertemu dengan orang itu di tengah jalan.”
Berdebarlah Sekar Mirah
mendengar nama Sidanti. Sehingga tumbuhlah kecemasan yang menggores jantungnya
yang berdebaran. Meskipun demikian gadis itu tidak menjawab sepatah kata pun.
Namun bagi Ki Tanu Metir kediamannya adalah cukup jelas. Kediamannya itu adalah
sebuah jawaban yang cukup tegas.
“Tenangkanlah hati kalian di
sini. Hadapilah semuanya dengan sikap yang masak. Pengalaman yang telah terjadi
seharusnya membuat kalian dewasa.”
Tak seorang pun yang menyahut.
Dan sejenak kemudian, Ki Tanu Metir berkata, “Beristirahatlah, aku akan pergi
ke banjar. Mungkin ada sesuatu yang harus aku kerjakan di sana, di antara
orang-orang yang terluka. Aku datang hanya sekedar menengok kalian.”
Ketika Ki Tanu Metir
meninggalkan mereka, maka untuk sesaat mereka masih tetap berdiam diri. Sekar
Mirah menundukkan wajahnya dalam-dalam meskipun ia masih tetap berpegangan
tangan kakaknya. Agung Sedayu melepaskan pandangan matanya menembus lubang
pintu yang masih sedikit terbuka, sedang Swandaru sekali-sekali
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terngiang di telinganya kata-kata gurunya,
“Pengalaman harus membuat kalian dewasa.”
Malam yang hitam pekat
berjalan dengan tenangnya. Semakin lama semakin jauh. Bintang-bintang di langit
bergeser sedikit demi sedikit ke barat. Namun ketiga anak-anak muda itu masih
saja duduk membeku.
Ternyata malam itu tidak
seorang pun di antara mereka yang tertidur. Mereka sama sekali tidak dapat
melepaskan kegelisahan dan kecemasan tentang bermacam-macam persoalan. Tetapi
Sekar Mirah sudah tidak lagi mendesak kakaknya untuk meninggalkan padepokan itu
mendahului ke Sangkal Putung. Setiap kali keinginan itu tumbuh di hatinya, maka
terbayanglah wajah Sidanti yang sangat menakutkan baginya.
Sehari berikutnya mereka
hampir tidak keluar dari rumah itu. Hanya Agung Sedayu sajalah yang pergi ke
banjar sebentar untuk bertemu dengan kakaknya yang masih sangat sibuk.
Sebenarnya anak muda itu ingin juga bertemu dengan Wuranta. Tetapi ia menjadi
ragu-ragu. Ia tidak tahu bagaimanakah sikap Wuranta itu kini terhadapnya. Dan
ia masih tetap mencari-cari jawab atas pertanyaannya yang mengganggunya selama
ini tentang sikap anak muda itu.
Tetapi pada saat Agung Sedayu
berada di banjar padepokan itu Wuranta sedang menunggui pemakaman kakek tua
suami isteri yang telah menolongnya. Sesaat ia menunggu, namun Wuranta belum
juga datang. Akhirnya keragu-raguannya telah mengurungkan niatnya itu. Ia tidak
menunggu Wuranta lagi, yang ditunggunya adalah kakaknya dan Ki Tanu Metir.
Beberapa saat kemudian Agung
Sedayu melihat kakaknya bersama Ki Tanu Metir diiringi oleh beberapa perwira
yang lain datang ke banjar itu. Tampak wajah-wajah mereka yang tegang dan
bersungguh-sungguh sehingga Agung Sedayu tidak berani menegur kakaknya lebih
dahulu. Ia menunggu saja sambil berdiri di bawah tangga pendapa padepokan itu.
Terasa dadanya berdebar-debar. Ia memandang kakaknya kini jauh berbeda dengan
saat-saat ia masih di Jati Anom. Justru setelah ia melihat pekerjaan dan tugas
kakaknya, dan justru karena sikapnya sendiri yang bertambah dewasa. Kini serasa
ada jarak yang membatasi antara dirinya dan kakaknya itu.
Ketika Untara sampai di tangga
pendapa, ia berhenti sejenak. Dipersilahkannya para prajurit yang datang
bersamanya untuk masuk lebih dahulu. Setelah menatap wajah Agung Sedayu agak
lama, maka terdengar kakaknya bertanya, “Sudah lama kau menunggu aku?”
“Belum terlalu lama, Kakang”
jawab Agung Sedayu.
“Apa kerja kalian di pondok
itu?” bertanya Untara pula. Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu.
Dipandanginya wajah kakaknya, kemudian wajah gurunya.
“Kau tidak hadir pada upacara
pemakaman prajurit-prajurit yang gugur dalam peperangan ini. Peperangan yang
juga telah menyelamatkan gadis Sangkal Putung itu.”
Dada Agung Sedayu berdesir
mendengar kata-kata kakaknya. Sejenak ia terdiam membeku. Hanya matanya saja
yang berpindah-pindah dari kakaknya kepada gurunya.
“Seharusnya kau datang bersama
Adi Swandaru untuk menunjukkan rasa terima kasihmu dan rakyat Sangkal Putung.
Bahwa puteri Ki Demang itu sudah dibebaskan.”
Dada Agung Sedayu menjadi
sesak mendengar teguran itu. Ia sama sekali tidak mengerti bahwa hari ini akan
diselenggarakan pemakaman prajurit-prajurit yang gugur di peperangan ini.
Karena itu maka dengan jujur ia berkata, “Aku sama sekali tidak tahu, Kakang,
bahwa hari ini telah diselenggarakan pemakaman itu.”
“Kau tidak beranjak dari
pondokmu sehari ini. Baru sekarang kau datang, setelah semuanya selesai. Kalau
semalam atau pagi-pagi tadi kau datang, kau pasti akan mengetahuinya.”
Sekali lagi Agung Sedayu terdiam.
Tetapi terasa dadanya bergetar semakin cepat. Kemudian dengan sungguh-sungguh
ia berkata, “Kalau aku tahu, maka aku pasti akan datang. Orang yang
mengantarkan makananku pun tidak memberitahukan hal itu kepadaku. Dan….”
kata-kata Agung Sedayu terputus. Tetapi matanya terlontar kepada gurunya yang
berdiri di samping Untara.
“Bukan kami yang harus
memberitahukan itu kepadamu,” jawab kakaknya, “tetapi kau yang harus datang
bertanya tentang hal itu kepada kami.”
Wajah Agung Sedayu tiba-tiba
menjadi tegang. Ia tidak dapat memahami sikap kakaknya. Perasaannya sama sekali
tidak dapat menerima perlakuan itu. Tetapi ia berhadapan dengan kakaknya.
Pertimbangannya cukup cermat untuk mencegah berbuat sesuatu yang tidak
menguntungkannya.
“Semua orang hadir dalam
upacara itu,” kakaknya meneruskan, “hanya kau dan Swandaru sajalah yang tidak.”
“Mungkin para prajurit selalu
mendapat keterangan dan pemberitahuan tentang semua hal yang akan terjadi,
Kakang, tapi kami tidak” jawab Agung Sedayu sekenanya.
Tetapi ia terkejut ketika
kakaknya menyahut, “Wuranta juga bukan seorang prajurit. Tetapi ia datang jaga
dalam upacara itu. Meskipun anak muda itu termasuk salah seorang yang paling
berjasa dalam peperangan ini, namun ia tidak bersikap acuh tak acuh. Ia tidak
menunggu seorang utusan untuk memberitahukan kepadanya apa yang akan terjadi di
padepokan ini. Ia datang sendiri dengan rendah hati dan bersikap wajar.”
Wajah Agung Sedayu menjadi
merah. Ia benar-benar tidak mengerti akan sikap kakaknya. Sejak peperangan ini
selesai, kakaknya telah marah-marah saja kepadanya. Ia dianggap bersalah karena
ia tidak berada di dekat kakaknya ketika pertempuran berlangsung. Agaknya
lepasnya Ki Tambak Wedi dan Sidanti telah membuatnya sangat kecewa. Tetapi
bahwa kakaknya itu terus-menerus memarahinya itu benar-benar tidak dapat
dimengertinya. Kemarin ia menganggap bahwa kakaknya telah merubah sikapnya.
Namun tiba-tiba kini sikap itu diulanginya lagi.
Tetapi kali ini yang menjawab
adalah Ki Tanu Metir, “Angger Untara, Angger terlampau letih. Angger diburu
oleh tugas-tugas yang berat dan kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk. Tetapi yang
paling mengecewakan Angger adalah hilangnya Ki Tambak Wedi. Itulah sebabnya
Angger mudah merasa tersinggung. Namun Angger Agung Sedayu pun tidak terlampau
bersalah. Aku seharusnya memberitahukan kepadanya apa yang akan dilakukan di
padepokan ini. Terutama upacara itu. Tetapi aku sengaja tidak berbuat demikian.
Bahkan sekarang aku mengharap Angger Agung Sedayu segera kembali ke pondoknya.”
Wajah Untara yang tegang
menjadi berkerut-merut, “Kenapa?” ia bertanya.
“Sama sekali bukan persoalan
yang menyangkut masalah keprajuritan. Bukan pula masalah peperangan. Masalahnya
terlampau kecil untuk disebutkan di sini. Tetapi masalah yang terlampau kecil
itu pulalah yang telah mendorong Angger Untara semalam datang memanggil
Wuranta.”
Kini dada Untaralah yang
berdebar. Di hadapannya berdiri Ki Tanu Metir, guru Agung Sedayu. Agaknya orang
tua itu berusaha untuk menutupi kesalahan adiknya yang telah membuatnya sangat
kecewa. Adik senapati yang langsung menangani peperangan ini, tetapi ia adalah
satu-satunya orang yang tidak hadir pada upacara penghormatan para prajurit
yang gugur, selain kakak beradik dari Sangkal Putung itu.
Tetapi bagaimanapun juga
Untara merasa segan terhadap orang tua ini. Dalam urutan tugasnya sebagai
seorang senapati di daerah ini, maka nama Ki Tanu Metir tidak dapat
dilupakannya. Dalam tugas sandinya, di saat-saat Sangkal Putung berada di dalam
bahaya, maka orang tua ini pulalah yang menyelamatkannya. Kalau ia tidak
mendapat perlindungannya, maka dadanya pasti sudah dibelah oleh Plasa Ireng dan
kawan-kawannya yang pada saat itu mencarinya karena petunjuk Alap-Alap
Jalatunda di dukuh Pakuwon. Dan kini, dalam tugasnya yang terberat, memecah
padepokan Tambak Wedi, maka orang tua ini pulalah yang seakan-akan telah
merintis jalan, dengan melepaskan Wuranta, mendahului segala
tindakan-tindakannya.
Namun meskipun demikian ia
tidak dapat melepaskan kedudukannya sebagai seorang senapati yang bertanggung
jawab. Apalagi berhadapan dengan adiknya yang dianggapnya telah mengabaikan
keharusan-keharusan yang harus dilakukannya di dalam lingkungan keadaan serupa
itu.
“Kiai,” berkata Untara itu
kemudian, “aku tidak tahu masalah yang Kiai maksudkan. Masalah-masalah kecil
yang manakah yang mendorong Kiai untuk menyuruh Agung Sedayu segera kembali ke
pondoknya, dan yang telah mendorong aku untuk memanggil Wuranta?”
“Ah,” Ki Tanu Metir berdesis,
“bukankah aku sudah mengatakan kepadamu, Ngger? Dan Angger bahkan telah
berusaha untuk sekedar menyisihkan waktu yang sangat sempit ini untuk memanggil
Wuranta dan membawanya kembali ke banjar ini? Aku rasa Angger melakukannya
dengan pengertian bahwa Wuranta adalah seorang yang paling berjasa di dalam
tugas Angger kali ini. Tetapi Wuranta itu tidak datang sendiri seperti yang
Angger katakan. Apalagi dengan rendah hati.”
Wajah Untara menjadi merah
mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu. Ternyata Kiai Gringsing kali ini
benar-benar sedang berusaha untuk mengurangi kesalahan muridnya. Bahkan
mempertentangkan kata-katanya tentang Wuranta.
“Nah,” Ki Tanu Metir
meneruskan, “seharusnya Angger Untara dapat mengerti. Jangan salahkan Agung
Sedayu. Dan sekarang aku tetap berpendapat bahwa sebaiknya Angger Agung Sedayu
kembali ke pondoknya.”
Wajah Untara masih memerah
dalam ketegangan. Tetapi keseganannya terhadap Kiai Gringsing telah menahannya
untuk berbuat terlampau banyak. Namun perasaannya sama sekali tidak senang
melihat sikap orang tua itu, yang dengan berterus terang telah melindungi
kesalahan adiknya.
Senapati itu ingin adiknya
bersikap sebagai seorang prajurit yang baik. Justru karena ia seorang senapati.
Untara itu merasa bahwa setiap orang menganggap bahwa adiknya terlampau berat
untuk meninggalkan gadis Sangkal Putung itu, sehingga ia tidak menghadiri
upacara yang diadakannya hari ini. Sedang Untara merasa bahwa sikap gadis itu
terlampau manja, sehingga ia terpaksa memerintahkan kepada bawahannya untuk
mengusahakan tempat yang khusus baginya.
“Kiai,” berkata Untara itu
kemudian, “tetapi bagaimanapun juga aku tidak dapat membenarkan sikap Agung
Sedayu. Apakah Kiai tidak merasa malu, seandainya setiap orang di sini
bertanya-tanya di dalam hatinya. Mereka masih dapat mengerti tentang keadaan
Swandaru. Kalau anak itu tidak menghadiri upacara ini, maka sudah pasti adiknya
tidak mau dan tidak berani ditinggalkannya. Tetapi bagaimana dengan Agung
Sedayu yang menungguinya saja tanpa ada hubungan keluarga dengan gadis itu?”
“Ah” Agung Sedayu berdesah.
Tetapi ia tidak berani menyahut. Yang menjawab adalah Kiai Gringsing, “Itu
adalah suatu pengorbanan baginya, Ngger. Justru suatu pengorbanan. Aku sengaja
melakukannya.”
“Pengorbanan?” wajah Untara
menjadi aneh.
“Ya.” Kemudian kepada Agung
Sedayu orang tua itu berkata, “Sekarang kembalilah ke pondokmu.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Sejenak ia berdiri saja seperti patung, sehingga Ki Tanu Metir itu mengulangi,
“Kembalilah ke pondokmu. Biarlah persoalanmu aku selesaikan dengan kakakmu.”
“Nanti dulu,” cegah Untara,
“jangan pergi dulu. Kau harus minta maaf kepadaku, bahwa kau tidak hadir dalam
upacara ini. Jangan kau sebut-sebut lagi alasan-alasan yang pasti hanya kau
buat-buat saja saja bersama dengan kakak beradik itu.”
Kini wajah Ki Tanu Metirlah
yang berkerut. Tetapi sebelum ia berbicara Untara telah mendahului, “Ayo,
bersikaplah jantan untuk mengakui kesalahan sendiri. Kalau kau tidak melihat
kesalahanmu, maka seterusnya kau akan mengulangi kesalahan yang serupa. Aku
adalah senapati di daerah ini.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Katanya lembut, “Lakukanlah, Ngger.”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Ia tidak mengerti benar kenapa kakaknya bersikap demikian keras
terhadapnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada melakukan perintah
itu. Katanya, “Baik, Kakang. Aku minta maaf. Mudah-mudahan aku tidak akan
mengulangi kesalahanku. Mungkin Kakang tersinggung karena kebodohanku bahwa aku
tidak dapat menghadiri upacara yang Kakang anggap sebagai upacara yang penting.
Dengan demikian maka aku telah menimbulkan kesan yang kurang baik. Tidak saja
atas diriku sendiri, tetapi telah menyentuh kewibawaan Kakang di sini.
Sebenarnya aku ingin memberikan banyak keterangan tentang hal itu, tetapi
Kakang menganggap bahwa setiap alasan yang hanya dibuat-buat saja. Karena itu
maka lebih baik bagiku untuk tidak mengucapkannya.”
Tiba-tiba wajah Untara yang
tegang tampak mengendor. Ia melihat sikap adiknya dengan memelas. Adiknya yang
sejak kecil pantas dikasihani karena sifat-sifatnya. Kini, ketika adiknya mulai
tumbuh dan berkembang telah dipaksanya untuk berbuat demikian. Berbuat memelas
seperti pada masa kanak-anaknya.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk tetap dalam sikapnya, sikap seorang
senapati perang.
Karena itu maka Untara tidak
menyatakan perasaannya. Disimpannya perasaan ibanya di dalam dadanya, bahkan ia
mencoba untuk bersikap keras terhadap Agung Sedayu yang memang dianggapnya
bersalah, mengabaikan keharusan-keharusan yang berlaku di dalam pasukannya,
meskipun ia bukan seorang prajurit.
Dengan nada datar Untara itu
berkata, “Nah, kau sudah minta maaf atas kesalahan itu. Karena itu maka kau
jangan mengulangi kesalahan itu sekali lagi. Kau adalah orang yang berada di
dalam lingkungan pasukanku, meskipun kau bukan seorang prajurit. Tetapi dalam
keadaan serupa ini, maka peraturan keprajuritan berlaku atas semua orang, baik
ia seorang prajurit maupun bagi mereka yang dengan suka rela menggabungkan diri
dalam perjuangan ini untuk kepentingan Pajang.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya, jawabnya, “Ya, Kakang, aku mengerti.”
“Nah, sekarang kau boleh
kembali.”
Agung Sedayu memandang wajah
kakaknya sejenak. Hampir saja ia bertanya, “Kembali kemana? Ke Jati Anom atau
ke Sangkal Putung?”
Tetapi tiba-tiba Ki Tanu Metir
menyahut, “Nah, Angger telah mendapat ijin untuk kembali. Kembalilah ke
pondokmu. Tunggulah pesanku untuk selanjutnya.”
“Kenapa ia harus menunggu
Kiai?” potong Untara. “Setiap kali ia harus datang ke banjar untuk melihat
perkembangan keadaan.”
“Begitu maksudmu, Ngger?”
bertanya Ki Tanu Metir.
Pertanyaan itu telah membuat
Untara bertanya-tanya di dalam hatinya. Karena itu maka tiba-tiba ia terdiam
sejenak. Tetapi sekali lagi ia berusaha untuk tetap bersikap sebagai seorang
senapati. Maka jawabnya, “Ya. Aku menghendaki demikian.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik, baik. Begitulah. Tetapi sekarang Angger
silahkan kembali ke pondok.”
Agung Sedayu merasa aneh atas
permintaan Ki Tanu Metir itu. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi Untara pun
bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa Ki Tanu Metir seakan-akan tergesa-gesa
ingin menyingkirkan Agung Sedayu?
Sejenak kemudian Agung Sedayu
minta diri kepada kakaknya dan gurunya untuk kembali ke pondoknya. Di sepanjang
jalan berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam dadanya. Kadang-kadang ia merasa,
bahwa sebaiknya ia pergi meninggalkan padepokan ini, ke Jati Anom atau ke Sangkal
Putung saja sama sekali. Ia dapat membuta dan menuli atas semua anggapan
orang-orang Pajang padepokan ini atasnya. Tetapi ia dapat memberi penjelasan
kepada pamannya, Widura di Sangkal Putung.
“Apakah Kakang Untara tidak
setuju melihat hubunganku dengan gadis Sangkal Putung itu?” Agung Sedayu
bertanya-tanya di dalam hatinya.
“Mudah-mudahan paman Widura
dapat memberinya penjelasan. Tidak sebagai seorang perwira bawahan Kakang
Untara, tetapi sebagai seorang paman yang melihat dan mengerti keadaanku sejak
aku berada di Sangkal Putung untuk pertama kalinya.”
Di pondoknya Agung Sedayu
masih melihat Sekar Mirah tidak mau berpisah dari kakaknya karena kecemasan dan
ketakukan yang selalu mengejarnya. Kadang-kadang keinginannya untuk segera
kembali ke Sangkal Putung seakan-akan tidak dapat dicegahnya. Tetapi setiap
kali ketakutannya kepada Sidanti dan Ki Tambak Wedi sengaja dibesar-besarkannya
sendiri untuk membantu mencegah keinginannya itu. Seandainya yang berulang kali
menyebut nama Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu hanya Agung Sedayu dan kakaknya
Swandaru, maka ia pasti masih saja memaksa untuk kembali ke Sangkal Putung.
Tetapi ternyata Ki Tanu Metir pun memperingatkannya pula. Dan ia mencoba untuk
menganggap bahwa Ki Tanu Metir adalah orang yang paling dapat dipercaya.
Tiba-tiba saja pikiran Agung
Sedayu meloncat kepada anak muda putera Ki Gede Pemanahan. Apakah kira-kira
yang akan dilakukan oleh anak muda itu seandainya ia mengalami perlakuan
seperti dirinya pada saat ini.
“Tetapi ia putera seorang
panglima tertinggi Wira Tamtama,” desisnya, “bagaimanapun juga ia akan
mendapatkan beberapa kelainan dari anak-anak muda yang lain.”
Tanpa disadarinya maka
keinginannya untuk bertemu dengan Sutawijaya telah mengganggu perasaannya.
Kekagumannya atas anak muda itu serasa kian menjadi-jadi.
“Apakah kau bertemu dengan
Kakang Untara?” bertanya Swandaru Geni, seakan-akan telah membangunkannya.
“Ya, aku telah menemuinya di
banjar padepokan.”
“Apa katanya tentang kita?”
Sejenak Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu, tetapi kemudian ia menjawab, “Tidak apa-apa. Ia hanya bertanya
kenapa aku tidak hadir dalam upacara pemakaman pagi tadi.”
“O, apakah upacara itu telah
dilakukan?”
“Sudah pagi tadi, meskipun
belum seluruhnya. Tetapi upacara pelepasan para jenazah telah dilakukan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku masih melihat kesibukan di jalan-jalan di padepokan
ini. Aku sangka bahwa upacara ini belum dilakukan hari ini. Jadi kita berdua
tidak hadir dalam upacara itu?”
“Ya, karena kita tidak tahu.”
“Sayang” desis Swandaru. “Hal
ini dapat menimbulkan kesan yang kurang baik atas kita bertiga.”
Agung Sedayu terdiam. Tetapi
lalu ia menjawab, “Mudah-mudahan tidak.”
“Kau yakin?” desak Swandaru.
“Seandainya ada kesan itu,
maka Ki Tanu Metir pasti akan memberikan penjelasan. Guru ada di banjar saat
ini. Dan agaknya guru tidak menyalahkan aku. Bahkan ia mendesak supaya aku
segera kembali ke pondok ini. Aku tidak tahu apakah maksudnya.”
Swandaru dan Sekar Mirah terdiam.
Mereka tidak bertanya-tanya lagi. Tetapi terasa ada yang tersangkut di
perasaan. Ada sesuatu yang tidak dimengertinya, tetapi membuat mereka gelisah.
Sedang Agung Sedayu pun kemudian tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Bahkan kemudian ia berkata, “Beristirahatlah dengan baik. Mudah-mudahan
pekerjaan Kakang Untara segera selesai. Kakang Untara tidak akan tinggal lama
di padepokan ini.”
“Ya, menurut pendengaranku,
Kakang Untara untuk sementara akan berkedudukan di Jati Anom.”
Mereka pun kemudian terdiam.
Mereka duduk sambil menikmati pikiran masing-masing. Tetapi wajah-wajah mereka
tampak menjadi tegang.
Sepeninggal Agung Sedayu,
Untara dan Ki Tanu Metir masih berdiri di tangga banjar padepokan.
Tiba-tiba Ki Tanu Metir
berdesis, “Kasihan anak itu.”
Untara mengerutkan keningnya.
“Kenapa? Ia sudah menjadi semakin dewasa. Ia harus tahu kewajibannya. Anak itu
terlampau manja di masa kanak-anaknya. Sekarang ia harus menyadari bahwa
kemanjaannya itu sama sekali tidak menguntungkannya.”
Untara mengerutkan keningnya
ketika Ki Tanu Metir menggeleng. “Tidak. Angger Agung Sedayu tidak terlampau
manja. Tetapi ia adalah seorang penakut di masa kecilnya. Bahkan lebih dari
itu. Ia adalah seorang pengecut. Kau ingat?”
Untara tidak menjawab Tetapi
dadanya tersentuh mendengar sebutan itu bagi adiknya. Adik kandungnya.
“Kalau Angger Agung Sedayu itu
seorang pengecut, maka ia memang perlu dikasihani.”
“Tetapi ia sekarang sudah
tumbuh dan berkembang.”
“Itu hanya terjadi sesaat. Ia
akan menjadi seorang pengecut untuk seterusnya. Ia tidak akan berani melihat
bahaya yang cukup besar.”
“Kenapa, Kiai? Bukankah ia
sekarang telah berani menghadapi lawan yang dahulu sangat ditakutinya?
Sidanti.”
“Tetapi jiwanya tetap kerdil.
Kalau jiwa itu sudah mulai mekar, maka Angger Untara sendiri telah menekannya.
Dan ia akan tetap berjiwa kecil dan pengecut.”
Dada Untara berdesir mendengar
kata Ki Tanu Metir yang langsung menyentuhnya. Sesaat ia terdiam. Dipandanginya
wajah orang tua itu. Wajahnya itu tampaknya agak berbeda dengan wajah yang
selalu dilihatnya. Wajah itu selalu tampak jernih dan seolah-olah selalu
membayangkan senyum. Namun kini Untara melihat wajah itu terlampau
bersungguh-sungguh.
“Ki Tanu Metir benar-benar
tersinggung karena aku marah kepada muridnya, meskipun muridnya itu adalah
adikku” katanya di dalam hati.
Tetapi Ki Tanu Metir itu
kemudian berkata, “Bukan saja Angger yang telah menekan jiwanya untuk tetap
kerdil, tetapi aku pun telah mengorbankannya. Aku tidak dapat berbuat lain
untuk kepuasan prajurit Pajang di Tambak Wedi dan untuk kepentingan anak-anak
Jati Anom.”
Untara menjadi semakin tidak
mengerti. Wajahnya menjadi semakin berkerut-merut. Tiba-tiba ia berkata
berterus-terang, “Aku tidak mengerti Kiai.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia berkata dengan wajah yang semakin tampak
bersungguh-sungguh, “Aku sebenarnya sangat kasihan kepada adikmu, Angger.
Sebagian dari kesalahannya sehingga Angger marah kepadanya, adalah kesalahanku.
Aku sengaja menyimpannya di dalam gubug itu. Aku pula yang mendorong mereka
untuk minta kepadamu tempat yang lain, tidak di banjar ini. Alasannya agaknya
cukup kuat, karena Sekar Mirah selalu ketakutan di sini. Tetapi apakah Angger
ingat alasan yang telah mendesak Angger meluangkan waktu Angger yang terlampau
sempit ini untuk memanggil Wuranta?”
“Oh,” Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Wuranta mempunyai kedudukan yang lain dengan
Agung Sedayu, Kiai. Wuranta menurut Kiai sendiri adalah orang yang berhasil
menembus rapatnya dinding padepokan ini. Bukankah karena Wuranta ada di dalam
padepokan ini maka semuanya dapat berlangsung dengan lancar? Bukankah menurut
keterangan dan pengakuan Kiai sendiri, bahwa Kiai dapat masuk ke dalam
padepokan ini juga karena petunjuk-petunjuk Wuranta. Itulah sebabnya maka
Wuranta harus mendapat penghargaan yang sewajarnya. Para prajurit Pajang harus
mendapat penjelasan sehingga mereka tidak memperlakukan Wuranta sekenanya.
Meskipun sebagai seorang anak muda Wuranta tidak mampu melawan seorang prajurit
pun dalam olah kanuragan, namun keprigelannya dalam bidang sandi perlu mendapat
penghargaan.”
“Dan aku telah membantu Angger
untuk menyatakan terima kasih itu kepada Angger Wuranta. Aku merasa kasihan,
karena kejutan jiwanya Angger Wuranta menjadi rendah diri dan berbuat di luar
kewajaran. Kini ia telah menemukan kepercayaan kepada diri sendiri karena
Angger Untara sendiri telah menaruh perhatian atasnya, sehingga dengan demikian
tidak seorang pun akan mengumpati para prajurit Pajang, bahwa seolah-olah
setelah tidak diperlukan lagi, Wuranta langsung dilemparkan tanpa perhatian.
Hal itu pasti akan menyakitkan hati anak-anak Jati Anom.”
“Ya, ya aku sudah mengerti.
Karena itu betapa aku sibuk, aku perlukan datang mengambilnya.”
“Dan kelak membuat suatu
upacara untuk mengucapkan terima kasih kepadanya bersama orang-orang Jati
Anom.”
“Ya. Kita harus menjaga supaya
ia tetap tenang dan cukup percaya pada diri sendiri. Bukankah seperti yang Kiai
katakan, gadis Sangkal Putung itulah yang telah membuatnya hampir berputus asa.
Dan itu adalah karena Agung Sedayu pula?”
“Ya. Itulah sebabnya Angger
Agung Sedayu harus dikorbankan.”
“Bagaimana?” Untara menjadi
semakin bingung.
“Bahwa ia pergi dari banjar,
dan kemudian tidak selalu menampakkan dirinya itu berarti memberi kesempatan
Angger Untara untuk menempatkan Angger Wuranta di tempat sewajarnya. Adapun
kata orang terhadap Agung Sedayu yang tidak berperan apa pun di sini, itu tidak
penting.”
Dada Untara menjadi
berdebar-debar mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia menjadi semakin jelas
arah percakapan yang diucapkan oleh Ki Tanu Metir dengan nada yang berat dan
bersungguh-sungguh itu. Sejenak kemudian ia masih mendengar Ki Tanu Metir
berkata, “Dan aku sudah berusaha untuk melakukannya Aku sudah menyingkirkan
Agung Sedayu dari banjar ini, supaya Wuranta tidak lagi berkeberatan datang
kemari. Dan aku sengaja tidak memberitahukan upacara yang diadakan hari ini
supaya Agung Sedayu tidak datang kemari, apalagi bersama Sekar Mirah. Apabila demikian
maka ada kemungkinan bahwa Wuranta akan menyingkir dari banjar ini dan untuk
seterusnya ia tidak akan datang kembali. Bahkan mungkin ia akan terus kembali
ke Jati Anom sebelum Angger Untara sendiri kembali bersama sebagian dari
pasukan Pajang di sini. Nah, Wuranta akan dapat mengatakan kekecewaannya kepada
anak-anak muda Jati Anom. Ia dapat mengatakan hal-hal yang tidak benar atau
setidak-tidaknya kurang tepat karena arus perasaannya yang kadang-kadang kurang
dapat dikendalikan. Dengan demikian bukankah ada baiknya bagi Angger bahwa
Angger Agung Sedayu tidak datang dalam upacara ini?”
“Oh,” dahi Untara menjadi
berkerut-merut, “itu tidak jujur Kiai” katanya dengan serta-merta.
“Kenapa?”
“Kiai tidak bersikap adil
terhadap keduanya” ternyata kata-kata Kiai Gringsing telah menyentuh hati
Untara sebagai seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya sejak masa
kanak-kanaknya. “Seharusnya Kiai memberitahukan dahulu kepadaku akan rencana
itu. Aku telah bersikap terlampau kasar terhadap Agung Sedayu. Seharusnya
Wuranta pun harus dapat menyadari dirinya. Persoalan-persoalan pribadi harus
dapat disingkirkan di dalam masalah-masalah yang jauh lebih besar dan penting.”
“Ya” sahut Kiai Gringsing.
“Aku memang bersalah. Aku tidak memberitahukan dahulu kepada Angger Untara.
Tetapi aku tidak sempat. Terlalu sulit untuk mendapat kesempatan berbicara
dengan Angger karena pekerjaan Angger yang tidak ada hentinya. Namun Angger
jangan mempersoalkannya dengan Angger Wuranta. Ternyata perasaan anak muda itu
terlampau mudah tersinggung. Aku kira baru untuk pertama kalinya ia merasa
tertarik kepada seorang gadis. Dan gadis itu adalah Sekar Mirah. Justru Sekar
Mirah yang sudah terlanjur terikat oleh Angger Agung Sedayu. Tetapi Angger
Untara jangan mengatakan kepada adik Angger itu, bahwa ia harus mementingkan
persoalan-persoalan yang lebih besar dari persoalan-persoalan pribadinya.
Misalnya hubungannya dengan Sekar Mirah dan hubungannya dengan
kewajiban-kewajiban yang akan Angger berikan kepadanya. Hubungan yang demikian
adalah wajar bagi anak-anak muda. Bahkan mungkin akan membuatnya agak aneh dan
berbeda dari kebiasaan hidup sebelumnya. Mungkin ia menjadi berani menentang
orang lain dan bersikap kurang menyenangkan. Apalagi di hadapan gadis itu
sendiri. Hanya satu dua orang sajalah yang dapat berbuat seperti Angger Untara,
mengesampingkan semua persoalan pribadi dan menenggelamkan diri dalam kewajiban
Angger sebagai seorang prajurit. Tetapi aku kira Angger Agung Sedayu tidak akan
dapat berbuat demikian. Meskipun mungkin ia dapat menyingkirkan segala macam
pamrih kebendaan yang lain, namun hal yang satu itu pun harus hidup di dalam
hatinya. Dengan demikian maka pribadinya akan dapat mekar. Hidup Agung Sedayu
di masa kanak-anaknya selalu berada di samping seorang perempuan. Ibunya. Itulah
sebabnya Agung Sedayu memerlukan seorang perempuan untuk mengembangkannya.
Berbeda dengan Angger Untara. Angger Untara sejak lahir seolah-olah telah
menggenggam pedang. Dan pedang itu kini masih tetap di dalam genggaman. Pedang
merupakan kawan hidup yang paling setia bagi Angger Untara.”
Wajah Untara yang tegang
menjadi semakin tegang. Terasa ia benar-benar berbicara dengan seorang yang
rambutnya telah memutih, yang memandang segi-segi kehidupan dari sudut-sudut
yang tidak pernah dipikirkannya. Dengan demikian maka Untara tidak menjawab. Ia
mencoba mencernakan kata-kata Ki Tanu Metir itu. Namun bagaimanapun juga ia
merasakan bahwa hal ini tetap merupakan persoalan-persoalan yang harus
ditanganinya dalam keadaan serupa ini. Persoalan-persoalan yang tumbuh di dalam
masa-masa perjuangan yang berat. Di Sangkal Putung, Untara dan Widura harus
menangani persoalan Sidanti yang terlampau tamak dan terlampau ingin cepat
menginjakkan kakinya ke tingkat yang lebih tinggi. Di sini ia berhadapan dengan
persoalan yang lain.
Ki Tanu Metir agaknya melihat
perasaan yang berkecamuk di dalam dada Untara sehingga ia berkata, “Bukankah
persoalan-persoalan yang demikian itu dapat tumbuh di mana-mana? Dan bukankah
di setiap saat Angger dapat menemui seribu satu macam persoalan? Apalagi dalam
saat-saat serupa ini. Di saat-saat anak-anak muda kehilangan sasaran untuk
melepaskan ketegangan yang masih mencengkam dada masing-masing, setelah lawan
terkalahkan. Kadang-kadang ketegangan-ketegangan itu tidak tersalur sewajarnya.
Karena itulah maka Angger Untara harus berusaha untuk menyalurkannya, jangan
membendung. Carilah keseimbangan dari keduanya. Mungkin hal ini akan sangat
mengganggu Angger. Tetapi ini pun merupakan sebagian dari tanggung jawab Angger
sebagai seorang pemimpin. Persoalan ini justru persoalan yang belum pernah
Angger alami sendiri.”
Untara mengerutkan dahinya.
Tetapi kali ini ia melihat Ki Tanu Metir tersenyum, “Karena itu, Ngger,
lengkapilah pengalaman Angger dalam segala segi, supaya Angger tidak canggung
menghadapi persoalan-persoalan yang demikian.”
“Ah” Untara berdesah.
“Hal itu akan sangat berguna
bagi Angger, pekerjaan Angger kini sudah jauh berkurang. Pajang telah hampir
menemukan kemantapannya. Mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi yang akan
mengganggu. Mudah-mudahan Pajang berbuat bijaksana sehingga tidak menumbuhkan
persoalan-persoalan baru lagi.”
Untara mengerutkan keningnya.
Dan ia mendengar Ki Tanu Metir bergumam, “Sebaiknya tidak saja daerah Pati,
tetapi Mentaok pun harus segera diselesaikan, di samping Sidanti yang pasti
akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, justru berhadapan dengan Mentaok.”
Untara tidak segera menjawab.
Dicernakannya kata-kata itu baik-baik di dalam hatinya. Meskipun seakan-akan Ki
Tanu Metir begitu saja mengatakannya, namun agaknya kalimat-kalimatnya
mengandung suatu tuntutan terhadap pimpinan pemerintahan Pajang.
Ia tahu benar janji Adiwijaya
kepada Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi. Apabila mereka dapat mengalahkan Arya
Penangsang maka mereka akan mendapat tanah Pati dan bumi Mentaok. Meskipun yang
memegang peranan penting dalam pertempuran yang terjadi antara kedua induk
pasukan Pajang dan Jipang, yang langsung dipimpin oleh Arya Penangsang adalah
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, dengan mempergunakan tombak
Kiai Pleret, namun Adiwijaya tidak akan mengingkari janjinya. Ki Gede Pemanahan
dan Ki Penjawi akan mendapat tanah yang telah dijanjikan kepada mereka, tapi
saat ini yang baru diberikan adalah tanah Pati. Baru Ki Penjawi yang telah
menerima tanah yang telah dijanjikan oleh Adiwijaya.
Kedua daerah yang dijanjikan
untuk hadiah itu pun ternyata sangat berbeda keadaannya. Pati telah tumbuh
menjadi sebuah kota yang semakin hari semakin ramai, tetapi bumi Mentaok masih
berupa sebuah hutan yang ganas dan liar. Hutan yang isinya telah dilihat
sendiri oleh Sutawijaya dan beberapa kali oleh Ki Gede Pemanahan sebagai
seorang prajurit Wira Tamtama. Namun sampai saat terakhir, tanah yang masih
berupa hutan itu pun belum juga diberikannya.
Tetapi persoalan itu adalah
persoalan para pemimpin pemerintahan. Bukan persoalannya dan bukan persoalan Ki
Tanu Metir.
“Apakah maksud Ki Tanu Metir
mengungkapkan persoalan itu?” bertanya Untara di dalam hatinya.
Dalam kediamannya itu Untara
mendengar Ki Tanu Metir berkata, “Sudahlah, Ngger, silahkan. Para perwira
mungkin telah menunggu Angger. Mungkin Angger perlu berislirahat atau ada
persoalan-persoalan yang masih perlu Angger bicarakan.”
Untara menganggukkan
kepalanya, “Baik, Kiai. Lalu Kiai sendiri akan pergi ke mana?”
“Ah, jangan hiraukan aku”
sahut Ki Tanu Metir sambil tersenyum. “Mungkin aku akan pergi kepada Angger
Agung Sedayu atau berjalan-jalan ke mana saja.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia tidak dapat menahan diri lagi dan bertanya,
“Tetapi apakah maksud Kiai mengatakan tentang tanah Pati dan bumi Mentaok?”
“Oh,” Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya, “tidak apa-apa, Ngger. Aku tidak bermaksud apa-apa.
Tetapi sebaiknya hal-hal semacam itu mendapat perhatian. Tidak seorang pun tahu
maksud pimpinan pemerintahan Pajang sekarang. Kenapa Pati yang justru telah berupa
menjadi tanah yang ramai telah diserahkan, tetapi bumi Mentaok yang masih harus
banyak mendapat pembinaan masih belum. Setelah persoalan orang-orang Jipang ini
selesai, maka kejanggalan ini akan sangat terasa. Ki Gede Pemanahan, yang
selama ini masih sibuk dengan tugasnya, maka kini ia akan segera mendapat
peluang untuk memikirkannya.”
“Ah,” desah Untara, “Ki Gede
Pemanahan tidak akan memperhitungkan hal-hal serupa itu. Ia adalah seorang
besar yang tidak menimbang betapa besar pengorbanannya. Ia tidak akan berpikir
tentang masalah-masalah yang tidak penting seperti tanah Pati dan bumi
Mentaok.”
Untara mengerutkan keningnya
ketika ia melihat Ki Tanu Metir tersenyum. Orang tua itu menjawab,
“Bagaimanakah persoalannya sehingga janji itu lahir? Janji tentang kedua daerah
itu?”
Untara tidak menjawab.
Ditatapnya saja wajah Ki Tanu Metir yang selama ini dikenalnya sebagai seorang
dukun yang baik dan seorang yang pilih tanding dalam olah kanuragan. Seorang
yang juga mempergunakan nama Kiai Gringsing. Tetapi apakah Kiai Gringsing itu
sudah cukup menyatakan dirinya dengan melepas kedoknya yang dipakainya untuk
mengelabui Agung Sedayu, kemudian menyatakan dirinya bahwa Kiai Gringsing itu
adalah Ki Tanu Metir? Tetapi siapakah Ki Tanu Metir itu sebenarnya? Ternyata
orang itu terlampau banyak menaruh perhatian dan bahkan terlalu banyak mengerti
tentang keadaan pemerintahan.
“Angger Untara,” berkata Ki
Tanu Metir kemudian, “Aku kira Ki Gede Pemanahan tidak akan mengusik hal-hal
yang telah dijanjikan itu seandainya tanah Pati pun tidak diserahkan. Dan
kenapa Adiwijaya mempergunakan janji itu di dalam tindakannya? Bukankah sudah
sewajarnya bahwa Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, dan para senapati seperti
Angger Untara melakukan perintahnya walaupun tanpa janji apa pun?”
“Ya, ya Kiai,” potong Untara,
“aku tahu.”
“Nah,” berkata Ki Tanu Metir,
“bukankah Adipati Pajang yang pasti akan menyebut dirinya kemudian Sultan
Pajang itu juga mengharapkan janji atas kesanggupannya melenyapkan Arya
Jipang.”
“Ah,” desah Untara, “apakah
maksud Kiai sebenarnya?”
“Sudah aku katakan,” jawab Ki
Tanu Metir, “tidak bermaksud apa-apa. Aku bukan orang penting. Aku bukan orang
yang berwenang membicarakan. Tetapi aku ingin Pajang dapat tegak dengan mantap
tanpa persoalan-persoalan apa pun yang dapat mengganggunya. Kalau Angger Untara
dapat menolong memperingatkan Adipati Adiwijaya lewat siapa pun atas
keterlambatannya, maka aku kira Pajang akan bersih dari segala gangguan dan
Pajang akan sempat membangun dirinya.”
“Mudah-mudahan hal yang serupa
itu tidak terjadi, Kiai. Jangan terlampau mencemaskannya. Orang-orang Pajang
cukup besar jiwanya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan kecil semacam itu.”
Ki Tanu Metir tersenyum.
“Tetapi bukankah Adipati Adiwijaya juga menuntut janji yang diberikan oleh Ratu
Kalinyamat kepadanya?”
“Sudahlah Ngger. Aku terlampau
banyak berbicara. Lihat Angger Wuranta datang. Apabila Angger telah memutuskan
untuk kembali ke Jati Anom, harap Angger memberitahukan kepadaku.”
Untara mengangkat wajahnya,
memandangi jalan yang membujur di hadapan banjar itu. Dilihatnya Wuranta
berjalan bersama beberapa orang prajurit Pajang. Kini tampaklah mereka menjadi
semakin akrab. Wuranta sudah tidak lagi kehilangan keseimbangan, meskipun
setiap kali dadanya masih juga berdebar-debar dan gairahnya menghadapi masa depan
seolah-olah akan patah. Namun ia sudah mampu menempatkan dirinya. Ia sudah
dapat membeda-bedakan persoalan yang dihadapinya.
“Ia tidak akan datang apabila
Angger Agung Sedayu masih di sini. Ia pasti akan meninggalkan halaman ini”
desis Ki Tanu Metir.
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Anak itu terlampau perasa. Ia harus menyadari keadaannya
dan tidak mudah dihempaskan ke dalam suatu perbuatan putus asa.”
“Perlahan-lahan, Ngger.
Perlahan-lahan. Lambat-laun pengalamannya akan menuntunnya. Seperti Angger
Agung Sedayu yang kini telah berhasil melepaskan diri dari kungkungan
sifat-sifatnya di masa kanak-kanaknya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “Kiai sebenarnya aku masih ingin tahu,
kenapa Kiai menaruh perhatian yang besar sekali terhadap Adipati Pajang.”
“Ah, sudahlah anggaplah itu
hanya sekedar sendau gurau saja.”
“Tidak, Kiai,” sahut Untara,
“ternyata Kiai tidak sekedar bergurau saja.”
“Lihat, Angger Wuranta telah
memasuki halaman. Persilahkan ia masuk ke dalam pringgitan.”
Untara tidak mendapat
kesempatan lagi untuk bertanya. Wuranta telah berdiri di hadapannya bersama
beberapa orang prajurit.
“Masuklah” Untara
mempersilahkan.
Wuranta menganggukkan
kepalanya. Kemudian ia melangkah masuk, sedang para prajurit segera pergi ke
gandok kiri.
Ketika Wuranta telah hilang di
balik pintu, Kiai Gringsing berkata, “Sudahlah, Ngger. Aku akan pergi. Angger
sebenarnya tidak perlu merisaukan kata-kataku itu.”
“Aku perlu mengetahui, Kiai.”
Kiai Gringsing menggeleng,
kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Nanti malam aku akan datang kemari.
Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah, biarlah tetap di dalam pondoknya.
Besok atau lusa mereka akan ikut serta bersama-sama dengan Angger pergi ke Jati
Anom. Kemudian mereka pasti akan segera kembali ke Sangkal Putung. Di Sangkal
Putung orang tua mereka telah menunggu dengan cemas. Mudah-mudahan persoalan
Sekar Mirah itu dapat diselesaikan dengan baik. Mudah-mudahan Wuranta tidak
terluka karenanya, dan Agung Sedayu pun dapat mengerti pula keadaannya.”
“Hem” Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Kiai Gringsing telah
mendahului, “Jangan kau salahkan anak-anak muda itu. Perasaan yang demikian itu
wajar bagi anak-anak muda.”
Untara hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah, Ngger” sekali lagi
Kiai Gringsing minta diri.
“Silahkan, Kiai.”
Kiai Gringsing pun kemudian
meninggalkan halaman padepokan itu. Namun sejenak Untara masih berdiri saja di
tangga pendapa. Dicobanya untuk mengingat apa yang baru saja dilakukan.
Tiba-tiba anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti kenapa Ki
Tanu Metir seolah-olah menahan Agung Sedayu di pondoknya. Ternyata Ki Tanu Metir
berusaha memberi kesempatan kepada Wuranta untuk menemukan dirinya kembali.
Sebab menurut penilaiannya, Wuranta mempunyai jasa yang cukup besar bagi
Pajang.
“Tetapi tanpa Ki Tanu Metir,
Wuranta tidak akan dapat berbuat apa-apa” desis Untara itu. “Anak muda itu
hanya sekedar melakukan petunjuk-petunjuk orang tua itu, meskipun dalam
saat-saat yang penting kecakapan berpikir Wuranta juga dapat menentukan. Tetapi
keduanya memiliki jasanya yang seimbang. Sayang aku tidak dapat berbuat banyak
terhadap orang tua itu. Aku tidak akan dapat mengucapkan terima kasih
kepadanya. Setiap kali ia hanya tertawa saja, seolah-olah pernyataan terima
kasih yang demikian itu hanya merupakan keharusan adat tata cara.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya di dalam hati, “Tetapi terhadap Wuranta aku akan
dapat melakukannya. Aku harus menunjukkan kepada anak-anak muda Jati Anom,
bahwa pasukan Pajang menyatakan terima kasihnya tidak terhingga kepada mereka, khususnya
Wuranta. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir pun kali ini mau menerima pernyataan resmi
dari pada prajurit Pajang.”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Untara melangkah naik ke pendapa. Namun tiba-tiba tersirat di dalam
hatinya kata-kata Ki Tanu Metir, “Bukankah Adipati Adiwijaya juga menuntut
janji yang diberikan oleh Ratu Kalinyamat kepadanya?”
“Hem,” Untara masih
mengangguk-anggukkan kepalanya, “dari mana orang tua itu tahu bahwa Ratu
Kalinyamat menjanjikan dua orang gadis cantik bagi Adipati Pajang yang kini
telah menyebut dirinya Sultan Pajang?”
Sejenak angan-angan Untara
meloncat kepada peristiwa itu, pada saat Adipati Adiwijaya menghadap kakanda
Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa dengan bertelanjang tanpa mengenakan
pakaian sama sekali selain rambutnya sendiri yang hitam lebat dan panjang.
Janji Ratu Kalinyamat telah
membuat Adipati Adiwijaya menjadi bingung. Wajar kedua gadis itu selalu
mengganggunya, sehingga dengan tergesa-gesa pula ia berkeinginan untuk
menyelesaikan persoalan Arya Penangsang yang telah membunuh Sunan Prawata,
Pangeran Hadiri, dan orang-orang yang tidak sependapat dengan pendiriannya. Dan
ketergesa-gesaannya itulah yang menyebabkannya, maka ia pun segera menyatakan
janjinya, meskipun tanpa janji apapun Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, apalagi
Sutawijaya yang telah diangkat menjadi puteranya itu, pasti akan melakukannya. Ternyata
ketergesa-gesaannya itu kini dapat menumbuhkan akibat, menurut panggraita Ki
Tanu Metir.
Langkah Untara itu tiba-tiba
tertegun. Seolah-olah ia belum puas mengenang semua yang pernah terjadi
menjelang pecah perang antara Pajang dan Jipang. Dua kadipaten yang termasuk
dalam lingkungan Kerajaan Demak. Tetapi setelah Demak kosong, maka kedua kadipaten
ini terlibat dalam suatu pertentangan yang tidak dapat diselesaikan, selain
dengan peperangan.
Untara masih berdiri di muka
pintu yang memisahkan pringgitan dan pendapa banjar padepokan itu. Tangannya
sudah melekat pada gawang pintu, tetapi ia masih belum mendorong pintu jtu. Di
halaman ia melihat satu dua orang prajurit berjalan hilir-mudik. Sedang di
pendapa itu sendiri ia masih melihat beberapa orang yang terluka duduk-duduk di
antara mereka. Orang yang lukanya tidak terlampau parah.
“Itu adalah salah satu
kelemahan dari Adipati Pajang” Untara masih saja berbicara sendiri di dalam
hatinya. Ia tidak menyadari bahwa beberapa pasang mata para prajurit yang
berada di pendapa itu memandanginya dengan heran. Tetapi Untara masih berbicara
di dalam dirinya, “Adipati Adiwijaya tidak dapat menahan diri apabila ia
melihat wanita-wanita cantik. Tetapi aku kira tindakaanya tentang kedua tanah
yang dijanjikan itu tidak terlampau salah. Pati memang harus segera diserahkan.
Tetapi aku rasa Mentaok tidak akan terlampau tergesa-gesa. Seandainya tanah itu
jatuh ketangan Ki Gede Pemanahan sebagai tanah perdikan yang kini masih berupa
hutan yang lebat dan liar, namun akhirnya daerah itu akan jatuh ketangan
puteranya Mas Ngabei Loring Pasar. Sedangkan apabila tanah itu dibuka lebih
dahulu, maka Ki Gede Pemanahan tidak perlu mencemaskannya, bahwa akhirnya tanah
itu pasti akan jatuh ketangan Sutawijaya pula. Bahkan mungkin bukan sekedar
daerah Mentaok sebagai tanah perdikan. Mungkin Sutawijaya akan menerima daerah
yang jauh lebih luas, untuk mendirikan sebuah kadipaten baru.”
Untara terkejut-ketika
tiba-tiba pintu itu terdorong ke samping. Ternyata seseorang telah membukanya
dari dalam.
“Oh,” orang itu pun terkejut,
tetapi keduanya kemudian tersenyum, “aku tidak tahu kalau Kakang Untara berdiri
di situ.”
“Aku baru akan masuk” sahut
Untara.
“Silahkanlah” orang itu
mempersilahkan.
Untara kemudian masuk pula ke
dalam pringgitan yang lembab. Disuruhnya beberapa orang untuk membuka genting
supaya panas matahari dapat masuk dan memanaskan udara di dalam banjar itu.
“Ki Tambak Wedi tidak sempat
membersihkan pringgitan ini” gumam Untara. “Ia lebih senang berjalan dari satu
tempat ke tempat yang lain, membuat kisruh dan menuntun muridnya untuk berbuat
seperti dirinya sendiri.”
Ketika kemudian kepada mereka
dihidangkan makan dan minuman, maka mereka pun segera menikmatinya. Badan
mereka yang lelah telah membuat mereka lapar dan haus, sehingga makanan yang
dihidangkan itu menjadi sangat lezat terasa di lidah-lidah mereka.
Sambil makan ada-ada saja yang
mereka percakapkan, dari yang paling menyeramkan sampai yang paling menggelikan
dalam peperangan yang baru saja terjadi. Wuranta kini telah dapat ikut dalam
percakapan itu dengan wajar. Ia sudah tidak terlalu mudah tersinggung, meskipun
ada satu dua orang perwira di antara mereka yang sengaja menyebut-nyebut
namanya. Bahkan anak muda Jati Anom yang telah berhasil menemukan dirinya
sendiri itu hanya tersenyum saja. Ia kini merasa, bahwa kedudukanya sama sekali
tidak berada di bawah para perwira itu di dalam perjuangan.
Tetapi selama itu Untara
sendiri tidak terlampau banyak ikut berbicara. Angan-angannya kadang-kadang
masih saja diganggu oleh keadaan yang bakal datang. Kadang-kadang ia ikut serta
menyesalkan tindakan Adipati Pajang. Tetapi kadang-kadang ia menganggap bahwa
tindakan itu cukup bijaksana.
“Kedua sudut pandangan itu
mempunyai alasannya masing-masing” katanya di dalam hati. “Tetapi apapun
alasannya, maka tidak akan dapat dijadikan sebab untuk berbuat hal-hal yang
tidak semestinya.”
Untara itu tersadar ketika ia
mendengar Wuranta bertanya, “Untara, kapan aku mendapat kesempatan untuk
kembali ke Jati Anom?”
“Aku juga sedang memikirkan”
jawab Untara. “Aku kira segera setelah semua persoalan aku selesaikan di sini.
Aku sudah memutuskan bahwa aku akan membuat kedudukan untuk sementara di Jati
Anom bersama separo dari seluruh pasukan. Sedang yang separo lagi mempunyai
tugas di sini. Mengawasi dan menyelesaikan masalah-masalah harian yang akan
timbul. Orang-orang yang menyerah memerlukan bimbingan, juga perempuan dan
kanak-anak yang kehilangan suami dan ayah-ayah mereka. Sedangkan yang berbahaya
akan aku kirimkan ke Pajang.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku sebenarnya tidak perlu menunggu kau, Untara. Aku dapat
kembali sendiri.”
“Jangan” potong Untara. “Aku
akan membuat sekedar pernyataan terima kasih. Hari ini aku akan memerintahkan
beberapa orang prajurit untuk turun menemui Ki Demang Jati Anom. Setelah aku
menentukan hari-hari yang pasti, maka aku akan memberitahukan hal itu lagi
kepada Ki Demang.”
“Untuk apa?” bertanya Wuranta.
“Prajurit-prajuritku dan
orang-orang Jati Anom yang sudah cukup lama mengalami ketegangan jiwa, perlu
mendapat sedikit pelepasan. Aku yakin bahwa Jati Anom masih memiliki
kemungkinan-kemungkinan untuk itu.”
Wuranta tersenyum. Katanya,
“Maksudmu, Jati Anom masih mampu menyelenggarakan keramaian?”
“Begitulah.”
“Mungkin masih. Tetapi selama
ini hati kita terampas oleh kecemasan. Aku tidak tahu, apakah Ki Demang masih
sanggup menyelenggarakannya.”
“Aku akan menanyakannya.
Mungkin besok aku sudah dapat menemukan keputusan, kapan kita akan kembali.”
Dan diluar sadarnya Untara meneruskan, “Anak-anak Sangkal Putung itu pun sudah
tergesa-gesa pula ingin pulang ke kampung-halamannya.”
Mendengar kata-kata Untara itu
Wuranta mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menunduk. Dan ia tidak
menyahut sama-sekali.
Untara melihat perubahan wajah
itu, dan disadarinya keterlanjurannya. Dengan demikian maka ia ingin
memperbaikinya katanya, “Mudah-mudahan Ki Demang Jati Anom masih menemukan
kemungkinan itu.”
Tetapi Wuranta masih tetap
menundukkan kepalanya. Namun terdengar ia bergumam, “Kalau anak-anak Sangkal
Putung itu ingin segera kembali, apakah keberatannya? Biarlah mereka kembali ke
kampung halaman mereka. Barangkali mereka memang sudah tidak mempunyai urusan
apa pun di sini.”
“Ya,” sahut Untara, “mereka
sudah tidak mempunyai urusan di sini. Karena itu biarlah mereka segera kembali.
Tetapi aku belum tahu, kapan mereka ingin pergi ke Sangkal Putung.”
Sekali lagi Wuranta terdiam.
Percakapan mereka kini sudah tidak selancar semula. Dan Untara menyesali
keterlanjurannya, namun ia juga menyesali sikap Wuranta yang terlampau mudah
tersinggung itu pula.
Bahkan di dalam hati Untara
berkata, “Biarlah anak-anak Sangkal Putung itu segera saja kembali. Suasana di
sini dan di Jati Anom harus tetap baik. Wuranta mempunyai pengaruh yang cukup
di Kademangan Jati Anom. Apalagi setelah mereka mendengar apa yang sebenarnya
telah dilakukannya. Maka apabila anak itu kecewa, anak-anak muda Jati Anom pun
akan menjadi kecewa pula. Terhadapku, dan terhadap prajurit-prajurit Pajang
pada umumnya, yang sementara masih memerlukan Jati Anom sebagai tempat
kedudukan mereka.”
Sejenak ruangan itu menjadi
sepi. Masing-masing terdiam kaku. Di dalam kediaman itu Untara tiba-tiba
berpikir tentang adiknya. Apakah anak itu akan tinggal bersamanya di Jati Anom,
ataukah ia akan pergi ke Sangkal Putung?
“Tak ada yang akan
dilakukannya di Sangkal Putung. Ia harus tetap berada di Jati Anom bersamaku.
Aku akan dapat mendidiknya untuk menjadi seorang laki-laki” berkata Untara di
dalam hatinya. “Baru saja ia berhasil melepaskan diri dari kungkungan dunianya
yang sempit dan penuh ketakutan, kini ia telah jatuh ke dalam dunia lain yang
sama-sama mengikatnya seperti dunianya yang dulu. Tetapi ia kini terikat oleh
perasaan-perasaan yang tidak ubahnya seperti seorang yang sakit ingatan.
Seseorang yang terkungkung dalam dunia yang demikian, maka ia akan kehilangan
pribadinya. Mungkin Ki Tanu Metir benar, bahwa orang-orang muda akan
mengalaminya sesuai dengan kewajaran sifat manusia. Tetapi Agung Sedayu masih
terlampau muda. Ia masih harus banyak berbuat dan bekerja untuk membentuk
dirinya, sebelum ia terjerumus kedalam dunia lain, yang sebenarnya belum
masanya dialaminya”
Terngiang di telinga Untara
kata-kata Ki Tanu Metir, “Jangan kau salahkan anak-anak muda itu, Ngger.
Perasaan yang demikian itu wajar bagi anak-anak muda.”
“Memang,” Untara membantah di
dalam hatinya, “hal itu adalah hal yang wajar. Tetapi bagi mereka yang sudah
cukup dewasa. Akan tetapi belum waktunya buat Agung Sedayu. Ia segera akan
kehilangan kepribadiannya dan terjerumus dalam suatu keadaan yang berbahaya. Ia
akan menjadi alat saja bagi gadis Sangkal Putung itu. Ia tidak akan dapat
membedakan lagi apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak. Aku harus
menjaganya supaya ia tetap teguh akan kediriannya. Aku harus membantu
membentuknya menjadi seorang anak yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Hal
itu sudah tampak padanya. Benih-benih dari ayah ternyata hidup subur di dalam
dirinya. Ia adalah seorang pembidik yang baik. Seorang yang cukup lincah dan
tangguh. Kematangannya akan membuatnya pilih tanding. Tetapi apabila sebelum waktu
itu datang ia sudah jatuh ke dalam pengaruh seorang gadis, maka semuanya itu
tidak akan dapat terwujud.”
Untara tersadar ketika ia
mendengar beberapa orang minta ijin kepadanya untuk keluar dari pringgitan itu.
Udara ternyata terlampau panas.
“O, silahkanlah” sahut Untara.
Beberapa orang kemudian
berdiri dan berjalan meninggalkannya. Wuranta pun kemudian minta ijin pula
untuk keluar. Ia ingin melepaskan diri dari ketegangan yang tiba-tiba
mencengkamnya setelah sekian lama dapat dihindarinya. Namun ia kini tidak lagi
menjadi seolah-olah kehilangan akal. Ia berjalan di antara para perwira yang
pergi keluar pringgitan dan bercakap-cakap di antara mereka. Dengan demikian
maka hatinya menjadi agak tenang.
Akhirnya Untara sendiri merasa
bahwa udara di dalam pringgitan itu terlampau panas. Ia kini sudah tidak begitu
terikat oleh tugas-tugas yang terlampau banyak. Karena itu maka tiba-tiba ia
ingin mengunjungi adiknya dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung kakak
beradik. Ia ingin tahu, apakah keinginan mereka, dan kapankah mereka akan
kembali ke Sangkal Putung.
Dengan dua orang perwira
bawahannya Untara pergi ke pondok tempat tinggal Agung Sedayu. Ditemuinya
ketiga anak-anak muda di pondok itu sedang duduk di bawah sebatang pohon sawo
di halaman.
“Hem,” Untara berdesah di
dalam hatinya, “itulah kerja mereka di pondok ini. Duduk-duduk dengan malasnya.
Ini mempunyai pengaruh yang jelek terhadap Agung Sedayu. Wajarlah apabila ia
semakin dalam tenggelam di bawah pengaruh Sekar Mirah. Setiap hari mereka
berkumpul tanpa mempunyai perhatian atas masalah-masalah yang penting selain
masalah-masalah di dalam diri mereka sendiri.”
Ketika anak-anak muda itu
melihat kedatangan Untara, bagaimanapun juga anggapannya terhadap senapati itu,
namun dengan tergopoh-gopoh mereka menyambut kedatangannya. Dengan ramahnya
Untara dipersilahkan untuk masuk ke dalam dan duduk di sebuah amben yang besar.
Tetapi dada Untara itu menjadi
berdebar-debar tetika ia melihat sesosok tubuh terbaring dengan nyamannya
diamben itu. Ternyata Ki Tanu Metir sedang tidur dengan nyenyaknya. Tetapi
langkah mereka telah membangunkannya. Sambil menggeliat ia berkata, “Ah
marilah, Ngger. Aku sedang tidur.”
Untara tidak menyahut.
Dianggukkan kepalanya, kemudian bersama kedua kawannya ia duduk di amben yang
besar itu, sementara Ki Tanu Metir telah bangun dan duduk pula di antara
mereka. Kain yang dipakainya kali ini adalah kain gringsingnya, diselimutkan
pada sebagian dari tubuhnya yang tidak berbaju.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya Swandaru dan Sekar Mirah berganti-ganti, kemudian
adiknya, Agung Sedayu.
“Bagaimanakah dengan kalian?”
bertanya Untara tiba-tiba.
“Kami baik-baik saja di sini,
Kakang,” Swandarulah yang menyahut.
Senapati muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya pula, “Apakah kalian
kerasan di sini?”
Pertanyaan itu mengejutkan
mereka, sudah tentu mereka tidak kerasan di tempat yang asing ini. Mereka lebih
senang segera kembali ke Sangkal Putung.
Ternyata Ki Tanu Metir sempat
menangkap maksud dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang mengejutkannya pula.
Seharusnya Untara tidak langsung bertanya kepada kedua anak-anak muda itu.
“Apakah yang terjadi dengan
Angger Untara?” bertanya Ki Tanu Metir di dalam hatinya. “Angger Untara adalah
seorang senapati yang berpengalaman. Ia dapat memperhitungkan hampir tepat
setiap gerakan lawan. Ia dapat melawan gelar yang bagaimanapun sulitnya. Tetapi
ia bukan seorang yang mengerti perasaan anak-anak muda. Ia kurang bijaksana
menanggapi persoalan ini. Angger Untara memandang segala persoalan dari
kepentingan keprajuritan. Seperti tanggapannya terhadap Angger Agung Sedayu dan
Wuranta. Persoalan yang langsung menyangkut pasukannyalah yang paling banyak
mendapat perhatian.”
Karena itu selagi Swandaru dan
Sekar Mirah masih bingung menanggapi pertanyaan Untara, maka Ki Tanu Metir-lah
yang menyahut, “Sudah tentu tidak, Ngger. Kedua anak-anak muda ini, bahkan
ketiganya sama sekali tidak kerasan berada di tempat ini. Bagi mereka lebih
baik untuk segera kembali ke Sangkal Putung daripada berada di sini. Sudah
tentu ayah bundanya menunggu mereka dengan cemasnya. Bahkan mereka telah
menyatakan keinginan mereka untuk mendahuluinya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia beringsut maju dan hampir memotong kata-kata Kiai
Gringsing, Kiai Gringsiug itu cepat-cepat melanjutkannya, “Tetapi hal itu tidak
dapat dilakukannya, akulah yang melarangnya. Mereka harus mengerti bagaimana
sikap yang sebaik-baiknya dilakukan. Mereka harus mengucapkan terima kasih
kepada pasukan yang telah membebaskannya. Aku minta mereka menunggu, Ngger.
Mereka akan pergi bersamamu ke Jati Anom, kemudian secara resmi mereka akan
mohon diri untuk kembali ke Sangkal Putung.”
Wajah Untara tampak berkerut.
Ia kehilangan kalimat untuk menjawab. Sebenarnya ia ingin berkata, bahwa tidak
ada keberatannya seandainya kedua anak-anak muda itu ingin segera kembali ke
Sangkal Putung, bahkan itulah yang diinginkannya. Tetapi Ki Tanu Metir telah
melarang mereka. Bagi Untara semakin cepat Sekar Mirah pergi, akan semakin
baik. Senapati itu mencemaskan kehadirannya sebagai seorang gadis yang cantik.
Kecantikannya akan dapat mempengaruhi keadaan. Terutama adiknya. Bukan mustahil
apabila kelak akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan baru. Sudah tentu
Wuranta tidak akan segera dapat melupakannya. Bahkan seandainya diminta, ia
bersedia menyediakan pengawal yang cukup kuat, yang akan dapat melindungi
mereka berdua seandainya mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi di perjalanan.
Tetapi Ki Tanu Metir telah
mendahului sikapnya. Karena itu maka Untara untuk sejenak tidak berkata
sesuatu.
Yang berkata kemudian adalah
Ki Tanu Metir, yang melihat wajah Untara berkerut-merut. Seolah-olah ia dapat
menebak isi hati anak muda itu. Katanya, “Sebenarnya aku pun tidak kerasan pula
berada di sini, Ngger. Aku pun ingin segera kembali ke Dukuh Pakuwon. Tetapi
aku pun ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, bahwa kalian telah
membebaskan Sekar Mirah. Adik muridku yang muda ini.”
Dada Untara berdesir. Ternyata
kini ia dapat merasakan sesuatu di dalam hatinya, tentang orang tua itu. Ada
yang tidak diakui oleh Ki Tanu Metir. Mungkin sikapnya atas Agung Sedayu dan
kini sikapnya atas Swandaru, yang keduanya adalah murid Ki Tanu Metir.
Untara masih tetap berdiam
diri. Ki Tanu Metir baginya adalah seorang yang banyak sekali memberikan
jasanya. Jauh lebih banyak dari apa yang dapat diberikan oleh Wuranta.
Karena itu maka Untara menjadi
gelisah. Ia ingin mengatakan berterus terang kepada Ki Tanu Metir, bahwa
perasaannya menangkap sesuatu yang tidak wajar pada orang tua itu. Tetapi itu
tidak akan dapat diucapkannya di hadapan Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar
Mirah. Karena itu, maka ia ingin segera mendapat penjelasan dari persoalannya.
Kalau ia secepatnya pergi ke Jati Anom membawa mereka itu, maka persoalannya
akan menjadi semakin jelas. Ia pun akan segera dapat melihat perkembangan
keadaan adiknya. Ia sudah memutuskan, bahwa Agung Sedayu tidak boleh pergi ke
Sangkal Putung. Ia tidak berkeberatan hubungan apa pun yang akan dilakukan
dengan Sekar Mirah, tapi yang menurut penilaian Untara, Agung Sedayu masih
harus membentuk dirinya. Ia akan dapat menjadi seorang yang pilih tanding.
Kelak apabila dikehendaki, ia akan dapat menjadi seorang prajurit yang dapat
melampaui kebanyakan prajurit. Adipati Adiwijaya pasti akan menghargainya. Dan
adiknya itu pasti akan segera mendapat tempat yang baik di kalangan Wira
Tamtama.
Terdesak oleh perasaannya yang
bergolak itu, maka tiba-tiba Untara berkata, “Besok lusa kita akan pergi ke
Jati Anom. Besok aku akan memberitahukannya kepada Ki Demang Jati Anom. Aku
mengharap Jati Anom akan menyambut kita dengan resmi. Dalam kesempatan itu kita
akan mengucapkan terima kepada orang-orang yang banyak berjasa kepada perjuangan
ini.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Ia pun merasakan apa yang bergetar di hati senapati muda itu, tetapi
orang tua itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun. Ia masih saja
tersenyum-senyum dan berkata, “Semakin cepat semakin baik, Ngger.”
Untara mengangguk. “Ya, Kiai”
jawabnya pendek. Ternyata Untara kemudian tidak dapat menyampaikan maksudnya,
bertanya tentang keinginan Swandaru dan Sekar Mirah. Bahkan kemudian ia
mendapat kesan yang aneh pada orang yang bernama Ki Tanu Metir dan yang sering
menyebut diri Kiai Gringsing. Bahkan kesannya terhadap Kiai Gringsing itu
menjadi semakin menggetarkan dadanya, sehingga tumbuhlah pertanyaan di dalam
kepalanya, “Siapakah sebenarnya orang ini? Apakah benar bahwa Ki Tanu Metir itu
hanya sekedar seorang dukun tua di Dukuh Pakuwon, tidak lebih dan tidak kurang?
Hubungan apakah yang pernah dijalin antara Kiai Gringsing ini dengan ayah
dahulu?”
Pembicaraan itu pun kemudian
menjadi terlampau canggung. Sejenak mereka saling berdiam diri. Masing-masing
menundukkan kepalanya. Kedua perwira kawan Untara menjadi heran melihat sikap
Untara yang seolah-olah dicengkam oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Untuk
hal-hal yang tampaknya tidak penting itu sebenarnya ia akan dapat mengambil
keputusan tanpa menghiraukan terlampau banyak persoalan. Tetapi pembicaraan
yang pendek itu agaknya telah membuat Untara ragu-ragu dan membuat kedua
kawannya berdebar-debar.
Dalam kecanggungan itulah maka
Ki Tanu Metir telah mencoba membuka pembicaraan-pembicaraan yang tidak berarti.
Ia bertanya tentang beberapa hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan
kepentingan Untara mendatangi adiknya dan kedua anak-anak muda kakak beradik
dari Sangkal Putung itu.
Tetapi Untara tidak dapat
terlampau lama duduk di amben bambu yang besar itu. Sejenak kemudian, ia pun
minta diri.
“O, begitu tergesa-gesa,
Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya, Kiai, aku agak lelah. Aku
ingin beristirahat sebentar.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Silahkan, Ngger.”
Untara pun kemudian turun dari
amben itu dan melangkah keluar. Tetapi di muka pintu ia berhenti sejenak dan
berkata, “Sedayu, aku memerlukanmu.”
Dahi Agung Sedayu berkerut.
Tetapi ia menjawab, “Ya, Kakang, aku akan datang.”
“Datanglah ke banjar.”
Sebelum Agung Sedayu menjawab,
Ki Tanu Metir telah mendahuluinya, “Tetapi apakah tidak lebih baik Angger Agung
Sedayu tidak usah datang ke banjar hari ini?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Apakah artinya kata-kata gurunya itu, dan apakah keberatannya?
Untara pun terdiam sejenak. Ia
segera menangkap maksud Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba Untara mempunyai
pendirian lain. Segalanya harus cepat menjadi jelas. Ia tidak ingin bermain
sembunyi-sembunyian. Itu akan menyulitkan pekerjaannya saja. Ia harus segera
berterus terang. Ia harus segera mendapatkan pemecahan.
Ternyata Ki Tanu Metir dapat
mengerti apa yang tersirat di balik tatapan mata Untara yang tajam. Orang tua
itu dapat mengerti bahwa Untara sebagai seorang senapati pasti mempunyai cara
tersendiri. Apalagi seorang senapati muda.
Orang tua itu pun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau cara itu yang akan ditempuh oleh Untara,
maka ia pun tidak akan dapat menghalangi. Karena itu maka kemudian ia berkata,
“Kalau Angger menghendaki, maka Agung Sedayu pun pasti akan pergi ke sana.”
“Ya” sahut Untara. “Ia harus
pergi ke banjar. Nanti malam.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Untara kemudian pergi
meninggalkan mereka. Swandaru memandangi ketiga perwira itu dengan wajah yang
keheran-heranan. Tetapi yang bertanya adalah Sekar Mirah, “Apakah sebenarnya
keperluan mereka kemari?”
Ki Tanu Metir berpaling.
Ditatapnya wajah gadis itu. Ternyata perasaan gadis itu cukup tajam. Tetapi Ki
Tanu Metir menjawab, “Ia hanya ingin melihat-lihat semua lingkungan tanggung
jawabnya.”
Sekar Mirah terdiam, tetapi
hatinya menangkap sesuatu yang lain seperti juga Swandaru Geni. Apalagi Agung
Sedayu. Beberapa saat sebelumnya sikap kakaknya telah membuatnya
berdebar-debar. Dan kini kakaknya langsung memanggilnya. Apakah kepergiannya
atas pendapat Ki Tanu Metir dari banjar tidak menyenangkan hati kakaknya,
sehingga kakaknya memerlukan datang memanggilnya? Kalau hanya itu, bukankah
kakaknya dapat memerintahkan bawahannya untuk datang ke pondoknya ini.
Tetapi teka-teki itu sudah
tentu tidak akan dapat dijawabnya, kecuali langsung bertanya kepada Untara. Dan
tiba-tiba saja Agung Sedayu menemukan suatu sikap di dalam dirinya. Sikap yang
selama ini belum pernah dimilikinya. Dengan tetap ia berkata di dalam hatinya,
“Apapun yang akan terjadi, aku harus menghadapinya. Aku tidak punya pilihan
lain. Mungkin aku sudah berbuat kesalahan di luar sadarku. Tetapi aku harus
mendengar apakah salahku yang sebenarnya. Kalau sekedar ketidakhadiranku dalam
upacara itu saja, maka aku kira persoalannya sudah selesai. Aku sudah memenuhi
perintah Kakang Untara untuk minta maaf kepadanya.”
Dengan demikian maka hati
Agung Sedayu justru menjadi tenang. Anak muda yang seakan-akan sepanjang
hidupnya hanya tergantung saja kepada kakaknya, kini tanpa dikehendakinya
sendiri dan tanpa disangka-sangka sebelumnya justru menemukan sikap di dalam
dirinya, pada saat-saat ia digelisahkan oleh sikap kakaknya, tempat ia
bergantung selama ini.
Maka tanpa disadarinya,
perlahan-lahan ia bergumam lirih, “Aku akan datang, dan aku akan bertanggung
jawab, apa pun kesalahan yang telah aku lakukan.”
Agung Sedayu itu terkejut
ketika ia mendengar kata-kata lembut di belakangnya, “Bagus. Kau memang harus
datang, Ngger.”
Ketika Agung Sedayu berpaling,
dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata gurunya berada di belakangnya dan
mendengar gumamnya, sehingga gurunya itu menyahut kata-katanya.
Namun sejenak Agung Sedayu
tidak dapat mengerti maksud gurunya yang sebenarnya. Dan kebimbangannya itu
memancar lewat sorot matanya.
Ki Tanu Metir kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan diulanginya kata-katanya, “Kau memang harus
berbuat demikian, Ngger.”
“Apakah maksud Guru
sebenarnya?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
“Kau sudah menjadi semakin
dewasa. Kau harus menemukan bentuk dari kepribadianmu sendiri. Kau tidak boleh
selalu dibebani oleh perasaan ragu-ragu dan terlalu bergantung kepada orang
lain. Misalnya kepada kakakmu. Suatu ketika kau harus menemukan sikap sendiri.
Kau pada suatu saat harus meyakini suatu pendirian. Pendirian itu adalah
pendirianmu. Pendirianmu sendiri.”
Agung Sedayu menundukkan
wajahnya. Ia kini mengerti maksud gurunya. Memang selama ini ia terlampau
bergantung kepada kakaknya. Dalam segala hal ia seolah-olah terikat kepada
keputusan Untara. Ia merasakan bahwa ia tidak sebebas Swandaru apalagi
Sutawijaya. Keduanya dapat menentukan sikapnya tanpa terlampau banyak
mempertimbangkan pendapat orang lain.
Namun demikian ia mendengar
gurunya meneruskan, “Tetapi Ngger, ini tidak berarti bahwa kau harus memutuskan
semua seakan seperti seekor kuda yang lepas dari kendali. Kau masih tetap
seorang saudara muda Angger Untara. Kau masih tetap harus mendengarkan
nasehatnya. Tetapi kau sendiri harus mempunyai landasan sikap. Sikap seorang
yang dewasa. Tetapi juga tidak berarti bahwa kau harus menentang setiap
pendapat kakakmu.”
Kini perlahan-lahan Agung
Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Tanu Metir berkata selanjutnya,
“Dalam keadaan yang memaksa kau sebenarnya sudah dapat bersikap. Pada saat
Angger Sekar Mirah hilang dari Sangkal Putung, kau sudah bersikap. Tanpa
menunggu persetujuan Angger Untara. Tetapi dalam saat-saat yang wajar, kau
hanya dapat berbuat sesuatu apabila Angger Untara menentukan.”
Agung Sedayu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia memandangi Sekar Mirah dan
Swandaru yang telah masuk kembali ke dalam pondoknya.
“Nah, dengan bekal itu,
pergilah menghadap Angger Untara. Namun jangan lepas dari keseimbangan. Kau tetap
adiknya dan kau tetap di bawah pengaruhnya, apalagi Angger Untara adalah
seorang senapati perang yang bertanggung jawab di daerah ini. Daerah medan
perang yang masih kemelut, yang masih belum dingin benar. Dalam daerah yang
demikian, maka dada setiap prajurit itu pun masih juga berasap. Sentuhan minyak
setetes masih dapat mengobarkan api yang masih membara di dalam dada.”
Perlahan-lahan terdengar Agung
Sedayu menyahut, “Ya, Guru, aku mengerti.”
Kini Ki Tanu Metirlah yang
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus. Tetapi hati-hatilah akan sikapmu itu.”
“Ya, Guru” jawab Agung Sedayu.
“Nah, sekarang
beristirahatlah. Kau dapat mengatur perasaanmu, supaya kau tidak terkejut
menghadapi sesuatu yang baru di dalam dirimu. Setiap perubahan harus kau
sadari. Dan kau mengerti, supaya kau tetap berada di dalam keseimbangan.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
melangkah pergi. Beberapa langkah ia tertegun, sambil berpaling ia berkata,
“Aku akan pergi ke sungai. Kalau aku tidak segera kembali, maka pergilah pada
saatnya ke banjar.”
Agung Sedayu mengangguk, “Ya,
Guru.”
Ketika Ki Tanu Metir
meneruskan langkah, terdengar Swandaru melangkah ke luar dan bertanya,
“Kemanakah Guru itu?”
“Ke sungai.”
“Kenapa?”
Agung Sedayu memandangi wajah
adik seperguruannya ini. Tetapi kemudian ia tersenyum. “Mungkin ia akan mandi.
Mungkin mencuci kain gringsingnya yang sudah mulai masem.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Kelak, kalau aku sudah sampai di Sangkal Putung, aku akan minta
kepada ayah, supaya ayah membeli sehelai kain gringsing yang baru. Kiai
Gringsing itu pasti akan senang memakainya.”
Agung Sedayu tersenyum,
“Mungkin. Tetapi mungkin tidak. Ia mempunyai ciri-ciri yang khusus pada kain
gringsingnya itu.”
Swandaru menggeleng, “Tidak.
Kain itu adalah kain gringsing biasa saja.”
“Aku akan membatik buatnya”
tiba-tiba Sekar Mirah menyela. “Kalau ada ciri-ciri kekhususannya, ia dapat
memberitahukan. Dan aku dapat membuat ciri-ciri itu pada kain yang aku batik
dengan tanganku sendiri.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi ia melangkah masuk ke dalam pondok. “Aku akan beristirahat,” katanya,
“apakah kalian tidak tidur?”
Keduanya menggeleng. Agung
Sedayu pun tidak biasa tidur pada saat-saat seperti ini. Berbeda dengan Ki Tanu
Metir. Ia tidur kapan saja ia inginkan, tetapi kadang-kadang semalam suntuk ia
sama sekali tidak tidur.
Sebenarnya Agung Sedayu pun
tidak ingin tidur. Ia ingin mengatur perasaannya seperti yang dikatakan oleh
gurunya.
Ketika kemudian malam tiba,
dan padepokan Tambak Wedi disaput oleh warna yang kelam, maka perlahan-lahan
Agung Sedayu meninggalkan pondoknya.
“Kau akan pergi ke banjar?”
bertanya Swandaru.
“Ya, Kakang Untara memanggil
aku. Mungkin ada sesuatu yang dianggapnya penting.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tampaknya ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ternyata ia berdiam
diri saja.
Namun di luar dugaan Swandaru
dan Agung Sedayu, tiba-tiba Sekar Mirah bertanya lirih, “Tetapi, bukankah kau
akan kembali ke pondok ini, Kakang?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Dengan serta-merta ia menjawab, “Tentu Mirah. Aku tentu kembali ke
mari.”
“Lalu, apakah Kakang Agung
Sedayu akan kembali ke Jati Anom segera?”
“Ah, aku kira kita akan pergi
bersama-sama.”
“Mungkin ada perintah lain
dari Kakang Untara.”
Agung Sedayu terdiam. Hal yang
demikian itu memang mungkin sekali. Tetapi apakah ia harus selalu tunduk saja
kepada perintah kakaknya yang bertentangan dengan kehendaknya? Bukankah ia
bukan seorang prajurit Pajang?
Karena Agung Sedayu tidak
menjawab maka Sekar Mirah mendesaknya, “Bagaimana, Kakang? Dan apakah kau akan
pergi juga ke Sangkal Putung seperti katamu?”
Agung Sedayu masih berdiam
diri. Pertanyaan itu telah membuat hatinya berdebar-debar. Sebelum itu, Sekar
Mirah seolah-olah membiarkannya, seandainya ia ingin meninggalkan kedua
anak-anak Sangkal Putung itu, bahkan tampaknya Sekar Mirah acuh tak acuh saja
seandainya ia tidak lagi akan pergi ke Sangkal Putung. Namun dalam keadaan yang
mendebarkan ini, Sekar Mirah bertanya kepadanya, apakah ia akan pergi ke
Sangkal Putung.
“Bukankah kau mengatakan,”
sambung Sekar Mirah, “bahwa kau bersama-sama dengan Kakang Swandaru sedang
mencari aku, dan kau akan menyerahkan aku kepada ayah bundaku bersama dengan
Kakang Swandaru?”
Debar di dada Agung Sedayu
terasa menjadi semakin cepat. Kini ia tidak dapat berdiam diri saja. Maka
dengan ragu-ragu ia menjawab, “Ya, Mirah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung.”
Sekar Mirah menatap mata Agung
Sedayu dengan tajamnya. Tiba-tiba dari mata itu memancar suatu perasaan yang
aneh, bahkan mata itu seolah-olah menjadi basah. Dan perlahan-lahan sekali
Agung Sedayu mendengar suara Sekar Mirah di-sela-sela bibirnya yang
bergerak-gerak lamban, “Aku dan Kakang Swandaru menunggumu, Kakang.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya. Dipandanginya kedua kakak beradik itu berganti-ganti. Terasa
darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir. Maka jawabnya kemudian
tersendat-sendat, “Ya, ya. Aku pasti akan kembali ke pondok ini dan aku akan
mengantarkan kalian ke Sangkal Putung.”
Agung Sedayu itu pun kemudian
pergi meninggalkan mereka dengan perasaan yang aneh. Sekar Mirah masih berdiri
saja sejenak di halaman sehingga Agung Sedayu itu hilang ditelan gelapnya
malam.
Sekar Mirah itu tersadar
ketika ia mendengar kakaknya berdesis di belakangnya, “Marilah kita masuk,
Mirah. Malam terlampau dingin.”
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi
tiba-tiba gelap malam membuatnya ketakutan lagi. Dengan gemetar dipeganginya
tangan kakaknya. Di dalam kegelapan itu terbayang kembali mayat yang
bergelimpangan, membujur lintang di halaman, di jalan-jalan bahkan bersandar
pagar-pagar batu.
“Kakang,” kata-katanya
bergetar, dan pegangannya pada tangan kakaknya menjadi semakin erat, “aku takut
Kakang, takut.”
“Apa yang kau takutkan?”
Sekar Mirah tidak menjawab,
tetapi wajahnya disembunyikannya di dada kakaknya.
“Marilah masuk, Mirah.”
Swandaru itu pun kemudian
membimbing Sekar Mirah masuk ke dalam pondoknya, dan Sekar Mirah itu berjalan
saja sambil memejamkan matanya.
Demikian mereka masuk kedalam
pondok itu, maka Sekar Mirah pun segera berkata, “Tutuplah pintunya, Kakang.”
Swandaru pun segera menutup
pintu. Sekar Mirah kini kembali menjadi ketakutan dan selalu berpegangan tangan
kakaknya. Meskipun kemudian mereka telah duduk di atas amben besar di dalam
pondok itu, dan ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu minyak yang tersangkut
di tiang, namun Sekar Mirah masih saja ngeri karena bayangan yang
mengganggunya.
Perasaan ngeri itu ternyata
mempengaruhi pula perasaan Swandaru Geni. Tetapi ia tidak menjadi ngeri
dihantui oleh bayangan mayat yang bergelimpangan. Yang mendebarkan jantungnya
adalah suasana yang dirasanya terlampau sepi. Tanpa disengajanya maka matanya
hinggap pada pedangnya yang besar, bertangkai gading yang tergantung di
dinding. Pedang itu tidak terlampau jauh dari padanya. Sekali loncat ia akan
sudah dapat meraih senjata itu. Tetapi perasaannya telah memaksanya untuk
berdiri sejenak.
“Kau akan kemana, Kakang?”
bertanya Sekar Mirah yang masih berpegangan tangannya.
Swandaru Geni tidak menjawab.
Tetapi ia bergeser sedikit dan meraih pedang itu.
“Apakah kau akan pergi?”
bertanya adiknya.
Swandaru menggeleng, “Tidak.”
“Tetapi kenapa kau kenakan
pedang itu di lambungmu?”
“Hanya sekedar untuk menenteramkan
hati.”
“Kenapa, Kakang?” Sekar Mirah
menjadi semakin cemas, “apakah ada sesuatu?”
“Tidak, tidak Mirah. Tidak ada
apa-apa. Duduklah. Aku ingin membuat hatimu dan hatiku sendiri tenteram. Di
samping senjata ini aku tidak akan mengenal takut lagi. Aku harap kau juga
tidak lagi menjadi berdebar-debar dan ketakutan.”
Sekar Mirah terdiam. Keduanya
kemudian duduk lagi. Tanpa dikehendaki, Sekar Mirah bermain-main dengan juntai
pedang Swandaru yang berwarna kekuning-kuningan. Juntai yang diterimanya dari
pemberian Sutawijaya.
Di luar malam menjadi semakin
kelam. Derik cengkerik dan pekik bilalang bersahutan dengan lengking angkup
nangka. Ngelangut. Di kejauhan sekali-sekali terdengar anjing liar menyalak dan
menggonggong seakan-akan menangisi keluarganya yang hilang di peperangan.
Sekar Mirah duduk semakin
merapat kakaknya. Kesepian malam membuatnya menjadi semakin ngeri. Tetapi
dengan pedang di lambungnya Swandaru sudah tidak diganggu lagi oleh kecemasan.
Meskipun demikian setiap desir
yang lemah sekalipun seakan-akan telah membuat telinga Swandaru bergerak.
Di dalam kegelapan malam
itulah Agung Sedayu melangkah dengan hati yang berdebar-debar. Dilewatinya
jalan padepokan Tambak Wedi yang sepi. Jalan yang belum begitu dikenalnya.
Tetapi ia tahu benar arah yang harus diambilnya untuk sampai ke banjar
padepokan.
Namun Agung Sedayu sama sekali
tidak kehilangan kewaspadaan. Ia berjalan di daerah yang belum begitu dipahami.
Dan daerah itu adalah daerah yang baru saja dilanda oleh pertempuran. Di ujung
jalan ini kemarin berserakan mayat dan orang-orang yang terluka. Di
halaman-halaman dan di kebun-kebun di sekitar banjar.
Tidak pula mustahil apabila di
balik rimbunnya pepohonan itu masih ada satu dua orang yang bersembunyi,
mengintai perjalanannya. Sisa-sisa orang Tambak Wedi atau orang Jipang yang
berhasil bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul dan rerungkutan, atau di dalam
kebun-kebun salak yang terbentang di sela-sela kebun-kebun bambu yang padat.
Gemerisik angin malam
menggoyangkan dedaunan dan ranting kecil. Dingin malam di lereng pegunungan
mulai terasa membelai kulit. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Ia
berjalan terus. Selangkah demi selangkah menembus gelapnya malam. Pedangnya
tergantung di lambung kirinya. Bergerak-gerak seirama dengan langkah kakinya.
Meskipun jarak yang akan
dilalui Agung Sedayu dari pondoknya ke banjar padepokan itu tidak jauh, tetapi
di dalam jarak yang dekat itu menunggu berbagai kemungkinan yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya.
Dalam gelap malam Agung Sedayu
melangkah terus, seperti hatinya yang sedang gelap pula. Kadang-kadang timbul
niatnya untuk berbuat sekehendak hatinya tanpa menghiraukan apa pun yang akan
dikatakan kakaknya nanti. Bahkan ia akan bersedia melakukan akibat yang
bagaimana pun juga. Tetapi kemudian tumbuhlah sifat-sifatnya yang tidak dapat
ditinggalkannya. Ragu-ragu.
Tiba-tiba langkah Agung Sedayu
tertegun. Ia sudah melihat lamat-lamat nyala obor di halaman. Tetapi dekat,
hanya beberapa langkah daripadanya, ia melihat bayangan hitam yang
bergerak-gerak. Menilik sikapnya, bayangan itu pasti bukan prajurit Pajang.
Hati Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar dan curiga. Selangkah ia maju mendekati bayangan itu, tetapi
bayangan itu pun kemudian menjauhinya selangkah pula.
Debar di dada Agung Sedayu
menjadi semakin keras. Perlahan-lahan ia bertanya, “Siapa kau?”
Tetapi ia tidak mendengar
jawaban. Sekilas angan-angannya meloncat kepada Wuranta. Apakah orang itu
Wuranta? Lalu apakah maksudnya ia menungguku di kegelapan.
Agung Sedayu menggeleng lemah,
“Pasti bukan Wuranta.” Namun di dalam hatinya itu terdengar, “Mungkin. Ia
sedang menungguku. Bukankah sikapnya pada saat-saat terakhir sangat
membingungkan?”
Selangkah Agung Sedayu maju,
dan selangkah orang itu menjauh. Segera Agung Sedayu mengerti, bahwa orang itu
sedang memancingnya. Karena itu, maka ia menjadi semakin berhati-hati. Mungkin
orang itu cukup berbahaya baginya.
Tetapi hati Agung Sedayu saat
itu sedang disaput oleh kegelapan. Betapapun ia mencoba untuk berbuat
sebaik-baiknya dan dengan penuh kewaspadaan, namun tiba-tiba kemarahan,
kejemuan, dan segala macam perasaan yang tidak menyenangkannya, serasa
terungkat. Sekali terdengar anak muda itu menggeram. Lalu sekali lagi ia
bertanya, “Siapa kau, he?”
Masih belum ada jawaban.
Karena itu maka kemarahan di dada Agung Sedayu menjadi semakin membara, Ia
merasa dipermainkan oleh bayangan yang tidak dikenalnya.
Agung Sedayu yang sedang pepat
itu, sama sekali tidak sempat untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang
jernih. Memang sekali terkilas di dalam hatinya sebuah pertanyaan “Apakah orang
ini Ki Tambak Wedi yang berhasil kembali ke dalam padepokan ini?”
Tetapi pertanyaan yang
demikian dijawabnya sendiri, “Tidak. Kalau orang ini yang bernama Ki Tambak
Wedi, ia tidak memancing aku. Dengan sekali loncat ia sudah berhasil menerkam
aku dan membuatku pingsan atau membunuhku sama sekali. Orang ini pasti bukan Ki
Tambak Wedi.”
“Sidanti, Argajaya?”
Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu. Tetapi ketika ia melihat bentuk bayangan dalam keremangan malam,
maka ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, “Bukan keduanya,” desisnya.
“Aku tidak peduli apakah orang
itu Sidanti, Argajaya, atau Tambak Wedi sekalipun,” geramnya kemudian.
Agung Sedayu kemudian
benar-benar menjadi bermata gelap. Hatinya yang bingung karena
persoalan-persoalan yang bertubi-tubi menggoda perasaannya telah membuatnya
kehilangan pertimbangan. Sikap Wuranta yang tidak dimengertinya, sikap
kakaknya, dan persoalan yang membuat hatinya menjadi kisruh.
Kini ia ingin menumpahkan
segala macam perasaannya itu. Segala macam kejemuan, kejengkelan, kebingungan,
dan apa saja.
Tiba-tiba Agung Sedayu
menggeretakkan giginya. “Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap. Juga
terhadap ini, aku tidak perlu berlari-lari melaporkannya kepada Kakang Untara.
Aku hanya akan dimarahinya. Diejeknya dan barangkali dimaki-makinya. Apalagi
kalau orang ini ternyata orang-orang yang berbahaya, yang kemudian berhasil
melepaskan diri. Aku pasti dikiranya seorang pengecut yang hanya berani berbuat
di antara orang-orang dapat melindungiku.”
Dengan serta-merta Agung
Sedayu pun segera meloncat mengejar bayangan itu. Demikian tiba-tiba sehingga
bayangan itu pun terkejut. Namun orang yang berada di dalam kegelapan itu masih
mampu menghindarkan dirinya dan berlari membelok ke dalan lorong yang sempit.
Agung Sedayu sudah tidak dapat
berpikir jernih lagi. Dikejarnya orang yang berlari itu. Ia sudah tidak lagi
menghiraukan apa pun, meskipun mereka kemudian memasuki lorong-lorong yang
makin sempit dan rimbun. Lorong-lorong yang jarang sekali dilalui oleh
peronda-peronda prajurit Pajang.
Namun betapapun juga, naluri
Agung Sedayu masih mencegahnya ketika bayangan itu meloncat masuk ke dalam
sebuah kebun yang kosong. Kebun yang gelap pepat ditumbuhi oleh
gerumbul-gerumbul liar, dan rumpun-rumpun bambu. Di sana-sini tumbuh pohon yang
besar dan rimbun.
“Ia memancing aku masuk” geram
Agung Sedayu. Tapi ia kini dicengkam oleh keragu-raguan. Perlahan-lahan ia
menenangkan diri, menjernihkan pikirannya. Kini ia mencoba untuk menduga,
siapakah orang itu.
“Ada beberapa kemungkinan,”
katanya di dalam hati, “tetapi kemungkinan bahwa orang itu satu di antara tiga,
Sidanti, Argajaya, atau Ki Tambak Wedi sendiri adalah sangat tipis. Menurut
pengamatanku, bentuk tubuh mereka agak berbeda. Sikap dan cara untuk melarikan
diri pun berbeda pula. Agaknya Wuranta pun bukan pula. Yang paling mungkin
adalah sisa-sisa orang Jipang atau orang-orang Tambak Wedi sendiri yang lolos
dari tangan prajurit Pajang dan berhasil bersembunyi di dalam liarnya
gerumbul-gerumbul dan rumpun-rumpun bambu itu.”
Agung Sedayu masih saja
berhenti di tempatnya. Kini ia sudah tidak melihat bayangan itu lagi. Bayangan
itu telah hilang ke dalam rimbunnya dedaunan. Tetapi Agung Sedayu kini telah
melihat bahaya yang dapat tumbuh apabila ia masuk ke dalam halaman yang liar
itu. Ia akan dengan mudahnya disergap dari segala penjuru. Ia tidak tahu,
apakah orang itu hanya seorang diri, atau mempunyai kawan-kawan yang cukup
banyak. Karena itu, maka ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Ketka ia masih saja tidak
bergerak, ia melihat bayangan yang hitam itu muncul lagi di dalam kegelapan.
Agung Sedayu melihat bayangan itu berdiri tegak dengan kaki renggang,
seolah-olah siap untuk menyerangnya.
Selangkah Agung Sedayu surut.
Kesadarannya telah memperingatkannya untuk berbuat lebih hati-hati. Dan tiba-tiba
saja, maka di tangan Agung Sedayu itu telah tergenggam pedangnya.
Tetapi bayangan yang hitam itu
masih berdiri diam. Agaknya ia sengaja menunggu Agung Sedayu menyerangnya.
Tetapi Agung Sedayu pun masih tetap berdiri saja di tempatnya.
Ternyata bayangan itu tidak
dapat bersabar lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suaranya berdesis,
“He, prajurit Pajang. Kau memang terlampau berani datang seorang diri ke tempat
ini.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Dan ia mendengar bayangan itu berkata lagi, “Menurut pengamatan
kami, kau adalah seorang dari dua anak-anak muda yang menunggui gadis itu di
pondoknya. Nah, sekarang aku ingin minta tolong kepadamu, supaya kau memanggil
seorang kawanmu itu dan gadis yang kau tunggui itu pula, supaya kau selamat.”
Terdengar gigi Agung Sedayu
gemeretak.
“Kalau kau bersedia, marilah.
Kami, beberapa orang, akan mengantarmu ke pondok itu. Tetapi ingat, jangan
berbuat hal-hal yang dapat membahayakan jiwamu,” Orang itu berhenti sejenak,
lalu, “Kami sebenarnya tidak berkepentingan sama sekali dengan kalian. Tetapi
bersama-sama dengan kalian, kami akan dapat keluar dari neraka ini. Dengan
kalian, maka para penjaga pintu regol tidak akan dapat banyak berbuat atas
kami.”
Agung Sedayu menggeram. Kini
ia sadar, siapakah yang dihadapinya. Mereka adalah orang-orang yang berhasil
bersembunyi di dalam padepokan ini, di antara gerumbul-gerumbul liar dan
rumpun-rumpun bambu. Mungkin mereka adalah orang-orang yang pada saat
pertempuran terjadi antara orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang,
sedang bertugas meronda atau tugas apa pun, sehingga mereka tidak sempat
menggabungkan dirinya ketika pasukan Pajang memasuki daerah ini.
“Bagalmana? Apakah kau setuju?
Aku tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin keluar dari neraka ini. Hanya
itu, tidak lebih.”
Sekali lagi Agung Sedayu
menggeram. Orang itu ingin mempergunakannya bersama Swandaru dan Sekar Mirah
sebagai tanggungan, supaya mereka dapat keluar dari padepokan ini dengan
selamat.
“Mereka benar-benar bodoh,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “mereka sama sekali tidak melihat
kesempatan untuk lari lewat urung-urung itu. Atau barangkali urung-urung itu
pun sudah dijaga oleh prajurit Pajang?”
Karena Agung Sedayu tidak
segera menjawab, maka orang itu pun berkata pula, “Nah, apakah kau setuju?
Sebenarnya bagimu sudah tidak ada pilihan lain. Salahmulah bahwa kau terjebak
di tempat ini. Kau terlampau sombong, berjalan seorang diri di dalam gelapnya
malam, di daerah yang masih kemelut diasapi oleh sisa-sisa peperangan. Ayo,
lekas, letakkan pedangmu dan ikutlah kami menjemput gadis itu.”
Yang terdengar kemudian suara
Agung Sedayu gemetar, “Darimana kau tahu, bahwa gadis itu berada di pondok
bersamaku.”
Terdengar suara tertawa lirih.
Katanya, “Perempuan-perempuan di padepokan ini selalu berbaik hati kepada kami,
memberitahukan apa saja yang ingin kami ketahui. Ternyata mereka mendendam
sampai ke ujung rambutnya kepada orang-orang Pajang yang bengis itu.”
“Tutup mulutmu!” Agung Sedayu
tiba-tiba membentak. Kemarahannya telah menyala dengan dahsyatnya.
Perasaan-perasaan yang telah diendapkannya tiba-tiba teraduk kembali. Dan
sekali lagi ia berkata di dalam hatinya, “Aku bukan kanak-kanak lagi. Aku harus
dapat berbuat menurut pertimbanganku sendiri. Aku tidak perlu menggantungkan
diriku kepada siapapun.”
Perasaan itu telah mendorong
Agung Sedayu untuk menyelesaikan masalah yang kini sedang dihadapi. Dengan
sepenuh kekuatan ia menindas segala macam keragu-raguan yang ada di dalam
dirinya. Ia tidak mau mendengar lagi pertimbangan-pertimbangan apa pun yang
tumbuh di dalam hatinya.
Tetapi ia masih tetap berdiri
di tempatnya. Ia tidak mau maju lagi masuk ke dalam perangkap.
Karena Agung Sedayu tidak
beranjak dari tempatnya, maka bayangan itu maju setapak. “Letakkan pedangmu,”
suaranya berdesis, “bagimu sudah tidak ada pilihan lain kecuali mati.”
“Aku memilih mati,” suara itu
bergetar seperti gelora di dalam dadanya.
“Gila kau,” bayangan itu pun
menggeram, “jangan bodoh.”
“Kalau aku mati, maka kau pun
akan mati karena kau tidak akan dapat keluar dari padepokan ini.”
“Kau memang terlampau bodoh,
aku dapat mendatangi pondok itu tanpa kau. Mungkin kami perlu membawa kepalamu
saja untuk menakut-nakuti mereka agar mereka bersedia menuruti perintah kami.”
“Lakukanlah” sahut Agung
Sedayu dalam nada yang berat penuh tekanan kemarahan.
Bayangan itu terdiam sejenak.
Tetapi Agung Sedayu melihat orang itu melambaikan tangannya.
“Ia memberikan tanda kepada
kawan-kawannya” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Dugaan Agung Sedayu itu
ternyata tepat. Sejenak kemudian Agung Sedayu melihat empat orang yang lain
berloncatan dari tempat persembunyian mereka.
Agung Sedayu meloncat
selangkah surut. Ketika ia mencoba menghitung orang-orang yang berdiri di
sekitarnya, maka dilihatnya semuanya berjumlah lima orang.
Sekali lagi Agung Sedayu
bergeser. Ia mencoba untuk mendapat tempat yang baik. Ia harus melawan kelima
orang itu sekaligus. Perkelahian yang demikian adalah suatu pengalaman baru
baginya. Tetapi pengalaman itu mengandung bahaya yang cukup besar.
“Tetapi aku bukan kanak-kanak
yang hanya dapat merengek lagi kepada kakang Untara. Kakang Untara selalu berbuat
tanpa ragu-ragu. Aku bukan pengecut. Aku sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan
masalah ini” kata-kata itu selalu terngiang di dalam rongga telinganya. Ia sama
sekali tidak mau diganggu lagi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Dan
tiba-tiba saja, kelima orang itu terkejut ketika mereka mendengar Agung Sedayu
berteriak, “Aku bunuh kalian! Aku berhak juga membunuh musuh-musuhku.”
Terdengar kemudian salah
seorang dari kelima orang itu berdesis, “Jangan membunuh diri. Kau sudah
terkepung, Betapapun dahsyat ilmu prajurit Pajang, tetapi melawan kami berlima
adalah mustahil”
“Ayo, kalian membunuh aku atau
aku membunuh kalian.”
Kelima orang itu tertegun.
Ternyata mereka berhadapan dengan seorang yang agaknya tidak berperasaan.
Dan sebenarnyalah bahwa Agung
Sedayu tidak mau lagi dipengaruhi oleh segala macam perasaan ragu-ragu,
bimbang, pertimbangan-pertimbangan atau ijin dari kakaknya atau kecemasan bahwa
kakaknya akan marah, atau perasaan apapun. Apalagi perasaan takut. Karena itu
maka sikapnya pun menjadi terlampau garang dan kasar.
“Apakah kau mencoba
menakut-nakuti kami?” bertanya yang lain.
“Persetan! Apakah kau takut
atau tidak bukan soalku. Ayo kita bertempur” jawab Agung Sedayu.
Sekali lagi kelima orang itu
menjadi heran. Namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertanya-tanya
lagi. Tiba-tiba-saja mereka melihat Agung Sedayu menggerakkan pedangnya sambil
berkata, “Hanya ada dua kemungkinan, membunuh atau dibunuh. Aku memilih
kemungkinan yang pertama, membunuh. Aku tidak peduli lagi atas kalian. Apakah
kalian akan merengek minta maaf atau minta dikasihani. Tidak ada maaf dan belas
kasihan di peperangan. Kita bersama-sama telah menjadi buas melampaui
serigala.”
Kelima orang itu pun
sebenarnya adalah orang-orang yang hampir berputus asa. Mereka sebenarnya telah
hampir kehilangan pertimbangan-pertimbangan mereka. Mereka pun sebenarnya
berada dalam daerah kedua pilihan itu pula “membunuh atau dibunuh”, tetapi
ternyata sikap Agung Sedayu itu telah membuat dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar.
Mereka terkejut, bahwa dalam
sekejap kemudian Agung Sedayu telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dengan
penuh nafsu ia menyerang lawan-lawannya yang telah mengepungnya itu.
Hampir bersamaan kelima orang
yang berdiri melingkari Agung Sedayu itu meloncat surut. Tetapi mereka tidak
dapat berbuat lain daripada segera melakukan perlawanan, sebab serangan Agung
Sedayu selanjutnya melanda mereka seperti banjir. Selama ini Agung Sedayu
selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Bahkan ia menjadi bingung
melihat sikap kakaknya. Seolah-olah apa yang dilakukannya selalu saja salah.
Tiba-tiba kini ia dengan sekuat tenaganya telah melepaskan diri dari setiap
ikatan yang membelenggu perasaannya.
“Aku harus melepaskan diri
dari semua ikatan” Agung Sedayu itu berteriak di dalam hatinya. “Aku akan
berbuat apa saja yang aku inginkan. Sekarang aku ingin membunuh, persetan
dengan pendapat orang lain.”
Dengan demikian maka tandang
Agung Sedayu menjadi semakin garang. Pedangnya berputaran seperti
baling-baling. Kilatan pantulan cahaya samar-samar yang memancar dari langit
tampak berkali-kali meloncat dari batang pedangnya.
Tetapi kali ini ia harus
bertempur melawan lima orang yang memiliki ilmu tata bela diri pula. Ternyata
mereka berlima merupakan lawan yang cukup berat bagi Agung Sedayu. Meskipun
Agung Sedayu cukup lincah dan tangguh, namun berkelahi melawan lima orang di
dalam gelapnya malam, merupakan pekerjaan yang cukup berat baginya.
Demikianlah maka perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Ketika tubuh Agung Sedayu telah basah
diusap oleh keringatnya sendiri, maka tandangnya pun menjadi semakin garang.
Dengan lincahnya ia berloncatan menghindar dan menyerang, seperti kijang di
padang perburuan. Pedangnya terayun-ayun seperti angin pusaran yang melindungi
tubuhnya, sehingga sama sekali tidak tertembus oleh satu pun dari kelima ujung
pedang lawan-lawannya.
“Anak ini dapat berkelahi
seperti hantu” berkata salah seorang lawan Agung Sedayu di dalam hatinya. Ia
sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu seorang diri mampu melawan
mereka berlima. Ternyata mereka yang belum banyak mengenal anak muda, adik
Senapati Pajang ini, telah membuat salah hitung. Mereka menyangka bahwa mereka
berlima, yang masing-masing merasa mempunyai beberapa kelebihan dari
kawan-kawannya, dapat dengan mudah menangkap Agung Sedayu dan memperalatnya.
“Ah, bagaimana kalau kami
berhadapan dengan Untara sendiri” desis yang lain di dalam dadanya. Ternyata
mereka tidak saja berhasrat menangkap Agung Sedayu, Swandaru, atau Sekar Mirah,
tetapi di dalam setiap kesempatan siapa pun mereka kehendaki, asal orang itu
cukup bernilai untuk dapat dijadikannya tanggungan untuk melepaskan diri. Namun
ternyata kini mereka terbentur kepada seorang anak muda yang luar biasa. Agung
Sedayu.
Meskipun mengalami beberapa
kesulitan, tetapi Agung Sedayu yang sedang dicengkam oleh pergolakan persoalan
di dalam dirinya itu sama sekali tidak berhasrat berkisar dari tempatnya. Ia
sudah bertekad untuk bertempur. Ia sudah bertekad untuk meninggalkan segala
macam perasaan yang ada di dalam dadanya. Setiap perasaan yang tumbuh, maka
segera ditindasnya. “Ini adalah kungkungan keragu-raguan dan kebimbangan yang
selama ini membuat aku kehilangan kesempatan untuk berbuat apa pun menurut
kehendakku dan keinginanku sendiri.”
Namun dengan demikian, Agung
Sedayu telah benar-benar dicengkam oleh kegelapan hati. Ia tidak mau lagi
melihat pertimbangan-pertimbangan apa pun di dalam dirinya. Yang diteriakkan di
dalam hatinya adalah, “Aku adalah laki-laki dewasa. Aku dapat berbuat apa saja
menurut pertimbanganku sendiri.”
Dengan demikian maka
serangannya pun menjadi semakin dahsyat. Pedangnya semakin cepat berputar dan
ayunannya pun menimbulkan desing yang mendebarkan hati.
Perkelahian itu semakin lama
menjadi semakin dahsyat. Kedua belah pihak seolah-olah sedang dicengkam oleh
perasaan yang tidak wajar. Kelima orang itu adalah orang-orang yang sedang
berputus asa. Bagi mereka tidak ada pilihan lain daripada berkelahi
mati-matian. Kalau mereka kalah, maka mereka pun akan mati pula. Kalau mereka
melarikan diri pun mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk keluar dari
padepokan ini. Karena itu maka apabila mereka masih ingin hidup, maka mereka
harus memenangkan pertempuran ini. Pilihan mereka adalah, mati atau berhasil
memperalat Agung Sedayu untuk melepaskan diri.
Demikianlah, maka di lorong
sempit itu telah terjadi perkelahian antara hidup dan mati. Mereka bergeser
dari satu titik ke titik yang lain. Sekali-sekali Agung Sedayu memerlukan
tempat yang cukup luas untuk menghadapi serangan-serangan yang datang beruntun
seperti banjir, sehingga perkelahian itu pun bergeser masuk ke dalan halaman
yang kosong. Tetapi di saat-saat yang lain Agung Sedayu berusaha untuk mempersempit
arena. Dengan demikian maka ia berdiri hampir melekat dinding batu di muka
halaman yang kosong itu, menghadapi kelima lawannya pada satu arah.
Gelap malam semakin lama
menjadi semakin pekat, tetapi langit menjadi semakin bersih. Bintang-bintang
yang gemerlapan di langit menjedi semakin jernih, berkilat-kilat dan
berkeredipan.
Agung Sedayu sudah tidak mau
berpikir lain kecuali membunuh lawan-lawannya. Pikiran yang demikian, membunuh
lawan-lawannya tanpa ampun, sebelumnya tidak pernah terkilas di kepalanya.
Bahkan dalam peperangan yang hiruk-pikuk, dalam perang brubuh atau di dalam
gelar-gelar perang yang lebih baik, membunuh lawannya selalu menimbulkan
persoalan di dalam dirinya.
Tetapi kali ini ia benar-benar
ingin membunuh lawan-lawannya itu. Semakin lama perkelahian itu berlangsung,
maka semakin tampak kegarangan Agung Sedayu. Kelincahan dan ketangkasanya telah
menempatkannya ke dalam keadaan yang lebih baik dari lawan-lawannya, meskipun
kelima orang itu masih tetap merupakan bahaya yang setiap saat dapat merenggut
jiwanya.
Apalagi ketika kelima orang
lawan-lawannya itu menjadi semakin berputus asa. Mereka seolah-olah benar-benar
ingin membunuh dirinya dengan mempergunakan tangan Agung Sedayu. Agaknya mereka
sudah tidak melihat jalan lain untuk keluar dari padepokan ini. Kesempatan yang
dianggapnya kesempatan terakhir ini agaknya terlampau sulit untuk dapat
dipergunakannya.
“Kalau kali ini kami gagal,”
berkata salah seorang dari mereka di dalam hatinya, “nasib kami akan menjadi
lebih jelek. Kami akan diburu seperti memburu bajing. Beramai-ramai. Setelah
kami tertangkap, maka kami akan menjadi pangewan-ewan. Karena itu, maka lebih
baik mati pada saat ini dari pada tertangkap hidup-hidup.”
Dengan demikian maka tandang
mereka pun menjadi semakin dahsyat. Berlima mereka berputar-putar mengelilingi
Agung Sedayu. Sekali-sekali mereka berloncatan menyerang. Berganti-ganti dan
kadang-kadang hampir bersamaan.
Agung Sedayu menggeram. Memang
kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi cara kelima lawannya itu bertempur.
Namun setiap kali ia selalu berusaha menembus lingkaran mereka dan berdiri di
luar. Setiap kali ia melontarkan dirinya jauh-jauh, namun tiba-tiba ujung
pedangnya telah mematuk dengan garangnya.
Angin malam di pegunungan yang
dingin berhembus semakin kencang. Suaranya berdesir di antara dedaunan yang
rimbun. Ketika di kejauhan terdengar anjing hutan berteriak berebut makan,
terdengar dari kancah perkelahian itu sebuah keluhan tertahan. Seorang dari
kelima orang yang berkelahi melawan Agung Sedayu itu meloncat surut. Tangan
kirinya menggenggam pergelangan tangan kanannya. Sepercik darah merah meleleh
dari luka yang menganga. Meskipun demikian pedangnya masih tidak terlepas dari
tangannya yang terluka itu.
Kawan-kawannya sama sekali
tidak sempat untuk menolongnya karena serangan Agung Sedayu masih saja
membadai. Bertubi-tubi tiada putus-putusnya. Apalagi kini lawannya tinggal
empat orang. Kesempatan baginya menjadi semakin luas. Pedangnya menjadi semakin
lincah bermain-main di antara keempat senjata lawan-lawannya.
Tetapi ternyata orang yang
terluka itu tidak segera menyerahkan diri kepada nasibnya. Ia masih ingin
berbuat sesuatu seandainya ia harus mati. Lebih baik baginya untuk mati dengan
dada terbelah, daripada mati perlahan-lahan karena kehabisan darah atau
tertangkap oleh orang-orang Pajang.
Kini pedangnya berada di
tangan kirinya. Dengan garangnya ia meloncat sambil menggeretakkan giginya.
Meskipun pedangnya berada di tangan kiri, namun karena luapan kemarahan dan
putus asa, maka tandangnya pun menjadi semakin kasar.
Tetapi baru saja orang itu
menginjakkan kakinya di dalam arena perkelahian, sekali lagi terdengar salah
seorang kawannya memekik kecil. Seorang lagi terlempar dari lingkaran.
Pundaknya tersayat oleh pedang Agung Sedayu. Darah yang merah telah membasahi
bajunya.
Namun seperti kawannya, ia
tidak menyerah. Bahkan dengan wajah yang membara ia menyerang sejadi-jadinya.
Tetapi keadaan Agung Sedayu
menjadi semakin baik. Hatinya pun menjadi semakin terbakar pula melihat sikap
lawan-lawannya. Orang-orang yang sudah terluka itu sama sekali tidak
menunjukkan kecemasan dan gentar. Bahkan mereka menyerangnya seperti angin
ribut yang berputaran.
Dengan demikian, maka Agung
Sedayu pun menjadi semakin bernafsu. Pedangnya bergerak semakin cepat, dan
tandangnya pun menjadi semakin garang. Bahkan akhirnya ia sudah sampai ke
puncak ilmunya. Tanpa kendali. Dilepaskan segenap kemampuannya untuk
membinasakan kelima orang lawannya yang sudah menjadi semakin lemah.
Ternyata lawannya benar-benar
menjadi semakin bingung. Sesaat kemudian seorang lagi terluka di keningnya.
Darah yang segar mengalir di wajahnya. Ketika tangan kirinya mengusapnya, maka
tangan itu pun menjadi merah seolah-olah menyala.
“Setan!” orang itu menggeram.
Giginya gemeretak dan dengan kutukan yang paling kotor ia meloncat menyerang
kembali.
Semakin lama mereka bertempur,
maka semakin dekatlah Agung Sedayu pada batas kemenangannya. Tetapi kemarahan
yang meluap-luap telah benar-benar menggelapkan hatinya. Tidak ada pikiran lain
daripada membunuh lawan-lawannya.
Ia menggeram ketika ia melihat
seorang lawannya kini tidak saja terluka di tangan, pundak, atau kening. Tetapi
ujung pedangnya berhasil menggores dada. Terdengar orang itu mengaduh, dan
sejenak kemudian tubuhnya terguling di atas tanah. Dari mulutnya meluncur desis
kesakitan.
Melihat kawannya terbanting
jatuh dan tidak segera dapat bangkit lagi, maka keempat kawannya menjadi
semakin kalap. Mereka berloncatan dan menyerang membabi-buta. Seperti Agung
Sedayu yang semakin lama menjadi semakin kasar dan garang juga.
Apalagi ketika lawan-lawannya
sudah menjadi semakin lelah. Beberapa orang telah benar-benar tidak mampu lagi
menghentakkan pedangnya karena darah yang semakin banyak mengalir. Sehingga
akhirnya mereka tidak lebih dari seonggok tubuh-tubuh yang hampir tidak berdaya
sama sekali.
Saat yang ditunggu-tunggu oleh
Agung Sedayu itu kini telah datang. Ia tidak akan dapat dihalang-halangi lagi.
Ia tinggal menghunjamkan saja ujung pedangnya ke dada setiap orang yang sudah
dengan lemahnya mengayun-ayunkan senjatanya. Tetapi ayunan itu sudah tidak
berarti sama sekali.
Terdengar gigi anak muda itu
gemeretak. Selangkah ia surut untuk mengambil ancang-ancang. Ia akan segera
meloncat maju dengan pedang terjulur. Satu demi satu lawan-lawannya itu akan
roboh. Mati. Ia akan dapat berkata kepada kakaknya, bahwa ia telah membunuh
lima orang sekaligus yang dengan licik memancingnya. Ia akan berkata kepada
kakaknya, bahwa ia adalah laki-laki seperti prajurit yang lain.
Lawan-lawannyapun seolah-olah
telah pasrah diri. Mereka sudah merasa tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
Mereka telah sampai pada puncak keputus-asaan, meskipun ujung pedang mereka
masih juga terangkat setinggi lambung. Tetapi kekuatan tenaga mereka sama
sekali sudah tidak memadai.
“Tariklah nafas yang terakhir
sepuas-puas hati kalian,” desis Agung Sedayu, “sekejap lagi kalian akan
terguling di tanah tanpa dapat bernafas lagi.”
Kelima lawannya sama sekali
sudah tidak menjawab, apalagi yang masih belum dapat tegak karena terluka di
dadanya. Ia masih duduk di tanah, walaupun tangannya masih juga menggenggam
pedangnya.
Tetapi yang terjadi adalah di
luar dugaan mereka. Di luar dugaan kelima orang yang sudah tidak berdaya itu,
dan di luar dugaan Agung Sedayu sendiri.
Ketika Agung Sedayu
menggerakkan kakinya, siap untuk meloncat dengan pedang terjulur, tiba-tiba
terasa sentuhan di bahunya. Ketika ia berpaling, terjadi hal yang hampir tidak
masuk di dalam akalnya, pedangnya dengan serta-merta lepas dari tangannya
seperti ditarik oleh kekuatan yang sangat dahsyat.
Selangkah Agung Sedayu
meloncat ke samping. Baru sekejap kemudian ia dapat melihat, bayangan berdiri
tegak di hadapannya. Pedangnya telah berpindah ke tangan orang itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak
perlu bertanya. Namun dadanya berdesir tajam ketika ia melihat orang itu
menyerahkan pedangnya kembali sambil berkata, “Sudah cukup, Ngger. Kau tidak
perlu menyelesaiannya sendiri. Persoalan selanjutnya adalah persoalan para
prajurit Pajang.”
Sejenak Agung Sedayu
terbungkam. Tanpa berkedip di tatapnya wajah yang kehitam-hitaman di dalam
gelapnya malam. Tetapi Agung Sedayu segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah
gurunya, Ki Tanu Metir.
Tidak sepatah kata pun dapat
diucapkan, tiba-tiba kepala Agung Sedayu terkulai tunduk dalam-dalam. Sesuatu
telah menusuk langsung ke pusat jantungnya. Bukan ujung pedang lawan, tetapi
peringatan yang langsung diberikan oleh gurunya, meskipun tidak dengan
kalimat-kalimat. Ia segera menyadari keadaannya. Tidak sepantasnya ia membunuh
tanpa mengenal batas-batas perlakuan yahg wajar. Hampir saja ia terperosok ke
dalam kegelapan karena hatinya sendiri yang sedang gelap.
Namun yang terjadi itu telah
benar-benar merupakan suatu peringatan yang dirasakannya terlampau keras.
Tetapi ketika hatinya telah mengendap, maka di sela-sela bibirnya yang
bergerak-gerak ia mengucap syukur. Perlahan-lahan sekali. Tidak seorang pun
yang mendengarnya selain dirinya sendiri.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
melangkah maju, mendekati kelima orang yang sedang menantikan ajal itu.
Terdengar ia berkata, “Kalian lebih baik menghentikan perlawanan. Marilah ikut
kami, kami tidak akan berbuat terlampau jauh seperti yang kalian duga. Kami
akan menyerahkan kalian kepada para peronda.”
Sejenak suasana menjadi
hening. Tidak segera terdengar jawaban dari kelima orang itu.
“Menyerahlah. Aku menjamin
bahwa kalian akan diperlakukan dengan wajar” berkata Ki Tanu Metir pula.
Orang tua itu mengerutkan
keningnya ketika ia mendengar jawaban, “Kami sudah siap untuk mati.”
“Jangan kehilangan akal.
Kalian masih akan mendapat kesempatan seperti kawan-kawanmu yang lain, yang
telah menyerah lebih dahulu.”
Sekali lagi kelima orang itu
terdiam. Dan yang terdengar adalah suara Ki Tanu Metir kepada Agung Sedayu,
“Angger Agung Sedayu. Pergilah ke banjar, bukankah kakakmu Untara menunggumu di
sana. Kau sudah kehilangan waktu beberapa saat untuk bermain-main di sini.
Beritahukan kepada beberapa orang peronda yang kau jumpai, bahwa di sini ada
beberapa orang yang akan menyerah.”
Agung Sedayu mengangguk.
Jawabnya, “Baik, Guru. Aku akan pergi ke banjar. Mungkin Kakang Untara sudah
terlalu lama nenunggu aku.”
“Ya, pergilah.”
Ketika kaki Agung Sedayu
terayun, ia tertegun. Ia mendengar salah seorang dari kelima orang itu berkata,
“Aku tidak akan menyerah. Aku ingin mati oleh tusukan pedang.”
“Jangan membunuh diri dengan
cara yang demikian.”
“Tetapi pertempuran ini belum
selesai. He, anak muda. Kalau kau tinggalkan orang tua ini seorang diri di
sini, aku akan membunuhnya.”
Agung Sedayu memandangi orang
yang berbicara itu, yang keningnya masih menitikkan darah dari lukanya.
“Lakukanlah kalau mampu” sahut
Agung Sedayu. Tetapi dadanya kini sudah tidak dibakar lagi oleh nafsunya untuk
membunuh. “Mungkin Ki Tanu Metir bahkan akan memberimu obat yang dapat
memampatkan darah dari lukamu.”
Orang itu menjadi heran.
Tiba-tiba ia teringat, bagaimana mungkin orang tua itu dapat merebut pedang
Agung Sedayu dengan mudahnya, sehingga orang ini pasti seorang yang jauh lebih
dahsyat dari anak muda itu. Tetapi sikapnya dan kata-katanya telah mencairkan
hati kelima orang yang telah membatu karena putus asa itu.
Sepeninggal Agung Sedayu,
kelima orang itu tidak menolak ketika Ki Tanu Metir memberi obat pada luka-luka
mereka sekedar untuk menahan arus darah yang mengalir. “Kalian tidak boleh
kehabisan darah” berkata orang tua itu.
Sementara itu Agung Sedayu
berjalan dengan kepala tunduk. Peristiwa yang baru saja terjadi telah
mengguncang dadanya. Ia merasa menyesal, bahwa ia telah hanyut ke dalam arus
kegelapan hati. Namun kadang-kadang masih juga timbul desah di dalam hati,
“Kenapa aku tidak dapat berbuat sebebas orang-orang lain? Kenapa aku masih saja
terikat sama sekali kepada Kakang Untara?”
Ketika Agung Sedayu sampai di
gardu peronda, segera diberitahukannya tentang kelima orang yang baru saja
berkelahi melawannya.
“Selesaikanlah mereka menurut
ketentuan yang berlaku” berkata Agung Sedayu.
“Apakah mereka tidak melarikan
diri sepeninggalmu?” bertanya prajurit yang sedang bertugas itu.
“Mereka kini bersama Ki Tanu
Metir” jawab Agung Sedayu.
“Baiklah,” sahut prajurit itu
kemudian, “aku akan persiapkan orang-orangku. Bukankah mereka berlima?”
“Ya.”
Agung Sedayu tidak menunggui
prajurit itu menyiapkan teman-temannya. Segera ditinggalkannya gardu perondan
itu untuk pergi ke banjar padepokan menemui kakaknya.
Langkahnya semakin lama
menjadi semakin cepat. Dicobanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia
tidak mau lagi membayangkannya, apalagi betapa yang akan terjadi seandainya
gurunya tidak mencegahnya melakukan pembunuhan yang tidak terkendali itu.
“Hem,” Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam, “aku harus memetik pelajaran dari padanya.” Tetapi ia tidak
ingin bahwa peristiwanya itu sendiri selalu membayangi perasaannya.
Sehingga dalam keragu-raguan
ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku perlu mengatakannya kepada Kakang
Untara?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Tidak perlu. Laporan itu akan datang dari para prajurit yang
akan menangkap mereka. Aku tidak perlu berkata apa pun tentang peristiwa itu.”
Tetapi kemudian ia berkata pula di dalam hatinya, “Tetapi jangan-jangan Kakang
Untara menganggap aku bersalah. Aku telah berbuat sendiri di daerah ini justru
di luar wewenangku. Ah, biarlah aku mengatakannya. Salah atau benar, aku akan
mengatakannya.”
Agung Sedayu itu pun kemudian
melangkah terus. Kini ia mencoba memusatkan perhatiannya kepada kakaknya.
Kepada kepentingan yang akan disampaikan kepadanya.
Ketika beberapa puluh langkah
daripadanya terpancar seberkas sinar obor, hati Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Sinar obor itu pastilah sinar obor yang dipasang di halaman
banjar. Dan kakaknya telah menunggunya di banjar itu pula.
“Apakah yang akan
dikatakannya?” gumamnya lambat. Agung Sedayu itu menggelengkan kepalanya. “Tak
seorang pun yang tahu selain Kakang Untara sendiri. Mungkin guru, tetapi
mungkin pula tidak.”
Semakin dekat Agung Sedayu
dengan banjar padepokan itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Ketika kemudian ia berdiri di
muka regol banjar padepokan itu, dua orang prajurit mendatanginya dan bertanya,
“Siapa?”
“Aku, Agung Sedayu,” sahut
Agung Sedayu.
Sinar obor yang
kemerah-merahan jatuh di atas wajahnya, membuat kesan tersendiri pada kedua
prajurit yang memandangi dengan tajam.
Tetapi sebelum keduanya
bertanya lebih lanjut, Agung Sedayu telah mendahuluinya membuat penjelasan,
“Aku dipanggil oleh Kakang Untara.”
“Sekarang?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Kedua prajurit itu saling
berpandangan. Dan salah seorang dari mereka berkata, “Silahkanlah.”
Agung Sedayu segera melangkah
masuk ke halaman. Halaman banjar padepokan itu kini sudah tampak lebih bersih
dan terang. Beberapa buah obor dipasang di sudut-sudut halaman dan sebuah lampu
minyak yang cukup terang tergantung di tengah-tengah pendapa. Beberapa orang
masih tampak duduk bercakap-cakap di pendapa itu. Sedang beberapa orang yang
lain, yang terluka berbaring-baring sambil bercakap-cakap satu sama lain.
Mereka memandangi Agung Sedayu
ketika anak muda itu naik tangga dan berjalan di antara mereka, di
tengah-tengah pendapa itu. Salah seorang yang telah mengenalnya dengan baik
bertanya, “Apakah kau akan menemui kakakmu?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Ia berada di pringgitan.”
Agung Sedayu sebenarnya sudah
tidak memerlukan keterangan itu lagi. Ia tahu pasti bahwa kakaknya berada di
pringgitan. Mungkin dengan beberapa orang perwira pembantu-pembantunya. Mungkin
bahkan sendiri sambil menunggunya. Tetapi ia menjawab, “Terima kasih.”
Dengan dada yang semakin
berdebar-debar ia melangkah menuju ke pintu pringgitan. Pintu leregan itu masih
terbuka sedikit. Sepercik sinar dian di dalam pringgitan itu sempat meloncat
keluar.
Hati-hati Agung Sedayu
mendekati pintu. Kini ia sudah berada tepat di muka pintu. Tetapi
keragu-raguannya ternyata membuat ia tertegun. Tanpa disengajanya ia berpaling,
memandangi orang-orang yang berada di pendapa banjar itu.
Agung Sedayu itu terkejut
ketika tanpa disangka-sangkanya orang yang sudah mengenalnya dan memberitahukan
kepadanya bahwa Untara berada di pringgitan itu berbicara lagi, cukup keras,
“Buka saja. Pintu itu tidak pernah dislarak.”
“Terima kasih” sekali lagi
Agung Sedayu menjawab. Kini tangannya telah memegang wengku pintu yang dibuat
dari anyaman bambu wulung. Perlahan-lahan ia mendorong ke samping. Dan pintu
itu pun terbuka.
Dada Agung Sedayu berdesir. Di
dalam pringgitan itu duduk hanya dua orang saja. Kakaknya, Untara dan seorang
lagi, Wuranta.
“Masuklah,” terdengar suara
kakaknya berat tetapi dingin. Sedingin angin pegunungan yang bertiup semakin
kencang.
“Terima kasih, Kakang” sahut
Agung Sedayu. Suaranya pun tiba-tiba bernada berat. Tetapi terasa sebuah
getaran di dadanya terpercik di antara kata-katanya.
Tetapi begitu ia melangkahkan
kakinya, Agung Sedayu itu tertegun. Ia melihat Wuranta tiba-tiba berdiri dan
berkata, “Untara, aku akan keluar sebentar. Udara terlampau panas di pringgitan
ini.”
Terasa jantung Agung Sedayu
menjadi semakin cepat berdentang. Ia sadar bahwa kehadirannyalah yang
seolah-olah telah mengusir Wuranta dari pringgitan itu. Agaknya Wuranta
benar-benar tidak dapat menemuinya.
Dengan demikian maka teka-teki
di dalam dada Agung Sedayu menjadi semakin kisruh. Panggilan kakaknya telah
membingungkannya, dan kini ia menemukan suatu pertanyaan baru yang semakin
membelit hati.
“Apakah sebenarnya yang telah
aku lakukan, sehingga aku terperosok dalam keadaan yang membingungkan ini?”
desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi yang terdengar adalah
suara Untara, “Duduklah Wuranta.”
“Aku akan keluar sebentar”
sahut Wuranta sambil melangkah.
Tetapi sekali lagi terdengar
Untara berkata, “Duduklah.”
Wuranta menggeleng. “Aku tidak
betah duduk di dalam pringgitan yang panas ini.”
“Di luar udara akan lebih
panas lagi. Duduklah” ulang Untara.
Tetapi Wuranta masih juga
melangkah. Namun langkahnya pun tertegun. Agung Sedayu masih berdiri tegak di
muka pintu.
“Wuranta,” Untara
mengulanginya lagi, “kemarilah dan duduklah. Dengar kata-kataku. Kemarilah
kalian berdua. Duduk di sini. Aku perlu dengan kau berdua.”
Nada kata-kata Untara serasa
semakin berat, memberati hati kedua anak-anak muda itu. Ketika sekali lagi
Untara memanggil, maka Wuranta tidak dapat lagi menolaknya, “Wuranta. Kemari.
Duduklah di sini.”
Dengan wajah yang tegang
Wuranta itu pun melangkah kembali. Dengan dada yang berdebaran ia duduk di
tempatnya. Sekali matanya menyambar Agung Sedayu yang masih berdiri tegak di
muka pintu. Tetapi sesaat kemudian dilemparkannya pandangan matanya ke sudut
ruangan.
Agung Sedayu masih tegak di
tempatnya. Di lambungnya tergantung sehelai pedang. Di wajahnya terpancar
berbagai macam pertanyaan yang telah membingungkannya.
“Jangan seperti hendak
berkelahi Sedayu,” tiba-tiba suara kakaknya mengejutkan, “duduklah.”
“Oh,” terdengar Agung Sedayu
berdesah, “terima kasih, Kakang.”
“Apakah kau akan pergi
berperang?”
Pertanyaan Untara terdengar
begitu tajamnya menyentuh telinganya. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu
menjawab tegas, “Tidak.”
Untara bergeser. Ditatapnya
wajah adiknya. Tetapi Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Meskipun demikian
jawaban Agung Sedayu itu terasa telah menggerakkan hati kakaknya. Dalam keadaan
yang wajar, adiknya tidak akan menjawab. Apalagi jawaban sesingkat dan tegas
itu.
Tetapi Untara itu terdiam.
Dipandanginya langkah Agung Sedayu mendekatinya dan kemudian duduk di
sampingnya. Dijulurkannya pedangnya ke belakang.
Sejenak mereka saling berdiam
diri, dan pringgitan itu dijalari oleh suasana yang sepi tegang. Di kejauhan
terdengar lamat-lamat suara burung hantu yang menggetarkan udara malam yang
dingin.
Sesaat kemudian Untara menarik
nafas dalam-dalam. Ditatapnya adiknya dengan penuh pertanyaan. Tetapi sebelum
Untara bertanya, Agung Sedayu berkata, “Aku bertemu dengan lima orang yang
bersembunyi di balik rerungkudan. Mereka sengaja menjebak aku.”
Untara masih terdiam, dan
Agung Sedayu mengatakan dengan singkat apa yang dijumpainya di perjalanan ke
banjar padepokan ini.
Terasa jantung Untara menjadi
semakin cepat bergetar. Ia merasakan suatu kebanggaan di dalam dirinya, bahwa
Agung Sedayu telah berhasil menguasai diri dalam keadaan yang tiba-tiba itu dan
dapat berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak ingin menunjukkan pengaruh perasaannya
itu. Bahkan wajahnya seolah-olah tidak menunjukkan perubahan apa pun. Meskipun
demikian, Agung Sedayu menjadi agak berlega hati bahwa kakaknya tidak
menyalahkannya lagi.
Sekali lagi ruangan itu
menjadi sepi. Baru sejenak kemudian Untara berkata kepada Wuranta tanpa
mempersoalkan ceritera Agung Sedayu, “Aku memang menunggu kesempatan semacam
ini Wuranta.”
Wuranta tidak menyahut, tetapi
wajahnya pun tunduk memandangi anyaman tikar yang didudukinya.
“Aku ingin setiap persoalan
segera selesai. Aku tidak ingin kalian bersikap seperti anak-anak.”
Tiba-tiba Wuranta mengangkat
kepalanya. Sorot matanya menjadi tajam bercahaya. Dari sela-sela bibirnya
terdengar suaranya bergetar, “Apakah maksudmu, Untara?”
Untara mengerutkan keningnya.
Ia berhadapan dengan seorang anak muda perasa. Anak muda yang mudah tersinggung
perasaannya. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Tetapi Untara tetap dalam
pendiriannya, ia ingin menyelesaikan persoalan ini.
“Wuranta,” berkata Untara,
“tidak baik kau selalu dikejar oleh perasaanmu itu. Setiap kali kau selalu
menghindari pertemuan dengan Agung Sedayu sejak kau meninggalkannya, ketika
Agung Sedayu sedang berkelahi dan mengejar Sidanti. Sejak ini, maka anggaplah
bahwa di antara kalian sudah tidak ada persoalan lagi, sehingga hubungan kalian
menjadi wajar seperti sediakala. Agung Sedayu adalah anak Jati Anom seperti
kau, seperti aku juga. Ia untuk seterusnya akan menetap pula di Jati Anom,
kalian akan selalu bertemu di jalan-jalan, di perapatan atau di gardu-gardu
perondan. Kalau hubungan kalian tidak dapat pulih kembali maka akibatnya pun
akan mempengaruhi seluruh anak-anak muda Jati Anom.”
Wajah Wuranta sesaat menjadi
pucat. Keringat dinginnya mengalir membasahi pakaiannya. Namun justru karena
itu maka ia pun terbungkam.
Agung Sedayu pun menjadi
berdebar-debar. Ia tidak tahu persoalan apakah yang sedang dihadapinya. Tetapi
yang telah menyengat hatinya adalah kepastian kakaknya bahwa ia akan tinggal
untuk seterusnya di Jati Anom. Dengan demikian maka segera ia menemukan kesimpulan,
bahwa hal inilah yang akan dikatakan kakaknya kepadanya, di samping persoalan
yang masih tidak jelas baginya, hubungannya dengan Wuranta yang menjadi serasa
tegang
“Aku dapat merasakan perasaan
kalian,” berkata Untara seterusnya, “tetapi aku tidak sependapat bahwa perasaan
itu akan terlampau berkuasa di hati kalian. Kalian harus mengimbanginya dengan
nalar dan pikiran, bahwa kalian adalah anak-anak muda Jati Anom. Bahkan kalian
adalah harapan bagi kampung halaman. Kalian harus dapat menyingkirkan semua
persoalan pribadi untuk kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Apakah kalian
dapat mengerti maksudku?”
Wuranta masih terdiam.
Keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh wajah kulitnya.