Karena itu, maka kepala
Argajaya terdorong ke belakang. Sentuhan tangkai tombak Sutawijaya memang tidak
begitu keras, sehingga Argajaya pun tidak sampai kehilangan keseimbangan.
Tetapi tangkai tombak Sutawijaya itu pun telah membuat luka pada pelipis
Argajaya, sehingga luka itu rnoneteskan darah.
Terdengar tiba-tiba Argajaya
mengumpat kasar. Dengan tiba-tiba ia menyerang kembali Sutawijaya. Namun
Sutawijaya telah bersiaga dan dalam waktu yang singkat, ia segera dapat
menguasai lawannya. Apalagi kini Argajaya tidak lagi bersenjata.
“Bunuh aku anak setan!” teriak
Argajaya.
“Tidak, aku akan membuatmu
cacat seunur hidup. Tangkai tombakku akan dapat mematuk kedua belah matamu,
dan kau akan menjadi buta karenanya. Nah, apakah yang dapat kau lakukan tanpa
sepasang matamu. Aku tidak akan mempergunakan ujung tombakku, sebab setiap
goresan dapat berakibat maut.”
Ancaman itu benar-benar
mengerikan. Tiba-tiba Argajaya meloncat mundur. Ternyata Sutawijaya
membiarkannya. Ia sama sekali tidak mengejarnya.
Terdengar kemudian Argajaya
menggeram. Suaranya menggeletar melontarkan kemarahan yang pepat di dalam
dadanya, “Aku akan pergi anak demit. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku takut
menghadapi kau. Bukan berarti aku lari dari kematian. Tetapi kau ternyata
bengis melampaui iblis. Aku akan menunggumu di Sangkal Putung kalau kau
benar-benar anak Sangkal Putung. Aku akan mencari kesempatan untuk melakukan
perang tanding sekali lagi di hadapan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal
Patung. Perang tanding sampai salah seorang di antara kita mati”
“Pergi,” teriak Sutawijaya,
“jangan mengigau. Kau dan Sidanti boleh maju bersama-sama ke dalam arena.”
“Mulutmulah yang pertama-tama
harus dipecahkan” geram Argajaya dengan suara yang tajam.
“Lakukanlah kalau kau mampu
melakukan” sahut Sutawijaya. “Tetapi ada pesanku padamu. Kalau kau mencari
Sidanti, jangan kau cari ia di Sangkal Putung. Anak gila itu kini berada di
padepokan gurunya. Carilah ia ke sana, dan kau akan menemukannya. Katakanlah
kepadanya, bahwa luka di pelipismu adalah luka yang dibuat sebagai pertanda,
bahwa kau telah berkelahi dengan seorang pengawal dari Sangkal Putung.”
Dada Argajaya bergetar
mendengar kata-kata itu. Sejenak ia terpaku saja di tempatnya. Diulanginya
pendengarannya itu di dalam hatinya, “Sidanti sudah tidak berada di Sangkal
Putung lagi”.
Tetapi kemudian ia menggeram.
Dengan marahnya ia menjawab, “Bohong. Ternyata kau bukan orang Sangkal Putung.
Sidanti adalah orang pang penting di Kademangan itu. Ia adalah sapu kawat.
Tanpa Sidanti, Sangkal Putung tidak akan berarti sebagai suatu pertahanan untuk
mempertahankan lumbung makan.”
Terdengar suara tertawa
Sutawijaya, disusul oleh gelak Swandaru seakan-akan melengking, sehingga hampir
setiap mata berpaling kepadanya. Yang terdengar kemudian adalah jawaban
Sutawijaya, “Kau memang sedang mengigau. Kapan kau datang untuk terakhir
kalinya ke Sangkal Putung? Jangankan kau yang datang dari pegunungan Menoreh di
seberang hutan Mentaok, sedangkan orang-orang di Prambanan, bahkan para
prajurit di Prambanan ini pun belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di
Sangkal Putung. Alangkah jeleknya jaring-jaring perhubungan antara para
prajurit Pajang yang tersebar dimana-mana ini.”
Bukan saja Argajaya, tetapi
para prajurit pun menjadi berdebar-debar mendengarkan kata-kata itu.
Kembali Sutawijaya meneruskan
kata-katanya, “Tetapi kalau kau tidak percaya, cobalah datang ke Sangkal
Putung. Setiap hidung pasti akan mentertawakan kedatanganmu, seperti mereka
mentertawakan Sidanti. Sidanti sama sekali tidak berarti apa-apa bagi
Kademangam itu.”
Tiba-tiba terdengar pemimpin
prajurit yang datang bersama Argajaya memotong kata-katanya, “Maksudmu
kehadiran para prajurit Wira Tamtama di Sangkal Putung tidak berarti apa-apa
bagi Kademangan itu serta penduduknya?”
“Siapa yang berkata demikian?”
bantah Sutawijaya, “yang aku katakan adalah Sidanti. Sidanti, Kau dengar”?
Telinga prajurit itu menjadi
panas. Tetapi ia masih melihat anak panah yang sudah melekat pada tali busurnya
di tangan Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun demikian ia berkata, “Bukankah
Sidanti itu seorang prajurit Wira Tamtama yang ditempatkan di Pajang?”
“Ya” sahut Sutawijaya pendek.
“Nah, jadi bukankah demikian
kau telah menghina prajurit Wira Tamtama?”
“Tidak. Aku hanya mengatakan
bahwa Sidanti tidak berada di Sangkal Pusung. Ia berada di tempat gurunya,”
kemudian Sutawijaya itu pun berpaling kepada Argajaya. “Sekarang pergilah,
Pergi kepada Sidanti. Bertanyalah kepadanya tentang pengawal Sangkal Putung
seperti yang kau lihat kini kepada Sidanti. Ia kenal kami bertiga dengan
baik.”
Argajaya tidak menjawab.
Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.
“Jadi kau ingin aku melakukan
kehendakku atasmu. Membuatmu cacat seumur hidupmu?”
Kembali terdengar Argajaya
menggeram.
“Kesempatan yang aku berikan
hampir sampai pada batasnya,” sambung Sutawijaya, “ternyata aku mempunyai alat
yang lebih baik daripada tangkai tombakku.” Ketika Sutawijaya kemudian
berpaling memandanqi ujung-ujung anak panah Agung Sedayu, maka berdesirlah
setiap dada. Apakah anak muda itu akan menyuruh adiknya itu untuk melepaskan
anak-panahnya mengarah ke mata Argajaya.
Argajaya pun melihat ujung
anak panah itu. Dengan demikian maka gelora di dalam dadanya semakin menyala.
Dendam, benci dan muak bercampur-baur di dalam hatinya. Dengan suara bergetar
ia melepaskan perasaannya itu katanya, “Aku ingin bertemu sekali lagi. Aku
akan mendengarkan pesanmu kali ini. Aku akan pergi ke guru Sidanti di lereng
Merapi. Daripadanya aku akan mendengar keadaan anak muda itu. Mudah-mudahan
kita akan dapat bertemu kembali. Kau benar-benar akan menyesal kelak, bahwa kau
tidak membunuhku saat ini.”
“Pergilah. Terima kasih bahwa
kau mau mendengarkan pesanku. Pesan seorang pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Jangan lupa, sebut kami satu persatu di hadapan Sidanti. Aku, adikku yang
bertubuh sedang dan berwajah tampan seperti topeng Panji, yang satu gemuk bulat
seperti kelapa. Kau telah mengenal nama-nama kami. Karena itu, maka ……..”
“Cukup! Kau menjadi besar
kepala karenanya. Tetapi akan datang saatnya, kepalamu itu aku penggal kelak.”
Argajaya tidak menunggu
jawaban Sutawijaya. Segera ia memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan arena
dengan tergesa-gesa. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Sutawijaya berkata,
“Tunggu. Kau kelupaan tombakmu. Kalau tombakmu itu memang sebuah pusakan sipat
kandel dari Tanah Perdikan Menoreh, bawalah. Mungkin akan berguna bagimu.”
Mata Argajaya menjadi merah,
semerah darah. Giginya gemeretak dan tubuhnya bergetar. Tetapi ia melangkah
cepat-cepat ke arah tombaknya yang tergolek di atas pasir tepian.
“Anggaplah tombak itu sebuah
kenang-kenangan daripadaku” barkata Sutawijaya.
Argajaya berpaling pun tidak.
Ia berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Meskipun demikian, meskipun ia
meninggalkan lawannya, namun sebenarnya di dalam hati Sutawijaya mengakui
kejantanan lawannya itu. Sikapnya yang pantang menyerah dalam keyakinannya,
meskipun ujung tombak telah melekat di lambungnya. Tetapi orang yang demikian,
pasti benar-benar akan melakukan kata-katanya yang diucapkan sebagai janji
untuk melepaskan dendamnya kelak apabila ada kesempatan.
Semua mata memandang langkah Argajaya
yang tergesa-gesa itu, yang kemudian disusul oleh kedua pengiringnya dari
Mentaok. Kesan keberanian dan keteguhan hatinya masih terasa di dalam hati
orang-orang yang berdiri di tepian itu. Bahkan Agung Sedayu bergumam di dalam
hatinya, “Seperti Sidanti. Keras hati. Namun nalarnya kadang-kadang terdesak
jauh ke belakang, sehingga orang itu kurang memikirkan akibat dari
perbuatannya.”
Belum lagi Argajaya itu jauh,
terdengar prajurit yang datang bersamanya menggeram, “Perbuatanmu tidak dapat
lagi dimaafkan. Kalau kelak Sidanti itu benar-benar datang kemari, maka kami
adalah saksi yang akan dapat mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Sidanti tidak akan datang
kemari” jawab Sutawijaya.
“Apakah kau pasti?” bertanya
prajurit itu.
“Sidanti tidak lagi berada di
Sangkal Putung.”
“Bohong! Salah seorang dari
kami akan menghadap ke Sangkal Putung. Ki Untara harus mendengar bahwa pimpinan
kami di sini telah berbuat kesalahan dengan membiarkan kalian membuat onar di
Kademangan Prambanan. Kalian bersama pimpinan kami itu harus ditangkap.”
Pemimpin prajurit yang datang
bersama Sutawijaya itu pun segera memotong, “Kalianlah yang telah memberontak.
Aku masih tetap pimpinan di sini. Aku pun dapat mengatakan apa yang telah
terjadi dan orang-orang yang berdiri di sini yang semalam melihat apa yang
terjadi di banjar desa akan menjadi saksi.”
“Baik. Kita lihat, siapakah
yang akan dipercaya oleh pimpinan kita di Sangkal Putung.”
Tiba-tiba Sutawijaya itu pun
tertawa. Katanya, “Kalian terlalu percaya bahwa Sidanti akan dapat memberimu
perlindungan. Tetapi sudah aku katakana, kami tidak takut kepada Sidanti. Kami
tidak takut pula seandainya Ki Untara mempercayai kata-katamu. Bahkan kami
tidak akan takut seandainya Panglima Wira Tamtama sendiri datang kemari.”
Para prajurit itu pun terkejut
mendengar kata-kata itu. Prajurit yang berpihak kepadanya pun terkejut. Sejenak
ia terbungkam sambil memandangi anak muda yang masih menggenggam tombak di
tangannya itu.
Sutawijaya melihat wajah-wajah
yang menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih saja tertawa dan berkata, “Aku
berkata sebenarnya. Tidak ada seorang pun yang akan dapat berbuat sesuatu atas
kami. Tetapi sebaliknya, kami akan dapat mengatakan apa yang telah terjadi di
sini kepada siapa pun yang akan datang kemari. Ki Untara, Ki Penjawi, Ki Juru
Mertani, atau Ki Gede Pemanahan sendiri.”
Yang mendengarkan kata-kata
itu menjadi semakin tidak mengerti. Bahkan para prajurit yang berpihak kepada
Argajaya menganggap bahwa anak muda itu sebenarnya anak yang tidak tahu adat.
Karena itu maka pemimpinnya pun berkata, “Nah, semua orang telah mendengar
kata-katamu. Kau benar-benar tekah menghina Wira Tamtama. Sedang pemimpin kami
yang bertanggung jawab di sini masih saja diam mematung.”
Pemimpin prajurit yang datang
bersama Sutawijaya itu pun menjadi heran mendengar kata-kata Sutawijaya.
Kata-kata itu sendiri telah dapat digolongkan pada suatu tindakan yang kurang
pada tempatnya. Kata-kata itu sebenarnya memang menyangkut nama Wira Tamtama
dan apalagi panglimanya. Karena itu, maka sejenak ia terdiam. Dicobanya untuk
mencernakan apa yang telah dilihatnya dan apa yang telah didengarnya.
“Aku sama sekali tidak
menghinanya. Aku justru mempercayai mereka, para pemimpin Wira Tamtama. Baik
yang berada di Prambanan, baik yang berada di Sangkal Putung maupun yang berada
di Pajang. Aku memang tidak takut seandainya mereka datang bersama-sama kemari,
sebab mereka pasti dapat membedakan mana yang baik dan mana yang salah” berkata
Sutawijaya.
Pemimpin prajurit yang datang
bersamanya tiba-tiba menganggukkan kepalanya. Katanya, “Benar, kau benar anak
muda. Orang yang yakin akan kebenarannya tidak perlu takut menghadapi apapun,
apalagi mereka yang tegak pada keadilan. Aku pun percaya bahwa para pemimpin
itu akan mempertahankan keadilan yang selurus-lurusnya.”
“Persetan!” sahut pemimpin
yang lain. “Kalian adalah orang-orang yang memang pandai berbicara. Tetapi
marilah kita lihat apakah yang akan terjadi kelak.” Kemudian kepada
kawan-kawannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini.”
“Tunggu,” cegah Sutawijaya.
“Persoalan kalian belum selesai. Dengan demikian, maka di Prambanan kini masih
ada dua pimpinan prajurit yang merasa masing-masing berkuasa. Pimpinan yang
sebenarnya dan pimpinan bayangan.”
“Akulah yang memegang pimpinan
sekarang. Semua prajurit di Prambanan tunduk kepadaku.”
“Tidak!” sahut yang datang
bersama Sutawijaya. “Aku tetap pimpinan di sini. Siapa yang tidak tunduk pada
perintahku, kepadanya akan dapat dikenakan hukuman.”
“Omong koaong! Jangan
hiraukan. Mari kita pergi.”
Tetapi ketika mereka sudah
mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu, kembali mereka tertegun karena
Sutawijaya berkata, “Aku hanya mengakui pimpinan yang seorang, yang datang
bersamaku. Bukan karena ia membenarkan sikapku, tetapi karena ialah yang
menerima kekuasaan dalam jabatan itu. Setiap pelanggaran atas perintahnya,
berarti pemberontakan yang akan ditindak.”
Wajah pemimpin prajurit yang
lain menjadi merah menyala. Dengan kasarnya ia berkata, “Apakah hakmu berkata
demikian, he anak Sangkal Putung. Prambanan bukan bawahan Sangkal Putung,
meskipun kebetulan pemimpin kami berada di sana. Tetapi kami hanya bertanggung
jawab kepada Ki Untara. Kalau kau tidak mau mengakui kami, kami tidak
berkeberatan. Tetapi sebenarnya bahwa kami ingin menangkap kalian dan mengikat
di halaman banjar desa.”
Prajurit itu tidak berpaling
ketika Sutawijaya berkata, “Tunggu.”
Beberapa prajurit yang lain
pun segera mengikutinya. Tetapi langkah mereka pun tertegun-tegun. Agaknya
mereka sedang membicarakan sesuatu. Sekali tampak mereka berpaling ketika
anak-anak muda yang datang bersama mereka pun telah bergerak pula. Hanya Ki Demanglah
yang masih saja berdiri mematung.
Tetapi mereka pun terkejut
ketika para prajurit itu berhenti dan tiba-tiba saja mereka berlari berpencaran
kembali mengelilingi arena dari arah yang berbeda-beda.
Yang terjadi itu berlangsung
terlampau cepat. Sutawijaya tegak di tengah-tengah arena itu dengan hati yang
berdebar-debar, sedang Agung Sedayu sejenak menjadi seakan-akan membeku. Mereka
menyadari apa yang akan dilakukan oleh para prajurit itu, tetapi mereka tidak
segera menemukan cara untuk mengatasinya.
“Aku tidak menyangka bahwa
mereka segila itu” desah Sutawijaya di dalam hatinya.
Sejenak kemudian terdengar
pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama Argajaya berteriak, “Demi
tegaknya tanggung jawab para prajurit Pajang di Prambanan, marilah kita tangkap
anak setan itu. He, para pemuda Prambanan, jangan tidur, kau pun telah mendapat
penghinaan dari orang itu.”
Tiba-tiba para pemudanya pun
bergerak. Semula mereka berdesak-desakan saja, namun kemudian sebagian dari
mereka segera memencar setelah mereka menyadari maksud gerakan para prajurit
itu. Dengan demikian mereka menghindarkan diri mereka sejauh-jauh mungkin dari
anak panah Agung Sedayu dan Swandaru, karena mereka terpencar-pencar. Para
prajurit itu mengharap, bahwa mereka dapat membuat gerakan-gerakan yang dapat
membingungkan Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu dan Swandaru pasti tidak
akan mungkin lagi memanah mereka dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang
kedua sekejap kemudian, atau dengan mata terpejam mengarah kepada sekelompok
orang.
Sutawijaya, Agung Sedayu,
Swandaru, pemimpin prajurit yang lain, dan beberapa orang kini terkepung oleh
sebuah lingkaran yang terdiri dari para prajurit Pajang di Prambanan beserta
beberapa anak-anak muda. Anak-anak muda itu bergerak saja seperti kena pesona,
karena hubungan mereka yang rapat dengan para prajurit itu. Ki Demang pun
tiba-tiba bergerak pula bersama dengan mereka.
“Jangan berbuat sesuatu yang
tidak akan ada gunanya” ancam pemimpin prajurit itu. “Kalian telah terkepung.
Meskipun kalian bertiga seorang-seorang menang dari orang-orang Menoreh, tetapi
jangan mimpi untuk dapat melawan kami semuanya ini.”
“Kalian benar-benar gila!”
teriak pemimpin prajurit yang berada di dekat Sutawijaya. “Uraikan kepungan
ini!”
“Tidak!”
“Demi kekuasaan Wira Tamtama
yang berada di tanganku.”
“Tidak! Menyerahlah!”
Gigi pemimpin prajurit itu pun
gemeretak. Kini pedangnya tergenggam erat di tangannya. Sedang para prajurit di
luar lingkaran itu pun telah menggenggam senjata masing-masing pula.
Suasana segera meningkat
semakin tegang. Orang-orang tua yang berdiri di dalam kepungan menjadi
ketakutan dan gemetar. Tetapi pemimpin prajurit yang memimpin pengepungan itu
berkata, “Siapa yang tidak turut dan tidak ingin melibatkan dirinya, segera
keluar dari kepungan ini, kecuali empat orang yang akan kami tangkap.”
Beberapa orang kemudian
tersuruk-suruk berjalan ke luar lingkaran dengan tubuh yang menggigil karena
ketakutan. Satu-satu mereka menghilang ke belakang kepungan, sehingga
orang-orang yang berada di dalam itu pun susut dengan cepatnya.
Tetapi ternyata tidak semua
orang berlari ke luar lingkaran. Ketika tidak seorang pun lagi yang bergerak,
maka tampaklah dengan jelas, siapa-siapa yang kini berdiri berseberangan. Yang
masih tinggal di dalam lingkaran itu, ternyata bukan saja Sutawijaya, Agung
Sedayu, Swandaru, dan pemimpin prajurit yang seorang, tetapi di dalam lingkaran
itu berdiri Haspada, Trapsila, dan beberapa pemuda yang lain. Meskipun mereka
tidak bersenjata panjang, tetapi mereka dapat menduga, bahwa sesuatu akan
terjadi. Ternyata di dalam baju mereka terselip sebilah keris. Ketika keadaan
meningkat menjadi semakin tegang, maka hulu-hulu keris itu pun telah tersembul
dari dalam baju-baju mereka.
Dada Sutawijaya menjadi
semakin berdebar-debar melihat peristiwa itu. Apakah benar-benar akan terjadi
pertumpahan darah di tepian Kali Opak itu?
Tiba-tiba udara digetarkan
oleh suara tertawa berkepanjangan. Ketika semua berpaling ke arah suara itu,
mereka melihat Swandaru masih saja tertawa sambil memandang pemimpin prajurit
yang berdiri di lingkaran, siap dengan senjata di tangan.
“Hem,” berkata Swandaru,
“kalau kalian bersungguh-sungguh, maka sudah barang tentu bahwa kami tidak akan
mempergunakan anak panah ini. Sebenarnya kami tidak senang berkelahi dengan
anak panah. Kalau aku berhasil membinasakan lawan dengan anak panah, aku sama
sekali tidak mendapat kepuasan karenanya. Aku lebih senang membelah dada
lawanku dengan pedangku ini.”
Swandaru kemudian dengan
tenangnya meletakkan busurnya, melepaskan busur Sutawijaya di punggungnya, dan
seolah-olah sedang melepaskan pakaiannya untuk mandi saja, anak yang gemuk
bulat itu melepas tali-tali endong anak panahnya.
Para prajurit Pajang, beberapa
anak-anak muda yang berdiri mengepungnya dan bahkan anak-anak muda yang berada
di dalam kepungan, menjadi heran melihat ketenangan sikapnya. Orang-orang yang
berdiri mengancamnya dengan senjata di tangan itu seakan-akan sama sekali tidak
mempengaruhinya. Namun ketenangan Swandaru itu telah membuat para prajurit
Pajang bertanya-tanya di dalam hati dan membuat anak-anak muda Prambanan
menjadi gelisah.
Dengan tenang pula tangan
kanannya kemudian menarik hulu pedangnya yang terbuat dari gading dan kini
berjuntai seutas tali yang kekuning-kuningan. Ketika pedang itu kemudian
menjadi telanjang, maka tampaklah pedang itu adalah sebilah pedang yang
panjang.
Dengan nada yang tinggi
Swandaru itu pun berkata, “Apakah kita benar-benar akan berkelahi?”
Sutawijaya dan Agung Sedayu
melihat sikap itu dengan cemas, apalagi ketika kemudian mereka melihat
wajah-wajah para prajurit Pajang itu pun menjadi semakin tegang.
Tanpa berjanji maka Agung
Sedayu dan Sutawijaya itu pun saling berpandangan. Seakan-akan mereka saling
bertanya, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata yang merayap di dalam
hati mereka serupa. Mereka mencemasakan keadaan di sekitarnya. Bukan karena
mereka cemas tentang nasib mereka masing-masing, tetapi mereka mencemaskan
nasib anak-anak muda Prambanan. kalau terjadi perkelahian di pinggir Kali Opak
ini maka korban yang paling banyak adalah anak-anak muda itu. Sebagian dari
mereka sama sekali tidak bersenjata. Tetapi terbakar oleh darah mudanya, maka
mereka akan menjadi mabuk keberanian tanpa perhitungan. Dalam perkelahian yang
demikian, maka kemungkinan jatuhnya korban adalah besar sekali. Mereka sendiri
pasti tidak akan dapat menjamin, bahwa senjata-senjata mereka tidak akan
menyentuh tubuh lawan.
Sebelum menemukan sesuatu cara
yang sebaik-baiknya mereka mendengar pemimpin prajurit yang melingkari mereka
itu berkata, “Ternyata kalian benar-benar melawan perintah kami. Bahkan ada
beberapa anak-anak Prambanan sendiri yang mencoba menentang kami pula. Aku
memberi kesempatan terakhir kepada anak-anak muda Prambanan. Haspada, Trapsila
dan kawan-kawannya. Tinggalkan orang-orang itu, supaya kami dapat segera
menagkapnya tanpa membuat korban anak-anak muda Prambanan sendiri.”
Haspada memandang wajah
prajurit itu dengan sorot mata yang menyala. Tiba-tiba ia menjawab, “Aku sudah
jemu melihat tingkah lakumu. Bagi Prambanan sebenarnya lebih baik apabila
kalian pergi saja. Mungkin kami memerlukan perlindungan dari para prajurit
Pajang, tetapi bukan prajurit semacam kalian.”
Kemarahan prajurit-prajurit
Pajang itu kini telah memuncak. Segera mereka bergerak maju, sehingga lingkaran
itu pun menjadi semakin sempit.
Sutawijaya masih belum
bergeser dari tempatnya, sedang Agung Sedayu masih menggenggam anak panah pada
busurnya. Hati mereka pun menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan.
Tetapi mereka menyadari, bahwa mereka tidak dapat untuk sekedar mencemaskannya
saja tanpa berbuat sesuatu.
Ketika lingkaran itu menjadi
semakin menyempit, maka anak-anak muda Prambanan di dalam lingkaran itu pun
segera bersiap pula. Di tangan mereka kini tergenggam keris masing-masing.
Dengan wajah tengadah mereka menghadapi para prajurit yang menggenggam pedang
di tangannya. Sedang pemimpin prajurit yang berpihak pada Sutawijaya pun
berdiri dengan mata menyala. Sambil mengacung-acungkan pedangnya ia berkata,
“Apa pun yang kalian lakukan, maka kalian tidak akan dapat mengingkari
pertanggungan jawab.”
“Justru karena aku tidak
mengingkari pertanggungan jawabku maka aku berbuat, menangkap kalian, mengikat
di halaman banjar desa, minta maaf kepada tamu-tamu kami dan kemudian
menyerahkan kalian kepada Ki Sidanti atau Ki Untara.”
Tiba-tiba kembali terdengar
suara tertawa menggeletar. Kali ini Sutawijayalah yang tertawa. Suara
tertawanya itu pun telah menarik perhatian pula, sehingga segenap mata
seakan-akan tertumpah padanya.
“Apakah kira-kira yang akan
kau katakan kepada Ki Untara?” terdengar Sutawijaya itu bertanya. Ia ingin
mencoba untuk mengurungkan perkelahian itu. Tak ada jalan yang dapat
ditempuhnya selain yang sedang dicobanya itu. Tetapi kalau gagal, maka ia tidak
tahu, apakah akibatnya. Terasa sejak lama, sejak ia bertempur melawan Argajaya,
penyesalan merayapi hatinya. Apalagi kini, pertentangan itu seakan-akan semakin
menjadi-jadi.
Prajurit yang memimpin
pengepungan itu menjawab kasar, “Aku akan melaporkan apa yang pernah kalian
lakukan di sini.”
“Apakah Ki Untara dapat
mempercayaimu?”
“Ada berpuluh-puluh saksi di
sini. Ki Demang Prambanan ini pun akan dapat menjadi saksi pula.”
Kembali Sutawijaya tertawa.
Katanya, “Lalu apakah yang akan dilakukan oleh Untara itu kira-kira?”
“Kalian akan diserahkan kepada
kami. Dan kami akan mencincang kalian di halaman banjar desa.”
“Kalau kau berani mencincang
anak itu,” berkata Sutawijaya sambil menunjuk Agung Sedayu, “maka leher
kalianlah taruhannya.”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia berkata hampir berteriak, “Pengecut, kalian
mencoba mencari jalan untuk menyelamatkan diri.”
“Tidak. Kalau kau tidak
percaya, pergilah ke Sangkal Putung. Bukan saja Untara berada di sana kini.
Tetapi Panglima Wira Tamtama pun berada di sana pula. Kalau kalian ingin
memanggilnya, maka aku akan menunggu mereka itu di sini. Untara dan Panglima
Wira Tamtama itu.”
Sebelum mereka menjawab, kini
tertawa Swandarulah yang terdengar memenuhi udara. “He,” katanya, “apakah kau
akan mengatakan bahwa Agung Sedayu itu tak akan dihukum oleh Untara.”
Agung Sedayu berpaling ke arah
adik seperguruannya. Tetapi ia pun tahu maksud Sutawijaya. Agaknya adik
seperguruannya yang tidak begitu senang menggunakan otaknya, karena ia lebih
senang mempergunakan perasaannya, kini menyadari keadaan yang gawat itu.
Sehingga dengan demikian maka baik Sutawijaya maupun Agung Sedayu tersenyum
karenanya.
“Apakah kau tidak ingin
berkelahi?” terdengar Sutawijaya bertanya kepadanya.
“Sebenarnya. Tetapi agaknya
Tuan akan menutup kesempatan itu dengan cara Tuan.”
“He,” teriak pemimpin prajurit
yang mengepungnya, “jangan membuat cara yang aneh-aneh untuk menyelamatkan
diri.”
“Kalau Untara datang, maka
kami akan selamat. Apakah tadi kau dengar anak muda yang gemuk itu berkata?”
bertanya Sutawijaya, “Anak yang berwajah tampan seperti Panji itu adalah adik
Untara. Ya, ia adik senapati yang namanya selalu kau sebut-sebut.”
Kata-kata Sutawijaya itu
terdengar menggelegar seperti guntur yang meledak di atas kepala mereka.
Sejenak mereka terdiam seperti kena pukau yang tajam. Semua mata memandangi
Agung Sedayu yang menjadi tersipu-sipu karenanya.
Meskipun demikian pemimpin
prajurit yang mengepungnya tidak segera mempercayainya. Dengan ragu-ragu kini
ia berkata, “Kau mendapatkan suatu cara yang baik sekali. Memang kami tidak
akan berani berbuat sesuatu atas adik Ki Untara, seandainya adiknya benar-benar
berada di sini. Tetapi setiap orang dapat menyebut dirinya adik Ki Untara.
Bukan saja adik Ki Untara, setiap orang dapat menyebut dirinya adik Panglima
Wira Tamtama atau menyebut dirinya putera Ki Gede Pemanahan.”
Suara prajurit itu terputus
ketika terdengar meledak suara tertawa Swandaru Geni. Anak itu benar-benar
tertawa terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya yang bulat terguncang-guncang.
Namun Sutawijayalah yang
menyahut, “Memang kami tidak akan dapat membuktikannya bahwa anak muda itu adik
Ki Untara. Tetapi jangan mencoba memancing pertengkaran. Kalau anak muda itu
mengayunkan pedangnya, maka dalam gerakan yang pertama, lima dari kalian pasti
sudah terbunuh olehnya. Apalagi anak-anak muda Prambanan yang tidak bersenjata
atau yang bersenjata terlampau pendek. Untuk melawan kalian, semua orang yang
mencoba mengepung kami, maka Agung Sedayu sendiri akan dapat menyelesaikannya.
Apakah kalian tidak percaya?”
Tampaknya wajah-wajah di
sekitarnya menjadi bimbang. Beberapa anak muda menjadi pucat dan beberapa yang
lain saling berpandangan.
“Persetan!” teriak prajurit
itu, “Cara yang sudah lapuk untuk menakut-nakuti lawan. Sekarang kalau kalian
ingin perlakuan yang lebih baik, menyerahlah. Aku tidak akan percaya apakah
yang akan kalian katakan tentang diri kalian.”
Sutawijaya menarik alisnya.
Memang sulitlah untuk membuktikan diri mereka di hadapan orang-orang itu.
Tetapi apabila ia tidak berhasil, maka mereka benar-benar akan menyerang dan
perkelahian pun akan terjadi. Meskipun menghadapi beberapa orang prajurit dan
anak-anak muda Prambanan itu sama sekali tidak akan menitikkan keringatnya,
apalagi dibantu oleh beberapa anak-anak muda Prambanan sendiri justru yang
paling kuat di antara mereka, namun setiap korban yang jatuh pasti akan
membuatnya menyesal.
Dalam keragu-raguannya itu
tiba-tiba terdengar pemimpin prajurit yang mengepungnya berteriak sekali lagi,
“Ayo menyerahlah meskipun kau mengaku anak dewa dari langit, atau anak iblis dari
dasar bumi.”
“Tidak terlampau jauh,” sahut
Swandaru sambil tertawa, “tebakanmu yang pertama tepat.”
Pemimpin prajurit itu
memandanginya sambil menunjuk Sutawijaya, “Apakah ia anak dewa dari langit.”
“Yang pertama.”
Prajurit itu terdiam.
Tiba-tiba ia bertanya, “Yang mana?”
“Putra Ki Gede Pemanahan.”
Kembali udara di pinggir kali
Opak itu menggeletar oleh jawaban Swandaru itu. Kembali orang-orang yang
berdiri di tempat itu diam mematung. Kini pusat perhatian mereka adalah anak
muda yang menggenggam tombak di tangannya, yang telah berhasil mengalahkan
Argajaya dengan tidak mengalami kesulitan.
Namun kemudian pemimpin
prajurit itu berteriak kembali, meskipun terasa bahwa dadanya diamuk oleh
kebimbangan, ”Nah. Aku menjadi semakin tidak yakin akan kebenaran kata-kata
kalian. Mula-mula salah seorang dari kalian dinamakan adik Ki Untara, kemudian
kini yang lain disebut putera Ki Gede Pemanahan. Nah, yang seorang itu, yang
gemuk, akan kalian namakan apalagi. Apakah anak yang gemuk itu akan disebut
sebagai Putera Sultan Hadiwijaya?”
Swandaru tertawa semakin keras
mendengar kata-kata itu. Sehingga beberapa titik air matanya membasahi pipinya
yang gembung. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun terpaksa tersenyum melihat
tingkah lakunya.
Haspada, Trapsila, beberapa
anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran, beserta pemimpin prajurit yang
datang bersamanya, benar-benar membeku melihat tingkah laku ketiga anak-anak
muda itu. Sebutan-sebutan yang mereka ucapkan telah mempengaruhi sikap mereka.
Tanpa mereka kehendaki, maka tiba-tiba mereka kini semakin memperhatikan
wajah-wajah dari ketiga anak-anak muda yang menyebut dirinya Pengawal
Kademangan Sangkal Putung.
Wajah Agung Sedayu yang mantap
dan tenang. Wajah Sutawijaya yang tajam berwibawa dan wajah gemuk bulat namun
memancarkan keteguhan tekad. Ketiganya sudah pasti bukan anak-anak gembala yang
kebetulan menjadi seorang pengawal kademangannya.
Tetapi meskipun ragu-ragu,
namun pemimpin prajurit yang mengepungnya mencoba untuk tidak terpengaruh
kata-kata itu.
Baginya setiap hidung akan
dapat mengucapkan sebutan-sebutan itu. Dengan demikian, maka apabila ia
terpengaruh olehnya, berarti kegagalan pula baginya.
Namun prajurit itu pun tidak
lagi dapat bertindak segarang semula. Di dalam hati kecilnya tersimpan pula
pengakuan, bahwa anak-anak muda itu pasti bukan anak kebanyakan. Tetapi apabila
mereka benar-benar adik Untara, apalagi putera Ki Gede Pemanahan, apakah pula
kerjanya menyelusuri hutan sampai ke Kademangan Prambanan tanpa pengawalan
seorang prajurit pun.
Tetapi kini prajurit itulah
yang terkejut, ketika Swandaru membentaknya, “He, apakah kau tidak percaya?”
“Tidak” sahutnya dengan serta
merta.
Swandaru menggeleng-gelengkan
kepalanya, “Bagaimana Tuan. Apakah kita berkelahi saja.”
“Jangan” cegah Sutawijaya. Ia
kini tinggal mempunyai satu cara untuk mencoba meyakinkan dirinya. Sejenak ia
terdiam. Dipandanginya wajah pemimpin prajurit yang datang bersamanya.
Tiba-tiba ia berkata, “Kemarilah. Lihat landean tombak pendekku ini. Bukankah
kau pandai membaca?”
Prajurit yang dipanggil oleh
Sutawijaya itu memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ia sama sekali tidak tahu
maksud anak muda itu.
“Kemarilah,” panggil
Sutawijaya, “mendekatlah.”
Yang terdengar adalah suara
pemimpin prajurit yang mengepungnya, “Jangan banyak tingkah. Menyerahlah.”
Tetapi Sutawijaya seakan-akan
sama sekali tidak mendengarkannya. Sekali lagi ia berkata, “Kemarilah. Lihat
landean tombakku ini.”
Seperti kena pesona pemimpin
prajurit yang memihak kepada Sutawijaya itu pun berjalan mendekatinya.
“Kau pandai membaca bukan?”
bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu menganggukkan
kepalanya.
Pada landean itu ternyata
tercoreng beberapa huruf yang dipahatkan agak dalam. Sambil menunjuk kepada
huruf-huruf itu Sutawijaya berkata, “Baca. Bacalah huruf-huruf ini.”
Prajurit itu masih belum tahu
maksud Sutawijaya. Tetapi ia membacanya juga. Diamatinya huruf-huruf yang
berjejer-jejer membentuk kata-kata itu. Pa-nglegena, sa-wulu-layar,
sa-nglegena, wa-suku dan ka-wulu-layar. “Pasir Sawukir,” gumam prajurit itu.
“Apakah kau pernah mendengar
nama itu?” bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu menggeleng. Dan
pemimpin yang lain berteriak, “He. Apakah kau sedang bermain gila-gilaan?”
“Kau juga belum pernah
mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya kepada prajurit di luar lingkaran.
“Nama itu sama sekali tak
berarti bagi kami.”
“Baik” sahut Sutawijaya.
Diputarnya landean tombaknya. Di sisi yang lain ternyata tertera beberapa huruf
pula. Sambil menunjuk huruf yang tertera itu, maka Sutawijaya berkata,
“Sekarang bacalah huruf-huruf ini. Huruf-huruf ini akan menyebut sebuah nama.
Nama itu adalah namaku. Kalian dapat percaya atau tidak. Tetapi itu adalah
namaku. Seandainya kalian tidak percaya, dan kalian tetap dalam pendirian
kalian, maka kalian pagi ini juga pasti akan menjadi bangkai. Burung-burung
gagak pasti akan kekucah di pinggir Kali Opak ini. Nama yang akan dibaca oleh
pemimpin kalian ini adalah usahaku yang terakhir untuk mencegah perkelahian.”
Kata-kata Sutawijaya itu
menyusup ke dalam setiap dada seperti tajamnya tombak yang menyusup ke jantung
mereka. Beberapa anak muda menjadi cemas dan ketakutan. Beberapa yang lain
setapak demi setapak surut ke belakang.
Tetapi para prajurit yang
mengepungnya masih saja tegak di tempatnya. Meskipun ke ragu-raguan semakin
besar melanda jantungnya, tetapi mereka masih belum dapat mempercayai sesuatu.
Pemimpin prajurit yang berdiri
di samping Sutawijaya itu mengamat-amati huruf demi huruf. Beberapa kali ia
mencoba membacanya di dalam hatinya. Nama itu pernah didengarnya. Ya, nama itu
telah pernah menggemparkan dada setiap prajurit Pajang. Karena itu, tiba-tiba
keringat dingin mengalir melalui segenap lubang-lubang kulitnya. Sejenak ia
diam mematung. Diawasinya huruf-huruf itu, dan kemudian diucapkannya nama itu
kembali di dalam hatinya.
“Jadi………,” kata-katanya serasa
terhenti di kerongkongan.
“Baca” minta Sutawijaya.
Prajurit itu memandang wajah
Sutawijaya. Tiba-tiba prajurit itu melihat seakan-akan wajah itu memancarkan
sinar yang menyilaukan. Dengan serta-merta ia menundukkan kepalanya sambil
berkata gemetar, “Ampun, Tuan. Ampun. Aku tidak mengenal Tuan sebelumnya. Kalau
benar Tuan yang datang di sini, maka sepantasnyalah Tuan yang menghukum kami.”
Orang-orang yang berdiri di
sekelilingnya menjadi heran dan terperanjat. Kenapa tiba-tiba pemimpin prajurit
itu menjadi pucat pasi seperti mayat.
Pemimpin prajurit yang sedang
mengepungnya melihat peristiwa itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi
tanpa disadarinya ia berteriak, “He, kenapa kau menjadi takut seperti melihat
hantu. Apakah pada landean tombak itu tertera nama hantu-hantu, atau penjaga
hutan dan lereng Merapi? Atau sebuah nama perguruan yang menakutkan, atau
sebuah gerombolan penjahat yang mengerikan?”
Tetapi prajurit yang sedang
gemetar itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja berkata, “Tuan. Kami
sama sekali tidak mengetahui, dengan siapa kami berhadapan. Kalau kami mengenal
Tuan sebelumnya, maka kami tidak akan bersikap seperti ini. Juga kawan-kawan
kami dan pasti juga tamu-tamu kami akan bersikap lain. Apalagi anak-anak muda
Prambanan ini.”
“He, siapa dia?” teriak
beberapa orang prajurit yang tidak sabar menunggu. “Sebut namanya, supaya kami
segera bersikap.”
Yang terdengar justru suara
tertawa Swandaru. Meskipun ia berusaha untuk menahannya, tetapi suara itu
meluncur juga dari sela-sela bibirnya.
Agung Sedayu memandanginya
dengan kerut-merut di dahinya. Kali ini mereka tidak sedang bergurau. Kalau
bukti terakhir ini tidak juga dipercaya, berarti darah akan mengalir di pinggir
Kali Opak ini.
Tetapi suara tertawa Swandaru
itu segera dapat dihentikannya, seakan-akan ditelannya kembali, meskipun
perutnya terasa sakit.
Prajurit-prajurit yang
mengepung mereka itu kini sudah menjadi tidak bersabar lagi. Hampir bersamaan
mereka berteriak, “Sebut, sebutlah namanya. Apakah kalian sedang bermain-main
untuk menakut-nakuti kami. Kalau benar nama itu menggetarkan hatimu. Sebutlah.”
Sutawijaya mengangkat dagunya.
Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya. Wajah-wajah yang tegang dan penuh
pertanyaan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya seakan-akan membeku di
tempatnya. Namun pancaran wajahnya terasa menjadi terlampau tegang.
“Bacalah” desis Sutawijaya
kemudian.
Pemimpin prajurit itu
memandanginya dengan ragu-ragu. Tetapi sekali lagi Sutawijaya berkata,
“Bacalah.”
Dengan suara bergetar maka
prajurit itu pun membaca nama itu, “Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring
Pasar.”
Suara prajurit yang gemetar
itu terdengar seperti ledakan Gunung Merapi di telinga orang-orang yang berdiri
di sekitarnya. Baik yang berdiri di dalam lingkaran, maupun yang berada di luar
kepungan. Sejenak mereka dicengkam oleh suasana yang aneh, sehingga tak seorang
pun yang segera dapat menentukan sikapnya. Prajurit yang pemimpin pengepungan
itu pun berdiri dengan mulut menganga. Pedang yang di tangannya itu tiba-tiba
menjadi bergetar dan hampir-hampir jatuh dari genggamannya.
Sekali lagi dicobanya untuk
menatap wajah anak muda yang menggenggam tombak itu. Kemudian beralih kepada
anak muda yang disebutnya adik Untara, seterusnya kepada anak muda yang gemuk
bulat yang seakan-akan selalu tertawa dalam segala keadaan.
Sutawijaya melihat ketegangan
dalam setiap hati. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk meyakinkan
orang-orang Prambanan tentang dirinya. Bukan karena ia ingin bersombong diri,
tetapi dengan demikian ia mengharap para prajurit dan orang-orang Prambanan
mengurungkan niatnya untuk menangkapnya. Dengan demikian maka perkelahian pun
akan terhindar, dan pertumpahan darah pun dapat disingkiri.
Dengan wajah tengadah anak
muda itu pun berkata, “Nah, siapa yang tidak percaya pada tulisan itu? Aku
tidak berkeberatan seandainya masih ada yang berkata, bahwa setiap orang dapat
saja menulis apa saja pada landean tombaknya. Dapat saja menulis dirinya dengan
sebutan aneh-aneh. Mungkin kalian dapat berkata bahwa setiap orang dapat menulis
namanya dan menyebutnya sebagai putera Dewa Brahma seperti tersebut di dalam
dongeng-dongeng. Atau dapat menyebut dirinya sebagai titisan Wishnu seperti
Kresna atau Kekasih Syiwa. Tetapi aku masih mempunyai satu bukti lagi yang akan
meyakinkan kalian apabila kalian kehendaki. Aku adalah Sutawijaya putera Ki
Gede Pemanahan. Akulah yang pernah membenamkan ujung tombakku ke lambung Arya
Penangsang, meskipun tombak itu bukan tombak yang aku pergunakan sekarang.
Tombak itu adalah tombak pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang, yang bernama
Kiai Pleret, dan berlandean panjang, jauh lebih panjang dari tombakku ini.
Meskipun demikian, meskipun aku kali ini tidak membawa Kiai Pleret, tetapi
apabila kalian tetap dalam pendirian kalian ingin menangkap Sutawijaya, maka
sebelum kalian sempat menyentuh pakaianku, maka kalian pasti telah menjadi
mayat. Apalagi kalau kedua kawan-kawanku itu ikut serta. Pedangnya tidak kalah
dahsyatnya dari sepuluh pasang pedang di dalam genggaman tangan kalian. Aku
berkata sebenarnya bahwa yang seorang itu adalah adik Untara. Ya, adik Kakang
Untara, senapati yang mendapat kepercayaan di seluruh daerah di seputar Gunung
Merapi. Sedang yang seorang lagi, yang gemuk itu adalah putera Ki Demang
Sangkal Putung, pemimpin anak-anak muda pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Apalagi seperti yang kalian lihat di sini berdiri pemimpin prajurit Pajang di
Prambanan yang syah dan di sini berdiri pula beberapa anak muda yang masih
dapat berpikir jernih. Yang masih sempat melihat keruntuhan yang dengan perlahan-lahan
menerkam kademangan kalian. Keruntuhan pribadi satu-satu dari kalian adalah
pertanda yang paling jelas bahwa kademangan ini kini telah berada di pinggir
jurang kehancuran,” Sutawijaya berhenti sejenak. Dipandanginya setiap wajah
yang ada di sekitarnya. Wajah-wajah anak-anak muda yang berada di dalam
lingkaran dan wajah-wajah yang sedang mengepungnya rapat-rapat, juga
wajah-wajah yang berada di luar kepungan. Pada wajah-wajah itu Sutawijaya dapat
membaca bahwa kata-katanya telah bergolak di setiap dada.
Pinggir Kali Opak itu kini
dicengkam oleh kesenyapan. Tak seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Mulut
mereka terbuka, tetapi serasa kerongkongan mereka tersumbat oleh sebuah
perasaan yang aneh.
Sejenak kemudian kembali
Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian
percaya kepada kata-kataku ataukah kalian masih saja menganggap bahwa aku hanya
sekedar menakut-nakuti?”
Tak ada jawaban.
Dan Sutawijaya pun berkata pula,
“Meskipun aku baru semalam melihat wajah Kademangan kalian, tetapi aku sudah
mendapat gambaran yang jelas, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kemunduran
watak dan tabiat, kehilangan pegangan karena mabuk kemenangan-kemenangan kecil
yang sebenarnya tidak berarti apa-apa, dan yang terpenting kemudian,
pengingkaran atas nilai-nilai kebaktian kalian kepada sumber hidup kalian.
Kemaksiatan bukan saja pelanggaran atas nilai-nilai hidup duniawi, tetapi
lebih-lebih daripada itu, kemaksiatan adalah jalan yang menuju kepada Bebendu
Abadi. Mungkin bagi mereka yang memegang pedang di tangan, dapat menghindari
setiap tanggung jawab duniawi dengan kekuasaan yang terpancar dari tajam
pedangnya. Tetapi apakah pedang itu akan bermanfaat untuk melawan pengadilan
tertinggi, pengadilan dari Sumber Hidup kalian?”
Orang-orang yang berdiri di
tepian Kali Opak itu benar-benar seperti cengkerik terinjak kaki. Diam membeku.
Namun tiba-tiba mereka seperti
tersentak bangun ketika Sutawijaya berkata, “Ayo, siapa yang akan menangkap
Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit yang berdiri
memagari Sutawijaya dan kawan-kawannya itu pun tiba-tiba terlempar pada
kesadaran mereka tentang diri mereka.
Kata-kata Sutawijaya itu
seakan-akan ujung-ujung tombak yang menghujani beribu kali ke pusat jantung
mereka. Pedih dan nyeri. Tubuh mereka itu pun kemudian bergetaran. Meskipun ada
juga perasaan ingkar atas segala tuduhan yang tidak langsung ditimpakan kepada
diri mereka, tetapi ketika terpandang wajah Sutawijaya itu, maka wajah-wajah
mereka pun tertunduk lesu. Bahkan kemudian terbayang di rongga mata mereka,
Panglima Wira Tamtama yang mereka segani, akan datang sendiri menghakimi
mereka. Menunjuk ke wajah-wajah mereka sambil menjatuhkan hukuman yang paling
berat.
Demang Prambanan pun berdiri
dengan pucatnya. Lututnya beradu seperti orang melihat hantu. Dadanya serasa
diguncang-guncang oleh perasaan yang mengerikan. Seakan-akan ia sedang berada
di dalam dunia mimpi yang menakutkan.
Orang-orang yang berdiri di
pinggir kali Opak itu kini serasa di kejar oleh perasaan bersalah dan
ketakutan. Para prajurit yang mengepung Sutawijaya itu pun merasa betapa mereka
menyesal atas kelakuan mereka. Kenapa ia harus berhadapan dengan putera Ki Gede
Pemanahan tanpa mereka ketahui.
Kini ternyata mereka telah
mengancam putera panglimanya. Bukan saja karena anak muda itu putera Panglima
Wira Tamtama, tetapi anak muda itu adalah putera angkat yang kinasih dari
Adipati Pajang sendiri.
Dengan demikian maka setiap
orang dipinggir sungai Opak itu kini justru terbungkam. Yang memecah kesenyapan
adalah suara Sutawijaya kembali, “Bagaimana? Apakah kalian masih tetap pada
pendirian kalian?”
Tiba-tiba pemimpin prajurit
yang mengepungnya itu melangkah selangkah maju. Tubuhnya yang gemetar
hampir-hampir tidak dapat lagi berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ketika ia
kemudian membungkukkan badannya maka pedangnya pun terjatuh dari tangannya,
katanya maka, “Aku dan kawan-kawanku memohon seribu ampun”
“Apakah kau masih ragu-ragu?”
bertanya Sutawijaya lantang.
“Tidak. Tidak, Tuan” sahut
prajurit itu dengan serta merta.
“Kau melihat aku berkelahi
melawan Argajaya?”
“Ya, Tuan.”
“Ketahuilah, bahwa dengan dua
tiga unsur gerak aku dapat membunuhnya. Tetapi aku masih menghormatinya dan
membiarkan ia melawan sampai beberapa saat. Meskipun demikian aku tidak akan
membunuhnya. Bukan karena ia paman Sidanti, sebab Sidanti itu pun sama sekali
tidak berarti bagiku.” Sutawijaya itu berhenti sejenak. Dipandanginya para
prajurit yang menundukkan kepalanya dengan lutut gemetar, “Ketahuilah,” katanya
kemudian, “Sidanti kini memang sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi.
Sidanti telah melarikan dirinya karena ia melawan kepada pimpinannya. Sidanti
telah mencoba membunuh Kakang Untara untuk dapat menggantikannya. Tetapi Untara
tidak terbunuh, sehingga dengan demikian Sidanti harus melarikan diri. Anak
muda yang bernama Sidanti dan dibangga-banggakan itu sama sekali tidak mampu
melawan anak muda yang berdiri di sini itu. Adik Kakang Untara. Karena itu,
seandainya datang tiga Sidanti di pinggir Kali Opak saat ini, maka kami bertiga
tidak akan menjadi cemas sama sekali, apalagi tiga orang Argajaya yang sombong
itu.”
Prajurit-prajurit Pajang itu
masih berdiri dengan wajah yang tertunduk. Tak seorang pun kini yang berani
mengangkat wajahnya memandangi wajah putera Ki Gede Pemanahan itu.
Dalam pada itu Ki Demang
Prambanan yang masih muda itu berkata dengan nada yang datar gemetar, “Tuan,
kami benar-benar tidak tahu siapakah Tuan. Bukan kebiasaan kami tidak
menghormati tamu-tamu, tetapi hanya karena kami tidak tahu, maka mungkin sikap
kami, orang-orang kademangan ini, tidak berkenan di hati Tuan. Terhadap
Argajaya itu pun kami bersikap hormat pula, meskipun kami tahu, betapa orang
itu sangat memuakkan karena kesombongannya. Apalagi terhadap Tuan apabila kami
tahu sebelumnya.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Ki Demang Prambanan itu. Sedang Ki Demang itu
berkata pula, “Karena itu, Tuan, aku mengharap Tuan sudi bermalam di Kademangan
kami. Kami akan menjamu Tuan dengan kemeriahan dua tiga kali lipat dari jamuan
yang pernah kami adakan untuk Argajaya.”
Sutawijaya memandangi wajah
Demang itu dengan tajamnya. Tetapi anak muda itu tidak segera menjawab.
Ki Demang itu masih juga
berkata, “Kami akan mengadakan pertunjukan menurut kesenangan Tuan tiga hari
tiga malam dan akan menjamu Tuan menurut kehendak Tuan. Kami akan menyembelih
lembu dan kambing sebagai tanda hormat kami atas kesudian Tuan hadir di
Kademangan ini.”
Ketika terpandang oleh
Sutawijaya wajah Swandaru, maka Sutawijaya itu pun segera mengetahui, bahwa di
dalam dada anak muda itu pun bergejolak perasaan seperti yang bergolak di dalam
dadanya sendiri. Tetapi ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu, maka sukarlah
baginya untuk menjajagi perasaan anak muda itu. Wajahnya hampir tidak berubah.
Kesannya tenang dan dalam.
Tetapi dalam ketenangan itu,
sebenarnya bergelombanglah perasaan di dalam hatinya. Bahkan tiba-tiba ia
menjadi kecewa melihat wajah Ki Demang Prambanan itu. Kecewa akan sikapnya yang
miyur, tanpa berpegangan kepada suatu sikap yang terpuji. Baru saja mereka
melihat, bagaimanakah sikapnya terhadap Argajaya, kini mereka melihat sikap
yang tiba-tiba berubah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menekan perasaannya.
Ia tidak mau merusak suasana yang sudah hampir mereda.
“Marilah, Tuan,” berkata Ki
Demang, yang kemudian kepada para prajurit dan orang-orangnya ia berkata, “marilah
kita sambut tamu-tamu kita ini dengan kegembiraan di hati. Tidak terpaksa
karena sopan santun saja seperti kita menyambut Argajaya kemarin. Tetapi kali
ini kita akan merayakannya dengan ikhlas. Bahwa kademangan kita telah mendapat
kesempatan dikunjungi oleh priyagung dari Pajang.”
Belum lagi Ki Demang itu
selesai, terdengar Sutawijaya berkata, “Terima kasih Ki Demang. Kami bukan
orang-orang yang dapat dimabukkan oleh sambutan-sambutan dan kemeriahan
lahiriah. Kami bukan Argajaya. Mungkin ada beberapa perbedaan di antara kami
dan Argajaya itu.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dilihatnya wajah Ki Demang yang
pucat menjadi semakin pucat. Apalagi ketika sejenak kemudian Sutawijaya
berkata, “Jangan mencoba mencuci tanganmu dengan darah lembu dan kambing yang akan
kau sembelih. Tak ada gunanya Ki Demang. Yang dapat mencuci namamu yang agaknya
selama ini menjadi buram adalah sebuah pengakuan. Pengakuan atas
kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan. Dengan janji di dalam hati bahwa
kesalahan itu tidak akan terulang kembali.”
Mulut Ki Demang kini
benar-benar terbungkam. Seluruh tubuhnya telah basah karena keringat dingin
yang mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya. Dengan lutut yang beradu ia
mencoba untuk dapat tegak berdiri.
Ki Demang itu hampir terjatuh
ketika ia terkejut mendengar Sutawijaya membentaknya, “Bagaimana Ki Demang.
Apakah kau dengar kata-kataku?”
“Ya, ya, Tuan. Aku mendengar.”
“Dan mengerti pula?”
“Ya, aku mengerti, Tuan.”
“Apa?”
Jantung Ki Demang Prambanan
itu serasa dihentak-hentak oleh guruh yang meledak di dalam dadanya.
Hampir-hampir ia menjadi pingsan karena ketakutan.
“Apa yang kau ketahui, he Ki
Demang?”
Ki Demang tidak segera dapat
menjawab. Mulutnya benar-benar serasa tersumbat.
“Kenapa kau diam, he? Kau
sangka aku bermain-main?” desak Sutawijaya agak keras. “Aku tidak bermain-main
Ki Demang. Aku juga tidak menakut-nakuti kalian. Aku akan dapat membuktikannya
apa yang aku katakan. Bukan karena aku putera Panglima Wira Tamtama. Tetapi
seandainya bukan, maka aku sanggup menghadapi kalian dengan ujung tombakku ini,
kau dengar?”
“Ya, ya, Tuan” suara Ki Demang
hampir tidak kedengaran.
“Apakah kau menyesal?”
“Ya, Tuan.”
Sutawijaya menarik nafas. Ia
tahu, bahwa Ki Demang itu memang sudah tidak mungkin lagi diajaknya berbicara.
Tetapi dengan demikian, maka semua kata-katanya besok atau lusa pasti akan
dipertimbangkannya. Karena itu maka katanya, “Aku malam nanti tidak akan
bermalam lagi di Kademangan ini. Aku sudah tahu gambaran yang pasti tentang
Kademangan ini. Beruntunglah bahwa di sini masih ada seorang prajurit yang
menyadari kesalahannya pada saat-saat terakhir. Kepadanya aku percayakan
prajurit-prajurit yang lain. Apabila masih juga terjadi, mereka menentang
perintah pemimpinnya yang syah, yang diangkat dan bertanggung jawab kepada
Kakang Untara, maka mereka akan ditindak seperti orang-orang yang sampai saat
ini masih membangkang di bawah pimpinan Sanakeling. Sedang Kademangan Prambanan
harus merasa berterima kasih bahwa mereka masih memiliki anak-anak muda seperti
Haspada, Trapsila dan beberapa orang yang lain. Merekalah yang seterusnya harus
tampil ke depan, membimbing kawan-kawannya. Mungkin satu dua ada juga yang
tidak ingin melepaskan cara hidupnya kini. Berkeliaran, berbuat aneh-aneh dan
tidak menghiraukan lagi adat dan tata-cara. Adalah menjadi tugas anak-anak muda
sendirilah untuk menghentikannya. Bahkan orang-orang tua yang memberi banyak
contoh-contoh yang sesat itu pun harus dihentikan. Sekarang juga. Jangan menunggu
sampai gunung Merapi meledak dan menimbuni daerah ini dengan pasir dan batu.”
Ketika Sutawijaya terdiam,
maka tak ada suara yang berderik, selain gemericik air Kali Opak dan desir
angin di dedaunan. Semaunya terdiam beku. Wajah-wajah yang menunduk dan hati
yang pepat dan kecut. Ternyata mereka berhadapan dengan seorang anak muda yang
luar biasa. Tidak saja menggerakkan tombaknya, tetapi juga menggerakkan
lidahnya.
Kesepian itu kemudian
terpecahkan ketika Sutawijaya tiba-tiba berkata, “Aku akan pergi.”
Kata-kata itu pun sangat
mengejutkan. Semua wajah yang tunduk itu terangkat, dan semua mata memandang
kepadanya. Tetapi ia berkata sekali lagi, “Aku akan pergi. Marilah Agung Sedayu
dan Swandaru. Kita lanjutkan perjalanan kita.”
“Tuan,” pemimpin prajurit itu
berusaha untuk mencegahnya, “sebaiknya Tuan bermalam di sini. Bukan maksud kami
untuk mencoba menyenang-nyenangkan hati Tuan karena kesalahan-kesalahan kami,
dengan harapan supaya Tuan sudi memaafkannya, tetapi sebenarnyalah kami ingin
Tuan bermalam di sini untuk memberikan beberapa petunjuk yang mungkin akan
sangat penting bagi kami.”
“Cukup,” sahut Sutawijaya.
“aku sudah cukup banyak berbicara. Mungkin besok atau lusa atau seminggu dua
minggu lagi ada orang lain yang berkepentingan datang kemari. Mungkin
kawan-kawanmu para prajurit yang berada di sini harus ditarik dan diganti oleh
yang lain, mungkin keputusan-keputusan lain yang akan diambil oleh Kakang
Untara, tetapi mungkin kalian masih akan dibiarkannya saja seperti sekarang,
karena kesibukannya yang terlampau banyak. Aku tidak tahu. Itu bukan urusanku.
Tetapi aku mempunyai kepentingan sendiri dan aku akan pergi.”
“Tuan” potong prajurit itu,
tetapi Sutawijaya seperti tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata kepada
Swandaru, “Berikan busurku itu.”
Swandaru pun kemudian memungut
busur itu dan memberikannya sambil bertanya, “Apakah kita akan meneruskan
perjalanan kita?”
“Ya” sahut Sutawijaya
Swandaru tidak bertanya lagi.
Yang berbicara kemudian adalah Sutawijaya kedapa Haspada dan Trapsila, “Selamat
kepada kalian. Mudah-mudahan kalian akan tampil kembali dalam kepemimpinan
anak-anak muda. Jangan patah hati. Kalau perlu kalian dapat berlaku agak keras.
Bukankah kalian mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya?”
“Mudah-mudahan kami dapat
melakukannya, Tuan” jawab mereka hampir bersamaan.
“Bagus. Sekarang aku akan
meninggalkan kademangan ini. Aku mengharap di saat lain aku akan kembali
mengunjungi daerah ini. Bukankah menurut cerita yang pernah aku dengar,
kademangan ini pernah mendapat seorang demang yang sangat baik? Cobalah ulangi
nama yang baik itu. Jauhkan segala macam kericuhan dan kemaksiatan.”
Orang-orang yang berdiri di
pinggir Kali Opak itu kemudian hanya dapat melihat ketiga anak-anak muda itu
berjalan dengan langkah yang tetap meninggalkan pinggiran Kali Opak,
menyeberang ke arah barat.
Beberapa lama mereka tegak
bagaikan sekelompok patung di tepian sungai Opak. Dengan hati yang
berdebar-debar mereka melihat ketiganya menyeberang sungai yang tidak begitu
dalam, namun cukup lebar. Kaki-kai mereka menyentuh air yang mengalir, membuat
gejolak kecil. Namun gejolak yang terjadi di dalam dada orang-orang Prambanan
itu terasa betapa besarnya melanda dinding-dinding jantung mereka.
Ketika ketiga anak-anak muda
itu meloncat tebing di sisi seberang dan menghilang di balik rimbunnya
alang-alang, maka kini berpasang-pasang mata berpaling memandangi pemimpin
prajurit yang berdiri di dalam lingkaran bersama beberapa anak-anak muda
Prambanan. Prajurit yang masih mendapat kepercayaan dari putera Panglima Wira
Tamtama untuk memimpin Kademangan Prambanan. Betapa dada para prajurit yang
lain menjadi semakin berdebar-debar. Prajurit yang seorang itu dapat berbuat
menurut kehendaknya. Ia akan dapat melepaskan dendamnya kepada mereka. Bahkan
dapat berbuat diluar dugaan. Juga kepada Ki Demang Prambanan dengan batuan
anak-anak muda yang tegak di sekitarnya.
Tetapi prajurit itu berkata
seperti bukan kehendaknya sendiri, “Kalau terjadi kesalahan pada kita di
masa-masa lalu, marilah kita sadari bersama, bahwa kesalahan itu adalah
kesalahan kita bersama. Bukan saja kesalahanku, bukan saja kesalahanmu. Tetapi
kesalahan kita seluruh isi Kademangan. Kehadiran anak muda, putera Ki Gede
Pemanahan itu ternyata telah membawa kesadaran baru di dalam hati kita. Kita
tidak usah mempersoalkan apakah mereka itu benar-benar anak-anak muda seperti
yang mereka katakan, yang seorang pudera Ki Gede Pemanahan, yang seorang adik
Ki Untara dan yang seorang putera Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi ternyata apa
yang mereka lakukan dan mereka katakan membawa nafas baru di dalam kehidupan
kademangan kita. Aku tidak akan merasa bangga atas kepercayaan yang diberikan
kepadaku, juga tidak akan mempergunakan kekuasaan itu untuk berbuat menurut
perasaanku. Tetapi marilah kita berjanji, bahwa kademangan ini harus menjadi
kademangan yang baik seperti masa-masa lalu. Bukankah Kademangan Prambanan
pernah menjadi kademangan yang disegani dan dihormati karena seorang Demang
yang baik di masa lalu? Di masa pemerintahan masih berada di Demak. Nah, kita
harus kembali ke jaman itu. Jaman yang baik.”
Tak terdengar jawaban, tetapi
wajah-wajah yang tumungkul membayangkan kesadaran yang merayapi hati
masing-masing. Semua orang memang telah berbuat kesalahan. Mereka tidak akan
dapat melempar-lemparkan kesalahan satu kepada yang lain. Mereka bersama-sama
telah berbuat dalam satu keadaan yang membuat Prambanan memiliki wajah seperti
wajahnya kini. Tercoreng-moreng dan berbelang-bonteng. Kewajiban mereka adalah
membersihkan coreng-moreng dan belang bonteng itu. Tidak ada waktu untuk
berbantah dan bertengkar mencari sebab kesalahan, sebab dengan demikian mereka
hanya akan membuang-buang waktu dan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan
baru yang akan menyeret mereka ke dalam lembah perpecahan dan kehancuran.
Setiap orang yang berdiri di
tepian Kali Opak itupun seakan-akan telah berjanji di dalam hati masing-masing,
bahwa mereka untuk seterusnya akan memperbaiki kesalahan yang pernah mereka
lakukan. Keadaan yang mereka hadapi pagi itu seakan-akan cermin yang besar yang
dihadapkan ke wajah-wajah mereka, untuk melihat cacat yang bertebaran. Dan
cacat itu harus mereka hilangkan.
Ketika kemudian orang-orang
Prambanan itu kembali ke kademangan mereka dengan penuh penyesalan atas keadaan
Kademangan mereka di saat-saat lampau, sehingga hanyak menyebabkan kemunduran
di segala bidang kehidupan, maka pada saat itu Sutawijaya, Agung Sedayu dan
Swandaru telah menyusup ke dalam hutan ilalang dan perdu. Sejenak kemudian
mereka membelok ke kanan untuk mencari jalan kecil yang menuju ke padesan di
sebelah timur hutan Tambak Baya.
Swandaru yang tidak dapat lagi
menahan hatinya tiba-tiba bertanya, “Kakang, eh, Tuan, kenapa Tuan telah
membuat lelucon itu di Kademangan Prambanan, Kenapa Tuan tidak berbuat sesuatu
atas Argajaya yang sombong?”
Sutawijaya tersenyum.
Jawabnya, “Kalau aku melukai apalagi membunuh Argajaya, maka kesan yang didapat
oleh orang-orang Prambanan akan lain sekali. Mereka menganggap kita orang-orang
biasa saja yang berbuat seperti juga Argajaya berbuat. Tetapi dengan demikian
maka tindakan kita akan berkesan di hati mereka. Mudah-mudahan mereka dapat
mengerti dan menyadari keadaan mereka sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah Argajaya itu tidak
berbahaya bagi Tuan?”
“Mudah-mudahan tidak. Apabila
kelak ia mengetahui siapa aku, Agung Sedayu dan kau, maka ia akan bersikap
lain.”
“Tetapi Tuan,” Agung Sedayu
bertanya pula, “setelah Argajaya itu bertemu dengan Sidanti, maka apakah justru
tidak membakar dendam masing-masing. Apa yang dialami oleh Argajaya dan apa yang
dialami oleh Sidanti pasti akan pengaruh mempengaruhi, masing-masing akan
saling memperkuat dendam di dalam hati mereka, sebab mereka masing-masing
pernah berkelahi dengan tuan dan mengalami kekalahan yang mutlak.”
Sutawijaya terdiam sejenak.
Kini ia tidak tersenyum lagi. Pertanyaan itu memang masuk diakalnya Tetapi ia
menjawab, “Itu adalah akibat dan pertanggungan-jawab. Biarlah, apabila kelak
aku harus berhadapan dengan salah seorang dari mereka atau bahkan
kedua-duanya.”
“Dan guru Sidanrti itu?”
“Biarlah ayah
menyelesaikannya. Kalau mereka mencari kalian, biarlah gurumu menemuinya.”
Agung Sedalu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, di dalam hati mereka berkata,
“Bagaimana kalau kebetulan pada saat-saat seperti ini kami bertemu dengan Ki
Tambak Wedi itu?”
Angan-angan itu pun terputus
oleh sebuah kejutan di belakang mereka. Terdengar seseorang terbatuk-batuk dan
ketika mereka berpaling, mereka melihat dedaunan yang tersibak.
Oleh angan-angan mereka
tentang Ki Tambak Wedi, maka kejutan itu telah melontarkan mereka selangkah
surut dan dengan serta-merta tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang
mereka masing-masing.
Ketika daun itu tersibak
sepenuhnya, dan mereka melihat siapa yang datang itu, maka darah mereka yang
serasa telah membeku terasa kembali mengalir. Bahkan serasa setetes embun
menitik pada hati mereka yang sedang dibakar oleh kegelisahan.
Orang yang datang itu
tersenyum melihat ketiga anak-anak muda itu terkejut. Sambil tersenyum ia
berkata, “Apakah aku mengejutkan kalian?”
Agung Sedayu dan Swandaru Geni
menarik nafas dalam-dalam, tetapi Surtawijaya masih saja memandanginya dengan
penuh pertanyaan meskipun wajahnya tidak lagi menjadi terlampau tegang.
“Ya Guru,” sahut Agung Sedayu,
“kedatangan Guru benar-benar telah mengejutkan kami, justru kami sedang
berbicara tentang Ki Tambak Wedi.“
Orang itu adalah Ki Tanu
Metir. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku sudah berusaha untuk tidak mengejutkan
kalian. Aku sudah lebih dahulu terbatuk-batuk.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tersenyum.
Dalam pada itu Sutawijaya
masih berdiri keheran-heranan. Orang yang datang itu belum begitu dikenalnya.
Serasa ia pernah melihatnya sepintas tetapi di mana? Ataukah memang belum
pernah ditemuinya orang ini? Namun menilik sebutan yang diucapkan oleh Agung
Sedayu maka Sutawijaya pun segera dapat mengenalinya. Orang itu pasti guru
Agung Sedayu dan Swandaru. Karena itu, maka ketika orang tua itu memandangnya
Sutawijaya mengangguk hormat sambil berkata, “Maafkan Kiai, mungkin aku belum
begitu mengenal Kiai sehingga aku tidak segera mengerti dengan siapa aku
berhadapan.”
“Ya, ya. Angger memang belum
mengenal aku dengan baik.”
“Bukankah Kiai guru Agung
Sedayu dan Swandaru?”
“Ya, begitulah.”
Sekali lagi Sutawijaya
menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Kiai Gringsing.”
“Demikianlah orang yang sudi
menyebut aku. Ada pula yang memanggilku Ki Tanu Metir.”
Tiba-tiba suara Swandaru
memotong pembicaraan mereka diseling suara tertawanya, “Kiai, kalau demikian
maka aku tahu sekarang.”
Semua orang berpaling
kepadanya. Tampaklah wajah Sutawijaya menjadi berkerut-merut, “Apa yang kau
ketahui?”
Swandaru yang gemuk itu masih
saja tertawa, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.
“Apa yang kau ketahui?”
bertanya Kiai Gringsing pula.
“Nah, aku tahu sekarang.
Kenapa kita hampir menjadi gila pada waktu kita berada di bekas perkemahan
Tohpati. Api perapian dan lincak bambu itu, pasti Kiai yang membuat dan
memasangnya.”
Kiai Gringsing, Sutawijaya dan
Agung Sedayu pun kemudian tertawa pula.
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“pasti Kiailah yang telah membingungkan kami.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ia masih saja tertawa.
“Kami menjadi ketakutan dan
hampir mengurungkan niat kami” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak. Ternyata kalian tidak menjadi takut, tetapi kalian
menjadi marah dan mengamuk.”
Ketiga anak-anak muda itu
masih saja tertawa.
“Kalian agaknya memang tidak
mengenal takut,” berkata Kiai Gringsing pula, “aku melihat apa yang terjadi di
Kademangan Prambanan semalam, dan pagi tadi di pinggir Kali Opak.”
Ketiga anak-anak muda itu
dengan tiba-tiba berhenti tertawa. Mereka menjadi heran, bagaimana mungkin Kiai
Gringsing dapat melihat apa yang terjadi pagi tadi. Tentang semalam,
kemungkinan itu memang cukup banyak, tetapi pagi tadi, hampir setiap wajah di
sekitar arena itu telah dilihatnya. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat
wajah Kiai Gringsing itu.
Agaknya Kiai Gringsing
mengerti gejolak perasaan anak-anak muda itu. Maka katanya, “Aku melihat apa
yang terjadi di pinggir Kali Opak itu dari atas tebing. Aku berdiri di belakang
semak-semak yang tidak terlampau rimbun. Namun karena agaknya kalian baru sibuk
dengan Argajaya, maka kalian tidak melihat aku.”
Ketiga anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi Kiai melihat kami berkelahi?” bertanya
Sutawijaya.
“Menurut penglihatanku yang
berkelahi hanyalah seorang saja, Anakmas Sutawijaya,” sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya tersenyum, “Ya
Kiai. Meskipun kedua murid-murid Kiai itu pun sudah hampir pula berkelahi.”
“Aku kagum melihat sikap dan
kesabaran Anakmas. Ternyata Anakmas berhasil menghindari pertumpahan darah. Aku
tidak mendengar apa yang kalian percakapkan. Tetapi menilik sikap dan tingkah
laku kalian dan orang-orang Prambanan, aku tahu bahwa Anakmas berhasil mencegah
perkelahian itu dengan huruf-huruf yang tertera pada landean tombak Anakmas.
Apakah pada landean itu tertulis nama Anakmas yang sebenarnya?”
“Ah,” desah Sutawijaya,
“begitulah, Kiai.”
“Jarang-jarang anak muda yang
dapat mengendalikan perasaannya seperti Anakmas. Aku melihat bagaimana Swandaru
dan Agung Sedayu menarik tali busurnya. Aku menjadi berdebar-debar karenanya.”
“Ah, aku hanya menakut-nakuti
mereka saja Guru” sahut Swandaru sambil tersenyum.
“Bagus” jawab Kiai Gringsing.
“Kalau demikian kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Tetapi ternyata kalian
kurang menyadari bahaya yang akan dapat timbul karenanya. Apakah kalian kini
masih juga akan pergi ke Alas Mentaok?”
Sejenak anak-anak muda itu
saling berpandangan. Pertanyaan itu terdengar aneh di telinganya. Namun yang
menjawab kemudian adalah Sutawijaya, “Ya, Kiai. Kami akan terus ke hutan
Mentaok.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Anakmas. Apakah tidak sebaiknya Anakmas kembali
saja ke Sangkal Putung?”
“Kenapa?” bertanya Sutawijaya.
“Jalan ke Mentaok terlampau
sulit, Ngger” jawab Kiai Gringsing.
“Tidak apa Kiai. Kami telah
mendengar pula sebelumnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk pula. Tetapi wajahnya sama sekali tidak sejalan dengan
anggukkan kepalanya. Katanya, “Anakmas. Mungkin Anakmas sudah bersedia untuk
menempuh jalan yang bagaimanapun sulitnya. Mungkin Anakmas sudah bertekad akan
mengatasi segala macam bahaya yang akan Angger jumpai di perjalanan. Tetapi
bahaya sebenarnya bagi kalian bertiga tidak terletak di perjalanan Angger
bertiga.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Ia kurang dapat mengerti kata-kata Kiai Gringsing itu, sehingga
sejenak ia tidak menyahut. Karena Sutawijaya tidak segera menyahut, maka Kiai
Gringsing itu pun meneruskannya, “Mungkin di perjalanan ke Mentaok itu Angger
tidak akan menjumpai kesulitan apa-apa. Mungkin satu dua Angger bertemu dengan
penyamun atau perampok, tetapi mereka sama sekali tidak berarti bagi kalian
bertiga. Tetapi dengan peristiwa yang telah terjadi di Prambanan itu, maka
bahaya yang sebenarnya akan dapat terjadi di Sangkal Putung.”
Ketiga anak-anak muda itu pun
saling berpandangan. Keterangan Kiai Gringsing itu masih belum begitu jelas
bagi mereka, sehingga Sutawijayapun bertanya, “Kenapa Kiai, kenapa Sangkal
Putung terancam bahaya?”
“Angger,” jawab Kiai
Gringsing, “Argajaya yang telah Angger kalahkan di hadapan orang-orang
Prambanan itu sudah tentu mendendam di hatinya. Bukankah Argajaya itu seorang
utusan dari Kepala Tanah Perdikan yang bernama Argapati, dan Argapati itu ayah
Sidanti? Nah. Argajaya pasti akan bertemu dengan Sidanti. Mereka berdua
menyimpan dendam di dalam hati masing-masing kepada Angger dan juga kepada
Agung Sedayu dan Swandaru. Nah, apakah kira-kira yang akan terjadi apabila
mereka masing-masing bertemu dan berbicara tentang tiga orang anak muda Sangkal
Putung seperti kalian?”
Sutawijaya pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru pun mulai mengerti,
apakah yang dimaksud oleh gurunya.
“Kiai,” berkata Sutawijaya,
“meskipun mereka kemudian bertemu apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan?”
“Banyak sekali, Ngger” sahut
Kiai Gringsing. “Salah satu kemungkinan yang dapat mereka lakukan adalah
berusaha mencegat Angger bertiga, kelak jika Angger kembali dari Mentaok.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu dan Swandaru sejenak saling
berpandangan. Kata-kata Kiai Gringsing itu masuk ke dalam akal mereka. Jarak
antara Prambanan dan padukuhan Ki Tambak Wedi tidak melampaui jarak Prambanan
dan alas Mentaok. Meskipun jaraknya terpaut, tetapi jalan ke alas Mentaok pasti
akan lebih sulit. Apalagi apabila satu dua kali mereka akan bertemu dengan
beberapa orang penyamun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing.
Tetapi yang menjawab kemudian
adalah Sutawijaya, “Benar Kiai, hal itu memang dapat terjadi. Tetapi apabila
kami telah memperhitungkannya, maka kami akan mencari jalan lain kelak. Kami
akan menempuh jalan yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang, Angger akan dapat mencari
jalan lain yang mungkin tidak diduga-duga oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi jangan
dikira, bahwa kemungkinan mencari jalan lain itu tidak diperhitungkan pula oleh
Ki Tambak Wedi. Mungkin Ki Tambak Wedi tidak mencegat Angger di Prambanan, di
hutan Tambak Baya atau di pedukuhan-pedukuhan lain seperti Cupu Watu atau Candi
Sari, tetapi tanpa Angger duga-duga, Ki Tambak Wedi itu justru berada di muka
hidung para peronda di Sangkal Putung, di sisi regol masuk ke dalam Kademangan
itu.”
Sekali lagi Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling ke arah kedua kawannya,
maka dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Memang,” katanya dalam hati,
“kemungkinan itu dapat terjadi. Tetapi aku sudah menempuh separo jalan. Sayang
sekali apabila aku terpaksa kembali sebelum aku melihat tanah Mentaok. Tanah
yang kelak akan diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang sebagai hadiah.”
Karena itu, maka Sutawijaya
itu pun terdiam sejenak diamuk oleh kebimbangan. Ia dapat mengerti kata-kata
Kiai Gringsing dan menyadari bahaya yang sedang mengancam. Tetapi ia tidak
dapat melepaskan keinginannya untuk melihat hutan Mentaok.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Agung Sedayu dan Swandarupun menjadi berbimbang hati pula. Tetapi
kepentingan mereka tentang tanah Mentaok tidak setajam Sutawijaya. Karena itu,
maka merekapun tidak sedemikian bernafsu untuk meneruskan perjalanan. Meskipun
demikian, karena mereka telah berjanji sejak mereka berangkat untuk pergi
bersama, maka Agung Sedayu dan Swandaru menunggu, apa yang akan dikatakan oleh
Sutawijaya.
Kiai Gringsing melihat
kebimbangan di dalam hati putera Panglima Wira Tamtama itu. Namun demikian,
dibiarkannya anak muda itu membuat pertimbangan sendiri.
“Kiai,” berkata Sutawijaya itu
kemudian, “aku sudah menempuh jarak ini. Bagaimanakah kalau aku meneruskan
beberapa langkah lagi Kiai? Aku hanya ingin melihat sejenak, bagaimanakah
ujudnya alas Mentaok itu. Tidak terlampau lama. Sekejap saja.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Begitu besar keinginan Sutawijaya untuk melihat tanah yang kelak
akan dimilikinya.
Dengan demikian maka Kiai
Gringsingpun menjadi ragu-ragu pula. Ia tidak sampai hati untuk mengecewakan
putera Panglima Wira Tamtama itu. Tetapi ia tidak pula dapat membiarkan mereka
mengalami bencana.
Namun yang dicemaskan oleh
Kiai Gringsing bukan saja Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi juga Sangkal
Putung. Kalau Panglima Wira Tamtama hari ini atau besok kembali ke Pajang
dengan membawa orang-orang Jipang, maka sebagian dari prajurit Pajang di
Sangkal Putung pasti meninggalkan Kademangan itu untuk mengawal orang-orang
Jipang ke Pajang. Ki Tambak Wedi yang licik, apabila dapat memperhitungkan
dengan tepat keberangkatan Ki Gede Pemanahan, maka Sangkal Putung benar-benar
berada dalam bahaya. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, maka Sangkal Putung hanya
ditunggui oleh para prajurit di bawah Untara dan Widura. Tidak ada orang-orang
lain yang akan dapat membantunya seandainya Ki Tambak Wedi benar-benar
menyergap Kademangan itu. Sedangkan di dalam barisan Ki Tambak Wedi akan muncul
orang-orang yang tangguh seperti Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan
sudah tentu Argajaya yang menyimpan dendam pula di hatinya. Dalam keadaan
demikian maka tenaga Agung Sedayu dan Swandaru pasti akan sangat berarti.
Dengan demikian maka yang
dapat terjadi adalah beberapa kemungkinan. Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti
berusaha mencegat Sutawijaya, atau mereka mengerahkan laskarnya untuk
menghantam Sangkal Putung. Kemungkinan yang lain, tetapi tidak terlampau
mencemaskan adalah bahwa Ki Tambak Wedi nanti akan mencegat Ki Gede Pemanahan.
Apabila demikian, maka kehadiran Sutawijaya pun pasti diperlukan.
Satu demi satu
kemungkinan-kemungkinan itu pun diberitahukannya kepada Sutawijaya dan kedua
kawan-kawannya. Ternyata merekapun dapat mengerti arti dari bahaya itu.
Meskipun demikian Sutawijaya masih juga berkata, “Baik Kiai, aku akan segera
kembali. Aku harap ayah menungguku di Sangkal Putung. Aku hanya memerlukan
waktu sedikit untuk mencapai alas Mentaok. Bukankah sebentar lagi kami akan
memasuki alas Tambak Baya?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Waktu yang Anakmas perlukan paling
sedikit adalah dua hari dua malam. Sedang Argajaya malam nanti pasti sudah akan
sampai ke Padepokan Ki Tambak Wedi. Ceritanya pasti akan membakar kemarahan
mereka sehingga seandainya mereka tidak bernafsu untuk berbuat sesuatu, atau
rencana mereka masih berjarak beberapa waktu, maka mereka akan segera
menentukan sikap. Mereka pasti segera akan mempercepat setiap rencana.”
“Aku akan berjalan siang dan
malam, Kiai.”
“Tetapi dua malam itu tak akan
dapat Angger percepat.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Belum lagi kalau Angger
bertemu dengan beberapa orang penyamun. Meskipun penyamun-penyamun di hutan
Tambak Baya itu tidak berbahaya bagi Anakmas, namun setidak-tidaknya mereka
akan menghambat rencana Anakmas. Kalau Anakmas bertemu dengan gerombolan Daruka,
maka Angger akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menundukkannya. Bukan
karena Daruka itu seorang yang sakti tiada taranya, tetapi karena gerombolannya
terdiri dari orang-orang yang berpengalaman dan cukup banyak jumlahnya.”
Sutawijaya tidak menjawab.
Tetapi kedip matanya menunjukkan kekecewaan hatinya. Ia pernah juga mendengar
dari beberapa orang prajurit, nama Daruka. Tetapi semula ia sama sekali tidak
memperhatikannya. Ternyata menurut Kiai Gringsing, Daruka itu akan dapat
memperlambat perjalanannya.
Namun demikian Kiai Gringsing
tidak sampai hati untuk mengecewakannya. Anak itu merasa bahwa Alas Mentaok
sudah berada di hadapan hidungnya. Karena itu maka katanya, “Baiklah Anakmas.
Aku menjadi iba melihat mata Angger berkedip seperti anak-anak yang kecewa
karena ibunya tidak membawa oleh-oleh dari pasar. Nah, kalau demikian, maka
pergilah terus. Tetapi cepat. Secepat-cepatnya. Seperti yang Angger katakan,
berjalan siang dan malam.”
Swandarulah yang kemudian
mengerutkan alisnya. Desisnya, “Siang dan malam? Hem, kalian tidak perlu
membawa tubuh sebesar tubuhku. Kalau ada salah seorang dari kalian bersedia
membantu membawa perutku, aku tidak berkeberatan berjalan siang dan malam.
Bahkan tanpa berhenti sekalipun.”
Mau tidak mau, yang mendengar
kata-katanya itu terpaksa tersenyum. Yang menjawab adalah Agung Sedayu,”Kau
akan menjadi langsing adi Swandaru. Kalau kau banyak berjalan, maka gembung
perutmu akan berkurang.”
“Sebuah latihan yang baik”
berkata Ki Tanu Metir. “Nah, manfaatkan kesempatan ini apabila kalian
benar-benar tidak ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Mungkin kalian akan
mempergunakan waktu lebih dari dua hari dua malam. Tetapi supaya kalian tidak
memilih jalan yang salah, yang akan dapat memperpanjang waktu, atau kalian
sengaja mencari jalan lain karena kenakalan kalian, maka biarlah aku pergi
bersama kalian.”
“He,” wajah Sutawijaya dan
kedua kawannya tiba-tiba menjadi cerah, “Kiai akan pergi bersama kami?”
“Hanya supaya kalian cepat
kembali ke Sangkal Putung.”
“Kita tidak cemas lagi dicegat
oleh Ki Tambak Wedi, sehingga kita tidak perlu mencari jalan lain” berkata
Swandaru.
“Akibatnya kita segera sampai
ke Sangkal Putung” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau begitu kita dapat
berbicara sambil berjalan,” gumam Agung Sedayu.
“Tak ada lagi yang
dibicarakan,” berkata Kiai Gringsing, “ternyata kalian tidak mau kembali ke
Sangkal Putung. Nah, marilah kita berangkat, supaya kita tidak terlampau lama
di perjalanan.”
Maka segera merekapun
melangkahkan kaki-kaki mereka kembali. Kali ini mereka membawa seorang penunjuk
jalan yang dapat diandalkan, Kiai Gringsing.
Dengan demikian maka
perjalanan itu menjadi lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing telah cukup mengenal
daerah yang akan mereka jalani.
Sebelum mereka memasuki hutan
Tambak Baya, maka perjalanan mereka sama sekali tidak menemui kesulitan. Candi
Sari, kemudian Cupu Watu dan ketika mereka melangkah ke barat lebih jauh lagi,
maka terbentang di hadapan mereka sebuah hutan yang lebat. Tambak Baya.
Meskipun hutan ini tidak
segarang Mentaok, tetapi Tambak Baya cukup menyeramkan. Pepohonan yang pepat
seakan-akan berserakan di setiap jengkal tanah. Pohon-pohon perdu yang rimbun
dan pepohonan yang merambat, bahkan yang berduri sekali.
Sejenak mereka berhenti di
pinggir hutan itu. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, maka matahari
telah tampak condong di arah barat. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar
menyoroti langit yang terbentang. Sehelai-sehelai mega yang putih mengalir
beriringan.
Dibelakang mereka terbentang
padang rumput yang diseling oleh tanaman-tanaman perdu. Di ujung padang itu
terdapat pategalan dan kemudian tanah persawahan yang cukup subur.
Tetapi mereka sama sekali
tidak melihat seorangpun berada di tempat itu. Lengang dan terasa kesunyian
mencekam dada mereka. Sehingga tanpa sesadarnya Swandaru berdesis,”Alangkah
lengangnya. Apakah tak pernah ada orang yang menggarap pategalan itu?”
“Tentu ada,” sahut Ki Tanu
Metir, “bagaimana mungkin tanaman-tanaman itu tumbuh teratur?”
“Tetapi tak seorangpun nampak”
berkata Swandaru pula.
“Mereka mengerjakan sawah dan
ladang mereka di pagi hari. Mereka memerlukan kawan untuk pergi ke sawah dan
ladang mereka. Di sini ada semacam warung sepekan sekali atau dua kali. Bukan
saja tempat orang-orang menukarkan barang-barang keperluan sehari-hari, tetapi
kadang-kadang ada pula orang-orang yang akan menyeberangi hutan ini memerlukan
bekal di perjalanan. Bahkan di sini kadang-kadang ada beberapa orang pengantar
yang menemani dan melindungi orang-orang yang ingin pergi ke daerah-daerah di
seberang hutan ini. Mungkin ke Nglipura, mungkin ke Mangir.”
Anak-anak muda yang
mendengarkan kata-kata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang bertanya adalah
Agung Sedayu, “Tetapi kenapa kali ini mereka tidak ada di tempat ini Kiai.
Bagaimana seandainya saat ini ada orang yang akan menyeberangi hutan. Apakah
tidak ada orang yang bersedia mengantarkannya?”
“Ada saat-saat tertentu bagi
mereka yang akan menyeberangi hutan ini. Para pengantar hanya bersedia di
hari-hari yang sudah mereka tentukan. Misalnya di hari Manis dan Pahing. Selain
hari-hari itu mereka tidak berada di tempat ini. Mungkin mereka sedang di dalam
perjalanan kembali setelah mengantarkan beberapa orang bersama-sama, tetapi
mungkin pula mereka sedang beristirahat.”
“Bagaimana kalau ada keperluan
yang tidak mungkin tertunda?” bertanya Swandaru.
“Tergantung kepada orang itu
sendiri. Apakah mereka berani menanggung setiap kemungkinan bertemu dengan
gerombolan penyamun di dalam hutan ini. Kalau mereka itu merasa diri mereka
cukup kuat, maka merekapun akan menyeberang tanpa pengawalan dan perlindungan
orang lain.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya pula, “Dengan demikian maka para pengawal itu pasti
orang-orang yang cukup kuat untuk menghadapi setiap kejahatan yang dapat
terjadi di hutan ini Kiai.”
“Demikianlah. Tetapi
kadang-kadang para penjahat itu saling bantu-membantu. Kadang-kadang mereka
bekerja bersama untuk suatu kepentingan. Tetapi kadang-kadang mereka saling
bertempur di antara mereka berebut korban.”
Sutawijaya mendengarkan cerita
itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Seperti
kehidupan binatang-binatang yang menghuni hutan ini. Begitukah kira-kira Kiai?”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Kemudian agak ragu ia menjawab, “Ya. Begitulah kira-kira. Apabila
mereka sedang mempunyai kepentingan yang sama, maka kadang-kadang kekuatan
mereka benar-benar tak terlawan oleh para pengawal. Dalam keadaan yang
demikian, maka kadang-kadang iring-iringan itu benar-benar menjadi korban para
penyamun. Namun hal itu jarang terjadi. Kalau para pengawal tidak lagi mampu
bertahan, maka orang-orang itu sendiri pasti akan ikut bertempur. Tetapi sekali
dua kali, kemalangan memang dapat terjadi atas para pengawal dan orang-orang
yang dikawalnya.”
Ketiga anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ketika sekali lagi mereka menebarkan
pandangan mata mereka di sekitar tempat itu, maka pinggiran hutan itu
benar-benar sepi dan lengang.
“Apakah kita akan menyeberang
sekarang?” terdengar Sutawijaya bertanya.
“Terserah kepada Anakmas,”
sahut Kiai Gringsing, “tetapi apabila kita benar-benar ingin berjalan siang dan
malam, maka sebaiknya kita berjalan terus. Kita tidak perlu mencemaskan para
penyamun, sebab kita tidak membawa barang-barang yang berharga kecuali
leher-leher kita sendiri.”
Sutawijaya tersenyum, tetapi
Swandaru mengerutkan dahinya.
“Apakah kalian tidak merasa
lelah?”
Swandaru menjadi kecewa ketika
Agung Sedayu menjawab, “Tidak. Aku tidak merasa lelah.”
“Ah” Swandaru bertolak
pinggang sambil mendesah. Kemudian anak yang gemuk itu menggeliat, katanya,
“Hem, baiklah. Akupun tidak lelah.”
Agung Sedayu, Sutawijaya dan
Kiai Gringsing tersenyum.
“Salahmu” berkata Agung
Sedayu.
“Kenapa?” sahut Swandaru.
“Kau terlampau banyak makan.”
Swandaru memberengutkan
wajahnya. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar Kiai Gringsing berkata,”Marilah
kita berjalan terus. Mungkin kita terpaksa berhenti nanti sebelum kita
terlampau dalam masuk ke hutan ini.”
Sejenak Sutawijaya, Agung
Sedayu dan Swandaru saling berpandangan. Matahari telah menjadi semakin rendah.
Apabila mereka memasuki hutan itu, maka segera mereka akan terhalang oleh
gelap. Namun mereka sudah terlanjur berkata, bahwa mereka akan berjalan siang
dan malam. Sehingga karena itu maka Sutawijaya menjawab,”Marilah Kiai. Kalau
Kiai menghendaki kami berjalan terus.”
“Ya. Kita harus berjalan
terus. Kalau tidak maka kita akan kehilangan waktu. Kira harus memperhitungkan
keadaan Sangkal Putung pula. Bukan sekedar melihat keadaan diri kita sendiri.”
“Baiklah Kiai” sahut
Sutawijaya kemudian.
“Bagus,” gumam Kiai Gringsing,
“kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”
Maka merekapun segera
melangkah mendekati bibir hutan yang lebat. Sejenak mereka menjadi
termangu-mangu, tetapi mereka melangkah terus.
Tiba-tiba langkah mereka
tertegun ketika mereka melihat rimbunnya daun bergerak-gerak di hadapan mereka.
Dan merekapun terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat beberapa orang muncul
dari balik dedaunan.
Tetapi dalam pada itu cepat
Kiai Gringsing berbisik, “Mereka adalah orang-orang yang sering mengawal para
pedagang dan orang-orang lain yang berkepentingan menyeberangi hutan ini.”
Sutawijaya dan kedua
kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Orang-orang yang baru muncul
itu adalah orang-orang yang rata-rata bertubuh tegap kekar. Di lambung mereka
tersangkut pedang dan beberapa di antaranya membawa pula pisau atau kapak.
Kiai Gringsing masih juga
berbisik, “Senjata-senjata itu kecuali berguna untuk bertempur, juga berguna
untuk merambas jalan yang pepat karena daun-daun perdu dan akar-akar yang
merambat dan menutup jalan.”
Kembali ketiga anak-anak muda
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Sementara itu Kiai Gringsing
masih berkata, “Mereka masuk hutan tiga hari yang lampau. Mungkin di hari
Aditya Manis.”
“Sekarang hari apa?” bertanya
Swandaru.
“Hanggara Jene.”
“He, Bintang Kuning.”
“Ya, Selasa Pon.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara itu orang-orang yang muncul dari dalam hutan itu telah
berdiri beberapa langkah di hadapan mereka. Namun ketika wajah-wajah mereka
menjadi semakin jelas, nampaklah bahwa beberapa orang di antara mereka terluka.
Titik-titik darah yang kering masih jelas pada pakaian mereka.
Seorang yang berkumis lebat
dan tidak berbaju melangkah mendekati mereka. Dengan nada yang berat ia
bertanya, “Apakah Ki Sanak anak menyeberangi hutan?”
Yang menjawab adalah Kiai
Gringsing, “Ya Ki Sanak. Kami akan menyeberangi hutan.”
“Kemanakah kalian akan pergi?”
“Mentaok.”
“Mentaok? Ke Alas Mentaok?
Apakah keperluan kalian ke Mentaok?”
Kiai Gringsing berpaling ke
arah Sutawijaya. Tetapi orang tua itu menjawab, “Kami akan pergi ke Nglipura,
Ki Sanak. Ada keluargaku di sana.”
Orang yang berkumis lebat,
yang agaknya pemimpin dari para pengawal itu berkata, “Kalian hanya berempat?”
“Ya.”
“Menilik persiapan dan senjata
kalian, maka kalian merasa bahwa kalian cukup kuat untuk menyeberangi hutan ini
tanpa pengawalan. Ternyata pula kalian memilih hari ini, bukan hari-hari yang
telah kami tentukan. Kami tidak berkeberatan kalian menyeberang sendiri, tetapi
kami wajib memperingatkan kalian. Kali ini gerombolan Daruka berada di hutan
ini. Kami terpaksa berkelahi. Untunglah bukan seluruh kekuatan yang kita
hadapi, sehingga kami sempat melepaskan diri bersama orang-orang yang kami
antar. Tetapi di perjalanan kembali, kami terpaksa mencari jalan lain. Kami
takut kalau gerombolan itu memperkuat diri, apalagi Daruka sendiri, akan
menghadang kami pula.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan kalian
menemukan jalan yang aman. Jangan kau telusuri jalan yang biasa kami lalui.
Mungkin untuk sebulan kami tidak akan membawa orang menyeberang, kecuali kami
mendapat tambahan kawan yang dapat kami percaya.”
Kiai Gringsing masih
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan mencari
jalan lain. Mudah-mudahan kami selamat.”
“Apakah keperluan kalian tidak
dapat ditunda seminggu dua minggu?”
“Kepentingan kami sangat
mendesak.”
“Hati-hatilah” pesan pemimpin
pengawal itu.
“Terima kasih.”
Para pengawal itu pun kemudian
meninggalkan mereka. Tampak jelas bahwa mereka baru saja menempuh perjalanan
yang berat, dan jelas pula luka-luka silang-menyilang di tubuh mereka. Ada yang
dalam, tetapi ada pula yang dangkal. Bahkan ada salah seorang dari mereka yang
terluka agak parah di lengannya yang telah dibalut dengan sepotong kain.
Ketika orang-orang itu telah
menjadi semakin jauh, berkata Kiai Gringsing, “Itulah isi hutan Tambak Baya.
Juga hutan Mentaok mempunyai penghuni-penghuninya sendiri. Nah, apakah kita
ingin melihat pula?”
Wajah Sutawijaya tiba-tiba
menjadi tegang. Sambil menggeram ia berkata, “Itukah isi dari tanah yang akan
diterima oleh ayah dari Ramanda Adipati Pajang? Beruntunglah paman Penjawi
mendapat tanah Pati yang sudah jauh lebih baik dari tanah Mentaok. Kami masih
harus membuka hutan yang lebat, dan mengusir penghuni-penghuninya yang banyak
itu. Untunglah bahwa aku sempat menyaksikannya kini.”
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya terdiam. Mereka merasakan pula, betapa anak muda putera Panglima Wira
Tamtama itu menjadi kecewa. Tanah Mentaok seakan-akan telah dimilikinya, sehingga
sudah tentu Sutawijaya sama sekali tidak senang melihat penghuni-penghuni yang
sama sekali tidak terhormat itu.
Dengan kesal anak muda itu
kemudian menggeram, “Kiai, aku mempunyai tanggung jawab atas tanah itu meskipun
belum secara resmi diserahkan kepada ayah. Aku harus mengusir setiap orang yang
mengotori hutan Mentaok.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Berapa bulan Angger
memerlukan waktu untuk itu?”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya, “Ya,” desisnya, “aku memerlukan waktu untuk melakukannya.”
“Jangan kau lakukan kini.
Apabila datang saatnya, bersama-sama dengan beberapa orang kawan, Angger pasti
dapat mengusirnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, marilah kita lihat,”
berkata Kiai Gringsing kemudian, “mungkin kita dapat bertemu sebuah contoh dari
isi hutan itu.”
“Marilah” sahut Sutawijaya.
“Mudah-mudahan kita dapat
bertemu” Swandaru pun bergumam pula.
Kiai Gringsing tersenyum. Ia
tahu, bahwa Swandaru hanya ingin berbuat sesuatu.
Demikianlah mereka berjalan
kembali. Kini mereka sudah memasuki hutan Tambak Baya. Namun demikian mereka
masuk, maka cahaya matahari telah menjadi semakin pudar. Meskipun demikian
mereka berjalan terus. Namun akhirnya malam yang semakin kelampun turunlah. Pohon-pohon
raksasa yang bertebaran itu pun menjadi semakin kabur.
“Malam terlampau gelap di
hutan ini” desis Swandaru.
“Ya, lebih gelap dari hutan
tempat orang-orang Jipang membuat perkemahan” sahut Agung Sedayu.
“Tentu,” berkata Kiai
Gringsing, “hutan ini jauh lebih lebar. Isinya pun jauh lebih garang. Apalagi
hutan Mentaok. Selain yang dikatakan oleh para pengawal, maka isi hutan ini
adalah binatang buas.”
Ketiga anak-anak muda itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak takut terhadap binatang
buas maupun orang-orang jahat seperti yang dikatakan oleh para pengawal. Tetapi
berjalan di dalam kelam serasa berjalan di daerah yang sama sekali tidak
dikenalnya. Mereka seolah-olah hampir tak melihat apapun selain hitam pekat.
Bahkan kawan-kawan seperjalanan mereka sendiripun hampir tidak dapat
dilihatnya.
Tetapi telinga mereka adalah
telinga yang cukup baik. Mereka dapat mengenal tempat-tempat kawan seperjalanan
hanya karena pendengaran mereka.
Namun meskipun demikian,
akhirnya Swandaru berkata, “Nafasku terasa sesak.”
Kiai Gringsing tertawa.
“Kenapa?” ia bertanya.
“Gelapnya bukan main.”
“Ya, gelapnya bukan main”
sahut Sutawijaya.
“Jadi bagaimana?” bertanya
Kiai Gringsing.
Tak seorang pun yang menjawab.
“Apakah kita akan berhenti dan
tidak berjalan siang dan malam?”
Masih tidak terjawab.
“Baiklah. Kita berhenti,”
berkata orang tua itu, “tetapi kita harus mendapatkan tempat yang baik. Kita
akan membuat perapian.”
“Bagaimana kita mendapat kayu
bakar?” bertanya Swandaru.
“Di bawah kaki kita adalah
setumpuk daun-daun kering. Kalau kita sudah menyalakannya, maka kita akan
melihat, apakah kita akan dapat mencari kayu atau ranting-ranting perdu.”
Akhirnya merekapun
mengumpulkan daun-daun kering di bawah kaki mereka. Dengan batu titikan mereka
membuat api, dan dengan agak susah, merekapun berhasil menyalakan dedaunan yang
sudah cukup kering.
Ketika api sudah menyala, maka
segera mereka melihat ranting-ranting perdu yang dapat mereka tebas dan mereka
lemparkan ke atas api.
Malam itu mereka beristirahat
di sekitar perapian. Tak ada yang menarik. Meskipun Swandaru mengharap,
mudah-mudahan orang-orang jahat itu mendekati mereka, tetapi tempat itu masih
belum cukup dalam, sehingga semalam itu mereka benar-benar dapat beristirahat,
meskipun bergantian mereka tetap bangun.
Pagi-pagi mereka sudah
meneruskan perjalanan. Meskipun demikian, Swandaru masih juga berkata, “Aku
sudah mulai lapar. Apakah di hutan ini tidak ada makanan?”
“Kau akan mendapatkannya,”
berkata Kiai Gringsing, “kau akan dapat mencari makan buat menambah besar
perutmu.”
Ternyata yang dikatakan Kiai
Gringsing itu pun benar pula.
Dengan panah-panah mereka,
mereka berhasil pula mendapat makan pagi mereka.
Perjalanan mereka hari ini
ternyata agak lebih berat dari hari-hari yang telah mereka lalui. Untunglah
bahwa Kiai Gringsing berjalan beserta mereka, sehingga mereka tidak takut lagi
akan tersesat. Meskipun demikian ketiga anak-anak muda itu kadang-kadang masih
juga membuat tanda-tanda pengenal pada pepohonan yang besar, supaya apabila
terpaksa mereka harus mencari jalan keluar, mereka tidak akan menemui
kesukaran.
Gairah perjalanan hari itu
didorong oleh perasaan kecewa pada Sutawijaya, karena tanah yang akan
diterimanya itu ternyata telah dikotori oleh orang-orang jahat. Sedang Swandaru
segera ingin bertemu dengan orang-orang jahat itu. Agung Sedayu tidak terlampau
banyak dipengaruhi oleh gerombolan-gerombolan itu. Meskipun demikian,
pengalaman-pengalaman itu pasti akan berguna baginya. Sehingga karena itu
perjalanan inipun sangat menarik hati. Ia akan mengenal tempat-tempat yang
hampir belum pernah dijamahnya. Hutan yang lebat pepat, binatang-binatang yang
buas dan alam yang keras. Agung Sedayu baru mengenalnya lewat cerita-cerita
yang pernah didengarnya dari kakaknya, Untara, di masa kanak-kanaknya.
Ternyata Kiai Gringsing adalah
seorang penunjuk jalan yang terlampau baik. Tanpa kesulitan yang berarti,
mereka berjalan menembus hutan. Tetapi hutan itu sendiri telah merupakan
penghalang yang banyak memperlambat dan menelan waktu. Oyot-oyot bebondotan dan
tumbuh-tumbuhan merambat lainnya. Batang-batang kayu yang roboh yang
malang-melintang dan semak-semak yang pepat padat.
Dalam pada itu terdengar
Swandaru bertanya, “Apakah jalan ini pula yang sering dilalui oleh orang-orang
yang menyeberangi hutan ini diantar oleh para pengawal?”
“Ya” jawab Kiai Gringsing.
“Apakah tidak ada jalan lain
yang lebih baik?”
“Jalan inilah yang paling
tipis ditumbuhi oleh berbagai macam tetumbuhan. Telah beberapa kali aku
menyeberangi hutan ini, sekali-sekali bersama-sama dengan para pengawal.”
Swandaru tidak bertanya lagi.
Tetapi ia dapat membayangkan bahwa di tempat-tempat lain tetumbuhan pasti jauh
lebih lebat dari tempat ini, tempat yang paling banyak dilalui orang.
Ketika mereka masuk semakin
dalam ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, maka berbisiklah Kiai Gringsing,
“Kita hampir sampai.”
“Sampai di mana?” bertanya
Agung Sedayu, “Apakah kita sudah sampai di Alas Mentaok?”
“Bukan alas Mentaok” sahut
Kiai Gringsing. “Kita hampir sampai di tempat-tempat yang sering dipergunakan
oleh para penyamun mencegat korbannya. Di sini ada beberapa gerombolan penyamun
yang satu dengan yang lain saling bersaing. Hanya dalam waktu-waktu yang khusus
sajalah mereka dapat menyatukan diri.”
“Siapakah yang paling kuat di
antara mereka, Kiai?” bertanya Sutawijaya.
“Kekuatan mereka hampir
seimbang. Kadang-kadang mereka menunggu lawan-lawan mereka itu lengah, dan
menyerang mereka dengan tiba-tiba. Tetapi meskipun demikian, Darukalah yang
paling disegani.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi anak muda itu tidak menjawab.
Belum lagi mereka maju
terlampau jauh, maka mereka sampai di tempat yang agak lapang. Tidak terlampau
banyak pohon-pohon perdu yang tumbuh dan akar-akar yang menyilang-lintang
jalan. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah penuh menyimpan pengalaman itu pun
berkata,”Tempat ini adalah tempat yang paling baik untuk beristirahat, tetapi
juga tempat yang paling berbahaya.”
“Kenapa?” bertanya Swandaru
meskipun ia telah menduga apa yang dimaksud oleh gurunya.
“Banyak orang mempergunakan
tempat ini untuk beristirahat. Tetapi tiba-tiba saja mereka disergap, sehingga
akhirnya para pengawal selalu menjauhi tempat ini, dan membawa orang-orang yang
dikawalnya beristirahat di tempat lain. Tetapi hampir tak ada gunanya. Hampir
setiap kali para pengawal harus berkelahi. Tetapi apabila pengawalan cukup
kuat, maka para penyamunlah yang membiarkannya lewat. Meskipun demikian,
kadang-kadang para pengawal itu menyediakan semacam pajak bagi mereka.
Ditinggalkannya beberapa macam barang, dan dengan demikian mereka tidak di
ganggu.”
Ketiga anak-anak muda yang
mendengarkannya itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi mereka tidak
menjawab. Bahkan tiba-tiba saja mereka mempertajam pendengaran mereka,
seakan-akan mereka mendengar desir di dedaunan yang kering.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun sejenak kemudian wajahnya telah menjadi tenang kembali. Bahkan
ia masih berkata terus, “Para penyamun itu datang tanpa disangka-sangka.
Tiba-tiba saja mereka telah mengepung korban-korbannya.”
Sutawijayalah yang kemudian
bertanya, “Bagaimanakah kalau mereka yang tidak membawa sesuatu lewat hutan ini
Kiai?”
“Biasanya mereka adalah para
pedagang yang akan pergi ke Nglipura atau Mangir atau bahkan ada yang pergi ke
Menoreh.”
“Jika demikian, apakah
Argajaya itu lewat daerah ini pula?”
“Adalah suatu kemungkinan.
Tetapi Argajaya pasti tidak akan memerlukan pengawalan.”
Mereka terdiam sejenak. Dalam
kediaman itu mereka mendengar desir yang lembut, namun semakin jelas. Sejenak
mereka saling berpandangan. Dengan isyarat, mereka segera mengerti, bahwa
mereka kini telah terkepung. Tetapi dengan demikian justru Swandaru tampak
bergembira.
Sejenak kemudian berkatalah
Kiai Gringsing itu pula, “Tetapi para penyamun itu pasti akan dapat membedakan.
Mereka yang lewat dengan barang-barang dagangan, dan mereka yang lewat dengan
senjata di lambung.”
Tiba-tiba terdengar suara dari
balik pepohonan, “Ya, kami dapat membedakan. Mereka yang lewat dengan senjata
di lambung atau mereka yang pantas mendapat penghormatan karena memberi kami
sekedar oleh-oleh.”
Sebenarnya mereka sama sekali
tidak terkejut mendengar suara itu, tetapi Kiai Gringsing yang tua itu
terlonjak kecil sambil berputar menghadap suara itu. “He, siapakah kalian?”
“Kau agaknya mengenal tempat
ini terlampau baik kakek tua?” terdengar suara itu menyahut.
“Ya, aku sudah sering melewati
tempati ini. Siapakah kau?”
“Aku sedang menunggu para
pengawal yang telah melukai bebepapa orang-orangku. Aku ingin bertemu dengan
mereka. Tetapi mereka tidak kunjung datang?”
“Tiga hari yang lalu?”
“Dua hari yang lalu.”
“Ya, dua hari yang lalu. Aku
telah bertemu dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka bertempur dengan
orang-orangmu. Ternyata mereka mencari jalan lain, sebab mereka sudah menyangka
bahwa pemimpin gerombolan yang dikalahkannya itu pasti akan marah.”
“He, mereka sudah melewati
tempat ini?”
“Jalan lain. Mereka sudah
keluar dari hutan ini.”
“Gila!” teriak suara itu. Dan
tiba-tiba meloncatlah sesosok tubuh dari balik sebatang pohon yang cukup besar.
“Kau bilang mereka sudah keluar dari hutan ini?”
Yang meloncat dari balik pohon
itu adalah seorang yang bertubuh tinggi, kekar, berdada bidang dan berkepala
botak. Kumis serta janggutnya yang jarang-jarang tumbuh satu dua disekitar
bibirnya yang tebal. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang panjang.
Dengan kasarnya ia membentak
kembali, “Kau bilang, para pengawal telah keluar dari hutan ini?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. “Ya” sahutnya. “Kemarin sore aku bertemu dengan mereka.”
Terdengar orang itu menggeram.
“Dimanakah rumah-rumah mereka
itu?” bertanya orang itu.
Kiai Gringsing menggeleng
lemah, “Aku tidak tahu.”
“Bohong, kau pasti kawan
mereka.”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Ditatapnya wajah ketiga anak-anak muda yang berjalan bersamanya itu.
Yang kemudian menjawab adalah Agung Sedayu, “Kami sama sekali tidak ada
hubungan apapun dengan mereka.”
“Bohong! He, apakah orang tua
ini ayahmu? Yang mengajarmu untuk berbohong?”
“Kami bertemu di perjalanan”
sambung Sutawijaya.
“Kau pasti mendapat tugas dari
mereka untuk memata-matai kami. Kamu mungkin anak-anak mereka, atau cucu
mereka, atau kemenakan mereka.”
“Atau tetangga mereka. Atau
orang lain sama sekali,” Swandaru yang gemuk itu memotong.
Orang yang botak itu
membelalakkan matanya. Dengan pedangnya ia menuding wajah Swandaru. “Jangan
bergurau. Aku sedang kehilangan buruan. Yang datang kini adalah kalian, maka
kalian akan menjadi sasaran kemarahan kami.”
“Kami bukan pengawal dan kami
bukan pedagang. Kami datang mencari buruan kami pula” berkata Swandaru.
“Siapakah buruan kalian?”
“Apa saja. Kijang, menjangan,
bahkan kancil pun kami mau pula.”
Swandaru terkejut sehingga
kata-katanya terputus ketika orang yang botak itu meloncat dan langsung
menyerang mulut Swandaru dengan tangan kirinya. Ternyata orang itu mampu
bergerak sangat cepat. Beruntunglah bahwa Swandaru tidak terlampau lengah.
Ketika ia melihat orang itu mengerinyitkan dahinya, dan melihat jari tangannya
bergetar, maka Swandaru pun menyadari kemungkinan yang ternyatat benar-benar
terjadi. Dengan lincahnya ia meloncat kesamping menghindari sambaran tangan
orang yang botak itu sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh
tubuhnya.
Orang yang botak itu semakin
membelalakkan matanya. Sama sekali tidak diduganya bahwa anak yang gemuk itu
mampu menghindari serangannya, sehingga dengan demikian maka terdengar orang
itu menggeram semakin keras.
Swandaru yang meloncat
beberapa langkah kesamping, kini berdiri sambil membelai pipinya. Dengan
kerut-merut diwajahnya ia berkata, “Ternyata kau pemarah. Tetapi jangan
menyerang lawan tanpa memberi kesempatan lawan itu bersiaga.”
“Kau menghina aku.”
“Sama sekali tidak. Aku
berkata sebenarnya.”
“Aku tidak peduli, tetapi
kalian telah membuat aku marah. Kini aku mempunyai suatu cara untuk memeras
keterangan kalian tentang para pengawal. Kalau kalian tidak bersedia
memberitahukan kepada kami dimana rumah-rumah mereka, maka kalian akan terpaksa
mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan.”
“Kami tidak bersangkut paut
dengan para pengawal itu, Ki Sanak” Kiai Gringsinglah yang kemudian menjawab.
“Kami adalah pemburu yang hanya mengenal binatang-binatang buruan kami.”
“Omong kosong! Tak pernah ada
pemburu masuk sampai begini dalam. Mereka biasanya selalu berada jauh di
tepi-tepi hutan ini. Kau pasti orang-orang mereka. Meskipun kalian tidak bersedia
membuka mulut sampai tubuh kalian lumat, namun kami pasti akan dapat menemukan
rumah mereka. Kematian kalian itu pasti hanya akan sia-sia.”
Sutawijaya ahirnya tidak
bersabar lagi. Selangkah ia maju dan berkata, “Jangan mengigau, Ki Sanak.
Jangan menakut-nakuti kami dan jangan mencoba memeras keterangan kami. Sebutkan
siapa namamu.”
Orang itu terkejut bukan
buatan. Belum pernah ia melihat anak muda segarang anak yang memegang tombak
pendek itu. Namun sejenak kemudian orang itu tertwa. Semakin lama semakin
keras. Di sela-sela derai tertawanya itu ia berkata, “Tentu. Tentu kau berani
bertolak pinggang dihadapanku, sebab kau belum tahu siapa aku. Nah, sebaiknya
aku perkenalkan diriku supaya kalian menyadari, betapa kecil arti kalian
bagiku, bagi raja hutan Tambak Baya dan Mentaok ini. Namaku Daruka.”
Belum lagi orang itu berhenti
tertawa, terdengar suara tertawa yang lain, sehingga dengan tiba-tiba suara
orang itupun justru terputus. Suara itu adalah suara tertawa Swandaru.
“Gila!” teriak Daruka. “Apakah
kau mendengar namaku?”
“Jangan kau sangka bahwa hanya
kau yang dapat tertawa sedemikian kerasnya” sahut Swandaru. “Nah, ketahuilah,
namaku Swandaru Geni. Gegedug anak-anak muda di seluruh Kademangan Sangkal
Putung. Kau pernah mendengar namaku?”
Mata Daruka itu seakan-akan
menyala dibakar oleh kemarahannya. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama
sekali tidak takut mendengar namanya, bahkan seolah-olah ditanggapinya nama
yang menakutkan itu sambil bergurau saja. Tetapi bukan saja anak yang gemuk itu.
Ketika ia memandang berkeliling, maka anak muda yang memegang tombak itupun
sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun di wajahnya, sedang anak muda yang
lain bahkan seolah-olah acuh tak acuh saja.
Kembali Daruka menggeram.
Demikian kemarahannya membakar dadanya, maka terdengarlah ia bersuit nyaring.
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing pun segera menyadari,
bahwa Daruka sedang memanggil teman-temannya keluar dari persembunyiannya.
Dugaan Kiai Gringsing dan
ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu ternyata benar. Sejenak kemudian
mereka melihat beberapa orang berloncatan mendekat dari balik pepohonan. Di
tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata. Ada yang menggenggam pedang
seperti pedang pada lazimnya, ada yang memegang kelewang yang besar, ada yang
membawa canggah, bahkan ada yang membawa trisula, tombak bercabang tiga.
Tanpa perintah siapapun, maka
anak-anak muda itu dengan sendirinya merenggang dan menghadap kesegala arah.
Seakan-akan mereka telah mengatur diri menghadapi serangan dari segala penjuru.
Daruka menggeram melihat sikap
anak-anak muda itu. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan anak-anak muda
yang bukan sekedar pandai berburu kijang atau menjangan atau babi hutan. Tetapi
mereka adalah anak-anak muda yang mampu menghadap bahaya seperti yang kini
sedang mengepungnya.
“Ternyata kalian cukup
menggembirakan kami” bergumam Daruka. “Kami tidak kecewa lagi kehilangan buruan
kami. Kalian pasti telah diminta sraya oleh para pengawal itu. Kalian pasti
mendapat upah sengaja untuk menghadapi kami.”
Yang menyahut adalah Swandaru,
“Ya. Kami telah mendapat upah dari mereka untuk membinasakan kalian.”
“Hus!” Agung Sedayu memotong.
Tetapi yang terdengar adalah
suara Daruka lantang, “Nah apa kataku. Betapa kalian mencoba memutar balik
keadaan, tetapi kami yakin, bahwa dengan menangkap kalian dan memeras darah
kalian, kami pasti akan mendapat keterangan tentang para pengawal itu.”
Kiai Gringsing dan Sutawijaya
hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Swandaru ternyata hanya menuruti
kesenangannya sendiri. Tetapi perbuatannya itu benar-benar telah membakar
kemarahan kepala penyamun itu.
Bahkan Swandaru itu berkata
tanpa berpaling, karena kebetulan ia tidak menghadap ke arah Daruka yang
berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. “Sekarang menyerahlah, supaya hukuman
kalian diperingan.”
“Setan!” Daruka itu menggeram.
“Ternyata anak yang gemuk itu merasa seperti jantan sendiri. Daruka hanya
menyerah kepada maut. Ayo, kalau mau menangkap kami, tangkaplah.”
Sutawijayalah yang kini
menjawab dengan tergesa-gesa supaya tidak didahului oleh Swandaru. “Begini Ki
Sanak. Sebenarnya kami tidak bersangkut-paut langsung dengan kalian, tetapi
kami ingin bahwa tak seorang pun terganggu di dalam perjalanan. Baik di hutan
Tambak Baya, maupun di hutan Mentaok.”
“O, ternyata kau mengigau
pula. Jauh lebih sumbang dari igauan anak yang gemuk itu. Tambak Baya adalah
kerajaanku. Aku tidak akan pernah meniggalkannya selagi aku masih hidup.”
“Dengarlah dahulu Ki Sana,”
berkata Sutawijaya. Kini ia berputar setengah menghadap kearah Daruka.
“Sebentar lagi Hutan Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi sebuah negeri.
Sebentar lagi akan berdatangan orang-orang yang akan membuka hutan ini. Nah,
apakah katamu?.”
Daruka mengerutkan keningnya.
Sejenak ia berpikir, tetapi kemudian ia berkata, “Oh, kau benar-benar seorang
pemimpi. Aku tidak ingin mendengarkan igauanmu itu. Aku ingin mendengar kalian
menunjukkan rumah beberapa orang pengawal yang telah melukai orang-orangku.”
“Kami adalah wakilnya” teriak
Swandaru.
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia mendahului Daruka yang hampir berteriak pula. “Dengar
kataku. Aku berkata sebenarnya. Tanah Mentaok dan Tambak Baya akan menjadi
milik Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama di Pajang. Nah, apakah
kekuatanmu dapat melampaui setidak-tidaknya menyamai kekuatan Wira Tamtama
Pajang.”
Sekali lagi Daruka mengerutkan
keningnya. Tetapi sekali lagi ia membentak, “Jawab pertanyaanku. Kalau kalian
yang mewakilinya, maka nyawa kalianlah yang akan menjadi tebusannya.”
Kali ini Swandaru belum sempat
menjawab, tetapi telah didahului oleh Sutawijaya, “Jangan mengancam. Kami telah
siap untuk bertempur. Kami akan menghancurkan kalian sampai orang yang
terakhir. Tetapi perkelahian bukanlah tujuan kami. Kalau kau mau mendengar,
dengarkanlah. Kalian mempunyai kesempatan yang pertama di hutan Tambak Baya
ini. Mulailah dengan membuka hutan ini sebelum banyak orang Iain berdatangan.
Kalian akan dapat memilih tempat yang paling baik, yang paling subur dari
segala tempat di hutan ini. Kelak, kalian pasti akan mendapat pengampunan akan
segala macam kesalahan yang pernah kau lakukan di sini.”
“Setan alas!” potong Daruka,
“macam apa kata-katamu itu?”
“Jangan membantah dahulu. Aku
adalah prajurit Wira Tamtama yang datang merintis jalan. Apakah kau tidak
percaya. Berapa orang yang datang bersamamu? Kami seorang-seorang akan bernilai
sepuluh kali orang-orangmu bahkan lebih daripada itu. Kami bukan sekedar
pengawal upahan untuk mengantar orang-orang yang akan menyeberangi hutan Tambak
Baya.”
Ketika Swandaru mendengar
Sutawijaya bersungguh-sungguh, maka ia kini tidak mau lagi memotong, meskipun
ia menahan kegelian di dalam dirinya.
Tetapi seperti yang telah
disangka, Daruka tidak akan mudah percaya. Bahkan kemudian ia pun bersiap
dengan pedangnya. Sekali ia memandang berkeliling.
Sutawijaya menarik nafas.
Tetapi ia mempunyai rencana yang baik dengan orang ini. Dengan orang terkuat di
hutan Tambak Baya ini. Karena itu, maka katanya, “Daruka, aku mendengar, bahwa
kau adalah orang yang terkuat di antara para penyamun di hutan ini. Karena itu,
maka kau sebenarnya dapat membantu kami, para prajurit Wira Tamtama. Kau dapat
menebus dosa ini dengan perbuatan yang menguntungkan dirimu dan menguntungkan
kami. Aku akan menanggungmu, bahwa kau kelak akan mendapat kedudukan yang baik.
Bahkan mungkin kau akan dapat menjadi seorang bekel.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sutawijaya. Tetapi lamat-lamat mereka
dapat menerka maksud anak muda yang akan memiliki hutan Mentaok dan Tambak Baya
itu. Apalagi Kiai Gringsing. Orang tua itu pun tersenyum di dalam hati sambil
bergumam lirih, “Alangkah tajamnya otak putera Ki Gede Pemanahan ini,”
Tetapi agaknya Daruka sendiri
merasa, bahwa Sutawijaya telah menghinanya. Sehingga karena itu maka sekali
lagi ia menggeram sambil berkata, “Persetan ocehanmu. Apakah kau Panglima Wira
Tamtama, apakah kau Adipati Pajang, aku tidak peduli. Aku adalah raja di sini.
Semua harus tunduk kepada perintah dan kemauanku.”
“Kau mencoba menipuku.
Bagaimana dengan gerombolan-gerombolan lain yang merasa dirinya raja pula di
sini?
Wajah Daruka menjadi merah
padam. Katanya, “Tak ada yang berani melawan Daruka. Semua gerombolan akan
dapat aku binasakan satu demi satu kalau aku mau.”
“Kenapa hal itu tidak kau
lakukan? Ternyata kau tidak mampu berbuat demikian. Bahkan kadang-kadang anak
buahmu sendiri dapat disergap dan dikalahkan.”
“Memang, mereka dapat berbuat
demikian dengan licik. Tetapi Daruka belum pernah dengan sungguh-sungguh
mencoba membinasakan mereka. Asal mereka tidak mengganggu secara langsung
kerajaanku, maka aku tidak terlalu bernafsu membinasakan mereka. Orang-orangku
masih aku perlukan untuk kepentingan lain.”
“Sekarang aku datang untuk
menaklukkan kerajaanmu, atas nama Panglima Wira Tamtama di Pajang,” sahut
Sutawijaya.
Kesabaran Daruka kini telah
sampai pada batasnya. Terdengar ia bersuit nyaring. Mendengar aba-aba itu
beberapa orangnya segera mendesak maju dengan senjata-senjata mereka siap
menembus tubuh lawannya.
Tetapi lawannya ternyata
benar-benar di luar dugaan mereka. Dengan lincahnya Sutawijaya meloncat mendesak
Agung Sedayu sambil berkata, “Serahkan orang ini kepadaku. Tolong, tundukkan
orang-orangnya. Jangan kau binasakan mereka. Beri mereka kesempatan untuk hidup
dan menyesali perbuatannya.”
Segera Agung Sedayu dapat
menangkap maksud itu. Swandaru yang gemuk dan hanya berbuat seenaknya sendiri
itu pun dapat mengerti pula, sehingga betapa perasaannya sendiri
melonjak-lonjak, namun ia mencoba mengekangnya.
Kiai Gringsing yang berada di
antara anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu. Tetapi terdengar Sutawijaya
berkata, “Kiai, apakah Kiai sudi bermain-main dengan kami?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Sementara itu ia melihat ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu sudah
melibatkan diri dalam perkelahian melawan Daruka dan orang-orangnya. Sutawijaya
sendirilah yang kini berhadapan dengan pemimpin gerombolan yang ditakuti oleh
gerombolan-gerombolan Iain seisi hutan Tambak Baya dan Mentaok.
Demikianlah, maka segera
terjadilah perkelahian yang riuh antara anak-anak muda dari Sangkal Putung
bersama Kiai Gringsing, melawan gerombolan Daruka yang Iangsung dipimpin oleh
kepala gerombolannya sendiri. Daruka, yang namanya menakutkan di segenap sudut
Alas Mentaok dan Tambak Baya.
Tetapi kali ini yang
dihadapinya bukan sekedar seorang pengawal dari padesan di ujung hutan. Tetapi
yang dihadapinya adalah putera Panglima Wira Tamtama itu sendiri. Dengan
demikian maka Daruka itu benar-benar terkejut. Hampir tidak kasat mata, maka
tombak Sutawijaya telah memukul-mukul senjatanya.
“Gila” geramnya. Meskipun anak
muda itu membawa busur yang bersilang di punggungnya, serta endong panah
dilambungnya, namun geraknya sama sekali tidak terganggu olehnya. Kelincahannya
dan kecepatannya benar-benar mengagumkan kepala gerombolan yang garang itu.
Di sisi lain, Agung Sedayu
telah memutar pedangnya pula, sedangkan di sisi yang lain lagi Swandaru
berkelahi sambil tertawa. Kiai Gringsing yang tua itu pun tidak ketinggalan,
tetapi karena ia tidak membawa pedang, maka ia berkelahi dengan tangannya.
Salah seorang gerombolan itu
berteriak, “He, orang tua bangka. Apakah kau mau mati pula.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi begitu mulut orang itu terkatup, ia terkejut bukan buatan.
Yang terasa olehnya adalah suatu dorongan yang keras. Hampir saja ia terlempar
jatuh. Tetapi beruntuaglah ia segera mampu berpegangan sebatang perdu. Tetapi
matanya tiba-tiba terbelalak ketika ia melihat senjatanya telah berpindah ke
tangan orang tua itu.
“Terima kasih” berkata Kiai
Gringsing.
Swandaru tertawa melihat
perbuatan gurunya. Katanya “Kiai, tolong, ambilkan pula bagiku.”
“Hus!” kembali terdengar Agung
Sedayu berdesis. Tetapi Swaudaru itu justru tertawa berkepanjangan.
Orang-orang Daruka itu pun
kemudian berdesakan maju bersama-sama, sehingga Agung Sedayu, Swandaru, dan
Kiai Gringsing harus bertempur melawan beberapa orang bersama-sama. Hanya
Daruka sendirilah yang justru membentak-bentak ketika beberapa orang mencoba
membantunya.
“Pergi!” teriaknya. “Aku ingin
membunuh anak ini dengan tanganku sendiri, tanpa kau ganggu sama sekali.“
Namun Daruka sendiri tidak
meyakini kata-katanya Apalagi ketika tiba-tiba tangannya menjadi pedih. Hampir
saja senjatanya terlepas dari tangannya. Beruntunglah ia bahwa ia masih mampu
mempertahankannya.
Dalam pada itu Sutawijaya pun
bergumam di dalam hatinya, “Pantaslah kalau orang ini ditakuti oleh
gerombolan-gerombolan lain di hutan ini. Tandangnya cukup meyakinkan. Tetapi ia
harus segera dapat dijinakkan. Aku harus memberi kesan kepadanya, bahwa apa
yang dilakukan sama sekali tidak berarti bagiku.”
Dengan demikian, maka
Sutawijaya pun segera memperketat serangannya. Bergulung-gulung seperti ombak
menghantam tebing.
Adalah di luar dugaan Daruka,
bahkan mimpipun tidak, bahwa akan dijumpainya lawan setangkas anak muda itu.
Bahkan belum pernah ia berkelahi dengan orang yang memiliki ketangkasan,
kelincahan, dan keperkasaan seperti lawannya kini. Dengan demikian maka ia
bergumam di dalam hatinya, “Mungkin benar apa yang dikatakannya, bahwa ia
adalah seorang prajurit Pajang.”
Tetapi kini ia sudah tidak
mendapat kesempatan untuk menghindar.
Ketika sekali ia sempat melihat
orang-orangnya, maka ia pun terkejut bukan buatan. Dua belas orang-orangnya itu
sama sekali tidak mampu mendesak ketiga orang lawannya. Orang yang tua itu pun
masih juga mampu berkelahi melawan beberapa orang-orangnya sekaligus.
Sejenak kemudian Daruka itu
pun menjadi bingung. Ia tidak dapat mundur. Tetapi ia tidak dapat mengingkari
kenyataan bahwa ia beserta anak buahnya itu pasti tidak akan mampu melawan
ketiga anak-anak muda itu beserta seorang tua bangka.
Maka jalan satu-satunya yang
dapat dipilihnya untuk menyelamatkan diri adalah lari. Lari meninggalkan arena
pertempuran itu. Bagi Daruka, maka nilai-nilai harga diri sama sekali tidak
akan diperhitungkan. Bahkan mengorbankan anak buahnya pun termasuk kebiasaan
pula baginya.
Demikian pula kali ini. Ketika
tekanan lawannya menjadi semakin ketat, maka Daruka itu pun telah mencoba
mencari jalan yang mungkin akan dapat dilaluinya untuk menyelamatkan diri.
Tetapi Sutawijaya melihat
gelagat itu, Baginya untuk menjatuhkan kepala gerombolan yang paling ditakuti
itu ternyata tidak terlampau sulit. Dengan demikian, ketika Daruka itu telah
bersiap-siap untuk lari terdengar Sutawijaya bergumam, “Ayo, akan lari ke manakah
kau? Apakah seorang yang namanya menggelegar di seluruh hutan Tambak Baya dan
Mentaok ini akan tinggal-glanggang colong-playu. Apakah kau tidak malu terhadap
dirimu sendiri, Daruka.”
Terdengar Daruka menggeram.
Katanya, “Aku tidak pernah meninggalkan arena sebelum lawanku menjadi mayat
atau aku sendiri yang mati.”
Kembali mereka dikejutkan oleh
suara Swandaru tertawa terputus-putus. Sambil menggerakkan pedangnya ia
berkata, “He Daruka. Apakah kau mengigau? Aku percaya bahwa kau belum pernah
meninggalkan gelanggang dalam keadaan hidup. Jadi apa yang selalu kau lakukan
adalah melarikan diri setelah kau mati.”
“Setan!” terdengar Daruka
menggeram. Bahkan kemudian orang itu pun mengumpat tak habis-habisnya. Namun
justru suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Lawan-lawannya sama sekali
tidak mampu berbuat apapun atasnya. Sambil tertawa dan berkelakar Swandaru
telah membuat lawan-lawannya menjadi pening. Bahkan seorang dari antara mereka
telah terluka.
Agung Sedayu terpaksa
berkelahi melawan lima orang. Tetapi kelimanya pun tidak dapat mendeak anak
muda itu, meskipun untuk melawannya, Agung Sedayu harus bekerja jauh lebih
keras daripada Swandaru. Mungkin anak buah Daruka itu mencoba suatu cara untuk
menjatuhkan lebih dahulu lawannya seorang demi seorang, untuk kemudian
melenyapkan semuanya berturut-turut. Tetapi ternyata yang seorang itu pun tidak
dapat dikalahkannya.
Sedang Kiai Gringsing yang tua
itu pun harus berkelahi dengan beberapa orang pula. Dengan sekedar melayani dan
mempertahankan dirinya, Kiai Gringsing sama sekali tidak banyak berbuat. Ia
menunggu saja Sutawijaya mengalahkan lawannya, dan berbuat menurut rencananya.
Yang ditunggu Kiai Gringsing
itu pasti segera akan terjadi. Sebab Daruka kini benar-benar kehilangan segala
kesempatan. Apalagi kesempatan menyerang, kesempatan untuk mempertahankan
dirinya pun telah hampir tidak dapat dilakukannya.
“Jangan lari” gumam Sutawijaya
ketika ia melihat Daruka selalu mencoba menarik diri.
“Aku bukan pengecut” teriak
Daruka
“Huh” sahut Sutawijaya.
“Jawabanmu lebih memalukan dari perbuatanmu. Apakah kau telah melupakan
kata-katamu sendiri bahwa hanya mautlah yang dapat memaksamu untuk menyerah?
Kenapa kau kini akan melarikan diri?”
“Setan tetakan!” mulut Daruka
menghamburkan sumpah serapah tidak karuan. “Aku akan membunuhmu.”
Tetapi kata-katanya terputus.
Tangkai tombak Sutawijaya tiba-tiba mengenai kepalanya yang botak, yang sama
sekali tidak ditutupinya dengan ikat kepala.
Sekali lagi Daruka
menyumpah-nyumpah semakin kotor. Namun sekali lagi kepalanya yang botak itu
terpukul oleh tangkai tombak Sutawijaya.
“Aku baru mempergunakan
tangkai tombakku” berkata Sutawijaya. “Ayo, lebih baik menyerahlah. Aku tidak
akan membunuhmu.”
Daruka membelalakkan matanya.
Tetapi ia masih berkata, “Daruka hanya menyerah kepada maut.”
Kini bukan sekedar tangkai
tombak Sutawijaya mengenai kepalanya, tetapi tiba-tiba pedang Daruka tergetar
keras. Tangannya tiba-tiba terasa nyeri bukan buatan. Ketika ia mencoba
memperbaiki genggamannya, sekali lagi pedangnya terasa tersentuh senjata
lawannya. Kali ini ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Pedangnya
terlontar beberapa langkah daripadanya dan jatuh tergolek di tanah yang lembab.
Daruka kini berdiri dengan
gemetar. Kemarahannya masih mencengkam dadanya, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Ujung tombak Sutawijaya melekat di dadanya yang berbulu lebat.
“Apa katamu?” bertanya
Sutawijaya.
Daruka menggeram. Tetapi
ketika ujung tombak lawannya tertekan semakin keras, Daruka itu pun
menyeringai.
“Apakah kau hanya menyerah
terhadap maut?”
Daruka tidak menjawab.
Sementara itu kawan-kawannya masih juga berkelahi. Namun ketika mereka melihat
lurah mereka sudah tidak berdaya, maka hati mereka pun segera berkeriput.
Anak buah gerombolan itu belum
pernah melihat lurahnya berdiri kaku tegang tanpa dapat berbuat apa-apa karena
ujung senjata lawan yang melekat di tubuhnya. Apalagi ketika sambil tertawa
Swandaru berkata, “Ayo, apa yang akan kalian lakukan. Lihat kepalamu telah
menyerah.”
Dalam pada itu Sutawijaya pun
berkata pula, “Ayo, lekas katakan apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”
Daruka tidak juga segera
menjawab. Tetapi ia menahan nafasnya ketika ujung tombak Sutawijaya menekan
semakin keras.
“Kalau kau menyerah, maka
perintahkan orang-orangmu berhenti melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka satu
persatu kalian akan aku penggal kepala kalian dan akan kutancapkan di ujung
hutan ini sebagai pertanda bahwa Daruka kini sudah tidak menakutkan lagi.”
Terasa dada kepala penyamun
yang menakutkan itu berdesir. Betapa tabah hatinya, namun ancaman itu
mendirikan bulu kuduknya.
“Cepat!” bentak Sutawijaya.
“Pilihlah. Menyerah atau mati. Kalau kau malu mengakui kekalahanmu, maka kau
dapat memberi perintah saja kepada anak buahmu supaya menyerah.”
Daruka masih juga ragu-ragu.
Namanya yang menakutkan selama ini telah menahannya untuk tidak segera
melakukan perintah itu.
Namun tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka mendengar sebuah pekik kesakitan. Ketika mereka
berpaling, mereka melihat salah seorang yang berkelahi melawan Swandaru
meloncat surut sambil memegangi lengannya yang berdarah.
“Nah,” berkata Sutawijaya,
“lihat, seorang anak buahmu terluka. Apakah kau menunggu mereka terbunuh?”
Daruka itu masih ragu-ragu.
Sekali dipandanginya wajah Sutawijaya dan sekali dilontarkannya pandangan
matanya berkeliling kepada anak buahnya yang sedang berkelahi itu.
Tetapi sekali lagi terasa
ujung senjata Sutawijaya itu semakin menekan dadanya dan terdengar Sutawijaya
membentak tidak sabar. “Cepat, atau kau benar ingin mati.”
“Tidak” tiba-tiba Daruka itu
menjawab terbata-bata.
“Cepat, perintahkan kepada
orang-orangmu.”
“Baik. Baik,” berkata kepala
gerombolan itu, yang kemudian berteriak dengan penuh kebimbangan, “hentikan
perlawanan!”
Beberapa orang Daruka yang
sudah merasa, bahwa mereka tidak akan mampu melawan, tidak menunggu perintah
itu terulang. Segera mereka berloncatan mundur menjauhi lawannya.
Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki
Tanu Metir pun segera menghentikan perkelahian pula. Mereka sama sekali tidak
mengejar lawan-lawan mereka, dan membiarkannya berdiri termangu-mangu meskipun
senjata mereka masih tetap di dalam genggaman.
“Nah,” berkata Sutawijaya,
“sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah kau menyerah atau tidak?”
Mulut Daruka kembali
terbungkam. Hanya matanya sajalah yang berkeredipan seperti anak burung yang
menunggu induknya.
“He, apa katamu?” bertanya
Sutawijaya mengejut.
Daruka itu pun terperanjat
sehingga terhenyak selangkah surut. Tetapi ujung tombak Sutawijaya masih
mengikutinya.
“Jawab!” bentak Sutawijaya.
“Ya” akhirnya Daruka menjawab
penuh keragu-raguan.
“Kau ragu-ragu.”
“Ya.”
“He?”
“Oh, tidak” Daruka itu
tergagap.
“Sekarang katakan. Apakah kau
menyerah atau tidak?”
“Ya, aku menyerah.”
“Nah. Ternyata harga dirimu
masih kalah bernilai dari nyawamu. Apakah kau benar-benar menyerah?”
“Ya.”
“Aku dapat mempercayaimu?”
“Ya.”
Sutawijaya menarik nafas.
Jawaban orang itu sama sekali tidak meyakinkannya. Memang kemungkinan yang
paling dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan dirinya. Tetapi
meskipun demikian Sutawijaya ingin mencobanya. Katanya, “Daruka. Apakah kau
benar orang yang paling ditakuti di hutan Tambak Baya dan Mentaok ini?”
Daruka kembali menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia menjawab, “Ya. Demikianlah kata orang.”
“Ketahuilah Daruka. Kau memang
seharusnya dimusnahkan dari hutan ini. Tak ada cara yang lebih baik daripada
membunuhmu dan memenggal lehermu untuk ditanjir di mulut hutan ini.”
“Tetapi” wajah Daruka
tiba-tiba menjadi pucat.
“Apakah yang lebih baik
menurut pendapatmu?” bertanya Sutawijaya.
Daruka menjadi makin pucat.
“Apakah kau mempunyai cara
yang lebih baik daripada ditanjir di mulut hutan untuk mengabarkan bahwa
orang-orang yang ingin menyeberangi hutan ini tidak perlu takut lagi kepada
Daruka?
“Tetapi, tetapi, bukankah aku
udah menyerah?”
“Kau menyerah di hadapanku.
Apabila aku pergi, maka tak ada lagi yang kau takuti.”
“Aku tidak akan ingkar. Aku
menyerah.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Namun kembali ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Mustahil.
Mustahil orang semacam Daruka ini dapat dipercaya. Mulutnya baru dapat
dipercaya apabila ia sudah tidak dapat berkata sepatah kata pun lagi.”
Tiba-tiba Daruka yang kekar
itu menjadi gemetar. “Jangan kau bunuh aku. Aku kira tidak akan banyak gunanya.
Bukan hanya aku sendiri perampok dan penyamun di hutan ini.”
“He,” bentak Sutawijaya, “kau
ingin hidup karena bukan hanya kau sendiri perampok di dalam hutan ini?”
Adalah menggelikan sekali
tampaknya bahwa seorang yang bertubuh segagah Daruka dapat menjadi gemetar dan
ketakutan. Wajahnya kini benar-benar menjadi seputih kapas. Sekali lagi ia
merengek seperti kanak-kanak yang melihat bapanya menggenggam cemeti.
“Ampun, Tuan. Ampun.”
Sutawijaya memandanginya
dengan tajamnya. Kemudian memandang beberapa anak buah Daruka. Aneh. Mereka pun
menjadi gemetar dan ketakutan. Wajah-wajah mereka pun menjadi seputih kapas.
“Hem,” desah Sutawijaya, “aku
sangka kalian tidak mengenal takut, meskipun berhadapan dengan maut.”
“Tuan,” berkata Daruka, “kami
bukan seorang prajurit. Kami berkelahi sekedar untuk mendapat makan. Sedang
prajurit bertempur untuk kewajiban. Karena itu, maka mungkin Tuan sebagai
seorang prajurit tidak takut mati dalam kewajiban Tuan. Tetapi kami ingin bahwa
kami tidak mati hanya karena kami sedang mencari sesuap nasi.”
Betapa tegang hati Sutawijaya,
namun ia harus tertawa di dalam hati mendengar kata-kata Daruka.
“Karena itu, Tuan,” Daruka
meneruskan, “kami mohon ampun.”
“Daruka,” sahut Sutawijaya,
“mungkin kau sekarang menyadari bahwa seakan-akan tidaklah seimbang kesalahanmu
dengan hukuman mati itu, karena kau hanya sekedar mencari makan untuk hidupmu.
Tetapi bagaimana dengan para pengawal itu? Bukankah mereka pun bekerja sekedar
untuk mendapatkan upah yang berarti sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi juga?
Apakah sudah selayaknya bahwa kau berkeras hati untuk mencarinya dan kemudian
membunuh mereka karena mereka telah melawan anak buahmu dan mengalahkannya?”
“Aku tidak akan membunuh
mereka, Tuan. Tidak.”
“Untuk apa kau cari mereka?”
“Kami hanya akan mencari
siapakah yang telah mencelakai orang-orangku.”
“Ya, untuk apa?” bentak
Sutawijaya.
Orang yang botak itu
menundukkan kepalanya.
“Daruka” berkata Sutawijaya
kemudian.
Daruka mengangkat wajahnya.
“Wajahmu seram. Tubuhmu pun
cukup mengerikan. Kau memang pantas bernama Daruka, seorang yang menakutkan di
hutan Tambak Baya dan Mentaok. Seorang yang paling ditakuti oleh
gerombolan-gerombolan lain di Alas ini.”
Daruka tidak menjawab. Ia
tidak tahu, apakah maksud Sutawijaya sebenarnya.
“Apakah kau sudah benar-benar
menyerah?”
“Ya, Tuan” sahut Daruka
serta-merta.
“Dan menyesal?”
“Ya, Tuan.”
“Daruka, dengarlah baik-baik”
berkata Sutawijaya bersungguh-sungguh. “Kau dengar bahwa sebentar lagi hutan
ini akan dibuka menjadi sebuah negeri?”
“Ya, Tuan.”
“Nah, dengan demikian maka
setiap kotoran yang ada di dalam hutan ini harus dibersihkan lebih dahulu.
Panglima Wira Tamtama yang akan memiliki hutan ini tidak mau melihat
orang-orang semacam kau ini tinggal di dalam hutan ini.”
“Aku akan pergi, Tuan.”
“He,” Sutawijaya membelalakkan
matanya, “begitu mudahnya? Kau menyamun dan merampok. Setelah kau tertangkap
begitu saja kau pergi? Tidak. Kaupun pasti akan menyamun dan merampok di tempat
lain sebab kau tidak punya pekerjaan tertentu.”
“Tidak, Tuan. Aku akan mencoba
mencari tanah pertanian dengan anak buahku. Aku akan hidup bercocok tanam
bersama dengan mereka.”
“Sementara ini kau tidak akan
dapat melakukannya. Kau adalah seorang yang biasa hidup dengan berkelahi” jawab
Sutawijaya. “Apalagi kau tertangkap saat kau melakukan perlawanan. Lain halnya
kalau kau menyerah sebelum aku menarik pedang dari sarungnya.”
“Ampun, Tuan.”
“Kau harus dihukum.”
“Tetapi aku minta diampuni,
Tuan. Aku masih belum ingin mati.”
“Orang-orang yang kau rampok
dan kau bunuh pun belum ingin mati.”
Daruka terdiam. Beberapa titik
keringat dingin menetes pada pundaknya. Tubuh yang gemetar itu menjadi kian
menggigil.
“Daruka,” berkata Sutawijaya
seterusnya, “kau harus menerima hukuman. Kalau kau benar menyesal atas segala
tingkah lakumu, maka kau harus dapat memenuhi beberapa syarat supaya kau tidak
dihukum mati.”
Daruka mengangkat wajahnya.
Tampaklah sebersit harapan di dalam wajahnya. “Apakah syarat itu, Tuan?”
“Tetapi jangan mencoba
melepaskan diri dari tanganku dan tangan Wira Tamtama.”
“Tidak, Tuan.”
“Tidak akan ada gunanya. Aku
akan selalu dapat mengawasimu dan menangkap kau setiap saat. Kau tidak dapat
mengalahkan aku, apalagi para pemimpin Wira Tamtama lainnya.”
“Ya, Tuan.”
“Nah, dengarlah syarat itu.
Dalam waktu yang dekat, sebelum hutan ini mulai dibuka, maka kau harus sudah
menyelesaikan syarat itu. Kau harus mampu menangkap semua orang yang menjadi
penyamun dan perampok di dalam hutan ini. Kau dan orang-orangmu harus mampu
menumpas semuanya. Tetapi ingat. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk
menumpas orang-orangnya, tetapi perbuatannya. Apakah kau dapat mengerti? Hanya
apabila perlu kau boleh mempergunakan pedangmu. Kau mengerti?”
Wajah Daruka yang telah
memutih kapas itu kini mulai dialiri oleh darahnya kembali. Ditatapnya wajah
Sutawijaya seakan-akan ia ingin mendengar ketegasan dari kata-katanya.
“Apakah yang harus kau
lakukan?”
“Membinasakan setiap
gerombolan yang ada di hutan ini.”
“Tetapi jangan berlaku seperti
apa yang pernah kau lakukan. Ingat, alangkah ngerinya menghadapi maut. Kau
sendiri telah melupakan kejantanan dan kesombonganmu ketika kau sudah mulai
dijamah oleh bahaya maut itu.”
“Kau dengar kata-kataku?”
bertanya Sutawijaya.
“Ya, Tuan. Aku mendengar”
jawab Daruka.
“Kau mengerti?”
Daruka termangu-mangu
sebentar. Tiba-tiba ia mengangguk. “Ya Tuan, aku mengerti.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. “Kau merasa tidak seimbang bahwa kau harus mati karena sesuap nasi.
Demikian pula orang-orang lain. Gerombolan-gerombolan yang lain. Tundukkan
mereka, kalau mungkin tanpa pepati. Bawalah mereka memilih tanah yang paling
baik di seluruh hutan Mentaok. Bukalah hutan itu, kalian akan mendapat hak
untuk bertempat tinggal di sana kelak apabila tempat ini menjadi ramai. Kau
mengerti?”
“Ya, aku mengerti” sahut
Daruka sambil mengangguk lemah. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan.
Mengalahkan gerombolan-gerombolan yang ada di hutan ini sejauh mungkin tanpa
melukai kulit mereka. Apakah ia mampu berbuat seperti anak muda itu? Tetapi
Daruka tidak lagi bertanya.
“Nah, lakukan perintahku
baik-baik. Dengan demikian kau telah menyelamatkan dirimu sendiri. Memberi
harapan kepada kedamaian hatimu sendiri di masa-masa mendatang. Apakah apabila
otot-ototmu telah menjadi lapuk dimakan umur, kau masih juga merasa orang yang
paling ditakuti di hutan ini? Dan apakah kau masih merasa mampu mencari sesuap
nasi dengan pedang di genggaman?”
“Ya, Tuan” Daruka
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mulai hari ini kau sudah
dapat melakukan pekerjaanmu. Tetapi ingat, jangan mencoba melepaskan diri dari
pengawasan Wira Tamtama. Kalau kau lancing kali ini, maka hukumanmu bukan
sekedar dipancung di alun-alun, tetapi kau akan dirampog setelah kau diadu melawan
harimau di alun-alun. Kalau kau juga tidak mati, maka kau akan dihukum picis.
Kau dengar?”
Meskipun Daruka selama ini
tidak pernah ngeri mendengar nama harimau, namun diadu dengan harimau di
alun-alun untuk mengganti rampogan adalah tidak menyenangkan sama sekali.
Apabila ia masih hidup maka hukuman picis telah menunggu. Adalah tidak
menyenangkan mati di celah-celah gigi harimau atau mati tersayat-sayat dalam
menjalani hukuman picis.
Karena itu maka ia tidak
mempunyai pilihan lain dari bertempur melawan setiap gerombolan yang ada di
hutan Tambak Baya dan Mentaok. Hampir setiap gerombolan telah dikenalnya dengan
baik. Dan tak seorang pun yang perlu dicemaskannya apabila mereka berhadapan
beradu dada.
“Nah, apakah kau sanggup
melakukan?” bertanya Sutawijaya.
Daruka tersentak mendengar
pertanyaan itu. Dengan serta-merta ia menjawab, “Ya, Tuan. Aku sanggup.”
“Bagus” berkata Sutawijaya
pula. “Pergilah. Lakukan perintah ini. Tetapi kau jangan berbuat semena-mena
dan menyalahgunakan perintahku. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk
mengadakan pembantaian dan pembunuhan besar-besaran. Kalau mungkin selesaikan
dengan pembicaraan. Kau dapat menceritakan kepada mereka apa yang kau alami.
Kau dapat memberitahukan bahwa sebentar lagi sepasukan Wira Tamtama akan
menjelajah seluruh isi hutan ini.”
“Ya, ya aku mengerti, Tuan”
sahut Daruka.
“Kalau demikian, pergilah.
Bawa orang-orangmu. Apakah orang-orangmu hanya sebanyak dua belas orang ini?”
“Tidak, Tuan. Aku mempunyai
lebih dari dua puluh lima kawan. Aku mengharap mereka dapat mengerti apa yang
harus aku lakukan. Dan aku harap mereka dapat membantuku.”
“Bagus,” desis Sutawijaya,
“sekarang pergilah. Di Cupu Watu, Nglipura, Mangir, Menoreh, tersebar
prajurit-prajurit Wira Tamtama. Kalau kau ingkar, maka kau pasti akan
menyesal.”
“Tidak, Tuan. Aku tidak akan
ingkar. Berkelahi melawan gerombolan yang ada di hutan ini bagiku adalah jauh
lebih ringan daripada berkelahi melawan Wira Tamtama seperti Tuan.”
Sutawijaya tersenyum di dalam
hati. Kemudian sekali lagi ia berkata, “Pergilah. Kumpulkan orang-orangmu, dan
mulailah melakukan pekerjaanmu itu.”
“Baik, Tuan. Kami, seluruh
orang-orangku mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan yang Tuan berikan
kepada kami.”
“Jaga kepercayaan ini
baik-baik.”
“Ya, Tuan.”
Sejenak kemudian Daruka
beserta orang-orangnya pun segera meninggalkan mereka. Satu-satu mereka
menghilang ke dalam semak-semak. Satu dua di antara mereka masih juga berpaling
memandangi wajah anak-anak muda itu. tetapi segera mereka membuang pandangan mata
ketika mereka melihat Swandaru yang gemuk mencibirkan bibirnya.
“Mudah-mudahan usaha ini
berhasil” gumam Sutawijaya.
“Anakmas cukup cerdik” sahut
Kiai Gringsing. “Aku kira Daruka benar-benar ketakutan. Ia pasti akan melakukan
perintah itu. Mudah-mudahan ia berhasil. Nanti Anakmas akan membuka hutan ini
dengan tenteram. Orang-orang yang berdatangan tidak lagi takut mendapat
gangguan dari para penyamun dan perampok. Untuk membasmi mereka dengan cepat,
alangkah sulitnya. Sekarang Anakmas mendapat alat yang sebaik-baiknya untuk
melakukan pekerjaan itu. dan pasti hasilnya pun akan lebih baik daripada
Anakmas mengerahkan sepasukan Wira Tamtama.”
Sutawijaya tersenyum.
“Mudah-mudahan, Kiai” katanya.
Swandaru yang masih berdiri di
tempatnya menyahut, “Aku tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau
Daruka sendiri mungkin benar-benar telah jera, tetapi aku tidak yakin melihat
wajah-wajah dari anak buahnya.”
Sutawijaya masih saja
memandangi semak-semak di mana Daruka dan orang-orangnya menghilang. Sejenak ia
terdiam. Tetapi yang menjawab perkataan Swandaru adalah Kiai Gringsing, “Tidak,
Swandaru. Gerombolan perampok dan penyamun merasa jauh lebih takut kepada
pimpinannya daripada prajurit yang manapun juga. Seorang pemimpin perampok atau
penyamun dapat saja menghukum mati anggotanya setiap saat dikehendaki. Tanpa
banyak pertimbangan dan tanpa banyak pertanggungan jawab. Seorang yang
dianggapnya berkhianat atau kurang baik melakukan pekerjaannya, akan dapat
mengakibatkan kepalanya terlepas. Kalau kemudian ternyata bahwa tuduhan yang
diberikan kepadanya itu keliru, maka pimpinannya cukup bergumam ‘Oh, ternyata
keliru,’ tetapi yang mati itu tetap juga mati. Dengan demikian, maka setiap
anggota perampok atau penyamun atau sebangsanya akan berusaha untuk mentaati dan
menyenangkan hati pemimpinnya.”
Swandaru mengangguk-anggukan
kepalanya. Apa yang ditemuinya kali ini benar-benar memberinya banyak
pengalaman. Meskipun hanya berpapasan, tetapi ia melihat beberapa orang
pengywal yang benar-benar telah mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang
lain meurut kesanggupannya. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya mempunyai
tanggungjawab yang tinggi atas pekerjaan yang mereka pilih. Kemudian Swandaru
itu melihat sebuah gerombolan perampok dan penyamun. Dengan demikian, maka ia
telah mendapat sedikit gambaran apa yang sebenarnya tersimpan di gutan2 yang
besar dan lebat seperti hutan Mentaok dan Tambak Baya ini.
Bagi Sutawijaya, apa yang
dilihat itu pun telah memberikan petunjuk kepadanya, apakah yang kelak akan
dihadapinya. Mungkin Daruka dapat melakukan sebagian dari tugasnya, tetapi
mungkin uga ia akan menemui kegagalan. Seandainya Daruka benar-benar ingin
melakukan tugasnya, maka yang dihadapinya bukan saja satu atau dua gerombolan,
yang tidak begitu banyak mempunyai perbedaan kekuatan. Mungkin gerombolan yang
lain dapat bergabung satu sama lain untuk bersama-sama mengadapi gerombolan
Daruka atau bahkan memusnahkan gerombolan Daruka ini.
Sejenak mereka saling berdiam
diri tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Yang mula-mula memecah
kesenyapan itu adalah Kiai Gringsing, “Bagaimana, Ngger. Apakah kita akan
berjalan terus?”
“Kita sudah sampai di sini
Kiai, apakah salahnya kalau kita berjalan terus?“ jawab Sutawijaya.
“Kita tidak akan menemukan
apa-apa lagi. Alas Mentaok hampir tak akan ada bedanya dengan hutan ini. Kita
hanya dapat melihat pohon-pohon raksasa. Akar-akaran dan batang-batang yang
merambat. Daun-daun yang mengandung racun yang sangat gatal, sejenis semut yang
disebut semut Salaka, tetapi yang kini sudah hampir punah. Harimau yang garang
dan kijang yang bertanduk panjang. Apa lagi?”
“Apakah sama sekali tidak ada
daerah yang didiami orang Kiai?”
“Tentu saja tidak di
tengah-tengah Alas Mentaok. Kalau Angger berjalan terus menembus sisi yang lain
dari Alas Mentaok maka Angger akan sampai di daerah yang berpenduduk. Daerah
Nglipura, Pliridan yang masih terlampau dekat dengan hutan ini, sebelum kita
sampai di hutan Mentaok yang menjorok ke selatan di daerah Beringan dan
Pacetokan. Tetapi menurut penglihatanku saat-saat terahir daerah ini sudah
ditinggalkan oleh penduduknya karena gangguan para penjahat. Kemudian agak jauh
ke selatan Angger akan menemui daerah yang sudah agak ramai, Mangir.”
“Apakah daerah itu juga
termasuk daerah Mentaok?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia menggeleng, “Aku tidak tahu, Ngger. Meskipun
daerah itu dahulu juga termasuk daerah yang tunduk kepada Sultan Demak. Apakah
daerah itu kemudian akan tunduk juga kepada Adipati Pajang untuk seterusnya
termasuk tanah yang akan dihadiahkan kepada ayahanda Ki Gede Pemanahan, aku
tidak tahu.”
Sutawijaya berpikir sejenak.
Tiba-tiba ia berkata, “Aku ingin melihat daerah itu, Kiai.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Katanya, “Angger memerlukan waktu yang lama. Apalagi kedatangan Angger belum
tentu akan mendapat sambutan yang baik. Kita belum tahu, bagaimana tanggapan
Mangir atas Pajang dan atas Alas Mentaok.”
“Karena itu aku ingin
menemuinya. Siapakah yang memerintah Mangir? Seorang Demang?”
“Mangir adalah sebuah Tanah
Perdikan, Ngger. Seperti daerah-daerah di Bukit Menoreh. Perdikan yang
dikukuhkan oleh pengakuan Sultan Trenggana.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tanah itu tanah perdikan. Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar.
Di samping tanah yang akan diterimanya, terletak sebuah tanah perdikan yang
sudah menjadi ramai. Apakah tanah itu mengakui kekuasaan Pajang atas penyerahan
kekuasaan daerah itu kepada Ki Gede Pemanahan? Lalu bagaimanahkah sifat dan
bentuk Tanah Mentaok kelak?
Kiai Gringsing yang tua itu
seakan-akan dapat membaca perasaan Sutawijaya. Maka katanya, “Anakmas. Jangan
terlampau pagi merisaukan tanah ini. Apakah Angger kini sedang dijalari oleh
kecemasan tentang Mangir itu? Apakah tidak ada bahaya yang dapat datang dari
tanah itu selagi Angger membuka Tanah Mentaok ini? Bukankah Angger berpikir
tentang itu?”
“Ya Kiai.”
“Lupakanlah. Kita akan melihat
perkembangan keadaan. Memang Mangir adalah tanah perdikan yang perlu mendapat
perhatian, Tetapi tidak sekarang. Sekarang sebaiknya kita kembali ke Sangkal
Putung.”
Sutawijaya menarik nafas.
Mangir akan dapat menumbuhkan persoalan kelak. Kemudian dipalingkannya wajahnya
kepada kedua kawan-kawannya yang perhatiannya agaknya tertarik kepada
pohon-pohon raksasa dan jenis burung-burung liar yang terbang hilir mudik dari
dahan ke dahan.
“Bagaimana dengan kita?”
bertanya Sutawijaya kepada kedua anak muda itu
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak segera menjawab. Bahkan sejenak mereka saling berpandangn. Tetapi
keduanya ternyata saling berdiam diri.
Meskipun Swandaru merasa
banyak mendapatkan pengalaman dalam perjalanan itu, dan meskipun sebenarnya ia
masih ingin menjelajahi tempat-tempat yang selama ini belum pernah dilihatnya,
namun ia ingat juga kepada kademangannya. Kademangan yang selama ini dipertahankannya
dengan pengorbanan yang tidak kecil. Bahkan nyawa dari beberapa orang telah
pula dikorbankan.
Sedang Agung Sedayu pun
mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lain pula. Ia menjadi cemas, apakah
kakaknya Untara membenarkannya. Kalau terjadi sesuatu atas Sangkal Putung dan
para prajurit Pajang, bahkan atas kakaknya Untara dan pamannya Widura, maka ia
tidak dapat melihatnya. Ia akan dapat dipersalahkan, bahwa ia telah
meninggalkan kuwajibannya.
Tetapi mereka berdua tidak
ingin mendahului pendapat Sutawijaya. Mereka telah terlanjur berjanji ingin
pergi bersamanya ke Alas Mentaok. Sehingga karena itu, maka dibiarkannya
Sutawijaya itu sendiri menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana, Ngger?” bertanya
Kiai Gringsing kemudian. “aku harap Angger mempertimbangkannya. Meskipun Angger
sampai juga di Alas Mentaok, maka yang akan Angger lihat adalah serupa ini
juga. Pohon-pohon besar dan rimbun, gerumbul-gerumbul perdu yang pepat. Pohon-pohon
yang merambat, yang tidak berduri dan yang berduri. Batu-batu padas yang kotor
dan jamur-jamur dari segala macam jenis. Kemladean dan beberapa macam anggrek.
Angger tidak akan dapat melihat dengen jelas, manakah batas-batas yang
memisahkan Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya. Mungkin sebuah padang rumput yang
sempit yang masuk dalam sebuah lekukan hutan ini dapat dianggap sebagai batas
tersebut. Tetapi di dalam hutan, maka batas itu tidak akan nampak.”
Sutawijaya menjadi bimbang. Ia
menyadari, betapa hangatnya keadaan Sangkal Putung kini. Apalagi apabila
ayahnya telah pergi meniggalkan kademangan itu. Maka Sangkal Putung akan
mengalami saat yang paling lemah tanpa adanya Agung Sedayu, Swandaru dan
lebih-lebih Kiai Gringsing. Sedang apa yang akan dilihatnya pun tidak akan jauh
berbeda dari apa yang dilihatnya sekarang. Beruntunglah bahwa ia telah bertemu
dengan gerombolan terkuat dari Alas Mentaok, Daruka, yang dapat memberinya
beberapa macam gambaran tentang Alas Mentaok yang liar. Liar wajah dan isinya.
Ketika Agung Sedayu dan
Swandaru tidak juga menjawab, maka terdengar Sutawijaya itu berdesis, “Baiklah,
Kiai. Aku telah puas melihat sebagian saja dari Alas Mentaok. Bagian yang
bernama Tambak Baya. Aku mengerti, bahwa Sangkal Putung kini benar-benar dalam
keadaan yang sulit apabila Ki Tambak Wedi mengambil kesempatan menyerangnya.
Karena itu, baiklah kita kembali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus,” desisnya, “ternyata Angger cukup
bijaksana. Sejak saat ini kita akan memerlukan waktu sedikitnya dua malam untuk
mencapai Sangkal Putung kembali. Hari ini telah lebih dari separo kita lampaui
untuk bermain-main dengan Daruka dan kawan-kawannya. Kita masih memrlukan waktu
lagi unuk memberi kesempatan Swandaru memburu makan malamnya nanti.”
Swandaru menggigit bibirnya,
sedang kedua kawannya tertawa perlahan-lahan.
“Kalau begitu,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “kita segera kembali ke Sangkal Putung. Jangan kita lalui
kembali Kademangan Prambanan. Kita pasti akan terhambat pula sedikitnya satu
malam. Kita tidak akan sampai hati menyakiti perasaan mereka apabila kita
menolak permintaan mereka untuk bermalam di kademangan itu.”
“Baik, Kiai” sahut Sutawijaya.
“Kita berusaha mencari jalan
lain pula. Mungkin Argajaya membuat persiapan yang baik untuk menyambut
kedatangan kita di Sangkal Putung. Karena itu, biarlah kita mencoba
menghindarinya.”
“Kenapa tidak kita penggal
saja lehernya, Kiai?” potong Swandaru.
“Leher yang melekat di tubuh
Argajaya bukanlah leher ayam. Ia pasti akan mempertahankan lehernya. Bahkan
tidak seorang diri. Mungkin bersama Sidanti, Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda
dan bahkan mungkin pula Ki Tambak Wedi. Nah, kalau demikian apakah bukan
lehermu yang meremang?”
Swandaru tersenyum. Kedua
kawannya pun tersenyum pula.
“Nah, marilah. Kita harus
mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan
Sangkal Putung.”
Tetapi dengan demikian,
kata-kata Kiai Gringsing yang terakhir itu telah membuat jantung Swandaru
menjadi berdebar-debar. Agung Sedayu pun merasa cemas pula. Apakah sebenarnya
yang paling mencemaskan baginya? Agung Sedayu sendiri kadang-kadang menjadi
ragu-ragu. Untara barangkali? Untara adalah kakaknya. Untara adalah seorang
senapati. Seorang yang memimpin sepasukan prajurit yang kuat. Kenapa ia mesti
mencemaskannya? Sangkal Putung barangkali? Kademangan itu? Agung Sedayu
tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menelusur lebih jauh, apakah
sebabnya kecemasannya tentang Sangkal Putung menjadi kian memuncak.
Keempatnya kini telah berjalan
kembali ke arah yang berlawanan dari jalan yang telah ditempuhnya. Tiba-tiba
saja mereka merasa bahwa mereka telah terlampu lama meninggalkan Sangkal
Putung. Sutawijaya pun merasa, bahwa ayahnya pasti tidak terlampau senang
kepadanya karena kepergiannya yang tanpa pamit itu.
Demikianlah maka mereka
berusaha tanpa berjanji, berjalan secepat-cepatnya untuk mencapai Sangkal
Putung. Mereka paling sedikit masih memerlukan dua malam satu hari di
perjalanan. Kalau saja tidak ada rintangan apapun, kalau saja mereka tidak
berjumpa dengan orang-orang Prambanan yang akan meminta mereka untuk singgah,
kalau saja mereka tidak bertemu dengan Argajaya dan Sidanti.
Sebagian dari harapan mereka
itu pun terjadi. Mereka setelah bermalam satu malam, dapat melampaui Prambanan
tanpa dilihat oleh seorang pun sehingga mereka tidak perlu singgah. Bahkan
mereka berusaha untuk sampai ke Sangkal Putung hari itu juga meskipun larut
malam atau bahkan sampai fajar. Seolah-olah mereka mendapat suatu firasat,
bahwa memang terjadi sesuatu di Sangkal Putung.
Kiai Gringsing agaknya melihat
kegelisahan di hati ketiga anak-anak muda itu. Maka untuk menenangkan mereka
orang tua itu berkata, “Anakmas bertiga. Kenapa Anakmas menjadi sedemikian
tergesa-gesa seperti dikejar hantu?”
Ketiga anak-anak muda itu
terkejut mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Sejenak mereka saling berdiam
diri, tetapi sejenak kemudian mereka tersenyum.
“Bukankah Kiai ingin segera
sampai ke kademanan itu? Kita harus berjalan siang dan malam.”
“Tetapi tidak seperti dikejar
hantu. Aku melihat kalian berjalan meloncat-loncat. Perjalanan kita cukup jauh.
Kalau Anakmas berjalan seperti itu, maka kita pasti akan kelelahan sebelum kita
sampai ke Sangkal Putung.”
Kembali anak-anak muda itu
tersenyum. Yang menjawab kemudian adalah Swandaru, “Jadi apakah lebih baik kita
berjalan perlahan-lahan? Mungkin aku akan mendapat banyak waktu untuk
mendapatkan binatang buruan. Bahkan mungkin aku akan dapat membawa oleh-oleh
buat ayah dan ibu di rumah.”
Kiai Gringsing tertawa.
Katanya, “Tidak terlampau cepat, tetapi tidak terlalu lambat. Sedang.”
Ketiga anak-anak muda itu
tidak menjawab lagi. Tetapi kini mereka tidak lagi meloncat-loncat seperti
orang yang ketakutan.
Ketika malam datang, maka
Sangkal Putung sudah tidak terlalu jauh lagi. Meskipun mereka masih berada di
hutan yang tidak begitu lebat, namun mereka bertekad untuk berjalan terus.
“Bukankah kita sudah sampai di
hutan tempat orang-orang Jipang dahulu berkemah?” gumam Agung Sedayu.
“Ya” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau begitu kita tidak usah
bermalam lagi” berkata Swandaru. “Kita berjalan terus, meskipun perutku
terlampau kosong. Justru karena itu aku harus segera sampai dirumah. Mungkin
masih ada sisa nasi di dapur.”
“Kalau tidak?” potong
Sutawijaya.
“Aku akan berburu.”
“Di mana kau akan berburu?”
“Di kandang ayam” jawab
Swandaru.
Yang mendengar jawaban itu
tertawa. Swandaru pun tertawa pula meskipun sekali-sekali ia harus menyerigai
karena kakinya terantuk kayu atau batu-batu padas.
Tetapi mereka berempat
benar-benar tidak ingin berhenti berjalan.
Kiai Gringsing membiarkan saja
anak-anak muda itu mengambil sikap. Namun tampak juga, bahwa anak-anak muda itu
telah mulai dirayapi oleh perasaan lelah. Meskipun demikian, tak seorang pun
yang ingin berhenti dijalan. Sebelum fajar mereka harus sudah sampai di Sangkal
Putung. Yang dapat mereka lakukan hanyalah memperlambat perjalanan untuk
mengurangi kelelahan mereka. Tetapi tidak untuk berhenti.
Meskipun demikian, meskipun
mereka berjalan malam hari, namun mereka tidak menempuh jalan yang terpendek.
Mereka masih juga memperhitungkan Argajaya dan Sidanti. Argajaya itu dua hari
yang lalu pasti sudah bertemu dengan Sidanti. Paman Sidanti itu pasti sudah
banyak bercerita, dan Sidantipun telah banyak bercerita pula. Karena itu, maka
dendam mereka pasti akan berganda. Gurunya Ki Tambak Wedi pasti tidak pula akan
tinggal diam. Karena itu, maka mereka harus menghindari kemungkinan itu,
kemungkinan bertemu dengan Sidanti, meskipun Swandaru sama sekali tidak ingin
melakukannya.
Ternyata sedikit lewat tengah
malam mereka telah mendekati Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah sampai di
sebuah padang rumput yang tidak begitu luas. Karena itu mereka harus berjalan
agak lebih cepat. Sebab di padang rumput, maka bayangan mereka pasti akan lebih
mudah dilihat oleh siapapun, meskipun mereka telah bergeser beberapa puluh
langkah dari jalan yang terdekat.
Semakin dekat mereka dengan
Kademangan Sangkal Putung, maka hati mereka pun menjadi berdebar-debar. Mereka
tidak melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Mereka tidak melihat kelainan
daripada biasanya. Kalau terjadi sesuatu atas Kademangan itu, maka mereka pasti
melihat suatu perubahan apapun. Mereka masih melihat lampu-lampu yang sinarnya
kadang-kadang meloncat dari celah-celah dinding rumah. Di mulut lorong mereka masih
melihat sebuah pelita yang menyala.
Tiba-tiba Swandaru
memperlambat jalannya sambil menarik nafas dalam-dalam. “Hem, ternyata Sangkal
Putung tidak mengalami sesuatu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab “Begitulah agaknya.”
“Kalau begitu, sejak kini aku
akan berjalan lambat-lambat. Bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa.”
“Ah, kau,” sahut Agung Sedayu,
“akulah kini yang tergesa-gesa. Bukankah kau masih ingin berburu?”
Swandaru tertawa. Tetapi
tiba-tiba ia menguap. “Aku tidak terlalu lelah tetapi aku mengantuk.”
Namun mereka tidak lagi merasa
gelisah. Apalagi ketika mereka sudah memasuki padesan. Namun agaknya Swandaru
ingin mengejutkan orang-orang di kademangan, karena itu katanya, “Marilah kita
tidak melalui jalan. Kita membuat kejutan bagi orang-orang kademangan.”
Kedua kawan-kawannya tidak
membantah. Kiai Gringsing pun menuruti saja kemauan muridnya yang aneh itu.
Tetapi ketika mereka memasuki halaman kademangan lewat belakang, mereka
benar-benar terperanjat. Ternyata kademangan itu benar-benar tidak seperti biasanya.
Bahkan lamat-lamat Swandaru mendengar tangis perempuan. Tangis ibunya.
Mereka berempat itu pun
tertegun sejenak. Suara tangis yang lamat-lamat itu masih mereka dengar.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang tahu, apakah
sebenarnya yang telah terjadi.
Menilik tanda-tanda yang
mereka jumpai di sepanjang jalan, mereka sama sekali tidak melihat bekas-bekas
keributan. Dari tempat mereka menyelinap di antara pepohonan sambil
meloncat-loncat di antara dinding-dinding halaman, mereka melihat gardu-gardu
peronda masih juga seperti biasanya. Memang mereka melihat kesiapsiagaan yang
agak lebih ketat dari kebiasaan. Tetapi mereka menyangka bahwa keadaan sekedar
meningkat menjadi lebih genting, tetapi belum terlambat.
Swandaru menjadi bertambah
cemas ketika tangis itu tidak juga berkurang. Ibunya tidak pernah menangis
karena hal-hal yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya sedang sakit,
tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit gigi, maka ibunya
itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras kali ini.
“Agaknya memang telah terjadi
sesuatu” bisik Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk, “Ya.”
“Tetapi tidak ada tanda-tanda
yang kita temui” sahut Sutawijaya.
Mereka pun kemudian terdiam.
Ketika mereka berpaling kepada Kiai Gringsing, orang tua itu pun sedang
termenung.
“Bagaimana Kiai?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Aku tidak tahu. Marilah kita lihat.”
“Sebenarnya aku ingin
bermain-main. Aku ingin mengejutkan orang-orang kademangan. Diam-diam aku ingin
tidur, sehingga besok pagi mereka pasti terkejut melihat kami di pendapa, atau
di gandok wetan. Tetapi agaknya kita harus berbuat lain.”
“Agaknya kita tidak sedang
menghadapi persoalan yang dapat dibawa untuk bergurau” gumam Kiai Gringsing.
“Marilah jangan terlampau lama.”
Ketiga anak-anak muda itu pun
kemudian mengikuti langkah Kiai Gringsing. Mereka tidak lagi berkata apa pun.
Kiai Gringsing benar-benar sedang berpikir. Kalau Kiai Gringsing saja menjadi
gelisah, maka persoalan yang mereka hadapi pasti bukan sekedar persoalan yang
ringan.
Memang sekali-sekali Swandaru
hanya menganggap bahwa ibunya pasti sedang sakit gigi. Sebab baik di setiap
sudut penjagaan maupun di halaman itu sendiri mereka tidak melihat kekhususan
yang mencolok. Tetapi anggapan itu tidak diyakininya sendiri. Setiap kali
dadanya terasa berdesir, semakin lama menjadi semakin tajam.
Mereka berhenti ketika mereka
melihat dua orang berjalan di bagian belakang halaman itu. Supaya tidak
menimbulkan kegaduhan maka merekapun berhenti dan menyelinap di balik pepohonan.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu terlalu lama, sebab kedua orang itu
ternyata menuju ke tempat yang agak terlindung. Pada saat itulah baru mereka
mengetahui, bahwa di sudut yang gelap itu ternyata telah diadakan sebuah
penjagaan.
Penjagaan di tempat itu tidak
pernah ada sebelumnya. Penjagaan di bagian belakang ini berada di samping regol
yang telah ditutup mati hanya malam hari apabila keadaan mengkhawatirkan.
Sedang penjagaan yang biasa terdapat di tikungan, di gardu perondan. Sekarang
di tempat itu ternyata ada sebuah penjagaan sehingga dengan demikian mereka
dapat menduga sesuatu benar-benar telah terjadi.
Tiba-tiba Swandaru menjadi
tidak bersabar lagi. Dengan terbata-bata ia berbisik, “Kiai, aku akan melihat
apakah yang telah terjadi.”
“Tunggu” cegah Kiai Gringsing.
“Jangan mengejutkan para penjaga yang sedang dalam kesiapsiagaan penuh. Kalau
mereka melihat kita berempat, maka mereka pasti menyangka bahwa mereka
menghadapi bahaya. Dengan demikian, maka kegaduhan pasti akan timbul. Karena
itu, biarlah aku sendiri menemui mereka dan mengatakan bahwa kalian telah
kembali.”
“Baik Kiai” sahut Swandaru
tidak sabar.
Kiai Gringsing pun kemudian
melangkah maju. Perlahan-lahan dan hati-hati. Ternyata para penjaga itu pun
belum melihatnya.
Untuk menghindari
kesalah-pahaman, maka Kiai Grinsing itu pun terbatuk-batuk kecil. Sehingga dari
tempat yang terlindung ia mendengar seseorang menyapanya, “He, siapakah itu?”
“Aku, Tanu Metir.”
“Oh” terdengar seseorang
berdesah. “Kenapa Kiai berada di situ?”
Kiai Grinsing tidak segera
menjawab. Bahkan ia masih juga terbatuk-batuk.