Buku 040
Karena itu, maka timbullah
niatnya untuk berkata langsung saja berterus terang. Ia harus mengatakan, bahwa
ia mendapat tugas untuk menemui Ki Argapati. Bahkan ia menyesal, bahwa ia
menunda-nunda untuk mengatakannya, sehingga keadaan menjadi semakin memburuk.
“Cepat,” bentak Wrahasta
sambil menekankan pedangnya, “ayo berjalanlah!”
“Aku akan mengatakannya,”
berkata Gupita. “Aku akan mengatakan keperluanku sebenarnya.”
“Aku tidak bertanya kepadamu
sekarang. Berjalanlah.”
Gupita menarik nafas. Tidak
ada yang dapat dilakukan kecuali menurut perintah itu. Perlahan-lahan ia
melangkahkan kakinya menuju ke mulut desa. Sedang Wrahasta kemudian berjalan
dibelakangnya sambil menekankan ujung pedangnya.
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia memandang Pandan Wangi, maka dilihatnya tubuh gadis itu
gemetar. Betapa dahsyatnya pergolakan yang terjadi di dada gadis itu. Ia merasa
berada dalam simpang jalan yang kedua-duanya akan membawanya ke dalam
kesulitan. Kalau ia membiarkan Wrahasta berbuat sesuka hatinya, maka ia merasa
bersalah terhadap gembala yang telah menyelamatkannya itu. Tetapi setiap sikap
yang seolah-olah berpihak kepadanya, akan mendorong Wrahasta menjadi semakin
kehilangan nalarnya.
“Angger Pandan Wangi,” bisik
Kerti, “cara yang sebaik-baiknya adalah menyampaikannya kepada Ki Argapati. Ki
Argapati akan bersikap. Kau dapat meminta ayahmu untuk memanggil gembala itu
langsung.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Itu adalah jalan yang paling baik
Paman. Tetapi aku tidak tahu, apakah ayah akan mendengarkan kata-kataku.”
“Ayahmu telah mengenal Gupala
yang memberikan obat kepadanya. Ia pasti akan mempertimbangkannya dengan baik
apabila kau katakan bahwa Gupita adalah kakaknya.”
Pandan Wangi
mengangguk-angguk, “Baik, Paman, aku akan menghadap ayah.”
Pandan Wangi, Kerti, dan dua
orang pengawal yang datang bersamanya segera melangkah kembali ke regol
halaman. Di muka mereka, Wrahasta mendorong-dorong punggung Gupita dengan ujung
pedangnya diikuti oleh kedua pengawalnya.
“Cepat, jangan berbuat sesuatu
yang dapat memaksa aku menghunjamkan ujung pedang ini ke punggungmu.”
Gupita tidak menyahut. Tetapi
ia memang tidak berhasrat untuk melawan. Ia masih berpengharapan untuk mendapat
kesempatan bertemu dengan Ki Argapati. Kalau ia tidak membuat para pengawal itu
semakin marah maka para pengawal itu pun pasti tidak akan berlaku
berlebih-lebihan.
Namun Gupita itu memang sama
sekali tidak tahu, apakah yang telah mendorong Wrahasta berlaku sedemikian
kasarnya terhadapnya.
Para pengawal yang berada di
regol desa, kini telah berdiri berdesak-desakan. Beberapa orang yang tidak
bertugas sekalipun ingin melihat, apa yang sedang terjadi. Mereka saling
bertanya dan berbisik-bisik ketika mereka melihat Wrahasta membawa seseorang menuju
ke arah mereka.
“Siapakah orang itu?” desis
seseorang.
“Orang itulah yang membunyikan
seruling di balik gerumbul-gerumbul itu.”
“Memang mencurigakan.”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menjadi semakin tegang ketika mereka
melihat Wrahasta mendorong orang itu dengan pedang terhunus. Sementara para
pengawalnya, Pandan Wangi, dan Kerti berjalan di belakang.
Ketika Wrahasta menjadi
semakin dekat, maka para pengawal di muka regol itu pun bersibak, untuk memberi
jalan kepada pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu.
Di hadapan para pengawal itu
Wrahasta berhenti sesaat sambil berkata, “Orang ini adalah petugas sandi yang
dikirim oleh Sidanti untuk mengamat-amati pertahanan kita di siang hari. Nanti
malam mereka akan datang lagi. Pada suatu saat, apabila mereka sudah tahu pasti
tentang keadaan kita, maka mereka tidak akan sekedar menakut-nakuti kita dengan
obor-obor mereka. Mereka pasti akan benar-benar menusuk pertahanan ini dengan
perhitungan yang telah matang.”
“Kau keliru,” sahut Gupita,
“aku akan menjelaskan.”
“Diam!” bentak Wrahasta. “Aku
tidak memerlukan segala macam dongengan khayal itu. Aku ingin tahu keadaanmu
sebenarnya. Dan kau harus mengatakan, siapakah sebenarnya kau.”
“Aku akan mengatakan, tetapi
aku sama sekali bukan orang Sidanti,” jawab Gupita.
“Bohong!“ teriak Wrahasta,
yang tiba-tiba telah mengacukan pedangnya di hadapan hidung Gupita.
Gupita tidak menyahut lagi. Ia
harus menahan hati, untuk menemukan kesempatan yang baik. Ia percaya bahwa
orang-orang Menoreh adalah orang-orang yang memiliki harga diri yang tinggi,
dan mereka bukan termasuk orang-orang yang menyukai kekerasan. Karena itu,
Gupita masih mempunyai harapan, bahwa ia akan dapat mengatakan yang sebenarnya
kepada para pengawal itu.
Namun hatinya menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan dengan tergesa-gesa
masuk ke dalam regol tanpa berpaling lagi kepadanya. Hampir saja ia berteriak
memanggil, namun niatnya itu segera diurungkannya, supaya ia tidak menambah
persoalan lagi. Agaknya memang orang yang bertubuh raksasa inilah yang kini
mendapat kekuasaan untuk berbuat apa saja yang dianggapnya perlu untuk
melindungi Tanah ini.
Tanpa disadarinya, tangan
Gupita itu meraba-raba kantong bajunya. Di dalamnya terdapat sebungkus obat
obatan yang harus diserahkannya kepada Ki Argapati.
“Hem,” ia menarik nafas
dalam-dalam, “aku mempunyai sekedar bukti. Mudah-mudahan mereka dapat
mempercayainya.”
Gupita itu sama sekali tidak
melawan ketika ia didorong masuk ke dalam regol dan dibawa oleh Wrahasta dengan
beberapa orang pengawal menuju ke sebuah halaman rumah yang agak luas. Rumah
yang selama ini dipergunakan oleh para pemimpin pengawal sebagai pusat pimpinan
mereka.
Samekta yang berada di rumah
itu terkejut melihat Wrahasta membawa seseorang masuk ke halaman. Apalagi
ketika ia melihat, orang yang dibawa itu adalah gembala yang pernah dikenalnya,
Gupita.
Dengan tergesa-gesa Samekta
turun dari pendapa menemui Wrahasta di halaman sambil bertanya, “Dari mana kau
bawa anak muda itu?”
“Aku menemukannya di muka
regol. Aku yakin sekarang, bahwa orang ini memang seorang petugas sandi yang
sengaja dikirim oleh Sidanti.”
Samekta menarik keningnya.
Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya Kerti berjalan memasuki regol itu
pula. Ia mendapat pesan dari Pandan Wangi, supaya ia berusaha melindungi Gupita
sebelum ia dapat bertemu dengan ayahnya Ki Argapati.
“Aku mendapatkannya di depan
regol,” berkata Kerti sambil melangkah mendekat.
Samekta menjadi bingung.
Keduanya mengatakan kepadanya, bahwa mereka masing-masinglah yang mendapatkan
Gupita itu.
“Tetapi Paman Kerti tidak
berbuat apa-apa. Seperti orang yang kena tenung ia berdiri saja seperti patung.
Akulah yang menangkapnya.”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Samekta memandangi wajah Kerti, tetapi Kerti tidak menyahut. Karena
itu maka Samekta pun kemudian bertanya kepada Wrahasta, “Apakah yang
dilakukannya?”
Pertanyaan itu telah
membingungkan Wrahasta, sehingga sejenak ia tidak menyahut. Yang terdengar
adalah suara Kerti, “Bersenandung dengan serulingnya itu.”
Samekta mengerutkan keningnya,
Dan Kerti berbicara terus, “Aku dan Angger Pandan Wangi tertarik akan suara
seruling itu. Ketika aku melihatnya, maka aku dapati Angger Gupita. Sebelum
kami sempat berbuat sesuatu, maka datanglah Angger Wrahasta.”
“Adalah mencurigakan sekali
bahwa seseorang datang ke tempat ini sekedar untuk bersenandung,” sahut
Wrahasta kemudian. “Ia pasti mempunyai tugas yang jauh lebih penting daripada
bermain seruling di tempat yang berbahaya itu. Hanya orang-orang gila sajalah
yang tidak tahu, bahwa daerah ini adalah daerah garis perang.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang tidak akan masuk di akal, apabila Gupita datang tanpa maksud.
Tetapi maksud kedatangannya itulah yang harus diketahuinya.
Sebelum Samekta berbuat
sesuatu, tiba-tiba terdengar suara Wrahasta lantang, “Periksa, apakah ia
menyembunyikan senjata.”
Perintah itu telah
mengejutkan. Bukan saja Gupita, tetapi juga Samekta, apalagi Kerti, sehingga
dengan serta-merta ia berkata, “Tunggu. Kita belum bertanya sesuatu kepadanya.”
“Kita akan bertanya,“ potong
Wrahasta, “tetapi kita harus yakin bahwa ia tidak akan berbahaya lagi. Karena
itu, orang ini harus dilihat, apakah ia membawa senjata yang tersembunyi.”
Kerti masih akan menjawab,
tetapi niatnya diurungkan ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Ternyata
orang itu adalah Samekta sendiri. Ketika Kerti sedang memandangi wajahnya, maka
Samekta itu pun mengedipkan matanya, seolah-olah ia memberikan isyarat,
“Biarlah apa saja yang akan dilakukannya.”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia berbisik, “Aku terpaksa berterus-terang kepadamu. Aku
mendapat perintah dari Pandan Wangi untuk melindungi anak muda itu.”
“Di mana Pandan Wangi
sekarang?” bertanya Samekta perlahan-lahan.
“Ia pergi ke ayahnya. Ia tidak
dapat mencegah Wrahasta menangkap laki-laki muda itu. Agaknya perasaan
cemburunya jauh lebih besar dari kecurigaannya sebagai seorang pemimpin
pengawal.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia melihat kini Wrahasta berdiri bertolak pinggang di hadapan
Gupita. Beberapa orang pengawal telah mengerumuninya untuk mulai melihat apakah
ia tidak bersenjata.
“Hem,” Samekta berdesah, “anak
muda yang bertubuh raksasa itu telah menimbulkan kesulitan baru pada kita yang
sedang terdesak ini. Melihat sikap dan tingkah lakunya, aku yakin, anak itu
bukan berpihak kepada Sidanti.”
“Aku juga berpendirian begitu,
meskipun kita masih harus tetap mencurigainya,” sahut Kerti. “Namun tingkah
laku Wrahasta sudah agak berlebih-lebihan.”
“Biarkanlah, apa yang akan dilakukannya,
asal ia tidak bernafsu untuk membunuhnya.”
Sementara itu, beberapa orang
pengawal telah mulai melakukan tugasnya. Sementara terdengar suara Wrahasta
lantang, “Buka bajunya.”
Gupita mengerutkan dahinya. Ia
terpaksa berkata, “Tuan, di dalam baju ini tersimpan sesuatu yang sangat
berharga. Berharga bagi aku dan berharga bagi kalian.”
“Omong kosong. Justru usahamu
untuk menipu kami itulah yang memaksa kami semakin bernafsu untuk melihatnya.”
Kemudian kepada para pengawal ia berteriak, “Cepat, buka bajunya!”
Ketika para pengawal mulai
meraba tubuhnya, tiba-tiba Gupita itu melangkah surut sambil berkata, “Aku
dapat membuka bajuku sendiri. Aku akan membukanya dan menunjukkannya kepada
kalian, apakah yang aku bawa.”
Para pengawal yang telah mulai
mengulurkan tangannya itu, terpesona sesaat, sehingga mereka berdiri saja
mematung. Mereka tidak berbuat sesuatu ketika Gupita mengambil bungkusan dari
kantong bajunya.
“Lihat,” katanya, “inilah
sesuatu yang aku katakan itu. Ini adalah obat untuk Ki Argapati seperti obat
yang pernah diterimanya dahulu. Di antara para pengawalnya pasti tahu, bahwa
seorang anak muda yang bertubuh gemuk dan bernama Gupala telah memberi obat
kepadanya ketika ia terluka di Pucang Kembar. Bertanyalah kepada Ki Gede apakah
kata-kataku itu mengandung kebenaran.” Gupita berhenti sejenak, lalu, “Nah,
siapakah di antara kalian yang melihat, apa yang terjadi di Pucang Kembar itu?”
Tanpa sesadarnya Kerti
melangkah maju sambil berkata, “Akulah saksinya. Aku melihat apa yang telah
terjadi itu, dan aku membenarkannya.”
Sepercik warna merah telah
membakar wajah Wrahasta. Namun kemudian ia berkata, “Kenapa bukan anak yang
gemuk itulah yang saat ini datang kemari? Kenapa kau? Ki Argapati memang pernah
berkata bahwa seseorang, anak yang gemuk itu telah datang kepadanya di Pucang
Kembar. Tetapi bukan kau. Dan kau dapat membuat cerita tentang anak muda yang
bernama Gupala, kemudian kau menyebut dirimu dengan nama yang mirip nama anak
yang gemuk itu. Tetapi apa buktimu bahwa kau mengenal apalagi saudara anak yang
gemuk itu. Obat itu sama sekali bukan jaminan. Justru aku bercuriga, apakah
obat itu bukan racun yang dapat membakar luka Ki Argapati dan membuatnya
cidera.”
Dada Gupita bergolak
karenanya. Obatnya tidak dapat menolongnya, dan bahkan keterangan Kerti itu pun
sama sekali tidak dihiraukannya. Karena itu, maka sejenak Gupita menjadi
bimbang. Apakah ia harus mempertahankan dirinya dengan kekerasan. Mungkin ia
dapat melepaskan dirinya dan lari lewat regol padesan. Apabila ia sudah berada
di luar, maka ia akan bebas.
Tetapi sekali lagi niat itu
diurungkannya. Dengan demikian ia akan membuat jarak menjadi semakin jauh. Dan
ia tidak yakin, apakah ia dapat melarikan diri, menyusup sekian banyak pengawal
di padesan ini.
Perlahan-lahan Gupita menarik
nafas. Ia masih mencoba memandang ke sekelilingnya, apakah ia dapat menemukan
Pandan Wangi. Tetapi ia sekali lagi menjadi kecewa. Pandan Wangi tidak ada di
antara orang Menoreh yang mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih mempunyai
harapan, bahwa orang tua yang bernama Kerti itu pada saatnya akan memberinya
jalan menghadap Ki Argapati.
Sementara itu, Pandan Wangi
melangkah. Cepat-cepat dan bahkan hampir berlari-lari ke tempat peristirahatan
ayahnya. Ia harus segera menyampaikan apa yang telah terjadi, supaya ayahnya
dapat menolong gembala yang telah menyelamatkannya dari tangan Peda Sura itu.
Tetapi alangkah kecewa gadis
itu. Ketika ia menengok bilik ayahnya, ternyata ayahnya sedang tidur dengan
nyenyaknya.
“Kau, Nini,” desis seseorang.
Ternyata Pandan Wangi terkejut sehingga hampir saja ia meloncat.
“Oh,” ia menarik nafas.
Ternyata suara itu adalah suara perempuan tua pemilik rumah.
“Ki Argapati baru saja dapat
tidur. Tubuhnya agak menjadi panas lagi. Menurut keterangannya, obat pada
lukanya sudah hampir menjadi tawar. Kalau ia tidak segera mendapat obat yang
baru, maka keadaannya akan dapat menjadi berbahaya, Ngger.”
Wajah Pandan Wangi menegang.
Tetapi sebelum ia berkata sesuatu perempuan tua yang membantu melayani ayahnya
itu berkata, “Biarlah ayah beristirahat. Bukankah kau juga akan beristirahat.
Kalau ayah terkejut dan terbangun, maka badannya akan menjadi semakin terasa
sakit.”
Sejenak Pandan Wangi terpukau
di tempatnya dalam kebingungannya. Tetapi kemudian ia menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ditinggalkannya pintu bilik ayahnya menuju ke dalam biliknya sendiri. Dengan
dada yang berdebar-debar ia masuk, kemudian meletakkan dirinya di
pembaringannya.
Tetapi dengan demikian ia
menjadi semakin gelisah. Apakah yang kira-kira kini dilakukan oleh Wrahasta
atas gembala yang bernama Gupita itu?
Dalam kegelisahannya itu,
Pandan Wangi berbaring sejenak, kemudian bangkit berdiri. Melangkah hilir-mudik
sambil meremas-remas jari-jari tangannya sendiri. Sekali-kali dirabanya hulu
pedangnya. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengambil kesimpulan sesuatu.
Di halaman pusat pimpinan
pasukan pengawal Menoreh, Gupita dilingkari oleh beberapa pengawal yang
bersenjata. Di tangannya masih tergenggam sebungkus obat dari gurunya yang
harus diserahkan kepada Ki Argapati. Tetapi ternyata pemimpin pengawal yang
bertubuh raksasa itu tidak mau mempercayainya, sehingga dengan demikian Gupita
merasa, bahwa ia benar-benar berada di ambang pintu kesulitan.
“Kenapa Pandan Wangi sama
sekali tidak berpengaruh atas anak buah ayahnya?” pertanyaan itu melonjak di
dalam dada Gupita. Ia sama sekali tidak dapat mengerti, bahwa Pandan Wangi sama
sekali tidak dapat berbuat sesuatu, dan bahkan meninggalkannya.
Gupita terkejut ketika
Wrahasta kemudian berkata, “Buka bajunya. Kenapa kalian berdiri saja mematung.”
Para pengawal yang berdiri di
seputar Gupita itu pun terkejut pula. Serentak mereka bergerak. Tetapi sekali
lagi mereka tertegun ketika Gupita berkata, “Sudah aku katakan. Aku akan
membuka bajuku sendiri. Tetapi ingat, aku sudah mengatakan yang sebenarnya,
bahwa bungkusan ini adalah obat untuk kepala tanah perdikanmu yang terluka itu.
Kalau ia terlambat menerimanya, dan akibat dari kelambatan ini telah
membahayakan jiwanya, itu sama sekali bukan salahku.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Sejenak ia terpengaruh oleh kata-kata Gupita itu.
Lebih-lebih lagi Kerti. Hampir
saja ia melangkah maju. Tetapi sekali lagi Samekta menggamitnya dan berkata
lirih, “Kalau kita berusaha mencegahnya, anak muda itu akan marah. Dengan demikian
pasti akan timbul persoalan di antara kita. Kita tunggu saja apa yang akan
dilakukan, asal tidak membahayakan jiwa anak muda itu.”
“Tetapi siapakah yang akan
menanggung akibatnya, apabila obat itu terlambat, apalagi rusak.”
Samekta termenung sejenak.
Lalu katanya “Kita awasi saja, apa yang akan dilakukan oleh Wrahasta.”
“Kau yang mendapat wewenang
memimpin seluruh pasukan pengawal. Kau bertanggung jawab atas semuanya ini.”
Dada Samekta berdesir. Kerti
yang tua, yang senang bergurau itu tidak pernah berkata demikian
bersungguh-sungguh kepadanya. Agaknya ia memang sedang dibingungkan oleh
keadaan yang dihadapinya. Namun demikian Samekta itu mengangguk dan menjawab,
“Baiklah. Aku akan berusaha untuk menjaga, agar tidak terjadi sesuatu atas anak
muda itu dan obatnya sekali. Bukankah saat ini Pandan Wangi sedang menghadap
ayahnya? Kalau Ki Argapati mempercayainya, maka gadis itu akan segera datang
atas nama Ki Argapati, dan berbuat atas namanya pula. Tetapi kalau tidak, itu
berarti bahwa Ki Argapati pun meragukan gembala itu, sehingga kita memang perlu
berhati-hati.”
Debar di dada Kerti terasa
menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia mengerti kesulitan
yang dihadapi Samekta pula. Pemimpin tertinggi pasukan Pengawal itu tidak ingin
mengecewakan Wrahasta, yang tenaganya kini sangat diperlukan. Tetapi apakah
dengan demikian, anak muda yang membawa obat untuk Ki Argapati itu akan
dikorbankan?
Yang diharapkannya segera
datang kini adalah Pandan Wangi. Ia akan dapat menolong Gupita atas nama ayahnya,
dan menyelamatkan obat itu pula.
Tetapi Kerti terkejut ketika
ia mendengar Wrahasta berbicara, “Nah, kalau kau berkata sebenarnya, bahwa obat
itu benar-benar akan dapat menyembuhkan Ki Argapati, cobalah, cicipi barang
sedikit.”
“Tidak mumgkin,” jawab Gupita,
“Obat ini adalah obat untuk luka Ki Argapati. Obat yang harus ditaburkan atas
luka itu. Sama sekali bukan obat untuk diminum atau dimakan, karena obat ini
mengandung racun.”
“Nah,” tiba-tiba Wrahasta
berteriak, “kau sekarang sudah mengaku, bahwa obat yang kau katakan itu adalah
racun. Dengan demikian jelas, bahwa kau benar-benar orang Sidanti yang akan
mencoba membunuh Ki Argapati dengan cara yang sangat licik setelah kau berhasil
mempengaruhi Pandan Wangi.”
Wajah Gupita menjadi merah.
Hampir-hampir ia kehilangan akal. Namun dengan sekuat tenaga ia masih berusaha
menahan dirinya. Ia masih mengharap perubahan yang dapat terjadi pada para
pengawal yang mengerumuninya. Terutama Kerti.
Sementara itu Kerti sendiri
menjadi sangat gelisah. Pandan Wangi masih belum nampak datang. Setiap kali ia
memandang ke arah regol halaman menunggu kedatangan gadis itu. Namun setiap
kali yang dilihatnya adalah pengawal-pengawal yang berdatangan untuk melihat
apa yang telah terjadi di halaman itu.
“Nah,” berkata Wrahasta
kemudian, “sekarang kalau kau tidak senang orang lain membuka bajumu. Bukalah.
Apakah kau membawa senjata yang kau sembunyikan dengan licik pula?”
Gupita menjadi ragu-ragu.
Tetapi ia tidak dapat menolak. Karena itu, maka dengan hati-hati disimpannya
lagi bungkusan obat itu di dalam kantong bajunya yang kemudian perlahan-lahan
dibukanya.
“Aku akan membuka bajuku.
Tetapi aku tidak mau menanggung akibatnya apabila obat itu rusak. Percaya atau
tidak percaya, aku ingin menyerahkan obat itu langsung kepada Ki Argapati,”
berkata Gupita.
“Itu tergantung dari
keputusanku,” sahut Wrahasta, “karena itu aku ingin melihat apakah kau mampu
membuktikan bahwa dirimu bukan petugas sandi dari Sidanti dan gurunya yang gila
itu.”
Sesaat kemudian semua mata
terpusat kepada Gupita yang berada di tengah lingkaran manusia. Semua mata
mengikuti gerak tangannya yang dengan enggan telah membuka bajunya sendiri
Tiba-tiba hampir setiap mulut
berdesis ketika mereka dengan terperanjat melihat sesuatu yang melilit pada
tubuh Gupita, di luar ikat pinggangnya. “Cambuk.”
“Anak muda itu membawa
cambuk,” gumam seorang pengawal yang gemuk.
”Ya. Ia membawa cambuk,” sahut
yang lain.
Meskipun Samekta sudah pernah
melihat Gupita membawa cambuk, tetapi ia mengerutkan keningnya. Cambuk yang
dibawanya kini bukan sekedar cambuk seperti yang pernah dilihatnya. Cambuk
seorang gembala. Tetapi cambuk yang dilihatnya kini, benar-benar sehelai cambuk
yang mendebarkan jantung.
Kerti yang tua
mengangguk-anggukkan kepalanya, Tanpa sesadarnya ia bergumam, “Ya, cambuk
semacam itulah yang pernah aku lihat di Pucang Kembar. Anak muda yang gemuk dan
bernama Gupala membawa cambuk serupa itu pula.”
Yang kemudian berdiri mematung
adalah Wrahasta. Sejenak ia terpukau oleh cambuk yang dibawa oleh Gupita. Meskipun
cambuk itu belum terurai, namun terasa bahwa cambuk itu bukanlah cambuk
kebanyakan.
Tetapi lebih dari pada itu, ia
telah dibebani oleh berbagai perasaan yang berbenturan. Sebagai seorang
pengawal ia berdebar-debar karena ia melihat seorang anak muda yang membawa
cambuk. Selama ini ia membuat tiruan dengan mempersenjatai beberapa orang
pengawal berkuda, menjadi bayangan dari orang-orang yang bersenjatakan cambuk.
Seperti cerita Ki Gede, seseorang telah ditemuinya di bawah Pucang Kembar
dengan cambuknya, dan yang diceritakan oleh Pandan Wangi bahwa seorang anak
muda yang bersenjata cambuk telah menyelamatkannya.
Namun di dalam dadanya itu
pula bergolak perasaan cemburu seorang anak muda yang menggelegak tidak
terkendalikan. Agaknya anak muda inilah yang telah mendapat pujian dan dikagumi
oleh Pandan Wangi justru karena cambuknya itu.
Tiba-tiba kejantanan Wrahasta
mendidih di dalam dada yang serasa telah terbakar itu. Berbagai perasaan yang
saling berbenturan telah menjadikannya semakin bingung, sehingga sikapnya pun
menjadi kabur. Namun harga dirinya sebagai seorang laki-laki telah meledak
dengan dahsyatnya.
Maka sejenak kemudian Wrahasta
itu pun maju selangkah, masuk kedalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Dengan bertolak pinggang ia berkata lantang, “He Gupita. Aku pernah
mendengar betapa dahsyatnya cambukmu itu. Aku pernah mendengar seseorang yang
lain, yang bersenjatakan cambuk, telah menarik kepercayaan Ki Argapati pula.
Bahkan kami semuanya di sini yang mabuk akan cerita-cerita kepahlawanan
manusia-manusia bersenjata cambuk itu, telah membuat bayangannya, dengan
mempersenjatai beberapa orang dengan cambuk pula. Maksud kami adalah cukup
jelas. Kami ingin menakut-nakuti Sidanti dengan cambuk itu. Tetapi kami di sini
sama sekali belum mengetahui siapakah sebenarnya manusia-manusia yang penuh
dengan rahasia itu. Apakah kami tidak justru ditertawakan oleh Sidanti dan
gurunya, karena manusia-manusia bercambuk itu sebenarnya adalah orang-orang
mereka.”
“Kalau juga Gupala yang kau
maksud,” potong Gupita, “maka Ki Argapati pasti sudah tidak akan dapat kembali
lagi. Dengan racun yang memperkuat bisa warangan senjata Ki Tambak Wedi
betapapun lemahnya, maka Ki Argapati akan segera meninggal. Tetapi seperti yang
kalian lihat, Ki Argapati masih tetap hidup sampai saat ini. Apakah dengan
demikian kalian masih meragukan kami? Bahkan sekarang aku datang untuk
memperbaharui obat yang pasti telah tidak mempunyai daya penyembuh lagi.”
Wrahasta tidak segera
menyahut. Kata-kata itu memang mengandung kebenaran. Tetapi api kecemburuannya
agaknya telah membuat akalnya menjadi hangus sehingga ia berkata, “Kenapa bukan
Gupala itu yang datang kemari, sehingga salah seorang dari kami akan segera
mengenalnya? Kenapa orang lain yang bernama Gupita? Mungkin aku dapat
mempercayainya apabila Gupala sendiri datang kemari. Tetapi aku masih belum
mempercayai kau. Kini aku ingin membuktikan apakah kau benar-benar mampu
menolong Pandan Wangi, melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura. Apakah itu bukan
sekedar permainan yang licik untuk menjerat kepercayaan Pandan Wangi terhadap
kau. Dan kau sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut apa pun dengan Gupala.
Kalau kau menyebut ciri yang sama, cambuk itu, maka setiap orang dapat membuat
cambuk serupa itu.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam.
Ia menjadi ragu-ragu menghadapi keadaan itu. Segala macam pertimbangan telah
melingkar-lingkar di kepalanya seperti sifat-sifatnya yang dibawanya sejak
kanak-kanak. Ia mencoba mencari jalan yang paling baik yang dapat ditempuhnya
untuk menghadapi keadaan ini. Keadaan yang tidak diduga-duganya sama sekali.
Tanpa sesadarnya matanya
hinggap pada wajah Kerti yang tegang. Kemudian dipandanginya Samekta dan para
pemimpin yang lain. Tetapi para pemimpin itu pun telah dicengkam oleh
kebingungan. Mereka tidak dapat mencegah Wrahasta, agar Wrahasta tidak marah
dan menimbulkan kesulitan di antara para pemimpin itu sendiri. Samekta yang
merasa bertanggung jawab oleh semua peristiwa di dalam lingkungan pagar pring
ori itu pun menjadi semakin bingung. Seperti Kerti maka harapannya kemudian
adalah keputusan Ki Argapati sendiri.
“Cepat!” tiba-tiba Wrahasta
berteriak.
Gupita yang masih kebingungan
itu pun bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya?”
“Aku ingin melihat, apakah kau
benar-benar dapat membebaskan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.” Dan
Wrahasta itu pun kemudian berteriak kepada para pengawal, “Beri aku sehelai
cambuk yang sering dibawa oleh para pengawal berkuda. Aku ingin melihat, apakah
orang bercambuk ini benar harus dikagumi. Dan bahwa tidak ada orang lain yang
dapat mempergunakan cambuk sebaik anak ini.”
Melihat sikap Wrahasta yang
seolah-olah telah kehilangan kendali itu Kerti dan Samekta menjadi semakin
cemas. Untuk membiarkannya berkelahi melawan anak muda yang bersenjata cambuk
itu pun Samekta harus membuat pertimbangan yang menegangkan syarafnya.
Seandainya Wrahasta dapat dikalahkan, maka ia akan menjadi semakin
bermata-gelap dan akan mempergunakan kewenangannya untuk menghancurkan orang
itu. Tetapi apabila ia menang, maka ia pun akan dapat berbuat di luar dugaan.
Wrahasta pasti akan menjadi semakin tidak percaya lagi kepada Gupita, atau
justru mempergunakam kesempatan itu untuk memuaskan hatinya yang sedang dibakar
oleh kecemburuan.
Karena itu, maka Samekta
segera melangkah maju sambil berkata, “Sudahlah Wrahasta. Aku kira kau tidak
perlu menitikkan keringatmu untuk masalah-masalah yang tidak berarti. Biarlah
aku menyelesaikan anak ini. Bukan aku sendiri, tetapi biarlah kita bersama-sama
mencari penyelesaian yang semudah-mudahnya tanpa menyulitkan diri sendiri.”
“Tidak,” potong Wrahasta tanpa
menunggu Samekta selesai berbicara. “Aku bukan pengecut.”
“Memang bukan,” jawab Samekta.
“Aku sependapat, bahwa anak muda itu adalah tawanan kita. Kita berhak mendapat
keterangan daripadanya tanpa cara yang begitu sulit. Tidak sewajarnya bahwa
kita, atau salah seorang dari kita harus melayaninya berkelahi dengan tujuan
apa pun.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Kata-kata Samekta itu telah menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja ia
merasa dihadapkan ke muka cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Dan tiba-tiba
ia merasa bahwa perkelahian itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
sikapnya sebagai pengawal tanah perdikan yang berhadapan dengan seorang
tawanan. Tetapi sikapnya adalah sikap seorang laki-laki muda yang sedang
dibakar oleh perasaan cemburu.
Sejenak Wrahasta tidak
menjawab. Ia mencoba menemukan keseimbangan dalam dirinya. Namun ternyata harga
dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi laki-laki muda yang dialasi oleh
perasaan cemburu, sama sekali tidak dapat dikendalikannya.
Karena itu, maka Wrahasta itu
menjawab, “Tidak. Aku tidak ingin dibayangi oleh gambaran-gambaran yang tidak
benar. Seolah-olah tidak ada laki-laki di atas tanah perdikan ini, sehingga
untuk menyelamatkan Pandan Wangi diperlukan orang lain yang sama sekali tidak
dikenal. Apalagi bayangan orang-orang bercambuk yang setiap saat ikut serta
dalam pasukan berkuda itu agaknya telah membuat gambaran yang suram dari
kepercayaan atas diri sendiri di atas tanah ini. Apakah kita terlampau menggantungkan
diri kepada orang lain yang tidak kita kenal, sehingga kita harus mengorbankan
harga diri kita? Tidak. Marilah kita lihat, apakah manfaatnya kita mengagumi
orang-orang bercambuk.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Didekatinya Wrahasta yang berdiri tegang.
“Sebaiknya kau tenangkan
dirimu.”
“Aku tidak sedang kehilangan
akal,” jawabnya lantang. “Aku masih tetap menyadari apa yang aku lakukan.
Karena itu, jangan ganggu aku.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia berpaling, memandangi wajah Kerti yang
kecemasan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak akan dapat mencegah
Wrahasta dengan perintah sebagai pimpinan tertinggi pasukan Menoreh di hadapan
sekian banyak pengawal dan bahkan seorang yang datang dari luar lingkungan
mereka. Perintah yang demikian pasti akan menyinggung perasaan Wrahasta.
Mungkin ia akan mematuhi perintah itu sebagai seorang bawahan, tetapi ia pasti
akan menyimpan sesuatu yang dapat meledak setiap saat, justru Tanah ini sedang
dalam bahaya. Tetapi apabila Wrahasta tidak mau mendengar perintahnya, maka ia
pasti akan tersinggung pula. Dan mungkin ia sendiri akan melakukan
tindakan-tindakan yang dapat lebih mempertajam persoalan ini.
Karena itu, maka Samekta tidak
dapat melarang Wrahasta melakukan rencana. Namun ia berpesan, “Ingat Wrahasta.
Di atas kita masih ada Ki Argapati. Mungkin ia mempunyai sikap sendiri.”
“Aku menunggu setiap
perintahnya,” desis Wrahasta. “Tetapi sebelum ada perintah dari Ki Argapati,
aku akan berbuat menurut kebijaksanaanku.”
Gupita masih saja berdiri
mematung. Namun dadanya menjadi berdebar-debar. Apalagi setelah Wrahasta
memegang sehelai cambuk yang mirip dengan cambuknya sendiri. Berjuntai panjang
dan bertangkai pendek.
“Cepat, uraikan cambukmu itu,”
berkata Wrahasta lantang.
Gupita masih tetap
termangu-mangu. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitamya. Yang dilihatnya
adalah sorot-sorot mata yang tegang dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, Kerti dan Samekta berdiri dengan penuh kebimbangan. Mereka
sekali-sekali berpaling ke arah regol halaman, sambil mengharap kehadiran
Pandan Wangi yang akan bertindak atas nama ayahnya untuk mencegah perkelahian
yang tidak akan banyak berarti apa-apa dari segi pengamanan Tanah Perdikan
Menoreh, bahkan mungkin sebaliknya.
“Cepat!” Wrahasta berteriak.
“Kalau kau tidak berusaha untuk membela diri, jangan menyalahkan aku, kalau
kulitmu akan terkelupas.”
Gupita mengerutkan dahinya.
Namun kemudian ia berkata, “Bukan maksudku untuk berkelahi di sini. Aku datang
untuk menyampaikan obat kepada Ki Argapati. Tetapi aku disudutkan kepada suatu
keharusan untuk berkelahi. Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepada kalian
yang melingkari arena ini. Seandainya aku tidak dapat lagi menyampaikan obat
itu, aku minta tolong kepada kalian yang bersedia, semata-mata untuk
kepentingan tanah perdikan kalian, agar obat itu, sampai kepada Ki Argapati.
Apakah kemudian akan dipergunakan atau akan dibuangnya, itu terserah kepada Ki
Gede sendiri.” Gupita berhenti sejenak, kemudian ditatapnya wajah anak muda
yang bertubuh raksasa, jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri. Kemudian
perlahan-lahan ia mengurai cambuknya setelah meletakkan bajunya di tepi arena
sambil berkata dalam nada yang datar, “Marilah, aku sudah bersedia.”
Wajah Wrahasta yang merah
menjadi semakin merah. Meskipun demikian terpercik secercah keheranan di dalam
hatinya. Meskipun Gupita itu berada di dalam lingkaran para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh, namun wajahnya sama sekali tidak membayangkan ketakutan dan
kecemasan. Yang dilihatnya pada wajah itu hanyalah sekedar keragu-raguan.
Justru karena itu maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menjadi
berdebar-debar. Namun demikian, Wrahasta terlampau percaya kepada dirinya,
kepada kekuatan raksasanya. Sedang anak muda yang berdiri di hadapannya adalah
anak muda yang terlampau biasa. Tingginya tidak lebih dari pundaknya.
“Bagus,” geram Wrahasta
kemudian. “Kau memang seorang anak muda yang berani. Tetapi kau harus menyesal,
bahwa kau telah terperosok ke dalam lingkaran para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Aku sama sekali tidak
terperosok ke dalam lingkungan pring ori ini,” sahut Gupita. “Aku sengaja masuk
ke dalamnnya.”
“Persetan!” potong Wrahasta
yang perlahan-lahan melangkah mendekat. Cambuknya telah mulai berputar, dan
sejenak kemudian cambuk itu pun meledak memekakkan telinga.
Tetapi ternyata bahwa suara
cambuk itu adalah ledakan yang wajar dari hentakan juntainya yang panjang. Sama
sekali tidak menumbuhkan getar apa pun di dalam dada orang-orang yang
berkerumun itu, kecuali sentuhan langsung pada selaput telinga mereka.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Dari ledakan suara cambuk itu ia dapat menduga, bahwa sebenamya
Wrahasta hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya saja. Tetapi agaknya anak muda
itu tidak berlatih untuk membangkitkan tenaga cadangan yang memang telah
tersedia di dalam dirinya. Apabila ia berhasil memecahkan teka-teki tentang
kekuatan cadangan yang memang kurang dikenal oleh hampir setiap pribadi yang
tidak mesu diri dalam olah kanuragan, maka Wrahasta akan mampu menumbangkan
gunung anakan.
Meskipun demikian Gupita tidak
kehilangan kewaspadaan. Mungkin Wrahasta belum benar-benar mulai. Mungkin ia
pun sedang berusaha untuk menilai lawannya pula. Karena itu, maka Gupita pun
tetap bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, para
pengawal yang memutari arena itu menjadi kian berdebar-debar. Mereka melihat
wajah Wrahasta yang merah tegang. Agaknya pemimpin pengawal yang bertubuh
raksasa itu akan bersungguh-sungguh. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pada
umumnya telah mengenal, betapa anak muda itu memiliki kekuatan yang seimbang
dengan bentuk tubuhnya. Sehingga dengan demikian, maka apabila ujung cambuknya
mengenai lawannya, maka kulitnya pasti akan terkelupas.
Sesaat kemudian cambuk Wrahasta
itu pun telah meledak lagi. Sekali lagi dan sekali lagi. Ia semakin maju
mendekati Gupita yang masih berdiri tegak di tempatnya.
Sejenak Gupita mencoba
memandang wajah Kerti dari Samekta berganti-ganti. Terbayang di wajah orang
tua-tua itu kecemasan yang mencengkam jantung mereka.
Tanpa sesadarnya Gupita
menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terdorong ke dalam suatu kesulitan. Apakah
ia harus melawan bersungguh-sungguh, yang bagaimanapun juga akan dapat
menumbuhkan perasaan tidak senang pada para pengawal itu apabila ia mengalahkan
Wrahasta. Tetapi apabila ia harus membiarkan dirinya dirajang oleh cambuk
Wrahasta, agaknya ia berkeberatan juga.
Gupita tidak sempat berpikir
lebih panjang lagi. Wrahasta telah menjadi semakin dekat, dan setiap kali cambuknya
selalu meledak-ledak tidak henti-hentinya.
Maka Gupita tidak dapat
berbuat lain kecuali menghadapinya. Karena itu maka kemudian ia bergeser
setapak ke samping. Dengan gerak naluriah, maka ujung cambuknya pun mulai
terayun-ayun, kemudian melingkar beberapa kali. Sejenak kemudian, maka
terdengar cambuk itu meledak pula. Tetapi Gupita sama sekali tidak ingin
menimbulkan berbagai macam kesan pada orang-orang Menoreh dan terutama kepada
gurunya. Kalau ia meledakkan cambuknya dengan segenap kemampuan yang ada
padanya, dalam pemusatan kekuatan di dalam dirinya, maka hal itu akan dapat
menumbuhkan pertanyaan pada guru dan saudara seperguruannya. Mungkin mereka
akan menyangka, bahwa ia berada dalam bahaya yang sulit diatasi.
“Tetapi apabila terpaksa, aku
tidak dapat ingkar lagi,” desisnya di dalam hati.
Maka sejenak kemudian
Wrahastalah yang telah memulai dengan serangannya. Ujung cambuknya mematuk
deras sekali, seperti seekor burung sikatan mematuk bilalang. Untunglah bahwa
Gupita tidak kehilangan kesiagaan, sehingga dengan tangkasnya la meloncat.
menghindari sambaran cambuk lawannya
Namun ternyata, loncatan
Gupita yang melampaui kecepatan sambaran cambuk Wrahasta itu benar-benar telah
menarik perhatian. Kerti dan Samekta hampir bersamaan berdesis. Bahkan terdengar
Kerti bergumam, “Terlampau cepat.”
Samekta berpaling. Sambil
mengangguk ia berkata, “Memang terlampau cepat bagi Wrahasta.”
Perkelahian di arena itu pun
kemudian menjadi semakin cepat. Cambuk Wrahasta menyambar-nyambar tidak
henti-hentinya, seolah-olah ia sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya
unluk membalas. Namun lawannya pun terlampau lincah, sehingga
serangan-serangannya hampir tidak menyentuh sasarannya. Sekali-sekali memang
ujung cambuk Wrahasta dapat mengenai lawannya sehingga menumbuhkan jalur-jalur
merah, tetapi sama sekali tidak seimbang dengan tenaga yang telah diperas dari
tangan anak muda yang bertubuh raksasa itu.
“Gembala itu tidak sempat
membalas,” desis beberapa orang yang mengelilingi arena itu. Sedang yang lain
mengangguk anggukkan kepalanya.
“Tetapi ia terlampau lincah,”
bisik salah seorang dari mereka.
“Melampaui kecepatan ujung
cambuk Ki Wrahasta,” yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka
terpukau melihat ketangkasan Gupita menghindari sambaran senjata Wrahasta.
Sedang cambuknya sendiri seakan-akan masih belum dipergunakan. Ia hanya sekedar
menahan arus serangan Wrahasta dengan sekali-kali menyentuhnya dengan ujung
senjatanya itu.
Namun dengan demikian hati
Wrahasta menjadi semakin panas karenanya. Sentuhan-sentuhan ujung cambuk Gupita
serasa minyak yang tumpah ke dalam api.
Karena itu, maka tandang
Wrahasta menjadi semakin lama semakin garang. Cambuknya menjadi semakin cepat
berputaran dan semakin sering meledak-ledak. Namun Gupita masih juga mampu menghindarinya,
sambil sekali-sekali melepaskan serangan yang tidak berbahaya. Karena Gupita
masih saja dicengkam oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Sementara itu Pandan Wangi
masih mondar-mandir dengan gelisahnya di dalam biliknya. Sekali-sekali ia
melangkah ke luar dan melihat ke dalam bilik ayahnya lewat celah-celah pintu
yang dibukanya sedikit. Tetapi ternyata ayahnya masih tidur dengan nyenyaknya.
Sehingga dengan demikian hatinya menjadi semakin gelisah. Terbayang di rongga
matanya apa saja yang dapat dilakukan oleh Wrahasta atas Gupita. Wrahasta akan
dapat mempergunakan kekuasaannnya dengan mengerahkan para pengawal. Apabila
terjadi demikian, maka jarak antara orang-orang Menoreh dengan orang-orang
bercambuk itu, khususnya Gupita akan menjadi semakin jauh.
Dalam kegelisahan itu Pandan
Wangi melakukan apa saja untuk mengisi waktu. Berjalan kian kemari, minum dari
kendi yang ada di dalam ruang dalam rumah itu, kemudian kembali ke dalam
biliknya berbaring, tetapi sejenak kemudian ia telah bangkit lagi dan berjalan
hilir-mudik.
Akhirnya Pandan Wangi itu
tidak dapat bersabar lagi. Perlahan-lahan ia membuka pintu bilik ayahnya dan
berjalan dengan hati-hati masuk. Tetapi ketika ia telah berada di sisi
pembaringan ayahnya ia tidak berani membangunkannya. Karena itu maka gadis itu
pun melangkah perlahan-lahan dan duduk di pembaringan ayahnya.
Tetapi ternyata perasaan Ki
Argapati demikian tajamnya, sahingga betapapun Pandan Wangi berhati-hati
meletakkan dirinya, namun gerak pembaringannya yang sangat lambat itu telah
membangunkan Ki Gede Menoreh. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan
perlahan-lahan pula ia berdesis, “Kau, Wangi.”
Ternyata Pandan Wangi-lah yang
terkejut sehingga ia terlonjak berdiri. Ia tdak menyangka bahwa sentuhan
tubuhnya pada pembaringan ayahnya itu telah membangunkannya.
“Maaf, Ayah, apakah aku
mengejutkan, Ayah?”
Ki Argapati menggelengkan
kepalanya, “Tidak, Pandan Wangi. Aku tidak terkejut.”
“Tetapi Ayah terbangun
karenanya.”
“Aku sudah cukup lama
tertidur. Seharusnya aku memang sudah bangun.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin segera dapat mengatakan keperluannya.
Tetapi justru tertahan di dalam dadanya, sehingga ia menjadi terlampau gelisah.
Keringat dingin telah mengalir membasahi punggung dan keningnya.
Ki Argapati itu pun kemudian
melihat kegelisahan yang terbayang di dalam sikap puterinya, sehingga karena
itu, maka ia pun bertanya, “Pandan Wangi. Aku melihat sesuatu yang menarik
perhatianku padamu. Mungkin kau dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan.”
Dada Pandan Wangi berdesir.
Adalah kebetulan sekali bahwa ayahnya bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia
pun tidak membuang waktu lagi. Jawabnya, “Ya, Ayah, aku memang sedang gelisah.
Aku menunggu Ayah terbangun. Tetapi meskipun demikian aku sama sekali tidak
sengaja membangunkan Ayah.”
“Ya, ya. Aku tidak menuntut
kau kenapa kau membuat aku terbangun. Tetapi kenapa kau menjadi demikian
gelisah?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah tubuh Ayah menjadi panas lagi?”
Ki Argapati tdak segera
menjawab. Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang basah oleh keringat. Baru sejenak
kemudian sambil mengangguk ia berdesis, “Sedikit Pandan Wangi. Hanya sedikit.
Dan kau tidak perlu menjadi gelisah karenanya.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk.
Kalimat-kalimat yang telah tersusun kini berdesakan di dalam dadanya, sehingga
justru karena itu ia menjadi tergagap. “Tidak, Ayah. Aku tidak gelisah.”
Dipandanginya wajah puterinya
itu tajam-tajam. Dengan demikian Ki Argapati menjadi semakin yakin, bahwa
gadisnya sedang diganggu oleh kegelisahan atau kecemasan.
“Tenanglah, Pandan Wangi. Kau
dapat berceritera perlahan-lahan, apakah yang telah membayangi perasaanmu
kini.”
Sekali lagi Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya, mengatur perasaannya agar ia dapat
mengucapkan kata-katanya dengan baik. Sejenak kemudian maka barulah ia dapat
memulainya, meskipun masih bersimpang siur, “Ayah. Orang bercambuk itu telah
datang.”
Ki Argapati mengerutkan
dahinya. ”Siapakah yang kau maksud?”
“Orang bercambuk yang pernah
aku katakan, Ayah. Ia membawa obat untuk Ayah.”
“Tenanglah Pandan Wangi.
Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa ada seseorang datang mencari aku dan
membawa obat untukku?”
“Ya, Ayah, gembala itu. Tetapi
bukan yang gemuk.”
Ki Argapati perlahan-lahan
bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan sareh ia berkata, “Cobalah,
endapkan perasaanmu. Jangan tergesa-gesa supaya kata-katamu tidak tumpang-suh.”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Kini ia berusaha dengan sungguh-sungguh agar ia dapat berkata
sebaik-baiknya. Semakin kisruh kalimatnya, maka semakin panjang waktu yang
terbuang. Maka setelah sejenak ia berdiam diri, maka barulah ia dapat
mengatakan dengan teratur, apa yang dilihatnya di depan regol desa, apa yang
dilakukan oleh Wrahasta terhadap Gupita. Tetapi Pandan Wangi masih belum berani
mengatakan latar belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Ki Argapati mendengarkan
ceritera Pandan Wangi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan dada yang
berdebar-debar tumbuhlah harapannya untuk dapat mengobati luka-lukanya dengan
baik. Tetapi agaknya sikap Wrahasta tidak dapat dimengertinya.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Ki Argapati mempertimbangkan cerita Pandan Wangi itu dengan
cermatnya. Dicobanya untuk menilai segala segi sebaik-baiknya. Sudah tentu,
bahwa Wrahasta berbuat demikian sesuai dengan penilaiannya sendiri. Dan ia
tidak akan segera dapat menganggapnya bersalah.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi,
“mungkin Wrahasta akan menjatuhkan hukuman kepada anak itu. Seharusnya Ayah
mencoba mencegahnya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Sudah tentu Wrahasta
mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan tindakannya. Aku mengenalinya
sebagai seorang pengawal yang cermat dan tegas. Tanpa pertimbangan tertentu, ia
tidak akan berbuat tergesa-gesa.”
“Tetapi, tetapi…,” sahut
Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi tidak dapat mengatakan bahwa Wrahasta telah
dibakar oleh perasaan cemburu.
“Percayalah Wangi, bahwa
Wrahasta tidak akan berbuat tanpa alasan tertentu. Seandainya Wrahasta salah
menilai gembala itu, maka Samekta dan Kerti dapat memberinya pertimbangan.”
“Kerti sudah mencoba Ayah,
tetapi Wrahasta sama sekali tidak mendengarkannya.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Katanya kemudian “Tenanglah, Wangi. Setelah para pengawal yakin bahwa anak itu
dapat dipercayanya, maka gembala itu pasti akan mereka bawa kemari.”
“Tidak, Ayah,” Pandan Wangi
menjadi semakin cemas, “Wrahasta menjadi seakan-akan gila. Ia tidak mau
mendengar nasehat Paman Kerti dan pendapatku.”
Namun di luar dugaan Pandan
Wangi, Ki Argapati justru tersenyum sambil berkata sareh, “Tenanglah.
Tenanglah. Aku percaya kepada para pemimpin pengawal itu. Mereka tidak akan
berbuat tanpa pertimbangan yang masak. Mereka pun bukan orang-orang yang suka
kepada kekerasan. Gembala itu bagi mereka adalah orang lain, sehingga untuk
meyakinkan dirinya, Wrahasta telah berbuat demikian. Tetapi tidak akan terjadi
sesuatu atas anak muda itu. Aku pun sangat mengharapkannya untuk mendapat obat
yang baik bagi luka-lukaku.”
Pandan Wangi terbungkam
karenanya. Namun kegelisahannya seolah-olah telah membakar seluruh isi dadanya.
Sebenamya Ki Argapati sendiri
menjadi gelisah. Tidak menjadi kebiasaan Wrahasta berbuat demikian kasar
terhadap seseorang. Namun setiap kali ia mencoba memahami sikap itu. Apa yang
dikatakannya kepada Pandan Wangi itu pun ditujukannya kepada diri sendiri,
supaya ia tidak menjadi semakin berdebar-debar menghadapi keadaan dan
menghadapi lukanya sendiri. Namun demikian, perasaannya pun ternyata terganggu
juga.
“Tetapi sebaiknya aku
menunggu,” katanya kemudian dengan tiba-tiba.
Pandan Wangi terkejut. Gadis
itu kemudian meloncat dan berjongkok di samping pembaringan ayahnya. “Jangan,
Ayah. Ayah jangan menunggu saja. Semuanya akan terjadi tidak seperti yang kita
kehendaki. Wrahasta akan menjadi mata gelap, dan menghukum anak yang tidak
bersalah itu.”
Ki Argapati termenung sejenak.
Sudah tentu bahwa kecemasan Pandan Wangi itu pun pasti bukan tidak beralasan.
Tetapi bukanlah kebiasaan Ki Argapati untuk tidak mempercayai para pemimpin
pengawal. Apalagi dalam keadaan seperti ini, sehingga kemudian ia berkata,
“Tidak akan terjadi tindakan yang berlebih-lebihan. Sebaiknya kita menunggu.
Wrahasta sendiri pasti akan datang kepadaku menyampaikan masalah itu. Ia tidak
pernah berbuat sesuatu yang penting tanpa setahuku.”
“Tetapi kali ini lain, Ayah,
kali ini ia tidak berbuat sebagai pemimpin pengawal Tanah ini.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Lalu apakah yang dilakukannya?”
Pandan Wangi tidak dapat
menjawab pertanyaan itu. Tetapi sikapnya semakin gelisah.
“Sebaiknya Ayah memanggil
Wrahasta untuk mendengarkan keterangan daripadanya sekarang.”
“Ia akan datang sendiri,
Wangi.”
“Tetapi,” kata-kata Pandan
Wangi terpotong. Kini kegelisahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubunnya.
Namun ayahnya seolah-olah acuh tidak acuh saja mendengar keterangannya.
“Beristirahatlah,” berkata
ayah kemudian, “Kau terlampau lelah, sehingga kau mudah sekali menjadi bingung.
Tidak ada yang perlu diragukan lagi pada para pengawal yang kini berada
didaerah bambu ori ini. Mereka yang tidak setia pada umumnya telah lari lebih
dahulu. Mereka yang ketakutan pun sudah menyingkir. Sebaiknya kita tidak
menyakiti hati mereka yang kini berada di sini.”
“Oh,” Pandan Wangi berdesah.
Perlahan-lahan ia berkata, “Yang menggelisahkan aku adalah obat yang dibawa
oleh anak muda itu, Ayah. Kalau obat itu tidak sampai kepada Ayah, maka semua
harapan akan menjadi sia-sia.”
“Aku rasa tidak akan ada seorang
pun yang tidak menghendaki demikian, Wangi. Sekali lagi aku menyatakan
kepercayaanku kepada para pemimpin pengawal. Kepada Samekta, Kerti, Wrahasta,
dan yang lain-lain. Mereka pasti akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan
kita bersama.”
Pandan Wangi menjadi pening
mendengar jawaban ayahnya. Seolah-olah ia menjadi putus-asa. Terbayang di
rongga matanya, Wrahasta yang bertubuh raksasa itu berbuat tanpa dapat
dihalangi lagi untuk melepaskan perasaan cemburunya terhadap Gupita. Namun
Pandan Wangi pun mencemaskan nasib ayahnya, dan nasib Tanah ini. Kalau Gupita
terpaksa melawan, maka keadaan akan menjadi semakin kalut, karena Pandan Wangi
tahu benar, kekuatan yang tersimpan di dalam diri gembala bercambuk itu.
Dalam pada itu, di arena,
Wrahasta semakin lama menjadi semakin marah. Ia sudah hampir menjadi lupa diri
karena ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan semakin lama Gupita
itu rasa-rasanya menjadi semakin lincah. Cambuk Wrahasta yang semakin cepat
bergetar, semakin sering meledak-ledak, tidak juga dapat melukai lawannya.
Dengan demikian maka harga diri raksasa itu telah tersinggung karenanya,
apalagi di hadapan para pengawal bawahannya.
Para pemimpin pasukan pengawal
yang berada di luar arena, menjadi semakin cemas melihat perkelahian itu.
Apalagi Kerti dan Samekta. Mereka melihat Wrahasta semakin lama menjadi semakin
kehilangan pengamatan diri. Dan Wrahasta bukanlah anak yang baru semalam pandai
memegang senjata. Karena itu, apabila ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya, maka lawannya pun harus berusaha mengimbanginya pula. Kalau benar kata
Pandan Wangi, bahwa Gupita itu mampu bersama-sama dengan gadis itu melawan Ki
Peda Sura dan bahkan melukainya, maka perkelahian ini pasti akan menjadi sebab
timbulnya persoalan-persoalan baru pada Tanah Perdikan Menoreh.
“Gupita tidak berdiri
sendiri,” gumam Samekta.
Kerti mengangguk-anggukkan
kepala. Hampir di luar sadarnya ia berkata, ”Apakah baru sekarang kau sadari
persoalan itu?”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi di arena itu sudah terlanjur terjadi perkelahian yang seru.
Agaknya Samekta kini telah terlambat untuk menarik Wrahasta dari arena. Anak
muda yang bertubuh raksasa itu telah benar-benar dibakar oleh kemarahannya,
sehingga nalarnya sudah tidak akan dapat dipergunakannya lagi dengan lurus.
Gupita pun semakin lama
menjadi semakin bingung pula. Sudah tentu ia tidak akan mungkin untuk sekedar
menghindari serangan-serangan Wrahasta terus-menerus tanpa berbuat sesuatu.
Betapapun tinggi ilmunya dan betapapun jauh jaraknya, tetapi ternyata cambuk
anak muda yang bertubuh dan bertenaga raksasa itu telah mulai menyentuh
kulitnya.
Sekali-sekali Gupita itu
menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh keragu-raguan ia menghadapi lawannya di
arena yang asing baginya.
Namun tiba-tiba terkenang
olehnya, bagaimana seorang senapati muda dari Pajang, Untara, dahulu menghadapi
Sidanti setelah selesai perlombaan memanah. Sidanti yang pada waktu itu sedang
dibakar oleh kemarahannya pula. Adalah mustahil bagi Untara yang dapat
mengalahkan Tohpati itu, apabila ia tidak dapat mengalahkan Sidanti pula.
Tetapi Untara tidak mau menyakiti hati Sidanti dengan mengalahkannya di muka
orang-orang Sangkal Putung dan di hadapan para prajurit Pajang.
“Cara itu adalah cara yang
baik untuk menghentikan perkelahian,” desisnya. Namun kemudian timbul
pertanyaan, “ Tetapi bagaimana kemudian kalau Wrahasta mempergunakan
orang-orangnya untuk mencampuri perkelahian ini?”
Sekali lagi Gupita dicengkam
oleh keragu-raguan. Namun di cobanya untuk mengambil sikap, “Entahlah. Tetapi
sekarang aku akan berbuat seperti yang terjadi atas Sidanti itu.”
Dengan demikian maka kini
Gupita telah dapat menempatkan dirinya. Sekali-sekali ia harus melawan serangan
dengan serangan. Sentuhan ujung cambuk dengan sentuhan pula. Namun harus
dijaga, supaya lawannya itu tidak semata-mata dikalahkannya di hadapan
pasukannya sendiri.
Maka sejenak kemudian
perkelahian itu pun berlangsung semakin cepat. Kini Gupita tidak terlampau
banyak lagi menghindar. Tidak lagi melonjak-lonjak dikejar oleh senjata
lawannya. Bahkan sekali-sekali ia mulai menyerang, meskipun tidak langsung ke
pusat-pusat tubuh Wrahasta yang berbahaya.
Wrahasta merasakan perubahan
sikap Gupita. Ia kini melihat bahwa Gupita sama sekali belum melayaninya
sewajarnya. Karena itu Wrahasta justru merasa direndahkan oleh gembala yang
telah membakar hatinya.
Raksasa muda itu kemudian
menggeretakkan giginya, ia telah benar-benar kehilangan pertimbangan. Ia ingin
berkelahi, sebenarnya berkelahi. Karena itu, maka ia pun segera mengerahkan
segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya.
Ternyata Wrahasta benar-benar
berkekuatan raksasa seperti tubuhnya. Cambuknya meledak-ledak semakin keras
memekakkan telinga. Namun bagi Gupita, ledakan cambuk Wrahasta itu tidak lebih
dari ledakan cambuk seorang gembala yang bertubuh dan berkekuatan raksasa. Itu
saja, tanpa menumbuhkan getaran yang dapat menusuk ke pusat jantung karena
disalurkan oleh kekuatan yang tersimpan di dalam diri.
Pada saat-saat ketegangan di
arena menjadi semakin memuncak, kegelisahan di dada Pandan Wangi pun memuncak
pula. Karena ayahnya masih belum memutuskan untuk memanggil Wrahasta atau
Gupita, atau kedua-duanya, maka sekali lagi ia mendesaknya, “Ayah, berbuatlah
sesuatu. Jangan Ayah membiarkan keduanya dibakar oleh perasaan mereka. Gupita
tidak hanya seorang diri di tlatah Menoreh ini. Ayah jangan membiarkan timbul
persoalan-persoalan baru, yang dengan demikian akan mengurungkan maksud baik
orang-orang bercambuk itu. Obat itu Ayah, obat itu harus diselamatkan.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan
keningnya. Sebuah pertanyaan menjadi semakin tajam tergores di dinding hatinya,
“Apakah yang telah terjadi sebenarnya?”
Kegelisahan Pandan Wangi itu
telah menggelisahkan hati Ki Argapati pula. Namun ia masih juga
mempertimbangkan perasaan para pemimpin pasukannya dalam keadaan serupa ini.
“Ayah, hentikan semuanya itu,
Ayah.”
“Pandan Wangi,” berkata
ayahnya, “Aku masih belum dapat meninggalkan pembaringan ini.”
“Aku akan pergi atas nama
Ayah.”
Argapati tidak segera
menyahut.
“Kalau Ayah mencemaskan
Wrahasta, bahwa ia akan tersinggung karenanya, maka sebaiknya Ayah memanggil
keduanya. Wrahasta dan Gupita bersama Paman Kerti dan Paman Samekta.”
Argapati masih dicengkam oleh
keragu-raguan. Tetapi ia tidak dapat membiarkan keadaan menjadi semakin tegang
karena kegelisahan Pandan Wangi yang memuncak. Karena itu, maka perlahan-lahan
ia menganggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi hati-hatilah. Jangan menyakitkan
hati orang lain.”
“Terima kasih, Ayah,” Pandan
Wangi terlonjak. Kemudian diraihnya tombak pendek ayahnya sambil berkata, “Atas
nama Ki Gede Menoreh.”
Tanpa menunggu jawaban apa pun
Pandan Wangi berlari ke luar dari bilik ayahnya dan menghambur ke halaman
sambil menjinjing tombak pendek ayahnya, sebagai pertanda bahwa ia berbuat atas
nama Ki Argapati sendiri.
Tanpa menghiraukan para
penjaga dan orang-orang yang memandanginya di sepanjang jalan, Pandan Wangi
berlari-lari ke pusat pimpinan para pengawal. Kali ini tidak saja dengan
sepasang pedang di lambungnya tetapi juga sebatang tombak pendek, meskipun
masih di dalam selongsongnya.
Sementara itu, perkelahian
antara Wrahasta dan Gupita menjadi semakin sengit. Gupita semakin lama semakin
banyak melakukan serangan-serangan yang membuat Wrahasta harus bekerja lebih
keras. Meskipun demikian serangan-serangan Gupita nampaknya tidak terlampau
berbahaya, dan selalu dapat dielakkan oleh Wrahasta. Namun dengan demikian
Wrahasta harus memeras tenaganya untuk selalu menghindari ujung cambuk Gupita
yang seolah-olah mempunyai mata melampaui ketajaman matanya. Sehingga karena
itu, maka Wrahasta harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya, agar ujung
cambuk Gupita tidak terlampau sering menyentuhnya.
Meskipun demikian Gupita tidak
mendesaknya terus. Sekali-sekali diberinya kesempatan Wrahasta menyerangnya,
bahkan menyentuh kulitnya, namun sejenak kemudian keadaan berganti pula.
Dalam perkelahian yang
demikian, maka anak muda yang bertubuh raksasa itu benar-benar telah memeras
segenap kemampuan dan tenaganya. Nafasnya pun semakin lama menjadi semakin deras
mengalir seperti keringatnya yang semakin terperas membasahi pakaiannya.
Tenaganya pun menjadi semakin kendor, sehingga senjatanya tidak lagi terlampau
sering meledak-ledak.
Wrahasta adalah seorang yang
memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun agaknya Gupita
telah berhasil memancingnya untuk mencurahkan segenap kamampuannya sehinngga
tenaganya pun segera menjadi susut.
Anak muda yang bertubuh
raksasa, yang terlibat langsung dalam perkelahian itu sendiri tidak begitu
menyadari keadaannya. Tetapi orang-orang tua yang mempunyai pandangan yang agak
baik atas perkelahian itu, misalnya Kerti dan Samekta, dapat melihat, bahwa
sebenarnya Wrahasta telah mencoba berkelahi di luar kemampuannya.
“Aku percaya kepada keterangan
Pandan Wangi,” desis Kerti tiba-tiba.
“Tentang siapa?” bertanya
Samekta.
“Bahwa anak itu benar-benar
mampu bertahan bersama-sama dengan Angger Pandan Wangi sendiri terhadap Ki Peda
Sura.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, aku pun percaya.”
Kerti mengangguk-angguk pula.
Lalu katanya, “Kalau begitu dalih Wrahasta bahwa ia telah bersekutu dengan Ki
Peda Sura itu sama sekali tidak dapat dipertahankan.”
“Ya. Memang tidak. Sejak
semula aku sudah meragukan dalih itu. Dan kita sudah mengetahui dalih yang
sebenarnya, yang telah membuat Wrahasta menjadi mata gelap.”
“Dan kau pemimpin tertinggi di
sini, tidak berbuat apa-apa. Biarpun kau sudah mengetahuinya.”
Samekta mengerutkan alisnya.
Jawabnya, “Kau tidak membantu kesulitan perasaanku. Kau justru membuat aku
menjadi semakin bingung.”
“Berbuatlah tegas. Tegas
sebagai seorang pemimpin tertinggi.”
“Tetapi itu tidak berarti
bahwa kita boleh melepaskan kebijaksanaan. Coba katakan, apa yang harus aku
lakukan kalau Wrahasta menolak perintahku? Apakah aku harus memaksanya di
hadapan para pengawal, sementara Sidanti siap menerkam kita di luar pagar pring
ori ini.”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. ”Maaf,” katanya, lalu, “tetapi lihatlah.”
Samekta memandang perkelahian
di tengah-tengah arena dengan wajah yang tegang. Dilihatnya keduanya menjadi
semakin lemah. Bahkan sekali-sekali Wrahasta menjadi terhuyung-huyung karena
dorongan kekuatannya sendiri. Setiap ia melecutkan cambuknya, maka
hampir-hampir ia pun ikut terjerembab. Sedangkan cambuk itu sudah hampir tidak
berbunyi sama sekali.
Di pihak lain, Gupita pun
telah menjadi terlampau letih. Samekta dan Kerti melihat gembala itu
tertatih-tatih mempertahankan keseimbangannya. Namun mata kedua orang tua-tua
itu cukup tajam. Mereka melihat bahwa keadaan Gupita sebenarnya tidak separah
itu.
“Anak itu ternyata cukup
bijaksana,” desis Samekta tiba-tiba. Wajahnya yang tegang menjadi agak
mengendor. Dari sorot matanya tampaklah, bahwa tekanan perasaanya telah
berkurang. ”Mudah-mudahan perkelahian itu akan selesai dengan baik.”
Kerti pun tiba-tiba tersenyum,
“Anak muda yang dewasa menghadapi persoalannya. Pantaslah bahwa ia mampu
menyelamatkan Pandan Wangi dari tangan Ki Peda Sura.”
Namun tiba-tiba kedua orang
tua itu dikejutkan oleh suara Wrahasta yang gemetar dan terputus-putus karena
nafasnya yang memburu,” He, ternyata dugaanku benar.” Ia berhenti sejenak,
lalu, “orang semacam kau mustahil dapat melepaskan Pandan Wangi dari tangan Ki
Peda Sura. Kalau kau tidak bersekutu dengan orang itu, maka kau pasti sudah
terbunuh olehnya. Kau sama sekali tidak mampu mengalahkan aku, apalagi Ki Peda
Sura.”
Dada Gupita berdesir mendengar
tuduhan itu. Agaknya Wrahasta mencari arti yang lain dari perkelahian yang
diharapkannya dapat selesai tanpa menyakitkan hatinya. Karena itu, maka sejenak
ia berdiri mematung.
Dalam kebingungan itu ia
mendengar Wrahasta berkata terus sambil terengah-engah, “Karena itu, meskipun
aku tidak juga dapat mengalahkan kau, namun aku sudah menemukan bukti bahwa kau
adalah termasuk orang-orang yang tidak dikenal di Tanah ini. Yang bekerja
bersama Ki Peda Sura dan Ki Tambak Wedi untuk melihat keadaan dan rahasia kami
setelah kau berhasil mempengaruhi perasaan Pandan Wangi, seorang gadis yang
masih terlampau hijau dan jujur menghadapi dunia yang penuh dengan noda-noda
hitam. Nah, sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi. Kau harus
mempertanggungjawabkannya sebagai seorang laki-laki.”
Gupita masih terpaku di
tempatnya. Sedang Kerti dan Samekta sejenak saling memandang. Ternyata harapan
mereka, bahwa perkelahian itu akan berakhir tanpa membuat Wrahasta menjadi
sakit hati, agaknya tidak terpenuhi. Wrahasta benar-benar telah kehilangan
keseimbangan berpikir sehingga sikapnya menjadi kasar dan berbahaya.
“Kau tidak dapat tinggal
diam,” desis Kerti kepada Samekta. “Meskipun kau harus bijaksana, tetapi kau
harus mencegah hal-hal yang dapat membahayakan anak muda yang membawa obat
untuk Ki Argapati itu.”
Samekta menjadi tegang sesaat.
Dan sebelum ia berbuat sesuatu maka Wrahasta telah berteriak kepada para
pengawal, “Nah, kalian telah menyaksikan sendiri. Sekarang, kepunglah anak gila
ini. Jangan sampai ia melepaskan dirinya.”
Para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh adalah orang-orang yang cukup terlatih, sehingga tiba-tiba mereka pun
bergerak dalam suatu lingkaran yang menjadi rapat. Dalam sekejap maka di tangan
mereka telah tergenggam senjata masing-masing.
“Nah, kau akan lari ke mana
lagi gembala yang licik?” desis Wrahasta.
Dada Gupita menjadi semakin
berdebar-debar. Keadaan berkembang semakin memburuk. Tanpa sesadarnya, ia
menggenggam cambuknya erat-erat.
“Aku tidak mau mati seperti
kerbau dibantai di pembantaian,” katanya di dalam hati. Meskipun segala macam
pertimbangan dan keragu-raguan menjalari kepalanya, namun yang pertama-tama
harus dikerjakan adalah mempertahankan diri.
Tetapi sebelum para pengawal
berbuat sesuatu, maka Samekta telah berada di tengah-tengah arena. Dipandangnya
Gupita sesaat, kemudian diedarkannya pandangan matanya ke setiap wajah di
sekelilingnya.
“Terima kasih,” desisnya,
“kalian telah berbuat sebaik-baiknya untuk tanah ini. Anak muda ini memang
tidak boleh lari dengan membawa berita apa pun dari lingkungan kita. Karena
itu, maka aku sendiri akan menangkapnya. Kalau ia berusaha melawan, aku akan
menyelesaikannya. Aku harus membawanya menghadap Ki Argapati.”
Sejenak arena itu menjadi
sepi. Kata-kata Samekta telah menghunjam ke dalam setiap hati. Dan mereka sama
sekali tidak melihat keberatan apa pun. Ki Samekta sendiri akan menangkapnya.
Menyerah atau melawan, sehingga mereka tidak perlu bertindak beramai-ramai.
Sedang Gupita sendiri agaknya dapat menangkap maksud yang tersirat di dalam
sikap Samekta itu, sehingga ia sama sekali tidak bersikap untuk melawan.
“Nah,” berkata Samekta,
“apakah kau akan melawan atau lebih baik menyerah dan menghadap Ki Argapati?”
Gupita menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Katanya, “Aku menyerah, Kiai. Aku tidak ingin melakukan perlawanan
apa pun sebenarnya.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sekali lagi ia terkejut oleh suara Wrahasta, “Buat apa ia
dibawa menghadap Ki Argapati? Kalau sudah jelas, siapakah orang ini, maka kita
dapat memutuskan sendiri, apa yang sebaiknya kita lakukan. Ki Argapati sedang
terluka parah. Ia harus beristirahat. Kita tidak dapat mengganggunya dengan
persoalan-persoalan yang sama sekali tidak berarti. Karena itu, serahkan saja
anak ini kepada para pengawal. Kepadaku dan kepada para pemimpin pengawal yang
lain.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Ia memang sudah menduga bahwa Wrahasta akan mencegahnya membawa Gupita
menghadap Ki Argapati. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menyerahkannya kepada
Wrahasta dan para pemimpin pengawal yang lain, yang tidak mengerti masalah yang
sebenarnya.
Karena itu maka katanya, “Kita
tidak akan dapat bertindak sendiri. Persoalan ini bukan sekedar persoalan
kecil. Masalah anak muda ini menyangkut berbagai macam soal. Obat itu,
hubungannya dengan anak muda yang gemuk yang memberikan obat kepada Ki Argapati
di Pucang Kembar, hubungannya dengan Ki Peda Sura, dengan Sidanti dan Ki Tambak
Wedi. Orang ini memang kita perlukan. Justru karena itu maka kita harus
membawanya langsung kepada Ki Argapati.”
“Tidak!” potong Wrahasta
dengan wajah yang merah. Sikap itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ia selalu
menghormati orang-orang tua yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya.
Tetapi kali ini ia bersikap lain. Dan sikap ini memang sudah diperhitungkan
oleh Samekta. Karena itu maka Samekta pun berkata pula, “Kita tidak boleh
mendahului keputusan Ki Argapati, Wrahasta. Ki Argapati telah berpesan, bahwa setiap
persoalan harus dibicarakan lebih dahulu. Aku kira, termasuk persoalan anak
muda ini.”
“Tidak! Tidak! Aku akan
memaksanya berbicara lebih dahulu. Ia belum mengucapkan pengakuan apa pun
meskipun aku telah menemukan bukti yang tidak akan dapat dipungkiri. Karena
itu, aku akan memaksanya berbicara.” Kemudian kepada para pengawal ia
berteriak, “Ayo, ikat orang ini!”
Tetapi para pengawal menjadi
bingung. Tatapan mata Samekta terlampau tajam beredar ke setiap wajah, sehingga
para pengawal itu pun justru menundukkan kepala mereka.
“Ayo cepat!” teriak Wrahasta
seperti orang gila. “Kenapa kalian diam saja, he?”
“Jangan tergesa-gesa,” potong
Samekta. Kata-katanya tidak dilontarkan terlampau keras, tetapi pengaruhnya
telah menahan semua pengawal untuk berbuat sesuatu.
Wrahasta yang marah menjadi
semakin marah. Ia benar-benar telah lupa akan kedudukannya. Tiba-tiba cambuk di
tangannya dilemparkannya dan dalam sekejap ia telah menggenggam pedang di
tangannya. Dengan garangnya ia menggeram, “Aku tidak biasa mempergunakan
senjata macam itu. Aku akan mempergunakan pedangku. Dada anak itu akan aku
sobek silang empat kalau ia tidak mau berbicara.”
Bagaimana pun juga Samekta
masih menjadi bingung. Dipandanginya wajah Kerti untuk mendapat pertimbangan.
Adalah tidak pada tempatnya apabila ia harus bertindak dengan kekerasan pula.
Tetapi wajah Kerti yang tegang itu pun tidak memberinya petunjuk apa pun juga.
Sementara itu Pandan Wangi
masih berlari sekencang-kencangnya sambil menjinjing tombak ayahnya. Ia tidak
mau terlambat dan tinggal melihat bekas-bekasnya saja yang akan dapat
merontokkan jantungnya.
Putri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu sama sekali tidak mempedulikan lagi, bahwa beberapa orang peronda
di gardu-gardu memperhatikannya dengan heran. Bahkan satu dua orang berusaha
untuk mengikutinya sambil bergumam di antara mereka.
“Apakah yang telah terjadi
dengan Pandan Wangi.”
“Mungkin ia akan melihat
tawanan itu pula,“ jawab yang lain.
“Tetapi tombak itu?”
Yang lain menggelengkan
kepalanya. “Entahlah.”
Di arena keadaan menjadi
semakin tegang, Wrahasta telah benar-benar kehilangan segala pertimbangan. Ia
sama sekali tidak mempedulikan lagi Samekta dan kemudian Kerti yang masuk ke
dalam arena pula.
“Minggir kalian!” tiba-tiba
Wrahasta membentak orang-orang tua itu. “Aku akan mengurus persoalan ini sampai
selesai.”
“Wrahasta, sadarlah
keadaanmu,” desis Kerti perlahan-lahan. “Kau telah melanggar keharusan seorang
pengawal. Samekta adalah pemimpin tertinggi di daerah ini sekarang, sebagaimana
ditunjuk oleh Ki Argapati.”
Sejenak Wrahasta tertegun.
Namun ketika dilihatnya wajah gembala yang ragu-ragu itu, maka tiba-tiba ia
berteriak, “Aku menangkapnya pada saat ia melakukan pengkhianatan atas Tanah
ini. Sebelum ia berbicara tentang dirinya sebenar-benarnya, aku tidak akan
melepaskannya dan menyerahkannya kepada atasanku. Sekarang, minggirlah. Aku
akan memaksanya berbicara, dan kemudian terserah kepada kalian. Itu adalah
hakku.” Lalu kepada para pengawal ia berteriak, “Cepat, ikat anak ini pada
batang sawo itu. Ia harus berbicara tentang dirinya.”
“Wrahasta,” berkata Samekta,
“jangan kau paksa anak ini mengaku akan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya.
Apalagi apabila dengan dasar pengakuan yang kau paksakan itu, kemudian kau
menjatuhkan hukuman atasnya. Itu bukan sifat seorang yang berpijak pada
kebenaran.”
Wajah Wrahasta menjadi semakin
tegang. Sekali lagi ia berteriak, “Aku mempunyai bukti. Aku mempunyai bukti
yang cukup.” Dan sekali lagi ia berkata kepada para pengawal itu pula, “Ayo
cepat, kenapa kalian seperti orang mimpi?”
Samekta menjadi semakin
bingung. Sedang Kerti berusaha menahan dirinya supaya ia pun tidak kehilangan
keseimbangan melihat tingkah laku Wrahasta yang benar-benar seperti orang gila
itu.
Karena Samekta dan Kerti
kemudian tidak berbuat apa pun lagi oleh kebimbangan dan kebingungan, maka para
pengawal kini memusatkan perhatiannya kepada Wrahasta. Meskipun mereka masih
diliputi oleh keragu-raguaan pula, namun tanpa sesadar mereka, para pengawal
itu telah bergerak maju.
“Cepat!” teriak Wrahasta.
Kepada Gupita ia berkata, “Jangan mencoba melawan. Kalau kau berbuat gila, maka
kau akan dicincang sewalang-walang.”
Ancaman itu membuat Samekta
dan Kerti menjadi semakin bimbang. Sehingga Samekta terpaksa berkata di dalam
hatinya, “Apa boleh buat. Aku harus menjatuhkan perintah atas dasar keyakinanku
bahwa anak muda itu tidak bersalah. Entahlah, apa yang akan terjadi serta
segala akibatnya. Tetapi obat itu sangat diperlukan oleh Ki Argapati.”
Dalam ketegangan yang semakin
memuncak itu, para pengawal mulai melangkah maju, mempersempit kepungan mereka
dengan senjata di tangan masing-masing.
Samekta tidak dapat menunggu
lebih lama lagi. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya, memandang para pengawal
yang telah mulai bergerak.
Tetapi sebelum ia mengucapkan sepatah
kata pun, tiba-tiba terdengar suara melengking dalam nada yang tinggi, “Tunggu,
tunggu.”
Semua orang berpaling ke arah
suara itu. Dada mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat seorang
gadis dengan sepasang pedang di lambung, berjalan tergesa-gesa ke arah arena
yang sedang bergerak-gerak.
Semua orang kemudian terpaku
di tempatnya. Langkah Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Beberapa orang segera
menyibak untuk memberinya jalan, masuk ke dalam lingkaran arena.
Samekta, Kerti, dan Wrahasta
berdiri dengan tegangnya. Mata mereka tertarik kepada tombak pendek yang masih
berada di dalam selongsong itu.
Sejenak kemudian terdengar
suara Wrahasta berat, “Apakah maksudmu datang kemari, Pandan Wangi?”
“Aku berbuat atas nama Kepala
Tanah Perdikan Menoreh,” jawab gadis itu sambil mengangkat tombak yang masih
berada di dalam selongsongnya. “Aku harus memanggil Paman Samekta untuk
menghadap.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Perlahan-lahan ia bertanya, “Aku?”
“Ya. Paman Samekta dan paman
Kerti beserta Kakang Wrahasta, dengan membawa tawanan kalian itu.”
Hampir bersamaan Samekta dan
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba wajah Wrahasta yang tegang
menjadi semakin tegang, seolah-olah hendak meledak. Katanya, “Tidak. Itu tidak
perlu. Aku akan menyelesaikannya lebih dahulu. Ia harus berbicara tentang
dirinya. Baru kemudian ia dihadapkan kepada Ki Argapati. Sebelum ia mengaku,
adalah hakku untuk memeriksanya.”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya, “Aku tidak tahu, Kakang Wrahasta. Aku hanya melakukannya. Supaya
tidak timbul persoalan, maka Ayah memerintahkan kepadaku untuk membawa tombak
ini, pertanda bahwa apa yang aku lakukan adalah atas nama pimpinan tertinggi
Tanah Perdikan Menoreh. Kalau tindakan ini kau anggap kurang bijaksana,
bertanyalah nanti kepada ayah. Aku hanya sekedar melakukan perintahnya.”
“Aku tidak akan memberikan,”
teriak Wrahasta.
Pandan Wangi terdiam sejenak.
Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya
wajah-wajah yang ragu-ragu, bimbang dan bahkan kebingungan.
Tetapi agaknya Pandan Wangi
cukup kuat mempertahankan sikapnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Perintah Kepala
Tanah Perdikan Mlenoreh, Paman Samekta, Paman Kerti, dan kakang Wrahasta harus
segera membawa gembala itu menghadap ayah.”
“Tidak mungkin,” potong
Wrahasta.
“Atas nama Kepala Tanah
Perdikan ini, kalian harus berangkat sekarang. Sekarang.”
Wrahasta berdiri dengan kaki
gemetar memandangi wajah Pandan Wangi. Tetapi wajah gadis itu di dalam
tangkapan matanya kini, seolah-olah bukan wajah Pandan Wangi yang biasa
dilihatnya sehari-hari. Bukan wajah lembut yang ramah, bukan pula wajah seorang
gadis yang sayu dan murung. Tetapi wajah itu seolah-olah wajah seorang senapati
perang yang berada di medan, dalam sikap dan ucapan.
Sejenak arena itu menjadi
sepi. Semua mata memandang wajah Pandan Wangi yang berdiri tegak dengan tombak
pendek di tangannya.
Sejenak kemudian kesepian itu
dipecahkan oleh suara Wrahasta, “Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan tunduk kepada
setiap perintah Ki Gede Menoreh atau atas namanya.”
Dada Pandan Wangi berdesir
mendengar kata-kata Wrahasta itu. Justru dengan demikian sejenak ia terbungkam.
Namun sekilas dipandanginya Kerti dan Samekta yang sedang saling berpandangan.
Gupita pun menarik nafas
dalam-dalam. Terasa ia terlepas dari suatu ikatan yang membelitnya. Bukan
karena ia merasa terlepas dari bahaya yang mungkin dapat mengancam jiwanya,
tetapi ia merasa terlepas dari suatu keadaan yang membuatnya cemas dan
ragu-ragu.
Yang kemudian terdengar adalah
suara Samekta, “Kami akan segera menghadap, Pandan Wangi.”
“Baiklah, Paman. Kita akan
pergi bersama-sama.”
Samekta menganggukkan
kepalanya Kemudian ia berkata kepada Gupita, “Simpanlah senjatamu dan pakailah
bajumu.”
“Baik, Kiai,” jawab Gupita
sambil membungkukkan kepalanya. Kemudian diambilnya bajunya, dan dikenakannya.
Ketika teraba olehnya bungkusan obat di kantong bajunya, terasa hatinya menjadi
dingin. Obat itu baginya adalah barang yang terpenting yang harus disampaikan
kepada alamat yang ditunjuk oleh gurunya.
Sejenak kemudian, maka Pandan
Wangi, Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera membawa Gupita menghadap Ki
Argapati.
Sementara itu Ki Argapati
berbaring dengan gelisah menunggu kedatangan putrinya. Ia kadang-kadang menjadi
cemas kalau Wrahasta menjadi salah paham. Bagaimanakah kira-kira sikap Pandan
Wangi apabila Wrahasta tidak mau mematuhi perintah itu.
Ia bangkit ketika terdengar
langkah memasuki ruangan dalam mendekati biliknya. Sejenak kemudian dari balik
pintu muncullah Pandan Wangi dengan tombak pendek di tangannya.
“Bagaimana, Wangi?” bertanya
ayahnya.
“Mereka telah datang, Ayah.”
“Di mana mereka sekarang?”
“Di luar bilik ini, Ayah.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Bawa mereka masuk. Tetapi letakkan dulu tombak
itu.”
Pandan Wangi mengangguk.
Diletakkannya tombak pendek ayahnya di samping pembaringan, dan kemudian ia pun
melangkah.
Sejenak kemudian maka Pandan
Wangi bersama para pemimpin pengawal itu pun masuk ke dalam bilik Argapati
sambil membawa Gupita bersama mereka.
Dengan kepala tunduk mereka
berdiri berjajar di muka pintu. Di paling ujung adalah Gupita yang berdiri di
samping Samekta.
Ki Argapati memandangi mereka
satu demi satu. Dilihatnya keringat yang membasahi wajah dan pakaian Wrahasta.
Agaknya ia telah berbuat sesuatu dengan mengerahkan tenaganya.
Perlahan-lahan Ki Argapati
berkata, “Anak muda inikah yang bernama Gupita?”
Gupita mengangkat wajahnya.
Perlahan-lahan pula ia menjawab sambil mengangguk dalam-dalam, “Ya, Ki Gede.
Aku bernama Gupita, seorang gembala.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan yang
hampir mumpuni, segera ia melihat, bahwa apa yang dikatakan Pandan Wangi
tentang anak muda yang telah membantu meloloskan diri dari tangan Ki Peda Sura
itu, sama sekali tidak berlebih-lebihan.
“Aku telah mendengar tentang
kau,” berkata Ki Argapati kemudian. “Tetapi aku ingin mendengar dari kau
sendiri, siapakah sebenarnya kau, dan apakah maksudmu datang kemari.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dipandanginya orang-orang yang berada di dalam
bilik itu satu demi satu. Namun tidak segera berkata apa pun.
Yang bertanya kemudian adalah
Ki Argapati kembali, tetapi kepada Samekta, “Apakah kau sudah bertanya sesuatu
kepadanya?”
Samekta ragu-ragu sejenak,
kemudian jawabnya, “Belum, Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia memandangi Wrahasta yang masih tunduk. Kepada anak muda yang
bertubuh raksasa ini pun Ki Gede bertanya, “Apakah kau juga belum bertanya
kepadanya?”
Wrahasta mengangguk, jawabnya,
“Aku sedang berusaha bertanya kepadanya, Ki Gede. Tetapi agaknya Gupita tidak
ingin menjawab.”
Ki Argapati masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya kemudian Kerti dan Samekta
berganti-ganti. Tetapi keduanya pun masih menundukkan kepala mereka. Agaknya
tidak seorang pun dari keduanya yang ingin memberi penjelasan.
Gupita sendiri memang tidak
ingin membuat persoalan. Karena itu maka ia pun tidak berbicara sama sekali
tentang apa yang telah terjadi. Ketika Ki Gede kemudian bertanya lagi kepadanya
tentang dirinya, maka anak muda itu menjawab, “Ki Gede, yang terpenting
kedatanganku adalah untuk menyerahkan obat kepada Ki Gede. Menurut perhitungan
ayah, obat yang dahulu diberikannya lewat adikku pasti sudah tidak mempunyai
daya penyembuh lagi. Itulah sebabnya maka aku harus menghadap Ki Gede untuk
menyampaikan obat itu sekarang.”
“Ya, aku sudah mendengar
pula,” Ki Gede diam sejenak, lalu, “Apakah ada salah paham di antara para
pengawal terhadapmu?”
Gupita ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, “Tidak, Ki Gede. Tidak ada salah paham yang berarti.
Semuanya adalah terbatas pada tindakan pengamanan sebagaimana seharusnya
dilakukan oleh para petugas dan para pengawal.”
Yang mendengar jawaban itu
mengerutkan kening mereka. Jawaban itu sama sekali bukan jawaban seorang
gembala kambing.
Tetapi yang paling
memperhatikan sikap itu adalah Ki Gede sendiri. Kini ia menjadi semakin yakin,
bahwa ia telah berhubungan dengan seseorang yang memang pernah dikenalnya,
meskipun sejak itu sudah diselimuti oleh rahasia yang tidak mudah ditebak.
Namun orang yang berada di belakang anak-anak muda ini, pasti orang bercambuk
yang aneh itu.
Tetapi tiba-tiba Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya, “Jadi ayahmu
menyuruhmu memberikan obat lagi kepadaku?”
Pertanyaan itu telah
mengejutkan Gupita, sehingga tergagap ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Ayah
menyuruhku memberikan obat ini, karena obat yang diberikannya lewat adikku
sudah terlampau lama.”
“Gupita,” desis Ki Gede
seolah-olah ia sedang mengingat sesuatu, “Berapa umur ayahmu?”
Kini Gupita menjadi bingung.
Pertanyaan itu pun. sama sekali tidak disangka-sangkanya. Namun ia meajawab,
“Umur ayah sudah lewat setengah abad, Ki Gede?”
“Ya, maksudku apakah ia sudah
terlampau tua atau masih seumurku ini?”
“Ya, umur ayah kira-kira
seumur dengan Ki Gede.”
Tampak sesuatu melintas di
wajah Ki Gede yang tenang. Namun tidak seorang pun yang dapat menangkap, bahwa
sesuatu sudah bergetar di dadamya. Orang tua itu berkata di hatinya, “Orang
bercambuk itu sudah melampaui setengah abad sejak aku melihatnya beberapa puluh
tahun yang lampau, ketika aku masih terlalu muda. Apakah umurnya tidak
bertambah-tambah juga?” Namun ketegangan merayapi hatinya ketika teringat
olehnya seseorang yang mirip dengan anak muda yang berdiri di depannya, “Aku
seolah-olah melihat anak muda itu kembali. Anak muda yang cakap dan sopan
seperti anak muda ini. Tetapi saat itu umurku pun masih terlampau muda.”
Kata-kata itu melingkar-lingkar di dalam dada Ki Argapati. Tetapi ia tidak
segera dapat meagambil kesimpulan apa pun.
Baru sejenak kemudian ia
berkata, “Manakah obat itu? Dan apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”
Gupita mengambil sebungkus
obat dari kantong bajunya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Kemudian diserahkannya
sebungkus obat itu kepada Ki Gede yang menerimanya dengan tangan gemetar.
Agaknya tubuhnya telah dijalari oleh rasa sakit yang bersumber pada lukanya. Ki
Gede itu tampak agak menggigil, meskipun tubuhnya menjadi panas.
“Apakah obat ini harus
ditaburkan di atas lukaku?” bertanya Ki Gede.
Gupita mengangguk, “Ya Ki
Gede. Obat itu sebagian harus ditaburkan di atas luka. Tetapi tidak sekaligus.
Ki Gede dapat mempergunakannya untuk tiga empat kali. Sedang bungkusan kecil
yang ada di dalam bungkusan itu juga, hendaknya dicairkan dengan air
secukupnya. Obat itu harus diminum Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya wajah-wajah para pemimpin pengawal
yang berdiri tegang di hadapannya.
Ki Gede melihat keragu-raguan
yang membayang di wajah-wajah itu, bahkan di wajah Pandan Wangi.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Disadarinya bahwa orang-orang itu meragukan obat yang diberikan
oleh Gupita dan sekaligus mencemaskan nasibnya. Karena itu maka katanya,
“Gupita, apakah ayahmu yakin bahwa obat ini akan dapat menyembuhkan
luka-lukaku?”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab, “Ki Gede, ayah tidak pernah
merasa dirinya sendiri mampu berbuat demikian, apalagi meyakini. Sebaiknya kita
berusaha bersama-sama. Sambil memohon kepada Yang Maha Murah, tetapi ayah yakin
bahwa sebenarnya Tuhan Maha Murah. Karena itu ayah tidak pernah berputus asa
untuk berusaha dalam ilmu pengobatan ini.”
Sekali lagi, orang-orang yang
mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu pun sama sekali bukan
sekedar jawaban seorang gembala.
Ki Argapati sendiri
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia tersenyum sambil berkata, “Baiklah.
Marilah kita berusaha. Tetapi sebelum itu aku ingin mengetahui tentang kau
lebih banyak lagi, apalagi tentang ayahmu. Apakah kau tidak berkeberatan? Kau
belum menjawab pertanyaanku, apakah ada pesan khusus dari ayahmu?”
Dengan ragu-ragu Gupita
menganggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya beredar ke seluruh ruangan.
Disambarnya wajah-wajah yang kaku tegang dari para pengawal yang berada di
dalam bilik itu juga.
Agaknya Ki Gede mengerti
maksud anak muda itu. Ia ingin berbicara tanpa ada orang lain yang
mendengarnya. Karena itu, maka setelah dipertimbangkannya sejenak ia berkata
kepada para pengawalnya, “Maaf Samekta, aku akan berbicara dengan anak ini
tanpa didengar oleh orang lain. Aku persilahkan kalian keluar sebentar. Nanti
kalian akan mengerti, apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi yang pertama-tama berkata di
antara mereka adalah Wrahasta, “Apakah Ki Gede mempercayainya bahwa ia tidak
akan berbuat sesuatu di dalam bilik ini, pada saat Ki Gede sedang sakit?”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih atas peringatanmu
Wrahasta. Aku tahu, bahwa kau dan para pengawal yang lain merasa bertanggung
jawab atas keselamatanku. Aku hargai sikap kalian. Tetapi kali ini aku minta
kalian mempercayainya. Aku akan berbuat sebaik-baiknya.”
Sejenak para pengawal itu
saling berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa pun ketika sekali
lagi Ki Gede berkata, “Biarlah anak ini mendapat kesempatan. Keluarlah kalian
sebentar bersama Pandan Wangi.”
Ternyata Pandan Wangi pun
menjadi ragu-ragu. Namun ketika akan membuka mulutnya, ayahnya mendahuluinya,
“Keluarlah sebentar, Pandan Wangi. Aku perlu berbicara dengan Gupita sejenak.
Semuanya semata-mata untuk kepentingan Tanah ini, tentu saja untuk
kepentinganku pula. Kalau aku segera sembuh, maka aku akan segera dapat berbuat
sejauh-jauh mungkin dapat aku lakukan bagi Tanah ini. Apakah kalian mengerti?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Kerti, dan sejenak kemudian ayahnya. Namun
ketika ia memandang wajah Gupita, dan anak muda itu sedang memandanginya pula,
maka sepercik warna merah membayang di pipinya. Sambil menundukkan kepalanya ia
menjawab, “Baik, Ayah. Aku akan keluar bersama para pemimpin pengawal.”
“Terima kasih. Aku mengharap
kalian dapat mengerti.”
Maka Pandan Wangi pun segera
melangkah keluar. Meskipun tampak keragu-raguan membayang di matanya, tetapi ia
mematuhi perintah ayahnya. Demikian pula para pemimrpin pengawal. Mereka
mencoba untuk menyerahkan semua tanggung jawab kepada Ki Argapati sendiri. Dan
mereka mencoba untuk percaya, bahwa pandangan Ki Argapati pasti jauh lebih
tajam dari mereka.
Tetapi Wrahasta mempunyai
persoalan yang lain. Ia tidak sekedar dirisaukan oleh kecurigaannya apakah anak
muda itu tidak akan berkhianat. Meskipun Pandan Wangi ikut meninggalkan bilik
itu bersamanya dan kedua pemimpin pengawal yang lain, namun perasaan cemburu
yang tergores di dadanya tidak juga menjadi susut. Apalagi sampai saat itu
Pandan Wangi belum pernah menjawab pertanyaannya dengan memuaskan. Itulah
sebabnya, maka persoalannya dengan anak muda yang bernama Gupita itu jauh lebih
banyak dari orang-orang lain. Bahkan Wrahasta menjadi cemas, apabila
benar-benar anak muda itu berhasil menolong Ki Argapati, dan karena itu, ia
akan dapat menarik perhatiannya, apalagi Pandan Wangi sendiri telah terjerat
pula olehnya, maka semua mimpinya akan pecah bertebaran.
Namun untuk sementara ia tidak
akan dapat berbuat sesuatu, ia harus tunduk kepada perintah Ki Argapati.
Sementara itu, Gupita masih
berdiri di depan pintu. Ki Gede yang mencoba duduk di tepi pembaringannya
tampak gemetar karena lukanya yang terasa menjadi pedih dan tubuhnya menjadi
panas.
“Silahkan berbaring, Ki Gede,”
berkata Gupita. Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Maaf anak
muda, aku memang harus berbaring.”
“Ya, Ki Gede masih belum boleh
terlampau banyak bergerak. Silahkan membuka baju Ki Gede, aku akan membantu
menaburkan obat itu.”
Ki Gede tidak segera menyahut.
Bagaimanapun juga, anak muda yang belum pernah dikenalnya ini kadang-kadang
memang menumbuhkan kebimbangan di hatinya. Tetapi Ki Gede tidak segera
menyahut. Dengan tangan yang bergetar dibukanya bungkusan obat yang diterimanya
dari anak muda itu.
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Obat ini memang mirip sekali dengan obat yang pernah diterimanya
dahulu. Tetapi ia tidak dapat menyebutnya dengan jelas, apakah warnanya juga
serupa, karena saat anak muda yang gemuk itu memberikan obat kepadanya, ia
tidak dapat melihat dengan jelas, apalagi di dalam keremangan malam di bawah
Pucang Kembar.
Gupita yang melihat
keragu-raguan membayang di wajah Ki Gede berkata, “Obatnya memang agak berbeda
dengan yang pernah Ki Gede pergunakan dahulu. Obat yang dahulu adalah obat
untuk luka baru. Tetapi obat ini adalah obat untuk mengobati luka Ki Gede yang telah
selang beberapa hari itu.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia pun tidak menolak ketika Gupita mendekatinya dan
kemudian dengan hati-hati menaburkan obat di atas luka Ki Gede.
“Setiap dua atau tiga hari,
obat ini harus diperbaharui,” berkata Gupita kemudian. “Mudah-mudahan Ki Gede
akan sembuh dan segera dapat memimpin pasukan kembali.”
Ki Argapati mengangguk-angguk
pula. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, mudah-mudahan. Tetapi agaknya Ki Tambak
Wedi tidak menunggu aku sampai sembuh. Mereka telah memperketat kepungan mereka
dan mempertajam tekanan mereka, tidak saja atas padesan ini, tetapi juga dan
bahkan terutama adalah sumber persediaan makan kami.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agaknya Ki Argapati sudah mulai mempercayainya benar-benar. Sehingga
akan sampai saatnya ia menyampaikan pesan gurunya kepadanya.
“Tetapi gerakan yang dilakukan
oleh Ki Gede telah berhasil membuat Ki Tambak Wedi kebingungan,” berkata Gupita
kemudian.
Ki Argapati mengerutkan
keningnya, “Apakah yang kau maksudkan?”
“Pasukan berkuda dan
orang-orang bercambuk di antara mereka.”
“Oh,” Ki Gede tersenyum.
Katanya, “Maafkan kami. Sampaikan kepada ayahmu, bahwa kami tidak sengaja untuk
menyeretnya ke dalam persoalan ini.”
“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita
cepat-cepat. “Tidak hanya kamilah yang berhak mempergunakan senjata semacam
itu. Setiap orang memang berhak pula. Juga pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Gede masih juga tersenyum.
Katanya, “Apakah kau dan ayahmu tersinggung karenanya? Baiklah aku berterus
terang, dan aku harap kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa aku memang ingin
membangunkannya dari tidurnya yang terlampau nyenyak.”
Gupita pun tersenyum pula. Ia
merasa bahwa pintu telah terbuka baginya untuk menyampaikan pesan gurunya.
Karena itu maka katanya kemudian dengan hati-hati, “Ki Gede, sebenarnyalah aku
mendapat pesan dari ayahku selain obat untuk luka Ki Gede itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Namun sejenak kemudian ia menyeringai menahan sakit yang menghentak di lukanya.
“Apakah luka itu terasa pedih,
Ki Gede?” bertanya Gupita ketika ia melihat kesan di wajah Ki Argapati.
“Ya. Pedih sekali.”
“Itu pertanda bahwa obat itu
mulai bekerja. Jangan cemas, Ki Gede. Beberapa saat perasaan pedih itu serasa
menyengat-nyengat. Tetapi kemudian akan hilang dengan sendirinya. Begitulah
menurut ayah.”
“Ya, Mudah-mudahan kata-kata
ayahmu itu benar.”
“Menurut pengalaman ayah,
demikianlah. Kemudian luka itu tidak perlu ditutup. Namun sebaiknya luka itu
tidak tergores oleh baju Ki Gede.”
“Ya, ya,” sahut Ki Gede, namun
kemudian ia berkata, “sekarang, coba katakan, apakah pesan ayahmu itu? Aku
harap bahwa ayahmu dapat memberi beberapa petunjuk untuk memecahkan kesulitan
di atas Tanah ini.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Ki Gede memang telah mempunyai kepercayaan kepada
gurunya, meskipun agaknya Ki Gede belum yakin siapakah sebenarnya orang yang
telah memberinya obat itu.
Dengan demikian maka agaknya
semuanya akan dapat berjalan dengan lancar, tanpa salah paham yang lebih dalam
lagi.
“Ki Gede,” berkata Gupita,
“sebenarnyalah ayah tidak akan dapat tinggal diam di dalam tidurnya yang
nyenyak.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya, namun kemudian ia pun tersenyum.
“Pada saatnya ayah pasti akan
melibatkan diri di dalam persoalan ini.”
“Aku sudah menyangka,” sahut
Argapati.
“Untuk itu ayah minta maaf.
Bukan maksud ayah untuk mencampuri persoalan Ki Gede.”
Ki Gede tidak menyahut.
“Tetapi,” Gupita meneruskan,
“Ayah melihat bahaya yang akan mengancam bukan saja Tanah ini, apabila Sidanti
berhasil menguasai pimpinan bersama gurunya Ki Tambak Wedi.” Gupita berhenti
sejenak, lalu, “Maaf Ki Gede, mungkin putra Ki Gede sendiri tidak akan tersesat
apabila ia tidak kebetulan berada di dalam lingkungan padepokan Tambak Wedi.
Kami tidak tahu, apakah alasan yang telah mendorong Ki Gede menyerahkannya
kepada seorang yang terlampau bernafsu untuk menjadi seorang yang sangat
berkuasa.”
Ki Gede Menoreh
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya kemudian menunduk.
“Maaf, Ki Gede. Bukan maksudku
untuk menyentuh perasaan Ki Gede,” cepat-cepat Gupita menyambung kata-katanya.
Ki Argapati menggelengkan
kepalanya, “Tidak apa, Anak Muda. Aku memang sudah merasa, bahwa sebagian dari
kesalahan itu memang ada padaku. Pada yang tua-tua di Tanah ini, dan guru anak
itu. Nah, teruskan pesan ayahmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku tidak
akan menyalahkan kau. Tanggapanmu atau tanggapan ayahmu memang tepat.
Teruskan.”
“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita
kemudian. ”Bukan itulah pesan ayahku yang terpenting. Tetapi yang harus aku
sampaikan kepada Ki Gede adalah keinginan ayah untuk menghadap Ki Gede. Sadah
tentu ayah tidak akan dapat begitu saja memasuki daerah ini. Itulah sebabnya
aku yang disuruhnya untuk merambah jalan. Itu pun telah menimbulkan sedikit salah
paham. Tetapi salah paham yang tidak berarti.”
“Ayahmu akan datang kemari?”
“Itu kalau Ki Gede berkenan di
hati.”
“Tentu. Tentu. Kenapa tidak
saja langsung menemui para penjaga dan berkata bahwa ia akan bertemu dengan
aku?”
“Dalam keadaan serupa ini mudah
sekali timbul persoalan-persoalan yang tidak terduga-duga. Aku pun sudah
mengatakan demikian, bahkan dengan menunjukkan obat itu. Tetapi wajar sekali
kalau para pengawal tidak segera mempercayainya. Memang kehadiran seorang
gembala tua seperti ayah, akan merupakan sesuatu yang tampaknya tidak wajar
dalam keadaan serupa ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, “Ayahmu memang membuat dirinya menjadi tidak
wajar. Aku tidak tahu, kenapa ia harus menyebut dirinya sebagai seorang gembala
tua? Dan kau menyebut dirimu sebagai anaknya?”
Dada Gupita berdesir mendengar
pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menyadari keadaannya. Sudah tentu orang
seperti Ki Argapati tidak akan dengan mudah mempercayai cerita tentang dua
orang gembala dengan seorang ayahnya yang tua.
“Gupita,” berkata Ki Argapati
kemudian, “aku memanggilmu Gupita, karena kau menyebut dirimu bernama demikian.
Aku kira aku pernah berkenalan dengan orang yang kau sebut ayahmu. Aku memang
mengenal orang yang bersenjata cambuk itu, meskipun sejak itu orang yang
bersenjata cambuk itu selalu membuat dirinya menjadi kabur. Tetapi aku tidak
tahu, apakah naksudnya dan apakah alasannya. Seperti aku sekarang juga tidak
tahu, kenapa ayahmu itu pun tidak menyatakan dirinya dalam keadaan sewajarnya.
Tetapi itu tidak penting bagiku. Teka-teki itu memang tidak akan aku cari. Yang
penting sekarang adalah kehadirannya itu. Aku menunggunya dengan senang hati.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba ia pun melihat keanehan pada dirinya sendiri. Agaknya
penyakit gurunya untuk membuat dirinya berwajah dan bernama seribu telah
menular kepada dirinya tanpa disadarinya. Kenapa namanya harus berganti, dan
kenapa ia menyebut dirinya seorang gembala?”
Gupita menarik nafas. “Aku
berada di daerah asing yang sedang disaput oleh kemelutnya api peperangan,”
desisnya di dalam hati. Dan alasan itu sudah agak memberinya kepuasan, apalagi
apabila disebutnya juga, agar Sidanti tidak segera tahu kehadirannya bersama
guru dan saudara seperguruannya.
Tetapi semuanya itu pasti akan
segera berakhir. Apabila gurunya pada suatu saat bertemu dengan Ki Argapati,
maka semuanya akan babar. Dan ia tidak perlu mengingat-ingat nama yang
kadang-kadang membuatnya bingung sendiri.
Karena itu, maka kemudian ia
berkata, “Ki Gede, ayah pasti akan mengucapkan beribu terima kasih atas
kesempatan itu. Selebihnya, ayah akan mengatakannya sendiri, apakah sebabnya ia
berada di Tanah ini dan apakah sebabnya ia tidak menyatakan dirinya sewajarnya,
apabila benar seperti yang Ki Gede sebutkan.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, “Aku menunggu. Setiap saat pintu regol
akan terbuka bagi orang yang kau sebut ayahmu itu. Aku mempercayainya. Obatnya
agaknya akan dapat menolongku.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, “Perasaan
pedih itu sudah berangsur hilang.”
“Berbaringlah dan
beristirahatlah Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede akan segera sembuh,” sahut
Gupita, yang kemudian minta diri. “Sebaiknya aku segera mengatakannya kepada
ayah. Aku harus segera menemuinya. Agaknya suhu api di atas bukit ini cepat
sekali meningkat.”
“Kau benar. Semakin cepat,
semakin baik sebelum Ki Tambak Wedi mengetahui, bahwa orang-orang berkuda itu
bukan orang yang berhak mempergunakan sebutan orang-orang bercambuk.”
Gupita menganggukkan
kepalanya. Tetapi terbersit kecemasan di dalam hatinya. Mungkin Ki Gede
benar-benar mengharap kehadiran gurunya, tetapi bagaimana dengan para pengawal?
Kedatangannya telah menumbuhkan salah paham, dan hampir-hampir saja menyeretnya
ke dalam suatu keadaan yang sulit.
Karena itu, maka dengan agak
ragu-ragu ia bertanya, “Ki Gede, apakah tanda yang harus kami berikan kepada
para pengawal, supaya kami dapat masuk ke daerah ini dengan tidak menimbulkan
salah paham?”
“Ah,” desah Ki Gede, “bukankah
sebagian dari para pengawal telah mengenalmu? Meskipun demikian baiklah, aku
akan mengatakannya kepada para pengawal, bahwa kalian akan mendapat kesempatan
untuk masuk. Terutama kepada para pemimpin.”
“Terima kasih, Ki Gede,” sahut
Gupita.
“Panggillah mereka yang berada
di luar pintu itu.”
“Baik Ki Gede,” sahut Gupita
yang kemudian melangkah ke luar ruangan. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya
ketiga pemimpin pengawal masih berada di ruangan itu. Mereka duduk di atas
sehelai tikar di muka pintu yang menghadap ke pringgitan, dan langsung dapat
melihat ke luar, lewat pintu pendapa.
“Tuan-tuan dipersilahkan
masuk,” berkata Gupita sambil membungkukkan kepalanya.
Sejenak ketiga pemimpin
pengawal itu saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kerti segera berdiri
disusul oleh Samekta dan kemudian Wrahasta.
“Apakah Ki Gede memanggil
kami?” bertanya Kerti.
“Kenapa kita bertanya
kepadanya?” sahut Wrahasta. “Ia orang asing di sini. Marilah kita bertanya
langsung kepada Ki Gede.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Pemimpin pengawal yang seorang ini yang bertubuh raksasa, agaknya terlampau
membencinya tanpa diketahui sebab-sebabnya. Meskipun demikian, ia mencoba untuk
menenteramkan hatinya. Mungkin karena anak muda yang bertubuh raksasa itu sudah
terlanjur bersikap keras terhadapnya, sehingga ia tidak akan dapat merubah
sikap itu dengan tiba-tiba.
Ketiga pemimpin pengawal itu
pun segera melangkah masuk. Mereka berdiri berjajar di dekat pembaringan Ki
Argapati. sedang Gupita kemudian berdiri beberapa langkah di belakang mereka.
“Pandan Wangi tidak ada di
antara mereka,” pertanyaan itu telah mengusik hati Gupita. Tetapi ia tidak
berani bertanya.
Ternyata Ki Gede-lah yang
kemudian bertanya, “Di manakah Pandan Wangi?”
Sebelum salah seorang dari
mereka menjawab. terdengar suara Pandan Wangi, “Aku di sini, Ayah.” Maka
sejenak kemudian gadis itu menjengukkan kepalanya. Tangannya menjinjing
beberapa mangkuk berisi air sere yang hangat. Beberapa potong gula kelapa dan
seonggok jenang alot.
“Oh,” Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Sepercik kebanggaan telah memulasi hatinya yang sedang prihatin.
Meskipun putrinya itu membawa sepasang pedang di lambungnya, namun ia tidak
melupakan kewajibannya sebagai seorang gadis.
Ketika Pandan Wangi kemudian
hilang di balik pintu, maka Ki Gede berkata, “Pandan Wangi telah menyediakan
minum kalian. Tetapi baiklah aku ingin memberikan beberapa pesan. Pada saatnya,
Gupita akan pergi dan kembali lagi ke padukuhan ini bersama saudaranya yang
gemuk dan ayahnya. Aku mengharap kalian dapat menerima mereka dengan baik,
karena mereka adalah tamu-tamuku. Aku memerlukan mereka terutama karena obat
yang ternyata sangat bermanfaat bagiku. Selainnya akan kita lihat, hubungan apa
lagi yang dapat kita buat dengan mereka untuk selanjutnya.”
Samekta, Kerti, dan Wrahasta tidak
segera menjawab. Bagi Samekta dan Kerti, persoalan itu tidak banyak menimbulkan
masalah di dalam diri mereka. Mereka percaya bahwa Ki Gede berbuat dengan cukup
berhati-hati. Dan kewajibannya adalah mengamankan daerah ini dari segala
kemungkinan seandainya ketiganya benar-benar akan datang. Mereka harus diawasi
sebaik-baiknya. Selebihnya, Ki Gede pasti akan memberi petunjuk-petunjuk.
Tetapi persoalan bagi Wrahasta
bertambah lagi dengan masalah pribadinya. Namun sudah tentu ia tidak dapat
mengatakannya. Disimpannya saja perasaan kecewanya itu di dalam hatinya.
Meskipun demikian, betapa dalam ia mencoba menanam perasaan itu di hadapan Ki
Argapati, namun dari sikapnya, Samekta dan Kerti masih sempat membacanya.
Para pemimpin itu kemudian
mengangkat wajah-wajah mereka ketika mereka mendengar Ki Gede melanjutkan,
“Sementara ini baru itulah yang dapat aku katakan. Selebihnya akan kalian
ketahui nanti setelah ayah Gupita ini berada di dalam lingkungan kita.
Setidak-tidaknya kita akan mendapat seorang yang mengerti tentang obat-obatan,
yang akan memberi banyak pertolongan bagi kita yang terluka.”
“Kita akan menyambutnya dengan
senang hati, Ki Gede,” jawab Samekta. “Ternyata sampai saat ini kita tidak
mempunyai seorang pun yang dengan sungguh-sungguh dapat memberikan pengobatan.
Yang kita lakukan hanyalah sekedar memperingan penderitaan para korban. Di
pihak Sidanti paling sedikit ada dua orang yang mampu melakukannya. Ki Wasi dan
Ki Muni.”
“Tetapi,” tiba-tiba Wrahasta
memotong, “betapapun tanggapan kita terhadap kedua orang itu, namun bagi
Sidanti, keduanya cukup meyakinkan. Keduanya benar-benar dapat dipercaya.
Apakah kita dapat meyakini pula, bahwa gembala tua itu dapat kita percaya?”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau adalah seorang pengawal yang
baik, Wrahasta. Kau menanggapi setiap persoalan dengan penuh tanggung jawab.
Aku berterima kasih kepadamu. Adalah wajar sekali, bahwa kita tidak akan segera
mempercayai seseorang. Juga gembala tua itu. Namun biarlah ia datang, aku akan
melihat apakah kita bersama akan mempercayakan diri kita kepadanya di dalam
masalah pengobatan, atau kita akan berbuat lain.”
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, Ki Gede.”
“Nah, sekarang minumlah.
Kemudian Gupita akan segera pergi untuk memanggil ayahnya. Hari ini atau besok
ia akan kembali.”
Sekali lagi Wrahasta
menganggukkan kepalanya. Samekta, Kerti, dan Gupita pun mengangguk pula.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah berada di luar ruangan, duduk di atas
sehelai tikar pandan yang putih sambil minum air sere dengan gula kelapa.
Tetapi Gupita tidak dapat
menikmatinya terlampau lama. Segera ia minta diri untuk kembali ke rumahnya dan
membawa ayahnya menghadap Ki Argapati.
“Besok aku baru akan menghadap
bersama ayah,” berkata Gupita kepada para pemimpin pengawal itu.
“Kami mengharap kedatangan
kalian,” sahut Samekta. “Mudah-mudahan dengan demikian, kalian dapat
memperingan pekerjaan kami.”
“Kami akan berusaha,” jawab
Gupita.
Maka Gupita pun segera minta
diri kepada Pandan Wangi, untuk menjemput gembala tua yang disebutnya ayahnya.
Samekta, Kerti, dan Wrahasta
mengantarkannya sampai ke regol padesan. Ketika mereka telah berada di luar
regol, maka Samekta berkata, “Selamat jalan. Di hadapan kita terbentang sebuah
lapangan yang menyimpan seribu macam rahasia dan teka-teki. Kita tidak tahu apa
saja yang tersimpan di dalamnya sekarang. Mungkin di depan kita ini bersembunyi
orang-orang Sidanti, tetapi juga mungkin petugas-petugas sandi kita sendiri.
Atau kedua-duanya. Dengan demikian maka segala macam peristiwa dapat saja
terjadi atasmu.”
“Terima kasih,” jawab Gupita,
“aku akan berhati-hati. Mudah-mudahan aku tidak menemui kesulitan, Apabila aku
menjumpai bahaya yang tidak dapat aku atasi, aku akan lari kembali masuk ke
padukuhan ini.”
“Baiklah,” jawab Kerti, “Kami
menunggu kedatanganmu bersama ayahmu.”
Gupita pun kemudian
menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku akan
segera kembali.”
Maka sejenak kemudian Gupita
itu pun segera melangkah meninggalkan regol padukuhan itu. Tetapi hatinya
berdesir ketika ia mendengar Wrahasta berkata, “Tunggu. Aku perlu mengatakan
sesuatu kepadamu.”
Gupita menghentikan langkah.
Namun Wrahasta berkata, “Berjalanlah terus. Aku akan menemani kau.”
Debar jantung Gupita menjadi
semakin cepat. Ia tidak mengerti apakah maksud Wrahasta. Bahkan Kerti pun
bertanya, “Kemanakah kau akan pergi, Wrahasta?”
“Ke tengah-tengah bulak itu,”
jawab anak muda yang bertubuh raksasa itu.
“Kenapa?” bertanya Samekta pula.
“Jangan takut aku akan dijebak
oleh Sidanti,” jawab Wrahasta. “Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diri
sendiri. Aku pun tidak akan pergi terlampau jauh dan terlalu lama. Dan aku pun
tidak akan berbuat apa-apa atas anak ini.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah Kerti yang menjadi semakin tegang.
Tetapi mereka tidak dapat menahan Wrahasta. Bahkan di dalam hati Samekta
berkata, “Wrahasta tidak akan mampu berbuat apa pun atas anak itu. Dan anak itu
pun cukup dewasa menghadapi persoalannya, sehingga tidak akan berbuat sesuatu
yang dapat menggagalkan pembicaraan yang telah dibuatnya dengan Ki Argapati.”
Sementara itu Gupita dan
Wrahasta telah melangkah semakin jauh. Dengan dada yang berdebar-debar Kerti
dan Samekla memandang mereka yang berjalan tanpa berpaling lagi.
Apalagi Gupita yang semakin
tidak mengerti atas sikap Wrahasta. Dadanya pun menjadi kian berdebar-debar.
Bukan karena Wrahasta seorang anak muda yang pilih tanding, tetapi justru
karena tanggapannya yang berbeda dengan para pemimpin yang lain.
“Gupita,” tiba-tiba terdengar
suara Wrahasta datar, “apakah kau besok benar-benar akan kembali?”
Gupita menjadi semakin heran.
Namun ia menjawab, “Sudah tentu, Tuan. Sudah tentu aku akan kembali.”
“Bagaimana dengan adikmu yang
gemuk itu?”
“Mungkin ia pun akan ikut pula
bersama kami.”
Wrahasta berhenti sejenak.
Kemudian, katanya, “Sebaiknya hanya ayah dan adikmu itu saja besok yang datang
kembali. Tanpa kau.”
“Kenapa?” dengan serta-merta
Gupita bertanya.
“Aku tidak senang melihat
kehadiranmu di padukuhan ini.”
Gupita tidak segera menyahut.
Langkahnya menjadi semakin lambat. Dicobanya untuk memandang wajah raksasa yang
berjalan menunduk disampingnya. Tetapi teka-teki itu tidak terjawab.
“Kedatanganmu telah mengganggu
ketenteraman hatiku,” berkata Wrahasta selanjutnya. “Karena itu, aku terpaksa
melarangmu datang sekali lagi.”
“Tetapi, tetapi aku telah
berjanji kepada Ki Argapati, bahwa aku akan membawa ayah dan adikku.”
“Suruh saja adikmu mengantar
ayahmu itu.”
“Terlampau berbahaya. Kemelut
di Tanah ini dapat menimbulkan kemungkinan apa pun terhadap ayahku yang telah
tua, dan adikku yang masih terlampau kanak-kanak.”
“Itu bukan urusanku. Yang
penting harus kau ingat, kau tidak boleh memasuki padukuhan ini sekali lagi.”
“Itu tidak mungkin,” jawab
Gupita, “aku sudah berjanji bahwa aku akan membawa ayah besok datang menghadap
Ki Argapati. Aku tidak tahu pasti apakah Gupala dapat ikut bersama kami,
apalagi mengantar ayah tanpa aku.”
“Terserah kepada keputusanmu,”
geram Wrahasta kemudian. “Tetapi kalau kau datang sekali lagi, maka kita untuk
seterusnya tidak akan dapat menjadi kawan yang baik. Mungkin kau belum
merasakan pada hari-hari pertama. Tetapi selanjutnya, kalau bukan aku, maka
kaulah yang akan mengambil sikap demikian. Bermusuhan.”
“Aku tidak mengerti. Apakah
sebabnya maka kita harus membuat garis pemisah. Kalau hal itu hanya sekedar
karena keterlanjuran Tuan dalam salah paham yang baru saja terjadi, maka itu
bukanlah sikap yang matang. Itu masih berada di dalam daerah pemikiran
anak-anak.”
Wrahasta tidak segera
menjawab. Ia menjadi ragu-ragu, apakah sebaiknya yang dikatakan. Apakah ia akan
berterus terang, bahwa ia tidak senang melihat hubungan antara anak yang
menyebut dirinya bernama Gupita itu dengan Pandan Wangi?
“Tidak,” berkata Wrahasta di
dalam hatinya. “Aku tidak perlu mengatakan alasan itu. Aku mempunyai wewenang
yang cukup di lingkungan para pengawal Tanah Perdikan. Aku tidak perlu
merendahkan diri, memohon kepadanya agar gembala ini memberi aku kesempatan.”
Karena itu, maka Wrahasta itu
pun kemudian menjawab, “Aku tidak perlu mengatakan apakah sebabnya. Tetapi kau
tidak disenangi di daerah kami, karena sikapmu yang sombong. Mungkin adikmu
mempunyai watak yang berbeda, sehingga orang-orang Menoreh dapat menerimanya
dengan senang hati bersama ayahmu.”
“Tetapi sudah aku katakan,”
sahut Gupita, “aku masih harus mengantar ayah kemari.”
“Terserah kepadamu. Aku sudah
memberi kau peringatan. Kalau kau tidak mengindahkannya, maka lambat atau
cepat, kau akan menyesal.”
Gupita masih akan menyahut,
tetapi ia tidak mendapat kesempatan, karena Wrahasta menghentikan langkahnya
sambil berkata, “Berjalanlah terus. Renungkan kata-kataku. Aku sudah mencoba
memperingatkan kau.”
“Maaf,” sahut Gupita, “tetapi
aku akan mencoba merenungkannya. Namun besok aku harus datang kembali bersama
ayah dan adikku. Itu tidak dapat aku ingkari, sebab sudah aku katakan kepada Ki
Gede, ketika aku berbicara dengan Ki Gede sendiri. Tak ada perintah dari siapa
pun yang dapat membatalkan pembicaraanku dengan Ki Gede, karena menurut
pengertianku, Ki Gede adalah orang tertinggi di tlatah ini.”
Terasa suatu hentakan telah
memukul dada Wrahasta. Hampir saja ia kehilangan pertimbangan lagi. Untunglah
bahwa Gupita kemudian meneruskan langkahnya sambil berkata, “Selamat tinggal.
Aku akan pulang. Semua persoalan bagi keluargaku hanya berkisar pada pengobatan
bagi Ki Gede. Tidak ada yang lain.”
Wrahasta menggeram. Tetapi ia
tidak menyahut. Dipandanginya saja langkah Gupita yang semakin menjauh tanpa
berpaling lagi, menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar dan ilalang yang
tumbuh di atas tanah persawahan yang tidak digarap, karena saluran airnya yang
tidak dapat mengalir. Tidak seorang pun yang berani mencoba menelusur ujung
dari saluran yang berada di tempat yang paling berbahaya, di hidung pasukan
Sidanti.
Wrahasta memandang Gupita
sampai hilang di balik dedaunan. Sekali lagi ia menggeram. Katanya, “Anak itu
keras kepala. Kalau ia benar-benar tidak mau menurut perintahku, aku akan
berbuat sesuatu. Hubungannya dengan Pandan Wangi harus diputuskan.”
Dengan langkah yang berat,
Wrahasta berjalan kembali ke mulut desa. Di muka regol Samekta dan Kerti masih
berdiri dengan tegang mengawasinya. Ketika kedua anak-anak muda itu telah
berpisah, maka Samekta menarik nafas dalam. Katanya, “Agaknya Wrahasta mencoba
menjelaskan persoalannya.”
Kerti tidak segera menjawab.
Namun tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk.
“Mudah-mudahan tidak menjadi
bibit persoalan di masa datang,” gumam Samekta kemudian, “selagi kita
menghadapi masalah yang terlampau berat. Sawah-sawah yang kering, dan
persediaan makanan yang menipis.”
Kerti masih mengangguk-angguk.
Baru kemudian ia menjawab, “Kita harus segera berbuat sesuatu.”
“Harus, tetapi apakah yang
dapat kita lakukan selama ini adalah kemungkinan yang paling tinggi. Kita tidak
akan dapat merebut daerah yang mana pun sebelum Ki Gede sembuh. Terlampau berat
bagi kita untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Ki Argajaya, dan Ki Peda
Sura. Agaknya Ki Wasi dan Ki Muni pun akan ikut pula secara langsung. Bahkan
mungkin Ki Peda Sura akan membawa dendamnya pula atas Pandan Wangi.”
Kerti pun kemudian terdiam.
Kata-kata Samekta itu tidak dapat diingkarinya. Tidak ada seorang pun yang akan
mampu memimpin pasukan Menoreh menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya,
dan Ki Peda Sura, ditambah lagi dengan Ki Wasi dan Ki Muni. “Gembala yang mampu
membuat obat itu harus segera datang. Kalau ia mengobati secara langsung, maka
kesembuhan Ki Gede akan menjadi lebih cepat.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tidak segera mengambil kesempatan.”
Kerti tidak menyahut lagi.
Sementara itu Wrahasta sudah menjadi semakin dekat.
“Kenapa dengan anak itu?”
bertanya Kerti kemudian.
Wrahasta mengangkat bahunya
yang bidang sambil menggeram, “Anak setan, ia terlampau keras kepala.”
“Apa yang dikatakannya.”
“Ia merasa dirinya terlampau
berjasa. Ia merasa bahwa kesembuhan Ki Gede disebabkan karena keluarganya,
sehingga dengan demikian, maka merekalah yang merasa telah membebaskan Tanah
Menoreh apabila kelak Ki Argapati dapat merebut kembali daerah demi daerah.”
Sejenak Samekta dan Kerti
saling berpandangan. Bagi mereka, kata-kata Wrahasta itu agak terlampau aneh
menilik sifat dan watak gembala yang menyebut dirinya Gupita itu. Namun mereka
tak menyahut sepatah kata pun.
Ternyata Wrahasta pun tidak
berhenti meskipun Samekta dan Kerti masih berdiri di tempatnya. Wrahasta itu
berjalan langsung menuju ke regol dan hilang di balik pintu. Yang kemudian
masih tetap berdiri di tempatnya adalah para pengawal dan para petugas di regol
desa itu.
Samekta dan Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian mereka pun melangkah perlahan-lahan. Sampai di
depan regol Samekta berkata kepada para pengawal, “Hati-hatilah. Di mana pemimpin
kelompokmu?”
Dengan tergopoh-gopoh seorang
anak muda maju ke depan sambil menjawab, “Akulah yang bertanggung jawab kini,
Kiai.”
“Sampaikan kepada setiap
pengganti, bahwa pada saatnya gembala itu akan kembali lagi bersama dengan adik
dan ayahnya. Mereka telah mendapat ijin langsung dari Ki Gede. Kalau kalian
ragu-ragu, hubungilah aku.”
Pemimpin kelompok itu tidak
segera menjawab. Tetapi ia berpaling ke arah Gupita hilang di balik gerumbul di
tengah-tengah sawah yang telah menjadi liar. Namun kemudian dipandanginya pintu
regol, seolah-olah ingin melihat ke manakah Wrahasta pergi sekarang.
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengerti apa yang tertera di dalam dada pemimpin kelompok itu.
Ia tahu benar bahwa baru saja terjadi persoalan yang seakan-akan belum
terselesaikan antara Wrahasta dan gembala itu. Belum ada pernyataan, bahwa
gembala itu tidak bersalah, dan tuduhan Wrahasta terhadapnya ternyata tidak
benar. Bahkan sampai saat terakhir ia masih melihat sikap Wrahasta yang tegang
terhadap gembala yang baru saja meninggalkan pedukuhan mereka.
“Anak itu sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan Sidanti,” berkata Samekta kemudian. ”Tetapi adalah
sewajarnya bahwa Wrahasta harus bersikap hati-hati. Kita semua pun harus
bersikap hati-hati. Namun agaknya Ki Gede sendiri melihat, bahwa ketiga ayah
beranak itu sama sekali tidak berbahaya bagi kita, dan bahkan mereka akan dapat
membantu pengobatan Ki Gede yang sedang parah.”
Pemimpin kelompok itu
menganggukkan kepalanya. “Baik. Kami akan menerima mereka dengan hati-hati.”
“Bagus,” sahut Samekta. “Pesan
ini berlaku bagi setiap pengganti di gardu ini.”
Sekali lagi pemimpin kelompok
itu mengangguk, “Baik.”
Samekta dan Kerti pun segera
melangkah masuk ke dalam regol. Namun terasa dada mereka telah dibebani oleh
sesuatu yang seolah-olah menyangkut pada tangkai jantung. Sikap Wrahasta
agaknya berpengaruh pula pada para pengawal.
Sementara itu, Gupita berjalan
semakin lama semakin cepat. Dicarinya tempat-tempat yang dapat memberinya
perlindungan dari sudut-sudut pandangan kedua belah pihak. Ia tidak ingin
diikuti, maupun di amat-amati, baik oleh orang-orang Samekta sendiri, apalagi
orang-orang Sidanti. Itulah sebabnya kemudian ia menyusup masuk ke dalam
pategalan yang bera, berjalan di antara rimbunnya gerumbul perdu yang liar.
Ketika Gupita telah sampai di
gubugnya yang kecil, maka segera diceriterakannya perjalanannya kepada gurunya
yang disebutnya sebagai ayahnya. Adik seperguruannya, mendengarkannya dengan
dada yang berdebar-debar.
Tiba-tiba saja ia memotong,
“Kenapa tidak kau putar saja leher anak yang bertubuh raksasa itu? Bukankah
dengan demikian setiap mata menjadi terbuka, bahwa kami tidak sedang
merunduk-runduk minta sesuap nasi kepada mereka?”
“Ah,” gurunya menyahut, “itu
kurang bijaksana. Apa yang dilakukan Gupita telah mendekati sikap yang paling
baik. Agaknya dugaan kita benar, bahwa telah terjadi semacam pertandingan
cambuk.”
“Apakah Guru mengetahui?”
“Aku mendengar lecutan-lecutan
cambuk dari pategalan yang kering di sebelah padukuhan itu. Tetapi karena kau
tidak memperdengarkan ledakan yang dapat kami anggap bersungguh-sungguh, maka
kami pun tidak mengambil sikap sesuatu. Tetapi betapa pun juga, aku menganggap
bahwa perjalanan pendahuluanmu telah berhasil. Kau telah bertemu dengan Ki Argapati
dan menyampaikan pesanku kepadanya. Besok kita harus benar-benar datang dan
membantu kesulitan yang sedang dihadapi oleh Kepala Tanah Perdikan yang sedang
prihatin itu.”
“Baik, Guru,” sahut Gupita.
“Nanti malam kita akan melihat
dari dekat, apakah yang telah dilakukan, baik oleh orang-orang Argapati maupun
oleh orang-orang Tambak Wedi.”
“Kepungan yang dilakukan itu
telah menjadi semakin rapat dan menyempit, Guru.”
“Kesan itu memang sengaja
ditimbulkan oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi sendiri masih tetap dalam
keragu-raguan. Usaha Ki Argapati untuk membuat kesan yang merata, hampir di
seluruh daerah Menoreh, tentang orang-orang bercambuk itu agaknya juga cukup
berhasil.”
“Tetapi apakah Ki Tambak Wedi
tidak akan dengan tiba-tiba saja menyergap?”
“Dapat juga terjadi. Tetapi
agaknya Ki Tambak Wedi sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya, apakah
orang-orang bercambuk itu benar-benar kalian. Setelah ia yakin, pasti ia akan
segera bertindak. Keyakinan itu perlu baginya untuk memperhitungkan keseimbangan
dari kedua pasukan. Sampai saat ini selisih kekuatan di antara keduanya tidak
begitu tampak, meskipun Ki Argapati menjadi semakin terjepit. Ki Tambak Wedi
menyadari, bahwa Ki Argapati, meskipun ia tidak sedang terluka, tidak akan
berani melawan pasukannya di tempat terbuka. Ki Tambak Wedi tahu pasti, bahwa
kekuatan Argapati hanya akan dapat mengimbanginya dengan bantuan perlindungan
seperti yang terjadi sekarang. Karena itu, Ki Tambak Wedi dapat lebih leluasa
bergerak, karena pasukannya agak lebih baik dan lincah. Terutama orang-orang
yang bukan berasal dari daerah ini sendiri.”
Gupita dan Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja Gupala bertanya, “Lalu
apakah yang dapat kita lakukan bertiga?”
Gurunya mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya sambil tersenyum, “Unsur pimpinan memegang peranan yang
penting. Dalam perang seperti yang pernah terjadi di Sangkal Putung, maka
apabila pimpinannya telah tidak berdaya, maka pengaruhnya akan tajam sekali
terhadap anak buahnya. Karena itu, kita akan membantu, berdiri pada setiap
pasukan untuk menghadapi orang orang seperti Ki Tambak Wedi sendiri, Sidanti,
Argajaya, Ki Peda Sura, Ki Wasi, Ki Muni, dan beberapa orang yang lain. Sedang
di pihak Ki Argapati selama ini hanya ada dua orang yang terpercaya. Ki
Argapati sendiri yang kebetulan sedang terluka dan Pandan Wangi.
Pemimpin-pemimpinnya yang lain masih agak jauh ketinggalan dari orang-orang
Tambak Wedi.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah. Sambil tersenyum ia berkata,
“Sudah terlampau lama kita diperam di dalam gubug yang sempit ini. Kita akan
bangun dan menggeliat untuk mengendorkan urat-urat kita yang hampir membeku.”
Mendengar kata-kata Gupala,
maka gurunya menarik nafas dalm-dalam. Muridnya yang muda ini memang agak lain
dari kakak seperguruannya. Namun orang tua itu tidak berkata apa pun. Bahkan
kemudian ia bangkit dan berkata, “Beristirahatlah. Nanti malam kita
berjalan-jalan.”
Kedua muridnya mengangguk. Dan
Gupita menjawab, “Baik, Guru.”
Orang tua itu pun kemudian
melangkah ke luar ruangan gubug kecil itu, pergi ke belakang, ke kandang
kambing. Dilontarkannya beberapa gumpal rumput segar sambil bergumam, “Akan
sampai saatnya kita berpisah. Ternyata aku bukanlah seorang gembala yang baik.”
Sementara itu Gupita dan
Gupala masih duduk di dalam. Sejenak mereka berdiam diri, tenggelam dalam
angan-angan masing-masing. Gupita masih mencoba mencari sebab, kenapa Wrahasta
sangat membencinya, bahkan mengancamnya supaya tidak datang ke padukuhan itu sekali
lagi.
“Aku baru bertemu untuk
pertama kali,” berkata Gupita di dalam hatinya, “tetapi sikapnya sangat
menyakitkan hati.”
Namun Gupita itu terkejut
ketika terasa adik seperguruannya yang gemuk itu menggamitnya sambil bertanya,
“Kapan kita pergi kepada Ki Gede Menoreh itu?”
“Besok, setelah nanti malam
kita melihat keadaan,” jawab Gupita.
“He,” desis Gupala
perlahan-lahan sambil bergeser mendekat. Gupita mengerutkan keningnya. Agaknya
adiknya yang gemuk itu mempunyai persoalan yang penting dan rahasia. Karena itu
dengan sungguh-sungguh ia mendengarkannya ketika Gupala bertanya, “Kau sudah
bertemu dengan Ki Argapati, bukan?”
“Ya,” Gupita mengangguk.
“Tetapi kau belum berceritera
kepadaku lebih banyak tentang gadis berpedang rangkap itu.”
Gupita menjadi heran, “Kenapa?
Apakah yang harus aku ceritakan tentang gadis berpedang rangkap itu?”
Tiba-tiba Gupala tersenyum.
Senyum yang aneh mengambang di bibirnya, sehingga pipinya yang gembung itu
bergerak-gerak, “Maksudku, apakah gadis itu cantik?”
“Oh,” Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sangka kau ingin mengetahui, apakah gadis berpedang
rangkap itu mampu mengalahkan Sidanti.”
“Bukankah ia adiknya?”
“Ya, tetapi menilik
ketangkasannya dan kemampuannya berkelahi melawan Ki Peda Sura, ia akan mampu
mengimbangi Sidanti, meskipun aku tidak mengatakan bahwa ia dapat mengalahkan
kakaknya itu. Kalau mereka bertemu dan terlibat dalam perkelahian, maka akan
terulanglah benturan kekuatan dari perguruan Tambak Wedi dan perguruan
Menoreh.”
“Ya, ya,” potong Gupala,
“tetapi kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah gadis itu cantik.”
“Ah,” Gupita berdesah, “apakah
kepentingan kita dengan gadis itu? Cantik atau tidak cantik, tidak ada bedanya
bagi peperangan ini.”
Kini Gupalalah yang
mengerutkan dahinya. Sambil menggerutu ia berdiri, “Kenapa kau berahasia?
Bukankah kau sudah bertemu beberapa kali dengan gadis itu.”
“Tetapi aku lebih
memperhatikan pedangnya daripada wajahnya.”
Tiba-tiba Gupala berhenti.
Sambil mengacungkan jarinya ia berkata, “Awas kalau kau tidak mau
memperkenalkan aku dengan putri Kepala Tanah Perdikan itu. Nanti adikku akan
aku minta kembali dari padamu. Setuju?”
“Ah,” potong Gupita dengan
serta-merta, “ada-ada saja kau ini.”
Gupala tidak menyahut. Terus
saja ia melangkah ke luar. Namun ketika ia sudah berada di luar, terdengar
suara tertawanya berkepanjangan.
Gupita yang masih duduk di
tempatnya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja membayang di rongga matanya
wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Seorang gadis yang manja, dan yang
seorang adalah seorang gadis yang merasa wajib berdiri sendiri karena ia telah
kehilangan ibunya. Tetapi keduanya adalah gadis-gadis yang keras hati.
Gupita menghentakkan dirinya,
sambil meloncat berdiri. Dalam keadaan serupa itu, tidak sewajarnya ia berpikir
tentang gadis-gadis. Karena itu maka ia pun segera melangkah ke luar menyusul
adiknya. Pergi mencari kayu bakar di kebun belakang.
Sementara itu Gupala telah
duduk pada sebuah cabang pohon rambutan yang sedang berbuah. Sambil mengunyah
ia melempari Gupita dengan kulitnya. Ketika Gupita menengadahkan wajahnya
Gupala berkata, “Aku tidak sabar menunggu saat itu datang. Bahkan matahari itu
kini serasa menjadi terlampau malas.”
“Sebentar lagi senja akan
datang. Kita akan segera bersiap untuk pergi.”
Gupala segera meloncat turun
sambil berkata lantang, “Aku akan mandi dulu.”
“Kenapa mandi?” bertanya
Gupita. “Meskipun kau harus juga mandi, tetapi kenapa kau tidak berkata, bahwa
kau akan mempersiapkan senjatamu.”
“Senjata itu tidak pernah
terpisah daripadaku. Tetapi aku memang perlu mandi. Siapa tahu, nanti malam aku
bertemu dengan putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh dengan sepasang pedang di
lambungnya.”
Gupita menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sebelum ia menjawab, Gupala telah berlari menyusup ke gerumbul di
belakang halaman rumahnya menuju ke sungai untuk mandi. Yang terdengar hanyalah
derai tertawanya yang renyah.
Demikianlah, maka ketika
matahari telah tenggelam di balik pebukitan, maka Gupita bersama guru dan adik
seperguruannya telah siap untuk berangkat. Karena banyak sekali kemungkinan
yang dapat terjadi maka ketiganya benar-benar berada dalam kesiagaan
sepenuhnya. Mereka akan melihat dua kekuatan yang setiap kali berhadapan, namun
mereka masing-masing masih ragu-ragu untuk memulainya.
“Hati-hatilah Gupala,” pesan
gurunya sebelum mereka berangkat, “Kita tidak akan pergi melamar putri Ki
Argapati. Kita akan melihat ujung-ujung senjata yang telah merunduk.”
“He,” Gupala mengerutkan
keningnya, namun ia pun kemudian tertawa dan berkata, “apakah salahnya kalau
sekaligus kita pergi melamar.”
“Kau akan kecewa kalau kau
sudah melihatnya,” potong Gupita. “Gadis itu meskipun tangkas tetapi berparas
sama sekali tidak menarik.”
Gupala tidak menjawab. Tetapi
ia tertawa saja berkepanjangan. Suaranya itu terputus ketika gurunya berkata,
“Marilah kita berangkat supaya kita tidak terlambat. Kita akan melihat
bagaimana Ki Tambak Wedi membawa pasukannya setiap kali untuk menakut-nakuti
lawannya.”
Sejenak Gupita memandangi adik
seperguruannya. Kemudian keduanya tersenyum. Namun Gupala tidak berkata sepatah
kata pun lagi. Tangannyalah yang kemudian meraba-raba senjatanya yang melingkar
di bawah bajunya.
Ketiganya pun kemudian
meninggalkan halaman gubug mereka, setelah Gupita dan Gupala menyediakan rumput
yang cukup bagi kambing-kambing mereka.
“Mudah-mudahan mereka datang
lagi malam ini,” berkata gembala tua itu kepada kedua muridnya.
“Mudah-mudahan,” desis Gupala.
“Tetapi kita tidak dapat
mengabaikan usaha Ki Tambak Wedi untuk menemukan orang-orang berkuda. Agaknya
sampai malam ini ia masih berusaha terus.”
Gupita dan Gupala tidak
menyahut. Tetapi mereka masih mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu
kaki-kaki mereka masih terus melangkah mendekati pusat pertahanan para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita harus memilih jalan yang
paling aman,” berkata orang tua itu. “Kita tidak akan melalui jalan ini. Kita
akan menyusup ke pategalan yang tidak ditanami itu, supaya kita lepas dari
setiap pengawasan.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika kemudian gurunya berbelok masuk ke
dalam pategalan, maka keduanya mengikutinya pula.
Sementara gelap malam mulai
menjamah Tanah Perdikan Menoreh. Semakin lama menjadi semakin gelap. Namun
ketiga orang itu masih saja berjalan dengan hati-hati, menyusup
gerumbul-gerumbul perdu.
Tiba-tiba langkah mereka
terhenti ketika gembala tua itu berhenti sambil mengangkat tangan kanannya.
“Ada apa, Guru?” bertanya
Gupala.
“Sst,” desis gurunya, “Kau
dengar suara geremang itu.”
Kedua muridnya mencoba memasang
telinganya. Sebenarnyalah mereka mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap.
“Hati-hati,” desis gembala tua
itu, “Tunggulah di sini. Tahanlah suara pernafasanmu. Kita belum tahu siapakah
mereka ini. Biarlah aku saja yang mendekat. Mungkin Ki Tambak Wedi di antara
mereka.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil berjongkok di belakang segerumbul
perdu. Sementara itu guru mereka telah mulai merayap mendekati sumber suara
itu.
“Apakah mereka akan lewat di
sini?” terdengar seseorang berbicara.
“Ya. Mereka akan mengambil
jalan ini. Setiap kali mereka keluar dari sarang mereka, mereka memilih jalan
ini, kemudian setelah sarang mereka terkepung, mereka mulai berkeliaran hampir
ke segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh.”
Gembala tua yang menjadi
semakin dekat, menjadi berdebar-debar mendengar suara itu. Suara itu adalah
suara Ki Tambak Wedi. Sejenak kemudian, suara itu terdengar lagi, “Mereka tidak
dapat aku temui di tempat lain, karena setiap kali mereka merubah arah. Aku
sudah mencari mereka dengan menyilang Tanah ini. Tetapi aku tidak pernah
menemui mereka di perjalanan. Kali ini aku tidak sabar lagi. Kita tunggu saja
mereka di depan hidung pusat pertahanan mereka. Kita menghadapi dua
kemungkinan. Mereka lari masuk kembali ke dalam sarang atau para pengawal yang
lain keluar setelah mereka mendapat isyarat dari orang-orang berkuda.”
“Mereka sombong. Mereka adalah
pengawal-pengawal terpilih. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi apa pun
juga, sehingga mereka tidak akan mudah menjadi bingung.”
“Tetapi jumlah mereka tidak
seberapa. Bukankah Kiai sudah mempersiapkan pasukan yang akan menjebak, apabila
pengawal itu nanti keluar dari daerah pertahanan mereka untuk menolong
orang-orang berkuda ini, jika mereka sempat memberikan isyarat?”
“Ya, tetapi dengan cara ini
aku tidak yakin, apakah aku akan dapat mengetahui, apalagi menangkap
orang-orang bercambuk itu. Apakah aku dapat mengetahui, bahwa mereka sebenarnya
orang-orang yang dapat disebut orang-orang bercambuk, bukan sekedar permainan yang
licik dari Argapati.”
“Kita dapat melihatnya, bahkan
lebih baik kalau kita dapat menangkapnya.”
“Itulah yang aku ragukan.
Sedang untuk seterusnya kita tidak akan mendapat kesempatan, karena mereka
pasti tidak akan meninggalkan sarang mereka itu lagi.”
“Kita harus bekerja
sebaik-baiknya. Kita kepung mereka, supaya tidak seorang pun yang dapat lolos.
Kita serahkan para pengawal yang akan datang membantu kepada pasukan yang lain,
yang bertugas untuk menjebak mereka.”
“Ya, aku memang telah mengatur
sebelumnya,” terdengar suara Ki Tambak Wedi berat. “Mereka harus datang dalam
dua rombongan. Yang pertama mendahului yang lain, dan bersiap menjebak
orang-orang Menoreh. Mereka harus bersembunyi di tempat yang sebaik-baiknya.
Sedang yang lain akan datang menurut gelar yang biasa kita pergunakan. Dengan
demikian orang-orang Menoreh tidak akan melihat gelar sandi kita untuk menjebak
beberapa bagian dari orang-orang mereka. Seandainya kita gagal mengetahui
siapakah orang-orang yang bersenjata cambuk itu, namun setidak-tidaknya kita
sudah akan dapat mengurangi sebagian dari kekuatan mereka.”
“Ya, ya. Apa pun yang akan
terjadi, kita akan mendapat keuntungan daripadanya. Bukankah begitu, Kiai?”
“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi,
lalu, “bersiaplah. Menurut beberapa petugas sandi, saat-saat beginilah mereka
itu lewat. Sebetar lagi, seperti biasa, pasukan kita akan mengepung padukuhan
itu. Aku harap mereka yang akan menjebak orang-orang Menoreh telah bersiap
pula.”
Dada gembala tua itu menjadi
berdebar-debar. Ternyata Ki Tambak Wedi yang tidak berhasil menemukan
orang-orang berkuda itu, kini bertekad untuk mencegat mereka di depan
sarangnya.
“Mereka harus diberi tahu
rencana ini,” gumam orang tua itu di dalam hatinya. “Kalau tidak, maka benturan
ini akan dapat menjadi pepucuk dari perang yang sebenarnya. Sedang agaknya Ki
Argapati masih belum siap menghadapi keadaan yang demikian. Apalagi apabila
pasukannya terpancing keluar. Maka mereka pasti akan mengalami bencana.”
Orang tua itu pun segera
beringsut surut. Ditemuinya kedua muridnya dan dengan singkat diberitahukannya,
apa yang didengarnya dari Ki Tambak Wedi langsung.
“Sampaikan persoalan ini
kepada pimpinan pengawal,” desisnya perlahan-lahan kepada Gupita.
Gupita menjadi ragu-ragu
sejenak. Kemudian jawabnya, “Kalau aku kembali seorang diri ke padukuhan itu
mungkin aku akan mengalami akibat yang kurang baik, Guru. Wrahasta sangat
membenciku tanpa aku ketahui sebab-sebabnya.”
“Tetapi tidak ada orang lain
yang dapat menghubunginya,” jawab gurunya.
“Aku, Guru. Aku dapat pergi
juga ke padukuhan itu menemui Ki Argapati atau pemimpin pengawal yang lain,”
sahut Gupala.
“Ah,” desah gurunya, “kita
belum tahu, apakah sebabnya Wrahasta membenci Gupita. Mungkin ia akan
memperlakukan hal serupa itu, dan kau lebih tidak dapat mengendalikan dirimu
lagi.”
“Aku akan berusaha, Guru,”
jawab Gupala.
Gurunya tidak segera menjawab.
Sambil menundukkan kepalanya ia berkata lambat, seolah-olah kepada diri
sendiri, “Pasukan berkuda itu akan dicegat tidak saja oleh Ki Tambak Wedi,
tetapi oleh sepasukan pengikut Ki Tambak Wedi itu. Kemudian telah disediakan
pasukan yang akan menjebak seandainya para pengawal mengirimkan bantuan apabila
orang-orang berkuda yang terlibat dalam perkelahian itu memintanya. Sementara
itu pasukan Tambak Wedi yang lain telah merayap mendekati padukuhan ini dengan
diam-diam, sebelum mereka muncul seperti apa yang biasa mereka lakukan.”
Kemudian dengan tegang ia berkata, “Pasukan itu pasti akan hancur, Gupita.
Mereka hanya akan mendapat kesempatan untuk mundur masuk ke dalam padukuhan.
Sepanjang perjalanan mundur itu, korban pasti akan berjatuhan. Sementara
pasukan berkuda itu pun tidak akan dapat tertolong lagi. Apalagi apabila induk
pasukan mereka terpancing keluar tanpa seorang pemimpin yang pantas untuk
melawan Ki Tambak Wedi, Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan yang lain-lain.
Maka pasukan Argapati akan tamat sampai malam ini.”
“Kenapa aku tidak pernah
mendapat kesempatan, guru?” desak Gupala.
“Bukan begitu, Gupala. Kecuali
keberanian, tugas ini memerlukan kesabaran. Nah, kesabaran itulah yang
kadang-kadang tidak dapat kau kuasai. Kau, seperti ketika aku muda, mempunyai
darah yang agak panas. Kau masih sering tergerak oleh perasaan sebelum kau
pertimbangkan masak-masak, sehingga kadang-kadang kau akan terjerumus ke dalam
suatu persoalan yang tidak kita kehendaki.”
“Tetapi aku akan selalu ingat,
Guru, bahwa aku akan bersabar.”
Gurunya yang tua itu menjadi
ragu-ragu sejenak. Karena itu, ia tidak segera mengambil keputusan. Namun waktu
yang sejenak itu agaknya telah merubah segala-galanya, karena tiba-tiba orang
tua mengangkat wajahnya.
“Terlambat,” desisnya, “Aku
mendengar derap kuda di kejauhan.”
“Oh,” hampir saja kedua
muridnya itu meloncat bersama seandainya gurunya tidak menahannya.
“Sst, hati-hatilah. Ki Tambak
Wedi berada di depan kita.”
“Lalu apakah yang akan kita
kerjakan?” bertanya kedua muridnya hampir bersamaan.
“Tak ada jalan lain untuk
menyelamatkan mereka. Aku akan menahan orang-orang berkuda itu, dan menyuruh
mereka kembali apabila mereka bersedia. Sudah tentu Ki Tambak Wedi melihat aku
meskipun aku mengharap, ia tidak segera dapat mengenal. Dengan demikian aku
akan memancingnya. Kau coba mengusir orang-orangnya yang tertinggal sampai aku
memanggil kalian dengan isyarat. Kalian harus segera meninggalkan mereka dan
menghilang, kemudian kembali pulang. Aku akan membayangi Ki Tambak Wedi. Tetapi
ingat, jangan memakai cambuk.”
Gupita dan Gupala ternyata
tidak sempat bertanya lagi. Sejenak kemudian gurunya telah meloncat dan
menghilang di dalam kegelapan tanpa menimbulkan gemerisik pada dedaunan.
“Bagaimana dengan kita?”
bertanya Gupala.
“Hati-hati,” jawab Gupita, “di
depan kita ada Ki Tambak Wedi. Kita tidak akan dapat mendekatinya seperti
Guru.”
Tiba-tiba keduanya diam ketika
mereka mendengar suara seseorang dengan lantang “He, aku dengar derap kuda
itu.”
“Kenapa orang itu
berteriak-teriak?” bertanya Gupala.
“Mereka tidak menyangka ada
seorang pun yang mendengarnya.”
“Semua bersiap,” terdengar
suara yang lain. Kemudian beberapa patah kata yang tidak dapat ditangkap dengan
jelas.
“Marilah kita mendekat.
Perhatian mereka pasti sudah tercurah kepada derap kuda itu. Tetapi kita harus
berhati-hati.”
Keduanya kemudian merangkak
dengan sangat hati-hati mendekat ke tepi jalan. Namun kemudian terdengar seseorang
berdesis, “Sst, jangan berteriak-teriak lagi. Mereka sudah mendekat. Kalau
mereka mendengar atau mengetahui kehadiran kita, mereka akan kembali masuk ke
dalam sarang mereka.” Suara itu berhenti, kemudian, “Nah, kita harus yakin
bahwa keterangan petugas-petugas sandi kita benar. Orang-orang berkuda itu
adalah mereka. Soalnya, apakah benar di antara mereka ada orang-orang yang
bersenjata cambuk. Bukan sembarang cambuk.”
Dada Gupita dan Gupala
berdesir. Namun seluruh perhatian orang-orang itu benar-benar telah tercurah
kepada derap kuda yang sudah menjadi semakin lama semakin dekat.
“Aku akan menghentikan
mereka,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kalian tahu apa yang kalian lakukan. Kepung.
Aku ingin menangkap orang bercambuk itu dan meyakinkan apakah aku tidak tertipu
selama ini.”
Suasana menjadi hening
sejenak. Suara derap kaki-kaki kuda itu pun menjadi semakin lama semakin jelas
dan semakin dekat. Gupita dan Gupala tanpa sesadarnya beringsut semakin dekat.
Agaknya perhatian orang-orang yang diintainya benar-benar telah terikat oleh
derap kuda yang mendatang itu.
Ternyata bahwa Gupita dan
Gupala pun menjadi kehilangan pertimbangan. Mereka merayap semakin dekat lagi,
sehingga pada suatu saat ia dapat melihat bayangan orang-orang yang menunggu
pasukan berkuda itu. Mereka telah bersiap di balik dedaunan di pinggir jalan,
sedang Ki Tambak Wedi sendiri berdiri bertolak pinggang.
Gupala yang semakin bernafsu
untuk dapat melihat lebih jelas, terdorong semakin maju, dan bahkan tiba-tiba
kakinya menginjak sepotong kayu kering, sehingga menimbulkan suara gemerisik di
sela-sela derap kaki-kaki kuda yang semakin dekat.
Gupita cepat-cepat
menggamitnya dan memberinya isyarat. Namun agaknya sudah terlambat. Tiba-tiba
orang yang bertolak pinggamg di pinggir jalan itu berpaling dan bergumam, “Ada
orang lain di belakang kita.”
Dada kedua anak-anak muda itu
berdesir. Mereka segera mengerti, bahwa mereka berdualah yang dimaksud.
Sejenak mereka saling
berpandangan, Namun mata Gupala yang berkilat-kilat seolah-olah berkata, “Apa
boleh buat. Kalau tidak ada pilihan lain, kita akan berkelahi.”
Sementara itu seseorang dari
orang-orang Ki Tambak Wedi itu bertanya, “Siapa yang Kiai maksud?”
“Di belakang kita ada orang
yang sengaja mengintai kita. Kita tunggu sampai orang-orang berkuda itu datang.
Satu atau dua orang bertugas menangkap orang yang bersembunyi itu.”
“Kenapa tidak sekarang.”
“Jangan bikin ribut, supaya
orang-orang berkuda itu tidak mengetahui kehadiran kita. Orang-orang itu lebih
penting bagiku dari pada petugas-petugas sandi yang mengintai kita itu.”
“Bagaimana kalau ia lari?”
“Aku akan menangkap sendiri.”
Gupita dan Gupala menjadi
berdebar-debar. Memang tidak baik untuk melarikan diri. Gelang-gelang besi Ki
Tambak Wedi itu akan dapat memecahkan tengkuk mereka. Karena itu, maka yang
paling baik adalah mencari tempat yang terlindung oleh pepohonan.
“Untuk melawan iblis itu, aku
terpaksa mempergunakan cambukku,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Terpaksa.
Dan bahkan mungkin akan dapat memanggil guru untuk datang.”
Tetapi untuk sesaat Ki Tambak
Wedi masih berdiri tegak di tempatnya. Ia tidak mau merusak rencananya,
menangkap orang-orang berkuda yang semakin mendekat.
Tiba-tiba iblis tua itu
berdesis, “Bersiaplah kalian.”
Orang-orangnya telah
menggenggam senjata ditangan masing-masing. Mereka telah siap untuk meloncat
dan mengepung orang-orang berkuda itu. Beberapa orang merayap melebar.
Sementara Ki Tambak Wedi bergumam, “Kalau aku menghentikan mereka dan yang lain
mengepungnya. Jangan lupa tikus di belakang kita. Dua orang harus
menangkapnya.”
Sementara itu, pasukan berkuda
yang keluar dari padukuhan yang menjadi pusat pertahanan para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh sama sekali tidak menyangka, bahwa di hadapannya telah
menunggu seorang iblis yang menggetarkan setiap orang yang mendengar namanya.
Karena itu, tanpa prasangka apa pun mereka berpacu untuk melakukan tugas mereka
seperti biasanya. Mereka akan mengelilingi beberapa tempat di Tanah Perdikan
Menoreh. Membuat kesan seolah-olah orang-orang bercambuk telah ikut campur
dalam persoalan Tanah Perdikan ini dan berdiri di pihak Ki Argapati.
Namun tiba-tiba pemimpin
mereka, yang berpacu di paling depan terkejut ketika tiba-tiba ia melihat
seseorang meloncat di hadapannya sambil mengangkat tangannya.
“Berhenti,” teriak orang itu.
Orang itu benar-benar telah
mengejutkan setiap orang di dalam pasukan berkuda itu, sehingga dengan
serta-merta mereka menarik kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu meringkik
berkepanjangan.
“Siapa kau?” bertanya pemimpin
pasukan berkuda itu.
“Kalian tidak perlu tahu siapa
aku,” jawab orang yang berdiri di tengah jalan itu. “Kalau kalian ingin selamat
dari bencana yang paling mengerikan yang akan terjadi atas pasukan kalian dan
seluruh pasukan Menoreh, kembalilah.”
“Apa maksudmu?”
“Besok kau akan tahu, sekarang
cepat pergi. Cepat sebelum orang pertama menjadi korban.”
Pemimpin pasukan berkuda itu
ragu-ragu. Mereka bukan penakut yang mudah menjadi gemetar karena bertemu
dengan lawan yang bagaimana pun juga. Karena itu, maka mereka bahkan mendesak
maju. Seorang anak muda yang berkumis kecil berkata, “Minggir, atau kau akan
terinjak kaki-kaki kuda kami.”
“Aku berkata sebenarnya.
Cepat. Waktu terlampau sempit.”
“Jangan mencoba menakut-nakuti
kami.”
“Aku tidak menakut-nakuti
kalian.”
“Minggir,” sekali lagi
pemimpin pasukan itu berkata lantang.
Namun orang yang berdiri di
tengah jalan itu tak sempat menjawab. Terdengar beberapa puluh langkah di
belakangnya seseorang bertanya “He, siapa berdiri di situ?”
“Itulah suara iblis itu,” desis
orang yang menghentikan pasukan berkuda itu.
Pemimpin pasukan berkuda itu
menjadi semakin ragu-ragu. Dan ia mendengar suara itu pula “He siapa yang
berada di situ?”
“Cepat,” desis orang yang
berdiri di tengah jalan, “sebentar lagi kalian akan terkepung. Pasukan Sidanti
telah bersiap. Jangan terlambat.”
“Kami bukan pengecut,” jawab
pemimpin pasukan itu.
“Benar kalian bukan pengecut,
tetapi juga bukan pemimpin pasukan yang bodoh. Kau tidak sekedar bertanggung
jawab atas jiwamu sendiri, tetapi jiwa seluruh pasukanmu. Kalau mereka mati
dengan menggenggam arti bagi perjuangan kalian, kalian adalah pahlawan. Tetapi
bukan orang-orang bodoh yang membunuh dirinya tanpa guna.”
Pemimpin pasukan berkuda itu
masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Karena itu ia tidak segera dapat
mengambil sikap. Bahkan ia tidak mengerti, apakah ia dapat mempercayai
kata-kata orang yang belum dikenalnya itu atau tidak.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi
pun terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja ada orang yang meloncat ke tengah
jalan dan merusakkan rencananya.
Karena itu maka ia pun tanpa
sesadarnya berteriak-teriak bertanya siapakah orang yang telah berbuat gila
itu. Namun orang itu sama sekali tidak menjawab.
Dengan demikian, maka dada Ki
Tambak Wedi serasa telah terbakar oleh kemarahan yang memuncak. Dengan lantang
ia memberikan perintah kepada orang-orangnya, “Bersiaplah kalian. Kita tidak
akan menunggu lagi. Kita akan segera mengepung mereka, selagi mereka belum
sempat lari.”
Tetapi Ki Tambak Wedi itu
mendengar orang yang berdiri di tengah jalan itu berkata, “Cepat, pergilah. Kau
dengar perintah itu? Perintah untuk mengepung kalian.”
Namun pemimpin pengawal itu
sekali lagi berteriak, “Kami bukan pengecut.”
“Kau dapat membuat
pertimbangan nanti, apakah tindakan itu suatu tindakan pengecut.”
Yang tidak dapat menahan
hatinya adalah Ki Tambak Wedi. Tiba-tiba tangannya bergetar, dan sebuah
gelang-gelang besi telah meluncur menyambar bayangan yang berdiri di tengah
jalan menghentikan orang-orang berkuda itu.
Tetapi sekali lagi Ki Tambak
Wedi terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu mampu meloncat
secepat sambaran gelang-gelang besinya. Dengan satu langkah yang cepat
gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur secengkang di muka dadanya.
Namun malanglah. Tiba-tiba
seekor kuda melengking tinggi. Kemudian terjatuh karena kaki depannya tersentuh
gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.
Penunggangnya pun terlempar
dan terguling di tanah. Sementara orang yang menghentikan mereka berkata,
“Lihat, iblis itu sudah mulai. Setiap gelang besi akan mampu membunuh seorang
dari kalian, belum lagi pasukannya yang bersembunyi di balik semak-semak.
Karena itu, cepat, sebelum terlambat.”
Peristiwa yang terjadi itu
agaknya dapat memberikan suatu keyakinan kepada pemimpin pasukan berkuda itu,
bahwa sebenarnyalah mereka akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Karena itu,
maka desakan orang yang menghentikannya itu menjadi pertimbangannya.
Ki Tambak Wedi, yang gagal
mengenai orang yang membuatnya terlampau marah itu, menjadi heran. Di atas
Tanah Perdikan ini, selain Argapati yang terluka, masih juga ada orang yang
mampu menghindari serangannya. Sayang, bahwa keremangan malam tidak memberinya
kesempatan melihat wajah orang itu dengan jelas dalam jarak yang belum
terlampau dekat.
“Mungkin sesuatu kebetulan ia
berhasil menghindar,” ia menggeram. Dan berbareng dengan itu, sekali lagi
tangannya bergetar. Ia ingin meyakinkan, apakah orang itu benar-benar mampu
menghindari serangannya.
“Iblis manakah yang telah
mencampuri persoalanku,” Ki Tampak Wedi mengumpat. Sekali lagi ia melihat orang
itu meloncat dengan lincahnya menghindari gelang-gelang besinya. Ki Tambak Wedi
sama sekali tidak menaruh perhatian ketika seseorang berteriak dan jatuh dari
punggung kudanya. Sekali ia menggeliat, kemudian ia tidak bernafas lagi,
“Jangan kau biarkan korban
berjatuhan. Cepat, pergi.”
Sementara itu Ki Tambak Wedi
berteriak, “Ayo, kepung mereka sekarang!”
Dalam keragu-raguan pemimpin
pasukan berkuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja kudanya melonjak karena
terkejut. Ternyata orang yang berdiri di tengah jalan itu telah melemparnya
dengan kerikil. Dengan demikian maka pemimpin pengawal itu tidak dapat berbuat
lain, kecuali menarik kekang kudanya dan berputar kembali ke arah pemusatan
pasukannya.
“Kita kembali,” perintahnya.
Beberapa orang masih juga
ragu-ragu. Tetapi mereka pun segera memutar kuda masing-masing dan berpacu
kembali. Seorang pengawal yang telah kehilangan kudanya meloncat ke punggung
kuda seorang kawannya.
Tepat pada saatnya, beberapa
orang berlari-lari meloncat parit di pinggir jalan. Diam-diam mereka merayap di
dalam pategalan mendekati orang-orang berkuda itu. Tetapi pada saat yang
bersamaan, pada saat mereka berada pada jarak yang diperlukan, pasukan berkuda
itu telah berputar arah.
Satu dua orang masih sempat
menghadang di tengah jalan. Tetapi mereka terpaksa berloncatan menepi ketika
kaki-kaki kuda berderap kearah mereka. Sekali-sekali terdengar ledakan cambuk
dari antara orang-orang berkuda itu.
“Setan!” teriak Ki Tambak
Wedi. “Kejar mereka!”
Tetapi tidak seorang pun yang
dapat berlari secepat langkah kaki-kaki kuda. Sementara itu orang yang telah
menghentikan orang-orang berkuda itu pun segera meloncati parit yang kering di
pinggir jalan dan berlari sekencang-kencangnya menyusup ke dalam pategalan di
sisi jalan itu, justru tempat yang baru saja ditinggalkan oleh orang-orang Ki
Tambak Wedi yang berloncatan ke tengah jalan.
“Tangkap orang itu,” teriak Ki
Tambak Wedi.
Tetapi tidak seorang pun yang
mampu melakukannya. Gerakannya terlampau cepat dan tidak diduga-duga.
Ki Tambak Wedi tidak dapat
menaham hatinya lagi. Segera ia pun meloncat dan berusaha mengejar orang yang
telah merusakkan rencananya itu. Namun orang yang dikejarnya mendapat
kesempatan lebih banyak untuk menghilang. Karena itu, maka dengan
mengumpat-umpat tidak habis-habisnya Ki Tambak Wedi berputar di dalam pategalan
yang kering itu untuk mencari orang yang telah membuat darahnya mendidih.
“Tidak masuk akal,”
berteriak-teriak untuk melepaskan kemarahan yang menyesakkan dadanya. Lalu,
“Ayo, bantu aku mencarinya. Kepung tempat ini rapat-rapat. Jangan sampai ada
seekor belalang yang dapat keluar.”
Ternyata perhatian Ki Tambak
Wedi telah tertumpah sepenuhnya kepada orang yang telah merusak rencananya itu.
Ia tidak memperhatikan lagi orang-orang berkuda yang menjadi semakin jauh. Ia
tidak berusaha untuk melepaskan gelang-gelang besi sebanyak-banyaknya,
menyerang orang-orang berkuda yang sedang menarik diri, mundur masuk ke dalam
pusat pertahanannya.
Sementara itu, dua orang dari
pasukan kecil Ki Tambak Wedi itu, seperti yang diperintahkan, berusaha
menangkap orang-orang yang mengintai mereka. Dengan pedang terhunus mereka
meloncat menyerang, ketika mereka melihat bayangan hitam tersembul di balik
pepohonan. Bayangan itu adalah Gupala yang dengan sengaja menampakkan diri,
ketika ia mengetahui, bahwa hanya dua orang yang tinggal untuk menangkapnya
bersama kakak seperguruannya.
Tetapi salah seorang di
antaranya terperanjat bukan kepalang. Ia tidak menyangka bahwa orang yang diserangnya
itu justru meloncat maju dan langsung menerkam pinggangnya di bawah ayunan
senjatanya.
Ternyata dorongan terkaman
Gupala telah membuat keduanya jatuh berguling-guling. Namun dalam pada itu,
sejenak kemudian hanya Gupala sajalah yang bangkit dan berdiri di samping
lawannya yang diam terbaring di tanah.
“He, kau apakan orang itu?”
desis Gupita.
“Aku tidak sengaja. Tetapi ia
terlampau lemah. Mudah-mudahan ia tidak mati.”
Kawamnya yang seorang lagi
berdiri dengan mulut ternganga. Ia tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat
terjadi. Sehingga karena itu, untuk sesaat ia berdiri saja dengan pedang di
tangan tanpa berbuat sesuatu.
Ketika ia menyadari dirinya,
maka segera ia merasa, bahwa ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa melawan
kedua bayangan hitam yang telah menegakkan bulu-bulunya.
“Apakah aku telah bertemu
dengan bayangan iblis yang paling laknat di bumi Menoreh?” pertanyaan itu telah
membuat orang itu menjadi gemetar.
“Lari,” demikianlah keputusan
yang diambilnya, “Biarlah Ki Tambak Wedi menyelesaikan persoalannya dengan
iblis-iblis ini.”
Tetapi ketika ia mulai
melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia telah membentur sesuatu. Ketika ia sempat
memandangnya, ternyata yang dibenturnya adalah salah seorang dari kedua
bayangan hitam yang menakutkan itu.
“Jangan lari,” bayangan itu
berdesis.
Orang itu menjadi semakin
menggigil. Dengan membabi buta diayunkannya pedangnya. Tetapi ayunan itu sama
sekali tidak menyentuh sesuatu.
“Pergi, pergi kau iblis,”
geram orang itu,
“Kita tidak akan pergi. Aku tidak,
kau pun tidak,” desis Gupala.
Sekali lagi orang itu
mengayunkan pedangnya. Namun sekali lagi pedangnya menyambar angin.
“Jangan menjadi gila,” desis
Gupala pula. “Aku tidak apa-apa. Aku bukan sejenis hantu peminum darah.”
Tetapi orang itu justru menjadi
semakin takut. Keringat dinginnya telah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Sementara itu Gupita
menyaksikan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Kemudian kepalanya
tergeleng lemah sambil berdesis di dalam hatinya, “Anak bengal itu sukar untuk
mengendalikan diri.”
Tetapi Gupita tidak dapat
mencegahnya supaya tidak membuat anak itu semakin bernafsu.
Ternyata orang yang
menggenggam pedang itu semakin lama menjadi semakin takut karena Gupala belum
juga berbuat sesuatu kecuali selalu berdiri di mukanya. Kalau orang itu
berusaha beringsut ke samping, Gupala ikut beringsut pula. Apabila orang itu
berusaha melangkah ke arah lain Gupala meloncat dan berdiri di depannya sambil
menyeringai. Setiap kali orang itu menebaskan pedangnya, Gupala meloncat
selangkah surut, namun kemudian ia meloncat kembali ke tempatnya.
Orang itu benar-benar menjadi
ketakutan, dan bahkan hampir menjadi kehilangan akal. Matanya nanar memandang
keadaan di sekitarnya. Setiap kali ia melihat bayangan yang masih saja berdiri
di depannya dengan gemetar. Apalagi kalau ia melihat bayangan yang lain, yang
berdiri saja seolah-olah membeku di antara dedaunan.
“ Pergi, pergi,“ orang itu
berdesis.
“He, jangan berteriak,” gumam
Gupala seperti kepada anak-anak yang takut melihat ular merambat di kakinya,
“Tenang-tenang sajalah. Aku tidak apa-apa.”
“Pergi, pergi,” suara orang
itu menjadi semakin keras.
“Kalau kau berteriak, maka aku
akan membungkammu untuk selama-lamanya,” desis Gupala.
Orang itu terdiam sejenak.
Tetapi ia selalu bergeser surut apabila Gupala melangkah maju.
Yang tidak sabar kemudian
justru Gupita. Ketika Gupala masih saja bermain-main, maka ia pun berkata,
“Marilah, kita akan kehabisan waktu.”
“Kita sudah tidak mempunyai
kerja lagi bukan?” jawab Gupala. “Aku tidak mau kehilangan permainan ini.”
Tetapi tiba-tiba Gupala
meloncat menyentuh mulut orang itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan.
Ternyata orang itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk berteriak. Yang
dikerjakan adalah mengayun-ayunkan pedangnya seperti orang yang telah
benar-benar menjadi gila. Tetapi pedangnya justru menyentuh pepohonan perdu dan
mematahkan ranting-rantingnya.
“Iblis,” ia mengumpat. Dan
Gupala pun tertawa, “Dengar,” berkata Gupala, “yang sebenarnya iblis adalah Ki
Tambak Wedi. Kau tahu. Karena kau termasuk salah seorang pengikutnya, maka kau
pun termasuk setan atau gendruwo kecil-kecilan.”
Orang itu tidak segera
menjawab karena jantungnya menjadi semakin berdentangan. Yang terdengar
kemudian adalah kata-kata Gupita, “Marilah. Aku sudah jemu.”
“Jadi, aku apakan sebaiknya
orang ini, Kakang.”
Gupita tidak segera menjawab.
Dipandangimya Gupala dan orang itu berganti-ganti. Gupala yang berdiri dengan
garangnya, dan orang yang ketakutan itu meskipun ia berpedang.
Tiba-tiba Gupita menggelengkan
kepalanya. Tumbuhlah ibanya kepada orang itu. Ketakutan adalah perasaan yang
sangat mengerikan. Ia pernah merasakan, betapa seseorang dikejar-kejar oleh
rasa takut. Seorang prajurit akan memilih kematian yang langsung daripada ia
harus mengalami ketakutan. Demikian juga agaknya orang itu. Seandainya lehernya
langsung dipatahkan, maka itu akan lebih baik baginya.
Tetapi kematian itu pun tidak
perlu bagi prajurit Tambak Wedi itu. Karena itu maka katanya, “Gupala, serahkan
yang seorang ini kepadaku.”
“He, aku memerlukannya.”
“Kau sudah menyelesaikan yang
seorang. Mudah-mudahan ia tidak mati.”
”Akan kau apakan orang yang
satu ini.”
“Serahkanlah kepadaku.”
Orang yang memegang pedang itu
berdiri termangu-mangu. Dadanya menjadi semakin berdentangan. Apalagi ketika
sejenak kemudian ia melihat bayangan yang seorang lagi maju mendekatinya.
“Terserahlah kepadamu,” desis
Gupala kemudian.
Gupita tidak menjawab. Ia
langsung maju mendekati orang itu sehingga orang itu pun melangkah surut. Seperti
ketika Gupala mengganggunya, maka dengan gila ia memutar pedangnya.
Namun sejenak kemudian, di
belakang ayunan pedang orang itu, Gupita meloncat dengan kecepatan yang tidak
dimengerti oleh lawannya. Tangan kanannya menangkap pergelangan tangan, sedang
tangan kirinya mencengkam tengkuk.
Semuanya itu hanya berlangsung
beberapa kejapan mata. Kemudian perlahan-lahan Gupita meletakkan orang itu
berbaring di tanah dan merampas pedangnya.
“Biarlah ia tidur sampai Ki
Tambak Wedi membangunkannya.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah mendekati yang seorang lagi. Sambil
meraba-raba dadanya ia berdesis, “Orang ini pun belum mati.”
“Marilah kita tinggalkan
mereka. Kita segera pulang sebelum kita bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Bawalah senjata
orang itu. Kita masing-masing mempunyai sebuah pedang.”
“Untuk apa?” bertanya Gupala.
“Mungkin kita memerlukannya.
Kalau tidak, kita memerlukan untuk mencari kayu.”
Gupala tidak menjawab.
Diambilnya senjata orang yang masih terkapar di tanah itu. Dan sejenak kemudian
maka mereka pun meninggalkan lawan-lawan mereka yang sudah tidak berdaya.