Buku 074
“Tetapi tentu lawan sudah
sangat lemah, dan kita tinggal menghancurkan mereka seperti memijat buah
ranti.”
“Kau benar. Namun segala jalan
akan kita tempuh. Kau harus berusaha dapat menghadap Ki Gede Pemanahan atau
orang yang dipercaya, yang dapat diyakini akan menyampaikan kabar itu kepada Ki
Gede.”
“Ya. Kami akan berusaha.”
“Nah, berangkatlah. Saat ini
Sutawijaya tentu berada di perjalanan. Jika tidak, sekiranya Sutawijaya ada di
Mataram, kau dapat mengambil kebijaksanaan lain.”
“Baik.”
“Jangan lupa. Kau harus
menyebut, bahwa gadis yang telah terjerat oleh Raden Sutawijaya itu adalah
salah seorang gadis dari Kalinyamat, yang sedianya disimpan untuk Sultan
Pajang. Jika Ki Gede Pemanahan mendengar, ia tentu akan marah kepada puteranya,
karena akan dapat menumbuhkan persoalan baru di Mataram. Bukan persoalan Tanah
Mataram lagi, tetapi karena kelancangan Raden Sutawijaya. Kemarahan Ki Gede
Pemanahan akan mempengaruhi usaha Raden Sutawijaya kali ini. Jika ia berhasil
memasuki padepokan ini hari ini juga, maka besok akan datang utusan dari
Mataram untuk memanggilnya.”
Kedua orang yang sudah bersiap
untuk berangkat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan waktu yang
sudah kita perhitungkan tidak meleset. Pada saat yang bersamaan, maka akan
tersebar desas-desus tentang persoalan yang sama di Pajang. Jika kemudian
Sultan Pajang mendengar dan mengambil tindakan, semuanya akan menjadi lebih
lancar.”
Kedua orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Semula kita sudah hampir
kehabisan akal. Api apakah yang akan kita pergunakan untuk membakar hubungan
antara Pajang dan Mataram yang memang sudah agak buruk. Usaha kita selalu
gagal. Untunglah bahwa Raden Sutawijaya sendiri telah menyediakan persoalan
baru bagi kita, sehingga agaknya kali ini Sultan Pajang yang tidak dapat
mengendalikan diri terhadap perempuan itu akan marah dan mengambil tindakan
bukan saja secara pribadi terhadap Raden Sutawijaya karena telah berani
menyadap kegadisan simpanannya, putri dari Kalinyamat itu.”
“Aku kira persoalan ini
merupakan persoalan yang sangat gawat bagi Mataram. Mudah-mudahan Sultan Pajang
akan segera menjatuhkan hukuman. Jika Raden Sutawijaya melawan, maka benturan
itu tidak akan dapat dihindarkan lagi. Justru bukan atas usaha kita.”
“Baiklah, segeralah berangkat.
Hati-hati, jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Kalian memang bekas
prajurit-prajurit Pajang yang akan dapat bersikap benar-benar seperti orang
Pajang.”
Demikianlah, selagi padepokan
itu sedang diancam oleh bahaya yang memang sudah disadari oleh Putut Nantang
Pati, namun mereka masih juga mengirimkan orangnya pergi ke Mataram untuk
mempengaruhi Ki Gede Pemanahan agar memanggil Raden Sutawijaya. Tentu Raden
Sutawijaya menjadi sangat kecewa dan perlawanannya pun tidak akan segigih
semula. Adalah menyenangkan sekali jika mereka berhasil menangkap Raden
Sutawijaya hidup-hidup, kemudian dipergunakan untuk memeras ayahandanya, Ki
Gede Pemanahan agar ia bersedia diperalat, dan menempatkan orang-orang dari
padepokan Panembahan Agung untuk memegang jabatan-jabatan penting di Mataram,
yang memungkinkan memancing pertentangan terbuka dengan Pajang atas nama
Mataram yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan.
Kedua orang utusan ke Mataram
itu pun kemudian menuruni pebukitan rendah itu melalui jalur yang berseberangan
dengan arah kedatangan para pengawal dari Mataram dan Menoreh. Di padukuhan
tidak terlampau jauh dari kaki pebukitan itu, mereka akan dapat mengambil kuda
mereka untuk menempuh perjalanan ke Mataram. Tetapi mereka tidak dapat
mengambil jalan yang menghubungkan Menoreh dan Mataram. Mereka harus melingkar
sedikit, meskipun jaraknya juga tidak akan bergeser terlalu jauh.
Putut Nantang Pati yang
kemudian menemui Daksina mengatakan bahwa dua orang sudah berangkat ke Mataram.
Mereka harus berusaha menyampaikan berita itu kepada Ki Gede Pemanahan
secepatnya.
“Tetapi apakah berita itu
dapat dipercaya?” bertanya Putut Nantang Pati kepada Daksina.
“Maksudmu berita tentang Raden
Sutawijaya itu?” Daksina ganti bertanya.
“Ya.”
“Yakinlah. Jika seandainya
saja kedua putri yang dijanjikan Ratu Kalinyamat itu dipanggil ke dalam istana
dan ditanya seorang demi seorang, maka akan ternyata bahwa berita itu bukan
sekedar berita bohong. Bahkan menurut pendengaranku, salah seorang dari kedua
putri itu sudah mengandung.”
“Ah.”
“Percayalah.”
“Jika demikian kita tidak
perlu memancing persoalan lagi. Pajang tentu akan datang ke Mataram, menghukum
Raden Sutawijaya.”
“Nah, bukankah kita tidak
perlu mengorbankan orang-orang seperti yang terjadi di Jati Anom.”
“Kita masih belum mengetahui
hal itu. Tetapi kini kita tinggal menunggu Mataram dahulu akan hancur. Baru
kemudian kita akan membangun Mataram yang kuat. Bersama Mangir kita akan dapat
menghancurkan Pajang. Apalagi jika kita berhasil memeras Ki Gede Pemanahan.”
“Bagaimana jika Pemanahan ikut
musnah bersama Mataram dan Sutawijaya sendiri.”
“Bukan soal lagi bagi kita.
Kita akan membangun sebuah negeri yang lebih baik dari Mataram sekarang dan
sudah barang tentu lebih kuat.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Putut Nantang Pati sejenak, lalu katanya, “Tetapi persoalan
Mataram bukan sekedar persoalan Mataram itu sendiri, Pajang pun bukan sekedar
kota Pajang yang kita lihat itu. Tetapi jika kita berbicara tentang Pajang,
kita harus mengingat kekuatan para adipati di daerah Pesisir Utara dan Bang
Wetan.”
Putut Nantang Pati tidak
segera menyahut. Ia mencoba membayangkan kekuatan yang tersembunyi di belakang
Pajang. Kekuatan para Adipati itu. Tanpa sesadarnya ia berdesis, “Jika saja
kita dapat memaksa Ki Gede Pemanahan. Ia mempunyai pengaruh yang kuat atas para
adipati.”
Daksina mengangguk-angguk,
“Itu memang harus dipikirkan masak-masak. Sutawijaya harus tertangkap
hidup-hidup. Jika perintah Ki Gede Pemanahan untuk memanggilnya sampai, ia akan
kehilangan segala gairah. Nah, kesempatan itu akan kita pergunakan.”
“Ada dua kemungkinan. Ia
kehilangan gairah untuk meneruskan pertempuran, atau justru karena putus asa ia
menjadi liar dan berkelahi dengan buasnya.”
“Kedua-duanya baik bagi kita.
Jika ia menjadi liar dan gelap hati, maka Panembahan Agung akan segera
menguasainya. Dengan kekuatan ilmunya ia dapat memaksa Sutawijaya untuk diam.
Jika tiba-tiba saja di sekeliling anak muda itu terdapat sebuah pagar besi,
maka ia tentu akan segera menyerah.”
Putut Nantang Pati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya dan
bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya, sebenarnya. Bukankah
menurut ceritamu dan anak buahmu, Panembahan Agung dapat menciptakan yang tidak
ada menjadi ada?”
“Bukan menciptakan yang tidak
ada menjadi ada.”
“Jadi bagaimana?”
“Membuat yang tidak ada
seolah-olah ada. Itulah kekuatan ilmunya.”
Daksina tersenyum. Namun
tiba-tiba saja ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan apa pun di wajahnya.
Namun yang sekilas itu dapat tertangkap oleh Putut Nantang Pati, sehingga wajah
Putut itu menjadi tegang sejenak. Putut Nantang Pati menyadari bahwa Daksina
tidak begitu membanggakan ilmu Panembahan Agung. Mungkin Daksina masih belum
pernah menyaksikannya sendiri dan apalagi mengalami, yang diketahui oleh
Daksina adalah bahwa Panembahan Agung mempunyai beberapa orang pembantu yang
dapat dibanggakan. Termasuk Putut Nantang Pati sendiri selain mereka yang telah
terbunuh seorang demi seorang di Alas Mentaok sendiri dan di Jati Anom.
“Sekali-sekali kau memang
harus mengetahui, betapa besarnya kekuatan ilmu Panembahan Agung. Ia mampu
menyesatkan indra seseorang. Bahkan kau.”
“Ya,” jawab Daksina yang tidak
ingin menyakiti hati Putut Nantang Pati justru di saat mereka menghadapi pasukan
Mataram yang kuat.
Putut Nantang Pati terdiam.
Memang masih harus dibuktikan bahwa kekuatan yang demikian itu dimiliki oleh
Panembahan Agung.
Namun selagi mereka terdiam
untuk sejenak, tiba-tiba telah datang dengan tergesa-gesa seorang cantrik dari
padepokan Medang. Padepokan Panembahan Agung.
“Aku mendapat perintah untuk
menyampaikan pesan,” berkata cantrik itu.
“Apakah pesan itu?”
“Kalian di sini harus
menyiapkan diri untuk menghadapi lawan yang kuat sekali. Yang datang bukan saja
para pengawal dari Mataram, tetapi juga para pengawal dari Menoreh. Di antara
mereka terdapat orang-orang yang harus diperhitungkan.”
“He?” Putut Nantang Pati
terkejut. Demikian pula Daksina sehingga ia bergeser maju.
Sejenak mereka berdua
memandangi cantrik itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian Putut Nantang
Pati menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ya. Aku percaya. Tapi bukankah
pertahanan yang sebenarnya di hadapan padepokan Panembahan Agung sudah
dipersiapkan?”
“Ya. Semuanya sudah siap. Jika
Panembahan Agung itu menyampaikan pesan kepada padepokan ini, agar mereka yang
di sini tidak terjebak, dan berkesempatan untuk menghindari korban yang akan
berjatuhan.”
“Terima kasih. Kami di sini
akan berhati-hati menghadapi pasukan yang sangat kuat itu.”
Daksina yang untuk beberapa
saat berdiam diri kemudian berkata, “Apakah jaringan pengawas sandi Panembahan
Agung jauh lebih ketat dari pengawasanmu justru kau berada di sini sekedar
merupakan bayangan padepokan Panembahan Agung? Bukankah seharusnya kita yang berada
di sinilah yang memberikan laporan kepadanya tentang gerakan pasukan lawan
seperti yang pernah kita laporkan itu?”
Putut Nantang Pati tersenyum.
Katanya, “Kau mulai melihat kelebihan Panembahan Agung. Jika ia ingin melihat
sesuatu, maka ia tidak perlu menembus batas tempat dan jarak. Ia dapat melihat
dari kejauhan apa yang akan terjadi meskipun sekedar berupa isyarat.”
“Apakah itu yang disebut
sebangsa aji Sapta Pangrasa, Sapta Pameling, dan Sapta Pengrungu, yang dapat
melihat, mendengar, dan bahkan berbicara dari jarak yang jauh?”
“Aku tidak pernah
mempersoalkan nama. Ketika aku mulai mempelajari ilmu itu, aku sama sekali
tidak peduli bahwa Panembahan Agung menyebutnya sebagai aji Pangangen-angen.”
Daksina mengerutkan keningnya.
Dan Putut Nantang Pati tersenyum sambil berkata, “Tetapi sayang, bahwa aku baru
dalam tahap permulaan ketika kami di sini harus sudah mulai dengan segala macam
usaha menggagalkah berdirinya Mataram sehingga aku belum menguasai permulaannya
saja dari ilmu itu.”
Daksina tidak menjawab. Tetapi
ia mulai berdebar-debar membayangkan jenis ilmu yang disebut ilmu
Pangangen-angen itu.
“Baiklah,” berkata Putut
Nantang Pati kemudian kepada cantrik yang mendengarkan pembicaraan itu dengan
heran, “kembalilah kepada Panembahan Agung. Beritahukan kepadanya bahwa aku
akan menyesuaikan diri dengan keadaan lawan dan rencana kita semula.”
Sepeninggal cantrik itu, maka
Putut Nantang Pati masih saja tersenyum-senyum dan berkata, “Mungkin kau tidak
percaya. Tetapi baiklah. Aku tidak akan bercerita tentang Panembahan Agung
dengan cara yang berlebih-lebihan. Aku harap kau akan dapat melihatnya sendiri.
Meskipun demikian kami tidak dapat ingkar, bahwa ilmunya pun terbatas.
Maksudku, bahwa ia bukan orang yang dapat melihat seisi bumi ini.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku memang tidak
pernah menolak kenyataan serupa itu. Tetapi di dalam perang yang cukup besar,
maka ilmu itu tidak akan dapat menyeluruh. Maksudku, kemampuan pengaruhnya pun
terbatas. Tidak semua pasukan lawan dapat dipengaruhi oleh ilmu itu.”
“Kau benar. Tetapi jika yang
terpengaruh itu senapatinya, maka keadaan lawan itu akan menjadi gawat.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
“Marilah,” berkata Putut
Nantang Pati, “pasukan Mataram dan Menoreh itu tentu sudah menjadi semakin
dekat. Kita harus menyesuaikan diri dengan kekuatan mereka. Jalur untuk menarik
diri sudah kita persiapkan baik-baik. Mudah-mudahan pasukan Mataram dan Menoreh
itu akan terpancing dan kita dapat menjebaknya di lembah di hadapan padepokan
Panembahan Agung. Seandainya lembah itu tidak dapat dipengaruhi oleh ilmu
Panembahan Agung yang disebutnya aji Pangangan-angen itu, namun keadaan Pasukan
Mataram dan Menoreh tentu akan berada di dalam kesulitan. Kami akan dapat
menggulingkan batu-batu padas dan akan menimpa mereka seperti menimbuni puluhan
mayat di dalam satu lubang yang besar.”
“Jangan terlampau berbangga
atas diri sendiri,” sahut Daksina, “di dalam lingkungan keprajuritan Pajang,
maka setiap sikap yang terlampau berbangga atas diri sendiri, merupakan suatu
cela yang besar.”
“Aku tahu. Meskipun aku belum
pernah menjadi seorang prajurit, apalagi seorang perwira, tetapi aku
mempelajari ilmu keprajuritan. Namun jika aku mengatakan tentang prajurit
Mataram dan Menoreh, maka itu karena aku yakin akan berhasil.”
Daksina mengangguk-angguk
pula.
“Marilah ke pengawasan yang
terdepan,” berkata Putut Nantang Pati, “kita akan melihat kehadiran pasukan
Mataram dan Menoreh. Panembahan Agung menyebut beberapa orang yang memiliki
ilmu yang perlu diperhitungkan. Mungkin mereka adalah orang-orang bercambuk
itu.”
“Tentu mereka yang
dimaksudkan.”
“Kita tidak usah cemas.
Meskipun barangkali aku sendiri tidak dapat mengalahkannya seperti para pemimpin
kepercayaan kami yang berada di perbatasan Alas Mentaok dan juga Kiai Damar dan
bahkan Kiai Telapak Jalak, tapi aku tidak akan cemas menghadapi mereka.
Sebentar lagi mereka akan berkubur di lembah yang curam itu.”
“Kau yakin?”
“Kenapa tidak?”
“Kau yakin dapat lolos dari
tangannya ke dalam jalur yang sudah kau buat?”
“Aku yakin. Beberapa orang
prajurit sudah mapan untuk melindungi aku dengan senjata jarak jauh. Dan
bukankah kau akan ikut bersamaku?”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun Putut Nantang Pati percaya sepenuhnya kepada penglihatan
Panembahan Agung, namun ia mempergunakan juga perhitungannya untuk setiap
rencana yang disusunnya. Dan ia tidak dapat mengingkari ketelitian rencana
Putut Nantang Pati untuk menghindari pertempuran jika agaknya mereka tidak akan
dapat menahan pasukan lawan yang bakal datang. Apalagi setelah mereka mendapat
keterangan, bahwa yang datang bukan saja para pengawal Mataram di bawah
pimpinan Sutawijaya, tetapi beserta mereka adalah pasukan pengawal Menoreh.
“Tentu anak gadis Ki Argapati
itu,” berkata Daksina di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka mereka
berdua pun pergi ke lereng di kaki pebukitan itu. Dari balik pepohonan mereka
melihat lembah dan lereng di hadapan mereka.
“Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka
akan datang?” bertanya Putut Nantang Pati kepada para pengawas yang bertebaran
di antara gerumbul-gerumbul liar.
“Belum,” sahut salah seorang
dari mereka.
“Jangan lengah.
Gerumbul-gerumbul di lereng itu memang memungkinkan untuk berlindung.”
“Tetapi tidak untuk berlindung
sebuah pasukan.”
Putut Nantang Pati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Berhati-hatilah, aku akan pergi
ke depan.”
Putut Nantang Pati, Daksina,
dan beberapa orang pengawalnya pun maju lagi untuk menemui para pengawas yang
paling depan. Dengan hati-hati mereka merayap tebing di balik gerumbul-gerumbul
yang rimbun.
Dalam pada itu,
kelompok-kelompok pasukan Mataram dan Menoreh maju semakin dekat. Mereka
menyusup di antara pepohonan. Namun kadang-kadang mereka harus melalui tempat
yang terbuka beberapa langkah, sehingga memungkinkan para pengawas lawan dapat
melihat mereka.
Dan ternyata demikianlah yang
terjadi. Ketika pasukan pengawal Menoreh yang dipimpin oleh Ki Argapati menjadi
semakin dekat, dan sekilas mereka terpaksa menyeberangi daerah terbuka, salah
seorang dari para pengawas terdepan dari padepokan Putut Nantang Pati dapat
melihatnya. Sejenak orang itu memperhatikan seseorang yang merunduk sambil
berlari-lari. Kemudian orang-orang berikutnya.
Pengawas itu pun kemudian
menggamit kawan-kawannya dan dengan ujung jarinya menunjuk ke arah pasukan yang
mendekat.
“Mereka justru melalui jalan
itu,” desis salah seorang dari mereka, “agaknya mereka akan langsung memotong
pasukan kita, karena dari lereng itulah salah seorang kawan kami telah
melepaskan anak panah. Mereka tentu menduga bahwa di tempat itu kini sudah
disiapkan pengawasan yang ketat.”
“Tetapi kehadiran mereka harus
kita laporkan”
“Tentu. Nah, siapakah yang
akan pergi?”
Salah seorang dari para
pengawas itu pun kemudian merayap naik untuk melaporkan, bahwa mereka telah
melihat sebuah pasukan yang mendekati padepokan mereka.
Tetapi orang itu terhenti,
justru karena mereka bertemu dengan Putut Nantang Pati dan Daksina, sehingga
dengan demikian maka Putut Nantang Pati dan Daksina sempat melihat sendiri
pasukan yang bergerak maju itu. Tetapi keduanya tidak sempat melihat, siapakah
yang telah memimpin pasukan mereka,
“Tidak terlalu banyak,” desis
Putut Nantang Pati. “Adalah kesombongan tiada taranya bahwa hanya dengan
pasukan yang sangat kecil, bahkan hanya sekelompok kecil pasukan pengawal
mereka akan menembus padepokanku.”
“Jangan menyangka demikian,”
desis Daksina.
“Kenapa?”
“Aku yang mencoba menjebak
mereka justru pernah terjebak. Kau sangka bahwa yang kita lihat itu sudah
seluruh pasukan?”
“Kalau begitu, siapakah
mereka?”
“Mungkin mereka hanyalah
sekedar pengawas yang merintis perjalanan. Mungkin sepasukan pengawal yang
sudah pasrah akan nyawanya. Mungkin mereka sekedar menjajagi, dan masih banyak
kemungkinan-kemungkinan yang lain. Namun kita harus berhati-hati menghadapi
pasukan dari Mataram dan Menoreh.”
“Kau dasarkan pertimbanganmu
kepada peringatan yang telah diberikan oleh Panembahan Agung?”
Daksina mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Bukan hanya pesan itu, tetapi menurut perhitunganku, demikian akan
jadinya. Aku pernah mengalaminya.”
Putut Nantang Pati
mengangguk-angguk, lalu katanya kepada para pengawas, “Kalian tetap di sini.
Jika kalian tergesa-gesa, kalian tidak usah datang kepada kami. Kalian dapat
melemparkan isyarat.”
Demikianlah maka Putut Nantang
Pati dan Daksina itu pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepada induk
pasukannya. Sesuai dengan peringatan Daksina, maka Putut Nantang Pati pun harus
berhati-hati. Diperintahkannya sebagian dari pasukannya untuk bersiap
menghadapi jalur arah kelompok lawan yang mendekati mereka.
“Tahan mereka. Tetapi ingat,
jika tengara itu berbunyi, kalian harus menarik diri, lewat lekuk yang
ditentukan sebelumnya itu. Jika pasukan lawan mengejar kalian lewat jalur jalan
itu, maka akan dapat kita menghancurkannya selagi mereka menerobos lembah yang
sempit itu. Putuskan tali pengikat batang-batang kayu itu. Dan lembah yang
sempit itu akan menjadi kuburan yang besar. Tetapi jika mereka berhasil
menerobos masuk meskipun hanya sisa-sisanya saja, mereka akan kita hancurkan di
pertahanan terkuat, di hadapan padepokan Panembahan Agung,” berkata Putut
Nantang Pati kepada seorang pemimpin kelompok pengawalnya.
Putut Nantang Pati dan Daksina
pun kemudian kembali ke induk pasukannya. Mereka sudah menempatkan diri mereka
di medan yang mereka pilih. Jika keadaan memaksa mereka akan dengan mudah
menarik diri. Dengan sedikit arah tipuan, mereka akan dapat menjebak pasukan
lewat sebuah lembah yang sempit, yang memang dipersiapkan untuk mengubur
pasukan Mataram dan Menoreh dengan pokok-pokok kayu yang diikat dengan tali
yang kuat diatas tebing. Jika tali-tali itu diputuskan dengan kapak, maka
pokok-pokok kayu itu akan menggelinding melanda batu-batu padas dilereng
sebelah menyebelah lembah yang sempit itu dan bersama-sama menimbun pasukan
yang sedang lewat.
“Terlalu sulit untuk melarikan
diri. Apalagi tali yang pertama-tama diputuskan adalah di kedua ujung lembah
itu,” berkata Putut Nantang Pati.
“Tetapi bagaimana jika pasukan
Mataram dan Menoreh itu berjalan dalam jarak yang panjang, sehingga seluruh
pasukannya menjadi panjang sekali?” bertanya Daksina.
“Kita mengambil pangkalnya
sehingga ujungnya akan terjebak dan tidak akan mungkin melarikan diri lagi.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Cara yang sederhana itu memang memungkinkan untuk mengurangi
kekuatan pasukan Mataram dan Menoreh, dan terutama menimbulkan kekacauan di
antara mereka. Dalam kekacauan itulah maka pasukannya akan dapat menyerang dan
membinasakan lawan sebanyak-banyaknya.
Namun dalam pada itu, selagi
Putut Nantang Pati dan Daksina mempersiapkan diri, maka para pengawas di paling
depan itu pun terkejut. Ternyata selain para pengawal yang mereka lihat
menyusur tebing dan agaknya berniat langsung memotong pasukan bersenjata panah
itu, mereka melihat pasukan yang lebih besar merayap maju di lembah pegunungan
itu, di sela-sela pepohonan yang rimbun.
“O,” desis salah seorang dari
mereka, “tentu induk pasukannya.”
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Mereka memang pandai menyusun kekuatan. Kekuatan yang
tidak terlampau besar akan dapat dipergunakan dengan baik jika pimpinannya
cakap mengatur laku dan gelar.”
“Gelar apakah yang kita lihat
sekarang?”
“Kita belum melihatnya.
Agaknya mereka pun masih belum membuka gelar. Mereka baru sekedar merayap
mendekat.”
“Tetapi mereka menyusun diri
dalam urut-urutan yang panjang. Seorang demi seorang dalam jarak beberapa
langkah.”
“Itulah kelebihan mereka.
Susunan barisan yang demikian memang sulit untuk dijebak dalam kepungan.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Lalu, “Kita harus memberikan isyarat secepatnya. Ternyata yang
datang benar-benar sebuah pasukan yang kuat.”
“Kita tidak perlu memberikan
isyarat. Kita dapat menggabungkan diri saja langsung dengan induk pasukan. Kita
sudah melihat arah pasukan induk yang datang dari Mataram dan Menoreh itu.
Agaknya pasukan yang besar itulah pasukan Mataram, sedang pasukan yang kecil
yang menyusur lereng itu adalah pasukan pengawal Menoreh.”
Kawannya merenung sejenak,
lalu, “Baiklah. Kita pergi ke induk pasukan. Tetapi hati-hati, jangan sampai
mereka melihat kita.”
Demikianlah para pengawas itu
pun dengan hati-hati telah meninggalkan tempatnya menggabungkan diri ke induk
pasukan sekaligus melaporkan apa yang dilihatnya.
“Kami tidak memberikan isyarat
agar mereka tidak segera mengetahui bahwa kita akan menyambut kedatangannya.”
“Baiklah. Pasukan induk kita
pun akan menyambut mereka sebelum mereka kita seret lewat jebakan yang sudah
dipersiapkan. Sementara itu, sebuah pasukan kecil akan menahan pasukan yang
menyelusuri lereng itu. Agaknya mereka menganggap bahwa pasukan kita yang
mempergunakan panah, masih tetap berada di lereng itu,” desis Putut Nantang
Pati.
“Apakah mereka tidak kita
pancing sama sekali turun ke lembah?” bertanya Daksina.
“Tetapi pasukan kecil itu jika
berjalan terus akan dapat mengganggu orang-orang kita yang berada di tebing,
yang siap memotong tali-temali itu.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Tetapi meskipun pasukan itu kecil, namun aku kira pasukan itu
cukup kuat. Apalagi jika para pemimpin Menoreh dan orang-orang bercambuk itu
ada di sana, maka kita akan kehilangan banyak kesempatan.”
“Kita akan menahan mereka
dengan pasukan yang kuat. Aku sendiri akan memimpin pasukan itu, sambil
melindungi orang-orang yang akan memotong tali. Aku harap kau memimpin induk
pasukan yang sebagian juga terdiri dari prajurit-prajurit Pajang untuk menahan
Sutawijaya. Aku kira induk pasukan itu memang orang-orang Mataram. Jika yang datang
Ki Pemanahan sendiri dengan pasukan yang memang tidak akan dapat kita hadapi,
kau harus memberikan isyarat, agar aku dapat mempertimbangkan keadaan dan jika
perlu segera berusaha menjebak mereka.”
Daksina menganggukkan
kepalanya. Ia pun segera mempersiapkan diri dan membagi pasukan. Sebuah pasukan
kecil yang kuat akan menghadapi sekelompok pasukan pengawal yang menyusuri
tebing, sedang yang lain akan turun ke lembah dan menyambut induk pasukan
sebelum mereka akan menyeret pasukan Mataram itu ke dalam kuburan raksasa yang
sudah dipersiapkan.
Sejenak kemudian maka pasukan
itu pun segera terbagi. Putut Nantang Pati sendiri memimpin pasukan kecil itu
dan memisahkan diri dari pasukan induk menyelusur tebing menyongsong lawan.
Tetapi mereka tidak terlalu jauh maju, karena sebagian dari mereka harus
melindungi orang-orangnya yang siap dengan kapak di tangan untuk memotong tali
jebakan.
Dalam pada itu, Daksina pun
mulai menuruni tebing dengan penunjuk jalan para pengawas yang melihat pasukan
Mataram mendatangi mereka, sedang Putut Nantang Pati yang sudah melihat sendiri
pasukan yang mendatangi menyelusur tebang, tidak memerlukan penunjuk jalan sama
sekali.
Tetapi Daksina memang tidak
ingin bertempur mati-matian. Tugasnya hanya sekedar menahan pasukan itu dan kemudian
memancing mereka karena ternyata pasukan itu terlampau kuat untuk dihancurkan
dengan kekuatan pasukannya.
Sambil menggenggam senjatanya,
Daksina maju diikuti oleh pasukan yang sebenarnya juga cukup kuat. Apalagi di
antara mereka terdapat beberapa orang bekas prajurit Pajang yang bertekad untuk
ikut serta dengan Daksina, apa pun yang terjadi. Tetapi karena nafsu perlawanan
mereka tidak sekuat pengawal Mataram, maka sudah barang tentu bahwa hal itu
akan mempengaruhi jalannya peperangan.
Setiap orang di dalam pasukan
itu sudah mengetahui dengan pasti, bahwa mereka akan segera menarik diri, jika
lawan cukup kuat. Karena itu, gairah untuk bertempur sebelum mereka sampai di
pertahanan yang terakhir, di hadapan padepokan Panembahan Agung, agaknya memang
sangat kecil selain sekedar mempertahankan hidup, karena mereka tidak mau mati
lebih dahulu sebelum mereka melihat, betapa para pengawal Mataram dan Menoreh
itu akan kebingungan menghadapi ilmu Panembahan Agung yang sakti.
Di bagian lain dari tebing
pegunungan itu, beberapa orang sudah siap dengan anak panah. Mereka harus
melindungi pasukan yang sedang mundur lewat sebuah lembah yang sempit dengan
anak panah itu. Kemudian, jika pasukan lawan mengejar terus, dan itulah yang
memang diharapkan, maka mereka harus memberikan isyarat kepada orang-orang yang
memegang kapak di tangannya untuk memotong tali temali yang mengikat beberapa
batang pokok kayu yang panjang.
Dengan demikian, maka anak
panah mereka tidak boleh menghentikan sama sekali laju lawan. Anak panah itu
tugasnya hanya sekedar menahan agar pasukan Panembahan Agung terpisah dari
pasukan yang mengejarnya beberapa puluh langkah.
Sementara itu, di lembah yang
ditumbuhi oleh pepohon yang pepat, seolah-olah sebuah hutan kecil, pasukan
Daksina berhenti. Mereka mempersiapkan diri untuk menyergap pasukan Mataram
yang pasti akan melalui daerah itu pula. Beberapa orang di antara mereka
memanjat dahan-dahan yang rendah dengan pedang di tangan. Jika lawan mereka
lewat dibawahnya, maka mereka yang memanjat itu sudah siap untuk meloncat
menerkam sambil menghunjamkan senjata mereka masing-masing di punggung atau
dada lawan.
Dalam pada itu, pasukan
Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya, maju terus selangkah demi selangkah.
Mereka menjadi berhati-hati karena seakan-akan mereka telah mendapat firasat
bahwa musuh memang sudah ada di depan hidung mereka.
Apalagi para pengawas yang
mendahului dan yang salah seorang telah terluka itu berkata, “Sebentar lagi
kita akan sampai ke tempat para pengawas yang bersenjatakan anak panah itu.
Mereka berada di tebing itu.”
“Sekelompok dari para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh melalui tebing itu. Bukankah maksud kelompok kecil itu
juga untuk melindungi pasukan ini jika pengawal yang bersenjatakan anak panah
itu masih tetap berada di tempatnya, dan apalagi ditambah jumlahnya,” sahut
Sutawijaya.
Pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Mudah-mudahan mereka menemukan
tempat itu, dan justru tidak terjebak.”
Sementara pasukan yang di
lembah itu maju, maka Ki Argapati pun membawa pasukannya maju pula. Menurut
petunjuk, agaknya sekelompok pengawal dari Menoreh itu memang sudah berada
dekat dengan tempat yang disebut oleh para pengawal sebagai pusat pertahanan
pasukan bersenjata jarak jauh.
“Kita harus menemukan mereka,
sebelum mereka sempat menghujani pasukan Mataram itu dengan anak panah,”
berkata Ki Argapati kepada anak gadisnya.
“Ya, Ayah. Tetapi agaknya
mereka sudah berpindah tempat. Jika mereka merasa bahwa kehadiran mereka sudah
diketahui, maka mereka akan mencari tempat yang lebih baik lagi.”
“Tidak ada tempat yang agaknya
lebih baik dari tempat itu. Namun demikian, agaknya kini mereka merasa
terganggu. Mudah-mudahan pasukan pengawal dari Mataram itu dapat mempergunakan
kesempatan. Mereka harus segera maju. Tetapi jika mereka tidak mendapatkan
serangan di tempat yang mereka duga, maka mereka akan menjadi semakin
berhati-hati dan akan berarti bahwa perjalanan mereka akan menjadi semakin
lambat, sebab menurut perhitungan mereka lawan telah berpindah di tempat yang
belum mereka ketahui.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Agaknya mereka telah berada beberapa langkah saja, seperti yang ditunjukkan
oleh para pengawas, dari tempat orang-orang Daksina melepaskan anak panah
kepada pengawas yang memanjat tebing.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ketegangan mulai menjalari dadanya. Ternyata bahwa lawan pun
membuat perhitungan yang cukup cermat.
Dari tempatnya Ki Argapati
melihat ke lembah di bawahnya. Sejenak ia memperhatikan setiap gerakan. Dan
tiba-tiba saja ia melihat bayangan memintas sekejap dari bawah pohon yang satu
ke pohon yang lain.
“Pandan Wangi,” desisnya,
“kemari.”
Pandan Wangi pun bergeser maju
diikuti oleh Prastawa.
“Aku melihat seseorang
meskipun hanya sepintas. Aku tidak dapat menyebutkan siapa orang itu. Tetapi
arahnya bukan arah yang ditempuh oleh pasukan Mataram.”
“Maksud Ayah?”
“Marilah kita tunggu sejenak.
Barangkali kita berkesempatan melihatnya lagi di sela-sela pepohonan yang
rimbun.”
Pandan Wangi tidak menyahut,
tetapi ia bergeser maju diikuti oleh Prastawa. Sejenak mereka berjongkok sambil
berdiam diri di balik dedaunan. Namun dari tempat mereka, mereka dapat melihat
lembah di bawah.
Sejenak kemudian mereka pun
melihat seseorang bergerak di bawah pepohonan itu pula. Meskipun tidak jelas
namun mereka mendapat kesan, bahwa orang itu tentu bukan bagian dari pasukan
Mataram yang bergerak maju.
“Ya,” desis Prastawa,
“seolah-olah orang itu bukan bagian dari pasukan yang bergerak.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Pandan Wangi menyahut dengan kata-kata yang
bernada gelisah, “Apakah mereka bukan bagian dari pasukan lawan yang sedang
menunggu?”
“Itulah yang akan aku katakan.
Tetapi kita harus meyakinkan lebih dahulu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Namun ketika mereka melihat orang-orang yang kurang cermat bersembunyi itu
melintas lagi, maka mereka pun segera mengambil kesimpulan.
“Pasukan lawan telah menunggu
pasukan Mataram itu,” berkata Ki Argapati, “kita harus memberitahukan kepada
mereka, apa yang telah kita lihat.”
“Apakah kita akan mengirimkan
seseorang menuruni tebing dan menemui Raden Sutawijaya?”
“Terlambat. Pasukan Raden
Sutawijaya tentu sudah amat dekat dengan orang-orang yang menunggu. Jika dengan
tiba-tiba pasukan itu terlibat dalam perkelahian sebelum mereka bersiap, maka
akibatnya akan sangat merugikan.”
“Jadi bagaimana menurut
pertimbangan Ayah?”
“Kita memberikan isyarat.”
“Bagaimana kita akan
memberikan isyarat, kita belum tahu pasti, di mana pasukan mereka berada.”
“Kita lepaskan senjata-senjata
jarak jauh langsung kepada orang yang agaknya sedang bersembunyi di hutan kecil
itu.”
“Gunanya?”
“Jika mereka melakukan
perlawanan, maka pasukan Raden Sutawijaya tentu akan melibat, bahwa di
hadapannya ada sepasukan lawan yang sedang menunggu, sehingga isyarat itu datang
dari mereka sendiri.”
“Tetapi akibatnya, kehadiran
kita pun akan diketahui pula.”
“Biarlah, kita sudah siap
bertempur. Jika ternyata kekuatan kita tidak memadai pasukan lawan yang
barangkali juga sedang menunggu kita, kita akan memberikan isyarat lagi. Tetapi
jika kita bersama-sama mengalami tekanan yang berat, apa boleh buat.”
“Masih ada sekelompok yang
mungkin masih bebas.”
“Belum tentu. Mungkin mereka
pun menjumpai lawan yang bertebaran.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak menjawab, namun agaknya ia
menyetujuinya.
Karena itu, maka sejenak
kemudian, setelah mereka menjadi semakin yakin akan keadaan yang mereka hadapi,
maka Ki Argapati pun kemudian memerintahkan beberapa orang yang membawa busur
dan anak panah untuk bersiap.
“Salah seorang dari kalian
yang membawa perisai, perlihatkan dirimu. Mereka akan berbuat sesuatu, dan kita
akan menjadi semakin yakin atas mereka,” perintah Ki Argapati. “Sedang yang
lain siap untuk melontarkan anak panah kalian.”
Beberapa orang pun kemudian
bergeser menepi. Seseorang yang membawa perisai pun kemudian melangkah maju,
justru menampakkan diri di atas tebing.
Ternyata usaha Ki Argapati itu
berhasil memancing perhatian lawan yang sedang bersembunyi. Ketka seseorang
melihat seorang pengawal Menoreh itu berdiri di tebing, maka orang itu pun
segera melaporkannya kepada Daksina.
“Siapakah orang itu?” bertanya
Daksina.
“Kita tidak mengetahuinya,
tetapi jelas bukan salah seorang dari kita.”
Daksina menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun selagi ia belum mengambil keputusan, dilihatnya sebatang anak
panah yang meluncur jatuh di sela-sela dedaunan.
“He, anak panah siapakah itu?”
Salah seorang memungut anak
panah itu. Dan dengan suara bergetar ia menyahut, “Bukan anak panah kita. Ujung
bedornya pipih dan bulu keseimbangannya melingkar.”
“Anak panah itu berputar
selagi meluncur,” desis Daksina, “tentu anak panah orang Menoreh.”
Sebenarnyalah bahwa Ki
Argapati telah memerintahkan melepaskan anak panah. Meskipun mereka tidak
melihat seseorang namun mereka melepaskan juga anak panah ke arah yang
diperkirakan menjadi tempat persembunyian mereka.
Dalam pada itu Daksina menjadi
termangu-mangu. Apalagi ketika sebuah anak panah yang lain meluncur pula jatuh
di antara mereka.
“Tentu orang yang berdiri di
tebing itu melihat kita.”
“Apakah yang dapat kita
lakukan?”
“Apa boleh buat. Kita tunggu
sejenak, jika anak panah itu masih meluncur, kita akan membalas meskipun dengan
demikian kehadiran kita di sini akan diketahui oleh pasukan di hadapan kita.
Bukankah jika sebagian dari mereka sudah melihat kita, maka tidak ada gunanya
lagi kita bersembunyi? Tetapi selagi mungkin, kita akan menghindari.”
Namun dalam pada itu, bukan
saja Daksina dan orang-orangnya yang melihat orang berperisai itu. Ternyata
Putut Nantang Pati pun telah melihatnya pula.
“Gila,” geram Putut Nantang
Pati, “ternyata pasukan yang menyelusur tebing inilah yang mengetahui lebih
dahulu pasukan yang dipimpin Daksina, yang berusaha menyergap pasukan yang
datang dan lembah. Jangan beri kesempatan. Kita harus menyerangnya lebih dahulu
selagi perhatian mereka tertuju kepada orang-orang di lembah itu.”
Anak buah Putut Nantang Pati
pun kemudian menyiapkan diri. Mereka tidak lagi menunggu. Tetapi kini mereka
merayap maju menyerang kedudukan Ki Argapati yang sedang memancing perlawanan
orang-orang yang ada di lembah.
Kedatangan Putut Nantang Pati
telah mengejutkan pengawas yang dengan penuh kewaspadaan memperhatikan suasana
di sekitarnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun meneriakkan isyarat,
bahwa sepasukan lawan telah mendekat.
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Sejenak ia berpikir, lalu, “Kita hadapi lawan yang datang. Tetapi
biarlah dua tiga orang meneruskan pancingan mereka. Lemparkan anak panah yang
lebih banyak. Tetapi hati-hati bagi mereka yang tidak menyandang perisai.
Jangan menjadi arah bidikan yang mapan. Berusahalah tetap bersembunyi di balik
pepohonan.” Lalu katanya kepada Pandan Wangi dan Prastawa, “Hati-hati1ah, kita
menghadapi lawan yang belum kita ketahui kekuatannya.”
Demikianlah maka Ki Argapati
telah mempersiapkan dirinya dengan tombak pendeknya. Dalam keadaan itu, terasa
kakinya memang agak mengganggu. Jika saja kakinya tidak menjadi cacat meskipun
berangsur pulih, maka ia akan dapat berbuat lebih banyak lagi, siapa pun yang dihadapinya.
Sejenak Pandan Wangi
memandangi ayahnya, seolah-olah ia ingin mendapat penjelasan tentang keadaan
ayahnya itu.
“Kakiku sudah baik Pandan
Wangi,” tiba-tiba ayahnya berdesis seakan-akan ia mengetahui kegelisahan yang
memancar dari tatapan mata anak gadisnya.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam.
“Hati-hatilah,” desis ayahnya,
“aku sudah mendengar suara pasukan itu mendekat.”
Pandan Wangi pun kemudian
mempersiapkan dirinya. Kali ini ia membawa sepasang pedang. Disampingnya
Prastawa pun telah mempersiapkan dirinya pula. Ia pun bersenjata pedang yang
lebih besar dari pedang Pandan Wangi.
“Beberapa orang di antara
kalian, naiklah lebih tinggi,” perintah Ki Argapati, “usahakan agar kalian
dapat bergerak lebih leluasa. Kita harus menyadari, bahwa lawan-lawan kita akan
mempergunakan cara yang sering mereka tempuh. Kasar dan sedikit liar. Karena
itu, kalian harus mempunyai ruang yang agak luas untuk melawan mereka.”
Dengan demikian, maka
sekelompok pengawal dari Menoreh yang terpilih itu pun segera memencar. Mereka
telah bersiap dengan senjata masing-masing. Beberapa orang di dalam kelompok
tersendiri bersenjatakan tombak pendek. Yang lain pedang dan seorang yang
berbadan tinggi kekar membawa sepasang bindi yang besar. Sedang mereka yang
memanjat tebing lebih tinggi lagi selain bersenjata pedang, mereka pun memiliki
beberapa buah pisau-pisau kecil diikat pinggangnya. Mereka adalah pengawal yang
telah terlatih mempergunakan lemparan-lemparan pisau belati kecil.
Dalam pada itu, beberapa orang
di antara mereka masih saja melontarkan anak panah ke lembah. Mereka semakin
pasti bahwa yang ada di lembah itu bukan pasukan Mataram.
Tetapi Daksina ternyata tidak
mudah terpancing. Diperintahkannya anak buahnya untuk tetap berdiam diri.
“Jangan memberikan perlawanan.
Musuh yang kita tunggu adalah mereka yang akan datang lewat lembah ini.
Serahkan mereka yang di atas tebing kepada Putut Nantang Pati dan kelompoknya.
Kita tetap menunggu di sini.”
Anak buahnya pun menyadari
keadaan mereka, sehingga karena itu, mereka pun segera berusaha berlindung di
balik pepohonan dan dedaunan yang rimbun. Namun demikian, anak panah yang
diberi bulu-bulu keseimbangan membelit dan berbedor pipih itu, kadang-kadang
dapat menembus rimbunnya dedaunan karena putaran anak panah itu.
Sejenak Ki Argapati menilai
keadaan. Ia pun sadar, bahwa Daksina seorang perwira dari Pajang itu bukannya
anak kecil. Apalagi kehadiran Ki Argapati telah benar-benar diketahui oleh
lawannya, sehingga akhirnya ia berkata lantang, “Berikan isyarat panah sendaren.
Pasukan di lembah agaknya sudah berada di hadapan pasukan yang bersembunyi
untuk menjebak.”
Begitu perintah itu selesai,
maka benturan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Pasukan Putut Nantang Pati
melanda para pengawal Menoreh bagaikan banjir. Tetapi pasukan pengawal dari
Menoreh itu sudah bersiaga, sehingga mereka pun sudah siap menyambut kedatangan
lawannya.
Ternyata bahwa usaha Ki
Argapati mengurangi jumlah lawannya pada benturan pertama itu pun berhasil.
Para pengawal yang berada di tebing yang agak lebih tinggi, menyambut
kedatangan lawan mereka dengan lontaran pisau-pisau kecilnya, sehingga beberapa
orang lawan pun terluka karenanya. Bahkan lemparan yang tepat mengenai pundak
kanan, seakan-akan membuat lawan itu menjadi lumpuh dan tidak dapat
menggerakkan senjatanya lagi. Kecuali mereka tidak biasa mempergunakan senjata
di tangan kiri, juga agaknya darah yang mengalir telah merampas sebagian besar
dari tenaganya. Apalagi mereka yang langsung terpotong nadi pundaknya.
Namun demikian, beberapa orang
yang berada di belakang pertempuran itu masih sempat melemparkan isyarat. Tiga
buah anak panah sendaren meluncur sambil bersiul.
Dalam pada itu, pasukan
Sutawijaya memang sudah berada semakin dekat pada jebakan yang dipasang oleh
Daksina. Dan agaknya suara panah sendaren itu memang menarik perhatian. Namun
yang mula-mula terlintas di angan-angan Sutawijaya adalah isyarat bahwa pasukan
Ki Argapati sudah terlibat di dalam pertempuran.
“Lihat,” berkata Sutawijaya
yang dapat melihat dari jarak yang jauh pertempuran di atas tebing, “mereka
sudah mulai. Tetapi kau lihat beberapa orang berdiri di tebing dengan busur dan
anak panah itu?”
Beberapa orang pimpinan
pengawalnya memandang ke arah tebing itu dengan hati yang berdebar-debar.
Mereka harus memperhitungkan apakah yang sebenarnya sudah terjadi.
“Mereka melemparkan anak panah
ke lembah di depan kita,” desis Ki Lurah Branjangan.
“Dan itu sangat menarik
perhatian,” sahut Sutawijaya.
Tetapi orang-orang yang
melemparkan anak panah itu pun segera menghilang. Mereka ternyata telah
terlibat di dalam pertempuran.
Sejenak Sutawijaya menilai
keadaan. Meskipun hanya sepintas, namun anak panah yang dilontarkan ke lembah
itu harus diperhitungkan.
“Isyarat dan arah anak panah
itu agaknya mempunyai maksud tertentu,” berkata Sutawijaya kemudian. “Apa
salahnya kita berhati-hati sekali. Agaknya mereka memberi peringatan kepada
kita, bahwa di lembah di hadapan kita ini pun, para pengawal padepokan ini
telah menunggu.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Mungkin. Memang mungkin
sekali. Agaknya mereka pun telah memecah pasukannya.”
“Pengalaman mereka atas
kegagalan yang pernah terjadi membuat mereka semakin berhati-hati,” desis
Sutawijaya. “Jika demikian, marilah kita maju dengan waspada. Kita tidak dapat
membuat gelar yang wajar karena keadaan medan. Tetapi kita akan bergerak maju
dalam tiga deret. Yang tengah akan lewat dasar lembah. Yang dua melalui sisi
sebelah-menyebelah. Di dalam keadaan yang belum kita ketahui, kita dapat
merubah kedudukan. Tetapi ada baiknya jika pasukan yang menjadi sayap itu
berjalan seiring meskipun mereka harus berjalan di tebing yang miring.”
“Sayap itu lebih baik sedikit
maju,” sahut Ki Lurah Branjangan yang sudah memiliki pengalaman yang cukup, “justru
induk pasukan agak mundur beberapa langkah. Kita mungkin akan jatuh dalam
keadaan perang brubuh, atau sebelah-menyebelah dari sayap ini akan melanda
lawan dalam gelar glatik neba. Tetapi jika lawan berpencar maka perang brubuh
itulah yang paling mungkin terjadi.”
“Baiklah. Kita mempersiapkan
diri menghadapi keadaan itu. Kita harus mengenal diri kita sebaik-baiknya. Di
dalam perang brubuh kita masih harus tetap berada di dalam satu kesatuan.”
Demikianlah maka Lurah
Branjangan segera mengatur pasukannya. Ia sendiri berada di sayap kanan, dan
seorang senapati yang dipercaya berada di sayap kiri.
“Kita akan bertemu dengan
Daksina,” desis Sutawijaya.
“Jangan dilawan seorang diri.
Raden harus melihat kenyataan bahwa Daksina memiliki kelebihan. Jika aku yang
menjumpainya, aku pun akan melawannya di dalam lingkaran perang brubuh, bukan
seorang diri. Aku sudah mempersiapkan beberapa orang untuk menghadapinya.
Sebaiknya sambil berjalan maju setiap barisan mempersiapkan dirinya.”
“Baiklah,” berkata Raden Sutawijaya,
“aku akan bersiap menghadapinya. Sekelompok pengawal akan menyertaiku
melawannya jika aku menjumpainya. Demikian juga seharusnya yang dilakukan oleh
penjawat kiri dari gelar yang sederhana ini.”
Demikianlah maka
perlahan-lahan pasukan itu maju. Kedua sayap pasukan berjalan mendahului
beberapa langkah dan mereka berjalan menyelusuri tebing yang miring. Sedang di
tengah-tengah Sutawijaya dan pengawal-pengawalnya berderap maju mendekati
daerah yang seolah-olah terasa menjadi semakin rimbun.
Firasat keprajuritannya
seakan-akan memberitahukan kepadanya bahwa beberapa langkah lagi, ia harus
memperhatikan setiap lembar daun dan setiap batang ranting, karena seakan-akan
Sutawijaya itu melihat bayangan yang bersembunyi dan sedang mengintip
pasukannya.
Di hadapan mereka, Daksina
menunggu dengan tegang. Dua orang pengawas terdepan hampir tidak sabar menunggu
kedatangan lawan. Namun mereka pun terkejut ketika mereka melihat pasukan lawan
itu mendatangi dalam barisan yang panjang di tebing yang miring. Bukan hanya di
sebelah, tetapi sebelah-menyebelah.
“Gila,” desis pengawas itu,
“kita menunggu mereka di tengah lembah.”
“Cepat kita laporkan, agar
pasukan kita sempat merubah keadaan.”
Kedua pengawas itu pun
kemudian berlari-lari meninggalkan tempatnya, melaporkan apa yang dilihatnya
tentang pasukan lawannya itu.
“Gila,” geram Daksina, “cepat
rubah keadaan ini. Kita akan menghadapi lawan yang berada di sisi
sebelah-menyebelah. Tidak ada gunanya kalian menunggu di dahan-dahan dan
belakang gerumbul. Mereka akan menusuk lambung. Jika mungkin mereka akan
menerobos ke dalam pasukan kita. Dengan demikian, kita akan mengalami kesulitan
menarik diri. Karena kita harus bertempur dalam medan yang dibatasi oleh garis
tegas, maka kita harus menahan pasukan lawan.”
Demikianlah, maka pasukan
Daksina itu pun segera merubah garis pertahanan mereka. Sebagian dari mereka
justru berada di sisi tebing. Mereka harus menghentikan gerakan maju sehingga
pasukan lawan tidak akan dapat menerobos masuk ke dalam garis pertahanan
mereka.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian kedua pasukan sayap itu pun mendekati letak pasukan lawan. Pada jarak
beberapa puluh langkah, mereka sudah saling menyadari, bahwa mereka kini telah
benar-benar berhadapan. Karena itulah, maka setiap senjata sudah mulai merunduk
dan setiap tangan mulai bergetar.
Kedua pimpinan pengawal yang
menjadi penjawat kanan dan kiri dari pasukan Mataram segera meneriakkan
aba-aba. Sejenak kemudian pasukannya maju sejauh-jauh dapat dijangkau sebelum
lawannya menyongsong mereka dengan garis pertahanan yang rapat, karena mereka
memang berkeinginan untuk menarik garis medan yang tegas.
Demikianlah, maka kedua
pasukan itu mulai terlibat dalam pertempuran. Daksina, seorang perwira yang
berpengalaman itu berhasil membendung pasukan lawannya, sehingga kedua sayap
itu tidak dapat bergerak maju sama sekali. Bahkan mereka tidak dapat
menghindarkan tekanan pasukan Daksina yang berat, sehingga pasukan yang
berjajar surut itu mulai menebar.
Ki Lurah Branjangan yang ada
di sayap kanan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa yang dihadapi
adalah seorang perwira yang mumpuni. Karena itu, ketika ia melihat Daksna
mengayun-ayunkan pedangnya ia berbisik kepada dua orang kepercayaannya, “Kawani
aku mengikat perwira itu dalam pertempuran agar anak buahnya kehilangan
bimbingan.”
“Tetapi ia bukan satu-satunya
senapati.”
“Kau benar, tetapi tidak ada
orang lain yang meliki kemampuan seperti Daksina.”
Demikianlah Ki Lurah
Branjangan dengan dua orang pengawal kepercayaannya, menerobos riuhnya
pertempuran, mendekati senapati lawan.
“Daksina,” panggil Ki Lurah
Branjangan, “aku tidak mengira bahwa kita akan bertemu lagi.”
Daksina mengerutkan keningnya,
lalu katanya, “He, kaukah itu pengkhianat. Ternyata kau berada di Mataram tanpa
meninggalkan pesan apa pun bagi pasukanmu.”
Ki Lurah Branjangan tertawa.
Katanya, “Jangan membual. Aku meninggalkan lingkungan keprajuritan Pajang
setelah aku minta diri. Aku tidak lari seperti kau. He, apakah kau mendapat
perintah dari Kanjeng Sultan Pajang untuk mengacaukan Mataram?”
Daksina berpikir sejenak,
lalu, “Ya. Kau pandai menebak.”
Tetapi Ki Lurah Branjangan
justru tertawa, “Jangan seperti kanak-kanak. Bukankah kau pernah bercerita
kepada Raden Sutawijaya tentang rencanamu untuk mengadudombakan Mataram dan
Pajang.”
“Aku menjawab pertanyaan
kanak-kanak dengan istilah kanak-kanak pula. Jika kau sudah tahu, apa gunanya
kau bertanya?”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Agaknya tidak ada kesempatan untuk banyak berbicara.
Karena itu, maka ia pun segera melangkah maju dan mengulurkan pedangnya lurus
ke depan. Dua orang pengawal kepercayaannya pun maju pula dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
“O, inikah cara orang Mataram
bertempur? Sejak kapan kau kehilangan sifat jantanmu, Branjangan. Aku kira kau
masih tetap seperti ketika kau berada di Pajang, ternyata kau tidak ubahnya
Sutawijaya yang bertempur bersama beberapa orang sekaligus. He, di mana
Sutawijaya? Apakah ia memimpin kelompok prajurit yang berjalan di atas tebing
itu?”
“Daksina,” sahut Branjangan, “kita
tidak sedang berperang tanding. Di dalam perang brubuh semacam ini, tidak akan
sempat menghitung berapa jumlah prajurit kita masing-masing. Apakah jika kita
harus bertempur seorang melawan seorang, jika ada kelebihan di satu pihak,
prajurit itu harus duduk saja menonton? Jika seorang lawan mati maka seorang
dari pihak yang lain harus keluar gelanggang.”
“Ah, kau sudah pandai membela
diri. Baik. Jika kau akan berkelahi dengan kelompokmu. Aku berterima kasih
karena dengan demikian kau mengakui, bahwa Daksina memang bukan lawanmu.”
“Di dalam peperangan semua
orang adalah lawan semua orang.”
“Bagus. Bersiaplah untuk
mati.”
Ki Lurah Branjangan tidak
menyahut. Tetapi ia mempersiapkan dirinya dengan penuh kewaspadaan, karena
sebenarnyalah ia mengerti, bahwa Daksina memiliki beberapa kelebihan dari
prajurit-prajurit Pajang yang lain, sehingga karena itulah maka ia merayap dari
pangkat yang satu ke pangkat di atasnya.
Sejenak kemudian mereka pun
mulai terlibat di dalam pertempuran. Daksina harus berhadapan dengan Ki Lurah
Branjangan dibantu oleh dua orang pengawalnya.
Namun ternyata bahwa Daksina
benar-benar seorang yang tangguh. Ia mampu menghadapi ketiga lawannya dengan
gigih. Sekali-sekali seorang dua orang pasukannya berusaha membantunya. Namun
setiap kali pengawal Mataram yang lain telah memisahkan mereka dari lingkaran
pertempuran itu.
Meskipun demikian, orang-orang
Daksina adalah orang-orang yang terlatih baik. Di antara mereka terdapat bekas
prajurit-prajurit Pajang seperti juga pasukan dari Mataram. Sehingga karena
itu, maka amat sulitlah bagi Ki Lurah Branjangan untuk sepenuhnya bertempur
bersama kedua pengawalnya yang terpercaya itu. Setiap kali mereka bertiga gagal
melakukan tekanan serentak, karena orang-orang Daksina pun cukup cekatan
menanggapi keadaan.
Ki Lurah Branjangan mengumpat
di dalam hati. Daksina masih tetap seorang perwira yang cerdik di medan.
Sayang, ia telah melakukan kesalahan menurut penilaiannya, karena ia terlibat
dalam perbuatan yang bagi Lurah Branjangan, semata-mata memanjakan kepentingan
dan pamrih sendiri.
Perkelahian di medan itu pun
menjadi semakin riuh. Tetapi ternyata bahwa pasukan Daksina berhasil menahan
arus pasukan Mataram. Di kedua sisi lembah itu telah terjadi pertempuran yang
seru, sehingga selain terdengar gemerincing senjata, gemeretak gigi dan
hentakan kaki, juga terdengar derak ranting-ranting patah dan dedaunan yang
runtuh sebelum saatnya.
Di sayap yang lain pasukan
Mataram pun sama sekali tidak dapat mendesak lawannya yang bertahan pada satu
garis pertahanan yang tegas.
Dengan demikian maka usaha
Daksina untuk menahan pasukan penyerang itu berhasil. Ia masih harus bertempur
untuk beberapa saat. Ia ingin menjajagi kekuatan lawannya, yang menurut
penilaiannya tidak sekuat yang disangkanya.
“Jika aku berhasil
menghancurkannya di sini, apa salahnya,” berkata Daksina. “Pertempuran ini
tidak perlu menyentuh padepokan Panembahan Agung.”
Namun Daksina itu masih juga
dibayangi oleh keragu-raguan. Yang dihadapinya adalah Lurah Branjangan.
Sehingga karena itu, maka ia pun masih menunggu seseorang yang tentu ada di
antara lawan-lawannya, yaitu Sutawijaya.
Bahkan selagi bertempur
melawan Ki Lurah Branjangan, Daksina yang curiga dan apalagi dilambari oleh
firasatnya sebagai seorang prajurit, ia masih sempat memerintahkan dua orang
anak buahnya untuk mencari Sutawijaya.
“Jika ia berpakaian seperti
pengawal biasa, kalian pun tentu akan mengenalnya.”
Tetapi selagi kedua orang anak
buah Daksina itu bergeser dari tempatnya, mereka terkejut bukan kepalang.
Sekelompok pengawal ternyata telah menusuk daerah pertempuran itu langsung
dipimpin oleh Sutawijaya sendiri.
Kedatangan pasukan itu memang
mengejutkan Daksina yang segera mendapat laporan. Karena itu, maka ia pun
kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mengambil alih perlawanannya
terhadap Ki Lurah Branjangan. Daksina sendiri kemudian bersama beberapa orang
pengawal langsung menyongsong Sutawijaya.
Ternyata kedatangan Sutawijaya
telah menggoncangkan pertempuran itu. Kekuatan pasukan Mataram telah bertambah
besar, sehingga tidak ada harapan sama sekali bagi Daksina untuk menunjukkan
kebesarannya dengan menghancurkan pasukan Mataram sebelum mereka mendekati
padepokan Panembahahan Agung.
“Gila,” desis Daksina,
“agaknya Mataram benar-benar ingin menyelesaikan pertikaiannya dengan
Panembahan Agung.”
Namun dalam pada itu, Daksina
masih dapat tersenyum sambil berkata di dalam hati, “Jika kalian tidak binasa
di sini, kalian akan binasa dikubur di leher lembah itu. Dan jika masih ada
juga yang lolos, maka kalian menjadi sasaran yang paling menyenangkan dalam
pertahanan terakhir dari susunan pengawal padepokan Panembahan Agung.”
Ternyata bahwa yang terjadi
kemudian benar-benar tidak tertahankan lagi oleh Daksina. Itulah sebabnya, maka
ia mulai dengan susunan perlawanan seperti yang direncanakan. Sekedar bertahan
menurut batas lurus sepanjang lebar lembah daerah pertempuran itu. Kemudian,
mereka akan segera mengundurkan diri, yang ternyata harus dilakukan lebih cepat
dari yang diperkirakan karena tekanan lawan yang cukup berat, dengan korban
yang lebih banyak pula dari perhitungannya.
Sekali-sekali Daksina masih
sempat mencoba melihat pertempuran diatas tebing. Sekilas ia masih melihat
senjata berkilat. Kadang-kadang ia mendengar sorak yang gemuruh di atas tebing
itu meskipun pertempuran tidak seriuh di dalam lembah. Tetapi agaknya anak buah
Putut Nantang Pati berusaha menghalau lawannya seperti sedang mengejar tupai.
Mengayunkan senjata sambil berteriak-teriak.
Tetapi Ki Argapati yang sudah
menduga sebelumnya, sama sekali tidak terkejut menghadapi cara lawannya. Untuk
meneguhkan hati anak buahnya, maka Ki Argapati pun kadang-kadang meneriakkan
aba-aba yang keras. Di sebelah-menyebelahnya, Pandan Wangi dan Prastawa
mendesak lawannya yang bertempur dengan kasar.
Dalam pada itu, ternyata bahwa
Putut Nantang Pati benar-benar seorang yang pilih tanding. Dengan tangkasnya ia
menghadapi Ki Argapati yang bersenjata tombak pendek. Kakinya yang kokoh itu
berloncatan di atas tanah, berbatu padas. Sedang senjatanya berputar seperti baling-baling.
Sebilah pedang besar yang bermata rangkap sebelah-menyebelah.
Namun Ki Argapati adalah
seorang yang matang di dalam ilmunya, apalagi ia memiliki pengalaman yang cukup
banyak di sepanjang hidupnya. Sehingga dengan demikian, ia dapat dengan tenang
menghadapi Putut Nantang pati, murid terpercaya dari Panembahan Agung.
Tetapi ketika pertempuran itu
berlangsung beberapa saat lamanya, terasa sesuatu agak mengganggu. Meskipun Ki
Argapati semula berhasil sedikit demi sedikit mendesak lawannya, namun semakin
lama terasa sesuatu yang tidak wajar pada kakinya yang cacat. Rasa-rasanya di
dalam daging di paha dan di lututnya terdapat duri yang tajam, yang mulai
menusuk dagingnya.
“Ah,” Ki Argapati mengeluh di
dalam hati, “apakah kakiku tiba-tiba saja akan kambuh lagi?”
Tetapi Ki Argapati berusaha
untuk menahan rasa sakit yang semakin mengganggunya. Untuk beberapa saat ia
masih mampu bertempur tanpa menunjukkan tanda-tanda kelemahan pada kakinya.
Yang dilihat lawannya sejak mereka mulai terlibat di dalam pertempuran adalah,
bahwa kaki Ki Argapati itu cacat dan timpang. Tetapi ternyata bahwa ketika
mereka terlibat langsung, kemampuan Ki Argapati telah mengejutkan Putut Nantang
Pati, sehingga perlahan-lahan Putut itu harus mengakui, bahwa lawannya memiliki
kemampuan yang tidak akan dapat diatasinya.
Namun, Putut Nantang Pati juga
tidak yakin bahwa ia akan dapat dikalahkan. Meskipun Ki Argapati memiliki ilmu
yang dahsyat, namun kakinya itu telah menahannya untuk berbuat terlampau
banyak. Dan kelemahan kaki ini merupakan peluang yang mungkin dapat
dipergunakan oleh Putut Nantang Pati.
Ki Argapati menyadari
perhitungan itu. Dan apalagi ketika kakinya merasa semakin lama semakin sakit.
Gerakannya mulai terganggu oleh perasaan pedih yang menyengat-nyengat, sehingga
Ki Argapati terpaksa memusatkan perlawanannya pada kecepatan ujung tombaknya
saja.
Betapa pun Ki Argapati
berusaha, namun lawannya yang memiliki kemampuan yang hampir mengimbanginya itu
pun merasa, bahwa ada perubahan padanya. Beberapa kali Putut Nantang Pati
meyakinkan, bahwa Ki Argapati tidak lagi mampu mempergunakan kakinya dengan
wajar. Sekali-sekali Putut itu menyerang dengan garangnya, kemudian berkisar
dengan cepat. Selangkah ia surut dengan menyilangkan senjata. Tetapi Ki
Argapati tidak meloncat menyerangnya. Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu hanya
mencoba menjulurkan tombak pendeknya di sela-sela ayunan pedang Putut yang
besar. Tetapi dengan mencondongkan tubuhnya, Putut Nantang Pati dengan mudah
menghindarkan dirinya.
Beberapa saat kemudian,
setelah Putut Nantang Pati itu yakin bahwa ada sesuatu yang tidak pada
tempatnya tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.
“Sayang,” katanya,
“kedatanganmu kali ini hanya sekedar mengantarkan nyawamu. Aku tahu bahwa yang
bersenjata tombak pendek dalam lambaran ilmu yang mapan ini adalah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh yang tidak terkalahkan. Seseorang yang tidak saja mampu
bertempur di darat tetapi juga dilautan. Tetapi aku pun tahu, bahwa agaknya
Kepala Tanah Perdikan yang perkasa ini mengidap penyakit yang parah di
kakinya.”
Mendengar kata-kata itu, Ki
Argapati menjadi tegang. Ia sadar, bahwa Putut Nantang Pati telah mengetahui
kelemahannya.
“Nah, Ki Gede Menoreh,”
berkata Putut Nantang Pati, “jangan menyesal bahwa kau sudah melibatkan diri
dengan persoalan yang sebenarnya tidak menjadi urusanmu.”
Ki Argapati sama sekali tidak
menjawab. Bahkan selagi Putut Nantang Pati berteriak sambil tertawa
berkepanjangan, Ki Argapati berdiri saja di tempatnya. Ia merasa mendapat
kesempatan untuk beristirahat sejenak. Sekali-sekali ia sempat memijit kakinya
yang terasa sakit.
“Ki Gede,” berkata Putut
Nantang Pati kemudian, “cobalah menyadari kesalahanmu sebelum kau mati. Kenapa
kau bersedia membantu orang-orang Mataram? Jika Mataram menjadi besar di bawah
pimpinan Sutawijaya itu, maka Menoreh akan tertutup sama sekali oleh
kekuasaannya, sehingga Menoreh tidak akan lebih besar dari sebuah pedukuhan
yang tidak berarti. Jika Mataram tidak sempat berdiri dan pemerintahan masih
tetap berada di Pajang, Menoreh mendapat kesempatan untuk mengembangkan dirinya
menjadi sebuah Tanah Perdikan yang besar dan luas.”
Ki Argapati masih tetap
berdiam diri. Ia merasa bahwa kakinya yang sempat beristirahat itu menjadi agak
baik. Karena itu ia mengharap agar Putut Nantang Pati itu berbicara saja
berkepanjangan.
Tetapi ternyata bahwa Pandan
Wangi yang bertempur dengan tangkasnya itu pun mendengar kata-kata Putut
Nantang Pati tentang kaki ayahnya. Karena itu, maka ia pun menjadi
berdebar-debar. Beberapa saat ia terdesak oleh dua orang lawannya sekaligus.
Namun kemudian ia menjadi mapan kembali. Apalagi tiba-tiba saja Prastawa
bagaikan seekor burung elang menyambar dengan pedangnya, sehingga kedua orang
lawan Pandan Wangi itu terdesak surut.
“Prastawa,” desis Pandan
Wangi, “jaga mereka agar tidak mengganggu aku. Kau dengar bahwa ayah mulai
disengat oleh rasa sakit di kakinya?”
“Lepaskan mereka,” berkata
Prastawa yang kemudian bertempur dengan garangnya. Pedangnya menyambar-nyambar
seperti kuku-kuku yang tajam dari seekor burung elang raksasa yang marah.
Di bagian lain dari
pertempuran itu, pasukan pengawal Menoreh mulai mendesak lawannya dengan
perlahan-lahan, berapa orang yang benar-benar terlatih berhasil bertahan dan
bahkan kemudian menunjukkan bahwa mereka pun memiliki pengalaman bertempur yang
dapat mengimbangi anak buah Putut Nantang Pati. Betapa pun kasarnya lawan
mereka, tetapi karena sebelumnya mereka telah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya, maka para pengawal itu tidak terkejut dan menjadi bingung.
Namun dalam pada itu, Ki Argapati
sendirilah yang tidak berhasil mempertahankan desakan Putut Nantang Pati.
Ketika Putut Nantang Pati selesai berbicara dan tertawa, maka mulailah ia
memusatkan serangan-serangannya.
“Sekarang memang sudah
waktunya kau menjalani hukuman atas kelancanganmu. Sebelum kau mencapai batas
pertahanan Panembahan Agung, kau akan mati lebih dahulu. Sayang, kau tidak akan
pernah melihat kesaktiannya yang tidak ada taranya. Jika kau tidak
mempercayainya, maka sepanjang hidupmu, kau tidak akan pernah melihat buktinya.”
Ki Argapati masih tetap
berdiam diri. Tetapi tangannya rasa-rasanya menjadi semakin mantap menggenggam
tombaknya.
Sejenak kemudian serangan
Putut Nantang Pati itu pun menjadi semakin dahsyat. Ia menyadari sepenuhnya,
bahwa kelemahan Ki Argapati ada pada kakinya. Itulah sebabnya maka ia
berloncatan dengan lincahnya, menyerang lawannya dari segala arah.
Ternyata bahwa waktu yang
hanya sejenak, yang seakan-akan memberi kesempatan kepada kakinya yang sakit
untuk beristirahat, tidak berarti apa-apa sama sekali. Ketika ia mulai terlibat
lagi dalam pertempuran melawan Putut Nantang Pati, maka perlahan-lahan perasaan
sakitnya itu pun kambuh kembali.
Pandan Wangi yang berhasil
mendekati ayahnya melihat kelemahan itu pula. Karena itu, maka ia pun segera
menyerang Putut Nantang Pati dengan pedang rangkapnya.
Putut Nantang Pati terkejut
sehingga ia melangkah surut. Namun ia pun tertawa sambil berkata, “He, agaknya
kaulah yang bernama Pandan Wangi.”
“Wangi,” desis Ki Argapati
kemudian, “menyingkirlah.”
“Aku akan menyingkirkan orang
ini, Ayah.”
“Serahkan ia kepadaku, Wangi.”
Pandan Wangi yang menyadari
keadaan ayahnya tidak segera meninggalkan Putut Nantang Pati. Ia justru
menyerangnya semakin garang sehingga untuk beberapa saat lamanya Putut Nantang
Pati harus berusaha menghindarkan serangan-serangan itu.
Betapa pun kemampuan Pandan
Wangi yang berkembang dengan pesat, namun ia masih belum dapat mengimbangi
Putut yang garang itu. Karena itulah, maka dalam waktu yang singkat Nantang
Pati segera dapat menguasai keadaan.
Namun dalam pada itu, Ki
Argapati telah menempatkan diri di dalam pertempuran melawan Putut itu pula,
meskipun ia hanya dapat mempergunakan tangannya, sehingga dengan demikian Putut
Nantang Pati harus bertempur melawan dua orang sekaligus.
Tetapi karena kaki Ki Argapati
benar-benar tidak mampu lagi mengimbangi kemampuan ilmunya, maka geraknya pun
menjadi sangat terbatas.
Dalam keadaan yang demikian
itulah Ki Argapati sempat menyebut kebesaran nama Tuhan. Ia memang yakin bahwa
kemampuan manusia sangat terbatas. Meskipun ia memiliki ilmu yang sempurna
sekali pun, namun dibatasi oleh kemampuan jasmaniahnya, maka ilmu itu
seakan-akan tidak banyak berguna lagi. Dan tidak seorang manusia pun yang dapat
melawan susutnya kemampuan jasmaniah apabila umurnya sudah mencapai batas.
Semakin tua seseorang memang akan menjadi semakin matang. Tetapi apabila
kemampuan jasmaniah sudah mulai susut, maka setiap orang harus mengakui
pertanda ini. Dan terpujilah nama Tuhan yang Adil dan Maha Kuasa, yang dengan
pertanda alam menunjukkan Kuasa-Nya yang tanpa batas.
Dan pertanda itu kini terasa
oleh Ki Argapati. Betapa pun ilmu yang selama ini disempurnakan di dalam
dirinya, namun ia tidak akan dapat melawan sakit di kakinya sendiri. Dan Ki
Argapati menerima keadaannya meskipun bukan berarti bahwa ia harus berputus
asa.
Sementara itu Pandan Wangi-lah
yang mengambil alih serangan-serangan beruntun. Namun serangan-serangannya
tidak merupakan bahaya yang sebenarnya bagi Putut Nantang Pati. Sekali-sekali
ia menghindar, namun kemudian dengan ragu-ragu ia mendesak gadis Menoreh itu.
“Pandan Wangi,” berkata Putut
Nantang Pati, “sebenarnya kau tidak pantas melawan aku. Aku ingin perang
tanding di dalam arena ini melawan Ki Argapati. Sebaiknya kau tidak usah
mengganggu. Setelah aku selesai dengan Ki Argapati, maka akan datang giliranmu.
Tetapi aku tidak ingin membunuh seorang gadis yang cantik seperti kau.”
Pandan Wangi tidak menyahut,
tetapi ia menyerang semakin garang.
Putut Nantang Pati akhirnya
menjadi marah juga kepada Pandan Wangi. Bahkan ia pun kemudian ingin
menyingkirkan gadis itu, atau menghentikan perlawanannya, meskipun ia tidak
ingin membunuhnya agar gadis itu tidak mengganggu perkelahiannya dengan Ki
Argapati.
Karena itulah, maka Putut
Nantang Pati ingin memisahkan Pandan Wangi dari ayahnya. Selagi mereka masih
tetap bertempur berpasangan, maka Pandan Wangi yang masih belum memiliki ilmu
setinggi ayahnya itu, seakan-akan mampu mengisi kekurangan pada kaki Ki
Argapati. Tetapi jika keduanya terpisah, maka Putut Nantang Pati akan dapat
mengalahkannya.
Tetapi Pandan Wangi pun mampu
berpikir dengan baik. Setiap kali Putut Nantang Pati memancingnya, maka Pandan
Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tetap berdiri saja di sisi ayahnya
dengan pedang rangkapnya. Dibiarkannya Putut Nantang Pati yang meloncat menjauh
yang seakan-akan membiarkan dirinya diserang oleh Pandan Wangi.
Akhirnya Putut Nantang Pati
benar-benar menjadi marah. Karena itu ia tidak lagi mengekang diri. Karena ia
merasa tidak akan dapat lagi memisahkan gadis itu dari ayahnya, tiba-tiba saja
ia memberikan isyarat kepada anak buahnya, dan berteriak, “Pisahkan gadis itu
dari ayahnya.”
Beberapa orang anak buahnya
yang mendengar aba-aba itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka mencoba
melepaskan lawan-lawannya dan beberapa orang berusaha mendekati Pandan Wangi.
Tetapi ternyata bahwa aba-aba
itu merupakan aba-aba juga bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan
terutama bagi Prastawa. Itulah sebabnya, maka mereka pun memusatkan perlawanan
mereka agar anak buah Putut Nantang Pati tidak sempat menyerang Pandan Wangi
yang bertempur berpasangan dengan ayahnya Ki Argapati yang tidak lagi memiliki
kemampuannya yang utuh.
Dengan demikian pertempuran
itu pun berkisar di seputar Ki Argapati, sehingga dengan demikian maka ruang
dari para pengawal di kedua belah pihak itu pun menjadi sangat sempit. Namun
demikian keadaan itu justru menjadi berbahaya bagi para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh.
Dalam pada itu, beberapa orang
anak buah Putut Nantang Pati yang berada di belakang garis pertempuran itu
telah mempersiapkan diri mereka dengan kapak dan beberapa orang yang lain
dengan anak panah. Jika pertempuran di lembah itu bergeser karena Daksina
menarik diri, maka mereka harus menahan orang-orang Mataram dengan anak panah
mereka. Kemudian, membiarkan mereka lewat apabila kedua pasukan itu telah
terpisah, sementara itu orang-orang lain harus memotong tali-tali pengikat
batang-batang kayu dengan kapak.
Sebenarnyalah banwa Daksina
tidak berhasrat untuk bertempur lebih lama lagi. Korban telah berjatuhan, dan
tidak ada kemungkinan sama sekali untuk bertahan. Karena itu, maka ia harus
segera menarik diri melalui lembah yang sempit. Jika sebagian pasukan Mataram
itu telah dibinasakan di lembah itu, maka sebagian yang lain akan dengan mudah
dikalahkan.
“Mudah-mudahan Sutawijaya
tetap hidup dan dapat kita tangkap hidup-hidup,” berkata Daksina di dalam
hatinya.
Demikianlah maka Daksina pun
akhirnya mengambil keputusan untuk dengan perlahan-lahan mundur. Pasukan
Mataram itu harus mengikutinya sampai mereka masuk ke dalam lembah yang sempit.
“Sutawijaya tentu ada di ujung
pasukannya,” berkata Daksina di dalam hatinya. “Jika pokok-pokok kayu dan
batu-batu itu menimpa bagian tengah dan ekor pasukan Mataram, maka yang tersisa
adalah bagian ujungnya bersama Sutawijaya.”
Seperti yang sudah dijanjikan,
jika Daksina mulai menarik diri, maka ia akan memberikan isyarat kepada Putut
Nantang Pati, karena Putut itu pun harus menarik diri pula setelah
orang-orangnya selesai dengan tugasnya, meruntuhkan tebing dengan pokok-pokok
kayu dan batu-batu padas. Orang-orang yang semula menunggui tali-temali dan
mereka yang menyandang anak panah akan dapat membantunya menahan pasukan Ki
Argapati. Apabila Ki Argapati mengejarnya terus, selewat lembah yang sempit,
maka pasukan Daksina yang sudah kehilangan lawan itu akan membantunya
menghancurkan pasukan Menoreh itu.
Sejenak kemudian maka
terdengar suara tanda di lembah. Seseorang yang membawa kentongan kecil telah
memukulnya dengan irama titir. Selain isyarat kepada Putut Nantang Pati, maka
suara titir dari sebuah kentongan kecil itu pun merupakan perintah bagi setiap
orang untuk bersiap di tugasnya masing-masing. Mereka yang berada di
sebelah-menyebelah tebing harus siap dengan kapak-kapak dan busur mereka.
Sedang pasukan yang ada di lembah itu harus menarik diri dengan hati-hati
melalui jalan yang sudah ditentukan. Dan Putut Nantang Pati pun harus
menyesuaikan dirinya.
Ketika isyarat itu berbunyi,
maka pasukan Daksina pun mulai mengatur diri. Sambil melakukan perlawanan
sejauh dapat mereka berikan, mereka pun mulai menarik dari. Ternyata Sutawijaya
dan orang-orang terpenting di dalam pasukannya tidak dapat menerobos garis
pertahanan yang sengaja dibuat oleh pasukan yang sedang menarik diri itu,
karena Daksina adalah seorang yang memiliki ilmu melampaui siapa saja di dalam
pasukan Mataram. Kelompok-kelompok di dalam pasukan pengawal Mataram tidak
banyak berarti, karena Daksina pun telah menyusun kekuatan serupa. Karena itu
yang dapat dilakukan oleh Sutawijaya adalah mendesak lawannya dan menjatuhkan
korban sebanyak-banyaknya, meskipun hal itu pun terlampau sulit dilakukan.
Apalagi ketika lembah semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Sejenak Sutawijaya memandang
tebing dihadapannya. Rasa-rasanya tebing itu akan bertemu diujung lembah. Namun
sebenarnyalah bahwa di antara kedua tebing itu terdapat sebuah lembah yang
sempit. Dan di sebelah-menyebelah itulah beberapa orang lawan telah siap
menunggu untuk menjebaknya.
Dalam pada itu, Putut Nantang
Pati pun terpengaruh pula oleh suara isyarat itu. Meskipun pasukannya tidak
akan dengan mudah didesak oleh pasukan Menoreh, apalagi setelah kelemahan kaki
Ki Argapati menjadi semakin parah, namun ia harus menyesuaikan diri dengan
seluruh gerakan dari pasukannya.
Karena itulah, maka pasukan
Putut Nantang Pati itu pum kemudian mulai mengundurkan diri perlahan-lahan.
Mereka tidak boleh melampaui anak buahnya yang akan menimbuni lembah dengan
pokok-pokok kayu dan batu-batu, karena pasukannya harus melindungi mereka agar
mereka dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Ketika pasukan lawan itu
menarik diri, maka Ki Argapati yang merasa dirinya terhimpit oleh kesulitan di
kakinya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar bahwa yang terjadi itu
sebenarnya baru permulaan saja dari pekerjaan mereka yang sulit. Meskipun
demikian, bahwa pasukannya berhasil melampaui babak pertama dari keseluruhan
perjuangan ini, membuatnya cukup berbesar hati.
“Ayah, isyarat itu meragukan,”
desis Pandan Wangi kepada ayahnya ketika ia menolongnya maju mendekati pasukan
lawan yang menarik diri.
“Ya, memang menimbulkan
kecurigaan. Tetapi berhati-hatilah. Tahan agar Prastawa tidak mendesak pasukan
lawan terlampau maju. Bahwa mereka mengundurkan itu perlu diperhitungkan.”
“Mungkin pasukan Raden
Sutawijaya berhasil mendesak lawannya.”
“Mungkin. Dan kemungkinan yang
lain pun dapat terjadi.”
Pandan Wangi menyadarinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian minta agar Prastawa mengendalikan pasukannya
untuk tidak mendesak lawan terlampau rapat. Selain isyarat yang didengarnya itu
dianggap meragukan, juga karena di antara mereka masih ada Putut Nantang Pati.
“Apakah kita biarkan mereka
terlepas dari tangan kita?”
“Apa boleh buat. Kekuatan kita
tidak cukup untuk menahan mereka. Jika kita memaksa diri, korban akan semakin
banyak berjatuhan. Apalagi Ayah agaknya telah terganggu oleh perasaan sakit di
kakinya.”
Putut Nantang Pati pun
menyadari, bahwa lawannya yang terbatas itu tidak mendesaknya. Karena itulah
maka ia merasa mempunyai peluang yang cukup untuk mengatur orang-orangnya yang
akan memotong tali dan mengubur pasukan Mataram yang sedang ada di lembah.
Karena itu, maka Putut Nantang
Pati pun tidak jadi terlampau tergesa-gesa. Ia sendiri kemudian meninggalkan
pasukannya yang baru mundur setelah ia yakin bahwa Ki Argapati dan anaknya
tidak mengejarnya terus.
“Kalian bertahan di sini,”
perintahnya kepada anak buahnya, “jika pasukan Menoreh itu mendesakmu, kalian
mundur saja perlahan-lahan. Sementara itu kita akan selesai dengan tugas yang
harus diperhitungkan dengan tepat itu, jika kita terlalu cepat memotong tali,
maka justru pasukan kitalah yang akan terkubur di lembah.”
Anak buah Putut itu pun
mengerti, bahwa sebenarnyalah yang dikerjakan oleh orang-orang yang memegang
kapak itu harus tepat. Karena itulah maka mereka pun menyadari, bahwa mereka
harus melindunginya baik-baik.
Tetapi karena pasukan Menoreh
yang seakan-akan kehilangan senopatinya itu tidak mengejarnya, maka mereka pun
tidak harus berjuang mati-matian. Namun di dalam kesempatan itu mereka sempat
menghitung kawan-kawannya yang menjadi korban dan terluka.
Dalam pada itu, Putut Nantang
Pati sendiri sudah berada di antara mereka yang berada di lereng tebing di atas
lembah yang sempit itu. Sambil berlindung di balik pepohonan Putut Nantang Pati
memperhatikan setiap gerakan yang ada di lembah.
“Itulah mereka,” desisnya,
“pasukan Daksina sudah mendekati lembah.”
Anak buahnya menjadi tegang.
“Biarlah mereka lewat. Mereka
harus mundur sambil mempertahankan diri. Jika ujung pasukan Mataram sudah
masuk, maka kalian harus melemparkan anak-anak panah sehingga pasukan yang
mendesak itu tertahan sejenak di lembah. Biar sajalah jika sebagian ujung
pasukan Mataram itu lolos termasuk Sutawijaya. Kekuatan mereka tidak akan
berarti apa-apa, meskipun ditambah dengan orang-orang Menoreh yang dipimpin
oleh Argapati sendiri itu.”
Anak buahnya tidak menjawab.
Tetapi ketegangan telah mulai merayapi dadanya.
“Jika kalian mulai melepaskan
anak panah, kalian harus memperhitungkan, apakah orang-orang kita di tebing
sebelah juga melakukannya. Jika tidak, maka kita harus memberikan isyarat.
Mungkin mereka tidak memperhatikan yang tepat atau barangkali mereka sedang
lengah.”
Demikianlah setiap saat
rasa-rasanya dada mereka semakin bergetar. Sebentar lagi mereka akan membuat
sebuah kuburan raksasa di lembah ini. Mereka tidak akan sempat lari kemana pun,
karena pokok kayu dan bebatuan itu yang pertama-tama akan runtuh adalah bagian
ujung dan pangkal dari lembah yang sempit itu dari kedua belah pihak tebing di
sebelah-menyebelah.
Dalam pada itu Daksina
berhasil menarik pasukannya seperti yang direncanakan. Ia sendiri bertahan pada
bagian terakhir dari pasukannya yang bergerak mundur bersama beberapa orang
yang memang sudah ditentukan. Orang-yang memiliki kemampuan melampaui
orang-orang lain sehingga mereka berhasil melawan Raden Sutawijaya dan para
pemimpin dari Mataram yang lain.
Ketika pasukan mereka
mendekati mulut lembah yang sempit, Sutawijaya sudah mulai diragukan oleh
gerakan lawannya. Tetapi ia tidak mengetahui, apakah yang akan terjadi di
lembah yang sempit itu.
Namun Sutawijaya tidak
mempunyai banyak kesempatan untuk memperhitungkan keadaannya. Ia merasa bahwa
pasukannya akan mampu menghancurkan lawannya apabila ada kesempatan.
Kemungkinan yang terkilas di dalam hatinya adalah bahwa Daksina ingin bertahan
di mulut lembah yang sempit agar pasukannya tidak terjebak dalam kepungan.
“Kita akan memanjat tebing
meskipun agak curam,” desis Sutawijaya di dalam hatinya, karena menurut
perhitungannya, tebing itu masih dapat dipanjat.
Daksina yang membawa
pasukannya mundur itu pun menjadi berdebar-debar. Jika orang-orang di atas
tebing itu salah membuat perhitungan, maka rencana itu akan gagal. Beberapa
potong kayu yang membujur tidak akan dapat berguling dengan cepat. Mungkin
beberapa bongkah batu yang sudah dipersiapkan, dengan satu dorongan akan dapat
berguling dengan cepat dan meruntuhkan batu-batu padas dan mendorong
pokok-pokok kayu untuk meluncur semakin cepat di atas batu-batu di tebing.
Pohon-pohon perdu yang tumbuh di lereng itu tentu tidak akan dapat menahan
meluncurnya kayu dan batu.
Perlahan-lahan Daksina pun
kemudian memasuki lembah yang sempit. Sebagian dari pasukannya sudah
mendahuluinya. Sedang Daksina sendiri bersama orang terpilih masih bertahan
beberapa saat di mulut lembah itu.
Pada saat itulah, maka Putut
Nantang Pati yang memperhatikan perkelahian itu dari atas tebing sambil
berlindung di balik pepohonan mulai memperhatikan keadaan. Dengan tegang ia
mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh Daksina. Selangkah demi selangkah
Daksina dan beberapa orang terpilih itu mundur masuk ke dalam lembah sempit
itu.
“Pisahkan pasukan Mataram itu
dengan Daksina.”
“Perkelahian itu masih
terjadi.”
“Jangan pada garis
pertempuran. Biar saja Sutawijaya dan orang pentingnya mendesak. Tetapi
pasukannya harus kalian hentikan agar ada sedikit jarak. Apabila mereka maju
lagi dan pangkal pasukannya itu sudah berada di ujung lembah, maka tali yang
pertama harus dipotong. Kayu yang besar dan melintang itu akan menggelinding,
disusul oleh tali-tali yang lain dan batu-batu yang harus didorong.”
Pembantu Putut Nantang Pati
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapkan orang-orangmu yang
membawa panah,” desis Putut Nantang Pati.
Demikianlah ketika Sutawijaya
mendesak lebih jauh, sehingga sebagian besar dari pasukannya sudah berada di
lembah yang sempit, Putut Nantang Pati pun menjatuhkan perintah, dan
meluncurlah anak panah dari tebing itu.
Serangan itu mengejutkan anak
buah Sutawijaya. Tetapi segera mereka menyesuaikan diri. Yang berperisai segera
melindungi bukan saja dirinya sendiri, tetapi para pengawal di
sebelah-menyebelahnya. Sedang yang tidak berperisai berusaha menangkis anak
panah itu dengan senjata yang ada pada mereka. Dengan demikian maka kemajuan pasukan
Mataram itu mulai terhambat. Beberapa orang yang lengah, tersentuh oleh ujung
anak panah sehingga kulit mereka pun terluka.
Namun agaknya orang-orang yang
berdiri di atas tebing itu tidak berani meluncurkan anak panahnya pada pasukan
pengawal Mataram yang justru sedang bertempur. Karena dengan demikian anak
panah itu akan dapat mengenai kawan mereka sendiri.
Para pengawal Mataram itu pun
kemudian menjadi marah kepada orang-orang di tebing. Beberapa orang dari mereka
yang membawa busur dan anak panah, segera mendapat perlindungan dari
kawan-kawannya yang berperisai, dan melontarkan serangan balasan dengan anak
panah pula. Serangan balasan itu berhasil mengurangi deras anak panah lawannya,
karena orang-orang yang berdiri di tebing itu pun harus menyerang sambil
berlindung pula.
Tetapi yang penting bagi Putut
Nantang Pati adalah, bahwa orang-orangnya berhasil mengurangi laju desakan para
pengawal Mataram. Bahkan dengan serangan itu mereka telah berhasil memisahkan
bagian dari pasukan Mataram itu dengan pemimpin-pemimpinnya yang masih saja
mendesak sambil bertempur.
“Apakah kita meluncurkan
pokok-pokok kayu dan batu sekarang?” bertanya salah seorang anak buah Putut
Nantang Pati.
“Biarlah mereka masuk ke dalam
lembah seluruhnya,” jawab Putut Nantang Pati.
Namun demikian, agaknya ada
sesuatu yang menarik perhatiannya. Ternyata anak buahnya yang ada di tebing
seberang tidak melemparkan anak panah mereka ke dalam lembah itu seperti yang
diharapkan.
“Kenapa hanya satu dua orang
saja yang meluncurkan anak panah dari tebing seberang?” bertanya Putut Nantang
Pati.
Orang yang ditanya itu
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Seharusnya mereka dapat
meluncurkan anak panah lebih banyak lagi.”
Putut Nantang Pati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin mereka merasa bahwa kita
sudah cukup banyak melemparkan anak panah dan berhasil memisahkan ujung dan
tubuh pasukan pengawal yang harus menyusuri jalan sempit dan agak sulit itu,
sehingga sebagian dari mereka menyiapkan diri untuk memotong kayu melemparkan
batu-batu padas itu.”
“Mungkin, memang mungkin
sekali,” jawab yang diajak berbicara.
Putut Nantang Pati pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia bahkan kemudian yakin bahwa memang
demikianlah yang terjadi. Tali temali dan batu-batu itu sebaiknya memang harus
diluncurkan serentak. Yang lebih cepat akan menimpa orang-orang Mataram itu
adalah bebatuan. Baru kemudian pokok-pokok kayu yang malang melintang sehingga
mereka tidak akan sempat melarikan diri kemana pun juga.
Sementara itu, pasukan pengawal
Menoreh yang ada di atas tebing, terkejut pula melihat anak panah yang meluncur
ke lembah memotong pasukan pengawal dari Mataram. Karena itu, maka Ki Argapati
yang terganggu oleh kakinya itu pun menjadi tegang.
“Ayah,” berkata Pandan Wangi,
“bagaimana dengan penyerang-penyerang itu?”
Ki Argapati termenung sejenak.
Ia sadar, bahwa orang-orang yang bersenjata panah itu ada di belakang pasukan
Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri. Pasukan kecil itu tentu akan menutup
jalan apabila pengawal Menoreh berusaha menghentikan serangan anak panah itu.
“Ayah, kita tidak akan dapat
tinggal diam.”
“Ya. Kita tidak akan dapat
tinggal diam,” sahut Prastawa.
“Benar. Tetapi kita harus
menemukan jalan untuk menghentikannya. Adalah terlalu sulit untuk menembus
orang-orang yang menahan kita di sini. Pimpinannya adalah orang yang cukup
tangguh. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan dapat terjerat pula
karenanya.”
Prastawa termangu-mangu
sejenak. Tatapan matanya merayap memanjat tebing. Tetapi tebing itu semakin
tinggi menjadi semakin curam. Bahkan seakan-akan batu-batu padas di atas mereka
merupakan sebuah dinding yang tegak.
“Kita tidak dapat menyerang
dari tempat yang lebih tinggi,” berkata Prastawa.
“Ya,” desis Pandan Wangi,
lalu, “bagaimana kalau kita maju terus, Ayah? Setidak-tidaknya kita dapat
memecah perhatian mereka jika terjadi pertempuran.”
“Tetapi orang yang memimpin
perlawanan itu berbahaya bagimu, Pandan Wangi.”
Pandan Wangi menjadi
termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi.
Tiba-tiba saja Prastawa yang
melihat anak panah meluncur ke lembah itu berkata mengejut, “Aku tahu. Kita
menyerang mereka dari tempat ini.”
“Maksudmu?”
“Kita mendekat sedikit. Kita
menyerang mereka dengan anak panah pula. Yang ada pada kita saja, sekedar untuk
mengurangi tekanan atas para pengawal Mataram itu.”
Pandan Wangi berpikir sejenak,
lalu, “Tidak banyak gunanya. Tetapi ada baiknya juga.”
“Cobalah,” berkata Ki
Argapati.
Prastawa pun segera menyiapkan
beberapa orang yang membawa busur dan anak panah. Kemudian mereka melontarkan
anak panah mereka melampaui para pengawal Padepokan Putut Nantang Pati yang
melindungi orang-orangnya yang sudah siap dengan kapak.
Namun sementara itu, pasukan
Sutawijaya sudah semakin dalam masuk kelembah yang sempit itu. Ternyata
pengaruh anak panah yang dilontarkan oleh pengawal Menoreh tidak begitu terasa
pengaruhnya oleh Putut Nantang Pati yang sudah siap menjatuhkan perintah
memotong tali-tali pengikat kayu dan bebatuan.
Dalam pada itu, Sutawijaya
yang tidak menduga sama sekali bahwa di atas tebing sebelah-menyebelah telah
disiapkan batang-batang kayu dan bebatuan untuk mengubur pasukannya, masih
selalu mendesak. Sutawijaya pun tahu bahwa sebagian pasukannya di bagian
belakang telah tertahan. Tetapi ia tidak mau melepaskan Daksina, sehingga ia
berusaha untuk mendesak terus. Menurut perhitungannya, jika mereka sudah lewat
leher lembah yang sempit itu, maka ia akan mendapat kesempatan untuk bertempur
bersama anak buahnya lagi seperti yang sudah terjadi.
Selagi Sutawijaya dan para
pemimpin pasukan pengawal Mataram berhasil mendesak lawannya terus, maka bagian
dari pasukannya yang ada di belakang benar-benar tertahan oleh anak panah yang
meluncur dari tebing sebelah-menyebelah. Tetapi yang dari arah pasukan yang di
pimpin oleh Argapati-lah serangan itu datang jauh lebih banyak. Dari tebing
sebelah hanya ada beberapa anak panah sajalah yang meluncur, dan itu pun hampir
tidak menyentuh sasaran sama sekali. Namun pasukan pengawal dari Mataram itu
pun sama sekali tidak menduga bahwa di tebing itupun pokok-pokok kayu dan
bebatuan siap untuk meluncur menimpa tubuh mereka sampai hancur.
Demikianlah, ketika pasukan
Mataram itu seluruhnya sudah masuk ke dalam lembah yang sempit itu, maka Putut
Nantang Pati mulai mengangkat tangannya tanpa menghiraukan serangan anak panah
dari anak buah Argapati. Meskipun anak panah itu akhirnya terasa mengganggu
juga.
Berbareng dengan itu,
orang-orangnya pun mulai mengangkat kapaknya pula, siap untuk memotong
tali-temali.
“Bunyikan tanda itu, kita akan
memotong tali. Mereka seluruhnya sudah masuk,” teriak Putut Nantang Pati.
Sejenak kemudian maka
terdengar suara kentongan yang berteriak lima ganda. Suatu pertanda bahwa
mereka, harus mulai memotong tali-tali.
Sesaat kemudian tangan Putut
Nantang Pati itu pun terayun turun, sehingga beberapa orang yang memperhatikan
tangan itu pun mengayunkan kapak mereka pula memotong tali-temali yang mengikat
batang-batang kayu yang siap meluncur. Yang lain mendorong batu-batu padas
sehingga batu-batu itu mulai bergeser setapak demi setapak dan ketika batu itu
sudah sampai di bibir tebing, maka dengan suara gemuruh batu-batu itu berguling
turun.
Namun pada saat yang
bersamaan, terdengar suara cambuk meledak. Sesaat kemudian terdengar beberapa
orang berteriak berbareng seperti diatur, “Naik ke tebing kiri. Cepat sebelum
kalian terkubur di lembah.”
Sekali dua kali suara itu
tidak segera dimengerti. Tetapi kemudian mereka pun mendengar suara gemuruh di
tebing sebelah kanan. Beberapa pohon perdu di atas tebing itu tampak
terguncang, dan debu berhamburan.
Dalam waktu yang singkat
mereka menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Tebing yang tinggi itu bagaikan
runtuh menimpa mereka dan mengubur mereka di lembah yang sempit itu.
Tetapi dalam kecemasan itu
mereka mendengar suara itu lagi, “Cepat naik ke tebing kiri.”
Suara cambuk itu agaknya
menjadi jaminan, bahwa yang berteriak itu bukannya sekedar orang-orang yang
dengan sengaja menjebak mereka, tetapi suara itu pasti datang dari Kiai
Gringsing atau murid-muridnya.
Karena itu, maka mereka pun
tidak berpikir panjang lagi. Selagi batu dan batang-batang kayu itu belum
menimpa kepala mereka, maka mereka pun segera berloncatan memanjat tebing
sebelah kiri secepat dapat mereka lakukan. Bukan saja orang-orang yang terpisah
di belakang, tetapi juga orang-orang yang sedang bertempur di bagian depan,
sehingga dengan demikian, maka seakan-akan Daksina telah ditinggalkan begitu
saja oleh lawan-lawannya. Bagi pengawal Mataram, memang lebih baik bertempur
melawan Daksina dan Panembahan Agung sekali pun daripada harus bertempur
melawan tebing-tebing yang runtuh.
Daksina sejenak tercenung
mendengar suara yang bergemuruh itu. Tetapi ia pun segera terkejut ketika
mendengar teriakan dari tebing sebelah dengan pertanda ledakan cambuk, bahwa
orang-orang Mataram itu supaya memanjat saja ke tebing kiri.
“Apakah sebenarnya yang sudah
terjadi?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi yang terjadi adalah
sedemikian cepatnya. Begitu orang-orang Mataram itu mulai naik, maka batu-batu
pun runtuh bersama batang-batang kayu. Bukan saja yang memang sudah
dipersiapkan, tetapi batu-batu tebing yang tertimpa pun ikut runtuh pula.
Satu dua orang yang tidak
sempat meloncat naik, hampir saja ditimpa oleh reruntuhan itu jika
kawan-kawannya tidak cepat menyambar tangannya dan menyeretnya naik meskipun
hanya selangkah dua langkah.
Namun reruntuhan itu bukannya
tidak menelan korban. Dan itulah yang membakar hati Sutawijaya dan para
pemimpin pasukan dari Mataram. Sutawijaya yang pula memanjat tebing, dapat menyaksikan
dengan mata kepalanya bahwa ada di antara anak buahnya yang dengan teriakan
nyaring ditelan oleh gumpalan batu padas.
Tetapi bahwa reruntuhan itu
hanya datang dari tebing yang sebelah, telah mengejutkan Daksina dan anak
buahnya. Juga Putut Nantang Pati yang berdiri di tebing. Ia tidak segera
mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Usaha yang sudah dipersiapkan
dengan sebaik-baiknya itu, ternyata tidak berhasil memusnakan sebagian besar
prajurit Mataram. Bahwa ada juga korban di antara mereka, namun sama sekali
tidak berarti. Kekuatan pasukan pengawal Mataram hampir tidak berkurang sama
sekali. Kekuatan mereka ternyata masih tetap utuh.
Tetapi meskipun Daksina
dicengkam oleh keheranan atas anak buahnya di tebing sebelah, bahkan dari
tebing itu terdengar suara cambuk dan isyarat agar orang-orang Mataram naik ke
tebing sebelah kiri, namun ia tetap melaksanakan rencananya. Mundur ke belakang
leher lembah yang sempit.
Pasukan Mataram yang kemudian
bertengger di lereng tebing tidak banyak dapat berbuat. Lembah itu masih di
saput oleh debu yang tebal, dan sekali-sekali masih terdengar batu dan
pokok-pokok kayu yang runtuh.
Ketika suara yang gemuruh di
lembah itu sudah tenang, maka debu pun semakin lama menjadi semakin tipis.
Orang-orang Mataram mulai dapat melihat, apa yang kini ada di lembah itu.
“Mengerikan sekali,” desis Ki
Lurah Branjangan.
Sutawijaya memandang
pokok-pokok kayu yang malang melintang dan batu-batu padas yang menimbuni
lembah sempit itu dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan tiada terhingga.
Dengan suara gemetar ia berkata, “Hampir saja kalian berkubur di lembah itu.
Mungkin aku yang berada di garis pertempuran tidak akan tertimbun karena mereka
tidak ingin menimbun orang-orang mereka sendiri. Tetapi sebagian besar dari
kita tidak akan sempat dapat keluar dari lembah ini.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya memandang
para pengawal Mataram yang masih di tebing, tampaklah wajah mereka yang pucat
dan perasaan yang bergejolak, betapa pun keberanian mendasari perjuangan
mereka, tetapi yang disaksikannya adalah peristiwa yang mengerikan sekali. Dan
mereka pun menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berperang melawan
pokok-pokok kayu dan bebatuan yang runtuh itu. Sehingga dengan demikian maka
sebagian dari mereka akan musnah di bawah reruntuhan itu.
Di atas tebing, Ki Argapati
dan anak buahnya menjadi termenung pula beberapa lamanya. Mereka melihat tebing
yang bagaikan disapu oleh arus banjir bandang. Pohon perdu dan gerumbul-gerumbul
di tebing telah larut oleh arus pokok-pokok kayu dan batu-batu padas yang
sengaja digulingkan oleh orang-orang Putut Nantang Pati.
Demikian dahsyatnya reruntuhan
di tebing itu, sehingga segenap perhatian seluruh pasukan Ki Argapati tertumpah
pada debu putih dan suara gemuruh. Dengan demikian mereka tidak sempat
memperhatikan, bahwa Putut Nantang Pati dan anak buahnya pun telah menarik diri
pula.
“Apakah kita akan turun?”
bertanya Pandan Wangi.
“Ya,” jawab ayahnya, “kita
mencari jalan. Kita harus menemui Raden Sutawijaya.”
“Kita melingkari daerah yang
runtuh itu,” berkata Prastawa.
“Tetapi bagaimana dengan kaki
Ayah?”
“Kita turun perlahan-lahan,”
jawab ayahnya.
Dengan dibantu oleh Pandan
Wangi dan Prastawa maka Ki Argapati pun kemudian melingkari daerah yang runtuh
itu turun ke lembah. Meskipun agak sulit, tetapi akhirnya ia sampai juga ke
lembah yang sempit yang sudah ditimbuni oleh pokok-pokok kayu dan batu.
Sutawijaya yang melihat Ki
Argapati itu pun turun pula. Dengan wajah yang tegang ia memandang reruntuhan
itu sambil berdesis, “Lembah ini ternyata telah menjadi kuburan beberapa orang
anak buahku.”
“O,” Ki Argapati mengangguk
perlahan, “rasa-rasanya bukit ini akan runtuh. Aku tidak menyangka sama sekali
bahwa mereka telah menyiapkan jebakan. Aku kira mereka hanya akan menyerang
dengan anak panah dari atas tebing, sehingga yang kami lakukan pun tidak
berhasil mencegah tebing ini runtuh.”
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Kita memang tidak menyangka. Tetapi kita masih
dilindungi oleh Maha Pencipta. Agaknya Kiai Gringsing menemukan cara untuk
menyelamatkan kita.”
Ki Argapati mengangguk-angguk
pula. Ketika ia memandang ke atas tebing, maka dilihatnya Kiai Gringsing dan
beberapa orang anak buahnya bersama Agung Sedayu dan Swandaru menuruni tebing.
“Terima kasih atas peringatan
yang Kiai berikan kepada kami sehingga kami sempat menghindarkan diri,” berkata
Sutawijaya kepada Kiai Gringsing ketika orang tua itu telah berada di lembah
itu pula.
“Tetapi lembah ini masih tetap
berbahaya. Beberapa orang pengawal dari Menoreh tetap berada di atas tebing
untuk mengawal daerah ini dan beberapa orang tawanan.”
“Maksud Kiai?”
“Bukankah Daksina menyiapkan
orang-orangnya di sebelah-menyebelah tebing?”
“Ya. Kami mendapat serangan
anak panah dari kedua tebing”
“Kamilah yang melemparkan anak
panah itu agar Daksina dan orang-orangnya, apalagi yang ditebing seberang tidak
curiga bahwa kami telah berhasil menguasai orang-orangnya. Meskipun anak panah
kami tidak mengenai sasaran, tetapi mereka menganggap bahwa anak buah mereka
masih tetap ada di tempatnya.”
Sutawijaya dan Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mulai mengerti, apa yang sudah
dikerjakan oleh Kiai Gringsing. Namun mereka menjadi tegang karena Kiai Gringsing
berkata kemudian, “Sebaiknya kita meninggalkan lembah ini. Aku ingin
meruntuhkan batu-batu padas dan batang-batang kayu yang ada di tebing kiri.”
“Jadi ditebing itu juga ada
batang-batang kayu dan batu-batu yang siap mereka luncurkan?”
“Ya. Jika rencana mereka
berhasil, maka pasukan Mataram tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dari dua
tebing sebelah-menyebelah, batang-batang kayu dan batu-batu meluncur menimbuni
lembah itu bersama seluruh pasukan pengawal dari Mataram. Dan tamatlah usaha
kita untuk membebaskan Rudita.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar ia memandang ke tebing di sebelah
kiri. Tidak tampak sesuatu yang dapat memberikan kesan, bahwa di tebing itu
masih bergayutan nafas-nafas maut yang sudah siap menerkam mereka.
“Marilah,” berkata Sutawijaya
kemudian, “kita berjalan maju. Meskipun dengan demikian kita sudah terpisah
dari Daksina dan anak buahnya, namun kita akan dapat menyelusur jejaknya. Kita
akan menemukan persembunyiannya, dan barangkali juga Rudita.”
“Baiklah,” berkata Kiai
Gringsing, “tetapi kita sekarang mempunyai beban beberapa orang tawanan.
Beberapa orang yang lain terpaksa dimusnahkan, karena mereka melawan dan
berusaha memberikan isyarat. Namun selain itu, aku berpendapat, bahwa batu dan
batang-batang kayu itu sebaiknya diruntuhkan saja sama sekali agar tidak
berbahaya bagi siapa pun juga kelak. Karena tali-tali itu semakin lama akan
menjadi semakin rapuh, sehingga pada suatu ketika akan putus dengan sendirinya.
Apabila pada saat itu ada orang di lembah ini, siapa pun juga, maka batu dan
kayu itu akan berbahaya bagi mereka.”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
Katanya, “Baiklah Kiai. Marilah kita menyingkir. Biarlah batu dan kayu-kayu itu
diruntuhkan sama sekali.”
Demikianlah maka mereka pun
segera menyingkir. Beberapa orang kemudian memotong tali temali yang mengikat
batang-batang kayu dan mendorong batu-batu yang memang sudah dipersiapkan.
Tebing pegunungan itu bagaikan
diguncang oleh gempa. Sekali lagi debu mengepul di udara. Dan batu-batu padas pun
hanyut menimbuni lembah yang sempit itu.
Sutawijaya adalah seorang anak
muda yang hampir tidak mengenal takut. Tetapi ketika ia melihat batang-batang
kayu dan batu-batu padas yang tertimbun itu, rasa-rasanya ia menjadi terlampau
kecil. Terasa betapa perkasanya alam, dan siapa yang berhasil menjinakkannya
dan mempergunakannya, maka ia akan mendapat kekuatan yang tidak terlawan. Bukan
saja pasukan berkuda dari Mataram yang terpilih, tetapi pasukan yang mana pun
juga dari permukaan bumi ini, tidak akan mampu melawan batu-batu padas dan
batang-batang kayu yang meluncur itu selain keajaiban.
“Kita perlu beristirahat,”
berkata Sutawijaya setelah getar di dadanya, “terutama agaknya Ki Gede Menoreh
mulai diganggu oleh perasaan sakit di kakinya.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat ingkar lagi.
“Baiklah,” katanya, “kakiku
memang mulai mengganggu.”
Kiai Gringsing pun kemudian
mendekatinya. Perlahan-lahan dirabanya kakinya, dan katanya, “Ya. Kita memang
perlu beristirahat.”
Untuk beberapa lamanya pasukan
yang kemudian telah bergabung kembali itu pun beristirahat. Dalam kesempatan
itu Kiai Gringsing mencoba mengurangi perasaan sakit pada kaki Ki Argapati
dengan memberikan sejenis serbuk yang harus dicairkannya lebih dahulu.
Dengan air persediaan untuk
minum yang dibawa oleh para pengawal yang bertugas untuk menyiapkan perbekalan,
maka serbuk itu pun kemudian diaduk di dalam air dan digosokkan pada kaki yang
sakit itu.
Terasa kaki itu menjadi panas.
Namun kemudian perasaan sakit itu pun menjadi semakin berkurang, meskipun hanya
untuk sementara.
“Kita masih harus menempuh
jalan yang panjang,” berkata Sutawijaya kemudian.
“Ya. Kita akan menghadapi
garis pertahanan yang tentu akan disusun oleh Daksina.”
“Ya, dan tetindih pasukan
kecil yang menghentikan pasukan kami,” sahut Ki Gede Menoreh, “ternyata adalah
orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Aku tidak dapat
mengalahkannya.”
Mereka yang mendengar
keterangan itu terkejut. Namun Pandan Wangi menjelaskan, “Tetapi Ayah tidak
saja melawan orang itu, tetapi Ayah juga harus melawan perasaan sakit di
kakinya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi sebenarnyalah orang
itu memiliki ilmu yang tinggi,” sahut Ki Argapati, “agaknya ia lebih baik atau
setidak-tidaknya mempunyai ilmu yang setingkat dengan Daksina.”
“Ya,” sambung Pandan Wangi.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dihadapi agaknya benar-benar suatu
gerombolan yang sudah dipersiapkan.
Dalam pada itu, Ki Waskita dan
Ki Sumangkar yang sedang menempuh perjalanan yang berat di lereng tebing-tebing
yang terjal, tiba-tiba terhenti. Agaknya ada sesuatu yang mengganggu perasaan
Ki Waskita sehingga untuk beberapa saat ia berdiri sambil memejamkan matanya.
Ki Sumangkar yang mengerti
bahwa Ki Waskita sedang mencoba menghubungkan getaran di dalam dirinya dengan
alam luas di sekitarnya, sama sekali tidak mengganggunya.
“Ki Sumangkar,” tiba-tiba Ki
Waskita berdesis, “ada sesuatu yang perlu diperhatikan.”
“Apakah itu?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
pasukan Mataram memang perlu mendapat peringatan. Mungkin aku menangkap
isyarat, bahwa mereka akan menghadapi rintangan yang berat. Aku kira aku hanya
dicemaskan oleh kegelisahanku. Tetapi aku ternyata mendapatkan isyarat itu.
Bahaya yang besar yang berlapis-lapis.” Ia berhenti sejenak. “O, isyarat itu
menjadi kabur. Aku akan berhenti di sini sejenak untuk menemukannya kembali.”
Ki Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Ia pun menjadi berdebar-debar. Meskipun pasukan itu adalah pasukan
yang cukup kuat, namun lawannya pun adalah lawan yang kuat pula.
Sejenak Ki Waskita berdiri
diam. Kepalanya tunduk dan tangannya bersilang di dada.
“Mereka telah melepaskan diri
dari bahaya yang besar, yang hampir saja memusnahkan seluruh pasukan,” Ki
Waskita seakan-akan bergumam untuk diri sendiri. Kepalanya masih tertunduk dan
matanya masih terpejam. “Tetapi itu bukannya rintangan yang terakhir.”
Ki Sumangkar tidak menjawab.
Tetapi wajahnya pun menjadi tegang pula.
Sejenak kemudian ayah Rudita
itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata
kepada Ki Sumangkar, “Jalan memang cukup berbahaya.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Medan memang berat. Tetapi agaknya Daksina benar-benar
menyiapkan dirinya untuk menyongsong pasukan pengawal dari Mataram itu.”
“Bukan saja Daksina. Di
belakang bukit ini telah tersusun kekuatan yang luar biasa. Pertahanan yang
berlapis-lapis. Senjata yang mencuat di segala sudut bagaikan batang ilalang.
Dan lebih dari itu adalah kemampuan yang aneh dari orang yang disebut
Panembahan Agung itu.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya, “Jadi menurut
pertimbanganmu, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Kita mendekat. Aku masih
tetap yakin, bahwa aku akan menemukan tempat anakku itu. Dan tujuan yang
dicapai oleh Raden Sutawijaya adalah tujuan yang semu. Bukan pusat dari
kekuatan lawan yang sebenarnya. Aku semakin yakin. Mungkin Raden Sutawijaya
akan segera menemukan tempat yang dicarinya. Tetapi ia masih harus melanjutkan
perjalanan.”
Ki Sumangkar masih
mengangguk-angguk.
“Baiklah kita berjalan terus,”
berkata Ki Waskita kemudian, “mudah-mudahan kita dapat melihat, apa yang ada di
sekitar bukit sebelah.”
“Tetapi,” bertanya Sumangkar
ragu-ragu, “jika benar Panembahan Agung memiliki indra yang lain dari indra
wadagnya, apakah ia tidak akan mampu melihat kehadiran kita?”
“Kita dapat berusaha
mengaburkan penglihatan itu. Seperti juga Panembahan Agung. Jika ia mengetahui
bahwa aku akan mendekat, maka ia pun tentu akan mengaburkan penglihatanku atas
mereka. Tetapi Panembahan Agung itu tentu belum melihat kehadiranku sampai di
sini.”
“Apakah dalam keadaan kita
sekarang ini, Panembahan Agung akan melihat?”
“Tidak. Selain agaknya
Panembahan Agung memusatkan perhatiannya pada gerak yang besar dari pasukan
pengawal dari Mataram, maka aku pun akan selalu berusaha menyamarkan diri ke
dalam getar alam yang luas.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Ia mengerti bahwa Ki Waskita memiliki ketajaman penglihatan
batiniah. Tetapi agaknya terlalu sulit baginya untuk mengerti bahwa Ki Waskita
dapat menyamarkan diri ke dalam getar alam di sekitarnya.
“Mungkin ia menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, sehingga penglihatan batin Panembahan Agung menangkapnya
sebagai getar alam benda di sekitarnya. Seperti kayu dan batu atau bahkan
seperti mendung yang lewat di langit.”
Tetapi Sumangkar tidak
bertanya.
“Marilah kita maju lagi,”
berkata Ki Waskita. “Kita berusaha untuk melihat padepokan itu. Jika mungkin
aku akan masuk ke dalam dan melihat dari dekat, apa yang sudah dilakukan. Jika
tidak, kita akan melihat dari kejauhan. Dan jika perlu kita harus
memberitahukan kepada pasukan Pengawal Mataram dan Menoreh, apa yang sebenarnya
mereka hadapi.”
Ki Sumangkar hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Dan ia pun kemudian mengikuti ayah dari
anak yang hilang itu, berjalan di sepanjang tebing yang sulit. Mereka berusaha
melintasi salah sebuah puncak bukit kecil yang berbatu padas untuk melihat, apa
yang ada di seberang.
Dengan susah payah, akhirnya
mereka pun berhasil mencapai puncak bukit. Dengan keringat yang membasahi
segenap tubuh, mereka berdiri termangu-mangu memandang puncak yang hanya
ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul yang jarang.
“Kita akan melintasi puncak
itu,” berkata Ki Waskita, “kemudian kita akan menuruni lereng sebelah, dan kita
sudah akan berada di dalam lingkaran pengawasan Panembahan Agung.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia adalah seseorang yang memiliki pengalaman yang luas di medan
yang betapa pun beratnya. Tetapi agaknya kali ini ia akan sampai ke medan yang
sangat berat. Selain melawan pasukan lawan yang sudah menunggu, maka lereng
pegunungan dan batu-batu padas di bawah kakinya, akan merupakan lawan yang
harus diperhitungkan pula.
Demikianlah mereka pun
kemudian berjalan di atas batu padas di puncak bukit yang membujur di antara
beberapa bukit yang lain itu. Meskipun mereka masih belum terlalu dekat, tetapi
mereka harus berhati-hati. Mereka sejauh mungkin berjalan di antara semak-semak
yang tumbuh di antara batu-batu padas yang retak-retak oleh terik matahari.
Setelah melintasi puncak itu,
maka mereka pun segera sampai di tebing seberang. Namun rasa-rasanya nafas
mereka mulai bekejaran oleh letih yang merayapi seluruh tubuh.
“Kita beristirahat dahulu di
sini,” berkata Ki Waskita, “perjalanan kita masih jauh, meskipun kita sudah
dekat dengan padepokan yang kita cari. Aku tidak dapat membayangkan bentuk
padepokan itu. Mungkin sebuah padesan kecil, mungkin bentuk yang lain. Tetapi
dugaanku kuat, Rudita ada di sini.”
Demikianlah maka Ki Waskita
itu pun kemudian duduk di bawah gerumbul dan berlindung dari kemungkinan dapat
dilihat oleh lawan. Ki Sumangkar yang masih mengawasi medan sejenak itu pun
kemudian duduk pula di sebelah ayah Rudita yang mulai merenung lagi. Sambil
menyilangkan tangan di dadanya, kepalanya pun tunduk dalam-dalam.
Seperti yang selalu dilakukan,
maka Ki Sumangkar pun sama sekali tidak mengganggunya. Ia sadar, betapa
gelisahnya hati Ki Waskita yang kehilangan satu-satunya anak laki-laki.
Sejenak kemudian Ki Waskita itu
mengangkat kepalanya. Dan seakan-akan kepada dirinya sendiri ia bergumam, “Aku
yakin, anakku masih tetap sehat. Ia ada di sekitar tempat ini. Padukuhan yang
akan diketemukan oleh Raden Sutawijaya adalah padukuhan yang kurang berarti.
Tetapi ia sudah harus melalui pertempuran-pertempuran yang menelan korban.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Kita masih mempunyai waktu. Jika nafas kita sudah
teratur kembali, kita akan mendekati padukuhan itu. Tetapi kita harus membuat
perhitungan sebaik-baiknya agar kita tidak terjebak di dalam kesulitan yang
tidak teratasi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak ia mengedarkan tatapan matanya, lalu, “Apakah pasukan Raden
Sutawijaya itu masih akan memerlukan waktu yang panjang untuk sampai ke tempat
ini?”
“Ya. Kita telah memintas
meskipun ternyata jalan yang kita lalui sangat sulit. Selain daripada itu,
Raden Sutawijaya harus melalui pertahanan demi pertahanan. Dan itu juga
memerlukan waktu. Bahkan mungkin pasukan Mataram dan Menoreh akan bermalam
sebelum memasuki daerah pertahanan yang sebenarnya dari padepokan Panembahan
Agung. Dan agaknya itu akan lebih baik.”
Sumangkar masih
mengangguk-angguk.
“Dan kita pun harus
menyesuaikan diri dengan pasukan Mataram yang bakal datang itu.”
Sumangkar tidak menyahut. Dipandanginya
wajah langit yang jernih dan awan yang sedang berarak. Puncak pebukitan yang
berlapis-lapis dan lembah yang kehijau-hijauan.
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Di lembah itu tentu ada
pategalan.”
Ki Waskita mengangguk.
Katanya, “Aku juga mengira demikian.”
Sumangkar menjadi heran
mendengar jawaban itu. Meskipun ia tidak bertanya sesuatu, tetapi rasa-rasanya
Ki Waskita dapat menebak pertanyaan yang tersimpan di hati Sumangkar. Maka
katanya, “Yang hijau lebat itu tentu tanaman yang diatur dengan tangan manusia.
Tentu aku tidak dapat melihat segala sesuatunya seperti aku melihat alam. Sudah
berkali-kali aku katakan, bahwa aku hanya menerima isyarat. Dan sudah barang
tentu isyarat itu kadang-kadang kabur, kadang-kadang agak lebih jelas. Dan aku
tidak dapat dengan mudah membedakan, belukar, hutan, perdu, dan tanah
pategalan. Tetapi indra wadagkulah yang dapat melihat dan kemudian menduga,
bahwa di lembah itu memang terdapat tanah pategalan yang agaknya ditanami buah-buahan
dan pohon-pohon perdu yang menghasilkan.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Jika demikian, kita benar-benar telah memasuki daerah
Panembahan Agung. Agaknya tanah pategalan itu merupakan cadangan persediaan
makanan apabila mereka tidak sempat mencari perbekalan keluar daerah pegunungan
ini.”
“Agaknya memang demikian. Kita
akan mendekati daerah pategalan itu dan kemudian menelusur mendekati pusat
padepokannya.”
Sumangkar tidak menyahut lagi.
Tetapi seolah-olah ia mencoba memandang menembus lembah dan tebing.
Dalam pada itu, pasukan
pengawal Mataram dan Menoreh masih beristirahat. Meskipun demikian, mereka
tidak kehilangan kewaspadaan. Beberapa orang maju beberapa langkah dan
mengawasi keadaan. Dengan pengalaman yang mendebarkan itu, mereka harus
memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
“Tentu tidak di tebing itu,”
desis seorang pengawal kepada kawannya yang berbaring di sampingnya, di atas
rerumputan sambil memandangi tebing di hadapannya.
“Ya, tentu tidak dengan cara
seperti yang sudah di lakukan. Selain tebing itu agak landai, maka lembah ini
bukannya tempat yang baik untuk mengubur sepasukan pengawal, karena lembah ini
terlampau luas untuk keperluan itu.”
Kawannya tidak menyahut.
Tetapi ia menjadi ngeri mengenang kawannya yang begitu saja ditelan oleh batu
dan batang-batang kayu tanpa dapat berbuat sesuatu.
“Tubuhnya tentu hancur di
bawah timbunan batu-batu itu,” desisnya dengan suara yang datar.
“Apa?” bertanya kawannya.
“Mereka yang tertimbun batu di
lembah itu.”
Kawannya menarik nafas. Tetapi
ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, Ki Argapati
sudah mulai merasa sehat kembali meskipun ia sadar, bahwa kakinya akan tetap
menjadi gangguan. Jika ia berbuat sesuatu yang memerlukan gerak dan kekuatan
kakinya, maka seperti yang sudah terjadi, ia akan kehilangan kemampuan
mempergunakan kakinya itu. Dengan obat yang digosokkan di kakinya, perasaan
sakit yang menyengat itu menjadi jauh berkurang. Tetapi tentu keadaan kakinya
yang sebenarnya masih belum berubah. Karena itu Ki Argapati harus
memperhitungkan setiap tindakannya dengan tepat menghadapi medan yang semakin
berat.
Sementara itu, pasukan Daksina
yang mengundurkan diri dan bergabung kembali dengan Putut Nantang Pati itu pun
telah berada di padepokan. Tetapi padepokan itu memang sudah dikosongkannya.
Dengan para penjaga yang tersisa maka mereka pun menarik pasukannya ke
pertahanan di hadapan padepokan Panembahan Agung.
Meskipun demikian, Daksina
yang memiliki pengalaman perang yang cukup dan Putut Nantang Pati yang mengenal
daerah pertahanannya dengan baik, tidak melepaskan pasukan Mataram begitu saja
berjalan dengan lancar menyusuri jejak mereka.
Karena itulah, maka mereka pun
meninggalkan beberapa kelompok yang harus mengganggu perjalanan pasukan
pengawal dari Mataram dan dari Menoreh.
Kelompok-kelompok itu harus
berada di tebing-tebing yang cukup tinggi. Mereka akan melontarkan anak panah
kepada pasukan Mataram dan Menoreh. Kemudian apabila pasukan-pasukan itu
mencoba membalas, mereka dapat menghilang di balik gerumbul-gerumbul di atas
tebing. Meskipun gerumbul-gerumbul itu tidak lebat, namun cukup baik untuk
melindungkan diri.
Demikianlah, ketika pasukan
Mataram dan pasukan Menoreh itu sudah cukup beristirahat, maka mereka pun
segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun menilik sinar matahari yang
menjadi semakin kuning, mereka harus memperhitungkan kemungkinan yang akan
terjadi. Mereka tidak dapat mengesampingkan perhitungan hari yang semakin
mendekati ujungnya.
“Kita akan maju beberapa ratus
langkah lagi,” berkata Sutawijaya, “jika sekiranya kita perlu bermalam sebelum
kita menemukan sarang mereka, kita pun akan beristirahat.”
Orang-orang yang ada di
sekitamya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mereka pun menganggap
bahwa hari sudah terlalu jauh untuk mulai dengan sebuah perjuangan merebut
padepokan yang kuat dan mencari Rudita di dalamnya, karena mereka masih belum
tahu pasti, di manakah anak itu disembunyikan.
“Kita terpaksa mengikat
kalian,” berkata Sutawijaya kepada beberapa orang tawanan yang dibawa oleh
pasukan Mataram dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. “Jika tidak,
kalian akan mempersulit keadaan kami.”
Tawanan-tawanan itu hanya
menundukkan kepalanya saja.
“Nah, marilah,” berkata
Sutawijaya kemudian, lalu ia berpaling kepada Ki Argapati, “apakah Ki Gede
sudah siap untuk memulai lagi?”
Betapa pun juga Ki Argapati
itu menjawab, “Sudah. Aku sudah siap.”
Sejenak kemudian pasukan itu
pun mulai bergerak. Seorang prajurit yang baru saja memejamkan matanya,
terpaksa berjalan dengan malasnya di samping kawannya yang mulai enggan
melanjutkan perjalanan itu. Tetapi karena yang dilakukan itu adalah sebuah
kuwajiban, maka ia pun berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa pasukan
itu bukanlah segerombolan orang yang pergi bertamasya di lembah dan ngarai.
Dengan hati-hati dua orang
pengawal dari Menoreh berjalan di paling depan sambil berusaha mengenal arah
lawannya. Mereka menyusur jejak kaki pasukan Daksina dan Putut Nantang Pati
yang mengundurkan diri.
Meskipun demikian, mereka
tidak dapat dengan tergesa-gesa maju, karena mereka masih harus memperhatikan
setiap keadaan yang mungkin dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan untuk
menjebak mereka. Setiap gerumbul, setiap tebing padas yang menjorok dan setiap
tikungan di lembah yang semakin luas itu.
Seluruh pasukan itu menjadi
berdebar-debar ketika mereka hampir bersamaan melihat sebuah jalan setapak di
tebing yang membelit meloncati sebuah ujung dari pebukitan itu ke arah seberang
dan seakan-akan hilang di balik gerumbul-gerumbul di puncak bukit.
“Jalur jalan itulah agaknya
yang kita lihat sambungannya di balik pebukitan itu, dan menuju ke padesan di
sebelah,” desis pengawas yang pernah mendahului pasukan itu.
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menyahut, karena mereka mendengar Raden
Sutawijaya berkata, “kita tentu sudah mendekati padepokan mereka.”
Kiai Gringsing yang berjalan
di sebelahnya menyahut, “Ya. Agaknya padepokan yang mereka pergunakan sebagai
sarang itu, merupakan padesan yang cukup luas dan terlindung. Jalur jalan
itulah agaknya yang menghubungkan sarang mereka dengan dunia luar, apa pun
bentuknya. Memang mungkin sebuah padesan atau padepokan, tetapi mungkin pula
sebuah goa yang besar dan dalam.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apa pun bentuknya, kita harus
menguasainya dan sekaligus mencari Rudita. Tetapi yang tidak kalah pentingnya,
adalah menghancurkan mereka, agar mereka tidak akan dapat mengganggu Mataram
dan juga Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi terbayang padanya, sebuah padesan yang dijaga oleh sepasukan pengawal
yang kuat di setiap sudut dan di luar padesan itu berbaris sepasukan pengawal
dan prajurit-prajurit Pajang yang telah mencoba berkhianat. Baik terhadap
Pajang yang masih berdiri, mau pun kepada Mataram yang sedang tumbuh dan
berkembang, sehingga dengan demikian, terbayang juga sebuah kesulitan yang
benar-benar memerlukan tenaga sepenuhnya.
Belum lagi mereka sempat
meneruskan pembicaraan, maka mereka pun terkejut ketika dari atas tebing, dari
balik gerumbul-gerumbul yang lebat, meluncur beberapa buah anak panah. Semakin
lama semakin banyak.
Dengan serta-merta, mereka
yang berperisai di dalam pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun
berloncatan maju. Mereka berusaha menahan anak panah itu dengan perisai agar
tidak mengenai seorang pun di antara mereka.
Meskipun demikian, ada juga
satu dua dari anak panah itu yang berhasil melukai para pengawal. Tetapi
luka-luka itu tidak begitu parah dan tidak berbahaya, sehingga hampir tidak
berarti bagi kekuatan kedua pasukan itu. Namun demikian anak panah semacam itu
tentu akan memperlambat gerak maju kedua pasukan itu.
Seperti yang dikehendaki oleh
Daksina dengan orang-orangnya itu, maka sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh memang harus berhenti. Beberapa orang yang
bersenjata panah pun segera berlindung di balik perisai kawan-kawannya dan
membalas melontarkan anak panah ke atas tebing.
Tetapi dengan demikian, yang
lain tidak tinggal diam melihat pertempuran jarak jauh itu. Beberapa orang
segera menebar, dan merayap perlahan-lahan ke atas tebing, melingkar agak jauh
dari pertempuran itu. Seperti sapit urang mereka dengan hati-hati mendekat,
mencepit orang-orang yang sedang melemparkan anak panah.
Tetapi orang-orang itu pun
cukup berwaspada, sehingga mereka pun segera menarik diri ke dalam
gerumbul-gerumbul liar. Namun ternyata bahwa kehadiran pasukan pengawal Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh yang tiba-tiba saja di sebelah-menyebelah itu memang
tidak mereka perhitungkan lebih dahulu, maka di dalam gerak mundur itu pun
mereka harus meninggalkan korban.
“Orang-orang Mataram dan
Menoreh memang gila,” desis salah seorang pengawal padepokan Putut Nantang Pati
yang sedang melarikan diri itu.
“Ya. Kami menyangka bahwa
mereka akan sekedar mencari tempat bersembunyi. Sejauh-jauhnya mereka akan
membalas dengan panah dari lembah.”
“Ternyata sebagian dari mereka
memanjat tebing dan menjepit kita dari dua arah.”
Kawan-kawannya terdiam. Mereka
sama sekali tidak memperhitungkan bahwa akan ada korban yang jatuh dalam
serangan yang demikian. Namun ternyata bahwa tiga orang kawan mereka tidak
dapat kembali bersama mereka.
Dalam pada itu, pasukan
pengawal Mataram dan Menoreh itu pun segera berkumpul. Namun Raden Sutawijaya
cukup cerdas menanggapi keadaan. Katanya, “Mereka hanya sekedar mengganggu
perjalanan kami.”
“Meskipun demikian, kami tidak
dapat membiarkan mereka menghujani pasukan ini dengan anak panah,” sahut Ki
Lurah Branjangan.
“Ya, dan kita sudah mengusir
mereka.”
“Tetapi kita akan menjumpainya
lagi di beberapa tempat. Seperti yang Raden katakan, mereka sengaja
memperlambat perjalanan kita, dan terlebih-lebih lagi jika mereka berhasil,
mereka ingin mengganggu ketabahan hati kita,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya, Kiai.”
“Jika demikian menurut
pertimbanganku, apakah kita tidak lebih baik bermalam sebelum kita berada di
muka padepokan itu. Kita tidak mengenal medan sebaik-baiknya, seperti mereka
mengenalnya. Karena itu, kita tidak berani mendekat lagi. Kita masih belum
tahu, apalagi yang akan dipergunakan oleh Daksina dan barangkali Panembahan
Agung itu untuk menjebak kita.”
“Maksud, Kiai, bahwa di malam
hari banyak peristiwa yang dapat terjadi?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
“dan saat ini, matahari sudah terlampau rendah.”
Raden Sutawijaya tidak segera
menyahut. Tetapi dipandanginya wajah Ki Argapati yang berkerut-merut.
“Aku sependapat, Raden,”
berkata Ki Argapati kemudian, “jika kita bermalam di sini, di tempat yang masih
belum terlampau dekat dengan padepokan, kita masih mempunyai banyak kesempatan
untuk melakukan tindakan yang perlu, pengawasan yang agak longgar, dan
barangkali jika ada jebakan-jebakan yang mungkin telah dipasang di padepokan
itu tanpa sepengetahuan kita.”
“Baiklah,” berkata Raden
Sutawijaya, “kita bermalam di sini. Kita akan membuat beberapa kelompok
penjagaan beberapa puluh langkah di hadapan kita, dan di sudut-sudut yang kita
anggap perlu. Tidak mustahil mereka akan menghujani anak panah di malam hari
selagi sebagian besar dari kita sedang tertidur nyenyak.”
“Ya. Kita harus berada di
sela-sela gerumbul sehingga kita sedikit terlindung dari anak panah yang
tiba-tiba saja datangnya. Kita harus menyiapkan perisai sebanyak mungkin ada
pada kita dan kulit kayu yang mungkin dapat dipergunakan untuk melawan anak
panah itu,” berkata Ki Argapati. “Selain itu, pengawasan yang ketat, yang
seakan-akan melingkari tempat ini.”
“Beberapa orang akan berada di
lereng sebelah. Mungkin mereka dapat berbuat sesuatu jika ada orang yang
menyerang kita dari tempat yang tinggi itu.”
Demikianlah, maka mereka pun
segera mengatur diri, mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk bermalam,
sebelum mereka berada di depan padukuhan yang mereka sangka langsung padukuhan
Panembahan Agung.
Namun dalam pada itu, orang
yang ditugaskan untuk melontarkan berita tentang Raden Sutawijaya telah
berhasil masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Bahkan ia sempat menyampaikannya
kepada orang-orang di dalam lingkungan keluarga Ki Gede Pemanahan, bahwa Raden
Sutawijaya telah berhubungan dengan salah seorang gadis dari Kalinyamat yang
sebenarnya akan dipersembahkan kepada Sultan Pajang sendiri, sehingga gadis itu
mengandung.
Beberapa orang yang mendengar
itu mengerutkan keningnya dan berkata, “Ah, tentu tidak.”
“Tentu tidak,” dan yang lain
pun, “tentu tidak.”
Namun akhirnya berita itu pun
sampai juga kepada Ki Gede Pemanahan pada hari itu juga, karena seorang abdinya
yang menjadi sangat cemas mendengar berita itu, langsung menghadap Ki Gede
Pemanahan dan dengan tubuh gemetar menyampaikannya.
Ki Gede Pemanahan menahan
nafasnya. Hatinya melonjak, tetapi sebagai seorang yang telah mengendap, maka
ia tidak tergesa-gesa memberikan tanggapan betapa pun sesak dadanya.
Tetapi bagaimana pun juga,
berita tentang Raden Sutawijaya itu tentu sudah tersebar. Tidak usah menunggu
sampai matahari terbenam. Para pengawal tentu akan saling membicarakannya.
“Siapakah yang mula-mula
mengatakannya?” bertanya Ki Gede Pemanahan kepada abdinya.
“Kami tidak mengetahui Ki
Gede. Tetapi baru saja kami melihat seorang prajurit Pajang di sini. Mungkin
prajurit itu telah membawa berita tentang Raden Sutawijaya. Bahkan aku
mendengar bahwa prajurit itu berusaha menghadap Ki Gede Pemanahan.”
Tetapi Ki Gede menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku belum dapat mempercayainya. Tetapi aku pun tidak dapat
mengabaikan kabar ini.”
“Demikianlah sebaiknya Ki
Gede. Sebaiknya Ki Gede mendapatkan kepastian dari berita itu.” Abdi itu
berhenti sejenak, lalu, “apakah Ki Gede akan memanggil prajurit Pajang itu
menghadap?”
Ki Gede termangu-mangu
sejenak. Tetapi ia bukan seorang yang sekedar mempergunakan perasaannya. Ia
mendengar bahwa beberapa orang prajurit Pajang telah meninggalkan kesatuannya
karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang lain yang merasa dirinya akan mampu
menguasai tlatah yang luas. Dari pesisir utara sampai ke pesisir selatan. Dari
ujung kulon sampai ujung timur. Apalagi prajurit Pajang itu memang melihat
sikap dan tingkah laku yang semakin lama semakin jauh menyimpang dari Sultan
Pajang sendiri. Pengendalian daerah yang tidak lagi berpegang pada dasar-dasar
yang sama-sama diletakkan seperti pada saat ia berhasil mengangkat dirinya
sebagai Sultan Pajang.
“Baiklah,” berkata Ki Gede
Pemanahan kepada abdinya, “aku memperhatikan laporanmu. Tetapi sebaiknya kau
pergi ke Pajang dan mencari kebenaran, apakah Sutawijaya benar-benar telah
melakukan perbuatan itu atau tidak.”
“Jadi aku harus menyelusur
berita ini, Ki Gede?”
“Tidak. Kau tidak perlu
mencari siapakah sumber berita itu. Tetapi kau harus berusaha mendengar dari
orang yang dapat kau percaya di Pajang, apakah benar salah orang gadis dari
Kalinyamat itu sudah berhubungan dengan Sutawijaya dan bahkan sudah mengandung
seperti berita yang kau dengar itu.”
“Baiklah, Ki Gede. Dan apakah
Raden Sutawijaya perlu diberitahukan akan hal ini, agar ia dapat berbuat
sesuatu? Jika tidak benar, biarlah ia membersihkan namanya.”
“Tetapi jika benar?” potong Ki
Gede Pemanahan.
Abdi itu menundukkan
kepalanya. Namun di luar kehendaknya sendiri ia berkata, “Ia sudah terlalu lama
berada di bawah asuhan ayahanda angkatnya, Sultan Pajang.”
“Kenapa?”
“Apakah tindakan dan tingkah
laku Sultan Pajang telah berpengaruh pula atasnya?”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Sekilas teringat olehnya sebutir kelapa muda di Giring.
Kelapa muda yang menurut Ki Ageng Giring akan mendatangkan keluhuran bagi yang
meneguk airnya.
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Ketika abdinya bertanya kepadanya, maka Ki Gede itu pun
seakan-akan terbangun dari mimpinya yang menumbuhkan harapan itu.
“Ki Gede,” bertanya abdinya
itu, “apakah sebaiknya aku segera berangkat, atau menunggu kedatangan Raden
Sutawijaya yang sedang pergi ke seberang Kali Praga?”
“Berangkatlah,” jawab Ki Gede
Pemanahan, “mungkin kau memerlukan waktu yang tidak hanya satu dua hari.
Bukankah kau masih mempunyai sanak keluarga di Pajang.”
“Cukup banyak, Ki Gede,” sahut
abdi itu, “mungkin aku akan segera mendapatkan keterangan tentang berita itu.”
Demikianlah maka abdi itu pun
segera pergi ke Pajang dikawal oleh beberapa orang pengawal, dan kemudian
dilepaskan pergi sendiri setelah melampaui hutan yang terakhir yang masih
meragukan pengamanannya. Namun agaknya, Panembahan Agung telah benar-benar
menarik orang-orangnya menghadapi kedatangan Raden Sutawijaya dan Ki Argapati.
“Jemput aku di sini dua hari
lagi. Jika aku belum datang, maka tunggu sampai hari ketiga dan keempat.”
“Bagaimana jika aku berada di
sini sebulan lamanya?” bertanya pengawal yang mengantarkannya.
“Barangkali itu lebih baik.
Tetapi jika aku mati di hutan itu, kau akan digantung oleh Ki Gede Pemanahan.”
Pemimpin pengawal itu tidak
menyahut lagi. Dipandanginya saja abdi terdekat dari Ki Gede Pemanahan itu
memacu kudanya ke arah timur.
“Perjalanan yang cukup jauh,”
berkata abdi itu di dalam hatinya.
Matahari yang tenggelam
membuat hatinya ragu-ragu, apakah ia akan meneruskan perjalanannya di malam
hari? Tetapi ia berpacu terus.
“Aku akan bermalam di Candi
Sari,” katanya di dalam hati, karena ia mempunyai seorang saudara yang tinggal
di dekat Candi Sari.
Kedatangannya di Candi Sari
memang mengejutkan. Namun ia berhasil memberikan keterangan sehingga saudaranya
yang menjadi berdebar-debar itu menepuk bahunya, sambil berdesis, “Kau
mengejutkan kami.”
Dalam pada itu, Raden
Sutawijaya yang bermalam di lembah di perbukitan sebelah barat Kali Praga,
terkejut ketika seseorang membangunkannya.
“Ada apa?” ia bertanya.
“Kami melihat api obor di atas
bukit itu,” berkata seorang pengawas.
“Awasi dengan baik,”
perintahnya, “aku tetap di sini.”
Pengawas itu pun mengangguk.
Perlahan-lahan ia meninggalkan Sutawijaya yang berbaring lagi di atas
rerumputan kering. Namun ia pun melihat sekilas sebuah obor yang seakan-akan
menusup pepohonan jauh di atas bukit, seperti seekor burung kemamang yang
terbang di sela-sela gerumbul-gerumbul.
“Tentu orang-orang Daksina,”
katanya di dalam hati, “tetapi apa maksudnya dengan sengaja menunjukkan
kehadirannya di bukit itu?”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Namun kesimpulannya adalah, bahwa obor itu sekedar
memancing perhatian, dan di sekitar obor itu justru, tidak akan ada apa-apa
sama sekali.
Tetapi tiba-tiba saja Raden
Sutawijaya bangkit. Dipanggilnya pengawal yang terdekat. Katanya kemudian
setengah berbisik, “Hubungi Ki Lurah Branjangan. Beritahukan agar para pengawas
berhati-hati. Obor itu tentu sekedar pancingan, agar perhatian kita terampas
olehnya, tapi yang justru berbahaya akan datang dari arah lain. Kemudian
hubungi pula Ki Argapati dan Kiai Gringsing atau kedua muridnya.”
Pengawal itu pun kemudian
pergi meninggalkan Sutawijaya yang duduk termenung.
Yang mula-mula dihubungi
adalah Ki Lurah Branjangan yang perhatiannya memang tertarik kepada obor yang
bergerak itu.
“Baiklah,” katanya setelah
mendengar penjelasan pengawal itu atas perintah Raden Sutawijaya, “kami akan
mengawasi obor itu. Tetapi kami akan mengawasi bagian-bagian yang lain pula,
yang menjadi daerah pengawasanku dengan baik. Tetapi sebaiknya orang-orang
Tanah Perdikan Menoreh diberitahukan juga, agar mereka tidak menjadi lengah,
meskipun di sana ada Ki Argapati dan Kiai Gringsing.”
“Aku memang akan
menghubunginya.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti Raden Sutawijaya ia pun kemudian duduk
di antara beberapa orang pengawal.
“Hati-hatilah,” desis Ki Lurah
Branjangan, “awasi segala arah.”
Dan perintah itu pun kemudian
menjalar dari seorang ke orang yang lain.
Ketika pengawal yang
menghubungi Ki Argapati sampai ke tempatnya di ujung lain dari lembah itu,
dilihatnya Ki Argapati justru sedang duduk bersama Kiai Gringsing.
“O,” desis pengawal itu,
“selamat malam Ki Gede.”
“Selamat malam,” jawab Ki
Gede, “apakah ada kepentinganmu datang kemari?”
“Tidak apa-apa Ki Gede. Hanya
barangkali Ki Gede juga melihat obor di sela-sela pepohonan itu?”
“Ya, kami sedang memperhatikannya.”
Pengawal itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu di sampaikannya pesan Sutawijaya.
“Terima kasih,” sahut Ki
Argapati, “tetapi sebenarnya kami punya rencana tersendiri. Kami ingin melihat
apakah sebenarnya obor itu.”
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal
itu, “tetapi barangkali benar juga kata Raden Sutawijaya, bahwa obor itu hanya
sekedar pancingan saja.”
“Kemungkinan yang paling
besar. Tetapi kita pun akan memancing mereka. Baiklah, aku akan menemui Raden
Sutawijaya.”
“Silahkan Ki Gede,” jawab
pengawal itu, lalu, “obor itu sampai sekarang masih ada. Seakan-akan sekedar
melingkari tempat ini.”
Ki Argapati dan Kiai Gringsing
pun kemudian pergi menemui Raden Sutawijaya. Mereka ternyata bersepakat untuk
memancing lawannya yang barangkali sedang memancing mereka pula.
“Sebagian dari pengawal ini
akan terpancing oleh obor itu,” berkata Ki Argapati, “tetapi dengan diam-diam
yang lain menunggu, apakah yang akan terjadi.”
“Ya,” sahut Raden Sutawijaya,
“obor itu berhenti,” tiba-tiba Raden Sutawijaya menunjuk. “He, tidak hanya ada
satu obor, dua, eh, tiga.”
“Mereka akan membuat kesan,
bahwa mereka akan menyerang dari sana. Karena itu, kita akan terpancing
karenanya. Tetapi kita akan mengawasi setiap arah.”
Setelah rencana itu kemudian
disepakati, maka kedua pasukan itu pun menyebarkan perintah untuk memanggil
setiap pimpinan kelompok, dan perintah berikutnya pun diberikan dengan singkat.
Para pengawal yang sedang
tidur itu pun segera terbangun. Beberapa orang kemudian memencar menghubungi
para pengawas yang terpisah.
Pada saat yang ditentukan maka
pasukan yang sedang beristirahat itu pun seakan-akan telah terbangun. Dengan
riuhnya mereka menyongsong lawan yang datang dengan membawa obor di atas
tebing. Namun di bagian lain, pasukan Mataram dan Menoreh telah siap untuk
menghadapi kemungkinan.
Tetapi beberapa lamanya mereka
merayap maju, mereka sama sekali tidak menjumpai siapa pun. Sedang mereka yang
berjaga-jaga di bagian lain pun sama sekali tidak menemukan pasukan lawan yang
merayap mendekat.
“Kita benar-benar terpancing,”
desis Ki Argapati, “mereka agaknya hanya meletakkan obor itu pada cabang batang
pohon dan meninggalkannya.”
Raden Sutawijaya menganggukkan
kepalanya. Namun mereka yang ada di lereng bukit itu terbelalak ketika mereka melihat
di bagian lain api obor itu seakan-akan menjadi semakin lama semakin besar,
semakin besar. Bahkan bukan hanya tiga, tetapi lima, sembilan dan lebih dari
dua belas.
Dalam kebingungan itu,
tiba-tiba Kiai Gringsing berdesis perlahan-lahan, “Kita sudah berhadapan dengan
ilmu Panembahan Agung. Tetapi tentu bukan orang itu sendiri yang
melontarkannya.”
Yang mendengar kata-kata Kiai
Gringsing itu terkejut. Sejenak mereka tertegun. Namun ketika mereka memandang
api yang berada di atas tebing itu, maka mereka pun mulai dijalari oleh
kecurigaan.
“Api itu bukan tiruan api yang
sempurna,” berkata Kiai Gringsing, “karena itu, menurut pendapatku, orang yang
melontarkan ilmu itu adalah orang yang baru mulai belajar pada Panembahan
Agung. Mungkin ia muridnya yang terpercaya, tetapi di dalam ilmunya yang satu
ini, ia adalah murid yang baru sama sekali.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kiai benar.
Obor-obor itu seperti api yang terpisah dari alam sekelilingnya. Jika obor itu
adalah bayangan semu yang sempurna, maka obor itu akan melemparkan cahayanya
atas alam di sekitarnya. Tetapi obor itu tidak menumbuhkan bayangan dan
nyalanya seakan-akan tidak menerangi pepohonan di sekitarnya.”
Kiai Gringsing mengusap keringatnya
yang mengembun di kening. Ternyata bahwa medan kali ini adalah medan yang
benar-benar berat. Jika mereka benar-benar bertemu dengan seseorang yang
menyebut dirinya bernama Panembahan Agung, maka mereka tentu akan mengalami
kesulitan.
Agung Sedayu, Swandaru, Pandan
Wangi, dan Prastawa, serta para pengawal pun mengangguk-anggukkan kepala pula.
Mereka juga menyadari keanehan dari api yang menyala semakin besar dan banyak.
Namun yang sampai pada suatu saat, api itu menjadi susut kembali.
“Itukah ilmu yang dimiliki
oleh Panembahan Agung?” bertanya Sutawijaya.
“Ya. Dan tentu lebih
sempurna,” sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya menjadi
termangu-mangu. Bahkan kemudian ia berkata, “Pasukan kita akan mengalami
kesulitan. Mereka dapat membuat rintangan-rintangan semu yang membingungkan.”
“Benar Raden. Apalagi
Panembahan Agung sendiri.”
“Apakah Kiai tidak dapat
mengatasi kesulitan ini?”
Kiai Gringsing menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Raden. Aku mempunyai cara
untuk melawan pengaruh bayangan-bayangan semu itu di dalam diriku. Aku dapat
menguasai indra wadagku, dan menghapuskan bayangan semu. Aku pernah mempelajari
ilmu itu. Tetapi hanya untuk diriku sendiri. Aku tidak mempunyai kemampuan
untuk melawan ilmu semacam itu bagi orang lain.”
“Baiklah,” Raden Sutawijaya
yang masih dialiri darah mudanya itu menyahut, “itu sudah cukup. Kiai akan
berdiri di paling depan dari pasukan ini. Kiai dapat memberikan aba-aba kepada
kami apa yang sebaiknya harus kami jakukan. Jika kita melihat sesuatu, Kiai
dapat mengatakan, apakah yang kita lihat itu sebenarnya memang ada.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak, lalu katanya, “Memang
mungkin dapat dicoba. Tetapi jika pertempuran terjadi di antara kita dengan
mereka, maka kesempatan itu terlampau kecil.”
“Itu lebih baik daripada tidak
sama sekali.”
“Tetapi Kiai,” berkata Ki
Argapati, “jika pertempuran sudah terjadi, apakah Panembahan Agung masih dapat
melontarkan ilmunya dengan bentuk-bentuk semu itu khusus bagi kita dan tidak
mempengaruhi anak buahnya sendiri?”
“Itulah yang aku kurang
mengerti,” berkata Kiai Gringsing, “Panembahan Agung dapat memilih sasaran bagi
ilmunya. Tetapi di dalam campur baurnya pertempuran, maka bentuk-bentuk semu
agaknya akan mempengaruhi orang-orang mereka juga.”
Ki Argapati menganggukkan
kepalanya. Desisnya, “Jika demikian kita harus berusaha untuk segera melibatkan
diri di dalam pertempuran.”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, obor-obor itu sudah menjadi
semakin kecil dan kemudian hilang di dalam kegelapan.
“Marilah kita kembali ke
tempat kita semula. Kita sedang disuguhi suatu permainan yang kurang menarik,”
berkata Kiai Gringsing.
Pasukan pengawal Mataram dan
Menoreh itu pun segera kembali ke tempat mereka semula. Tetapi Kiai Gringsing,
Ki Argapati, kedua muridnya, Pandan Wangi, dan Prastawa berkumpul di ujung
lembah. Bahkan Ki Demang Sangkal Putung yang tidak banyak berbuat apa-apa itu
berkata, “Benar-benar sebuah pertahanan yang kuat sekali.”
“Ya, Ki Demang,” berkata Kiai
Gringsing, “jika ada dua atau tiga orang yang memiliki dasar ilmu itu, meskipun
belum berkembang sama sekali, kita sudah akan terganggu semalam suntuk.”
“Kenapa harus dua atau tiga
orang?”
“Tentu tidak akan dapat
dilakukan oleh seorang. Mereka yang baru mulai dengan ilmu ini, masih harus
mengerahkan segenap daya pikir dan rasa untuk menimbulkan bayangan semu seperti
ini. Orang itu memerlukan waktu yang agak lama dan pengerahan segenap
kemampuan.”