Buku 044
“Carilah alat untuk mengangkat
Ki Argapati,” desis orang tua itu. “Ia harus segera berada di dalam rumah. Aku
harus mencuci lukanya dan memberikan obat baru lagi.”
Seorang dari antara mereka
yang melingkarinya segera pergi mencari sebuah ekrak bambu. Dilambari dengan
jerami kering, maka Ki Argapati pun kemudian dibaringkannya di atas ekrak itu
dan diangkat oleh empat orang untuk segera dibawa ke pondoknya.
Ternyata obat yang sekedar
untuk menolong sementara itu pun bermanfaat. Darah yang mengalir dari luka itu
pun semakin lama menjadi semakin mampat.
Dengan tergesa-gesa Ki
Argapati itu pun dibawa ke pondoknya. Disampingnya, Pandan Wangi berjalan
sambil menjinjing pedangnya, sehingga seseorang terpaksa memperingatkannya,
“Sarungkan pedangmu, Pandan Wangi.”
“Oh,” pedang itu pun kemudian
disarungkannya, tanpa sempat membersihkan dahulu debu yang melekat ketika
pedang itu begitu saja diletakkan di tanah.
Ki Argapati masih belum
sadarkan diri ketika perlahan-lahan ia dibaringkan di pembaringan. Dengan wajah
yang tegang gembala tua itu menitikkan air ke bibirnya.
Ia menarik nafas dalam-dalam
ketika ia melihat bibir yang pucat itu bergerak-gerak.
“Pandan Wangi,” berkata orang
tua itu, “berilah aku air hangat. Air yang sudah mendidih, jangan didinginkan
dengan campuran air tawar.”
Pandan Wangi pun mengangguk.
Kemudian dengan tergesa-gesa ia pergi ke dapur. Adalah kebetulan sekali di
dalam periuk masih terdapat sisa air masak. Tetapi karena air itu sudah dingin,
maka Pandan Wangi dengan tergesa-gesa membuat api untuk menghangatkannya.
Dengan hati-hati gembala tua
itu kemudian membersihkan luka Ki Argapati dengan air hangat itu. Kemudian
diambilnya reramuan obat-obatan dari sebuah bumbung kecil yang selalu
dibawanya. Beberapa macam reramuan dicampurnya menjadi satu. Kemudian dengan
hati-hati reramuan itu ditaburkannya di atas luka.
Sejenak orang-orang di dalam
ruangan itu memperhatikan wajah Ki Gede yang putih seperti kapas. Mereka
melihat wajah itu menegang. Namun kemudian kesan itu pun lenyap pula. Kembali
wajah itu menjadi beku.
Yang menegang adalah wajah
gembala tua itu. Sejenak ia menahan nafasnya. Namun kemudian diraba-rabanya
dada Ki Argapati, di sekitar luka-lukanya. Perlahan-lahan tangannya
bergerak-gerak menyelusur otot-otot di sekitar leher, kemudian ke tengkuk.
“Aku minta yang kurang
berkepentingan meninggalkan ruangan ini,” berkata gembala tua itu. “Udara
menjadi terlampau panas, sehingga pengaruhnya tidak menguntungkan bagi Ki
Argapati.”
Orang-orang itu pun segera
meninggalkan ruangan itu. Yang tinggal kemudian adalah Pandan Wangi.
Dengan hati berdebar-debar ia
melihat, bagaimana orang tua itu mencoba mengobati luka yang kambuh kembali
itu. Setiap kali ia melihat gembala itu mengusap keringat di keningnya.
Kemudian menekuni luka itu kembali.
Setelah air pembersih luka itu
menjadi kering, maka luka itu pun kemudian diobatinya dengan obat yang lain
lagi. Ditaburkannya obat itu dengan hati-hati.
Tetapi Ki Argapati masih
berbaring sambil memejamkan matanya. Agaknya ia masih belum sadar dari
pingsannya.
Setelah menaburkan obat di
atas luka itu, maka orang tua itu pun kemudian meramu obat yang lain di dalam
mangkuk. Obat yang kemudian dengan hati-hati dan susah payah, diteteskan masuk
ke dalam mulut Ki Argapati. Setetes demi setetes.
Pandan Wangi masih tegak
berdiri di tempat dengan wajah yang semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia
melangkah maju ketika ia melihat ayahnya bergerak.
“Jangan mengejutkannya,” desis
gembala tua itu.
Pandan Wangi tertegun. Namun
dahinya semakin berkerut-merut.
Sejenak kemudian kedua orang
yang berada di dalam bilik itu berpaling ketika mereka mendengar langkah
memasuki ruangan itu. Ternyata Samekta-lah yang datang dengan nafas
terengah-engah.
“Bagaimana Kiai?” dengan
serta-merta ia bertanya.
“Mudah-mudahan,” jawab orang
tua itu perlahan-lahan.
Samekta pun kemudian berdiri
termangu-mangu. Tetapi ia tidak bertanya apa pun lagi. Kini ia melihat Ki
Argapati telah menjadi tidak terlampau pucat. Perlahan-lahan Ki Argapati telah
mulai bergerak-gerak.
Dengan hati-hati pula gembala
tua itu mengangkat tangan Ki Argapati. Seandainya ia tidak luka di dadanya,
maka tangan itu harus digerak-gerakkannya supaya pernafasannya menjadi segera
lancar. Tetapi kali ini orang tua itu tidak dapat berbuat demikian, justru dada
Ki Argapati sedang terluka.
Namun titik-titik obat yang
diteteskan ke dalam mulut itu agaknya berpengaruh juga. Karena dengan demikian
Ki Argapati telah mulai menyadari keadaanya.
Ketika Ki Argapati mulai
membuka matanya, Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia berlari
memeluk ayahnya, seandainya ia tidak digamit oleh gembala tua itu.
“Jangan kau kejutkan dia,”
desis gembala tua itu.
Pandan Wangi tertegun. Tetapi
ia tidak dapat menahan perasaannya yang bergolak, sehingga terasa sesuatu menyekat
tenggorokannya. Titik-titik air mata telah mengembun pula di matanya yang
buram.
“Jangan menangis,” berkata
Samekta perlahan-lahan, “kita berada di medan peperangan. Kau adalah seorang
prajurit dengan sepasang pedang di lambungmu.”
Dengan susah payah Pandan
Wangi menahan dirinya. Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang gadis yang
sedang menyaksikan ayahnya dalam keadaan yang gawat. Karena itu, maka ia tidak
berhasil mencegah air matanya meleleh di pipinya. Namun demikian Pandan Wangi
tidak terisak.
“Masa yang paling gawat telah
lewat,” desis gembala tua itu ketika ia melihat Ki Argapati mencoba menarik
nafas. Tetapi terasa betapa, sakit dadanya, sehingga wajahnya tampak menegang
sejenak.
Tetapi Ki Argapati kini telah
menyadari dirinya. Perlahan-lahan sekali kepalanya bergerak-gerak. Dan
perlahan-lahan sekali ia berdesis, “Di mana aku sekarang?”
“Ki Gede berada di pondok.”
Ki Gede mengerutkan alisnya,
“Di mana Pandan Wangi?”
“Ayah,” desis Pandan Wangi,
“aku di sini.”
“Kemarilah, Ngger,” panggil
gembala tua itu. Pandan Wangi pun segera mendekat dan berjongkok di samping
pembaringan.
Dengan susah payah Ki Argapati
mencoba menggerakkan tangannya membelai kepala puterinya. Perlahan-lahan
terdengar Ki Gede bertanya, “Bagaimana dengan pertempuran itu?”
“Pasukan Ki Tambak Wedi telah
menarik diri, Ayah,” jawab Pandan Wangi.
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Dicobanya untuk mengingat-ingat apa yang terakhir dilihatnya.
Perlahan-lahan kepalanya
terangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mereka telah menarik diri. Apakah yang kita
lakukan kemudian?”
“Membiarkan mereka
meninggalkan pedukuhan ini,”
Ki Argapati masih
mengangguk-angguk, dan sekali lagi ia bergumam, “Ya. Aku memang tidak dapat
membawa kalian mengejar mereka, karena lukaku kambuh kembali.”
“Mereka meninggalkan pedukuhan
ini dalam keadaan yang parah,” sambung Samekta.
Ki Argapati berdesis-desis
perlahan-lahan, “Ya, ya.”
“Untuk sementara kita dapat
menenangkan diri Ki Gede,” berkata gembala tua itu kemudian. “Aku kira Ki
Tambak Wedi memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka-luka pasukannya.”
“Ya, ya.”
“Nah, sekarang tenangkan hati
Ki Gede. Beristirahatlah.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian seisi ruangan itu berpaling ketika mereka mendengar
langkah-langkah masuk.
Sejenak kemudian Kerti,
Wrahasta, Dipasanga, dan Hanggapati telah memasuki ruangan itu.
“Kemarilah,” desis Ki
Argapati.
Mereka pun segera mendekat.
“Bagaimana dengan kalian?”
“Baik, Ki Gede,” Wrahasta-lah
yang menjawab. “Mereka telah terusir.”
“Apakah pekerjaan kalian telah
selesai?”
“Sudah, Ki Gede. Medan telah
sepi Beberapa petugas sedang mencoba menolong orang-orang yang terluka dari
kedua belah pihak.”
Namun kening Wrahasta berkerut
ketika Ki Gede bertanya, “Di mana Gupita dan Gupala?”
Wrahasta tidak segera
menjawab. Dipandanginya setiap wajah yang ada di dalam ruangan itu. Kemudian
ditatapnya pula kerut-merut di kening gembala tua itu.
“Apakah kau tidak melihatnya?”
bertanya Ki Argapati kemudian.
Wrahasta menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Aku tidak melihatnya. Tetapi kenapa Ki Gede mencari kedua
gembala itu?”
“Aku akan mengucapkan terima
kasih kepada mereka dan kepada Ki Dipasanga dan Ki Hanggapati yang telah lebih
dahulu ada di sini.”
Dada Wrahasta menjadi
berdebar-debar. Dan jawabnya, “Ki Gede memang harus berterima kasih kepada Ki
Dipasanga dan Ki Hanggapati. Mereka berdua telah berhasil menahan Sidanti dan
Ki Argajaya. Tetapi apakah yang telah dilakukan oleh kedua gembala itu?”
“Keduanya telah bertempur,”
jawab Argapati.
“Tidak hanya mereka berdua yang
bertempur. Setiap orang ikut bertempur,” Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian,
“Sebaiknya dalam kesempatan yang lain Ki Gede mengucapkan terima kasih kepada
semua orang yang berdiri di pihak kita tanpa membeda-bedakan.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Kemudian ia menyeringai menahan pedih di dadanya.
“Wrahasta,” berkata Ki
Argapati, “kau benar. Tetapi keduanya adalah orang lain. Bukan keluarga kita
sendiri. Karena itu, seperti kepada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga, aku akan
mengucapkan terima kasih yang khusus.”
“Itu terlampau
berlebih-lebihan Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Namun ketika ia akan berbicara lagi terdengar gembala tua itu
menahannya, “Sebaiknya Ki Gede beristirahat. Ki Gede memang dapat menyimpan
ucapan terima kasih itu untuk lain kali. Sekarang sebaiknya Ki Gede
memperhatikan keadaan Ki Gede ini lebih dahulu.”
Perlahan-lahan Ki Argapati
berdesah.
“Kalau mungkin, sebaiknya Ki
Gede tidur meskipun hanya sejenak. Ki Gede akan dapat beristirahat mutlak untuk
sesaat.”
“Ya, ya,” jawab Ki Gede, “aku
akan mencoba untuk tidur.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun kemudian, “Tetapi
sebaiknya setiap orang yang turun ke medan diteliti seorang demi seorang.
Siapakah yang terluka, hilang atau gugur. Juga kedua gembala-gembala itu.”
Wajah Wrahasta menjadi tegang.
Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kalau kau ketemu dengan
anak-anak itu, panggillah mereka kemari,” berkata Ki Argapati seterusnya.
Bagaimanapun juga Wrahasta
terpaksa menganggukkan kepalanya, “Ya, Ki Gede.”
“Sekarang aku akan mencoba
beristirahat. Mudah-mudahan aku dapat meletakkan semua persoalan, sehingga aku
dapat tidur meskipun hanya sekejap.”
Orang-orang di dalam bilik itu
pun kemudian minta diri, dan mereka tinggalkan Ki Argapati terbaring ditunggui
oleh puterinya, Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi pun tidak terlampau lama
tinggal di dalam bilik itu. Sejenak kemudian ia pun minta diri, meninggalkan
ayahnya, agar ayahnya mendapat kesempatan untuk tidur barang sejenak.
Dari bilik ayahnya, Pandan
Wangi langsung pergi ke belakang. Sebagaimana biasanya, ia selalu membantu
mengerjakan pekerjaan dapur. Bahkan kadang-kadang mengambil air, memasak, serta
menanak nasi.
Namun langkahnya tertegun
ketika ia berjalan menuju ke pintu dapur. Dari celah-celah lubang pintu ia
melihat dua orang anak-anak muda sedang duduk di bawah pohon jambu. Keduanya
ternyata Gupita dan Gupala.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah ke samping dan berdiri di bibir
pintu. Karena tidak seorang pun berada di dalam ruangan yang menghadap langsung
ke pintu dapur yang tembus ke halaman belakang itu, maka, ia merasa tidak
terganggu.
Gupita dan Gupala yang tidak
merasa bahwa sepasang mata sedang memandanginya, duduk saja seenaknya. Bahkan
tiba-tiba Gupala meloncat berdiri. Dipandanginya sedompol jambu yang merah
seperti soga.
“Hee, kau lihat itu?”
desisnya.
“Ya.”
“Aku memerlukannya.”
“Seperti anak-anak. Kau pasti
akan dimarahi oleh pemilik rumah ini.”
“Huh, di jaman peperangan ini
tidak ada orang yang memikirkan hak milik atas sedompol jambu.”
Gupala tidak menunggu Gupita
menyahut. Tiba-tiba diraihnya sebutir batu.
“Tetapi terlampau tinggi,”
desisnya.
Gupita masih saja duduk di
tempatnya, seolah-olah acuh tidak acuh saja atas kelakuan adik seperguruannya.
Ia hanya berpaling ketika ia mendengar gemeresak batu yang dilontarkan oleh
Gupala.
“Meleset,” desisnya.
“Huh,” sahut Gupita, “jambu
itu tidak dapat berkisar dari tempat. Dan kau tidak dapat mengenainya.
Bagaimana kalau yang kau lempar itu dapat menghindar.”
“Kalau jambu itu dapat
menghindar, aku tidak akan melemparnya sekali lagi. Tetapi aku tantang ia
supaya turun.”
Gupita tersenyum. Tetapi ia
tidak beranjak dari tempatnya.
“Tolong, Kakang,“ desis
Gupala, “bukankah kau juara memanah di Sangkal Putung. Kau adalah pembidik yang
paling baik di seluruh Pajang.”
“Ah, Bagaimana dengan bidikan
gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi?”
Gupala menggeleng, “Entahlah.
Tetapi tolong, aku kepingin jambu itu.”
Akhirnya Gupita berdiri juga.
Diambilnya sebutir batu, dan perlahan-lahan ditengadahkan wajahnya. Sementara
Pandan Wangi memandanginya dengan berdebar-debar.
Sedompol jambu yang telah
semerah soga itu itu tergantung pada sebuah cabang yang agak tinggi. Gupala
sendiri telah gagal melemparnya dengan sebutir batu. Dan kini Gupita-lah yang
akan mencobanya.
Pandan Wangi terpaku di
tempatnya ketika ia melihat Gupita bergeser mencari arah, supaya batu yang
dilemparkannya tidak jatuh di sembarangan tempat.
Ketika Gupita mulai
menggerakkan tangannya, Pandan Wangi ikut menahan nafasnya. Bahkan tanpa
sadarnya ia pun telah bergeser ke tengah pintu.
Batu yang meluncur dari tangan
Gupita itu seolah-olah mempunyai mata. Dengan tepat batu itu mengenai tangkai
sedompol jambu yang merah segar itu, sehingga sesaat kemudian telah menghambur
berjatuhan.
Dengan tangkasnya Gupita dan
Gupala menangkap masing-masing dua buah di kedua tangan.
“Bukan main,” tanpa
dikehendakinya Pandan Wangi berdesis.
Namun ternyata suaranya itu
dapat didengar oleh Gupita dan Gupala sehingga keduanya terkejut dan berpaling.
“Maaf,” berkata Gupita, “aku
mengambil jambu tanpa minta ijin lebih dahulu.”
Pandan Wangi menjadi
tersipu-sipu karenanya. Tetapi ia tidak dapat masuk kembali tanpa menjawab
kata-kata itu.
“Tidak apa-apa. Aku mengagumi
kecakapanmu membidik. Sekali lempar kau dapat mengenai sedompol jambu itu.”
“Itu belum apa-apa,” tiba-tiba
saja Gupala menyahut, “Kakang Gupita dapat mengenai batu yang dilemparkan orang
lain ke udara. Nah, apakah kau tidak percaya. Marilah kita coba.”
“Ah,” desis Gupita, “kau
mengada-ada saja Gupala.”
“Jangan bertingkah. Ayo, kita
bermain-main.”
Gupita mengerutkan keningmya.
Gupala berbuat sekehendak sendiri dimana pun dan kapan pun, sehingga Pandan
Wangi menjadi semakin terdiam karenanya.
Karena Pandan Wangi tidak
segera menyahut, maka Gupala mendekatinya sambil mengulanginya, “Mari. Kau
melemparkan batu ke udara dan Kakang Gupita akan dapat menyentuhnya dengan batu
yang lain.”
“Tidak sekarang, Gupala,”
berkata Gupita.
“Oh,” Gupala mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba ia menyadari keadaannya sehingga perlahan-lahan ia
bergumam, “Maaf.” Namun kemudian dilanjutkannya, “Bagaimana dengan Ki
Argapati?”
Pandan Wangi menarik nafas,
jawabnya, “Ayah sudah berangsur baik. Obat ayahmu benar-benar membantunya.”
“Tentu,” sahut Gupala, “ayahku
adalah seorang dukun yang tidak ada duanya. Ia dapat mengobati segala penyakit
kecuali satu.”
“Sakit apa itu?” bertanya
Pandan Wangi.
“Lapar,” jawab Gupala sambil
tertawa.
“Hus,” desis Gupita.
“O, apakah kalian belum makan
pagi?”
Gupala tertawa, ketika ia
mendengar Gupita berkata, “Anak itu terlampau dikuasai oleh perutnya. Tetapi ia
tidak akan mau kelaparan.”
“Tetapi seandainya kalian
belum makan pagi, marilah.”
“Semua juga belum,” jawab
Gupita. “Terima kasih. Nanti kami akan berada bersama-sama dengan pengawal yang
lain.”
Gupala masih saja tertawa.
Bahkan di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “Bukan saja belum makan pagi,
sejak kemarin aku belum makan malam.”
“Benar begitu?” desak Pandan
Wangi.
“Jangan hiraukan. Terima kasih.”
“Marilah. Aku akan menjamu
kalian berdua.”
“Terima kasih,” jawab Gupita.
“Kami bukan orang-orang yang harus mendapat perlakukan khusus.”
“Jangan berpura-pura,” potong
Gupala, “yang penting bagiku sama sekali bukan makan pagi atau sore atau malam.
Tetapi aku berbangga bahwa aku akan menjadi tamu kehormatan putri Kepala Tanah
Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Gupita berdesah dan
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tanpa dapat ditahannya lagi ia
tersenyum.
Ia mendapat kesan tersendiri
atas anak muda yang gemuk itu. Kesan yang berbeda dengan kakaknya, Gupita.
Kakaknya nampak lebih bersunguh-sungguh menanggapi persoalan, meskipun
kadang-kadang ia mau bergurau juga. Namun apabila gembala itu telah bermain
dengan serulingnya, terasa bahwa hidup baginya bukan sekedar sebuah permainan.
Terasa bahwa jangkauannya dan tanggapannya tentang masalah-masalah yang
dihadapinya agak lebih dalam dan bersungguh-sungguh.
Tiba-tiba saja ia mendapat
kegembiraan bersama kedua anak-anak muda itu. Selama ini ia merasa hidup di
dalam kungkungan kemuraman. Ia tidak pernah melihat wajah-wajah yang gembira
dan cerah seperti wajah anak muda yang gemuk itu. Wajah yang kekanak-kanakan.
“Sebenarnya Ayah pun menungu
kalian,” berkata Pandan Wangi tanpa disadarinya, “tetapi kalian tidak datang ke
biliknya bersama pemimpin-pemimpin pengawal yang lain.”
“Kami bukan pemimpin
pengawal,” sahut Gupala, “kami tidak pantas untuk berada di dalam bilik itu
bersama-sama dengan para pemimpin yang lain.”
“Ah, kau,” desis Pandan Wangi.
“Tetapi kalian adalah tamu-tamu kami. Marilah. Ayah sekarang sedang tidur.
Nanti kalau Ayah sudah bangun, kalian harus segera menghadap. Sekarang, marilah
aku jamu kalian dengan makan.”
“Sekaligus makan malamku
kemarin,” potong Gupala.
Pandan Wangi tersenyum pula. Senyumnya
menjadi semakin cerah. Sudah agak lama ia tidak pernah tersenyum dan apalagi
tertawa, karena keadaan di sekitarnya. Dan kini ia merasakan dorongan di dalam
hatinya untuk tersenyum.
“Baik,” jawabnya, “makan pagi,
malam, dan siang sama sekali.”
Gupala tertawa. Suara
tertawanya lepas tidak tertahan-tahan meskipun tidak terlampau keras, sedang
Gupita ikut tersenyum pula karenanya.
Agaknya Gupala memang tidak
dapat meninggalkan kebiasaannya. Setiap kali ia selalu masuk ke dapur. Memungut
apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam mulutnya. Daging lembu, kambing, paha
ayam dan bahkan apa saja. Secukil kelapa pun boleh juga.
“Marilah,” ajak Pandan Wangi
pula.
“Jangan menolak rejeki,”
katanya kepada Gupita, “sudah aku katakan, bahwa yang penting bukan makanan
yang akan kami terima, tetapi kesempatan untuk menjadi seorang tamu.”
“Ah,” desah Pandan Wangi.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam, Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak dapat tinggal
sendiri di halaman belakang. Karena itu ia pun melangkah masuk ke dalam dapur
bersama Gupala mengikuti Pandan Wangi.
“Duduklah. Tetapi tempat ini
agak kotor.”
“Akulah yang lebih kotor
lagi.”
“Aku buatkan minum untuk
kalian, kemudian makan pagi. Tetapi aku hanya dapat menghidangkan apa yang ada
saja, karena bibi di rumah ini agaknya belum masak. Mungkin Bibi sedang mencuci
pakaian atau keluar sebentar untuk sesuatu keperluan.”
“Terima kasih. Jangan
merepotkan. Kami pun masih belum mandi. Kami akan minum saja. Nanti sesudah
mandi, barulah kami akan makan,” jawab Gupita.
“Tetapi adikmu sudah sangat
lapar.”
“Biarlah ia membiasakan diri
menahan lapar dan haus. Tetapi ia pun harus mandi dulu. Membersihkan darah yang
masih belum pampat benar.”
“Darah?” bertanya Pandan
Wangi.
“Lihat, pundakku terluka
meskipun tidak begitu dalam,” jawab Gupala sambil memperlihatkan noda-noda
darah di bajunya yang kotor dan sobek.
“Tidakkah luka itu diobati?”
“Ayahku seorang dukun. Aku
sudah dibekali dengan obat-obat yang dapat menolong luka-luka yang ringan
seperti lukaku ini.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menyiapkan minuman kedua anak-anak muda
itu ia berkata, “Sudah agak dingin. Tetapi cukuplah untuk menghangatkan perut.”
“Terima kasih.”
Pandan Wangi pun kemudian
meletakkan mangkuk-mangkuk minuman itu di amben bambu. Air sere dengan gula
kelapa. Bahkan disertai beberapa potong makanan.
“Terima kasih, terima kasih,”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku ambilkan kalian makan
kalau masih ada, meskipun sisa makan kemarin sore.”
“Kami akan mandi dahulu,”
jawab Gupita, “biarlah kami makan bersama para pengawal yang lain. Minum dan
makanan ini sudah lebih dari cukup.”
“Ya, jangan terlampau sibuk.
Duduklah. Itulah yang penting,” sahut Gupala.
“Ah,” sekali lagi Pandan Wangi
berdesah. Wajahnya menjadi ke merah-merahan seperti jambu yang menjelang tua.
Betapa inginnya Pandan Wangi
duduk bersama mereka, berbicara dan bergurau, namun ia tidak dapat
melakukannya. Sebagai seorang gadis, ia masih selalu dibayangi oleh perasaan
malu. Karena itu, ditemuinya keduanya sambil mengerjakan pekerjaan apa saja.
Membuat api, merebus air dan pekerjaan-pekerjaan dapur yang lain.
“Duduklah,” berkata Gupala,
sehingga Gupita terpaksa menggamitnya.
“Kenapa?“ Gupala malah
bertanya. “Bukankah tidak apa-apa aku mempersilahkannya duduk?”
“Sst,” desis Gupita.
“Kenapa?”
Gupita menggeleng-gelengkan
kepalanya, sedang wajah Pandan Wangi menjadi semakin merah, sehingga tangannya
menjadi gemetar.
Namun dalam pada itu, terkilas
di dalam kenangannya, masa-masa kecilnya. Terasa sepercik kesegaran menyusup ke
dalam dadanya. Seperti pada masa kanak-kanak, kakaknya Sidanti, setiap kali
berada di rumah, selalu membawanya bermain-main. Tertawa, bergurau, dan bahkan
berkejar-kejaran.
“Betapa segarnya masa
kanak-kanak itu,” katanya di dalam hati. Namun justru karena kenangan itu, maka
wajahnya pun menjadi suram. Apalagi kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan,
bahwa kakaknya, Sidanti telah memusuhi ayahnya, dan bahkan telah membakar
seluruh Tanah Perdikan ini menjadi abu.
Tetapi Pandan Wangi berusaha
menyembunyikan perasaannya terhadap kedua anak-anak muda itu. Ia tidak mau
menyeret mereka ke dalam kemuramannya. Keduanya adalah anak-anak muda yang
gembira, apalagi yang gemuk itu, seakan-akan sama sekali tidak pernah mengalami
kesulitan di dalam hidupnya, seperti di masa kanak-kanak.
Untuk mengurangi ketegangan di
hatinya, Pandan Wangi yang sedang membersihkan paga bambu itu berkata, “Nanti
kalau Ayah bangun, kalian harus segera menghadap. Ayah memerlukan kalian.”
Gupala menarik nafas, “Kau
aneh. Kau belum mempersilahkan aku makan makananmu, kau sudah akan mengusir
aku.”
Mau tidak mau Pandan Wangi
harus tersenyum. Tetapi ia senang bahwa ia dapat tersenyum, bukan sekedar
senyum yang dibuat-buat. “Maaf. Aku lupa mempersilahkan. Minumlah dan makanlah.
Di dalam geledeg itu masih ada persediaan makanan. Kalau makanan itu habis,
nanti biarlah aku tambah lagi.”
Gupala tertawa mendengarnya.
“Terima kasih.”
“Terlalu kau,” gumam Gupita.
Tetapi Gupala tidak
mempedulikannya. Ia mengambil tidak hanya sepotong makanan, tetapi dua
sekaligus. Dengan sepenuh gairah, disuapkannya makanan itu ke dalam mulutnya.
Sikap itu justru terasa
menyenangkan sekali. Kalau Gupala itu mempunyai pintu di dadanya, seakan-akan
pintu terbuka, sehingga apa yang tersimpan di dalam dadanya, dapat dilihat
tanpa selubung apa pun.
“Silahkan,” tanpa sesadarnya
ia berkata, sehingga Gupala berpaling karenanya. Sambil tersenyum ia menyahut
“Ketahuan juga agaknya.”
Pandan Wangi pun tertawa.
Tetapi suara tertawanya segera terputus, ketika ia melihat seseorang yang
bertubuh raksasa berdiri di muka pintu.
Sejenak Pandan Wangi
seakan-akan membeku di tempatnya. Sorot mata Wrahasta membayangkan hatinya yang
kurang senang melihat keadaan di dalam dapur itu. Sekali-sekali Wrahasta
memandangi kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, kemudian memandangi Pandan
Wangi dengan tajamnya.
Gupita yang melihat
kehadirannya pun menjadi berdebar-debar. Anak yang bertubuh raksasa itu tidak
begitu senang kepadanya. Karena itu untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak
dikehendaki, maka ia selalu menghindari benturan pandangan.
Tetapi Gupala mempunyai
tanggapan lain. Ia belum begitu mengenal Wrahasta, meskipun ia sudah mendengar
serba sedikit tentang raksasa itu, namun Gupala sama sekali tidak
mempedulikannya. Karena itu maka tanpa mengacuhkan gelagat di wajah Wrahasta,
Gupala berkata, “Ha, kau datang juga. Kemarilah. Makanan sudah tersedia.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Wajahnya tiba-tiba menegang. Ia sama sekali tidak senang melihat
sikap dan tingkah laku Gupala, namun dengan demikian justru ia terdiam sesaat.
“Kemarilah, jangan malu-malu.
Tidak ada orang lain. Adalah kebetulan bahwa di geledeg ada sisa makanan,”
berkata Gupala selanjutnya.
“Gupala,” bisik Gupita,
“jagalah dirimu sedikit.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Hampir saja ia menjawab peringatan Gupita kalau Gupita tidak mendahuluinya,
“Jangan berteriak. Orang ini mempunyai beberapa kelainan.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia mulai memperhatikan wajah itu. Wajah raksasa yang kaku.
“Agaknya ia tidak pernah
tertawa.”
“Sst.”
Wrahasta kemudian melangkah
masuk ke dalam dapur. Dipandanginya Pandan Wangi dengan tajamnya. Sejenak
kemudian terdengar suaranya, “Apa kerja anak-anak ini di sini?”
Pandan Wangi masih selalu mencoba
menahan dirinya. Karena itu maka jawabnya, “Mereka belum makan sejak kemarin.
Aku kasihan kepada mereka, dan aku memberikan makanan untuk sekedar mengisi
perut.”
“Hampir semua orang belum
makan sejak kemarin malam. Baru sebagian kecil saja dari mereka yang sempat
makan lebih dahulu. Pagi ini mereka masih juga belum makan. Aku baru melihat
nasi diantar ke gardu-gardu dan ke tempat-tempat peristirahatan para pengawal.
Dan di sini orang-orang asing ini mendapat perlakuan khusus yang berlebih-lebihan.
Itu tidak adil. Biar saja mereka pergi ke tempat para pengawal untuk menerima
makan mereka. Kenapa harus di sini?”
Dada Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Ia menyadari betapa penting kedudukan Wrahasta di kalangan para
pengawal. Tetapi kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya. Ia sudah terlanjur
menerima keduanya sebagai tamunya. Tiba-tiba Wrahasta datang memaki-maki.
“Nah, biarkan mereka keluar,”
sambung raksasa itu.
“Wrahasta,” berkata Pandan
Wangi, “aku sengaja membawa mereka kemari, supaya aku tidak kehilangan mereka
lagi. Bukankah kau mendengar juga, bahwa Ayah memanggil keduanya untuk
menghadap?”
“Itu hanya sekedar sopan
santun. Dan aku pun akan membawa mereka menghadap. Tetapi tidak di dapur
seperti ini. Kalau Ki Gede sudah bangun, biarlah keduanya datang ke dalam
biliknya.”
“Kalau aku ikat mereka di
sini, mereka tidak akan pergi lagi, dan kita tidak usah mencarinya.”
“Nah, itulah kepandaian putri
Kepala Tanah Perdikan ini,” sahut Gupala. “Kalau kepada kami berdua ini
disediakan makanan, minuman, apalagi ingkung ayam, maka sehari penuh kami tidak
akan beranjak dari amben ini.”
Gupita menyarik nafas
dalam-dalam, sedang Pandan Wangi menggigit bibirnya, sementara Gupala berkata
terus, “Marilah Ki Sanak. Minuman hangat dan makanan yang agak wayu sedikit,
justru membuat tubuh menjadi segar-bugar, meskipun belum mandi.”
Wajah Wrahasta justru menjadi
semakin tegang. Dengan suara yang datar ia berkata, “Tetapi tidak sepantasnya
kalian mendapat perlakuan yang khusus. Para pengawal Tanah ini pun tidak mendapat
perlakuan seperti kalian, bahkan para pemimpinnya, Paman Samekta, Paman Kerti,
dan aku sendiri.”
“Itulah bedanya,” jawab
Gupala, “aku adalah seorang tamu di Tanah ini. Tamu memang harus mendapat
perlakuan yang lain.”
“Hanya tamu yang tidak sopanlah
yang tidak menurut ketentuan dari tuan rumahnya. Ayo, jangan banyak bicara. Aku
adalah tuan rumah di atas Tanah Perdikan ini.”
“Wrahasta,” potong Pandan
Wangi, “tidak seorang pun yang akan menyangkal. Tetapi siapakah aku ini?
Siapakah Ki Argapati? Apakah mereka bukan tuan rumah? Aku telah mempersilahkan
tamu-tamuku masuk sekedar ke dalam dapur. Aku minta kau mengerti. Bukankah
karenaaAyah dari keduanya itu, luka-luka Ayah tidak merenggut nyawanya?”
Sesaat Wrahasta terdiam. Ia
memang tidak dapat menyangkal, bahwa demikianlah yang telah terjadi. Tetapi ia
pun tidak dapat mengelak lagi dari api kecemburuannya yang semakin berkobar di
dadanya. Perasaan yang demikian bagi anak-anak muda dapat menjadikan pendorong
untuk berbuat sesuatu, namun dapat juga menjadi racun yang berbahaya.
Dan Wrahasta justru menjadi
semakin bermata gelap. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Pandan Wangi.
Persilahkan tamumu meninggalkan ruangan ini. Biarlah berada di ruang sebagai
tamu yang terhormat, yang telah menyelamatkan nyawa Ki Gede. Biarlah Paman
Samekta, Paman Kerti dan para pemimpin yang lain menemuinya. Bukan kau. Kau
adalah seorang gadis. Apakah kau telah berlaku sepantasnya bagi seorang gadis?”
Dada Pandan Wangi berdesir
mendengar kata-kata Wrahasta. Agaknya Wrahasta sudah tidak dapat menahan hati
lagi, sehingga Pandan Wangi itu menjadi semakin meyakini latar belakang dari
sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Namun justru dengan demikian,
runtuhlah perasaan iba di hati gadis itu. Kemarahan yang telah merayapi
jantungnya, tiba-tiba menjadi lilih. Pandan Wangi mengenal kemampuan Gupita dan
menurut penilaiannya, tentu juga Gupala tidak akan jauh berbeda daripadanya.
Karena itu, maka perselisihan
di antara mereka harus dihindari. Menilik sifat kedua anak-anak muda itu, maka
Gupala mempunyai cara yang lain dalam menanggapi raksasa itu. Kalau Gupita
masih selalu berusaha menahan dirinya, namun agaknya Gupala akan berbuat lain.
Karena itu maka Pandan Wangi harus menjaga, agar di antara mereka tidak timbul
salah paham.
Apabila demikian, maka Gupala
pasti akan bertindak dengan sungguh-sungguh. Sudah barang tentu bahwa Wrahasta
pasti tidak akan dapat melawannya. Dan kekalahan Wrahasta akan berakibat kurang
baik bagi tanah perdikan ini.
Karena pertimbangan-pertimbangan
itulah maka Pandan Wangi kemudian mengambil suatu sikap yang kurang dimengerti
oleh Gupala, tetapi sama sekali tidak mengherankan Gupita.
“Baiklah,” berkata Pandan
Wangi kemudian, “aku memang ingin mempersilahkan kalian duduk di ruang depan
bersama ayah kalian, Paman Samekta, Paman Kerti dan yang lain-lain. Tentu saja
setelah kalian makan makanan itu.”
Gupala tercenung sejenak.
Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Wrahasta berganti-ganti.
“Oh,” Pandan Wangi berkata
pula, “atau barangkali kalian akan mandi dahulu?”
Namun Gupala menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Aku tidak perlu mandi. Aku dapat makan tanpa mandi sepuluh
hari sepuluh malam. Apalagi di peperangan.”
Dada Pandan Wangi berdesir. Ia
merasa bahwa tamunya yang gemuk itu merasa tersinggung. Itulah yang
dicemaskannya. Tetapi kalau anak itu tetap berada di dapur, maka perselisihan
yang lebih tajam mungkin akan terjadi. Justru dengan Wrahasta.
“Maaf,” jawab Pandan Wangi
kemudian, “di ruang depan telah tersedia makan dan minum. Sama sekali makan malam
kemarin dan mungkin masih ada yang lain lagi.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi tanpa disangka-sangka ia menjawab, “Yang penting bukan
makanannya. Aku berbangga bahwa aku suatu ketika menjadi tamu putri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh.”
Dada Pandan Wangi berdesir.
Ternyata anak muda yang gemuk itu sama sekali tidak mengacuhkan celerat di
wajah Wrahasta. Dan ketika Pandan Wangi menyambar sorot mata raksasa itu,
hatinya menjadi kian berdebar-debar.
Namun tiba-tiba Gupita turun
dari amben sambil berkata, “Terima kasih. Itulah yang kami harapkan. Di sini
kami telah menerima makanan dan minuman, di ruang depan kami akan menerimanya
untuk yang kedua kalinya. Baiklah kami akan pergi ke ruang depan supaya kami
tidak kehabisan.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, sekali lagi Gupita mendahului, “Kalau kau
mau, makanan itu dapat kita bawa. Bukankah begitu?”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun terasa menjadi kaku. “Apakah kalian
memerlukannya?”
Namun Gupita menggeleng,
“Terima kasih. Kami memang ingin mandi lebih dahulu.” Lalu kepada Gupala ia
berkata, “Marilah.”
Sekali lagi Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi dengan malasnya ia pun berdri dan berkata, “Aku
sebenarnya lebih senang duduk di sini. Kalau bukan yang mempersilahkan aku
masuk itulah yang mempersilahkan aku keluar, aku akan tetap tinggal di dalam
dapur.”
“Bukan maksudku mempersilahkan
kau keluar,” sahut Pandan Wangi, “namun memang sepantasnya seorang tamu berada
di ruang depan. Aku justru minta maaf bahwa aku telah mempersilahkan kalian
duduk di dapur.”
“Kau tidak perlu memakai
terlampau banyak alasan Pandan Wangi,” sahut Wrahasta tiba-tiba. “Sebaiknya kau
memang berterus terang mengusir mereka. Apakah salahnya? Kau adalah putri Ki
Gede Menoreh. Jangankan menyuruh mereka keluar dari dapur ini. Bahkan kau dapat
mengusirnya dari tlatah Menoreh.”
Sebersit warna merah membayang
di wajah Gupala. Berbeda dengan Gupita, maka tiba-tiba ia bertolak pinggang.
Pandan Wangi menjadi bingung.
Maksudnya adalah untuk mencegah perselisihan. Namun justru mereka seakan-akan
mendapat jalan untuk berbantah.
“Sudahlah,” Pandan Wangi
hampir berteriak, “kalian bukan anak-anak lagi. Di ruang dalam ayah sedang
terbaring karena lukanya dan berusaha untuk beristirahat. Di sini kalian
bertengkar tanpa ujung dan pangkal.”
Gupala masih akan menjawab
karena ia melihat Wrahasta memandanginya dengan sorot mata kebencian. Tetapi ia
tidak dapat membantah lagi ketika tangannya ditarik oleh Gupita.
“Kau mempunyai kebiasaan yang
kurang baik, Gupala,” desis Gupita. “Kalau kau sedang lapar, maka nalarmu
menjadi terlampau pendek.”
“Tidak. Ini bukan soal lapar.”
“Hus,“ Gupita berdesis sambil
menarik lengan adiknya, “marilah. Jangan membuat kesulitan. Kau di sini menjadi
seorang tamu. Kau harus tunduk kepada tuan rumah. Dan kita memang dipersilahkan
keluar dari dapur. Aku yakin bahwa Pandan Wangi tidak akan ingin menyakitkan
hati kita.”
“Memang bukan Pandan Wangi.
Anak yang kasar itulah yang memang harus mendapat pelajaran sekali-kali.”
Gupala menggeram, tetapi ia sudah menjadi semakin jauh dari pintu dapur,
“Kenapa anak itu tidak kau putar saja batang lehernya ketika kau mendapat
kesempatan untuk berkelahi.”
“Ah, kau terlalu terburu
nafsu, itulah yang selalu dicemaskan oleh Guru.”
Gupala mengumpat. Ketika ia
berpaling dilihatnya Pandan Wangi juga meninggalkan dapur, justru keluar dari
pintu belakang dan cepat melingkari sudut rumah, masuk ke pintu butulan
samping.
Sebenarnya bahwa Pandan Wangi
pun menghindari pertemuan seorang dengan seorang. Ia tidak mau tersudut dalam
kesulitan. Karena itu ketika Gupala ditarik oleh Gupita keluar dari dapur, maka
ia pun segera menyusulnya pula.
“Pandan Wangi,” panggil
Wrahasta, “aku perlu dengan kau sebentar.”
Pandan Wangi tertegun sejenak.
Sepercik keragu-raguan melonjak di hatinya. Apakah ia akan tetap tinggal di
dapur bersama Wrahasta, atau tidak. Kalau ia tetap berada di dapur, maka ia
pasti harus menjawab berbagai macam pertanyaan yang dapat membuatnya pening.
“Aku ingin berbicara dengan
kau, Wangi,” berkata Wrahasta kemudian.
Terasa tengkuk Pandan Wangi
meremang. Ia tidak dapat mengerti sendiri, kenapa ia tidak berani menyatakan
perasaannya berterus terang. Bukan karena pertimbangan-pertimbangan tentang
pertahanan Tanah Perdikan Menoreh saja, tetapi karena ia memang tidak akan
sampai hati untuk mengatakannya. Ia tidak akan sampai hati melihat Wrahasta
menjadi kecewa dan mungkin menjadi patah hati dan bermata gelap. Seandainya
kedua anak-anak muda gembala kambing itulah yang menjadi sasaran, maka hal itu
pasti akan menjadi bencana bagi dirinya sendiri karena Pandan Wangi telah dapat
menjajagi imbangan kekuatan mereka.
Ketikta Wrahasta melangkah
mendekatinya, tiba-tiba Pandan Wangi menengadahkan wajahnya, “Wrahasta, apa kau
dengar ayah memanggil?”
Wrahasta tertegun.
“Dengarlah baik-baik.” Pandan
Wangi memiringkan kepalanya, “o, aku harus segera menghadap.”
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat Pandan Wangi menghambur keluar. Tetapi terasa
hatinya berdesir. Ia sama sekali tidak mendengar suara Ki Argapati. Dan
seandainya benar, bukan jalan itu yang akan dilalui Pandan Wangi. Gadis itu
pasti akan masuk ke dalam lewat pintu masuk, bukan pintu keluar.
Tiba-tiba Wrahasta menyusul
sampai ke pintu. Ia masih melihat Pandan Wangi berputar, kemudian hilang di
balik sudut. Namun ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia melihat Gupala
dan Gupita menjadi semakin jauh di halaman belakang. Agaknya mereka akan
melalui butulan, pergi ke sungai kecil yang mengalir di pinggir padukuhan ini.
Namun hatinya menjadi semakin
tidak tenteram. Anak muda itu seakan-akan menjadi semakin rapat bergaul dengan
Pandan Wangi, dan agaknya Pandan Wangi pun menerima kehadiran mereka dengan
hati terbuka. Apalagi agaknya anak yang gemuk itu mempunyai tanggapan yang lain
kepadanya. Tidak seperti kakaknya agak lebih tenang.
“Sayang, Ki Argapati sedang
membutuhkan ayah mereka. Kalau tidak, keduanya pasti sudah aku usir dengan
paksa. Aku tidak senang melihat kehadiran mereka dipadukuhan ini,” desis Wrahasta.
“Tetapi untuk sementara aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
Pandan Wangi yang kemudian
masuk kembali ke dalam rumah itu lewat butulan samping, langsung pergi ke bilik
ayahnya. Dengan hati-hati ia memasukinya dan kemudian duduk di atas sebuah
dingklik kayu di sudut ruangan.
Perlahan-lahan ia menarik
nafas dalam-dalam. Terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Bagaimana aku harus
menghindarinya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Namun Pandan Wangi
merasa, bahwa pada suatu saat ia harus mengambil suatu sikap. Ia tidak akan
dapat untuk seterusnya menghindar dan menghindar. Karena ia menyadarinya, bahwa
bukanlah suatu penyelesaian. Pada saatnya ia harus menjawab “Ya” atau “Tidak.”
Selama ini, meskipun hanya
setitik, agaknya Wrahasta selalu berpengharapan. Sehingga apabila kelak pada
saatnya ia mendengar jawaban yang lain, maka hatinya pasti akan patah.
Akibatnya akan dapat terungkap dalam berbagai-bagai bentuk.
Karena itu Pandan Wangi
menjadi semakin bingung. Sekali-sekali dipandanginya wajah ayahnya yang pucat,
kemudian dilemparkannya tatapan matanya ke sudut bilik, ke atas sebuah
ajuk-ajuk lampu minyak. Warna yang kehitam-hitaman membayang di dinding di
sebelah ajuk-ajuk itu. Di malam hari, apabila lampu menyala, maka asapnya
selalu menyentuh dinding itu.
Pandan Wangi tidak menyadari,
berapa lama ia duduk di tempat itu. Ia seakan-akan tersadar ketika ia mendengar
desah napas ayahnya.
Dengan serta-merta Pandan
Wangi berdiri. Dihampirinya pembaringan ayahnya perlahan-lahan.
“Wangi,” desis ayahnya.
“Ya, Ayah.”
“Apakah sejak tadi kau berada
di sini?”
“Tidak Ayah. Aku sudah pergi
ke dapur dan ke luar.”
“O,” Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan, “di manakah orang-orang yang
lain?”
“Di luar, Ayah. Mereka pun
sedang beristirahat di serambi depan. Bahkan mungkin paman-paman sedang tidur
pula.”
“Kedua prajurit itu?”
“Juga di luar.”
“Dan kedua gembala muda itu?”
“Mereka berada di belakang,
Ayah. Apakah Ayah akan memanggilnya?”
Tetapi Ki Argapati
menggelengkan kepalanya, “Tidak sekarang, Wangi. Aku masih ingin beristirahat.
Tetapi badanku sudah terasa jauh lebih baik.” Ki Argaparti berhenti sejenak,
“Beritahukan kepada pamanmu Samekta. Aku memerlukannya dan para pemimpin yang
lain. Aku ingin berbicara nanti sesudah senja.”
“Baik, Ayah.” Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Ia ingin menanyakan apakah ayahnya ingin makan. Tetapi
ia cemas, kalau-kalau Wrahasta masih berada di dapur.
Namun demikian, ia terpaksa
mengesampingkan kecemasannya itu dan bertanya kepada ayahnya, “Apakah Ayah
ingin makan?”
Ki Argapati menggelengkan
kepalanya, “Tidak, Wangi. Tetapi berilah aku minum.”
Pandan Wangi pun kemudian
mendekatkan mangkuk minuman ke mulut ayahnya yang berusaha mengangkat
kepalanya.
“Terima kasih,” desis ayahnya
kemudian. “Sekarang temuilah pamanmu Samekta. Kita harus membicarakan
kelanjutan dari peperangan ini supaya kita tidak terlambat. Aku kira saat ini
Tambak Wedi dan Sidanti pun sedang memikirkan suatu cara untuk menebus
kekalahannya hari ini.”
Sebenarnyalah bahwa Tambak
Wedi yang sedang dilanda oleh kemarahan, kekecewaan, keragu-raguan, dan segala
macam perasaan yang bercampur baur, sedang duduk bersama Sidanti, Argajaya, Ki
Peda Sura, dan beberapa orang pemimpin pasukannya yang lain. Setiap kali orang
tua itu menggeram, menghentak-hentakkan tangannya dan kadang-kadang berteriak
tanpa sebab.
Sidanti adalah salah seorang
yang paling kecewa karena pasukannya harus ditarik mundur. Tetapi di hadapan
gurunya yang sedang marah itu, Sidanti sama sekali tidak berkata apa pun. Ia
mengenal tabiat guru dan sekaligus ayahnya itu dengan baik, selama ia berada di
padepokan Tambak Wedi. Dalam keadaan yang demikian, tidak seorang pun yang
berani membantahnya.
“Kita telah salah menilai,”
geramnya. “Ternyata di dalam lingkungan setan itu terdapat orang-orang yang
tidak pernah kita perhitungkan.”
Sidanti menundukkan kepalanya,
sedang Argajaya mengangguk-angguk.
“Ki Peda Sura,” tiba-tiba
Tambak Wedi bertanya, “kenapa kau menghindari lawanmu?”
“Aku tidak mau mati,” jawab Ki
Peda Sura.
“Gila. Apakah kau sudah
menjadi seorang pengecut. Di peperangan, mati adalah akibat yang wajar. Tetapi
aku memang tidak ingin kau mati. Aku ingin kau membunuh musuhmu.”
“Aku telah membunuh dan
melukai lebih dari sepuluh orang. Kalau aku tidak menghindari orang berkumis
lebat itu, akulah yang mati dan dengan demikian aku tidak dapat membunuh lagi.
Orang berkumis itu pun sebenarnya tidak begitu mengecutkan hati. Tetapi ia
bekerja bersama beberapa orang. Kerja sama yang sangat baik, sehingga aku
menghindarinya.”
Ki Tambak Wedi sama sekali
tidak menghiraukannya. Ia tidak pernah menaruh perhatian terhadap seseorang
yang berkumis. Ada seribu orang berkumis di dalam pasukan Ki Argapati.
“Kita tidak boleh menunggu
Argapati sembuh dan dapat maju ke peperangan lagi,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Kita harus cepat-cepat menyusun kekuatan. Tanpa Ki Muni dan Ki Wasi. Ternyata
mereka hanya mampu berbicara saja, berteriak-teriak. Tetapi mereka sama sekali
tidak berarti apa-apa di peperangan.”
“Ki Wasi terbunuh oleh orangnya
sendiri,” desis Argajaya.
“Itu lebih baik daripada ia
berkhianat,” jawab Ki Tambak Wedi. “Nah, kalian harus segera mempersiapkan
diri. Seluruh pasukan harus segera dapat digerakkan kembali dalam waktu yang
sangat dekat.”
Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya ragu-ragu, “Tidak mungkin terlampau cepat Ki Tambak Wedi.
Pasukan kita telah terpukul cukup parah. Aku kira kita memerlukan waktu dua
tiga hari untuk menyusun pasukan itu kembali. Kalau benar Kakang Argapati tidak
dapat bertahan, dan terjatuh di peperangan, itu berarti bahwa lukanya memang
terlampau parah. Kalau tidak, ia pasti mampu tetap berdiri sampai tidak seorang
lawan pun yang melihatnya. Karena itu, maka aku kira, dalam waktu dua tiga hari
ini, Kakang Argapati pasti masih belum akan dapat bangun.”
“Tiga hari adalah batas
terakhir,” jawab Ki Tambak Wedi. Lalu kepada Ki Peda Sura, “Bagaimana dengan
orang-orangmu?”
“Kenapa dengan mereka?”
“Aku memerlukan beberapa orang
terkuat lagi dari orang-orangmu untuk melawan setan-setan yang sekarang ada di
Menoreh ini. Kau harus menyusun kelompok-kelompok kecil dari orang-orangmu yang
terkuat.”
“Kenapa hanya orang-orangku?
Di sini ada orang-orang lain yang cukup kuat pula.”
“Tetapi kau adalah gerombolan
yang terbesar dan terpercaya. Aku lebih percaya kepadamu daripada orang-orang
lain.”
Ki Peda Sura
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Berat. Terlampau berat menghadapi orang-orang
Argapati.”
“Lalu bagaimana maksudmu?”
“Aku lebih baik menarik diri.“
“Gila. Kau gila. Dalam keadaan
serupa ini kau menarik diri? Itu juga suatu pengkhianatan.”
“Lawan-lawanmu ternyata
terlampau sulit untuk dikalahkan.”
“Tetapi Argapati sendiri sudah
hampir mati.”
“Seperti saat-saat lampau, ia
akan tiba-tiba muncul lagi di peperangan.”
“Mungkin, tetapi ia tidak akan
dapat bertempur sepenuh tenaganya.”
“Tetapi aku lebih baik membawa
orang-orangku merampok daripada harus berperang melawan Ki Argapati.”
“Gila. Itu tidak mungkin.”
“Kenapa tidak? Aku bukan
orangmu yang harus tunduk kepadamu.”
“Tetapi kita sudah membuat
perjanjian.”
“Aku ingin membatalkan
perjanjian.”
“Gila, kau gila Peda Sura. Kau
tidak dapat membatalkan perjanjian itu. Itu adalah suatu pengkhianatan. Dan kau
harus menyadari, hukuman dari seorang pengkhianat.”
“Apa?” tiba-tiba Ki Peda Sura tersenyum,
“Kau akan menghukum aku? Kau sangka aku semacam katak yang begitu saja dapat
kau injak-injak?”
“Tapi aku mampu membunuhmu.”
“Mungkin aku akan mati, tetapi
separo dari anak buahmu pasti akan mati juga. Orang-orangku yang tersisa akan
dapat memanggil beberapa orang yang dapat membakar tanahmu menjadi abu. Kami
meskipun tanpa aku, dapat menjelajahi ujung tanahmu ini sampai ke ujung yang
lain, membunuh setiap orang dan merampas semua milik mereka, selagi kau
berkelahi melawan Argapati.”
“Baik,” tiba-tiba Sidanti
tidak dapat menahan hati, “marilah kita bertempur sampai sampyuh. Biarlah kita
binasa semuanya. Apakah kau kira kau dapat menakut-nakuti kami?”
“Apakah begitu yang kau
kehendaki, Sidanti?” jawab Ki Peda Sura.
Hampir saja Sidanti meloncat menerkam
orang itu. Tetapi Ki Tambak Wedi berhasil menahannya. “Duduklah yang baik,
Sidanti.”
Sadanti menggeram, tetapi ia
duduk kembali di tempatnya. Ternyata betapa kemarahan membakar dada gurunya,
orang tua itu masih dapat lebih menahan hati daripadanya sendiri.
Peda Sura masih duduk
tenang-tenang saja di tempatnya. Bahkan ketika Sidanti telah duduk kembali ia
berkata, “Kenapa tidak kau biarkan saja anak itu mati?”
“Jangan membakar hatinya
lagi,” bentak Ki Tambak Wedi. “Kita ternyata adalah orang-orang yang paling
bodoh di dunia. Kita bercita-cita setinggi langit, tetapi kita tidak pernah
setia kepada cita-cita itu sendiri. Masalah-masalah yang tidak berarti
kadang-kadang selalu kita anggap lebih penting dan lebih berharga untuk
dipersoalkan.”
Sidanti hanya dapat
menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan sorot matanya yang membara.
Dalam pada itu Argajaya masih
mematung di tempatnya. Kadang-kadang ia mengerutkan keningnya, kadang-kadang
mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kadang-kadang ia mengeretakkan giginya.
Ki Peda Sura seolah-olah sama
sekali tidak memperhatikan orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun
ternyata orang-orangnyalah yang telah mempersiapkan diri mereka diam-diam.
“Ki Peda Sura,” berkata Ki
Tambak Wedi kemudian, “marilah kita persoalkan masalah yang sedang kita garap
sekarang. Kita sudah tidak dapat berhenti di tengah-tengah jalan. Kita harus
berjalan terus. Memang kau dapat memeras kami dalam saat-saat seperti ini.
Tetapi seperti kau, kami pun dapat berbuat dengan sikap putus asa. Kalau kita
membenturkan diri kita satu sama lain, maka akulah yang pasti akan tetap hidup.
Harapan terbesar Sidanti dan Argajaya pun akan tetap hidup pula. Kematian orang
lain dapat kami kesampingkan, apabila kami telah kehilangan arah perjuangan kami.
Tetapi tidak demikian dengan kami. Aku, Sidanti, Argajaya, dan anak-anak muda,
bahkan setiap laki-laki di atas Bukit Menoreh ini akan tetap berjuang untuk
mencapai suatu cita-cita yang telah kita pahatkan di dalam hati.”
“Cita-cita itu adalah
cita-cita kalian. Bukan cita-cita kami.”
“Benar, tetapi bukankah di
dalam perjanjian itu telah tersebutkan bahwa kau akan mendapat banyak manfaat
dari kemenangan ini? Dan bukankah manfaat itu juga suatu cita-cita bagimu?”
“Terlampau berat. Sama sekali
tidak seimbang dengan korban yang harus aku berikan.”
“Tetapi itu lebih baik
daripada kau tumpas di sini bersama-sama dengan kami. Katakanlah seperti yang
kau ramalkan, separo dari kami. Kemudian kami menyerah, dan Sidanti akan
diterima kembali oleh ayahnya. Sementara itu, kami akan menumpas sisa-sisa
orang-orangmu di sarangmu.”
“Gila. Kalian jangan mencoba
menakut-nakuti dan memperbodoh kami.”
“Dan kau jangan mencoba
berkhianat.”
“Aku akan bekerja terus buat
kau, tetapi selain yang tersebut dalam perjanjian, aku memerlukan tanahmu di
bagian selatan membujur ke timur sampai ke kali Praga.”
“Gila,” sekali lagi Sidanti
meloncat berdiri, bahkan kali ini bersama-sama dengan Argajaya. Dengan suara
yang bergetar Argajaya berkata, “Kau akan memeras kami dengan cara yang licik
itu, Peda Sura?”
Peda Sura mengerutkan
keningnya. Ia tidak dapat duduk tenang-tenang saja, karena agaknya Sidanti dan
Argajaya menjadi benar-benar marah mendengar tuntutannya itu.
“Ya, aku memang memerlukan
tanah itu.”
Mata Sidanti telah menjadi semerah
darah. Namun Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah. Duduklah. Kita tidak boleh
menjadi gila oleh kekalahan kecil yang baru saja terjadi.”
Sidanti dan Argajaya masih
saja berdiri di tempatnya.
“Dudukkah,” sekali lagi
terdengar suara Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya
menggeram, tetapi mereka duduk kembali di tempatnya.
“Permintaanmu telah membuat
kami merasa tersinggung Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Terserahlah menurut
penilaianmu. Tetapi kami tidak akan dapat membiarkan orang-orang kami mati
terbunuh di sini tanpa imbalan yang cukup.”
“Apakah kau telah merencanakan
untuk memperluas daerah perampasanmu sampai ke Mangir, Pliridan dan bahkan
langsung ke seberang Hutan Mentaok?”
Ki Peda Sura tidak segera
menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
“Begitu?” desak Ki Tambak
Wedi.
“Ya,” akhirnya Ki Peda Sura
menjawab.
“Kau gila. Kau sangka Ki Ageng
Mangir itu anak kecil yang dapat kau takut-takuti.”
“Persetan.”
“Dan kau sangka kau dapat
melawan Daruka dan orang-orangnya dari Alas Mentaok?”
“Persetan pula dengan
kelinci-kelinci kecil di Alas Mentaok itu.”
“Bagus. Kalau sudah kau
pertimbangkan masak-masak, kau tentu akan tetap pada pendirianmu.”
“Tentu. Dan itu akan lebih
baik buat kau. Kau akan mendapat seluruh Tanah Perdikan ini, selain seleret
tanah di pasisir sampai ke Kali Praga itu.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku sependapat.”
“Guru,” Sidanti tiba-tiba
memotong.
“Jangan gelisah Sidanti. Kita
tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan serupa ini. Kita harus memenangkan
peperangan ini.“
“Tetapi ……….” sambung
Argajaya.
“Itu adalah keputusanku.”
Sidanti dan Argajaya terdiam.
Namun serasa mereka menyimpan segumpal bara di dalam dada mereka.
“Jadi, kau terima syaratku,
Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura sambil menyipitkan matanya.
“Ya, aku terima syarat itu.”
Ki Peda Sura mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil memandang wajah Sidanti dan
Argajaya berganti-ganti. Wajah-wajah yang seolah-olah telah terbakar.
“Aku percaya kepadamu, Ki
Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura. “Kita adalah orang laki-laki yang
meletakkan nilai diri pada kata-kata dan perbuatan. Dan kau adalah salah
seorang yang mempunyai nama yang menggemparkan, tidak saja di sebelah Selatan
bumi Pajang, tetapi kau telah benar-benar mampu mengguncang pimpinan
pemerintahan. Karena itu, kau tidak akan menelan ludah yang telah titik di atas
tanah.”
“Ya. Aku pertaruhkan namaku
atas janjiku.”
“Terimu kasih,” sahut Ki Peda
Sura, “biarlah aku menyiapkan orang-orangku untuk peperangan yang lebih besar
dan waktu yang tidak terbatas.”
“Ya, lakukanlah. Aku
memerlukan setiap orang di dalam pasukanku. Secepat mungkin. Aku tidak dapat
menunggu sampai terlambat. Apalagi sampai orang-orang Pajang semakin banyak
berdatangan.”
Ki Peda Sura tertawa. Kemudian
ia pun berdiri meninggalkan ruangan itu, diikuti oleh beberapa orang yang lain.
Begitu Ki Peda Sura keluar
dari pintu, Sidanti dan Argajaya tidak dapat bersabar lagi. Hampir bersamaan
mereka bertanya, “Kenapa Guru memenuhi permintaan itu?”
Tetapi Ki Tambak Wedi
tersenyum. Jawabnya, “Apakah kau kira aku akan memenuhinya kelak.”
“Tetapi Kiai telah
mempertaruhkan nama Kiai.”
“O, kau sangka namaku adalah
nama yang bersih seputih kapas? Biarlah. Namaku adalah nama yang memang aku
korbankan untuk kepentingan kalian, untuk kepentingan Tanah Perdikan ini.” Ki
Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Setelah kita selesai dengan Argapati, maka
kita akan segera menyelesaikan tikus-tikus yang hanya akan meringkihkan kita
saja.”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi
kepalanya tertunduk. Ia tidak begitu senang mempergunakan cara itu. Cara
seorang pengecut.
“Jangan terlampau terikat oleh
kejantanan dalam hubungan dengan orang-orang seperti Ki Peda Sura,” berkata Ki
Tambak Wedi kemudian. “Orang itu terlampau licik. Dan kita pun harus licik pula
menghadapinya.”
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Juga Argajaya tidak berkata sepatah
kata pun lagi.
“Beristirahatlah kalian.
Sebentar lagi kalian harus bekerja keras. Menghimpun semua kekuatan yang ada.
Kalian harus segera mendapat tenaga baru dari ujung sampai ke ujung Tanah
Perdikan ini yang kira-kira dapat kita pergunakan. Kita harus mendapatkan
kekuatan sedikit-dikitnya sebanyak yang telah kita pergunakan.”
“Hampir setiap orang telah
berada di dalam barisan,” jawab Argajaya.
“Kita masih menyimpan banyak
tenaga. Kalian belum memanggil orang-orang yang berada di lereng-lereng Bukit
Menoreh dan di pesisir Selatan.”
“Aku sangsi, apakah mereka
sependirian dengan kita. Samekta pasti telah sampai ke sana pula. Dan sebagian
dari mereka pasti telah terpengaruh olehnya.”
“Kita jelajahi Tanah Perdikan
ini.”
“Baiklah,” jawab Argajaya,
“aku akan mencobanya. Aku memerlukan waktu sehari. Kemudian sehari lagi untuk
menghimpun setiap kekuatan yang telah terkumpul.”
“Di hari ketiga kita telah
siap untuk menggempur pedukuhan yang dibentengi dengan pring ori itu,” geram Ki
Tambak Wedi, lalu, “semakin cepat selesai, pasti akan semakin baik. Di pihak
Argapati pun jumlah pasukannya pasti sudah berkurang. Dan mereka tidak akan
berkesempatan untuk mendapatkannya lagi dari luar pagar itu.”
“Mudah-mudahan,” desis
Argajaya.
“Kita harus yakin,” sahut Ki
Tambak Wedi. “Nah, aku pun akan beristirahat pula. Kalian harus melakukan tugas
kalian sebaik-baiknya tanpa menunggu perintah lagi. Ingat, jagalah perasaan
kalian, sehingga tidak menimbulkan persoalan yang dapat mengganggu kekuatan
kita.”
Sidanti dan Argajaya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian mereka pun segera
pergi meninggalkan ruangan itu.
Ketika Ki Tambak Wedi tinggal
duduk seorang diri, maka tampaklah ia merenung. Ia menjadi sangat kecewa atas
kekalahan yang baru saja dialaminya. Orang-orang yang tidak diperhitungkan
ternyata tiba-tiba saja telah muncul di peperangan. Dan justru orang-orang itu
adalah orang-orang yang ikut menentukan.
“Secepatnya Argapati harus
terbunuh. Secepatnya.”
Iblis lereng Merapi itu
menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
Seperti orang yang kurang yakin, maka ia pun melihat orang-orangnya yang masih
mampu untuk bertempur di waktu-waktu yang dekat.
“Jangan berkecil hati.
Kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kecil dalam penempatan pimpinan.
Kesalahan itu adalah kesalahan yang memang sulit untuk dihindari. Tetapi kita
sekarang telah mengetahui kekuatan lawan dengan pasti. Mereka mempergunakan
orang-orang yang datang dari luar Tanah ini. Karena itu, kita harus
menghancurkan mereka, merebut tanah ini dari kekuasaan orang gila pangkat dan
derajat, sehingga melupakan kepentingan seluruh rakyat Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang-orang di dalam pasukan
Ki Tambak Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun sebagian
dari mereka menjadi ragu-ragu, namun setiap kali mereka memantapkan pendirian
mereka, “Sidanti adalah anak Argapati, dan Argajaya adalah adiknya. Mereka
bersama-sama telah melawannya. Apalagi aku. Bukan sanak bukan kadangnya. Kalau
Argapati tidak mempunyai kesalahan yang besar, maka keduanya pasti tidak akan
sampai pada perlawanan antara hidup dan mati seperti ini.”
Dengan demikian, maka mereka
pun telah menentapkan diri mereka sendiri dalam pilihannya, tanpa mengerti arti
yang sesungguhnya. Apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan itu.
Pada saat Sidanti, Argajaya
dan pembantu-pembantunya sedang sibuk mempersiapkan orang-orang mereka,
memberikan pengharapan dan beberapa macam janji-janji, dan Ki Peda Sura yang
sedang tertawa-tawa di antara anak buahnya, maka pada saat itu pula Ki Argapati
sedang berbaring di pembaringannya, dikerumuni oleh para pemimpin pasukannya.
Mereka berpaling ketika mereka
melihat seorang gadis yang memasang lampu di ajuk-ajuk di sudut ruangan.
“Duduklah pula di sini, Pandan
Wangi,” desis ayahnya.
Pandan Wangi pun kemudian
melangkah mendekat dan duduk di pembaringan ayahnya pula.
“Kita akan berbicara tentang
peperangan,” berkata ayahnya. Dan Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Kemarilah, mendekatlah
semua,” berkata Ki Argapati kepada para pemimpin itu.
Mereka pun kemudian menarik
dingklik-dingklik kayu mereka mendekati pembaringan Ki Argapati. Mereka adalah
gembala tua yang telah mengobati Ki Argapati, kedua orang pengawal Sutawijaya,
Hanggapati dan Dipasanga, kemudian Samekta, Kerti, dan Wrahasta.
Tetapi Ki Argapati masih
mencari-cari di antara mereka. Sehingga kemudian ia bertanya, “Dimana kedua
anak-anak itu?”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang
menjadi gelisah karenanya. Hampir saja ia mengatakan tentang keduanya, namun
ketika dilihatnya alis Wrahasta yang berkerut, maka ia pun mengurungkan
niatnya. “Biar orang lain sajalah yang menjawabnya,” katanya di dalam hati.
“Dimana?” ulang Ki Argapati.
“Mereka berada di halaman, Ki
Gede,” jawab gurunya.
“Suruhlah mereka masuk.”
“Sudahlah, Ki Gede, biarlah
mereka berada di halaman. Mereka hanya akan memenuhi ruangan ini saja. Biarlah
aku nanti menyampaikan kepada mereka setiap keputusan.”
“Tetapi aku belum bertemu
dengan mereka sejak pertempuran berakhir.”
“Mereka baik-baik saja, Ki
Gede. Hanya Gupala tersentuh senjata Ki Muni yang tajamnya memang bukan main.
Itulah yang telah membakar perasaannya, sehingga ia kehilangan kendali.”
“Tidak, bukan karena
kehilangan kendali,” jawab Ki Argapati. “Adalah wajar sekali, di setiap
peperangan, pada suatu saat terpaksa membasahi senjata dengan darah lawan.
Justru aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka.”
“Akan aku sampaikan kepada
mereka, Ki Gede,” berkata gembala tua itu.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak menaruh suatu kecurigaan
apa pun tentang kedua anak-anak muda itu. Ki Argapati yang masih harus tetap
berbaring itu sama sekali tidak mengerti, perasaan apa yang sebenarnya sedang
bergolak di dada putrinya, di dada Wrahasta, dan pengamatan gembala tua itu
atas kedua anak-anaknya. Gembala itu sudah mendengar cerita tentang kedua
anak-anaknya, sikap Wrahasta dan hubungan-hubungan lain yang memungkinkan
persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan. Karena itu, sebagai orang tua yang
mencoba untuk menghindari persoalan-persoalan yang tidak perlu, maka ia sudah
berusaha, membatasi kedua anak-anaknya.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati
kemudian, “kalau mereka lebih senang menunggu di luar. Aku kira yang ada di
dalam ruangan ini sudah cukup lengkap untuk mewakili setiap orang di dalam
pasukan kita.”
“Begitulah,” jawab gembala tua
itu.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung, dan sejenak kemudian ia
berkata, “Sayang, lukaku menjadi kambuh. Padahal kita sudah tersudut dalam
suatu keadaan yang harus cepat kita tanggapi.”
Mereka yang mendengar,
mengangguk-anggukkkan kepala tanpa mereka sadari. Karena apa yang dikatakan
oleh Ki Argapati itu adalah yang mereka katakan di dalam hati masing-masing.
“Kalau kita terlambat, maka
Tambak Wedi akan datang lagi bersama pasukannya yang lebih kuat.”
“Ya, Ki Gede,” jawab Samekta,
“mungkin Ki Tambak Wedi menjadi mata gelap dan berbuat semakin jauh menyesatkan
orang-orang dari Tanah Perdikan ini. Hubungan dengan orang-orang semacam Ki
Peda Sura, sebenarnya sama sekali tidak menguntungkan bagi Tanah ini.”
“Tentu. Dan tidak mustahil
apabila Ki Tambak Wedi akan terdorong semakin jauh lagi dalam hubungan itu.”
“Dengan demikian kita harus
menanggapinya secepat-cepatnya.”
“Jadi bagaimana pendapatmu,
Samekta?”
Samekta tidak segera menjawab.
Tanpa disadarinya ia berpaling, memandangi wajah gembala tua yang sedang
berkerut-merut.
“Ki Gede,” berkata Samekta
kemudian, “meskipun bukan orang Menoreh, tetapi mereka yang sudah membantu
kita, agaknya akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang baik
meskipun tidak mengikat.”
“Tentu, tentu,” sahut Ki
Argapati. “Nah, bagaimana pertimbangan kalian?”
Hanggapati, Dipasanga, dan
gembala tua itu merenung sejenak. Yang mula-mula berbicara adalah gembala tua
itu, “Kalau aku diperkenankan memberikan pertimbangan, Ki Gede, maka sebaiknya
kita tidak menunggu saja di dalam lingkungan pring ori ini. Sebelum mereka
menyadari apa yang terjadi setelah peperangan ini, sebaiknya kita menyusul
mereka, masuk kembali ke induk Tanah Perdikan ini.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Namun ia melihat setiap orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan
Wrahasta menyambung, “Ya Ki, Gede. Itu adalah jalan yang paling dekat untuk
mengambil kembali Tanah ini dari tangan mereka. Saat-saat ini mereka pasti sedang
menyusun kekuatan mereka kembali. Aku kira apabila kita menyusul mereka, mereka
pasti akan terperanjat. Sedang induk Tanah Perdikan itu justru tidak mempunyai
pagar pring ori serapat ini.”
Ki Argapati masih belum
menjawab. Tampaklah wajahnya yang suram itu menegang. Kemudian perlahan-lahan
terdengar ia berdesis, “Tetapi aku masih belum dapat bangkit dari pembaringan
ini.”
Setiap orang di dalam ruangan
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mengerti, betapa Ki Argapati
sedang dikungkung oleh luka yang parah di dadanya itu. Selain daripada itu,
mereka pun mengerti pula, bahwa Ki Gede telah memperingatkan, siapakah di
antara mereka yang sanggup untuk melawan Ki Tambak Wedi?
Karena itu, maka ruangan itu
menjadi hening sejenak.
“Tetapi,” Ki Argapati pun
kemudian berbicara pula perlahan-lahan, “kita memang tidak dapat menunggu lagi.
Soalnya sekarang, bagaimana kita harus melawan iblis yang paling licik itu.”
Gembala tua yang ada di dalam
bilik itu pun menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah sampai pada suatu batas
tertentu, di mana ia tidak akan dapat bergurau lagi. Kalau ia kali ini harus
menyatakan cirinya, maka ia pun harus menyelesaikannya sekaligus. Karena itu,
maka ia pun tidak segera menemukan suatu sikap yang mantap untuk segera menyanggupi
untuk melawan Ki Tambak Wedi.
Hanggapati dan Dipasanga pun
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka berdua tidak akan dapat
menyatakan diri mereka untuk bersama-sama melawan Ki Tambak Wedi, karena mereka
berdua pun tidak yakin, bahwa Ki Tambak Wedi dapat mereka tundukkan.
Dengan demikian maka sekali
lagi mereka yang ada di dalam ruangan itu terdiam sejenak.
“Ki Gede,” Samekta-lah
kemudian yang memecahkan kediaman mereka, “kalau Ki Tambak Wedi sempat
menyiapkan pasukannya dan bahkan mungkin menghimpun orang-orang yang masih
bertebaran di desa-desa kecil di atas Tanah Perdikan ini, entah dengan cara apa
pun yang akan ditempuhnya, maka kita akan menghadapi kesulitan.”
“Ya, aku mengerti Samekta,”
jawab Ki Argapati, “pendapat itu adalah pendapat yang paling baik saat ini.
Tetapi yang membuat kita bertanya-tanya, siapakah lawan Ki Tambak Wedi. Hanya
itu.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah gembala tua yang duduk sambil
mengangguk-angguk kecil.
“Apakah ia mampu,” desis
Samekta di dalam hatinya, “di dalam peperangan ini ternyata ia dapat mengusir
Ki Peda Sura yang tingkat ilmunya tidak terlampau jauh dibawah Ki Tambak Wedi.
Tetapi apakah ia bersedia dan mampu untuk berhadapan dengan Ki Tambak Wedi
sendiri, meskipun seandainya diperlukan satu atau dua orang untuk membantunya.”
Dalam keragu-raguan itu
Wrahasta berkata, “Ki Gede. Kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena
itu, bagaimanakah seandainya kita menyusun suatu kelompok kecil dari
orang-orang pilihan untuk menghadapi Ki Tambak Wedi?”
Ki Argapati mengangguk-angguk,
“Memang mungkin dilakukan, Wrahasta. Nah, bagaimana menurut pertimbanganmu.”
“Mungkin dua tiga orang yang
akan memimpin kelompok kecil itu. Ki Hanggapati, Ki Dipasanga, dan salah seorang
dari kami, maksudku, Paman Samekta, Paman Kerti, atau aku.”
Ki Argapati masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Lalu bagaimana pertimbanganmu
mengenai Sidanti dan Argajaya?”
“Kita dapat membuat
kelompok-kelompok serupa. Pandan Wangi didampingi oleh salah seorang dari kami,
dan yang lain bersama-sama melawan yang seorang dari mereka.”
Gembala tua yang duduk
terangguk-angguk itu pun masih juga terangguk-angguk. Ia merasakan keanehan
sikap Wrahasta ini. Di dalam susunannya sama sekali tidak disinggung-singgung
Gupala dan Gupita, juga dirinya sendiri. Tetapi gembala tua itu masih juga
berdiam diri.
“Wrahasta,” berkata Ki
Argapati itu, “pada dasarnya, pikiran itu adalah pikiran yang sebaik-baiknya.
Kita harus mengambil jalan itu untuk melawan para pemimpin di dalam pasukan Ki
Tambak Wedi. Hanya mungkin kau masih melupakan beberapa orang yang ada diantara
kita. Dukun tua ini, dan kedua anak-anaknya.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Dipandanginya gembala tua itu. Kemudian katanya, “Kita akan berterima
kasih kalau ia bersedia membantu kita Ki Gede. Kita masih mempunyai seorang
lawan. Ki Peda Sura. Biarlah mereka bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Katanya, “Wrahasta, bukankah kau tahu, bahwa gembala tua itu seorang
diri dapat mengalahkan Ki Peda Sura, dan salah seorang anaknya bersama-sama
dengan Pandan Wangi mampu melukainya? Kau dapat mengambil kesimpulan,
kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk peperangan ini.”
“Itu adalah pertimbangan yang
bijaksana,” sahut Kerti, “Ki Sanak ini memiliki kemampuan di atas kita.
Setidak-tidaknya ia mampu melawan Ki Peda Sura. Nah, bagaimana kalau pikiran
Wrahasta itu mendapat perubahan sedikit. Maksudku, biarlah dukun tua ini
menempatkan diri bersama satu dua orang untuk melawan Ki Tambak Wedi.”
Dada Wrahasta menjadi
berdebar-debar. Sebenarnya ia mengakui, bahwa memang kemungkinan itulah yang
paling baik. Tetapi dengan demikian, kedudukan gembala itu akan menjadi semakin
kuat, sehingga kedua anak-anaknya pun menjadi semakin mantap pula berada di
lingkungan Tanah Perdikan ini. Padahal bagi Wrahasta, kedua anak-anak gembala
itu merupakan duri yang serasa selalu menyengat dagingnya.
Hampir saja Wrahasta berteriak
menolak pendapat Kerti itu. Namun ternyata ia tidak dapat mencari alasan yang
lebih baik lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan jawaban ia menundukkan
kepalanya untuk menyembunyikan kesan di wajahnya.
Yang terdengar adalah suara Ki
Argapati lambat, “Pendapatmu tepat Kerti. Tetapi biarlah aku bertanya
kepadanya, karena ia seorang tamu bagi kita di sini, apakah ia bersedia
melakukannya. Seandainya ia bersedia, maka aku percaya, bahwa ia tidak
memerlukan orang lain untuk melawan Ki Tambak Wedi.”
Kerti mengerutkan keningnya.
Kemudian mengangguk perlahan. Dipandanginya wajah gembala tua yang masih
menunduk itu. Kemudian wajah Ki Argapati yang pucat. Ketika terpandang olehnya
wajah Wrahasta, maka orang tua itu melihat sepercik kekecewaan membayang di
sorot matanya.
Tetapi Wrahasta tidak dapat
mencegah pertimbangan Ki Argapati itu. Karena ia tidak akan dapat membuat
kemungkinan yang lebih baik daripada itu.
Ruangan itu menjadi hening
sejenak. Mereka seakan-akan menunggu sikap gembala tua yang masih tetap berdiam
diri itu.
“Bagaimana pendapat Ki Sanak?”
bertanya Ki Argapati. “Kau sudah mendengar apa yang seharusnya aku katakan
kepadamu.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam.
“Tidak ada kemungkinan lain
yang lebih baik daripada itu. Kami sudah tidak dapat melihat kekuatan di atas
bukit ini yang mampu untuk melakukannya.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai pertimbangan telah memenuhi dadanya.
Namun akhirnya ia sampai pada kepentingan yang lebih dekat pada diri sendiri.
“Aku seharusnya tidak
melibatkan diri terlampau jauh di dalam persoalan ini,” katanya di dalam hati.
“Tetapi apabila aku melepaskan kemungkinan kali ini, maka akibatnya akan
menjadi sangat jauh. Memang tidak ada orang yang dapat ditempatkan di ujung
pasukan untuk melawan Ki Tambak Wedi. Kalau aku tidak bersedia melakukannya
kali ini, maka sudah pasti, bahwa perjuangan Ki Argapati tidak akan segera
berhasil. Bahkan mungkin pada suatu ketika Ki Tambak Wedi akan berhasil
menguasai seluruh daerah perbekalan pasukan pengawal ini, sehingga lambat atau
cepat, Menoreh akan jatuh ke tangannya pula. Akibatnya tidak hanya akan
berpengaruh di atas tanah ini, tetapi pasti akan sampai ke seberang Kali Praga.
Apalagi Alas Mentaok yang akan tumbuh. Mangir, Pliridan, dan akan sampai pula
ke sebelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya.”
Gembala tua itu menarik nafas.
Bahkan terbayang di kepalanya, Ki Tambak Wedi akan terus melawat ke Timur, ke
Pajang dan daerah di sekitarnya. Apalagi agaknya Pajang baru disaput oleh awan
yang suram, sepeninggal Ki Gede Pemanahan.
“Bagaimana Kiai?” bertanya Ki
Argapati kemudian karena gembala tua itu masih belum menjawab.
Perlahan-lahan orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bertanya, “Tetapi apakah kalian
percaya kepadaku bahwa aku akan dapat melawan Ki Tambak Wedi.”
Ki Argapati yang sedang
terluka itu tersenyum. Katanya, “Betapa kami dapat menduga akhir dari
pertempuran itu? Namun menurut perhitunganku, maka kau akan dapat melakukannya.
Bagaimanapun kau mencoba merendahkan dirimu, tetapi kami tidak akan salah
memandang kemampuan yang ada padamu, Kiai.”
“Hem,” gembala tua itu menarik
nafas. Sekilas disambarnya wajah Wrahasta yang tegang.
“Kami sangat mengharap
bantuanmu, Ki Sanak,” berkata Ki Argapati. “Mungkin kau mentertawakan aku,
bahwa dalam penyelesaian Tanah ini aku harus mencari bantuan kepada orang
lain.” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi Tanah ini berada dalam
keadaan darurat. Kami harus melawan kekuatan yang membahayakan. Dan kami tahu,
bahwa kau dan anak-anakmu pun mempunyai tujuan serupa.”
Gembala tua itu tidak segera
menjawab. Ia masih dicengkam oleh kebimbangan.
“Kami, seluruh tanah perdikan
ini menunggu keputusanmu,“ desis Ki Argapati.
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Ia tidak sependapat dengan Ki Argapati, yang seolah-olah
menggantungkan nasib tanah perdikan ini kepada orang tua itu.
“Apakah yang dapat
dilakukannya tanpa kami? Tanpa seluruh pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para
pemimpinnya?”
Namun dadanya berdesir ketika
ia mendengar justru orang tua itu yang mengucapkannya. Katanya, “Apakah artinya
aku seorang diri, Ki Gede? Kekuatan Menoreh terletak pada para pengawalnya.
Kalau aku kemudian ikut serta di dalamnya, aku hanyalah setitik air di dalam
lautan.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Wrahasta yang tegang itu menundukkan kepalanya, seolah-olah
orang tua itu melihat isi dadanya dan telah menyebutkannya.
Namun dengan demikian,
Wrahasta melihat suatu kelebihan pada orang tua itu. Orang tua yang oleh
orang-orang Menoreh sendiri telah dianggap sebagai satu-satunya penolong yang
dapat melepaskan tanah ini dari bencana, ternyata orang itu sendiri tidak
melepaskan pengakuan, bahwa sebenarnya kekuatan terbesar adalah terletak pada
orang-orang Menoreh sendiri.
“Kiai,” berkata Ki Gede, “kau
memang seorang yang aneh. Tetapi baiklah aku bertanya sekali lagi, apakah kau
bersedia bekerja bersama kami mengalahkan kekelaman maksud Ki Tambak Wedi untuk
menguasai Tanah ini?”
Gembala tua itu termenung.
Namun kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak-gerak. Sambil
mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Baiklah, Ki Gede. Lepas dari masalah Tanah
Perdikan Menoreh, aku memang mempunyai persoalan dengan orang itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Persoalan apakah yang telah melibat kalian?”
Gembala itu menggelengkan
kepalanya, “Persoalan yang langsung dan bahkan terlampau pribadi.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, persoalan yang terlampau pribadi.” Ia
berhenti sejenak, kemudian, “Adalah kebetulan sekali. Kebetulan bagi tanah
perdikan ini, bahwa kau berada di sini dengan persoalanmu itu, sehingga kau
akan terlibat dalam pertentangan di antara keluarga Menoreh.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah,” berkata Ki Argapati,
“masalah yang lain tidak akan terlampau sulit. Gembala tua ini akan langsung
berhadapan dengan iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Aku percaya kepadanya
dan aku sama sekali tidak meragukan kemenangan yang bakal datang.”
Beberapa orang di dalam
ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pandan Wangi menunggu keputusan
ayahnya dengan hati yang berdebar-debar. Dan ia melihat, bahwa pembicaraan itu
agaknya sudah akan segera selesai.
Namun sekilas Pandan Wangi
melihat juga wajah Wrahasta yang menegang. Dan Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar karenanya. Apabila pada suatu ketika Wrahasta tidak dapat mengekang
dirinya lagi, maka akibatnya tidak akan menyenangkannya, dan bahkan tidak akan
menyenangkan bagi tanah perdikan ini.
“Setiap unsur di dalam pasukan
ini memang menentukan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. “Apabila salah
satu dari unsur-unsur ini tanggal, maka akibatnya akan membuat kita menyesak
untuk waktu yang lama. Agaknya kekuatan yang ada di dalam pasukan ini terlampau
terbatas, sehingga kita memerlukan seluruhnya. Tidak boleh ada satu pun yang
tinggal.”
Dalam pada itu Pandan Wangi
mendengar gembala tua itu berkata, “Aku berterima kasih atas kepercayaan ini,
Ki Gede. Selanjutnya marilah kita bersama-sama berdoa, mudah-mudahan kita
berhasil kali ini.”
“Ya, kita akan bersama-sama
berdoa,” sahut Ki Argapati. “Kita merasa bahwa kita berada dipihak yang benar.”
Ki Argapati itu berhenti sejenak, kemudian, “Kita harus segera menentukan,
kapan kita akan berangkat. Aku akan ikut dalam pasukan itu.”
“Ki Gede,” setiap orang
terperanjat mendengar keinginan itu. “Ki Gede masih belum sehat sama sekali.”
“Tetapi aku adalah Kepala
Tanah Perdikan ini. Dalam peperangan yang menentukan, aku tidak boleh duduk
bertopang dagu.”
“Ki Gede tidak sedang
bertopang dagu,” desis gembala tua itu. “Sedang duduk saja Ki Gede masih
terlampau sulit. Bagaimana Ki Gede dapat bertopang dagu sambil berbaring?”
“Hem,” Ki Gede menarik nafas.
Katanya kemudian, “Tetapi aku ingin memimpin penyerangan itu. Aku ingin ikut
memasuki induk tanah perdikan itu bersama pasukanku.”
“Bagaimana hal itu dapat
dilakukan, Ki Gede?” bertanya Samekta.
“Samekta,” berkata Ki Gede,
“kau harus menyiapkan sekelompok kecil pengawal yang dapat kau percaya. Aku
akan pergi bersama mereka dengan sebuah tandu. Aku harus memimpin sendiri
peperangan ini. Sementara aku mempercayakan perlawanan langsung atas Ki Tambak
Wedi kepada dukun tua ini.”
“Ayah,” desis Pandan Wangi,
“sebaiknya Ayah tinggal di sini. Kami yang berangkat ke medan, akan selalu
mencoba berbuat sebaik-baiknya. Kami mengharap bahwa salah seorang dari kami
akan dapat menghadap Ayah untuk melaporkan bahwa kami telah merebut kembali
padukuhan induk itu.”
Tetapi Ki Argapati menggeleng,
“Tidak. Aku adalah seorang prajurit bagi tanah perdikan, sehingga aku harus
berada di medan.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Ki Gede akan mengganggu tugas yang telah dipercayakan
kepadaku. Aku harus memperhatikan nenggala Ki Tambak Wedi di satu pihak, di
lain pihak aku harus memperhatikan obat yang harus aku sediakan buat Ki Gede.”
Ki Argapati mengusap keringat
di keningnya. Katanya, “Tidak. Di peperangan aku tidak memerlukan apa pun juga.
Entahlah setelah peperangan itu selesai.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya niat Ki Argapati sudah tidak dapat dihalanginya lagi.
Sehingga, karena itu maka katanya, “Ki Gede, memang suatu kebahagiaan bagi
seorang prajurit dalam keadaan perang seperti ini, apabila ia berkesempatan
untuk memimpin pasukannya langsung di medan perang. Karena itu, apabila Ki Gede
memang ingin berada di medan, dan itu sudah menjadi suatu keputusan, kami tidak
akan dapat mencegahnya. Namun kita tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena
itu, aku ingin mengusulkan, apabila Ki Gede benar-benar akan berada di
peperangan, maka pengawalan terhadap Ki Gede harus sempurna. Menurut pendapatku
tidak ada orang yang paling tepat untuk memimpin pengawalan itu selain Angger
Pandan Wangi.”
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Dipandanginya wajah gembala tua itu sejenak, kemudian kepalanya itu
pun tertunduk lagi. Ia dapat mengerti pikiran gembala tua itu, dan ia sendiri
sama sekali tidak berkeberatan untuk selalu berada, di samping ayahnya. Memang
tidak ada orang yang dapat dipercayanya lebih dari dirinya sendiri.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti dan aku sama sekali tidak
berkeberatan. Aku minta kecuali Pandan Wangi, Samekta harus juga selalu berada
di dekatku. Kau akan menjadi saluran pimpinanku atas pasukanku.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Baiklah, Ki Gede.”
“Nah, selanjutnya terserahlah
kepadamu, siapakah yang akan kau bawa di dalam kelompok kecil di sekitarku.”
“Baik, Ki Gede,” jawab
Samekta.
“Selanjutnya, kita harus
segera bersiap sejak sekarang. Kita akan datang ke induk tanah perdikan itu di
malam hari, supaya perasaanku tidak terpengaruh oleh keadaan di sekitar rumah
itu, setidaknya masih ada satu dua orang di sekitar padukuhan itu yang aku
kenal baik sebelumnya.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Siapkan susunan
barisanmu Samekta. Besok malam kita akan menyusul orang-orang Ki Tambak Wedi.
Tempatkan kedua anak-anak muda yang bernama Gupala dan Gupita itu sebagai lawan
Ki Peda Sura. Kalau mereka segera berhasil, maka mereka akan segera dapat
membantu Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang masih harus berhadapan dengan
lawan-lawannya yang lama.”
Dengan serta-merta gembala tua
itu mengangkat wajahnya. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya
ia mengharap biarlah kedua muridnya itulah yang berhadapan dengan Sidanti dan
Argajaya. Tetapi apabila demikian yang dikehendaki oleh Ki Gede, ia tidak akan
dapat merubahnya. Perintah itu sudah terucapkan, sehingga apabila ia berusaha
untuk merubahnya, maka mungkin sekali perasaan kedua pengawal Sutawijaya itu
akan tersinggung karenanya.
Maka gembala tua itu pun
kemudian menundukkan kepalanya kembali sambil mengangguk-angguk kecil. Tetapi
ia tidak berkata apa pun lagi. Agaknya pembicaraan itu memang sudah selesai.
Mereka hanya tinggal melaksanakannya. Dan mudah-mudahan pelaksanaannya dapat
sesuai dengan rencana itu.
Dalam pada itu terdengar Ki
Gede Menoreh berkata kepada Samekta, “Kau harus menjaga rapat-rapat, agar
rencana ini tidak terdengar oleh lawan. Setiap pengawal harus ikut bertanggung
jawab, bahwa kita akan berhasil masuk ke induk tanah perdikan. Tetapi kau tidak
perlu memberitahukan sekarang, kapan kita akan berangkat. Kau wajib mempersiapkan
mereka, tanpa mereka ketahui waktu yang telah kita pilih. Sebab siapa tahu, di
antara mereka ada orang-orang yang akan berkhianat.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Baik, Ki Gede.”
“Nah, aku kira pembicaraan
sudah selesai. Kalian akan melakukan tugas kalian masing-masing. Ingat, rahasia
ini harus dipegang teguh apabila kita ingin berhasil.” Ki Argapati berhenti
sejenak, kemudian, “Dan sebaiknya kau mengirimkan beberapa orang petugas sandi.
Kita harus tahu, bahwa mereka tidak akan mendahului kita. Seandainya rencana
waktu yang kita tentukan bersamaan, kita harus segera mengambil keputusan.”
“Baik, Ki Gede. Beberapa orang
akan berusaha menghubungi orang-orang yang masih setia kepada Tanah ini, yang
mungkin dapat memberikan keterangan.”
“Setidak-tidaknya para petugas
dapat mengawasi gerakan mereka, apalagi apabila mereka akan menyerang padukuhan
ini.”
“Ya, Ki Gede.”
“Baklah. Aku kira pembicaraan
ini memang telah selesai.”
Samekta, Kerti, dan Wrahasta
segera keluar dari ruangan itu. Kemudian disusul oleh Hanggapati dan Dipasanga.
Yang terakhir adalah gembala tua itu setelah melihat luka-luka Ki Argapati.
“Mudah-mudahan obatku
menolong,“ katanya.
“Aku menjadi semakin baik,”
sahut Ki Argapati.
“Beristirahatlah
sebanyak-banyaknya. Waktu kita hanya tinggal malam ini dan sehari besok. Di
malam berikutnya kita sudah berada di peperangan.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Kiai. Aku akan tidur semalam suntuk dan
apabila mungkin ditambah dengan sehari besok.”
Gembala itu tersenyum.
Katanya, “Tetapi apabila Ki Gede tidak bangun pada saat kami berangkat, Ki Gede
akan kami tinggalkan di padukuhan ini.”
Ki Gede Menoreh tertawa, “Aku
akan bangun pada saatnya.”
Gembala itu pun kemudian
meninggalkan ruangan itu pula. Sehingga di dalam bilik itu tinggallah Ki
Argapati ditunggui oleh puterinya, Pandan Wangi.
“Kalau kau ingin beristirahat,
tinggalkan aku sendiri, Wangi,” berkata ayahnya.
Pandan Wangi memandang wajah
ayahnya yang pucat, meskipun sudah tidak mencemaskannya seperti pada saat
ayahnya keluar dari peperangan dalam keadaan pingsan.
“Ayah memang terlalu keras
hati,” desis Pandan Wangi. “Dalam keadaan demikian, masih juga ia ingin berada
di medan.”
“Kalau kau ingin tidur,
tidurlah Wangi,” ulang ayahnya.
“Apakah Ayah tidak memerlukan
sesuatu?”
“Sediakan minumku saja.”
“Baik, Ayah.”
Pandan Wangi pun kemudian
meletakkan minum ayahnya di atas dingklik kayu dekat di pembaringannya.
Kemudian ia pun keluar dan bilik ayahnya.
Tetapi ternyata Pandan Wangi
tidak segera pergi tidur ke biliknya. Tanpa disengajanya, ia telah berjalan ke
ruang depan. Ia tertegun ketika ia melihat beberapa orang masih duduk sambil
berbincang. Mereka adalah Hanggapati, Dipasanga, dan gembala tua itu.
“Apakah Ki Argapati memerlukan
kami, Ngger?” bertanya gembala tua itu.
“Tidak, Kiai, Ayah akan
beristirahat.”
“O, sebaiknya kau pun
beristirahat pula,” sahut Ki Hanggapati.
“Ya, aku pun ingin tidur,”
Pandan Wangi menjawab. “Aku hanya sekedar menengok, apakah Paman-paman tidak
juga ingin beristirahat?”
“Sebentar lagi kami pun akan
tidur,” jawab Dipasanga.
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Silahkan, Paman. Aku akan beristirahat dulu.”
Pandan Wangi pun kemudian
masuk ke ruang dalam. Tetapi serasa ada yang memaksanya untuk tidak segera masuk
ke dalam biliknya. Kakinya seakan-akan telah membawanya ke belakang dan tanpa
sesadarnya, gadis itu telah membuka pintu butulan. Tetapi ia tidak melihat
sesuatu. Sepi. Sepi sekali.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam.
Terasa angin yang silir telah
menyentuh tubuhnya, membelai rambutnya yang kusut. Tiba-tiba terasa tubuhnya
menjadi segar. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam.
“Alangkah segarnya udara
diatas Tanah ini,” desisnya, “tanah yang harus dipertahankan sampai kemungkinan
yang terakhir.”
Pandan Wangi pun kemudian
melangkah surut. Kemudian menutup pintu kembali sambil berdesah. Dan tiba-tiba
saja ia pun menguap.
Dengan langkah satu-satu dan
kepala tunduk, Pandan Wangi pergi ke biliknya. Kini terbayang di dunia
angan-angan, pertempuran yang dahsyat di induk tanah perdikan ini. Padukuhan
besar yang beberapa saat yang lampau terpaksa dilepaskan karena tekanan pasukan
Ki Tambak Wedi yang tidak tertahankan pada saat ayahnya sedang berperang
tanding, di bawah Pucamg Kembar.
“Kami harus merebut Tanah itu
kembali, dan seluruh tanah perdikan ini.”
Pandan Wangi pun kemudian
masuk ke dalam biliknya. Perlahan ia meletakkan dirinya di pembaringan tanpa
melepaskan sepasang pedang di lambungnya.
Demikian lelah gadis itu,
sehingga sejenak kemudian ia pun telah tertidur nyenyak. Jarang sekali ia dapat
tidur senyenyak itu sejak kemelutnya api pertengkaran di antara keluarga di
atas Bukit Menoreh ini. Setiap kali ia selalu diganggu oleh berbagai macam
kepedihan perasaan dan kecemasan tentang masa depan Tanah ini. Namun kini
Pandan Wangi serasa mendapatkan suatu kepastian, bahwa ayahnya pada suatu saat
akan dapat mengembalikan keutuhan Tanah ini meskipun harus melalui banyak
sekali rintangan dan kesulitan.
Dalam pada itu dua orang
anak-anak muda sedang duduk bersandar sebatang pohon rambutan di halaman
belakang. Meskipun mereka sudah terkantuk-kantuk, namun mereka masih juga
berbicara dengan suara yang parau. “Kenapa ia hanya sekedar membuka pintu
kemudian masuk lagi?” bertanya Gupala.
“Bertanyalah kepadanya,” jawab
Gupita.
Gupala tersenyum. Katanya,
“Mungkin gadis itu mencari aku. Tetapi karena ia tidak melihat seseorang karena
kita terlindung oleh kehitaman bayang-bayang, maka ia segera masuk kembali.”
“Ya.”
“He? Begitukah kira-kira?”
“Ya.”
“Persetan, kau tidur?”
Gupita mengusap matanya.
Sebenarnya ia lebih suka tidur dari pada berbincang tanpa ujung dan pangkal.
“Pembicaraan pasti sudah
selesai. Mari kita mencari Guru. Mungkin kita akan mendapat tugas baru.”
“Sebentar. Aku masih menunggu
kalau-kalau gadis itu membuka pintu itu kembali.”
“Kau sudah menjadi gila.
Terserahlah kau. Aku tidak tahan gigitan nyamuk yang tidak terhitung
jumlahnya,” desis Gupita.
“Huh, apa katamu seandainya
kau menjadi seorang prajurit? Mungkin pada suatu saat kau harus mengendap
mengintai musuh di tanah yang berawa-rawa? Mungkin tidak hanya sehari dua hari,
tetapi berpekan-pekan, bahkan berbulan-bulan?”
“Tetapi sekarang kita tidak
sedang mengintai musuh. Kau mengintai menurut seleramu sendiri.”
Gupala tertawa. Jawabnya,
“Baiklah. Kau menjadi pemarah sekarang. Marilah kita mendapatkan Guru di ruang
depan. Mungkin Guru sudah menanti kita pula.”
Gupita tidak menjawab.
Tertatih-tatih ia berdiri sambil mengibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu.
Kemudian mereka pun berjalan di antara pepohonan di kebun menuju ke ruang
depan.
Tetapi langkah mereka
tertegun, ketika mereka melihat Guru mereka sedang turun dari tangga pendapa,
seorang diri.
“Guru,” desis Gupala.
Gurunnya berpaling. Kemudian
katanya, “Marilah kita beristirahat. Kita akan segera mendapat pekerjaan yang
penting besok malam.”
“Dimana kita akan tidur?”
“Di gardu.”
“Di regol desa? Apakah
kira-kira kita dapat tidur di sana?”
“Kita tidak akan pergi ke
regol desa. Di sana terlampau, banyak orang. Kita akan berbicara saja sepanjang
malam,” jawab orang tua itu. “Kita akan pergi ke regol di perapatan sebelah.
Kita akan menumpang tidur. Di situ hanya ada dua orang penjaga, karena tempat
itu bukan tempat yang dianggap penting.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kaki mereka pun melangkah
menyusur jalan desa, menuju ke gardu di perapatan.
Kedua peronda digardu itu
dengan senang hati menerima mereka bertiga. Dengan demikian maka mereka
mendapat kawan di malam yang terlampau sepi itu, meskipun, ketiganya hanya
sekedar datang untuk tidur.
“Tidurlah,” berkata peronda
itu, “aku akan menjaga kalian. Kalau ada nyamuk yang akan menggigit kalian,
biarlah aku bunuh sekali.”
Yang mendengar kata-kata itu
pun tertawa. Tetapi Gupala tidak mempedulikannya. Langsung saja ia membaringkan
dirinya di atas jajaran bambu apus tanpa galar. Meskipun demikian, terasa
tubuhnya menjadi nyaman di sejuknya angin yang silir.
“Apakah aku harus berdendang
pula,” bertanya salah seorang peronda.
“Jangan,” jawab Gupala antara
sadar dan tidak, “suaramu seperti gerobag di jalan yang berbatu-batu.”
Peronda itu pun tertawa, dan
Gupala berdesis, “Jangam ribut. Aku akan tidur. Besok aku harus bangun
pagi-pagi, sebelum matahari terbit, supaya aku tidak kamanungsan.”
Peronda-peronda itu masih saja
tertawa, tetapi mereka tidak menjawab lagi. Dibiarkannya mereka bertiga
berbaring bersama-sama. Kemudian mereka tidak mengusiknya lagi ketika ketiga
orang itu mendekur. Tidur.
Sementara itu Samekta, Kerti,
dan Wrahasta masih sibuk menghubungi para pemimpin kelompok pasukan Pengawal
Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengatur segala sesuatu yang perlu.
Mempersiapkan mereka dengan segala perlengkapan dan senjata.
“Kalian harus dapat mengatur
anak buah kalian,” berkata Samekta. “Sebagian dari mereka harus mendapat
kesempatan beristirahat. Berganti-ganti sehingga mereka akan mendapat tenaga
baru apabila setiap saat diperlukan.”
Para pemimpin kelompok itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, kalian pun harus
beristirahat pula,” berkata Kerti. “Sebentar lagi kami juga akan beristirahat.
Namun setiap saat kita harus siap untuk bertempur.“
Para pemimpin tertinggi
pasukan pengawal itu pun kemudian berpencar. Mereka mendapat bagian tersendiri
agar tugas mereka segera selesai, karena mereka pun memerlukan waktu untuk
sekedar beristirahat.
Padukuhan itu pun kemudian
semakin lama menjadi semakin sepi. Hanya para peronda dan para petugas sajalah
yang masih tetap di tempatnya. Sekali-sekali mereka berdua atau bertiga,
berjalan mengelilingi padukuhan mereka, singgah dari gardu ke gardu dan dari
perondan ke perondan yang lain.
Ketika fajar memerah di ujung
Timur, para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terbangun dan
langsung membenahi diri mereka. Kemudian seperti biasanya mereka memencar
mengelilingi padukuhan yang diputari oleh pring ori itu.
Para prajurit dan para
pemimpin kelompok pun telah terbangun pula. Demikian juga gembala tua yang
tidur di gardu perondan di perapatan.
“Aku akan pergi ke parit,”
desis gembala tua itu.
“Aku juga, Guru,” berkata
Gupita.
“Marilah. Bagaimana dengan
Gupala?“
Gupala menggeliat. Namun ia
berkata, “Aku juga. Tetapi pergilah dahulu. Aku akan segera menyusul.”
Ketika guru dan kakak
seperguruannya pergi meninggalkan mereka, maka Gupala melingkar lagi di gardu
perondan itu dan tanpa disadarinya, ia telah tertidur lagi.
Gupala tidak melihat ketika
Wrahasta datang ke gardu itu bersama dua orang pengawal.
“He, siapa yang masih tidur
itu?” ia bertanya kepada kedua peronda yang berdiri di muka gardu.
“Gupala,” jawab salah seorang
dari mereka.
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Ia tidak begitu suka kepada anak yang gemuk itu seperti juga kepada
kakaknya. Bahkan anak yang gemuk ini agak lebih banyak bicara. Karena itu untuk
melepaskan perasaannya, tiba-tiba ia memukul lantai gardu, itu sambil
berteriak, “He, siapa yang masih tidur di tengah hari ini?”
Gupala benar-benar terkejut.
Meskipun lamat-lamat ia telah mendengar pembicaraan Wrahasta dan kedua peronda
di gardu itu, dan dengan sengaja ia tetap berselimut kain panjangnya, namun ia
tidak mengira bahwa Wrahasta akan membentaknya begitu keras sambil memukul
gardu itu sehingga berderak-derak.
Meskipun demikian, Gupala
tidak cepat-cepat bangkit dan meloncat turun. Bahkan sekali lagi ia menggeliat
sambil bertanya, “Siapa yang berteriak-teriak di pagi buta ini, he?”
“Bangun anak malas. Cepat!
Semua orang telah sibuk dengan berbagai macam pekerjaan, dan kau masih saja
tidur mendekur. Kau kira gardu ini disediakan untuk pemalas seperti kau.”
Perlahan-lahan Gupala bangkit.
Ditatapnya wajah Wrahasta yang tegang. Namun kemudian anak yang gemuk itu
menguap. Katanya, “Semalam aku bangun sampai lewat tengah malam. Sekarang aku
masih terlampau kantuk.”
“Setiap orang di sini bangun
sampai lewat tengah malam. Bahkan aku hampir tidak tidur semalam suntuk. Kau
orang asing di sini, dan kau tidak dapat bermalas-malasan saja. Kau harus
mengikuti arus kesibukan yang ada di padukuhan ini.”
“Eh, bukankah aku seorang
tamu?” bertanya Gupala.
“Kau bukan seorang tamu yang
kami harapkan di sini.”
“Bohong! Ki Argapati
memerlukan ayahku dan kami berdua bersama Kakang Gupita. Kami berdua telah
membantu kalian di dalam peperangan. Apakah dengan demikian, kau menganggap
kami sebagai pemalas yang hanya dapat mengurangi rangsum nasi para pengawal
tanah perdikan ini?”
Dada Wrahasta berdesir
mendengar jawaban itu. Memang telah ternyata bahwa anak yang gemuk inilah yang
telah membunuh Ki Muni, dan bahkan anak yang gemuk ini telah terlukai pula.
Karena itu, sejenak Wrahasta terbungkam. Namun ketika terkilas di dadanya,
perhubungan yang semakin baik antara kedua anak-anak muda itu dengan Pandan
Wangi, maka hatinya telah mulai memanas lagi.
“Aku yang telah berbuat apa
saja untuk Tanah ini,” katanya di dalam hati. “Apakah aku akan didesak oleh
pendatang yang baru saja hadir di tanah perdikan ini?“
Karena itu, maka kemarahannya
pun tumbuh kembali. Katanya, “Apa pun yang telah kau lakukan, aku adalah salah
seorang pemimpin pengawal yang mempunyai wewenang untuk memerintah setiap orang
di dalam lingkungan pedukuhan ini. Di dalam keadaan perang ini setiap orang
harus tunduk kepada perintahku sebagai salah seorang pemimpin.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku akan bangun. Bukankah perintahmu kali ini
agar aku bangun?”
Kemarahan Wrahasta hampir
tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika ia melihat Gupala beringsut setapak demi
setapak menepi dari gardu perondan. Anak yang gemuk itu serasa acuh tak acuh
saja terhadapnya, betapa ia membentak-bentak dan berteriak-teriak.
Para pengawal yang menyaksikan
percakapan itu menjadi berdebar-debar. Wrahasta agaknya benar-benar menjadi
marah, dan anak yang gemuk itu pun berbuat sekehendak hatinya. Namun para
pengawal itu pun menyadari, bahwa sebenarnya Gupala telah dengan sengaja
berbuat demikian. Ia pasti merasa tersinggung dan bahkan marah karena
bentakan-bentakan Wrahasta. Para pengawal itu pun menjadi heran, bahwa Wrahasta
seakan-akan telah menjadi marah tanpa sebab. Mereka tidak mengetahui, bahwa
sebab yang sebenamya telah lama tersembunyi di dalam dada anak muda yang
bertubuh raksasa itu.
Wrahasta yang dadanya
seakan-akan membara itu berteriak, “Kalau kau tidak senang di sini, pergilah.
Ki Argapati hanya memerlukan gembala tua itu. Bukan kau dan bukan kakakmu yang
cengeng itu.”
“Tidak,” Gupala menggeleng.
“Aku dan Kakang Gupita juga diperlukan. Setiap orang diperlukan.“
“Tetapi tanpa kau kami masih
akan tetap dapat berbuat apa saja,” Wrahasta menjadi semakin marah.
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Ada perbedaan di antara kedua anak-anak muda yang mengaku diri
mereka gembala itu. Seandainya yang dibentak-bentak itu Gupita, mungkin ia akan
segera menghindar dan pergi menyusul gurunya ke parit di pinggir padukuhan.
Tetapi Gupala tidak berbuat demikian. Ia mempunyai sifat yang agak berbeda,
betapapun gurunya berusaha melunakkannya.
Gupala yang telah mencoba
menahan diri itu akhirnya tidak dapat melawan hentakan perasaannya. Wajahnya
pun telah mulai semburat merah.
Dengan nada yang tinggi ia
bertanya, “Apakah sebenarnya maksudmu, Wrahasta?”
Wrahasta yang sedang marah itu
pun menjadi semakin marah melihat sikap Gupala yang seakan-akan sengaja
menentangnya. Apalagi di hadapan beberapa orang pengawal tanah perdikan.
Menurut penilaiannya, ketika ia memaksa Gupita berkelahi melawannya, gembala
itu tidak dapat mengalahkannya. Apalagi yang ada kini adalah adiknya yang gemuk
itu.
Karena itu, maka dengan suara
mengguntur ia menjawab, “Aku ingin sekali-sekali memukul kepalamu, agar kau
tidak terlalu sombong di atas Tanah ini. Apa kau sangka Tanah ini memberi
tempat kepada orang-orang yang merasa dirinya terlampau diperlukan seperti
kau?”
“Aku tidak mengerti,” sahut
Gupala. “Aku kira aku tidak pernah menyombongkan diriku. Aku berbuat wajar
seperti apa yang sebaiknya aku lakukan. Kalau aku menurut anggapanmu terlambat
bangun kemudian kau nilai sebagai suatu kesombongan, alangkah dangkalnya
penilaianmu atas seseorang. Dengan demikian maka kaulah yang dapat disebut anak
muda yang sombong.”
Wrahasta menggeram. Ia tidak
dapat mengekang diri lagi. Karena itu maka selangkah ia maju sambil menunjuk
wajah Gupala, “Kau harus minta maaf kepadaku. Kemudian berjanji tidak akan
mendekati setiap pimpinan Tanah ini, agar aku tidak menjadi muak. Kalau kau
ingin tinggal di sini bersama ayahmu yang memang diperlukan oleh Ki Gede, kau
harus berada di regol depan bersama para pengawal yang lain. Kau tidak lebih
dari mereka. Kau tidak dapat memanjakan dirimu. Makanmu harus sama seperti
mereka, pelayanan terhadapmu harus sama pula.”
“E,” Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya, “kau benar-benar seorang pemimpin yang sangat teliti. Apakah kau
tidak mempunyai urusan lain kecuali mengurusi orang tidur dan makan?”
“Persetan!” Wrahasta kian
menjadi panas. Serasa segumpal bara tersimpan di dalam dadanya. “Gupala,“
katanya kemudian, “aku benar-benar ingin memukul mulutmu.”
“Mulutku masih cukup berharga
buatku. Karena itu, jangan kau lakukan supaya aku tidak berusaha membalas.“
Wrahasta sudah tidak dapat
menahan diri lagi. Tiba-tiba ia meloncat sambil menampar mulut Gupala. Tetapi
Gupala benar-benar tidak mau tersentuh tangan Wrahasta. Karena itu, maka ia pun
menghindarinya dengan memiringkan mukanya tanpa bergeser dari tempatnya.
Sikap Gupala membuat Wrahasta
semakin kehilangan kendali. Dengan serta-merta ia menyerang anak muda yang
gemuk itu. Tetapi Gupala kini telah siap untuk menghadapi kemungkinan.
Berbeda dengan Gupita, Gupala
sama sekali tidak bermaksud untuk mengalah. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Anak ini sekali-sekali harus diberi pelajaran menghargai orang lain.”
Karena itu, maka Gupala pun
kemudian tidak mengekang dirinya lagi. Ketika Wrahasta menyerangnya dengan
sebuah pukulan yang keras, maka Gupala pun memiringkan kepalanya. Dengan suatu
sentakan ia menarik tangan Wrahasta lewat di atas pundaknya. Berbareng dengan
lontaran kekuatannya sendiri, maka Wrahasta pun terseret dan terpelanting
jatuh.
Para pengawal terkejut melihat
hal itu. Semuanya itu terjadi begitu cepatnya dan tiba-tiba. Karena itu maka
sejenak mereka hanya saling memandang. Namun kemudian salah seorang dari mereka
segera menyadari keadaan. Karena itu maka ia pun berdesis, “Aku akan
memberitahukannya kepada Ki Samekta. Kalau kau mampu lerailah. Kalau tidak,
carilah gembala tua, ayah anak muda yang gemuk itu, agar ia berusaha menahan
anaknya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Aku tidak akan dapat melerainya. Mungkin kepalaku sendiri akan
terkilir.“
Yang lain tidak menjawab.
Tetapi ia pun segera meloncat berlari-lari mencari Samekta, sedang yang seorang
lagi pergi mencari gembala tua yang oleh salah seorang peronda di gardu itu
diberitahu bahwa gembala tua itu sedang pergi ke parit.
Sementara itu, sambil
menyeringai Wrahasta meloncat berdiri. Ia tidak menyangka, bahwa anak yang
gemuk itu demikian tangkas dan cepat.
Namun hal itu telah membuat
Wrahasta seakan-akan menjadi gila. Ia sama sekali tidak dapat lagi membuat
pertimbangan-pertimbangan apa pun, sehingga ia telah bertekad untuk benar-benar
berkelahi.
Terdengar anak muda yang
bertubuh raksasa itu menggeram. Kemudian meloncat menerkam lawannya. Gupala
yang melihat serangan yang semakin garang itu pun terpaksa harus
mengimbanginya. Dengan tangkasnya ia menghindar, dan bahkan kemudian ia pun
telah menyerang pula. Meskipun tubuh Wrahasta jauh lebih besar dari Gupala,
namun Gupala adalah seorang yang memiliki kekuatan yang cukup besar. Sehingga
dalam benturan tenaga yang terjadi, Wrahasta telah terdorong beberapa langkah
surut.
Sejenak Wrahasta menjadi
heran. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa anak yang gemuk itu mampu menyamai
kekuatannya, bahkan melebihinya.
“Ini hanyalah suatu
kebetulan,” katanya di dalam hati. “Ia berada dalam keadaan yang lebih baik.
Tetapi kalau aku sempat membenturkan seluruh kekuatanku, ia pasti akan menjadi
lumat.”
Dengan demikian, maka Wrahasta
pun telah menyiapkan dirinya. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia menyerang
kembali. Sebuah ayuman yang dahsyat telah mengarah ke kening Gupala.
Namun betapa anehnya sifat
Gupala, tetapi ia masih juga sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Apalagi
setelah ia melihat Wrahasta benar telah kehilangan akal dalam tingkat permulaan
dari perkelahian itu. Dengan demikian, maka Gupala justru menjadi agak tenang,
karena Wrahasta memanglah bukan lawannya. Kalau ia mau maka ia akan segera
dapat mengalahkannya dan bahkan apa pun yang akan dilakukannya.
Tetapi kali ini ia tidak akan
berbuat lebih jauh dari memberi sedikit pelajaran kepada Wrahasta. Karena itu,
maka ia pun kemudian telah menyerang Wrahasta semakin cepat, tetapi tidak cukup
berbahaya.
Serangan Gupala seakan-akan
datang dari segenap penjuru. Dengan lincahnya anak yang gemuk itu berloncatan.
Tangannya menyambar-nyambar seakan-akan berpuluh-puluh pasang tangan bergerak
bersama-sama.
Ternyata bahwa Wrahasta
menjadi bingung karenanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk menangkis atau
menghindari sentuhan-sentuhan tangan Gupala. Meskipun Gupala tidak bermaksud
melumpuhkan lawannya, namun terasa pukulan-pukulan itu semakin lama menjadi
semakin sakit. Sekali-sekali Gupala memukul pundak Wrahasta, kemudian tanpa
dapat mengelak, Wrahasta terdorong oleh kaki Gupala yang mengenai lambungnya.
Demikian Wrahasta berusaha tegak kembali, Gupala telah berhasil menangkap
tangan Wrahasta dan menariknya dengan hentakan yang keras berbareng dengan
tangannya menampar dagu.
Betapapun juga Wrahasta
mencoba mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia sama sekali tidak berdaya
menghadapi lawannya yang gemuk namun cukup lincah itu. Beradu tenaga pun
ternyata Wrahasta yang bertubuh raksasa itu tidak dapat mengatasi lawannya.
Dalam kebingungan dan
kegugupannya, Wrahasta tidak dapat berpikir lain kecuali mencabut pedangnya.
Namun demikian tangannya meraba hulu senjatanya itu, seperti tatit Gupala
meloncat menangkap pergelangan tangannya, kemudian diputarnya ke belakang
sambil berdesis, “Jangan bodoh. Kalau kau mengambil pedangmu, berarti kau akan
membunuh diri. Kau lihat, bahwa aku pun berpedang? Dan kau harus menyadari
bahwa aku dapat bergerak lebih cepat daripadamu. Karena itu, kalau kita
berkelahi dengan pedang, maka kau tidak akan dapat ikut dalam peperangan yang
akan datang.”
Tetapi Wrahasta yang keras
kepala itu menyeringai sambil menggeram, “Persetan! Kau tidak akan mampu
melawan pedangku. Kaulah yang harus aku bunuh.”
Tangkapan tangan Gupala itu
menjadi semakin keras, dan Wrahasta merasa semakin sakit karenanya. Karena itu
betapapun ia menahan diri, tetapi raksasa itu terpaksa berdesis menahan sakit.
“Kau sudah gila,” Gupala pun
menggeram. “Jangan main-main dengan pedang kalau kau tidak yakin bahwa kau akan
menang.”
“Aku tidak takut mati
seandainya kau mampu membunuh aku.”
Seperti dugaan gurunya, Gupala
memang bukan seorang yang cukup sabar. Karena itu, maka didorongnya tangan
Wrahasta yang terpilin itu, sehingga raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja
ia jatuh terjerembab. Namun ia berhasil menguasai keseimbangan dan berdiri
tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.
Dikibas-kibaskannya tangannya
sambil menggeram, “Kita bertempur sampai mati.”
“Bukan salahku,” sahut Gupala.
Kemudian kepada peronda yang melihat dengan kaki gemetar ia berkata, “Kalian
menjadi saksi. Aku telah dipaksa untuk melawannya.”
Tetapi para peronda itu sama
sekali tidak menjawab. Bahkan mereka menjadi semakin pucat dan gemetar.
Wrahasta yang sudah bermata
gelap itu pun tiba-tiba mencabut pedangnya yang besar dan panjang Kemudian
berkata dalam nada yang dalam dan datar, “Ayo, cabut senjatamu.”
Tiba-tiba saja Gupala menjadi
ragu-ragu. Sekilas dipandanginya peronda yang gemetar. Kemudian ditatapnya
wajah Wrahasta yang membara. Namun sementara ia masih ragu-ragu, ia mendengar
langkah beberapa orang berlari-lari mendekat. Ketika ia berpaling, dilihatnya
beberapa orang pengawal datang beramai-ramai. Mereka agaknya mendengar dari
pengawal yang berusaha memberitahukan peristiwa itu kepada Samekta.
Dengan demikian Gupala menjadi
semakin ragu-ragu. Terngiang ditelinganya kata-kata gurunya, bahwa orang tua
itu tidak dapat melepaskannya sendiri. Karena itu pula maka setiap kali
Gupita-lah yang mendapat kesempatan.
“Seandainya Gupita yang
mengalami hal ini, apakah yang akan dilakukan?” pertanyaan itu timbul di dalam
hatinya.
Beberapa orang pengawal segera
memutari kedua orang yang sedang berhadapan itu. Dan mereka pun segera menjadi
berdebar-debar karenanya. Wrahasta telah menggenggam senjata di tangannya,
namun Gupala masih nampak berdiri termangu-mangu.
“Cepat!” teriak Wrahasta.
“Cepat cabut senjatamu!”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, ke arah wajah-wajah
yang tegang di sekitarnya.
“Cepat!” sekali lagi ia
mendengar Wrahasta berteriak. “Aku akan mulai. Terserah kepadamu, apakah kau
akan melawan dengan pedangmu atau tidak. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Gupala menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia melihat Wrahasta melangkah maju. Sudah tentu ia tidak
akan dengan begitu saja menyerahkan lehernya. Apalagi kepada raksasa yang
dianggapnya terlampau bodoh itu.
Gupala melangkah surut ketika
Wrahasta sudah mulai memutar pedangnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya,
“Apakah kau sudah benar-benar gila, Wrahasta?”
“Persetan!” mata Wrahasta
menjadi semakin membara.
Dalam ketegangan yang memuncak
itulah, Samekta datang tergesa-gesa bersama Kerti. Langsung disibakkannya
orang-orang yang berada di sekitar Wrahasta dan Gupala yang sedang berhadapan
itu. Dengan lantang Samekta berteriak, “He, apakah kalian sudah menjadi gila
semua?”
Keduanya serentak berpaling.
Mereka melihat wajah Samekta yang merah menahan gelora di dalam perasaannya.
Dengan tangan gemetar ia menunjuk kedua orang itu berganti-ganti, “Beginilah
jalan yang paling baik bagi kalian?”
“Ia menghina aku,” sahut
Wrahasta. “Anak gila itu sama sekali tidak menghiraukan lagi ketetapan yang ada
di atas tanah perdikan ini. Bagaimanapun juga aku adalah salah seorang pemimpin
di sini. Dan ia adalah seorang pendatang.”
“Apa yang telah dilakukannya?”
“Ia tidak menghiraukan
perintahku.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah perintahmu itu?”
“Aku tidak boleh makan di
dapur,” sahut Gupala dengan serta-merta.
“Aku tidak bertanya kepadamu,”
bentak Samekta yang sedang marah itu.
Terasa sesuatu melonjak di
dada Gupala. Orang ini pun telah menyakitkan hatinya pula. Namun ia masih
mencoba menahan diri.
Agaknya Samekta pun telah
benar-benar menjadi marah. Sebagai pimpinan tertua ia merasa tersinggung sekali
atas peristiwa itu. Selagi seluruh kekuatan dihimpun untuk menghadapi puncak
pertentangan di Tanah Perdikan Menoreh, maka telah terjadi perselisihan di
dalam kandang sendiri.
“Wrahasta,” berkata Samekta,
“aku minta, setiap diri kita masing-masing harus mencoba menyingkirkan
persoalan-persoalan yang tidak menguntungkan bagi Tanah ini. Kalau kita
masing-masing masih saja membiarkan perasaan kita berbicara, maka kita tidak
akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dari
persoalan-persoalan sehari-hari, persoalan tetek-bengek yang sama sekali tidak
berarti.”
Wrahasta yang masih dibakar
oleh perasaannya, dan apalagi ketidak-mampuannya melawan Gupala, masih belum
dapat menahan dirinya sehingga ia menjawab, “Jadi, kau menyalahkan aku?”
Samekta mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Aku menyalahkan kalian berdua. Apa pun alasannya tetapi kalian telah
berkelahi, sedang kalian tahu, bahwa kita sedang berada di ambang pintu perang
yang akan menentukan keadaan kita.”
“Tetapi apakah dengan demikian
aku harus membiarkan orang asing menginjak-injak semua ketetapan dan ketentuan
yang berlaku di atas tanah perdikan ini?” teriak Wrahasta.
Samekta yang marah menjadi
semakin marah. Namun sebelum ia berteriak pula, terdengar suara Kerti,
“Sebaiknya kita yang mencoba memadamkan pertentangan ini jangan terlibat dalam
pertentangan baru.” Lalu kepada Wrahasta ia bertanya, “Wrahasta, cobalah kau
menuai persoalan yang baru saja terjadi. Apakah sudah sepatutnya kalian
bertempur apalagi dengan pedang di tangan? Apakah sebenarnya sumber
persoalannya?”
“Aku tidak dapat dihina.”
jawab Wrahasta.
“Kalau kalian telah terlibat
di dalam pertengkaran, maka sudah tentu masing-masing merasa terhina. Tetapi
apabila kalian sempat, cobalah melihat, apakah yang menyebabkan pertentangan
dan pertengkaran itu? Dengan demikian maka persoalannya akan dapat diletakkan
pada tempat yang sewajarnya dan pada saat yang lebih tepat.”
Wrahasta tidak segera
menjawab. Dahinya menjadi berkerut-merut.
“Sudah tentu bahwa kalian
tidak sedang mempertengkarkan Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Sudah tentu kalian
tidak sedang mempertahankan kebenaran Argajaya, bahwa ia telah memihak orang
lain dan memusuhi kakaknya sendiri. Nah, sekarang lihat kepada diri sendiri
apakah yang kalian pertentangkan? Tentang makan pagi, atau tentang bangun yang
terlampau siang atau tentang pelayanan yang berbeda dan yang dapat dianggap
pelayanan yang khusus? Begitu? Dan masalah-masalah serupa itu telah membuat
kalian mempertaruhkan nyawa kalian yang akan menjadí jauh lebih berharga
apabila nyawa-nyawa itu kalian pertaruhkan di medan peperangan?”
Wrahasta masih tetap diam.
Namun kata-kata Kerti itu berhasil menyentuh hatinya. Tanpa sesadarnya ia
mencoba menelusur, sebab-sebab kemarahannya. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan
giginya, meskipun kepalanya masih tertunduk. Ternyata Wrahasta tidak berani
melihat sebab yang sebenarnya dari semua peristiwa itu. Meskipun sekilas
melintas pula di kepalanya, perkelahiannya dengan Gupita dan kini dengan
Gupala.
Dalam pada itu, ketika semua
wajah menjadi tegang, dengan tergesa-gesa Gupita dan gurunya menerobos ke dalam
lingkaran yang mengelilingi Wrahasta dan Gupala. Dengan sorot mata yang tajam
gembala tua itu memandangi wajah Gupala yang kemudian menunduk dalam-dalam.
“Gupala,” terdengar ia
berdesis, “apakah yang telah kau lakukan?”
Gupala tidak menyahut. Tetapi
yang terdengar adalah suara Kerti, “Tidak ada apa-apa, Kiai. Semuanya sudah
selesai.” Lalu kepada kedua anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran,
“Bukankah begitu?”
Keduanya tidak menjawab. Dan
Kerti berkata lagi untuk mengendorkan suasana yang tegang, “Nah, bukankan
mereka diam? Seperti gadis yang ditawari lamaran jejaka, kalau ia diam, berarti
ya.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Syukurlah kalau
semuanya sudah selesai. Aku mendengar bahwa Gupala telah berkelahi dengan
Angger Wrahasta selagi aku berada di parit. Terpaksa aku dengan tergesa-gesa
kemari.”
“Nah, masalah ini tidak usah
kita perbincangkan lagi,” lalu Kerti berkata kepada para pengawal yang
berkerumun, “Semua kembali ke tempat kalian.”
Maka kerumunan orang-orang
Menoreh itu pun kemudian menipis, semakin lama semakin habis. Wrahasta pun
kemudian meninggalkan tempat itu pergi ke regol induk sambil bersungut-sungut.
Samekta dan Kerti masih
berdiri di tempatnya. Sejenak mereka memandangi gembala tua beserta kedua
anaknya yang kemudian duduk di gardu itu kembali.
“Wrahasta tidak dapat
mengendalikan perasaannya,” desis Samekta.
“Dan kau pun juga. Hampir
saja,” sahut Kerti.
Samekta menarik nafas. “Ya.
Aku menjadi sangat kecewa atas peristiwa ini. Sudah tentu Wrahasta telah
dibakar oleh perasaan cemburu itu. Dan agaknya anak muda yang gemuk ini
tabiatnya agak berbeda dari kakaknya. Mungkin ia masih terlampau muda untuk
menanggulangi keadaan sebaik-baiknya.”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Gembala tua itu pun agaknya sedang menasehati anaknya.”
Keduanya pun kemudian mendekat
ke gardu. Beberapa langkah dari gardu itu Samekta berhenti sambil berkata,
“Maaf, Kiai. Mudah-mudahan hal yang serupa tidak terjadi lagi.”
“Ya, aku pun minta maaf.
Anakku yang seorang ini memang agak bengal.”
Samekta dan Kerti pun kemudian
meninggalkan gembala tua itu bersama kedua anaknya untuk menemui Wrahasta.
Mereka mengharap bahwa Wrahasta tidak menjadi semakin gila karenanya.
Kedua orang itu menemukan
Wrahasta sedang berdiri di muka regol memandang jauh ke dalam rimbunnya batang
lalang yang tumbuh semakin liar di luar padukuhan itu.
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Ia menyadari bahwa hati Wrahasta pasti lagi sakit. Ia merasa
semakin jauh dari harapan yang sudah lama diletakkannya kepada gadis putri
Kepala Tanah Perdikannya. Kehadiran kedua gembala muda itu telah merusak
segenap impiannya, sehingga karena itu, maka pertimbangannya telah menjadi
sumbang.
Samekta dan Kerti tidak segera
menyapanya. Tetapi keduanya berhenti beberapa langkah di belakang anak muda
yang bertubuh raksasa itu.
Keduanya mengerutkan keningnya
ketika mereka melihat Wrahasta berpaling. Dengan tajamnya anak muda itu
memandang kedua pemimpin Menoreh itu.
“Apa yang kita tunggu lagi?”
tiba-tiba anak muda itu berkata lantang. “Apakah yang kita tunggu? Sekarang dan
nanti petang tidak ada bedanya lagi bagi kita. Justru sekarang kita akan
mendapat waktu untuk mengejutkan mereka, selagi mereka belum bersiaga.”
“Sabarlah, Anak Muda,” jawab
Kerti. “Nanti petang pun mereka pasti belum mengetahui, bahwa kitalah yang akan
datang menjenguk mereka.”
“Tetapi kemungkinan itu pasti
ada.”
“Kalau kita tidak
mengatakannya kepada siapa pun, maka kemungkinan itu akan sangat dibatasi,”
jawab Kerti.
Wrahasta mengerutkan
keningnya, kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Aku sudah tidak sabar lagi.
Aku tidak betah lagi tinggal di dalam lingkaran pring ori yang sempit ini.”
“Semuanya bersikap serupa.
Kami pun sudah tidak tahan lagi tinggal berjejal-jejal di padukuhan yang miskin
ini. Makan tidak teratur dan bahkan kadang-kadang tidak memenuhi keinginan dan
selera kita masing-masing. Tetapi bagaimanapun juga kita harus mematangkan
perhitungan di setiap gerakan, supaya kita tidak akan menyesal lagi kelak.”
Wrahasta tidak menjawab.
Tetapi kembali ia memandang ke kejauhan. Seakan-akan ia ingin melihat langsung
ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dibakar oleh api
pertengkaran di antara keluarga sendiri.
Tiba-tiba raksasa itu
menggeram, “Hidup matiku untuk Tanah ini.”
Samekta dan Kerti saling
berpandangan sejenak. Kemudian mereka seperti berjanji menarik nafas
dalam-dalam.
“Beristirahatlah, Ngger,”
desis Kerti.
“Tidak ada waktu untuk
bermalas-malasan di atas tanah ini. Aku akan menghubungi setiap pemimpin
kelompok, agar mereka menyiapkan diri mereka sebaik-baiknya.”
“Tetapi perintah penyerangan
petang nanti belum dapat dijatuhkan.”
“Aku tahu, aku tahu.”
Wrahasta tidak menunggu
jawaban lagi. Ia pun segera melangkah pergi meninggalkan Samekta dan Kerti
termangu-mangu ditempatnya.
Beberapa orang yang berada di
gardu di samping regol itu pun melihat, betapa Wrahasta bersikap kaku dengan
wajah yang berkerut-merut. Mereka pun mengerti apa yang baru saja terjadi atas
anak muda yang bertubuh raksasa itu, meskipun mereka tidak mendengar dengan
jelas percakapan raksasa yang sedang kecewa itu dengan Samekta dan Kerti.
“Sayang bahwa pertengkaran itu
telah terjadi,” desis salah seorang dari para peronda itu.
“Wrahasta kurang dapat
mengendalikan diri,” jawab yang lain.
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau mereka tidak tahu benar apa yang terjadi
di gardu itu, maka mereka pun akan dibakar pula oleh kekecewaan terhadap anak
gembala yang gemuk itu. Tetapi mereka telah mendengar pula, bahwa dengan
tiba-tiba seakan-akan tanpa sebab Wrahasta menjadi marah, sehingga keduanya
bertengkar. Apalagi anak gembala yang gemuk itu telah menunjukkan kemampuannya
di dalam peperangan. Banyak orang yang melihat, bagaimana ia membunuh Ki Muni
setelah Ki Muni itu melukainya. Kemudian bagaimana ia bertempur di antara
hiruk-pikuk peperangan dan menjatuhkan banyak korban pada lawan.
Sementara itu Samekta dan
Kerti pun kemudian pergi ke rumah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka memasuki halaman rumah
itu terdengar Samekta berdesis, “Mudah-mudahan Wrahasta dapat melihat
kepentingan yang lebih besar dari kepentingannya sendiri.”
“Aku masih tetap percaya
kepadanya,” sahut Kerti.
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Bagi para pemimpin Menoreh,
hari terasa terlampau lamban bergerak. Matahari mengambang dengan malasnya,
seakan-akan tidak bergerak dari tempatnya. Setiap kali Samekta dan Kerti dengan
gelisah melangkah ke luar, memandang ke langit dan berjalan hilir-mudik.
“Aku akan tidur,” berkata
Samekta. “Aku akan melupakan waktu yang menjemukan ini.”
“Tidurlah. Kemudian
bergantian.”
“Tetapi aku kurang biasa tidur
di siang hari.”
“Berbaringlah.”
Samekta pun mencoba untuk
tidur. Ia merasa telah disiksa oleh waktu. Sementara Kerti pun kemudian pergi
ke gardu di sebelah regol di jalan induk padukuhan itu.
Ketika gembala tua itu pergi
ke pondok yang dipakai oleh Ki Argapati untuk melihat perkembangan
kesehatannya, maka mawanti-wanti ia berpesan kepada Gupala, “Kau jangan berbuat
bodoh lagi. Jagalah dirimu. Kita masih diperlukan.“
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Pergilah ke gardu induk.
Ingat, jangan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan keadaan. Kehancuran Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menjadi kepentingan kita pula. Sadarilah.”
Gupala masih
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Asal
anak itu tidak menginjak kepalaku. Kalau hal itu dilakukannya, apa boleh buat.”
Tetapi bagaimanapun juga. Gupala menyadari, bahwa ia pun berkepentingan juga
atas orang-orang yang telah disebut oleh gurunya itu.
Berdua bersama Gupita, Gupala
pun pergi ke gardu induk di regol padukuhan. Sambil menundukkan kepalanya,
Gupala mencoba menilai keadaan yang sedang dihadapinya.
Anak muda yang gemuk itu
tiba-tiba saja menarik nafas sambil berdesah. Adalah kebetulan sekali bahwa Ki
Argapati pun sedang berusaha membinasakan Ki Tambak Wedi. Kalau ia bersama
kakak seperguruannya dan gurunya bertiga saja, mustahil mereka dapat
menghancurkan iblis itu.
“Kita saling memanfaatkan,”
desisnya. “Ki Argapati memerlukan kami, dan kami memerlukan pasukan. Betapa
dahsyatnya ilmu Guru, tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat melawan seluruh
pasukan Ki Tambak Wedi. Dan ternyata Ki Argapati sudah menyediakan pasukan itu
buat kami.”
Tanpa sesadarnya Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa olehnya, memang sama sekali tidak
menguntungkan bertengkar dengan orang-orang Menoreh dalam keadaan serupa ini.
Tetapi ia tidak tahu, kenapa Wrahasta tiba-tiba saja telah membentak-bentaknya.
“Orang itu agaknya memang seorang pemarah,“ desisnya, “atau seseorang yang
menaruh prasangka terlampau tajam di dalam hatinya. Mungkin ia menyangka bahwa
kami adalah orang-orang serupa dengan Ki Peda Sura, yang mendapat janji-janji
dari Ki Argapati.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Mungkin ia berpendapat demikian. Mungkin.”
Tetapi Gupala tidak bertanya
kepada Gupita. Sekilas anak muda yang gemuk itu memandang wajah kakak
seperguruannya, tetapi Gupita berjalan sambil menundukkan kepalanya.
“Kakang Gupita pernah
mengalami perlakuan serupa,” desisnya di dalam hati.
Ketika keduanya sampai di
gardu di dekat regol, mereka melihat beberapa orang sedang berkerumun.
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada anak-anak muda itu. Apalagi
Gupala. Katanya di dalam hati, “Apakah Wrahasta berada di situ pula?”
Tetapi ternyata Wrahasta tidak
ada. Mereka menyambut kedatangan keduanya dengan ramah. Bahkan salah seorang
dari mereka, yang pernah mengenal bahwa anak yang gemuk itu senang berkelakar,
bertanya, “He, lain kali kalau kau ingin tidur sampai tengah hari, tidurlah di
sini. Di belakang gardu, sehingga tidak ada orang yang melihatmu.”
Gupita dan Gupala mengerutkan
keningnya. Namun kemudian mereka tersenyum. Sapa itu telah memberikan kesan
kepada mereka, bahwa anak-anak muda dari tanah perdikan ini tidak mudah diseret
oleh perasaan tanpa pertimbangan. Mereka tidak dengan serta-merta berpihak
kepada Wrahasta, apa pun yang sebenarnya telah terjadi.
“Terima kasih,” sahut Gupala,
“lain kali. Tetapi apabila tiba-tiba saja kepalaku dipenggal oleh Ki Tambak
Wedi, maka aku tidak akan dapat tidur lagi di padukuhan ini.”
Anak-anak di dalam gardu itu
tertawa. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kau ingin begitu?”
Gupala menggeleng, “Tentu
tidak. Apalagi aku masih ingin makan jenang jagung.”
Anak-anak muda di dalam gardu
itu tertawa semakin keras. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja meloncat
mendekati Gupala, dan langsung membimbingnya.
“Mari, aku tunjukkan di mana
kau harus tidur.”
Gupala tidak menolak. Ia
mengikuti saja kemana ia dibawa.
“He, menepi,” berkata anak
muda yang menarik tangan Gupala itu. “Tidurlah melekat dinding itu. Kami akan
duduk berjajar melindungimu.”
Gupala tertawa. Beberapa orang
telah menyibak. Salah seorang berkata, “Nah, tidurlah di situ.”
Tetapi tiba-tiba Gupala mengerutkan
keningnya, “He, daun bekas bungkus apa saja itu?”
“Makan pagi kami.”
“Kalian sudah makan pagi?”
“Baru saja.”
“Celakalah kita,” berkata
Gupala kepada Gupita, “di gardu di simpang empat itu makanan belum datang.
Ketika kami sampai kemari makan sudah lampau.”
“Hus,” desis Gupita. Tetapi
anak-anak muda yang mendengarnya tertawa semakin riuh. Salah seorang dari
mereka tiba-tiba saja berlari ke belakang gardu itu. Sejenak kemudian ia
kembali sambil membawa dua bungkus nasi, “Ini kami masih menyediakan buat
kalian.”
Gupita tersenyum kecut, tetapi
Gupala menjawab, “Nah, terima kasih. Tetapi mana buat Kakang Gupita?”
“Bukankah itu dua bungkus?”
“O, aku kira ini buat aku
sendiri.”
“Macammu,” desis Gupita.
Tetapi ia menerima juga sambil tertawa ketika Gupala memberinya sebungkus,
“Marilah kita makan, Kakang. Kita tidak perlu malu. Kalau perut kita ingin
berisi juga.”
Gupita masih saja
tersenyum-senyum. Tetapi ia tidak dapat berbuat seperti Gupala, yang langsung
membuka bungkusannya dan makan sendiri di antara anak-anak muda yang terbawa
berkepanjangan. Gupita terpaksa menepi dan duduk di sisi gardu itu sambil
membuka bungkusannya.
Demikianlah anak-anak muda itu
mengisi waktunya sambil berkelakar Tetapi mereka sama sekali tidak melepaskan
kewaspadaan. Di muka regol dua orang penjaga tetap di tempatnya mengawasi
keadaan. Setiap kali petugas-petugas sandi datang dan pergi dengan
keterangannya msasing-masing yang langsung disampaikannya kepada Kerti.
Lewat tengah hari Wrahasta
datang ke gardu itu pula. Ketika ia melihat kedua anak-anak muda itu berada di
sana juga, ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian acuh tidak acuh ia
meninggalkan gardu itu. Sejenak ia singgah ke regol. Dipadanginya batang-batang
ilalang yang terbentang di hadapannya. Tanpa sesadarnya ia berdesis, “Kalau
peperangan ini selesai, maka ilalang itu pun harus dibabat.”
Para penjaga regol, yang
mendengar desis itu berpaling. Namun mereka tidak menyahut. Mereka melihat
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menekan dadanya dengan
sebelah telapak tangannya. Tetapi raksasa itu tidak berkata sepatah kata pun
lagi. Bahkan dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan regol itu menuju ke
tempat pimpinan pasukan pengawal.
Semakin condong matahari ke
barat, maka padukuhan itu menjadi semakin sibuk. Samekta yang tidurnya ternyata
tidak juga dapat dirubah di siang hari, telah memanggil setiap pemimpin
kelompok. Meskipun ia belum mengatakan sesuatu, namun para pemimpin kelompok
itu telah merasa, bahwa pasti akan ada sesuatu yang penting.
Beberapa orang pemimpin
kelompok duduk sambil berbincang di halaman, yang lain di tangga pendapa sambil
membelai senjata masing-masing. Sedang yang lain lagi berada bersama para
pengawal yang sedang bertugas di regol halaman.
Samekta, Kerti, dan Wrahasta masih
berada di pringgitan. Mereka sedang memperbincangkan kemungkinan untuk
memberitahukan rencana penyerangan itu kepada para pemimpin kelompok.
“Sebaiknya kedua prajurit dan
gembala tua itu hadir di antara kita,” desis Samekta.
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Aku sependapat. Bagaimana kau, Wrahasta.”
Wrahasta terperanjat. Ternyata
ia tidak mendengar pertanyaan itu dengan baik, sehingga ia bertanya, “Bagaimana
Paman?”
Kerti mengerutkan keningnya.
Namun ia mengulangi, “Sebaiknya kedua prajurit dan gembala tua itu ada di
antara kita sekarang, selagi kita menyampaikan persoalan rencana penyerangan
ini kepada para pengawal.”
“O,” Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya, “baik. Aku sependapat.“ Namun Wrahasta itu pun
kemudian menundukkan kepalanya kembali. Sesuatu agaknya telah mengganggu
angan-angannya. Dan orang-orang tua itu pun segera memahami.
“Aku akan menyuruh seorang
penghubung memanggilnya,” desis Samekta.
“Tetapi,” Wrahasta memotong,
“pimpinan Tanah Perdikan ini masih belum lengkap. Masih ada seorang lagi yang
justru terpenting di antara kita.”
“Siapa? Ki Argapati?”
“Tidak. Sudah jelas bagi kita,
Ki Argapati sedang sakit. Kalau ia memaksa diri untuk ikut ke medan perang
sebenarnya malahan akan menambah pekerjaan kita saja.”
“Lalu siapakah yang kau
maksud?”
“Yang mewakilinya.
Satu-satunya keluarganya yang masih setia kepada tanah perdikan ini.”
“Pandan Wangi maksudmu?”
bertanya Kerti.
“Ya.”
Kedua orang tua-tua itu
menarik nafas dalam-dalam, “Kalau Ki Argapati tidak berkeberatan, baik juga
kiranya ia hadir,” gumam Samekta kemudian.
“Baiklah aku sendiri akan
memanggil mereka,” berkata Wrahasta kemudian.
“Jangan,” Kerti memotong,
“biarlah anak-anak saja yang pergi. Kau tetap di sini. Banyak masalah yang
harus kita percakapkan sebelumnya.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil berkata. “Terserahlah kepada
Paman kalau aku memang diperlukan di sini.”
“Baiklah kau tinggal di sini,”
berkata Samekta pula, “aku akan menyuruh para pengawal yang ada di halaman.”
“Siapakah yang akan Paman
suruh?”
Samekta tertegun sejenak.
Namun kemudian ia menarik nafas sambil menjawab, “Salah seorang dari para
pengawal di halaman.”
Wrahasta tidak menjawab.
Tetapi ia pun berdiri juga dan berjalan di belakang Samekta keluar pringgitan.
Ketika ternyata Samekta
menyuruh seorang pengawal tanah perdikan untuk menemui Ki Hanggapati dan
Dipasanga serta gembala tua itu, maka Wrahasta pun kemudian masuk pula ke dalam
pringgitan. Ia telah mendengar juga, penghubung itu harus mencoba menemui
Pandan Wangi, apakah ia dapat hadir dalam pembicaraan ini.”
Ternyata mereka tidak perlu
menunggu terlampau lama. Setiap orang menyadari, bahwa waktu pada saat-saat
yang demikian itu, menjadi sangat berharga. Dan ternyata bahwa Ki Argapati pun
telah melepaskan Pandan Wangi untuk ikut mendengar pembicaraan para pemimpin
itu.
“Waktunya telah hampir tiba,”
desis Samekta di hadapan mereka, “sebentar lagi matahari akan turun dengan
cepat.”
Belum seorang pun yang
menyahut.
“Petugas sandi yang terakhir
datang melaporkan, bahwa tidak ada tanda-tanda yang khusus dapat dilihatnya di
padukuhan induk, meskipun orang itu tidak berhasil mendekat. Tetapi kesibukan
yang dilihatnya tidak meningkat. Peronda yang nganglang pun tidak bertambah,
dan petugas itu pun tidak dapat mengatakan, bahwa mereka telah menyiapkan diri
seperti kita, dengan diam-diam.”
“Ada perbedaan,” potong Kerti.
“mereka tidak dapat melihat kita begitu jelas seperti kita melihat mereka,
karena padukuhan ini dikelilingi oleh pring ori.”
“Ya, tetapi padukuhan ini jauh
lebih sempit dari padukuhan induk,” sahut Samekta.
“Tetapi kita akan datang
dengan gelar. Kita akan datang dari depan beradu dada,” geram Wrahasta.
“Ya,” sahut Samektla, “justru
karena itu kita harus benar-benar siap lahir dan batin.”
Para pemimpin itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kita sudah siap
memberitahukan rencana ini?” bertanya Samekta.
Sejenak mereka saling
berpandangan.
“Bagaimanakah pendapat
kalian?”
Hanggapati beringsut
sejengkal. Katanya, “Kita sudah dikejar waktu. Aku kira saatnya sudah tepat.
Kita tidak akan terlambat dengan persiapan kita, dan kesempatan bagi petugas
sandi lawan pun sudah dapat dibatasi.”
Yang mendengar kata-kata
Hanggapati itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Memang sudah datang waktunya.
Dan waktu itu kini serasa mudah berkejaran setelah sekian lama mereka menunggu
dengan gelisah.
“Baiklah,” berkata Samekta.
“Apakah ada pikiran lain?”
Tidak ada seorang pun yang
berbicara. “Jika demikian, aku akan segera menemui para pemimpin kelompok untuk
mempersiapkan diri mereka dengan segera. Sebentar lagi, apabila matahari telah
terbenam, kita akan segera berangkat.”
Orang-orang yang ada di
ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Aku akan menemui para
pemimpin di pendapa rumah sebelah,” berkata Samekta.
Maka sebentar kemudian,
Samekta telah duduk di hadapan para pemimpin kelompok yang sebentar lagi harus
menyusun barisan yang akan pergi ke induk padukuhan. Induk dari Tanah Perdikan
Menoreh yang beberapa saat yang lampau telah diambil oleh Sidanti beserta
gurunya.
Pada saat Samekta sedang sibuk
berbicara tentang rencananya, maka Pandan Wangi yang ikut mendengarkan dengan
sepenuh minat, terkejut ketika seseorang menggamitnya.
Ketika gadis itu berpaling,
dilihatnya dekat di belakangnya duduk Wrahasta yang justru beringsut maju.
“Maaf, Pandan Wangi,”
bisiknya, “aku sudah tidak mempunyai waktu lagi.”
“Ah,” desah Pandan Wangi,
“besok atau lusa kita masih akan bertemu.”
Wrahasta menggelengkan
kepalanya, “Belum tentu, Pandan Wangi. Siapa tahu aku akan mati malam nanti.”
“Jangan berkata begitu.”
“Kalau hal itu harus terjadi,
pasti akan terjadi.”
“Tetapi kita tidak
mengharapkan. Aku dan kau mengharap bahwa kita akan bertemu besok, lusa, dan
seterusnya.”
“Hanya sekedar bertemu?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Sesaat-sesaat ia mendengar keterangan
Samekta kepada para pemimpin kelompok, namun suaranya kadang-kadang hilang di
dalam gemerisik gejolak di hatinya.
“Kau tinggal menjawab sepatah
kata,” desak Wrahasta. “Atau kau dapat mempergunakan isyarat. Kau dapat
mengangguk atau menggelengkan kepalamu.”
Pandan Wangi masih menunduk.
“Wangi.”
Pandan Wangi sama sekali tidak
menjawab dan tidak menggerakkan kepalanya.
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam.
Desisnya, “Perang malam nanti adalah perang yang dahsyat. Kita akan berjuang
mati-matian untuk merebut padukuhan induk itu. Kita tidak akan meninggalkan
medan selagi kita masih hidup. Namun agaknya Sidanti dan Ki Tambak Wedi pun
akan bertekad serupa. Mereka tidak akan meninggalkan padukuhan yang telah
mereka rebut. Karena itu perang yang akan terjadi adalah perang antara hidup
dan mati.”
Pandan Wangi masih tetap
berdiam diri.
“Dengan demikian, Pandan
Wangi, aku tidak tahu, apakah aku masih akan dapat melihat kau lagi.”
Wajah Pandan Wangi yang tunduk
menjadi semakin menunduk. Hatinya serasa tergores oleh perasaan iba. Ia sama
sekali tidak bermimpi untuk menganggapi perasaan Wrahasta terhadapnya. Tetapi
ia tidak sampai hati untuk menggelengkan kepalanya mendengar kata-kata anak
muda yang mendekati keputus-asaan itu.
“Bagaimana, Wangi?”
Dada Pandan Wangi menjadi
pepat. Tenggorokannya serasa tersumbat dan pelupuk matanya menjadi panas.
Hampir saja ia lupa bahwa ia sedang duduk di hadapan para pemimpin kelompok
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Hampir saja ia lupa kini membawa
sepasang pedang di lambungnya.
Betapa ia bersusah payah
menahan perasaannya sebagai seorang gadis di antara hiruk-pikuk pembicaraan
mengenai perang.
Pandan Wangi tersentak ketika
ia mendengar suara gemuruh, “Kami bersedia untuk mati demi Tanah ini. Demi
Tanah ini.”
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Ia melihat beberapa orang mengepalkan tinjunya.
Namun kembali dadanya serasa
retak ketika ia mendengar desis, “Aku pun bersedia mati demi Tanah ini.”
Kemudian, “Dan demi kau, Wangi.”
“Oh,” Pandan Wangi mengeluh.
Ditekannya telapak tangannya di dadanya.
“Jawablah Wangi, sebelum aku
mati.”
Pandan Wangi tidak dapat
menahan iba hatinya. Ia tidak dapat bertahan untuk tetap membatu. Karena itu,
hatinya yang luluh telah menggerakkan kepalanya. Hampir saja sebuah anggukan
kecil. Namun tiba-tiba anggukan kepala itu urung ketika ia mendengar Samekta
berkata lantang, “Nah, kembalilah ke pasukanmu. Cepat. Siapkan mereka. Malam
ini kita akan merebut kembali padukuhan induk lambang pusat pemerintahan
Menoreh, Tanah Perdikan Menoreh.”
Terdengar sejenak hiruk-pikuk
di antara para pemimpin kelompok itu. Semuanya ingin menyatakan kesediaan
mereka untuk merebut padukuhan induk itu. Namun dengan demikian suara mereka
tidak terdengar satu demi satu.
Meskipun demikian Samekta
menanggapinya, “Terima kasih. Terima kasih atas kesediaan kalian. Sekarang,
pertemuan ini aku bubarkan.”
Hampir serentak orang-orang
yang berada di pendapa itu berdiri. Pandan Wangi pun berdiri pula bersama para
pemimpin yang lain. Dalam pada itu, para pemimpin kelompok itu pun segera
menghambur turun dari pendapa untuk dengan tergesa-gesa kembali ke kelompok
masing-masing. Namun dalam pada itu Samekta pun telah mengeluarkan perintah,
tidak boleh seorang pun keluar dari padukuhan ini, supaya rencana ini tidak
sampai terdengar oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, dan bahkan oleh
petugas sandi Ki Tambak Wedi. Bahkan Ki Samekta telah memerintahkan untuk mencegah
kemungkinan segala macam tanda dan isyarat yang dapat dilontarkan.
Dalam hiruk-pikuk itu Wrahasta
telah kehilangan kesempatannya pula untuk dapat berbicara dengan Pandan Wangi.
Kerti, Hanggapati, Dipasanga pun kemudian berbicara di antara mereka. Dan
Pandan Wangi ikut pula di dalam pembicaraan itu. Sedang Wrahasta yang sedang
berdiri dalam kekecewaan itu berpaling ketika Samekta berkata kepadanya, “Kita
pun harus berbagi.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Kita harus bekerja bersama
dalam pimpinan seluruh pasukan. Aku akan berada di tengah. Kerti di sayap kiri
dan kau berada di sayap kanan.”
“Bagaimana dengan orang-orang
yang datang dari luar lingkungan kita itu?”
“Kita tidak dapat menyerahkan
pimpinan kepada mereka, biarlah mereka berada di dalam barisan, tetapi supaya
pimpinan gelar dapat berlangsung dengan baik, kitalah yang akan memegangnya.
Kita akan dapat bekerja bersama dengan cara dan kebiasaan kita seperti yang
diajarkan oleh Ki Argapati. Orang lain itu mungkin mempunyai cara dan kebiasaan
yang berbeda.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Siapakah yang akan pergi
bersamaku?” bertanya Wrahasta.
“Salah satu dari Ki Hanggapati
atau Ki Dipasanga.”
“Lalu bagaimana dengan gembala
tua itu.”
“Tugasnya menemui Ki Tambak
Wedi. Dimana pun Ki Tambak Wedi berada.“
“Lalu kedua anak-anak gila
itu?”
“Mereka pun harus mencari Ki
Peda Sura.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekilas ia melihat Pandan Wangi yang berbicara dengan Kerti.
Wrahasta tahu benar, bahwa Kerti adalah orang terdekat dari Pandan Wangi
sesudah ayahnya. Pada saat-saat Tanah Perdikan Menoreh tidak sedang dilanda api
pertentangan, Kerti selalu pergi mengantar gadis itu berburu di hutan
perburuan. Untunglah bahwa umur Kerti sudah berada di seputar setengah abad,
sehingga tidak menumbuhkan perasaan apa pun di hati raksasa itu. Tetapi
tiba-tiba saja datang anak-anak muda yang telah menggelisahkannya.
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Ia telah kehilangan kesempatan untuk mendengar jawaban Pandan
Wangi. Kalau pasukan ini telah mulai tersusun, dan kemudian bergerak, maka ia
tidak akan dapat berbicara dan mendengar apa pun lagi dari Pandan Wangi.
Tetapi Wrahasta sama sekali
tidak ingkar dari kuwajibannya. Betapa hatinya dicengkam oleh kekecewaan
tentang dirinya sendiri, namun sebagai seorang pemimpin pengawal ia tetap
menengadahkan dadanya. Ia sadar, bahwa terutama anak-anak muda Tanah Perdikan
Menoreh selalu memperhatikannya. Kalau ia kehilangan gairah perjuangannya, maka
anak-anak muda itu pun akan kehilangan kemantapannya pula. Dan Wrahasta tidak
mau menjadi penyebab, apalagi menjadi penentu, dari kekalahan pasukan Pengawal
Tanah Perdikan Menoreh, hanya sekedar karena ia tenggelam di dalam kepahitan
perasaan secara pribadi.
Dan Samekta pun kemudian
berkata, “Nah, marilah, kita mulai menyusun barisan. Pada saat matahari
terbenam, kita keluar dari regol padukuhan ini, langsung menuju ke padukuhan
induk dari tanah perdikan ini.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Samekta pun kemudian memberitahukannya kepada Kerti dan Pandan
Wangi.
“Angger akan berada bersama Ki
Gede,” berkata Kerti.
“Baik, Paman, dan aku akan
segera menyampaikannya kepada ayah.”
Sepercik harapan tumbuh di
dada Wrahasta, apabila ia dapat pergi bersama Pandan Wangi. Tetapi sekali lagi
ia menjadi kecewa ketika gembala tua itu berkata, “Aku pun akan pergi menghadap
Ki Gede. Sebelum kita berangkat. Ki Gede harus mendapat pengobatan yang baik.
Dan bahwa harus disediakan persedaan obat di perjalanan, apabila tiba-tiba saja
Ki Gede memerlukan.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya kepada Pandan
Wangi, “Tetapi Angger harus selalu ingat, dan setiap kali memperingatkan, bahwa
Ki Gede harus tetap di atas tandunya. Ki Gede tidak boleh dibakar oleh
perasaannya sehingga melupakan luka-lukanya yang masih belum sembuh benar.”
“Baik, Kiai,” jawab Pandan
Wangi.
“Nah, marilah kita pergi
bersama-sama.”
Ketika Pandan Wangi minta diri
kepada para pemimpin yang hadir di pendapa itu, ia melihat mata Wrahasta yang
redup. Terasa dada gadis itu berdesir, dan kepalanya pun tertunduk karenanya.
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya ketika Samekta berkata, “Kami sudah mulai menyusun barisan kami. Pada
saatnya kami akan menghadap dan memberitahukan bahwa kami akan segera
berangkat.”
“Baik, Paman. Aku akan menyampaikannya
kepada ayah.”
Maka Pandan Wangi pun kemudian
meninggalkan pertemuan itu bersama gembala tua, yang sedang merawat Ki
Argapati.
Dengan cermat gembala tua itu
kemudian memeriksa luka-luka di dada Argapati kemudian membubuhinya obat yang
baru sebelum mereka berangkat ke medan perang. Sementara Pandan Wangi
menceriterakan tentang para pengawal yang dengan setia akan ikut di dalam
barisan merebut kembali kekuasaan atas padukuhan induk sebagai lambang
kekuasaan atas Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah selesai dengan
perawatannya atas luka Ki Argapati, maka gembala tua itu pun minta diri, untuk
menemui kedua anak-anaknya yang harus diberitahu pula, apakah tugas mereka di
dalam peperangan yang akan datang.
“Mudah-mudahan mereka
berhasil, Kiai,” berkata Ki Argapati. “Anak-anakmu masih sangat muda. Yang
gemuk itu agaknya lebih bebas menggerakkan senjatanya daripada kakaknya.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Argapati pasti sudah mendengar laporan
tentang kedua gembala itu. Memang Gupala lebih memberi kesempatan perasaan
berbicara. Juga di medan perang, sehingga ia pasti menelan korban jauh lebih
banyak dari Gupita. Orang yang tidak menyaksikan cara mereka bertempur akan
menganggap bahwa Gupala mempunyai beberapa kelebihan dari Gupita. Kelebihan itu
adalah, Gupala hampir tidak pernah ragu-ragu membelah dada lawan.
Tetapi Gupita mempunyai
pembawaan yang lain. Ragu-ragu dan bimbang. Bahkan kadang-kadang ia
membayangkan hal-hal yang dapat mengurungkan niatnya untuk membinasakan
lawannya.
“Di medan yang hiruk-pikuk,
keragu-raguannya itu dapat membahayakan jiwanya,” berkata orang tua itu di
dalam hati, “tetapi bukan seharusnya ia membunuh lawannya seperti menebas
batang-batang ilalang.”
Gembala tua itu menemukan
Gupala dan Gupita duduk di atas setumpuk jerami di dekat gardu bersama beberapa
orang anak-anak muda. Agaknya mereka pun sedang menunggu penjelasan untuk diri
mereka masing-masing.
“Itu ayah datang,” desis
Gupita. “Aku harus menemuinya. Mungkin aku harus mengikutinya.”
“Ya, mungkin kau harus
mengikuti ayahmu mengambil seekor atau dua ekor kambing. Setelah kita merebut
kembali padukuhan induk itu, kita akan bersembunyi,” berkata salah seorang dari
mereka.
“Kenapa?”
“Daging panggang.”
“Uh,” Gupala bersungut-sungut,
“kau sangka di padukuhan induk itu kekurangan kambing, bahkan sapi atau kerbau?
Aku justru akan mengambil lima atau sepuluh ekor kambing. Aku akan menjadi
seorang gembala yang kaya.”
“Aku tangkap kau. Bukankah aku
pengawal tanah perdikan ini.”
“Tetapi kau tidak akan dapat
melihat.”
Anak muda itu tidak sempat
menjawab, karena Gupala segera menutup kedua telinganya sambil berlari-lari
mendapatkan gurunya. Gupita yang tersenyum melihatnya masih mendengar anak-anak
muda itu tertawa dan salah seorang berteriak, “Pengecut. Jangan lari.”
Meskipun Gupala mendengarnya,
tetapi ia tidak berpaling. Tangannya masih menyumbat kedua telinganya meskipun
tidak terlampau rapat.
“Apa saja yang kalian
bicarakan?” bertanya gembala tua itu sambil mengerutkan keningnya.
Gupala menggeleng, “Tidak
apa-apa. Sekedar berkelakar.“
Gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara, itu Gupita pun telah berdiri di samping anak muda yang
gemuk itu.
“Sebentar lagi kita akan
berangkat,” desis gurunya.
“Ya, aku sudah mendengar,“
sahut Gupita. “Anak-anak muda itu telah mendapat penjelasan dari para pemimpin
kelompok masing-masing. Kini mereka telah bersiap. Sebentar lagi mereka harus
berkumpul di kelompok masing-masing.”
“Ya, begitulah. Kalian pun
harus segera menyiapkan diri pula. Tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malas.”
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak akan berada di
dalam barisan. Kita mendapat keleluasaan untuk menemukan lawan-lawan kita.
Seperti juga Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-angguk.
“Kau berdua harus mencari Ki
Peda Sura,“ berkata gembala tua itu kemudian, “sedang Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga harus berhadapan sekali lagi dengan Sidanti dan Argajaya. Karena
keduanya mempunyai kemampuan yang hampir seimbang, maka keduanya dapat bertukar
tempat, siapa saja yang dapat mereka temui.”
Gupita dan Gupala menundukkan
kepalanya. Terbayang di wajah mereka kekecewaan bahwa mereka tidak mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan Sidanti atau Argajaya.
“Kau tidak dapat memilih,”
berkata orang tua itu, “kau tinggal menerima perintah. Di sini kekuasaan
tertinggi berada di tangan Ki Argapati. Dari siapa pun pendapat itu, namun
apabila Ki Argapati telah mengiakan, maka keputusan itu sudah menjadi
keputusannya.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia menjawab, “Baiklah. Aku akan melakukannya.” Gupita
berhenti sejenak, kemudian, “Lalu bagaimana dengan Guru?”
“Aku harus menghadapi Ki
Tambak Wedi,” jawab gurunya. “Sebenarnyalah aku memang berkepentingan. Selama
Ki Tambak Wedi itu masih berkesempatan untuk mengganggu, ia akan tetap
mengganggu kalian. Seandainya Sidanti sudah tidak ada lagi, ia pasti akan
mencari orang lain yang dapat diprgunakannya untuk memuaskan hatinya. Kini
tanpa kita duga-duga sebelumnya, kita mendapatkan sepasukan pengawal yang dapat
membantu kita, yang menurut sudut pandangan Ki Argapati beruntunglah ia
mendapat bantuan kita. Dengan demikian, kita sudah saling membantu.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Namun ia berdesah, “Tetapi kami semua sama sekali tidak
mempunyai kepentingan apa pun dengan Ki Peda Sura.”
“Kepentingan itu akan saling
berkait. Apabila kita sudah berada dalam satu kesatuan, kita harus memandang
seutuhnya. Jangan sepotong-sepotong seperti itu.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam.
Sekilas dipandanginya wajah kakak seperguruannya. Namun Gupita masih saja
mengangguk-angguk kecil.
“Nah, bersiaplah. Kita tidak
akan selalu bersama-sama di peperangan. Tetapi ingat, kalian harus berhati-hati
melawan Ki Peda Sura. Orang itu tidak kalah licik dari orang-orang mereka yang
lain. Mungkin kau berdua harus menghadapinya bersama-sama sekelompok anak
buahnya. Apabila demikian, kau harus masuk ke dalam garis pertahanan pasukan
Menoreh, supaya kau mendapat perlindungan dari orang-orang yang tidak dapat kau
lawan satu demi satu. Mereka pasti akan dihadang oleh para pengawal, sedang kau
dapat menempatkan dirimu kembali melawan Ki Peda Sura.”
Gupita yang masih
mengangguk-anggukkan kepalanya bertanya, “Apakah kami masih harus bersenjata
pedang?”
Gurunya menggeleng. “Tidak.
Kita sudah menyatakan diri kita di dalam peperangan ini. Meskipun bagi kalian
jenis senjata apa pun tidak akan terlampau berpengaruh, namun yang mana yang
dapat memberi kemantapan kepada kalian, pergunakanlah.”
Gupala mengangkat alisnya,
“Aku akan mempergunakan keduanya.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Sekilas dipandanginya wajah adik seperguruannya itu, kemudaan ditatapnya wajah
gurunya yang tersenyum. Orang tua itu berkata, “Tidak selalu senjata rangkap
itu menguntungkan. Pandan Wangi memang memiliki kemampuan khusus mempergunakan
sepasang pedangnya. Ki Peda Sura pun mempergunakan sepasang bindi, meskipun
kadang-kadang ia mempergunakan jenis-jenis senjata yang lain.”
“Aku akan memegang cambuk di
tangan kanan dan pedang di tangan kiri,” berkata Gupala.
“Asal salah satu di antaranya
justru tidak akan mengganggu.”
Gupala menggeleng, “Aku sudah
berlatih mempergunakan keduanya.”
Gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia percaya bahwa Gupala selalu mencoba-coba mempergunakan apa saja.
“Terserahlah kepadamu. Tetapi
kalian harus tetap berhati-hati melawan orang itu. Ia dapat berbuat apa saja.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kami akan selalu mengingat-ingat hal itu,”
desis Gupita kemudian, lalu, “tetapi di mana kami harus berada di dalam
lingkungan seluruh pasukan.”
“Kau berada di induk pasukan
bersama aku. Tetapi di peperangan, kau harus mencari lawanmu,” jawab gurunya.
“Ingat, Ki Peda Sura tidak segan-segan melarikan diri dan bersembunyi di dalam
hiruk-pikuk peperangan. Memang sulit untuk mencari seseorang yang dengan
sengaja bersembunyi di dalam keributan yang demikian.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kalian berhasil
menguasainya, usahakan jangan sampai orang itu berhasil melarikan dirinya.”
“Baik, Guru,” jawab kedua
anak-anak muda itu hampir bersamaan.
“Ki Peda Sura akan menjadi
hantu yang mengerikan bagi tanah ini apabila ia berhasil melepaskan dirinya.
Apalagi apabila Ki Argapati masih belum sembuh benar dan belum dapat langsung
memimpin pemerintahan di Tanah Perdikan ini.”
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, sekarang bersiaplah
sambil menunggu perintah lebih lanjut.”
“Baik, Guru,“ jawab mereka
bersamaan.
Keduanya pun kemudian kembali
ketempat mereka semula. Sambil bersungut-sungut Gupala berkata, “Nah, kalian
dengar. Ayahku marah-marah ketika ia mendengar teriakan kalian. Disangkanya aku
benar-benar sudah menjadi pengecut dan lari.”
Kawan-kawannya tertawa. Salah
seorang dari mereka berkata, “Tampangmu memang tampang seorang pengecut.”
Gupala memberengut, namun
kemudian ia tertawa.
Sejenak kemudian maka beberapa
orang petugas telah membagikan makan bagi setiap orang yang akan ikut pergi ke
medan perang. Bagaimanapun juga, mereka harus membekali diri masing-masing
dengan kemungkinan yang sejauh-jauhnya.
“He,” berkata salah seorang
yang bertubuh kurus, “nikmatilah makan ini sebaik-baiknya. Siapa tahu, bahwa
nasi yang kita makan ini adalah butiran-butiran nasi yang terakhir kita
kenyam.”
“Hus,” desis kawannya, “mimpi
apakah kau tadi malam?”
“Tidak. Aku tidak bermimpi,”
jawabnya.
Demikianlah maka para pengawal
itu pun kemudian sibuk dengan makan masing-masing. Gupala dan Gupita pun makan
pula bersama dengan mereka.
Beberapa saat setelah mereka
makan, maka terdengarlah kemudian aba-aba dari beberapa orang pemimpin
kelompok. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda yang biasa
diperdengarkan untuk kepentingan serupa, supaya tanda-tanda itu tidak ditangkap
oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, apalagi petugas-petugas sandi
lawan.”
Aba-aba itu pun segera
merambat dan setiap orang menyebar ke seluruh padukuhan. Meskipun tanpa tanda
apa pun juga, namun tidak seorang pun yang kelampauan.
Demikianlah maka Menoreh telah
menyiapkan barisannya. Sementara matahari menjadi semakin dalam bersembunyi di
balik bukit.
Para pemimpin Menoreh pun
kemudian sibuk menyiapkan pasukan mereka. Pasukan yang telah dibekali oleh
pengertian yang mantap, untuk apa mereka pergi berperang.