S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-021
Sekali lagi Sidanti tersenyum.
Betapapun dadanya bergolak karena lepasnya Agung Sedayu, namun terhadap anak
muda Jati Anom ini ia ingin bersikap baik, sebagai permulaan dari hubungannya
dengan anak-anak muda di kademangan ini.
“Ia menjadi ketakutan, Paman.
Mungkin aku dapat menolongnya.”
“Apakah pedulimu atas pengecut
itu?”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Hubungan yang baik antara kita dan anak-anak muda Jati Anom
akan berakibat baik, Paman.”
Argajaya menggeram. Namun ia
tidak menjawab. Meskipun demikian pandangan matanya yang tajam seolah-olah
telah menghunjam menembus jantung Wuranta.
“Wuranta,” berkata Sidanti
kepada anak Jati Anom itu, “apakah kau menyangka bahwa suatu ketika Agung
Sedayu akan kembali kemari?”
“Itu adalah hal yang mungkin
sekali, Tuan. Bahkan mungkin tidak akan terlampau lama lagi. Hari ini, siang,
atau malam nanti.”
“Lalu bagaimana dengan kau?”
Wuranta terdiam sejenak.
Kemudian desisnya perlahan-lahan, “Agung Sedayu melihat aku datang bersama
Tuan-tuan. Aku sangka ia pasti mendendamku.”
“Lalu?”
“Aku harus bersembunyi, Tuan.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Sejenak ia berpikir. Dan ia tiba-tiba bertanya, “Apakah kau ingin ikut aku?”
Pertanyaan itu adalah
pertanyaan yang ditunggu-tunggunya. Tetapi meskipun demikian Wuranta tidak
segera menjawab. Wajahnya tampak ragu-ragu.
“Buat apa kau bawa anak itu?”
bertanya Argajaya.
“Apa salahnya kita menolongnya,
Paman. Mungkin anak muda ini dapat membantu kita.”
“Hanya seorang pemberani yang
bermanfaat bagi kita. Bukan seorang pengecut. Seandainya daerah ini kelak,
seperti diduga oleh Ki Tambak Wedi, akan menjadi landasan bagi Untara untuk
meloncat ke padepokan di lereng Gunung Merapi itu, maka anak semacam itu tidak
akan bermanfaat.”
“Tidak, Paman. Mungkin ia akan
berguna kelak.”
“Buat apa? Ia tidak akan
berani menginjak tanah ini kembali. Kalau kita memerlukan seorang anak muda
yang dapat memberi kita beberapa keterangan, ia harus seorang anak yang berani.
Berani berada di kampung halamannya untuk menyampaikan sesuatu kepada kita.
Tetapi anak ini? Biar sajalah ia mampus dibunuh Agung Sedayu.”
Sidanti menegangkan wajahnya
sejenak. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Paman adalah seorang pengawal
yang berani. Karena itulah Paman merasa muak melihat seorang yang berada di
dalam ketakutan. Tetapi adalah jauh berbeda, Paman dan anak muda Jati Anom
ini.”
Wuranta memperhatikan
pembicaraan tentang dirinya yang berlangsung di hadapan hidungnya, dengan
demikian ia pun mampunyai penilaian atas kedua orang itu. Argajaya adalah
seorang pemberani yang lugu. Yang terlampau percaya pada kekuatan diri. Sedang
Sidanti adalah seorang iblis yang licik. Keduanya pasti akan sangat berbahaya
baginya. Bahkan disadarinya, bahwa kepercayaan Sidanti kepadanya itu pun harus
diterima dengan sangat hati-hati. Namun bagaimanapun juga ia melihat kebenaran
anggapan keduanya. Argajaya pun mempunyai alasan yang kuat untuk menolaknya. Karena
itu, maka ia meyesal, bahwa ia telah bersikap terlampau takut menghadapi
keadaan. Tetapi semuanya telah terlanjur. Ia harus dapat memanfaatkan apa yang
masih dipunyainya sekarang.
Yang bertanya kepadanya
kemudian adalah Sidanti, “Wuranta. Apakah kau ingin turut aku?”
Kembali Wuranta terdiam.
“Kau akan tinggal bersama
pasukanku di padepokan guruku. Mungkin kau akan mengalami hal-hal yang baru,
yang dapat merubah sikapmu itu.”
Dengan ragu-ragu Wuranta
kemudian bertanya, “Lalu apakah tugasku di sana, Tuan?”
“Huh,” Argajaya berdesah,
“hanya orang-orang yang terlampau bodoh yang bertanya demikian.”
“Ya,” sahut Sidanti, “ternyata
kau memang agak terlampau bodoh. Tetapi tak apalah. Sebenarnya melihat wajahmu
aku mempunyai harapan, bahwa kau akan berguna bagi kami, tetapi agaknya otakmu
terlampau tumpul untuk wajah yang cerah itu.”
Sekali lagi dada Wuranta
berdesir. Kembali ia membuat kesalahan. Namun agaknya ia masih mempunyai harapan
ketika Sidanti berkata, “Yang pertama kau ucapkan adalah kesanggupan. Mungkin
kau harus berbuat sesuatu yang dapat membahayakan jiwamu. Bukankah kami terdiri
dari prajurit-prajurit yang sedang memperjuangkan suatu cita-cita?”
“Tak akan ia ketahui apakah
yang kau sebut cita-cita itu Sidanti. Baginya tak akan dimengerti, apakah arti
Pajang dan Jipang. Apakah arti perjuangan Ki Tambak Wedi menentang kekuasaan
Pajang sekarang ini. Untuk apa dan bagaimana?”
Sidanti terdiam. Tiba-tiba
anak muda itu merenungi wajah pamannya. Di dalam hati kecilnya sendiri
terbersit suatu pertanyaan, “Apakah pamannya mengetahuinya? Apakah pamannya
menyadari, bahwa di padepokan gurunya sekarang ada dua pihak yang mempunyai
pancadan yang berbeda menghadapi Pajang? Dan apakah pamannya sendiri menyadari
sepenuhnya, untuk apa ia berjuang? Untuk apa Ki Tambak Wedi menentang Pajang?”
Sebenaranya Sidanti sendiri
telah beberapa lama berusaha mencari alasan yang tepat yang dapat
dipergunakannya untuk membenarkan sikapnya menentang Pajang. Tetapi ia tidak
dapat menemukannya. Sementara ia dapat memuaskan dirinya dengan alasan yang
dicari-carinya. Mungkin ia dapat mengatakan kepada orang lain, bahwa ternyata
Pajang berbuat sewenang-wenang. Pajang sebenarnya tidak berhak untuk melintir
kedudukan Demak, merajai hampir seluruh pulau Jawa. Mungkin ia dapat
berpura-pura membenarkan sikap Arya Penangsang dari Jipang.
Tetapi ia tidak dapat berbuat
demikian kepada diri sendiri. Ia tidak dapat berkata bahwa Pajang tidak berhak
mewarisi kekuasaan Demak. Ia tidak dapat mengatakan kepada dirinya sendiri
bahwa Pajang berbuat sewenang-wenang. Beberapa usaha dari bupati-bupati di
sepanjang pesisir untuk melepaskan diri dari kekuasaan Demak setelah Demak
jatuh, tidak dapat disejajarkan dengan usahanya itu. Meskipun dari segi
kekuatan dan jumlah prajurit yang akan dapat dihimpunnya Sidanti tidak perlu
cemas. Di belakangnya terbentang suatu daerah yang luas di Pegunungan Menoreh.
Sisa-sisa kekuatan Jipang dan pengaruh Ki Tambak Wedi di sekitar lereng Merapi.
Bupati-bupati di pesisir pasti tidak akan dapat berbuat seperti apa yang
dilakukan oleh sisa-sisa prajurit Jipang yang putus asa itu.
Sidanti yang kebingungan itu
hanya dapat menemukan jawaban yang sama sekali tidak dikehendakinya. Meskipun
demikian setiap kali terdengar suara yang tidak diinginkannya itu, suara dari
relung yang jauh di dasar hatinya, bahwa pemberontakan ini hanya sekedar
didorong oleh nafsu, ketamakan, dendam, dan kebencian. Inikah cita-cita? Nafsu
untuk berkuasa dan kedudukan yang baik dengan cepat, ketamakan yang
berlebih-lebihan, dendam yang menyala-nyala di dalam dadanya karena
kegagalan-kegagalannya selama ini. Sementara itu hatinya dibakar oleh kebencian
yang hampir-hampir tidak dapat terkendali lagi.
Wuranta, anak muda Jati Anom
masih berdiri di mukanya dengan wajah termangu-mangu. Kata-kata Argajaya
benar-benar telah mencemaskannya. Ia melihat orang itu sebagai seseorang yang
banyak harus mendapat perhatiannya. Orang itu pada saat pertama telah tidak
menyenanginya. Maka bahaya daripadanya adalah bahaya yang pasti akan menjadi
paling besar.
Karena Sidanti dan Wuranta
masih juga berdiam diri, maka Argajaya-lah yang berkata pula, “Nah, Sidanti
tanyakanlah, untuk apa ia ikut ke padepokan Ki Tambak Wedi. Kau akan tahu dan
kau akan dapat mengukur sampai di mana tingkat kecerdasan otaknya.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dalam kebimbangan terdengar ia bertanya, “Ya, untuk apa kau ingin
ikut bersama kami, Wuranta?”
Pertanyaan itu telah
mendebarkan jantung Wuranta. Untuk masuk ke padepokan Ki Tambak Wedi memang
bukan pekerjaan yang mudah. Ia harus berhati-hati menilai pertanyaan itu. Ia
tidak akan dapat menjawab dengan alasan yang dibuat-buatnya seolah-olah ia
memihak kepada Jipang untuk menentang Pajang. Alasan yang terlampau dibuat-buatnya
pasti akan menimbulkan kecurigaan atas mereka berdua setelah mereka kecewa
terhadapnya karena kebodohannya.
Karena itu maka dicobanya
untuk menghindari jawaban atas pertanyaan itu, katanya, “Bukankah Tuan yang
telah menawarkan kepadaku untuk turut ke padepokan lereng Merapi?”
Argajaya mengerutkan
keningnya. “Gila,” desisnya. “Agaknya kau pandai juga berbantah. Tetapi jawaban
itu hanya menambah keyakinanku bahwa kau benar-benar anak yang bodoh.” Kemudian
kepada Sidanti ia berkata, “Lepaskan keinginanmu untuk membawanya.”
Tetapi agaknya Sidanti
berpendirian lain. Tenyata anak muda itu tertawa, “Jawabanmu benar,” katanya,
“memang akulah yang telah menawarkan kepadamu apakah kau ingin turut dengan aku
ke lereng Merapi.”
“Lalu bagaimana maksudmu,
Sidanti?”
“Aku bawa orang ini, Paman.
Mungkin justru kebodahannya itu akan dapat membantu kami dalam beberapa
kepentingan yang sesuai dengan sifatnya itu.”
“Terserahlah kepadamu,
Sidanti. Mungkin juga ia dapat membantu mengambil air di pancuran atau memanjat
kelapa di kebun-kebun.”
Sidanti mengangguk-angguk
sambil berkata, “Mungkin, Paman, tetapi mungkin juga untuk kepentingan yang
lain.”
Argajaya tidak mau berdebat
lagi dengan kemenakannya. Ia merasa bahwa Sidanti lebih banyak berwenang dari
padanya. Karena itu maka katanya kemudian, “Aku akan kembali.”
“Baiklah, Paman. Kita kembali
ke padepokan.” Kemudian kepada orang-orangnya ia berkata, “Kita kembali
sekarang.”
Argajaya tidak menunggu
mereka. Segera ia melangkahkan kakinya mendahului berjalan ke arah barat,
memunggungi matahari yang sedang memanjat lebih tinggi menghadap lereng Merapi
yang ujungnya menjadi kemerah-merahan seperti sedang terbakar. Dari mulutnya
mengepul asap yang putih, membumbung tinggi, namun kemudian menghambur karena
sentuhan angin pagi.
Orang-orang Sidanti itu pun
kemudian berjalan pula menyusul Argajaya di belakangnya, sedang Sidanti
berjalan paling belakang bersama Wuranta. Ketika mereka meninggalkan tlatah
Jati Anom maka bertanyalah Sidanti, “Kau benar-benar ingin meninggalkan kampung
halamanmu?”
Wuranta memandangi wajah
Sidanti dengan heran. Denga hati-hati ia bertanya, “Kenapa meninggalkan, Tuan?
Apakah aku kelak tidak akan dapat kembali lagi?”
“Tentu. Kau tentu akan
kembali. Bahkan hari ini kau dapat juga kembali ke kademangan ini.”
Wuranta heran mendengar
jawaban Sidanti itu. Hari ini ia dapat kembali ke Kademangan Jati Anom, apakah
maksudnya? Tetapi ia tidak segera menjawab atau bertanya. Ia menunggu Sidanti
itu menyatakan maksudnya. Ia harus sangat berhati-hati mengnadapi anak muda
yang tampaknya selalu tersenyum-senyum saja ini. Namun di balik wajahnya yang
terang itu, Wuranta merasakan sifat-sifat yang tidak dapat dijajaginya.
“Wuranta,” berkata Sidanti itu
kemudian, “kembali atau tidak kembali ke Jati Anom itu sangat tergantung
kepadamu sendiri. Kepergianmu ke lereng Merapi ini, meskipun berdasarkan atas
tawaranku, tetapi aku terdorong oleh keinginanku melindungimu karena kau takut
terhadap Agung Sedayu.”
“O” Wuranta hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apabila kau suatu ketika
merasa berani datang kembali ke kampung halamanmu, apakah keberatannya?”
“Tentu,” sahut Wuranta dengan
wajah yang bersungguh-sungguh, “aku tentu berani datang kembali ke kedemangan
ini.”
“Kenapa kau sekarang takut
kami tinggalkan?”
“Aku dapat kembali di malam
hari, Tuan. Meskipun seandainya Agung Sedayu ada di rumahnya, maka aku akan
dapat memilih jalan yang tak mungkin dilihatnya. Meskipun kami sama-sama anak
Jati Anom, namun beberapa bulan terakhir Agung Sedayu tidak ada di rumah. Ia
tidak melihat keadaan terakhir dari kampung halamannya, sehingga sudah tentu
aku lebih mengenalnya, apalagi di malam hari dan lebih-lebih lagi apabila aku
bersenjata seperti Agung Sedayu.”
“Kau ingin membawa pedang
seperti aku?”
“Aku memang pernah belajar
bermain pedang.”
“Siapakah yang mengajarimu?”
Wuranta mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia berkata, “Justru ayah Agung Sedayu semasa hidupnya.”
“Ki Sadewa?” Sidanti terkejut.
Wuranta mengangguk.
“Jadi kau murid Ki Sadewa?”
“Tidak sepenuhnya, Tuan. Aku
belum menjadi muridnya. Ki Sadewa agaknya ingin melihat apakah aku mampu
menjadi muridnya. Tetapi sampai saat meninggalnya, aku tidak pernah
dijadikannya muridnya. Mungkin pengaruh yang demikian itulah yang menyebabkan
aku takut terhadap anak-anak Ki Sadewa. Apalagi dengan Untara. Kalau ia yang
datang dengan tiba-tiba saat ini, mungkin aka sudah mati membeku.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia mempunyai penilaian yang agak berbeda terhadap Wuranta yang
disangkanya sekedar anak yang terlampau bodoh. Mungkin otak anak muda itu
memang tidak terlampau baik sehingga Ki Sadewa tidak meneruskan maksudnya untuk
menuntun anak itu, apalagi menjadikan muridnya.
Tetapi mungkin pula karena
sebab-sebab lain. Kali ini Wuranta berusaha untuk mencuri pusaka yang terdapat
di dalam rumah Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan sifat anak itu
tidak terlalu baik. Dengan demikian aku akan dapat mempergunakannya untuk
kepentingan yang barangkali sesuai dengan sifatnya yang tidak baik itu,” pikir
Sidanti sambil melangkahkan kakinya di samping Wuranta.
Tiba-tiba Sidanti itu
bertanya, “Kalau kau membawa pedang apakah kau berani melawan Agung Sedayu
seorang melawan seorang?”
Wuranta terdiam sejenak.
Sekali lagi ia membuat penilaian atas pertanyaan-pertanyaan Sidanti. Dan kali
ini ia menjawab, “Sebenarnya belum tentu aku dapat dikalahkan, Tuan. Tetapi aku
merasa bahwa Agung Sedayu adalah anak Ki Sadewa. Sebenarnya aku tidak hanya
belajar kepada Ki Sadewa sendiri, Tuan. Aku juga belajar kepada
tetangga-tetangga yang lain, bahkan anak-anak muda di Jati Anom ini menganggap
aku melampaui diri mereka. Tak ada seorang pun yang berani melawan aku
berkelahi.”
“Bagaimana dengan Untara dan
Agung Sedayu?”
“O” Wuranta menelan ludahnya.
Ia harus memainkan peranannya, cukup baik. Kalau tidak, anak muda yang dihadapi
itu agaknya cukup tajam untuk menangkap kesalahan-kesalahan yang kecil sekali
pun. “Keduanya itu terkecuali, Tuan.”
Sidanti tersenyum. Ia mendapat
kesan baru pada anak muda Jati Anom itu. Dan ia tidak menyembunyikan kesannya.
Katanya, “Kau anak muda yang sombong. Tetapi aku tidak yakin bahwa kau dapat
memenuhi sepersepuluh dari kata-katamu itu.”
“Kenapa, Tuan?” sahut Wuranta
dengan tiba-tiba sehingga langkahnya terhenti. “Kenapa tidak?”
“Kau berani kembali ke Jati
Anom sekarang?”
“O” Wuranta terdiam. Sementara
itu Sidanti tertawa.
“Jangan sekarang, Tuan.”
“Baik. Nanti malam?”
“Tentu, Tuan, apakah sebabnya
aku tidak berani.”
“Wuranta,” berkata Sidanti,
“kau akan menjadi kawanku yang terpercaya kalau kau dapat melakukan pekerjaan
yang akan aku berikan kepadamu.”
“Pekerjaan apakah itu, Tuan?”
“Tidak terlalu sulit. Kau
hanya akan mondar-mandir saja. Dari padepokanku ke Jati Anom dan sebaliknya.”
“Untuk apa, Tuan?”
“Apakah anak-anak muda di Jati
Anom menaruh kepercayaan kepadamu?”
“Tentu, Tuan” sahut Wuranta.
“Aku adalah tetua anak-anak muda di sini meskipun tidak dinyatakan secara
resmi. Memang ada satu dua anak yang tidak mau tunduk kepadaku dan kepada
sebagian besar dari anak-anak muda Jati Anom, tetapi dalam kesempatan seperti
sekarang ini, mereka pasti akan segera aku singkirkan.”
“Singkirkan bagaimana?”
bertanya Sidanti.
Wuranta mengerutkan keningnya,
jawabnya, “Aku pernah juga melakukannya, Tuan. Aku bunuh anak yang melawan
kehendakku beberapa hari yang lalu.”
Kini Sidanti tersenyum di
dalam hati. Ia menemukan seorang anak muda yang menyenangkan. Pengecut,
sombong, pendendam, pembual, dan licik. Namun Sidanti bukan anak kemarin sore
untuk segera mempercayainya. Sidanti cukup berhati-hati menghadapi anak-anak
muda yang baru saja dikenalnya.
Terhadap Wuranta ini pun
Sidanti cukup waspada meskipun tidak tampak pada wajah serta sikapnya. Meskipun
seakan-akan ia dapat mempercayai setiap kata-kata Wuranta, namun setiap kali
Sidanti itu mempersoalkannya di dalam hatinya.
Perjalanan mereka itu pun
semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan Ki Tambak Wedi di lereng
Merapi. Mereka kini telah melewati Randu Lanang. Dan beberapa ratus langkah
lagi mereka telah memasuki tlatah padepokan Ki Tambak Wedi.
Namun yang beberapa ratus
langkah itu terdiri dari jurang-jurang yang curam, tebing yang terjal di antara
hutan yang membujur di ereng-ereng Gunung Merapi.
“Inilah padepokan kami”
berkata Sidanti kepada Wuranta ketika mereka melihat sebuah padepokan di antara
rimbunnya dedaunan dan dikitari oleh hutan-hutau yang tipis. “Di sinilah aku
berprihatin selama bertahun-tahun membentuk diri di bawah pimpinan Ki Tambak
Wedi. Dan kini sebagian dari prajurit Jipang pun berada di sana pula.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika ia melihat berkeliling, maka hatinya menjadi berdebar-debar.
Setiap kali ia melihat ujung tombak mencuat dari balik batu-batu dan dari
belakang pepohonan. Beberapa kali pula ia melihat dua orang yang asyik duduk di
atas sebongkah batu. Namun ternyata bahwa kedua orang itu adalah dua orang di
antara para pengawas yang bertebaran.
“Penjagaan di sini cukup
baik,” desis Wuranta di dalam hati. “Alangkah sulitnya untuk dapat masuk tanpa
diketahui meskipun malam hari.”
Tetapi Wuranta tidak segera
menjadi putus asa melihat kerapatan penjagaan itu. Ia yakin, bahwa di suatu
tempat, akan dapat diketemukan tempat-tempat yang lemah dari penjagaan itu.
“Apakah yang sedang kau
renungkan,” tiba-tiba Wuranto terkejut mendengar pertanyaan Sidanti.
“Tidak apa-apa,” sahut
Wuranta, “tetapi aku heran apakah di tempat ini dapat diperoleh makan yang
cukup bagi seluruh isi padepokan?”
“Pertanyaanmu yang
pertama-tama berhubung dengan tempat ini adalah soal makan. Kenapa?”
Wuranta tidak segera menjawab.
Ternyata setiap kata-katanya mendapat penilaian cukup cermat.
“Kenapa kau tidak bertanya
tentang kekuatan yang tersimpan di dalam padepokan ini? Atau siapa saja yang
tinggal di padepokan ini sekarang. Atau di mana saja kami menempatkan para
penjaga kami?”
Wuranta tiba-tiba tersenyum.
Katanya, “Itu tidak menarik perhatianku, Tuan. Aku adalah seorang petani.
Ketika aku melihat tanah di lereng ini, aku segera menyangka bahwa di sini
tidak banyak dibangun tanah-tanah persawahan meskipun aku melihat parit yang mengalirkan
air yang cukup.
“Kau salah Wuranta,” jawab
Sidanti, “agak di bagian atas kau akan melihat sawah yang bertingkat-tingkat.
Sebuah air terjun yang cukup besar dan kebun-kebun salak yang luas. Nanti kau
akan menyaksikan sendiri, bahwa padepokan ini tidak kalah ramainya dengan
Kademangan Jati Anom. Tetapi bagi kaum dagang, padepokan kami tidak menarik
perhatian. Tidak seperti Jati Anom yang reja. Apalagi Sangkal Putung yang
merupakan persimpangan jalan bagi para pedagang keliling. Sehingga setiap kali
orang-orang kami harus turun menukarkan hasil bumi kami dengan orang-orang di
bawah kaki Gunung Merapi. Dengan Kademangan Jati Anom misalnya. Tetapi kalau
kau bertanya tentang pande besi, maka pande besi kami jauh lebih baik dari
pande besi di mana pun. Lebih baik dan lebih banyak. Pande Besi Sendang Gabus
yang terbunuh itu pun bukan seorang yang mengagumkan di daerah kami, daerah
Tambak Wedi.”
“Nama apakah sebenarnya Tambak
Wedi itu, Tuan?”
“Nama tempat. Padepokan kami
adalah Padepokan Tambak Wedi. Orang yang bertanggung jawab atas padepokan kami
kemudian disebut orang Ki Tambak Wedi.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia mengedarkan pandangan matanya menebar ke sekitar
Padepokan Tambak Wedi. Ternyata memang tanah itu adalah tanah yang subur.
Adalah di luar dugaannya bahwa padepokan setinggi itu ternyata berpenduduk
cukup padat. Kini padepokan itu menjadi semakin padat karena orang-orang Jipang
di bawah pimpinan Sanakeling berada di sana pula.
Sejenak kemudian maka mereka
pun telah memasuki Padepokan Tambak Wedi itu. Mereka menyusup sebuah regol yang
besar pada dinding padepokan yang tebal, kuat dan tinggi. Dinding batu hitam
yang diatur cukup baik melingkar seputar padepokan yang ramai.
“Dinding ini pun merupakan
sebuah persoalan” desis Wuranta di dalam hatinya. “Apakah seseorang akan dapat
meloncati dinding setinggi ini? Mudah-mudahan ada bagian-bagian yang
setidak-tidaknya mungkin dapat dipanjat.”
Tetapi Wuranta kemudian tidak
mendapat kesempatan lagi untuk berangan-angan. Segera ia sampai ke sebuah rumah
yang cukup besar. Sidanti membawanya masuk ke dalam rumah itu. Dan di dalam
rumah itu ditemuinya para pemimpin yang lain. Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda,
dan yang lain-lain.
Dengan canggung Wuranta duduk
di antara mereka, di antara orang-orang yang belum dikenalnya. Dengan demikian
maka ia harus menjadi lebih berhati-hati. Setiap katanya harus
dipertimbangkannya masak-masak supaya ia tidak terjerumus dalam kesulitan.
Beberapa orang dari mereka
menerima kedatangan Wuranta dengan sikap acuh tak acuh. Ada yang sama sekali
tidak memperhatikannya lagi seperti Argajaya. Kehadiran Wuranta bagi mereka
sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tetapi ada juga di antara
mereka yang menyambutnya dengan ramah. Hubungan yang baik dengan Jati Anom akan
sangat menguntungkan mereka. Terutama dalam segi kekuatan. Setidak-tidaknya
Jati Anom jangan sampai menjadi pangkalan yang baik bagi Untara seperti Sangkal
Putung. Kalau anak-anak mudanya tidak membantu, maka kedudukan Untara pun tidak
akan sekuat kedudukan Widura di Sangkal Putung.
Demikian jugalah harapan
Sidanti. Ia mengharap Wuranta dapat membantunya, membuat Jati Anom benteng
pertama bagi pertahanan Tambak Wedi. Tetapi dalam waktu yang pendek ini dia
belum dapat mengirimkan pasukannya ke Jati Anom karena berbagai pertimbangan.
Terutama pertimbangan tentang kekuatan yang belum mencukupi untuk dibagi-bagi.
Kalau ia menempatkan sebagian dari kekuatannya di Jati Anom, maka kekuatannya
itu pasti tidak akan dapat melawan seandainya Untara datang dengan prajurit
segelar-sepapan. Sedangkan menurut perhitungannya, maka kedatangan Untara pasti
tidak akan terlalu lama lagi.
Maka yang dapat dikerjakannya
sekarang adalah mempengaruhi anak-anak muda Jati Anom, supaya mereka tidak
dapat bekerja bersama dengan orang-orang Pajang, meskipun Untara dan Agung
Sedayu sendiri berasal dari Jati Anom. Wuranta adalah salah seorang dari
anak-anak muda Jati Anom yang akan dijadikannya alat untuk itu.
Karena itu, maka setelah
mereka duduk bersama sejenak, maka diajaknya kemudian Wuranta berjalan-jalan di
dalam padepokan itu. Ditunjukannya beberapa bagian dari kekuatannya di
Padepokan Tambak Wedi itu. Diberitahukannya beberapa nama yang dapat
menggetarkan dada anak muda Jati Anom itu. Tetapi sampai demikian jauh, Sidanti
masih tetap menyimpan rahasia-rahasia yang penting. Ia masih belum dapat
mempercayai anak muda yang baru saja dibawanya itu.
“Apakah yang menarik
perhatianmu, Wuranta?” bertanya Sidanti kemudian.
“Tuan,” jawab Wuranta,
“padesan yang di tengah-tengahnya dibelah oleh sebuah sungai adalah padesan
yang baik. Kehidupan di atasnya pasti diliputi oleh suasana tenteram dan damai
seperti padukuhan ini. Apalagi menurut penglihatan sepintas, padukuhan ini pun
dikelilingi oleh jalan yang cukup lebar. Bukankah begitu?”
“Memang padesan ini dibelah
oleh sebuah sungai” sahut Sidanti. “Tetapi tidak dikelilingi penuh oleh jalan
seperti yang kau maksud. Di sisi timur dan utara memang membujur jalan yang
cukup lebar. Di sisi barat sebuah jalan sempit, tetapi di sisi selatan
padepokan ini berbatasan dengan sebuah pategalan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi ia tidak segera bertanya.
“Kau memang seorang petani
yang tekun” berkata Sidanti. “Perhatianmu yang pertama-tama tertuju pada
sungai, jalan dan parit. Apakah kau tidak tertarik kepada hal-hal yang lain?”
“Tentu, Tuan,” jawab Wuranta,
“aku tertarik juga akan kekuatan prajurit di Tambak Wedi ini. Aku tertarik
kepada ketabahan hati mereka.”
“Apakah kau tidak ingin
menjadi seorang prajurit? Bukankah kau sudah pernah belajar bermain pedang?”
“Tentu, Tuan, aku ingin
menjadi seorang prajurit yang baik. Seperti Tuan, misalnya.”
Sidanti tertawa. “Kau pasti
akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik.”
Wuranta tertawa pula. Katanya,
“Tuan berolok-olok.”
Sidanti masih juga tertawa,
tetapi ia tidak menjawab kata-kata Wuranta itu. Sejenak ia berdiam diri sambil
melangkah mengelilingi padepokannya yang cukup luas. Setiap kali mereka bertemu
dengan beberapa orang laki-laki yang garang dengan pedang di lambung masing-masing.
“Hem,” desah Wuranta di dalam
hatinya, “padukuhan ini penuh dengan senjata yang siap menyambut pasukan Pajang
apabila mereka datang kemari. Alangkah sulitnya untuk mencapai padepokan ini.
Di antara cerung-cerung jurang dan tebing, pasukan Tambak Wedi mendapat
kesempatan yang cukup banyak untuk menyambut pasukan Pajang apabila mereka
merayap naik.”
“Wuranta,” tiba-tiba Sidanti
berkata, “kau dapat mencoba membantu kami apabila kau mau. Tetapi kau harus
yakin bahwa kami akan dapat mengenyahkan kekuasaan Pajang, setidak-tidaknya
untuk sementara dari tlatah di sekitar Gunung Merapi. Pengaruh Ki Tambak Wedi
cukup luas di sini. Sekarang baru dihimpunnya orang-orang yang percaya kepada
kekuatannya. Orang-orang dari segenap sudut daerah ini. Orang-orang dari
Prambanan, Mayungan, Pucangan, Asem Gede, bahkan kelak pasti dari daerah yang
lebih jauh, Wanakerta dan Mangir. Sedang aku sendiri adalah putera Kepala Tanah
Perdikan Menoreh yang luas. Semuanya itu akan merupakan landasan yang kuat
untuk melawan Pajang yang kini agaknya harus menghadapi kekuatan para bupati di
Pesisir Utara. Suatu ketika pasukan Pajang akan menjadi semakin lemah, sedang
kita menjadi semakin kuat. Suatu ketika maka Untara dan Widura pasti akan
ditarik kembali untuk menghadapi pemberontakan di sebelah timur kekuasaan Demak
lama. Nah, dalam pada itu kami akan dapat membangun kekuatan. Kau tahu, bahwa
Jati Anom akan dapat menjadi benteng yang kuat dari kekuasaan Ki Tambak Wedi di
sini? Kelak Jati Anom pasti akan menjadi pintu gerbang yang ramai dari suatu
daerah yang besar yang dapat menyaingi Pajang sekarang ini. Sebentar lagi Paman
Argajaya akan kembali ke Menoreh. Paman akan segera kembali membawa kekuatan
yang lebih besar dari kekuatan Pajang di daerah ini, sementara itu kita akan membangun
terus. Dalam pada itu, bantuan anak-anak muda Jati Anom sangat kami harapkan.
Kami tidak akan melupakan jasa-jasa yang telah kalian berikan. Terutama kau
apabila kau mampu menghubungi anak-anak muda sebayamu.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mendengar sebuah rencana yang besar dari seorang putera Kepala
Tanah Perdikan. Ia percaya bahwa Sidanti dapat mengerahkan tenaga manusia cukup
banyak dari tanah Pegunungan Menoreh. Ia percaya bahwa di tanah yang garang
seperti Menoreh, pasti telah dilahirkan laki-laki yang kuat dan garang pula,
yang sesuai benar dengan tugas seorang prajurit dalam keadaan seperti Sidanti
dan Argajaya kini. Dan ia dapat juga mempercayainya bahwa pengaruh Ki Tambak
Wedi memang cukup luas di daerah lereng Gunung Merapi. Beberapa orang terkenal
yang tersebar di beberapa daerah telah mengakuinya sebagai seorang guru dalam
olah kanuragan dan kebatinan.
Sejenak kemudian mereka pun
saling berdiam diri. Sekali-sekali Sidanti mencoba memandang wajah anak muda
Jati Anom itu. Tetapi Sidanti tidak segera mendapat kesan sesuatu pada wajah
itu. Namun sejenak kemudian Sidanti mendengar Wuranta itu bergumam, “Bukan
main.”
“Apa yang bukan main?”
“Tuan, dan Ki Tambak Wedi.
Apakah kelak Tuan akan dapat menjadi Sultan?”
Sidanti tertawa semakin keras.
Katanya, “Tidak setiap orang dapat menjadi Sultan. Tetapi siapa tahu, bahwa
suatu ketika aku mendapatkan tombak Kangjeng Kiai Pleret atau sepasang keris
Nagasasra dan Sabuk Inten atau keris yang keramat Kiai Sengkelat.”
“Apakah pengaruh senjata-senjata
itu?” bertanya Wuranta.
“Senjata-senjata itu adalah
senjata-senjata kebesaran. Senjata itu mempunyai pengaruh atas orang-orang yang
memilikinya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia memang pernah mendengar bahwa pernah terjadi perjuangan yang
dahsyat untuk memperebutkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi
ia tidak membuat tanggapan sepatah kata pun.
“Nah, pikirkanlah Wuranta.
Mungkin kau akan dapat menjadi seorang demang atau seorang kepala tanah
perdikan seperti ayahku. Tetapi apakah kau berani pulang ke Jati Anom?”
“Kenapa tidak, Tuan?”
“Kalau bertemu dengan Agung
Sedayu?”
“Sudah aku katakan, Tuan. Aku
akan datang malam hari, sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan Agung Sedayu
dapat dihindari.”
“Bagaimana mungkin kau dapat
bertemu dengan anak-anak muda yang lain?”
“Aku kunjungi rumahnya
masing-masing. Kalau aku sudah mempunyai cukup kawan, maka aku akan dapat
menyingkirkan Agung Sedayu.”
“Kalau Untara datang bersama
pasukannya?”
“Kami akan menyingkir.”
“Jangan. Biarlah kalian
tinggal di rumah kalian masing-masing. Kalian akan merupakan pembantu yang
baik. Kalian dapat memberitahukan kepada kami apa saja yang telah dilakukan
oleh Untara. Tidak perlu kau sendiri, sebab Agung Sedayu telah pernah melihat
kau datang bersama aku. Kau dapat menempatkan beberapa orang di Jati Anom. Dari
mereka kau akan mendapatkan beberapa keterangan yang akan kau bawa kemari.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Bagaimana?”
“Akan aku coba, Tuan” sahut
Wuranta.
Sidanti tersenyum. Tetapi
senyumnya itu sangat meragukan hati Wuranta. Ia tidak dapat menduga tepat arti
daripada senyumnya itu.
“Apakah kau masih ingin
berjalan-jalan?” tiba-tiba Sidanti bertanya.
“Ya, Tuan. Di manakah sawah
yang bertingkat-tingkat itu?” bertanya Wuranta.
“Perhatianmu sebagian besar
masih tertuju pada sawah dan parit. Tetapi baiklah. Marilah kita kembali, kau
akan mendapat kawan yang baik.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Diikutinya Sidanti berjalan kembali ke banjar ke tempat para
pemimpin laskar di Padepokan Tambak Wedi. Kemudian dipanggilnya seorang anak
muda yang sebaya dengan Wuranta. Alap-Alap Jalatunda.
“Adi,” berkata Sidanti kepada
Alap-Alap itu. “Kau mendapat seorang kawan. Kawan dari Jati Anom yang bersedia
membantu perjuangan kita. Ia ingin melihat-lihat daerah padepokan ini. Tetapi
perhatiannya sebagian besar tertarik pada sawah dan parit-parit. Nah, bawalah
ia berjalan-jalan supaya ia mengenal daerah ini dengan baik.”
Alap-Alap Jalatunda memandangi
Wuranta sejenak. Matanya yang tajam telah menumbuhkan berbagai pertanyaan di
hati Wuranta. Tetapi betapa tajam mata anak muda itu, namun anak muda ini pasti
tidak selicik Sidanti.
“Baiklah” jawab Alap-Alap
Jalatunda dengan ragu. “Marilah, ke mana kau ingin berjalan-jalan?”
Terasa bahwa anak muda yang
disebut bernama Alap-Alap Jalatunda ini agak terlampau kasar. Namun Wuranta
tidak akan dapat menolaknya.
“Pergilah, dan bawalah ke mana
kau suka” berkata Sidanti kemudian.
Keduanya pun kemudian
melangkah keluar. Tetapi belum lagi mereka meninggalkan halaman, terdengar
Sidanti memanggil Alap-Alap Jalatunda. Ketika mereka sudah berhadapan di muka
pintu, maka Sidanti pun berbisik perlahan, “Jangan kau anggap anak muda itu
seperti seekor kelinci yang bodoh. Ternyata ia cerdik melampaui kancil. Awasi
dan ingat-ingat apa saja yang ingin dilihatnya.”
Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda
tersenyum, “Apakah maksudmu, aku harus menyelesaikannya dan melemparkannya ke
sawah atau ke sungai?”
“Jangan. Kita harus
mendapatkan kepastian, apakah ia dapat kita pergunakan atau tidak.”
Kembali Alap-Alap Jalatunda
tersenyum. Katanya, “Hanya itu pesanmu?”
“Ya, dan tumbuhkan
kekagumannya atas kekuatan kita.”
Alap-Alap Jalatunda pun
kemudian membawa Wuranta berjalan berkeliling padepokan. Seperti yang
dikatakannya, Wuranta ingin melihat sawah yang bertingkat-tingkat dan parit
yang membelah sawah dan padepokan mereka. Tetapi hampir seluruh padepokan
dijelajahinya, namun belum juga ditemukannya apa yang dicari. Jalan untuk
memasuki padepokan itu.
“Aku tidak boleh tergesa-gesa”
katanya di dalam hati. “Kalau mereka mencurigai aku, maka selesailah tugasku.
Mungkin kepalaku besok akan ditemukan oleh Agung Sedayu di muka rumahnya.”
Akhirnya mereka pun kembali ke
tempat para pemimpin. Kembali Wuranta duduk dengan kaku di tengah-tengah orang
yang belum begitu dikenalnya. Sementara itu ia mendengar Sidanti berkata,
“Wuranta, kau akan segera menerima tugasmu setelah kau sehari berada di antara
kita. Tugas yang masih sangat ringan. Malam nanti kau harus turun kembali ke
Jati Anom. Lihat apakah yang terjadi di sana, dan coba lihat, apakah Agung
Sedayu masih di sana pula.”
Wuranta menjadi berdebar-debar
mendengar perintah itu. Ia tidak dapat meraba tepat maksud Sidanti. Ia melihat
anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya memancarkan seribu satu macam
kemungkinan.
Karena Wuranta tidak segera
menjawab, maka berkatalah Sidanti, “Bagaimana, apakah kau sanggup melakukannya?
Kau tidak perlu takut terhadap siapa pun. Kau harus belajar berani menghadapi
bahaya apabila kau benar-benar ingin menjadi seorang prajurit yang baik. Kau
dapat mengatakan kepada kawan-kawanmu di Jati Anom tentang apa yang kau lihat
di sini. Kekuatan Tambak Wedi tidak akan dapat digoyahkan hanya oleh kekuatan
Untara. Kalau seluruh prajurit Pajang di sepanjang pantai utara dan di seluruh
daerah Bang Wetan ditarik, mungkin Tambak Wedi dapat bedah. ltupun baru suatu
kemungkinan. Apalagi sebentar lagi kalau prajurit dari Menoreh sudah datang.
Maka tidak akan ada kekuatan yang dapat memasuki daerah Tambak Wedi. Semuanya
pasti akan hancur selagi mereka mencoba memanjat tebing Gunung Merapi ini.”
Wuranta masih berdiam diri.
Tetapi terasa detak jantungnya menjadi semakin keras memukul dinding dadanya.
“Nah, pergilah. Kalau kau
masih belum berani bertemu dengan Agung Sedayu, maka tugasmu hanyalah melihat
apakah ia masih berada di Jati Anom.”
Wuranta tidak akan dapat
terus-menerus berdiam diri tanpa menanggapi perintah itu. Karena itu maka
kemudian jawabnya per-lahan-lahan, “Baiklah, tuan. Aku akan pergi ke Jati
Anom.”
Sidanti tertawa. “Kenapa kau
ragu-ragu? Kau takut?”
“Tidak, Tuan” sahut Wuranta.
“Baik,” tetapi Sidanti masih
tertawa, “kalau kau berangkat senja nanti, maka besok pagi-pagi kau sudah kembali
kemari. Kau akan langsung memberitahukan tugasmu itu kepadaku. Apakah yang
telah terjadi di Jati Anom dan apakah Agung Sedayu masih berada di tempat itu.”
“Baik, Tuan” sahut Wuranta.
“Hubungi anak-anak muda yang
dapat mengerti apa yang akan kau katakan kepada mereka. Kepada yang berkeras
kepala kau dapat memberikan gambaran bahwa Tambak Wedi akan mampu menggilas
Jati Anom apabila dikehendaki. Mereka yang menentang akan hancur, sedang mereka
yang memilih perjuangan kami akan menikmati kemenangan.”
“Baik, Tuan.”
“Nah, sekarang
beristirahatlah. Berangkatlah senja nanti. Kau tidak perlu menemui aku lagi.”
Kemudian kepada salah seorang yang berada di tempat itu Sidanti berkata,
“Tempatkan anak muda ini di rumah Kakek Kriya.”
Wuranta pun kemudian dibawa
pergi ke pondokan yang diperuntukkannya. Ia harus beristirahat sejenak supaya
senja nanti ia dapat melakukan tugasnya. Berjalan kembali ke Jati Anom dan
pagi-pagi besok ia harus sudah menghadap Sidanti.
Sepeninggal Wuranta, Sidanti
meiihat Argajaya berdiri sambil bergumam, “Buat apa kau pelihara anak gila itu.
Apa pula gunanya kau bawa ia berkeliling padepokan ini kemudian kau lepaskan
kembali ke Jati Anom?”
Sidanti tersenyum, jawabnya,
“Sudah aku katakan, Paman. Ia akan merupakan alat yang baik untuk menakut-nakuti
anak-anak muda Jati Anom. Sedangkan kalau anak itu seperti yang dikatakannya,
mempunyai pengaruh yang baik, maka ia akan dapat menjadi jembatan untuk
mengenal anak-anak muda yang lain.”
“Kau terlalu percaya
kepadanya” berkata Sanakeling. “Apakah kau yakin bahwa ia tidak akan
berkhianat?”
“Sidanti tidak akan sebodoh
itu” sahut Sidanti. “Aku ingin melihat, apakah ia tidak sekedar alat Agung
Sedayu atau Untara untuk menjebak dan memasukkan orang-orangnya kemari. Karena
itu maka aku minta nanti senja apabila ia pergi, Adi Alap-Alap Jalatunda
mengikutinya. Lihatlah, apakah ia berhubungan dengan Agung Sedayu atau tidak.
Kalau ia menemui Agung Sedayu, maka anak itu besok akan tergantung di ujung
Kademangan Jati Anom. Mayatnya akan tergantung-gantung selama seminggu sebelum
kita memaksa orang-orang Jati Anom mengambil dan menguburkannya.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Argajaya yang sudah melangkahkan kakinya,
tertegun dan berpaling kepada Sidanti. Katanya, “Kau telah membuang waktu untuk
mengurus anak bodoh itu. Tetapi ada juga baiknya kau mengirimkan seseorang
untuk melihatnya.”
Sidanti tidak menjawab. Ketika
ia melihat wajah Alap-Alap Jalatunda, maka dilihatnya anak muda itu tertawa
sambil berkata, “Aku tidak saja ingin menggantungnya di ujung Kademangan,
bahkan aku ingin menggantung Agung Sedayu itu sendiri.”
“Jangan sombong,” desis
Sidanti, “kau hanya mengamat-amati anak itu. Kalau ia memasuki rumah Agung
Sedayu, cobalah lihat, tetapi hati-hati supaya bukan lehermu yang dijerat oleh
Agung Sedayu, apakah Wuranta menemui Agung Sedayu atau seorang perempuan tua di
rumah itu yang diakunya sebagai bibinya? Kalau ia menemui Agung Sedayu, maka
semuanya sudah jelas. Kau tidak usah berbuat apa-apa. Tinggalkan saja ia pergi
supaya kau tidak mati dibunuh oleh adik Untara itu. Besok anak itu akan datang
kemari lagi untuk menyerahkan lehernya.”
“Aku sendiri dapat
menyelesaikannya, Kakang,” berkata Alap-Alap Jalatunda.
“Kurang menyenangkan. Kita
bersama-sama akan membuat perhitungan dengan anak itu.”
“Tetapi,” berkata Sanakeling,
“apakah rahasia Tambak Wedi dengan demikian sudah diketahui oleh Agung Sedayu?”
“Tak ada yang dapat dikatakan
tentang padepokan ini selain kekuatan yang tangguh. Ia tidak melihat suatu
kelemahan pun. Aku belum tahu, rahasia apa yang sebenarnya disembunyikannya di
balik keinginannya untuk melihat sawah-sawah dan sungai di daerah ini.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Alap-Alap Jalatunda ia
berpesan, “Hati-hatilah kau, supaya bukan kau yang tergantung di ujung
Kademangan Jati Anom.”
Alap-Alap Jalatunda tertawa
mendengar pesan Sanakeling. Pesan itu terdengar sebagai suatu ucapan
sendau-gurau saja. Hatinya menjadi gembira mendapat suatu pekerjaan yang
baginya dapat memberi kesegaran setelah beberapa lama ia duduk saja
terkantuk-kantuk di padepokan itu. Kerjanya hanya berjalan hilir mudik, atau
memberi beberapa petunjuk kepada para prajurit dan orang-orang baru yang
berasal dari daerah sekitar padepokan itu, atau orang-orang yang datang dari
berbagai daerah karena pengaruh nama Ki Tambak Wedi atas keluarga mereka atau
orang-orang yang mereka hormati.
Tetapi kini ia harus mengikuti
seorang anak muda dari Jati Anom itu. Mengawasi dan kemudian berbuat sesuatu
apabila perlu.
Namun dalam pada itu terdengar
Argajaya berkata, “Jadi kalau kali ini anak Jati Anom itu tidak menjumpai Agung
Sedayu, kau akan mempercayainya untuk seterusnya?”
“Bukan berarti begitu, Paman”
jawab Sidanti. “Untuk seterusnya pun anak itu perlu diawasi. Baru setelah
terbukti kesetiaannya, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat dilepaskan.”
“Tidak banyak gunanya” gumam
Argajaya. “Anak itu tidak akan banyak memberikan apa-apa kepada kita. Pada saat
kau dapat suatu keyakinan bahwa ia dapat dipercaya, maka Untara sudah berada di
hadapan hidungmu.”
“Pada saat yang demikian kita
memerlukan bantuan anak-anak muda Jati Anom. Setidak-tidaknya mereka tidak
membantu pasukan Untara. Tidak menyediakan makan bagi mereka, apalagi
memberikan bahan-bahannya.”
“Untara dapat berbuat dengan
kekerasan.”
“Itulah yang kita inginkan.
Anak-anak muda itu akan merupakan minyak di dalam bumbung bambu. Kalau kita
mampu menyalakan, maka meledaklah bumbung itu.”
Argajaya tidak menjawab.
Kemudian ia meneruskan langkahnya keluar dari dalam bilik itu. Meskipun demikian
ia bergumam, “Kalau tekadmu telah bulat untuk melawan Pajang, sebaiknya kau
mengambil orang-orangmu dari Menoreh.”
Sidanti tidak menjawab, karena
Argajaya pun tidak berhenti. Sejenak kemudian orang itu telah hilang di balik
pintu.
Sanakeling dan Alap-Alap
Jalatunda pun kemudian meninggalkan bilik itu pula. Sekali lagi Sidanti
berpesan kepada Alap-Alap muda itu, “Jaga, jangan sampai ia mengetahui bahwa
kau mengikutinya supaya ia berbuat seperti yang dikehendakinya.”
“Apakah ia berangkat senja
nanti sebelum malam?”
“Kau takut dilihatnya?”
Alap-alap Jalatunda
mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya, “Sebelum gelap adalah sangat sulit
untuk mengikutinya tanpa diketahuinya.”
“Usahakan agar ia berangkat
setelah matahari turun di bawah cakrawala.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menjawab. Tetapi ia berjalan terus meninggalkan ruangan itu di belakang
Sanakeling.
Ketika mereka sampai ke
halaman, Sanakeling masih mencoba memperingatkan Alap-Alap Jalatunda,
“Hati-hatilah kau, Alap-Alap kecil.”
Alap-Alap Jalatunda
mempercepat langkahnya. Desisnya, “Apa sulitnya pekerjaan itu? Kalau anak itu
berbuat yang aneh-aneh aku tidak perlu menunggu besok. Malam nanti anak itu
akan aku gantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
“Jangan membuat perkara.
Turuti saja kata-kata Sidanti, anak gila itu. Dengan demikian kita tidak akan
banyak menemui kesulitan di sini.”
“Mau apa saja dia terhadapku?
Aku tidak takut terhadap murid Tambak Wedi itu.”
“Kau memang terlampau sombong.
Kau masih belum dapat menyamainya meskipun kau berlatih seorang diri hampir
setiap malam. Kau sangka Sidanti itu tidak berbuat sesuatu untuk mempertinggi
ilmunya?”
“Tidak,” sahut Alap-Alap
Jalatunda, “ia hanya menunggui bilik gadis itu saja siang dan malam. Tetapi ia
pengecut. Ia tidak berani masuk.”
Sanakeling berpaling
memandangi wajah Alap-Alap Jalatunda. Kemudian katanya, “Jangan hiraukan gadis
itu. Tetapi jangan pula berbuat sesuatu yang merugikan kedudukan kita di sini.
Sementara kita harus menerima saja keadaan ini. Kalau anak Jati Anom itu benar-benar
menemui Agung Sedayu, katakan saja hal itu kepada Sidanti, jangan kau lakukan
sendiri hukuman atasnya.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menjawab.
“Beristirahatlah,” berkata
Sanakeling, “kau malam nanti akan berjalan sepanjang malam.”
“Baiklah,” jawab Alap-Alap
itu, yang kemudian berjalan ke pondoknya yang didiaminya dengan beberapa orang
anak buahnya.
Senja itu Alap-alap Jalatunda
telah menyiapkan diri mondar-mandir di jalan kecil di tengah-tengah padepokan
itu. Pedang di lambungnya berkali-kali dirabanya, seakan-akan tangannya sudah
terlampau gatal untuk mempergunakan. Dengan gelisah ia mengawasi regol halaman
rumah tempat Wuranta beristirahat. Kalau-kalau anak Jati Anom itu berangkat
menunaikan perintah Sidanti.
Tetapi akhirnya ia tidak sabar
lagi. Alap-Alap Jalatunda itulah yang kemudian mendatangi pondokan Wuranta.
“Kau akan pergi sekarang?”
bertanya Alap-Alap itu.
“Ya, sebentar lagi” sahut
Wuranta. “Sekarang telah senja.”
“Masih terlampau siang.
Sebaiknya kau berangkat sesudah gelap.”
“Kenapa?”
“Tak seorang pun melihatmu
kecuali para penjaga. Mungkin ada orang-orang yang sengaja memata-matai
padepokan ini. Mereka akan melihatmu dan mungkin kau akan mendapat bahaya di
perjalanan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Baiklah,” katanya, “aku akan berangkat sesudah gelap.”
Mendengar jawaban Wuranta itu
maka Alap-Alap Jalatunda tersenyum di dalam hati. Kalau anak itu bersedia
berangkat sesudah gelap, maka pekerjaannya tidak akan terlampau sulit. Ia
merasa bahwa ia pasti jauh lebih berpengalaman dari anak muda yang bernama
Wuranta itu, sehingga ia akan mendapat banyak kesempatan untuk melakukan
tugasnya.
Ketika kemudian matahari
menjadi semakin rendah, dan tenggelam di balik punggung Gunung Merapi, maka
lereng di sebelah timur itu pun menjadi semakin suram. Warna kemerah-merahan
yang berpencaran di langit pun semakin lama semakin pudar, sehingga akhirnya
perlahan-lahan kabut yang hitam turun menyelimuti lereng Gunung Merapi itu.
Ketika seseorang menyalakan
pelita di dalam bilik itu, maka berkata Alap-Alap Jalatunda, “Hari telah mulai
gelap. Apakah kau sudah siap untuk berangkat?”
“Aku sudah siap sejak tadi”
sahut Wuranta.
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan keningnya, tetapi kemudian dipaksakannya bibirnya tersenyum, “Baik.
Marilah aku antar kau sampai ke perbatasan.”
“Aku berani berjalan sendiri.”
Sekali lagi Alap-Alap
Jalatunda mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi pula ia memaksa bibirnya
untuk tersenyum, “Kau memang berani. Tetapi supaya tidak menimbulkan salah
paham dengan para penjaga yang belum mengenalmu dengan baik.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Alasan itu memang masuk di akalnya. Karena itu maka jawabnya,
“Terima kasih.”
“Apakah kau juga memerlukan
senjata?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
Wuranta berpikir sejenak. Lalu
jawabnya, “Aku memang memerlukannya. Apakah kau mempunyai senjata rangkap?”
“Setiap orang mempunyai
senjata rangkap di sini. Bahkan setiap orang apabila dikehendaki dapat membawa
tiga atau empat pedang sekaligus. Pande besi di padepokan ini melimpah ruah.”
“Terima kasih. Apakah kau
dapat memberi aku sebuah pedang yang tidak terlampau besar?”
Alap-Alap Jahtunda
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Marilah kita berangkat. Aku
akan mengambil sebilah pedang untukmu sambil berjalan.”
Keduanya pun kemudian
berangkat meninggalkan rumah itu. Ketika mereka sampai di gardu dekat regol
halaman rumah itu, Alap-Alap Jalatunda berkata kepada salah seorang penjaganya,
“Beri aku pedangmu itu. Kau akan dapat mengambilnya lagi.”
Orang itu diam termangu-mangu.
Tetapi Alap-Alap Jalatunda berkata lagi, “Berikan pedangmu itu. Cepat! Dengan
wrangkanya.”
Orang itu tidak menjawab.
Tetapi dilepaskannya pedang beserta wrangkanya, dan diserahkannya kepada
Alap-Alap Jalatunda.
“Terima kasih” berkata
Alap-alap Jalatunda sambil menyerahkan pedang itu kepada Wuranta. “Anak muda
ini adalah anak muda yang berasal dari Jati Anom. Ia adalah kawan kita.
Kenalilah baik-baik.”
Orang-orang di dalam gardu itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian keduanya meneruskan
perjalanan mereka. Di sepanjang jalan itu, Alap-Alap Jalatunda masih sempat
bercerita tentang Padepokan Tambak Wedi. Bercerita tentang dirinya dan tentang
orang-orang Jipang yang berada di padepokan itu.
“Kekuatan Tambak Wedi
benar-benar di luar dugaanku” berkata Wuranta. “Alangkah besar pengaruh Ki
Tambak Wedi, sehingga ia mampu mengumpulkan sekian banyak laki-laki yang siap
untuk bertempur di pihaknya.”
“Huh,” Alap-alap Jalatunda
mencibirkan bibirnya, “omong kosong. Siapakah yang berkata demikian?”
“Sidanti. Bahkan Sidanti akan
dapat mengambil kekuatan yang tidak terhingga dari Bukit Menoreh.”
“Anak itu memang seorang
pembual. Sejak kita berada di sini ia berkata, bahwa ia akan dapat menyusun
kekuatan yang tidak akan dapat terkalahkan.”
“Bukankah kekuatan itu kini
telah terbentuk?”
“Kekuatan ini adalah
kekuatanku. Mereka adalah orang-orang Jipang yang setia kepadaku. Sepeninggal
Tohpati, tak ada orang lain yang dapat mereka percaya selain aku.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun di dalam kepalanya menjalar suatu pengertian baru, bahwa para
pemimpin di padepokan itu ternyata saling berebut pengaruh.
“Jadi siapakah sebenarnya yang
berkuasa di sini?”
Alap-Alap Jalatunda terdiam
sejenak. Pertanyaan itu sukar dijawabnya. Namun kemudian katanya, “Akulah yang
berkuasa atas orang-orang Jipang. Tetapi karena Sidanti di sini adalah tuan
rumah, maka aku wajib menghormatinya. Ia adalah murid Ki Tambak Wedi. Seorang
yang memiliki padepokan ini.”
Wuranta masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia bertanya, “Bagaimanakah hubungan
Sidanti dengan orang-orang Jipang yang berada di bawah pimpinanmu itu?”
Sekali lagi Alap-Alap
Jalatunda mendapat pertanyaan yang sulit. Tetapi akhirnya ia menjawab,
“Orang-orang Jipang di sini menghormatinya. Bukan karena anak itu sendiri,
tetapi karena gurunya, Ki Tambak Wedi.”
Wuranta terdiam sejenak.
Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa Sidanti telah membawa lari seorang gadis
Sangkal Putung. Adik Swandaru seperti yang diceritakan kepadanya. Karena itu
maka tiba-tiba timbullah keinginannya untuk bertanya, “Apakah Sidanti telah
beristri?”
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan keningnya. “Belum” jawabnya. “Ia adalah laki-laki pengecut. Ia
menyimpan seorang gadis di padepokan ini. Tetapi ia tidak berani mendekatinya.
Kalau gadis itu dibiarkannya saja, maka ia akan menyesal. Akulah nanti yang
akan mendapatkannya.” Alap-alap itu kemudian tertawa terbahak-bahak, sehingga
beberapa orang yang sedang berjaga-jaga di tepi jalan menjadi terkejut
karenanya. Namun tiba-tiba ia berhenti tertawa dan berkata, “He, sampai ke mana
aku mengantarmu?”
Wuranta tertegun mendengar
pertanyaan itu sehingga keduanya tiba-tiba saja berhenti. Sejenak Wuranta
memandangi wajah Alap-Alap Jalatunda, dan sejenak kemudian ia berkata,
“Terserahlah kepadamu. Tetapi agaknya kau sudah berjalan terlampau jauh.”
Alap-Alap Jalatuda mengerutkan
keningnya. Katanya, “Kita sudah berjalan sampai beberapa puluh langkah dari
regol padepokan. Tetapi kau masih belum lepas dari lingkaran pengawasan
orang-orangku. Marilah, aku antar kau beberapa puluh langkah lagi sampai
penjagaan yang terakhir.”
“Aku kira kau sudah
mengantarku cukup jauh.”
“Biarlah. Marilah.”
Kembali mereka berjalan
bersama-sama. Dan kembali Alap-Alap Jalatunda mulai membual. Bercerita tentang
dirinya dan tentang orang-orang Jipang di padepokan itu.
“He, apakah yang sedang kita
bicarakan tadi?” bertanya Alap-Alap Jalatunda itu.
“Seorang gadis” sahut Wuranta.
“Ya, seorang gadis cantik.
Sidanti mengambilnya dari Sangkal Putung.”
“Apakah gadis itu bakal
istrinya?”
Sekali lagi Alap-Alap
Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. Jawabnya, “Dicurinya gadis itu di tengah
jalan. Gadis itu adalah anak Demang Sangkal Putung.”
“Tetapi bukankah maksud
Sidanti mengambil gadis itu menjadi istrinya?”
“Darimana kau tahu?”
“Aku bertanya.”
Alap-Alap Jalatunda menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Mungkin. Tetapi mungkin pula tidak.
Melihat sikapnya yang cukup hati-hati, aku kira memang gadis itu akan
diperistrikannya. Kalau tidak, maka Sekar Mirah pasti sudah menjadi korbannya.
Tetapi Sidanti itu pun nanti akan tinggal menggigit jari.”
“Kenapa?”
“Gadis itu cantik sekali. Kau
kira aku seorang laki-laki yang buta akan kecantikan seorang gadis?”
“Tetapi bukankah gadis itu
seakan-akan milik Sidanti?”
“Omong kosong. Gadis itu
adalah barang curian. Aku akan dapat mencurinya, meskipun bukan membawanya
lari.”
Dada Wuranta menjadi
berdebar-debar. Gadis itu pasti adik Swandaru. Ia menjadi bertambah cemas
karenanya. Seorang gadis di dalam lingkungan laki-laki sekasar Alap-Alap
Jalatunda, Sanakeling dan Sidanti pasti akan sangat berbahaya, seperti seekor
ayam yang berada di dalam sarang musang. Tetapi bukankah dengan demikian akan
dapat timbul pertentangan yang semakin tajam di antara mereka? Meskipun
demikian, meskipun pertentangan itu akan dapat menguntungkan Pajang, namun
umpan yang diberikan ternyata terlampau mahal. Tidaklah sewajarnya, bahwa Sekar
Mirah harus dibiarkan saja di dalam sarang hantu-hantu supaya mereka saling
berkelahi satu sama lain.
Wuranta itu tiba-tiba terkejut
ketika Alap-alap Jalatunda bertanya, “He, apa yang kau renungkan? Apakah kau
ingin gadis itu juga?”
“Aku belum pemah melihatnya.
Sehari aku berada di padepokanmu, tetapi aku tidak bertemu dengan seorang gadis
cantik. Yang aku lihat hanyalah perempuan-perempuan yang garang seperti
kalian.”
Suara tertawa Alap-Alap
Jalatunda terdengar lagi memenuhi lereng-lereng Gunung Merapi. Dua orang
pengawas yang duduk di atas sebuah batu sebesar punggung gajah, mengawasinya
dalam kegelapan malam sambil bersungut, “Suara itu adalah suara Alap-Alap
Jalatunda.”
“Ya, agaknya ia mendapat
sesuatu” sahut yang lain.
Mereka terdiam ketika
Alap-Alap Jalatunda itu kemudian berjalan di sisi batu tempat mereka duduk.
“He, siapa di sini?”
“Aku, Ki Lurah,” sahut
pengawas itu.
“Buka matamu baik-baik. Anak
muda yang bernama Wuranta ini adalah kawan kita di sini. Kalau nanti ia kembali
dari Jati Anom, maka ia tidak boleh diganggu. Beritahu semua kawan-kawanmu yang
bertugas malam ini. Ingat, namanya Wuranta.”
“Baik, Ki Lurah.”
Kedua anak muda itu meneruskan
perjalanannya. Kini Wuranta justru berusaha menahan Alap-Alap Jalatunda untuk
tetap berjalan bersamanya.
“Apakah gadis itu
disembunyikan?” bertanya Wuranta.
“Kenapa ?”
“Aku ingin melihatnya. Aku
ingin menilai, apakah kau benar-benar mengerti kecantikan seorang gadis.”
“Besok kau akan melihatnya
apabila kau masih hidup.”
“Apakah aku nanti malam akan
mati?”
Alap-Alap Jalatunda itu
tersenyum. Kemudian katanya, “Nah, pergilah. Aku sudah cukup jauh mengantarmu.
Kau sudah melampaui pengawasan terakhir. Hati-hatilah di jalan. Lakukan
pekerjaanmu baik-baik.”
“Kalau aku berhasil, apakah
aku akan mendapat hadiah gadis yang cantik itu?”
“Huh, apa artinya kau buat
gadis itu? Gadis itu akan menjadi milikku.”
“Kau harus menyisihkan Sidanti.”
“Huh, Sidanti tidak banyak
berarti bagiku,” sahut Alap-Alap Jalatunda, namun kemudian ia berkata,
“sekarang pergilah. Besok pagi kau harus sudah menghadap Sidanti.”
“Kenapa tidak menghadap kau
saja? Bukankah pengaruhmu atas orang-orang Jipang jauh lebih besar daripada
Sidanti?”
“Padepokan ini adalah
padepokannya.”
“Dan gadis itu?” Wuranta
sengaja membakar hati Alap-Alap muda itu, meskipun hatinya masih saja
diselubungi oleh kecemasan. Mudah-mudahan segala sesuatunya tidak terjadi
seperti yang dikatakan oleh Alap-Alap muda yang buas itu.
Alap-Alap Jalatunda tidak
segera menjawab. Pertanyaan itu telah mendebarkan jantungnya. Tetapi di dalam
hatinya ia sibuk menilai diri. Apakah ilmu Sidanti masih juga jauh berada di
atas kepandaiannya? Selama ini ia telah mencoba menempa diri sendiri dengan
bekal ilmu yang telah dimilikinya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada
padanya untuk mencoba meningkatkan ilmunya. Dengan tekun ia memperbesar
kekuatannya dengan berbagai macam alat-alat yang dapat diketemukan: pasir, batu
dan pepohonan. Hampir setiap hari, apabila ia pergi mandi ke sungai, ia selalu
melatih jari-jarinya hampir seperempat hari dengan pasir tepian. Kemudian
latihan itu diulanginya di malam hari. Dicobanya pula untuk meningkatkan
kelincahan kakinya dengan meloncat-loncat dari batu ke batu. Kemudian berlari
di tebing-tebing sungai yang curam. Meloncat terjun, kemudian kembali berlari
mendaki lereng-lereng yang terjal.
Alap-Alap Jalatunda berharap
bahwa ilmunya akan menjadi semakin sempurna, sehingga apabila sekali lagi ia
bertemu dengan Agung Sedayu, maka ia tidak akan menjadi malu.
Tetapi sasaran itu ternyata
tidak saja ditujukan kepada Agung Sedayu. Kini, setelah ia melihat seorang
gadis yang cantik itu, tiba-tiba ia mulai menilai dirinya kembali. Namun kini
ia mencoba memperbandingkan dirinya dengan Sidanti.
Kedua anak muda itu, Wuranta
dan Alap-Alap Jalatunda untuk sejenak saling berdiam diri. Yang terdengar
hanyalah desir kaki mereka menyentuh kerikil yang tersebar di sepanjang jalan.
Sekali-sekali di kejauhan terdengar bunyi burung hantu yang seakan-akan sedang
meratap.
Wuranta menunggu jawaban
Alap-Alap itu. Tetapi ternyata Alap-Alap Jalatunda masih saja berdiam diri.
Tiba-tiba sekali lagi
Alap-Alap Jalatunda berkata, “He, sampai ke mana aku mengantarmu?”
Wuranta berpaling. Dipandangi
wajah Alap-Alap Jalatunda. Namun di dalam kegelapan malam, ia tidak mendapatkan
suatu kesan apapun. Meskipun demikian, dada Wuranta berdesir melihat ketajaman
mata anak muda itu.
“Sudahlah. Aku akan berjalan
sendiri. Mungkin langkahku akan lebih cepat. Besok pagi-pagi aku mengharap akan
dapat melihat gadis yang kau katakan.”
“Kau akan menjadi orang ketiga
yang menginginkan gadis itu besok.”
“Tidak ada orang lain?”
“Hampir semua laki-laki di
sini. Tetapi yang lain tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan kakang Sanakeling
pun lebih baik menutup matanya daripada berhadapan dengan Sidanti.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Menurut penilaiannya Sanakeling adalah seorang laki-laki yang kasar.
Tetapi agaknya orang itu lebih senang melihat darah di medan perang daripada
kecantikan paras seorang gadis. Meskipun demikian laki-laki yang kasar itu
tidak dapat diabaikan dalam memperhitungkan keselamatan Sekar Mirah.
Tetapi kali ini Wuranta belum
tahu, di manakah Sekar Mirah itu disimpan.
Alap-Alap Jalatunda pun
kemudian berhenti, melepaskan Wuranta berjalan sendiri. Ketika anak muda itu
melangkahkan kakinya, Alap-Alap itu berkata, “Hati-hatilah. Kau akan melampaui
hutan-hutan, meskipun tidak terlampau lebat, satu dua sungai yang curam, dan
Tegal Mlanding yang justru lebih lebat dari hutan. Mungkin kau akan bertemu
dengan harimau, tetapi lebih celaka lagi kalau kau bertemu dengan gerombolan
anjing-anjing liar yang ganas.”
“Tentu. Aku akan sangat
berhati-hati. Tetapi aku tidak takut menghadapi binatang-binatang itu, karena
aku cukup pandai memanjat.”
Alap-alap Jalatunda tertawa.
Katanya, “Aku sangka kau tidak takut karena pedang di lambungmu.”
Wuranta pun tertawa pula.
Sambil meneruskan langkahnya ia berkata, “Sampai ketemu lagi.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menjawab. Ditatapnya punggung Wuranta sampai anak muda itu lenyap ditelan oleh
kelamnya malam.
Ketika Wuranta telah tidak
tampak lagi Alap-Alap Jalatunda itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba
hatinya menjadi berdebar-debar ketika disadarinya, apa saja yang telah
dikatakan kepada Wuranta. Ia belum tahu, apakah Wuranta itu berpihak kepadanya
atau kepada Sidanti. Mulutnya begitu saja membual seperti apabila ia berada di
tengah-tengah orang-orang Jipang.
“Gila,” desisnya, “kalau anak
itu berkhianat, maka akan aku patahkan lehernya. Atau kenapa tidak sekarang
saja?”
Alap-Alap Jalatunda itu
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Sidanti menghendaki ia hidup.”
Alap-Alap Jalatunda kemudian
menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak begitu menyesal akan ketelanjurannya.
Bahkan kemudian berkata, “Kalau aku benar-benar berhasil mendapatkan gadis itu
sebelum Sidanti, maka aku tidak akan perlu merahasiakannya lagi. Aku pasti akan
menengadahkan dada untuk menerima tantangannya. Aku sekarang bukan lagi
beberapa bulan yang lalu. Mudah-mudahan usahaku dan ketekunanku selama ini
mendapat imbalan sewajarnya.”
Alap-Alap Jalatunda itu pun
kemudian melangkahkan kakinya lagi. Sambil meraba-raba hulu pedangnya ia
berkata, “Aku harus mengikutinya. Mudah-mudahan ia benar-benar menemui Agung
Sedayu. Besok anak itu pasti akan digantung di ujung Kademangan Jati Anom.”
Dengan demikian maka Alap-Alap
Jalatunda itu pun mempercepat langkahnya. Ia harus tidak kehilangan Wuranta.
Tetapi beberapa puluh langkah saja, Alap-Alap Jalatunda yang bermata setajam
mata burung Alap-Alap segera melihat sebuah bayangan yang berjalan beberapa
jauh di mukanya menuju ke Jati Anom. Bayangan itu adalah Wuranta, yang sama
sekali tidak menyadari bahwa sepasang mata yang tajam selalu mengikutinya.
Langkah Wuranta pun semakin
lama menjadi semakin cepat. Ia ingin segera sampai ke Jati Anom. Ia ingin
segera bertemu dengan Agung Sedayu dan Kiai Gringsing beserta Swandaru untuk
menceritakan pengalamannya yang pendek itu.
Jalan yang ditempuh oleh
Wuranta adalah jalan yang cukup gelap. Apalagi ia belum pernah berjalan
melewati daerah itu. Tetapi Wuranta mempunyai pegangan arah. Ketika ia berjalan
bersama Sidanti naik ke lereng Merapi, ia dapat mengenali bahwa tidak ada jalan
lain selain jalan yang dilewatinya itu. Meskipun di beberapa tempat jalan itu
tampaknya seakan-akan terputus oleh semak-semak, namun Wuranta berhasil
menembusnya.
Sebelah menyebelah jalan itu
adalah pepohonan hutan, yang meskipun tidak lebat tetapi cukup gelap. Wuranta
seakan-akan tidak dapat lagi melihat jalan di hadapan kakinya karena kepekatan
malam. Karena itu maka anak muda itu berjalan sambil menengadahkan kepalanya.
Diikuti saja celah-celah dedaunan yang menjelujur sepanjang jalan.
Tetapi yang masih belum
diketahuinya adalah, bahwa di belakangnya seorang anak muda yang garang telah
mengikutinya. Justru ingin melihat apakah Wuranta menemui Agung Sedayu atau
tidak. Karena itu, maka Wuranta sama sekali tidak memperhitungkan bahaya yang
kini sedang mengikutinya.
Ketika malam menjadi semakin
malam, maka Wuranta pun segera semakin mempercepat langkahnya. Angin malam yang
sejuk berhembus membawa udara lembab yang dingin. Meskipun demikian, namun
tubuh Wuranta telah menjadi basah karena keringatnya yang mengalir dari
lubang-lubang kulitnya.
Sementara itu, di belakangnya
Alap-Alap Jalatunda pun terpaksa mempercepat langkahnya pula. Anak muda ini pun
sama sekali tidak merasa betapa sejuknya malam karena hatinya sedang dibakar
oleh tugasnya. Ia pun ingin segera sampai ke Jati Anom untuk melihat apa saja
yang akan dilakukan oleh Wuranta. Bahkan sekali-sekali timbulah keinginannya
untuk menyelesaikan tugasnya dengan membunuh anak muda itu. Sudah terlampau
lama ia tidak meneteskan darah lawan dengan pedangnya. Rasa-rasanya sudah
bertahun-tahun. Tetapi selalu saja diingatnya, bahwa Sidanti menghendaki
Wuranta itu besok hidup-hidup menghadapnya. Kalau ternyata Wuranta itu
berkhianat maka Sidanti sendiri agaknya yang akan mendapat permainan.
Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda
itu menggerutu di dalam hatinya. “Huh, Sidanti ingin mendapat permainan tetapi
ia tidak mau mengambilnya sendiri malam ini.”
Dalam pada itu maka jarak yang
mereka tempuh pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan sejalan dengan itu,
maka Jati Anom pun menjadi semakin dekat pula.
Sekali-sekali Wuranta
mendengar suara binatang-binatang buas yang berkeliaran di hutan-hutan. Terasa
bulu kuduknya meremang. Tetapi ketika tersentuh tangkai pedangnya, maka kembali
ia menengadahkan wajahnya sambil berdesis seorang diri, “Ayo, siapa yang ingin
mencoba tajam pedangku?”
Tetapi ia menjadi ngeri ketika
didengarnya gonggong anjing liar di kejauhan. Anjing liar itu akan dapat
merupakan bahaya yang jauh lebih besar dari bahaya seekor harimau, karena
anjing itu biasanya bergerombol sampai berbilang puluhan.
Meskipun demikian Wuranta
masih dapat menghibur dirinya. “Aku pandai memanjat, sedang anjing-anjing itu
tidak akan dapat mengejarku.” Namun sejenak kemudian ia berdesis, “Tetapi
dengan demikian aku tidak akan dapat menyelesaikan tugasku. Kembali besok
pagi-pagi ke lereng Mierapi.”
Kadang-kadang Wuranta menjadi
berdebar-debar mengenangkan tugasnya. Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh
Sidanti? Apakah cukup apabila ia besok mengatakan bahwa Jati Anom tidak ada
perubahan sesuatu dan Agung Sedayu masih berada di rumahnya? Apakah dengan
demikian Sidanti akan datang dengan beberapa orang untuk menangkap Agung
Sedayu?
Dalam kebingungan itu ia
bergumam, “Lebih baik aku beritahukan saja kepada Agung Sedayu. Orang tua yang
bernama Ki Tanu Metir itu pasti akan dapat memberinya beberapa pertimbangan
yang baik baginya dan bagi aku. Bukankah nasibku sendiri bagaikan sebutir telur
di ujung tanduk yang runcing?”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Ia ingin menyerahkan bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan
kepada Ki Tanu Metir.
Dalam pada itu, di belakangnya
seorang anak muda sedang mengintainya. Apakah ia nanti akan menemui Agung
Sedayu atau tidak.
Perjalanan Wuranta dan
Alap-Alap Jalatunda itu pun semakin mendekati Jati Anom. Alap-Alap Jalatunda
menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia menjadi berdebar-debar?
“Persetan dengan Agung Sedayu,” tiba-tiba ia bergumam perlahan-lahan. “Kalau
aku nanti dilihatnya, baiklah, aku akan mencoba apakah aku sudah berhasil
menyamainya.” Tetapi meskipun demikian dada Alap-Alap Jalatunda masih terus
bergetar betapapun ia mencoba menenangkannya.
Kedua anak muda itu berjalan
dengan berbagai persoalannya sendiri-sendiri. Tetapi keduanya masih harus
meraba-raba, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Mereka, seperti malam
itu juga, berjalan di dalam kelam. Kakinya tidak akan dapat menghindar
seandamya seonggok duri berada tepat di bawah telapak kakinya yang sudah hampir
menginjaknya.
Tetapi tiba-tiba Wuranta itu
tertegun sejenak. Telinganya seakan-akan mendengar desir di balik dedaunan di
sisi jalan itu. Tetapi ketika dicobanya untuk mendengar sekali lagi, maka suara
itu pun lenyap.
“Siapa?” desisnya di dalam
hati. Dengan demikian maka langkahnya pun menjadi kian lambat.
Alap-alap Jalatunda yang
melihat langkah anak muda itu tertegun-tegun menjadi heran. Kenapa? Bahkan
kadang-kadang ia melihat Wuranta itu berhenti sama sekali untuk sesaat.
Sehingga dengan demikian maka Alap-Alap Jalatunda itu harus bersembunyi di
belakang pepohonan atau berjongkok di samping rumput-rumput ilalang yang tumbuh
liar di pinggir-pinggir jalan. Namun setiap kali suara desir itu di dengar lagi
oleh Wuranta.
Wuranta bukanlah seorang
penakut. Tetapi karena ia hampir belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa
semacam itu, maka hatinya pun semakin lama menjadi semakin berdebar-debar.
Sekali-sekali ia berpaling dan ditebarkannya pandangan matanya tajam-tajam berkeliling.
Tetapi yang dilihatnya hanyalah kelamnya malam. Pepohonan yang tegak membisu.
Sekali-sekali dilihatnya dedaunan bergerak-gerak disentuh angin malam.
Wuranta menarik nafas. Untuk
menenteramkan hatinya ia berkata kepada diri sendiri, “Tak ada sesuatu yang
perlu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan.”
Wuranta pun kemudian berjalan
kembali. Ditenangkannya hatinya. Ditetapkannya langkahnya seperti semula. Namun
terasa setiap kali jantungnya menghentak semakin keras.
“Beberapa langkah lagi aku
akan sampai ke ujung hutan” gumamnya. Tetapi di ujung hutan itu didapatinya
sebuah hutan perdu. Baru sesudah hutan perdu itu ia akan sampai ke daerah
persawahan dan pategalan dari desa-desa kecil sebelum ia sampai ke Kademangan
Jati Anom.
Ketika suara berdesir itu
masih saja di dengarnya, maka Wuranta-pun mempercepat langkahnya. Aku harus
segera sampai ke daerah persawahan. Aku harus berada di tempat terbuka supaya
tidak seorang pun yang dapat mengikuti aku dengan sembunyi-sembunyi.
Ternyata kegelisahan itu tidak
saja melanda Wuranta, Alap-Alap Jalatunda pun menjadi gelisah. Apakah anak muda
itu merasa bahwa beberapa langkah di belakangnya, seseorang sedang
mengikutinya? Tetapi Alap-Alap Jalatunda sama sekali tidak tahu, bahwa Wuranta
sedang diganggu oleh suara berdesir di antara pepohonan di sisi jalan.
Sedang Wuranta sendiri
akhirnya tidak mempedulikan lagi suara itu. Terdengar ia menggeram perlahan,
“Kalau ada seseorang yang ingin mengganggu aku, marilah, Aku tidak akan
gentar.”
Dengan demikian maka Wuranta
seakan-akan tidak lagi merasa seseorang berada di sisi jalan dan mengikuti
langkahnya. Dibiarkannya saja suara berdesir yang sekali-sekali masih juga
didengarnya. Meskipun demikian, namun tangan Wuranta itu selalu meraba hulu
pedangnya. Di dalam hati ia berkata, “Tidak bersenjata pun aku berani melewati
jalan ini. Apalagi kini aku mempunyai sebilah pedang.”
Yang didengarnya kemudian
adalah gonggong anjing liar di kejauhan. Kemudian disahut oleh sebuah auman
yang dahsyat. Terbayanglah di dalam kepala Wuranta, bahwa sedang terjadi
bertarungan yang sengit antara segerombol anjing-anjing liar melawan seekor
harimau. Anjing adalah binatang yang seakan-akan disediakan menjadi makanan
harimau. Tetapi kalau anjing-anjing itu sedang lapar, maka suatu ketika terjadi
harimau menjadi makanan anjing-anjing liar itu.
Tetapi ketika hiruk-pikuk itu
semakin menjauh, kembali terdengar sebuah desir yang lembut. Kini semakin dekat
di pinggir jalan, bahkan seolah-olah desir itu adalah desir kakinya sendiri
yang menyentuh daun-daun perdu. Namun yang dilihatnya tidak lebih dari
batang-batang kayu dan dedaunan.
Kegelisahan Wuranta semakin
lama menjadi semakin kuat melanda hatinya. Namun karena anak muda itu belum
memiliki pengalaman yang cukup, maka ia sama sekali tidak dapat menanggapinya.
Bahkan kemudian di cobanya menenangkan hatinya dan menganggap bahwa sebenarnya
tidak ada apa-apa sama sekali. Telinganya sajalah yang seakan-akan melihat
hantu, tetapi yang sebenarnya tidak ada apa-apa. Yang disangkanya hantu itu
tidak lebih dari sebuah ranting yang kering, atau selembar kelaras kering
ditiup angin.
Tetapi semakin lama Wuranta
justru menjadi semakin yakin, bahwa yang didengarnya itu bukan sekedar daun
kering yang gugur ditiup angin.
Dengan demikian maka akhirnya
Wuranta tidak lagi dapat menghibur dirinya dengan macam-macam dugaan. Mau tidak
mau ia harus mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa yang didengarnya itu
adalah langkah seseorang. Bahkan kemudian ia mendengar suara nafas yang semakin
deras dan desis perlahan-lahan. Karena itu maka Wuranta harus menyiapkan
dirinya menghadapi segala macam kemungkinan.
“Siapakah yang mengikuti aku?”
katanya di dalam hati. “Apakah ia orang lereng Merapi yang sengaja di kirim
oleh Sidanti untuk mengawasi aku, atau orang lain yang menyangka justru aku
orang dari padepokan Ki Tambak Wedi.”
Dalam kegelisahannya Wuranta
itu berhenti. Dihadapinya suara berdesir yang semakin dekat itu dengan hati
yang berdebar-debar. Bahkan untuk mengatasi kegelisahannya, tiba-tiba Wuranta
itu berkata keras, “He, siapa yang berada di balik pepohonan. Ayo, tampakkan
dirimu!”
Namun tidak terdengar jawaban.
Yang terkejut bukan kepalang mendengar sapa itu adalah Alap-Alap Jalatunda.
Ketika ia melihat Wuranta berhenti, Alap-Alap Jalatunda segera berdiri di
belakang sebatang pohon yang cukup besar melindungi tubuhnya. “Apakah Wuranta
telah melihat aku?”
Sekali lagi ia mendengar
Wuranta berkata, “Ayo, keluarlah dari persembunyianmu!”
Masih tak ada jawaban. Sedang
kegelisahan Alap-Alap Jalatunda pun menjadi semakin meningkat.
Dalam kegelapan malam ia
melihat bayangan Wuranta berdiri tegak seperti patung. Tetapi ia tidak melihat
Wuranta itu melangkah kembali ke arahnya.
“Apakah yang di lihat anak
itu?” desis Alap-Alap Jalatunda di dalam hatinya. Tetapi berbeda dengan
Wuranta, Alap-Alap muda itu telah menyimpan banyak sekali pengalaman di dalam
dirinya. Ia menganggap bahwa Wuranta sedang diganggu oleh firasatnya. Mungkin
Wuranta itu merasa sesuatu yang tidak pada tempatnya dan sekedar menganggap
bahwa seseorang sedang mengikutinya. Tetapi Alap-Alap Jalatunda tidak yakin bahwa
sebenarnya anak itu telah melihatnya.
Karena itu maka Alap-Alap
Jalatunda masih saja bersembunyi di balik sebatang pohon. Di dalam malam yang
gelap tidak sulit baginya untuk berusaha supaya Wuranta tidak dapat melihatnya
meskipun seandainya Wuranta itu berpaling ke arahnya.
Dari sisi pohon tempatnya
berlindung, Alap-Alap Jalatunda berusaha melihat bayangan anak muda Jati Anom
yang tampaknya menjadi sangat gelisah.
“Apakah anak itu dicekik
hantu?” gumam Alap-Alap Jalatunda perlahan-lahan.
Tetapi ia mendengar Wuranta
berteriak lagi, “Ayo, siapakah yang bersembunyi?”
“Uh,” desis Alap-Alap
Jalatunda, “penakut itu hampir menjadi gila.” Tetapi kemudian tumbuh pertanyaan
di dalam hatinya, “Apakah ia telah melihat aku, dan akulah yang di panggilnya?”
Hati Alap-Alap yang buas itu
berdesir. Bahkan terdengar giginya gemeretak. Sekali lagi ia bergumam di dalam
hatinya, “Setan, jangan terlampau sombong. Kalau kau menantang Alap-Alap
Jalatunda maka lehermu benar-benar akan aku patahkan.”
Kalau saja Alap-Alap Jalatunda
itu tidak selalu mengingat pesan Sidanti untuk membiarkan Wuranta itu hidup,
maka ia pasti sudah menyergapnya, membunuhnya dan melemparkan mayatnya ke dalam
parit.
“Sidanti ingin setan kecil itu
hidup sampai besok,” katanya pula di dalam hatinya, “tetapi kalau ia
menyerangku, apa boleh buat. Aku harus membunuhnya, dan membawa kepalanya
kembali ke padepokan. Tetapi aku tidak akan mendahuluinya. Aku akan menunggu di
sini sampai anak itu datang untuk membunuh dirinya.”
Namun tiba-tiba Alap-Alap itu terkejut.
Ia melihat Wuranta meloncat surut dan mencabut pedangnya. Dengan tegangnya anak
muda Jati Anom itu siap menghadapi segala kemungkinan dengan pedang yang datar
setinggi dada.
“Hem,” desah Alap-Alap
Jalatunda, “anak itu benar-benar telah menjadi gila karena ketakutan. Tetapi
melihat gerak tangannya ia memang memiliki sedikit kecakapan bermain pedang.”
Namun belum selesai Alap-Alap
Jalatunda berdesah kepada diri sendiri, ia kini benar-benar terkejut ketika ia
melihat dengan tiba-tiba sebuah bayangan lain yang melontar dari dalam gerumbul
di sisi jalan langsung menyerang Wuranta.
“O,” Alap-Alap muda itu
menggeram, “ternyata Wuranta tidak sedang gila. Tetapi orang yang menyerangnya
itulah yang gila. Tetapi siapa orang itu? Dan apakah maksudnya menyerang
Wuranta?”
Alap-Alap Jalatunda itu pun
menjadi tegang pula. Dengan tajam ia mencoba melihat apa yang seterusnya
terjadi.
Dan yang terjadi adalah sebuah
perkelahian yang sengit. Ternyata orang yang menyerangnya itu memiliki
kemampuan yang cukup baik seperti Wuranta yang ternyata mampu pula
mempertahankan diri.
Dalam gelap malam Alap-Alap
Jalatunda melihat dua bayangan hitam yang melontar berputaran. Serang menyerang
dengan serunya.
“Hem,” Alap-Alap Jalatunda itu
menarik nafas untuk mencoba melepaskan ketegangannya, dan kemudian berkata di
dalam hatinya, “ternyata Wuranta itu pandai juga bermain pedang, meskipun
ayunan tangannya masih juga seperti orang membelah kayu.”
Tetapi perkelahian itu sendiri
telah membingungkan Alap-Alap Jalatunda. Bagaimana ia harus bersikap menghadapi
pertempuran itu? Kalau kemudian Wuranta dapat memenangkan perkelahian itu, maka
rencananya sama sekali tidak berubah. Ia hanya mengikuti saja anak itu meneruskan
perjalanannya ke Jati Anom. Tetapi bagaimana kalau Wuranta itu terdesak?
“Setan” Alap-Alap itu
menggeram. “Siapakah yang berani mengganggu perjalanan ini. Orang itu pasti
tidak tahu bahwa di sini ada Alap-Alap Jalatunda.”
Tiba-tiba kening Alap-Alap itu
menjadi berkerut-merut. Tumbuhlah pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah orang
itu Agung Sedayu?” Menurut pendengaran Alap-Alap Jalatunda dari Sidanti, bahwa
Wuranta pagi tadi sedang dikejar-kejar oleh Agung Sedayu ketika dijumpainya.
Tetapi Sidanti meragukan kebenaran peristiwa itu. Bahkan Sidanti meragukan
sikap Agung Sedayu sendiri yang meninggalkannya berlari. Tetapi kalau hal itu
benar terjadi karena Wuranta ingin mencuri milik Agung Sedayu, maka adalah
suatu kemungkinan bahwa Agung Sedayu mendendamnya.
Tetapi Alap-alap Jalatunda
tidak melihatnya dengan jelas dari jarak itu, apalagi di malam yang gelap.
Alap-Alap Jalatunda tidak mudah untuk mencoba mengenali unsur-unsur gerak dari
lawan Wuranta itu.
“Apakah aku akan
mendekatinya?” Tetapi Alap-Alap Jalatunda menjadi ragu-ragu. Kemungkinan yang
tidak diharapkan cepat terjadi. Kalau Wuranta melihatnya, maka gagallah
tugasnya. Apalagi kalau orang yang menyerang Wuranta itu ternyata Agung Sedayu,
maka ia harus berkelahi melawannya. Dan ia tidak yakin, apakah ia pada saat itu
dapat mengimbangi adik senapati Pajang yang bertugas di sekitar Gunung Merapi
ini. Seandainya demikian, maka tugasnya pun akan gagal pula karenanya.
Sekali lagi Alap-Alap
Jalatunda menggeram. Ia benar-benar menjadi bingung dan tidak segera tahu apa
yang sebaiknya dikerjakan.
Dalam pada itu perkelahian itu
pun menjadi semakin lama semakin sengit. Wuranta berusaha melawan dengan.
pedang di tangan. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Namun
meskipun orang yang menyerangnya itu tidak bersenjata, tetapi kelincahannya
telah memaksa Wuranta untuk memeras keringatnya. Orang itu meloncat-loncat
berputaran mengelilingi Wuranta untuk menghindari sambaran pedangnya.
Sekali-sekali ia meloncat menjauh, namun tiba-tiba serangannya datang menyambar
dengan cepatnya. Seperti pusaran serangannya membelit dari segala arah.
Dengan sepenuh tenaga Wuranta
melawannya. Namun keragu-raguan di hatinya kadang-kadang telah mengekang
sambaran-sambaran pedangnya. Betapa dadanya dilanda oleh beberapa pertanyaan
tentang orang yang tiba-tiba menyerangnya. “Siapa dan mengapa?”
Tetapi serangan orang itu
semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan hampir-hampir tak tertahankan lagi.
Meskipun Wuranta belum merasa dikenai di bagian tubuhnya yang berbahaya, tetapi
ia merasa, apabila perkelahian itu diteruskan, ia pasti akan kehabisan tenaga.
Anak muda itu merasa beruntung
bahwa ia telah mendapatkan sepucuk senjata yang dapat menolongnya memperpanjang
perlawanannya. Tetapi sudah sekian lama ia berkelahi, namun senjatanya
seakan-akan hampir tidak berguna.
Meskipun demikian Wuranta
tidak segera menjadi berputus asa. Selama ia masih mampu menggerakkan
pedangnya, maka ia akan melawannya terus. Apapun yang terjadi. Namun dalam pada
itu, terbersit suatu penyesalan di dalam hatinya. Kalau ia gagal menghindarkan
diri dari orang yang menyerangnya itu, maka tugasnya pun menjadi gagal pula
karenanya. Gagal bukan karena kesalahannya, tetapi justru karena sebab-sebab
yang tidak diketahuinya.
Karena itu maka tiba-tiba
timbullah keinginannya untuk bertanya. Meskipun tangannya sibuk menggerakkan
pedang, namun dengan tersengal-sengal ia bertanya, “He, siapakah kau dan apakah
sebabnya kau menyerangku?”
Alap-Alap Jalatunda
lamat-lamat mendengar pula pertanyaan itu. Dengan demikian ia mengambil
kesimpulan bahwa orang yang menyerang itu sama sekali bukan Aguug Sedayu. Kalau
demikian siapakah ia? Apakah orang itu salah seorang yang sengaja ditugaskan
oleh Sidanti? Tetapi seandainya demikian, maka Alap-Alap Jalatunda pasti segera
dapat mengenalnya. Tetapi penyerang itu sama sekali belum pernah dikenalnya,
baik orangnya maupun tata geraknya. Dengan demikian maka Alap-Alap Jalatunda
itu menjadi semakin bingung. Karena itu, maka ia pun ingin sekali mendengar
jawab orang yang menyerang Wuranta itu.
Tetapi orang itu tidak segera
menyahut. Mereka masih saja berkelahi dengan serunya. Bahkan kemudian titik
perkelahian itu sudah berkisar ke sana ke mari.
Sekali lagi Wuranta yang sudah
mulai kelelahan itu bertanya, “Siapakah kau, dan apakah sebabnya kau menyerang
aku?”
Sejenak masih belum terdengar
jawaban. Dengan berdebar-debar Wuranta menunggu, bahkan Alap-Alap Jalatunda pun
menjadi berdebar-debar pula.
Tetapi sejenak kemudian
Wuranta itu pun terkejut bukan main. Hampir saja ia meloncat surut ketika ia
mendengar lawannya itu berbisik, “Jangan terlampau keras. Suaramu didengar oleh
orang lain.”
Kini Wurantalah yang terdiam.
Ketika perlawanannya menjadi kendor karena keheranan yang menghinggapi
perasaannya, terdengar lawannya berkata, “Lawanlah terus. Sepasang mata
Alap-Alap sedang mengintaimu.”
“Siapa kau?” Wuranta tidak
tahan lagi, sehingga sekali lagi ia bertanya keras-keras.
“Jangan terlampau keras” jawab
suara itu pula. Wuranta menjadi semakin heran. Tetapi jawaban itu benar-benar
mempengaruhinya, sehingga tanpa sesadarnya ia berbisik, “Siapa kau?”
Wuranta mendengar orang itu
tertawa perlahan sekali. Meskipun demikian serangannya sama sekali tidak
berkurang. Sesaat kemudian didengarnya orang itu menjawab, “Jangan lengah
supaya pedangmu tidak terlempar jatuh.” Orang itu terdiam sejenak. Lalu
terdengar suaranya kembali, “Kenapa kau berjalan ke Jati Anom malam ini?”
“Siapa kau?” bertanya Wuranta
kemudian.
“Apakah kau tidak dapat
mengenali aku?”
“Siapa?”
Kembali ia mendengar suara
tertawa, “Aneh, meskipun kau pandai juga bermain pedang, tetapi ingatanmu
ternyata kurang baik. Kau baru saja melihatku pagi tadi bersama Agung Sedayu.”
“He?” Wuranta menjadi semakin
heran. Tetapi ketika ia meloncat surut, serangan orang tua itu menjadi semakin
garang. Sekali lagi ia mendengar peringatan, “Berkelahilah terus. Seseorang
mengikutimu.”
“Siapa?” Wuranta berhenti
bertanya lalu katanya, “Maksudku siapa kau?”
“Tanu Metir” jawab suara itu
pendek.
“He?” sekali lagi Wuranta
menjadi heran. Ia mengenal dukun itu. Tetapi ia tidak menyangka bahwa orang tua
itu mampu bergerak sedemikian lincahnya. Meskipun ia telah menduga bahwa Ki
Tanu Metir memiliki beberapa kelebihan, tetapi bukan kelebihan jasmaniah. Namun
ternyata bahwa orang tua itu mampu berkelahi melampaui anak-anak muda yang
pernah dilihatnya.
“Apakah benar kau dukun tua
yang datang bersama Agung Sedayu?”
“Kenapa aku berbohong?
Bukankah kau masih dapat mengenali aku, setidak-tidaknya suaraku?”
Wuranta terdiam. Tetapi ia
berkelahi terus seperti permintaan lawannya yang mengaku bernama Ki Tanu Metir.
“Ya. Ya. Aku mengenalmu.”
“Nah, ketahuilah bahwa
seseorang mengikutimu, Alap-Alap Jalatunda”
“He?”
“Jangan terlampau keras.”
“Kenapa ia mengikuti aku?”
“Aku tidak tahu. Tetapi apakah
maksudmu datang kembali ke Jati Anom malam ini? Apakah hal itu tidak
menimbulkan kecurigaan mereka? Bahkan Alap-Alap Jalatunda telah mengikutimu
sampai di sini?”
Wuranta masih berkelahi terus.
Perlahan-lahan ia menjawab, “Aku harus pergi ke Jati Anom atas perintah
Sidanti. Aku harus melihat apa yang terjadi di kademangan itu dan apakah Agung
Sedayu masih ada di Jati Anom?”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat.
Sekali ia meloncat ke samping namun kemudian kakinya berputar hampir menyentuh
lambung Wuranta.
Wuranta mengumpat di dalam
hati. Orang tua itu benar-benar di luar dugaannya. Apalagi serangannya
seakan-akan bersungguh-sungguh sehingga apabila Wuranta lengah sesaat, maka
tubuhnya pasti akan dikenai oleh serangan Ki Tanu Metir itu.
Tetapi justru Wuranta
mengetahui bahwa lawanya adalah Ki Tanu Metir, maka tendangannya pun menjadi
ragu-ragu. Pedangnya tidak terayun-ayun dengan garangnya. Bahkan setiap kali ia
menahan ayunan senjatannya itu.
“Jangan ragu-ragu” berkata Ki
Tanu Metir. “Kalau kau ragu-ragu, maka mata Alap-Alap yang tajam itu pasti akan
mengetahuinya.”
“Dimanakan ia sekarang?”
“Tidak terlampau jauh. Karena
itu jangan terlalu keras. Kita bisa berkisar ke tempat yang lebih lapang supaya
ia tidak dapat mendekat.”
Demikian perkelahian itu
berkisar ke tempat yang agak lapang. Kesempatan Alap-Alap Jalatunda untuk
mendekati perkelahian itu menjadi semakin kecil. Karena itu, maka di kejauhan
Alap-Alap Jalatunda hanya dapat mengumpat di dalam hatinya yang semakin kisruh.
Sekali-sekali ia melihat Wuranta terdesak. Dalam keadaan yang demikian ia
benar-benar menjadi bingung. Apakah ia akan membantunya atau tidak? Tetapi
lawan Wuranta itu sudah jelas bukan Agung Sedayu dan bukan pula orang yang
dikirim Sidanti.
Sekali-sekali Alap-Alap
Jalatunda itu menggertakkan giginya. Ingin ia meloncat dan ikut serta berkelahi
di pihak manapun. Tetapi tugasnya telah mencegahnya berbuat demikian. Ia hanya
dapat menilai dengan tegang kedua orang yang sedang berkelahi itu.
“Tetapi Wuranta itu terdesak”
desisnya. “Mereka berkisar semakin jauh.” Lalu gumamnya, “Bagaimanakah kalau
Wuranta itu terbunuh. Apakah aku akan membiarkannya? Sidanti pasti menyangka
bahwa aku yang membunuhnya. Tetapi kalau aku membantunya, maka tugasku pun akan
gagal sama sekali.”
Dalam kebingungan itu
Alap-Alap Jalatunda berdiri saja seperti patung. Sekali-sekali dirabanya hulu
pedangnya namun kemudian tangannya itu terkulai dengan lemahnya, tergantung di
sisi tubuhnya yang bersandar sebatang pohon tempatnya berlindung.
Sementara itu Wuranta masih
juga berkelahi melawan Ki Tanu Metir. Perlahan-lahan Wuranta mendengar Ki Tanu
Metir berkata, “Kau ternyata sedang dalam pengawasan. Mungkin Sidanti ingin
membuktikan, apakah kau bukan sekedar seorang yang memancing kepercayaan seperti
yang sebenarnya kau lakukan. Karena itu berhati-hatilah. Ternyata lereng Merapi
itupun berisi orang-orang yang berotak terang meskipun kadang-kadang licik.”
“Jadi apa yang harus aku
lakukan?” bertanya Wuranta
“Pulanglah ke rumahmu. Aku,
Agung Sedayu, dan Swandaru berada di sana. Tetapi jangan terlampau cepat.
Berilah kami kesempatan masuk ke rumah itu. Apakah Agung Sedayu sudah mengenal
keluargamu sehingga ia dapat masuk dengan aman?”
“Aku kira sudah. Yang ada
dirumah hanyalah orang-orang tua. Tak ada orang lain lagi. Dan mereka pasti
mengenalnya. Mungkin mereka lupa, tetapi mereka akan segera ingat kembali
apabila Agung Sedayu menyebut dirinya.”
“Baik. Kami akan kesana. Kami
akan menemuimu di rumahmu sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bagi orang yang
mengikutinya.”
“Terima kasih atas peringatan
itu Kiai. Kalau aku tidak mengetahui bahwa seseorang mengikuti aku, maka besok
mungkin aku sudah digantung di pinggir jurang.”
“Suatu peringatan bagimu.
Hati-hatilah untuk seterusnya.”
“Baik, Kiai.”
“Sekarang bertempurlah
sesungguhnya. Aku akan menghindar dan meninggalkan perkelahian ini. Ingat,
jangan terlampau cepat, supaya aku mendapat waktu masuk lebih dahulu ke rumahmu
bersama Agung Sedayu.”
“Baik, Kiai.”
“Mulailah.”
Wuranta pun segera memutar
pedangnya lebih cepat. Tetapi tenaganya telah benar-benar hampir habis. Ia
harus mengerahkan sisa-sisa tenaga yang ada padanya untuk dapat bergerak lebih
cepat.
Alap-Alap Jalatunda yang
melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi semakin cemas. Ia tidak dapat
melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ketika perkelahian itu berkisar ke
tempat yang agak lapang, maka bayangan keduanya menjadi tidak jelas. Tetapi
dari jarak yang agak jauh itu, Alap-Alap Jalatunda hanya sekedar melihat dua
buah bayangan yang melontar ke sana ke mari. Sekali-sekali tampak sekilas sinar
gemerlapnya pedang Wuranta memantulkan cahaya bintang gemintang di langit.
Tetapi setelah itu maka kedua bayangan itu pun seakan-akan menjadi lebur tak
terpisahkan.
Setiap kali Alap-Alap
Jalatunda merasa bahwa Wuranta terdesak, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia
berdiri pada keadaan yang sulit.
Tetapi ia melihat suatu
perubahan pada perkelahian itu. Ia melihat salah seorang daripadanya terdorong
beberapa langkah surut bahkan kemudian berguling beberapa kali untuk
menghindari lawannya. Dalam pada itu, lawannya berusaha mengejarnya terus.
Sebuah pedang terjulur lurus-lurus ke depan sedang lawannya terus-menerus
menghindarinya.
Alap-Alap Jalatunda menarik
napas dalam-dalam. “Hem,” desahnya “ternyata Wuranta berhasil mengatasi
kesulitan. Agaknya anak itu cakap juga bermain pedang.”
Pertempuran itu memang hampir
sampai pada akhirnya. Wuranta dengan sisa-sisa tenaganya ingin menunjukkan
bahwa ia benar-benar sempat memenangkan perkelahian itu, dan Ki Tanu Metir pun
mampu pula bermain dengan baiknya. Kali ini ia beperan sebagai seorang yang
sedang didesak oleh lawannya. Sebagai seorang yang mencoba mengerahkan
sisa-sisa kekuatannya untuk menyelamatkan diri dari sambaran pedang.
Melihat saat-saat terakhir
dari perkelahian itu Alap-Alap Jalatunda menahan nafasnya. Setiap kali Wuranta
mendesak lawannya, Alap-Alap Jalatunda itu mengepalkan tinjunya. Seolah-olah ia
ingin meloncat dan membantu menerkam lawan Wuranta itu. Tetapi hanya giginya
sajalah yang terdengar gemeretak.
Alap-Alap Jalatunda itu
bersorak di dalam hatinya ketika melihat lawan Wuranta itu meloncat surut
beberapa langkah, kemudian dengan tergesa-gesa membalikkan tubuhnya dan berlari
meninggalkan anak muda Jati Anom itu.
“Jangan lari!” Alap-Alap
Jalatunda mendengar lamat-lamat suara Wuranta.
“Jangan sombong,” jawab orang
yang lari itu, “aku belum kalah.”
“Tunggu dan kita teruskan
perkelahian ini.”
“Belum waktunya.”
“Pengecut!”
“Kau pembual yang besar
kepala.”
“Siapakah kau he?” bertanya
Wuranta
Yang terdengar hanyalah suara
tertawa. Lawan Wuranta itu tertawa dalam nada yang tinggi. Demikian tajamnya
nada suara itu sehingga dada Alap-Alap Jalatunda serasa tertusuk beribu jarum.
Apalagi Wuranta, kali ini ia benar-benar menderita di dalam dadanya, bukan
sekedar sebuah permainan.
Untunglah bahwa suara tertawa
itu tidak terlampau lama. Suara tertawa yang aneh itu segera berhenti.
Wuranta tidak mampu lagi
berlari mengejar lawannya itu. Kini ia berdiri bersandar sebatang pohon di
pinggir jalan. Tenaganya benar-benar terkuras habis, apalagi isi dadanya serasa
hancur tersayat-sayat oleh suara tertawa yang bernada tinggi dan tajam itu.
“Hem,” desahnya, “siapakah
sebenarnya orang yang bernama Ki Tanu Metir itu? Tanpa tenaganya ia dapat
membunuh aku hanya dengan nada suaranya.”
Di tempat lain Alap-alap
Jalatunda pun berdiri pula bersandar sebatang pohon sambil menahan dadanya
dengan telapak tangannya.
“Gila” geramnya. Tetapi ia
tidak sepayah Wuranta. Tenaganya masih cukup kuat untuk menahan dirinya
meskipun suara tertawa itu benar-benar seperti meremas ulu hati.
“Hampir aku tidak percaya
bahwa orang yang memiliki kekuatan seperti orang itu dapat dikalahkan oleh
Wuranta. Suara tertawanya seakan-akan mempu merontokkan tulang-tulang iga.
Aneh. Mungkin ia mempunyai kekuatan batin yang tinggi, tetapi kekuatan jasmaniahnya
yang sangat kurang. Tetapi kenapa ia tidak berusaha mengalahkannya lawannya itu
dengan kelebihannya itu?”
Orang itu bagi Alap-Alap
Jalatunda telah menimbulkan pertanyaan yang sulit untuk dijawabnya. Tetapi
dengan demikian ia mengenal bahwa di lereng Merapi ini ada seseorang yang aneh.
Yang selama ini tidak pernah diperhitungkan. Orang itu bukan Agung Sedayu,
bukan Untara, bukan Widura, bukan Sidanti, dan bukan Ki Tambak Wedi.
Ketika Alap-Alap Jalatunda
telah terasa segar kembali, maka dijulurkannya kepalanya melihat apakah Wuranta
sudah meneruskan perjalanannya. Tetapi anak muda Jati Anom itu ternyata kini
malahan duduk di atas rerumputan kering bersandar pohon di sisi jalan.
Tampaklah ia terlalu payah setelah berkelahi sekian lama melawan orang yang tidak
dikenalnya.
“O, anak itu hampir mati”
gumam Alap-Alap Jalatunda di dalam hatinya. “Mudah-mudahan ia tidak mati karena
jantungnya rontok. Apabila demikian Sidanti akan marah kepadaku. Akulah yang
disangkanya membunuh anak itu. Tetapi kalau ia masih saja duduk di situ, maka
perkerjaan ini pasti akan tertunda. Kalau anak itu sampai ke Jati Anom setelah
terang, maka aku tidak akan dapat mengikutinya terus.”
Namun Alap-Alap Jalatunda
masih mencoba menyabarkan diri. “Biarlah ia sekedar bernafas.”
Wuranta yang duduk bersandar
sebatang pohon itu sebenarnya memang sedang berusaha untuk memulihkan nafasnya
yang tersengal-sengal. Tetapi ia juga sengaja beristirahat agak lama seperti
pesan Ki Tanu Metir. Meskipun kemudian nafasnya telah agak teratur, tetapi ia masih
saja duduk dengan tenangnya.
“Mampuslah tikus cengeng”
geram Alap-Alap Jalatunda yang hampir kehabisan kesabaran. Alangkah senangnya
apabila ia diijinkan meloncati anak muda itu dan kemudian mencekik lehernya.
Tetapi akhirnya Wuranta itu
berdiri juga. Sekali ia menggeliat, kemudian memijit punggungnya dengan kedua
tangannya.
“Pemalas” Alap-Alap Jalatunda
masih saja mengumpat-umpat seorang diri.
Wuranta itu akhirnya
melangkahkan kakinya juga. Perlahan-lahan. Bukan saja karena ia sengaja
memperlambat perjalanannya, tetapi sebenarnyalah bahwa ia sendiri sedang
kelelahan.
Ketika menurut perhitungan
Wuranta waktu yang diberikan kapada Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir
telah cukup, maka barulah ia mempercepat langkahnya. Pedangnya kini telah menggantung
di lambungnya.
Namun dalam pada itu ia dapat
juga berbangga kepada diri sendiri. Ternyata ia dapat juga bermain pedang,
meskipun tidak terlampau baik.
Langkah Wuranta itu pun
semakin lama menjadi semakin cepat. Angin yang silir telah menyegarkan tubuhnya.
Selembar-selembar daun yang kuning berguguran di atas tanah yang basah oleh
embun.
Alap-Alap Jalatunda
mengikutinya dengan berdebar-debar. Semakin dekat dengan Jati Anom hatinya
menjadi semakin tegang. Alap-Alap Jalatunda sendiri tidak berusaha menyadari
apakah sebabnya maka ia diganggu oleh kecemasan. Kalau sekali-sekali timbul
gambaran Agung Sedayu di dalam benaknya, maka cepat-cepat ia menggeram,
“Persetan dengan anak itu. Bahkan aku ingin berjumpa langsung dengan Agung
Sedayu supaya aku sempat membunuhnya dalam perang tanding sebagai laki-laki.”
Tetapi Alap-Alap Jalatunda
tidak meyakini angan-angan itu. Agung Sedayu yang dibencinya itu masih
merupakan seorang yang disegani.
“Tetapi suatu kali dendamku
akan aku lepaskan” Alap-Alap Jalatunda menggeram lagi.
Perjalanan itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat. Jati Anom kini telah berada di hadapan hidung
mereka.
Kini Alap-Alap Jalatunda tidak
lagi dapat lengah barang sekejap. Ia tidak boleh kehilangan Wuranta. Pekerjaan
untuk mengikutinya bukanlah pekerjaan yang mudah. Tetapi Alap-Alap Jalatunda
itu cukup berpengalaman, sehingga ia tidak banyak menemui kesulitan. Apalagi
Wuranta sendiri dengan sengaja membiarkan dirinya diawasi. Karena itulah
pekerjaan Alap-Alap Jalatunda itu menjadi terasa lebih mudah.
Alap-Alap Jalatunda menjadi
berdebar-debar ketika Wuranta berjalan dengan perlahan-lahan langsung menuju ke
rumah Agung Sedayu. Bahkan mulai timbullah kecurigaannya, bahwa anak itu
bukanlah anak yang dapat dipercaya. Kalau demikian maka prasangka Sidanti
atasnya benar-benar beralasan.
“O, umurmu tidak lebih sampai
besok” berkata Alap-Alap Jalatunda itu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia
tidak mau melepaskannya. Dengan hati-hati ia mengikuti anak itu sampai ke depan
regol rumah Agung Sedayu.
“Bukankah rumah itu rumah
Agung Sedayu” berkata Alap-Alap Jalatunda di dalam hatinya. Alap-Alap itu
pernah satu kali memasuki rumah itu bersama dengan Sidanti sebelumnya.
Di muka regol, Alap-Alap
Jalatunda melihat Wuranta itu berhenti. Ketika Wuranta itu kemudian dengan
hati-hati menjengukkan kepalanya di regol halaman, maka ia mulai menjadi ragu-ragu.
“Kalau anak itu sengaja
dikirim oleh Agung Sedayu, ia pasti tidak akan ragu-ragu lagi masuk ke dalam
halaman” desisnya kepada diri sendiri. Tetapi Wuranta itu tidak segera langsung
masuk ke dalam halaman. Karena itu maka keinginannya untuk melihat apa yang
akan dilakukan oleh Wuranta itu menjadi semakin besar. Kini ia tidak dapat
memastikan apakah Wuranta itu termasuk orangnya Agung Sedayu seperti yang
disangka oleh Sidanti.
Ketika Wuranta masuk, maka
Alap-Alap Jalatunda segera mendesak maju. Ia tidak mau kehilangan anak muda
Jati Anom itu. Dengan hati-hati pula diikutinya saja ke mana anak muda itu
pergi.
Dengan berdebar-debar
Alap-Alap Jalatunda melihat Wuranta pergi ke belakang. Dengan penuh perhatian
dilihatnya Wuranta pergi ke sebuah bilik di bagian balakang rumah Agung Sedayu.
Alap-Alap Jalatunda itu
berhenti dan segera bersembunyi di balik rumpun pisang ketika ia melihat
Wuranta pun berhenti. Anak muda itu segera melepas ikat kepalanya dan dengan
ikat kepala itu ia menutup wajahnya. Dilepasnya pula bajunya dan diikatkannya
di lambungnya.
“Apakah yang akan
dilakukannya?” bertanya Alap-alap Jalatunda kepada diri sendiri. Tingkah laku
Wuranta itu benar-benar menimbulkan keheranan di hatinya.
Alap-alap Jalatunda itu
berkisar semakin dekat ketika ia melihat Wuranta perlahan-lahan mengetuk pintu
bilik belakang rumah itu.
“Siapa?” terdengar seorang
perempuan bertanya.
“Aku bibi.”
“Siapa?”
“Aku.”
Perlahan-lahan terdengar amben
bambu bergerit, disusul oleh langkah seorang perempuan mendekati pintu. Sejenak
kemudian pintu itu pun bergerit terbuka.
Alangkah terkejutnya perempuan
itu ketika tiba-tiba ia melihat ujung pedang tepat mengarah ke dadanya. Hampir-hampir
ia memekik, tetapi segera Wuranta membentak, “Jangan membuat gaduh! Kalau kau
berteriak, maka perutmu akan berlubang.”
Perempuan itu terdiam. Ia
berdiri gemetar di muka pintu.
“Jawab pertanyaanku!” berkata
Wuranta. “Apakah Agung Sedayu masih ada di sini?”
Dengan tergagap perempuan itu
menjawab, “Aku tidak tahu, Tuan.”
“Jangan bohong! Aku melihatnya
sore tadi. Ayo katakan, apakah ia di rumah ini. Kalau tidak, maka kepala anakmu
itu akan aku penggal.”
“Jangan, Tuan. Kalau Tuan
ingin membunuh, bunuh aku saja.”
“Itu adalah urusanku, apakah
aku akan membunuhmu atau akan menggantung anakmu.”
“Anakku tidak bersalah apapun,
Tuan” perempuan itu mulai menangis.
“Kalau kau ingin anakmu
selamat, jawab apakah siang ini Agung Sedayu masih di sini?”
Perempuan itu ragu-ragu
sejenak. Tetapi ujung pedang Wuranta menjadi semakin dekat dengan dadanya. “Ayo
katakan! Atau kepala anakmu akan menggelinding di halaman ini?”
“Jangan, Tuan.”
“Katakan sebelum aku kehabisan
kesabaran!”
“Ya, siang tadi Angger Agung
Sedayu ada di rumah ini.”
“Apakah sekarang ia ada di
rumah ini juga?”
Perempuan itu terdiam. Kembali
ia mejadi ragu-ragu untuk mejawab pertanyaan itu. Tetapi pedang itu hampir
menyentuh dadanya.
“Bagaimana? Apakah kau tidak
dapat berbicara lebih cepat?”
“Aku tidak tahu, Tuan. Aku
tidak tahu.”
“Bohong! Jangan mencoba
berbohong ya. Aku tidak banyak mempunyai waktu untuk bercakap-cakap tanpa arti.
Atau kau menunggu aku marah dan kehilangan kesabaran sehingga anakmu mati?”
“Tidak, Tuan. Tetapi sebenarnyalah
aku tidak tahu apa-apa.”
Wuranta tidak menjawab. Tetapi
tiba-tiba ia melangkah maju sambil berkata, “Minggir, aku akan mengambil anakmu
yang sedang tidur itu.”
“Jangan, Tuan. Jangan”
Mata Wuranta yang menyembul di
atas ikat kepala yang menutupi wajahnya memancarkan sorot yang mengerikan.
Terdengar ia menggeram sambil beringsut maju. “Minggir, minggir, atau kalian
berdua aku bunuh bersama-sama.”
“Jangan, Tuan” rintih
perempuan itu. “Kalau tuan ingin membunuh aku, bunuhlah, tetapi jangan anakku
itu.”
“Persetan!” sahut Wuranta.
“Aku hanya akan menghidupimu kalau kau berkata sebenarnya. Ayo jawab di mana
Agung Sedayu sekarang?”
Perempuan itu terdiam.
“Cepat katakan, apakah ia
masih berada di sini?”
Tubuh perempuan itu bergetar.
Dengan suara parau ia menjawab penuh keragu-raguan. “Ya, Tuan. Angger Agung
Sedayu masih berada di sini.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. “Bagus!” katanya. “Ternyata kau menjawab sebenarnya. Di mana ia
sekarang? Apakah ia berada di dalam rumah, atau bersembunyi di atas kandang?”
“Angger Agung Sedayu baru
pergi, Tuan.”
“Cukup” potong Wuranta. Ia
tidak mau mendengar perempuan itu menjelaskan kemana Agung Sedayu pergi atau
bahkan mengatakan dengan siapa ia pergi.
“Keteranganmu sudah cukup. Aku
hanya ingin tahu apakah Agung Sedayu masih berada di Jati Anom. Ternyata anak
itu benar-benar anak yang sombong. Siang tadi ia telah dilihat oleh
kawan-kawanku dari lereng Merapi, tetapi ia merasa bahwa ia tidak perlu
melarikan dirinya.”
Perempuan itu hanya berdiam
diri.
“Jangan kau katakan kepada
Agung Sedayu, bahwa aku malam ini datang kemari. Kalau besok Agung Sedayu
mendengar kedatanganku dan anak itu lari, maka anakmulah yang akan aku penggal
lehernya.”
“Tuan,” perempuan itu hampir
menjerit, “bagaimanakah kalau Angger Agung Sedayu itu dengan kehendaknya
sendiri ingin pergi dari rumah ini meskipun aku tidak mengatakan sesuatu
kepadanya?”
“Mustahil! Kalau ia ingin
pergi, maka ia akan pergi siang tadi. Tetapi sampai malam ini ia masih berada
di rumah ini.”
“Tetapi anak muda itu sekarang
ternyata telah pergi. Bagaimanakah kalau ia tidak kembali?”
“Cukup, cukup! Sekarang
masuklah. Tutup pintu ini. Aku akan melihat pintumu sepanjang malam.”
Perempuan itu masih saja
menggigil di muka pintu rumahnya, sehingga sekali lagi Wuranta membentaknya,
“Masuk, cepat!”
Perempuan itu tidak dapat
berbuat lain daripada menurut saja perintah itu. Dengan tubuh yang gemetar ia
surut selangkah, dan dengan perlahan-lahan ia menutup pintu rumahnya.
“Jangan kau buka lagi pintu
rumahmu sampai besok, supaya kau tidak aku bunuh bersama anakmu.”
Tak terdengar jawab. Tetapi
Wuranta mendengar suara perempuan itu menangis. Dan tangis perempuan itu telah
menyentuh hati anak muda itu. Ia kenal benar siapakah perempuan penunggu rumah
Agung Sedayu itu. Dan ia dapat merasakan betapa ketakutan telah melanda
hatinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia sendiri sedang dalam keadaan
yang mengkhawatirkan.
Sesaat kemudian, dengan hati
yang trenyuh Wuranta melangkahkan kakinya meninggalkan pintu bilik di belakang
rumah itu sambil membetulkan baju dan ikat kepalanya. Sementara itu ia bergumam
di dalam hatinya, “Maafkan aku bibi. Aku telah membuat kau ketakutan.”
Wuranta tahu benar bahwa
Alap-Alap Jalatunda pasti sedang mengawasinya. Karena itu, maka iapun harus
tetap berhati-hati. Kini ia akan menuju ke rumahnya sendiri. Seperti pesan Kiai
Gringsing yang dikenalnya dengan nama Ki Tanu Metir, maka Agung Sedayu,
Swandaru, dan Ki Tanu Metir akan berada di rumah itu.
Wuranta pun kemudian dengan
hati yang berdebar-debar meninggalkan halaman rumah Agung Sedayu. Ketika ia
menginjakkan kakinya di atas jalan yang membelah pedukuhannya, maka sekali ia
berpaling. Halaman rumah itu tampak gelap. Dan ia tidak melihat seorang pun di
dalamnya. Tetapi ia yakin bahwa Alap-Alap Jalatunda sedang mengintainya.
Perlahan-lahan ia melangkahkan
kakinya di atas jalan yang berbatu-batu. Selangkah demi selangkah. Suara
gemerisik kakinya terdengar beruntun di tengah-tengah sepinya malam. Sekali-sakali
angin yang kencang bertiup menggerakkan daun-daunan yang hijau. Tetapi sejenak
kemudian sepi kembali.
Akhirnya Wuranta itu sampai
pula ke muka rumahnya. Sejenak ia ragu-ragu. Apakah Alap-Alap Jalatunda tidak
akan mengintai rumahnya itu pula? Tetapi mudah-mudahan orang itu tidak berhasil
melihat ruangan-ruangan di dalam rumahnya dari celah-celah dinding.
Perlahan-lahan ia melangkah
masuk ke dalam halaman. Hatinya yang berdebar-debar selalu saja mengusik
perasaannya. Tetapi ia melangkah terus.
Wuranta tidak menuju ke pintu
depan rumahnya. Anak muda itu berjalan di sisi pendapa dan membelok lewat di
samping gandok. Kemudian perlahan-lahan ia mengetuk pintu belakang.
“Siapa?” ia mendengar
seseorang menyapa.
“Wuranta” jawabnya.
Sejenak kemudian pintu itupun
terbuka dan anak muda itu hilang ditelan ke dalamnya.
Alap-Alap Jalatunda yang
selalu mengintainya menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa seolah-olah tugasnya
telah selesai. Ia hanya mendapat kewajiban untuk melihat apakah Wuranta menemui
Agung Sedayu atau tidak. Ternyata apa yang dilihatnya sama sekali tidak
menumbuhkan kecurigaannya atas anak muda Jati Anom itu. Bahkan ia senang
melihat cara anak muda itu mengetahui Agung Sedayu masih berada di rumahnya
atau tidak. Karena itu, maka Alap-Alap Jalatunda merasa bahwa tidak ada lagi
gunanya ia terlalu lama berada di Jati Anom.
“Aku akan mendahuluinya”
katanya di dalam hati. “Besok kalau Wuranta sampai padepokan Ki Tambak Wedi,
aku harus sudah berada di sana supaya dia tidak mendapat kesan, bahwa malam ini
aku telah mengikutinya. Mungkin ia masih akan singgah ke rumahnya sendiri.
Biarlah, itu tidak penting bagi tugasku.”
Alap-Alap Jalatunda itu pun
segera melangkah dengan hati-hati untuk meninggalkan Jati Anom. Ia tidak
memperhatikan apa yang terjadi seterusnya di rumah Wuranta. Dan ia sama sekali
tidak tahu, bahwa Agung Sedayu dan kawan-kawannya telah menunggu Wuranta di dalam
rumahnya untuk mendapatkan beberapa macam cerita tentang lereng Gunung Merapi.
“Tidak banyak yang dapat aku
lihat sehari ini” berkata Wuranta.
“Waktumu hanya sedikit,” sahut
Ki Tanu Metir, “tetapi tidak berarti bahwa kau telah gagal. Bukankah kau besok
akan kembali lagi?”
“Tidak besok Kiai,” jawab
Wuranta, “malam ini.”
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian terdengar Agung
Sedayu bertanya, “Apakah kita akan pergi bersama Wuranta malam ini Kiai?”
“Jangan” jawab Ki Tanu Metir.
“Kita sama sekali belum mendapat gambaran bagaimana kita harus mendekati rumah
tempat Sidanti menyembunyikan Sekar Mirah. Bagaimana cara kita memasuki
padepokan Ki Tambak Wedi dan bahkan Wuranta belum melihat di manakah rumah
tempat Sekar Mirah itu berada.”
“Apakah kita masih harus
menunggu lagi?” sahut Swandaru.
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
“kita harus lebih banyak mendapat petunjuk.”
“Kita menunggu sampai Sekar
Mirah mengalami nasib yang paling buruk dalam hidupnya?” bertanya Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tentu tidak. Tetapi kitapun tidak akan mempercepat nasib
yang paling buruk itu menimpanya. Bukankah begitu? Kalau kita dengan
tergesa-gesa melakukan usaha ini, dan akhirnya usaha kita dapat diketahui oleh
mereka, bukankah itu hanya berarti mempercepat bencana yang menimpa Sekar
Mirah?”
“Waktu itu tidak dapat kita
perkirakan. Mungkin hari ini Sekar Mirah telah kehilangan segala-galanya”
“Tidak” tiba-tiba Wuranta
menyela.
“Apakah kau tahu?” bertanya
Swandaru
“Menurut Alap-Alap Jalantunda,
Sidanti adalah seorang pengecut di hadapan gadis-gadis, sehingga Sidanti
membiarkan saja Sekar Mirah sampai sekarang di dalam penyimpanan. Bahkan
apabila ada kesempatan Alap-Alap Jalatunda itu sendirilah yang berbahaya bagi Sekar
Mirah. Tetapi menurut keadaan yang aku lihat, Alap-Alap Jalatunda tidak akan
dengan begitu saja berani menembus pengawasan Sidanti.”
Mereka kemudian terdiam
sejenak. Persoalan yang mereka hadapi adalah persoalan yang benar-benar
mendebarkan jantung. Bencana yang setiap saat dapat menimpa Sekar Mirah adalah
bencana pula buat kedua anak-anak muda murid Kiai Gringsing itu.
Tetapi mereka tidak dapat
mengingkari kenyataan yang mereka hadapi, bahwa Sekar Mirah kini berada di
dalam lingkungan yang penuh dengan bahaya. Seolah-olah gadis itu berada di
dalam suatu rumah yang dipagari dengan ujung tombak dan pedang.
“Kita tidak boleh menuruti
perasaan saja tanpa pertimbangan nalar, Ngger” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Dengan demikian kita akan dapat terjerumus ke dalam suatu keadaan yang tidak
kita kehendaki, sedang dengan demikian Sekar Mirah pun tidak akan dapat kita
selamatkan.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Mereka melihat segala macam kesulitan dan bahaya dengan darah
yang mendidih. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Yang terdengar kemudian adalah
gemeretak gigi Swandaru dan Agung Sedayu menggeram.
“Angger Wuranta,” berkata Ki
Tanu Metir, “Angger telah mendapatkan suatu kesempatan yang baik. Mudah-mudahan
kesempatan itu akan berkembang sehingga Angger segera dapat melihat tempat
Sekar Mirah disembunyikan dan jalan yang akan dapat kita lalui. Ternyata Angger
dapat melakukan tugas Angger sebaik-baiknya sehingga tidak anehlah bagi Angger
untuk mendapat kepercayaan yang lebih banyak lagi, Tetapi jangan kehilangan
kewaspadaan. Untuk waktu yang agak lama maka Angger pasti selalu di dalam
pengawasan Sidanti. Karena itu jangan sekali-sekali datang kembali ke rumah
Agung Sedayu. Kalau Angger mendapat kesempatan pulang ke Jati Anom, datang sajalah
ke rumah Angger dan meninggalkan pesan di sini.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menyadari bahaya yang timbul apabila kali ini Ki Tanu Metir tidak
memperingatkannya bahwa Alap-Alap Jalatunda sedang mengikutinya.
Dalam pada itu Alap-Alap Jalatunda
telah bersiap untuk meninggalkan Jati Anom. Ia melangkah perlahan-lahan
menyusuri jalan kademangan. Diamat-amatinya regol demi regol seperti belum
pernah dilihat sebelumnya. Dengan langkah yang ringan ia melintasi tikungan
demi tikungan.
Alap-Alap Jalatunda itu
kemudian berhenti sejenak di simpang empat induk kademangan. Diawasi jalan yang
lurus di hadapannya silang menyilang. Satu arah jalan itu akan sampai kerumah
Agung Sedayu, sedang ketiga arah yang lain akan menebar ke segala bagian
kademangan. Pada jalan itu kemudian bercabang-cabang jalan-jalan yang lebih
kecil menyusup ke segenap sudut.
Sejenak Alap-alap itu berdiri
diam disudut prapatan itu. Disandarkannya tubuhnya pada dinding batu hampir
setinggi dedeg dan pengawennya.
Tetapi tiba-tiba Alap-Alap itu
dikejutkan oleh derap kaki beberapa ekor kuda. Dengan sigapnya ia meloncat ke
atas dinding batu dan bersembunyi di antara daun-daun pepohonan yang rimbun.
Dengan hati yang berdebar-debar ia menunggu, derap kaki kuda siapakah yang
bergemeretak di sepanjang jalan kademangan di larut malam ini.
Tetapi Alap-alap Jalatunda
menjadi kecewa. Suara kaki-kaki kuda itu seakan-akan patah di tengah-tengah.
Hilang dan tidak berderap di bawah tempatnya berlindung.
“Setan,” Alap-alap itu
mengumpat, “siapakah yang berkuda di malam begini?”
Tetapi suara derap kuda itu
seakan-akan lenyap begitu saja. Yang didengar oleh Alap-alap Jalatunda kemudian
adalah desir angin malam terhempas di dedaunan dan dinding-dinding batu. Di
kejauhan suara cengkerik bersahut-sahutan dengan derik bilalang.
“Apakah aku mendengar derap
kaki hantu ataukah telingaku yang telah menjadi rusak,” gumam Alap-Alap
Jalatunda itu seorang diri.
Tetapi ia yakin bahwa ia telah
mendengar derap kaki kuda. Bahkan menurut perhitungannya tidak hanya seekor
kuda, tetapi paling sedikit tiga.
Hati Alap-Alap Jalatunda
menjadi tidak tenteram. Ia tidak dapat melupakan suara derap kaki-kaki kuda
itu. Karena itu, maka hatinya mendesak semakin kuat untuk mencari, di manakah
kuda-kuda itu berhenti.
Dengan hati-hati Alap-Alap itu
pun kemudian meloncat turun ke dalam halaman rumah di sisi jalan. Halaman yang
gelap oleh tanaman yang liar. Di sana-sini masih terdapat gerumbul-gerumbul dan
rumpun-rumpun bambu.
Alap-Alap Jalatunda itu pun
segera menyelusup di antara rumpun-rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul di
halaman. Terbungkuk-bungkuk ia berjalan ke arah suara kaki-kaki kuda itu
menghilang. Tiba-tiba ia teringat bahwa arah itu adalah arah rumah Untara.
“Setan,” desisnya, “apakah
mereka itu Agung Sedayu dengan kawan-kawannya atau bahkan Untara sendiri.”
Keinginannya menjadi semakin
mendesak. Dan ia menyuruk semakin cepat ke arah rumah Agung Sedayu. Seakan-akan
ia mendapat kepastian bahwa kuda-kuda itu telah masuk ke dalam halaman rumah
itu.
Ketika ia sampai di halaman di
samping halaman Agung Sedayu, maka ia pun menjadi semakin hati-hati. Beberapa
saat ia berdiri saja di bawah dinding di halaman seberang. Diperhatikan keadaan
dengan saksama.
Tiba-tiba dadanya berdesir
ketika ia mendengar suara ringkik kuda di halaman rumah Agung Sedayu. Kemudian
ia mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap di dalam rumah. Tetapi ia
tidak dapat menangkap kata-kata yang diucapkan.
“Demit itu agaknya” Alap-Alap
itu mengumpat di dalam hati. “Agung Sedayu atau bukan, tetapi mereka ternyata
lebih dari seorang. Kalau mereka bukan Agung Sedayu, maka sedikit-dikitnya
rumah itu berisi empat orang bersama Agung Sedayu.”
Alap-alap Jalatunda itu
kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia beringsut meninggalkan
halaman itu untuk kembali ke lereng Gunung Merapi. Setidak-tidaknya ia telah
menyelesaikan tugasnya mengawasi Wuranta. Dan kini tanpa disengaja ia telah
melihat beberapa ekor kuda masuk ke dalam halaman rumah Agung Sedayu. Dengan
demikian apabila mereka turun dari lereng Merapi, mereka harus memperhitungkan
keadaan itu. Mereka tidak dapat turun seenaknya, berdua, bertiga atau bahkan
seorang diri.
Dengan sedikit keterangan itu,
Alap-Alap Jalatunda meninggalkan Jati Anom. Bahkan ia ingin tahu, apakah besok
Wuranta dapat juga membuat laporan tentang kuda-kuda itu.
Karena itu maka Alap-Alap
Jalatunda tidak sempat melihat apa yang terjadi sesudah itu di Jati Anom.
Ternyata ketiga orang berkuda
itu adalah utusan Untara. Mereka harus mendahului pasukannya yang segera akan
sampai pula di Jati Anom besok. Mereka harus mengetahui apakah Jati Anom sudah
siap menerima mereka. Apakah di Jati Anom tidak ada bahaya yang dapat
mencelakakan pasukannya.
Ketiga orang berkuda itu
kemudian diterima oleh perempuan yang menunggui rumah Agung Sedayu.
Diceritakannya apa saja yang baru saja dialaminya. Diceritakannya tentang
seorang laki-laki yang wajahnya tertutup oleh ikat kepala tanpa baju dan
mengancamnya dengan pedang.
“Apakah orang itu kini mencari
Agung Sedayu” bertanya salah seorang dari orang-orang berkuda itu.
“Aku tidak tahu” jawab
perempuan itu. “Tetapi aku tidak mengatakan kemana Agung Sedayu pergi, dan
orang itu tidak menanyakannya pula.”
“Tetapi kau mengatakan bahwa
Agung Sedayu hari ini masih di kademangan ini?” bertanya orang berkuda itu.
“Aku kehilangan akal ketika
orang itu mengancam akan membunuh anakku.”
Orang-orang berkuda itu
terdiam. Sejenak kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Di manakah Agung
Sedayu sekarang?”
Perempuan itu ragu-ragu
sejenak. Ia sama sekali belum mengenal laki-laki berkuda itu. Karena itu, maka
ia tidak segera menjawab.
“Kau mencurigai kami pula?”
bertanya salah seorang dari mereka.
Perempuan itu masih juga
berdiam diri.
“Adalah sewajarnya kau
mencurigai kami. Tetapi biarlah kami mencoba mendapatkan kepercayaan darimu.
Aku tahu dari Ki Untara tentang rumah ini. Bahwa ada seorang perempuan yang
menunggui rumah ini. Aku mengetahui dari Ki Untara pula, bahwa Agung Sedayu
datang ke rumah ini dengan kedua orang kawannya. Seorang bertubuh gemuk bernama
Swandaru dan seorang lagi telah agak lanjut usia. Bukankah begitu?”
Perempuan itu menganggukkan
kepalanya.
“Apakah kau masih ragu-ragu.
Kalau kau mengenal kelengkapan prajurit, maka melihat pakaianku kau akan segera
mengenal bahwa aku seorang prajurit.”
Perempuan yang tidak banyak
mengetahui seluk-beluk keprajuritan itu sama sekali tidak dapat segera
membedakan pakaian seorang prajurit dan bukan. Tetapi keterangan orang itu
tentang Agung Sedayu memberinya sedikit kepercayaan. Dalam tanggapannya, ia
melihat beberapa perbedaan yang tidak dapat dikatakannya, antara orang-orang
ini dan orang-orang lereng Merapi yang satu dua pernah dilihatnya berkeliaran
di Jati Anom.
“Jadi apakah Tuan-tuan ini
prajurit Pajang?”
“Ya, aku adalah prajurit
Pajang yang datang dari Sangkal Putung.”
Sejenak perempuan itu
mematung. Diawasinya prajurit-prajurit Pajang itu dengan seksama seolah-olah
hendak meyakinkan diri bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang tidak
berbahaya.
Para prajurit Pajang itu pun
sengaja berdiam diri. Dibiarkannya perempuan itu menilai diri mereka.
Akhirnya perempuan itu
berkata, “Aku sendiri tidak tahu kemana Angger Agung Sedayu pergi.”
Prajurit-prajurit itu
mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi perempuan itu
masih memberi keterangan
“Angger Agung Sedayu hanya
meninggalkan sekeping papan, yang hanya boleh aku tunjukkan kepada orang-orang
yang tidak mencurigakan.”
“He?” ketiga prajurit itu
menjadi heran. Apakah arti papan itu bagi mereka?
Mereka menjadi bertanya-tanya
didalam hati ketika perempuan itu pergi dan mengambil sepotong papan bekas
sebuah peti yang rusak. Di atas papan itu terlukis beberapa buah coretan dengan
enjet, perlengkapan makan sirih.
Tiba-tiba wajah para prajurit
itu menjadi cerah. Adalah menjadi kebiasaan mereka untuk memberikan beberapa
tanda arah apabila mereka sedang bepergian. Orang-orang yang berjalan kemudian
akan mengenal kemana orang-orang yang terdahulu pergi. Tanda-tanda demikian
hanyalah dikenal oleh kelompok-kelompok atau prajurit-prajurit dari satu
lingkungan tertentu menurut perjanjian mereka masing-masing. Dan tanda yang
dilukis dengan enjet itu jelas bagi mereka, arah yang ditempuh oleh Agung
Sedayu.
“Hem,” desis salah seorang
prajurit itu, “ternyata Adi Agung Sedayu cukup berhati-hati. Tanda itu tidak
akan dapat dikenal selain oleh prajurit Pajang khusus yang berada di Sangkal
Putung.”
Perempuan itu hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata
prajurit-prajurit itu, “kami akan menyusulnya. Mungkin ada sesuatu yang penting
yang dapat kami perbincangkan dengan mereka.”
“Silahkan” berkata perempuan
itu.
Sejenak kemudian para prajurit
itu pun segera meninggalkan rumah Agung Sedayu mengikuti petunjuk pada lukisan
enjet itu. Mereka menuju ke barat dan pada tempat yang ditentukan mereka
membelok ke kiri. Beberapa langkah sekali lagi mereka membelok ke kiri dan
sampailah mereka pada suatu regol tiga halaman dari ujung jalan. Regol itu
adalah regol halaman rumah Wuranta.
Mereka yang berada dalam rumah
itu terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Dengan
hati-hati Wuranta turun ke halaman belakang. Dari celah dedaunan dilihatnya
tiga bayangan turun dari kuda-kuda mereka.
Wuranta segera masuk kembali
ke dalam rumahnya dan memberitahukan apa yang dilihatnya. Tiga orang berkuda
kini berada di halaman depan.
Sejenak Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Akulah yang akan melihatnya.
Seandainya Alap-Alap Jalatunda berada di halaman dan mengintai rumah ini maka
ia tidak akan mengenal aku. Kalau ketiga orang yang datang itu justru atas
petunjuk Alap-Alap Jalatunda, maka kita harus mengubah setiap rencana. Orang
itu tidak akan kita lepaskan dan kita akan menghadapi jumlah yang lebih besar
besok.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Tetapi mereka berdiri tegang di muka pintu ketika Ki Tanu Metir
dengan hati-hati keluar lewat pintu belakang.
Orang tua itu adalah seorang
yang memiliki beberapa kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya, maka
ia berhasil mendekati ketiga penunggang kuda itu tanpa mereka ketahui.
Dengan penuh perhatian Ki Tanu
Metir melihat ketiganya mendekati pendapa. Perlahan-lahan mereka naik dan
perlahan-lahan pula mereka mengetuk pintu.
Tiba-tiba Kiai Gringsing
menarik napas dalam-dalam. Menurut pengamatannya, ketiga orang itu adalah
prajurit-prajurit dari Sangkal Putung. Karena itu, orang tua itu pun segera
mendekatinya.
Kini, ketiga prajurit itulah
yang terkejut, karena tiba-tiba saja mereka melihat sesosok tubuh telah berdiri
di ujung pendapa.
Dengan serta-merta mereka
meraba hulu pedang masing-masing. Terdengar salah seorang bertanya, “Siapa?”
“Akulah yang bertanya,” sahut
Ki Tanu Metir, “siapakah kalian bertiga?”
Ketiga prajurit yang mendengar
sapa itu menarik napas dalam-dalam. Suara itu pernah dikenalnya. Suara Ki Tanu
Metir.
“Oh,” desis salah seorang dari
mereka, “adakah itu Ki Tanu Metir?”
“Ya.”
“Kami adalah prajurit-prajurit
yang datang dari Sangkal Putung.”
“Pakaianmu telah
memperkenalkan dirimu. Marilah masuk lewat pintu belakang” berkata Ki Tanu
Metir perlahan-lahan.
“Kenapa lewat pintu belakang?”
“Rumah ini mungkin mendapat
pengawasan dari orang-orang lereng Merapi. Tetapi menurut perhitunganku,
orang-orang itu telah meninggalkan halaman ini. Masuklah, dan berbicaralah
dengan Agung Sedayu. Aku mempunyai pekerjaan di sini. Aku harus meyakinkan diri,
bahwa tak seorangpun yang melihat kehadiranmu di rumah ini supaya Wuranta tidak
menjadi korban kesalahan yang telah aku buat.”
“Apakah yang telah Kiai
lakukan?”
“Masuklah lewat pintu
belakang.”
Ketiganya pun kemudian
berjalan lewat pintu belakang masuk ke dalam rumah. Sementara itu Kiai
Gringsing tinggal di luar dan dengan kemampuan yang ada padanya, diselidikinya
seluruh halaman rumah itu. Tetapi telinganya sama sekali tidak menangkap suara
apapun. Ia tidak mendengar nafas seseorang, dan ia tidak melihat gerak-gerak
yang mencurigakan.
“Kalau Alap-Alap itu masih
berada di sini, ia tidak akan luput dari pengawasanku” desis orang tua itu di
dalam hatinya. Meskipun demikian, ia tidak puas dengan pengamatannya di halaman
itu. Dengan gerak yang lincah secepat tatit ia meloncat ke luar halaman dan
melihat setiap kemungkinan dengan penuh perhatian.
Kiai Gringsing tidak mau
menduga-duga, apakah Alap-Alap Jalatunda masih berada di tempat itu atau tidak.
Ia harus dapat meyakinkan dirinya. Ia tidak mau mengorbankan Wuranta yang
dengan tulus telah bersedia membantu mereka. Karena itu maka usahanya untuk
meyakinkan diri itu pun tidak terbatas di sekitar halaman rumah Wuranta, tetapi
ia berjalan cepat-cepat menyusur jalan menuju lereng Merapi.
Akhirnya yang dicari oleh Ki
Tanu Metir itu diketemukannya juga. Samar-samar ia melihat sebuah bayangan
meninggalkan Jati Anom. Orang itu adalah Alap-Alap Jalatunda.
“Hem” desah Ki Tanu Metir di
dalam hatinya. “Menilik jarak yang telah ditempuh, agaknya orang ini telah
pergi tanpa melihat kehadiran ketiga prajurit dari Pajang. Seandainya ia
melihat juga, tetapi ia tidak tahu bahwa ketiganya telah masuk ke halaman rumah
Wuranta.”
Dengan demikian hati Ki Tanu
Metir itu pun menjadi tenteram. Ia tidak mencemaskan lagi nasib Wuranta besok
apabila ia kembali ke lereng Merapi. Sebab apabila Alap-Alap Jalatunda melihat
ketiga prajurit Pajang itu menemui Agung Sedayu di rumah Wuranta, maka mereka
pasti tidak akan mempercayai lagi anak muda Jati Anom itu. Dengan demikian maka
nasib Wuranta pun akan tersangkut di ujung pedang.
Ketika Ki Tanu Metir itu
kembali ke rumah Wuranta, maka dilihatnya ketiga prajurit Pajang itu sedang
berbincang dengan asyiknya. Mereka agaknya sedang membicarakan masalah tentang
Jati Anom.
“Marilah Kiai” Agung Sedayu
mempersilahkan. Dan duduklah Ki Tanu Metir kini di antara mereka.
“Ki Untara minta aku melihat
kademangan ini Kiai” berkata salah seorang prajurit-prajurit itu. “Ia akan
masuk besok bersama pasukannya.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Wuranta ia berkata, “Angger
harus dapat menyesuaikan diri. Sebenarnya kami ingin segera mengetahui tempat
Sekar Mirah disembunyikan, supaya kami dapat menempuh suatu cara yang cepat
pula untuk membebaskannya. Kami ingin membebaskan gadis itu sebelum angger
Untara memukul lereng Merapi dengan pasukannya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Selain daripada itu,” berkata
Ki Tanu Metir, “kita tidak boleh menunggu Sidanti menghubungi daerah asalnya.
Kedatangan Argajaya akan dapat memberikan cara baru baginya dalam usahanya
menentang Pajang. Argajaya akan dapat memberi nasehat kepada Sidanti untuk
menghubungi ayahnya. Dan ayahnya pasti tidak akan keberatan mengirimkan
sepasukan segelar sepapan untuk kepentingan anaknya.”
Wuranta masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi usaha yang harus dilakukan bukanlah
usaha yang mudah. Ia tidak akan dapat langsung bertanya di mana Sekar Mirah.
Tetapi ia akan dapat berbuat demikian lewat Alap-Alap Jalatunda yang sudah
menceritakan lebih dulu tentang gadis itu.
Meskipun demikian ia tidak
boleh tergesa-gesa melakukan pekerjaannya.
Melihat wajah Wuranta yang
tegang agaknya Ki Tanu Metir dapat meraba perasaannya, sehingga kemudian
katanya, “Angger, memang pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan
itu adalah pekerjaan yang sukar dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Mudah-mudahan Angger dapat melakukannya dengan baik.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Aku akan coba Kiai. Tetapi sekarang aku tidak
banyak mempunyai waktu lagi. Aku harus segera kembali ke lereng Merapi. Aku
harus sampai pada saat fajar menyingsing. Tetapi agaknya aku akan terlambat.
Mudah-mudahan keterlambatan sedikit itu tidak menjadi soal bagi pekerjaanku.”
“Mudah-mudahan, Ngger” sahut
Kiai Gringsing. “Tetapi Angger jangan kehilangan kewaspadaan. Katakan saja apa
yang Angger lihat di sini. Angger melihat ketiga prajurit datang ke Jati Anom.
Bahkan mereka datang ke rumah Angger. Mungkin atas petunjuk Agung Sedayu.
Untunglah Angger dapat melarikan diri. Tetapi prajurit itu segera pergi.”
Wuranta mengangguk-anggukkkan
kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Kenapa aku harus mengatakan kehadiran ketiga
prajurit ini?”
“Kalau laporanmu sama atau
setidak-tidaknya mirip dengan laporan Alap-Alap jalatunda, maka kau pasti akan
dapat kepercayaan lebih banyak.”
“Tetapi apakah dengan demikian
tidak akan merugikan ketiga prajurit ini Kiai?”
“Apakah kerugiannya? Besok
pasukan Untara datang. Berita itu pasti didengar oleh Sidanti. Ia pasti
mempunyai orang-orang yang bertugas untuk mengawasi keadaan. Seperti kau,
tetapi satu sama lain tidak saling diperkenalkan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Kemudian iapun minta diri untuk segera kembali ke lereng
Merapi. Ia akan berusaha datang tepat pada waktunya, ataupun kalau terlambat,
maka kelambatannya tidak akan terlampau panjang.
Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya pun kemudian melepaskan Wuranta itu pergi dengan berbagai pesan.
Dada Kiai Gringsing pun kadang-kadang berdesir melihat langkah Wuranta
meninggalkan halaman rumahnya. Ia menyadari betapa besar bahayanya pekerjaan
yang kini sedang dilakukan oleh Wuranta itu.
“Mudah-mudahan Tuhan
melindunginya” desisnya di dalam hati.
Dengan tergesa-gesa kemudian
Wuranta berjalan meninggalkan Jati Anom. Ia ingin sampai ke padepokan Ki Tambak
Wedi sebelum fajar. Tetapi menilik waktu yang seolah-olah berlari terlampau
cepat, maka Wuranta itu pun merasa bahwa kedatangannya pasti akan terlambat.
“Tetapi keterlambatanku pasti
tidak akan terlampau banyak” anak muda itu mencoba menenteramkan hatinya
sendiri.
Tanpa disengaja maka
langkahnya pun menjadi kian cepat. Angin pegunungan yang bertiup perlahan-lahan
telah memberinya kesegaran.
Beberapa lama Wuranta
diperjalanan, tidak dirasakannya. Tetapi tiba-tiba saja dilihatnya
remang-remang pepohonan di sisi jalan. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya
langit di sebelah timur telah diwarnai oleh cahaya fajar yang kemerah-merahan.
“Hem,” desah Wuranta, “hampir
fajar. Tetapi apabila benar kata Ki Tanu Metir bahwa Alap-Alap Jalatunda
mengikutiku, maka ia akan dapat banyak bercerita. Ia akan dapat mengatakan
bahwa aku telah berkelahi melawan seseorang. Kemudian ia akan dapat bercerita
pula tentang tiga ekor kuda.”
Perjalanan Wuranta menjadi
kian mendaki. Ia telah sampai di lereng-lereng Gunung Merapi. Beberapa pedukuhan
yang sepi telah dilampaui, dan kini ia telah melampaui hutan-hutan yang tidak
begitu lebat. Meskipun demikian di dalam hutan itu masih juga berkeliaran
harimau dan babi hutan. Tetapi yang paling mengerikan adalah gerombolan
anjing-anjing liar yang jumlahnya tidak terhitung lagi.
Sejenak kemudian maka
ujung-ujung pepohonan telah menjadi kemerah-merahan pula. Disusul oleh warna
kuning yang cerah.
“Hari telah pagi” berkata
Wuranta kepada diri sendiri.
Namun dengan demikian ia dapat
melihat dengan jelas segala sudut-sudut jalan menuju ke padepokan Tambak Wedi.
Ketika ia menjadi semakin
dekat, kembali dilihatnya beberapa pucuk senjata di belakang batu-batu besar,
di tikungan-tikungan, dan di sisi-sisi jalan. Penjagaan yang ketat memagari
padepokan itu. Penajagaan itu bukan saja untuk menjaga setiap kemungkinan,
tetapi dengan demikian maka Ki Tambak Wedi tetap memelihara suasana dan keadaan
perang. Penjagaan itu memberi pekerjaan bagi orang-orang Jipang dan orang-orang
Tambak Wedi yang berkeliaran dalam jumlah yang cukup besar. Tanpa penjagaan
itu, maka mereka akan mempunyai terlampau banyak kesempatan untuk duduk
termenung. Kesempatan untuk memikirkan diri sendiri dan kesempatan untuk
bertengkar satu dengan yang lain. Tetapi kesiap-siagaan yang selalu dibangun
oleh Ki Tambak Wedi dapat mencengkam seluruh perhatian mereka. Seolah-olah
Untara dan prajurit-prajurit Pajang telah berada dimuka hidung mereka.
Dengan demikian mereka tidak
mendapat kesempatan untuk berpikir tentang diri sendiri, tentang kesulitan-kesulitan
yang mereka alami dan tentang hari depan mereka yang gelap. Mereka tidak
mendapat kesempatan untuk bertengkar satu dengan yang lain berebut berbagai
macam persoalan.
Setiap orang yang berada dalam
penjagaan itu memandangi Wuranta dengan curiga. Tetapi kemudian mereka
membiarkannya lewat. Anak muda Jati Anom itu adalah anak muda yang kemarin
dibawa oleh Sidanti, dan kemudian berjalan meninggalkan padepokan ini bersama
Alap-Alap Jalatunda.
Matahari di atas cakrawala pun
merayap semakin tinggi. Cahayanya yang menyangkut di ujung gunung merapi
seakan-akan telah membakar puncak itu sehingga berwarna merah membara. Dalam
pada itu maka padepokan Tambak Wedi itu pun menjadi semakin dekat.
Setelah melampaui beberapa
lapis penjagaan maka akhirnya Wuranta sampai kejantung padepokan Tambak Wedi.
Anak muda itu langsung menuju
ke rumah yang kemarin pertama-tama dimasuki bersama Sidanti dan Alap-Alap
Jalatunda.
Dada Wuranta berdesir melihat
Alap-Alap yang masih sangat muda itu. Matanya benar-benar seperti mata burung
alap-alap. Anak itu tampaknya telah rapi benar. Agaknya ia telah sempat mandi
dan membenahi pakaiannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa semalam ia pergi
mengikutinya ke Jati Anom.
“Hem, kau Wuranta” sapa
Sidanti.
Sekali lagi dada Wuranta
berdesir. Ia tidak tahu tanggapan Sidanti yang sebenarnya kepadanya pagi ini.
Apakah murid Ki Tambak Wedi itu akan menerimanya dengan baik, atau telah
disiapkannya tali gantungan untuknya.
“Dudukla,” berkata Sidanti itu
pula mempersilakan Wuranta duduk bersamanya di atas sebuah tikar pandan yang
putih.
“Kau datang terlampau siang”
berkata Sidanti.
“Ya, Tuan” sahut Wuranta. “Ada
beberapa sebab yang menghambat kedatanganku.”
“Minumlah, kemudian
ceritakanlah apa yang kau lihat di Jati Anom.”
Wuranta menelan ludahnya.
Seakan-akan ia sedang duduk di hadapan seorang jaksa yang sedang memeriksa
perkaranya. Ia tidak tahu hukuman apakah yang kemudian akan dijatuhkan atasnya.
Seteguk ia minum air hangat
yang sudah terhidang dihadapannya. Diraihnya segumpal gula kelapa. Ia mencoba
untuk menenangkan hatinya, tetapi ketika air hangat itu diangkatnya, maka ia
merasa beberapa tetes tertumpah menyiram kakinya. Ternyata lengannya masih juga
gemetar. Tetapi ketika lehernya telah menjadi basah, maka ia menjadi agak
tenang.
“Apakah perjalananmu
menyenangkan?” berkata Sidanti tiba-tiba.
Wuranta menggeser duduknya,
membetulkan pedangnya yang mencuat ke belakang. Sekali ia menarik nafas
dalam-dalam, lalu jawabnya, “Ya, tuan. Perjalanan kali ini benar-benar
menyenangkan.”
“Ceritakanlah apa yang kau
lihat dan apa yang kau dengar?”
“Aku tidak hanya sekedar
melihat dan mendengar, Tuan,” jawab Wuranta, “tetapi aku hampir mati di
perjalanan.”
“Kenapa?” Sidanti terkejut.
Tetapi Wuranta melihat bahwa
sebenarnya Sidanti hanya berpura-pura saja. “Alap-Alap itu pasti sudah
bercerita tentang Ki Tanu Metir yang sudah mencegat perjalananku,” katanya di
dalam hati.
Wuranta itu pun kemudian
bercerita tentang apa saja yang dilakukannya. Berkelahi dengan seseorang laki-laki
yang tidak dikenalnya yang mencegat perjalanannya. Kemudian menggertak
perempuan tua yang menunggui rumah Agung Sedayu dan yang terakhir tentang tiga
orang penunggang kuda yang datang ke Jati Anom.
Sidanti dan Alap-Alap
Jalatunda mendengarkan dengan penuh minat. Seakan-akan apa yang didengarnya itu
belum pernah diketahuinya lebih dahulu. Kadang-kadang wajah mereka
berkerut-merut, kadang-kadang menjadi tegang.
“Setan,” desis Wuranta di
dalam hatinya, “mereka benar-benar licik.” Tetapi tiba-tiba ia menyadari
keadaan dirinya sendiri. “Dan akupun harus berbuat licik seperti mereka pula.”
Ketika Wuranta selesai
bercerita maka Sidanti pun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya.
Dipandanginya Alap-Alap Jalatunda sekilas, lalu katanya, “Kau benar-benar
hebat. Siapakah kira-kira laki-laki yang menyerangmu?”
Wuranta tidak segera menjawab.
Ia pun memandangi Alap-Alap Jalatunda sekilas. Baru kemudian ia menjawab sambil
menggeleng, “Aku tidak tahu, Tuan. Sebenarnya aku ingin bertanya kepada Tuan,
siapakah yang telah mencegat aku di perjalanan itu?”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tetapi tiba-tiba ia tersenyum, “Kau menyangka bahwa aku telah memasang
seseorang untuk mencegatmu? Apakah gunanya? Kalau aku ingin membunuhmu,
sekarang aku dapat melakukannya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Jadi, kau benar-benar tidak
mengetahuinya?”
“Benar, Tuan” jawab Wuranta.
“Maaf bahwa aku memang menyangka bahwa Tuan ingin mengetahui sedikit tentang
diriku dengan mengirimkan seseorang mencegat perjalananku, meskipun Tuan tidak
benar-benar ingin membunuhku.”
“Memang masuk akal,” sahut
Sidanti, “tetapi aku tidak melakukannya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak segera mengucapkan sesuatu.
Yang bertanya kemudian adalah
Alap-Alap Jalatunda, “Lalu bagaimana dengan tiga orang berkuda itu?”
“Mereka hampir membunuhku”
sahut Wuranta.
“Bohong!” desis Alap-Alap
Jalatunda. “Apakah kau seorang anak muda yang pilih tanding dan dapat mengalahkan
tiga orang prajurit Pajang?”
Dada Wuranta berdesir
mendengar pertanyaan itu. Sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat melepaskan
diri dari tiga orang prajurit Pajang seandainya mereka benar-benar ingin
membunuhnya. Tetapi ceritanya telah diucapkannya, bahwa ia melepaskan diri dari
ketiganya.
Tetapi tiba-tiba Wuranta itu
pun tersenyum. Wajahnya yang tegang menjadi kemerah-merahan. Beruntung bahwa ia
segera dapat menguasai perasaannya.
“Bagaimana?” desak Alap-Alap
Jalatunda.
“Aku memang dapat melepaskan
diri dari mereka. Sebagaimana Tuan lihat, aku selamat sampai di sini.”
“Apakah kau mampu melawan
mereka bertiga?” bertanya Sidanti.
Wuranta menggeleng. Senyumnya
masih saja melekat di bibirnya.
“Lalu bagaimana?” Alap-Alap Jalatunda
hampir mebentak.
Wuranta berusaha
sekuat-kuatnya menguasai perasaannya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Sudah aku
katakan, aku melepaskan diri dari mereka”
“Sesudah kau bertempur melawan
mereka, atau sesudah kau membunuh ketiganya?”
Wuranta masih tersenyum.
Perlahan-lahan ia menjawab, “Justru sebelum mereka melihat aku.”
“Gila!” Alap-Alap Jalatunda
berteriak. Tetapi terdengar Sidanti tertawa terbahak-bahak.
“Kau memang seorang pengecut.
Seorang pengecut yang suka sekali membual.”
Wuranta tidak segera menjawab.
Tetapi ia menjadi berlega hati ketika Sidanti mentertawakannya. Alap-Alap
Jalatunda itu pun tertawa pula sambil berkata, “Sebenarnya kau cukup mampu
untuk berkelahi. Kau dapat mengusir laki-laki yang menyerangmu. Tetapi kau
benar-benar seorang pengecut.”
Wuranta mengerutkan keningnya.
Dengan serta-merta ia bertanya, “Darimana Tuan tahu bahwa aku mampu berkelahi?”
Kini Alap-alap Jalatunda yang
terbungkam. Sejenak ia menjadi bingung. Tetapi sejenak kemudian iapun menjawab,
“Bukankah kau sendiri mengatakannya bahwa kau mampu mengusir laki-laki yang tak
kau kenal itu?”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Wuranta bergumam, “Apakah aku tadi berkata begitu?”
“Ya, kau mengatakannya.”
“Dan Tuan tidak menganggap
bahwa kali ini aku pun hanya membual saja?”
Sekali lagi Sidanti tertawa.
Katanya, “Aku memerlukan seseorang seperti kau. Pengecut sekaligus pembual.”
Wuranta pun tersenyum. Ia
melihat beberapa orang kemudian masuk ke dalam ruang itu pula. Wajah mereka
diliputi oleh berbagai pertanyaan. Mereka melihat Sidanti tertawa
berkepanjangan dan Alap-Alap Jalatunda pun tertawa-tawa pula.
“Apa yang kalian tertawakan?”
bertanya Sanakeling.
“Pengecut ini” jawab Sidanti.
Kemudian ia berkata kepada Wuranta, “Pergilah, kau boleh beristirahat. Kau akan
mempunyai pekerjaan yang serupa untuk saat-saat mendatang. Tetapi apakah kau
masih berani datang ke Jati Anom apalagi apabila ketiga prajurit itu mengetahui
rumahmu?”
“Sejak lama Agung Sedayu melihat
rumahku. Mungkin ketiga prajurit itu adalah sraya Agung Sedayu untuk
menangkapku.”
“Jangan membual lagi” potong
Sidanti. “Agung Sedayu tidak memerlukan orang lain untuk memenggal lehermu.”
“Tetapi ternyata ia tidak
berani datang ke rumahku?”
“Anak muda Jati Anom. Adik
Untara itu segan mengotori tangannya dengan darah kelinci.”
Wajah Wuranta sesaat menjadi
kemerah-merahan. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak muda, ia merasa
tersinggung oleh berbagai hinaan yang diucapkan oleh Sidanti berturut-turut.
Tetapi segera ia menyadari kewajibannya, sehingga sekali lagi ia terpaksa
menekan perasaannya.
Wuranta terkejut ketika ia
mendengar Sidanti bertanya, “Apakah kau marah?”
Wuranta memaksa dirinya untuk
tersenyum. “Tidak, Tuan. Tetapi aku ingin suatu ketika dapat mengalahkan Agung
Sedayu.”
Sidanti tertawa. Kemudian
katanya, “Pergilah. Kalau kau lelah, beristirahatlah.”
“Baik, Tuan” sahut Wuranta,
“tetapi aku ingin menjelaskan kepada Tuan, bahwa untuk seterusnya, meskipun
pasukan Untara telah berada di sekitar Jati Anom, aku tidak takut untuk turun.
Jati Anom adalah kampung halamanku. Kenapa aku menjadi takut pulang? Aku
mengenal semua jalan-jalan dan lorong-lorong. Aku kenal segenap sudut-sudutnya,
rumpun-rumpun bambu yang lebat dan tempat-tempat yang lain untuk bersembunyi.”
“Aku sudah menyangka” potong
Sidanti
“Apa yang sudah Tuan sangka?”
“Ceritamu pasti hanya berkisar
pada tempat persembunyian, tempat untuk melarikan diri dan sebagainya. Kau
tidak akan bercerira tentang kemungkinan yang lain, misalnya membinasakan
mereka, mencegat mereka atau perbuatan-perbuatan serupa.”
Wuranta tersenyum, betapapun
hatinya menjadi kecut.
“Pergilah,” berkata Sidanti,
“kau mendapat kesempatan untuk beristirahat, melihat-lihat tempat ini bersama
Alap-Alap Jalatunda.”
Wuranta menganggukkan
kepalanya. Ia melihat kewaspadaan pada sikap dan kata-kata Sidanti. Iapun
menyadari bahwa Alap-Alap Jalatunda pasti mendapat tugas untuk mengawasinya
selama ia berada di padepokan Tambak Wedi.
Wuranta kemudian meninggalkan
tempat itu. Di halaman ia sejenak menunggu Alap-Alap Jalatunda yang masih
berada di dalam.
“Bagaimana menurut
pertimbanganmu, Alap-Alap Jalatunda?” bertanya Sidanti.
“Ia berkata sebenarnya.”
“Ya, aku juga percaya
kepadanya. Bodoh, berterus-terang tetapi licik dan pembual.”
“Orang yang demikian dapat
kita pergunakan untuk sementara. Tetapi sifat pembualnya adalah sifat yang
berbahaya” sahut Sanakeling.
“Ya, kita pergunakan untuk
waktu yang tertentu. Akan datang saatnya, anak itu kita lemparkan ke dalam
jurang. Tetapi sekarang ia akan bermanfaat. Nanti malam ia harus turun kembali
ke Jati Anom melihat perkembangan daerah itu. Bagaimanakah dengan ketiga orang
berkuda yang semalam datang ke kademangan itu” berkata Sidanti.
Alap-Alap Jalatunda
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sambil bersungut-sungut ia bertanya,
“Apakah aku mendapat tugas untuk mengikutinya lagi?”
Sidanti tertawa sambil
menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak. Nanti malam kau dapat tidur nyenyak di
gubugmu.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
berkata sepatah kata pun lagi. Ditinggalkannya ruangan itu langsung turun ke
halaman. Ditemuinya Wuranta yang telah agak lama menunggunya.
“Apakah kau mau tidur?”
bertanya Alap-Alap Jalatunda.
Wuranta menggelengkan
kepalanya, “Tidak, aku harus berprihatin supaya niatku dapat terlaksana.”
“Apakah niat itu?”
“Sederhana,” jawab Wuranta
“menjadi demang dan beristri cantik.”
Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda
itu tertawa terbahak-bahak. “O, dapurmu” katanya. “Seorang Demang harus orang yang
berani.”
“Kelak aku akan menjadi orang
yang berani juga.”
“Mudah-mudahan kau akan dapat
menjadi seorang Demang,” gumam Alap-Alap Jalatunda.
“Dan beristri cantik, supaya
aku dapat juga beranak seorang gadis yang cantik, seperti yang kau katakan.”
“Anak Demang Sangkal Putung
itu?”
“Kalau aku menjadi seorang
Demang, maka pantaslah aku menjadi menantu seorang demang pula.”
“Huh!” tiba-tiba Alap-Alap
Jalatunda meludah. “Sebelum kau mimpi mendapatkan gadis itu, lehermu telah
patah.”
“Kenapa?”
“Kau berani melawan aku?”
Wuranta tersenyum. “Jangan
marah, Tuan. Aku belum pernah melihat gadis itu. Bagaimana aku dapat jatuh
cinta kepadanya? Bukankah bukan hanya Demang Sangkal Putung saja yang beranak
seorang gadis?”
Alap-Alap Jalatunda menelan
ludahnya.
“Tuan,” tiba-tiba Wuranta
berbisik, seakan-akan ia takut suaranya didengar orang lain, “apakah gadis itu
cantik?”
Alap-Aap Jalatunda berpaling.
Ditatapnya wajah Wuranta dengan tajamnya. Dengan nada yang datar ia menggeram,
“Kau benar menginginkannya?”
“Ah, aku tidak gila, Tuan.
Gadis itu adalah milik Sidanti. Bagaimana aku berani berangan-angan?”
“Omong kosong. Tak seorang pun
yang memilikinya di sini. Siapa yang dahulu mendapatkannya, ialah yang
memiliki, meskipun hanya sesaat, dan meskipun sesudah itu digantung, tetapi
puaslah rasanya.”
Dada Wuranta berdesir
mendengar kata-kata Alap-Alap Jalatunda itu, tetapi ia tidak menyahut.
Tiba-tiba Alap-Alap itu
berkata, “Apakah kau ingin melihatnya?”
“Bagaimana aku bisa meilhat
tuan? Bukankah ia berada di dalam ruangan tertutup? Apakah aku dapat masuk ke
dalamnya?”
Alap-Alap Jalatunda tertawa
mendengar pertanyaan Wuranta. Katanya, “Kau memang bodoh. Apakah seorang gadis
yang disembunyikan itu siang malam berada di dalam biliknya? Apakah
sekali-sekali ia tidak memerlukan air?”
“Air untuk minum maksud Tuan?”
bertanya Wuranta.
“O” tertawa Alap-alap
Jalatunda semakin menjadi. “Seorang perempuan yang sudah dewasa tidak dapat
berpisah dengan air. Tidak saja untuk minum, tetapi untuk mencuci misalnya.”
“O, ya, ya” cepat-cepat
Wuranta menyahut.
“Demikian juga Sekar Mirah. Ia
tidak harus berada di dalam biliknya setiap saat. Gadis itu diperbolehkan
keluar asalkan tidak terlampau jauh. Ke sumur atau ke kali misalnya, lalu
kemudian masuk kembali ke rumah yang khusus dipergunakan untuk menyimpannya.
Tetapi ia tidak pernah terlepas dari pengawasan. Dan seandainya gadis itu
mencoba untuk lari, maka meskipun ia berhasil meninggalkan halaman itu, maka ia
tidak dapat keluar dari padepokan ini.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, “Jadi, bagaimanakah aku dapat melihatnya?”
“Hampir setiap pagi ia mencuci
pakaian yang ada padanya. Pakaian yang hanya selembar dua lembar itu, setelah
ia mendapat pinjaman dari perempuan-perempuan di padepokan ini.”
“Kenapa setiap hari
dicucinya?”
“Aku rasa bukan karena pakaian
itu menjadi kotor. Tetapi gadis itulah yang ingin keluar dari dalam bilik yang
sempit itu. Mencuci baginya adalah alasan yang paling baik. Mungkin juga ke
pakiwan atau bahkan ke sungai.”
“Siapakah yang harus mengawasi
gadis apabila ia pergi ke sungai?”
“Tentu saja para penjaga.”
Wuranta mengerutkan keningnya.
Bagaimana mungkin seseorang dapat hidup dalam keadaan demikian. Tetapi keadaan
itu adalah keadaan yang dipaksakan atas gadis itu, sehingga betapapun juga,
maka ia tidak akan dapat menolaknya.
“Baiklah, Tuan,” berkata
Wuranta kemudian, “kalau aku mendapat kesempatan, maka aku pun ingin
melihatnya.”
“Marilah” sahut Alap-Alap
Jalatunda. Tetapi ia kemudian mengerutkan keningnya sambil berkata, “Kau ingin
mencoba bermain api?”
“Oh,” kini Wuranta-lah yang
tertawa, “aku hanya ingin melihatnya karena Tuan mengajak. Percayalah bahwa aku
tidak akan berani berbuat apapun selain memandanginya dari kejauhan. Betapapun
cantiknya gadis itu, tetapi aku hanya akan mendapat kesempatan untuk
memandanginya.”
Sejenak Alap-Alap Jalatunda
terdiam. Sekali ia berpaling memandangi wajah Wuranta dengan penuh kecurigaan.
Tetapi kemudian ia berkata, “Jangan mencoba berbuat gila. Nyawamu berada di
ujung rambutmu. Pedepokan ini bukan tanah nenek-moyangmu, dan kau belum menjadi
seorang demang di Jati Anom.”
Sekali lagi Wuranta tertawa.
Katanya, “Tuan benar-benar seorang pencemburu. Kelak kalau Tuan sudah beristri,
maka tak seorang pun yang boleh memandangi istri Tuan.”
Kening Alap-Alap Jalatunda itu
pun menjadi semakin berkerut-merut. Sejenak ia terbungkam, tetapi kemudian ia
pun tersenyum dan berkata, “Mungkin kau benar Wuranta. Aku pun tersenyum juga
akhirnya mendengar kata-katamu itu.”
Keduanya pun kemudian terdiam.
Mereka berjalan menyusur jalan padepokan yang tidak telampau lebar.
Sekali-sekali mereka berpapasan dengan beberapa laki-laki bersenjata. Laki-laki
yang berwajah keras dan kasar, berkumis tebal, berjambang dan berjanggut.
Rambut mereka kadang-kadang tidak tersusun rapi, bahkan kadang-kadang begitu
saja berjuntai di bawah ikat kepala.
Bulu kuduk Wuranta
kadang-kadang menjadi meremang. Laki-laki itu adalah laki-laki yang selama ini
hidup dalam pengembaraan. Mereka seakan-akan tidak pernah mengecap kenikmatan
hidup berumah tangga. Bahkan sampai saat ini dan sampai kapan hal itu masih
berlangsung terus.
“Prajurit-prajurit Pajang di
Sangkal Putung dan yang akan datang di Jati Anom pun seakan-akan hidup dalam
pengembaraan” gumam Wuranto dalam hatinya. “Tetapi mereka memiliki kebanggaan.
Mereka memiliki harapan bagi masa depan yang jauh. Seandainya tidak untuk
dirinya sendiri, tetapi untuk anak keturunan mereka.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia terperanjat ketika Alap-Alap Jalatunda menyapanya, “He,
kenapa kau?”
Wuranta mencoba tersenyum,
“Tidak apa-apa” jawabnya.
“Apakah kau masih memikirkan
gadis itu?”
“Apakah Tuan menyangka
begitu?”
Alap-Alap Jalatunda pun
tersenyum pula. Bahkan kemudian ia pun mengumpat, “Gila, kau.”
Kembali mereka berdua saling
berdiam diri. Langkah mereka satu-satu di atas jalan berbatu menumbuhkan suara
gemerisik perlahan-lahan.
Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda
berhenti. Digamitnya Wuranta sambil berbisik, “He, apakah kau melihat seseorang
berjalan lewat jalan samping itu?”
Wuranta pun segera berpaling
memandang ke arah pandang Alap-Alap Jalatunda. Tiba-tiba dilihatnya seorang
gadis berjalan seorang diri menyelusur lorong sempit itu.
“Itukah dia?” bertanya
Wuranta.
Alap-alap Jalatunda
mengangguk. “Ya, itulah Sekar Mirah.”
“Kemana dia?”
“Jalan itu menuju ke sungai.”
“Apakah gadis itu dapat pergi
dengan bebas ke sungai? Apakah dengan demikian ia tidak berusaha melarikan diri?”
“Apakah gadis itu kau sangka
dapat meloncat dinding padepokan ini? Seandainya ia dapat maka para penjaga di
sekitar padepokan ini akan menangkapnya. Jangan pula dilupakan bahwa beberapa
orang akan selalu mengawasinya.”
“Di mana para pengawas itu?”
“Mereka tidak semata-mata
mengawasinya. Dan pengawasan itu pun tidak akan terlampau ketat seperti
seandainya yang ditahan itu Agung Sedayu.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Alap-Alap Jalatunda itu dapat dimengertinya.
Memang agaknya bagi seorang gadis, pasti akan amat sulit mencoba keluar dari
dinding padepokan yang cukup tinggi seperti sebuah benteng yang sangat rapat.
Bahkan di sana-sini di dalam dinding itu tumbuh rumpun-rumpun bambu ori yang
rapat.
Apalagi sungai itu mengalir
membelah padepokan. Sehingga sungai itu pun berada dalam lingkungan
dinding-dinding padepokan itu pula.
Meskipun demikian, ada sesuatu
yang ingin diketahuinya, sehingga Wuranta itu pun bertanya, “Tuan, jika Sekar
Mirah itu pergi ke sungai, apakah ia tidak akan mendapat kesempatan untuk
melarikan diri?”
“Sungai itu berada di
padepokan.”
“Tetapi bukankah ia dapat
menyusur aliran sungai itu, ke hulu atau ke udik, kemudian keluar dari dinding
yang mengelilingi padepokan ini?”
Alap-Alap Jalatunda menggeleng,
katanya, “Aku tidak tahu siapakah yang membuat padepokan ini. Tapi apa yang kau
tanyakan itu agaknya telah dipikirkan pula oleh orang-orang yang membuatnya.”
“Bagaimana?” bertanya Wuranta.
“Di perbatasan sungai ini
masuk dan keluar padepokan, dinding padepokan ini telah dibuat terlampau rendah
kemudian digalinya dasar sungai seperti sebuah terowongan. Dengan demikian maka
air akan menutup seluruh lubang masuk dan keluar dari padepokan ini. Tak ada
selubang jarumpun berada di atas permukaan air. Apabila seseorang akan berusaha
keluar atau masuk lewat sungai ini, maka ia harus menyelam untuk waktu yang
cukup lama. Nah, apakah hal yang demikian itu akan dapat dilakukan oleh Sekar
Mirah? Seorang yang cakap berenang dan menyelam pun akan ragu-ragu untuk
melakukannya, sedandainya ia belum mengenal betul keadaan padepokan ini. Mereka
pasti menyangka bahwa genangan air itu akan masuk ke dalam pusaran.”
Wuranta mengangguk-anggukan
kepalanya. Sebenarnya ingin benar ia melihat ujung sungai itu pada sisi-sisi padepokan.
Tetapi ia tidak dapat langsung mengutarakannya.
Tiba-tiba Wuranta itu
terperanjat ketika sekali lagi Alap-Alap Jalatunda menggamitnya sambil
bertanya, “He, gadis itu sudah hampir tidak tampak lagi.”
“Lalu bagaimana maksud Tuan?”
“Aku selalu menunggunya di
muka rumah yang diperuntukkan baginya pada saat-saat begini, apabila aku tidak
sedang bertugas.”
“Apakah Tuan sudah
mengenalnya?”
Alap-alap Jalatunda
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak berani menegurnya.”
“Takut kepada Sidanti?”
“Persetan anak iblis itu.
Kenapa aku takut kepadanya?”
“Jadi, kepada siapa Tuan
takut?”
“Aku tidak pernah merasa takut
kepada Sidanti kini. Mungkin beberapa saat berselang aku ketakutan mendengar
namanya. Tetapi aku sudah mencoba untuk mempersiapkan diri melawannya. Meskipun
aku tidak berguru lagi kepada seseorang. Tetapi cara-cara yang pernah
dipesankan kepadaku aku lakukan dengan baik dan teratur. Apalagi kini, aku
mempunyai waktu yang cukup untuk meningkatkan ilmuku. Sedang Sidanti tidak
pernah melakukannya.”
“Jadi, bagaimana?”