Buku 052
Kiai Gringsing termenung
sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Terima kasih, Tuan.”
Maka Kiai Gringsing yang
dikenal bernama Truna Podang itu pun meninggalkan gardu pengawas itu bersama
kedua muridnya. Ketika mereka sudah berada beberapa langkah dari gardu, Kiai
Gringsiug pun bergumam, ”Sayang. Ketika hantu-hantu itu lewat kita berada di
dalam gardu pengawas.”
“Sebenarnya aku masih sempat
meloncat,” sahut Swandaru.
“Berbahaya.”
“Tetapi, apakah Guru percaya
bahwa hantu-hantu itu dapat mengalahkan manusia.”
“Bukan. Bukan hantu-hantu itu
yang aku maksudkan, meskipun barangkali mereka berbahaya juga. Tetapi yang aku
maksudkan adalah para pengawas itu. Mereka akan menganggap kita sombong.
Sehingga mereka tidak akan senang lagi kepada kita. Bahkan mungkin kita akan
mereka usir dari daerah ini. Apalagi seandainya terjadi bencana oleh sebab apa
pun. Mereka pasti akan segera menuduh kita, bahwa kita telah membuat
hantu-hantu itu menjadi marah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengerti maksud gurunya. Para petugas itu tidak kalah berbahaya
bagi mereka, apabila mereka tidak mau tunduk pada perintahnya.
“Lalu sekarang?“ tiba-tiba
Agung Sedayu bertanya.
Kiai Gringsing termenung
sejenak. Dan Swandaru menyahut, ”Apakah maksud Guru, kita mencoba mencari
hantu-hantu itu.“
“Mereka telah pergi.”
“Kita kehilangan kesempatan.”
“Tetapi kesempatan yang bakal
datang masih cukup banyak.”
“Apakah hantu-hantu itu setiap
malam datang kemari?” bertanya Agung Sedayu.
”Menurut pembicaraan
orang-orang yang terdahulu tinggal di sini tidak setiap malam. Hanya
kadang-kadang saja.”
“Pada suatu saat Raden
Sutawijaya pasti akan datang kemari.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Kalau laporan itu kelak sampai pada Mas
Ngabehi Loring Pasar, ia pasti akan datang kemari. Ia ingin sekali pada suatu
saat bertemu dengan hantu-hantu itu. Ia selalu membawa pusakanya, tombak Kiai
Pasir Sewukir. Bahkan mungkin ia membawa pula keris Kiai Naga Kemala.”
Kedua murid-muridnya
menganggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba Swandaru bertanya, ”Sekarang kita ke
mana?”
“Kembali ke barak itu dan
tidur.”
Swandaru dan Agung Sedayu
tidak bertanya apa-apa lagi. Keduanya berjalan mengiringi gurunya sambil
menundukkan kepalanya. Masih terngiang suara gemerincing di sela-sela derap kaki
kuda.
Ketika Agung Sedayu teringat
sesuatu, tiba-tiba ia bertanya, ”Guru, kenapa kita dapat mendengar derap
kaki-kaki kuda itu?”
“Kenapa?”
“Bukankah menurut ceritera
orang, hantu-hantu itu tidak menyentuh tanah? Kalau kuda-kuda itu kuda hantu,
maka kaki-kaki kuda itu pun tidak akan menyentuh tanah. Apalagi ada yang
mengatakan, bahwa kuda yang dipakai oleh hantu-hantu itu adalah kuda sembrani.“
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Seperti bergumam kepada diri sendiri ia berkata, ”Aku tidak tahu,
manakah yang benar. Tetapi memang sebaiknya kita melihat, apakah hantu-hantu
itu menyentuh tanah atau tidak.”
Agung Sedayu tidak bertanya
lagi. Di hadapan mereka lampu minyak di serambi barak masih menyala. Di serambi
itu nampak orang-orang yang tidur melingkar berkerudung kain menyelubungi
seluruh tubuh mereka.
”Mereka agaknya ketakutan
mendengar bunyi gemerincing itu,“ desis Swandaru.
“Ya. Biarlah mereka
menyembunyikan diri di balik selimut mereka. Mereka sangka, seandainya
hantu-hantu itu ingin berbuat sesuatu, maka mereka yang berkerudung selimut itu
tidak dapat terlihat lagi oleh hantu-hantu itu,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Hanya kepalanya sajalah yang terangguk lemah.
Ketika mereka kemudian
menginjakkan kakinya di lantai serambi barak yang panjang itu, Kiai Gringsing
dan kedua murid-muridnya mendengar nafas mereka yang sedang berkerudung selimut
itu tersengal-sengal. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi gemetar dan
tidur berhimpit-himpitan.
Kiai Gringsing tidak mau mengganggu
mereka atau bahkan mengejutkan mereka. Dengan hati-hati ia berjalan di antara
orang-orang yang sedang menyembunyikan diri di bawah selimutnya, diikuti oleh
kedua orang murid-muridnya.
Supaya orang-orang itu tidak
menjadi bertambah ketakutan, maka Kiai Gringsing pun berkata kepada muridnya,
”Tidurlah. Kalian pasti sudah mengantuk.”
Beberapa orang yang
bersembunyi di bawah selimutnya itu pun mendengar pula suaranya. Sebagian dari
mereka mengenal bahwa suara itu suara Truna Podang. Karena itu dengan herannya
mereka mencoba mengintip orang tua itu dari sela-sela kerudungnya.
Sebenarnyalah bahwa mereka melihat Truna Podang yang sejak malam mulai gelap,
meninggalkan barak mereka
Salah seorang dari mereka
memberanikan diri membuka kerudung di kepalanya. Perlahan-lahan ia menyapa,
”Truna Podang?”
Kiai Gringsing berpaling.
Dilihatnya seseorang mengangkat kepalanya memandanginya.
“Ya, aku Truna Podang.”
“Dari mana kalian?”
“Dari gardu pengawas.”
“He, apakah kalian pergi ke
sana?”
“Ya.”
“Tetapi, apakah kalian tidak
mendengar?”
“Mendengar apa?”
“Mendengar …., mendengar …,”
orang itu tidak meneruskan kata-katanya.
“O,” Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”suara gemerincing dan derap kaki kuda itu?”
“Sst, jangan ribut.”
“Ya, kami mendengarnya ketika
kami berada di gardu pengawas. Para pengawas pun mendengar pula.”
“Dan kalian tidak takut pulang
kemari?”
“Suara itu sudah tidak
terdengar lagi. Dan kuda-kuda yang gemerincing itu sudah pergi.” Kiai Gringsing
berhenti sejenak, lalu, ”Apakah kalian di sini juga mendengar?”
“Sudahlah, sudahlah,”
tiba-tiba seseorang memotong dari balik selimutnya, “jangan bicarakan itu lagi.
Kalau kalian mau tidur, tidurlah. Hari sudah larut malam. Besok kita akan
bangun pagi-pagi dan segera bekerja kembali.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian bersama, kedua muridnya mereka pun melangkah ke sudut,
tempat yang sudah disediakan untuk mereka bertiga, meskipun sebenarnya
terlampau sempit.
“Hem, untuk aku sendiri saja
tidak cukup,” gumam Swandaru.
“Perutmu terlampau besar.
Tetapi apa-boleh buat. Tempat yang disediakan untuk kami hanyalah sejengkal
ini.”
Tetapi Swandaru tidak
menghiraukannya. Ia pun segera merebahkan dirinya.
Agung Sedayu dan gurunya
memandang anak muda yang gemuk itu sejenak. Namun mereka pun tersenyum. Tempat
itu benar-benar telah menjadi penuh.
“Kami berdua tidak mendapat
tempat lagi,” gumam Agung Sedayu.
Swandaru pura-pura tidak
mendengarnya. Bahkan ia pun kemudian memejamkan matanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau
duduk saja sambil menunggui Swandaru. Ia pun kemudian mendesak anak yang gemuk
itu ambil berkata, ”Minggir. Kalau tidak perutmu akan tergilas.”
“He, nanti dulu. Nanti dulu,”
desis Swandaru.
“Nah, ingat. Jangan kau
letakkan perutmu di sembarang tempat. Bagaimana kalau kau taruh saja perutmu di
luar.”
“Uh, uh,” Swandaru bergeser
dengan susah payah.
“Tetapi bagaimana dengan
Guru?” tiba-tiba Agung Sedayu bangkit dan bertanya kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing tersenyum, ”Aku
sudah biasa tidur sambil duduk. Apalagi aku mendapat sandaran tiang, sedangkan
tanpa sandaran sama sekali, aku dapat juga tidur nyenyak.”
“Kalau Guru ingin berbaring,
silahkanlah. Biarlah aku duduk bergantian, dengan Adi Swandaru.”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Tidurlah. Aku juga akan tidur.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Dan gurunya mengulanginya, ”Tidurlah.”
Akhirnya Agung Sedayu pun
berbaring pula di samping Swandaru yang sudah tidur mendekur.
Di hari berikutnya, pagi-pagi
benar seisi barak itu pun sudah bangun. Sambil berbisik-bisik mereka
mempercakapkan, apa yang mereka dengar semalam. Suara gemerincing dan derap
kaki-kaki kuda.
“Ternyata mereka benar-benar
ketakutan,” desis Swandaru.
”Ya. Suara itu memang aneh,“
sahut Agung Sedayu. ”Aku jadi benar-benar ingin melihat.”
“Tetapi kita harus berusaha
menyingkir dari orang-orang yang ketakutan itu, supaya mereka tidak menyalahkan
kita kalau terjadi sesuatu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Kita harus mencari akal.”
Mereka berhenti berbicara ketika
orang yang tinggi kekar mendatanginya bersama orang yang kurus. Belum lagi
mereka mengucapkan apa-apa, orang yang kekar itu sudah mendahului berkata
sambil menegangkan lehernya, ”Nah, sekarang kalian sudah mengalami sendiri.
Bukankah semalam kalian mendengar suara itu? Coba sebutkan suara apakah itu.”
“Suara genta kecil-kecil yang
banyak jumlahnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Mirip suara genta, tetapi
sama sekali bukan suara genta,” sahut orang itu. ”Itulah yang telah menyebar
ketakutan di antara kami di sini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang lain pun kemudian ikut pula
berkerumun dan berbicara mengenai suara yang mereka dengar itu.
“Apakah belum ada seorang pun
yang melihat dengan pasti, bagaimana bentuk hantu-hantu itu?” bertanya Swandaru
tiba-tiba.
“Ah, kau anak bengal,” orang
yang kekar itu menjawab. “Mungkin kau perlu tahu, apa yang pernah dialami oleh
Darpa Kancil. Hampir saja ia mati karena ia mencoba melihat hantu itu.”
Orang yang kurus, yang
ternyata bernama Darpa Kancil itu menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Aku tidak
berani menyebut-nyebutnya lagi.”
“Tetapi orang-orang baru ini
perlu mengerti. Kasihan apabila mereka terdorong oleh kesombongannya, akhirnya
akan menjadi korban seperti kau. Jangan ingkar, bahwa kau juga terlampau
sombong waktu kau datang kemari.”
“Terserahlah kepadamu kalau
kau mau menceritakan. Tetapi aku tidak,” orang yang kurus itu telah benar-benar
ketakutan.
Orang yang kekar itu berpikir
sejenak. Dengan wajah yang tegang ia memandang berkeliling, seolah-olah ingin
melihat apakah hantu-hantu itu ada di sekitarnya.
“Waktu itu,” ia berbisik,
”suara itu datang. Ini, orang ini dengan sombongnya berkata, bahwa ia tidak
takut kepada hantu-hantu. Dengan beraninya ia turun dari barak dan mengejar
suara itu. Tetapi katanya, dan orangnya sekarang ada di sini, bahwa ia tidak
dapat menemukan suara itu. Kadang-kadang suara itu ada di depan, tetapi
kemudian suara itu seakan-akan mengikutinya di belakang. Tetapi orang yang
kurus ini agaknya orang yang memang berani, sehingga ia masih juga berusaha
mencari terus. Namun ia tidak menemukannya.” Orang yang kekar itu berhenti
sejenak, lalu, ”Tetapi apa yang terjadi di pagi harinya telah membuat barak itu
gempar. Ia tiba-tiba saja kesurupan dan mengigau. Tubuhnya menjadi panas sekali
seperti bara. Agaknya hantu yang dicarinya semalam itulah yang merasuk di dalam
dirinya, ia mengancam semua orang yang sombong seperti orang yang kurus kering
ini. Bahkan akan membunuhnya.” Sekali lagi ia berhenti. Kemudian suaranya menjadi
semakin lirih, “Kami mencoba untuk mencegah kalian.“
“Ya. Hindarilah bencana itu.
Kau orang baru di sini. Seperti beberapa orang yang terdahulu. Tetapi
orang-orang yang merasa dirinya berani itulah yang akhirnya paling awal pergi.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya, ”Terima kasih. Terima kasih atas nasehat kalian.”
”Ini orangnya masih hidup. Aku
tidak berbohong. Maksudku bukan menakut-nakuti, tetapi sekedar menghindarkan
kalian dari bencana, karena aku menganggap semua orang yang datang di tempat
ini adalah saudara-saudara senasib.”
“Ya, ya. Aku mengerti
maksudmu. Para petugas pun pernah mengatakannya. Tetapi kini aku bertemu
langsung dengan orang yang mengalaminya.”
“Aku sudah minta maaf dengan
syarat seperti yang dinasehatkan seorang dukun. Ayam putih mulus, nasi kuning,
dan tuntut pisang,” berkata orang yang kurus kemudian.
Kiai Gringsing sekali lagi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang di barak itu memang merasa selalu
dibayangi oleh ketakutan. Sedang kedua muridnya mengerutkan keningnya sambil
mempertimbangkan semua peristiwa yang didengarnya.
Tetapi belum lagi mereka
meninggalkan tempat itu dan pergi ke kerja masing-masing sambil mengambil bekal
rangsum mereka di gardu pengawas, mereka dikejutkan oleh seorang perempuan yang
datang berlari-lari.
“Kakang, Kakang,” perempuan
itu berteriak dengan cemasnya, dan langsung menemui orang yang kurus itu, ”anak
kita, anak kita.”
“Kenapa dengan anak kita?”
“Ia tiba-tiba saja jatuh
pingsan.”
“Pingsan?” orang yang kurus
itu menjadi gelisah.
“Ya. Pingsan tanpa sebab.”
“Apakah sekarang masih juga
pingsan?”
Perempuan itu menggeleng,
”Beberapa orang perempuan menolong kami. Anak itu, kini sudah sadar.”
“O, tetapi, tetapi, anak itu
tidak apa-apa?”
“Aku tidak tahu, apa yang akan
terjadi nanti.” Perempuan itu berhenti sejenak, lalu, “di dalam pingsannya anak
itu mengigau.“
“He, mengigau? Apa katanya?”
“Ia hanya berbisik-bisik.
Katanya ‘jangan ulangi, jangan ulangi’.”
“O,” orang yang kurus itu
menarik nafas dalam-dalam, ”mereka masih mengancam. Sekali aku bersalah, maka
setiap kali aku selalu mendapat peringatan.”
“Tetapi, tengoklah anak itu
sebelum kau berangkat kerja.”
Laki-laki kurus itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Baiklah. Aku akan menengoknya sebentar.”
Kedua suami isteri itu pun
kemudian pergi meninggalkan mereka yang sedang berbincang. Kiai Gringsing dan
kedua muridnya berdiri termangu-mangu. Sedang orang yamg bertubuh kekar itu
berkata, ”Nah ini adalah suatu bukti. Ia terlampau sombong pada saat ia baru
saja datang kemari.“
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak, dan orang yang tinggi kekar itu berkata, ”Marilah, kita mempersiapkan
diri dengan alat-alat kita. Sebentar lagi kita akan berangkat.”
“Tetapi di manakah anak yang
sakit itu?”
“Ia berada di barak khusus
untuk perempuan dan anak-anak yang masih terlampau kecil. Perempuan yang tidak
mempunyai anak-anak kecil menyediakan makan kita sehari-hari. Bukankah kau
lihat mereka sedang memasak?”
“Maksudku anak-anak kecil itu.
Aku ingin melihatnya,” sahut Kiai Gringsing. Sebagai seorang dukun timbullah
niatnya untuk melihat jenis-jenis penyakit yang aneh itu.
“Tidak perlu. Anak itu sudah
baik. Jangan menambah persoalan lagi. Hantu-hantu yang merasuk ke dalam
tubuhnya telah pergi setelah mereka sekedar memberikan peringatan.”
Kiai Gringsing tidak dapat
memaksa orang itu untuk mengantarkannya. Sebab dengan demikian, mungkin akan
dapat timbul salah paham yang semakin dalam.
Sejenak kemudian maka
orang-orang yang bersiap-siap untuk pergi ke daerah garapan masing-masing pun
sudah siap. Mereka berjalan beriringan sambil menerima bekal rangsum mereka
yang akan mereka bawa ke tempat kerja mereka. Menjelang tengah hari mereka akan
berhenti bekerja dan makan rangsum itu.
Peristiwa-peristiwa yang
terjadi berurutan itu memang telah mempengaruhi sikap Kiai Gringsing dan kedua
muridnya. Bahkan Swandaru mulai berpikir, apakah hantu-hantu itu memang ada.
“Bagaimana pendapat Guru?”
Gurunya menggeleng-gelengkan
kepalanya, ”Aku belum dapat menemukan jawaban. Tetapi hantu-hantu itu memang telah
mengganggu.”
“Tetapi menurut orang yang
kurus itu, dengan ayam putih mulus dan kelengkapannya, persoalan hantu-hantu
itu dapat segera diselesaikan. Bukankah Guru juga seorang dukun? Agaknya Guru
dapat juga mencari jalan untuk berhubungan, dengan hantu-hantu itu dengan cara
yang lain daripada hubungan wadag.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Jawabnya, ”Aku memang seorang dukun, tetapi bukan dukun hantu-hantu. Aku dukun
yang hanya dapat berusaha mengobati penyakit. Itu pun terbatas sekali, karena
setiap persoalan, keputusam terakhir ada di tangan Yang Maha Kuasa.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sedang Agung Sedayu bertanya, ”Apakah masalah hantu itu pada suatu
saat dapat menggoncang rencana Ki Gede Pemanahan?”
“Tentu. Kalau hantu-hantu itu
telah tersebar di segala penjuru dari daerah yang baru dan sedang mengembangkan
diri ini, dan setiap orang akhirnya dicengkam oleh ketakutan, maka akhirnya
daerah ini akan menjadi sepi kembali. Tanah garapan yang sudah dibuka itu akan
menjadi rimbun kembali oleh batang-batang ilalang yang liar, karena tidak lagi
disentuh tangan.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa terasa mereka telah sampai ke tanah
garapan mereka yang agak terpencil.
“Aku memerlukan busur,” desis
Swandaru.
“Buat apa?”
“Aku sudah ketagihan daging
rusa.“
“Ah kau,” desis Agung Sedayu
sambil menyiapkan alat-alat mereka.
Sejenak kemudian mereka pun
telah tenggelam di dalam kerja. Seperti di hari pertama mereka tidak menjumpai
masalah-masalah yang aneh bagi mereka, selain suara burung kedasih yang tidak
ada putus-putusnya.
“He, burung-burung itu agaknya
tidak mau pergi dari tempat ini,” desis Swandaru.
“Begitulah suara burung
kedasih. Ia tidak dapat berbunyi dengan nada yang lain. Tidak seperti kau. Kau
dapat menyebut jenang alot, jadah ketan ireng, atau pondoh nasi gaga,” sahut
Agung Sedayu.
Suara tertawa Swandaru meledak
tanpa dapat dikendalikan. Namun tiba-tiba suara tertawanya itu pun terputus.
Perlahan-lahan ia berdesis, ”He, suara kedasih itu pun berhenti pula.”
Agung Sedayu dan gurunya pun
kemudian memasang telinganya. Suara burung kedasih itu telah berhenti pula.
Sehingga dengan demikian, hutan itu pun menjadi serasa sunyi sekali.
“Bukankah suara burung itu
terhenti pula?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
“Aneh.”
“Tidak aneh,” berkata Kiai
Gringsing, ”burung itu pun terkejut mendengar suara tertawamu.“
“Bukan karena burung itu
berhenti berbunyi,” jawab Swandaru.
“Lalu, apakah yang aneh?“
“Burung kedasih biasanya
berbunyi di malam hari. Tetapi hari ini, hampir sehari penuh, suara burung itu
tidak henti-hentinya.
“Ya. Tetapi tidak selalu malam
hari. Kadang-kadang di siang hari pun burung kedasih berbunyi pula seperti
burung kedasih itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi masih nampak keheranan membayang di wajahnya, karena suara
burung kedasih itu.
Demikianlah maka ketika
menjelang senja hari, Kiai Gringsing dan kedua muridnya itu pun menyudahi
kerjanya. Setelah mereka menyimpan alat-alat mereka di tempat yang kemarin, di
bawah sebatang kayu yang besar, yang telah dirobohkan oleh orang-orang yang
bekerja di tempat itu sebelum mereka, maka ketiganya pun kemudian meninggalkan
tanah garapan itu.
Beberapa orang segera
mendapatkannya dan bertanya, apakah yang dilihatnya dan dialaminya.
“Tidak ada apa-apa,” jawab
Kiai Gringsing.
Tetapi Swandaru
menambahkannya, ”Hanya suara burung kedasih yang terus-menerus. Menjengkelkan
sekali.”
“Hus, jangan berkata begitu.”
“Kenapa?” bertanya Swandaru.
“Jangan. Jangan berkata kurang
sopan terhadap peristiwa-peristiwa yang aneh-aneh yang terjadi di sekitarmu,”
desis seorang yang telah beruban di keningnya.
Swandaru menjadi heran. Tetapi
kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang di tempat itu
percaya bahwa kadang-kadang hal-hal yang aneh itu dapat mendatangkan bencana.
Ketika kemudian malam tiba,
Kiai Gringsing dan kedua muridnya tidak lagi pergi ke gardu pengawas. Disana
mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk melihat apabila mereka mendengar
gemerincing genta dan suara derap kaki kuda.
“Kemana kita?” bertanya Agung
Sedayu.
“Asal kita keluar,” jawab
gurunya.
Ketika malam menjadi semakin
malam, dan datang saatnya seperti kemarin malam ketika suara gemerincing itu
mengitari barak. Kiai Gringsing itu berdesah, ”Uh perutku sakit.”
Seseorang yang sudah berbaring
di sampingnya bertanya, “Kenapa perutmu?”
“Sakit, aku akan pergi ke
sungai.”
“He,” orang itu terkejut,
”malam-malam begini?”
“Ya, perutku sakit tidak
tertahankan lagi.”
“Kau berani pergi ke sungai?”
“Tidak. Tetapi biarlah kedua
anak-anakku itu mengantarkan aku.”
“Bodoh sekali. Kau bodoh
sekali. Kemarin malam. Di saat-saat seperti ini….. O, ngeri sekali,“ orang itu
tidak berani menyebutkan apa yang telah terjadi kemarin malam.
Tetapi Kiai Gringsing dan
muridnya mengerti, bahwa yang dimaksudkan itu adalah suara gemerincing genta
itu.
“Tetapi, bagaimana dengan
perutku ini.”
Orang itu tiba-tiba
mengerutkan keningnya, ”Apakah kau mengalami sesuatu siang tadi?”
Kiai Gringsing menggeleng.
“Anakmu yang telah mengumpati
burung kedasih itu. Burung itu memang sering terdengar berbunyi di siang hari.”
“O, tetapi kenapa perutku yang
sakit? Aku tentu tidak akan dapat mengganggu kalian di sini dengan bau yang
tidak sedap. Karena itu biarlah aku pergi ke sungai.“
“Jangan pergi.”
“Terpaksa sekali. Sebentar
saja.”
Kiai Gringsing pun kemudian
mengajak kedua anak-anaknya pergi. Beberapa orang telah berusaha mencegahnya.
Orang yang kurus itu bahkan
menahan tangannya sambil berkata, ”O, jangan kau lakukan. Jangan membuat dirimu
menjadi korban kebodohanmu sendiri.”
“Tetapi bagaimana dengan isi
perutku ini.”
Dan orang yang tinggi kekar
berkata, ”Kau bukan sanak dan bukan kadangku. Seharusnya aku pun tidak merasa
kehilangan kalau kalian tidak akan dapat kembali lagi ke barak ini. Tetapi aku
masih mencoba berbuat baik terhadapmu.”
“Terima kasih. Tetapi apakah
kau dapat memberi jalan lain untuk menyelesaikan perutku ini.”
Orang yang tinggi kekar itu
mengerutkan keningnya.
“O, aku sudah tidak kuat lagi.
Apakah aku sudah dikutuknya? Sakit perutku tidak tertahankan lagi. Aduh….,”
Kiai Gringsing menyeringai sambil memegangi perutnya, sedang orang-orang yang
kemudian mengerumuninya menjadi saling berpandangan.
“Apa boleh buat,” berkata
salah seorang dari mereka, “kita sudah berusaha mencegahnya. Tetapi ia tetap
akan pergi.”
“Bukan maksudku untuk tidak
mendengarkan nasehat kalian. Aku pun sebenarnya takut sekali pergi ke sungai
itu. Tetapi apakah memang ada jalan lain?” Kiai Gringsing menghentak-hentakkan
kakinya sambil berdesis.
“Apa boleh buat,” dan yang
lain menyahut, “apa boleh buat.”
Kiai Gringsing kemudian
diantar oleh Agung Sedayu dan Swandaru melangkah pergi. Orang tua itu masih
sempat bertanya, ”Siapakah yang mau menolong kami, mengawani kami pergi ke
sungai?”
Tidak ada seorang pun yang
menganggukkan kepalanya. Bahkan orang yang kurus itu berkata, ”Kami tidak mau
mati ketakutan.”
Beberapa orang melihat ketiga
orang yang menghilang ke dalam gelap itu dengan hati yang berdebar-debar.
Beberapa dari antara mereka menarik nafas sambil berdesah, “Mereka adalah
orang-orang yang berani.”
Tetapi orang yang tinggi kekar
berkata, “Mereka terlampau sombong. Kalau mereka sudah mengalami peristiwa
seperti si kurus itu barulah mereka akan percaya.”
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya, setelah menghilang ke dalam gelap, segera berhenti. Dari balik
pepohonan mereka masih dapat melihat lamat-lamat cahaya lampu-lampu minyak di
serambi barak yang panjang.
“Kemana kita, Guru?” bertanya
Agung Sedayu.
“Menunggu. Menunggu kuda
semberani yang bergemerincing itu lewat.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Swandaru-lah yang bertanya kemudian,
”Kita menunggu di sini?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Kalau begitu aku harus
mendapatkan sandaran duduk.”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Aku akan tidur.”
“Ah, kau,” desah Agung Sedayu.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Beberapa langkah ia beringsut, kemudian
bersandar pada sebatang pohon lamtara yang hanya sebesar lengan. Kiai Gringsing
dan Agung Sedayu pun kemudian duduk pula. Mereka menunggu suara gemerincing dan
telapak kaki kuda itu lewat. Dengan dada yang berdebar-debar mereka duduk tanpa
berbicara apa pun lagi.
Tetapi suara gemerincing itu
tidak kunjung datang. Waktu yang mereka pergunakan untuk menunggu sudah jauh
lebih panjang dari waktu yang wajar bagi orang yang pergi ke sungai. Namun kuda
itu tidak lewat juga.
Swandaru menjadi tidak sabar
lagi. Sambil terkantuk-kantuk ia bergumam, “Lebih baik kita yang mencari.”
“Kemana?” bertanya Agung
Sedayu.
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi ia sibuk menggaruk-garuk kakinya yang digigit nyamuk.
“Marilah kita kembali,” desis
Kiai Gringsing, ”kita tidak berhasil lagi malam ini.”
“Apakah hantu-hantu itu
mengetahui bahwa kita sedang menunggu mereka di sini?” bertanya Swandaru
kemudian.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, ”Aku tidak tahu.”
Ketiganya pun kemudian kembali
ke barak mereka. Ketika Kiai Gringsing mendehem, hampir bersamaan beberapa
orang menarik selimut yang mereka selubungkan ke kepala.
“Kau Truna?” bertanya
seseorang.
“Uh, kau pergi terlampau lama.
Kami sudah cemas, jangan-jangan kau tidak akan kembali lagi kemari.”
“Jalan ke sungai itu gelap
sekali,” jawab Kiai Gringsing.
Orang-orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tidak seorang pun yang menanyakan
kepadanya, apakah Truna Podang itu tidak bertemu dengan hantu. Sedang Kiai
Gringsing pun sadar, bahwa mereka harus menyimpan pertanyaan itu sampai besok,
karena mereka tidak berani mengucapkannya saat itu.
Sebenarnyalah di pagi hari
berikutnya, Truna Podang sudah dikerumuni oleh beberapa orang yang bertanya
kepadanya, ”Apakah kau melihat sesuatu?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya.
“Tidak,“ jawabnya, ”aku tidak
melihat apa pun.”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi beberapa orang yang lain berkata di
antara mereka, ”Belum saja mereka mengalami. Apabila pada suatu saat mereka
benar-benar bertemu dengan hantu itu, barulah mereka menjadi jera.”
“Kalau hanya sekedar bertemu
dengan hantu, tentu tidak akan menyedihkan. Tetapi kalau hantu-hantu itu
benar-benar marah dan mencabut nyawa mereka?”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seseorang berdesis, ”Kasihan. Mereka terlampau
keras kepala.”
Ketika matahari menjadi
semakin terang, maka orang-orang itu pun segera meninggalkan tempat itu pergi
ke tanah garapan masing-masing, setelah mereka mengambil bekal mereka dari
gardu pengawas.
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya pun pergi pula ke tempat kerja mereka.
“Apakah burung kedasih itu
masih berbunyi lagi di sepanjang hari?” tiba-tiba saja Swandaru berdesis.
“Bukankah kita sudah
mendapatkan cara untuk menghentikannya?” sahut Agung Sedayu.
“Bagaimana?” bertanya
Swandaru.
“Kau berteriak keras-keras.
Burung itu akan ketakutan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
Demikianlah, maka mereka
bertiga bekerja dengan tekunnya. Suara burung kedasih itu sudah tidak
mengganggu lagi. Namun terik matahari yang semakin tinggi serasa telah membakar
tubuh mereka.
Ketika mereka sedang sibuk
menebasi batang-batang pepohonan yang sudah rebah, maka mereka pun kehilangan
perhatian mereka kepada keadaan di sekitar tanah yang sunyi itu. Yang menjadi
pusat perhatian mereka adalah kapak-kapak mereka yang terayun-ayun dengan
kerasnya, melontarkan bunyi yang membelah sepinya suasana hutan.
Namun tiba-tiba mereka bertiga
terkejut ketika mereka mendengar pekik memanjang. Gemanya terpantul dari segala
arah, sehingga pekik itu terdengar seakan-akan terulang-ulang.
Swandaru, Agung Sedayu, dan
gurunya segera berhenti bekerja. Meskipun kapak mereka masih ada di dalam
genggaman namun mereka kini berdiri tegak bagaikan patung yang beku.
Sekali lagi suara itu
terdengar meninggi dan berkepanjangan.
Tiba-tiba saja Swandaru
melemparkan kapaknya dan meloncat berlari. Namun langkahnya tertahan karena
gurunya segera menangkap lengannya.
“Tunggu, Swandaru,” desis Kiai
Gringsing, ”kita berada di tempat yang asing. Jangan tergesa-gesa berbuat
sesuatu kalau kau tidak ingin terjebak.”
Sejenak Swandaru berdiri
termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Kini ditatapnya
hutan yang lebat di sebelah tanah yang sedang digarap. Dan, ia memang tidak
mengetahui, apakah yang tersimpan di dalam lebatnya hutan itu, di balik
pohon-pohon raksasa dan di dalam gerumbul-gerumbul perdu yang liar.
Agung Seadayu telah meletakkan
kapaknya pula. Tanpa disadarinya tangannya telah meraba tangkai cambuknya yang
melilit di lambung.
Dalam keragu-raguan itu Kiai
Gringsing dan kedua muridnya mendengar lengking yang tinggi itu sekali lagi. Dan
kini berada agak lebih-dekat.
“Hati-hatilah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, ”kita berhadapan dengan sesuatu yang masih belum dapat kita
jajagi.”
Kedua muridnya menganggukkan
kepalanya. Setapak Agung Sedayu bergeser maju, sedang Kiai Gringsing berdiri
tegak sambil menengadahkan kepalanya.
“Seseorang mendekat kemari,”
bisiknya.
Kedua muridnya pun mencoba
untuk mendengar sesuatu. Namun baru sejenak kemudian mereka mendengar langkah
orang berlari-lari.
“Ya, seseorang telah datang
kemari,” ulang Agung Sedayu.
Ternyata dugaan mereka benar.
Sejenak kemudian seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang
lebat. Masih terdengar betapa ia merintih kesakitan. Ditekankannya kedua
telapak tangannya di dadanya yang ternyata menghamburkan darah yang merah.
“Tolong, tolong Ki Sanak,“
suaranya gemetar, sedang langkahnya menjadi terhuyung-huyung.
Kiai Gringsing selangkah demi
selangkah maju mendekatinya.
“Kenapa kau Ki Sanak?”
bertanya orang tua itu.
“O, hantu, hantu itu.”
Dada ketiga orang itu berdesir.
“Kenapa?”
“Mereka telah menerkam aku.
Aku digigitnya dengan taring.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Beberapa langkah ia maju mendekat, sedang Swandaru langsung
menghampirinya sambil bertanya, ”Apakah kau bertemu dengan hantu itu?”
Orang itu terdiam seienak.
Dipandanginya Swandaru dengan mata yang merah. Tiba-tiba ia berpaling. Dengan
penuh ketakutan ia berteriak, “He, ia mengejar aku. Tolong, tolong Ki Sanak.“
Semua orang berpaling ke arah
tatapan mata orang yang terluka itu. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
”Itu. Itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak melihat apa pun, selain daun yang
bergerak-gerak disentuh angin.
Tiba-tiba saja orang itu
berada di puncak ketakutannya. Sekali lagi ia berteriak, ”Ampun, Ampun. Tolong
Ki Sanak, tolong.”
Tanpa menghiraukan apa pun
lagi, dengan serta-merta ia meloncat mendekap Swandaru yang berdiri di
dekatnya. Dengan suara gemetar ia masih saja berteriak-teriak, ”Tolong Ki
Sanak, tolong.”
Swandaru terperanjat ketika
tiba-tiba saja nafasnya serasa menjadi sesak. Orang itu mendekapnya terlampau
kuat dan bahkan mengguncang-guncangnya sehingga hampir saja Swandaru itu pun
terjatuh karenanya.
“He, jangan berbuat seperti
anak kecil,” teriak Swandaru.
Tetapi orang itu tidak
menghiraukannya.
“Itu, lihat. Hantu itu
mengejar aku.”
“Tenanglah Ki Sanak,” desis
Kiai Gringsing, ”tenanglah dan berbicaralah supaya kami mengerti apa yang telah
terjadi atasmu.”
“Aku dikejar hantu. Hantu
jerangkong bermata bara, membawa sebatang tongkat panjang. Oh, dadaku terluka
dan tengkukku telah digigitnya.”
“Kenapa dadamu terluka?”
“Tongkat itu. Tongkat itu,”
dan sejenak kemudian sambil mendekap Swandaru semakin erat, ia melonjak-lonjak.
”Tolong, tolong. Aduh. Ia akan menerkam aku.”
Kiai Gringsing kemudian
mendekatinya. Tetapi sebelum ia sempat meraba orang itu, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara sebuah benda yang berat terjatuh.
Kiai Gringsing tidak menunggu
lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat ke arah suara itu, meskipun ia cukup
berhati-hati. Dengan indera pendengarannya yang tajam ia mengenali apa yang ada
di sekitarnya.
Agung Sedayu pun mengikutnya
pula, sedang Swandaru tiba-tiba saja telah mendorong orang yang mendekapnya
sambil berkata, ”Tunggu di sini. Aku akan melihat.”
Orang itu terdorong beberapa
langkah sebelum ia terjatuh di tanah, tetapi Swandaru tidak menghiraukannya
lagi. Ia pun segera berlari menyusul gurunya.
Ketika Kiai Gringsing sudah
memasuki hutan, maka langkahnya pun segera diperlambatnya. Dicobanya untuk
mendengar setiap desah yang mencurigakan. Tetapi yang didengarnya hanyalah
desir angin di dedaunan.
“Hati-hatilah,” ia berdesis
kepada murid-muridnya.
Agung Sedayu dan Swandaru yang
sudah ada di sampingnya pun mengangguk pula.
Tetapi sampai beberapa,
langkah kemudian, mereka tidak menjumpai apa pun juga. Apalagi hantu, seekor
kelinci pun tidak.
Namun tiba-tiba Kiai Gringsing
itu mengerutkan keningnya. Dilihatnya sebuah batu yang besar tergolek di tanah.
“Batu ini,” desis Kiai
Gringsing.
“Kenapa dengan batu ini?”
bertanya Swandaru.
”Suara itu adalah suara batu
ini terjatuh.”
“Dari mana?” bertanya Agung
Sedayu.
Ketiganya pun serentak
menengadahkan wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu, selain
sebatang pohon yang tinggi dan lebat. Dengan teliti Kiai Gringsing mencoba
mengamat-amati pohon itu. Tetapi ia memang tidak melihat atau mendengar
sesuatu.
Perhatiannya kemudian
dialihkan kepada batu besar yang tergolek di dekat ujung kakinya. Batu itu
adalah batu hitam yang berat.
“Apakah Guru memastikan bahwa
suara itu adalah suara batu ini?” bertanya Swandaru.
“Ya, ” jawab gurunya,
”lihatlah, rerumputan di sekitarya. Ranting-ranting perdu yang berpatahan.
Bekas itu adalah bekas-bekas batu sehingga batu ini pasti baru saja jatuh dari
atas.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Sedang Agung Sedayu memandangi daun pohon yang rimbun itu sekali
lagi. Ia hampir tidak dapat mempercayainya bahwa batu itu jatuh begitu saja
dari atas sebatang pohon yang demikian tinggi.
“Aneh,” tanpa sesadarnya ia
berdesis.
Kiai Gringsing pun
mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia belum dapat menebak teka-teki yang
sulit itu. Sebagai seseorang yang banyak melakukan pengembaraan sejak masa
mudanya, Kiai Gringsing sudah banyak sekali mengalami masalah-masalah yang aneh
dan berbahaya. Tetapi kali ini ia tidak segera menemukan jawaban dari peristiwa
yang membingungkannya itu.
“Sudahlah,“ berkata Kiai
Gringsing, ”jangan hiraukan lagi batu itu. Biarlah ia tetap di situ. Sekarang,
marilah kita lihat orang yang luka itu.” Lalu ia berpaling kepada Swandaru,
”Orang itu kau tinggalkan di dalam ketakutan.”
Swandaru tidak segera
menyahut.
“Sebaiknya kau tunggui orang
itu,” sambung gurunya, ”mungkin ia akan mati ketakutan.”
“Aku ingin juga melihat apa
yang terjadi di sini,” jawab Swandaru tanpa memandang wajah gurunya.
“Sudahlah. Marilah kita
lihat,” sahut Kiai Gringsing kemudian.
Ketiganya pun berjalan dengan
tergesa-gesa kembali ke tanah garapan mereka. Mereka ingin segera melihat,
apakah yang sudah terjadi dengan orang yang terluka dan ketakutan itu.
Ketika mereka muncul dari
balik pepohonan yang rimbun, mereka melihat tanah garapan mereka itu masih
tetap sepi. Namun mereka tidak segera melihat orang yang sedang dicengkam oleh
ketakutan itu. Karena itu, maka langkah mereka pun menjadi semakin cepat,
meloncati pepohonan yang sudah dirobohkan, tetapi masih saja malang melintang.
“Di mana orang itu?” desis
Swandaru.
“Di mana kau tinggalkan tadi?”
bertanya Agung Sedayu.
“Aku mendorongnya sehingga ia
jatuh tertelentang.”
“O, mungkin ia pingsan.
Marilah kita lihat.”
Ketiganya berjalan semakin
cepat. Bahkan kemudian mereka pun seolah-olah berlari sambil meloncat-loncat,
melangkahi kayu-kayu yang roboh dan gerumbul-gerumbul perdu.
Namun darah mereka serasa
berhenti mengalir, ketika mereka tidak melihat orang yang ketakutan itu di
tempatnya. Yang mereka lihat adalah percikan-percikan darah di sekitarnya.
Bahkan sesobek dari pakaian orang yang terluka itu.
“Guru, apakah yang kira-kira
sudah terjadi?” Swandaru terpekik.
Kiai Gringsing pun dengan
serta merta berjongkok di tempat itu untuk melihat apa-apa yang kiranya sudah
terjadi.
“Mungkinkah ada binatang
buas?“ bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, ”Tentu bukan binatang buas,” katanya, ”tidak ada bekas binatang buas
sama sekali.“
Ketiganya sejenak saling
berdiam diri. Dengan cermat mereka melihat bekas-bekas yang dapat mereka
pergunakan sebagai bahan untuk mengenali peristiwa yang aneh itu.
“Darah itu menodai rerumputan
di sekitar tempat ini, Guru,” desis Agung Sedayu kemudian.
“Apakah telah terjadi
pergulatan yang sengit?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, ”Mungkin bukan pergulatan. Tetapi orang yang ketakutan itu telah
meronta-ronta sehingga darahnya memercik ke segala arah.”
“Lihat,” tiba-tiba Swandaru
berteriak.
Kiai Gringsing dan Agung
Sedayu pun segera berdiri dan mendekatinya.
“Darah itu menitik menuju
kemari.”
“Terus,” sambung Agung Sedayu,
”di sini pun terdapat bekas-bekasnya memanjang.“
“Tentu orang itu sudah dibawa
masuk ke dalam hutan itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Ya. Orang itu sudah dibawa masuk kembali ke
dalam hutan. Tetapi agaknya bukan binatang buas.”
“Atau ada binatang jenis lain
yang belum kita kenal, Guru?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya, ”Hampir semua jenis binatang di hutan ini sudah
aku kenal. Memang mungkin ada satu dua yang belum pernah aku lihat. Tetapi
bekas-bekasnya pasti ada di sekitar tempat ini. Bekas-bekas kaki atau kuku atau
apa pun.”
“Apakah mungkin dongeng tentang
burung garuda raksasa itu benar-benar ada, Guru?”
“Garuda raksasa itu pun pasti
akan meninggalkan bekas. Sentuhan sayapnya atau kuku-kuku kakinya. Tetapi kita
tidak melihat bekas apa pun selain percikan-percikan darah.”
Swandaru dan Agung Sedayu hanya
dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi mereka sudah mulai dirayapi
oleh kebimbangan menghadapi masalah yang bagi mereka sangat membingungkan ini.
Gurunya pun segera melihat
kebimbangan yang melonjak di dada murid-muridnya. Usia mereka dan pengalaman
mereka yang masih terlampau sedikit, memang masih memungkinkan keteguhan hati
mereka tergoyahkan.
Karena itu, maka katanya,
”Jangan kau ributkan lagi masalah ini. Mungkin kita belum menemukan
pemecahannya saja. Tetapi hampir tidak ada rahasia lahiriah yang tidak
terpecahkan.”
“Tetapi orang-orang yang sudah
lama di tempat ini pun masih belum dapat menduga apa yang sebenarnya telah
terjadi, selain anggapan mereka bahwa semuanya ini disebabkan oleh
hantu-hantu.”
“Itu adalah satu dari banyak
kemungkinan, tetapi bukan satu-satunya.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
pun kemudian tidak bertanya lagi. Tetapi mereka masih saja memandangi percikan
darah yang berserakan. Berbagai macam dugaan telah merayapi dada mereka. Bahkan
betapapun kecilnya, tetapi tumbuh juga bertanyaan, ”Apakah daerah ini
benar-benar telah dijelajahi oleh hantu-hantu?”
Ketika kemudian Kiai Gringsing
kembali mengambil kapaknya, maka kedua muridnya itu pun kembali pula kepada
kerja mereka, meskipun dengan hati yang bimbang.
Orang yang ketakutan itu telah
menumbuhkan pertanyaan yang masih belum terjawab. Apalagi orang itu tiba-tiba
saja telah hilang tanpa bekas.
“Inikah sebabnya, maka tanah
ini ditinggalkan oleh penggarap-penggarapnya yang terdahulu?” bertanya Swandaru
sambil berbisik kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Mungkin juga. Tetapi kita tidak akan dapat
meyakinkan hal itu.”
“Ya. Memang benar juga kata
guru bahwa mencari jawabnya pada hantu-hantu adalah salah satu saja dari sekian
banyak jawaban-jawanan yang lain.“
“Ya. Dan itu termasuk rencana
kita untuk memecahkan teka-teki ini. Seandainya kita benar-benar berhadapan
dengan hantu-hantu, maka kita pun pasti, hantu yang mana yang mengganggu kerja
yang besar dari Ki Gede Pemanahan ini.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Perlahan-lahan ia mulai
mengangkat kapaknya, kemudian terayun pada batang-batang pohon yang besar, yang
harus mereka singkirkan.
“Badanku terasa lungkrah,”
desis Swandaru, ”tenagaku tidak seperti biasanya.”
“Kau terpengaruh oleh
peristiwa yang baru saja terjadi,” sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, ”Memang, hal itu mungkin sekali,” jawabnya. “Aku tidak dapat
melepaskan pikiran itu. Orang itu telah dibawa oleh seseorang atau katakan
sesuatu yang sangat ditakutinya. Hal itu tentu merupakan suatu peristiwa yang
mengerikan sekali baginya. Mungkin juga tidak akan menjadi sangat ketakutan
seperti itu seandainya ia dihukum mati sama sekali.”
“Ya,” jawab Agung Sedayu. ”Dan
tidak seorang pun yang mengetahui, apa yang telah terjadi atasnya kini. Apakah
tubuhnya telah menjadi santapan harimau lapar, atau oleh serigala liar, atau
memang diperlukan oleh hantu-hantu itu.”
Swandaru tidak menyahut.
Kepalanya terangguk-angguk kecil. Dicobanya untuk melupakan apa yang telah
terjadi.
“Aku bukan apa-apanya. Orang
itu bukan keluarga atau sahabatku,” ia mencoba berkata di dalam dirinya untuk
mengurangi perasaan ibanya yang menghentak-hentak.
Namun Swandaru tidak berhasil.
Seperti juga Agung Sedayu, Swandaru selalu diganggu oleh perasaan iba dan belas
kasihan.
Tetapi yang sama sekali tidak
dimengerti oleh Swandaru, badannya sendiri serasa menjadi tidak enak. Nafasnya
serasa semakin sesak, dan wajahnya menjadi panas.
Dengan susah payah ia mencoba
untuk bertahan agar ia tidak mengganggu gurunya yang sedang asyik bekerja.
meskipun Kiai Gringsing sudah agak lanjut usia, tetapi tenagamya masih
melampaui tenaga anak-anak muda. Kapaknya terayun-ayun deras sekali.
“Kakang,” desis Swandaru kemudian,
”badanku benar-benar terasa tidak enak.”
“Tenanglah,” jawab Agung
Sedayu, ”kau sudah terpengaruh oleh perasaanmu sendiri. Aku memang menaruh
belas kasihan kepada orang itu. Aku juga membayangkan apa yang kira-kira
terjadi atasnya. Tetapi jangan terlampau merasuk ke dalam hati.” Agung Sedavu
berhenti sejenak, ”Kita memang kadang-kadang merasa seolah-olah kita diterkam
oleh perasaan tidak enak. Bukan karena tubuh kita memang disentuh oleh
penyakit, tetapi semata-mata karena perasaan kita.”
“Tetapi sudah tentu tidak
sekuat ini, Kakang. Aku merasa seakan-akan tubuhku menjadi panas seperti
terbakar.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi ketika ia memandang wajah adik seperguruannya dengan saksama,
maka ia pun terkejut. Wajah itu menjadi pucat sekali.
“Apakah kau merasa panas?”
Swandaru mengangguk.
Disentuhnya kening Swandaru
dengan punggung telapak tangannya. Dan Agung Sedayu menjadi semakin terkejut
karenanya, “Dingin sekali.“
“Ya, tetapi di dalam dadaku,
serasa darahku telah mendidih.”
“Kita berkata kepada guru.”
“Jangan. Aku hanya akan
mengganggu saja. Guru pasti akan berkata seperti yang kau katakan. Aku
terlampau dipengaruhi oleh perasaanku.”
“Aku kira kau benar Swandaru,
bahwa kau tidak sekedar dipengaruhi oleh perasaanmu.”
“Tetapi, jangan kau katakan
kepada guru,” Swandaru berhenti sejenak. ”Jangan-jangan kita akan
ditertawakannya.”
“Kenapa?”
“Kita sudah menjadi ketakutan
kepada hantu-hantu itu.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya, ”Tetapi keadaanmu agaknya memerlukan perhatiannya.“
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi kini tubuhnya serasa menggigil kedinginan meskipun di dalam dadanya
masih terasa panas sekali.
Dengan kekuatan yang masih ada
padanya masih mencoba untuk bekerja, karena ia tidak mau disebut oleh gurunya
sebagai anak yang cengeng dan manja. Diangkatnya kapaknya tinggi-tinggi,
kemudian diayunkannya deras sekali. Tetapi untuk mengangkat kapak itu kembali,
nafasnya telah menjadi terengah-engah
“Jangan kau paksa,” desis
Agung Sedayu, ”beristirahatlah. Keringatmu menjadi semakin banyak.”
Swandaru menjadi semakin
termangu-mangu. Tetapi tubuhnya memang menjadi lemah sekali, sehingga mau tidak
mau ia pun kemudian duduk di atas sebatang pohon yang rebah sambil
memijit-mijit keningnya yang sakit.
Gurunya pun kemudian
melihatnya pula. Tetapi sama sekali tidak menyangka bahwa muridnya telah
terserang oleh sesuatu penyakit begitu cepatnya.
“Aku harus mengatakannya
kepada guru,” berkata Agung Sedayu kemudian. ”Kau menjadi semakin pucat.”
“Jangan dulu,“ suara Swandaru
menjadi dalam, ”biarlah aku mencoba mengatasi perasaanku.“
“Jangan menunggu sampai
terlambat,” berkata Agung Sedayu. ”Aku kira kau tidak sekedar sedang
dipengaruhi oleh perasaanmu saja.“
“Kakang,” berkata Swandaru
dengan nafas yang terengah-engah, ”aku pernah melihat orang yang terserang
penyakit karena perasaannya seperti yang kau katakan. Meskipun Guru hanya
memberikan air biasa, yang diambilnya dari sumur, dan disuruhnya ia minum, maka
orang itu merasa badannya segera sembuh.“
“Tetapi tentu tidak sekuat
ini. Gejala-gejala yang tampak pada tubuhmu bukan sekedar karena kau tidak
dapat melupakan orang yang luka parah itu saja.”
Swandaru tidak menyahut lagi.
Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
“Duduklah,” desisnya.
Swandaru tidak mencegahnya
lagi. Dengan mata yang suram dipandanginya kakak seperguruannya yang melangkah
mendekati gurunya yang sedang bekerja keras.
“Apakah kalian sudah lelah?”
bertanya Kiai Gringsing. “Sebentar lagi matahari sudah menjadi semakin rendah.
Kita akan segera beristirahat.”
“Guru,” berkata Agung Sedayu
dengan bersungguh-sungguh, “Adi Swandaru tiba-tiba saja menjadi sakit.”
Gurunya mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia tersenyum, ”Swandaru sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang
baru saja terjadi. Mungkin ia merasa bersalah, karena ia sudah meninggalkan
orang yang terluka itu seorang diri, sehingga orang itu kemudian hilang tidak
berbekas. Perasaan itulah yang agaknya membuat ia menjadi seolah-olah sakit.”
“Guru,” berkata Agung Sedayu,
“tubuhnya dingin meskipun ia merasa panas.”
“Itulah gejalanya.”
“Keringatnya seakan-akan
terperas dan wajahnya menjadi sangat pucat.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. ”Cobalah aku melihatnya.”
Kiai Gringsing pun kemudian
meletakkan alat-alat kerjanya, dan dengan tergesa-gesa mendapatkan muridnya
yang duduk tepekur.
“Kenapa kau Swandaru?”
bertanya Kiai Gringsing.
Swandaru mengangkat wajahnya
sambil menjawab, ”Tubuhku rasa-rasanya menjadi sangat lemah Guru. Panas di
dalam, tetapi aku menggigil seperti orang kedinginan.”
Kiai Gringsing terkejut
melihat keadaan muridnya. Apalagi ketika ia menyentuh tubuhnya.
“Bagaimana, Guru?” bertanya
Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Anak ini memang benar-benar sakit. Bukan
sekedar dipengaruhi oleh perasaannya.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Sakit yang tiba-tiba itu telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak segera dapat terjawab.
“Apakah kau makan sesuatu
Swandaru?” bertanya gurunya.
Swandaru menggelengkan
kepalanya, ”Tidak, Guru.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dipijit-pijitnya tengkuk muridnya. Katanya kemudian, ”Berdirilah.”
Tetapi tubuh Swandaru menjadi
sangat lemah. meskipun demikian dipaksanya juga untuk berdiri dibantu oleh
Agung Sedayu.
Dengan teliti Kiai Gringsing
memeriksa tubuh Swandaru. Setiap bagian dilihatnya dengan saksama, kalau-kalau
ada sesuatu yang dapat dipakainya sebagai pancadan untuk mengenai penyakitnya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
menemukan sesuatu.
“Bibirnya menjadi biru sekali,
Guru,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. ”Duduklah,” katanya kemudian. Dan di antara terdengar dan
tidak, orang tua itu bergumam, ”Menurut tanda-tanda di badanmu, kau telah
keracunan.”
“Keracunan?” desis Swandaru,
”tetapi, aku tidak makan apa-apa.”
“Keracunan tidak hanya terjadi
karena makanan.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, ”Mungkin kau digigit
serangga atau binatang-binatang berbisa lainnya.”
“Aku tidak merasa, Guru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kapalanya. Tiba-tiba ia berkata, ”Tundukkan kepalamu.”
Swandaru tidak mengerti maksud
gurunya, sehingga dengan termangu-mangu ia memandanginya
“Tundukkan kepalamu,” sekali
lagi gurunya berkata.
Dengan ragu-ragu Swandaru
menundukkan kepalanya, ia terperanjat ketika gurunya kemudian mencekam
tengkuknya. Semakin lama semakin keras, sehingga hampir saja ia tercekik
karenanya.
Sejenak kemudian perutnya
merasa mual sekali. Seakan-akan ada sesuatu yang bergejolak di dalam perut itu.
Semakin lama semakin mual, sehingga pada suatu saat ia tidak dapat bertahan lagi.
Dengan serta-merta, maka anak muda yang gemuk itu pun muntah-muntah.
Tetapi sekali lagi ia
terperanjat, seperti juga Agung Sedayu. Dari mulut Swandaru selain keluar isi
perutnya, di antaranya meloncat pula gumpalan-gumpalan darah yang sudah menjadi
kehitam-hitaman.
”Darah, Guru, darah,” suara
Agung Sedayu gemetar.
Kiai Gringsing pun menjadi
tegang pula. Karenanya, ”Ternyata Swandaru telah benar terserang oleh racun
yang membahayakan jiwanya.”
Karena itu, maka Kiai
Gringsing itu pun memijit lebih keras lagi. Sebagai seorang dukun yang
berpengalaman, Kiai Gringsing dapat menyentuh urat-urat leher Swandaru, yang
kemudian dapat membuatnya muntah.
“Muntahlah Swandaru,” berkata
gurunya, ”jangan kau tahan-tahan lagi. Semakin banyak kau dapat mengeluarkan isi
perutmu, akibatnya akan menjadi lebih baik.
Swandaru mengangguk lemah.
Terasa sesuatu berputar lagi diperutnya, dan sejenak kemudian gumpalan-gumpalan
darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman meloncat keluar, disusul oleh darah
yang merah segar.
“Kau benar-benar keracunan,”
desis gurunya, “racun yang termasuk kuat.”
Swandaru menjadi semakin
lemah. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
“Berbaringlah di atas pohon
besar ini,” berkata gurunya. Swandaru pun kemudian dipapah oleh Agung Sedayu
dan dibaringkannya di atas sebatang pohon besar yang telah roboh.
“Aturlah pernafasanmu,”
berkata gurunya kemudian. ”Racun ini harus dilawan lebih dahulu, agar kau tidak
menjadi semakin tidak berdaya menghadapinya.”
Swandaru tidak menjawab. Hanya
matanya sajalah yang bergerak-gerak.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Tanpa disadarinya, angan-angannya terbang ke dunia yang lain.
Anak itu sedang mempersiapkan dirinya untuk melamar seorang gadis yang
ditinggalkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian ia akan menggantikan
ayahnya seorang Demang di Sangkal Putung, atau mungkin ia akan memilih
memerintah Tanah Perdikan Menoreh?
Sekilas justru terbayang
Pandan Wangi yang menanti keluarga Swandaru datang kepada keluarganya di
Menoreh. Pandan Wangi yang duduk bertopang dagu di tangga pendapa rumahnya.
Bukan saja Pandan Wangi,
tetapi juga ayah dan ibunya. Kalau Sekar Mirah telah sampai di rumahnya, maka
ia pasti akan segera bercerita tentang kakaknya yang gemuk itu.
“Kini ayah dan ibunya bahkan
juga Sekar Mirah dan Sumangkar, pasti sedang menunggu kita di sana,” ia berkata
di dalam hatinya.
Agung Sedayu itu tersentak
ketika ia mendengar Swandaru berdesah. Wajahnya yang pucat menjadi semakin
putih, sedang bibirnya tampak menjadi semakin biru.
“Bagaimana, Guru?” tiba-tiba
ia bertanya.
Gurunya masih merenungi
muridnya yang keracunan itu sejenak.
“Apakah …..,” kata Agung
Sedayu tidak dilanjutkannya.
“Tidak,” desis gurunya, ”kau
akan menghubungkan hal ini dengan hantu-hantu?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
“Sama sekali tidak ada
hubungannya dengan hantu-hantu. Anak ini benar-benar telah keracunan. Aku akan
menunggu sesaat. Kemudian aku akan memberikan obat kepadanya, setelah gejolak
di dalam perutnya mereda.”
Agung Sedayu masih tetap
berdiam diri. Dengan cemasnya ia memandang wajah adik seperguruannya yang
semakin pucat, sedang nafasnya serasa menjadi semakin sesak.
“Kenapa Guru belum memberinya
obat,” ia bertanya di dalam hatinya, tetapi ia tidak berani mengucapkannya,
”Guru pasti jauh jauh lebih tahu daripada aku.”
Sejenak kemudian, Kiai
Gringsing itu pun memijit-mijit perut Swandaru. Ditelusurnya bagian-bagian di
sekitar pusarnya. Kemudian katanya, ”Belum terlambat. Untung kalian segera
mengatakannya kepadaku. Racun ini termasuk racun yang kuat.”
Agung Sedayu mengangguk.
Tetapi ia hampir tidak tahan lagi. Gurunya merasa bersukur bahwa keadaan
Swandaru masih belum terlambat, tetapi kenapa ia berdiam diri saja? Apakah Kiai
Gringsing itu memang sedang menunggu agar terlambat?
Tetapi sekali lagi Agung
Sedayu menjawab sendiri di dalam hatinya, ”Guru pasti lebih tahu daripadaku.”
Ternyata bahwa sejenak
kemudian Kiai Gringsing itu pun mengambil sesuatu dari tlekeman di ikat
pinggangnya. Sebuah bumbung kecil yang disumbatnya dengan cempol kelapa.
Dari dalam bumbung kecil itu,
Kiai Gringsing mengeluarkan dua butir obat yang telah dikeringkan menjadi
butiran-butiran yang kecil.
“Swandaru,“ ia berdesis.
Swandaru menggerakkan
kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Penyakit yang tiba-tiba mencekamnya itu
rasa-rasanya seperti penyakit yang sudah bertahun-tahun hinggap di tubuhnya.
“Apakah perutmu sudah tenang?“
Swandaru mengangguk kecil.
“Sekarang makanlah obat ini,
agar daya tahan tubuhmu bertambah kuat.”
Swandaru membuka mulutnya
perlahan-lahan. Kemudian Kiai Gringsing melontarkan dua butir obat itu ke dalam
mulut Swandaru.
Sejenak Swandaru tidak
bergerak. Namun kemudian ia menggeliat sambil berdesah, “Guru.”
Dengan serta merta Agung
Sedayu bergeser maju.
“Tenanglah Sedayu, benturan
antara dua macam kekuatan telah terjadi di dalam tubuh Swandaru. Itulah
sebabnya, badannya akan menjadi panas sekali. Tetapi setelah itu, mudah-mudahan
ia akan berangsur baik. meskipun untuk beberapa hari ia harus beristirahat.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun seakan-akan di luar sadarnya ia berkata,
”Apakah yang akan dikatakan orang tentang Swandaru?“
“Tentu, mereka akan
menghubung-hubungkannya dengan hantu. Apalagi kalau mereka melihat atau
mendengar tentang orang yang terluka dan kemudian hilang itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun betapa pun juga, ia sendiri pun telah
terpengaruh pula oleh peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi.
“Untunglah bahwa Guru seorang
ahli obat-obatan. Kalau tidak, entahlah, apa yang akan terjadi atas Swandaru.
Mungkin keadaannya akan menjadi semakin jelek dan berbahaya,” berkata Agung
Sedayu dalam hatinya.
Dalam pada itu Swandaru
tampaknya menjadi semakin gelisah. Meskipun matanya terpejam, tetapi tubuhnya
selalu bergerak dan mengeliat. Agaknya perasaan sakit yang sangat telah
mengganggunya.
Agung Sedayu berdiri
termangu-mangu di samping adik seperguruannya. Wajahnya membayangkan kecemasan
yang sangat. Tetapi ia tidak berani bertanya lagi, karena gurunya pun menjadi
tegang pula karenanya.
Ketika Kiai Gringsing
menyentuh kening Swandaru, terasa betapa tubuh anak itu menjadi panas.
Sekali-sekali terdengar ia menahan desah di mulutnya.
Agung Sedayu menengadahkan
wajahnya ketika ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Terasa desir
yang lembut menyentuh dadanya. Biasanya burung kedasih berbunyi di malam hari.
Tetapi kini, seperti kemarin, burung itu berbunyi tiada hentinya.
“Kalau Swandaru tidak sedang
sakit, ia pasti berteriak keras-keras untuk mengejutkan burung itu,” berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya.
Ketika Agung Sedayu berpaling,
memandang wajah adik seperguruannya itu pula, maka dilihatnya Swandaru sudah
menjadi agak tenang, meskipun wajahnya masih tampak pucat.
“Bagaimana, Guru?” tanpa
sesadarnya ia bertanya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku harap keadaannya akan menjadi
bertambah baik.”
Agung Sedayu pun tidak
bertanya lagi. Dengan penuh pengharapan ia menunggui adik seperguruannya yang
tampak menjadi bertambah baik. Nafasnya sudah menjadi teratur, dan wajahnya pun
tidak begitu pucat lagi.
“Bagaimana Swandaru bisa
keracunan, Guru,” Agung Sedayu bertanya sekenanya saja.
Gurunya menggeleng, “Aku tidak
tahu. Ia tidak merasa digigit atau disengat apa pun.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia bergeser maju sambil bertanya, “Guru, apakah ada
kemungkinan orang yang terluka parah itu juga keracunan?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Tetapi menilik lukanya, ia benar-benar
telah terkena senjata seperti yang dikatakannya.”
“Bukankah ia mengatakan bahwa
hantu itu menggigit tengkuknya? Dan apakah yang disebutnya hantu itu sesuatu
yang mengandung racun?”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Keningnya menjadi berkerut-merut. Sejengkal ia bergeser maju. Kemudian
diamatinya Swandaru dengan saksama.
Tiba-tiba Kiai Gringsing itu
tersentak. Disambarnya tangan Swandaru. Dilihatnya tangan itu dengan tajamnya.
Pergelangan, kemudian punggung telapak tangan.
“Kenapa, Guru?” Agung Sedayu
bertanya dengan herannya.
Kiai Gringsing tidak segera menjawab.
Kini dilihatnya bagian-bagian tubuh Swandaru yang lain.
Ketika Kiai Gringsing melihat
sesuatu di leher Swandaru, ia pun mengerutkan keningnya. Sebuah luka yang
hampir tidak nampak melekat di leher anak yang gemuk itu.
“Luka yang kecil ini pasti cukup
dalam,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Apakah Guru menemukan
sesuatu?” bertanya Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan,” jawab Kiai
Gringsing. Tetapi ia belum mengatakan apa yang dilihatnya.
Agung Sedayu kemudian dengan
tegangnya memandang gurunya yang sedang merenungi sebuah bintik yang
kehitam-hitaman di leher Swadaru itu. Kemudian dengan hati-hati Kiai Gringsing
memijit-mijit bagian leher Swandaru di sekitar bintik yang kehitam-hitaman itu.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, ”Luka
inilah sumber keracunan yang telan menjalar di seluruh tubuh Swandaru.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Darimana ia mendapatkan
luka itu, Guru?”
“Itulah yang masih harus
diselidiki,” jawab gurunya. Setelah merenung sejenak, maka ia melanjutkannya,
”Aku mempunyai beberapa macam dugaan. Mungkin dihutan itu ada sejenis pepohonan
yang beracun. Tanpa disadarinya Swandaru telah tersentuh oleh durinya yang
dapat memberikan racun ke dalam tubuhnya. Mungkin juga sejenis binatang kecil
yang tampaknya tidak berbahaya sama sekali, tapi ternyata lewat ludah atau
giginya, binatang itu telah meracuninya, atau ……,” Kiai Gringsing tidak
melanjutkannya.
“Atau apa, Guru?”
Kiai Gringsing terdiam
sejenak. Tampak keragu-raguan membayang di wajahnya.
“Agung Sedayu,” katanya
kemudian, ”mudah-mudahan aku berhasil melenyapkan racun dari tubuh adik
seperguruanmu. Tampaknya ia berangsur baik. Nafasnya sudah mulai teratur dan
darahnya sudah mulai beredar dengan wajar.”
“Ya, Guru.”
“Aku memang mempunyai dugaan
yang barangkali kurang dapat dipercaya. Seperti katamu, orang yang luka parah
itu memang mungkin mengandung racun.”
“Jadi?”
“Bukankah orang itu telah
dicengkam oleh ketakutan yang luar biasa sehingga ia telah mendekap Swandaru?
Nah, dalam keadaan yang tidak terkendali, di dalam puncak ketakutannya, ia
telah melukai leher Swandaru. Di pergelangan tangannya aku melihat juga
goresan-goresan yang kehitam-hitaman, tetapi tidak cukup dalam untuk
menyalurkan racun ke dalam darah. Sedang luka dileher yang kecil namun dalam
inilah agaknya pintu yang telah dilalui racun itu.”
“Jadi, apakah maksud Guru
orang itu juga keracunan?”
“Mungkin. Mungkin seperti yang
dikatakan, lehernya digigit hantu, meskipun kenyataannya tidak setepat seperti
yang dikatakan. Dalam puncak ketakutannya, ia tidak dapat membedakan apa saja
yang telah melukainya itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia masih belum begitu jelas, apakah
yang sebenarnya telah terjadi. Namun agaknya keadaan Swandaru yang semakin
baik, telah membuatnya menjadi agak tenteram.
Meskipun demikian ia masih
bertanya kepada gurunya, ”Guru, tetapi apakah orang yang keracunan itu dapat
meracuni Swandaru dengan luka yang dibuatnya tanpa sengaja itu?”
”Hal itu memang mungkin
meskipun masih harus dibuktikan kebenarannya,” jawab gurunya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Swandaru yang sakit itu telah berangsur menjadi baik, meskipun tubuhnya
masih terasa lemah sekali.
Dalam keheningan itulah
tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa yang seakan-akan membelah Alas
Mentaok. Tidak begitu keras, namun gemanya yang memantul dari segenap arah,
membuat seakan-akan orang yang mendengarnya telah terlibat di dalam suatu
kepungan suara hantu yang dahsyat.
Agung Sedayu kemudian berdiri
tegak dengan wajah yang tegang. Untuk sementara ia mengalami kesulitan, dari
manakah sebenarnya sumber suara itu. Namun kemudian ia berdesis, ”Tidak
terlampau dekat, Guru.”
Kiai Gringsing yang telah
berdiri pula, mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, ”Ya, tidak terlampau
dekat.”
“Suara apakah itu, Guru?”
“Suara tertawa seseorang.
Apakah kau ragu-ragu?”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Dan Kiai Gringsing berkata seterusnya, ”Kau sudah mulai ragu-ragu. Apakah kau
sangka suara itu suara hantu?“
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi memang tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa ia memang mulai
memikirkan, apakah mereka memang benar-benar sedang dilingkari oleh
hantu-hantu.
Suara tertawa itu pun kemudian
hilang dengan sendirinya, sehingga hutan itu pun telah menjadi sepi kembali.
Desah angin yang lembut sajalah yang terdengar mengusik dedaunan.
Sementara itu langit pun telah
menjadi semakin buram, karena matahari yamg telah mengarungi hampir seluruh
jalannya itu telah hampir sampai di batas cakrawala.
“Kita harus segera kembali,”
berkata Kiai Gringsing, ”kalau keadaan menjadi semakin gelap, sukarlah kita
membawa Swandaru melalui jalan-jalan yang masih sulit ini.“
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia memang ingin segera menyingkirkan
Swandaru. Bukan karena ketakutan yang mencekam, tetapi apabila anak yang sakit
itu sudah tidak berada di tempat terbuka yang aneh ini, maka mereka akan
leluasa untuk berbuat apa pun, apalagi apabila keadaan memaksa.
Demikianlah maka Kiai
Gringsing pun berkata kepada Swandaru, ”Swandaru, apakah keadaanmu sudah
bertambah baik?”
Swandaru menganggukkan
kepalanya.
“Baiklah. Marilah, kau akan
kami papah pulang ke perkemahan. Tetapi ingat, kalau seseorang bertanya
kepadamu, maka jawablah bahwa kau telah digigit oleh seekor ular Pudakgrama.
Ular yang mempunyai racun yang cukup keras, tetapi masih terlawan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya pula, sedang Agung Sedayu bertanya, ”Kenapa digigit ular, Guru?”
“Jangan membuat orang-orang di
perkemahan dan sekitarnya itu menjadi semakin ketakutan. Kalau kalian
menceriterakan apa adanya, maka mereka akan langsung menanggapi keadaan ini
dengan menghubungkannya langsung kepada hantu-hantu itu.“
“Tetapi apakah mereka tidak
akan mendapat gambaran yang salah sehingga mereka tidak dapat mempersiapkan
diri untuk menghadapi keadaan yang sama?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Hanya daerah inilah yang selalu ditinggalkan oleh para
pekerja yang sedang membuka hutan itu. Karena daerah ini adalah daerah yang
paling ganas bagi mereka. Daerah yang mereka anggap paling banyak diraba oleh
tangan-tangan hantu yang sangat mereka takuti itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia dapat mengerti maksud gurunya, meskipun
di sudut hatinya yang paling dalam, memercik pula keragu-raguan dan kecemasan.
Sejenak kemudian maka Kiai
Gringsing dan Agung Sedayu pun segera memapah Swandaru yang sudah menjadi
berangsur baik itu kembali ke perkemahan. Karena jalan yang harus mereka lewati
adalah jalan-jalan yang sulit, maka mereka pun maju dengan lambannya.
Sekali-sekali mereka masih harus melangkahi pohon-pohon yang membujur di
tengah-tengah jalan, kemudian menyusup di bawah rimbunnya perdu yang liar, dan
bahkan kadang-kadang berduri.
“Hati-hatilah,” desis Kiai
Gringsing, ”ada kesengajaan untuk membuat kita menjadi takut.”
“Bagaimana Guru mengetahui?”
“Suara burung kedasih dan
suara tertawa itu. Mungkin juga bukan kita bertigalah yang dimaksud, tetapi
orang yang ketakutan dan hilang itu bersama dengan beberapa orang
kawan-kawannya. Tetapi mungkin juga, memang kitalah sasaran mereka kali ini.”
“Sasaran hantu-hantu itu?”
“Untuk sementara, baiklah kita
sebut demikian.”
“Kenapa untuk sementara Guru?”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ia mengangguk-angguk. Demikianlah maka mereka pun perlahan-lahan semakin
dekat dengan perkemahan. Namun sebelum mereka sampai ke ujung hutan, maka
orang-orang yang bekerja di tempat-tempat yang sudah semakin bersih segera
melihat mereka. Karena itu, berlari-larilah orang-orang itu menyongsongnya
sambil bertanya berebut dahulu, “Kenapa dengan anakmu itu, Truna Podang?“
Kiai Gringsiug berhenti
sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sudah mulai berkemas dan yang kini
mengerumuninya itu sejenak.
“Kenapa he, kenapa?”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Ditatapnya setiap wajah yang menjadi tegang. Dari sorot mata mereka
Kiai Gringsing menangkap siratan perasaan mereka. Ketakutan.
Swandaru yang lemah masih
tergantung pada guru dan kakak seperguruannya. Suara orang yang mengerumuninya
terdengar semakin ribut. Dan mereka terdiam ketika Kiai Gringsing menjawab,
”Anakku telah digigit ular.”
“Digigit ular?” hampir
serentak orang-orang itu mengulang.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia menunggu. Kemudian didengarnya nafas
yang berdesah dari hidung mereka yang mengerumuninya. Bahkan ada seseorang yang
berkata tanpa disadarinya, ”Syukurlah.”
“He, kenapa kau berkata
begitu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Maksudku itu lebih baik
daripada digigit hantu. Digigit ular masih mungkin diobati. Tetapi digigit
hantu?” orang itu mengangkat bahunya.
Kiai Gringsing
menangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah murid-muridnya sejenak,
kemudian katanya, ”Ya. Syukurlah bahwa yang menggigit anakku adalah ular. Bukan
hantu.”
Orang-orang yang
mengerumuninya mengangguk-angguk. Tetapi sejenak kemudian salah seorang
bertanya, ”Tetapi, meskipun anakmu hanya digigit ular, bagaimana keadaannya?
Apakah ia sudah berangsur baik atau masih perlu mendapat pertolongan? Di
perkemahan ada seorang dukun yang pandai, yang mungkin dapat mengobati bisa
ular. Tetapi kalau sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, kau harus berhubungan
dengan dukun yang lain.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Jawabnya kemudian, ”Sementara anakku sudah tertolong. Tetapi baiklah
aku akan menghubungi dukun yang pandai itu.”
“Baiklah. Baiklah. Marilah
kita pulang. Kami pun telah mulai berkemas-kemas pula.”
Maka Kiai Gringsing pun
kemudian meneruskan langkahnya sambil memapah Swandaru bersama-sama dengan
orang-orang yang memang telah selesai bekerja untuk hari itu.
“Itulah rumahnya. Ia sudah
berhasil membuat rumah sendiri meskipun kecil,” berkata orang yang mengenal
dukun yang pandai itu. ”Datanglah kepadanya.”
“O, ia tidak tinggal di
perkemahan?”
“Beberapa orang yang tinggal
dekat dengan perkemahan, menempati rumah mereka masing-masing. Tetapi setiap
rumah masih dihuni oleh dua atau tiga keluarga untuk mengurangi ketakutan di
malam hari. Sedang rumah-rumah yang meskipun sudah siap ditempati, tetapi
terletak agak jauh, ternyata sampai saat ini masih tetap kosong.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih,” katanya, ”aku
akan singgah ke rumah itu.”
Kiai Gringsing pun kemudian
membawa Swandaru singgah ke rumah yang ditunjukkan kepadanya. Perlahan-lahan ia
mengetuk pintu rumah itu yang masih sedikit terbuka.
Seorang yang berjanggut dan
berambut putih menjengukkan kepalanya dari lubang pintunya. Sambil mengerutkan
keningnya ia bertanya, ”He, siapa kau?”
”Kiai,“ berkata Kiai
Gringsing, ”anakku telah keracunan. Apakah Kiai sudi mengobatinya?”
“He, anakmu?”
“Ya, anakku, Sangkan.”
Tetapi jawab yang didengarnya
telah membuat hati Kiai Gringsing dan kedua muridnya kecewa, ”Tunggu. Bukankah
kau lihat bahwa aku baru saja datang dari kerja seperti kalian? Aku masih belum
mandi.”
Kiai Gringsing menjadi heran.
Seorang dukun seharusnya lebih mementingkan orang-orang yang sakit daripada
membersihkan diri betapa pun kotor tubuhnya. Apalagi keracunan.
Karena itu ia mencoba
menjelaskan, ”Kiai, anakku telah keracunan. Aku sudah berhasil menahannya untuk
sementara. Tetapi aku memerlukan seorang dukun untuk meyakinkan kerja racun
yang ada di dalam tubuh anakku.”
“Tunggu. Tunggu!” orang itu
membentak. ”Lihat, aku belum meletakkan parang pemotong kayu ini. Ikat kepalaku
pun masih tersangkut di leher. Kalau kau tidak sempat menunggu, pergilah.”
Kiai Gringsing benar-benar
menjadi kecewa. Niatnya untuk mencoba bersama-sama mempelajari
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas Swandaru telah lenyap. Dengan seorang
kawan yang mengerti tentang berbagai macam racun ia mengharap dapat mencari
jawab atas apa yang telah terjadi itu. Tetapi agaknya orang ini tidak dapat
diajak berbicara dengan baik.
Meskipun demikian sekali lagi
Kiai Gringsing masih mencoba, ”Kiai anakku memerlukan pertolongan segera.“
“O, begitu,” jawabnya.
”Carilah orang lain yang bersedia memberikan pertolongan segera.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Terdengar Agung Sedayu berdesis, ”Kita pergi saja, Guru.”
Kiai Gringsing menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa mengusap dadanya ketika orang yang berjanggut dan
berambut putih itu lenyap masuk ke dalam tanpa mempersilahkan mereka duduk.
“Sedayu,” bisiknya, ”memang
perlakuan ini cukup menyakitkan hati, tetapi kalau benar-benar ia seorang yang
menguasai masalah ini, mungkin aku akan mendapatkan petunjuk lebih banyak
tentang keanehan-keanehan yang telah terjadi. Orang ini telah cukup lama
tinggal di sini. Mungkin ia mempunyai banyak bahan yang dapat memberikan jalan
atau setidak-tidaknya petunjuk.”
“Tetapi sikapnya, Guru. Apakah
orang itu dapat diajak berbicara?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di samping orang yang kekurus-kurusan, kemudian
orang yang bertubuh tinggi dan kekar, sekarang ia menemukan satu orang lagi
yang telah menarik perhatiannya.
Namun dengan demikian
keinginan Kiai Gringsing kini justru beralih untuk mengenal orang itu lebih
dekat.
Karena itu maka ia pun menjadi
termangu-mangu sejenak. Di satu pihak, Agung Sedayu yang merasa tersinggung
ingin segera meninggalkan tempat itu, namun di lain pihak, ia akan mendapat
kesempatan untuk mengenal dukun yang pandai itu.
“Bagaimana, Guru?” bertanya
Agung Sedayu. “Kasihan Adi Swandaru, ia harus segera berbaring dan
beristirahat. Tubuhnva masih terlampau lemah.“
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih berdiri saja di tempatnya.
Agung Sedayu pun akhirnya
menjadi termangu-mangu juga. Ia tidak mengerti maksud gurunya yang sebenarnya.
“Sedayu,” berkata gurunya,
”ambil ketepe belarak itu. Kita baringkan Swandaru sebentar sambil menunggu.”
“Jadi, jadi Guru ingin juga
bertemu dengan orang itu?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata
sesuatu.
“Duduklah sebentar, Swandaru,”
berkata gurunya, ”aku layani kau sejenak, sementara Agung Sedayu mengambil
ketepe belarak itu. Meskipun sudah agak kering, tetapi kau dapat berbaring
sambil menunggu. Orang ini sangat menarik perhatianku.”
Swandaru menganggukkan
kepalanya, sedang Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain daripada meletakkan
Swandaru duduk di tanah, dilayani oleh gurunya. Kemudian ia sendiri berjalan
dengan penuh keragu-raguan mengambil ketepe di sudut rumah itu.
Sejenak Swandaru terbaring
diam. Sementara Kiai Gringsing berbisik kepada Agung Sedayu, ”Orang inilah yang
sekarang menarik perhatianku. Aku tidak mau dibayangi oleh teka-teki dan
rahasia yang semakin lama menjadi semakin banyak dan kisruh.”
Agung Sedayu pun kemudian
dapat mengerti maksud gurunya. Karena itu, betapa ia merasa tersinggung, namun
ditahankannya juga hatinya untuk duduk menunggu dukun yang sedang membersihkan
dirinya itu.
“Begitu lama, Guru. Hari sudah
menjadi semakin gelap.”
“Kebetulan, sekali,” jawab
gurunya, ”bukankah kita memang ingin melihat gelap?”
“Tetapi Swandaru?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun katanya kemudian. ”Keadaannya tidak mengkhawatirkan.”
Agung Sedayu tidak dapat
membantah lagi. Gurunya pasti sudah mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan
untuk kepentingan Swandaru yang sedang sakit itu.
“Tetapi pesanku kepada kau
berdua,” berkata gurunya kemudian, “jangan terpengaruh oleh ceritera hantu itu.
Aku tidak mengatakan bahwa kita harus menolak kepercayaan bahwa hantu itu
memang ada. Tetapi kita harus berdiri di atas suatu kepercayaan, bahwa kita
selalu menyerahkan nasib kita kepada Sumbernya. Sumber Yang Tunggal. Pusat dari
segala kekuasaan. Mungkin hantu-hantu itu memang mempunyai kekuasaan untuk
melakukan sesuatu, tetapi kekuasaannya sama sekali tidak berarti dibandingkan
dengan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Karena itu, apabila kita percaya sepenuhnya,
tanpa ragu-ragu, maka kita akan mendapat perlindungan-Nya . Itulah sebabnya aku
sama sekali tidak terpengaruh oleh berita tentang hantu-hantu itu, meskipun aku
tidak menolak kemungkinan itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Swandaru yang berbaring itu pun
mengangguk-angguk pula. Keduanya merasa, seakan-akan gurunya itu melihat getar
jantungnya. Keragu-raguan yang menyusup di dalam dada mereka. Bahkan hampir
menjadi suatu kepercayaan, bahwa mereka memang harus menarik diri dari kerja
yang sedang mereka lakukan, karena hantu-hantu itu tidak membenarkannya.
Dalam pada itu, sejenak
kemudian laki-laki yang berkumis dan berambut putih itu pun muncul dari balik
pintu. Kini pakaiannya telah diaturnya dengan rapi. Ikat kepalanya sudah
dikenakannya, menutupi rambutnya yang sudah hampir seluruhnya menjadi uban.
“Ternyata kalian masih
menunggu,” desisnya.
“Ya, Kiai, kami masih menunggu
karena kami memerlukan perawatan.”
“Anakmukah yang keracunan?”
“Ya, Kiai.”
“Kenapa?”
“Mungkin digigit ular. Mungkin
oleh sebab-sebab yang lain.”
“Gila. Kenapa kau tidak dapat
mengatakan dengan pasti?”
“Kami memang tidak pasti.
Tiba-tiba saja anakku, Sangkan ini, menjadi muntah-muntah.”
“Darah?”
“Ya, Kiai.”
“Di tempat kerjamu yang
terpencil itu?“
“Ya.”
Tiba-tiba orang itu menjadi
tegang. Lalu katanya, ”Kenapa kau datang kemari? Itu sama sekali bukan
urusanku. Aku tidak mau terlibat di dalam persoalan dengan kekuasaan yang tidak
kasat mata itu.”
”Kekuasaan apa yang Kiai
maksudkan?”
“Kekuasaan hantu-hantu.”
“Tidak, Kiai. Ini sama sekali
tidak ada sangkut pautnya. Anakku keracunan seperti tanda-tanda keracunan yang
pernah aku dengar. Untunglah bahwa aku masih mempunyai sebutir obat pemunah
racun yang aku bawa dari padukuhanku dahulu.“
”Tetapi kenapa kau dapat
mengatakan bahwa anakmu di gigit ular? Apakah anakmu merasakan gigitan itu?”
“Tidak, Kiai. Memang tidak.
Ular adalah salah satu dari kemungkinan masuknya racun. Mungkin
serangga-serangga berbisa atau mungkin semacam duri-durian. Atau apa pun.”
“Hantu. Aku sudah pasti.”
“Kalau sakitnya disebabkan
oleh hantu-hantu, maka obat pemunah racun yang tinggal sebutir itu pasti tidak
akan berdaya. Tetapi nyatanya ia berangsur baik.”
“Kalau anakmu sudah berangsur
baik, kenapa ia kau bawa kemari.”
“Sudah aku katakan, aku ingin
meyakinkannya, Kiai.”
Orang tua yang berkumis dan
berambut putih itu memandang Swandaru yang terbaring di tanah beralaskan ketepe
belarak yang sudah kering. Sedang langit pun telah menjadi semakin buram.
Satu-satu bintang muncul seakan-akan dari ketiadaan.
“Sebentar lagi, malam yang
kelam akan turun. Bagaimana kalian akan kembali?”
“Apakah kami dapat bermalam di
pondok ini Kiai. Di mana pun kami dapat tidur nyenyak.“
“Gila kau,” bentak orang itu,
”rumah ini sudah dihuni oleh tiga keluarga. Aku sendiri tidak mempunyai sanak
dan kadang.”
“Kalau begitu, baiklah kami
akan segera kembali ke barak, apabila kami sudah mendapat keyakinan bahwa
anakku akan menjadi baik.”
“Kalian memang orang-orang
yang sombong. Kalian berpura-pura menjadi pemberani. Tetapi sebenarnya kalian
adalah penakut yang paling licik.”
Kiai Grjngsing mengerutkan
keningnya, ”Kami memang bukan pemberani,” jawabnya, ”itulah sebabnya aku mohon
diperkenankan bermalam di sini. Kalau tidak, sudah tentu kami harus kembali ke
barak.”
“Persetan,” geramnya sambil
mendekati Swandaru. Perlahan-lahan ia pun berjongkok di samping anak yang gemuk
itu. Dirabanya, kemudian perut dan tangannya.
Menilik sentuhan tangannya,
Kiai Gringsing segera mengetahui bahwa sebenarnya orang itu memang memahami
ilmu obat-obatan. Namun sampai berapa jauh ia menguasai masalahnya itulah yang
ingin di ketahuinya.
“Obatmu cukup baik,” berkata
orang itu, ”tetapi kenapa sebenarnya anakmu ini?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Aku tidak tahu pasti, Kiai.”
“Jadi tidak digigit ular?”
“Seperti yang aku katakan,
ular hanyalah salah satu kemungkinan.”
Namun tiba-tiba wajah orang
tua itu menjadi tegang. Katanya, ”Kau dengar suara dari jantungnya?”
Kiai Gringsing menjadi heran.
“Ia tidak digigit ular. Memang
tidak.”
“Lalu?”
“Benar ia keracunan,” lalu
orang itu menunjuk noda darah dipakaian Swandaru yang sudah kering dan tidak
jelas lagi karena warnanya telah menjadi kehitam-hitaman, ”darah apa ini?”
Kiai Gringsing menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun, kemudian ia berkata, ”Darahnya sendiri. Tetapi itu
tidak ada hubungan apa-apa dengan sakitnya. Ketika ia kemarin terkena parang,
maka tanpa disadarinya, diusapkannya tangannya ke bajunya.”
“Kemarin?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa sekarang baju yang
bernoda darah ini masih dipakainya saja?”
“Anak ini tidak mempunyai pakaian
yang lain.”
“Jangan bohongi aku. Darah ini
bukan darah kemarin. Aku adalah dukun yang baik.”
Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar. Seandainya tidak digelapnya malam yang sedang turun, tampak
betapa wajahnya menjadi merah. Mungkin orang lain tidak dapat membedakan apakah
yang melekat dibaju Swandaru itu darah atau getah pepohonan atau kotoran dan
noda apa pun juga karena telah menjadi kering. Tetapi seorang dukun akan dapat
membedakannya, bahwa darah itu sudah lama melekat atau baru beberapa saat. Dan
ia khilaf bahwa yang dibawanya berbicara kali ini adalah seorang dukun.
“Berbiaralah terus terang,“
desak dukun itu.
Tetapi Kiai Gringsing sudah
terlanjur mengatakannya, sehingga untuk menutup kekeliruannya ia bertahan,
“Benar, Kiai, darah ini adalah darah yang kemarin.”
“Jangan, bohong,” dukun itu
membentak, “atau bawa saja anakmu pergi. Aku tidak akan bersedia mengobatinya.”
“Kiai,” berkata Kiai
Gringsing, “tolonglah anakku. Dan darah itu benar-benar darah kemarin.“
Dukun itu mengerutkan keningnya.
Katanya Kemudian, “Baiklah kalau kau tetap akan berbohong. Tetapi aku tetap
berpendapat, bahwa darah ini adalah darah yang baru. Maksudku, hari ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Dipandanginya saja dukun yang kemudian meraba tubuh Swandaru itu kembali.
Dipijit-pijitnya bagian perutnya dan kemudian menjalar naik sampai ke lehernya.
Namun semuanya itu tidak lepas dari pengamatan mata Kiai Gringsing yang tajam.
Semakin lama semakin yakinlah
Kiai Gringsing, bahwa orang itu memang orang yang mengenal dengan baik ilmu
pengobatan. Karena itu maka Kiai Gringsing sama sekali tidak boleh lengah.
Namun tiba-tiba orang itu
bergeser surut dan berkata, “Anakmu sama sekali tidak digigit seperti yang aku
katakan. Racun yang ada di dalam tubuhnya bukanlah racun yang membunuh.” Ia
berhenti sejenak, ”Kenapa kau beri anakmu obat yang kau bawa dari pedukuhanmu
itu?”
“Aku hanya mengikuti petunjuk
dari seorang dukun yang baik di padukuhanku. Ia tahu aku akan menebas hutan.
Karena itu ia berikan obat itu dengan pesan, setiap saat salah seorang dari
kami keracunan, kami harus menelannya.”
“Tetapi kali ini obatmu tidak
akan dapat menyembuhkannya. Racun yang ada di dalam tubuhnya bukanlah racun
biasa. Aku belum pernah mengenal jenis racun seperti ini.“
“Lalu?” Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya.
“Sudah aku katakan. Racun ini
datangnya sama sekali bukan dari ular, serangga atau pepohonan yang beracun.
Tetapi racun ini datangnya begitu saja tanpa sebab. Kau tahu maksudku?”
“Hantu? Begitu?”
”Bertanyalah kepada dukun yang
mengenal ilmu gaib. Tidak kepadaku. Aku tidak berani menanggung kemarahan
hantu-hantu itu kalau aku mencoba mengobatinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia yakin kalau dukun itu tidak berkata sebenarnya seperti yang ia
ketahui. Racun yang ada di dalam tubuh Swandaru memang bukan racun ular, tetapi
bukan berarti tidak dapat diobati. Tanda-tanda pada tubuh Swandaru menunjukkan
bahwa ia keracunan. Tidak ada tanda-tanda yang menyimpang, Padahal ia menduga
bahwa dukun itu memiliki pengetahuan pengobatan yang cukup.
“Apakah ada kesengajaan ia
tidak mau mengobati Swandaru ataukah maksud-maksud yang lain?” orang itu
bertanya di dalam hati.
“Pergilah,” berkata dukun itu.
“Kalau kau tidak segera mendapat mengobatan yang seharusnya, aku tidak tahu
akibat apa yang bakal terjadi atas anakmu ini.”
“Tetapi apakah benar-benar
Kiai tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Kalau ia keracunan biasa,
digigit ular atau binatang-binatang lain, aku sanggup mengobatinya. Tetapi kali
ini tidak.“
“Jadi bagaimanakah dengan anakku
ini?”
“Bawalah kepada dukun yang
seharusnya mengobatinya.”
“Di manakah rumahnya.”
“Datanglah ke barak. Hampir
setiap orang mengenal dukun itu.“
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang itu benar-benar tidak bersedia mengobati
luka-luka Swandaru. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Aku akan pergi ke dukun
yang mengenal ilmu gaib itu.”
“Nah, sebaiknya kau memang
pergi. Tetapi kau harus berkata berterus terang. Katakan pula bahwa kau telah
datang ke rumah ini dan bertemu dengan aku.”
“Baiklah, Kiai, aku minta
diri.”
“Tunggu,” berkata orang itu,
“aku mempunyai sesuatu.”
Orang itu pun kemudian masuk
ke rumahnya. Sejenak kemudian ia keluar pula sambil membawa sebungkus
obat-obatan. Katanya, ”Kalau kau bersedia datang ke dukun itu, bawalah obatku
ini. Tunjukkan kepadanya dan mintalah syarat. Kau dapat juga bertanya kepadanya
tentang bermacam-macam hal tentang penyakit anakmu dan kemungkinan-kemungkinan
yang bakal datang.“
“Jadi, jadi Kiai memberinya
obat juga?”
“Bukan aku. Aku hanya memberikan
bahan. Tanggung jawabnya akan diambil alih oleh dukun ilmu gaib itu. Kau
mengerti? Kalau ia menolak obat ini, itu adalah haknya.”
“Baiklah. Baiklah.”
Kiai Gringsung pun kemudian
minta diri bersama kedua anaknya.
“Hati-hatilah. Kau harus
segera menemui dukun itu.”
“Malam ini?”
“Ya, malam ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Baiklah. Terima kasih atas segala petunjuk
Kiai.“
Ketiganya pun kemudian
meninggalkan rumah itu. Hari sudah menjadi semakin gelap. Di kejauhan tampak
lampu obor di gardu pengawas dan di sudut-sudut dan serambi barak. Beberapa
buah rumah yang bertebaran telah menutup pintunya rapat-rapat.
Ketika mereka telah keluar
dari halaman rumah dukun itu, Agung Sedayu yang hampir tidak tahan lagi segera
bertanya, ”Apakah Guru mempercayainya?”
“Tidak seluruhnya,” jawab Kiai
Gringsing.
“Dan Guru akan pergi juga ke
rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Aku akan pergi ke sana.”
“Untuk mendapatkan kesembuhan
Swandaru?”
“Aku ingin melihat apa yang
dikerjakannya.”
Agung Sedayu tidak bertanya
lagi. Kali ini pun ia mengerti maksud gurunya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu
bersama gurunya berjalan memapah Swandaru yang masih lemah. Tetapi ternyata
keadaan Swandaru menjadi berangsur baik. Agaknya obat yang didapatkannya dari
gurunya benar-benar mampu melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Sehingga
sebenarnya, tidak ada lagi gunanya untuk pergi ke dukun yang lain untuk
mendapatkan pengobatan.
“Guru,” Swandaru itu pun
kemudian berdesis, ”apakah Guru masih menganggap perlu, berhubungan dengan
orang lain? Bukankah dengan demikian justru akan timbul kemungkinan, obat yang
aku dapatkan daripadanya tidak sebaik obat Guru sendiri.”
“Memang mungkin, Swandaru,”
jawab gurunya, ”tetapi kami tidak akan mempergunakan obat-obat itu.“
”Jadi?“
“Semata-mata untuk mengetahui,
apakah yang mereka lakukan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya pula.
Ketika mereka sampai di depan
gardu pengawas, maka para petugas pun segera mengerumuninya dan bertanya
tentang keadaannya.
“Aku dengar kau singgah di
rumah dukun itu.“
“Ya, kami telah singgah di
rumahnya. Anakku telah mendapat pengobatan seperlunya. Ia sudah berangsur
baik,” jawab Kiai Gringsing.
“Sokurlah,” berkata salah
seorang dari mereka. ”apakah kata dukun itu tentang penyakit anakmu.”
“Keracunan. Seperti yang sudah
aku katakan. Anak ini memang digigit ular. Tetapi bukan ular yang bisanya
tajam. Meskipun demikian, kalau terlambat, akibatnya tidak kita harapkan.”
“Syukurlah. Bawalah anakmu
beristirahat.”
Kiai Gringsing pun kemudian
membawa Swandaru berjalan terus. Di barak pun mereka telah dikerumuni oleh para
penghuninya. Jawab Kiai Gringsing pun tidak berubah seperti yang selalu
dikatakannya, ”Digigit ular. Namun dukun yang baik itu mengharap aku menemui
dukun ilmu gaib. Di manakah tempatnya?”
“He,” beberapa orang
mengerutkan keningnya, ”jadi anakmu tidak digigit ular biasa.”
“Ular biasa. Namun supaya
semuanya yakin, aku diharap membawa anakku yang sakit ini.”
“Sekarang?”
“Ya. sekarang.”
“O, jangan sekarang. Jalan ke
rumahnya sangat mengerikan.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi ia ingin memenuhi pesan dukun yang menyuruhnya pergi ke rumah
orang yang menguasai ilmu gaib itu. Bukan karena ia mempercayainya sepenuhnya,
tetapi Kiai Gringsing lebih condong untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang
terjadi di daerah penebasan hutan ini di dalam keseluruhan.
“Di manakah rumahnya?” Kiai
Gringsing kemudian bertanya.
Orang-orang yang
mengerumuninya saling berpandangan. Sejenak mereka tidak ada yang menjawab. Dan
orang yang semakin lama semakin banyak itu telah dibayangi oleh keragu-raguan.
Dalam pada itu orang yang
kekurus-kurusan mendesak di antara mereka yang mengerumuni Kiai Gringsing
sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
Sebelum Kiai Gringsing
menjawab, orang itu telah berkata pula, “Nah lihat. Akibat dari keberanian
kalian yang kurang perhitungan.”
”Bukan keberanian, tetapi
kesombongan,” berkata orang yang bertubuh kekar.
Kiai Gringsing memandang kedua
orang itu berganti-ganti, lalu, “Anakku digigit ular.”
“Apa pun sebabnya, tetapi itu
adalah akibat kemarahan hantu-hantu itu. Sekarang anakmu digigit ular, tetapi
lain kali kau akan ditelan harimau. Atau kalian akan sakit tanpa sebab.“
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Namun tampak wajah-wajah yang ketakutan mengitarinya.
“Kalau hanya kalian bertiga
saja yang menjadi korban oleh kesombonganmu, itu tidak berarti apa-apa bagi
kami. Tetapi kalau mereka marah, dan kami pula harus menanggung akibatnya, maka
itu adalah kecelakaan yang pahit. Dan sebab daripadanya adalah kau.”
Agung Sedayu bergeser setapak.
Namun gurunya menggamitnya sambil mengedipkan matanya.
“Jadi, apakah yang sebaiknya
aku lakukan?”
“Batalkan niatmu menebas hutan
di bagian yang paling wingit itu.”
”Itu bukan maksudku. Bukan
akulah yang memilihnya.”
“Tetapi kau dapat minta kepada
para petugas, agar kau ditempatkan bersama dengan kami.”
“Baiklah. Aku akan
membicarakannya dengan para petugas,” sahut Kiai Gringsing, ”tetapi di mana
rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Tunggulah sampai besok.“
“Aku tidak berani menanggung
akibatnya. Menurut petunjuk, aku harus pergi sekarang juga.”
“Gila. Kalian memang
orang-orang yang tidak mempuyai perhitungan,” geram orang yang kurus, ”tetapi
baiklah. Niatmu pergi ke rumah dukun itu baik. Mengobati anakmu dan agaknya kau
akan bertobat dan menurut segala petunjuknya, nasehatnya, dan sudah tentu
cara-cara pengobatannya.”
“Ya.”
“Kalau begitu, kau dapat pergi
kepadanya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Tetapi bagaimana kalau niatku tidak demikian?”
“He, kau jangan berbuat gila.”
“Maksudku, kalau ada orang
yang berbuat demikian.”
“Ia tidak akan sampai ke rumah
dukun ilmu gaib itu.”
“Dan kenapa dukun ilmu gaib
itu sendiri berani tinggal di tempat yang mengerikan.”
“Kau orang sombong yang
bodoh,” berkata orang yang kekar. ”Ia memiliki segala macam ilmu lahir dan
batin. Ia dapat bergaul dengan baik dengan hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian katanya, ”Kalau begitu, aku akan
mendahului para petugas. Mohon kepadanya agar ia bersedia berada di antara
kita, supaya kita tidak selalu diganggu oleh hantu-hantu itu. Kalau dukun itu
bersedia mengawani kita di sini, bukankah kita akan aman.”
“Gila kau. Itu pikiran gila.
Aku nasehatkan kepadamu, jangan berpikir yang bukan-bukan supaya kau tidak
dicekik di perjalanan.”
“Baiklah,” jawab Kiai
Gringsing, ”sebaiknya aku segera berangkat.”
“Tetapi kau belum makan,”
berkata seseorang yang lain, “rangsummu masih ada di tempatnya.“
“O, baiklah. Kami akan makan
lebih dahulu. Tetapi kami belum mendapat petunjuk di mana rumah itu.”
Orang yang kurus itu pun
kemudian berkata, ”Kau ikut jalan di muka barak ini terus ke timur. Kemudian di
sebelah pohon yang besar, di sebelah selokan yang baru dibuat itu, kau berbelok
ke kanan.”
“Apakah di sana ada jalan?“
“Jalan setapak.”
“Jauh? “
“Tidak begitu jauh. Kau akan
sampai ke sebuah sungai.”
“Yang curam itu?“
”Ya. Kau naik ke seberang,
kemudian masuk ke daerah yang masih belum banyak diambah orang.”
“Apakah ia tinggal di dalam
hutan?”
“Ya. Tetapi hutan itu tidak
selebat yang kita kerjakan di sini. Justru karena hutan itu tidak begitu buas,
maka daerah itu masih dibiarkan. Tetapi lebih daripada itu, daerah itu sangat
wingit. Jauh lebih wingit dari yang kau kerjakan sekarang.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ia tinggal di antara
batu-batu besar yang berserakan, di bawah sebatang pohon preh yang tua sekali.
Ia membangun pondoknya di situ. Jarang sekali orang yang berani mengunjunginya
apabila tidak didorong oleh keperluan yang sangat mendesak seperti kau ini”
“Ya, ya aku tahu. Tetapi jarak
itu adalah jarak yang panjang. Lewat daerah yang belum cukup aku kenal dan
tentu sangat gelap dan rimbun.”
“Tetapi sekali lagi, kalau
niatmu naik, kau tidak akan menemui halangan apa pun.“
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa jalan ke tempat orang yang
dicarinya itu adalah jalan yang memang rumit. Namun Kiai Gringsing adalah
seorang perantau yang telah menempuh jalan yang bagaimanapun juga. Jangankan
jalan yang pernah diambah oleh seseorang, sedangkan jalan yang belum pernah
disentuh oleh seseorang pun pernah dilewatinya.
Namun sebelum Kiai Gringsing
memutuskan untuk pergi, mereka, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya, lebih
dahulu pergi ke sudut barak, untuk mengambil rangsum mereka.
“Kita makan lebih dahulu,”
berkata Kiai Gringsing. Lalu kepada Agung Sedayu ia berkata, ”Ambillah
semangkuk air untuk mencuci tangan.”
Agung Sedayu pun kemudian
mengambil semangkuk air untuk mencuci tangan. Tetapi ketika Kiai Gringsing
melihat air itu ia berkata, ”Lihat. Aku memerlukan air itu.”
Agung Sedayu tidak mengerti
maksud gurunya. Tetapi diberikannya air di dalam mangkuk itu, yang ternyata
tidak dipakainya untuk mencuci tangannya.
“Makanlah,” berkata Kiai
Gringsing, ”tetapi air ini aku perlukan untuk keperluan yang lain.“
Agung Sedayu tidak segera
berani bertanya. Maka dibukanya bungkusan makanannya dan kemudian dimakannya
dengan lahapnya, seperti juga gurunya. Hanya Swandaru sajalah, yang dengan
susah payah berusaha untuk menelan makannya sesuap demi sesuap.
“Makanlah, supaya kau cepat
menjadi baik,” berkata gurunya. Dan Swandaru pun telah memaksa dirinya untuk
makan sebanyak-banyaknya meskipun ia tidak berhasil menghabiskan rangsumnya
seperti biasanya.
Setelah mereka selesai makan,
maka berkata Kiai Gringsing, ”Kemarilah Swandaru. Aku memerlukan kau.”
Swandaru mengerutkan
keningnya, dan selangkah ia bergeser mendekati gurunya.
“Bagaimana keadaanmu
sekarang?“
“Semakin baik, Guru.“
“Bagus,” sahut gurunya,
“kemarilah. Aku memerlukan noda-noda dibajumu itu.”
Swandaru masih belum mengerti
maksud gurunya. Karena itu, ia mendekat lagi.
“Bukalah bajumu. Gantilah
dengan bajumu yang sebuah lagi.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dibukanya dan ia mengenakan bajunya yang lain.
Kiai Gringsing menerima baju
Swandaru yang telah kotor itu. Baju yang memang sudah kumal dan lusuh, yang
selalu dipakainya sehari-hari apabila ia pergi bekerja.
“Untunglah kau tidak berbuka
baju saat itu,” berkata Kiai Gringsing. ”Bukankah kau biasanya membuka bajumu
kalau bekerja?”
“Ya, Guru.”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan Kiai Gringsing membasahi noda darah di baju Swandaru
sambil berdesis, ”Lihat, apakah ada orang yang mengamati kita?”
Agung Sedayu menebarkan pandangan
matanya berkeliling. Dilihatnya orang-orang lain sibuk dengan kepentingannya
sendiri. Sedang orang yang kekurus-kurusan berdiri di pintu barak memandang ke
luar. Di luar, di serambi barak, beberapa orang telah berbaring di tempat
masing-masing.
“Awasilah, jangan ada orang
yang melihat apa yang aku lakukan.”
“Baiklah, Guru.”
Kiai Gringsing sendiri
berpaling sejenak. Kemudian ia duduk menghadap ke dinding. Dicelupkannya ujung
baju Swandaru yang terpercik darah orang yang tiba-tiba saja telah memeluk
Swandaru dalam keadaan luka parah.
Sejenak Swandaru menatap wajah
gurunya yang tegang. Dengan teliti Kiai Gringsing mengamati titik air yang
kemudian menjadi kemerah-merahan.
Wajah orang tua itu semakin
lama menjadi semakin tegang memandangi air di dalam mangkuk itu, sehingga
akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa, Guru?” bertanya
Swandaru.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada sesuatu tersimpan di hatinya. Namun ia
hanya berkata, ”Aku masih harus meyakinkan banyak hal di sini.” Ia merenung
sejenak, lalu, “Swandaru, kau tidak usah ikut aku ke tempat dukun itu. Biarlah
Agung Sedayu menunggui kau di sini. Aku akan pergi sendiri.”
“Apakah artinya, Guru?”
“Jangan terlampau keras,”
potong Kiai Gringsing cepat-cepat. ”Biarlah sementara aku tidak mengatakannya
sebabnya. Tetapi untuk menempuh jalan yang sulit itu. Swandaru masih terlampau
lemah.”
“Tidak, Guru. Aku sudah
menjadi semakin baik.”
“Tetapi jalan itu sangat
sulit.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, ia melihat pertanyaan yang
tersirat pula di sorot matanya.
“Jangan ributkan hal ini,”
berkata gurunya, ”aku akan pergi sendiri. Swandaru masih harus berbaring dengan
tenang untuk mendapatkan tenaganya kembali seperti sediakala.“ Katanya kepada
Agung Sedayu, ”Tungguilah adikmu. Ingat, pada orang-orang yang aneh itu. Kepada
orang yang kurus dan orang yang bertubuh kekar itu. Biar saja apa yang mereka
katakan dan mereka nasehatkan. Dengar saja dan anggukkan kepalamu kalau kau
segan mengiakannya.”
Agung Sedayu tidak segera
menyahut. Tetapi keragu-raguannya menjadi semakin membayang di wajahnya.
“Untuk sementara kau pasti
akan berteka-teki. Tetapi pada saatnya kau akan mengetahui, apa yang sebenarnya
aku lakukan.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Tetapi, bukankah Guru akan
segera kembali?”
“Aku akan berusaha untuk
segera kembali. Kalau lewat tengah malam aku belum juga kembali, aku menemui
kesulitan.”
Dada Agung Sedayu berdesir.
Dengan demikian ia sadar, bahwa gurunya pun merasa bahwa masalah yang
dihadapinya bukan sebuah permainan yang mengasikkan. Tetapi gurunya menganggap
bahwa masalah adik seperguruannya itu adalah masalah yang bersungguh-sungguh.
Dengan demikian hampir di luar
sadarnya ia berkata, ”Kalau Guru tidak kembali setelah tengah malam, apakah aku
harus mencarinya?”
“Terima kasih. Tetapi jangan
diburu oleh nafsu dan perasaan,” jawab gurunya. ”Kalau aku tidak dapat
menghindarkan diri dari kesulitan itu, maka kau pasti hanya akan menambah
jumlah korban.”
“O,“ Agung Sedayu menundukkan
kepalanya, ”jadi bagaimana?“
“Agung Sedayu dan Swandaru,”
Kiai Gringsing semakin bersungguh-sungguh, ”kalau aku tidak kembali, jangan
coba-coba untuk mencari sendiri.”
“Lalu?”
“Kau berdua harus menghadap
Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ceriterakan apa yang telah
terjadi,” sambung gurunya, lalu, ”tetapi aku agaknya berpikir terlampau jauh.
Agaknya tidak akan ada apa-apa di sepanjang jalan.“
“Mudah-mudahan, Guru.”
“Tetapi ingat, hati-hatilah
kalian di sini. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menambah kesulitan.”
Kedua muridnya menganggukkan
kepalanya.
“Aku akan membawa obat
pemberian dukun itu. Mudah-mudahan aku menemukan sesuatu.”
Kiai Gringsing pun kemudian
minta diri kepada kedua muridnya, dan kemudian beberapa orang yang masih
duduk-duduk di dalam barak yang diterangi oleh lampu minyak itu.
“He, kau tidak jadi membawa
anakmu yang sakit itu?”
“Aku berubah pendapat,”
katanya, ”aku pikir jalan sangat sulit untuk orang yang sedang sakit. Aku akan
pergi sendiri.“
Tiba-tiba saja orang yang
kurus itu pun mendekatinya, “Jadi kau pergi sendiri?”
“Aku kasihan kepada anakku. Ia
masih terlampau lemah dan barangkali justru akan mempersulit perjalanan.”
“Lalu, bagaimana dukun sakti
itu dapat mengobati anakmu kalau ia tidak melihat keadaannya.”
“Aku yakin bahwa dukun sakti
itu mengerti apa yang dihadapinya tanpa melihat orangnya.”
Orang yang kurus itu tidak
menyahut lagi. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia memandang Kiai
Gringsing melangkah keluar pintu barak. Di luar malam telah menjadi semakin
kelam, dan orang-orang yang hanya berada di serambi barak itu telah berbaring
di tempat masing-masing.
“Kau terlampau berani,”
seseorang berdesis.
Kiai Gringsing berpaling.
Katanya kemudian, ”Inilah kewajiban seorang ayah. Betapa pun aku dicengkam oleh
ketakutan tetapi aku harus berangkat. Anakku memerlukannya.“
Orang itu memandanginya dengan
penuh iba. Terdengar ia berdesis, ”Truna Podang, meskipun tampangmu seperti
seorang badut kecil, tetapi kau adalah seorang ayah yang baik. Seandainya aku
yang menanggung peristiwa semacam itu, aku tidak akan berani berbuat seperti
kau. Aku pasti akan mati beku di sepanjang jalan menuju ke rumah dukun sakti
yang dikerumuni …………….,” orang itu tidak berani meneruskan kata-katanya.
Seorang kawannya yang
berbaring di sampingnya telah menyentuhnya.
“Dikerumuni apa?” bertanya
Kiai Gringsing meskipun sebenarnya ia tahu, kata-kata apakah yang tidak
terlontar dari mulut orang itu.
Orang itu hanya menggelengkan
kepalanya saja, sedang Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Di luar Kiai Gringsing masih
melihat orang yang kekar itu berjalan sambil menjinjing sebuah mangkuk berisi
air. Ketika orang itu melihat pula Kiai Gringsing, ia bertanya, ”Kau jadi akan
pergi?”
“Ya.”
“Mana anak-anakmu?” bertanya
orang yang kekar itu.
“Aku berubah pendirian. Aku
tidak membawa anak-anakku. Yang sakit itu masih terlampau lemah, sedang jalan
menuju ke tempat dukun ilmu gaib itu terlampau sulit.“
Orang yang bertubuh kekar itu
mengerutkan keningnya Lalu katanya, ”Apakah sebenarnya maksudmu?”
“Aku tidak mengerti
pertanyaanmu.“
”Kenapa anakmu tidak kau
bawa?”
“Ia masih terlampau lelah.”
“Bukankah anakmu yang sakit,
yang kau katakan digigit ular itu?”
“Ya.”
“Terserahlah kepadamu. Aku
tidak tahu, apakah yang seharusnya kau lakukan, supaya kau selamat. Kau adalah
orang yang keras kepala. Orang yang keras kepala seperti kau itulah yang
biasanya akan menjumpai banyak kesulitan.“
“Mudah-mudahan aku tidak,”
sahut Truna Podang, ”aku sudah terlampau bingung karena anakku sakit. Aku tidak
dapat berbuat lain. Aku tidak sempat memikirkan diriku sendiri.”
“Sama sekali tidak. Kau sama
sekali tidak memikirkan keselamatan anak-anakmu. Kau terlampau mementingkan
dirimu sendiri.”
“Kenapa?”
“Kalau kau mau mundur setapak,
maka anak-anakmu akan selamat. Tanah itu adalah tanah yang wingit. Berapa orang
terpaksa mengurungkan niatnya. Kau sudah mendengar, sekarang kau mengalaminya
sendiri. Tetapi kau masih tetap berkeras kepala.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Meskipun kepalanya terangguk-angguk namun sama sekali tidak terbersit niat di
hatinya untuk menarik diri dari kerja yang sudah dimulainya. Bukan karena ia
ingin sebidang tanah garapan, tetapi ia justru semakin ingin mengetahui apakah
yang sebenarnya tengah berlangsung di antara kesibukan Ki Gede Pemanahan dan
puteranya yang sedang membuka hutan ini.
Orang yang kekar itu masih
berdiri sejenak memandanginya, seakan-akan ia ingin meyakinkan, apakah Kiai
Gringsing yang dikenalnya bernama Truna Podang itu benar-benar mengerti
maksudnya.
Karena Truna Podang itu tidak
menjawab, maka orang itu berkata pula, ”Pikirkan kata-kataku sebelum terlanjur.
Sekarang, kalau kau mau pergi ke rumah dukun sakti itu, pergilah. Sekali lagi
aku pesan, hati-hati di jalan dan jangan berniat untuk berbuat aneh-aneh supaya
kau sempat pulang kembali menemui anak-anakmu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Terima kasih.“
Ketika orang itu
meninggalkannya, Kiai Gringsing pun kemudian berjalan tertatih-tatih
meninggalkan barak yang menjadi semakin sepi. Seseorang memandanginya dengan
perasaan kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian orang yang
bertubuh kekar itu pun masuk pula ke dalam barak sambil bergumam, ”Orang yang
bodoh dan tamak. Dikorbankannya anak-anaknya untuk kepuasan pribadinya. Kalau
ia mendapatkan tanah itu, tetapi kehilangan anak-anaknya, buat apakah
sebenarnya tanah itu baginya yang sudah begitu tua?”
“Ada apa?” tanya seseorang.
“Truna Podang,” jawab orang
itu, ”ia sampai hati mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan harta
lahiriah.”
Tidak ada orang yang menyahut.
Namun mereka memang sering mendengar hal-hal serupa itu. Orang tua yang sampai
hati mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan kepuasan diri.
“Tetapi Truna Podang justru
terlampau cinta kepada anak-anaknya,” berkata seseorang di dalam hati. Tetapi
ia tidak mau berbantah lagi. Apalagi malam menjadi semakin dalam, dan ketakutan
telah mulai merayapi setiap hati. Terlebih-lebih mereka yang berada di serambi
karena ruang di dalam barak telah terlampau penuh.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
telah menjadi semakin jauh dari barak. Ia masih melihat sinar lampu yang
berkeredipan di gardu pengawas yang sepi dan sinar-sinar yang meloncat ke luar
dari gubug-gubug yang berserakan. Namun setiap pintu dari gubug-gubug itu telah
tertutup rapat. Tergambar di dalam angan-angan Kiai Gringsing, orang-orang yang
berjejal-jejal di dalam gubug-gubug itu, dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Ketika Kiai Gringsing sudah
menjadi semakin jauh dari barak, maka ia pun segera menyingsingkan kain
panjangnya. Sekali ia menengadahkan kepalanya, memandang langit yang ditaburi
oleh bintang.
Dan orang tua ternyata telah
memanjatkan doa di dalam hati. Baginya tidak ada kekuasaan yang melampaui
kekuasaan Yang Maha Kuasa. Seribu jin, seribu setan, dan hantu-hantu tidak akan
dapat mengatasi kuasa-Nya dan kehendak-Nya. Selagi ia masih di dalam
perlindungan-Nya, maka apa saja yang dihadapi tidak akan dapat menggetarkan
sehelai bulunya pun.
“Mudah-mudahan aku tidak
dilepaskan-Nya karena aku sudah terlampau banyak berbuat dosa,” desisnya.
Kiai Gringsing itu pun
kemudian mempercepat langkahnya menembus gelapnya malam. Ia kini bukan lagi
Truna Podang yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Tetapi kini ia adalah Kiai
Gringsing yang cekatan dan trengginas. Diloncatinya lubang-lubang yang
berserakan di tengah-tengah jalan yang semakin lama menjadi semakin jelek.
Kiai Gringsing mengangkat
kepalanya ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara yang berdesing
berputar-putar. Semakin lama semakin jelas, sehingga langkahnya pun terganggu
karenanya. Suara itu seolah-olah berputaran di udara tidak henti-hentinya.
Sementara itu, di barak yang
ditinggalkan oleh Kiai Gringsing, semakin lama suasana menjadi semakin sepi.
Hanya desah nafas yang semakin teratur sajalah yang seakan-akan saling sahut
menyahut.
Namun beberapa orang yang
belum tertidur tiba-tiba terkejut ketika mendengar seseorang meloncat masuk
dengan nafas terengah-engah. Mereka yang tanpa sadar, berpaling ke arah pintu
melihat orang yang kekurus-kurusan itu berdiri dengan tubuh gemetar.
“Kenapa?” bertanya seseorang.
Orang yang kurus itu
menggelengkan kepalanya, ”Tidak ada apa-apa.”
“Tetapi kenapa kau menjadi ketakutan?”
desak orang lain.
Orang yang kurus itu berpaling
sejenak. Dipandanginya pintu yang memang tidak pernah tertutup itu.
“Kenapa?” desak yang lain lagi
“Aku kira tidak ada apa-apa.
Tetapi aku sajalah yang terlampau ketakutan.”
“Ya, tetapi kau kenapa?”
“Aku melihat sesuatu. Tetapi
aku kira hanya mataku sajalah yang salah.”
“Kau melihat apa?”
“Hanya sebuah bayang-bayang di
bawah pohon belimbing.“
“He, kenapa kau sampai ke
bawah pohon belimbing malam-malam begini?” tiba-tiba orang yang bertubuh kekar
bertanya.
“Maksudku, mumpung belum
terlampau malam. Aku memang ingin mengurangi kemungkinan untuk keluar di malam
hari.”
“Kenapa tidak di pakiwan he?”
“Aku takut ke pakiwan.“
“Bodoh kau. Justru di bawah
pohon belimbing itu yang seharusnya kau takuti. Kau tidak hanya membayangkan
atau matamu sajalah yang salah lihat. Aku yakin kau pasti melihat sesuatu,”
berkata orang yang bertubuh kekar itu.
Orang yang kekurus-kurusan itu
tidak menjawab lagi. Dengar tubuh yang masih gemetar ia melangkah ke tempatnya.
Punggungnya yang tidak tertutup oleh sehelai baju tampak berkeringat seperti
seseorang yang baru saja melakukan pekerjaan yang terlampau berat.
Tetapi orang itu ternyata
tidak segera pergi tempatnya. Dengan ragu-ragu ia langsung pergi ke sudut ruangan,
di mana Swandaru sedang berbaring ditunggui oleh Agung Sedayu.
“Bagaimana dengan keadaanmu?”
ia bertanya.
Swandaru hanya mengedipkan
matanya saja perlahan-lahan. Sedang Agung Sedayulah yang menjawab,
”Mudah-mudahan Ayah mendapat obatnya.”
Orang yang kekurus-kurusan itu
mengangguk-angguk. Sekali-sekali dirabanya dahi Swandaru. Tetapi anak itu sudah
tidak panas lagi. Bahkan perlahan-lahan keringatnya pula tampak mengembun di
keningnya. Keringatnya yang wajar.
Orang yang kekurus-kurusan itu
menjadi heran. Sebelum Swandaru diobati, ia sudah menjadi agak baik, meskipun
tampaknya ia masih sangat lemah.
“Tetapi aku tidak mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Mungkin ia sudah berangsur baik karena racun yang
menyusup ke dalam tubuhnya bukannya racun yang keras,” berkata orang yang
kekurus-kurusan itu di dalam hatinya.
Namun pertanyaan yang
diucapkan kemudian adalah, ”Bagaimana rasanya badanmu sekarang?”
Ternyata kedua anak-anak murid
Kiai Gringsing itu sudah kejangkitan kebiasaan gurunya. Meskipun tidak berjanji
hampir bersamaan mereka menjawab, ”Parah.”
“He?” orang itu menjadi heran,
”Kau tidak begitu pucat, dan tubuhmu menjadi hangat seperti orang yang sehat.”
Swandaru menggelengkan
kepalanya dan Agung Sedayu berkata, ”Memang mungkin tampaknya demikian. Tetapi
keadaannya mengkhawatirkan, menurut Ayah dan dukun di rumah sebelah barak ini.”
“Tetapi bagaimana dengan
Sangkan itu sendiri?“ potong orang itu, ”Bagaimana dengan kau? Kau merasakan
dan yang paling mengerti tentang dirimu sendiri.”
Swandaru menggeleng lemah.
Suaranya hampir tidak terdengar, ”Aku tidak kuat lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi heran ketika mereka melihat kepuasan tersirat di wajah orang yang
kekurus-kurusan itu. Katanya, ”Pelajaran yang mahal bagimu. Peristiwa ini harus
selalu menjadi pertimbanganmu di setiap langkah. Aku menganjurkan agar kau
berdua mengajak ayahmu mengurungkan niatnya menebas hutan di daerah yang werit
itu. Beberapa orang telah menarik diri. Bahkan di daerah ini pun semakin lama
menjadi semakin sepi. Satu-satu orang-orang yang semula telah bertekad untuk
membersihkan daerah ini menjadi mundur dan meninggalkan tempat yang mengerikan
ini.”
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau mengerti
maksudku?”
Seperti yang dipesankan gurunya
Agung Sedayu mengangguk pula, meskipun ia ragu-ragu.
“Jangan menunggu sampai
terlambat.”
Agung Sedayu mengangguk lagi.
“He, apakah kau mendengar
kata-kataku?” orang itu tiba-tiba membentaknya. ”Aku benar-benar berniat baik.”
“Ya, aku mendengar. Dan aku
sudah mengangguk. Tetapi semuanya itu tergantung kepada Ayah. Mungkin ia
mendapatkan keputusannya setelah ia menghadap dukun sakti itu.”
“Kaulah yang harus ikut
memaksanya untuk kepentingan adikmu dan kau sendiri.”
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi
ia mengangguk saja.
”He, kenapa kau hanya
mengangguk-angguk saja seperti Nini Towok? Apakah kau tidak senang mendengarkan
nasehatku, he?“ orang itu menjadi jengkel.
“O, bukan maksudku. Aku
mendengarkannya dan, memang menjadi kebiasaanku untuk mengangguk-anggukkan
kepala apabila aku mendengarkan nasehat seseorang,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi kau membuat aku
menjadi sakit hati,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu. ”Dengar. Sekarang
di dekat barak ini, di bawah pohon belimbing, telah muncul sesosok hantu.
Mungkin kaulah yang menyebabkannya. Selama ini aku tidak pernah diganggunya
meskipun seandainya memang sudah ada di situ sejak lama.”
Agung Sedayu mengangguk lagi.
Tetapi ketika ia sadar, segera ia menjawab, ”Mudah-mudahan bukan kamilah yang
menyebabkannya.”
“Kau jangan mencuci tangan.
Sebelum kau ada di sini semuanya berjalan baik. Gangguan semakin lama semakin
terbatas. Sekarang agaknya kau telah mengungkat kemarahan hantu-hantu itu.”
“Bukankah kau katakan bahwa
selama ini orang-orang menjadi ketakutan? Dan sebelum kami datang, satu demi
satu mereka telah meninggalkan tempat ini? Kenapa justru kami yang menjadi
paran tutuhan. Menjadi seolah-olah tempat sampah untuk melemparkan kesalahan,“
Agung Sedayu menjadi semakin kehilangan kesabaran.
Jawaban Agung Sedayu itu
ternyata telah menyinggung perasaan orang kekurus-kurusan itu sehingga ia
berkata, ”He, kau berani membantah? Aku peringatkan kau, jangan berbuat gila di
sini.“
Dan sebelum Agung Sedayu
menjawab, agaknya orang yang kekar yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi
jengkel pula, sehingga dari tempatnya ia berkata lantang sehingga mengejutkan
orang-orang yang sedang tidur, ”Jangan ulangi jawaban itu anak-anak bengal.
Sekali-sekali aku ingin memukul mulutmu.”
Terasa darah Agung Sedayu melonjak.
Namun, ia masih tetap menguasai dirinya seperti pesan ayahnya. Ketika sekilas
ia melihat wajah Swandaru yang terbaring diam itu, tampaklah seleret warna
merah membayang di wajah yang gemuk itu.
“Maaf,” berkata Agung Sedayu
kemudian, ”aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian.”
“Tutup mulutmu, ” bentak orang
yang kekar itu. “Sayang ayahmu tidak ada. Kalau ada, aku paksa ia menghajarmu.
Kalau tidak, kamilah yang akan menghajar kau dan membungkam mulutmu.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia mengangguk berkali-kali.
“He, kau dengar?”
Sekali lagi Agung Sedayu
mengangguk.
“Kau dengar he? Kau tidak mau
menjawab?”
“O, jadi aku harus menjawab?
Aku tidak berani membuka mulutku.”
Tiba-tiba orang yang kekar itu
meloncat bangkit. Untunglah bahwa berbareng dengan itu, beberapa orang telah
terbangun pula. Mereka segera berusaha menahan orang yang bertubuh kekar itu.
“Jangan. Adiknya baru sakit
dan ayahnya tidak ada.”
Orang yang bertubuh kekar itu
menggeram. Tangannya dihentak-hentakkannya sambil mengumpat-umpat. Seandainya
orang-orang di dalam barak itu tidak mengerumuninya dan meredakan marahnya,
maka ia pasti sudah tidak mengekang dirinya lagi.
“Anak gila,” ia masih
mengumpat-umpat, ”di seluruh daerah ini tidak seorang pun yang berani melawan
Sura Gempal. Kau anak ingusan saja sudah berani membantah dan bahkan menghina.
Sayang saat ini aku terhalang oleh sekian banyak orang. Kalau tidak, mulutmu
benar-benar akan berdarah. Ingat, tidak ada orang yang berani melawan Sura
Gempal. Bahkan para petugas dan pengawas pun tidak.”
Agung Sedayu sama sekali tidak
menyahut. Ia masih berada di tempatnya, namun supaya tidak menumbuhkan berbagai
pertanyaan di antara orang-orang yang berada di barak itu, ia pun telah berdiri
dengan tubuh gemetar.
Tetapi ia tidak mengucapkan
sepatah kata pun.
Beberapa orang kemudian
membimbing orang yang bertubuh kekar, yang menyebut dirinya bernama Sura Gempal
itu kembali ke tempatnya. Salah seorang dari orang-orang itu berkata, ”Jangan
hiraukan. Bukankah mereka hanya anak-anak.”
“Tetapi itu akan menjadi
kebiasaan yang kurang baik. Kalau aku membiarkan anak itu menghinaku, maka lain
kali orang lain pun akan menghinaku pula.”
“Anak itu sudah minta maaf. Ia
menjadi ketakutan sekali.”
Orang yang menyebut dirinya
bernama Sura Gempal itu berpaling. Ketika dilihatnya Agung Sedayu berdiri
gemetar, hatinya menjadi sedikit terhibur.
“Kali ini aku maafkan kau,”
katanya, ”tetapi lain kali, aku sobek mulutmu.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Ketika orang itu telah duduk
kembali di tempatnya, maka orang lain pun kembali ke tempat masing-masing.
Seseorang yang sudah agak lanjut usia mendekati Agung Sedayu. ”Sudahlah.
Hati-hatilah untuk lain kali. Jangan menyakiti hati orang.“
Mulut Swandaru-lah yang sudah
mulai bergerak. Tetapi ia terdiam ketika kaki Agung Sedayu menyentuh lututnya.
“Sudahlah. Tidurlah. Ayahmu
akan segera pulang.“
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Ya, ya. Aku akan tidur.”
Agung Sedayu pun kemudian
duduk di samping Swandaru. Orang yang kurus itu sudah tidak ada di dekat
mereka, dan orang yang kekar dan menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu pun
sudah berbaring pula di tempatnya.
Sejenak kemudian Agung Sedayu
pun berbaring pula di samping Swandaru. Sebelum ia mapan Swandaru sudah
berdesis perlahan-lahan, ”Kenapa kau biarkan orang itu membuka mulutnya
terlampau lebar?”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Akulah yang tidak tahan.
Hampir saja aku meloncat bangun.“
”Hus. Bukankah Guru sudah
berpesan, agar kita tidak menambah kesulitan di sini.”
“Dan membiarkan diri kita
diumpat-umpat tanpa salah?”
Agung Sedayu tersenyum, ”Guru
sudah memberikan contoh, bahwa kadang-kadang kita harus berbuat demikian.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula. Barukan katanya, ”Memang
kadang-kadang terasa, kenikmatan tersendiri untuk membiarkan diri kita
dihinakan oleh orang-orang yang tidak tahu dari itu.“
Agung Sedayu mengangguk-angguk
sambil berkata, ”Itu adalah suatu bentuk kesombongan tersendiri.”
“He, kenapa? Bukankah itu suatu
sikap rendah hati.”
“Ya, tetapi bukankah di dalam
hati kita, justru kita merasa bahwa dengan demikian kita sudah merendahkannya?”
“Ah, kau terlampau
berbelit-belit.”
“Ya. Tetapi bukankah
kadang-kadang kita menepuk dada sambil berkata ‘Inilah, akulah orang yang baik,
rendah hati, yang tidak pernah menyombongkan diri’. Tetapi bukankah itu suatu
bentuk kesombongan yang terbesar?”
Swandaru merenung sejenak.
Namun kemudian ia tersenyum pula, “Ternyata kau sempat memikirkannya.”
“Bukankah kita sedang tidak
mempunyai kerja saat ini.”
“Sudahlah. Orang-orang lain
sudah tidur. Apakah kita tidak akan tidur?”
“Tidurlah. Kau memang perlu
beristirahat cukup. Aku akan menunggu sampai lewat tengah malam. Apakah Guru
segera kembali atau tidak.”
Swandaru mengangguk-angguk
kecil. Namun kemudian ia berkata, ”Apakah aku akan dapat tidur sebelum Guru
datang?”
“Tidurlah. Aku akan
menunggunya.“
Keduanya pun kemudian terdiam.
Ruangan itu memang sudah terlampau sepi sehingga keduanya pun tidak ada minat
lagi untuk bercakap-cakap. Swandaru yang belum pulih benar itu pun berusaha
untuk dapat tidur meskipun hanya sejenak. Tetapi ingatannya kepada gurunya,
maka ia hanya dapat memejamkan matanya saja, tetapi sama sekali tidak tertidur.
Apalagi Agung Sedayu yang
berbaring di sampingnya melekat dinding. Tubuhnya seakan-akan terhimpit oleh
tubuh Swandaru yang gemuk itu. Ia bahkan sama sekali tidak berhasil untuk
sekedar memejamkan matanya. Ditatapnya saja atap barak yang terbuat dari
anyaman rerumputan dan ilalang, sedang angan-angannya jauh bersama angin malam
yang berhembus lambat.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
masih ada di perjalanan. Suara berdesing di udara itu seolah-olah selalu
mengikutinya ke mana ia pergi.
Sekali ia menarik nafas
dalam-dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk mengetahui, suara apakah yang selalu
mengganggunya itu.
Orang tua itu pun kemudian
duduk di atas sebuah batu di pinggir jalan sambil sekali-sekali menengadahkan
kepalanya. Tetapi malam begitu gelap sehingga ia tidak dapat melihat sesuatu.
“Gila,” desisnya, ”suara itu
sangat mengganggu.”
Namun ketika teringat olehnya
pesannya kepada murid-muridnya, bahwa tengah malam ia harus kembali, maka ia
pun segera melanjutkan perjalanannya.
Tetapi suara yang berdesing
itu seolah-olah mengikutinya kemana ia pergi. Melingkar-lingkar. Sejenak
menghilang kemudian mendekat lagi.
Namun akhirnya Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian ia pun tersenyum sambil berkata
kepada diri sendiri, ”Aku puji cara mereka. Hampir saja aku dijangkiti penyakit
ketakutan itu pula.”
Kini Kiai Gringsing tidak
menghiraukan lagi suara yang melingkar-lingkar itu. Langkahnya semakin
dipercepat. Diloncatinya parit-parit kecil yang menyilang jalan setapak yang
sedang dilaluinya.
Ketika ia sampai di sebuah
parit yang sedang dibuat, di sebelah sebatang pohon yang besar, Kiai Gringsing
berhenti sejenak. Ia harus berbelok ke kanan, menuruti jalan yang sempit sampai
sebuah sungai kecil yang curam.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Jalan yang ditempuh memang sebuah jalan yang mengerikan. Dedaunan
yang rimbun bergantungan di atas jalan sempit itu. Sulur-sulur yang liar
bergayutan sebelah menyebelah.
Tetapi Kai Gringsing tidak
akan mundur. Ia berjalan terus betapa gelapnya. Namun sebagai seorang perantau
yang berpengalaman, Kiai Gringsing segera dapat mengenal jalan yang akan
dilaluinya itu.
Langkah Kiai Gringsing
tertegun ketika ia melihat sesuatu bergerak-gerak di kejauhan. Di dalam
gelapnya malam, mata Kiai Gringsing yang tajam melihat sesuatu yang menghilang
di balik rerumputan, kemudian suara gemerisik batang-batang ilalang yang-
tersibak. Namun kemudian sepi kembali.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat menduga bahwa bayangan yang
bergerak-gerak itu adalah bayangan seseorang. Namun orang itu pasti bukan orang
kebanyakan, karena tiba-tiba saja ia telah hilang seperti ditelan bumi,
meskipun Kiai Gringsing mengetahui bahwa orang itu pasti bersembunyi di balik
pepohonan. Tetapi geraknya yang cepat itu menandakan, bahwa orang itu adalah
orang yang memiliki kemampuan cukup.
Begitu besar keinginan Kiai
Gringsing untuk mengetahui, siapakah orang itu, hampir saja ia meloncat
menyusulnya. Untunglah bahwa ia masih dapat mengekang dirinya. Yang berjalan
menuju ke rumah dukun sakti itu kini adalah Truna Podang.
Karena itu, ketika ia menjadi
semakin dekat dengan bayangan yang bersembunyi itu, langkah Kiai Gringsing
menjadi semakin lambat, bahkan kemudian tertatih-tatih seperti orang yang
kelelahan. Meskipun Kiai Gringsing tidak melihat, tetapi ketajaman inderanya
merasakan, bahwa ada sepasang mata yang sedang mengintip langkahnya.
“Ini pasti salah seorang
pembantu dukun sakti itu,” katanya di dalam hati, “ia harus mengamati
tamu-tamunya.”
Karena itu, Kiai Gringsing
harus melakukan perannya dengan baik. Sebagai seorang petani yang sedang
digelisahkan oleh anaknya yang sedang sakit. Betapa pun ketakutan dan kecemasan
membakar dada, tetapi petani yang takut kehilangan anaknya itu berjalan
tertatih-tatih di dalam gelapnya malam.
Namun tidak ada sesuatu yang
terjadi. Ketika ia sampai di sungai kecil yang curam, maka Kiai Gringsing pun
merayap turun. Air sungai yang hanya sedalam mata kaki itu terasa betapa
dinginnya.
Tetapi ketika ia mulai
merangkak naik, tiba-tiba Kiai Gringsing itu dikejutkan oleh suara tertawa yang
aneh. Suara tertawa yang halus, tetapi menegangkan.
Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Segera ia mengetahui darimana arah suara itu. Tetapi ia sama sekali
tidak berhasrat untuk menemukannya. Karena itu, ia merangkak terus naik tebing
yang cukup curam.
Akhirnya Kiai Gringsing sampai
juga di seberang, di atas tebing.
Dengan penuh kewaspadaan ia
melangkah terus. Kini ia merasa bahwa tidak hanya seorang sajalah yang sedang
mengawasi. Seakan-akan di setiap langkahnya ia bertemu dengan tatapan mata yang
tajam.
Namun Kiai Gringsing tetap
tabah. Ia berjalan terus, sehingga akhirnya ia sampai ke suatu tempat yang
ditebari oleh batu-batu yang besar.
“Di sinilah rumah dukun sakti
itu,” desis Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing melangkah
terus. Ia harus mencari rumah dukun sakti itu, di antara batu-batu besar yang
berserak-serakan.
Tetapi sebelum ia menemukan
rumah itu, Kiai Gringsing sekali lagi tertegun. Ia mendengar derap kaki-kaki
kuda mendekati daerah berbatu-batu itu. Sejenak Kiai Gringsing terpaku di
tempatnya. Ia menduga bahwa ada kira-kira lima atau enam ekor kuda. Semakin
lama menjadi semakin dekat.
“Apakah kuda-kuda ini sejenis
kuda-kuda hantu yang menakut-nakuti daerah yang sedang dibuka itu?” ia bertanya
kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing
memutuskan untuk segera menemukan rumah dukun sakti itu supaya ia dapat
mengambil suatu kesimpulan dari pertemuan itu untuk melakukan tindakan
selanjutnya.
Ia tidak mempedulikan lagi
suara derap kaki-kaki kuda itu. Ia tidak menghiraukan pula, apakah kuda-kuda
itu kuda-kuda hantu atau kuda-kuda yang lain.
Sejenak kemudian dada Kiai
Gringsing menjadi berdebar-debar. Ia mendengar desir langkah seseorang yang
tergesa-gesa. Karena itu segera ia mengendapkan diri di balik sebuah batu. Di
dalam keremangan malam ia melihat sesosok bayangan yang berjalan cepat menjauhi
segerumbul perdu di balik sebongkah batu yang besar.
Ketika orang itu hilang di
balik bebatuan, maka Kiai Gringsing pun merayap mendekatinya. Dadanya berdesir
ketika ia melihat di balik gerumbul itu, berdiri sebuah gubug yang kecil,
dilindungi oleh beberapa gumpal batu yang besar dan gerumbul-gerumbul yang
rimbun.
“Inikah rumahnya?“ ia bertanya
kepada diri sendiri pula. Namun dalam pada itu suara derap kaki-kaki kuda itu
pun menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya kuda-kuda itu pun tidak dapat maju
dengan cepat, karena daerah yang terlampau sulit dilalui.
”Apakah derap itu derap
kaki-kaki kuda hantu yang mengikuti aku?” Kiai Gringsing bertanya pula di dalam
hatinya.
Tetapi Kiai Gringsing memang
ingin mengetahui bentuk dan wajah hantu-hantu yang telah menakut-nakuti setiap
orang yang sedang berusaha membuka hutan dan menjadikannya suatu negeri di
bawah pimpinan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Raden Sutawijaya bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar.
Sejenak Kiai Gringsing
termangu-mangu di tempatnya. Manakah yang lebih dahulu akan dilakukannya. Masuk
menemui dukun sakti itu, atau menunggu hantu-hantu itu lewat. Tetapi kalau ia
menunggu hantu-hantu itu lewat, mungkin tanggapan dukun sakti itu kepadanya
sudah akan menjadi berlainan.
Selagi Kiai Gringsing
dibayangi oleh keragu-raguannya, maka derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin
dekat. Dengan demikian Kiai Gringsing tidak mendapat kesempatan lagi. Karena
itu yang mula-mula dikerjakan adalah mencari tempat untuk berlindung.
“Apakah aku dapat berlindung
dari mata hantu-hantu,“ katanya di dalam hati. ”Apa boleh buat. Apabila
hantu-hantu itu melihat aku, aku tidak akan menghindar.”
Kiai Gringsing adalah orang
yang cukup berpengalaman dan memiliki ilmu yang hampir sempurna di dalam olah
kanuragan. Apalagi adalah seorang yang mempunyai kepercayaan yang mantap kepada
Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka ia pun segera dapat menguasai diri dan
dengan tenang menghadapi setiap kemungkinan. Namun demikian, tanpa sesadarnya
ia telah meraba tangkai cambuknya yang membelit di lambung.
Kiai Gringsing menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia mendengar derap itu semakin dekat. Kemudian berhenti
di sebelah gubug yang tersembunyi itu.
Tetapi Kiai Gringsing terkejut
ketika ia mendengar salah seorang dari mereka yang berkuda itu bertanya,
”Inikah rumahnya?“
“Ya. inilah rumahnya,” sahut
yang lain, “Marilah, kita temui dukun itu.”
Dada Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar. Keinginannya untuk mengetahui menjadi semakin mendesak dadanya.
Karena itu, maka sambil merangkak-rangkak ia bergeser maju. Dengan
pendengarannya yang tajam ia yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitarnya.
Agaknya orang-orang yang mengawasinya di sepanjang jalan, tidak mendekat ke
gubug ini.
Sejenak kemudian Kiai
Gringsing mendengar pintu gubug itu diketok orang.
“Kiai, bukakan pintu.”
Sejenak tidak terdengar
jawaban.
“Kiai.”
Baru kemudian perlahan-lahan
terdengar jawaban dalam nada yang berat, ”Siapa di luar?“
”Kami adalah peronda dari
Tanah Mataram.”
Kiai Gringsing ternyata telah
terkejut pula mendengar jawaban itu. Mereka adalah orang-orang Ki Gede
Pemanahan yang dengan resmi sudah mempergunakan nama Tanah Mataram.
Sejenak tidak terdengar suara
apa pun. Namun kemudian terdengar suara dari dalam gubug itu, “Apakah maksud
kalian datang kemari di malam begini?”
“Kami mau bertemu dengan
Kiai.”
Kembali suasana menjadi sepi.
Yang terdengar hanyalah suara-suara malam yang mendirikan bulu. Suara burung
hantu dikejauhan yang kadang-kadang disahut oleh suara binatang-binatang buas
yang lamat-lamat.
“Kiai,” suara peronda itu
terdengar lagi.
”Tunggu,” jawab dari dalam.
Sejenak kemudian terdengar
suara pintu gubug itu berderit. Dan suara yang berat mempersilahkan para
peronda itu, ”Marilah. Silahkan masuk. Tetapi agaknya gubug ini terlampau
sempit.”
“Terima kasih,” jawab salah
seorang peronda itu, ”kami tidak akan masuk berbareng.”
Dua orang di antara para
peronda itu pun kemudian memasuki gubug yang sempit itu, sedangkan yang lain
berada di luar.
Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar. Kalau mereka yang ada di luar gubug itu kemudian melangkah
hilir-mudik dan ada di antara mereka yang mengelilingi gubug ini, maka ia harus
segera bergeser menjauh.
Namun agaknya para peronda itu
tidak berkisar dari depan gubug itu. Beberapa orang di antara mereka
bercakap-cakap perlahan-lahan. Sedang yang lain sama sekali tidak berbicara apa
pun.
Dari dalam gubug Kiai
Gringsing mendengar salah seorang dari kedua peronda yang masuk itu berkata,
”Kiai, kami mendengar bahwa Kiai-lah dukun sakti yang bernama Kiai Damar.”
“Ya,” jawab suara yang berat,
”akulah yang bernama Kiai Damar.”
“Bagus,”desis peronda itu,
”kami telah datang kepada orang yang tepat.”
“Apakah sebenarnya maksud
kalian?” bertanya Kiai Damar.
“Kami telah diutus oleh Raden
Sutawijaya.”
“Maksudmu Putra Ki Gede
Pemanahan?”
“Ya.”
“Apakah maksudnya?”
“Kiai,” berkata peronda itu
kemudian, ”Kiai adalah seseorang yang menurut kepercayaan orang-orang di
sekitar tempat ini, bahkan sampai ke daerah-daerah yang jauh, mampu mengobati
segala macam penyakit. Di antaranya penyakit yang termasuk aneh-aneh yang
menurut keterangan beberapa orang disebabkan oleh hantu-hantu.”
“Tidak hanya keterangan
beberapa orang,” potong Kiai Damar, ”memang demikianlah keadaannya. Maksudku,
bukan tentang aku, tetapi tentang hantu-hantu itu. Sebenarnyalah bahwa banyak
sekali orang yang sakit karena kesiku. Dan aku adalah salah seorang dari mereka
yang berusaha untuk memohonkan maaf bagi orang-orang yang kesiku itu. Jadi sama
sekali bukan mengobati seperti yang kau katakan.”
“Begitulah. Tetapi akibatnya
hampir sama. Orang yang sakit itu menjadi sembuh karenanya.”
“Tidak. Tetapi mereka kemudian
dimaafkannya.”
“Ya. Begitulah,” peronda itu
berhenti sejenak. ”Dengan demikian, maka hubungan Kiai dengan hantu-hantu itu
menjadi akrab.”
Dukun sakti yang bernama Kiai
Damar itu tidak segera menjawab. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi agaknya ia sudah dapat menduga, ke manakah arah pembicaraan para peronda
itu.
Karena Kiai Damar tidak
menjawab maka peronda itu meneruskan, ”Kiai. Sebagaimana Kiai Damar tahu, kini
kami sedang sibuk membuka hutan untuk menjadikannya sebuah negeri. Namun
akhir-akhir ini kami merasa terganggu. Ketenteraman bekerja para penebang telah
diusik oleh desas-desus adanya hantu-hantu yang berkeliaran dan mengganggu.
Bukan saja para pendatang yang akan membuka hutan, tetapi para petugas sendiri
menjadi ngeri. Hal itu terjadi di segala bagian dari penebangan hutan ini. Di
bagian selatan, tengah, dan utara. Bahkan ada di antara mereka yang sudah
meletakkan alat-alat mereka dan kembali ke tempat asal mereka.”
Kiai Damar itu, merenung
sejenak. Lalu, ”Aku mengerti maksud kalian. Kalian ingin hantu-hantu itu tidak
mengganggu kerja para pendatang yang menebas hutan itu bukan?“
“Tepat, Kiai. Seperti yang
kami minta kepada seorang dukun sakti, yang menyebut dirinya bernama Kiai
Telapak Jalak yang tinggal di ujung selatan dari daerah penebangan hutan ini.
Juga menyendiri seperti Kiai Damar.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Permintaan ini wajar sekali. Tetapi
aku merasa bahwa aku sekarang berdiri di tengah-tengah sungai yang banjir.
Terus aku pasti akan basah, kembali pasti basah juga.”
“Kenapa Kiai?”
“Aku mengerti jalan pikiran
kalian. Itulah sulitnya. Tetapi aku juga mengerti kenapa hal itu terjadi. Aku,
mungkin juga orang yang kau sebut bernama Telapak Jalak itu, memang bergaul
dengan hantu-hantu. Apa yang dapat aku tangkap dari siratan jalan pikiran
mereka pun dapat aku mengerti.”
“Apakah kata mereka?”
“Ki Sanak,” Kiai Damar menarik
nafas dalam-dalam, “dengan mata wadag kita memang tidak dapat melihat bahwa
sebenarnya kita berhadapan dengan suatu negeri. Lengkap dengan istana dan
prajuritnya. Kau tahu maksudku? Hutan yang kini sedang ditebang itu adalah
suatu negeri. Anehnya, namanya juga Mataram seperti yang kalian pergunakan
sekarang. Tetapi sebenarnya hal itu juga tidak aneh, karena raja-raja yang
sekarang memerintah adalah keturunan raja-raja dari kerajaan Mataram lama.”
Para peronda itu mengerutkan
keningnya.
“Coba, pikirkan. Bagaimana aku
harus bersikap, apabila aku tahu, mereka menjadi sakit hati karena istananya
kalian rusak. Pohon raksasa yang mereka anggap bangsal-bangsal di dalam istana
mereka, di dalam rumah-rumah para Adipati dan Tumenggung menurut tata
kepangkatan kita, kalian tebang dengan semena-mena.”
Para peronda itu tidak
menjawab.
“Apakah yang akan dilakukan
oleh Ki Gede Pemanahan selagi ia masih berada di Pajang, dan yang akan
dilakukan oleh putranya, apabila tiba-tiba Raja Arya Penangsang datang
menghancurkan Istana Pajang dan bangunan di Lor Pasar?”
Para peronda itu masih diam
saja.
“Nah, itulah kira-kira alasan
yang mereka pergunakan, kenapa mereka berusaha untuk mencegah kealpaan Ki Gede
Pemanahan, agar tidak menjadi berlarut-larut.” Kiai Damar berhenti sejenak
lalu, ”Ki Sanak. Sebenarnya hantu-hantu itu memang mempunyai kekuasaan yang
lebih besar dari manusia wadag. Kemenangan mereka yang paling cepat kita kenal,
bahwa mereka dapat melihat kita, tetapi kita sukar sekali untuk melihat mereka
tanpa mereka kehendaki sendiri. Karena itu, mereka menjadi lebih mudah
mengganggu kita dan kita tidak akan dapat mengganggu mereka.”
Peronda itu masih menggangguk.
Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, ”Tetapi bukankah hutan ini
masih sangat luas Kiai. Apakah mereka tidak dapat diajak berbicara, agar mereka
berpindah saja ke bagian-bagian hutan yang lain.“
Kiai Damar tertawa pendek.
”Kalian memang aneh. Itu adalah sikap yang tidak adil. Yang mementingkan diri
sendiri. Kalian datang kemudian, tetapi kalian ingin mengusir yang sudah ada di
tempat itu sejak berabad-abad, bahkan jauh sebelum keturunan Mataram lama
memasuki lingkungan ini dengan peradaban yang lebih baik.”
“Peradaban apakah yang Kiai
maksud?”
“Peradaban di dalam tata
kehidupan mereka. Jangan kau kira bahwa di dalam kehidupan mereka tidak ada
peradaban seperti yang kita miliki. Mereka mempunyai susunan pemerintahan dan
peraturan-peraturan yang harus mereka taati.”
“Jadi, bagaimanakah kesimpulan
Kiai? Apakah tidak dapat sehingga perlu mengadakan semacam perang?”
“Tunggu,” Kiai Damar memotong,
“jangan terlampau sombong sehingga kata-katamu terdorong terlampau jauh. Aku
mengenal mereka dan aku mengenal kalian. Kalau perang itu benar-benar akan
berlangsung, maka yang akan terjadi adalah perampasan sepihak semata-mata, yang
akan terjadi adalah penumpasan sepihak semata-mata. Apakah yang dapat kau
lakukan? Apa?”
“Kita mempunyai orang-orang
seperti Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar sendiri.”
Sekali lagi Kiai Damar
tertawa, “Aneh sekali,” katanya. “Apakah kalian menyangka bahwa aku mampu
berbuat sesuatu atas mereka? Aku hanya mengenal mereka, dan sejauh-jauh dapat
aku lakukan adalah berlutut sambil mohon maaf atas kekhilafan manusia yang
sombong dan tamak ini.”
“Jadi, tegasnya?”
“Aku tidak dapat berbuat
apa-apa. Bahkan aku berpesan, jangan menunggu hantu-hantu itu kehilangan
kesabaran. Raja mereka adalah Raja yang bijaksana yang sampai saat ini masih
berusaha untuk mengatasi persoalan ini. Tetapi pada suatu saat, dengan sepatah
kata mantra kalian akan diterkam oleh penyakit yang maha dahsyat, dan tumpaslah
kalian bersama dengan keluarga kalian.”
“Kiai,” berkata peronda itu,
“aku dapat mengerti. Keterangan yang Kiai berikan mirip benar dengan keterangan
Kiai Telapak Jalak. Bahkan pada dasarnya bersamaan maksudnya.”
Kiai Gringsing, yang
bersembunyi di belakang gubug itu menahan nafas. Dari peronda-peronda itu ia
mengetahui bahwa di samping Kiai Damar, masih ada orang lain yang dianggap
sebagai seorang dukun yang sakti dan bernama Kiai Telapak Jalak.
Selanjutnya Kiai Gringsing
mendengar Kiai Damar berkata, ”Apakah orang yang bernama Telapak Jalak itu juga
pernah memberikan keterangan seperti yang aku katakan?“
“Ya, Kiai.”
“Kalau demikian aku percaya,
bahwa ia pun benar-benar dapat bergaul dengan hantu-hantu di hutan Mentaok.
Tetapi apabila ada keterangan lain, maka orang itu pasti berbohong, karena aku
yakin bahwa aku benar.”
“Ya, Kiai. Tetapi bagaimana
menurut pendapat Kiai, apakah yang sebaiknya kami lakukan.”
Kiai Damar menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Pertanyaan inilah yang membuat aku menjadi
pening. Aku merasa bahwa jawaban yang dapat aku berikan, pasti suatu jawaban
yang tidak akan memberi kepuasan bagi kalian dan terutama bagi Ki Gede
Pemanahan beserta puteranya.”
“Apakah jawaban itu?”
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Damar, ”aku tidak berani mengatakannya. Namun seandainya aku masih mendapat
kemungkinan, aku akan berusaha agar pada suatu saat kita menemukan jalan yang
sebaik-baiknya, agar kita mendapat kesempatan untuk membuka hutan ini. Tetapi
sudah tentu dengan berbagai macam syarat.”
“Apakah Kiai dapat menyebutkan
syaratnya?”
“Tentu belum sekarang. Pada
suatu saat aku akan menghadap Raja dari Kerajaan Mataram. Bukan Mataram yang
didirikan oleh Ki Gede Pemanahan, tetapi Mataram Kajiman. Aku ingin mendapat
penjelasan langsung dari Raja Mataram, yang tidak dapat dilihat dengan mata
wadag ini, bagaimanakah sebaiknya agar kita tidak mendapatkan kutuk
daripadanya, sedang kita mendapatkan bagian dari Tanah Mentaok seperti yang
kita harapkan.”
“Kapan hal itu akan Kiai
lakukan?”
“Segera. Namun sementara ini,
usaha perluasan daerah penebangan agar dibatasi atau dihentikan sama sekali.
Orang-orang biar kembali ke tempat masing-masing. Sedang yang sudah terlanjur
dibuka ini pun pasti akan mengalami berbagai macam syarat yang harus dipenuhi.”
Para peronda itu terdiam
sejenak. Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata, ”Baiklah. Aku
mengharap Kiai secepatnya dapat menghubungi Raja Kajiman itu, sehingga kami
akan segera dapat menyesuaikan diri dengan pembicaraan Kiai.”
“Baiklah. Tetapi ingat,
sementara ini pembukaan daerah baru harus dicegah.”
“Aku akan melaporkannya kepada
Ki Gede Pemanahan.” Peronda itu berhenti sejenak, lalu, ”Sekarang kami akan
minta diri. Kami dikirim khusus untuk menemui Kiai Damar.”
“Siapakah yang telah
memerintahkan kalian menghubungi aku. Ki Gede Pemanahan atau Sutawijaya?”
“Ki Gede Pemanahan,” jawab
peronda itu.
“Nah, sampaikan semuanya yang
aku katakan kepada Ki Gede Pemanahan.”
Sejenak kemudian maka kedua
peronda itu pun keluar dari gubug Kiai Damar. Sejenak mereka berbicara dengan
kawan-kawannya yang menunggu di luar. Dan sejenak kemudian mereka pun telah
berada di atas punggung kuda masing-masing, meninggalkan gubug itu.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia mengetahui, bagaimanakah pendapat dukun sakti itu tentang
usaha pembukaan hutan dan yang menurut katanya Kerajaan Mataram Kajiman.
Namun tiba-tiba Kiai Gringsing
ingin megetahui, apakah yang akan dikatakan oleh para peronda itu, sehingga ia
pun segera merayap meninggalkan tempatnya.
Dengan segenap kemampuan yang
ada padanya Kiai Gringsing pun segera menyusul orang-orang yang berkuda
perlahan-lahan di dalam gelapnya malam. Derap kaki-kaki kuda yang lamat-lamat
telah memungkinkan Kiai Gringsing untuk segera menemukan arah. Beberapa langkah
ia mendahului kuda-kuda yang berjalan dengan malasnya menyusup hutan yang
semakin lama menjadi semakin gelap.
Ketika ia sudah berada di
depan, maka segera dicarinya segumpal tanah padas. Dilemparkannya segumpal
tanah itu ke atas, tepat di atas jalan yang akan dilalui kuda-kuda itu.
Kemudian ia pun segera bersembunyi di balik sebuah gerumbul tepat di pinggir
jalan setapak itu.