Ki Tambak Wedi perlahan-lahan
memalingkan wajahnya. Dipandanginya muridnya yang berdiri tegang di sampingnya.
“Benarkah begitu Sidanti?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi bertanya.
Sidanti menjadi heran
mendengar pertanyaan itu, maka ia pun bertanya pula, “Apakah maksud Kiai?”
“Apakah benar bahwa perlakuan
prajurit-prajurit Pajang sangat menyakitkan hati?”
“Apakah Guru tidak merasakan
betapa kita harus mengalami penghinaan ini?” jawab Sidanti. “Kita harus
bersembunyi dan selalu menghindarkan diri? Kita selalu dikejar-kejar seperti
orang-orang buruan?”
“Apakah kita bukan orang-orang
buruan Sidanti?”
Sama sekali tidak diduganya
bahwa Ki Tambak Wedi akan bertanya demikian sehingga sejenak justru Sidanti
terbungkam. Ditatapnya saja wajah gurunya tanpa berkedip untuk beberapa lama.
Terasa sesuatu berdesakan di tenggorokannya, tetapi tidak sepatah kata pun yang
dapat meloncat ke luar.
“Marilah bersama-sama kita
kenang,” berkata Ki Tambak Wedi. “Apakah yang telah pernah terjadi dengan
dirimu Sidanti. Semula kau telah mendapat kesempatan yang baik di dalam
lingkungan keprajuritan Pajang seperti yang diinginkan oleh ayahmu.”
“Lalu aku terlempar keluar,”
potong Sidanti.
“Ya.”
“Aku menyadari kesalahan itu,
tetapi bukankah Guru saat itu tidak mencegah aku, bahkan seolah-olah
membenarkan sikapku.”
“Ya. Karena itulah aku menjadi
ragu-ragu untuk datang kepada ayahmu. Kau dan aku bersama-sama telah berbuat
kesalahan-kesalahan. Kau tidak menjadi seorang anak yang baik menurut kudangan
ayahmu. Sedang aku adalah seorang yang diserahi dan dipercaya untuk membawamu
sesuai dengan jalan yang diingini oleh ayahmu, Argapati. Tetapi yang terjadi
adalah seperti sekarang ini.”
Sidanti menjadi terdiam pula.
Meskipun demikian gelora di dalam dadanya tidak juga mereda. Apalagi yang dapat
dilakukannya, kalau tidak menghadap ayahnya dan mengatakan segala kesulitannya.
“Aku yakin ayah akan
mengerti,” berkata Sidanti kemudian.
“Ya, aku juga yakin,” sahut
Argajaya. “Aku adalah saksi yang dapat memperkuat keterangan-keterangan Sidanti
dan keterangan-keterangan Kiai. Aku akan dapat berkata tentang apa yang aku
dengar dan aku lihat di sini.”
“Tentang Ki Tambak Wedi yang
memberontak terhadap kekuasaan Pajang?” potong Ki Tambak Wedi.
Argajaya mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba suaranya menurun rendah, “Apakah Kiai menyesal?”
Ki Tambak Wedi terperanjat
pula mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba ia menengadahkan dadanya sambil
berkata, “Tidak. Aku sama sekali tidak menyesal. Apa yang terjadi atas diriku
dan padepokanku adalah akibat dari usahaku untuk menangkap keinginan dan
cita-cita. Cita-cita tentang masa depan muridku, pewaris ilmuku, dan masa depan
perguruanku. Aku tidak akan menyesal.”
“Jadi kenapa Kiai menjadi
ragu-ragu,” desak Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera
menyahut. Sekali lagi sorot matanya terlontar ke dalam kegelapan malam. Sejenak
ia berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafasnya yang panjang.
Argajaya dan Sidanti pun
sejenak terdiam. Mereka menunggu sikap Ki Tambak Wedi. Ketika mereka
melontarkan pandangan mata mereka ke kejauhan pula, maka mereka melihat
keredipan beribu-ribu kunang-kunang yang hinggap di dedaunan padi yang hijau.
Sejenak mereka dicengkam oleh
kediaman yang tegang. Meskipun udara malam terlampau dingin, tetapi dada mereka
serasa mendidih. Berturut-turut mereka mengalami kekalahan-kekalahan yang
sangat menyakitkan hati. Perhitungan-perhitungan yang kurang cermat, dan
persoalan-persoalan pribadi yang sangat mengganggu. Kadang-kadang terbersit
pula penyesalan di dalam diri Sidanti, bahwa ia telah membawa Sekar Mirah ke
dalam padepokan gurunya, sehingga akibatnya sama sekali tidak pernah
dibayangkannya.
“Alap-Alap itulah yang gila.
Sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk mencincangnya sampai lumat,” katanya
di dalam hatinya yang pepat.
Dalam pada itu terdengar
Argajaya berkata, “Sebaiknya Kiai tidak usah ragu-ragu. Aku tahu benar sifat
Kakang Argapati. Ia seorang yang keras hati. Seorang yang mempunyai harga diri,
dan seorang yang disuyuti oleh reh-rehannya.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Aku merasa bahwa aku belum
dapat menempatkan Sidanti sewajarnya, apalagi sesuai dengan keinginan ayahnya.”
“Tetapi itu tidak dapat
ditentukan oleh Kiai dan Sidanti sendiri. Keadaan lingkungan Sidanti ternyata
tidak memungkinkan. Dan ini bukan kesalahan Sidanti.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
terdiam, ia pun merasakan bahwa kegagalan rencananya sebagian terletak pada
kesalahan muridnya. Ternyata gadis Sangkal Putung itu telah memecahkan hubungan
yang memang kurang baik antara orang-orangnya dengan orang-orang Jipang. Tetapi
ia tidak menumpahkan kesalahan itu kepada muridnya meskipun pernah juga
disinggungnya.
Sekali lagi keheningan telah
merayapi suasana. Yang terdengar hanya derik bilalang di kejauhan.
Sekali-sekali terdengar angin semiut menggerakkan dedaunan.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
mengangkat wajahnya. Telinganya yang tajam telah menangkap sesuatu.
“Derap beberapa ekor kuda,”
desisnya.
Sidanti dan Argajaya pun
segera mendengar derap kaki-kaki kuda. Semakin lama semakin dekat.
“Apakah orang-orang itu telah
menemukan jejak kita dan mengejarnya kemari?” gumam Argajaya.
“Tidak mungkin,” sahut Ki
Tambak Wedi.
“Apakah ada orang lain?”
“Mungkin sekali,” berkata Ki
Tambak Wedi pula. “Mungkin mereka adalah peronda-peronda yang lain, yang
terlambat datang menyusul kawan-kawannya.”
“Mari kita lihat,” geram
Sidanti.
“Menjemukan,” sahut Ki Tambak
Wedi.
Tetapi Sidanti tidak
menghiraukannya. Beberapa langkah ia maju dan melihat lepas ke bulak yang
terbentang di hadapan pategalan itu.
“Tiga eleor kuda,” desisnya.
Ki Tambak Wedi yang semula tak
acuh, kemudian melangkah pula dan berdiri di belakang Sidanti bersama Argajaya.
“Ya, tiga ekor kuda. Mereka
adalah peronda-peronda yang lain yang menyusul Widura, tetapi mereka berselisih
jalan. Widura mengambil jalan di sebelah barat, orang-orang itu mengambil jalan
di sebelah timur.”
“Kita apakan orang-orang itu,
Guru?” bertanya Sidanti.
“Biarkan saja,” sahut Ki
Tambak Wedi.
“Tidak. Aku ingin berbuat
sesuatu untuk mengurangi kepepatan dada ini supaya tidak meledak.”
“Akan kau apakan mereka itu?”
“Bunuh.”
Ki Tambak Wedi tidak menyahut.
Dipandanginya saja bayangan yang samar-samar semakin lama semakin dekat.
“Di simpang tiga itu, mereka
akan berbelok ke barat seandainya mereka mempunyai perhitungan yang tepat atas
panah-panah sendaren yang tadi dilepaskan oleh orang-orang Pajang.”
“Mereka harus dihentikan.”
“Terlambat. Mereka sudah
mendekati simpang tiga itu.”
“Tetapi Guru dapat berbuat
sesuatu atas mereka. Guru dapat melepaskan gelang-gelang itu. Satu saja untuk
orang terdepan. Kalau Guru segan membunuh kelinci baiklah guru menjatuhkan
kudanya saja. Biarlah mereka itu menjadi urusanku.”
Ki Tambak Wedi menggeram.
“Cepat, Guru, mereka sudah
menjadi semakin dekat. Apabila mereka telah berbelok ke barat, maka mereka akan
terlepas.”
“Kau terlampau cengeng
Sidanti. Kau hanya sekedar ingin membunuh.”
“Cepat, Guru.”
Ki Tambak Wedi tidak dapat
menolak permintaan muridnya. Memang terasa sekali betapa ia memanjakan Sidanti.
Jauh melampaui sikap seorang guru terhadap muridnya. Hampir setiap keinginan
dan permintaan muridnya dipenuhinya, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan
keingiannya sendiri.
Karena itu maka Ki Tambak Wedi
itu pun segera mengambil sebuah gelang-gelangnya. Ketika orang-orang berkuda
itu hampir sampai di simpang tiga di pinggir pategalan itu, maka terdengarlah
angin berdesis. Sebuah gelang-gelang telah meluncur dengan kecepatan yang tidak
dapat diikuti dengan mata.
Tetapi alangkah terkejut
mereka bertiga ketika mereka melihat bayangan terdepan itu dengan sigapnya
memiringkan tubuhnya. Kemudian memutar kudanya sehingga kuda itu hampir-hampir
jatuh terguling. Terdengar suaranya meringkik keras dan kuda itu sejenak
berdiri dengan kedua kaki belakangnya.
Kedua penunggang yang lain
hampir-hampir saja tidak berhasil menguasai kuda-kuda mereka dan hampir saja
membentur kuda yang paling depan. Untunglah mereka pun cukup sigap, meskipun
kuda-kuda itu terdorong beberapa langkah melampaui kuda yang pertama.
Ki Tambak Wedi justru terdiam
tegak seperti patung melihat korbannya yang gagal. Gelang-gelangnya yang
terlepas dari tangannya hampir tidak pernah lepas dari sasaran. Apalagi sekedar
prajurit-prajurit peronda. Sedang Widura sendiri pasti tidak akan mampu
menghindarkan diri dari senjatanya itu.
Tetapi kali ini ia telah gagal
mengenai sasarannya.
“Siapa setan itu?” desisnya.
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya kemudian melihat ketiga penunggang kuda itu meloncat turun.
“Aku harus mengenal siapakah
mereka itu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Ya,” sahut Sidanti pendek.
Ternyata jarak mereka masih
cukup jauh untuk mengenali wajah seseorang di dalam malam yang gelap. Meskipun
bayangan ketiga orang yang berdiri di tempat terbuka itu menjadi semakin jelas,
tetapi bentuk sesungguhnya masih belum dapat dikenalnya.
“Aku akan melepaskan satu kali
lagi,” berkata Ki Tambak Wedi. “Mudah-mudahan aku segera dapat mengenalnya.”
Sesaat kemudian Ki Tambak Wedi
pun telah bersiap dengan sebuah gelang-gelang besinya. Kini ia sengaja berdiri
di ujung pategalan untuk dapat dilihat oleh ketiga orang yang berdiri mematung
di simpang tiga.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
menunggu mereka mendekat atau melarikan diri. Sekali lagi terdengar udara malam
seolah-olah menyibak. Sebuah gelang-gelang telah meluncur dengan cepatnya. Kini
tidak mengarah kepada orang yang pertama, tetapi kepada sasaran yang lain.
Namun usaha Ki Tambak Wedi
untuk mengetahui orang-orang yang datang itu ternyata berhasil. Orang yang
pertama, yang mampu menghindari lontaran gelang-gelang itu, ternyata tidak
membiarkan gelang-gelang Ki Tambak Wedi menyambar orang lain. Ketika
gelang-gelang itu meluncur beberapa cengkang daripadanya, mengarah kepada orang
yang berdiri di sampingnya, terdengar ledakan yang keras memecah sepinya malam.
Ledakan sebuah cambuk bertangkai pendek tetapi berjuntai panjang. Cambuk itu
seakan-akan telah mengait gelang-gelang itu, sehingga tiba-tiba saja gelang
yang meluncur itu melenting keatas, dan jatuh beberapa langkah dari mereka.
“Setan itu hadir pula,”
terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
“Kiai Gringsing,” desis
Sidanti.
“Siapakah orang itu?” bertanya
Argajaya.
“Kiai Gringsing yang
bersama-sama dengan kedua muridnya telah melindungi Sekar Mirah di padepokan
Tambak Wedi. Bukankah Paman telah mengenai pula kedua muridnya itu. Yang
seorang gemuk bernama Swandaru dan yang seorang Agung Sedayu.”
“Oh, anak-anak gila itu datang
pula kemari,” Argajaya pun menggeram pula.
“Kebetulan sekali,” desis
Sidanti. Kemudian kepada gurunya ia berkata, “Kita selesaikan saja mereka,
Guru.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Dilihatnya kedua murid Kiai Gringsing sudah mulai menambatkan
kuda-kuda mereka pada batang perdu di tepi jalan, sedang Kiai Gringsing berdiri
tegak melindungi mereka dengan cambuknya di tangan.
“Lihat,” gumam Ki Tambak Wedi,
“mereka telah menambatkan kuda-kuda mereka. Sebentar lagi mereka datang ke
mari. Gelang-gelangku tidak kuasa menahan mereka, selama Kiai Gringsing itu
masih saja menggenggam senjatanya yang gila itu.”
“Kita tunggu mereka di sini,”
sahut Sidanti. “Kita sama-sama bertiga.”
“Apakah kau yakin bahwa kau
akan dapat membunuh mereka?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Guru justru memperkecil hati
kami.”
“Bukan maksudku. Tetapi
cobalah berpikir dengan otakmu. Jangan diburu-buru oleh nafsu dan perasaanmu
saja. Kau pasti sudah tahu keseimbangan yang bakal terjadi seandainya kita
harus berkelahi. Setidak-tidaknya perkelahian ini tidak akan berakhir sampai
fajar. Sampai orang-orang Sangkal Putung sempat melihat kita dan mereka pasti
akan mengejar kita seperti mengejar tupai. Di siang hari, di antara Sumangkar
dan Kiai Gringsing, Widura, Swandaru, dan Agung Sedayu beserta pasukannya, kita
tidak akan banyak mendapat kesempatan. Baik untuk melakukan perlawanan maupun
kemudian untuk menyingkir.”
Sidanti tidak menjawab, tetapi
terdengar ia menggeram.
“Apakah kau dapat mengerti?”
bertanya gurunya.
Betapa beratnya, namun Sidanti
itu menjawab, “Ya, Guru.”
“Nah, kalau begitu kita tidak
boleh berbuat sebodoh itu. Kita mempunyai nalar dan perhitungan. Apakah kau
mengerti?”
Sekali lagi Sidanti menjawab,
“Ya, Guru.”
Meskipun Ki Tambak Wedi tidak
mengatakan, tetapi jelas bagi Sidanti dan Argajaya, bahwa Ki Tambak Wedi ingin
menghindari perkelahian dengan ketiga orang itu. Perkelahian yang sama sekali
tidak menguntungkan dipandang dari segala segi.
“Nah, marilah. Sebelum mereka
semakin dekat. Kita menghilang ke dalam pategalan.”
Betapa sakit hati Sidanti,
seolah-olah keadaan yang ditemuinya di saat-saat terakhir sengaja menghinanya,
merendahkannya dan membuat dadanya pedih. Berturut-turut ia mengalami
kegagalan. Bahkan kegagalan yang mutlak. Di saat terakhir, ketika ia ingin
melepaskan himpitan perasaannya yang menyesak, malahan dijumpainya Kiai
Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru, yang justru membuat luka di hatinya
semakin parah.
Tetapi ia tidak dapat berbuat
lain. Diikutinya saja gurunya yang menyusup ke dalam rimbunnya tanaman
pategalan. Meskipun kadang-kadang kulitnya tergores dari duri pelepah salak dan
kadang-kadang duri daun nanas, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya.
Dengan nada yang berat ia
bertanya, “Ke mana lagi kita akan pergi, Guru?”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menjawab. Ia berjalan saja dengan tergesa-gesa menyusup di antara rimbunnya
dedaunan tanpa menghiraukan pertanyaan muridnya.
Sikap Ki Tambak Wedi itu
mengherankan Sidanti dan Argajaya. Seorang yang selama ini tidak mengenal
gentar dan takut, tiba-tiba meninggalkan lawan yang telah berdiri di hadapan
hidungnya dalam keadaan yang seimbang. Bahkan seolah-olah seperti seseorang yang
sedang ketakutan dikejar hantu.
Meskipun Ki Tambak Wedi sudah
mengatakan alasan-alasannya, namun masih juga terasa, betapa pahitnya keadaan
yang disuapkan ke mulut mereka tanpa dapat memuntahkannya. Lari dengan
tergesa-gesa meninggalkan lawan.
Tetapi baik Sidanti maupun
Argajaya sudah tidak bernafsu lagi untuk bertanya. Diikutinya saja kemana Ki
Tambak Wedi itu pergi. Semakin lama semakin dalam tenggelam masuk ke jantung
pategalan yang gelap dan rimbun itu.
Sementara itu Ki Tanu Metir
dan kedua muridnya masih saja berdiri di hadapan ujung pategalan. Orang tua itu
cukup berhati-hati. Ia tahu benar bahwa yang melepaskan gelang-gelang besi itu
pasti Ki Tambak Wedi. Tidak ada orang lain yang mampu melontarkan senjata
serupa itu dengan kekuatan yang luar biasa.
“Kenapa kita tidak segera
mendekat?” bertanya Swandaru.
“Jangan, Ngger,” berkata Ki
Tanu Metir, “kita harus berhati-hati.”
“Apakah kita akan menunggu
mereka mendatangi kita?”
“Apabila mungkin.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Hampir tidak sabar ia menunggu terlampau lama. Ingin ia segera
meloncat dan menerkam Sidanti atau pamannya, Argajaya. Tetapi gurunya masih
juga berdiri mematung dengan cambuk di tangannya.
Ketika sejenak kemudian
gurunya masih juga belum beranjak maka terdengar Agung Sedayu bertanya pula,
“Apakah yang harus kita tunggu, Guru? Mereka agaknya tidak akan maju lagi.
Mereka juga menunggu kita.”
“Aku bercuriga,” desis Ki Tanu
Metir, “Ki Tambak Wedi yang semula telah berdiri di tempat yang agak terbuka,
tiba-tiba lenyap di dalam gelapnya bayang-bayang pategalan. Aku sangka, bahwa
mereka sengaja memancing kita. Tetapi ingat, setiap saat gelang-gelangnya itu
dapat menyambar. Mungkin aku, mungkin Angger Agung Sdayu dan mungkin Angger
Swandaru. Kalau ia ingin bertempur dengan jantan, maka Ki Tambak Wedi tidak
akan menghilang. Tetapi ia justru akan maju bersama murid-muridnya.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gurunya akan mampu menghindar atau menangkis
serangan Ki Tambak Wedi itu. Tetapi bagaimana dengan kedua mereka itu? Sekali
dua kali Ki Tanu Metir dapat membantu mereka, tetapi seandainya serangan itu
datang beruntun dengan sasaran yang berbeda, maka keadaannya akan menjadi
sulit. Mungkin pada suatu saat, gurunya akan menjadi terlampau sibuk dan tidak
berhasil menyelamatkan salah satu dari ketiga sasaran itu.
Karena itu maka baik Agung
Sedayu maupun Swandaru tidak bertanya lagi. Mereka dapat mengerti sepenuhnya,
kenapa gurunya menjadi terlampau hati-hati, bukan untuk kepentingan Ki Tanu
Metir sendiri, tetapi justru untuk kepentingan kedua muridnya itu.
Tetapi setelah beberapa lama
mereka berdiri mematung, mereka masih belum melihat seorang pun yang mendekati
mereka. Bahkan di antara gelapnya bayangan rumpun salak dan pohon-pohon
buah-buahan di pategalan itu, mereka sama sekali tidak melihat gerak apa pun.
Mati.
Dalam keheningan malam
terdengar suara Ki Tanu Metir perlahan-lahan, “Aku tidak melihat gerak sama
sekali.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu.
“Aku kira mereka bersembunyi
di balik dedaunan,” desis Ki Tanu Metir.
“Atau melarikan diri,” sambung
Swandaru.
Ki Tanu Metir tidak menjawab,
tetapi kemungkinan itu memang dapat terjadi. Mungkin Ki Tambak Wedi melihat,
bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak terhadap mereka bertiga, sehingga
tidak ada gunanya lagi untuk melawan.
“Tetapi mereka sengaja mencegat
kita,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Mungkin mereka belum
mengetahui, siapakah kita. Mungkin mereka menyangka bahwa kita adalah
prajurit-prajurit peronda saja, sehingga mereka mencoba membunuh. Tetapi
setelah mereka mengetahui siapakah kita bertiga, maka niat itu diurungkannya,”
jawab Ki Tanu Metir.
“Bukan sekedar diurungkannya,”
sahut Swandaru, “tetapi mereka merasa bahwa niat itu tidak akan dapat
dilakukan. Daripada mereka justru tertangkap atau mati di pategalan ini, maka
lebih baik bagi mereka untuk melarikan diri.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah demikian. Tetapi orang tua itu
tidak mengatakannya.
“Lalu, sekarang bagaimana?”
desis Agung Sedayu.
“Kita kejar,” sahut Swandaru.
“Sangat berbahaya bagi kalian.
Ki Tambak Wedi sangat licik dan curang. Ia menyerang dari jarak jauh dengan
tiba-tiba. Mungkin dari balik gerumbul, mungkin dari atas dahan pohon
buah-buahan yang cukup besar,” potong Ki Tanu Metir.
“Lalu apakah yang akan kita
kerjakan?” bertanya Swandaru kepada gurunya.
“Tunggu sebentar. Mungkin ada
perkembangan baru.”
“’Kalau tidak?” desak anak
yang gemuk itu.
“Kita terpaksa harus sangat
berhati-hati. Kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa.”
“Jadi kita biarkan mereka
melarikan diri?”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Ditatapnya pategalan yang berwama kelam itu, seolah-olah ingin
dilihatnya segenap isi yang ada di dalamnya. Ingin dilihatnya tiga orang yang
sedang mengendap-endap menyembunyikan dirinya, tetapi siap untuk menyerang dengan
licik dan curang.
“Bagaimana, Guru?” bertanya
Swandaru.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat merasakan betapa dendam membara di dada muridnya itu.
Sidanti telah pernah membuat keluarganya pening karena hilangnya Sekar Mirah.
Hampir-hampir ibunya menjadi putus asa dan ayahnya kehilangan akal. Tetapi
orang tua itu tidak dapat membiarkan muridnya diseret oleh arus perasaannya
sehingga menghilangkan sendi-sendi perhitungan yang wajar.
Tiba-tiba Ki Tanu Metir itu
bergumam, “Kalau saja pamanmu Sumangkar hadir di sini.”
“Kenapa?”
“Kami akan dapat menangkap
iblis itu. Bahaya yang kami hadapi tidak akan begitu mengkhawatirkan.”
“Tetapi paman Sumangkar tidak
hadir di sini.”
“Aku heran, kenapa mereka
tidak berada di sini. Juga angger Widura tidak ada di sini.” Orang tua itu
berhenti sejenak, lalu diteruskannya, “Mungkin mereka berada di ujung pategalan
yang lain. Suara panah sendaren yang kita dengar tidak berasal dari sini,
tetapi berasal dari ujung pategalan yang lain.”
“Apakah mereka berada di
sana?” bertanya Agung Sedayu.
“Mungkin.”
“Licik,” desis Swandaru.
“Agaknya ketiga orang itu telah menghindar pula dari tempatnya semula.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia berkata, “Sangat berbahaya untuk
mendekati pategalan itu. Justru karena Ki Tambak Wedi yang licik dan memiliki
kecakapan membidik. Kelak, kalau Angger Agung Sedayu dapat memanfaatkan
kecakapannya, maka aku kira kau tidak akan kalah dari Ki Tambak Wedi.
Swandaru berpaling ke arah
saudara seperguruannya. Sekilas diingatnya saat-saat Agung Sedayu menunjukkan
kecakapan memanah di muka banjar kademangan. Namun tiba-tiba terdengar anak
yang gemuk itu berdesis, “Tetapi Ki Tambak Wedi tidak mempergunakan anak panah
dan busur.”
“Angger Agung Sedayu pun mampu
berbuat seperti itu,” sahut Ki Tanu Metir, “tetapi angger Agung Sedayu masih
harus melatih mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya,
supaya kekuatan lemparannya menjadi semakin besar. Apabila latihan itu sudah
mendekati kesempurnaannya kelak, maka ia tidak akan kalah dari Ki Tambak Wedi.
Angger Agung Sedayu dapat melempar dan mengenai batu yang sedang dilontarkan di
udara. Apalagi mengenai tubuh sebesar tubuh-tubuh kita ini.”
Swandaru
mengangguk-angguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya pada keterangan itu. Memang,
Agung Sedayu mempunyai kecakapan membidik yang luar biasa.
Namun tiba-tiba tersentak
Swandaru itu bertanya, “Bagaimana dengan Ki Tambak Wedi?”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya lambat, “Terpaksa, Ngger.”
“Terpaksa kita lepaskan?”
Ki Tanu Metir menganggukkan
kepalanya.
“Bagaimana mungkin Kiai,”
sahut Swandaru. “Kita sudah berdiri berhadapan. Kita akan mendapat kesempatan
yang baik. Di saat-saat yang lain kita belum pasti akan menemukan kesempatan
yang serupa ini, atau bahkan karena kelicikannya kita akan dapat ditelannya.”
“Berbahaya, Ngger, berbahaya
bagimu dan bagi Angger Agung Sedayu. Kalau aku yakin mampu melindungi kalian
dari gelang-gelang besi itu, maka aku tidak akan berkeberatan. Tetapi bagaimana
kalau aku gagal? Apakah aku harus mengorbankan murid-muridku? Di dalam
pategalan itu akan terasa lebih gelap lagi daripada di tempat yang terbuka.
Mata Ki Tambak Wedi adalah mata yang sangat tajam, setajam hidung serigala.”
Swandaru tidak menjawab,
tetapi terdengar ia menggeram. Bukan saja Swandaru Geni, tetapi juga Agung
Sedayu menjadi sangat kecewa. Tetapi mereka dapat mengerti alasan gurunya.
Alasan keselamatan, justru keselamatan mereka sendiri.
Sejenak mereka berdiri diam
sambil memandangi pategalan yang kelam itu. Sejenak mereka membiarkan diri
mereka disapu oleh angin malam yang dingin. Lamat-lamat terdengar cengkerik dan
bilalang berderik bersahut-sahutanan.
“Kita tidak dapat berdiri saja
di sini semalam suntuk,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
Swandaru dan Agung Sedayu
serentak berpaling ke arah gurunya. Mereka seakan-akan baru saja terbangun dari
tidur mereka yang dibayangi oleh mimpi yang mengecewakan.
“Kita teruskan perjalanan.
Mungkin kita bertemu dengan pamanmu Sumangkar dan Angger Widura.”
Ki Tanu Metir tidak menunggu
jawaban kedua muridnya. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati kudanya, diikuti
oleh murid-muridnya.
“Marilah,” berkata orang tua
itu sambil meloncat keatas punggung kudanya.
“Kalian berada di depan. Kita
akan berbelok ke barat. Kalau Tambak Wedi itu masih ada di sudut pategalan itu,
ia akan melempar punggung kita. Biarlah aku yang berada di paling belakang.”
Kedua muridnya itu pun segera
meloncat ke punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian mereka telah
menghadap ke barat. Mereka akan segera memacu kuda mereka menyusur jalan yang
membujur tidak jauh dari pategalan itu. Tetapi jarak antara pategalan dan jalan
itu menjadi semakin lama semakin jauh. Sehingga lemparan Ki Tambak Wedi sudah
tidak akan terlampau berbahaya lagi, seandainya ia masih juga ingin menyerang
sambil bersembunyi di pategalan itu.
Sejenak kemudian suara
kaki-kaki kuda itu telah membelah sepi malam. Berderap melepaskan debu yang
putih. Angin yang silir terasa menyusup kulit. Dingin. Namun panas di dalam
dada mereka telah menghangatkan seluruh tubuh.
Mereka tidak memerlukan waktu
yang lama untuk sampai ke ujung pategalan yang lain. Tetapi mereka sama sekali
tidak menemukan seorang pun di sana. Meskipun demikian orang tua itu bergumam,
“Di sini aku melihat bekas pertempuran.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka melihat batang-batang padi yang terinjak
kaki-kaki kuda. Mereka melihat rerumputan yang bosah-baseh.
“Agaknya terjadi perkelahian
kecil di sini,” desis Ki Tanu Metir, “tetapi tidak terlalu lama. Entahlah,
mungkin terjadi juga perkelahian di dalam pagar pategalan itu.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu bagaimana dengan kita?” bertanya Agung
Sedayu.
“Menurut perhitunganku, Angger
Widura dan Adi Sumangkar telah sampai ke tempat ini, dan Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya melarikan diri, justru ke arah timur.”
“Ya, arah yang terlindung,”
sahut Swandaru.
“Tak ada pekerjaan lain,”
gumam Ki Tanu Metir, “kita akan kembali ke kademangan.”
Kedua muridnya tidak segera
menyahut.
“Mungkin kita akan dapat
mendengar beberapa persoalan yang terjadi di sini,” berkata Ki Tanu Metir pula.
Kedua muridnya pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Terdengar Agung Sedayu berdesis, “Marilah,
Guru.”
Mereka bertiga segera
meninggalkan tempat itu. Mereka mencoba untuk mengikuti jejak kaki-kaki kuda
yang terdahulu. Mereka menyangka, bahwa jejak itu adalah jejak kaki-kaki kuda
Widura dan beberapa orang prajurit pilihan, mungkin bersama Sumangkar pula.
Tetapi malam masih gelap,
sehingga mereka akhirnya tidak telaten lagi memperhatikan jejak-jejak kuda itu.
“Kita cari jalan memintas.
Kita akan sampai juga ke kademangan.” gumam Ki Tanu Metir.
“Jalan inilah yang terdekat
Kiai,” sahut Swandaru.
“Oh.”
Dan kuda itu berderap terus.
Tetapi kini menjadi semakin cepat. Mereka tidak menghiraukan lagi, apakah
jejak-jejak kaki kuda-kuda yang terdahulu itu menempuh jalan lain.
Di sela-sela derap kaki-kaki
kuda itu terdengar suara Ki Tanu Metir, “Sayang kita terlambat. Seandainya kita
datang sebelum perkelahian itu berakhir, maka kita akan dapat membantu mereka.
Bahkan mungkin kita akan sempat menangkap Ki Tambak Wedi.”
Kedua muridnya tidak menyahut,
tetapi penyesalan yang serupa merayapi dada mereka pula. Namun semuanya telah
terjanjur terjadi. Ki Tambak Wedi ternyata masih sempat melarikan dirinya. Dan
petualangannya ternyata masih akan berkepanjangan.
Sementara itu Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya telah semakin dalam terbenam ke dalam pategalan yang
rimbun itu. Beberapa saat kemudian, ketika mereka yakin bahwa Ki Tanu Metir dan
murid-muridnya sudah tidak mengejarnya lagi, mereka pun segera berhenti. Meskipun
mereka sama sekali tidak menjadi lelah karena perjalanan yang tidak
menyenangkan itu, namun nafas mereka pun menjadi terengah-engah. Berbagai
perasaan yang bergolak dalam dada merekalah yang menyebabkan nafas mereka
terasa menjadi sesak.
Ki Tambak Wedi berdiri tegak
dengan wajah yang berkerut-merut. Di dalam dadanya bergolaklah berbagai macam
persoalan. Persoalan yang sedang dihadapinya kini, melepaskan diri dari
orang-orang yang sangat dibencinya, Ki Tanu Metir dan Sumangkar, dan persoalan
Sidanti dan Argajaya. Mereka tidak dapat membiarkan diri mereka hanyut dalam
arus ketidak-tentuan dan kembara seperti dirinya sendiri. Kedua orang itu
merasa mempunyai daerah yang cukup mapan, Menoreh.
Tetapi setiap kali Ki Tambak
Wedi mengenangkan daerah itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah ia akan
bersedia mengikuti keinginan Sidanti dan Argajaya untuk kembali ke Menoreh
dalam keadaannya itu?
Ki Tambak Wedi itu terkejut
ketika ia mendengar Sidanti bertanya, “Bagaimana, Guru? Kita sudah terlampau
lama bergelandangan tidak menentu. Keadaan kita sudah tidak lebih baik dari
seorang pengemis atau seorang pencuri ayam. Pakaianku sudah tidak mapan lagi
dan noda-noda darah ini masih belum bersih benar. Sobek-sobek oleh goresan
pedang dan duri. Apakah kita masih akan memperpanjang masa-masa penyiksaan ini?
Sedang aku masih mempunyai teman yang cukup baik untuk berlindung, bahkan untuk
pancadan lebih lanjut?”
Ki Tambak Wedi dapat mengerti
perasaan muridnya. Ia adalah anak yang manja, yang telah terbiasa hidup dalam
keadaan yang baik. Meskipun ada juga darah petualangan yang mengalir di dalam
dirinya, namun selama ia masih merasa ada daerah yang lebih baik bagi dirinya,
maka tidak dapat disalahkannya apabila ia ingin untuk kembali. Tetapi bukan
saja karena itu, bukan saja karena Sidanti tidak tahan lagi mengalami
keadaannya kini. Namun lebih daripada itu ia merasa bahwa ia akan mampu
menyusun kekuatan untuk menebus segala kekalahan yang pernah dideritanya.
Kekalahan yang paling pahit dalam umurnya yang masih cukup muda itu. Ia telah
kehilangan segalanya yang dicita-citakannya. Kedudukan dan seorang gadis, Sekar
Mirah.
“Bagaimana, Guru,” desak
Sidanti.
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ternyata ia tidak dapat berbuat lain, betapapun beratnya.
Berat sekali, dan tidak seorang pun yang dapat ikut merasakan, betapa hatinya
tersiksa karenanya.
Namun Ki Tambak Wedi masih
belum segera menjawab. Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang sedang
bergelora. Gelora yang seolah-olah menghantam dinding-dinding jantungnya dari
segala arah. Kekalahan yang dideritanya, dan Bukit Menoreh yang mendebarkan.
“Apakah ada pilihan lain yang
lebih baik, Guru?” bertanya Sidanti hampir tidak sabar.
Ki Tambak Wedi menggelengkan
kepalanya. Desisnya, “Tidak Sidanti. Aku tidak mempunyai pilihan lain.
Padepokanku sendiri telah hancur menjadi debu. Aku sudah tidak mempunyai
landasan lain yang dapat aku pergunakan untuk memulai setiap usaha yang akan
dapat bermanfaat bagimu.”
“Kalau demikian, maka tidak
akan ada jalan lain kecuali kembali ke Menoreh,” potong Argajaya.
Dengan ragu-ragu Ki Tambak
Wedi menganggukkan kepalanya. “Tidak ada jalan lain.”
“Tetapi, Guru masih ragu-ragu,”
berkata Sidanti.
“Memang tidak ada jalan lain,”
gumam Ki Tambak Wedi seolah-olah kepada diri sendiri. “Betapa sulitnya jalan
itu, tetapi harus aku tempuh. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan dengan baik
tanpa ada hambatan.”
Sidanti dan Argajaya menjadi
heran. Mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar pada Ki Tambak Wedi. Tetapi
mereka akhirnya mengambil kesimpulan bahwa Ki Tambak Wedi sedang menyesali
kegagalannya. Ia merasa bersalah terhadap Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, bahwa ia tidak berhasil dengan Sidanti sesuai dengan keinginannya.
“Guru tidak usah merisaukan
aku,” berkata Sidanti kemudian. “Ayah harus tahu apa yang terjadi. Ayah tidak
akan dapat berbuat lain. Aku adalah satu-satunya putra laki-laki. Dan aku
adalah seorang yang kelak akan mengganti kedudukannya.”
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi
berpaling, seakan-akan disembunyikannya wajahnya di dalam kegelapan. Terdengar
sebuah keluhan yang panjang meluncur dari hidung orang tua itu.
“Aku menjadi saksi,” berkata
Argajaya. “Aku dapat menjelaskan apa yang terjadi.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kini ia tidak lagi berdiri menghadap
kepada Sidanti dan Argajaya. Pandangan matanya seakan-akan dilemparkannya
jauh-jauh ke dalam kelamnya malam.
“Kegagalan ini tidak akan
dapat aku lupakan,” keluh orang tua itu. Dan tiba-tiba seperti orang yang
menyesal sekali ia bergumam, “Perempuan keparat itu adalah sumber dari
kehancuran kita Sidanti. Apakah kata ayahmu tentang kelakuanmu itu nanti.
Tentang usahamu melarikan seorang gadis?”
Sebuah dentangan yang keras
menghantam jantung Sidanti. Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika keluhan itu
akan keluar dari mulut gurunya, meskipun gurunya membenarkannya ketika Sidanti
menyatakannya. Bahkan gurunya mengijinkannya ketika ia mengambil sikap itu.
Ketika ia mengambil Sekar Mirah dari Sangkal Putung.
“Kiai,” terdengar suara
Argajaya dalam nada yang berat, “Kakang Argapati tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi di Tambak Wedi. Ia tidak tahu bahwa kekalahan Sidanti di Tambak Wedi
bersumber pada perempuan celaka itu.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak yakin akan hal itu. Katanya
perlahan, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan Argapati tidak tahu. Mudah-mudahan ia
tidak mendengar berita apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi Argapati bukan
anak-anak. Ia adalah seorang yang dapat disejajarkan dengan Ki Gede Pemanahah,
Kiai Gringsing, Sumangkar, Ki Patih Mantahun, dan beberapa pemimpin Pajang yang
lain.”
“Tetapi Guru tidak menyebut Ki
Tambak Wedi.”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menyahut. Pandangan matanya masih tersangkut pada kegelapan malam. Sekali ia
melangkah maju, tidak dirasakannya ketika kakinya menginjak duri daun nanas di
bawah telapak kakinya.
Namun akhirnya ia berkata,
“Baiklah, Sidanti. Tidak ada jalan lain. Marilah kita pergi ke Menoreh. Kita
melintas Hutan Mentaok dan kau akan masuk ke tanah perdikanmu sebagai seorang
anak yang pulang kepada ayahnya. Seorang anak yang polah, dan aku mengharap
bahwa Argapati akan menjadi seorang ayah yang pradah.”
Sikap Ki Tambak Wedi
benar-benar mengherankan Sidanti dan Argajaya. Tanpa menunggu jawaban apapun,
Ki Tambak Wedi segera melangkahkan kakinya, menembus semak-semak dan tetumbuhan
yang rimbun di pategalan itu.
Sidanti dan Argajaya pun
segera mengikutinya. Sejenak mereka berjalan terloncat-loncat. Keduanya sama
sekali tidak segera dapat bertanya sesuatu oleh kekaburan sikap Ki Tambak Wedi
itu.
Tersuruk-suruk mereka
menerobos pohon-pohon buah-buahan yang rendah dan kemudian meloncati
batang-batang tales dan ubi panjang. Disasaknya batang-batang nyidra dan garul
sehingga berserakan terinjak oleh kaki-kaki mereka. Mereka sama sekali tidak
berusaha untuk menyembunyikan jejak-jejak mereka.
Sekali terbersit pula ingatan
di kepala Sidanti untuk menghindari kemungkinan, orang-orang Pajang akan
mengikuti jejaknya. Tetapi segera teringat olehnya, bahwa kali ini akan
menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Melintasi beberapa kademangan, kemudian
Alas Tambak Baya, Mentaok dan beberapa pedukuhan kecil.
“Menoreh,” Sidanti berdesis di
dalam hatinya, “tanah yang telah cukup lama aku tinggalkan untuk merantau.
Ketika aku tinggalkan tanah itu aku telah dibekali oleh ayah dengan cita-cita.
Tetapi di rantau aku telah menemui kegagalan. Apakah ayah akan berdiam diri dan
berpangku tangan melihat kegagalan ini? Bukan sekedar kegagalan, tetapi harga
diriku telah terinjak-injak pula di Sangkal Putung dan di Tambak Wedi.”
Terdengar anak muda itu
menggeram. Dikepalkannya tinjunya seolah-olah hendak diremasnya leher
lawan-lawannya. Namun yang tergenggam olehnya hanyalah sehelai daun yang kuning
yang direnggutkannya dari sebatang pohon perdu.
Yang terdengar kemudian adalah
langkah-langkah mereka gemerisik menyentuh dedaunan. Kemudian di kejauhan
terdengar suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
Ketika mereka bertiga, Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menengadahkan kepala mereka, maka tampaklah
seolah-olah langit di ujung timur sedang terbakar.
“Fajar,” desis Ki Tambak Wedi.
“Ya,” hampir berbareng Sidanti
dan Argajaya menyahut.
“Apabila pagi menjadi semakin
terang, maka kita harus sudah menjauhi induk kademangan. Mungkin kita harus
bersembunyi, atau berjalan di pategalan supaya tidak menumbuhkan kecurigaan
orang,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
Sidanti dan Argajaya
menganggukkan kepala mereka. Tiba-tiba saja kini mereka merasa sebagai
orang-orang buruan yang harus meninggalkan tempatnya dengan penuh ketakutan dan
kecemasan. Dengan demikiam maka Sidanti merasa dirinya semakin parah. Hatinya
menjadi semakin sakit.
Langkah mereka bertiga semakin
lama menjadi semakin cepat. Sejenak kemudian mereka telah menyusur pematang
memotong jalan. Ketika fajar menjadi semakin terang, maka mereka telah memasuki
sebuah pedesaan kecil.
“Aku memerlukan ganti
pakaian,” desis Sidanti tiba-tiba. “Noda-noda darah yang kehitam-hitaman pada
pakaianku akan menimbulkan kecurigaan.”
Gurunya menganggukkan
kepalanya. Pakaian mereka benar-benar telah menjadi lusuh dan kotor. Mereka tak
ubahnya sebagai perantau miskin yang tidak sempat berganti dan mencuci pakaian
yang hanya melekat ditubuh mereka itu saja. Kotor dan buram.
“Hanya bajumu yang perlu
diganti,” sahut gurunya.
“Aku tidak tahan. Pakaianku
telah berbau seluruhnya,” jawab Sidanti.
“Suatu penyamaran yang baik.
Tidak seorang pun akan memperhatikan kita.”
“Ya,” tiba-tiba Argajaya
menyambung, “kita tidak akan segera diperhatikan orang. Orang-orang yang
berjumpa dengan kita pasti akan menyangka bahwa kita adalah perantau-perantau
yang sedang mencari sesuap nasi pada daerah baru yang masih harus dicari.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Lalu katanya, “Baiklah, aku akan mencari ganti baju.”
Ternyata Sidanti tidak
terlampau susah untuk mendapatkan baju. Dimasukinya saja sebuah rumah yang
dilewatinya. Langsung dimitanya sepotong baju untuknya. Ketika orang yang
mempunyai rumah itu menyatakan keberatannya, maka dalam waktu sekejap tangannya
telah terpilin dan lehernya menjadi terlampau sakit karena terkaman jari-jari
Sidanti.
Perjalanan mereka selanjutnya
adalah perjalanan tiga orang perantau miskin yang berpakaian kusut dan kumal.
Mereka berjalan menyusur jalan-jalan yang sepi, sejauh mungkin bertemu dengan
seseorang. Meskipun orang-orang itu tidak akan dapat mengenal mereka, tetapi
setiap tatapan mata seolah-olah melontarkan ejekan yang sangat menyakitkan hati.
Sehingga setiap kali, setiap mereka bertemu dengan seseorang yang memandangi
wajah-wajah mereka dengan heran, Sidanti selalu saja menjadi marah.
Kadang-kadang orang itu dipukulnya tanpa sebab.
“Jangau menuruti kemarahan
hati, Sidanti,” gurunya sering memperingatkannya. “Kau akan membuat perjalanan
ini menjadi gagal pula.”
“Kenapa?” bertanya Sidanti.
“Orang-orang yang kau sakiti
akan menaruh banyak sekali perhatian atas kita. Bukankah dengan demikian kau
telah meninggalkan petunjuk-petunjuk bagi orang-orang yang ingin mengikuti
jejak kita.”
“Apa keberatannya? Kita akan
pergi ke Menoreh. Sebentar lagi kita akan berada di antara orang-orang kita
sendiri. Di antara pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang tidak kalah
tangkasnya dari prajurit-prajurit Pajang. Bahkan hampir setiap laki-laki di
Menoreh mampu mempergunakan senjata.”
“Tetapi sekarang kita belum
sampai ke Menoreh. Kita masih di perjalanan. Kita belum berada di antara para
pengawal dan anak-anak muda Menoreh yang perkasa.”
“Apa yang Guru cemaskan?”
“Setan-setan dari Sangkal
Putung dapat saja memburu kita. Sumangkar, Kiai Gringsing, Swandaru, Agung
Sedayu, bahkan mungkin Widura dan prajurit-prajuritnya.”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi
terasa hatinya melonjak. Benar-benar menyakitkan hati.
“Aku harus menebus segala
kekalahan ini. Segala sakit hati dan segala penghinaan,” katanya di dalam hati
“Ternyata Guru cukup bijaksana. Tidak ada gunanya aku mati karena terlampau
keras kepala, tidak melihat kenyataan bahwa perlawananku tidak berguna. Adalah
lebih baik menyingkir untuk datang kembali dengan membawa kemenangan.”
Langkah-langkah mereka pun
semakin lama menjadi semakin cepat. Mereka memilih jalan-jalan pematang dan
sidatan-sidatan kecil. Yang terpateri di dalam kepala Sidanti adalah,
secepat-cepatnya sampai ke Menoreh, dan secepat-cepatnya menghimpun kekuatan
untuk kembali membalas sakit hatinya atas Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru.
Kemudian akan digilasnya Sangkal Putung. Apabila mungkin untuk merebut tanah
perbekalan dan sekaligus Sekar Mirah.
Sidanti mengangkat wajahnya
ketika ia mendengar Argajaya berkata, “Tetapi kita tidak akan dapat memasuki
daerah Menoreh dengan keadaan seperti ini. Aku adalah adik Kepala Tanah
Perdikan dan Sidanti adalah puteranya.”
Ki Tambak Wedi tidak
menanggapi kata-kata Argajaya. Meskipun demikian ia dapat mengerti sepenuhnya.
Argajaya ingin perjalanannya tidak terganggu, supaya mereka segera sampai ke
Menoreh. Karena itu maka pakaiannya yang kumal itu akan menolong mereka,
melepaskan dari segenap perhatian orang yang mungkin akan menghambat
perjalanan. Tetapi Argajaya tidak mau memasuki Tanah Perdikannya dengan
keadaannya. Ia harus masuk ke daereh itu dengan sikap seorang besar. Orang
kedua di Tanah Perdikan Menoreh.
“Ia tidak akan menemu
kesulitan apa-apa untuk berbuat demikian,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam
hatinya. “Di perjalanan mereka akan mendapatkan apa yang diingininya. Kalau
Argajaya dan Sidanti ingin berganti pakaian yang, bagaimanapun juga, maka
disepanjang jalan pasti telah disediakan untuk mereka.”
Karena Ki Tambak Wedi tidak
menyahut, maka Argajaya pun terdiam pula. Sejenak mereka berjalan sambil
berdiam diri. Meskipun di dalam dada mereka bergolak berbagai macam perasaan
yang kadang-kadang sangat menggefisahkan dan menyakitkan hati.
Namun tiba-tiba kediaman itu
dipecahkan oleh pertanyaan Sidanti kepada Argajaya, “Paman, apakah Paman akan
singgah di Prambanan? Di sana paman akan mendapatkan apa saja yang Paman
kehendaki.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Di Prambanan ia memang akan mendapat apa saja yang dikehendaki. Di
Prambanan ada orang-orang yang akan menyambutnya dengan senang hati. Bahkan
para piajurit Pajang pernah berada di pihaknya ketika ia berkelahi melawan anak-anak
muda yang membuatnya marah. Tetapi seorang dari anak-anak muda yang membuatnya
marah itu, yang menyebut dirinya bernama Sutajia, adalah Sutawijaya. Ia tidak
mampu mengalahkannya, bahkan ia mendapat malu karenanya.
“Para prajurit itu akan
berpendirian lain seandainya mereka mengetahui bahwa anak itu adalah putera Ki
Gede Pemanahan,” desisnya. “Gila, aku tidak mengetahuinya sebelumnya,
seandainya aku tidak mendengar tentang anak itu di padepokan Tambak Wedi.”
“Bagaimana, Paman?” bertanya
Sidanti.
Argajaya menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Dalam keadaanku ini, aku tidak akan singgah di Prambanan.”
“Kenapa?” bertanya Sidanti
pnla.
Argajaya tidak segera
menjawab. Dan Sidantilah yang menyambung kata-katanya, “Paman akan banyak
mendapat kesempatan. Aku kira anak-anak gila itu sudah tidak berada di
Prambanan lagi. Bukankah mereka berada di Sangkal Putung bersama gurunya?”
“Aku tidak memerlukan
Prambanan lagi.”
“Paman akan mendapatkan apa
saja. Kalau Paman ingin pakaian maka di Prambanan ada pakaian yang paling baik
yang kita kehendaki. Kalau Paman ingin melepaskan kejengkelan hati, di
Prambanan Paman akan mendapat sasaran. Bahkan aku pun ingin memutar
batang-batang leher sebagian dari anak-anak muda Prambanan yang sombong seperti
yang Paman katakan.”
Argajaya tidak menjawab.
Tetapi yang terdengar adalah suara Ki Tambak Wedi, “Kau masih juga ingin
membuat persoalan dengan orang-orang yang sama sekali tidak bersangkut paut
dengan kegagalanmu Sidanti. Dengan demikian kau akan mempersempit kemungkinan
bagi dirimu sendiri. Kalau kesan terhadapmu baik, maka kau akan banyak mendapat
bantuan dari orang-orang Prambanan apabila kau perlukan. Tetapi kalau kesan
terhadap dirimu jelek, maka Prambanan akan menjadi musuh yang kuat bagimu.
Prambanan akan segera berdiri berhadapan dengan Menoreh. Meskipun kekuatan
Menoreh berlipat dibandingkan dengan Kademangan Prambanan, tetapi apabila
Prambanan kelak berdiri berseberangan dengan Menoreh, maka kademangan itu akan
merupakan gangguan yang besar. Tetapi kalau secara perlahan-lahan kademangan
itu dapat kau pengaruhi, maka kedudukan Untara segera akan goyah.”
Sidanti tdak menjawab. Ia
dapat mengerti keterangan gurunya. Meskipun demikian masih juga tumbuh di dalam
dirinya, keinginan untuk melepaskan sakit hatinya. Kepada siapa pun dan kepada
apa pun. Namun dengan sekuat tenaga ditahankannya. Disimpannya sakit hatinya
itu untuk kelak ditumpahkannya kepada Untara, Agung Sedayu, Swandaru, Widura,
dan Demang Sangkal Putung.
Sekali lagi mereka tenggelam
dalam kebisuan. Langkah-langkah mereka sajalah yang terdengar gemerisik
menyentuh daun-daun kering yang bertebaran di jalan sempit yang mereka lalui.
Sekali dua kali mereka bertemu juga dengan orang-orang yang memanggul cangkul
di bahunya. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikannya.
Perjalanan yang akan mereka
tempuh bukanlah perjalanan untuk sehari itu saja. Tetapi mungkin empat hari
atau sepekan. Mereka harus menembus berbagai macam hutan. Hutan-hutan yang
tidak begitu lebat sampai hutan bebondotan. Hutan yang paling liar. Besok
mereka akan mulai menyeberangi Alas Tambak Baya, kemudian yang lebih lebat lagi
adalah pusat Alas Mentaok.
Sememara itu di Kademangan
Sangkal Putung, beberapa orang sedang berbincang di Kademangan. Widura, Ki
Demang Sangkal Putung, Sumangkar, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru
dan beberapa orang pemimpin yang lain. Berbagai kemungkinan telah mereka
bicarakan. Mereka telah mendengar pengalaman masing-masing semalam. Dengan
bahan itulah maka mereka mencoba mengurai keadaan.
“Apakah mereka kira-kira masih
akan berkeliaran di sekitar Sangkal Putung ini?” bertanya Ki Demang.
Widura mengerutkan keningnya.
Dengan nada dalam ia berkata, “Bukankah Ki Tambak Wedi telah bertemu dengan Ki
Sumangkar dan Kiai Gringsing semalam meskipun tidak dalam waktu yang
bersamaan?”
“Ya,” jawab Sumangkar dan Kiai
Gringsing hampir berbareng.
“Dengan demikian, maka
pandangan Ki Tambak Wedi atas Sangkal Putung akan segera berubah. Sangkal
Putung bukan lagi sasaran yang terlampau lunak bagi mereka. Tidak lagi sebagai
kandang domba bagi tiga ekor serigala yang paling buas.”
Sumangkar dan Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahkan Swandaru, Agung Sedayu, Ki Demang
Sangkal Putung, dan orang-orang yang lain pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka pula. Mereka dapat mengerti jalan pikiran Widura. Bahkan mereka pun
dapat menduga, bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya pasti harus
mempertimbangkan sekali lagi manfaat mereka untuk berada di sekitar Sangkal
Putung.
“Mereka akan segera pergi,”
Swandaru berkata langsung seperti apa yang dipikirkannya. “Mereka tidak akan
berani lagi berbuat sesuatu di Sangkal Putung.”
“Kita akan berlega hati,”
desis Ki Demang, “kademangan ini akan kembali menjadi tenteram. Bahkan seperti
saat-saat sebelum ada kerusuhan yang terjadi antara Pajang dan Jipang. Kini
tidak ada lagi orang-orang yang akan dapat mengganggu kita.”
“Aku merasa sayang,” sahut
puteranya yang gemuk, Swandaru, “sebenarnya aku masih mengharap mereka berotak
tumpul, dan masih saja berkeliaran di sini, sehingga suatu ketika kita akan
dapat menangkap mereka.”
“Mereka bukan keledai-keledai yang
terlampau bodoh,” berkata ayahnya. “Mereka adalah orang-orang yang cukup
mempergunakan otaknya, bahkan terlampau cakap, sehingga menjadi licik
karenanya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang kemungkinan terbesar yang terjadi adalah, Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya akan meninggalkan Sangkal Putung.
“Tetapi apakah kira-kira
mereka akan berbuat selicik itu pula di Jati Anom? Karena mereka menganggap
bahwa baik Ki Sumangkar maupun Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung maka
mereka akan segera melakukan pengacauan untuk menakut-nakuti prajurit Pajang di
Jati Anom.”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. “Aku kira tidak, Ngger. Hal itu tidak akan hanyak bermanfaat bagi
mereka. Kemungkinan yang terbesar, mereka akan segera pergi ke Menoreh. Sebab
Sidanti adalah putera Menoreh.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak ia berdiam diri, dan yang lain pun tidak segera menyahut
pula. Kini perhatian mereka melontar ke Perbukitan Menoreh, melintasi Hutan
Mentaok. Tanah Perdikan yang terbentang di sepanjang pegunungan Menoreh dan
dataran di sekitarnya. Membujur dari utara ke selatan. Daerahnya meliputi
pegunungan yang berbatu-batu, tetapi juga melingkupi daerah sawah yang hijau
subur, hutan yang rindang dan yang lebat, bahkan alas pingitan. Hutan
buah-buahan yang dipelihara dengan baik, dilindungi segala isinya, sampai pada
binatang-binatang yang menghuni di dalamnya.
Sidanti adalah putera Kepala
Tanah Perdikan yang besar itu. Putera Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.
Sejenak mereka yang berada di
dalam ruangan itu saling berdiam diri. Mereka disibukkan oleh angan-angan
masing-masing tentang segala macam kemungkinan tentang Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya, dan bahkan tentang Ki Gede Menoreh. Apakah kira-kira yang akan mereka
lakukan seterusnya? Seandainya tidak pernah terjadi sesuatu dengan Sidanti dan
Ki Tambak Wedi, maka mereka tidak akan berprasangka apa pun terhadap Argapati.
Tetapi apakah ia akan tetap berdiam diri seandainya Sidanti mengatakan apa yang
pernah dialaminya, dan bahkan mungkin kuntul dikatakan dandang, dandang
dikatakan kuntul? Yang putih dikatakan hitan yang hitam dikatakan putih?
Dalam kediaman itu terdengar
suara Widura, perlahan-lahan, “Sementara memang kita akan dapat mengambil
kesimpulan, bahwa Sidanti, guru dan pamannya itu akan kembali ke Menoreh.
Tetapi kita tidak akan kehilangan kewaspadaan. Setiap peronda masih akan
dilengkapi dengan panah sendaren dan kuda.”
“Tepat, Ngger,” sahut Kiai
Gringsing “akupun berpendapat seperti itu. Meskipun kemungkinan terbesar,
mereka akan pergi ke Menoreh, tetapi kita tidak boleh terjebak karena
angan-angan sendiri.”
Pertemuan itupun kemudian
berpendapat serupa. Peronda masih harus tetap berada dalam kewaspadaan
tertinggi.
Dalam pada itu, maka Kiai
Gringsing sendiri berpendapat, bahwa sudah sampai saatnya ia harus mulai dengan
sebuah perjalanan. Namun ia masih harus menunggu perkembangan keadaan. Ia masih
harus tinggal di Sangkal Putung untuk beberapa hari, untuk meyakinkan dirinya
bahwa Ki Tambak Wedi benar-benar telah meninggalkan kademangan itu dan tidak
pergi ke Jati Anom.
Demikianlah setelah pertemuan
itu Sangkal Putung sama sekali tidak mengurangi kesiagaannya. Setiap hari masih
saja dapat dilihat peronda-peronda berkuda dalam jumlah yang cukup untuk
menanggapi keadaan seandainya mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Mereka
masih juga selalu berada di atas punggung kuda dengan bekal panah-panah
sendaren. Setiap saat mereka akan mengirimkan isyarat apabila diperlukan.
Tetapi di hari-hari berikutnya
mereka tidak pernah menjumpai lagi orang yang selama ini selalu menghantui
Kademangan Sangkal Putung. Sehingga lambat laun, mereka semakin meyakini, bahwa
Ki Tambak Wedi telah pergi meninggalkan kademangan itu.
Meskipun demikian, betapapun
Swandaru dan Agung Sedayu kadang-kadang diganggu oleh kegelisahan tentang
padesan di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh Ki Tambak Wedi, terutama
Prambanan, namun Ki Tanu Metir masih merasa perlu untuk beberapa lama menunggu.
Ternyata Ki Tanu Metir tidak
saja sekedar meyakinkan dirinya bahwa Ki Tambak Wedi telah tidak ada di Sangkal
Putung, tetapi yang lebih panting baginya adalah membentuk Agung Sedayu dan
Swandaru, sehingga kedua anak-anak muda itu benar-benar mencerminkan
perguruannya. Perlahan-lahan Kiai Gringsing mencoba untuk membiasakan kedua
anak-anak muda itu mempergunakan senjata sejenis senjatanya. Tetapi Ki Tanu
Metir tidak ingin melepas pedang-pedang itu dari lambung murid-muridnya. Bahkan
Kiai Gringsing ingin murid-muridnya dapat mempergunakan senjata-senjata itu
berpasangan.
Itulah sebabnya maka setiap
malam Swandaru dan Agung Sedayu pasti berada di sekitar Gunung Gowok bersama
gurunya, Ki Tanu Metir. Bahkan sekali-sekali bersama Sumangkar dan Widura.
Mereka ingin juga menyaksikan kemajuan kedua anak-anak muda itu. Ingin melihat
keduanya tidak saja memutar pedangnya, tetapi sekali-sekali meletingkan cambuk
yang berpangkal pendek tetapi berjuntai cukup panjang, dan sekali-sekali mereka
bersenjatakan sebuah cemeti yang lentur.
Sebagai seorang paman Widura
berbangga melihat kemajuan Agung Sedayu. Kadang-kadang ia menahan tertawanya
seorang diri ketika ia tanpa sesadarnya mengenangkan masa-masa Agung Sedayu
untuk pertama kalinya datang ke kademangan ini. Kedatangannya benar-benar telah
mengejutkannya. Bagaimana mungkin Agung Sedayu seorang diri berani menempuh
perjalanan di malam hari dari Jati Anom sampai ke Sangkal Putung.
Namun di hari-hari kemudian,
dikenalnya Agung Sedayu itu seperti pada kanak-anaknya. Penakut yang tidak
tanggung-tanggung. Ia takut terhadap apa saja. Terhadap seseorang, terhadap
peristiwa-peristiwa yang dianggapnya terlampau keras dan terhadap gelap malam.
Semuanya itu membuatnya menjadi seorang anak muda yang lain dari anak-anak muda
sebayanya.
“Anak itu hampir membeku
dibentak-bentak oleh Sidanti,” desis Widura di dalam hatinya.
Tetapi Widura tidak pula dapat
menyembunyikan kekagumannya atas kemanakaanya itu. Meskipun ia tidak berani
berbuat sesuatu, meskipun ia tidak mampu untuk berbuat banyak, namun ia dapat
juga mempelajari ilmu tata bela diri. Ternyata otaknya cukup cerdas, dan cukup-
memiliki kemampuan untuk menerimanya. Bahkan yang tidak disangka-sangkanya,
Agung Sedayu mampu menyusun unsur-unsur tata bela diri di atas rontal.
Akhirnya dinding yang
mengungkungnya itu mampu dipecahkannya. Seperti telur yang sedang menetas, maka
meledaklah dinding yang selama ini mengurungnya di dalam suasana ketakutan.
Seperti anak ayam yang merangkak ke luar dari pecahan telurnya, Agung Sedayu
melihat keadaan di sekitarnya dalam penilaian yang wajar. Sehingga akhirnya
Agung Sedayu itu seakan-akan dilahirkan kembali. Lahirlah seorang Agung Sedayu
yang sekarang ini.
Widura menarik nafas panjang.
Ia terkejut ketika ia mendengar cambuk yang meledak berturut-turut beberapa
kali. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Agung Sedayu bersama Swandaru
sedang berlatih melawan gurunya. Widura mengangguk-anggukkan kepalanya melihat
kemanakannya mampu meloncat secepat burung sikatan, tetapi ia kagum juga
melihat tenaga Swandaru sekuat tenaga seekor gajah.
Kedua anak-anak muda itu kini
tidak saja bersenjata pedang, tetapi mereka menggenggam cambuk pula, justru di
tangan kanan dan pedang-pedang mereka di tangan kiri. Pasangan kedua senjata
itu ternyata cukup menggetarkan. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak,
namun sesaat kemudian maka pedang-pedang mereka telah terjulur lurus langsung
mengarah kedada lawan.
“Hem,” Widura menarik nafas
dalam-dalam. Katanya di dalam hatinya, “Aku sudah tidak akan dapat menyamai
anak-anak itu, Agung Sedayu dan Swandaru memiliki kekhususannya masing-masing,
Agung Sedayu menempatkan kekuatan geraknya pada kelincahan dan ketangkasannya,
sedang Swandaru mempercayakan kepada tenaganya yang bukan main besarnya. Namun
demikian Swandaru yang gemuk itu mampu juga bergerak cepat, meskipun memiliki
beberapa perbedaan yang khusus dengan kecepatan gerak Agung Sedayu.”
Namun dalam pengamatan Widura,
meskipun mereka berguru kepada seorang guru, tetapi terpengaruh oleh bekal,
darah yang mengalir di dalam tubuh mereka, ternyata Agung Sedayu masih
mempunyai beberapa kelebihan dari saudara muda seperguruannya. Meskipun agaknya
Kiai Gmgsing tidak membedakan keduanya, tetapi perkembangan mereka sendiri
serta bekal yang mereka bawa sejak mereka berguru kepada orang tua itulah yang
telah menentukan.
Demikianlah yang terjadi
beberapa hari kemudian. Ketekunan Swandaru dan Agung Sedayu ternyata telah banyak
bermanfaat bagi mereka. Hari-hari yang pendek itu telah mereka pergunakan
sebaik-baiknya. Baik oleh Swandaru dan Agung Sedayu sendiri, maupun oleh
gurunya. Beberapa unsur baru dan bahkan yang masih dalam penyusunan telah
dicobakannya pula.
Karena di hari-hari itu tidak
ada kerja yang lain daripada memperdalam ilmunya, maka di saat-saat yang pendek
itu, mereka telah mendapatkan beberapa kemajuan yang dapat memberi kebanggaan
kepada mereka. Menambah ketabahan hati seandainya mereka bertemu dengan bahaya
di sepanjang jalan. Ki Tanu Metir pun merasa, bahwa kini sudah sampai saatnya
kedua muridnya itu dibawanya untuk mengenal perjalanan. Tidak seperti anak-anak
nakal yang berjalan sekehendak hati dan berbuat tanpa kendali, tetapi
perjalanan itu akan diawasinya sendiri.
“Kita sudah cukup lama
meyakinkan diri kita, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi telah benar-benar tidak
berada di sekitar daerah ini, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir kepada kedua
muridnya. “Karena itu, maka aku kira, kita sudah sampai waktunya untuk mencoba
sebuah perjalanan. Perjalanan yang akan banyak memberikan pengalaman bagi
kalian.”
Hati kedua muridnya itu
tiba-tiba melonjak. Saat-saat itulah yang mereka tunggu. Sebuah perjalanan.
Bukan sekedar sebuah perjalanan, tetapi mereka ingin juga mengikuti jejak
perjalanan Ki Tambak Wedi. Mereka ingin tahu apakah yang sudah dilakukannya di
sepanjang jalan dari Sangkal Putung sampai kebukit Menoreh.
“Kita akan berjalan ke barat,”
berkata Ki Tanu Metir, “melintasi Hutan Tambak Baya dan Mentaok yang lebat dan
berbahaya. Tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah justru apabila kita telah
lepas dari hutan-hutan itu dan menginjakkan kaki kita di Tanah Perdikan
Menoreh.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan
gurunya. Betapa besar bahaya yang akan mereka hadapi di hutan Mentaok, namun
menurut penilaian mereka maka bahaya itu akan dapat mereka atasi. Seandainya di
hutan itu masih juga ada penyamun-penyamun karena Daruka tidak menepati
janjinya, maka penyamun-penyamun itu pun menurut perhitungan lahiriah, pasti
akan dapat dilawannya. Seandainya mereka bertemu dengan binatang-binatang buas
pun, maka mereka tidak perlu menjadi gentar.
Tetapi apabila mereka kemudian
keluar dari hutan yang lebat itu dan kemudian menginjakkan kaki-kaki mereka di
telatah Menoreh, maka yang dihadapinya adalah Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya. Bahkan kemungkinan mereka akan berhadapan juga dengan Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh. Lalu bagaimanakah dengan pasukan-pasukan mereka,
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa?
Bagaimanapun juga, tetapi dada
anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar juga.
“Tetapi Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya bertiga berani juga berada di sekitar Sangkal Putung,”
desis Agung Sedayu di dalam hatinya. “Di Menoreh kita akan berbuat serupa
dengan mereka di sini. Sudah tentu tidak dengan kelicikan-kelicikannya yang
tidak berperikemanusiaan.”
Kedua anak muda itu kemudian
mendengar gurunya berkata, “Kita tetapkan, kapankah kita berangkat?”
“Terserahlah kepada Kiai,”
jawab Agung Sedayu.
“Kalian perlu menyiapkan
diri.”
“Apakah yang harus kami
persiapkan?” bertanya Swandaru.
“Diri kalian sendiri. Kalian
harus mengatur perasaan dan nalar. Mempersiapkan segala perhitungan yang mapan
Kalian harus dapat membayangkan apa saja yang kira-kira terjadi di perjalanan
supaya kalian tidak kehilangan akal apabila tiba-tiba saja kalian menghadapi
bahaya yang cukup besar.”
“Aku sudah siap sejak lama,
Guru,” sahut Swandaru.
“Perjalanan ini bukan
perjalanan tamasya,” berkata gurunya, “tetapi sebuah perjalanan yang berbahaya.
Kau menangkap rencana perjalanan ini dengan sudut pandangan yang menyebelah.
Kau dilanda oleh kegirangan hati seorang anak muda. Kau mungkin terlalu berafsu
ingin melihat daerah-daerah yang selama ini belum kalian lihat. Kau mungkin
terlalu bernafsu untuk membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi kau
tidak memperhitungkan bahaya seperti yang telah aku katakan. Karena itu,
siapkan dirimu dalam kesungguhan.”
Kedua anak-anak muda itu
sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Yang terpenting dari semuanya
dalam mempersiapkan hati dan nalar adalah, bahwa perjalanan ini jangan dikotori
oleh perasaan-perasaan yang melonjak-lonjak. Jangan diburu oleh dendam. Tetapi
bekalilah dengan maksud yang baik. Kalau kalian ingin menambah pengalaman, maka
pengalaman itu akan kalian trapkan dalam landasan kebesaran jiwa. Nah, sekarang
bertanyalah kepada diri kalian sendiri, apakah sebenarnya keinginan yang
mendorong kalian untuk melakukan sebuah perjalanan, dan justru kalian merasa
senang apabila perjalanan itu dilakukan ke barat? Ke Menoreh?”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Tetapi mereka merasakan sentuhan langsung di dalam hati. Bahkan
pertanyaan itu serasa bergulung-gulung bergema di dalam diri mereka, “Ya,
kenapa ke Menoreh?”
Tetapi mereka tidak dapat
berbohong kepada diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa mereka telah didorong oleh
rasa dendam mereka terhadap Sidanti. Dendam yang bertimbun-timbun. Sejak
Sidanti berada di Sangkal Putung. Baik Agung Swandaru maupun Swandaru mempunyai
persoalannya sendiri-sendiri. Beberapa kali Swandaru terpaksa menahan sakit dan
malu karena Sidanti telah beberapa kali menampar pipinya yang gembung itu.
Sedangkan Agung Sedayu mempunyai beberapa masalah yang tidak juga dapat
dilupakan. Bahkan Sidanti telah hampir berhasil membunuh Untara, kakaknya
satu-satunya. yang kemudian mencapai puncaknya dengan hilangnya Sekar Mirah.
Kedua anak muda itu bersama-sama merasa kehilangan.
“Angger berdua,” berkata Ki
Tanu Metir kemudian “meskipun kalian tidak menjawab, tetapi aku dapat ikut
merasakannya, betapa kalian menyimpan persoalan dengan Angger Sidanti.”
Agung Sedayu dan Swandaru
masih saja berdiam diri.
“Tetapi bukan itulah
sebenarnya yang memaksa aku membawa kalian untuk pergi ke Menoreh. Seandainya
demikian, maka aku akan membawa kalian menunggu saja di Sangkal Putung atau di
Jati Anom. Suatu ketika Sidanti pasti akan datang lagi.” Orang tua itu terdiam
sejenak, kemudian, “Tetapi, Ngger. Justru aku mengira bahwa Angger Sidanti itu
akan kembali, maka aku berhasrat untuk pergi ke Menoreh. Kecuali dengan
demikian Angger berdua mendapat suatu pengalaman yang baik di sepanjang jalan,
pengalaman untuk berbuat baik apabila diperlukan di sepanjang perjalanan,
pengalaman untuk menahan diri dan menahan nafsu yang mempunyai berbagai macam
bentuk, juga untuk mendapat pengalaman menahan diri dalam perhitungan-perhitungan
yang cermat. Menilai persoalan sesuai dengan kepentingannya. Apakah Angger
mengetahui maksudku?”
Agung Sedayu dan Swandaru
masih saja berdiam diri. Seolah-olah mereka telah membeku meskipun mata mereka
memandangi wajah gurunya.
“Angger,” berkata orang tua
itu, “kalian harus dapat menimbang. Kita harus melihat persoalan kita, dan yang
lebih besar daripada itu adalah persoalan Pajang dan Menoreh itu sendiri. Kita
harus dapat mengetahui sikap Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Kita harus
dapat menilai dengan cermat. Seandainya ayah Sidanti itu bersikap lain, maka
kita pun harus bersikap lain. Maksudku, seandainya Argapati tidak sependapat
dengan Sidanti. Tetapi apabila Menoreh bulat-bulat melawan Pajang, maka kita
pun akan menentukan sikap kita. Ingat, jangan diburu hanya oleh kepentingan
sendiri.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu benar maksud gurunya. Gurunya
ingin mengatakan, bahwa yang mendorong mereka ke Menoreh, bukanlah kepentingan
pribadi mereka, tetapi terutama adalah kepentingan Pajang dan Menoreh itu
sendiri.
Meskipun tidak dikatakan oleh
orang tua itu, namun tampak pada nada kata-katanya, bahwa Ki Tanu Metir
benar-benar mencemaskan kemungkinan yang paling jelek yang dapat terjadi antara
Pajang dan Menoreh.
“Kita sudah cukup parah,”
desis orang tua itu kemudian “apalagi di daerah selatan ini. Pertentangan
antara Jipang dan Pajang yang berkepanjangan, orang-orang di antara mereka yang
keras kepala tanpa mau melihat kenyataan, kemudian munculnya orang-orang yang
memiliki nafsu pribadi yang berlebih-lebihan seperti Sidanti dan gurunya Ki
Tambak Wedi, telah banyak merampas tenaga, pikiran, dan bahkan nyawa. Apakah
sekarang kita masih belum sampai saatnya untuk berbuat lain daripada berkelahi
di antara kita? Seandainya Ki Gede Menoreh nanti benar-benar keblinger,
menuruti nafsu puteranya itu, maka kita harus berprihatin. Karena itu, Ngger,
seandainya kita menjumpai Ki Argapati dalam kebimbangan, jangan mendorongnya
untuk memilih jalan yang menyedihkan itu. Seandainya di dalam kebimbangannya,
kalian bertindak menurut nafsu pribadi, untuk kepuasan sendiri, maka berarti
kalian telah menjerumuskan Ki Argapati ke dalam bencana. Bahkan seluruh Pajang
mungkin akan terkena sentuhannya.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangkat wajahnya. Tampaklah wajah itu menjadi berkerut-merut. Agaknya mereka
tidak begitu jelas akan maksud kata-kata gurunya.
“Angger,” sambung Ki Tanu
Metir, “jelasnya adalah, apabila Ki Argapati sedang mempertimbangkan
tindakan-tindakan yang diambilnya, maka kalian jangan melepaskan dendam kalian.
Baik terhadap Sidanti maupun terhadap Argajaya. Seandainya kebimbangan Argapati
itu semisal neraca yang seimbang, di antara sikapnya yang jujur menghadapi
kenyataan dan harga dirinya sebagai seorang ayah, maka sentuhan sedikit saja
akan menyebabkan neraca itu berguncang. Sudah tentu guncangan yang terbesar
kemungkinannya adalah, Argapati akan bersikap sebagai seorang ayah, karena kita
sudah melanggar harga dirinya pula, hadir di Menoreh tanpa seijinnya. Tetapi
kalau kita biarkan saja ia berada dalam pertimbangannya, mungkin ia akan
bersikap lain. Mungkin pikirannya yang jernih akan menang. Apabila demikian,
maka kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita serahkan persoalannya kepada
Argapati. Mungkin dengan demikian kita tidak mendapat kepuasan pribadi karena
kita tidak dapat bertindak langsung terhadap orang-orang yang kita ingini.
Tetapi itu adalah tindakan yang paling baik bagi Pajang dan juga bagi Menoreh.”
Terasa desir yang lembut
menyentuh jantung kedua anak muda itu. Tetapi mereka tahu maksud gurunya.
Meskipun demikian darah muda yang mengalir di dalam tubuh mereka serasa
bergolak. Apabila gurunya menghendaki demikian, maka seolah-olah perjalanan
mereka ke Menoreh tidak lebih dari perjalanan yang sia-sia bagi diri mereka
sendiri. Mereka tidak boleh apa-apa. Mereka akan menjadi seorang perantau yang
sekedar ingin melihat sebuah pegunungan yang membujur ke selatan di sebelah
Alas Mentaok. Tidak lebih dari itu. Mungkin mereka akan melihat dan mendengar
cerita tentang sikap Ki Argapati.
Ki Tanu Metir melihat
kekecewaan di dalam sorot mata kedua muridnya. Karena itu maka ia pun berkata,
“Tetapi jangan menganggap bahwa perjalanan ini tidak ada artinya. Seandainya,
ya seandainya Ki Argapati mendengarkan cerita Sidanti, kemudian menyiapkan
pasukan segelar sepapan, nah, kalian akan berjasa terhadap Pajang.”
“Apakah kita akan melawan
pasukan segelar sepapan yang dipimpin oleh Ki Argapati yang bergelar Ki Gede
Menoreh dan Ki Tambak Wedi itu?” bertanya Swandaru dalam kekecewaannya.
Ki Tanu Metir yang telah
mendalami jiwa murid-muridnya itu tersenyum. Jawabnya, “Sudah tentu tidak,
Ngger. Tetapi bukankah dengan demikian kita akan dapat melaporkannya kepada
pimpinan Prajurit Pajang?”
“Dan kita tidak dapat berbuat
apa-apa pula? Kita hanya sekedar melaporkannya. Kemudian datang pasukan Pajang
yang lengkap di bawah pimpinan senapati-senapati tertingginya, mungkin Gede
Pemanahan sendiri, mungkin Ki Penjawi atau bahkan Ki Patih Mancanegara, atau
setidak-tidaknya Kakang Untara didampingi oleh Paman Sumangkar,” sahut
Swandaru.
Sekali lagi Ki Tanu Metir
tersenyum. Katanya, “Kita dapat berbuat banyak. Tetapi ingat, bukan untuk
kepuasan pribadi. Kita dapat berbuat seperti apa yang kita lakukan di Tambak
Wedi. Memberikan jasa-jasa baik terhadap pasukan Pajang.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
terdiam. Sadarlah mereka kini, bahwa perjalanan ini sama sekali bukan
perjalanan seperti yang mereka inginkan selama ini. Mereka ingin pergi ke
Menoreh, menemui Sidanti dan Argajaya untuk membuat perhitungan. Mencari cara
untuk dapat melepaskan kemarahan yang membakar hati. Perang tanding. Tetapi
yang terjadi akan jauh berbeda.
Meskipun demikian, mereka
dapat mengerti maksud gurunya. Nalar mereka dapat menerima. Bahkan mereka tidak
dapat berpikir lain daripada untuk kepentingan Pajang itu. Tetapi perasaan
merekalah yang kadang-kadang masih terasa bergolak di dalam dada mereka.
Perasaan yang mereka tekan sedapat-dapat menurut pertimbangan nalar.
Namun, Ki Tanu Metir pun
menyadari, apakah pada suatu saat perasaan itu tidak terdorong keluar tanpa
mereka sadari? Apakah mereka pada suatu saat tidak diledakkan oleh perasaan
yang justru kini sedang mereka tekan kuat-kuat?
“Mudah-mudahan aku dapat
mengendalikan anak-anak ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Tetapi
yang dikatakan adalah, “Baiklah kita tentukan, besok lusa kita berangkat.”
Tiba-tiba kedua anak-anak muda
murid Kiai Gringsing itu merasa perjalanan yang akan mereka lakukan terlampau
hambar. Tidak ada lagi dorongan yang melonjak-lonjak di dalam dada mereka.
Perjalanan yang akan mereka tempuh bagi mereka kini hanyalah sebuah perjalanan
biasa. Perjalanan seperti yang pernah mereka lakukan semasa kanak-kanak mereka.
Pergi ke kademangan lain bersama kakek untuk melihat sanak keluarga yang sudah
lama tidak berjumpa. Bukan lagi perjalanan dalam gairah darah remaja mereka.
Meskipun demikian mereka ingin
juga mempergunakan kesempatan itu. Mungkin mereka dapat melihat Alas Mentaok
lebih banyak dari yang pernah mereka lakukan. Mungkin mereka akan mendapat
pengalaman-pengalaman lain di sepanjang perjalanan, dalam perburuan binatang di
dalam hutan.
Kiai Gringsing yang tua itu
dapat melihat gejolak di dalam dada murid-muridnya. Tetapi ia tidak memberikan
tanggapan apa pun. Dibiarkannya muridnya untuk melihat sendiri dan
mengalaminya, apa yang akan mereka jumpai di sepanjang jalan. Mereka akan
segera meyakini bahwa perjalanan ini bukanlah sebuah tamasya yang sejuk.
Daerah-daerah yang akan mereka lewati akan memberitahukan kepada mereka, bahwa
mereka tidak boleh tidur di sepanjang langkah mereka.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing
itu kemudian, “sejak kini kalian harus mempersiapkan diri. Kalian tidak perlu
membuat cerita tentang perjalanan ini kepada kawan-kawan kalian. Besok, sehari
kalian masih berada di kademangan ini. Tetapi fajar berikutnya, kalian harus
sudah berada di perjalanan. Supaya perjalananmu tidak terganggu, maka
senjata-senjata yang harus kalian bawa pun harus kalian sesuaikan dengan
keadaan. Kalian tidak perlu membawa pedang-pedang kalian yang panjang itu.
Kalian dapat membawa keris-keris sipat kandel yang dapat kalian sembunyikan di
bawah baju, dan senjata yang memberikan kepercayaan kepada diri, cambuk yang
dapat dililitkan seperti sehelai ikat pinggang.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu memang mempunyai sebilah keris
peninggalan yang dibawanya dari Jati Anom dan Swandaru pun memilikinya pula
dari ayahnya.
“Sekarang, kalian dapat mulai
dengan persiapan-persiapan kalian,” berkata gurunya pula.
“Kami sudah siap, Guru,” jawab
Swandaru. “Seandainya besok pun kami sudah siap pula untuk herangkat.”
“Kalian masih harus mencuci
pakaian. Selembar dua lembar kalian harus membawa ganti pakaian.”
“Apakah itu perlu bagi seorang
perantau?” bertanya Swandaru.
“Perlu, Ngger. Seandainya kau
kedinginan di jalan, maka kau akan mempunyai selimut. Seandainya tempatmu
bermalam penuh dengan nyamuk, maka kau dapat menutup seluruh tubuhmu. Apalagi
apabila pakaian yang kau pakai itu sobek, kau akan mempunyai ganti.”
“Kita akan berhati-hati, Kiai.
Aku kira aku tidak akan berjalan menerobos semak-semak duri.”
“Memang, kita dapat
berhati-hati. Tetapi bagaimanakah kalau baju kita itu sobek bukan karena duri,
bukan karena ranting-ranting yang patah dan bukan pula karena umurnya yang
tua?”
“Lalu kenapa guru?” bertanya
Agung Sedayu.
“Memang mungkin baju-baju kita
sobek karena duri, ranting-ranting dan karena ketuaannya. Tetapi yang perlu kau
sadari bahwa bajumu itu akan dapat sobek karena ujung pedang. Bahkan bukan saja
bajumu, tetapi mungkin kulitmu.”
Kedua muridnya mengerutkan
keningnya. Hampir bersamaan mereka bertanya, “Pedang siapa? Bukankah kita hanya
sekedar berjalan-jalan di telatah Menoreh dan tidak berbuat apa-apa.”
“Memang kita tidak berbuat
apa-apa. Tetapi orang lain dapat berbuat apa-apa atas kita. Dan apakah kita
hanya membiarkan saja apa yang terjadi itu?”
“Oh,” kedua muridnya menarik
nafas dalam-dalam. “Ya, demikianlah,” gumam mereka di dalam hati, “memang
hal-hal yang serupa itu akan dapat terjadi.”
Demikianlah maka mereka pun
kemudian mempersiapkan diri mereka. Menyiapkan sepengadeg pakaian yang akan
mereka bawa dalam perjalanan. Mereka menyiapkan senjata-senjata khusus mereka
menurut nasehat gurunya. Sebuah cambuk bertangkai pendek dan berjuntai panjang
yang mereka buat dari janget berangkap tiga ganda. Sebagai senjata di dalam
perkelahian yang sebenarnya, maka senjata itu dilengkapi dengan karah-karah
baja. Tidak hanya ditangkainya, tetapi hampir di setiap cengkang, janget-janget
itu terikat oleh kepingan baja yang tipis. Dalam keadaan yang memaksa, maka
tangkai yang pendek bersalutkan kepingan baja itu akan mampu membentur
senjata-senjata tajam. Dan dalam keadaan yang khusus pula, maka mereka akan
dapat mempergunakan cambuk-cambuk itu tidak seperti yang lazim. Mereka dapat
memegang senjata mereka pada ujung jangetnya, dan tangkai yang pendek itu akan
menjadi sebuah penggada yang bertangkai panjang dan lemas.
Kiai Gringsing telah mengajari
murid-muridnya untuk mempergunakan senjata-senjata itu dalam segala keadaan dan
kemungkinan. Bahkan mereka mampu mempergunakan dalam rangkapannya. Cambuk di
tangan kanan dan keris-keris mereka di tangan kiri. Dengan senjata itu, maka
semua macam senjata akan dapat mereka hadapi. Bahkan mereka yang berpedang di
tangan kanan dan berperisai baja di tangan kiri. Meskipun senjata mereka hanya
sekedar sehelai cambuk, tetapi saluran kekuatan yang memancar dari senjata itu,
akan mampu merenggut senjata-senjata lawan dan bahkan mematahkan tulang-tulang
leher. Apalagi apabila senjata itu berada di tangan Kiai Gringsing sendiri.
Meskipun demikian Kiai
Gringsing itu berkata, “Aku mengharap bahwa kalian tidak akan pernah
mempergunakan senjata-senjata itu. Mudah-mudahan yang terjadi adalah perlakuan
yang baik di antara sesama. Juga apa yang akan kita alami dan kita perbuat.
Betapa dahsyatnya senjata macam apa pun, tetapi kedahsyatanya hanyalah
terbatas. Ingat, hanya terbatas. Terbatas sekali.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun nasehat gurunya itu terdengar janggal
di telinga mereka. Mereka mempersiapkan diri dengan segala perlengkapan. Tetapi
gurunya mengatakan kepada mereka, bahwa mudah-mudahan mereka tidak perlu
mempergunakan senjata itu.
Tetapi kedua anak-anak muda
yang sudah cukup lama bergaul dengan Kiai Gringsing itu segera menangkap
maksudnya. Kiai Gringsing lebih senang apabila tidak perlu mempergunakan
kekerasan apa pun apabila benar-benar tidak dipaksa oleh keadaan. Sedikit
banyak, sifat itu telah mempengaruhi kedua muridnya, meskipun kadang-kadang
darah muda mereka masih juga melanda dinding jantung dengan dahsyatnya,
sehingga nasehat-nasehat serupa itu sering mereka lupakan.
Dan kini gurunya berkata pula
kepada mereka tentang hal itu, bahkan gurunya menambahkannya, bahwa betapapun
dahsyatnya sepucuk senjata, tetapi kedahsyatan itu hanyalah terbatas. Terbatas
sekali.
Ingatan kedua anak-anak muda
itu langsung membubung tinggi kepada Kekuatan yang Maha Besar. Kekuatan yang
memancari dan menyumberi segala kekuatan, kekuatan yang berjalan di sepanjang
jalan yang dikehendaki-Nya. Meskipun setiap manusia selalu disertai oleh segala
kekurangan dan kepicikannya, sehingga setiap langkahnya tidak akan ada yang
sempuma di hadapan yang Maha Besar, tetapi adalah menjadi kewajiban manusia
untuk berusaha mendekatkan diri kepada kebenaran. Kebenaran yang mutlak. Sedang
penilaian tentang kebenaran yang mutlak itu tidak akan dapat diberikan oleh
manusia. Kebenaran yang mutlak hanyalah berada pada Tuhan yang Maha Benar.
Sehingga jalan manusia untuk mendekat kepada kebenaran adalah mendekat kepada
Tuhannya. Mencoba sejauh-jauhnya melakukan segala petunjuk-Nya yang didasari
semata-mata atas kasih-Nya, menjauhkan manusia dari kesesatan.
Apabila ingatan mereka telah
menyentuh kepada Sumbernya, maka baik Agung Sedayu dan Swandaru segera menjadi
tenang. Meskipun sifat manusia adalah khilaf, tetapi lambaran kepercayaan yang
kuat akan mengurangi sejauh-jauhnya kekhilafan itu. Dengan demikian maka sikap
dan pandangan mereka terhadap keadaan menjadi tenang pula. Mereka tidak diburu
lagi oleh berbagai macam kebencian dan dendam.
Demikianlah, maka Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian menyiapkan diri mereka. Namun kini bukan senjata
merekalah yang utama, bukan lagi kebencian dan dendam yang mendorong mereka
untuk pergi, tetapi terpercik hasrat yang cerah di dalam dada mereka. Bahwa
mereka harus dapat berbuat sesuatu untuk kepentingan sesama. Inilah yang harus
mereka lakukan. Meskipun demikian mereka pun tetap menyadari, bahwa untuk itu,
mungkin mereka harus menghentikan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
tujuan mereka. Bahkan mungkin akan perlu dilakukan dengan kekerasan apabila
terpaksa sekali. Tetapi kekerasan itu bukan tujuan. Kekerasan itu hanya sebagai
alat. Karena itu, maka alat itu, kekerasan, tidak boleh bertentangan dengan
tujuannya.
Adalah tidak wajar, seandainya
untuk kepentingan kemanusiaan, maka dilakukan tindakan-tindakan di luar
perikemanusiaan. Untuk menghentikan tindak yang melanggar hukum kemanusiaan
telah dilakukan tindak kekerasan yang serupa.
Ketika malam menjadi semakin
dalam, di hari berikutnya, Swandaru duduk di ruang dalam rumahnya bersama ayah
dan ibunya, yang sibuk melipat pakaiannya sepengadeg. Besok pada saat fajar
menyingsing, Swandaru akan pergi mengikuti gurunya, mencari pengalaman-pengalaman
baru di dalam hidupnya.
“Apakah kau akan memerlukan
waktu yang lama Swandaru?” bertanya ayahnya.
Swandaru menggelengkan
kepalanya, jawabnya, “Aku belum tahu ayah. Mudan-mudahan tidak terlampau lama.”
“Kau harus cepat kembali
Swandaru,” berkata ibunya. Tampaklah matanya menjadi basah. Untuk pertama
kalinya ia melepaskan anak laki-lakinya itu pergi meninggalkan kademangan,
merantau untuk waktu yang tidak tertentu. Ketika Swandaru pergi mencari Sekar
Mirah, sama sekali tidak terasa kekhawatiran seperti saat ini. Bukan karena
mereka tidak tahu, betapa berbahayanya perjalanan ke Tambak Wedi, tetapi
terdorong oleh kecemasan, kemarahan dan perasaan-perasaan lain yang menyesak,
maka justru mereka berbangga melihat Swandaru meninggalkan rumah mereka mencari
adiknya. Tetapi perasaan kedua orang tua itu kini berbeda. Seolah-olah mereka
melepas Swandaru ke dalam kegelapan yang tidak mereka ketahui, apakah yang
telah menunggunya di balik kelam itu. Kini tidak ada lagi dorongan apa pun di
dalam diri kedua orang tua itu, untuk melepaskan Swandaru pergi. Karena itu,
maka terasa betapa berat hati mereka.
“Segalanya akan sangat
tergantung kepada guru,” sahut Swandaru.
Kedua orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, semuanya sangat tergantung kepada gurumu.
Aku pun telah mengatakan kepada gurumu, perjalananmu yang pertama ini
seharusnya tidak akan menjadi terlampau berat bagimu dan angger Agung Sedayu.”
“Mudah-mudahan ayah.”
“Kau harus hati-hati di
sepanjang jalan Swandaru. Meskipun aku tidak tahu benar, tetapi aku
membayangkan Bahaya yang akan kau hadapi di sepanjang jalan,” berkata ibunya.
“Ya, Ibu.”
“Kau harus dapat membawa diri.
Harus kau pilih jalan yang jauh dari reribed. Jangan banyak membuat persoalan dan
jangan terburu oleh nafsu.”
“Ya, Ibu. Tetapi sebagian
terbesar akan sangat tergantung pula kepada guru.”
Kedua orang tua-tua itu
menganggukkan kepala mereka. Terdengar suara Ki Demang lirih, “Aku percaya
kepada gurumu, Swandaru. Gurumu bukan orang yang dikuasai oleh nafsu. Bukan
orang yang cepat kehilangan nalar dan akal. Ia seorang yang rendah hati dan
tepa slira.”
Swandaru tidak menjawab. Namun
terasa olehnya betapa hatinya menjadi berdebar-debar. Perpisahan yang
dipersiapkan memang kadang-kadang terasa terlampau berat. Agaknya lebih baik
apabila tiba-tiba saja ia berangkat karena desakan suatu persoalan yang penting
seperti pada saat hilangnya Sekar Mirah. Meskipun ada kemungkinan pada saat
itu, bahwa ia tidak akan kembali bersama wadagnya, tetapi hanya namanya saja,
tetapi saat itu perasaannya tidak seberat perasaannya di saat ini.
Meskipun demikian, hasratnya
untuk pergi telah bulat. Ia pasti akan berangkat besok menjelang fajar bersama
gurunya dan saudara seperguruannya, Agung Sedayu.
Dalam pada itu Aguug Sedayu
sedang duduk di halaman bersama pamannya, Widura. Pamannya, seperti juga ayah
Swandaru, memberinya berbagai nasehat. Meskipun Widura tidak memiliki
pengalaman dan ilmu seluas Kiai Gringsing, tetapi ia dapat juga memberikan
beberapa nasehat yang baik kepada Agung Sedayu.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Agung Sedayu berkata, “Aku akan selalu mengingat segala pesan Paman.”
“Baik, Sedayu. Aku mengharap
bahwa kau tidak saja menjunjung tinggi namamu, nama perguruan dan gurumu,
tetapi juga nama keluargamu. Kau adalah putera Kakang Sadewa. Nama Sadewa
ternyata lebih banyak dikenal orang dari nama ayahmu itu sendiri. Daripada nama
ayahmu yang sebenarnya. Sejak ayahmu mengenal dunia ini dengan sadar, ia telah
membenci kejahatan. Banyak hal yang telah dilakukan oleh ayahmu di masa
mudanya. Mudah-mudahan kau pun akan mewarisi sifat-sifatnya itu. Dalam beberapa
bentuk aku telah melihat sifat-sifat ayahmu ada di dalam diri kakakmu. Sedang
kau membawa beberapa macam sifat dari ibumu. Tetapi bagaimanapun juga akhirnya
kau adalah seorang perkasa seperti Kakang Sadewa. Bahkan suatu perpaduan yang
akan sangat manis apabila di dalam dirimu terdapat sifat ayahmu, seorang yang
tegak berdiri di atas kebenaran sejauh-jauh dapat dijangkau oleh nalar dan perasaan
manusia yang tidak sempurna ini, tetapi juga dibumbui oleh kasih yang tulus dan
jujur seperti yang terpancar dari keibuan ibumu.”
Widura berhenti sejenak.
Ditatapnya kepala Agung Sedayu yang tunduk, lalu sejenak kemudian
dilanjutkannya, “Meskipun sifat-sifat yang demikian seolah-olah hanya terdapat
di dalam dongeng-dongeng dapat disebutkan beberapa macam watak matusia yang
berlawanan sama sekali, yang benar seolah-olah tidak pernah terkena salah, dan
yang salah seakan-akan tidak memiliki kebenaran sama sekali, namun kau harus
mampu menempatkan dirimu menurut pilihan yang tepat. Adalah pasti bahwa
seseorang pernah berbuat kesalahan, tetapi kesadaran untuk berbuat baik harus
kau miliki.”
Sekali lagi Widura berhenti
sejenak, dan kemudian, “Yang lebih penting Sedayu, kau harus selalu merasa
dekat dengan Tuhanmu. Dengan demikian kau akan tabah menghadapi setiap
persoalan, tetapi dengan demikian kau juga akan selalu takut berbuat
kesalahan.”
Agung Sedayu masih menundukkan
kepalanya. Seperti pada saat-saat ia makan nasi, terasa bahwa tubuhnya,
wadagnya, menjadi semakin segar dan kuat. Maka kata-kata pamannya merupakan
makanan bagi kesadaran rokhaniahnya. Makanan yang memberinya kesegaran batin.
“Begitulah, Sedayu,” berkata
pamannya kemudian. “Sebenarnya aku tidak perlu berbicara terlampau panjang. Aku
percaya bahwa gurumu akan berbuat seperti yang aku harapkan. Kiai Gringsing
adalah orang yang tepat bagimu. Sayang aku tidak dapat mengenalnya dengan
pasti, siapakah sebenarnya Ki Tanu Metir. Tetapi bahwa ia telah mengenal ayahmu
dengan baik, telah memberikan harapan, bahwa ia adalah orang yang tepat untuk
menuntunmu. Adalah suatu teka-teki bagiku, bahwa Ki Tanu Metir telah mengenal
hampir setiap orang yang mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Ia
mengenal Ki Tambak Wedi, Ki Sumangkar, Ki Gede Pemanahan, dan agaknya Ki Gede
Menoreh pula. Tetapi orang-orang itu tidak pernah dapat mengetahui dengan
pasti, siapakah Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir. Orang itu telah
mengenal aku pula, sebelum aku mengerti dengan siapa aku berhadapan. Mungkin
ayahmulah satu-satunya orang yang dapat menyebut dengan pasti, siapakah
sebenarnya Kiai Gringsing yang aneh itu.”
Agung Sedayu kini mengangguk-anggukkan
kepalanya. Setiap hari ia berada bersama-sama dengan gurunya. Tetapi
seolah-olah orang tua itu masih saja diselaputi oleh segumpal kabut yang tebal.
Namun telah tertanam keyakinan di dalam dada mereka yang mengenal Kiai
Gringsing, bahwa orang ini sama sekali bukan orang yang berada di jalan yang
sesat.
Dalam pada itu terdengar
Widura berkata, “Sedayu, apakah semua persiapan telah kau atur dengan baik?”
“Sudah, Paman.”
“Apakah kau akan membawa
senjata pula?”
“Ya, Paman. Senjata khusus
menurut petunjuk Kiai Gringsing. Selain sesuai dengan ajaran tata gerak yang
diberikan, maka senjata itu tidak akan terlampau jelas seperti sehelai pedang.”
“Ya, senjata itu dapat kau
lingkarkan seperti ikat pinggang.”
“Ya, Paman. Dan sebilah keris.
Kerisku akan aku bawa pula besok.”
Pamannya mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Mudah-mudahan kerismu selalu memberimu peringatan. Kau
tidak boleh melupakan dirimu dan keadaanmu. Kau pernah merasakan, betapa
sakitnya orang disiksa oleh ketakutan. Karena itu jangan menakut-nakuti orang
lain. Sebab orang lain pun akan merasakan seperti apa yang pernah kau rasakan.”
Sekali lagi Agung Sedayu
mengangguk sambil menjawab “Ya, Paman.”
“Sekarang beristirahatlah.
Besok kau akan berangkat pagi-pagi sekali. Di manakah gurumu sekarang?”
“Mungkin guru baru
berjalan-jalan, Paman. Kami mendapat kesempatan malam ini untuk minta diri dan
mempersiapkan bekal yang akan kami bawa.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia menyuruh Agung Sedayu untuk segera bertstirahat,
karena malam telah menjadi semakin malam.
Sejenak kemudian Widura itu
pun telah meninggalkan kemanakannya, dan masuk ke pringgitan. Ia masih melihat
di ruang dalam, dari celah-celah pintu yang terbuka sedikit, Swandaru duduk di
hadapan ayah dan ibunya. Tetapi ia tidak melihat Sekar Mirah di antara mereka.
Sementara itu Agung Sedayu
masih saja duduk di halaman. Dari tempatnya ia melihat beberapa orang prajurit
yang berjaga-jaga di regol halaman, di bawah sinar pelita yang redup. Tetapi
tempat duduk Agung Sedayu sendiri terlindung oleh baying-bayang yang agak
gelap.
Sejenak ia merenungi regol
halaman kademangan itu. Pertama kali ia datang ke Sangkal Putung, regol halaman
itu selalu tertutup. Beberapa orang pengawal membawanya dan memberikan
tanda-tanda dengan ketokan pintu regol. Kemudian Ki Demang Sangkal Putung
sendirilah yang membawanya dari regol halaman menyeberangi pelataran, naik ke
pendapa dan kemudian menghadap pamannya.
Agung Sedayu menarik nafas.
Besok justru ia akan meninggalkan halaman ini.
Ketika angin malam yang sejuk
menyentuh keningnya, terasa udara yang dingin seakan-akan merasuk sampai ke
tulang sungsum.
Ketika ia bergeser dari tempat
duduknya untuk berdiri dan meninggalkan tempat yang dingin, dan menghindari
gigitan nyamuk yang buas, maka tiba-tiba ia terkejut mendengar desir lembut di
belakannya. Agung Sedayu mengurungkan niatnya. Diperhatikannya suatu itu yang
semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi Agung Sedayu tidak perlu cemas,
sebab ia berada di dalam lingkungan dinding halaman kademangan yang tinggi.
Meskipun demikian ia tidak boleh lengah.
Hatinya menjadi kian
berdebar-debar ketika terdengar desir itu menjadi semakin dekat. Namun
pendengarannya yang terlatih segera dapat mengetahui, bahwa langkah itu sama
sekali tidak berbahaya baginya.
Karena itu maka segera ia
berpaling. Tetapi sekali lagi ia terperanjat. Di dalam keremangan ia melihat
sesosok tubuh berdiri tegak beberapa langkah dari padanya. Seorang perempuan.
Tergagap Agung Sedayu menyapa lirih, “Kau, Mirah?”
Yang berdiri itu adalah Sekar
Mirah. Tetapi ketika ia mendengar suara Agung Sedayu, tiba-tiba saja terasa
darahnya membeku. Gadis itu menjadi kebingungan dan tidak mengerti apa yang
harus dilakukahnya.
Agung Sedayu yang melihat
Sekar Mirah membeku di tempatnya, menjadi bingung pula. Perlahan-lahan ia
berdiri, tetapi ia tidak melangkah maju.
Sejenak mereka berdiri tegak
berhadapan dalam jarak beberapa langkah. Tetapi masing-masing saling terbungkam
dalam ketegangan.
Baru beberapa saat kemudian
Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya. Dicobanya untuk menenangkau detak
jantungnya, dan perlahan-lahan ia bertanya, “Mirah. Kenapa kau berada di situ?”
Sekar Mirah masih membeku.
Pertanyaan Agung Sedayu itu telah membuatnya semakin bingung. Seolah-olah
pertanyaan itu bergulung-gulung di kepalanya, “Ya, kenapa aku berada dinisi?”
Tiba-tiba Sekar Mirah
menyadari dirinya, bahwa ia adalah seorang gadis, seorang gadis yang sedang
menginjak dewasa. Karena itu maka terasa wajahnya menjadi panas.
Sebelum ia dapat berbuat
sesuatu, terdengar suara Agung Sedayu mengulangi, “Kenapa kau berada di sini di
malam begini?”
Sekar Mirah masih terdiam.
“Apakah kau disuruh oleh ayah
atau ibumu?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
“Atau,” Agung Sedayu tidak
dapat mencari pertanyaan yang lain.
Sekali lagi keduanya terdiam.
Namun Agung Sedayu kini sudah tidak lagi dikuasai oleh kejutan yang
membingungkan. Ia telah berhasil menguasai perasaannya.
Karena Sekar Mirah masih juga
berdiam diri, maka selangkah Agung Sedayu maju mendekatinya sambil bertanya
pula, “Mungkin kau mempunyai sesuatu keperluan Mirah? Mungkin dengan seseoramg?
Pelayanmu barangkali, atau keperluan-keperluan lain yang harus segera kau
selesaikan.”
Sekar Mirah masih berdiam
diri. Tetapi perlahan-lahan digelengkannya kepalanya.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia kini menjadi gelisah. Bukan karena kehadiran Sekar Mirah,
tetapi bagaimana ia mendapatkan jawaban dari padanya atas
pertanyaan-pertanyaannya.
“Hari sudah jauh malam, Mirah.
Apakah kau tidak pergi tidur, atau beristirahat?”
Sekar Mirah mengangkat
wajahnya. Dalam keremangan malam Agung Sedayu tidak dapat melihat wajah itu
dengan jelas. Namun kemudian perlahan-lahan terdengar gadis itu berkata, “Aku
sudah lama menunggu di sudut rumah.”
“O, kenapa baru sekarang kau
datang kemari?”
“Kau baru berbicara dengan
Paman Widura. Aku tidak berani mengganggu.”
“Dan kau menunggu saja di
sudut rumah itu.”
“Ya, hampir aku tidak sabar.
Pamanmu terlampau lama.”
“Aku mendengarkan
nasehat-nasehatnya. Lalu, apakah kau juga ingin berbicara sesuatu dengan aku?”
Sekali lagi Sekar Mirah
terdiam.
“Bagaimana?” desak Agung
Sedayu.
“Kau aneh, Kakang,” tiba-tiba
terdengar suara itu menjadi sendat.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Dan ia mendengar suara Sekar Mirah lambat, “Bukankah besok kau akan
pergi meninggalkan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Baru kini ia
menyadari kesalahannya, ia tidak memerlukan untuk minta diri kepada Sekar
Mirah, meskipun secara tidak langsung ia sudah mengatakannya, bahwa ia akan
pergi bersama guru dan saudara seperguruannya, Swandaru.
Sejenak keduanya terdiam. Di
kejauhan terdengar tengara menggema memenuhi kademangan. Ternyata tanpa mereka
sadari, malam telah hampir sampai di pusatnya.
Sekar Mirah mengangkat
wajahnya mendengar tengara kentongan itu. Ia harus segera masuk ke dalam
biliknya. Apabila ibunya mengetahui bahwa diam-diam ia merayap ke luar rumah di
tengah malam begini, maka ibunya pasti akan marah kepadanya.
“Kakang,” desis Sekar Mirah
kemudian, “sudah tengah malam. Aku harus segera tidur.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya. Jawabnya “Tidurlah, Mirah. Aku besok minta diri kepadamu, kepada
seluruh keluarga di kademangan ini.”
Sekar Mirah menundukkan
kepalanya. Desisnya, “Aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan, Kakang.”
“Terima kasih, Mirah,” sahut
Agung Sedayu, “mudah-mudahan aku selamat diperjalanan dan keluarga di sini pun
selamat seluruhnya.”
“Mudah-mudahan kau segera
kembali. Aku mengharap bahwa kau akan kembali ke Sangkal Putung, Kakang, tidak
ke Jati Anom.”
“Jarak antara Sangkal Putung
dan Jati Anom tidak terlampau jauh di masa damai Mirah.”
Sekar Mirah terdiam. Ia
mengharap Agung Sedayu mengatakan banyak hal tentang dirinya. Tetapi Agung
Sedayu pun terdiam pula. Bahkan dadanya yang sudah mulai tenang menjadi
berdebar-debar kembali.
Alangkah jauh perbedaan sifat
antara Agung Sedayu dan Sidanti. Sekar Mirah pernah berkawan agak rapat dengan
Sidanti, karena gadis itu mengagumi Sidanti sebagai seorang pahlawan yang tiada
bandingnya di Sangkal Putung selain Widura sendiri pada saat itu. Tetapi
ternyata bahwa ia hanya sekedar mengaguminya. Tidak lebih daripada itu.
Meskipun Sidanti agak lebih banyak memberikan waktunya untuk bersama-sama
dengan Sekar Mirah berjalan-jalan, berbicara dan bahkan kadang-kadang seperti
anak-anak mereka bermain-main, namun ternyata Sidanti tidak dapat mengikat hati
Sekar Mirah seerat tali yang dilepaskan oleh Agung Sedayu dengan kediriannya.
Dengan segenap sifat-sifatnya. Meskipun Sekar Mirah lebih senang melihat
seorang laki-laki yang agak banyak membanggakan dirinya seperti Sidanti, namun
ada unsur lain yang tidak dapat dimengerti oleh Sekar Mirah, kenapa Agung
Sedayu pun dikaguminya pula. Apalagi setelah, ia menyadari bahwa hampir di
dalam segala hal Agung Sedayu tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti, sejak mereka
beradu dalam kecakapan memanah.
“Tetapi Agung Sedayu tidak
pernah berkata dengan bangga, ‘Mirah, tinggallah kau disini. Besok aku akan
bertemu dengan Tohpati, biarlah aku penggal lehernya, aku bawa pulang kepalanya
ke kademangan ini untuk menjadi alas kakimu.’ Dan Agung Sedayu juga tidak
pernah berkata kepadany,a ‘Apapun yang kau minta Mirah. Aku akan sanggup
mengadakan. Tak ada orang yang dapat menghalangi aku. Tak ada jarak yang dapat
membatasi gerakku. Lautan akan aku keringkan dan gunung-gunung akan aku runtuh
dan ratakan.’”
Tidak. Agung Sedayu tidak
pernah berkata demikian. Pada saat anak muda itu datang ke Sangkal Putung uatuk
pertama kalinya, memang ia berceritera tentang perkelahiannya dengan beberapa
orang di sepanjang perjalanannya. Tetapi Agung Sedayu untuk seterusnya tidak
pernah berbangga atas dirinya. Bahkan di saat-saat itu, di saat-saat ia baru
saja berada di kademangan ini tampaknya selalu dicengkom oleh keragu-raguan dan
kecemasan.
“Ia terlampau takut terhadap
pamannya,” pikir Sekar Mirah saat itu.
Setiap kali Agung Sedayu hanya
berkata kepadanya, “Mudah-mudahan aku berhasil mengatasi lawan-lawanku, Mirah.”
Hanya itu. Hanya itu saja yang dikatakan, seolah-olah ia tidak meyakini
kekuatan sendiri. Sebenarnya Sekar Mirah agak kecewa terhadap sikap itu. Sikap
yang menurut Sekar Mirah kurang jantan. Kurang tatag dan ragu-ragu. Namun
meskipun demikian anak muda itu telah mengikat hatinya, dalam keadaannya itu.
Dan kali ini pun Agung Sedayu
berkata kepadanya, “Mudah-mudahan aku selamat di perjalanan dan keluarga di
sini pun selamat seluruhnya.”
Kenapa Agung Sedayu itu tidak
berkata, “Mirah, aku akan pergi ke Menoreh. Kelak aku akan kembali dengan
membawa kepala Sidanti untuk alas kakimu. Kau akan dapat melepaskan dendammu
kepadanya. Dan kepala itu adalah tanda katresnanku kepadamu.”
Tidak, Agung Sedayu tidak
berkata demikian. Bahkan kemudian ia mendengar Agung Sedayu yang berdiri
mematung di hadapahnya itu berkata, “Pergilah tidur, Mirah. Mudah-mudahan kau
besok pagi tidak terlambat bangun, sehingga kau dapat melihat keberangkatanku
bersama Kiai Gringsing dan Adi Swandaru.”
Terasa leher gadis itu
tersumbat, sehingga ia tidak dapat menyahut. Ia menjadi kecewa. Perpisahan itu
sama sekali tidak berkesan kejantanan seorang prajurit yang pergi berperang.
Tetapi anak muda yang bemama Agung Sedayu itu minta diri kepadanya seperti
seorang perantau yang akan mencari sesuap nasi bagi keluarganya yang
ditinggalkannya. Kata-kata yang diucapkan tidak lebih dari “Mudah-mudahan aku
selamat.”
Tetapi Sekar Mirah tidak dapat
berdiri di tempatnya terlampau lama. Ia harus masuk ke dalam biliknya. Karena
itu maka katanya, “Selamat malam, Kakang. Besok aku akan bangun pagi-pagi
sekali untuk menyiapkan makan pagi kalian sebelum berangkat.”
Terasa desir yang lembut menggores
jantung Agung Sedayu. Ia sendiri tidak tahu, pengaruh apa yang telah menyentuh
isi dadanya. Hampir setiap hari Sekar Mirah dan pembantu-pembantunya menyiapkan
makan untuk mereka. Untuk pamannya, untuk dirinya dan untuk para prajurit
Pajang di Sangkal Putung. Tetapi ketika Sekar Mirah mengatakan itu langsung
kepadanya, terasa debar dadanya menjadi semakin cepat.
“Terima kasih, Mirah,” hanya
itulah, yang diucapkannya, lalu dilanjutkannya, “Selamat malam.”
Tetapi Sekar Mirah masih belum
juga beranjak dari tempatnya. Gadis itu masih berdiri saja seolah-olah
mematung. Ia masih mengharap Agung Sedayu mengatakan sesuatu kepadanya,
sebagaimana seorang laki-laki yang perkasa siap untuk berangkat ke medan
perang, meninggalkan seorang kekasih yang dicintainya.
Tetapi Agung Sedayu tidak
berkata apa-apa. Agung Sedayu pun menjadi seakan-akan beku ketika ia melihat
Sekar Mirah masih saja berdiri mematung.
“Oh,” desah Sekar Mirah di
dalam hatinya. Hatinya yang menjadi kisruh.
Agung Sedayu malahan menjadi
beku. Diam dan tidak berkata-kata lagi.
Tiba-tiba gadis itu memutar
tubuhnya membelakangi. Hampir meledak tangis yang ditahan di dadanya. Ia
menjadi kecewa melihat sikap itu. Sikap yang bagi Sekar Mirah kurang jantan.
Kurang berani. Bukan kurang berani menghadapi lawan, tetapi ia sama sekali
tidak berkata-kata apa-apa kepadanya. Dan sikapnya menunjukkan keragu-raguan
yang menjemukan.
Agung Sedayu menjadi bingung
melihat Sekar Mirah yang tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Sekuat tenaga gadis itu bertahan untuk tidak menangis. Untuk sesaat ia
berhasil. Meskipun demikian dadanya serasa akan meledak.
Karena Agung Sedayu tidak
berbuat sesuatu, maka Sekar Mirah pun tidak akan dapat mengharap apa-apa lagi
daripadanya saat itu. Ia tidak akan dapat mendengar kata-kata yang dapat
membuat jantungnya bergetar. Baik Agung Sedayu sebagai seorang laki-laki yang
mempunyai banyak kelebihan dari laki-laki yang lain, yang sudah ternyata bahwa
ia mampu melawan Sidanti, bahkan dalam beberapa hal ia telah melampauinya,
maupun sebagai seorang laki-laki yang telah menjerat hatinya. Laki-laki yang
meskipun tidak memberikan kebanggaan kepadanya, namun dalam keseluruhannya
Agung Sedayu telah mengikatnya terlampau erat.
Agung Sedayu terlalu sopan.
Bukan, bukan terlalu sopan, tetapi hatinya selalu dicengkam oleh keragu-raguan.
Meskipun ia telah berhasil memecahkan dinding yang mengurungnya dalam
ketakutan, namun ia masih belum berhasil melepaskan diri dari kebimbangan dan
keragu-raguan untuk bersikap. Apalagi apabila terkenang olehnya sikap kakaknya,
Untara.
Agung Sedayu yang ragu-ragu
itu terperanjat ketika tiba-tiba saja, ia melihat Sekar Mirah itu meloncat
berlari meninggalkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia memanggil, “Mirah.
Mirah.”
Tetapi Sekar Mirah seakan-akan
tidak mendengarnya. Ia berlari terus meninggalkan Agung Sedayu berdiri seorang
diri sambil termangu-mangu. Ia menjadi semakin bingung menghadapi Sekar Mirah.
Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
Sekar Mirah yang yakin benar,
bahwa Agung Sedayu tidak akan mengejarnya, kemudian berhenti di belakang
rumahnya. Dicobanya untuk menekan hatinya yang seolah-olah sedang mendidih oleh
kekecewaan. Ia masih sadar, bahwa ia tidak boleh mengejutkan ayah dan ibunya.
Mungkin Swandaru yang masih juga belum tidur. Perlahan-lahan didorongnya lawang
leregan di butulan belakang. Kemudian dengan hati-hati pintu itu ditutup
kembali setelah ia melangkah masuk. Dengan hati-hati pula diangkatnya slarak
kayu dan disilangkannya pada daun pintu. Berjingkat ia melangkah menuju ke
biliknya.
Rumahnya sudah terlampau sepi.
Ia tidak mendengar suara apa pun lagi. Ketika ia lewat melalui bilik ibunya,
hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi bilik itu telah tertutup.
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Namun kekecewaan di dalam dadanya hampir tidak tertahankan lagi,
seakan ingin meledak.
Dengan hati-hati ia melangkah
ke pintu biliknya. Bilik itu tertutup rapat. Ia sendirilah yang menutupnya
ketika ia diam-diam pergi ke luar. Perlahan-lahan sekali ditariknya pintu
leregan bilik itu. Perlahan-lahan sekali supaya tidak menimbulkan bunyi. Bunyi
derit yang lembut sekalipun.
Sedikit demi sedikit pintu itu
terbuka. Semakin lebar. Dan ketika ia menjenguk ke dalam, hampir-hampir ia
menjadi pingsan. Jantungnya serasa berhenti berdetak karena kejutan yang luar
biasa. Untunglah ia tidak menjerit keras-keras. Dilihatnya seorang duduk di
atas pembaringannya. Sinar pelita yang redup agak kemerah-merahan memancar
jatuh di atas wajah yang bulat gemuk.
Swandaru.
Swandaru menahan suara
tertawanya melihat adiknya terkejut bahkan hampir menjadi pingsan.
Perlahan-lahan ia berdiri dam berkata lambat, “Masuklah. Apakah kau terkejut?”
Sekar Mirah masih terbungkam.
Detak jantungnya masih belum berjalan wajar. Kedua telapak tangannya masih
menutupi mulutnya yang hampir berteriak.
“Masuklah. Aku tidak ingin
mengejutkan kau.”
Sekar Mirah masih berdiri
membeku.
“Masuklah, Mirah. Darimanakah
kau.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi ia tidak berbuat apa pun ketika kakaknya mendekatinya membimbingnya
masuk ke dalam biliknya dan mendorongnya duduk di atas pembaringannya.
“Maafkan aku, Mirah. Aku tidak
ingin mengejutkan kau Aku sengaja menunggumu, karena aku akan minta diri pula
kepadamu.”
Sekar Mirah masih terdiam. Dan
Swandaru berkata terus sambil berdiri di mukanya. “Apakah kau tadi menemui
Kakang Agung Sedayu di luar?”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Kejutan yang menghentak dadanya masih belum mereda.
Swandaru pun kemudian berdiam
diri untuk sesaat, Dibiarkannya adiknya menjadi tenang. Perlahan-lahan ia
berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang sempit itu.
Angin malam yang dingin
menyusup lubang-lubang dinding menyentuh tubuh-tubuh mereka. Di kejauhan
terdengar suara angkup nangka mencicit seperti sedang menjerit-jerit. Sekali
lagi terdengar suara tengara kentongan di kejauhan, sahut-menyahut. Kini malam
benar-benar telah sampai ke pusatnya. Tengah malam. Bukan saja suara kentongan
dalam nada dara muluk yang terdengar sahut-menyahut, tetapi kemudian disusul
oleh kokok ayam jantan untuk yang pertama kalinya, menjalar dari kandang ke
kandang, merambat ke seluruh kademangan.
Swandaru menarik nafasnya.
Ketika disangkanya adiknya telah agak tenang, maka ia pun berkata, “Aku ingin
minta diri kepadamu, Mirah.”
Tetapi ternyata Sekar Mirah
masih belum menjawab. Meskipun kejutan yang menghentak dadanya telah mereda,
tetapi kekecewaan atas Agung Sedayu masih belum terhapus. Bahkan kemudian ia
menjadi sangat jengkel terhadap kakaknya yang telah mengejutkannya.
“Kau marah, Mirah?” bertanya
Swandaru. “Aku sama sekali tidak sengaja mengejutkan kau.” Tetapi Swandaru
tersenyum di dalam hatinya. Ia sengaja menutup pintu bilik Sekar Mirah, supaya
gadis itu terkejut. Tetapi biasanya Sekar Mirah tidak terlampau lama marah
kepadanya. Sejenak saja kemarahannya telah menjadi cair. Tetapi kali ini,
justru besok ia akan pergi. Sekar Mirah agaknya benar-benar marah kepadanya.
“Aku minta maaf Mirah. Aku
datang untuk minta diri. Besok aku akan pergi,” Swandaru berhenti sejenak.
Dilihatnya Sekar Mirah menundukkan kepalanya. “Besok aku dan Kakang Agung
Sedayu akan pergi melintasi hutan Mentaok, pergi ke Menoreh. Bukankah kau sudah
mendengarnya pula? Kami akan pergi bersama guru, Kiai Gringsing.”
Sekali lagi Swandaru berhenti
berbicara. Dipandanginya kepala Sekar Mirah yang tunduk. Lalu diteruskannya,
“Apakah kau mempunyai pesan sesuatu? Katakanlah. Mungkin kau mempunyai
kepentingan. Apakah kau ingin aku memenggal kepala Sidanti dan membawanya pulang
supaya kau menjadi bersenang hati, atau bahkan kedua-duanya dengan kepala
Argajaya?”
Tiba-tiba Sekar Mirah
tersentak. Dengan serta-merta ia menengadahkan kepalanya. Kata-kata itulah yang
ingin didengarnya. Tetapi tidak dari mulut kakaknya. Ia ingin mendengar dari
mulut Agung Sedayu. Betapa hatinya menjadi terlampau kecewa. Tiba-tiba saja
gadis itu meloncat berdiri, berlari kepada kakaknya. Dengan tangisnya ia
berkata sambil mencubiti kakaknya bertubi-tubi. “Kau terlampau nakal, Kakang.
Kau terlampau nakal. Kau mengejutkan aku sehingga aku hampir menjadi pingsan.”
“Oh, oh,” Swandaru terkejut.
Terasa jari-jari Sekar Mirah menyengat tanpa hentinya. “Mirah. Mirah.”
“Kau terlampau nakal,” desis
Sekar Mirah. Tangannya masih saja mencubiti kakaknya. Ia ingin melepaskan
segala macam perasaan yang menghentak-hentak di dadanya. Ia ingin melepaskan
kekecewaan yang ditahannya. Ia ingin menumpahkan tangisnya yang disimpannya,
sehingga dadanya serasa akan pecah.
“Mirah, Mirah,” Swandaru
hampir berteriak, “aku minta maaf.”
Tiba-tiba Sekar Mirah
menghentikan cubitannya. Dan yang tidak disangka-sangka oleh Swandaru Sekar
Mirah itu meremas leher bajunya sambil menangis sejadi-jadinya. “Kakang,” gadis
itu berdesah.
“He,” Swandaru yang selama ini
menyangka bahwa Sekar Mirah marah kepadanya, menjadi bingung. “Kau benar-benar
marah kepadaku, Mirah.”
Tangis Sekar Mirah tidak
mereda.
Swandaru menjadi semakin
bingung. Ia tidak menyangka bahwa permainannya akan membuat Sekar Mirah
benar-benar marah. Tetapi Swandaru tidak mengerti apa yang sedang bergolak di
dada adiknya.
“Aku minta maaf, Mirah. Aku
tidak ingin membuatmu marah.”
Swandaru melihat Sekar Mirah
perlahan-lahan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kakang. Aku tidak marah
kepadamu.”
“Oh,” Swandaru semakin tidak
mengerti. “Lalu, kenapa kau menangis?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi tangisnya masih saja menyesakkan dadanya.
“Duduklah Mirah. Kau dapat
berkata dengan tenang.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi ia menurut saja ketika sekali lagi Swandaru mendorongnya duduk di atas
pembaringannya.
“Apakah kau baru saja bertemu
dengan Kakang Agung Sedayu?”
“Ya,” Sekar Mirah mengangguk.
“Apakah kau bertengkar?”
Sekar Mirah menggeleng.
“Tidak, Kakang.”
“Lalu, kenapa kau menjadi
marah, dan akulah yang menjadi kambing hitam, sehingga tubuhku menjadi merah
biru kau cubiti. Bahkan kau menggigit lenganku.”
Sekar Mirah tidak segera
menyahut.
“Agaknya kau bertengkar dengan
Kakang Agung Sedayu.”
Sekali lagi Sekar Mirah
menggeleng. “Tidak. Aku tidak bertengkar. Bahkan Kakang Agung Sedayu hampir
berdiam diri saja. Ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya minta diri dan berkata
‘Mudah-mudahan aku selamat, Mirah.’ Hanya itu.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. “Lalu apakah yang harus dikatakan?”
“Ternyata ia adalah seorang
yang dicengkam oleh keragu-raguan. Ia seorang laki-laki yang perkasa, yang
memiliki beberapa kelebihan dari orang lain. Dari Sidanti dan Argajaya. Tetapi
ia tidak berani berkata seperti yang kau katakan, Kakang. Ia tidak berani
berkata jantan seperti Kakang Sidanti dahulu.”
“Hus,” Swandaru memotong, “kau
masih juga menyebut-nyebut nama Sidanti?”
Sekar Mirah menundukkan
kepalanya. Ia telah terdorong mengucapkan nama itu. Terdorong oleh
kekecewaannya atas sikap Agung Sedayu yang menurut penilaiannya tidak sejantan
Sidanti.
“Mirah,” berkata Swandaru “aku
tidak senang mendengar nama itu masih kau sebut-sebut. Kalau kau masih juga
ingin menyebut nama itu, maka kau harus berkata ‘Bawalah kepala Sidanti itu
kepadaku.’ Jangan kau ucapkan kalimat yang lain tentang anak setan itu.”
Sekar Mirah membersihkan air
yang meleleh di pipinya dengan lengan bajunya. Katanya, “Kakang, aku merasakan
perbedaan sikap antara keduanya, Sidanti dan Kakang Agung Sedayu. Kakang Agung
Sedayu adalah seorang pendiam yang menjemukan sekali. Seorang yang ragu-ragu
dan tidak mengerti kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya. Ia tidak menyadari
kelebihannya dari orang lain, atau memang ia seorang yang sama sekali tidak
mempunyai kepercayaan pada diri sendiri.”
“Hem,” Swandaru bergumam.
“Tetapi Sidanti tidak. Sidanti
yakin akan dirinya. Ia mempunyai ketetapan hati untuk melakukan suatu
pekerjaan. Ia mempunyai kepercayaani kepada diri sendiri.”
“Jangan, Mirah. Jangan kau
ulangi lagi,” potong Swandaru. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan,
namun tekanan nadanya benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak senang
mendengarnya.
Tetapi Sekar Mirah masih
berkata, “Aku mengagumi anak-anak muda yang perkasa, yang percaya kepada diri
sendiri dan mempunyai cita-cita yang mantap.”
“Seperti Sidanti?”
Sekar Mirah terdiam.
“Seharusnya Sidanti sudah mati
bagimu, Mirah. Atau kau benar-benar ingin melihat anak setan itu mati?”
Sekar Mirah masih berdiam diri.
“Mirah,” berkata Swandaru,
“betapa perkasa anak muda yang bernama Sidanti itu, tetapi ia tak akan mampu
melampaui Kakang Agung Sedayu. Bahkan sekarang, aku pun sanggup dipasang di
hadapannya dengan senjata di tangan. Anak itu pernah menampar wajahku beberapa
kali. Tetapi untuk seterusnya tidak akan dapat terjadi lagi selagi aku masih
mampu bernafas.”
Sekar Mirah seakan-akan
menjadi beku di tempatnya. Kepalanya menunduk, sedang tangannya bermain-main
dengan ujung bajunya. Tetapi tampak pipinya masih basah.
“Sidanti sekarang sudah bukan
tandingan Agung Sedayu lagi.”
Sekar Mirah menangkat
wajahnya, katanya, “Tetapi sifat-sifatnya yang selalu dibayangi oleh
keragu-raguan itu membuat aku benci kepadanya.”
Swandaru menarik nafas.
Kemudian katanya, “Apakah kau membenci Kakang Agung Sedayu.”
“Ya, aku benci kepadanya.
Tidak ada seorang pun yang paling aku benci selain Kakang Agung Sedayu.”
“Betul begitu?”
“Ya.”
“Baiklah,” berkata Swandaru
sambil melangkah mundur. “Sekarang aku akan menemuinya.”
“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah
dengan serta-merta.
“Mirah,” berkata Swandaru
bersungguh-sungguh, “aku adalah kakakmu. Aku sudah bekerja dengan susah payah
untuk melepaskan kau dari sarang Tambak Wedi. Karena itu adalah kewajibanku
untuk membelamu. Kalau kau benci kepada Kakang Agung Sedayu, maka akupun harus
berlaku demikian juga. Aku akan pergi mendapatkannya. Dimana ia sekarang?”
“Untuk apa kau menemuinya?”
bertanya Sekar Mirah.
“Aku harus menyampaikannya
‘Sekar Mirah benci kepadamu’. Begitulah. Aku harus berkata kepadanya supaya ia
mengerti akan dirinya. Selama ini ia merasa mendapat hati. Apalagi sepeninggal
Sidanti.”
“Apa yang akan kau perbuat
itu, Kakang?” Sekar Mirah menjadi cemas.
“Sudah aku katakan. Ia harus
menyadari dirinya, bahwa kau benci kepadanya. Ia harus mengerti. Seandainya ia
menjadi kecewa, biarlah ia pergi dan memisahkan diri dari aku dan guru besok.
Apalagi seandainya ia marah, biarlah aku akan menghadapinya. Aku tidak akan
gentar. Seandainya aku kalah, maka aku dapat mengerahkan segenap anak-anak muda
Sangkal Putung untuk menangkapnya dan memukulinya sampai mati sekalipun.”
“Kakang.”
“Aku pergi sebentar. Tidak
terlampau lama. Aku akan segera kembali memberitahukan kepadamu, bahwa aku
telah memukuli anak yang kau benci itu.”
“Kakang.”
“Jangan tidur dulu, Mirah. Aku
segera kembali.”
Swandaru segera memutar
tubuhnya. Tetapi ketika ia baru melangkah setapak tiba-tiba Sekar Mirah
memegangi bajunya.
“Kenapa, Mirah.”
“Jangan, Kakang. Jangan.”
“Kenapa jangan? Lepaskan aku.
Anak itu harus mendapat pelajaran.”
“Jangan, Kakang. Jangan.”
“Biar, biar saja. Lepaskan
aku. Kenapa kau menahan. Bajuku akan sobek karenanya.”
“Kau tidak usah berbuat
apa-apa, Kakang.”
“Tidak, Mirah. Kakang Agung
Sedayu harus segera mendengar, bahwa kau membencinya. Ia harus segera menyadari
dirinya dan tidak melanjutkan mimpinya yang mengasyikkan itu. Ia harus segera
bangun dan melihat kenyataan, bahwa Sekar Mirah bukanlah gadis yang pantas
diharapkannya. Aku harus menemuinya sekarang, dan langsung memberitahukannya.
Jangan takut seandainya ia marah. Sangkal Putung penuh dengan anak-anak muda
yang sanggup berbuat apa saja untukku.”
Tetapi Sekar Mirah masih saja
memegangi bajunya. Bahkan semakin keras, sehingga Swandaru yang telah melangkah
maju itu terpaksa surut, supaya bajunya tidak sobek karenanya.
“Kenapa kau mencegah, Mirah?
Aku tidak senang menyimpan perasaan itu di dalam hati. Aku ingin persoalanmu
dengan Kakang Agung Sedayu menjadi jelas.”
“Jangan, Kakang, jangan kau
katakan kepadanya.”
“Biar, biar saja. Apakah kau
mencemaskan aku?”
“Tidak. Tetapi jangan kau
katakan.”
“Kenapa? Coba katakan, kenapa?
Bukankah kau membencinya? Bahkan Agung Sedayu adalah orang yang paling kau
benci di dunia ini, melampaui kebencianmu kepada Sidanti.”
Tiba-tiba tanpa disadarinya
Sekar Mirah menggeleng. “Tidak. Tidak begitu.”
“He?” Swandaru mengerutkan
keningnya. “Jadi bagaimana?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi ia menundukkan. kepalanya.
Melihat Sekar Mirah mencoba
menghindari pandangan matanya, Swandaru tidak dapat lagi menahan tertawanya.
Tiba-tiba saja suara tertawa itu berderai, meskipun anak yang gemuk itu
berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak mengejutkan ayah dan ibunya yang belum lama
masuk ke dalam bilik mereka.
Sekar Mirah terkejut mendengar
Swandaru tertawa. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, dilihatnya Swandaru
menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya, sedang tangannya yang lain
memegangi perutnya yang bulat.
“Kenapa kau tertawa?” Sekar
Mirah bertanya.
Swandaru tidak segera
menjawab, ia masih tenggelam dalam derai tertawanya.
“Kakang, kenapa kau tertawa?
Kenapa he?” Sekar Mirah menjadi semakin bernafsu.
“Mirah,” Swandaru menahan diri
sehingga nafasnya menjadi terengah-engah, “lain kali hati-hatilah berbicara.
Kau berkata bahwa kau benci kepada Kakang Agung Sedayu, tetapi kau memegangi
bajuku sehingga hampir sobek ketika kau dengar aku akan menyampaikannya kepada
Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa agaknya Swandaru tidak benar-benar
ingin menyampaikannya kepada Agung Sedayu. Ternyata Swandaru itu telah
mengganggunya lagi setelah kakaknya itu mengejutkannya, ketika ia memasuki
bilik ini. Karena itu maka sekali lagi Sekar Mirah itu meloncat. Kakaknya itu
seolah-olah diterkamnya dan dicubutinya habis-habisan
“Mirah, Mirah.”
Sekar Mirah tidak
mendengarkannya. Bahkan kemudian Sekar Mirah menggigit lengan Swandaru sekali
lagi. Lebih keras.
“Mirah. He, aku kapok, Mirah.
Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
“Terlalu kau, Kakang,
terlalu,” Sekar Mirah menjadi semakin bernafsu, sehingga Swandaru terpaksa
melonjak-lonjak kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil mencegah Sekar Mirah
menyakitinya.
Sekar Mirah itu baru berhenti
ketika ia mendengar suara dari dalam bilik ayahnya, “Mirah, kau kenapa?”
Sekar Mirah segera melangkah
surut, sedang Swandaru berdiri tegak di tempatnya. Mereka kemudian mendengar
langkah ayahnya tergesa-gesa.
Ketika pintu bergerit, dan
kemudian perlahan-lahan terbuka, maka mereka melihat ayahnya berdiri di ambang
pintu dengan wajah yang tegang.
“Oh, kau Swandaru,” desah
ayahnya setelah dilihatnya Swandaru di dalam bilik itu juga. “Apa yang kau
kerjakan? Apakah kalian bertengkar?”
Swandaru menggeleng. “Tidak,
Ayah.”
“Apakah kau baru menangis,
Mirah?”
“Tidak, Ayah,” jawab Sekar
Mirah.
Ayahnya terdiam. Tetapi ia
tidak percaya mendengar jawaban Sekar Mirah. Ia melihat mata gadis itu masih
merah.
Sejenak kemudian ia berkata,
“Swandaru, apakah kau masih saja suka mengganggu adikmu?”
Swandaru menundukkan kepalanya
“Tidak, Ayah. Aku tidak menganggu.”
Hampir saja Sekar Mirah
berteriak membantah. Tetapi ia berhasil menahan dirinya. Ia malu apabila
kakaknya nanti mengatakan persoalannya dengan Agung Sedayu.
“Lalu kenapa Sekar Mirah
menangis?”
Swandaru menjadi bingung
sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia menjawab, “Ia ingin ikut bersama aku besok
ayah.”
“He,” ayahnya terkejut, dan
bahkan Sekar Mirah pun terkejut pula. Tetapi ia tidak membantah.
“Benarkah begitu, Mirah?”
bertanya ayahnya.
Sekar Mirah tidak segera
menjawab. Dipandangnya wajah kakaknya sejenak. Ketika dilihatnya wajah itu
membayangkan kecemasan hatinya apabila ia mengingkarinya, maka timbullah iba di
hati gadis itu. Ia sudah puas mencubiti kakaknya sehingga merah biru, bahkan
menggigitnya.
“Ya, Mirah, kau akan ikut
serta besok?”
Tiba-tiba Sekar Mirah
mengangguk berat dan jawabannya seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “Ya,
Ayah. Aku ingin ikut.”
“Oh,” ayahnya menarik nafas
dalam. Dan Swandaru pun menarik nafas panjang pula. Bahkan kemudian ia berkata,
“Aku melarangnya, dan anak itu memang menangis. Tetapi tidak lama ia agaknya
menyadari kekeliruannya.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Syukurlah. Kau jangan terlampau
menuruti perasaanmu saja, Mirah. Perjalanan ini bukan perjalanan tamasya. Kau
harus dapat membayangkan bahaya yang mengancam di sepanjang perjalanan, apalagi
Alas Mentaok yang garang itu.”
Sekar Mirah tidak segera
menjawab, tetapi ia mengumpat di dalam hatinya. Ayahnya justru marah kepadanya,
meskipun ceritera itu hanya sekedar ceritera yang dibuat-buat oleh kakaknya
Swandaru. Meskipun demikian adalah lebih baik daripada kakaknya mengatakan
persoalannya yang sebenarnya.
Karena kedua anak-anaknya
diam, maka Ki Demang itu berkata kepada Swandaru, “Nah, Swandaru.
Beristirahatlah. Besok kau akan mulai dengan perjalanan itu.”
“Baik, Ayah,” jawab Swandaru.
Dan ayahnya meneruskan kali ini kepada Sekar Mirah, “Kau pun harus segera
tidur, Mirah. Besok kau harus bangun pagi-pagi benar untuk mempersiapkan makan
pagi buat kakakmu dan Kiai Gringsing beserta Angger Agung Sedayu.”
“Ya, Ayah,” jawab Sekar Mirah
sambil menundukkan kepalanya.
Ayahnya itu pun kemudian pergi
meninggalkan bilik itu bersama Swandaru. Setelah menutup pintu lereg biliknya,
Sekar Mirah segera merebahkan dirinya di pembaringannya. Sejenak ia masih
mengumpat-umpat karena kenakalan kakaknya. Tetapi kemudian angan-angannya
segera bergeser kepada Agung Sedayu. Anak muda itu memang aneh baginya. Aneh.
Ia tidak mengerti kenapa anak muda yang perkasa seperti Agung Sedayu,
seolah-olah tidak mempunyai keberanian untuk menentukan sikap dan berbuat
sesuatu yang menggetarkan hati.
Sekar Mirah itu terkejut
ketika tiba-tiba pintunya bergerit dan sekali lagi terbuka. Berjingkat Swandaru
masuk ke dalam sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya.
Perlahan-lahan Sekar Mirah
bangkit. Ketika ia akan berdiri, kakaknya berkata, “Tak usah berdiri, aku hanya
sebentar. Aku masih merasa belum selesai dengan persoalanmu.”
“Apa lagi?” bertanya Sekar
Mirah sambil bersungut.
“Tentang Kakang Agung Sedayu,”
jawab Swandaru. Kemudian perlahan-lahan ia berkata lancar, “Dengar. Kau salah
sangka tentang Kakang Agung Sedayu. Aku ternyata lebih banyak mengenal sifatnya
daripada kau. Kakang Agung Sedayu adalah seorang yang rendah hati. Seorang yang
bagiku terlampau baik. Ia tidak pernah menyombongkan dirinya tanpa maksud.
Mungkin ia pernah mengucapkan kata-kata yang berlebih-lebihan pada saat ia
datang. Tetapi maksudnya untuk menenteramkan hati kita di sini, bahwa
kedatangannya akan dapat membantu melindungi kademangan ini. Tetapi
sebenarnyalah ia seorang yang rendah hati. Kau ingat, bahwa ia tidak turut
dalam perlombaan memanah dahulu meskipun kecakapannya memanah tiga kali lipat
dari Sidanti? Kau harus mengerti, memang Kakang Agung Sedayu berbeda dengan
Sidanti dan berbeda dengan aku sendiri dan dengan kau. Tetapi yang rendah hati
bukanlah seorang penakut atau pengecut. Itu adalah caranya. Ia tidak akan
berkata bahwa lautan akan diloncatinya, dan gunung akan disamparnya sampai
rata. Tidak. Ia hanya akan berkata ‘Mudah-mudahan aku selamat’. Kau mengerti,
Mirah?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
“Nah, sekarang tidurlah. Aku
sudah puas. Terserahlah kepadamu, kepada caramu menilai Kakang Agung Sedayu.”
Swandaru tidak menunggu
jawaban Sekar Mirah. Sambil berjingkat ia melangkah keluar pintu dan berjalan
hati-hati ke pringgitan. Malam ini ia tidur di bentangan tikar di pringgitan
bersama Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu telah merebahkan dirinya pula
meskipun masih belum tertidur. Namun sejenak kemudian mereka pun telah
memejamkan mata dan perlahan-lahan mereka jatuh tertidur.
Sebelum fajar pecah di Timur,
Agung Sedayu dan Swandaru telah bersiap. Kiai Gringsing sudah berada di antara
mereka pula di pringgitan. Seteguk-seteguk mereka minum air hangat dan setelah
mereka makan pagi, maka mereka pun segera berkemas.
Beberapa orang mengantarkan
mereka sampai ke regol halaman ketika mereka kemudian berangkat. Widura, Ki
Demang dan Nyi Demang, Sekar Mirah, dan satu dua orang yang lain. Tidak banyak
yang mengerti bahwa hari itu Kiai Gringsing dan kedua muridnya akan
meninggalkan Sangkal Putung.
Sumangkar yang tua pun berdiri
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya di sisi regol halaman. Terasa sesuatu
bergetar di dalam dadanya. Bahkan ia berbisik lirih kepada Kiai Gringsing,
“Kiai, aku iri hati kepadamu. Kau mempunyai dua orang murid yang dapat kau
banggakan. Tidak banya sikap dan tindak-tanduk, tidak hanya ketangkasannya
menggenggam senjatamu yang aneh itu, tetapi mereka adalah anak-anak yang baik.”
Kiai Gringsing tersenyum,
jawabnya, “Mudah-mudahan aku berhasil untuk seterusnya.”
“Aku menjadi sangat prihatin
Kiai,” sumbung Sumangkar. “Perguruanku akan segera putus sampai ujung umurku.
Dahulu aku mengharapkan Angger Tohpati akan menjadi penyambung cabang
perguruanku lewat Ki Patih Mantahun. Tetapi ia telah tidak ada lagi. Dan aku
sampai saat ini tidak mempunyai seorang murid pun.”
“Kau dapat menemukannya, Adi,”
sahut Kiai Gringsing yang ikut merasakan betapa sepinya hati orang tua itu.
“Aku belum melihat.”
“Mudah-mudahan Adi segera
menemukannya.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Sejenak kemudian maka ketiga
orang itu pun berangkat meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Sekali lagi
orang-orang tua di Sangkal Putung itu memberikan doa selamat kepada mereka, dan
sekali lagi Sekar Mirah mendengar Agung Sedayu berdesis kepadanya,
“Mudah-mudahan aku selamat dan segera kembali ke kademangan ini.”
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan pelupuk matanya yang bendul
karena tangisnya semalam. Bahkan saat ini pun matanya telah menjadi basah pula.
Dua anak-anak muda yang paling dekat dengan dirinya bersama-sama pergi. Agung
Sedayu dan kakaknya Swandaru.
Meskipun hampir setiap hari
kakaknya selalu mengganggunya tetapi setiap kali kakaknya tidak di rumah,
terasa rumahnya menjadi sepi. Swandaru adalah satu-satunya saudaranya. Dan kali
ini Swandaru pergi untuk waktu yang tidak tertentu. Sedangkan anak muda yang
lain, Agung Sedayu, meskipun ia tidak sesuai dengan sifat-sifatnya yang kurang
jantan menurut penilaian Sekar Mirah, namun anak muda itu benar-benar telah
menambat hatinya dengan segala sifat-sifatnya yang tidak disukainya itu.
Kepergian Agung Sedayu pasti akan membuatnya semakin sepi.
Memang terasa, kata-kata anak
muda itu seolah-olah memberi kedamaian di hatinya. Tidak terbayang kekerasan
dan perkelahian. Tidak tersirat dendam dan kebencian terhadap siapa pun juga.
Tetapi apabila darahnya sedang mendidih mengingat perlakuan Sidanti atasnya,
maka bagi Sekar Mirah sikap yang penuh kedamaian dan kesejukan itu adalah sikap
yang terlampau lemah. Ia sendiri menyimpan dendam tiada taranya kepada Sidanti
dan orang-orangnya. Juga kepada Ki Tambak Wedi. Ia ingin Agung Sedayu
mendendamnya seperti dirinya. Mengancam dan menggenggam keinginan untuk
membalas dendam dan sakit hatinya.
Tetapi Agung Sedayu hanya
sekedar berkata kepadanya “Mudah-mudahan aku selamat, Mirah. Dan segera kembali
ke kademangan ini.”
Meskipun demikian ketika
ketiga orang in mulai melangkahkan kakinya meninggalkan regol halaman, terasa
dadanya menjadi sesak. Ia melihat Swandaru melambaikan tangannya kepadanya dan
berkata, “Baik-baiklah menjaga dirimu, Mirah.”
Sekar Mirah itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia ingin menjawab dan mengucapkan selamat jalan, tetapi
tenggorokannya serasa tersumbat. Itulah sebabnya ia hanya berdiri saja
mematung. Dicobanya untuk menggerakkan tangannya, membalas lambaian tangan
kakaknya. Tetapi tangan itu serasa menjadi terlampau kaku.
Meskipun demikian Sekar Mirah
itu berhasil menahan air matanya untuk tidak membanjir dari pelupuknya yang
basah. Tiba-tiba timbul di dalam hatinya, bahwa sikap yang sebaik-baiknya
adalah melepaskan keduanya dengan tabah, dengan dada tengadah. Ia tidak ingin
menangis lagi seperti kanak-kanak dan perempuan cengeng. Ia bukan kanak-kanak
lagi, dan ia bukan perempuan yang cengeng.
Sekar Mirah menggeretakkan
giginya. Dan sesaat kemudian ia berhasil mengangkat tangannya dan melambaikan
tangan itu. Dipaksanya bibirnya untuk tersenyum.
Tiba-tiba Sekar Mirah itu
berkata lantang, “Selamat jalan Kakang Swandaru, selamat jalan Kakang Agung
Sedayu. Mudah-mudahan kalian kembali dengan selamat setelah kalian berhasil
melepaskan sakit yang menyekat hati. Perjalanan kalian adalah perjalanan
jantan, bukan perjalanan perawan-perawan yang pergi ngunggah-unggahi.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Sekar Mirah. Tetapi ia tersenyum saja.
Dibiarkannya Swandaru menjawab, “Doakan, Mirah.”
Tetapi Sekar Mirah tidak
mendengar Agung Sedayu menjawab sepatah kata pun. Bahkan ia melihat wajah itu
membayangkan keragu-raguannya. Sesaat dipandanginya wajah gurunya. Tetapi ia
tidak mendapatkan kesan sesuatu, meskipun ia melihat gurunya itu tersenyum.
Sekar Mirah berdesah di dalam
hatinya. “Sekali lagi aku melihat wajah yang menjemukan itu. Ragu-ragu,
ragu-ragu, selalu dalam keragu-raguan,” ia mengumpat di dalam hatinya. Tetapi
ia tidak dapat melepaskan bayangan wajah yang selalu ragu-ragu itu.
Ketiganya, Ki Tanu Metir,
Agung Sedayu, dan Swandaru pun semakin lama menjadi semakin jauh. Sementara itu
langit menjadi semakin cerah. Orang-orang yang berdiri di luar regol kademangan
masih melihat ketiganya berjalan perlahan-lahan semakin lama semakin sayup.
Sejenak kemudian maka ketiga orang yang tampaknya menjadi semakin kecil itu
menghilang di tikungan.
Betapa gelora di dada Sekar
Mirah serasa mengguncang-guncang jantungnya, namun ia bertahan untuk tidak
menangis. Diangkatnya kepalanya dan ditengadahkannya wajahnya. Ia kemudian
berjalan di samping ayahnya masuk ke dalam halaman dan berjalan naik ke pendapa
beriringan dengan ibunya, Sumangkar, Widura dan beberapa orang lain. Meskipun
demikian, tidak banyak dari mereka yang berbicara. Satu dua saja berdesis
perlahan-lahan dan hanya beberapa kata-kata. Kemudian hening lagi.
Ketika Widura, Sumangkar, dan
Ki Demang meletakkan dirinya, duduk di pringgitan kademangan, maka Sekar Mirah
berjalan di belakang ibunya langsung masuk ke ruang dalam. Nyai Demang itu pun
agaknya menahan dirinya untuk tidak menangis ketika melepaskan Swandaru.
Ditabahkannya hatinya, dan ditahankannya perasaannya. Ternyata sikapnya
mempengaruhi sikap Sekar Mirah pula. Sekar Mirah yang bertahan mati-matian itu
seolah-olah mendapat kekuatan baru melihat sikap ibunya yang tenang dan
seolah-olah meyakinkan, bahwa perjalanan kakaknya tidak akan menemukan
kesulitan.
Meskipun demikian, Sekar Mirah
yang kemudian masuk ke dalam biliknya masih harus mencari kekuatan untuk tidak
terbenam ke dalam sikap seorang gadis yang ditinggalkan oleh orang-orang yang
dikasihinya. Ia kemudian terpaksa menyibukkan dirinya dengan segala macam
kerja. Membenahi biliknya, pakaiannya dan kemudian gadis itu berlari-lari ke
luar, pergi ke perigi. Diraihnya senggot timba, dan dengan menggeretakkan
giginya, ia mulai menimba air, mengisi gentong dan jembangan.
Tetapi dengan menimba air dari
sumur itu, hatinya masih saja berguncang. Karena itu dilepaskan senggot timba
itu sehingga suaranya berderak-derak. Gadis itu kemudian berlari ke tumpukan
kayu di sudut kandang. Diraihnya sebuah parang, dan dengan sekuat-kuat
tenaganya dihantamkannya parang itu pada seonggok kayu di samping kandang itu.
Gadis yang sedang bertahan
diri terhadap deraan perasaannya itu terkejut ketika ia mendengar sapa lembut
di belakangnya, “Kenapa kau menjadi terlampau gelisah, Mirah.”
Sekar Mirah itu mengangkat
wajahnya dan kemudian berpaling ke arah suara itu. Ia menarik nafas lega ketika
dilihatnya yang berdiri di samping kandang itu adalah Ki Sumangkar.
“O,” desah gadis itu, “Kiai
mengejutkan aku.”
Sumangkar tersenyum, katanya,
“Kau terlampau sibuk. Itulah sebabnya maka kau terkejut.”
“Ya, aku terlampau sibuk,”
sahut Sekar Mirah, “tetapi bukankah Kiai duduk-duduk di pringgitan bersama ayah
dan Paman Widura?”
“Mereka pun telah sibuk dengan
kewajiban masing-masing.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Sumangkar itu bertanya lagi, “Kenapa kau
sendiri akan memotong kayu itu? Tidakkah ada orang lain? Pembantu-pembantu
kademangan ini? Tentu lebih baik laki-lakilah yang memotong dan membelah kayu
itu. Kalau tidak ada seorang pun yang hari ini sempat, maka kau dapat minta
tolong kepada prajurit-prajurit yang sedang beristirahat.”
“Tidak, Kiai,” sahut Sekar
Mirah, “aku pun dapat memotong dan membelah kayu. Apakah bedanya seorang
laki-laki dengan seorang perempuan? Aku dapat juga mengambil air di sumur itu
setiap pagi, aku juga dapat bekerja keras seperti laki-laki. Dan aku kira
tenagaku pun cukup kuat meskipun tidak memadai laki-laki yang kuat. Tetapi aku
berani beradu tenaga dengan laki-laki yang sedang.”
Sumangkar tersenyum, katanya,
“Aku percaya, Ngger, memang kau adalah seorang gadis yang rajin. Dengan
demikian maka tenagamu pun akan berkembang dengan baik. Kau dapat membawa padi
setenggok penuh di dalam dukungan, seperti yang dibawa oleh laki-laki di atas
kepalanya. Kau memang seorang gadis yang memiliki tenaga yang cukup.”
“Nah, kalau demikian, kenapa
aku harus minta bantuan laki-laki hanya sekedar ingin memotong dan membelah
kayu?”
“Ya, ya. Aku keliru.”
Mendengar jawaban itu, Sekar
Mirah justru terdiam. Ditatapnya mata orang tua yang tersenyum di hadapannya.
Di wajah itu dilihatnya goresan-goresan umur yang semakin dalam.
“Nah, teruskanlah, Ngger,”
berkata Sumangkar kemudian. Sekar Mirah masih berdiam diri. Tetapi ia menjadi
segan untuk meninggalkan pekerjaan itu, karena ia sudah terlanjur membanggakan
dirinya.
“Silahkan, Ngger. Aku tidak
mengganggu, bukan?”
“O, tidak,” jawab Sekar Mirah
ragu. Namun tanpa disadarinya gadis itu kini menatap seonggok kayu di
hadapannya. Kayu yang masih belum terpotong pendek dan terbelah. Kayu yang baru
saja ditebang dan dipotong-potong panjang, ditimbun di samping kandang.
Kini Sekar Mirah akan
memotong-motong kayu itu menjadi pendek dan kemudian membelahnya dengan kapak,
supaya kayu itu lekas menjadi kering dan siap untuk dibakar di dapur.
Sekali gadis itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia memang tidak pernah melakukannya. Tetapi ia tidak boleh mundur.
Ia sudah terlanjur mengatakan, bahwa ia pun mampu melakukannya. Tidak hanya
laki-laki.
Karena itu, maka segera
diayunkannya parangnya, sekuat tenaga dihantamkannya kepada sepotong kayu yang
tertimbun di hadapannya. Terdengar gadis itu berdesis kecil. Begitu kuatnya ia
mengayunkan parangnya, sehingga terasa tangannya menjadi sakit. Tetapi ia tidak
mau berhenti, sekali lagi parang itu diayunkan, dan sekali lagi ia berdesis.
Tetapi parang itu terayun sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi.
Sumangkar yang melihat gadis
itu berusaha dengan sekuat-kuat tenaganya memotong kayu itu tersenyum di dalam
hatinya. “Gadis ini memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat
kakaknya, Angger Swandaru. Tetapi orang-orang yang demikianlah kadang-kadang
yang akan dapat mencapai cita-citanya. Ia tidak gentar menghadapi rintangan dan
hambatan. Tenaganya pun ternyata cukup kuat. Sayang ia tidak menggenggam tangkai
parang itu dengan baik, sehingga tangannya akan segera terasa sakit, dan bahkan
mungkin akan dapat terkilir karenanya.”
Karena itu maka Sumangkar itu
pun segera melangkah maju, perlahan-lahan ia berdesis, “Luar biasa, Ngger. Luar
biasa.”
Sekar Mirah berhenti sejenak.
Ketika ia menegakkan punggungnya, terasa punggungnya pun menjadi sakit. Karena
itu, maka dengan sebelah tangannya ia menekan lambungnya.
Sumangkar yang melihat gadis
itu berusaha dengan sekuat-kuat tenaganya memotong kayu itu tersenyum di dalam
hatinya. “Gadis ini memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat
kakaknya, Angger Swandaru. Tetapi orang-orang yang demikianlah kadang-kadang
yang akan dapat mencapai cita-citanya.
“Sakit?” bertanya Sumangkar.
“Tidak, Kiai, aku tidak merasa
apa-apa.”
“Bagus,” sahut Sumangkar, “kau
memang luar biasa, Ngger. Kayu itu akan segera terpotong.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Ia merasa orang tua itu menyindirnya, karena luka pada kayu itu
masih belum senyari.
Sumangkar agaknya dapat
menangkap perasaan Sekar Mirah itu, sehingga dengan tergesa-gesa ia menyambung,
“Maksudku, kalau Angger Sekar Mirah meneruskannya, maka kayu itu pun pasti akan
terpotong.”
Sekar Mirah mengangguk
perlahan-lahan.
“Tetapi, Mirah,” berkata
Sumangkar kemudian, “agaknya kau kurang baik menggenggam parangmu. Coba,
berikanlah parangmu itu.”
Tanpa sesadarnya, maka parang
itu diserahkannya kepada Sumangkar.
“Begini,” berkata Sumangkar,
“lihat beginilah seharusnya kau menggenggam parang itu. Ayunkan perlahan-lahan,
lurus ke depan supaya parang ini tidak menggeliat. Kau dapat mengayunkan dan
membuat luka-luka di kayu ini agak miring, tetapi jangan terlampau banyak.
Kemudian dari arah miring yang berlawanan. Kalau kau sudah dapat tepat
menjatuhkan parangmu pada luka yang pertama, maka barulah kau ayunkan parang
ini semakin keras. Dengan demikian, kau tidak membuat luka di beberapa tempat
seperti ini. Ini terjadi karena kau tidak ajeg menggerakkan parangmu dalam
ayunan yang ajeg pula. Nah, cobalah.”
Sekar Mirah tanpa sesadarnya
memperhatikan dan mendengarkan keterangan Ki Sumangkar itu baik-baik.
Diamatinya dengan saksama bagaimana Ki Sumangkar menggenggam tangkai parangnya,
kemudian bagaimana ia mengayunkan parang itu.
“Aku juga dapat melakukannya,”
tiba-tiba Sekar Mirah berkata.
Sumangkar tersenyum.
Diserahkannya parang itu kepada Sekar Mirah sambil berkata, “Cobalah.”
Perlahan-lahan Sekar Mirah
mengayunkan parangnya. Satu kali, dua kali, tiga kali. Kini ia sudah dapat
menjatuhkan mata parangnya pada luka yang telah dibuatnya. Tidak bergeser lagi
setiap kali. Semakin lama semakin keras, semakin keras.
“Bagus,” desis Ki Sumangkar.
Sekar Mirah tidak menyahut.
Tetapi seakan-akan ia tenggelam dalam keasyikan memotong kayu itu.
Sumangkar melihat keringat
yang bercucuran di kening gadis itu, maka katanya, “Sudahlah, Mirah. Kau letih.
Biarlah saja dilanjutkan oleh orang lain.”
Tetapi Sekar Mirah seakan-akan
tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan ia bekerja semakin keras. Ayunannya
menjadi semakin cepat dan cepat. Luka pada batang kayu itu dengan cepat
bertambah dalam. Percikan tatalnya melontar-lontar ke segenap arah. Bahkan satu
dua memercik ke wajah Sekar Mirah sendiri. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak
menghiraukannya.
“Sudahlah, Ngger,” Sumangkar
mengulangi, tetapi Sekar Mirah seakan-akan masih belum mendengarnya.
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Gadis ini memang keras kepala. Ia sama
sekali tidak mau mundur apabila ia ingin berbuat sesuatu.”
Baju Sekar Mirah sudah menjadi
basah kuyup oleh keringatnya yang seperti diperas dari dalam tubuhnya. Namun ia
sama sekali tidak ingin berhenti bekerja. Semakin lama semakin keras dan cepat.
Sekali lagi Sumangkar menarik
nafas dalam-dalam. Kini ia melihat Sekar Mirah itu melepaskan parangnya,
menekan lambungnya dengan kedua tangannya. Kemudian diusapnya keringat yang
menetes dari keningnya dengan lengan bajunya.
“Heh,” Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya, “putus juga akhirnya.”
“Luar biasa, Ngger,” desis Ki
Sumangkar.
Sekar Mirah berpaling, “Apakah
yang luar biasa? Bukankah pekerjaan ini pekerjaan yang biasa saja? Tidak ada
apa-apa yang lain dari kerja biasa, memotong kayu?”
“Ya, ya,” sahut Sumangkar,
“tetapi bahwa Angger Sekar Mirah yang melakukan itulah yang luar biasa. Bahkan
seorang laki-laki pun mungkin tidak akan dapat selesai secepat itu.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Sekali lagi ia mengusap peluhnya dengan lengan bajunya. Perlahan-lahan ia
berdesah, ”Ah, lelah juga akhirnya, Kiai.”
Orang tua itu tertawa.
Katanya, “Lelah, tentu lelah. Angger sudah bekerja terlampau keras. Kayu itu
sudah terpotong.”
Tertatih-tatih Sekar Mirah itu
melangkah dan menjatuhkan dirinya di bebatur kandang. Sekali ia menarik nafas
panjang.
“Lenganku menjadi sakit, Kiai,
dan telapak tanganku terasa nyeri.” Tetapi segera disambungnya, “Tidak, Kiai,
tidak hanya nyeri, tetapi lihat tanganku menjadi melempung sebesar biji jagung
di dua tempat.”
“Angger belum biasa,” jawab
Sumangkar, “tetapi apabila Angger telah biasa, maka tangan itu tidak, akan
melempung lagi.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, beristirahatlah. Kau
pasti lelah sekali.” Sumangkar itu berhenti sejenak. Tanpa dikehendakinya
sendiri, diamatinya gadis yang keras hati itu dengan saksama. Tubuhnya yang
bulat padat seperti kebanyakan gadis padesan yang bekerja keras setiap hari. Di
sawah dan di rumah. Wajahnya yang memancarkan kekerasan hatinya itu dan matanya
yang memandang hari depannya dengan penuh keyakinan.
“Sayang ia seorang gadis,”
desah orang tua itu di dalam hatinya, “seandainya ia seorang laki-laki muda,
mungkin ia tidak akan kalah dari kakaknya Swandaru.”
Sumangkar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa disadarinya. Dan ia berkata pula di dalam
hatinya, “Apakah salahnya, meskipun ia seorang gadis. Mungkin ia akan lebih
baik dari seorang anak laki-laki. Seorang gadis tidak akan kalah dari seorang
anak muda apabila cukup terlatih. Seorang gadis mempunyai kelebihannya sendiri
disesuaikan dengan kodratnya. Perasaan seorang gadis biasanya lebih tajam dari
seorang laki-laki apalagi firasatnya. Mungkin seorang gadis akan lebih cepat
dapat menanggapi keadaan dari seorang laki-laki. Tetapi seorang gadis harus
dituntun untuk mempergunakan nalar. Tidak hanya sekedar perasaan saja.”
“Angger Sekar Mirah agaknya
dapat berlaku demikian. Tenaganya cukup kuat, perasaannya cukup tajam dan
nalarnya akan dapat juga berkembang dengan baik.”
Sumangkar tidak dapat lagi
mengelakkan diri dari cengkaman perasaannya. Ia merasakan sesuatu yang menarik
perhatiannya pada gadis itu. Kekerasan hati, kekuatan jasmaniah dan
ketabahannya.
“Aku belum pernah merasa
tertarik kepada seseorang seperti kepada gadis ini,” katanya di dalam hati,
“bahkan anak-anak muda yang pernah aku jumpai pun tidak menarik perhatianku.
Aku pernah melihat kelebihan Angger Alap-Alap Jalatunda dari anak-anak muda
yang lain kecuali Angger Tohpati. Bahkan apabila mendapat kesempatan dan
tuntunan, Alap-Alap Jalatunda tidak akan kalah dari Angger Sanakeling dan
bahkan Angger Sidanti. Tetapi watak anak itu sangat menjemukan dan bahkan
memuakkan. Ilmuku akan jatuh ke tanah yang subur tetapi sangar. Aku tidak mau.”
Sumangkar itu tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah salahnya
apabila muridku seorang gadis?”
Tetapi Sumangkar menyimpan
perasaan itu di dalam hatinya. Ia ingin mengenal gadis itu lebih banyak.
Sifat-sifatnya, tabiatnya dan yang terpenting baginya adalah wataknya. Apakah
gadis itu akan dapat menjadi penyambung perguruannya yang baik. Tidak saja
dalam olah kanuragan tetapi juga dalam solah tingkah dan tindak tanduk. Sebelum
Tohpati mati, maka ia adalah satu-satunya harapan bagi perguruannya. Tetapi ia
terseret ke dalam arus yang telah menjerumuskannya ke dalam langkah yang sesat.
Sebenarnya sikap Tohpati itu sendiri dapat memberinya kebanggaan. Namun
landasan untuk berpijak bagi Macan Kepatihan itu kemudian, yang tidak dapat
dibenarkannya.
Sumangkar itu tersadar dari
angan-angannya ketika ia melihat Sekar Mirah berdiri. Ia mengusap telapak
tangannya sambil berdesis, “Aku harus membuat obat untuk menyembuhkan tanganku
yang melempung ini, Kiai.”
“Apakah yang akan kau
pergunakan untuk mengobatinya?”
“Kencur.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Kelak, kalau Angger telah menjadi biasa, maka tangan
Angger itu tidak akan melempung lagi.”
“Aku akan membiasakannya.
Setiap hari.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Baiklah. Tetapi hati-hati. Jangan sampai mengenai tangan atau
bagian-bagian tubuhmu sendiri.”
“Aku dapat berhati-hati,”
sahut Sekar Mirah.
Sumangkar tersenyum.
Dibiarkarmya gadis itu pergi meninggalkannya. Tetapi kesan yang didapatinya
dari gadis itu tidak juga disingkirkannya. Bahkan tumbuhlah keinginan yang
mendesak untuk berbuat sesuatu sebelum umurnya menjadi semakin tua, dan ia akan
segera menurun dari puncak kemampuannya, sebelum ia berkesempatan menurunkan
ilmunya.
Sementara itu Sekar Mirah
langsung pergi ke dapur untuk mencari beberapa potong kencur untuk mengobati
tangannya. Tetapi ia benar-benar bertekad untuk membuat tangannya tidak lagi
secengeng itu.
“Tanganku harus menjadi tangan
yang kuat,” desisnya di dalam hatinya. Dan ia benar-benar ingin berbuat untuk
itu.
Sumangkar terkejut ketika di
hari berikutnya, ia melihat Sekar Mirah telah sibuk di samping kandang.
Meskipun tangannya masih terasa sakit, tetapi rasa sakit itu sama sekali tidak
dihiraukannya. Dengan sepenuh minat ia mengayunkan parang memotong sebatang
kayu yang teronggok di samping kandang.
“Apakah lengan Angger sudah
tidak sakit lagi?” bertanya Sumangkar.
“Tanganku terlampau cengeng,
Kiai,” jawabnya, “aku harus mengajarnya untuk menjadi sedikit kuat.”
Sumangkar tersenyum. Ia
menjadi semakin tertarik kepada gadis yang mempunyai tekad sebesar itu. Menurut
perhitungan Sumangkar, untuk kepentingan yang lebih besar, maka ia akan tidak
segan-segan untuk berbuat jauh lebih banyak lagi.
“Mirah,” berkata orang tua
itu, “sebaiknya Angger jangan memaksakan diri. Aku senang melihat Angger
bekerja keras tetapi Angger harus mengingat kekuatan tubuh Angger.”
“Kalau aku memanjakan diri
Kiai,” jawab Sekar Mirah, “maka aku akan menjadi seorang yang akan selalu
bergantung kepada orang lain. Tidak Kiai, aku harus berbuat sesuatu supaya aku
mampu berdiri tegak seperti orang-orang lain. Seperti Kiai, seperti ayah dan
seperti Kakang Swandaru. Aku tidak mau selalu menjadi beban orang lain, seperti
apa yang baru saja terjadi. Aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika Sidanti
mengambil aku dari padepokan ini.”
“Oh,” Sumangkar mengerutkan
keningnya.
“Dengan melatih diri
mengayunkan parang ini, setidak-tidaknya aku akan dapat berbuat sesuatu,
melawan sedapat-dapat, sementara mulutku dapat berteriak memanggil orang lain.”
Sumangkar tertawa, “Kau memang
luar biasa. Seharusnya kau tidak usah menilai diri seperti ayahmu dan kakakmu
Swandaru, sebab mereka adalah laki-laki.”
“Apa bedanya?” Sekar Mirah
tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menengadahkan dadanya, “apakah perempuan
selamanya harus bergantung kepada laki-laki. Tidak Kiai. Ada juga hak bagi
seorang perempuan untuk membela diri. Bukankah di dalam cerita-cerita dan
dongeng-dongeng banyak juga disebutkan bahwa seorang perempuan mampu juga
menjadi prajurit?”
“Ya, ya Ngger. Apalagi cerita
pewayangan.”
“Nah, kalau demikian apakah
salahnya aku menjadi seorang yang mampu menyelamatkan diriku sendiri seperti
laki-laki.”
“Ya. ya Ngger,” sahut
Sumangkar, “tetapi itu tidak terlampau mudah. Tenaga seorang laki-laki menurut
kodratnya berbeda dengan seorang perempuan. Seorang pemuda akan berbeda dengan
seorang gadis.”
“Aku tahu, Kiai, tetapi
seorang perempuan yang lemah dan sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, akan
jauh lebih lemah dari seorang perempuan yang lemah tetapi berusaha untuk
menemukan kekuatan di dalam kelemahannya.”
“Oh,” Sumangkar mengerutkan
keningnya, “pendapat Angger mengagumkan.”
“Tidak mengagumkan, Kiai.
Pendapat itu lahir karena pengalaman yang pahit yang pernah aku alami. Aku
tidak mau pengalaman semacam itu terulang. Aku senang seandainya aku dapat
sedikit memiliki kekuatan untuk menjaga diri. Aku tidak mau menjadi seorang
yang menyerah kepada kelemahannya. Aku harus menemukan kekuatan.”
Sumangkar tidak segera
menjawab. Tetapi ia melihat tekad yang menyala di wajah gadis itu.
“Kiai, sejak kecil aku
mengagumi sifat-sifat jantan. Aku kagum melihat laki-laki memancarkan
kelaki-lakiannya. Tidak seperti laki-laki yang cengeng, yang ragu-ragu dan kehilangan
kepercayaan diri.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menjadi semakin mengenal watak dan sifat-sifat dari gadis putri
Ki Demang Sangkal Putung itu. Keras hati seperti kakaknya, Swandaru.
Dengan demikian, maka ia
menjadi semakin tertarik kepadanya. Seolah-olah orang tua itu menemukan tanah
yang subur terbentang di hadapannya setelah bertahun-tahun ia kehilangan sawah
garapannya.
“Angger,” orang tua itu
kemudian berkata, “Angger benar-benar membuat aku heran. Meskipun Angger selama
ini seolah-olah tidak lepas dari sisi ayah dan ibu, tetapi wawasan Angger Sekar
Mirah ternyata cukup jauh. Pengalaman Angger yang baru saja terjadi itu masih
belum cukup untuk membuat Angger Sekar Mirah menjadi berwawasan sedemikian
jauhnya, seandainya di dalam diri Angger sendiri tidak tersimpan benih-benih
yang baik seperti yang tersimpan di dalam diri Angger Swandaru. Pengalaman yang
terjadi atas Angger Sekar Mirah dapat menumbuhkan bermacam-macam akibat. Bagi orang
lain, maka akibatnya akan sangat berbeda. Seseorang dapat menjadi semakin
berkecil hati. Semakin ketakutan dan kehilangan kepercayaan. Bahkan pada orang
lain lagi dapat menumbuhkan keputus-asaan dan rendah diri. Tetapi sebaliknya
kau menjadi semakin teguh seperti karang yang setiap hari dihantam oleh ombak.”
“Oh, sejak kemarin Kiai selalu
memuji. Mudah-mudahanlah demikian hendaknya.”
“Aku tidak memuji, Mirah. Aku
mengatakan sebenarnya,” sahut Ki Sumangkar, “tetapi sadarilah. Bahwa sekedar
menggenggam tangkai parang itu masih jauh daripada cukup untuk menjaga diri.
Menjadikan telapak tanganmu bertambah kebal itu pun bukan jalan dan cara yang
cukup.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Ya, aku tahu, Kai. Aku tahu bahwa hanya dengan demikian, maka
pasti tidak akan berarti apa-apa bagi keselamatan diri. Tetapi setidak-tidaknya
aku sudah mulai untuk suatu tujuan yang lebih jauh.”
“Apakah tujuan itu?”
Sekar Mirah terdiam.
Dipandanginya wajah Sumangkar yang telah digoresi oleh garis-garis tahun. Orang
ini tampaknya menjadi semakin tua.
Dan tiba-tiba saja terungkat
di dalam hati gadis itu, bahwa orang tua ini adalah seorang yang memiliki
kemampuan seperti Kiai Gringsing, seperti Ki Tambak Wedi, seperti Ki Patih
Mantahun menurut pendengarannya, seperti Ki Gede Pemanahan.
Dada Sekar Mirah menjadi
berdebar-debar. Ia melihat ujud yang sederhana. Seperti Ki Tanu Metir. Tetapi
pada kesederhanaan itu memancar kelebihan-kelebihan yang dahsyat seperti Ki
Tanu Metir pula. Katanya di dalam hati. “Apakah aku dapat memperoleh sesuatu
dari orang tua itu?”
Dalam keragu-raguannya ia
mendengar Sumangkar itu berkata, “Mirah, coba, biarlah aku yang memotong kayu
itu.”
Sekar Mirah seakan-akan
tersadar dari sebuah mimpi yang dapat menumbuhkan harapan di dadanya. Dengan
terbata-bata ia menjawab, “Tidak, Kiai. Tidak usah. Biarlah aku saja yang
menyelesaikannya. Seandainya tanganku tidak mampu karena sakit, maka biarlah
orang-orangku yang menyelesaikannya.”
Sumangkar tersenyum.
“Berikanlah parang itu.”
Sekar Mirah menjadi
seakan-akan kehilangan kesadarannya ketika Sumangkar maju beberapa langkah.
Mengajukan tangannya dan mengambil parang di tangan Sekar Mirah.
“Lihatlah, Ngger, beginilah
seharusnya Angger memotong kayu,” berkata orang tua itu sambil melangkah
mendekati sebatang kayu yang lain terbujur di sisi kandang. Kayu itu bukan
sekedar sepotong dahan atau cabang yang sedang. Tetapi kayu itu adalah sepotong
kayu yang cukup besar.
“Apakah Kiai akan memotong
kayu itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya,” jawab Sumangkar.
“Hanya dengan parang?”
“Ya.”
“Seharusnya dipergunakan
kapak. Dan seharusnya bukan Kiailah yang melakukannya.”
Sumangkar tersenyum. Kini ia
telah berdiri di samping batang kayu yang menelentang itu. Dipandangnya batang
kayu itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia berjongkok. Ia harus membuat gadis
Sangkal Putung itu menjadi kagum. Karena itu kali ini ia tidak sekedar
memberikan contoh, bagaimanakah caranya menggenggam tangkai parang seperti
kemarin. Tidak cuma memberi contoh bagaimanakah parang itu harus diayunkan.
Tetapi kali ini ia akan memberikan contoh yang lain, contoh yang bukan sekedar
tenaga lahiriahnya. Seperti Kiai Gringsing mampu melecutkan cambuknya dan
menimbulkan ledakan yang dahsyat, maka orang tua ini pun mampu menyalurkan
kekuatan-kekuatan yang tidak tampak pada gerak dan tingkah laku sehari-hari.
Perlahan-lahan Sumangkar
mengangkat parangnya. Di pusatkannya segenap kekuatannya. Ketika perlahan-lahan
pula parang itu terangkat kemudian terayun dengan derasnya, maka Sekar Mirah
seolah-olah tidak dapat bernafas lagi. Dadanya seakan-akan berhenti bekerja dan
segenap perhatiannya tertumpah kepada mata parang Ki Sumangkar. Bahkan
jantungnya pun terasa berhenti berdetak.
Sejenak kemudian, Sekar Mirah
berdesis menyaksikan parang itu membenam ke dalam batang kayu itu. Membenam
dalam-dalam. Seperti membenamkannya ke dalam sebatang pokok pisang.
Terdengar mulut gadis itu
sekali lagi berdesis. Tetapi kedua tangannya kemudian menutup mulutnya yang
ternganga. Ia tidak percaya kepada penglihatannya. Benarkah parang itu membenam
hampir separo ke dalam batang sebesar itu?
Sejenak ia melihat Sumangkar
mencoba menarik parangnya yang membenam itu. Tetapi ternyata parang itu tidak
cukup kuat. Parang itu adalah parang pemotong kayu. Karena itu maka parang itu
tidak dapat mengimbangi kekuatan Sumangkar yang tercurah.