Buku 053
Sejenak kemudian terdengar
suara gemerasak di dedaunan tepat di atas jalan sempit yang gelap, menurun dan
jatuh di tanah.
Kiai Gringsing mendapat kesan
bahwa para peronda itu terkejut karenanya. Serentak kuda-kuda mereka berhenti.
“Apakah kalian juga mendengar
suara gemerasak itu?” bertanya salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya.
“Ya,” sahut yang lain.
“Apakah menurut dugaan
kalian?“
“Di atas jalan ini banyak
terdapat dedaunan dan ranting-ranting yang kering.”
”Mungkin buah-buahan yang
dibawa oleh burung-burung malam.”
“Apakah kalian tidak
memperhitungkan kemungkinan yang lain.”
“Hantu atau jin barangkali?”
“Ya.”
“Apakah mereka sempat
mengganggu kami dengan cara itu? Hanya anak-anak yang dapat ditakut-takutinya
dengan cara demikian. Tetapi sudah tentu bukan kita. Kalau hantu-hantu itu
mempunyai sedikit pengetahuan tentang manusia, mereka pasti akan mempergunakan
cara yang lebih ngeri untuk menakut-nakuti kita sekarang ini.”
Kawan-kawannya tidak menjawab.
Agaknya mereka sependapat dengan pendapat kawannya itu, sehingga tanpa
menghiraukan apa pun lagi mereka meneruskan perjalanan.
Sepeninggal mereka, Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berbesar hati, bahwa tidak
semua orang menjadi ketakutan di dalam keadaan yang tidak berketentuan ini.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing
masih belum puas. Ia ingin berbuat sesuatu sehingga para peronda itu menjadi
semakin mantap. Mereka harus meyakini, bahwa mereka benar-benar tidak mudah
menjadi ketakutan.
Bagi mereka yang sudah dicengkam
oleh kepercayaan yang mendalam kepada hantu dan jin, maka setiap gejala yang
paling kecil pun pasti sudah menggoncangkan dada mereka. Tetapi para peronda
ini tidak.
Sejenak kemudian, maka Kiai
Gringsing pun telah menyusup pula di antara gerumbul liar, mendahului para
peronda yang memang sengaja maju perlahan-lahan.
“Sebenarnya sekali-sekali aku
ingin melihat, bagaimanakah bentuk hantu-hantu itu,” berkata salah seorang dari
mereka.
“Aku pernah melihat,” jawab
yang lain, ”tetapi aku kurang yakin bahwa itulah yang dimaksud dengan hantu.”
“Apa yang kau lihat?”
“Seperti seekor kelinci,”
“He, sekecil kelinci?”
“Ya. Tetapi bercahaya seperti
puluhan kunang-kunang.”
Kawan-kawannya tidak segera
menjawab. Namun kemudian terdengar salah seorang dari mereka tertawa, ”Itu
bukan hantu,” katanya.
“Apa menurut pendapatmu?”
“Kelinci, memang kelinci.
Tetapi oleh cahaya apa pun yang ada waktu itu, tampaknya bulu-bulunya yang
mengkilap seakan-akan bercahaya.”
“Aku juga menduga demikian.
Tetapi sesaat kemudian aku mendengar suara tertawa lirih. Lalu hilang.”
“Kapan kau lihat dan kau
dengar semuanya itu?”
“Ketika aku menjadi pengawas
di ujung selatan dari penebangan hutan ini.”
“Kau dan para pengawas yang
lain menjadi ketakutan?”
“Sebagian. Tetapi yang paling
parah justru daerah ini. Karena itu Ki Gede Pemanahan berniat untuk mengganti
para pengawas di daerah ini.”
“Ya. Aku juga mendengar.”
Tetapi pembicaraan mereka
segera terputus. Dengan tiba-tiba saja para peronda itu berhenti. Dengan mata
terbelalak mereka melihat sebuah bayangan yang bergantungan pada sebuah cabang
pohon yang rendah. Sebuah bayangan hitam seperti seekor kera raksasa sedang
berayun-ayun.
“Apakah kalian melihat
sesuatu?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Ya, sebuah bayangan hitam
berayun pada sebatang dahan.“
“Bagus. Agaknya kita
benar-benar dijemput oleh hantu dari Kerajaan Kajiman Mataram.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Namun betapa pun juga dada mereka menjadi berdebar-debar.
“Aku akan menemuinya,” berkata
pemimpin rombongan itu.
Maka ia pun segera menyentuh
kendali kudanya, sehingga kuda itu berderap maju. Tetapi langkahnya segera
berhenti. Kuda itu pun agaknya menjadi terkejut, sehingga sambil meringkik kuda
itu melonjak dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Untunglah bahwa
penunggangnya adalah seseorang yang telah menguasainya, sehingga kuda itu pun
segera dapat ditenangkannya.
Kawan-kawannya yang lain pun
segera menyusul di belakangnya. Mereka pun kemudian berhenti beberapa langkah
dari bayangan hitam yang masih saja terayun-ayun.
“He, apakah kau yang disebut
hantu?” bertanya pemimpin rombongan itu.
Bayangan itu sama sekali tidak
menjawab.
“He, apakah kau dapat
mendengar dan dapat berbicara seperti manusia. Kalau kau hantu, apakah
maksudmu?”
Bayangan itu masih tetap
berdiam diri sambil berayun-ayun seenaknya.
Pemimpin peronda itu menarik
nafas dalam-dalam. Bagaimana ia harus berbicara dengan hantu-hantu.
“Menurut pendengaranku,”
berkata salah seorang dari para peronda itu, ”hantu-hantu dapat berbicara seperti
manusia. Ternyata orang-orang yang kesurupan dapat juga berbicara. Nah,
sekarang apakah hantu yang satu ini mau berbicara atau tidak?”
Tetapi bayangan itu masih
tetap diam.
“Mungkin hantu-hantu hanya
dapat berbicara apabila ia merasuk ke dalam tubuh seseorang,” berkata yang
lain.
“Aku bersedia,” seorang
peronda yang masih muda menyahut, “kalau hantu itu akan meminjam tubuhku untuk
dapat berbicara, aku tidak berkeberatan. Tetapi jangan dirusakkan. Aku masih
memerlukannya.”
“Hus,”desis yang lain.
Namun bayangan itu masih tetap
berdiam diri, sambil masih saja terayun-ayun di dalam kegelapan.
“Bukan hantu,” desis salah
seorang dari peronda itu dengan tiba-tiba, “aku kira seekor kera raksasa.
Marilah, kita tangkap saja.”
“Tunggu,” berkata pemimpin peronda
itu. Meskipun demikian ia sendiri maju beberapa langkah di atas punggung
kudanya. Namun tiba-tiba ia mencabut pedangnya. Katanya, “Ayo, jawablah
pertanyaanku. Apakah kau termasuk dalam jenis hantu yang akan mengganggu
perjalanan kami?”
Bayangan itu tidak menyahut.
Tetapi tiba-tiba ia meluncur jatuh di tanah.
Sekali lagi kuda pemimpin,
rombongan itu terkejut. Namun penunggangnya masih berhasil menenangkannya.
Kini para peronda itu melihat
selingkar bayangan hitam yang tergolek di tanah, seperti seonggok padas. Namun
dengan demikian mereka mulai percaya, bahwa mereka memang berhadapan dengan
hantu.
“Apa yang harus kita lakukan?”
desis salah seorang dari mereka.
“Apakah kita perlu memanggil
Kiai Damar? Mungkin ia dapat berbicara dengan hantu ini.”
Tetapi tidak seorang pun di
antara para peronda itu yang menanggapinya. Semuanya sedang ditegangkan oleh
seonggok bayangan hitam yang terletak di tanah. Di dalam kegelapan malam,
tampaklah bayangan itu bergerak-gerak seolah-olah tarikan nafas.
Karena tidak ada yang
menjawab, maka peronda itu mengulanginya, “Apakah aku harus memanggil Kiai
Damar?”
Belum lagi ada yang, menjawab,
maka tiba-tiba bayangan hitam itu melenting tinggi. Kemudian jatuh melingkar
pula di tanah seperti semula.
“Tidak ada gunanya memanggil
Kiai Damar,” berkata pemimpin peronda itu.
“Mungkin Kiai Damar mampu
berbicara dengan cara yang tidak kita ketahui.”
Pemimpin peronda itu merenung
sejenak. Lalu, “Baiklah. Kalau hantu ini bersedia menunggu.”
“Marilah kita kepung, jangan
sampai hantu itu lolos sebelum Kiai Damar datang kemari.”
Pemimpin peronda itu tidak
menjawab. Ia berpaling ketika salah seorang dari mereka segera meninggalkan
tempat itu kembali ke pondok Kiai Damar.
“Kawani anak itu,” desis
pemimpin peronda kepada seorang peronda yang lain.
Maka dua ekor kuda telah
berjalan secepat-cepat dapat dilakukan kembali ke pondok Kiai Damar.
Ketika mereka sampai di muka
pintu, maka pintu itu sudah tertutup rapat. Karena itu, maka salah seorang dari
mereka segera mengetok sambil memanggil, “Kiai, Kiai Damar.”
Agaknya Kiai Damar yang baru
saja menutup pintu masih belum tidur. Dengan suara yang parau itu bertanya,
“Siapa di luar?”
“Aku, para peronda.”
“He? Baru saja ada beberapa
orang peronda datang kemari.”
“Itulah kami.”
“Kenapa kalian kembali?”
“Ada sesuatu yang penting,
Kiai.”
“Apa?”
“Kami telah bertemu dengan
hantu-hantu itu.”
“He?” Kiai Damar terkejut
sehingga dengan serta-merta ia meloncat dan membuka pintu. Di dalam kegelapan
ia melihat dua orang peronda yang sedang turun dari kuda mereka.
“Apakah Ki Sanak mengatakan
bahwa Ki Sanak telah bertemu dengan hantu?”
“Ya. Kami telah bertemu dengan
sesosok hantu.”
“Itu tidak mungkin. Tidak
mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin, Kiai?
Daerah ini adalah daerah yang angker. Hampir setiap orang di daerah ini
berbicara tentang hantu. Bahkan Kiai Damar sendiri berbicara pula tentang
hantu. Nah, kami telah dicegat oleh sesosok hantu. Tetapi kami tidak dapat
mengajaknya berbicara. Karena itu kami segera kembali kepada Kiai. Kami ingin
mengajak Kiai bersama kami untuk mencoba berbicara. Bukankah Kiai mempunyai
cara tersendiri untuk dapat berbicara dengan hantu-hantu itu?”
“Tetapi itu tidak mungkin.
Kalian tidak akan bertemu dengan hantu yang mana pun juga. Mereka telah
berjanji untuk tidak mengganggu kalian.”
“Tetapi kami benar-benar telah
bertemu dengan salah satu dari mereka.”
“Apakah bentuknya?“
“Seperti seonggok sampah atau
katakanlah sebongkah batu yang lunak, semula hantu itu berayun-ayun pada
sebatang pohon, kemudian menjatuhkan diri melingkar di tanah.”
Wajah Ki Damar menjadi tegang.
Namun mulutnya masih berkata, ”Tidak mungkin. Tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin? Kalau
Kiai tidak percaya, marilah kita lihat. Kedatanganku memang bermaksud untuk
mengajak Kiai serta dengan kami.”
Sejenak Kiai Damar berdiri
termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram, ”Aku akan melihatnya.”
“Marilah. Kita naik berdua.”
Kiai Damar pun kemudian segera
meloncat naik ke punggung kuda bersama seorang peronda. Tanpa menutup pintu
rumahnya, maka mereka pun segera pergi ke tempat hantu yang telah mengganggu
para peronda itu.
Sementara itu, para peronda
pun menjadi ragu-ragu. Benda hitam itu masih saja teronggok diam. Di dalam
gelap malam, para peronda itu tidak dapat melihat dengan jelas, apakah sebenarnya
yang sedang dihadapinya. Sedang untuk lebih mendekat lagi mereka pun ragu-ragu.
“He, hantu,” pemimpin peronda
itu hampir berteriak, “kenapa kau diam saja? Apakah kau memang tidak mempunyai
mulut?”
Onggokan benda hitam itu sama
sekali tidak menjawab. Sekali lagi benda itu melenting. Namun kemudian diam.
Perlahan-lahan pemimpin
peronda itu turun dari kudanya, diikuti oleh yang lain.
“Kepung benda ini,” katanya,
”jangan sampai lolos sampai Kiai Damar datang. Ia akan dapat berbicara dengan
hantu ini.”
Kawan-kawannya pun kemudian
bergerak mengitari benda itu setelah mereka menambatkan kuda-kuda mereka. Namun
langkah mereka tertegun ketika benda hitam itu pun berguling menjauhi,
seakan-akan benda itu menyadari bahwa para peronda itu sedang bergerak mengepungnya.
Pemimpin peronda itu
mengerutkan keningnya. Namun ia tetap pada pendiriannya, ”Cepat. Jangan biarkan
lari.”
Kawan-kawannya pun berloncatan
lebih cepat lagi, berusaha untuk mengepung benda hitam yang mereka anggap hantu
itu.
Namun tiba-tiba mereka
terkejut. Ternyata benda itu dengan tanpa diduga telah menyerang salah seorang
dari mereka yang berusaha mengepungnya. Meski pun benda itu nampaknya hampir
tidak bergerak, tetapi sebutir batu telah mengenai dada salah seorang peronda
sehingga ia menyeringai kesakitan.
“Kenapa?”
“Dadaku.”
Ternyata serangan itu telah
membuat para peronda menjadi lebih berhati-hati. Meskipun akibatnya tidak
berbahaya, namun serangan itu merupakan peringatan kepada para peronda, bahwa
hantu itu dapat berbuat sesuatu atas mereka. Hantu itu bukan sekedar seonggok
sampah yang mati.
Dengan demikian, maka setiap
orang kini telah menggenggam senjata masing-masing. Meskipun demikian, mereka
sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya, mengepung benda yang mengandung
rahasia itu.
Namun mereka kini melangkah
dengan penuh kewaspadaan. Senjata mereka telah siap untuk menghadapi setiap
kemungkinan.
Tetapi agaknya bayangan hitam
itu tidak pula tinggal diam. Sekali-sekali benda itu berguling menjauh.
Kemudian berhenti diam. Bahkan sekali-sekali melenting dan kembali jatuh di
tanah.
Dalam ketegangan itulah
kemudian terdengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Serentak para peronda itu
berpaling. Mereka pasti bahwa yang datang itu adalah para peronda yang telah
menemui Kiai Damar.
Ternyata dugaan mereka tidak
salah. Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu pun telah semakin dekat, dan
kemudian berhenti di tempat kawan-kawannya menambatkan kudanya.
Karena peronda itu tidak
segera melihat kawan-kawannya yang sudah bergeser dari tempatnya, maka salah
seorang dari keduanya pun berkata lantang, ”He, di manakah kalian? Aku datang
bersama Kiai Damar.”
“Di sini,” jawab salah seorang
peronda yang sedang berusaha mengepung bayangan hitam itu.
Kedua peronda yang mengajak
Kiai Damar itu pun segera berloncatan dari kuda-kuda mereka bersama Kiai Damar.
Dengan tergesa-gesa mereka berlari-lari mendekat ke arah suara itu.
“Apa yang kalian lihat?”
bertanya Kiai Damar. Tetapi alangkah kagetnya para peronda itu. Ketika mereka
sedang sibuk menunggu kedatangan Kiai Damar, dan serentak berpaling ke arah
langkah kakinya, maka mereka tidak sempat memperhatikan bayangan hitam itu
lagi. Mereka tidak melihat bayangan itu menggelinding dan hilang di dalam
gerumbul. Yang mereka ketahui kemudian, hantu itu tiba-tiba telah hilang di
dalam kegelapan malam.
“Apa yang kalian lihat?”
bertanya Kiai Damar.
“Di situ. Kami melihat sesuatu
di kegelapan ini.”
“Ya di mana,” desak Kiai Damar
yang sudah berdiri di antara para peronda yang sudah memegang senjata di tangan
mereka.
Para peronda itu saling
berpandangan. Sejenak mereka tidak dapat menjawab pertanyaan Kiai Damar. Tetapi
kini mata mereka melekat pada kegelapan malam, di mana mereka melihat bayangan
hitam itu yang terakhir.
“Di mana?” sekali lagi Kiai
Damar mendesak.
Salah seorang dari peronda itu
menunjuk dengan ujung pedangnya, “Di situ. Di situlah aku melihat yang terakhir
kali. Kemudian hilang tidak berbekas.”
“Omong kosong,” teriak Kiai
Damar.
“Kiai,” berkata pemimpin
peronda itu, ”Kiai jangan menuduh bahwa kami telah berbohong. Kami memang
melihat sesuatu di dalam kegelapan ini. Tidak begitu jelas memang. Tetapi
menurut pengamatan kami, kami telah melihat seonggok benda yang
kehitam-hitaman.”
“Kalian telah bermimpi.”
“Kami tidak akan dapat mimpi
bersama-sama dan serupa.”
“Tetapi aku tidak percaya.”
“Kenapa Kiai tidak percaya?”
“Hari ini tidak akan ada
hantu, yang mana pun juga.”
“Tetapi kami sudah
melihatnya.”
Kiai Damar tercenung sejenak.
Tiba-tiba saja terasa bulu-bulu tengkuknya meremang. Sudah sekian lama ia
tinggal di dalam hutan yang gelap dan terasing. Namun baru saat itulah ia
benar-benar telah dipengaruhi oleh cerita tentang hantu yang lain. Hantu yang
seolah-olah bukan kelompok hantu-hantu yang sudah dikenalnya.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Damar, ”aku mengenal hantu di daerah Mataram ini dengan baik. Dari tingkat yang
paling rendah, bekasakan, tetekan, ilu-ilu, banaspati, sampai hantu yang paling
tinggi martabatnya, jin, setan, peri, prayangan,” Kiai Damar berhenti sejenak.
Lalu, ”di antara mereka, tidak ada jenis hantu yang ujudnya seperti seonggok
batu padas yang lunak ke-hitam-hitaman.”
“Tetapi Kiai, bukankah hantu
itu dapat merubah ujudnya sesuai dengan kehendak mereka pada suatu saat?”
“Tetapi pada dasarnya mereka
telah memiliki bentuk yang tetap.”
Salah seorang peronda yang
masih muda berkata, ”Kalau begitu, mungkin kita telah berjumpa dengan hantu
dari daerah lain. Dari Pajang misalnya. Atau dari Kali Praga atau dari Gunung
Merapi.”
“Jangan mengigau,” bentak Kiai
Damar yang tampaknya menjadi tegang.
Dalam pada itu, selagi mereka
sedang sibuk menjajagi jenis hantu yang mereka lihat, tiba-tiba mereka
mendengar gemeresak daun yang terguncang. Kemudian disusul oleh sebuah bunyi
yang tidak dapat mereka mengerti, tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri.
Para peronda itu seolah-olah
membeku di tempatnya. Namun senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian
bergetar di dalam genggaman.
Tetapi Kiai Damar agaknya
tidak tinggal diam. Tiba-tiba saja ia melenting meloncat ke arah suara itu.
Para peronda saling
berpandangan sejenak. Dada mereka menjadi berdebar-debar dan nafas mereka pun
tertahan-tahan. Mereka hanya dapat memandang dengan tanpa berkedip Kiai Damar
yang dengan lincahnya menyusup ke dalam gelap, dan kemudian hilang ditelan oleh
tumbuh-tumbuhan liar yang rimbun.
Sejenak para peronda itu tidak
mendengar sesuatu. Karena itu mereka menjadi cemas, apakah kira-kira yang akan
terjadi dengan Kiai Damar yang sedang berusaha untuk mengejar hantu yang
agaknya asing baginya.
Namun ternyata bahwa Kiai
Damar pun termasuk orang yang luar biasa. Para peronda itu tidak dapat
mengetahui, ke mana ia pergi. Karena itu, maka mereka pun tidak dapat
mengikutinya untuk melihat, apakah yang telah dilakukannya.
Dalam pada itu, Kiai Damar pun
dengan kemampuan yang ada padanya, berloncatan di antara semak-semak dan
gerumbul-gerumbul liar, menuju ke arah bunyi yang tidak dimengertinya.
Beberapa saat kemudian
langkahnya pun terhenti ketika ia mendengar sesuatu beberapa langkah
daripadanya. Ia sudah menduga, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya.
Karena itu maka dengan hati-hati ia berdiri tegak, sambil memperhatikan keadaan
di sekitarnya dengan segenap inderanya.
”Tak ada gunanya kau
bersembunyi,” desisnya, ”aku tahu, kau berada di balik pohon cangkring.“
Sejenak tidak terdengar
jawaban. Karena itu maka Kiai Damar mengulanginya, ”Jangan bersembunyi di balik
pohon cangkring. Aku mungkin akan membuat pertimbangan yang wajar kalau kau
menampakkan dirimu.”
Tetapi tidak seorang pun yang
datang. Sedang suara tarikan nafas itu masih didengarnya. Dari balik pohon
cangkring.
Akhirnya Kiai Damar kehilangan
kesabaran. Ia-lah yang kemudian melangkah dengan hati-hati mendekati pohon
cangkring yang rimbun. Tetapi ia tertegun sejenak. Ia tiba-tiba saja telah
kehilangan suara yang memberinya petunjuk, bahwa ada seseorang yang bersembunyi
di sekitarnya. Apalagi setelah ia sampai di sebelah pohon cangkring, ia tidak
melihat seseorang. Tarikan nafas yang didengarnya itu pun seakan-akan telah
lenyap.
“He, Jangan lari.”
Tidak ada jawaban. Tetapi kini
ia mendengar suara nafas itu di belakang gerumbul yang lain.
Kemarahan yang semakin lama
semakin memanasi dadanya, telah membuat Kiai Damar semakin tidak bersabar.
Dengan loncatan yang cepat ia melingkari gerumbul yang kelam. Namun sekali lagi
ia tidak menemukan sesuatu. Tidak ada suara tarikan nafas, tidak ada seseorang,
dan tidak ada apa-apa.
“Jangan bersembunyi, jangan
bersembunyi!” suaranya lantang.
Tetapi tidak ada jawaban apa
pun. Di kejauhan, para peronda dapat menangkap suara Kiai Damar. Tetapi mereka
tidak berhasrat sama sekali untuk mendekat. Mereka menganggap bahwa yang sedang
terlibat kini adalah orang yang mengerti dan tahu kedudukan lawannya. Yaitu
hantu-hantu.
Kiai Damar sendiri, tiba-tiba
saja telah terkejut ketika suara nafas itu terdengar dekat sekali di
belakangnya. Dengan serta-merta ia meloncat, membalikkan tubuhnya dan siap
menghadapi segala kemungkinan.
Darahnya tersirap ketika ia
melihat sebuah bayangan hitam teronggok di tanah. Segera ia mengerti, bahwa
inilah yang di maksud oleh para peronda. Hantu ini pulalah yang agaknya telah
mengganggunya.
“He, kaukah yang telah
mengganggu para peronda itu?” Kiai Damar bertanya lantang.
Benda yang hitam teronggok di
tanah itu sama sekali tidak menjawab. Namun jelas bagi Kiai Damar, bahwa benda
hitam itu bernafas seperti manusia. Betapa pun lirihnya, namun Kiai Damar dapat
mendengar desah yang teratur.
”He, kenapa kau diam saja?”
desak Kiai Damar. Namun tiba-tiba ia terdiam. Para peronda itu menganggapnya
sebagai seseorang yang mampu berbicara dengan hantu-hantu. Namun tiba-tiba kini
ia berhadapan dengan sesuatu yang tidak dapat diajaknya berbicara.
Terngiang kata-kata salah
seorang dari para peronda itu. “Kalau begitu mungkin kita telah berjumpa dengan
hantu dari daerah lain. Dari Pajang misalnya atau dari Kali Praga atau dari
Gunung Merapi.”
Tiba-tiba tanpa sesadarnya ia
bertanya, ”He, apakah kau hantu dari daerah lain? Bukan dari Alas Mentaok?”
Kiai Damar terkejut ketika ia
mendengar suara menggeram. Ternyata seonggok benda itu telah mengeluarkan
semacam bunyi yang asing.
“Benar he? Kau datang dari
luar Alas Mentaok?”
Sekali lagi benda itu
menggeram.
”Kalau kau mengerti aku,
dengar pertanyaanku. Kalau ya, kau menggeram. Kalau tidak, kau diam saja,” Kiai
Damar berhenti sejenak. Lalu, ”Kau datang dari Kali Praga?”
Benda itu diam saja.
“Dari Gunung Sepikul?” Benda
itu masih diam saja.
“Dari Pesisir?”
Benda itu diam saja.
“Dari Gunung Merapi?”
Ternyata benda itu menggeram,
sehingga Kiai Damar dapat mengambil kesimpulan bahwa hantu itu datang dari
Gunung Merapi.
“Apa maksudmu datang, kemari
he?”
Tidak ada jawaban. Tapi benda
itu hanya menggeram saja.
“Persetan,” desis Kiai Damar,
”pergilah. Jangan mengganggu daerah ini. Daerah ini adalah daerah Hutan Mentaok.
Kau tidak boleh berada di sini.“
Tetapi tidak ada jawaban apa
pun juga.
“Pergi. Kau harus pergi.”
Benda itu diam saja.
Kiai Damar menjadi marah
sekali. Tiba-tiba ia menarik keris pusakanya. Sambil maju selangkah ia berkata,
”Tidak ada makhluk yang dapat menahan kekuasaan keris ini. Kau pun tidak,
meskipun kau dapat membuat dirimu menjadi lebih halus dari wadag yang kau
perlihatkan.”
Selangkah demi selangkah Kiai
Damar maju mendekati benda yang kehitam-hitaman, yang menyebut dirinya hantu
dari Gunung Merapi itu. Namun benda itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah
memang menunggu Kiai Damar mendekatinya.
“Aku masih memberimu
kesempatan,” desis Kiai Damar, ”kalau kau tidak segera pergi, aku akan membelah
tubuhmu dengan pusaka ini.”
Seonggok benda hitam itu masih
tetap berdiam diri. Namun di dalam kegelapan malam, Kiai Damar yang menjadi
semakin dekat melihat bahwa benda itu telah mulai bergerak-gerak.
Dengan demikian, maka Kiai
Damar pun menjadi semakin hati-hati. Keris di tangannya telah bergetar. Keris
itu adalah keris pusaka yang bagi Kiai Damar, memberikan kemantapan apabila ia
sedang berhadapan dengan bahaya yang paling besar.
Demikianlah, maka pada suatu
saat Kiai Damar telah benar-benar kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka ia
pun segera meloncat semakin dekat sambil mengacukan senjatanya.
Tetapi benda yang hitam itu
pun kemudian berguling menjauhinya, secepat ia meloncat maju.
“Jangan lari. Kau sudah
kehilangan semua kesempatan,” berkata Kiai Damar sambil mengejar benda itu.
Namun tiba-tiba benda yang
kehitam-hitaman itu melenting. Dengan cepatnya benda itulah yang mendahului
menyerang dengan garangnya. Dalam kegelapan malam Kiai Damar melihat,
seakan-akan sebuah sayap yang mengembang. Namun, kemudian meluncur seperti
sebatang kayu.
Kiai Damar tidak menyangka
bahwa benda itu akan menyerang begitu cepatnya. Karena itu, maka ia tidak
mempunyai kesempatan untuk menghindar ketika pinggulnya tersentuh tubuh hantu
itu.
Beberapa langkah Kiai Damar
terdorong surut. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya. Namun
dorongan yang keras itu telah membuatnya jatuh di atas lututnya.
Dengan marahnya Kiai Damar
menggeram. Secepat kilat ia meloncat berdiri. Tetapi sekali lagi ia terkejut.
Dengan sayap yang mengembang, hantu itu telah menyerangnya kembali. Kali ini
justru lebih dahsyat, sehingga sekali lagi Kiai Damar terpelanting jatuh di
tanah.
Dengan susah payah ia berusaha
untuk tetap menggenggam senjatanya. Satu-satunya kekuatan yang dibanggakannya
saat itu adalah kerisnya. Namun keris itu terjatuh juga di tanah. Karena itu,
secepatnya ia berguling ke arah kerisnya yang tidak begitu jauh dari padanya,
Ketika keris itu sudah
tergenggam di tangannya kembali, maka ia pun segera berusaha untuk bangkit
berdiri. Meskipun lambung dan pergelangan tangannya masih terasa sakit, namun
ia pun segera berhasil berdiri tegak di atas tanah.
Tetapi dadanya menjadi semakin
berdebar-debar. Ia tidak melihat lagi lawannya. Bahkan ia tidak mendengar suara
apa pun yang dapat memberinya petunjuk, kemana bayangan hitam itu pergi.
“Setan licik,” teriaknya.
Namun sejenak kemudian, Kiai
Damar menjadi ragu-ragu. Betapa gelapnya malam, tetapi ternyata inderanya yang
cukup tajam dapat menangkap sesuatu yang mencurigakannya. Sentuhan hantu itu
pun terasa aneh pula padanya. Sentuhan itu tidak bedanya dengan sentuhan wadag
manusia biasa.
“Sama sekali bukan hantu,”
geramnya, ”tentu seseorang yang mencoba untuk membuat onar.”
Namun Kiai Damar menjadi
ragu-ragu lagi. Desisnya, ”Tetapi siapa. Siapa yang mempunyai kemampuan begitu
tinggi?”
Kiai Damar yang mengaku
dirinya mempunyai hubungan yang akrab dengan hantu-hantu itu menjadi ragu-ragu.
Namun kehadiran makhluk itu, apakah ia hantu apakah ia manusia telah membuatnya
ragu-ragu.
Selagi ia berdiri
termangu-mangu itulah, ia mendengar suara berbisik, ”Jangan bingung, Kiai
Damar. Apakah kau ingin melihat kenyataanku?”
“He, kau dapat berbicara?”
“Ya, aku memang dapat
berbicara.”
“Ayo, jangan lari. Kalau kau
memang ingin berhadapan dengan Kiai Damar.”
”Baikkah. Aku memang ingin
berhadapan dengan Kiai Damar yang selama ini merasa dirinya bersahabat dengan
hantu-hantu. Tetapi kau benar, bahwa aku datang dari luar Alas Mentaok. Aku
datang dari Gunung Merapi.”
Kiai Damar menggeram. Tetapi
ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sesosok tubuh yang pendek berjalan
timpang mendekatinya, “Inilah aku dalam ujudku yang sebenarnya,” berkata
makhluk pendek dan timpang itu.
“Hem,“ desis Kiai Damar, “kau
berbentuk seperti manusia juga. Tetapi kenapa kau berkerudung kain?”
“Ini adalah kelengkapanku.”
“Bohong. Kau masih akan
mengelabuhi aku. Ayo, tunjukkan bentukmu yang wajar.”
“Inilah bentukku.”
Kiai Damar mengerutkan
keningnya. Suara yang tinggi melengking, membuat telinganya menjadi sakit.
“Apakah sebenarnya maksudmu
mengganggu aku?” bertanya Kiai Damar.
“Tidak apa-apa. Tetapi aku
memang sedang mengemban tugas.”
“Omong kosong.”
“Kiai Damar,” berkata makhluk
itu, ”bukankah namamu Kiai Damar yang merasa dirimu mampu berbicara dan
mempersoalkan nasib hutan Mentaok ini dengan Kerajaan Mataram Kajiman? Nah,
ketahuilah. Aku adalah Kiai Dandang Wesi. Dahulu di masa kecilnya, aku adalah
pemomong Raden Sutawijaya yang kini bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi
umurku tidak mengijinkan aku untuk selalu melayaninya. Pada suatu saat, aku
merasa bahwa ajal telah sampai. Itulah sebabnya, aku mohon ijin kepadanya untuk
bertapa di kaki Gunung Merapi. Akhirnya aku menemukan bentukku yang sekarang,”
makhluk itu berhenti sejenak. Lalu, ”Dan kini aku mendapat tugas untuk menemui
Raja Mataram Kajiman. Pesan yang aku bawa dari Sri Maharaja Bantar Bumi, Raja
Kajiman di Gunung Merapi, yang sebenarnya adalah muridku, agar Raja di Alas
Mentaok, tidak mengganggu usaha momonganku, Mas Ngabehi Loring Pasar, membuka
hutan ini untuk dijadikan sebuah negeri bagi manusia wadag. Siapa saja yang
berani menghalanginya, maka persoalannya akan berkepanjangan, karena aku dan
muridku, Sri Maharaja Bantar Bumi tidak akan tinggal diam.”
Kata-kata hantu yang menyebut
dirinya bernama Dandang Wesi itu telah menggetarkan dada Kiai Damar. Sesaat ia
meragukannya, namun sesaat kemudian jantungnya menjadi berdebar-debar. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa pada suatu saat ia akan berhadapan dengan Kerajaan
Hantu yang lain, yang mengaku Kerajaan Hantu di Gunung Merapi dan dipimpin oleh
seorang Raja pula.
Karena Kiai Damar terpaku saja
di tempatnya tanpa menjawab, maka Dandang Wesi itu berkata, ”Nah, kebetulan
saja kita bertemu. Kalau kau masih ingin berkelahi, marilah aku layani sejenak.
Sebab aku harus segera menghadap Prabu Talangsari dari Kerajaan Mataram yang
masih sederhana. Kerajaan Mataram ini masih saja seperti Kerajaan Mataram lama
berabad-abad yang lampau. Cara berpikir mereka pun masih dipengaruhi oleh cara
berpikir yang sederhana. Nah, dengan makhluk yang demikian itulah kau
berhubungan. Berbeda dengan Kerajaan yang tumbuh di Gunung Merapi saat ini,
yang dipimpin oleh Sri Maharaja Bantar Bumi. Kalau suatu ketika kau
berkesempatan marilah melihat-lihat kerajaan yang baru berkembang itu, sejalan
perkembangan Tanah Mataram baru ini.”
Kiai Damar menjadi semakin
bingung. Apalagi ketika hantu yang menyebut dirinya bernama Dandang Wesi itu
bertanya, “He, Kiai Damar. Kalau kau memang benar mampu berhubungan dengan Raja
Mataram Kajiman, coba sebutkan bagaimanakah bentuk Prabu Talangsari? Bentuk
sewajarnya, dan bentuk yang disukainya?”
Kiai Damar seolah-olah
terbungkam. Ia berdiri dengan mata terbelalak. Namun demikian kerisnya masih
digenggamnya erat-erat.
“Aku hormat kepadamu, meskipun
seorang pembohong,” berkata Dandang Wesi, ”kau termasuk seseorang yang berani,
seperti para peronda itu. Sekarang, aku akan meneruskan perjalananku ke pusat
kota. Mudah-mudahan Perabu Talangsari dapat menerima kehadiranku dan
mendengarkan nasehat dan pesan Sri Maharaja Bantar Bumi, supaya Kerajaan
Mataram ini tidak menyesal.”
“Tetapi, tetapi ….,” berkata
Kiai Damar dengan suara bergetar, “apakah kau akan menanyakan tentang aku?”
“Kenapa?”
“Aku memang belum pernah
menghadap Prabu Talangsari. Tetapi senapati-senapatinyalah yang selama ini
berhubungan dengan aku.”
“Aku tidak akan berbicara
tentang kau. Terlampau kecil namamu untuk dibicarakan di hadapan Raja-Raja.
Yang akan aku sebut namanya adalah Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya.” Kiai
Dandang Wesi berhenti sejenak, “Adalah pikiran yang bodoh sekali, seperti yang
pernah kau katakan, bahwa pohon-pohon besar itu adalah bangunan-bangunan yang
penting bagi kerajaan. Itu adalah pikiran beberapa abad yang lalu. Tetapi
semuanya sekarang sudah lain. Inilah yang akan aku beritahukan kepada Prabu
Talangsari.“
Kiai Damar tidak menyahut.
“He, kenapa kau diam saja?”
tiba-tiba hantu pendek itu membentak.
Kiai Damar tergagap karenanya.
“Kau sudah menghina aku,“
tiba-tiba saja hantu pendek dan timpang itu menjadi sangat marah. Lalu, “Kau tidak
percaya kepadaku? Kepada semua ceritaku? Terkutuklah kau.”
Sebelum Kiai Damar menjawab,
tiba-tiba hantu pendek itu telah menyerangnya.
Kiai Damar sama sekali tidak
menyangka bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, ia tidak dapat berbuat
apa-apa ketika dadanya seakan-akan retak karenanya.
Dengan kerasnya ia
terpelanting dan jatuh terlentang. Namun kali ini kerisnya masih tetap berada
di genggamannya.
Sejenak ia menyeringai
kesakitan. Namun kemudian ia mencoba untuk berdiri sambil menggenggam keris pusakanya.
Tertatih-tatih ia berusaha. Dan akhirnya ia berhasil tegak di atas kedua
kakinya.
Tetapi hantu pendek itu sudah
lenyap. Yang terdengar hanyalah suaranya di antara desau angin. “Maaf, Kiai
Damar. Aku tidak sempat berurusan dengan kau. Selamat malam. Aku akan segera
menemui Prabu Talangsari.”
Kiai Damar menggeram. Tetapi
hatinya benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan yang dahsyat. Kadang-kadang ia
menjadi ngeri. Namun kadang-kadang ia menghentak-hentakkan kakinya dan
menggeretakkan giginya.
“Persetan,” ia menggeram.
Namun bersamaan dengan itu, bulu-bulu ditengkuknya serasa meremang.
Sejenak kemudian, dengan penuh
kebimbangan ia melangkahkan kakinya. Ditemuinya para peronda yang menungguinya
dengan cemas.
Ketika mereka melihat Kiai
Damar datang sambil menggenggam kerisnya, para peronda itu bertanya, ”Apa yang
sudah terjadi, Kiai? Kami mendengar lamat-lamat kalian berbicara. Tetapi kami
tidak mendengar dan tidak mengerti pembicaraan itu.”
“Aku sudah berhasil
mengajaknya berbicara,” berkata Kiai Damar, ”bahasanya memang agak lain, karena
hantu itu datang dari Gunung Merapi.”
“O.”
”Tetapi semuanya sudah
selesai. Semuanya sudah berakhir. Hantu itu tidak akan mengganggu lagi.”
“Jadi, apakah hubungannya
dengan hantu-hantu alas Mentaok.”
Kiai Damar menarik nafas, “Aku
tetap pada pendirianku. Sebaiknya Ki Gede Pemanahan menunda dahulu usahanya
untuk memperluas Tanah Mataram yang baru ini.”
“Begitu?”
“Ya. Selanjutnya, biarlah aku
yang menyelesaikan.”
Tetapi sekali lagi seluruh
bulu-bulu di tubuh Kiai Damar meremang ketika ia mendengar suara tertawa
lamat-lamat, seolah-olah sedang mentertawakan kata-katanya.
“Sudahlah. Kembalilah
menghadap Ki Gede Pemanahan,” berkata Kiai Damar kemudian, ”aku akan kembali ke
pondokku.”
“Apakah kami harus mengantar
dengan kuda?”
“Tidak, aku akan berjalan
kaki.“
Para peronda itu pun kemudian
minta diri, dan Kiai Damar pun berjalan kembali ke pondoknya dengan jantung
yang berdebar-debar. Kerisnya masih saja tetap di dalam genggaman. Ia tidak
berani menyarungkannya, apabila setiap saat ia bertemu dengan hantu pula.
Namun demikian, di sepanjang
langkahnya kembali ke pondoknya, pikirannya selalu dipengaruhi oleh prayangan
yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi yang dahulu semasa hidupnya sebagai
manusia, adalah pemomong Sutawijaya selagi masih kanak-kanak.
“Ia tentu orang yang sakti,
yang di dalam olah tapanya telah mrayang dengan badan wadagnya,” desis Kiai
Damar, “sehingga meskipun ia dapat berbentuk lembut, namun sentuhan wadag
manusianya masih terasa di dalam serangan-serangannya yang seakan-akan hanya
bermain-main saja itu.”
Dada Kiai Damar menjadi
berdebar-debar. Bahkan tanpa sesadarnya ia berkata, “Jika hantu Gunung Merapi
itu benar-benar ikut campur, maka semua rencana Panembahan Jati Srana akan gagal.
Dan yang akan terjadi adalah benturan antara dua kelompok hantu dari Kerajaan
Hantu yang besar. Alas Mentaok dan Gunung Merapi.”
Kiai Damar menjadi
termangu-mangu. Ia sendiri tidak tahu, betapa ia menjadi bingung dan cemas.
Keragu-raguan yang dahsyat telah melanda dadanya, memecahkan rencana-rencananya
sendiri. Apa yang dikatakannya tentang hantu-hantu di Alas Mentaok kini
tiba-tiba menjadi masalah baginya. Masalah yang mencemaskannya.
Sementara itu, Kiai Gringsing
berjalan tersuruk-suruk mendekati gubug Kiai Damar. Ketika ia menengadahkan
wajahnya, ia menjadi gelisah, karena pertanda bintang-bintang di langit
mengatakan kepadanya, bahwa malam telah melampaui pertengahannya.
“Mudah-mudahan Agung Sedayu
tidak mengambil suatu tindakan apa pun di barak,” katanya di dalam hati. ”Aku
masih belum berhasil bertemu dengan Kiai Damar.“
Kiai Gringsing pun kemudian
mengendap semakin dekat di balik gubug Kiai Damar. Namun ketika dilihatnya
gubug itu masih kosong, maka ia pun segera meloncat ke depan. Dengan kepala
tunduk ia duduk bersila di muka pintu gubug yang masih terbuka.
Kiai Damar yang berjalan
sambil merenung, tiba-tiba terlonjak melihat sesosok tubuh yang kehitam-hitaman
duduk di muka pintu gubugnya. Hampir saja ia menyerang dengan keris yang masih
digenggamnya. Namun ketika ia melihat bayangan itu mengacu-acukan tangannya
sambil memohon, ”Ampun Kiai, ampun. Aku orang baik,” maka Kiai Damar pun
mengurungkan niatnya.
“Siapa kau he?” bentak Kiai
Damar.
“Ampun, Kiai. Aku datang dari
barak para penebang hutan.”
“Oh, apa maksudmu?”
“Aku akan menghadap Kiai.
Anakku sakit, Kiai.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
menurut seorang dukun yang tinggal di sebelah barak kami, anak itu keracunan.”
“Kenapa kau kemari?”
“Dukun itu menyuruhku datang
kemari. Menurut dukun itu, selain keracunan anakku mendapat gejala penyakit
yang lain.”
“Apalagi kata dukun itu?“
“Aku disuruh membawa sebungkus
obat kepada Kiai.“
“Lihat. Bawa obat itu kemari.”
Kiai Damar yang masih
berdebar-debar itu pun kemudian melangkah memasuki gubugnya. Sebuah lampu
minyak yang terayun-ayun oleh angin malam yang lemah menerangi ruangan yang
sempit itu.
Kiai Gringsing pun kemudian
dengan ragu-ragu memasuki ruangan itu pula sambil membawa sebungkus obat yang
didapatnya dari dukun yang tinggal di sebelah baraknya.
Nafas Kiai Damar masih belum
berjalan wajar. Sekali-sekali ia masih menarik nafas panjang-panjang untuk
menenteramkan hati.
Setelah menyarungkan kerisnya,
maka Kiai Damar pun berkata, ”Kenapa kau datang di malam larut begini?”
“Aku terlampau cemas Kiai,
anakku sakit.”
Kiai Damar pun kemudian
menerima sebungkus obat yang diserahkan oleh Kiai Gringsing. Diamat-amatinya
obat itu. Lalu katanya, ”Kau bawa anak itu kemari?”
“Tidak Kiai, anak itu ternyata
terlampau lemah.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, ”Menurut pengamatanku, kau terlampau berani, bahkan
agak sombong sedikit. Kau telah berani menebas, hutan larangan. Hutan yang
telah beberapa kali dibuka, tetapi selalu ditinggalkan oleh orang-orang yang
berusaha membukanya. Betul begitu?“
“Ya. Ya, Kiai. Dari mana Kiai
tahu?”
“Aku melihat,” jawab Kiai
Damar sambil mempermainkan kuku ibu jarinya.
“Kiai melihat di kuku ibu jari
itu?”
“Anakmu benar-benar telah
diterkam hantu. Kau kira anakmu kena apa, he?”
“Aku menyangka anakku itu
digigit ular atau binatang-binatang beracun lainnya.”
“Tidak. Anakmu benar-benar
telah diterkam hantu. Untunglah saat itu ada orang lain yang dijadikan
korbannya. Kalau tidak, pasti anakmulah yang akan binasa.”
“Kiai tahu bahwa ada orang
lain?”
“Ya. Orang lain inilah yang
telah diperas darahnya. Kau melihat juga?”
”Ya. Ya, Kiai. Kami melihat
seseorang yang terluka. parah.”
“Suatu keuntungan bagimu. Bagi
anakmu. Kalau tidak ada korban itu, anakmulah korbannya.”
“Tetapi tidak seorang pun yang
merasa kehilangan atas korban itu. Tidak ada sebuah keluarga pun yang
mencarinya.”
Wajah Kiai Damar menjadi
tegang sejenak, namun ia berkata, ”Anak itu anak bengal dan jahat. Ia sudah
melarikan diri dari orang tuanya. Ia datang seorang diri di daerah ini dan
mencoba mengadu untung dengan membuka tanah baru. Tetapi orang itu pun
terlampau sombong. Melebihi kesombonganmu. Jadilah ini pelajaran bagimu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, bawalah obat ini kembali
kepada anakmu. Aku akan memberinya mantra dan mohon maaf kepada hantu yang
telah merasa terganggu. Tetapi ingat, kau harus mengurungkan niatmu membuka
tanah itu.”
Dada Kiai Gringsing berdesir.
Yang terpenting bagi Kiai Damar agaknya mengurungkan niat untuk membuka hutan
lebih banyak lagi. Kepada para peronda dan kepada orang-orang lain dalam setiap
kesempatan ia pasti berusaha mencegah meluasnya pembukaan hutan.
“He, apakah kau mengerti?”
tiba-tiba Kiai Damar membentak.
“Ya. Ya, Kiai. Aku mengerti.”
”Bawalah obat ini. Ulaskan
pada luka anakmu itu. Mudah-mudahan ia menjadi segera sembuh. Tetapi jangan
diulangi kesalahan yang pernah dilakukannya bersamamu. Ketahuilah, bahwa setiap
jengkal tanah akan dipertahankan oleh para lelembut di daerah Alas Mentaok
ini.”
“Ya. Ya, Kiai. Aku akan
menghindari kemungkinan yang lebih jelek bagi bagi anak-anakku.”
“He, berapakah anak-anakmu
itu?”
”Dua, Kiai. Yang seorang
adalah yang sekarang sedang sakit.”
“Baiklah. Pergilah,” Kiai
Damar berhenti sejenak, “tetapi kau memang termasuk seorang pemberani. Mau
berani datang kemari di larut malam begini.”
“Terpaksa sekali, Kiai,
terpaksa sekali.”
“Pergilah.”
Kiai Gringsing pun segera
meninggalkan gubug itu setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih.
Tersuruk-suruk ia berjalan di dalam kegelapan malam. Setelah melampaui beberapa
patok jalan setapak dan gerumbul-gerumbul yang liar, Kiai Gringsing mulai
merasa seseorang mengawasinya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia berjalan
terus, meskipun ia masih mempunyai beberapa rencana.
Dadanya menjadi berdebar-debar
ketika ia sadar, tidak hanya seorang sajalah yang mengawasinya. Pasti lebih.
Sebagai seorang perantau, maka
dengan hati-hati ia mencoba mengamat-amati jalan yang dilaluinya. Kemudian
dikenalnya beberapa batang pohon dengan baik. Beberapa macam tanda pengenal
yang khusus dan tanda-tanda bintang di langit.
Demikianlah, ketika menurut
pengenalan perasaannya ia sudah terlepas dari pengawasan, maka ia pun segera
menyusup di balik gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan ketajaman pengamatannya
maka ia pun segera melingkar kembali mendekati gubug Kiai Damar. Dengan sangat
hati-hati ia berusaha mendekatinya dari belakang. Setiap langkah Kiai Gringsing
selalu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitarnya. Namun ia
berhasil melepaskan diri dari setiap pengamatan, sehingga ia dapat mendekati
gubug itu kembali.
Kiai Gringsing menahan
nafasnya ketika ia mendengar suara dari dalam gubug itu, ”Aku menunggunya lama
sekali, Kiai.”
“Apakah ia sudah lama datang?”
“Sudah terlalu lama.”
“Aku tidak ada di tempat.”
“Apakah Kiai pergi?”
“Ya. Dengan para peronda.
Agaknya orang itu menunggu aku di muka gubug ini, karena ketika aku kembali,
orang itu sudah duduk bersila di depan pintu yang terbuka.”
“Hampir saja aku kehilangan
kesabaran, dan meninggalkan tempat pengawasan itu,” berkata yang lain.
”Untung, kau tidak datang
kemari. Kalau kau datang, orang itu pasti bertanya-tanya, siapakah yang telah
datang ke tempat ini pula, atau kaulah yaug akan disangkanya bernama Kiai
Damar, maksudku dukun sakti yang akan ditemuinya, karena ia belum pernah
mengenal aku dan barangkali juga belum mengenal namaku kecuali orang-orang di
barak itu telah memberitahukannya.”
“Ya,” suara yang lain lagi,
”aku pun hampir mendatanginya kemari.”
“Apakah kemudian orang itu
menumbuhkan kecurigaan kalian?”
“Tidak. Ternyata tidak.”
Kiai Gringsing yang
mendengarkan di balik dinding menarik nafas lega. Sesaat ia masih tetap berada
di tempatnya. Menurut pengamatannya, di dalam gubug itu ada lebih dari tiga
orang selain Kiai Damar sendiri.
Sejenak kemudian ia mendengar
suara Kiai Damar perlahan-lahan, ”Tetapi aku telah menjumpai persoalan baru
sesaat sebelum aku menemui orang tua itu.”
“Apa, Kiai?”
“Sebenarnya aku sendiri masih
ragu-ragu. Tetapi biarlah aku ceriterakan saja apa yang aku lihat.“
Orang-orang yang lain pun
bergeser maju, ”Apakah ada sesuatu yang penting terjadi?”
“Ya,” jawab Kiai Damar yang
kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya bersama para peronda itu, dan yang
kemudian telah melibatnya dalam perkelahian.
”Nah, aku sendiri tidak
mengerti bagaimana kita harus menanggapi keadaan itu.”
Sejenak tidak terdengar
sesuatu. Namun kemudian salah seorang bertanya, ”Apakah Kiai menganggap bahwa
yang telah Kiai temui benar-benar prayangan dari Gunung Merapi?”
“Itulah yang meragukan aku.
Tetapi untuk menolak kepercayaan itu pun agaknya terlampau berat.”
Ruangan itu kembali menjadi
sepi. Yang terdengar hanyalah desah nafas yang bersahut-sahutan.
“Sudahlah,” berkata Kiai
Damar, ”sebaiknya kita menunggu perkembangan keadaan. Rencana kita sementara
ini berjalan terus.”
“Baiklah. Kita masih harus
menunggu bukti-bukti mendatang dari makhluk yang menyebut dirinya bernama Kiai
Dandang Wesi itu.”
Belum lagi mereka selesai
berbicara, tiba-tiba mereka terkejut. Serentak mereka meraba senjata
masing-masing ketika mereka mendengar suara tertawa dalam nada yang tinggi
meskipun lamat-lamat seperti yang sudah pernah didengar oleh Kiai Damar,
seolah-olah suara itu sedang mentertawakan pembicaraan mereka.
“Suara itulah yang pernah aku
dengar,” desis Kiai Damar.
“Marilah kita cari,” ajak
seorang dari mereka.
Kiai Damar termenung sejenak
lalu, ”Tidak ada gunanya. Hantu itu pasti sudah pergi atau menghindarkan diri
dari tangkapan mata wadag kita. Biarlah ia pergi, sementara kita harus semakin
berhati-hati.”
Kawan-kawan Kiai Damar itu pun
menjadi termangu-mangu sejenak. Sebenarnya mereka pun ragu-ragu, apakah mereka
akan dapat menemukan sumber suara itu apabila mereka mencarinya. Karena itu,
maka mereka pun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan salah seorang berkata,
”Soalnya akan bertambah sulit. Tetapi yang aneh adalah justru adanya Kerajaan
Mataram Kajiman. Kita yang tinggal di sini dan banyak mengetahui mengenai Alas
Mentaok dengan segala isinya, belum pernah mendengar nama Prabu Talangsari.”
Kiai Damar tidak menjawab.
Tetapi wajahnya menjadi tegang.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
berjalan dengan sangat tergesa-gesa kembali ke barak. Ternyata tengah malam
telah lama lampau. Seandainya Agung Sedayu tidak sabar menunggu, maka keadaan
di barak itu pasti akan segera berubah.
Sebenarnyalah bahwa Agung
Sedayu hampir tidak dapat menahan hati lagi. Dengan gelisahnya ia menunggu.
Ketika tengah malam lewat, dan gurunya belum juga datang, maka dengan dada
berdebar-debar ia bangkit dan duduk di samping Swandaru.
“Guru belum datang?” desis
Swandaru yang ternyata belum tidur juga.
Agung Sedayu menggeleng,
”Belum. Aku menjadi gelisah. Guru berpesan, apabila lewat tengah malam guru
tidak datang, maka aku harus berbuat sesuatu.”
“Sekarang?”
“Semakin cepat, semakin baik.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya, “Aku ikut bersama Kakang. Bukankah Kakang
akan mencari Ki Gede Pemanahan dan melaporkan apa yang telah terjadi?”
Agung Sedayu mengangguk. Namun
kemudian ia berkata, “Tetapi kau masih terlampau lemah.”
“Tidak. Aku sudah hampir pulih
kembali. Obat yang diberikan oleh Guru terlampau baik, meskipun masih juga
terasa kelemahan pada sendi-sendi.”
“Tinggallah kau di sini.“
“Tidak, Kakang, aku akan ikut
serta.“
“Hus,” desis Agung Sedayu,
”jangan terlampau keras.”
“Kalau aku tinggal di sini,”
berkata Swandaru kemudian, “mungkin aku tidak akan dapat mengendalikan diri.
Mungkin aku berbuat sesuatu atas orang-orang dungu itu.”
Agung Sedayu menjadi bimbang. Tetapi
setiap saat agaknya menjadi sangat berharga. Kalau gurunya benar-benar
mengalami kesulitan, maka ia segera memerlukan seseorang yang dapat
membantunya. Orang itu tidak lain adalah Ki Gede Pemanahan.
Namun kemudian ia berdesis,
”Aku akan menunggu, sejenak. Aku akan menengoknya di halaman. Kalau jelas bahwa
Guru tidak datang, sebentar lagi aku akan pergi. Kalau kau sudah merasa baik,
kita akan pergi bersama-sama.”
“Sekarang, apa yang akan
Kakang lakukan?”
“Turun ke halaman.”
“Terus pergi?”
“Tidak. Kalau aku pergi, aku
akan memberitahukan kepadamu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
”Kau harus tetap berbaring.
Aku akan pergi ke luar. Kalau ada yang melihatku dan bertanya, aku akan
menjawab bahwa kau haus.”
Swandaru mengangguk-angguk
pula.
Agung Sedayu pun kemudian
perlahan-lahan berjalan di antara orang-orang yang sudah tidur nyenyak.
Didorongnya pintu barak itu dengan hati-hati. Sejenak dilemparkan pandangan
matanya ke luar. Ke dalam kegelapan malam. Tanpa sesadarnya ia meraba
lambungnya. Ketika terasa tangkai cambuk di bawah bajunya, maka ia pun menarik
nafas dalam-dalam. Di dalam hati ia berkata, ”Kalau terpaksa, apa boleh buat.”
Dengan hati-hati pula ia
kemudian melangkahkan kakinya ke luar. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia
mendengar seseorang bertanya, ”He, mau kemana?“
Agung Sedayu berpaling.
Dilihatnya orang yang bertubuh kekar itu kini ternyata berbaring di luar pintu.
“Adikku yang sakit memerlukan
air. Ia sangat haus.”
“Ah gila kau. Apakah kau tidak
tahu bahwa itu sangat berbahaya bagimu dan bagi adikmu yang sedang sakit itu?”
“Tetapi ia haus sekali.”
“Kemana kau akan mencari air?”
“Ke sumur.”
“Oh, kau memang anak yang
tidak tahu diri. Apakah kau tidak takut ditelan hantu yang kadang-kadang
berkeliaran di malam hari?”
“Kalau hantu itu lewat, kita
akan mengetahuinya,” jawab Agung Sedayu.
“Darimana kau tahu?”
“Suara gemerincing itu.”
”Bodoh. Bodoh. Kau adalah anak
dungu yang sombong. Tidak semua hantu memakai kelinting dan menumbuhkan suara
gemerincing. Kau mendengar cerita orang yang kurus itu? Di bawah pohon
belimbing dilihatnya bayangan yang menakutkan.”
“Ya. Ya.”
“Nah, kembalilah saja ke
tempatmu.”
“Tetapi, bagaimana kalau
adikku itu mati. Ia kehausan sekali. Nanti ayah akan marah kepadaku.”
“Tunggu saja sampai ayahmu
datang. Bukankah ia sudah mencari obat?”
“Maksudku, kalau adikku itu
mati sebelum ayah datang.”
”Jadi bagaimana maksudmu?”
“Aku akan mengambil air.”
“O, kau memang anak gila.
Terserahlah kepadamu kalau kau berani menanggung akibat bagimu sendiri dan bagi
seluruh isi barak ini.”
“Apakah hubungannya dengan isi
barak ini?”
“Hantu-hantu yang marah pasti
akan mengutuk kita semua seolah-olah kita tidak dapat mencegah
kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sendiri di sini.”
“Tetapi apakah hantu-hantu itu
pemarah? Apakah salah kita kalau kita sekedar mengambil air di malam hari?”
Wajah orang yang bertubuh
kekar itu menjadi merah. Matanya memancarkan sorot yang aneh. Ditatapnya Agung
Sedayu dengan pandangan yang tajam, seolah-olah ingin menembus isi jantungnya.
“Kau memang anak yang keras
kepala. Sejak kau datang bersama ayahmu kami sudah mengira, bahwa kau dan
keluargamu itu adalah orang-orang bodoh yang sombong, yang tidak mau
mendengarkan nasehat orang lain.”
Agung Sedayu masih berdiri
tegak di tempatnya. Namun dengan demikian ia menjadi semakin bernafsu untuk
pergi ke luar. Usaha orang itu untuk mencegah dan menakut-nakutinya telah
menumbuhkan berbagai pertanyaan di hati Agung Sedayu.
“Tetapi,” berkata Agung
Sedayu, ”adikku sudah terlampau haus. Kalau aku bertemu dengan hantu itu,
biarlah aku menyembahnya. Mungkin hantu itu pun akan beriba hati dan membiarkan
aku lepas dari kemarahannya.”
“Persetan,” bentak orang yang
bertubuh kekar itu. Namun ternyata pembicaraan itu telah membangunkan beberapa
orang yang tidur di sekitarnya. Di sekitar orang yang bertubuh kekar itu.
“Ada apa?” bertanya salah
seorang dari mereka.
“Anak gila itu akan pergi ke
sumur,” jawab orang kekar ini.
“Di malam begini?”
“Aku mencoba mencegahnya.
Tetapi ia keras kepala.”
“Adikku sakit keras. Ia merasa
haus sekali. Meski pun hanya setitik air, ia ingin minum air sumur.”
“Kenapa kita ributkan anak
itu?“ bertanya seorang yang sudah ubanan. ”Biar saja apa yang akan terjadi
atasnya. Kita sudah mencoba memberinya peringatan bahkan sudah mencoba
mencegahnya. Tetapi kalau ia memang keras kepala, itu tanggung jawabnya
sendiri.”
“Jangan hiraukan anak itu,”
berkata yang lain, ”apa pun yang akan dikerjakannya. Adiknya sudah kualat dan
sakit begitu parah. Kalau peringatan itu masih belum disadarinya, biarlah
akibat apa saja yang akan menimpanya kelak.”
Beberapa orang yang mengangkat
kepalanya, segera kembali melingkar sambil berkerudung kain.
“Tidak!” tiba-tiba orang yang
kekar itu membentak, sehingga mereka yang sudah ingin kembali tidur itu
terbangun pula. ”Kutukan hantu-hantu itu tidak akan hanya sekedar menimpa
ketiga ayah beranak ini. Tetapi kita pun akan mengalami akibatnya pula.”
“Kenapa kita?”
“Mereka menganggap kita
sebagai suatu kesatuan. Bukan seorang demi seorang. Karena itu kesalahan
seseorang akan dapat menimpa kepada kita seluruhnya, apabila mereka menjatuhkan
kutukan.”
“Tetapi,” Agung Sedayu
memotong, ”apa salahnya kalau aku hanya sekedar ingin mengambil air? Bukankah
hal itu wajar sekali dan tidak akan mengganggu apa pun?”
“Bodoh, kau. Bodoh sekali.
Bagaimana kalau sumur itu bagi mereka terletak dekat dengan pembaringan? Kau
tentu akan mengejutkan mereka. Kalau anak-anak mereka terbangun dan menangis,
kau akan dicekiknya.”
Agung Sedayu telah hampir
kehilangan segenap kesabarannya, sehingga hampir di luar sadarnya ia menyahut,
”Kalau mereka memang akan berbuat sewenang-wenang, apa boleh buat. Biarlah aku
dicekik.”
Jawaban itu benar-benar telah
mengejutkan. Bukan saja orang yang tinggi kekar itu, tetapi juga orang-orang
lain yang mendengarnya. Seorang yang bertubuh pendek tiba-tiba bangkit dan
duduk sambil meraba-raba matanya. Katanya, ”Jangan berkata begitu, anak muda.
Itu tidak baik.”
“Aku sangat memerlukan air
sekarang,” berkata Agung Sedayu kemudian. Dan tanpa menghiraukan siapa pun
lagi, Agung Sedayu pun segera melangkahkan kakinya.
Tetapi ia terpaksa berhenti
ketika orang yang tinggi kekar itu pun meloncat dan berdiri dua langkah saja di
hadapannya.
”Kau sangat menyakitkan hati
kami di sini,” berkata orang yang kekar itu. ”Sebenarnya aku pun tidak akan
peduli lagi, apakah kau akan mati karena kesombonganmu. Tetapi kata-katamu yang
menusuk perasaan kami itu harus kau tebus.”
Agung Sedayu masih tetap
sadar, betapa kejengkelan serasa menghentak-hentak dadanya. Karena itu, maka ia
pun mundur selangkah.
“Aku tidak bermaksud
demikian,“ katanya.
“Diam, diam. Kalau kau berani
menjawab sekali lagi, aku tampar mulutmu.”
Agung Sedayu benar-benar tidak
menjawab. Sementara itu beberapa orang telah bangkit pula dan mencoba
menyabarkan orang yang tinggi kekar itu, ”Sudahlah. Kau terlampau membencinya,
sehingga setiap kali kau marah kepadanya. Sekarang jangan, jangan hiraukan lagi
anak bengal itu. Biarlah ia menerima akibat langsung dari kebengalannya.”
“Tetapi ia menghina kami.”
“Bukan maksudnya. Anak itu
sedang bingung karena adiknya yang sakit itu.“
Orang yang tinggi kekar itu
menggeretakkan giginya. Geramnya, ”Kau masih bernasib baik. Pada suatu, saat
aku tidak akan bersedia menyabarkan diri. Ingat, kau harus tahu bahwa di
seluruh daerah ini, tidak ada seorang pun yang berani melawan kehendakku. Semua
orang-orang ini tidak. Para petugas pun tidak.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Kata-kata itu selalu diulang-ulanginya.
“Sudahlah, pergilah,“ berkata
seseorang kepada Agung Sedayu, ”kalau kau masih berdiri saja di situ, mungkin
mulutmu benar-benar akan berdarah dan membengkak. Aku pernah menyaksikan hal
yang serupa pada seorang anak muda yang sombong seperti kau. Tetapi akhirnya
anak itu hampir mati ketakutan.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia sudah berniat untuk keluar dari barak itu, sehingga ketika
orang-orang itu melihatnya berjalan juga keluar, mereka menggeleng-gelengkan
kepala. Salah seorang bergumam, ”Anak yang keras hati.”
Orang yang tinggi kekar itu
menggeram. Kalau saja tidak terhalang oleh beberapa orang, ia sudah meloncat
dan menerkam Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang kemudian
turun ke halaman barak itu tidak berpaling lagi. Ia tidak mau kehilangan
kesempatan itu, sehingga dengan tergesa-gesa ia pun kemudian menghilang di
dalam gelap.
Ketika hiruk-pikuk di dalam
barak sudah tidak terdengar lagi, barulah Agung Sedayu menyadari keadaan
dirinya. Ia kini berdiri di dalam gelapnya malam. Bagaimana pun juga terasa
bulu-bulunya meremang.
Namun, anak muda itu kemudian
menghentakkan tangannya sambil menggeram, ”Manusia adalah makhluk terkasih dari
Yang Maha Kuasa. Tidak ada makhluk yang akan dapat mengganggunya, selagi
manusia itu sendiri tidak memisahkan diri dari Tuhannya.”
Agung Sedayu pun kemudian
seolah-olah mendapatkan kekuatan dan keberanian yang baru. Perlahan-lahan ia
berjalan di dalam gelapnya malam. Ditatapnya jalur jalan yang membujur
seakan-akan menghunjam ke dalam kelam. Dari sana gurunya nanti akan datang,
apabila tidak ada kesulitan di jalan.
“Tengah malam telah lewat,”
desis Agung Sedayu. ”Kalau guru tidak segera datang, aku harus menghadap Ki
Gede Pemanahan.”
Tetapi Agung Sedayu belum tahu
dengan pasti, jalan yang paling dekat menuju ke pusat tanah yang sudah dibuka
ini.
“Tetapi aku sudah mendapat
ancar-ancarnya,” ia bergumam pula.
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu
berjalan semakin lama semakin jauh. Tetapi ketika ia berpaling, ia masih
melihat cahaya lampu yang kemerah-merahan menyusup dari celah-celah dinding.
“Swandaru akan ikut serta,
apabila aku pergi ke tempat Ki Gede Pemanahan,” desis Agung Sedayu.
Namun selagi Agung Sedayu
berjalan selangkah demi selangkah menyongsong gurunya, yang sama sekali masih
belum tampak, meskipun tengah malam telah agak jauh lalu, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh suara yang aneh dari balik gerumbul. Dengan serta-merta Agung Sedayu
mempersiapkan dirinya meski pun ia belum bersikap.
Dadanya berdesir tajam sekali
ketika kemudian ia mendengar suara gemerincing. Pikirannya segera lari kepada
pengenalannya atas suara itu, seperti yang pernah didengarnya di sekitar barak
beberapa malam yang lalu.
“Hantu itu,” desisnya.
Tetapi segera ia mengenal
dirinya sendiri sebagai makhluk terkasih dari Yang Maha Kuasa. Yang lebih kuasa
dari hantu-hantu yang mana pun juga. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdiri
tegak dengan kaki renggang, seolah-olah ia sedang menghadapi lawan yang
menantangnya berperang tanding. Sedang tangan kanannya telah melekat pada
tangkai cambuknya yang membelit di lambung di bawah bajunya.
Namun dada Agung Sedayu
menjadi berdebar-debar, bahkan tangannya menjadi gemetar ketika ia melihat
sesosok tubuh yang tinggi, tinggi sekali. Hampir dua kali lipat tubuhnya
sendiri. Di ujung tubuh yang tinggi kehitam-hitaman itu, menjenguk sebuah
tengkorak yang mengerikan. Di seputar matanya yang hitam menjorok ke dalam,
tampak cahaya yang berkeredipan.
Tanpa sesadarnya, Agung Sedayu
melangkah surut. Ia adalah seorang anak muda yang di masa kecilnya dikungkung
oleh perasaan takut. Takut kepada apa pun juga. Di jalan menuju ke Sangkal
Putung, ia hampir menjadi pingsan ketika teringat olehnya Hantu Bermata Satu
yang menurut pendengarannya menunggui pohon randu alas di tikungan.
Setelah ia berhasil memecahkan
tali yang mengikat perasaannya itu, kini tiba-tiba ia telah bertemu dengan
hantu. Hantu yang ditakuti oleh sekian banyak orang.
Hampir saja Agung Sedayu
dicengkam kembali oleh perasaan takutnya. Namun sekali lagi ia menghentakkan
perasaannya. Diam-diam ia berdoa di dalam hatinya. Suatu keyakinan yang kuat kini
telah tumbuh di hatinya, keyakinan yang belum dipunyainya pada saat ia
berhadapan dengan hantu Bermata Satu pada pohon randu alas itu.
Karena itu, Agung Sedayu kini
tidak lari dan juga tidak pingsan. Ia percaya kalau ia akan mendapat kekuatan
untuk melawan hantu itu. Lahiriah, yang dapat diberikan oleh wadagnya dan
kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya pasti akan terungkat karena Yang
Maha Kuasa pasti membenarkan perlawanannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu
menggeram. Ketika hantu yang tinggi itu melangkah maju, terayun-ayun seperti
sebatang pohon jambe. Agung Sedayu melangkah maju.
Justru karena itu, maka
langkah hantu itu pun terhenti. Ia agaknya menjadi heran melihat Agung Sedayu
yang seolah-olah tidak menjadi takut sama sekali.
Bahkan Agung Sedayu yang telah
mapan itu kemudian bertanya meskipun suaranya gemetar, ”Kaulah yang disebut
hantu?”
Hantu itu tidak segera
menjawab. Agaknya ia masih berdiri terheran-heran.
“He, apakah hantu-hantu dapat
berbicara?” desak Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut ketika
ia mendengar jawaban melengking, ”He, anak muda. Kau mempunyai keberanian yang
luar biasa.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Ternyata hantu-hantu berbicara dengan perutnya, karena tidak ada
lagi mulut dan bibirnya.
“Anak muda,” suaranya melengking-lengking,
“aku masih akan memaafkan engkau, kalau engkau merubah kelakuanmu dan minta
maat kepadaku.”
“Apa salahku?” bertanya Agung
Sedayu.
“Kau terlampau sombong
meskipun kau pemberani. Tetapi kau amat dungu.”
Agung Sedayu menjadi heran.
Hantu-hantu itu menganggapnya terlampau sombong dan dungu seperti orang yang
kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu.
“Apakah kau menganggap aku
terlampau sombong apabila aku mencemaskan nasib ayahku yang sedang mencari obat
untuk adikku yang sakit?”
“Ayahmu juga terlampau
sombong. Aku sudah memperingatkan kalian dengan cara yang paling baik. Adikmu
yang sakit itu.”
Agung Sedayu terdiam sejenak.
Sekilas dikenangnya adiknya yang sedang terbaring di barak. Tetapi sakit
Swandaru itu sebenarnya sudah jauh berkurang. Bahkan sudah hampir tidak
berpengaruh lagi. Sebentar lagi kekuatannya pun pasti akan segera pulih
kembali.
“He. Apakah kau mendengar?”
bertanya hantu itu. Suaranya menjadi semakin tinggi.
“Ya. Aku mendengar,” jawab
Agung Sedayu, ”tetapi kenapa kalian berbuat demikian? Apakah kami telah
merugikan kalian?”
“Kau memang benar-benar dungu.
Hutan ini adalah hutan kami. Kalian sama sekali tidak sopan. Kalian telah
merusak kerajaan kami.”
“Hutan ini terlampau lebat dan
luas. Kenapa kita harus saling berebutan?”
”Kalianlah yang datang
kemudian.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Dicobanya untuk melihat hantu itu sebaik-baiknya. Namun malam
terlampau gelap, apalagi bayangan dedaunan dan gerumbul-gerumbul yang membuat
malam semakin kelam.
”Berjanjilah,” desis hantu
itu, ”berjanjilah bahwa kau akan mengurungkan niatmu.”
“Aku adalah sebagian kecil
saja dari mereka yang membuka hutan. Kalau kalian, hantu-hantu memang
berkeberatan, sebaiknya kalian menemui Ki Gede Pemanahan dan Mas Ngabehi Loring
Pasar. Kepada keduanya itulah kalian harus berbicara.”
“Tentu, raja kami akan
berbicara kepada mereka.”
Agung Sedayu masih akan
menjawab lagi, tetapi ia terperanjat ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara
tertawa. Bukan saja Agung Sedayu, hantu itu pun ternyata dapat terkejut juga.
Sejenak keduanya, Agung Sedayu
dan hantu yang tinggi itu berdiri mematung. Mereka serentak berpaling ketika
mereka mendengar suara gemerasak, kemudian terdengar sesuatu terjatuh di tanah.
Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Apakah kawan hantu-hantu itu berdatangan dan akan bersama-sama
mengeroyoknya? Dengan demikian maka tangannya pun segera meraba tangkai
cambuknya. Kalau ia terpaksa mempergunakannya, ia mengharap bahwa senjatanya
itu akan dapat membantunya.
Tetapi sekali lagi Agung
Sedayu dan bahkan hantu yang tinggi itu terperanjat. Tiba-tiba saja mereka
mendengar suara tertawa itu kembali. Ketika mereka berpaling, tanpa mereka
ketahui darimana datangnya, mereka melihat seonggok benda yang kehitam-hitaman
di dalam kelamnya malam dan bayang-bayang dedaunan.
“Ih, ih,” suaranya terdengar
aneh sekali, ”aku sudah bertemu dengan rajamu, Raja Kerajaan Mataram Kajiman.
Aku baru saja menghadap Prabu Talangsari. Kau dengar he, jerangkong yang
bodoh?”
Hantu yang tinggi itu berdiri
terheran-heran. Sejenak ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan setapak ia
melangkah surut.
“Kau jangan mengucapkan nama
Raja Mataram yang bergelar Prabu Talangsari dengan sekendak hatimu,“ benda yang
kehitam-hitaman yang teronggok di tanah itu berkata seterusnya, ”aku adalah
Kiai Dandang Wesi, pemomong Sutawijaya yang telah mrayang dan menjadi
hulubalang kerajaan hantu di Gunung Merapi. Aku telah menemui Sri Perabu
Talangsari. Bertanyalah kepada senapati-senapatimu he, jerangkong yang bodoh.
Kau adalah hantu yang rendah derajadmu meskipun bentukmu menakutkan bagi
anak-anak.”
Hantu yang tinggi itu untuk
sejenak berdiam diri. Namun kemudian selangkah demi selangkah ia mundur.
“Pergilah,” bentak benda hitam
yang teronggok di tanah.
Hantu yang tinggi itu berhenti
sejenak. Namun tiba-tiba ia mengaduh. Sebuah benda telah mengenainya. Tepat
pada perutnya yang mengeluarkan suara.
“Kalau kau tidak pergi,”
berkata benda yang teronggok itu, ”kau akan mendapat bentuk yang lain dari
bentukmu yang sekarang. Dan kau akan menjadi hantu yang paling rendah
derajadmu. Endeg pangamun-amun yang setiap siang dijemur di panas matahari yang
terik, atau sebangsa klitik yang akan dipakai sebagai alas tempat duduk Perabu
Talangsari.”
Hantu yang tinggi itu semakin
lama semakin menjauhi benda itu. Ketika sebagian tubuhnya telah tertutup oleh
gerumbul, maka tiba-tiba saja kepalanya terayun dan hilang di dalam gelapnya
malam. Yang terdengar kemudian adalah gemerisik daun-daun yang tersibak.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Jantungnya seakan-akan berdentang semakin keras. Tiba-tiba saja
ia dihadapkan pada dua jenis hantu yang bermusuhan.
Namun ketika ia berpaling,
darahnya tersirap. Hantu yang seakan-akan tidak mempunyai bentuk itu telah
lenyap pula tanpa bekas.
Sejenak Agung Sedayu berdiri
termangu-mangu. Digosok-gosoknya matanya, seakan-akan ia tidak percaya pada
penglihatannya. Bahkan ia pun kemudian berdesis, “Bukankah aku tidak bermimpi?”
Beberapa saat Agung Sedayu
berdiri di tempatnya. Teka-teki yang di hadapinya ternyata terlampau sulit
untuk dipecahkannya.
”Aku akan mengatakannya kepada
Guru. Mungkin Guru pernah melihat jenis-jenis hantu serupa itu,” Agung Sedayu
berkata kepada diri sendiri.
Namun, dengan demikian ia pun
segera teringat kepada gurunya. Tengah malam telah jauh lampau. Tetapi Kiai
Gringsing masih juga belum kembali.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Namun pertemuannya dengan hantu-hantu itu justru membuatnya
menjadi semakin tatag. Karena itu maka ia pun melanjutkan langkahnya menyusuri
jalan sempit yang akan dilalui oleh gurunya.
Dalam keremangan malam, sekali
lagi langkahnya terhenti. Ia melihat bayangan kehitam-hitaman di jalan yang
dilaluinya itu pula. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Sekali lagi Agung Sedayu
bersiaga. Kini ia merasa benar-benar telah berada di sebuah dunia yang asing.
Dunia hantu-hantu. Seakan-akan ia berada di tengah-tengah masyarakat hantu yang
mengerikan.
Tetapi Agung Sedayu tidak
lari. Ia berdiri tegak dengan ketabahan hati, menunggu bayangan yang
kehitam-hitaman itu menjadi semakin dekat pula.
Namun Agung Sedayu itu
kemudian menarik nafas panjang. Panjang sekali. Semakin dekat bayangan itu,
semakin jelas baginya, bahwa bayangan itu adalah sesosok tubuh seseorang yang
berjalan perlahan ke arahnya. Dan Agung Sedayu pun segera mengenal pula bahwa
orang itu adalah gurunya, Kiai Gringsing.
“Guru,” desis Agung Sedayu.
“Kenapa kau berada di sini?”
bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Ditatapnya Kiai Gringsing tajam-tajam seperti hendak meyakinkan
dirinya, bahwa ia benar-benar berhadapan dengan gurunya.
“Apakah yang aku hadapi ini
bukan sesosok hantu yang menyamar sebagai Guru?” pertanyaan itu tiba-tiba saja
melonjak di hatinya.
Namun wajahnya kemudian
menjadi kemerah-merahan ketika ia mendengar gurunya seakan-akan dapat menebak
isi hatinya, ”Agung Sedayu, kenapa kau memandangku begitu? Apakah kau ragu-ragu
bahwa aku benar-benar gurumu? Cobalah, raba tubuhku. Menurut pendengaranku,
tubuh hantu terlampau dingin.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi ketika ia mendengar gurunya tertawa, ia pun tertawa pula.
“Aku menjadi sangat cemas,”
berkata Agung Sedayu kemudian, ”tengah malam telah jauh lewat.”
“Ya. Aku harus menunggu Kiai
Damar, dukun itu. Ternyata ia sedang pergi dari rumahnya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, ”Apakah Guru lama menunggu?”
“Ya, cukup lama.”
“Apakah Guru pasti bahwa Kiai
Damar yang guru katakan itu akan kembali malam ini juga?“
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, ”Tentu tidak.”
“Bagaimana kalau ia tidak
kembali?”
“Tentu aku tidak akan menunggu
sampai besok,” jawab gurunya. ”Sebenarnya aku pun sudah mulai gelisah, ketika
bintang Gubug Penceng tepat di atas ujung Selatan Bumi.”
”Aku sudah berniat untuk menghadap
Ki Gede Pemanahan. Tetapi untunglah, aku belum berangkat.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, ”Bagaimana dengan adikmu?”
“Ia menjadi semakin baik.
Kalau aku akan menghadap Ki Gede Pemanahan, ia akan serta.”
“Aku kira ia memang sudah
berangsur sembuh, meskipun kekuatannya belum pulih kembali.”
“Sayang,” berkata Agung Sedayu
tiba-tiba, ”Guru tidak datang lebih cepat.”
“Kenapa?”
“Aku terpaksa bertengkar
dengan orang yang tinggi kekar itu.”
“Kau apakan orang itu?”
“Aku tidak berbuat apa-apa,“
sahut Agung Sedayu yang kemudian menceriterakan pertengkarannya dengan orang
yang kekar itu.
“Bagus. Memang sebaiknya kau
tidak berbuat apa-apa.“ Namun Kiai Gringsing kemudian berpikir, ”Tetapi
bagaimana dengan Swandaru yang kau tinggalkan itu?”
“Maksud, Guru?”
“Apakah anak itu tidak menjadi
sasaran kemarahan mereka?”
“Tetapi Swandaru sudah
sembuh.”
“Itulah yang aku cemaskan. Ia
tidak akan dapat menahan hati sejauh yang dapat kau lakukan.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Lalu, “Tetapi orang-orang lain bersikap baik. Mereka akan
melerainya.”
Ketika Kiai Gringsing kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu berkata, ”Selain itu, aku masih
mempunyai ceritera yang barangkali menarik juga buat Guru.”
“Apa?”
“Hantu-hantu yang saling
bertengkar.”
“He?”
Dan sekali lagi Agung Sedayu
bercerita. Kali ini tentang hantu Alas Mentaok dan hantu Gunung Merapi.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Kita sebaiknya berbicara sambil berjalan.”
Keduanya pun kemudian berjalan
kembali ke barak mereka. Di sepanjang jalan Agung Sedayu tidak habis-habisnya
bercerita tentang hantu yang tinggi, hitam dan berkepala tengkorak, yang oleh
hantu Gunung Merapi yang hampir tidak berbentuk itu disebutnya jerangkong.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Kalau begitu persoalannya akan
menjadi semakin panjang. Agaknya ada pertentangan antara Alas Mentaok yang
disebut sebagai suatu kerajaan, melawan Gunung Merapi yang juga menyebut
dirinya suatu kerajaan.”
“Ya.”
“Kalau begitu, kita menjadi
berbesar hati. Bukankah hantu-hantu dari Gunung Merapi berpihak kepada kita?
Maksudku kepada mereka yang membuka hutan ini?”
“Ya. Begitulah agaknya.“
“Itulah yang harus kita
katakan kepada setiap orang agar mereka menjadi agak berani.”
Ketika mereka sampai di barak,
mereka melihat di serambi, orang-orang yang tidur dengan nyenyaknya.
Sekelompok-sekelompok. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Agung Sedayu
pun berjalan sambil berjingkat, agar tidak mengejutkan mereka. Tetapi mereka
terpaksa membangunkan beberapa orang karena pintu yang tidak terbuka cukup
lebar. Ketika tangan Kiai Gringsing mendorong pintu itu, maka meloncatlah derit
yang panjang.
“He, kau baru pulang?”
bertanya seseorang.
Kiai Gringsing berpaling.
Dilihatnya seorang tua mengangkat kepalanya.
“Ya, aku baru pulang,” desis
Kiai Gringsing perlahan-lahan.
Ternyata orang-orang lain yang
terbangun tidak bertanya apa pun lagi, sehingga Kiai Gringsing pun kemudian
langsung menemui Swandaru yang masih terbaring di tempatnya.
Di dalam cahaya lampu minyak
yang remang-remang Kiai Gringsing dan Agung Sedayu melihat Swandaru berbaring
diam di tempatnya, seolah-olah sedang tidur dengan nyenyaknya.
Namun beberapa langkah lagi
mereka mendekat, wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia
meloncat dan langsung berjongkok di samping muridnya yang sedang sakit itu.
“Swandaru, Swandaru,” desas
Kiai Gringsing perlahan-lahan. Tetapi Swandaru tidak menyahut.
“Guru, kenapa anak itu?” Agung
Sedayu pun menjadi tegang pula.
Dengan tangan gemetar Kiai
Gringsing meraba kening, dahi dan kemudian perut Swandaru.
“Wajahnya menjadi pucat sekali
Guru, dan bibirnya menjadi kebiru-biruan.”
Setitik keringat mengembun di
dahi Kiai Gringsing, meskipun ia tidak menjadi gugup.
Tanpa disengaja Kiai Gringsing
melihat sebuah mangkuk yang terletak di samping Swandaru. Dengan serta-merta
mangkuk itu pun diambilnya. Di amat-amatinya isi mangkuk yang sudah hampir
habis sama sekali itu. Namun beberapa titik air di dalamnya telah cukup bagi
Kiai Gringsing untuk mengetahui, cairan apakah yang ada di dalamnya.
“Lindungi aku dari orang-orang
itu, apabila ada di antara mereka yang terbangun dan sengaja melihat apa yang
aku kerjakan,” bisik Kiai Gringsing.
Agung Sedayu pun segera
beringsut mendekati gurunya.
Dari kantong ikat pinggangnya
Kiai Gringsing mengambil sebuah bumbung kecil. Dari dalam bumbung kecil itu
Kiai Gringsing menaburkan seberkas serbuk yang berwarna kehitam-hitaman.
Dengan wajah yang tegang Agung
Sedayu melihat ke dalam mangkuk itu. Beberapa tetes cairan itu pun kemudian
mengepulkan asap meski pun hampir tidak terlihat. Kemudian warna yang
kehitam-hitaman dari serbuk itu pun segera berubah menjadi hitam pekat.
Titik-titik warna merah terdapat di beberapa bagian dari dinding mangkuk yang
masih basah itu.
”Racun lagi,” desis Kiai
Gringsing, ”meskipun lemah, tetapi cukup berbahaya bagi Swandaru yang
kekuatannya belum pulih kembali. Carilah air. Jangan dengan mangkuk atau
bumbung. Carilah dengan daun pisang.”
Agung Sedayu pun dengan
tergesa-gesa bangkit dan melangkah keluar. Ia tidak menghiraukan lagi ketika
orang yang tinggi kekar itu bertanya pula kepadanya, ”He, akan kemana lagi kau
anak gila?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Sejenak kemudian ia pun telah hilang di balik tabir gelapnya malam.
Dengan daun pisang ia membawa
setakir kecil air sumur. Seperti pada saat ia keluar, ia pun sama sekali tidak
menghiraukan sapa orang yang tinggi besar itu, selain mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Tetapi ketika ia menyerahkan air
di dalam takir daun pisang itu. Ia mendengar pintu bergerit. Ketika ia
berpaling, dilihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri berpegangan pada
uger-uger pintu.
“Temui orang itu. Usahakan
agar ia tidak mendekat,” desis Kiai Gringsing yang memasukkan serbuk yang lain
ke dalam takir daun pisang yang berisi air itu.
Agung Sedayu pun berdiri.
Perlahan-lahan ia mendekati orang yang tinggi besar itu sambil berkata, ”Aku
tergesa-gesa. Adikku haus sekali.”
“Kenapa kau terlampau lama?”
bertanya orang itu, “aku kira kau mati diterkam hantu.”
“Hampir saja.”
“Kenapa hampir? Kau memang
anak gila. Adikmu benar-benar hampir mati kehausan. Untunglah seseorang telah
memberinya minum, sehingga ia dapat tidur dengan nyenyaknya.”
“Terima kasih. Siapakah yang
telah memberinya minum?”
“Aku tidak tahu. Seseorang di
antara sekian banyak orang.”
“Orang yang kekurusan itu.“
Orang itu menggeleng, “Bukan,
orang itu tidur di luar. Lihat, ia ada di serambi.”
“Lalu siapa? Kami akan
mengucapkan terima kasih. Adikku sudah menjadi segar.”
Orang itu menggeleng sekali
lagi, “Aku tidak tahu.”
Sementara itu, Kiai Gringsing
telah menuangkan air yang sudah diberinya obat itu ke mulut Swandaru.
Perlahan-lahan, setitik demi setitik air itu masuk ke dalam kerongkongannya.
“Untunglah tidak terlambat,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, ”agaknya di barak ini ada seorang yang
mengerti benar tentang racun. Racun yang lemah ini agaknya tepat sekali
dipergunakannya untuk membunuh Swandaru yang sedang sakit tanpa kecurigaan dan
tanpa menumbuhkan tanda-tanda yang jelas di tubuhnya.”
Namun tanpa sesadarnya Kiai
Gringsing menggeram, ”Keterlaluan.”
Sebuah perasaan yang aneh
telah melonjak di dalam dada Kiai Gringsing. Betapa perasaannya lapang seluas
lautan, tetapi usaha yang dilakukan sudah usaha pembunuhan atas muridnya,
sehingga darahnya menjadi panas karenanya.
Namun orang tua itu masih
berusaha menahan diri. Ia tidak boleh hanyut dalam arus perasaannya, kalau ia
tidak mau gagal sama sekali.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya ketika ia melihat Swandaru menggeliat. Kemudian perlahan-lahan
membuka matanya dan tiba-tiba saja ia berusaha bangkit.
”Jangan bangkit.”
Swandaru tidak dapat menjawab.
Tetapi sesuatu telah dimuntahkannya dari mulutnya. Cairan yang berwarna hitam
kemerah-merahan.
“Tenanglah,” desis gurunya.
Swandaru memandang gurunya
dengan mata yang buram.
Tetapi Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin tenang, ia yakin bahwa
Swandaru akan dapat disembuhkannya.
“Kau sudah minum minuman yang
keliru, Swandaru,“ berkata gurunya. ”Dari mana kau dapatkan cairan itu?”
“Orang yang kekurus-kurusan
itu,” desis Swandaru.
“Kenapa kau minum juga?”
“Katanya Kakang Agung Sedayu
sedang mencari air untukku karena aku terlampau haus. Maka diberinya aku air
itu sebelum Kakang Agung Sedayu datang. Katanya ia kasihan kepadaku.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Racun. Yang kau minum itu adalah racun yang
lemah, tetapi cukup berbahaya bagimu yang masih belum pulih benar. Untunglah
aku cepat datang.“
Wajah Swandaru menjadi tegang.
Tetapi ia masih mendengar gurunya berkata, ”Jangan mengambil sikap sesuatu.
Kita harus berhati-hati menghadapi seluruh jaringan itu.“
“Jaringan apa Guru?” bertanya
Swandaru.
“Kau akan mendengar pada
saatnya.”
Swandaru tidak bertanya lagi.
Dicobanya untuk mengatur pernafasannya yang masih sesak. Kemudian memejamkan
matanya agar ia mendapatkan ketenangan yang setinggi-tingginya. Kini gurunya
sudah menungguinya, sehingga ia tidak perlu lagi mencemaskan apa pun juga.
“Bagaimana dengan adikmu itu?”
bertanya orang yang tinggi kekar kepada Agung Sedayu.
“Ia sedang tidur.”
“Jangan ganggu anak itu. Ia
benar-benar sedang sakit. Aku menyesal telah menahanmu ketika kau akan mencari
air. Aku kira kau hanya berpura-pura saja.”
“Ya.”
“Mudah-mudahan setelah ia
terbangun besok, ia sudah sembuh benar.”
“Mudah-mudahan,” desis Agung
Sedayu.
Orang yang tinggi kekar itu
pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu dan kembali ke tempatnya di luar barak.
Orang yang tinggi itu lebih senang tidur di serambi.
“Udara di dalam terlampau
panas,“ katanya.
Agung Sedayu tidak menyahut.
Ketika orang itu telah berada
di luar pintu, Agung Sedayu segera mendapatkan gurunya. Dari Kiai Gringsing ia
mendengar, bahwa perbuatan orang-orang itu sudah keterlaluan. Mereka sudah
berusaha melakukan pembunuhan sengaja atau tidak sengaja atas Swandaru.
“Ada dua kemungkinan,“ berkata
Kiai Gringsing, ”pembunuhan itu dilakukan atau pelumpuhan atas Swandaru
seandainya tidak berakibat mati, dimaksud agar kami menghentikan kerja kami,
atau karena orang-orang itu benar-benar ketakutan agar kami tidak menyebabkan
mereka dan semua orang di barak ini menderita.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
”Besok,” berkata Kiai
Gringsing, “ceritakan kepada setiap orang apa yang kau lihat. Katakan dengan
selengkap-lengkapnya, bahwa ada hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi
dari Gunung Merapi. Dari Kerajaan Kajiman di Gunung Merapi.”
“Apakah dengan demikian,
orang-orang di barak ini tidak akan menjadi semakin ketakutan?”
“Kita akan dapat membumbuinya.
Hantu-hantu dari Gunung Merapi berada di pihak Raden Sutawijaya. Bukankah hantu
itu berkata bahwa ia pernah menjadi pemomong Raden Sutawijaya sebelum mrayang
dan mendapatkan bentuknya yang sekarang?”
“Ya.”
“Nah, Kiai Dandang Wesi dan
pasukannya pasti akan berpihak kepada Raden Sutawijaya. Kau dapat
menambahkannya pula, bahwa hantu-hantu di segala sudut bumi pasti akan
membenarkan sikap Raden Sutawijaya, karena tanah dan laut yang kasat mata wadag
oleh manusia ini memang diperuntukkan bagi manusia.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikiankah, maka sisa malam
yang tinggal menyangkut di ujung pohon nyiur itu pun dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Mereka segera berbaring
berdesak-desakan sebelah-menyebelah Swandaru, yang kini menjadi lemah kembali.
“Kau akan segera pulih,” bisik
gurunya.
“Lalu, bagaimana dengan obat
yang Guru bawa ke dukun sakti itu?”
“Masih ada padaku. Itu, aku
taruh di bawah kakimu. Tetapi sebaiknya aku mempergunakan obatku sendiri. Di
sini banyak orang yang tidak dapat dipercaya lagi.”
Swandaru tidak bertanya lagi.
Agung Sedayu yang berbaring sambil memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.
Tetapi ia tidak berhasil. Namun demikian ia sudah mencoba beristirahat meskipun
hanya sejenak.
Ketika cahaya yang
kemerah-merahan membayang di langit, maka burung-burung liar pun mulai berkicau
dengan riuhnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukannya, bahwa di alas Mentaok
telah terjadi benturan antara dua kekuatan lelembut yang dahsyat. Dari alas
Mentaok sendiri dan dari Gunung Merapi.
Dalam pada itu, begitu Agung
Sedayu keluar dari barak, ia pun segera bercerita tentang kedua jenis hantu
yang dijumpainya. Yang satu tinggi berkerudung hitam dan berkepala tengkorak,
sedang yang satu hampir tidak berbentuk sama sekali.
“Apakah mereka bertengkar?”
bertanya salah seorang.
“Ya, ternyata hantu yang
tinggi itu menjadi ketakutan dan melarikan diri.“
“Bohong,” orang yang tinggi
kekar itu membantah, ”bukan karena ketakutan. Tetapi hantu itu pasti belum
mendapat perintah, apa yang sebaiknya dilakukan menghadapi hantu-hantu dari
daerah asing seperti yang kau katakan itu.”
“Kenapa hantu dari gunung
Merapi itu tidak ditangkapnya saja dan dibawa menghadap Raja Kajiman di Alas
Mentaok ini?”
“Belum ada perintah. Mungkin
tingkat kerajaan telah mengadakan suatu pembicaraan yang belum diketahui oleh
tingkat bawahan seperti jerangkong yang tinggi itu.”
“Mungkin, tetapi menilik
wibawa dari keduanya, hantu dari Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi
dan dahulu bekas pemomong Raden Sutawijaya itulah yang agaknya lebih tinggi.”
Wajah orang yang tinggi kekar
itu menjadi tegang. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan tajamnya.
Namun Agung Sedayu sama sekali
tidak mempedulikannya. Ia berpura-pura tidak mengerti perasaan apakah yang
tersembul di hati orang itu. Karena itu, maka ia pun bercerita terus.
”Cukup. Cukup!” potong orang
yang tinggi itu, ”Jangan membual di sini. Kau menambah perasaan kami menjadi
kisruh. Kami akan menjadi semakin ketakutan, seolah-olah kami berada di daerah
yang paling gawat. Di ajang peperangan yang dahsyat antara dua kerajaan hantu.”
Agung Sedayu terdiam sejenak.
Ternyata orang itu cukup cerdik, sehingga ia justru mempergunakan keadaan itu
untuk menambah kecemasan dan ketakutan.
“Nah, kalian dengar,” berkata
orang yang tinggi itu kepada orang yang mengerumuninya, ”daerah ini memang
merupakan daerah yang paling gawat. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku akan
meyakinkan untuk beberapa hari saja sebelum aku mengambil keputusan. Kalau
keadaan menjadi kian memburuk, aku lebih baik kembali ke asalku. Makan atau
tidak makan. Meskipun di sini kami akan mendapat tanah yang subur dan loh
jinawi tetapi kalau perasaan kami selalu dikejar oleh ketakutan dan kecemasan,
maka kami tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, kami, aku dan
keluargaku, akan segera menentukan sikap.”
Beberapa orang yang mendengar
itu pun menjadi pucat. Kalau orang yang tinggi kekar itu saja tidak berani
tinggal di sini, apalagi orang-orang yang lain.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu
menjawab, “Tidak. Itu suatu sikap yang tergesa-gesa. Dengar, hantu dari Gunung
Merapi itu adalah pemomong Raden Sutawijaya. Sudan tentu ia akan berpihak
kepada Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Nah, bukankah kehadiran kita di
sini ini adalah karena keinginan kita untuk bersama-sama dengan Ki Gede
Pemanahan dan Raden Sutawijaya membuka hutan ini dan bersama-sama menjadikan
suatu daerah yang ramai dan makmur? Bahkan menurut pendengaranku, hantu-hantu
dari daerah-daerah lain pun pasti akan berpihak kepada hantu-hantu dari Gunung
Merapi. Kalian harus mendengar, Kiai Dandang Wesi mempunyai pasukan segelar
sepapan. Kiai Dandang Wesi menganggap bahwa semua yang kasat mata wadag
manusia, adalah hak manusia. Termasuk Alas Mentaok.“
“Bohong. Bohong!” teriak orang
yang bertubuh kekar itu. Lalu, ”Jika demikian maka adikmu tidak akan sakit dan
barangkali hari ini adikmu sudah mampus atau lumpuh atau apa pun karena
kesalahanmu yang kau lakukan semalam.”
“Ia tertidur nyenyak.”
“Coba lihatlah dengan saksama.
Ia pasti kena kutuk karena kesalahanmu. Untunglah bahwa kutuk itu mengenai
adikmu sendiri. Bukan orang lain.”
“Sama sekali tidak. Adikku
tidak apa-apa.”
“Lihat, lihatlah sekarang.
Kenapa ia belum juga bangun?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun semua orang berpaling ketika mereka mendengar suara dari depan
pintu, ”Aku sudah bangun. Tubuhku merasa betapa segarnya.”
Orang yang tinggi kekar itu
terkejut bukan buatan ketika ia melihat Swandaru berdiri di depan pintu bersama
Kiai Gringsing. Meskipun masih pucat namun Swandaru sudah dapat tersenyum dan
berkata, “Sejak aku minum air pemberian Paman, aku merasa bahwa aku menjadi
sehat kembali.”
Orang yang tinggi kekar itu
menjadi tegang. Sementara Agung Sedayu memandanginya dengan penuh kewaspadaan.
Kalau saja orang itu tiba-tiba menjadi kehilangan akal, maka ia akan dapat
menjadi berbahaya.
“He, apakah kau tidak dikutuk
oleh hantu-hantu,” teriak orang kekurus-kurusan.
Swandaru yang menyebut dirinya
anak Kiai Gringsing itu menyahut, ”Mungkin. Tetapi aku semalam telah bermimpi
aneh.”
“Apa mimpimu, he?” geram orang
yang kekar itu.
“Aku seakan-akan berada di
daerah yang sangat asing. Daerah yang belum pernah aku lihat. Seakan-akan aku
berada di dalam taman istana yang sangat indah. Aku begitu gembira sehingga aku
tidak pernah berpikir, siapakah pemilik istana itu. Ketika aku melihat seekor
kelinci yang berwarna keemasan, tiba-tiba aku ingin menangkapnya. Tetapi ketika
aku mengejarnya, tiba-tiba aku menjadi lumpuh.”
“Jelas, itu sudah jelas,”
teriak orang yang kekar. Lalu, ”Jangan berpura-pura lagi. Istana itu adalah
istana Mataram. Kau menjadi lumpuh karena kau dikutuk oleh pemilik istana ini.”
“Ya. Akhirnya aku melihat.
Seorang yang bertubuh tinggi, besar kehitam-hitaman dengan janggut yang
panjang. Tangannya menggenggam sebuah keris.”
“Kau pasti akan dibunuhnya.”
“Ya. Aku memang akan
dibunuhnya. Orang itu tidak berbaju dan mengenakan pakaian pada abad-abad yang
lampau, seperti aku melihat pakaian gambar-gambar yang terpahat pada
dinding-dinding candi. Dan orang itu menyebut dirinya bernama Prabu
Talangsari.”
Semua orang tiba-tiba telah
terpaku mendengarkannya.
“Tiba-tiba aku terbangun.”
”Itu suatu pertanda. Perabu
Talangsari itu pasti Raja Mataram Kajiman,” orang yang kekurusan menyahut.
”Camkanlah mimpi itu.”
“Ya. Ketika aku terbangun aku
menjadi sangat haus. Itulah sebabnya kakakku keluar sejenak untuk mengambil
air. Tetapi ternyata kakakku pergi terlampau lama, sehingga aku mendapat air
dari Paman yang tinggi kekar itu.”
“Persetan,“ geram orang itu.
“Lalu, aku tertidur lagi. Aneh
sekali. Aku bermimpi pula. Mimpiku adalah kelanjutan dari mimpiku yang
pertama.”
“Bagaimanakah mimpi itu?”
“Apakah kalian masih bersedia
mendengarkannya? Lihat, matahari semakin tinggi. Nanti kalian terlambat pergi
ke tanah garapan masing-masing.”
Hampir berbareng orang-orang
yang berkerumun itu menengadahkan wajah mereka. Mereka melihat matahari yang
memang sudah menanjak naik semakin tinggi, di balik dedaunan.
Tetapi tiba-tiba salah seorang
dari mereka berkata, ”Sebentar saja. Cepat, katakan kelanjutan mimpimu.”
“Ya, kami masih mempunyai
waktu sebentar.”
“Katakan cepat,” bentak orang
yang tinggi kekar, ”mungkin itu suatu isyarat bagimu, agar kau tidak menjadi
semakin sombong.”
“Baiklah,” berkata Swandaru.
”Ketika aku mulai dengan mimpiku yang kedua…….,” kata-katanya terputus karena
orang kekurus-kurusan membentak, ”Langsung sebut saja mimpimu.“
Swandaru mengerutkan
keningnya, “Baiklah. Aku akan segera saja mengatakan isi mimpiku itu, supaya
tidak berkepanjangan.”
“Sebut saja, sebut langsung.
Kau terlampau banyak memberikan pengantar,” berkata orang yang kekar. Tetapi
yang lain memotong, ”Biarkan ia berbicara. Kau memutus kata-katanya.”
“Sst, diam. Kenapa ribut?”
desis yang lain.
“Baiklah. Baiklah. Mimpiku itu
tidak panjang lagi,” berkata Swandaru selanjutnya. ”Ketika orang yang
mengenakan pakaian dari abad-abad yang lampau dan menyebut dirinya Prabu
Talangsari itu akan membunuhku, datanglah seorang yang lain. Seorang yang
mengenakan pakaian keemasan, berkilat-kilat dengan menaiki seekor kuda bersayap
seperti burung rajawali raksasa.”
“Kuda semberani,” desis
orang-orang yang mendengarkan mimpi itu.
“Ya. Lalu, apa kerja orang
itu?”
“Mereka pun kemudian
berunding. Keduanya ternyata adalah raja dari kerajaan yang besar. Prabu
Talangsari dan yang lain, raja dari Gunung Merapi.”
“Apa yang mereka rundingkan?”
“Aku tidak tahu. Tetapi ketika
raja yang berpakaian berkilauan seperti matahari itu pergi, aku dilepaskannya.
Dan bahkan Prabu Talangsari berkata, ”Ambillah kelinci itu. Aku tidak
memerlukan lagi.” Dan aneh. Aku pun sembuhlah dari kelumpuhan itu. Maka
mulailah kemudian aku berburu kelinci.”
“Apakah kau dapatkan kelinci
yang berwarna keemasan itu?
“Ya. Akhirnya aku dapatkan
juga. Tidak ada siapa pun lagi yang menggangguku.“
Beberapa orang saling
berpandangan sejenak. Agung Sedayu pun mula-mula ikut merenungkan mimpi adiknya
yang aneh itu. Namun kemudian ia tersenyum di dalam hati, karena ia yakin bahwa
mimpi itu adalah sebuah dongeng yang telah dibuat oleh gurunya.
Karena itu tiba-tiba saja ia
bertanya, ”Apakah raja dari Gunung Merapi yang naik kuda itu sendiri?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Lalu jawabnya, ”Sendiri. Ya, ia sendiri.“
“Tentu mimpi itu daradasih.
Benar-benar terjadi seperti apa yang terbayang di dalam mimpi. Aku telah
bertemu dengan hantu mrayangan yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang
Wesi.”
Tetapi orang-orang yang berada
di sekitar tempat itu pun terkejut ketika orang yang kekurus-kurusan itu
berkata, “Bohong! Semuanya bohong!”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Katanya, ”Aku tidak bohong. Dan aku kira adikku juga tidak bohong.
He, dari mana ia mendapat nama Prabu Talangsari? Apakah ia sekedar mengarangkan
sebuah nama? Baik. Memang mungkin ia mengarang. Tetapi apabila ada suara-suara
dari orang lain yang juga menyebut-nyebut nama itu, apakah mungkin mereka juga
mengarangkan nama yang kebetulan sama?”
”Kami di sini belum pernah
mendengar nama itu.”
Adalah tiba-tiba saja ketika
yang berbicara kemudian adalah Kiai Gringsing, ”Jadi, nama itu sama sekali
tidak dikenal di sini?”
“Tidak,” jawab yang
kekurus-kurusan.
“Tetapi tadi ada di antara
kalian yang memastikan bahwa orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan
pakaian dari abad-abad yang lalu itu adalah raja Mataram Kajiman.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Sehingga Kiai Gringsing bertanya pula kepada orang yang
kekurus-kurusan, ”Jadi kau yakin bahwa nama itu sekedar sebuah nama di dalam
mimpi dan tidak berarti sama sekali?”
Setiap orang pun kemudian
berpaling memandang wajah orang yang kekurus-kurusan itu. Namun sejenak orang
itu tidak menjawab dan bahkan wajahnya menjadi ragu-ragu.
“Mudah-mudahan memang tidak
ada nama Prabu Talangsari.“
“Kau pasti hanya sekedar
mendengar cerita dari kakakmu yang sudah menceritakan pertemuannya dengan
hantu-hantu,” teriak orang yang kekar.
“Nah, bukankah begitu
dugaanmu,” potong Agung Sedayu, ”tetapi ketika aku pergi, adikku belum
menceritakan hal itu kepadaku. Dan sejak aku pulang, adikku sama sekali belum
bangun dari tidurnya yang nyenyak.”
“Jangan ributkan soal mimpi,”
tiba-tiba Kiai Gringsing memotong. ”Sekarang hari sudah terlampau siang. Lihat,
orang-orang lain sudah mulai pergi mengambil rangsumnya.”
Semua orang berpaling ke arah
gardu pengawas di kejauhan. Mereka melihat orang-orang yang tidak ikut
berkerumun telah siap untuk pergi. Karena itu, maka mereka pun dengan
tergesa-gesa berlari-larian menyiapkan alat-alat masing-masing.
Tetapi orang yang tinggi kekar
dan orang yang kekurus-kurusan masih berdiri di tempatnya sambil memandang Kiai
Gringsing beserta kedua anak-anaknya dengan tatapan mata yang tajam.
“Sekarang kau menambah
keonaran lagi dengan bualan-bualanmu,” desis orang yang tinggi kekar.
“Bukan begitu, bukan maksudku.
Tetapi, apakah kalian benar-benar tidak percaya bahwa Prabu Talangsari itu
ada?”
“Tidak,” sahut yang tinggi
kekar itu.
Tetapi orang yang
kekurus-kurusan itu mulai nampak ragu-ragu. Apalagi setelah Kiai Gringsing
berkata, ”Aku mempercayainya seperti kata Kiai Damar, dukun sakti itu, bahwa
hantu-hantu memang mempunyai kelebihan dari manusia. Tentu termasuk Kiai
Dandang Wesi dari Gunung Merapi dan apalagi Perabu Talangsari sendiri.”
Orang yang kekurus-kurusan itu
tampak menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak ia memandang orang yang bertubuh
kekar, dan sejenak kemudian dilemparkannya tatapan matanya jauh ke dalam
lebatnya hutan yang sedang digarap oleh para pendatang itu.
“Semula kalau aku boleh
berterus-terang, aku memang ragu-ragu terhadap hantu-hantu di Alas Mentaok ini.
Tetapi setelah aku mengalami sendiri, dan anakku menjadi sakit dan sembuh
secara ajaib sebelum obat dari dukun sakti itu dimakannya, aku kini telah
mempercayainya.”
“Persetan dengan hantu-hantu,”
tiba-tiba orang yang kekar itu menggeram.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Katanya, ”He, bagaimana dengan hantu-hantu itu? Bukankah kau yang
mengajari aku untuk memahami keadaan hutan ini beserta segala isinya termasuk
hantu-hantu itu?”
“Ya. Ya. Maksudku, persetan
dengan kalian yang bodoh dan sombong. Sekarang kalian merasa sebagai
orang-orang yang paling mengenal hantu-hantu,” orang yang kekar itu memotong,
“tetapi sebenarnya kalian adalah orang-orang yang paling dungu. Sebenarnya
kalian tidak usah berbicara panjang lebar tentang hantu dari mana pun juga. Itu
adalah suatu gagasan atau lamunan yang ngayawara. Kalau kau dan anak-anakmu
menghentikan usaha untuk membuka hutan itu, menjorok masuk ke dalam seperti
yang kau lakukan, maka kau akan selamat.”
“Dengarlah,” berkata Kiai
Gringsing, ”rencana hantu-hantu Alas Mentaok itu sudah diketahui oleh Kiai
Dandang Wesi. Kau percaya? Sekarang mereka berusaha mendorong aku dan kedua
anak-anakku untuk meninggalkan pekerjaan dan tanah garapan itu, tetapi
seterusnya, mereka akan berusaha mengusir setiap orang di sini. Menakut-nakuti,
membuat mereka sakit dan pingsan tanpa sebab, kecemasan dan kekisruhan, agar
perlahan-lahan kita di sini sedikit demi sedikit mengurungkan niat kita untuk
membuka hutan ini.”
”Gila, itu pikiran gila.”
“Apakah kau tidak percaya.”
“Omong kosong.”
“Mungkin. Kiai Dandang Wesi
memang hanya omong kosong. Mudah-mudahan ia sekedar omong kosong. Tetapi
akankah ia berkata begitu, he?” bertanya Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu tergagap. Tetapi
ia pun segera dapat menanggapinya, “Ya, Kiai Dandang Wesi memang berkata
begitu. Tetapi Kiai Dandang Wesi sudah berbicara dengan Prabu Talangsari. Aku
tidak tahu, apakah hasil pembicaraan itu.”
“Tetapi seandainya Kiai
Dandang Wesi itu benar-benar hantu waskita yang datang dari Gunung Merapi, ia
pasti mengenal hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya,” tiba-tiba orang yang
kekurus-kurusan menyahut.
“Ia kenal akan hal itu. Tentu
ia kenal.”
“Bohong.”
“Dari mana kau tahu. Adakah
kau menganggap Kiai Dandang Wesi itu berbohong, atau cerita tentang Dandang
Wesi itulah yang kau anggap berbohong, atau Kiai Dandang Wesi sama sekali tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu?”
Orang yang kekurus-kurusan itu
pun menjadi ragu-ragu pula. Sejenak ia berdiam diri. Namun yang menyahut
kemudian adalah orang yang kekar, ”Kita harus meyakinkan dahulu cerita itu.”
“Memang, kita harus
meyakinkannya. Tetapi bahwa Kiai Dandang Wesi mempunyai kemampuan untuk
mengenal dunianya, maksudku dunia hantu, aku kira tidak dapat disangsikan lagi.
Menurut anakku, ketika jerangkong yang telah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi
itu pergi, maka hantu yang tidak berbentuk, pemomong Raden Sritawijaya yang
mrayang itu berkata, ’Aku menangkap getaran yang aneh pada jerangkong itu. Aku
menangkap getar jalur-jalur darah dalam tubuhnya serta terasa arus nafas. Itu
tidak mungkin ada di dalam diri hantu-hantu yang mana pun juga, meskipun dari
tingkat yang paling rendah sekali pun sampai Prabu Talangsari sendiri. Meskipun
ada hantu yang memilih bentuk seperti manusia sekali pun, namun pasti tidak
akan ada getar jalur-jalur darah dan arus nafas di dalam tubuhnya yang bukan
wadag manusia’.”
Orang yang kekurus-kurusan itu
menjadi tegang sejenak. Namun sambil menghentakkan kakinya ia berkata,
”Persetan. Persetan dengan semuanya itu.”
Sebelum seorang pun sempat
menjawab, maka dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing sambil
bergumam, ”Aku akan pergi ke pekerjaanku. Semua orang sudah berangkat.”
“Kami bertiga tidak akan
berangkat hari ini,” berkata Kiai Gringsing.
“Kenapa?” yang bertanya adalah
orang yang tinggi besar itu.
“Anakku belum sehat benar.”
“Jadi, setelah anakmu sembuh.
Kau akan tetap meneruskan usaha itu?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Kau sampai hati mengorbankan
anakmu.”
“Kenapa?”
“Anakmu akan sakit dan kalau peringatan
itu kau abaikan, anakmu, salah seorang dari keduanya akan mati atau bahkan
kedua-duanya.”
Orang yang kekar itu
terperanjat ketika justru anak yang sakit itu yang menjawab, ”Ternyata aku
telah sembuh setelah aku bermimpi. Aku jadi yakin, bahwa di dunia mereka pun
kini sedang terjadi masalah. Kesimpulanku, aku tidak perlu cemas.“
“Gila. Kalian memang
orang-orang gila.”
“Tidak. Justru kami adalah
orang-orang yang menyadari keadaan yang sebenarnya. Tanpa orang lain, biarlah
aku katakan kepadamu, mungkin kau memiliki kelebihan dari orang-orang yang ada
di dalam barak ini, bahwa di sini ada tiga golongan yang perlu diperhatikan.“
“Apa?”
“Hantu-hantu Alas Mentaok yang
sebenarnya, hantu-hantu dari Gunung Merapi, dan makhluk lain yang diragukan
oleh Kiai Dandang Wesi, yang berbentuk seperti hantu jerangkong, tetapi
memiliki jalur-jalur darah dan arus nafas.”
Orang yang kekar itu menjadi
tegang. Sejenak ditatapnya wajah-wajah dari ketiga ayah beranak itu. Kemudian
sambil menggeram ia melangkah pergi, ”Kalian telah mengigau.”
“Tunggu,” panggil Swandaru.
Ketika orang itu berhenti dan berpaling, Swandaru berkata sambil tersenyum,
”Terima kasih atas air yang Paman berikan itu. Tubuhku menjadi segar dan
rasa-rasanya sakitku menjadi sembuh sama sekali.“
“Persetan,“ orang itu pun
kemudian melangkah semakin cepat.
Sepeninggal orang-orang itu,
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, ”Mudah-mudahan
kita akan segera dapat memecahkan teka-teki yang rumit ini.”
“Apakah yang Guru maksud dengan
teka-teki itu?”
”Keadaan di sekitar tempat
ini. Di samping negeri yang kian hari kian menjadi ramai, maka orang-orang yang
memperluas tanah garapan masih saja diganggu oleh persoalan-persoalan yang
cukup menegangkan ini.”
“Hantu-hantu maksud Guru?”
“Ya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang orang yang tinggi kekar itu
sampai hilang di gardu pengawas Agung Sedayu berkata, ”Kedua orang itu memang
aneh.”
“Sekarang beristirahatlah.
Kita akan terlibat dalam permainan yang mengasyikkan ini.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian masuk kembali ke dalam barak. Beberapa orang yang karena beberapa hal
berhalangan pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, masih juga berada di barak
itu.
Seorang laki-laki yang kakinya
terluka karena kapaknya sendiri, duduk sambil mengusap lukanya. Sekali-sekali
ia menyeringai menahan sakit. Sudah sepekan ia duduk saja merenungi lukanya
tanpa dapat membantu kawan-kawannya bekerja di pinggir hutan.
“Apakah anakmu sudah
benar-benar sembuh?” orang itu dengan hampir berteriak bertanya kepada Kiai
Gringsing.
Kiai Gringsing berpaling
kepadanya, kepada orang yang terluka itu yang duduk di sudut barak. “Ya,
begitulah.”
“Kau memang beruntung sekali.
Dari manakah kau mendapatkan obatnya?”
“Kebetulan saja. Tetapi aku
juga mendapat obat dari Kiai Damar. Dukun sakti yang memiliki kemampuan
berhubungan dengan hantu.”
“Apakah kau tidak berkeberatan
memberi obat aku sedikit, agar lukaku ini segera sembuh?”
“Obat itu bukan obat luka.”
“Aku tahu, tetapi mungkin kakiku
ini juga kena kutuk dari hantu-hantu. Mungkin ketika aku bekerja di tanah yang
sedang dibuka itu, aku telah mengganggu mereka, sehingga aku telah dihukumnya.
Dengan obat dari Kiai Damar itu, mungkin aku akan dimaafkan.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Ternyata jalan pikiran orang-orang di tempat ini sudah tidak wajar lagi. Mereka
terlampau dipengaruhi oleh adanya hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok.
Semua persoalan telah dikaitkannya dengan hantu-hantu, kemungkinan bahwa mereka
telah mengganggu keluarga hantu-hantu dan bermacam-macam soal yang berpusar
pada hantu-hantu itu.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, ”apakah Ki Sanak mau aku obati? Bukan obat dari Kiai
Damar?”
“O, segala macam obat sudah
aku coba, tetapi sampai sepekan lukanya justru membengkak.”
“Obat yang Ki Sanak pergunakan
agaknya belum cocok. Kalau Ki Sanak setuju, aku akan mencoba mengobatinya.”
“Berilah aku obat Kiai Damar
itu.”
“Sayang, aku sudah dipesan,
bahwa obat itu tidak boleh dipergunakan oleh orang lain. Obat itu adalah obat
yang khusus, yang bagi orang lain justru dapat berakibat sebaliknya.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Katanya, ”Jadi maksudmu, aku tidak dapat mengobati lukaku dengan
obat itu?”
“Bukan aku tidak
memperbolehkan, tetapi Kiai Damar-lah yang berpesan demikian.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Karena itu kalau Ki Sanak
bersedia, aku mempunyai sejenis obat untuk luka-luka.“
“Apa? Bubukan babakan
mlandingan atau sawang angga-angga?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya.
“Apa? Semua obat sudah aku
coba.”
“Endapan kicikan.”
“Minyak kelapa dengan
empon-empon.”
”Ya. Segala macam empon-empon,
potong tipis-tipis, kemudian aku jemur sampai kering. Barulah aku panasi dengan
minyak. Kemudian aku jemur lagi hingga kering. Barulah aku tumbuk halus-halus.”
Orang itu mengangguk-angguk.
”Baiklah. Aku belum mencobanya.”
“Tunggulah, aku ambil obat
itu.”
Kiai Gringsing pun kemudian
mengambil sejenis serbuk seperti yang dikatakannya. Kemudian ditaburkannya obat
itu pada luka yang sedang mulai membengkak.
“Uh, panas sekali. Apakah ini
kicikan seperti yang kau katakan.”
“Ya.”
“Kenapa panas dan pedih?”
“Tentu. Tetapi nanti akan
menjadi baik.”
Orang itu menyeringai menahan
sakit sambil memegang pangkal pahanya. “Sakit sekali,“ desisnya.
Kiai Gringsing tidak
menghiraukannya. Kemudian dibiarkannya luka itu tetap terbuka. Katanya,
”Biarlah luka itu terbuka sejenak.”
Sejak itu sakit lukanya
menjadi berangsur berkurang. Sehingga akhirnya terasa seakan-akan luka itu
sudah sembuh.
“Terima kasih,” katanya.
“Dengar,” berkata Kiai
Gringsing, ”sama sekali bukan karena hantu-hantu. Hantu-hantu sebenarnya sama
sekali tidak menghiraukan kita. Hutan itu hutan kita. Kalau ada persoalan,
tentu persoalan yang lain.”
Orang itu memandang Kiai Gringsing
dengan tatapan mata yang aneh, meskipun ia tidak bertanya sesuatu. Bahkan Kiai
Gringising-lah kemudian yang berbicara pula, ”Hantu-hantu itu ternyata
mempunyai persoalannya sendiri. Hantu-hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi dari
Gunung Merapi telah melibatkan diri di dalam setiap persoalan di Alas Mentaok
ini.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia berdesis, ”Aku menjadi bingung.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Tiba-tiba ia bertanya, ”Bagaimana dengan lukamu?”
“Sudah tidak pedih lagi.
Bahkan seakan-akan telah menjadi sembuh sama sekali.”
“Biarlah lukamu terbuka. Nanti
sore, aku akan memberimu obat setelah luka itu kau bersihkan. Setiap kali pasti
akan terasa pedih untuk beberapa saat. Namun kemudian akan menjadi dingin
seperti sekarang.“
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Beristirahatlah.”
Kiai Gringsing pun kemudian
kembali ke tempatnya. Swandaru yang masih belum sehat benar, telah berbaring
untuk memulihkan kekuatannya. Sedang Agung Sedayu pun kemudian pergi ke gardu
pengawas untuk melaporkan bahwa mereka tidak pergi ke pekerjaan mereka hari
ini.
“Kenapa?“ bertanya salah
seorang pengawas.
“Adikku masih belum sembuh
benar.”
Pengawas itu mengerutkan
keningnya. Tetapi yang bertanya kemudian adalah Wanakerti, ”Apakah kalian
memutuskan untuk menghentikan usaha kalian?”
“Tidak,” jawab Agung Sedayu.
”Kami akan bekerja terus. Kalau kesehatan adikku telah pulih kembali, maka kami
akan meneruskan kerja kami.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, ”Baiklah. Sekarang, bawalah rangsum kalian
bertiga.”
Agung Sedayu pun kemudian
kembali ke barak sambil membawa rangsum untuk mereka bertiga.
Dalam pada itu, selagi di
tempat-tempat yang sedang digarap dan dibuka selalu diributkan, oleh masalah
hantu-hantu, Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya tidak henti-hentinya
berusaha agar Tanah Mataram menjadi kian ramai. Di tempat-tempat yang sudah
mulai padat, dibuatnya pusat-pusat kegiatan yang menyangkut kehidupan orang
banyak. Didirikannya pasar dan banjar-banjar. Hubungan yang semakin banyak
dengan daerah-daerah di sekitarnya.
Namun demikian keprihatinan
mereka atas gangguan dari persoalan-persoalan yang masih merupakan rahasia bagi
Mataram masih belum teratasi. Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya berusaha,
tetapi sama sekali belum pernah ditemuinya apa yang disebut oleh beberapa orang
dan bahkan beberapa petugasnya, sebagai hantu-hantu yang menakutkan.
Apalagi di hari-hari terakhir
telah berkembang cerita tentang hantu yang hampir tidak berbentuk. Ketika
beberapa orang peronda menjumpai seonggok benda yang kehitam-hitaman pada saat
mereka kembali dari rumah Kiai Damar.
”Para pekerja yang membuka
hutan, di daerah Utara bercerita pula tentang hantu serupa itu,” berkata
seorang pengawal.
“Apa katanya?”
“Kini telah berkembang cerita
tentang hantu yang datang dari Gunung Merapi. Salah satu dari mereka menyebut
dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.”
Pengawal yang lain pun
mendengarkannya dengan penuh minat. Cerita tentang hantu memang selamanya
menarik bagi mereka, apalagi mereka yang akan bertugas di daerah-daerah yang
sedang dibuka.
Tetapi ternyata cerita tentang
hantu itu tidak menghambat perkembangan Tanah Mataram secara keseluruhan.
Memang di beberapa tempat, penebangan hutan benar-benar telah terhenti, karena
mereka yang membuka hutan menjadi ketakutan. Di beberapa tempat yang lain pun
menjadi sangat mundur. Beberapa orang telah memilih tinggal di tempat yang
sudah ramai, meskipun hanya sekedar menjual tenaga, karena mereka tidak
mempunyai lagi tanah garapan. Sedang beberapa keluarga yang lain telah kembali
ke tempat asal mereka.
Meskipun sebagian dari rencana
Ki Gede Pemanahan masih tetap dapat dilakukan, terutama usahanya menyusun suatu
tempat yang akan dijadikannya pusat pemerintahan dari daerah yang baru dibuka
ini, namun terhambatnya perluasan tanah garapan yang akan menjadi lumbung bahan
mentah itu membuatnya berprihatin.
“Kita harus dapat memecahkan
rahasia ini,” berkata Raden Sutawijaya, ”selama rahasia ini masih merupakan
teka-teki, maka Tanah Mataram masih belum dapat disebut tenteram.”
“Memang masih banyak tantangan
yang harus kita hadapi,” sahut Ki Gede Pemanahan. ”Hubunganmu dengan Ayahanda
Baginda Sultan di Pajang masih juga belum dapat disebut pulih kembali, kini
kita di sini sudah menjumpai bermacam-macam persoalan.”
“Ya, Ayah. Tetapi kita akan
berjalan terus.”
“Tentu Sutawijaya. Pati sudah
pantas disebut sebuah Kadipaten. Tetapi apa yang pantas kita katakan tentang
Tanah Mataram, Tanah Perdikan, Kadipaten atau sebuah Kademangan kecil?”
“Kita sedang berusaha, Ayah.
Dan Ayahanda Sultan Pajang memang tidak mau memberikan sebutan atau kedudukan
yang pasti bagi Mataram, seperti di daerah-daerah pesisir Utara.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. ”Karena itu kita harus membentuk diri sendiri. Apa pun yang
akan dikatakan oleh Sultan Pajang atas kita.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa sesadarnya ia berkata, ”Apakah Ayah
tidak berkeberatan terhadap usaha Untara untuk menyusun suatu kekuatan di Jati
Anom?”
“Kenapa aku berkeberatan? Jati
Anom adalah tlatah Pajang, Untara adalah seorang Senapati Pajang. Apakah
salahnya?”
“Tetapi kekuatan itu
seolah-olah telah dihadapkan kepada kita di Mataram.“
“Seandainya demikian, itu
adalah suatu sikap berhati-hati.”
“Tetapi, kenapa tidak terhadap
Pati?”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Diangguk-anggukkanya kepalanya. Sebenarnya ia menyimpan perasaan
seperti yang terbersit di hati putranya. Namun Ki Gede Pemanahan masih
menyimpannya. Ia tidak mau tergesa-gesa mengambil suatu kesimpulan dari sikap
Pajang.
“Sutawijaya sebenarnya adalah
putra angkat yang tidak ubahnya dengan putranya sendiri,” berkata Ki Gede
Pemanahan di dalam hati, ”namun keragu-raguan Sultan Pajang membuat Mataram
harus bersikap.”
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, ”cobalah kau sisihkan perasaan itu sejenak. Pusatkan
perhatianmu pada pembangunan daerah ini. Kalau kita terlampau berprasangka,
maka hambatan dari perkembangan Tanah Mataram ini akan timbul dari diri kita
sendiri.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi angan-angannya masih saja dibayangi oleh berbagai macam
pertanyaan tentang kedua anak-anak muda yang ditemuinya di Menoreh. Sehingga ia
selalu bertanya kepada diri sendiri, ”Bagaimanakah sikap Agung Sedayu dan
Swandaru? Apakah mereka berpihak juga kepada Untara dan menjadikan Sangkal
Putung suatu pusat kekuatan di Jati Anom dan Sangkal Putung, maka pasukan
Pajang akan membayangi Mataram dari dua arah. Jati Anom akan dapat langsung
menyusur lereng Gunung Merapi dan turun dari arah Utara, sedang kekuatan yang
datang dari Sangkal Putung akan langsung datang dari arah Timur. Sedangkan kita
di sini sama sekali tidak tahu, bagaimanakah sikap Menoreh yang ada di sebelah
Barat dan Mangir yang ada di sebelah Selatan?”
Meskipun demikian, Sutawijaya
sama sekali tidak menjadi berkecil hati. Ia memang bertekad untuk membuat Alas
Mentaok ini menjadi sebuah negeri yang ramai.
Namun dalam pada itu, selagi
masalah-masalah yang bersangkut paut dengan pihak-pihak di luar Tanah Mataram
masih harus dipecahkan, timbullah masalah-masalah yang harus diatasi di dalam
tubuh ini. Kekisruhan yang ditimbulkan oleh berita tentang adanya hantu-hantu
yang mengganggu pembukaan hutan hampir di segala arah. Bahkan ada
kelompok-kelompok yang telah menghentikan usahanya untuk memperluas Tanah
Mataram dengan tanah garapan baru, karena mereka tidak tahan lagi menghadapi
gangguan hantu-hantu yang agaknya menjadi semakin marah.
Tetapi di saat-saat terakhir
timbullah berita tentang hantu dari Gunung Merapi itu.
Seorang pemimpin pengawal
Tanah yang baru dibuka itu menemui Raden Sutawijaya dan berkata, ”Hantu dari
Gunung Merapi itu menyebut dirinya bernama Dandang Wesi. Ia mengaku sebagai
pemomong Raden Sutawijaya di masa kecil yang kemudian bertapa dan mrayang
dengan raganya. Tetapi kemudian ia mendapatkan bentuknya yang baru di dalam
dunianya yang baru.”
Raden Sutawijaya menjadi
bingung. Ia tidak pernah merasa mempunyai seorang pemomong yang bernama Kiai
Dandang Wesi, sehingga karena itu sejenak ia tidak memberikan tanggapan
apa-apa.
“Apakah Raden sudah
melupakannya karena sudah bertahun yang lampau?”
Sutawijaya menggeleng, “Tidak.
Aku masih ingat. Tetapi aku sudah tidak dapat mengingat lagi wajahnya.”
“Sekarang Kiai Dandang Wesi
benar-benar sudah tidak berbentuk. Hanya seperti seonggok daging yang berwarna
kehitam-hitaman. Namun justru mengerikan sekali. Bahkan menurut ceritera,
bentuk yang demikian itu masih juga mampu menyerang dari jarak yang jauh.”
“Aku ingin menemuinya pada
suatu kesempatan,” sahut Sutawijaya. ”Kalau salah seorang dari kalian bertemu,
katakanlah aku ingin berbicara.“
“Baiklah. Agaknya hantu yang
bernama Kiai Dandang Wesi itu mempunyai sifat yang agak berbeda dengan
hantu-hantu dari Alas Mentaok ini sendiri. Tetapi mungkin karena hantu-hantu
yang selama ini menakut-nakuti itu adalah hantu-hantu dari tataran yang paling
rendah, sehingga sifat-sifat mereka pun sangat memuakkan. Tetapi Kiai Dandang
Wesi bersikap lain. Ada semacam wibawa yang memancar dari tubuhnya yang tidak
berbentuk itu.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, ”Mudah-mudahan
hantu yang tidak berbentuk itu dapat diajak bicara.”
“Sulit. Hanya orang-orang
tertentu sajalah yang dapat berbicara. Di antaranya Kiai Damar.“
“Tidak,” tiba-tiba seorang pengawal
yang lain memotong. ”Ada orang yang pernah bertemu dan langsung dapat berbicara
dengan hantu itu.”
Sutawijaya tiba-tiba
tersenyum. Katanya, ”Memang berita tentang hantu kadang-kadang menumbuhkan
bermacam-macam tafsiran. Tetapi yang sampai padaku hingga saat ini selalu
menumbuhkan pertanyaan di dalam hatiku, apakah mereka yang bercerita itu
benar-benar pernah melihatnya. Seseorang mengatakan, bahwa kawannya pernah
melihatnya. Tetapi ketika kawannya yang disebutkan itu aku panggil, ia
mengatakan bahwa ia mendengar dari kawannya yang lain. Sampai saat ini aku
belum pernah menyaksikan sendiri apa pun dan bagaimana pun juga bentuk dan
bahkan suaranya.”
Para pengawal saling
berpandangan sejenak. Namun mereka yakin bahwa hantu-hantu yang dimaksudkan
memang ada. Seseorang memberanikan diri berkata, ”Aku pernah melihatnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Ya. Kau memang pernah mengatakan, bahwa kau
sendiri pernah melihatnya. Bukan sekedar kata orang. Tetapi kau tidak berhasil
membawa aku melihat hantu itu.”
Pengawal itu terdiam.
“Kita harus segera dapat
memecahkan masalahnya,” tiba-tiba Sutawijaya menggeram.
Dalam pada itu, keadaan
Swandaru sudah menjadi berangsur baik. Kekuatannya sudah hampir pulih kembali
sehingga ia sudah tidak memerlukan bantuan apa pun lagi dari Agung Sedayu atau
gurunya.
Dengan demikian, maka Kiai
Gringsing beserta kedua muridnya itu pun telah siap kembali untuk melakukan
pekerjaan mereka, menebas hutan di bagian yang justru dijauhi oleh orang-orang
lain.
“Apakah kau akan meneruskan
kerjamu membersihkan daerah yang wingit itu?” bertanya seseorang kepada Kiai
Gringsing.
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, ”Ya. Daerah itulah yang telah diserahkan kepadaku dan
anak-anakku. Karena itu, kami harus bekerja kembali di tempat itu.”
“Selama ini kau mendapat
pengalaman yang pahit. Anakmu hampir saja menjadi korban. Apakah kau tidak
berpikir untuk mengurungkan saja niat itu?”
“Apakah aku akan mendapat
bagian tanah yang lain?”
“Tentu. Kalau kau mengurungkan
niatmu, kau dapat menggabungkan diri ke dalam salah satu kelompok yang sudah
ada. Tentu saja dengan persetujuan para petugas di hutan ini. Tetapi aku kira
mereka dapat mengerti kesulitan yang kau alami.” Orang itu berhenti sejenak,
lalu, “Tidak ada orang yang mau menerima bagian itu, meskipun sudah mulai
dikerjakan. Mereka yang sudah menebang pepohonan di bagian itu, telah
meninggalkannya meski pun mereka telah membuang banyak tenaga.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Aku tidak dapat melangkah surut. Aku sudah
tidak dapat kembali lagi ke asalku karena semua hak milikku telah aku jual.”
“Kau tidak perlu kembali ke
asalmu. Kau dapat menggabungkan diri dengan kelompok lain. Atau, kau dapat
pergi ke tempat yang sudah menjadi ramai. Kau dapat mencari pekerjaan lain di
sana.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggeleng, ”Aku akan tetap mengerjakan tanah itu. Aku yakin bahwa pada suatu
saat, aku dan anak-anakku tidak akan diganggu lagi. Kami akan segera
berkenalan. Dan kami akan mengatakan bahwa niat kami adalah baik.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Kau memang keras hati. Tetapi terserahlah, semua itu
tergantung kepadamu sendiri. Aku sudah mencoba untuk memberimu peringatan.
Orang yang tinggi itu pun akan memperingatkan kau. Ia merasa bertanggung jawab
atas kita sekalian di sini.”
“Siapakah sebenarnya orang
itu?”
“Seperti juga aku, kau dan
orang-orang lain. Orang itu pun seorang pendatang. Tetapi karena ia mempunyai
beberapa kelebihan dari kita masing-masing di sini, maka tanpa persetujuan
resmi, seakan-akan ia menjadi pemimpin kita di sini.”
“Ya. Aku pun merasakannya. Dan
orang itu pun sudah bertindak sebagai seorang pemimpin. Kalau negeri ini
menjadi ramai, maka ia akan dapat menjadi bebahu dari pedukuhan-pedukuhan yang
akan terbentuk.”
”Ya.”
“Dan yang kekurus-kurusan
itu?” bertanya Kiai Gringsing pula.
“Orang itu termasuk orang yang
cerdik. Ia mempunyai banyak akal dan pendapat. Karena itu, ia segera mendapat
tempat yang baik di samping orang yang tinggi kekar itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia sudah
mengerti bahwa orang yang tinggi kekar itu mempunyai beberapa kelebihan dan
orang yang kekurus-kurusan itu adalah orang yang cerdik meskipun licik. Tetapi
dari orang-orang yang sudah lama berada di tempat itu, ia sama sekali tidak
berhasil mendapat keterangan lebih banyak daripada itu.
”Aku harus mendapatkan sumber
yang lain untuk mengetahui latar belakang dari perbuatan-perbuatan mereka yang
aneh itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Sementara itu, Swandaru sudah
benar-benar pulih kembali. Kepada para petugas Kiai Gringsing berkata, ”Besok
aku akan melanjutkan kerja yang selama ini terhenti, bersama dengan
anak-anakku.”
“Apakah anakmu yang sakit itu
sudah benar-benar sehat?” bertanya Wanakerti.
“Sudah, Tuan. Ia sudah pulih
kembali.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, ”Apakah kau tidak mempunyai pikiran
lain?“
“Maksud, Tuan?”
“Misalnya, mencari tanah
garapan baru yang tidak berbahaya bagimu dan anak-anakmu.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Jawabnya, ”Aku akan berhati-hati, Tuan. Aku dan anak-anakku sudah mulai.
Sebaiknya kami melanjutkannya.”
“Bagaimana dengan sakit
anakmu?”
”Ia sudah sembuh.”
“Bukan itu. Tetapi apakah kau sudah
memikirkan sebab dari penyakit anakmu itu?”
“Seandainya benar anakku telah
dikutuk oleh hantu-hantu, maka kini ia pasti sudah mendapat pengampunan,
ternyata bahwa ia telah sembuh.”
“Tetapi kalau kau mengulangi
kesalahanmu yang lama?”
“Aku tidak yakin, bahwa hal
itulah yang dianggap sebagai suatu kesalahan.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia pun berkata, ”Terserahlah kepadamu.“
Para petugas yang lain pun
telah berusaha mencegah Kiai Gringsing agar ia memilih tanah garapan yang baru.
Salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kami tidak dipersalahkan orang,
kalau terjadi sesuatu atas kalian?”
“Kenapa?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Tanah itu adalah tanah yang
wingit. Seolah-olah kami memang telah menjerumuskan kalian ke tempat itu.”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, ”Tidak. Itu adalah tanggung jawab kami sendiri.”
“Tetapi bagi mereka yang tidak
mengetahui persoalan ini pasti akan menyangka bahwa kami adalah orang-orang
yang tidak berperikemanusiaan. Kami pasti dipersalahkan, seandainya kami tidak
dianggap menjerumuskan kalian, kenapa kami tidak mencegahnya?”
“Terima kasih. Tetapi justru
karena semuanya itulah Tuan, maka tanah itu sangat menarik bagi kami. Kami akan
mengerjakannya dengan sebaik-baiknya, apa pun akibatnya.”
Para petugas itu hanya saling
berpandangan sejenak. Tetapi masih ada di antara mereka yang merasa menyesal,
bahwa mereka telah menempatkan orang tua itu bersama kedua anaknya di tempat
yang paling wingit.
Tetapi Kiai Gringsing masih
berkata, ”Tuan, seandainya masih ada gangguan-gangguan atas kami yang bekerja
di daerah ini, maka kami sekarang sudah mempunyai kawan yang mempunyai
kekuasaan yang serupa dengan mereka.”
“Siapa?”
“Mereka yang datang dari
Gunung Merapi itu. Salah satu dari mereka bernama Kiai Dandang Wesi.“
Para petugas itu mengerutkan
keningnya, kemudian hampir bersamaan mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kami sudah mendengar pula
cerita tentang Kiai Dandang Wesi. Tetapi kami masih belum dapat meyakinkan
seperti kami meyakini adanya hantu-hantu dari Alas Mentaok ini sendiri.”
“Aku sendiri pernah melihat,”
sahut Agung Sedayu, ”Kiai Dandang Wesi ada di pihak kami. Menurut Kiai Dandang
Wesi, semua yang kasat mata manusia, memang diperuntukkan bagi manusia wadag
seperti kita, karena kita memang tidak tahu dan tidak melihat mereka, sehingga
karena itu, yang adil, merekalah yang menyesuaikan diri mereka. Bukan kita.”
Para penjaga itu
mengangguk-angguk. Wanakerti-lah yang kemudian berkata, ”Kalau kau memang sudah
yakin, terserahlah. Kami berdoa, mudah-mudahan kalian tidak mendapat gangguan
apa pun juga.”
“Terima kasih.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan kedua muridnya pun segera mulai mengerjakan tanah garapan mereka
kembali. Setelah sekian lama mereka tinggalkan, maka alang-alang yang sudah
dibersihkannya tampak mulai tumbuh kembali di beberapa bagian.
“Kemarilah,” desis Kiai
Gringsing kepada kedua muridnya.
Kedua muridnya pun segera
mendekat.
“Kalian memang harus
berhati-hati. Kita tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang kita hadapi.
Bukan karena kita menolak suatu kepercayaan tentang hantu-hantu yang mungkin
ada, tetapi kita pun harus memperhitungkan kenyataan yang selama ini terjadi
atas kita.”
“Maksud Guru?”
”Ternyata kita berada di dalam
lingkungan orang-orang yang mengerti benar tentang racun. Agaknya di sini racun
merupakan senjata yang paling baik untuk segala macam tujuan, Swandaru yang
pernah mengalaminya. Ketika seseorang di sini mendekapnya dengan ketakutan, dan
seolah-olah orang itu terluka parah, agaknya orang itu sudah menyentuh tubuh
Swandaru dengan duri-duri beracun.”
“Ya, bagaimanakah sebenarnya
dengan orang itu? Dan kemanakah ia pergi? Apakah benar-benar ia hilang seperti
yang kita sangka?”
“Orang itu sama sekali tidak
apa-apa. Tidak terluka dan tidak ketakutan. Itu adalah suatu cara agar ia dapat
menyentuh salah seorang dari kita.”
“Lalu?”
“Ia pun tidak hilang dibawa
hantu yang mana pun juga. Orang itu telah pergi sendiri selagi kita sibuk
mencari sumber bunyi yang telah mengejutkan kita itu.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi darah itu?” bertanya
Swandaru.
“Aku sudah meyakinkannya,
bahwa yang serupa dengan darah itu sama sekali bukan darah.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Kemudian, kita singgah ke
rumah dukun itu. Ia mengerti tentang racun dengan baik. Obat yang diberikannya
dan yang kemudian aku bawa kepada dukun yang lain yang ternyata bernama Kiai
Damar, memang obat pemunah racun.” Kiai Gringsing terdiam sejenak, lalu, ”Dan
ternyata pula orang-orang yang memahami tentang racun. Air yang diberikan
kepada Swaudaru ketika kau tinggalkan, ternyata berisi racun yang telah
diperhitungkan dengan tepat.”
Kedua murid-muridnya masih
mengangguk-anggukkan kepala.
”Jadi, hati-hatilah. Jangan
mudah dijebak lagi dengan cara apa pun. Aku yakin bahwa semua itu sama sekali
bukan perbuatan hantu-hantu.”
“Tetapi bagaimana dengan suara
gemerincing di malam hari itu?”
“Kita masih harus meyakinkan.
Tetapi setiap orang dapat berbuat serupa itu.”
“Dan sinar yang berkeredipan?”
bertanya Agung Sedayu.
“Memang masih banyak hal-hal
yang harus kita ketahui, Agung Sedayu. Seandainya benar ada hantu di Alas
Mentaok, namun ada juga orang-orang yang telah memanfaatkannya untuk
kepentingan diri mereka sendiri.”
“Apakah tujuan mereka, Guru?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, ”Aku tidak tahu dengan pasti. Kita masih berhadapan dengan rahasia
yang besar seperti rahasia yang tersimpan di dalam Alas Mentaok ini sendiri.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan kedua muridnya bekerja dengan hati-hati. Mereka menyadari bahwa
di sekitar mereka terdapat beberapa orang yang sedang bermain-main dengan
segala macam cara. Dan yang paling berbahaya adalah racun.
Karena itulah, maka diam-diam
Kiai Gringsing telah membuat obat-obat yang dapat menahan serangan racun untuk
sementara. Kedua muridnya itu pun telah diberinya butiran-butiran itu untuk
selalu dibawa kemana mereka pergi. Kalau mereka merasa diri mereka tersentuh
racun, maka agar racun itu tidak berkembang di dalam tubuhnya, mereka harus
makan obat itu, sebutir.
Di hari yang pertama, Kiai
Gringsing dan kedua muridnya hanyalah sekedar melihat-lihat tanah garapan yang
telah ditinggalkan untuk beberapa lama. Namun justru mereka menjadi semakin
bernafsu untuk melakukan kerja itu, agar mereka dapat membuktikan, bahwa tanah
ini memang dapat dibuka untuk dijadikan tanah garapan.
Namun kerja yang dimulainya
kembali itu telah membuat beberapa orang menjadi tidak senang karenanya.
Terutama orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan.
Ketika Kiai Gringsing dan
kedua anak-anaknya kembali dari tanah garapannya, maka orang yang tinggi itu
mendapatkannya sambil bertolak pinggang, ”Kau memang ingin membuat keributan di
sini, he?”
“Kenapa?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Kau mulai lagi kerja itu
meskipun semua pihak sudah mencoba mencegahnya. Bahkan para petugas.”
“Aku sudah memberikan
alasanku. Dan para petugas itu akhirnya menyerahkan segala tanggung jawab
kepadaku.”
“Tetapi itu tidak mungkin. Kau
di sini tidak berdiri sendiri. Kau merupakan bagian dari kami semua yang ada di
sini.”
“Berilah kami kesempatan. Kami
akan mencoba untuk melakukan kerja yang mungkin akan bermanfaat bagi kita.
Kalau aku berhasil maka tanah garapan yang terbuka akan menjadi semakin luas.
Kelompok-kelompok dapat membagi diri untuk mengerjakan tanah yang lebih luas.”
“Gila. Aku tidak setuju dengan
pikiran itu. Sudah aku katakan berapa puluh kali, bahwa akibat yang timbul dari
sifatmu yang keras kepala itu akan menimpa kita semua.”
“Aku akan mempertanggung jawabkan
sendiri. Biar sajalah seandainya anakku atau aku sendiri menjadi banten. Tetapi
aku benar-benar berniat baik,” suara Kiai Gringsing menurun. ”Sebenarnya kalian
pun jangan takut. Kiai Dandang Wesi selalu akan berada di pihak kita. Aku sudah
bertemu dengan hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu.”
“Bohong!”
“Percayalah. Ia akan menjaga
aku di tempat kerjaku itu. Tanah garapan itu sekarang sama sekali sudah tidak
wingit lagi, justru karena ada penghuninya yang baru.”
”Persetan. Tetapi kalau
terjadi bencana atas kita sekalian, kaulah yang akan menjadi sasaran kemarahan
orang-orang yang berada di dalam barak ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ancaman itu pasti bukan sekedar main-main. Orang-orang yang tinggi itu
pasti akan berusaha menghasut orang-orang di dalam barak ini agar mereka
berbuat sesuatu terhadap mereka.
Kiai Gringsing hanya dapat
memandangi saja ketika orang yang tinggi kekar itu meninggalkannya, sambil
bersungut-sungut.
“Apakah pada suatu saat kita
akan berbuat sesuatu atasnya?” bertanya Swandaru yang hampir kehilangan
kesabaran.
“Biar sajalah. Kita akan
melihat, apa saja yang akan dilakukannya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tampak dari sorot matanya bahwa kebencian yang dalam terhadap
orang yang tinggi itu hampir-hampir sudah tidak tertahankan lagi.
Ketika pinggiran hutan itu
menjadi kelam, maka orang-orang yang tinggal di dalam barak itu pun sudah
menempati tempatnya masing-masing. Selain badan yang lelah, mereka juga selalu
dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Seseorang yang masih muda
berbaring beberapa jengkal dari Swandaru yang masih duduk bersandar dinding.
Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya, kalau angan-angannya menyentuh orang
yang tinggi kekar itu.
“Apakah kalian sama sekali
tidak mengenal takut dan cemas,” tiba-tiba orang yang masih muda itu bertanya.
Swandaru berpaling ke arahnya.
Tetapi ia tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah gurunya sejenak, seolah-olah
ia ingin mendapat pertimbangan daripadanya.
Tetapi ternyata Kiai Gringsing
tidak sedang memperhatikannya. Orang tua itu duduk pula sambil memejamkan
matanya di samping Agung Sedayu yang sedang memijit-mijit kakinya.
”Begitu?“ orang itu mendesak.
Swandaru yang agak bingung itu
menggelengkan kepalanya, ”Tentu tidak. Kami juga mengenal takut.”
“Tetapi kenapa kalian teruskan
pekerjaan itu?”
”Kami mempunyai pelindung,
hantu dari Gunung Merapi itu.”
Orang itu terdiam sejenak.
Dipandanginya anyaman ilalang yang mengatapi barak bambu itu.
“Kau sendiri?” Swandaru yang
bertanya.
Orang itu menggeleng, ”Isteri
dan seorang anakku berada di barak yang lain. Tempat menampung perempuan dan
anak-anak itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Aku dahulu membayangkan,
bahwa aku akan mendapat sebidang tanah garapan yang hijau. Sebuah rumah yang
mungil, dengan pekarangan yang ditanami dengan pohon buah-buahan. Dibatasi oleh
sebuah pagar batu setinggi dada. Regol yang rendah dan berdaun pintu,” gumam
orang itu.
”Pada saatnya akan kau
dapatkan.”
“Ya. Tetapi kapan? Kami
bekerja di dalam kelompok-kelompok. Hasil yang kami dapatkan sebenarnya
terlampau kecil bagi kami sekelompok.”
“Tetapi kelompok itu akan
mengerjakan tanah garapan yang lain, sehingga kalian akan mendapatkan bagian
yang lain pula.”
“Tetapi kami selalu dibayangi
oleh ketakutan.”
“Kelompok-kelompok itu bukan
sekedar untuk mengatasi ketakutan. Bukankah kalian tidak akan dapat bekerja
sendiri-sendiri menghadapi tantangan hutan yang begitu lebat? Pohon-pohon yang
tinggi dan besar. Gerumbul-gerumbul yang penuh dengan tanaman-tanaman menjalar
dan berduri?”
Orang itu mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Matanya kembali menatap atap yang terbuat dari
anyaman ilalang.
Swandaru pun kemudian terdiam.
Ia melihat kekecewaan membayang di wajah orang yang berbaring itu.
”Kenyataan yang dihadapinya,
jauh dari gambaran yang diangan-angankannya sebelumnya,” desis Swandaru di
dalam hatinya.
Dan tiba-tiba saja ia ingin
mendapat beberapa keterangan lagi, sehingga Swandaru itu bertanya, ”Apakah
sejak kau datang ke tempat ini, orang-orang di sini juga sudah dibayangi oleh
ketakutan?”
Tetapi yang menjawab adalah
orang lain yang berbaring di sampingnya, ”Tidak. Tidak seperti sekarang ini.“
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, sedang Kiai Gringsing yang memejamkan matanya pun kemudian
terbelalak sambil mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian mata itu pun
telah terpejam pula.
“Bagaimanakah keadaan di
daerah ini dahulu?” bertanya Swandaru pula.
“Kami bekerja dengan tenang.
Daerah yang sudah dapat dijadikan pedukuhan itu pun menjadi kian ramai. Namun
pada suatu saat mulailah wabah itu.“
“Wabah?”
“Wabah ketakutan.
Perlahan-lahan tetapi pasti telah mencengkam kami seluruhnya. Mereka yang
memasuki daerah yang semakin dalam harus menarik diri dan mengurungkan niatnya,
sehingga apa yang kami kerjakan kini sangat terbatas. Sebagian orang-orang yang
bekerja di sini telah pergi. Ada yang semakin memenuhi tempat-tempat yang telah
ramai itu, tetapi ada juga yang sama sekali mengurungkan niatnya untuk tinggal
di daerah Tanah Mataram ini.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Ruangan di dalam barak itu
semakin lama menjadi semakin sepi. Sebagian dari mereka yang berbaring di
dalamnya sudah tertidur dengan nyenyaknya, sedang sebagian yang lain menyelimuti
dirinya dengan kainnya sampai menutup kepalanya.
Swandaru dan Agung Sedayu pun
kemudian berbaring pula, sedang Kiai Gringsing tidur sambil duduk bersandar
dinding tepat di sudut barak.
Beberapa orang yang belum
tertidur berpaling serentak ketika mereka mendengar seseorang mendehem di muka
pintu. Ternyata orang yang bertubuh kekar itulah yang baru melangkahi tlundak
pintu. Sejenak ia menebarkan tatapan matanya berkeliling. Kemudian ia pun
berbaring pula di depan pintu yang masih separo terbuka.
Agung Sedayu, Swandaru, dan
gurunya melihat juga orang itu masuk ruangan. Sejenak mereka saling
berpandangan. Namun mereka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
Demikianlah maka malam pun
menjadi semakin malam. Sebagian besar dari mereka yang berbaring di dalam barak
itu telah tertidur. Beberapa orang bahkan telah mendekur, seolah-olah mereka
sama sekali tidak sedang diganggu oleh kecemasan dan ketakutan.
Di luar barak, suara cengkerik
masih terdengar berderik berkepanjangan sahut menyahut. Angin malam yang dingin
berhembus di sela-sela dedaunan yang basah oleh embun.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
telah memejamkan matanya. Antara sadar dan tidak sadar mereka masih mendengar
sekali-sekali suara burung tuhu di kejauhan.
Tetapi selagi keheningan malam
mencengkam barak yang sudah mulai lelap itu, beberapa orang telah dikejutkan
oleh suara yang aneh. Seperti suara bayi yang merengek, namun kemudian berubah
seperti suara kucing yang melolong-lolong. Semakin lama semakin keras mendekati
barak yang dengan tiba-tiba telah dicengkam oleh ketakutan yang dahsyat.
Semua orang yang ada di dalam
dan apalagi di serambi barak, telah menutup telinga mereka dengan telapak
tangan. Menutup seluruh tubuh dengan selimut mereka.
Tetapi berbeda dengan mereka
itu, Kiai Gringsing justru mencoba mendengarkan suara itu dengan saksama. Agung
Serayu dan Swandaru pun telah terbangun dan sadar sepenuhnya atas apa yang
didengarnya. Tetapi ketika mereka akan bangkit, Kiai Gringsing memberikan
isyarat agar mereka tetap berbaring di tempatnya.
Suara itu semakin lama menjadi
semakin jelas terdengar. Namun pada suatu saat, sumber bunyi itu sudah tidak
menjadi semakin dekat, tetapi justru berputar-putar mengelilingi barak itu.
Belum lagi ketakutan yang
mencengkam itu mereda, seisi barak itu telah dikejutkan oleh suara beberapa
benda yang jatuh di atas atap barak itu, yang kemudian berguling jatuh di tanah
di sekitarnya. Agaknya barak itu telah dilempari dengan batu meskipun tidak
terlampau besar. Bahkan batu-batu yang terjatuh di anyaman ilalang yang kurang
kuat, telah menembus atap dan jatuh ke dalam barak.
Tiga buah batu telah jatuh ke
dalam barak menimpa orang yang sedang berbaring ketakutan. Untunglah batu-batu
itu tidak terlampau besar, sehingga meskipun terasa juga sakit, namun sama sekali
tidak berbahaya.
Kiai Gringsing hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Orang yang bertubuh, kekar itu berbaring di depan
pintu. Seandainya tidak, ia akan, dapat berbuat sesuatu.
Lemparan-lemparan batu itu
merupakan sesuatu yang baru bagi barak itu. Biasanya seisi barak itu hanya
ditakutkan oleh bunyi yang asing bagi mereka. Satu dua orang memang pernah
melihat bentuk dan ujud yang mengerikan di dalam gelap. Tetapi belum pernah
terjadi, barak mereka dilempari dengan batu-batu.
Sejenak kemudian maka suara
yang mengitari barak itu pun menjadi semakin lama semakin jauh. Di saat-saat
terakhir suara itu telah berubah lagi menjadi bunyi-bunyi yang belum pernah
didengar. Tinggi melengking-lengking kemudian turun merendah dan akhirnya
hilang sama sekali.
Beberapa saat lamanya tidak
seorang pun yang berani bergerak. Yang berkerudung kain panjang, masih tetap
berkerudung kain. Yang menutup telinganya dengan telapak tangannya, masih juga
menutup telinganya. Bahkan yang tertimpa batu pun sama sekali tidak berani
beringsut dari tempatnya. Meski pun terasa juga sakit, namun menyeringai pun
mereka tidak berani.
Baru, ketika orang-orang di
dalam barak itu yakin, bahwa suara itu sudah lenyap, mereka berani beringsut
sedikit untuk menarik nafas dalam-dalam.
Yang pertama-tama bangkit
perlahan-lahan adalah orang yang tinggi kekar itu. Ditebarkannya pandangan
matanya ke sekelilingnya. Ketika ia melihat Kiai Gringsing bersandar dinding ia
mengerutkan keningnya, ”Sejak tadi kau bersandar dinding?”
Kiai Gringsing mengangguk,
“Ya, sejak tadi.”
Orang yang tinggi kekar itu
memandangnya dengan, kerut kening yang tegang. Dengan sorot mata yang aneh ia
pun kemudian berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah mendekati Kiai
Gringsing.
“Kenapa kau tetap duduk saja
di tempatmu? Kau sudah menghina hantu-hantu itu. Itulah agaknya mereka menjadi
marah dan melempari barak ini dengan batu?”
“Kenapa aku telah menghina
mereka?”
“Kau terlampau sombong. Kau
bersikap menantang.”
“Tidak. Aku sama sekali tidak
bersikap menantang. Kau melihat sendiri, bahwa sejak sore aku tidur sambil
bersandar dinding karena tikar kami telah dipenuhi oleh kedua anak-anakku.”
“Kenapa kau pertahankan sikap
itu?”
“Bukan maksudku. Ketika aku
terbangun karena suara-suara itu, aku menjadi seakan-akan membeku. Aku tidak
dapat menggerakkan ujung jariku, apalagi tubuhku. Sebenarnya aku ingin
menjatuhkan diri di antara anak-anakku. Tetapi aku tidak dapat bergerak sama
sekali.”
Orang yang tinggi kekar itu
mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang telah bangkit dan duduk di
tempat masing-masing. Orang yang terkena batu pun telah berani mengusap bagian
tubuh mereka yang masih terasa sakit. Bahkan salah seorang dari mereka, telah
terkena kepalanya.
“O, kita sudah berbuat banyak
sekali kesalahan,” terdengar suara di muka pintu. Ketika orang-orang yang ada
di dalam barak itu berpaling, dilihatnya orang yang kekurus-kurusan itu berdiri
gemetar.
“Di mana kau selama ini?”
bertanya salah seorang.
“Aku hampir mati membeku.”
“Di mana kau, he?” orang yang
tinggi kekar itu membentak.
”Aku berada di luar. Aku tidak
dapat menahan lagi untuk membuang air. Tetapi di halaman yang terlindung itu,
aku menjadi seperti orang lumpuh. Aku terduduk tanpa dapat bergerak sama
sekali.”
”Lalu?”
“Aku melihat hantu itu lewat.”
“O,“ hampir bersamaan beberapa
orang berdesis.
“Benar-benar mengerikan. Kali
ini yang lewat tidak hanya sesosok hantu, tetapi tiga.”
“Tiga?” serentak terdengar
beberapa pertanyaan.
“Ya, tiga.“
“Dalam bentuk apa saja?”
“Yang sesosok tinggi. Yang dua
tidak begitu tinggi. Hampir setinggi manusia biasa. Tetapi aku tidak berani
menatap wajah mereka yang mengerikan itu. Merah dan bergigi panjang. Selebihnya
aku tidak tahu. Tetapi yang pasti salah seorang dari mereka berambut ular dan
yang satu lagi berkepala tengkorak.”
“Mengerikan sekali.”
“Aku hampir pingsan karenanya.
Hantu itu lewat beberapa langkah di dekatku. Satu di antara mereka berhenti.
Tetapi kemudian aku ditinggalkannya.”