Buku 066
Kedua murid Kiai Gringsing itu
mengangguk-angguk. Meskipun agak lambat, namun alasan itu akhirnya
dimengertinya pula. Rencana yang sudah mereka mengerti itulah yang sebaiknya
berjalan, karena rencana yang lain tidak akan dapat mereka sadap dengan mudah,
apalagi jika pernah terjadi, orang-orang mereka hilang di daerah Jati Anom.
“Apakah kita akan bertindak
sendiri?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Dipandanginya wajah Sumangkar yang berkerut-merut.
“Kita tidak akan dapat
bertindak sendiri,” berkata Sumangkar. “Bukankah begitu?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Kita memang tidak akan dapat berbuat sendiri.”
“Jadi, apakah yang harus kita
lakukan?”
“Kita harus berbicara dengan
Ki Widura. Kita memerlukan pertimbangannya. Orang-orang yang akan melakukan
rencana yang sudah tersusun itu pasti tidak hanya satu dua orang. Dan sesuai
dengan rencananya, yang datang pasti bukan orang-orang kebanyakan.”
“Apakah inti dari rencana
mereka, Guru?” bertanya Swandaru.
“Rencana mereka sangat
mengerikan. Membunuh para perwira yang tinggal di rumah Untara untuk
membangkitkan kemarahan prajurit-prajurit Pajang. Dengan demikian maka Pajang
pasti tidak akan dapat menahan hati lagi. Sedang para penyerang itu akan meninggalkan
kesan bahwa orang-orang Mataram-lah yang telah melakukannya,”
“Seperti yang diperhitungkan
Ki Lurah Branjangan. Orang itu memang mempunyai pandangan yang tajam.”
“Bukan sekedar perhitungan.
Tentu orang-orang Mataram telah mencium rencana ini dari petugas-petugas
sandinya, meskipun samar-samar. Karena itulah agaknya Ki Lurah Branjangan
bertugas untuk menjaga, jika penciuman yang samar-samar itu benar-benar akan
terjadi. Dan ternyata bahwa yang didengar oleh orang-orang Mataram itu bukan
sekedar mimpi yang buruk.”
“Jadi, apakah kita akan
berbicara pula dengan Untara?” bertanya Sumangkar kemudian.
“Biarlah Untara menjalani
hari-harinya dengan tenang. Meskipun kita memberitahukan kepadanya, tetapi kita
jangan memberikan kesan, bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang
terlalu berat.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Kiai Gringsing berkata selanjutnya “Marilah kita kembali ke
rumah Widura.”
“He, bukankah kita pergi ke
Sangkal Putung sore tadi?”
Kiai Gringsing tersenyum Jawabnya,
“Ya, kita kembali ke Sangkal Putung sore tadi, sehingga baru besok pagi kita
dapat mengunjungi Widura. Tetapi untuk benar-benar pergi ke Sangkal Putung
menjelang pagi ini, agaknya akan sangat mengejutkan.”
“Lalu?”
“Marilah kita pergi ke tempat kuda
kita tertambat. Kita beristirahat di pategalan itu sebentar, kemudian menjelang
terang tanah kita mencari sumber air untuk membersihkan diri.”
Sumangkar dan kedua murid Kiai
Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapapun malasnya, Swandaru
terpaksa juga berjalan di belakang Agung Sedayu menuju ke hutan kecil di
sebelah jalan ke Sangkal Putung, kemudian ke pategalan tempat kuda mereka
tertambat.
Ternyata ketika mereka sampai
ke pategalan itu, langit sudah menjadi merah. Sehingga karena itu, mereka hanya
mempunyai sedikit sekali kesempatan untuk beristirahat.
“Aku akan tidur sehari penuh,”
desis Swandaru.
“Tentu tidak mungkin,” jawab
Agung Sedayu, “kita berada di tempat perhelatan. Semua orang akan sibuk dengan
persiapan keberangkatan Kakang Untara.”
“Aku akan bersembunyi di atas
kandang, di belakang. Tidak ada orang yang akan mencari aku, karena aku tidak
banyak dikenal oleh keluarga Kakang Untara.”
“Aku yang mengenalmu dan aku
akan mencarimu.”
Swandaru memandang Agung
Sedayu dengan dahi yang berkerut, lalu gumamnya, “Aku akan mendekur terus.”
Ternyata di sepanjang jalan
dan selagi mereka duduk di atas kuda mereka, Kiai Gringsing dan Sumangkar masih
saja membicarakan segenap kemungkinan yang akan terjadi. Namun mereka
berkesimpulan, bahwa suasana tidak boleh dikacaukan karena peristiwa yang bakal
terjadi setelah Untara pergi. Untara harus tetap tenang dan tidak terganggu
karenanya, meskipun ia mengetahui serba sedikit apa yang terjadi.
Demikianlah setelah cahaya
merah menjadi semakin merah, dan menjadi semburat kuning, maka mereka pun
segera meninggalkan tempat itu.
“Hapuskan jejak sejauh
mungkin,” berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
berusaha untuk melakukannya. Meskipun tidak sempurna, tetapi tidak segera menimbulkan
kesan yang mencurigakan bagi pemilik pategalan itu.
“Belum tentu dua tiga hari
sekali pategalan ini di kunjungi pemiliknya,” gumam Swandaru, “biar saja
begitu.”
“Hus,” desis Agung Sedayu,
“jangan terlampau malas.”
Ketika matahari terbit, mereka
masih berada di sebuah belik kecil untuk mencuci muka. Kemudian mereka pun
segera melanjutkan perjalanan kembali ke Jati Anom.
Kedatangan mereka yang masih
terlalu pagi memang menimbulkan berbagai pertanyaan, tetapi sebagian dari
orang-orang yang ada di rumah Widura menjadi acuh tidak acuh karena kesibukan
mereka. Hanya beberapa orang pekerja yang sebenarnya adalah petugas sandi yang
memang dipergunakan oleh Untara sajalah yang memperhatikan mereka berempat agak
lebih banyak dari orang lain.
Untara yang sedang sibuk
dengan kepentingan perjalannya, memerlukan menemui Kiai Gringsing bersama
Widura. Mereka ingin tahu hasil dari kerja yang dilakukannya semalam.
“Tidak banyak yang aku
ketahui,” berkata Kiai Gringsing, “namun pada dasarnya, rencana pengacauan itu
memang ada. Seperti yang dicemaskan oleh Ki Lurah Branjangan itu memang akan
terjadi.”
“Jadi bagaimana menurut
pertimbangan Kiai?” bertanya Untara. Sebenarnya bukan kebiasaan Untara untuk
menyerahkan keputusan kepada orang lain, apalagi di luar lingkungannya. Tetapi
ia bukan orang yang sama sekali tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.
Dan kini ia tidak dapat lagi
memusatkan pikirannya kepada tugasnya melulu. Karena itu, maka ia memang
memerlukan nasehat dari orang-orang yang dipercayanya meskipun ia berada di
luar lingkungan keprajuritan.
“Sudahlah, Anakmas Untara,”
berkata Kiai Gringsing, “serahkan semua kepada orang yang kau pereaya. Tetapi
aku minta ijin untuk berbicara dengan orang itu tanpa ada orang lain, meskipun
perwira prajurit Pajang. Aku ingin berbicara dengan perwira itu di sini bersama
Ki Widura. Anakmas tidak perlu cemas, bahwa kekacauan itu akan dapat
mengganggu, bukan saja perhelatan anakmas, tetapi juga hubungan Pajang dan
Mataram. Kami akan mencoba mengatasinya sebaik-baiknya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Dan Kiai tidak memerlukan aku untuk ikut
berbicara?”
“Tentu aku tidak dapat menolak
jika Anakmas memutuskan demikian. Tetapi jangan terlalu berpengaruh bagi
Anakmas. Jika Anakmas datang ke rumah pengantin perempuan dengan kening yang
berkerut-merut, maka kesannya akan berbeda. Mertua Anakmas akan bertanya-tanya,
kenapa menantuku berwajah murung justru di malam pengantin?”
Untara tersenyum. Tetapi
sebagai seorang senapati ia dapat menangkap dengan ketajaman tanggapan, bahwa
persoalan yang sebenarnya bukannya begitu sederhana.
Atas perintah Untara, maka
perwira yang tertua, yang mendapat wewenang melakukan tugas Untara selama
Untara sibuk dengan persoalan pribadinya, segera datang ke rumah Widura.
Perwira itu meskipun rambutnya sudah diselingi oleh warna-warna putih, namun
tatapan matanya yang tajam, serta tubuhnya yang kuat kekar, masih tetap
merupakan seorang yang pantas disegani.
Setelah saling memperkenalkan
diri, maka perwira yang bernama Ki Ranadana itu segera mendapat penjelasan dari
Untara siapakah yang sekarang sedang dihadapi.
Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku menyesal, bahwa aku tidak
mendapat tugas di Sangkal Putung saat itu bersama Ki Widura, sehingga aku baru
mengenal Kiai sekarang ini.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku akan
berdebar-debar juga jika aku bertemu dengan Ki Sumangkar di medan waktu itu.”
Sumangkar hanya tersenyum
saja. Meskipun ia belum mengenal terlalu baik, namun agaknya Ki Ranadana telah
mengetahuinya, siapakah sebenarnya orang yang bernama Ki Sumangkar itu.
“Nah, silahkan,” berkata
Untara kemudian, “aku akan menjadi pendengar saja.”
“Pendengar yang baik,” sahut
Kiai Gringsing, “dengan demikian Anakmas tidak akan selalu memikirkannya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Ya, aku akan mencoba melupakannya,
setidak-tidaknya untuk lima hari selama aku berada di Pengging.”
Sejenak kemudian mereka pun
mulai berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul. Dengan
hati-hati Kiai Gringsing mengatakan apa yang dilihatnya dan apa yang
didengarnya. Rencana yang agaknya telah tersusun dan hampir merupakan kepastian
tentang usaha orang-orang itu untuk memasuki rumah Untara, dan membunuh
beberapa orang perwira.
“Itu bukan persoalan yang
dapat dilupakan begitu saja,” tiba-tiba Untara memotong.
“Anakmas Untara sudah berjanji
untuk menjadi pendengar yang baik, sehingga Anakmas Untara tidak usah ikut
mempersoalkannya. Bukankah Anakmas Untara sudah diwakili Ki Ranadana?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Persoalannya adalah persoalan yang besar. Apakah aku
akan melepaskan persoalan ini berlalu begitu saja? Sebenamya ini adalah suatu
kesempatan untuk mengetahui, siapakah yang sebenarnya telah membuat jurang yang
semakin dalam antara Pajang dan Mataram.”
“Tetapi ada kemungkinan lain,”
berkata Kiai Gringsing. “Mungkin Anakmas Untara terlalu berpikir jauh dan
berlandaskan pada masalah-masalah yang besar. Tetapi hal ini mungkin berpijak
pada masalah yang sangat sederhana meskipun dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kemampuan tinggi.”
“Apakah alasan yang sederhana
itu?”
“Orang-orang yang tidak ingin
melihat orang lain membuka Alas Mentaok siapa pun orangnya. Mereka adalah
orang-orang yang kecewa, karena mereka sendiri mempunyai pamrih atas Alas
Mentaok. Tidak ada persoalan apa pun yang ada hubungannya dengan kepemimpinan
Sultan Pajang dan Ki Gede Pemanahan beserta putranya Raden Sutawijaya.”
“Jika demikian maka keadaannya
akan menjadi semakin parah. Seolah-olah kita yang memiliki kemampuan berpikir
sebagai prajurit, akan diadu domba begitu saja oleh orang-orang yang sekedar
dikendalikan nafsu ketamakan?”
“Itulah sebabnya kita
berhati-hati. Persoalannya memang cukup gawat, tetapi kita sudah mengetahuinya
lebih dahulu. Apalagi di sini ada Ki Lurah Branjangan yang sekarang berada di
gandok. Ia akan dapat ikut memecahkan masalahnya apabila kita berhasil
menangkap beberapa orang dari mereka.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Baiklah. Aku akan menjadi pendengar yang baik.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Dipandanginya wajah Untara sejenak, lalu wajah Ki Ranadana. Setelah menarik
nafas maka ia pun berkata, “Kita akan membuat rencana untuk menjebak mereka.”
“Ya. Dan itu bukan suatu hal
yang mudah,” sahut Ranadana.
“Besok kita akan menentukan
garis pertahanan yang akan kita susun.”
“Kenapa besok. Kita tidak
boleh lengah. Aku akan memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakan hal
ini bersama Kiai berdua.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. “Jangan. Semakin banyak orang yang mengetahui masalah
ini, bahaya kebocoran pun menjadi semakin besar. Jika orang-orang itu
mengetahuinya, bahwa kita sudah mencium rencana mereka, maka mereka pasti akan
merubah cara mereka untuk mengacaukan Jati Anom dan memancing kekeruhan.”
Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi pada pokoknya kita
sudah mengetahui, bahwa sasaran utama yang telah mereka tentukan adalah para
perwira yang ada di Jati Anom, dan yang tentu saja tidak ikut ke Pengging
bersama Anakmas Untara. Tetapi seandainya mereka berhasil membunuh seorang
perwira saja, maka kemarahan prajurit Pajang tidak akan dapat dibendung lagi.”
Untara yang mendengarkan
percakapan itu menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara apa pun. Ia
percaya bahwa Kiai Gringsing dan Ki Ranadana pasti akan menemukan jalan yang
paling baik untuk mencegah pembunuhan itu.
Meskipun ada juga kegelisahan
di hati Untara, namun ia mencoba untuk mempercayakan hal itu kepada orang-orang
yang ditinggalkannya di Jati Anom. Selain Kiai Gringsing dan Ki Ranadana, masih
ada pula Widura dan Ki Sumangkar. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai
pengalaman yang cukup dan pikiran yang cerah untuk memecahkan seiap persoalan.
“Aku kira bahan yang aku
berikan sudah cukup Ki Ranadana. Hari ini kita akan merenungkan, apa yang akan
kita lakukan. Sementara itu Anakmas Untara dapat mempersiapkan dirinya. Besok
Anakmas harus pergi ke Pengging. Bukan saja diiringi oleh keluarga pengantin,
tetapi juga oleh sepasukan prajurit.”
Untara tersenyum. Katanya,
“Baiklah. Aku akan mempersiapkan diriku. Silahkanlah kalian berbicara tentang
usaha kalian untuk menyelamatkan daerah ini dari kekacauan yang dapat menyeret
Pajang dalam suatu keadaan yang gawat. Aku percaya kepada kalian.”
Untara pun kemudian
meninggalkan pertemuan itu. Ia sadar, bahwa kehadirannya memang agak
mengganggu, Kiai Gringsing tidak akan menyebutkan rencana apa pun yang dapat
membuatnya gelisah.
Sepeninggal Untara, maka
barulah Kiai Gringsing berkata, “Kita harus menyelamatkan sasaran itu.”
“Ya,” jawab Ki Ranadana, “dan
itu bukannya yang sulit. Tetapi bagaimana kita dapat membuktikan bahwa yang
datang itu benar-benar bukan orang-orang Mataram.”
“Ki Lurah Branjangan akan
menentukan.”
“Aku tahu. Tetapi bagaimana kita
meyakinkan prajurit-prajurit dan rakyat yang sudah dibekali dengan kecurigaan.”
“Kita harus berhasil menangkap
beberapa orang di antara mereka hidup-hidup. Kita hadapkan orang itu kepada Ki
Lurah Branjangan di hadapan beberapa orang prajurit yang paling berpengaruh.”
Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi, apakah kita akan
menjebak mereka? Menurut perhitunganku, menahan mereka di luar kademangan
adalah lebih baik. Kita dapat mengurangi ketegangan dan ketakutan.”
“Aku sependapat,” sahut Kiai
Gringsing, “tetapi aku masih belum dapat memastikan, apakah pendapat
orang-orang yang berhasil kami ikuti itu diterima. Dalam hal ini, apakah mereka
akan datang dari barat atau seperti yang mereka katakan, mereka akan datang
dari timur.”
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Jika demikian, bagaimana pendapat Kiai?”
“Kita jebak mereka di halaman
rumah Anakmas Untara dan di sepanjang jalan. Menilik rencana yang akan mereka
jalankan, jumlah mereka tidak akan begitu banyak. Tetapi di antara mereka pasti
ada orang-orang yang dapat dipercaya untuk menghadapi para perwira yang
diperkirakan jumlahnya akan jauh berkurang, karena sebagian telah pergi
mengikuti dan mengawal Anakmas Untara ke Pengging besok.”
“Kenapa harus di halaman dan
di dalam padukuhan Jati Anom?”
“Kesempatan mereka untuk
melarikan diri harus kita tutup serapat-rapatnya. Di luar padukuhan mereka akan
banyak mendapat kesempatan untuk lari.”
Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya itu akan terjadi besok malam menurut perhitungan
mereka, setelah besok Untara berangkat ke Pengging.
“Aku akan memberitahukan
masalahnya setelah Untara berangkat,” berkata Ki Ranadana, “agar persiapan
pengantin itu tidak terganggu.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“Kita akan memerlukan prajurit seperlunya dalam kesiagaan penuh, tanpa
menyatakan persoalannya yang sebenarnya kecuali kepada beberapa orang pemimpin
kelompok. Kita harus menjaga agar semuanya itu seakan-akan hanyalah kesiagaan
karena Jati Anom menjadi sepi.”
Demikianlah mereka telah sepakat
untuk mengatur persiapan besok setelah Untara berangkat. Menurut keputusan
terakhir, Untara akan berangkat besok dengan iring-iringan yang kuat. Beberapa
orang keluarga yang meskipun agak jauh, pergi mengantarkannya. Tetapi Widura
justru tinggal di Banyu Asri karena persoalan yang cukup gawat yang akan
terjadi di padukuhan Jati Anom.
Dengan persetujuan Untara,
maka menjelang sore yang kemudian turun di atas Jati Anom, Kiai Gringsing dan
Sumangkar pergi juga ke Lemah Cengkar. Jika pendapat orang-orang yang kemarin
diikutinya itu disetujui oleh pimpinan mereka, maka ada kemungkinan satu dua
orang yang lebih tinggi tingkatannya, akan memastikan tempat itu sebagai
landasan gerak mereka. Tetapi kali itu mereka tidak membawa Agung Sedayu dan
Swandaru.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing
dan Sumangkar mendapatkan kepastian itu. Beberapa orang ternyata kembali ke
Lemah Cengkar dan bahkan mereka agaknya telah menentukan di mana mereka harus
berkumpul.
Tetapi Kiai Gringsing dan
Sumangkar tidak dapat mendekati mereka, keduanya hanya dapat melihat dari
kejauhan sambil berjongkok menyabit rumput.
“Mereka benar-benar datang
seperti yang mereka rencanakan,” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Mereka agaknya telah mapan dengan tempat ini. Yang tinggi
itu agaknya pemimpinnya. Ia mengangguk-angguk mantap sekali.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Ketika orang yang tinggi itu kebetulan berpaling, maka kedua orang tua-tua itu
bekerja semakin tekun, menyabit rumput yang hijau segar.
Tetapi keduanya menjadi
berdebar-debar ketika orang-orang itu mendekatinya. Orang yang tinggi itu
berdiri beberapa langkah di samping Ki Sumangkar dan memandang kedua orang tua
itu berganti-ganti.
“He, siapakah kalian?”
Sumangkar mengangkat wajahnya.
Tubuhnya yang tidak ditutup dengan baju itu tampak berkeringat dan terbakar
oleh sinar matahari di sore hari.
“He, siapa kau?”
“Namaku Puji Ki Sanak.”
“Dari mana?”
“Sendang Gabus.”
Orang yang tinggi itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah kau bukan orang
Jati Anom?”
Sumangkar menggeleng. “Bukan
Ki Sanak. Tetapi aku memang sering pergi ke Jati Anom. Apakah Ki Sanak
memerlukan sesuatu yang dapat kami bantu?”
“Tidak, tidak,” jawab orang
itu, lalu, “bukankah di Jati Anom ada pengantin agung.”
“O, maksud Ki Sanak pengantin
Senapati Pajang itu?”
“Ya.”
“Ya. Besok ia akan berangkat
ke Pengging. Apakah Ki Sanak akan mengunjungi perhelatan itu?”
“Ya. Aku akan datang. Tetapi
besok, di hari ke lima, jika Untara membawa istrinya kembali. Aku bukan keluarga
dekat.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia menegang sejenak ketika orang itu bertanya, “Kenapa kau
menyabit rumput di sini dan di sore hari?”
Namun Sumangkar pun segera
tersenyum sambil menjawab, “Seperti yang Ki Sanak lihat, rumput di sini tumbuh
subur. Aku bukan saja menyabit rumput di sini, tetapi di pagi hari aku
kadang-kadang menggembalakan kambing dan kerbau di tempat ini.”
“Jarang sekali ada orang yang
menggembalakan ternaknya di sini. Bukankah Lemah Cengkar terkenal angker karena
Macan Putihnya?”
“Tetapi tidak bagi gembala,”
jawab Sumangkar. “Pohon Panca Warna yang angker itu memberikan buahnya khusus
bagi para gembala. Selain bagi gembala yang setiap hari bermain di bawahnya,
buahnya dapat menjadi racun. Tetapi tidak bagi kami. Anak-anak sampai orang
yang paling tua sekalipun.”
Orang itu mengerutkan
keningnya sejenak. Namun tiba-tiba ia tersenyum sambil berkata, “Itu adalah
akal yang licik dari para gembala. Agar buah itu tidak diambil orang lain,
kalian membuat cerita begitu?”
“Tidak. Memang tidak ada orang
yang berani makan buahnya.”
Orang yang tinggi itu
mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata kepada kawan-kawannya,
“Marilah, kita tinggalkan tempat ini.”
Sumangkar tidak bertanya apa
pun kepada mereka, kenapa mereka berada di tempat itu, namun orang yang tinggi
itulah yang berkata sebelum ia pergi, “Kami adalah pemburu harimau. Kami
sebenarnya ingin melihat Macan Putih di daerah ini. Jika menurut dugaan kami,
macan itu adalah macan sewajarnya, maka kulitnya akan sangat berharga. Tetapi
jika yang disebut Macan Putih itu menurut ciri-cirinya adalah harimau
jadi-jadian, sudah tentu kami tidak akan berani berbuat apa-apa.”
Sumangkar mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Hanya di malam hari Macan Putih itu menampakkan diri.”
“Menurut kepercayaanmu. Tetapi
jika harimau itu benar-benar harimau, di siang hari kami akan menemukan
bekas-bekasnya, sehingga memberikan petunjuk bagi kami untuk berburu di malam
hari.”
Sumangkar mengangguk-angguk.
Sekilas dipandanginya Kiai Gringsing tetapi orang tua itu masih tetap sibuk
menyabit rumput.
Sejenak kemudian orang-orang
itu pun pergi meninggalkan tempat itu. Sesekali mereka masih berpaling. Salah
seorang dari mereka berpendapat, bahwa kedua orang itu dapat membahayakan
keadaan mereka. Tetapi orang yang tinggi itu berkata, “Gembala itu tidak
mengerti apa-apa. Tetapi jika kita berbuat sesuatu, maka justru akan dapat
menimbulkan persoalan. Katakanlah jika orang-orang itu tidak pulang ke rumahnya
malam nanti, maka keluarga mereka tentu akan mengadu. Bukan sekedar kepada
bebahu kademangannya, tetapi kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Nah, hal itu
akan dapat membuat mereka bertanya-tanya dan barangkali justru menimbulkan
kesiagaan yang lebih mantap sepeninggal Untara.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan orang tinggi itu berkata lagi, “Kita
berpencar, agar kita tidak menumbuhkan kecurigaan apa pun.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar memandangi orang-orang itu sampai mereka hilang di balik
gerumbul-gerumbul perdu. Mereka berpencar ke arah yang berbeda, agar
orang-orang yang menjumpai mereka tidak bertanya-tanya tentang sekelompok orang
yang tidak dikenal.
Ketika mereka sudah tidak
tampak lagi, Kiai Gringsing dan Sumangkar pun segera berdiri. Dikibaskannya
kain panjang mereka yang menjadi kotor dan diusapnya keringat yang membasahi
kening.
“Agaknya semuanya sudah hampir
dapat dipastikan,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya. Dan kita harus menyusun
rencana sebaik-baiknya hersama Ki Ranadana. Jika kita masih juga terjebak, maka
kitalah yang ternyata terlampau dungu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Marilah kita kembali.”
Mereka pun kemudian
meninggalkan Lemah Cengkar dan meninggalkan keranjang mereka di pinggir belukar
ilalang. Baju yang mereka lilitkan di pinggang pun segera mereka pakai,
sementara keringat mereka masih saja mengalir. Tetapi keduanya tidak membuang
sabit mereka.
Orang Sendang Gabus dan Jati
Anom tidak menghiraukannya sama sekali. Tidak banyak orang yang mengenal
keduanya dan tidak banyak orang yang menghiraukan mereka seperti juga
orang-orang Sendang Gabus dan Jati Anom tidak menghiraukan orang-orang asing
yang lewat di jalan-jalan padukuhan mereka. Orang-orang Jati Anom menyangka
bahwa mereka adalah penghuni kademangan dan padukuhan tetangga yang sedang
dalam perjalanan, seperti yang sering terjadi. Berpuluh-puluh kali, dan bahkan
beratus-ratus kali. Setiap hari ada saja orang yang tidak mereka kenal lewat di
sepanjang jalan kademangan.
Dalam pada itu, matahari
semakin lama menjadi makin rendah, sedang di rumah Widura pun tampak menjadi
semakin sibuk. Beberapa orang tua-tua sudah menyiapkan beberapa buah jodang
yang besok akan dibawa serta bersama pengantin laki-laki. Jodang-jodang yang
berisi pakaian buat pengantin wanita. Sanggan yang terdiri dari buah-buahan,
setangkep pisang dan kelengkapannya.
Di malam berikutnya, pintu
rumah Widura sama sekali tidak pernah tertutup meskipun hanya sekejap. Semalam
suntuk, hilir-mudik orang tua-tua yang mengatur persiapan keberangkatan Untara
besok, sementara di halaman rumah itu, beberapa orang pembantu juga tampak
hilir-mudik menyiapkan bermacam-macam kebutuhan. “Kenapa masih disini? Cepat ke
sana.” Namun sebagian dari mereka adalah petugas-petugas sandi yang mengawasi
keamanan rumah Widura, karena setiap saat dapat terjadi sesuatu yang tidak
terduga-duga.
Selama kesibukan itu, Ki Lurah
Branjangan dan beberapa orang pengiringnya, masih saja dipersilahkan tinggal di
pendapa, agar mereka tidak terlibat dalam kesibukan, sehingga mereka tidak
sempat beristirahat. Namun sekali-sekali mereka datang juga ke pendapa dan
duduk bercakap-cakap dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Namun sampai
demikian jauh, Kiai Gringsing masih belum memberitahukan, apa yang pernah
didengarnya dari orang-orang yang tidak mereka kenal itu.
Tetapi malam itu Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar memerlukan menemui Ki Ranadana. Semuanya harus
diatur sebaik-baiknya sehingga apabila tiba saatnya, prajurit-prajurit Pajang
tidak terjebak dalam kesulitan, dan terlebih-lebih lagi, mereka jangan sampai
terjerat kedalam suatu kesan, bahwa orang-orang Mataram telah datang ke Jati
Anom dan mempergunakan saat-saat yang sibuk itu untuk menimbulkan kekacauan.
“Aku akan menyiapkan
sekelompok prajurit pilihan,” berkata Ki Ranadana. Lalu, “Untuk sementara aku
tidak akan mengatakan keperluan yang sebenarnya. Di pagi besok kelompok pilihan
itu sekedar aku persiapkan untuk pengamanan keberangkatan Ki Untara. Tetapi
kelompok itu juga yang akan aku pergunakan di malam hari besok untuk menjebak
orang-orang liar itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih juga bertanya, “Bagaimana dengan
para perwira yang masih tinggal di rumah itu, karena mereka tidak ikut serta
mengantar Anakmas Untara ke Pengging.”
“Sampai gelap mereka akan
tetap di rumah itu. Tetapi di saat berikutnya mereka akan aku persilahkan pergi
ke Banyu Asri, untuk berjaga-jaga dan ikut berdoa agar pengantin yang pergi ke
Pengging selamat sampai ke tujuan dan perkawinan dapat berlangsung dengan
baik.”
“Tanpa memberitahukan keadaan
yang sebenarnya sama sekali?”
“Beberapa orang akan diberi
tahu. Dan yang beberapa orang itu akan terlibat langsung apabila orang-orang
itu benar-benar telah datang. Sedang yang lain, akan diatur oleh seorang
perwira yang cukup berpengalaman apabila diperlukan. Demikian juga para
prajurit yang ada di banjar. Aku akan menempatkan tiga orang perwira di Banjar
itu untuk mendengar pertempuran yang dapat timbul apabila mereka mengatasi
kebingungan yang mungkin terjadi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Ranadana adalah seorang perwira tua
yang berhati-hati.
“Sampai Untara berangkat,
tidak akan ada seorang, pun selain kita yang mengetahui, apa yang bakal
terjadi. Para perwira pun tidak. Yang mereka ketahui, kelompok pilihan itu
sekedar untuk berjaga-jaga tanpa sasaran yang pasti,” berkata Ki Ranadana.
“Baik sekali. Dengan demikian
tidak akan timbul kegelisahan justru menjelang keberangkatan pengantin ini.”
Demikianlah rencana Ki
Ranadana berlangsung seperti yang dikehendakinya, sementara persiapan
keberangkatan Untara pun telah selesai.
Seperti yang telah ditentukan
oleh orang tua-tua, maka di hari berikutnya, berangkatlah Untara bersama
pengiringnya ke Pengging dengan pengawalan yang cukup kuat.
Beberapa orang perwira dari
Jati Anom ikut bersamanya sebagai pengiring. Sebagian lagi adalah
kawan-kawannya dan para perwira yang datang dari Pajang.
Namun ketika iring-iringan itu
mulai bergerak, Untara masih sempat berbisik kepada Widura dan Ki Ranadana yang
berdiri didekatnya, “Jagalah padukuhan ini baik-baik. Jangan sampai terjadi
sesuatu yang dapat memberikan kesan yang jelek sekali, justru karena aku tidak
ada. Bantuan Kiai Gringsing dan murid-muridnya beserta Ki Sumangkar sangat kita
perlukan.”
Widura dan Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Percayakan saja kepadaku,”
berkata Ki Ranadana, “jangan kau pikirkan Jati Anom. Aku dan Ki Widura akan
mengurusnya. Urusanmu adalah pengantin perempuan itu.”
“Ah kau,” desis Untara sambil
tersenyum.
Ki Ranadana dan Ki Widura pun
tersenyum pula. Tetapi hati mereka cukup berdebar-debar. Sepeninggal Untara,
mereka masih harus menyiapkan diri menghadapi persoalan yang gawat, yang
barangkali mempunyai akibat yang sangat jauh.
Agung Sedayu dan Swandaru
mengantar pengantin itu sampai ke regol padukuhan. Kemudian dilepaskannya
Untara pergi di atas punggung kuda. Tetapi mereka tidak dapat berpacu terlampau
cepat. Meskipun beberapa buah pedati-pedati yang memuat jodang-jodang yang
berisi bermacam-macam keperluan telah berangkat lebih dahulu menjelang fajar,
namun kuda-kuda mereka pasti akan segera melampauinya.
Tetapi segala sesuatunya telah
diatur. Telah disediakan sebuah rumah khusus buat peristirahatan pengantin
laki-laki. Sebelum pengantin laki-laki pergi ke rumah pengantin perempuan
dengan segala peralatannya, maka pengantin itu akan tinggal di rumah yang sudah
ditentukan sambil menunggu kedatangan pedati-pedati yang membawa beberapa buah
jodang itu.
Dalam pada itu, sepeninggal
Untara, maka Ki Ranadana pun segera membicarakan tugasnya. Prajurit pilihan
yang dipersiapkan masih tetap di dalam kelompoknya. Karena sebenarnya prajurit
itu memang dipersiapkan untuk pengamanan Jati Anom di malam yang mendatang.
Tetapi seperti yang telah
mereka putuskan, Ki Ranadana belum memberitahukan hal itu kepada para perwira
yang lain. Ia masih tetap menyimpan hal itu di dalam dirinya.
Sepeninggal pengantin
laki-laki, maka rumah Widura menjadi semakin sepi. Beberapa orang sanak
kadangnya telah minta diri pulang ke rumah masing-masing.
“Besok lusa aku akan kembali
menjelang sepasaran pengantin,” berkata salah seorang dari mereka.
Sambil mengucapkan terima
kasih Widura mempersilahkan mereka dan mengantar sampai ke regol halaman.
Apalagi di dalam hati Widura memang mengharap agar mereka segera meninggalkan
rumahnya, agar ia mendapat kesempatan untuk memikirkan kemungkinan yang bakal
terjadi malam nanti.
Meskipun Widura tidak berkata
berterus terang, tetapi ia sudah membayangkan kepada Ki Lurah Branjangan bahwa
sesuatu memang mungkin terjadi, seperti yang diperhitungkannya.
“Mudah-mudahan perhitunganku
salah,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Aku hanya terlampau curiga, seperti juga
Raden Sutawijaya. Kami, orang-orang Mataram, merasa bahwa suasana yang meliputi
Mataram kini adalah suasana yang lapuk sekali. Setiap saat dapat terjadi
perubahan-perubahan. Dan banyak sekali pihak yang memang menginginkan Mataram
tenggelam sebelum tumbuh.”
“Ah, jangan berprasangka
terlampau buruk. Meskipun kemungkinan itu terjadi, tetapi kau jangan terlampau
berkecil hati. Sudah tentu, para prajurit Pajang akan berusaha untuk melihat
kebenaran sejauh dapat dijangkau. Mereka tidak akan begitu saja melemparkan
kesalahan kepada sesuatu pihak tanpa bukti-bukti yang meyakinkan.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan tetap di sini sampai
hari-hari perkawinan ini selesai. Aku harus melihat perkembangan suasana.
Alangkah baiknya jika tidak terjadi sesuatu. Tetapi jika ada persoalan yang
tumbuh selama ini dan menyangkut nama Mataram, aku akan berusaha menyelesaikannya.”
Demikianlah, maka Ki Ranadana
dan Widura telah mulai sibuk mengatur diri bersama Kiai Gringsing, kedua
muridnya dan Ki Sumangkar. Mereka menentukan di mana prajurit Pajang harus
menunggu orang-orang yang akan menyergap rumah Untara.
Adalah tidak menimbulkan kesan
apa pun ketika Agung Sedayu, Swandaru, dan gurunya bersama Ki Sumangkar
memasuki rumah itu diiringi oleh Ki Ranadana, karena rumah itu memang rumah
Agung Sedayu. Bahkan tidak seorang pun yang curiga ketika ia berjalan-jalan di
kebun belakang. Mengitari sebuah rumah kecil di bagian belakang, yang masih
juga dihuni keluarga yang menunggui rumah itu sejak rumah itu ditinggalkan oleh
Agung Sedayu dan Untara.
Dalam kesempatan itulah Ki
Ranadana menentukan tempat-tempat yang akan mendapat pengawasan dari
prajurit-prajurit pilihan. Dan prajurit-prajurit itu baru akan mengetahui
persoalannya setelah senja. Demikian juga para perwira yang akan dipindahkan ke
rumah Widura selain mereka yang bertugas. Sepeninggal para perwira itu. Kiai
Gringsing, Sumangkar, Ranadana, dan tiga orang perwira yang akan dipilih
sajalah yang akan tinggal di rumah itu, sedang para perwira yang berada di
rumah Widura akan ditempatkan di bawah pengaruh Widura, meskipun ia bukan
prajurit lagi.
“Di dalam saat yang gawat,
mereka akan terlibat. Juga para prajurit di banjar. Tetapi jika keadaan dapat
di atasi, maka kekisruhan akan dibatasi sekecil-kecilnya, sehingga rakyat Jati
Anom tidak akan menjadi bingung karenanya.”
Demikianlah semua rencana
sudah menjadi matang, seperti juga beberapa orang yang berada agak jauh dari
Jati Anom. Mereka pun telah menyiapkan suatu rencana yang matang pula.
Dan orang-orang itulah yang
dengan sengaja ingin memancing kekeruhan. Mereka akan menyerang para perwira di
Jati Anom dengan diam-diam. Dan dengan tersamar mereka ingin meninggalkan kesan
seakan-akan mereka adalah orang-orang Mataram yang dengan menyelubungi diri
membuat keributan di daerah yang berada dekat sekali dengan batas yang
sebenarnya tidak dapat ditentukan dengan nyata.
Dengan demikian, maka semakin
jauh matahari menjelajahi langit di sebelah barat, maka ketegangan-ketegangan
menjadi semakin nampak. Baik di Jati Anom, maupun di sebuah hutan kecil di
sebelah jalan ke Sangkal Putung.
Sekelompok kecil orang-orang
yang tidak dikenal memasuki hutan itu dan hilang di antara rimbunnya pepohonan.
Mereka tidak datang bersamaan untuk menghindari kecurigaan orang lain.
Kadang-kadang mereka hanya datang berdua, bertiga dan tidak lebih dari empat
orang setiap kelompok.
Namun ternyata mereka
berkumpul menjadi sekelompok orang yang cukup banyak setelah mereka berada di
dalam hutan yang terlindung itu.
“Setelah gelap, kita akan
mempersiapkan diri kita di Lemah Cengkar,” berkata salah seorang dari mereka.
“Kita akan melingkar dan memasuki Jati Anom dari utara.”
“Dari utara?” bertanya salah
seorang dari mereka. “Apakah kita tidak dapat memasuki Jati Anom dari timur?”
“Sendang Gabus?”
“Ya.”
Orang yang agaknya merupakan
pemimpin mereka ini menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Kita akan datang
dari utara. Kemarin aku sudah memastikan setelah aku melihat daerah Lemah
Cengkar di sore hari. Daerah itu memang agak sulit. Gerumbul-gerumbul berduri.
Dan jika ada yang masih percaya, di sana ada seekor harimau putih. Tetapi kita
tidak mempunyai kepetingan apa pun dengan harimau putih itu, meskipun
seandainya harimau itu adalah harimau jadi-jadian.”
Kawan-kawannya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lewat gerumbul- gerumbul
berduri itu kita mendekati Jati Anom, dan kita akan menyusup di sela-sela para
peronda dan gardu-gardu yang sudah kita kenal letaknya. Kita akan langsung
memasuki halaman rumah Untara. Kita akan membunuh para perwira yang ada di
rumah itu, sambil mengumpati mereka dan sekali-sekali menyebut nama Mataram.
Tetapi ingat, jangan semua orang dibunuh, agar ada yang berceritera tentang
kita, bahwa kita menyebut-nyebut nama Sutawijaya dan Pemanahan sebagai orang
terbaik. Hanya itu, seolah-olah kita memang menyembunyikan kenyataan bahwa kita
orang-orang Mataram.”
Kawan-kawannya menarik napas
dalam-dalam. Pekerjaan itu memang sulit. Mereka harus berpura-pura menjadi
orang Mataram yang sedang berpura-pura pula.
“Kita akan masuk lewat bagian
belakang. Kita harus menyergap dengan tiba-tiba. Sebagian para penjaga di depan
regol dan yang lain para perwira di dalam rumah itu. Sekali lagi aku
peringatkan, mereka jangan sampai mendapat kesempatan untuk membunyikan tanda
apa pun. Tetapi mereka jangan ditumpas semuanya. Biarlah satu dua orang yang
telah terluka parah dapat hidup terus untuk menceritakan apa yang telah
terjadi.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Yang harus diperhatikan adalah,
bahwa para perwira Pajang bukannya anak-anak. Mereka adalah prajurit yang
mendapat tempaan yang cukup. Mereka memiliki kemampuan keprajuritan yang tinggi,
dan memiliki kemampuan secara pribadi pula, sehingga jika mereka sempat bangun,
mereka akan memberikan perlawanan yan sangat berat. Aku sendiri akan berada di
antara mereka yang harus membunuh beberapa orang perwira itu. Aku mendengar
laporan, bahwa sebagian besar dari mereka iku bersama Untara. Aku kira di dalam
rumah itu tidak akan ada lebih dari lima orang perwira saja.”
“Hanya lima?” bertanya
seseorang.
“Ya. Yang lain pasti ada di
banjar. Sebagian ada di rumah Widura bersama beberapa orang petugas sandi, dan
yang lain ada di kademangan dan di gardu induk.”
“Kita tidak dapat menumpas
mereka sekaligus.”
“Bodoh kau,” bentak
pemimpinnya, “kita memang tidak ingin menumpas mereka. Kita hanya sekedar
membuat orang-orang Pajang marah. Jika di antara para perwira itu, dua atau
tiga orang saja yang terbunuh bersama para prajurit pengawal rumah itu, itu
sudah cukup. Pajang akan menjadi marah, dan kita mengharap, mereka akan
mengambil tindakan terhadap orang-orang Mataram. Apakah kau mengerti?”
“Aku mengerti. Tetapi alangkah
baiknya jika keduanya dapat dilaksanakan bersama-sama.”
“Sebuah mimpi yang bagus
sekali. Tetapi kemampuan kita tidak akan mungkin.”
Ternyata pemimpinnya masih
memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya, agar usaha mereka itu tidak
gagal. Mereka mengharap, bahwa Pajang benar-benar segera bertindak terhadap
Mataram. Jika terjadi demikian, maka selain dendam mereka terbalas karena
kematian orang-orang mereka yang terpenting di Alas Mentaok, maka Mataram akan
segera dikosongkan. Mereka akan mendapat kesempatan dengan perlahan-lahan
mengisi kekosongan itu. Lewat beberapa orang perwira dan pemimpin pemerintahan
yang mereka kenal, maka mereka akan mendapat pengesahan atas penggunaan tanah
di Alas Mentaok itu.
Tetapi selagi mereka bersiap,
Kiai Gringsing, kedua muridnya, Sumangkar, dan Ki Ranadana pun telah menyiapkan
penyambutannya pula. Meskipun mereka tidak tahu pasti, dari mana orang-orang
itu akan memasuki halaman rumah Agung Sedayu itu, namun mereka telah menyiapkan
sepasukan pilihan yang akan menyambut mereka, meskipun sampai matahari
menyentuh pucuk pepohonan di ujung barat, mereka masih belum mengetahui apa
yang bakal terjadi. Mereka hanya sekedar mendapat perintah untuk bersiaga.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
dan Sumangkar masih juga mempertimbangkan beberapa lama, apakah Agung Sedayu
dan Swandaru lebih baik berada di Banyu Asri saja. Namun akhirnya mereka
mengambil keputusan bahwa biarlah keduanya berada di rumah yang akan menjadi
sasaran itu, namun keduanya harus berhati-hati dan benar-benar mempersiapkan
diri untuk menghadapi kemungkinan yang berat, karena Kiai Gringsing dan
Sumangkar yakin, bahwa orang-orang yang akan memasuki rumah itu pun adalah
orang-orang pilihan.
Demikianlah, matahari pun
semakin lama menjadi makin rendah, sehingga akhirnya wajah langit pun menjadi
kemerah-merahan dan senja pun turun dengan perlahan-lahan.
“Kita harus segera bersiaga,”
berkata Kiai Gringsing kepada Ki Ranadana.
Perwira prajurit Mataram itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah siap dengan pasukan pilihannya
hingga setelah hari menjadi benar-benar gelap, dipanggilnya pasukannya itu.
“Kau mendapat tugas khusus
malam ini,” berkata Ki Ranadana kepada pemimpin prajurit pilihan itu.
Perintah itu sebenarnya tidak
begitu mengherankan bagi mereka. Adalah menjadi kewajiban seorang prajurit
untuk berjaga-jaga di dalam setiap kemungkinan.
“Malam ini adalah malam yang
mendebarkan jantung,” berkata Ki Ranadana kemudian, “karena itu, aku telah
memilih kalian. Karena kalian adalah sekelompok prajurit pilihan.”
Pemimpin kelompok prajurit
pilihan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyangka, bahwa justru malam
itu Jati Anom akan menjadi sepi, sehingga penjagaan harus diperkuat.
“Nah,” berkata Ki Ranadana,
“kalian akan bertugas di rumah ini. Pada saatnya aku akan memberikan perintah
lebih lanjut.”
Barulah pemimpin kelompok itu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih belum bertanya apa pun selain bersiap
untuk menjalankan perintah.
Para perwira pun tidak kalah
heran, ketika mereka dikumpulkan oleh Ki Ranadana dan mendapat perintah untuk
bermalam di rumah Widura semalam itu.
“Widura memerlukan kawan untuk
berjaga-jaga memanjatkan doa, agar Untara selamat sampai di perjalanan, dan
sejahtera untuk selanjutnya,” berkata Ki Ranadana kepada para perwira.
Sejenak para perwira itu
saling berpandangan. Namun kemudian Ki Ranadana melanjutkan, “Aku persilahkan
kalian segera berangkat. Ki Widura tentu sudah menunggu. Bersama kalian adalah
kemanakan Ki Widura yang seorang, adik Ki Untara, yang akan mengantarkan kalian,
tetapi anak itu akan segera kembali ke rumah ini, rumahnya.”
Tidak banyak yang dapat mereka
tanyakan. Para perwira itu pun kemudian berkemas dan pergi meninggalkan rumah
Agung Sedayu menuju ke rumah Widura. Namun demikian, Ki Ranadana masih berpesan
kepada Agung Sedayu, agar Widura benar-benar mengawasi para perwira itu agar
mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan. Meskipun Widura sudah
bukan prajurit, namun pengaruhnya masih terasa pada para perwira yang masih
muda-muda itu.
Tetapi tidak semua perwira
harus bermalam di rumah Widura, Ki Ranadana masih menahan tiga orang perwira
yang sudah setengah umur bersamanya, tanpa memberikan penjelasan mengenai
persoalan yang sebenarnya.
“Aku akan menjadi kesepian
jika kalian semuanya berada di Banyu Asri,” berkata Ki Ranadana. “Biarlah yang
tua-tua berada di sini menunggui rumah ini, dan yang muda-muda mendapat
kesempatan untuk berkelakar dengan gadis-gadis Jati Anom.”
Meskipun demikian,
perwira-perwira muda itu bertanya-tanya juga di dalam hati, apakah sebenarnya
yang telah mendorong Ki Ranadana mengirim mereka ke rumah Widura.
Memang tidak ada kesan apa pun
di rumah Widura. Mereka disambut dengan ramah dan gembira. Seakan-akan memang
Widura mengharap kedatangan mereka untuk berjaga-jaga dan beramah-tamah.
Namun demikian, para penjaga
yang biasanya bertugas di rumah Untara pun telah dipindahkan pula ke rumah itu
bersama para perwira, sedang yang bertugas di halaman rumah Untara telah
digantikan oleh para prajurit pilihan.
Meskipun demikian, untuk
menjaga setiap kemungkinan dan barangkali perubahan sasaran, terlebih-lebih
lagi apabila ada pengkhianatan, sehingga orang-orang itu merubah sasaran ke
Banyu Asri, dan menyerang rumah Widura, Ranadana pun masih tetap menempatkan
beberapa orang petugas sandi di sekitar rumah Widura itu.
Baru setelah Agung Sedayu
kembali lagi, dan malam menjadi semakin larut, Ki Ranadana memanggil setiap
orang yang masih ada di halaman rumah Untara, termasuk pemimpin kelompok
prajurit pilihan itu.
“Malam menjadi semakin jauh,”
katanya, “sebentar lagi kita akan menghadapi tugas yang berat dan menegangkan.
Kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Mungkin sebentar lagi, selagi kita
masih berbicara ini, tetapi mungkin pula menjelang fajar.”
Para perwira dan pemimpin kelompok
prajurit pilihan itu menjadi berdebar-debar.
Perlahan-lahan dan dengan
sejelas-jelasnya Ki Ranadana menguraikan apa yang mungkin akan terjadi malam
itu. Hasil pengamatan Kiai Gringsing dan Sumangkar, serta kehadiran Ki Lurah
Branjangan. Hubungan persoalan yang tidak terlepas yang satu dengan yang lain,
serta yang paling akhir adalah keadaan halaman rumah itu sendiri.
“Penjagaan itu harus
diletakkan di tempat yang sudah aku tentukan. Sebentar lagi kita akan pergi ke
halaman, ke kebun belakang dan tempat-tempat di sekitar rumah ini yang pantas
mendapat pengawasan,” berkata Ki Ranadana kemudian. “Aku sengaja tidak
memberitahukan kepada siapa pun juga selain kalian.”
Mereka yang mendengarkan
penjelasan Ki Ranadana itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Terbayang
sekelompok orang-orang yang tentu juga pilihan sedang merayap mendekati halaman
rumah itu. Namun demikian salah seorang dari ketiga perwira itu bertanya,
“Apakah para peronda di gardu-gardu sudah diberitahukan, setidak-tidaknya untuk
bersiaga?”
“Aku tidak memberitahukan
tepat apa yang terjadi. Aku hanya memerintahkan mereka untuk bersiap lebih
mantap jika sesuatu terjadi.”
Perwira itu mengangguk-angguk.
Katanya, “Mungkin kita tidak dapat menyelesaikan mereka di halaman ini,
sehingga ada di antara mereka yang berhasil lolos. Jika demikian, kita
memerlukan peronda-peronda itu.”
“Ya. Bukan saja
peronda-peronda itu, tetapi juga prajurit di banjar dan para perwira di rumah
Widura.”
“Kenapa mereka tidak
diberitahukan saja?”
“Bukan karena kita tidak percaya.
Tetapi aku ingin membatasi persoalan ini sesempit mungkin. Jika kita berhasil,
maka kita akan menangkap mereka di halaman ini tanpa menimbulkan ketegangan dan
keributan. Kita masih harus ingat, bahwa lima hari lagi, Jati Anom akan ngunduh
pengantin. Supaya kita bersama dapat menyambut pengantin itu dengan tenang,
maka kita akan mencoba membatasi persoalan ini sejauh mungkin, selain
perhitungan kita atas keamanan persiapan ini sendiri. Semakin banyak orang yang
mengetahui bahwa kita sudah bersiap, maka bahaya tentang hal itu semakin besar
bagi kita, karena mereka tentu memiliki telinga di sekitar kita.”
Para perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang, marilah kita
mengatur diri. Mungkin orang-orang itu sekarang sudah ada di balik dinding
kebun belakang.”
Demikianlah mereka segera
pergi ke kebun belakang. Ki Ranadana menunjukkan kepada pemimpin kelompok
prajurit pilihan itu untuk menempatkan orang-orangnya di tempat terlindung.
Bukan saja di bagian belakang, tetapi juga di samping dan di depan rumah.
Sedang mereka yang ada di gardu, dipersiapkan seperti penjagaan yang biasa
dilakukan setiap hari.”
“Ingat,” berkata Ki Ranadana,
“mereka adalah orang-orang pilihan. Biarkan mereka semuanya masuk. Yang akan
mereka lakukan adalah menyergap para penjaga di depan dan sebagian yang lebih
matang akan memasuki rumah ini. Biarlah kami yang berada di dalam rumah itu.”
Pemimpin kelompok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, lakukan tugasmu
sebaik-baiknya,” berkata Ki Ranadana, lalu katanya kepada para perwira, “Kalian
masing-masing akan mendapat tugas di antara prajurit. Satu di belakang, satu di
sisi kanan dan yang satu di sisi kiri. Ternyata menurut pertimbanganku, tenaga
kalian akan sangat diperlukan. Jika aku yang ada di dalam memerlukan, aku akan
memberikan isyarat. Pemimpin kelompok itu sendiri akan berada di gardu sebagai
salah satu sasaran utama sergapan para penyerang itu.”
Pemimpin kelompok prajurit
pilihan dan para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian,
maka yang akan ada di dalam rumah itu hanyalah Ki Ranadana dengan beberapa
orang yang sama sekali bukan prajurit, meskipun ada di antara mereka adalah
Agung Sedayu, adik Senapati Besar yang menguasai daerah Selatan ini.
Sejenak kemudian, maka
pemimpin kelompok itu pun telah memberikan penjelasan kepada
prajurit-prajuritnya. Dengan cepat ia membagi kelompoknya menjadi empat
kelompok yang lebih kecil yang masing-masing akan dipimpin langsung oleh
seorang perwira, sedang pemimpin kelompok itu sendiri akan berada di gardu
depan, seperti penjagaan yang biasa dilakukan setiap hari atas rumah Untara
yang dipakai sebagai tempat tinggal para perwira itu.
Tetapi pemimpin kelompok itu
tidak mau lengah. Sergapan itu dapat datang setiap saat dari arah yang tidak
terduga-duga. Tidak dapat dipastikan bahwa para penyerang itu akan masuk lewat
kebun belakang. Mungkin mereka justru masuk lewat gerbang depan dan langsung
menyerang para penjaga di gardu itu.
Karena itu, maka selain mereka
yang ada di gardu, pemimpin kelompok itu telah menempatkan beberapa orang di
tempat yang terlindung, bahkan tiga orang terpencar di luar halaman, di
seberang jalan. Mereka duduk di atas sebatang dahan yang tidak terlalu tinggi,
tetapi cukup terlindung oleh segerumbul dedaunan di dalam gelapnya malam.
Ketiga orang yang terpencar
itu harus mengawasi jalan dan halaman rumah di seberang jalan. Mungkin para
penyerang itu akan datang lewat halaman itu. Jika tidak, maka mereka akan dapat
menjadi tenaga cadangan apabila dengan tiba-tiba saja para penyerang itu
menyergap gardu.
Selain tiga orang itu, maka
ditempatkannya juga dua orang setiap sudut depan, sehingga ada empat orang yang
tidak berada di gardu selain tiga orang yang berada di seberang jalan.
Demikianlah, mereka memasuki
malam yang semakin dalam dengan dada yang tegang. Setiap kejap rasa-rasanya
terlampau lama berjalan. Dan karena itu, malam menjadi sangat panjang.
Di dalam rumah itu, Ki
Ranadana masih duduk sejenak bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya dan Ki
Sumangkar. Mereka masih berbincang tentang beberapa hal, sebelum mereka membagi
ruangan, di mana mereka akan tidur.
“Aku akan berada di bilik
sebelah bersama Ki Sumangkar,” berkata Ki Ranadana, “sedang Kiai Gringsing
bersama kedua muridnya akan mempergunakan bilik yang satu.”
Tiba-tiba saja Agung Sedayu
menyahut, “Di dalam bilik itu pula aku tidur ketika aku masih kanak-kanak.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Demikian pula Ki Ranadana dan Ki Sumangkar. Sedang Swandaru menyahut, “Bukankah
kau sekarang masih juga kanak-kanak.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya saja Swandaru yang masih
tertawa kecil.
“Kau akan diprimpeni nanti
malam,” berkata Sedayu kemudian. “Hati-hatilah di rumah ini.”
Swandaru masih saja tertawa.
Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah mereka memasuki
bilik masing-masing. Kiai Gringsing dan kedua muridnya berada di satu bilik,
sedang Ki Ranadana dan Ki Sumangkar di bilik yang lain.
“Kita harus seakan-akan tertidur
nyenyak jika mereka datang,” berkata Ki Ranadana.
Ki Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku benar-benar mengantuk. Beberapa malam terakhir aku
kurang sekali tidur.”
“Tetapi orang seperti Ki
Sumangkar ini dapat tidak tidur terus menerus lima hari lima malam.”
“Jika memang harus demikian.
Tetapi kekuatan seseorang ada juga batasnya. Aku pernah tidur sambil berjalan
selagi aku masih mengikuti pasukan Tohpati. Tetapi aku dapat bangun dan berbuat
sesuatu setiap saat.”
“Itulah kelebihanmu,” Ki Ranadana
tersenyum. “Jika demikian silahkan tidur. Ki Sumangkar akan terbangun setiap
saat dan akan segera dapat berbuat sesuatu.”
Sumangkar hanya tersenyum
saja. Tetapi ia benar-benar ingin tidur sebelum orang-orang yang ditunggunya
itu datang. Menurut perhitungan Sumangkar, mereka baru akan datang di sekitar
tengah malam. Namun seandainya lebih awal, Ki Ranadana pasti akan
membangunkannya.
Di bilik yang lain, Kiai
Gringsing memang menyuruh kedua muridnya untuk tidur. Mereka pun kurang tidur
beberapa malam terakhir. Mereka tidak dapat tidur nyenyak di rumah Widura yang
sedang sibuk, tetapi juga selagi mereka mengikuti orang-orang yang akan
menyerang Jati Anom itu.
“Aku akan membangunkan kalian
jika terjadi sesuatu,” berkata gurunya
Dalam pada itu, di Pengging,
sambutan atas kedatangan Untara ternyata dilakukan dengan megah dan meriah.
Beberapa orang sanak kadang pengantin perempuan telah siap menunggunya di rumah
yang sudah ditentukan. Tidak jauh dari rumah pengantin perempuan. Hanya karena
keadaan yang mendesak oleh kegawatan dan ketegangan yang timbul di daerah
sekitar Alas Tambak Baya dan Mentaok sajalah, yang membuat pihak Untara tidak
mematuhi kebiasaan. Ia tidak tinggal selama empat puluh hari empat puluh malam
di rumah bakal mertuanya untuk ngenger. Tetapi ia datang sehari sebelum upacara
perkawinan itu berlangsung.
Di malam hari menjelang hari
perkawinan, Untara duduk dikelilingi oleh sanak keluarga pengantin perempuan.
Dan karena ayah pengantin perempuan adalah seorang perwira Pajang pula, maka
baik yang mengantar maupun yang menyambut, selain keluarga mereka, adalah
perwira-perwira prajurit Pajang.
Demikianlah mereka berbicara
seakan-akan tanpa ujung dan pangkal. Perwira yang masih muda dengan riuhnya
menggoda Untara yang besok akan mengenakan pakaian kebesaran seorang pengantin
laki-laki.
Dengan tersipu-sipu Untara
menanggapi kelakar kawannya. Meskipun kadang-kadang angan-angannya terbang
kembali ke Jati Anom, namun tampaknya ia selalu tersenyum dan tertawa.
Tetapi kadang-kadang saja ia
termenung jika tiba-tiba ia seolah-olah sadar, bahwa malam itulah Jati Anom
akan mengalami serangan yang sangat berbahaya. Bukan dari segi pengamanan
daerah karena kekuatan penyerang itu tidak cukup besar, tetapi justru dari segi
lain. Dari segi hubungan antara Pajang dan Mataram.
“Jika ada seorang saja perwira
yang terbunuh, maka hal itu sudah cukup alasan membakar setiap hati prajurit di
seluruh Pajang untuk menyerang Mataram,” berkata Untara di dalam hatinya.
Tetapi setiap kali ia
seolah-olah terperanjat ketika tiba-tiba saja seorang perwira muda
mengganggunya dengan kelakarnya yang segar.
Tetapi pertemuan itu tidak
berlangsung lama. Orang tua-tua segera memperingatkan, bahwa Untara pasti masih
sangat lelah. Karena itu, pertemuan itu tidak dilanjutkan. Meskipun masih juga
agak kecewa, kawan-kawan Untara pun segera meninggalkan rumah yang disiapkan
bagi Untara. Bagi kawan-kawannya yang mengiringkannya dari Jati Anom pun telah
disediakan pula tempat untuk beristirahat.
Namun demikian masih juga ada
satu dua orang perwira yang mengawani Untara duduk sambil menghirup minuman
hangat. Bahkan bakal mertuanya pun memerlukan datang menyambutnya dan berbicara
beberapa lamanya.
Meskipun demikian, kegelisahan
Untara rasa-rasanya semakin dalam menghunjam di jantungnya sejalan dengan malam
yang semakin kelam, sehingga akhirnya ia tidak dapat menahannya lagi, betapapun
ia berusaha.
Apalagi di ruangan itu sudah
tidak ada orang lain kecuali bakal mertuanya dan beberapa orang perwira Pajang
yang terpercaya.
“Sebenarnya aku sangat gelisah
malam ini,” berkata Untara, “hampir saja aku menunda keberangkatanku.”
“Ah,” bakal mertuanya
berdesis. “Seisi padukuhan ini akan kecewa. Keluargaku akan kecewa dan
kawan-kawan kita para prajurit pun akan kecewa.”
“Tetapi aku mempunyai alasan
yang kuat. Justru sebagai seorang senapati.”
“Kenapa?” bakal mertuanya
mengerutkan keningnya.
Untara ragu-ragu sejenak.
Namun menurut pertimbangannya, tidak akan terjadi sesuatu jika orang-orang yang
ada di sekitarnya itu mengetahui apa yang akan terjadi di Jati Anom, karena
jarak antara Jati Anom dan Pengging tidak terlalu dekat.
Apalagi yang tinggal duduk
bersama hanya beberapa orang yang paling dekat dengan mertuanya saja. Sehingga
dengan demikian, menurut pertimbangan Untara, sama sekali tidak akan
menimbulkan gangguan apa pun bagi para perwira di Jati Anom. Bahkan dengan
demikian ia akan dapat memberikan gambaran kepada mertuanya yang seolah-olah
dengan mutlak menolak kehadiran Mataram.
Meskipun masih juga ragu-ragu,
namun Untara akhirnya berkata, “Di Jati Anom, ada beberapa orang yang berusaha
meneguk di dalam kekeruhan yang terjadi sekarang ini.”
“Kekeruhan yang manakah yang
kau maksud? Apakah sebelum kau berangkat ada sanak kadangmu yang mencoba
mencatatkan atau merubah rencana hari-hari perkawinan ini?”
“Tidak, sama sekali tidak,”
berkata Untara. “Kekeruhan itu bukan di dalam rencana keberangkatanku. Tetapi
justru karena rencana itu berjalan lancar.”
“Aku kurang mengerti.”
“Justru aku berangkat ke
Pengging inilah, maka ada sekelompok orang-orang yang akan mempergunakan
kesempatan. Mengganggu ketenangan Jati Anom.”
“Gila,” desis Rangga Parasta,
“tentu orang Mataram.”
“Bukan. Tetapi mereka memang
ingin meninggalkan kesan seolah-olah mereka adalah orang-orang Mataram. Dengan
demikian maka hubungan antara Mataram dan Pajang akan menjadi kian memburuk
bahkan lebih dari itu, mereka mengharapkan benturan langsung antara Mataram dan
Pajang.”
“Omong kosong,” tiba-tiba
Rangga Parasta memotong, “mereka pasti benar-benar orang Mataram. Aku tidak tahu,
kenapa Sultan Adiwijaya masih terlampau sabar menghadapi anak angkatnya yang
begitu bengal. Sekarang ia mempergunakan kesempatan kepergianmu itu untuk
mengacaukan keadaan.” Rangga Parasta berhenti sejenak, dan Untara sengaja
membiarkan berbicara. Ia mengerti bahwa jika pembicaraan itu diputus di tengah,
ia akan menjadi semakin bersitegang. Dan Rangga Parasta itu meneruskan, “Jika
kau sudah mengetahui akan hal itu, apakah yang kau lakukan?”
Untara menarik napas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Yang perlu aku ulangi adalah, mereka bukan orang
Mataram.”
“Tidak. Tentu orang Mataram.”
Akhirnya Untara menjadi
jengkel juga. Meskipun Rangga Parasta adalah bakal mertuanya, tetapi Untara
adalah senapati besar di daerah selatan sehingga karena itu maka katanya, “Aku tahu
pasti, bahwa mereka bukan orang-orang Mataram. Aku akan membuktikannya sebagai
seorang senapati yang mendapat kepercayaan langsung dari Sultan Pajang. Dan aku
akan menemukan jawab siapakah mereka sebenarnya.”
Rangga Parasta mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba saja ia menyadari bahwa bakal menantunya itu adalah
seorang senapati, sehingga ia tidak akan dapat berkata lebih pasti daripadanya
meskipun hatinya meyakininya.
Namun demikian, ia masih juga
bertanya, “Apakah yang sudah kau lakukan sebelum kau berangkat?”
“Menyiapkan jebakan. Malam ini
semuanya itu akan terjadi, dan malam ini para perwira yang aku percaya di Jati
Anom akan dapat menarik kesimpulan, siapakah mereka sebenarnya.”
Rangga Parasta tidak membantah
lagi. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Jika Untara berhasil menangkap satu
atau dua orang di antara mereka dalam keadaan hidup, maka barulah akan terbuka
matanya, bahwa Mataram memang harus dihadapi dengan kekerasan. Tidak dengan
senyum manis seorang ayah yang terlalu baik hati terhadap seorang anak yang
berkhianat.”
Namun Rangga Parasta tidak
berkata apa pun lagi.
Dalam pada itu, selagi Untara
berbicara dengan Rangga Parasta, seorang perwira yang duduk di antara mereka
tiba-tiba saja menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tetap berusaha untuk menghapuskan
kesan dari wajahnya. Bahkan ia masih tetap duduk untuk sesaat, sampai saatnya
ia berkata, “Aku akan ke belakang sebentar, Kakang Rangga.”
“Kenapa?”
“Ke pakiwan.”
“O, silahkan.”
Perwira itu dengan
tergesa-gesa meninggalkan lingkaran pembicaraan itu. Apalagi ketika ia sudah
turun ke halaman, langsung ia menghilang di dalam kegelapan.
Dengan hati yang gelisah, ia
berlari-lari kecil mencari seseorang yang berada tidak begitu jauh dari rumah
Rangga Parasta.
“Gila,” ia berkata dengan suara
gemetar ketika ia berhasil menemukan kawannya, “orang-orang Jati Anom telah
mencium rencana itu.”
“He? Darimana kau tahu?”
“Sebelum berangkat, Untara
telah menyusun jebakan.”
“Omong kosong. Rahasia itu
disimpan cukup rapat.”
“Tetapi aku mendengar dari
mulut Untara sendiri. Kau jangan merendahkan Untara. Ia mempunyai kemampuan
yang tidak terduga-duga. Petugas sandinya adalah petugas-petugas sandi yang
terbaik di seluruh Pajang.”
“Jadi?”
“Batalkan.”
“Bagaimana mungkin aku harus
membatalkan.”
“Pergi ke Jati Anom.”
“Aku tidak akan dapat mencapai
mereka. Mungkin mereka sekarang sudah mulai bergerak.”
“Berusaha. Berusahalah. Pergi
ke Jati Anom dengan seekor kuda yang dapat berlari paling cepat. Ajak seorang
kawan, dan segera kembali.”
“Pengging ke Jati Anom bukan
jarak yang dekat sekali.”
“Pergi. Berusahalah
membatalkan rencana itu. Atau, jika mungkin, hilangkan jejak mereka.”
Orang yang diajak berbicara
oleh perwira itu masih terdiri termangu-mangu. Adalah tidak mungkin lagi untuk
berusaha apa pun juga. Apalagi berusaha membatalkan rencana itu, karena
orang-orang yang mendapat tugas untuk melakukan pembunuhan terhadap para
perwira yang masih ada di jati Anom itu pasti sudah bergerak.
Namun selagi orang itu masih
kebingungan perwira itu membentaknya, “Berangkat sekarang. Apa pun yang dapat
kau lakukan. Cepat.”
Orang itu tidak mau berpikir
lagi. Meskipun ia sadar, bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan, maka ia pun
segera berlari-lari pergi ke rumah seorang kawannya.
Berkuda keduanya berpacu ke Jati
Anom. Mereka mengharap bahwa kawan-kawannya di Jati Anom terlambat bergerak
sehingga ia masih sempat menggagalkan mereka, karena ternyata Untara telah
memasang sebuah jebakan bagi mereka. Karena itu, maka mereka pun telah memacu
kuda mereka secepat-cepat dapat dilakukan, dan kuda-kuda itu pun berlari
seperti dikejar hantu.
Malam yang gelap menjadi
semakin gelap. Di langit bintang-bintang bertaburan dari ujung sampai keujung.
Angin malam yang dingin bertiup dari Selatan menyapu hutan-hutan kecil yang bertebaran.
Namun kedua orang yang berkuda
itu ternyata telah basah oleh keringat yang mengembun dari wajah-wajah
kulitnya. Bukan saja karena mereka harus berpacu dengan waktu, tetapi juga
karena kegelisahan yang mencengkam hati.
“Apakah masih ada harapan untuk
melakukannya?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita berusaha. Apa pun yang
akan terjadi atas kuda-kuda kita. Mungkin kuda-kuda ini akan kehabisan napas.”
“Tetapi sia-sia. Mereka pasti
sudah mulai bergerak.”
Kawannya tidak menyahut.
Satu-satunya harapan adalah jika ada perubahan rencana, sehingga gerakan mereka
mundur sampai jauh lewat tengah malam. Jika tidak, maka perjalanan yang
melelahkan itu akan sia-sia.
Dalam pada itu di Jati Anom,
sekelompok orang-orang yang tidak dikenal justru telah mulai bergerak. Mereka
telah berada di Lemah Cengkar dan berjalan beriringan. Mereka akan memasuki
Jati Anom dari utara.
Namun tiba-tiba saja dua orang
yang mendapat tugas mengawasi jalan yang akan mereka lalui, memberikan isyarat
kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan bersembunyi. Dengan memperdengarkan
suara burung bence, keduanya memberikan petunjuk kepada kawan-kawannya bahwa
ada bahaya di depan mereka.
Ternyata kedua orang itu
melihat sekelompok kecil peronda prajurit berkuda Pajang lewat.
“Gila,” desis pemimpin
kelompok para penyerang itu, “kenapa mereka meronda malam ini? Biasanya mereka
tidak meronda sampai ke daerah ini.”
“Justru karena Untara tidak
ada. Kiranya Untara telah berpesan kepada pasukan yang ditinggalkan agar mereka
menjadi semakin berhati-hati dan meningkatkan perondaan di seluruh Jati Anom.
Kemarin ada juga beberapa peronda berkuda yang sampai ke sebelan hutan di sisi
jalan ke Selatan.”
“Apakah Untara sudah mencium
gerakan kita?”
“Sore tadi dua orang petugas
sandi kita lewat daerah Jati Anom. Tidak ada tanda-tanda pemusatan pasukan yang
berarti. Mereka memang meningkatkan penjagaan, tetapi tidak lebih dari sikap
hati-hati justru karena Untara tidak ada. Jika mereka telah mencium rencana
kita, maka di rumah Untara itu pasti sudah dipasang pasukan yang kuat dan
mungkin di luar padukuhan. Tetapi prajurit Pajang masih saja berkeliaran di
muka banjar, dan beberapa orang perwira masih berada di rumah Untara itu.”
Pemimpin kelompok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Barangkali sekarang Untara sedang
menikmati makan bersama keluarga pengantin perempuan itu. Di sini beberapa
orang kawannya akan mati dibantai orang. Kita harus berhasil. Beberapa orang
kita yang berada lingkungan keprajuritan malam ini akan selalu mendampingi Untara,
setidak-tidaknya akan mengawasinya di Pengging. Jika ada perubahan rencana yang
mencurigakan, mereka akan mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan
kepada kita di sini.”
“Tidak ada seorangpun yang
datang. Tentu rencana perkawinan itu berlangsung seperti yang telah disusun.
Memang tidak mudah untuk merubah rencana perkawinan apa pun yang terjadi.
Apalagi pengaruh orang-orang kita atas Rangga Parasta akan menentukan.”
“Ya. Kita tidak boleh
mengulangi kegagalan yang pernah terjadi di Alas Mentaok.”
“Tentu tidak. Meskipun kita
berada di lingkungan prajurit Pajang, tetapi sebenarnya tugas kita tidak lebih
berat dari tugas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
Pemimpin kelompok penyerang
itu mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya seorang yang hampir tidak pernah
berbicara apa pun. Wajahnya yang tegang dan kasar, melontarkan kesan yang
khusus pada orang itu.
“Jangan seorang pun yang salah
langkah. Ingat, setidaknya kau harus berhasil membunuh seorang perwira.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku tidak sebodoh Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar.”
“Tentu tidak sia-sia Ki Lurah
mengirimkan kau kemari.”
Orang itu tidak menyahut.
“Tetapi jangan meremehkan para
perwira itu.”
“Aku dapat membunuh empat
orang sekaligus. Jika kalian dapat membendung bantuan prajurit-prajurit Pajang
yang bertugas menjaga rumah itu, maka para perwira itu akan aku bunuh. Aku
hanya memerlukan lima enam orang untuk mengikat mereka dalam perkelahian
sebelum aku sempat membunuh mereka seorang demi seorang.”
Pemimpin kelompok penyerang
itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang berwajah kasar itu. Namun
kemudian katanya, “Itulah kelemahanmu. Kau menganggap dirimu dapat membunuh
empat orang perwira sekaligus apabila kau mendapat kesempatan. Kau hanya memerlukan
orang lain menahan mereka agar tidak lari, supaya kau dapat membunuhnya.”
“Kenapa?” orang itu bertanya.
“Membunuh empat orang perwira
sekaligus, meskipun seorang demi seorang, bukan pekerjaan yang mudah. Seorang
perwira Pajang memiliki nilainya tersendiri.”
Orang itu tidak segera
menjawab.
“Dan aku memang tidak hanya
menyiapkan kau sendiri untuk menghadapi perwira-perwira itu. Sudah aku katakan,
setidak-tidaknya kau harus membunuh seorang. Aku akan membunuh seorang di
antara mereka. Tetapi kalau kau ingin menghadapi lebih dari seorang perwira,
maka kaulah yang akan terbunuh.”
Orang berwajah kasar itu tidak
menjawab. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Orang-orang ini belum mengenal
siapa aku. Perwira Pajang bukan orang-orang ajaib. Dan aku akan membunuh
mereka.”
Sesaat kemudian, dua orang
yang berjalan mendahului mereka pun segera memberikan isyarat, bahwa
orang-orang berkuda itu sudah menjauh. Dengan bunyi yang sama tetapi dalam
irama yang lain, pemimpin kelompok itu segera mengetahui, bahwa mereka dapat
meneruskan perjalanan.
Dengan melewati semak-semak
belukar dan kadang-kadang semak-semak berduri mereka merayap mendekati Jati
Anom justru dan arah utara. Menurut rencana, mereka akan memasuki padukuhan itu
seorang demi seorang, agar para peronda tidak dengan mudah melihat kehadiran
mereka. Seperti yang sudah mereka rencanakan, mereka akan berkumpul di kebun di
belakang rumah Untara. Selanjutnya mereka akan memanjat dinding batu yang tidak
begitu tinggi dan memasuki rumah yang dipergunakan oleh para perwira-perwira
itu.
“Kami tidak dapat mengetahui
dengan pasti, ada berapa orang yang masih tinggal di rumah itu,” desis pemimpin
gerombolan penyerang itu.
“Lima atau enam menurut dugaan
terakhir,” berkata salah seorang dari pembantunya.
“Tidak. Tentu kurang dari itu.
Tentu di antara mereka ada yang bertugas menangani para peronda di malam itu,
yang lain bertugas mengawasi para prajurit di banjar dan yang lain tentu ada
yang mengawani Widura,” sahut yang lain.
“Tetapi jangan menilai mereka
menurut ukuran yang rendah. Kita anggap saja ada enam orang di dalam rumal itu.
Selain aku dan kepercayaan Ki Lurah itu, kalian yang bertugas di dalam rumah
harus benar-benar mempersiapkan diri. Meskipun kalian tidak berhasil membunuh,
namun kalian harus berhasil memberi kesempatan kepada kami untuk membunuh. Kami
mengharap semuanya dapat terbunuh, selain yang sengaja kita hidupi agar ia
dapat bercerita tentang orang-orang Mataram yang menyerang mereka dengan
tiba-tiba,” berkata pemimpin gerombolan itu.
Mereka terdiam ketika mereka
menjadi semakin dekat dengan padukuhan Jati Anom. Namun sekali, lagi mereka
mendengar isyarat agar mereka berhenti sejenak.
Pemimpin gerombolan itu tidak
begitu sabar menunggu. Karena itu maka ia pun merayap maju mendekati kedua
orang yang ditugaskannya untuk mendahului perjalanan mereka.
“Kenapa?” bertanya pemimpin
rombongan itu.
“Api itu,” desis salah seorang
dari petugas yang mendahului gerombolannya.
Pemimpin gerombolan itu
mengerutkan keningnya. Kemudian mengumpat, “Kenapa para peronda itu menyalakan
api besar-besar.”
Kedua petugasnya tidak
menjawab.
“Mendekatlah. Lihat apa yang
mereka lakukan. Dan kenapa mereka bercakap-cakap begitu keras dan riuhnya?”
Kedua petugas itu pun kemudian
merayap dengan hati-hati mendekati sebuah gardu peronda. Dari jarak yang tidak
terlalu jauh keduanya melihat para prajurit Pajang yang meronda bersama
beberapa orang anak muda sedang berkelakar dengan ramainya. Agaknya mereka
mendapat kiriman makanan dari rumah Widura, sehingga mereka menjadi sangat ribut.
Apalagi ada di antara mereka yang dengan diam-diam membawa sebumbung tuak.
“He,” pemimpin peronda itu
membentak, “kau membawa tuak?”
“Hanya sedikit. Malam terlalu
dingin. Marilah, minumlah lebih dahulu.”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“Malam ini adalah malam yang
sangat menyenangkan. Ki Untara menjelang hari-hari yang bahagia di Pengging.
Dan kita ikut merayakannya di sini.”
Ternyata para prajurit dan
anak-anak muda itu seakan-akan mendapat kesempatan untuk melupakan ketegangan
sehari-hari. Mereka bersuka-ria dan satu dua di antara mereka meneguk tuak dari
bumbung itu.
“Bukankah kita sudah mendapat
peringatan, agar kita berwaspada?” berkata pemimpin peronda itu.
“Kami tidak apa-apa. Kami akan
dapat menjalankan tugas kami dengan baik. Bukankah api itu memberikan
penerangan di sekitar gardu ini, sehingga kita akan dapat melihat apabila ada
orang yang mendekat.”
Pemimpin peronda itu tidak
menyahut lagi. Tetapi ia tetap sadar bahwa ia harus berhati-hati.
Ketika pemimpin gerombolan
penyerang mendengar laporan itu, ia pun mengumpat-umpat. Dengan demikian
berarti rencananya harus tertunda, atau mereka mencari jalan lain untuk
memasuki padukuhan itu, justru karena api yang menyala itu. Tetapi hampir di
setiap lorong terdapat gardu-gardu peronda semacam itu.
“Kita menunggu sejenak sampai
api itu redup. Kita akan tetap memasuki Jati Anom menurut rencana. Seorang demi
seorang akan meloncati dinding batu yang rendah itu,” berkata pemimpin
gerombolan itu.
Beberapa orang di antara
mereka justru menjadi gelisah. Mereka ingin segera memasuki Jati Anom dan
menjajagi kemampuan prajurit Pajang dan perwira-perwiranya.
Dalam pada itu, dua ekor kuda
sedang berpacu seperti angin. Mereka berusaha untuk secepat-cepatnya mencapai
Jati Anom. Tetapi jarak yang mereka tempuh masih jauh. Apalagi malam gelapnya
bukan kepalang. Sehingga karena itu, kadang-kadang kuda-kuda itu pun terpaksa
memperlambat langkah kakinya jika jalan yang dilaluinya menjadi sulit.
“Mudah-mudahan mereka tertunda
oleh sesuatu hal,” bergumam salah seorang dari keduanya.
“Hanya apabila terjadi sebuah
keajaiban,” sahut yang lain.
Keduanya tidak berbicara lagi.
Kuda mereka berpacu terus menembus gelapnya malam yang pekat.
Di Jati Anom gerombolan
orang-orang yang akan menyerang rumah Untara masih harus menunggu sejenak.
Meskipun mereka mulai menjadi jemu dan mengumpat-umpat, namun pemimpin mereka
berkata, “Kita menunggu sejenak. Kita tidak dapat mencari jalan lain.”
“Bukankah ada dua jalan yang
kemarin kita perbincangkan?” berkata salah seorang dari mereka.
“Kenapa dengan dua jalan.”
“Yang lain, kita langsung
datang dari arah timur.”
Tetapi pemimpinnya menggeleng.
Katanya, “Kita sudah mematangkan rencana kita. Kita tidak dapat merubah begitu
saja. Karena itu, kita harus bersabar sebentar. Justru yang mereka lakukan itu
akan menguntungkan kita. Mereka akan kelelahan dan langsung menjadi lengah.
Mungkin di bagian lain, penjaga-jaganya lebih berwaspada dari penjaga-jaga yang
tidak menepati perintah itu.”
Tidak ada lagi yang membantah.
Mereka sadar, bahwa mereka harus mentaati perintah itu tanpa banyak persoalan.
Karena itu mereka pun segera berpencar dan duduk bersandar dahan-dahan kayu
yang ada sambil menunggu api itu redup.
“Api sudah redup,” berkata
salah seorang dari kedua pengawas yang mendahului gerombolan penyerang itu,
“kita akan segera maju.”
Laporan itu pun segera sampai
kepada pemimpin mereka mengikuti perkembangan di gardu itu dengan saksama.
“Sebentar lagi perapian itu
akan padam. Daerah ini akan menjadi gelap dan kita akan merayap maju mendekati
dinding padukuhan itu. Daerah itulah yang paling ringkih, sehingga jalan inilah
yang paling baik kita lalui. Kita akan langsung sampai ke jalan kecil yang
menuju ke bagian belakang rumah Untara. Kita akan berkumpul sejenak di halaman
rumah di belakang rumah Untara untuk mematangkan semua rencana.”
Orang-orang dari gerombolan
itu pun mulai mempersiapkan diri. Api di dekat gardu itu telah benar-benar
menjadi redup dan hampir padam. Suara gelak tidak lagi terdengar. Agaknya
beberapa orang justru telah menjadi mabuk karenanya.
Pemimpin gerombolan itu masih
menunggu sejenak. Diperintahkannya kedua pengawasnya mendekat lagi dan melihat
perkembangan terakhir di gardu itu.
Sejenak kemudian kedua
pengawas itu datang kepadanya dan berkata, “Hanya anak-anak muda sajalah yang
menjadi mabuk. Para prajurit masih tetap berjaga-jaga, meskipun dengan lesu.
Satu dua di antara mereka masih berjalan hilir-mudik. Tetapi dinding yang kita
tandai sebagai tempat yang paling baik itu agaknya memang paling aman. Gardu
yang paling dekat dari gardu itu, agaknya juga sepi.”
“Lihat pula gardu itu untuk
meyakinkan.”
Kedua orang itu pun segera
berangkat. Gardu itu pun tidak terlalu jauh dari tempat mereka. Dan menurut
rencana, mereka akan menyusup di antara kedua gardu itu. Gardu yang baru saja
ribut, dan gardu lain yang tidak begitu jauh.
“Kenapa kedua orang itu harus
melihat pula gardu yang lain?” desis salah seorang dari gerombolan yang gelisah
itu.
“Pemimpin kita terlalu
berhati-hati. Adakalanya baik, tetapi, ada kalanya, kita justru terlambat
karenanya,” sahut salah seorang kawannya.
Tidak seorang pun lagi yang
menyambung. Namun kegelisahan nampaknya menjadi semakin tajam.
Akhirnya kedua pengawas itu
pun datang kepada pemimpin gerombolan itu dan berkata, “Mereka pun mendapat
makanan dari rumah Widura tampaknya. Tetapi mereka tidak terlalu ribut seperti
gardu yang satu itu.”
“Jika demikian, kita dapat
melangsungkan rencana kita.”
Namun belum lagi mereka
bergerak, terdengar suara kentongan di kejauhan. Meskipun kentongan itu adalah
sekedar isyarat agar para peronda tetap berhati-hati, namun pemimpin gerombolan
itu berkata, “Bersiaplah. Kita tunggu gema suara kentongan itu lenyap.”
Orang-orangnya menarik napas
dalam-dalam. Tetapi mereka tidak berkata apa pun juga.
Di perjalanan, kedua orang
yang berpacu dari Pengging mencoba mempercepat laju kudanya. Tetapi kemampuan
kuda mereka terbatas dan jalan-jalan pun tidak serata yang mereka harapkan.
Meskipun demikian mereka masih mengharap, bahwa ada keajaiban yang menahan
orang-orang yang akan menyerang itu, sehingga ia mendapat kesempatan untuk
menggagalkan mereka.
“Tetapi kemungkinan itu kecil
sekali,” gumam yang seorang.
“Aku tidak peduli. Tetapi kita
harus sampai ke Jati Anom. Kita harus menyusur jalan sesuai dengan rencana yang
sudah mereka berikan itu.”
Kawannya tidak menjawab. Ia
hanya berdesis ketika angin yang kencang megusap wajahnya. Dingin malam terasa
semakin menggigit kulit. Dan mereka harus berpacu lebih cepat lagi, agar mereka
dapat mencapai Jati Anom sebelum terlambat.
Demikianlah, maka akhirnya
malam yang sepi itu menjadi semakin sepi. Gerombolan penyerang yang sudah
bersiap di sebelah Utara padukuhan Jati Anom itu menjadi semakin tegang. Dan
sejenak kemudian pemimpinnya berkata kepada pembantunya yang berada di dekatnya,
“Apakah semua sudah siap?”
“Sudah sejak lama,” jawab
pembantunya.
“Baik. Kita akan berangkat
sekarang.”
“Marilah. Kita jangan membuang
waktu.”
Tetapi tampaknya pemimpin
rombongan itu menjadi ragu-ragu. Ada sesuatu yang terasa agak menghambat niatnya
untuk segera menyerang. Namun ia tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah
terjadi di dalam dirinya, sehingga ia menjadi ragu-ragu. Ia tidak pernah
mengalami hal serupa itu. Selama ini ia adalah seorang yang tidak pernah gentar
menghadapi apa pun juga. Meskipun ia harus melakukan tugas yang sangat berat
sekalipun, ia dapat menjalankan tugas itu sambil tertawa. Tetapi rasa-rasanya
kali ini ia telah dibebani oleh sesuatu yang tidak dimengertinya sendiri.
“Persetan,” ia menggeram untuk
mendapatkan kemantapan di dalam hati, “tidak ada seorang perwira Pajang yang
memiliki kemampuan seperti Ki Gede Pemanahan sekarang ini. Untara sendiri masih
belum mencapai tingkat itu. Karena itu, aku tidak harus ragu-ragu. Aku baru
boleh ragu-ragu jika Pemanahan sendiri ada di gardu itu, atau orang-orang yang
telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.”
Namun tiba-tiba timbul
pertanyaan, “Apakah orang-orang yang membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak
itu ada di sini?”
Tetapi ia sendiri belum pernah
melihat orang yang telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu. Namun
demikian ia harus berhati-hati. Sepeninggal Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,
orang-orang semacam itu pasti tidak akan mengeram di Alas Mentaok untuk
seterusnya, ia meski akan bertualang. Dan mungkin sampai ke Jati Anom ini.
Dalam pada itu, orang-orang
yang berpacu dari Pengging itu menjadi semakin dekat juga dengan Jati Anom.
Meskipun pengharapan mereka sangat kecil, tetapi mereka masih juga mencoba dan
berpacu sekencang-kencangnya.
“Kita langsung ke Lemah
Cengkar,” berkata salah seorang dari mereka. “Menurut laporan terakhir, rencana
itu mengatakan bahwa mereka memasuki Jati Anom dari sebelah utara. Kita akan
menyusul mereka. Kita tinggalkan kuda kita di Lemah Cengkar.”
Kawannya tidak menjawab.
Tetapi mereka berpacu secepat dapat mereka lakukan.
Akhirnya mereka pun menjadi
semakin dekat. Dengan napas terengah-engah mereka memasuki sebuah hutan perdu
lewat gerumbul-gerumbul dan semak-semak liar mereka menerobos langsung memasuki
daerah Lemah Cengkar.
“Kita sudah sampai di Lemah
Cengkar,” desis salah seorang dari mereka.
“Tetapi sudah lewat tengah
malam. Ternyata daerah ini sudah sepi. Mereka pasti sudah berangkat.”
“Kita tinggalkan kuda kita di
sini. Kita mendekat.”
Mereka pun segera mengikat
kuda mereka di tempat yang tersembunyi. Kemudian dengan tergesa-gesa mereka
menyusup semak-semak pergi menyusul kawan-kawannya yang sudah mendahului mereka
mendekati Jati Anom. Seperti pesan yang mereka dengar, pasukan kecil itu akan
menyerang Jati Anom dari sebelah utara.
“Cepat. Mudah-mudahan mereka
masih di sebelah utara padukuhan Jati Anom.”
Pada saat itulah pemimpin
pasukan kecil yang akan menyerang Jati Anom itu baru mendapat kepastian bahwa
jalan telah aman di hadapan mereka. Karena itu, maka ia pun segera berkata
kepada pembantunya, “Marilah kita masuk.”
“Sekarang. Jangan ditunda
lagi. Orang kita menjadi gelisah dan jika terlampau lama kita mendekam di sini,
mereka akan kehilangan napsu dan gairah untuk menumpas prajurit-prajurit Pajang
itu.”
“Baiklah. Ingat, hanya dengan
kecepatan bergerak kita tidak akan gagal. Kita harus menghancurkan penjaga
rumah itu dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan mereka memukul tengara. Dan
aku bersama orang-orang yang sudah ditentukan akan membunuh para perwira di
dalam rumah itu, juga tanpa memberi kesempatan mereka berbuat sesuatu. Tetapi
harus ada satu orang yang masih sempat hidup di antara mereka.”
“Baik.”
“Nah, aku akan masuk lebih
dahulu. Kemudian biarlah orang-orang kita mengikuti aku. Sedang kau akan masuk
yang terakhir sekali sambil mengawasi keadaan bersama kedua pengawas itu.”
“Baik.”
Pemimpin gerombolan penyerang
itu pun kemudian merayap di dalam gelapnya malam. Dengan sangat hati-hati ia
mendekati dinding batu. Di kedua gardu sebelah-menyebelah yang tidak terlampau
jauh jaraknya itu sudah tidak terdengar suara apa pun lagi. Untunglah bahwa
malam gelapnya bukan kepalang, sehingga pemimpin pasukan penyerang itu dapat
merayap tanpa dapat dilihat di antara rerumputan yang tinggi. Kemudian ia harus
menyeberang sawah yang tidak terlampau luas, menyelusur pematang. Tetapi sawah
itu agaknya tidak terlampau subur, sehingga daerah itu kurang mendapat
perhatian. Bahkan daerah yang bersemak-semak liar itu pun masih juga tidak
pernah disentuh tangan apalagi digarap. Daerah di sebelah utara Jati Anom itu
memang masih diperlukan saluran air yang cukup untuk membuatnya menjadi tanah
pertanian.
Dalam pada itu, seorang demi
seorang merayap mendekati dinding batu padukuhan Jati Anom, dan seorang demi
seorang telah meloncat masuk dengan sangat hati-hati di dalam lindungan
gelapnya malam.
Sementara itu, kedua orang
penghubung dari Pengging dengan tergesa-gesa mendekati padukuhan itu dari utara
pula.
Tetapi ketika ia sampai di
sebelah padukuhan Jati Anom, ternyata tempat itu telah sepi. Mereka tidak
menjumpai seorang pun juga, karena orang yang terakhir ternyata telah merayap
mendekat dinding dan meloncat masuk pula.
“Terlambat,” desis salah
seorang dari keduanya, “mereka sudah memasuki padukuhan itu.”
Kawannya menarik napas
dalam-dalam. Namun ia bergumam, “Tetapi aneh. Tidak terdengar keributan sama
sekali. Jika kedatangan mereka sudah diketahui, maka mereka pasti sudah
disergap.”
“Prajurit Pajang menunggu di
halaman rumah Untara.”
Kawannya mengerutkan
keningnya. Lalu, “Apakah kita akan menyusul mereka, barangkali mereka masih
belum bertindak.”
“Atau kita akan masuk ke dalam
jebakan itu sama sekali.”
“Kita tidak akan memasuki
halaman rumah Untara, dan kita sudah mempersiapkan diri jika benar-benar hal
itu terjadi, sehingga kita tidak boleh memasuki daerah yang tidak akan mungkin
mudah kita tinggalkan.”
Kawannya mengangguk-angguk
sejenak, lalu, “Apakah kau mengenal daerah Jati Anom dengan baik.”
“Tidak dengan baik, tetapi aku
pernah mengelilingi daerah ini. Barangkali aku masih dapat mengenal satu dua
jalur lorong di dalam padukuhan itu.”
“Baiklah. Tetapi bersiaplah
untuk mati.”
“Ah, aku masih belum ingin
mati. Aku mempunyai anak dan istri. Jika aku mati, mereka akan bersedih. Dan
istriku akan menjadi janda muda.”
“Ia akan segera kawin lagi.
Jangan cemas.”
“Persetan,” kawannya
mengumpat.
Demikianlah keduanya dengan
hati-hati merayap mendekati dinding padukuhan. Sejenak mereka memperhatikan
lampu minyak yang berkeredipan di gardu. Ternyata bahwa perapian yang dibuat
oleh para peronda telah hampir padam sama sekali.
“Sst, gardu peronda,” bisik
yang seorang. Sedang yang lain menunjuk pula ke kejauhan, “Itu juga.”
“Hati-hati. Kita menerobos di
tengah.”
Mereka menjadi semakin
hati-hati. Perlahan sekali mereka maju. Namun akhirnya mereka sampai pula di
balik tanggul parit yang kering di seberang jalan di pinggir padukuhan. Mereka
harus menyeberangi jalan itu dan meloncati dinding.
“Marilah, tidak ada yang
memperhatikan kita dari kedua gardu di sebelah-menyebelah,” bisik yang seorang.
Kawannya tidak menyahut.
Dengan hati-hati sekali keduanya pun segera meloncat, memasuki padukuhan Jati
Anom.
Pada saat itulah pemimpin
gerombolan yang akan menyerang rumah Untara itu sedang memberikan beberapa
petunjuk kepada anak buahnya, di kebun yang rimbun di belakang rumah Untara.
Empat orang pemimpin kelompok
kecil dari antara mereka mendapat pesan bagi kelompok masing-masing dengan
seteliti-telitinya. Ke mana mereka harus pergi, dan apa saja yang harus mereka
lakukan. Dan pemimpin kelompok itu kemudian berkata, “Ingat, kalian harus
menyergap seperti kalian menangkap seekor kepiting. Jika kau tidak sekaligus
mendekap, maka tanganmulah yang justru akan disapitnya. Jika kepiting itu
besar, maka mungkin jari-jari kalian akan putus. Demikian juga
prajurit-prajurit Pajang yang bertugas itu. Apalagi para perwira. Jika yang
bertugas di dalam rumah itu tidak sempat membunuh mereka, jaga agar mereka
tetap terikat pada perkelahian yang mantap, agar kami dapat membunuhnya pula
kemudian, kecuali seorang dari mereka akan hidup dan satu dua orang dari para
prajurit yang bertugas di luar.”
Para pemimpin kelompok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang lakukanlah.
Jika kalian gagal maka nasib kita semuanya tidak akan lebih baik dari nasib
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Dan kita pun akan berbuat jantan seperti
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak karena mereka yakin akan kebenaran perjuangan
kita ini.”
Para pemimpin kelompok itu pun
kemudian kembali ke kelompok masing-masing. Sebuah isyarat yang kemudian
diberikan oleh pemimpin kelompok itu, telah menggerakkan orang-orang itu
semakin mendekati halaman rumah Untara dari arah belakang.
Dalam pada itu, para prajurit
pilihan yang berada di halaman rumah itu pun hampir menjadi semakin jemu
menunggu. Bahkan ada satu dua di antara mereka yang tanpa dikehendakinya
sendiri, telah terkantuk-kantuk bersandar sebatang pohon perdu yang rimbun. Dan
di dalam biliknya, ternyata bahwa Swandaru telah benar-benar tidur mendekur.
Namun suara isyarat pemimpin
kelompok penyerang yang tidak begitu keras itu ternyata telah menumbuhkan
kecurigaan. Suara burung hantu itu disekat oleh irama yang terlampau teratur,
sehingga suara itu telah mengingatkan Kiai Gringsing pada suara burung kedasih di
Alas Mentaok.
Ternyata bukan saja Kiai
Gringsing yang telah mendengar suara isyarat itu. Ki Ranadana, Sumangkar, dan
bahkan para prajurit di halaman pun telah menjadi curiga mendengar suara burung
yang aneh itu. Meskipun demikian, ada juga di antara mereka yang menyangka,
bahwa suara itu adalah suara burung hantu yang sebenarnya.
Tetapi, ternyata bahwa para
pemimpin kelompok yang ada di dalam halaman itu telah memberikan aba-aba pula,
dengan menyentuh seorang yang bertugas di sampingnya, kemudian sentuhan itu pun
menjalar dari yang seorang kepada orang lain. Bagi mereka yang berada pada
jarak beberapa langkah, maka para prajurit itu pun telah mempergunakan
batu-batu kerikil sebagai isyarat, bahwa mereka harus bersiap.
Pada saat itulah, beberapa
orang penyerang mulai tersembul dari balik dinding halaman di belakang rumah.
Dengan sangat hati-hati, seorang demi seorang telah meloncat dinding itu.
Maka sejenak kemudian,
saat-saat yang paling menegangkan telah terjadi di halaman rumah Untara itu.
Beberapa orang prajurit yang terpencar dan bersembunyi di balik semak-semak
dapat melihat beberapa orang yang meloncat masuk itu. Tetapi seperti pesan yang
mereka terima, mereka tidak boleh berbuat sesuatu jika belum ada perintah,
kecuali apabila tanpa disengaja mereka telah diketahui oleh para penyerang itu.
Tetapi karena para prajurit
itu telah menempatkan diri pada tempat yang paling baik menurut pilihan mereka,
maka orang-orang yang memasuki halaman di dalam gelap itu pun tidak segera
dapat melihat mereka. Bahkan mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa
kedatangan mereka telah ditunggu oleh prajurit-prajurit Pajang justru yang
paling baik yang ada di Jati Anom.
Perlahan-lahan orang-orang
yang memasuki halaman itu merayap semakin dalam. Seperti pesan yang telah mereka
terima, maka mereka pun segera mengambil tempat mereka masing-masing. Dua
kelompok dari mereka harus menyergap para prajurit yang bertugas di gardu
depan. Sedang sekelompok yang lain harus memasuki rumah itu tersama dengan
pemimpin kelompok dan seorang yang dikirim langsung oleh pemimpin-pemimpin
mereka untuk membantu pemimpin kelompok itu membunuh para perwira yang ada di
dalam rumah. Satu kelompok lagi harus mengawasi suasana, dan membunuh setiap
orang yang berusaha melarikan diri dari halaman itu. Apakah ia seorang prajurit
atau seorang perwira. Karena itu, maka mereka pun harus dapat bekerja sama
sebaik-baiknya jika yang mereka hadapi adalah seorang perwira yang memiliki
kemampuan yang tinggi.
Demikianlah, keempat kelompok
itu telah berada di tempatnya masing-masing seperti pesan pemimpinnya. Mereka
menemukan tempat-tempat yang telah ditentukan, yang agaknya oleh seseorang yang
telah mengenal halaman rumah itu sebaik-baiknya.
Namun mereka tidak menyangka,
bahwa di setiap sudut, bahkan beberapa, langkah dari tempat mereka bersembunyi,
prajurit-prajurit Pajang yang terpilih selalu mengawasi mereka dengan saksama.
Kelompok-kelompok penyerang
itu telah siap untuk melakukan penyergapan. Yang terakhir adalah usaha memasuki
rumah itu tanpa menimbulkan persoalan. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu
sendirilah yang akan melakukannya, sementara kelompok yang lain mengawasi
dengan saksama jika ada di antara mereka yang melarikan diri.
Ternyata pemimpin kelompok itu
adalah orang yang berpengalaman. Dengan hati-hati ia memutus tali-tali pengikat
dinding di sudut rumah Untara yang paling lemah, di sudut belakang. Hampir
tidak menimbulkan desir yang paling lembut sekalipun ia kemudian membuka
dinding-dinding itu, dan dengan sangat hati-hati ia pun merayap masuk. Seorang
dari anak buahnya dibawanya serta memasuki rumah yang sepi itu.
Sejenak orang-orangnya
menunggu. Ternyata bahwa ketegangan yang menghentak-hentak dada hampir tidak
tertahankan. Rasa-rasanya jantung mereka menjadi semakin cepat berdentangan.
Bukan saja para penyerang,
tetapi prajurit-prajurit Pajang yang menyaksikan itu pun menjadi berdebar-debar
pula. Rasa-rasanya mereka tidak dapat menunggu lagi. Tangan mereka telah
bergetar dan darah mereka menjadi semakin cepat mengalir.
Sejenak kemudian mereka
mendengar derit yang lirih sekali. Ternyata para prajurit Pajang yang berada di
sisi rumah itu melihat bahwa pintu butulan telah terbuka.
Dengan isyarat tangan, maka
pemimpin kelompok itu memanggil orang-orangnya yang bertugas masuk ke dalam
rumah itu bersama seorang yang dipercaya langsung dari pimpinan mereka.
Seorang perwira Pajang yang
melihat pintu yang terbuka itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dan ia pun
yakin bahwa di antara para penyerang itu pasti ada satu atau dua orang yang
benar-benar dapat dipercaya melakukan tugas itu.
“Jika saja rencana ini tidak
dapat diketahui, maka akulah yang ada di dalam rumah itu bersama beberapa orang
kawan. Barangkali aku dan beberapa orang kawan itu sama sekali tidak sempat
berbuat sesuatu ketika pedang-pedang mereka menikam dada ini, selagi kami masih
tidur,” katanya di dalam hati. Dan ia pun merasa bersukur bahwa ia sempat
mendengar rencana itu dan kini ia telah siap menghadapi setiap kemungkinan.
“Meskipun seandainya aku akan
mati juga malam ini, tetapi aku mati sambil menggenggam pedang seperti
seharusnya seorang prajurit, bukan mati di pembaringan tanpa berbuat sesuatu,”
perwira itu menggeram di dalam hati. Tanpa disadarinya maka tangannya pun telah
meraba hulu pedangnya.
“Apakah Ki Ranadana dan kawan-kawannya
yang ada di dalam rumah itu tidak tertidur, dan mereka mengetahui bahwa yang
mereka tunggu telah datang?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi karena
yang ada di dalam rumah itu adalah orang-orang yang dapat dipercaya, maka ia
pun mencoba untuk menenteramkan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian perwira itu
melihat beberapa orang merayap mendekati pintu butulan itu. Sedang di bagian
lain, beberapa bayangan yang bergerak-gerak menjadi semakin dekat dengan regol
halaman. Mereka harus langsung menyergap para penjaga yang jumlahnya tidak
begitu banyak itu tanpa memberi kesempatan mereka membunyikan tanda apa pun
juga.
Dada setiap orang di halaman
rumah Untara itu menjadi semakin tegang. Bahkan para prajurit yang ada di regol
itu bagaikan duduk di atas bara api. Mereka mengerti, bahwa beterapa orang
sedang merayap untuk menerkam mereka, namun mereka masih harus duduk di
tempatnya. Meskipun demikian, senjata-senjata mereka telah siap di lambung.
Sekejap saja senjata itu akan berada di genggaman. Demikian juga kawan-kawannya
yang ada di sudut-sudut halaman depan. Rasa-rasanya mereka sudah ingin meloncat
menyerang bayangan yang merambat semakin dekat dengan regol itu.
Dalam pada itu, orang-orang
yang ada di dalam rumah itu pun segera berdiri di depan bilik yang mereka
perkirakan di pakai oleh para perwira Pajang. Sejenak mereka memusatkan segenap
pikiran dan perhatian mereka kepada tugas yang akan mereka lakukan.
Ketika semuanya menurut
perhitungan pemimpin kelompok penyerang itu sudah siap, maka terdengarlah dari
dalam rumah itu suara burung hantu yang keras sekali tiga kali. Hanya tiga
kali. Dan yang tiga kali itu adalah perintah bagi setiap orang di dalam pasukan
kecilnya untuk menyerang semua sasaran yang telah ditentukan.
Pada saat suara burung hantu
itu menggema, dua orang yang dengan napas terengah-engah menyusul mereka dari
Pengging menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka sudah terlambat. Meskipun
mereka sudah berada di belakang rumah Untara, namun perintah itu sudah
diberikan, sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
“Terlambat,” desah yang
seorang.
“Tetapi, kenapa mereka masih
sempat menunggu perintah itu? Jika orang-orang Pajang sudah menunggu mereka,
maka demikian mereka memasuki halaman rumah ini, mereka pasti akan segera
diterkam oleh para prajurit Pajang,” sahut yang lain.
“Kita menunggu perkembangan,”
berkata yang lain.
Demikianlah mereka menunggu
apa yang terjadi di dalam rumah Untara dan di halamannya itu.
Dalam pada itu, demikian
isyarat itu berbunyi, maka setiap orang yang ada di dalam rumah itu pun segera
mendorong pintu bilik. Senjata-senjata telanjang yang ada di tangan mereka
telah bergetar. Pemimpin kelompok itu berada di depan satu bilik bersama
beberapa orang kawannya, sedang orang yang langsung diperbantukan kepadanya oleh
pemimpin mereka itu berada di bilik yang lain bersama beberapa orang pula.
Mereka harus melakukan tugas mereka dengan cepat dan cermat. Sedang beberapa
orang lainnya berada di bilik yang lain pula, untuk mengawasi jika di dalam
bilik itu ada juga penghuninya.
Bersama dengan gerit
pintu-pintu bilik itu, para penyerang yang sudah siap menunggu di halaman pun
segera berloncatan. Jumlah mereka ternyata cukup banyak untuk membinasakan
beberapa orang yang bertugas di regol itu.
Namun, demikian isyarat itu
berbunyi, maka prajurit-prajurit Pajang yang berada di regol itu pun segera
berloncatan berdiri. Seakan-akan suara burung hantu itu memang merupakan
perintah bagi mereka untuk bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Sekejap para penyerang itu pun
menjadi heran. Namun mereka tidak menghiraukannya lagi. Seperti banjir bandang
mereka pun segera menyerang. Orang-orang yang ada di regol itu harus ditumpas.
Tetapi mereka pun terkejut
ketika tiba-tiba saja mereka mendengar gemerisik dedaunan dan semak-semak di
sekitar mereka. Sebelum mereka mencapai gardu itu, mereka menjadi terpukau
karena beberapa orang yang tiba-tiba saja justru berloncatan menyerang mereka.
Sebelum mereka menyadari
keadaan mereka, maka tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari prajurit
Pajang itu berkata lantang, “Kalian terjebak. Menyerahlah.”
Tetapi para penyerang itu
tidak yakin akan kata-kata prajurit Pajang itu meskipun mereka melihat beberapa
orang berdatangan. Karena itu, maka pemimpin kelompok mereka pun berkata,
“Tumpas mereka. Jangan ada yang tersisa. Mataram harus menguasai daerah Jati
Anom sebelum menguasai seluruh Pajang.”
Kata-kata itu mendebarkan
jantung para praiurit Pajang. Untunglah mereka sudah mengetahui dengan siapa
mereka berhadapan, sehingga mereka pun tidak mudah terpengaruh oleh kata-kata
itu, yang seakan-akan para penyerang itu adalah orang-orang Mataram.
Ternyata serangan itu telah
mendapat sambutan hangat. Para penjaga di regol halaman pun sudah siap menunggu
mereka menyergap. Namun ternyata bahwa para penyerang tidak dapat memusatkan
kekuatan mereka, kepada para praturit yang tidak begitu banyak jumlahnya di
regol, tetapi mereka harus melayani prajurit-prajurit Pajang yang bermunculan
seperti laron dimusim hujan. Ternyata bahwa jumlah prajurit Pajang itu pun cukup
banyak sehingga para penyerang itu pun menjadi berdebar-debar. Apalagi prajurit
Pajang yang mereka hadapi adalah prajurit pilihan.
“Gila,” pemimpin kelompok
penyerang itu menggeram, “kita harus memencar. Kita binasakan semua orang yang
ada di halaman ini.”
Dalam pada itu kelompok
cadangan yang harus mengawasi jika ada di antara para prajurit Pajang yang
melarikan diri itu pun tidak lagi dapat tinggal diam. Mereka pun segera
terlibat pula di dalam perkelahian melawan para prajurit Pajang.
Dalam pada itu, yang ada di
dalam rumah pun terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka hanya menjumpai
seorang perwira Pajang di dalam rumah itu. Dan perwira itu adalah Ki Ranadana.
Sedang yang lain sama sekali bukan prajurit Pajang. Namun justru karena itulah,
maka kemudian mereka menjumpai banyak sekali kesulitan.
Para penyerang yang belum
mengenal Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu semula tidak begitu
menghiraukannya. Pembunuhan di dalam rumah itu akan tetap berlangsung, siapa
pun yang ada di dalamnya. Perwira yang hanya seorang itu harus dibunuh pula,
sedang salah seorang dari orang-orang yang ada di rumah itu akan dihidupinya.
“Kalian tidak usah melawan,”
berkata pemimpin gerombolan itu, “kami datang dengan kekuatan yang tidak akan
terlawan oleh kalian. Marilah kalian berkumpul di ruang tengah.”
Ki Ranadana dan Ki Sumangkar
memandang pemimpin kelompok itu sejenak, lalu sambil mengangguk-angguk Ki
Ranadana menjawab, “Apakah yang akan kalian lakukan atas kami?”
“Sayang, kami akan membunuh
kalian. Para perwira dan siapa pun yang ada di dalam rumah ini.”
Ki Ranadana dan Ki Sumangkar
tidak segera menyahut, sedang di depan pintu bilik yang lain terdengar seorang
dari para penyerang itu berkata, “Keluar. Kami akan memenggal lehermu. Lebih
baik kau mati di ruang yang agak luas daripada dibilik yang sempit agar rohmu
mendapat jalan yang agak lapang.”
Dan terdengar jawab Kiai
Gringsing, “Baiklah. Kami akan keluar ke ruang yang lebih luas. Tetapi apakah
kalian benar-benar akan membunuh kami?”
“Jangan banyak bicara.
Sediakan diri untuk mati. Pedang kami akan memenggal leher kalian.”
Tetapi yang terdengar kemudian
adalah kata-kata Swandaru, “Kulit kami amat liat. Apakah pedang kalian cukup
tajam?”
Pertanyaan itu benar-benar
tidak diduga oleh orang-orang yang datang memasuki rumah itu. Karena itu,
sejenak mereka hanya memandang Swandaru dengan tatapan mata yang aneh.
“He, kenapa kalian menjadi
heran seperti melihat hantu?” bertanya Swandaru pula. “Ayo, jawab pertanyaanku.
Apakah pedangmu cukup tajam untuk memotong leherku. Kulitku cukup liat dan
tulangku sangat keras.”
“Persetan,” orang yang dikirim
oleh pemimpin para penyerang itu menggeram, “kaulah yang akan aku bunuh
pertama-tama.”
“Aku?” Swandaru membelalakkan
matanya. “Kenapa bukan yang lain? Kau misalnya?”
“Tutup mulutmu,” orang itu
berteriak.
“Kami adalah para perwira
pilihan dari prajurit Pajang,” berkata Swandaru. “Ketika kami memasuki
lingkungan keprajuritan, kami harus melalui pendadaran yang berat. Nah, apakah
kami yang sudah melalui pendadaran itu harus menyerahkan leher kami begitu
saja?”
Orang itu tidak menjawab.
Tetapi tiba-tiba saja ia menyergap masuk. Agaknya kemarahannya sudah memuncak
sampai ke ubun-ubun.
Beberapa orang kawannya pun
ikut pula menyergap. Mereka langsung menyerang kiai Gringsing dan kedua muridnya
dan berusaha membunuh mereka sebelum mereka sempat berbuat apa pun juga,
apalagi memberikan isyarat.
Demikian juga pemimpin
kelompok penyerang itu. Mereka pun telah menyerang Ki Ranadana dan Ki Sumangkar
di dalam biliknya yang sempit.
“Ki Ranadana,” berkata Ki
Sumangkar, “agak menjauhlah. Senjataku memerlukan ruang yang agak luas.”
“Eh,” sahut Ki Ranadana,
“apakah aku tidak akan kau beri sisa tempat di ruang ini? Jika demikian,
sebaiknya aku keluar saja.”
“Jangan sekarang. Kita memilih
tempat yang sempit ini saja dahulu.”
Ki Ranadana tidak menjawab,
tetapi ia bergeser ke sudut yang lain menjauhi Sumangkar yang kemudian
menggenggam senjatanya yang aneh. Trisulanya yang berantai di tangan kanan, dan
yang sebuah lagi di tangan kiri langsung digenggamnya pada tangkainya.
Namun yang paling mengejutkan
para penyerang itu, ketika Swandaru yang langsung diserang telah menarik cambuk
yang membelit di lambungnya. Ketika cambuk itu meledak, rasa-rasanya meledak
pulalah setiap jantung dari para pemimpin penyerang itu. Sedikit banyak mereka
telah pernah mendengar, bahwa kawan-kawan mereka yang berjuang di Alas Mentaok,
telah gagal sama sekali akibat hadirnya orang-orang yang bersenjata cambuk. Dan
kini rumah Untara itu telah digetarkan pula oleh suara cambuk.
Bukan saja Swandaru yang
kemudian telah meledakkan cambuknya. Namun juga Agung Sedayu dan bahkan Kiai
Gringsing, Karena lawan mereka telah langsung menyerang mereka dengan pedang ke
arah jantung mereka, untuk segera membunuh apabila mungkin, maka mereka pun
telah mempergunakan senjata mereka pula.
Demikianlah di dalam bilik
yang sebelah, tiga buah cambuk telah meledak bersahut-sahutan.
Di bilik yang lain, trisula
Sumangkar telah berputar pula pada rantai yang mengikatnya. Suaranya berdesing
mengerikan. Sedang Ki Ranadana yang bersenjata pedang pun telah mulai pula
bertempur melawan orang-orang yang menyerangnya.
Betapapun juga, namun putaran
trisula di tangan Sumangkar telah menimbulkan persoalan bagi para penyerangnya,
sehingga beberapa orang terpaksa terdesak surut oleh kawan-kawan mereka. Dengan
lambat laun pasti Sumangkar telah mendesak lawannya ke pintu keluar dari bilik
itu.
“Kita akan mencari jalan
keluar,” berkata Sumangkar kepada Ki Ranadana, “supaya kita dapat lebih leluasa
bermain-main.”
“Aku sependapat,” berkata Ki
Ranadana. Meskipun ia tidak mendesak lawannya, namun suara trisula Sumangkar
yang berdesing itu berpengaruh juga, sehingga Ki Ranadana pun telah mendesak
lawannya pula.
Demikianlah maka para
penyerang itu tidak mau bertahan di dalam bilik yang sempit itu pula. Mereka
pun segera berloncatan keluar disusul oleh Sumangkar dengan senjatanya yang
mengerikan.
Yang terakhir keluar dari
bilik itu adalah Ki Ranadana. Tetapi ketika beberapa orang lawan menyambutnya,
maka ia tidak langsung pergi ke ruang tengah yang agak luas, tetapi ia berhenti
saja di pintu sambil bertempur. Jika ia agak terdesak oleh beberapa orang
lawannya maka ia melangkah surut, sehingga ia langsung menghadapi sebuah pintu
yang sempit. Dengan demikian ia sempat mempergunakan pintu bilik itu sebagai
perisai, sehingga lawannya terpaksa berdiri di satu arah daripadanya.
“Licik,” geram salah seorang
lawannya, “jangan berdiri di pintu.”
Tetapi Ki Ranadana tertawa.
Katanya, “Bagaimana mungkin kau dapat mengatakan aku licik, sedang kau
menyerang dengan pasukan segelar sepapan?”
Lawan-lawannya tidak menjawab.
Tetapi mereka berusaha mendesak Ranadana masuk ke dalam bilik itu kembali dan
beramai-ramai membinasakannya.
Tetapi Ki Ranadana menyadari
keadaannya, sehingga karena itu maka ia pun bertahan mati-matian agar ia tetap
berada di pintu bilik itu.
“Untunglah bahwa kami dapat
mengetahui lebih dahulu serangan ini. Jika tidak, maka kami akan benar-benar
dibantai tanpa perlawanan,” berkata Ki Ranadana di dalam hatinya. Seperti yang
tersirat di hati setiap prajurit Pajang. Namun demikian ia masih juga
memikirkan Ki Sumangkar, Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
“Adik Untara adalah seorang
yang dapat dipercaya,” berkata Ki Ranadana, karena ia mengetahui bahwa Agung
Sedayu berhasil mengalahkan seorang perwira muda dari Pajang pada perselisihan
yang tidak dapat dihindarkan, justru di saat Agung Sedayu baru saja datang di
tempat ini.
“Tetapi anak muda yang gemuk
itu, apabila orang tua itu, pasti memiliki kemampuan yang cukup pula,” katanya
pula kepada diri sendiri.
Sekilas Ki Ranadana melihat
bagaimana Sumangkar bertempur melawan beberapa orang yang menyerangnya. Putaran
trisulanya benar-benar membatasi kemampuan gerak lawannya. Trisula yang
disangkutkan pada ujung rantai itu tidak saja berputar seperti baling-baling,
tetapi kadang menjulur mematuk seperti seekor ular yang berbisa.
Dalam pada itu, cambuk yang
meledak-ledak di bilik sebelah serasa telah menggetarkan rumah yang besar itu.
Bahkan kemudian seperti Sumangkar, Kiai Gringsing telah mendesak lawannya ke
luar ruangan, sehingga di ruang tengah yang luas itulah mereka kemudian
bertempur.
Swandaru tersenyum melihat
Sumangkar telah lebih dahulu ada di ruang itu. Ketika ia memandang Ki Ranadana,
maka keningnya pun terkerut-merut.
Bukan saja Swandaru, tetapi
Kiai Gringsing pun melihat, bahwa Ki Ranadana mulai menjadi lelah menghadapi
lawan-lawannya. Di antaranya adalah pemimpin kelompok penyerang yang memiliki
kelebihan dari kawan-kawannya. Hanya dengan mengerahkan segenap kemampuannya
sajalah Ki Ranadana tetap bertahan di depan pintu bilik itu.
Tetapi Ki Ranadana sama sekali
tidak mengeluh dan tidak menjadi cemas. Ia menyadari, bahwa keadaan ini adalah
keadaan yang jauh lebih baik daripada keadaan yang seharusnya terjadi. Seperti
setiap perwira ia berpendapat, bahwa seandainya ia sendiri menjadi korban,
bukanlah merupakan soal yang memberati perasaannya, namun dengan suatu
keyakinan, bahwa keadaan akan dapat dikuasai oleh pasukannya.
Ternyata bahwa Swandaru-lah
yang berasa paling dekat dengan pintu bilik Ki Ranadana. Itulah sebabnya, maka
ia pun segera berusaha berbuat sesuatu untuk mengurangi tekanan yang semakin
lama menjadi semakin berat.
Tetapi Swandaru tidak segera
berhasil. Beberapa orang berusaha menahannya dan memisahkannya dari Ki
Ranadana.
Dalam pada itu, di luar rumah,
para penyerang telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit. Mereka yang
menyerang para prajurit yang tampaknya tidak begitu banyak di gardu peronda,
menjadi berdebar-debar melihat para prajurit Pajang yang berloncatan dari dalam
gelap. Karena itulah, maka setiap orang yang ada langsung terlibat dalam
perkelahian. Kelompok yang harus mengawasi perkembangan keadaan di halaman itu
sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk tetap berada di tempatnya. Mereka
pun langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang seru.
Tetapi para prajurit Pajang
sama sekali tidak membunyikan tanda apa pun seperti yang sudah dipesankan
kepada mereka. Jika keadaan tidak memaksa, maka mereka harus menyelesaikan tugas
itu tanpa mengganggu ketenteraman Jati Anom. Mereka tidak boleh menimbulkan
kesan bahwa ada sekelompok orang yang mampu menerobos masuk ke dalam lingkungan
prajurit Pajang, dan lebih daripada itu, ketenangan hari-hari perkawinan Untara
tidak boleh terganggu.
Namun kesiagaan yang cermat
telah menempatkan para prajurit Pajang itu dalam kedudukan yang baik. Apalagi
ketika para prajurit yang ada di halaman belakang pun telah ikut melibatkan
diri pula menyerang orang-orang yang bertugas mengawasi keadaan di bagian
belakang.
Karena jumlah mereka tidak
banyak, maka mereka pun segera bergeser ke halaman depan, bergabung dengan
kawan-kawannya yang sedang bertempur pula.
Dengan demikian maka
perkelahian,yang terjadi di halaman rumah Untara itu menjadi semakin seru.
Samar-samar oleh cahaya lampu minyak di gardu, orang-orang yang bertempur itu
berusaha membedakan, yang manakah kawan dan manakah lawan. Namun prajurit
Pajang ternyata telah memakai cirri-ciri keprajuritan mereka masing-masing,
sehingga di antara mereka dengan mudah dapat saling mengenal.
Karena prajurit-prajurit
Pajang yang bertempur di halaman itu adalah prajurit-prajurit pilihan, serta
jumlah mereka pun memadai, maka mereka segera menguasai keadaan. Namun ternyata
lawan-lawan mereka pun adalah orang-orang terpilih pula, sehingga
prajurit-prajurit Pajang itu harus mengerahkan segenap kemampuan mereka, secara
pribadi dan secara bersama-sama untuk mendesak lawan mereka. Tetapi orang-orang
itu sejauh mungkin tidak sampai merembes ke luar, halaman, agar ketenangan Jati
Anom tidak terganggu.
Di luar regol depan, dua orang
prajurit pengawas dari Pajang menyaksikan perkelahian yang bergolak dihalaman.
Setelah mereka yakin, bahwa tidak akan ada lagi orang-orang yang bakal dating,
maka mereka pun segera ikut pula di dalam perkelahian itu.
Namun dalam pada itu. Keadaan
Ki Ranadana ternyata menjadi semakin sulit karena jumlah lawannya yang kuat.
Bagaimanapun juga ia berusaha,
namun ternyata bahwa ia perlahan-lahan terdesak juga, sehingga sedikit demi
sedikit ia bergeser masuk ke dalam bilik.
“Jika aku terdorong masuk,”
berkata Ki Ranadana, “maka aku tidak akan dapat menyaksikan akhir dari
perkelahian ini meskipun aku yakin, bahwa prajurit Pajang akan menguasai
keadaan.”
Dalam pada itu, Swandaru yang
berada dekat dengan pintu bilik itu masih belum dapat berbuat sesuatu untuk
membantu Ki Ranadana, sehingga karena itu, maka ia pun berusaha sekuat-kuat
tenaganya untuk memecahkan kepungan atas dirinya sendiri. Namun demikian usaha
itn bukannya usaha yang mudah.
Ternyata Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar pun melihat kesulitan Ki Ranadana. Karena itu, hampir bersamaan
mereka berusaha untuk menolongnya.
Sumangkar yang masih belum
mempergunakan segenap kemampuannya tiba-tiba memutar trisulanya semakin cepat.
Kini ia tidak memperhitungkan lagi korban yang bakal jatuh. Baginya,
orang-orang itu tidak akan banyak dapat memberikan keterangan, sehingga apabila
terpaksa ujung trisulanya menimbulkan kematian, maka itu adalah sesuatu hal
yang tidak dapat dihindarinya.
Karena itu, sejenak kemudian
terdengar salah seorang dari lawan-lawannya mengeluh tertahan. Namun hampir
bersamaan di lingkaran perkelahian yang lain seseorang menjerit kesakitan,
ketika ujung cambuk Kiai Gringsing mengenai pelipisnya. Sekilas warna merah
seakan-akan menyala di wajah itu, kemudian darah yang merah mengalir memenuhi
kepalanya.
Dua orang sekaligus telah
terluka. Yang seorang di kepalanya, sedang yang lain, trisula Ki Sumangkar
langsung mematuk dada.
Ternyata hal itu sangat
berpengaruh. Orang-orang yang mendesak Ki Ranadana pun menjadi ragu-ragu.
Tetapi di antara mereka adalah pemimpin kelompok itu sendiri, sehingga ia pun
segera menguasai keadaan, dan memimpin kawan-kawannya untuk mendesak lawannya
kembali.
Meskipun demikian, hati
pemimpin penyerang itu sudah dihinggapi oleh keragu-raguan. Siapa sajakah yang
berada di dalam rumah ini, sehingga kawan-kawannya sama sekali tidak segera
berhasil membunuh mereka. Bahkan dua orang kawannya telah terluka parah.
Ketika kemudian sebuah
hentakan mendesak Ki Ranadana, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk
bertahan di depan pintu. Ternyata pemimpin kelompok penyerang itu berhasil
meloncat masuk untuk menyerang Ki Ranadana dari arah lain. Namun dengan
demikian Ki Ranadana tidak tetap berdiri saja di pintu. Ia pun segera meloncat
masuk dan mundur mendekati dinding agar ia dapat melawan tanpa mendapat
serangan dari belakang.
Empat orang termasuk pemimpin
gerombolan penyerang itu menyusulnya. Pedang mereka telah teracu lurus ke dada
Ki Ranadana, sehingga hampir tidak ada kesempatan baginya untuk menghindarkan
diri dari bencana. Apalagi ketika dilihatnya dua orang lawannya tetap berdiri
di pintu untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang dapat membantunya.
Meskipun demikian Ki Ranadana
tidak menyerah begitu saja. Ia tahu, salah seorang dari keempat lawannya itu
adalah orang yang pilih tanding. Karena itu, maka perlawanannya dipusatkan
kepadanya.
Namun hatinya berdebar-debar
ketika ia mendengar orang itu berkata, “Aku akan membunuhnya. Bantulah
kawan-kawanmu yang lain. Aku menunggu kesempatan untuk berkelahi dengan leluasa
seperti ini. Di dalam perkelahian yang kisruh aku justru merasa terganggu.
Sekarang aku mendapat kesempatan untuk mengetahui dengan pasti, betapa tinggi
ilmu seorang perwira Pajang.”
Hati Ranadana menjadi
berdebar-debar. Apalagi ketika ketiga orang yang lain benar-benar menarik
dirinya dari perkelahian itu.
“Jaga pintu itu,” berkata
pemimpin gerombolan itu, “jangan seorang pun boleh masuk. Setelah orang ini
mati, biarlah aku menyelesaikan yang lain. Jaga mereka agar mereka tidak sempat
lari.”
Ketiganya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Seorang dari mereka langsung pergi ke pintu, sedang yang dua orang
lainnya masih termangu-mangu.
Sejenak kemudian perkelahian
seorang lawan seorang telah terjadi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh
pemimpin gerombolan itu, rasa-rasanya ia kini mendapat kesempatan lebih banyak,
sehingga dengan demikian, meskipun ia hanya seorang diri, maka perwira itu pun
tidak dapat mengimbanginya. Selangkah demi selangkah ia terdesak. Apalagi
tenaganya yang telah diperas di depan pintu itu pun telah menjadi semakin
susut.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun menjadi cemas karena Ki Ranadana terdesak. Tetapi ia tidak dapat
meninggalkan lingkaran perkelahiannya. Ternyata seorang lawannya adalah orang
yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ditambah lagi dengan dua orang yang
membantunya. Orang itu adalah orang yang langsung diperbantukan dari pemimpin
gerombolan yang lebih tinggi lagi tingkatnya.
Tetapi ternyata yang
dihadapinya kini adalah Kiai Gringsing. Karena itu, maka orang yang telah
mendapat kepercayaan itu menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah mendengar
tentang orang-orang bercambuk. Tetapi kini ia harus menghadapinya sendiri.
“Orang ini telah membunuh Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak,” berkata orang itu di dalam hatinya. Dengan
demikian ia dapat menilai, betapa tinggi ilmu orang bercambuk itu.
“Tetapi aku tidak sebodoh Kiai
Telapak Jalak,” berkata orang itu di dalam hatinya pula, “aku harus dapat
mengumpankan cucurut-cucurut bodoh ini, sementara aku mengambil keuntungan dan
kemudian membinasakan.”
Ternyata berbeda dengan
pemimpin gerombolan penyerang itu sendiri, yang ingin membinasakan Ranadana
dengan tangannya dan kemampuannya sebagai suatu kebanggaan bahwa ternyata perwira
Pajang tidak lebih daripada dirinya sendiri, maka orang yang sedang bertempur
dengan Kiai Gringsing itu mempunyai caranya sendiri. Meskipun ia memiliki
kemampuan melampaui kawan-kawannya namun ia sama sekali tidak berusaha
melindungi mereka. Bahkan dibiarkannya kawan-kawannya menyerang dan memancing
perhatian Kiai Gringsing sementara ia berusaha menyerang dengan diam-diam. Ia
sama sekali tidak menghiraukan jika ada satu dua orang kawannya yang tersentuh
senjata lawan atau bahkan terbunuh sekalipun.
Namun bahwa kesempatan itu
masih juga belum terbuka baginya membuatnya semakin marah. Bukan saja kepada
Kiai Gringsing tetapi kepada kawan-kawannya sendiri yang tidak mampu menarik
perhatian lawannya sebanyak-banyaknya sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk
menikam lawannya dengan kecepatan yang dimilikinya.
“Hmm. Orang bercambuk ini
memang gila,” ia menggeram. Namun ketika ia sadar, bahwa masih ada beberapa
orang lain yang harus diselesaikan, maka ia pun bertempur semakin sengit pula.
“Jangan berkelahi seperti
pengecut,” ia menggeram, “aku dikirim untuk membantu kalian, untuk
menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh Sutawijaya kepada kita. Karena itu,
jangan bertempur seperti seorang gadis yang sedang menerima lamaran.”
Mendengar sindiran itu, kawan-kawannya
menjadi berdebar-debar. Tetapi usaha orang itu berhasil karena kawan-kawannya
bertempur semakin gigih dan kadang-kadang benar-benar berhasil menarik
perhatian Kiai Gringsing sepenuhnya.
Namun dengan demikian, Kiai
Gringsing menyadari betapa liciknya lawannya yang seorang ini. Meskipun
kemampuannya jauh lebih besar dari kawan-kawannya, namun ia justru berlindung
kepada mereka dan kemudian jika ia berhasil, maka dirinyalah yang akan mendapat
pujian, seakan-akan ialah yang telah mampu menyelesaikan tugas itu.
Karena itu, kemarahan Kiai
Gringsing justru ditujukan kepada orang itu, sehingga ada yang telah
dilupakannya. Jika ia dapat menangkap orang itu hidup-hidup, maka ia akan
mendapat penjelasan lebih banyak tentang orang itu dan gerombolannya, bahkan
pemimpin-pemimpin yang lebih tinggi.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
mengerti susunan dan tingkatan dari lawannya. Yang ia ketahui, lawannya yang
seorang ini sangat licik dan pengecut meskipun dengan demikian ia justru
menjadi sangat berbahaya.
Sejenak kemudian, maka
serangan-serangan Kiai Gringsing telah dipusatkan kepada orarg yang licik itu.
Betapapun ia berusaha berlindung di punggung kawan-kawannya, namun ujung cambuk
Kiai Gringsing seakan-akan selalu mengejarnya.
Tetapi orang itu masih juga
sempat berteriak, “Ayo, jangan lari. Aku ada di antara kalian.”
Namun bagaimanapun juga,
serangan-serangan Kiai Gringsing tidak juga dapat dihindarinya. Sekali-sekali
ujung cambuk orang tua itu telah menyentuhnya, dan membuat jalur yang pedih
dikulitnya.
Akhirnya orang itu pun
menyadari keadaannya. Ternyata lawannya memusatkan serangan-serangannya
kepadanya. Karena itu, maka ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia harus
bertempur sebaik-baiknya.
“Tetapi orang bercambuk ini
benar-benar gila,” katanya di dalam hati. “Kenapa ia berada juga di tempat ini?
Jika yang ada di dalam rumah ini benar-benar empat atau lima orang perwira
prajurit Pajang, maka aku kira tugas akan cepat selesai.”
Dalam pada itu ia sempat juga
bertanya-tanya tentang pemimpin gerombolannya. Ia mengetahui bahwa pemimpinnya
itu sedang mengejar seorang perwira yang terdesak ke dalam bilik. Tetapi sampai
berapa lamanya ia masih belum dapat menyelesaikannya pula.
Dalam pada itu, perkelahian di
dalam ruangan itu pun menjadi semakin sengit. Lawan-lawan yang tidak terduga
ternyata telah dijumpai oleh gerombolan penyerang itu. Yang kemudian menjadi
paling parah adalah sekelompok orang yang bertempur melawan Sumangkar. Sejenak
kemudian maka seorang demi seorang telah dijatuhkannya. Mati atau terluka
berat. Sumangkar memang ingin segera menyelesaikan tugasnya untuk dapat
menolong Ki Ranadana yang agaknya terdesak.
Swandaru, yang bertempur
dengan segenap kemampuannya, tidak dapat berbuat secepat Sumangkar. Menghadapi
beberapa orang sekaligus, Swandaru masih harus berjuang sekuat-kuatnya, sekedar
untuk bertahan. Namun ia masih mendapatkan kesulitan untuk memecahkan kepungan
dan membantu Ki Ranadana.
Sejenak kemudian dada Swandaru
berdesir ketika ia tidak melihat lagi Agung Sedayu bertempur di tempatnya. Ia
tidak melihat ke mana saudara seperguruannya itu pergi. Yang paling mungkin
adalah bahwa Agung Sedayu telah digiring oleh lawan-awannya seperti Ki Ranadana
masuk ke dalam bilik yang lain, karena Agung Sedayu berdiri tidak begitu jauh
dari pintu bilik itu.
Ketika Swandaru sempat melihat
perkelahian antara gurunya dengan lawannya maka dadanya menjadi berdebar-debar.
Ia dapat melihat, bahwa seorang dari lawan-lawan gurunya adalah seorang yang
berilmu tinggi.
Dengan demikian, maka Swandaru
pun menjadi semakin garang. Cambuknya menjadi semakin cepat berputar dan
menggelegar seperti patuk seekor burung sikatan.
Sementara itu, lawan Ki
Sumangkar seorang demi seorang telah berjatuhan. Namun setiap kali orang baru
telah menyerangnya pula. Bahkan orang-orang yang semula berkelahi melawan Ki
Ranadana di dalam bilik itu pun telah membantu kawan-kawannya mengepung Ki
Sumangkar yang bersenjata trisula itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu
benar-benar telah masuk ke dalam bilik di sebelah. Tetapi ia tidak mempunyai
lawan seberat Ki Ranadana. Bahkan sebagian lawannya yang lain telah melepaskan
dirinya dan membantu bertempur melawan Sumangkar.
Ternyata bahwa sejenak
kemudian ketika cambuknya meledak, seorang dari lawannya telah meloncat surut
sambil menyeringai. Kemudian disusul oleh ledakan-ledakan yang kedua dan yang
ketiga.
Ledakan-ledakan itu telah
memberitahukan kepada Swandaru bahwa Agung Sedayu memang berada di dalam bilik
itu. Tetapi Swandaru tidak dapat membayangkan, apa yang telah terjadi atas
kakak seperguruannya itu.
Demikianlah maka akhirnya
Agung Sedayu berhasil melumpuhkan lawan-lawannya, karena sebagian yang lain
telah bertempur melawan Sumangkar, namun yang seorang demi seorang terlempar
dari gelanggang.
Pada saat yang gawat itulah
Agung Sedayu mencoba melihat bilik yang lain yang dibatasi dengan dinding
bambu. Sambil mematahkan satu dua anyaman ia melihat bahwa keadaan Ki Ranadana
benar-benar gawat. Kini ia sudah terjepit di sudut bilik. Sejenak kemudian maka
lawannya pasti akan dapat membinasakannya.
“Inikah nilai dari
perwira-perwira Pajang?” berkata pemimpin penyerang itu. “Pada saatnya, Mataram
pasti akan segera menguasai. Mataram mempunyai pasukan yang jauh lebih kuat.
Baik jumlahnya maupun kemampuan seorang demi seorang. Kami sedang membujuk
Mangir untuk ikut bersama kami dan juga Menoreh. Nah, sampailah saatnya Pajang
akan runtuh.”
“Persetan,” Ki Ranadana
menggeram, “kau jangan mengigau. Pajang akan tetap tegak. Dan kau sama sekali
bukan orang Mataram.”
“He?” pemimpin penyerang itu
mengerutkan keningnya.
“Kau sama sekali tidak berasal
dari Mataram. Di sini ada seorang perwira dari Mataram yang akan menentukan,
apakah kau benar-benar seorang Mataram atau bukan.”
“Gila. Kau masih juga mengigau
di saat matimu.”
Ki Ranadana tidak menjawab.
Tetapi serangan lawannya menjadi semakin garang, sehingga akhirnya Ki Ranadana
benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Namun pada saat itulah,
tiba-tiba dinding yang menyekat antara kedua bilik di rumah itu pecah oleh
dorongan kekuatan yang besar. Seorang anak muda muncul dengan cambuk di tangan.
Anak muda itu adalah Agung Sedayu.
“Gila,” geram pemimpin
penyerang itu. Tetapi ketika cambuk Agung Sedayu meledak, ia terpaksa berusaha
menghindar. Ternyata bahwa Agung Sedayu memburunya terus, dengan ledakan-ledakan
yang dahsyat.
Namun lawannya adalah seorang
yang pilih tanding. Itulah sebabnya, sejenak kemudian ia berhasil menguasai
dirinya dan dengan mantap melawan serangan-serangan Agung Sedayu.
“Licik,” ia berteriak.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki
Ranadana tidak menjawab. Keduanya segera menempatkan diri untuk melawan
pemimpin penyerang itu.
“Sisihkan anak muda ini,”
teriak pemimpin penyerang itu kepada orang yang berdiri di muka pintu.
Tetapi orang yang berdiri di
muka pintu itu sudah tidak mampu berbuat apa-apa, karena ujung trisula Ki
Sumangkar telah menyentuhnya.
Demikianlah lambat laun, para
penyerang itu pun menjadi semakin berkurang. Seorang demi seorang mereka telah
terbunuh. Jika bukan, oleh Ki Sumangkar, maka cambuk Kiai Gringsing-lah yang
telah melemparkan lawannya.
Namun orang yang berilmu
tinggi, yang bersama-sama dengan beberapa orang berkelahi melawan Kiai
Gringsing itu pun masih juga berusaha untuk menang. Namun agaknya kesempatannya
semakin lama menjadi semakin tipis.
Dalam pada itu, di halaman
keadaan para penyerang itu menjadi lebih parah. Prajurit-prajurit Pajang
mendesaknya ke satu sudut di halaman sehingga mereka hampir tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu.
“Tentu ada pengkhianatnya di
antara kita,” geram salah seorang dari para penyerang itu.
Namun mereka tidak sempat lagi
mencari, siapakah pengkhianatnya yang ada di antara mereka itu.
Sementara itu, dua orang
utusan yang berpacu dari Pengging sama sekali tidak sempat mencegah
kawan-kawannya. Dari kejauhan mereka mendengar hiruk pikuk pertempuran. Namun
mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Dan mereka pun tidak berani terjun langsung
ke dalam pertempuran itu jika keduanya tidak ingin binasa pula.
Perkelahian itu pun semakin
lama menjadi semakin jelas akan segera sampai ke akhirnya. Kiai Gringsing sudah
berhasil mengurangi lawannya seorang demi seorang, sehingga akhirnya, Kiai
Gringsing harus berhadapan dengan dua orang saja. Yang seorang justru orang
yang paling licik yang pernah dijumpainya.
Demikianlah dalam keadaan terdesak,
maka ternyata orang yang licik itu sama sekali tidak bertanggung jawab lagi
terhadap apa yang terjadi. Ketika kawannya mencoba menyerang Kiai Gringsing
dari lambung, dan berhasil menarik perlawanan orang tua itu, maka tiba-tiba
saja ia meloncat berlari meninggalkan lawannya.
“Pengecut,” Kiai Gringsing
menggeram. Namun ia tidak melepaskannya Ditinggalkannya lawannya yang seorang
lagi dan dengan marahnya ia mengejar lawannya yang melarikan diri itu.
Ternyata bahwa lawannya
berhasil keluar dari pintu butulan dan turun ke longkangan samping. Namun ia
tidak dapat lari lebih jauh lagi. Tiba-tiba saja ia mendengar cambuk Kiai
Gringsing meledak, dan terasa segores luka yang pedih di lambungnya.
Dengan serta-merta ia memutar
diri. Dengan sekuat tenaga dilemparkannya sebuah pisau belati ke arah Kiai
Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsing sempat
melihat pisau belati yang meluncur itu, sehingga ia masih sempat
menghindarinya.
Sejenak kemudian maka orang
itu pun mencoba untuk sekali lagi melepaskan diri dari tangan Kiai Gringsing.
Bukan saja karena ia memang licik, tetapi ia sadar, bahwa jika ia tertangkap
hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas oleh orang-orang Pajang untuk
memberikan keterangan tentang para pemimpinnya yang sebagian memang berada di
Pajang.
Namun Kiai Gringsing yang
marah karena kelicikannya itu tidak membiarkannya meninggalkan halaman itu.
Ketika orang itu mencoba meloncati dinding batu, maka sekali lagi terdengar
cambuk Kiai Gringsing menggelepar dan membelit kakinya. Dengan suatu hentakan maka
orang itu pun terseret jatuh di hadapan Kiai Gringsing yang sedang marah.
Tetapi orang itu ternyata
tidak menyerah. Sekali lagi sebuah pisau belati meluncur cepat sekali.
Kali ini Kiai Gringsing tidak
menyangka, bahwa orang yang masih terbaring di tanah itu mampu melemparkan
pisau sekeras dan secepat itu, sehingga dengan demikian, maka Kiai Gringsing
menjadi agak lengah. Karena itu, maka usahanya untuk menghindari pisau itu
tidak sepenuhnya berhasil. Meskipun pisau itu tidak menghunjam di arah jantungnya,
namun pisau itu telah menyobek bahunya.
Kemarahan Kiai Gringsing
benar-benar tidak dapat dikendalikannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja
cambuknya meledak dua kali. Dua kali ledakan cambuk yang digerakkan oleh tenaga
Kiai Gringsing. Bukan saja karena kemarahannya melihat kelicikan lawannya,
tetapi juga karena pisau lawannya yang menyobek dan bahkan masih melekat di
bahunya.
Orang itu masih sempat
menggeliat sesaat. Sebuah luka yang mengerikan telah menganga di dadanya dan
hampir di lehernya. Ternyata bahwa orang itu tidak dapat menahan perasaan sakit
dan darah yang tidak habis-habisnya mengalir dari lukanya itu, sehingga sejenak
kemudian maka ia pun telah melepaskan napasnya yang terakhir.
Sejenak Kiai Gringsing
memandang mayat yang terbujur di tanah. Baru kemudian ia sadar, bahwa pisau
belati lawannya masih menancap di bahunya, sehingga dengan demikian maka
perlahan-lahan pisau itu ditariknya.
Demikian pisau itu terlepas,
maka darah pun seakan-akan telah menyembur dari luka itu.
Namun Kiai Gringsing adalah
seorang dukun yang baik. Sebelum ia sempat mengobati lukanya, maka dipetiknya
beberapa genggam daun metir. Setelah dikunyahnya, maka daun metir itu pun
segera dilekatkannya pada lukanya, sehingga sejenak kemudian lukanya telah
tidak mencucurkan darah terlalu banyak lagi.
Setelah sekali lagi mengawasi
lawannya, Kiai Gringsing pun kemudian melangkah kembali ke dalam. Di dalam,
beberapa orang masih berkelahi dengan gigihnya. Apalagi Ki Ranadana.
Tetapi ketika ia memasuki
rumah itu, dilihat Ki Sumangkar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Ia telah
berhasil memasuki bilik tempat Ki Ranadana dan Agung Sedayu bertempur melawan
pemimpin penyerang itu.
“Menyerah sajalah,” berkata
Sumangkar.
Tetapi orang itu menggelengkan
kepalanya sambil menggeram, “Kalian sajalah yang menyerah. Aku mengemban tugas
dari Raden Sutawijaya untuk membinasakan kalian. Karena itulah maka kalian
harus binasa.”
“Apakah dalam keadaan seperti
ini kau masih merasa mampu untuk membinasakan kami?” bertanya Sumangkar.
“Kenapa tidak. Kau semuanya
harus mati. Semua perwira Pajang di Jati Anom harus mati.”
“Ki Sanak,” berkata Sumangkar,
“sebaiknya kau menyadari keadaanmu. Di luar, orang-orangmu telah terkepung oleh
prajurit Pajang. Tidak seorang pun dari kalian yang akan berhasil lolos dari
halaman rumah ini, karena sebenarnyalah kalian telah terjebak. Kami telah
mengetahui rencana kalian, bahwa kalian akan membunuh para perwira yang ada di
Jati Anom dan mengatasnamakan diri kalian sebagai petugas dari Raden
Sutawijaya. Tetapi kalian keliru.”
“Persetan,” geram pemimpin
penyerang itu. Tiba-tiba saja ia telah menyerang Ranadana dengan garangnya.
Hampir tidak dapat dicegah lagi, ujung senjatanya telah siap menembus dada
perwira yang sedang lengah itu.
Agung Sedayu yang berdiri di
samping Ki Ranadana segera meloncat ke samping sambil meledakkan cambuknya ke
arah hulu pedang pemimpin penyerang itu dengan hentakan sendal pancing.
Maksudnya agar ujung pedang orang itu bergeser dari dada Ki Ranadana.
Sementara itu Ki Ranadana
sendiri terkejut bukan kepalang. Karena itu yang dapat dilakukannya hanyalah
sekedar menangkis serangan itu dengan pedangnya.
Tetapi untunglah bahwa usaha
Agung Sedayu berhasil, sehingga hentakan cambuknaa telah menarik serangan orang
itu ke samping, sehingga sama sekali tidak mengenai sasarannya. Namun ternyata
yang lebih parah dari itu, adalah tindakan Sumangkar yang terkejut. Hampir di
luar sadarnya, tangannya telah bergerak dan ujung trisulanya telah meluncur dan
menghunjam ke lambung orang yang sedang menyerang Ki Ranadana. Akibat dari
serangan Sumangkar itu ternyata tidak dapat dihindarkan lagi dari sentuhan
maut.
“Ki Sanak,” berkata Sumangkar
yang kemudian berjongkok di samping orang itu, “aku tidak sengaja membunuhmu.
Tetapi barangkali seorang kawanku akan dapat mengobati luka-lukamu.”
“Persetan,” orang itu
menggeram sambil meyeringai menahan sakit.
Sumangkar masih melihat wajah
orang itu menegang menahan sakit. Namun agaknya lukanya benar-benar telah
parah, sehingga kemungkinan untuk mengobatinya pun tidak ada sama sekali.
Dengan demikian Sumangkar,
Agung Sedayu, dan Ki Ranadana tanpa dapat berbuat apa-apa menyaksikan perlahan
orang itu dijemput oleh maut. Ketika ia membuka matanya sekali lagi,
dipandanginya Sumangkar sejenak. Masih tampak keheranan membayang di sorot mata
yang sudah redup itu. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa di rumah itu, di rumah
yang didiami para perwira Pajang, ada seseorang tua yang memiliki senjata yang
mengerikan itu.
Pada saat itulah Kiai
Gringsing masuk ke dalam rumah itu lewat pintu butulan. Ia masih melihat
Swandaru bertempur sejenak. Namun ketika ia melangkah masuk pintu butulan itu,
beberapa orang yang berkelahi melawan Swandaru itu pun berloncatan mundur.
“Kami menyerah,” berkata salah
seorang dari mereka.
Kiai Gringsing memandang
mereka sejenak. Kemudian ia pun memberi isyarat kepada Swandaru agar
orang-orang yang menyerah itu diberi kesempatan untuk hidup.
“Siapa pemimpinmu,” bertanya
Kiai Gringsing kepada salah seorang dari mereka.
Orang itu menunjuk sesosok
mayat yang terbaring di dalam bilik itu.
Kiai Gringsing pun kemudian
berdiri di muka pintu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika demikian ada
dua orang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Karena itu, maka ia pun
bertanya pula, “Siapakah yang mencoba melarikan diri itu?”
“Seseorang yang langsung
dikirim oleh pemimpin kami di Mataram.”
“Jangan sebut Mataram,” bentak
Swandaru, “kau kira kami tidak mengetahui bahwa kalian bukan orang-orang
Mataram.”
“Kami orang-orang Mataram.”
“Coba ulangi,” sekali lagi Swandaru
membentak sambil mengangkat cambuknya.
Orang itu menjadi pucat, lalu
katanya tergagap, “Tetapi, tetapi kami mendapat perintah untuk mengaku orang
Mataram.”
“Nah, jika demikian masih
mungkin. Kalian memang mendapat perintah demikian,” sahut Kiai Gringsing, lalu,
“siapa orang yang mencoba melarikan diri itu?”
“Ia adalah seseorang yang
diperbantukan kepada kami oleh pimpinan kami yang lebih tinggi lagi, yang, yang
sepengetahuan kami memang berada di Mataram dan Pajang.”
“Jika demikian orang itu termasuk
orang yang penting.”
Orang itu menganggukkan
kepalanya.
Barulah Kiai Gringsing sadar,
bahwa ia telah terseret oleh gejolak perasaannya, justru karena orang itu telah
melukainya, selain orang itu memang orang yang licik.
Dalam pada itu pemimpin penyerang
itu pun telah terbunuh pula, sehingga sulitlah bagi Kiai Gringsing untuk
menyelusur orang-orang yang telah menggerakkan mereka.
Namun demikian ia berkata
kepada orang-orang itu, “Kalian tawanan prajurit Pajang. Ki Ranadana akan
mengurus kalian.”