Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 091

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 091
Buku 091
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka nampaklah berapa tanda bahwa prajurit Pajang akan dapat menguasai keadaan. Kiai Kalasa Sawit yang bertempur melawan Ki Sumangkar, ternyata sama sekali tidak dapat berbuat lain, kecuali memusatkan perhatiannya kepada lawannya itu.

Sementara itu, Kiai Jalawaja dan seorang pengawalnya telah terkurung di dalam lingkaran gelar Cakra Byuha, dan harus menghadapi lawan orang bercambuk yang tidak diduganya sama sekali. Ketika ia memasuki lingkaran gelar itu bersama sekelompok anak buahnya, dan yang kemudian dinding gelar itu terkatup kembali, ia sudah menduga bahwa dengan sengaja prajurit Pajang telah menjebaknya. Tetapi, saat itu ia merasa bahwa ia tidak akan dapat dihalang-halangi oleh siapa pun. Bahkan ia menyangka, bahwa ia akan dapat memecahkan gelar itu dari dalam, sementara prajurit Pajang harus bertempur melawan serangan dari luar gelar.

Tetapi ternyata ia salah hitung. Di dalam gelar itu ia menemukan lawan yang tidak dapat dikalahkannya.

Dalam pada itu, pengawal-pengawal Kiai Jalawaja yang berpencaran pun telah mendapat perlawanan yang kuat dari pemimpin-pemimpin kelompok kecil di lereng Gunung Merapi yang sudah bergabung itu. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha untuk mempertahankan diri, selagi prajurit Pajang memberikan kelonggaran kepada mereka untuk bernafas.

Dalam kekisruhan yang terjadi di dalam peperangan, orang-orang lereng Gunung Merapi itu tidak dapat segera menilai pertempuran antara orang-orang Tambak Wedi dengan prajurit-prajurit Pajang yang bergerak dalam gelar. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi cemas menyaksikan serangan yang datang dari segala penjuru, di segala bagian dari dinding gelar yang melingkar itu.


Kiai Kalasa Sawit, yang memimpin pasukannya menjadi marah bukan kepalang. Ternyata bahwa prajurit Pajang benar-benar kuat melawan pasukannya, yang sudah diperkuat oleh pasukan Kiai Jalawaja. Mereka menduga, bahwa prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom yang jumlahnya tidak begitu banyak, ditambah dengan kelompok-kelompok pencuri ayam di lereng Gunung Merapi itu, akan dengan mudah dapat dihancurkan. Apalagi dengan kehadiran Kiai Jalawaja.

Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan dugaannya itu.

“Jika aku tidak bertemu dengan iblis dari Jipang ini, aku tentu sudah berhasil membunuh Untara dan mencerai-beraikan pasukannya,” berkata Kiai Kalasa Sawit kepada diri sendiri. “Tetapi agaknya iblis ini muncul dengan tiba-tiba.”

Selain iblis yang harus dihadapinya, agaknya Kiai Kalasa Sawit pun pernah mendengar sesuatu tentang orang bercambuk yang pernah menjelajahi daerah selatan. Dan tiba-tiba saja suara cambuk itu pun telah didengarnya di tengah-tengah gelar prajurit Pajang. Dengan demikian ia sadar, bahwa Kiai Jalawaja pun harus berhadapan dengan orang yang akan dapat menghambat gerakannya.

Beberapa bagian yang semula mendapat tekanan yang kuat dari pasukan Tambak Wedi perlahan-lahan dapat mengatasinya, sehingga kemudian gelar itu pun dapat mengembang merata. Pasukan Tambak Wedi yang semula diperkuat dibeberapa bagian, harus menebar mengisi beberapa kekosongan, karena jatuhnya korban di seluruh arena. Apalagi setelah Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja terlibat melawan orang-orang terkuat yang tidak dapat diatasinya.

Yang segera berhasil menguasai lawannya adalah Ki Waskita. Pengawal Kiai Jalawaja yang melawannya, tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan Ki Waskita, sehingga karena itu maka ia pun segera terdesak surut. Semakin lama semakin terpisah dari Kiai Jalawaja yang harus bertempur melawan Kiai Gringsing. Apalagi setelah prajurit-prajurit Pajang yang ada di dalam gelar itu berhasil menguasai semua orang Tambak Wedi yang menyusup bersama Kiai Jalawaja. Beberapa prajurit yang memang menyusulnya di saat-saat mereka menerobos masuk, dibantu oleh beberapa orang prajurit yang bertugas mengawasi keadaan di dalam medan, akhirnya dapat memadamkan perlawanan orang-orang Tambak Wedi seluruhnya di dalam gelar itu.

Yang tinggal kemudian adalah Kiai Jalawaja dan seorang pengawalnya, yang harus bertempur melawan Ki Waskita. Dengan kemarahan yang melonjak-lonjak, mereka menyaksikan seorang demi seorang pasukannya dilumpuhkan. Beberapa orang terbunuh dan terluka, sedang yang lain menyerah kepada kenyataan yang dihadapinya.

Betapa kemarahan menghentak-hentak dada Kiai Jalawaja. Dengan lantang ia berteriak, “He orang-orang gila dan pengecut. Itukah yang dapat kalian lakukan? Aku menghormati mereka yang mati dan tidak mampu lagi mengangkat senjatanya. Tetapi adalah pengecut yang paling licik, jika ada di antara kalian yang meletakkan senjata sebelum kulitmu menitikkan darah.”

Tetapi beberapa orang yang sudah duduk di tanah, ditunggui oleh ujung tombak di punggungnya, sama sekali tidak mampu berbuat apa pun juga. Mereka pun harus membiarkan tangan dan kaki mereka kemudian diikat dengan janget, karena para prajurit Pajang harus melanjutkan pertempuran.

Kemarahan yang memuncak, telah membuat Kiai Jalawaja mengamuk seperti harimau kelaparan. Namun tidak banyak yang dapat dilakukan, karena ia berhadapan dengan Kiai Gringsing, sedang pengawalnya pun benar-benar telah dikuasai oleh Ki Waskita.

“Menyerahlah,” berkata Ki Waskita.

“Persetan!” geram pengawal itu, yang mencoba melawan sejauh dapat dilakukan. Tetapi kemampuan Ki Waskita benar-benar tidak dapat dilawannya.

Namun demikian, sama sekali tidak terbersit ingatan pada pengawal itu untuk menyerah. Apalagi menyerah dan menjadi seorang tawanan prajurit Pajang.

Karena itulah, maka ia pun masih saja melawan terus, betapapun ia terdesak.

Ki Waskita termangu-mangu menghadapi pengawal itu. Ia sebenarnya dapat dengan segera membinasakannya. Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Sepercik keragu-raguan telah merayap di hatinya.

Sekali-sekali timbul niatnya untuk membuat lawannya menjadi bingung dan kehilangan akal dengan bentuk-bentuk semu. Bahkan ia mulai mempertimbangkan, apakah dengan demikian ia akan dapat mengurangi korban jiwa di kedua belah pihak.

Namun ia meragukan hasilnya, karena prajurit-prajurit Pajang sendiri tentu akan menjadi bingung dan bahkan mungkin mereka tidak dapat berbuat lebih banyak lagi daripada termangu-mangu dan keheranan.

Karena itulah, maka niatnya itu pun diurungkannya. Dibiarkannya pertempuran itu berlangsung dengan wajar. Apalagi ketika ia mulai dapat melihat kemajuan prajurit-prajurit Pajang.

Sementara itu, pengawal Kiai Jalawaja masih saja melawan dengan segenap tenaganya, meskipun ia harus berloncatan surut. Bahkan kadang-kadang surut beberapa langkah dengan wajah tegang dan kebingungan.

Tetapi adalah di luar dugaan siapa pun juga, bahwa prajurit Pajang yang telah kehilangan lawan, dan yang masih berada di dalam lingkungan gelar itu, tidak membiarkan seorang pun lawan yang tetap memberikan perlawanan. Itulah sebabnya, maka karena pengawal itu ternyata tidak mau menyerah, prajurit-prajurit Pajang tidak sabar lagi membiarkannya berkeliaran di dalam gelar. Mereka tidak mempunyai pertimbangan yang pelik seperti Ki Waskita, sehingga karena itu, ketika pengawal itu sedang bersusah payah menghindari serangan Ki Waskita, tiba-tiba saja dua orang prajurit Pajang, yang sudah kehilangan kesabaran, menyerang bersama-sama. Dua buah tusukan pedang tidak dapat dielakkannya, sehingga sesaat terdengar keluhan yang tertahan. Namun ketika dua buah pedang itu ditarik hampir bersamaan dari hunjaman yang dalam di tubuh pengawal Kiai Jalawaja itu, maka orang itu pun terhuyung-huyung sejenak, kemudian jatuh tertelungkup di tanah.

“Ki Sanak,” Ki Waskita mencoba mencegah, ketika ia melihat dua serangan berbareng itu. Tetapi ia tidak berhasil menghentikan serangan itu, sehingga ia pun kemudian hanya dapat melihat mayat itu terbaring di tanah, di antara beberapa sosok mayat yang lain.

Kiai Jalawaja yang melihat pengawalnya itu terbunuh, berteriak nyaring. Kemarahannya benar-benar serasa meledakkan kepalanya, sehingga ia pun telah kehilangan segala pertimbangan.

Karena itu, maka tandangnya pun menjadi semakin kasar dan bahkan seperti seekor binatang buas yang sedang memburu mangsanya.

Kiai Gringsing menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbicara dengan orang yang sedang kehilangan akal itu. Dan ia pun menyadari, bahwa tidak mungkin untuk dapat menangkap Kiai Jalawaja dalam keadaan hidup. Namun seperti Ki Waskita, maka membunuh lawannya diperlukan pertimbangan yang semasak-masaknya.

Sementara itu, Kiai Jalawaja telah benar-benar mengamuk. Senjatanya terayun-ayun mengerikan sekali. Dengan sepenuh kemampuan yang ada, ia menyerang Kiai Gringsing seperti prahara.

Tetapi, setiap kali Kiai Gringsing masih mampu melindungi dirinya dengan putaran cambuknya. Bahkan sekali-sekali meledak menyerang lawannya.

Dalam keadaan yang paling gawat, ternyata Kiai Jalawaja tidak lagi menghiraukan patukan ujung cambuk lawannya. Kulitnya seolah-olah menjadi kebal dan tidak dapat disentuh oleh perasaan sakit. Betapa Kiai Gringsing menyengat tubuhnya dengan ujung cambuknya yang berkarah baja, namun Kiai Jalawaja menyerangnya bagaikan taufan.

Sekilas teringat oleh Kiai Gringsing, lawannya di ujung Tanah Perdikan Menoreh, di antara bukit-bukit kecil yang terpencil, seorang yang menyebut dirinya Panembahan Alit. Orang itu pun rasa-rasanya menjadi kebal dan tidak dapat dilukainya dengan senjatanya.

“Apakah Kiai Jalawaja juga seorang yang memiliki ilmu seperti Panembahan Alit, yang dapat membuat kulitnya menjadi kebal?” pertanyaan itu memang membersit di hati orang tua itu.

Sementara itu, Ki Waskita telah berdiri termangu-mangu memperhatikan pertempuran itu. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit, sehingga akhirnya sampailah mereka pada puncak ilmu dan puncak kemungkinan.

Prajurit-prajurit Pajang yang kurang dapat menilai keadaan, dan menganggap Kiai Jalawaja adalah orang yang hanya sekedar keras kepala seperti pengawalnya, mencoba menyerangnya pada saat orang itu meloncat selangkah surut.

Tetapi malang bagi prajurit itu. Belum lagi senjatanya menyentuh orang yang bernama Jalawaja itu, mereka telah terlempar dari tempatnya dengan luka yang membelah lambung.

Kiai Gringsing menggeram melihat korban yang berjatuhan itu. Apakah ia masih akan tetap membiarkannya mengambil korban-korban yang lain?

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit. Ledakan cambuk Kiai Gringsing menjadi semakin sering terdengar, dan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin keras.

Kiai Jalawaja yang agaknya sudah menyadari, bahwa ia tinggal seorang diri di dalam lingkungan dinding gelar, yang semakin lama menjadi semakin mengembang itu, justru membuatnya seperti gila. Serangannya menjadi semakin dahsyat dan tingkah lakunya seolah-olah sudah tidak lagi dikendalikan oleh kesadarannya, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang pilih tanding.

Yang nampak kemudian adalah sifat-sifatnya yang sewajarnya. Kasar dan bahkan liar.

Kiai Gringsing memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus menghentikan perlawanan Kiai Jalawaja. Hidup atau mati. Dan Kiai Gringsing pun menyadari, bahwa orang itu tidak boleh lepas dari tangannya, karena dengan demikian, ia akan menelan korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya. Mungkin di arena pertempuran ini, tetapi mungkin juga di saat-saat yang lain, jika ia mendapat kesempatan melakukannya.

Karena itulah, maka Kiai Gringsing pun telah melawannya dengan segenap kemampuannya pula. Seperti saat-saat ia bertempur melawan Panembahan Alit, maka ia telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan, sehingga ledakan cambuknya pun telah bernada lain. Kekuatan cadangan yang tersimpan di dalam dirinya, telah tersalur pula pada ujung cambuknya, sehingga karena itulah, maka ujung cambuk itu seolah-olah menjadi semakin dahsyat. Karah-karah baja yang terdapat pada juntai cambuknya, seolah-olah telah berubah menjadi ujung-ujung senjata yang paling tajam.

Dengan demikian, maka di dalam dinding gelar itu telah bertempur dua orang yang memiliki kemampuan raksasa. Masing-masing telah mengerahkan semua kekuatan yang ada pada mereka, sehingga prajurit-prajurit Pajang yang menyaksikan pertempuran itu pun telah bergeser menjauh. Mereka baru menyadari, bahwa arena yang khusus ini bukannya arena yang dapat dicampurinya. Bahkan sentuhan angin yang semiyut oleh gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu, terasa betapa kerasnya menampar tubuh-tubuh prajurit Pajang, yang seolah-olah telah membeku oleh pesona yang mencengkamnya.

Ki Waskita menyaksikan pertempuran itu sambil termangu-mangu. Ia menjadi ragu-ragu, apakah ia akan membiarkan Kiai Gringsing bertempur seorang diri. Meskipun menilik keadaannya, maka nampaknya Kiai Gringsing akan dapat menguasai keadaan. Tetapi jika Kiai Gringsing membuat sedikit kesalahan, maka ia akan terjerumus ke dalam kesulitan. Padahal Kiai Gringsing adalah manusia biasa, yang lemah, lengah, dan kadang-kadang dipengaruhi oleh keadaan di seputarnya. Karena itulah, maka segala kemungkinan masih akan dapat terjadi pada kedua orang yang sedang bertempur mati-matian itu.

Di tempat yang lain, di pusat gelar prajurit Pajang, ternyata telah terjadi pertempuran yang sedahsyat itu pula. Ki Sumangkar harus bertempur dengan sekuat tenaganya. Dengan puncak ilmunya yang dikagumi oleh setiap orang Jipang dan Pajang, sehingga kakak seperguruannya, Patih Mantahun pernah dianggap mempunyai nyawa rangkap. Tetapi karena usianya, yang mempengaruhi kemampuan jasmaniahnya, maka akhirnya Ki Patih Mantahun pun harus mengorbankan jiwanya. Dan ternyata, bahwa ia tidak mempunyai rangkapan nyawa yang dapat menghidupkannya kembali.

Tetapi Ki Sumangkar cukup menyadarinya, bahwa nyawa rangkap pada perguruannya adalah sekedar dongeng yang tidak berlandaskan pada kenyataan. Karena itu, ia pun cukup berhati-hati, karena jika nyawanya yang satu itu meninggalkan tubuhnya, maka ia tidak lebih adalah sesosok mayat yang harus dikuburkan.

Sementara itu, Ki Sumangkar pun mendengar bahwa nada cambuk Kiai Gringsing rasa-rasanya memekik semakin tinggi. Dengan demikian ia pun mengerti, bahwa Kiai Gringsing harus mengerahkan segenap ilmunya pula untuk melawan orang yang telah memasuki lingkungan dinding gelar Cakra Byuha itu.

Sementara itu, Untara telah berhasil menggerakkan pasukannya dalam gelar yang semakin berkembang, meskipun perlahan-lahan. Tetapi ia menjadi semakin yakin, bahwa ia akan dapat menguasai keadaan dan sekaligus menguasai arena. Sekali-sekali ia masih sempat melihat gerigi-gerigi gelarnya, yang mulai menghunjam masuk, ke lingkungan ruang gerak lawan yang mulai kehilangan pegangan, karena pemimpin-pemimpinnya terikat pada pertempuran yang sengit.

Yang masih tetap berdiri temangu-mangu adalah Ki Waskita. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus terjun ke dalam arena pertempuran. Meskipun Kiai Gringsing tidak sedang melakukan perang tanding, tetapi ia merasa segan pula untuk mengganggunya, jika ia tidak merasa yakin bahwa Kiai Gringsing menyetujuinya.

Dalam keragu-raguan itu Ki Waskita berdiri mematung di tempatnya. Tidak seperti prajurit-prajurit Pajang yang menghindar menjauhi arena, yang menjadi semakin mengerikan itu, Ki Waskita tetap mengikuti perkelahian itu pada jarak yang justru semakin dekat.

Meskipun demikian, Ki Waskita tidak menjadi lengah. Untuk menyatakan maksudnya, bahwa ia akan mempercepat penyelesaian pertempuran itu, sehingga perang keseluruhan pun akan semakin cepat berakhir, dan korban pun dapat dibatasi, maka Ki Waskita telah melepas ikat kepalanya dan membelitkannya di tangan kirinya.

Ternyata Kiai Gringsing pun sempat melihat dan mengerti maksudnya. Tetapi Kiai Gringsing tidak segera memberikan tanggapan apa pun juga.

Dalam pada itu, Kiai Jalawaja benar-benar telah mengamuk. Tidak ada orang lain yang berani berdiri dekat perkelahian itu selain Ki Waskita, yang ternyata telah menarik perhatiannya.

Menurut pertimbangan Kiai Jalawaja, ia tentu tidak akan segera dapat mengalahkan Kiai Gringsing, atau barangkali semalam penuh pertempuran itu tidak akan selesai. Karena itu, ia harus mendapatkan koban-korban baru yang lain sebanyak-banyaknya. Karena tidak ada prajurit Pajang yang mendekatinya, maka orang yang membelitkan ikat kepalanya di tangan kirinya itu adalah korban yang paling mungkin diambilnya.

Demikianlah, selagi perkelahian itu berlangsung dengan sengitnya. Kiai Jalawaja masih sempat bergeser sedikit demi sedikit mendekati Ki Waskita yang berdiri termangu-mangu.

Agaknya Ki Waskita dan bahkan Kiai Gringsing dapat menangkap maksud Kiai Jalawaja. Karena itulah, maka Ki Waskita pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sedang Kiai Gringsing agaknya sengaja tidak menghalang-halanginya.

Dengan demikian Ki Waskita dapat menduga, bahwa Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan jika ia membantu mempercepat penyelesaian.

Sejenak kemudian, yang ditunggu itu pun terjadilah. Namun ternyata bahwa setiap prajurit Pajang telah dicemaskan oleh sikap Ki Waskita yang seperti seseorang yang tidak mengetahui bahaya yang mengancamnya, berdiri termangu-mangu di pinggir arena yang mengerikan.

Bahkan seorang prajurit telah mencoba berteriak memanggilnya, “He, Kiai. Jangan berdiri saja di situ.”

Tetapi kawannya berbisik, “Ia telah memenangkan perkelahian melawan salah seorang dari orang-orang Tambak Wedi.”

“Tetapi bukan yang seorang ini. Agaknya ia adalah pemimpinnya. Sedangkan lawan yang mati itu pun bukan karena orang tua itu. Tetapi dua orang prajurit telah membantunya dan menusuk lawannya bersama-sama.”

Kawannya terdiam.

Namun mereka tidak sempat memberikan peringatan lagi kepada Ki Waskita. Ternyata Kiai Jalawaja benar-benar masih ingin membunuh lawan sebanyak-banyaknya sebelum pertempuran itu berakhir, karena akhir dari pertempuran itu sama sekali tidak dapat dibayangkannya.

Prajurit-prajurit Pajang yang berdiri termangu-mangu mengawasi arena di dalam gelar itu berdesir, melihat bayangan orang Tambak Wedi itu bagaikan angin meloncat menyerang Ki Waskita dengan dahsyatnya. Senjatanya terayun deras sekali, didorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali.

Tetapi Ki Waskita sudah siap menghadapinya. Ia sama sekali tidak berusaha menghindar. Tetapi dengan sepenuh kekuatannya pula, ia mengangkat tangan kirinya, menangkis serangan itu.

Dua kekuatan telah berbenturan. Prajurit-prajurit Pajang mengira bahwa Ki Waskita tidak sempat menghindar, sehingga mereka menyangka bahwa Ki Waskita akan lumat menjadi debu.

Tetapi yang terjadi ternyata tidak seperti yang mereka bayangkan. Senjata orang Tambak Wedi yang memiliki kemampuan luar biasa itu telah membentur ikat kepala yang membelit di tangan kiri Ki Waskita.

Akibatnya benar-benar tidak terduga. Senjata Kiai Jalawaja justru terpental, sehingga Kiai Jalawaja sendiri telah terdorong selangkah surut sementara Ki Waskita berdiri tegak di tempatnya, seolah-olah sebuah patung baja yang tidak tergoyahkan.

Kiai Jalawaja yang tidak menduga, bahwa orang yang berdiri termangu-mangu di pinggir arena itu pun orang yang memiliki ilmu yang tinggi, benar-benar terkejut bukan buatan. Karena itulah, maka sejenak ia kehilangan keseimbangan. Hampir saja ia jatuh terlentang. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan.

Namun pada saat yang bersamaan Kiai Gringsing telah berdiri di belakangnya. Dengan ujung cambuknya, ia sengaja hanya menyentuh tubuh Kiai Jalawaja yang belum tegak benar, sekedar untuk memperingatkannya bahwa ujung cambuk itu mampu berbuat lebih jauh dalam keadaannya seperti itu.

“Kiai,” berkata Kiai Gringsing, “aku tahu bahwa kau adalah seorang pemimpin. Karena itu, kau dapat berbuat banyak. Kau dapat menghentikan pertumpahan darah yang berlarut-larut ini, dan kemudian mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya.”

Kata-kata Kiai Gringsing itu pun mengejutkan pula. Sentuhan yang justru perlahan-lahan mengenai tubuhnya, adalah suatu penghinaan bagi Kiai Jalawaja. Apalagi pernyataan Kiai Gringsing itu tidak ada arti lain daripada memerintahkan kepadanya untuk menyerah.

“Gila!” teriak Kiai Jalawaja. Suaranya menggelegar di seluruh medan. “Aku akan membunuh semua orang.”

Kiai Gringsing berdiri tegak dengan kaki renggang. Cambuknya dipeganginya dengan tangan kanan, sedang ujung juntainya dipegangnya dengan tangan kiri. Katanya kemudian, “Jika kita yang tua-tua tidak berbuat sesuatu, maka korban akan semakin banyak. Dan apakah arti dari kematian-kematian itu, selain pemuasan nafsu saja? Akhir dari pertempuran ini sudah membayang. Kau sebagai seorang senopati perang, di mana pun kau berpihak, tentu sudah dapat memperhitungkan. Kau tidak dapat mencari kepuasanmu sendiri, berdiri di tengah-tengah gelar musuh dan berusaha membinasakan lawan sebanyak-banyaknya, sementara anak buahmu sendiri terbunuh seperti batang ilalang.”

“Tutup mulutmu pengecut!” teriak Kiai Jalawaja.

“Kita sama-sama pengecut,” sahut Ki Waskita, “mungkin kami tidak berani melihat kenyataan yang kau hadapi.”

“Persetan! Aku akan bertempur. Di medan hanya ada dua pilihan bagiku. Membunuh atau dibunuh.”

“Tak ada pilihan lain?” bertanya Kiai Gringsing. “Kita mempunyai bahasa yang dapat kita pergunakan untuk menyatakan perasaan kita masing-masing.”

Kata-kata Kiai Gringsing itu telah menyentuh dasar hati Kiai Jalawaja yang paling dalam. Tetapi ia telah mengeraskan perasaannya, sehingga dengan nada kasar ia membentak, “Bahasa yang paling baik di peperangan, adalah ujung senjata. Dan arti yang paling sempurna dari setiap langkah seseorang yang bertempur di medan, adalah kematian.”

Ki Waskita menarik nafas. Katanya, “Kiai. Kau adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Tetapi ternyata hatimu keras, sekeras batu hitam. Kenapa kau tidak mau mempergunakan sedikit kebijaksanaan?”

“Cukup, orang-orang dungu! Kau tidak akan dapat mempengaruhi aku untuk menyerah dengan cara apa pun juga. Aku bukan anak-anak yang dapat kau bujuk seperti itu.”

Kiai Gringsing masih sempat menghindar. Tetapi Kiai Jalawaja menyerangnya seperti prahara.

Kiai Gringsing masih sempat menghindar. Tetapi Kiai Jalawaja tidak mau memberinya kesempatan. Dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata wadag, maka tubuhnya bagaikan terbang dengan senjata teracu menyerang Kiai Gringsing sekali lagi.

Kiai Gringsing tidak dapat sekedar menghindar. Ketika ia merasa dirinya justru terdesak, maka kembali cambuknya telah meledak dengan nada yang tinggi, pertanda bahwa ia telah melepaskan semua kemampuan ilmu yang ada padanya.

Dalam kegelapan hati, Kiai Jalawaja tidak menghiraukan lagi patukan senjata lawannya. Karena itu, segores jalur merah telah membekas di punggungnya yang terbuka, karena bajunya yang telah tersayat pula oleh ujung cambuk Kiai Gringsing. Bahkan nampak bekas-bekas yang kehitam-hitaman, seolah-olah baju Kiai Jalawaja telah disobek oleh nyala bara api.

Tetapi Kiai Jalawaja sama sekali tidak berniat untuk mengakhiri pertempuran dengan cara yang paling hina. Menyerah seperti beberapa orang yang tidak sempat berbuat apa pun juga lagi.

Dengan gigihnya Kiai Jalawaja bertempur terus. Sekali-kali ia terdesak surut, dan dalam keadaan yang tiba-tiba ia pun telah menyerang Ki Waskita pula.

“Orang yang keras hati,” desis Ki Waskita kepada diri sendiri.

Dengan demikian, maka prajurit-prajurit Pajang yang bertugas di dalam lingkaran dinding gelar yang semakin terbuka itu pun sama sekali tidak berani mendekat lagi. Mereka sadar, bahwa Kiai Jalawaja telah mengamuk. Ia berbuat apa pun juga untuk membunuh lawan. Bahkan dengan perbuatan-perbuatan di luar perhitungan nalar.

Akhirnya Ki Waskita dan Kiai Gringsing tidak dapat membuat pertimbangan lain. Cara yang paling singkat untuk mengakhiri pertempuran adalah kematian.

Meskipun kematian bukan akhir yang paling baik. Sebenarnya kedua orang itu bukan bermaksud membunuh Kiai Jalawaja. Tetapi hasil perbuatannya. Tidak ada cara yang paling baik untuk menghentikan berkembangnya perdu berduri yang merambat di pepohonan dan kebun bunga, selain memotong pangkal batangnya.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun seolah-olah menemukan kesepakatan, meskipun mereka tidak sempat berunding. Dengan hati-hati keduanya segera mempersiapkan diri untuk menentukan akhir dari perkelahian itu.

“Marilah orang-orang licik,” geram Kiai Jalawaja. “Aku kira orang yang selama ini ditakuti dan disegani adalah seorang jantan. Orang bercambuk itu ternyata hanyalah seekor kelinci betina yang ketakutan melihat serigala di medan perang.”

“Kiai,” berkata Kiai Gringsing, “masih ada jalan lain untuk menyelesaikan pertikaian ini.”

“Aku adalah laki-laki.”

Semua persoalan terhenti sampai batas harga diri dan ketamakan. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali menghentikan semua perbuatan yang dapat dilakukan oleh orang yang sakti itu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda sepercik pun, bahwa pada suatu saat akan tumbuh penyesalan di hatinya, bahwa ia telah memilih jalan yang salah.

Demikianlah, maka kemudian Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun maju bersama. Sambil mengayunkan cambuknya, Kiai Gringsing berkata, “Maafkan aku, Ki Sanak. Aku terpaksa berbuat seperti prajurit di perang brubuh, bukan perbuatan dalam perang tanding. Aku tidak ingin gagal dan korban akan semakin banyak berjatuhan.”

“Persetan!” orang itu menggeram.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Waskita telah bertempur bersama-sama melawan Kiai Jalawaja. Betapapun sakti dan mumpuninya orang itu, namun ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Setiap kali ujung cambuk Kiai Gringsing yang didasari atas segala kekuatan yang ada padanya telah menyentuh tubuhnya. Sementara itu, Ki Waskita selalu mendesaknya agar tidak sempat menghindar terlampau jauh.

Kiai Jalawaja pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia sadar, bahwa yang sebenarnya mempergunakan senjatanya hanyalah Kiai Gringsing. Sedang orang yang satu lagi, sekedar menjaganya untuk tidak lepas dari sentuhan cambuk itu.

Namun ternyata bahwa kemampuan ilmunya yang membuat kulitnya seolah-olah kebal, tidak mampu bertahan atas puncak ilmu Kiai Gringsing yang tersalur lewat cambuknya. Meskipun tidak ada segores luka pun dan setitik darah yang meleleh, namun tulang-tulang Kiai Jalawaja rasa-rasanya telah menjadi remuk oleh pukulan kekuatan cambuk berkarah besi baja itu. Dengan demikian, maka lambat laun tenaganya pun bagaikan terhisap dari tubuhnya yang menjadi lemah dan tidak berdaya lagi.

Pada saat-saat terakhir itu, ketika terasa maut tidak lagi dapat dihindari, Kiai Jalawaja pun segera mengamuk dengan sisa tenaganya. Ia memang mengharap, senjata Kiai Gringsing itu bukan sekedar melumpuhkannya, tetapi membunuhnya.

Tetapi, Kiai Gringsing dan Ki Waskita berbuat lain. Ketika Kiai Jalawaja seolah-olah sudah kehilangan kemampuannya, maka mereka berdua tidak berbuat apa-apa lagi selain memancing kemarahan pimpinan kelompok yang tidak mereka kenal itu.

Ternyata sebagian usaha mereka berhasil. Kiai Jalawaja benar-benar kehilangan akal. Dengan membabi buta ia menyerang Kiai Gringsing, yang dengan cekatan menghindar. Kemudian Ki Waskita-lah yang seakan-akan berada pada jarak jangkaunya. Dengan kemarahan yang menghentak dadanya, ia menerkamnya. Tetapi Ki Waskita pun berhasil menyingkir dari cengkeramannya.

Demikianlah, pada saat-saat pertempuran itu mulai dibayangi oleh akhir yang suram bagi orang-orang Tambak Wedi, Ki Jalawaja benar-benar telah kehilangan semua kekuatannya. Ia benar-benar sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Apalagi bertempur melawan Kiai Gringsing atau Ki Waskita. Ketika kemudian cambuk Kiai Gringsing meledak lagi dan mengenai tubuhnya, maka ia pun menggeliat dengan gigi yang gemeretak. Tetapi kemudian terhuyung-huyung.

Kiai Jalawaja benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Dengan lemahnya ia pun jatuh terduduk.

Kiai Gringsing mendekatinya dengan hati-hati. Ia masih mempertimbangkan bahwa hentakan yang terakhir masih mungkin menerkamnya dan melukainya. Tetapi agaknya Kiai Jalawaja benar-benar sudah tidak berdaya.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “memang tidak ada pilihan lain bagimu.”

Kiai Jalawaja tidak menjawab.

“Kau akan tetap dihormati sebagai seorang yang memiliki kemampuan di luar kebanyakan orang.”

Kiai Jalawaja sama sekali tidak menjawab. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya menjadi semakin pucat.

Sejenak Kiai Gringsing dan Ki Waskita termangu-mangu. Mereka mulai berpengharapan, bahwa mereka akan dapat menangkap orang yang tidak mereka kenal, tetapi memiliki kelebihan itu. Di saat orang yang tidak terluka oleh senjata itu kehabisan kekuatan dan tenaga, maka beberapa serangan cambuk akan dapat membuatnya pingsan.

Tetapi wajah Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjadi tegang, ketika mereka melihat orang itu menggeliat. Kemudian perlahan-lahan ia membaringkan dirinya sambil menyilangkan tangannya.

“Ki Sanak,” desis Kiai Gringsing sambil mendekatinya, meskipun ia tetap berwaspada.

“Tidak seorang pun dapat menjamah tubuhku selagi aku masih bernafas.”

“Apakah maksudmu?”

“Aku akan mati.”

“Tidak. Kau memiliki ketahanan tubuh tidak terhingga. Kulitmu seolah-olah tidak terluka oleh cambukku.”

“Kau memang orang gila. Tidak ada seorang pun yang dapat melukai kulitku. Kau pun tidak. Tetapi kau meremukkan tulang-tulangku.”

“Tetapi kau tidak akan mati.”

“Memang tidak. Kau tidak akan dapat membunuhku. Cambukmu juga tidak. Tetapi aku dapat membunuh diriku sendiri.”

“Ki Sanak,” Kiai Gringsing bergeser semakin dekat.

Tiba-tiba orang itu tertawa. Suaranya terdengar dalam sekali, seolah-olah berpusar di dalam dadanya. Namun suara itu semakin lama menjadi semakin lambat. Katanya, “Kalian memang bodoh. Seharusnya kalian tahu, bahwa orang seperti Jalawaja tidak akan membiarkan dirinya menjadi tawanan.”

“Jalawaja,” desis Kiai Gringsing dan Ki Waskita hampir berbareng.

“Aku tidak menyangka bahwa aku harus mati di sini. Aku kira, aku malam ini dapat menebas prajurit Pajang seperti menebas batang ilalang. Tetapi aku sadar, bahwa akibat seperti ini pasti akan terjadi pada suatu saat. Dan aku akan mati sekarang.”

Kiai Gringsing dan Ki Waskita saling berpandangan. Akhir yang demikian itulah yang memang sudah mereka perhitungkan. Ketika timbul harapan bahwa mereka akan dapat menangkap Kiai Jalawaja hidup-hidup, justru mereka menjadi ragu-ragu atas apa yang mereka hadapi. Dan kini memang ternyata bahwa orang itu tidak akan dapat mereka tangkap dalam keadaan hidup.

Sejenak mereka merenungi orang yang sudah berbaring di tanah dengan tangan bersilang di dadanya itu. Namun kemudian, sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Gringsing berkata, “Orang yang keras hati.”

“Tetapi maut ini datangnya terlampau cepat,” ternyata Kiai Jalawaja itu masih bedesis, “jauh lebih cepat dari yang aku harapkan.”

“Apakah kau akan memberikan pesan, Kiai?” bertanya Kiai Gringsing.

“Kau memancing jawaban di saat aku mulai merasakan sentuhan maut. Jangan, Kiai. Itu tidak adil.”

Kiai Gringsing terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, sedang Ki Waskita-lah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun kemudian berdiri membeku, ia seolah-olah melihat sesuatu bergerak di dalam tubuh Kiai Jalawaja. Perlahan-lahan menyelusuri tubuh itu dari ujung kaki merambat naik, sehingga akhirnya sampai ke ubun-ubunnya.

Pada saat itulah, Kiai Jalawaja menghembuskan nafasnya yang terakhir, setelah seakan-akan ia mengatur dirinya menghadapi maut yang terlampau cepat datangnya itu.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi tubuh yang sudah membeku itu.

Namun mereka pun kemudian menyadari, bahwa pertempuran masih berlangsung terus. Tetapi ternyata bahwa gelar Cakra Byuha itu, sudah menjadi semakin luas mendesak lawan.

“Kemanakah Ki Sumangkar?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba saja, kepada Ki Waskita.

Tetapi Ki Waskita menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak mengetahuinya. Tetapi ia pergi ke pusat gelar.”

Sementara itu, seorang prajurit mendekatinya sambil berkata, “Ki Sumangkar bertempur melawan pemimpin pasukan dari Tambak Wedi.”

“Siapa?”

“Kiai Kalasa Sawit.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Ki Waskita, “Apakah kita akan melihatnya?”

“Agaknya lebih baik, Kiai.”

Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada seorang prajurit, “Jagalah tubuh Kiai Jalawaja. Jika pertempuran ini sudah selesai, maka kalian pun berkewajiban untuk menyelenggarakan sebaik-baiknya.”

Prajurit itu mengangguk. Namun di dalam hati ia berdesis, “Mudah-mudahan aku dapat melihat akhir dari pertempuran ini.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun meninggalkan tubuh Kiai Jalawaja yang terbaring itu. Dengan hati-hati mereka melintasi bagian dalam gelar pasukan Pajang, yang hanya diawasi oleh beberapa orang prajurit. Namun ternyata bahwa tidak ada sekelompok lawan yang lain, yang berhasil menerobos masuk ke dalam gelar. Apalagi sepeninggal Kiai Jalawaja.

Meskipun Kiai Jalawaja mati di dalam lingkungan gelar, tetapi ternyata berita tentang kematiannya itu segera menjalar. Mula-mula pada prajurit-prajurit Pajang, namun kemudian terdengar pula oleh orang-orang Tambak Wedi. Apalagi ketika beberapa orang dengan sengaja meneriakkan kematiannya, “Kiai Jalawaja mati! Kiai Jalawaja mati!”

Berita kematian itu benar-benpr mempengaruhi setiap jantung, terlebih-lebih mereka yang datang ke Tambak Wedi bersama Kiai Jalawaja. Semula mereka menganggap bahwa pertempuran itu hanyalah sekedar pelepasan dendam dan kebencian tanpa menjumpai perlawanan yang berarti. Jumlah orang-orang yang berada di dalam lingkungan gerombolan-gerombolan yang berada di lereng Gunung Merapi dan prajurit Pajang yang berada di Jati Anom, bukan merupakan lawan yang dapat menahan kemampuan dan kekuatan Tambak Wedi. Apalagi setelah kehadiran pasukan Kiai Jalawaja.

Tetapi ternyata prajurit Pajang di Jati Anom cukup kuat untuk melawan mereka. Apalagi setelah pasukan cadangan hadir di arena, sehingga dengan demikian seolah-olah mempercepat penyelesaian yang sudah menjadi semakin jelas.

Kehadiran pasukan cadangan benar-benar telah menggoncangkan ketabahan hati Kiai Kalasa Sawit. Belum lagi goncangan perasaan itu reda, disusul oleh berita yang datang kepadanya, dari seorang penghubung, bahwa Kiai Jalawaja telah benar-benar mati di peperangan itu.

Kiai Kalasa Sawit menjadi semakin gelisah. Apalagi ia sedang menghadapi lawan yang tidak dapat dikalahkannya, sehingga seolah-olah telah mengikatnya pada titik pertampuran yang sama sekali tidak dapat dilakukan sambil mengamati arena.

“Iblis dari Jipang ini benar-benar gila,” ia menggeram di dalam hatinya.

Sementara Kiai Kalasa Sawit bertempur mati-matian melawan Ki Sumangkar, maka ternyata bahwa kelompok-kelompok gerombolan yang bertebaran di lereng Merapi dan telah bergabung itu, memiliki perlawanan yang kuat pula. Beberapa orang di antara mereka bertempur dengan gigihnya. Sementara pemimpin-pemimpin mereka, Ki Raga Tunggal, Serat Wulung, Sampar Angin, dan beberapa orang lagi, dengan gigihnya menghadapi para pengawal Kiai Jalawaja.

Namun kehadiran pasukan cadangan dari Jati Anom yang telah dipanggil oleh Untara, untuk menjaga segala kemungkinan itu pun dengan cepat dapat mengatasi keadaan di luar gelar.

Untara sendiri benar-benar dapat menguasai seluruh prajurit di arena itu. Bahkan kemudian, ia berhasil menyusun selapis pasukan cadangannya untuk menekan orang-orang Tambak Wedi dari sisi yang lain.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita melihat pula kehadiran pasukan cadangan dari Jati Anom. Bahkan kemudian Kiai Gringsing berdesis, “Ternyata bahwa Angger Untara mampu mengatasi keadaan, dengan atau tanpa kita.”

“Ah,” desis Ki Waskita, “bukankah kita tidak banyak berbuat apa-apa di sini?”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar sebuah isyarat yang diteriakkan oleh seseorang di pusat gelar.

“Apakah yang akan dilakukan oleh Kiai Kalasa Sawit?” bertanya Ki Waskita.

“Marilah kita lihat. Mungkin ada sesuatu yang dapat mengejutkan arena ini. Kita tidak tahu pasti, apakah semua kekuatan di Tambak Wedi sudah dikerahkan.”

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa meneruskan langkahnya, ke pusat gelar yang sudah menjadi semakin luas itu.

Dalam riuhnya pertempuran yang sengit, mereka melihat betapa Ki Sumangkar memutar senjatanya melawan Kiai Kalasa Sawit yang mengerahkan segenap kemampuannya pula. Mereka masih belum melihat perubahan apa pun yang terjadi di arena itu.

Masing-masing masih tetap bertempur di tempatnya. Suara dentang senjata masih bersahut-sahutan, dan sekali-kali terdengar teriakan yang menyayat. Teriakan kesakitan tetapi juga teriakan kemenangan dan kebanggaan.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita segera melihat, bahwa sebenarnya Ki Sumangkar telah berhasil menguasai lawannya. Kiai Kalasa Sawit yang memiliki kekuatan raksasa itu, kadang-kadang menjadi bingung oleh kecepatan gerak Ki Sumangkar. Bahkan kadang-kadang Kiai Kalasa Sawit memaki, apabila ujung trisula Ki Sumangkar berhasil mematuk kulitnya dan menitikkan darahnya.

Tetapi sejenak kemudian, terdengar sekali lagi isyarat yang ternyata terlontar dari mulut Kiai Kalasa Sawit.

Dengan demikian maka setiap orang di pusat gelar itu pun menjadi semakin berwaspada. Mungkin mereka harus menghadapi sesuatu yang tidak terduga-duga.

Sebenarnyalah yang terjadi telah mengejutkan prajurit-prajurit Pajang, meskipun mereka sudah bersiaga. Tiba-tiba saja arena itu menjadi kisruh. Beberapa orang pengawal Kiai Kalasa Sawit bersama-sama telah menyerang Ki Sumangkar. Namun yang lain telah membuat gerakan-gerakan yang menurut ilmu peperangan justru tidak berarti apa-apa. Beberapa orang telah berlari-larian kian kemari dengan senjata teracu-acu.

Untara yang berpengalaman menghadapi gelar perang yang beraneka macam dan cara-cara yang paling aneh sekalipun, mengerutkan keningnya melihat hal itu. Namun kemudian ia pun berteriak, “Jangan lepaskan Kiai Kalasa Sawit.”

Beberapa orang yang mendengar teriakan itu menjadi berdebar-debar. Ki Sumangkar pun menyadari, bahwa dengan demikian lawannya berusaha memisahkan diri daripadanya. Selagi ia sibuk menangkis serangan dari beberapa orang sekaligus dalam kekisruhan itu, ternyata ia benar-benar telah kehilangan lawannya.

Untara sendiri berusaha menusuk langsung ke dalam gerakan yang aneh itu, bersama beberapa orang perwira dan pengawal mereka. Namun rasa-rasanya jalan yang harus ditempuh menjadi buntu. Mereka harus bertempur untuk menyibakkan lawan, yang seakan-akan telah menjadi pepat di pusat gelar.

“Suatu cara yang bagus dari Kiai Kalasa Sawit untuk melarikan diri,” gumam Sumangkar yang menjadi marah. Tetapi ia harus menghadapi beberapa orang sekaligus, yang menyerangnya dengan tiba-tiba.

Baru sejenak kemudian, prajurit-prajurit Pajang sempat menyesuaikan diri. Mereka pun kemudian mengambil alih lawan yang berdesakan di sekitar Ki Sumangkar. Dengan demikian, maka pertempuran telah berpusat di pusat gelar.

Tetapi saat yang pendek itu telah berhasil dipergunakan oleh Kiai Kalasa Sawit. Ternyata ia telah hilang dari arena. Seolah-olah terbenam di dalam arus pengawal-pengawalnya yang bergolak seperti ombak lautan.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun melihat hal itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Bahkan Kiai Gringsing sempat bergumam, “Suatu cara yang licik dari Kiai Kalasa Sawit.”

“Agak berbeda dengan Kiai Jalawaja,” sahut Ki Waskita

“Kiai Jalawaja ternyata seorang yang bertumpu pada harga diri dan keyakinannya.”

Kiai Gringsing termenung sejenak. Kemudian katanya, “Aku ingin ikut mencari Kiai Kalasa Sawit di dalam arena itu.”

“Marilah,” desis Ki Waskita, “kita berpisah.”

Kiai Gringsing mengangguk. Ia pun kemudian meninggalkan tempatnya bersama Ki Waskita, dengan tujuan yang berbeda.

Tetapi arena seolah-olah menjadi pepat. Pertempuran berlangsung dengan sengitnya seperti dalam perang brubuh yang kisruh. Lawan yang datang dari Tambak Wedi itu telah memusatkan kekuatannya pada pusat gelar prajurit Pajang.

Dengan demikian, maka di bagian lain dari arena itu, pertempuran menjadi semakin reda. Seolah-olah mengalir dan bermuara pada sebuah pusaran yang kalut.

Tetapi prajurit Pajang di dinding gelar yang lain menyadari keadaan itu, sehingga sebagian dari mereka pun berusaha untuk mencegah tekanan yang terlampau berat di pusat gelar.

Tetapi orang-orang Tambak Wedi itu agaknya tidak bermaksud memecahkan gelar Cakra Byuha itu. Yang mereka lakukan adalah sekedar usaha untuk melindungi pimpinannya dan merupakan suatu persiapan untuk meninggalkan arena pertempuran.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, sekali lagi prajurit Pajang melihat suatu isyarat. Bukan tanda-tanda bunyi, tetapi api yang terlontar di udara.

Demikian orang-orang Tambak Wedi itu melihat isyarat yang terlempar ke udara, oleh orang-orang yang sudah agak jauh dari pertempuran, maka seperti waduk yang terbuka dengan tiba-tiba, maka pasukan Tambak Wedi itu pun segera susut dari arena.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih tetap berusaha untuk menemukan Kiai Kalasa Sawit. Bahkan Ki Sumangkar yang kehilangan lawannya itu pun tidak tinggal diam. Ia juga berusaha untuk mencari jejaknya.

Berbeda dengan ketiga orang itu, maka Untara tidak meneruskan usahanya mencari Kiai Kalasa Sawit. Ia harus menguasai prajurit-prajuritnya, yang berusaha mendesak terus lawannya.

Namun ketika lawannya kemudian berpencaran dan berlarian mencari hidup masing-masing. Untara telah mencegah pasukannya untuk mengejar terus dalam keadaan seperti itu. Bahkan kemudian jatuhlah perintahnya, “Kita akan mengatur diri menghadapi orang-orang Tambak Wedi. Tetapi kalian harus menahan semua kelompok yang ada di medan ini, termasuk pimpinan mereka, Ki Raga Tunggal, Serat Wulung, Sampar Angin, dan yang lain-lain. Jangan biarkan mereka meninggalkan arena.”

Perintah itulah yang kemudian dijalankan oleh prajurit-prajurit Pajang.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian gelar Cakra Byuha itu pun seakan-akan berkembang semakin luas dan akhirnya mencakup seluruh arena, bersama pasukan cadangan yang berada di luar gelar.

Gerombolan-gerombolan di lereng Gunung Merapi, yang berhasil mendesak lawannya itu pun tidak berusaha mengejar lawan-lawan mereka. Apalagi ketika mereka pun melihat bahwa pasukan Pajang juga tidak langsung mengejarnya.

Namun, mereka kemudian terkejut ketika mereka melihat gerakan prajurit-prajurit Pajang yang kemudian justru telah mengepung mereka di arena.

“Apa yang akan dilakukan oleh Senapati Untara?” desis Ki Raga Tunggal.

“Gila! Apakah ia akan membinasakan kita sekarang juga, selagi arena ini sudah berbau mayat?” sahut Serat Wulung.

“Itu adalah perbuatan gila,” desis yang lain.

Tetapi yang lain lagi berkata, “Ini adalah kesempatan yang paling baik buat Untara untuk membunuh kita semuanya. Dengan demikian, ia akan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seolah-olah kita semuanya telah ditumpas oleh orang-orang Tambak Wedi. Baru kemudian ia datang mengusir orang-orang Tambak Wedi itu.”

Berbagai tanggapan telah timbul di antara gerombolan-gerombolan itu. Namun pada dasarnya mereka merasa diri mereka telah terjebak.

“Apakah kita akan melawan Untara, seperti kita melawan orang-orang Tambak Wedi?” desis Sampar Angin.

Tetapi yang lain menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada gunanya. Kita akan menyerah, apa pun yang akan dilakukannya atas kita.”

“Juga jika ia membunuh kita di sini?”

“Menurut dugaanku, ia tidak akan melakukannya. Tetapi aku tidak tahu jika ia benar-benar menjadi gila, karena prajurit-prajuritnya jatuh menjadi korban peperangan ini.”

Beberapa orang di antara mereka menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagian dari mereka di luar sadarnya telah memandang Ki Raga Tunggal yang gelisah, seolah-olah mereka menjatuhkan tuduhan, bahwa ia-lah yang menyebabkan semuanya itu.

Ki Raga Tunggal pun agaknya dapat merasakan sentuhan tatapan mata kawan-kawannya yang tajam menusuk ke jantungnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata dengan nada datar, “Biarlah aku yang menjadi banten. Akulah yang akan menyerahkan diriku kepada Untara, untuk menerima hukuman apa saja yang akan dijatuhkan kepadaku. Karena aku dan orang-orangkulah yang telah membakar lereng Merapi ini, sehingga api pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi.”

“Itu adalah maksudmu. Tetapi mungkin Untara mempunyai pertimbangan lain. Kita semuanya harus dibersihkan dari lereng Merapi, agar untuk selanjutnya kita tidak selalu mengganggu tugasnya.”

“Apa pun yang akan terjadi, baiklah kita akan menerimanya dengan senang hati,” desis yang lain lagi.

“Senang atau tidak senang,” geram Serat Wulung.

Sejenak kemudian, mereka pun berdiam diri. Mereka mendengar perintah Untara untuk mengumpulkan anak buah masing-masing dan meletakkan senjata.

“Ini adalah permulaan dari perjalanan kita, menuju ke tiang gantungan,” desis Sampar Angin.

Tidak ada yang menjawab. Tetapi tidak seorang pun yang dapat mengingkari perintah itu. Mereka pada umumnya sudah mengenal sifat Untara. Apalagi di peperangan, yang sudah dibasahi oleh darah prajurit-prajurit Pajang. Untara akan segera berubah menjadi seekor banteng yang terluka.

Semuanya berjalan dengan cepat. Sementara itu, Untara agaknya sedang berbincang dengan beberapa orang senapati yang lain di dalam pasukannya.

Sejenak kemudian, maka terdengar aba-aba, dan para senapati pun menjadi sibuk mengatur kelompok masing-masing.

Para pemimpin gerombolan-gerombolan yang ada di lereng Merapi menjadi heran melihat kesibukan yang sangat pada pasukan Pajang. Ternyata bahwa Pajang sudah membagi prajuritnya. Beberapa orang tinggal mengawasi gerombolan lereng Merapi yang sudah tidak bersenjata lagi. Namun yang lain telah sibuk menyusun barisan.

“Apakah yang akan mereka lakukan?” desis seseorang.

Yang lain menggelengkan kepalanya.

Tetapi akhirnya mereka pun mengetahuinya, bahwa Untara tidak mau melakukan kerja setengah-setengah. Ternyata ia sudah menyiapkan pasukan yang ada, dengan beberapa kelompoknya dari pasukan cadangan, untuk menyusul pasukan lawan ke Tambak Wedi.

“Kami akan menghancurkan pasukan Kalasa Sawit sampai orang yang terakhir. Menyerah atau mati,” desis Untara. “Karena itu, kalian jangan mengganggu kami. Siapa yang tidak mentaati perintah prajurit Pajang, akan kami binasakan, seperti Tambak Wedi.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Semua orang tahu, bahwa dalam keadaan seperti itu Untara tidak sempat bergurau.

Demikianlah, maka Untara telah membawa pasukannya menyusul pasukan Tambak Wedi yang tercerai-berai. Untara yakin, bahwa mereka akan mundur dan memasuki padepokan Tambak Wedi yang mempunyai dinding di sekelilingnya.

Tetapi Untara sudah bertekad, Tambak Wedi harus dilumpuhkan sama sekali. Ia tahu benar, bahwa Kiai Kalasa Sawit telah banyak kehilangan anak buahnya. Yang terbunuh maupun yang terluka. Karena itu, maka menurut perhitungannya, prajurit Pajang yang masih ada dengan tenaga cadangan yang segar, akan dapat menguasai Tambak Wedi sepenuhnya.

Sejenak kemudian, maka Untara pun telah siap. Dengan kekuatan yang ada, maka Untara pun segera memberikan perintah kepada pasukannya untuk berangkat.

Prajurit cadangan yang datang kemudian, dan menemukan pertempuran itu sudah hampir berakhir, menjadi bagian terdepan pasukan yang menuju ke Tambak Wedi. Prajurit-prajurit yang lelah dan bahkan ada yang terluka, tetapi bertekad untuk tetap berada di dalam barisan, rasa-rasanya justru menjadi bertambah segar disentuh angin malam yang dingin di lereng Gunung Merapi.

Dalam beberapa saat, Untara sibuk dengan pasukannya. Ia masih belum tergesa. Tambak Wedi adalah daerah yang tidak terlampau mudah dijangkau. Mungkin pasukannya akan menghadapi lawan yang bersembunyi di balik batu-batu besar, dan menyerang sambil bersembunyi.

Namun Untara telah memisahkan sekelompok prajurit pilihan. Di dalam keadaan yang memaksa, mereka harus memisahkan diri. Merekalah yang ditugaskan untuk mengatasi serangan-serangan tersembunyi, dan dengan diam-diam mendekati lawan.

Tetapi ketika pasukan Untara sudah berjalan dengan teratur, maka Untara mulai teringat kepada tiga orang tua yang semula ada di dalam gelarnya.

“He,” ia pun kemudian bertanya kepada salah seorang senapatinya, “di manakah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita?”

Senapati itu mengerutkan keningya. Namun ia pun kemudian menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak melihatnya. Sejak pasukan Tambak Wedi mundur, aku tidak melihatnya lagi.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan mencarinya nanti. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas mereka.”

“Mereka berhasil mengalahkan lawan masing-masing. Orang yang menyebut dirinya bernama Jalawaja dapat dibunuh oleh Kiai Gringsing, meskipun di saat terakhir nampaknya ia seperti membunuh diri, karena Kiai Gringsing ingin menangkapnya hidup-hidup, sementara ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa,” sahut salah seorang senapatinya.

Untara mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, dengan cepat pasukan Pajang itu bergerak mendaki lereng Gunung Merapi, yang disambut oleh embun di gelapnya malam. Namun sejenak kemudian, nampak warna semburat merah mulai membayang di Timur.

“Hampir fajar,” Untara berdesis di dalam hatinya, “apa pun waktunya, orang-orang Tambak Wedi itu harus ditangkap hidup atau mati. Mereka akan menjadi ulat yang selalu mengganggu kesuburan dan ketenangan Pajang untuk selamanya.”

Karena itu, Untara mempercepat gerak pasukannya. Sebelum fajar ia berniat sudah mengepung padepokan Tambak Wedi, yang berdinding batu di seputarnya.

Dalam pada itu, selagi pasukan Pajang bergerak semakin cepat memanjat lereng Merapi, maka Ki Sumangkar yang kehilangan lawannya menggeram dengan marah. Ia sadar, bahwa dalam gerak yang kacau, sesaat setelah terdengar isyarat dari Kiai Kalasa Sawit, maka pemimpin pasukan Tambak Wedi itu berhasil melepaskan dirinya dan lari menjauhi arena. Baru setelah agak jauh, ia melontarkan isyarat berikutnya, agar orang-orangnya pun meninggalkan arena pula.

Sejenak Ki Sumangkar termangu-mangu. Apakah ia akan menyusul lawannya sampai ke Tambak Wedi, atau ia harus menunggu perintah Untara dan menyesuaikan dirinya dengan pasukan Pajang itu.

Selagi ia termangu-mangu, maka terdengarlah langkah dua orang yang mendekatinya. Dalam keremangan malam, ia melihat dua bayangan yang berjalan tergesa-gesa. Namun, ia segera dapat mengenalnya, bahwa keduanya adalah Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang sudah menyatu kembali setelah terpisah beberapa lama.

“Apakah kau berusaha menyusul lawanmu?” bertanya Kiai Gringsing kepada Ki Sumangkar.

Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian gumamnya, “Aku kehilangan orang itu.”

“Aku dan Ki Waskita pun berusaha mencarinya. Bahkan kami sudah membagi diri. Namun kami tidak menemukannya. Agaknya ia hanyut dalam arus mundur orang-orangnya.”

“Tidak. Bahkan ia adalah orang yang pertama-tama meninggalkan arena dalam kekisruhan yang terjadi beberapa saat, yang dengan sengaja telah ditumbuhkannya, yang kemudian dari kejauhan memberikan isyarat dengan lontaran panah api ke udara.”

Kiai Gringsing dan Ki Waskita mengangguk-angguk.

“Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Angger Untara?” bertanya Ki Sumangkar kemudian.

“Aku tidak tahu,” Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.

“Dan apa yang akan kita lakukan?” bertanya Ki Waskita.

Kiai Gringsing merenung sejenak. Kemudian, “Tanda di dada Kiai Kalasa Sawit sangat menarik perhatian. Apakah kita akan melihat, apa yang telah terjadi kemudian di padepokan Tambak Wedi itu?”

Ki Sumangkar dan Ki Waskita saling berpandangan. Meskipun agak ragu, Ki Sumangkar mengangguk sambil berdesis, “Ya. Ada baiknya kita melihat, apa yang kini terjadi di padepokan tua itu. Mungkin kita mendapat gambaran serba sedikit tentang gerombolan raksasa yang masih diselimuti oleh kabut rahasia itu.”

Demikianlah, maka ketiganya bersepakat untuk pergi ke padepokan tua di Tambak Wedi. Mereka ingin mengetahui apa yang akan terjadi. Apakah orang-orang Tambak Wedi itu masih akan tetap bertahan di padepokan itu, atau mereka berniat untuk menentukan sikap yang lain.

Dengan hati-hati, mereka bertiga berjalan tergesa-gesa menyusuri jalan-jalan di lereng pegunungan. Kiai Gringsing masih tetap dapat mengenal jalan menuju ke padepokan itu dengan baik.

“Tidak banyak perubahan terjadi di sekitar daerah ini,” gumam Kiai Gringsing.

Kedua kawannya tidak menyahut. Tetapi kepala mereka terangguk-angguk kecil.

Semakin dekat mereka dengan Tambak Wedi, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka sadar, bahwa di balik gerumbut-gerumbul liar di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lalui, atau di balik batu-batu padas, dapat bersembunyi para pengawal padepokan tua itu.

“Kita tidak tahu sikap Angger Untara,” desis Kiai Gringsing, “tetapi menilik sifat dan wataknya, ia tidak akan berhenti.”

“Apakah pasukan Pajang akan menyusul ke Tambak Wedi?” bertanya Ki Sumangkar .

“Aku tidak tahu. Tetapi agaknya Angger Untara akan berkeras hati untuk menyelesaikan tugasnya sama sekali,” sahut Kiai Gringsing.

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Ia pun mengenal sifat Untara, sehingga menurut perhitungannya, Untara tentu akan menyusul lawannya sampai ke Tambak Wedi.

Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar menjadi heran, bahwa mereka tidak menemukan seorang pengawas pun di perjalanan menuju ke padepokan itu. Bahkan mereka menjadi curiga, bahwa Kiai Kalasa Sawit telah mempersiapkan sebuah jebakan yang dapat mencelakakan prajurit-prajurit Pajang, apabila Untara menyusul ke Tambak Wedi.

“Tetapi agaknya benar-benar sepi,” berkata Ki Waskita.

“Ya. Aku pun tidak mendengar sesuatu,” desis Kiai Gringsing.

Bahkan sejenak mereka mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya. Namun agaknya benar-benar sepi. Langit yang sudah mulai diwarnai oleh fajar, menjadi semakin merah. Bintang-bintang nampaknya menjadi semakin pudar. Di kejauhan terdengar suara ayam hutan yang berkokok bersahutan.

“Hampir fajar,” desis Kiai Gringsing.

“Kita akan mendapat kesulitan untuk mendekati padepokan tua itu,” sahut Sumangkar.

“Kita akan sampai sebelum fajar,” berkata Kiai Gringsing pula.

Ki Sumangkar dan Ki Waskita hanya mengangguk-angguk saja.

Dengan hati-hati, mereka pun merayap terus mendekati padepokan Tambak Wedi. Setiap kali mereka harus memperhatikan batu-batu besar yang berserakan. Namun ternyata bahwa tidak seorang pun yang mereka jumpai di sepanjang jalan itu.

“Apakah kita akan masuk?” bertanya Ki Waskita.

Kiai Gringsing ragu-ragu. Katanya, “Kita hanya bertiga. Bagaimanapun juga kita tidak akan dapat melawan semua orang yang ada di Tambak Wedi. Betapapun juga ilmu yang dapat dikuasai oleh seseorang, tetapi kemampuan kita tetap terbatas.”

“Jadi?”

“Kita hanya akan mengamati keadaan.”

Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Memang tidak ada yang dapat mereka lakukan selain mengamati keadaan. Kecuali apabila prajurit Pajang datang menyusul mereka ke Tambak Wedi.

Tetapi tiba-tiba saja ketiga orang itu terkejut, ketika mereka mendengar sebuah isyarat yang melengking dari arah padepokan tua itu. Dan sejenak kemudian, suara itu telah disahut oleh suara-suara lain, beberapa puluh langkah dari ketiga orang itu.

“Uh,” desis Ki Sumangkar, “hampir saja kita sampai ke tempat yang mereka awasi.”

“Ya. Tetapi kita akan dapat melihat mereka,” sahut Kiai Gringsing.

“Atau kitalah yang dapat mereka lihat.”

Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Isyarat apakah yang kita dengar itu?”

“Entahlah.”

“Marilah kita mendekati padepokan itu. Tetapi kita memang tidak seharusnya melalui jalan ini. Tentu pada suatu tempat kita akan dapat dilihat oleh para penjaga itu.”

“Kita akan menerobos belukar?” bertanya Ki Waskita.

“Ya.”

Ketiganya pun kemudian menyingsingkan kain panjang mereka. Dengan hati-hati mereka menyusup ke dalam pohon-pohon perdu liar di sebelah jalan dan langsung memotong arah menuju ke padepokan Tambak Wedi.

Ternyata bahwa Kiai Gringsing dapat mengetahui arah itu dengan tepat. Meskipun langkah mereka menjadi agak lamban, namun akhirnya mereka menjadi semakin dekat dengan padepokan tua itu.

“He, apa yang mereka lakukan?” desis Ki Sumangkar ketika pada suatu saat mereka tersembul dari sebuah belukar di dekat padepokan itu.

Sejenak mereka bertiga termangu-mangu menyaksikan orang-orang yang berada di padepokan itu sedang dalam kesibukan.

Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar memperhatikan kesibukan yang mereka lihat dalam keremangan malam. Orang-orang Tambak Wedi seolah-olah sedang mempersiapkan sebuah pasukan yang lengkap dan kuat.

“Apakah mereka akan kembali ke medan?” desis Ki Waskita.

Tidak ada jawaban. Rasa-rasanya ketiga orang itu telah di cengkam oleh suasana yang tidak mereka mengerti.

Dengan tegang, ketiga orang itu berusaha untuk bergeser semakin dekat untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang berada di padepokan tua itu.

Sejenak kemudian, maka semakin banyaklah orang yang berada di muka regol padepokan. Bahkan kemudian ketiga orang yang bersembunyi itu melihat, beberapa ekor kuda yang membawa beban di punggungnya.

“Agaknya mereka akan meninggalkan padepokan tua itu,” desis Ki Sumangkar.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita mengangguk-angguk.

“Mereka merasa bahwa kedudukan mereka terancam.”

“Ya, dan agaknya mereka baru menyadari sifat dan watak Untara. Menurut perhitungan Kiai Kalasa Sawit, Untara tentu akan menyusul mereka ke Tambak Wedi.”

Sejenak ketiga orang itu pun berdiam diri melihat suasana, yang semakin lama justru menjadi semakin jelas, karena langit menjadi semakin merah.

Tetapi orang-orang di Tambak Wedi itu tidak mau didahului oleh cahaya fajar yang terbit di Timur. Sejenak kemudian mereka pun telah siap, dan terdengar lamat-lamat Kiai Kalasa Sawit meneriakkan aba-aba, “Kita akan segera pergi meninggalkan padepokan yang sial ini. Justru selagi kita singgah beberapa hari di sini, kita sudah kehilangan seorang yang paling dipercaya. Kakang Jalawaja. Karena itu, kita harus segera pergi. Kita tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Setan yang bersenjata cambuk dan iblis tua dari Jipang itu ternyata berada di dalam barisan Pajang. Tanpa mereka, Pajang sudah kita hancurkan.”

Tidak seorang pun terdengar berbicara.

“Nah, marilah kita berangkat. Mereka yang berkuda, akan berada di depan. Mereka harus memilih jalan yang paling aman bagi pasukan kita. Sementara matahari berada di langit, kita akan berada di dalam hutan belukar di lereng Merapi sampai menjelang senja. Barulah kita akan menentukan arah yang sebenarnya, menuju ke lembah di antara Merapi dan Merbabu.”

Demikianlah, pasukan berkuda dari gerombolan yang dipimpin oleh Kiai Kalasa Sawit itu pun mulai bergerak. Satu-satu, mereka melintas tidak terlampau jauh dari Kiai Gringsing dan kedua kawannya, sehingga ketiga orang tua itu harus menahan nafas, agar desahnya tidak terdengar oleh orang-orang yang sedang lewat itu. Apalagi jika di antara mereka mempunyai ilmu yang dapat mempertajam pendengaran. Ilmu Sapta Pangrungu.

Tetapi tidak seorang pun yang berpaling. Sampai saatnya pimpinan pasukan itu lewat di hadapan ketiga orang itu.

Namun rasa-rasanya ketiga orang itu justru telah dicengkam perasaan masing-masing, ketika mereka melihat Kiai Kalasa Sawit berjalan dengan senjata telanjang di antara beberapa orang pengawal pilihan. Di mukanya berjalan tiga orang yang bertubuh raksasa, yang tidak dijumpai di medan perang yang baru saja terjadi. Agaknya ketiga orang itu tidak ikut serta bersama pasukan Kiai Kalasa Sawit maupun Kiai Jalawaja.

Yang rasa-rasanya telah membekukan darah ketiga orang-orang tua yang berada di balik gerumbul liar di pinggir jalan itu, adalah seseorang yang berjalan di hadapan tiga orang raksasa itu. Seorang yang berjalan sambil membawa sebuah senjata yang diselubungi oleh sehelai kain putih. Senjata yang bertangkai panjang, yang agaknya adalah sepucuk tombak.

Kiai Gringsing menggamit kedua kawannya yang berpaling memandanginya dengan tatapan mata yang bagaikan menyala.

Ketika Kiai Kalasa Sawit telah lewat beberapa langkah, dan yang kemudian berjalan beriringan adalah orang-orang Kiai Kalasa Sawit yang jumlahnya ternyata masih cukup banyak, maka Kiai Gringsing baru sempat berbisik, “Kau lihat tombak itu?”

“Mencurigakan sekali,” desis Ki Sumangkar.

“Apakah tombak itu yang hilang dari Mataram?” bertanya Ki Waskita.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menimbang-nimbang apakah yang dapat dilakukannya.

“Kita tidak akan dapat merebutnya sekarang,” desis Kiai Gringsing. “Jika saja pasukan Pajang bergerak ke Tambak Wedi sebelum mereka meninggalkan padepokan ini.”

“Kiai,” berkata Ki Waskita, “apakah sebaiknya aku mencoba membuat permainan, agar mereka menjadi bingung dan memberikan kesempatan kepada kita untuk mengambil tombak itu?”

“Apakah kau yakin, bahwa beberapa orang di sekitar tombak itu dapat kita kelabui dengan bentuk semu?”

Ki Waskita termangu-mangu. Kemudian ia berdesis, “Agaknya para pengawal khusus itu bukanlah orang kebanyakan. Tentu mereka tidak akan dapat kita bingungkan dengan bentuk-bentuk semu.”

“Dan kita tidak tahu pasti, berapa jumlah orang yang memiliki kelebihan seperti Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja. Orang-orang yang bertubuh raksasa itu pun harus diperhitungkan. Demikian juga agaknya sekelompok orang yang bersenjata telanjang di belakang Kiai Kalasa Sawit.”

Kiai Gringsing masih sempat pula berdesis, “Agak berbeda dengan orang-orang yang membawa pusaka yang lain menyeberang Kali Praga. Mereka berusaha dengan diam-diam tanpa diketahui oleh siapa pun bergeser ke barat. Tetapi pusaka yang sebuah lagi agaknya telah dikawal oleh kekuatan segelar sepapan.”

Kedua kawannya hanya mengangguk-angguk saja.

Dalam pada itu, iring-iringan itu berjalan terus, semakin lama semakin cepat. Mereka ingin melenyapkan diri ke dalam lebatnya hutan di lereng Gunung Merapi sebelum matahari terbit di timur, agar tidak akan dapat disusul oleh prajurit Pajang yang ternyata cukup kuat pula.

Dalam keragu-raguan itulah Kiai Gringsing menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya ingin ia mengikuti iring-iringan itu sampai ke tempat yang mungkin dapat dikenalnya. Memang bukan pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam satu dua hari. Tetapi mungkin sepekan dua pekan, bahkan dengan menghadapi kemungkinan-kemungkinan pahit.

Tetapi jika kemudian sekilas teringat olehnya, bahwa muridnya harus segera melakukan upacara perkawinan, maka ia pun menjadi kecewa.

“Aku menjadi bingung,” desis Kiai Gringsing, “kesempatan ini seharusnya dapat kita pergunakan untuk mengetahui arah jengkarnya pusaka itu dari Mataram.”

“Kita akan mengikutinya,” berkata Ki Sumangkar.

“Tetapi di dalam waktu dekat, Swandaru akan melangsungkan perkawinannya. Dan aku adalah orang yang mungkin diperlukan.”

Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Dan meskipun dengan ragu-ragu, Ki Waskita bertanya, “Apakah Kiai sependapat, jika aku pergi mengikuti iring-iringan itu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Itu adalah suatu pekerjaan yang sangat berbahaya. Tentu Ki Waskita dapat memperhitungkan akibat apakah yang dapat terjadi jika pada suatu saat, Ki Waskita diketahui oleh mereka.”

“Aku adalah seorang yang memiliki kemampuan berlari cepat,” jawabnya sambil tersenyum.

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak, Ki Waskita. Kita masih mempunyai perhitungan yang wajar. Bahwa jiwa seseorang tidak dapat dikorbankan begitu saja. Dan bukankah putramu sedang menunggu pula di Sangkal Putung?”

“Bagaimana dengan aku?” bertanya Ki Sumangkar.

“Aku kira, pekerjaan itu akan sia-sia saja, Adi. Adalah sulit sekali untuk mengikuti sepasukan yang kuat seperti pasukan Kiai Kalasa Sawit itu. Namun setidak-tidaknya kita sudah dapat melihat, bahwa orang yang bernama Kiai Kalasa Sawit-lah yang mendapat tugas untuk menyingkirkan Kanjeng Kiai Pleret. Itu pun jika dugaan kita benar, bahwa tombak itu adalah Kanjeng Kiai Pleret.”

“Aku kira tidak salah lagi, bahwa tombak itu adalah Kanjeng Kiai Pleret. Tetapi aku pun sependapat, bahwa hampir tidak ada gunanya untuk mengikuti pasukan yang akan berjalan untuk waktu yang tidak diketahui dan arah yang tidak diketahui pula. Namun mungkin ada cara lain untuk mengetahui, kemanakah iring-iringan itu pergi.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, “Cara apakah yang kau maksudkan?”

“Jika Kiai setuju, aku akan mengikuti jejaknya. Tidak terlalu dekat dengan pasukannya. Mereka tentu akan berhenti di suatu tempat.”

“Seperti Tambak Wedi,” jawab Kiai Gringsing, “yang satu dua hari akan mereka tinggalkan lagi.”

Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Agaknya memang tidak banyak gunanya mengikuti mereka.”

“Karena itu, biarlah mereka pergi. Pada suatu saat kita akan menemui lagi Kiai Kalasa Sawit dengan pasukan segelar sepapan. Tidak dengan pasukan Pajang, tetapi dengan pasukan Mataram,” berkata Kiai Gringsing seolah-olah kepada dirinya sendiri.

Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian menyadari, bahwa yang kehilangan adalah Mataram. Jika pusaka itu diketemukan oleh Pajang, dan kemudian disampaikan kepada Sultan Hadiwijaya, maka Sultan Pajang itu tentu akan marah dan kecewa terhadap putra angkatnya yang terkasih, Danang Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, namun yang kemudian telah diwisuda menjadi Senapati Ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram.

“Nah, sebaiknya kita sekarang menentukan sikap yang lain,” berkata Kiai Gringsing.

“Apa yang akan kita lakukan? Padepokan itu tentu sudah kosong.”

“Marilah kita melihat, apa yang tertinggal di dalamnya.”

Ketiga orang itu pun kemudian muncul dari balik gerumbul. Orang terakhir dari pasukan Tambak Wedi sudah lewat, dan hilang di tikungan. Sementara langit menjadi semakin terang oleh cahaya fajar.

Ketiga orang tua itu pun kemudian mendekati padepokan Tambak Wedi. Pintu itu nampak, bahwa Tambak Wedi memang sudah sepi sekali. Tidak nampak lagi seorang pun yang tinggal di dalam lingkungan dinding batu itu.

“Padepokan itu sudah kosong,” desis Ki Waskita.

“Padepokan itu cukup luas,” berkata Kiai Gringsing, “hampir seperti sebuah padukuhan kecil. Sebatang sungai mengalir melalui terowongan di bawah dinding, membelah padepokan itu.”

“Kiai mengenal padepokan ini dengan baik.”

“Aku pernah memasuki padepokan ini lewat terowongan air itu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Sementara mereka pun kemudian memasuki regol yang terbuka itu.

Tambak Wedi memang sudah kosong. Tidak ada lagi seorang pun yang nampak di dalamnya.

Tetapi bahwa orang-orang yang untuk beberapa saat tinggal di padepokan itu telah pergi dengan tergesa-gesa, nampak pada beberapa macam barang mereka yang tertinggal. Namun hanyalah barang-barang yang tidak penting, yang akan dapat mereka cari di sepanjang perjalanan mereka.

Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun kemudian, memasuki padepokan itu lebih dalam lagi. Mereka menemukan baberapa karung barang-barang yang agaknya tidak sempat dibawa. Tetapi barang-barang itu pun bukan merupakan barang penting bagi Kiai Kalasa Sawit, meskipun agaknya barang-barang itu mempunyai nilai yang cukup mahal. Namun barang-barang semacam itu akan mudah didapat oleh Kiai Kalasa Sawit kemana pun ia pergi. Karena barang-barang itu tentu hasil yang mereka peroleh dari kekerasan. Merampok, menyamun, dan tindakan-tindakan lain serupa itu, dengan dalih dana bagi perjuangan mereka, seperti yang dialami oleh ketiga orang tua itu di jalan ke Sangkal Putung.

Namun Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam, ketika mereka melihat beberapa sosok mayat yang terbaring di lantai pendapa padepokan itu. Agaknya mereka adalah orang-orang yang terluka yang sempat mereka bawa mundur, tetapi ternyata nyawanya sudah tidak tertolong lagi.

Kiai Gringsing mendekati mereka itu, meskipun masih harus dengan hati-hati.

“Kiai Kalasa Sawit tidak sempat mengubur mereka,” desis Ki Waskita.

“Ya. Benar-benar tidak sempat.”

Ki Sumangkar yang mendekat pula, telah memungut sebuah bindi di dekat sesosok mayat yang agaknya balum terlalu lama meninggal. Pada bindi itu ia melihat pahatan seekor kelelawar dengan sayap yang mengembang.

“Tidak salah lagi,” desis Ki Sumangkar, “sadar atau tidak sadar, maka pahatan kelelawar itu tentu ada sangkut pautnya dengan gerombolan ini.”

Kiai Gringsing dan Ki Waskita mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka mendengar suara seseorang yang sedang merintih. Dengan tergesa-gesa mereka menerobos pintu pringgitan, meskipun mereka sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan.

Di ruang dalam, mereka bertiga melihat beberapa orang lagi yang terbaring. Bahkan ada di antara mereka yang agaknya masih hidup. Tetapi ada pula yang sudah tidak tertolong lagi.

Dengan naluri yang ada di dalam dirinya sebagai seorang dukun, maka Kiai Gringsing pun segera menolong mereka yang masih hidup. Bersama Ki Sumangkar dan Ki Waskita, maka mereka pun telah menyisihkan tiga orang di antara mereka yang terbaring diam.

“Air,” desis salah seorang dari ketiga orang itu.

Dengan cekatan Ki Waskita pun telah mengambil air ke sumur di belakang rumah itu. Namun dengan berdebar-debar ia melihat sesosok mayat lagi di dekat sumur itu.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Lebih dari sepuluh orang yang berhasil dibawa mundur oleh orang-orang Kiai Kalasa Sawit. Bahkan mungkin masih ada di antara mereka yang terluka ikut meninggalkan padepokan ini.

“Mungkin mereka adalah orang-orang yang berkuda di dalam pasukan itu,” desis Ki Waskita di dalam hatinya.

Ketika ia kemudian masuk kembali ke dalam rumah itu dengan membawa air pada sebuah mangkuk tanah yang diketemukannya di dalam rumah itu pula, ia melihat Kiai Gringsing sudah mulai mencoba mengobati luka-luka orang itu.

Titik-titik air itu agaknya membuat ketiga orang yang terluka itu menjadi segar.

“Biarlah mereka hidup,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “selain tugas kemanusiaan, maka mereka akan dapat memberikan sedikit cerita tentang gerombolannya.”

Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing dan kedua kawannya berusaha menyelamatkan nyawa katiga orang itu, terdengar derap kaki kuda di luar padepokan.

Karena itu, sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian mereka pun telah meloncat berdiri dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

“Kita keluar lewat pintu belakang. Mungkin sekelompok orang-orang Kiai Kalasa Sawit kembali untuk mengambil sesuatu yang tertinggal, yang dianggapnya cukup berharga.”

Demikianlah, ketiganya dengan hati-hati keluar lewat pintu belakang. Sejenak mereka mengawasi keadaan. Namun ternyata beberapa ekor kuda itu masih berada di luar regol.

“Siapakah mereka?” bertanya Ki Sumangkar ragu-ragu, “Tentu bukan orang-orang Kiai Kalasa Sawit.”

Ki Waskita termenung sejenak. Ia melihat sekilas seekor kuda yang bergerak di depan pintu gerbang. Tetapi sejenak kemudian, kuda itu telah hilang.

Perlahan-lahan Ki Waskita berdesis, “Aku melihat seorang prajurit.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, maka dugaan kita benar. Ternyata Angger Untara benar-benar Angger Untara seperti yang kita bayangkan.”

“Prajurit Pajang telah menyusul ke padepokan ini,” sambung Ki Sumangkar. “Sayang, agak terlambat.”

“Marilah kita temui mereka,” berkata Kiai Gringsing.

Ketiganya pun kemudian berjalan ke regol. Pada saat yang bersamaan, ia melihat beberapa ekor kuda yang berlari-larian di depan pintu gerbang. Dan sejenak kemudian, sebuah iring-iringan pasukan segelar sepapan yang menebar. Tetapi pasukan itu tidak segera mengepung padepokan Tambak Wedi.

“Agaknya Angger Untara sudah mendapat laporan, bahwa padepokan ini telah kosong,” desis Kiai Gringsing.

Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Untara memang bukan baru sejak kemarin sore menjadi seorang prajurit. Ia adalah seorang senapati yang mempunyai perhitungan yang masak, selain seorang yang mampu bertindak tegas dan cepat.

Ketika ketiga orang-orang tua itu berdiri di depan regol, maka Untara pun berjalan mendekatinya, bersama tiga orang pengawalnya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Aku sudah menduga, bahwa Kiai bertiga ada di sini.”

“Dan Angger sudah tahu, bahwa padepokan ini telah kosong?” bertanya Kiai Gringsing.

“Pasukan sandi yang mendahului gerakan prajurit Pajang telah melihat keadaan ini. Kami berhenti sejenak di bawah padepokan ini untuk meyakinkan gerakan kami. Tetapi ternyata bahwa padepokan ini telah kosong.”

“Mereka meninggalkan padepokan ini beberapa saat menjelang fajar,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Aku masih sempat melihatnya. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Ternyata pasukan yang berada di Tambak Wadi ini memang benar-benar kuat.”

“Seorang pemimpin mereka telah Kiai bunuh.”

“Ia membunuh diri. Tetapi agaknya masih ada tiga empat orang lagi di padepokan ini. Mereka tidak mengikuti gerakan pasukannya turun untuk menghancurkan kelompok-kelompok kecil di lereng Merapi.”

Untara menggeram. “Mereka tentu akan membuat onar di tempat lain. Aku harus segera membuat laporan ke Pajang dan menghubungi senapati di daerah lain, di sekitar daerah ini.”

“Ada baiknya, Anakmas. Sekarang, sebaiknya Anakmas melihat-lihat apa saja yang ditinggalkan oleh orang-orang Tambak Wedi selain beberapa sosok mayat.”

“Mayat?”

“Ya. Agaknya mereka yang terluka dan sempat dibawa mundur oleh kawan-kawannya. Tetapi nyawanya ternyata sudah tidak tertolong lagi. Meskipun demikian, masih ada beberapa di antara mereka yang hidup.”

“Tidak banyak artinya. Hanya pemimpin-pemimpin mereka sajalah yang mengetahui serba sedikit tentang gerakan mereka itu. Yang lain adalah orang-orang yang berada sepenuhnya di bawah perintah.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia berkeinginan untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka tentang tombak pusaka itu, meskipun agaknya mereka juga tidak banyak mengetahuinya.

Namun dalam pada itu, Untara pun kemudian membawa beberapa orang pengawal memasuki padepokan Tambak Wedi yang sudah tua itu. Dengan teliti, ia memeriksa semua yang tersisa. Barang-barang yang tidak terbawa dan beberapa sosok mayat. Sedangkan yang masih hidup, langsung berada di bawah pengawasannya dan menjadi tawanan perang.

“Mayat-mayat itu harus dikuburkan,” berkata Untara kepada para pengawalnya, yang kemudian memanggil beberapa orang prajurit untuk melakukannya.

Mereka tidak sempat membawa mayat-mayat itu ke kuburan. Karena itu, maka mayat-mayat itu dikuburkan saja di halaman belakang dari padepokan Tambak Wedi yang tua itu.

“Tidak ada yang perlu aku kerjakan lagi di sini, Kiai,” berkata Untara. “Aku menyesal bahwa aku terlambat. Dan aku tidak akan dapat mengikuti tujuan mereka yang tidak pasti. Mereka tentu akan membelit Gunung Merapi dan menghilangkan jejak di dalam hutan yang lebat. Karena itu, aku kira tidak akan banyak gunanya sekarang untuk menyusul mereka. Tetapi aku akan membuat laporan terperinci.”

Ketiga orang tua itu pun mengangguk-angguk.

“Aku akan segera kembali ke Jati Anom,” berkata Untara selanjutnya. “Aku masih harus mengurus gerombolan-gerombolan kecil yang sudah aku lucuti senjatanya.”

“He?” ketiga orang tua itu hampir berbareng berdesis.

“Aku sudah memerintahkan agar mereka meletakkan senjata. Mumpung waktunya tepat. Jika aku tidak bertindak sekarang, maka aku tidak akan mendapat kesempatan lagi, secepatnya untuk melucuti mereka dan menahan beberapa orang pemimpinnya.”

“Apakah yang akan Angger lakukan?”

“Aku harus mendapatkan keterangan yang lengkap dari setiap kelompok. Aku harus tahu betul setiap nama, setiap tempat tinggal, dan ciri-ciri yang ada pada mereka, sehingga dengan mudah aku dapat menguasainya, jika mereka melanggar perintah-perintahku.”

“Apakah para pemimpinnya akan menjalani hukuman?”

“Aku akan memikirkannya. Tetapi aku belum mengambil keputusan ke arah itu. Agaknya aku masih condong pada memberikan peringatan keras dan yang terakhir.”

Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Mereka kenal sikap Untara sebaik-baiknya. Juga terhadap gerombolan itu, ketiga orang tua itu dapat mengerti, bahwa Untara harus mempergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya.

Demikianlah, maka prajurit Pajang itu pun segera mempersiapkan diri untuk meninggalkan padepokan itu. Semua yang dapat mereka bawa sebagai bahan penyelidikan lebih lanjut, telah mereka siapkan. Barang-barang yang tertinggal dan orang-orang yang masih hidup. Beberapa jenis senjata dan barang-barang yang agaknya diperoleh dengan jalan kekerasan.

Sejenak kemudian, maka pasukan Pajang itu pun telah meninggalkan Tambak Wedi. Matahari sudah bertengger di langit dengan sinarnya yang cerah. Dedaunan yang basah oleh embun nampak lembut, terasa betapa segarnya udara pagi di pegunungan.

Prajurit-prajurit yang lelah itu berjalan menuruni tebing. Sekali-sekali nampak di antara mereka menutup mulutnya yang sedang menguap. Namun nampaknya masih tetap dalam kesiagaan sepenuhnya.

Dalam pada itu, bersama dengan terbitnya matahari, kegemparan dan ketegangan telah mencengkam penduduk di lereng sebelah timur Gunung Merapi. Penduduk yang bertanya-tanya dengan ketakutan di malam hari, mendengar teriakan dan sorak yang menegangkan di tengah bulak, dengan ngeri dapat menyaksikan apa yang telah terjadi, meskipun hanya tinggal bekas-bekasnya saja.

Tatapi mereka tidak dapat mendekati arena. Para prajurit Pajang berjaga-jaga dengan teliti, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Apalagi ketika pasukan yang turun dari Tambak Wedi itu mendekat. Maka mereka yang melihat bekas-bekas pertempuran itu dari kejauhan segera menyibak. Bahkan ada di antara mereka yang dengan ketakutan, lari pulang ke rumahnya.

Yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan lereng Gunung Merapi. Yang melihat pasukan Pajang lewat, tetapi belum mendengar pertempuran yang telah terjadi, bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi berita tentang peperangan itu merambat demikian cepatnya.

“Untara telah menangkap semua orang, yang termasuk dalam gerombolan-gerombolan penjahat di lereng Gunung Merapi,” desis seseorang.

“Apakah artinya akan sebaliknya dari harapan kita, karena sisanya menumpahkan kemarahan kepada kita?” sahut yang lain.

“Pasukan Pajang telah membantu mereka menghadapi orang-orang Tambak Wedi,” berkata seseorang yang mendengar cerita dari prajurit Pajang yang sudah dikenalnya.

“Dari mana kau tahu?”

Orang itu pun segera bercerita tentang pertempuran itu menurut pendengarannya.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang bertubuh gemuk berdesis, “Kenapa Untara masih melindungi mereka?”

“Masih ada harapan, bahwa mereka akan dapat menjadi orang yang baik dan berguna.”

Yang lain masih saja mengangguk-angguk. Seorang yang kurus berkata, “Senapati muda itu orang yang keras, tetapi cukup bijaksana.”

Ketika orang yang bercerita tentang pertempuran itu berpaling, dilihatnya orang yang kurus itu memandanginya. Namun ia sama sekali tidak berkata apa pun lagi karena ia tahu, bahwa di antara anggota gerombolan itu, terdapat saudara sepupu orang yang bertubuh kurus itu.

Sejenak kemudian, Untara telah mengeluarkan beberapa perintah. Menyingkirkan mereka yang terbunuh dan menguburkannya. Sedang prajurit-prajurit Pajang yang gugur, harus mereka bawa kembali ke Jati Anom. Dengan upacara keprajuritan, mereka akan dilepaskan ke makam yang khusus diperuntukkan bagi mereka.

Sedangkan mereka yang telah dilucuti senjatanya itu pun harus ikut serta bersama Untara dan pasukannya ke Jati Anom. Mereka akan mendapat penjelasan, apakah yang akan berlaku atas mereka itu. Beberapa orang di antara mereka telah mendapat ijin untuk merawat kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka.

Dengan demikian, maka iring-iringan yang panjang telah melalui jalan di sepanjang bulak dan padesan, menuju ke Jati Anom.

Selagi Untara sibuk dengan pasukannya dan para tawanannya, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita, berjalan di paling belakang dari iring-iringan itu. Ada yang tidak mereka katakan kepada Untara, bahwa ciri-ciri yang terdapat pada tubuh Kiai Kalasa Sawit dan berbagai macam senjata anak buahnya itu mempunyai arti tersendiri bagi mereka bertiga dan bagi Mataram.

“Tidak ada tanda-tanda serupa itu pada Kiai Jalawaja,” berkata Ki Sumangkar.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita mengangguk-angguk.

“Aku pun telah memperhatikan dengan saksama,” berkata Kiai Gringsing, “sebelum mayatnya disiapkan untuk dikubur. Tetapi aku tidak menemukan apa pun, juga pada tubuh dan perlengkapannya. Ikat pinggang, ikat kepala dan yang lain-lain.”

“Agaknya mereka terdiri dari beberapa golongan yang bergabung menjadi satu. Tetapi inti dari kekuatan mereka justru ada pada Kiai Kalasa Sawit,” sambung Ki Waskita.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Mengagumkan sekali. Dari manakah mereka dapat mengumpulkan orang-orang yang memiliki ilmu yang demikian mengagumkan. Tidak banyak orang yang memiliki ilmu seperti Kiai Jalawaja, Panembahan Alit, dan Panembahan Agung. Orang-orang yang pernah kita jumpai dalam berbagai keadaan, yang melingkar pada persoalan yang sama.”

“Jika mereka bergerak pada saat yang bersamaan, maka agaknya Pajang dan sekaligus Mataram akan mengalami kesulitan. Kecuali jika Pajang sempat mengumpulkan pasukan dari pesisir di bawah pimpinan para adipati, yang pada umumnya memiliki ilmu yang seimbang,” sahut Ki Sumangkar.

“Tetapi, tentu sulit untuk berbuat demikian. Mereka masing-masing mempunyai kepentingan yang sama, sehingga sebenarnya di antara mereka pun telah tumbuh semacam persaingan yang tajam. Menurut dugaanku, seperti yang pernah kita perbincangkan, bahwa satu dari kedua pusaka yang hilang itu dibawa ke barat, dan yang lain lewat lereng Gunung Merapi sebelah timur, adalah ujud dari sikap yang saling tidak percaya di antara mereka itu,” desis Ki Waskita.

“Ya,” Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar hampir bersamaan menyahut, sambil mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka perjalanan itu pun menjadi semakin dekat dengan Jati Anom. Pasukan berkuda yang telah mendahului, telah menyiapkan penampungan bagi para tawanan itu.

Ternyata prajurit Pajang telah membawa tawanan dari berbagai tingkat. Tawanan yang mereka dapatkan dari antara orang-orang Tambak Wedi, dan tawanan yang terdiri dari orang-orang lereng Merapi sendiri. Mereka memerlukan tempat penampungan tersendiri, agar tidak timbul persoalan di antara mereka.

Ketika iring-iringan itu kemudian sampai di Jati Anom, maka Untara pun segera menjadi sibuk mengatur segala sesuatunya. Para senapati hilir-mudik dengan tugas masing-masing. Sementara para prajurit pun telah dibagi dalam kewajiban mereka sendiri-sendiri.

Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita sajalah yang nampaknya dibiarkan duduk di pendapa rumah Untara tanpa kewajiban apa pun. Mereka bahkan dapat menikmati minuman panas dan beberapa potong makanan.

“Maaf, Kiai,” berkata Untara ketika ia kembali sejenak ke rumahnya itu, “aku tidak dapat menemui Kiai bertiga. Masih ada beberapa tugas yang harus aku selesaikan.”

“Silahkan, Ngger,” jawab Kiai Gringsing. “Kami akan beristirahat sambil menunggu di sini.”

“Jika Kiai bertiga memerlukan apa pun juga, silahkan Kiai mengatakannya kepada para penjaga atau jika yang dimaksud adalah makan atau minuman, Kiai dapat mengatakannya kepada istriku.”

“Terima kasih, Ngger, terima kasih.”

Demikianlah, Untara sibuk dengan tugas yang tidak dapat ditinggalkannya. Ia kemudian berada di banjar. Setiap kali ia mengatur prajurit-prajuritnya dalam kewajibannya masing-masing.

Di pendapa rumahnya, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita ternyata telah sibuk dengan pembicaraan mereka tentang orang-orang Tambak Wedi. Terutama mengenai tombak yang telah mereka lihat di antara orang-orang yang singgah di Tambak Wedi untuk beberapa saat itu.

“Jika kita tidak segera berbuat sesuatu, maka mereka tentu akan menjadi semakin jauh,” berkata Ki Waskita, “sehingga pada suatu saat kita akan benar-benar kehilangan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tentu ada tempat tertentu yang telah mereka sepakati bersama, untuk menyatukan kedua pusaka yang terpisah itu,” desis Kiai Gringsing.

“Mungkin, Kiai. Tetapi mungkin tempat itu terlampau jauh dari Mataram,” sahut Ki Sumangkar.

“Ada firasat yang mengatakan kepadaku, bahwa mereka tidak akan pergi terlampau jauh,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Bahkan mereka akan berada di sekitar istana Pajang. Mereka tentu masih akan melengkapi pusaka-pusaka yang mereka dapatkan dari Mataram itu, dengan pusaka-pusaka yang masih ada di Pajang. Pusaka-pusaka yang tidak kalah nilainya, dan merupakan kelengkapan hadirnya wahyu kraton.”

“Kiai Sangkelat, Kiai Nagasasra, dan Kiai Sabuk Inten?” bertanya Ki Waskita.

Kiai Gringsing mengangguk kecil. Katanya, “Mungkin masih ada yang lain. Tetapi ketiga pusaka itulah yang pernah menjadi sumber persoalan pada masa akhir pemerintahan Demak, terutama Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten, sehingga melibatkan beberapa orang yang memiliki ilmu yang pilih tanding dari beberapa daerah yang jauh.”

“Apakah persoalan itu agaknya akan terulang kembali?” bertanya Ki Waskita.

“Ternyata yang telah lebih dahulu dikuasai oleh orang-orang yang menginginkan wahyu kraton Majapahit adalah Kiai Plered dan Kiai Mendung. Tetapi agaknya masih akan datang saatnya pusaka-pusaka kraton yang lain menjadi sasaran mereka pula.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Desisnya, “Beberapa orang telah menyalahkan ananda Arya Penangsang yang gagal dalam perjuangannya merebut tahta Demak, karena orang-orang itu menganggap bahwa ia terlalu tergesa-gesa. Jika ia lebih dahulu berbasil menguasai gedung perbendaharaan pusaka Demak, yang kemudian berhasil diboyong ke Pajang, maka ia tidak akan mengalami kegagalan seperti yang terjadi.” Ki Sumangkar berhenti sejenak, lalu, “Tetapi, agaknya Arya Penangsang lebih senang mengambil jalan yang menurut pendiriannya adalah memintas. Namun akhirnya ia gagal. Pusakanya Brongot Setan Kober dan kudanya Gagak Rintang tidak dapat membantunya menerima kedudukan tertinggi di tanah ini.”

“Dan perang saudara itu sungguh-sungguh mengerikan. Bukan saja perang antara sesama kita, tetapi benar-benar antara saudara sepupu.”

Ki Sumangkar mengangguk. Jawabnya, “Ya. Tidak ada keuntungan yang dapat dipetik dari pertumpahan darah antara saudara sendiri. Antara sesama kita dan antara pendukung orang yang berbeda, namun lingkungan yang sama pula.”

“Kesalahan itulah yang telah melibatkan nenek dan kakek kita dalam perang yang berlarut-larut. Sejak jaman dahulu kala. Bergesernya pusat pemerintahan dari pusar pulau ini ke timur. Kemudian kembali bergeser ke tengah, merupakan pertanda yang pahit dari perebutan kekuasaan itu. Dan agaknya sampai saat ini masih saja nampak gajala-gejalanya. Hilangnya pusaka-pusaka itu membuat kita menjadi sangat cemas, bahwa perang yang demikian akan terulang kembali,” gumam Ki Waskita.

“Usaha-usaha yang mencemaskan telah nampak. Dan kita tidak dapat berbuat banyak,” berkata Kiai Gringsing. Kemudian, “Kita tidak dapat mengatakan kepada pimpinan di Pajang, bahwa kedua pusaka itu telah hilang. Dan dengan demikian Pajang harus memperketat pengawasannya terhadap Gedung Perbendaharaan pusaka-pusaka itu.”

“Ya. Kita tidak dapat berbuat demikian,” desis Ki Sumangkar pula.

Ketiga orang tua itu mengangguk-angguk. Ada kecemasan di dalam hati mereka, justru karena mereka mengetahui bahaya yang seolah-olah sedang merayap, menerkam kekuasaan yang ada. Pajang agaknya telah benar-benar goncang. Jika pada suatu saat ketidak-puasan terhadap Sultan itu merambat kepada para Adipati di pesisir, maka akan tumbuh malapetaka yang besar. Sedangkan Mataram masih sedang tumbuh, dan masih belum mendapat bentuk yang mantap. Apalagi dengan hilangnya kedua pusaka, yang oleh Sultan Pajang diserahkan kepada putra angkatnya, Sutawijaya yang kemudian bergelar Senapati Ing Ngalaga, yang berkedudukan di Mataram.

Demikianlah, maka ketiganya pun kemudian berbicara tentang berbagai macam persoalan yang langsung atau tidak langsung menyangkut perkembangan Mataram, setelah kedua pusaka itu hilang. Mereka mencoba mencari-cari setiap hubungan atas hilangnya pusaka itu, dengan setiap kemungkinan yang dapat mereka dengar tentang kesetiaan para pejabat di Pajang sendiri.

“Suatu kerja yang panjang,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak akan dapat kita lakukan dalam satu dua bulan, bahkan mungkin satu dua tahun. Kita tidak tahu, di mana Ralen Sutawijaya itu kini berada. Mungkin Radan Sutawijaya telah mendapatkan bahan-bahan yang lain tentang hilangnya kedua pusakanya. Tetapi mungkin Raden Sutawijaya justru sedang berada di lembah-lembah dan hutan-hutan lebat di lereng Pegunungan Sewu.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Mungkin sekali. Agaknya Raden Sutawijaya mempunyai kebiasaan antara ayahanda angkatnya, Sultan Hadiwijaya, dan ayahandanya, Ki Gede Pemanahan. Seorang yang suka sekali menyepi, menempuh perjalanan untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu. Tetapi juga seperti Sultan Hadiwijaya, ia adalah seorang anak muda yang mudah sekali tersentuh perasaannya melihat kecantikan seorang gadis.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Suatu gabungan sifat yang agak bertentangan. Tetapi agaknya memang dapat terwujud di dalam diri Raden Sutawijaya.”

“Dengan demikian, apakah yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya Ki Sumangkar.

“Sekali-sekali kita pergi ke Mataram. Mungkin kita mendengar sesuatu tentang Raden Sutawijaya, sehingga kita akan dapat sepera menghubunginya, dan memberitahukan penglihatan kita atas kedua pusaka itu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Sementara itu, kita dapat ikut menyelenggarakan perkawinan Swandaru, yang sudah menjadi semakin dekat.”

Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk.

“Ya,” desis Ki Sumangkar, “hampir aku lupa. Dalam waktu dakat, Sangkal Putung akan menyelenggarakan perelatan perkawinan Angger Swandaru.”

“Suatu selingan yang baik,” berkata Ki Waskita sambil tersenyum, “namun kita tidak akan dapat melepaskan sama sekali setiap hubungan persoalan yang sedang terjadi sekarang ini. Baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Sangkal Putung, sama sekali tidak akan tersentuh oleh arus yang menghanyutkan pusaka-pusaka itu. Tetapi mungkin berbeda dengan tlatah Menoreh.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Meskipun Menoreh mempunyai kekuatan yang cukup dengan anak-anak muda yang telah terlatih sebagai pengawal Tanah Perdikan, yang tidak jauh berbeda dengan suasana keprajuritan, namun jika di daerah itu hadir Kiai Kalasa Sawit dengan kekuatan yang sama seperti pasukan Kiai Jalawaja, maka Menoreh harus berjuang sekuat-kuatnya untuk mempertahankan diri. Meskipun mungkin mereka berhasil mengusir kekuatan sebesar itu, tetapi korbannya tentu tidak terbilang.

“Mudah-mudahan, hari-hari perkawinan itu dapat berlangsung tanpa gangguan apa pun. Setelah hari itu terlampaui, maka baiklah kita kembali turun ke gelanggang. Bahkan mungkin dengan anak-anak kita, dan sepasang pengantin baru itu,” gumam Kiai Gringsing.

Namun dalam pada itu, setiap kali mereka membicarakan perkawinan Swandaru, terasa sesuatu tergetar di hati Ki Waskita. Seolah-olah Ki Waskita melihat kabut yang suram membayang di wajah kedua pengantin itu. Namun rasa-rasanya Ki Waskita melihat bayangan itu jauh sekali, di antara awan yang kehitam-hitaman.

“Ah,” Ki Waskita tiba-tiba saja menundukkan kepalanya.

“Apakah Ki Waskita melihat sesuatu?” tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya. Sebagai seorang yang memiliki penglihatan yang tajam, meskipun berbeda ujudnya dengan penglihatan atas isyarat seperti yang dapat dilakukan oleh Ki Waskita, namun Kiai Gringsing dapat menangkap sesuatu di wajah Ki Waskita itu.

Demikian juga agaknya Ki Sumangkar, sehingga di luar sadarnya Ki Sumangkar pun bertanya, “Apakah yang kau lihat, Ki Waskita?”

Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Aku terlalu dipengaruhi oleh pertempuran yang baru saja berlangsung.”

Tetapi Kiai Gringsing berdesis, “Ada sesuatu yang tergerak di hati Ki Waskita.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku menjadi cemas, bahwa perkawinan itu dapat terganggu karenanya. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa aku adalah seseorang yang terlampau banyak menghubung-hubungkan peristiwa dengan peristiwa yang kadang-kadang, seolah-olah aku lihat sebagai isyarat. Tetapi aku dapat keliru.”

Kedua orangtua itu pun mengangguk-angguk. Namun betapapun juga mereka menangkap kecemasan di hati Ki Waskita, yang agaknya melihat sesuatu yang kurang cerah. Tetapi agaknya Ki Waskita masih belum dapat mengatakan dengan terbuka.

Namun justru karena itu, timbullah berbagai macam dugaan di hati Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.

Meskipun demikian, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, yang telah cukup matang dalam sikap itu, tidak mendesak Ki Waskita. Mereka mengangguk-angguk tanpa sesadarnya. Meskipun demikian, mereka seakan-akan melihat pula kabut yang buram itu membayang.

Karena itu pulalah agaknya, maka Kiai Gringsing justru menjadi semakin didesak oleh suatu keinginan untuk segera kembali ke Sangkal Putung. Rasa-rasanya ia ingin berada di dekat muridnya, khususnya Swandaru yang akan melangsungkan hari perkawinannya dalam bayangan kecemasan.

“Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “rasa-rasanya aku ingin terbang ke Sangkal Putung saat ini.”

“Mungkin sikapku telah mempengaruhi perasaan Kiai. Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud membuat kesan apa pun atas Angger Swandaru.”

“Tidak, Kiai. Tetapi seandainya memang demikian sehingga aku menjadi tergesa-gesa pergi ke Sangkal Putung, sama sekali bukan salah Ki Waskita. Apa pun yang terjadi, akan terjadi. Jika Ki Waskita melihat isyarat apa pun, itu adalah isyarat. Bukan isyarat itulah yang menyebabkan yang terjadi itu kemudian terjadi.”

Ki Waskita mengangguk-angguk.

“Nah, Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing pula, “apakah kita pada hari ini dapat minta diri dan pergi ke Sangkal Putung?”

“Aku kira tidak ada salahnya,” sahut Ki Waskita, “persoalan kita sudah selesai di sini. Dan agaknya Angger Untara tinggal menghadapi penyelesaian menurut ketentuan yang ada dalam lingkungan keprajuritan Pajang, sehingga kita memang tidak dapat berbuat apa-apa di sini.”

“Baiklah,” sahut Kiai Gringsing, “kita akan minta diri.”

“Angger Untara tentu tidak akan terlalu lama,” berkata Ki Sumangkar pula. “Rasa-rasanya memang sudah terlalu lama kita berada di Jati Anom.”

Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun mengerti pula, bahwa tentu Ki Sumangkar pun mencemaskan satu-satunya muridnya, Sekar Mirah. Yang hubungannya dengan Agung Sedayu menjadi jelas dalam kesamarannya.

“Angger Untara ingin adiknya ada di Jati Anom,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Itu pun menggelisahkan pula. Karena hubungan kakak beradik itu akan dapat menjadi renggang, jika sikap mereka tidak seimbang.”

Namun ketiga orang tua itu pun kemudian sepakat untuk minta diri kepada Untara. Selain kehadiran mereka di Jati Anom memang tidak akan dapat memberikan bantuan bagi penyelesaian persoalan para tawanan dan hubungan antara prajurit Pajang dengan mereka, yang oleh Untara digolongkan pada orang-orang yang masih mungkin mendapat tempat di dalam lingkungannya, mereka juga merasa mempunyai kewajiban yang harus mereka lakukan di Sangkal Putung.

Seperti yang diduga oleh Ki Sumangkar, maka Untara memang tidak terlalu lama kemudian telah datang kembali ke rumahnya. Sambil mengusap keringat di keningnya dengan lengan bajunya, ia pun kemudian duduk pula bersama ketiga orang tua itu di pendapa.

“Semuanya akan mendapat penyelesaian sawajarnya,” berkata Untara.

“Bagaimana dengan orang-orang lereng Merapi itu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku masih mempunyai harapan, bahwa mereka akan dapat hidup baik. Mereka yang bukan termasuk pimpinan pada gerombolan-gerombolan itu, akan segera aku lepaskan hari ini, setelah aku berikan nasehat-nasehat tetapi juga ancaman-ancaman. Sedang para pemimpinnya, masih akan aku bawa berbicara langsung untuk mencari pemecahan. Tetapi mereka pun akan segera aku perbolehkan kembali ke rumah masing-masing. Tetapi juga dengan ancaman-ancaman yang benar-benar akan aku lakukan jika mereka melanggarnya. Sedang orang-orang yang kami tangkap dari antara orang-orang yang berada di Tambak Wedi, akan kami bawa ke Pajang dan kami serahkan kepada kebijaksanaan para senapati di Pajang.”

“Apakah ada di antara mereka yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk serba sedikit, untuk menyingkap rahasia dari gerombolan yang berada di Tambak Wedi?” bertanya Ki Sumangkar.

Ki Untara menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada apa-apa yang mereka ketahui. Mereka hanyalah sekedar orang-orang yang terseret oleh arus yang tidak mereka mengerti, dengan sedikit harapan oleh janji-janji yang diberikan para pemimpin garombolan itu. Tetapi satu hal yang dapat kami tangkap dari keterangan mereka yang sedikit itu, bahwa gerombolan itu bukannya gerombolan penjahat yang sewajarnya.”

“Lalu?”

“Mereka mempunyai tujuan yang lebih berharga dari perampokan di sepanjang perjalanan mereka, karena mereka menyebut-nyebut suatu keinginan untuk memperoleh kedudukan dalam pimpinan pemerintahan dan keprajuritan.”

“Mereka akan melawan pemerintahan Pajang?”

“Menurut nada keterangan yang tidak jelas dari mereka yang tertangkap hidup, adalah demikian.”

Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Bagi mereka menjadi semakin jelas, bahwa tombak yang mereka lihat itu tentu Kanjeng Kiai Pleret, yang mereka ambil dari perbendaharaan pusaka di Mataram.

Tetapi mereka bertiga tidak dapat mengatakannya demikian.

Bahkan sejenak kemudian, setelah mereka berbincang panjang lebar, dan setelah Untara mempersilahkan tamunya makan bersamanya dan menyatakan untuk segera kembali kepada tugasnya di banjar, ketiga orang-orang tua itu justru minta diri kepadanya.

“Begitu tergesa-gesa, Kiai? Kiai tentu lelah. Sebaiknya Kiai bertiga beristirahat barang satu dua hari di sini.”

“Terima kasih, Ngger. Sangkal Putung tidak begitu jauh dari sini.”

Untara mengangguk-angguk. Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh dari Jati Anom. Apalagi apabila mereka pergi berkuda, maka mereka akan segera sampai di Kademangan Sangkal Putung dan beristirahat sepuas-puasnya tanpa memikirkan tawanan-tawanan yang masih harus diselesaikan.

“Baiklah, Kiai,” berkata Untara kemudian, “jika Kiai bertiga ingin segera pergi ke Sangkal Putung, maka sudah barang tentu aku tidak dapat menahannya.”

“Tetapi, Angger,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sebelum aku pergi, apakah Angger mengijinkan kami bertiga untuk bertemu dengan tiga orang yang kami ketemukan terluka parah di padepokan Tambak Wedi?”

Untara mengerutkan keningnya. Lalu, “Apakah kepentingan Kiai dengan mereka?”

“Aku telah mengobati mereka. Apakah ada manfaatnya, aku ingin melihatnya.”

“O,” Untara mengangguk-angguk, “silahkan, Kiai. Mereka berada di banjar. Nanti aku antarkan Kiai menemui mereka.”

“O tidak, Ngger. Tidak perlu. Biarlah kami pergi saja ke banjar. Aku harap jika Angger mengijinkan, para penjaganya pun tidak akan berkeberatan,” sahut Kiai Gringsing. “Sementara ini biarlah Angger Untara beristirahat. Kami hanya sebentar, karena kami akan segera kembali ke Sangkal Putung.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing bertiga memerlukan pergi ke banjar meskipun hanya sebentar. Mereka berusaha menjumpai tiga orang yang telah ditolongnya di padepokan Tambak Wedi.

Agaknya para petugas pun tidak berkeberatan apa pun, karena mereka kenal siapakah Kiai Gringsing dan kedua kawannya itu.

Ketiga orang itu pun kemudian berjongkok di samping tubuh yang terbaring di atas tikar, di ruang belakang banjar kademangan. Beberapa orang yang lain nampak terbaring pula berjajar-jajar. Sementara para penjaga berdiri di pintu dengan senjata di tangan.

“Ki Sanak,” bisik Kiai Gringsing di telinga salah seorang dari ketiga orang yang terluka itu, “apakah badanmu sudah merasa agak baik?”

“Ya, Kiai,” jawab orang itu. “Obat Kiai memberikan banyak sekali pertolongan pada luka-lukaku. Bahkan perasaan pedihnya pun menjadi jauh berkurang.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk.

“Ki Sanak, apakah kau sudah lama berada di dalam lingkungan anak buah Kiai Kalasa Sawit?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Belum terlalu lama. Aku terseret oleh beberapa anak muda di padukuhanku.”

“Kau berasal dari mana?”

“Jipang.”

“Jipang?” desis Ki Sumangkar.

“Ya. Beberapa orang anak-anak muda dari padukuhan kami telah menyatukan diri dengan perjuangan untuk menegakkan kembali kejayaan Majapahit.”

“Siapakah yang mengatakan kepada kalian?”

“Kiai Kalasa Sawit.”

“Apakah kau tahu arti dari perjuangan itu?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Yang aku ketahui adalah, bahwa jika perjuangan itu berhasil, maka kami akan mendapatkan kedudukan yang baik pada pemerintahan Majapahit kedua kelak.”

“Apakah kebanyakan kawan-kawanmu datang dari Jipang?”

“Tidak. Ada yang berasal dari Pajang, dari Demak, dan bahkan dari pesisir. Kebanyakan anak buah Kiai Jalawaja berasal dari pesisir utara.”

“Ki Sanak,” desis Kiai Gringsing kemudian, “apakah kau mengetahui, apakah yang telah diselongsongi dengan kain putih, dikawal oleh tiga orang yang bertubuh raksasa, pada saat Kiai Kalasa Sawit meninggalkan Tambak Wedi?”

“Tombak, maksud Kiai?”

“Ya, Tombak itu.”

Dengan penuh harap Kiai Gringsing menunggu keterangan orang yang terluka itu. Namun ia menjadi kecewa ketika ia melihat orang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Yang aku ketahui, tombak itu adalah tombak yang sangat berharga. Aku tidak tahu, milik siapakah tombak itu. Tiba-tiba saja pusaka yang sangat dihormati itu telah berada di antara kita. Pusaka yang selalu dikawal dengan kuat dan diawasi langsung oleh Kiai Kalasa Sawit dan orang-orang yang sangat dipercayainya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dari sorot matanya, Kiai Gringsing mengetahui bahwa orang itu menjawab dengan jujur, sehingga dengan demikian Kiai Gringsing pun percaya, bahwa tidak banyak orang yang mengetahui tentang pusaka itu. Selain mereka yang sangat dipercaya oleh Kiai Kalasa Sawit, dan mungkin orang-orang yang justru lebih berpengaruh daripadanya, karena Kiai Gringsing pun yakin, bahwa Kiai Kalasa Sawit bukan orang pertama pada lingkungannya.

Kiai Gringsing dan kedua orang kawannya pun kemudian meninggalkan orang itu, kembali ke rumah Untara. Betapapun juga mereka tidak akan mendapatkan keterangan lebih banyak tentang tombak itu. Apalagi suatu kepastian, bahwa tombak itu memang Kanjeng Kiai Pleret yang telah hilang dari Mataram.

Demikianlah, seperti yang sudah dikatakan kepada Untara, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera minta diri dan meninggalkan Jati Anom. Seperti pada saat mereka pertama kali pergi ke Jati Anom dari Sangkal Putung, maka mereka pun berjalan kaki, karena mereka tidak mau membawa kuda dari Jati Anom.

“Di sini kuda itu sangat diperlukan, meskipun banyak jumlahnya,” berkata Kiai Gringsing, “apalagi belum pasti kapan aku dapat mengembalikannya.”

Ki Untara mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa mungkin ketiga orang-orang tua itu baru akan kembali ke Jati Anom untuk waktu yang lama. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah, Kiai. Jika Kiai memang ingin berjalan-jalan sambil menikmati segarnya udara pinggir hutan rindang itu.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan tugas Angger cepat selesai. Para tawanan itu akan dapat segera disalurkan sesuai dengan keadaan dan tingkat mereka masing-masing.”

“Ya, Kiai. Sebagian masih dapat diharapkan kembali pada lingkungannya. Terutama mereka yang selama ini menjadi benalu di lereng Merapi. Tetapi orang yang kami tangkap dari lingkungan pasukan Kiai Kalasa Sawit, tetap akan kami serahkan kepada kebijaksanaan pimpinan keprajuritan di Pajang.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera mohon diri, juga kepada para senapati dan prajurit yang berada di rumah Untara. Mereka meninggalkan Jati Anom untuk pergi ke Sangkal Putung, karena di Sangkal Putung tugas yang lain agaknya telah menunggu.

“Orang-orang tua yang luar biasa,” desis Untara sepeninggal ketiga orang tua itu.

Seorang senapati muda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mengherankan sekali. Seolah-olah umur mereka sama sekali tidak mempengaruhi jasmani mereka.”

“Tentu ada pengaruhnya,” berkata Untara.

“Jika demikian, betapa dahsyatnya mereka di masa muda.”

“Tentu tidak sedahsyat sekarang.”

Senapati muda itu menjadi bingung. Namun Untara pun menjelaskan, “Di saat mereka masih muda, tenaga jasmaniah mereka memang lebih baik dari sekarang. Tetapi ilmu mereka tentu belum sematang sekarang. Sedangkan sekarang, di saat tenaga jasmaniah mereka mulai surut, mereka telah berhasil mematangkan ilmu mereka dan penguasaan tenaga cadangan di dalam diri mereka. Itulah sebabnya, nampaknya mereka justru menjadi semakin kuat dan tangkas. Apabila ada seseorang yang di masa mudanya dapat menguasai kemampuan dan kematangan ilmu seperti mereka bertiga, maka ia adalah orang yang tidak terkalahkan.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Tetapi, di dunia ini tidak ada orang yang tidak terkalahkan, karena betapapun kuatnya seseorang, namun ia tentu memiliki kelemahan-kelemahannya masing-masing.”

Senapati muda itu mengangguk-angguk. Namun betapapun juga, ia tetap mengagumi ketiga orang-orang tua yang seolah-olah sama sekali tidak merasa lelah dan letih, meskipun mereka terlibat dalam pertempuran yang dahsyat di antara prajurit-prajurit Pajang.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita, telah menjadi semakin jauh dari Jati Anom. Mereka merasa udara di bulak persawahan memang menjadi segar. Apalagi jika mereka nanti memasuki bayangan rimbunnya dedaunan di pinggir hutan rindang.

Memang kadang-kadang terasa juga, bahwa segarnya udara justru membuat mereka merasa letih, seolah-olah mereka justru ingin berhenti dan duduk saja di bawah sebatang pohon yang rimbun, kemudian bersandar batangnya sambil terkantuk-kantuk. Namun mereka sudah terlalu biasa menguasai diri sendiri dan mengesampingkan perasaan letih, dan terlebih-lebih lagi adalah perasaan segan untuk berbuat sesuatu karena keletihan itu.

Karena itu, maka mereka masih tetap berjalan, bahkan semakin cepat agar mereka segera sampai ke Jati Anom.

Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berdesis, “Aku menjadi berdebar-debar, ketika aku minta diri kepada Angger Untara.”

“Kenapa?” bertanya Ki Sumangkar.

“Aku sudah terngiang pertanyaannya mengenai Agung Sedayu.”

Ki Sumangkar dan Ki Waskita tersenyum.

“Aku menduga, bahwa Angger Untara akan berpesan kepadaku, agar besok, selambat-lambatnya lusa, Agung Sedayu harus sudah berada di Jati Anom.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ia berniat untuk berpesan, begitu kepada Kiai. Tetapi karena kesibukannya, badannya, dan juga pikirannya, maka ia telah terlupa.”

“Tetapi itu bukan berarti bahwa ia akan lupa untuk seterusnya,” sambung Ki Waskita.

“Itulah yang menggelisahkan. Angger Untara menginginkan Agung Sedayu kembali ke Jati Anom dan magang menjadi seorang prajurit. Apabila ia dapat menunjukkan kemampuannya, maka pada suatu saat ia akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik dalam susunan keprajuritan Pajang, karena pada dasarnya Agung Sedayu telah memiliki kemampuan olah kanuragan, betapapun kecilnya,” desis Kiai Gringsing. “Tetapi menurut pengamatanku, Agung Sedayu tidak akan dapat menjadi seorang prajurit seperti Angger Untara. Agung Sedayu yang dipengaruhi sifat-sifat masa kanak-kanaknya, tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tegas seperti kakaknya. Ia terlalu banyak menimbang-nimbang dan bahkan di dalam banyak hal, perasaannya terlalu banyak berbicara.”

“Seharusnya Angger Untara dapat mengerti,” desis Ki Waskita.

“Mungkin, Angger Untara mengerti. Tetapi ia ingin membentuk adiknya. Mungkin ia berharap bahwa sifat dan wataknya akan berubah, apabila ia sudah berada di dalam lingkungan keprajuritan.”

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. “Untuk mengambil keputusan, Agung Sedayu harus berpikir tiga-empat kali. Ia mempertimbangkan pula pendapat orang lain atas tindakan yang akan diambilnya. Bahkan kadang-kadang ia merasa telah menyinggung perasaan orang lain dalam setiap langkahnya. Agaknya Swandaru-lah yang lebih tepat untuk menjadi seorang prajurit. Ia mempunyai keberanian untuk menentukan sikap dan keputusan tanpa menunggu sehingga terlambat.”

“Meskipun kadang-kadang kurang tepat,” desis Ki Sumangkar.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya sambil mengangguk-angguk, “Ya. Tetapi itu adalah akibat yang wajar dari sifat dan watak masing-masing.”

Ki Waskita yang mendengarkan pembicaraan itu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi, terasa sesuatu menyentuh perasaannya, sehingga ia menjadi tertegun. Sambil menggigit bibirnya ia menggelengkan kepalanya, seakan-akan ingin mengusir sesuatu yang nampak oleh mata hatinya.

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menjadi heran melihat sikap Ki Waskita. Tetapi sebagai orang yang memiliki banyak pengalaman untuk mendalami sikap dan tanggapan yang paling dalam pada diri seseorang, maka keduanya sama sekali tidak bertanya.

Tetapi karena itu, rasa-rasanya Ki Waskita tidak dapat menahan di dalam dadanya. Ketika ia mengangkat wajahnya sambil menarik nafas dalam-dalam, ia pun berdesis, “Kiai benar. Angger Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang ragu-ragu dan penuh dengan kebimbangan. Seperti yang pernah Kiai ceritakan, di masa kecilnya ia mempunyai pengalaman batin yang hampir sama dengan Rudita, meskipun perkembangannya menjadi agak berbeda, karena perbedaan dasar. Sedangkan Angger Swandaru yang bebas dan selalu mendapatkan sesuai dengan keinginannya, justru karena ia adalah putra seorang demang, telah mempengaruhi sifatnya pula. Dan agaknya sifat yang demikian nampak pula pada adiknya, murid Ki Sumangkar.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Sahutnya, “Kau benar, Ki Waskita. Terasa kemanjaan semasa kanak-kanak, bukan saja dari orang tuanya, tetapi oleh lingkungannya, membuat mereka berdua memiliki sifat-sifat yang jauh berbeda dengan Agung Sedayu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun tatapan matanya kemudian seakan-akan, tersangkut di ujung awan yang mengambang di langit yang biru. Katanya kemudian, “Karena Kiai berdua membicarakan, sifat dan watak Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru, di luar kemauanku, seolah-olah aku melihat, bahwa sifat dan kelakuan Angger Swandaru-lah yang telah menumbuhkan bayangan yang suram pada masa depannya, justru setelah hari-hari perkawinannya.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menyahut. Mereka melihat Ki Waskita mengangkat wajahnya. Kemudian menarik nafas dalam-dalam.

Namun dalam pada itu, mereka bertiga masih tetap berjalan, meskipun menjadi agak lambat.

“Ki Waskita,” Kiai Gringsing pun kemudian berbisik, “aku dapat menduga isyarat apakah yang Ki Waskita lihat setelah saat perkawinan itu. Tetapi yang aku tidak dapat menduga, apakah masih ada cara untuk mencari pemecahan. Jika yang Ki Waskita lihat, adalah apa yang akan terjadi, maka agaknya memang sulit untuk menyusup di sela-sela keharusan yang akan berlaku.”

Ki Waskita menarik nafas semakin panjang, serasa ia ingin menghirup udara di seluruh bulak yang panjang. “Kiai. Itulah kelemahanku, yang pada dasarnya adalah kelemahan manusia. Kita memang harus menyadari, betapa dungunya kita, betapapun orang lain menganggap kita memiliki ketajaman penglihatan dan kebijaksanaan.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menyahut.

“Kiai berdua,” berkata Ki Waskita sambil melangkah terus perlahan-lahan. “Aku tidak mengetahui, apakah yang aku lihat itu adalah isyarat tentang apa yang akan terjadi, atau semata-mata karena pikiranku telah dipengaruhi oleh sentuhan pendengaranku tentang Angger Swandaru, dan yang kemudian langsung mempengaruhi tanggapanku atasnya dalam sentuhan isyarat.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “Tetapi menurut pengalamanku, apa yang terasa di dalam hati ini adalah isyarat tentang apa yang akan terjadi. Namun demikian, mudah-mudahan aku keliru, sehingga masih ada jalan menyimpang, karena sebenarnyalah bahwa yang nampak bukanlah apa yang akan terjadi, tetapi sekedar kegelisahan orang tua yang sudah mulai pikun.”

Terasa hati Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menjadi berdebar-debar. Meskipun tidak berterus-terang, tetapi jelas bagi keduanya, bahwa jalan hidup Swandaru agak mencemaskan hati orang yang memiliki ketajaman penglihatan bagi masa depan itu. Dan kecemasannya itu sejalan dengan nalar pada kedua orang yang dengan cemas mendengarkan uraiannya yang samar-samar itu.

“Sifat-sifat Swandaru memang kadang-kadang membuat hati ini berdebar-debar,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Namun demikian, adalah kewajiban manusia untuk berusaha. Apa yang dapat dilakukan, tentu akan dilakukan oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar atas murid-muridnya yang memiliki sifat yang serupa.

Demikianlah, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan hutan rindang yang terbentang di pinggir jalan menuju ke Sangkal Putung. Jalan yang tidak terlalu banyak dilalui orang, meskipun jalan itu adalah jalan memintas. Tetapi jalan itu juga tidak sepi sama sekali. Beberapa orang nampak berkuda melalui jalan itu, berpapasan dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita.

“Agaknya mereka belum mendengar apa yang telah terjadi,” desis ketiga orang tua itu di dalam hatinya. Karena jika demikian, mereka tentu akan menunda perjalanan mereka ke lereng Gunung Merapi.

Tetapi, agaknya mereka telah berjanji untuk pergi bersama-sama dalam jumlah yang cukup, untuk mengatasi kesulitan yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan mereka.

Ketiga orang tua itu pun kemudian hampir tidak berbicara lagi, selain sepatah-sepatah saja. Kemudian mereka lebih banyak merenungi hari depan murid-murid mereka, yang mempunyai sifat yang berbeda itu. Bahkan bukan saja sifat dan wataknya, tetapi juga lingkungan mereka, dan persoalan-persoalan yang dapat mempengaruhi jalan hidup masing-masing.

Di perjalanan, mereka sama sekali tidak menemui kesulitan apa pun juga. Meskipun perjalanan mereka tidak dapat terlalu cepat, karena mereka hanya berjalan kaki saja.

Namun demikian, jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung akhirnya telah mereka lintasi dengan selamat. Dengan keringat yang membasahi pakaian, mereka memasuki halaman kademangan di Sangkal Putung.

Kedatangan mereka segera disambut oleh Ki Demang sekeluarga dan Agung Sedayu serta Rudita. Bahkan beberapa orang bebahu Kademangan Sangkal Putung, yang melihat kehadiran ketiga orang tua itu pun, ikut menyambut pula di pendapa.

Pembicaraan mereka segera menjadi ramai. Berbagai pertanyaan telah dilontarkan mengenai perjalanan mereka dan peristiwa yang terjadi di Jati Anom.

“Angger Untara adalah seorang prajurit,” berkata Kiai Gringsing, “segala keputusan dan tindakannya adalah pencerminan dari sikap dan wataknya itulah.”

Dengan singkat Kiai Gringsing sempat menceriterakan apa yang telah terjadi di Jati Anom. Pertempuran yang dahsyat antara prajurit Pajang di Jati Anom yang harus menghadapi kekuatan yang tidak terduga di Tambak Wedi. Kemudian tindakan yang tepat, yang di lakukan oleh Untara, untuk membersihkan lereng Merapi dari beberapa gerombolan penjahat-penjahat kecil, yang selama ini dirasakannya mengganggu ketenangan.

Namun demikian, tidak semuanya diceritakan oleh Kiai Gringsing. Ia tidak menyinggung sama sekali tentang tombak yang dilihatnya meninggalkan padepokan itu dengan pengawalan yang sangat kuat.

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Syukurlah bahwa semuanya telah selesai. Sangkal Putung memang tidak terlalu dekat dengan Jati Anom, tetapi juga tidak terlalu jauh, sehingga setiap gejolak yang melimpah dari Jati Anom, akan mungkin sekali menyentuh kademangan ini pula.”

“Tetapi kademangan ini mempunyai pengalaman yang luas untuk mempertahankan dirinya dari gerombolan-gerombolan semacam itu,” berkata Ki Waskita. “Bukankah Sangkal Putung pernah berhadapan langsung dengan pasukan Macan Kepatihan dari Jipang?”

“Ah. Itu sudah lama lampau. Dan pada saat itu, pasukan Pajang justru berada di kademangan ini.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi, Sangkal Putung dengan demikian telah menempa dirinya. Pengawal-pengawal kademangan ini tentu mempunyai kelainan dengan kademangan-kademangan lain, yang sama sekali tidak pernah mengalami goncangan apa pun.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Jawabnya, “Agaknya memang demikian. Dan aku berbangga atas peristiwa yang membuat Sangkal Putung justru menjadi kuat itu.”

Demikian, pembicaraan mereka pun semakin lama menjadi semakin luas dari satu persoalan ke persoalan yang lain, yang telah terjadi di Sangkal Putung.

Tetapi pembicaraan itu pun kemudian terhenti, ketika Nyai Demang kemudian mempersilahkan tamu-tamunya itu untuk makan.

Sekar Mirah yang semula ikut mendengarkan pembicaraan gurunya di antara tamu-tamunya yang lain, kemudian menjadi sibuk membantu ibunya menyediakan nasi dan lauk pauknya.

Baru setelah mereka selesai makan, mereka mulai membicarakan masalah-masalah yang lain. Terutama mengenai rencana hari perkawinan Swandaru yang menjadi semakin dekat.

“Agaknya persiapan perkawinan itu sudah jauh,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Tentu, Kiai. Bukankah waktunya sudah menjadi semakin dekat? Kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Pada hari yang kelima, kita akan menerima sepasang penganten itu dari Tanah Perdikan Menoreh. Kita sudah menyiapkan keramaian tiga hari tiga malam. Semula kita ingin mengadakan keramaian lebih dari itu. Tetapi mengingat keadaan yang terakhir di lereng Gunung Merapi, dan terutama di Mataram, maka niat itu pun kami tarik surut. Kami hanya akan mengadakan keramaian tiga hari tiga malam. Itu pun hanya sekedarnya. Kami ingin memberikan sedikit selingan bagi Sangkal Putung yang selalu tegang. Tetapi kami tidak dapat melupakan keadaan di sekitar kita.”

Ketiga orang-orang tua itu mengangguk-angguk.

“Justru karena itulah, maka Sangkal Putung telah mempersiapkan segala-galanya. Pasukan pengawal yang lengkap telah kami susun seperti saat-saat yang paling gawat, yang pernah mengancam kademangan ini. Siapa tahu bahwa dalam keadaan itu, tiba-tiba saja muncul beberapa gerombolan-gerombolan perampok yang menduga, bahwa sekali tepuk mereka akan mendapatkan beberapa ekor lalat di dalam perelatan itu.”

“Ternyata Ki Demang cukup berhati-hati,” sahut Kiai Grinsing, “mudah-mudahan Ki Argapati di Menoreh pun bersikap serupa pula.”

“Agaknya Ki Gede Menoreh pun menyadari keadaan itu,” desis Ki Waskita.

“Ki Argapati mengetahui, bahwa setiap saat kemungkinan yang tidak diharapkan itu dapat timbul seperti di Sangkal Putung,” sambung Ki Sumangkar. “Tetapi justru karena itu, Ki Gede tentu sudah mempersiapkan diri pula.”

“Tetapi ia hanya seorang diri. Pandan Wangi tentu tidak akan dapat membantunya seperti pada saat lain,” desis Kiai Gringsing.

Mereka yang mendengarkan mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa justru karena Pandan Wangi akan kawin itulah, maka Menoreh menjadi sibuk. Karena itu, maka Pandan Wangi sendiri tidak akan dapat banyak membantu ayahnya dalam hal itu.

Namun dalam pada itu, mereka menyadari, bahwa Ki Gede Menoreh adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia mengenal daerahnya seperti ia mengenal dirinya sendiri.

“Di Menoreh tidak ada gerombolan-gerombolan yang mengganggu ketenangan, seperti di lereng Merapi. Apalagi benturan seperti yang baru saja terjadi,” desis Ki Waskita, “sehingga karena itu, maka Menoreh tentu terasa lebih tenang.”

Yang lain mengangguk-angguk. Apalagi mereka pun mengerti, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun agaknya dapat dipercaya, seperti anak-anak muda di Sangkal Putung.

Meskipun demikian, betapapun mereka membicarakan keadaan lereng Merapi, namun tidak seorang pun dari mereka yang mulai menyinggung tentang tombak yang hilang dari Mataram. Selain waktunya memang tidak tepat, di pendapa itu juga hadir beberapa orang yang tidak tahu-menahu tentang pusaka itu.

Baru kemudian, setelah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita, dipersilahkan beristirahat di gandok, mereka mulai membicarakannya dengan Agung Sedayu dan Swandaru.

Namun dalam pada itu, karena Rudita hadir juga di antara mereka, ayahnya memerlukan memberikan pesan khusus kepadanya, “Rudita. Mungkin jalan pikiranmu agak berbeda dengan jalan pikiran kami. Tetapi sebaiknya kau menahan diri. Biarlah kami mencari jalan penyelesaian sesuai dengan cara kami.”

Rudita mengerutkan keningnya.

“Kau boleh mendengarkan pembicaraan kami, tetapi kau harus mencoba menghargai cara dan usaha kami, khususnya mengenai pusaka-pusaka dari Mataram itu.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ya, Ayah. Aku mengerti maksud Ayah, meskipun barangkali aku tetap tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ayah. Tetapi karena persoalannya masih belum aku ketahui, dan sikap serta tanggapan Ayah dan Kiai bertiga juga belum aku ketahui, maka aku tidak dapat mengatakan bahwa jalan pikiran kita akan berbeda.”

Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Rudita. Tetapi aku selalu mengharap kau mengikuti cara kami berpikir.”

“Baiklah, Ayah,” jawab Rudita, meskipun ia tidak mengerti apakah yang harus dilakukannya selain berdiam diri.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing, “Nah, mungkin Kiai ingin memberitahukan sesuatu kepada kedua murid Kiai.”

Kiai Gringsing mengangguk. Lalu katanya kepada kedua muridnya, “Biarlah pada suatu saat Ki Sumangkar memberitahukannya kepada Sekar Mirah. Mungkin ada baiknya pula ia mengetahui tentang hal ini.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing mulai mengatakan kepada kedua muridnya, bahwa bertiga dengan Ki Sumangkar dan Ki Waskita, mereka telah melihat pusaka yang mungkin sekali adalah pusaka yang telah hilang dari Mataram.

“Kanjeng Kiai Pleret?” desis kedua muridnya hampir berbareng.

“Ya. Kanjeng Kiai Pleret. Tetapi masih baru dugaan yang kuat, karena kami tidak sempat menemukan tanda-tanda yang dapat meyakinkan kami, kecuali ciri-ciri yang pernah kami lihat pada sekeping perak yang kehitam-hitaman itu.”

“Lukisan kelelawar?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya.”

“Di mana Guru telah melihatnya?”

“Di padepokan Tambak Wedi. Pimpinan gerombolan yang singgah di bekas Padepokan Tambak Wedi itu mempunyai tanda seekor kelelawar di dadanya.”

“Orang yang bernama Kiai Kalasa Sawit itu?”

“Ya.”

“Itu sudah meyakinkan,” geram Swandaru, “pusaka yang berbentuk tombak, ciri-ciri yang pernah kita lihat pada sekeping perak, yang dengan sengaja telah ditinggalkan di Mataram dan ternyata terdapat pada salah seorang dari mereka, adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Kedua ciri itu bukannya sekedar kebetulan yang cocok, tetapi itu adalah suatu yang pasti.”

“Memang mendekati perhitungan yang demikian.”

“Bukan sekedar mendekati. Tidak ada kenyataan lain,” desis Swandaru.

“Baiklah. Katakanlah bahwa tombak itu adalah tombak pusaka Kanjeng Kiai Pleret. Maka adalah kewajiban Mataram untuk melacak dan menemukannya.”

“Sayang sekali,” desis Swandaru, “pusaka itu sudah berada di depan hidung Guru. Dan Guru tidak bertindak cepat.”

“Kami hanya bertiga. Sedang mereka yang membawa pusaka itu adalah pasukan segelar sepapan. Apakah kami bertiga mungkin dapat mengalahkan mereka?”

“Bukankah pasukan Pajang kemudian menyusul Kiai bertiga?”

“Baru kemudian.”

“Dan pasukan itu tidak dengan segera mengikuti jejak orang-orang Tambak Wedi?”

“Swandaru,” suara Kiai Gringsing datar, “lereng Merapi ditumbuhi hutan yang lebat. Jika mereka masuk ke dalam hutan itu, maka kemungkinan untuk menemukan jejaknya adalah sulit sekali.”

“Tetapi bukankah kita harus berusaha? Jika mereka terlepas pada saat yang paling baik, Guru, maka kesempatan serupa itu tidak akan kembali lagi.”

“Ya, Ayah,” tiba-tiba saja Rudita memotong, “kesempatan seperti itu tidak akan Ayah jumpai lagi. Kenapa Ayah tidak berterus terang saja kepada Kiai Kalasa Sawit, bahwa pusaka itu diperlukan oleh Mataram, seperti juga Kiai Kalasa Sawit memerlukannya?”

Ki Waskita mengerutkan dahinya. Dipandanginya anaknya sejenak. Kemudian jawabnya, “Kau tentu tahu Rudita, bahwa Kiai Kalasa Sawit tidak akan memberikannya. Bahkan ia telah mengambilnya dengan kekerasan dari Mataram. Nah, meskipun barangkali tidak sejalan dengan pikiranmu, namun kau dapat memperhitungkan. Jika ia sudah mengambil barang itu, pusaka atau harta benda dengan kekerasan, apakah kira-kira ia akan memberikannya dengan senang hati jika kami menemuinya, menundukkan kepala dalam-dalam, kemudian mohon agar pusaka itu diberikan kepada kami?”

Rudita termenung sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Soalnya sudah jelas, Ayah. Aku tahu jawabnya, Kiai Kalasa Sawit tidak akan memberikannya.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Jika Ayah pun mengetahui jawaban itu, maka setiap usaha untuk mendapatkannya adalah berarti benturan kekuatan. Ayah, apakah aku dapat bertanya, apakah pusaka itu demikian berharga, sehingga kita harus mengorbankan jiwa untuk mendapatkannya? Ayah, apakah Ayah juga berpendapat, bahwa masih ada benda yang jauh lebih berharga dari jiwa manusia, bahkan bukan hanya satu jiwa, tetapi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus. Katakanlah bahwa benda itu memiliki nilai yang tiada taranya. Wahyu keraton sekalipun. Apakah kedudukan tertinggi, katakanlah tahta kerajaan pantas dialasi dengan mayat dan darah seperti itu? Ayah, agaknya demikianlah peradaban manusia pada jaman ini. Dengan tidak ragu-ragu, kita mengorbankan jiwa sesama untuk mendapatkan kedudukan. Sedangkan kita tahu dengan pasti dan yakin, bahwa jiwa sesama kita adalah pancaran kasih Yang Maha Esa. Apakah kita telah lebih menghargai benda-benda itu, sebutlah kedudukan itu, lebih tinggi dari pancaran kasih itu?”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab, Swandaru-lah yang mendahuluinya, “Rudita. Di dalam hidup ini kita mengenal hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban itu merupakan bagian dari hidup kita. Karena itulah, maka kita mempunyai kewajiban, untuk berbuat sesuatu. Di antaranya justru mempertahankan hak itu sendiri. Pusaka itu pun merupakan hak dari Mataram. Hak Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Adalah kewajibannya untuk mempertahankan haknya, meskipun dengan kekerasan sekalipun. “

“Dan mengorbankan jiwa orang lain?”

“Ya,” jawab Swandaru. “Orang lain yang berada di dalam sangkut paut antara hak dan kewajiban dengan Raden Sutawijaya. Sudah tentu bukan orang lain sama sekali. Bukan orang Banten, dan bukan orang Banyuwangi. Tetapi orang-orang Mataram dan yang mengakui hak Raden Sutawijaya.”

“Hak adalah pengakuan manusia atas sesuatu. Jika ia mempunyai jiwa besar, melepaskan pengakuannya, maka ia tidak akan dibebani lagi oleh perasaan memiliki hak itu. Jika Raden Sutawijaya dengan ikhlas melepaskan benda-benda yang telah diambil oleh Kiai Kalasa Sawit, maka tidak akan ada persoalan lagi yang dapat merenggut beberapa orang korban. Dengan demikian, Raden Sutawijaya telah menyelamatkan beberapa jiwa yang seharusnya menjadi taruhan perebutan hak itu. Karena tidak ada hak yang mutlak diakui oleh semua pihak di muka bumi ini. Agaknya justru karena kebanggaan manusia atas haknya dan ketamakan manusia untuk memperluas haknya itulah telah terjadi di mana-mana kericuhan, dan bahkan bunuh-membunuh.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang hampir terlontar dari mulutnya.

Tetapi Kiai Gringsing yang mengetahui gejolak perasaan muridnya itu pun mendahuluinya, “Kami mengerti, Ngger. Sebenarnyalah memang demikian.”

“Tetapi, Guru,” ternyata Swandaru memotongnya pula, “kita tidak akan dapat dengan bertopang dagu melihat hak kita dilanggar orang lain. Dengan demikian, maka sebenarnyalah kita tidak lagi hidup dalam peradaban, Apalagi di masa kini. Tetapi kita telah melemparkan diri kita sendiri ke dalam sudut dunia yang paling terasing. Karena dengan demikian, maka hidup ini pun sudah bukan merupakan hak yang harus kita pertahankan.”

“Apalagi hidup,” tiba-tiba saja Rudita menyahut. “Adalah orang yang tidak mengerti akan dirinya sajalah yang merasa berhak atas hidupnya.”

Kiai Gringsing-lah yang kemudian tergesa-gesa menengahinya, “Kalian bertolak dengan landasan yang berbeda. Tetapi aku dapat mengerti jalan pikiran kalian masing-masing. “

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi bingung, justru ia mencoba mengerti kedua-duanya seperti yang dikatakan gurunya. Bahkan kadang-kadang pernah juga terbersit di dalam pikirannya, pendapat seperti yang dikatakan oleh Rudita. Namun ia masih juga dicengkam oleh nafsu memiliki yang kadang-kadang disebutnya dengan istilah yang megah. Hak.

“Rudita,” berkata Ki Waskita kemudian, “sejak semula aku sudah berpesan, agar kau mencoba mengerti jalan pikiran kami. Meskipun mungkin kita berbeda pendapat, tetapi kita akan mengikuti jalan pikiran kita pada umumnya. Kau harus menyadari, bahwa pendirianmu itu masih sangat asing bagi kami pada masa kini, meskipun kami yang tua-tua dapat membayangkan, alangkah manisnya dunia ini jika setiap orang dapat mengetrapkan jalan pikiranmu itu. Tetapi Rudita, sayang sekali.”

“Angger, Rudita,” berkata Ki Sumangkar kemudian, “cobalah mengerti, bahwa usaha kami mempertahankan hak adalah jauh lebih baik dari perluasan hak yang telah dilakukan oleh Kiai Kalasa Sawit. Jika akibatnya adalah pengurangan korban yang jatuh dari perebutan hak itu, dan akibat penggunaannya, maka sebagian dari usaha pelepasan taruhan itu sudah tercapai.”

Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Desisnya, “Sungguh membingungkan. Tetapi pertimbangan semacam itulah yang kini sedang nampak.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Swandaru, nampaklah wajah anak muda itu gelisah. Tetapi Ki Sumangkar pun dapat menduga, bahwa Swandaru masih berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak.

“Rudita,” Ki Waskita-lah yang kemudian berkata, “sebaiknya kau mencoba menahan hatimu. Kami sedang berbicara dengan cara kami. Cobalah untuk mengerti, meskipun kau tidak sependapat. Aku mengharap untuk kesekian kalinya.”

Rudita menarik nafas. Katanya, “Adalah salah jika aku tidak berbuat sesuatu pada saat aku melihat jalan pikiran yang buram. Tetapi jika Ayah dan semuanya menghendakinya, maka baiklah aku berada di luar bilik ini saja.”

“Aku tidak berkeberatan, Rudita. Tetapi satu permintaanku kepadamu. Jangan kau katakan hal ini kepada siapa pun juga.”

“Kenapa, Ayah?”

“Akibatnya akan buruk sekali. Jika kau sudah menganggap usaha Mataram untuk menemukan pusaka-pusaka itu sebagai usaha yang kurang baik, maka jika ada orang lain yang mendengar hal itu, maka pertentangan akan semakin meluas. Dan korban pun akan semakin banyak.”

“Sebabnya?”

“Kau tidak boleh mengingkari kenyataan, bahwa masih banyak orang yang menginginkan pusaka itu, jalan apa pun yang harus ditempuhnya. Selain daripada itu, maka akan timbul kegoncangan pada rakyat Mataram. Mereka akan menjadi cemas dan ketakutan jika mereka mengetahui, bahwa pusaka-pusaka yang mereka anggap memiliki kekuatan untuk menggenggam wahyu, meskipun masih harus dilengkapi itu, telah hilang dari perbendaharaan pusaka di Mataram.”

Rudita tidak segera menyahut.

“Aku yakin bahwa kau tidak ingin melihat kecemasan dan ketakutan itu menjalar dari setiap mulut ke telinga orang lain, dan demikian selanjutnya. Dengan demikian, kau akan membantu menumbuhkan ketidak-tenteraman di hati rakyat Mataram, yang sebenarnya memang tidak perlu mengetahuinya.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku mengerti, Ayah. Dan aku berjanji.”

“Terima kasih,” desis Ki Waskita, “sekarang, jika kau tidak tertarik lagi untuk mendengarkan pembicaraan ini, sebaiknya kau berada di luar.”

“Baiklah, Ayah.”

Rudita pun kemudian meninggalkan ruangan itu dan berada di luar gandok. Dengan lesu ia duduk di atas sebuah amben bambu, sambil memandangi beberapa orang yang nampak melintas di halaman yang menjadi sepi.

Tetapi Rudita masih saja dipengaruhi oleh persoalan yang baru saja didengarnya. Ia membayangkan kengerian yang akan terjadi, jika Mataram yang merasa berhak atas pusaka itu kemudian mengirimkan sepasukan prajurit. Pertempuran tentu tidak akan dapat dihindarkan lagi. Kematian akan menerkam sebagian besar dari mereka yang bertempur di kedua belah pihak.

“Aku tidak dapat mengerti, karena mereka lebih menghargai benda-benda itu daripada jiwa manusia,” desisnya.

Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, sambil berkata di dalam hati, “Aku tidak ikut campur. Aku sudah mencoba mencegahnya. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Maut adalah permainan yang mengasikkan bagi sebagian besar manusia.”

Karena itulah, maka Rudita pun kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya kepada beberapa bangunan baru di halaman samping Kademangan Sangkal Putung. Bangunan yang dibuat khusus menjelang hari perkawinan Swandaru.

“Rumah di sebelah itu tentu dibuat untuk menyediakan makanan dan nasi berancak-ancak, yang kemudian dikirimkan kepada mereka yang memberikan sumbangan berupa apa pun kepada Ki Demang,” gumam Rudita. “Tetapi karena Ki Demang-lah yang mengawinkan anaknya, maka tentu semua orang di kademangan ini datang untuk memberikan sumbangan apa pun juga. Dengan demikian, maka setelah perelatan ini berakhir. Ki Demang justru akan mempunyai persediaan beras, kelapa, pisang, dan sayur-sayuran selumbung penuh. Tetapi pada saat perelatan berlangsung, Ki Demang pun harus membagi ancak berisi nasi bagi seluruh penghuni kademangan yang luas ini, dari ujung sampai ke ujung.”

Demikianlah, Rudita berusaha mengalihkan perhatiannya. Sementara di dalam gandok, Kiai Gringsing masih berbicara dengan murid-muridnya tentang pusaka yang hilang itu.

“Mereka tentu menuju ke lembah yang masih ditutup oleh hutan yang lebat di antara Gunung Merapi dan Merbabu,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Tetapi kami tidak akan dapat pergi sebelum hari-hari perkawinan Swandaru berlangsung.”

“Apakah ada gunanya jika hal ini diberitahukan kepada Raden Sutawijaya?” bertanya Swandaru.

“Raden Sutawijaya juga tidak ada di Mataram. Mungkin Raden Sutawijaya kini sedang menjelajahi daerah pesisir selatan dan mendaki Pegunungan Sewu. Jika seseorang menyusulnya, tentu memerlukan waktu pula.”

“Jadi, kita biarkan pusaka itu hilang untuk seterusnya?”

“Tentu tidak,” jawab Kiai Gringsing, “pada suatu saat kita akan mengetahui, di manakah pusaka itu akan timbul. Jika ada seseorang yang menamakan dirinya penguasa atas tanah ini, berdasarkan atas kuasa keturunan Majapahit, maka kita akan segera mengetahui, bahwa pusaka-pusaka itu ada pada mereka.”

“Tentu kita tidak dapat menunggu sedemikian lama,” potong Swandaru, “dengan demikian kita memberi kesempatan mereka menjadi kuat.”

Kiai Gringsing menarik nafas panjang. Memang ada kemungkinan mereka menjadi kuat. Tetapi menghadapi mereka itu, sudah tentu Mataram tidak akan dapat berbuat dengan tergesa-gesa.

“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “persoalan ini memang persoalan yang rumit. Masih banyak masalah yang harus kita selidiki, sehingga kita tidak terjebak dalam suatu tindakan yang salah dan merugikan. Angger Untara hampir saja terjerumus ke dalam kesulitan. Karena perhitungannya yang kurang tepat atas kekuatan di Tambak Wedi, maka hampir saja pasukannya mengalami bencana. Untunglah bahwa tidak semua kekuatan Tambak Wedi dikerahkan. Kiai Kalasa Sawit masih menganggap perlu, sebagian dari mereka tetap berada di padepokan untuk mengawal tombak pusaka yang kita duga adalah Kanjeng Kiai Pleret itu. Seandainya para pengawal itu juga hadir di peperangan, aku kira prajurit Pajang akan mengalami kerusakan yang berat, meskipun seandainya Untara berhasil memenangkan perang itu.”

“Tetapi, bukankah Pajang juga mempunyai pasukan cadangan yang hadir di peperangan?”

“Ya. Pasukan cadangan itu memang datang ke medan. Tetapi kerusakan pasukan Pajang tentu tidak dapat dihindari.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa ketergesa-gesaan akan tidak menguntungkan. Tetapi kelambatan yang berlarut-larut juga tidak menguntungkan pula.

Tiba-tiba saja Swandaru merenungi dirinya sendiri. Ternyata bahwa hari-hari perkawinannya termasuk salah satu sebab kelambatan Mataram dalam perebutan pusaka itu. Jika ia tidak akan kawin dalam waktu yang dekat, maka mungkin sekali gurunya dan Ki Sumangkar, bahkan mungkin juga Ki Waskita akan dapat ikut serta mencari jejak pasukan yang singgah di Tambak Wedi itu.

Kiai Gringsing yang seolah-olah dapat membaca kekecewaan itu kemudian berkata, “Sudahlah, Swandaru. Jangan memikirkan pusaka itu lagi. Setidak-tidaknya untuk saat yang singkat menjelang hari-nari perkawinanmu. Baru kemudian kita akan memikirkannya dengan bersungguh-sungguh. Kini, jika aku memberitahukan hal ini kepada kalian berdua adalah sekedar sebagai bahan yang perlu kalian ketahui. Mungkin ada gunanya. Tetapi sudah barang tentu tidak dalam waktu-waktu dekat ini.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun kemudian tergerak perlahan-lahan.Sambil mengangguk ia berkata, “Aku akan mencoba, Guru. “

“Pusatkan semua perhatianmu kepada hari-hari perkawinan yang menjadi semakin dekat. Bagi seseorang, hari-hari perkawinan adalah hari-hari yang penting. Perkawinan adalah salah satu saat yang akan menentukan perubahan, baik badani maupun jiwani, bagi seseorang yang menyadari arti perkawinannya sebagai kuwajiban manusiawi. Berbeda dengan mereka yang menganggap perkawinan sebagai sekedar pengakuan orang-orang di sekitarnya atas suatu keinginan yang lebih bersifat badani. Perkawinan yang demikian tidak akan ada artinya sama sekali bagi perkembangan kejiwaan seseorang.”

Swandaru mengangguk-angguk.

“Anggaplah yang aku katakan hanyalah sekedar pemberitahuan yang tidak perlu mendapat tanggapan segera. Kalian dapat merenungkan dalam waktu yang cukup.”

Sekali lagi Swandaru mengangguk. Demikian pula Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka kepada saat perkawinan Swandaru. Karena itu, maka katanya, “Kini kita akan segera memusatkan semua kegiatan kita pada hari-hari perkawinan yang telah menjadi semakin dekat. Tetapi menilik persiapan yang telah dilakukan Ki Demang, maka nampaknya sudah tidak ada lagi yang akan dapat menimbulkan gangguan apa pun.”

“Apalagi perelatan di sini berlangsung lima hari setelah perelatan di Tanah Perdikan Menoreh,” sahut Ki Waskita.

“Dengan demikian, agaknya Menoreh pun kini telah siap pula. Bahkan mungkin setiap malam di rumah Ki Argapati, orang-orang tua sudah mulai berjaga-jaga hampir semalam suntuk,” sahut Ki Sumangkar.

“Dan di gardu-gardu anak-anak muda bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan,” sambung Ki Waskita pula.

“Tetapi tidak mencemaskan,” jawab Kiai Gringsing, “tidak ada persoalan yang terjadi seperti di lereng Gunung Merapi.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tetapi ada juga baiknya kita melihat, apakah semuanya sudah tersedia.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing pun kemudian bertanya, “Apakah maksud Ki Waskita, kita akan pergi ke Menoreh?”

“Bukan kita semuanya, Kiai. Sebenarnya aku ingin menawarkan diri untuk pergi ke Menoreh, membawa pesan apa pun yang mungkin perlu disampaikan.”

“Ki Waskita sendiri?”

“Aku ingin menengok Ki Argapati, selebihnya aku ingin segera membawa Rudita kembali kepada ibunya yang tentu menjadi sangat cemas.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, betapa cemasnya seorang ibu yang ditinggalkan oleh anak satu-satunya dan tidak tahu kemana anak itu pergi.

“Karena itu, Kiai,” berkata Ki Waskita seterusnya, “jika Kiai tidak berkeberatan, sebenarnya dalam waktu yang singkat aku ingin minta diri. Aku sudah menemukan Rudita. Dan aku akan mengembalikannya kepada ibunya. Nah, dalam perjalanan itu aku tentu dapat singgah di Menoreh untuk menyampaikan pesan apa pun juga.”

Sejenak Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berpandangan. Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Tentu kami tidak akan dapat menahan. Tetapi perjalanan yang jauh itu tentu memerlukan pertimbangan-pertimbangan tersendiri.”

Ki Waskita termenung sejenak, ia mencoba membayangkan perjalanan yang harus ditempuhnya, jika ia berniat kembali ke rumahnya untuk menyerahkan Rudita kepada istrinya.

Namun kemudian Ki Waskita berkata, “Jalan sekarang sudah menjadi semakin rata. Aku kira tidak akan ada hambatan-hambatan lagi di sepanjang jalan. Jalan ke Mataram sekarang menjadi semakin ramai. Kemudian jalan dari Mataram ke Menoreh pun telah menjadi semakin sibuk pula.”

“Apakah, Ki Waskita bermaksud singgah di Mataram?”

“Agar perjalananku aman, maka aku akan berjalan di siang hari bersama-sama dengan para pedagang dan orang-orang yang bepergian melalui jalan raya yang sudah ramai itu. Aku akan bermalam di Mataram semalam. Kemudian di hari berikutnya, aku akan melanjutkan perjalanan dan singgah di Menoreh semalam. Baru kemudian aku kembali pulang.”

“Dan, Ki Waskita tidak akan pergi ke Sangkal Putung lagi?”

“Kiai,” berkata Ki Waskita kemudian, “perkawinan ini akan dirayakan di sini dan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan di Tanah Perdikan Menoreh agaknya lebih awal lima hari daripada di kademangan ini. Karena itu, aku kira tidak akan ada bedanya, jika aku mengikuti perelatan itu di sini atau di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ada bedanya jika aku ikut membantu menurut kemampuanku di sini atau di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Namun sebelum mereka menyahut, Swandaru telah mendahului, “Tetapi aku akan lebih senang jika Ki Waskita berada di sini. Kita bersama-sama pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian di hari kelima, kita bersama-sama pula kembali kemari.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar