Dada Agung Sedayu berdesir
mendengar pertanyaan itu. Baru kini disadari bahwa ia telah melanggar perintah
kakaknya. Tetapi menurut pendapatnya, pertanggungan jawab atas peristiwa itu
ada pada gurunya. Karena itu maka jawabnya, “Aku telah mencoba melakukan
perintah itu Kakang. Tetapi guruku, Kiai Gringsing menyuruh aku kembali membawa
orang ini. Kiai Gringsing sendirilah yang akan mengambil alih tugas yang harus
aku lakukan itu.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia tersenyum di dalam hati. Perhitungannya ternyata tepat
seperti yang dikehendaki. Kiai Gringsing tidak akan melepaskan Agung Sedayu
sendiri melakukan tugas yang sangat berbahaya itu. Namun meskipun demikian kini
terasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Seandainya. Ya seandainya Kiai Gringsing
membiarkan Agung Sedayu itu berjalan menyusur hutan yang belum dikenalnya pada
waktu itu? Alangkah berbahayanya. Kalau adiknya waktu itu mengalami bencana,
maka ialah yang telah membunuh adiknya itu.
Tetapi adiknya kini telah
kembali dengan selamat. Bahkan membawa seorang Jipang yang terluka. Agaknya
Tuhan benar-benar telah melindungi anak itu.
Meskipun demikian wajahnya
sama sekali tidak mengesankan kegembiraan hatinya itu. Dengan kerut-kerut pada
keningnya, Untara berkata, “Apakah kau yakin bahwa Kiai Gringsing dapat
melakukan tugas itu?”
Pertanyaan inipun
mengherankannya. Untara telah lebih lama bergaul dengan Kiai Gringsing daripada
dirinya. Menurut pendapatnya, Untara pasti lebih banyak mengenal orang itu,
orang yang bernama Ki Tanu Metir, yang telah melindunginya di dukuh Pakuwon.
Dengan demikian, maka Agung
Sedayu tidak menjawab pertanyaan kakaknya, bahkan ia bertanya pula, “Bukankah
Kakang Untara telah mengenal Kiai Gringsing dengan baik?”
“Aku bertanya kepadamu,”
potong Untara, “kaulah yang seharusnya melakukan tugas itu. Kalau kau
menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain, maka kau harus yakin bahwa
orang itu akan dapat melakukan tugas yang seharusnya kau lakukan.”
Agung Sedayu masih belum tahu
maksud pertanyaan kakaknya. Seharusnya pertanyaan yang demikian tidak perlu
diucapkan. Namun ia tidak berani berdebat dengan kakaknya, sehingga kemudian
dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan, “Ya.
Aku yakin.”
“Bagus, kalau demikian maka
kita akan menunggu hasilnya,” berkata Untara itu pula, “tetapi siapakah yang
kau bawa itu? Orang Jipang?”
“Ya.”
“Terluka?”
“Ya.”
“Parah?”
“Agak parah.”
Untara terdiam sejenak.
Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seakan-akan ingin mengetahui
gejolak perasaan para prajurit yang berdiri mengitarinya. Bukan saja atas orang
Jipang yang terluka ini, tetapi orang-orang Jipang yang mungkin bakal datang,
apabila seruannya dapat dimengerti oleh orang-orang Jipang itu. Namun Untara
tidak berkata apa-apa tentang perasaannya yang dipenuhi oleh berbagai macam
persoalan, kecemasan dan keragu-raguan. Sebagai seorang pemimpin ia harus
bersikap, tidak terombang-ambing oleh keadaan yang setiap saat dapat berubah,
meskipun sikap seorang pemimpin bukanlah sikap yang mati, yang tidak dapat
disesuaikan lagi dengan perkembangan keadaan.
Malam semakin lama menjadi
semakin dalam. Bintang-bintang bertebaran dari satu sisi ke sisi yang lain,
melingkupi seluruh langit yang luas, bergayutan berangkai-rangkai.
Dalam keheningan malam yang
dingin itu, terdengar suara Untara bergetar, “Agung Sedayu. Bawa orang itu
masuk ke banjar desa. Satukan dengan orang-orang Jipang yang sudah lebih dahulu
terbaring di sana.”
“Baik Kakang” sahut Agung
Sedayu.
Ketika Agung Sedayu kemudian
melangkah maju, beberapa orang yang berdiri di regol segera menyibak. Namun
wajah-wajah mereka tampak tegang. Sebagian dari mereka memandang orang Jipang
itu dengan sorot mata penuh kebencian. Namun yang lain, melihat Agung Sedayu
dan orang Jipang itu lewat dengan pandangan mata yang kosong.
Sejenak kemudian regol halaman
banjar desa itu menjadi sepi. Sepeninggal Agung Sedayu, para prajurit dan
anak-anak muda Sangkal Putung satu demi satu berjalan meninggalkan regol,
selain mereka yang bertugas. Hampir semua di antara mereka, sama sekali tidak
menyatakan pendapatnya tentang orang Jipang yang baru itu. Orang Jipang yang
kehadirannya agak berbeda dari orang-orang Jipang yang mereka temukan di medan
peperangan.
Para petugas yang merawat
orang-orang yang terlukapun kini sudah tidak terlampau sibuk lagi. Beberapa di
antara mereka tinggal melayani orang-orang yang terluka parah. Bahkan ada di
antara mereka yang menjadi panas dan mengigau tentang berbagai macam persoalan.
Ada yang merintih perlahan-lahan, namun ada pula yang berteriak sepuas-puasnya.
Suasana di banjar desa itu
benar-benar menjadi suram. Beberapa orang yang lukanya tidak terlampau parah
segera minta ijin untuk pergi saja ke kademangan, berkumpul dengan para
prajurit yang berada di sana. Suasana di kademangan jauh lebih baik dari
suasana di banjar desa. Bahkan di antara mereka yang masih merasa lapar, dapat
merayap ke dapur mencari makanan yang masih banyak tersedia.
Ternyata Swandaru pun telah
pergi ke kademangan. Langsung dibongkarnya tenong lauk pauk di dapur untuk
mencari daging lembu goreng, sisa lauk pauk makan malam mereka.
Namun dalam pada itu, kembali
para penjaga di banjar desa dikejutkan oleh kehadiran seorang yang membawa
tongkat baja putih bersama-sama dengan dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir.
Beberapa orang penjaga segera
mengenal, bahwa orang yang membawa tongkat baja putih itu adalah orang yang
telah membawa mayat Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka mengetahui, bahwa
orang itu adalah orang Jipang. Dengan demikian maka segera para penjaga itu
menghentikannya dan bertanya, “Akan pergi ke mana kau?”
Sumangkar terkejut mendengar
sapa yang keras itu. Segera, ia berpaling kepada Ki Tanu Metir, seakan-akan
minta supaya Ki Tanu Metir-lah yang menjawab pertanyaan itu.
Ki Tanu Metir yang juga
disebut Kiai Gringsing segera menjawab, “Akulah yang membawanya.”
“Bukankah orang ini orang
Jipang?” bertanya penjaga itu.
“Ya. Orang ini orang Jipang.”
Sejenak para penjaga menjadi
ragu-ragu. Mereka saling berpandangan. Namun tampaklah bahwa mereka tidak
segera dapat menentukan sikap.
Dalam pada itu berkatalah Ki
Tanu Metir, “Jangan cemas atas kehadirannya, aku yang akan bertanggung jawab.”
Namun wajah para penjaga itu
masih saja diliputi oleh kebimbangan, sehingga Ki Tanu Metir terpaksa berkata
kepada mereka, “Kalau kalian ragu-ragu, sampaikanlah kepada Angger Untara atau
Angger Widura, bahwa Ki Sumangkar ingin bertemu dengan mereka.”
Itu adalah pendapat yang
paling baik bagi para penjaga yang sedang bimbang. Salah seorang dari mereka
segera pergi menemui Untara dan Widura, untuk menyampaikan pesan Ki Tanu Metir
tentang orang Jipang itu.
“Bawa mereka kemari” berkata
Untara kepada penjaga itu.
Sejenak kemudian, Ki Tanu
Metir dan Ki Sumangkar pun segera dibawa kepada Untara dan Widura, di ruang
dalam Banjar Desa Sangkal Putung.
Di ruang itulah kemudian
terjadi pembicaraan yang mendalam tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi
atas janji pengampunan yang disampaikan oleh Untara kepada orang-orang Jipang.
Sumangkar telah mencoba menanyakan kepada Untara, sampai berapa jauh kemungkinan
pengampunan itu dapat diberikan.
“Menurut Panglima Wira
Tamtama,” berkata Untara, “pengampunan itu bersifat umum. Namun sudah tentu,
bahwa kalian akan tetap berada dalam pengawasan. Tetapi apa yang akan kalian
alami, adalah perlakuan dari para pemimpin Pajang yang menjunjung tinggi
peradaban.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian orang tua itupun bertanya, “Apakah jaminan yang dapat
diberikan oleh Angger Untara untuk memperkuat kepercayaan kami?”
Untara berpikir sejenak. Namun
kemudian ia menggeleng. “Tidak ada jaminan yang dapat aku berikan. Tetapi aku
berjanji, bahwa semua itu akan dilakukan sesuai dengan ucapan Ki Ageng
Pemanahan.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. la tidak mendapatkan jaminan apa-apa dari Untara. Memang
sebenarnyalah bahwa tidak akan ada jaminan yang dapat diberikan. Tetapi begitu
saja mempercayainya, rasa-rasanya berat juga bagi Sumangkar.
Sejenak ruangan itu menjadi
sepi. Nyala lampu jlupak yang melekat di dinding seakan-akan menggapai-gapai
kepanasan. Sekali-kali terdengar di kejauhan suara burung hantu mengetuk-ngetuk
hati.
Dalam keheningan itu terasa
betapa jauh jarak yang harus mereka pertautkan dari kedua belah pihak.
Permusuhan yang setiap hari semakin meningkat. Kebencian, dendam dan berbagai
macam perasaan yang telah mendorong kedua belah pihak menjadi semakin jauh.
Tetapi Sumangkar tidak dapat
menolak kenyataan yang dihadapinya. Pajang semakin lama menjadi semakin kokoh,
sedang sisa-sisa prajurit Jipang semakin lama menjadi semakin terpecah belah.
Kekuatan mereka kini telah, berbanding berlipat ganda. Dalam keadaan yang
demikian, apakah yang dapat dilakukan olehnya? Apa yang dijanjikan oleh Untara
itu adalah selapis lebih baik daripada mereka datang menyerahkan diri, meskipun
akibatnya hampir tidak ada bedanya. Namun dengan janji itu, mereka pasti akan
mendapat perlakuan yang lebih baik dalam batas-batas yang memungkinkan.
Karena itu, tidak ada
kemungkinan lain bagi Sumangkar untuk menerima tawaran Untara itu sebagai
satu-satunya kemungkinan yang paling baik. Sumangkar yakin, bahwa apabila
kesempatan itu tidak dipergunakan, akan datanglah saatnya Untara mengambil
sikap tegas seperti yang dikatakannya. Apabila prajurit Jipang di daerah Utara
dan di pedalaman telah ditarik menjadi satu, pada saat-saat terakhir perjuangan
Macan Kepatihan, maka daerah-daerah lain itupun akan menjadi aman. Prajurit
Pajang akan dapat memusatkan diri pula di daerah Selatan ini. Untara akan
mendapat prajurit lebih banyak dari yang sekarang berada di Sangkal Putung.
Dengan demikian maka tingkat terakhir dari usaha Untara melenyapkan sisa-sisa
prajurit Jipang akan segera berhasil.
Sumangkar menyadari pula,
bahwa ia tidak akan dapat mengajukan bermacam-macam syarat. Sebab keseimbangan
mereka benar-benar telah goyah. Sehingga baginya, tinggal ada satu pilihan di
antara dua. “Menerima, yang berarti menyerah dalam kesempatan yang terbuka”
atau “menolak, yang berakibat hancur menjadi debu.” Kehancuran itu bukan saja
akan dialami oleh orang Jipang, namun korban di pihak Pajang pun bertambah
pula. Sedang akibatnya sama sekali tidak menguntungkan kedua belah pihak. Yang
terjadi adalah pembunuhan, kekerasan dan kekejaman. Dan apa yang akan terjadi
itu sama sekali tidak dapat dilupakan oleh orang-orang Pajang.
Demikianlah maka Sumangkar
tidak dapat berkata lain dari pada menerima tawaran Untara. Dengan demikian
maka segera mereka mulai membicarakan pelaksanaan dari penyerahan itu. Dalam
hal ini Sumangkar pun tidak dapat terlampau banyak mengajukan pendapatnya.
Sebagian dari pembicaraan itu datang dari pihak Untara, sebagai sesuatu yang
harus diterima oleh Sumangkar. Namun di dalam hati Untara, masih saja selalu
dirayapi oleh kecemasan tentang anak buahnya sendiri. Apakah mereka dapat
menerima sikapnya itu dengan ikhlas?
Dalam pada itu maka Untara
menyadari sepenuhnya betapa beratnya tugas yang akan dilakukannya. la telah
pula mendengar sikap Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda beserta sebagian
orang-orang Jipang yang menyingkir ke lereng Merapi. Mengikuti hantu yang
bernama Ki Tambak Wedi. Di sana mereka akan bertemu dalam kepentingan yang
bersamaan, melawan Untara dan menolak kekuasaannya. Sikap itu berarti melawan
terhadap kekuasaan Pajang. Maka Ki Tambak Wedi dan segala pengikutnya kemudian
dapat dianggap sebagai suatu pemberontakan, di samping Sanakeling dan
pengikutnya yang masih ada.
Semuanya itu harus masuk di
dalam hitungannya. Karena itu apa bila persoalan Sumangkar dan sebagian dari
orang-orang Jipang, yang memenuhi panggilannya ini sudah selesai, maka Untara
akan segera menghadapi tugas baru: Ki Tambak Wedi.
Malam itu tak ada persoalan
yang menghambat pembicaraan di antara mereka. Untara tidak berbuat
sewenang-wenang karena kemenangannya, sedang Sumangkar tidak banyak menuntut
hal-hal yang tidak mungkin bagi orang-orangnya. Masing-masing rnencoba
menempatkan dirinya pada sikap yang sebaik-baiknya tanpa meninggalkan tugas
yang harus diselesaikan. Sehingga dengan demikian, maka pembicaraan itupun
segera berakhir.
“Apabila tidak ada
syarat-syarat yang harus aku lakukan lagi Ngger,” berkata Sumangkar kemudian,
“maka ijinkanlah aku meninggalkan banjar desa ini. Kami bersama-sama akan
memasuki tempat yang telah Angger tentukan tanpa bersenjata. Senjata-senjata
kami akan sudah kami kumpulkan di tempat yang Angger kehendaki. Kami percaya
kepada Angger Untara, bahwa nasib kami berada di dalam lindungan Angger. Angger
pasti tidak akan khilaf seandainya ada anak buah Angger yang tidak dapat
melihat kenyataan seperti yang Angger kehendaki, sehingga akan timbul
kemungkinan-kemungkinan yang tidak kami inginkan.”
“Aku berjanji Paman” sahut
Untara. “Aku akan mencoba sejauh-jauhnya, bahwa tidak akan ada perlakuan di
luar kehendakku.”
“Namun ada satu hal yang tidak
dapat aku lakukan di saat-saat yang Angger kehendaki itu. Tongkat baja putih
ini tidak akan dapat aku kumpulkan bersama dengan senjata-senjata orang-orang
Jipang itu. Aku tidak akan sampai hati melihatnya. Senjata ini adalah senjata
ciri kebesaran perguruanku.”
Untara mengerutkan keningnya.
Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian ia berkata, “Jadi apakah Paman
menghendaki suatu perkecualian?”
Sumangkar mengangguk, “Ya,
Ngger.”
“Paman akan tetap menggenggam
senjata itu?” bertanya Untara. “Apakah masih ada keragu-raguan di dalam hati
Paman terhadap maksud baik itu?”
Sumangkar menggeleng, “Tidak
Ngger. Aku tidak berprasangka. Dan aku tidak ingin tetap memegang senjata itu.”
Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku
ingin menyerahkannya lebih dahulu Ngger, supaya senjataku itu tidak teronggok
dalam satu kumpulan dengan senjata-senjata yang lain. Senjata para prajurit
Jipang itu.”
“Maksud Paman?” Untara
menegaskan.
“Senjata ini akan aku
tinggalkan di sini sekarang Ngger. Kalau Angger atau salah seorang dari anak
buah Angger sempat memungut senjata Tohpati, maka alangkah baiknya kalau kedua
senjata itu disimpan bersama. Atau kalau Angger tidak ingin melihatnya setiap
saat, maka sebaiknya senjata itu dilarung saja ke laut.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terasa juga sesuatu berdesir di dalam dadanya. Terasa betapa
beratnya orang tua itu akan melepaskan senjatanya. Sudah tentu ia tidak akan
dapat melihat senjata ciri kebesaran perguruannya itu tergolek di antara
puluhan senjata yang berserakan. Karena itu, maka dengan penuh pengertian
Untara berkata, “Paman, biarlah aku mencoba menyimpan senjata itu. Aku akan
menyimpannya sebagai suatu senjata pusaka yang berharga. Ketahuilah bahwa
senjata Kakang Tohpati itu sekarang ada di dalam simpananku pula.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tampak betapa muram sinar matanya
ketika ia mengamat-amati senjatanya. Senjata yang diterima dari gurunya dahulu
bersama Patih Mantahun. Kini senjata itu harus terpisah darinya. Tetapi ia
tidak dapat mengingkarinya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukan sekarang ini
mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi orang-orang Jipang,
sehingga pengorbanannya itu pasti akan bermanfaat bagi mereka.
Kemudian dengan parau.
Sumangkar berkata, “Aku akan menyerahkannya sekarang.”
Untara mengangguk sambil
menjawab, “Baik paman.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Apabila darahnya masih sepanas darah di waktu mudanya, maka mati
bersama dengan hilangnya senjata itu pasti akan dilakukan. Tetapi kini ia telah
menjadi tua. Bukan ketuaannya itulah yang telah menyeretnya ke dalam keputus-asaan.
Tetapi dengan umurnya yang sudah semakin banyak, Sumangkar makin menyadari
nilai-nilai nyawa seseorang dibandingkan dengan nilai benda-benda yang
dikeramatkannya. Di belakangnya berpuluh-puluh jiwa akan dapat dibebaskannya
dari ketakutan, kecemasan dan hidup tanpa arti. Mereka akan terlepas pula dari
kesempatan-kesempatan yang akan menjerumuskan mereka semakin dalam ke
lingkungan yang sebenarnya harus disirik. Kebiadaban, kekasaran, kekejaman dan
tindakan-tindakan sejenis.
Malam itu Sumangkar meninggalkan
Sangkal Putung seorang diri tanpa tongkat baja putihnya. Betapa berat hatinya,
namun semuanya itu telah bulat dikehendakinya. Ia ingin melihat kehidupan yang
damai dan tenteram di seluruh daerah Demak lama.
Untara dan Widura yang masih
tinggal bersama Kiai Gringsing di pendapa setelah orang tua itu mengantar
Sumangkar sampai di luar regol, masih juga berbincang sebentar. Widura yang
mengetahui serba sedikit tentang Sidanti, telah menyampaikan pendapatnya pula.
Sidanti adalah seorang anak kepala daerah perdikan yang cukup luas di lereng
perbukitan Menoreh. Di sebelah barat hutan Mentaok.
Untara segera menyadari
keterangan itu. Senapati muda itu dapat menangkap maksud Widura. Dengan
keterangan itu Widura ingin memperingatkan Untara, bahwa mungkin ia akan
berhadapan dengan tugas baru yang cukup berat. Bahkan mungkin tidak kalah
beratnya dengan tugas yang sedang diembannya kini.
Sejenak ruangan itu menjadi
sunyi. Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri. Kiai Gringsing duduk
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang menikmati suatu
cerita yang mengasyikkan. Untara sibuk meraba-raba janggutnya yang belum sempat
dipotongnya. Janggut yang terlampau jarang untuk dipelihara, sehingga lebih
baik baginya untuk dipotongnya licin-licin. Sedang Widura duduk sambil
terpekur, seolah-olah lagi menghitung jari-jari di tangannya.
Di luar ruangan itu, di
pendapa banjar desa, masih terdengar rintih kesakitan. Beberapa orang di antara
mereka terdengar mengeluh tak habis-habisnya karena pedih-pedih lukanya.
Tiba-tiba Kiai Gringsing
tersadar. Naluri dukunnya tiba-tiba menjalari dadanya. Dengan serta-merta ia
beringsut sambil berkata, “Ah. Aku mohon diri sejenak Ngger. Barangkali lebih
baik bagiku mengobati orang-orang yang terluka itu daripada duduk di sini.”
Untara mengangguk sambil
menjawab, “Baik Kiai. Tetapi nanti aku mengharap Kiai apabila sempat secepatnya
datang kembali ke ruang ini.”
“Ya. Ya,” sahut Kiai Gringsing
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Segera aku datang kembali.”
Sepeninggal Kiai Gringsing
Untara dan Widura berbincang kembali tentang pelaksanaan penerimaan orang-orang
Jipang. Untara tahu benar, bahwa orang-orang mereka, yang langsung berhadapan
dan bertempur melawan orang-orang Jipang itu, sangat sulit untuk melepaskan
perasaan permusuhan yang sudah tertanam dalam-dalam di hati mereka.
Karena itu tiba-tiba Untara
berkata, “Paman Widura, aku akan mengirim utusan ke Pajang. Aku akan minta
beberapa orang prajurit langsung di bawah pimpinan perwira-perwira tertinggi
Wira Tamtama untuk menerima langsung orang Jipang itu. Dengan demikian maka aku
mengharap, tidak akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki bersama.
Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri berkenan menerima orang-orang yang sadar itu
kembali. Mungkin Ki Penjawi atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Meskipun anak itu
masih terlampau muda, namun ternyata ia telah mengejutkan hampir seluruh
prajurit Pajang dan Jipang. Setelah ia berhasil melawan Arya Penangsang.”
Widura mengerutkan keningnya.
Ia adalah senapati yang bertanggung jawab di Sangkal Putung. Apakah tugas untuk
menerima orang-orang Jipang itu harus dilepaskannya? Karena itu sejenak ia
berdiam diri.
Untara melihat sikap Widura
dengan penuh pengertian. Karena itu ia berkata, “Paman, hal ini sama sekali
bukan karena aku tidak percaya kepada para prajurit yang ada di Sangkal Putung,
tetapi sekedar mancegah perasaan-perasaan yang kurang terkendali menghadapi
peristiwa yang sulit ini.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Betapapun, maka ia tidak dapat membantah, seandainya Untara
menjatuhkan perintah sebagai seorang senapati atasannya. Karena itu maka
katanya, “Terserah kepadamu Untara. Kita bersama-sama menghendaki segalanya
menjadi baik.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia masih juga berkata, “Aku mengharap Paman dapat mengerti.”
“Ya. Aku dapat mengerti.”
Kembali mereka terdiam
sejenak. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat
menggema di malam yang gelap suara kentongan dara muluk di gardu peronda, yang
kemudian sahut-menyahut dari ujung ke ujung kademangan.
Sejenak kemudian Untara itupun
berkata, “Aku kira semuanya sudah dapat direncanakan dengan tertib Paman. Besok
pagi-pagi utusanku akan berangkat ke Pajang.”
Widura mengangguk, katanya,
“Baik. Aku harap tak akan ada kesulitan lagi.”
Untara dan Widura itupun
kemudian meninggalkan ruangan itu. Kembali mereka berjalan berkeliling di
antara orang yang terluka. Sebagian dari mereka telah dapat memejamkan mata
mereka, namun sebagian yang lain masih terbaring dengan gelisahnya. Ki Tanu
Metir pun ternyata telah sibuk pula, mencoba meringankan penderitaan mereka
yang terluka parah. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuannya ia bekerja.
Ketika malam menjadi semakin
dalam, maka Untara dan Widura yang tidak kalah lelahnya, bahkan mungkin
melampaui setiap orang yang berada di banjar desa itupun mencoba beristirahat
pula. Juga Agung Sedayu telah berbaring di antara para prajurit Pajang yang
melepaskan lelah mereka. Ada yang tidak sempat membersihkan dirinya. Begitu
mereka selesai makan dan minum, begitu mereka merebahkan diri mereka, masih dalam
pakaian tempur mereka. Namun ada juga yang sempat membersihkan diri, berganti
pakaian, menyisir rambut kemudian duduk sambil bercakap-cakap dengan beberapa
kawan-kawan yang lain.
Namun malam berjalan menurut
iramanya sendiri. Ajeg seperti malam-malam yang lampau.
Ketika fajar pecah, maka
cerahlah padukuhan Sangkal Putung. Para pengungsi telah merayap kembali ke
rumah masing-masing. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung dengan bangga
mengatakan bahwa Sangkal Putung untuk seterusnya telah menjadi jauh lebih aman.
Tohpati telah terbunuh.
Riuhlah berita itu
mengumandang di segenap sudut kademangan Sangkal Putung. Riuh pulalah orang
menyebut-nyebut nama Untara. Ternyata pula kemudian bahwa yang dapat membunuh
Tohpati adalah Untara. Bukan orang lain.
Tetapi tak seorangpun yang
memperhatikan, ketika dua ekor kuda meluncur seperti anak panah meninggalkan
kademangan itu. Mereka adalah utusan Untara untuk menyampaikan pesannya kepada
Ki Ageng Pemanahan mengenai kebijaksanaan terakhir yang ditempuhnya, namun juga
mengenai seorang prajurit yang bernama Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi.
Di samping kematian Tohpati
yang menjadi pembicaraan segenap penduduk Sangkal Putung, bagi para prajurit
Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung, ada pula bahan pembicaraan yang tidak
kalah hangatnya. Yaitu tentang orang-orang Jipang. Baik orang-orang Jipang yang
terluka, maupun orang-orang lain yang akan menyerah. Para prajurit itu sibuk
berbincang tentang janji pengampunan yang diberikan oleh Untara.
Beberapa orang prajurit
menanggapi janji pengampunan itu dengan wajah yang tegang. Salah seorang dari
mereka berkata, “Aku tidak mengerti, kenapa Ki Untara melontarkan janji itu. Ki
Untara sendiri ikut dalam peperangan yang terakhir bahkan ia telah membunuh
Macan kepatihan. Apakah hal ini tidak merendahkan harga dirinya?”
“Aku juga tidak mengerti,”
sahut yang lain. “Kalau janji itu keluar dari orang yang tidak pernah melihat
sendiri ajang peperangan maka hal itu mungkin sekali karena ia tidak tahu
betapa banyaknya korban dan betapa panasnya hati. Tetapi Untara adalah seorang
perwira Wira Tamtama yang langsung menangani peperangan. la sendiri pernah
hangus dibakar oleh api peperangan. Bahkan nyawanya hampir tak dapat
diselamatkan meskipun akibat tusukan senjata Sidanti.”
“Untara benar-benar seperti
seorang senapati yang mendem cubung” desis yang lain. “Aku tak dapat menerima
sikapnya. Apabila kelak orang-orang Jipang itu benar-benar datang, maka aku
akan membunuh mereka.”
Percakapan itu berhenti ketika
mereka melihat Agung Sedayu datang kepada mereka. Meskipun tidak sengaja, namun
ternyata Agung Sedayu telah memutuskan pembicaraan tentang orang-orang Jipang.
“Apakah kalian telah melihat
Adi Swandaru?” bertanya Agung Sedayu.
Para prajurit itu menggeleng,
“Belum, kami belum melihatnya” sahut salah seorang dari mereka.
“Mungkin ia belum datang ke
mari” berkata yang lain. “Semalam putera Ki Demang itu pulang ke kademangan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biarlah aku mencarinya ke
kademangan.”
Agung Sedayu pun segera pergi
ke kademangan. Ia ingin bertemu dengan Swandaru untuk menyampaikan pesan
Untara. Untara ingin memperbincangkan masalah orang-orang Jipang dengan para
pemimpin Sangkal Putung. Supaya tidak terjadi salah paham, maka yang
pertama-pertama dikehendaki oleh Untara dan Widura adalah Ki Demang Sangkal
Putung dan Swandaru Geni. Apabila keduanya dapat mengerti pendirian itu, maka
diharap bahwa seluruh penduduk Sangkal Putung pun akan menerima kehadiran
orang-orang Jipang itu sebagai suatu kewajaran. Sebab orang-orang Jipang itu
tidak akan terlalu lama berada di Sangkal Putung. Mereka segera akan di bawa ke
Pajang. Untuk seterusnya diserahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin Pajang.
Namun tidak mudah untuk
menjelaskan pendirian itu kepada Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni.
Ketika Agung Sedayu itu datang dengan orang Jipang yang terluka, maka dengan
serta-merta Swandaru telah mengemukakan pendiriannya. Menolak kehadiran orang
itu, apabila Agung Sedayu tidak mengatakannya bahwa apa yang dilakukan itu atas
perintah Kiai Gringsing. Tetapi terhadap keputusan untuk mengampuni orang-orang
Jipang yang jumlahnya tidak hanya satu atau dua, bahkan tidak hanya sepuluh
atau dua puluh, maka untuk meyakinkannya, sehingga anak muda itu dapat menerima
pendirian Untara, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Meskipun demikian, maka Untara
dan Widura harus mencobanya. Kalau mereka gagal, maka harus ditempuh cara yang
lain. Cara yang tidak bertentangan dengan keputusan bersama dengan Sumangkar,
namun tidak melukai hati rakyat Sangkal Putung yang selama ini telah membantu
prajurit Pajang dengan gigihnya.
Ketika Agung Sedayu sampai di
Sangkal Putung, maka yang pertama-pertama menemuinya di muka regol adalah Sekar
Mirah. Gadis yang berwajah riang itu menyambutnya sambil tersenyum. Baru sehari
kemarin mereka tidak bertemu, tetapi rasa-rasanya telah berhari-hari bahkan
berminggu-minggu.
“Kau tidak segera datang ke
kademangan, Kakang” berkata Sekar Mirah.
“Aku masih terlalu sibuk,
Mirah”
“Semalam Kakang Swandaru telah
dapat tidur mendengkur di rumah. Apakah kau tidak dapat datang bersama Kakang
Swandaru?”
“Adi Swandaru pergi tanpa
mengajakku. Aku kira adi Swandaru pun masih berada di banjar bersama anak-anak
muda yang lain.”
“Ah,” desah Sekar Mirah, “kau
mengada-ada.”
Agung Sedayu tersenyum. Ia
tidak menjawab lagi. Langsung ia berjalan ke pendapa, menemui Ki Demang Sangkal
Putung.
“Apakah Ki Demang ada di
rumah?” bertanya Agung Sedayu.
“Kenapa kau cari ayah?”
“Aku memerlukannya atas pesan
Kakang Untara.”
“Kenapa kau tidak mencari
aku?”
“Ah,” Agung sedayu menarik
nafas, “aku juga mencarimu, Mirah. Tetapi aku juga ingin menyampaikan pesan
Kakang Untara.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba berkata, “Kenapa kakakmu itu tidak saja datang sendiri
kemari? Kalau kakakmu semalam datang kemari selagi kademangan ini masih
dipenuhi oleh para pengungsi, maka aku kira kademangan ini akan runtuh karena
pujian yang akan diterimanya. Betapa rakyat Sangkal Putung berterima kasih
kepadanya, karena Kakang Untara telah berhasil membunuh Macan Kepatihan.”
Agung sedayu tidak segera
menjawab. Tetapi dahinya tampak berkerut.
“Kakang Sedayu,” berkata Sekar
Mirah, “biarlah kakakmu itu datang sendiri kemari. Biarlah ia menerima
kehormatan yang layak karena jasanya.”
“Penghormatan apa yang kau
maksud? Apakah orang-orang Sangkal Putung akan berbaris sambil meneriakkan
terima kasih mereka di hadapan Kakang Untara?”
Sekar Mirah tersenyum
mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab, “Kalau Kakang Untara datang tadi
malam maka hal yang demikian itu pasti akan terjadi. Semua orang pasti akan
memberikan salam sebagai pernyataan terima kasih mereka. Satu demi satu. Bahkan
mereka yang tidak sempat mendapat sambutan tangan, pasti akan puas dengan
menyentuh bagian-bagian tubuh Untara. Bahkan ujung kainnya sekalipun.”
“Ah, terlampau
berlebih-lebihan” sahut Agung Sedayu.
“Rakyat Sangkal putung adalah
rakyat yang mengenal rasa terima kasih. Apakah Kakang Agung Sedayu tidak ingat
lagi, ketika Kakang Agung Sedayu baru saja datang di kademangan ini? Ketika
Kakang Sedayu pergi ke warung di ujung desa? Bukankah hampir setiap orang
laki-laki datang memberi Kakang salam sebagai pernyataan terima kasih mereka?”
Agung sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya” namun nada suaranya terlampau dalam.
Terkenang olehnya, betapa ia menjadi cemas dan ketakutan ketika Sidanti datang
mengancamnya. Betapa ia menjadi hampir pingsan karenanya.
“Nah,” berkata Sekar Mirah,
“sekarang Kakang Agung Sedayu sebaiknya memanggil Kakang Untara. Kami harus
mengadakan upacara kemenangan.”
“Tetapi tidak dalam waktu yang
singkat ini. Kini Kakang Untara masih menghadapi tugas yang cukup berat.”
“Bukankah Macan Kepatihan
telah mati?”
“Macan Kepatihan memang telah
mati. Tetapi masih banyak persoalan yang harus dihadapi. Yang mati adalah
seorang saja dari sekian banyak pemimpin prajurit Jipang.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Katanya, “Jadi, maksud Kakang, bahwa suatu ketika di Sangkal Putung
masih mungkin ada pertempuran lagi?”
Agung sedayu menganggukkan
kepadanya.
“Oh” wajah Sekar Mirah menjadi
buram. “Aku kira kita semua telah bebas dari segala bentuk peperangan.”
“Tetapi bahaya yang sebenarnya
telah menjadi jauh lebih kecil dari masa-masa yang lalu. Namun Kakang Untara
kini menghadapi persoalan yang lain, yang apabila kurang hati-hati, akan dapat
berkembang pula menjadi semakin besar.”
“Soal apakah itu?”
“Sidanti.”
Terasa bulu-bulu tengkuk Sekar
Mirah menjadi tegak. Nama itu benar-benar mencemaskannya. Jauh lebih menakutkan
dari Macan Kepatihan. Sebab disadarinya, bahwa Sidanti berkepentingan langsung
dengan dirinya. Karena itu, maka wajah gadis itupun menjadi bertambah buram.
“Apakah Sidanti cukup berbahaya? Bukankah ia hanya seorang diri?”
Sedayu menyesal, bahwa ia
telah menyebut nama itu. Dengan demikian ia telah membuat hati Sekar Mirah
menjadi cemas. Karena itu maka dijawabnya untuk menenteramkan hati gadis itu,
“Jangan cemas. Sidanti hanya seorang diri. Di Sangkal Putung, ada beberapa
orang yang sanggup melawannya. Kakang Untara, paman Widura dan kini kakakmu
Swandaru pun tidak lagi dapat ditamparnya tanpa perlawanan.”
Dahi Sekar Mirah masih
berkerut, katanya, “Tetapi aku dengar guru Sidanti adalah seorang hantu yang sakti.”
“Jangan kau cemaskan pula,”
sahut Sedayu, “guru kakakmu pun melampaui kesaktian hantu.”
Sekar Mirah terdiam. Tetapi
wajahnya masih juga memancarkan kecemasan hatinya.
“Sekarang, di mana ayahmu?”
bertanya Agung Sedayu.
“Di dalam. Apakah Kakang
Sedayu akan menemuinya?”
“Ya” sahut Sedayu
“Aku tidak mau memanggilkan
untukmu.”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Tetapi carilah
sendiri.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sekali ini Kakang Untara mempunyai keperluan
yang penting. Aku agak tergesa-gesa.”
“Urusanku adalah menyediakan
makanan buat kalian. Kalau kau tergesa-gesa mau makan, makanlah. Aku sudah
sedia.”
“Tolong, panggil ayahmu.”
“Kakang Sedayu setiap kali
pasti hanya akan memberikan beberapa perintah. Sesudah itu pergi lagi. Kau
tidak pernah menyediakan waktu untuk beristirahat untuk berjalan-jalan
menikmati senja di kademangan ini atau melihat-lihat sawah yang hijau.”
“Masa ini adalah masa
berprihatin, Mirah. Kalau semuanya telah lampau, maka aku pasti akan
berjalan-jalan melihat isi kademangan ini atau pergi ke sawah, tidak saja untuk
melihat-lihat, tetapi aku pandai pula membajak dan menyebar bibit.”
“Omong kosong” sahut Sekar
Mirah. “Dalam keadaan yang serupa, Sidanti dapat menyisihkan waktunya untuk
itu.”
Terasa dada Agung Sedayu
berdesir. Wajahnyapun tiba-tiba berubah. Dan tiba-tiba pula ia menjawab,
“Itulah bedanya. Beda antara Agung Sedayu dan Sidanti. Mungkin Sidanti dapat
menemanimu berjalan-jalan di sepanjang pematang dalam keadaan yang bagaimanapun
juga. Tetapi Agung Sedayu tidak.”
Sekar Mirah terkejut mendengar
jawaban itu. Terasa bahwa kata-katanya telah terdorong terlampau jauh. Karena
itu maka katanya, “Maksudku, bahwa apabila diperlukan waktu itu dapat
diluangkan. Kalau aku menyebut Sidanti, karena Sidanti ternyata dapat juga
menyediakan waktu untuk itu.”
“Mudah-mudahan lain kali aku
juga bisa” sahut Sedayu. “Tetapi di mana ayahmu? Aku tergesa-gesa. Mungkin
Sidanti tidak pernah berbuat seperti aku, sebab ia acuh tak acuh saja mengenai
perkembangan dan kemajuan keadaan di Sangkal Putung.”
Wajah Sekar Mirah menjadi
merah. Ia tidak menjawab pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi dengan tergesa-gesa ia
melangkah pergi. Tidak masuk ke dalam rumahnya, tetapi justru keluar regol
halaman.
Agung Sedayu sedianya tidak
dapat berkata sesuatu. Namun kemudian ia mencoba memanggil, “Mirah. Mirah.”
Sekar Mirah berpaling. Tetapi
ia tidak berhenti. Agung Sedayu hanya mendengar gadis itu berkata, “Aku akan
pergi ke warung di ujung desa.”
“Bagaimana dengan Ki Demang ?”
“Masuklah” jawabnya.
“Katakanlah sendiri kepadanya.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Gadis itu memang terlampau manja. Sambil menggelengkan kepalanya
Agung Sedayu berdesis, “Terlalu anak itu.”
Namun tiba-tiba Agung Sedayu
terkejut ketika ia mendengar suara tertawa berderai. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Swandaru berdiri bertolak pinggang di samping pendapa.
Sekali lagi Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa dengan anak itu?”
bertanya Swandaru.
“Tidak apa-apa” sahut Agung
Sedayu.
Tetapi suara tertawa Swandaru
menjadi semakin keras. Katanya, “Kau marah kepadanya?”
“Terlalu adikmu itu” desah
Agung Sedayu.
“Begitulah tabiatnya. Jangan
kaget” sahut Swandaru.
Agung Sedayu tidak menyahut
kata-kata itu, tetapi ia bertanya, “Dimana Ki Demang?”
“Di dalam, bukankah Sekar
Mirah juga menjawab begitu?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu, “aku
ingin bertemu.”
“Marilah.”
Keduanya kemudian menaiki
pendapa dan masuk ke pringgitan. Pringgitan itu sama sekali masih seperti malam
kemarin ketika ia tidur di situ bersama paman dan kakaknya. Sejenak kemudian Ki
Demang pun segera keluar dari ruang dalam. Sambil tersenyum orang tua itu duduk
di samping Agung Sedayu.
“Apakah Angger Untara belum
sempat kembali ke kademangan?” bertanya Ki Demang.
“Belum hari ini, Ki Demang”
jawab Sedayu. “Mungkin besok atau lusa.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Apakah masih ada hal yang penting di
banjar desa?”
“Orang-orang Jipang yang
terluka itu Ki Demang.”
“Hem” Demang Sangkal Putung
itu menarik nafas dalam-dalam. “Angger Untara memang mencari kesulitan dengan
orang-orang Jipang itu. Seperti bujang mencari momongan. Kenapa tidak
dibiarkannya saja orang-orang Jipang itu? Biarlah kawan-kawannya sendiri yang
memelihara mereka. Dengan demikian pekerjaan Angger Untara tidak menjadi
bertambah-tambah. Kini Angger Untara harus mengawasi sendiri orang-orang Jipang
itu supaya mereka tidak mengkhianati kita. Tetapi juga supaya mereka tidak
dibunuh oleh prajurit Pajang sendiri.”
Sebelum Agung Sedayu menjawab,
Swandaru berkata, “Kalau bukan orang Pajang, orang Sangkal Putunglah yang akan
membunuh mereka.”
Sedayu terkejut mendengar
jawaban Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Swandaru. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa ia akan mendengar jawaban serupa itu. Dahulu pada saat ia
pertama-tama menginjakkan kakinya di kademangan ini, maka yang mula-mula
ditemuinya adalah Ki Demang itu. Dari mulut Ki Demang ia mendengar, betapa
orang tua itu mengutuk perang dan segala macam akibatnya. Kini tiba-tiba
sikapnya menjadi terlampau keras menghadapi lawan.
Tetapi Agung Sedayu mencoba
untuk mengerti dan memahami jawaban itu. Selama ini Sangkal Putung benar-benar
mengalami tekanan yang luar biasa kerasnya dari orang Jipang. Hampir setiap
hari orang-orang Sangkal Putung selalu diburu oleh kecemasan, ketakutan dan
kegelisahan. Setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu dibakar oleh kemarahan
yang menyala-nyala di dalam dada mereka. Setiap anak muda Sangkal Putung setiap
hari selalu bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan
yang paling pahit sekalipun.
Ki Demang Sangkal Putung
adalah seorang Demang yang dekat sekali dengan hati rakyatnya. Setiap hari ia
mendengar apa yang mereka percakapkan. Setiap hari Ki Demang ikut merasakan
apakah yang mereka cemaskan. Itulah sebabnya, maka semuanya itu telah merubah
sedikit demi sedikit tanggapan Ki Demang Sangkal Putung atas kekerasan yang
dihadapinya. Setiap hari ia selalu didorong untuk menyadari bahwa untuk
menyelamatkan Sangkal Putung dari kekerasan orang-orang Jipang, maka Sangkal
Putung perlu mempergunakan kekuatan dan kekerasan.
Sehingga akhirnya, Ki Demang
itu terdorong semakin jauh ke dalam sikapnya yang sekarang. Betapa ia setiap
hari menjadi semakin membenci orang-orang Jipang, sumber dari segala macam
kegelisahan, kecemasan dan ketakutan.
Tetapi Agung Sedayu tidak
boleh hanyut pula ke dalam sikap yang demikian. Ia sejak semula sependapat
dengan sikap kakaknya. Sudah tentu mereka tidak akan dapat membiarkan
orang-orang Jipang yang terluka terbaring di padang-padang rumput atau di
pategalan yang kering sampai mereka mati dengan sendirinya. Perbuatan yang
demikian adalah perbuatan yang melanggar perikemanusiaan. Sejak ia berada di
Sangkal Putung, para prajurit Pajang selalu bersikap jantan terhadap
lawan-lawan mereka yang terluka. Namun kali ini agaknya telah menjadi jauh
berbeda. Korban yang cukup banyak di pihak Pajang sendiri, telah mendorong
orang-orang Pajang untuk menjadi bertambah membenci dan mendendam.
Apalagi anak-anak muda dan
orang-orang Sangkal Putung. Mereka setiap saat merasa terancam nyawa dan
miliknya.
Meskipun demikian Agung Sedayu
tidak berani menyampaikan persoalan itu kepada Ki Demang. “Biarlah Kakang
Untara sendiri yang mengatakannya” katanya dalam hati. Sehingga yang terloncat
dari bibirnya adalah, “Ki Demang, Kakang Untara kini tidak dapat meninggalkan
banjar desa. Mungkin sampai besok atau lusa. Tetapi Kakang Untara sangat ingin
bertemu dengan Ki Demang. Apakah Ki Demang dapat pergi ke banjar desa?”
Ki Demang Sangkal Putung
mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Namun ia menyadari, bahwa
meskipun bagi Sangkal Putung ia adalah seorang pemimpin tertinggi, tetapi
Untara adalah seorang senapati dari Pajang, yang bahkan mempunyai kedudukan
lebih tinggi dari Widura, penguasa Pajang di daerah Sangkal Putung. Dalam
keadaan seperti saat itu, di mana Sangkal Putung diliputi oleh suasana perang,
maka kedudukan penguasa prajurit adalah melampui kekuasaan demang itu sendiri.
Karena itu, maka permintaan
Untara itu sebenarnya adalah perintah baginya, bahwa ia harus datang ke banjar
desa.
Ki Demang itupun kemudian
menjawab, “Baiklah Ngger. Aku akan segera datang ke banjar desa, setelah aku
menyelesaikan pekerjaanku di sini. Tetapi apakah kira-kira keperluan Angger
Untara memanggil aku?”
Agung sedayu ragu-ragu sesaat.
Tetapi ia tidak berani mendahului kakaknya. Maka jawabnya, “Aku kurang tahu,
Paman. Tetapi menurut pesan Kakang Untara, Ki Demang dan Adi Swandaru diharap
menemuinya di banjar desa.”
“Baiklah,” sahut Ki Demang
kemudian, “aku akan segera pergi, setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan
di sini.”
Agung Sedayu pun kemudian
mohon diri mendahului bersama Swandaru Geni. Mereka bersama ingin juga bertemu
dengan guru mereka. Mungkin ada rencana yang harus mereka lakukan hari itu.
Di halaman mereka bertemu
dengan Sekar Mirah. Gadis itu sama sekali tidak pergi ke warung. Sehingga
karena itu maka Agung Sedayu berkata, “Mirah, ternyata kau tidak pergi ke
warung.”
Sekar Mirah mencibirkan
bibirnya. Jawabnya, “Tidak. Aku memang tidak ke warung.”
“Tetapi kau bilang, bahwa kau
akan pergi ke warung.”
“Tak ada kawan yang
mengantarkan aku” jawabnya.
Swandaru tertawa sampai
tubuhnya terguncang-guncang. Katanya, “Sebaiknya kau berterus terang Mirah.
Bukankah kau ingin Kakang Agung Sedayu mengantarkanmu.”
“Siapa bilang? Siapa bilang?”
sahut Sekar Mirah cepat-cepat.
Swandaru masih tertawa,
katanya seterusnya, “Itupun kau belum berterus terang. Seharusnya kau berkata
kepada Kakang Agung Sedayu untuk mengantarkanmu berjalan-jalan. Tidak ke warung
atau ke mana saja.”
“Bohong! Bohong!” teriak Sekar
Mirah.
Swandaru tertawa puas. Tetapi
Agung Sedayu berdesis, “Kau selalu mengada-ada Adi Swandaru.”
Tapi Swandaru itupun kemudian
terpekik kecil ketika Sekar Mirah mencubit lengannya.
“Awas kau Kakang Swandaru. Aku
tidak mau menyisihkan brutu ayam untukmu lagi.”
“Oh” Swandaru itupun tiba-tiba
seperti teringat sesuatu. Ditariknya lengan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa.
“Mari ikut aku.”
“Kemana?” bertanya Agung
Sedayu.
Swandaru tidak menjawab,
tetapi ditariknya saja tangan Agung Sedayu.
“Mau kemana kalian?” bertanya
Sekar Mirah.
Swandaru tidak juga menjawab.
Bahkan ditariknya Agung Sedayu semakin cepat.
“Kemana?” sekali lagi Agung
Sedayu bertanya.
Namun Swandaru masih saja
berdiam diri. Tetapi Agung Sedayu kemudian mengerti dengan sendirinya maksud
Swandaru itu. Mereka berdua ternyata hilang di balik pintu dapur.
“Kau pasti belum makan. Nah,
daripada kau menunggu rangsum dikirim ke banjar desa, ayo, akupun belum makan.”
Agung Sedayu menjadi
tersipu-sipu ketika ia melihat ibu Swandaru, Nyai Demang Sangkal Putung.
“Marilah Ngger, makanlah” ia mempersilahkan.
“Jangan malu-malu” desis
Swandaru yang segera membuka tenong. “Di mana brutu ayamku?”
Yang datang kemudian sambil
berlari-lari adalah Sekar Mirah. Masih di pintu ia berteriak, “Jangan
ditunjukkan.”
Tetapi Sekar Mirah menjadi
kecewa, sebab Swandaru telah menggenggam sepotong brutu goreng.
“Setan” desah Sekar Mirah.
“Kau tahu juga tempatnya.”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi tangannya telah memegang semangkuk nasi. Dituangkannya seirus sayur ke
dalamnya dan dengan lahapnya ia mulai mengunyah sesuap demi sesuap.
Tetapi Agung Sedayu tidak
dapat berbuat seperti Swandaru yang berada di rumah sendiri. Ia masih saja
duduk sambil mengawasi saudara seperguruannya itu makan. Alangkah enaknya.
Karena itulah maka tubuh Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti telur
raksasa.
“Silahkan Ngger” ibu Swandaru
mempersilahkan. “Mirah,” katanya kepada anak gadisnya, “kenapa kau tidak segera
mempersilahkan Kakangmu Agung Sedayu makan. Ambillah mangkok dan layanilah.”
Sambil bersungut-sungut Sekar
Mirah melakukan perintah ibunya. Namun dengan sengaja dituangkannya sayur
lombok banyak-banyak ke dalam mangkuk Agung Sedayu. Sehingga ketika Agung
Sedayu mulai mengunyah peluhnya segera mengalir dari segenap Iubang-lubang
kulitnya. “Terlalu benar Sekar Mirah” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak
mengucapkan sepatah katapun.
Ketika Swandaru melihat Agung
Sedayu kepedasan, maka kembali suara tertawanya berderai memenuhi dapur.
“Minumlah. Di tlundak itu ada kendi” katanya.
Agung Sedayu mengangguk.
Tetapi ia tidak segera berdiri.
Demikianlah setelah mereka
selesai makan, segera berdiri pergi ke banjar desa. Ternyata Swandaru tidak
terlalu lama menunggu ayahnya. Sejenak kemudian Ki Demang pun segera datang
pula.
Dipersilahkannya mereka berdua
memasuki ruangan dalam. Di dalam ruangan itu telah duduk menunggu Untara,
Widura, Ki Tanu Metir dan kemudian duduk pula bersama mereka, Agung Sedayu.
Sesaat Untara menjadi
ragu-ragu untuk mengatakan maksudnya. Apakah waktunya sudah tepat, apabila Ki
Demang itu diajaknya berbincang-bincang mengenai orang-orang Jipang? Tetapi
Untara tidak mempunyai waktu terlampau lama. Lima hari sejak pembicaraannya
dengan Sumangkar, segalanya harus sudah terlaksana. Semakin cepat bagi Untara
sebenamya semakin baik. Juga bagi Sumangkar, semakin cepat semakin baik.
Apabila Sumangkar harus menunggu terlampau lama, maka segala kemungkinan dapat
terjadi. Mungkin beberapa bagian dari orang-orangnya berubah pendirian, mungkin
mereka akan mengalami kekurangan makan dan mungkin Sanakeling dengan
orang-orang Ki Tambak Wedi yang mendendam akan datang menghancurkan mereka.
Karena itu, maka dengan sangat
hati-hati akhirnya Untara menyampaikan maksudnya pula.
Ki Demang Sangkal Putung
mendengarkan setiap kata-kata Untara dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, namum di saat lain wajahnya tampak
berkerut-kerut. Swandaru yang duduk di samping ayahnya tiba-tiba menjadi
gelisah.
“Jalan itu, bagiku adalah
jalan yang sebaik-baiknya, Ki Demang,” berkata Untara itu kemudian, “kecuali
sejalan dengan pesan Ki Ageng Pemanahan, maka cara itu adalah cara yang paling
hemat bagi kami. Korban akan dapat dibatasi, dan tugas kitapun akan segera
selesai.”
Yang pertama-tama menjawab
adalah Swandaru. “Kakang Untara, bukankah laskar Jipang itu telah
terpecah-belah? Apalagi sepeninggal Macan Kepatihan, tidak ada orang yang dapat
mengantikan kedudukannya. Bukankah dengan demikian kita akan lebih mudah
menghancurkannya dengan kekerasan? Mula-mula kita hancurkan laskar Jipang yang
bersembunyi di dalam hutan, kemudian kita datangi padepokan Ki Tambak Wedi.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan sareh ia menjawab, “Swandaru, kenapa mesti dengan kekerasan?”
“Kita berada di pihak yang
kuat Kakang,” sahut Swandaru, “kenapa kita mesti menerima persetujuan itu?
Dengan mengorbankan beberapa kemungkinan yang akan dapat mengangkat nama Kakang
Untara sendiri sebagai seorang senapati? Dengan menerima persetujuan itu,
seolah-olah kita tidak cukup mampu untuk menghancurkan sisa-sisa laskar Jipang
itu dengan kekerasan.”
“Ya,” Untara mengulangi,
“kenapa mesti dengan kekerasan? Adi Swandaru, yang penting bagi Pajang adalah
penyelesaian atas peristiwa antara Jipang dan Pajang. Apabila peristiwa ini
dapat diselesaikan dengan tanpa pertumpahan darah maka kenapa kita mesti
mempergunakan kekerasan?”
“Jadi apakah kita harus menyerah
saja terhadap orang-orang Jipang itu?” bertanya Swandaru. “Dengan demikian kita
akan menghindarkan pertumpahan darah.”
Untara menggigit bibirnya.
Dengan cepat Ki Demang Sangkal Putung berkata, “Maksudnya Ngger, maksud
Swandaru, kalau perlu kita harus berani mempergunakan kekerasan. Bukankah
korban telah banyak yang jatuh? Di saat-saat terakhir, ketika kita seakan-akan
tinggal menginjak kekuatan mereka di bawah telapak kaki kita, kita menerima
mereka dengan kedua belah tangan, seolah-olah kita harus melupakan saja apa
yang telah pernah terjadi?”
“Bukan begitu Ki Demang” sahut
Untara. Sekilas ia memandangi wajah pamannya. Namun Widura menundukkan
kepalanya, seolah-olah sengaja ia menghindari tatapan mata Untara.
“Kita tidak membebaskan mereka
dari segenap tanggung jawab,” kata Untara kemudian, “tetapi kita menerima
orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kita tidak membuat persetujuan apapun,
kecuali menerima penyerahan orang-orang Jipang itu. Kita tidak membuat jaminan
apapun kepada mereka, kecuali janji untuk memperlakukan mereka seperti
seharusnya bagi prajurit-prajurit lawan yang menyerah.”
“Mereka tidak pernah berpikir
sedemikian baik, Ngger” berkata Ki Demang. “Coba, apakah yang telah mereka
lakukan pada saat pertentangan ini meledak? Tanpa disangka-sangka, maka Sunan
Prawata terbunuh. Kemudian Pangeran Hadiri. Bahkan Adipati Adiwijaya sendiri
hampir-hampir terbunuh pula. Sesudah itu ratusan korban berjatuhan.”
“Itulah bedanya, Ki Demang”
sahut Untara. “Itulah bedanya. Orang-orang itu berbuat tanpa pengekangan diri,
seolah-olah mereka dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita adalah
orang-orang yang beradab. Kita merasa bahwa perbuatan kita harus kita
pertanggungjawabkan. Tidak saja terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada
Sumber kekuatan kita. Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian Ki Demang, mereka
yang tidak mau menyerahkan dirinya dalam kesempatan ini, seperti Sanakeling,
Alap-Alap Jalatunda dan beberapa bagian dari laskarnya, maka mereka pasti akan
kita hancurkan. Hancur dalam pengertian yang sebenar-benarnya.”
Ki Demang Sangkal Putung tidak
menjawab. Ketika Untara melihat wajahnya, Ki Demang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengerti” berkata Untara di dalam
hatinya.
Namun yang bertanya kemudian
adalah Swandaru. “Lalu bagaimana sikap kita terhadap mereka yang menyerah?
Apakah mereka kita biarkan saja kembali ke tempat mereka, atau kita biarkan
sekehendak hati mereka, apapun yang akan mereka lakukan?”
“Tentu tidak, Swandaru” sahut
Untara. “Mereka berada dalam pengawasan. Jasmaniah dan rohaniah.”
Sejenak ruangan itu menjadi
sepi. Masing-masing mencoba memandang persoalan itu menurut segi dan
kepentingan masing-masing. Namun terasa bahwa sebagian besar dari pendirian
Untara dapat dimengerti oleh Ki Demang Sangkal Putung.
Meskipun demikian, masih
terdengar Swandaru berdesis, “Kita terlampau baik hati. Mereka suatu ketika
akan menelan kita kembali.”
“Para perwira Wira Tamtama
akan memperhitungkan persoalan itu Swandaru” sahut Untara. “Mudah-mudahan hal
itu tidak akan sempat terjadi.”
Kembali mereka yang duduk di
ruangan itu terdiam. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa
berkata sepatah katapun. Sekali-sekali orang tua itu memandang wajah Widura,
namun pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung itu masih menundukkan
kepalanya. Berbagai persoalan berkecamuk di dalam kepalanya. Meskipun kemudian
ia sependapat dengan Untara, bahwa apa yang dilakukan itu setidak-tidaknya akan
mengurangi pekerjaannya, namun telah terbayang di dalam angan-angannya, suatu
pekerjaan baru yang tidak kalah pentingnya. Ki Tambak wedi, Sidanti, Sanakeling
dan laskarnya.
Kemudian, ketika tidak ada
persoalan yang dibicarakan lagi mengenai dasar-dasar penyerahan orang-orang
Jipang itu, maka sampailah mereka pada pelaksanaan dari penyerahan. Meskipun Ki
Demang pada dasarnya dapat mengerti pikiran Untara, namun bagaimanapun juga ia
masih dihinggapi oleh berbagai keragu-raguan. Karena itu maka ia berkata,
“Angger Untara. Aku tidak berkeberatan Sangkal Putung menjadi tempat menerima
orang-orang Jipang itu, tetapi tidak di induk Kademangan. Aku tidak dapat
membayangkan, apakah rakyatku akan dapat menahan luapan perasaannya melihat
orang-orang Jipang yang mereka anggap sumber dari segala macam bencana. Karena
itu, aku minta agar Angger menerima orang-orang Jipang itu tidak di induk
Kademangan ini. Aku menyediakan sabuah desa kecil. Benda, yang barangkali tepat
untuk melakukan penerimaan orang-orang Jipang itu.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali ia mengheIa nafas dalam-dalam. Namun iapun dapat mengerti
keberatan Ki Demang Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Ki Demang masih
dibayangi oleh kecemasannya menghadapi orang-orang Jipang. Mungkin Ki Demang
masih mencemaskannya, apabila orang-orang Jipang itu tiba-tiba mengamuk di
induk Kademangan.
Karena itu maka segera Untara
menjawab, “Terima kasih Paman Demang. Di manapun juga, maka pelaksanaan itu
dapat dilakukan. Namun aku masih ingin mengajukan parmintaan lain. Aku ingin
meminjam satu atau dua buah rumah untuk menampung orang-orang Jipang itu
sebelum mereka dibawa ke Pajang.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Kemudian jawabnya, “Baiklah Ngger. Aku akan menyediakan. Di Benda
hanya ada beberapa rumah yang agak besar. Dalam saat-saat penyerahan itu,
penduduk Benda akan aku singkirkan ke Kademangan ini lebih dahulu.”
Kembali Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih Ki Demang. Kita tinggal
menunggu pelaksanaan dari hari penyerahan itu. Mudah-mudahan dapat berjalan
dengan lancar dan orang-orang Jipang itu menyadari keadaannya dengan jujur.”
Sejak hari itu maka berita
tentang penyerahan orang-orang Jipang itu segera tersebar di seluruh
Kademangan. Sebagian besar dari orang-orang Sangkal Putung kecewa mendengar
sikap Untara yang menerima orang-orang Jipang itu. Kenapa Untara tidak
mengerahkan saja segenap kekuatan di Sangkal Putung untuk menghancur-lumatkan
mereka di sarang mereka? Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkannya
dengan terang-terangan. Mereka hanya memperbincangkannya di gardu-gardu dan di
perempatan-perempatan jalan apabila mereka duduk di sore hari menjelang senja.
Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa Demang mereka, dan pimpinan laskar
Sangkal Putung, Swandaru Geni, telah menyetujuinya pula.
Demikianlah dari hari ke hari,
rakyat Sangkal Putung menjadi semakin tegang. Mereka masih belum dapat
melupakan. bagaimana Sanakeling mendekati induk Kademangan meraka, dan
bagaimana orang-orang Jipang itu setiap hari membuat hati mereka menjadi cemas.
Sehingga tanpa disengaja, semakin dekat dengan hari penyerahan itu maka setiap
anak muda di Sangkal Putung telah mempersiapkan dirinya pula, seperti apabila
mereka harus menghadapi sergapan Macan Kepatihan beberapa waktu yang lalu.
Hampir setiap anak muda tidak melepaskan pedang dari lambung mereka. Hampir
setiap malam gardu-gardu menjadi kian penuh.
Dan lima hari itu adalah
hari-hari yang tegang.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
telah mendatangi Sumangkar di dalam sarangnya sebagai utusan Untara untuk
menjelaskan pelaksanaan daripada penyerahan itu. Sementara itu utusan Untara ke
Pajang pun telah kembali pula ke Sangkal Putung.
“Bagaimana dengan pesanku?”
bertanya Untara.
“Telah diterima langsung oleh
Ki Ageng Pemanahan” sahut utusannya.
“Apa perintahnya?”
“Tak ada perintah. Beliau
sependapat dengan pesan Ki Untara.”
“Bagus.”
Di malam menjelang hari
penyerahan, Sangkal Putung benar-benar menjadi tegang. Untara juga tidak
melengahkan diri. Ia masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan
dengan desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa kecil itupun telah diisi
dengan beberapa prajurit pilihan dan penghubung-penghubung berkuda. Bahkan
tanda-tanda bahayapun telah siap pula, apabila terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putunglah yang membuat persiapan yang
luar hiasa. Mereka berada di sisi prajurit Pajang yang berada pada garis yang
berhadapan dengan desa Benda.
Malam itu Untara tampak sibuk
pula mengawasi keadaan dibantu oleh Widura, Agung Sedayu, dan beberapa orang
lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya, tampaknya kurang gairah
menghadapi keadaan. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang patuh sehingga
setelah kejutan perasaannya mereda, maka apapun yang diperintahkan kepadanya,
dilakukannya dengan sebaik-baiknya.
“Jadi kau sengaja menunggu
sampai besok?” bertanya Widura kepada Untara.
“Ya. Aku tidak
memberitahukannya kepada siapapun juga kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing pun
tidak, apalagi Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Kau akan membuat sebuah
lelucon yang baik Untara.”
Malam menjelang hari yang
ditentukan semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Besok orang-orang Jipang di
bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda tanpa bersenjata. Mereka akan
meletakkan senjata mereka di luar desa itu. dan prajurit Pajanglah kemudian
yang akan mengambil senjata-senjata itu.
Besok pada tengah hari, tepat
ketika matahari mencapai puncaknya, maka beberapa orang dari prajurit Pajang
akan memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura diikuti oleh
beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki Benda pula, menerima
orang-orang Jipang itu. Seterusnya, orang-orang Jipang akan ditempatkan di
rumah-rumah yang telah disediakan di bawah pengawasan yang kuat dari para
prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang itu tidak ingkar, tetapi
juga mengawasi agar keamanan mereka tidak terganggu.
Seterusnya maka orang-orang
Jipang itu akan dibawa ke Pajang sebagai tawanan yang akan diadili oleh para
penjabat di Pajang.
Ternyata malam itu, bukan saja
Sangkal Putung yang mengalami ketegangan. Perkemahan Sumangkar pun dicengkam
oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa orang menjadi ragu-ragu kembali. Apakah
besok, setelah mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang Pajang tidak akan
mencincang mereka satu demi satu? Apakah besok benar-benar orang Pajang
memegang janjinya, membawa mereka ke Pajang dan mengadili mereka dengan baik
menurut ketentuan yang seharusnya berlaku? Apakah mereka kemudian tanpa
persoalan tidak saja digantung, di sepanjang jalan-jalan kota dan
dipertontonkan kepada rakyat Pajang, sebagai orang-orang yang telah berkhianat
terhadap Demak, terhadap keturunan Sultan Trenggana.
Dengam sareh dan telaten
Sumangkar mencoba memberi mereka beberapa petunjuk hal-hal yang dapat
meringankan beban perasaan mereka.
“Kalian harus menyadari, bahwa
apa yang telah kalian lakukan selama ini sama sekali tidak akan berarti. Kalian
hanyalah merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian telah
kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun untuk mendapatkan
kemenangan. Kemenangan dalam arti mencapai tujuan. Bukan kemenangan-kemenangan
kecil, merampas harta kekayaan di pedesan, mengusir beberapa orang yang mencoba
menentang kalian atau perbuatan-perbuatan tak berarti lainnya. Namun yang
paling penting, kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan
sejak semula adalah salah. Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak
benar. Dan ini adalah sumber bencana yang menimpa kalian.”
Beberapa orang menjadi semakin
yakin akan kebenaran sikap mereka. Namun beberapa orang masih juga ragu-ragu.
“Ingat,” berkata Sumangkar,
“kalian tidak boleh menyesal atau menyerah karena kalian telah merasa gagal.
Maka itu, seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian itu
benar. Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang kalian lakukan, apa yang
kalian cita-citakan, itulah yang salah. Sehingga apabila kalian mendapatkan
kemenangan dalam peperangan ini, maka kalian tidak berada di dalam kebenaran
dan kalianpun masih harus tetap menyadari, bahwa kalian bersalah. Apalagi dalam
keadaan kalian sekarang ini. Apabila kalian menang, maka yang kalian anggap
kebenaran adalah kekuasaan kalian. Kekuasaan yang kalian dapatkan dari
kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab kalian telah menumbangkan
kekuasaan Demak yang tersalur menurut ketentuan kepada Pajang, sepeninggal
saudara-saudaranya.”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah yakin dan mantap akan
keputusan mereka. Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan yang
panjang karena ketamakan mereka akan kekuasaan. Maka seakan-akan kini mereka
menemukan jalan kembali, meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus
dipertanggungjawabkan. Namun mereka akan mendapatkan batas waktu yang tertentu.
Mungkin mereka harus melakukan kerja paksa yang keras beberapa tahun lamanya,
mungkin mereka akan disisihkan ke tempat-tempat yang masih harus dibuka. Tetapi
keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga buruan yang disirik oleh
masyarakat karena suaminya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.
Namun masih terasa di dalam
perkemahan itu, ketegangan yang seakan-akan hampir meledak. Beberapa orang
benar-benar menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka tidak ikut saja
bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi. Apalagi ketika mereka menyadari
bahwa Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas. Satu dua kali Sumangkar
membuat mereka menjadi heran, orang tua itu mampu menangkis serangan
gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah itu bukan hanya sekedar kebetulan?
Dan apakah cerita tentang Sumangkar yang berhasil mengusir Tambak Wedi tidak
hanya sekedar cerita di dalam mimpi Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat
untuk meyakinkan mereka.
Dalam keragu-raguan itu,
tiba-tiba timbullah keinginan mereka untuk membuktikannya. Apakah benar-benar
Sumangkar dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah Sumangkar itu hanya
sekedar seorang yang hanya mampu membual, atau bahkan Sumangkar adalah orang
yang sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam lingkungan mereka.
Demikianlah tiba-tiba dua
orang di antara mereka segera memasuki gubug pimpinan yang kini ditempati oleh
Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari kedua orang itu
membentak, “Sumangkar, sebelum terjadi penyembelihan besar-besaran besok, maka
beruntunglah bahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan. Kau besok akan
membawa kami ke dalam neraka yang paling mengerikan. Dan kau pasti akan puas
melihat mayat-mayat kami tergantung di pohon-pohon atau bahkan di jalan-jalan
dalam kota Pajang. Nah, sekarang kau sebagai sumber dari bencana ini harus
bertanggung jawab. Kau harus mengurungkan penyerahan yang akan terjadi besok.
Kau harus minta maaf di hadapan kami semua, dan kau pula yang harus
mempersatukan kami kembali dengam Kakang Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda dan
bahkan dengan Ki Tambak Wedi.”
Sumangkar memandangi kedua
orang itu dengan wajah yang muram. Seperti wajah seorang ayah yang melihat
kabengalan anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata, “Jangan salah mengerti. Kalau
besok terjadi penyembelihan besar-besaran di antara kita, maka akulah orang
yang pertama-tama akan disembelih.”
Orang yang lain tertawa
terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Katanya, “Sekarang kalimat itu dapat kau
ucapkan. Tetapi besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami,
maka kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu untuk maju ke tiang
gantungan. Atau untuk menundukkan kepala-kepala kami di atas landasan sepotong
kayu atau tunggak pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang atau pedang-pedang mereka
besok akan menebas leher kami sehingga kepala kami akan terpotong dari tubuh
kami.”
“Sebuah gambaran yang
mengerikan” desis Sumangkar.
“Bukankah demikian yang selalu
dilakukan oleh orang-orang Pajang? Apakah kau balum pernah mendengar, bagaimana
tubuh Plasa Ireng pada saat matinya? Tubuh itu tergores pedang lintang
melintang. Hampir tak ada bedanya dengan tubuh yang dicincang-cincang. Dan
bukankah kau sendiri yang membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka arang
kranjang?”
“Kau tahu siapakah yang
mencincang Plasa Ireng?”
“Pasti” sahut salah seorang
daripadanya. “Orang Pajang.”
“Namanya?” bertanya Sumangkar
pula.
“Sidanti.”
“Kau tahu, siapakah Sidanti
itu?”
Tiba-tiba kedua orang itu
terdiam.
“Nah, apakah kalian ingin
bersama-sama dengan Sanakeling bergabung dengan Sidanti, supaya kalian menjadi
semakin pandai mencincang?”
Kedua orang itu masih terdiam.
“Pertimbangkanlah baik-baik,”
berkata Sumangkar, “kalau kau percaya kepadaku. Aku melihat dengan mata kepala
sendiri, orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita yang terluka
di peperangan. Apakah kita sendiri sempat berbuat demikian terhadap kawan-kawan
sendiri, apalagi lawan kita?”
Kedua orang itu semakin
terdiam. Tetapi mereka masih belum melepaskan keragu-raguan mereka. Namun
dengan penuh kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi kalimat.
Gambaran demi gambaran, sehingga kedua orang itupun kemudian menundukkan
kepala-kepala mereka sambil bergumam, “Aku dapat mengerti Kiai, tetapi aku
masih tetap dicengkam oleh keraguan itu.”
“Mudah-mudahan aku akan dapat
menjadi jaminan. Kalau besok orang-orang Pajang mengingkari janjinya, maka aku
akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan.”
Wajah kedua orang itu masih
tetap memancarkan keragu-raguannya. Sehingga Sumangkar berkata, “Mungkin kau
curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang Pajang yang menyusup ke
dalam Laskar Jipang. Kalau demikian, aku tidak perlu ribut-ribut
menyelenggarakan penyerahan. Aku dapat membunuh kalian malam tadi, atau malam
nanti dengan memberi kesempatan prajunit Pajang menyergap perkemahan ini.
Tetapi itu tidak terjadi.”
Kedua orang Jipang itu masih
saja terbungkam. Dan Sumangkar pun berkata terus seperti orang ayah menasehati
anak-anaknya. “Memang permusuhan selalu menumbuhkan prasangka di kedua belah
pihak. Meskipun kedua belah pihak ingin menghentikannya dengan jujur, namun
pertimbangan-pertimbangan yang timbul kemudian kadang-kadang amat meragukan.
Masing-masing mencurigai pihak yang lain. Malam ini aku kira bukan saja kalian
berdua yang menjadi ragu-ragu. Aku kira beberapa orang Pajang pun menjadi
ragu-ragu. Pasti ada di antara mereka yang menyangka bahwa apa yang kita
lakukan tidak lebih dari suatu cara untuk memasuki Sangkal Putung dengan cara
yang licik. Kita besok pasti akan dijemput dengan pasukan segelar sepapan
lengkap dengan segala macam bentuk senjata. Apabila demikian, kalian jangan
terkejut. Itu bukanlah sikap yang bermusuhan. Namun itu adalah suatu sikap
curiga. Permusuhan yang telah tumbuh ini, tidak akan segera hilang tanpa bekas.
Setiap persoalan yang kecil yang timbul di antara kalian dan orang Pajang
kelak, pasti segera akan mengungkat kembali permusuhan ini. Kalau ada salah
seorang saja dari orang-orang Jipang yang berbuat curang, maka segera kebencian
orang Pajang yang akan bertambah. Sebaliknya kalau ada seorang Pajang yang
berbuat sewenang-wenang atas kalian, maka kalian pasti akan berkata bahwa orang
Pajang telah mengingkari janjinya dan berbuat sewenang-wenang. Sehingga dengan
demikian, keinginan-keinginan yang jujur akan tenggelam dalam noda-noda yang
kelam. Namun yakinlah, yakinlah pada tujuan yang baik. Yakinlah bahwa kalian
telah kembali, bukan saja dalam bentuk duniawi, bukan saja dalam bentuk
jasmaniah, tetapi yang penting adalah nilai-nilai rohaniah. Apapun yang kalian
alami secara badaniah, maka apabila kalian hayati dengan kesadaran atas
nilai-nilai rohaniah, maka kalian akan menemukan ketenteraman, kalian akan
menemukan hiburan dari nilai-nilai rohaniah itu. Sebenarnyalah bahwa dalam
bertaubat, kalian akan mendapat pengampunan. Meskipun tangan kalian telah
berlumuran darah tetapi pintu pengampunan tertinggi tidak pernah akan ditutup
apabila kita bersungguh-sungguh mohon kepada Tuhan untuk mendapatkannya.
Bersungguh-sungguh, tekad dan perbuatan.”
Kedua prajurit itu semakin
tertunduk. Kata-kata itu menyusup ke dalam hati mereka, sehingga mereka menjadi
yakin atas tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Kiai.” Dan di
dalam hatinya ia berkata, “Alangkah benarnya kata-kata Kiai Sumangkar. Apa yang
akan aku alami secara badaniah pasti tidak akan banyak berarti dibandingkan
dengan nilai-nilai rohaniahnya.”
Ketika kedua orang itu
kemudian kembali ke gubugnya, gubug yang hanya tinggal semalam itu didiami,
mereka segera tidur mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena
keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan hakekat dari penyerahan
mereka kepada orang-orang Pajang. Bukan secara badaniah, tetapi secara
rohaniah, mereka menyongsong suatu kehidupan baru. Hati mereka yang pepat
kelam, kini seakan-akan telah terbuka. Dari celah-celahnya seakan-akan mereka
berdua dapat melihat, apa yang telah pernah terjadi dan apa yang akan
dilakukannya.
Sumangkar sendiri kemudian
mencoba berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak seperti kedua orang Jipang
yang baru datang kepadanya, yang segera dapat tidur mendengkur karena
perasaannya telah tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan. Tetapi
Sumangkar adalah orang yang bertanggung jawab akan terselenggaranya penyerahan
besok.
Meskipun demikian, apa yang
dikatakannya kepada kedua peajurit itu telah sedikit menenteramkan hatinya
sendiri pula. Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan
kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin yakin akan kebenaran
sikapnya.
Ketika angin malam manembus
lubang-lubang dinding gubugnya, terdengar di kejauhan jerit anjing-anjing liar
berebut mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur kepada
Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda dan kawan-kawannya. Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam sambil bergumam lirih, “Kasihan Sanakeling. Seperti anjing-anjing
liar itu, mereka bersama-sama berangkat dari satu sarang, bersama-sama mengejar
mangsanya, bersama-sama menyerang dan membinasakan. Tetapi kemudian mereka
saling membunuh di antara sesama apabila mereka sudah berebut hasil buruannya
itu.”
Dan suara anjing-anjing liar
itu semakin lama menjadi semakin riuh, sehingga Sumangkar menjadi semakin tidak
mungkin lagi dapat memejamkan matanya.
Orang tua itupun kemudian
bangkit dari pembaringannya, berjalan ke luar dan mengitari halaman. Ia masih
melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir kalinya di
sudut-sudut perkemahan.
Sekali-sekali Sumangkar
mendekati mereka sambil berkata, “Besok kau akan bebas dari pekerjaan semacam
ini.”
Orang itu menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan mereka menjawab, “Kiai, rasa-rasanya kami akan memasuki sebuah
goa yang maha gelap.”
“Kenapa?” bertanya Sumangkar.
“Kami tidak tahu, apa yang
berada di dalamnya. Apakah kami akan sampai ke dalam istana yang indah ataukah
kami akan terjerumus ke dalam neraka yang paling laknat.”
Sumangkar mengangguk-angukkan
kepalanya. Ia dapat mengerti sepenuhnya kata-kata itu. Bahkan secara jujur
hatinya sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi ia percaya kepada
Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan percaya kepada kewibawaan Widura atas
anak buahnya, sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengganggu
pelaksanaan penyerahan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya ia mengharap
bahwa orang-orang Jipang sendiri akan dapat membantu terlaksananya penyerahan
itu dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya Sumangkar itupun
menjawab, “Jangan ragu-ragu Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita ini benar. Telah
sekian lama kita terjerumus dalam kesalahan.”
“Tetapi ketika kita sedang
mulai, bukankah Kiai turut pula beserta kita?”
“Karena itulah, maka marilah
kita mengucap sukur Ngger. Mengucap sukur bahwa akal kita dapat berkembang. Seperti
anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara, maka kemudian anak-anak itu
dapat mengerti bahwa ternyata ia telah berbuat suatu kesalahan. Demikian pula
aku Ngger. Mudah-mudahan demikian pula kalian menemukannya seperti aku
menemukan kesadaran itu.”
Para penjaga itupun
mengangguk-angukkan kepala mereka. Dan Sumangkar pun kemudian berjalan
meninggalkan orang itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga
kemudian ia menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di dalam gubugnya,
tetapi di samping gardu di ujung halaman perkemahannya. Sesaat kemudian angin
yang silir telah membelainya, seperti tangan seorang ibu membelai anaknya
tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan nyenyaknya. Besok ia
akan melakukan kewajiban yang berat dan berbahaya.
Ketika ayam jantan berkokok di
pagi-pagi buta, orang-orang di Sangkal Putung telah menjadi sibuk. Beberapa
orang bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi mengungsi. Mereka
cemas mendengar banyak desas-desus yang bersimpang-siur, seolah-olah
orang-orang Jipang yang ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu cara
untuk mengelabuhi kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung.
Anak-anak muda Sangkal Putung
telah siap menyandang senjata masing-masing, sedang para prajurit Pajang pun
telah bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang bagi Sangkal
Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan datang menyergap kampung halaman
mereka.
“Seandainya orang-orang Jipang
itu benar-benar menyerah sekalipun, siapa yang harus memberi mereka makan? Kami
juga, orang-orang Sangkal Putung” gerutu salah seorang anak muda Sangkal
Putung.
Tetapi ia terkejut ketika
didengarnya jawaban sareh. “Memberi makan mereka adalah jauh lebih baik
daripada kampung halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan
rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?”
Ketika anak-anak muda itu
berpaling dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakang mereka. Dengan serta
merta mereka segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya. “Ya. Ya Tuan.
Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung padi kami agaknya masih cukup
sampai musim menuai yang akan datang.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Bukankah dengan penyelesaian yang bagaimanapun bentuknya asal tidak
mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus bertempur dan
berjaga-jaga setiap hari? Sawah-sawah yang bera selama ini karena gangguan
keamanan segera dapat ditanami. Saluran-saluran air dapat segera diperbaiki.
Bukan begitu?”
“Ya, ya tentu Tuan. Tentu”
sahut mereka tergagap.
Sekali lagi Agung Sedayu
tersenyum sambil berjalan ke dalam halaman banjar desa. Namun sepeninggal Agung
Sedayu anak-anak muda Sangkal Putung itu memberengut sambil berkata, “Anak itu
bukan anak Sangkal Putung.”
Tetapi seorang yang lebih
dewasa daripada anak-anak itu berkata, “Aku membenarkan kata-katanya.”
Anak-anak muda itu memandangi
kawannya sambil bertanya, “Kenapa kau membenarkannya?”
“Apakah kau tahu yang
dikatakan oleh Agung Sedayu?” bertanya kawannya yang yang lebih dewasa berpikir
itu.
“Tentu.”
“Coba katakan maksud
kata-katanya.”
“Bukankah ia mengatakan bahwa
lumbung-lumbung kami masih penuh dengan padi dan sawah-sawah kami masih dapat
ditanami? Tetapi apakah kami tidak memerlukannya sendiri? Berapa banyak beras
yang sudah kami berikan kepada orang-orang Pajang yang berada di sini, sekarang
ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang selama ini membuat bencana di
kampung halaman kami.”
Kawannya itu tertawa. Katanya,
“Ternyata kau tidak mendengarkannya, tetapi kau sudah tergesa-gesa mengangguk
dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.”
“Kenapa?” bertanya anak muda
itu sambil tersipu-sipu.
“Dengarkan, aku akan mencoba
mengulangi” berkata kawannya. “Agung Sedayu itu berkata bahwa lebih baik
memberi makan orang-orang Jipang itu daripada tidak sempat menanami sawah dan
ladang. Bukankah sawah-sawah dan ladang kita banyak yang bera tidak dapat
ditanami karena kita ketakutan? Sawah-sawah kita yang jauh dari induk desa ini
dan ladang-ladang kita di ujung-ujung desa terpencil? Saluran-saluran air
menjadi kering, karena kita tidak sempat memperbaikinya. Nah, kalau kita sudah
tidak berkelahi lagi, maka semua itu akan dapat kita lakukan dengan baik.
Hasilnya, dibandingkan dengan beras yang akan kita berikan untuk memberi
orang-orang Jipang itu makan, masih cukup banyak. Bukankah begitu?”
Anak muda itu merenung.
Sekali-sekali mengangguk-angguk, namun kemudian ia tidak mau kalah. “Tetapi
berapa nilai dari kawan-kawan kami yang terbunuh di peperangan?”
“Itu adalah banten. Tawur bagi
kesejahteraan kampung halaman.”
Anak muda itu terdiam.
Kawan-kawannya yang lainpun terdiam pula. Ada sedikit pengertian di otaknya,
namun hatinya tetap meronta. Sehingga sulitlah bagi anak muda itu untuk
mendamaikan hati dan otaknya sendiri.
Tetapi mereka tidak
bercakap-cakap lagi. Semakin pagi semakin banyak anak-anak muda yang
berdatangan di banjar desa. Mereka telah bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap
kemungkinan.
Prajurit-prajurit Pajang pun
telah bersiaga pula. Mereka benar-benar dalam kesiap-siagaan tertinggi. Bahkan
Widura telah memerintahkan untuk menyiapkan rontek di banjar desa. Umbul-umbul
dan panji-panji pun dipersiapkannya pula. Pusat pimpinan prajurit Pajang kini
dengan serta merta telah berpindah dari kademangan ke banjar desa.
Ki Demang sendiri tidak
mengerti kenapa demikian. Kenapa tiba-tiba rontek dan segala macam tanda
kebesaran telah dipasang di banjar desa. Bahkan kemudian Widura memberikan
perintah kepada prajuritnya untuk bersiap di alun-alun di hadapan banjar desa
itu, tidak di halaman banjar desa.
Beberapa orang menjadi heran.
Kenapa halaman banjar desa itu sengaja dikosongkan? Juga anak-anak muda Sangkal
Putung diminta untuk berkumpul di luar halaman Banjar desa.
“Kenapa kita harus keluar dari
banjar desa?” bertanya salah seorang kepada sesama mereka.
Kawannya menggelengkan
kepalanya. “Entahlah.”
“Bukankah banjar desa itu kita
punya?”
“Ya. Tetapi Ki Demang sendiri
tidak berbuat apa-apa. Swandaru pun berdiam diri saja.”
Merekapun terdiam pula. Tetapi
pertanyaan itu melingkar-lingkar di kepalanya. Apalagi ketika kemudian mereka
melihat beberapa prajurit Pajang berkuda, berpacu sepanjang jalan kademangan
mereka seperti mengejar hantu. Anak-anak muda itu menjadi semakin heran.
Ketika matahari telah
menjenguk dari punggung bukit, maka Kademangan Sangkal Putung itupun menjadi
cerah. Ujung-ujung rontek, umbul-umbul dan panji-panji seakan-akan menjadi kian
cemerlang dipanasi oleh sinar matahari pagi. Dalam belaian angin yang lembut
panji-panji dan umbul-umbul itu bergetar perlahan-lahan, seperti anak-anak yang
melambaikan tangannya menyambut kedatangan ibunya. Banjar Desa Sangkal Putung
pagi itu benar-benar memancarkan kesegaran dan kebesaran meskipun terbatas
dalam kademangan yang kecil namun subur dan makmur itu.
Bahkan kemudian beberapa orang
bertanya-tanya, “Apakah di sini nanti Untara akan menerima orang-orang Jipang
di Benda tengah hari nanti?”
“Tidak,” jawab yang lain. “Ki
Demang telah menentukan, bahwa Untara akan menerima orang-orang Jipang di
Benda, tengah hari nanti.”
“Lalu untuk apa banjar desa di
rengga-rengga dengan segala macam rontek dan umbul-umbul?”
Kawannya mengeleng.
Perlahan-lahan ia menggeser mendekati seorang prajurit Pajang yang berdiri di
alun-alun itu pula. “Untuk apa rontek dan umbul-umbul bahkan panji-panji itu?”
Prajurit Pajang itu
menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu.”
“Apakah itu suatu kehormatan
bagi orang-orang Jipang?”
Mata prajurit itu terbelalak,
katanya, “Pasti tidak. Kami sendiri tidak pernah mendapat sambutan dengan
tanda-tanda kebesaran itu. Apalagi orang-orang Jipang yang sudah sekarat.”
Anak muda itu
menganguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Prajurit Pajang sendiri
agaknya tidak senang melihat penyerahan orang-orang Jipang itu. Mungkin mereka
lebih senang membinasakannya di medan-medan peperangan.”
Tetapi ternyata kemudian Untara
sendiri tidak dapat merahasiakan teka-teki itu kepada para pemimpin
kelompoknya. Beberapa orang dipanggilnya, dan diberitahukan kepada mereka apa
yang harus dilakukan. Beberapa orang di antaranya menarik nafas dalam-dalam.
“Oh” katanya di dalam hati. “Aku sudah berdebar-debar.”
Untara tersenyum melihat sikap
beberapa orang pembantu-pembantu Widura itu. Katanya, “Kalian tidak usah
berdebar-debar. Aku ingin mengejutkan Ki Demang Sangkal Putung.”
“Bukan saja Ki Demang” sahut
Hudaya. “Aku juga terkejut. Tetapi apakah maksud Angger Untara hanya supaya Ki
Demang terkejut?”
“Ya.”
“Tidak ada maksud lain?”
“Maksud lain tidak terkandung
dalam persoalan yang kau dengar ini.”
Hudaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia bertanya kembali, “Ya. Dalam hal tidak diberitahukan,
mungkin Angger Untara hanya akan membuatnya terkejut. Tetapi maksud
kedatangannya kemari?”
“Tentu,” jawab Untara, “kau
telah dapat merabanya sendiri.”
Hudaya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
“Beberapa orang telah aku
perintahkan untuk menyongsongnya dan membawanya ke banjar desa ini” berkata
Untara pula. “Menurut ketentuan mereka akan datang pagi-pagi.”
“Mereka berangkat tengah
malam” sela Widura.
“Ya, mereka berangkat tengah
malam” sahut Untara.
Sesaat mereka kemudian
terdiam. Beberapa orang masih juga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hari ini
akan menjadi hari yang penting bagi Sangkal Putung. Bahkan hari yang tak akan
dapat dilupakan oleh anak-anak mudanya. Peristiwa demi peristiwa akan berpuncak
di hari ini. Namun apa yang terjadi masih juga menjadi pertanyaan bagi
anak-anak muda Sangkal Putung dan bahkan para prajurit Pajang sendiri.
Dalam pada itu, lima orang
penghubung telah mendapat perintah khusus dari Untara dan Widura untuk
menjemput tamu yang akan datang. Tamu yang akan mendapat penyambutan yang
khusus, yang akan mengejutkan hati setiap orang di Sangkal Putung dan
prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung pula.
Tetapi yang tidak mereka
perhitungkan, bahwa pada saat ini, hantu lereng Merapi yang mereka takuti,
ternyata membuat perhitungan tersendiri. Ternyata Ki Tambak Wedi mendengar pula
bahwa hari ini, Untara akan menerima Sumangkar dengan orang-orangnya yang
menyerahkan diri.
Sesaat setelah ia mendengar
berita itu, beberapa hari yang lalu, orang tua itu tersenyum di dalam hatinya.
Dipanggilnya Sidanti dan Sanakeling. Sambil memilin-milin kumisnya ia berkata,
“Nah, apa rencana kalian menghadapi hari yang ditentukan itu?”
Dengan serta-merta Sanakeling
menjawab, “Kita hancurkan Sumangkar dan orang-orangnya.”
Ki Tambak Wedi tertawa.
Katanya, “Jangan terlampau bernafsu hendak memusnahkan kawan-kawan itu sendiri
dengan tanganmu. Belum lagi dapat dipastikan kita akan dapat memenangkan
pertempuran itu, meskipun sebagian besar dari para pemimpin Jipang berada di
sini. Tetapi Sumangkar dan mungkin Kiai Gringsing akan dapat mengganggu rencana
ini.”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. Kemudian dengan tenangnya ia berkata, “Lalu apa yang sebaiknya kita
kerjakan Kiai?”
Ki Tambak Wedi tersenyum.
Hidungnya yang melengkung tampak bergerak-gerak. Dijawabnya, “Kita hancurkan
mereka dengan meminjam tangan orang lain.”
Sanakeling mengerutkan keningnya.
Gumamnya, “Bagaimana mungkin?”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya yang bernama Sidanti
sambil bertanya, “Apa rencanamu?”
Sidanti menggeleng, “Aku belum
memikirkannya guru.”
“Alangkah bodohnya kalian”
berkata orang tua itu. “Kita akan mendapat kesempatan yang baik sekali
menghadapi saat penyerahan itu. Penyerahan itu akan terjadi di tengah hari.
Kita harus mengingat-ingat saat itu.”
“Ya. Tengah hari. Tetapi
bagaimana dengan meminjam tangan orang lain itu?” desak Sanakeling.
Tambak Wedi terdiam sesaat.
Kemudian katanya, “Percayalah bahwa tidak semua orang Pajang sendiri ikhlas
menerima penyerahan itu. Sebagian dari mereka pasti masih mendendamnya dan
ingin menghancurkan orang-orang Jipang di medan-medan perang tanpa ada
persoalan lagi. Mereka pasti ingin melihat orang-orang Jipang itu musnah. Nah,
marilah kita pergunakan keadaan itu.”
Sanakeling dan Sidanti
mendengarkan setiap kata Ki Tambak Wedi dengan penuh minat.
”Menjelang saat penyerahan
itu, kita pengaruhi perasaan yang tersimpan di dalam dada orang-orang Pajang
yang mendendam mereka.”
“Bagaimana?” Sanakeling
menjadi tidak bersabar.
“Kita membawa beberapa orang
prajurit pilihan” berkata Ki Tambak Wedi lebih lanjut. “Pada saat orang-orang
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung menerima orang-orang Jipang yang
menyerah, kita menyelusup masuk ke kademangan itu. Kita bakar beberapa rumah penduduk
dan beberapa lumbung padi. Kita jarah saja isinya dan kita binasakan setiap
orang yang kita jumpai. Nah, bagaimanakah kira-kira sikap orang-orang Pajang
dan orang-orang Sangkal Putung terhadap orang-orang Jipang yang menyerah itu
yang justru sudah tidak bersenjata?”
Mata Sidanti tiba-tiba menjadi
berkilat-kilat. Rencana itu terdengar amat manis di telinganya. Tetapi
Sanakeling tidak segera menanggapinya, bahkan tampak kerut-kerut dahinya.
“Bagaimana Sanakeling?”
Bertanya Ki Tambak Wedi.
“Dengan demikian,” sahut
Sanakeling, “orang-orang Pajang akan menjadi sangat marah. Kemarahan yang
memang telah terpendam di dadanya pasti segera akan meluap, seperti minyak
tersentuh api. Mereka tidak akan sempat berpikir, kepada orang-orang Jipang
yang mana mereka akan melepaskan kemarahan itu. Dan orang-orang Jipang yang
menyerah itulah yang akan memikul akibat dari perbuatan kita.”
“Bukankah sudah aku katakan,
bahwa kita telah meminjam tangan orang lain untuk membinasakan para pengkhianat
itu.”
Sanakeling menarik nafas
dalam-dalam. Orang-orang Jipang itu adalah kawan sepenanggungan pada saat-saat
yang lampau. Karena itu meskipun ia sendiri bernafsu untuk menghancurkannya,
namun keadaan yang dibayangkan oleh Ki Tambak Wedi benar-benar tidak adil.
Orang-orang Jipang yang tidak bersenjata itu akan menjadi lembu bantaian tanpa
perlawanan.
Karena Sanakeling tidak segera
menjawab, maka kembali Ki Tambak Wedi mengulangi, “Bagaimana Sanakeling,
bukankah dengan demikian kita dapat memusnahkan orang-orang Jipang itu tanpa
mengotori tangan kita dengan darahnya.”
Sanakeling menggeleng lemah.
Jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Ki Tambak Wedi. Katanya, “Aku
kurang sependapat Kiai.”
Tambak Wedi mengerutkan
keningnya, perlahan-lahan ia bertanya, “Kenapa? Apakah kau belum juga bersedia
melepaskan mereka yang jelas telah memusuhinya?”
Sanakeling terdiam kembali.
Sesaat ia berpikir. Baru kemudian ia menjawab, “Betapa dendam membakar
jantungku Kiai, tetapi aku tidak dapat melihat bekas kawan-kawanku itu mati
disembelih tanpa dapat berbuat sesuatu.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi
semakin berkerut-kerut. Katanya, “Lalu apa maksudmu sebenarnya?”
“Kiai” berkata Sanakeling
kemudian. Tiba-tiba wajahnya pun menjadi tegang. Ia telah menemukan suatu cara
yang baik untuk membuat keributan di Sangkal Putung. Katanya, “Kalau kita
berbuat sesuatu sesudah penyerahan itu berlangsung, maka kemungkinan yang lain
daripada pembantaian besar-besaran adalah sikap yang tenang dan otak yang
dingin dari pimpinan orang-orang Pajang itu. Untara dan Widura pasti mampu
membuat perhitungan berdasarkan laporan Kiai Gringsing, bahwa apa yang terjadi
adalah benar-benar karena sikap pihak lain dari orang-orang Jipang. Sehingga
apabila demikian, maka orang-orang Pajang dan Sangkal Putung tidak akan sempat
berbuat sesuatu. Tetapi bagaimana kalau keributan itu kita lakukan sebelum
penyerahan itu berlangsung?”
“Untara dan Widura akan dapat
menilai seperti itu pula Sanakeling” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tetapi orang-orang Jipang
belum berkumpul dalam satu penampungan yang langsung ditunggui oleh Untara dan
Widura yang mempunyai pengaruh yang cukup besar pada para prajurit Pajang.
Kalau prajurit Jipang itu masih belum berada di Sangkal Putung dan apabila kemudian
mereka masih menyandang senjata mereka, maka tanggapan orang-orang Pajang dan
Sangkal Putung pasti akan berbeda. Mereka tidak melihat kambing-kambing yang
sudah tertutup di dalam kandang, tetapi mereka melihat serigala yang buas di
luar rumah mereka. Aku mengharap bahwa orang-orang Pajang dan orang-orang
Sangkal Putung akan bersikap lain. Kemarahan yang timbul di dalam dada
merekapun akan terungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Mudah-mudahan mereka
menganggap bahwa apa yang telah dilihat oleh Kiai Gringsing itu hanyalah sebuah
tipuan yang licik. Lebih daripada itu Kiai, aku lebih senang melihat kedua
belah pihak bertempur di dalam arena. Orang-orang Jipang akan terbunuh sebagai
prajurit di medan perang, sedang orang-orang Pajang pun pasti akan berkurang.
Orang-orang yang merasa diingkari itu akan mengamuk dalam keputus-asaan
mereka.”
Ki Tambak Wedi menjadi tegang
sesaat, tetapi kemudian meledaklah suara tertawanya. Seperti suara hantu yang
melihat mayat baru terbujur di pekuburan. “Bagus. Bagus” katanya di antara
derai tertawanya.
Demikian keras suara tertawa
Ki Tambak Wedi sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Sambil menepuk bahu
Sanakeling maka orang tua itu berkata, “Sidanti, kau dapat berguru kepada
Sanakeling tentang kelicikan dan akal.”
Sidanti pun tertawa pula. Ia
menjadi semakin bergembira mendengar rencana itu. Maka katanya, “Keduanya akan
bertempur sehingga keduanya akan hancur. Kita akan datang nanti pada saatnya,
mendapatkan Sangkal Putung tanpa kesulitan.”
“Kita pasti akan menjumpai kesulitan
baru Sidanti” berkata Ki Tambak Wedi.
“Kesulitan apa Kiai?”
“Mengubur orang-orang Jipang
yang berkhianat itu dan dan orang-orang Pajang.”
Kembali mereka bertiga
tertawa. Rencana itu benar-benar dapat menggembirakan hati mereka.
“Nah Sanakeling,” bertanya Ki
Tambak Wedi kemudian, “bagaimana rencana selanjutnya?”
“Aku belum berpikir sampai
pada pelaksanaannya,” sahut Sanakeling.
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir dan kemudian berkata, “Kita
harus menemukan saat yang tepat. Kita harus mulai menyerang Sangkal Putung dari
arah yang berbeda dengan arah kedatangan para penghianat itu. Selagi mereka
dalam perjalanan, kita akan membuat keributan. Kita mengharap para prajurit
Pajang dan Sangkal Putung marah dan menyangka bahwa penyerahan itu hanyalah
sekedar akal licik. Nah, kedatangan orang-orang Jipang yang berkhianat itu akan
disambut hangat oleh orang-orang Pajang. Dalam keadaan yang demikian seandainya
Untara dan Widura dapat membuat perhitungan yang tepat terhadap keadaan yang
sebenarnya, namun akan sangat sulitlah baginya menguasai luapan perasaan anak
buahnya.”
“Demikianlah” sahut
Sanakeling. “Sedang orang-orang Jipang yang akan menyerah itu masih menggenggam
senjata mereka masing-masing.”
Kembali mereka tertawa sepuas-puas
mereka. Seakan-akan rencana mereka itu telah berlangsung dengan baiknya.
Seakan-akan mereka telah melihat mayat orang Jipang dan orang-orang Pajang
berserak-serakan tindih menindih di hadapan mereka.
“Kita harus sudah siap sejak
pagi-pagi benar di arah yang berlawanan” berkata Ki Tambak kemudian. ”Tidak
usah terlampau banyak. Kita harus dapat menyusup masuk meskipun hanya ke
desa-desa kecil, bukan desa induknya. Kalau matahari telah naik seperempat
hari, maka kita harus segera mulai.”
“Apakah kita tidak datang
dengan seluruh kekuatan, Guru?” bertanya Sidanti.
“Tidak Sidanti” sahut Ki
Tambak Wedi. “Kita hanya sekedar membuat kesan bahwa ada serangan dari arah
lain sehingga kitapun harus segera dapat menghilang. Kalau tidak, maka akan
timbul peperangan segi tiga. Dalam keadaan yang demikian maka Pajang dan Sangkal
Putunglah yang terkuat.
Mendengar penjelasan itu, alis
Sidanti berkerut. Sejenak ia diam berpikir. Kemudian katanya dalam nada datar,
“Masih pula terjadi orang-orang Jipang yang berpendirian lain itu menyadari
kekeliruannya, tetapi dapat pula terjadi bahwa orang-orang Jipang itu
menggabungkan dirinya dengan orang-orang Pajang.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya, tetapi kemudian ia tertawa. “Kau benar Sidanti. Memang perhitungan
ini dapat meleset. Karena itu, kita mengambil jalan yang sebaik-baiknya. Yang
kemungkin-kemungkinannya tidak terlampau jelek bagi kita. Seandainya usaha kita
itu tidak dihiraukan sekalipun kita tidak akan mengalami kerugian apapun.”
Sanakeling tiba-tiba memotong,
“Mudah-mudahan usaha kita berhasil. Kita mempengaruhi perasaan orang-orang
Pajang, kemarahan yang memang masih tersimpan di dalam dada mereka. Kesan yang
harus kita buat adalah bahwa Sumangkar ternyata tidak jujur. Ia bersedia
menyerahkan diri hanya sebagai suatu usaha untuk membuat orang-orang Pajang
lengah.”
“Bagus” sahut Tambak Wedi.
“Ambil orangmu lima puluh saja. Namun yang paling baik dari semuanya. Pagi-pagi
benar kita harus sudah berada di sebelah timur Sangkal Putung. Mungkin kita
harus menyusup seorang demi seorang. Sekelompok dari orang-orangmu, mungkin kau
pimpin sendiri Sanakeling, harus menguasai salah sebuah gardu peronda. Kemudian
kau harus segera membunyikan tanda bahaya seperti orang-orang Pajang
membunyikannya. Sementara itu, kita yang lain, membakar satu dua rumah atau
lumbung. Apabila orang-orang Pajang kemudian berdatangan, secepatnya kita harus
melarikan diri. Ke utara, menerobos sawah yang sempit dan masuk ke dalam
desa-desa yang terpencar. Di belakang desa-desa itu kita akan menemukan sebuah
tegalan. Jangan sampai terkepung di dalamnya. Kita harus mencapai semak-semak
bambu liar di sebelah utara tegalan itu. Kemudian kita akan bebas dari kejaran
mereka.”
Ki Tambak Wedi kini sekali
lagi tertawa terbahak-bahak. Sanakeling dan Sindati pun mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Rencana itu adalah rencana yang baik, sedang bahayanya tidak
terlampau besar. Sementara orang-orang Pajang mengejar mereka, dari arah barat
Sumangkar membawa orang-orangnya mendekati Pajang. Mudah-mudahan beberapa
penjaga dan pengawal dari orang-orang Pajang melihat mereka, kemudian membuat
laporan kepada Untara dan Widura, bahwa induk pasukan Jipang datang dari barat.
Sanakeling dan Sindati itupun
kemudian tersenyum. Terbayang di dalam rongga mata mereka, pasukan Pajang dan
Sangkal Putung yang marah menyongsong orang-orang Jipang itu dengan pedang
terhunus, sedang orang-orang Jipang itu pasti akan terkejut dan menyangka
orang-orang Pajang mengingkari janji, menerima penyerahan mereka. Namun yang
mereka lihat adalah pedang ligan dan ujung-ujung tombak telanjang.
Demikianlah pada malam
menjelang hari yang ditentukan, Sanakeling, Sidanti, dan orang-orang Jipang
pilihan sebanyak lima puluh orang telah siap untuk melakukan tugas mereka.
Tugas yang cukup berat namun yang menurut penilaian mereka tidak begitu
berbahaya meskipun seandainya mereka gagal.
Orang-orang Jipang itu menjadi
semakin berbesar hati ketika Ki Tambak Wedi telah menyatakan diri untuk pergi
bersama ke lima puluh orang itu.
“Aku ingin melihat apa yang
terjadi” berkata Tambak Wedi. “Dan aku harus mengamat-amati kalian apabila
kalian bertemu dengan orang yang bernama Kiai Gringsing.”
Sanakeling yang mendengar nama
itu disebut-sebut tiba-tiba berkata, “Kiai, apakah Kiai Gringsing yang melihat
perpecahan di antara kita tidak akan menggagalkan rencana ini.”
“Tidak ada waktu baginya untuk
membuat penilaian atas peristiwa ini. Meskipun ia mungkin telah menceritakannya
kepada Untara dan Widura, namun gambaran mereka pasti tidak akan terlampau
jelas menghadapi peristiwa yang tiba-tiba ini.”
Sanakeling tidak bertanya
lagi. Namun debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat. Waktu yang
ditunggu-tunggunya seakan-akan merambat terlampau malas.
Sebelum malam terlampau dalam,
mereka telah meninggalkan padepokan Ki Tambak Wedi. Berjalan memintas
sekelompok demi sekelompok menuju ke Sangkal Putung. Jarak yang mereka tempuh
kini tidak sekedar beberapa bulak, tetapi perjalanan mereka memerlukan waktu
lebih dari setengah malam. Mereka menuruni lereng Merapi dan secepatnya menuju
Sangkal Putung lalu melingkar dari arah timur. Mereka mengharap, bahwa mereka
akan sampai ke tempat tujuan tidak terlampau jauh lewat tengah malam. Setelah
beristirahat sejenak, mereka harus mulai menyiapkan diri. Apabila fajar nanti
pecah, mereka harus sudah menyusup ke dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung
yang kaya raya. Satu dua rumah yang tidak berarti serta lumbung-lumbung kecil
telah cukup untuk meluapkan kemarahan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung.
Di sepanjang jalan, mereka
hampir tidak mempercakapkan sesuatu. Paling depan berjalan Ki Tambak Wedi
dengan menengadahkan kapalanya, seakan-akan sibuk menghitung bintang yang
bergayutan di langit. Di belakangnya berjalan Sidanti dengan senjata ciri perguruan
Tambak Wedi di tangannya. Senjata yang baru diterimanya dari gurunya, sebagai
ganti senjatanya yang tertinggal di Sangkal Putung. Meskipun demikian, karena
selama ini ia selalu mempergunakan pedang, maka di lambungnya pun tergantung
sebilah pedang panjang. Kini Sidanti telah membiasakan diri bertempur dengan
senjata rangkap. Di tangan kanannya sebilah pedang dan tangan kirinya senjata
yang mengerikan.
Di samping Sidanti, Sanakeling
berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia masih mereka-reka apa yang sebaiknya
dilakukan apabila orang-orang Jipang yang dianggapnya berkhianat itu telah
musnah. Setelah beberapa lama ia tinggal di padepokan Ki Tambak Wedi, terasa
bahwa kekuasaan Ki Tambak Wedi atas dirinya, dan atas anak buahnya justru
melampaui kekuasaan Tohpati. Apa yang dikatakan harus terjadi, meskipun
kadang-kadang orang tua itu mau juga mempertimbangkan pendapatnya, apabila
terasa manfaatnya. Tetapi banyak hal-hal yang harus ditelannya saja tanpa
mendengar pertimbangannya tentang bermacam-macam persoalan meskipun sampai kini
masih terbatas pada persoalan-persoalan kecil. Seakan-akan bagi Ki Tambak Wedi,
sudah seharusnya dan sudah semestinya memperlakukan Sanakeling seperti Sidanti.
Bahkan dalam beberapa hal Sidanti masih dianggapnya lebih penting dari padanya.
Sanakeling menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia masih ingin bertahan dalam keadaannya kini, sampai ia
yakin benar-benar apa yang sebaiknya dilakukan.
Di belakang Sanakeling
berjalan Alap-Alap Jalatunda. Alap-Alap yang masih terlampau muda untuk kehilangan
masa depannya. Masa depan yang masih cukup panjang baginya. Namun masa depan
itu seakan-akan telah tertutup rapat oleh kabut yang hitam kelam. Sejak ia
terperosok dalam kehidupan petualangan itu, ia sendiri seolah-olah sudah tidak
mempunyai gairah untuk hidup dalam keadaan yang lebih baik. Seolah-olah ia
sudah mantap hidup dalam dunianya yang kotor seperti sekarang. Namun hal itu
disebabkan karena ia sendiri tidak pernah mendengar berita, pemberitahuan atau
semacam itu tentang dunia yang lebih baik baginya. Tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuhnya. Ketika sekali ia mendengar
beberapa hal yang cukup menarik perhatiannya, ia tidak sempat mencernakannya.
Pertentangan kata-kata antara Sanakeling dan Sumangkar, kemudian kehadiran Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, sebenarnya menyentuh hatinya. Tetapi kesempatan
yang kecil itu telah dikaburkan oleh perasaan harga diri, kejantanan dan
keinginan untuk lepas bebas tanpa ikatan seperti burung alap-alap di udara.
Namun seandainya, ya seandainya berita tentang keselamatan rohaniah itu
didengarnya berulang kali, maka ia akan dapat menemukannya.
Kini, mereka dalam
kelompok-kelompok kecil dari lima sampai sepuluh orang berjalan dalam jarak
yang tidak begitu jauh. Mereka semua yang berjumlah lima puluh orang itu
berjalan seperti hantu yang menyebarkan bala dan bencana. Mereka mengharap
untuk segera bersiap di sebelah timur Sangkal Putung. Setelah beristirahat
sejenak, selagi masih cukup waktu, mereka segera akan memasuki padesan-padesan
kecil di bagian timur kademangan itu. Mereka sudah tentu tidak akan melewati
jalan-jalan induk, supaya mereka tidak segera diketahui oleh para peronda.
Namun Sanakeling sendiri harus dapat menguasai salah sebuah gardu, untuk
kemudian setelah mereka memasuki desa itu, membunyikan tanda bahaya justru
sebagai tanda bagi orang-orangnya untuk mulai dengan tugas mereka. Membakar dan
membinasakan apa saja yang mereka jumpai.
Tugas itu seolah-olah
terpateri di dalam setiap kepala orang-orang Jipang itu. Sekali-kali mereka
tersenyum sendiri. Mereka sudah membayangkan peristiwa yang mengerikan akan
terjadi berikutnya. Tetapi ada pula yang menjadi ragu-ragu. Satu dua di antara
mereka, merasa kurang mapan apabila kawan-kawannya yang berbeda pendirian itu
akan terbinasakan. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Perjalanan itu sendiri
berlangsung tanpa gangguan apapun. Lewat sedikit tengah malam mereka
benar-benar telah sampai di sebelah Timur Sangkal Putung dan segera mereka
bertebaran di tegalan sambil duduk beristirahat, menunggui saat-saat yang
sebaik-baiknya untuk melakukan gerakan. Mereka tidak boleh terlambat, tetapi
mereka tidak boleh pula terlampau cepat, agar orang-orang Pajang dan Sangkal
Putung tidak sempat dan tidak punya waktu untuk mengurai peristiwa itu dan
menemukan jawaban yang tepat tentang keadaan sebenarnya.
Di tegalan itu sebagian dari
mereka masih juga sempat bertiduran di atas rumput-rumput kering. Mereka sama
sekali tidak menghiraukan embun yang membasahi pakaian mereka. Setelah berjalan
sekian lama, mereka benar-benar ingin beristirahat.
Sisa-sisa malam itupun merayap
perlahan-lahan. Bintang-bintang di langit berkisar dari tempatnya lambat
sekali, seperti anak-anak yang malas berjongkok pagi-pagi di halaman. Segan
untuk bangkit dan berjalan.
Tetapi betapapun lambatnya,
akhirnya mereka mendengar di kejauhan ayam jantan berkokok bersahutan. Di ujung
Timur segera membayang semburat warna-warna merah.
Ki Tambak Wedi bangkit dan
berdiri tegak, bertolak pinggang. Perlahan-lahan ia berkata kepada Sanakeling,
“Hari ini adalah permulaan dari sebuah perjuangan yang berat. Kalau orang-orang
Jipang yang berkhianat itu berhasil dihancurkan, maka kita akan langsung
berhadapan dengan Pajang untuk seterusnya. Nah, kita harus memperkuat diri.
Sidanti sedang menghimpun orang-orang di sekitar padepokan Tambak Wedi. Sebab
Tambak Wedi memiliki pengaruh melampaui pengaruh Pajang sendiri di lereng
Gunung Merapi.”
Sanakeling tidak menjawab.
Tetapi iapun berdiri pula. Ditatapnya wajah langit di sebelah timur. Kemudian
ditebarkan pandangan matanya berkeliling, beredar di antara orang-orangnya yang
bertebaran. Timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Manakah yang lebih penting
dalam pekerjaan ini. Ki Tambak Wedi berdua dengan Sidanti atau Sanakeling
dengan anak buahnya?”
Tetapi dibiarkannya pertanyaan
itu tidak berjawab.
Ketika warna-warna merah di
langit menjadi semakin terang, maka berkatalah Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling
“Saatnya hampir tiba Sanakeling. Siapkan orang-orangmu.”
Sanakeling mengangguk.
Kemudian ia berjalan di antara anak buahnya sambil berkata, “Kita segera
melakukan pekerjaan kita. Bersiaplah.”
Dengan malasnya orang-orangnya
bangkit. Satu dua segera berdiri sambil membenahi pakaiannya. Menguatkan ikat
pinggang mereka, tempat pedang-pedang mereka bergayutan. Namun ada juga satu
dua yang masih saja duduk sambil menguap.
“Kembali dalam kelompok-kelompok
yang sudah ditentukan,” perintah Sanakeling.
Orang-orang Jipang itupun
segera berkumpul di antara mereka menurut ketentuan yang telah mereka buat.
Kelompok-kelompok kecil yang akan segera menyusup ke Sangkal Putung.
Tetapi tiba-tiba mereka
terkejut ketika di kejauhan terdengar derap beberapa ekor kuda laju seperti
anak panah. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun karena sisa-sisa gelap
malam. mereka tidak segera melihat siapakah yang berkuda di pagi-pagi buta itu.
Ki tambak Wedi, Sanakeling dan
Sidanti serentak menengadahkan wajah mereka. Dengan penuh perhatian mereka
mendengarkan derap kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Tidak terlampau banyak” gumam
Ki Tambak Wedi.
“Ya” sahut Sidanti. “Tidak
sampai sepuluh ekor.”
“Lima atau enam” desis
Sanakeling.
Ki tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Dugaan Sanakeling mendekati kebenaran. Aku
menyangka seperti hitungan Sanakeling itu pula.”
Sesaat mereka terdiam. Suara
derap itu semakin dekat.
“Siapakah mereka Guru?”
bertanya Sidanti.
“Tentu aku tidak tahu” jawab
Ki Tambak Wedi. “Tetapi aku kira mereka adalah orang-orang Pajang.”
“Apakah yang akan mereka
lakukan?”
“Tidak tahu. Apa kau sangka
orang-orang Pajang mengatakan kepadaku apa yang akan dilakukan?” sahut Tambak
Wedi jengkel.
Sidanti terdiam. Namun getar
di dadanya menjadi kian cepat dan keras seperti suara derap kuda yang semakin
cepat dan keras menghentak telinganya.
Karena itu tiba-tiba ia
berkata, “Kalau benar orang-orang itu orang Pajang, biarlah aku mencoba
mencegatnya. Mereka harus dibinasakan sebelum kami membakar rumah-rumah orang
Sangkal Putung.”
“Jangan!” potong Ki Tambak
Wedi. “Hal itu akan dapat mengganggu pekerjaan kita. Kalau mereka
peronda-peronda keliling, maka kelambatan mereka akan menimbulkan kecurigaan.
Mungkin kawan-kawannya akan mencari dan penjagaan akan menjadi bertambah kuat.
Biarlah mereka lewat.”
“Bukankah pembunuhan itu akan
berakibat sama seperti apabila kita membakar rumah-rumah mereka? Apakah kalau
kita membakar rumah-rumah mereka dan kemudian bertempur melawan mereka, mereka
tidak akan mengenal kita?”
“Itulah sebabnya, kalian harus
segera melarikan diri sebelum terjadi pertempuran. Supaya mereka tidak sempat
mengenal kita. Seandainya terpaksa mereka mengenal, mereka tidak cukup punya
waktu untuk memperbincangkan. Kiai Gringsing tidak mempunyai kesempatan untuk
sesorah dan mengatakan bahwa Sanakeling dan Sumangkar mempunyai pendirian yang berbeda.
Mereka pasti menyangka, bahwa semuanya telah direncanakan oleh orang-orang
Jipang. Sebagian pura-pura menyerah, sebagian menyerang ketika orang-orang
Pajang sedang lengah. Yang pura-pura menyerah itupun kemudian pasti akan
menyerang pula.”
“Selisih waktu itu tidak
seberapa.”
“Yang tidak seberapa itu
penting dalam peperangan. Tetapi selisih waktu itu cukup panjang. Ingat,
sekarang hari masih gelap. Kita harus mulai dengan gerakan kita masuk ke
padesan. Kita masih harus bersembunyi, kemudian Sanakeling merebut salah sebuah
gardu, dan kita mendengar tanda bahaya. Pada saat itu, kita membakar
rumah-rumah itu. Baru sejenak kemudian datang orang-orang Pajang dan kita lari.
Mereka mengejar kita beberapa lama, sampai kita menghilang di rumpun-rumpun bambu
liar itu, saat itu harus sudah mendekati tengah hari. Saat itu kita mengharap
orang-orang Jipang sudah di perjalanan dan dekat ke desa Benda. Kau tahu
akibatnya, Untara tidak sempat berpikir dan mengendalikan anak buahnya. Kalau
cukup waktu baginya, maka ia akan datang menjemput orang-orang Jipang itu
setelah ia menenangkan anak buahnya atas jaminan Kiai Gringsing.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
ia mematuhi perintah gurunya. seperti juga Sanakeling harus mematuhinya.
“Perintahkan orang-orangmu
bersembunyi” berkata Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling.
Sanakeling pun segera
melakukan perintah itu. Orang-orangnya pun segera diperintahkan berlindung di
balik dedaunan. Bahkan beberapa orang dengan enaknya berbaring-baring di atas
rerumputan.
Kata mereka di dalam hati,
“Dalam gelap ini, mereka pasti tidak akan melihat kami, asalkan kami tidak
bergerak-gerak.”
Sesaat kemudian derap kuda
itupun telah dekat benar. Mereka segera melihat samar-samar di jalan di pinggir
tegalan itu, berpacu lima ekor kuda. Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak
menghiraukan apa yang sedang terjadi di tegalan itu. Mereka sama sekali tidak
menyangka bahwa lima puluh pasang mata memandangi mereka dengan nyala kebencian
di dalam hati mereka.
Ketika kuda itu telah lewat,
segera Sidanti berdiri sambil bergumam, “Salah seorang adalah Sonya. Ingin aku
mematahkan lehernya dan menyobek mulutnya. Ia adalah salah seorang penghubung
yang dekat dengan paman Widura.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata perlahan-lahan seperti
kepada diri sendiri, “Mereka tidak sedang meronda.”
Sidanti memandang gurunya
dengan tajamnya. Katanya, “Ya, mereka agaknya tidak sedang meronda. Kalau guru
tidak mencegah, mereka dapat kami tangkap dan kami paksa untuk mengatakan,
untuk apa mereka berpacu di pagi-pagi buta ini.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Pendapat itu baik juga, tetapi sudah terlanjur. Kelima orang berkuda itu sudah
terlampau jauh.
Karena itu kemudian Ki Tambak
Wedi itu berkata, “Sekarang siapkan diri masing-masing, kita mulai bergerak.
Kita harus masuk ke desa terdekat sebelum matahari naik. Jaga supaya tidak
seorang pun melihat kita masing-masing. Bersembunyilah di dalam rumpun-rumpun
bambu atau di tengah-tengah kebun-kebun yang luas, di antara tanaman-tanaman
liar yang rimbun, jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu sebelum kalian mendengar
tanda bahaya, supaya kalian dapat berbuat serentak.”
Orang-orang Jipang itupun
segera berkelompok-kelompok. Mereka telah siap melakukan tugas mereka
sebaik-baiknya.
Sesaat kemudian maka mereka
telah berada di jalan yang dilewati oleh Sonya dan keempat kawannya.
Orang-orang itupun memandangi ke segala arah, kalau-kalau ada sesuatu yang akan
mengganggu tugas mereka. Tetapi yang mereka lihat adalah sisa-sisa malam yang
hitam. Meskipun di langit sudah membayang warna-warna merah, namun warna-warna
yang kelam masih mentabiri pandangan mata mereka.
Ki Tambak Wedi yang juga sudah
berdiri di tengah jalan berkata, “Kita mendekati Sangkal Putung lewat jalan
ini. Tetapi kemudian apabila kita sudah mendekati desa di ujung bulak itu, kita
akan berpencaran. Kita akan mencari jalan kita sendiri-sendiri untuk memasuki
desa itu. Ingat segala perintah yang sudah kau dengar beserta segala
petunjuknya. Siapa yang menyalahi perintah itu akan menerima hukumannya.”
Yang mendengar kata-kata Ki
tambak Wedi itu mengerutkan keningnya. Tohpati tidak pernah memberi mereka
ancaman seperti Ki Tambak Wedi. Namun mereka tidak sempat untuk memikirkannya.
Sebab Ki Tambak Wedi kemudian berkata, “Kita akan segera berangkat.”
Ki Tambak Wedi itupun kemudian
segera berjalan mendahului orang-orangnya. Di sampingnya berjalan Sidanti.
Sanakeling berjalan bersama dengan kelompoknya yang terdiri dari enam orang.
Mereka harus langsung menuju ke gardu di ujung jalan yang memasuki desa di
hadapan mereka, setelah kawan-kawannya berbasil menyusup ke dalam desa itu.
Begitu tiba-tiba supaya orang-orang di gardu itu tidak sempat memukul tanda
bahaya. Orang-orangnyalah yang nanti setelah datang saatnya harus membunyikan
tanda itu. Sedang para peronda di dalam gardu itu harus dimusnahkan.
Orang-orang yang lain,
berjalan dalam kelompoknya masing-masing, lima atau enam orang. Di antaranya
adalah kelompok yang dipimpin langsung oleh Alap-Alap Jalatunda.
Ki Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang itupun kemudian berjalan mendekati Sangkal Putung. Sesaat kemudian mereka
telah berada di tengah-tengah bulak persawahan. Tetapi karena hari masih cukup
gelap, mereka tidak takut seandainya ada orang-orang Sangkal Putung yang
melihat mereka. Baru setelah nanti mereka mendekati desa yang terbentang di
hadapan mereka, maka mereka akan berpencaran dan sambil merunduk-runduk
berjalan di antara batang-batang jagung di sawah mendekati desa itu.
Demikianlah tanpa berbicara
sepatah kata pun mereka berjalan. Di ujung depan adalah Ki Tambak Wedi sendiri,
sedang di ujung belakang adalah Sanakeling dan kelima kawan-kawannya.
Langit yang merah menjadi
semakin merah. Ketika Ki Tambak Wedi menengadahkan wajahnya, ternyata fajar
telah hampir pecah. Karena itu maka ia bergumam, “Kita hampir terlambat.
Percepat perjalanan yang pendek ini.”
Perintah itu meloncat dari
kelompok ke kelompok di belakangnya, sehingga akhirnya sampai juga ke telinga
Sanakeling. Sehingga iring-iringan itupun kemudian maju lebih cepat dari
sebelumnya.
Tetapi tiba-tiba salah seorang
di dalam kelompok Sanakeling dengan serta merta menggamitnya sambil berkata,
“Kakang Sanakeling. Lihatlah, di belakang kita ada obor berjalan searah dengan
perjalanan kita.”
Sanakeling pun segera
berpaling. Dan seperti yang dikatakan oleh orangnya itu, di belakang mereka
tampak beberapa buah obor yang berjalan menuju ke Sangkal Putung pula. Karena
itu, maka langkahnya tertegun. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Siapakah
mereka itu?”
Tak seorangpun yang menyahut.
“Hanya empat buah obor”
desisnya kemudian.
“Ya, empat buah obor” sahut
salah seorang anak buah.
“Tetapi tidak berarti bahwa
yang berjalan itu hanya empat orang” berkata Sanakeling kemudian.
“Ya” sahut kawan-kawannya
hampir serentak.
“Beritahukan Ki Tambak Wedi”
berkata Sanakeling kemudian. la menjadi heran sendiri terhadap dirinya. Tanpa
dikehendakinya ia telah menempatkan diri di bawah pimpinan orang tua itu. Kini
ia tidak dapat mengambil keputusan sendiri, meskipun ialah sebenarnya pemimpin
dari orang-orang Jipang itu.
Orang yang diperintahkan
itupun segera berlari-lari mendahului kawan-kawannya. Ketika kawan-kawannya itu
bertanya maka dijawabnya, “Ki Tambak Wedi harus tahu, di belakang kami ada
obor.”
Serentak orang-orang itupun
berpaling. Dan segera merekapun melihat pula obor-obor itu. Hanya empat buah.
Ketika Ki Tambak Wedi
mendengar laporan itu, maka segera ia pun berhenti. Bahkan kemudian ia berjalan
kembali, menemui Sanakeling yang berada di ujung belakang. Katanya, “Sejak
kapan kalian melihat obor-obor itu?”
“Baru saja Kiai.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Mereka pasti baru saja muncul dari
balik tikungan. Ya, di sebelah itu ada tikungan. Di sebelah timur tegalan
tempat kita beristirahat.”
Yang mendengar kata-kata
itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Iring-iringan itupun kini telah
berhenti. Bahkan beberapa orang telah berjalan kembali dan berdiri di sekitar
Ki Tambak Wedi dan Sanakeling.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
berkata, “Obor itu terlampau tinggi dan terlampau cepat bagi orang yang
berjalan kaki.”
“Ya,” sahut Sanakeling serta
merta. Katanya pula, “Empat orang itu pasti berkuda, tetapi perlahan-lahan,
sehingga derapnya belum kita dengar.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian mereka melihat keempat obor itu
berhenti, meskipun masih juga bergerak-gerak tetapi tidak maju lagi ke arah
mereka.
Terdengar Ki Tambak Wedi
menggeram. Apalagi ternyata kemudian bahwa langit telah menjadi semakin cerah.
Obor-obor itu terasa sangat mengganggu perasaan orang tua itu.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
segera dapat mengambil suatu sikap. Orang-orang yang membawa obor itu telah
menimbulkan persoalan baru yang tidak disangka-sangka. Apabila mereka
bersembunyi di balik-balik pematang, mungkin orang-orang itu tidak akan melihat
mereka, tetapi dengan demikian hari akan menjadi semakin terang. Mereka akan
menemukan banyak kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam padesan tanpa
diketahui.
Orang-orang Jipang yang
berdiri mengerumuni Ki Tambak Wedi itupun menjadi gelisah pula. Mereka menunggu
apa yang harus mereka lakukan menghadapi keadaan yang tiba-tiba itu.
Sekali Ki Tambak Wedi
berpaling, melihat bayangan padesan di ujung bulak itu yang semakin lama
menjadi semakin jelas, sejalan dengan hatinya yang semakin gelisah.
Tiba-tiba orang tua itu
menggeram, katanya, “Kita belum tahu berapa jumlah mereka kecuali yang membawa
obor itu.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya, “Kita dihadapkan pada keadaan yang
sulit.”
Dada Sanakeling berdesir
mendengar kata-kata itu, sehingga akalnya yang terlampau pendek menjadi bingung
menghadapi keadaan. Dengan serta merta ia melanjutkan, “Apakah Kiai segera
dapat menemukan cara yang sebaik-baiknya tanpa kebingungan.”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Tetapi segera ia berusaha menahan perasaaannya. Keadaan yang dihadapi
benar-benar sulit.
Kini obor-obor itu mulai
bergerak lagi maju mendekati Sangkal Putung. Tetapi sejenak kemudian, maka
obor-obor itupun dipadamkan.
Kembali Tambak Wedi menggeram.
Kini mereka telah dapat melihat ujung-ujung kaki sendiri di atas tanah yang
kehitam-hitaman. Sedang di langit cahaya yang terang menjadi semakin terang.
“Gila” Ki Tambak Wedi itu
mengumpat. Tiba-tiba ia berteriak, “Kita masuk ke Sangkal Putung dengan tiba-tiba.
Tidak dengan sembunyi-sembunyi. Kita langsung menyerang gardu peronda. Biarlah
mereka membunyikan tanda bahaya. Yang lain membakar rumah. Dengan demikian kita
tidak lagi tergesa-gesa meskipun kemudian hari menjadi terang. Sekarang kita
bersembunyi. Cepat, aku sudah mendengar derap kuda. Terlampau banyak, tidak
hanya lima atau enam ekor. Kalau jumlah mereka tidak melampaui jumlah kita,
kita akan menyergapnya. Orang-orang itu pasti orang Pajang yang datang,
langsung dari kota untuk menyaksikan penyerahan orang-orang Jipang. Sonya dan
kawan-kawannya tadi pasti menyongsong orang itu. Kita akan melihat siapakah
yang menjadi wakil Panglima Wira Tamtama. Bahkan seandainya Pemanahan sendiri
datang, aku akan melawannya. Ia bagiku sama sekali tidak berarti. Sedang di
dalam pasukan kita kini ada senapati-senapati terpilih. Sanakeling, Alap-Alap
Jalatunda, dan Sidanti di samping pemimpin-pemimpin kelompok dan para prajurit
terpilih. Pajang tidak akan membawa senapati sebanyak itu. Nah, sekarang cepat
bersembunyi di balik-balik pematang. Kalau tiba saatnya aku akan memberikan
tanda. Kalau kalian mendengar tanda, maka berarti kalian harus menyerang
orang-orang Pajang itu. Jangan ada yang sempat lolos.”
Orang-orang Jipang itu
mendengar perintah Ki Tambak Wedi dengan jelas. Sebagai prajurit, perintah
itupun segera dapat mereka mengerti. Dengan demikian, maka segera mereka
menghambur terjun ke dalam sawah-sawah dan parit-parit untuk bersembunyi di
balik tanam-tanaman jagung dan di balik pematang-pematang.
Tetapi derap kuda yang
mendatang ternyata terlampau cepat. Dari dalam gelap yang semakin menipis
mereka melihat serombongan orang-orang berkuda, meskipun tidak berpacu, tetapi
cukup cepat mendekati Sangkal Putung. Seandainya fajar tidak segera pecah di
Timur, maka orang berkuda itu tidak akan dapat melihat beberapa orang yang
terakhir dari orang-orang Jipang itu meloncat masuk ke dalam rimbunnya
batang-batang jagung muda. Tetapi hari menjadi semakin terang. Meskipun jarak
mereka belum terlampau dekat, namun orang-orang berkuda itu sempat melihat apa
yang terjadi di tengah-tengah bulak itu.
Seorang yang berada di ujung
segera mengangkat tangannya. Serentak mereka yang berada di dalam iring-iringan
orang berkuda itu memperlambat jalan kuda mereka. Tetapi sesaat kemudian mereka
telah tidak melihat apa-apa lagi. Di tengah-tengah bulak itu telah menjadi
sepi. Namun kesan yang mereka peroleh adalah, ada sesuatu yang mencurigakan.
Mereka melihat beberapa orang yang terakhir dari kelima puluh orang Jipang itu
bersembunyi.
Tetapi seorang yang sudah
setengah umur, yang berada di atas punggung kuda yang kehitam-hitaman berkata
dengan tenang, “Kita berjalan terus.”
Orang yang di ujung barisan
itu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kembali kuda itu berjalan agak
cepat.
Orang setengah umur yang
berada di belakang orang di ujung barisan itu berkata pula, “Di mana penghubung
yang dikirim Untara?”
Sonya dan keempat kawannya
segera mendesak maju, mendekati orang setengah umur itu.
“Pergilah lebih dahulu berdua.
Sampaikan kepada Untara bahwa sebentar lagi aku akan memasuki Sangkal Putung.”
Sonya mengangguk dalam-dalam.
Kemudian bersama seorang kawannya ia berpacu mendahului rombongan itu.
Ki Tambak Wedi yang bersembunyi
di dalam rimbunnya batang-batang jagung muda melihat dua ekor kuda mendahului
kawan-kawannya. Kembali ia menjadi bimbang. Apakah yang akan dilakukan atas
kedua orang berkuda itu? Apakah kedua orang itu telah melihat kehadiran mereka,
kemudian melaporkan kepada Untara dan Widura?
Dalam sekejap Ki Tambak Wedi
yang mengintip dari balik tanggul parit membuat perhitungan. Ketika ia yakin
bahwa orang berkuda yang sudah nampak semakin jelas dari balik tanggul parit
itu, tidak lebih dari duapuluh lima orang, tiba-tiba ia berdiri tegak.
Kepalanya ternyata masih melampui tinggi batang-batang jagung itu, sehingga
dengan demikian Ki Tambak Wedi menjadi yakin, bahwa yang dihadapinya hanya
separo dari kekuatannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Hentikan kedua orang
Itu.”
Sonya dan seorang temannya
terkejut bukan kepalang, ketika tiba-tiba mereka melihat sebuah kepala muncul
dari dalam batang-batang jagung muda. Tetapi jarak mereka telah terlampau dekat
sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar.
Belum lagi mereka dapat
menguasai keadaan, tiba-tiba beberapa orang lagi berloncatan dari balik
batang-batang jagung, dari balik pematang dan tanggul-tanggul parit.
Sesaat Sonya dan kawannya
menjadi bingung. Tetapi sesaat kemudian Sonya berbisik, “Kembali dan laporkan,
aku akan terus melaporkannya ke Sangkal Putung.”
Sonya tidak menunggu Iebih
lama lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, menyentuh perut kuda itu dengan
tumitnya dan kemudian kuda itu meloncat dengan garangnya, berpacu lagi ke
Sangkal Putung.
Beberapa orang Jipang telah
hampir mencapai jalan tempat kuda itu berlari. Tetapi kuda itu berjalan
terlampau cepat, sehingga Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di pinggir parit
induk yang agak lebar berteriak, “Cepat! Jangan seperti keong yang malas.”
Orang-orang Jipang itu
berloncatan. Sidanti yang menyimpan kebencian di dalam dadanya pun berusaha
secepatnya sampai ke jalan. Tetapi Sonya pun berusaha untuk mendahului
orang-orang yang mencegatnya.
Tak seorangpun yang
menghiraukan kawan Sonya yang memacu kudanya kembali ke iring-iringan yang
sudah semakin dekat. Yang penting bagi mereka adalah, Sonya tidak boleh lolos,
supaya orang-orang Sangkal Putung tidak segera mengetahui apa yang telah
terjadi. Tetapi Sonya pun tidak mau jalannya terhenti. la harus dapat melampaui
orang-orang itu, apapun yang terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali
tidak menghiraukan ketika beberapa ujung pedang seakan-akan menyongsongnya.
Tetapi ia mengharap bahwa kudanya mampu meloncat melampaui kecepatan loncatan
orang-orang yang kini sudah berada di sisi parit di tepi jalan.
Tetapi Sonya terlambat
sekejap. Ketika kudanya melampaui orang-orang Jipang itu, salah seorang dari
mereka telah sempat meloncat sampai ke tepi jalan. Dengan garangnya orang itu
berteriak sambil mengayunkan pedangnya ke arah lambung Sonya. Sonya melihat
ujung pedang yang menyambarnya. Ia adalah seorang penghubung yang terlatih,
sehingga dengan demikian iapun adalah seorang penunggang kuda yang baik. Dengan
sigapnya ia menjatuhkan dirinya dan bergayut di punggung kudanya pada sisi yang
lain dari arah pedang itu. Usahanya itupun ternyata menolongnya pula, namun
tidak seluruhnya. Pedang itu masih juga sempat menyobek pahanya sehingga sebuah
luka jang panjang tergores melintang. Sonya mengaduh pendek. Namun kudanya
berlari terus.
“Gila!” teriak Ki Tambak Wedi
dengan marahnya ketika ia melihat bahwa Sonya itu tidak dapat dihentikannya.
Dengan serta merta ia mengambil selingkar gelang besi dari dalam bajunya siap
untuk dilemparkannya ke arah kuda Sonya. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika ia
mendengar suara dari dalam iring-iringan itu. Tenang namun penuh wibawa,
“Bukankah kau ini yang bernama Ki Tambak Wedi, seorang sakti yang namanya
ditakuti oleh seluruh rakyat di lereng Gunung Merapi?”
Suara itu sesaat mempengaruhi
kepala Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau kehilangan Sonya, karena itu maka
segera ia teringat kembali kepada suatu keharusan membinasakan penghubung itu.
Dengan gigi gemeretak didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, Ki tambak Wedi
melemparkan sebuah gelang-gelang besinya mengejar laju kuda Sonya. Namun waktu
yang sekejap, pada saat Ki Tambak Wedi dikejutkan oleh sebuah panggilan atas
namanya, ternyata telah menolong penghubung itu. Sekali lagi ia berhasil
melepaskan diri dari kebinasaan akibat gelang-gelang besi itu. Meskipun
gelang-gelang tidak dapat dihindari sepenuhnya, namun sentuhannya sudah tidak
terlampau berbahaya baginya. Meskipun demikian, ketika gelang-gelang itu
menyinggung bahunya, terasa nafasnya seolah-olah tersumbat. Pedih di pahanya
dan sakit yang menyengat di bahunya, hampir-hampir telah membunuhnya. Kalau ia
terpelanting dari kudanya yang seakan-akan sedang terbang, maka akan tamatlah
cerita tentang dirinya.
Beruntunglah bahwa Sonya masih
tetap sadar. Betapa nafasnya sesak dan batapa kakinya serasa disayat-sayat,
namun ia tetap berada di punggung kuda yang berpacu seperti dikejar hantu.
Ki Tambak Wedi mengumpat tak
habis-habisnya. Sidanti yang terlambatpun menghentakkan kakinya berkali-kali,
sedang Sanakeling menggerem seperti kerasukan setan. Namun Sonya telah semakin
jauh.
Yang menjadi semakin dekat
adalah iring-iringan orang-orang berkuda itu. Kini benar-benar telah terlampau
dekat. Tetapi iring-iringan itupun telah berhenti. Mereka tidak dapat terus
melampaui orang-orang Jipang yang kini seluruhnya telah berdiri berderat-deret
di tengah dan di tepi-tepi jalan.
“Kepung mereka!” perintah Ki
Tambak Wedi. Perintah itu tidak perlu diulangi. Orang-orang Jipang itu segera
bertebaran mengepung orang-orang yang berada di atas punggung kuda itu.
Sekilas Ki Tambak Wedi dapat
melihat, bahwa orang-orang itu benar-benar tidak lebih dari duapuluh lima
orang. Namun meskipun demikian hati orang tua itu agak menjadi berdebar-debar
juga. Mereka adalah prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Pajang.
Ki Tambak Wedi yang
benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya itu tiba-tiba berkata lantang, “He
orang-orang Pajang yang bernasib jelek. Karena seorang daripada kalian telah
lolos dari tangan kami, maka kami akan dapat membayangkan akibatnya. Orang itu
pasti akan menyampaikan kehadiran kami kepada Untara. Karena itu, maka kami
harus berbuat secepat-cepatnya. Serahkan senjata dan kuda kalian, kami tidak
akan mengganggu lagi.”
“Maaf Ki Tambak Wedi,” sahut
seorang setengah umur di antara yang lain. “Kami masih memerlukan senjata dan
kuda-kuda kami.”
Orang yang berbicara itupun
kemudian mendesak maju, mendorong kudanya untuk tampil di paling depan.
Sementara itu hari telah
benar-benar menjadi terang. Matahari telah memancar dari balik punggung bukit.
Meskipun kabut pagi masih agak tebal, namun semua wajah kini telah menjadi
semakin jelas.
Wajah orang berkuda yang kini
berada di paling depan itupun kemudian menjadi jelas pula oleh Ki Tambak Wedi.
Meskipun ia telah menyebut nama orang itu, dan sedikit banyak menduga bahwa
orang itu akan datang di Sangkal Putung, namun kebenaran dari dugaannya itu
masih juga mengejutkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Kau datang
juga?”
“Ya” sahut orang setengah umur
itu. “Peristiwa penyerahan sebagian besar orang-orang Jipang itu adalah
peristiwa besar bagi Pajang. Karena itu aku memerlukan menghadirinya.
Mudah-mudahan setelah peristiwa ini, Pajang akan menjadi aman tenteram dari
segala gangguan.”
Ki Tambak Wedi tertawa pendek.
Nadanya benar-benar menyakitkan hati, katanya, “Ternyata kau kini seperti
seekor ikan di dalam wuwu. Betapa besar namamu, namun nyawamu tidak juga seliat
nyawa demit. Kau sangka bahwa kau tidak dapat mati seperti cerita tentang
perguruan Kedung Jati yang mampu menyimpan nyawa rangkap, hai anak Sela.”
“Aku tidak percaya cerita itu”
sahut orang berkuda itu karena itu. “Maka akupun tidak mengatakan demikian
tentang diriku.”
“Persetan!” teriak Ki Tambak
Wedi. “Sayang aku tidak mengenalmu sejak tadi karena kabut yang tebal dan
karena kau tertutup oleh orang-orangmu yang berkuda sebagai perisaimu.”
“Aku mengenalmu sejak aku
mendengar suaramu. Kau masih saja berteriak-teriak seperti dahulu dan kau masih
juga bermain-main dengan gelang-gelang itu.”
Ki Tambak Wedi menggeram
sekali lagi. Kemudian katanya sambil mengancam, “Jangan melawan. Orang-orangmu
hanya kurang dari separo orang-orangku. Betapa saktinya kau, namun kau tidak
akan dapat berbuat apa-apa. Serahkan senjata dan kudamu. Kau akan selamat.”
Orang itu tersenyum. Jawabnya,
“Ki Tambak Wedi, kau belum pernah menjadi seorang prajurit. Mungkin nilai
sebatang tombak atau sehelai pedang bagimu, tidaklah begitu besar seperti kami
para prajurit menilainya.”
“Betapa besar nilai senjatamu,
namun nyawamu pasti lebih bernilai dari padanya.”
Kembali orang itu tertawa.
Bahkan semakin keras. Jawabnya, “Jangan berpura-pura tidak tahu bahwa aku dan
orang-orangku tidak akan menerima permintaan itu. Bahkan aku ingin tahu, kenapa
kau menghalang-halangi penyerahan ini?”
“Itu bukan urusanku. Itu
adalah urusan orang-orang Jipang dan orang-orang Pajang. Sekarang yang penting
bagiku menyerahlah.”
“Kenapa kau terlalu
tergesa-gesa? Marilah kita berbicara. Mungkin ada hal-hal yang dapat kau
mengerti atau sebaliknya, yang selama ini terasa bersimpang siur. Misalnya
tentang muridmu, Sidanti. Kenapa ia terlampau tergesa-gesa untuk menjadi Lurah
Wira Tamtama? Kalau ia tekun, pasti ia akan sampai ke jabatan itu.”
“Hem, kau licik. Kau mencoba
memperpanjang waktu, supaya kau sempat menunggu Untara dan Widura yang akan
datang menolongmu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau memang cerdas Ki tambak Wedi.
Tetapi jangan kau sangka bahwa jumlah yang sedikit ini tidak akan mampu melawan
orang-orangmu. Meskipun jumlah orang-orangmu lebih dari dua kali lipat dari
orang-orangku, tetapi kami berada di atas punggung-punggung kuda. Kaki-kaki
kuda kami akan merupakan senjata tersendiri yang akan dapat menginjak
orang-orangmu menjadi lumat.”
“Hanya anak-anak kecil yang
mempercayai kata-katamu it,” sahut Ki Tambak Wedi. Tetapi Tambak Wedi menjadi
mual mendengarnya.
“Ki Tambak Wedi” berkata orang
itu. “Untuk yang terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Aku adalah pengemban
tugas negara, Kalau kau menghalang-halangi aku dan prajurit-prajurit Wira
Tamtama ini, maka berarti bahwa kau telah memberontak terhadap Pajang.”
“Aku tidak memerlukan
peringatan itu. Sekali lagi kau harus tahu, Tambak Wedi bukan anak-anak. Tambak
Wedi menyadari apa yang terjadi. Bahkan Tambak Wedi telah bertekad, Pajang
harus dimusnahkan.”
Orang yang berada di atas
punggung kuda itu mengerutkan keningnya. Perkataan ki Tambak Wedi itu
benar-benar menyinggung perasaannya. Meskipun demikian ia masih berkata tenang,
“Kalau demikian, kenapa kau memisahkan diri dari Patih Mantahun, dan bahkan
menyerahkan Sidanti ke dalam lingkungan keprajuritan Pajang?”
“Persetan! Aku sangka
orang-orang Pajang jujur menghadapi kawan sendiri. Tetapi ternyata tidak.”
“Itu hanyalah anggapanmu Ki
Tambak Wedi. Kau sendiri tidak turut berbuat sesuatu. Bahkan muridmu itupun
kemudian berkhianat atas nasehatmu.”
“Bukankah sudah pasti bahwa
dengan demikian tidak ada kata-kata lain untuk memberi julukan kepadaku, kepada
Ki Tambak Wedi? Aku memang hendak mbalela. Apa katamu? Sekarang menyerahlah.”
Orang di atas punggung kuda
itu tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Meskipun demikian ia tidak menjadi
kehilangan keseimbangan. Sekali dilayangkan pandangan matanya, beredar di
sekelilingnya. Diawasinya setiap orang di dalam barisannya dan setiap orang
yang berdiri mengepung orang-orangnya.
“Yakinkan dirimu,” berkata Ki
Tambak Wedi, “bahwa kau harus menyerah.”
Orang itu tidak menjawab.
Tetapi ia berkata kepada salah seorang di dalam barisannya, “Jebeng, kau lihat
anak muda itu? Umurnya lebih tua dari padamu. la adalah murid Ki Tambak Wedi.
Anak itulah yang bernama Sidanti, yang ingin dengan tangannya membunuh Tohpati
dan kemudian mencoba membunuh Untara. Meskipun ia tidak sesakti Arya
Penangsang, tetapi kepalanya ternyata lebih dingin daripada Adipati Jipang.”
Seorang anak muda menggerakkan
kudanya mendekati orang setengah umur itu. Di tangannya digenggamnya sebatang
tombak pendek, berjuntai seutas tali berwarna kuning emas.
Semua mata kini terarah kepada
anak muda itu. Dengan sebuah senyum yang menggores di bibirnya ia berkata,
“Dari mana ayah tahu kalau anak muda itu yang bernama Sidanti?”
Orang tua setengah umur itu
menjawab, “Senjatanya telah mengatakan kepada kita. Nenggala di tangan kirinya
itu adalah ciri perguruan lereng Merapi. Bukankah begitu Ki Tambak Wedi?”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Namun terdengar ia menggeram. Matanya sama sekali tidak lepas dari ujung tombak
di tangan anak muda yang kini telah berada di samping orang setengah umur yang
ternyata adalah ayahnya.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi
berpaling ketika ia mendengar ayah anak muda itu berkata, “Ki Tambak Wedi,
tombak itu sama sekali bukan Kyai Plered yang terkenal. Kali ini kami sama
sekali tidak membawa pusaka keramat itu. Yang dibawa oleh anak ini adalah sebuah
tombak lain, meskipun juga sebuah tombak pusaka hadiah Adipati Pajang. Namanya
mungkin belum pernah kau dengar, ‘Kiai Pasir Sewukir’.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menggeram. Bahkan kini ia berkata, “Aku tidak peduli apakah yang dibawanya Kiai
Plered atau bukan. Meskipun seandainya yang dibawanya itu Tombak Kiai Plered
pun, bagiku tidak berarti apa-apa. Sekarang menyerahlah. Jangan memperpanjang
waktu. Kalau habis sabarku, maka aku tidak akan memberimu kesempatan lagi.”
Orang di atas punggung kuda
itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi dipandanginya setiap wajah
dari para prajurit Jipang. Beberapa orang telah dikenalnya dengan baik. Karena
itu kemudian disapanya orang yang berdiri di sisi Sidanti, “He, Sanakeling. Kau
juga berada di sini?”
Betapa besar hati orang itu,
dan betapa kebenciannya membakar dadanya terhadap orang-orang Pajang, namun
perbawa orang itu telah menundukkan kepalanya.
Sikap itu sama sekali tidak
menyenangkan Ki Tambak Wedi, sehingga terdengar ia membentak, “Sanakeling, apakah
arti orang itu bagi panglima prajurit Jipang?”
Sanakeling menyadari
kedudukannya. Pertanyaan Ki Tambak Wedi telah benar-banar mengungkat
kejantanannya, sehingga kemudian ia mejawab lantang, “Bukan Kiai. Orang itu
tidak berarti apa-apa bagiku.”
Tiba-tiba terdengar anak muda
yang menggenggam tombak berjuntai kuning itu tertawa. Kataya, “Paman
Sanakeling. Apakah paman lupa terhadap kami. Aku dan ayah?”
Sanakeling menggeram. Tetapi
kembali ia dicengkam oleh wibawa ayah dan anak yang berada di atas punggung
kuda itu.
Yang menjawab kemudian adalah
Sidanti, “Kita berhadapan sebagai lawan. Jangan mencoba mengungkat perasaan
yang dapat melemahkan lawan. Seorang yang berhati jantan tidak akan berbuat
selicik itu.”
Anak muda di atas punggung
kuda itu mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah ayahnya. Tetapi wajah
orang tua itu sama sekali tidak membuat kesan apapun atas kata-kata Sidanti,
bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Murid Ki Tambak Wedi ternyata mempunyai
kesamaan dengan gurunya. Adatnya agak terlampau keras di samping nafsunya yang
melonjak-lonjak sehingga hampir-hampir Untara dikorbankannya.”
“Aku meyesal bahwa Untara itu
tidak mati” sahut Sidanti.
Sekali lagi anak muda di
punggung kuda itu mengerutkan keningnya, namun ayahnya masih setenang itu
menjawab, “Bagaimana kalau kau mendapat kesempatan sekali lagi?”
Sidanti heran mendengar
pertanyaan itu. la tidak mengerti sama sekali, apakah maksudnya. Namun orang
itu menjelaskan, “Maksudku, sebentar lagi Untara pasti akan datang. Bukankah
kau akan dapat berhadapan sekali lagi?”
Sidanti menggeram. Terasa
dadanya bergelora dan kemarahannya segera membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika
ia mendengar anak muda yang membawa tombak itu tertawa.
“Persetan dengan Untara!”
teriak Sidanti, “ayo siapa namamu dan siapa anak muda yang sombong itu. Mungkin
kau belum mengenal Sidanti.”
Sanakeling tiba-tiba
berpaling. Dipandanginya wajah Sidanti, Sanakeling hampir tidak percaya bahwa
Sidanti benar-benar belum mengenal orang itu ayah beranak. Sehingga tanpa
dikehendakinya ia berdesis, “Adi Sidanti, apakah kau belum pernah melihatnya?”
Sidanti terkejut mendengar
pertayaan itu. la adalah bekas prajurit Pajang. Namun selama tugasnya yang
pendek ia belum pernah bertemu dengan kedua orang itu, seperti ia belum begitu
mengenal Untara sebelumnya.
Namun Sidanti tidak terlampau
lama berteka-teki. la mendengar gurunya menjawab pertanyaanya, meskipun
ternyata jawaban itu benar-benar mengejutkannya. “Apakah kau belum pernah
mengenal mereka selama kau menjadi prajurit, Sidanti? Kalau belum, itu adalah
pertanda kelicikan orang-orang yang berada di atasmu. Mereka dengan sengaja
menjauhkan kau dari pimpinan-pimpinan yang lebih tinggi supaya mereka tidak
melihat kelebihanmu daripada mereka. Bukankah dengan sengaja Widura
menyembuyikan kau di padesan dan menugaskan kau selama ini jauh dari pusat
pemerintahan Pajang, meskipun kemampuanmu setingkat dengan senapati besar dari
Jipang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan kepatihan?”
Sekali lagi Sidanti mencoha
mengingat-ingat, siapakah kedua orang ayah beranak itu. Mungkin ia merasa
pernah melihat perwira Wira Tamtama itu. Tetapi apakah pedulinya sekarang,
selagi keadaannya telah menjadi semakin jauh dari kemungkinan-kemungkinan lain
daripada menghadapi setiap orang Pajang sebagai lawan.
Orang yang berkuda itu
kemudian menyahut, “Bukan salah Widura dan bukan pula salah Sidanti. Tidak
selalu setiap prajurit pernah melihat dan mengenal wajah prajurit yang lain.
Mungkin namaku perhah didengarnya dan nama anakku ini. Tetapi wajahku dan wajah
anakku ini mungkin pula belum.”
Sidanti memandang laki-laki
setengah umur di atas punggung kuda itu tanpa berkedip. Dicobanya untuk
mengingat-ingat satu demi satu perwira Wira Tamtama yang dikenalnya. Akhirnya,
lambat laun, ingatan Sidanti menyentuh sebuah wajah yang pernah dikenalnya.
Tetapi wajah itu terlampau besar bagi orang yang berkuda di hadapannya itu.
Ketika ia melihatnya beberapa bulan yang lampau, orang itu berada dalam satu
barisan yang lengkap disertai dengan segala macam tanda-tanda kebesaran. Orang
itu memakai pakaian kebesarannya pula. Sedang kini, laki-laki itu mengenakan
pakaian keprajuritan, tanpa tanda-tanda kebesaran selain ciri seorang perwira
dari Wira Tamtama.
Dada Sidanti menjadi
berdebar-debar karenanya. Namun akhirnya ia dapat menguasai dirinya ketika ia
melihat sikap gurunya. Guruya sama sekali tidak menjadi cemas menghadapi
laki-laki berkuda itu, bahkan seandainya kenangannya itu benar, iapun harus
bersikap seperti gurunya pula.
Yang terdengar adalah suara Ki
Tambak Wedi, “Sidanti, kalau kau belum mengenal sekalipun bukanlah soal bagimu.
Justru lebih baik apabila kau belum tahu siapa yang kau hadapi supaya hatimu
tidak terpengaruh. Tugasmu sekarang adalah ambil tombak yang bernama Kiai Pasir
Sewukir dari tangan anak sombong itu. Jangan hiraukan apa yang pernah dilakukan
dahulu. Jangan menjadi silau, sebab ia tidak membunuh Arya Penangsang dengan
jujur, tetapi ia mempergunakan kuda betina untuk membuat kuda Arya Penangsang
tidak dapat dikendalikan. Dengan demikian, kesempatan bertempur Arya Penangsang
sangat terganggu oleh kudanya yang bernama Gagak Rimang, karena kuda itu
melihat kuda betina Loring Pasar.”
Kini dada Sidanti benar-benar
bergelora. Anak muda itulah yang bergelar Ngabehi Loring Pasar, yang sebelumnya
lebih terkenal bernama Sutawijaya. Kalau demikian siapakah laki-laki itu? Ayah
Sutawijaya adalah Ki Gede Pemanahan, sedang ayah angkatnya adalah Adipati
Pajang sendiri. Kalau demikian benar dugaannya, laki-laki itu adalah Ki Gede
Pemanahan yang pernah dilihatnya dalam kelengkapan kebesaran seorang Panglima
Wira Tamtama.
Sidanti yang tiba-tiba terpaku
itu mendengar gurunya berkata, “Nah Sidanti, jangan cemas. Kau sekarang tidak
berada di atas punggung kuda seperti Gagak Rimang. Kau dapat mempercayakan
setiap langkah pada kakimu sendiri.”
Anak muda itu, yang sebenarya
Sutawijaya, mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki tambak Wedi itu benar-benar
menyakitkan hatinya, seolah-olah ia telah membunuh Arya Penangsang dengan
curang. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar ayahnya, yang tidak lain adalah
Ki Gede Pemanahan menjawab, “Jebeng, jangan hiraukan kata-kata orang tua itu.
la ingin membesarkan hati muridnya. Apa yang terjadi atas Arya Jipang itu,
biarlah ditafsirkan menurut kehendaknya. Sekarang hadapilah murid Ki Tambak
Wedi. Ia tidak dapat bertahan diri terhadap Macan Kepatihan. Ia pernah mencoba bertempur
melawannya, seorang lawan seorang, namun Widura terpaksa membantunya sebelum
kepalanya dipecahkan oleh tongkat baja putih berkepala tengkorak itu. Kemudian
ia tidak berani melawan Untara wajah berhadapan dengan wajah. Ia menusuknya
dari belakang. Bahkan melawan adik Untara yang bernama Agung Sedayu pun,
Sidanti berbuat curang. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda yang gagah
perkasa itu terpaksa memungut sepotong kayu untuk mempersenjatai diri.”
“Cukup!” potong Ki Tambak Wedi
dengan marahnya. Ternyata semua yang terjadi di Sangkal Putung telah dilaporkan
kepada Panglima Wira Tamtama ini. “Apakah dengan demikian kau tidak sedang
mencoba membesarkan hati anakmu itu pula? Anak yang kau bangga-banggakan telah
membunuh Arya Penangsang.”
Ki Ageng Pemanahan tertawa.
Tetapi sebelum ia menjawab terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak, “Kenapa
kalian melihat saja seperti menonton tayub?”
Para prajurit Jipang terkejut
mendengar teriakan itu. Sejenak mereka belum dapat menanggapi maksudnya. Baru
sesaat kemudian mereka menyadari kata-kata Ki Tambak Wedi yang diteruskanya,
“Ayo, kalau kalian mampu membinasakan orang yang bernama Pemanahan yang
merupakan otak dari kematian Arya Penangsang, dan anaknya yang hanya dipakainya
sebagai alat saja dalam usaha pembunuhan yang keji itu, maka dendam kalian akan
terbalaskan. Kedua orang ini beserta Penjawi dan Ki Juru Mertanilah biang
keladi dari pembunuhan yang tidak jantan. Mereka menunggu saat Arya Penangsang
menyeberang sungai. Sebelum Adipati Jipang mencapai tebing, maka orang Pajang
telah menghujaninya dengan anak panah atas Arya Penangsang beserta kudanya
Gagak Rimang. Apalagi Sutawijaya telah membuat Gagak Rimang gila dengan kuda
betinanya.”
Sutawijaya tidak dapat menahan
diri lagi mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi, tetapi ayahya menggamitnya.
Sehingga dengan dada sesak ia terpaksa masih saja tetap berdiam diri di atas
punggung kudanya. Namun ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir telah
bergetar.
Ketika Ki Tambak Wedi terdiam,
barulah Pemanahan menjawab, “Apakah masih ada yang ingin kau katakan Ki Tambak
Wedi, mungkin kesempatan ini adalah kesempatanmu yang terakhir untuk melepaskan
dendam dan kebencianmu, karena kegagalan-kegagalan yang dilakukan oleh muridmu.
Tetapi sadarilah bahwa bukan hanya Pemanahan, bukan haya Ki Juru Mertani, bukan
hanya Penjawi dan beberapa orang saja yang melihat peperangan yang menentukan,
tetapi seluruh prajurit Pajang dan Jipang yang saat itu berada dalam
pertempuran, melihat apa yang terjadi. Kalau Tohpati masih hidup, kau akan
dapat bertanya kepadanya. Bagaimana dengan Sanakeling dan, he, apakah anak muda
yang bermata setajam mata burung alap-alap itu yang bernama Alap-Alap
Jalatunda?”
“Persetan!” teriak Ki Tambak
Wedi. “Kau benar-benar licik. Kau hanya memperpanjang waktu saja. Ayo, para
prajurit Jipang, mulailah. Kesempatan yang aku berikan telah disia-siakan oleh
Panglima yang merasa dirinya pilih tanding ini.”
Orang-orang Jipang yang
mengepung para prajurit Wira Tamtama Pajang, yang langsung dipimpin oleh
panglimanya sendiri itu mulai bergerak. Beberapa orang segera meloncati
parit-parit dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Tetapi bagaimanapun juga gerak
orang-orang Jipang itu masih belum mantap. Sanakeling sendiri masih dicengkam
oleh keragu-raguan dan debar jantungnya yang tidak menentu. Orang yang berada
di punggung kuda ayah beranak itu terlampau besar baginya. Mungkin tidak bagi
Ki Tambak Wedi yang sama sekali tidak terikat dalam hubungan keprajuritan.
Apabila Macan Kepatihan masih ada, mungkin Tohpati itupun akan menghadapi
mereka dengan tatag. Tetapi baginya, bagi Sanakeling, pekerjaan itu benar-benar
merupakan pekerjaan yang terlampau berat.
Bukan saja Sanakeling, tetapi
Alap Alap Jalatunda dan kawan-kawannya mempunyai sikap serupa. Ki Gede
Pemanahan adalah seorang panglima yang namanya menggema tidak saja di seluruh
Pajang dan Jipang. Bahkan merata ke seluruh daerah Demak.
Ki Tambak Wedi itupun melihat
keragu-raguan dalam setiap gerak orang-orang Jipang. Mereka bergeser, tetapi
tidak mendekati para prajurit Pajang, sehingga orang tua itu kemudian
berteriak, “He, apa yang kalian tunggu. Dengar perintahku. Bunuh semua
orang-orang Pajang secepatnya sebelum Untara datang memancung leher kalian atau
menggantung kalian di alun-alun Pajang.”
Perintah itu ternyata telah
membangunkan orang-orang Jipang. Mereka benar-benar dihadapkan pada suatu
keharusan untuk melawan. Kalau tidak, maka mereka akan mengalami akibat yang
sangat pahit.
Apalagi ketika Ki Tambak Wedi
berteriak, “Rencana kita tidak akan dapat berjalan seperti yang kita harapkan
sepenuhnya. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Pajang ini. Ayo,
jadikanlah mereka tebusan dari kegagalan itu. Meskipun kita tetap mengharap
orang-orang Pajang di Sangkal Putung menjadi gila dan berbuat seperti yang kita
inginkan.”
Kini orang-orang Jipang
menjadi semakin mantap. Sementara itu kuda-kuda orang Pajang pun telah
bergerak-gerak. Beberapa orang mendorong kudanya maju dan yang lain menghadap
ke arah yang berlawanan. Musuh mereka berada di muka dan di belakang. Tempat
itu sama sekali tidak menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda.
Ki Gede Pemanahan
memperhatikan keadaan itu sesaat. Karena itu ia harus mendapat daerah yang
cukup luas, supaya mendapat kesempatan yang lebih baik. Orang-orang Jipang yang
berdiri di atas tanah akan menjadi lebih lincah karena daerah yang sempit.
Di kiri-kanan jalan itu adalah
tanah persawahan yang sedang ditumbuhi oleh batang-batang jagung muda. Tanahnya
tidak begitu basah, karena tanaman itu tidak memerlukan air yang tergenang.
Karena itu, maka terdengar Panglima Wira Tamtama itu langsung memberi aba, “He
para prajurit Pajang. Kita terpaksa minta maaf kepada orang-orang Sangkal
Putung. Kita akan meminjam tanah mereka untuk berlatih perang-perangan di atas
punggung kuda.”
Ki Tambak Wedi menggeram
mendengar aba-aba itu. Cepat ia berteriak, “Cegah mereka. Jangan diberi
kesempatan meninggalkan jalan sempit ini, supaya mereka segera tertumpas di
dalamya.”
Tetapi teriakan itu
hampir-hampir tidak berarti. Kuda-kuda para prajurit Pajang telah mendesak
mereka. Dengan senjata di tangan para penunggang kuda itu mencoba mendapatkan
jalan bagi kuda mereka. Beberapa ekor kuda telah berhasil meloncat parit yang
sempit. Tetapi karena kejutan-kejutan orang-orang Jipang, ada juga kuda yang
gagal, sehingga kuda itu tergelincir masuk ke dalam parit. Namun dengan
tangkasnya para penunggangnya meloncat turun dan melawan orang-orang Jipang
yang menyerangnya di atas tanah.
Pemanahan mengerutkan
keningnya melihat orang-orangnya yang gagal itu. Tetapi mengharap bahwa mereka
akan dapat bertahan dan menyelamatkan diri mereka masing-masing. Meskipun
demikian, Ki Gede Pemanahan segera berseru, “Jangan lepaskan kuda-kuda itu.”
Memang beberapa orang yang
terjatuh itu masih berusaha untuk meloncat kembali ke atas punggung-pungung
kuda mereka yang telah berhasil merangkak keluar dari dalam parit. Tetapi
orang-orang Jipang selalu mencoba menghalang-halangi.
Peperanganpun segera berkobar.
Orang-orang Jipang mulai menyerang dengan sengitnya. Tetapi para prajurit
Pajang yang sempat meninggalkan jalan yang sempit itu segera membuat arena
menjadi semakin luas. Mereka terpaksa tidak menghiraukan lagi batang-batang jagung
muda. Kaki-kaki kuda mereka dengan garangnya telah merambas batang-batang
jagung itu, sehingga sesaat kemudian sawah itu telah hampir menjadi gundul.
“Setan!” teriak Ki Tambak Wedi
yang menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan. Ternyata para prajurit
berkuda dari Pajang itu cukup tangkas melawan orang-orang Jipang yang jumlahnya
dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan beberapa orang yang terjatuh dari
kudanya, telah berhasil meloncat kembali ke atas punggung-punggung kuda.
Sedangkan mereka yang tidak berhasil, tidak juga menjadi cemas melihat
perkembangan keadaan karena kawan-kawan mereka hampir selalu membantu mereka,
dan mengusahakan kesempatan supaya mereka berhasil meloncat ke punggung kuda
masing-masing.
Para prajurit Pajang kini
bertebaran di sawah-sawah. Mereka bertempur seperti burung rajawali. Sekali
mereka memacu kudanya melingkar, namun sejenak kemudian seperti seekor burung
yang menukik dari langit, meyambar lawan-lawannya dengan garangnya.
Sidanti menjadi semakin marah
melihat perkembangan keadaan. Dengan demikian ia tidak akan berhasil mengikat
seorang lawan di arena. Ia harus dengan penuh kewaspadaan memperhatikan setiap
derap kuda yang menyambarnya.
Sanakeling pun mengumpat tak
habis-habisnya. Selagi ia sedang mencoba bersama seorang kawannya menekan
seorang prajurit Pajang yang kehilangan kudanya, maka setiap kali kuda yang
lain datang menyerangnya. Bahkan hampir menginjaknya apabila ia tidak cukup cepat
menghindar. Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi pertempuran yang
cukup kalut bagi kedua belah pihak.
Arena pertempuran itupun
menjadi semakin lama semakin luas. Kuda-kuda para prajurit Pajang berlari
melingkar-lingkar dengan garangnya. Setiap prajurit di atas punggung kuda itu
telah memutar pedangnya dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi yang
dihadapi adalah prajurit-prajurit pula. Dengan tangkasnya orang-orang Jipang
melawan para prajurit berkuda itu. Tetapi ternyata ketika orang-orang Pajang
berhasil memperluas lingkaran pertempuran maka keadaan mereka menjadi lebih
menguntungkan.
Ki Tambak Wedi hanya sesaat
sempat mengamati pertempuran itu. Segera ia menggenggam kedua gelang-gelang
besi di kedua belah tangannya untuk melawan Panglima Wira Tamtama yang perkasa
itu.
Ki Gede Pemanahan pun
menyadari, bahwa ia kini berhadapan dengan seorang yang memiliki kemampuan luar
biasa. Orang yang pernah menjadi sahabat Patih Mantahun dan orang kedua dari
perguruan Kedung Jati, yang bernama Sumangkar. Tetapi Ki Tambak Wedi ternyata
tidak setia. Ditinggalkannya Jipang menjelang kehancurannya. Bahkan kemudian
muridnya muncul menjadi seorang prajurit Wira Tamtama di bawah pimpinan Widura.
Untuk melawan senjata Ki
Tambak Wedi yang aneh itu, Ki Gede Pemanahan tidak mempergunakan pedangnya. Ia
ingin melawan hantu itu pada jarak yang sependek gelang-gelang besi itu. Karena
itu ketika Ki Tambak Wedi mulai meloncat menyerangnya, maka di tangan panglima
Wira Tamtama itu tergenggam sebilah keris. Keris yang seolah-olah bercahaya
kebiru-biruan, berlekuk sebelas dan berbentuk seekor Naga, Naga Kemala.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya melihat keris itu. Sesaat ia terhenyak surut. Ditatapnya keris itu
tajam-tajam. Ia terkejut ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil
berkata, “Kau memperhatikan kerisku ini Ki Tambak Wedi. Sama sekali bukan Kiai
Nagasasra. Meskipun dapurnya mirip, namum kerisku ini adalah Kiai Naga Kemala.
Masih selapis lebih rendah dari Kiai Nagasasra, yang kini telah berada di
Kadipaten Pajang bersama pusaka-pusaka Demak yang lain.”
Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Sahutnya, “Persetan dengan Naga Kemala. Meskipun yang kau genggam itu Kiai
Nagasasra sekalipun aku tidak akan gentar. Bahkan di kedua belah tanganmu
tergenggam pusaka-pusaka Demak yang lain, Kiai Sabuk lnten, Kiai Sengkelat dan
apa saja.”
Ki Gede Pemanahan tidak
menyahut. Didorongnya kudanya maju dan dengan sigapnya ia menggerakkan
senjatanya. Ki Tambak Wedi mundur selangkah, tetapi tiba-tiba ia meloncat
secepat kilat menghantam mata kaki Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan
telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sehingga karena itu, maka dengan
sigapnya pula ia mampu menghindarkan mata kaki itu. Sebuah sentuhan dari
gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi pasti akan mampu memecahkan tulang-tulangnya.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
membiarkannya. Sekali lagi ia meloncat menyerang dengan garangnya. Namun sekali
lagi Ki Gede Pemanahan mampu menghindarinya pula.
Bahkan kemudian ia tidak
membiarkan dirinya selalu menghindar dan menghindar. Sejenak kemudian
ditariknya kendali kudanya dan kuda itupun meringkik dan meloncat. Sekali kuda
itu berputar, kemudian menerjang Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di atas
tanah dengan sepasang kakinya yang kokoh kuat.
Dengan mengumpat-umpat orang
tua yang menghantui Lereng Merapi itu meloncat menghindari kaki-kaki kuda Ki
Gede Pemanahan. Bahkan semakin lama ialah yang harus semakin sering
menghindarkan diri, karena kuda itu dengan lincahnya meloncat berputar kemudian
berlari menyambarnya. Keris di tangan panglima Wira Tamtama itu sekali-sekali
berada di tangan kanannya, namun kemudian telah berpindah di tangan kiri,
seolah-olah berloncatan dari satu tangan ke tangan yang lain. Betapa kakinya
menghentak-hentak, apabila kudanya berlari terlampau jauh, namun kemudian
tangannyalah yang terayun-ayun apabila kudanya menyambar Ki Tambak Wedi.
Pertempuran antara keduanya
semakin lama mejadi semakin sengit. Ternyata serangan-serangan Ki Tambak Wedi
pun semakin lama mejadi semakin berbahaya pula. Apabjla ia gagal menyerang
tubuh lawannya, maka ia berusaha mengenai tubuh kudanya. Apabila kuda itu dapat
dirobohkan, maka pekerjaanya tidak akan sedemikian sulitnya.
Di sudut lain, Sidanti bertempur
dengan gigi gemeretak. Dilihatnya anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring
Pasar, meyambutnya dengan sebuah senyum yang menyakitkan hati. Tombak di tangan
anak muda itu memang mendebarkan jantungnya meskipun ia tahu bahwa tombak itu
bukanlah tombak yang bernama Kiai Pleret. Menurut pendengaranya Kiai Pleret itu
berlandean panjang, sedang yang dibawa oleh anak muda itu berlandean agak
pendek.
Hati Sidanti menjadi semakin
panas ketika ia mendengar anak muda itu berkata kepada seorang prajurit Pajang,
“Lindungi aku dari panyerang-penyerang yang curang. Aku ingin melawan murid Ki
Tambak Wedi ini dengan cara yang adil. Aku tidak mau dituduh membuat lawanku
gila karena aku memakai kuda yang tegar dan lincah, seperti orang-orang Jipang
menganggap aku berbuat curang terhadap Adipati Jipang, meskipun anak muda yang
bernama Sidanti ini sama sekali tidak dapat disejajarkan dengan Paman Arya
Penangsang yang perkasa itu.”
“Gila!” teriak Sidanti.
“Jangan terlampau sombong. Kaulah yang ternyata menjadi gila karena orang
menganggapmu dapat mengalahkan Adipati Jipang yang lengah, sehingga kerisnya
sendiri menggores ususnya. Kalau tidak, maka perutmulah yang akan disobeknya
dengan pusakanya, Kiai Setan Kober.”
Mas Ngabehi Loring Pasar, yang
juga disebut Sutawijaya tertawa. Jawabnya, “Marilah kita lihat, apakah kau akan
mati dengan senjatamu sendiri atau karena tombakku Kiai Pasir Sewukir.”
Hati Sidanti menjadi semakin
panas ketika tiba-tiba Sutawijaya meloncat dari punggung kudanya. Kini anak
yang masih sangat muda itu menghadapinya dengan kakinya di tanah.
Sidanti menggeram seperti
seekor harimau lapar melihat seekor kijang. Matanya merah memancarkan kemarahan
dan kebencian. Sikap Sutawijaya itu dirasakannya sebagai penghinaan
terhadapnya.
Dengan gigi yang gemeretak Sidanti
menggeram, “Kau benar-benar anak yang sombong. Meskipun dadamu berlapis baja,
tetapi kau akan luluh karena kesombonganmu itu sendiri.”
Sutawijaya yang berdiri di
hadapannya menjawab, “Aku hanya ingin berbuat adil supaya kelak tidak lagi ada
tafsiran yang aneh-aneh. Kalah atau menang, kita berada dalam keadaan yang
seimbang.”
Dengan marahnya Sidanti
menyahut, “Setelah aku melihat tampangmu, maka aku semakin yakin, bahwa bukan
kau yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Tetapi adalah karena perbuatan
kalian ayah beranak yang curang dan licik itulah yang menyebabkan gugurnya
Adipati yang berani itu.”
“Itulah sebabnya aku sekarang
berbuat dengan hati-hati supaya kelak tidak ada orang yang berkata bahwa
Sidanti dibunuh dengan licik. Sidanti mati karena terinjak kaki-kaki kuda, atau
cerita lain yang nadanya serupa dengan itu. Serupa dengan nada lagu dari kidung
kematian Arya Penangsang.”
Sekali lagi Sidanti menggeram.
Kemarahannya telah sampai ke atas ubun-ubunnya. Dengan gigi gemeretak ia
meloncat sambil menggerakkan pedangnya langsung menyambar dada Sutawijaya.
Sutawijaya ternyata telah cukup bersiaga. Selangkah ia meloncat surut. Namun dengan
tiba-tiba pula tombaknya terjulur lurus mematuk lambung Sidanti.
Sidanti terkejut melihat ujung
tombak yang demikian cepatnya menyambarnya. Hampir-hampir perutnya tersobek
pada loncatan pertama. Terdengar ia mengumpat sekali, dan dengan cepatnya pula
ia menghindar ke samping.
Sutawijaya tersenyum. Katanya,
“Jangan mengumpat-umpat. Lebih baik kau memperhatikan ujung tombakku supaya
perutmu tidak terbelah.”
“Kau benar-benar anak yang
sombong” teriak Sidanti. Tetapi kata-katanya seolah-olah patah di tengah.
Tiba-tiba sekali lagi ia terkejut. Tombak Sutawijaya seolah-olah mengejarnya
dan kembali mematuk lambungnya.
“Gila!” teriaknya tanpa
sesadarnya. Sekali lagi ia harus meloncat ke samping. la belum mendapat
kesempatan untuk mempergunakan pasangan senjatanya. Serangan Sutawijaya
benar-benar mengejutkannya. Bahkan kecepatan bergerak anak muda itu sama sekali
di luar dugaannya.
Sekali lagi Sutawijaya
tersenyum. Dibiarkannya Sidanti memperbaiki kedudukannya. Kini kedua senjatanya
bersilang seakan sebuah perisai yang tidak akan dapat ditembus oleh senjata
macam apapun.
Sutawijaya melihat sikap itu.
Ia menyadari bahwa Sidanti telah benar-benar berada dalam kesiap-siagaan yang
tertinggi. Kini ia tidak dapat sekedar menyerangnya dengan kejutan-kejutan.
Kini segenap geraknya harus diperhitungkan benar-benar.