Buku 073
Namun ketika para peronda itu
berusaha menghentikan iring-iringan kuda itu, maka mereka pun berloncatan
minggir, karena mereka mendengar suara Pandan Wangi yang berkuda di paling
depan, “Aku. Akulah yang akan lewat. Pandan Wangi.”
Seseorang sempat bertanya
keras-keras, “Malam-malam begini?”
“Aku dari hutan perburuan,”
sahut Pandan Wangi sambil berderap menjauh.
Para peronda itu menarik nafas
dalam-dalam. Bahkan salah seorang dari mereka berdesis, “He, kau yakin bahwa
suara itu suara Pandan Wangi.”
“He, apakah kau mengigau.
Bukankah kita bersama melihat ia berada di punggung kudanya.”
“Aku tidak melihatnya begitu
jelas. Obor itu tidak begitu terang.”
“Dan di belakangnya adalah
Prastawa.”
“Ya, ya. Di belakangnya
Prastawa. Di antara mereka terdapat kedua anak-anak muda itu, yang dahulu
pernah berada di Tanah ini, ketika berkecamuk pertengkaran di antara kita.”
“Ya. Tetapi siapakah yang
seorang lagi?”
“Tamu Pandan Wangi yang manja
itu.”
“Rudita?” orang itu ragu-ragu.
Lalu, “Bukan, tentu bukan Rudita.”
“Tetapi Rudita ikut di dalam
perburuan itu.”
“Ya, tetapi anak muda itu
bukan Rudita. Rudita tidak membawa sebatang tombak pendek.”
“Kau lihat kuda tanpa
penunggang, sedangkan yang lain dibebani oleh dua orang?”
“Tetapi dimuati dengan beban
yang cukup banyak. Meskipun agaknya tidak terlalu berat, tetapi cukup memenuhi
seluruh punggungnya.”
Kawannya tidak menyahut.
Tetapi hal itu ternyata telah menarik perhatiannya.
Namun agaknya orang-orang di
gardu peronda itu tidak mengetahui, bahwa di punggung kuda yang tidak
berpenumpang itu tersangkut sehelai kulit seekor ular naga yang besar, selain
beberapa perlengkapan berburu yang lain. Karena itulah, maka kuda itu sengaja
tidak dibebani oleh seorang pun, meskipun bebannya sebenarnya lebih berat dari
seseorang.
Demikianlah, maka mereka pun
kemudian memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Seperti setiap
padukuhan yang lain, yang mereka lalui, maka derap kaki-kaki kuda itu pun telah
mengejutkan mereka yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan dan terutama para
peronda di gardu-gardu. Namun para peronda itu pun kemudian menarik nafas
dalam-dalam ketika mereka melihat Pandan Wangi dan kawan-kawannya lewat. Mereka
mengerti, bahwa Pandan Wangi baru kembali dari hutan perburuan.
Demikian juga, ketika derap
kaki-kaki kuda itu memasuki halaman rumah Ki Argapati. Para peronda di regol
halaman itu pun terkejut, meskipun memang kadang-kadang terjadi Pandan Wangi
pulang dari hutan perburuan di malam hari.
Derap kaki kuda yang memasuki
halaman itu pun telah membangunkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal
Putung. Mereka hampir berbareng telah turun ke halaman, menyambut mereka yang
baru datang dari daerah perburuan.
Namun kuda yang tidak
berpenumpang itu memang menarik perhatian. Sehingga Ki Argapati pun segera
bertanya, “Siapakah yang tidak ada di antara kalian?”
Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Sejenak ia memandang berkeliling. Tetapi karena ayah dan ibu
Rudita belum nampak di antara mereka, maka ia pun segera berbisik kepada
ayahnya, “Ada yang kosong Ayah, tetapi ada yang terpaksa membawa dua orang di
satu punggung kuda.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Jadi sengaja kuda yang seekor itu kalian muati dengan barang-barang dan
alat-alat berburu?”
“Sebagian benar,” sahut Pandan
Wangi.
Ki Argapati tidak segera
menangkap maksud anaknya. Ketika ia kemudian memandang berkeliling, semua
penunggang kuda telah berloncatan turun.
“Kuda itu juga membawa sehelai
kulit seekor naga raksasa.”
“He, naga raksasa. Di mana kau
mendapatkannya?”
Pandan Wangi tidak menjawab
pertanyaan ayahnya, tetapi ia berkata, “Ada yang lebih menarik dari sehelai
kulit naga raksasa itu.”
“Apa?”
“Rudita hilang, Ayah.”
“He,” kata-kata itu
benar-benar telah mengejutkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal Putung,
sehingga dengan serta-merta Ki Gede Menoreh berkata, “Berkatalah yang benar.”
“Benar, Ayah. Dan di antara
kami sekarang adalah Raden Sutawijaya.”
“He, apakah yang kau katakan
itu. Kau belum memberi penjelasan tentang Rudita, sekarang kau menyebut nama
Raden Sutawijaya.”
“Ia ada di antara kami.”
“Apakah kau mengigau?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Ia memberi kesempatan seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek melangkah
maju mendekati Ki Gede Menoreh, “Ya, Paman. Aku datang bersama dengan Pandan
Wangi dan pengiringnya.”
“Raden Sutawijaya?”
Beberapa orang melihat anak
muda itu menyibak para pengiring Pandan Wangi dan seleret sinar obor jatuh di
atas wajahnya.
Sambil tersenyum, Sutawijaya
berkata selanjutnya, “Ternyata bahwa selama berburu di hutan liar itu, Pandan
Wangi dan orang-orangnya banyak menjumpai ujian yang berat.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Tetapi marilah, Raden, kita naik ke pendapa. Aku belum mengucapkan
selamat datang kepada Raden.”
“Baiklah, Paman. Tetapi
sebaiknya Paman mendengarkan dahulu cerita tentang anak muda yang disebut
bernama Rudita itu.”
“O, bagaimana dengan Rudita?
Apakah benar hilang?”
“Biarlah Pandan Wangi
menceritakannya.”
Ki Argapati memandang Pandan
Wangi sejenak, ia pun bertanya, “Bagaimanakah sebenarnya yang terjadi?”
Maka Pandan Wangi pun segera
menceriterakan tentang Rudita yang ditinggalkannya sendiri, karena semula ia
mengkhawatirkan keselamatannya. Namun justru kemudian Rudita itu hilang tanpa
jejak, selain hanya beberapa ciri yang memberikan sekedar tanda-tanda yang
kurang jelas.
“Hilang, jadi Rudita
benar-benar hilang?” desis Ki Argapati.
“Ya, Ayah.”
Wajah Ki Gede Menoreh menjadi
tegang. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Suatu
cobaan yang berat bagi kita, Pandan Wangi.”
“Aku mengerti, Ayah,” Pandan
Wangi menunduk wajahnya, “tetapi yang terjadi adalah di luar kemampuanku. Ia
sangat manja dan apalagi penakut. Aku mengalami kesulitan membawanya serta di
dalam perburuan.”
Ki Argapati pun kemudian
berpaling memandang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang yang berdiri di
antara mereka. Mereka tidak sempat mengucapkan selamat datang kepada Raden
Sutawijaya, karena Pandan Wangi tidak memberinya kesempatan. Namun Pandan Wangi
tidak dapat lagi mengingat adat sopan-santun itu lagi, karena kegelisahan yang
meluap di dalam hatinya.
“Kiai, kita kehilangan seorang
tamu,” desis Argapati.
“Memang menyulitkan sekali,”
sahut Kiai Gringsing. Lalu, “Apakah kau juga menyaksikan peristiwa itu Raden?”
bertanya Kiai Gringsing kepada Raden Sutawijaya.
Barulah Raden Sutawijaya
sadar, bahwa ia berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang
Sangkal Putung.
“O, maaf, Kiai. Aku belum
sempat mengucapkan selamat bertemu lagi.”
“Selamat, Ngger. Tetapi
kedatangan Angger kali ini ternyata membawa berita yang sangat mengejutkan.”
“Nanti aku akan menceriterakan
semua yang telah teriadi, Kiai, sehingga Kiai akan mendapat gambaran tentang
peristiwa itu.”
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Demang Sangkal Putung hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
Namun Ki Argapati-lah yang
kemudian mempersilahkan tamunya, “Marilah, duduklah dahulu.”
Raden Sutawijaya itu pun
kemudian duduk di pendapa bersama orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung.
Mereka memperbincangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas Rudita.
“Benar-benar kita dihadapkan
pada suatu kesulitan.”
“Ayah,” pinta Pandan Wangi,
“aku tidak sampai hati mengatakan hal ini kepada Paman dan Bibi. Rudita adalah
anak satu-satunya bagi orang tuanya. Jika ia tidak dapat diketemukan dalam
keadaan selamat, maka ayah dan ibunya akan mengalami kejutan yang sepanjang
hidupnya tidak akan dapat dilupakan. Dan mereka pun akan menjadi sangat marah
pula kepadaku.”
Ki Argapati tidak segera dapat
menyahut.
“Ayah. Biarlah Ayah saja yang
menyampaikan kepada ayah dan ibu Rudita, diikuti dengan permohonan maaf.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia memandang pintu gandok di seberang longkangan yang
masih tertutup. Di gandok itulah, ayah dan ibu Rudita bermalam selama ia berada
di Tanah Perdikan Menoreh.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati
kemudian, “aku akan mengatakannya, meskipun aku menyadari, bahwa hal ini akan
sangat mengejutkan mereka, terutama ibunya. Rudita adalah satu-satunya anak
mereka yang sangat mereka manjakan. Jika Rudita itu benar-benar hilang, maka
aku dapat menggambarkan, betapa pedihnya hati mereka.”
“Tetapi Ayah dapat
menjelaskan, bahwa kami akan mencarinya. Kami akan membawa pengawal lebih
banyak lagi, karena ternyata di daerah ujung dari Tanah Perdikan kita, terdapat
sebuah padepokan yang agaknya dipergunakan oleh seseorang yang menamakan
dirinya Panembahan Agung itu.”
“Mungkin masih di batas
telatah Menoreh, tetapi mungkin pula di seberang,” desis Sutawijaya menyela,
“kau masih belum tahu pasti letak padepokan itu. Bahkan mungkin bukan sebuah
padepokan, tetapi hanya sekedar sarang yang mereka pergunakan untuk sementara.”
“Mungkin, memang mungkin.
Mencari Rudita bukannya pekerjaan yang mudah,” desis Ki Argapati, “namun
bagaimanapun juga kita bertanggung jawab atas hilangnya anak itu. Anak yang
sama sekali tidak pernah menyiapkan dirinya menghadapi kekerasan, meskipun
ayahnya seorang yang memiliki banyak kelebihan. Bukan saja kanuragan, tetapi
menurut pendengaranku, ia memiliki ilmu yang jarang dimiliki oleh seseorang.
Selain pandangannya yang tajam dan jauh, yang mampu menembus batas waktu kini,
yang sudah lampau dan yang akan datang, namun ia juga memiliki
kemampuan-kemampuan lain yang bukan sekedar kasat mata.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya pemomongnya di masa
kanak-kanak yang kini seakan-akan telah hilang dari lingkungan Istana Pajang,
Ki Gilingwesi, yang menurut pendengarannya terakhir bertapa di atas Gunung
Merapi. Orang itu pun menurut pendengarannya memiliki ilmu yang gaib.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya Ki Argapati yang ikut
berprihatin atas hilangnya Rudita. Tetapi pembicaraan mengenai ilmu yang gaib
itu telah menyentuh perasaannya.
Sebenarnyalah balwa Kiai
Gringsing pernah mempelajarinya. Tetapi ilmu itu disimpannya rapat-rapat di
dalam dirinya. Ilmu yang seakan-akan memiliki kemampuan jauh di luar jangkauan
akal itu sebenarnya tidak banyak berpengaruh. Namun di dalam saat-saat
tertentu, ilmu semacam itu memang dapat dipergunakannya. Meskipun Kiai
Gringsing sadar, bahwa ilmu yang gaib semacam itu, tidak hanya ada satu atau
dua jenis, tetapi ada bermacam-macam, sehingga yang satu tidak sama dengan yang
lain. Demikian juga ilmu yang pernah dipelajari oleh Kiai Gringsing itu jauh
berbeda dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Rudita. Kiai Gringsing tidak
sanggup untuk melihat menembus batas waktu, apalagi yang cukup jauh. Ia hanya
dapat memperhitungkan berdasarkan pengalaman, kenyataan-kenyataan yang pernah
terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya. Perhitungan demikian
memang tidak selamanya tepat, tetapi apabila ia yakin, maka dapat juga agaknya
dijadikan pegangan.
Keyakinan itulah yang menjadi
dasar ilmu Kiai Gringsing. Ia tidak dapat membakar hutan dengan tatapan
matanya. Ia tidak dapat menjadikan dirinya kebal tanpa dapat dilukai senjata.
Dan ia tidak dapat menciptakan bentuk-bentuk bayangan yang seakan-akan menjadi
suatu kenyataan.
Namun Kiai Gringsing memiliki
ilmu yang disebutnya sekedar sebuah perisai. Itulah yang memberikan kemantapan
pada pribadinya. Selain perisai dalam bentuk olah kanuragan, namun ia memiliki
kemampuan menyadari kediriannya, kepribadiannya. Dengan demikian, maka Kiai
Gringsing tidak mudah ditembus oleh ilmu yang gaib dari orang lain. Ia tidak
mudah dapat dipengaruhi dengan cara yang betapapun juga. Panca indranyalah yang
seakan-akan menjadi kebal dari pengaruh ilmu gaib itu. Dan ilmu itulah ilmu gaib
yang dimiliki oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang karena keyakinannya atas dirinya
di dalam hubungannya dengan Penciptanya, dengan kemurnian indra dan
angan-angan, sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh gaib yang
lain.
“Tetapi agaknya ayah Rudita
memiliki ilmu yang lain,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “selain
kemampuannya menembus waktu, agaknya ia mampu berbuat sesuatu. Tetapi ia orang
baik. Dan itulah kelebihannya yang paling berharga.”
Demikianlah, maka pertemuan
yang tiba-tiba itu agaknya telah menegangkan hati. Apalagi Ki Argapati, yang
kakinya masih belum dapat pulih sama sekali, meskipun ia masih tetap seorang
yang memiliki kelebihan dari orang lain.
“Besok aku akan
mengatakannya,” desis Ki Argapati tiba-tiba.
“Tetapi apakah mereka tidak
akan terbangun mendengar kita berbicara di pendapa ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Ternyata mereka tidak juga
keluar.”
“Terserah kepada Ayah.
Sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.”
“Sekarang, beristirahatlah.
Aku akan berbicara dengan orang-orang tua.”
Pandan Wangi dan anak-anak
muda yang lain pun segera meninggalkan pendapa itu. Yang tinggal hanyalah
orang-orang tua yang masih tetap mencari jalan, bagaimana mereka akan berbuat
untuk menyelamatkan Rudita.
Namun dalam pada itu,
sebenarnyalah ayah Rudita sudah terbangun. Sebuah getaran yang dahsyat telah
menggetarkan dadanya. Karena itulah, maka justru ia sedang mencoba mengetahui
apakah maknanya.
Dengan daya penglihatan
batinnya, ayah Rudita ingin mengetahui getaran apakah sebenarnya yang telah
mengguncang jantungnya itu.
Perlahan-lahan ayah Rudita itu
berhasil melihat di dalam isyarat yang gaib, peristiwa yang menimpa anaknya.
Meskipun ia tidak melihat pasti, apakah yang sudah terjadi, tetapi ia melihat,
bahwa anaknya sedang dicengkam oleh bahaya yang mengancam nyawanya.
Ayah Rudita itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Sebagai seorang ayah, ia menjadi sangat cemas. Namun di
dalam penglihatannya, ia masih mempunyai harapan untuk menemukan anaknya,
karena sampai saat itu, anaknya masih dianggapnya selamat.
“Tetapi apakah yang dapat aku
lakukan?” berkata laki-laki itu di dalam hatinya. “Jika ibunya mengetahui, maka
aku akan lebih banyak dicengkam oleh kebingungan, sehingga penglihatanku akan
menjadi kabur. Namun bagaimanapun juga, adalah kuwajibanku untuk menemukannya.”
Tanpa membangunkan istrinya,
laki-laki itu pun bangkit dari pembaringan dan melangkah keluar. Derit pintu
gandok agaknya terdengar dari pendapa, sehingga orang-orang yang ada di pendapa
itu pun berpaling kepadanya.
Terasa dada Ki Argapati
menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang tua Rudita dapat menuntut
pertanggungan jawab Pandan Wangi. Namun agaknya yang terjadi itu adalah di luar
kemampuan anak gadisnya dan kawan-kawannya.
Perlahan-lahan ayah Rudita
mendekati Ki Argapati. Sekilas ia tersenyum. Kemudian ia pun menyapanya, “Ki
Gede masih juga berjaga-jaga di pendapa menjelang fajar?”
Ki Argapati pun masih mencoba
tersenyum dan mempersilahkan laki-laki itu duduk.
Sejenak ia menjadi
termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata dengan suara yang tertahan-tahan,
“Pandan Wangi telah datang dari daerah perburuannya.”
“O,” laki-laki itu
mengangguk-angguk. Dan ia pun mulai merasakan kebenaran getaran isyarat di
dalam dirinya. Jika Pandan Wangi telah datang, dan Rudita tidak besertanya,
maka ia benar-benar telah dicengkam oleh bahaya.
“Tetapi,” suara Ki Argapati
menjadi bertambah dalam, “Rudita tidak datang bersamanya.”
Laki-laki itu menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan ia bertanya, “Di manakah anak itu?”
Ki Argapati pun kemudian
menceriterakan apa yang sudah terjadi atas Rudita, betapapun beratnya.
“Tetapi Pandan Wangi bersedia
untuk mencarinya. Ia akan segera menyiapkan pengawal yang lebih banyak. Dan
sudah barang tentu, kami tidak akan membiarkan anak-anak itu berkeliaran tanpa
pengawasan kami setelah peristiwa ini terjadi.”
Ayah Rudita itu termenung
sejenak. Terbayang di rongga matanya, bagaimanakah terkejut istrinya jika ia
mendengarnya. Namun ia pun sadar, bahwa ia tidak dapat mempersalahkan siapa pun
juga. Yang terjadi adalah seolah-olah sebuah kecelakaan bagi Rudita, dan dalam
persoalan itu, tidak akan dapat menyalahkan orang lain.
“Besok, jika pasukan pengawal
terpilih sudah siap, ia akan segera berangkat. Tetapi kami pun harus
berhati-hati, agar kami tidak terjebak, dan tidak sebagai serangga menjelang
api. Karena sebenarnyalah kami tidak mengetahui, betapa besar pasukan
orang-orang yang tidak kita kenali itu. Kita masih harus memperhitungkan,
apakah Daksina, seorang perwira dari Pajang itu hanya seorang diri di daerah
yang masih buas itu atau ia membawa sepasukan prajurit bawahannya dari Pajang.”
Ayah Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang semuanya harus diperhitungkan.
Dan aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Pandan Wangi mencari anak itu.
Dan apalagi dengan orang-orang yang mendapat kepercayaan Ki Gede.”
“Aku sendiri akan pergi,”
berkata Ki Gede.
“Tetapi……” sahut ayah Rudita.
“Kakiku sudah berangsur
menjadi semakin baik. Meskipun perlahan-lahan sekali, namun semakin lama terasa
kemajuannya, karena aku membiasakan mempergunakannya. Mungkin kakiku tidak
bertambah baik. Tetapi akulah yang menjadi biasa dengan kaki yang cacat ini.”
“Tetapi sebaiknya Ki Argapati
tetap di rumah. Biarlah aku mengikuti anak-anak itu mencari Rudita.”
“Tidak ada salahnya aku ikut.
Aku ingin melihat padepokan orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung.”
“Panembahan Agung,” ayah
Rudita mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Aku
pernah mendengar nama itu. Atau nama yang mirip dengan itu. Seorang yang
menyebut dirinya Panembahan Panjer Bumi. Tetapi mungkin juga orangnya lain.
Panembahan Panjer Bumi adalah seorang yang diliputi rahasia dan berkeliaran di
sebelah utara pegunungan kapur itu.”
“Memang ada banyak orang yang
menyebut dirinya panembahan,” sahut Kiai Gringsing. “Aku juga pernah bertemu
dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tanpa nama.”
Ayah Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia masih diterangi oleh sebuah harapan meskipun samar-samar.
Tetapi sampai kapan harapan itu dapat dipegangnya. Jika saatnya terjadi atas
Rudita, maka harapan itu pun akan segera padam.
“Memang tidak ada jalan lain
kecuali segera mencarinya. Aku tidak kuasa untuk mencegah sesuatu yang mungkin
terjadi atasnya dengan kemampuanku dari rumah ini,” katanya di dalam hati.
“Ki Argapati,” berkata ayah
Rudita kemudian, “aku pun akan mempersiapkan diri. Barangkali sudah sepantasnya
aku, ayahnya, ikut mencarinya. Mungkin ada suatu yang dapat aku lakukan untuk
menyelamatkannya.”
Ki Argapati tidak akan dapat
menolak. Tentu orang tua Rudita itu pun dicengkam oleh kegelisahan. Meskipun ia
memiliki ilmu untuk menembus batas waktu dan tempat, namun ia tidak akan dapat
berbuat sesuatu atas yang terjadi selain menangkap isyaratnya. Dan isyarat yang
gelap akan membuat hatinya menjadi semakin gelap.
“Kadang-kadang beruntung juga
rasanya, bahwa aku tidak mengetahui apa yang terjadi, meskipun hanya sekedar
isyarat yang samar-samar. Dengan demikian usaha, dan ihtiar tidak akan
dilemahkan oleh isyarat-isyarat itu, apalagi apabila kita salah mengurai arti
dari isyarat itu,” berkata Ki Argapat di dalam hatinya, karena ia sadar bahwa
yang terjadi itu akan tetap terjadi, ada atau tidak ada isyarat. “Tetapi,” ia
melanjutkan, “kadang-kadang isyarat memang menjadi pendorong untuk berbuat
sesuatu.”
Dalam pada itu, maka malam pun
menjadi semakin lama semakin tipis. Cahaya kemerah-merahan mulai membayang di
langit. Dan cahaya kemerah-merahan itu adalah isyarat akan datangnya fajar,
disambut oleh kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan.
“Baiklah aku berkemas,”
berkata ayah Rudita, “bukankah kita akan segera berangkat mencari Rudita?”
“Memang semakin cepat semakin
baik. Jejaknya mungkin masih membekas, dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak
kita harapkan barangkali masih dapat dihindarkan,” sahut Ki Argapati. “Jika
fajar menjadi semakin terang, aku akan memerintahkan para pengawal bersiap.
Para pengawal pilihan, karena kita akan menjelang suatu daerah yang belum
pernah kita jajagi.”
Demikianlah, maka ayah Rudita
itu pun kemudian meninggalkan pendapa itu. Ia pun sebenarnya bukan saja
dibingungkan oleh hilangnya Rudita, tetapi juga untuk menemukan cara mengatakan
hal itu kepada istrinya.
Dalam pada itu, selagi Ki
Argapati masih duduk di pendapa bersama Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki
Demang Sangkal Putung, maka Pandan Wangi pun telah berada di dalam biliknya.
Beberapa saat lamanya ia duduk merenung. Kadang-kadang hatinya menjadi kelam.
Bagaimanapun juga ia sangat terpengaruh oleh hilangnya Rudita, seolah-olah segenap
pertanggungan jawab ada di atas pundaknya.
Sementara itu, di gandok yang
lain, Agung Sedayu dan Swandaru duduk bersama Raden Sutawijaya dan Prastawa.
Mereka pun masih juga dibayangi oleh peristiwa yang baru saja terjadi.
“Jika kalian tidak bertemu dengan
kami, maka anak itu tidak akan hilang,” desis Raden Sutawijaya.
“Kita tidak dapat mencari
kesalahan pada diri kita masing-masing, Raden,” sahut Agung Sedayu. “Kita
semuanya bersalah. Yang penting, bagaimana kita akan dapat menemukannya
kembali.”
“Aku mengharap, hari ini
pasukan yang lebih kuat akan datang langsung kemari. Orang-orangku yang membawa
korban kawan-kawannya itu pasti sudah sampai di tlatah Mataram jika mereka
tidak terjebak oleh Daksina. Dan mereka akan mengatakan semuanya kepada Ayahanda
Ki Gede Pemanahan. Dan ayahanda akan mengetahui, apakah yang sebaiknya
dilakukan buat aku dan terlebih-lebih buat Mataram.”
Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa mengangguk-angguk. Sejenak mereka berdiam diri, namun tiba-tiba saja
di luar dugaan Swandaru bertanya, “Tetapi Raden, barangkali pertanyaanku tidak
menyenangkan. Namun karena aku sendiri sedang dipengaruhi oleh suasana yang
serupa, maka agaknya aku ingin bertanya, apakah mungkin ancaman Daksina itu
dapat dilakukannya, karena ia menyebut seorang gadis yang tersangkut di dalam
persoalan antara Mataram dan Pajang?”
“Ah,” desis Raden Sutawijaya
yang tiba-tiba menjadi tersipu-sipu.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi agaknya ia tertarik juga pada pertanyaan Swandaru itu.
Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan Prastawa-lah yang
seakan-akan tanpa disadari pula mendesak, “Ah, agaknya Raden memang sudah
saatnya untuk kawin.”
Wajah Sutawijaya menjadi
semakin merah. Meskipun demikian ia menjawab, “Tidak ada persoalan apa-apa. Agaknya
aku memang sudah terlibat dalam hubungan dengai seorang gadis. Tetapi bukankah
itu wajar? Jika Daksina mencoba memeras dengan ceritanya yang bukan-bukan, itu
sama sekali bukan kebenaran.”
“Tetapi apakah salahnya jika
Raden Sutawijaya memang sebenarnya berhubungan dengan seorang gadis seperti
juga Swandaru sekarang?” sahut Prastawa. “Ia datang untuk melamar Pandan Wangi.
Bukankah itu wajar?”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi menilik sikapnya ada sesuatu yang
sengaja dirahasiakannya. Karena itu maka katanya kemudian, “Sudahlah, kita
berbicara tentang persoalan lain.”
Prastawa tersenyum. Katanya,
“Baiklah, kita berbicara tentang soal lain. Tetapi jika pada saatnya Raden
benar-benar menemukan seorang gadis, maka kami mengharap agar Raden bersedia
menerima kedatangan kami, diundang atau tidak diundang.”
Raden Sutawijaya hanya
tersenyum saja. Tetapi ia kemudian berkata, “Sebaiknya kita berbicara tentang
Rudita. Begitu pasukanku tiba, kita akan berangkat. Pasukan yang aku minta
adalah pasukan pengawal yang terpilih. Tidak hanya sepuluh sampai duapuluh
orang. Tetapi paling sedikit aku harus membawa tigapuluh orang. Kita akan
mengepung sarang gerombolan orang-orang yang telah mengambil Rudita itu. Dan
barangkali di antara mereka terdapat prajurit-prajurit Pajang selain Daksina.”
“Tetapi Raden,” Agung Sedayu
bertanya, “apakah Raden pasti bahwa yang mengambil Rudita itu termasuk golongan
Daksina dan kawan-kawannya. Apakah tidak mungkin ada pihak lain yang
melakukannya dengan tujuan yang tidak ada hubungannya dengan Daksina?”
“Itu memang mungkin terjadi,”
berkata Sutawijaya, “tetapi di dalam keadaan itu, agaknya tentu orang-orang
Daksina yang melakukannya dengan maksud-maksud tertentu.”
Yang mendengarkan keterangan
Sutawijaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun berpendapat, bahwa
yang mengambil Rudita tentu orang-orang di pihak Daksina, meskipun mereka
kadang-kadang juga disentuh oleh pertanyaan, bahwa ada pihak lain yang
mengambil keuntungan.
“Tetapi siapa?” pertanyaan
lain menyusul, dan di susul pula oleh sebuah dugaan, “Barangkali ayah Rudita
mempunyai lawan atau saling bersaing.”
Dalam pada itu, ternyata
perintah Ki Gede Menoreh untuk mengumpulkan para pengawal terpilih telah
berpencar ke segenap padukuhan yang termasuk tlatah Tanah Perdikan Menoreh.
Setiap padukuhan wajib mengirimkan dua atau tiga orang yang paling baik di
antara para pengawal yang ada di padukuhan itu.
Namun ternyata, bahwa para
pengawal yang membawa perintah itu harus menjelaskan, bahwa yang diperlukan
hanya dua atau tiga orang. Bukan sepuluh orang.
Beberapa orang pengawal
menjadi kecewa, bahwa mereka tidak mendapat kesempatan kali itu. Namun mereka
harus tunduk kepada setiap pemimpin kelompok yang menunjuk orang-orang terbaik
di lingkungan mereka.
“Ada persoalan yang cukup
gawat,” berkata utusan Ki Gede Menoreh itu kepada para pengawal. “Seorang tamu
Ki Gede ternyata telah hilang. Kita bersama-sama wajib mencarinya.”
Para pengawal
mengangguk-angguk.
“Selain yang pergi bersama
kami, maka yang tinggal pun harus bersiaga di padukuhan masing-masing. Jika
kalian melihat orang-orang yang mencurigakan, apalagi membawa tamu Ki Gede itu,
kalian harus cepat bertindak. Mungkin orang yang membawa tamu itu seorang yang
sakti. Tetapi jika kalian sempat membunyikan isyarat, maka pengawal dari
padukuhan di sekitar kalian akan datang. Betapa saktinya seseorang, tetapi
kemampuannya pasti terbatas. Jika jumlah kita cukup banyak, maka mereka pun
tentu akan dapat kita kuasai.”
Demikianlah, maka para
pengawal itu pun mulai berkumpul di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.
Pada saat di halaman mulai
berdatangan beberapa orang pengawal, maka ibu Rudita menangis di dalam
biliknya. Anaknya yang sangat dikasihinya itu tiba-tiba telah hilang.
“Apakah sengaja, Pandan Wangi
dan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu meninggalkan Rudita di hutan?” desis
ibu Rudita di antara isaknya.
“Tentu tidak. Yang datang
malam tadi bukan saja Pandan Wangi dan anak-anak muda Sangkal Putung itu,
tetapi juga Raden Sutawijaya, putra angkat Sultan Pajang, yang sebenarnya
adalah anak laki-laki Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi nampaknya anak-anak
Sangkal Putung itu iri melihat kehadiran Rudita di sini. Apalagi anak yang
datang untuk melamar Pandan Wangi. Mungkin anak itu sudah dibakar oleh perasaan
cemburu.”
Tetapi suaminya menggelengkan
kepalanya, “Tentu tidak. Yang terjadi adalah sebuah kecelakaan.”
“Kau yakin?”
Laki-laki itu menganggukkan
kepalanya. Meskipun ia tidak dapat melihat sampai ke soal yang sekecil-kecilnya
di dalam pandangan indra gaibnya, namun untuk meyakinkan istrinya ia berkata,
“Ya. Aku dapat membedakan getar di dalam diriku. Sebenarnyalah aku sudah
merasa, bahwa sesuatu terjadi atas Rudita. Dan aku merasa, bahwa yang terjadi
adalah suatu kecelakaan.”
Istrinya tidak membantah lagi.
Ia percaya kepada suaminya, bahwa ia memiliki kemampuan melihat. Namun
demikian, sebenarnya ada kecurigaan juga padanya, bahwa suaminya tidak berkata
sebenarnya seperti yang dilihatnya. Tetapi ibu Rudita itu tidak mendesaknya
lagi.
Sementara itu, halaman rumah
Ki Gede Menoreh semakin lama menjadi semakin sibuk. Para pengawal terpilih dari
beberapa padukuhan telah datang dengan perlengkapan perang menurut kebiasaan
masing-masing. Ada yang membawa tombak pendek, pedang, perisai dan ada pula yang
membawa bindi bergerigi.
Sutawijaya dan anak-anak muda
dari Sangkal Putung menyaksikan kesibukan itu dari serambi gandok. Sementara
itu Prastawa telah sibuk menyiapkan semua kelengkapan yang diperlukan untuk
melakukan perburuan yang lebih besar itu.
“Ki Demang,” berkata Ki
Argapati kepada Ki Demang Sangkal Putung, “aku minta maaf, bahwa pembicaraan
kita terpaksa diselingi dengan persiapan perang seperti ini. Aku terpaksa minta
diri beberapa saat untuk menemukan tamu yang hilang itu. Jika tidak, maka akan
dapat terjadi salah paham antara aku dan orang tua Rudita, terutama ibunya yang
sangat mengasihinya. Biarlah Ki Demang tinggal di sini beberapa saat lamanya.
Aku mengharap, bahwa kami tidak memerlukan waktu terlampau lama.”
“Tetapi menurut pendengaranku,
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar akan ikut serta dengan pasukan pengawal ini.”
“Ya. Mereka akan pergi bersama
kami, juga ayah Rudita akan pergi.”
“Anakku pun akan pergi. Karena
itu, biarlah aku pergi juga.”
“Sebaiknya Ki Demang tetap
tinggal di sini.”
“Biarlah aku pergi. Aku ingin
melihat apa yang akan terjadi. Apalagi Swandaru pun akan ikut pula bersama
Angger Pandan Wangi.”
“Ya. Pandan Wangi merasa
bertanggung jawab.”
“Raden Sutawijaya merasa
bertanggung jawab pula.”
“Ya. Kami akan pergi bersama-sama,”
Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “aku masih mengharap Ki Demang tinggal di rumah
ini.”
“Terima kasih Ki Gede. Tetapi
aku mohon diijinkan ikut serta.”
Gede menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegahnya lagi.
Demikianlah, persiapan itu
menjadi semakin lengkap. Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian memanggil Raden
Sutawijaya ke pendapa bersama tamu-tamunya. Termasuk ayah Rudita. “Kita sudah
bersiaga,” berkata Ki Argapati, “kita akan segera berangkat mencari Rudita.
Ternyata semuanya kita akan berangkat. Memang sebenarnya kita mengharap, bahwa
ada yang tinggal. Ada yang mengharap aku tinggal, tetapi aku sendiri mengharap
Ki Demang yang tinggal, yang lain mengharap orang lain lagi. Namun agaknya kita
bersama-sama ingin mencari Rudita. Bagi Raden Sutawijaya dan bagi Menoreh,
tentu ada juga alasan-alasan lain. Bukan saja mencari Rudita, tetapi ada
sangkut pautnya juga dengan keamanan bagi Mataram dan Menoreh untuk
selanjutnya.”
“Apakah kita akan segera
berangkat?” bertanya Raden Sutawijaya.
“Ya. Kita sudah siap. Aku akan
memberikan beberapa petunjuk. Dan aku akan minta seseorang yang aku anggap
sudah mengenal daerah di sekitar tempat kejadian itu untuk memberikan beberapa
keterangan mengenai daerah yang masih dapat kita anggap asing itu.”
“Tetapi aku berharap agar
keberangkatan ini dapat ditunda beberapa saat saja.”
“Kenapa?” tiba-tiba ayah
Rudita memotong.
“Aku sudah mengirimkan
orang-orangku kembali ke Mataram dengan pesan, agar Ayahanda Ki Gede Pemanahan
memerintahkan beberapa puluh pengawal terpilih untuk mengikuti aku pergi ke
sarang Daksina dan orang-orangnya. Kita tidak tahu, apakah di sana ada
sepasukan prajurit Pajang yang berpihak kepada Daksina. Karena itu, maka kita
harus berhati-hati. Pasukan kita harus pasukan yang kuat. Jika kita terpaksa
menghadapi kekuatan yang besar. Kecuali jika kita sempat mengirimkan seseorang
atau dua untuk menyelidiki daerah itu terlebih dahulu.”
“Tetapi itu akan memakan waktu
Raden,” berkata ayah Rudita.
“Maksudmu, apakah kita tidak
dapat menunggu pasukan pengawal dari Mataram?”
Ayah Rudita menjadi
termangu-mangu, demikian juga Ki Gede Menoreh. Karena itu, maka untuk beberapa
saat mereka tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Ki Gede,” berkata Sutawijaya,
“menilik kelengkapan orang-orang yang di bawa oleh Daksina, ada suatu kelompok
yang teratur di bawah satu perintah. Menurut dugaanku, Daksina bukan orang
tertinggi. Baik di dalam lingkungan orang-orang bersenjata itu, maupun perwira
Pajang yang sengaja ingin melihat Pajang menjadi semakin lemah dan apabila
mungkin hancur bersama Mataram. Karena itu, kita harus memperhitungkan kekuatan
mereka baik-baik, agar bukan kitalah yang bagaikan serangga masuk ke dalam
api.”
Ki Gede Menoreh menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh Sutawijaya. Dan ia pun sudah
berpikir seperti itu, Namun Ki Gede Menoreh dipengaruhi oleh tanggung jawabnya
atas hilangnya Rudita, sehingga karena itu, maka ia menjawab, “Kami tidak
berkeberatan menunggu pasukan pengawal dari Mataram. Semakin kuat kita, itu semakin
baik. Tetapi kita tidak boleh terlambat, sebab yang ingin kita selamatkan
adalah nyawa seseorang.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpikir, lalu katanya, “Ki Gede,
bagaimana jika kita membagi pasukan. Bagaimana jika Ki Gede berangkat dahulu.
Dengan demikian, maka apabila ada kesempatan Ki Gede dapat segera bertindak,
Tetapi jika keadaan tidak memungkinkan Ki Gede dapat menunggu kedatanganku
bersama pasukanku. Aku berharap, bahwa hari ini mereka akan sampai. Mereka akan
menuju ke induk tanah perdikan ini dengan tanda-tanda damai dari Mataram, agar
tidak menimbulkan salah paham dengan para pengawal Menoreh, apabila mereka
belum sempat mendengar berita tentang kedatangan pasukan pengawal dari Mataram
itu, yang sebenarnya aku harap pagi ini dapat diberitahukan kepada pengawal di
sepanjang Kali Praga.”
Pendapat Sutawijaya itu
agaknya merupakan jalan tengah yang baik. Sejenak Ki Gede Menoreh memandang
ayah Rudita yang kecemasan.
“Ki Gede,” berkata ayah
Rudita, “pendapat Raden Sutawijaya itu adalah pendapat yang baik. Kita
berangkat lebih dahulu. Sementara itu kita berjanji untuk bertemu di tempat
yang kita tentukan.”
Ki Argapati ternyata
sependapat. Katanya, “Baiklah. Kami akan berangkat lebih dahulu Raden. Kami
akan mencoba mendekati tempat yang pernah Raden kunjungi bersama Pandan Wangi
itu. Namun kami pun tidak akan dapat sampai sebelum kami mengirimkan satu dua
orang untuk mengamati keadaan. Tetapi sementara itu, kami sudah berada di dekat
tempat itu.”
“Baiklah. Biarlah kami segera
menyusul,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “tetapi jika diperkenankan,
biarlah Agung Sedayu dan Swandaru pergi bersamaku, sementara Pandan Wangi dan
Prastawa akan dapat menjadi penunjuk jalan bagi Ki Gede.”
Ki Gede Menoreh memandang kedua
anak-anak muda Sangkal Putung itu sejenak, kemudian dipandanginya Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung.
“Biarlah ia pergi bersama
Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi untuk melepaskan anak-anak
itu pergi tanpa pengawasan agaknya meragukan juga. Karena itu, kita yang
tua-tua pun sebaiknya membagi tugas. Biarlah Adi Sumangkar pergi bersama Ki
Gede, sedang aku dan Ki Demang akan menyusul bersama Raden Sutawijaya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sadar, bahwa yang akan mereka amati
bukannya sekedar orang kebanyakan.
Dengan demikian maka mereka
pun bersepakat untuk membagi pasukan mereka menjadi dua kelompok. Pasukan
Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya akan berangkat kemudian, bersama dengan
Agung Sedayu dan Swandaru disertai oleh Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal
Putung yang tidak sampai hati melepaskan Swandaru pergi, meskipun sebenarnya
bahaya yang akan dihadapi akan menjadi lebih besar bagi Ki Demang daripada
Swandaru sendiri apabila mereka benar-benar berhasil, menemukan sarang orang
yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu.
Dalam pada itu kelompok yang
lain, yang terdiri dari pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh mendahului di
bawah pimpinan Ki Argapati sendiri yang kakinya masih belum pulih sama sekali.
Dalam kelompok itu akan berangkat pula ayah Rudita, Ki Sumangkar dan Pandan
Wangi serta Prastawa.
“Nah,” berkata Ki Argapati,
“kita membagi kerja. Kita akan bertemu di kaki bukit padas itu. Kita sudah
menentukan isyarat yang harus kita ketahui jika kita terlibat dalam
pertentangan di malam hari.”
“Ya, Ki Gede. Kami akan segera
menyusul demikian pasukan Raden Sutawijaya datang,” sahut Kiai Gringsing.
“Sebenarnyalah bahwa kita harus berhati-hati. Selama ini aku sudah menjumpai
beberapa orang yang pilih tanding. Pada masa Mataram dibayangi oleh
hantu-hantuan, maka kami mengenal orang-orang yang bernama Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak. Kemudian kami mengenal orang-orang yang luar biasa menyerang
para perwira Pajang di Jati Anom. Dan di perjalanan ke Menoreh kami bertemu
dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama. Bahkan mungkin
masih ada nama-nama lain yang berada di sudut yang lain dari Mataram dan
Pajang, itulah sebabnya, maka tidak mustahil bahwa di dalam sarang mereka
terdapat orang-orang semacam itu, ditambah dengan perwira-perwira Pajang yang
mungkin terlibat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ternyata persiapan mereka cukup lama.
Tetapi sayang, bahwa mereka tidak dapat menyalurkan kemampuan sekian banyak
orang untuk tujuan yang lebih baik dari pamrih pribadi.”
“Ya. Dan untunglah, bahwa
mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan mereka dalam saat yang tepat, atau
barangkali mereka salah menilai lawan-lawannya, sehingga seorang demi seorang
pemimpin-pemimpin mereka yang mumpuni itu terbunuh,” jawab Kiai Graigsing.
“Namun mungkin juga ada pertentangan yang terpendam di antara mereka sendiri,
sehingga kadang-kadang yang segolongan sengaja membiarkan golongan yang lain
menjadi semakin lemah.”
“Kita masih diliputi oleh
teka-teki. Baiklah, kita sekarang berpisah. Agaknya pasukan Menoreh telah
benar-benar siap untuk berangkat.”
“Ki Gede,” potong Raden
Sutawijaya, “aku berharap agar Ki Gede memberitahukan para pengawas, bahwa
pasukan Mataram akan datang.”
“Baiklah, Raden. Pada saat
kita berangkat, maka akan aku memerintahkan dua orang pengawal untuk
menghubungi para pengawas.”
“Terima kasih, Ki Gede,” sahut
Sutawijaya, “dengan demikian, maka agaknya kita sudah dapat melakukan tugas
kita masing-masing sesuai dengan perjanjian.”
Demikianlah, maka Ki Gede
memeriksa para pengawal itu untuk terakhir kalinya. Kemudian dipesankannya
kepada para pengawal yang tinggal untuk mengawasi keadaan sebaik-baiknya.
Mereka mendapat gambaran ke mana Ki Argapati akan pergi. Jika terjadi sesuatu
di Tanah Perdikan itu, maka mereka akan dapat segera menghubungi Ki Argapati.
Di beberapa tempat, Ki Gede akan memberikan isyarat dan tanda-tanda bagi
orang-orang yang akan mencarinya. Sebaliknya, jika Ki Gede Menoreh memerlukan, maka
pasukan cadangan harus sudah siap. Dalam keadaan mendesak, Ki Argapati akan
mengirimkan penghubung berkuda, dan pasukan cadangan itu harus menyusul.
Sebagian dari mereka adalah pasukan berkuda yang harus mencapai sasaran lebih
cepat, sementara yang lain menyusul.
Ketika semuanya sudah siap,
maka pasukan pengawal Menoreh itu mulai berangkat. Sesaat Ki Gede berpaling ke
gandok. Dilihatnya ibu Rudita menangis tersedu-sedu berdiri di muka pintu
memandang suaminya dengan sepenuh harap.
“Aku akan membawanya kembali,”
berkata ayah Rudita yang sudah siap untuk berangkat.
Istrinya hanya menganggukkan
kepalanya saja.
“Berdoalah. Semua peristiwa
yang terjadi tergatung kepada keputusan Yang Maha Kuasa. Kini aku sedang
berusaha sebagai suatu kenyataan permohonanku dan permohonanmu. Mudah-mudahan
dikabulkan.”
Sekali lagi istrinya
mengangguk.
KI Gede Menoreh menarik nafas
dalam-dalam, sedang Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia mengerti, betapa
sedihnya hati perempuan itu.
Demikianlah, setelah semua
perjanjian dan pesan dianggapnya sudah cukup, berangkatlah pasukan pengawal
terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mendapat keterangan dari
orang-orang yang dianggap mengerti tentang daerah yang akan mereka datangi,
ditambah dengan keterangan Prastawa dan Pandan Wangi.
Bersamaan dengan itu, maka dua
orang pengawal berkuda telah pergi ke perbatasan di pinggir Kali Praga untuk
memberitahukan, bahwa pasukan Mataram akan datang. Tetapi sama sekali tidak
akan mengganggu Tanah Perdikan Menoreh, sebab mereka berniat untuk menemukan
sarang orang-orang bersenjata yang sering mengganggu perkembangan Mataram
dengan segala macam cara.
Sementara itu, Kiai Gringsing,
kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan Raden Sutawijaya masih berada di
induk Tanah Perdikan Menoreh. Ketika matahari memanjat semakin tinggi mereka
menjadi gelisah, karena pasukan Mataram masih belum datang.
Tetapi mereka pun sadar, bahwa
perjalanan dari Mataram ke Tanah Perdikan Menoreh memang memerlukan waktu.
Seandainya orang-orang yang mengikuti Raden Sutawijaya itu selamat sampai ke
Mataram dan menghadap Ayahanda Ki Gede Pemanahan, maka tentu diperlukan waktu
untuk menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Pasukan yang terlatih baik untuk
menghadapi segala macam medan. Menghadapi perang, dan menghadapi keragu-raguan
rakyat di sepanjang daerah yang sedang dibuka.
Sementara itu, maka kedatangan
para pengawal Mataram tanpa Raden Sutawujaya memang mengejutkan sekali. Apalagi
mereka membawa beberapa sosok mayat dan orang-orang yang terluka.
Keterangan yang diberikan oleh
para pengawal yang kembali ke Mataram telah menimbulkan kecemasan di hati Ki
Gede Pemanahan. Ia sadar, bahwa yang dihadapi Sutawijaya tentu sekelompok
orang-orang yang pilih tanding, sehingga dengan demikian maka wajarlah, apabila
Sutawijaya memerlukan sepasukan pengawal yang kuat.
Sementara Ki Gede Pemanahan
memerintahkan menyiapkan sepasukan pengawal yang kuat, maka ia sendiri telah
dicengkam oleh kebimbangan yang tajam. Sebagai seorang ayah dan sebagai seorang
pemimpin ia tidak akan dapat membiarkan Sutawijaya pergi sendiri. Tetapi untuk
meninggalkan Mataram yang sedang berkembang dan sedang digoncang oleh berbagai
macam keadaan itu. Ki Gede pun tidak sampai hati pula. Ada banyak persoalan
yang dapat tumbuh dengan tiba-tiba di Mataram. Sikap Pajang yang meragukan dan
mungkin justru goncangan dari dalam. Jika orang yang dengan sengaja ingin
mengurungkan berdirinya Mataram, melihat bahwa Mataram sedang kosong, maka ada
saja yang dapat terjadi. Apalagi pasukan-pasukan terpercaya juga sedang berada
di luar.
Dalam kebimbangan itulah Ki
Gede Pemanahan memerlukan berbicara dengan seorang tua yang selalu dekat dengan
dirinya. Orang tua yang sangat bijaksana dan mempunyai berbagai macam ilmu yang
mapan di dalam olah kajiwan dan kanuragan, yang kebetulan berada di Mataram.
“Ki Juru Martani, persoalan
ini sangat meragukan. Aku ingin pergi, tetapi aku juga ingin tetap menunggui
Mataram,” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Siapa saja yang telah pergi?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
Sutawijaya memerlukan sepasukan prajurit terkuat. Di daerah Tanah Perdikan
Menoreh ia bertemu dengan Daksina, yang ternyata telah berkhianat terhadap
Pajang dan menghendaki Pajang dan Mataram hancur bersama-sama.”
“Daksina,” ulang Ki Juru
Martani, “sikapnya memang tidak meyakinkan. Tetapi siapa saja yang ada di pihak
Sutawijaya selain para pengawal Mataram? Apakah ia bekerja bersama dengan
orang-orang Menoreh?”
“Hampir secara kebetulan.
Bahkan hampir saja terjadi salah paham. Untunglah, bahwa akhirnya mereka
bekerja bersama dengan baik. Namun ternyata bahwa menurut perhitungan
Sutawijaya, ia tidak akan mampu memasuki daerah orang-orang bersenjata itu
tanpa kekuatan yang lebih besar. Ia masih menyangsikan, apakah Daksina itu
tidak dibayangi oleh kekuatan yang jauh lebih besar lagi.”
“Apakah ia bertemu dengan Ki
Gede Menoreh?”
“Waktu itu belum. Tetapi ia
akan menemuinya. Yang ikut bersama Sutawijaya waktu itu adalah anak gadisnya.
Pandan Wangi. Anak gadis yang aneh, yang mempunyai kemampuan seperti seorang
anak muda yang terlatih baik. Di samping itu di antara mereka terdapat
anak-anak muda bercambuk.”
“Siapakah mereka?”
“Murid dari seseorang yang
menyebutnya Kiai Gringsing.”
“Nama itu memang pernah aku
dengar. Apakah kau pernah bertemu dengan orang itu?”
“Ia selalu menghindar. Sejak
kekalahan Tohpati ia sudah berada di antara pasukan Pajang pada waktu itu. Aku
sendiri datang mengambil sisa-sisa pasukan Jipang yang menyerah. Tetapi orang
itu tidak aku jumpai. Mungkin kita bertemu selintas, tetapi tidak dalam waktu
yang cukup untuk mengenalnya.”
“Apakah ada sesuatu yang
dirahasiakannya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
Sutawijaya juga tidak percaya bahwa, Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu
Metir itu benar-benar hanya seorang dukun padesan. Ia memiliki ilmu yang hampir
sempurna.”
“Itu bukan pertanda.”
“Ya. Memang ada juga
orang-orang yang hidup terpencil tetapi memiliki kemampuan keprajuritan yang
tinggi. Tetapi ada alasan Sutawijaya untuk menganggapnya bahwa ia bukan orang
kebanyakan.”
“Apakah orang itu ada di
Menoreh?”
“Ya. Dan murid-muridnya sudah
terlibat.”
“Jika demikian, kau dapat
percaya kepadanya untuk sementara. Biarlah ia ikut pergi. Setidak-tidaknya ia
akan mengamat-amati muridnya.”
“Sudah berulang kali ia
berbuat sesuatu untuk kepentingan Mataram,” berkata Ki Gede Pemanahan. Kemudian
diceriterakannya apa yang didengarnya dari laporan-laporan yang diterimanya
tentang orang bercambuk itu.
“Jika demikian, kau tidak usah
cemas lagi. Menurut perhitunganku, Ki Argapati dan Kiai Gringsing itu tentu
akan melibatkan dirinya jika lawan anak-anak itu terlampau kuat. Bukan berarti
kau dapat melepaskan tanggung jawabmu atas anakmu, tetapi Mataram memang tidak
dapat kau tinggalkan. Untuk mengimbanginya, kau harus mengirimkan sepasukan
prajurit yang benar-benar kuat. Jika orang-orang itu tidak ada di antara
pasukan pengawal Mataram nanti, maka pasukan itu sendiri dapat dipercaya untuk
menyelesaikan masalahnya, setidak-tidaknya melindungi diri sendiri.
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Ki Juru Martani itu
sebenarnya memang sudah dipikirkannya. Namun dengan demikian, ia menjadi
semakin yakin, bahwa ia memang harus tetap berada di Mataram. Bahayanya sangat
besar bagi daerah yang sedang tumbuh ini apabila ia pergi meninggalkannya dalam
keadaan yang belum mantap itu.
Demikianlah, maka Ki Gede
Pemanahan pun segera mengirimkan sepasukan pengawal yang paling kuat. Agar
mereka segera sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan memerintahkan agar
mereka pergi berkuda. Ki Gede juga mendengar laporan, bahwa di antara anak-anak
muda dari Tanah Perdikan Menoreh ada yang telah hilang. Dan hilangnya Rudita
itu memberikan gambaran kepada Ki Gede Pemanahan, bahwa lawan yang dihadapi
memang bukan lawan yang ringan.
Di antara perwira yang pergi
di dalam pasukan itu adalah Ki Lurah Branjangan. Ia adalah perwira yang
berpengalaman. Dan Ki Lurah Branjangan telah mengenal dengan baik perwira
Pajang yang berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh dan bernama Daksina itu. Di
samping Ki Lurah Branjangan, Ki Gede Pemanahan juga mengirimkan
pengawal-pengawal kepercayaannya.
“Jagalah anak itu baik-baik,”
pesan Ki Gede Pemanahan kepada Ki Lurah Branjangan dan kawan-kawannya, “kalian
akan masuk ke dalam sarang harimau. Dan kalian tidak tahu, ada berapa ekor
harimau yang ada di dalam sarang itu. Aku berharap bahwa orang bercambuk itu
dapat di bawa bekerja bersama. Setidak-tidaknya tidak menghalangi kalian.”
“Aku percaya kepadanya, Ki
Gede,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Aku pernah melihat pengabdiannya di Jati
Anom. Benar-benar tanpa pamrih.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hati-hatiah. Kalian merupakan pasukan
berkuda terkuat yang pernah disusun oleh Mataram yang muda ini.”
“Mudah-mudahan Mataram tetap
tidak goyah sepeninggal pasukan terkuat ini jika terjali sesuatu, Ki Gede.”
“Tentu tidak. Aku sudah
mengatur keseimbangan kekuatan yang kita miliki.”
Demikianlah, maka pasukan
berkuda itu pun segera berangkat meninggalkan Mataram. Mereka menyusur jalan
yang langsung menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang tukang perahu
terkejut melihat pasukan itu. Bahkan ada yang menduga, bahwa terjadi
perselisihan antara Mataram dan Menoreh.
“Tentu tidak. Pasukan itu
terlalu kecil untuk mengatasi perselisihan dengan Menoreh,” berkata salah
seorang tukang perahu itu. “Pasukan ini hanya terdiri oleh kira-kira tigapuluh
atau tigapuluh lima orang.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti, bahwa pasukan itu memang
terlalu kecil jika benar-benar terjadi perselisihan dengan Menoreh yang lebih
tua dan cukup kuat itu.
Dengan beberapa buah perahu,
maka pasukan pengawal itu menyeberangi sungai beserta kuda-kuda mereka. Di
sebelah Barat Kali Praga, maka pasukan itu pun segera menyusun diri dan
meneruskan perjalanan.
Namun, mereka terhenti ketika
mereka bertemu dengan empat orang pengawal berkuda dari Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Lurah Branjangan yang memimpin pasukan kecil itu pun segera menemui para
pengawal dari Menoreh itu.
Tetapi sebelum Ki Lurah
Branjangan bertanya sesuatu, salah seorang pengawal itu berkata, “Kami sudah
menerima perintah untuk menerima pasukan pengawal dari Mataram. Kami
persilahkan pasukan ini lewat. Raden Sutawijaya sudah terlalu lama menunggu.”
“Terima kasih, Ki Sanak,”
jawab Ki Lurah Branjangan.
Demikianlah, maka pasukan
berkuda itu pun segera berpacu menuju ke induk Tanah Perdikan. Di sepanjang
jalan, derap kaki kuda itu menghambur-hamburkan debu di atas jalan
berbatu-batu. Namun demikian, orang-orang Menoreh sudah banyak yang mendengar
akan kedatangan pasukan pengawal dari Mataram dalam usahanya untuk
menenteramkan Tanah yang sedang tumbuh itu dan bekerja bersama dengan Ki
Argapati.
“Selain usaha itu tidak
merugikan Menoreh, dan bahkan menguntungkan, Ki Argapati sudah dipaksa oleh
hilangnya Rudita,” berkata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh kepada
kawan-kawannya.
Kawan-kawannya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sependapat, bahwa orang-orang
bersenjata yang berkeliaran itu memang harus dipagari. Jika mereka gagal
mengganggu Mataram, maka mereka akan menjadi segerombol orang-orang bersenjata
yang berbuat tanpa tujuan. Dan itu akan menjadi sangat berbahaya bagi Tanah
Perdikan Menoreh. Selama ini gerakan gerombolan itu lebih di arahkan untuk
menghancurkan Mataram. Tetapi arah itu dapat berkembang, bahkan juga dapat
berkisar dari arah semula.
Dalam pada itu, pasukan
pengawal berkuda itu pun menjadi semakin lama semakin dekat dengan induk Tanah
Perdikan Menoreh. Dan mereka pun sadar, bahwa Raden Sutawijaya sedang menunggu
dengan gelisah.
Sebenarnyalah, bahwa
Sutawijaya sudah menjadi sangat gelisah. Bukan saja karena matahari sudah
sampai ke puncak langit, tetapi ia juga menjadi cemas, bahwa orang-orangnya
yang kembali ke Mataram itu tidak akan pernah mencapai tujuannya. Karena itu
maka dalam kegelisahannya ia berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Jika
perlu aku akan menjemput pasukan itu ke Mataram. Aku akan pergi dari Mataram
langsung ke tempat itu, ke tempat yang sudah kita janjikan dengan Ki Gede
Menoreh. Aku harus bertindak lebih cepat daripada menunggu saja.”
“Tetapi bagaimana jika kita
berselisih jalan.”
Sutawijaya menarik nafas.
Memang kemungkinan itu dapat saja terjadi. Dengan demikian, maka waktunya akan
menjadi semakin panjang.
Tetapi jika ia menunggu saia,
dan pasukan itu tidak kunjung datang, maka ia pun akan banyak sekali kehilangan
waktu.
Namun demikian, menurut
perhitungan Kiai Gringsing, pasukan pengawal yang dipimpin oleh Ki Argapati
sendiri cukup kuat untuk mempertahankan diri apabila mereka bertemu dengan
pasukan lawan di perjalanan. Tetapi untuk menembus masuk ke daerah yang kurang
dikenal itu, mereka pasti memerlukan pasukan Mataram yang kuat sekali. Karena
daerah itu hampir masih belum dikenal sama sekali.
Tetapi ternyata bahwa Raden
Sutawijaya tidak usah menjadi semakin gelisah, karena sejenak kemudian dua
orang Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melaporkan, bahwa mereka sudah melihat
pasukan Mataram datang.
“Bagus,” desis Raden
Sutawijaya, “kita akan segera berangkat.”
“Biarlah mereka beristirahat
dahulu,” berkata Kii Gringsing. “Mereka baru saja menempuh perjalanan yang
jauh.”
“Mereka berkuda,” sahut
pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melihat kehadiran para pengawal dari
Mataram itu.
“Tetapi mereka tentu lelah dan
haus. Biarlah mereka beristirahat sebentar untuk makan dan minum. Kita akan
segera menyusul pasukan pengawal Tanah Perdikan ini.”
Demikianlah maka pasukan
Pengawal Tanah Perdikan itu pun kemudian menyongsong pasukan berkuda yang baru
datang. Mereka dibawa langsung ke rumah Ki Gede Menoreh yang ditunggui oleh
bebeapa orang kepercayaan Ki Gede, karena Ki Gede sendiri justru sudah
berangkat mendahului.
Seperti yang dikatakan Kiai
Gringsing, maka mereka masih sempat untuk minum seteguk air dan makan sepotong
makanan. Kemudian mereka sudah harus berkemas lagi.
“Sesudah kuda-kuda itu
beristirahat sejenak, minum dan makan pula, kita akan berangkat,” berkata
Sutawijaya. “Kita harus menyusul pasukan Ki Argapati yang sudah lebih dahulu
berangkat. Secepat mungkin.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Kiai Gringsing sambil tersenyum.
Katanya kemudian, “Baiklah, Raden. Kita akan berangkat. Apakah Kiai Gringsing
itu juga akan ikut serta?”
“Ya. Kiai Gringsing dan kedua
muridnya. Bahkan dengan Ki Demang Sangkal Putung pula.”
Ki Lurah Branjangan masih saja
mengangguk-angguk. Katanya pula, “Setiap kali Kiai Gringsing tentu ada di
antara kami. Wanakerti pernah berceritera tentang Kiai, dan di Jati Anom aku
menyaksikan sendiri. Kemudian laporan dari para petugas tentang orang yang
menyebut dirinya panembahan tanpa nama. Dan sekarang Kiai berada di antara kami
pula.”
“Dan yang telah mendahului
kita adalah Ki Gede Menoreh, putrinya Pandan Wangi, ayah dari anak yang hilang
itu dan Ki Sumangkar.”
“O,” desis Ki Lurah
Branjangan, “jadi Ki Sumangkar pergi juga?”
“Ya.”
“Sebenarnya kita sudah cukup
lengkap. Mudah-mudahan Daksina tidak menyimpan sederetan nama orang-orang yang
memiliki kemampuan seperti pemimpin-pemimpin di golongan mereka yang pernah
dikalahkan oleh Kiai Gringsing.”
“Mudah-mudahan,” berkata Raden
Sutawijaya, “meskipun seandainya demikian, kita akan berusaha melakukan tugas
kita sebaik-baiknya.”
Dalam pada itu, maka beberapa
orang yang memberikan, makan dan air kepada kuda-kuda itu pun telah selesai
pula. Sejenak mereka masih menunggu. Kemudian Raden Sutawijaya pun berkata,
“Aku kira kita tidak akan dapat berbuat banyak hari ini. Jika kita sampai di
tempat tujuan, maka hari tentu sudah gelap. Apalagi kita masih mencari hubungan
dan beberapa keterangan tentang daerah yang masih belum kita kenal itu.”
“Seakan-akan kita akan
meloncat ke dalam gelap,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Tepat. Dan kita tidak tahu,
apakah yang ada di balik kegelapan itu. Kengerian atau kegelapan yang pekat
tanpa batas.”
“Atau kita akan mendapatkan
apa yang kita cari.”
“Ada seribu kemungkinan.
Tetapi kita harus menempuhnya.”
Demikianlah, maka selelah
semuanya siap, maka Raden Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang
diserahi pimpinan atas Tanah Perdikan Menoreh selama Ki Argapati tidak ada di tempat.
Demikian juga Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Demang Sangkal Putung.
Kiai Gringsing masih sempat memperingatkan pesan-pesan yang diberikan oleh Ki
Argapati. Pasukan pengawal cadangan harus selalu siap. Lebih-lebih pasukan
berkuda yang meskipun jumlahnya tidak banyak, namun akan dapat membantu dengan
cepat. Sedangkan apabila ada kesulitan, sebaiknya segera mencari hubungan
dengan Ki Argapati di tempat-tempat yang sudah ditentukan atau tanda-tanda yang
diketemukan.
Meskipun mereka sadar, bahwa
hari itu mereka tidak akan dapat segera bertindak langsung, namun mereka pun
berangkat juga, karena mereka mengerti bahwa Ki Gede Menoreh dan ayah Rudita
tentu sudah menunggu. Apalagi apabila mereka sudah diketahui oleh beberapa
orang pengawas yang dipasang oleh Daksina, karena Daksina pun pasti mempunyai
perhitungan, bahwa akan datang beberapa orang yang akan mencarinya. Dan pasukan
yang akan datang itu tentu lebih kuat dari pasukan Sutawijaya.
Sutawijaya yang ada di paling
depan dari pasukan pegawalnya, sekali-sekali memandang langit yang menjadi
kemerah-merahan. Awan yang putih keabu-abuan bergumpal di ujung cakrawala.
Hampir tidak ada seorang pun
yang saling berbicara di dalam iring-iringan itu. Seakan-akan semuanya sedang
dicengkam oleh angan-angan, tentang apakah kira-kira yang akan mereka jumpai di
perjalanan.
Kiai Gringsing pun agaknya
segan untuk mulai berbicara. Ia duduk sambil menunduk di atas punggung kudanya,
sedang Agung Sedayu dan Swandaru hanya kadang-kadang saling berpandangan.
Berbeda dengan mereka, maka
agaknya di dalam kegelisahannya, Ki Demang sempat memperhatikan air yang
mengalir di parit-parit yang membujur lurus membelah tanah persawahan. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata di dalam hatinya, “Menoreh memang
maju di bidang pertanian. Parit-parit mengalir deras dan tersalur ke segenap
bagian bulak yang luas itu. Tidak terlalu banyak pematang yang silang
menyilang, dan cara bertanam padi yang cermat.”
Tetapi Ki Demang tidak dapat
memperhatikan sawah itu terlampau lama. Setiap kali dadanya berdesir jika
teringat olehnya, bahwa perjalanan itu akan menuju ke tempat yang tidak menentu
untuk menyelamatkan Rudita.
“Ada seribu kemungkinan dapat
terjadi,” katanya di dalam hati, “dan ada seribu kemungkinan pula yang dapat
terjadi atas Swandaru dan Pandan Wangi.”
Tetapi Ki Demang berusaha
untuk menyembunyikan kesan itu, sehingga karena itu, ia pun duduk saja sambil
berdiam diri di atas kudanya.
Iring-iringan itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat. Tetapi langit pun menjadi semakin suram.
“Kita akan bermalam di tempat
yang sudah ditentukan. Kemudian kita mencari hubungan dengan pasukan Ki
Argapati,” berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sepatah kata pun.
Dalam pada itu, pasukan Ki
Argapati yang mendahului pasukan dari Mataram itu pun menjadi semakin dekat
dari sebuah tempat terbuka yang menjadi arena pertempuran antara Raden
Sutawijaya dengan Daksina.
“Kita sudah hampir sampai,”
berkata Pandan Wangi.
“Sampai di mana?”
“Arena pertempuran itu. Di
pinggir arena itulah Rudita semula bersembunyi. Tetapi ia tidak dapat aku
ketemukan kembali.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian mereka melihat sebuah tempat
yang terbuka, yang dikatakan oleh Pandan Wangi, daerah yang menjadi ajang
perkelahian antara pasukan pengawal Mataram dan Menoreh melawan Daksina dan
anak buahnya.
“Kita berhenti di pinggir
daerah terbuka itu,” desis Ki Argapati.
“Ya. Kita sudah berjanji
bertemu di tempat Rudita hilang.”
“Di tempat Rudita hilang, atau
di ujung pegunungan itu.”
Pandan Wangi memandang
pegunungan di hadapannya. Masih beberapa ratus patok lagi.
“Kita berhenti di tempat
Rudita itu hilang. Kita sempat berbicara untuk menentukan sikap, sementara kita
dapat melihat tempat itu, barangkali kita menemukan sesuatu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilecutnya kudanya, sehingga ia berada di
paling depan. Sejenak ia berpaling memandang hutan liar di sebelah jalan yang
dilaluinya. Hutan tempat mereka berburu seekor ular raksasa.
Tetapi kini mereka tidak
memasuki hutan liar itu, tetapi menyelusur di sebelahnya dan langsung pergi ke
tempat pertempuran itu terjadi.
Beberapa saat kemudian, mereka
pun segera sampai di tempat yang mereka tentukan sebagai titik pertama
pertemuan dengan pasukan pengawal Mataram.
Ketika Pandan Wangi meloncat
dari punggung kudanya disusul oleh Prastawa, maka yang lain pun segera turun
pula. Mereka mengikat kuda masing-masing pada pohon-pohon perdu di sekitarnya.
“Jangan di tempat Rudita itu
terakhir kali kau lihat,” berkata Ki Argapati.
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Maka dibawanya kudanya agak menjauh. Agaknya
ayahnya masih akan mencoba menemukan jejak yang barangkali dapat
dipergunakannya untuk menjadi petunjuk.
Sejenak kemudian Ki Argapati,
Ki Sumangkar, dan ayah Rudita itu pun segera menyelidiki tempat Rudita yang
terakhir kali diketahui oleh Pandan Wangi.
Tetapi seperti Pandan Wangi
dan anak-anak muda sebelumnya, mereka tidak menemukan jejak apapun juga selain
dugaan yang sama, bahwa Rudita sempat meronta dan tangannya menggapai dedaunan
di sekitarnya. Setelah itu maka ia pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
“Kita hanya dapat mengetahui
beberapa langkah dari jejak ini,” berkata Ki Argapati.
“Ya. Kita hanya mengetahui
arah. Dan kita pun mengetahui, bahwa yang membawa Rudita adalah orang yang
memiliki kemampuan yang tinggi.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Dipandanginya saja tempat itu seakan-akan ia masih mencoba mencarinya.
Dalam pada itu, ayah Rudita
pun segera maju ke depan. Dengan suara gemetar ia berkata, “Ki Gede, biarlah
aku mencoba mengetahui, ke manakah Rudita itu dibawa. Kita memang mengetahui
arahnya, tetapi hanya beberapa langkah. Dan mudah-mudahan aku menemukan arah
yang sebenarnya.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Namun kemudian dibiarkannya ayah anak yang hilang itu memusatkan
indranya.
Sejenak orang-orang yang ada
di sekitar ayah Rudita itu pun terdiam. Seakan-akan mereka ikut terhempas ke
dalam suatu suasana yang asing. Mereka melihat ayah Rudita itu berdiri tegak
sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kepalanya tertunduk, sedang matanya
menjadi redup setengah terpejam.
Ki Argapati dan Ki Sumangkar,
yang memiliki pengalaman lahir dan batin yang luas, merasakan getar di dalam
diri masing-masing, sehingga dengan demikian mereka mengerti sepenuhnya, bahwa
ayah Rudita itu sedang mencari hubungan dengan anaknya dengan caranya. Tetapi
menilik keadaan Rudita, maka sentuhan dengan getaran ayahnya itu tentu agak
sulit. Anak itu terlampau ringan untuk ditemukan oleh getar indra karena justru
keadaannya. Dan itulah anehnya kehidupan. Seorang anak tidak selalu berhasil
dibentuk seperti kehendak orang tuanya karena berbagai sebab. Justru bagi
Rudita adalah sebab yang ada di dalam keluarganya sendiri. Ibunya hampir tidak
pernah mau mengerti, bahwa Rudita pun memerlukan perjuangan bagi hari depannya.
Ia tidak akan dapat selalu bersandar kepada orang tuanya.
Tetapi ayahnya masih tetap
berusaha. Dengan memusatkan segenap tenaga lahir dan batinnya, ia berusaha untuk
mendapat sedikit petunjuk tentang anaknya yang hilang itu, meskipun pangkal
bertolaknya pun terlampau kecil, sekedar arah dan kemungkinan saat-saat Rudita
hilang.
Ki Argapati dan Ki Sumangkar
pun menjadi semakin tegang. Apalagi Pandan Wangi, Prastawa, dan para
pengiringnya ketika mereka melihat wajah ayah Rudita itu meniadi merah padam.
Tetapi ia masih tetap berdiri
tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya, serta kepalanya masih saja
tertunduk dan matanya redup setengah terpejam.
Orang-orang yang ada di
sekitarnya menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat tubuh itu
menjadi gemetar, sesaat wajahnya menjadi seakan-akan kelam. Pekat, dan mata itu
benar-benar telah terpejam.
Ayah Rudita sudah sampai pada
puncak pencapaian dengan ilmunya. Seakan-akan tubuhnya itu telah dihisap oleh
suasana yang tidak dapat diraba dari luar kediriannya.
Dan itulah yang terjadi
padanya. Ayah Rudita seakan-akan telah terpisah dari wadagnya dan mencapai
suatu keadaan tanpa bentuk, selain isyarat-isyarat yang lembut yang hanya dapat
dikenal oleh ilmu yang khusus.
Namun itulah sebenarnya
hakekat dari ilmunya. Pengenalan pada isyarat-isyarat yang dapat disentuh
dengan perasaannya, yang sebenarnya ada pada diri setiap orang. Namun
kebanyakan orang tidak menyediakan diri sampai ke pusat penangkapan indranya
serta tidak mempelajari bentuk, jenis dan makna isyarat-isyarat itu.
Sejenak kemudian, setiap gerak
di dalam tubuh ayah Rudita itu pun berhenti selain, urat-urat yang tiada
terkuasai oleh kehendak. Nafasnya pun seolah-olah terputus, dan matanya
seakan-akan terpejam semakin rapat.
Namun dalam pada itu, Ki
Argapati dan Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, bahwa
ayah Rudita itu sudah selesai dengan usahanya.
Dan sebenarnyalah, bahwa
sejenak kemudian ayah Rudita itu membuka matanya. Wajahnya sudah menjadi
seperti biasa, meskipun masih tampak keletihan membayang di sorot mata itu.
Ayah Rudita itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Tidak hanya sekali, tetapi tiga kali.
Ki Gede Menoreh pun kemudian
mendekatinya sambil bertanya, “Apakah kau menemukan isyarat.”
Laki-laki itu mengangguk
lemah. Katanya, “Isyarat itu lemah sekali, Ki Gede. Tetapi aku mengharap bahwa
Rudita masih selamat. Rasanya aku memang dapat menyentuhnya.”
“Apakah kau dapat mengatakan,
bagaimana dengan arah yang kita tempuh dan keadaan Rudita sekarang?”
“Samar-samar aku dapat
menemukan arah itu. Dan kita sudah berjalan di jalan yang benar. Aku akan
mencoba merabanya lagi setelah kita ada di ujung pegunungan itu. Rasa-rasanya
ia ada di sana.” Ayah Rudita itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku pun
menemukan sesuatu yang mendebarkan jantung.”
“Apakah itu?”
“Isyarat seperti yang pernah
aku sentuh beberapa tahun yang lalu. Bahkan di sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Saat Rudita masih kanak-kanak.”
“Apakah isyarat itu?”
“Sentuhan pertama saat aku
mendengar nama Panembahan Agung, aku tergetar oleh nama yang pernah aku dengar,
yaitu Panembahan yang menamakan dirinya Panjer Bumi. Kini tiba-tiba terasa,
bahwa sentuhan itu seakan-akan memperkuat dugaan kita, bahwa di belakang semua
persoalan yang tumbuh di Mataram ini berdiri Panembahan yang menyebut dirinya
Panjer Bumi itu, meskipun ia dapat menyebut dirinya dengan seribu nama.”
“Bagaimana kau sampai pada
dugaan itu?”
“Getaran dan isyarat yang
tersentuh selagi aku mencari Rudita. Bahkan aku menduga, bahwa yang membawa
Rudita itu adalah Panembahan Panjer Bumi atau orang-orangnya yang terpercaya.
Namun agaknya Panembahan Panjer Bumi tidak mengetahui, bahwa Rudita itu adalah
anakku. Jika ia mengetahui, maka ia akan memagarinya sehingga aku sama sekali
tidak akan dapat menyentuhnya. Dengan demikian aku akan kehilangan segala arah
untuk menemukannya dengan ilmuku. Tetapi ternyata bahwa Tuhan masih berkenan
memberikan sedikit petunjuk, di manakah anak itu berada.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Sumangkar, dilihatnya orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan selalu berdoa,”
berkata Ki Sumangkar, “mudah-mudahan kita berhasil menemukannya.”
“Mudah-mudahan,” berkata ayah
Rudita, “namun jika rabaanku benar, dan orang itu benar-benar Panembahan yang
pernah menyebut dirinya bernama Panjer Bumi, kita memang harus berhati-hati. Ia
mempelajari semacam ilmu dari daerah asing, sehingga ia memiliki kemampuan menciptakan
barang-barang semu yang dapat membingungkan bagi mereka yang menjumpainya.”
Orang-orang yang mendengar
keterangan ayah Rudita itu mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun
bertanya, “Apakah maksud dengan barang-barang semu itu?”
“Benda-benda yang sebenarnya
tidak ada, tetapi ada pada mata kita. Ia mempengaruhi langsung pusat syaraf
kita di seberang indera penglihatan kita dengan ilmunya, sehingga kadang-kadang
indera penglihatan kita terganggu karenanya di dalam tangkapan pusat kedirian
kita yang wadag.”
Prastawa pun mendesak maju
sambil bertanya, “Jadi kita seakan-akan dapat melihat sesuatu bentuk yang
sebenarnya tidak ada?”
“Ya.”
“Dan bagaimana dengan indera
pendengar dan peraba?”
“Semuanya dapat terpengaruh
seperti juga indra penglihatan kita. Getaran ilmunya akan langsung mempengaruhi
kita di seberang rangsang pada indra kita, sehingga seakan-akan kita dapat
melihat, mendengar dan meraba. Bahkan mencium bau dari benda-benda yang sebenarnya
tidak ada. Tetapi tentu hal itu karena pengenalan kita. Seandainya yang
terbentuk itu benda semu yang di dalam bentuknya yang benar kita belum pernah
melihatnya, dan belum pernah mengenal dan mendengar tentang benda itu, maka
yang langsung dapat dipengaruhi adalah sekedar indera penglihatan menurut
rekaan khayali kita sendiri, yang barangkali tidak sama bagi setiap orang.
Kemudian barulah berkembang pada indera kita yang lain yang seperti juga indera
penglihatan maka tangkapan pusat syaraf dan kedirian kita akan berbeda.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Ia masih belum dapat menangkap seutuhnya kata-kata ayah Rudita itu,
sehingga ayah Rudita itu perlu menjelaskannya, “Misalnya. Aku ingin
mempengaruhi kau untuk menciptakan bentuk sebuah binatang yang di sebut gajah.
Sedangkan seandainya orang-orang yang ingin kita pengaruhi dengan ilmu kita itu
belum pernah melihat gajah. Maka yang akan tercipta sebagai bentuk semu, yang
satu dengan yang lain akan berbeda. Hanya bentuk dalam keseluruhan tentu saja mirip
seperti yang dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu itu. Tetapi di dalam
bagian-bagian kecilnya akan terdapat perbedaan. Jika kita bersama-sama meraba,
maka yang seorang tidak mendapat kesan yang sama dengan orang yang lain. Yang
seorang menganggap kulitnya licin seperti belut, yang lain agak kasar seperti
seekor kerbau. Bahkan mungkin yang menganggap bulu-bulunya kasar seperti bulu
landak.”
Mereka yang mendengarkannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka akan berhadapan
dengan orang yang aneh di dalam pandangan mereka.
“Karena itu,” berkata ayah
Rudita, “kita harus bersiap menghadapi kemampuan yang dahsyat itu.”
“Mengagumkan. Jika benar
demikian, kita akan menghadapi rintangan yang berat sekali. Apalagi aku. Tentu
aku tidak akan dapat mengenal, manakah benda-benda yang asli dan manakah yang
semu.”
“Memang sulit,” sahut ayah
Rudita, “jika kau melihat sebuah rakit di tepi sungai yang sedang banjir.
Sedang sebenarnya rakit itu adalah benda semu karena pengaruh seseorang pada pusat
syarafmu, maka mungkin sekali kau akan tertipu. Kau akan turun ke dalam rakit
itu. Untuk sekejap kau memang merasa berada di atas sebuah rakit. Tetapi
kemudian kau akan menyadari bahwa kau telah hanyut di bawa banjir. Biasanya
kesadaran yang demikian datang terlambat setelah kau tidak mampu berbuat
sesuatu.”
“O,” beberapa orang menjadi
berdebar-debar.
“Karena itu, pengamanan yang
paling mudah bagi kalian adalah, tidak berbuat apa-apa. Jika kau dicengkam oleh
suasana semu jangan berbuat apa-apa, meskipun dapat berakibat buruk bagi
kalian, karena kediaman kalian itu akan memberi kesempatan bagi musuh-musuhmu
untuk berbuat sesuatu.”
“Jadi bagaimana mengatasinya.”
“Sulit sekali. Yang paling
mungkin adalah, memusatkan kehendak kita untuk tetap melihat bentuk yang
sebenarnya dari yang kau hadapi. Jika di pinggir kali itu tidak ada rakit, maka
meskipun rakit itu tampak padamu namun kau dapat membedakan tangkapan semu itu
dan tangkapan indera penglihatanmu. Jika keduanya menjadi baur dan seakan-akan
bertumpuk, kau memang harus memilih. Dan manakah yang paling mungkin ada
disesuaikan dengan keadaan dan kemungkinan di sekitarmu.”
Yang mendengarkan penjelasan
itu menjadi termangu-mangu. Namun ayah Rudita itu kemudian berkata, “Jangan
menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan adalah tanda-tanda kekalahan di dalam
persoalan ini. Kalian harus cepat mengambil keputusan tanpa ragu-ragu. Namun
itu sulit sekali, dan akibatnya dapat sangat berbahaya. Mudah-mudahan kalian
berhasil di dalam taraf yang paling dangkal.”
“Baiklah,” tiba-tiba Prastawa
menyahut, “aku akan mencoba. Aku akan mencoba melihat kebenaran indra
penglihatanku. Mudah-mudaan aku berhasil.”
Dalam pada itu, maka ayah
Ruditapun berkata, “Jika demikian apakah kita akan berangkat terus?”
Ki Argapati menjadi ragu-ragu
sejenak. Ia harus memikirkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Jika
Panembahan Agung dan yang disebut oleh ayah Rudita itu bernama Panembahan
Panjer Bumi itu benar-benar memiliki ilmu yang dahsyat itu, maka kedudukan
pasukannya tentu akan menjadi sulit. Panembahan itu dapat mempengaruhi
penglihatan dalam pengertian khayali pada pengawal-pengawalnya. Dan bahkan
dapat membuat mereka saling tidak mengenal dan bahkan bertentangan satu sama
lain, karena sebagian dari mereka akan berubah menjadi lawan-lawannya.
Panembahan itu sama sekali tidak perlu mempunyai pasukan. Pasukan lawannyalah
yang akan menjadi pasukannya, karena pengaruh ilmunya yang membuat orang lain
menjadi bingung.
Ayah Rudita mengetahui
keragu-raguan itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Ki Gede. Kita masih agak
jauh dari padepokan itu. Menurut dugaanku, kita masih dapat maju lagi seperti
yang kita rencanakan. Kita memberi tanda di tempat ini kepada Raden Sutawijaya
agar jika mereka datang, mereka pun akan menyusul kita sampai ke ujung
pegunungan itu.”
Ki Argapati mengerti, betapa
kegelisahan mencengkam hati ayah dari anak yang hilang itu. Karena itu, maka ia
pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Kita akan maju
sampai tempat terakhir dari persetujuan kita dengan pasukan yang akan
menyusul.”
Demikianlah, setelah
memberikan tanda-tanda yang diperlukan seperti yang sudah mereka bicarakan
dengan Raden Sutawijaya, maka mereka pun kemudian bergerak maju. Mereka
melintasi lapangan terbuka yang menjadi ajang pertempuran antara para pengawal
Mataram dengan anak buah Daksina. Dan ternyata, bahwa mayat orang-orang Daksina
yang berserakan telah tidak ada lagi di tempatnya. Tidak ada bekasnya bahwa
mayat itu menjadi mangsa binatang. Karena itu maka mereka pun menduga, bahwa
mayat-mayat itu telah disingkirkan oleh kawan-kawan mereka.
Perlahan-lahan pasukan itu
maju. Semakin lama semakin dekat dengan ujung pegunungan yang tidak begitu
tinggi.
Namun dalam pada itu, maka
langit pun menjadi kemerah-merahan oleh matahari yang semakin rendah. Tetapi
mereka berusaha untuk sampai ke tujuan sebelum daerah itu menjadi gelap pekat.
Dalam pada itu, Raden
Sutawijaya pun telah mendekati daerah hutan liar. Mereka dengan segera dapat
mengenal bekas kaki-kaki kuda dari pasukan yang mendahului mereka. Tetapi
ternyata kuda pasukan Mataram adalah kuda yang jauh lebih baik dari kuda yang
dipergunakan oleh para pengawal Menoreh. Sebagian dari para pengawal itu
mempergunakan kuda yang sebenarnya kurang tegar. Tetapi bagi perjalanan mereka
agaknya sudah cukup memadai. Dan sudah barang tentu, bahwa para pemimpin
Menoreh yang mempergunakan kuda yang lebih baik, menyesuaikan diri dengan para
pengawalnya.
Dengan demikian maka jarak
antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Meskipun perjalanan berikutnya
adalah perjalanan yang agak sulit, tetapi kuda-kuda mereka dapat maju terus
mengikuti jejak pasukan sebelumnya, melewati pinggiran hutan yang liar.
Tetapi ketika mereka sampai di
sebelah arena perkelahian di tempat terbuka itu, matahari telah menjadi merah.
Mereka masih sempat melihat tanda-tanda yang dibuat oleh pasukan sebelumnya,
namun sejenak kemudian maka senja menjadi gelap.
“Kita terpaksa berhenti di
sini,” berkata Sutawijaya, “perjalanan di malam hari tidak menguntungkan bagi
kita. Selain kita membawa kuda dan perbekalan yang lain, maka kita harus
memperhitungkan juga pasukan tersembunyi yang setiap saat dapat menyergap dan
menghilang. Dalam perjalanan di malam hari kita akan menjadi sasaran yang
menguntungkan mereka.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sependapat dengan Raden Sutawijaya. Dan menurut dugaannya, maka
pasukan yang dibawa oleh Ki Argapati tentu sudah tidak terlalu jauh lagi di
hadapan mereka. Apalagi agaknya pasukan itu cukup lama berhenti di tempat itu
untuk menyelidiki keadaan yang akan mereka hadapi.
Malam itu kedua pasukan dari
Menoreh dan Mataram itu berhenti di tempat yang berbeda. Pasukan Mataram
mengetahui, bahwa pasukan Menoreh berada tidak begitu jauh lagi dari mereka,
tetapi sebaliknya pasukan Menoreh menjadi agak gelisah, bahwa mereka belum
mendapat hubungan dengan Raden Sutawijaya.
“Apakah Mataram benar akan
mengirimkan pasukannya?” bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi.
“Aku kira demikian. Tetapi
mereka memang memerlukan waktu.”
“Seandainya tidak, maka Kiai
Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung dan kedua anak-anak muda itu akan menyusul
kita,” desis seorang pengawalnya.
Pandan Wangi hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun di dalam hatinya ia berkata,
“Seandainya mereka tidak datang sama sekali, kita harus tetap maju mencari anak
itu. Mungkin kita akan menghadapi seorang panembahan yang sakti, tetapi betapa
pun saktinya, ia tentu mempunyai kelemahan di dalam kesalahan yang pernah
dilakukannya. Jika ia orang yang sempurna lahir dan batinnya, tentu ia tidak
akan mempergunakan kesaktian yang ada padanya untuk tujuan-tujuan yang sekedar
memanjakan nafsu diri dan ketamakan saja. Sedang perbuatan yang demikian
bertentangan dengan kebenaran. Dan apalagi dengan pancaran kasih Penciptanya.
Karena itu, seakan-akan ada suatu keyakinan di dalam hati, bahwa akan datang
saatnya orang itu harus menyerah kepada hukum keadilan. Hukum yang tertinggi
yang tidak dibuat oleh tangan manusia.”
Demikianlah, malam itu
dilampaui dengan selamat. Tidak ada perapian, tidak ada pembicaraan. Mereka
makan sekedar bekal yang mereka bawa. Dan di malam yang sepi itu ayah Rudita
sempat mencoba menangkap keadaan anaknya.
Seperti yang pernah dilakukan,
maka ternyata bahwa isyarat yang ditangkapnya, Rudita masih tetap selamat. Dan
ia masih berharap, bahwa orang yang mengambil Rudita itu bukan orang yang
pernah menyebut diri Panembahan Panjer Bumi. Seandainya Panembahan Agung juga
Panembahan Panjer Bumi, maka ia mengharap agar orang itu tidak mengetahui,
bahwa Rudita adalah anaknya. Sebab dengan demikian, ia akan dapat menutup
setiap usahanya untuk mengadakan sentuhan dengan anaknya itu di dalam getaran
pribadinya.
Dalam pada itu, ketika fajar
mulai mewarnai langit, Sutawijaya sudah mulai bersiap dengan seluruh
pasukannya. Menjelang matahari terbit, maka pasukan berkuda itu pun mulai maju
dan menyusuri daerah terbuka seperti yang dilalui oleh pasukan pengawal dari
Menoreh.
Apalagi ketika kemudian
matahari mulai terbit dan warna merah di langit pun seakan-akan mulai menyibak.
Maka jejak kaki kuda yang mendahului pasukan pengawal dari Mataram itu menjadi
tampak semakin jelas.
“Kita harus segera menyusul
mereka, sebelum terjadi sesuatu,” desis Sutawilaya, “supaya kita sempat
mengadakan pembicaraan lebih jauh.”
Ternyata bahwa Ki Argapati
memang menunggunya. Karena itu, maka seperti yang direncanakan, kedua pasukan
itu pun dapat bertemu.
Dengan singkat Ki Argapati
mengatakan kepada Kiai Gringsing, bahwa usaha ayah Rudita untuk mengetahui
serba sedikit tentang anaknya sudah berhasil. Tetapi sudah barang tentu apa
yang berada di rentangan jarak antara ayah Rudita itu dengan anaknya tidak
diketahuinya. Mungkin pasukan segelar sepapan. Mungkin tebing yang curam dan
tinggi. Mungkin padang rumput yang penuh dengan ular berbisa, dan masih banyak
lagi kemungkinan yang dapat terjadi.
“Apakah Rudita ada di sarang
Daksina?” bertanya Raden Sutawijaya
“Masih belum aku ketahui,
Raden,” jawab ayah Rudita, “aku hanya berhasil mengetahui bahwa Rudita masih
hidup. Hanya itu. Dan sedikit petunjuk tentang arahnya. Selain itu gelap.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Tetapi menurut perhitungan nalarku,
bukan ilmu peraba seperti ilmu yang kau miliki itu, Daksina tentu tidak berada
jauh dari tempat ini. Ia berani menjebak pasukanku di daerah terbuka itu. Tentu
ia mempunyai suatu keyakinan tentang medan, selain pasukannya. Karena itu maka
aku yakin, bahwa Daksina telah mengenal tempat ini dengan baik, dan itu berarti
ia berada tidak jauh dari tempat ini. Kecuali jika ia sedang berada di Pajang.
“Perhitungan itu sesuai,”
sahut Pandan Wangi, “aku juga berpendapat demikian.”
“Perhitungan nalarku pun dapat
mengerti, bahwa kita sudah dekat dengan sarang orang-orang bersenjata itu,”
sahut ayah Rudita, “bahkan kurang sesuai dengan sentuhan ilmuku. Menurut
penglihatanku, Rudita masih berada di tempat yang agak jauh. Jika Rudita berada
di sarang orang yang bernama Daksina itu, maka ia pun pasti berada di tempat
yang tidak terlampau jauh. Sehingga dengan demikian maka ada dua kemungkinan.
Kita salah hitung tentang sarang Daksina, atau Rudita memang tidak ada di
sarang itu, tetapi di tempat yang lain.”
“Masih ada satu kemungkinan
lagi,” berkata Sutawijaya.
“Apa Raden?”
“Dugaanmu tentang Rudita
menurut sentuhan ilmumu itu keliru.”
Ayah Rudita mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya, “Itu pun mungkin
sekali, Raden. Mungkin aku salah mengurai isyarat yang aku terima dari Rudita
tanpa sesadarnya itu.”
“Nah, jika demikian, marilah
kita segera menentukan sikap. Apakah yang sebaiknya kita lakukan?”
“Untuk sementara kita belum
dapat berbuat apa-apa. Kita maju beberapa patok lagi. Kemudian kita akan
menilai keadaan dan jika perlu mengirimkan pengawas untuk melihat-lihat
suasana,” jawab Ki Gede Menoreh.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, “Sebaiknya sejak kini dua orang pengawas akan
mendahului kita. Kemudian dua lagi mengiringinya. Jika mereka melihat sesuatu
yang mencurigakan maka mereka harus memberikan isyarat.”
Demikianlah, maka kedua
pasukan nengawal itu menunjuk empat orang yang akan mendahului perjalanan
mereka. Dua orang yang terdepan adalah seorang dari Mataram dan seorang dari
Menoreh yang dianggap sedikit banyak mengetahui daerah yang terasing itu.
Sedang kedua orang berikutnya pun terdiri dari pengawas Mataram dan Menoreh.
Keempat orang itu berjalan
kaki mendahului pasukan mereka. Sedang kuda-kuda mereka berada di dalam
iring-iringan pasukan pengawal di belakang mereka.
Setelah beberapa patok mereka
maju, mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Daerah itu tampaknya
sebagai suatu daerah yang tidak pernah disentuh kaki.
“Tetapi rasa-rasanya ada
penghuni di daerah sekitar tempat ini,” desis pengawal dari Menoreh yang
berjalan di paling depan.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Sekedar firasat. Tetapi aku
melihat jalur jalan di lereng bukit itu.”
“Ya. Tetapi tidak ke jurusan
ini.”
“Memang sulit untuk sampai ke
jalur jalan kecil itu. Tetapi kita harus mencapainya.”
“Tentu tidak mungkin bagi
mereka yang berkuda.”
“Kita akan melihatnya.”
Kedua orang itu pun kemudian
maju lebih jauh lagi diikuti oleh kedua yang lain. Ternyata bahwa jalan memang
semakin lama semakin sulit, sehingga setiap kali mereka harus berhenti dan
menilai, apakah jalan itu masih dapat dilalui kuda.
“Kuda-kuda itu memang harus
ditinggalkan di sini,” berkata yang seorang.
“Tidak,” jawab yang lain,
“biarlah pasukan itu berhenti di sini. Kita akan menyelidiki lebih jauh.”
Kawannya berpikir sejenak,
lalu, “Baik. Itu pikiran yang baik. Biarlah kedua pengawas di belakang kita itu
berhenti memberitahukan kepada Ki Argapati dan Raden Sutawijaya.”
“Biarlah keduanya pergi di
belakang kita. Jika terjadi sesuatu atas kita, mereka dapat menyampaikan
laporan. Sementara kita dapat memberikan tanda dan isyarat agar pasukan itu
berhenti.”
Demikianlah maka, kedua orang
pengawas di paling depan itu pun kemudian memberikan isyarat agar pasukan di
belakang mereka itu pun berhenti. Tetapi kedua pengawas itu masih memerlukan
kedua pengawas yang mengikuti mereka, sehingga sejenak mereka masih harus
menunggu dan berbicara di antara mereka berempat.
“Kami membawa panah sendaren,”
berkata pengawas dari Mataram.
“Kita mungkin memerlukannya
jika perlu. Tetapi suara panah sendaren segera menarik perhatian. Dan isyarat
dengan panah sendaren kadang-kadang langsung memberikan isyarat kepada lawan
sekaligus.”
“Apa salahnya jika mereka
memang sudah melihat kita. Kita dapat melontarkan panah sendaren ke arah yang
tidak tepat, sehingga meskipun suaranya dapat ditangkap oleh kawan-kawan kita,
tetapi arah panah itu tidak memberikan petunjuk kepada lawan di mana pasukan
kita yang sebenarnya.”
“Ya. Kita akan
mempergunakannya,” sahut yang lain, “yang penting, kita harus dapat mencapai
jalur jalan yang menuju ke utara di lereng sebelah itu. Aku menduga bahwa ada
padukuhan yang berpenghuni.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Daerah ini benar-benar daerah terpisah dari
Tanah Perdikan Menoreh, karena hubungan yang dilakukan oleh orang-orang di
lereng pegunungan itu adalah dengan daerah di seberang perbukitan.
“Daerah itu dilingkari oleh
hutan yang lebat, dibatasi oleh pegunungan dan sangat terpencil,” berkata salah
seorang pengawas dari Mataram. “Aku tidak tahu kenapa seseorang membangun
padukuhan atau padepokan di tempat yang sangat terasing ini.”
Yang lain hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Namun ternyata yang seorang berdesis,
“Memang sulit diduga. Tetapi aku kira, mereka sengaja mengasingkan diri untuk
mematangkan ilmu mereka. Baru kemudian mereka akan turun dari padepokan ini
untuk melakukan rencananya. Tentu sebuah rencana yang besar.”
“Memang mungkin. Tetapi
sebaiknya kita melihatnya. Apakah padepokan itu sudah sudah cukup lama berada
di tempat itu, atau sekedar sebagai tempat persembunyian, atau katakan sebagai
alas perjuangan mereka.”
Demikianlah, maka para
pengawas itu pun mulai maju lagi melalui jalan yang sulit. Tebing yang curam
dan kadang-kadang rumpil.
“Kita tentu salah jalan,”
berkata salah seorang pengawas itu, “jika Daksina dapat membawa pasukan lewat
jalan ini, kita tentu akan dapat menemukan bekas kaki mereka.”
“O, alangkah bodohnya kita.
Kenapa kita tidak mencari jejak mereka saja?”
“Dan kembali lagi sampai ke
tempat terbuka itu?”
Kawannya terdiam. Namun kini
mereka mulai tertarik kepada setiap kemungkinan untuk menemukan jejak kaki
seseorang atau sekelompok orang.
Tetapi usaha itu tidak segera
berhasil. Mereka tidak segera menemukan jejak kaki seseorang.
Namun tiba-tiba salah seorang
dari kedua pengawas yang berada di paling depan itu tertegun sejenak.
Diamatinya tebing yang ada di sampingnya. Lalu katanya, “Kau lihat batu-batu
kerikil bercampur padas itu?”
“Ya, kenapa?”
“Seakan-akan meluncur dari
atas tebing itu.”
“Ya.”
“Mungkin ada sentuhan kaki di
atas batu-batu padas itu, sehingga batu-batu kerikil dan batu-batu padas itu
meluncur turun meskipun tidak begitu banyak.”
“Mungkin angin, mungkin
binatang liar. Tetapi kita dapat mencoba. Kita memanjat tebing itu dan melihat
apakah ada jejak di atas.”
Keduanya pun kemudian memanjat
tebing yang agak terjal, sehingga untuk beberapa saat mereka seolah-olah berada
di tempat terbuka melekat pada lereng pegunungan. Kedua pengawas yang berada di
belakang mereka dapat melihat keduanya dengan jelas.
“Kita tunggu sehingga keduanya
hilang,” desis salah seorang pengawas yang berada di belakang mereka. “Barulah
kemudian kita memanjat.”
Namun di luar pengetahuan
mereka, sepasang mata tengah memandang kedua pengawas yang sedang memanjat itu.
Ketika keduanya sudah berada hampir di bibir lereng itu, maka orang itu pun
bergeser beberapa langkah. Kemudian ia meloncat berdiri sambil meraih anak
panah dari endongnya dan melekatkannya pada tali busurnya.
Perlahan-lahan ia menarik tali
busur itu. Pengawas yang sedang memanjat itu merupakan sasaran yang baik,
meskipun keduanya selalu bergerak-gerak tidak menentu.
Sejenak orang itu masih
membidik. Tetapi rasa-rasanya masih saja terganggu oleh dedaunan yang bergerak
disentuh angin. Karena itu maka ia bergeser maju lagi. Ia tidak perlu lagi
bersembunyi karena sasarannya sedang memanjat tebing, sehingga mereka tidak
akan dapat memberikan perlawanan.
Tetapi sekali-sekali ia masih
saja mengumpat, karena kedua orang itu seakan-akan tidak mau juga diam. Mereka
merayap dan kadang-kadang bergeser ke samping.
Namun kemudian busur itu pun
semakin merenggang. Dan sesaat kemudian sebuah anak panah telah meluncur dengan
derasnya.
Yang terdengar kemudian
adalah, sebuah keluh tertahan. Anak panah itu ternyata telah mengenai
sasarannya, meskipun tidak tepat di punggung, karena justru ketika anak panah
itu meluncur maka sasarannya telah bergerak ke samping. Meskipun demikian, anak
panah itu ternyata telah menancap pada lengan tangan kanannya
Pengawas itu kehilangan
keseimbangan. Sejenak ia masih bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan ia meluncur
turun.
Bahwa anak panah itu tidak
tepat mengenai punggung dan langsung membunuhnya, orang yang melepaskannya itu
pun menggeram. Tangannya sekali lagi mencabut anak panah dari endongnya dan
sejenak kemudian anak panah itu pun sudah melekat di tali busurnya. Yang
kemudian akan menjadi sasarannya adalah justru pengawas yang seorang lagi, yang
karena kawannya telah meluncur turun, ia pun berusaha untuk meluncur pula,
karena ia pun mengira bahwa orang yang melontarkan anak panah itu tentu sedang
membidiknya pula.
Tetapi sementara itu, selagi
kedua pengawas yang terdahulu dicengkam oleh kecemasan, maka kedua pengawas
yang berada di belakang mereka, dan yang sedang mengamati bagaimana keduanya
memanjat, tebing itu pun terkejut bukan buatan. Mereka juga melihat anak panah
itu menancap di lengan kawannya. Dan mereka melihat kawannya itu kesakitan dan
meluncur turun disusul oleh yang seorang lagi.
Naluri keprajuritan mereka
segera menggerakkan mereka. Yang seorang memang membawa busur dan anak panah
meskipun terutama akan dipergunakan untuk memberikan isyarat. Tetapi agaknya
kini busur itu harus dipergunakan untuk kepentingan yang lain.
Dengan cepatnya tangannya
meraih sebatang anak panah dan sejenak kemudian anak panah itu telah siap
diluncurkan.
Demikianlah, maka mereka tidak
terlampau sulit mencari sasarannya. Ternyata orang yang melepaskan anak panah
itu kini berdiri tegak dengan tali busur yang renggang. Ia masih berusaha
membidik kedua pengawas yang berusaha bersembunyi di balik dedaunan yang hanya
beberapa lembar di lereng pegunungan.
“Tidak ada tempat untuk
bersembunyi,” orang itu masih sempat menggeram. Kini tangannya menarik tali
busurnya semakin renggang.
Kedua pengawas yang menjadi
sasaran itu pun telah melihat lawannya yang berdiri di atas tebing di sebelah
pepohonan. Tetapi mereka tidak mendapat tempat yang baik untuk bersembunyi.
Yang ada hanya batang-batang perdu yang tipis. Apalagi mereka sudah tidak dapat
meluncur lebih jauh lagi. Jika mereka berusaha untuk turun lagi, maka mereka akan
berada di tempat yang terbuka sama sekali meskipun di bawah tebing itu mereka
akan menemukan gerumbul-gerumbul yang agak rimbun.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa. Orang yang menarik busur itu membidik sambil berkata, “Kali ini aku
akan mengenai lehermu. Bukan sekedar tanganmu. Aku terlalu tergesa-gesa,
sehingga bidikanku yang pertama meleset. Dan itu tidak pernah terjadi.”
Pengawas yang seorang, yang
tidak terluka oleh anak panah itu pun segera menarik pedangnya. Tidak ada cara
lain daripada berusaha menangkis anak panah itu apabila mungkin.
“Jangan gila. Jangan mencoba
menangkis anak panahku. Seandainya yang pertama kau berhasil, namun anak
panahku kemudian akan datang beruntun seperti hujan. Dan kalian berdua tentu
segera mati terbunuh.”
Kedua pengawas itu tidak
menjawab. Yang seorang masih saja menyeringai menahan sakit, sedang yang lain
bersiap untuk mencoba melakukan perlawanan.
Namun dalam pada itu, karena
perhatian orang yang memegang busur itu tertuju kepada kedua pengawas yang
seakan-akan sudah tidak akan dapat lari lagi dari maut itu, maka ia sama sekali
tidak menduga, bahwa sebuah anak panah yang lain sedang dibidikkan ke arahnya.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian suasana dicengkam oleh ketegangan. Ketika orang yang berada di atas
tebing di sebelah itu benar-benar ingin melepaskan anak panahnya, tiba-tiba
saja terdengar ia memekik keras-keras. Tubuhnya menjadi gemetar, dan anak panah
di tangannya pun lepas tanpa menyentuh sasarannya. Bahkan kemudian para
pengawas yang merasa sudah tidak akan dapat melepaskan diri dari maut itu
melihat sebuah anak panah menancap di dada orang itu.
“Curang, curang,” orang itu
masih berteriak, “ada orang lain yang ikut campur.”
Sama sekali tidak ada jawaban.
Tetapi keempat pengawas itu melihat orang itu terhuyung-huyung dan kemudian
jatuh terjerembab tepat di pinggir tebing pegunungan, sehingga tubuhnya itu pun
kemudian meluncur turun beberapa langkah dan terhenti karena menyangkut
pohon-pohon perdu di lereng pegunungan itu.
Barulah kemudian kedua
pengawas yang hampir saja disentuh oleh maut itu menyadari, bahwa seorang
kawannya tidak saja membawa busur dan anak panah sendaren. Tetapi di dalam
endongnya terdapat juga anak panah yang lain, yang kemudian ternyata telah
menyelamatkannya.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun sejenak kemudian mereka pun menyadari, bahwa agaknya mereka telah masuk
ke dalam daerah pengawasan lawan.
Karena itu, maka yang
pertama-tama mereka lakukan, bukannya melepaskan anak panah yang menancap di
lengan. Tetapi orang yang kesakitan itu ternyata masih mampu berpikir bening,
sehingga sambil menyeringai ia berkata, “Kita turun. Mungkin ada orang lain
yang akan membidik kita di sini.”
Demikianlah keduanya pun
kemudian meluncur turun. Untunglah bahwa mereka sempat mencapai tempat yang ditumbuhi
oleh pepohonan yang rimbun, karena pada saat yang bersamaan, seorang yang
mendengar orang yang memanah pengawas dari Mataram itu mengaduh, segera berlari
mendekatinya.
Dari tempat yang tersembunyi,
keempat orang yang mendahului pasukan dari Mataram dan Menoreh itu melihat
seseorang yang agaknya sedang mencari kawannya. Sejenak ia termangu-mangu,
namun sejenak kemudian ia mendengar kawannya itu menggeram di tebing pegunungan
dan tersangkut pada pohon-pohon perdu.
“He, kenapa kau?” ia bertanya.
Tetapi tidak ada jawaban
selain erang kesakitan.
“Apakah kau terjerumus?”
Masih tidak ada jawaban.
Namun agaknya orang itu pun
kemudian melihat darah. Ketika orang yang terluka itu menggeliat, tampaklah di
dadanya masih terbenam sebuah anak panah.
Orang itu terkejut bukan
kepalang. Dengan wajah yang tegang ia berdiri memandang berkeliling. Namun
dengan demikian ia menjadi sasaran yang pasti bagi pengawas dari Mataram itu.
Sesaat kemudian ketika orang
itu mulai menyadari bahwa ia berada dalam bahaya dan bergerak surut, maka
sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Namun kini orang itu dengan sadar
telah memberikan isyarat kepada kawannya. Bahkan ketika ia mulai
terhuyung-huyung dan menghilang di pepohonan, masih terdengar ia bersuit
nyaring meskipun anak panah telah menembus dadanya.
“Sekarang, kitalah yang harus
melarikan diri,” desis pengawal dari Mataram itu, “mereka akan segera
berdatangan dan mengepung kita.”
“Marilah. Kita harus segera
memberikan laporan.”
“Tetapi anak panah ini?”
Kawan-kawannya termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian mereka pun berusaha mencabut anak panah itu.
Pengawal yang terluka itu
mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit. Namun ia masih juga
mengaduh tertahan. Rasa-rasanya sakit di lengannya itu menjalar sampai
keubun-ubunnya.
Dengan dibalut ikat kepala,
maka mereka pun kemudian berusaha menahan darah yang mengalir dari luka itu.
Sementara itu maka mereka pun berusaha untuk menarik diri dan kembali kepada
induk pasukan mereka.
Sambil menyeringai kesakitan, ditolong
oleh kawan-kawannya, maka pengawas yang terluka itu menyingkir dari daerah yang
berbahaya.
Dalam pada itu, ternyata
isyarat yang dipekikkan oleh pengawas yang dadanya tertembus anak panah itu pun
telah didengar oleh beberapa orang. Dengan tergesa-gesa mereka pun segera
berlari-larian mendapatkannya.
Dengan nafas yang
terengah-engah pengawas yang terluka itu masih sempat mengatakan apa yang
terjadi dan apa yang dilihatnya di tebing, bahwa seorang kawannya terbaring dan
terluka tersangkut pada pepohonan perdu.
“Siapakah yang telah
melukaimu?” bertanya salah seorang dari mereka.
Pengawas yang terluka itu
menggeleng. Suaranya menjadi semakin lambat, “Aku tidak tahu.”
Kawan-kawannya menjadi
termangu-mangu sejenak. Lalu, “Cepat, bawa orang ini menghadap ke padepokan.
Mudah-mudahan ia masih sempat diobati.”
“Tentu orang Mataram yang kita
temui di tempat terbuka dan yang telah gagal kita jebak itu. Mereka tentu
datang kembali dengan pasukan yang lebih besar seperti yang kita duga.”
“Kita sudah menyiapkan jebakan
yang lebih baik. Cepat bawa orang ini ke padepokan sekaligus melaporkan apa
yang terjadi. Kita akan mengambil kawan kita yang tersangkut di lereng itu.”
Dua orang di antara mereka
telah membawa kawan mereka yang terluka itu, sedang yang lain pun kemudian
pergi ke tebing sebelah.
“Lindungi kami,” desis salah
seorang dari mereka, “kami akan mencoba mengambilnya.”
Demikianlah, beberapa orang
berdiri berderet di atas tebing dengan anak panah yang siap pada tali busur,
sementara dua orang yang lain dengan hati-hati menuruni tebing untuk mengambil
kawannya yang tersangkut di pohon perdu.
Namun ketika mereka meraba
orang itu, ternyata orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
“Ia sudah mati,” desis salah
seorang dari keduanya.
“Gila,” geram yang lain, “pembunuhan
yang tidak dapat dimaafkan. Marilah kita bawa naik dan kita bawa kembali ke
padepokan. Kita memang harus sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”
Demikianlah, maka mayat itu
pun segera dibawa kembali ke padepokan. Sementara itu, penjagaan di lereng
pebukitan itu justru diperketat.
“Sudah kita duga, mereka akan
menempuh jalan ini. Kita sudah siap menyambut mereka. Dan kita akan
menghancurkan mereka sebelum mereka sampai di pintu padepokan.”
“Tetapi yang datang tentu
bukan sekedar lima belas orang.”
“Mungkin tiga puluh. Bahkan
lima puluh orang pun akan kami persilahkan.”
Kawannya mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dikatakan
itu agaknya memang tidak berlebih-lebihan. Beberapa orang yang tersebar di
beberapa tempat untuk kepentingan yang sama, menahan perkembangan Mataram,
telah ditarik. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa orang yang datang
dari Pajang. Orang-orang yang sependapat dengan Daksina. Bahkan ada di antara
mereka adalah prajurit-prajurit seperti Daksina sendiri.
“Kita memang sudah siap,”
desisnya kemudian, “prajurit-prajurit yang lepas dari kesatuannya itu pun
merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan oleh orang-orang Mataram.”
Tetapi seorang yang bertubuh
kecil kekurus-kurusan mencibirkan bibirnya sambil berkata, “Kita tidak
memerlukan mereka sekarang. Bahkan mereka akan mendatangkan kesulitan saja pada
kita. Lihat, apakah rencananya menjebak Sutawijaya itu berhasil? Kita telah
kehilangan beberapa orang kawan kita.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Apalagi
apabila prajurit-prajurit yang meninggalkan kesatuannya itu sempat menimbulkan
kecurigaan di antara mereka sendiri. Maka Pajang pun tentu tidak hanya akan
tinggal diam. Ia sudah kehilangan seorang perwira. Beberapa orang prajurit.
Maka kecurigaan itu akan memaksa Pajang meneliti seorang demi seorang. Nah, kau
tahu, bahwa hal itu sangat merugikan.”
Kawannya mengerutkan
keningnya. Lalu, “Tetapi tanpa mereka kita tidak cukup kuat. Apalagi jika
benar-benar terjadi usaha yang besar itu.”
“Sst,” desis yang lain,
“jangan didengar oleh anak-anak liar itu. Mereka tidak akan dapat menahan
rahasia jika mereka terbentur pada kesulitan.”
Kawannya mangangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya beberapa orang pengawas yang ada di sekitarnya. Mereka
adalah orang-orang yang tidak banyak mengerti tentang dirinya. Kenapa mereka
berada di dalam lingkungan yang tersembunyi itu. Mereka tidak menyadari, apakah
sebenarnya yang sedang mereka lakukan. Yang mereka inginkan hanyalah
kemungkinan yang jauh lebih baik bagi hari-hari depan mereka tanpa mengetahui
alasan dan tindakan yang sekarang ini mereka perbuat.
“Tetapi,” berkata salah
seorang dari mereka, “usaha untuk menyingkirkan kekuasaan Pajang sekarang ini
memerlukan mereka. Memerlukan prajurit-prajurit dan perwira-perwira Pajang itu
sendiri.”
“Tetapi tidak sekarang. Tidak
dalam keadaan seperti ini. Dan bagi kita, mereka hanya kita perlukan untuk
sementara.”
Kawannya tertawa kecil. Sambil
memandang orang yang berkeliaran di sekitarnya ia berkata, “Bukan hanya kita
berpendapat demikian. Orang terpenting di Pajang yang tentu ada, meskipun kita
sendiri belum mengetahuinya, tentu berpendapat, bahwa kita pun hanya mereka
perlukan untuk sementara. Dengan demikian, kita saling menyadari, bahwa pada
saatnya kita akan menentukan, siapakah yang lebih besar pengaruhnya.”
Beberapa orang yang termasuk
orang-orang penting di dalam lingkungan sebuah gerombolan yang besar, yang
selalu membayangi perkembangan Mataram itu pun terdiam, ketika mereka melihat
sekelompok orang mendekati mereka.
“Daksina,” desis salah seorang
dari mereka.
Yang datang itu adalah
Daksina. Seorang perwira Pajang yang tidak dapat kembali lagi kepada
pasukannya, karena ia menyangka bahwa Sutawijaya tentu akan membuat laporan
tentang dirinya kepada para Panglima di Pajang. Karena itu, maka ia pun harus
tetap menetap di tempat itu, meskipun ia masih akan selalu berhubungan dengan
perwira-perwira Pajang yang lain, yang telah menyiapkan suatu rencana yang
besar bagi perkembangan pemerintahan di atas Pulau yang manis ini.
Ketika Daksina mendekati
mereka, maka mereka pun mengangguk hormat. Salah seorang berkata, “Pengawasan
cukup baik. Mereka tidak akan berhasil melewati daerah ini tanpa sepengetahuan
kita.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Terima kasih. Tetapi kita sudah menyusun pertahanan.
Daerah ini bukan garis terakhir yang harus kita pertahankan. Salah seorang
telah menghadap Panembahan Agung menyampaikan laporan tentang perkembangan
keadaan.”
“Apakah laporan semacam itu
diperlukan,” bertanya salah seorang.
“Kenapa tidak?” bertanya
Daksina. “Aku telah mengirimkan laporan kepada pimpinanku di Pajang pula
seperti yang kami sampaikan kepada Panembahan Agung.”
“Mungkin laporan ke Pajang itu
perlu. Tetapi bukankah Panembahan Agung mempunyai kemampuan untuk melihat apa
yang tidak dilihat oleh indra wadagnya?”
“O,” Daksina
mengangguk-anggukkan kepalanya, “memang begitu. Tetapi tidak setiap persoalan
dapat diketahuinya dengan pasti sampai kepada bagian-bagiannya. Mungkin
Panembahan Agung kini sudah mengetahui, bahwa ada semacam bahaya yang sedang
merayap mendekati padepokannya. Tetapi selebihnya masih harus didengar
laporan-laporan. Panembahan Agung tidak dapat melihat seolah-olah ia berdiri di
bibir bumi dan mengetahui segala isinya, seperti kita melihat segerombolan
cengkerik di dalam kotak aduan.”
“Begitu?” salah seorang dari
orang-orang yang mendengarkan itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Mungkin kau
benar. Tetapi mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa Panembahan Agung
mempunyai kelebihan bukan saja secara wadag, misalnya olah kanuragan. Tetapi
juga secara halus.”
“Aku percaya,” sahut Daksina,
“tetapi kemampuan itu pun terbatas.”
“Dan kelebihan apakah yang
dimiliki oleh panglimamu di Pajang?” tiba-tiba seseorang bertanya dengan nada
tinggi.
Daksina mengerutkan keningnya.
Dipandanginya orang itu dengan tajamnya sambil menahan nafasnya.
Sejenak suasana justru menjadi
tegang. Daksina dan beberapa orang prajurit Pajang yang mengiringinya memandang
orang-orang yang berada di sekitarnya itu dengan tatapan mata yang tajam. Namun
demikian, Daksina masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu, maka sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apakah kita akan membuat perhitungan
untung rugi dari ikatan yang kita adakan ini?”
Para pengikut Panembahan Agung
itu tidak segera menjawab. Terasa bahwa Daksina masih berusaha menahan
perasaannya. Karena itu, maka sebagian dari mereka pun berusaha untuk menahan
diri pula agar mereka tidak saling menyinggung.
Namun dalam pada itu,
seseorang yang bertanya tentang pemimpin prajurit di Pajang itu agaknya masih
belum puas, sehingga ia masih juga mengulanginya, “Kau belum menjawab. Apakah
kelebihan panglimamu itu? Seandainya datang saatnya kita harus memilih,
siapakah yang akan memegang perintah tertinggi di antara kita, siapakah yang
paling pantas?”
Daksina memandang orang itu
dengan tajamnya. Namun agaknya ia tidak ingin menjawab. Bahkan ia berpaling
memandang ke arah yang lain.
Tetapi salah seorang
pengiringnya yang tidak dapat menahan hati menyahut, “Kau belum mengenal
panglima kami di Pajang. Tetapi kau pun tidak akan dapat membanggakan
Panembahan Agung itu dengan berlebih-lebihan. Jika ia mengetahui segala sesuatu
yang terjadi, maka kita tidak akan pernah mengalami kekalahan yang berat. Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak akan mati. Kita tidak akan gagal menguasai
para perwira di Jati Anom. Tetapi baiklah, jika kesalahan itu dibebankan kepada
perhitungan kami yang saat itu berada di Pajang. Tetapi bagaimana dengan
kegagalan orang-orangmu di perbatasan Alas Tambak Baya? Apakah Panembahan Agung
membiarkan saja apabila hal itu sudah diketahui sebelumnya.”
“Cukup,” potong lawannya, “kau
akan dikutuk menjadi batu jika kau berani menghinakannya. Kau kira ia tidak
mengetahui apa yang kau katakan.”
“Memang sudah cukup,” berkata
Daksina kemudian, “perselisihan yang demikian tidak ada gunanya. Bukan karena
aku sekarang menumpang di padepokanmu. Tetapi kita menghadapi persoalan yang
jauh lebih besar. Baiklah kita menguasai diri kita masing-masing, dan biarlah
kita mempergunakan kemampuan kita masing-masing. Jika Panembahan Agung itu
memiliki penglihatan tanpa batas, baiklah. Tetapi jika kami dan Panglima kami
di Pajang memiliki kemampuan memperhitungkan keadaan, baiklah.”
“Aku setuju,” berkata pengikut
Panembahan Agung yang sudah agak lebih tua dari kawan-kawannya, “kita
menghadapi pasukan Mataram yang bergerak maju mendekati padepokan ini. Dua
orang telah menjadi korban. Karena itu, kita harus selalu bersiap-siap
menghadapi mereka. Perselisihan di antara kita tidak akan ada gunanya.”
Daksina menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya orang-orangnya yang masih tegang dan demikian pula
pengikut-pengikut Panembahan Agung itu. Namun mereka sudah terdiam.
Sejenak Daksina masih berdiri
di tempat itu memandang tebing pegunungan yang terbentang di hadapannya.
Tidak ada jalur jalan yang
baik yang menghubungkan tempat itu dengan daerah luar. Yang ada hanyalah
lereng-lereng yang berkelok-kelok, yang memang mungkin dipergunakan untuk
merayap naik, seperti yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di
daerah itu. Mereka sengaja tidak membuat jalur jalan tertentu, agar tempat itu
tetap terpisah. Terutama dengan daerah Menoreh, sehingga jika ada jalur jalan
setapak, jalan itu menuju ke arah yang lain di seberang pebukitan.
“Apakah sudah ada pengawas
yang berada di depan tempat ini?” bertanya Daksina kemudian.
“Ya. Pengawasan sudah kami
susun sebaik-baiknya. Apalagi setelah kami kehilangan dua orang pengawas di
tempat ini.”
“Dan orang yang melepaskan
anak panah itu tidak dapat kalian ketemukan?”
“Tidak. Sulit untuk mencari.
Apalagi mungkin mereka berjumlah besar, meskipun aku yakin, bahwa mereka pun
tentu sekedar merintis jalan. Karena itu, kita sedang menunggu pasukan yang
kuat itu datang dari arah yang sama dengan arah kedatangan mereka. Menurut
perhitungan kami, mereka akan melalui jalur lereng ini. Meskipun demikian, di
tempat lain pun telah diletakkan pengawasan yang baik.”
Daksina mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan menemui Putut Nantang Pati. Mungkin
ada persoalan yang perlu kita siapkan.”
Orang-orang itu tidak
menjawab. Mereka hanya memandang Daksina melangkah menjauh dan kemudian hilang
di balik pepohonan.
“He,” salah seorang pengikut
Panembahan Agung itu berdesis, “seakan-akan ia sedang memeriksa pengawasan yang
kita susun. Apakah ia berhak berbuat demikian?”
“Sudahlah,” sahut yang lebih
tua, “jangan hiraukan. Ia seorang perwira. Adalah kebiasaannya untuk memeriksa
pasukan.”
“Tetapi kita bukan prajurit
Pajang.”
“Meskipun bukan, tetapi kita
kini berada dalam satu ikatan dengan mereka.”
“Meskipun demikian, yang
berwenang memerintah kita di sini adalah Putut Nantang Pati. Bukan Daksina.”
“Sudah ada persetujuan di
antara keduanya. Putut Nantang Pati dan Daksina, bahwa keduanya dianggap
memiliki kekuasaan dan wewenang yang sama.”
“Ah, itu hanya dugaanmu. Aku
belum pernah mendengarnya.”
“Kenapa hal itu kau ributkan?
Lihat, daerah pengawasan kita itu. Mungkin pasukan Mataram kini sudah menyusup
di bawah rimbunnya pepohonan itu. Bahkan mungkin perintisnya sudah sampai di
bawah kaki kita dengan anak panah siap pada busurnya.”
Para pengawas yang sedang
berbincang itu pun kemudian terdiam. Perhatian mereka segera tertuju ke lembah
di hadapan mereka. Lembah yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun, yang cukup
rapat untuk menyembunyikan diri.
Tetapi jika yang lewat itu
sebuah pasukan, maka tentu tidak akan mungkin lepas dari pengawasan orang-orang
itu. Apalagi di hadapan mereka masih ada tiga orang pengawas terdepan.
Sementara itu, para pengawas
dari Mataram dan Menoreh yang kembali kepada induk pasukannya segera melaporkan
apa yang telah terjadi atas mereka. Bahkan di antara mereka terdapat seorang
yang terluka. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun karena darah yang
mengalir dari luka, maka orang itu menjadi sangat lemah.
Untunglah, bahwa di antara
mereka terdapat Kiai Gringsing, sehingga dengan cekatan dukun tua itu pun
segera mencoba untuk menolongnya.
Namun dengan demikian, maka
mereka pun segera mendapat gambaran, bahwa lawan mereka memang telah dekat di
hadapan mereka, sehingga karena itu, mereka harus sudah mempersiapkan diri
menghadapi pertempuran.
“Kita tidak dapat maju lagi
sambil berkuda,” berkata para pengawas itu, “jalan sangat sulit.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak, seolah-olah ingin bertanya,
apakah ia dapat terus mengikuti perjalanan pasukan ini.
Meskipun pertanyaan itu tidak
diucapkan, namun agaknya Ki Gede Menoreh dapat menangkapnya. Karena itu sambil
tersenyum ia berkata, “Jangan cemas Raden. Aku dapat berjalan dengan baik
meskipun barangkali tidak seimbang lagi. Tetapi kakiku cukup kuat, setelah
sekian lamanya mengalami pengobatan terus-menerus. Obat yang sejak kaki itu
terluka, telah diberikan oleh Kiai Gringsing.”
“Aku hanya memberikan petunjuk
dedaunan yang dapat dipergunakan,” sahut Kiai Gringsing.
Dan Ki Argapati masih juga
tersenyum, “Sama saja artinya bagiku. Dan sekarang, aku merasa hampir pulih
kembali, meskipun tampaknya tubuhku seperti berat sebelah.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian tumbuh pula pertanyaan yang
seolah-olah diucapkannya kepada diri sendiri, “Bagaimana dengan kuda-kuda
kita?”
“Biarlah kuda-kuda itu kita
tinggalkan di sini. Aku rasa di sekitar tempat ini cukup banyak rerumputan yang
hijau. Biarlah kuda-kuda itu kita ikat dengan tali yang agak panjang, agar
mereka sempat makan rerumputan sehari suntuk. Bahkan dua tiga hari jika kita
tidak segera kembali.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya,
“tetapi jika kita kelak tidak sempat kembali, maka biarlah jika ada salah
seorang dari kita yang tetap hidup, akan melepaskan kuda-kuda ini. Biarlah
mereka menjadi kuda liar yang menghuni hutan itu.”
“Ah,” desis Ki Argapati, lalu,
“sebaiknya kita berdoa, agar perjalanan kita dilindungi oleh Tuhan, karena kita
sama sekali tidak bermaksud jahat. Kita sedang berusaha untuk berbuat kebaikan
di antara sesama sesuai dengan kewajiban kewadagan kita.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya,
“Baiklah Ki Gede. Kita percayakan perjalanan ini kepada kekuasaan Yang Maha
Tinggi.”
“Yang kita lakukan adalah
sebuah usaha.”
Orang-orang yang mendengar
pembicaraan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mereka pun ikut
serta mengucapkan kata-kata itu.
Dalam pada itu, maka pasukan
itu pun segera bersiap. Mereka telah menggenggam senjata masing-masing meskipun
jaraknya masih ada beberapa ratus langkah, lewat jalan yang sulit, sehingga
masih memerlukan waktu yang cukup panjang.
Namun dalam pada itu, Ki
Waskita, ayah Rudita tampaknya menjadi selalu bimbang. Bahkan kemudian
terdengar ia berdesis, “Aku menjadi bingung. Apakah aku sekarang sudah tidak
mampu lagi menangkap isyarat yang aku terima?”
“Kenapa?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Menurut tangkapanku, Rudita
masih berada di tempat yang agak jauh, meskipun kita memang berjalan ke arah
yang benar. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kita memang
sudah di ambang pintu sarang lawan Apakah jika demikian Rudita tidak berada di
sarang yang sedang kita dekati.”
“Jangan mengambil kesimpulan
dahulu. Mungkin ada sesuatu yang kurang wajar terjadi pada dirimu,” sahut Kiai
Gringsing.
“Apa maksud Kiai?”
“Mungkin kau dapat melihat dan
mengungkap isyarat bagi orang lain. Tetapi kali ini adalah anakmu sendiri,
sehingga di dalam memusatan pikiran kau dipengaruhi oleh kecemasan dan
kegelisahan. Atau justru persoalannya menyangkut anakmu sendiri, kau menjadi
kurang yakin pada tanggapanmu. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kekeruhan
di dalam tangkapan isyarat itu, sehingga uraiannya pun menjadi kusut pula.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi rasa-rasanya
aku sudah menerima isyarat, dan sudah aku terjemahkan dengan baik.” Ia berhenti
seienak, lalu, “Atau mungkin Rudita memang tidak ada di dalam sarang itu.
Mungkin ia disembunyikan di tempat yang jauh, atau yang mengambilnya memang
tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan orang yang akan kita temui
sebentar lagi.”
“Sudah aku katakan,” potong
Raden Sutawijaya, “ada kemungkinan kau keliru. Tetapi ada kemungkinan kita
tertipu oleh pengawas yang sedang berkeliaran jauh dari sarangnya. Atau
kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi marilah kita berbuat sesuatu agar ada
usaha kita untuk melakukan penyelamatan bagi sesama. Keselamatan Rudita, dan
umumnya keselamatan Tanah Perdikan ini dan Tanah Mataram.”
Ayah Rudita tidak menjawab
lagi. Namun ia pun sudah siap untuk berangkat.
Sejenak kemudian, maka para
pengawal itu pun segera mengikat kuda-kuda masing-masing pada sebatang pohon di
sekitar rerumputan yang hijau dengan tali yang agak panjang, sehingga jarak
jangkau kuda-kuda itu menjadi agak jauh. Agaknya Sutawijaya menganggap bahwa
tidak akan ada gunanya, seandainya satu dua orang harus tinggal menunggui
kuda-kuda itu, karena apabila beberapa orang lawan merunduk mereka, maka mereka
pun akan mati terbunuh. Sehingga karena itu mereka membiarkan saja kuda-kuda
itu tidak di tunggu. Apalagi menurut perhitungannya jarak yang akan ditempuh
sudah tidak begitu jauh lagi.
Ketika para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh dan Tanah Mataram itu sudah siap, maka merekapun segera
bergerak maju ke arah sarang lawan di sela-sela pebukitan itu.
Namun demikian salah seorang
dari mereka masih juga bergumam, “Bagaimana jika seekor harimau datang ke
tempat kuda-kuda itu tertambat?”
“Harimau itu tidak akan sampai
ke tempat itu. Mereka tidak mau menyeberangi daerah terbuka yang agak luas,
kemudian menyusup ke hutan perdu. Di hutan itu sendiri terdapat cukup makanan
bagi mereka,” jawab yang lain.
Tetapi kawannya masih juga
berpaling, seakan-akan ia merasa berat hati meninggalkan kudanya, karena kuda
itu sudah bertahun-tahun dipeliharanya dengan baik. Kuda yang merupakan kawan
yang paling akrab di setiap keadaan.
Meskipun demikian, ia harus
berjalan terus bersama dengan seluruh pasukannya. Mereka telah mendapat
gambaran dari medan yang harus mereka tempuh.
Ketika mereka sampai di ujung
lembah, maka pengawas yang telah mendahului mereka sebelumnya berpendapat,
bahwa sebaiknya mereka menempuh beberapa jalan. Yang pertama adalah jalur jalan
di sela-sela pepohonan di dalam lembah. Yang lain naik melalui tebing. Mereka
telah mencoba memanjat tebing itu di tengah-tengah perjalanan untuk mengetahui
apakah ada jejak kaki di atasnya, tetapi selagi mereka memanjat, mereka telah
mendapat serangan. Menurut perhitungan mereka, jalan tebing itu akan sampai
kepada tempat yang akan mereka capai. Sedang sekelompok lagi akan melalui
lereng sebelah untuk mencapai tempat para pengawas di lereng itu.
Sejenak para pemimpin pasukan
dari kedua belah pihak membicarakan pendapat para pengawas itu. Sutawijaya yang
dialiri darah muda itu segera menjawab, “Baik. Kita akan datang dari tiga arah.
Kita masing-masing akan selalu berhubungan dengan isyarat-isyarat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun sependapat dengan rencana itu, meskipun
ia sadar, bahwa jalur isyarat harus terpelihara sebaik-baiknya, karena meskipun
jarak dari ketiga pasukan itu tidak akan jauh, tetapi jika diperlukan, pasukan
yang sekelompok tentu agak sulit untuk mencapai kelompok yang lain, sehingga
diperlukan waktu yang agak panjang.
Ketika hal itu dikemukakannya
kepada Raden Sutawijaya, maka anak muda itu pun berkata, “Peringatan Ki Gede
itu akan bermanfaat sekali. Ingat, daerah yang akan kita lalui adalah daerah
yang sulit. Jika salah sebuah kelompok disergap, maka isyarat itu harus
secepatnya di berikan, agar kelompok yang lain akan segera dapat mengambil
sikap. Apabila kelompok itu sendiri berhadapan juga dengan lawan, maka kelompok
itu pun harus segera memberikan isyarat.”
Para pengawal itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Melihat medan yang terbentang di hadapan
mereka, maka mereka sadar, bahwa mereka akan menghadapi tugas yang berat.
Namun dalam pada itu, selagi
mereka mempersiapkan diri dan membagi di dalam kelompok-kelompok yang lebih
kecil, ayah Rudita tiba-tiba saja berkata, “Aku mendapat petunjuk, bahwa kita
berjalan ke arah yang salah. Baru saja aku menyadari. Jika kalian tidak
berkeberatan, aku akan mengulangi perjalanan ini sehingga aku dapat menemukan
titik perubanan arah dari perjalanan yang seharusnya kita tempuh.”
Semua orang memandanginya
dengan bimbang. Apalagi Sutawijaya, sehingga katanya, “Ki Waskita, sebaiknya
kita membuktikan lebih dahulu apa yang sedang kita hadapi.”
“Aku yakin, bahwa Rudita tidak
ada di tempat yang sedang kita tuju, atau kita sudah tersesat oleh jebakan
lawan.”
Sutawijaya menjadi tidak
sabar. Namun ketika ia akan berbicara. Kiai Gringsing telah menggamitnya.
Ia-lah yang kemudian melangkah mendekati ayah Rudita itu sambil berkata, “Ki
Waskita. Memang, mungkin sekali petunjuk itu benar. Tetapi jika kita berhasil
menemukan tempat mereka, meskipun bukan tempat persembunyian Rudita, kita akan
dapat bertanya kepada mereka, di manakah Rudita itu di sembunyikan.”
“Kiai,” jawab ayah Rudita
itu,” jika orang yang menyembunyikan Rudita itu mengetahui, bahwa pertahanan
mereka pecah, maka mereka tentu akan menyingkirkan Rudita, atau mungkin
mengambil tindakan lain, karena kita tidak tahu, apakah sebenarnya keinginan
mereka dengan Rudita.”
“Jadi bagaimana sebaiknya
menurut pertimbanganmu?”
“Kiai. Aku menyadari, bahwa
usaha kalian bukan saja untuk kepentingan Rudita, meskipun aku berterima kasih
bahwa Rudita merupakan cambuk utama dari keberangkatan pasukan ini. Karena itu,
aku sama sekali tidak dapat mengganggu atau merubah sikap dan keputusan
kepemimpinan pasukan ini. Tetapi karena aku selalu dibarengi oleh penglihatan
yang lain dari perhitungan keprajuritan, maka aku minta ijin, perkenankanlah
aku menelusuri jalanku sendiri. Dengan demikian usaha kita akan berjalan
beriringan. Aku tidak tahu siapakah yang akan berhasil lebih dahulu. Namun aku
sebelumnya mengucap beribu terima kasih atas jerih payah kalian.”
Mereka yang mendengar
kata-kata ayah Rudita itu terkejut. Ternyata bahwa Ki Waskita benar-benar yakin
akan isyarat-isyarat yang ditangkapnya, sehingga karena itu maka ia lebih
senang menempuh jalan lain dari jalan yang bersama-sama telah mereka pilih.
Untuk beberapa saat. Kiai
Gringsing termenung. Bahkan kemudian dipandanginya Ki Argapati, Ki Sumangkar,
Ki Demang Sangkal Putung, dan kemudian Sutawijaya, seolah-olah ia ingin
mengetahui bagaimana pendapat mereka masing-masing.
Ki Argapati, selain merasa
bertanggung jawab atas Tanah Perdikan Menoreh, juga menganggap bahwa ayah
Rudita adalah tamunya, sehingga karena itu ia bertanya, “Apakah hal itu sudah
kau pertimbangkan masak-masak?”
“Aku kira aku tidak mempunyai
pilihan lain. Rasa-rasanya aku yakin, bahwa aku mengetahui dengan tepat, di
manakah Rudita kini berada. Tetapi aku juga menganggap berdasarkan perhitungan
nalar, bahwa arah yang kita tempuh untuk mencapai padepokan itu pun benar.
Karena itu, jalan yang paling baik bagi kita adalah berpisah di sini. Kita
kelak akan bertemu lagi apabila kita masing-masing berhasil dengan usaha ini.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Jalan yang kau pilih adalah jalan yang sangat
berbahaya.”
“Aku tahu. Tetapi aku kira,
jalan itu adalah yang paling dekat untuk mencapai Rudita.”
“Apalagi jika benar-benar
Panembahan Agung itu adalah panembahan yang pernah kau sebut mempunyai
kemampuan yang luar biasa, sehingga ia mampu menciptakan bentuk semu dengan
mempengaruhi syaraf kita di seberang indera penglihatan dan bahkan indera kita
yang lain.”
“Aku akan berusaha
mengatasinya. Mudah-mudahan aku masih dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh
panembahan itu.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya, sedang beberapa orang lain yang mendengarnya menjadi berdebar-debar.
Agaknya Ki Waskita itu selain memiliki penglihatan yang dapat menembus batas
tempat dan waktu, juga memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu panembahan
yang disebutkannya.
“KI Gede,” berkata ayah Rudita
itu kemudian, “biarlah aku mencobanya. Aku harap Ki Gede memberi aku
kesempatan.”
Orang-orang tua itu saling
berpandangan sejenak. Mereka menjadi ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
Apalagi anak-anak-muda yang saling berpandangan yang satu dengan yang lain.
“Ki Waskita,” berkata
Sumangkar kemudian, “baiklah, jika Ki Waskita memilih jalan itu. Tetapi
sebaiknya kau tidak pergi seorang diri agar ada kawan berbincang di sepanjang
jalan. Biarlah aku pergi bersamamu. Mudah-mudahan aku tidak mengganggu di
perjalanan karena yang akan kita hadapi adalah orang yang memiliki ilmu yang
seakan-akan tanpa dapat dibatasi.”
“Sebenarnya bukan ilmu yang
dahsyat,” berkata Ki Waskita, “yang dilakukan hanya sekedar mengelabuhi indera
kita. Jika kita sadar, dan dengan sepenuh hati menguasai indra kita sendiri,
tanpa menyentuh ilmu orang itu pun kita dapat menyelamatkan diri kita.”
“Jika demikian, semuanya masih
terserah kepada Ki Gede Menoreh dan Raden Sutawijaya. Jika perjalanan kita
tidak dirasa mengganggu, maka aku kira mereka tidak akan berkeberatan.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Akhirnya ia berkata kepada Ki Waskita, “Sebenarnya kami ingin kau
tetap bersama dengan kami. Tetapi jika kau yakin akan penglihatan mata hatimu
atas anakmu, aku tidak dapat mencegahnya. Sebab jika kelak terjadi sesuatu atas
anak itu karena kelambatan kami, maka kami akan dibebani oleh pertanggungan
jawab yang sangat berat, justru karena kau pernah menyatakan sikap yang lain.
Karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha. Kau dengan caramu, kami dengan
cara kami. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita semuanya, sehingga kita dapat
menyelesaikan tugas kita kali ini. Bukan saja bagi keselamatan Rudita, tetapi
juga bagi ketenteraman di daerah Menoreh dan Mataram. Dan yang lebih luas lagi
adalah bagi Pajang keseluruhan.”
“Terima kasih Ki Gede. Dan aku
pun mengucapkan terima kasih kepada Ki Sumangkar yang sudah bersedia mengawani
aku di perjalanan. Tentu bukan sekedar kawan berbincang. Tetapi juga kawan di
segala keadaan.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Sumangkar sejenak, lalu katanya, “Baiklah. Hati-hatilah. Mudah-mudahan kita
semua selamat dan berhasil.”
Ayah Rudita dan Ki Sumangkar
pun kemudian minta diri kepada para pemimpin kelompok kedua pasukan itu. Kepada
Ki Demang Sangkal Putung, kepada kedua murid Kiai Gringsing, Pandan Wangi,
Prastawa, para pemimpin pasukan pengawal Mataram dan kemudian melambaikan
tangannya kepada seluruh pasukan.
Dengan diiringi oleh tatapan
mata dan jantung yang berdebar-debar, keduanya pun kemudian melangkah menyusuri
jalan kembali. Ki Waskita ingin mengulang perjalanan itu dan ingin menangkap
isyarat, di mana ia harus berbelok ke arah yang benar.
Tanpa disadari Ki Sumangkar
pun meraba senjatanya. Ia merasa perlu mempersiapkan diri selengkap-lengkapnya
untuk menghadapi keadaan yang kurang dimengertinya itu.
Namun ia adalah seseorang yang
berpengalaman. Ia adalah adik seperguruan Patih Mantahun yang pernah disebut
bernyawa rangkap. Karena itu, maka ia pun segera berusaha menyesuaikan diri
dengan medan yang dihadapinya.
Dalam pada itu, Ki Waskita
yang memiliki penglihatan yang dapat menembus batas waktu dan tempat itu pun
dengan ketajaman ilmunya berusaha mengetahui, ke mana ia harus pergi. Ketika ia
merasa bahwa ia sudah menemukan titik yang dicarinya, maka ia pun berkata, “Ki
Sumangkar, kita harus berbelok ke arah Barat.”
“Justru ke arah Barat?”
bertanya Sumangkar.
Ki Waskita menganggukkan kepalanya.
Sejenak ia masih mencoba meyakinkan dirinya. Dan katanya kemudian, “Aku yakin,
Ki Sumangkar. Aku harus menuju ke arah Barat. Aku tidak tahu, daerah apakah
yang akan kita temui. Tetapi di sanalah anakku itu di sembunyikan.”
Ki Sumangkar hanya rnengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Ia mengikuti saja di belakang ayah Rudita yang dituntun oleh
sentuhan hubungan getaran yang terjalin antara dirinya dengan Rudita. Apalagi
Rudita adalah anaknya, sehingga jalinan itu terasa semakin mantap.
Demikianlah, mereka menyusuri
lereng pegunungan. Menyusup gerumbul-gerumbul perdu dan padang ilalang. Mereka
sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang mungkin mereka jumpai di
perjalanan.
“Bukan perjalanan yang amat
dekat” berkata ayah Rudita kepada Sumangkar, “karena itu aku agak cemas. Ketika
perhitungan nalarku sependapat dengan Raden Sutawijaya, bahwa kita sudah dekat
dengan persembunyian orang-orang yang mungkin melarikan Rudita.”
“Memang mungkin demikian,”
sahut Sumangkar, “persembunyian mereka sudah dekat. Tetapi Rudita di tempatkan
di tempat lain dan terasing.”
“Itu pun mencemaskan. Seperti
sudah aku katakan, jika orang-orang yang menyembunyikan Rudita mencemaskan
keselamatan mereka sendiri, atau gerombolannya, maka Rudita akan mengalami
nasib yang sangat jelek.”
Ki Sumangkar tidak menyahut.
Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Sementara itu mereka pun
berjalan semakin cepat menembus gerumbul-gerumbul liar di lereng pebukitan.
Dalam pada itu, pasukan
pengawal dari Mataram dan Menoreh itu pun sudah bergerak kembali. Mereka
benar-benar membagi diri menjadi tiga kelompok. Yang berjalan di tengah adalah
kelompok Raden Sutawijaya dengan sepasukan pengawal dari Mataram yang kuat,
bersama para pemimpinnya yang dapat dipercaya.
Yang kemudian memanjat tebing
yang diduga dilalui oleh orang-orang Daksina, dipimpin oleh Kiai Gringsing dan
kedua muridnya bersama Ki Demang Sangkal Putung dengan sebagian pengawal dari
Menoreh. Sedang sebagian lagi pengawal dari Menoreh mengitari lereng sebelah,
dan akan sampai di tebing sebelah. Mereka akan merunduk para penjaga di pihak
lawan yang mengawasi pintu gerbang memasuki daerah mereka yang terpencil itu.
Dengan pengalaman yang pernah
terjadi atas para pengawas yang mendahului perjalanan mereka, maka setiap
kelompok pasukan telah mempersiapkan beberapa orangnya untuk menghadapi
pertempuran jarak jauh. Karena lawan-lawan mereka mempergunakan anak panah,
maka untuk melindungi gerakan pasukan seluruhnya, merekapun mempersiapkan
beberapa orang yang dipersenjatai dengan panah, meskipun sebagian dari
kepentingan mereka adalah untuk memberikan isyarat-isyarat.
Pasukan yang di tengah, yang
dipimpin oleh Sutawijaya adalah kelompok yang terkuat. Mereka terdiri dari
pasukan pengawal berkuda dari Mataram, meskipun saat itu mereka tidak dapat
mempergunakan kuda-kuda mereka. Namun mereka adalah orang-orang yang
berpengalatnan. Yang memiliki ilmu bukan saja yang mereka terima selama mereka
menjadi seorang pengawal. Tetapi mereka pada umumnya telah memiliki ilmu
sebagai bekal pendadaran mereka memasuki pasukan pengawal Mataram. Bahkan
sebagian dari mereka adalah bekas prajurit-prajurit Pajang yang berpengaruh. Di
antara mereka adalah Ki Lurah Branjangan.
Menurut perhitungan, maka
pertahanan terkuat dari pihak lawan adalah yang di tempatkan di lembah itu.
Mereka tentu berpendapat, bahwa pasukan Sutawijaya akan melalui jalan itu.
Sementara itu Kiai Gringsing
pun maju terus meskipun perlahan. Mereka berjalan di sepanjang tebing yang agak
miring. Sebuah jalur yang dapat mereka lalui menyelusur di sisi tebing itu.
Beberapa batang pohon tumbuh di lereng dan di pinggir jalan setapak itu.
“Tunggu,” berkata Kiai
Gringsing, “ternyata bahwa dugaan para pengawas itu benar. Kita menemukan jejak
kaki yang menyelusuri lereng ini.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengerutkan keningnya. Mereka pun mengamati tempat di sekitar mereka dengan
saksama. Dan mereka memang menemukan sesuatu yan mencurigakan, yang mungkin
adalah jejak kaki seseorang yang sudah diusahakan untuk dihapuskan.
“Kita berjalan lewat jalur
yang benar,” desis Kiai Gringsing.
“Apakah kita akan memberikan
isyarat?” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
“Belum sekarang,” sahut Kiai
Gringsing.
Sementara itu pasukan di
lereng seberang pun maju terus lewat di bawah rimbunnya dedaunan. Kelompok itu
di pimpin langsung oleh Ki Argapati. Meskipun kaki Ki Argapati masih belum
pulih sama sekali, namun ia tidak mengalami kesulitan apa pun berjalan di
lereng yang terjal bertelekan pada tangkai tombak pendeknya.
Di belakangnya berjalan Pandan
Wangi dan Prastawa. Sedang mengikuti mereka itu adalah sekelompok yang bagi
Menoreh adalah pengawal yang paling baik, seperti juga pengawal terpilih dari
Mataram. Para pengawal dari Menoreh itu pun sebagian besar telah memiliki
pengalaman, bukan saja disadap dari cerita-cerita dan kitab-kitab, tetapi
mereka pun pernah mengalami berbagai macam suasana medan yang berbeda-beda.
Dalam pada itu, selagi para
pengawal dari Mataram dan Menoreh merayap maju mendekati sarang orang-orang
yang tidak banyak mereka kenal, termasuk Daksina, maka di padepokan yang
terpencil, seseorang sedang berbicara dengan dua orang yang agaknya siap untuk
menempuh perjalanan yang agak jauh dan sulit.
“Kau harus singgah di padesan
itu untuk mengambil kuda. Kau harus segera sampai di Mataram,” berkata
seseorang yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati.
“Ya. Kami akan berpacu secepat
dapat kami lakukan,” jawab salah seorang dari keduanya.
“Aku yakin, bahwa pasukan yang
kuat akan datang. Tetapi kami tidak akan mempertahankan padepokan ini dengan sepenuh
kekuatan. Kami sudah mengatur, bahwa kami akan segera menarik diri jika
pertempuran telah berkobar, kecuali jika kami yakin bahwa kami dapat menumpas
lawan yang datang itu. Pertahanan kami yang sebenarnya adalah di depan
padepokan Panembahan Agung. Kami akan melihat suatu permainan yang sangat
menarik. Orang-orang Mataram akan menjadi kebingungan melawan ilmu Panembahan
Agung.”
“Ya. Sebenarnya aku pun ingin
melihatnya.”
“Tidak. Kalian harus pergi
seperti yang sudah kita sepakati dengan Daksina. Kemampuan Panembahan Agung itu
pun terbatas. Jika ia menghadapi pasukan segelar sepapan, maka pada suatu saat,
jika lawannya itu tidak juga segera dapat disingkirkan, maka kemampuan ilmu itu
berkurang, karena Panembahan akan menjadi lelah.