Buku 089
Ki Demang mengangguk-angguk.
Katanya, “Ya, ya Ki Sanak. Aku menyadari kekeliruan itu. Aku akan sangat
memperhatikannya dan akan aku sampaikan kelak kepada prajurit Pajang yang masih
sering datang untuk memberi bimbingan olah kanuragan.”
“Mudah-mudahan tidak
menimbulkan salah paham,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Aku akan berusaha,” jawab Ki
Demang bersungguh-sungguh.
Demikianlah, maka setelah Ki
Demang menghidangkan sekedar minuman dan makanan, Ki Waskita dan kawan-kawannya
pun segera mohon diri. Tetapi ternyata Ki Demang masih menahannya sambil
berkata, “Tunggulah Ki Sanak. Mungkin aku menjadi deksura. Tetapi maksudku
adalah baik. Jika sekiranya Ki Sanak tidak berkeberatan, apakah aku boleh
memberikan sepasang pakaian bagi Angger Rudita. Agaknya pakaiannya sudah
terlampau tidak pantas karena perlakuan yang kasar dari orang-orang Cangkring,
sehingga pakaiannya menjadi seakan-akan tersayat-sayat.”
Ki Waskita tersenyum.
Dipandanginya Rudita yang tersipu-sipu.
“Terserahlah kepadanya, Ki
Demang,” jawab Ki Waskita.
“Bagaimana pendapat Angger?”
bertanya Ki Demang.
Rudita pun tersenyum pula.
Katanya, “Baiklah, Ki Demang. Tidak selayaknya menolak pemberian yang ikhlas.
Aku tahu, bahwa Ki Demang benar-benar ingin memberikan sepengadeg pakaian
bagiku. Tetapi ketahuilah, bahwa bukan salah anak-anak Cangkring sajalah yang
membuat pakaianku jadi begini. Pakaianku memang sudah terlampau kumal, sehingga
setiap sentuhan yang betapa pun perlahan-lahannya, namun sudah akan dapat
menyayatnya lebar-lebar.”
“Kau memang seorang anak muda
yang rendah hati,” berkata Ki Demang, “marilah. Masuklah ke dalam.”
Rudita pun kemudian mengikuti
Ki Demang masuk ke dalam. Ketika ia keluar, ia sudah mengenakan pakaian yang
masih baru sama sekali.
“Terima kasih, Ki Demang,”
berkata Rudita.
“Dengan demikian siapa pun
tidak akan salah lagi, bahwa Angger Rudita memang bukan seorang anak muda dari
lingkungan yang suram.”
“Ah,” desis Rudita, “tentu
tidak, Ki Demang. Apakah dengan demikian nilai seseorang dapat ditentukan
dengan pakaiannya?”
“Tentu bukan begitu maksudnya,
Rudita,” sahut Kiai Gringsing, “maksud Ki Demang, bahwa seseorang akan dapat
salah duga karena bentuk lahiriahnya, karena tidak semua orang dapat menangkap
gelombang kajiwan yang memang susah untuk dijajagi itu.”
Rudita tersenyum sekali lagi.
Katanya, “Maaf, Ki Demang, maksudku bahwa sebaiknya anak-anak muda Cangkring
lebih berhati-hati menilik sifat seseorang yang hanya dilihat sepintas dari
bentuk lahiriahnya saja.”
“Kau benar, Angger. Aku akan memperhatikannya.
Mudah-mudahan semuanya akan dapat menjadi pelajaran yang sangat berguna bagi
Cangkring.”
Demikianlah maka Ki Waskita,
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Rudita pun segera mohon diri untuk pergi ke
Jati Anom.
“Kami harus melaporkan diri
kepada Ki Untara,” berkata Ki Waskita, “karena pada saat kami datang, kami
telah mengajukan permohonan dan bantuan kepadanya.”
“Baiklah, Ki Sanak. Aku hanya
dapat mengucapkan selamat jalan.”
Dengan kesan tersendiri, maka
keempat orang itu pun kemudian meninggalkan Kademangan Cangkring. Di sepanjang
jalan mereka sama sekali tidak menjumpai seorang anak muda pun. Agaknya mereka
menjadi segan bertemu lagi dengan Rudita, setelah mereka melakukan kesalahan.
Namun dalam pada itu, pada
saat kesalah-pahaman di antara anak-anak muda Cangkring dan Rudita teratasi,
maka timbullah kesulitan di antara kelompok-kelompok yang sedang memenuhi
perintah Untara untuk mencari Rudita. Terutama kelompok yang termasuk baru yang
tinggal di Padepokan Tambak Wedi.
Dalam waktu yang bersamaan,
mereka harus berkeliaran dalam kelompok-kelompok kecil di daerah yang sangat
berdekatan. Dengan demikian, maka akan dapat timbul sentuhan-sentuhan yang
dapat memercikkan bunga-bunga api di antara mereka.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan ketiga orang kawannya berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke Jati Anom.
Mereka berniat untuk berjalan terus, meskipun tengah malam mereka baru akan
sampai.
“Besok pagi-pagi, kita akan
melanjutkan perjalanan ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing. “Ketelanjuranku
bermain-main dengan cambuk membuat aku berdebar-debar. Mudah-mudahan tidak
banyak menarik perhatian. Tetapi bagaimana pun juga, aku ingin segera kembali
kepada murid-muridku.”
Karena itulah, maka keempat
orang itu pun berjalan terus. Ketika matahari turun ke bawah bayangan Gunung
Merapi, mereka hanya memandanginya saja. Seolah-olah mereka hanya sekedar
mengucapkan selamat berpisah. Tanpa berhenti. Dan mereka pun berjalan terus ke
Jati Anom. Bahkan semakin lama semakin cepat.
Ketika gelap malam mulai turun,
dan lereng Gunung Merapi menjadi kehitam-hitaman, maka mereka mulai menyusuri
jalan-jalan di tengah bulak persawahan.
“Apakah kau lelah?” tiba-tiba
saja Kiai Gringsing bertanya kepada Rudita.
Rudita memandang Kiai
Gringsing sejenak. Kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Tidak, Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mendekati Ki Waskita ia bertanya,
“Apakah Angger Rudita memang tidak pernah merasa letih sejak kanak-kanak?”
Ki Waskita tersenyum. Ia
mengerti, bahwa Kiai Gringsing mulai melihat kelebihan yang ada pada anaknya.
Tetapi Ki Waskita tidak mengatakan apa yang sebenarnya diketahuinya pula,
justru karena mereka berada di dekat Rudita.
“Ia memang betah berjalan,”
berkata Ki Waskita. Namun ia memperlambat langkahnya, sehingga jaraknya dengan
Rudita menjadi semakin jauh di belakang.
Baru kemudian ia berbisik, “Ia
mempelajarinya. Selain dapat mengesampingkan perasaan sakit, ia pun dapat
mengesampingkan perasaan lelah dan letih. Meskipun baru saja ia mengalami
peristiwa yang akan sangat mengerikan jika terjadi atas orang lain, tetapi ia
tetap nampak segar.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk pula. Sedang Ki Sumangkar yang berjalan bersamanya berdesis,
“Bukan main. Aku kira orang lain tidak akan dapat menguasai ilmu itu dalam
waktu yang sangat singkat. Agaknya darah yang mengalir pada ayahnya menitik
juga di tubuh anaknya.”
“Ah,” desis Ki Waskita. Tetapi
ia tidak berkata lebih lanjut ketika ia melihat Rudita berpaling dan berkata,
“Kenapa Ayah dan Kiai berdua berjalan semakin lambat?”
“Tidak. Kami sedang
membicarakan anak-anak muda Cangkring yang memerlukan penyaluran itu,” jawab
Kiai Gringsing.
Rudita tidak bercuriga lagi.
Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa ketiga orang-orang tua itu sedang
membicarakannya. Karena itu, maka ia pun melangkah terus, menembus gelapnya
malam di tengah-tengah bulak. Terasa angin malam yang sejuk bertiup mengusap
kening.
Rudita menengadahkan wajahnya.
Di langit bergayutan bintang-bintang yang gemerlapan. Namun di ujung utara
nampak segumpal mendung yang tergantung di langit.
“Jika angin bertiup ke
selatan, maka mendung itu akan mengalir dan di dalam dinginnya malam, mungkin
akan turun hujan,” berkata Rudita di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka ia pun
berjalan semakin cepat. Rasa-rasanya ia pun didorong oleh suatu keinginan untuk
segera sampai ke Jati Anom, dan pada keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke
Sangkal Putung.
Setiap kali Rudita
menengadahkan kepalanya, setiap kali ia melihat mendung yang semakin merata di
langit.
“Hujan agaknya akan turun,”
berkata Rudita di dalam hati.
Karena itulah maka ia
mempercepat langkahnya. Jika ia kehujanan maka pakaian barunya akan menjadi
basah kuyup.
Agaknya Kiai Gringsing, Ki
Waskita, dan Ki Sumangkar pun melihat pula mendung yang tebal merambat dari
utara. Karena itulah maka mereka pun mempercepat langkah pula. Sejenak kemudian
mereka sudah berjalan dekat di belakang Rudita.
“Mudah-mudahan hujan tidak
segera turun,” berkata Rudita kepada ketiga orang tua itu.
Ki Sumangkar tertawa. Jawabnya,
“Itu lebih baik. Jika kau menjadi basah kuyup dan Angger Untara memberimu
sepengadeg pakaian baru, maka kau akan beruntung. Kau mendapat sekaligus dua
pengadeg pakaian pada hari ini.”
Yang mendengar gurau Ki
Sumangkar itu tertawa. Tetapi suara tertawa mereka pun terputus oleh guntur
yang meledak di langit.
Dengan demikian, maka mereka
berempat pun berjalan semakin cepat lagi. Jati Anom masih agak jauh. Namun
mereka masih berharap bahwa hujan tidak akan turun dengan segera, karena
mendung masih berada di satu sisi langit yang luas itu.
Namun, ketika mereka dengan
cepat berjalan menyusuri bulak, tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Dalam
keremangan malam, mata mereka yang tajam melihat beberapa sosok tubuh tergolek
di tengah jalan.
“He, siapakah itu kira-kira?”
bertanya Rudita.
Mereka tertegun sejenak.
Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing berkata, “Apakah kita harus terlibat dalam
persoalan yang lain lagi sehingga kita akan terlambat kembali ke Sangkal
Pulung? Bahkan mungkin akan dapat mengganggu perkawinan Angger Swandaru?”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
menjadi termangu-mangu. Namun kemudian mereka berkata, “Kita akan melihatnya.”
Keempat orang itu pun berjalan
dengan hati-hati mendekati beberapa sosok yang berserakan itu. Bahkan meskipun
mereka tidak saling membicarakan, namun ada semacam kecurigaan di hati mereka,
bahwa yang ada di hadapannya adalah suatu jebakan.
“Justru setelah mereka
mengetahui, bahwa aku adalah orang yang sering disebut Orang Bercambuk itu,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Kiai Gringsing yang kemudian
ada di paling depan, dengan penuh kewaspadaan mendekat selangkah demi
selangkah. Sehingga akhirnya ia pun berada hanya selangkah dari sesosok mayat
yang paling dekat. Sedangkan di beberapa langkah di hadapannya, masih ada beberapa
sosok lagi yang tergolek diam.
Kiai Gringsing pun kemudian
berjongkok di sisi tubuh yang paling dekat daripadanya itu. Perlahan-lahan ia
meraba tubuh itu untuk meyakinkan, apakah yang dihadapi itu benar-benar sesosok
mayat.
Ternyata tangannya menyentuh
tubuh yang sudah benar-benar membeku. Tidak ada lagi gerak dan getar
jalur-jalur darah dan jantungnya.
“Mayat,” desisnya sambil
memutar dan menengadahkan wajah mayat itu.
Yang lain pun kemudian
berjongkok mengitari mayat itu. Mereka sependapat bahwa agaknya telah terjadi
pertempuran yang sengit di tempat itu antara dua kelompok orang-orang yang
bermusuhan.
“Apakah yang akan kita lakukan
sekarang?” bertanya Kiai Gringsing. Lalu, “Kita tidak mengenal siapakah yang
terbunuh ini. Jika kita mengambil tindakan sendiri, mungkin kita akan
benar-benar terlibat semakin jauh. Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan
dapat membiarkan mereka terbaring di tengah-tengah jalan. Adalah menjadi
kewajiban setiap orang untuk menyelenggarakan mayat yang tidak mendapatkan
perawatan semestinya seperti beberapa sosok mayat ini.”
Yang lain tidak segera
menjawab. Ada semacam kebimbangan di hati mereka. Jika mereka terhenti di
tempat itu, maka mereka akan menjadi semakin lambat sampai ke Jati Anom dan
sudah barang tentu mereka tidak akan dapat berangkat langsung di pagi harinya
ke Sangkal Putung, karena mereka tentu masih harus berbicara dan mungkin
memberikan beberapa keterangan yang diperlukan oleh Untara, bukan saja mengenai
Rudita, tetapi juga mengenai semua peristiwa yang dijumpainya. Juga mengenai
mayat-mayat ini.
“Mungkin kita harus
mengantarkan mereka dan menggali mayat-mayat ini lagi,” gumam Kiai Gringsing di
dalam hatinya.
Dengan demikian, maka setelah
termangu-mangu sejenak, ia pun berkata, “Menurut pendapatku, apakah bukan
sebaiknya kita melaporkannya saja kepada Angger Untara?”
Ternyata Ki Waskita dan Ki
Sumangkar pun sependapat. Mereka mempunyai perhitungan seperti yang
dipertimbangkan Kiai Gringsing pula. Maka Ki Waskita pun berkata, “Agaknya
tidak ada jalan lain, Kiai. Secepatnya kita akan melaporkannya kepada Ki
Untara.”
“Ya,” sambung Ki Sumangkar,
“menilik keadaan yang dapat kita lihat di sini, yang menjadi korban adalah
orang-orang dari beberapa pihak. Setidak-tidaknya dari kedua belah pihak.
Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan, agaknya telah terjadi
pertempuran sengit di sini.”
Demikianlah maka mereka pun
kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Jati Anom. Mungkin mereka
juga akan disuruh ikut dan menunjukkan tempat itu, tetapi mereka tidak perlu
untuk menggali mayat-mayat itu lagi jika diperlukan.
Ternyata Jati Anom masih cukup
jauh. Namun akhirnya jarak itu pun dapat mereka lalui dengan selamat dan
sebelum tengah malam mereka telah memasuki induk kademangan.
Beberapa gardu peronda dapat
mereka lewati tanpa kesulitan apa pun, karena keempat orang itu dapat
menunjukkan dan memberikan keterangan selengkapnya atas setiap pertanyaan.
Apalagi hampir setiap prajurit sudah mendengar tentang ketiga orang yang sedang
mencari anak yang hilang atas ijin Untara, bahkan Untara telah mengerahkan
beberapa kelompok prajurit untuk membantunya.
“Jadi anak itulah yang
hilang,” desis seorang prajurit yang sedang bertugas di gardu peronda ketika
Kiai Gringsing dan kelompok kecilnya telah lewat.
Untara yang sedang tidur
nyenyak pun terkejut mendengar seorang pengawal mengetuk pintu rumahnya. Dengan
tergesa-gesa ia keluar dan bertanya, apakah yang telah terjadi.
“Tamu-tamu senapati telah
datang dan anak itu sudah diketemukan,” lapor prajurit itu.
“He, di manakah mereka?”
“Di pendapa.”
Setelah berbenah sedikit,
Untara pun kemudian keluar ke pendapa dengan tergesa-gesa pula. Ketika ia sudah
berada di antara keempat tamunya, maka ia pun segera mengucapkan selamat atas
usaha mereka yang telah berhasil itu.
“Jadi inilah anak muda itu,”
desis Untara.
Rudita termangu-mangu sejenak.
Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu selain mengangguk kecil.
Sementara itu, Untara pun
segera bertanya, di manakah anak muda itu dapat diketemukan.
Dengari singkat Ki Waskita pun
menceriterakan usahanya untuk menemukan anak itu, tetapi ia tidak melaporkan
secara terperinci apa yang telah dialami Rudita di Cangkring pada saat itu,
karena yang lebih menarik agaknya beberapa sosok mayat yang telah mereka
ketemukan itu.
Untara mendengarkan laporan
itu dengan dada yang berdebar-debar. Sudah beberapa lama di daerah itu tidak
pernah terjadi perampokan atau tindak kekerasan yang dapat membawa akibat yang
demikian parah.
“Berapa orang yang Kiai
ketemukan?” bertanya Untara.
Ki Waskita mengerutkan
keningnya, mengingat-ingat jumlah korban yang diketemukannya di tengah-tengah
jalan itu. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berkata, “Aku tidak tahu
pasti. Tetapi antara lima atau enam. Saat itu kami tergesa-gesa untuk segera
melaporkan saja peristiwa itu.”
Seperti yang sudah diduganya
semula, maka Untara pun kemudian berkata, “Kiai bertiga. Aku mohon maaf, bahwa
aku telah mengganggu perjalanan Kiai. Tetapi aku ingin mohon agar Kiai bertiga,
mungkin dengan Rudita untuk menunjukkan di manakah letak mayat-mayat yang
berserakan di tengah jalan itu.”
Karena itu, maka Ki Waskita
tidak berpikir terlalu lama untuk menjawabnya. Setelah memandang wajah Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar sejenak, maka ia pun kemudian menganggukkan
kepalanya sambil berkata, “Baiklah, Angger Untara. Kami akan dengan senang hati
untuk melakukannya. Namun aku mohon agar Rudita dapat tinggal saja di sini
untuk beristirahat.”
Untara mengerutkan keningnya.
Namun ia pun tersenyum sambil menjawab, “Baiklah, Kiai. Biarlah ia di sini
dikawani oleh prajurit-prajurit yang mengawal rumah ini.”
Sejenak kemudian maka Untara
pun menyuruh mempersiapkan beberapa ekor kuda untuk dirinya sendiri, ketiga
orang tua yang telah menemukan mayat itu dan beberapa orang pengawal pilihan.
“Apakah Kiai bertiga sudah
tidak terlalu lelah?” bertanya Untara.
“Marilah kita berangkat,” ajak
Kiai Gringsing. Ia pun sadar bahwa sebenarnya Untara hanya ingin bertanya,
apakah mereka sudah siap untuk berangkat.
Sekelompok orang berkuda
kemudian memecahkan sepinya malam menyusuri bulak-bulak panjang di daerah Jati
Anom. Kemudian mereka mulai mendaki lereng dan sekali-sekali berbelok ke
selatan, dan kembali ke arah barat.
Beberapa saat kemudian, dalam
waktu yang jauh lebih pendek daripada saat mereka berjalan kaki kembali ke Jati
Anom, mereka telah sampai ke bulak yang mereka tuju. Kuda-kuda mereka pun
kemudian berlari semakin lambat, agar mereka tidak harus berhenti dengan
mendadak, apabila tiba-tiba saja kaki-kaki kuda mereka menginjak mayat-mayat yang
berserakan itu.
Ternyata mereka tidak
terlambat. Mereka masih menjumpai beberapa sosok mayat itu berserakan seperti
saat mereka tinggalkan.
“Nyalakan obor,” perintah
Untara.
Beberapa orang pun kemudian
mencari ranting-ranting kering di sekitar mereka. Dengan batu titikan emput dan
dimik-dimik belerang, mereka menyalakan ranting dan rerumputan kering itu.
Sejenak kemudian, di
tengah-tengah bulak itu terdapat sebuah perapian kecil. Pada nyala api
kemerah-merahan itulah kemudian Untara mencoba mengenal siapa saja yang telah
terbaring di tengah-tengah bulak itu.
Seperti yang diduga oleh Kiai
Gringsing dan kedua kawan-kawannya, bahwa yang terbunuh itu bukannya terdiri
dari satu pihak saja. Menilik bekas-bekasnya, maka telah terjadi perkelahian
yang sengit di tengah-tengah bulak itu. Demikian sengitnya, sehingga
kawan-kawannya yang masih hidup, tidak sempat lagi untuk mengambil dan membawa
kawan-kawan mereka yang telah mati.
“Atau barangkali mereka
terbunuh sampai orang yang terakhir,” desis Untara.
“Ternyata jumlahnya lebih dari
enam sosok mayat,” desis Ki Waskita. “Kita tidak melihat dua sosok yang lain
yang terbaring di parit di pinggir jalan itu.”
“Delapan,” gumam Ki Sumangkar.
“Apakah mungkin dua kelompok yang masing-masing berjumlah empat orang bertemu
dan sampyuh di sini.”
“Mungkin yang sekelompok
jumlahnya lebih dari empat,” sahut Untara.
“Apakah Angger Untara mengenal
mereka?” bertanya Kiai Gringsing.
Untara pun kemudian
memerintahkan anak buahnya untuk mencoba mencari tanda-tanda yang dapat dipergunakan
untuk mengenali mayat-mayat yang berserakan itu.
“Tidak ada tanda-tanda
khusus,” berkata prajuritnya, “tetapi aku yakin, mereka memang tidak terdiri
dari satu kelompok yang dicegat dan dibunuh sampai tumpas. Menilik jenis ikat
pinggangnya, ada beberapa orang yang dapat dibedakan yang satu dengan yang
lain. Tetapi seandainya itu suatu kebetulan, maka yang dapat dipergunakan
sebagai alasan adalah arena yang luas di sekitar tempat ini. Kita dapat
menemukan senjata yang berserakan sehingga menguatkan dugaan kita, bahwa telah
terjadi pertempuran dan saling membunuh yang dahsyat.”
“Ya,” desis Untara, “meskipun
tidak ada ciri-ciri yang menentukan, tetapi kita mempunyai dugaan yang kuat,
bahkan hampir pasti bahwa telah terjadi perselisihan antara kelompok-kelompok
penjahat yang ada di lereng Merapi. Dan itu sangat buruk sekali akibatnya. Baik
bagi kelompok-kelompok dan gerombolan-gerombolan itu sendiri, maupun bagi
penduduk di sekitarnya. Juga bagi prajurit-prajurit Pajang yang harus berusaha
dengan sekuat-kuatnya menghentikan perselisihan yang mengerikan itu.”
“Tentu mengerikan sekali,”
desis Kiai Gringsing.
“Ya. Mereka adalah
penjahat-penjahat yang biasa melakukan kejahatan, kekejaman, dan kebengisan,
sehingga setiap kematian di antara mereka akan ditandai oleh tindak kekejaman.”
Mereka yang mendengarkan
pembicaraan itu menjadi termangu-mangu. Dalam perselisihan itu, tentu mereka
akan kehilangan kesempatan untuk mempertimbangkan tindakan mereka. Mereka tidak
akan lagi menghiraukan ketentuan-ketentuan apa pun juga. Demikian pula sikap
mereka terhadap penduduk di sekitar mereka. Bahkan penduduk akan dapat menjadi
sasaran pelepasan ketidak puasan mereka terhadap keadaan.
Untara memandang mayat-mayat
yang berserakan itu dengan dada yang berdebaran. Terbayang di angan-angannya,
ia harus mengerahkan pasukannya, melerai setiap perkelahian dan bahkan mungkin
prajuritnya sendiri akan terlibat dalam pertempuran melawan banyak pihak.
Namun dalam pada itu, Untara
pun kemudian berkata, “Kita harus menguburkannya, siapa pun mereka itu.”
Demikianlah maka
prajurit-prajurit itu pun kemudian mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan.
Untuk sejenak mereka masih berunding, di mana mayat-mayat itu akan dikuburkan.
“Kita kuburkan di kuburan yang
paling dekat,” berkata salah seorang prajurit
“Jangan membangunkan penduduk.
Mereka akan menjadi cemas dan ketakutan. Kita kerjakan saja semuanya itu tanpa
setahu mereka. Di tengah-tengah bulak pendek di sebelah padukuhan ini ada
sebuah kuburan tua. Kuburkan saja mereka di situ,” perintah Untara.
Para prajurit itu pun kemudian
melaksanakan saja perintah Untara setelah mereka mengumpulkan berbagai jenis
senjata dari mereka yang bertempur ditempat itu.
“Kita akan mencoba mengenal
lebih banyak lagi dari jenis-jenis senjata mereka,” berkata Untara, “mungkin
kita akan dapat mengenal, kelompok yang manakah yang sedang berselisih itu.
Tetapi agaknya yang perlu sekali mendapat perhatian adalah hadirnya sebuah
kelompok yang baru, yang tinggal di bekas Padepokan Tambak Wedi yang sudah hampir
rusak itu. Menurut beberapa laporan, agaknya kelompok-kelompok yang lama merasa
mendapat saingan dari kelompok yang baru, yang nampaknya lebih kuat dari setiap
kelompok yang ada.”
“Mungkin sekali terjadi,”
desis Ki Sumangkar, “agaknya selama ini Angger Untara hampir saja dapat
mencapai keseimbangan di daerah ini.”
“Ya. Akhir-akhir ini keadaan
sudah berangsur tenang. Tiba-tiba saja kini telah menjadi goncang. Mungkin juga
karena kesalahanku, bahwa setiap gerombolan harus berusaha untuk ikut mencari
Rudita, sehingga mereka berpapasan dan bahkan berkelahi di tengah jalan.”
“Sayang sekali,” desis Ki
Waskita, “akibat dari kepergian Rudita menjadi jauh sekali.”
“Bukan maksudku,” Untara
dengan cepat menyahut, “itu hanyalah salah satu sebab saja. Tetapi sudah barang
tentu ada latar belakang yang lain yang lebih mendasar daripada sebuah sentuhan
karena mereka berpapasan di tengah jalan.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Marilah, Kiai,” berkata Ki
Untara kemudian, “biarlah para prajurit menyelesaikannya. Kita akan mendahului
kembali ke Jati Anom dengan membawa senjata-senjata dan ciri-ciri yang mungkin
dapat aku pergunakan untuk mengenali, siapakah yang telah terlibat dalam
pertempuran ini.”
Demikianlah maka Untara
diiringi oleh dua orang pengawal yang membawa berbagai jenis senjata,
mendahului kembali ke Jati Anom diikuti oleh ketiga orang tua itu.
Namun peristiwa itu agaknya
telah mengingatkan Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar, bahwa
orang-orang baru di Padepokan Tambak Wedi itu sangat menarik perhatian mereka.
Tetapi untuk sementara agaknya mereka masih belum akan membicarakannya dengan
Untara.
Sepeninggal Untara, beberapa
orang prajurit pun mulai membawa mayat-mayat itu dan menguburkannya di sebuah
kuburan yang terletak di tengah-tengah bulak kecil, di atas sebuah gundukan
tanah yang ditumbuhi sejenis pohon preh yang besar.
Di dalam gelapnya malam,
agaknya prajurit-prajurit itu pun merasa bahwa kulit mereka telah meremang.
Prajurit-prajurit yang tidak mengenal takut di medan perang itu, merasa tergetar
pula melihat sebatang pohon raksasa yang daunnya bagaikan sebuah payung yang
sangat besar menaungi seluruh gundukan kecil itu. Beberapa jenis pohon perdu
yang lain tumbuh di antara batu-batu nisan yang berserakan.
Ketika seekor burung hantu
merintih di atas dahan, rasa-rasanya prajurit-prajurit itu telah digelitik oleh
angan-angan yang tiada dapat mereka lihat.
Tiba-tiba seorang prajurit
muda mengeluh, “Aku lebih senang bertempur di medan daripada mengubur mayat di
kuburan ini.”
“Sst,” desis seorang yang
lebih tua.
“Kenapa? Kenapa, he?” yang
muda itu tiba-tiba telah bergeser mendekat.
Yang tua tertawa lirih.
Katanya hampir berbisik, “Kau masih juga dapat dipengaruhi perasaan takut? Kau
adalah serigala di medan perang. Tetapi kau tidak lebih dari seekor kucing
gering di sini.”
Anak muda itu menengadahkan
kepalanya. Yang nampak adalah onggokan hitam di ujung pohon raksasa itu. Dan
sekali lagi burung hantu itu merintih.
“Ia kehilangan anaknya,” desis
yang tua, “ketika ia melahirkan, anaknya dicuri kuntilanak. Karena itu ia
mencarinya ke setiap kuburan dengan perasaan sedih dan dendam. Sampai sekarang
burung hantu adalah musuh bebuyutan dari kuntilanak.”
“Ah, kau.”
“Jangan takut. Di sini ada
burung hantu, sehingga tidak akan ada kuntilanak.”
Tetapi prajurit muda itu
justru bergeser semakin dekat. Sambil menengadahkan kepalanya pula ia berkata,
“Jangan sebut-sebut lagi ceritamu itu.”
Kawannya yang tua tertawa.
Tetapi ternyata suara tertawanya yang ditahan-tahan itu justru terdengar
seperti suara hantu.
“Diamlah,” desis yang muda.
“Kenapa?”
“Apakah kau tidak yakin?”
“Tidak yakin apa?”
“Tidak yakin bahwa aku bukan
hantu.”
“Hus.”
“Hitunglah jumlah
kawan-kawanmu. Jika lebih satu dari jumlah yang seharusnya, maka kau akan
menjumpai dua orang yang ujudnya seperti aku. Dan kau tentu tidak akan dapat
membedakan, yang manakah aku sebenarnya.”
“Ah,” prajurit yang muda itu
tiba-tiba melangkah setapak surut. Wajahnya menjadi pucat. Dicobanya untuk
mengamati kawannya itu. Namun di dalam gelapnya malam, wajah itu nampaknya
menjadi aneh. Sementara kawannya yang lebih tua itu masih tetap menggali lubang
kubur bagi mayat-mayat yang masih berserakan.
“Kenapa kau memandang aku
begitu?” bertanya yang tua. “Aku bukan salah satu dari mayat yang akan kalian
kuburkan dan terbangun karena hiruk pikuk ini. Jika aku hantu, aku hantu dari
kuburan ini.”
Yang muda tidak menjawab.
Tetapi ia bergeser semakin jauh.
Namun ketika ia berada di
puncak ketakutannya, tiba-tiba semua prajurit yang ada di kuburan itu terkejut.
Mereka mendengar derap kaki kuda di sepanjang jalan raya.
“Siapakah mereka itu?”
bertanya prajurit yang memimpin kawan-kawannya di kuburan itu.
Semuanya termangu-mangu. Namun
dalam keheningan itu, prajurit muda yang ketakutan mendengar suara rintih
burung hantu itu pun berkata, “Aku akan melihatnya”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan mengintai mereka di
pinggir jalan.”
“Hanya itu yang boleh kau
lakukan. Mengintai saja. Kadang-kadang kau kehilangan nalar dan bertindak di
luar perhitungan. Mungkin keberanianmu itu menguntungkan. Tetapi dapat juga
merugikan.”
Prajurit muda itu mengangguk
sambil menjawab, “Aku akan menjalankan tugas ini sebaik-baiknya.”
“Diam sajalah,” berkata
kawannya yang tua, “jika orang-orang berkuda itu lewat, jangan berbuat sesuatu.
Mungkin mereka serombongan hantu-hantu.”
Beberapa orang kawannya
berpaling kepadanya. Tetapi prajurit muda itu menjawab, “Aku tidak takut kepada
hantu-hantu.”
Demikian ia selesai berbicara,
terdengar kelepak seekor burung yang besar di atas dahan yang rimbun itu.
Sejenak kemudian burung itu pun menerobos dedaunan dan terbang di dalam
gelapnya malam.
Tiba-tiba prajurit yang muda
itu menjadi pucat. Namun dengan lantang ia menyembunyikan perasaannya, “Aku
akan mencegat rombongan orang-orang berkuda itu.”
“Jangan gila. Kau tidak aku
perintahkan untuk mencegatnya. Hanya mengetahui saja, siapakah mereka itu.” Ia
berhenti sejenak, lalu sambil menunjuk kepada prajurit yang tua ia berkata,
“Kau pergi bersamanya.”
Tetapi prajurit yang muda itu
segera memotong, “Jangan orang itu. Atau lebih baik aku pergi sendiri.”
Tidak ada kesempatan untuk
berbantah. Suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat.
Prajurit muda itu pun segera
meloncat dan berlari menyusup gerumbul-gerumbul perdu mendekati jalan yang
tidak jauh dari kuburan itu. Ia tidak melalui jalan kecil yang memang dibuat
untuk pergi ke kuburan, karena dengan demikian, ada kemungkinan seseorang dari
antara mereka yang berkuda itu melihatnya jika ia kebetulan berpaling.
Sejenak kemudian, prajurit
muda itu sudah berada di tepi jalan. Ia melihat di kejauhan remang-remang
sekelompok orang-orang berkuda lewat. Tidak terlampau cepat sehingga karena
itu, maka ia masih sempat mendengar salah seorang dari mereka berkata, “Mungkin
orang-orang padukuhan itulah yang telah menyingkirkan mayat-mayat itu.”
“Apakah mereka berani
melakukannya?” jawab yang lain
“Tetapi tentu bukan dilakukan
oleh orang-orang di Padepokan Tambak Wedi itu. Mereka tidak akan sempat atau
tidak mempedulikannya sama sekali.”
“Jadi siapa menurut dugaanmu.
Seandainya binatang buas, tentu tidak sekaligus semuanya dibawanya. Dan sudah
tentu tidak dengan senjata-senjata mereka.”
“Mungkin prajurit-prajurit
Pajang.”
“Hanya satu kemungkinan.
Serombongan prajurit yang meronda.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ada juga
baiknya. Dengan demikian, orang-orang di padepokan itu akan mendapat pengawasan
yang lebih ketat.”
“Jika prajurit-prajurit itu
mengetahui bahwa yang bertempur itu salah satu pihak adalah orang-orang dari
Padepokan Tambak Wedi.”
Kawannya tidak segera
menjawab. Percakapan itu masih berlangsung lagi beberapa langkah kemudian.
Tetapi prajurit yang muda itu sudah tidak mendengarnya lagi, apa saja yang
sedang mereka percakapkan.
Ketika derap kaki kuda itu
sama sekali sudah tidak didengarnya, maka prajurit muda itu pun segera bersiap
untuk kembali kepada kawan-kawannya. Namun rasa-rasanya bulu tengkuknya mulai
meremang.
Ternyata ia benar-benar lebih
berani di pertempuran meskipun harus mempertaruhkan nyawa daripada harus pergi
ke kuburan.
Tetapi bagaimana pun juga, ia
harus kembali. Ia harus melaporkan apa yang telah dilihat dan didengarnya.
Karena itu, maka berlawanan
dengan saat ia meninggalkan kuburan dan pergi ke pinggir jalan, maka ia
seolah-olah merangkak mendekati kuburan yang baginya merupakan kandang hantu
itu.
Namun ia memaksa dirinya untuk
memasuki regol kuburan dan mencari kawan-kawannya yang ditinggalkannya, untuk
melaporkan hasil pengintaiannya.
Tetapi rasa-rasanya tubuhnya
menjadi beku. Ketika ia sampai ke tempat kawan-kawannya menggali lubang untuk
mengubur mayat yang berserakan itu, ia tidak menjumpai seorang pun lagi.
Kuburan itu menjadi sepi. Yang nampak hanyalah batu-batu nisan yang berserakan.
Rasa-rasanya jantungnya
berhenti berdetak. Sekilas terpandang olehnya lubang yang menganga. Di sebelah
lubang itu terbujur mayat yang masih belum dikuburkannya.
“Kemanakah kawan-kawanku?” ia
bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia sama sekali tidak menemukan jawaban.
Karena itu, maka tiba-tiba saja jantungnya yang membeku oleh perasaan takut
yang luar biasa itu, tidak dapat ditahankannya lagi.
Satu-satunya yang dapat
dilakukannya adalah lari. Lebih baik ia bertemu dengan sekelompok penjahat dan
bertempur melawan mereka, daripada ia harus berada di kuburan itu seorang diri.
Tetapi rasa-rasanya darahnya
berhenti pula mengalir. Hampir saja ia pingsan ketika sebuah tangan yang dingin
telah menggamit lengannya.
“Apakah yang kau lihat?”
terdengar sebuah pertanyaan. Dengan tubuh yang menggigil ia mencoba berbaring.
Di dalam keremangan malam nampak sesosok bayangan yang hitam. Namun kemudian
dikenalinya bayangan itu adalah pemimpin kelompoknya sendiri.
“Apakah kau berhasil melihat
mereka?” sekali lagi ia mendengar pertanyaan pemimpinnya.
Sejenak ia masih
terengah-engah.
“Kenapa kau? Apakah kau tidak
menuruti perintahku dan menyerang mereka?”
“O, tidak. Tidak,” jawab
prajurit muda itu sambil memandang beberapa orang yang mulai bermunculan.
“Kenapa kalian menakut-nakuti
aku?” bertanya prajurit muda itu.
Pemimpinnya menjadi heran mendengar
pertanyaan itu, sehingga ia pun bertanya, “Kenapa aku menakut-nakutimu?”
“Kenapa kalian bersembunyi
ketika aku kembali ke kuburan ini?”
Pemimpinnya mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba saja ia tersenyum dan berkata, “Sekarang baru aku
tahu. Jadi kau menjadi terengah-engah bukan karena bertempur dan menyerang
orang-orang itu tanpa perintah seperti yang sering kau lakukan, Serigala Muda.
Tetapi kali ini kau menjadi terengah-engah dan menggigil karena ketakutan.”
“Coba katakan,” prajurit muda
itu memotong, “apa gunanya kalian bersembunyi?”
“Dengarlah,” jawab
pemimpinnya, “kami mempunyai dugaan, bahwa sekelompok orang-orang berkuda itu
akan memasuki kuburan ini sebagai kuburan yang terdekat. Mungkin mereka akan
mencari kawan-kawannya yang mati di kuburan ini. Karena kami tidak mengetahui
kekuatan mereka, maka lebih baik kami bersembunyi saja lebih dahulu.”
“Ah, tentu tidak. Apakah sudah
menjadi kebiasaan baru bagi prajurit-prajurit Pajang untuk bersembunyi
menghadapi kelompok-kelompok perampok? Lima atau empat orang saja aku berani
memasuki sarang mereka atas nama pimpinan prajurit Pajang. Apalagi dalam jumlah
yang lebih banyak.”
“Dengar aku baik-baik. Baru
saja terjadi perkelahian yang membawa korban yang cukup banyak di kedua belah
pihak, dengan demikian maka darah mereka pun tentu masih panas. Dalam keadaan
serupa itu dapat saja terjadi benturan yang sama sekali tidak diinginkan.
Sedangkan jumlah mereka tentu merupakan jumlah yang lebih kuat dari
kelompok-kelompok kecil mereka yang sering berkeliaran karena baru saja terjadi
benturan di antara mereka.”
Prajurit muda itu
termangu-mangu. Dipandanginya beberapa orang kawannya yang bagaikan
patung-patung hitam kelam berdiri mengelilinginya.
“Sudahlah,” berkata
pemimpinnya, “agaknya kau anak yang aneh. Kau seorang pemberani di peperangan.
Tetapi kau adalah cecurut yang paling ketakutan di kuburan. Sudahlah. Sekarang
ceritakan apakah yang telah kau lihat.”
Prajurit muda itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menceritakan apa yang telah dilihat
dan didengarnya.
“O,” pemimpinnya mengerutkan
keningnya. “Jadi menurut pendengaranmu, salah satu pihak yang terlibat adalah
orang-orang Padepokan Tambak Wedi.”
“Ya, begitulah.”
“Memang sudah aku duga.
Orang-orang di padepokan itu agaknya telah mengganggu keseimbangan di dalam
daerah ini, sehingga seakan-akan mereka telah mulai menumbuhkan
persoalan-persoalan baru di antara golongan-golongan penjahat di daerah ini.”
“Mungkin demikian.”
Pemimpin prajurit itu pun
mengangguk-angguk. Orang-orang yang baru saja menetap di padepokan tua itu,
memang memiliki sikap yang lain. Agaknya mereka belum begitu banyak mengenal
Untara sebagai panglima di daerah ini.
Tetapi pemimpin prajurit itu
tidak memperpanjang pembicaraan mengenai kelompok-kelompok yang agaknya sedang
saling bercuriga itu. Bahkan katanya kemudian, “Sekarang, selesaikan tugas
kalian. Kemudian kita akan segera kembali ke Jati Anom dan melaporkan
segala-galanya.”
Prajurit-prajurit itu pun
segera bekerja kembali. Mereka mulai memasukkan mayat-mayat ke dalam lubang dan
kemudian menimbuninya. Sementara prajurit muda yang berani di peperangan itu,
menjadi gemetar karenanya. Bahkan ia pun kemudian tidak dapat lagi membantu
ketika mereka sudah tidak memerlukan lubang-lubang lagi, karena ia tidak mau ikut
mengangkat mayat-mayat itu dan memasukkannya ke dalam lubang.
Setelah semua tugas yang
dibebankan kepada kelompok itu selesai, maka prajurit-prajurit itu pun segera
membenahi diri. Sejenak mereka beristirahat, mengatur nafas mereka yang
terengah-engah setelah mereka menimbuni mayat-mayat itu.
“Marilah,” berkata
pemimpinnya, “mungkin ada sesuatu yang segera harus dilakukan.”
Demikianlah, maka sejenak
kemudian mereka telah meninggalkan tanah kuburan itu dengan beberapa gundukan
baru. Gundukan dari kuburan orang-orang yang tidak mereka kenal sama sekali
nama dan kedudukannya.
Namun ketika kuda mereka mulai
berpacu, pemimpin mereka pun memperingatkannya, “Kita berjalan di daerah yang
berbahaya. Jangan lengah, mungkin kita akan mengalami benturan serupa. Dan
mungkin kitalah yang kemudian akan dibawa oleh orang lain ke kuburan itu.”
Karena itulah maka
prajurit-prajurit itu pun kemudian mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan di perjalanan kembali ke Jati Anom itu. Seperti yang dikatakan oleh
pemimpinnya, sesuatu memang dapat terjadi di sepanjang perjalanan kembali yang
sebenarnya tidak begitu jauh itu.
Sementara para prajurit
berpacu di sepanjang jalan, maka di Jati Anom, Untara dan beberapa perwira
beserta Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita sedang mengamat-amati
beberapa jenis senjata yang mereka bawa dari pertempuran yang meninggalkan
beberapa sosok mayat itu. Namun agaknya pada senjata-senjata itu sama sekali
tidak diketemukan ciri-ciri yang dapat dipergunakannya untuk mengenal salah satu
pihak yang terlibat dalam pertempuran yaug seru itu.
“Kita tidak dapat mengetahui
siapakah mereka,” berkata Untara, “tetapi kita dapat menduga, bahwa dua
kelompok penjahat telah bertempur.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Agaknya memang tidak mudah untuk mengenal hanya dengan
melihat senjata-senjata mereka yang berbeda-beda itu. Dari senjata yang paling
banyak dipergunakan, yaitu pedang, sampai jenis-jenis senjata yang jarang
adanya.
Namun dalam pada itu, selagi
Untara mengamat-amati sebuah pedang bergerigi seperti duri pandan, maka
tiba-tiba saja seorang perwira berdesis, “Ki Untara. Apakah Ki Untara pernah
melihat ciri seperti ini?”
Untara mengerutkan keningnya.
Kemudian diterimanya sebuah bindi dari tangan perwira itu. Bindi kayu yang
bersalut baja putih pada sudut-sudutnya yang delapan jumlahnya.
“Ciri apakah itu?” bertanya
Untara.
“Seekor kelelawar,” berkata
perwira itu.
Jawaban itu sangat menarik
perhatian Kiai Gringsing dan kedua kawannya. Tetapi mereka tidak mengatakan
sesuatu tentang ciri-ciri itu.
Dengan saksama Untara
mengamat-amati lukisan seekor kelelawar pada bindi itu. Tetapi ia pun kemudian
menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Belum. Aku belum pernah melihat
ciri-ciri serupa ini.”
“Ki Untara,” berkata perwira
itu, “salah seorang kawan kita pernah melihat. Di dada salah seorang penghuni
Padepokan Tambak Wedi nampak terlukis gambar serupa ini. Mungkin orang itulah
yang memiliki senjata itu, atau setidak-tidaknya seorang kawannya yang datang
dari tempat yang sama.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba mengamat-amati gambar itu dengan lebih saksama. Tetapi
ia tidak melihat sesuatu yang dapat menarik perhatiannya lebih jauh lagi.
Namun ia mulai
mempertimbangkan kemungkinan itu, setelah sebilah senjata jenis yang lain dapat
diketahui pula mempunyai ciri gambar serupa itu. Sebuah golok yang besar dan
bertangkai gading. Pada tangkai golok itulah terdapat sebuah lukisan kelelawar
meskipun hanya kecil sekali.
Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Jika salah seorang perwira pernah melihat lukisan kelelawar yang
serupa pada tubuh seseorang, maka memang dapat diduga, bahwa senjata itu adalah
senjata dari kelompok yang sama.”
“Jadi menurut dugaan Angger
Untara, kelompok yang satu adalah kelompok dari Padepokan Tambak Wedi?” bertanya
Ki Sumangkar.
“Untuk sementara kita
berpendapat demikian. Mungkin kita akan mendapatkan keterangan-keterangan baru
besok. Tetapi kemungkinan itu memang dapat terjadi, karena orang-orang di
Tambak Wedi itu masih perlu dijinakkan.”
Dalam pada itu, selagi Untara
mempersoalkan orang-orang dari Padepokan Tambak Wedi, di padepokan itu sendiri
sedang berlangsung pertemuan dari antara pemimpin-pemimpinnya. Dengan wajah
yang merah karena kemarahan, mereka membicarakan peristiwa yang baru saja
terjadi.
Seorang yang bertubuh tegap
dan pada tubuhnya tersangkut sehelai kulit harimau, berjalan hilir-mudik di
antara anak buahnya. Wajahnya yang membara membayangkan hatinya yang sedang
terbakar oleh kemarahan yang hampir tidak tertahankan.
“Siapakah yang telah berani
mengganggu anak buahku?” tiba-tiba saja ia membentak.
Tidak seorang pun yang
menjawab. Beberapa orang saling berpandangan, sedang yang lain memandangi tiga
orang yang duduk di paling depan dengan tubuh yang terluka.
“He,” Kiai Kelasa Sawit, orang
yang menyangkutkan sehelai kulit harimau dibahunya itu berteriak, “kenapa kau
diam saja?”
“Ki Lurah,” jawab salah
seorang dari mereka bertiga, “kami benar-benar tidak mengenalnya. Kami bertemu
di tengah-tengah bulak. Karena kami dan orang-orang itu tidak mau mengalah
untuk menepi, maka kami pun berbenturan di tengah-tengah bulak tanpa mengenal
satu sama lain.”
“Tiga orang mati di antara
kita,” geram Kelasa Sawit, “itu suatu pengorbanan yang terlampau banyak. Setiap
anggota kita berharga sepuluh kepala lawan. Kita harus dapat membunuh paling
sedikit tiga puluh orang jika kita kelak mengenal siapakah yang telah berani
melawan anak buah Kiai Kelasa Sawit.”
Anak buah Kiai Kelasa Sawit
yang lain pun tidak menyahut. Sementara Kiai Kelasa Sawit berteriak pula, “Sejak
sekarang kita harus menyiapkan pasukan. Setiap saat kita akan bergerak menuntut
kematian tiga orang kawan kita.”
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
salah seorang bertanya, “Bagaimanakah dengan prajurit Pajang di Jati Anom?”
“Dalam keadaan ini, mereka
tidak berhak mencampuri. Kita sudah kehilangan. Kita harus menuntut.”
“Kita telah berhasil membunuh
empat atau lima orang lawan,” berkata salah seorang dari ketiga orang yang
terluka.
“Gila. Apa artinya empat atau
lima orang. Aku menuntut tiga puluh orang. Tidak boleh kurang.”
“Tetapi prajurit-prajurit
Pajang agaknya tidak akan membiarkan perselisihan itu terjadi.”
“Kita tidak peduli. Jika
perlu, prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom itu pun harus ditumpas. Mereka
menganggap bahwa mereka terlampau kuat dan harus ditaati segala perintahnya.
Aku tidak mau diperbudak oleh Untara. Jika sampai saat ini aku masih bersikap
baik dan lunak, semata-mata karena kebaikan hatiku. Tetapi jika perlu, aku akan
memanggil anak buah Kakang Wira Papat. Selain Kakang Jalawaja. Prajurit Pajang
itu akan kami sapu seperti sampah kering. Pajang tidak akan dapat berbuat
apa-apa, karena kami akan segera menghilang dari daerah ini.”
Anak buahnya tidak menyahut
lagi. Namun rasa-rasanya mereka pun telah menyimpan dendam di dalam hati karena
kematian beberapa orang kawannya.
Sementara itu Kelasa Sawit
berkata seterusnya, “Besok pagi kita harus sudah mengetahui, siapakah yang
telah membunuh anak buah kita. Kemudian kita akan segera bergerak tanpa
menghiraukan prajurit-prajurit Pajang. Semakin cepat semakin baik sebelum
prajurit Pajang di Jati Anom mengambil sikap apa pun. Kita hanya memerlukan
tiga puluh buah kepala. Katakanlah dikurangi lima orang yang sudah terbunuh di
perkelahian itu. Tetapi jika mereka tidak memberikan yang tiga puluh itu, kami
justru akan menuntut lebih banyak. Apalagi jika mereka melawan. Setiap korban
dari pihak kami, akan berarti sepuluh orang lagi dari mereka harus terbunuh.”
Anak buahnya masih tetap
berdiam diri. Tetapi mereka pun kemudian tersentak karena Kelasa Sawit
berteriak, “Sekarang, siapkan semua senjata dan semua orang. Kita akan bergerak
secepatnya demikian kita mengetahui, siapakah yang sudah membunuh anak buah
kita. Tetapi yang pasti, tentu bukan prajurit-prajutir Pajang di Jati Anom.”
Anak buah Ki Kelasa Sawit pun
segera meninggalkan ruangan pertemuan itu. Mereka segera mempersiapkan diri dan
senjata masing-masing.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan kawan-kawannya masih duduk bersama Untara di Jati Anom. Ada beberapa
pertimbangan atas tanda-tanda yang dilihatnya. Seekor kelelawar.
“Jika mereka benar-benar
termasuk satu golongan dengan orang-orang yang mengambil pusaka-pusaka itu dari
Mataram, apakah mereka dengan tanpa curiga, telah memasang tanda itu ditangkai
senjata-senjata mereka?” bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri. “Jika
demikian, itu adalah pertanda bahwa mereka kurang berhati-hati, atau karena
mereka terlampau percaya kepada diri sendiri.”
Namun agaknya pertanyaan yang
demikian tidak saja tumbuh di hati Kiai Gringsing. Tetapi juga pada Ki Waskita
dan Ki Sumangkar.
“Kiai,” berkata Untara
kemudian, “kita masih menunggu beberapa orang pajurit yang menguburkan mayat
itu. Mungkin ada beberapa keterangan yang akan kami dapatkan dari mereka.
Tetapi jika Kiai merasa letih, kami harap Kiai beristirahat di gandok. Rudita
juga sudah berada di sana. Agaknya ia pun terlampau letih dan kini tidur dengan
nyenyaknya.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Tetapi belum lagi ia beranjak, terdengar derap beberapa ekor kuda memasuki
halaman. Ternyata mereka adalah prajurit-prajurit yang baru saja menguburkan
mayat-mayat yang berserakan di jalan.
Setelah menambatkan kuda
masing-masing, mereka pun segera pergi ke pakiwan membersihkan diri, dan baru
kemudian mereka naik ke pendapa menemui Untara.
Dengan singkat mereka
menceritakan apa yang telah mereka lihat dan mereka dengar. Agaknya mereka
adalah sekelompok orang-orang berkuda dari salah satu gerombolan yang terlibat
dalam pertikaian di tengah-tengah jalan itu. Sedang kelompok yang lain adalah
kelompok dari Padepokan Tambak Wedi.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar yang tidak jadi
meninggalkan Untara di pendapa itu pun mengangguk-angguk. Kini menjadi semakin
pasti, bahwa salah satu pihak dari kelompok yang terlibat di dalam pertempuran
itu adalah kelompok dari Tambak Wedi.
“Kita harus berhati-hati,”
berkata Untara, “kelompok yang satu ini agaknya lain dengan kelompok-kelompok
kecil yang bertebaran di lereng Gunung Merapi ini. Kelompok yang terdapat di
Padepokan Tambak Wedi itu nampaknya sebuah kelompok yang lengkap yang tentu
bukan sekedar kelompok penjahat kecil.”
“Kelompok yang berani
berbenturan dengan kelompok di Padepokan Tambak Wedi adalah kelompok yang
benar-benar kurang perhitungan,” desis salah seorang perwira.
“Setiap kelompok agaknya
memang mengiri terhadap kekuatan baru yang ada di Padepokan Tambak Wedi,” sahut
perwira yang lain.
“Kita harus bersiap-siap
menghadapi kemungkinan yang gawat,” berkata Untara. “Kita tidak dapat menunggu
sampai besok atau lebih-lebih lagi lusa.”
“Maksud Ki Untara?” bertanya
seorang perwira.
“Meskipun kita tidak akan
bergerak sekarang, tetapi kita harus bersiaga sepenuhnya. Mungkin orang-orang
itu akan bergerak lebih cepat dari kita. Karena itu, kita di sini jangan
menjadi kakek-kakek yang bergerak dengan lamban mengatasi persoalan yang dapat
tumbuh dengan tiba-tiba.”
Perwira itu mengangguk. Lalu
katanya, “Jika perintah itu jatuh, kami akan melaksanakan. Semua prajurit di
Jati Anom akan bersiaga.”
“Baiklah. Lakukanlah. Agaknya keadaan
menjadi gawat. Kita tidak akan begitu berkeberatan jika sekiranya terjadi
benturan antara para penjahat dan jatuh korban di antara mereka. Tetapi jika
karena keadaan yang panas itu, maka penduduk yang sama sekati tidak bersalah
dan tidak terlibat akan tersentuh getahnya pula, adalah kewajiban kita untuk
melindungi mereka itu.”
Demikianlah perwira itu pun
kemudian meninggalkan pendapa. Sejenak kemudian perintah Untara itu pun telah
tersebar. Beberapa penghubung berkuda segera mencapai barak-barak prajurit yang
terpencar. Di rumah Ki Demang Jati Anom, di banjar dan di beberapa tempat yang
lain. Sedangkan pasukan berkuda mendapat tugas khusus untuk mencapai setiap
daerah yang dapat tiba-tiba meledak dengan segera.
Para prajurit di Jati Anom pun
menjadi sibuk. Mereka yang sedang tidur nyenyak pun segera terbangun. Dengan
mata yang masih setengah terpenjam, mereka mengenakan pakaian keprajuritan
mereka. Dan yang terpenting bagi mereka adalah mengenakan senjata mereka
masing-masing.
“Apa yang akan terjadi?”
bertanya salah seorang prajurit kepada temannya. “Apakah kita harus pergi ke
Tambak Wedi dan menahan setiap gerakan yang akan mereka lakukan?”
“Sementara ini kita hanyalah
menunggu dalam kesiagaan sepenuhnya.”
Namun demikian,
prajurit-prajurit itu merasa bahwa agaknya keadaan memang sudah meningkat
semakin gawat.
Dalam pada itu, ternyata
Untara tidak tinggal diam sambil menunggu. Ia memerintahkan pula untuk
meningkatkan pula gelombang pasukan rondanya yang berkeliling, bukan saja di
daerah Jati Anom, tetapi juga di padukuhan-padukuhan sekitarnya.
Ada pun kelompok-kelompok
peronda itu pun jumlahnya tidak seperti yang mereka lakukan sehari-hari. Tetapi
mereka harus menggabungkan dua kelompok peronda menjadi satu kelompok, karena
mereka akan dapat menjumpai persoalan-persoalan yang rumit di sepanjang
perjalanan mereka.
Sementara itu, agaknya
kelompok-kelompok penjahat yang bertebaran di lereng Gunung Merapi itu pun
telah mendengar. Beberapa orang berkuda berpacu dengan kecepatan penuh untuk
mencapai kelompok demi kelompok untuk mengabarkan apa yang telah terjadi.
Ketika tiga orang berkuda
datang ke Padukuhan Bodehan dan langsung menuju ke sebuah rumah yang terpencil
di ujung pategalan, maka dengan wajah kesal ketiga orang itu diterima oleh
penghuni rumah itu.
“Apa maksudmu datang di saat
yang tidak sewajarnya ini,” bertanya penghuni rumah itu, seorang yang bertubuh
agak pendek, tetapi berdada bidang dan berbulu lebat.
“Kiai Serat Wulung,” berkata
salah seorang dari tiga orang berkuda yang datang itu, “ada suatu peristiwa
yang gawat telah terjadi.”
“Untara mulai membuktikan
ancamannya karena anak itu tidak diketemukan? Bukankah ia memberi waktu sepuluh
hari?”
“Bukan, bukan karena senapati
muda itu.”
“Jadi apa?”
“Telah terjadi benturan
senjata antara orang-orang kami dengan orang-orang di Padukuhan Tambak Wedi.”
“He?”
“Sekelompok orang-orang kami
dengan tiba-tiba saja telah berpapasan dengan orang-orang Tambak Wedi.
Perselisihan tidak dapat dielakkan lagi, sehingga kami harus bertempur melawan
mereka.”
“Lalu?”
“Beberapa orang dari
masing-masing pihak terbunuh.”
Orang yang bernama Serat
Wulung itu menggeram. Dipandanginya ketiga orang yang baru datang itu berganti.
“Kenapa kalian berbuat
demikian bodoh?” bertanya Serat Wulung.
“Tidak ada yang dapat
disalahkan. Sekelompok orang-orang kami bertemu dengan orang-orang dari Tambak
Wedi di tengah jalan. Dan tiba-tiba saja perkelahian itu sudah terjadi.”
“Kau sangka Ki Kelasa Sawit
dapat membiarkan hal itu tanpa berbuat apa-apa.”
“Tentu tidak. Karena itulah,
aku datang kemari bukan waktunya untuk berkunjung.”
Ki Serat Wulung pun kemudian
berjalan hilir-mudik dengan wajah yang tegang. Lalu katanya, “Sebenarnya kita
belum siap untuk menghadapi persoalan yang begitu cepatnya meledak. Kita memang
sudah menduga, jika Kelasa Sawit berada di Tambak Wedi untuk waktu yang agak
lama, benturan semacam ini memang tidak dapat dihindarkan. Tetapi tidak
sekarang.”
“Kita sudah terlanjur
terlibat.”
“Kaulah yang menyebabkannya.”
“Bukan maksud kami.”
Serat Wulung menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apa boleh buat. Tetapi siapa saja yang sudah
kau beritahukan akan hal ini.”
“Ki Jambe Abang, Ki Wadas
Malang, dan Ki Sampar Angin.”
“Kau telah berkeliling lereng
Merapi?”
“Bukan semuanya kamilah yang
mendatangi. Tetapi ada kelompok-kelompok lain yang pergi ke tempat-tempat
tersebut.”
Kiai Serat Wulung
mengangguk-angguk. Kemudian ia pun berdesis, “Agaknya memang sudah lengkap.
Lalu, apakah yang akan segera kita lakukan?”
“Kami masih harus mendengar
beberapa pendapat. Tetapi setidak-tidaknya kami masing-masing sudah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.”
“Kemungkinan yang sangat
pahit. Jumlah orang-orang di Padepokan Tambak Wedi itu terlampau banyak. Dan
pada umumnya mereka masing-masing memiliki ilmu yang memadai. Agak berbeda
dengan kita semuanya. Satu-dua orang saja di antara kita yang benar-benar mampu
membawa senjata. Tetapi yang lain hanyalah sekedar bermodalkan keberanian dan
sedikit kegilaan.”
“Itu sudah cukup,” jawab salah
seorang dari ketiga orang yang baru datang itu, “yang kita perlukan memang
orang-orang gila untuk menghadapi orang-orang dari Padepokan Tambak Wedi.”
“Itu pendapat yang bodoh
sekali,” jawab Kiai Serat Wulung. “Dengan demikian kita hanya akan sekedar
menyerahkan nyawa kita, karena pada umumnya orang-orang di Tambak Wedi dapat
mempergunakan otaknya.”
Orang yang baru datang itu
mengangguk-angguk saja.
“Baiklah,” berkata Ki Serat
Wulung kemudian, “sampaikan kepada Kakang Raga Tunggal bahwa kami di sini akan
menyiapkan diri sejauh-jauh dapat kami lakukan. Kami akan menarik semua orang
yang masih berpencaran. Jika mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil, kami
akan menahan mereka, agar mereka tidak meninggalkan rumah ini dan tempat
tinggal masing-masing. Kami akan mengadakan pengawasan lebih saksama.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah yang akan kita lakukan jika orang-orang
Tambak Wedi itu mendatangi kita sekelompok demi sekelompok?”
“Jika tanda-tanda itu ada,
maka kita akan menyatukan diri. Setidak-tidaknya kita akan dapat saling
berhubungan dengan penghubung-penghubung berkuda.”
“Apakah masih ada waktu untuk
bebuat demikian?”
“Itu jalan satu-satunya.
Memang mungkin sebagian dari kita harus menjadi korban. Tetapi kita tidak akan
dapat berbuat lain.”
Ki Serat Wulung mengangguk-angguk.
Katanya, kemudian, “Baiklah. Mudah-mudahan masih ada waktu untuk menunggu
sebagian dari orang-orangku kembali. Jika sebelum itu pasukan Tambak Wedi
datang dengan kekuatan penuh, maka aku kira, kita akan melarikan diri untuk
bergabung dengan salah satu kelompok yang dapat kami capai.”
“Bagaimana dengan keluarga
orang-orangmu?”
“Tidak banyak diketahui tempat
tinggal mereka. Mereka berada di antara penduduk.”
“Bagaimana dengan penduduk itu
sendiri?”
“Jika orang-orang Tambak Wedi
mulai mengganggu penduduk, itu lebih baik.”
“Kenapa lebih baik?”
“Itu berarti Untara akan
segera terlibat ke dalam pertikaian itu.”
Orang-orang yang datang itu
pun mengangguk-angguk. Jika Untara mulai terlibat, maka mereka akan sekedar
mendapat perlindungan. Karena mereka mengetahui bahwa Untara tidak akan
membiarkan siapa pun juga mengganggu penduduk di daerah lereng Gunung Merapi
itu. Bahkan di saat-saat terakhir, kelompok-kelompok penjahat itu benar-benar
telah kehilangan daerah perburuan sehingga mereka mulai memikirkan kemungkinan
yang lain untuk menyambung hidup mereka.
Tetapi di saat-saat yang
demikian, benturan di antara mereka ternyata tidak dapat dihindarkan lagi.
Dengan demikian, maka
sepeninggal ketiga orang penghubung yang dikirim oleh Ki Raga Tunggal itu, Ki
Serat Wulung langsung memanggil beberapa orang kepercayaannya. Mereka harus
dengan segera menghubungi siapa pun juga yang ada untuk berkumpul dipategalan
itu.”
“Tidak ada waktu untuk menunda
sampai besok. Memang mungkin tidak ada apa-apa, tetapi mungkin kita akan
ditumpas habis.”
Dengan demikian, maka di malam
buta bahkan menjelang dini hari itu, beberapa orang kepercayaan Kiai Serat
Wulung sudah berkeliling padukuhan. Mereka memanggil orang-orang yang akan
dapat memperkuat kedudukannya jika keadaan memaksa.
Ternyata selain orang-orang
tertentu, beberapa orang di padukuhan itu pun telah ikut pula di dalam
gerombolan Serat Wulung. Sehingga dengan demikian, agak sulitlah untuk
memisahkan antara beberapa orang Kiai Serat Wulung dengan penduduk padukuhan
itu yang lain.
Ternyata yang melakukan hal
yang demikian, bukannya sekedar Ki Serat Wulung. Beberapa pemimpin kelompok
penjahat yang tersebar di lereng Merapi itu pun berbuat hal yang serupa. Mereka
telah mengumpulkan orang-orang mereka sebanyak-banyak dapat mereka hubungi,
karena pada umumnya mereka dapat membayangkan, bahwa di Tambak Wedi telah
datang sekelompok orang-orang yang tidak banyak dikenal, tetapi yang dengan
pasti dapat dianggap bahwa kekuatan mereka jauh melampaui setiap kelompok yang
pernah ada terdahulu di lereng Merapi itu.
Sebelum fajar, ternyata
orang-orang Ki Serat Wulung telah berkumpul di pategalan kering yang berada
beberapa patok dari padukuhan. Dengan saksama mereka mendengarkan penjelasan
yang diberikan oleh Ki Serat Wulung mengenai berita yang didengarnya semalam.
“Memang terlampau cepat
terjadi,” berkata Ki Serat Wulung, “agaknya kita belum siap benar menghadapi
peristiwa itu. Tetapi apa boleh buat. Kita harus mempertahankan hidup kita,
meskipun untuk itu kita harus mati. Tetapi mati sambil bertempur akan jauh
lebih baik akibatnya dari mati diseret di belakang kaki kuda, atau didera
dengan cambuk berujung besi-besi runcing.”
“Kenapa kita harus terlibat di
dalam persoalan ini?” bertanya salah seorang anak buahnya.
“Kenapa tidak?”
“Bukankah orang-orang Ki Raga
Tunggal yang telah berkelahi di tengah jalan itu? Biarlah orang-orang Kiai Raga
Tunggal sajalah yang akan mengalami bencana seandainya orang-orang Tambak Wedi
itu marah.”
“Ah, jangan berpikiran
kerdil.”
“Tidak. Justru ini adalah
sikap yang paling baik. Semakin sedikit gerombolan yang ada di lereng Merapi,
agaknya akan menjadi semakin baik. Daerah perburuan kita menjadi semakin sempit
sekarang. Sedang jumlah kelompok-kelompok yang ada justru semakin banyak dengan
hadirnya orang-orang di Tambak Wedi itu. Jika orang-orang Tambak Wedi dan
orang-orang Ki Raga Tunggal itu bertempur dan saling membinasakan, bukankah
dengan demikian akan dapat sedikit memperlonggar daerah jelajah kita
masing-masing yang masih tersisa?”
“Jalan pikiran itu pun benar,”
berkata Ki Serat Wulung, “tetapi dalam keadaan seperti sekarang, aku condong
pada sikap yang lain. Bagaimanakah kiranya jika yang lenyap lebih dahulu dan
memberi kesempatan bagi yang lain itu adalah gerombolan kita?”
“Kenapa harus kita? Bukankah
yang telah berselisih dengan orang-orang Tambak Wedi itu adalah orang-orang Ki
Raga Tunggal atau orang-orang dari mana pun juga, tetapi bukan kita?”
“Tidak ada bedanya. Jika kita
masing-masing harus berhadapan dengan orang-orang Tambak Wedi, maka kita akan
lenyap sekelompok demi sekelompok. Tidak ada pertimbangan lain. Tetapi jika
kita bekerja bersama, khususnya untuk menghadapi orang-orang Tambak Wedi,
mungkin akibatnya akan lain.”
“Apakah bedanya?”
“Mungkin kita akan dapat mengalahkan
orang-orang Tambak Wedi. Perhitungan ini adalah di luar pertimbangan
kemungkinan Untara ikut camput.”
“Hancurnya Tambak Wedi, apakah
akan berarti bahwa kita akan dapat bekerja bersama seterusnya dengan
orang-orang Ki Raga Tunggal, Ki Jambe Abang, Sampar Angin, dan yang lain?”
“Memang tidak menjamin
demikian. Tetapi jika terjadi perselisihan antara kita dengan mereka, maka
kedudukan kita tidak jauh berbeda. Kita masih dapat mengharap untuk menang.
Tetapi apakah demikian halnya jika kita behadapan dengan orang-orang Tambak
Wedi? Aku sadar, bahwa setiap kelompok mempunyai perhitungan yang serupa.
Tetapi itu tidak apa.”
Jawaban itu agaknya dapat
dimengerti, sehingga kemudian tidak ada lagi di antara orang-orangnya yang
bertanya lebih banyak lagi.
“Nah, menjelang pagi,
bersiagalah. Kalian tidak usah berkumpul di sini untuk waktu yang tidak
terbatas. Kalian dapat kembali ke tempat kalian masing-masing. Juga yang berada
di Goa Angke. Tetapi jika kalian mendengar isyarat, maka kalian harus menyambung
isyarat kentongan itu, sehingga setiap orang akan dapat mendengarnya dan segera
berkumpul. Demikian juga jika ada dari antara kalian yang melihat gelagat yang
mencurigakan, kalian harus memberikan laporan. Aku sendiri tidak akan berada di
rumah ini. Aku berada di ujung Alas Wetan. Beberapa orang pengawal akan berada
bersama aku di sana. Hanya orang-orang yang sudah kita kenal baik akan dapat
bertemu dengan aku.”
“Apakah rumah ini akan
dikosongkan?”
“Ada beberapa orang yang akan
mengawasinya dan yang akan menerima hubungan dengan Ki Raga Tunggal
selanjutnya, atau dengan kelompok-keloompok yang lain.”
Demikianlah, sejenak kemudian
maka orang-orang itu pun meninggalkan rumah Kiai Serat Wulung. Namun mereka
mengerti, bahwa setiap saat mereka harus berkumpul dengan senjata di tangan.
Dengan demikian, maka semua
pihak yang berada di lereng Gunung Merapi itu pun telah mempersiapkan diri. Di
padepokan tua yang telah mulai rusak, orang-orang yang dipimpin oleh Kiai
Kelasa Sawit, telah siap untuk melakukan gerakan kekerasan untuk melepaskan
dendam atas kematian tiga orang kawan-kawannya.
Tetapi karena mereka masih
belum mengetahui, siapakah yang telah membunuh mereka itu, maka mereka masih
belum dapat bergerak.
Dalam pada itu, Kiai Kelasa
Sawit pun telah menyiapkan beberapa orang dalam tugas sandi. Mereka harus
berada di tempat orang banyak berkumpul. Di pasar, atau di warung-warung untuk
mencoba mendengar, siapakah yang telah kehilangan beberapa orangnya pula
seperti Tambak Wedi. Dengan demikian, maka akan dapat mereka ketahui dengan
kelompok manakah orang-orang Tambak Wedi itu sudah berbenturan. Bahkan dengan
cara-cara apa pun juga.
Ketika kemudian matahari mulai
menyingsing, beberapa orang yang menyamar sebagai orang-orang kebanyakan, telah
meninggalkan Padepokan Tambak Wedi. Mereka membawa uang secukupnya untuk
berbelanja ke pasar-pasar dan warung-warung yang ada di sekitar daerah
pertempuran semalam dan di padukuhan-padukuhan yang tersebar di lereng Merapi,
terutama bagian timur dan selatan.
Sementara itu,
kelompok-kelompok yang lain pun telah menyebar orang-orangnya pula untuk
mengawasi, apakah ada gerakan pasukan yang terutama datang dari daerah Tambak
Wedi dan sekitarnya. Namun di samping itu, setiap pemimpin gerombolan itu pun
telah memerintahkan kepada setiap orang di dalam lingkungannya untuk tidak
mempercakapkan peristiwa yang dapat menimbulkan benturan di antara mereka itu.
“Jagalah agar tidak ada orang
lain yang mendengar bahwa peristiwa itu telah terjadi. Dan bahwa mayat-mayat di
jalan itu seakan-akan telah hilang begitu saja tanpa diketahui ke mana
perginya, atau telah diambil oleh siapa pun.”
Untunglah, bahwa keterangan
yang mencengkam setiap orang di dalam setiap gerombolan itu tidak merambat
kepada mereka yang tidak terlibat di dalamnya. Penduduk padukuhan di sekitar
lereng Merapi, bahkan di sekitar peristiwa yang telah menimbulkan ketegangan
itu pun tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang telah terjadi di sekitarnya.
Mereka tidak merasakan ketegangan dan kesiagaan orang-orang yang terlibat dalam
kelompok-kelompok dan gerombolan-gerombolan penjahat. Sehingga karena itu maka
mereka pun bekerja seperti biasa dalam pekerjaan masing-masing. Yang bekerja di
sawah, tetap bekerja di sawah. Sedang yang pergi dan berdagang di pasar pun
tetap menunaikan tugasnya masing-masing. Bahkan yang jarang sekali nampak di
antara pepohonan hutan di lereng Gunung Merapi, beberapa orang blandong telah
bersiap-siap menebang kayu-kayu yang agaknya diperlukan oleh prajurit-prajurit
Pajang di Jati Anom, karena hutan di lereng Gunung itu berada di bawah
pengawasan prajurit-prajurit Pajang pula.
Namun agaknya, kehadiran
mereka di hutan-hutan di lereng Merapi itu memang telah menarik perhatian
beberapa orang. Tiga orang yang sedang lewat di jalan yang melintasi hutan yang
tidak begitu lebat itu, tertarik kepada beberapa orang blandong kayu yang
sedang duduk di pinggir jalan dengan kapak di tangan mereka.
“Ki Sanak,” bertanya
orang-orang yang baru lewat itu, “apakah kalian akan menebang hutan?”
Salah seorang blandong itu berdiri
sambil menjawab, “Tentu tidak. Tetapi kami memang akan menebang satu dua batang
pohon yang kami perlukan.”
“Agaknya kalian sedang memilih
kayu tertentu?”
“Ya. Kami memang sedang
bersiap-siap untuk menebang dua tiga batang pohon Sanakeling.”
“Sanakeling?” bertanya salah
seorang dari orang-orang yang lewat itu.
“Ya. Sanakeling dan yang belum
kami ketemukan adalah pohon Pucang Putih.”
“Untuk apa?”
“Kami sedang memperlengkapi
senjata prajurit-prajurit Pajang yang ada di Jati Anom.”
“Jadi kalian ini
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”
Orang itu menggeleng sambil
tersenyum, “Kami bukan prajurit. Kami adalah blandong-blandong yang mendapat
pesanan dari para prajurit untuk mencari kayu yang diperlukan.”
Ketiga orang itu
termangu-mangu. Salah seorang bertanya, “Kayu-kayu itu apakah akan dibuat
bindi, atau bentuk-bentuk senjata yang lain?”
“Semacamnya. Tetapi sebagian
akan dipergunakan sebagai hulu-hulu pedang, dan tangkai tombak panjang dan
tombak pendek, canggah, trisula dan semacamnya.” Orang itu berhenti sejenak,
lalu, “Agaknya kami memang bukan sekedar blandong. Karena di antara keluarga
kami ada yang dapat membuat jenis-jenis senjata atau tangkai-tangkai senjata
dari kayu-kayu yang keras dan lentur, seperti kayu Pucang Putih yang belum kami
ketemukan. Karena itu maka pesanan yang kami terima bukannya sekedar menebang
kayu, tetapi juga membuat sesuai dengan pesanan.”
Orang-orang itu
mengangguk-angguk. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kau
khusus melayani prajurit-prajurit Pajang?”
“Tentu tidak. Tetapi
pengambilan kayu di daerah ini memang harus ada ijin khusus dari prajurit
Pajang.”
Orang-orang yang lewat itu pun
mengangguk-angguk pula. Lalu salah seorang berkata, “Baiklah. Kami akan
meneruskan perjalanan kami. Kami akan berbelanja di pasar untuk keperluan
peralatan di rumah saudara kami.”
Blandong yang sedang
bercakap-cakap itu mengangguk hormat, sambil menyahut, “Silahkan, Ki Sanak.
Jika Ki Sanak lewat lagi di jalan ini, Ki Sanak tentu akan memberikan
oleh-oleh.”
Ketiga orang yang lewat itu
tertawa pendek. Sambil mengangguk-angguk salah seorang dari mereka menyahut,
“Apakah kira-kira kalian masih ada di sini?”
“Kami akan berada di sini
sampai kira-kira tiga hari. Hari ini kami baru akan dapat menebang dan
memotong-motong sebatang pohon Sanakeling itu. Dan besok kami akan menebang
satu lagi. Bahkan mungkin masih kurang,” jawab blandong itu.
“Baiklah. Oleh-oleh apakah
yang harus aku bawa bagi kalian?”
Blandong itu tertawa. Katanya,
“Terima kasih. Kami tidak memerlukan apa-apa.”
Sambil tertawa pula ketiga
orang itu pun kemudian meninggalkan tempat itu. Sekali-sekali mereka masih
berpaling dan memperhatikan blandong yang kemudian duduk kembali di antara
kawan-kawannya.
“Kau lihat blandong itu dengan
saksama?” bertanya salah seorang dari ketiga orang yang lewat itu.
“Ya. Aku tidak yakin bahwa
mereka adalah blandong-blandong biasa. Mungkin ada juga di antara mereka
benar-benar blandong. Tetapi yang berbicara itu agaknya sama sekali bukan
seorang blandong kayu.”
“Ya. Tubuhnya menunjukkan,
bahwa ia bukan seorang blandong. Biasanya seorang blandong tubuhnya tidak
seimbang seperti orang itu. Tangannya tentu menunjukkan kerja keras yang mereka
lakukan. Tetapi tubuh orang itu sama sekali tidak membayangkan kerja seorang
blandong, Badannya yang seimbang dan serasi, membuat aku curiga, bahwa ia
adalah seorang prajurit. Kau lihat, bagaimana caranya berdiri dan berbicara?”
“Ya. Aku yakin, ia memang
seorang prajurit. Setidak-tidaknya ia adalah salah seorang dari mereka yang
mempelajari olah kanuragan.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Tetapi mereka pun berjalan terus.
Sementara itu, blandong yang
sedang duduk itu pun masih saja memandang ketiga orang yang lewat itu sampai
mereka hilang di tikungan.
“Langkahnya sudah mengatakah,
bahwa mereka bukan sekedar petani yang akan pergi berbelanja ke pasar,” desis
blandong yang berbicara dengan ketiga orang itu.
“Jadi benar, bahwa ada
beberapa orang yang telah turun dari Padepokan Tambak Wedi seperti yang diduga
oleh Senapati Untara.”
“Tetapi belum merupakan sebuah
gerakan. Mungkin mereka masih ragu-ragu karena mereka tidak tahu pasti,
siapakah lawannya dalam perkelahian di tengah bulak itu.”
“Tetapi lawannya segera
mengetahui, bahwa yang mereka hadapi adalah orang-orang Tambak Wedi.”
“Tentu lebih mudah. Hampir
setiap orang dari gerombolan yang ada sudah saling mengenal. Jika mereka tidak
mengenal sekelompok orang yang berkeliaran di sini, tentu mereka langsung
mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah orang-orang dari Tambak Wedi.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka bertanya, “Tetapi, apakah ketiga
orang itu benar-benar akan pergi ke pasar?”
“Ya. Mereka tentu benar-benar
akan pergi ke pasar untuk mendengar beberapa hal tentang peristiwa terakhir
yang terjadi di lereng Gunung Merapi ini. Mungkin mereka akan mendapat
keterangan, dengan siapakah pasukannya telah berbenturan malam tadi.”
Sekali lagi kawan-kawannya
mengangguk-angguk.
“Sekarang,” berkata blandong
yang semula berbicara dengan ketiga orang yang lewat itu, yang agaknya adalah
pemimpinnya, “salah seorang dari kalian harus pergi ke pasar terdekat. Kalian
harus menghubungi prajurit sandi yang ada di pasar itu untuk mengawasi ketiga
orang yang baru saja lewat. Bukankah kalian tidak akan melupakan tampang mereka.”
“Siapakah di antara kami yang
harus berangkat?” bertanya seorang yang lain. “Aku sudah siap jika akulah yang
harus pergi.”
Kawannya yang berdiri di
sampingnya tersenyum. Katanya, “Tentu kau lebih senang pergi ke pasar daripada
menebang pohon di sini. Di sini kami hanya akan berpapasan dengan ular atau
serigala. Di pasar kau dapat melihat perempuan-perempuan cantik dan duduk di
sebelah penjual dawet legen.”
Yang lain pun tertawa. Tetapi
tidak ada yang menolak permintaan itu, sehingga akhirnya pemimpinnya berkata,
“Baiklah. Pergilah. Tetapi hati-hati. Jangan sampai kau terhenti di jalan
sebelum kau mencapai pasar itu. Kau tahu artinya?”
Orang yang mendapat tugas itu
menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa mungkin sekali ia dihentikan oleh
orang-orang yang mencurigainya. Dan itu berarti kekerasan.
“Nah,” berkata pemimpinnya,
“jadi bukan sekedar duduk di sebelah penjual dawet legen yang terkenal itu saja
yang harus kau lakukan. Karena itu, aku kira sebaiknya dua orang di antara
kalian pergi ke pasar. Bukan hanya seorang.”
Demikianlah maka sejenak
kemudian, dua orang di antara mereka pun meninggalkan hutan itu setelah mereka
mengenakan pakaian seorang petani biasa. Tetapi di balik baju mereka terdapat
sepasang pisau belati yang dapat mereka pergunakan setiap saat mereka menjumpai
bahaya.
Sepeninggal kedua orang itu,
maka yang lain pun mulai dengan tugas mereka menebang sebatang kayu Sanakeling
yang tumbuh tidak jauh dari jalan yang membelah hutan rindang itu. Dengan
demikian maka mereka tetap dapat bekerja sambil mengawasi jalan yang menuju
antara lain ke Tambak Wedi.
Namun karena mereka sebagian
tidak biasa menebang pohon-pohon kayu, maka mereka lebih banyak berdiri sambil
bertelekan pinggang.
Seorang di antara mereka yang
berada di atas dan sedang memotong beberapa dahan sebelum batang kayu itu
dirobohkan, duduk sambil mengusap tangannya. Katanya, “Tanganku sudah mulai
pedih.”
“Turunlah,” berkata yang lain,
“biarlah aku yang naik. Agaknya kau lebih pandai memotong jenang alot daripada
sebatang dahan kayu Sanakeling.”
Dalam pada itu, kedua orang di
antara mereka yang pergi ke pasar, berjalan dengan tergesa-gesa. Tetapi mereka
tidak berusaha untuk menyusul ketiga orang yang telah mendahuluinya agar tidak
tumbuh salah paham dan pertikaian sebelum mereka sampai ke pasar.
“Apakah ketiga orang itu tidak
akan dapat mengenali kita?” bedanya salah seorang dari kedua orang itu.
“Tentu tidak. Mereka tidak
melihat kita waktu kita duduk-duduk di pinggir hutan itu. Setidak-tidaknya
mereka tidak menghiraukan kita, karena mereka asyik berbicara dengan Lurah.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi kita berhati-hati.”
Demikianlah, kedua orang itu
pun akhirnya sampai ke pasar tanpa terjadi sesuatu di perjalanan. Di antara
orang-orang yang sedang berjual beli, mereka berjalan perlahan-lahan sambil
mengawasi hampir setiap orang yang ada dipasar itu untuk mencari ketiga orang
yang telah mendahuluinya.
Namun akhirnya, mereka
berhasil menemukannya. Ketiga orang itu sedang duduk di dalam sebuah warung di
pinggir pasar sambil menghadapi masing semangkuk minuman panas.
“Kau mengawasi di sini,”
berkata salah seorang dari kedua orang yang mengikuti mereka, “aku akan menemui
petugas yang dikirim langsung dari Jati Anom.”
“Di manakah mereka itu?”
“Menurut keterangan yang kita
terima, mereka berada di sisi gerbang yang menghadap ke utara.”
“Baiklah. Tetapi jangan
terlampau lama.”
Yang seorang dari keduanya pun
kemudian meninggalkan tempat itu. Yang lain pun segera berjongkok dan
menawarkan sebulat mata cangkul agar tidak seorang pun yang memperhatikannya
berdiri termangu-mangu di tempat itu.
Ternyata beberapa petugas yang
dikirim langsung dari Jati Anom untuk mengawasi tempat-tempat yang ramai memang
berada di sisi pintu gerbang. Dengan singkat, petugas yang mengikuti ketiga
orang itu pun kemudian menyerahkan persoalannya kepada petugas yang langsung
datang dari Jati Anom.
“Kenapa tidak kau saja yang
menemani mereka duduk di warung itu? Kau dapat memesan makanan apa saja yang
kau sukai.”
“Tetapi ada kemungkinan mereka
mengenal aku. Karena aku berada di pinggir jalan ketika mereka lewat, meskipun
aku sudah siap untuk menebang pohon Sanakeling.”
“Tetapi dengan pakaianmu itu,
mereka tidak akan dapat segera mengenalimu.”
“Sebaiknya kau sajalah. Tetapi
ingat, kau harus membawa sebungkus ubi kukus dan talam jagung yang manis. Aku
menunggumu di sini dan akan membawanya ke hutan rindang.”
“Berapa orang kalian di sana?”
“Sepuluh orang.”
“Seharusnya kau membawa
gerobag untuk mengangkut ubi kukus dan talam jagung manis untuk sepuluh orang
tukang blandong.”
“Cepatlah,” berkata orang itu
kemudian, “sebelum mereka pergi.”
Petugas yang datang dari Jati
Anom itu pun kemudian menunjuk salah seorang di antara mereka untuk pergi ke
warung itu pula dan mendengarkan setiap percakapan di antara mereka yang sedang
diawasi itu.
Tetapi di warung yang pertama,
mereka tidak menemukan keterangan apa pun. Ketiganya agaknya memang mencoba
menangkap berita tentang perkelahian yang telah terjadi. Tetapi meskipun mereka
memancing pembicaraan, namun agaknya orang-orang yang ada di warung itu tidak
ada yang mengetahuinya.
Dengan demikian maka ketiganya
pun berpindah pula ke warung yang lain atau di tempat orang-orang lain
berkerumun. Setiap kali petugas-petugas dari Jati Anom selalu mengikutinya
meskipun setiap kali pula mereka harus berganti orang agar tidak menimbulkan
kecurigaan.
Dengan wajah yang suram, para
petugas sandi baik yang langsung dikirim dari Jati Anom maupun kedua orang yang
mengikuti ketiga orang yang dicurigai itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa
pun juga sampai saatnya pasar itu mulai menjadi semakin sepi.
“Namun setidak-tidaknya kita
mengetahui bahwa ketiganya tentu berkepentingan dengan pertempuran itu,”
berkata petugas yang langsung datang dari Jati Anom. “Ternyata mereka selalu
mencoba mengarahkan setiap pembicaraan pada kemungkinan terjadi benturan antara
gerombolan-gerombolan yang ada di lereng Gunung Merapi. Untunglah bahwa tidak
ada seorang pun di antara mereka yang berada di warung-warung itu menanggapinya,
karena agaknya mereka juga tidak mengetahui bahwa baru saja terjadi benturan
serupa itu, atau karena mereka memang tidak mengacuhkannya dan mempercayakannya
kepada prajurit Pajang.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Salah seorang berkata, “Kita tunggu seorang kawan kita yang masih mengikutinya.
Mungkin ia mendapat keterangan baru. Mudah-mudahan kita menemukan sedikit
keterangan mengenai kemungkinan yang dapat terjadi.”
Dalam pada itu, selagi para
petugas sandi itu mengawasi tiga orang yang mereka curigai di antara orang
banyak, maka Kiai Gringsing dan kawan-kawannya duduk di pendapa rumah Untara di
Jati Anom. Meskipun mereka berniat untuk segera kembali ke Sangkal Putung,
namun dalam keadaan seperti itu, mereka merasa tidak pada tempatnya untuk meninggalkan
Jati Anom begitu saja meskipun mereka percaya akan kemampuan Untara dan
pasukannya jika sekedar mengalami kelompok-kelompok orang-orang yang sesat di
lereng Merapi.
Namun ternyata bahwa
tanda-tanda yang mereka dapatkan pada kelompok baru yang tinggal di Tambak Wedi
sangat menarik perhatian.
“Masih ada waktu,” berkata
Kiai Gringsing kepada Ki Sumangkar dan Ki Waskita. “Perkawinan itu belum begitu
dekat. Yang kita cemaskan adalah justru jika ada pihak-pihak yang merasa
berkepentingan dengan orang-orang bercambuk.”
Sumangkar mengangguk-angguk.
Namun kemudian katanya, “Jarak ini sebenarnya tidak begitu jauh, Kiai. Apakah
kita dapat menengok Sangkal Putung sebentar. Kemudian jika perlu kita akan
kembali lagi kemari?”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Rasa-rasanya pendapat itu ada juga baiknya. Ia tidak
membiarkan kedua murid-muridnya selalu dalam ketegangan menunggu, dan ia
sendiri tidak selalu dibayangi oleh angan-angan yang mencemaskannya.
Ki Waskita pun kemudian
berkata pula, “Jika demikian, apakah aku dapat membawa Rudita serta dan
meninggalkannya di Sangkal Putung?”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk.
“Jika Kiai sependapat, mumpung
masih belum terlampau siang. Kita dapat pergi ke Sangkal Putung dan sebelum
senja kita sudah berada di tempat ini pula, jika kita tidak terlalu lama berada
di kademangan itu.”
Kiai Gringsing masih
mengangguk-angguk.
“Apakah pendapat Kiai?” desak
Ki Sumangkar.
“Aku sependapat,” berkata Kiai
Gringsing, “tetapi dengan demikian kita harus segera berangkat.”
“Kita akan minta diri kepada
Angger Untara,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi apakah kita perlu mengatakan
bahwa lukisan kelelawar itu sangat menarik perhatian kita sehingga kita akan
kembali lagi kemari?”
“Aku kira masih belum perlu,”
jawab Kiai Gringsing. “Kita tidak perlu mengatakan bahwa pusaka-pusaka itu kini
sedang jengkar dari Mataram. Dengan demikian, maka kita pun tidak perlu
menyebut ciri-ciri itu sebagai ciri-ciri yang ada hubungannya dengan peristiwa
itu. Biarlah kita sekedar mengetahui bahwa orang-orang di Tambak Wedi mempunyai
ciri-ciri yang demikian.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Sumangkar berkata, “Kita harus menunggu Ki
Untara sejenak.”
“Ia akan segera kembali,”
sahut Ki Waskita. “Bukankah ia hanya pergi ke banjar untuk memberikan beberapa
perintah kepada prajurit-prajurit yang ada di sana?”
“Ya. Dan singgah sebentar di
Kademangan Jati Anom,” desis Kiai Gringsing.
Namun dalam pada itu, selagi
mereka berbincang, terdengar derap beberapa ekor kuda memasuki halaman. Yang
paling depan adalah Untara dan kedua pengawalnya. Kemudian beberapa orang dalam
pakaian orang-orang kebanyakan.
“Petugas-petugas sandi itu,”
gumam Kiai Gringsing.
Demikianlah sejenak kemudian
mereka telah duduk di pendapa bersama Kiai Gringsing dan kedua kawannya.
“Katakanlah,” berkata Untara
dengan wajah yang tegang. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita melihat,
bahwa ada semacam kegelisahan di hati Untara.
“Ki Untara,” berkata salah
seorang petugas sandi itu, “kami berhasil mengikuti tiga orang yang kami
curigai di dalam pasar atas petunjuk kawan-kawan kami yang menebang pohon
Sanakeling di hutan rindang di pinggir jalan yang menuju ke Tambak Wedi.”
“Ya.”
“Hasil penelitian kami
menunjukkan, bahwa mereka agaknya dengan sungguh-sungguh sedang mencari
siapakah yang telah membunuh tiga orang anak buahnya di bulak semalam.”
“Tidak membunuh. Tetapi saling
berbunuhan.”
“Ya demikianlah,” prajurit
sandi itu meneruskan. “Tidak banyak yang mereka dapatkan di dalam pasar itu,
karena hampir setiap orang tidak tahu tentang peristiwa yang baru saja
terjadi.”
“Ya.”
“Tetapi ternyata bahwa mereka
telah mengirimkan pula beberapa orang untuk mengamati tempat bekas pertempuran
itu terjadi. Agaknya mereka menemukan beberapa macam benda yang dapat membuka rahasia
yang sedang mereka cari.”
“Darimana kau tahu?”
“Ketika mereka sedang berada
di salah sebuah warung, datang dua orang yang mengatakan hal itu kepada ketiga
orang yang terdahulu. Meskipun mereka berbisik tetapi salah seorang kawan kami
yang mengawasi mereka dapat mendengar. Mereka menemukan sebilah pisau belati.”
“Belum meyakinkan,” berkata
Untara.
“Tetapi selain pisau itu,
mereka menemukan sehelai ikat kepala berwarna biru kelengan di pematang.”
“Juga belum meyakinkan.”
“Tetapi mereka memperhitungkan
bahwa mayat-mayat itu telah dikuburkan di kuburan terdekat. Ternyata mereka
mengirimkan beberapa orang untuk membongkar kuburan baru di tempat itu.”
Yang mendengarkan laporan itu
menjadi tegang. Agaknya orang-orang di bekas padepokan Tambak Wedi itu tidak
mau bekerja tanggung-tanggung. Mereka benar-benar berusaha untuk menemukan
orang-orang yang telah berbenturan dengan beberapa dari antara mereka dan
menumbuhkan korban di kedua belah pihak.
“Apakah yang didapatkannya
dari kuburan itu? Dan kapan mereka melakukannya?”
“Pagi tadi. Mereka mengirimkan
beberapa orang ke kuburan itu tanpa menghiraukan petani-petani yang bekerja di
sawah di sekitar kuburan itu. Namun agaknya para petani tidak begitu mengerti,
apa yang telah mereka lakukan di kuburan itu karena mereka menjadi ketakutan
dan bahkan pergi menjauh.”
“Dari mana kau tahu tentang
petani-petani itu? Apakah orang-orang Tambak Wedi itu juga sempat
menceritakannya?”
“Tidak, Ki Untara. Kami segera
mengirimkan orang-orang kami untuk mengetahui kebenaran berita itu.”
“Jadi?”
“Kuburan itu benar-benar telah
dibongkar. Kami yakin melihat bekasnya. Bukan bekas yang telah dibuat oleh
prajurit-prajurit Pajang semalam. Tetapi kuburan itu sebagian tidak
dikembalikan sebagaimana seharusnya.”
Ki Untara menjadi semakin
tegang. Sedang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Mereka melihat betapa cekatannya gerak pasukan sandi dari Pajang
itu. Mereka dengan cepat berusaha meyakinkan semua pendengaran mereka.
Dalam pada itu prajurit sandi
itu pun melanjutkan, “Agaknya pada mayat-mayat itulah mereka menemukan
ciri-ciri yang mereka cari meskipun masih meragukan.”
“Apakah yang mereka
ketemukan?”
“Selain ikat kepala kelengan
seperti yang mereka ketemukan di pematang, juga ikat pinggang yang khusus.”
“Bagaimanakah bentuk ikat
pinggang itu?”
“Kami tidak tahu dengan jelas,
karena kami selama ini tidak menghiraukannya. Tetapi orang-orang yang saling
berbicara di warung itu menyebut-nyebut bahwa mereka pernah melihat sekelompok
orang yang mempergunakan ikat pinggang semacam itu.”
“Kelompok yang manakah yang
mereka sebutkan?”
“Orang-orang Kiai Raga
Tunggal.”
Ki Untara termangu-mangu
sejenak. Kemudian ia pun memerintahkan untuk mengambil senjata-senjata yang
dapat diketemukannya di daerah pertempuran semalam.
Dengan lebih teliti lagi
mereka mengamat-amati senjata-senjata itu. Namun mereka sama sekali tidak
menemukan ciri-ciri khusus yang dapat menunjukkan bahwa senjata-senjata itu
adalah senjata-senjata dari para pengikut Kiai Raga Tunggal.
“Ikat pinggang itu perlu kami
ketahui bentuknya,” berkata Ki Untara. Lalu ia pun berkata, “Aku harus berbuat
sesuatu. Aku tidak boleh menunggu hingga terlambat.”
“Apakah yang harus kita
lakukan?” bertanya prajurit-prajurit sandi itu.
Untara termenung sejenak.
Kemudian katanya, “Aku akan mengirimkan orang ke Padepokan Tambak Wedi dan
kepada Ki Raga Tunggal. Atas namaku, orang-orang Tambak Wedi supaya
diperintahkan untuk tidak melakukan tindakan apa pun juga. Kemudian yang pergi
kepada Ki Raga Tunggal harus mengetahui ciri yang mereka pergunakan terutama
pada ikat pinggangnya. Adalah kebodohan kita semuanya, bahwa kita tidak
mengenal ciri itu, sedangkan orang-orang Padepokan Tambak Wedi dapat
mengenalnya.”
“Justru karena kita mengenal
sebagian dari pemimpin-pemimpinnya maka kita tidak merasa perlu untuk
mengetahui lebih banyak lagi tentang mereka,” jawab prajurit sandi itu.
“Tetapi apakah artinya
pengenalan kita semua terhadap beberapa orang pemimpin mereka dalam keadaan
seperti sekarang ini? Korban-korban yang berjatuhan biasanya memang bukan para
pemimpinnya. Tetapi pengikut-pengikutnya.”
Prajurit sandi itu tidak
berani menjawab lagi.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Waskita sama sekali tidak dapat mencampuri persoalan itu. Namun mereka
dapat mengerti, betapa teliti dan cermatnya seseorang bekerja, namun pada suatu
saat, ada juga persoalan-persoalan yang terlampaui, seperti prajurit-prajurit
sandi Pajang di Jati Anom yang kurang mengenali ciri-ciri dari kelompok yang
yang dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal itu.
Untara pun kemudian memanggil
dua orang perwira muda untuk memimpin dua buah kelompok dengan tugasnya
masing-masing. Yang sekelompok harus pergi ke Tambak Wedi, dan yang lain akan
pergi ke tempat Kiai Raga Tunggal untuk meyakinkan apakah mereka benar-benar
telah mempergunakan ciri-ciri khusus pada ikat pinggang mereka.
Sejenak kemudian kedua
kelompok prajurit itu sudah berderap di atas punggung kuda meninggalkan Jati
Anom. Dengan tanda keprajuritan mereka pergi ke tempat-tempat yang sebenarnya
cukup berbahaya bagi mereka. Namun tanda-tanda keprajuritan mereka merupakan
tanda bahwa mereka adalah pengemban tugas keprajuritan, yang berarti bahwa yang
mereka lakukan adalah atas nama kekuasaan tertinggi Pajang.
Baru ketika kedua kelompok itu
sudah berangkat Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawannya sempat berbicara dengan
Untara yang gelisah.
“Maaf, Kiai. Aku menjadi
gelisah sehingga aku harus bertindak cepat.”
“Itu adalah tugas Angger. Dan
agaknya Angger telah melakukan dengan penuh tanggung jawab,” sahut Kiai
Gringsing.
Untara tersenyum. Katanya,
“Aku adalah sekedar pengemban tugas, Kiai.”
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa keadaan yang gawat sedang
dihadapi oleh lereng Gunung Merapi, sehingga Untara harus segera bertindak
untuk mencegah sejauh dapat dilakukan, benturan-benturan bersenjata yang akan
dapat mengganggu ketenangan rakyat yang perlahan-lahan sedang dipulihkannya.
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita agaknya masih tetap pada rencana mereka
untuk pergi ke Sangkal Putung meskipun hanya sekejap. Selain untuk membawa
Rudita kepada anak-anak muda yang sebaya dan yang sudah dikenalnya, juga agar
Ki Demang dan kedua murid Kiai Gringsing tidak menjadi gelisah karenanya.
Sebaliknya, Kiai Gringsing harus memberitahukan kepada murid-muridnya, bahwa
ada kemungkinan sekelompok orang-orang yang asing bagi kedua muridnya mencari
orang bercambuk.
“Jika keadaan gawat, kami akan
menentukan sikap kemudian,” berkata Kiai Gringsing kemudian setelah ia minta
diri kepada Untara.
Ki Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku memang tidak dapat menahan Kiai di sini lebih lama. Tetapi aku
harap bahwa Kiai benar-benar dapat kembali ke Jati Anom. Hari ini mungkin belum
akan terjadi sesuatu. Tetapi dendam di hati orang-orang Tambak Wedi itu tidak
terkendali, maka mungkin malam nanti atau besok, atau kapan saja akan dapat
meletus pertempuran di antara orang-orang yang sedang berada di dalam
pengawasanku. Yang lebih mencemaskan lagi, adalah bahwa pertempuran yang
demikian akan berakibat sangat buruk bagi rakyat di lereng Merapi yang belum
lama menikmati ketenangan yang mulai mantap.”
“Baiklah, Ngger. Jika tidak
ada persoalan yang sangat mendesak di Sangkal Putung aku akan kembali lagi
kemari. Tetapi aku sudah barang tentu tidak akan dapat membawa Agung Sedayu
serta dan apalagi Swandaru. Mungkin hal ini agak mencemaskan Angger. Tetapi
sebaiknya biarlah untuk sementara mereka berada di Sangkal Putung bersama
Rudita.”
Wajah Untara menjadi gelap. Sejak
kedatangan Kiai Gringsing di Jati Anom tanpa Agung Sedayu, Untara sudah
menyatakan kekecewaannya.
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing pun berkata, “Sebaiknya Angger Untara jangan memikirkan Agung Sedayu
pada saat seperti ini. Bukankah persoalan yang Angger hadapi sekarang adalah
persoalan yang sangat gawat bagi rakyat di lereng Gunung Merapi.”
Untara menarik napas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah, Kiai. Aku untuk
sementara tidak akan mempersoalkan Agung Sedayu. Biarlah untuk satu dua hari ia
berada di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Satu dua hari adalah ungkapan perasaan kecewa di dalam hati Untara.
Namun Kiai Gringsing tidak membantahnya bahwa tidak mungkin setelah satu dua
hari itu Agung Sedayu akan segera dapat datang ke Jati Anom.
Demikianlah maka Kiai
Gringsing dan kedua kawannya pun kemudian mempersiapkan diri untuk membawa
Rudita ke Sangkal Pulung. Agaknya Rudita sendiri pun merasa senang, bahwa ia
akan segera sampai ke tempat orang-orang yang sudah dikenalnya dengan baik.
“Jika aku bersikap baik, maka
tidak akan ada persoalan yang dapat tumbuh di antara kami,” berkata Rudita di
dalam hatinya.
Untara yang mengantarkan
mereka sampai ke regol berkata, “Kiai, aku mengharap kedatangan Kiai malam nanti,
justru karena aku kenal dengan Kiai sebaik-baiknya. Banyak yang dapat aku
harapkan dari Kiai bertiga untuk mengatasi kesulitan yang barangkali timbul di
daerah ini.”
“Aku akan berusaha, Anakmas,”
jawab Kiai Gringsing. “Aku kira, tidak ada hal yang penting di Sangkal Putung
saat ini, kecuali jika ada sikap tertentu terhadap orang-orang bercambuk.
Dengan demikian maka kedua murid-muridku memerlukan perlindungan.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Sudah hampir terucapkan agar Kiai Gringsnig membawa murid-muridnya
itu ke Jati Anom, tetapi ketika teringat olehnya bahwa Swandaru akan segera
melangsungkan perkawinannya dan Agung Sedayu perlu menemaninya selama Swandaru
harus tetap tinggal di rumah, maka niatnya pun diundurkannya.
Sejenak kemudian, maka empat
ekor kuda yang dipinjam dari Untara telah berlari meninggalkan Jati Anom menuju
Sangkal Putung. Jarak yang memang tidak begitu jauh dan pada saat terakhir
telah merupakan jalan yang aman dan hampir tidak pernah terjadi sesuatu.
Di bulak di luar padukuhan
induk Jati Anom, Kiai Gringsing dan ketiga orang yang berpacu bersamanya,
melihat petani yang sibuk bekerja di sawahnya yang sudah mulai menjadi hijau
oleh batang-batang padi yang tumbuh subur. Air yang melimpah tergenang di
antara kotak-kotak sawah yang luas, yang terbentang dari padukuhan yang satu
sampai ke padukuhan yang lain.
Namun akhirnya mereka pun
harus meninggalkan bulak persawahan serta padukuhan dan mendekati jalur jalan
di sebelah hutan yang rindang. Mereka memilih jalan itu, karena jalan itu
adalah jalan yang paling dekat menuju ke Sangkal Putung.
Mereka sama sekali tidak
menghiraukan, seandainya tiba-tiba saja seekor harimau tua yang tidak lagi
mampu berburu di tengah hutan dan muncul di jalan itu untuk mencari mangsa yang
lebih mudah ditangkap. Bahkan seandainya ada dua atau tiga ekor sekaligus.
Namun demikian, rasa-rasanya
orang-orang tua itu mempunyai firasat yang agak lain dan mencemaskan.
Ki Waskita yang ada didepan
bersama dengan Rudita, tanpa disadarinya telah memperlambat derap kudanya,
sehingga Rudita mendahuluinya beberapa langkah. Tetapi Rudita pun kemudian
mengekang kudanya sambil bertanya, “Kenapa Ayah memperlambat perjalanan?”
Ki Waskita berpaling.
Dilihatnya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar seolah-olah tidak mengalami sentuhan
perasaan apa pun. Namun karena Ki Waskita memperlambat kudanya, kedua orang tua
itu pun menarik kekang kudanya pula. Namun demikian sejenak kemudian keduanya
sudah berada di sisi Ki Waskita, sedang Rudita berada di paling depan.
“Ada firasat yang kurang
baik,” desis Ki Waskita.
“Apakah Ki Waskita melihat
isyarat tentang sesuatu?”
“Bukan isyarat. Tetapi kali
ini sekedar firasat. Mudah-mudahan firasat ini tidak benar.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Rasa-rasanya memang ada sesuatu. Tetapi kita tidak
dapat kembali.”
Mereka tidak berbicara lagi.
Ki Waskita kemudian kembali mendampingi anaknya di depan. Sedang Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar di belakang.
“Memang ada apa-apa di
perjalanan ini,” desis Ki Sumangkar. Kemudian, “Tetapi agaknya aku hanya
terpengaruh oleh pembicaraan Kiai dan Ki Waskita. Jika aku tidak mendengar
kalian berbicara tentang firasat mungkin aku pun tidak merasakan sesuatu.”
“Jangan mengingkari perasaan
sendiri, Adi,” jawab Kiai Gringsing. “Tentu Adi Sumangkar bukan anak-anak yang
mudah dipengaruhi oleh orang lain.”
“Agaknya memang demikian jika
yang memberikan pengaruh atas perasaan ini bukan Kiai Gringsing dan Ki
Waskita.”
Kiai Gringsing hanya tersenyum
saja. Ia tidak berbicara lagi. Namun tatapan matanya menembus jauh ke depan, ke
jalan yang berbatu-batu di bawah kaki kudanya, yang menjelujur menyusuri
pinggir hutan itu.
Namun demikian rasa-rasanya
firasat di dalam dirinya, bukan sekedar karena pengaruh kata-kata Ki Waskita.
Kiai Gringsing pun yakin bahwa pada Ki Sumangkar firasat itu pun telah tumbuh
pula seperti pada dirinya dan Ki Waskita.
Tetapi mereka berempat berpacu
terus, seolah-olah tidak ada perasaan apa pun yang mengganggu.
Meskipun demikian, Ki Waskita
tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia tahu, bahwa Rudita tidak mempunyai
prasangka buruk terhadap siapa pun dan apa pun, sehingga dengan demikian maka
ia tidak akan berbuat apa-apa seandainya mereka benar-benar menghadapi bahaya.
Yang akan dilakukan oleh Rudita paling jauh adalah menyelamatkan dirinya sendiri
tanpa berusaha untuk menghentikan tindakan apa pun dari orang lain terhadap
dirinya.
Dalam pada itu, selagi keempat
orang berkuda itu mendekati ujung hutan, maka yang mereka khawatirkan itu
ternyata telah terjadi. Tiba-tiba saja dari dalam hutan, beberapa langkah di
hadapan derap kuda-kuda itu, seseorang telah meloncat ke tengah-tengah jalan
sambil mengacukan senjata telanjang. Sebilah pedang berujung runcing dengan
gerigi duri pandan di punggungnya.
Ki Waskita dan ketiga orang
yang lain pun segera menarik kekang kuda mereka, sehingga karena demikian
tiba-tiba, maka kuda-kuda itu pun seakan-akan telah melonjak berdiri pada kaki
belakangnya.
Orang bersenjata pedang itu
masih berdiri tegak. Bahkan kemudian beberapa orang yang lain telah muncul pula
dari balik pepohonan hutan.
Seorang di antara mereka maju
beberapa langkah mendekati Ki Waskita sambil membentak, “Turun dari kudamu!”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Tetapi ia masih tetap berada di punggung kudanya. Demikian juga Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar. Sedang Rudita sudah mulai gelisah sambil memandangi
ayahnya.
“Turun!” sekali lagi orang itu
membentak. Ki Waskita masih saja tidak bergerak. Tetapi Rudita-lah yang segera
meloncat turun. Sambil tersenyum ia maju mendekati orang yang membentak itu
sambil bertanya, “Apakah ada kepentingan Ki Sanak menghentikan kami?”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Itulah Rudita kini. Namun demikian, di wajahnya sama sekali tidak
membayangkan kecemasan apa pun, selain kegelisahannya justru karena ayahnya
tidak mau turun dari kudanya.
Tetapi Ki Waskita tidak dapat
bertahan. Karena Rudita sudah meloncat turun, maka ia pun merasa perlu untuk
turun pula dari kudanya. Jika dengan tiba-tiba terjadi sesuatu atas anaknya,
maka ia akan dapat segera membantunya.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar pun kemudian turun pula dari kuda masing-masing. Mereka pun kemudian
menuntun kuda masing-masing maju mendekati orang-orang yang telah menghentikan
itu.
Orang yang menyuruh mereka
turun itu pun kemudian maju semakin dekat. Dengan wajah yang tegang ia
memandang keempat orang itu berganti-ganti.
“Siapakah kalian?” bertanya
orang itu.
Rudita-lah yang menjawab,
“Kami adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan pergi ke Sangkal Putung.
Kami baru saja datang dari Jati Anom.”
“Jati Anom?” orang itu
mengulang. “Apakah kepentingan kalian di Jati Anom, atau memang kalian
orang-orang Jati Anom.”
Rudita masih akan menjawab.
Tetapi Kiai Gringsing telah mendahului, “Kami adalah orang-orang Sangkal
Putung, Ki Sanak. Kami akan kembali pulang setelah beberapa hari bepergian.”
Orang itu memandang Kiai
Gringsing dengan wajah yang tegang. Sejenak ia berdiam diri, seolah-olah ingin
meyakinkan, siapakah sebenarnya orang-orang yang dihadapinya itu.
Baru kemudian orang itu
bertanya lebih lanjut, “Apakah keperluan kalian ke Jati Anom?”
Kiai Gringsing maju selangkah.
Jawabnya, “Keperluan keluarga, Ki Sanak.”
“Ya,” tiba-tiba orang itu
membentak, “keperluan keluarga atau keperluan apa pun, tetapi bukankah kau
dapat menyebutnya?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba saja Rudita menyela, “Benar-benar keperluan keluarga.
Tidak ada persoalan yang penting. Kami pergi menengok keluarga yang ada di Jati
Anom. Itu saja.”
“Siapakah keluargamu yang
berada di Jati Anom?”
Ternyata Rudita pulalah yang
lebih dahulu menjawab, “Untara. Kakang Untara. Kami baru saja menemui Kakang
Untara di Jati Anom.”
Orang itu menjadi tegang.
Lalu, “Benar kau datang dari kunjunganmu kepada Untara?”
“Kenapa kami harus berbohong?
Bukankah tidak ada untungnya jika kami berbohong?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun tiba-tiba ia tertawa meskipun bukan karena kelucuan, “Kau mau
menggertak aku. Jangan mencoba-coba berbohong. Kau ingin berdiri dengan perisai
nama Untara.”
Rudita menjadi heran. Lalu
katanya pula, “Sebenarnyalah kami berkunjung kepadanya. Bertanyalah kepada Ayah
dan kepada kedua kawannya.”
“Kau sangka bahwa jika kau
berlindung di belakang nama senapati cengeng itu kami menjadi ketakutan dan
melepaskan kau begitu saja.”
Rudita yang kebingungan
kemudian berpaling kepada Kiai Gringsing. Namun ayahnyalah yang bergumam, “Nah,
sudah puas kau memberikan keterangan?”
“O,” Rudita surut selangkah,
“maaf. Seharusnya Ayahlah yang menjawab.”
Ki Waskita memandang orang itu
dengan bimbang. Namun ia pun kemudian berkata, “Yang dikatakan anakku itu
benar, Ki Sanak. Kami baru saja berkunjung kapada Angger Untara. Jika kau
bertanya keperluan kami, maka kami sedang membicarakan salah seorang keluarga
kami yang segera akan kawin.”
“Maksudmu kau membicarakan masalah
perkawinan?”
“Demikianlah, Ki Sanak. Ada
dua pasang pengantin yang bakal dipertemukan. Satu di antaranya adalah adik
Untara.”
Orang itu berpikir sejenak.
Namun kemudian katanya, “Kau tentu akan membohongi aku pula. Seperti ayahnya,
anaknya pun pandai mengelabui orang. Tetapi aku tidak dapat kau kelabui dan kau
bohongi.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Ki Sanak. Siapakah sebenarnya Ki
Sanak ini? Dan apakah maksud Ki Sanak menghentikan kami.”
“Jangan pura-pura bodoh.
Kalian akan mencari bantuan ke mana? Apakah kalian akan mencoba mencari bantuan
ke daerah selatan? Atau barangkali ke daerah Gunung Baka di dekat Prambanan
yang barangkali bersarang segerombolan tikus kawan-kawanmu.”
“Aku tidak mengerti, Ki
Sanak.”
“Jangan berpura-pura. Katakan,
dari kelompok yang manakah kalian.”
“Aku semakin tidak mengerti.
Kelompok apakah yang kalian maksud?”
“Tunjukkan ikat pinggangmu,”
geram orang itu.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, mereka
pun agaknya telah mengetahui pula, bahwa orang-orang itu tentu orang-orang dari
Tambak Wedi.
Mereka mencurigai bahwa
orang-orang yang sedang dianggapnya sebagai musuh utamanya akan mencari bantuan
ke luar daerah Jati Anom, Bodehan, Macanan, Lemah Cengkar, dan sekitarnya.
Mereka akan menghubungi kawan-kawan mereka di tempat yang jauh. Daerah
pegunungan Baka di dekat Kali Opak, atau barangkali di daerah Rawa-Rawa
Jejemberan, di daerah Gunung Gamping jauh ke selatan.
Karena itu, agar tidak
menimbulkan persoalan yang berlarut-larut, maka Ki Waskita pun kemudian membuka
kancing bajunya dan menunjukkan ikat pinggangnya. Ikat pinggang yang selalu
dipakainya.
Orang yang menghentikan
perjalanan Ki Waskita dan ketiga orang yang bersamanya itu mengerutkan
keningnya. Ikat pinggang Ki Waskita sama sekali bukan ikat pinggang dengan
ciri-ciri yang mereka kenal sebagai orang yang telah membunuh kawan-kawannya.
Ikat pinggang Ki Waskita adalah ikat pinggang yang lain sekali baik bentuknya maupun
bahan yang dibuatnya. Meskipun ikat pinggang Ki Waskita juga lebar dan terbuat
dari kulit, tetapi sebagai orang yang berada maka ikat pinggang Ki Waskita
dilengkapi dengan timang yang terbuat dari perak dan beberapa butir permata
yang cukup menarik perhatian.
Karena itulah, maka berhatian
orang itu tiba-tiba saja telah berubah. Bukan lagi pada ciri-ciri ikat pinggang
itu, tetapi pada timang perak dan beberapa butir permata itu.
“Ki Sanak,” berkata orang itu
kemudian dengan nada merendah, “baiklah. Kalian, memang tidak menunjukkan
tanda-tanda yang dapat membuat kami curiga. Ciri-ciri yang ada pada kalian pun
berbeda dengan ciri-ciri dari orang-orang yang sedang kami cari. Tetapi agaknya
kau memiliki sesuatu yang dapat kau pergunakan untuk membantu kami.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Ia menjadi heran mendengar kata-kata orang-orang yang
menghentikannya itu. Namun seperti Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, maka Ki
Waskita pun segera dapat menangkap maksud orang itu.
Dan orang itu pun kemudian
meneruskan kata-katanya, “Ki Sanak. Kami adalah petugas-petugas yang memiliki
kekuasaan untuk bertindak apa saja yang kami anggap penting. Termasuk
pengumpulan dana bagi perjuangan kami. Karena itu, barangkali Ki Sanak tertarik
kepada perjuangan kami, kami mengharap Ki Sanak bersedia membantu kami.”
Ki Waskita termangu-mangu.
Namun kemudian ia bertanya, “Ki Sanak. Sudah barang tentu aku akan bersedia
membantu semua usaha yang baik. Tetapi aku belum mengetahui, apakah sebenarnya
yang kalian perjuangkan itu?”
“Kebesaran dan kewibawaan
negeri ini,” jawab orang itu sambil membusungkan dada. Lalu, “Nah, bukankah
perjuangan kami merupakan perjuangan yang pantas mendapat dukungan dari setiap
orang.”
“Aku tidak mengerti, Ki Sanak.
Jika demikian, apakah kalian termasuk prajurit-prajurit Pajang?”
“Persetan dengan prajurit
Pajang. Mereka sama sekali tidak mampu mendukung Pajang untuk menjadi suatu
negara yang besar dan berwibawa.”
“Aku tidak mengerti. Jika
demikian siapakah Ki Sanak ini?
“Kau tidak usah bertanya
terlampau jauh tentang diri kami. Kami adalah orang-orang yang mempunyai
cita-cita lebih tinggi dari para prajurit Pajang.”
“Apakah kalian orang-orang
Mataram?” bertanya Ki Waskita tiba-tiba.
Orang itu mengerutkan
keningnya, lalu, “Aku bukan orang gila yang berpihak kepada Mataram. Apa yang
akan dapat dilakukan oleh Juru Martani? Ia tidak jebih dari seorang undagi atau
seorang petani yang malas.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah. Jangan banyak
bertanya. Aku minta kau menyumbangkan ikat pinggangmu itu kepada perjuangan
kami.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Dugaannya ternyata benar, bahwa sebenarnya orang itu hanya
menginginkan timang peraknya.
“Maaf, Ki Sanak,” berkata Ki
Waskita, “aku tidak mempunyai timang yang lain kecuali yang aku pakai ini.”
“Ayah,” tiba-tiba saja Rudita
memotong, “apakah keberatan Ayah memberikan timang itu? Ayah akan dapat membeli
lagi kelak jika kita sudah pulang.”
“Ah,” desah Ki Waskita, lalu,
“mungkin kita akan dapat membeli lagi, tetapi sudah tentu sebelum itu, aku tidak
memakai ikat pinggang di perjalanan.”
“Ayah dapat memakai ikat
pinggangku yang aku terima dari Senapati Untara.”
“Sudahlah. Biarlah aku
menjelaskan kepada mereka, bahwa aku masih memerlukan ikat pinggangku.”
Rudita termangu-mangu. Namun
ia tidak dapat memaksa ayahnya untuk mengikuti jalan pikirannya.
“Ternyata anakmu mempunyai
pikiran yang lebih jernih dari kau, Ki Sanak,” berkata orang itu. “Ia lebih
cerdas dan mampu membuat perhitungan. Apa pun yang kau lakukan, maka ikat
pinggangmu dengan timangnya akan jatuh ke tanganku.”
“Jangan memaksa, Ki Sanak.
Sudah aku katakan bahwa aku adalah orang Sangkal Putung yang masih mempunyai
sangkut paut dengan Ki Untara.”
“Untara tidak akan berani
bertindak terhadap kami, orang-orang yang terkenal sebagai anak buah Kiai Raga
Tunggal.”
Ki Waskita, Kiai Gringsing,
dan Ki Sumangkar terkejut mendengar nama itu. Tetapi mereka pun dengan cepat
dapat mengerti maksudnya. Orang-orang yang sudah tentu datang dari Tambak Wedi
itu dengan sengaja ingin membenturkan Kiai Raga Tunggal, yang mereka duga telah
melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Tambak Wedi itu dengan pasukan Pajang
di Jati Anom, sebelum mereka sendiri akan melepaskan dendam terhadap
orang-orang Kiai Raga Tunggal itu.
“Ki Sanak,” berkata Ki Waskita
kemudian, “sangat menyesal bahwa kami terpaksa mempertahankan hak milik kami.
Tetapi barangkali kalian mempunyai tanggapan yang salah terhadap senapati muda
di Jati Anom itu. Untara sama sekali tidak gentar menghadapi kelompok-kelompok
kecil, apalagi sekecil kelompok Kiai Raga Tunggal, sedangkan kelompok yang
besar yang baru saja datang dan untuk sementara menetap di Tambak Wedi itu pun
ia tidak segan untuk mengambil tindakan jika perlu.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Namun ketika ia akan mengatakan sesuatu, Rudita maju mendekatinya
sambil berkata, “Maaf, Ki Sanak. Agaknya ayahku tidak ikhlas memberikan
miliknya. Karena itu, sebaiknya jangan dipaksa. Sebab pemberian yang tidak
didasari dengan keikhlasan akan dapat membawa akibat yang kurang baik.”
“Diam kau!” tiba-tiba saja
orang itu membentak.
Tetapi Rudita sama sekali
tidak mau diam. Katanya, “Sudahlah. Jangan memaksa. Tentu kau akan mendapat
ganti yang jauh lebih banyak untuk dana perjuanganmu daripada sekedar timang
perak itu. Ki Sanak, timang itu hanyalah timang perak. Mungkin kelak ada orang
lain yang dengan ikhlas memberikan timang emas bermata berlian dan jamrut.”
“Tutup mulutmu!”
Rudita termangu-mangu. Tetapi
ia masih berkata, “Cobalah mengerti kata-kataku. Aku pun tidak pernah
memaksakan untuk menerima pemberian yang tidak ikhlas seperti itu.”
Orang itu agaknya telah
kehilangan semua kesabarannya.
Tetapi Rudita seolah-olah
tidak dapat menanggapi keadaan itu. Ia bahkan tersenyum sambil melangkah
mendekat. Katanya, “Kami terpaksa minta maaf, Ki Sanak. Ayahku bukannya seorang
yang murah hati. Tetapi aku masih berjanji untuk pada suatu saat dapat
memberikan sumbangan apa pun kepada kalian.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia kurang mengerti cara berpikir Rudita, tetapi ia yakin bahwa
Rudita tidak bergurau. Ia agaknya memang benar-benar ingin memberikan sesuatu.
Tetapi timang yang dipakainya sendiri adalah timang yang kurang berharga untuk
diberikan kepada orang itu.
Tetapi ternyata bahwa orang
itu telah salah mengerti. Ia mengganggap bahwa Rudita telah dengan sengaja
mengejeknya. Dengan demikian kemarahan yang telah memuncak itu bagaikan meledak
tidak terkendali lagi. Dengan serta-merta, maka ia pun mengayunkan tangannya
memukul kening Rudita sekuat-kuat tenaganya.
Semua yang menyaksikan pukulan
yang tiba-tiba itu terkejut. Tetapi yang terjadi itu berlangsung demikian
cepatnya, sehingga tidak seorang pun yang dapat mencegah. Apalagi Rudita memang
berdiri terlampau dekat dengan orang yang sedang marah itu.
Pukulan itu adalah pukulan
yang dilandasi oleh kemarahan yang meluap-luap. Karena itu, pukulan itu telah
dilontarkan dengan segenap kekuatan.
Namun, Ki Waskita, Kiai
Gringsing, dan Ki Sumangkar, yang dengan gerak naluriah telah menyiapkan diri
menghadapi kemungkinan yang lebih buruk lagi, menjadi termangu-mangu. Mereka
melihat Rudita masih tetap berdiri di tempatnya. Bahkan senyumnya masih saja
nampak di bibirnya.
Yang justru menyeringai adalah
orang yang memukulnya. Tangannya bagaikan telah menyentuh besi baja, sehingga
rasa-rasanya jari-jarinya telah berpatahan.
“Kau terlampau cepat marah, Ki
Sanak,” berkata Rudita kemudian, “cobalah kau pikir dengan hati yang bening.”
Orang yang menghentikan
perjalanan sekelompok kecil orang-orang yang akan pergi ke Sangkal Putung itu
melangkah surut. Bukan saja orang yang telah memukul Rudita, tetapi
kawan-kawannya pun menjadi heran dan berdebar-debar. Mereka mengira bahwa orang
yang tidak bersiap-siap menerima pukulan yang dahsyat itu akan terpelanting dan
pingsan, bahkan mati. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
“Pukulannya tidak pernah
diulang,” berkata kawan-kawannya di dalam hati, “tetapi agaknya yang berdiri di
hadapannya itu adalah anak iblis, sehingga pukulan mautnya sama sekali tidak
berakibat apa pun padanya.”
Ketika Rudita melangkah
selangkah maju, orang yang memukulnya itu surut selangkah.
“Aku tidak marah,” berkata
Rudita, “tetapi aku minta kau memaafkan ayahku kali ini. Agaknya ayahku tidak
rela memberikan timangnya yang selalu dipakainya. Tetapi itu pun wajar.
Barang-barang yang sudah cukup lama dimiliki dan dipakai, kadang-kadang
mempunyai arti tersendiri. Bukan sekedar harga barang itu. Tetapi rasa-rasanya
sudah merupakan bagian dari dirinya, sehingga agak enggan rasanya untuk
berpisah.”
Orang yang menghentikan Ki Waskita,
Rudita, dan kedua orang kawannya itu benar-benar menjadi bingung. Mereka tidak
mengerti sikap dan kata-kata Rudita. Sikap dan kata-katanya bukanlah sikap
orang kebanyakan.
Bukan orang itu dan
kawan-kawannya sajalah yang menjadi heran. Ki Waskita, Kiai Gringsing, dan Ki
Sumangkar pun menjadi heran pula. Perkembangan Rudita setelah mempelajari ilmu
ayahnya dan setelah ia menyadari keadaan dirinya, agaknya berbeda dengan
perkembangan kebanyakan orang. Apalagi Agung Sedayu yang pernah mengalami keadaan
hampir serupa di masa kecilnya.
Tetapi Ki Waskita, Kiai
Gringsing, dan Ki Sumangkar membiarkan saja Rudita berbuat menurut kehendaknya.
Ketiga orang itu memang tidak ingin terjadi benturan di antara mereka dengan
orang-orang yang menghentikannya. Jika demikian, maka perkelahian akan segera
mulai di Jati Anom, jika sepercik api telah membakarnya, entah apa sebab dan
alasannya. Jika terjadi kematian-kematian berikutnya, maka orang-orang yang
menurut dugaan Ki Waskita dan kedua orang kawannya itu datang dari Tambak Wedi,
akan menjadi semakin marah, karena tuntutan dendamnya atas kematian
kawan-kawannya di bulak itu masih belum terpenuhi. Korban berikutnya akan
membuat mereka menjadi semakin buas dan liar sehingga prajurit-prajurit Pajang
di Jati Anom akan sangat sulit untuk mengendalikan.
Karena itu, ketika orang-orang
yang mencegat perjalanan mereka itu menjadi bingung menghadapi Rudita dan
bergeser surut, Ki Waskita dan kedua kawannya hanyalah menunggu, apakah yang
akan terjadi selanjutnya meskipun mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
“Jika orang-orang itu
mempergunakan senjata, maka Rudita harus diselamatkan,” berkata Ki Waskita di
dalam hatinya, karena ia tahu pasti, bahwa Rudita masih belum kebal sama sekali
dari senjata tajam. Ia baru berhasil menguasai perasaan sakit dan meningkatkan
daya tahan tubuhnya, belum merapatkan jaringan kulit tubuhnya itu, karena untuk
itu diperlukan waktu yang bertahun-tahun. Bukan sepekan dua pekan atau sebulan
dua bulan. Dan bahkan Ki Waskita sendiri pun masih belum mencapai tingkatan itu
pula.
Tetapi agaknya benturan
kekerasan yang lebih seru tidak terjadi. Orang-orang itu merasa bahwa mereka
tidak akan dapat berbuat banyak terhadap keempat orang yang lewat itu. Yang
paling muda di antara mereka, memiliki daya tahan tubuh yang mengagumkan, dan
apalagi sifat aneh. Terlebih-lebih ayahnya dan kawan-kawannya itu.
Orang yang telah memukul
Rudita itu ternyata semakin lama menjadi semakin menjauhinya. Bahkan kemudian
ia berkata kepada Ki Waskita, “Baiklah, Ki Sanak. Aku dapat mengerti pendapat
anakmu. Kau memang orang yang paling kikir yang pernah aku temui. Tetapi
seperti yang dikatakan oleh anakmu, bahwa pemberian yang tidak ikhlas akan
tidak memberikan manfaat yang baik, bahkan justru sebaliknya. Karena itu, jika
memang kau tidak ikhlas memberikan sumbangan bagi perjuanganku untuk membuat
negeri ini sejahtera, berjalanlah terus. Aku akan menunggu orang-orang lain
yang mengerti, bahwa perjuangan kami harus dibantu dengan dana secukupnya,
karena perjuangan kami adalah perjuangan yang mulia bagi Demak dan yang kini di
bawah pemerintahan Pajang.”
“Kenapa kau sebut-sebut Demak
yang sudah tidak ada lagi, Ki Sanak,” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Kami merindukan kebesaran
masa lampau. Bukan saja Demak, tetapi kejayaan Majapahit harus dipulihkan.”
“Majapahit?”
“Ya. Majapahit yang memiliki
daerah yang luas dan memiliki kekuatan yang tiada taranya di belahan bumi ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Mudah-mudahan, Ki Sanak.
Tetapi sayang, bahwa kami tidak dapat membantu lebih banyak daripada sekedar
berdoa bagi kalian.”
“Persetan,” potong orang itu
menggeram, “pergilah. Aku tidak memerlukan doa orang-orang kikir.”
Kiai Gringsing tidak menjawab
lagi. Mereka pun segera meloncat ke punggung kuda, dan perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu.
Beberapa pasang mata
memperhatikan keempat orang itu dengan saksama. Belum lagi mereka hilang di
tikungan ujung hutan yang rindang itu, orang yang telah memukul Rudita
berdesis, “Gila. Aku tidak mengerti, bahwa anak itu tubuhnya sekeras baja.
Jari-jariku seakan-akan telah berpatahan dan tidak berarti sama sekali.”
“Mereka adalah keluarga
panglima prajurit Pajang di Jati Anom.”
“Ya. Senapati Untara. Agaknya
mereka pun memiliki kelebihan seperti Untara.”
“Jika mereka kembali lagi ke
Jati Anom, mereka tentu akan menceritakan bahwa kami berada di daerah ini.”
“Tidak apa-apa. Aku menyebut
kelompok ini sebagai kelompok orang-orang yang berada di bawah pengaruh Ki Raga
Tunggal. Jika Untara marah, ia akan marah kepada Ki Raga Tunggal.”
“Apakah orang-orang itu
percaya?”
“Tentu. Mereka belum mengenal
kita.”
Kawan-kawannya tidak menyahut.
Sejenak mereka memandang debu yang terhambur oleh kaki-kaki kuda yang berlari
semakin kencang, dan yang sejenak kemudian hilang di ujung hutan rindang itu.
“Kita harus bersembunyi lagi.
Kita akan menghentikan orang-orang berikutnya yang kita curigai,” berkata orang
yang telah memukul Rudita.
Demikian beberapa orang itu
pun memasuki hutan rindang itu kembali. Mereka menunggu orang-orang berikutnya.
Mereka ingin menemukan satu atau dua orang yang mereka anggap dapat memberikan
banyak petunjuk tentang keadaan kelompok-kelompok penjahat yang ada di lereng
Gunung Merapi, serta mengawasi kemungkinan mereka mencari bantuan ke luar
daerah Jati Anom dan sekitarnya.
Dalam pada itu, Ki Waskita,
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Rudita berpacu semakin cepat. Mereka ingin
segera sampai ke Sangkal Putung. Agaknya menghadapi keadaan yang berkembang di
Jati Anom, Sangkal Putung pun perlu mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan kademangan-kademangan lain wajib pula mengetahui dan
mempersiapkan diri, meskipun mereka tidak seharusnya membuat penduduknya
menjadi cemas dan ketakutan.
“Tetapi kesiagaan yang
demikian perlu sekali,” berkata Ki Waskita.
“Apakah Angger Untara juga
berbuat demikian bagi kademangan di sekitar Jati Anom dan di daerah selatan
lereng Gunung Merapi?” bertanya Ki Sumangkar.
“Mungkin pertimbangannya agak
berbeda. Untara ingin melepaskan penghuni lereng Merapi dari keterlibatan yang
jauh, agar tidak terjadi benturan langsung antara kelompok-kelompok penjahat
itu, terlebih-lebih lagi yang baru menetap di Tambak Wedi dengan anak-anak muda
yang belum siap benar menghadapi mereka,” jawab Kiai Gringsing.
“Dan di daerah itu,
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom tentu dapat bergerak cepat,” desis Ki
Waskita.
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Ia pun sependapat dengan kedua orang kawannya. Bahkan
kemudian ia pun berkata, “Memang mungkin sekali benturan kekuatan di lereng Merapi
itu akan mengalir ke bawah. Sebaiknya daerah yang tidak terlampau jauh seperti
Sangkal Pulung, perlu mempersiapkan dirinya, bahkan mungkin Sangkal Putung
dapat mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan kemungkinan serupa itu
kepada daerah tetangganya. Beranting dari satu kademangan hingga kademangan
yang lain.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Seperti lahar yang meluap dari perut Gunung Merapi, maka benturan
yang terjadi di lereng itu pun dapat meleleh turun. Jika Untara kemudian
bertindak tegas terhadap semua kekuatan tanpa memilih, maka seperti lebah yang
disentuh api, akan bertebaranlah kekuatan yang sudah terpecah itu ke daerah di
sekitarnya dengan liar dan bahkan menjadi sangat buas.
Namun dalam pada itu,
sebenarnyalah bahwa selain kelompok yang ditugaskannya pergi ke tempat yang
masih diselubungi oleh rahasia, Tambak Wedi, dan sarang kelompok yang dipimpin
oleh Kiai Raga Tunggal, maka Untara pun telah mengirimkan beberapa orangnya
untuk memberitahukan perkembangan keadaan kepada kelompok-kelompok prajurit
yang bertugas di beberapa daerah yang terpencar.
Dua orang prajurit berkuda
berpacu di atas punggung kuda mengawal seorang perwira muda pergi ke Prambanan.
Kademangan yang berada di pinggir Kali Opak, dan yang mempunyai beberapa persoalannya
sendiri. Prajurit-prajurit di daerah ini mempunyai daerah pengawasan yang luas,
sehingga dalam keadaan tertentu harus mengelilingi beberapa kademangan di
sekitar Prambanan.
Mereka harus mengawasi daerah
yang langsung memasuki hutan Tambak Baya, yang nampaknya semakin lama menjadi
semakin ramai dan aman. Namun mereka pun harus mengawasi daerah Sambirata, Cupu
Watu, Temu Agal, dan sekitarnya.
Perwira muda yang dikawal oleh
dua orang prajurit itu, mengambil jalan memintas melalui lereng Gunung Merapi,
lewat di padakuhan yang menjadi agak ramai karena sebatang pohon Mancawarna,
kemudian turun ke selatan.
“Kita akan berada di Prambanan
untuk beberapa waktu,” berkata perwira muda itu sambil berpacu.
“Mudah-mudahan tidak terjadi
sesuatu,” sahut salah seorang pengawalnya.
“Mudah-mudahan. Tetapi
prajurit-prajurit Pajang di Prambanan harus bersiaga meskipun tidak perlu
membuat penduduknya menjadi gelisah. Daerah pegunungan di sebelah selatan
kademangan itu akan mendapat pengawasan khusus, karena kadang-kadang masih ada
satu dua kelompok kecil penjahat yang berkeliaran. Dan selama itu, kita akan
berada di antara mereka.”
Prajurit-prajurit pengawalnya
tidak bertanya lagi. Mereka berpacu semakin cepat. Rasa-rasanya mereka memang
sedang melalui daerah yang cukup gawat, sebelum mereka menuruni lereng Gunung
Merapi di sisi selatan, menembus hutan yang tidak terlampau lebat.
Sementara itu, kelompok
prajurit Pajang di Jati Anom yang mendaki lereng Merapi menuju ke Tambak Wedi,
semakin lama telah menjadi semakin dekat. Untuk mencegah timbulnya persoalan di
antara para prajurit itu dengan orang-orang dari Tambak Wedi karena salah
paham, maka para prajurit Pajang telah mengenakan semua tanda-tanda
keprajuritan mereka. Panji-panji dan tunggul, serta kelengkapan yang lain.
Dengan demikian maka
iring-iringan itu merupakan sebuah iring-iringan prajurit yang mengemban tugas
dari panglima pasukan Pajang di Jati Anom. Semua perlawanan dan pengingkaran
atas prajurit-prajurit yang bertugas itu, berarti perlawanan dan pengingkaran
terhadap kekuasaan Pajang.
Akibat dari tindakan yang
demikian, tentu akan menjadi sangat berat, karena Untara adalah seorang
panglima yang memegang teguh tugas-tugas keprajuritannya.
Sedangkan kelompok lain yang
dipimpin oleh seorang perwira pula, telah datang ke sarang kelompok yang
dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal.
Demikian mereka mendekati
regol halaman, terasa bahwa ada suasana yang berbeda di tempat itu. Perwira itu
melihat penjagaan yang jauh lebih ketat dari biasanya. Bahkan pada jarak yang masih
cukup jauh, sudah terasa bahwa mereka sedang diawasi oleh orang-orang Kiai Raga
Tunggal.
Di muka regol sekelompok
prajurit itu berhenti. Mereka melihat seorang penjaga mendekatinya dengan
hormat. Sambil membungkukkan kepalanya ia bertanya, “Apakah yang Tuan kehendaki
dari kami?”
“Aku akan bertemu dengan Kiai
Raga Tunggal,” berkata perwira itu.
“O,” ia mengangguk-angguk,
lalu, “Kiai Raga Tunggal tidak ada di sini.”
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Dan ia pun kemudian bertanya, “Di mana?”
“Ia berada di bulak sebelah.”
Perwira itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jadi ia merasa perlu untuk mengungsi? Baiklah.
Bawa ia kemari. Katakan bahwa seorang perwira dari Pajang ingin bertemu.”
Orang itu termangu-mangu. Lalu
katanya, “Silahkan Tuan pergi ke bulak sebelah.”
“Aku perintahkan, panggil
orang itu kemari.”
Penjaga itu ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian katanya, “Aku akan menyuruh seseorang menyampaikannya. Tetapi
aku tidak tahu, apakah ia dapat datang kemari.”
“Aku mengulangi perintahku
sekali lagi. Bawa orang itu kemari. Aku akan bertemu dengannya di sini. Tidak
di tempat lain.”
Penjaga regol itu tidak
menjawab. Ia pun kemudian berkata, “Baiklah, silahkan masuk ke halaman.”
Perwira itu pun kemudian
memasuki halaman bersama pengawalnya. Mereka pun kemudian berloncatan turun
dari punggung kudanya dan bertebaran di halaman itu.
Beberapa orang pengawal sarang
gerombolan yang dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal itu memandangi saja tingkah
laku para prajurit Pajang. Mereka sama sekali tidak menegurnya atau bahkan
menyapa mereka, selain orang-orang tertentu yang memang memimpin pengawalan
itu.
Namun kehadiran mereka memberi
ketenangan sedikit kepada orang-orang yang ada di halaman itu, karena dengan
demikian, maka untuk sesaat mereka tidak akan diganggu oleh pihak lain yang
sebenarnya mereka segani, yaitu orang-orang yang berada di Tambak Wedi.
Prajurit-prajurit itu menunggu
beberapa saat di halaman. Baru kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda
memasuki regol.
Yang di paling depan dari mereka
adalah Kiai Raga Tunggal. Ketika ia melihat seorang perwira di halaman rumah
itu, maka dengan tergesa-gesa ia pun segera meloncat turun diikuti oleh
beberapa orang pengawalnya.
“Silahkan naik, Tuan,” katanya
dengan nafas terengah.
Perwira-perwira itu
termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian naik ke pendapa bersama Kiai Raga
Tunggal, sedang beberapa orang prajurit pengawal, segera mendekati meskipun
mereka berdiri saja di bawah tangga pendapa.
“Kedatangan Tuan membuat aku
terkejut,” berkata Kiai Raga Tunggal.
“Kau mengungsi?” bertanya
perwira itu.
“Bukan maksudku, Tuan. Tetapi
aku memang berada di tempat yang terbuka, yang lebih memberikan keleluasaan
bagiku untuk bergerak jika perlu.”
“Kau bersembunyi di mana?”
“Aku tidak bersembunyi. Tetapi
seperti yang aku katakan, aku sengaja berada di tempat terbuka. Aku berada di
gubugku di tengah sawah.”
Perwira itu tersenyum.
Senyumnya terasa menusuk jantung Kiai Raga Tunggal. Tetapi Kiai Raga Tunggal
pun mencoba untuk tersenyum pula. Meskipun senyum yang sangat masam.
“Tetapi, apakah sebenarnya
maksud Tuan?” bertanya Kiai Raga Tunggal kemudian.
“Kiai,” berkata perwira itu,
“aku mengemban tugas Ki Untara untuk mengetahui, apakah ciri-ciri khusus yang
kau lekatkan pada ikat pinggangmu dan anak buahmu?”
“He,” Kiai Raga Tunggal
termangu-mangu.
“Ciri gerombolanmu,” perwira
itu menegaskan.
“Apakah maksud Ki Untara
dengan mengetahui tanda-tanda yang biasa terdapat pada ikat pinggang kami?”
“Kami bermaksud baik. Bukankah
kau sudah mengetahui, bahwa anak buahmu telah berbenturan di bulak dengan
beberapa orang dari Tambak Wedi?”
“Siapakah yang mengatakannya?”
“Apakah aku harus menyebutkan,
siapa yang mengatakannya.”
“Ya.”
“Itu tidak penting. Tetapi
apakah kalian mengakui bahwa hal itu sudah terjadi?”
Kiai Raga Tunggal
termangu-mangu. Namun bagi perwira itu, keragu-raguan Kiai Raga Tunggal sudah
merupakan jawaban, sehingga karena itu, maka katanya, “Kau tidak dapat ingkar.
Karena itu, kau merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang dapat terjadi kemudian.
Kau memperkuat penjagaan di sarangmu ini, dan sekaligus kau berada di tempat
lain.”
Kiai Raga Tunggal tidak
menjawab.
“Kiai Raga Tunggal,” berkata
perwira itu selanjutnya, “berikan aku sebuah ikat pinggangmu. Atau sebaiknya
ikat pinggang yang kau pakai. Jika aku harus membelinya, aku akan membayarnya
berapa harga yang kau kehendaki.”
“Apakah artinya dengan ikat
pinggangku?”
“Tidak apa-apa. Sekedar
meyakinkan panglima bahwa sebenarnya kalian berada dalam bahaya.”
“Ah.”
“Jangan ingkar. Kau sendiri
sudah ketakutan.”
“Tuan,” berkata Kiai Raga
Tunggal, “aku memang tidak dapat ingkar lagi. Agaknya Tuan banyak mengetahui
tentang peristiwa ini. Tetapi apakah Tuan yakin bahwa orang-orang Tambak Wedi
itu mengetahui bahwa kamilah yang telah berbenturan dengan mereka?”
“Ikat pinggangmu memberikan
petunjuk. Maksudku, ikat pinggang orang-orangmu yang terbunuh di bulak itu.”
“Mereka telah hilang.”
“Mereka dikuburkan di kuburan
terdekat. Tetapi kuburan itu telan dibongkar untuk mengetahui apakah mayat-mayat
itu mempergunakan ciri-ciri khusus. Dan ciri itu terdapat pada ikat
pinggangnya.”
Kiai Raga Tunggal
mengangguk-angguk. Kemudian hampir di luar sadarnya ia melepas ikat pinggangnya
dan menunjukkan sebuah ciri yang memang khusus. Sebuah lukisan kepala serigala
yang dipahatkan pada ikat pinggang dekat dengan timangnya.
Perwira itu mengangguk-angguk.
Katanya, “Tanda itu memang ada. He, sejak kapan kau mempergunakan tanda-tanda
serupa ini.”
“Sudah lama.”
“Adalah kelengahan kami, bahwa
kami tidak mengetahui ciri-ciri ini, justru orang-orang Tambak Wedi sudah
mengetahuinya terlebih dahulu.”
“Kami juga mengetahui, bahwa
orang-orang Tambak Wedi mempergunakan ciri kelelawar bagi kelompoknya.”
“Itu kami sudah tahu,” potong
perwira itu. Lalu, “Aku akan membawa ikat pinggangmu ini. Bukankah kau
mempunyai ikat pinggang semacam ini yang lain.”
“Ya,” ia berhenti sejenak,
kemudian dengan suara yang merendah, “sebenarnyalah kami menjadi gelisah.”
“Kiai Raga Tunggal,” berkata
perwira itu, “kau jangan menunjukkan kegiatan yang meningkat. Kecuali kau dapat
membuat orang-orang yang tidak tahu-menahu persoalan ini menjadi gelisah, juga
memancing keributan dengan orang-orang Tambak Wedi.”
“Lalu, apakah yang akan kami
lakukan jika orang-orang Tambak Wedi itu datang?”
“Aku tahu, kau tentu sudah
menyebar kabar ini kepada kawan-kawanmu. Maksudku kelompok-kelompok lain yang
juga bersaing dengan orang-orang Tambak Wedi untuk bekerja bersama, meskipun di
kesempatan lain akan saling berbenturan pula.”
Kiai Raga Tunggal menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membantah kata-kata perwira itu.
“Kiai,” berkata perwira itu
pula, “kami akan mencoba mengatasinya. Tetapi kau harus membantu. Jika kau
mempercayakan persoalan ini kepada prajurit Pajang, maka semuanya akan dapat
teratasi tanpa menimbulkan banyak korban. Apakah kau dapat mengerti?”
“Ya. Kami mengerti,” ia
berhenti sejenak, namun, “tetapi apakah kami tidak boleh bersiap jika sesuatu
terjadi di luar pengetahuan prajurit Pajang di Jati Anom.”
“Tetapi sekali lagi aku
pesankan, bahwa kalian tidak boleh membuat rakyat di lereng Gunung Merapi
menjadi gelisah dan ketakutan. Apalagi jika terjadi benturan di antara kalian,
mereka sama sekali tidak boleh menjadi korban. Aku tahu, bahwa ada di antara
orang-orangmu yang tinggal di antara penduduk padukuhan ini, karena mereka
memang berasal dari penduduk yang dapat kau pengaruhi. Namun orang-orang lain
yang tidak bersalah, harus dapat terhindar dari kemungkinan yang paling buruk.”
“Sudah jelas, bahwa kami tidak
akan berani melakukannya. Tetapi bagaimanakah halnya jika yang melakukan itu
adalah orang-orang Tambak Wedi?”
“Aku tidak peduli. Tetapi jika
terjadi benturan dan jatuh korban di antara rakyat yang tidak bersalah, kalian
semuanyalah yang bertanggung jawab.”
Kiai Raga Tunggal tidak
menjawab lagi. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk kecil.
Namun dalam pada itu perwira
yang sedang mengamat-amati ikat pinggang Kiai Raga Tunggal itu pun bertanya,
“Kiai Raga Tunggal. Ternyata ada beberapa tanda-tanda di ikat pinggangmu selain
gambar serigala. Bahkan di bagian belakang terdapat gambar seekor garuda. Dan
di ujungnya terdapat gambar seekor harimau. Apakah kalian memang mempergunakan
ciri-ciri serupa ini?”
“Tuan. Yang kini kami
pergunakan adalah gambar serigala di dekat timang itu. Tetapi aku memang senang
memahatkan gambar-gambar binatang pada ikat pinggang dan barang-barang lain
dari kulit. Di pelana kudaku pun terdapat gambar binatang seperti itu. Ada
burung merak, harimau, anjing, bahkan tikus.”
“Apa maksudmu?”
“Tidak apa-apa. Itu hanyalah
sekedar kesenangan. Banyak orang-orangku senang membuat gambaran-gambaran
semacam itu.”
Perwira itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian ciri dari gerombolanmu adalah
gambar-gambar binatang yang bermacam-macam. Jika pada ikat pinggang seseorang
terdapat banyak dan bermacam-macam gambar binatang, maka ia adalah
gerombolanmu.” Prajurit itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi lebih dari itu,
Kiai. Menggambari dan memahat gambar-gambar serupa ini merupakan suatu keahlian
tersendiri. Jika kau dan orang-orangmu mau memanfaatkannya, maka akan ada
kemungkinan yang lain bagimu dan orang-orangmu.”
“Menjadi pemahat kulit?” desis
Kiai Raga Tunggal.
“Ya.”
“Tidak telaten, Tuan. Dan
berapa penghasilan yang akan aku dapatkan dengan usaha semacam itu?”
“Nah,” tiba-tiba saja perwira
itu berdiri, “aku minta diri. Jawaban inilah yang aku tunggu. Sebenarnya aku
mengharap kau mengucapkan jawaban lain. Tetapi dengan jawabanmu itu, maka
harapan para prajurit Pajang untuk merubah cara hidupmu adalah sulit sekali.
Kau sudah terbiasa hidup tanpa perhitungan. Kau sudah biasa merampas dan
merampok milik orang lain, yang sekaligus menghasilkan banyak uang dan
barang-barang.”
Orang-orang itu menjadi
bingung. Sambil berdiri ia pun bertanya, “Maksud Tuan, bahwa kami sudah tidak
akan dapat mengubah cara hidup kami?”
“Tidak ada tanda-tanda. Jalan
pikiranmu agaknya sudah membeku pada cara yang kau tempuh sekarang. Ternyata
bahwa kau sama sekali tidak mau melihat kemungkinan lain.”
“Bukan begitu, Tuan. Bukan
begitu.”
“Sudahlah. Aku sudah
menjalankan tugasku untuk mengenal ciri-ciri yang ada pada ikat pinggangmu.
Hati-hatilah menghadapi keadaan yang memang gawat bagimu. Tetapi jangan
menyangkut orang yang tidak bersalah, agar kau tidak akan menjadi korban ganda.
Dari orang-orang Tambak Wedi, dan tindakan prajurit-prajurit Pajang di Jati
Anom atas kalian.”
“Tuan, Tuan.”
Perwira itu pun kemudian
melangkah turun dari pendapa. Di halaman ia masih berkata, “Kami tetap akan
mencoba mencegah apa pun yang dapat mengeruhkan daerah ini.”
Kiai Raga Tunggal tidak sempat
menjawab. Perwira itu pun kemudian menerima kudanya dari seorang prajuritnya,
dan dengan sigapnya meloncat naik. Di atas punggung kuda ia berkata,
“Sekelompok prajurit Pajang kini berada di Tambak Wedi.”
“O,” Kiai Raga Tunggal
mengangguk-angguk.
Demikianlah maka perwira itu
pun bersama pengiringnya meninggalkan rumah Kiai Raga Tunggal kembali ke Jati
Anom. Mereka bukan saja dapat mengenal ciri-ciri gerombolan yang dipimpin Kiai
Raga Tunggal, tetapi perwira itu sudah mencoba menggelitik hatinya, agar ia
sekali-sekali memikirkan kemungkinan yang lain dari cara hidup yang dipilihnya
itu.
Dalam pada itu, sekelompok
yang lain dari prajurit-prajurit itu, sudah berada pula di Tambak Wedi. Dengan
tanda-tanda keprajuritan, mereka memasuki padepokan yang sudah rusak dan kotor
itu di bawah pengawasan yang sangat ketat. Hampir di setiap sudut jalan,
halaman, dan pendapa padepokan itu, terdapat pengawal-pengawal bersenjata
telanjang sehingga suasana di padepokan itu memang diselubungi oleh kesiagaan
dan dendam.
Namun bagaimana pun juga,
orang-orang di padepokan Tambak wedi itu masih tetap menghormati
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu, mereka membiarkan saja
prajurit-prajurit itu memasuki regol padepokan yang dikelilingi oleh dinding
batu yang tinggi.
Kiai Kelasa Sawit telah
mendapat kabar lebih dahulu bahwa prajurit-prajurit Pajang telah mendekati
padepokannya. Dan ia pulalah yang memerintahkan agar prajurit-prajurit itu
dibiarkan saja memasuki regol padepokan.
Di dalam padepokan itulah,
maka beberapa orang pengawal menyongsong prajurit-prajurit itu dan membawanya
ke rumah yang dipergunakan sebagai pusat pimpinan kelompok yang dipimpin oleh
Kiai Kelasa Sawit itu.
Ketika prajurit-prajurit itu
memasuki halaman, maka Kiai Kelasa Sawit telah siap menunggunya di depan
pendapa. Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata, “Selamat datang, Tuan. Kami
merasa sangat gembira atas kunjungan Tuan kali ini. Dalam waktu dekat, kami
telah dua kali mendapat kunjungan prajurit-prajurit Pajang.”
“Ya,” sahut perwira itu,
“dalam keadaan yang lain, mungkin tiga atau empat kali dalam sehari.”
Kiai Kelasa Sawit mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia mencoba tersenyum sambil menjawab, “Aku mencoba
mengerti maksud Tuan. Tetapi silahkan Tuan naik ke pendapa.”
Perwira itu termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian meloncat turun dari kudanya diikuti oleh
prajurit-prajuritnya yang lain.
Setelah menyerahkan kudanya
kepada seorang prajurit, maka ia pun segera naik ke pendapa, sedang pengawalnya
tetap berada di halaman, meskipun dua orang di antara mereka setelah mengikat
kudanya pada sebatang pohon perdu, segera berdiri di tangga pendapa, beberapa
langkah saja dari tempat duduk perwiranya.
“Kedatangan Tuan memang agak
mengejutkan,” berkata Kiai Kelasa Sawit kemudian, “meskipun demikian, kami di
sini ingin mengucapkan selamat datang.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Kemudian,
kami ingin segera tahu, perintah apa lagi yang harus kami jalankan. Jika
soalnya menyangkut anak yang hilang itu, kami masih belum dapat menemukannya.
Kami memang sudah mengirimkan beberapa kelompok untuk mengitari daerah ini.
Namun setiap orang di dalam kelompok itu masih belum menjumpai seorang anak
muda yang bernama Rudita.”
“Dan apakah yang telah terjadi
dengan kelompok-kelompokmu itu?”
Kiai Kelasa Sawit mengerutkan
keningnya. Katanya, “Tidak ada apa-apa.”
“Apakah anak buahmu sama
sekali tidak berkurang?”
Kiai Kelasa Sawit menarik
nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa prajurit Pajang di Jati Anom tentu sudah
mengetahui apa yang telah terjadi, sehingga karena itu, maka sambil menarik
nafas dalam-dalam ia menjawab, “Baiklah, Tuan. Tidak ada gunanya aku berbohong,
karena aku yakin, bahwa Tuan sebenarnya sudah mengetahui apa yang terjadi.”
“Ya. Aku hanya ingin mendengar
langsung dari kalian, apakah berita yang sampai pada kami itu benar.”
“Pertempuran kecil-kecilan di
tengah bulak itukah yang Tuan maksud?”
“Ya.”
“Benar, Tuan. Memang telah
terjadi bentrokan di tengah-tengah bulak. Kami tidak tahu, apakah sebabnya
sehingga tiba-tiba saja sekelompok orang telah menyerang orang-orang kami yang
sama sekali tidak bersiaga untuk bertempur, karena tugas mereka adalah mencari
anak muda yang bernama Rudita seperti yang Tuan perintahkan.”
“Ya, yang lain?”
“Tidak ada yang lain, Tuan.”
“Kuburan itu?”
Kiai Kelasa Sawit menggigit
bibirnya. Katanya kemudian, “Itu pun benar, Tuan. Kami memang telah membongkar
kuburan itu untuk mencari ciri-ciri, siapakah yang telah membunuh orang-orangku
itu.”
“Mereka tidak sekedar membunuh,
karena ada di antara mereka yang terbunuh,” sahut perwira itu. “Bukankah mereka
sudah saling berbunuhan?”
“Ya Tuan.”
“Dan kau menemukan
tanda-tanda, siapakah yang telah membunuh dan terbunuh di dalam bentrokan itu?”
Kiai Kelasa Sawit ragu-ragu. Karena
itu ia tidak segera menjawab.
“Kiai,” bertanya perwira itu
lebih jauh, “apakah yang sudah kau temukan di dalam kuburan itu? Ciri-ciri
sebuah kelompok di kaki Gunung Merapi ini? Mungkin ikat kepala wulung, atau
senjata-senjata kecil, atau yang lain?”
“Ah,” Kiai Kelasa Sawit pun
kemudian berdesah, “Tuan tentu sudah mengetahui segala-galanya. Menilik
kata-kata Tuan, maka Tuan sama sekali tidak ingin menanyakan apa-apa di sini.
Yang ingin Tuan lakukan adalah sekedar memberitakan kepada kami, bahwa persoalan
yang telah terjadi itu benar-benar mendapat perhatian Tuan.”
“Ya. Karena itu dengarlah.
Perintah Panglima pasukan Pajang di daerah selatan kepadamu, dan kepada semua
kelompok-kelompok yang bertebaran di sekitar Gunung ini. Mereka, termasuk
kalian di sini, tidak boleh mengadakan gerakan apa pun juga dengan alasan apa
pun.”
“Ah,” tiba-tiba Kiai Kelasa
Sawit menjadi gelisah, “Tuan. Apakah aku harus berdiam diri tanpa berbuat
apa-apa, jika beberapa orang-orangku terbunuh.”
Perwira prajurit Pajang itu memandang
Kiai Kelasa Sawit dengan tajamnya. Ia melihat kekecewaan yang membayang di
wajah orang yang mengenakan kulit harimau di tubuhnya itu.
“Kiai Kelasa Sawit,” berkata
perwira itu kemudian, “Kami adalah prajurit-prajurit yang bertugas di daerah
ini. Kami akan mencoba mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya tanpa
kekerasan. Kami akan mencari siapakah yang bersalah sehingga telah terjadi
benturan dan bahkan beberapa orang telah menjadi korban.”
Namun tiba-tiba Kiai Kelasa
Sawit tertawa. Katanya, “Tuan. Mungkin hal itu dapat Tuan lakukan apabila
benturan semacam ini terjadi di dalam kota Pajang. Tetapi tentu tidak di lereng
Gunung Merapi ini. Kadang-kadang kita di sini dihadapkan pada keharusan untuk
saling membunuh. Dan kita sama sekali tidak dapat mengingkari dengan
menyandarkan diri pada pengusutan-pengusutan semacam itu.”
“Tergantung pada kita
masing-masing,” berkata perwira itu. “Lereng Gunung Merapi ini bukan rimba
belantara yang bebas dari batasan-batasan hidup sesama manusia. Kita bukan
sebangsa harimau yang hanya tahu kekerasan dan kekuatan untuk menyatakan
kediriannya di antara penghuni hutan lainnya.”
Kiai Kelasa Sawit masih
tertawa. Katanya, “Tuan adalah seorang prajurit. Tetapi kami bukan
prajurit-prajurit Pajang.”
Dan perwira itu memotong,
“Sehingga menurut pendapatmu, kalian tidak berada di bawah perintah kami?”
Kiai Kelasa Sawit yang masih
tertawa itu menjawab, “Tuan memang dapat mengambil kesimpulan demikian.”
“Kiai,” berkata perwira itu,
“jangan mengedepankan kekerasan. Sebab kami adalah manusia-manusia biasa
seperti Kiai yang kadang-kadang menjadi cemas dan khawatir. Jika perasaan yang
demikian tumbuh di hati kami, maka kami akan segera kembali kepada naluri kami
untuk mempertahankan diri dari segala macam malapetaka.”
“Sebaiknya Tuan tidak usah
mengancam. Tuan, kami akan patuh terhadap ketentuan yang diberikan oleh
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi peristiwa yang telah menyinggung
harga diri kami itu tidak seharusnya kami biarkan saja tanpa ada tindakan apa
pun dari kelompok kami, seolah-olah kami sama sekali tidak mempunyai perasaan
setia kawan terhadap kawan-kawan kami yang telah lama berada di dalam
lingkungan kami. Dan dengan demikian berarti kami akan kehilangan ikatan
kesatuan yang sudah lama kami jalin. Mereka yang masih hidup akan ragu-ragu
melakukan tugas-tugas penting yang dapat mengancam hidup mereka, karena
kematian tidak menggerakkan kawan-kawannya untuk berbuat sesuatu.”
“Apakah yang kau maksud dengan
tugas-tugas penting yang dapat mengancam hidup mereka?” bertanya prajurit itu.
“Dalam perjuangan hidup kadang-kadang kita memang harus mempertaruhkan nyawa.
Tetapi tidak untuk tujuan yang dapat mencemarkan martabat kemanusiaan kita.
Seandainya korban itu terjadi tanpa dapat dihindari lagi, maka kita akan menempuh
cara yang paling baik sesuai dengan peradaban. Bukan sekedar melepaskan dendam
yang memang dengan mudah dapat diungkat dan dibumbui oleh sikap yang
brangasan.”
“Tuan,” berkata Kiai Kelasa
Sawit kemudian, “sudah aku katakan, bahwa aku akan patuh kepada perintah
prajurit Pajang di Jati Anom, karena kami merasa bahwa kami memang berada dalam
lingkaran kekuasaan Panglima di daerah selatan ini. Namun demikian, kami mohon
agar sikap kami dapat dimengerti.”
“Tidak ada sikap yang lain
kecuali sikap yang sudah aku katakan. Jangan mengambil tindakan sendiri-sendiri
dengan alasan apa pun, karena hal itu, akan berakibat sangat buruk. Bukan saja
bagi gerombolanmu dan gerombolan-gerombolan yang lain yang saling bermusuhan.
Tetapi juga bagi tata kehidupan masyarakat. Seandainya kami dapat menyediakan
tempat yang terasing, di tengah-tengah hutan misalnya, kami tidak akan
terlampau berkeberatan jika kalian akan saling bertempur dan berbunuhan.
Kematian di antara kalian akan mengurangi kesibukan tugas kami. Tetapi karena di
antara benturan yang dapat terjadi itu menyangkut padukuhan-padukuhan, maka
atas nama Panglima Untara, aku melarang semua bentuk pelepasan dendam.”
Kiai Kelasa Sawit menarik
nafas dalam-dalam. Nampak wajahnya menjadi kemerah-merahan, dan sorot matanya mulai
membara.
“Tuan. Sudah aku katakan,
bahwa aku bukan prajurit Pajang yang memiliki kepatuhan seperti Tuan terhadap
Panglima Untara. Namun bagaimana pun juga kami akan mencoba menjalankan
perintah itu.”
Perwira itu melihat, bahwa
kata-kata Kiai Kelasa Sawit itu hanya sekedar terucapkan di bibirnya. Ia dapat
membaca betapa dendam menyala di hatinya dan betapa ia mengumpat-umpat terhadap
perintah Untara itu. Tetapi lebih daripada itu, Kiai Kelasa Sawit nampaknya
telah bertekad untuk tidak mundur setapak.
Karena itu, maka perwira itu
pun merasa bahwa tugasnya tidak akan banyak memberikan harapan untuk mencegah
benturan yang akan dapat terjadi. Namun demikian, ia masih tetap mencoba
memaksakan perintah itu kepada Kiai Kelasa Sawit meskipun dengan ancaman kekerasan
pula.
“Kiai,” berkata perwira itu,
“aku tahu bahwa Kiai sama sekali tidak puas dangan pesan-pesan yang aku berikan
atas nama Senapati Untara. Tetapi itu adalah perintah yang harus kau taati.
Sebenarnya prajurit-prajurit Pajang pun memiliki darah yang panas seperti
kalian. Karena kepatuhan mereka terhadap pimpinannya sajalah, maka mereka tidak
bertindak liar dan menurut selera masing-masing. Tetapi jika kalian memilih
jalan kekerasan, maka kami dapat memanfaatkan sikap itu sebaik-baiknya.”
Wajah Kiai Kelasa Sawit justru
menjadi merah membara. Namun ia masih mencoba untuk menahan perasaannya
menghadapi prajurit-prajurit Pajang yang datang dengan tanda-tanda
keprajuritannya. Agaknya Kiai Kelasa Sawit masih segan untuk langsung
berbenturan dengan kekuatan Pajang di Jati Anom sebelum ia berhasil melepaskan
dendamnya.
Karena itu, betapa darahnya
serasa mendidih sampai di kepala, namun ia menjawab, “Aku akan memikirkannya,
Tuan.”
“Tidak ada yang harus kau
pikirkan,” prajurit itu menjawab dengan tegas. “Patuhi perintah itu, atau kami
bertempur dengan segenap kemampuan kami. Tambak Wedi yang sudah rusak karena
telah beberapa lama ditinggal penghuninya ini memang harus disapu rata dengan
tanah.”
“Sebenarnya sikap Tuan telah
melampaui tugas yang Tuan bawa,” berkata Kiai Kelasa Sawit. “Tuan telah dibakar
oleh perasaan Tuan sendiri. Akibatnya Tuan telah memanaskan hatiku. Apakah
memang Tuan dangan sengaja berbuat demikian?”
“Terserah atas tanggapanmu.
Tetapi perintah yang aku bawa sudah tegas. Kau tidak boleh mengadakan gerakan
apa pun juga. Apalagi membalas dendam. Karena kau bersikap miring, maka aku pun
menyampaikan perintah panglima dengan tegas, jika kau tidak mematuhi, maka akan
ada tindakan kekerasan dari Prajurit Pajang atas kalian tanpa ampun lagi.”
Kiai Kelasa Sawit menahan
gejolak perasaan yang hampir memecahkan dadanya. Sementara perwira prajurit
Pajang itu pun berdiri sambil berkata, “Tugasku sudah selesai untuk kali ini.
Aku akan segera kembali dan melaporkannya kepada Panglima Untara. Aku akan mengatakan
apa yang aku lakukan, apa yang aku lihat, dan apa yang aku dengar di sini.”
Kiai Kelasa Sawit menggeram.
Katanya, “Silahkan. Silahkan Tuan. Itu adalah hak Tuan, dan kami pun tidak akan
ingkar.”
Wajah perwira itu memerah
sesaat. Namun ia pun kemudian melangkah turun ke halaman. Pengawal-pengawalnya
pun kemudian mendekatinya dan salah seorang dari mereka menyerahkan kendali
kuda kepadanya. Di halaman itu nampak bertebaran anak buah Kiai Kelasa Sawit
yang nampaknya telah bersiaga pula menghadapi setiap kemungkinan yang dapat
terjadi.
“Aku minta diri, Kiai,”
berkata perwira itu sambil meloncat ke atas punggung kudanya, “aku kira Kiai
sudah dapat mengerti. Namun aku masih perlu memperingatkan, bahwa tujuan
prajurit-prajurit Pajang adalah penyelesaian dengan baik tanpa pertumpahan
darah.”
Kiai Kelasa Sawit
mengangguk-angguk. Dipaksakannya bibirnya bergerak, “Baik, Tuan. Terima kasih
atas kunjungan Tuan.”
Sejenak kemudian kuda-kuda itu
pun mulai bergerak. Kiai Kelasa Sawit mengikutinya sampai ke luar regol
halaman. Ia berhenti di tikungan, di sebelah sebongkah batu padas di ujung
padukuhan. Ketika kuda itu pun kemudian berlari, maka ia pun berhenti
memandangi debu yang mengepul di belakang kaki kuda yang berderap dengan
lajunya, menuruni lereng, menyusup di antara batuan di sebelah menyebelah
jalan.