Wuranta sendiri tidak dapat
mengerti apa yang terjadi dalam dirinya. Ia sama sekali tidak berkeberatan, apa
pun yang akan terjadi dengan Sekar Mirah setelah ia diselamatkan dan berada di
tangan keluarganya kembali. Tak ada hubungan apa pun antara dirinya dengan
gadis itu, selain peranan yang harus dilakukannya. Namun, ketika peranannya
hampir selesai, terasa kenapa demikian cepatnya. Dan kenapa peran yang harus
dilakukan itu hanya sekedar demikian saja?
Wuranta itu menundukkan
kepalanya pula. Terbayang di kepalanya saat-saat yang dilampauinya beberapa
hari ini. Saat-saat yang berbahaya dan penuh ketegangan.
“Untuk apakah sebenarnya aku
berbuat demikian? Untuk Jati Anom, Pajang, atau untuk sekedar membebaskan gadis
itu, dan kemudian menyerahkannya kembali kepada orang yang telah menunggunya?”
Terbayang kembali apa yang
telah dilakukannya bersama dengan Alap-Alap Jalatunda. Memperkenalkan dirinya
kepada gadis itu. Menyebut namanya dan nama Alap-Alap Jalatunda sebagai seorang
sahabatnya.
Ketika Wuranta itu mengangkat
wajahnya, terlihatlah olehnya Sekar Mirah sedang berpaling pula. Sejenak mereka
saling memandang. Namun tiba-tiba pandangan Sekar Mirah menjadi lain. Lain
sekali dengan kemarin. Pandangannya kini mengandung kecurigaan dan kebencian.
Bahkan gadis itu kemudian berkata, “Bukankah anak muda itu kawan Alap-Alap
Jalatunda?”
Tuduhan itu menyengat jantung
Wuranta, seperti sengatan ujung senjata. Tetapi ia dapat mengerti, sehingga
dengan demikian ia menjawab perlahan-lahan dengan suara yang sendat, “Benarlah
demikian. Tetapi Adi Swandaru dan Adi Agung Sedayu dapat memberikan keterangan
tentang diriku.”
Sekar Mirah memandang Agung
Sedayu sesaat. Kemudian ia mundur beberapa langkah sambil bertanya kepada
kakaknya, “Siapakah anak muda itu, Kakang?”
“Kakang Wuranta adalah seorang
anak dari Jati Anom. Ia adalah lantaran yang dapat menunjukkan kepada kami, di
mana kau berada, dan bagaimana dapat membebaskanmu.”
Sekali lagi wajah Sekar Mirah
menjadi merah. Tiba-tiba ia berkata lembut, “Maaf. Maafkanlah aku, Kakang
Wuranta.”
Wuranta tidak menjawab, tetapi
hatinya berkata, “Pantas, Sidanti tergila-gila kepadanya dan Alap-Alap
Jalatunda benar-benar telah menjadi gila. Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila
pula seperti mereka.”
Yang berkata kemudian adalah Swandaru,
“Kakang Wuranta telah berhasil masuk ke daerah ini dan menjadikan dirinya
sahabat Alap-Alap Jalatunda.”
Sekar Mirah mengangguk kecil.
Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Ruangan yang tidak terlampau luas itu seakan-akan tidak lagi berisi
seorang pun. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika pintu depan gubug itu
terbuka. Di muka pintu berdiri dua orang sambil menggenggam pedangnya. Berkata
salah seorang dari mereka, “Aku mendengar semua yang kalian percakapkan. Kalian
tidak usah ingkar. Aku datang sejak aku mendengar gadis ini berteriak.”
Wuranta, Swandaru, dan Agung
Sedayu sejenak menjadi termangu-manggu. Ditatapnya kedua orang yang berdiri di
muka pintu itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Begitu kuatnya mereka
terpukau oleh keadaan di dalam ruangan itu, sehingga mereka sama sekali tidak
menyadari, bahwa ternyata kehadiran mereka di dalam rumah itu telah diketahui
oleh orang lain.
“Nah, apakah yang akan kalian
katakan. Lebih baik kalian menyerah saja, supaya kalian tidak mempersulit
pekerjaanku.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Ialah yang pertama-tama melangkahkan kakinya mendekati kedua orang yang masih
berdiri di muka pintu.
Wuranta yang melihat langkah
Agung Sedayu yang tenang dan meyakinkan itu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia
melihat perubahan pada diri anak muda itu sejak ia bertemu kembali di Jati Anom
setelah agak lama berpisah, namun sikapnya saat itu benar-benar telah
menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Di dalam diri Agung Sedayu
itu tidak dapat dikenalnya lagi sifat-sifatnya pada masa kanak-kanaknya. Hampir
tak ada bekas-bekas dari sifat-sifatnya itu. Seakan-akan Agung Sedayu tidak
pernah berada di dalam suatu keadaan yang tidak sepantasnya bagi laki-laki
muda. Seakan-akan anak muda itu tidak pernah menjadi seorang pengecut dan
penakut. Tetapi kini Agung Sedayu melangkahkan kakinya dengan suatu keyakinan
pada dirinya.
Dengan suara yang meyakinkan
pula terdengar Agung Sedayu bertanya, “Siapakah kalian?”
“Kau tidak perlu bertanya
siapakah kami. Tetapi kamilah yang berhak bertanya kepada kalian. Siapakah
kalian?”
“Kalian telah mendengarkan
percakapan kami.”
“Ya, ya. Kami tahu bahwa di
antara kalian bernama Swandaru dan Agung Sedayu. Pengkhianat yang licik itu
sudah aku kenal sebelumnya.”
Dada Wuranta berdesir
mendengar sebutan itu. Pengkhianat. Di Jati Anom anak-anak muda menudingnya
pula dengan sebutan itu. Pengkhianat.
“Apakah yang aku dapat dari
sebutan-sebutan itu?” berkata Wuranta di dalam hatinya. “Di mana-mana aku
dianggap sebagai pengkhianat. Kalau Alap-Alap Jalatunda masih hidup, ia pun
akan menuding wajahku sambil berkata demikian pula. Yang aku tidak tahu, bagaimanakah
sebenarnya anggapan Sekar Mirah kepadaku.”
Tiba-tiba Wuranta itu
menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi tuduhan orang
yang berdiri di muka pintu itu. Hatinya seakan-akan menjadi pepat.
Namun ia masih mendengar suara
Agung Sedayu, “Kau benar. Akulah yang bernama Agung Sedayu. Dan Kakak Sekar
Mirah itulah yang bernama Swandaru. Sedang yang satu, yang kau sangka
pengkhianat itu adalah sahabatku. Ia memang berjuang untuk kepentingan Pajang
sejak semula. Kebodohan pemimpin kalianlah yang telah memungkinkannya memasuki
daerah ini.”
“Persetan dengan senua itu!
Sekarang menyerahlah. Aku ingin, mengikat kaki dan tanganmu. Apabila keributan
di banjar itu sudah selesai, maka akan datang giliran kalian untuk mendapatkan
perhatian khusus dari Ki Tambak Wedi.”
Agung Sedayu seolah tidak
mendengar kata-kata mereka itu. Malahan ia bertanya, “Apakah kalian berdua
tidak ikut berkelahi di halaman banjar itu? Aku tadi berkesempatan untuk
melihatnya. Kawan-kawanmu yang bertugas di segala penjuru berlari-larian ke
sana. Kenapa kalian enak-enak saja di sini.”
“Hem,” geram salah seorang
dari mereka, “apabila kami juga pergi ke sana, maka kalian akan leluasa berbuat
sekehendakmu di sini. Itulah pertanda bahwa nasibmu memang sedang malang.
Kalian mengira bahwa kami pun dipanggil pula ke sana. Ketahuilah, bahwa kami
bertugas di sini berlima bergiliran pada keadaan biasa. Tiga dari kawan-kawan
kami telah pergi ke banjar desa. Tetapi kami berdua tetap berada di sini.
Agaknya nasib kalian yang terlampau jelek.”
Wajah kedua orang itu
tiba-tiba menjadi tegang ketika mereka mendengar Agung Sedayu itu justru
tertawa. Katanya, “Marilah masuk. Kita lebih baik berbicara dengan baik.”
Sejenak kedua orang itu
terbungkam. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Agung Sedayu akan berbuat
demikian. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia
tertawa dan mempersilahkannya masuk.
Karena kedua orang itu tidak
segera menjawab, maka Agung Sedayu itu berkata pula, “Marilah, kalau memang kau
tidak akan pergi ke banjar itu. Apakah perlunya kita bertengkar?”
Sesaat kemudian kedua orang
itu pun menyadari keadaannya. Wajah mereka yang tegang menjadi semakin tegang.
Dengan gemetar salah seorang dari mereka berkata, “Jangan mencoba mempengaruhi
sikapku. Aku bukan anak-anak. Seandainya gadis itu yang mempersilahkan aku,
maka aku pun tidak akan melepaskan niatku untuk menangkap kalian. Ayo,
menyerahlah sebelum kami bertindak.”
“Apakah kalian berdua mampu
berbuat demikian? Kami bertiga di sini, sedang kalian hanya berdua.”
“Setan alas!” bentak yang
lain. “Takaran kami adalah sepuluh orang seperti kalian.”
“Tetapi yang ada di sini
hanyalah kami bertiga. Apakah kami harus mencari tujuh orang kawan lagi buat
melayani kalian?”
Kedua orang itu pun menjadi
semakin marah. Mereka merasakan kata-kata Agung Sedayu itu sebagai suatu
penghinaan. Karena itu maka salah seorang dari mereka berkata, “Tak akan ada
kesempatan lagi. Kalian telah menghina kami. Karena itu, maka kalian akan kami
bunuh tanpa persoalan lagi. Tanpa harus dihadapkan kepada Ki Tambak Wedi atau
siapa pun.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Ia melihat kedua orang itu menjadi sangat marah. Karena itu maka ia pun harus
berhati-hati. Ia belum tahu, sampai di mana kemampuan keduanya. Tetapi ia yakin
bahwa kedua orang itu pasti tidak akan setangkas Sidanti atau Alap-Alap
Jalatunda.
Dengan pedang teracung ke
depan kedua orang itu bersama-sama melangkahi tlundak pintu masuk ke dalam
gubug itu pula. Wajah mereka menjadi merah karena kemarahan yang telah
memuncak.
Agung Sedayu melangkah
selangkah surut. Ia menjadi semakin hati-hati menghadapi kedua orang itu.
Apalagi ketika keduanya kemudian berpencar. Seorang ke sisi kiri, yang seorang,
ke sisi kanan.
“Hem,” Agung Sedayu bergumam
di dalam hatinya, “mereka cukup berhati-hati.”
Tetapi betapa terkejut Agung
Sedayu ketika ia melihat Wuranta dengan tiba-tiba saja meloncat dengan
garangnya, menyerang salah seorang dari kedua orang itu. Dengan pedangnya, ia
langsung menusuk ke arah lambung.
Swandaru terkejut pula melihat
serangan itu. Semula ia menyangka bahwa Agung Sedayu akan menyelesaikannya
sendiri. Tetapi kemudian ia melihat Wuranta telah mulai membuka serangannya.
Namun Swandaru itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia merasa bahwa semuanya itu
akan dapat selesai. Kewajibannya adalah melindungi Sekar Mirah dari setiap bahaya.
Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah itu tidak dilepaskannya.
Serangan Wuranta ternyata
cukup dahsyat. Orang yang diserangnya terkejut pula. Tetapi orang itu cukup
tangkas untuk menghindari serangan itu. Dengan lincahnya orang itu mulai
membalas serangan Wuranta. Pedangnya menebas mendatar dalam ruangan yang tidak
terlampau luas itu.
Kawannya yang seorang tidak
segera berbuat sesuatu. Sejenak ia melihat kawannya berkelahi. Meskipun ia
tidak melepaskan pengawasannya terhadap Agung Sedayu, tetapi ia mampu sekedar
menilai keadaan yang terjadi. Ternyata kawannya itu tidak kalah cepatnya
menggerakkan pedang daripada Wuranta.
Agung Sedayu pun melihat pula
kekurangan Wuranta atas lawannya. Agaknya lawannya adalah seorang yang cukup
terlatih. Dalam saat yang pendek, Wuranta telah terdesak beberapa langkah.
Bahkan serangan-serangan yang diluncurkan oleh orang padepokan Tambak Wedi itu
cukup membahayakan Wuranta.
Tetapi Wuranta bertempur
dengan sepenuh tenaganya. Ia sendiri tidak menyadari sepenuhnya apa yang telah dilakukan.
Tetapi ia merasa, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Ia tidak mau dicengkam oleh
ketegangan dan kerisauan. Karena itu tiba-tiba saja ia telah meloncat untuk
melepaskan diri dari ketegangan yang mencengkamnya. Bukan karena kehadiran
kedua orang itu, tetapi karena hatinya yang risau menghadapi keadaan. Hadirnya
Agung Sedayu benar-benar telah membuat hatinya menjadi kisruh. Dan justru
kehadiran kedua orang itu seakan-akan memberinya jalan untuk melepaskan
ketegangan dan kerisauannya, sehingga tanpa berpikir jauh ia telah membuka
serangannya.
Agung Sedayu menjadi cemas
melihat perkelahian itu. Perkelahian di tempat yang sempit adalah lebih
berbahaya daripada di tempat terbuka. Perbedaan kemampuan mempermainkan senjata
yang tidak terlampau banyak, di tempat terbuka tidak akan terlampau berbahaya
bagi pihak yang lemah, apalagi apabila ia mampu mengimbanginya dengan kecepatan
bergerak. Tetapi di tempat yang sempit kesempatan untuk bergerak sangat
terbatas. Kecakapan menggerakkan senjata akan sangat penting pengaruhnya.
Karena itu sejenak kemudian,
Agung Sedayu melihat Wuranta itu menjadi semakin terdesak. Keadaannya tiba-tiba
menjadi sangat berbahaya ketika ia telah melekat dinding, sedang serangan
lawannya masih saja mengejarnya. Sekali ia mampu menangkis serangan itu, tetapi
untuk seterusnya kedudukannya menjadi sangat sulit. Ternyata lawannya mampu
mempergunakan kesempatan itu. Dengan sebuah tipuan yang mengejutkan, orang itu
memancing senjata Wuranta untuk menangkis, tetapi begitu senjata Wuranta terayun
ke samping, maka dengan cepatnya pedang lawannya itu terjulur lurus menggali ke
dadanya.
Dada Agung Sedayu berdesir, ia
tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Bahkan Swandaru pun hampir-hampir saja
meloncat menolongnya seandainya ia tidak melihat pedang Agung Sedayu secepat
kilat seolah-olah meloncat dari wrangkanya langsung memukul pedang lawan
Wuranta sehingga pedang itu bergeser ke atas.
Keduanya yang sedang berkelahi
terkejut melihat gerak Agung Sedayu yang demikian cepatnya sehingga sejenak
keduanya berdiri saja sambil memandangi wajah Agung Sedayu yang tegang.
Tetapi sekali lagi terjadi
sesuatu di luar dugaan Agung Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, bahkan kedua orang
Tambak Wedi itu sendiri. Tiba-tiba Wuranta itu pun menjadi marah. Sambil
menunjuk wajah Agung Sedayu dengan pedangnya ia berkata, “Adi Agung Sedayu,
jangan terlampau sombong. Kalau kau ingin berkelahi, carilah musuhmu sendiri.
Jangan kau ganggu aku. Apakah kau sangka aku tidak mampu menyelamatkan diriku
sendiri? Kau sangka tanpa pertolonganmu aku akan semudah itu mati terbunuh?
Adi, aku telah mengorbankan diriku dalam suatu pekerjaan yang sangat berbahaya.
Sudah tentu aku tahu benar akibatnya. Apakah dengan demikian aku masih
memerlukan pertolongan orang lain untuk keselamatanku.”
Agung Sedayu berdiri tegak
seperti patung. Ia tidak mengerti apakah yang sedang dihadapinya. Ia merasa
berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Tetapi ternyata Wuranta
menganggapnya telah berbuat kesalahan. Karena itu, maka ia menjadi bingung dan
untuk sesaat tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
“Adi,” berkata Wuranta
kemudian, “kalau kau ingin melihat aku berkelahi, lihatlah dengan baik. Kalau
kau ingin berkelahi pula, berkelahilah dengan lawan yang lain. Tetapi jangan
ganggu aku. Kau dan aku adalah sama-sama seorang laki-laki. Kau dan aku
mempunyai kesempatan yang sama. Karena itu carilah kesempatanmu sendiri apabila
kau ingin menyombongkan diri. Apakah dengan demikian kau ingin menunjukkan
kelebihanmu dari aku?”
Agung Sedayu menjadi semakin
bingung. Ketika ia berpaling memandangi Swandaru, tampak anak muda yang gemuk
itu menjadi bingung pula. Tetapi wajah Sekar Mirah tidak membayangkan
kebingungannya, tetapi wajah itu membayangkan kecemasan.
Namun sejenak kemudian mereka
dikejutkan oleh suara panah sendaren lamat-lamat di kejauhan. Panah sendaren
yang dilepaskan oleh Ki Tanu Metir untuk memberi tanda kepada Untara yang
berada di ambang pintu Padepokan Tambak Wedi itu.
Kedua orang Tambak Wedi itu
agaknya mendengar juga suara panah sendaren itu. Karena itu mereka agaknya
menjadi bertanya-tanya pula di dalam hati mereka. Apakah arti panah sendaren
itu?
Sebelum kedua orang padepokan
itu menyadari keadaannya, maka terdengar suara Swandaru, “Nah, sekarang jangan
mencoba membuat ribut lagi di sini. Sekarang kau berdualah yang harus menyerah
kepada kami. Bukankah kau mendengar suara panah sendaren itu? Itu adalah
pertanda bahwa pasukan Pajang akan masuk ke dalam padepokan ini,”
Kedua orang itu terdiam
sejenak. Dengan wajah yang dipenuhi oleh kebimbangan mereka saling berpandangan
dan bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi salah seorang dari mereka kemudian
berkata. “Jangan mencoba menyelamatkan diri dengan cara yang licik itu. Kalian
sudah berada di tangan kami. Kalian harus menyerah dan harus tunduk kepada segala
perintahku.”
“Jangan mengigau,” potong
Swandaru, “kalian sudah tidak akan dapat meloloskan diri lagi.”
Tetapi kedua orang itu tidak
mau diperdayakan. Karena itu maka segera mereka bersiap untuk segera mulai
dengan pertempuran lagi di dalam gubug yang kecil itu. Tetapi kali ini Agung
Sedayu tidak mau terlibat lagi dalam kesulitan dengan Wuranta yang tiba-tiba
saja marah-marah tanpa diketahui sebabnya. Karena itu, maka ia mengambil jalan
lain. Tiba-tiba ia menghadap kepada orang padepokan Tambak Wedi yang seorang
lagi. Ia harus mengalahkan orang itu segera. Lebih cepat dari waktu yang
diperlukan oleh orang yang lain mengalahkan Wuranta. Dengan demikian, maka
keadaan pasti akan terpengaruh karenanya. Yang seorang lagi itu pun pasti akan
kehilangan keberanian untuk berkelahi terus.
Ketika kedua orang itu mulai
bergerak, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang
hampir tidak dapat dilihat. Hampir tak masuk di akal Wuranta dan orang Tambak
Wedi yang lain. Mereka seakan-akan tidak melihat Agung Sedayu itu berbuat
sesuatu, tetapi yang mereka lihat adalah, pedang lawannya telah terlontar
jatuh.
Orang yang kehilangan
pedangnya itu pun berdiri saja dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin hal
itu dapat terjadi. Ia hanya merasakan tangannya menjadi nyeri dan pedang itu
terlepas justru pada saat ia mulai mempersiapkan dirinya. Waktu yang diperlukan
oleh Agung Sedayu benar-benar tidak dapat dimengertinya.
“Nah, apakah katamu sekarang?”
bertanya Agung Sedayu sambil mengacungkan pedangnya kepada orang itu. “Aku
bukan Sidanti. Aku tidak akan membunuh lawanku yang sudah menyerah. Sekarang
jawablah pertanyaanku. Apakah kau ingin menyerah atau ingin mencoba melawan.
Kalau kau berkeras hati hendak berkelahi, maka aku persilahkan kau mengambil
pedangmu.”
Orang itu berdiri kebingungan.
Ia tidak mengerti, apakah Agung Sedayu itu berkata sebenarnya ataukah hanya
sekedar bergurau saja. Tetapi sesaat kemudian ia mendengar Agung Sedayu itu
berkata lagi, “Ayo. Ambil pedangmu, cepat! Ambil! Ambil!”
Orang Tambak Wedi itu
benar-benar tidak mengerti maksud Agung Sedayu. Seperti orang yang kehilangan
kesadaran ia berdiri saja membeku.
Tiba-tiba Agung Sedayu
melangkah surut beberapa langkah. Sekali lagi ia berkata lantang, “Ambil
pedangmu. Lawan aku. Cepat sebelum pedangku menembus jantungmu.”
Orang itu benar-benar tidak
mengerti apa yang harus dilakukan. Kesempatan untuk mengambil pedangnya kembali
itu seperti terasa di dalam mimpi. Tetapi seperti digerakkan oleh tenaga yang
aneh ia melangkah, membungkuk mengambil pedangnya.
“Nah, kau sudah bersenjata
lagi. Ayo, lawanlah Agung Sedayu.”
Orang itu masih berdiri tegak
kaku seperti tiang-tiang batu di dalam gubug itu.
“Cepat!” bentak Agung Sedayu.
Tetapi tiba-tiba orang itu
menggeleng. Dilemparkannya pedangnya sambil berkata, “Tidak. Tidak ada gunanya.
Aku menyerah.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Kau menyerah? Apakah kau tidak akan mencoba melawan
aku?”
Sekali lagi orang itu
menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kau mampu bergerak seperti hantu. Cepat
melampaui kecepatan mataku. Aku tidak akan mampu melawanmu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling dilihatnya orang Tambak
Wedi yang seorang berdiri seperti patung pula. Wajahnya menjadi pucat dan
dadanya berdebaran.
“Bagaimana kau?” bertanya
Agung Sedayu.
“Tidak, tidak” jawabnya
gemetar.
“Tidak? Apa yang tidak?”
“Aku tidak berani melawan
kalian. Aku menyerah.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan sudut matanya ia mencoba memandangi wajah Wuranta. Ia tidak
tahu, apakah yang tumbuh dan berkembang di dalam hatinya. Tetapi Agung Sedayu
tidak dapat menangkap perasaan anak muda itu.
Wuranta sendiri berdiri tegak
di tempatnya. Ia melihat kecepatan bergerak Agung Sedayu. Gerak yang tidak
dapat dibayangkannya dapat dilakukan oleh anak yang dahulu adalah seorang anak
yang tercela di antara kawan-kawan laki-laki sebayanya. Seorang pengecut dan
pengikut. Bahkan kadang-kadang terlampau cengeng. Dalam permainan yang biasa
saja, Agung Sedayu sering sekali menangis dan berlari-lari pulang mengadukan
kepada ibunya.
Tetapi anak itu kini begitu
tangkasnya bermain pedang.
Meskipun demikian, Wurata
masih belum dapat menerima kenyataan itu. Kenyataan itu terlampau pahit
baginya. Meskipun ia tidak dapat berkelahi setangkas Agung Sedayu, tetapi apa
yang selama ini dikerjakan, tidak juga dapat dilakukan oleh Agung Sedayu.
Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Tanpa aku, Sekar Mirah tidak akan dapat
terlepas dari padepokan ini. Bahkan mungkin ia sudah kehilangan miliknya yang
paling berharga di tangan Alap-Alap Jalatunda.”
Sejenak ruangan itu menjadi
sepi. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Wuranta masih
berdiri di tempatnya dengan pedang di tangan, sedang Sekar Mirah dan Swandaru
pun berdiri saja seperti patung. Meskipun demikian, terasa ada
pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya, apakah sebabnya maka tiba-tiba Wuranta
bersikap demikian, sedang Sekar Mirah menjadi sangat bersedih karenanya.
Samar-samar ia dapat meraba, apakah sebenarnya yang menyebabkan Wuranta
bersikap kasar terhadap Agung Sedayu.
Yang menjadi semakin bingung
adalah dua orang Tambak Wedi yang berdiri kaku dengan wajah yang pucat. Mereka
melihat sesuatu yang kurang wajar pada kedua lawannya. Wuranta dan Agung
Sedayu. Tetapi meskipun demikian mereka tidak berani berbuat sesuatu. Apa yang
dilakukan Agung Sedayu ternyata benar-benar telah mempengaruhi perasaan mereka.
Apalagi orang yang pedangnya telah terlempar jatuh tanpa dapat berbuat apa pun.
Dalam pada itu, di regol
padepokan Tambak Wedi, pasukan berkuda yang langsung dipimpin oleh Untara
sendiri berderap memasuki padepokan seperti banjir yang telah memecahkan
tanggul. Debu yang putih berhamburan naik tinggi ke udara.
Begitu Untara mendengar
tanda-tanda yang diberikan oleh Kiai Gringsing, maka ia tidak menunggu lagi. Ia
percaya bahwa orang tua itu memiliki perhitungan yang cukup baik, sehingga
tanda-tanda yang diberikannya dapat dipercayainya.
Tetapi meskipun demikian,
Untara tidak menunjukkan kelemahannya. Ia menyadari bahwa pasukannya itu tidak
cukup banyak untuk bertempur melawan kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Karena
itu, maka sebelum ia memasuki regol padepokan, pasukannya telah mendapat pesan
daripadanya, untuk membuat gelar yang dapat memberi kesan kepada lawannya,
bahwa pasukan berkuda itu cukup banyak.
Sesaat pasukannya memasuki
regol padepokan, maka pasukan itu segera berpencar. Sebagian langsung masuk
dalam-dalam ke dalam padepokan itu, melingkar, kemudian berlari hampir di
sepanjang jalan kecil menuju ke banjar pimpinan, sedang yang lain memilih jalan
yang lain. Tetapi tujuan mereka, seperti yang telah diancarkan Ki Tanu Metir
lewat Wuranta adalah banjar pimpinan. Sementara itu pasukan yang lain, yang
berjalan kaki pun sudah tidak terlampau jauh lagi dari padepokan itu. Bahkan
mereka pun lamat-lamat telah mendengar tanda yang dilontarkan oleh Ki Tanu
Metir, panah sendaren. Karena itu, maka pasukan itu mempercepat langkahnya,
bahkan berlari-lari kecil.
Yang pertama-tama memberi
tanda, bahwa perhitungan Ki Tanu Metir cukup baik adalah, bahwa Untara sama
sekali tidak menjumpai seorang penjaga pun di regol padepokan. Pertanda ini
adalah pertanda yang baik bagi Untara. Meskipun pada saat ia datang ke
padepokan ini ia cukup berhati-hati, sehingga ia berada pada jarak yang cukup
jauh, karena ia masih meragukan keadaan. Tetapi ternyata bahwa pintu gerbang
padepokan ini seolah-olah telah terbuka lebar menyambut kedatangannya.
Kedatangan Untara benar tidak
diduga-duga oleh orang-orang padepokan Tambak Wedi. Baik oleh orang-orang
Tambak Wedi sendiri maupun oleh orang-orang Jipang yang berada di Tambak Wedi
yang saat itu sedang bertempur satu sama lain dengan sengitnya. Karena itu,
ketika mereka mendengar kuda berderap di dalam padepokan mereka, maka mereka
terkejut bukan buatan. Segera mereka menyadari keadaan mereka. Tetapi sudah
terlambat. Kawan-kawan mereka yang terbunuh di dalam perkelahian yang ribut
tanpa dapat dikendalikan, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Bahkan Ki
Tambak Wedi sendiri sama sekali sudah kehilangan perhitungannya dalam
menghadapi pasukan Untara di Jati Anom. Dengan marahnya ia berkelahi membunuh
orang-orang Jipang seperti menebas ilalang. Meskipun demikian orang-orang Jipang
itu telah membuatnya semakin marah, karena setiap kali Sanakeling berhasil
menyusun kembali sekelompok orang-orang yang cukup kuat untuk melawan hantu
Tambak Wedi itu. Demikian juga Sidanti dan Argajaya. Setiap kali mereka harus
berhadapan dengan kelompok-kelompok yang teratur sebagaimana prajurit yang
sedang bertempur. Meskipun Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya seakan-akan
mampu menumpas lawannya, namun jumlah orang Jipang itu cukup memberikan
perlawanan yang sengit. Dengan demikian, maka akibatnya adalah korban
berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi.
Dan kini mereka yang sedang
dirobek-robek oleh perkelahian itu menghadapi kenyataan baru, kedatangan
pasukan Untara dan Jati Anom. Kedatangan itu demikian mengejutkan sehingga
perkelahian yang berlangsung di sudut-sudut halaman, di kebun-kebun di antara
rumpun-rumpun bambu dan di jalan-jalan itu, tiba-tiba terhenti. Orang-orang
Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sejenak berdiri kaku dengan dada yang
semakin berdebar-debar.
Sesaat kemudian mereka melihat
kuda menyambar-nyambar di sekitar mereka. Mereka melihat kuda-kuda itu datang
dari beberapa jurusan. Dengan demikian, maka dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Bahkan beberapa orang dari mereka pun menjadi bingung
karenanya.
Sebelum mereka menyadari
keadaan, maka di kejauhan mereka mendengar seseorang berteriak nyaring, “Atas
nama pemerintah Pajang, kalian supaya menyerah.”
Sejenak halaman banjar itu
dicengkam oleh keheningan. Mereka tidak lagi mendengar derap kuda berlari-lari.
Tetapi mereka melihat samar-samar di balik dedaunan dan pagar halaman,
ujung-ujung pedang prajurit Pajang yang duduk di punggung kuda.
Ki Tambak Wedi berdiri
termangu-manggu. Ketika ia menebarkan pandangan matanya, maka dilihatnya mayat
bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Beberapa puluh langkah daripadanya
berdiri Sanakeling yang telah dibasahi oleh darahnya sendiri. Luka-lukanya
membujur-lintang di tubuhnya. Namun ia masih mampu berkelahi seperti harimau
lapar.
Di luar halaman banjar,
Sidanti yang keringatnya juga sudah diwarnai oleh darah yang memercik dari
luka-lukanya, berdiri dalam keragu-raguan. Apakah yang harus mereka kerjakan?
Dalam keheningan itu sekali
lagi terdengar suara dikejauhan, “Atas nama Adipati Pajang, menyerahlah. Kalian
telah terkepung rapat.”
Suara itu bergetar menyelusur
dedaunan, cabang-cabang pepohonan. Ranting-ranting dan menyentuh setiap telinga
orang-orang Padepokan Tambak Wedi dan orang-orang Jipang, sehingga dada-dada
mereka pun bergolak karenanya.
Ki Tambak Wedi, Sanakeling,
Sidanti, dan Argajaya masih berdiri kaku di tempatnya. Dari tempatnya
masing-masing, mereka saling memandang dan saling bertanya, apakah yang
sebaiknya mereka lakukan.
Sejenak kemudian Ki Tambak
Wedi melambaikan tangannya kepada muridnya dan kepada Argajaya. Keduanya pun
segera memenuhi panggilan itu. Sambil meloncati mayat-mayat kawan dan lawannya,
mereka tergesa-gesa mendapatkan Ki Tambak Wedi.
“Apa yang akan kau lakukan?”
gumam Ki Tambak Wedi kepada muridnya.
Dengan nafas terengah-engah
Sidanti menyahut. “Terserah kepada Guru, apa yang harus kami lakukan.”
Ki Tambak Wedi terdiam sesaat.
Dipandanginya wajah Argajaya. Tetapi seperti Sidanti, ternyata Argajaya itu pun
menunggu perintahnya.
Dalam pada itu sekali lagi
udara padepokan digetarkan oleh suara di kejauhan, “Bagaimana jawabmu Ki Tambak
Wedi. Kalian telah terkepung. Menyerahlah kepada kami yang datang ke
padepokanmu mengemban perintah dari Pimpinan tertinggi Wira Tamtama, atas nama
Adipati Pajang.”
“Persetan!” Tambak Wedi
menggeram.
“Apakah kita harus melawan
mereka bersama-sama?” bertanya Sidanti.
“Jangan bodoh” jawab gurunya.
“Lalu apa yang harus kita
lakukan?”
“Kita telah berada di dalam
keadaan yang paling sulit selama kita berada di padepokan ini. Tetapi apa boleh
buat. Kita sudah terlanjur basah kuyup.”
“Ya, tetapi lalu bagaimana?”
desak Argajaya.
“Kita harus melepaskan diri
dari padepokan ini. Kita tidak akan mampu melawan orang-orang Pajang itu.
Kekuatan mereka masih cukup segar, sedang kekuatan kita telah turun lebih dari
separo, seandainya Sanakeling masih bersedia bergabung lagi.”
“Apakah aku harus melarikan
diri?”
“Tetapi kalian harus bertempur
dahulu. Dengan demikian maka kesempatan kalian untuk menghindarkan diri menjadi
lebih banyak. Biarlah orang-orang lain kalian tinggalkan. Aku juga akan segera
menyusul, sebab aku kira tidak ada gunanya melawan mereka.”
“Bagaimana dengan Sanakeling?”
Ki Tambak Wedi memandangi
orang itu, Sanakeling masih berdiri tegak dalam kebimbangan. Tiba-tiba ia
melihat Ki Tambak Wedi melambaikan tangannya memanggilnya.
Sanakeling berdiri
termangu-manggu. Tetapi kemudian ia menggeleng sambil menggeram, “Kalau kau
perlukan aku, datanglah kemari.”
“Gila” Sidanti berdesis,
tetapi Ki Tambak Wedi mencegahnya.
“Biarlah. Kita pergunakan
orang bodoh itu untuk saat yang terakhir.”
“Lalu apakah yang akan kita
lakukan?”
“Aku akan datang kepadanya.”
“Kenapa Guru harus merendahkan
diri demikian?”
“Kita menghadapi bahaya yang
cukup besar. Kita pergunakan Sanakeling supaya ia melindungi kita tanpa
diketahuinya. Kita tidak usah memikirkan nasibnya. Ia pasti akan mati di tangan
Untara.”
Sidanti sama sekali tidak rela
melihat gurunya terpaksa mengalah mendatangi Sanakeling. Tetapi ia melihat,
bahwa rencana gurunya itu adalah satu-satunya yang dapat dilakukan. Karena itu,
maka betapa pun sakit hatinya, ia terpaksa melihat gurunya itu berjalan
mendekati Sanakeling.
“Kita bersama-sama berada di
dalam kesulitan,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling kemudian, “waktu kita
tidak cukup panjang. Bagaimanakah sikapmu Sanakeling?”
“Aku tetap pada pendirianku.
Pantang menyerah kepada orang-orang Pajang, tetapi aku ingin Sidanti aku bunuh
sekarang juga.”
“Itu tidak mungkin kau
lakukan. Kau akan dapat memilih salah satu di antara keduanya. Melawan Pajang
atau melawan Sidanti.”
“Keduanya. Aku tetap dalam
pendirianku.”
“Tetapi kau tidak akan dapat
melakukan bersama-sama. Baiklah, kalau kau tetap bertekad demikian. Tetapi
apakah yang pertama-tama kau lakukan?”
Sanakeling tidak menjawab.
“Aku mempunyai usul, selagi
kekuatan kita masing-masing masih cukup kuat untuk melawan Untara. Kita
bersama-sama melawan orang-orang Pajang, kemudian kita selesaikan persoalan
kita. Kau akan mendapat kesempatan perang tanding melawan Sidanti.”
Sanakeling masih berdiam diri
“Adalah bodoh pada saat serupa
ini kita membuka garis perang segi-tiga. Itu hanya akan menguntungkan Untara
saja. Apakah hal ini kau sadari?”
“Baik,” tiba-tiba Sanakeling
menggeram, “aku setuju usulmu. Kita bertempur melawan Untara, tetapi sesudah
itu, aku harus mendapat kesempatan membunuh Sidanti.”
“Terserah kepadamu. Tetapi
yang akan terjadi adalah perang tanding. Kesempatanmu sama dengan Sidanti.
Membunuh atau dibunuh di dalam perkelahian itu.”
“Baik. Kesempatan itu aku
terima.”
“Nah, sekarang terserah
kepadamu. Tuntunlah pasukanmu yang masih tersisa. Aku akan membawa pasukan
Tambak Wedi untuk melawan orang-orang Pajang itu. Kalau yang datang itu hanya
pasukan berkudanya saja, maka kekuatan itu tidak terlampau besar.”
“Bagus,” sahut Sanakeling,
“tetapi kau jangan ingkar janji.”
“Aku junjung tinggi
sifat-sifat jantan di antara kita.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki Tambak Wedi kembali kepada
Sidanti. Namun ia masih belum melihat pasukan Pajang mulai bergerak. Agaknya
mereka menyangka bahwa Tambak Wedi sedang merundingkan syarat penyerahan.
Bahkan ia masih mendengar lagi suara, “Apakah kalian menyerah?”
Sekilas Ki Tambak Wedi
memandang Sanakeling. Dilihatnya wajah itu menegang. Bahkan kemudian
menggeleng. Ki Tambak Wedi pun tersenyum di dalam hati. Namun mulutnya segera
berteriak, “Tak ada seorang pun di antara kami yang berpikir untuk menyerah.
Meskipun tubuh kami telah dibasahi oleh keringat dan darah, tetapi kami akan
tetap dalam pendirian kami.”
Demikian Ki Tambak Wedi
berhenti, maka terdengar Sanakeling berteriak, “Ternyata kalian,
prajurit-prajurit Pajang, terlampau licik. Kalian mempergunakan kesempatan,
selagi kita menyelesaikan masalah kami ke dalam. Tetapi tidak apa. Sisa-sisa
yang ada pada kami cukup kuat untuk melawan kalian.”
Jawaban itu memang sudah
diduga. Namun ternyata Untara tidak segera bertindak. Ia masih melihat keadaan
yang dihadapinya. Namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman, maka
segera ia berhasil menyesuaikan dirinya. Segera ia mengetahui dan menyadari
sepenuhnya apa yang sedang dihadapi. Dengan mempertimbangkan pesan Ki Tanu
Metir lewat Wuranta, sambil melihat apa yang terjadi saat itu, maka Untara
mampu menarik kesimpulan dan langsung membuat perhitungan sebaik-baiknya.
Sebenarnya ia mengharap kehadiran Ki Tanu Metir untuk mendapat pertimbangan,
tetapi orang itu masih belum dilihatnya. Namun untuk bertindak lebih lanjut ia
cukup berhati-hati. Ia tidak tergesa-gesa menyerbu lawannya yang sedang dengan
tegang menunggunya. Tetapi dibiarkannya keadaan itu tetap tidak berubah.
Sementara itu pasukannya yang berjalan kaki semakin lama menjadi semakin dekat.
Di pintu gerbang, Untara telah menempatkan dua orang penghubung yang akan
mengatur pasukannya yang segera akan menyusul. Sementara itu, ia dapat
memperpanjang waktu dengan berbagai macam pertanyaan dan ancaman. Namun derap
kuda pasukannya telah cukup membuat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang yang masih hidup menjadi bingung dan berkecil hati, seolah-olah
kuda-kuda itu berada di segala jurusan.
Ketika Untara mendengar
Sanakeling menjawab maka ia berkata pula, “Sanakeling, apakah kau masih tetap
merasa bahwa pasukanmu cukup kuat untuk melawan Pajang?”
Dari balik segerumbul perdu
Sanakeling melihat kepada Untara yang duduk di atas punggung kuda. Di
belakangnya beberapa prajurit berkuda mengawalnya dengan kuat. Ujung-ujung
pedang berkilat-kilat tersentuh oleh sinar matahari pagi yang semakin lama
menjadi semakin cerah.
“Jumlah kami masih cukup!”
teriak Sanakeling. “Jangan menyangka bahwa karena pertengkaran kecil di antara
kami maka kekuatan kami menjadi susut.”
Untara tertawa. Katanya,
“Apakah kau sangka kami di sini tidak melihat mayat yang bergelimpangan di
halaman, di bawah rumpun-rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul liar di kebun
belakang, di jalan-jalan, bahkan bergayutan di pagar-pagar batu yang rendah
itu?”
“Persetan dengan itu semua!”
Ki Tambak Wedilah yang menyahut. “Kalau kau mau menyerang kami, marilah kami tunggu.
Kenapa kalian masih berdiam diri saja di situ? Apakah kalian merasa bahwa
kalian telah terperosok ke dalam lingkungan yang tidak kalian duga-duga. Kalian
menyangka bahwa kami telah tumpas karena perselisihan yang tidak berarti ini?
Untara, kamu salah. Ternyata, bahwa kami masih sanggup menyambut kedatanganmu.
Ayo, kenapa kau diam saja di situ?”
“Jangan menggertak, Kiai,”
sahut Untara, “pasukan kami cukup banyak. Tetapi adalah menjadi kebiasaan Wira
Tamtama Pajang untuk tidak tergesa-gesa bertindak. Kami memberi kalian waktu.
Dan waktu yang kami berikan untuk berpikir itu cukup panjang, supaya kalian
tidak menyesal nanti.”
“Omong kosong!” teriak Ki
Tambak Wedi. Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Kalau Untara masih belum
berbuat sesuatu, kitalah yang akan bergerak dahulu Sanakeling. Siapkan
pasukanmu!”
“Bagus,” sahut Sanakeling.
Namun ketika ia berpaling memandangi daerah sekitarnya hatinya menjadi
berdebar-debar. Pasukannya sebagian besar telah musnah seperti orang-orang
Tambak Wedi sendiri. Meskipun demikian ia tidak dapat menyerah. Maka
berteriaklah ia kepada sisa-sisa pasukannya, “Hentikan permusuhan atas
orang-orang Tambak Wedi. Kita mendapat lawan baru yang lebih gila dari
orang-orang Sidanti.”
Sejenak orang-orangnya menjadi
bingung. Tentu saja mereka tidak akan dapat melupakan permusuhan yang baru saja
terjadi. Bahkan ada di antara mereka yang telah terluka dan sahabat-sahabatnya
telah terbunuh di dalam perkelahian itu, tetapi kini mereka dihadapkan pada
kenyataan baru, Wira Tamtama Pajang telah berada di ujung hidung. Bukan saja
berada di Jati Anom.
“Sanakeling,” terdengar suara
Untara, “kau masih membayangkan kebesaran pasukan Jipang pada masa-masa lampau.
Kau telah gagal dalam gerakanmu di utara. Kini kau akan mengalami kegagalan
yang serupa. Apakah tidak lebih baik bagimu untuk menyerah?”
“Aku tidak pernah merasa gagal
di utara. Aku datang bersama orang-orangku karena panggilan Macan Kepatihan.
Dan di sini pun aku tidak akan gagal pula. Kali ini aku akan menangkapmu dan
menggantungmu di muka regol padepokan ini.”
“Aku atau kau Sanakeling?
Mungkin kedua-duanya. Sesudah kau menggantung aku, maka kaulah yang akan
digantung oleh Ki Tambak Wedi.”
Sanakeling terdiam. Sekilas ia
berpaling ke arah Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedilah yang menyahut,
“Setan Pajang yang licik! Apakah kau mencoba mempengaruhi tekad kami
bersama-sama untuk melawanmu. Apa yang terjadi kemudian telah kami setujui
bersama. Kau tidak akan berhasil dengan caramu. Ayo, Sanakeling, siapkan
pasukanmu. Ternyata Untara tidak cukup kuat untuk bertindak. Kalau pasukannya
cukup, maka ia tidak akan hanya berbicara saja di atas punggung kudanya.”
Dada Untara berdesir. Teryata
perhitungan iblis lereng Merapi itu cukup cermat, sehingga ia dapat menebak
keadaannya. Tetapi dengan pasukan yang ada, Untara tidak merasa cemas. Meskipun
orang-orangnya tidak banyak, tetapi mereka semuanya berada di atas punggung
kuda, sehingga gerak mereka pun akan jauh lebih cepat dari lawannya.
Meskipun demikian sebagai
seorang senapati ia harus yakin atas perhitungannya, sehingga meskipun ia tidak
mencemaskan pasukannya yang hanya sebagian itu, namun ia masih tetap menunggu.
Untara masih cukup bersabar. Ia tidak akan mulai sebelum pasukannya datang,
kecuali kalau Ki Tambak Wedi mendahului.
Dalam pada itu ia mendengar Ki
Tambak Wedi itu berteriak, “Sanakeling, apakah pasukanmu sudah siap?”
Sanakeling memandangi
orang-orangnya yang masih tersisa. Sebagian sudah berdiri berkelompok, sedang
yang lain masih sedang menyusun diri. Namun sebagian dari mereka telah menjadi
sangat letih. Meskipun demikian wajah-wajah mereka masih memancarkan tekad
mereka sebagai seorang prajurit. Nyala di dalam dada orang-orang Jipang masih
lebih hangat dari orang-orang Tambak Wedi sendiri.
Ketika Sanakeling melihat
orang-orangnya telah berkelompok di beberapa tempat, di jalan-jalan dan di
dalam halaman, maka ia berteriak, “Kau lihat sendiri Ki Tambak Wedi,
orang-orangku masih tetap dalam keadaannya meskipun beberapa orang yang lain
telah terluka dan bahkan terbunuh. Tetapi yang tersisa masih cukup kuat
menghadapi siapa saja.”
Terdengar Sidanti dan Argajaya
menggeram. Mereka juga melihat orang-orang Jipang itu dengan cepat telah
menyusun dirinya kembali, sedang orang-orang Tambak Wedi masih juga
tertatih-tatih mencari kawan-kawan di antara mereka. Namun meskipun agak lambat
tetapi orang-orang Tambak Wedi itu akhirnya berhasil juga mengelompokkan
dirinya.
“Ayo Untara, kenapa kau masih
tetap diam? Pasukanku seluruhnya telah siap,” teriak Ki Tambak Wedi. Tetapi
Sanakeling menyahut, “Pasukanku pun telah siap pula.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Terasa betapa Sanakeling tidak mau lagi disebut dan dimasukkan ke
dalam lingkungan pasukan Ki Tambak Wedi.
Tetapi Untara tertawa.
Terdengar suara tertawanya sangat menyakitkan hati. Apalagi ketika Untara itu
berkata, “Ki Tambak Wedi dan Sanakeling. Apakah kalian sangka aku tidak melihat
orang-orang kalian yang merangkak-rangkak berkumpul di jalan-jalan itu? Apakah
kalian menyangka bahwa aku bukan seorang prajurit yang dapat menilai pasukan?
Seharusnya kalian tidak lagi memaksa orang-orang kalian yang telah menjadi
kelelahan itu untuk bertempur. Kalian pasti sudah dapat menilai pula, bahwa
prajurit-prajurit Pajang masih cukup segar menghadapi lawan, meskipun lawannya
gabungan antara pasukan Tambak Wedi dan pasukan Sanakeling. Tetapi yang
kedua-duanya telah terlampau payah karena pertengkaran di antara kalian
sendiri.”
“Tetapi jumlah orang-orangmu
terlampau sedikit Untara,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau mencoba menghibur hatimu
sendiri. Kau melihat pasukan berkuda ini?”
“Lima orang dari utara, lima
orang dari selatan, lima dari barat dan lima dari timur. Begitu? Apakah aku
harus kagum melihat pasukan yang tidak lebih dari jumlah jari-jariku?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Ki Tambak Wedi mempunyai tangkapan yang baik, meskipun
orang itu telah mencoba memperkecil arti pasukannya. Ia akan dapat menjadi
seorang senapati yang cakap di medan perang.
“Siapakah sebenarnya orang
tua-tua ini,” pikir Untara, “Ki Tambak Wedi, Ki Tanu Metir dan siapa lagi?
Ternyata mereka mempunyai sikap dan pandangan serta perhitungan seorang
prajurit.”
Untara itu mengangkat
kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berteriak, “Apa katamu, he Untara?
Apakah tidak sebaiknya kau saja yang menyerah?”
Tetapi sekali lagi Untara
tertawa. Jawabnya, “Kalau perhitunganmu benar Kiai, kenapa kau juga masih
berdiam diri, bersama pasukanmu yang letih. Lihat, berapa orang yang berada, di
belakangku. Jumlah ini sudah cukup meyakinkan bahwa dugaanmu terlampau jauh
dari kebenaran.”
Ki Tambak Wedi menggeram,
Tetapi ia pun tidak berani segera mulai. Ia sebenarnya juga menunggu Untara
memasuki halaman dan daerah pertempuran yang sempit. Pasukannya beserta pasukan
Sanakeling yang lelah, tidak akan dapat berkelahi dalam arena yang luas,
apalagi melawan prajurit-prajurit berkuda. Tetapi agaknya Untara tidak segera
bergerak. Dengan segala macam cara Tambak Wedi memancingnya, membuat Untara
segera bertindak. Namun senapati yang meskipun masih muda, tetapi sudah cukup
masak menghadapi medan itu masih tetap bersabar.
“Untara,” berkata Ki Tambak
Wedi, “kalau kau berkata sebenarnya, kenapa kau masih duduk di situ seperti
patung? Apakah tugasmu hanya berteriak-teriak saja sepanjang hari? Apakah tugas
seorang Senapati Pajang itu hanya menakut-nakuti orang, mengancam kemudian
menunggu orang-orang itu menyerah?”
“Sebagian benar, Kiai.”
“Setan alas!” Ki Tambak Wedi
mengumpat.
Agaknya Sanakeling-lah yang
sudah tidak sabar lagi. Luka-lukanya semakin lama terasa semakin pedih. Karena
itu, maka ia tidak ingin membiarkan dirinya menjadi lemah karena darahnya yang
meskipun hanya setetes-setetes meleleh dari luka-lukanya. Maka dengan garang ia
berkata, “Kitalah yang akan mulai. Jangan terpancing ke segenap arah. Kita
pusatkan pasukan kita kepada senapati yang hanya pandai berteriak-teriak itu
saja. Pasukannya yang lain pasti akan terhisap ke sana. Bukankah kita
menginginkan medan yang sempit?”
“Bagus,” sahut Untara,
“ternyata kau cukup berterus terang mengatakan cara yang kau pilih.”
“Tak ada gunanya berahasia.
Kau pasti mampu menebak” sahut Sanakeling, yang sejenak kemudian berteriak
memberi aba-aba kepada pasukannya.
Pasukannya yang letih itu pun
segera bersiap. Meskipun keringat mereka seolah-olah telah terperas habis, dan
bahkan titik-titik darah telah membasahi pakaian mereka, namun mata mereka
masih tetap menyiratkan dendam dan kebencian. Apalagi ketika mereka mendengar
Sanakeling berkata, “Jangan biarkan diri kalian tertangkap hidup. Kalian akan
menjadi tontonan di sepanjang jalan kota Pajang.”
Untara melihat pasukan yang
sudah menjadi sangat lelah itu mulai bergerak. Kemudian disusul oleh pasukan Ki
Tembak Wedi langsung di bawah pimpinan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Sanakeling, mereka semuanya menyergap ke
arah Untara bersama para pengawalnya.
Untara menarik nafas, ia
melihat para pemimpin dan pasukan lawannya yang perlu mendapat perhatiannya, Ki
Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan Argajaya. Untuk melawan mereka Untara
memerlukan kelompok-kelompok khusus. Tak akan ada orangnya yang mampu
berhadapan dengan salah seorang dari keempatnya, selain dirinya sendiri
menghadapi salah seorang dari para pemimpin pasukan lawannya kecuali Ki Tambak
Wedi.
Namun, selain para
pemimpinnya, maka sebenamya pasukan Tambak Wedi dan Sanakeling itu sudah
terlampau lemah, setelah mereka berkelahi sesamanya. Bahkan dalam pasukan yang
sudah siap melawan pasukan Untara itu pun mereka tidak dapat bercampur dalam
satu baris perlawanan. Tampaklah bahwa masing-masing berada di dalam
lingkungannya sendiri.
“Apakah kalian benar-benar
tidak menyadari keadaan diri” teriak Untara.
“Jangan banyak bicara!” sahut
Sanakeling sambil membawa pasukannya semakin maju.
Untara merasa bahwa ia tidak
akan dapat mengulur waktunya. Karena itu, maka dipanggilnya salah seorang
perwira bawahannya. Diberikannya beberapa petunjuk untuk melawan para pemimpin
dari padepokan ini.
“Hati-hatilah dengan iblis
yang tua itu. Jangan kurang dari sepuluh orang. Sedang anak muda yang bernama
Sidanti itu, cobalah melawan bersama tiga atau empat orang. Demikian juga yang
lain itu, yang aku kira adalah adik Argapati dari Menoreh seperti yang
dipesankan oleh Ki Tanu Metir. Sedang Sanakeling, serahkan ia kepadaku. Akulah
yang berkewajiban untuk menangkapnya hidup-hidup, apabila mungkin. Kalau tidak,
aku terpaksa menyelesaikannya demi tugasku.”
Perwira Wira Tamtama itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menyadari bahwa tugas itu bukan tugas yang
ringan. Meskipun di hadapannya berjalan prajurit-prajurit yang lemah dan
tertatih-tatih menyeret tombak dan pedang mereka, tetapi menghadapi para
pemimpinnya, maka masih banyak diperlukan tenaga.
Sekilas perwira itu memandang
berkeliling. Pasukannya memang tidak begitu banyak. Tetapi cukup untuk membuat
orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang menjadi bingung. Dengan
tangannya perwira itu memanggil beberapa orang bawahannya. Diberikannya
beberapa keterangan. Hanya mereka yang berada di atas kuda-kuda yang cukup
tangkas dan dapat dikuasai dengan baiklah yang dipilihnya untuk melawan Ki
Tambak Wedi yang mengerikan itu.
Pasukan yang dibawa oleh
Sanakeling semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu beberapa ekor kuda
dari para prajurit Pajang telah bergerak pula menyusun diri. Beberapa orang
bergabung dalam satu kelompok untuk menghadapi orang-orang yang mempunyai
banyak kelebihan dari para prajurit itu sendiri.
Tetapi ternyata Untara bukan
anak-anak yang lagi bermain perang-perangan. Ia mampu menilai keadaan dan
membuat perhitungan yang tepat. Ketika orang-orangnya telah tersusun, meskipun
dengan terpaksa ia harus memanggil beberapa orang yang datang dari jurusan
lain, maka ia mulai menggerakkan pasukannya pula. Tetapi Untara tidak
menyongsong pasukan yang datang ke arahnya. Dengan sebuah tanda-tanda pedang
Untara ternyata menggerakkan pasukannya yang berada di arah yang bertentangan
dengan dirinya, meskipun hanya beberapa orang saja.
Sejenak kemudian orang-orang
Tambak Wedi dan orang-orang Jipang mendengar ringkik kuda justru di belakang
mereka. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat bayangan yang
bergerak-gerak di belakang dedaunan mendekati mereka.
“Setan alas!” teriak Tambak
Wedi. “Kau mulai dengan licik, Untara?”
“Bukankah sudah aku katakan,
bahwa pasukanku telah mengepung kalian.”
“Persetan!” teriak Sanakeling.
Dengan gigi gemeretak, maka ia berteriak pula, “Jangan songsong mereka. Biarkan
mereka maju. Kita tetap bertempur dalam medan yang sempit.”
“Hem,” Untara menarik nafas,
“meskipun orang itu sudah hampir kehabisan tenaga, namun sikap senapatinya
masih cukup baik.”
Perwira bawahannya yang duduk
di atas punggung kuda di sampingnya menganggukkan kepalanya. “Otaknya cukup
baik,” gumamnya.
Untara pun kemudian harus
mengambil sikap berikutnya. Ternyata ia tidak berhasil mengacaukan orang-orang
Jipang. Namun orang-orang Tambak Wedi tampak menjadi agak kebingungan. Apalagi
ketika kuda-kuda di belakang mereka menjadi semakin dekat.
“Kalian bukan anak-anak yang
dungu,” teriak Sanakeling, “kalian dapat menghindarkan diri dari kuda-kuda itu.
Pergunakan dinding-dinding halaman, dan cepat, tutup regol halaman itu.”
Sekali lagi Untara menarik
nafas. Desisnya, “Bukan main.”
Sementara itu ia melihat
orang-orangnya tidak mampu mencapai regol halaman, lebih cepat dari orang-orang
Jipang. Ternyata orang-orang Jipang telah berhasil menutup regol itu, kemudian
memasang palangnya yang kuat sebesar lengan.
Dan Untara mendengar
Sanakeling berteriak lagi kepada orang-orangnya yang berada di jalan-jalan,
“Bersiaplah kalian. Hindarkanlah serangan yang licik itu. Masuk, meloncati
pagar batu ke halaman sebelah-menyebelah. Pusatkan seranganmu kepada Senapati
Pajang yang hanya pandai menakut-nakuti itu saja.”
Tetapi Untara bukan pula orang
yang mudah menjadi bigung menghadapi kenyataan itu, sehingga ia pun berteriak,
“Tunggu sajalah orang-orang Jipang itu merangkak kemari. Kalau mereka
benar-benar ingin menyergap aku, mereka pasti akan keluar dari halaman banjar
desa. Nah, kesempatan bagi kalian akan datang juga akhirnya. Meskipun kini
mereka berloncatan masuk. Hematlah tenaga kuda kalian, supaya kalian sempat
melihat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang bertekuk lutut di
hadapan kita.”
Mendengar teriakan Untara itu,
Sanakeling menggeram. Sejenak ia berpikir. Untara ternyata melihat kemungkinan
yang pasti akan datang pula, yaitu pasukannya keluar dari halaman banjar itu,
dengan meloncati dinding batu dan menyerbu ke arahnya. Dan Untara tiba-tiba
memerintahkan pasukannya diam menunggu setelah ia keluar dari halaman itu.
“Memang sia-sia aku
memerintahkan menutup pintu regol itu,” pikir Sanakeling, “sebentar lagi aku
sudah akan keluar dari halaman ini.”
Tetapi tiba-tiba Sanakeling
melihat keuntungannya pula. Halaman di sebelah tidak seluas halaman banjar,
sehingga kesempatan berkelahi dengan kuda tidak terlampau banyak, Halaman itu
di kelilingi oleh dinding batu pula.
Melihat hal itu Sanakeling
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Ia melihat kuda-kuda
prajurit Pajang bergeser mendekati Untara.
Sejenak Sanakeling itu
berpaling. Kini ia melihat Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya bersama
pasukan Tambak Wedi menjadi semakin maju pula. Mereka mendekati halaman sebelah
lewat sisi yang lain dari yang dilewati Sanakeling. Sanakeling sendiri tidak
ingin menggabungkan pasukannya dalam satu lingkaran perkelahian menghadapi
pasukan Untara. Mereka bertempur dalam lingkungan sendiri-sendiri. Apabila
pasukan Tambak Wedi itu tidak sekuat pasukan Jipang, biarlah pasukan itu musnah
lebih dahulu.
Akhirnya mereka telah sampai
pada dinding halaman banjar itu, dan sesaat lagi mereka akan meloncatinya.
Untara menjadi berdebar-debar.
Pasukan lawan itu sudah tidak begitu kuat. Tetapi apakah pasukannya yang hanya
berjumlah sedikit itu mampu melawannya? Untunglah bahwa pasukan lawan itu sudah
terlampau letih.
Tetapi Untara tidak dapat
tinggal diam lebih lama lagi. Ketika orang yang pertama telah menjejakkan
kakinya di halaman tempatnya menunggu, maka segera ia menjatuhkan perintah pula
untuk segera bertindak.
Beberapa orang segera meluncur
maju di atas kudanya. Orang yang pertama itu ternyata bernasib kurang baik. Ia
tidak sempat berbuat sesuatu ketika prajurit Pajang itu menyerangnya dari atas
punggung kuda. Orang yang pertama itu adalah orang Sanakeling.
Terdengar Sanakeling menggeram
semakin keras. Terdengar giginya gemeretak. Selanjutnya ia sendirilah yang
meloncati pagar bersama-sama dengan beberapa pengawalnya yang terpilih.
Untara yang melihat
Sanakeling, segera bergerak pula. Adalah menjadi kewajibannya untuk menangkap
sisa-sisa Senapati Jipang itu, sementara seorang perwira bawahannya telah
menyiapkan diri bersama kelompoknya menyambut pasukan Tambak Wedi yang telah
berada di sisi dinding halaman itu pula.
Pasukan berkuda itu pun segera
berpencaran. Tiba-tiba orang-orang Jipang itu terkejut ketika mereka mendengar
derap kuda di belakang mereka. Bahkan Ki Tambak Wedi sendiri tertegun pula
karenanya. Ternyata dua orang prajurit Pajang telah meloncat turun dari
kuda-kuda mereka dan masuk ke dalam halaman itu dengan diam-diam untuk membuka
regol halaman. Sedang lawan-lawan mereka telah mencurahkan seluruh perhatiannya
kepada Untara dan para pengawalnya.
Kuda-kuda itu berderap menyerang
orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang telah berkumpul di
sepanjang dinding halaman, menunggu giliran mereka untuk meloncat. Tetapi
karena serangan yang datang tiba-tiba, meskipun hanya dari beberapa ekor kuda
itu, mereka terpaksa mempertahankan diri mereka, sehingga pasukan itu menjadi
agak terganggu karenanya. Kawan-kawan mereka yang telah meloncat dinding
halaman di seberang telah disambut pula oleh pasukan berkuda Untara, dan yang
masih tinggal di halaman ini pun telah mendapat serangan pula dari arah yang
berlawanan. Sedang kawan-kawan mereka yang mencoba menyerang jalan di muka
halaman itu pun terpaksa menghentikan langkah-langkah mereka dan terpaksa
mereka harus melayani kuda-kuda yang menyambar di jalanan itu pula.
Tetapi ternyata jumlah
orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi masih cukup banyak. Meskipun
mereka sudah menjadi sangat letih namun jumlah mereka masih cukup untuk menahan
arus prajurit-prajurit berkuda dari Pajang yang terlampau sedikit jumlahnya.
Untara yang sudah siap untuk
menyongsong Sanakeling tertegun sejenak ketika ia melihat dengan tiba-tiba saja
Ki Tambak Wedi melepaskan sebuah gelang-gelang besinya. Senapati dari Pajang
itu menahan nafasnya sejenak ketika ia melihat seorang anak buahnya terpelanting
dari kudanya oleh gelang-gelang besi itu. Korban anak buahnya yaug pertama.
Anak buahnya yang tidak begitu banyak.
“Gila,” desis Untara dengan
kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.
Sekilas ia memandang perwira
yang diserahinya untuk melawan Tambak Wedi. Untara melihat perwira itu
mengerutkan keningnya. Namun apa yang terjadi merupakan peringatan baginya
bahwa melawan orang itu adalah pekerjaan yang berbahaya. Tetapi di samping itu,
perwira itu mendapat petunjuk pula, bahwa setiap kesempatan bagi Tambak Wedi
untuk melepaskan gelang besinya akan berarti maut. Dengan demikian, maka
serangan-serangan terhadapnya harus datang beruntun, seperti ombak yang
menghantam pantai tanpa sekejap pun waktu yang boleh diabaikan.
Tetapi Ki Tambak Wedi itu
masih berada di seberang pagar dinding halaman, sehingga kelompoknya masih
belum dapat menyergap iblis lereng Merapi itu. Namun perwira itu bukan seorang
yang hanya mampu menunggu perintah Untara. Sambil menunggu Tambak Wedi, maka
kelompoknya beserta orang-orang yang telah disiapkannya menunggu Sidanti dan
Argajaya, segera menyerbu ke arah orang-orang Tambak Wedi yang telah meloncati
pagar halaman banjar. Sedang prajurit-prajurit Pajang yang di halaman seberang,
segera melibatkan diri dalam pertempuran yang ribut, justru untuk mengurangi
kesempatan Ki Tambak Wedi membidik salah seorang daripada mereka. Kuda-kuda itu
menyambar silang-menyilang pada tempat yang paling jauh dari Ki Tambak Wedi
yang sangat berbahaya itu.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Ia melihat pertempuran sudah menjalar di mana-mana. Ia melihat
orang-orang berkuda di halaman banjar menyerang orang-orang Jipang agak jauh
daripadanya. Sedang di hadapan dinding batu halaman itu, orang-orangnya sendiri
telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit dengan orang-orang berkuda
dari Pajang. Bahkan orang-orang berkuda itu agaknya lebih tangkas dari
orang-orang yang bertempur di halaman banjar.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak berminat lagi untuk menyerang
orang-orang yang berada di halaman banjar dengan gelang-gelangnya. Orang-orang
Pajang itu ternyata kini sedang bertempur dengan orang-orang Jipang.
Perhatiannya kini di tujukan kepada orang-orangnya yang telah meloncati dinding
halaman.
Ki Tambak Wedi adalah seorang
yang mempunyai pandangan yang jauh dan cukup terang. Ia tidak percaya bahwa
Untara hanya akan bertempur dengan orang-orangnya itu. Perhitungannya telah
mengatakan kepadanya, bahwa di belakang barisan berkuda ini pasti akan segera
menyusul pasukannya yang lain. Tetapi ia sengaja tidak mengatakannya kepada
siapa pun, sebab ia sengaja membiarkan perkelahian ini berkecamuk terus untuk
memberinya kesempatan melarikan diri.
Sedang Sanakeling yang sedang
menjadi mata gelap karena persoalan yang bertubi-tubi, tidak sempat membuat
perhitungkan lain. Meskipun ia telah menduga bahwa prajurit Pajang mungkin akan
bertambah, namun ia merasa bahwa pasukan yang ada akan segera dapat mengatasi
keadaan melawan pasukan Untara yang tidak begitu kuat. Kemudian sesudah ini,
entahlah apa yang akan dilakukannya. Melarikan diri, bersembunyi atau apa pun
untuk mendapat kesempatan bertempur dengan Sidanti.
Pertempuran di halaman banjar,
di halaman sebelah, di jalan-jalan pun menjadi semakin seru. Untara ternyata
tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa jumlah orang-orang Jipang dan Tambak
Wedi masih cukup berbahaya bagi anak buahnya. Karena itu, maka ia harus
berhati-hati, dan menjaga supaya pasukannya mampu bertahan sampai pasukannya
yang lain datang ke padepokan ini.
Hatinya menjadi berdebar-debar
ketika ia melihat Sidanti, Argajaya, dan sebagian besar orang-orangnya telah
meloncati halaman. Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi pun kini telah berdiri di
atas dinding batu melihat keseluruhan dari pertempuran itu.
“Dari sana setan itu akan
dapat membidik setiap orang yang dikehendaki,” desis Untara di dalam hatinya.
Namun ternyata perwira bawahannya pun telah memperhitungkannya pula. Karena
itu, maka hampir bersamaan beberapa ekor kuda menyambarnya beruntun, sedang penunggangnya
mencoba menyentuh tubuh itu dengan pedang.
Ki Tambak Wedi yang sedang
memperhitungkan pertempuran itu terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba.
Sekali lagi terpaksa meloncat turun ke halaman banjar. “Gila” desisnya.
Pada saat yang demikian, pada
saat pasukan Untara berada dalam keadaan, yang cukup gawat, seorang penghubung
telah mendatanginya. Karena itu maka Untara tidak segera menyerang Sanakeling.
Diterimanya penghubung itu dengan harapan, bahwa pasukannya yang berjalan kaki
telah datang. Dibiarkannya beberapa orang lebih dahulu menahan Sanakeling dan
pasukannya.
Ternyata harapannya itu
terjadi. Penghubung itu mengabarkan bahwa pasukannya yang berjalan kaki kini
telah memasuki pintu gerbang padepokan itu.
“Bagus,” desis Untara,
“bawalah mereka langsung ke pertempuran ini. Aku kini mempunyai perhitungan
bahwa kita akan segera menyelesaikan tugas kita. Usahakan pasukan itu mengepung
pertempuran ini, usahakan bahwa tidak seorang pun dapat lolos, termasuk Ki
Tambak Wedi itu.”
Penghubung itu pun segera
melakukan tugasnya. Dengan cepat menemui pasukan yang baru datang memasuki
regol padepokan Tambak Wedi, yang seakan-akan terbuka tanpa seorang penjaga pun
bertugas di tempat itu.
Pasukan itu pun dengan
tergesa-gesa melakukan perintah Untara. Dengan diam-diam pasukan itu menebar
dan segera mendekati tempat pertempuran itu dari segala arah.
Tepat pada saat-saat Untara
merasa terdesak, dan memerlukan bantuan dari pasukannya itu, pertempuran itu
telah dikejutkan oleh kehadiran prajurit Pajang yang lebih banyak dari
prajurit-prajurit berkuda. Ki Tambak Wedi yang melihat kedatangan pasukan itu,
menggeram. Meskipun ia telah menduga bahwa hal itu akan terjadi, namun
kedatangan itu agak terlampau cepat dari perhitungannya. Dan iblis itu tidak
habis berpikir, siapakah yang telah membawa Untara itu memasuki padepokannya.
Siapakah yang telah memberitahukan kepada senapati yang seakan-akan memiliki
beribu telinga dan mata itu, bahwa pasukan di padepokannya sedang kisruh di
antara mereka sendiri, sehingga Senapati Pajang yang masih muda itu, tiba-tiba
saja telah berada di padepokannya.
Sedangkan Sanakeling, Sidanti,
dan Argajaya pun tidak kalah terkejut seperti setiap prajurit Jipang dan Tambak
Wedi yang lain.
Dengan kehadiran pasukan itu
maka keadaan hampir telah dapat diperhitungkan, bagaimana akan berakhir. Karena
itu, maka dalam hiruk-pikuk pertempuran, Untara masih mencoba sekali lagi
berteriak sekeras-kerasnya, katanya, “He, Sanakeling dan Ki Tambak Wedi, apakah
kalian masih tetap dalam pendirian kalian untuk tidak menyerah? Sebaiknya
kalian membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Kini keadaan telah memberikan
keyakinan, bagaimana akan jadinya pasukan kalian apabila kalian tetap berkeras
kepala?”
Yang menyahut adalah Ki
Tiambak Wedi dengan suara yang tidak kalah kerasnya, “Hanya betina-betina
pengecut sajalah yang menyerah dalam pertempuran seperti ini. Ayo Untara,
kerahkan semua prajuritmu. Gelang-gelang besiku tidak terbatas jumlahnya. Aku
akan membunuh mereka satu demi satu dari atas dinding halaman itu.”
Namun Untara menyahut, “Jangan
membual. Betapa tinggi kesaktian yang kau miliki, tetapi tenaga manusia pasti
mempunyai batas. Kau tidak akan dapat melawan duapuluh lima orang sekaligus.”
Ki Tambak Wedi menggeram
mendengar kata-kata Untara itu. Meskipun demikian ia menyadari bahwa kata-kata
itu mengandung kebenaran. Ia tidak akan dapat melawati duapuluh lima orang
sekaligus. Apalagi apabila orang yang berjumlah duapuluh lima itu seakan-akan
tidak dapat berkurang. Sebab apabila salah seorang dari mereka terbunuh, maka
orang lain lagi datang menggantikannya.
Tetapi Ki Tambak Wedi harus
tetap di tempatnya. Bahkan apabila mungkin ia harus tetap membakar hati
Sanakeling untuk bertempur terus bersama orang-orangnya, sementara ia mendapat
kesempatan untuk melarikan diri. Jangankan orang-orang Jipang, sedang
orang-orangnya sendiri, Ki Tambak Wedi tidak segan-segan untuk mengorbankannya.
Baginya sudah tidak akan ada gunanya lagi mempertahankan padepokan yang sudah
mulai runtuh itu. Biarlah yang tidak dapat diselamatkan ini runtuh sama sekali,
tetapi asal dirinya sendiri dan muridnya yang kelak akan meneruskan
perguruannya dapat diselamatkannya. Itulah sebabnya, maka perhitungan Tambak
Wedi kini sama sekali tidak tertuju pada keseimbangan pasukan lagi, tetapi bagaimana
ia mendapat perisai untuk membebaskan dirinya.
Sanakeling yang sedang dibakar
oleh keadaan itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya telah bersiap untuk menghianatinya. Apalagi ketika ia melihat,
bahwa pasukan Tambak Wedi sendiri benar-benar telah ditelan oleh peperangan
yang dahsyat. Sanakeling masih sempat melihat Sidanti meloncat-loncat di
tengah-tengah api peperangan itu, sedang di sampingnya itu melihat Argajaya
mengamuk seperti harimau luka. Sedang Ki Tambak Wedi sendiri melakukan apa yang
dikatakannya. Dari atas dinding batu ia melontarkan beberapa gelang besinya.
Setiap kali ia melepaskan senjatanya itu, terdengar lawannya mengaduh, dan
kemudian jatuh terbanting di tanah. Tetapi ia tidak dapat bertahan di tempatnya
terlampau lama. Beberapa orang terpilih selalu menyerangnya. Kini bukan saja
orang-orang berkuda yang menyambar-nyambarnya seperti burung-burung elang yang
beriringan, tetapi orang-orang yang berdiri di atas kaki mereka pun datang
beruntun seperti arus banjir yang melanda tanggul. Terus-menerus tidak pernah
terputus. Dengan demikian maka akhirnya Ki Tambak Wedi itu harus sekali lagi
meloncat turun dan bertempur di antara perkelahian yang hiruk-pikuk.
Namun iblis yang licik itu
tersenyum di dalam hati, ketika ia melihat Untara meloncat turun dari kudanya
dan dengan mantap mendapatkan Sanakeling. Sejenak kemudian keduanya telah
terlibat dalam perkelahian yang sengit di antara anak buah masing-masing.
Meskipun Sanakeling tidak
setangguh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, namun melawan orang ini pun
Untara harus cukup berhati-hati. Apalagi ketika tumbuh keinginan di dalam
hatinya untuk menangkap Sanakeling hidup-hidup. Apabila demikian, maka Sanakeling
akan dapat dipergunakannya untuk alat di bagian-bagian lain daripada bekas
kekuasaan Demak, untuk menenteramkan sisa-sisa pasukannya yang liar. Apalagi di
bagian utara, bekas medan tempur yang dipilihnya. Gerombolan-gerobolan kecil
yang masih berkeliaran di tempat itu pasti akan patah tekad dan kemauan mereka,
apabila mereka mendengar dan melihat, bahwa Sanakeling benar-benar telah
tertangkap.
Tetapi Sanakeling sendiri
sudah bertekad, bahwa jangan seorang pun di antara mereka yang tertangkap
hidup. Itu adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya dan bagi
orang-orangnya. Mereka akan mengalami penghinaan yang jauh lebih berat daripada
mati bagi seorang prajurit. Sebab menurut gambaran angan-angan Sanakeling,
apabila mereka tertangkap hidup, maka mereka akan diarak di sepanjang jalan.
Orang-orang yang melihat mereka akan bersorak-sorak sambil melempari mereka
dengan batu. Kemudian mereka akan diikat di alun-alun. Karena mereka telah
menyia-nyiakan kesempatan pertama untuk menyerah, maka mereka akan mendapat
hukuman picis. Mati pelahan-lahan di tiang hukuman, karena goresan-goresan
pisau setiap orang yang lewat sambil menaburi luka mereka dengan garam dan air
asam.
Karena itu, maka yang terjadi
selanjutnya adalah pertempuran yang sangat dahsyat. Orang-orang Jipang yang
putus asa, berkelahi membabi buta. Demikian juga orang-orang Tambak Wedi yang
menganggap, bahwa peperangan ini bagi mereka adalah mempertahankan padepokan
mereka. Mereka menganggap bahwa adalah menjadi kewajiban mereka untuk
mempertahankan setiap jengkal tanah dengan darahnya dan bahkan nyawanya.
Untara yang langsung bertempur
melawan Sanakeling merasakan, betapa Sanakeling telah kehilangan segala macam
pertimbangannya. Seakan-akan wajah orang yang hitam itu telah memancarkan
tekadnya, tidak untuk bertempur dan membinasakan lawannya, tetapi perkelahian
itu hanya merupakan alat baginya untuk membunuh diri.
Dalam keadaan itu Sanakeling
telah lupa segala-galanya. Lupa kepada Sidanti dan janjinya untuk melakukan
perang tanding. Meskipun demikian, sepasang senjata Sanakeling tetap berbahaya
bagi Untara. Bindi di tangan kiri dan pedang di tangan kanan adalah pasangan
senjata ciri kegarangan Sanakeling. Dan sepasang senjata itu kini
menyambar-nyambar mengerikan. Namun, yang dihadapinya adalah Senapati Pajang
yang bertugas langsung menyelesaikan persoalannya di daerah itu. Meskipun
Untara hanya bersenjata tunggal, tetapi senjata itu cukup lincah untuk melawan
sepasang senjata lawannya yang mengerikan.
Di sisi lain, Sidanti dan
Argajaya pun mengalami tekanan yang tidak mudah diatasinya. Empat lima orang
sekaligus mengepungnya dengan rapat dan rapi, seakan-akan mereka sengaja
disiapkan untuk melawannya. Setiap kali mereka berpaling ke arah Ki Tambak Wedi
yang berkelahi di sampingnya, maka setiap kali mereka melihat bahwa orang tua
itu pun ternyata sedang sibuk melayani musuh-musuhnya. Betapa buasnya seekor
harimau, namun melawan serigala yang baik, yang jumlahnya tidak terbatas, maka
akhirnya harimau itu pun akan jatuh terkapar di tanah.
Demikian pula agaknya nasib
iblis lereng Merapi yang merasa dirinya tak terkalahkan, apabila ia masih tetap
berada di pertempuran itu. Karena itu, maka setelah pertempuran itu menjadi
semakin ribut, sampailah ia pada rencananya. Menghindar dari padepokannya yang
sebentar lagi akan hancur dilanda arus prajurit Pajang.
Tetapi sudah barang tentu ia
tidak akan dapat pergi begitu saja, sebab prajurit Pajang telah mengepungnya
dengan ketat. Juga ia tidak boleh dilihat oleh orang-orang Jipang yang sedang
berkelahi mati-matian, bahkan oleh orang-orangnya sendiri.
Itulah sebabnya, maka setelah
keputusannya jatuh untuk melarikan diri, Ki Tambak Wedi itu tampaknya menjadi
semakin garang. Dilontar-lontarkannya beberapa gelang besinya dan diamuknya
setiap orang yang dekat. Orang tua yang mengerikan itu berloncatan kian-kemari,
menyusup di antara kawan dan bahkan di antara lawan. Dengan demikian, maka
pertempuran menjadi kacau. Beberapa orang menjadi ngeri melihat tandangnya.
Sidanti melihat sikap gurunya
itu. Segera ia tanggap pada keadaan, sehingga dengan isyarat ia
memberitahukannya kepada pamannya untuk mempersiapkan diri meninggalkan
perkelahian.
Betapa kisruhnya perkelahian
itu, sehingga ketiga orang yang limpat tetapi licik itu akhirnya berhasil
menyusup ke dalam pasukan sendiri, perlahan-lahan mereka berlindung di antara
orang-orang Tambak Wedi yang berkelahi membabi buta. Setiap kali mereka
mendengar Tambak Wedi membakar nafsu mereka dengan meneriakkan beberapa
kata-kata. Menyusupkan pengertian, bahwa mereka sedang berkelahi untuk
kepentingan kampung halaman. Sedumuk batuk, senyari bumi, totohane pati.
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya kemudian dengan saling memberikan isyarat, melepaskan diri dari setiap
ikatan peperangan yang kacau. Mereka adalah orang-orang yang mengenal padepokan
itu dengan baiknya. Segala sudut dan seginya telah mereka ketahui dengan
saksama. Itulah sebabnya, maka mereka berhasil melenyapkan diri mereka di balik
pagar dinding yang rendah, di belakang garis peperangan itu. Kemudian menyusup
menghilang di dalam gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan diam-diam mereka
meloncat dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain. Mereka sadar, bahwa
sebentar lagi, orang-orang di dalam peperangan itu pasti akan menyadari, bahwa
mereka bertiga telah hilang dari antara mereka.
Setelah beberapa langkah
mereka menghindar, maka segera mereka mencari jalan untuk menembus lingkaran
orang-orang Pajang yang menebar, mengawasi medan dengan amat cermatnya. Tetapi
orang-orang Pajang tidak mengenal padepokan itu sebaik Ki Tambak Wedi.
Orang-orang Pajang tidak mengenal batas-batas rumpun-rumpun bambu yang lebat
dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh di antara dinding-dinding yang bersilang
melintang membatasi setiap halaman.
Dengan demikian, maka akhirnya
ketiganya berhasil menghilang dari peperangan. Untuk sementara tak seorang pun
yang mengetahuinya. Setiap orang di medan peperangan itu sedang di sibukkan
oleh lawan masing-masing. Bahkan kemudian, perang itu menjadi seolah-olah
perang brubuh. Mereka tidak dapat mengenal lawan-lawan mereka seorang demi
seorang. Mereka bertempur bersama-sama dalam pergumulan yang kacau. Mereka
menikam lawan yang dekat dari setiap orang, dan mereka menyerang siapa saja
yang lengah di sekitarnya tanpa pilih. Bahkan orang-orang yang semula
dipersiapkan untuk khusus melawan Ki Tombak Wedi pun tidak berhasil selalu
membayanginya. Sejenak sebelum melarikan diri Ki Tambak Wedi meloncat-loncat
dari satu tempat ke tempat yang lain, hampir menyusur sepanjang halaman. Bahkan
sekali-sekali orang tua itu meloncat pula ke pertempuran yang memanjang di
jalan di muka halaman banjar. Dengan demikian maka orang tua itu hampir
mengitari tidak saja satu halaman, tetapi di mana peperangan berkecamuk, di
situ Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja muncul. Namun apa yang dilakukan itu,
semata-mata sebagai persiapannya untuk menghilang. Dengan demikian, maka
orang-orangnya sendiri maupun lawan-lawannya menganggap bahwa Ki Tambak Wedi
sedang berada di medan yang lain.
Setelah mereka bertiga
berhasil keluar dari pengawasan para prajurit Pajang, maka segera mereka
berlari semakin menjauhi peperangan. Namun tiba-tiba Sidanti berkata, “Guru,
aku harus mengambil Sekar Mirah dahulu sebelum keluar dari padepokan ini.”
“He” Ki Tambak Wedi berkerut.
“Gadis itu harus kita bawa
serta. Banyak manfaatnya. Tidak saja bagiku, tetapi juga bagi kita semua.
Apabila kita kehilangan kesempatan untuk keluar, maka Sekar Mirah akan dapat
kita jadikan alat.”
Ki Tambak Wedi berpikir
sejenak. Kemudian ia bergumam, “Ada untungnya, tetapi ada pula kesulitannya.
Kita tidak akan dapat lari dengan cepat, sebab kita harus membawa gadis itu.
Namun benar juga katamu, bahwa gadis itu pun dapat kita jadikan perisai demi
keselamatan kita.”
“Jadi, bagaimana Guru?”
Ki Tambak Wedi menjadi
ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya dipandanginya Argajaya yang berlari di
sampingnya.
“Bagaimana, Ngger?” bertanya
Ki Tambak Wedi.
“Terserah kepada Kiai” jawab
Argajaya.
“Baiklah. Kita pergunakan
gadis itu sebagai tanggungan. Kecuali itu, aku takut kalau seterusnya kau akan
kehilangan segenap gairah untuk melanjutkan hidupmu, apabila gadis itu lepas
dari tanganmu.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
ia menjadi gembira mendengar ijin gurunya. Karena itu maka mereka pun segera
berlari ke pondok Sekar Mirah.
Sementara itu pertempuran
masih juga berkecamuk dengan dahsyatnya. Namun segera dapat dirasakan bahwa
prajurit Pajang segera akan dapat menguasai keadaan. Mereka segera berusaha
untuk memperpanjang garis peperangan dan memancing orang-orang Jipang dan
Tambak Wedi dalam perkelahian yang lebih luas. Dengan demikian maka lapisan
orang-orang yang bertempur itu menjadi semakin tipis.
Sementara itu, para prajurit
Pajang yang melingkari daerah peperangan itu pun segera menjadi semakin menyempitkan
diri. Seperti sehelai jaring yang besar, mereka merapat tanpa melepaskan
seorang pun dari tangkapan. Tetapi mereka tidak menyadari, justru ikan yang
paling besarlah yang sudah berhasil lolos dari tangan mereka.
Tetapi sisa-sisa yang masih
ada di dalam kepungan itu pasti sudah tidak akan dapat lolos lagi. Semakin
sempit jaring-jaring kepungan prajurit Pajang, maka jarak mereka pun menjadi
semakin rapat. Akhirnya, setiap prajurit Pajang seakan-akan telah merapat yang
satu dengan yang lain. Dalam keadaan yang demikian, seandainya Ki Tambak Wedi
terlambat beberapa lama, maka ia pun pasti tidak akan dapat lolos lagi tanpa
membunuh beberapa orang yang mengepung pertempuran itu.
Semakin dekat kepungan itu,
maka pertempuran itu pun semakin mendekati akhirnya. Prajurit Pajang semakin
mendesak maju, dan orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang payah menjadi
semakin payah. Namun seperti juga Sanakeling, orang-orang Jipang menjadi
seperti orang-orang yang sedang kesurupan. Mereka mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi
Untara, senapati yang berpengalaman itu segera mengenal, bahwa sikap itu adalah
sikap putus-asa. Justru menghadapi orang-orang yang demikian Untara harus
berhati-hati. Orang yang demikian sudah tidak lagi dapat menghitung kalah atau
menang, tidak lagi memikirkan siasat dan cara yang sebaik-baiknya. Tetapi orang
yang demikian hanya cukup berpikir cukup mendapatkan korban sebanyak-banyaknya
yang akan bersama-sama pergi ke lubang kematian.
Demikian juga yang dilakukan
Sanakeling saat itu. Ia sama sekali sudah tidak mengharap bahwa pasukannya
bersama pasukan Tambak Wedi akan dapat memenangkan pertempuran. Secara
naluriah, sebagai seorang senapati, ia dapat merasakan, bahwa pasukannya pasti akan
segera hancur, demikian juga pasukan Tambak Wedi. Dengan demikian, maka sudah
tidak ada lagi gunanya bagi Sanakeling untuk mempertimbangkan kemungkinan
berperang tanding melawan Sidanti. “Kami semuanya akan mati bersama-sama di
sini,” katanya di dalam hati.
Dengan demikian, maka
tandangnya menjadi semakin garang. Ia sudah tidak berpikir apa pun, kecuali
membunuh sebanyak-banyaknya. Kalau mungkin membunuh Untara dan membawanya
bersama-sama menjelang kematian.
Tetapi agaknya Untara tidak
dengan sukarela menyerahkan dirinya. Ia masih mencoba untuk menangkap
Sanakeling hidup-hidup. Tetapi karena tandang Sanakeling, maka tak ada yang
dapat dilakukan kecuali menyelesaikan tugasnya tanpa mempertimbangkan apa yang
akan terjadi atas lawannya. Seandainya ia berhasil melumpuhkan Sanakeling hanya
dengan melukainya, tanpa membunuhnya, adalah lebih baik. Tetapi apabila orang
itu terpaksa mati terbunuh di dalam peperangan, itu adalah kemungkinan yang
sudah diketahuinya. Diketahui oleh Untara dan oleh Sanakeling sendiri.
Dalam pertempuran yang semakin
sengit, maka Untara dan Sanakeling tidak segera mengetahui, bahwa Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya telah hilang dari medan peperangan. Dengan licik mereka
telah mengorbankan orang lain untuk kepentingan mereka. Tanpa pertimbangan-pertimbangan
lain, mereka sengaja bersembunyi di balik bangkai kawan-kawan mereka sendiri.
Pertempuran di sela-sela
pepohonan, dinding-dinding batu dan rumpun-rumpun bambu, ternyata mampunyai
pengaruh tersendiri. Untara dan Sanakeling tidak dapat melihat medan itu secara
keseluruhan atau setidak-tidaknya gambaran yang agak luas, karena terhalang
oleh dedaunan dan batang-batang pepohonan. Namun Untara telah mempercayakan
seluruh pasukannya kepada perwira-perwira bawahannya dan kepada
pemimpin-pemimpin kelompoknya. Ia ingin memusatkan segenap perhatiannya kepada
Sanakeling. Kali ini ia harus dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan
kepadanya oleh Panglima Wira Tamtama Pajang, setelah ia membuat Panglima itu
kecewa di Sangkal Putung. Setelah ia hampir menjerumuskan Ki Gede Pemanahan dan
puteranya Sutawijaya ke dalam kesulitan yang berbahaya. Bahkan tugas yang
diterimanya ini seakan-akan suatu hukuman atas kesalahan dan kekhilafan yang
pernah dilakukannya itu. Sebagai seorang senapati di daerah yang luas, ia
mendapat perintah langsung menangani penangkapan dan penyelesaian orang-orang
Jipang yang berada di Tambak Wedi.
Demikianlah, pertempuran
antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Sanakeling yang putus asa
benar-benar mengamuk seperti serigala yang kelaparan. Menerkam dengan sepasang
senjatanya dengan garangnya, meskipun tubuhnya dan pakaiannya menjadi semakin
dibasahi oleh keringat dan darahnya. Pedang Untara ternyata telah menambah
goresan-goresan luka di tubuh Sanakeling. Semakin lama semakin banyak. Namun
Sanakeling sama sekali tidak menjadi semakin lemah. Tampaknya justru menjadi
semakin garang dan buas. Dalam keputus-asaan ia bertempur, seakan-akan
kesadarannya telah tidak dimilikinya lagi.
Menghadapi orang yang
demikian, Untara harus semakin berhati-hati. Ia telah berhasil mengalahkan
Senapati Jipang yang tangguh tanggon. Raden Tohpati yang bergelar Macan
Kepatihan. Namun Tohpati disaat-saat terakhirnya tidak menjadi gila seperti
Sanakeling dengan kedua jenis senjatanya.
Namun Untara adalah orang yang
cukup mempunyai bekal menghadapi keadaan itu, sehingga lambat laun ia pun
berhasil menguasai keadaan. Setiap kali ia berhasil menekan lawannya dan setiap
kali ia dapat menambah luka di tubuh Sanakeling, dengan harapan orang itu akan
jatuh lemas sebelum terbunuh.
Saat demi saat, pertempuran
itu memanjat ke titik puncaknya. Kini orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang sudah hampir tidak mendapat tempat lagi untuk mempertahankan diri. Medan
peperangan menjadi semakin lama semakin sempit. Untara sudah tidak berusaha
lagi untuk memperluas garis pertempuran, karena orangnya kini cukup banyak
untuk menghadapi lawannya. Bahkan prajurit-prajuritnya telah memaksa
lawan-lawannya untuk berkumpul di satu lingkaran yang semakin sempit.
Sementara itu Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya berlari semakin cepat menyusup gerumbul dan meloncati
pagar-pagar batu. Mereka ingin segera sampai di gubug Sekar Mirah untuk
mengambilnya, dan membawanya sebagai perisai yang hidup.
Sementara itu di gubug tempat
Sekar Mirah disimpan, Swandaru, Agung Sedayu, Wuranta dan Sekar Mirah sedang
bergumul dengan persoalan mereka sendiri. Mereka dicengkam oleh kebingungan dan
ketidakpastian, kenapa tiba-tiba saja suasana perasaan mereka bergetar. Sikap
Wuranta benar-benar menjadi sebab, seakan-akan Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi kehilangan pegangan untuk menghadapinya.
Untuk menghilangkan perasaan
canggungnya, maka Agung Sedayu tiba-tiba membentak kepada kedua orang Tambak
Wedi itu. “He, kenapa kalian diam saja mematung di situ?”
Kedua orang itu pun terkejut.
Anak ini memang anak muda yang aneh bagi mereka. Ketangkasannya hampir tak
dapat dibayangkannya. Bahkan mereka telah mencoba memperbandingkan Agung Sedayu
itu dengan Sidanti.
Dengan cemas kedua orang itu
memandang wajah Agung Sedayu yang tegang. Salah seorang dari mereka itu dengen
nada yang dalam menjawab, “Apakah yang harus, kami lakukan?”
Agung Sedayu tidak segera
dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari bahwa ia berada di
antara lawan-lawannya. Karena itu untuk menjaga setiap kemungkinan yang bakal
terjadi apabila ada orang-orang lain yang datang, maka tiba-tiba ia berkata,
“Aku akan mengikat kalian di sini.”
Wajah kedua orang itu
tiba-tiba menjadi kian menegang. Namun bagi mereka, hal itu akan lebih baik
untuk keselamatan mereka. Apabila Sidanti datang kepada mereka, maka ia akan
melihat, bahwa mereka telah berbuat sesuatu, tetapi mereka tidak mampu.
Jawaban mereka benar-benar telah
mengejutkan Agung Sedayu. Berkata salah seorang dari mereka, “Silahkanlah Tuan,
apabila hal itu baik bagi Tuan.”
“Pengecut!” Agung Sedayu
hampir berteriak, perasaan yang bersimpang siur telah saling mendorong di dalam
hatinya, sehingga menumbuhkan loncatan-loncatan yang kadang-kadang membuat
dirinya sendiri menjadi terkejut.
Kedua orang Tambak Wedi itu
pun terkejut. Tetapi mereka tidak tahu apakah yang sedang bergolak di dalam
dada Agung Sedayu. Kebingungannya menghadapi Wuranta, dan keheranannya melihat
sikap orang-orang Tambak Wedi itu membuatnya menjadi meledak-ledak. Mereka sama
sekali bukan orang-orang yang tidak berdaya. Bahkan salah seorang dari mereka
mampu mengimbangi, bahkan di dalam keadaan yang khusus, di ruang yang sempit,
ia mampu mendesak Wuranta. Namun tiba-tiba mereka dengan tanpa berbuat sesuatu
menyerahkan diri mereka untuk diikat.
Agung Sedayu menganggap sikap
itu sangat memuakkan. Tetapi sebenarnyalah orang-orang Tambak Wedi belum
seluruhnya dapat disamakan ketahanan sikapnya dengan orang-orang Jipang,
prajurit-prajurit Pajang, atau mereka yang pernah mendapat tuntunan khusus
tentang olah kanuragan dan sikap kejantanan. Orang-orang Tambak Wedi, betapa
mereka pernah melatih diri dalam tata perkelahian di bawah tuntunan-tuntunan
orang yang berilmu, namun ketahanan jiwa mereka belum mendapat bentuk yang
serupa di antara mereka. Para pemimpin Tambak Wedi tidak sempat menilai setiap
orangnya satu demi satu. Ada di antara mereka yang dengan gigih bertahan atas
suatu keyakinan, bahwa Tambak Wedi adalah kampung halaman yaug harus
dipertahankan sampai saat terakhir dari hayatnya. Tetapi ada juga yang acuh tidak
acuh, hanyut dalam arus ketamakan para pemimpinnya. Dalam keadaan yang sulit,
maka mereka akan lebih senang memilih keselamatan nyawa mereka dan memeluk
keyakinan yang tidak pernah dapat tertanam dalam-dalam di dalam hati mereka.
Meskipun para pemimpin berusaha membuat orang-orangnya kehilangan nilai
kediriannya, sehingga mereka berpendirian bahwa sikap mereka itulah yang paling
benar.
Kedua orang itu adalah bagian
dari mereka yang belum dapat dibentuk oleh orang-orang Tambak Wedi. Karena itu,
maka keduanya tidak akan bertahan sampai mengorbankan nyawanya, meskipun
keduanya mempunyai beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Tetapi bagaimanapun juga Agung
Sedayu masih tetap menyadari keadaannya. Dengan nanar ditebarkannya pandangan
matanya ke sekeliling ruangan, kalau-kalau dapat ditemukannya tali atau tampar
atau apa pun.
Dan tiba-tiba ia meloncat
beberapa langkah, mendorong sebuah ajug-ajug gendi di sudut rumah itu, kemudian
dengan pedangnya di potongnya beberapa utas tali pengikat dinding sudut. Dengan
tali itu Agung Sedayu pergi mendapatkan kedua orang Tambak Wedi sambil
berdesis, “Berdiri beradu punggung.”
Kedua orang itu tidak
membantah. Mereka segera berdiri beradu punggung. Mereka tahu benar bahwa Agung
Sedayu akan mengikat tangan-tangan mereka dengan tali anyaman bambu dan lulup
batang melinjo yang diambilnya dari sudut rumah itu.
Mereka menyeringai menahan
nyeri ketika tali itu melukai pergelangan tangan mereka. Tetapi mereka tidak
dapat berbuat sesuatu. Hanya mata mereka sajalah yang bergerak-gerak dari
seorang ke orang yang lain yang berdiri di dalam ruangan itu.
Mereka melihat Wuranta berdiri
seperti patung. Betapa wajahnya menegang, tetapi Wuranta sama sekali tidak
bergerak. Namun perasaan di dalam dadanya sajalah yang bergolak seperti angin
prahara. Apa yang dilihatnya itu, semakin membuat hatinya pedih. Wuranta
menyangka bahwa Agung Sedayu sengaja berbuat aneh-aneh untuk menunjukkan
kelebihannya. Seolah-olah Agung Sedayu itu berkata kepadanya dengan sikapnya
itu, “Lihat Wuranta, bukankah aku mampu berbuat seperti ini? Dua orang ini
dapat aku kuasai dengan baik. Apalagi kau seorang diri.”
Namun untuk sesaat, justru
karena getar di dalam dadanya itu Wuranta seolah-olah menjadi beku. Kehilangan
kemampuannya berpikir untuk sesaat. Dengan mata yang hampir tidak berkejap ia
melihat saja apa yang telah terjadi di dalam ruangan itu.
Tetapi tiba-tiba ia menyadari
keadaannya ketika ia mendengar suara derap kaki orang berlari-lari. Semakin
lama semakin dekat. Di antara derap langkah itu didengarnya suara orang
bergeramang.
Bukan saja Wuranta yang
terkejut mendengarnya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu yang baru saja selesai
mengikat orang-orang Tambak Wedi itu pun terkejut pula.
Suara derap itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat. Mereka yang berada di dalam rumah itu pun segera
menyadari bahwa mereka harus menyiapkan diri mereka. Seandainya yang datang itu
orang-orang yang berbahaya bagi mereka, maka mereka pun harus sudah bersiap
untuk menghadapinya.
Perlahan-lahan Swandaru
melepaskan Sekar Mirah. Didorongnya gadis itu menepi sambil berbisik,
“Hati-hatilah Mirah.”
Sekar Mirah mengangguk, namun
hatinya menjadi berdebar-debar ketika suara orang yang datang itu didengarnya,
“Pintunya terbuka sedikit Guru.”
“Mungkin ada orang di dalam”
jawab yang lain. Jawaban itu benar mengejutkan mereka yang ada di dalam rumah
itu. Mereka segera mengenal bahwa suara itu adalah suara Sidanti dan pasti
gurunya itu bernama Ki Tambak Wedi.
Suara langkah orang berlari
itu pun segera berhenti. Yang berada di dalam rumah itu tahu dengan pasti,
bahwa mereka berada di depan rumah itu di samping pintu.
Terdengar Sidanti berkata,
“Mungkin para pengawas.”
“Hati-hatilah” potong gurunya.
Sejenak mereka berdiam diri.
Namun tiba-tiba terdengar Sidanti berteriak, “Siapa di dalam?”
Swandaru dan Agung Sedayu
saling berpandangan, sedang Wuranta berdiri tegang di tempatnya
“Siapa, he?”
Tiba-tiba Agung Sedayu
menjulurkan pedangnya ke arah leher tawanannya yang diikat sambil berdesis di
dalam mulutnya, “Jawab.”
Kedua orang itu menjadi
ragu-ragu. Tetapi pedang Agung Sedayu semakin menekan lehernya.
“Siapa?” kembali Sidanti
berteriak.
Dari luar Sidanti mendengar
suara tergagap, “Aku. Aku, Tuan.”
“He?” Sidanti semakin
berteriak, “kau pengawas yang mendapat tugas di sini?”
“Ya. Ya, Tuan.”
Sidanti telah mengenal suara
itu. Karena itu maka tiba-tiba kemarahannya terungkat sampai ke ubun-ubun. Ia
menyangka bahwa para pengawas mempergunakan kesempatan pertempuran di banjar
untuk melakukan perbuatan yang jahat, seperti apa yang akan dilakukan Alap-Alap
Jalatunda. Karena itu tiba-tiba saja, seperti orang gila Sidanti meloncat
masuk, melanggar uger-uger pintu sehingga berderak roboh.
“Setan!” teriaknya. “Kau akan
mati juga seperti Alap-Alap Jalatunda.”
Agung Sedayu yang berada di
dalam rumah itu telah bersiap sepenuhnya. Ia telah memperhitungkan bahwa
Sidanti pasti akan memasuki rumah itu, tetapi ia tidak menyangka bahwa anak
muda itu akan melanggar uger-uger sehingga roboh. Beberapa potong bambu yang
menyilang di atas pintu itu pun rontok menimpa Sidanti, tetapi sama sekali
tidak dihiraukannya. Namun karena itu, maka untuk sejenak Agung Sedayu tertegun
karenanya.
Ketika Sidanti kemudian
melihat siapa yang berada di dalam rumah itu, maka darahnya menjadi serasa
berhenti mengalir. Sesaat ia tegak seperti patung. Mulutnya bergetar, namun tak
sepatah kata pun terloncat dari bibirnya. Dengan gemetar ia menatap Agung
Sedayu seperti melihat hantu. Kemudian dipandanginya wajah Swandaru yang bulat.
Pertemuan itu begitu tiba-tiba
sehingga kedua belah pihak kehilangan kesadarannya untuk sekejap. Masing-masing
berdiri saja di tempatnya. Namun sorot mata merekalah yang lebih dahulu
berbicara. Dendam dan kebencian yang tersimpan di dalam dada, seakan-akan
tertumpah seluruhnya lewat tatapan mata masing-masing.
Sejenak kemudian, tiba-tiba
ketegangan itu sekali lagi dipecahkan oleh peristiwa yang tidak terduga. Tak
seorang pun yang menyangka bahwa peristiwa itu akan terjadi.
Wuranta agaknya telah
benar-benar ditelan oleh perasaannya, sehingga ia sudah tidak mampu lagi
berpikir bening. Terdorong oleh berbagai macam perasaan yang bergolak di dalam
dadanya, serta dugaannya yang keliru tentang Agung Sedayu, maka tiba-tiba anak
muda itu telah berbuat hal yang tidak menguntungkannya.
Ia merasa bahwa Agung Sedayu
seolah-olah telah menghinanya dengan mempertunjukkan berbagai macam kelebihan.
Sehingga karena dorongan harga dirinya, setelah ia merasa seakan-akan tidak
berharga lagi di hadapan Sekar Mirah dalam olah ketrampilan sebagai seorang
laki-laki, maka tiba-tiba timbullah kenekatan di hatinya. Itulah sebabnya, maka
ia telah berbuat tanpa pertimbangan.
Ketika Sidanti masih berdiri
membeku memandangi Swandaru dan Agung Sedayu berganti-ganti, tiba-tiba Wuranta
meloncat menyerangnya. Pedangnya terjulur lurus langsung menusuk lambung
Sidanti. Tetapi Wuranta sama sekali tidak mengingat, bahwa Sidanti sama sekali
bukan kanak-kanak lagi. Apalagi anak muda itu masih juga menggenggam pedang di
tangannya.
Betapa pun Sidanti dicengkam
oleh rasa terkejut, namun dengan gerak naluriah ia bergeser ke samping. Dengan
sepenuh tenaganya maka dipukulnya pedang Wuranta. Sidanti tidak perlu
mengulangi lagi. Pedang itu pun terpelanting beberapa langkah daripadanya.
Bahkan Wuranta sendiri terdorong ke samping beberapa langkah karena tarikan
kekuatannya sendiri dan pukulan pedang Sidanti yang telah melepaskan pedangnya.
Kini Wuranta berdiri
terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya.
Dadanya tiba-tiba berdesis ketika ia melihat dengan penuh kemarahan Sidanti
berteriak, “Kau tikus Jati Anom. Kenapa kau masih hidup dan berada di sini
pula? Tetapi memang sudah menjadi garis nasibmu. Kau harus mati hari ini.”
Wuranta yang masih belum
menemukan keseimbangan sepenuhnya itu hanya dapat memandang saja apa yang akan
dilakukan oleh Sidanti yang sedang dibakar oleh kemarahannya.
Maka sekali lagi Agung Sedayu
dan Swandaru melihat, Wuranta berada dalam kesulitan. Sidanti yang garang itu
pasti sudah tidak akan melepaskannya lagi. Apabila mereka membiarkannya, maka
Wuranta pasti akan benar-benar dibunuhnya.
Sejenak Agung Sedayu dilanda
oleh kebimbangan. Baru saja ia dibingungkan oleh sikap Wuranta, karena ia
berusaha menolongnya. Dan kini Wuranta berada dalam keadaan yang serupa.
Tetapi Agung Sedayu tidak akan
sampai hati melihat pedang Sidanti menghunjam ke dalam dada Wuranta. Maka tanpa
mempedulikan lagi apa yang akan dilakukan Wuranta atasnya, maka sekali lagi Agung
Sedayu berusaha menolongnya.
Namun kini yang menyerang
Wuranta bukan sekedar seorang pengawal padepokan Tambak Wedi. Tetapi yang
menyerang itu adalah Sidanti. Karena itu maka Agung Sedayu tidak berani berbuat
dengan tergesa-gesa. Ia harus mempertimbangkan kekuatan Sidanti.
Tenryata Agung Sedayu tidak
mendapat kesempatan lebih lama lagi. Sejenak kemudian ia melihat Sidanti dengan
mata yang menyala berteriak, “Kaulah yang pertama-tama aku bunuh di dalam rumah
ini di antara kalian.”
Wuranta tidak dapat berbuat
sesuatu. Tetapi ternyata hatinya cukup tabah. Anak muda itu sama sekali tidak
menjadi ketakutan melihat Sidanti siap menerkamnya dengan ujung pedang. Wuranta
telah menyiapkan dirinya untuk menerima ujung pedang itu dengan dadanya.
Seandainya ia harus mati, maka kesan yang ditinggalkannya adalah kesan yang
dapat membuatnya berbangga. Meskipun ia tidak setrampil Agung Sedayu, tetapi ia
bukan seorang pengecut. Mudah-mudahan Sekar Mirah dapat menangkap api yang
tersirat pada sikapnya itu.
Tetapi sekali lagi Wuranta
harus melihat Agung Sedayu berusaha menolongnya. Kali ini Agung Sedayu tidak
berani langsung melawan pedang Sidanti. Tetapi untuk mengurungkan serangan
Sidanti yang langsung dapat berarti maut itu. Agung Sedayu dengan garangnya
menyerangnya pula. Seperti Sidanti, maka Agung Sedayu pun berteriak nyaring,
“Sidanti, aku dapat lebih cepat daripadamu. Ternyata kaulah yang mati
pertama-tama.”
Sidanti terperanjat melihat
sikap Agung Sedayu. Suaranya telah membuat hati Sidanti berdesir. Apalagi
ketika ia melihati ujung pedang Agung Sedayu langsung mengarah ke ulu hatinya.
Tak ada cara lain kecuali
menangkis pedang Agung Sedayu itu. Tetapi Sidanti tidak ingin melepaskan
korbannya. Karena itu maka ia berusaha untuk melakukan keduanya. Membunuh
Wuranta dan kemudian menangkis serangan Agung Sedayu.
Namun waktu terlampau sempit,
sehingga Sidanti tidak dapat melakukan rencananya dengan sempurna. Pedangnya
kemudian tidak lagi terjulur lurus, tetapi pedang itu terayun dengan cepatnya.
Ia ingin menyobek dada Wuranta dan langsung memukul pedang Agung Sedayu.
Yang terdengar kemudian adalah
desah Wuranta tertahan, disusul oleh dentang kedua pedang beradu. Wuranta
ternyata terdorong beberapa langkah surut. Apabila ia tidak membentur dinding
bambu maka ia pasti akan terpelanting jatuh. Kedua tangannya tertekan di
dadanya. Dan dari sela-sela jari-jari tangannya itu mengalir darah yang merah
segar.
Namun ternyata Sidanti yang
tidak sepenuhnya dapat melawan tenaga Agung Sedayu itu pun terdorong beberapa
langkah mundur. Betapa kemarahan membayang di wajahnya sehingga wajah itu
seolah-olah telah membara. Tetapi ketika ia melihat darah di dada Wuranta, maka
ia masih juga dapat tertawa sambil berteriak.
“Nah, salahmulah kalau kau
hari ini diterkam maut.”
Wuranta memandang Sidanti
dengan mata yang memancarkan kebencian. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak, dan
terdengarlah ia berkata perlahan-lahan, “Lukaku tidak seberapa Sidanti.”
“Persetan!” teriak Sidanti.
“Tetapi kau akan mati. Kau akan mati. Kalau tidak oleh lukamu itu, maka sesudah
aku membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, maka akan datang juga giliranmu.”
Wuranta tidak menjawab tetapi
bibirnya masih juga bergetar. Yang terdengar adalah suara Swandaru tertawa
menyakitkan hati. Katanya, “Sidanti, kau masih juga sempat menyombongkan
dirimu. Aku sekarang bukan Swandaru yang akan berdiam dirinya ditampar
mulutnya. Aku sekarang mempunyai kesempatan yang serupa dengan kau.”
“O, jangan membual kau kerbau
bodoh” sahut Sidanti. “Ayo, majulah kalian berdua, aku sudah siap.”
Agung Sedayu masih belum
menjawab sepatah kata pun. Sekilas ia memandangi wajah Wuranta yang menyeringai
menahan sakit. Tetapi menurut penilaian Agung Sedayu, luka itu tidak akan
membahayakan jiwanya, seandainya Wuranta tidak kehabisan darah. Diam-diam Agung
Sedayu mengharap kehadiran Ki Tanu Metir. Bukan karena ia cemas menghadapi
lawan-lawannya, tetapi Ki Tanu Metir akan dapat menolong Wuranta yang terluka
itu.
Sebelum seorang pun menjawab,
maka terdengar suara di luar pintu, “Siapakah orang-orang itu Sidanti?”
Ketika mereka yang berada di
dalam rumah itu berpaling, maka yang mereka lihat adalah Argajaya dan Ki Tambak
Wedi berdiri sambil memandang mereka yang berada di dalam rumah itu dengan
marahnya.
“Guru,” sahut Sidanti,
“ternyata di sini ada tikus-tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung
bersama-sama.”
“O,” Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya, “ternyata kalian telah berada di sini pula.”
Agung Sedayu, Swandaru, Sekar
Mirah, dan Wuranta seakan-akan membeku di tempatnya melihat orang tua itu
berdiri dengan wajah yang membayangkan kemarahan yang telah membakar
jantungnya.
Apalagi ketika mereka
mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata, “Sidanti, jangan kau perturutkan
perasaanmu. Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Karena itu, supaya
semua dapat selesai dengan cepat, biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Aku
akan membunuh mereka bertiga, dan sementara itu bawa gadis itu pergi.”
Kata-kata itu cukup tegas dan
pasti. Tak akan ada orang yang dapat menghalangi Ki Tambak Wedi berbuat
demikian. Memang Ki Tambak Wedi akan dapat menyelesaikannya dengan cepat.
Tetapi yang berada di dalam
gubug itu bukan hanya tiga ekor tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi
mereka cukup jantan yang mempunyai harga diri sebagai seorang laki-laki. Karena
itu maka Agung Sedayu menjawab, “Ki Tambak Wedi. Kalau Kiai akan melakukan hal
itu, maka Kiai akan segera dapat menyelesaikan. Dan biarlah murid Kiai dan
pamannya itu melihat, bahwa ternyata Ki Tambak Wedi adalah seorang pahlawan
yang berani. Tetapi murid Kiai sendiri sama sekali tidak mempunyai keberanian
dan kemampuan berbuat sesuatu.”
Betapa kata-kata itu menusuk
jantung Sidanti. Dengan lantang ia berteriak, “Cukup! Aku mampu membunuhmu
dengan tanganku.”
“Jangan hiraukan Sidanti,”
potong Ki Tambak Wedi, “orang itu sengaja membakar perasaanmu supaya ia
mendapat waktu untuk menunggu bantuan dari orang-orang Pajang. Dengarkan aku.
Aku akan membunuhnya. Kita perlu menghemat waktu. Nah, sekarang keluarlah.”
Terdengar gigi Sidanti
gemeretak. Betapa ia merasa tersinggung mendengar kata-kata Agung Sedayu.
Apalagi ketika kemudian terdengar Swandaru tertawa mengejeknya sambil berkata,
“Keluarlah Sidanti, supaya kau tidak menjadi pingsan mendengar aku dan Kakang
Agung Sedayu berteriak ketakutan, dan melihat darah yang memancar dari leher
kami.”
“Tutup mulutmu,” Sidanti
berteriak semakin keras, “aku masih sanggup mencekikmu sampai mati.”
“Tetapi kau tidak akan
mendapat kesempatan untuk melakukannya. Juga pamanmu itu” sahut Swandaru.
“Bukankah begitu Argajaya yang perkasa? Apakah kau masih ingat kepada kami yang
menjadi saksi betapa kau sama sekali tidak berdaya menghadapi anak muda
pengawal Kademangan Sangkal Putung yang bernama Sutajia.”
“Diam!” Argajaya pun
berteriak. Tetapi Ki Tambak Wedi berteriak lebih keras, “Cukup! Cukup. Ayo, kau
keluar Sidanti. Jangan hiraukan igauan mereka. Aku akan segera membunuhnya.”
Sidanti tidak dapat berbuat
lain dari menuruti perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu.
Sekali ia berhenti dan berpating memandangi wajah-wajah di dalam gubug itu.
Wajah Agung Sedayu, Swandaru, Wuranta, dan Sekar Mirah.
“Jangan cemaskan gadis itu,”
bentak Ki Tambak Wedi yang sudah tidak bersabar lagi, “ia akan selamat dan kau
dapat membawanya setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.”
“Baik, Guru” sahut Sidanti
perlahan-lahan sambil meninggalkan ruangan itu. Tetapi ia masih juga berhenti
ketika ia mendengar suara tertawa Agung Sedayu, “Nah, keluarlah anak manis.
Dengarlah ibu akan berdendang supaya kau segera tidur di pangkuannya.
“Gila, gila!” teriak Sidanti.
Tetapi disusul oleh suara Ki Tambak Wedi, “Kau yang gila Sidanti. Cepat
keluar!”
Sidanti tidak sempat berbuat
apa-apa lagi ketika ia merasa sebuah tarikan yang kuat di lengannya. Ternyata
Ki Tambak Wedi telah benar-benar kehilangan kesabaran. Didorongnya Sidanti
keluar sehingga anak itu hampir jatuh terjerembab.
“Nah, membuallah untuk yang
terakhir kali” geram Ki Tambak Wedi. “Setelah ini kau akan diam untuk
selamanya. Dan Sekar Mirah akan ikut dengan kami meninggalkan padepokan ini.”
Kali ini terdengar jerit gadis
itu melengking tinggi, “Tidak! Aku tidak mau. Lebih baik kau membunuh aku sama
sekali bersama orang-orang lain di dalam rumah ini.”
“Itu bukan urusanku,” sahut Ki
Tambak Wedi, “mintalah kepada Sidanti nanti sesudah aku selesai.”
“Tidak! Tidak!” Sekar Mirah
memekik-mekik.
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah
tidak menghiraukannya. Kini ia berjalan perlahan-lahan memasuki rumah itu.
Melangkahi tlundak dan berhenti sejenak. Di tangannya ternyata tergenggam
senjata ciri kebesaran padepokan Tambak Wedi. Nenggala.
Diputarnya pandangan matanya
di sekeliling ruangan. Dilihatnya Wuranta dengan lemah bersandar dinding.
Darahnya masih juga menetes dari luka di dadanya. Meskipun luka itu tidak
terlampau dalam, tetapi darah yang keluar itulah yang berbahaya baginya.
“Tanpa kusentuh kau sudah akan
mati” gumam Ki Tambak Wedi. “Dengan membiarkan kau tidur di sini sehari ini,
kau sudah tidak akan mendapat kesempatan bangun lagi karena kehabisan darah.”
Wuranta tidak menjawab.
Mulutnya serasa membeku melihat semua yang terjadi di sekitamya.
Tetapi sekali lagi mereka
terkejut. Mereka mendengar derit kecil di sudut rumah itu. Ketika mereka
berpaling, mereka melihat sesosok tubuh meluncur masuk ke dalam lewat dinding
yang terbuka di sudut. Hanya sekejap. Dan sekejap kemudian mereka telah melihat
tubuh itu tegak berdiri. Tampaklah oleh mereka sebuah wajah yang tersenyum
sambil berkata. “Permainan di sini agaknya lebih menarik daripada di banjar
itu. Karena itu aku memilih ikut bermain-main di sini saja.”
“Setan Alas!” Ki Tambak Wedi
berteriak dengan penuh kemarahan ketika ia menyadari siapakah yang berdiri di
luar rumah itu. Di tangan orang itu tergenggam sebuah cambuk yang bertangkai
pendek tetapi berjuntai panjang. Juntainya masih tergulung, dan berada di dalam
genggaman tangan yang lain.
“Selamat bertemu lagi, Kiai”
berkata orang itu sambil membungkuk hormat.
“Persetan akan kedatanganmu.
Kau hanya akan menyaksikan orang-orang ini mati terbunuh.”
“Aku tahu bahwa kau
bersungguh-sungguh. Senjata di tanganmu yang bukan hanya sekedar gelang-gelang
besi menyatakan bahwa kau tidak sedang bermain-main. Senjata itu biasanya
berada di tangan muridmu setelah senjatanya tertinggal di Sangkal Putung.
Tetapi kini kau telah menggenggamnya, tidak sekedar tergantung di lambungmu, di
dalam selongsongnya. Mungkin karena muridmu baru saja menyelesaikan perang
tanding, dan senjata itu tidak diperlukannya. Tetapi bahwa senjata itu berada
di tanganmu adalah sangat membahayakan sekali. Karena itu aku terpaksa membawa
cambukku ini pula. Mudah-mudahan kita tidak akan terganggu lagi kali ini.”
Ki Tambak Wedi menggeram
mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Kata-kata itu tegas dan langsung menyentuh
dinding jantungnya. Tantangan Ki Tanu Metir agaknya juga tidak hanya sekedar
bersenda-gurau.
Betapa kemarahan menyala di dada
Ki Tambak Wedi. Kehadiran Ki Tanu Metir benar-benar telah mengganggunya. Tetapi
kini ia telah berdiri berhadapan sehingga sulitlah untuk menghindari
tantangannya itu.
Sejenak Ki Tambak Wedi tidak
menjawab. Dipandanginya wajah Ki Tanu Metir yang tenang tetapi dalam, kemudian
wajah Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh dan Swandaru Geni yang gemuk.
“Kau dapat membawa muridmu dan
pamannya serta,” berkata Ki Tanu Metir, “tetapi apabila tidak kau kehendaki,
maka biarlah mereka menjadi saksi. Kedua muridku pun tidak akan mengganggumu.
Bagaimana?”
Dada Ki Tambak Wedi serasa
akan bengkah mendengarnya. Namun ia masih harus mempertimbangkan segala
kemungkinan. Di dalam padepokan itu Untara dan pasukannya seakan-akan telah
melanda seperti banjir bandang yang tidak akan dapat dibendung lagi.
Tetapi Sidanti yang melihat
kehadiran Ki Tanu Metir dan mendengar tantangannya di luar pintu berteriak,
“Baiklah kami terima tantangan itu Guru. Aku memang ingin membelah dada Agung
Sedayu dan Swandaru. Biarlah Sekar Mirah menjadi saksi, bahwa kedua laki-laki
itu sama sekali tidak berarti. Terutama Agung Sedayu itu.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menggeram. Ia pun menyadari bahwa kini ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
Sidanti masih ada Argajaya. Mungkin perbedaan keseimbangan yang kecil, akan
sangat berarti dalam keadaan serupa itu. Mungkin Argajaya mempunyai sedikit
kelebihan atas salah seorang kedua murid Ki Tanu Metir atau mungkin Sidanti
sendiri.
Karena itu, maka tidak ada
kesempatan untuk berbuat lain daripada menjawab, “Baiklah Kiai Gringsing.
Tantanganmu aku terima. Tentang murid-muridmu dan muridku serta pamannya.
Biarlah mereka menentukan sikap mereka sendiri. Kalau mereka ingin bertempur,
biarlah mereka mencoba diri, apakah ilmu keturunan perguruan Tambak Wedi lebih
baik dari perguruan Kiai Gringsing.”
“Bagus, bagus,” sahut Kiai
Gringsing, “marilah kita berbuat seperti orang-orang yang sudah pikun. Kita
pilih tempat yang luas, tidak di dalam gubug yang sempit, supaya kita
masing-masing mendapat kesempatan leluasa untuk berbuat apa saja sesuai dengan
kegemaran orang tua-tua.”
Ki Tambak Wedi terdiam sesaat.
Ia menggenggam senjata yang pendek. Baginya tempat yang sempit mempunyai
kemungkinan yang lebih baik daripada cambuk Ki Tanu Metir. Tetapi di dalam
tempat yang sempit, apabila tiba-tiba pasukan Untara itu meluas sampai ketempat
ini, maka sangat sulitlah baginya untuk melepaskan diri. Ia juga tidak akan
dapat mengawasi murid dan pamannya, serta memberinya isarat apa pun, karena
mereka pasti akan berkelahi di luar.
Dengan demikian maka Ki Tambak
Wedi itu pun menjawab, “Baiklah, Kiai. Tantangamnu aku terima penuh. Aku
bersedia berkelahi di luar meskipun bagiku di dalam ruangan yang sempit telah
menguntungkan. Bukankah kau tidak berani bertempur di dalam karena jenis senjata
itu? Kau memerlukan tempat yang cukup luas, supaya juntai cambukmu tidak
tersangkut dinding.”
Ki Tanu Metir tertawa
mendengar jawaban Ki Tambak Wedi itu. Katanya, “Jangan seperti kanak-kanak,
Kiai. Alasan semacam itu adalah alasan bagi anak-anak cengeng. Kalau seandainya
kau merasa mendapat keuntungan berkelahi di dalam, marilah kita berkelahi di
dalam ruangan ini. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Cambukku pun tidak akan
terganggu pula, sebab cambukku adalah senjata yang telah aku kenal sejak bertahun-tahun,
sehingga sifat-sifatnya pun aku kenal dengan baik seperti engkau mengenal jenis
senjatamu yang mengerikan itu.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi
semakin merah mendengar jawaban itu. Sahutnya hampir berteriak, “Jangan banyak
bicara lagi. Aku tunggu kau di luar bersama kedua muridmu.”
“Baik. Di luar udaranya cerah
dan angin membuat tubuh kita menjadi segar. Kesempatan untuk lari pun lebih
luas terbuka. Seandainya salah satu pihak dari kita merasa tidak mampu lagi
untuk melawam, maka kita akan dapat segera meloncat meninggalkan gelanggang.
Tetapi di dalam ruangan yang sempat ini, kesempatan itu hampir tidak ada.”
“Persetan! Jangan mengigau
lagi” kini Ki Tambak Wedi benar-benar berteriak. Ia tidak lagi menunggu jawaban
Kiai Gringsing. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke luar. Dan dengan garangnya
berdiri bertolak pinggang di halaman, di samping muridnya. Namun ia sempat berbisik,
“Kalau pasukan Untara datang kemari, kita harus meninggalkan tempat ini.”
“Bagaimana dengan Sekar
Mirah?” bertanya Sidanti perlahan.
“Kita melihat perkembangan
keadaan. Tetapi setan itu benar-benar mengganggu.”
Dada Sidanti menjadi pepat
mendengar jawaban gurunya. Kehadiran Kiai Gringsing benar-benar telah membuat
jantungnya hampir meledak. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan, bahwa
mengalahkan orang-orang itu bukan pekerjaan yang terlampau mudah. Mungkin
Sidanti dan Argajaya mempunyai beberapa kelebihan dari kedua murid Kiai
Gringsing. Namun kedua orang itu pun masih memerlukan waktu untuk
mengalahkannya.
Kiai Gringsing pun segera
melangkah menyusul Ki Tambak Wedi, keluar rumah. Tetapi langkahnya tertegun
ketika ia melihat Wuranta. Orang tua itu melihat luka di dada anak muda itu,
dan ia melihat darah masih saja menetes dari luka itu. Maka Kiai Gringsing pun
segera mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. “Inilah,
Ngger,” berkata orang tua itu, “di dalam bumbung ini ada bubuk yang dapat kau
pakai untuk menahan darah itu. Taburkanlah bubuk itu sedikit saja pada lukamu.
Mudah-mudahan luka itu tidak akan mengeluarkan darah lagi. Tetapi jangan
terlampau banyak bergerak. Sisanya, tolong simpanlah dahulu.”
Wuranta masih saja berdiri
seperti tonggak. Ditatapnya saja Kiai Gringsing seperti baru dilihatnya kali
itu. Tetapi ketika tangan Kiai Gringsing terjulur menyerahkan bumbung kecil,
maka seperti bukan kehendaknya sendiri, Wuranta pun menerima.
“Jangan kau sia-siakan
waktumu” berkata Ki Tanu Metir. “Cepat, usahakan lukamu itu tidak lagi
mengeluarkan darah supaya kau masih cukup mempunyai kekuatan untuk kembali ke
Jati Anom.”
Wuranta kini mengangguk.
Kata-kata Ki Tanu Metir itu seperti sebuah pesona yang tidak dimengertinya.
Namun terasa bahwa tak ada cara lain baginya daripada memenuhinya.
“Mudah-mudahan obat itu
menolong” gumam Ki Tanu Metir. “Kemudian awasilah Sekar Mirah. Mungkin masih
ada bahaya yang mengintainya. Kami akan berusaha untuk menghindarkannya dari
tangan Sidanti dan gurunya.”
Tanpa sesadarnya Wuranta
mengangguk.
“Nah, aku akan melayani Ki
Tambak Wedi,” guman Ki Tanu Metir sambil melangkah meninggalkan anak muda itu.
Sampai di muka pintu ia berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri menggigil di
belakang Swandaru Geni. Di sisi dinding yang lain ia melihat Agung Sedayu.
Sedang kedua orang Tambak Wedi yang terikat tanganya masih berdiri beradu
punggung.
“Marilah,” berkata Ki Tanu
Metir,” kalian mempunyai pekerjaan. Di luar ada dua orang yang menunggu kalian
selain Ki Tambak Wedi. Menurut penilaianku maka kau berdua, Angger Swandaru
Geni dan angger Agung Sedayu akan dapat melayaninya apabila dikehendaki. Tetapi
dengarlah nasehatku. Keduanya adalah orang-orang yang tangguh tanggon. Kalau
mereka ingin bertempur pula, maka bagi Angger Agung Sedayu, lebih baik memilih
Angger Sidanti untuk mendapatkan keseimbangan, sedang Angger Swandaru dapat
melayani tamu paman Angger Sidanti itu.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir bersamaan mereka menyahut, “Baik, Kiai.”
“Ingat-ingatlah.”
Sekali lagi keduanya
menganggukkan kepala mereka. Kalau gurunya berpesan, itu bukannya tidak berarti
bagi mereka keduanya.
Dan keduanya menyadari, bahwa
pesan itu harus dijalani. Gurunya pasti mempunyai perhitungan-perhitungan
tersendiri atas kekuatan mereka masing-masing. Sebab mau tidak mau, harus
diakui bahwa kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu pun masih berselisih beberapa
lapis tipis.
Ki Tanu. Metir itu mengangkat
kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi membentak, “Cepat sedikit Kiai!
Aku sudah tidak sabar lagi. Kau tidak perlu banyak berpesan kepada
murid-muridmu. Pesan itu sama sekali tidak akan berarti. Sebab kau dan
murid-muridmu sebentar lagi sudah akan terbunuh di sini.”
“Baik, Ki Tambak Wedi. Baik.
Aku akan cepat datang.” Kiai Gringsing itu segera melangkah keluar ketika ia
melihat Ki Tambak Wedi menebarkan pandangan matanya ke sekeliling halaman.
Sebagai seorang yang berpengalaman, maka segera ia menangkap apa yang tersirat
di hati orang tua yang selama ini menghantui lereng Gunung Merapi.
“Apakah kau sedang mencari
sesuatu, Kiai?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku hanya tidak sabar lagi
menunggumu. Apakah kau sedang mengulur waktu?”
“Tidak, aku memang harus
segera mulai. Bukankah kau sedang mencari jalan keluar? Seharusnya kau tidak
perlu lagi mencari, bukankah daerah ini kau kenal dengan baik?”
“Cukup!” potong Ki Tambak Wedi
lantang. “Ternyata memang kau ajari muridmu untuk membual. Ayo, bersiaplah kita
akan segera mulai.”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Kini wajahnya yang biasanya selalu dihiasi dengan senyumnya yang
jernih, tampak, menjadi bersungguh-sungguh. Orang tua itu melihat wajah Ki
Tambak Wedi yang menyala. Menghadapinya kini sama sekali bukan permainan yang
dapat dianggap ringan. Ia harus bersungguh-sungguh pula seperti Ki Tambak Wedi.
Sementara itu Agung Sedayu dan
Swandaru telah keluar pula dari dalam rumah. Tak ada pesan yang mereka ucapkan
kepada Wuranta. Tiba-tiba saja hubungan mereka menjadi sangat kaku. Mereka
ingin berkata seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tanu Metir. Menitipkan Sekar
Mirah kepadanya. Tetapi Wuranta sama sekali tidak memandang mereka ketika
mereka melangkahi tlundak pintu. Bahkan kemudian Sekar Mirah pun berdiri saja
membeku. Sekali ia mencoba mencuri pandang ke arah wajah Wuranta yang pucat.
Tetapi Wuranta melemparkan pandangan matanya jauh menembus pintu ke luar. Ia
sama sekali tidak tertarik pada beberapa orang yang berdiri di luar pintu.
Tetapi sorot matanya hinggap pada hijaunya dedaunan di kejauhan. Ditatapnya
sinar matahari yang seolah-olah menari-nari pada ujung pepohonan. Angin yang
lembut berhembus membelai ranting-ranting yang bergerak-gerak di bawah bayangan
yang seolah-olah berloncatan dari daun ke daun.
“Alangkah nikmatnya menghayati
sinar matahari yang cemerlang” desisnya di dalam hati.
Tiba-tiba Wuranta teringat
kepada obat yang digenggamnya. Perlahan-lahan tangannya yang gemetar membuka
sumbat bumbung kecil itu. Ditaburkannya beberapa berkas serbuk di tangannya
yang merah karena darah. Kemudian diulaskannya taburan itu pada luka di
dadanya. Terasa pada lukanya seolah-olah dijalari oleh perasaan yang dingin.
Setelah bumbung itu
disumbatnya kembali, maka tanpa disengaja matanya hinggap pada wajah Sekar
Mirah yang tunduk. Terasa dadanya bergetar. Gadis itu masih saja berdiri kaku
di tempatnya. Seperti dirinya sendiri yang sama sekali belum beranjak selangkah
pun. Sedang di luar beberapa orang laki-laki telah bersiap untuk bertempur.
Wuranta terkejut ketika ia
mendengar gemeletarnya suara cambuk. Terasa dadanya berdesir. Suara cambuk itu
telah membuat tulang-tulang iganya seolah-olah akan rontok. Apalagi ketika
suara itu disusul oleh pekik kecil Sekar Mirah yang ketakutan.
Sejenak Wuranta menjadi
bingung. Hampir-hampir ia meloncat mendekati Sekar Mirah dan menenteramkan hati
gadis itu supaya ia menjadi tidak terlampau takut. Tetapi niat itu tidak pernah
dilakukannya. Bukan karena lukanya yang membahayakan jiwanya. Sebab luka itu
dalam keadaan yang demikian seakan-akan tidak lagi terasa begitu pedih. Namun
ada perasaan yang lain yang mencegahnya untuk mendekati Sekar Mirah. Dan
perasaan itulah yang kini terasa sakit.
Ketika ia memandangi Sekar
Mirah sekali lagi, maka dilihatnya wajah gadis itu amat pucatnya, dan bahkan
tubuhnya menjadi gemetar. Lewat lubang pintu yang miring, gadis itu melihat
bayangan Ki Tambak Wedi dan Ki Tanu Metir sambar-menyambar. Bahkan kemudian
suara cambuk Kiai Gringsing itu ternyata tidak hanya menggeletar satu kali,
tetapi dua kali, tiga kali dan berulang kali.
Sekar Mirah akhirnya tidak
tahan lagi. Tiba-tiba ia duduk dengan lemahnya di atas tanah. Sekali-sekali
dilontarkannya pandangan matanya kepada Wuranta, seolah-olah minta anak muda
itu menemaninya. Tetapi Sekar Mirah pun tiba-tiba menjadi segan dan bingung
menghadapinya.
Di dalam ruangan itu, kedua
orang Tambak Wedi masih saja terikat erat-erat. Sekilas mereka memandang
Wuranta yang lemah, kemudian Sekar Mirah yang pucat. Tetapi mereka sendiri
kemudian menjadi gemetar pula mendengar suara lecutan yang dahsyat di luar
rumah.
Ternyata Ki Tanu Metir dan Ki
Tambak Wedi sudah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Perkelahian antara
dua orang yang jarang-jarang dicari tandingannya.
Sementara itu Sidanti dan
Argajaya pun telah bersiap pula menghadapi kedua murid Kiai Gringsing. Tetapi
sejenak mereka terpesona melihat pertempuran yang dahsyat itu. Mereka melihat
senjata ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi menyambar-nyambar seperti seribu
tatit yang melonjak-lonjak di udara menyerang Kiai Grngsing dari segala arah.
Tetapi kemudian mereka melihat Kiai Gringsing mengambil jarak beberapa langkah.
Dan bergetarlah udara di atas padepokan Tambak Wedi karena ledakan cambuk Kiai
Gringsing. Ledakan cambuk yang seolah-olah ledakan guruh yang menyusul sambaran
kilat yang mendahuluinya. Dan cambuk itu pun kemudian berputar melampaui
kecepatan baling-baling yang ditiup angin prahara. Bergulung-bergulung melanda
hantu yang selama ini merajai lereng Merapi.
Tetapi nenggala Ki Tambak Wedi
pun seolah-olah memiliki mata tujuh kali lipat tajam mata manusia. Betapa
rapatnya putaran cambuk Kiai Gringsing, namun senjata yang runcing di kedua
ujungnya itu mampu menyusup, untuk mematuk tubuh Ki Tanu Metir. Namun Ki Tanu
Metir pun cukat seperti sikatan. Sehingga setiap kali serangan masing-masing
tidak menyenluh sasarannya.
Pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin dahsyat, seperti angin pusaran di musim peralihan. Berputaran
mengerikan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
memperhatikan pertempuran itu dengan dada berdebar-debar. Mereka sering melihat
gurunya bergerak-gerak dengan lincah dalam latihan-latihan hampir setiap hari.
Tetapi perkelahian kali ini agaknya telah memeras hampir segenap kemampuan
orang tua itu sehingga tata geraknya menjadi semakin cepat dan lincah.
Tetapi kedua anak muda itu
segera menyadari keadaannya ketika mereka melihat Sidanti dan Argajaya telah
siap menerkam mereka dengan senjata masing-masing. Kali ini Argajaya telah
bersiap dengan tombak pendeknya, sedang Sidanti menggenggam pedang.
“Kau tidak akan dapat lari
lagi” desis Sidanti.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi mengingat pesan gurunya segera ia menempatkan diri untuk melawan murid
Tambak Wedi itu. Sedang Swandaru Geni telah bersedia pula melawan Argajaya.
Seleret Ki Tanu Metir
memandang mereka. Hatinya menjadi tenteram ketika murid-muridnya menuruti
masehatnya. Ia tahu benar perbandingan kekuatan kedua muridnya dan kedua
lawannya. Kiai Gringsing pernah melihat Sidanti berkelahi dan pernah melihat
Argajaya bertempur. Ia melihat pula kedua-duanya ketika mereka melawan para
prajurit Pajang yang datang bersama Untara. Karena itu maka ia dengan
sungguh-sungguh berpesan kepada kedua muridnya untuk menempatkan dirinya sesuai
dengan keseimbangannya.
Dalam pada itu Swandaru telah
berdiri beberapa langkah dari Argajaya. Tiba-tiba ia membungkuk hormat sambil
lersenyum. Katanya, “Bukankah Tuan tidak lupa kepadaku?”
“Persetan!” geram Argajaya.
“Di Prambanan Tuan bertempur
melawan anak muda yang bernama Sutajia. Kini Tuan berhadapan dengan aku,
Swandaru Geni.”
“Tutup mulutmu. Aku sudah tahu
siapa kalian dan siapa anak yang menyebut dirinya Sutajia itu.”
“O” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau sangka aku takut
karenanya?” Argajaya semakin marah.
Swandaru menggeleng, “Tidak.
Aku tahu bahwa Tuan tidak mengenal takut seperti apa yang aku lihat di
Prambanan dahulu. Tuan memang luar biasa.”
“Sekarang apa yang akan kau
lakukan?”
“Sekarang aku akan bertempur
melawan Tuan. Tetapi aku tidak akan sekedar menakut-nakuti seperti Sutawijaya.
Tetapi aku ingin benar-benar membenamkan pedangku ini ke dalam perut Tuan.”
Argajaya menjadi semakin
marah. Wajahnya seolah-olah terbakar oleh api yang menyala di dalam dadanya.
Tetapi ia ternyata lebih lambat dari Sidanti. Sebab saat itu Sidanti telah
meloncat menyerang Agung Sedayu sejadi-jadinya.
“Nah, lihat, kemanakan Tuan
sudah mulai. Apa lagi yang Tuan tunggu?”
Argajaya tidak ingin menjawab
lagi. Segera ditundukkannya tombaknya. Selangkah demi selangkah ia maju
mendekati Swandaru ynng kemudian menyilangkan pedangnya di muka dadanya.
Jarak antara Swandaru Geni dan
Argajaya itu pun menjadi semakin pendek, dan sejalan dengan itu wajah-wajah
mereka pun menjadi semakin tegang. Swandaru pernah melihat Argajaya bertempur,
melawan Sutawijaya, dan melihat betapa keras hati orang itu. Dengan demikian
maka ia tidak lagi berani bermain-main. Ia harus bersungguh-sungguh menghadapi
tombak pendek yang siap mematuknya itu.
Beberapa langkah dari
Swandaru, Argajaya berhenti. Tetapi ia sudah tidak ingin berbicara lagi.
Sekilas ia melihat Sidanti telah berkelahi semakin sengit dan Ki Tambak Wedi
bertempur semakin dahsyat. Karena itu, maka segera ia pun akan membuka
perkelahian pula.
Sejenak kemudian Swandaru
melihat Argajaya mengambil ancang-ancang. Dan sekejap kemudian orang itu telah
meloncat sambil menjulurkan tombaknya ke arah dadanya.
Swandaru dapat menduga
kekuatan yang tersalur lewat tombak itu. Dengan demikian maka ia harus sangat
berhati-hati. Tetapi Swandaru pun memiliki kekuatan dasar yang cukup, apalagi
setelah mendapat petunjuk dari Kiai Gringsing bagaimana ia harus
menyalurkannya. Karena itu maka Swandaru pun mempunyai kebanggaan pula atas
tenaganya.
Kali ini pun Swandaru akan
menjajagi kekuatan tenaga lawannya, selagi Argajaya agaknya belum menumpukkan
segenap kekuatannya. Karena itu, maka Swandaru sama sekali tidak menghindar.
Dibiarkannya tombak itu semakin lama menjadi semakin dekat ke dadanya. Namun ia
telah mempersiapkan pedangnya untuk menangkisnya.
Argajaya yang melihat sikap
Swandaru itu mengumpat di dalam, hatinya, “Setan kecil ini benar-benar
sombong.” Dan dengan demikian maka Argajaya pun menambah tenaganya lagi.
Sejenak kemudian terjadilah
sebuah benturan dari kedua senjata itu. Senjata Argajaya, sebuah tombak pendek
dan pedang Swandaru Geni. Benturan yang cukup kuat, sehingga telah menarik
perhatian Ki Tanu Melir dan Agung Sedayu serta lawan-lawannya.
“Bukan main,” desah Kiai
Gringsing, “anak itu memang terlalu banyak yang ingin diketahui. Dalam keadaan
serupa ini pun ia masih juga mencoba-coba.”
Akibat dari benturan itu pun ternyata
mengejutkan kedua belah pihak. Swandaru Geni bergetar dan meloncat surut
selangkah. Tangannya merasakan betapa kuat tenaga Argajaya yang tersalur lewat
tombaknya, ditambah tenaga dorong dari loncatannya. Namun Argajaya pun
terdorong pula ke samping. Hampir saja ia harus berputar karena tarikan
tombaknya yang dipukul ke samping oleh Swandaru Geni.
Hampir bersamaan mereka berdua
menggeram. Tetapi wajah Argajaya-lah yang tampak seolah-olah menyala karena
kemarahannya. Ternyata anak yang gemuk itu mempunyai kekuatan yang cukup,
meskipun tidak berhasil melepaskan tombaknya seperti Sutawijaya di pinggir Kali
Opak. Namun apabila anak muda itu sudah melepaskan seluruh kekuatannya, maka
tidak mustahil bahwa kali ini pun tombaknya akan meloncat dari tangannya.
Justru karena itu maka Argajaya menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak dapat
lagi merendahkan lawannya. Ia tidak mau peristiwa di pinggir Kali Opak itu
terulang lagi meskipun ia sama sekali tidak takut menghadapi akibat
daripadanya. Namun mati di ujung senjata anak-anak sama sekali tidak
menyenangkannya.
Demikianlah maka perkelahian
itu pun segera berkobar pula dengan dahsyatnya. Tiga lingkaran perkelahian yang
seimbang. Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi pun ternyata telah mengerahkan
kekuatan dan ilmu mereka. Bukan main dahsyat perkelahian itu.
Sedahsyat angin prahara yang
mengamuk di lautan. Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar dan menukik-nukik
seperti panggilan maut dari ujung bumi. Sentuhan-sentuhan senjata itu telah
menggoyangkan pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sedang tanah tempat
mereka berjejak menjadi seperti baru saja dibajak.
Di sisi lain Sidanti bertempur
melawan Agung Sedayu dengan nyala dendam di dalam dada masing-masing. Bukan
saja karena mereka berdiri pada pihak yang berlawanan dalam persoalan tata
pemerintahan, tetapi ternyata di dalam dada mereka telah berkobar pula
kebencian dan kedengkian karena seorang gadis.
Bukan saja karena yang seorang
berdiri pada barisan Tambak Wedi dan yang lain sebagai seorang adik Senapati
Pajang yang bertugas untuk menyelesaikan masalah itu, tetapi juga karena
keduanya telah mencoba menambatkan hati mereka kepada tambatan yang sama. Sekar
Mirah.
Dengan demikian maka
pertempuran di antara mereka benar-benar merupakan usaha untuk menyelesaikan
persoalan yang bertimbun itu. Sebagai seorang murid Ki Tambak Wedi, betapa
Sidanti membenci adik Untara itu dan sebaliknya juga sebagai seorang anak muda
yang menginginkan Sekar Mirah, maka mereka tidak melihat jalan lain daripada
memusnahkan lawannya.
Ternyata Agung Sedayu tidak
mengecewakan gurunya. Setelah mendapat tuntunan dengan sebaik-baiknya, serta
usaha yang tekun tanpa mengenal lelah, Agung Sedayu tidak lagi mengalami banyak
kesulitan menghadapi murid Tambak Wedi. Gerak dan tandang Agung Sedayu
memberikan beberapa kebanggaan kepada gurunya. Cepat, namun dilambari oleh
kekuatan yang cukup. Sebagai seorang murid dari Kiai Gringsing, maka anak muda
ini benar-benar mencerminkan gurunya. Tetapi sebagai putera dari seorang yang
bernama Ki Sadewa, Agung Sedayu telah membawa dasar kekuatan tubuh serta otot
bebayu. Ketajaman pandangan mata dan perhitungan yang terang menghadapi
keadaan. Bahkan bekal yang sudah dibawanya pada saat ia mendapat tuntunan dari
Kiai Gringsing, ilmu yang didapat dari ayahnya, kakaknya dan pamannya, ternyata
telah luluh menjadi susunan gerak yang manis tetapi cukup berbahaya bagi
Sidanti yang perkasa.
Sedang di sudut lain, Swandaru
Geni menghadapi lawannya dengan hati yang tegang. Ternyata Argajaya benar-benar
tangguh dan kuat. Ia mampu bergerak cepat dan cukup membingungkan.
Dengan demikian maka Swandaru
kini sudah tidak sempat lagi untuk tersenyum dan bergurau. Ia harus memusatkan
segenap tenaga dan pikirannya untuk menghadapi lawannya.
Namun, bekal Swandaru pun
ternyata cukup baik untuk menghadapinya. Meskipun Swandaru tidak, dapat berbuat
terlampau banyak seperti Sutawijaya, tetapi menghadapinya, Argajaya pun tidak
dapat berbuat sekehendak hatinya. Ternyata anak ini pun meskipun bertubuh
gemuk, namun cukup lincah pula melawan segala macam serangannya.
Maka perkelahian itu pun
menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang
ada pada diri masing-masing. Argajaya melihat bahwa yang terjadi saat ini
adalah berbeda dengan apa yang terjadi dipinggir Kali Opak. Dahulu ia berkelahi
benar-benar hanya menuruti perasaan, tanpa sebab dan tanpa taruhan yang
berarti. Tetapi kini sebabnya adalah jelas dan taruhannya pun jelas.
Argajaya pun telah merasakan,
bahwa Tambak Wedi pasti tidak akan dapat dipertahankan lagi. Dengan demikian
maka satu taruhan telah pasti pula lepas dari tangan. Namun kini kemanakannya
baru mempertahankan yang kedua. Bagi Sidanti, taruhan ini tidak kalah penting
dengan mempertahankan Tambak Wedi ini sendiri. Sebagai seorang paman, maka ia
wajib ikut serta berbuat sesuatu dengan kemampuannya untuk kepentingan
kemanakannya, selain dendamnya sendiri karena kekalahannya di pinggir Kali
Opak.
Maka tak ada pikiran lain yang
bergolak di dalam kepala Argajaya selain membunuh anak yang gemuk ini. Apalagi
setelah mereka bertempur beberapa lama. Terasa oleh Argajaya bahwa kekuatan
lawannya kali ini tidak sama seperti anak muda yang dilawannya di pinggir Kali
Opak. Pada anak ini ternyata masih dapat diketemukan beberapa segi
kelemahannya. Ternyata kecepatan bergerak Swandaru Geni masih agak lambat
dibanding dengan Argajaya yang cekatan. Tetapi kekuatan tenaga Swandaru masih
dapat dibanggakan. Karena itulah maka Swandaru lebih banyak membenturkan
tenaganya daripada berusaha menghindar.
Namun setiap kali Argajaya
masih harus mengumpat di dalam hatinya. Apabila Swandaru dibingungkan oleh
kecepatan serangan lawannya, maka jalan yang ditempuhnya adalah meloncat jauh-jauh
untuk mengambil jarak. Kemudian dengan demikian ia menemukan kesempatan untuk
memperbaiki keadaannya. Apabila lawannya tidak segera menyerangnya, maka
serangannyalah yang datang seperti runtuhnya lereng Gunung Merapi.
Bertubi-tubi, sehingga kadang-kadang Argajaya pun terpaksa menghindarinya agak
jauh.
Ki Tanu Metir sempat juga
sekilas melihat perkelahian murid-muridnya. Ternyata Swandaru telah membuatnya
agak cemas. Meskipun Argajaya pasti tidak akan dapat menguasainya dalam waktu
yang singkat, tetapi orang tua itu dapat melihat beberapa kelemahan muridnya
menghadapi Argajaya yang agaknya telah memiliki pengalaman yang cukup
menghadapi lawan yang tangguh.
Kekalahan yang pernah
dialaminya di pinggir Kali Opak agaknya telah mendorongnya menjadi semakin
garang. Bahkan di dalam hati orang itu berjanji untuk menebus kekalahannya.
Karena yang ada kini adalah Swandaru maka kepadanyalah dendam dan pembalasan
itu akan ditumpahkan.
“Mudah-mudahan anak itu tetap
tenang dan tidak kehilangan akal” gumam orang tua itu di dalam hatinya. “Yang
dapat menolongnya kali ini hanyalah ketenangan dan perhitungan yang cermat
menghadapi segala macam keadaan.”
Untunglah bahwa Swandaru
mempunyai sifat-sifat yang agak luar biasa. Menghadapi kesulitan yang
bagaimanapun juga anak itu tidak segera menjadi bingung dan bermata gelap.
Bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang berbahaya ia masih juga dapat bergurau.
Namun kali ini wajahnya menjadi tegang dan bersungguh-sungguh. Tetapi seperti
harapan gurunya, Swandaru tidak kehilangan akal dan menjadi mata gelap. Dengan
demikian maka ia masih mampu menghadapi lawannya dalam keadaan yang cukup baik.
Ki Tanu Metir sendiri pasti
tidak akan segera dapat menolongnya. Ki Tambak Wedi ternyata telah memeras
segenap ilmu untuk menguasai keadaan. Namun keduanya adalah orang-orang yang
cukup menyimpan ilmu dan pengalaman, sehingga sampai sejauh itu, sama sekali
tidak ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari padanya akan memenangkan
perkelahian itu. Hanya sekali-sekali saja ujung cambuk Kiai Gringsing mampu
menyentuh tubuh Ki Tambak Wedi. Sekali-sekali dan terlampau jarang. Itulah
kemenangan yang dapat dinikmati oleh Kiai Gringsing. Sedang senjata lawannya
sama sekali tidak dapat menyentuh kulitnya. Tetapi tubuh Ki Tambak Wedi pun
cukup kuat untuk bertahan atas sengatan ujung cambuk lawannya, meskipun ia
terpaksa menyeringai menahan pedih.
Wuranta yang luka itu akhirnya
tidak tahan berdiri saja di tempatnya. Apalagi melihat Sekar Mirah yang duduk
dengan lemahnya di lantai dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak dapat pula
mendekatinya dan berkata kepadanya supaya gadis itu tidak takut melihat
perkelahian di luar dan tidak gentar mendengar suara ledakan cambuk itu, karena
cambuk itu adalah suara cambuk Ki Tanu Metir.
Tidak. Tak ada tenaga yang
cukup mendorongnya untuk mendekati Sekar Mirah. Tiba-tiba saja terasa ada
sebuah tirai yang memisahkannya. Tirai yang tidak mampu ditembusnya.
Maka tanpa dikehendakinya
sendiri, anak muda itu melangkah dengan lemahnya ke arah pintu yang telah
menjadi miring. Ia tidak bernafsu lagi untuk segera memungut pedangnya yang
terlepas dari tangannya.
Sejenak ia berdiri mematung.
Tanpa berkedip ia menyaksikan tiga lingkaran perkelahian di halaman rumah itu.
Pertempuran antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi membuatnya menjadi pening.
Keduanya seolah-olah telah kehilangan bentuknya. Seolah-olah keduanya telah
berubah menjadi bayangan yang melontar-lontar tanpa berhenti, melingkar-lingkar
dengan kecepatan yang tidak pernah dapat dibayangkan.
Di sudut lain ia melihat
Swandaru bertempur melawan Argajaya. Meskipun ia sendiri tidak mampu berkelahi
secepat dan sekuat itu, namun ia dapat menangkap betapa dahsyatnya perkelahian
itu, betapa berbahayanya ujung senjata masing-masing yang seolah-olah menjadi
kehausan, untuk menghisap darah.
Sedang Agung Sedayu dan
Sidanti pun bertempur tidak kalah sengitnya. Bahkan terasa betapa nyata dendam
di hati masing-masing berkobar dengan dahsyatnya. Ujung-ujung pedang mereka
berputaran dan melonjak-lonjak, mematuk ke segenap bagian tubuh lawan
masing-masing.
Wuranta tertegun menyaksikan
pertempuran itu. Semakin seru kedua orang itu berkelahi, semakin terasa betapa
kecil dirinya sendiri. Anak muda itu merasa, bahwa ia sama sekali bukan akan
dapat berbuat serupa itu. Apalagi serupa itu, bahkan mengikuti perkelahian itu
pun hampir-hampir ia tidak mampu lagi. Gerak masing-masing terlampau cepat
baginya. Apalagi gerak ujung senjatanya.
Tiba-tiba Wuranta itu merasa
bahwa dirinya sama sekali tidak berarti dalam persoalan ini. Apa yang dilakukan
hanyalah sekedar melakukan perintah. Ia tidak akan mampu berbuat demikian tanpa
petunjuk-petunjuk dari orang tua yang menamakan dirinya Ki Tenu Metir. Dan
bahkan ia merasa bahwa dirinya tidak lebih berharga dari sehelai pedang.
“Aku hanya alat,” desisnya,
“apabila sudah tidak terpakai lagi maka aku akan dibuang. Betapa pentingnya
sebuah alat, maka yang lebih penting adalah yang menggerakkannya.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. “Apa gunanya aku mengobati lukaku,” katanya pula di dalam hati,
“bukankah aku sudah tidak diperlukan lagi? Selama ini aku merupakan alat yang
hidup untuk melepaskan gadis itu. Kini saat pelepasan sudah semakin dekat. Dan
aku tinggallah di tempatku yang lama.”
Kini sakit lukanya sudah tidak
terasa lagi. Yang lebih pedih adalah luka di hatinya. Hubungannya yang terjadi
hanya beberapa hari dengan Sekar Mirah, ternyata telah membekas terlampau dalam
di dadanya. Ia tidak lagi dapat berpura-pura, seperti kepada Sidanti dan
Alap-Alap Jalatunda. Ia tidak lagi dapat menipu seperti ia menipu orang-orang
Tambak Wedi dan orang-orang Jipang. Kali ini yang dihadapi adalah perasaan
sendiri. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang ada di dalam dirinya
sendiri itu.
Tanpa disengaja, sekali
Wuranta berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah yang duduk di lantai itu justru
sedang memandanginya. Terasa betapa hatinya meratap seperti belanga yang
terbanting di atas batu. Pecah hancur berserakan.
“Hem,” Wuranta itu menarik
nafas dalam-dalam, “seandainya aku dapat bermain pedang dan berkelahi secepat
Agung Sedayu. Aku akan dapat menengadahkan dada dan berkata seperti Sidanti,
‘Ayo, kita selenggarakan perang tanding,’ Tetapi aku tidak lebih dari anak padesan.
Anak padesan yang hanya pantas dipakai sebagai alat. Seandainya aku mati dalam
tugas yang diberikan oleh Ki Tanu Metir itu pun tak seorang akan menangisi aku.
Dan apakah sebenarnya hak Ki Tanu Metir saat itu memberi tugas yang berbahaya
ini? Tugas yang ternyata telah hampir membunuhku, bukan karena ujung pedang,
tetapi oleh perasaan sendiri yang justru hancur di dalam tugas ini?”
Wuranta sekali lagi menarik
nafas dalam-dalam. “Seharusnya aku tidak melarikan diri dari tiang gantungan
yang segera akan dipasang oleh Sidanti hari ini. Aku tidak akan menyaksikan dan
merasakan kepahitan seperti ini.”
Wuranta itu terkejut ketika
kemudian ia mendengar lecutan meledak di halaman itu. Agak lebih keras dari
yang mendahuluinya. Dan Wuranta itu kemudian melihat Ki Tambak Wedi meloncat
agak jauh ke belakang. Tetapi sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi
dalam perkelahian yang kisruh menurut pandangan mata Wuranta.
Sedang di tempat lain Swandaru
masih melawan Argajaya dengan gigihnya meskipun beberapa kali ia harus meloncat
surut. Sedang Agung Sedayu dan Sidanti pun berkelahi dengan dahsyatnya.
Dan perkelahian yang semakin
sengit itu ternyata telah menyiksa perasaan Wuranta semakin pedih. Perkelahian
itu seolah-olah seperti sebuah cermin yang menunjukkan betapa kerdil dirinya
dalam lingkaran keprajuritan.
“Aku memang bukan prajurit.
Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit. Apakah tidak ada lain bidang
kebaktian selain menjadi seorang prajurit? Bukankah aku seorang petani yang
mempunyai bidang tersendiri dalam mengabdikan diriku kepada lingkungan hidupku,
kepada kampung halaman dan kepada Pajang. Biarlah mereka yang mampu bertempur
sebagai seorang prajurit berbuat dan mengabdi sesuai dengan kemampuan mereka.
Mereka pun pasti tidak akan mampu memberikan pengabdian seperti aku. Dan
biarlah aku berbangga karena itu.”
Dengan demikian maka Wurauta
sedikit menemukan ketenteraman di dalam dirinya. Ia mencoba membangunkan
kebanggaan atas dirinya sendiri yang hampir-hampir jatuh tersungkur di dalam
rasa rendah diri dan tidak berarti. Meskipun demikian kepahitan yang
dirasakannya, sama sekali tidak dapat dimuntahkannya kembali. Gadis itu
benar-benar telah menyiksanya.
Di luar pengetahuan Wuranta,
maka Ki Tanu Metir selalu diganggu oleh kecemasannya tentang Swandaru. Semakin
lama terasa bahwa kecepatan bergerak Argajaya agak membahayakan anak muda itu.
Untunglah bahwa Swandaru menyadari kekurangannya, dan anak muda itu tidak
kehilangan akal karenanya. Setiap kali Swandaru berusaha untuk beradu kekuatan.
Setiap kali ada kesempatan, Swandaru berusaha untuk membenturkan senjatanya.
Dengan demikian maka getaran-getaran yang timbul dari benturan-benturan itu
telah merayapi tangan Argajaya. Kadang-kadang benturan itu terlampau keras,
sehingga tangan Argajaya terasa menjadi pedih. Namun sesaat kemudian Swandaru
telah dibingungkan oleh gerak yang cepat dari lawannya itu. Hanya
ketenangannyalah yang membantunya setiap kali melepaskannya dari bahaya. Setiap
kali tepat pada saatnya pedangnya berhasil menggeser ujung tombak lawannya yang
hampir menyentuh kulitnya.
“Sampai berapa lama anak itu
akan dapat bertahan” desah Ki Tanu Metir di dalam hatinya. Tetapi adalah lebih
baik melawan Argajaya itu daripada harus melawan Sidanti yang garang dan
terlampau buas.
Demikianlah maka mereka yang bertempur
itu telah tenggelam dalam suatu pemusatan segala macam kemampuan mereka. Ki
Tanu Metir telah mencoba pula mengatasi lawannya. Tetapi setiap kali ia sadar,
bahwa Ki Tambak Wedi pun telah berbuat serupa pula sehingga tidak mungkin
baginya untuk menguasai lawannya dalam waktu yang singkat. Sedang keadaan
Swandaru semakin lama menjadi semakin sulit. Agung Sedayu pun tidak akan dapat
berbuat apa-apa, sebab perkelahiannya sendiri tidak juga tampak segera sampai
ke ujung.
Namun ada satu harapan yang
masih membersit di dalam dada Ki Tanu Metir. Untara. Kalau anak muda itu segera
menyelesaikan perkelahiannya atau segera mengetahui bahwa Ki Tambak Wedi dan
Sidanti berserta pamannya hilang dari pertempuran, maka ia pasti akan
mencarinya. Setidak-tidaknya beberapa orang perwiranya akan disebarnya di
seluruh padepokan ini. Ki Tambak Wedi pasti diketahui tidak akan meninggalkan
padepokan ini lewat pintu padepokan, sebab Untara telah menempatkan beberapa
orang di sana.
“Ternyata Argajaya masih
terlampau kuat untuknya” desis Ki Tanu Metir di dalam hatinya. Meskipun
demikian, tak ada cara lain bagi orang tua itu, apabila keadaan memaksa, adalah
mencoba menggabungkan kekuatan kedua muridnya. Bertempur berpasangan. Ia mengharap
bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat bekerja sama lebih rapi dari Sidanti
dan pamannya. Kelincahan dan kecepatan bergerak Agung Sedayu dan kekuatan
tenaga Swandaru akan dapat bergabung menghadapi kedua lawannya.
Tetapi tiba-tiba perkelahian
itu terganggu. Di kejauhan samar-samar mereka mendengar suara sorak sorai
membelah udara padepokan Tambaik Wedi. Suara itu bergelombang seolah-olah
memecahkan dinding-dinding padepokan yang kokoh kuat itu.
“Gila,” geram Ki Tambak Wedi,
“apa yang telah terdiadi?”
“Selesai,” sahut Ki Tanu
Metir, “pertempuran itu pasti sudah selesai.”
“Kau sangka bahwa pasukan
Untara akan menang?”
“Ya.”
“Omong kosong!” bentak Ki
Tambak Wedi. Sementara itu mereka masih juga sibuk bertempur dengan serunya,
“Untara terbunuh. Yang bersorak itu adalah orang-orang Tambak Wedi dan
orang-orang Jipang. Kau mau mencoba mempengaruhi perasaanku, supaya kau
mendapat kesempatan baik untuk menolong muridmu yang sebentar lagi pasti akan
mati terbunuh oleh tombak Angger Argajaya. Sesudah itu, maka keseimbangan dari
kekuatan kita akan miring. Agung Sedayu harus melawan dua orang. Sidanti dan
Angger Argajaya. Nah akibat seterusnya dapat kau perhitungkan. Kau sendiri
pasti akan mati berkubur di padepokan ini.”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Tetapi terdengar suara tertawanya menyakitkan hati. Baru kemudian ia
berkata, “Kau sangka aku tidak melihat perkelahian di halaman banjar itu?
Perkelahian yang menyenangkan? Pasukanmu dan orang-orang Jipang ternyata telah
terlampau lelah untuk melawan pasukan Angger Untara yang masih segar. Apalagi
setelah pasukannya yang berjalan kaki memasuki padepokan ini. Kalau tidak
demikian, maka kau pasti tidak akan lari dari arena bersama muridmu dan
pamannya itu.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki
Tambak Wedi. Serangarmya tiba-tiba melonjak mengerikan. Hampir saja mulut Ki
Tanu Metir tersentuh ujung senjata hantu lereng Merapi itu.
“Uh” Ki Tanu Metir terpaksa
mengelak mundur. Dengan serta-merta cambuknya menyambar lawannya. Terdengar
ledakannya memekakkan telinga. Tetapi Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan
dirinya.
Namun sorak yang terdengar di
kejauhan telah mempengaruhi hati Ki Tambak Wedi. Sebenarnya ia pun tahu bahwa
pasukannya sama sekali tidak akan memenangkan pertempuran. Tepat seperti
kata-kata Ki Tanu Metir, apabila imbangan pertempuran itu tidak terlampau berat
sebelah, maka ia tidak akan lari dari arena.
“Sorak itu adalah akhir dari
pertempuran” desis Ki Tanu Metir kemudian.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Ia berusaha semakin kuat untuk menekan lawannya. Tetapi seperti Kiai Gringsing,
usaha yang demikian pasti hanya akan sia-sia.
Ketika sekali Ki Tambak Wedi
melihat Argajaya dan Swandaru Geni, maka segera ia melihat bahwa agaknya
Argajaya akan lebih cepat daripadanya menyelesaikan perkelahiannya. Tetapi
apakah Argajaya dapat lebih cepat dari kedatangan pasukan Untara itu?
Dengan demikian maka Ki Tambak
Wedi sudah mulai dijalari oleh perasaan gelisah. Sorak di kejauhan sudah mulai
menurun. Hampir dapat dipastikan bahwa sebentar lagi pasukan berkuda yang
tersisa akan berlari-larian di sepanjang padepokan ini. Satu dua orang dari
mereka tidak akan berarti apa-apa bagi Ki Tambak Wedi. Tetapi selanjutnya pasti
akan menyusul yang lain lagi. Empat, lima, sepuluh dan kemudian berpuluh-puluh
bersama-sama dengan Untara sendiri.
Dalam kegelisahan itu Ki
Tambak Wedi terpaksa meloncat surut untuk menghidari serangan Kiai Gringsing
yang justru menjadi semakin garang. Berkali-kali cambuknya meledak-ledak
memekakkan telinga. Kedua muridnya seakan-akan telah menjadi kebal mendengar suara
cambuk itu. Tetapi bagi Sidanti dan Argajaya suara itu agaknya cukup mengganggu
ketenangan mereka.
Setiap kali cambuk itu
meledak, maka Swandaru merasa mendapat kekuatan baru. Setiap kali ia mendengar
Argajaya berdesah, dan bahkan mengumpat. Kesempatan yang kecil itu dimanfaatkan
oleh Swandaru sebaik-baiknya, sebab ia merasa bahwa tekanan Argajaya semakin
lama menjadi semakin berat. Bahkan kemudian Argajaya seakan-akan telah membuat
telinganya menjadi tuli.
Meskipun suara cambuk Ki Tanu
Metir masih juga kadang-kadang menghentak dadanya, tetapi Argajaya telah
memusatkan segenap perhatiannya atas lawannya. Ia yakin bahwa lawannya yang
gemuk itu akan dapat dikalahkan apabila ia mendapat waktu yang cukup. Ia pun
sadar, bahwa pengaruh suara cambuk itu telah memperlambat kemenangannya. Namun
kini ia telah berhasil memusatkan segenap tenaganya tanpa menghiraukan suara
cambuk yang meledak-ledak itu lagi.
Tetapi meskipun demikian,
meskipun ia berhasil melenyapkan pengaruh suara cambuk Ki Tanu Metir, namun
Argajaya sama sekali tidak berhasil meniadakan pendengarannya atas suara
sorak-sorai di kejauhan yang seolah-olah membelah langit. Suara itu langsung
menyentuh hatinya.
“Setan alas!” orang itu
mengumpat. “Aku tinggal memerlukan waktu sedikit untuk membinasakan anak gemuk
yang sombong ini. Apakah sorak itu pertanda bahwa pertempuran telah selesai?”
Dengan demikian maka Argajaya
pun menjadi gelisah pula. Kegelisahannya kini yang mempengaruhinya, sehingga
justru kemenangannya menjadi tertunda pula. Setiap kali ia mencoba memandang
kemenakannya dan Ki Tambak Wedi. Dan setiap kali pula suara sorak di kejauhan
mengetuk dadanya.
Bukan saja Argajaya yang
menjadi gelisah seperti Ki Tambak Wedi, tetapi Sidanti pun demikian pula. Anak
muda itu pun mendengar suara sorak yang riuh menggetarkan udara padepokan
Tambak Wedi. Dengan demikian maka pemusatan pikirannya pun menjadi terganggu.
Setiap kali ia terpaksa menghindar surut dan bahkan meloncat jauh-jauh.
Suara sorak yang gemuruh itu
kini sudah mereda. Bahkan hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar kini
adalah gemerincing senjata beradu. Tombak Argajaya yang sering benar
berbenturan dengan pedang Swandaru. Senjata Sidanti dan Agung Sedayu, serta
ledakan-ledakan cambuk Ki Tanu Metir yang memekik-mekik tinggi.
“Setan tua ini licik sekali”
geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. “Sengaja ia meledakkan cambuknya
keras-keras untuk memanggil kawan-kawannya.”
Namun ternyata bukan saja
demikian, tetapi Ki Tambak Wedi yang terganggu itu benar-benar mulai terdesak.
Beberapa kali ia meloncat mundur seperti Sidanti. Beberapa kali pula ia
terkejut melihat serangan lawannya yang terlampau cepat dan tiba-tiba.
Tetapi perhatian Ki Tambak
Wedi kini sudah tidak lagi pada lawan-lawannya. Beberapa kali ia memandangi
keadaan di sekitarnya. Dan akhirnya ditemukannya jalan yang sebaik-baiknya
untuk menghindarkan diri dari bencana. Kalau Untara dan pasukannya sebentar
lagi datang, itu berarti bencana baginya, bagi Sidanti beserta pamannya,
Argajaya.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi segera mengambil keputusan untuk melarikan dirinya. Orang tua itu yakin,
bahwa ia tidak akan dapat keluar lewat regol padepokannya. Karena itu ia harus
mempergunakan jalan lain. Tetapi satu hal yang membuatnya ragu-ragu. Dengan
demikian maka Sidanti tidak akan dapat membawa Sekar Mirah bersama mereka.
Betapa akan kecewanya anak muda itu. Mungkin akan melampaui segala macam
kegagalannya yang lain. Hal ini akan dapat membahayakan masa depannya.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
melihat jalan yang dapat ditempuhnya untuk mengambil Sekar Mirah. Meskipun
mungkin Sekar Mirah kini sama sekali tidak diawasi oleh siapa pun, namun tak
ada jalan baginya untuk masuk ke dalam gubug itu.
Ki Tambak Wedi terkejut ketika
tiba-tiba saja ia mendengar kuda berderap. Terlampau cepat mendekati tempat
perkelahian itu.
Terdengar Ki Tambak Wedi
mengumpat. Kini tidak ada kesempatan lagi untuk menimbang-nimbang. Ia harus
segera meninggalkan tempat itu bersama dengan Sidanti dan pamannya.
Ketika suara derap kaki kuda
itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba terdengar Ki Tambak Wedi bersuit
nyaring. Dengan cekatan ia meloncat mundur, melepaskan diri dari lawannya dan
kemudian berlari meninggalkannya.
Sidanti dan Argajaya telah
mengenal tanda itu. Mereka pun dapat mengerti kesulitan yang bakal datang.
Betapa kecewa hati Sidanti dan Argajaya, namun mereka harus meninggalkan tempat
itu. Sidanti kecewa karena ia tidak berhasil membawa Sekar Mirah yang dengan
susah payah telah diambilnya dari Sangkal Putung, sedang Argajaya kecewa karena
ia tidak berhasil melepaskan dendamnya karena kekalahannya di pinggir Kali
Opak. Tetapi keadaan telah memaksa mereka pergi. Dan mereka pun mendengar derap
kuda semakin dekat.
Ketika mereka melihat Ki
Tambak Wedi telah meninggalkan lawannya maka dengan tergesa-gesa mereka pun
segera melepaskan diri. Meloncat dan berlari secepat-cepat mereka dapat. Semula
mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Ki Tambak Wedi mendahului
meninggalkan mereka. Namun mereka kemudian menyadari, bahwa orang itu ternyata
telah mencoba melindungi mereka dari kejaran lawan-lawannya.
Ternyata ketika Agung Sedayu
meloncat dengan pedang terjulur mengejar Sidanti, terdengar Ki Tanu Metir
berteriak nyaring memanggilnya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengekang diri
untuk berhenti. Untunglah bahwa Ki Tanu Metir berhasil meloncat mendekatinya.
Sejenak kemudian terdengar cambuk meledak, dekat sekali di muka Agung Sedayu.
Mau tidak mau Agung Sedayu terpaksa berhenti. Alangkah terkejut anak muda itu
ketika ia melihat sebuah gelang-gelang besi menggelepar di bawah kakinya.
“Hati-hatilah,” desis Ki Tanu
Metir, “iblis itu sangat licik.”
Agung Sedayu sesaat berdiri
saja seperti patung. Demikian juga Swandaru yang tidak pula kalah terperanjat
dari Agung Sedayu ketika ia melihat gelang-gelang itu.
“Apakah mereka akan kita
biarkan saja?” bertanya Agung Sedayu.
“Ikutlah di belakangku.
Marilah mereka kita kejar” jawab gurunya. Namun dengan demikian mereka telah
kehilangan waktu sejenak.
Waktu yang sejenak itu
ternyata telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan
secepat-cepatnya ia berlari diikuti oleh Sidanti dan Argajaya meloncati pagar
halaman yang tidak begitu tinggi menuju ke jalan sempit di sebelah.
“Kita kehilangan waktu sesaat”
desis Ki Tanu Metir sambil berlari mengejar. Di belakangnya kedua muridnya
mengikutinya
“Uh,” desah Swandaru sambil
berlari-lari, “ternyata aku bukan pelari yang baik.”
Meskipun demikian Swandaru itu
tidak tertinggal terlampau jauh dari saudara seperguruannya.
Sebenarnya kali ini Ki Tanu
Metir benar-benar tidak ingin lagi melepaskan lawannya. Namun ternyata lawannya
mempunyai cara yang licik untuk melepaskan dirinya. Untunglah bahwa ia melihat
orang tua yang selama ini menggetarkan lereng Merapi itu mengambil
gelang-gelang besinya dan siap untuk melemparkan. Dengan demikian maka ia dapat
menyelamatkan Agung Sedayu, meskipun ia tahu juga bahwa itu hanyalah suatu cara
untuk mendapatkan sekedar waktu.
Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi
telah beberapa puluh langkah berada di depan. Namun seandainya ia mempunyai
kesempatan yang cukup, setidak-tidaknya ia akan mendapatkan Sidanti atau
Argajaya, atau akan lebih baik lagi kalau Ki Tambak Wedi sendiri mencoba
melindungi muridnya.
Ketika Ki Tambak Wedi hampir
mencapai jalan sempit di sebelah halaman di samping, maka derap kuda yang
mereka dengar telah menjadi dekat sekali. Bahkan kemudian mereka melihat
seleret bayangan yang berlari di balik dedaunan.
Ki Tanu Metir menjadi berdebar-debar
sejenak. Orang berkuda itu pasti akan melihat Ki Tambak Wedi berlari melintasi
jalan yang dilalui kudanya. Tetapi apakah, yang akan terjadi kemudian apabila
mereka justru bertemu?
“Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi
terhambat meskipun hanya sekejap” desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi yang terjadi telah
mengguncangkan dadanya. Penunggang kuda itu ternyata adalah seorang prajurit
Pajang. Beberapa puluh langkah di belakangnya kuda yang kedua menyusulnya.
Ketika prajurit itu melihat seorang berlari melintas halaman, maka segera
prajurit itu bermaksud memotong jalan. Namun nasibnya ternyata tidak terlampau
baik. Begitu ia mencoba menghalangi orang yang sedang berlari itu, maka hampir
tak dapat diketahui sangkan parannya, sebuah gelang-gelang besi menghantam
pundak kanannya. Terasa pundaknya terdorong oleh kekuatan yang tidak dapat
dibayangkannya sehingga prajurit itu terpelanting dari kudanya. Tanpa
sesadarnya prajurit itu pun memekik tinggi.
Untunglah bahwa kaki-kaki kuda
kawannya yang berada di belakangnya sempat menghindar, sehingga tubuhnya yang
terbanting di tanah itu tidak terinjak. Meskipun demikian, maka prajurit itu
menjadi pingsan. Ia tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Ia tidak
menyadari lagi bahwa kawannya itu kemudian meloncat turun dan mencoba
merawatnya.
Ternyata apa yang diharapkan
Kiai Gringsing terjadi sebaliknya. Ia ingin prajurit berkuda itu meskipun hanya
sekejap menghambat Ki Tambak Wedi, tetapi yang terjadi adalah, Ki Tanu Metir
sendirilah yang sekali lagi terpaksa melepaskan waktu sesaat. Sebagai seorang
dukun, maka secara naluriah orang tua, itu berhenti sambil berteriak kepada
prajurit yang seorang, “Rawatlah kawanmu itu sejenak, bawalah ia masuk ke rumah
itu.”
Meskipun dengan demikian maka
jarak Ki Tambak Wedi menjadi semakin jauh, tetapi ia tidak dapat melihat dan
membiarkan seseorang yang sedang dibelai maut.
Setelah Ki Tanu Metir yakin
bahwa prajurit yang seorang itu akan merawat kawannya, maka segera ia pun
meneruskan langkahnya mengejar Ki Tambak Wedi.
“Mudah-mudahan tak ada jalan
yang dapat dilaluinya,” berkata orang tua itu kepada kedua muridnya yang
berlarian di belakangnya. “Kalau mereka memanjat dinding halaman, maka kita
akan sempat menangkapnya. Tidak mudah untuk memanjat dinding yang cukup tinggi
ini. Sedang apabila mereka mencoba terjun kesungai, maka kitalah yang akan
mendapat giliran, melempar mereka dengan batu.”
“Tetapi kalau mereka terjun
lewat urung-urung, maka mereka akan dapat meloloskan diri, Guru.”
Ki Tanu Metir terdiam sejenak.
Namun langkahnya justru menjadi semakin cepat. “Ya,” gumamnya, “tetapi mereka
tidak menuju ke urung-urung.”
“Ya” Agung Sedayu menyahut.
Mereka kemudian terdiam.
Mereka mencoba mempercepat langkah mereka. Tetapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya pun berlari semakin cepat.
“Kemanakah mereka?” Ki Tanu
Metir dan kedua muridnya berpikir di dalam hatinya. Orang-orang yang mereka
kejar ternyata berlari ke arah yang tidak mereka mengerti.
“Apakah ada pintu rahasia?”
pertanyaan itu berputar-putar di dalam hati mereka.
Sejenak kemudian Ki Tanu Metir
dan kedua muridnya melihat Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menyeberangi
sungai. Mereka sama sekali tidak berlari menyusur sungai itu. Apabila demikian
maka mereka akan dapat mencari jalan memintas. Tetapi tidak, ketiganya berlari
melintas sungai.
“Kemana mereka?” bertanya
Swandaru yang ketinggalan beberapa langkah di belakang.
Ki Tanu Metir tidak menjawab.
Ia berlari semakin cepat, sehingga kedua muridnya pun kini tertinggal semakin
jauh. Orang tua itu ingin setidak-tidaknya untuk menangkap Sidanti atau
Argajaya.
Seperti kedua murid Ki Tanu
Metir, maka jarak antara Sidanti dan Argajaya dengan Ki Tambak Wedi pun menjadi
semakin jauh pula. Namun Ki Tanu Metir menyadari, bahwa setiap saat Ki Tambak
Wedi akan berhenti, berbalik dan melontarkan gelang-gelang besinya untuk
melindungi Sidanti beserta pamannya.
Dengan demikian maka Ki Tanu
Metir tidak kehilangan kewaspadaan meskipun tampaknya ia sedang mengejar
musuhnya. Setiap kali ia bersiap menerima serangan yang bagaimanapun bentuknya.
Tetapi yang masih menjadi
teka-teki baginya, kemana Ki Tambak Wedi ini akan berlari. Satu-satunya
kemungkinan yang sedang dilakukan adalah, keluar dari padepokan ini lewat pintu
rahasia. Karena itu maka ia harus menjadi semakin dekat. Begitu pintu rahasia
itu terbuka bagi Ki Tambak Wedi dan Sidanti serta pamannya, maka ia pun harus
dapat lewat pula di situ.
Ki Tanu Metir menjadi
berdebar-debar ketika mereka sudah hampir mencapai dinding padepokan. Beberapa
puluh langkah di muka mereka, dinding itu seakan-akan raksasa yang berdiri
tegak, bertolak pinggang menghadang jalan.
“Kemana mereka akan lari?”
desis Ki Tanu Metir di dalam hatinya.
Beberapa langkah di hadapannya
Sidanti dan Argajaya tersuruk-suruk mempercepat larinya. Namun jarak mereka
dengan Ki Tanu Metir menjadi semakin dekat.
“Dalam keadaan yang wajar aku
akan mendapatkan salah seorang dari mereka,” berkata Ki Tanu Metir di dalam
hatinya, “meskipun seandainya di muka itu ada sebuah pintu rahasia yang
tiba-tiba saja terbuka.”
Tetapi apa yang diduganya
sejak semula benar-benar terjadi. Ketika Ki Tambak Wedi telah berdiri di bawah
dinding padepokan itu, maka tiba-tiba ia berbalik, dan sebuah gelang-gelang
besi meluncur ke arah Ki Tanu Metir. Terdengar cambuk Ki Tanu Metir meledak. Ia
ingin tetap tidak berhenti di tempatnya meskipun ia harus menangkis
serangan-serangan Ki Tambak Wedi. Tetapi ketika Ki Tambak Wedi melepaskan
gelang-gelang besinya yang kedua, sasarannya bukan Ki Tanu Metir. Kali ini
sasarannya adalah Agung Sedayu. Untunglah bahwa Ki Tanu Metir melihat arah
pandangan mata iblis itu, sehingga cepat ia dapat mengetahui apa yang akan
dilakukan.
Sekali lagi cambuk Ki Tanu
Metir menggeletar. Tetapi ia tidak dapat menghindarkan Agung Sedayu dari
bencana sambil tetap berlari. Ki Tanu Metir terpaksa berhenti dan bahkan mundur
selangkah mendekati Agung Sedayu. Bagaimanapun juga Ki Tanu Metir telah
kehilangan lagi beberapa langkah.
Yang kemudian menghentak dada
Ki Tanu Metir dan kedua muridnya adalah soal-soal yang sama sekali tidak diduganya.
Ternyata mereka benar-benar mempergunakan pintu rahasia. Tetapi sama sekali
tidak terdapat pada dinding padepokan itu. Sama sekali tidak ada sebuah pintu
yang tiba-tiba saja terbuka, atau sebuah goa tempat mereka menyuruk ke luar dan
yang tiba-tiba bibirnya runtuh menutup jalan.
Ternyata pintu rahasia itu
adalah sebatang pohon. Merek bertiga dengan cepatnya meloncat memanjat sebatang
pohon preh yang rimbun.
“Oh, kalian sangka aku tidak
dapat secepat itu,” geram Ki Tanu Metir di dalam hatinya, “aku akan mengejar
mereka sekalipun akan sampai ke puncak gunung ini.”
Tetapi sekali lagi Ki Tanu
Metir menggeram. Ternyata pohon preh itu adalah pohon yang memang telah
dipersiapkan sebagai sebuah pintu rahasia untuk meninggalkan padepokan ini
tanpa melalui regol.
Meskipun Ki Tanu Metir dan
kedua muridnya telah memanjat pohon itu pula, namun mereka terpaksa menarik
nafas dalam-dalam untuk menenteramkan gelora di dada mereka. Mereka hanya dapat
saling berpandangan ketika mereka melihat Argajaya, orang yang terakhir dari
ketiga orang yang mereka kejar itu telah mencapai dinding padepokan. Dengan
sebuah sentuhan kaki, maka sebatang kayu yang mereka pergunakan untuk melempar
dari dahan pohon preh itu ke dinding, terlempar jatuh.
“Setan!” Swandaru berteriak
tanpa sesadarnya ketika ia melihat, ketiga orang itu meloncat turun dan hilang
di seberang dinding.
“Ambil kayu itu,” teriak Agung
Sedayu kepada Swandaru yang berada di paling bawah dari ketiganya.
“Tak ada gunanya,” sahut Ki
Tanu Metir dengan nada yang dalam, “mereka sudah berlari semakin jauh, atau
mereka menunggu di bawah dinding itu. Setiap kepala yang tersembul, pasti akan
segera dipecahkan oleh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi. Ia sudah mendapat
waktu untuk mempersiapkan dirinya. Tetapi apabila kita berada dekat di
belakangnya, maka ia tidak mendapat kesempatan itu.”
“Kita meloncat dari dahan
pohon ini langsung ke dinding itu” berkata Swandaru.
“Tak ada kemungkinan. Aku
sangka mereka akan berbuat demikian juga. Dari bawah, kayu yang menyilang dari
dahan pohon ini ke dinding batu itu tidak begitu tampak, tertutup oleh
daun-daunnya. Sedang dahan-dahannya yang langsung tumelung ke atas dinding itu
terlampau kecil,” sahut gurunya.
“Jadi bagaimana sekarang?”
bertanya Agung Sedayu.
“Gagal” jawab gurunya.
“Tak ada jalan lain?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. “Satu-satunya kemungkinan kita mencari kuda. Kita mencoba
menjelajahi daerah di sekitar padepokan ini. Tetapi kemungkinan untuk
menemukannya terlampau kecil.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Mereka pun menyadari, bahwa mereka telab
kehilangan kemungkinan untuk segera dapat menemukan ketiga orang itu.
Terdengar Swandaru
menggeretakkan giginya. Ia menjadi sangat kecewa. Ia ingin menangkap
orang-orang yang melarikan adiknya dan membawanya ke Sangkal Pulung mati atau
hidup. Tetapi mereka telah lepas dari tangan.
“Mereka telah memelihara dan
mengatur pohon preh ini baik-baik” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Mereka
menebas setiap dahan yang cukup besar yang dapat mencapai dinding batu itu.
Tetapi mereka sengaja membiarkan dahan2 yang kecil dan berdaun agak rimbun untuk
menutupi kayu yang mereka silangkan itu.”
Sejenak kemudian mereka
bertiga saling berdiam diri. Tetapi, mereka tidak segera turun dari atas pohon
preh itu. Bahkan Agung Sedayu mencoba memanjat semakin tinggi. Ia mencoba untuk
melihat ke luar dinding padepokan itu dari atas pohon. Tetapi anak muda itu
tidak melihat sesuatu. Yang terbentang di luar padepokan itu adalah sebuah
lapangan rumput yang sempit, kemudian di sebelah lapangan rumput itu adalah
sebuah pategalan yang rimbun. Pategalan salak yang digarap oleh orang-orang
yang tinggal di dalam padepokan Ki Tambak Wedi. Dengan demikian seandainya Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menyusup ke dalam kebun salak itu, maka amat
sukarlah untuk mencarinya.
“Dapatkah Kakang melihat?”
bertanya Swandaru.
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. “Kebun salak” jawabnya.
“Marilah kita turun,” berkata
Kiai Gringsing kemudian, “kita melihat Sekar Mirah. Apakah ia tidak terganggu
selama ini.”
“O,” Swandaru berdesis,
“marilah. Hampir aku lupa.”
Tiba-tiba Agung Sedayu pun
menjadi tergesa-gesa turun dari pohon itu. Bahkan seolah-olah anak muda itu
menyelusur saja ke bawah.
Ketiganya pun kemudian
melangkah kembali ke gubug Sekar Mirah. Swandaru dan Agung Sedayu merasa
langkah mereka itu terlampau lambat. Sekali-sekali mereka mendahului gurunya,
Ki Tanu Metir yang dapat
mengetahui perasaan anak-anak muda itu pun kemudian mempercepat langkahnya
pula. Tetapi ia tidak menjadi terlampau cemas. Menurut perhitungannya, maka
beberapa orang prajurit Untara pasti sudah sampai ke tempat itu pula.
Namun tanpa mereka duga-duga,
tiba-tiba terdengar Swandaru berdesah, “Aneh.”
“Apa yang aneh?” bertanya
Agung Scdatu tidak mengerti.
“Argajaya” jawab Swandaru.
“Kenapa?”
“Di Prambanan, ia tidak gentar
melihat ujung tombak Sutawijaya. Bahkan tombak itu telah melekat di lambungnya.
Tetapi kini ia terpaksa melarikan diri seperti seekor tikus melihat kucing.”
“Keadaannya sangat berbeda,”
potong gurunya. “Di Prambanan Argajaya mempertaruhkan segalanya untuk harga
diri serta kehormatannya. Di sini ia sama sekali hampir tidak berperan.
Kebetulan ia adalah paman Sidanti. Ketika Sidanti dan gurunya berlari
meninggalkan arena, maka ia pun akan lari juga. Bukan seharusnya ia bertahan
mati-matian di padepokan yang asing baginya. Apalagi mempertaruhkan nyawanya.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Mereka dapat mengerti keterangan
gurunya. Argajaya hampir tidak berkepentingan apa pun dengan padepokan ini,
selain secara kebetulan kemanakannya berada di sini. Dan kemanakannya itu pun
telah menghindarkan diri pula.
Mereka bertiga kini telah
menyeberangi sungai yang membujur membelah padepokan itu. Semakin dekat mereka
dengan tempat tinggal Sekar Mirah, mereka menjadi semakin cepat melangkah.
Mereka selalu diganggu oleh perasaan cemas, karena mereka merasa bahwa mereka
berada di tengah-tengah bahaya yang setiap saat dapat menerkam mereka dari
segala penjuru. Mungkin dari balik-balik dinding batu halaman, mungkin dari
dalam gerumbul atau rumpun-rumpun bambu. Apabila bahaya itu menimpa Sekar Mirah,
maka gadis itu pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa. Wuranta yang berada di
rumah itu pun telah terluka. Tak akan banyak yang dapat dilakukannya seandainya
ada seorang saja orang padepokan ini yang datang menyerang rumah itu.
Mudah-mudahan prajurit Pajang yang merawat kawannya yang terluka masih berada
di sana.
Ketika mereka muncul di mulut
sebuah lorong sempit, mereka tertegun sejenak. Mereka melihat beberapa ekor
kuda di halaman rumah yang dipergunakan oleh Sekar Mirah. Sejenak mereka saling
berpandangan, namun kemudian Ki Tanu Metir berkata, “Mereka pasti
prajurit-prajurit Pajang. Aku memang sudah menyangka bahwa mereka pasti akan
segera datang.”
“Bahkan mungkin Kakang Untara
ada di antara mereka” desis Swandaru.
“Mungkin” sahut Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu tidak berkata
sepatah kata pun. Tetapi langkahnya menjadi semakin panjang dan cepat.
Seolah-olah jarak di hadapannya itu mau diloncatinya dengan sekali langkah.
Sebenarnyalah bahwa di rumah
itu telah berkumpul beberapa orang prajurit Pajang, tetapi ternyata Untara
tidak ada di antara mereka. Ketika salah seorang dari mereka melihat Ki Tanu
Metir dan kedua muridnya, maka segera dipanggilnya kawan-kawannya ke luar.
Demikian Ki Tanu Metir beserta
Agung Sedayu dan Swandaru menginjakkan kakinya di halaman itu, maka segera para
prajurit Pajang mengerumuninya.