Buku 090
Tiba-tiba saja Kiai Kelasa
Sawit menggeram. Kemarahan yang ditekannya di dalam dadanya, rasa-rasanya tidak
tertahankan lagi, sehingga ia tidak dapat mengekang ledakan yang dahsyat.
Semua orang Tambak Wedi
terkejut, ketika mereka kemudian mendengar Kiai Kelasa Sawit berteriak nyaring.
Seperti teriakan seekor orang hutan di tengah-tengah rimba setelah berhasil
membunuh lawannya.
Dengan serta-merta Kiai Kelasa
Sawit meloncat dan menghantam batu padas yang ada di ujung padepokan itu.
Akibatnya dahsyat sekali. Batu
padas itu pun menjadi pecah berhamburan.
Pengawal-pengawalnya
termangu-mangu menyaksikan ledakan kemarahan Kiai Kelasa Sawit. Mereka
mengerti, betapa dahsyatnya tangan pimpinannya itu. Namun setiap kali mereka
masih juga mengaguminya. Batu padas itu telah pecah dihantam oleh tangan yang
digerakkan oleh kemarahan yang menyala di hatinya.
“Gila!” ia pun kemudian
berteriak sehingga orang-orangnya pun mendengarnya. Bahkan yang bertugas di
ujung jalan di bawah, dapat juga mendengarnya. “Ternyata orang-orang Pajang
telah ikut campur dalam persoalan ini. Tetapi kita tidak gentar. Kita tetap
menuntut kematian sepuluh orang bagi setiap orang kita yang mati. Karena
prajurit-prajurit Pajang melarang kita bergerak, maka kita pun justru akan mengumpulkan
segala kekuatan yang ada. Mungkin kita harus melawan kedua pihak sekaligus.
Orang-orang yang telah membunuh kawan-kawan kita dan prajurit-prajurit Pajang.
Tetapi jangan takut. Sebentar lagi, Kakang Jalawaja akan datang. Ia membawa
beberapa orang pengawalnya. Dan kita akan menjadi semakin kuat. Jika rencananya
tepat, hari ini ia datang seperti yang dijanjikan, maka malam nanti kita akan
melepaskan dendam kita. Kita akan beruntung jika malam nanti kita dapat
menghindari campur tangan orang-orang Pajang, karena besok kita sudah dapat
meninggalkan tempat ini, sehingga tindakan berikutnya dari prajurit Pajang
tidak akan berakibat apa pun bagi kita. Tetapi jika Untara ikut campur juga,
maka aku tidak akan segan membunuhnya. Betapa pun juga tinggi ilmu anak ingusan
itu, namun ia tidak akan dapat mengimbangi ilmuku.”
Semua yang mendengar suara
Kiai Kelasa Sawit itu rasa-rasanya telah tergetar jantungnya. Suaranya yang
mengumandang itu rasa-rasanya langsung menyusup ke dalam pusat jantung. Bahkan
mereka yang berada jauh sekali pun rasa-rasanya dapat mendengarnya tidak saja
lewat telinganya, tetapi lewat getaran di dalam dada masing-masing.
Dan itu adalah salah satu
kemampuan Kiai Kelasa Sawit yang juga dikagumi oleh orang-orangnya.
Dengan demikian maka setiap
orang yang ada di Padepokan Tambak Wedi itu pun mengetahui bahwa Kiai Kelasa
Sawit telah kehabisan kesabaran. Prajurit Pajang terlampau bersikap tinggi hati
dan memerintah. Menurut orang-orang di Padepokan Tambak Wedi, sebaiknya mereka
tidak terlalu mengalah terhadap prajurit Pajang di Jati Anom yang jumlahnya
tidak terlalu banyak.
“Seharusnya Kiai Kelasa Sawit
menunjukkan sikapnya seperti sebelumnya. Ternyata terhadap prajurit-prajurit
Pajang ia terlampau sabar, sehingga prajurit-prajurit Pajang itu menjadi
semakin besar kepala,” berkata seorang yang bertubuh pendek, kekar, dan
berkumis melintang sampai ke pipinya.
“Tetapi akhirnya Kiai Kelasa
Sawit tidak dapat mengendalikan diri,” desis yang lain.
“Tidak. Ia masih tetap
bersabar. Ia melepaskan himpitan perasaannya setelah prajurit Pajang itu
berlalu. Dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya.”
Tiba-tiba saja seorang yang
bertubuh tinggi, berkulit kuning dan berwajah tampan mendekatinya sambil
berbisik, “He, kau tahu bahwa nanti malam akan datang sekelompok kawan kita
yang dipimpin oleh Kiai Jalawaja?”
“Ya. Tadi Kiai Kelasa Sawit
juga mengatakan. Kemarin pun hal itu sudah disinggungnya sebelum terjadi
peristiwa di tengah bulak itu.”
“Jika saja kita semua tidak
mengemban tugas yang sangat penting maka aku kira Kiai Kelasa Sawit tidak akan
mengekang diri lagi.”
Kawannya yang berwajah tampan
itu berhenti sejenak. Mereka masih sempat menyaksikan Kiai Kelasa Sawit
meninggalkan tempatnya dan kembali ke dalam rumah induk dari padepokan yang
sudah menjadi semakin rusak itu.
“Kenapa Kiai Jalawaja singgah
di sini?” bertanya orang berkumis melintang tiba-tiba.
“Tidak seorang pun yang
mengetahuinya dengan pasti. Tetapi ia akan datang dan kemudian kita
bersama-sama akan pergi meninggalkan tempat ini.”
“Bagaimana dengan dendam
kita?”
“Tentu saja kita melepaskan
dendam itu lebih dahulu sebelum kita meninggalkan tempat ini.”
“Baru kita merasa puas. Jika
kematian yang demikian itu tidak dituntut taruhannya, maka kita akan kehilangan
kesetia-kawanan kita. Dan itu akan melemahkan gairah perjuangan kita.”
“Tentu,” sahut kawannya, “dan
kita tidak mau membiarkan dendam tetap menyala di hati.”
“Kita akan menunggu perintah.
Tetapi pasti setelah Kiai Jalawaja ada di sini.”
“Kekuatan kita akan berlipat.
Kiai Jalawaja adalah orang yang luar biasa seperti Kiai Kelasa Sawit.”
“Bahkan mungkin melampauinya
meskipun hanya selapis tipis.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Mereka merasa bangga akan pemimpin-pemimpin mereka yang memiliki kelebihan dari
orang kebanyakan. Dan bahkan sebagian dari mereka, benar-benar ingin mencoba
membenturkan diri dengan prajurit-prajurit Pajang yang ada di Jati Anom. Mereka
merasa bahwa mereka memiliki kemampuan yang akan dapat menandingi kekuatan
prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom jika benar-benar terjadi benturan
kekuatan itu.
“Sekali-sekali prajurit Pajang
itu harus dihadapi dengan kekerasan agar mereka mengerti, bahwa mereka bukan
orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa sehingga setiap hidung harus
menundukkan kepalanya di hadapan mereka,” geram seorang pengawal yang gemuk dan
berkepala botak.
Dalam pada itu, Kiai Kelasa
Sawit justru menjadi semakin bernafsu untuk melepaskan dendamnya. Sekali lagi
ia memperingatkan agar orang-orangnya mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahkan
kemudian ia pun berpesan, agar orang-orangnya yang masih tersebar di sekitar
Jati Anom, di jalan yang memintas di sebelah selatan Gunung Merapi yang menuju
ke Prambanan dan jalan-jalan lain yang mungkin dilalui oleh orang-orang yang
mencari bantuan ke daerah selatan, segera ditarik dan dipersiapkan untuk
melakukan gerakan di malam nanti setelah Kiai Jalawaja datang di Padepokan
Tambak Wedi.
Sementara orang-orang yang
berada di Padepokan Tambak Wedi itu bersiap-siap dan membenahi semua
senjatanya, maka prajurit-prajurit yang meninggalkan padepokan itu berpacu
menuruni kaki Gunung Merapi, meluncur dengan kencang ke Jati Anom. Di sepanjang
jalan, mereka tidak henti-hentinya membicarakan sikap dan gerak hati Kiai
Kelasa Sawit menghadapi perintah Panglima Untara. “Agaknya Kiai Kelasa Sawit
sudah tidak dapat mengekang diri lagi,” berkata perwira yang memimpin
sekelompok prajurit itu. “Agaknya ia benar-benar akan melepaskan dendamnya.”
“Tetapi mereka masih berusaha
untuk menghormati kita,” desis salah seorang prajurit.
“Ya. Tetapi menilik kesan yang
tersirat di wajahnya, aku menganggap bahwa yang dikatakannya itu hanyalah
sekedar sikap yang pura-pura, atau katakanlah karena ia masih menganggap kita
wakil resmi dari Untara, dan yang berarti kepanjangan limpahan tugas dari Kanjeng
Sultan di Pajang.”
“Mungkin. Atau mungkin juga ia
masih berusaha untuk mengurangi jumlah lawan. Jika mereka berterus terang
membangkang, maka Senopati Untara, sebagai panglima yang mendapat wewenang
penuh di daerah ini pun tentu akan segera bertindak sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu.”
“Memang dapat diambil banyak
sekali kemungkinan. Tetapi yang pasti, Kiai Kelasa Sawit akan mencoba
membinasakan kelompok Kiai Raga Tunggal.”
“Lalu bagaimanakah sebaiknya
dengan kelompok Kiai Raga Tunggal? Agaknya mereka pun telah bersiaga.”
“Aku kira kekuatan Kiai Raga
Tunggal tidak banyak berarti melawan kekuatan dari Tambak Wedi itu.”
Untuk beberapa saat prajurit
yang berpacu kembali ke Jati Anom itu saling berdiam diri. Mereka mencoba
membayangkan dua kekuatan yang akan saling berbenturan.
Prajurit-prajurit Pajang itu
sudah banyak mengenal Kiai Raga Tunggal dengan anak buahnya. Menilik kekuatan
yang nampak di Tambak Wedi, maka sulitlah bagi Kiai Raga Tunggal untuk bertahan
meskipun Kiai Raga Tunggal sendiri adalah orang yang pilih tanding. Namun
bagaimana pun juga, jumlah orang di masing-masing pihak akan menentukan juga,
apakah yang bakal terjadi. Apalagi menurut pendengaran prajurit-prajurit
Pajang, Kiai Kelasa Sawit adalah juga seorang yang memiliki banyak kelebihan
dari orang kebanyakan.
“Ki Lurah,” tiba-tiba seorang
prajurit berdesis kepada perwira yang memimpin kelompok itu, “apakah tidak
sebaiknya Kiai Raga Tunggal diberitahu saja bahwa persiapan di Tambak Wedi itu
tidak akan terlawan olehnya, dan untuk sementara mengamankannya di dalam barak
prajurit-prajurit di Jati Anom.”
“Mungkin dapat menyelamatkan
Kiai Raga Tunggal. Tetapi kita harus menggantikan kedudukannya agar rakyat yang
tidak bersalah tidak menjadi sasaran kemarahan orang-orang Tambak Wedi.”
Prajurit itu menarik nafas
dalam. Tiba-tiba saja menggeloralah jiwa keprajuritannya dan terlebih-lebih
karena usianya yang masih cukup muda, “Itu barangkali lebih baik, Ki Lurah.
Kita memang harus bertindak tegas menghadapi Kiai Kelasa Sawit yang nampaknya
agak berbeda dengan kelompok-kelompok yang lain yang sudah dapat kita awasi
sebaik-baiknya.”
“Kita hanya dapat melaporkan
apa yang kita lihat. Ki Untara-lah yang akan mengambil keputusan menurut
penilaiannya atas pengamatannya. Ia tentu mendapat gambaran yang lebih luas
tentang keadaan di lereng Merapi dalam keseluruhan.”
Prajurit itu pun kemudian
berdiam diri. Memang segala sesuatunya tergantung sekali kepada
keterangan-keterangan yang didengarnya dari segenap petugas sandinya.
Sejenak kemudian, ketika
kelompok yang pergi ke Tambak Wedi itu sudah berada di Jati Anom, maka Untara
telah memanggil beberapa orang perwira yang terpercaya untuk memecahkan
persoalan yang sedang dihadapinya.
“Memang sulit,” berkata
seorang perwira yang sudah lebih tua dari Untara, “jika kita tidak bertindak
cepat, maka persoalannya akan menjadi semakin berkepanjangan.”
“Ya,” sahut Untara, “agaknya
Tambak Wedi sudah siap bukan saja melawan kelompok-kelompok kecil yang ada di
lereng Merapi, tetapi juga melawan prajurit Pajang.”
“Karena itu, maka sebaiknya
kita pun bersiap untuk bertempur. Aku kira memang tidak ada jalan lain,” potong
seorang perwira muda.
Untara mengangguk-angguk. Lalu
katanya, “Kita tidak tahu pasti kekuatan yarg ada di Tambak Wedi. Sebenarnya
kekuatan yang sedang berada di tempat itu patut dicurigai. Kekuatan itu menurut
laporan yang sampai kepadaku, bukan sekedar kekuatan kelompok penjahat yang
betapa pun besarnya. Tetapi laporan terakhir menggambarkan seolah-olah di
Tambak Wedi ada pasukan segelar sepapan.”
Perwira-perwira yang sedang
berbincang itu nampak merenung. Gerombolan yang ada di Tambak Wedi memang
merupakan gerombolan yang lain. Gerombolan yang agaknya mempunyai niat
tertentu, bukan sekedar sekelompok penjahat yang memburu korbannya di sepanjang
jalan.
“Karena itu,” berkata Untara
kemudian, “bukan maksud kita memberikan pengakuan terhadap kehadiran
gerombolan-gerombolan yang lain. Tetapi menghadapi kekuatan yang tidak kita
ketahui ini, kita dapat memanfaatkannya.”
“Maksud Ki Untara?” bertanya
seorang perwira yang lain.
“Kita akan mempergunakan
mereka untuk ikut melawan kekuatan di Tambak Wedi.”
Seorang perwira yang sudah
lebih tua dari Untara bergeser setapak. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia
berkata, “Ki Untara. Apakah hal ini tidak perlu kita pikirkan masak-masak
terlebih dahulu. Jika kita mempergunakan mereka, maka rasa-rasanya kita pernah
berhutang budi. Selanjutnya kita akan mendapatkan kesulitan untuk bertindak
tegas terhadap mereka. Bantuan mereka yang tidak seberapa besarnya itu, akan
selalu mereka ungkat dalam setiap persoalan.”
“Kau salah memperhitungkan
keadaan,” jawab Untara, “merekalah yang mempunyai persoalan dengan Tambak Wedi.
Kita akan datang melindungi mereka pada saatnya. Bukankah dengan demikian kita
akan dapat mengatakan kepada mereka, bahwa tanpa kita mereka sudah binasa?”
Perwira itu termenung sejenak.
Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Ya. Demikianlah
agaknya. Tetapi apakah hal itu tidak akan membuat penduduk di sekitar
sarang-sarang gerombolan itu menjadi kacau?”
“Mereka harus memancing
pertempuran di luar padukuhan. Tetapi jika mereka menghindar sama sekali, itu
pun akan berakibat buruk bagi penduduk yang sama sekali tidak tahu-menahu.
Orang-orang Tambak Wedi tentu akan melepaskan kemarahan mereka kepada penduduk
di sekitar sarang-sarang Kiai Raga Tunggal, dan bahkan mungkin mengira bahwa
mereka memang bersembunyi di rumah-rumah itu.”
Perwira-perwira yang sedang
berbincang itu mengangguk-angguk. Agaknya jalan itu adalah jalan yang sebaik-baiknya.
Bersama-sama dengan kekuatan gerombolan yang sebenarnya memang mempunyai
persoalan dengan orang-orang Tambak Wedi melawan kekuatan Kiai Kelasa Sawit.
Dengan demikian agaknya dua hal yang dapat dicapai oleh prajurit Pajang di Jati
Anom. Mereka akan mempunyai pengaruh yang semakin mencengkam atas
gerombolan-gerombolan yang mereka lindungi, dan kemungkinan yang lebih buruk
lagi bagi prajurit-prajurit Pajang menghadapi rahasia di Tambak Wedi dapat
dikurangi.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba seseorang bertanya, “Ki Untara. Apakah Kiai Gringsing tidak akan
datang lagi kemari?”
Ki Untara mengerutkan
keningnya. Sejenak ia ragu-ragu untuk menjawab dengan tegas. Namun kemudian
katanya, “Mungkin ia akan datang menjelang senja setelah menitipkan anak muda
yang bernama Rudita itu di Sangkal Putung. Biasanya Kiai Gringsing tidak
mengingkari janji jika tidak ada sesuatu yang gawat telah terjadi.”
Yang bertanya tentang Kiai
Gringsing itu mengangguk-angguk. Meskipun ia seorang perwira yang mempunyai
pengalaman yang luas, tetapi pengenalannya atas Kiai Gringsing menumbuhkan
harapan baginya, bahwa kehadiran Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar akan dapat
membantu mengatasi kesulitan.
Akhirnya Untara berkata,
“Meskipun demikian, kita jangan terlalu mengharapkannya. Kita memperhitungkan
kekuatan yang ada pada kita. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti
kekuatan yang ada di Tambak Wedi, namun sikap hati-hati adalah sikap yang
paling baik. Kita harus menyiapkan semua kekuatan yang ada. Kita tidak mau
terperosok ke dalam kesulitan hanya karena kita menganggap bahwa lawan kita
hanya sekedar sebuah gerombolan pencuri ayam.”
Perwira yang ada di dalam
pertemuan itu mengangguk-angguk. Laporan yang mereka dengar tentang Tambak Wedi
memang mengharuskan mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Sementara itu, telah menyusul
pula laporan dari beberapa orang petugas sandi, yang melihat hubungan yang
tergesa-gesa antara Kiai Raga Tunggal dengan gerombolan-gerombolan yang lain.
Mereka melihat orang-orang berkuda yang hilir-mudik membawa pesan. Meskipun
petugas-petugas sandi itu tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan, namun
agaknya mereka telah membuat kesepakatan untuk bersama-sama menghadapi kekuatan
yang ada di Tambak Wedi.
Namun petugas sandi yang lain,
yang bekerja di sawah di bulak antara padukuhan-padukuhan yang berpencaran di
lereng Gunung Merapi, telah melaporkan melihat sekelompok orang-orang berkuda
yang menyusuri hutan di sebelah selatan dan hilang ke dalamnya.
“Siapakah mereka itu?”
bertanya seorang perwira.
“Kami belum mengenal mereka.
Tetapi menilik pakaian dan sikapnya kami menduga bahwa mereka adalah kelompok
yang kini berada di Tambak Wedi.”
“Apakah yang mereka lakukan di
sana?”
“Aku tidak dapat mendekat.”
Ki Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kekuatan gerombolan di Tambak Wedi memang tidak dapat
diabaikan.
“Baiklah,” berkata Untara,
“kita harus menghadapinya dengan seluruh kekuatan. Kita tidak dapat mendahului
menyerang Tambak Wedi yang dikelilingi dengan dinding batu yang kuat. Agaknya
akan sangat berbahaya. Pertahanan yang dibangun di balik batu-batu padas,
memberi kesempatan lebih banyak kepada mereka. Juga jika kemudian mereka
memasuki regol dinding batunya.”
“Jadi apakah yang akan kita
lakukan?”
“Kita tidak akan membiarkan
mereka memusnakan dengan kejam gerombolan-gerombolan kecil yang masih ada di
lereng Gunung Merapi. Jika kita berhasil menghalau orang-orang Tambak Wedi dan
apalagi menghancurkan mereka, mudah-mudahan dapat menggugah hati
gerombolan-gerombolan kecil itu untuk menyadari bahwa yang mereka lakukan
selama ini tidak ada artinya sama sekali, sehingga mereka mau mencari jalan
lain yang lebih baik.”
“Jika demikian, apakah yang
segera dapat kita perbuat?”
“Masih ada waktu. Temui Kiai
Raga Tunggal dan beberapa orang yang lain.”
“Maksud Ki Untara?”
“Kita akan memberitahukan,
apakah yang mungkin terjadi dan apakah yang harus mereka lakukan.”
Beberapa orang perwira menjadi
ragu-ragu. Salah seorang dari mereka berkata, “Bagaimanakah jika sekarang Kiai
Kelasa Sawit telah mulai dengan gerakannya tanpa menunggu senja?”
Ki Untara termenung sejenak,
lalu, “Jika demikian, kalian sajalah segera pergi kepada mereka. Agaknya memang
berbahaya bagi anak buah mereka, jika pada suatu saat dengan tiba-tiba pasukan
Kiai Kelasa Sawit telah datang.”
Untara pun kemudian memberikan
beberapa petunjuk yang harus disampaikan kepada gerombolan-gerombolan kecil.
Jika mereka sudah berniat untuk menghadapi Kiai Kelasa Sawit bersama-sama, itu
agaknya memang lebih baik. Tetapi jangan membuka garis pertempuran di padesan
meskipun agak memberikan keleluasaan dan perlindungan. Mereka harus memancing
lawan ke luar padukuhan dan bertempur di tempat terbuka.
“Katakan kepada mereka,”
berkata Untara, “prajurit Pajang akan melindungi mereka jika ternyata Kiai
Kelasa Sawit benar-benar mengadakan gerakan. Tetapi ingat, segala persiapan
harus dilakukan tanpa membuat kegelisahan. Mereka harus dengan perlahan-lahan
menghimpun orang-orangnya dan dalam kelompok-kelompok kecil memerintahkan
mereka berkumpul di tempat terbuka. Dengan demikian maka Kiai Kelasa Sawit
tidak akan melakukan pertempuran di antara rumah-rumah penduduk yang tidak tahu
menahu persoalannya.”
Beberapa orang perwira yang
mendapat tugas itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu Untara berkata
selanjutnya, “Prajurit Pajang akan datang dalam gelar, dan mencoba mencegah
jatuhnya korban lebih banyak. Semua usaha dengan pembicaraan telah dilakukan.
Tetapi jika terpaksa harus dipergunakan senjata, apa boleh buat.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi gerombolan-gerombolan kecil itu harus diperingatkan.
Jika mereka ingin memanfaatkan keadaan ini, dan justru memancing perselisihan
lebih dahulu, maka mereka pun akan dibinasakan sama sekali.”
Dengan pesan-pesan itulah,
maka beberapa orang perwira itu pun kemudian berpencar ke sarang-sarang
penjahat yang bertebaran.
Namun agaknya setiap orang
dari mereka telah lebih dahulu mendengar dari Kiai Raga Tunggal, dan telah
mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
“Lakukan pesan Ki Untara,”
perintah perwira-perwira itu.
Para pemimpin gerombolan yang
tersebar di lereng Gunung Merapi itu termangu-mangu. Dari para perwira mereka
mendapat penjelasan, bahwa Kiai Kelasa Sawit memang mempunyai kekuatan yang
cukup besar.
Ada beberapa orang di antara
mereka yang menjadi ragu-ragu. Namun jika kemudian Kiai Kelasa Sawit pada suatu
saat berbuat sesuatu atas mereka, maka mereka akan menjadi semakin sulit tanpa
kerja sama dengan gerombolan-gerombolan lain yang di dalam saat-saat yang lain
justru paling bersaing.
Karena itu, maka akhirnya
mereka pun tidak dapat memilih jalan lain kecuali bersama-sama menghadapi
kekuatan Kiai Kelasa Sawit. Apalagi pasukan Pajang di Jati Anom telah bersedia
ikut campur untuk melerai dan mengatasi keadaan.
Ternyata bahwa sikap Untara
itu menimbulkan kesan tersendiri pada gerombolan-gerombolan yang tersebar itu.
Rasa-rasanya mereka mulai melihat, sesuatu yang lain dari yang nampak selama
ini, seolah-olah prajurit Pajang hanya selalu merintangi dan mengancam tidak
ada habis-habisnya.
Kini ketika bahaya yang
sebenarnya mengancam golongan mereka, perwira Pajang datang kepada mereka
memberitahukan hal itu dan menyediakan diri untuk mencegah korban yang lebih
banyak lagi.
Meskipun mereka menyadari,
bahwa tindakan prajurit Pajang itu tentu bukannya tanpa maksud, tetapi bahwa mereka
tidak membiarkan saja gerombolan-gerombolan itu saling menghancurkan, dan baru
kemudian mengambil tindakan, adalah sikap yang dapat menumbuhkan pendekatan di
hati mereka.
Dengan demikian ternyata bahwa
prajurit Pajang di Jati Anom tidak sekedar menghendaki kehancuran mereka.
Tetapi prajurit Pajang masih tetap mencari jalan agar mereka menyadari
kesesatannya dan berusaha untuk menunjukkan jalan yang lurus.
Karena itulah, setelah mereka
mempertimbangkan persoalannya dari segala segi penglihatan, mereka pun kemudian
dengan sepenuh hati mempersiapkan diri. Mereka semakin mantap menyusun kekuatan
untuk menghadapi kekuatan Kiai Kelasa Sawit dari Tambak Wedi. Betapa pun
orang-orang yang berada di Tambak Wedi itu dibayangi oleh rahasia yang gelap,
namun mereka merasa lebih baik menghadapi dengan persiapan sepenuhnya daripada
membiarkan diri mereka dihancurkan tanpa perlawanan sama sekali.
Demikianlah, menjelang
matahari bersembunyi di balik gunung terasa bahwa lereng Merapi menjadi semakin
panas. Betapa pun setiap kelompok berusaha uutuk tidak menimbulkan ketegangan
di antara penghuni lereng Merapi, namun timbul pula beberapa pertanyaan di hati
mereka. Mereka tidak dapat dikelabui seluruhnya mengenai persiapan yang
dilakukan oleh setiap gerombolan dari lingkungan masing-masing, sehingga
beberapa orang yang melihat kelompok-kelompok kecil yang meninggalkan daerah
tempat tinggal dan sarang-sarang gerombolan itu menjadi cemas. Apalagi mereka
yang melihat, bahwa tidak hanya satu kelompok kecil sajalah yang keluar dari
sarang. Tetapi beberapa kelompok, dan bahkan hampir semua orang yang ada di
dalam setiap kelompok. Anggota mereka yang tinggal di dalam padukuhan pun
dengan diam-diam telah meninggalkan rumah mereka dan berhimpun dengan
kawan-kawan mereka, lengkap dengan senjata masing-masing.
“Apakah yang akan terjadi?”
bertanya orang-orang yang melihat itu di dalam hati.
Tetapi ketika
kelompok-kelompok itu pergi menjauhi padukuhan mereka, maka mereka pun menjadi
agak tenang.
“Jika harus terjadi sesuatu,
maka yang terjadi itu tidak akan terlampau banyak melibat padukuhan ini,”
berkata orang-orang itu di dalam hati.
Demikianlah maka menjelang
senja, kelompok-kelompok kecil yang berkumpul dari beberapa padukuhan dan
sarang-sarang gerombolan yang berpencar itu pun telah mendekati pategalan
sarang gerombolan yang dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal. Seperti yang di
pasangan lawan pasukan Kiai Kelasa Sawit di pategalan terbuka yang tidak dihuni
orang. Dengan demikian, maka pertempuran yang akan terjadi di antara gerombolannya
bersama-sama dengan gerombolan-gerombolan yang berpencaran di lereng Gunung
Merapi itu tidak akan menimbulkan banyak korban di antara penduduk yang tidak
tahu-menahu persoalannya.
Ketika hari mulai gelap, maka
berkumpullah kelompok-kelompok itu bersama pemimpin-pemimpin mereka. Sejenak
kemudian Kiai Raga Tunggal pun segera berunding dengan para pemimpin
gerombolan-gerombolan yang datang itu untuk menentukan cara perlawanan mereka.
“Kiai Kelasa Sawit bukan orang
kebanyakan,” berkata Kiai Serat Wulung, “kita harus menghadapinya dengan
hati-hati.”
“Sudah tentu,” sahut Kiai Raga
Tunggal, “jika perlu tidak hanya seorang dari kita yang akan menghadapinya.”
“Ya. Dua atau tiga orang.”
Pembicaraan yang berlangsung
dengan tergesa-gesa itu pun telah menentukan, kelompok-kelompok yang akan
berada di kiblat yang memungkinkan datangnya kekuatan terbesar dari Tambak
Wedi, sedang yang lain harus menebar di segala arah, karena kemungkinan yang
lain, bahwa pasukan dari Tambak Wedi itu akan mengepung pategalan itu dari
segala jurusan.
Sementara itu, bukan saja
sarang Kiai Raga Tunggal yang menjadi sibuk. Tetapi juga di
kademangan-kademangan di sebelah-menyebelah Jati Anom. Meskipun para demang dan
jagabaya di padukuhan itu juga berusaha untuk tidak membuat hati penduduknya
menjadi cemas, namun mau tidak mau kesiagaan anak-anak muda dan
pengawal-pengawal kademangan itu pun telah menumbuhkan berbagai pertanyaan.
Namun setiap kali seseorang bertanya kepada anak-anak muda dan pengawal yang
sedang berjaga jaga itu, maka jawab mereka selalu sama.
“Ah, tidak apa-apa. Kami
sekedar berhati-hati saja.”
Pada saat yang bersamaan,
prajurit Pajang pun telah siap pula untuk mengatasi segala kemungkinan yang
akan timbul di daerah kaki Gunung Merapi itu.
Jika orang-orang yang berada di
Tambak Wedi, benar-benar tidak mau mengindahkan diri, maka lereng Gunung Merapi
akan segera menjadi ajang pertempuran yang seru. Karena menurut perhitungan
para petugas sandi dari Pajang, kekuatan di Tambak Wedi memang cukup besar.
Meskipun demikian, Untara
masih sempat mengirimkan beberapa kelompok kecil prajuritnya untuk membantu
memberikan ketenangan pada pudukuhan-padukuhan dan kademangan-kademangan yang
paling dekat dengan daerah yang akan menjadi sasaran. Selain anak-anak muda dan
pengawal-pengawal yang memang dipersiapkan dengan diam-diam atas perintah
Untara, maka para prajurit itu pun akan bertugas membantu mereka, jika terjadi
sesuatu.
Ternyata bukan di lereng
Gunung Merapi dan di sekitarnya sajalah yang nampak persiapan-persiapan yang
meningkat. Terutama di dataran di sebelah selatan. Prajurit-prajurit Pajang
yang berada di Kademangan Prambanan pun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan jika terjadi arus yang mengalir ke selatan dari benturan-benturan
yang terjadi.
Selain Prambanan, maka di
Sangkal Putung pun nampak ada perubahan di dalam penjagaan di gardu-gardu
perondan. Kedatangan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita yang
mengantarkan Rudita telah menggerakkan Ki Demang di Sangkal Putung untuk
menyusun pengawalan yang lebih baik dari pengawalan sehari-hari. Apalagi karena
perjalanan Kiai Gringsing dan kawan-kawannya dari Jati Anom telah mengalami
gangguan di perjalanan, sehingga agaknya arah yang mereka lalui itu mendapat
perhatian yang cukup dari orang-orang yang berada di Tambak Wedi.
Namun dalam pada itu, yang
paling kecewa adalah Swandaru dan Agung Sedayu. Mereka tidak dapat ikut berbuat
apa pun juga di luar halaman kademangan. Agung Sedayu masih mendapat kesempatan
untuk mengelilingi Kademangan Sangkal Putung melihat-lihat kesiagaan anak-anak
muda. Tetapi Swandaru sama sekali tidak boleh keluar dari halaman, justru
karena saat-saat perkawinannya menjadi lebih dekat.
“Sekarang kau mempunyai kawan
baru,” berkata Agung Sedayu yang menjadi gembira karena kehadiran Rudita di
antara mereka, “karena itu, aku mendapat kesempatan untuk keluar dari halaman
ini.”
“Kenapa kau menjadi sibuk
Agung Sedayu?” bertanya Rudita.
“Kau mengetahui, apakah yang
sedang terjadi di Jati Anom.”
“Sebenarnya kita tidak perlu
berbuat apa-apa. Seandainya mereka datang kemari, asal kita tidak melakukan
perlawanan sama sekali, mereka tidak akan berbuat apa pun di sini. Mungkin
mereka hanya sekedar lewat atau singgah beberapa saat. Tetapi jika mereka
melihat kita mempersiapkan diri, maka memang kemungkinan benturan akan
terjadi.”
Agung Sedayu dan Swandaru
saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Swandaru-lah yang menjawab,
“Rudita. Kita tentu tidak tahu, apakah mereka hanya sekedar lewat atau
bermaksud buruk di kademangan ini. Seandainya segerombolan penjahat yang
terdesak dari utara atau dari barat, lewat di padukuhan ini, namun karena
mereka memang segerombolan perampok, dan mereka merampok barang-barang berharga
di padukuhan ini, tenlu kita tidak akan tinggal diam.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Selama masih ada kecurigaan dan sikap bermusuhan, maka
ketenangan dan kedamaian tentu tidak akan terwujud. Seseorang yang sebenarnya
sudah ingin bertobat, tetapi dengan penuh curiga orang-orang di sekitarnya
tidak mau menerimanya, maka ia akan melonjak kembali dan akan mengulangi segala
macam kesalahan yang pernah dilakukannya.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Namun Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Kau benar, Rudita. Kita
memang harus bersikap damai untuk dapat membantu menciptakan kedamaian. Kecurigaan
di antara sesama adalah sumber keributan.”
Rudita memandang Agung Sedayu
dengan heran. Tetapi Agung Sedayu menjelaskan seterusnya, “Tetapi kadang-kadang
seseorang dengan maksud yang tidak baik memanfaatkan sikap damai dari sesama.
Mereka justru mengambil keuntungan yang tidak sewajarnya tanpa menghiraukan
korban yang dapat jatuh karenanya. Itulah sebabnya, kami mengambil jalan tengah
sekarang ini. Kami mempersiapkan diri dengan diam-diam tanpa memancing
perhatian orang lain.”
Rudita menggeleng lemah.
Katanya, “Soalnya bukan pada dengan terang-terangan atau dengan diam-diam.
Persoalan yang sebenarnya adalah di dalam hati kita masing-masing. Tidak ada
kedamaian yang pura-pura seperti itu.”
“Aku mengerti, Rudita,”
berkata Agung Sedayu, “tetapi kami masih terlibat dalam kenyataan hidup
lahiriah di samping yang rohaniah. Berbahagialah mereka yang telah berhasil
menempatkan dirinya di atas kepentingan lahiriah sejauh-jauh dapat dilakukan
tanpa memisahkan diri dari kehidupan yang wajar. Tetapi kami belum dapat
melepaskan sama sekali kenyataan hidup wadag ini, Rudita. Dan itu adalah
kelemahan kami, kelemahan manusia pada umumnya. Sebab adalah sifat manusiawi
pula untuk tetap mempertahankan hidup serta kehadiran bangsa dan jenisnya.”
“Sifat manusiawi yang
dilandasi oleh keangkuhan dan kesombongan yang tidak berarti. Manusia merasa
dirinya sendiri dapat mempertahankan nilai-nilai kehidupan mereka dan
terlebih-lebih lagi bangsa dan jenisnya. Kenapa kita tidak dengan ikhlas
menyerahkan semuanya kepada Sumber Hidup kita.” Rudita berhenti sejenak, lalu,
“Dan inilah keanehan dari manusia wadag. Mereka berjuang mempertahankan jenis
mereka, tetapi mereka juga berjuang untuk memusnahkan jenis mereka sendiri
dengan peperangan dan kekerasan. Jika manusia sudah bersentuhan kepentingan
maka yang tumbuh adalah sifat-sifat manusiawi yang diwarnai oleh ketamakannya
saja. Bukan kedamaiannya.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti sepenuhnya jawaban Rudita itu. Demikian
pula Swandaru. Namun mereka ternyata lebih dekat bersentuhan dengan masalah
lahiriahnya di samping yang rohaniah. Meskipun di dalam hati mereka mengakui,
betapa lemahnya ketahanan kepercayaan mereka terhadap Kekuasaan Tertinggi,
namun kadang-kadang mereka merasa bahwa mempertahankan diri adalah suatu yang
tak terhindarkan.
“Alangkah bersihnya hati
Rudita,” berkata Agung Sedayu di dalam hati, “setelah mengalami
goncangan-goncangan di dalam dirinya ia telah menemukan sikap dan masak.
Sayang, ia berdiri seorang diri di tengah-tengah arus gejolak manusia yang
masih saja dicengkam oleh ketamakan dan keangkuhan seperti yang dikatakannya.
Jika kebanyakan orang bersikap seperti Rudita sebenarnyalah kedamaian yang
diimpikan setiap manusia akan segera lahir di dalam lingkungannya. Tetapi
sayang, Rudita benar-benar seorang diri. Namun agaknya ia adalah batu karang
yang tidak goyah lagi oleh benturan ombak ketika laut menjadi pasang dan angin
bertiup dengan kencang.”
Dari Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar, Agung Sedayu dan Swandaru dapat mendengar, cacat satu-satunya yang
ada pada Rudita sebagai ciri kelemahan manusiawinya adalah usahanya untuk
membuat dirinya kebal. Dan usaha itu telah memberikan hasil meskipun baru
sebagian kecil.
“Menang tidak ada kesempurnaan
di seluruh isi bumi ini. Semuanya mempunyai cacat celanya,” berkata Agung
Sedayu di dalam hatinya pula.
Namun demikian Agung Sedayu
tidak dapat mengatakan kepada Rudita, bahwa yang dilakukan oleh Sangkal Putung
itu, hampir sejalan dengan usaha Rudita membuat dirinya kebal. Tetapi bahwa
Rudita tidak akan pernah membalas setiap serangan terhadap dirinya, itulah yang
agak berbeda. Sangkal Putung akan berusaha mengusir setiap orang yang
mengganggu ketenangannya.
Bagaimana pun juga Rudita
harus menyaksikan kesiagaan di Kademangan Sangkal Putung dengan hati yang
risau. Tetapi ia sama sekali tidak kuasa untuk mencegahnya.
“Aku tidak turut campur,”
desisnya kepada diri sendiri.
Karena itulah, maka dengan
bertopang dagu ia duduk saja di gandok Kademangan Sangkal Putung menyaksikan
beberapa kesibukan di halaman. Bahkan anak gadis Ki Demang yang bernama Sekar
Mirah itu pun turut pula mengatur kesiagaan, meskipun gadis itu masih tetap
berpakaian seperti seorang gadis pada umumnya.
Ada pun Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, dan Ki Waskita, setelah menyerahkan Rudita agar tinggal untuk
sementara di Sangkal Putung, segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Jati
Anom. Meskipun semula mereka agak ragu, dan menganggap bahwa Jati Anom
mempunyai kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan dan langsung
menghancurkan.
Tetapi akhirnya mereka
menyadari, bahwa persoalan yang menjadi sebab dari benturan yang mungkin
terjadi itu adalah karena perintah Untara kepada setiap kelompok yang ada di
lereng Gunung Merapi itu untuk mencari Rudita. Kesimpang-siuran di jalan-jalan
dan di bulak-bulak panjang, ternyata telah menumbuhkan benturan yang mungkin
akan berakibat panjang.
Benturan itu tidak akan
terjadi, jika yang berpapasan adalah kelompok-kelompok yang memang sudah lama
saling mengenal meskipun ada juga perasaan bersaing di antara mereka, namun
mereka tentu akan dapat menjaga dan mengendalikan diri masing-masing. Tetapi
adalah malang bagi orang-orang Kiai Raga Tunggal yang telah bertemu di
tengah-tengan bulak dengan orang-orang Tambak Wedi.
Karena itulah, maka ketiga
orang tua itu, terutama Ki Waskita, merasa wajib untuk kembali ke Jati Anom.
Sejauh-jauh tenaga yang dapat disumbangkan, mereka harus ikut mengatasi
kesulitan yang dapat timbul.
“Ki Untara tidak akan
dihadapkan pada keadaan yang mungkin akan sulit di atasi jika kita tidak minta
bantuannya mencari Rudita,” berkata Ki Waskita. “Karena itu, maka adalah
kewajibanku terutama untuk kembali ke Jati Anom.”
“Kita akan kembali
bersama-sama,” sahut Kiai Gringsing.
“Yang lebih menarik lagi
adalah pertanda kelelawar di dada dan di sebagian dari alat-alat dan
senjata-senjata mereka,” berkata Ki Sumangkar pula.
Karena itulah maka mereka pun
segera minta diri kepada Ki Demang sebelum matahari menjadi sangat rendah dan
hilang di balik Gunung.
Semula Ki Demang berusaha
menahan mereka, tetapi setelah Ki Demang itu mendapat penjelasan dan
alasan-alasan dari ketiga orang tua itu, maka ia pun tidak dapat menahannya
lagi.
Demikianlah, setelah minta
diri kepada Agung Sedayu, Swandaru, Rudita, dan Sekar Mirah serta seluruh
keluarga di Sangkal Putung, maka ketiga orang tua itu pun mempersiapkan diri
serta kuda yang mereka bawa dari Jati Anom.
“Apakah Kiai bertiga tidak
memerlukan sekelompok pengawal yang barangkali dapat membantu Kiai di
perjalanan?” bertanya Ki Demang.
“Terima kasih, Ki Demang,”
jawab Kiai Gringsing, “aku kira kami bertiga akan dapat bergabung dengan
prajurit Pajang di Jati Anom. Sedang di perjalanan, agaknya tidak akan banyak
persoalan, karena kami akan memilih jalan lain dari yang kami lalui ketika kami
datang kemari.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Ia tahu bahwa pengawal tidak akan banyak artinya bagi ketiganya. Tetapi jika
diperlukan, maka Sangkal Putung akan dapat menyediakannya.
Namun agaknya Kiai Gringsing,
Ki Sumangkar, dan Ki Waskita merasa lebih lincah untuk pergi bertiga. Karena
itu, maka mereka tidak memerlukan orang lain yang mungkin justru akan
memperlambat perjalanan mereka.
Sebelum mereka meninggalkan
Sangkal Putung, maka Kiai Gringsing telah memberikan pesan-pesan khusus kepada
anak-anak muda yang tinggal di Kademangan. Terutama Agung Sedayu, Swandaru,
Rudita, dan bahkan Sekar Mirah. Mereka harus berhati-hati menghadapi setiap
perkembangan keadaan.
“Jangan tergesa-gesa mengambil
tindakan,” berkata Kiai Gringsing, “pertimbangkan semua perbuatan kalian sebaik-baiknya
menghadapi keadaan yang mungkin cukup membingungkan. Tetapi kita berharap bahwa
tidak ada seorang pun yang akan menjamah Sangkal Putung, karena jarak antara
Tambak Wedi dan Sangkal Putung adalah cukup jauh. Prambanan adalah daerah
ngarai yang paling mungkin disentuh oleh pergolakan yang terjadi, jika karena
tekanan Prajurit Pajang orang-orang Tambak Wedi itu pergi ke selatan. Tetapi
juga mungkin mereka akan melingkar lambung Gunung Merapi dan hilang di
celah-celah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Meskipun demikian, kalian di sini
jangan kehilangan kewaspadaan.”
Anak-anak muda itu
mengangguk-angguk. Mereka menyadari, meskipun bahaya yang langsung tidak ada
bagi Sangkal Putung, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diduga-duga
memang dapat saja terjadi.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera berpacu meninggalkan Sangkal
Putung. Mereka tidak ingin terlampau malam sampai di Jati Anom. Bahkan kemudian
mereka menjadi tergesa-gesa, karena menurut perhitungan mereka, orang-orang
Tambak Wedi yang didera oleh dendam dan kebencian, agaknya terlampau sulit
untuk dikendalikan.
Untuk menghindari
kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, maka ketiga orang itu telah
memilih jalan yang lain dari jalan yang dilaluinya ketika mereka kembali ke
Sangkal Putung. Mereka kini memilih jalan yang meskipun jaraknya bertambah
beberapa puluh tonggak, namun mereka menganggap bahwa jalan yang menyusuri
bulak persawahan dan tidak melalui daerah yang berhutan dan berbelukar tentu
lebih kecil kemungkinannya untuk bertemu dengan kelompok-kelompok dari mana pun
juga yang dapat menghambat perjalanan mereka.
Untuk tidak terganggu sama
sekali, maka mereka bertiga berusaha menghindari pedukuhan-pedukuhan yang tentu
telah bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan seperti Sangkal Putung.
Apalagi padukuhan-padukuhan yang lebih dekat. Para pengawal tentu akan
menghentikan mereka dan bertanya tentang para peronda itu dengan perbuatan yang
nyata.
Namun betapa cepatnya kuda
mereka berpacu, tetapi ketika malam mulai membayangi kaki Gunung Merapi, mereka
masih belum sampai ke Jati Anom meskipun jaraknya sudah menjadi semakin dekat.
Mereka masih harus melalui bulak-bulak pendek dan sudah tidak mungkin lagi
untuk menghindari sama sekali satu dua pedukuhan, karena tidak ada jalan lain
yang dapat ditempuh.
Karena itu, maka perjalanan
mereka pun mulai terganggu. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan, mereka
tidak dapat berjalan terus, karena beberapa pengawal bersenjata telah
menghentikan mereka di mulut jalan padukuhan itu.
“Siapakah kalian?” bertanya
pengawal-pengawal itu.
Kiai Gringsing memandang
mereka dengan ragu-ragu. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku akan pergi ke Jati
Anom.”
“Siapakah kalian?” desak
pengawal itu.
“Aku adalah paman Angger Untara.
Hari ini aku harus menghadapnya karena persoalan yang penting.”
Pengawal-pengawal itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kalian dapat
membuktikan hubungan yang ada antara kalian dan Untara?”
Kiai Gringsing menjadi
bingung. Ia tidak mempunyai bukti apa pun yang dapat dipergunakannya untuk
meyakinkan para pengawal itu. Karena itu, ia hanya, berusaha untuk meyakinkan
dengan keterangan, “Ki Sanak. Aku benar-benar mempunyai kepentingan dengan
Angger Untara. Aku memang tidak dapat membuktikan dengan cara apa pun.”
“Kalian harus turun dari-kuda
dan pergi ke banjar. Kalian harus dapat menjawab keberapa pertanyaan sebelum
kalian melanjutkan perjalanan, karena perjalanan khususnya ke daerah di sekitar
Jati Anom sedang di dalam pengawasan yang rapat.”
“Maaf, Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing, “kami sangat tergesa-gesa. Lihatlah, kami tidak bersenjata. Aku tahu
bahwa kalian sebenarnya mencurigai kami.”
“Semua orang harus dicurigai
sekarang ini.”
Ki Waskita menggamit Kiai
Gringsing sambil berdesis, “Kita berjalan terus. Aku akan bermain-main dengan
anak-anak ini.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kita berjalan terus.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar segera mengetahui maksud Ki Waskita yang mampu membuat bentuk-bentuk
semu dan dapat mengelabui orang lain.
Dan ternyata sejenak kemudian,
malam menjadi semakin gelap. Segumpal awan yang hitam telah menyelubungi ujung
padukuhan itu. Sejenak kemudian anak-anak muda yang sedang mengawal regol
padukuhannya melihat tiga ekor kuda berlari meninggalkan regol itu kembali ke
arah semula.
“Kejar, tangkap,” desis
pemimpin pengawal itu.
Namun sementara mereka
kebingungan. Kiai Gringsing dan kedua kawannya telah berpacu terus meninggalkan
para pengawal yang masih belum menyadari keadaan sepenuhnya. Baru sejenak
kemudian para pengawal itu merasa seperti bermimpi. Mereka merasa seakan-akan
melihat tiga ekor kuda dan tiga ekor yang lain berlari berlawanan arah. Namun
yang semuanya segera hilang di dalam kelamnya malam yang rasa-rasanya menjadi
semakin pekat.
Demikianlah, untuk menghindari
hambatan-hambatan yang dapat memperpanjang perjalanan, Ki Waskita setiap kali
telah membuat permainan yang membingungkan, sehingga karena itu, perjalanan
mereka tidak terganggu.
Namun demikian, rasa-rasanya
lari kudanya menjadi sangat lambat. Jati Anom masih ada di depan mereka, di
seberang beberapa bulak pendek lagi.
“Akhirnya kita sampai juga,”
desis Kiai Gringsing ketika mereka hampir sampai di ujung induk padukuhan Jati
Anom. “Nampaknya masih tetap tenang dan tidak terjadi sesuatu.”
Ki Sumangkar mengangguk.
Katanya, “Tetapi ketenangan kali ini rasa-rasanya cukup menegangkan.”
Belum lagi Kiai Gringsing
menjawab, dalam kegelapan mereka melihat bayangan sebuah barisan. Karena itu,
Kiai Gringsing dan kedua kawannya segera memperlambat derap kudanya.
“Barisan. Agaknya prajurit
Pajang telah siap dalam gelar,” desis Kiai Gringsing.
“Belum dalam gelar,” sahut Ki
Waskita.
“Ya. Tetapi sudah siap membuat
gelar,” gumam Ki Sumangkar.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing
dan kedua kawannya mendekati barisan di luar padukuhan induk Jati Anom. Agaknya
benturan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Apalagi ketika ketiganya melihat
bahwa prajurit Pajang benar-benar berada dalam puncak kesiagaannya dengan
segala ciri keprajuritannya. Tunggul, rontek, dan umbul-umbul di ujung barisan.
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya itu pun berhenti ketika dua orang prajurit menyongsongnya dengan
tombak yang tunduk. Ketiganya pun kemudian meloncat turun sambil berkata, “Aku,
Ki Sanak.”
“Siapa?”
Kiai Gringsing-lah yang
menyahut, “Kiai Gringsing dan kedua kawan-kawanku.”
“O,” prajurit itu agaknya
memang sudah mengenalnya. Katanya, “Marilah, Kiai. Silahkan. Ki Untara masih
ada di banjar. Sebentar lagi ia akan segera datang dan memimpin langsung
pasukan Pajang yang lengkap segelar sepapan.”
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Ki Sumangkar-lah yang berbisik, “Sebaiknya kita pergi ke banjar.”
“Ya. Kita akan pergi bersama
pasukan ini tanpa membawa kuda,” berkata Ki Waskita.
Kiai Gringsing pun
mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, setelah minta ijin kepada
prajurit-prajurit yang menyongsongnya, maka Kiai Gringsing pun melanjutkan
perjalanannya ke banjar Kademangan Jati Anom.
Ketika mereka sampai ke tempat
itu, ternyata Untara telah siap untuk berangkat. Tetapi ia pun sejenak berhenti
dan mempersilahkan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita untuk naik ke
pendapa banjar kademangam dan duduk sejenak.
“Kami sudah siap untuk
berangkat, Kiai,” berkata Untara.
“Hampir saja kami datang
terlambat,” sahut Kiai Gringsing.
“Kami jadi ragu-ragu apakah
Kiai benar-benar akan kembali.”
“Ki Waskita merasa, bahwa
meskipun bukan persoalan yang mutlak, tetapi setidak-tidaknya menjadi sebab
langsung dari benturan yang terjadi di lereng Gunung Merapi. Jika
kelompok-kelompok gerombolan itu tidak sedang mencari Rudita, maka mereka tidak
akan bertempur di bulak itu dan yang kemudian menjadi percikan api yang dapat
membakar seluruh daerah kaki Gunung ini.”
“Saatnya memang sudah tiba,
prajurit Pajang menunjukkan tindakan yang tegas,” berkata Untara. “Kami tidak
akan membiarkan persoalan gerombolan itu akan berlarut-larut. Persoalan ini
justru akan dapat aku pergunakan sebagai alasan untuk menghapus kehadiran
mereka semuanya dari wilayah ini.”
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi jika saatnya sudah tiba,
silahkan Angger memberikan aba-aba. Kami akan ikut serta bersama pasukan ini
dan mencoba menyesuaikan diri.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi
ke manakah Angger akan membawa prajurit segelar sepapan ini? Langsung ke Tambak
Wedi?”
“Tidak, Kiai,” jawab Untara,
“kami akan bergerak ke barat dan menunggu di ujung hutan kecil di sebelah
simpang tiga ke Bodehan. Petugas-petugas sandi kami akan melihat-lihat keadaan
seluruhnya. Jika pasukan Tambak Wedi turun, maka kami tahu sasaran yang akan
mereka tuju. Mereka tentu akan menghancurkan gerombolan yang dipimpin oleh Kiai
Raga Tunggal, yang kini telah berhimpun dengan gerombolan-gerombolan yang
lain.”
“Kemudian Angger akan datang
melerai mereka atau menghancurkan mereka semuanya?”
“Kami akan mencoba untuk
membatasi arena sehingga tidak merembet ke padukuhan. Dan menurut pertimbangan
kami, pasukan dari Tambak Wedilah yang tidak mematuhi perintah kami. Maka
gerombolan itulah yang harus dihancurkan. Kemudian dengan perlindungan yang
telah kami berikan kepada gerombolan-gerombolan kecil yang lain, kami menuntut
imbalan agar mereka menjadi sadar dan meninggalkan cara hidup yang salah itu.
Jika mereka berkeberatan, maka mereka pun akan mengalami nasib seperti
orang-orang Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Untara sudah
mendahuluinya, “Namun agaknya tugas kami kali ini cukup berat. Petugas sandi
kami melihat, sepasukan yang lain telah datang bergabung di Tambak Wedi.”
“Sepasukan yang lain? Maksud
Angger?”
“Kami belum tahu. Tetapi lewat
senja, sepasukan yang datang dari selatan telah mendekati Tambak Wedi. Semula
para petugas sandi meragukan, dan bahkan menduga akan timbul benturan. Tetapi
ternyata pasukan itu adalah bagian dari yang sudah ada.”
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Waskita terkejut mendengar keterangan itu. Menurut penilaian Untara,
pasukan yang sudah ada di Tambak Wedi itu adalah pasukan yang cukup kuat,
apalagi jika masih ada pasukan yang lain yang datang untuk menambah jumlah dari
pasukan yang sudah ada.
Dalam pada itu Untara pun
berkata, “Kiai, agaknya orang-orang yang berada di Tambak Wedi dan dipimpin
oleh Kiai Kelasa Sawit itu benar-benar akan melawan pasukan Pajang di Jati
Anom. Dengan demikian maka sudah berarti bahwa itu adalah suatu pemberontakan
yang harus ditumpas.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Untara pasti akan bersikap demikian, sikap
seorang prajurit sejati yang tidak mengenal penyimpangan selain tindakan tegas
bagi mereka yang dengan sengaja melawan kekuasaannya. Jika Untara masih dapat
bersabar menghadapi kelompok-kelompok dan gerombolan kecil, karena ia melihat,
bahwa alasan utama dari kegiatan mereka adalah benar-benar karena mereka
memerlukan makan dan pakaian bagi keluarganya meskipun akan berlebih-lebihan.
Tetapi mereka sama sekali tidak mempunyai niat, atau bahkan bermimpi pun tidak,
untuk menyentuh kekuasaan Pajang secara keseluruhan.
Tetapi agaknya gerombolan
besar yang ada di Tambak Wedi itu mempunyai latar belakang yang agak berbeda.
Karena itulah maka tidak ada jalan lain bagi Untara kecuali menghancurkannya.
Mutlak.
Demikianlah, maka saat untuk
berangkat pun segera tiba. Untara masih mengumpulkan perwira-perwira yang akan
memimpin kelompok-kelompok di dalam pasukannya. Mereka mendapat
petunjuk-petunjuk untuk menghadapi setiap kemungkinan. Dan kepada mereka pun
diberitahukan, bahwa di dalam pasukan mereka akan ikut serta tiga orang tua
yang bukan prajurit Pajang.
Perwira-perwira yang sudah
mengenal ketiga orang tua itu tersenyum menyambut pemberitahuan itu. Mereka
merasa mendapat kawan yang dapat dipercaya, sepenuhnya untuk ikut menyelesaikan
masalah yang sedang mereka hadapi. Tetapi perwira-perwira muda yang baru, yang
belum lama bertugas di Jati Anom, dan masih belum mengenal mereka, mengerutkan
keningnya dan saling bertanya, “Buat apa kita membawa tiga orang-orang tua
itu?”
“Mungkin mereka dapat
dipergunakan sebagai penunjuk jalan, atau orang yang banyak mengenal
seluk-beluk Padepokan Tambak Wedi. Sehingga mereka dapat memberikan beberapa
petunjuk mengenai daerah itu,” sahut yang lain.
Ketika seorang perwira yang
lain mendengarnya, menyahut, “Kalian belum mengetahuinya. Orang-orang itu
adalah orang-orang aneh yang memiliki kemampuan yang mengagumkan. Kau akan
melihat nanti. Bagaimana orang tua itu bermain-main dengan cambuk. Yang seorang
lagi, memiliki sebuah tongkat yang mempunyai kepala kuning berujud tengkorak.
Tetapi tongkat itu kini tidak pernah nampak dibawanya lagi, setelah ia tidak
berada di dalam pasukan Jipang.”
“Apakah ia bekas seorang
prajurit Jipang?”
“Bukan seorang prajurit.
Tetapi ia adalah saudara seperguruan dari Patih Mantahun.”
“Patih Mantahun yang mempunyai
nyawa rangkap?”
“Ya. Paman seorang senapati
muda yang namanya menggetarkan seluruh daerah Demak lama. Macan Kepatihan.
Macan Kepatihan adalah lawan Ki Untara yang seimbang.”
Perwira muda itu
mengangguk-angguk. Tetapi ia masih belum dapat membayangkan, sampai di manakah
sebenarnya kemampuan ketiga orang tua-tua itu.
Demikianlah ketika sudah
sampai waktunya, maka iring-iringan pasukan Pajang itu pun mulai bergerak.
Langit yang gelap menjadi semakin gelap, dan udara pun kian lama kian bertambah
dingin. Angin di lereng pegunungan rasa-rasanya menyusup jauh sampai ke pusat
tulang sungsum.
Di ujung barisan Untara
berjalan bersama dua orang senapati pengapitnya yang akan berada di sayap gelar
pasukannya jika pada saatnya mereka menghadapi lawan. Seorang yang bertubuh
tinggi kekar, berkumis lebat akan menjadi penjawat kiri, sedang seorang yang
agak gemuk, berwajah rapi dengan kumis sebesar lidi melintang di bawah
hidungnya, adalah penjawat kanannya.
Di belakang ketiga orang itu,
berjajar tiga orang membawa panji-panji. Kemudian beberapa orang membawa rontek
dan tanda-tanda keprajuritan yang lain. Sedangkan di belakang mereka itu adalah
pasukan khusus pengawal panji-panji, dengan senjata yang sudah ditarik dari
sarungnya.
Barulah di belakang pasukan
pengawal itu, berjalan dalam iring-iringan yang teratur, prajurit Pajang yang
lengkap segelar sepapan. Di belakang pasukan itu, sekelompok kecil prajurit
berkuda. Mereka adalah penghubung-penghubung yang akan dapat bergerak cepat,
tetapi mereka juga prajurit-prajurit terlatih yang dapat mempengaruhi medan
dengan kuda-kuda mereka yang dapat mereka kuasai sebaik-baiknya, bahkan
kuda-kuda mereka itu seolah-olah telah menjadi bagian dari tubuh mereka yang
langsung digerakkan oleh kehendak di pusat syaraf.
Di paling belakang berjalan
tiga orang tua yang sebenarnya terpisah dari keseluruhan pasukan. Tetapi
ternyata bahwa mereka merupakan orang-orang yang penting yang memang diperlukan
oleh Untara untuk menghadapi persoalan yang mungkin akan menjadi sangat gawat.
Dalam pada itu, dalam kelamnya
malam, sebenarnyalah lereng Merapi itu seakan-akan telah bergetar. Di beberapa
bagian nampak beberapa orang bersenjata sedang mempersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan. Demikian juga orang-orang yang berada di Padepokan Tambak
Wedi. Setiap dada yang seolah-olah telah dibakar oleh dendam itu pun sampai
pula saatnya untuk meledak.
Apalagi di Padepokan Tambak
Wedi itu telah hadir pula seseorang seperti yang telah direncanakan. Jalawaja,
diikuti oleh tiga orang pengawal yang memiliki kemampuan yang mumpuni beserta
sepasukan pengikut yang terpercaya.
Ketika Kiai Kelasa Sawit
mendengar laporan tentang kedatangan kelompok yang dipimpin oleh Kiai Jalawaja
itu, maka rasa-rasanya hatinya bagaikan tidak tertahankan lagi. Ia ingin segera
mengerahkan pasukannya turun lereng Gunung Merapi dan langsung menumpas
gerombolan cecurut yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Kiai Raga
Tunggal.
Namun ia masih mencoba menahan
diri. Ia menunggu sampai Kiai Jalawaja beristirahat sejenak, meneguk minuman
yang dituang ke dalam bumbung, makanan di atas tampah bambu dan sedikit
percakapan mengenai keselamatan masing-masing.
Baru sejenak kemudian, Kiai
Kelasa Sawit melaporkan apa yang telah terjadi di Tambak Wedi dan persoalan
yang telah menyinggung harga dirinya, karena beberapa orang kawannya telah
terbunuh.
Kiai Jalawaja mengerutkan
keningnya. Sejenak ia terdiam, agaknya ada sesuatu yang dipikirkannya.
“Kakang,” desak Kiai Kelasa
Sawit, “aku sudah berjanji untuk menuntut setiap nyawa dengan sepuluh nyawa
lawan. Tiga orangku terbunuh. Maka aku harus dapat membunuh sedikitiya tiga
puluh orang dari lingkungan mereka. Jika usaha pembalasanku menambah korban di
pihakku, maka korban itu pun akan aku perhitungkan pula. Karena itu, tidak ada
pertimbangan lain kecuali menumpas lawan sampai orang terakhir.
“Apakah pembalasan semacam itu
kau anggap penting?” bertanya Jalawaja.
“Tentu. Itu adalah harga diri
kita. Agar untuk selanjutnya tidak ada orang yang akan berani menghina kita
serupa itu.”
“Apakah orang-orang yang telah
bertempur dan membunuh tiga orang kita itu mengetahui siapa kita sebenarnya?”
Kiai Kelasa Sawit mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian, “Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Bahkan
orang-orang kita sendiri pun sebagian besar, selain yang terpercaya, tidak
mengetahui siapakah sebenarnya kita ini. Tetapi apabila pada hulu senjata dan
pada ikat pinggang atau sarung pedang terdapat gambar serupa dengan yang
terlukis di dadaku ini, maka setidak-tidaknya orang akan mengetahuinya, bahwa
ada hubungan antara orang-orang yang mati itu dengan tanda-tanda serupa ini.”
Kiai Jalawaja mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Itu sebenarnya suatu kesalahan yang besar.
Tanda-tanda serupa itu seharusnya tidak terdapat di sembarang tempat dan
keadaan. Sejak semula aku sudah memperingatkan agar tanda-tanda serupa itu
dihapuskan.”
“Tetapi tanda-tanda itu adalah
kebanggaan kami,” jawab Kiai Kelasa Sawit.
Kiai Jalawaja termenung
sejenak sambil mengangguk-angguk kecil. Nampaknya ia sedang membuat
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Baginya, selain membalas dendam masih ada
masalah yang harus dipersoalkan.
Namun kemudian Kiai Jalawaja
itu pun berkata, “Baiklah. Jika sudah terlanjur terjadi, bahwa tanda-tanda
serupa itu jatuh ke tangan tikus-tikus kecil. Jika kita sudah memusnahkan
mereka, dan besok meninggalkan Jati Anom, maka yang akan tinggal di daerah ini
adalah kengerian dan ketakutan atas tanda-tanda yang pernah mereka lihat. Siapa
pun yang melihat tanda-tanda serupa itu, akan selalu terkenang akan kehancuran
mutlak yang pernah terjadi di daerah ini.”
“Aku sudah memperhitungkan,
seandainya prajurit Pajang di Jati Anom ikut campur.”
“Aku tahu. Yang ada di Jati
Anom adalah Untara. Ia tidak lebih baik dari anak-anak yang sedang belajar
sodoran dengan tombak panjang dan berpacu di atas punggung kuda. Tetapi jika ia
bertemu dengan lawan yang tangguh, maka ia akan kehilangan arti sama sekali.”
Kiai Jalawaja berhenti sejenak, lalu, “Biarlah jika orang-orang Pajang di Jati
Anom ingin ikut mencampuri persoalan yang sebenarnya bukan persoalan mereka.
Mereka akan menyesal. Sultan Pajang pun akan menyesal. Dan ia akan
memperhitungkan kehadiran kita dengan ciri-ciri yang sudah terlanjur di ketahui
oleh banyak orang itu.”
“Para Senapati Pajang akan
tercengang melihat kekalahan Untara,” desis Kiai Kelasa Sawit.
“Untara tidak lebih baik dari
salah seorang di antara ketiga pengawalku itu. Karena itu, aku tidak akan perlu
ikut dalam pertempuran itu.”
“Tetapi apakah kita akan
melepaskan mereka tanpa pengawasan kita?”
Kiai Jalawaja nampaknya memang
segan sekali. Tetapi kemudian katanya, “Baiklah. Aku hanya ingin nonton
perkelahian yang tentu akan terjadi dengan sengitnya. Tetapi jika perlu, untuk
mempercepat akhir dari perkelahian itu, aku pun dapat ikut menebang ilalang di
antara pengawal-pengawalku.”
“Aku ingin melihat mayat sebanyak-banyaknya
berhamburan di lereng Gunung Merapi ini,” desis Kiai Kelasa Sawit.
“Keinginan yang sebenarnya
cukup gila. Aku sama sekali tidak melihat gunanya. Aku setuju untuk
mempertahankan harga diri dan nama kita, tetapi tidak dengan kerja yang sia-sia
serupa itu. Karena dengan demikian, kita pun tentu akan kehilangan.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apabila peristiwa ini kita anggap saja sebagai
pernyataan diri, bahwa kekuatan kami tidak terkalahkan, maka akan ada juga
sedikit gunanya bagi perjuangan kita yang lebih besar lagi kelak.”
Kiai Kelasa Sawit
mengangguk-angguk. Ia berlega hati karena Kiai Jalawaja tidak berusaha untuk
mengurungkan niatnya melakukan pembalasan dan bahkan telah menyatakan
kesediaannya untuk mempercepat penyelesaian jika pertempuran akan
berkepanjangan.
“Betapa pun besarnya jumlah
orang-orang yang berada di bawah pengaruh Kiai Raga Tunggal, dan bahkan
seandainya bergabung dengan prajurit-prajurit Pajang sekalipun, mereka akan
tumpas malam ini. Penghubung-penghubung dari Jati Anom tidak akan sempat
memberikan laporan kepada Kanjeng Sultan Pajang, dan seandainya demikian, maka
Pajang tidak akan sempat mempersiapkan bantuannya kepada Jati Anom, yang
jaraknya cukup jauh,” berkata Kiai Kelasa Sawit di dalam hatinya.
“Kakang,” berkata Kiai Kelasa
Sawit kemudian, “jika Kakang sudah merasa cukup beristirahat, maka kita akan
segera mempersiapkan diri dan berangkat menuruni lereng. Kita akan menumpas
orang-orang yang telah berani menyentuh harga diri kita itu secepat-cepatnya.
Besok pagi-pagi benar, kita sudah dapat meninggalkan padepokan tua ini dengan
hati yang lapang. Biarlah besok seisi lereng Merapi sibuk dengan kerja yang
mengerikan. Mengubur mayat yang bertebaran tanpa dapat dihitung lagi.”
“Bagaimanakah jika mereka
malam ini sudah melarikan diri,” bertanya Jalawaja.
“Persetan. Keluarganya akan
kami tumpas sampai cindil abangnya.”
Jalawaja tertawa. Katanya,
“Kau benar-benar sudah gila. Kau memang seorang pemarah yang mudah kehilangan
akal. Bagaimana mungkin kau dapat menemukan keluarganya?”
“Kakang Jalawaja belum
mengetahui, bahwa gerombolan-gerombolan kecil di lereng Gunung ini sebagian
justru terdiri dari orang-orang padukuhan yang kesrakat. Mereka bergabung dan
melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggapnya dapat memberikan makan dan
pakaian bagi keluarganya, meskipun ada di antara mereka yang memang sebenarnya
perampok-perampok yang berpengalaman.
“Jadi kau akan memasuki
padukuhan dan membunuh isinya? Apakah kau dengan mudah dapat membedakan yang
manakah keluarga gerombolan Raga Tunggal dan yang manakah yang bukan?”
“Aku tidak sempat berpikir.
Tetapi siapa yang berada di sekitar sarang gerombolan itu, mereka akan aku
hancur-lumatkan.”
Jalawaja mengangguk-angguk.
Katanya, “Terserahlah kepadamu. Aku hanya akan ikut campur jika aku merasa
perlu. Jika pertempuran itu berlangsung terlalu lambat, atau jika aku sudah
mulai mengantuk dan ingin tidur, aku akan mempercepatnya. Jika kau ingin ikut
langsung ke dalam pertempuran itu, terserahlah.”
“Ketiga pengawalmu itu?”
“Biarlah mereka membantumu,
Seorang dari mereka akan membunuh Untata jika ia ikut campur.”
Kiai Kelasa Sawit mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Aku sendiri akan membunuh anak yang sombong itu.”
“Kenapa harus kau tangani
sendiri? Jika anak-anak dapat melakukan, biarlah mereka melakukan. Jika
semuanya masih harus kau lakukan sendiri, kapan anak-anak itu menjadi dewasa?”
“Tetapi biarlah Untara
mengerti, bahwa selama ini aku hanya menahan hati saja. Sikapnya terlalu
menyakitkan hati, seolah-olah ia adalah manusia yang paling berkuasa di
permukaan bumi. Di sini ia merasa dirinya lebih berkuasa dari Sultan Pajang
sendiri.”
“Terserah kepadamu. Jika kau
ingin ikut dalam permainan anak-anak itu, lakukanlah.”
“Sebaiknya kita lihat apa yang
akan kita hadapi,” berkata Kiai Kelasa Sawit kemudian. “Kita memang dapat
menganggap lawan kita terlampau kecil, tetapi kita tidak boleh lengah. Karena
itu, aku akan mengerahkan semua kekuatan yang ada.”
“Biarlah orang-orangku
beristirahat, kecuali ketiga orang itu.”
“Tetapi ada baiknya mereka
ikut menonton. Itu tentu akan merupakan hiburan yang menyenangkan setelah
mereka menempuh perjalanan yang tegang. Cobalah Kakang bertanya kepada mereka,
aku menduga bahwa mereka lebih senang ikut daripada tidur di sore hari.”
Kiai Jalawaja menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Biarlah mereka ikut. Tetapi aku ingin
meninggalkan sekelompok pengawal yang tangguh untuk menjaga padepokan ini.”
“Aku mengerti. Dan Kakang
dapat menunjuk mereka. Juga orang-orangku yang bertugas malam ini tetap di
tempatnya masing-masing.”
Kiai Jalawaja
mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Jika kau menganggap waktunya sudah
tiba, lakukanlah rencanamu. Kami sudah cukup lama beristirahat.”
Demikianlah maka Kiai Kelasa
Sawit pun segera menyiapkan orang-orangnya. Ternyata jumlahnya melampaui dugaan
prajurit-prajurit sandi yang mengawasi mereka dari kejauhan. Kelompok-kelompok
orang-orangnya pun yang berpencaran di sekitar padepokan tua itu segera
berkumpul ketika mereka mendengar isyarat.
Dengan singkat Kiai Kelasa
Sawit memberitahukan kepada pemimpin-pemimpin kelompok, apa yang harus mereka
lakukan. Mereka harus bertindak tanpa ragu-ragu demi nama baik dan harga diri
kelompok yang selama ini masih diliputi oleh kabut rahasia bagi Pajang.
“Kedudukan kita berbeda dengan
kelompok-kelompok pencuri ternak itu,” berkata Kiai Kelasa Sawit, “karena itu,
kita jangan membiarkan diri kita dihina oleh mereka.”
Sejenak kemudian maka mereka
pun telah bersiaga. Kiai Kelasa Sawit yang sudah mendapat laporan bahwa beberapa
gerombolan kecil bergabung dengan Kiai Raga Tunggal agaknya tidak begitu
menghiraukannya.
Yang diperhitungkan oleh Kiai
Kelasa Sawit adalah justru prajurit Pajang. Tidak mustahil bahwa prajurit
Pajang tiba-tiba saja akan ikut campur dalam peperangan itu, karena Untara
telah pernah memerintahkan perwiranya untuk datang di Tambak Wedi dan mencoba
mencegah gerakan apa pun yang akan dilakukan.
“Persetan dengan Untara,”
berkata Kiai Kelasa Sawit yang telah mendapat gambaran tentang kekuatan
prajurit Pajang di Jati Anom.
“Apakah kau yakin bahwa
prajurit Pajang itu tidak lebih banyak dari orang-orangmu?” bertanya Kiai
Jalawaja pada suatu saat ketika ia melihat seorang petugas sandinya yang
melaporkan bahwa tampak tanda-tanda kesiagaan tertinggi pada prajurit-prajurit
Pajang di Jati Anom menjelang senja.
“Tidak, Kiai,” jawab petugas
sandi itu, “jumlah mereka tidak menyamai jumlah kita di sini.”
“Dan tidak ada seorang pun
yang perlu kita segani,” sambung Kiai Kelasa Sawit.
Kiai Jalawaja
mengangguk-angguk. Tetapi meskipun demikian ia berpesan, “Hati-hatilah dengan
kelicikan prajurit-prajurit Pajang yang mempunyai seribu macam akal. Aku akan
melihat pertempuran itu.”
Kiai Kelasa Sawit tidak begitu
senang mendengarnya. Berkali-kali Kiai Jalawaja mengatakan bahwa ia hanya akan
melihat, meskipun ia berjanji untuk ikut mempercepat penyelesaian jika
pertempuran itu berlangsung terlalu lamban, atau apabila ia sudah mulai
mengantuk dan ingin segera tidur.
Demikianlah, maka Kiai Kelasa
Sawit pun segera memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuruni lereng Gunung
Merapi, di bawah pimpinan Kiai Kelasa Sawit. Dengan segenap kekuatan yang ada
di padepokan itu. Kiai Kelasa Sawit ingin membuktikan bahwa pasukannya,
gerombolannya, bukan sekedar sekelompok pencuri kecil yang bergabung menjadi
satu seperti kelompok-kelompok yang ada di lereng Gunung Merapi.
Namun dalam pada itu,
sebenarnyalah Kiai Kelasa Sawit mempunyai tujuan yang lebih besar. Meskipun
tidak jelas terucapkan, agaknya Kiai Jalawaja pun sependapat, bahwa pada suatu
saat Pajang harus mengakui, bahwa ada kekuatan yang pada suatu saat akan
mengimbangi kekuatan Pajang, di daerah selatan.
“Kekuatan kita yang berada di
Istana Pajang sudah bergerak jauh ke depan,” berkata Kiai Jalawaja di dalam
hatinya, “meskipun mereka masih banyak menemui kegagalan. Maka gerakan itu
harus diimbangi dengan gerakan di luar istana, agar Pajang mengetahui, bahwa
cahaya pulung kraton sudah mulai pudar.”
Namun tiba-tiba saja Kiai
Jalawaja mengerutkan keningnya. Lalu, “Tetapi Mataram memang harus mulai
mendapat perhatian. Jika Mataram menjadi semakin besar, maka bahayanya akan
menjadi lebih besar dari kekuatan Pajang yang tersisa.”
Namun Kiai Jalawaja itu pun
kemudian menggeram, “Tetapi pada suatu saat, Mataram pun harus mengakui, betapa
kecilnya pengaruh Danang Sutawijaya sepeninggal Ki Gede Pemanahan.”
Angan-angan Kiai Jalawaja itu
terputus, ketika iring-iringan itu tiba-tiba saja berhenti.
Sejenak ia mengamati keadaan.
Di dalam keremangan malam ia melihat seseorang yang sedang berbicara dengan
Kiai Kelasa Sawit. Karena itu, maka ia pun segera mendekatinya.
“Kakang,” berkata Kiai Kelasa
Sawit, “pasukan Pajang behar-benar sudah bergerak. Tetapi seperti yang sudah
kita duga, jumlah mereka tidak sebanyak jumlah kita. Terlebih-lebih lagi,
pasukan itu dipimpin sendiri oleh Untara. Tidak lebih. Meskipun Untara berusaha
menakut-nakuti kita dengan semua tanda-tanda dan ciri-ciri keprajuritannya,
panji-panji, rontek, umbul-umbul dengan tunggul lambang kesatuannya.”
“Jadi dibawanya pula permainan
kanak-kanak itu di daerah terpencil seperti ini?” bertanya Kiai Jalawaja.
“Untara memang bodoh sekali. Kami tidak terikat sopan-santun perang gelar
keprajuritan. Kami mempunyai cara sendiri dan tata kesopanan sendiri.”
“Tentu, Kakang. Tetapi
jelasnya, bahwa agaknya kita memang akan berhadapan dengan prajurit Pajang.”
“Betapa bodohnya Untara,”
desis Kiai Jalawaja. “Jika ia melihat kita menumpas penjahat-penjahat kecil di
lereng Gunung Merapi ini, maka seharusnya ia mengucapkan terima kasih. Penjahat-penjahat
kecil itu tentu sudah membuatnya pening untuk waktu yang lama. Tetapi agaknya
ia masih ingin dibingungkan oleh cecurut-cecurut itu dan bahkan sekarang
berusaha untuk ikut campur dalam persoalan yang dapat merugikan, bukan saja
pasukannya tetapi juga nama dan bahkan nyawanya.”
“Ya, Untara akan mati,
pasukannya akan musnah. Dan nama Pajang akan menjadi semakin buram. Beberapa
orang pimpinan akan menjadi semakin ragu-ragu, dan para adipati di pesisir akan
semakin kehilangan kepercayaan. Satu-satu mereka akan melepaskan diri, sehingga
Pajang akan menjadi semakin lemah. Yang terakhir, adipati-adipati itu pun akan
bertekuk lutut kepada kekuasaan tertinggi yang akan kembali memerintah tanah
ini. Apalagi setelah Mataram kehilangan sarana hadirnya pulung kraton yang
pasti akan jengkar dari Istana Pajang,” desis Kiai Kelasa Sawit.
“Marilah,” berkata Kiai
Jalawaja, “kita akan tertempur satu kali saja. Kita tidak akan mengulanginya
kapan pun untuk melawan Untara, sehingga karena itu, Untara dan pasukannya
harus musnah. Besok kita harus sudah meninggalkan padepokan tua itu dan
bergabung dengan pasukan induk di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu. Mudah-mudahan semua kekuatan, atau pemimpin-pemimpinnya dapat hadir
pada pertemuan itu.”
Kiai Kelasa Sawit
mengangguk-angguk. Ia sudah mendapat kepastian, bahwa bersama dengan Kiai
Jalawaja, ditambah dengan tiga pengawalnya yang terkuat, ia akan dapat
memusnahkan kelompok-kelompok kecil yang sudah menyinggung harga dirinya.
Bahkan seandainya Untara turut campur pun, maka pasukan Kiai Kelasa Sawit yang
kemudian ternyata diperkuat oleh sepasukan yang datang bersama Kiai Jalawaja,
sudah siap untuk menghancurkannya.
Demikianlah pasukan itu
menyelusuri jalan sempit dilereng Gunung Merapi. Berliku-liku seperti sepasukan
semut yang menuruni dinding.
Berbagai macam senjata nampak
di tangan orang-orang yang berada di dalam iring-iringan itu. Kiai Kelasa Sawit
yang kemudian berjalan di paling depan membawa senjata yang dianggapnya paling
dipercaya untuk membinasakan Untara jika di medan ia dapat menjumpainya. Di
tangannya tergenggam sebuah tombak bermata dua, dengan ujungnya yang runcing
berduri pandan.
“Untara menurut keterangan
yang pernah aku dengar, terlampau percaya kepada pedangnya,” berkata Kiai
Kelasa Sawit di dalam hatinya, “tetapi pedangnya tidak akan banyak berdaya
melawan tombakku yang bermata kembar.”
Di belakang Kiai Kelasa Sawit
berjalan Kiai Jalawaja dengan segannya. Ia hampir tidak menghiraukan senjata
apa yang akan dipergunakannya di peperangan. Ia terlampau yakin akan
kemampuannya. Namun demikian, di lambungnya masih juga tergantung sebuah wedung
yang berhulu kayu berlian, diukir mirip kepala seekor naga yang sedang
menjulurkan lidahnya.
Di belakangnya lagi, tiga
orang pengawalnya yang dapat dipercaya, yang memiliki kemampuan tidak terlampau
jauh dari dirinya sendiri. Masing-masing membawa senjata yang hampir serupa.
Pedang panjang dengan sebuah perisai baja kecil persegi panjang yang
dipergunakannya untuk melindungi lengan kirinya, sampai ke pergelangan tangan.
Dengan perisai kecilnya, mereka sanggup menangkis serangan senjata macam apa
pun juga, bahkan bindi bergerigi pun tidak akan dapat merusakkannya.
Demikianlah maka pasukan yang
dibekali dengan dendam itu pun telah siap untuk membunuh siapa pun juga. Setiap
senjata sudah siap untuk diayunkan.
Dalam pada itu,
petugas-petugas sandi yang mengawasi gerakan itu, baik yang dikirim oleh
prajurit-prajurit Pajang, maupun pengikut-pengikut Kiai Raga Tunggal dan
kelompok-kelompok kecil yang lain, telah melihat, seolah-olah serangkaian
iring-iringan yang menjajakan kematian di sepanjang lereng Gunung Merapi.
Namun dalam pada itu,
orang-orang yang berpihak kepada Kiai Raga Tunggal pun telah melihat pula
gerakan pasukan Pajang yang ada di Jati Anom, sehingga untuk sementara mereka
masih akan dapat bermanja-manja. Meskipun demikian Kiai Raga Tunggal pun
sebenarnya cukup cemas menghadapi kenyataan, bahwa pasukan dari Tambak Wedi
yang sudah bertambah itu, menjadi semakin besar dan kuat.
“Apakah prajurit Pajang
benar-benar akan melindungi kami, atau membiarkan kami musnah lebih dahulu,
baru mereka akan mulai menghancurkan orang-orang Tambak Wedi?” pertanyaan itu
selalu membayangi Kiai Raga Tunggal dan kawan-kawannya.
Dengan cemas, Kiai Raga
Tunggal pun kemudian membicarakan apa yang harus mereka lakukan. Yang penting
bagi mereka, seperti yang harus dikehendaki oleh prajurit Pajang, memancing
pertempuran agak jauh dari padukuhan yang berpenghuni, agar tidak jatuh korban
yang tidak tahu-menahu persoalannya.
“Kita akan memancingnya,”
berkata Kiai Raga Tunggal, “kita letakkan sepasukan kecil di ujung bulak.
Merekalah yang akan menarik perhatian pasukan dari Tambak Wedi itu. Mereka akan
mengikutinya sampai ke tengah-tengah bulak. Sepasukan kecil lainnya akan menghadapi
mereka di tengah-tengah bulak itu. Sementara induk pasukan kami akan menyerang
dari lambung.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Seperti yang sudah mereka sepakati bersama, maka mereka
telah membagi tugas. Kiai Raga Tunggal-lah yang akan berada di tengah bulak itu
dengan kelompoknya. Sedang yang lain akan segera menyerang lambung.
“Tetapi jika kalian
terlambat,” berkata Kiai Raga Tunggal kemudian, “kami tentu akan musnah. Tetapi
jika kalian bertindak tepat pada waktunya, mungkin kita akan dapat memperpanjang
umur. Kami berharap bahwa prajurit Pajang akan melakukan gerakan sebelum kami
dibantai oleh orang-orang Tambak Wedi itu.”
“Apakah kita percaya kepada
Untara?”
“Aku percaya kepadanya. Tetapi
aku tidak tahu, apakah yang terpikir olehnya sekarang. Jika keadaan memaksa,
maka gerakan kita yang terakhir adalah menyelamatkan diri. Jika dengan demikian
kita harus masuk padukuhan dan orang-orang Tambak Wedi yang mengejar kami
melakukan pembunuhan tanpa semena-mena, maka barulah Untara akan menyesal jika
ia tidak bertindak sebelum hal itu terjadi. Tetapi sudah pasti. Untara tidak
mau melihat penduduk menjadi korban kebiadaban orang-orang Tambak Wedi.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk.
“Kita bersiap sekarang. Karena
jumlah kita jauh di bawah jumlah orang-orang Tambak Wedi, maka kita harus
mengurangi jumlah mereka pada benturan yang pertama terjadi di bulak itu.
Pasukan panah itu harus berhasil, sebelum terjadi benturan pedang dan senjata
jarak pendek.”
Demikian, maka Kiai Raga
Tunggal pun menyiapkan pasukannya. Ia akan menjadi umpan untuk memancing
pasukan lawan memasuki daerah tebaran anak panah dari kelompok-kelompok yang
sudah menyatukan diri itu.
Dalam pada itu maka Kiai Raga
Tunggal pun sadar, bahwa ia akan dapat mengalami keadaan yang paling buruk
apabila kawan-kawannya mengkhianatinya. Jika kawan-kawannya dengan sengaja
memperlambat serangannya beberapa saat saja, maka pasukannya akan benar-benar
menjadi musna sama sekali.
Tetapi itu adalah akibat yang
harus ditanggungkannya. Tentu tidak ada orang lain yang bersedia menjadi umpan,
karena gerombolannyalah yang pertama-tama telah berbenturan dengan gerombolan
dari Tambak Wedi itu, sehingga dengan demikian maka seolah-olah
gerombolannyalah yang mempunyai tanggung jawab terbesar di dalam benturan yang
bakal datang.
Sejenak kemudian, maka pasukan
dari Tambak Wedi pun telah menjadi semakin dekat. Beberapa pengawas telah
melaporkan bahwa iring-iringan yang mengerikan itu tengah merayap turun dan
mendekati kubu mereka.
“Baiklah,” berkata Kiai Raga
Tunggal, “benturan semacam ini sudah dapat kita duga sejak mereka berada di
Tambak Wedi untuk pertama kali, bahwa pada suatu saat kita akan bersentuhan dan
saling menyakiti hati. Bahkan kemudian saling berbunuhan. Kini semuanya itu
akan segera menjadi kenyataan. Selama ini kita adalah perampok-perampok kecil
yang masih mempertimbangkan untuk tidak membunuh korban-korban kami. Tetapi
tentu tidak saat kita melawan gerombolan dari Tambak Wedi. Kita akan membunuh
seperti mereka juga membunuh.”
Anak buah Kiai Raga Tunggal
pun menjadi berdebar-debar.
“Jika kalian mulai ngeri
melihat tandang dan cara orang-orang Tambak Wedi bertempur, itu adalah pertanda
bahwa kalian masih ragu-ragu. Bahwa kalian masih terlampau berbaik hati. Sejak
saat kalian mulai menjadi ngeri itulah, maka kalian harus membunuh
sebanyak-banyaknya agar kalian tidak justru ditelan oleh kengerian di hati
kalian sendiri.”
Anak buahnya pun kemudian
mengangguk-angguk. Tetapi dada mereka belum pernah dihinggapi kecemasan seperti
pada saat itu.
Tetapi tidak ada waktu lagi
untuk membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Laporan terakhir mengatakan,
bahwa pasukan dari Tambak Wedi itu sudah semakin dekat, sehingga kelompok
terdepan dari pertahanan Kiai Raga Tunggal telah hampir dilandanya.
“Sebentar lagi kita harus
memilih. Membunuh atau dibunuh,” berkata Kiai Raga Tunggal lantang. “Tetapi
jika kalian bertanya kepadaku, maka jawabku, aku lebih baik membunuh di
peperangan ini.”
Kata-kata Kiai Raga Tunggal
itu berhasil menyentuh jantung anak buahnya sehingga mereka pun tiba-tiba saja
menggeram sambil menarik senjata masing-masing. Senjata yang memiliki jenis dan
cirinya tersendiri. Seorang yang berkumis lebat menggenggam sebuah tombak
pendek. Sedang seorang yang bertubuh gemuk membawa sebuah bindi yang seolah-olah
berduri seperti sepotong batang enthong-enthongan. Sedang seorang yang bertubuh
tinggi kurus, berwajah garang seperti harimau, membawa sebatang canggah
bertangkai pendek. Yang lain lagi membawa parang, pedang, dan tongkat besi
berujung runcing.
Tetapi mereka yang berada di
bagian terdepan, selain senjata yang masih tetap di lambung, mereka telah
menyiapkan busur dan memasang anak panah yang siap dilontarkan.
Sejenak kemudian, maka mereka
yang bertugas di paling depan untuk menyeret pasukan dari Tambak Wedi itu ke
bulak panjang dan pategalan telah mulai mempersiapkan diri dengan hati yang
berdebar-debar. Sebab mereka akan dapat menjadi umpan pertama, dan mayatnya
akan dicincang oleh orang-orang Tambak Wedi yang penuh dendam.
Ketika ujung pasukan Tambak
Wedi itu sampai ke simpang tiga dan siap untuk langsung menuju ke sarang
gerombolan Kiai Raga Tunggal di pategalan di luar sebuah padukuhan, maka
kelompok yang telah disiapkan itu pun dengan serta-merta muncul dari balik
pematang dan batang-batang jagung muda. Sebelum orang-orang dari Tambak Wedi
itu menyadari, maka beberapa puluh anak panah pun telah meluncur menghujani
mereka.
“Gila,” Kiai Kelasa Sawit
menggeram. Ia pun kemudian memutar tombak bermata kembarnya. Beberapa anak
panah telah dipatahkannya. Namun anak panah masih saja meluncur seperti hujan.
Usaha orang-orang Kiai Raga
Tunggal untuk mengurangi lawannya ternyata berhasil. Beberapa orang yang lengah
telah terluka. Dan bahkan ada yang menjadi parah dan tidak akan mungkin mampu
bertempur untuk seterusnya.
Tetapi jatuhnya korban itu
membuat Kiai Kelasa Sawit semakin marah. Maka ia pun berteriak, “Setiap jiwa
harus ditebus dengan sepuluh jiwa lawan.”
Sejenak kemudian, maka
iring-iringan itu pun telah menebar. Dengan kemarahan yang membakar setiap
dada, mereka pun segera menyerang dengan garangnya, seperti ombak di lautan
yang sedang diputar oleh angin pusaran.
Melihat lawannya maju dalam
gelar yang menebar, meskipun belum berbentuk, maka sekelompok yang dengan
sengaja memancing lawan itu pun menarik diri, langsung masuk ke dalam daerah
yang sudah dipersiapkan.
“Tetapi satu hal yang tidak
kita bicarakan sebelumnya,” berkata pemimpin kelompok kecil itu, “kita tidak
menduga bahwa orang-orang Tambak Wedi itu maju dalam tebaran yang panjang.”
“Tidak banyak bedanya,” jawab
seorang pembantunya. Lalu, “Mereka akan dihentikan oleh Kiai Raga Tunggal
sebelum kelompok-kelompok yang lain menyerang mereka dari lambung.”
Demikianlah, maka kelompok
kecil itu mundur sesuai dengan rencana sambil menghujani lawannya dengan anak
panah. Tetapi lawannya pun telah berhasil menyusun diri dengan menempatkan
mereka yang berperisai di paling depan.
Demikianlah maka pasukan yang
dipimpin oleh Kiai Kelasa Sawit itu mendesak terus. Mereka seolah-olah tidak
menghiraukan anak panah yang menghujani pasukan mereka. Dengan perisai di
tangan kiri, maka mereka yang berdiri di paling depan maju semakin lama makin
cepat.
“Kita tidak menuju ke
sarangnya lagi,” desis Kiai Kelasa Sawit. “Kita tidak menuju ke padukuhan di
sebelah itu. Agaknya mereka telah menunggu kita di bulak panjang.”
“Dan kau dengan dungu
mengikuti kelompok kecil yang menyerang dengan anak panah itu?” bertanya Kiai
Jalawaja.
“Tentu tidak. Aku yakin bahwa
kita telah dipancing masuk ke dalam sebuah perangkap. Kita akan membentur
sekelompok pasukan lawan. Kemudian mereka akan menghimpit kita dari sisi.
Cara-cara itulah yang biasa dipakai oleh penjahat-penjahat kerdil yang merasa
dirinya pandai menyusun gelar.”
“Jadi kau sadari bahwa lambung
pasukanmu akan mendapat serangan?”
“Setiap pimpinan di dalam
pasukan ini tentu sudah menyadarinya.”
“Meskipun demikian, berikan
perintah kepada pengapitmu. Yang di kiri dan yang di kanan.”
Kiai Kelasa Sawit tidak
membantah. Ia pun kemudian mengirimkan dua orang penghubung ke sayap pasukannya
sebelah-menyebelah.
Seperti yang diduga oleh Kiai
Kelasa Sawit, maka sayap pasukannya itu pun memang sudah siap. Mereka tidak mau
melepaskan korban lagi dengan mengumpankan orang-orangnya dipatuk oleh anak
panah lawan. Karena itu, pasukan yang berperisai telah lebih dahulu menempatkan
diri di tepi barisan.
Dalam pada itu, pasukan yang
telah bersiap menyerang dari lambung melihat kesiagaan lawannya. Sejenak mereka
menjadi ragu-ragu.
Tetapi mereka sudah bertekad
untuk melawan orang-orang dari Tambak Wedi itu bersama-sama. Kemungkinan
satu-satunya itu adalah yang terbaik yang dapat mereka tempuh. Sehingga karena
itu, maka beberapa orang di antara mereka telah mencari akal.
“Kita tidak menyerang dari
lambung,” berkata salah seorang dari mereka, lalu, “tidak akan banyak gunanya.”
“Lalu?”
“Kita menunggu pasukan itu
berhenti membentur pasukan Kiai Raga Tunggal. Mungkin sayap yang lain, masih
akan menyerang lambung kiri. Tetapi kita akan melingkari pasukan itu.”
“Aku kurang mengerti.”
“Sekelompok kecil akan tetap
melontarkan anak panah dari lambung. Tetapi kita melingkar pasukan Tambak Wedi
itu. Menilik gelarnya, maka mereka tidak berada dalam bentuk yang lengkap,
sehingga kita akan dapat menyerang mereka dengan tiba-tiba dari arah ekor
pasukan.”
Kawannya merenung sejenak.
Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Kau benar. Ekor
pasukan Tambak Wedi agaknya bagian yang paling lemah dari seluruh pasukannya.”
Yang lain pun
mengangguk-angguk pula. Agaknya mereka sependapat dengan cara yang tiba-tiba
saja telah mereka rencanakan.
Pasukan yang akan menyerang
dari lambung kanan itu pun segera menyusun diri, disesuaikan dengan rencana
mereka. Karena rencana itu tidak banyak berpengaruh pada induk pasukannya, maka
mereka tidak merasa perlu untuk memperbincangkannya.
“Kita hanya akan
memberitahukan saja kepada Kiai Raga Tunggal.”
Dengan demikian, maka pasukan
di lambung kiri itu justru memecah diri. Sebagian kecil masih tetap di
tempatnya, menunggu saat yang sudah ditentukan, yang akan diisyaratkan oleh
induk pasukannya dengan panah api. Sedangkan yang lain dengan diam-diam merayap
melingkar dan justru siap menyerang ekor pasukan lawan.
Sejenak kemudian, maka pasukan
yang mengejar sekelompok orang yang dengan sengaja memancing lawan itu menjadi
semakin dekat dengan pasukan Kiai Raga Tunggal. Akhirnya mereka yang
melemparkan anak panah itu pun segera luruh dengan induk pasukan. Mereka harus
menghentikan gerak maju pasukan dari Tambak Wedi itu, sementara itu pasukan
dari lambung akan menyerang mereka. Mula-mula dengan anak panah. Kemudian
mereka akan bertempur dalam jarak pendek.
Tetapi naluri Kiai Kelasa
Sawit dan Kiai Jalawaja agaknya cukup tajam menangkap rencana itu. Karena itu,
maka sambil memandang jauh ke depan. Kiai Jalawaja bertanya, “Apakah kau dapat
menduga, apakah yang tersembunyi di dalam kegelapan itu?”
Kiai Kelasa Sawit menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun menjawab, “Sepasukan yang akan menghentikan
pasukan kita. Di sebelah-menyebelah pasukan lawan mulai merangkak maju.”
Dan tiba-tiba saja, Kiat
Kelasa Sawit meneriakkan sebuah aba yang seolah-olah telah mengguncang seluruh
bulak yang panjang itu. Sejenak kemudian maka barisannya yang menebar itu pun
bergeser dan menyusun kelompok-kelompok. Yang tengah menghadap ke depan, yang
sebelah-menyebelah siap menghadapi serangan dari lambung seperti yang mereka
perhitungkan.
Kiai Raga Tunggal terkejut
mendengar teriakan yang nyaring itu. Seolah-olah teriakan itu melonjak di dalam
dadanya sendiri.
Namun ia pun tidak menjadi
bingung. Segera ia memerintahkan orang yang telah ditugaskannya untuk
melontarkan anak panah api sebagai pertanda bahwa pertempuran yang sebenarnya
akan segera dimulai. Pertempuran antara hidup dan mati di antara mereka yang
selama itu bergerak di dalam bayangan yang hitam dan samar.
Sejenak kemudian, maka sebuah
anak panah api pun telah meluncur. Sekilas cahaya yang kemerah-merahan melonjak
ke udara, seperti sepercik bintang yang meloncat menggapai wajah langit, tetapi
gagal dan jatuh kembali ke permukaan bumi.
Semua orang yang berada di
sekitar bulak yang akan menjadi arena perang itu telah melihatnya. Orang-orang
Tambak Wedi pun melihat pula. Terasa jantung mereka berdegup semakin keras.
Pertanda itu seolah-olah merupakan jawaban atas aba-aba yang baru saja
diteriakkan oleh Kiai Kelasa Sawit.
“Ternyata mereka telah menjadi
gila,” geram Kiai Kelasa Sawit. “Mereka merasa dirinya kuat untuk menjawab
tantangan kami. Dengan sombong mereka berani melontarkan pertanda ke udara.”
Kiai Jalawaja dengan tidak
acuh menyahut, “Kau yang gila. Itu adalah jawaban yang wajar dari aba-aba yang
kau teriakkan. Tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki ilmu Tapak
Angin seperti kau, yang dapat melontarkan bunyi sampai ke ujung cakrawala.
Mereka memerlukan alat yang dapat dipergunakannya untuk memberikan isyarat
seperti itu.”
Kiai Kelasa Sawit tidak
menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia berteriak keras sekali, sehingga seolah-olah
Gunung Merapi itu pun tergetar karenanya, “Bunuh setiap orang di dalam barisan
lawan.”
Kiai Raga Tunggal tergetar
pula hatinya. Ia sadar bahwa lawannya mempunyai cara untuk melontarkan suara
tidak dengan wajar.
Namun ia tidak ingin melihat
anak buahnya menjadi berkecil hati. Karena itu ia pun berteriak pula meskipun
hanya di dengar oleh anak buahnya yang ada di dalam kelompoknya, “Jangan takut.
Orang-orang Tambak Wedi dapat juga mati. Kalian telah berhasil membunuh di
antara mereka di bulak sebelah. Karena itu, maka yang berdatangan itu pun dapat
pula dibunuh seperti yaug telah kalian lakukan.”
Kata-kata itu ternyata
mempunyai pengaruh pula. Mereka pun segera teringat, bahwa beberapa orang anak
buah Kiai Kelasa Sawit telah terbunuh. Dengan demikian, maka mereka pun segera
sadar, bahwa yang datang itu bukan pasukan jin atau hantu yang bebas dari
kematian.
Sejenak kemudian, maka sekali
lagi terdengar aba-aba yang terloncat dari mulut Kiai Kelasa Sawit tepat pada
saat lawan mereka mulai bergerak.
Sejenak kemudian, ketika anak
buah Kiai Kelasa Sawit mulai meloncat untuk menyerang, bertaburanlah anak panah
yang dilontarkan oleh anak buah Kiai Raga Tunggal dan kawan-kawannya. Tidak
saja dari depan, tetapi ternyata juga datang dari lambung sebelah-menyebelah.
Pada saat yang bersamaan Kiai
Raga Tunggal mendapat pemberitahuan dari seorang penghubung, bahwa sayap kanan
telah merubah rencananya. Meskipun masih ada sekelompok kecil yang menyerang
dari lambung, tetapi pusat serangan mereka akan diarahkan pada ekor barisan
lawan.
“Siapakah yang berada di
sana?”
“Seperti yang direncanakan.”
“Baiklah.”
Penghubung itu pun kemudian
meninggalkan Kiai Raga Tunggal dan kembali ke tempatnya di sayap kanan.
Demikianlah sejenak kemudian,
pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Serangan anak panah dari pasukan Kiai
Raga Tunggal dan sayap-sayapnya benar-benar telah menghambat kemajuan barisan
Kiai Kelasa Sawit. Kiai Kelasa Sawit sendiri tidak banyak terpengaruh oleh
serangan itu, karena senjatanya yang berputar seperti baling-baling merupakan
perisai yang tidak tertembus. Tetapi anak buahnya kecuali yang membawa perisai,
memang agak terganggu juga oleh serangan itu.
Tetapi ternyata bahwa anak
panah itu tidak dapat menghentikan sama sekali serangan pasukan dari Tambak
Wedi itu. Mereka maju terus betapa pun lambatnya. Pasukan yang ada di paling
depan adalah mereka yang membawa perisai di tangan kirinya.
Demikian juga pasukan yang ada
di lambung. Dari lambung kiri, serangan terasa semakin lama semakin berat.
Mereka ternyata tidak menunggu lawan. Justru merekalah yang bergerak maju
dengan cepat sambil melontarkan anak panah.
Tetapi serangan dari lambung
kiri terasa sangat lemahnya. Hanya beberapa anak panah saja yang terbang
menyambar pasukan lawan. Meskipun tidak henti-hentinya, tetapi jarang-jarang
sekali dibandingkan dengan serangan dari induk pasukan dan lambung kiri.
Karena itu, pasukan lawan pun
dengan cepat berhasil menebar dan mendekati lambung kanan. Kelompok yang telah
mereka persiapkan untuk melawan serangan lambung pun segera bergerak menyerang
ke arah anak-anak panah yang terlontar.
Namun dalam pada itu, pasukan
yang sebenarnya dari sayap kanan itu telah siap menyergap dari belakang. Mereka
sedang merayap ke samping. Kemudian melingkar dan mulai bergerak maju menyusul
gerakan pasukan Kiai Kelasa Sawit.
Dengan berdebar-debar pasukan
itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Dan dengan hati-hati pimpinan
pasukan itu memberikan isyarat untuk bersiaga.
Demikianlah maka setiap orang
pun telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Tidak ada lagi
pertimbangan lain kecuali bertempur mati-matian, mempertaruhkan nyawa mereka
untuk menentukan akhir dari peperangan yang tentu akan menjadi sangat seru dan
mengerikan, karena masing-masing telah bertekad untuk membunuh lawan
sebanyak-banyaknya.
Sejenak kemudian, maka anak
panah dari anak buah Kiai Raga Tunggal tidak lagi dapat menahan jarak yang ada
di antara kedua pasukan itu. Setelah menjadi semakin dekat, maka anak buah Kiai
Kelasa Sawit, didahului oleh mereka yang mempergunakan perisai, berlari
secepat-cepatnya untuk membenturkan diri pada pasukan lawan.
Sesaat kemudian, maka kedua
pasukan itu pun telah berbenturan. Anak panah tidak lagi dapat dipergunakan.
Karena itu pulalah maka mereka yang bersenjata busur dan anak panah, segera
melemparkan busur mereka dan menarik pedang yang terselip di lambung.
Sementara itu, pasukan yang
dipersiapkan untuk melawan serangan lambung pun telah bertempur pula dalam
jarak yang pendek. Pada lambung kanan, terasa pasukan Kiai Kelasa Sawit segera
menguasai keadaan. Mereka dengan pesatnya mendesak maju.
Tetapi tiba-tiba pasukan Kiai
Kelasa Sawit itu dikejutkan oleh serangan yang tidak terduga-duga. Selagi
mereka bertempur melawan pasukan Kiai Raga Tunggal, dan pasukan yang datang
dari lambung, meluncurkan bagaikan hujan anak panah dari arah belakang,
menghantam ekor pasukan.
Serangan yang tidak
terduga-duga itu benar-benar mengejutkan. Beberapa orang tidak sempat berpaling
ketika tiba-tiba saja sebuah anak panah menghunjam di punggung. Meskipun mereka
tidak segara terbunuh, namun luka anak panah itu membuat mereka bagaikan lumpuh
dan tidak berdaya untuk meneruskan peperangan.
Korban yang berjatuhan itu,
membuat anak buah Kiai Kelasa Sawit menjadi semakin marah. Mereka segera
memberikan laporan bahwa telah terjadi serangan yang sangat licik, sementara
sekelompok dari pasukan itu harus memutar haluan, menghadap kepada serangan
yang datang dari belakang itu.
Kesempatan untuk mengurangi
jumlah lawan dari belakang itu ternyata lebih banyak dari serangan-serangan
anak panah sebelumnya. Beberapa orang terluka karenanya, dan oleh
kawan-kawannya telah dilindungi dan disisihkan dari medan. Namun dengan
demikian rasa-rasanya pasukan Kiai Kelasa Sawit itu berada di dalam satu
kepungan.
“Gila,” teriak Kiai Kelasa
Sawit setelah mendengar laporan itu.
Sementara Kiai Jalawaja segera
berkata, “Itulah hasilnya. Kau memastikan, bahwa perhitunganmu tepat. Kau yakin
bahwa lawan-lawanmu adalah orang-orang bodoh yang mempergunakan perangkap
dengan cara yang itu-itu juga. Memancing pasukanmu masuk ke dalam lingkungan
jarak lontar anak panah, menyerang dari lambung dan dari depan. Ternyata
tiba-tiba kau mendapat serangan pada ekor pasukanmu.”
“Kita tidak mempergunakan
gelar yang sempurna,” berkata Kiai Kelasa Sawit. “Itu adalah kelemahanku.
Tetapi kau tidak pernah memberiku peringatan atau saran.”
Kiai Jalawaja mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Kau adalah pemimpin pasukan. Jika aku memberimu saran,
tetapi ternyata salah, maka kau akan mengumpatiku sepanjang umurmu.”
“Jika demikian, baiklah.
Tetapi kelicikan itu harus mereka tebus dengan mahal sekali.”
Kiai Kelasa Sawit pun kemudian
berkata kepada penghubung itu, “Kembalilah ke kelompokmu. Perintahku kepada
kalian, bunuh semua orang yang kalian jumpai.”
Penghubung itu pun segera
kembali ke kelompoknya dan menyampaikan perintah yang memang sudah diduga oleh
setiap orang di dalam kelompok itu.
Demikianlah maka pertempuran
pun berlangsung semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha untuk membunuh
sebelum mereka terbunuh.
Namun meskipun Kiai Raga
Tunggal sudah menggabungkan kekuatannya dengan beberapa kelompok
pasukan-pasukan kecil yang tersebar di lereng Gunung Merapi itu. tetapi
ternyata bahwa segera dapat dilihat, pasukan dari Tambak Wedi itu mempunyai
banyak sekali kelebihan.
Apalagi ketika kemudian Kiai
Kelasa Sawit sendiri turun ke arena, maka senjatanya benar-benar bagaikan mulut
ular yang berbisa tajam sekali. Setiap saat ujung senjatanya itu pun telah
mematuk lawannya. Demikian senjata itu kemudian dihentakkannya, maka luka itu
pun akan tersayat semakin lebar.
Kiai Raga Tunggal segera
melihat kesulitan pada anak buahnya. Namun agaknya ia menjadi ragu-ragu untuk
langsung melawan Kiai Kelasa Sawit, karena menurut pendengarannya Kiai Kelasa
Sawit adalah orang yang tidak terkalahkan.
Tetapi yang ada di dalam
pasukan lawan, bukan hanya Kiai Kelasa Sawit. Dengan acuh tidak acuh, Kiai
Jalawaja dan ketiga pengawalnya pun ternyata telah melakukan pembunuhan yang
tidak tanggung-tanggung.
“Aku jemu melibat peperangan
yang gila ini,” berkata Kiar Jalawaja, “aku ingin segera beristirahat di padepokan
tua itu.”
Namun dengan demikian, seperti
yang dikatakannya. Jika ia mulai mengantuk, atau ingin beristirahat, maka ia
akan mempercepat penyelesaian pertempuran itu.
Namun dalam pada itu,
peperangan itu tidak terlepas dari pengawasan petugas-petugas sandi dari
Pajang. Ketika kedua pasukan itu mulai berbenturan, laporan pun telah sampai
kepada Untara. Disusul dengan laporan-laporan berikutnya, bahwa kematian telah
menjadi semakin banyak.
“Memang di luar dugaan,” desis
Untara, “dengan demikian kita dapat membayangkan, bahwa pasukan Kiai Kelasa
Sawit benar-benar pasukan yang kuat.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita
akan segera hadir ke dalam arena itu dalam gelar yang sempurna. Gelar Cakra
Byuha.”
Beberapa orang perwira dalam
pasukan Untara mengangguk-angguk. Namun ada di antara mereka yang
bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Untara memilih gelar yang sempit. Bukan
gelar yang menebar seperti Gelar Sapit Urang atau Garuda Nglayang.
Agaknya Untara melihat bahwa
di antara beberapa orang perwiranya menjadi ragu-ragu. Karena itu maka ia pun
menjelaskannya, “Bukankah kita harus menyusup ke tengah-tengah medan? Kita
harus berada di garis pertempuran itu. Lingkaran gelar Cakra Byuha kita akan
langsung masuk ke tengah-tengah peperangan, kemudian mengembang sebagai gelar
lingkaran yang semakin besar. Kita akan mencakup pasukan Kiai Raga Tunggal
masuk ke dalam lingkaran pasukan Pajang sebelum mereka ditumpas. Kita akan
mencoba berbicara dengan Kiai Kelasa Sawit. Jika mereka menolak, maka kita akan
menghancurkannya sama sekali.”
Beberapa orang perwira
pembantunya itu pun mengangguk-angguk. Mereka mempunyai gambaran yang jelas
dari peperangan yang bakal mereka lakukan.
“Marilah kita lakukan tugas
kita dengan penuh tanggung jawab,” berkata Untara kemudian. “Kita tahu, bahwa
yang berlangsung itu adalah sebuah pembantaian besar-besaran. Aku berharap
bahwa kita semuanya tidak akan terseret dalam suasana itu. Kita adalah prajurit
Pajang yang mempunyai unggah-ungguh keprajuritan. Kita bukan sekelompok pasukan
liar yang mudah tenggelam akan menghancurkannya sama sekali.”
Demikianlah, maka Untara pun
segera memerintahkan pasukannya yang sudah tersusun dalam gelar Cakra Byuha itu
untuk bergerak. Gelar yang berbentuk lingkaran bergerigi, yang menempatkan para
senapatinya di sepanjang ujung geriginya. Gelar itu akan dapat menghadap ke
segala arah sesuai dengan keadaan yang berkembang di medan yang sengit, yang
mengarah kepada perang brubuh.
Namun berbeda dengan gelar
Gedung Minep, yang juga merupakan lingkaran yang rapat, maka gelar Cakra Byuha
menempatkan senapati utamanya di depan, di luar lingkaran. Senapati utamanya
dapat bergeser menurut keadaan. Tetapi tidak demikian dengan gelar Gedong
Minep. Panglima dari gelar Gedong Minep berada di dalam lingkaran yang tertutup
rapat.
Sejenak kemudian maka pasukan
itu pun mulai bergerak mendekati arena. Semakin dekat, maka gelar itu pun
menjadi semakin mapan. Mereka tidak lagi berusaha mencari celah-celah tanaman
yang dilanda oleh gelarnya, di sawah yang terbentang dari padukuhan yang satu
ke padukuhan yang lain.
Seperti sepasukan prajurit
yang datang dalam kebesarannya, maka prajurit Pajang yang dipimpin Untara itu
pun mendekati arena dengan isyarat keprajuritannya. Di dalam malam yang basah
oleh darah, maka terdengarlah suara sasangkala yang meraung-raung.
Suara pertanda itu terdengar
dari medan yang riuh. Sejenak, mereka yang sedang berkelahi mempertaruhkan
nyawanya terpengaruh oleh suara itu. Namun kemudian terdengar suara Kiai Kelasa
Sawit menggema di seluruh bulak, “Kita sambut kedatangan mereka. Mereka akan
mengalami nasib serupa dengan kelinci-kelinci gila ini.”
Dalam pada itu, Kiai Raga
Tunggal yang cemas melihat keadaan medan yang benar-benar berat sebelah,
tiba-tiba merasa jantungnya bergetar mendengar suara sasangkala itu. Ternyata
Untara adalah seorang prajurit yang nampak pada setiap kata dan perbuatan. Ia
benar-benar hadir dalam pertempuran itu seperti yang dikatakannya.
Ketika Untara mendekati arena,
korban telah berserakan. Tetapi ia tidak terlambat. Arena itu masih sibuk
dengan pembantaian yang mengerikan. Meskipun pasukan Kiai Kelasa Sawit jauh
lebih kuat dari lawannya, namun perlawanan yang bagaikan gila dari orang-orang
lereng Gunung Merapi, membuat korban yang semakin banyak.
Tetapi meningkatnya korban itulah
yang membuat darah Kiai Kelasa Sawit menjadi bagaikan mendidih. Dendamnya sama
sekali tidak dapat dikendalikannya lagi. Apalagi karena Kiai Jalawaja yang
semakin lama tidak saja menjadi jemu, tetapi juga menjadi marah melihat
orang-orangnya menjadi korban.
Demikian ketika pasukan Untara
mendekati dalam gelar yang sempurna, maka Kiai Kelasa Sawit pun segera
meneriakkan perintah, “Pecahkan gelar Cakra Byuha itu. Aku sendiri akan mencari
Untara.”
Kiai Jalawaja mengerutkan
keningnya. Lalu, “Apa tugasku dalam pertempuran yang sungguh-sungguh ini?”
Kiai Kelasa Sawiti
termangu-mangu sejenak, lalu, “Di dalam kelompok-kelompok kecil itu terdapat
beberapa orang pemimpin. Raga Tunggal, Serat Wulung, dan beberapa nama lagi
yang tidak aku ingat. Pengawal-pengawal Kakang akan dapat membunuh mereka dalam
sekejap jika Kakang tidak ingin bersusah payah mencarinya. Selebihnya terserah
kepada Kakang.”
“Baiklah. Aku akan masuk ke
dalam gelar orang-orang Pajang. Aku ingin melihat, betapa kuatnya dinding gelar
yang mereka banggakan. Baru mereka tahu, bahwa Pajang bukan sebuah negara yang
masih pantas tegak untuk seterusnya, karena senapati muda kebanggaannya di
daerah selatan akan mengalami kehancuran mutlak di sini.”
Kiai Jalawaja pun kemudian
berkata kepada pengawalnya, “Salah seorang dari kalian ikuti aku. Yang lain,
carilah pimpinan kelompok tikus yang mencoba mengganggu kita.”
Mereka yang mendapatkan
perintah itu pun segera bergerak. Kiai Kelasa Sawit segera menyusup di antara
orang-orangnya menyongsong gelar Cakra Byuha yang mendekat. Sedang Kiai
Jalawaja mengambil arah yang lain. Ia ingin memecahkan dinding gelar itu, dan
menghancurkannya dari dalam.
Bukan saja Kiai Jalawaja yang
kemudian berusaha memecahkan dinding gelar itu, tetapi juga sekelompok orang
Tambak Wedi yang kuat telah menyusun diri untuk mematahkan lingkaran bergerigi
itu dan menghancurkannya dari dalam bersama Kiai Jalawaja.
Di dalam kelompok itu terdapat
sebagian dari pasukan yang datang bersama Kiai Jalawaja. Bagian dari pasukan
yang memang memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan.
Untara yang berada di depan
dari gelarnya itu pun membawa pasukannya langsung memasuki arena. Dari benturan
yang terjadi, petugas yang mengamati pertempuran itu dapat memperhitungkan, di
manakah pasukan Pajang itu harus menyusup.
Sejenak kemudian, maka
benturan antara pasukan Pajang dalam gelar Cakra Byuha dengan pasukan Kiai
Kelasa Sawit pun segera terjadi dalam batas pertempuran antara pasukan Kiai
Kelasa Sawit dengan pasukan Kiai Raga Tunggal. Namun demikian lingkaran pasukan
Pajang itu tidak berhasil memisahkan pertempuran antara kedua pasukan itu.
Bahkan sepasukan yang sudah tersusun telah bersiap menyongsong gelar Cakra
Byuha yang utuh itu.
Untara menggeram mengalami
perlawanan itu. Ia sadar, bahwa dengan demikian Kiai Kelasa Sawit telah dengan
sengaja menentangnya.
Namun dalam pada itu, ia pun
menjadi berdebar-debar pula. Ternyata pasukan Kiai Kelasa Sawit adalah
benar-benar sebuah pasukan yang kuat yang memiliki jumlah dan kemampuan yang
benar-benar memadai untuk melawan pasukan Pajang di Jati Anom.
“Jika kami tidak memasuki
arena, maka dalam waktu yang dekat, Kiai Raga Tunggal benar-benar akan ditumpas
oleh orang-orang yang singgah di Tambak Wedi itu,” berkata Untara di dalam
hati.
Tetapi ia bukan saja mengagumi
kekuatan pasukan lawan. Untara tidak mau mengalami akibat yang parah dari
peperangan itu, sehingga karena itulah maka ia pun segera memerintahkan dua
orang penghubungnya untuk kembali ke Jati Anom dan mengerahkan pasukan
cadangannya. Khususnya pasukan berkuda.
“Ternyata lawan kami terlampau
kuat. Melampaui perhitungan yang pernah kami buat. Karena itu, perintahkan
pasukan cadangan dan pasukan berkuda untuk segera menyusul kami,” perintahnya
kepada penghubung itu.
Sejenak kemudian, dua orang
penghubung berkuda itu pun segera meninggalkan arena dan dengan kecepatan yang
tinggi meluncur turun lereng Merapi menuju ke Jati Anom.
Kedatangan kedua penghubung
itu memang mengejutkan. Karena itulah maka seorang perwira yang memimpin
pasukan cadangan dan perwira yang memimpin pasukan berkuda itu pun terkejut,
“Bagaimana dengan pasukan berkuda yang ada di dalam gelar itu?”
“Tidak banyak yang dapat
mereka lakukan, justru karena mereka telah berada di dalam arena yang padat,”
jawab penghubung itu.
“Baiklah. Kita akan berada di
luar pergulatan pertempuran itu.”
“Bawalah pasukanmu lebih
dahulu,” berkata perwira-perwira pasukan cadangan kepada perwira yang memimpin
pasukan cadangan berkuda, “agaknya pasukan Pajang memerlukan bantuan
secepatnya. Dalam waktu dekat, pasukan kami akan menyusul.”
Demikianlah, dalam waktu yang
pendek, pasukan cadangan dari pasukan berkuda pun sudah siap. Sejenak kemudian
telah terdengar pasukan itu berderap di sepanjang jalan Jati Anom. Meskipun di
malam hari, namun debu pun telah mengepul ketika pasukan meluncur dengan cepat
menyusul pasukan Untara yang telah terlibat dalam pertempuran.
Pasukan yang lain pun segera
menyusul pula. Sepasukan kecil prajurit cadangan berbaris dengan tergesa-gesa
menuju ke arena.
“Agaknya telah terjadi peperangan
yang seru,” berkata seorang prajurit kepada kawannya yang dengan tegang
berjalan di sisinya.
“Ya,” jawab kawannya, “jika
tidak, Ki Untara tidak akan mengerahkan pasukan cadangan ini.”
“Lawan kita sekarang tentu
bukan lawan yang baik dan ramah-tamah,” desis orang di sebelah.
Prajurit yang berbicara
mula-mula itu pun tersenyum. Katanya, “Ya. Tetapi aku yakin, mereka akan
menyambut kedatangan kita dengan mesra pula.”
Dalam pada itu di arena
pertempuran, terasa sekelompok pasukan yang kuat berusaha memecahkan satu sisi
dari gelar Cakra Byuha itu. Benturan-benturan yang keras telah terjadi.
Kelompok itu bagaikan ombak yang dengan kerasnya bergulung-gulung menghantam
tebing.
Tetapi dinding gelar pasukan
Pajang itu pun cukup kuat, sehingga untuk beberapa saat lamanya usaha itu
sia-sia. Senapati yang berada di ujung gerigi pada sisi yang mendapat serangan
beruntun itu telah bertempur dengan gagah berani bersama seluruh kekuatan yang
ada di bawah pimpinannya.
Sementara pada satu sisi
terjadi pertempuran yang sengit maka di bagian depan pasukan Pajang itu pun
mengalami perlawanan yang kuat pula. Untara tidak dapat membawa pasukannya maju
terus. Untara tidak dapat memerintahkan gelarnya, seperti yang direncanakan
untuk mengembang dan menguasai seluruh arena, mencakup pasukan
kelompok-kelompok kecil dari lereng Merapi masuk ke dalam perlindungannya.
Ternyata bahwa gelarnya itu justru mengalami tekanan yang kuat pada
dinding-dindingnya, terutama pada sisi yang akan dipecahkan oleh pasukan lawan.
Namun dalam pada itu, seorang
yang bermata setajam mata burung hantu, diiringi oleh seorang pengawal berjalan
perlahan-lahan mendekati dinding gelar itu pula. Ia memperhatikan pertempuran
yang terjadi. Ia memperhatikan pasukan Kiai Kelasa Sawit yang berusaha memecahkan
dinding gelar Cakra Byuha yang kuat itu.
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Prajurit Pajang memang luar biasa.”
“Tetapi mereka juga manusia
biasa, Kiai,” berkata pengawalnya. “Jika Kiai Jalawaja memerintahkan, aku akan
membunuh senapati itu. Prajurit-prajuritnya tentu akan kehilangan pimpinan dan
dinding itu pun akan segera pecah.”
Kiai Jalawaja tersenyum.
Katanya, “Kau akan salah hitung. Setiap orang di dalam pasukan Pajang memiliki
kemampuan kepemimpinan. Jika senapati itu terbunuh, maka akan segera tampil
orang kedua untuk memimpin pasukannya.”
“Tetapi sementara itu pasukan
kita pun telah mendesak.”
“Dan kau harus membunuh
pengganti senapati itu lagi.”
“Ya.”
Kiai Jalawaja
mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Marilah, kita mencari tempat lain untuk
memecahkan dinding gelar itu. Kita bergabung pada sepasukan yang sedang
bertempur melawan dinding gelar, dan berlomba dengan kelompok lain yang sedang
berusaha memecahkan dinding gelar itu pula. Siapakah yang terlebih dahulu ada
di dalam.”
Pengawal yang hanya seorang
itu mengangguk-angguk. Katanya sambil tertawa, “Suatu permainan yang bagus
sekali.”
“Marilah. Sementara kedua
kawanmu akan membunuh pemimpin-pemimpin gerombolan-gerombolan kecil di lereng
Gunung Merapi.”
Demikianlah Kiai Jalawaja
meninggalkan tempat itu dan bergeser ke bagian yang lain. Sejenak ia tertegun
melihat pertempuran di bagian belakang dari pasukan Pajang melawan pasukan Kiai
Kelasa Sawit yang dibantu oleh sekelompok pasukan yang datang bersama Kiai Jalawaja.
“Itu anak-anak kita,” desis
Kiai Jalawaja.
“Ya.”
“Kita bertempur di sini.”
“Aku senang sekali bertempur
dengan mereka pada bagian yang sangat menarik.”
Kiai Jalawaja pun kemudian
mendesak maju, masuk ke dalam barisan yang sedang bertempur mati-matian itu.
Kehadiran Kiai Jalawaja
tiba-tiba saja telah menggetarkan hati anak buahnya. Beberapa kali mereka
membentur dinding gelar yang bagaikan gerigi baja yang tajam. Sentuhan ujung
gerigi itu akan segera menyobek kulit daging dan mematahkan tulang, sehingga
setiap usaha mereka pasti gagal. Pasukan dari Tambak Wedi itu sama sekali tidak
mampu berbuat apa pun selain menahan setiap usaha gelar itu untuk mengembangkan
lebih luas.
Ternyata usaha gelar itu pun
tidak segera dapat berhasil. Pasukan dari Tambak Wedi itu benar-benar telah
menghimpit mereka dari segala jurusan.
Kehadiran Kiai Jalawaja di
antara anak buahnya telah membuat mereka berbesar hati. Apalagi bersamanya
adalah salah seorang pengawalnya yang kuat. Karena itulah, maka mereka pun segera
memastikan bahwa dinding itu akan segera dapat dipecahkannya.
“Kalian memang bodoh,” berkata
Kiai Jalawaja, “minggirlah! Aku akan memecahkan dinding itu. Ganggulah
prajurit-prajurit Pajang dari sebelah-menyebelah. Biarlah aku bertempur dengan
senapati yang gagah berani itu.”
Demikianlah pasukan Tambak
Wedi itu bagaikan menyibak. Mereka memberi jalan kepada Kiai Jalawaja untuk
maju ke depan.
“Jangan nonton. Kalian
mempunyai tugas.”
Demikianlah pertempuran itu
rasa-rasanya menjadi semakin sengit. Pengawal Kiai Jalawaja sudah mulai
melakukan tugasnya. Ayunan senjatanya sudah mulai menghembuskan udara maut di
medan itu.
Sementara itu Kiai Jalawaja
maju terus. Ketika nampak olehnya Senapati Pajang yang bertempur bagaikan
banteng yang terluka, maka ia pun tertawa sambil berkata, “Senapati yang gagah
perkasa. Jangan berbuat berlebih-lebihan. Lawanmu adalah prajurit kecil yang
tidak mempunyai kemampuan apa pun juga, sehingga tampaknya kau adalah raksasa
di antara mereka.”
Senapati itu terkejut.
Rasa-rasanya suara orang itu sudah meruntuhkan isi dadanya. Dengan demikian ia
dapat menebak, bahwa nampaknya lawannya itu adalah lawan yang luar biasa.
Tetapi bukan saja senapati
itulah yang mengalami sentuhan getaran suara Kiai Jalawaja, tetapi juga prajurit-prajurinya
dan orang-orang di sekitar arena itu.
Sementara itu, maka anak buah
Kiai Jalawaja itu dengan penuh gairah telah mendesak lawannya. Mereka dengan
tanpa menghiraukan pertimbangan apa pun, menyerang dengan garangnya. Yang ada
di dalam hati mereka adalah nafsu membunuh semata-mata.
Karena itulah, terasa tekanan
itu menjadi semakin berat. Pengawal Kiai Jalawaja bertempur seperti seekor
harimau yang lapar. Apalagi ketika Kiai Jalawaja maju semakin dekat dengan
garis pertempuran yang menjadi semakin basah oleh darah.
Senapati yang memimpin
pertempuran di ujung gerigi itu pun menjadi termangu-mangu. Kehadiran dua orang
baru di dalam pertempuran itu terasa mempunyai pengaruh yang luar biasa.
Suaranya sudah mampu menggetarkan dada, apalagi senjatanya.
Sementara senapati itu
termangu-mangu, maka tiba-tiba saja ia mendengar seseorang berbisik di
telinganya, “Pasanglah bagian dari gelarmu itu gelar Padas Gempal. Biarlah
orang yang aneh itu masuk ke dalam gelarmu bersama beberapa pengawalnya.”
Senapati itu terkejut
mendengar bisikan itu. Yang berhak memberikan perintah pada pertempuran itu
adalah panglima yang memimpin pasukan Pajang segelar sepapan itu, Untara.
Tetapi senapati itu berpaling
juga. Dan dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang yang sudah
dikenalnya berdiri di belakangnya, Kiai Gringsing.
“Apakah aku dapat
melaksanakannya, Kiai,” desis Senapati itu.
“Orang itu sangat berbahaya.”
Senapati itu mengangguk. Dan
ia melihat bahwa korban telah jatuh lagi.
“Aku harus menghentikan kedua
orang itu.”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Kau tidak akan mampu. Bukan maksudku untuk mengurangi tanggung jawabmu.”
“Aku mengerti, Kiai.”
“Nah, lakukan nasehatku. Aku
akan mempertanggungjawabkannya kepada Angger Untara jika cara ini dianggap
salah. Kau tidak akan banyak mempengaruhi gerak dari gelar keseluruhan. Kau
hanya membuka dinding gerigimu sedikit saja. Aku akan memancingnya masuk.
Dengan demikian aku dapat mengetahui, kekuatan orang itu yang sebenarnya tanpa
pertempuran yang ribut di sekitarku. Mudah-mudahan dengan demikian, korban akan
berkurang jumlahnya. Dan aku pun berdoa agar aku juga tidak menjadi korban
berikutnya pula.”
Senapati itu masih
termangu-mangu. Tetapi ternyata kedua orang itu menjadi semakin mendesak. Dalam
keragu-raguan senapati itu berpaling sekali lagi. Dilihatnya Kiai Gringsing
sudah siap, bahkan di belakangnya nampak dua orang tua yang lain. Ki Waskita
dan Ki Sumangkar.
Keragu-raguan senapati itu
berkurang. Ia mengerti, bahwa Sumangkar adalah seorang yang pilih tanding sejak
kekuasaan Kadipaten Jipang masih berada di tangan Arya Penangsang. Ia adalah
orang kedua di Kepatihan Jipang sesudah Patih Mentahun yang disebut bernyawa
rangkap, seperti juga Sumangkar.
Meskipun senapati itu belum
mengenal Ki Waskita, tetapi nampaknya wajahnya juga memberikan keyakinan, bahwa
ia pun akan dapat membantu mengatasi kesulitan jika timbul karena perubahan
gelarnya meskipun hanya sementara.
Ketika senapati itu melihat
darah yang memancar dari luka yang menjadi korban berikutnya, maka ia tidak
dapat menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian maju ke ujung geriginya dan
memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk membuka dinding gelarnya.
Beberapa orang prajurit
menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika mereka melihat Kiai Gringsing berada di sisi
senapati itu, maka mereka pun segera mematuhi perintah itu. Meskipun mereka
tidak mengetahui maksudnya.
Sejenak kemudian, maka dinding
gelar Cakra Byuha itu pun menyibak. Seorang tua yang berdiri di dekat senapati,
dan mengenakan kain gringsing itu pun kemudian menyongsong orang yang memiliki
kemampuan tidak terlawan oleh para prajurit Pajang itu.
Kiai Jalawaja melihat
seseorang dengan sengaja menyongsongnya menjadi marah. Ia merasa dihina oleh
keberanian orang itu. Apalagi seorang yang sudah tua.
Dengan serta-merta ia pun
mendesak maju. Bersama beberapa orang ia masuk ke dalam gelar seperti yang
mereka kehendaki. Meskipun demikian Kiai Jalawaja dan seorang pengawal
kepercayaannya menjadi ragu-ragu. Agaknya dinding gelar Cakra Byuha itu tidak
pecah karena desakan kekuatan pasukannya. Tetapi dengan sengaja telah dibuka
untuk memberinya kesempatan masuk.
“Persetan,” ia menggeram,
“tidak ada orang yang dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan Kiai Jalawaja
meskipun semua senapati terkuat di Pajang dikerahkan. Asal bukan Sultan Pajang
sendiri yang datang, maka aku seorang diri akan dapat memusnahkannya. Bahkan
seandainya Sultan Pajang ada di dalam gelar ini pula, dalam ujudnya sebagai
gelar Cakra Byuha, tetapi menyembunyikan seorang senapati agung di dalamnya
seperti gelar Gedong Minep, maka aku bersama seorang pengawalku tentu akan
dapat mengalahkannya, sementara pengawal Sultan yang lain akan dimusnahkan oleh
beberapa orang pengikutku.”
Namun getar di dalam dada Kiai
Jalawaja menjadi semakin cepat ketika ia melihat dinding gelar yang terbuka itu
pun, segera menutup kembali menelan mereka yang sudah terlanjur masuk ke
dalamnya. Beberapa orang prajurit Pajang pun ikut masuk pula ke dalam gelar
untuk melawan pengikut-pengikut Kiai Jalawaja dan Kiai Kelasa Sawit yang sudah
ada di dalam gelar itu. Sementara Kiai Jalawaja masih saja termangu-mangu untuk
beberapa saat.
Dalam pada itu, agar hal itu
tidak mengejutkan Untara jika ia mendengar laporan bahwa ada beberapa orang
musuh berhasil menyusup masuk, maka Ki Sumangkar masih sempat berbisik kepada
senapati di dinding gelar, “Berikan laporan kepada Angger Untara.”
Dalam pada itu senapati itu
pun menjadi termangu-mangu. Pertempuran menjadi semakin sengit. Pasukan lawan
yang ingin ikut masuk ke dalam dinding gelar telah membentur pasukan Pajang
yang merapat kembali. Dengan demikian maka untuk beberapa saat arena menjadi
agak kacau.
“Biarlah aku yang memberikan
laporan itu,” berkata Ki Sumangkar, “semua tenaga diperlukan di sini.”
“Terima kasih, Kiai,” jawab
senapati itu yang sejenak kemudian telah terjun langsung memimpin anak buahnya
bertempur mati-matian.
Kiai Jalawaja yang ada di
dalam gelar Cakra Byuha itu pun masih termangu-mangu. Seorang pengawalnya yang
mengikutinya pun tidak segera dapat menyesuaikan tanggapannya.
Untuk beberapa saat mereka
masih sempat menyaksikan anak buahnya yang ikut serta terdorong masuk ke dalam
gelar itu, mulai bertempur melawan prajurit-prajurit Pajang, sementara ia
melihat dua orang tua berdiri dengan tenang menghadapinya.
Belum lagi Kiai Jalawaja
mengambil sikap, ia melihat seorang lagi mendekati salah seorang dari kedua
orang tua itu sambil berkata tanpa ragu-ragu, “Kiai, aku akan pergi ke pusat
gelar ini sejenak. Aku ingin memberikan laporan kepada Angger Untara bahwa ada
beberapa orang yang berhasil menyusup masuk ke dalam gelar ini.”
Orang tua itu, Kiai Gringsing,
mengangguk-angguk sambil menjawab, “Silahkan, Adi. Tetapi jika keadaan tidak
memaksa, segeralah kembali. Bukankah kami sedang menerima seorang tamu di dalam
lingkaran ini.”
Kiai Jalawaja sadar, bahwa
ialah yang dimaksudkannya. Karena itu maka ia pun menggeram sambil berkata,
“Persetan dengan orang-orang gila macam kalian. He, siapakah kalian?”
Sumangkar nampaknya acuh tidak
acuh saja. Bahkan ia pun berkata, “Terserahlah kepada Kiai. Aku akan pergi
sekarang sebelum Angger Untara mendapat laporan yang salah tentang tamu-tamu
kita.”
“Gila,” teriak Kiai Jalawaja
yang merasa dirinya mumpuni. Sikap Sumangkar benar-benar menyakitkan hatinya,
“Sebentar lagi gelar yang kalian bangga-banggakan ini akan pecah. Aku akan
menghancurkannya dari dalam. Kalian telah salah hitung. Seandainya kalian
memang berniat menjebakku masuk, namun akibatnya kalian akan menyesal. Tidak
ada seorang pun yang akan dapat menghentikan niatku.”
Ki Sumangkar memandang Kiai
Jalawaja sejenak. Namun ia pun tidak menghiraukannya lagi. Meskipun ia tahu
bahwa orang itu tentu orang yang pilih tanding, namun sebagai seorang yang
memiliki pengalaman dan pengamatan yang tajam, ia masih memperhitungkan seorang
lagi. Seorang yang mempunyai ciri-ciri tertentu seperti yang pernah
didengarnya. Memakai sehelai kulit harimau yang disangkutkan pada pundaknya.
“Orang itu pun harus mendapat
perhatian,” katanya di dalam hati, “mudah-mudahan Angger Untara dapat
menahannya.”
Namun yang dikatakannya
adalah, “Selesaikan persoalanmu dengan kedua saudaraku itu, Ki Sanak. He,
siapakah namamu agar aku dapat melengkapi laporanku?”
“Persetan. Aku ingin membunuh
kau paling dahulu.”
“Tunggulah. Aku akan menjumpai
Angger Untara lebih dahulu.”
Kiai Jalawaja hampir saja
menerkamnya. Namun Sumangkar sudah melangkah menjauh sambil berkata, “Baiklah.
Kau belum bersedia menyebut namamu. Tetapi tentu Angger Untara sedang melayani
seseorang yang namanya sudah dikenalnya dengan baik. Kiai Kelasa Sawit.”
“Bayi itu akan dibunuhnya.
Kiai Kelasa Sawit akan menerkamnya seperti seekor harimau.”
Sumangkar tertegun sejenak,
lalu, “Aku akan melihatnya. Apakah benar Kiai Kelasa Sawit itu merupakan seekor
harimau bagi bayi yang memimpin gelar ini.”
Ki Sumangkar pun tidak
berbicara lagi. Ia benar-benar menjadi berdebar-debar. Agaknya yang dikatakan
oleh orang yang menyusup masuk ke dalam lingkungan gelar Cakra Byuha itu bukan
sekedar untuk menakut-nakutinya.
“Angger Untara harus segera
mendapat bantuan,” katanya di dalam hati.
Ki Sumangkar pun kemudian
melangkah dengan tergesa-gesa melintasi bagian dalam gelar Cakra Byuha yang
kosong dan yang sekedar mendapat pengawasan khusus dari beberapa orang prajurit
Pajang saja.
Ketika ia sampai ke pusat
gelar, maka ia pun melihat pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya.
Rasa-rasanya pertempuran itu bagaikan gejolaknya wajah lautan yang diserang
oleh badai.
Sejenak Sumangkar
termangu-mangu. Namun kemudian terasa olehnya bahwa pasukan Pajang itu terdesak
surut meskipun perlahan-lahan.
Di bawah nyala obor yang
dinyalakan oleh kedua belah pihak, akhirnya Sumangkar melihat, tekanan di pusat
gelar itu benar-benar membahayakan.
“Gila,” desis Sumangkar,
“ternyata kekuatan orang-orang yang berada di padepokan Tambak Wedi pada saat
ini jauh melampaui perhitungan. Bahkan melampaui kekuatan Tambak Wedi pada saat
padepokan ini masih hidup.”
Ki Sumangkar menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia melihat di antara pasukannya, Untara bertempur bersama
seorang senapati pengapit melawan seseorang yang agaknya benar-benar memiliki
kemampuan yang mengagumkan. Seseorang yang mempergunakan ciri-ciri yang sudah
dikenal dengan baik oleh Ki Sumangkar.
“Jadi Kiai Kelasa Sawit telah
berada di sini,” desis Sumangkar.
Sejenak ia berdiri tegak
memperhatikan arena. Kemudian ia pun malah bergeser maju, justru pada saat
prajurit Pajang terdesak oleh kekuatan pasukan Kiai Kelasa Sawit yang
dipimpinnya langsung.
“Ada beberapa tekanan yang
kuat pada dinding gelar ini,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. “Ternyata
Untara tidak segera berhasil melakukan rencananya, mengembangkan lingkaran
gelarnya. Yang terjadi justru sebaliknya.”
Sebenarnyalah yang terjadi
adalah seperti yang dikatakan oleh Sumangkar. Beberapa orang yang memiliki
kelebihan di dalam pasukan Kiai Kelasa Sawit membuat pasukan Pajang agak
mengalami kesulitan.
Tetapi sementara kekuatan Kiai
Kelasa Sawit dipusatkan pada dinding gelar, maka kelompok-kelompok kecil di
lereng Gunung Merapi yang justru telah menyalakan api pertempuran itu, mendapat
kesempatan untuk bernafas. Semula mereka menyangka, bahwa mereka akan
dimusnahkan pada malam itu juga oleh kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Namun
kehadiran pasukan Pajang yang dipimpin langsung oleh Untara itu berhasil
memperpanjang umur mereka.
Kelompok kelompok kecil itu
rasa-rasanya sempat mengatur perlawanan sebaik-baiknya. Bahkan mereka dapat
memperbaiki kedudukan mereka yang hampir saja tercerai-berai.
Tetapi selagi mereka mulai
mendesak maju ke dalam pasukan lawan, tiba-tiba telah muncul beberapa orang
yang terpencar di beberapa titik pertempuran. Beberapa orang itu ternyata telah
menggelisahkan kelompok-kelompok kecil itu. Mereka adalah para pengawal Ki
Jalawaja dan pengiring-pengiringnya yang terpercaya.
Seperti orang yang wuru mereka
mengamuk di antara pasukannya. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan, sehingga
beberapa orang lawan telah jatuh menjadi korban.
Beberapa orang pemimpin dari
kelompok-kelompok kecil itu pun segera menyadari, bahwa orang-orang itu
memerlukan lawan yang mampu mengimbangi mereka, sebelum mereka semakin
merusakkan pasukannya. Karena itulah maka beberapa orang pemimpin segera
menempatkan dirinya untuk menghentikan pembunuhan yang berlarut-larut. Mereka
yang merasa dirinya kurang mampu melawan, segera menyusun kekuatan bersama dua
atau tiga orang kawannya.
Dalam pada itu, tekanan pada
gelar Cakra Byuha yang dipimpin oleh Untara pun terasa makin berat, terutama
pada pusat gelar itu sendiri. Untara yang harus bertempur melawan Kiai Kelasa
Sawit, meskipun ia dibantu oleh senapatinya, harus mengerahkan segenap
kemampuannya. Namun demikian, ternyata Kiai Kelasa Sawit masih berhasil
mendesaknya terus, sehingga karena itu, maka prajurit-prajurit Pajang yang
bertempur di sekitar Untara pun rasa-rasanya terdesak pula mundur.
Ki Sumangkar yang menyaksikan
pertempuran di pusat gelar itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa
kekuatan lawan benar-benar tidak dapat diabaikan. Di bagian belakang dari gelar
yang melingkar itu, telah dijumpainya seseorang yang memiliki ilmu yang luar
biasa, sehingga hampir saja ia berhasil memecahkan dinding gelar. Untunglah
bahwa Kiai Gringsing dapat mengambil sikap yang cepat dan agaknya berhasil
menyelamatkan gelar itu dengan membuka dindingnya beberapa saat yang justru
memberi kesampatan kepada Kiai Jalawaja untuk menerobos masuk, namun yang
kemudian segera tertutup kembali.
“Orang yang memiliki ilmu yang
tinggi itu tentu sadar, bahwa ia terjebak. Namun agaknya ia sama sekali tidak
gentar karenanya,” berkata Sumangkar di dalam hatinya.
Dan kini ia melihat Untara
telah bertempur dengan Kiai Kelasa Sawit, yang ternyata memiliki ilmu yang
lebih tinggi dari Untara, Senapati Pajang di daerah selatan.
“Aku tidak dapat tinggal
diam,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. Apalagi karena Ki Sumangkar
menyadari, bahwa ciri yang ada pada tubuh Kiai Kelasa Sawit itu sangat menarik
perhatiannya. Lukisan kelelawar itu memberikan kesan tersendiri padanya, dan
terutama tentu bagi Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram apabila
ia mengetahuinya.
Demikianlah maka Sumangkar pun
segera mendesak maju di antara para prajurit. Mereka yang melihat kehadiran
Sumangkar pun segera menyibak. Beberapa di antara para prajurit telah mengenal
orang tua itu. Bahkan di antara mereka tiba-tiba saja telah tumbuh semacam
ketenangan karena kehadirannya. Mereka mengenal Ki Sumangkar sebagai seorang
yang memiliki ilmu yang sejajar dengan Patih Mantahun dari Jipang yang
seolah-olah dianggap mempunyai nyawa rangkap di dalam tubuhnya.
Dengan hati-hati Ki Sumangkar
mendekati titik pertempuran antara Untara yang dibantu oleh senapati
pengapitnya melawan Kiai Kelasa Sawit. Ketika seorang lawan menyerangnya,
dengan tanpa berkisar dari tempatnya ia menggeliat. Ketika ujung tombak lawan
itu meluncur di sisi lambungnya, maka ia pun segera menangkapnya dan
menghentakkannya sehingga tombak itu terlepas dari tangan lawannya. Selagi
orang itu termangu-mangu, maka Sumangkar pun telah mematahkan pangkal tombak
itu pada lututnya, sehingga orang itu pun segera terjatuh dan kakinya serasa
menjadi lumpuh.
Beberapa saat lamanya Ki
Sumangkar termangu-mangu di dekat Untara. Ia harus menyampaikan laporan tentang
sisipan gelar di bagin belakang dari lingkaran cakra itu.
Tetapi ia tidak segera
mendapat kesempatan. Agaknya Untara benar-benar telah terikat dalam pertempuran
yang sangat sengit, sehingga sekejap pun ia tidak dapat berpaling.
Ki Sumangkar-lah yang kemudian
mendekatinya. Hampir tersentuh oleh langkah-langkah pertempuran yang seru itu.
“Maaf, Anakmas,” desis Ki Sumangkar, “aku mengganggu pertempuran ini.”
Untara terkejut mendengar
kata-kata itu. Selagi ia memusatkan perhatiannya, ia sama sekali tidak segera
mengenal, suara siapakah yang didengarnya itu. Karena itu maka pemusatan
perlawanannya agak terganggu karenanya.
Dan agaknya lawannya telah
memanfaatkannya sebaik-baiknya.
Selagi Untara berpaling
sejenak, melihat siapakah yang telah datang kepadanya itu, Kiai Kelasa Sawit
dengan cepat menyiapkan segenap kemampuannya. Yang sekejap itu ternyata telah
cukup baginya. Kali ini Kiai Kelasa Sawit tidak meloncat menghantam batu padas,
tetapi serangannya telah dilontarkan ke dada Untara.
“Betapa keras tulang-tulangmu,
maka dadamu akan remuk menjadi debu, dan isi tubuhmu akan rontok bersama
lepasnya nyawamu.”
Untara terkejut mendengar
suara itu. Tetapi ternyata ia sudah terlambat. Ketika ia kembali memusatkan
perhatiannya kepada lawannya, Kiai Kelasa Sawit telah meloncat untuk
membenturkan segenap kekuatan yang ada padanya.
Untara tidak mendapat kesempatan
untuk menghindar. Karena itu, maka ia pun segera merendahkan dirinya pada
lututnya sambil menyilangkan senjatanya di muka dadanya, meskipun ia sendiri
kurang yakin, apakah ia mampu bertahan pada benturan yang tentu akan segera
terjadi.
“Jika aku gagal, masa sampai
di sinilah aku melakukan tugasku sebagai Senapati Pajang,” desisnya di dalam
hati.
Sejenak kemudian ia melihat
Kiai Kelasa Sawit telah melayang sambil mengayunkan senjatanya untuk membelah
tubuh Untara dan mematahkan tulang-tulang iganya, tangannya dan senjatanya
sekaligus.
Yang terjadi kemudian adalah
suatu benturan yang ternyata dahsyat sekali. Setiap orang yang melihat serangan
Kiai Kelasa Sawit telah tergetar hatinya dan di luar sadarnya telah menjadi
cemas akan nasib Untara. Namun ketika benturan itu terjadi, ternyata Kiai
Kelasa Sawit justru terdorong dua langkah surut.
Namun Untara sendiri terkejut
melihat benturan yang sangat dahsyat itu. Sejenak ia menggerakkan tangannya
yang bersilang di dadanya. Ternyata semuanya masih utuh. Ia tidak menjadi luluh
dan sekedar berangan-angan bahwa ia masih hidup.
Barulah ia sadar. Dihadapannya
berdiri seorang tua yang agaknya telah berkata kepadanya sehingga ia kehilangan
pemusatan perlawanannya terhadap Kiai Kelasa Sawit. Tetapi ketika Kiai Kelasa
Sawit meloncat menyerangnya dengan kekuatannya yang tiada taranya, maka orang
tua itu telah meloncat pula membenturkan dirinya.
Orang itu adalah adik
seperguruan Mantahun, yang ditakuti bukan saja oleh seluruh Jipang, tetapi juga
Pajang.
Kiai Kelasa Sawit yang serasa
membentur dinding baja itu membelalakkan matanya. Di hadapannya, di dalam
cahaya obor melihat seseorang yang berwajah merah membara karena pengerahan
kekuatan dan kemarahan bercampur baur.
“Setan alas!” Kiai Kelasa
Sawit menggeram. “Siapakah kau, Hantu Tua?”
Orang yang telah membenturkan
kekuatannya pada kekuatan Kiai Kelasa Sawit lewat senjatanya tanpa bergeser
dari tempatnya itu menjawab, “Aku Sumangkar, Kiai. Aku tidak dapat membiarkan
kau berbuat licik. Selagi Angger Untara sekedar melepaskan perhatiannya atas
pertempuran ini, kau mempergunakan kesempatan dan langsung akan
menghancurkannya.”
“Hem,” Kiai Kelasa Sawit
menggeram, “Sumangkar. Jadi namamu Sumangkar. Aku pernah mendengar nama itu.
Nama yang pernah dikenal oleh setiap orang Jipang pada masa kejayaannya.
Bukankah kau adik seperguruan Ki Patih Mantahun?”
“Kau pernah mendengar namaku?”
bertanya Sumangkar.
“Semua orang Jipang dan
Pajang,” desis Kiai Kelasa Sawit. Lalu, “Pantas kau berhasil membentur kekuatan
puncakku. Tanpa kau Untara tentu sudah menjadi reruntuhan tulang dan daging
yang basah oleh darahnya sendiri.”
“Mungkin justru karena
kelicikanmu. Tetapi beradu dada belum tentu kau berhasil.”
“Gila. Coba minggirlah. Aku
akan melihat kemampuan Untara mempertahankan dirinya atas kekuatan puncakku.”
“Itu tidak perlu. Sekarang
marilah kita berhadapan. Akulah yang mengambil alih arena itu.”
Kiai Kelasa Sawit menggeram.
Dipandanginya wajah Sumangkar di dalam cahaya obor yang kemerah-merahan.
“Anakmas Untara,” berkata
Sumangkar kemudian. Namun ia sama sekali tidak berpaling dari Kiai Kelasa
Sawit, “sebenarnya aku datang kemari untuk menyampaikan laporan.”
Untara bergeser selangkah
maju. Sejenak ia memandang pertempuran yang masih berlangsung di sekitarnya.
Prajurit-prajurit Pajang sedang sibuk mencoba bertahan atas tekanan yang
diberikan oleh anak buah Kiai Kelasa Sawit dalam jumlah yang lebih besar.
Tetapi sebelum Ki Sumangkar
menyampaikan laporannya, maka mereka telah dikejutkan oleh ledakan cambuk di
tengah-tengah gelar Cakra Byuha itu.
“Apakah yang terjadi, Ki
Sumangkar?” Untara menjadi cemas. “Agaknya telah terjadi pertempuran di dalam
gelar ini.”
Tiba-tiba saja Kiai Kelasa
Sawit tertawa. Lalu, “Nah, akan terbukti bahwa pasukan Pajang yang teratur dan
memiliki kemampuan berperang tiada taranya tidak mampu lagi melawan kekuatan
Kiai Kelasa Sawit. Dengarlah Senapati Muda, di belakang gelarmu ini telah
terjadi tekanan yang tidak kalah dahsyatnya dari tekanan yang telah aku
berikan. Seorang yang memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya, bahkan
dengan beberapa kelebihan daripadaku, telah berhasil memecahkan dinding gelarmu
yang ditandai dengan panji-panji, umbul-umbul dan tunggul kebesaran sebagai
pertanda keunggulan Pajang. Orang itu bernama Kiai Jalawaja. Ialah yang berada
di dalam lingkaran gelarmu sekarang ini.”
Untara mengerutkan keningnya.
Namun untuk sesaat ia masih menunggu penjelasan Ki Sumangkar, yang sejenak
kemudian berkata, “Benar, Angger Untara. Seseorang telah memasuki gelar Cakra
Byuha ini. Tetapi bukan karena dinding gelar ini dipecahkan. Kiai Gringsing
mendahului keputusan Angger untuk membuka dinding gelar itu sementara, dan
memberi kesempatan seseorang yang barangkali yang bernama Jalawaja itu untuk
masuk.”
“Jadi?” desis Untara.
“Gelar itu telah menutup
kembali.”
“Itu tidak ada artinya,”
teriak Kiai Kelasa Sawit. “Kiai Jalawaja akan menghancurkan gelarmu dari
dalam.”
Ki Sumangkar masih akan
menjawab. Tetapi sekali lagi terdengar suara cambuk bergeletar, sehingga Ki
Untara berpaling sejenak memandang ke dalam gelarnya yang diterangi oleh cahaya
obor. Tetapi ia tidak segera melihat sesuatu selain beberapa orang prajuritnya
yang mengawasi bagian dalam gelar itu di antara tanaman-tanaman yang tumbuh di
bulak, meskipun sebagian sudah berserakan.
Namun dalam pada itu, Ki
Sumangkar-lah yang berkata, “Kiai Kelasa Sawit, apakah kau pernah mendengar
cerita tentang orang bercambuk? Bukankah kau sudah mendengar suara cambuknya?”
Kiai Kelasa Sawit mengerutkan
keningnya.
“Barangkali kau tidak
menghiraukannya. Tetapi orang bercambuk dan seorang kawannya yang ada di dalam
gelar Cakra Byuha ini, dan yang kini bermain bersama orang yang kau sebut
bernama Jalawaja itu adalah orang yang disebut orang bercambuk itu, yang
bersama dengan seorang kawannya yang kini juga berada di dalam gelar ini, telah
menghancurkan padepokan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Panembahan
Agung dan Panembahan Alit.”
Wajah Kiai Kelasa Sawit
menegang. Sesaat ia termangu-mangu, sehingga dengan demikian, maka Ki Sumangkar
yang dengan sengaja menyebut nama Panembahan Agung telah menemukan jalur
hubungan antara Kiai Jalawaja dengan Panembahan Agung yang sudah tidak ada
lagi.
“Atau malahan orang-orang
inilah yang telah melanjutkan perjuangan Panembahan Agung itu meskipun
masing-masing mempunyai sikap dan pendirian yang berbeda?” Sumangkar masih
bertanya kepada diri sendiri, karena ia pun mengetahui, bahwa di antara
pimpinan-pimpinan gerakan yang melawan Pajang maupun Mataram itu yang nampaknya
dapat bekerja bersama, namun yang sebenarnya terdapat banyak pertentangan
pendapat dan sikap di antara mereka sendiri.
Dan yang lebih menarik
perhatian Sumangkar pada orang itu adalah lukisan kelelawar yang ada di
dadanya.
“Tetapi hampir tidak mungkin
menangkapnya hidup-hidup,” berkata Sumangkar di dalam hatinya, “meskipun aku
bekerja bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita sekaligus. Karena orang ini tentu
akan memilih mati. Bahkan jika ia tidak terbunuh, tentu ia akan membunuh
dirinya sendiri.”
Dalam pada itu, Kiai Kelasa
Sawit yang termangu-mangu mendengar kata-kata Sumangkar itu pun kemudian
menggeram, “Sumangkar, jangan kau sangka bahwa orang yang bersenjata cambuk itu
dapat menggetarkan kulit Kiai Jalawaja, seperti kau tidak mampu menakut-nakuti
aku dengan ilmu nyawa rangkapmu. Mantahun pun akhirnya mati. Juga kau akan
mati.”
Sumangkar mengangguk-angguk.
Katanya kemudian justru kepada Untara, “Anakmas, aku mohon maaf, bahwa aku akan
mengambil alih lawan Anakmas ini. Aku persilahkan Anakmas memimpin seluruh
gelar ini tanpa terikat kepada siapa pun juga. Apalagi seseorang yang hanya
sekedar berhasil berteriak-teriak menakut-nakuti burung di sawah ini tidak
pantas menjadi lawan Anakmas. Biarlah ia melawan aku, yang barangkali sama-sama
tidak mempunyai arti.”
“Persetan,” teriak Kiai Kelasa
Sawit, “pergilah pengecut! Jika kau tidak berani melawan aku, he Untara, memang
seyogyanya kau mencari bantuan tikus-tikus tua yang merasa dirinya bernyawa
rangkap seperti ini.”
Untara menjadi ragu-ragu.
Tetapi Ki Sumangkar berkata, “Jangan dijebak oleh perasaan. Ingatlah bahwa
Angger Untara sekarang berada di dalam pertempuran gelar. Bukan perang tanding
yang mempunyai sifat yang berbeda.”
Kiai Kelasa Sawit masih akan
menyahut. Tetapi ia tidak sempat berteriak lagi, karena tiba-tiba saja Ki
Sumangkar telah meloncat menyerangnya.
Kiai Kelasa Sawit terkejut.
Tetapi ia masih sempat menghindar, bahkan kemudian mengayunkan senjatanya,
sehingga Sumangkar-lah yang harus meloncat surut. Namun dengan demikian ia pun
telah menggenggam pasangan senjatanya pula. Sepasang trisula kecil di kedua
tangannya, dan bahkan yang di tangan kanannya berjuntai pada seujung rantai.
Kiai Kelasa Sawit
berdebar-debar melihat senjata itu. Tetapi ia masih sempat berteriak, “He, di
manakah tongkat bajamu yang berkepala tengkorak itu?”
Ki Sumangkar masih saja
menjawab sambil memutar senjatanya, “Tengkorak yang kekuning-kuningan itu
ternyata terbuat dari emas. Nah, kau tahu aku memerlukan uang untuk membiayai
hidupku selama ini.”
Tetapi jawaban itu membuat
Kiai Kelasa Sawit semakin marah. Dengan sepenuh kekuatan ia menyerang lawannya
bagaikan angin prahara. Namun Ki Sumangkar pun telah benar-benar bersiap
menghadapi kemungkinan itu. Dan ia pun tidak berani lengah sekejap pun juga,
karena ia sadar bahwa ia harus melawan kekuatan yang tiada taranya.
Demikianlah maka keduanya pun
segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Masing-masing adalah seseorang
yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Dalam pada itu Untara
termangu-mangu berdiri di tempatnya. Ia melihat Ki Sumangkar mengambil alih
lawannya yang sangat berbahaya itu. Memang ada sedikit singgungan pada harga
dirinya sebagai senapati. Tetapi ia pun tidak dapat mengingkari kenyataan,
bahwa bagaimana pun juga, ia tidak akan dapat melawan orang yang bernama Kiai
Kelasa Sawit. Jika ia berbicara tentang sifat ksatria, maka ia pun telah
bertempur bersama senapati pengapitnya melawan yang seorang itu.
“Yang penting dari sifat
ksatria adalah membinasakan kejahatan,” berkata Untara di dalam hatinya. Dan
seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar, ia kini berada di dalam pertempuran.
Bukan perang tanding.
Karena itulah maka ia pun
melepaskan lawannya kepada Sumangkar, dan langsung memimpin seluruh
pertempuran. Ia tidak lagi terikat dengan seorang lawan. Apalagi lawan
setangguh Kiai Kelasa Sawit.
Karena itulah maka Untara pun
berusaha untuk mendesak lawan-lawannya di pusat gelarnya. Setidak-tidaknya ia
berusaha agar dinding gelarnya di pusat gelar itu tidak semakin terdesak surut.
Sementara Ki Sumangkar
bertempur di pusat gelar, maka Kiai Gringsing pun ternyata telah bertempur
melawan Kiai Jalawaja yang berada di tengah-tengah gelar Cakra Byuha.
Meskipun Kiai Jalawaja masih
belum pernah secara pribadi bertemu dengan Kiai Gringsing, namun ternyata bahwa
cambuk Kiai Gringsing telah membuatnya berdebar-debar.
“Jadi kaukah orang yang selama
ini dibicarakan orang?” bertanya Kiai Jalawaja.
“Kenapa?” Kiai Gringsing ganti
bertanya.
“Suara cambukmu bagaikan
ledakan petir di langit. Seluruh Pajang telah mendengarnya. Dan aku pun telah
mendengarnya pula. Kini agaknya aku mendapat kehormatan untuk berhadapan dengan
orang yang namanya bagaikan nama terpenting dalam dongeng yang mengasyikkan
itu.”
“Aku memang senang mendengar
dongeng-dongeng yang menarik.”
“Dan tentang dirimu sendiri?”
“Ya.”
Kiai Jalawaja menggeram.
Serangannya menjadi semakin dahsyat, sehingga setiap kali suara cambuk Kiai
Gringsing pun harus meledak memekakkan telinga.
Sementara itu Ki Waskita masih
sempat menyaksikan perkelahian yang semakin seru pula antara para pengawal dari
Tambak Wedi melawan prajurit-prajurit Pajang di dalam lingkaran gelar itu pula.
Mereka adalah orang-orang Tambak Wedi yang berhasil menyusup bersama Kiai
Jalawaja, selagi dinding gelar itu dibuka, tetapi yang kemudian mengatup
kembali.
Tetapi kekuatan dari Tambak
Wedi yang berada di dalam gelar itu hanyalah terbatas sekali, sehingga dalam
waktu yang singkat segera dapat dibatasi geraknya meskipun masih belum dapat
dilumpuhkan, karena prajurit Pajang yang bertugas menguasai mereka pun terbatas
pula.
Dengan demikian maka pusat
perhatian setiap orang di dalam gelar itu tertuju kepada pertempuran antara
Kiai Gringsing melawan Kiai Jalawaja yang tidak menyangka bahwa ia akan bertemu
dengan lawan yang mendebarkan jantung.
Selagi Kiai Gringsing
bertempur melawan Kiai Jalawaja, maka Ki Waskita pun masih saja berdiri
termangu-mangu. Sekilas terbersit niatnya untuk membuat bayang-bayang di dalam
pertempuran itu. Tetapi niatnya diurungkan, karena dengan demikian Prajurit
Pajang sendiri akan dapat menjadi bingung.
Karena itulah maka ia masih
saja berdiri termangu-mangu memandangi arena yang semakin mengerikan. Terutama
di dinding gelar yang mendapat serangan bagaikan mengalirnya ombak dari tengah
lautan. Beruntun.
Tetapi dinding gelar itu
bagaikan batu-batu karang yang kokoh dan tidak tergoyahkan, sehingga benturan
ombak itu sama sekali tidak berhasil memecahkannya. Bahkan terlempar kembali ke
dalam arusnya sendiri.
Tetapi selagi berdiri
termangu-mangu, Ki Waskita mengerutkan keningnya melihat seseorang yang dengan
garangnya bertempur di antara orang-orang Tampak Wedi. Agaknya ia memiliki
kelebihan dari prajurit-prajurit Pajang, sehingga beberapa orang harus
menghadapinya bersama-sama.
“Tentu seorang pemimpin,”
desis Ki Waskita. Tetapi agaknya ia keliru. Orang itu adalah pengawal Ki
Jalawaja yang memang memiliki banyak kelebihan dari pengawal-pengawal yang
lain.
Perlahan-lahan Ki Waskita
mendekatinya. Ternyata bahwa orang itu memang sudah berhasil menjatuhkan
beberapa orang korban.
“Keganasan itu harus
dihentikan,” desis Ki Waskita. Karena itu maka ia pun kemudian mendekatinya
sambil berkata, “Sudahlah, Ki Sanak. Jangan terlampau diburu nafsu.”
Orang itu berpaling.
Dilihatnya seorang yang sudah berumur di sekitar setengah abad berdiri
termangu-mangu.
“Siapa kau, he?”
“Namaku tidak penting,” jawab
Ki Waskita. “Seandainya aku menyebutnya, kau tentu belum pernah mendengarnya
juga.”
“Ya, siapa kau.”
“Namaku Waskita.”
Orang itu mengerutkan
keningnya, lalu, “Sombong. Kau kira kau mempunyai kebijaksanaan untuk melihat?
Apalagi yang tidak kasat mata sehingga kau memakai nama Waskita?”
Ki Waskita masih sempat
tersenyum. Dipandanginya orang itu sejenak, lalu, “Orang tuakulah yang
memberikan nama itu kepadaku. Sudah tentu dengan harapan, bahwa aku akan
menjadi bijaksana di hari-hari mendatang dari saat aku dilahirkan. Karena itu
aku tidak mempergunakan nama lain selain nama yang diberikan orang tuaku
kepadaku itu.”
“Dan kau benar-benar menjadi
waskita?”
“Tidak. Apalagi di peperangan
seperti ini. Aku masih mudah terpancing oleh kebencian, dendam dan barangkali
juga kesombongan, sehingga kadang-kadang aku menjadi kehilangan sifat-sifat
waskita yang sebenarnya. Apalagi melihat sesuatu yang tidak kasat mata.”
“Cukup,” desis pengawal
terpercaya Kiai Jalawaja itu, “kau terlalu banyak bicara. Aku segera ingin
membunuhmu dengan semua sifat-sifatmu. Kau justru orang yang paling sombong
yang pernah aku temui selama ini.”
Ki Waskita pun segera
mempersiapkan diri. Ia pernah bertempur melawan Panembahan Agung dan berhasil
membunuhnya. Namun demikian ia sama sekali tidak menjadi lengah dan tidak
menganggap lawannya terlampau mudah dikalahkannya. Ia sadar, bahwa jika
demikian maka ialah yang sebenarnya berada di ambang pintu kekalahan.
Sekilas Ki Waskita masih
melihat Kiai Gringsing yang bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Jalawaja.
Ternyata bahwa Kiai Jalawaja pun memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan
agak di luar dugaan Ki Waskita. Ia mengenal kemampuan dan ilmu cambuk yang luar
biasa pada Kiai Gringsing. Namun menghadapi orang tidak dikenalnya itu, Kiai
Gringsing harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Sejenak kemudian Ki Waskita
pun sudah harus bertempur melawan pengawal Kiai Jalawaja. Namun segera dalam
benturan-benturan yang pertama, Ki Waskita dapat menjajagi kemampuan lawannya.
Karena itulah maka ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu dan
mempersiapkan dirinya jika ternyata bahwa orang yang bertempur melawan Kiai
Gringsing itu tidak segera dapat dikalahkan.
“Apakah kami orang-orang tua
harus berkelahi berpasangan seperti anak-anak muda yang hanya mampu
menyombongkan dirinya?” pertanyaan itu tumbuh juga di hatinya. Tetapi seperti
yang pernah diucapkan Ki Sumangkar kepada Untara. Ki Waskita menganggap bahwa
di dalam peperangan gelar, maka setiap orang tidak terikat dalam perang
tanding.
“Sudah tentu hanya kalau Kiai
Gringsing menghadapi seseorang yang tak terlawan,” desis Ki Waskita di dalam
hatinya. “Tetapi barangkali bagi Kiai Gringsing tidak ada orang yang tidak
terlawan itu.”
Namun apa pun yang terjadi, Ki
Waskita segera ingin menyelesaikan perkelahiannya. Mungkin di bagian lain dari
gelar itu terdapat beberapa kelemahan yang dapat dibantunya, atau di suatu
tempat dalam arena pertempuran itu terdapat orang-orang lain seperti lawan Kiai
Gringsing itu.
Ternyata Ki Waskita tidak
banyak mengalami kesulitan menghadapi pengawal Kiai Jalawaja. Bagi
prajurit-prajurit tamtama Pajang, orang itu memang memiliki kelebihan. Namun
bagi Ki Waskita, pengawal itu masih harus banyak menyadap ilmu untuk turun ke
gelanggang pertempuran bersama orang-orang tua seperti dirinya, Kiai Gringsing,
dan Ki Sumangkar.
Tetapi berbeda dengan pengawal
itu, ternyata lawan Kiai Gringsing benar-benar seorang yang tangguh. Ia
memiliki kemampuan bergerak yang mengagumkan. Dengan cepat ia dapat berpindah
dari satu tempat ke tempat yang lain hampir di luar tangkapan mata wadag.
Namun demikian, Kiai Gringsing
mempunyai tangkapan pandangan melampaui kemampuan mata wadag. Di dalam
pertempuran yang betapa pun rumitnya. Kiai Gringsing selalu berhasil menguasai
keadaan yang dihadapinya.
Demikian pula berhadapan
dengan Kiai Jalawaja yang memang memiliki ilmu yang dahsyat. Setiap kali
serangannya bagaikan halilintar yang menyambar di langit. Ia menyerang dengan
loncatan-loncatan panjang di sekitar lawannya. Bahkan kadang-kadang ia berlari
berputar sebelum meloncat menyerang dengan dahsyatnya.
Kiai Gringsing mencoba untuk
menyesuaikan dirinya. Tetapi ia tidak mempergunakan langkah-langkah panjang
seperti lawannya. Ia sekedar bergeser di tempatnya untuk setiap kali
memperbaiki arah. Namun demikian, Kiai Jalawaja sama sekali tidak mampu
menyentuhnya, apalagi melukainya. Setiap kali justru ujung cambuk Kiai
Gringsing-lah yang menyongsongnya dan meledak di sekitarnya. Bahkan dalam
keadaan yang tidak di sangka-sangka, justru dalam kemarahan yang memuncak,
terasa ujung cambuk Kiai Gringsing telah mulai menyentuh pakaiannya.
“Benar-benar gila,” geram Kiai
Jalawaja di dalam hatinya. “Orang bercambuk ini bagaikan siluman yang berada di
segala tempat. Seolah-olah ia berada di semua sudut tanah ini di saat yang
sama.” Namun tiba-tiba ia berdesis, “Apakah ada lebih dari seorang yang
bersenjata cambuk seperti ini?”
Tiba-tiba saja Kiai Jalawaja
mengharap pengawalnya yang terpercaya itu pun datang kepadanya, dan
bersama-sama melawan orang bercambuk itu.
“Aku tidak akan segera dapat
menyelesaikannya,” berkata Kiai Jalawaja di dalam hatinya, “ternyata di sini
aku menghadapi lawan yang tidak aku perhitungkan sebelumnya.”
Namun dalam cahaya obor ia
melihat pengawalnya justru sedang mempertahankan dirinya melawan Ki Waskita.
Setiap kali pengawal Kiai Jalawaja itu meloncat mundur. Serangan Ki Waskita
terasa semakin lama menjadi semakin membingungkannya.
Dalam pada itu, pertempuran
itu pun telah berkembang ke arah yang berbeda. Jika semula dinding-dinding
gelar prajurit Pajang itu mengalami tekanan yang berat di beberapa tempat
karena hadirnya pimpinan-pimpinan dari Tambak Wedi yang memiliki ilmu yang
khusus, maka kemudian pemimpin-pemimpin itu telah terikat pada lawan-lawannya
yang seimbang.
Apalagi dalam pada itu,
orang-orang Tambak Wedi yang harus bertempur melawan kelompok-kelompok kecil di
lereng Gunung Merapi itu pun merasakan, bahwa jumlah mereka yang telah jauh
berkurang karena kehadiran prajurit Pajang, mendapatkan kesulitan pula.
Kelompok-kelompok kecil di lereng Gunung Merapi yang telah bergabung, ditambah
pula karena kehadiran prajurit Pajang, merasa menjadi lebih kuat dari
lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikian mereka menjadi semakin bergairah
untuk segera memenangkan pertempuran itu, meskipun korban masih saja
berjatuhan.
Beberapa orang di antara
mereka pun telah menyusun kelompok-kelompok kecil yang khusus harus bertempur
melawan para pengawal Kiai Jalawaja yang seolah-olah dihamburkan begitu saja di
dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, Kiai
Kelasa Sawit menjadi semakin marah bukan kepalang. Ia ingin menuntut setiap
kematian dengan sepuluh nyawa. Tetapi ternyata bahwa korban pun semakin banyak
berjatuhan. Apalagi sebelum ia puas melepaskan dendamnya dengan membunuh
Untara, tiba-tiba saja telah hadir seseorang yang namanya pernah didengarnya
sebagai adik seperguruan Patih Mantahun yang pernah dianggap mempunyai nyawa
rangkap karena kelebihannya.
“Gila!” teriak Kiai Kelasa
Sawit tiba-tiba karena desakan kemarahan yang tidak tertahankan.
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tetapi ia bertempur terus. Dengan senjatanya ia mencoba untuk
menghentikan desakan Kiai Kelasa Sawit, sehingga dengan demikian berpengaruh
pula bagi seluruh pasukan Tambak Wedi yang ada di hadapan pusat gelar Cakra
Byuha itu.
Sementara orang-orang Tambak
Wedi yang harus bertempur melawan kelompok-kelompok kecil yang sudah bergabung
itu mulai terdesak, maka ternyata Untara mulai berhasil menggerakkan gelarnya
menurut rencananya. Agaknya karena Kiai Kelasa Sawit yang sudah diikat dalam
perkelahian melawan Ki Sumangkar dan Kiai Jalawaja dan seorang pengawalnya
disertai beberapa orang yang bersamanya, telah berada justru di dalam gelar,
maka usaha Untara perlahan-lahan dapat dilakukannya.
Ketika saatnya dianggap tepat,
nampaklah sebuah isyarat yang meloncat di udara. Sebuah panah sendaren yang
mengaum di gelapnya malam, namun dalam hiruk-pikuknya pertempuran.
Setiap Senapati Pajang
menyadari, bahwa mereka harus bekerja lebih keras untuk dapat bergerak
memperluas lingkaran gelarnya. Menurut rencana, semakin lama akan menjadi
semakin luas dan mencakup seluruh arena pertempuran, termasuk arena pertempuran
di luar gelar antara orang-orang Tambak Wedi melawan kelompok-kelompok kecil
yang sudah bergabung itu.
Tetapi meskipun gelar itu
dapat bergerak dan berkembang, namun hanya perlahan-lahan sekali, karena
tekanan yang masih saja terasa pada dinding gelar itu di setiap gerigi.
Untara yang telah bebas
memimpin pasukannya itu pun telah mencoba melihat pada bagian-bagian lain dari
prajurit-prajuritnya. Bahkan ia pun telah mendekati arena pertempuran di dalam
lingkaran gelarnya antara Kiai Gringsing dan Kiai Jalawaja.
Sejenak Untara menjadi tegang.
Ternyata bahwa di dalam pasukan lawan terdapat orang-orang seperti Kiai
jalawaja dan Kiai Kelasa Sawit.
“Apakah jadinya, jika tidak
secara kebetulan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita tidak berada di
Jati Anom pada saat ini?” terbersit pula pertanyaan di dalam hatinya. Namun di
sudut lain ia menjawab sebagai seorang prajurit, “Aku akan membinasakannya.
Meskipun barangkali dengan cara yang lain dan korban akan jatuh lebih banyak.”
Meskipun demikian Untara masih
juga merenungi pertempuran ini sesaat. Ia bahkan dicengkam oleh keheranan,
bahwa di dalam lingkungan yang tidak banyak dikenal itu, terdapat orang yang
pilih tanding seperti Kiai Kelasa Sawit dan Kiai Jalawaja.
“Tidak hanya mereka,” desis
Untara, “sejak persoalan Mataram berkembang, diikuti oleh hubungan yang kurang
serasi antara Ki Gede Pemanahan dengan Sultan, maka timbullah golongan-golongan
yang menghendaki perubahan dengan cara yang sangat tidak terpuji, dan mengarah
kepada kekerasan.”
Sekilas terkenang oleh Untara,
usaha yang gagal pada saat ia melakukan upacara perkawinannya. Kemudian
kelompok-kelompok yang berada di jalan-jalan raya yang sedang di bangun oleh
Mataram. Bahkan kemudian seorang yang menyebut dirinya Panembahan Agung dan
Panembahan Alit. Dan kini orang-orang yang singgah di padepokan tua, Tambak Wedi.
“Tentu masih banyak lagi,”
desis Untara.
Sebagai seorang prajurit, ia
pun dapat menduga, bahwa sebenarnya ada kekuatan yang besar harus dihadapi,
baik oleh Pajang maupun oleh Mataram.
Sejenak ia masih memperhatikan
pertempuran di tengah-tengah gelar yang perlahan-lahan sudah mulai mekar. Dan
sesaat kemudian ia meninggalkan arena itu, dan sekali lagi mengelilingi seluruh
gelar yang semakin luas.
Sekali-sekali Untara masih
harus juga turun membantu jika terasa seorang senapati yang memimpin sekelompok
prajurit dalam gerigi gelarnya menemui kesulitan. Namun kemudian dilepaskannya
kembali untuk melihat daerah pertempuran di sudut yang lain.