Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-032

S.H Mintardja, Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-032 Mendengar jawaban ayahnya, dan sikapnya yang lunak, Pandan Wangi menjadi lebih berani.
Mendengar jawaban ayahnya, dan sikapnya yang lunak, Pandan Wangi menjadi lebih berani.

“Ayah,” suara Pandan Wangi agak bergetar. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian diberanikannya bertanya, “Ayah, kenapa Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi untuk melindungi Kakang Sidanti?”

“Aku tidak berkeberatan Wangi,” sahut ayahnya,

“Tetapi bukankah Ayah menolak?”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah puterinya yang kemudian menundukkan kepalanya. Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Katanya di dalam hati, “Oh, agaknya Ayah tidak senang mendengar pertanyaanku.”

Dada gadis itu berdesir ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Pandan Wangi. Sekarang kau sudah cukup dewasa untuk menghadapi segala macam persoalan. Bukankah begitu? “

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, “Ya, Ayah.”

“Baiklah,” desis ayahnya, tetapi ayahnya itu pun masih juga dicengkam oleh kebimbangan. Namun dipaksanya berkata, “Kau sudah wajib berani melihat kenyataan-kenyataan yang ada di hadapanmu.”

“Ya, Ayah,” sahut gadis itu.

Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia berkata, “Aku harus mengatakannya, supaya aku tidak bersalah kelak apabila anak ini mendengamya dari orang lain, justru tidak tepat seperti yang terjadi, sudah dibumbui dan diputar-balikkan.”


“Baiklah, Wangi,” berkata Argapati kemudian, “apakah kau sudah bersiap untuk mendengarkannya?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya, “Apakah yang akan dikatakan oleh Ayah ini sehingga aku harus mempersiapkan diri untuk mendengarkannya?”

Dan gadis itu kemudian terperanjat ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Pandan Wangi, aku memang tidak segera dapat menerima pendapat Ki Tambak Wedi. Sebenamya aku memang kurang mempercayainya. Aku sudah mengenal sifat-sifatnya sejak berpuluh tahun.”

“Tetapi, tetapi bukankah Ayah mempercayakan Kakang Sidanti kepadanya bertahun-tahun? Bukankah itu juga merupakan suatu bentuk kepercayaan Ayah kepadanya?” tanpa sesadarnya pertanyaan itu meluncur dari mulut Pandan Wangi.

Pertanyaan Pandan Wangi itu memang terlampau sulit untuk dijawab. Karena itu, maka sejenak Argapati terdiam. Namun kemudian Argapati itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Pandan Wangi, “Wangi, ternyata perbedaan pendapat itu telah mendorong Ki Tambak Wedi untuk bersikap keras dan bersungguh-sungguh.”

Wajah Pandan Wangi menjadi semakin pucat. Terbayang di dalam rongga matanya kemungkinan yang dapat terjadi dari sikap masing-masing yang keras itu.

“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi parau, “apakah Ayah telah menentukan suatu saat untuk menyelesaikan persoalan ini seperti yang Ayah katakan? Pada saat purnama naik beberapa hari yang akan datang di bawah Pucang Kembar?”

Argapati menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat mengingkarinya karena agaknya Pandan Wangi telah mendengarnya. “Tidak baik aku berbohong kepadanya,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. “Ia harus tahu sebelumnya. Kalau terjadi sesuatu, anak ini sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapinya.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya lambat, “Ya, Pandan Wangi. Kami telah memutuskan. Kami yang bersama-sama sedang dikaburkan oleh perasaan kami yang menyala telah membuat perjanjian itu.”

“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi semakin lambat. Argapati melihat mata puterinya itu menjadi basah. Orang tua itu dapat menduga, betapa kecemasan telah mencengkam hati Pandan Wangi. Ia sudah tidak beribu lagi. Apabila terjadi sesuatu dengan ayahnya, maka ia akan menjadi sebatang kara.

“Kalau Ki Tambak Wedi tidak memisahkannya dari kakaknya, maka ia masih mempunyai tempat untuk bergantung,” berkata Argapati di dalam hati. “Tetapi Sidanti telah hanyut dibawa arus kegilaan gurunya.”

“Ayah,” Pandan Wangi kini seolah-olah berbisik, “kenapakah hal itu mesti terjadi?”

Ayahnya menggeleng lemah, “Aku tidak tahu Wangi. Tetapi Aku tidak dapat menghindarkan diri daripadanya.”

“Ayah adalah seorang Kepala Tanah Perdikan. Apakah Ayah tidak dapat berbuat atas namanya? Kalau Ayah menganggap bahwa Ki Tambak Wedi tidak sepantasnya berbuat demikian, bukankah Ayah mempunyai kekuasaan dan pasukan untuk melaksanakan kekuasaan itu?”

Argapati menggeleng pula, “Bukan Wangi. Masalahnya bukan kekuasaan dan wewenang mempergunakan kekuasaan dan alat-alat kekuasaan. Tetapi masalah ini adalah masalah pribadi. Aku, Argapati dan Ki Tambak Wedi.”

Mata Pandan Wangi kian menjadi basah. Berbagai macam persoalan membayang di dalam rongga matanya. Kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Namun perlahan-lahan ia bertanya, “Ayah, kasihan Kakang Sidanti. Ia akan kehilangan salah satu dari orang-orang yang paling penting di dalam hidupnya. Gurunya atau ayahnya.”

Sekali lagi Argapati menarik nafas. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sedang menyembunyikan kecemasannya sendiri. Namun orang tua itu tidak segera menyahut. Bahkan dilontarkannya pandangan matanya ke arah api pelita yang sedang menggapai-gapai.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Masing-masing dihanyutkan oleh arus perasaan dan angan-angan sendiri. Jauh ke dalam dunia kemungkinan yang tidak bertepi.

Di luar angin malam yang lembab terasa semakin dingin. Para peronda di gardu regol halaman duduk bersila di atas tikar pandan sambil berkerudung kain. Lampu yang samar-samar tergantung di depan regol. Para peronda itu telah menutup sebelah sisi, supaya tempat mereka duduk menjadi gelap. Sedang para peronda yang nganglang masih saja berjalan perlahan-lahan di sekitar lingkungannya. Sekali-sekali terdengar mereka berbisik-bisik. Mereka saling bertanya, apakah yang sebenarnya terjadi di halaman rumah Kepala Tanah Perdikannya yang selama ini tidak pernah ada persoalan-persoalan yang mendebarkan.

Tetapi tidak seorang pun yang dapat menjawab. Meskipun demikian, berita tentang peristiwa itu segera menjalar dari mulut ke mulut. Tersebar ke seluruh pelosok.

Di pringgitan, Pandan Wangi masih duduk tepekur menghadapi ayahnya. Sekali-sekali diusapnya matanya yang basah dengan ujung lengan bajunya. Namun anak itu bertahan sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.

“Aku sudah bukan anak-anak lagi,” katanya di dalam hati, “aku sudah tidak pantas lagi untuk menangis.” Namun setitik air telah meleleh di pipinya.

Ketika di kejauhan terdengar burung kedasih mengeluh berkepanjangan, terdengar Argapati berkata, “Apakah kau belum mengantuk, Pandan Wangi?”

Pandan Wangi menggeleng, “Belum, Ayah.”

Argapati terdiam. Ia selalu dicengkam oleh keragu-raguan untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya terlampau penting.

Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya, “Ayah, apakah persoalan itu tidak dapat diselesaikan dengan cara lain?”

Argapati menggeleng, “Kami telah berjanji Wangi. Kami adalah laki-laki. Dan kami telah mengatakannya, bahwa penyelesaian itu akan kami lakukan nanti jika purnama penuh naik, di bawah Pucang Kembar.”

“Tetapi,” suara Pandan Wangi tertahan. Lalu, “persoalan itu berkembang terlampau cepat. Kenapa masalah itu segera mendapat keputusan untuk membuat penyelesaian yang begitu bersungguh-sungguh?”

“Apakah persoalan itu terasa berkembang terlampau cepat Wangi?”

“Ya, begitu Ayah dan Ki Tambak Wedi tidak sependapat, maka segera ketegangan semakin meningkat dengan cepatnya. Seolah-olah keduanya sama sekali tidak dapat menahan hati. Seperti persoalan yang tumbuh di dalam lingkungan anak-anak muda.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari betapa sesak dada anak gadisnya. Dalam keadaan yang wajar, ia tidak akan berani berkata demikian kepadanya. Tetapi tanggapan Pandan Wangi itu agaknya telah meledak tanpa dapat ditahankannya.

Tetapi ketika Argapati tidak segera menyahut, maka Pandan Wangi itupun menyesal karenanya. Agaknya ia memang telah terdorong mengatakan sesuatu yang sebenarnya terlampau jauh. Tetapi hal itu dilakukannya di luar sadarnya. Sehingga dengan demikian, maka kata-kata itu seolah-olah telah meloncat dengan sendirinya dari lubuk hatinya, tanpa terkendali.

“Oh, apakah Ayah marah kepadaku?” pertanyaan itu telah menggelisahkannya.

“Pandan Wangi,” suara ayahnya masih tetap lembut, “apakah tanggapanmu memang demikian?”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, sehingga ia terdiam. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya saja wajah puterinya dengan sorot mata yang aneh.

“Apakah sudah seharusnya aku mengatakanya?” Argapati selalu bertanya kepada diri sendiri. Dan pertanyaan itu telah membuatnya selalu gelisah dan bimbang.

Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Argapati berkata pula, “Mungkin kau benar, Pandan Wangi. Persoalan ini berkembang terlampau cepat, sehingga kami masing-masing tidak lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar, tetapi ia masih saja berdiam diri.

Dalam pada itu masih saja terjadi pergolakan di dalam dada Argapati. Namun akhirnya ia berkata di dalam hatinya, “Tak ada jalan lain. Aku harus mengatakannya. Rahasia yang selama ini aku simpan dalam-dalam di dalam lubuk hatiku, kini terpaksa aku katakan. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Apa boleh buat.”

Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah dadanya menjadi sesak untuk bernafas.

Sementara itu malam pun menjadi semakin malam. Di kejauhan terdengar tengara yang dibunyikan oleh para peronda yang berada di gardu-gardu di ujung-ujung padukuhan. Sahut-menyahut. Semakin lama semakin jauh.

Ketika suara kentongan itu lenyap, maka malam kembali terlempar ke dalam kesenyapan. Lamat-lamat terdengar bunyi burung kedasih yang ngelangut.

“Sudah terlampau malam Wangi. Apakah kau belum mengantuk?”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Belum, Ayah.”

“Biasanya kau sudah tidur, Wangi.”

“Tetapi malam ini aku tidak akan dapat tidur, Ayah. Aku selalu berdebar-debar saja. Keputusan Ayah untuk membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi telah membuat aku cemas.”

“Itu adalah wajar sekali. Tetapi jangan terlampau dicengkam oleh kecemasan itu. Percayalah, bahwa ayah masih ingin tetap hidup. Karena itu, ayah pasti tidak akan dengan sukarela menyerahkan keputusan terakhir kepada ujung senjata Tambak Wedi yang bertajam rangkap itu. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu yang menentukan segala-galanya. Apabila datang saatnya, apapun yang aku lakukan, maka saat itupun akan tetap menjemputku. Bahkan seandainya aku bersembunyi di dalam gendaga besi sekalipun, maka kekuasaan itu pasti akan berlaku juga.”

Tetapi kata-kata ayahnya itu justru telah membuat nafas Pandan Wangi menjadi sesak. Kerongkongannya terasa tersumbat dan matanya menjadi panas. Betapa pun ia menahan hatinya, tetapi titik air matanya jatuh satu-satu di pangkuannya.

Pandan Wangi menangis. Sebagai seorang gadis yang sudah tidak beribu, kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu telah membayanginya. Meskipun pada dasarnya Pandan Wangi bukan seorang gadis yang cengeng, tetapi menghadapi kemungkinan itu, ia tidak dapat menahan perasaannya lagi.

Pandan Wangi yang sedang menangis itu kini benar-benar di dalam perwujudannya sebagai seorang gadis. Seolah-olah Pandan Wangi yang menangis itu bukan Pandan Wangi yang berjalan dengan tenang dan penuh mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dengan pedang rangkap di kedua lambungnya. Terhadap sentuhan-sentuhan yang paling dalam di dalam lingkungan keluarganya, di dalam ikatan-ikatan batin yang kuat, maka Pandan Wangi tidak dapat membanggakan ketangkasan dan kelincahannya menggerakkan senjata untuk melawannya.

Pandan Wangi mengusap matanya, ketika ia mendengar ayahnya berdesah. Ia tahu benar, bahwa ayahnya tidak senang melihat air matanya menitik. Setiap kali ia menangis sejak kecilnya, ayahnya selalu berkata, “Jangan menangis, Wangi. Hanya mereka yang berhati kecil sajalah yang sering menangis.”

Tetapi kali ini ayahnya tidak berkata demikian. Ayahnya itu hanya berdesah dalam nada yang berat.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ketika ia mendengar ayahnya berkata, “’Pandan Wangi. Kalau kau masih belum mengantuk, maka Ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tetapi tangkaplah kata-kata Ayah nanti dengan sikap dewasa. Dengan sikap yang matang. Mungkin hatimu akan terluka. Namun kemudian kau akan menyadari, bahwa kau sudah bukan anak-anak lagi. Kau akan segera mengerti, kenapa persoalan Ayah dan Ki Tambak Wedi berkembang terlampau cepat dan tanpa terkendali. Bahkan kau pasti sudah mendengar pula, bahwa persoalan ini telah disangkutkan pula dengan persoalan berpuluh tahun yang lampau yang terjadi pula di bawah Pucang Kembar itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Kau bersedia bukan, Wangi?”

Pandan Wangi tidak tahu maksud ayahnya. Tetapi sebelum ia bertanya, ayahnya melanjutkan, “Bukankah kau bersedia untuk menahan setiap gejolak perasaanmu? Bukankah kau telah cukup dewasa untuk bersikap?”

Hati gadis itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi hampir di luar sadarnya ia menganggukkan kepalanya.

Argapati menggeser dirinya secengkang. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya, bahwa tidak ada seorang pun di dalam pringgitan itu kecuali ia berdua saja bersama puterinya.

Di kejauhan masih saja terdengar suara burung kedasih yang seakan-akan sedang meratapi nasibnya.

“Pandan Wangi,” berkata Argapati, “aku terpaksa mengatakan sebuah rahasia kepadamu. Sebenarnya sebaiknya kau tidak usah mendengarnya sepanjang umurmu. Aku berharap bahwa rahasia ini akan dikubur bersama tubuhku kelak. Tetapi agaknya sikap Ki Tambak Wedi telah mendorongku untuk mengatakan kepadamu, supaya kelak kau tidak akan terkejut karenanya. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak mengancam akan mengatakan rahasia ini kepada kakakmu Sidanti, maka aku pun tidak akan berbuat serupa itu kepadamu. Namun agaknya aku tidak akan dapat menyimpannya lebih lama lagi. Selagi aku masih hidup, Wangi, aku akan dapat memberikan penjelasan kepadamu. Karena apabila aku sudah tidak ada, dan kau mendengarnya dari orang lain, Sidanti sendiri misalnya, maka tanggapanmu pasti akan berbeda. Apalagi kalau kau mendengar dari Ki Tambak Wedi.”

Kening Pandan Wangi menjadi semakin berkerut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah rahasia itu hanya diketahui oleh Ayah dan Ki Tambak Wedi saja?”

Argapati mengangguk, ”Ya, Wangi.”

Mata Pandan Wangi yang suram memancarkan sebuah pertanyaan yang mencengkam hatinya, “Kenapa Ayah dan Ki Tambak Wedi?” Tetapi pertanyaan itu tidak pernah terucapkan. Meskipun demikian, Argapati dapat menangkap ungkapan pertanyaan yang dipancarkannya lewat sorot mata puterinya itu.

“Pandan Wangi,” berkata Argapati, “yang mengetahui rahasia ini hanyalah aku dan Ki Tambak Wedi. Kenapa aku dan Ki Tambak Wedi? Jawabnya adalah sebagian dari rahasia itu sendiri.”

Wajah Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin suram namun tegang.

“Tetapi ingat, Wangi. Kau sudah dewasa. Tanggapilah secara dewasa.”

Pandan Wangi mengangguk.

“Kau akan mendengarkan sebuah ceritera yang sangat menarik, tetapi sangat tidak menyenangkan hati,” berkata Argapati, “tetapi itu adalah sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Sebab sudah terjadi. Kenyataan yang sudah terjadi, terjadilah. Tidak ada seorang pun yang akan dapat menghapusnya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya atau merahasiakannya supaya tidak ada seorangpun atau orang-orang yang datang di hari kemudian mengetahuinya. Tetapi kenyataan itu sendiri sudah berlaku.”

Pandan Wangi duduk dengan cemasnya. Wajahnya membayangkan kegelisahan yang sangat. Tetapi ia membeku saja seperti sebuah patung batu. Ditatapnya wajah ayahnya tajam-tajam, namun kemudian kepalanya itupun ditundukkannya. Ia menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya.

Sejemput angin yang silir menyusup di sela-sela lubang dinding mengguncangkan nyala pelita di dalam pringgitan itu. Dingin malam semakin lama semakin tajam menggigit kulit.

Ketika di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing liar, maka bergetarlah sebuah hati mendengarkan cerita yang selama ini menjadi rahasia yang paling dalam disimpan di dalam lubuk hati.

Pada saat-saat yang demikian itu, Sidanti duduk di hadapan gurunya di rumah Argajaya. Argajaya sendiri yang duduk pula bersama mereka, memandangi wajah Ki Tambak Wedi dengan tanpa berkedip. Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tambak Wedi itu pun telah mulai pada ujung ceritanya, rahasia yang selama ini disimpannya pula di dalam hatinya.

“Aku terpaksa mengatakannya untuk kepentinganmu sendiri, Sidanti, supaya kau tidak salah menanggapi keadaan. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada membuat penyelesaian yang kau sesali itu. Tetapi apabila kau sudah tahu persoalannya, maka kau tidak akan mengutuk sepanjang umurmu.”

Sidanti tidak menyahut.

“Persoalan ini tidak tumbuh dengan serta-merta pada malam ini saja,” berkata gurunya pula, “tetapi persoalan ini telah tersimpan berpuluh tahun di dalam lubuk hati kami. Di dalam dadaku dan di dalam dada Argapati. Kami telah mencoba untuk mengendapkannya dan tidak akan menyebutnya lagi. Tetapi dalam sentuhan persoalan serupa yang kita hadapi, maka aku tidak dapat bertahan dalam pendirian itu. Aku harus mempersoalkannya dan memecahkannya dengan cara lain. Tidak sekedar merahasiakan dan membawanya mati. Sebab aku sekarang merasakan, bahwa dengan demikian persoalan itu ternyata tidak terselesaikan. Persoalan itu hanya tertunda-tunda saja dan pada saatnya akan meledak juga.” Ki Tambak Wedi terdiam sejenak, lalu, “Aku kira Argapati akan mengatakannya juga kepada Pandan Wangi.”

“Apakah sangkut pautnya Pandan Wangi dengan persoalan ini?”

“Persoalan ini akan mengejutkan kau dan Pandan Wangi.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Kalau apa yang Guru katakan rahasia itu akan menyakitkan hati Pandan Wangi, maka alangkah sedihnya gadis itu. Kasihan. Sejak ibu meninggal, ia agaknya selalu bersedih hati.”

“Apa boleh buat. Ia memang harus mengetahuinya pula, supaya kita masing-masing dapat menempatkan diri kita di tempat yang sewajarnya.”

Sidanti menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak bertanya lagi, supaya gurunya segera mengatakan, apakah yang disebutnya dengan rahasia yang telah bertahun-tahun didekapnya di dalam dadanya itu.

“Kau akan mendengar sebuah kisah, Sidanti. Kisah yang tidak begitu menyenangkan hati, tetapi yang dalam saat serupa ini harus kau dengar. Kau harus berani mendengarnya, karena kau seorang yang jantan. Bukankah begitu?”

Sidanti menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak menjawab, tetapi gurunya menangkap getar sorot matanya, bahwa anak muda itu telah bersedia mendengarkan apa saja yang akan dikatakannya.

Di dua tempat yang terpisah, dua orang tua sedang mengisahkan sebuah kisah yang sama. Sebuah kisah yang selama ini mereka rahasiakan dalam-dalam. Tetapi oleh sentuhan persoalan yang mendapat tanggapan berbeda, maka rahasia yang selama ini terpendam itu ternyata terangkat kembali.

Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh sedang menceriterakannya kepada puterinya, Pandan Wangi, dan Paguhan yang kemudian menamakan dirinya Ki Tambak Wedi sedang memberitahukannya kepada Sidanti dan Argajaya. Ternyata keduanya tidak berusaha untuk menyembunyikan lagi bagian-bagian dari rahasia itu, sehingga ceritera mereka pun hampir bersamaan pula.

Dan kisah yang mereka ceriterakan itu terjadi beberapa puluh tahun yang lama. Di sekitar seperempat abad yang lalu, sejauh umur Sidanti itu sendiri.

Ketika itu, ketika bekas peralatan pengantin yang cukup meriah masih belum lenyap sama sekali, Arya Teja, pengantin laki-laki telah dibingungkan oleh sikap istrinya yang baru saja dikawininya. Hampir semalam suntuk istrinya menangis, sehingga di pagi harinya, masih saja ia murung di dalam biliknya. Bahkan kadang-kadang meledaklah pula tangis istrinya itu sambil menyembah-nyembah di bawah kakinya. Tetapi pengantin perempuan itu sama sekali tidak mengatakan apa pun juga. Ia tidak menyebutkan sebabnya, kenapa ia menjadi bingung dan gelisah. Bahkan ketakutan.

Arya Teja mencoba menunggu sampai hari kedua dan ketiga. Mungkin perkawinan itu telah menggoncangkan perasaan istrinya. Sebagai seorang gadis, maka perkawinan adalah batas waktu yang memisahkan antara dua dunia kehidupannya. Ia akan meninggalkan masa-masa gadisnya dan terjun ke dalam suatu dunia baru yang belum dikenalnya. Memang dunia yang belum dikenal itu akan dapat menumbuhkan ketakutan dan kecemasan.

“Wulan,” bertanya Arya Teja kepada istrinya, “kenapa kau salalu cemas, gelisah dan takut?”

Rara Wulan, istrinya itu, tidak pernah menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang meledak-ledak.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu, apakah yang telah terjadi dengan istrinya. Apakah ia sedang dibayangi oleh perasaan takut tentang dunianya yang baru atau oleh sebab-sebab yang lain?

Akhirnya kesabaran Arya Teja pun menjadi semakin lama semakin tipis. Ia tidak dapat bertahan dalam keadaan itu. Ia pun menjadi bingung dan bahkan sedih pula, sehingga pada suatu saat ia bertanya kepada isterinya, “Wulan. Apakah kau menyesal?”

Seperti di saat-saat yang lewat, Rara Wulan hanya dapat menangis tanpa menjawab pertanyaan itu.

“Aku tidak dapat hidup dengan cara ini, Wulan. Aku tidak mengerti apa yang kau tangiskan. Tubuhmu sendiri akan rusak karenanya. Kini kau menjadi semakin kurus dan kering. Kecantikanmu pudar oleh air mata,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu, “Wulan. Aku sekarang adalah suamimu. Kalau kau selalu dibayangi oleh tangismu, maka aku pun akan menjadi bersedih pula. Wulan. Apakah kita tidak dapat membagi kesulitan itu. Katakanlah, apakah yang membuatmu selalu menangis? Aku akan berusaha untuk menolongmu. Karena itu adalah kewajibanku.”

Tetapi Rara Wulan masih saja menangis tanpa menjawab sepatah kata pun, sehingga Arya Teja menjadi kehabisan akal karenanya. Perkawinan yang demikian lama ditunggu-tunggunya, yang dibayangkannya, bahwa perkawinan itu akan menjadikannya berbahagia dalam hidup berumah tangga dengan gadis yang selama ini diangan-angankannya, ternyata sia-sia belaka. Bahkan ia seakan-akan telah terjun ke dalam suatu neraka yang paling pahit. Kalau Rara Wulan hanya dikejutkan oleh suatu dunia baru yang belum dikenalnya, maka ia tidak akan menangis berkepanjangan. Sehari, dua hari, tiga hari, bahkan pada hari-hari berikutnya rumah tangga mereka terasa menjadi semakin suram.

“Wulan,” berkata Arya Teja itu, “beberapa tahun aku pergi merantau untuk kepentingan hidup kita di hari-hari mendatang. Aku mendapat penghargaan yang baik selama aku berada di Demak. Sultan Demak sendiri telah menganugerahkan banyak sekali kesenangan buat bekal hidup kita. Bahkan Kademangan Menoreh kini telah menjadi tanah perdikan, karena aku dianggap berjasa. Kademangan ayah yang sempit, kini menjadi luas dan men-dapat bentuk yang lebih baik, Tanah Perdikan. Tanah perdikan yang dalam pemerintahannya sehari-hari telah diserahkan kepadaku pula, karena ayah telah terlalu lelah. Selain memang akulah yang mendapat anugerah bentuk baru dari daerah kademangan ini. Semuanya itu juga untukmu, Wulan. Tetapi kenapa kau tanggapi persoalan ini dengan air mata tanpa penjelasan apa pun?”

Rara Wulan masih belum menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang menjadi semakin keras. Isaknya hampir-hampir telah menyumbat pernafasannya.

Arya Teja menjadi semakin bingung. Waktu yang ditunggu-tunggunya ternyata tidak seperti yang diharapkannya. Sejak orang tuanya mempertemukannya dengan gadis yang bernama Rara Wulan itu atas persetujuan semua pihak, beberapa tahun yang lalu sejak mereka masih terlampau muda, maka hatinya telah tertambat olehnya. Agaknya Rara Wulan pun tidak berkeberatan apabila kedua orang tua masing-masing melanjutkan pembicaraan tentang mereka. Tetapi apa yang dihadapinya benar-benar sebuah neraka yang menyiksanya siang dan malam.

Apalagi beberapa saat kemudian, Wulan yang selalu dibayangi oleh air matanya itu menjadi sakit. Penyakit yang membuat suaminya semakin bingung. Muntah-muntah dan pening. Ia dapat mendengar Wulan mengeluh tentang penyakitnya, tetapi isterinya tidak pernah mengatakan apa pun tentang dirinya.

“Wulan, bagaimanakah keadaanmu? Sebenarnya kau tidak sakit, Wulan. Tetapi kau telah disiksa oleh perasaanmu sendiri. Kalau kau mau mengatakannya, mungkin hatimu akan menjadi ringan. Kau tidak akan merasakan lagi penyakitmu yang aneh itu,” Arya Teja mencoba menenteramkan hati istrinya.

Tetapi semua usaha Arya Teja tidak ada yang dapat meredakan kemuraman hati Rara Wulan. Tak ada cara yang dapat dilakukan oleh suaminya. Hati Rara Wulan seolah-olah telah pecah tanpa dapat dibentuk kembali.

“Oh,” Arya Teja mengeluh di dalam hati, “aku akan dapat menjadi gila apabila aku tidak segera terlepas dari keadaan ini.”

Kebingungan Arya Teja pun memuncak ketika pada suatu saat, pada waktu ia berusaha untuk menenteramkan hati istrinya, seperti yang biasa dilakukan tanpa mengenal jemu, meskipun kesabarannya hampir lenyap sama sekali, ia mendengar isterinya sambil menyembah-nyembah meminta kepadanya sesuatu yang sama sekali tidak dimengertinya. Permintaan yang tidak dapat masuk diakalnya.

“Kakang, Kakang Arya. Bunuh sajalah aku Kakang. Aku akan terlepas dari siksaan yang selama ini mencekikku,” tangis Rara Wulan.

Dada Arya Teja bergetar, melampaui getar guruh yang meledak di langit. Ia duduk membeku di tempatnya seperti patung. Sedang isterinya bersimpuh di hadapannya sambil membasahi kainnya dengan air matanya.

“Kutuk apakah yang menimpa diriku,” desis Arya Teja itu di dalam hatinya, “kenapa aku terjerumus ke dalam neraka yang hampir membuatku gila ini.”

“Kakang,” sekali lagi terdengar suara Rara Wulan, “bunuh saja aku, Kakang. Aku tidak pantas untuk menjadi istrimu.”

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba berkata lembut, “Aku tidak mengerti Wulan. Kenapakah kau sebenarnya? Apakah kau selalu diganggu oleh seseorang atau oleh hantu-hantu?”

Tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Tetapi ia sudah tidak menjawab lagi. Berkali-kali Arya Teja mendesaknya. Tetapi yang terdengar hanyalah isak tangis isterinya saja.

Dunia semakin lama serasa semakin sesak. Arya Teja merasa bernafas pun agaknya sudah tidak dapat dilakukan lagi. Apalagi apabila dibayangkannya masa-masa mendatang. Gelap. Lebih gelap dari malam yang paling kelam.

Ketika pada suatu hari Arya Teja sudah tidak dapat menahan diri lagi, maka pergilah ia kepada bibinya yang telah tua. Diceriterakannya masalahnya, tentang istrinya dan tentang penyakitnya.

Arya Teja itu menjadi terheran-heran, ketika ia melihat bibinya itu justru tertawa. Tertawa berkepanjangan, sehingga air matanya meleleh di pipinya yang berkerut-merut oleh garis-garis ketuaannya.

“Oh, Ngger, Ngger,” katanya, “kau memang masih terlampau bodoh. Kau adalah anak muda yang lugu dan dungu. Seharusnya kau pernah mendengar serba sedikit tentang penyakit seperti penyakit isterimu itu.”

Arya Teja menjadi semakin bingung. Dan suara tertawa bibinya pun menjadi semakin berkepanjangan.

“Aku tidak mengerti, Bibi. Aku hampir gila dibuatnya.”

“Angger Arya Teja,” berkata bibinya, “ketahuilah, bahwa penyakit yang demikian adalah penyakit yang wajar, hinggap pada pengantin baru. Dalam keadaan yang demikian, perempuan memang kadang-kadang menjadi aneh. Sifatnya seakan-akan berubah. Ada-ada saja tingkahnya. Suami yang tidak dapat mengerti keadaan istrinya, memang dapat menjadi bingung, dan bahkan kadang-kadang ada yang setiap hari menjadi marah dan memaki-maki istrinya yang berbuat aneh-aneh itu.”

“Bibi?” dada Arya Teja menjadi berdebar-debar. Dan bibinya masih saja tertawa.

“Mungkin sekarang kau sudah mengetahuinya. Isterimu pasti sedang mengandung muda.”

Kata-kata itu meledak seperti petir yang menyambar kepalanya. Wajah Arya Teja menyadi tegang dan matanya seolah-olah membara. Keringat dingin mengalir dari segenap permukaan kulitnya.

“Bibi,” ia tergagap. Tetapi kata-katanya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.

“Jangan gugup, Ngger,” berkata bibinya, “Kau harus mengucap syukur, bahwa perkawinanmu segera akan berbuah.”

“Tetapi ………”

“Tetapi, tetapi apalagi, Ngger. Tidak ada tetapi. Kau tinggal mengucap syukur dan terima kasih. Istrimu sudah sampai pada saatnya menyiapkan dirinya untuk menjadi ibu. Istrimu harus lebih sering lagi jejamu agar menjadi tetap sehat dan tidak menjadi pucat.”

“Bibi, tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin.”

“He?” bibinya mengerutkan keningnya yang memang sudah berkerut.

“Bagaimana mungkin, Bibi. Kami baru beberapa hari kawin. Sejak kami kawin, istriku selalu menangis melolong-lolong. Bahkan istriku pernah minta kepadaku, supaya aku membunuhnya saja.”

“He?” kini yang terkejut bukan buatan adalah bibinya. Wajahnya yang berkerut-merut menjadi pucat. Terdengar suaranya gemetar, “Apa katamu he, Arya Teja?”

“Istriku berlaku demikian sejak kami kawin. Kami sama sekali belum pernah menikmati ketenteraman di dalam hari-hari perkawinan kami. Apalagi ketika ia menjadi sakit-sakitan. Bahkan ia minta aku untuk membunuhnya.”

“Ampun, ampun,” orang tua itu tiba-tiba meratap, “ya, ya. Aku lupa, bahwa kau baru beberapa minggu kawin. Tetapi istrimu itu? Tanda-tanda dan kelakuannya mengatakan kepadaku, bahwa istrimu sedang mengandung.”

“Tidak mungkin, Bibi. Tidak mungkin.”

“Oh, kalau begitu kau adalah laki-laki yang durhaka. He, agaknya kau tidak menunggu sampai saat perkawinanmu. Sekarang kau menjadi bingung sendiri. Persetan dengan kau, Arya Teja. Aku tidak senang mempunyai kemanakan seperti itu.”

“Bibi. Tidak. Itu pun tidak. Sungguh Bibi. Aku adalah seorang putra demang yang kemudian mendapat anugrah untuk mengangkat diri sebagai Kepala Tanah Perdikan karena jasa-jasaku bagi Demak. Apakah aku masih sempat untuk mengotori namaku dengan nafsu yang gila itu.”

Bibi Arya Teja itu tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah kemenakannya. Tetapi dari sorot matanya, Arya Teja dapat menangkap perasaan yang aneh pada bibinya itu. Apalagi ketika kemudian bibinya memalingkan wajahnya, melemparkan pandangan matanya ke luar, menembus lubang pintu yang tidak tertutup rapat.

“Bibi,” terdengar suara Arya Teja gemetar, “apakah Bibi tidak percaya?”

Perempuan tua itu berpaling. Sekilas ditatapnya sekali lagi wayah Arya Teja. Namun segera orang tua itu berpaling pula dan melontarkan pandangan matanya jauh-jauh.

“Bibi,” suara Arya Teja menjadi semakin bergetar, “apakah Bibi tidak percaya?”

Bibinya tidak menyahut. Tetapi wajah itu menjadi bersedih.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis, “Baiklah kalau Bibi tidak percaya. Mudah-mudahan dugaan Bibi atas penyakit isteriku itu salah.”

Bibinya masih berdiam diri.

Arya Teja kemudian tidak lagi dapat duduk dengan tenang, ia menjadi gelisah dan cemas. Bahkan kadang-kadang terasa debar jantungnya menjadi semakin deras.

Akhirnya Arya Teja tidak dapat bertahan lagi duduk di hadapan bibinya yang diam. Kalau sekali-sekali Arya Teja memandangi wajah orang tua itu, maka dilihatnya seolah-olah wajah yang sudah berkerut-merut itu menjadi terlampau suram.

“O, apakah anggapan Bibi terhadapku sebenarnya?” pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Arya Teja.

Karena itu, maka dadanya itu pun kemudian bergolak. “Aku harus mendapat penjelasan,” katanya di dalam hati, “Penjelasan dari orang yang bersangkutan. Langsung. Aku tidak mau selalu dicengkam oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat menyakitkan hati.”

Tiba-tiba Arya Teja itu pun bergeser dari tempatnya sambil berkata, “Bibi, aku mohon diri. Aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi?”

“Arya Teja,” suara bibinya terlampau serak, “aku tidak melihat keadaan isterimu. Sehingga dengan demikian, aku tidak akan dapat mengatakan apakah yang dideritanya dengan tepat. Aku hanya menduga-duga. Mudah-mudahan seperti katamu, dugaanku salah.”

Arya Teja menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat menjawab kata-kata bibinya itu.

“Kalau kau mau pulang, pulanglah, Ngger. Tetapi kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti. Lain kali aku akan datang, dan melihat keadaan isterimu. Mudah-mudahan aku dapat mengatakan serba sedikit tentang penyakitnya, meskipun tidak tahu benar.”

“Ya, Bibi. aku sangat mengharap kedatangan Bibi di rumah. Aku belum mengatakan kepada orang lain kecuali Bibi. Kepada keluargaku yang lain pun belum. Belum juga kepada ayah dan ibu.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Jangan kau katakan kepada siapa pun juga. Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi, kau harus cukup dewasa pula menanggapi setiap keadaan. Isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”

“Ya, Bibi,” jawab Arya Teja. Tetapi ia sendiri tidak dapat meyakini dirinya sendiri, apakah ia akan dapat menghadapi keadaan itu dengan bijaksana. Apalagi apabila kata-kata bibinya tentang penyakit isterinya itu benar.

Arya Teja pun kemudian dengan tergesa-gesa pulang ke rumah. Rumah yang belum lama ditempatinya bersama istrinya. Rumah yang dibangunnya sesuai dengan kedudukan yang akan dipangkunya. Bukan sekedar seorang Demang menggantikan ayahnya yang sudah terlampau tua, tetapi ia berwenang menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan yang diperkuat dengan kekancingan yang diterimanya dari Sultan Demak sebagai tanda terima kasih kepada lelabuhan Arya Teja.

Langkahnya yang panjang-panjang itu semakin lama menjadi semakin cepat seperti getar jantung di dadanya. Semakin lama ia merenungkan diri, melimbang-limbang apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan istrinya, maka darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.

“Seandainya benar kata Bibi,” desahnya, “apakah dosa yang telah aku perbuat?”

Arya Teja hanya dapat menarik nafasnya dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya. Tetapi setiap kali hati itu bergelora semakin dahsyat dan dahsyat. Sehingga sama sekali tidak diperhatikannya, ketika seorang yang berjalan di belakangnya, selalu saja mengikutinya dengan pandangan penuh kecurigaan.

Arya Teja tidak pernah berjalan demikian tergesa-gesa, bahkan dengan sikap yang sangat gelisah. Dengan pandangan lurus ke depan, seolah-olah menembus segala macam gerumbul dan rerangkudan, langsung menghunjam ke pusat rumahnya, hinggap pada tubuh istrinya yang berbaring di pembaringannya sambil mengusap air mata.

“Hem, kenapa Arya Teja berjalan demikian tergesa-gesa setelah ia bertemu dengan bibinya?” pertanyaan itu tumbuh di hati orang yang mengikutinya itu. Namun ia sama sekali tidak berusaha menyusul Arya Teja dan bertanya kepadanya, meskipun orang itu telah mengenalnya dengan baik.

Ternyata gelora di dada Arya Teja sama sekali tidak mereda. Semakin dekat ia dengan halaman rumahnya, maka hatinya serasa semakin pepat, terhimpit oleh getar yang semakin bergejolak di dadanya. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Bayangan tentang dirinya sendiri, tentang istrinya, tentang rumah tangganya dan tentang segala macam kemungkinan yang dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang paling pahit sekalipun.

Dada Arya Teja terasa benar-benar menjadi pepat ketika ia telah menginjakkan kakinya di halaman rumahnya. Tubuhnya serasa menjadi gemetar, dan keringat yang dingin mengembus di segenap wajah kulitnya.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menenangkan hatinya. Langkahnya pun kemudian diperlambatnya. Ketika kakinya sudah menyentuh tangga pendapa rumahnya, maka ditekankannya telapak tangannya di dadanya.

“Aku tidak boleh menjadi gila karenanya,” katanya di dalam hati. Terngiang kembali kata-kata bibinya. “Tetapi Kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti,” dan kemudian, “Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi kau harus cukup dewasa menanggapi setiap keadaan, isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”

“Ya,” Arya Teja berdesis, “aku harus menyadari setiap persoalan. Aku tidak boleh kehilangan akal dan nalar.”

Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya. Pendapa yang diinjaknya serasa bergoncang. Kepalanya menjadi terlampau berat dan urat-urat di keningnya menjadi tegang.

“Ah, aku tidak boleh menjadi gila,” desisnya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, bahwa dadanya telah dilanda oleh arus darahnya yang menjadi semakin cepat menyusuri pembuluh-pembuluhnya.

Dengan jantung yang berdentangan, Arya Teja memasuki rumahnya. Rumah yang dirasanya terlampau sepi. Bahkan rumah itu telah menjadi neraka yang membakarnya hidup-hidup sejak ia mengawini gadis yang selama ini diimpi-impikannya.

Ketika Arya Teja masuk ke dalam biliknya, dilihatnya istrinya sedang berbaring. Tetapi desir telapak kakinya telah mengejutkannya sehingga istrinya itu bangkit dan duduk di tepi pembaringannya.

“Oh,” desahnya, “Kau sudah datang, Kakang?”

Arya Teja melihat wajah istrinya yang pucat. Tubuhnya yang semakn lama semakin kurus, bahkan semakin kering. Perlahan-lahan maka gelora di dalam dadanya menjadi lilih. Istrinya memang baru sakit. Dan bibinya berpesan, “Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”

“Tidurlah, Wulan,” tiba-tiba terloncat kata-kata itu dari mulutnya. Kata-kata yang lembut penuh iba, “Bukankah kau baru sakit?”

Arya Teja melihat Rara Wulan mengelengkan kepalanya, “Tidak, Kakang. Aku tidak sakit.”

Arya Teja tidak segera menjawab. Ia duduk di atas sebuah dingklik kayu dekat di samping pembaringan istrinya.

“Kau pucat, Wulan. Apakah kau masih pening dan akan muntah?” pertanyaan itu begitu saja meloncat dari mulut Arya Teja.

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi dada Arya Teja mulai bergetar lagi ketika ia melihat mata istrinya menjadi basah. Apalagi ketika sesaat kemudian isterinya mulai terisak.

Dada Arya Teja mulai menjadi pepat. Karena itu maka justru ia terdiam. Ia duduk saja seperti patung sambil memandang jauh menembus lubang pintu bilik itu.

Tetapi isak istrinya yang mengeras telah benar-benar mengganggunya. Setelah sejenak ia dicengkam oleh perasaan iba, maka kini ia kembali dilemparkan ke dalam kegelisahan yang sangat.

Sejenak ruangan itu menjadi hening. Namun isak Rara Wulan menjadi semakin keras.

Arya Teja itu terkejut ketika kemudian isterinya terbatuk-batuk dan mulai diganggu lagi oleh penyakitnya. Muntah-muntah.

Arya Teja segera berdiri. Dipanggilnya seorang pelayannya untuk mengambil pasir dan ditaburkannya di bawah pembaringan Wulan yang sedang muntah-muntah.

“Wulan,” dada Arya Teja mulai gemetar, “apakah sebenarnya penyakitmu itu?”

Ketika pertanyaan itu menyentuh telinganya, maka meledaklah tangis Rara Wulan yang sedang muntah-muntah itu. Tetapi oleh tekanan perasaan yang menghimpit jantungnya, maka justru ia berhenti muntah. Kini ia duduk sambil menangis sejadi-jadinya.

“Wulan,” Arya Teja menjadi semakin cemas, “apakah kau tidak dapat mengatakan, penyakit apakah yang sebenarnya sedang kau tanggungkan? Apakah kau sedang menderita sakit panas dingin? Apakah perutmu terasa mual ataukah sakit apa lagi?”

Tidak ada jawaban selain suara tangis isterinya.

“Oh,” Arya Teja menjadi semakin bingung. Ia berjalan mondar-mandir. Sekali-sekali dihentakkannya kakinya, namun kemudian diingatnya lagi pesan bibinya.

Tetapi ternyata bukan saja pesan bibinya itu yang teringat olehnya. Tetapi juga sikap bibinya yang mengherankan pada mulanya. Bibinya itu justru tertawa-tawa mendengar keterangannya tentang penyakit isterinya.

“Benarkah?” tiba-tiba pertanyaan itu meledak di kepalanya. Dengan dada yang bergelora Arya Teja mendekati istrinya.

Ditatapnya istrinya yang sedang menangis itu berlama-lama. Tetapi pertanyaan itu tidak juga terloncat dari mulutnya. Arya Teja tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkan pertanyaan itu. Ia mencemaskan keadaan istrinya dan keadaannya sendiri apabila ia mendengar jawaban istrinya itu, jika dugaan bibinya itu benar.

“Tetapi, apakah aku akan tinggal di dalam neraka ini untuk seterusnya?” ia mencoba menggeretakkan giginya. Tetapi hatinya kemudian menjadi luluh lagi.

“Wulan,” katanya perlahan-lahan, “tidurlah. Kau harus segera sembuh. Kau tidak boleh selalu disiksa oleh duka dan air mata. Meskipun aku tidak tahu sebabnya, tetapi aku dapat merasakannya.”

Tiba-tiba Rara Wulan itu membanting dirinya bersimpuh di hadapan suaminya. Kata-kata yang lembut itu justru semakin menyiksanya. Dengan pilu ia meratap, “Bunuh saja aku, Kakang. Bunuhlah aku.”

Dada Arya Teja terguncang mendengar permintaan itu. Permintaan itu telah seribu kali didengarnya. Tetapi setelah ia mendengar dugaan bibinya tentang penyakit isterinya, maka tanggapannya menjadi lain. Karena itu, maka tiba-tiba giginya gemeretak dan matanya menjadi seakan-akan menyala.

Ditatapnya saja tubuh istrinya yang bersimpuh di hadapannya. Didengarnya suara tangisnya yang serak dan dilihatnya titik-titik air matanya yang menetes membasahi kakinya.

Dada Arya Teja itupun kemudian terasa bergolak semakin dahsyat. Bahkan serasa akan meledak karenanya. Berbagai macam prasangka telah mencengkam hatinya. Prasangka tentang istrinya, penyakitnya dan sikapnya.

Tiba-tiba saja terdengar Arya Teja itu menggeram, “Pasti. Pasti hal itu telah terjadi.”

Tetapi istrinya yang menangis itu tidak mendengar suaminya menggeram dan menggeretakkan giginya. Ia masih saja menangis dan bahkan diulanginya permintaannya, “Kakang, bunuh saja aku, Kakang, daripada hidupku akan tersiksa di sepanjang umurku.”

Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Pertanyaan yang selama ini tersimpan di dadanya, tiba-tiba meledak tanpa dapat dikendalikannya lagi. Justru karena selama ini ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkannya, maka ledakannya ternyata menjadi sangat mengejutkan tidak terkendali.

Tiba-tiba tangan Arya Teja yang kokoh kuat itu mencengkam pundak istrinya, Rara Wulan. Diguncangnya tubuh istrinya itu sambil berteriak, “Wulan, Wulan. Katakan, katakan. Apakah kau sedang sakit?”

Rara Wulan terkejut sehingga tangisnya tertahan. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, hampir ia menjerit ketakutan. Dilihatnya wajah suaminya yang tegang, dan sepasang matanya yang membara. Ia belum pernah melihat wajah Arya Teja demikian menakutkan seperti saat ini.

“Katakan, Wulan. Apakah penyakitmu itu, he?”

Rara Wulan masih terbungkam. Tetapi kemudian ia menggigil ketakutan.

Dada Arya Teja yang serasa telah bengkah itu, benar-benar tidak dapat ditahankannya lagi. Sekali lagi meledaklah pertanyaannya yang serasa menghentikan arus darah Rara Wulan, “Wulan, apakah kau sedang mengandung, he?”

Sejenak Rara Wulan membeku di tempatnya. Wajahnya yang pucat kian menjadi pucat. Arya Teja yang sedang diamuk kegelisahan, kegelisahan, kecemasan dan kebingungan itu melihat Rara Wulan bergeser secengkang surut. Dilihatnya pula bibir perempuan itu bergerak-gerak, tapi tidak sepatah kata pun yang meluncur dari sela-sela mulutnya.

“Katakan, katakan. Apakah kau sedang mengandung?” Rara Wulan masih belum menjawab, tetapi wajahnya kian menjadi pucat seputih kapas.

“Katakan, katakan,” Arya Teja berteriak. Ketika Rara Wulan tidak segera menjawab, maka terdengar Arya Teja itu menjadi semakin keras berteriak, “Apakah kau sudah menjadi ibu, he? Ayo katakan!”

Arya Teja itu kemudian menghibaskan tangan Rara Wulan yang menggenggam kakinya erat-erat sehingga perempuan itu terdorong mundur.

“Kenapa kau diam saja, he? Katakan, ya atau tidak?”

Rara Wulan benar-benar terbungkam. Kini ia tertelungkup di lantai. Suara Arya Teja benar-benar seperti beribu-ribu petir yang menyambar-nyambar di atas kepalanya.

“Wulan,” berkata Arya Teja yang matanya menjadi semakin menyala, “selama ini aku memandangmu sebagai seorang bidadari yang bersih, yang putih tanpa setitik noda pun yang lekat di tubuhmu. Tetapi, katakan, apakah benar begitu?”

Arya Teja itu surut selangkah ketika tiba-tiba ia melihatnya bangkit. Rara Wulan yang sudah sampai ke puncak ketakutannya justru sudah tidak menangis lagi. Ia mencoba mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ketika ia sudah duduk, maka ditengadahkannya wajahnya.

“Kakang,” suara itu gemetar, “apakah aku harus menjawab pertanyaan itu?”

Arya Tejalah yang kemudian terdiam sesaat. Hatinya yang bergolak menjadi semakin bergolak. Sekali lagi ia diterkam oleh ketakutan. Kalau istrinya itu nanti menjawab pertanyaanya, apakah jawabnya tidak akan membuatnya gila.

Tetapi sekali lagi perasaannya meledak, “Ya, kau harus menjawabnya. Kau tidak akan dapat ingkar lagi dari kenyataan.”

Wajah Rara Wulan yang pucat itu kini justru dijalari oleh warna darahnya. Semakin lama semakin merah. Dan dengan suaranya yang gemetar, terdengar jawabnya, “Kakang. Sudah aku katakan, bunuh saja aku. Aku memang sudah tidak sepantasnya menjadi istrimu karena aku memang sudah bernoda.”

Jawaban itu menyambar perasaan Arya Teja seperti guruh yang memecahkan jantungnya. Sejenak ia terhenyak dalam kebekuan seperti patung yang mati. Matanya memancarkan perasaan yang asing dan mulutnya terkatup rapat-rapat.

Dan Arya Teja yang membeku itu mendengar isterinya berkata, “Karena itu, Kakang, cara yang paling baik bagimu dan bagiku adalah, bunuhlah aku.”

Dunia ini serasa sudah tidak diinjaknya lagi. Arya Teja merasa dirinya seperti terbang menerawang dalam dunia yang asing. Bukan sekedar sebuah mimpi yang mengerikan, tetapi ia merasa bahwa ia terlempar dalam kesenyapan yang dahsyat. Semuanya seolah-olah menjadi semakin menjauh, menjauh daripadanya. Akhirnya dunianya yang selama ini dimilikinya, seolah-olah hilang. Hilang. Dan Arya Teja merasa dirinya berada dalam kekosongan yang paling dalam, dibakar oleh kesepian dan kebekuan yang paling dahsyat.

Arya Teja itu terhuyung-huyung surut sehingga tubuhnya tersandar pada dinding biliknya. Meskipun matanya masih terbuka, tetapi seolah-olah ia sudah tidak melihat lagi, meskipun telinganya masih ada, tetapi seolah-olah pepat dan tidak didengarnya apa pun.

Namun kemudian, api yang membara di dadanya bergolak menyala semakin dahsyat seperti api neraka. Perlahan-lahan api telah memanasi darahnya kembali. Perlahan-lahan Arya Teja itu jejakkan kakinya di dunia yang penuh murka, kemarahan dendam. Dunia yang dibakar oleh nafsu manusiawi yang menghancurkan. Sakit hati.

Dengan sorot mata yang aneh dipandanginya istrinya yang masih saja duduk di lantai. Istrinya dianggap akan dapat mendampinginya hidup dalam ketenteraman, tetapi ternyata telah menyeretnya ke dalam neraka yang paling pedih.

Dalam luapan perasaanya, Arya Teja itu melihat seakan Rara Wulan itu kini bukanlah perempuan yang selama ini telah didambakannya untuk menjadi istrinya. Wajah istrinya yang lembut dan sejuk itu, tiba-tiba telah berubah menjadi wajah hewan betina yang paling terkutuk. Wajah yang penuh dengan noda yang paling kotor yang pernah dilihatnya.

Sejenak Arya Teja mencoba menahan gejolak perasaannya, tetapi ternyata ia kemudian terseret oleh arus yang dahsyat yang mendamparkannya ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak berdaya untuk melawan luapan sakit hatinya. Lupa diri.

Tiba-tiba Arya Teja itu menggeretakkan giginya. Dengan kaki yang gemetar ia selangkah maju mendekati istrinya yang masih duduk di lantai. Dengan wajah yang membara ia menggeram, “Setan betina kau Wulan! Tidak pantas kau hidup lagi di rumah ini. Karena itu, lebih baik aku memenuhi permintaanmu. Aku bunuh kau!”

Tangan Arya Teja yang gemetar tiba-tiba telah meraih hulu kerisnya. Keris pusaka yang selama ini hampir tidak pernah ditarik dari wrangkanya. Namun keris itu kini telah berada di tangannya. Keris yang seolah menyalakan api dendam yang membara di dadanya.

Rara Wulan melihat Arya Teja itu mengangkat kerisnya dengan wajah yang merah tegang. Sejenak suaminya itu memejamkan matanya, dan Rara Wulan yang sudah pasrah itupun memejamkan matanya pula.

Tetapi tiba-tiba Arya Teja tertegun sejenak. Gelora di dadanya terguncang semakin dahsyat ketika ia mendengar jerit seorang perempuan memanggil namanya, “Arya Teja. Apakah yang kau lakukan itu?”

Tubuh Arya Teja menjadi gemetar, dan keris ditangannya pun menjadi gemetar pula. Terasa pergelangan tangannya ditahan oleh jari-jari yang lembut. Meskipun tangan yang menahannya itu sama sekali tidak mempunyai tenaga, tetapi terasa bahwa tangannya seakan-akan tidak mampu lagi digerakkannya.

Dan Arya Teja mendengar lagi suara itu, “Arya Teja. Apakah yang kau lakukan itu?”

Perlahan-lahan Arya Teja membuka matanya. Di sampingnya berdiri seorang perempuan tua. Bibinya.

“Kenapa Bibi menahan aku?” terdengar suara Arya Teja gemetar.

“Kau telah membuat kesalahan yang akan kau sesali sepanjang hidupmu.”

“Aku tidak memerlukannya lagi, Bibi. Ia menodai perkawinan kami. Dan ia sendiri minta aku untuk membunuhnya.”

“Aku sudah menyangka, bahwa kau akan kehilangan akal. Itulah sebabnya hatiku sama sekali tidak tenteram ketika kau meninggalkan rumahku.”

“Ia akan menjadi hantu yang akan menyiksa hidupku, Bibi. Biarlah, biarlah aku lenyapkan saja perempuan itu, supaya aku terlepas dari neraka ini.”

“Aria Teja. Kau akan menyesal.”

“Tidak. Tidak. Aku tidak akan menyesal sama sekali. Lepaskan, Bibi. Biarlah aku membunuhnya. Kalau Bibi tidak sampai hati untuk menyaksikannya, tinggalkanlah kami di sini.”

“Jangan menjadi mata gelap, Ngger.”

Darah Arya Teja menjadi semakin menyala, ketika ia mendengar Rara Wulan menyahut, “Biar, Bibi. Biarlah Kakang Arya Teja membunuhku. Itu adalah penyelesaian yang baik, baik baginya dan bagiku sendiri.”

“Nah, bukankah Bibi mendengar?” suara Arya Teja meninggi. “Iblis itu menantangku. Lepaskan Bibi, biarlah aku membunuhnya. Apakah darahnya juga merah seperti darah manusia yang bersih.”

Tetapi bibinya tidak melepaskan tangan Arya Teja. Tangan laki-laki yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu masih dipegangnya. Dengan cemasnya ia berkata, “Jangan, jangan Ngger. Jangan.”

Arya Teja telah benar-benar menjadi waringuten. Ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Yang ada di dalam dirinya hanyalah api kemarahan dan sakit hati. Itulah sebabnya, maka tanpa dikehendakinya sendiri, didorongnya bibinya yang tua itu sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah. Untunglah, bahwa tubuhnya yang lemah itu tersandar pada dinding sehingga ia tidak jatuh tertelentang.

Begitu tangan bibinya terlepas, maka dengan menggeram sekali lagi Arya Teja mengangkat kerisnya, “Kau harus mati. Kau harus mati.”

Tetapi ia masih mendengar suara bibinya melengking, “He, kau gila Arya Teja. Kau gila. Bunuhlah perempuan itu menurut kehendakmu, apalagi ia adalah istri yang mengkhianatimu. Tetapi kau akan berdosa tujuh kali lipat karena kau membunuh juga nyawa yang sama sekali tidak berdosa. Bayi di dalam kandungan perempuan itu.”

Kata-kata bibinya itu meledak di telinga Arya Teja seperti seribu guruh. Dadanya terguncang dahsyat sekali, sehingga rasa-rasanya seluruh tulang rusuknya terpatahkan. Sejenak pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang. Tubuhnya gemetar dan nalarnya seakan-akan ditaburi oleh kekelaman yang pekat.

Sekali lagi Arya Teja terhenyak ke dinding. Tubuhnya menjadi lemah, seolah-olah tulang-tulangnya dilolosi. Hampir-hampir ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.

Bibinya kini telah berdiri di hadapannya. Dipandanginya wajah kemanakannya yang kadang-kadang pucat namun kemudian merah membara.

“Ingatlah akan dirimu.”

Keringat dingin telah membasahi segenap tubuh Arya Teja. Dari ubun-ubunnya sampai ke ujung kakinya.

“Tidak sepantasnya kau berbuat begitu, Ngger,” berkata bibinya. “Kau adalah laki-laki, seperti ayahmu menginginkannya, bahwa kau adalah laki-laki jantan. Kau tidak dapat membunuh perempuan itu tanpa membunuh bayi yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi itu.”

Kata-kata bibinya itu benar-benar telah menyentakkan perasaan Arya Teja. Tubuhnya yang seolah-olah sudah tidak berdaya itu, tiba-tiba tegak bagaikan tiang baja yang kokoh kuat tidak tergoyahkan. Kini matanya benar-benar mancarkan api yang menyala di dalam dadanya.

Terdengar gigi Arya Teja gemeretak. Terngiang kembali kata-kata bibinya itu, “Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi itu.”

Arya Teja menggeram. Terdengar suaranya parau, “Ya, Bibi. Aku mengerti.”

Selangkah Arya Teja maju mendekati istrinya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Wulan, katakan. Katakan. Siapakah yang telah berbuat itu? Aku sadar kini, bahwa itu adalah penghinaan yang sedalam-dalamnya bagi kejantananku. Orang itu ingin mencoba mengukur lebar dada Arya Teja yang sebentar lagi akan mendapat wisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Menoreh. Kalau aku belum menemukan orang itu Wulan, maka aku tidak akan dapat hidup dengan tenteram. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi padaku. Membunuh atau dibunuh. Tetapi itu adalah sikap jantan.”

Rara Wulan yang sudah pasrah diri, yang justru seakan-akan sudah tidak lagi dibayangi oleh kecemasan, dan bahkan air matanya pun seolah-olah sudah kering, kini digoncangkan lagi oleh kegelisahan yang dahsyat. Terbayang di wajahnya, apa yang dapat terjadi apabila dua orang laki-laki jantan telah berhadapan.

“Wulan, katakan Wulan, supaya aku tidak jatuh ke dalam dosa yang paling nista, membunuh perempuan yang tidak berdaya dan membunuh bayi di dalam kandungannya. Bayi yang tidak berdosa sama sekali.”

Pernyataan itu telah benar-benar menghentakkan dada Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu mendengar bibi Arya Teja berkata, “Tidak ada gunanya, Arya Teja. Sikap itu memang sikap jantan. Tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan cara itu. Aku memperingatkan kau akan hal itu, sekedar untuk mencegah kau menjadi kehilangan akal. Sikap itu jauh lebih baik daripada kau membunuh perempuan dan bayinya yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi sikap itu sendiri bukan sikap yang paling baik.”

Mata Arya Teja yang menyala itu membayangkan keragu-raguan setelah ia mendengar kata-kata bibinya. Namun bibinya itu berkata terus, “Sikap yang demikian masih akan menumpahkan darah. Darah bukanlah penyelesaian yang paling baik.”

Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Sekali lagi terdengar suaranya yang parau, “Lalu apakah sebaiknya yang aku lakukan, Bibi?”

“Kau harus berjiwa besar, Arya Teja. Kau harus membuat penyelesaian tanpa menitikkan darah. Kau harus bertemu dengan laki-laki itu. Kau atau orang itu yang seterusnya akan memiliki Rara Wulan. Sesudah itu, tidak ada lagi persoalan di antara kalian.”

Darah Arya Teja menghentak-hentak di jantungnya. Dan terdengar ia berkata terbata-bata, “Itu tidak mungkin, Bibi. Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan kedua-duanya. Terus mengawini Rara Wulan dengan menelan penghinaan dari seorang laki-laki tanpa berbuat sesuatu, seolah-olah aku bukan laki-laki, atau melepaskan Rara Wulan dengan menyandang hina dan malu, karena orang-orang Menoreh akan mengatakan, bahwa istri Kepala Tanah Perdikannya telah direbut orang tanpa berbuat sesuatu.”

Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Itu benar, Arya Teja. Tetapi bahwa Rara Wulan mengandung di luar perkawinannya denganmu itu sama sekali tidak diketahui orang.”

“Tetapi aku tahu, Bibi. Aku tahu, Wulan tahu dan laki-laki yang itu tahu pula.”

“Bukankah persoalan itu masih terbatas sekali? Kalau jiwamu cukup besar, Arya, kau lupakan saja apa yang telah terjadi. Tetapi laki-laki itu memang harus datang kepadamu, minta maaf dan untuk seterusnya tidak akan menyebut-nyebut anaknya yang masih dalam kadungan.”

“Hanya begitu, Bibi? Hanya cukup dengan permintaan maaf dan untuk seterusnya tidak akan mengusik anaknya?”

“Arya Teja. Peristiwa ini harus kau pandang dari segi yang lapang. Hubungan itu terjadi sebelum Rara Wulan menjadi istrimu. Kau tidak dapat mengatakan, bahwa laki-laki itu telah merampas hakmu seluruhnya, sebab pada saat itu terjadi, Rara Wulan masih belum istrimu.”

“Oh,” Arya Teja berdesah. Keringatnya menjadi semakin banyak mengalir, “Tetapi aku telah terjebak dalam perangkap yang keji itu. Laki-laki itu ternyata pengecut. Kalau ia laki-laki jantan, maka ia akan bertanggung jawab dan tidak membiarkan Wulan menjadi istri orang lain. Mungkin hal itu disengaja pula untuk menghindarkan diri dari keharusan bertanggung jawab. Agaknya Wulan telah bersepakat pula menjerat leherku.”

“Tetapi aku menyesal,” tiba-tiba Rara Wulan memotong, “aku menyesal bahwa hal itu terjadi. Karena itu maka aku akan rela dibunuh. Nah, Kakang, kalau keputusanmu memang ingin membunuhku, kenapa kau akan membatalkannya?”

“Begitu, begitu yang kau maksud?” tiba-tiba darah Arya Teja meluap sekali lagi. Sehingga tanpa disadarinya ia melangkah maju dengan tangan gemetar. Kerisnya masih juga berada di dalam genggemannya.

“Jangan gila,” teriak bibinya, “kalian berdua memang gila.”

Sekali lagi Arya Teja tertegun, “Dengar kata-kataku!” bentak bibinya. Ternyata pengaruhnya besar sekali atas Arya Teja, sehingga ia melangkah surut.

“Tidak patut kalian berbuat begitu,” berkata bibinya pula, “kalian harus menemukan penyelesaian sebaik-baiknya, sebagamana penyelesaian yang dituntut oleh manusia beradab.”

“Kami sama-sama laki-laki, Bibi. Itu adalah penyelesaian yang paling baik dan adil,” geram Arya Teja, “aku tidak melihat jalan lain. Sekarang sebutkan laki-laki itu, he?”

Rara Wulan masih terduduk diam. Pertanyaan yang demikian, benar-benar telah menguncangkan dadanya.

Seandainya ia menjawab berterus terang, maka ia yakin, pasti akan terjadi pertumpahan darah dan bahkan kematian seperti yang dikatakan oleh Arya Teja. Membunuh atau dibunuh. Rara Wulan tahu pula, bahwa laki-laki yang ditanyakan oleh Arya Teja itu pun pasti akan berkata begitu pula. Membunuh atau dibunuh.

Penyesalan yang paling dalam telah menyesak di dada Rara Wulan. Sebenarnya penyesalan itu datang sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang seakan-akan berlangsung di luar sadarnya, pada saat iblis datang menghuni hatinya tanpa dapat dilawannya. Karena itu, maka tidak ada lain yang diharapkannya kini, selain mati. Mati. Bahkan telah timbul pula hasratnya untuk membunuh diri. Tetapi alangkah baiknya, apabila ia mati di tangan Arya Teja. Mungkin hal itu akan dapat memberi sedikit kepuasan kepada suaminya yang telah dikhianatinya itu.

Maka sejenak kemudian, terdengar Rara Wulan berkata, “Kakang, aku tidak akan mengatakan, siapakah laki-laki itu. Timpakan semua kesalahan kepadaku, karena memang akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Semuanya tidak akan terjadi, seandainya aku tidak menyurukkan diriku sendiri ke dalam lumpur yang paling hina. Bagiku penyelesaian yang paling baik adalah bunuhlah aku.”

“Perempuan celaka!” potong bibi Arya Teja. “Kau benar-benar tidak tahu diri. Bunuhlah dirimu sendiri seandainya kau ingin. Tetapi tunggulah bayi di dalam perutmu itu lahir dan berkesempatan hidup. Tak ada hak dari siapa pun juga untuk membunuh nyawa yang sama sekali tidak bersalah itu. Semua hukuman harus ditimpakan dan ditanggung oleh mereka yang berbuat salah, tetapi tidak pada nyawa itu.”

Seperti juga Arya Teja, maka hati Rara Wulan pun tersentuh pula. Apalagi sebagai seorang perempuan yang langsung menyimpan nyawa itu di dalam dirinya. Karena itu, maka kini kebingungan yang dahsyat telah melanda, jantungnya. Ia ingin mati, tetapi peringatan bibi Arya Teja telah membuatnya bimbang. Apabila semula ia telah pasrah tanpa ragu-ragu menghadapi saat-saat kematian yang memang sudah diharapkannya, tetapi kini ia mulai bimbang. Nyawa yang ada di dalam dirinya tidak hanya nyawanya sendiri saja. Tetapi ia pun sedang menyimpan nyawa bayi di dalam perutnya itu.

Dalam keheningan itu terasa, betapa udara bilik itu seperti dipanggang di atas api. Hening, tetapi tegang dan panas.

Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja parau, “Wulan. Jangan memperlambat persoalan. Katakan siapa laki-laki itu? Aku akan membuat penyelesaian.”

“Jangan dengan cara itu,” bibi Arya Teja berkata, “kau harus mendapatkan cara yang baik. Cara yang beradab. Kalian bukan manusia-manusia liar yang hanya mengenal cara penyelesaian yang serupa itu, darah.”

Dada Arya Teja berdentangan mendengar kata-kata bibinya. Kalau semula bibinya berhasil meredakan maksudnya untuk membunuh Rara Wulan, tetapi kini nafsu Arya Teja untuk membuat perhitungan dengan laki-laki yang dianggapnya telah menghinanya itu sama sekali tidak surut. Bahkan dengan gemetar ia berkata, “Tidak ada pilihan lain, Bibi. Bukankah Bibi sendiri berkata, bahwa aku tidak sepantasnya membunuh Rara Wulan, tetapi aku dapat berbuat begitu kepada orang yang menaburkan benih di ladangku.”

“Tetapi bukan maksudku, Arya,” berkata bibinya, “aku hanya ingin mencegahmu membunuh Rara Wulan dan bayinya.”

“Itu adalah keputusanku,” geram Arya Teja. Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Wulan, sebutkan nama itu. Sebutkan.”

Dada Arya Teja berdentang ketika ia melihat Rara Wulan menggelengkan kepalanya yang tunduk, “Aku tidak dapat mengatakannya, Kakang.”

“He,” mata Arya Teja kini seolah-olah menyala, “sebutkan! Sebutkan! Kau hanya menyebutkan saja nama itu. Penyelesaiannya ada di tanganku.”

Air mata Rara Wulan kini menderas lagi. Dan bahkan seolah-olah ia tidak dapat lagi bernafas oleh isaknya yang menyesak di dada. Tetapi sekali lagi ia menggelengkan kepalanya.

“Wulan. Wulan. Kau tidak mau menyebutkan he?” Arya Teja tiba-tiba berteriak penuh kemarahan. Dihentakkannya kakinya di lantai. Sambil menunjuk kepala istrinya dengan ujung kerisnya ia berkata, “Kau ternyata penghianat yang paling jahat. Kau sengaja menyembunyikan laki-laki di belakang pinjungmu. He, kalau aku laki-laki itu, maka alangkah malunya. Kalau aku menjadi laki-laki itu, akulah yang akan membunuh diri. Bukan sekedar bersembunyi dan bahkan mengorbankan nyawa seorang perempuan dan bayi di dalam kandungannya.”

Kata-kata itu serasa langsung menusuk jantung Rara Wulan. Bagaimanapun juga, penghinaan Arya Teja terhadap laki-laki yang pernah membuat sentuhan langsung di hatinya itu, membuatnya berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya semuanya tertuang lewat air matanya.

“Wulan, apakah kau benar-benar sudah menjadi bisu he?” Arya Teja menjadi semakin marah dan berteriak-teriak.

“Arya Teja,” berkata bibinya, “hentakan perasaan di dadamu memang terlampau berat. Sekarang, marilah tinggalkan bilik ini, Ngger. Beristirahatlah. Kau akan menemukan ketenangan. Dalam ketenangan itulah kau baru mengambil sikap. Kalau sekarang kau menentukan cara penyelesaian itu, maka kau akan salah jalan. Kau sekarang tidak dikuasai oleh pikiran dan nalar, tetapi kau sedang dikuasai oleh perasaan. Perasaanmu yang lagi gelap.”

“Tidak, Bibi. Aku harus mendengarnya sekarang. Apakah aku akan bersikap sekarang, hal itu dapat dipikirkan kemudian. Tetapi nama itu harus aku dengar sekarang. Nama laki-laki licik yang hanya berani berperisai nyawa seorang perempuan, sehingga laki-laki betina itu tidak lebih dari seorang pengecut besar.”

Ternyata kata-kata itu telah menggugah sebuah hati. Betapa seseorang menahan diri, namun penghinaan itu tidak dapat dibiarkannya. Karena itu, maka seorang laki-laki yang selama ini mendengarkan pembicaraan itu dari balik dinding di luar rumah, tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya pula.

Sejak beberapa lama ia mendengarkan pembicaraan Arya Teja dan istrinya di dalam biliknya. Kadang-kadang ia terpaksa menahan nafasnya, namun kadang- kadang ia terpaksa menggeretakkan giginya.

Ia tidak mempedulikan satu dua orang pembantu di dalam rumah itu memperhatikannya dari kejauhan. Pembantu-pembantu rumah itu memang sudah mengenalnya, karena ia sering pula datang berkunjung menemui Arya Teja sebelum kawin dengan Rara Wulan.

Pembantu-pembantu yang melihatnya pun sama sekali tidak menegurnya. Mereka menyangka, bahwa orang itu akan berkunjung seperti biasa, tetapi ketika didengarnya Arya Teja sedang bertengkar dengan istrinya, maka ia menunggunya saja di luar. Sedang para pembantu itu tidak tahu apakah yang sebenarnya dipertengkarkan. Mereka hanya mendengar suara Arya Teja hampir berteriak. Pembantu-pembantu itu menjadi ketakutan, karena sebelum itu mereka tidak pernah melihat atau mendengar Arya Teja bersikap kasar, meskipun kadang-kadang dapat juga bersikap keras.

Tetapi orang itu sebenarnya sama sekali tidak sedang menunggu sampai pertengkaran itu reda. Pertengkaran itu sendiri telah membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya. Ialah yang melihat Arya Teja berjalan dengan tergesa-gesa dan kemudian mengikutinya. Terasa ada sesuatu yang tidak wajar pada pemuda yang baru saja kawin itu.

Ternyata apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ia mendengar pertengkaran itu. Ia mendengar Arya Teja bahkan mengancam untuk membunuh istrinya, dan kini Arya Teja sedang mendesak Rara Wulan untuk menyebut nama laki-laki yang dianggapnya telah mengkhianatinya.

Dada orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar bahwa Rara Wulan berkeras hati untuk tidak menyebut nama laki-laki itu. Tetapi darahnya segera mendidih ketika ia mendengar penghinaan Arya Teja atas laki-laki itu.

“Hem, apakah aku akan berdiam diri saja?” desisnya di dalam hati.

Sebuah pergolakan telah terjadi di dadanya. Pergolakan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sejak Arya Teja menghunus kerisnya, ia telah berdiri dalam kebimbangan. Apakah ia akan turut mencampurinya? Tetapi sebelum ia mendapat keputusan, ia melihat bahwa bibi Arya Teja dengan tergesa-gesa memasuki rumah itu, dan ternyata perempuan itu telah berhasil mencegahnya, sehingga dengan demikian, ia tidak perlu mencampurinya. Tetapi ia tidak akan dapat terus menerus berdiam diri sambil mendengarkan penghinaan yang tiada berkeputusan.

Kini sekali lagi ia mendengar suara Arya Teja, “Kau tidak mau mengatakannya, Wulan? Baiklah. Simpanlah rahasia itu di dalam dirimu. Aku sudah tidak berkeinginan untuk membunuh lagi. Perbuatan itu hanya akan mengotori tanganku saja,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu, “Besok aku akan membuat peryataan terbuka. Setiap orang akan mendengar apa yang telah terjadi atasmu, sampai saatnya seorang laki-laki berani menampilkan dirinya, dan mengaku bahwa ia telah melakukannya.”

Sebuah hentakan yang keras telah menggoncangkan dada Rara Wulan. Ancaman itu benar-benar telah membuat cemas dan ketakutan, sehingga terdengar suaranya terpatah-patah di sela tangis dan isaknya. “Oh, kau terlampau kejam, Kakang. Kenapa kau tidak mau membunuh aku saja daripada kau membuat aku malu tiada taranya.”

“Laki-laki itulah yang bersalah,” sahut Arya Teja, “kecuali kau bersedia menyebut namanya.”

Betapa hati Rara Wulan benar-benar tersiksa saat itu. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa kekhilafannya yang sesaat itu benar-benar telah mematahkan hari depannya, bahkan jauh lebih mengerikan daripada mati.

“Aku beri kau waktu,” berkata Arya Teja, “apabila sampai fajar besok kau belum juga mau mengatakannya, maka aku akan melakukannya. Aku akan membunyikan kentongan memanggil setiap orang di dalam padukuhan ini, yang sebentar lagi akan menjadi tanah perdikan yang sempurna. Aku akan sesorah dan mengatakan apa yang telah terjadi atas seorang perempuan yang bernama Rara Wulan.”

“Kakang,” Rara Wulan memekik.

Tetapi suara itu hilang ditimpa oleh suara Arya Teja yang lebih keras, “Sudah menjadi keputusanku.”

“Oh,” tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Kini kepalanya ditelungkupkan di lantai. Rambutnya yang hitam panjang berserakan dengan kusutnya.

Arya Teja masih berdiri tegak dengan sehelai keris di tangannya. Dadanya masih terasa membara dan sorot matanya masih memancarkan perasaannya yang bergolak. Sedang bibinya berdiri kebingungan tanpa dapat berbuat sesuatu. Arya Teja sama sekali tidak mau lagi mendengarkan nasehatnya.

Sebagai seorang perempuan, ia kemudian menjadi iba melihat Rara Wulan. Tanpa disadarinya ia melangkah maju. Dibelainya kepala perempuan itu sambil berkata, “Sudahlah, Wulan. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali. Tetapi jalan yang akan kau tempuh kelak, janganlah mengulangi apa yang telah terjadi, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Kini yang terjadi hanyalah akibat dari perbuatan yang sudah terlanjur itu. Memang pasti akan terasa pahit. Tetapi kalau kau sudah maju setapak lagi dan kau atasi kepahitan ini, kau mudah-mudahan akan mendapat ampun dari Yang Maha Kuasa dan mendapat hati yang terang.”

Tetapi Rara Wulan tidak menyahut. Bahkan tangisnya menjadi semakin keras.

Dalam saat yang demikian itulah, Arya Teja terperanjat. Ia mendengar langkah tergesa-gesa mendekati pintu bilik. Semakin lama semakin dekat. Sejenak kemudian dadanya berdesir tajam. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Seorang laki-laki yang memancarkan api kemarahan lewat matanya yang tajam, setajam mata burung hantu, seorang laki-laki yang hidungnya melengkung seperti paruh burung betet, berkumis dan beralis tebal.

Bukan Aria Teja saja yang ternyata terkejut bukan buatan. Tetapi bibinya pun terkejut, ketika tiba-tiba saja ia melihat laki-laki itu. Ketika ia melihat mata yang seolah-olah memancarkan nyala api. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Rara Wulan. Ketika ia mengangkat wajahnya, dan melihat laki-laki itu, maka darahnya serasa berhenti mengalir.

“Kau,” suara yang parau itu tersekat di kerongkongannya.

Laki-laki itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Tetapi ia berdiri tegak seperti tiang-tiang rumah itu.

Arya Teja bergeser setapak. Mereka, kedua laki-laki itu kini berdiri berhadapan. Namun belum sepatah kata pun yang meluncur dari mulut-mulut mereka.

Meskipun demikian, mata merekalah yang seakan-akan berbicara. Arya Teja seolah-olah menangkap kata-kata itu. Dan telinga hatinya segera menterjemahkannya. Seakan-akan laki-laki itu berkata, “Akulah yang telah berbuat.”

Arya Teja menggeram. Dari sela-sela bibirnya kemudian terucapkan sepatah kata, “Paguhan.”

Laki-laki yang berdiri di muka pintu itu masih belum menjawab. Tetapi kata-kata Arya Teja itu telah menyentuh dadanya setajam ujung keris yang masih digenggamnya.

Namun kedua laki-laki itu kemudian berpaling ketika mereka mendengar Rara Wulan berteriak, “Pergi, pergi kau iblis yang paling jahat! Pergi, pergi!”

Tetapi laki-laki yang bernama Paguhan itu tidak beranjak dari tempatnya.

“Pergi, pergi!” perempuan itu menjadi semakin berteriak-teriak. Dipukulkannya tinjunya bertubi-tubi pada lantai yang basah oleh air matanya, “Pergi, pergi kau!”

Paguhan masih berdiri tegak. Sejenak kemudian terdengar suaranya seakan-akan bergulung-gulung diperutnya, “Tidak, Wulan. Aku tidak akan pergi. Aku bukan laki-laki pengecut yang bersembunyi di balik pinjungmu. Aku adalah laki-laki yang mempunyai harga diri.”

“Bagus,” Arya Tejalah yang menyahut, “aku hormati kau karena kejantanan itu. Kita adalah laki-laki yang masing-masing mempunyai harga diri.”

“Pergi, pergi!” Rara Wulan menjadi semakin memekik-mekik.

“Tidak ada jalan lain,” berkata Arya Teja, “kau atau aku yang binasa.”

“Kau atau aku,” Paguhan itu mengulang, “bukankah itu jalan yang paling adil?”

“Ya.”

Dan pembicaraan itu terputus ketika Rara Wulan menjerit tinggi, “Pergi, pergi!” lalu tangisnya melonjak semakin keras. Dari sela-sela suara tangisnya terdengar kata-katanya, “Aku tidak mau melihat peristiwa itu terjadi. Akulah yang bersalah. Bunuhlah aku. Bunuhlah aku.” Suara Rara Wulan menjadi semakin meninggi. Tiba-tiba ia kemudian diam. Diam, Rara Wulan jatuh pingsan.

Bibi Arya Teja kemudian menjadi sibuk. Diusap-usapnya dahi perempuan itu. Sesaat kemudian ia berlari ke belakang mencari minyak kelapa untuk menggosok telinga dan dada Rara Wulan.

Arya Teja dan Paguhan masih berdiri di tempatnya. Mereka hanya mengikuti kebingungan bibi Arya Teja dengan mata mereka.

“Arya Teja,” berteriak bibinya, “apa kau menunggu sampai istrimu ini mati. Berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu.”

Tetapi Arya Teja tidak beranjak dari tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak ketika ia melihat beberapa orang pelayannya berlari-lari menolong bibinya mengangkat Rara Wulan ke atas pembaringan di bilik yang lain. Namun hati para pelayan itu bergetar ketika mereka melihat di tangan Arya Teja tergenggam sehelai keris.

Tetapi para pelayan itu menjadi agak tenang, karena mereka tidak melihat setitik darah pun di tubuh Rara Wulan.

Dalam kesibukan itu, terdengar Paguhan berkata, “Arya Teja, aku menunggumu. Aku memang ingin membuat penyelesaian itu. Aku tunggu kau di bawah Pucang Kembar. Bulan hampir bulat di langit. Supaya kau mendapat kesempatan merawat isterimu, maka aku memberimu waktu sampai purnama penuh.”

“Aku tidak memerlukan waktu itu. Aku tidak akan merawat siapa pun. Apalagi orang yang telah mengkhianati aku.”

“Terserah kepadamu. Tetapi aku akan berada di bawah Pucang Kembar pada saat purnama naik, dua hari yang akan datang. Aku tidak dapat berbuat dalam suasana seperti ini. Aku ingin Wulan sembuh dan sehat.”

“Kalau kau mau mengurusnya, uruslah perempuan yang telah kau nodai itu. Aku tidak memerlukannya.”

“Masih belum waktunya Arya. Sesaat setelah aku membunuhmu di bawah Pucang Kembar, aku memang akan melakukannya.”

“Baik. Dua hari yang akan datang, tepat pada saat purnama naik, aku telah berada di bawah Pucang Kembar.”

Paguhan tidak menyawab. Dengan wajah yang tegang ia memandangi Rara Wulan yang terbaring di pembaringan di bilik sebelah lewat lubang pintu lereg yang tidak tertutup.

Sejenak kemudian dengan langkah tergesa-gesa ditinggalkannya rumah itu. Langkahnya panjang dan cepat. Tanpa berpaling lagi ia turun dari pendapa dan melintasi halaman rumah Arya Teja. Sejenak kemudian ia telah hilang di balik regol.

Arya Teja masih berdiri di tempatnya seakan-akan sebuah patung. Dadanya bergelora seperti sedang terbakar. Sama sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah mendorongnya ke dalam kepahitan hidup itu adalah Paguhan, kawan yang terlampau dekat yang selama ini dianggapnya sebagai seorang anak muda yang baik.

Tetapi ternyata yang terjadi adalah neraka yang paling terkutuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menggeram, “Dua hari lagi. Kalau Paguhan tidak ingkar, maka aku atau anak itu yang akan mati.”

Arya Teja tersadar ketika ia melihat bibinya masuk ke dalam bilik itu. Dilihatnya wajah yang tua itu telah basah pula oleh air matanya. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu, namun kemudian, ia melangkah mendekati kemanakannya sambil bertanya, “Kau telah bersepakat untuk melakukan perang tanding?”

Arya Teja menganggukkan kepalanya, “Ya bibi. Nanti apabila purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan melakukannya di bawah Pucang Kembar.”

Bibinya termenung sejenak. Lalu katanya, “Aku tidak mengerti bahwa kau lebih senang memilih jalan itu daripada cara yang lain.”

“Aku tidak melihat cara yang lain itu,” sahut Arya Teja.

Bibinya terdiam. Langkahnya yang berat telah membawanya ke atas amben bambu. Sambil menarik nafas dalam-dalam diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu.

Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Arya Teja masih berdiri kaku dengan keris di tangan.

“Istrimu sudah sadar,” berkata bibinya kemudian “tetapi ia mengalami kejutan yang luar biasa.”

Arya Teja acuh tak acuh saja mendengar keterangan bibinya tentang Rara Wulan. Seandainya perempuan itu mati sekalipun ia tidak akan berkeberatan.

“Ia menyeyali segala dosanya,” berkata bibinya lebih lanjut.

Arya Teja masih berdiam diri.

“Arya,” berkata bibinya, “aku berpendapat bahwa Rara Wulan bukanlah seorang perempuan yang jahat. Penyesalan yang paling dalam telah mendorongnya untuk berputus-asa. Ia merasa bahwa hidupnya sama sekali sudah tidak berarti lagi. Kesalahannya itu lelah menyebabkannya malu melihat sinar matahari.”

“Oh,” Arya Teja menggeram, “sebuah permainan yang sangat baik. Ternyata Rara Wulan dapat memainkan peranannya dengan sempurna, sehingga Bibi menjadi iba kepadanya. Tetapi apakah aku harus menerima penghinaan itu?”

“Arya Teja. Kau harus tahu, apakah sebabnya hal yang serupa itu dapat terjadi? Kau tidak boleh melihat persoalan itu hanya sepotong. Sepotong yang membuatmu menjatuhkan hukuman yang paling berat atas istrimu. Kau harus melihat keseluruhan dari persoalannya. Peristiwa yang mendahuluinya dan yang kemudian mendorongnya melakukan perbuatan itu.”

“Bibi, Rara Wulan dan Paguhan dapat saja menyusun seribu macam alasan. Tetapi akibatnya sama saja buatku. Aku menerima sampah yang telah dilemparkan oleh Paguhan ke pawuhan. Bibi, aku tidak dapat. Aku tidak dapat menerimanya.”

Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ya, Ngger. Aku tahu dan aku dapat mengerti perasaanmu. Tetapi kau harus mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dosa istrimu. Sebagai manusia ia dapat dilibat oleh nafsu tang tidak dimengertinya sendiri. Tetapi yang terpenting kau ketahui, bahwa ia menyesali apa yang telah terjadi sampai ke pusat hatinya. Menyesal dan bertaubat.”

“Apakah artinya sesal itu baginya? Seandainya ia tidak bertaubat sekalipun, ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Ia tidak akan mendapatkan masa-masa gadisnya dan melakukan hal yang serupa. Bahkan seandainya itu dikehendakinya sendiri.”

Bibinya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang telah lanjut usia, ia dapat mengerti perasaan yang bergolak di dalam dada kemanakannya. Itulah sebabnya, ia kemudian berdiam diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang demikian Arya Teja pasti sulit untuk diajak berbicara.

“Aku masih mempunyai waktu dua hari lagi sebelum purnama naik. Mudah-mudahan aku dapat mengurungkan cara penyelesaian yang mengerikan itu,” berkata bibinya di dalam hati. “Penyelesaian yang demikian tidak akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagi yang memenangkannya. Hubungan dengan Rara Wulan tidak akan terselesaikan. Bagi Rara Wulan, penyelesaian itu adalah cara yang akan menyiksanya sepanjang hidupnya. Siapa pun yang kalah, ia merasa kehilangan. Kalau Arya Teja yang kalah, dan mati dalam perkelahian itu, ia akan kehilangan suaminya. Tetapi, kalau Arya Teja berhasil memenangkannya, dan Paguhan terbunuh, maka bayi di dalam kandungan itu akan kehilangan bapanya.”

Tetapi bibi Arya Teja itu tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu. Arya Teja sama sekali tidak dapat diajaknya berbicara. Kemanakannya itu sedang dikuasai oleh gejolak perasaan yang dahsyat sekali.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Ruangan itu menjadi sepi, tetapi terasa ketegangan telah menyesak di dada masing-masing. Lamat-lamat mereka masih mendengar isak tangis Rara Wulan di bilik sebelah ditunggui oleh pelayannya.

Dalam kesepian itu terdengar suara bibi Arya Teja, “Arya Teja, sarungkanlah kerismu. Kau tidak memerlukannya sekarang.”

Arya Teja menarik nafas. Perlahan-lahan tangannya seolah-olah telah digerakkan oleh kekuatan yang tidak dimengertinya menyarungkan kerisnya pada wrangkanya.

“Beristirahatlah dan cobalah merenungkan apa yang telah terjadi dengan tenang. Jangan diburu oleh nafsu yang bergejolak di dalam dirimu.”

“Akulah yang telah menjadi korban nafsu itu, Bibi.”

Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Ngger. Meskipun demikian apakah salahnya kalau kau mencoba melihat persoalan ini dari segala segi. Segi yang memberatkan namun juga segi-segi lain, yang dapat meringankan dorongan kemarahanmu.”

“Tidak ada yang perlu aku pertimbangkan lagi. Aku sudah memutuskan. Dua hari lagi, saat purnama naik, aku akan membuat penyelesaian secara jantan.”

Mereka pun kemudian terdiam pula. Ketika udara di dalam bilik itu terasa semakin sesak, maka Arya Teja pun segera melangkah ke luar.

Saat-saat berikutnya adalah saat yang paling menegangkan, seolah-olah waktu berjalan terlampau lamban.

Arya Teja seakan-akan merasakan bahwa rumahnya telah menjadi tempat yang paling menyiksanya. Siang dan malam ia seakan dipanggang di atas bara api. Ia sama sekali tidak mau lagi masuk ke dalam ruang dalam rumahnya. Ia selalu berada di pendapa atau di pringgitan saja.

Di dalam rumah itu Rara Wulan ditunggui oleh bibi Arya Teja. Perempuan tua itu tidak sampai hati untuk meninggalkannya dalam keadaan yang demikian. Selain Rara Wulan selalu dihantui oleh kesalahannya sendiri, bibi Arya Teja itu mencemaskannya pula apabila tiba-tiba saja perempuan itu membunuh dirinya. Karena itu, ia tidak mau meninggalkannya.

Apabila malam kemudian tiba, Arya Teja selalu memandangi bulan yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya telah hampir bulat, namun malam purnama masih harus ditunggunya. Dan menunggu kesempatan itu adalah pekerjaan yang paling menyakitkan hati.

Di hari kedua Arya Teja benar-benar telah kehilangan kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung barat, anak muda itu telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya yang selama ini telah disimpan di atas geledegnya. Sebuah tombak pendek pemberian ayahnya sebagai sipat kandel dalam kembaranya mengabdikan dirinya kepada pimpinan kerajaan di Demak.

Arya Teja terkejut ketika ia mendengar suara bibinya memanggilnya, “Arya Teja, apakah selama dua hari ini kau tidak menemukan cara lain yang lebih baik daripada cara-cara orang biadab itu?”

Arya Teja mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya dengan nada yang dalam, “Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan cara yang lain yang dapat aku lakukan.”

“Sebaiknya kau mempergunakan mulutmu saja, Ngger. Tidak mempergunakan senjata itu.”

“Senjata ini lebih baik daripada mulutku, Bibi. Dengan senjata ini semuanya akan segera selesai.”

“Tidak. Persoalannya tidak dapat diselesaikan. Tetapi persoalan itu membeku karena salah satu pihak terbunuh karenanya”

“Dan dengan demikian maka tidak akan ada persoalan lagi.”

“Kau membohongi dirimu sendiri, Arya. Persoalan itu akan bergolak di dalam dadamu. Justru lebih dahsyat dan lebih sulit untuk kau selesaikan.”

Arya Teja menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan jalan lain.”

Bibi Arya Teja menjadi semakin gelisah. Dicobanya sekali lagi untuk menjelaskan keadaan Rara Wulan. “Arya Teja. Kau harus berjiwa besar menghadapi persoalan itu. Rara Wulan adalah seorang manusia biasa yang dapat melakukan kekhilafan. Seperti kau, pasti pada suatu waktu melakukannya. Aku, ayahmu, dan ibumu. Bahkan semua orang. Kini istrimu telah benar-benar menyesali kekhilafan itu. Apakah tidak ada terbersit di dalam hatimu untuk memaafkannya? Ia telah cukup tersiksa. Kelembutan sikapmu selama ini benar-benar membuat Rara Wulan semakin merasa berdosa.” Bibinya itu berhenti sejenak, lalu, “Apalagi apabila kau bersedia memaafkan kesalahannya, Ngger. Maka tidak ada hukuman yang lebih berat lagi bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”

Arya Teja tidak menyahut. Kata-kata bibinya itu terasa menyentuh hatinya. Namun kemudian teringat olehnya janji yang telah diucapkannya, “Pada saat purnama naik, di bawah Pucang kembar.”

“Tidak,” Arya Teja itu tiba-tiba menggeram. “Tidak, Bibi. Aku adalah seorang laki-laki. Aku sudah mengucapkan janji untuk melakukan perang tanding. Tidak ada yang dapat mengurungkan niat itu.”

“Kau tidak mau mendengarkan nasehatku, Arya. Bagaimanakah kira-kira apabila ayah dan ibumu mendengar hal ini.”

“Ayah dan ibu pasti akan membenarkan sikapku. Aku adalah anak laki-laki yang diharapkan bersikap jantan.”

Bibinya menggelengkan kepalanya, “Aku kira tidak, Arya.”

“Seandainya tidak, aku tidak akan mengurungkan janji itu. Hari ini adalah hari yang kedua. Nanti apabila purnama naik, aku harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”

Bibinya mengelus dadanya. Tidak ada cara lagi untuk membujuk kemenakannya yang keras hati itu. Apabila nanti malam tiba, maka di bawah Pucang Kembar itu akan terjadi pepati. Besok, setiap orang pasti akan memperkatakannya apa yang terjadi. Apakah mereka akan menemukan mayat Paguhan atau mayat Arya Teja. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya.

Perempuan tua itu kemudian menundukkan kepalanya. Arya Teja adalah anak muda yang keras hati. Ia mengenal anak itu sejak dilahirkan oleh ibunya. Keras hati, nakal namun bertanggung jawab. Harga dirinya tampak jelas sejak ia masih kanak kanak. Pada saat ia menginjak dewasa, maka tampaklah bahwa Arya Teja akan dapat memenuhi kekudangan orang tuanya. Berbeda dengan adiknya. Adiknya pun nakal seperti Arya Teja. Tetapi adiknya kurang bertanggung jawab dan agak manja, sehingga perkembangan wataknya pun berbeda pula.

Dan kini Arya Teja itu sedang mengalami badai di dalam hidupnya sebagai seorang anak muda.

Selapis air tergenang di mata perempuan tua itu. Dan ia terkejut ketika ia mendengar suara Arya Teja, “Maafkan aku, Bibi. Kali ini aku tidak dapat memenuhi permintaan Bibi.”

Bibinya tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu menyekat kerongkongannya. Apakah yang akan terjadi atas tanah Menoreh seandainya Arya Teja malam nanti terbunuh oleh lawannya, meskipun ia mati secara jantan?

Bibi Arya Teja itu mengangkat wajahnya ketika kemenakannya berkata, “Bibi, matahari telah menjadi rendah, hampir sampai ke punggung pegunungan itu. Aku minta doa Bibi, semoga, aku dapat kembali ke rumah ini.”

Bibinya mengangguk, meskipun ia berkata di dalam hatinya, “Lalu, apa yang akan kau temui di rumah ini adalah bagian dari kepedihan hati itu pula Arya.”

Tetapi, bibinya tidak menyatakannya. Disimpannya saja kata-kata itu di dalam hatinya. Ia tidak mengharap Arya Teja menjadi semakin mendendam lawannya.

“Anak itu bukan seorang yang ganas,” berkata bibinya di dalam hatinya, “mudah-mudahan demikianlah sikapnya terhadap lawannya apabila ia berhasil menguasainya.” Namun kemudian dada, perempuan itu berdesir. “Bagaimanakah yang akan terjadi seandainya Arya Teja kalah dalam perang tanding itu?”

Mata perempuan tua itu menjadi semakin basah.

“Sudahlah, Bibi,” terdengar suara Arya Teja berat, “jangan hiraukan aku lagi. Apa pun yang akan aku lakukan dan apa pun yang akan terjadi. Aku mohon maaf apabila aku telah melukai hati Bibi.”

Bibinya tidak menjawab.

“Perkenankan aku pergi sekarang. Aku harus berada di bawah Pucang Kembar itu sebelum purnama naik.”

Sebuah anggukan kecil menggerakkan kepala perempuan tua itu. Terdengar suaranya lirih seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “Hati-hatilah, Arya.”

“Terima kasih, Bibi. Aku masih ingin melihat matahari terbit besok pagi.”

Bibinya tidak menyahut. Ditatapnya wajah kemenakannya dalam-dalam. Ketika kemenakannya itu kemudian melangkah meninggalkannya, maka perempuan itu tidak dapat menahan perasaannya lagi. Menangis. Justru karena itu, ia lupa kepada perempuan yang selama ini dijaganya. Kini ia sedang bergulat dengan perasaan sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke bilik kemenakannya dan meletakkannya dirinya, duduk di atas amben bambu yang dibentangi oleh sehelai tikar pandan.

Arya Teja itu bukan anaknya sendiri, tetapi anak adik perempuannya. Namun anak muda itu terlampau dekat dengannya, seperti anak sendiri. Bahkan Arya Teja lebih banyak menyatakan perasaannya kepada bibinya daripada kepada ibunya. Karena itu, maka kepergian Arya Teja kali ini benar-benar menyedihkannya.

“Apakah anak itu akan kembali?” desisnya.

Perempuan tua itu menangis di dalam bilik kemenakannya Angan-angannya mengembara sampai ke dunia yang terlampau asing baginya. Tetapi ia merasa bahwa kesepian telah mengintainya dan siap untuk menerkamnya .

“Apakah aku harus memberitahukannya kepada orang tua Arya Teja?” pertanyaan itu sekali-kali menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak berani mengambil sikap apa pun. Apakah hal itu akan menguntungkan, atau bahkan sebaliknya? Bagaimanakah apabila orang tua Arya Teja itu mengambil sikap sendiri, dan mengurungkan perkelahian itu dengan kekerasan pula terhadap Paguhan. Dengan demikian maka perasaan Arya Teja yang sedang terbakar itu akan tersinggung pula. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah menangis dalam kebimbangan dan keragu-raguan.

Sementara itu, Arya Teja berjalan dengan kepala tunduk menyusuri jalan-jalan padukuhannya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak pendek, pusaka pemberian ayahnya yang selama ini selalu menemaninya di dalam keadaan yang paling sulit. Di dalam masa pengabdiannya kepada Demak, sehingga ia mendapat anugerah Tanah Perdikan yang lebih sempurna bagi Menoreh.

Beberapa orang yang menyaksikannya bertanya-tanya di dalam hati mereka, “Kemanakah Arya Teja itu akan pergi? Langkahnya tampak tergesa-gesa sedang tangannya menjinjing senjata.”

Tetapi, tidak seorang pun yang bertanya kepadanya. Bahkan, orang-orang yang ditemuinya di perjalanannya, bahkan hampir bersentuhan, tidak dihiraukannya. Di dalam kepalanya bergolaklah persoalan tentang dirinya dan istrinya, dalam hubungannya dengan laki-laki yang bernama Paguhan. Semakin tajam ia menyoroti persoalan itu, maka kemarahannya pun menjadi semakin membakar jantungnya. Sehingga langkahnya menjadi semakin cepat pula. Ia ingin segera sampai ke bawah Pucang Kembar. Di sana ia telah mengikat janji untuk menyelesaikan masalahnya secara jantan.

Namun sekali-sekali terngiang pula kata-kata bibinya, “Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi Rara Wulan daripada menerima maafmu.”

Dada Arya Teja itu terasa berdesir. Tetapi semuanya segera terusir seperti asap dihembus angin yang kencang. Kemarahannya selalu menyapu semua perasaan lain yang tumbuh di dalam hatinya.

Semakin dekat Arya Teja dengan sepasang pohon pucang yang tumbuh di lereng pebukitan, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Langkahnya terasa terlampau lamban. Ingin ia meloncat dan langsung berdiri di bawah Pucang Kembar sambil memutar tombaknya. Ia ingin segera mendapat keputusan.

Meskipun Arya Teja menjadi hampir tidak sabar lagi, namun akhirnya ia sampai juga di bawah Pucang Kembar itu. Ketikia menengadahkan wajahnya ke langit, dilibatnya warna-warna merah terbentang dari ujung sampai ke ujung. Matahari telah menjadi semakin rendah bertengger di atas pegunungan.

“Hem,” desisnya “aku masih harus menunggu. Apabila matahari itu tenggelam, maka sebentar kemudian purnama akan naik. Dan aku harus membuat perhitungan terakhir.”

Dengan gelisahnya Arya Teja berjalan mondar-mandir di tanah berumput yang membentang di bawah Pucang Kembar itu. Semakin rendah matahari di langit, Arya Teja pun menjadi semakin kehilangan kesabarannya.

Tetapi Paguhan masih juga belum menampakkan dirinya.

“Mudah-mudahan ia tidak ingkar janji,” desis Arya Teja. “Kalau Paguhan tidak datang pada saat purnama naik, maka aku akan mencarinya kemana pun, sampai ke ujung bumi. Aku tidak mau membatalkannya lagi.”

Arya Teja mencoba menyabarkan dirinya. Matahari masih tampak tepat di punggung bukit. Perlahan-lahan sinarnya menjadi kian pudar Warna-warna merah di langit pun menjadi semakin suram. Sedang angin senja yang lemah berhembus membelai daun sepasang pucang yang ikut terguncang-guncang dengan gelisahnya.

Arya Teja berdiri tegak seperti patung di antara kedua batang Pucang Kembar itu menghadap ke barat. Ditengadahkan wajahnya memandang matahari yang hampir tenggelam, seolah-olah dihitungnya waktu yang diperlukan oleh matahari itu untuk menyembunyikan dirinya di balik bukit.

Cahaya kemerah-merahan yang semakin gelap hinggap di wajah Arya Teja. Perpaduan antara warna senja yang hampir kelam dan wajah Arya Teja sendiri yang tegang, memancarkan suasana yang mendebarkan jantung.

Dengan sorot mata yang tajam, Arya Teja seolah-olah ingin mendorong agar matahari menjadi semakin cepat tenggelam. Kesabarannya kian lama sudah menjadi kian menipis.

Ketika matahari kemudian hilang di balik pegunungan, Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Alam di sekitarnya menjadi samar-samar. Pepohonan yang hijau tampak menjadi hitam seperti bayangan hantu yang berdiri memutari bentangan tanah berumput di bawah pohon Pucang Kembar itu.

Wajah Arya Teja yang gelap menjadi semakin gelap. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan berdiri tegak menghadap ke timur. Tatapan matanya yang tajam kini hinggap pada cakrawala di ujung langit. Di sanalah nanti pada saatnya purnama akan naik.

Arya Teja menjadi hampir tidak bersabar lagi. Langit yang menjadi semakin kelam kini mulai diwarnai oleh cahaya yang ke kuning-kuningan. Cahaya purnama yang memancar seolah-olah dari bawah bumi. Purnama yang sebentar lagi akan naik dan mengapung di langit yang bersih.

“Tidak ada sepenginang lagi, purnama akan naik,” anak muda itu berdesis. Dadanya kini menengadah, seakan-akan menantang cahaya purnama yang pertama kali akan mematuknya.

“Paguhan harus sudah berada di tempat ini,” katanya di dalam hati.

Belum lagi ia sempat mengedarkan pandangan matanya, terasa dadanya berdesir. Ia mendengar langkah halus di rerumputan di sampingnya. Tetapi Arya Teja tidak berpaling. Ia masih tetap berdiri tegak dengan kaki renggang, menanti bulan yang sudah mulai terbit. Seleret warna kuning menyembul dari balik kaki langit, di sebelah timur. Cahayanya yang kuning dengan serta-merta menguak kehitaman yang membentang menyelubungi bumi. Semakin lama menjadi semakin terang. Meskipun tidak secerah sinar matahari, namun cahaya bulan memiliki wataknya sendiri.

Arya Teja masih memandang purnama yang tepat naik. Ia mendengar telapak kaki semakin dekat kepadanya. Tanpa berpaling ia bergumam, “Kau datang tepat pada waktunya, Paguhan.”

“Ya,” terdengar jawaban dalam nada yang berat, “aku tidak mempunyai waktu sebanyak waktumu yang kau sia-siakan di bawah Pucang Kembar ini dalam kegelisahan. Aku datang tepat pada waktunya, dan segera akan pergi tepat pada waktu yang aku kehendaki pula.”

Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban itu. Tetapi ia masih menghadap ke arah bulan yang semakin terang. Dilihatnya sehelai awan yang putih mengalir ke utara, kemudian buyar ditiup angin yang kencang.

Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tidak terasa olehnya betapa sejuknya angin malam di daerah terbuka, karena hatinya yang membara.

Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya Paguhan berdiri tegak di sisi sebatang dari sepasang pucang itu. Dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan tampaklah wajahnya seolah-olah memancarkan api dari dalam dadanya.

“Kau terlampau sombong, Paguhan,” Arya Teja menggeram.

“Terserah menurut penilaianmu, Arya. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan pembunuhan. Apalagi atas suami Rara Wulan. Tetapi kau terlampau keras hati. Karena itu, apa boleh buat.”

“Apakah kau yakin bahwa kau akan dapat membunuhku?”

“Tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari tanganku.”

“Hem, kau memang terlampau sombong.”

“Jangankan kau, Arya, bawalah serta ayah dan kakekmu. Aku akan membunuh mereka bersama-sama.”

Terdengar Arya Teja menggeram.

“Jangan sakit hati mendengar kata-kataku,” berkata Paguhan “sebentar lagi kau harus melihat kenyataan itu.”

“Agaknya karena kau terlampau yakin akan dirimu sendiri, kau telah melakukan perbuatan terkutuk itu.”

“Hampir tidak ada hubungannya,” sahut Paguhan. “Kau sendiri harus mengakui kesalahanmu. Kau tinggalkan gadis bakal istrimu itu dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam kesempatan itulah, ia mencari tempat untuk melepaskan kesepiannya. Tetapi aku bukan seorang pengecut, Arya. Kaulah pengecut itu. Seandainya kau tidak mengikatnya jauh-jauh sebelum waktunya, maka aku akan mengawininya. Tetapi pembicaraan antara orang tuamu dan orang tua Rara Wulan agaknya terlampau mengikat, sehingga terpaksa perkawinanmu itu berlangsung. Tetapi bukan salahku dan bukan salah Rara Wulan kalau kau tidak mendapatkan istrimu itu seperti yang kau kehendaki.”

Terasa darah Arya Teja mendidih di dalam jantungnya. Kata-kata Paguhan benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya. Justru karena itu, maka mulutnya menjadi seolah-olah terbungkam. Meskipun bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah kata pun yang melontar.

”Sekarang kau menepuk dada sebagai laki-laki jantan,” Paguhan meneruskannya. “Arya, jangan kau sangka bahwa karena kau baru saja menerima anugerah dari Demak, yang akan menempatkan kau sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, tidak ada seorang pun di tanah ini yang dapat mengimbangimu. Bukankah kita bersama-sama pergi berguru pada saat itu, meskipun pada orang yang berbeda? Nah, seterusnya kau tenggelamkan dirimu pada tugas-tugasmu. Tetapi aku masih selalu meningkatkan ilmuku. Sekarang, kita mendapat kesempatan untuk memperbandingkan, siapakah yang lebih baik di antara kita. Tetapi, sekali lagi kau harus melihat kenyataan, meskipun untuk saat terakhir dalam hidupmu. Sepeninggalmu, Rara Wulan adalah istriku. Anak itu adalah anakku.”

Terdengar gigi Arya Teja gemeretak, seperti gemerak di dalam jantungnya. Semakin lama semakin keras. Wajahnya yang membara menjadi semakin merah seperti saga.

Dengan susah payah, ia mencoba menyabarkan perasaannya, supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri dalam perkelahian yang akan terjadi.

Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja terbata-bata, “Apa pun menurut perasaan dan penilaianmu atas persoalan ini, Paguhan, tetapi kita telah menentukan, bagaimana kita akan menyelesaikannya. Nah, jangan banyak berbicara lagi. Marilah kita lihat, siapakah yang akan dapat keluar dari daerah ini. Siapakah yang besok masih dapat menyebut bahwa malam ini kita telah berkelahi di bawah Pucang Kembar.”

“Huh,” ujung-ujung bibir Paguhan tergerak, “kau memang seorang pemimpi. Baiklah, semakin cepat memang semakin baik. Ayo, apakah kau telah bersiap? Besok orang-orang Menoreh akan menemukan bangkaimu di sini. Mungkin tinggal kerangkamu saja yang akan diketemukan orang, karena anjing-anjing liar itu.”

Seadainya Arya Teja tidak berhasil menahan dirinya, ia akar benar-benar jatuh ke dalam pengaruh kemarahannya, sehingga ia akan kehilangan kejernihan berpikir. Apabila demikian, maka keadaannya pasti akan sangat berbahaya, sebab ia berhadapan dengan seorang yang sebenarnya memang pilih tanding.

“Nah, apa katamu Arya Teja? Kenapa kau berdiri saja seperti patung? Apakah kau menyesal bahwa kau telah mengambil keputusan untuk melakukan penyelesaian dengan cara ini?”

Hampir saja Arya Teja meloncat menyerang Paguhan. Tetapi ia masih sempat menahan diri sekuat-kuatnya. Justru kini ia sadar, bahwa Paguhan memang sedang memancing kemarahannya. Sebab kemarahan yang meluap-luap, akan membuatnya kehilangan perhitungan. Kesadaran itulah yang justru menahan Arya Teja untuk tetap berdiri di tempatnya, meskipun dadanya seakan-akan hampir meledak. Bahkan ia masih dapat mengucapkan kata-kata, “Ayolah Paguhan. Apakah kau hanya pandai berbicara tanpa ujung pangkal tetapi tidak pandai menggenggam senjata? Kita sudah tidak perlu berbicara lagi. Apakah besok bangkaiku atau bangkaimu yang akan menjadi makanan anjing-anjing liar, marilah kita tentukan dengan perbuatan. Tidak dengan kata-kata.”

Dada Arya Teja berdesir ketika ia mendengar Paguhan justru tertawa. “Kau agaknya menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi atasmu. Jangan takut. Bukankah kau seorang laki-laki jantan yang telah membawa nama cemerlang di dalam pengabdianmu kepada Demak? Kau tidak perlu takut mati.”

“Apakah kau sedang mencoba membuat aku marah dan kehilangan akal?” sahut Arya Teja. “Paguhan, aku sudah bukan anak-anak lagi yang mudah kau bakar dengan kata-kata penghinaan. Kau akan menjadi salah hitung. Sebaiknya kita berhadapan sebagai orang laki-laki, tanpa banyak usaha untuk mengalahkan lawan dengan licik seperti yang sedang kau lakukan. Kau tidak perlu membuat aku marah, karena sebenarnya aku memang sedang marah. Tetapi kemarahanku bukan kemarahan anak-anak lagi.”

Dada Paguhan berdesir mendengar kata-kata Arya Teja. Hampir-hampir ia sendirilah yang jatuh ke dalam perangkapnya sendiri. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi sejenak kemudian ia pun menyadari keadaannya.

Sekali, lagi ia tertawa dan berkata, “Kau selalu berprasangka jelek. Baiklah, aku tidak akan berbicara lagi tentang kemungkinan yang akan terjadi, supaya kau tidak menjadi ketakutan. Marilah kita bersiap untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan dapat keluar dari daerah ini.”

Arya Teja sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk berbicara. Namun kini ia telah menemukan kemantapan diri. Ia tidak boleh terpancing dengan cara apa pun juga, supaya ia dapat melakukan perlawanan dengan wajar.

Perlahan-lahan ia mengangkat tombaknya, dan perlahan-lahan ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Tombak itu adalah tombak yang jarang sekali dipergunakannya. Namun kali ini ia akan berhadapan dengan seorang yang dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain, sehingga tombak itulah yang dibawanya untuk menemaninya melawan Paguhan yang telah berkhianat terhadap persahabatan mereka.

Paguhan yang menyadari bahwa ia tidak dapat lagi membakar hati Arya Teja, segera bersiap pula. Dari selongsong putihnya, ia mengambil sepasang senjata yang dahsyat sekali. Sepasang nenggala, yang bermata dua, di pangkal dan di ujungnya.

Dada Arya Teja berdesir melihat sepasang senjata yana mengerikan itu. Senjata yang khusus dimiliki oleh Paguhan dari gurunya. Sepasang senjata di kedua tangannya itu berarti empat ujung yang tajamnya melampaui senjata-senjata biasa.

“Apakah kau heran melihat senjataku,” terdengar suara Paguhan datar.

Arya Teja menggeleng. “Tidak. Kau pernah memperlihatkan kepadaku.”

“Oh,” Paguhan mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku memang pernah memperlihatkan kepadamu. Tetapi kau belum pernah melihat bagaimana aku mempergunakannya.”

“Aku ingin segera melihatnya, karena itu jangan banyak berbicara.”

Sekali lagi dada Paguhan berdesir. Tetapi sekali lagi ia bertahan untuk tidak masuk ke dalam perangkapnya sendiri.

Sejenak kemudian, kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing. Paguhan dengan sepasang senjata yang khusus, sedang Arya Teja menggenggam tombak pendeknya dengan kedua tangannya. Ujung tombak itu kini menjadi semakin merendah. Setapak ia maju mendekati Paguhan. Matanya yang tajam menyambar kedua senjata itu berganti-ganti, namun kemudian ditatapnya mata Paguhan yang semakin membara.

Arya Teja sadar bahwa ia tidak akan dapat mengikuti sepasang senjata itu dengan matanya. Keduanya pasti akan bergerak dengan arah dan irama yang berbeda. Tetapi Arya Teja tidak akan dapat ditipu lagi oleh arah pandangan mata Paguhan. Pengalamannya telah cukup luas menghadapi segala macam senjata. Juga jenis-jenis senjata berpasangan.

Bulan yang bulat telah memanjat langit semakin tinggi. Cahayanya yang kekuning-kuningan memancar mewarnai dedaunan yang hijau gelap. Satu-satu kelelawar berterbangan di dalam kesenyapan langit yang cerah.

Arya Teja dan Paguhan telah berdiri berhadapan. Senjata-senjata mereka telah bergetar. Beberapa langkah mereka bergeser. Tetapi, tatapan mata mereka seolah-olah terpaku kepada lawan. Mereka tidak boleh lengah sekejap pun.

Ketika di kejauhan terdengar anjing liar menyalak bersahut-sahutan, maka anak-anak muda itu sudah tidak dapat menahan diri lagi. Setapak mereka mendekat, dan tiba-tiba terdengar Paguhan berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang hampir tidak tertangkap oleh mata, telah membuka sebuah serangan yang langsung mengarah kepada lawannya. Tetapi Arya Teja telah bersiap sepenuhnya. Dengan lincahnya ia bergeser menghindar. Selangkah ia surut, namun kemudian tombaknya terjulur lurus mematuk lambung lawannya.

Terdengar sebuah dencingan yang keras. Kedua senjata anak-anak muda itu beradu. Terasa getaran yang tajam merambat dari ujung senjata masing-masing ke telapak tangan mereka. Dan getaran itu ternyata telah menggetarkan jantung mereka. Sehingga mereka masing-masing berdesah di dalam hati, “Alangkah dahsyat tenaganya.”

Dengan demikian kedua anak-anak muda yang sedang berkelahi itu dapat mengukur, betapa besar kekuatan lawan. Mereka menyadari bahwa mereka masing-masing tidak lebih kuat dari lawan mereka.

Paguhan yang bersenjata rangkap itu bertempur seperti seekor naga berkepala empat. Mematuk dan menyergap dari segenap penjuru. Sepasang senjatanya itu seakan-akan telah berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan mata nenggala yang mengerikan

Tetapi lawannya adalah seorang anak muda yang cukup matang mempergunakan tombaknya. Tombak bertangkai pendek di tangan Arya Teja itu berputar bergulung-gulung seperti asap yang melindungi dirinya. Asap yang menyebarkan racun yang terlampau tajam. Sentuhan asap itu akan berakibat terlampau parah bagi lawannya.

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi kian lama kian sengit. Bukan saja karena keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata mereka telah dibakar pula oleh dendam dan kebencian, sakit hati dan harga diri yang berlebih-lebihan. Mereka sudah tidak dapat berpikir lain kecuali membinasakan lawan masing-masing atau mati terkapar sebagai laki-laki jantan di bawah Pucang Kembar itu.

Ketika angin yang kencang bertiup dari utara, maka sepasang pucang itupun terayun-ayun seakan-akan ikut serta menari, menarikan tarian maut, seperti yang sedang terjadi di atas bentangan berumput di bawahnya.

Dalam kilauan cahaya bulan yang memantul dari ujung-ujung senjata yang bergerak-gerak itu, kadang-kadang terpercik bunga-bunga api yang meloncat karena benturan dua kekuatan yang tiada taranya.

Sementara itu, di rumah Arya Teja, bibinya masih duduk sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ia tidak berpaling sama sekali ketika seorang pelayan menyalakan lampu di dalam bilik yang sudah menjadi gelap itu.

Bayangan-bayangan yang paling mengerikan telah menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat terjadi atas kemanakannya itu.

Bibi Arya Teja itu perlahan-lahan berdiri. Ia tidak mau datang kepada Rara Wulan dalam keadaannya. Ia tidak mau memberikan kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya atas Arya Teja. Karena itu, maka bibi Arya Teja itu tidak segera pergi ke bilik Rara Wulan yang tertutup. Ia pergi dahulu ke perigi untuk mencuci mukanya.

Hati perempuan tua itu berdesir ketika ia melihat bulan yang bulat mengapung di langit. Sejenak dipandanginya bulan yang terang itu. Dilihatnya bayangan yang kehitam-hitaman di dalam warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang dilukisi oleh kecemasannya tentang kemanakannya telah membuat gambaran yang mengerikan pada wajah bulan itu. Seakan-akan dilihatnya, di dalam bulatan bulan purnama, sesosok tubuh terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seorang anak muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan tua itu melihat warna wajah anak muda itu.

Perempuan itu terkejut ketika terloncat dari bibimya desah, “Arya Teja.”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itu menjadi semakin samar. Hilanglah kemudian gambarannya tentang Arya Teja. Yang dilihatnya kemudian adalah cerita tentang seekor kucing Candramawa dan seorang bidadari yang cantik duduk di bawah sebatang pohon beringin putih.

“Hem,” orang tua itu berdesah. Kakinya yang sudah berkeriput oleh umurnya itu digerakkannya kembali melangkah ke perigi. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot timba seakan sedang merintih.

Perempuan tua itu mencuci mukanya. Dicobanya untuk menghilangkan segala macam kesan yang dapat menimbulkan kecemasan kepada Rara Wulan yang sedang berputus asa.

“Aku harus membuat hatinya menjadi tenteram. Ia akan mendengar berita yang lebih menyayat hatinya besok pagi apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di bawah sepasang Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu.”

Sambil mengusap mukanya yang basah dengan ujung kain panjangnya, perempuan itu berjalan tertatih-tatih menuju ke bilik Rara Wulan yang masih tertutup rapat.

Ketika perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah, maka pintu lereg di butulan belakang pun segera ditutupnya rapat-rapat, supaya angin yang dingin tidak menyusup masuk ke dalam. Dibenahinya rambutnya yang kusut, sambil berjalan perlahan-lahan menuju ke bilik Rara Wulan.

Dengan hati-hati bibi Arya Teja itu mendorong daun pintu bilik itu ke samping, supaya seandainya Rara Wulan masih tidur kelelahan, tidak menjadi terkejut karenanya.

Tetapi bibi Arya Teja itu mengerutkan keningnya. Ketika pintu itu sudah separo terbuka, dan pembaringan Rara Wulan itu sudah tampak di bagian bawahnya, perempuan tua itu tidak segera melihat Rara Wulan.

“Oh, agaknya ia sudah bangun,” desisnya.

Dengan hati-hati perempuan itu menjengukkan kepalanya. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut. Ternyata bilik itu telah kosong.

“Kemanakah perempuan itu?” desis bibi Arya Teja. “Ah, mungkin ia baru keluar sebentar. Ke dapur atau ke belakang.”

Bibi Arya Teja itu kemudian melangkah masuk. Dibiarkannya pintu tetap terbuka, supaya kehadirannya tidak mengejutkan Rara Wulan seandainya ia masuk kembali ke dalam biliknya.

Dengan hati-hati pula bibi Arya Teja membenahi pembaringan Rara Wulan. Dilipatnya kain yang masih berserak-serakan. Ditebahinya pembaringan itu dengan sapu lidi, dan tikar yang berkerut pun diluruskannya.

“Kemana perempuan ini,” pertanyaan itu selalu mengganggunya.

Betapa ia mencoba menenangkan hatinya, namun kegelisahan yang semakin dalam telah mencengkam jantungnya. Akhirnya perempuan tua itu melangkah ke luar. Dicarinya Rara Wulan ke segenap ruangan di dalam rumah itu, tetapi ia tidak menemukannya.

“Wulan,” akhirnya ia memanggil, “Wulan, dimana kau?”

Tetapi tidak ada jawaban. Suara perempuan tua itu membentur dinding-dinding bambu dan lenyap dalam kesenyapan malam.

Bibi Arya Teja itu pun segera pergi ke ruang belakang. Kepada seorang pelayan ia bertanya, “Apakah kau melihat Rara Wulan?”

“Oh,” pelayan itu menjawab, “ia berada di dalam biliknya”

“Tidak. Ia tidak ada di dalam biliknya.”

“O ya, ia sudah dipindahkan ke bilik sebelah. Mungkin sedang tidur. Bilik itu telah diberi lampu pula.”

“Ia tidak ada pula di dalam bilik itu. Seluruh ruangan di dalam rumah itu telah aku cari, tetapi ia tidak ada di dalam.”

Pelayan itu mengerutkan dahinya. “Tetapi ia ada di dalam,” desisnya.

Pelayan yang lain yang mendengar percakapan itu segera mendekat pula dan berkata, “Rara Wulan sedang tidur ketika aku memasang lampu di dalam biliknya.”

“Ya, tetapi ia sudah bangun dan tidak ada di dalam bilik itu.”

Pelayan itu menggigit bibirnya. “Aku tidak melihat ia pergi ke belakang”

“Biarlah aku mencarinya sebentar. Mungkin Rara Wulan ingin menyejukkan hatinya di petamanan atau di kebun belakang,” berkata salah seorang dari pelayan itu.

“Carilah, carilah di mana saja sampai ketemu,” berkata bibi Arya Teja. “Rara Wulan sedang dibayangi oleh kegelapan hati.”

“Kenapa Rara Wulan itu tampaknya selalu bersedih?” bertanya pelayannya yang lain.

“Aku tidak tahu,” jawah bibi Arya Teja, “itu adalah persoalan Rara Wulan dengan suaminya. Sekarang carilah, dan ajaklah ia masuk ke dalam biliknya. Ia sedang sakit, sehingga angin malam akan menyebabkan tubuhnya menjadi semakin tidak enak.”

Kedua pelayan itu pun segera pergi. Yang seorang ke kebun belakang, sedang yang lain ke petamanan di depan dan di sisi rumah itu.

Bibi Arya Teja kembali ke dalam biliknya dengan hati yang semakin cemas. Perempuan muda yang sedang mengandung itu tengah dicengkam oleh kegelisahan, kemurungan, kegelapan hati dan segala macam perasaan menyesal dan bersalah. Bahkan telah terucapkan bahwa lebih baik ia mati daripada hidup menanggung segala macam siksaan perasaan itu.

“Apakah Rara Wulan membunuh dirinya?” tiba-tiba terbesit pertanyaan itu di dalam hatinya, dan pertanyaan itu ternyata telah mengejutkannya. Debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat berdentangan di dalam dadanya.

Tiba-tiba perempuan tua itu bangkit dan segera melangkah ke luar. Ia tidak dapat menahan kecemasannya lagi. Bunuh diri adalah suatu penyelesaian yang mungkin sekali ditempuh oleh Rara Wulan yang sedang berputus asa dan dibayangi oleh kegelapan hati.

Dengan tergesa-gesa perempuan tua itu pergi ke ruang depan. Dilihatnya selarak pintu tergolek di lantai. “Agaknya selarak itu telah diletakkan dengan tergesa-gesa.”

Ketika perempuan tua itu membuka pintu depan yang sudah tidak terkancing dan berjalan melintasi pendapa, dilihatnya pelayan yang sedang mencari Rara Wulan di halaman depan. Maka pelayan itu segera dipanggilnya.

“Apakah kau sudah menutup pintu depan dan menyelaraknya?”

“Sudah. Karena tidak ada orang lagi di ruang depan, dan angin malam menjadi semakin kencang, maka pintu itu telah aku tutup dan aku kancing dengan selarak.”

Perempuan tua itu menjadi semakin gelisah. Tetapi ia berusaha menyembunyikan kesan itu.

Meskipun demikian ia berkata, “Pintu itu telah terbuka.”

Pelayan itu terkejut, dan dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah Rara Wulan telah membukanya?”

Bibi Arya Teja mengangguk. “Mungkin.”

Pelayan itu terdiam. Ia tidak tahu kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atas Rara Wulan. Yang diucapkannya kemudian adalah, “Mungkin Rara Wulan sedang berjalan-jalan untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Biarlah aku mencarinya.”

“Tidak. Tinggallah kau di rumah. Akulah yang akan mencarinya.”

Pelayan itu menjadi heran. Bibi Arya Teja telah berusia agak lanjut. Apakah ia akan berjalan hilir mudik di malam begini mencari Rara Wulan yang tidak diketahui ke mana perginya?

Justru karena itu maka pelayan itu berdiri saja seolah-olah membeku. Hampir-hampir ia tidak percaya kepada pendengarannya. Namun kemudian ia menjadi yakin, bahwa bibi Arya Teja itu memang menghendaki demikian. Sekali ia mendengar perempuan tua itu berkata, “Tunggulah rumah ini. Aku sendirilah yang akan mencarinya.”

Pelayan itu tidak dapat menahan keherannya. Maka ia pun bertanya, “Apakah malam-malam begini Nyai sendiri akan pergi mencari Rara Wulan?”

“ Ya,” sahut bibi Arya Teja pendek.

“Kalau begitu biarlah aku mengantar Nyai.”

“Jangan. Aku akan pergi sendiri.”

Pelayan itu menjadi semakin heran. Dan ia mendengar perempuan tua itu berkata seterusnya “Jangan kau ributkan kepergian Rara Wulan. Ia memang sedang bingung. Tetapi ia akan segera kembali. Jangan kau tanyakan kepada siapa pun, supaya tidak setiap orang mengetahui bahwa Rara Wulan sedang diselimuti oleh kegelapan hati. Mungkin suaminya dapat mengertinya. Namun tidak setiap orang berhak mengetahuinya, dan kau tidak perlu bercerita tentang hal itu. Kau sengaja atau tidak.”

Pelayan itu menganggukkan kepalanya sambit menjawab, “Baik, Nyai.”

“Nah, tinggallah kau di dalam. Aku akan pergi.”

Pelayan itu mengangguk sekali lagi. “Baik, Nyai.”

Bibi Arya Teja itu pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Langkahnya tergesa-gesa. Namun ia tidak dapat berjalan lebih cepat lagi. Bahkan sekali-sekali kakinya yang telah lemah itu terantuk batu dan menyebabkannya tertatih-tatih.

Meskipun bulan yang bulat tergantung di langit yang bersih, tetapi perempuan tua itu merasa, pandangan matanya terlampau kabur. Ia hanya melihat bayangan-bayangan hitam bertebaran di sekitarnya. Tetapi, dalam jarak beberapa langkah, ia sudah tidak dapat mengenal lagi, bayangan apakah yang sedang dihadapinya.

Tetapi, perempuan tua itu berjalan terus. Ia bertekad untuk menemukan Rara Wulan. Meskipun kadang-kadang hatinya berdesir mencemaskan perempuan yang sedang berhati gelap itu, namun ia berdesis perlahan, “Mudah-mudahan aku dapat membawanya pulang.”

Perempuan itu berusaha berjalan semakin cepat. Tetapi, ketuaannya tidak memungkinkannya lagi. Sekali-sekali terasa kakinya menjadi pedih terantuk pada kerikil-kerikil yang tajam. Namun ia berjalan terus.

Meskipun seperti Arya Teja, ia menyesal bahwa sesuatu telah terjadi sebelum perkawinan Rara Wulan itu dengan suaminya. Tetapi, ia tidak dapat membiarkan perempuan itu mengambil keputusan yang mengerikan.

Tetapi, langkah perempuan itu kemudian menjadi ragu-ragu, “Kemana aku harus mencarinya?”

Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya. Diikutinya saja langkah kakinya, menyusur jalan pedukuhan yang samar-samar, kemudian masuk ke dalam bulak yang luar. Di kejauhan tampak bayangan padesan yang kehitam-hitaman dan agak jauh di belakang, pegunungan yang membujur diam seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan nyenyaknya.

Tiba-tiba perempuan tua itu teringat kepada janji Arya Teja dengan Paguhan. Mereka akan bertemu untuk membuat penyelesaian di bawah Pucang Kembar.

“Apakah yang dapat aku lakukan saat ini?” ia bertanya di dalam hatinya. Samar-samar terbayang di dalam angan-angannya dua peristiwa yang mengerikan terjadi bersama-sama. Di bawah Pucang Kembar itu Arya Teja terbaring mati karena dadanya tersobek oleh senjata, dan di tempat lain diketemukan mayat Rara Wulan yang membunuh dirinya sendiri.

Bulu-bulu tengkuk perempuan tua itu meremang.

“Benar-benar suatu peristiwa yang mengerikan. Menoreh akan geger karenanya. Arya Teja adalah orang yang terpandang. Sebentar lagi ia akan mendapat wisuda, menduduki jabatannya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, suami isteri itu telah mati dalam keadaan yang menyedihkan.”

Bibi Arya Teja itu terhenti sejenak, ditekankannya telapak tangannya di dadanya. Sekali lagi diedarkannya pandangan matanya. Yang tampak olehnya adalah bayangan-bayangan hitam. Bahkan raksasa yang sedang tidur itu menjadi terlampau mengerikan baginya

Tiba-tiba terbersitlah di dalam kepalanya suatu pikiran untuk pergi ke Pucang Kembar.

“Aku akan mengatakan kepada mereka yang sedang berkelahi itu bahwa Rara Wulan telah pergi. Apa pun tanggapan mereka aku tidak peduli.” Perempuan itu mengusap peluhnya yang meleleh di keningnya, lalu, “Mudah-mudah hal ini akan mencegah perkelahian itu berlangsung terus.”

Agaknya pikiran itu sedikit memberinya harapan. Karena itu, maka perempuan itu pun mencoba untuk berjalan secepat-cepatnya menuju ke Pucang Kembar.

Tetapi, Pucang Kembar itu tidak terlampau dekat. Meskipun demikian, ia berjalan juga menuju ke sana, ke tempat dua orang laki-laki sedang mencoba memperhitungkan harga diri mereka dibumbui oleh sakit hati dan kecewa, menurut cara yang telah mereka setujui bersama.

Dengan hati yang lemas, maka bibi Arya Teja itu berjalan secepat-cepat dapat dilakukannya. Ia sama sekali tidak merasakan lagi betapa kakinya menjadi nyeri dan betapa tulang-tulangnya yang tua itu menjadi terlampau letih. Yang ada di kepalanya adalah secepat-cepatnya mencapai Pucang Kembar untuk memberitahukan, apa yang sudah terjadi rumah. Rara Wulan telah hilang. “Mudah-mudahan aku belum terlambat. Mudah-mudahan keduanya masih dapat mendengar dan terpengaruh oleh peristiwa ini.” Perempuan itu mengerutkan keningnya, lalu, “Kecuali apabila mereka telah kehilangan kemanusiaan mereka karena dendam dan kebencian.”

Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bulan yang terapung di langit perlahan-lahan bergeser menurut garis edarnya. Semakin lama semakin memanjat hingga sampai ke puncak langit.

Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan, menggerakkan dedaunan. Namun kadang-kadang bertiup semakin kencang. Sehingga daun-daun yang kuning berguguran jatuh di atas tanah. Tetapi sebentar lagi angin itu mereda, namun dinginnya masih saja sampai menyusup tulang.

Bibi Arya Teja yang berjalan, menyusuri jalan persawahan tidak menghiraukannya. Langkahnya bahkan dipercepatnya sedapat-dapat. Tetapi ketika di kejauhan terdengar salak anjing liar, orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Apakah jalan ke Pucang Kembar harus melampaui gerombolan anjing-anjing liar itu?”

Dada perempuan tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang takut terhadap anjing-anjing yang liar itu. Apalagi ia adalah seorang perempuan tua, sedang anak-anak mudapun selalu moncoba menghindari gerombolan anjing-anjing yang ganas. itu.

“Mudah-mudahan tidak,” desisnya pula. Dan perempuan itu berjalan terus. Meskipun hatinya menjadi semakin berdebar-debar karena salak anjing yang saut menyahut di kejauhan itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.

Perempuan tua itu pernah mendengar, bahwa seseorang yang telah dianggap hilang, ternyata dapat diketemukan beberapa hari kemudian. Orang-orang menganggap bahwa orang itu adalah korban dari anjing-anjing liar yang berkeliaran. Bahkan seseorang menganggap bahwa lebih baik bertemu dengan harimau loreng di perjalanan dekat daerah hutan daripada bertemu anjing-anjing liar dalam jumlah yang cukup besar.

Oleh ingatan itu, maka terasa dentang jantung perempuan tua itu menjadi semakin keras memukul rongga dadanya. Seperti salak anjing yang terdengar semakin keras pula.

“Pucang Kembar masih jauh,” gumamnya. Tetapi bibi Arya Teja itu tidak berhenti.

Di bawah Pucang Kembar Arya Teja dan Paguhan bertempur semakin sengit. Mereka telah melupakan segala macam perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereka sama sekali sudah tidak dapat lagi mengekang dirinya, sehingga mereka telah sampai pada puncak ilmu masing-masing.

Sepasang senjata Paguhan benar-benar merupakan pasangan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang menari-nari di udara senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke segala arah. Seolah-olah sepasang senjata itu dapat berubah menjadi puluhan pasang yang bergerak bersama-sama.

Kadang-kadang Arya Teja terpaksa meloncat surut beberapa langkah, apabila gerak sepasang senjata lawannya itu membingungkannya. Ia terpaksa mengambil jarak untuk dapat melihat gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan yang rapat.

Namun setiap kali Paguhan selalu menyindirnya. Dengan tertawa penuh hinaan ia berkata, “Ayo Arya Teja, bukankah kau pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan? Kenapa kau hanya mampu berlari-lari tanpa dapat memberikan perlawanan yang berarti?”

Terasa darah Arya Teja seolah-olah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi kemudian kesadarannya dapat mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali ia menyadari bahwa lawannya sedang berusaha memancing kemarahannya, maka Arya Teja segera menemukan ketenangannya kembali.

“Apakah sebenarnya yang dibangggakan oleh para pemimpin dan Senapati Demak atasmu, he, Arya Teja?” suara Paguhan terdengar terlampau menyakitkan hati.

Arya Teja tidak segera menyahut. Dipusatkan perhatiannya kepada tata gerak lawannya. Meskipun di dalam hatinya ia mengakui bahwa Paguhan telah berhasil meningkatkan ilmunya, tetapi Arya Teja masih belum merasa bahwa lawannya itu melebihinya. Menurut penilaiannya, perkelahian itu masih belum dapat menemukan kemungkinan, siapakah yang akan dapat keluar dari bawah Pucang Kembar ini.

“He” Paguhan berteriak “apakah kau menjadi ketakutan mendengar suaraku?”

Arya Teja menggeram. Namun ia masih belum menjawab. Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi sambil berbicara tanpa ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan lawannya.

Paguhan yang berusaha untuk membangkitkan kemarahan Arya Teja menjadi kecewa. Arya Teja seakan-akan sama sekali tidak mendengar kata-katanya. Meskipun kata-kata hinaan itu beberapa tali diulanginya, namun Arya Teja masih tetap membisu.

Akhirnya Paguhanpun terdiam pula. Ia tidak bernafsu lagi untuk mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi perhatiannya kini dimantapkannya kepada sepasang senjatanya yang mengerikan itu.

Benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi antara dua kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api memercik di udara di sela-sela suara dencing senjata beradu.

Semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin cepat menari-nari.

Meskipun demikian mereka masih mendengar suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah biasa mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama sekali tidak lagi dapat dipengaruhinya. Tetapi, meskipun pertempuran itu tidak terhenti, namun kedua orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah melonjak-lonjak.

Kedua orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian untuk seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam perkelahian. Tetapi dalam sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing liar itu telah memperebutkan mangsa. Mungkin seekor kambing, mungkin seekor kijang yang sering berkeliaran di gerumbul-gerumbul liar, di pinggir hutan, atau apa pun yang lain.

Tetapi anjing-anjing hutan itu sama sekali bukan persoalan mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung senjata yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka.

Dengan demikian, maka salak anjing yang sahut menyahut itu sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas kedua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap kemampuan mereka untuk segera memenangkannya.

Ternyata tangan Arya Teja benar-benar mampu menguasai senjatanya, sehingga seolah-olah tombak pendek di tangannya itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan seolah-olah tangan Arya Teja hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya yang dahsyat itu

Paguhan mengumpat di dalam hatinya. Peluhnya telah semakin banyak mengalir di pelipis dan punggungnya. Bahkan seluruh tubuhnya telah basah pula karenanya. Namun, terasa bahwa perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka sama sekali masih belum dapat meyakini apa yang kira-kira akan terjadi atas diri mereka masing-masing.

Dengan sepenuh kemampuan yang ada mereka bertempur semakin sengit. Sekali-sekali mereka terdorong surut, sekali-sekali salah seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya, tetapi sekejap kemudian keadaan segera berubah.

Rerumputan liar di bawah Pucang Kembar itu telah menjadi bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang terdekat di sekitarnyapun telah menjadi rata terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang bertempur itu.

Ketika di kejauhan terdengar bunyi burung hantu menyusur kesuraman cahaya bulan, terdengar Paguhan berdesis pendek. Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya menjadi pedih. Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah meleleh dari lukanya.

Terdengar Paguhan menggeram. Giginya gemeretak dan matanya menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah membakar seluruh urat nadinya.

Sejenak kemudian terdengar Paguhan berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menyerang lawannya seperti badai yang menghantam tebing. Bergulung-gulung susul menyusul. Sepasang senjatanya yang mengerikan itu berputar seperti pusaran yang berusaha melibat lawannya.

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Meskipun kulit Paguhan telah tergores oleh ujung senjata, namun keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya, bahkan Paguhan yang sudah terluka itu menjadi semakin garang.

Setapak demi setapak perkelahian itu memanjat ke puncaknya. Beberapa goresan senjata berikutnya telah mewarnai tubuh masing-masing. Namun betapapun juga pada saatnya pasti akan sampai pada suatu penyelesaian. Pertempuran itu pada suatu saat pasti akan berhenti, apapun yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu, tidak seorangpun yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian yang dahsyat itu. Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan, dendam, kebencian dan segala macam perasaan bercampur-baur.

Begitu dalam mereka dicengkam oleh nafsu, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan bahwa seseorang telah mendekati mereka. Seorang yang dengan ragu-ragu melangkah perlahan-lahan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sekitar Pucang Kembar. Perempuan muda yang matanya masih dibasahi oleh air mata yang mengambang.

Ketika perempuan itu melihat kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar itu, maka sebuah desir yang tajam telah menggores hatinya. Hampir-hampir ia tidak mampu lagi berdiri dan apalagi melangkah maju.

Dengan gemetar ia berpegangan pada sebatang pohon perdu. Dadanya serasa berguncang dan jantungnya berdentangan. Sehingga, justru karena itu, maka perempuan itu untuk sejenak membeku di tempatnya.

Tetapi tiba-tiba perempuan itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Seolah-olah ia mendapatkan suatu tenaga yang gaib, yang membuat tubuhnya menjadi pulih kembali. Sendi-sendinya terasa menjadi kuat dan tulang-tulangnya serasa mengeras.

Perempuan itu berdesah perlahan-lahan. Dan tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, memandangi bulan yang bulat dilangit.

“Jadilah saksi,” desisnya.

Kemudian dengan langkah yang tetap ia berjalan maju mendekati kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar. Dadanya sama sekali sudah tidak berdebar-debar lagi, dan jantungnya sudah tidak berdentangan. Bahkan diangkatnya dadanya tinggi-tinggi sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Di sinilah senjata-senjata itu harus menghunjam”

Kedatangan perempuan itu sama sekali tidak diduga-duga oleh kedua laki-laki yang sedang bertempur itu. Mereka terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara melengking, “Berhenti! Berhentilah!”

Suara itu ternyata benar-benar berpengaruh atas kedua laki-laki itu. Sehingga, tanpa berjanji mereka telah melepaskan diri dari libatan perkelahian itu.

Hampir bersaman mereka berpaling dan melihat seorang perempuan berdiri tegak di samping sebuah gerumbul yang rimbun.

“Rara Wulan,” hampir bersamaan pula mereka menyebut nama itu.

“Ya,” sahut Rara Wulan sambil mengangkat dadanya, “ternyata kalian benar-benar, berkelahi. Ternyata kalian benar-benar laki-laki jantan.”

Arya Teja dan Paguhan tidak segera menyahut. Tetapi sikap Rara Wulan telah mengherankan mereka.

“Tetapi ternyata kalian tidak berkelahi menuju kepada penyelesaian persoalannya. Aku telah terlibat dalam persoalan ini tetapi kalian mencoba menyelesaikannya sendiri tanpa aku.”

Kedua laki-laki yang masih menggenggam senjata itu sejenak terdiam. Tetapi kemudian terdengar Arya Teja berdesis, “Dari mana kau tahu. bahwa kami akan menempuh cara ini, Wulan.”

“Aku mempunyai telinga. Dan aku mendengar percakapanmu dengan bibi ketika kau minta diri kepadanya.”

Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban Rara Wulan. Bukan saja jawabnya, tetapi juga sikapnya. Perempuan itu kini seolah-oah menjadi seorang perempuan yang garang. Perubahan yang telah terjadi pada Rara Wulan sangat berpengaruh pada Arya Teja. Semula ia melihat seolah-olah perempuan itu seorang yang berhati bidadari putih dan terlampau bersih. Namun ketika ia dihadapkan pada kenyataan, maka perempuan itu tiba-tiba telah berubah menjadi iblis betina yang paling memuakkan. Tetapi, kini perempuan itu tampak betapa garangnya, seperti seekor harimau liar yang sedang lapar.

Sebelum Arya Teja dapat berbicara seterusnya, terdengar Paguhan berkata, “Sebaiknya kau tidak kemari, Wulan. Biarlah kami menentukan keputusan. Pada saatnya salah seorang dari kami akan datang memberitahukan kepadamu.”

Terasa berbagai perasaan menyesak di dada Rara Wulan. Terlalu banyak yang akan dikatakannya, tetapi justru karena itu, mulutnya seolah-olah tidak dapat menampungnya. Kata-kata itu seakan-akan berebut dahulu ke luar dan justru telah menyumbat mulutnya.

Dalam kediaman itu terdengar di kejauhan suara anjing liar memekik. Kemudian sepi.

Yang mula-mula terdengar adalah kata-kata Arya Teja, “Pergilah. Biarlah kami menentukan siapakah yang akan dapat keluar dari tempat ini.”

Mata Rara Wulan seolah-olah telah menyala. Sahutnya, terbata-bata, “Lalu apakah yang akan kau lakukan setelah salah seorang terbunuh di tempat ini? Apakah kau sangka bahwa persoalan itu akan selesai?” Rara Wulan menggeleng. “Tidak. Persoalan yang sebenarnya masih belum selesai.”

“Tetapi persoalan antara kami berdua telah selesai. Persoalan antara dua orang laki-laki,” desis Paguhan.

“Bohong. Persoalan yang terjadi bukan sekedar persoalan dua orang laki-laki. Sejak semula kau menganggap aku seperti barang yang tidak dapat ikut serta menentukan sikap. Kau pergunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam kekosongan perasaan, pada saat aku kesepian kau datang dan memberikan kesegaran. Tetapi kau seret aku ke dalam neraka yang paling jahanam.”

“Jangan menyalahkan aku, Wulan. Aku juga tidak akan menyalahkan kau. Tetapi, Arya Teja adalah gambaran dari seorang laki-laki yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak berpikir tentang seseorang yang telah diikatnya dalam pembicaraan sebelum menjadi istrinya. Ditinggalkanya perempuan itu dalam kesepian, tanpa batas.”

Kata Paguhan terpotong oleh Arya Teja, “Dan selama itu, telah didengarnya bisikan iblis ditelinganya yang menjerumuskannya ke dalam dosa.”

“Huh, kau tidak ingin bercermin tentang dirimu sendiri. Hubungan kami adalah hubungan yang wajar, yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Yang paling gila adalah ikatan yang telah kau pasang tanpa memikirkan, akibat yang dapat terjadi. Kau sangka bahwa Rara Wulan itu seorang perempuan yang berhati batu? Tidak Arya. Ia adalah seorang perempuan biasa. Perempuan yang dijalari oleh nafsu-nafsu manusiawi pada masa-masa remaja. Ia tidak akan dapat membohongi diri sendiri. Ia telah berbuat dengan jujur sesuai dengan suara hati nuraninya. Ia tidak dapat menyimpan dorongan-dorongan yang paling peka yang menjalari darahnya. Dan aku pun telah berbuat sesuai dengan hasrat yang paling dalam di dalam diriku. Aku bukan seorang yang suka berpura-pura seperti kau. Aku adalah seorang yang jujur kepada diriku sendiri seperti Rara Wulan pada saat itu. Tetapi ikatan-ikatan yang kau belitkan pada dirinya telah membuatnya sengsara seperti yang kau lihat saat ini. Kau yang hidup dalam suatu dunia yang kau penuhi sendiri dengan berbagai macam tantangan-tantangan dan ikatan-ikatan yang selalu menyiksa diri. Tetapi jangan kau seret orang lain besertamu.”

“Paguhan,” Arya Teja menggeram sambil meremas tangkai tombak pendeknya, “itukah yang kau sebut kejujuran kepada diri sendiri? Kau anggap bahwa, setiap nafsu yang menyala di dalam diri harus mendapat penyaluran tanpa memikirkan akibatnya? Penyaluran yang tidak mapan sekalipun? Paguhan, kau benar-benar seorang yang berhati iblis. Kalau setiap manusia menganggap bahwa kejujuran adalah tanpa pengekangan diri, maka dunia akan dibakar oleh berkobarnya segala macam nafsu lahiriah. Manusia akan terlempar kembali ke dalam lembah kehidupan yang biadab. Peradaban manusia, dalam satu segi yang dijiwai oleh sifat-sifat manusia yang biadab, adalah jauh lebih parah dari pada kehidupan di masa-masa manusia sama sekali belum mengenal peradaban. Kejujuran mereka bukan kejujuran yang pura-pura. Kejujuran sebagai senjata untuk melakukan perbuatan yang pada jamannya adalah perbuatan yang paling kotor. Kalau perbuatan itu kau anggap, karena perempuan itu tidak berhati batu, maka anggapan itu adalah senafas dengan kejujuran yang lamis.”

“Huh,” Paguhan memotong, “kau benar-benar sudah kehabisan nalar. Kau adalah seorang yang tidak melihat getar di dalam diri seseorang karena kau selalu menindas getar yang serupa yang tumbuh di dalam dadamu. Supaya kau dianggap sebagai seorang yang bersih, seorang yang baik, seorang yang tidak bernoda, maka kau telah menumpas semua gerak naluriah di dalam hatimu. Tetapi, apakah kau dengan demikian berlaku jujur? Apakah kau benar-benar berbuat demikian itu? Tak seorang pun yang tahu, apa yang telah kau lakukan dirantau. Tak seorang pun tahu, bahwa kau benar-benar melakukan seperti keinginanmu, agar setiap orang menganggap kau demikian.”

“Paguhan,” berkata Arya Teja, “aku adalah seseorang yang menghargai apa yang telah menjadi keputusan bersama dari orang-orang tua kita, yang lambat laun telah membentuk peradaban kita sekarang ini. Keputusan yang tidak tergurat di dalam rontal yang manapun juga, tetapi terasa telah menjiwai nafas kehidupan kita. Jangan kau sangka bahwa hal itu lahir dengan serta-merta. Tetapi kelahirannya pasti didorong oleh pengalaman yang beribu tahun. Bahwa kita telah membuat dinding batu di sekeliling halaman rumah kita adalah salah satu bentuk yang serupa seperti kita telah membuat pagar ayu dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sedumuk batuk senyari bumi taruhannnya senilai keagungan ikatan antara laki-laki dan perempuan.”

Wajah Paguhan yang tegang menjadi semakin menegang. Nafasnya berdeburan di dalam rongga dadanya. Sejenak ia terbungkam. Namun sejenak kemudian meledaklah suara tertawanya, seperti suara iblis dari dalam kubur. Dengan lantang ia berkata disela-sela derai suara tertawanya, “Oh, tenggelamlah kau dalam ikatan-ikatan yang mencekik tata kehidupan itu. Tetapi aku tidak mau. Aku ingin bebas seperti burung garuda di langit. Tidak ada ikatan yang dapat mengikat kebebasanku. Apapun yang aku kehendaki, hendaknya terjadi. Hubunganku dengan Rara Wulan adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Aku tidak mau orang lain mencampuri kebebasanku. Aku bertanggung jawab atas segalanya. Aku akan menghadapi setiap orang yang akan mengganggu gugat bentuk kebebasan yang aku kehendaki.”

Arya Teja menggeram mendengar jawaban Paguhan di antara suara tertawanya. Terdengar suaranya bernada berat, “Aku tidak akan mempersoalkan kebebasan yang kau dambakan itu, seperti burung garuda di angkasa. Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan kau selain sebagai seorang teman biasa. Aku tidak akan kehilangan seandainya kau terjerumus dalam jurang yang paling nista sekalipun. Tetapi kau jangan menyentuh hidupku dalam segala seginya. Kau jangan menyinggung ujung dari hakku atas pribadiku dan segala hubungannya.” Arya Teja berhenti sejenak. Terasa dadanya menjadi sesak dan bahkan seakan hampir meledak. Sejenak kemudian terdengar suaranya dalam nada yang berat, “Tetapi Paguhan, kegilaanmu itu telah melanggar segi-segi kehidupanku. Bahkan yang paling berharga dalam hidupku. Karena itu, maka aku tidak akan dapat tinggal diam. Aku tidak akan dapat membiarkan kau dalam kegilaan itu.”

Suara tertawa Paguhan telah lenyap bersama gemanya, dihanyutkan oleh angin yang bertiup semakin kencang. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya beradu.

Tetapi sebelum ia mengucapkan kata-kata, terdengar suara Rara Wulan melengking tinggi, “Kalian berdua telah dicengkam oleh kegilaan kalian masing-masing. Kalian memandang dunia ini dari sudut kepentingan kalian. Kalian berbicara dalam hubungan ini menurut pendirian dan kesenangan kalian sendiri. Sedang pendirian kalian tidak akan dapat bertemu. Paguhan adalah gambaran dari seorang iblis yang paling gila, yang telah mempergunakan setiap kesempatan untuk menyeret seseorang ke dalam neraka yang paling dalam, sedang Arya Teja adalah seorang pemimpin yang memuakkan, yang hidupnya hanya dibayangi oleh gambaran-gambaran yang paling indah tanpa mengenal kenyataan, tanpa mengenal noda-noda yang melekat pada setiap hati yang tersimpan di dalam dada ini.”

Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya serasa bekejaran lewat lubang hidungnya, sedang dadanya mengelombang semakin cepat. Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata, “Tetapi, yang paling berdosa dalam persoalan ini adalah aku. Aku yang telah membuat kalian berdiri berhadapan dalam kegilaan kalian masing-masing. Aku telah menyerahkan diriku kedalam tangan iblis yang paling jahat, sementara aku menempatkan diriku ke dalam keindahan mimpi yang paling mengasyikkan. Tetapi kenyataan telah melemparkan aku ke keadaanku sekarang yang telah mendorong kalian berdua untuk menggenggam senjata dan berusaha saling membunuh. Hal itu tidak akan terjadi apabila aku tidak memulas diriku seperti bidadari, tetapi menyerahkan diri ke dalam tangan iblis yang paling laknat.”

Sekali lagi Rara Wulan berhenti. Nafasnya terasa menjadi semakin sesak. Wajahnya menjadi merah membara dan matanya seolah-olah menyalakan api yang berkobar di dalam dadanya. Suaranya yang gemetar kemudian terdengar lagi, “Karena itu, kalian tidak akan dapat menyelesaikannya tanpa aku. Ayo, katakan, apakah yang akan terjadi seandainya salah seorang dari kalian telah mati? Hubungan apakah yang ada di antara salah seorang dari kalian yang hidup itu dengan aku? Tidak. Persoalan itu masih belum selesai. Jalan yang paling singkat dari penyelesaian itu adalah apabila kalian menghunjamkan senjata kalian bersama-sama di dalam dadaku ini. Aku akan mati. Dan tidak ada lagi yang dapat kalian pertengkarkan.”

Ketika Rara Wulan itu terdiam, maka suasana di bawah Pucang Kembar itu telah dicengkam oleh keheningan. Masing-masing berdiri tegang kaku. Yang terdengar hanyalah suara angin berdesir di dedaunan. Lamat-lamat suara cengkerik berderik di antara bunyi rintihan burung kedasih yang ngelangut.

Sekali-sekali di kejauhan masih terdengar gonggong anjing-anjing liar. Tetapi kemudian sunyi. Anjing-anjing yang telah menjadi kenyang itu agaknya telah kembali ke dalam sarang mereka.

Arya Teja dan Paguhan tersentak ketika mereka mendengar suara Rara Wulan terbata-bata. “Ayo, siapakah yang jantan di antara kalian? Di sinilah terletak sumber dari persoalan ini, di sini, di dalam dadaku. Hanya dengan melubangi dadakulah maka semua persoalan akan dapat selesai.”

Kedua laki-laki itu sama sekali tidak bergerak. Mereka terpaku diam seperti, sepasang patung dari dua orang jantan yang menggenggam senjata masing-masing.

“Ayo, siapakah yang paling jantan di antara kalian berdua? He, cepatlah. Kenapa kalian diam saja? Apakah kalian telah menjadi pengecut yang tidak berani melihat darah? Aku akan merasa berbahagia apabila kalian berani membunuh aku sekarang. Arya Teja adalah suamiku, sedang Paguhan adalah laki-laki yang akan menjadi ayah dari anakku apabila ia kelak lahir. Tetapi bagiku, mati adalah jalan yang sebaik-baiknya. Hidupku dan hidup anak ini kelak akan selalu menumbuhkan persoalan yang tidak ada henti-hentinya.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Kedua laki-laki itu terpukau dalam kediaman. Samar-samar dalam cahaya bulan mereka melihat Rara Wulan seperti seekor harimau betina yang paling liar. Rambutnya terurai lepas di punggungnya bergetar karena sentuhan angin padang yang kering.

Tanah berumput yang terbentang di bawah Pucang Kembai itu menjadi sepi, sesepi tanah pekuburan. Mereka yang berdiri tegak di bawahnya, seakan-akan telah membeku seperti pokok-pokok pohon semboja.

Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman yang tegang.

Yang pertama-tama menyobek sepinya malam adalah suara Rara Wulan. “Kenapa kalian diam saja mematung, he? Ayo, siapa yang paling jantan lakukanlah lebih dahulu. Menghunjamkan senjata-senjata kalian itu di dadaku. Dada yang dipenuhi oleh nafsu iblis yang paling jahat, yang tidak pantas lagi bersentuhan dengan orang-orang yang merasa dirinya beradab. Meskipun peradaban itu telah menyeretku dalam keadaan yang paling parah, tetapi aku akan tetap menghormatinya. Terkutuklah apa yang telah terjadi, terkutuklah kau Paguhan yang ingin membebaskan dirinya seperti burung garuda di langit, tanpa batas-batas peradaban, yang dapat menerkam setiap anak kambing yang tersesat di padang penggembalaan.”

Sekali lagi kebekuan mencengkam suasana. Yang terdengar adalah suara nafas mereka yang memburu di lubang-lubang hidung mereka. Kedua Laki-laki itu hampir tidak bergerak sama sekali. Mereka terpaku, dan seolah-olah telah membeku.

“Ayo cepatlah!” mereka mendengar lagi Rara Wulan berteriak semakin keras. “Ayo, siapa yang lebih jantan di antara kalian?”

Kini, Rara Wulan melangkah maju. Tubuhnya gemetar dan wajahnya tengadah. Tetapi, wajah itu seakan-akan sudah bukan wajah Rara Wulan lagi yang mereka kenal sehari-hari. Wajah itu adalah wajah yang paling mengerikan, seperti wajah iblis yang haus menghisap darah, seperti wajah wewe yang merindukan bayi, tetapi juga seperti wajah mayat yang paling putus-asa dijerat oleh kematian yang paling mengerikan.

“Ayo,” terdengar suaranya benar-benar seperti suara hantu, “senjata siapakah yang lebih tajam? Inilah dada yang menyimpan hati yang hitam, sehitam arang. Dan inilah dada yang menyimpan hati yang dibakar oleh nafsu sepanas bara. Dan inilah hati yang sedang berputus asa dicengkam oleh penyesalan dan putus asa. Karena itu, kalau kalian jantan, hunjamkanlah senjata itu ke dalam dada ini.”

Selangkah demi selangkah Rara Wulan maju. Samar-samar dalam bayangan sinar bulan yang penuh, dalam desau angin malam dalam belaian suara burung kedasih yang ngelangut.

“Kenapa kalian diam saja? Apakah kalian telah mati membeku lebih dahulu daripada aku.”

Rara Wulan menjadi semakin dekat. Beberapa langkah dari kedua laki-laki itu Rara Wulan berhenti. Bayangan rambutnya yang hitam, yang terurai dengan kusutnya, membuat wajahnya menjadi semakin mengerikan.

“Paguhan, katanya kau menggenggam sepasang senjata kebanggaan. Ayo, tusukkanlah senjata itu bersama-sama di sini,” Rara Wulan menunjuk dadanya. Selangkah ia maju mendekati Paguhan. Tetapi tanpa sesadarnya Paguhan melangkah surut.

Ketika Rara Wulan maju lagi, maka Paguhan pun sekali lagi melangkah surut.

“Apakah kau akan lari, Paguhan?”

Paguhan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang daripada ia harus berhadapan dengan Arya Teja.

“Oh, kiranya kau seorang pengecut yang paling licik di dunia. Kau telah menodai aku dengan seribu satu macam alasan, meskipun aku tidak ingkar, meskipun aku mengakui sambil menengadahkan dada, bahwa itu adalah salahku, tetapi sekarang kau tidak berani membuat penyelesaian yang paling baik. Membelah dadaku.”

Paguhan tidak menjawab, tetapi tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah merasakan sentuhan yang paling mengerikan seperti yang dihadapinya kini.

Karena Paguhan selalu menghindar, maka tiba-tiba Rara Wulan berpaling kepada Arya Teja. Arya Teja masih berdiri tegak di tempatnya dengan tombak pendek tergenggam di tangannya.

Belum lagi Rara Wulan berbuat sesuatu, maka tatapan matanya telah mencengkam dada Arya Teja. Darahnya seolah berhenti mengalir. Apalagi ketika selangkah Rara Wulan maju mendekatinya.

“Kau Arya Teja. Barangkali kau lebih jantan dari Paguhan. Kau pemimpi yang dimabukkan oleh khayalan tentang kejernihan wajah bidadari di dalam sorga. Bangunlah. Bangunlah dari mimpi yang indah tetapi memuakkan itu. Bukankah kau telah bertekad untuk membunuh aku? Nah, sekarang, lakukanlah. Aku akan berterima kasih kepadamu. Ternyata kau telah menang dalam perang tanding melawan Paguhan, meskipun kau tidak perlu membunuhnya, karena ternyata kau telah berani melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Paguhan.”

Seperti Paguhan, Arya Teja justru menjadi gemetar. Ketika Rara Wulan setapak maju, ia pun surut selangkah.

“He, apakah kau juga seorang pengecut seperti Paguhan?”

Tidak ada jawaban. Tetapi seperti dicengkam oleh pengaruh yang tidak dimengertinya Arya Teja berusaha untuk menjauhi Rara Wulan yang mendekatinya.

“Oh, ternyata kalian adalah pengecut. Pengecut yang paling licik. Yang hanya berani mengagungkan kejantanan dalam persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tetapi pada hakekatnya kalian adalah pengecut.” Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin memburu. Terputus-putus suaranya yang melengking tinggi, “Ayo, siapa yang berani membunuh aku?” Lalu, “Baiklah. Baiklah, apabila kalian tidak berani melakukannya. Sekarang, Arya Teja, atau kau Paguhan, marilah, berikanlah senjata-senjatamu. Biarlah aku sendiri yang melakukannya. Marilah,” suara Rara Wulan menurun, tetapi justru semakin mengerikan, seperti suara dari balik batas maut, dari seorang iblis betina yang merindukan anaknya. “Marilah, anak-anak. Marilah, berikanlah senjata itu. Paguhan atau kau Arya Teja. Marilah anak-anak manis, aku pinjam dolananmu.”

Paguhan dan Arya Teja adalah dua orang lelaki jantan, yang tidak pernah merasa gentar menghadapi setiap keadaan. Senjata di tangan mereka adalah pertanda bahwa mereka telah siap menghadapi apa pun juga dengan akibat yang betapapun parahnya.

Saat itu, di bawah Pucang Kembar, mereka pun telah siap menghadapi pertarungan yang menentukan. Mati atau mematikan.

Tetapi tiba-tiba kini dada mereka telah digoncangkan oleh kengerian yang luar biasa. Belum pernah terjadi, bahwa dua orang laki-laki seperti Paguhan dan Arya Teja, menjadi gemetar karena perasaan yang seaneh saat itu. Belum pernah terjadi bahwa hampir setiap bulu kedua laki-laki itu meremang.

Namun ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dalam keadaannya. Hampir-hampir mereka tidak dapat menahan diri mereka, untuk meninggalkan tempat itu. Bahkan kalau mungkin lari secepat-cepatnya.

Tetapi, kejantanan mereka ternyata telah menahan mereka dalam debar yang semakin berdentangan.

Di antara desau angin malam masih terdengar suara Rara Wulan, “Marilah, marilah anak-anak manis. Berikan dolananmu.”

Paguhan dan Arya Teja itu setiap kali melangkah surut di luar kesadaran mereka. Yang tampak di mata mereka adalah hantu betina yang mengerikan, yang seakan-akan ingin menghisap darah mereka dari ubun-ubun.

Paguhan dan Arya Teja hampir tidak tahan lagi ketika tiba-tiba mereka mendengar Rara Wulan itu tertawa. Tertawa mengerikan sekali. Suaranya melengking menyusur tebing pegunungan, memantul kembali menggelombang, seperti tanah yang terbentang di bawah Pucang Kembar itu telah dikepung oleh ribuan hantu betina yang tertawa bersama-sama.

Tetapi, ketika suara tertawa itu telah menurun, maka sekali lagi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tertatih-tatih mendekati mereka itu. Sebelum mereka menyadari siapakah yang datang kemudian, terdengarlah orang itu berkata dalam nada yang terlampau dalam, “Wulan, Rara Wulan.”

Rara Wulan yang sedang dikuasai oleh kegelapan hati itu masih dapat mendengar suara itu. Tiba-tiba sisa-sisa suara tertawanya terputus, dan lenyap ditelan oleh angin malam. Ketika perempuan itu berpaling, maka dilihatnya seseorang datang kepadanya perlahah-lahan. “Rara Wulan, kenapa kau? Aku mencarimu, anakku.”

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba kepalanya terasa pening dan matanya berkunang-kunang. Tetapi, ia masih mendengar orang yang datang itu berkata, “Eling, Ngger.” Lalu dengan lembutnya orang itu berkata sambil mengembangkan kedua tangannya, “Marilah, anakku. Marilah. Aku telah bersusah payah mencarimu. Ternyata kau ada di sini, di antara dua ekor serigala yang sedang herkelahi memperebutkan kejantanan. Marilah, anakku.”

Sejenak Rara Wulan, mematung. Kepalanya terasa semakin pening, dan pandangan matanya menjadi semakin kabur. Hampir di luar sadarnya tiba-tiba ia memekik sambil berlari kearah orang yang datang sambil mengembangkan tangannya itu, “Bibi, Bibi, o ……”

Dengan serta merta Rara Wulan menjatuhkan dirinya dalam pelukan perempuan yang baru datang itu. Bibi Arya Teja, yang kemudian dengan lembutnya membelai rambut Rara Wulan yang kusut terurai sambil berbisik lirih, “Kenapa kau, anakku?”

Yang terdengar kemudian adalah suara tangis Rara Wulan yang meledak. Namun, sesaat kemudian suara itu menurun, dan akhirnya diam sama sekali.

Perempuan tua itu hampir terjatuh menahan tubuh Rara Wulan yang menjadi pingsan. Perlahan-lahan tubuh itu diletakkannya di atas tanah yang basah oleh embun.

Kini perempuan tua itulah yang berdiri tegak di sisi tubuh Rara Wulan. Perempuan itu memandangi Paguhan dan Arya Teja berganti-ganti.

Perasaan yang aneh masih saja merayap di hati kedua laki jantan itu. Mereka terpukau melihat apa yang baru saja terjadi, sehingga seakan-akan mereka tidak tahu, tanggapan apakah yang telah terjadi di dalam diri masing-masing. Tetapi, setelah Rara Wulan terbaring diam, dan kini yang tegak di hadapan mereka adakah perempuan tua itu, namun kengerian masih saja tergores di dalam dada mereka.

“Nah,” terdengar suara perempuan itu, “lihat. Inikah penyelesaian yang kalian kehendaki?” Kedua laki-laki itu terbungkam.

“Kini, kalian melihat tubuh Rara Wulan yang pingsan setelah sekian lama ia menahan gejolak perasaannya. Ia tidak kuat melawan gelora itu di dalam dirinya, sehingga ia menjadi gelap hati dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.” Perempuan itu berhenti sejenak. Lalu, “Seandainya, ya, seandainya perempuan ini bangun, dan yang ditemuinya adalah peristiwa yang menggoncang perasaannya, maka aku pasti, aku yakin, bahwa Rara Wulan akan menjadi gila. Gila. Sebenarnya gila. Apakah kalian tidak percaya? Bagi perempuan muda ini memang lebih baik mati, daripada menjadi gila. Dan sebab daripada itu adalah kalian berdua. Paguhan yang telah mempergunakan kesempatan selagi gadis itu dahulu kesepian, dan Arya Teja yang menjadi gila karenanya.”

Kedua laki-laki yang menggenggam senjata di tangannya itu masih terbungkam.

“Nah, apakah kalian masih ingin melihat darah mengalir di bawah Pucang Kembar? Kalau demikian, maka aku menganjurkan, sebelum kalian berkelahi, maka biarlah salah seorang dari kalian memenuhi permintaan Rara Wulan ini. Bunuhlah selagi ia masih dalam keadaannya. Bunuhlah perempuan ini, sehingga kalian akan menjadi lebih puas. Malam ini, pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar ini ada tiga jiwa yang melayang. Jiwa perempuan ini, anak yang masih di dalam kandungannya dan salah seorang dari kalian berdua yang ingin disebut dirinya pahlawan.”

Ketika perempuan itu terdiam sejenak, maka kesepian yang tajam telah mencengkam suasana. Hanya desir angin yang terdengar diantara derik suara bilalang.

Namun di dalam kesepian, ternyata dada kedua laki-laki yang di tangannya masih tergenggam senjata itu, telah bergolak dengan dahsyatnya. Kata-kata bibi Arya Teja langsung menusuk ke dalam jantung, melampaui tajamnya senjata yang ada di tangan masing-masing.

Betapa keras hati mereka, betapa tumpul perasaan-perasan mereka, namun apa yang mereka lihat, ternyata telah membuat hati mereka menjadi cair. Nafsu mereka untuk saling membunuh perlahan-lahan menipis, seperti embun di pagi hari.

Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua itu, “Bagaimana? Kenapa kalian diam saja? Siapakah yang lebih jantan dan berani melakukannya? Aku ingin melihat, dan biarlah aku menjadi saksi. Bahkan di bawah Pucang Kembar ini, seorang laki-laki telah berani berbuat dengan penuh kejantanan dan kepahlawanan, membunuh seorang perempuan yang sedang mengandung dan dalam keadaan pingsan. Ayo, siapakah yang jantan di antara kailan?”

Tidak seorang pun yang bergerak, bahkan ujung jari kakipun tidak.

“Siapa?” teriak perempuan itu.

Kedua laki-laki itu masih membeku di tempatnya.

Bibir Arya Teja sejenak berdiam diri. Nafasnya menjadi makin cepat mengalir, dan dadanya yang tipis menjadi bergelombang dengan cepatnya.

Tetapi kedua laki-laki itu masih tetap tegak di tempatnya.

Keheningan yang tegang telah menjelajahi tanah yang terbentang di seputar Pucang Kembar itu. Di kejauhan masih terdengar suara binatang malam berderik-derik, dan kadang-kadang suara burung kedasih yang sayup-sayup, seperti senandung yang sedih.

“Apakah kalian tidak dapat berbuat sesuatu?” bertanya bibi Arya Teja itu. “Apakah kalian akan berdiri saja di tempat itu semalam suntuk?”

Pertanyaan itu telah menggerakkan hati kedua laki-laki itu. Mereka menyadari, apa yang sedang mereka hadapi. Tetapi mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebaiknya mereka kerjakan.

“Baiklah, kalau kalian tidak lagi ingin membunuh. Bukankah begitu?” pertanyaan itu terlontar dari mulut perempuan tua itu. “Ternyata kalian tidak melakukannya.”

Tidak ada jawaban

“Bagaimana, he?”

Kedua laki-laki itu menjadi bingung.

“Jawablah, jawablah pertanyaanku,” sejenak kemudian perempuan itu berkata pula, “kalau kalian tidak dapat menjawab dengan perkataan, jawablah dengan perbuatan. Kalau kalian masih ingin membunuh, segera lakukanlah. Kalau salah seorang tidak segera melakukan, maka aku anggap, bahwa kalian telah merubah keputusan bahwa kalian telah merubah pendirian kalan untuk meneteskan darah di bawah Pucang Kembar ini. Sebagai laki-laki jantan keputusan bersama harus dihargai seperti kalian menghargai jiwa sendiri.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar