Mendengar jawaban ayahnya, dan
sikapnya yang lunak, Pandan Wangi menjadi lebih berani.
“Ayah,” suara Pandan Wangi
agak bergetar. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, tetapi kemudian diberanikannya
bertanya, “Ayah, kenapa Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi untuk
melindungi Kakang Sidanti?”
“Aku tidak berkeberatan
Wangi,” sahut ayahnya,
“Tetapi bukankah Ayah
menolak?”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah puterinya yang kemudian
menundukkan kepalanya. Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Katanya di
dalam hati, “Oh, agaknya Ayah tidak senang mendengar pertanyaanku.”
Dada gadis itu berdesir ketika
ia mendengar ayahnya berkata, “Pandan Wangi. Sekarang kau sudah cukup dewasa
untuk menghadapi segala macam persoalan. Bukankah begitu? “
Pandan Wangi menjadi
ragu-ragu, “Ya, Ayah.”
“Baiklah,” desis ayahnya,
tetapi ayahnya itu pun masih juga dicengkam oleh kebimbangan. Namun dipaksanya
berkata, “Kau sudah wajib berani melihat kenyataan-kenyataan yang ada di
hadapanmu.”
“Ya, Ayah,” sahut gadis itu.
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di dalam hatinya ia berkata, “Aku harus mengatakannya, supaya aku
tidak bersalah kelak apabila anak ini mendengamya dari orang lain, justru tidak
tepat seperti yang terjadi, sudah dibumbui dan diputar-balikkan.”
“Baiklah, Wangi,” berkata
Argapati kemudian, “apakah kau sudah bersiap untuk mendengarkannya?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya, “Apakah yang akan dikatakan oleh Ayah ini sehingga aku harus
mempersiapkan diri untuk mendengarkannya?”
Dan gadis itu kemudian
terperanjat ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Pandan Wangi, aku memang
tidak segera dapat menerima pendapat Ki Tambak Wedi. Sebenamya aku memang
kurang mempercayainya. Aku sudah mengenal sifat-sifatnya sejak berpuluh tahun.”
“Tetapi, tetapi bukankah Ayah
mempercayakan Kakang Sidanti kepadanya bertahun-tahun? Bukankah itu juga
merupakan suatu bentuk kepercayaan Ayah kepadanya?” tanpa sesadarnya pertanyaan
itu meluncur dari mulut Pandan Wangi.
Pertanyaan Pandan Wangi itu
memang terlampau sulit untuk dijawab. Karena itu, maka sejenak Argapati
terdiam. Namun kemudian Argapati itu berkata tanpa menjawab pertanyaan Pandan
Wangi, “Wangi, ternyata perbedaan pendapat itu telah mendorong Ki Tambak Wedi
untuk bersikap keras dan bersungguh-sungguh.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
semakin pucat. Terbayang di dalam rongga matanya kemungkinan yang dapat terjadi
dari sikap masing-masing yang keras itu.
“Ayah,” suara Pandan Wangi
menjadi parau, “apakah Ayah telah menentukan suatu saat untuk menyelesaikan
persoalan ini seperti yang Ayah katakan? Pada saat purnama naik beberapa hari
yang akan datang di bawah Pucang Kembar?”
Argapati menjadi ragu-ragu.
Tetapi ia tidak dapat mengingkarinya karena agaknya Pandan Wangi telah
mendengarnya. “Tidak baik aku berbohong kepadanya,” berkata orang tua itu di
dalam hatinya. “Ia harus tahu sebelumnya. Kalau terjadi sesuatu, anak ini sudah
mempersiapkan dirinya untuk menghadapinya.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya lambat, “Ya, Pandan Wangi. Kami telah memutuskan.
Kami yang bersama-sama sedang dikaburkan oleh perasaan kami yang menyala telah
membuat perjanjian itu.”
“Ayah,” suara Pandan Wangi
menjadi semakin lambat. Argapati melihat mata puterinya itu menjadi basah.
Orang tua itu dapat menduga, betapa kecemasan telah mencengkam hati Pandan
Wangi. Ia sudah tidak beribu lagi. Apabila terjadi sesuatu dengan ayahnya, maka
ia akan menjadi sebatang kara.
“Kalau Ki Tambak Wedi tidak
memisahkannya dari kakaknya, maka ia masih mempunyai tempat untuk bergantung,”
berkata Argapati di dalam hati. “Tetapi Sidanti telah hanyut dibawa arus
kegilaan gurunya.”
“Ayah,” Pandan Wangi kini seolah-olah
berbisik, “kenapakah hal itu mesti terjadi?”
Ayahnya menggeleng lemah, “Aku
tidak tahu Wangi. Tetapi Aku tidak dapat menghindarkan diri daripadanya.”
“Ayah adalah seorang Kepala
Tanah Perdikan. Apakah Ayah tidak dapat berbuat atas namanya? Kalau Ayah
menganggap bahwa Ki Tambak Wedi tidak sepantasnya berbuat demikian, bukankah
Ayah mempunyai kekuasaan dan pasukan untuk melaksanakan kekuasaan itu?”
Argapati menggeleng pula,
“Bukan Wangi. Masalahnya bukan kekuasaan dan wewenang mempergunakan kekuasaan
dan alat-alat kekuasaan. Tetapi masalah ini adalah masalah pribadi. Aku,
Argapati dan Ki Tambak Wedi.”
Mata Pandan Wangi kian menjadi
basah. Berbagai macam persoalan membayang di dalam rongga matanya. Kemungkinan
yang paling pahit sekalipun. Namun perlahan-lahan ia bertanya, “Ayah, kasihan
Kakang Sidanti. Ia akan kehilangan salah satu dari orang-orang yang paling
penting di dalam hidupnya. Gurunya atau ayahnya.”
Sekali lagi Argapati menarik
nafas. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sedang menyembunyikan kecemasannya sendiri.
Namun orang tua itu tidak segera menyahut. Bahkan dilontarkannya pandangan
matanya ke arah api pelita yang sedang menggapai-gapai.
Sejenak keduanya saling
berdiam diri. Masing-masing dihanyutkan oleh arus perasaan dan angan-angan sendiri.
Jauh ke dalam dunia kemungkinan yang tidak bertepi.
Di luar angin malam yang
lembab terasa semakin dingin. Para peronda di gardu regol halaman duduk bersila
di atas tikar pandan sambil berkerudung kain. Lampu yang samar-samar tergantung
di depan regol. Para peronda itu telah menutup sebelah sisi, supaya tempat
mereka duduk menjadi gelap. Sedang para peronda yang nganglang masih saja
berjalan perlahan-lahan di sekitar lingkungannya. Sekali-sekali terdengar
mereka berbisik-bisik. Mereka saling bertanya, apakah yang sebenarnya terjadi
di halaman rumah Kepala Tanah Perdikannya yang selama ini tidak pernah ada
persoalan-persoalan yang mendebarkan.
Tetapi tidak seorang pun yang
dapat menjawab. Meskipun demikian, berita tentang peristiwa itu segera menjalar
dari mulut ke mulut. Tersebar ke seluruh pelosok.
Di pringgitan, Pandan Wangi
masih duduk tepekur menghadapi ayahnya. Sekali-sekali diusapnya matanya yang
basah dengan ujung lengan bajunya. Namun anak itu bertahan sekuat-kuatnya untuk
tidak menangis.
“Aku sudah bukan anak-anak
lagi,” katanya di dalam hati, “aku sudah tidak pantas lagi untuk menangis.”
Namun setitik air telah meleleh di pipinya.
Ketika di kejauhan terdengar
burung kedasih mengeluh berkepanjangan, terdengar Argapati berkata, “Apakah kau
belum mengantuk, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi menggeleng,
“Belum, Ayah.”
Argapati terdiam. Ia selalu
dicengkam oleh keragu-raguan untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya
terlampau penting.
Orang tua itu mengerutkan
keningnya ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya, “Ayah, apakah persoalan
itu tidak dapat diselesaikan dengan cara lain?”
Argapati menggeleng, “Kami
telah berjanji Wangi. Kami adalah laki-laki. Dan kami telah mengatakannya,
bahwa penyelesaian itu akan kami lakukan nanti jika purnama penuh naik, di
bawah Pucang Kembar.”
“Tetapi,” suara Pandan Wangi
tertahan. Lalu, “persoalan itu berkembang terlampau cepat. Kenapa masalah itu
segera mendapat keputusan untuk membuat penyelesaian yang begitu
bersungguh-sungguh?”
“Apakah persoalan itu terasa
berkembang terlampau cepat Wangi?”
“Ya, begitu Ayah dan Ki Tambak
Wedi tidak sependapat, maka segera ketegangan semakin meningkat dengan
cepatnya. Seolah-olah keduanya sama sekali tidak dapat menahan hati. Seperti
persoalan yang tumbuh di dalam lingkungan anak-anak muda.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ia menyadari betapa sesak dada anak gadisnya. Dalam keadaan yang
wajar, ia tidak akan berani berkata demikian kepadanya. Tetapi tanggapan Pandan
Wangi itu agaknya telah meledak tanpa dapat ditahankannya.
Tetapi ketika Argapati tidak
segera menyahut, maka Pandan Wangi itupun menyesal karenanya. Agaknya ia memang
telah terdorong mengatakan sesuatu yang sebenarnya terlampau jauh. Tetapi hal
itu dilakukannya di luar sadarnya. Sehingga dengan demikian, maka kata-kata itu
seolah-olah telah meloncat dengan sendirinya dari lubuk hatinya, tanpa
terkendali.
“Oh, apakah Ayah marah
kepadaku?” pertanyaan itu telah menggelisahkannya.
“Pandan Wangi,” suara ayahnya
masih tetap lembut, “apakah tanggapanmu memang demikian?”
Pandan Wangi menjadi
ragu-ragu, sehingga ia terdiam. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya
saja wajah puterinya dengan sorot mata yang aneh.
“Apakah sudah seharusnya aku
mengatakanya?” Argapati selalu bertanya kepada diri sendiri. Dan pertanyaan itu
telah membuatnya selalu gelisah dan bimbang.
Karena Pandan Wangi tidak
menjawab, maka Argapati berkata pula, “Mungkin kau benar, Pandan Wangi.
Persoalan ini berkembang terlampau cepat, sehingga kami masing-masing tidak
lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih.”
Dada Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar, tetapi ia masih saja berdiam diri.
Dalam pada itu masih saja
terjadi pergolakan di dalam dada Argapati. Namun akhirnya ia berkata di dalam
hatinya, “Tak ada jalan lain. Aku harus mengatakannya. Rahasia yang selama ini
aku simpan dalam-dalam di dalam lubuk hatiku, kini terpaksa aku katakan.
Agaknya Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Apa boleh buat.”
Sekali lagi Argapati menarik
nafas dalam-dalam, seolah-olah dadanya menjadi sesak untuk bernafas.
Sementara itu malam pun
menjadi semakin malam. Di kejauhan terdengar tengara yang dibunyikan oleh para
peronda yang berada di gardu-gardu di ujung-ujung padukuhan. Sahut-menyahut.
Semakin lama semakin jauh.
Ketika suara kentongan itu
lenyap, maka malam kembali terlempar ke dalam kesenyapan. Lamat-lamat terdengar
bunyi burung kedasih yang ngelangut.
“Sudah terlampau malam Wangi.
Apakah kau belum mengantuk?”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya, “Belum, Ayah.”
“Biasanya kau sudah tidur,
Wangi.”
“Tetapi malam ini aku tidak
akan dapat tidur, Ayah. Aku selalu berdebar-debar saja. Keputusan Ayah untuk
membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi telah membuat aku cemas.”
“Itu adalah wajar sekali.
Tetapi jangan terlampau dicengkam oleh kecemasan itu. Percayalah, bahwa ayah
masih ingin tetap hidup. Karena itu, ayah pasti tidak akan dengan sukarela
menyerahkan keputusan terakhir kepada ujung senjata Tambak Wedi yang bertajam
rangkap itu. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada Yang Maha Kuasa, Yang
Maha Tahu yang menentukan segala-galanya. Apabila datang saatnya, apapun yang
aku lakukan, maka saat itupun akan tetap menjemputku. Bahkan seandainya aku
bersembunyi di dalam gendaga besi sekalipun, maka kekuasaan itu pasti akan
berlaku juga.”
Tetapi kata-kata ayahnya itu
justru telah membuat nafas Pandan Wangi menjadi sesak. Kerongkongannya terasa
tersumbat dan matanya menjadi panas. Betapa pun ia menahan hatinya, tetapi
titik air matanya jatuh satu-satu di pangkuannya.
Pandan Wangi menangis. Sebagai
seorang gadis yang sudah tidak beribu, kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu
telah membayanginya. Meskipun pada dasarnya Pandan Wangi bukan seorang gadis
yang cengeng, tetapi menghadapi kemungkinan itu, ia tidak dapat menahan
perasaannya lagi.
Pandan Wangi yang sedang
menangis itu kini benar-benar di dalam perwujudannya sebagai seorang gadis.
Seolah-olah Pandan Wangi yang menangis itu bukan Pandan Wangi yang berjalan
dengan tenang dan penuh mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dengan pedang
rangkap di kedua lambungnya. Terhadap sentuhan-sentuhan yang paling dalam di
dalam lingkungan keluarganya, di dalam ikatan-ikatan batin yang kuat, maka
Pandan Wangi tidak dapat membanggakan ketangkasan dan kelincahannya
menggerakkan senjata untuk melawannya.
Pandan Wangi mengusap matanya,
ketika ia mendengar ayahnya berdesah. Ia tahu benar, bahwa ayahnya tidak senang
melihat air matanya menitik. Setiap kali ia menangis sejak kecilnya, ayahnya
selalu berkata, “Jangan menangis, Wangi. Hanya mereka yang berhati kecil
sajalah yang sering menangis.”
Tetapi kali ini ayahnya tidak
berkata demikian. Ayahnya itu hanya berdesah dalam nada yang berat.
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya, ketika ia mendengar ayahnya berkata, “’Pandan Wangi. Kalau kau masih
belum mengantuk, maka Ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tetapi tangkaplah
kata-kata Ayah nanti dengan sikap dewasa. Dengan sikap yang matang. Mungkin
hatimu akan terluka. Namun kemudian kau akan menyadari, bahwa kau sudah bukan
anak-anak lagi. Kau akan segera mengerti, kenapa persoalan Ayah dan Ki Tambak
Wedi berkembang terlampau cepat dan tanpa terkendali. Bahkan kau pasti sudah
mendengar pula, bahwa persoalan ini telah disangkutkan pula dengan persoalan
berpuluh tahun yang lampau yang terjadi pula di bawah Pucang Kembar itu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Kau bersedia bukan, Wangi?”
Pandan Wangi tidak tahu maksud
ayahnya. Tetapi sebelum ia bertanya, ayahnya melanjutkan, “Bukankah kau
bersedia untuk menahan setiap gejolak perasaanmu? Bukankah kau telah cukup
dewasa untuk bersikap?”
Hati gadis itu menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi hampir di luar sadarnya ia menganggukkan kepalanya.
Argapati menggeser dirinya
secengkang. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin
meyakinkan dirinya, bahwa tidak ada seorang pun di dalam pringgitan itu kecuali
ia berdua saja bersama puterinya.
Di kejauhan masih saja
terdengar suara burung kedasih yang seakan-akan sedang meratapi nasibnya.
“Pandan Wangi,” berkata
Argapati, “aku terpaksa mengatakan sebuah rahasia kepadamu. Sebenarnya
sebaiknya kau tidak usah mendengarnya sepanjang umurmu. Aku berharap bahwa
rahasia ini akan dikubur bersama tubuhku kelak. Tetapi agaknya sikap Ki Tambak
Wedi telah mendorongku untuk mengatakan kepadamu, supaya kelak kau tidak akan
terkejut karenanya. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak mengancam akan mengatakan
rahasia ini kepada kakakmu Sidanti, maka aku pun tidak akan berbuat serupa itu
kepadamu. Namun agaknya aku tidak akan dapat menyimpannya lebih lama lagi.
Selagi aku masih hidup, Wangi, aku akan dapat memberikan penjelasan kepadamu.
Karena apabila aku sudah tidak ada, dan kau mendengarnya dari orang lain,
Sidanti sendiri misalnya, maka tanggapanmu pasti akan berbeda. Apalagi kalau
kau mendengar dari Ki Tambak Wedi.”
Kening Pandan Wangi menjadi
semakin berkerut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah rahasia itu
hanya diketahui oleh Ayah dan Ki Tambak Wedi saja?”
Argapati mengangguk, ”Ya,
Wangi.”
Mata Pandan Wangi yang suram
memancarkan sebuah pertanyaan yang mencengkam hatinya, “Kenapa Ayah dan Ki
Tambak Wedi?” Tetapi pertanyaan itu tidak pernah terucapkan. Meskipun demikian,
Argapati dapat menangkap ungkapan pertanyaan yang dipancarkannya lewat sorot
mata puterinya itu.
“Pandan Wangi,” berkata
Argapati, “yang mengetahui rahasia ini hanyalah aku dan Ki Tambak Wedi. Kenapa
aku dan Ki Tambak Wedi? Jawabnya adalah sebagian dari rahasia itu sendiri.”
Wajah Pandan Wangi semakin
lama menjadi semakin suram namun tegang.
“Tetapi ingat, Wangi. Kau
sudah dewasa. Tanggapilah secara dewasa.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Kau akan mendengarkan sebuah
ceritera yang sangat menarik, tetapi sangat tidak menyenangkan hati,” berkata
Argapati, “tetapi itu adalah sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Sebab
sudah terjadi. Kenyataan yang sudah terjadi, terjadilah. Tidak ada seorang pun
yang akan dapat menghapusnya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya atau
merahasiakannya supaya tidak ada seorangpun atau orang-orang yang datang di
hari kemudian mengetahuinya. Tetapi kenyataan itu sendiri sudah berlaku.”
Pandan Wangi duduk dengan
cemasnya. Wajahnya membayangkan kegelisahan yang sangat. Tetapi ia membeku saja
seperti sebuah patung batu. Ditatapnya wajah ayahnya tajam-tajam, namun
kemudian kepalanya itupun ditundukkannya. Ia menunggu, apakah yang akan
dikatakan oleh ayahnya.
Sejemput angin yang silir
menyusup di sela-sela lubang dinding mengguncangkan nyala pelita di dalam
pringgitan itu. Dingin malam semakin lama semakin tajam menggigit kulit.
Ketika di kejauhan terdengar
lolongan anjing-anjing liar, maka bergetarlah sebuah hati mendengarkan cerita
yang selama ini menjadi rahasia yang paling dalam disimpan di dalam lubuk hati.
Pada saat-saat yang demikian
itu, Sidanti duduk di hadapan gurunya di rumah Argajaya. Argajaya sendiri yang
duduk pula bersama mereka, memandangi wajah Ki Tambak Wedi dengan tanpa
berkedip. Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tambak Wedi itu pun telah mulai
pada ujung ceritanya, rahasia yang selama ini disimpannya pula di dalam
hatinya.
“Aku terpaksa mengatakannya
untuk kepentinganmu sendiri, Sidanti, supaya kau tidak salah menanggapi
keadaan. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada membuat penyelesaian yang
kau sesali itu. Tetapi apabila kau sudah tahu persoalannya, maka kau tidak akan
mengutuk sepanjang umurmu.”
Sidanti tidak menyahut.
“Persoalan ini tidak tumbuh
dengan serta-merta pada malam ini saja,” berkata gurunya pula, “tetapi
persoalan ini telah tersimpan berpuluh tahun di dalam lubuk hati kami. Di dalam
dadaku dan di dalam dada Argapati. Kami telah mencoba untuk mengendapkannya dan
tidak akan menyebutnya lagi. Tetapi dalam sentuhan persoalan serupa yang kita
hadapi, maka aku tidak dapat bertahan dalam pendirian itu. Aku harus
mempersoalkannya dan memecahkannya dengan cara lain. Tidak sekedar merahasiakan
dan membawanya mati. Sebab aku sekarang merasakan, bahwa dengan demikian
persoalan itu ternyata tidak terselesaikan. Persoalan itu hanya tertunda-tunda
saja dan pada saatnya akan meledak juga.” Ki Tambak Wedi terdiam sejenak, lalu,
“Aku kira Argapati akan mengatakannya juga kepada Pandan Wangi.”
“Apakah sangkut pautnya Pandan
Wangi dengan persoalan ini?”
“Persoalan ini akan
mengejutkan kau dan Pandan Wangi.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Kalau apa yang Guru katakan rahasia itu akan
menyakitkan hati Pandan Wangi, maka alangkah sedihnya gadis itu. Kasihan. Sejak
ibu meninggal, ia agaknya selalu bersedih hati.”
“Apa boleh buat. Ia memang
harus mengetahuinya pula, supaya kita masing-masing dapat menempatkan diri kita
di tempat yang sewajarnya.”
Sidanti menjadi semakin
gelisah. Tetapi ia tidak bertanya lagi, supaya gurunya segera mengatakan,
apakah yang disebutnya dengan rahasia yang telah bertahun-tahun didekapnya di
dalam dadanya itu.
“Kau akan mendengar sebuah
kisah, Sidanti. Kisah yang tidak begitu menyenangkan hati, tetapi yang dalam
saat serupa ini harus kau dengar. Kau harus berani mendengarnya, karena kau
seorang yang jantan. Bukankah begitu?”
Sidanti menganggukkan
kepalanya. Meskipun ia tidak menjawab, tetapi gurunya menangkap getar sorot
matanya, bahwa anak muda itu telah bersedia mendengarkan apa saja yang akan
dikatakannya.
Di dua tempat yang terpisah,
dua orang tua sedang mengisahkan sebuah kisah yang sama. Sebuah kisah yang
selama ini mereka rahasiakan dalam-dalam. Tetapi oleh sentuhan persoalan yang
mendapat tanggapan berbeda, maka rahasia yang selama ini terpendam itu ternyata
terangkat kembali.
Argapati yang bergelar Ki Gede
Menoreh sedang menceriterakannya kepada puterinya, Pandan Wangi, dan Paguhan
yang kemudian menamakan dirinya Ki Tambak Wedi sedang memberitahukannya kepada
Sidanti dan Argajaya. Ternyata keduanya tidak berusaha untuk menyembunyikan
lagi bagian-bagian dari rahasia itu, sehingga ceritera mereka pun hampir
bersamaan pula.
Dan kisah yang mereka
ceriterakan itu terjadi beberapa puluh tahun yang lama. Di sekitar seperempat
abad yang lalu, sejauh umur Sidanti itu sendiri.
Ketika itu, ketika bekas
peralatan pengantin yang cukup meriah masih belum lenyap sama sekali, Arya
Teja, pengantin laki-laki telah dibingungkan oleh sikap istrinya yang baru saja
dikawininya. Hampir semalam suntuk istrinya menangis, sehingga di pagi harinya,
masih saja ia murung di dalam biliknya. Bahkan kadang-kadang meledaklah pula
tangis istrinya itu sambil menyembah-nyembah di bawah kakinya. Tetapi pengantin
perempuan itu sama sekali tidak mengatakan apa pun juga. Ia tidak menyebutkan
sebabnya, kenapa ia menjadi bingung dan gelisah. Bahkan ketakutan.
Arya Teja mencoba menunggu
sampai hari kedua dan ketiga. Mungkin perkawinan itu telah menggoncangkan
perasaan istrinya. Sebagai seorang gadis, maka perkawinan adalah batas waktu
yang memisahkan antara dua dunia kehidupannya. Ia akan meninggalkan masa-masa
gadisnya dan terjun ke dalam suatu dunia baru yang belum dikenalnya. Memang
dunia yang belum dikenal itu akan dapat menumbuhkan ketakutan dan kecemasan.
“Wulan,” bertanya Arya Teja
kepada istrinya, “kenapa kau salalu cemas, gelisah dan takut?”
Rara Wulan, istrinya itu,
tidak pernah menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang meledak-ledak.
Arya Teja menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak tahu, apakah yang telah terjadi dengan istrinya. Apakah
ia sedang dibayangi oleh perasaan takut tentang dunianya yang baru atau oleh
sebab-sebab yang lain?
Akhirnya kesabaran Arya Teja
pun menjadi semakin lama semakin tipis. Ia tidak dapat bertahan dalam keadaan
itu. Ia pun menjadi bingung dan bahkan sedih pula, sehingga pada suatu saat ia
bertanya kepada isterinya, “Wulan. Apakah kau menyesal?”
Seperti di saat-saat yang
lewat, Rara Wulan hanya dapat menangis tanpa menjawab pertanyaan itu.
“Aku tidak dapat hidup dengan
cara ini, Wulan. Aku tidak mengerti apa yang kau tangiskan. Tubuhmu sendiri
akan rusak karenanya. Kini kau menjadi semakin kurus dan kering. Kecantikanmu
pudar oleh air mata,” Arya Teja berhenti sejenak, lalu, “Wulan. Aku sekarang
adalah suamimu. Kalau kau selalu dibayangi oleh tangismu, maka aku pun akan
menjadi bersedih pula. Wulan. Apakah kita tidak dapat membagi kesulitan itu.
Katakanlah, apakah yang membuatmu selalu menangis? Aku akan berusaha untuk
menolongmu. Karena itu adalah kewajibanku.”
Tetapi Rara Wulan masih saja
menangis tanpa menjawab sepatah kata pun, sehingga Arya Teja menjadi kehabisan
akal karenanya. Perkawinan yang demikian lama ditunggu-tunggunya, yang
dibayangkannya, bahwa perkawinan itu akan menjadikannya berbahagia dalam hidup
berumah tangga dengan gadis yang selama ini diangan-angankannya, ternyata
sia-sia belaka. Bahkan ia seakan-akan telah terjun ke dalam suatu neraka yang
paling pahit. Kalau Rara Wulan hanya dikejutkan oleh suatu dunia baru yang
belum dikenalnya, maka ia tidak akan menangis berkepanjangan. Sehari, dua hari,
tiga hari, bahkan pada hari-hari berikutnya rumah tangga mereka terasa menjadi
semakin suram.
“Wulan,” berkata Arya Teja
itu, “beberapa tahun aku pergi merantau untuk kepentingan hidup kita di
hari-hari mendatang. Aku mendapat penghargaan yang baik selama aku berada di
Demak. Sultan Demak sendiri telah menganugerahkan banyak sekali kesenangan buat
bekal hidup kita. Bahkan Kademangan Menoreh kini telah menjadi tanah perdikan,
karena aku dianggap berjasa. Kademangan ayah yang sempit, kini menjadi luas dan
men-dapat bentuk yang lebih baik, Tanah Perdikan. Tanah perdikan yang dalam
pemerintahannya sehari-hari telah diserahkan kepadaku pula, karena ayah telah
terlalu lelah. Selain memang akulah yang mendapat anugerah bentuk baru dari
daerah kademangan ini. Semuanya itu juga untukmu, Wulan. Tetapi kenapa kau
tanggapi persoalan ini dengan air mata tanpa penjelasan apa pun?”
Rara Wulan masih belum
menjawab. Hanya tangisnya sajalah yang menjadi semakin keras. Isaknya
hampir-hampir telah menyumbat pernafasannya.
Arya Teja menjadi semakin
bingung. Waktu yang ditunggu-tunggunya ternyata tidak seperti yang diharapkannya.
Sejak orang tuanya mempertemukannya dengan gadis yang bernama Rara Wulan itu
atas persetujuan semua pihak, beberapa tahun yang lalu sejak mereka masih
terlampau muda, maka hatinya telah tertambat olehnya. Agaknya Rara Wulan pun
tidak berkeberatan apabila kedua orang tua masing-masing melanjutkan
pembicaraan tentang mereka. Tetapi apa yang dihadapinya benar-benar sebuah
neraka yang menyiksanya siang dan malam.
Apalagi beberapa saat
kemudian, Wulan yang selalu dibayangi oleh air matanya itu menjadi sakit.
Penyakit yang membuat suaminya semakin bingung. Muntah-muntah dan pening. Ia
dapat mendengar Wulan mengeluh tentang penyakitnya, tetapi isterinya tidak
pernah mengatakan apa pun tentang dirinya.
“Wulan, bagaimanakah
keadaanmu? Sebenarnya kau tidak sakit, Wulan. Tetapi kau telah disiksa oleh
perasaanmu sendiri. Kalau kau mau mengatakannya, mungkin hatimu akan menjadi
ringan. Kau tidak akan merasakan lagi penyakitmu yang aneh itu,” Arya Teja
mencoba menenteramkan hati istrinya.
Tetapi semua usaha Arya Teja
tidak ada yang dapat meredakan kemuraman hati Rara Wulan. Tak ada cara yang
dapat dilakukan oleh suaminya. Hati Rara Wulan seolah-olah telah pecah tanpa
dapat dibentuk kembali.
“Oh,” Arya Teja mengeluh di
dalam hati, “aku akan dapat menjadi gila apabila aku tidak segera terlepas dari
keadaan ini.”
Kebingungan Arya Teja pun
memuncak ketika pada suatu saat, pada waktu ia berusaha untuk menenteramkan
hati istrinya, seperti yang biasa dilakukan tanpa mengenal jemu, meskipun
kesabarannya hampir lenyap sama sekali, ia mendengar isterinya sambil
menyembah-nyembah meminta kepadanya sesuatu yang sama sekali tidak
dimengertinya. Permintaan yang tidak dapat masuk diakalnya.
“Kakang, Kakang Arya. Bunuh
sajalah aku Kakang. Aku akan terlepas dari siksaan yang selama ini mencekikku,”
tangis Rara Wulan.
Dada Arya Teja bergetar,
melampaui getar guruh yang meledak di langit. Ia duduk membeku di tempatnya
seperti patung. Sedang isterinya bersimpuh di hadapannya sambil membasahi
kainnya dengan air matanya.
“Kutuk apakah yang menimpa
diriku,” desis Arya Teja itu di dalam hatinya, “kenapa aku terjerumus ke dalam
neraka yang hampir membuatku gila ini.”
“Kakang,” sekali lagi
terdengar suara Rara Wulan, “bunuh saja aku, Kakang. Aku tidak pantas untuk
menjadi istrimu.”
Arya Teja menarik nafas
dalam-dalam. Ia masih mencoba berkata lembut, “Aku tidak mengerti Wulan.
Kenapakah kau sebenarnya? Apakah kau selalu diganggu oleh seseorang atau oleh
hantu-hantu?”
Tangis Rara Wulan menjadi
semakin keras. Tetapi ia sudah tidak menjawab lagi. Berkali-kali Arya Teja
mendesaknya. Tetapi yang terdengar hanyalah isak tangis isterinya saja.
Dunia semakin lama serasa
semakin sesak. Arya Teja merasa bernafas pun agaknya sudah tidak dapat
dilakukan lagi. Apalagi apabila dibayangkannya masa-masa mendatang. Gelap.
Lebih gelap dari malam yang paling kelam.
Ketika pada suatu hari Arya
Teja sudah tidak dapat menahan diri lagi, maka pergilah ia kepada bibinya yang
telah tua. Diceriterakannya masalahnya, tentang istrinya dan tentang
penyakitnya.
Arya Teja itu menjadi
terheran-heran, ketika ia melihat bibinya itu justru tertawa. Tertawa
berkepanjangan, sehingga air matanya meleleh di pipinya yang berkerut-merut
oleh garis-garis ketuaannya.
“Oh, Ngger, Ngger,” katanya,
“kau memang masih terlampau bodoh. Kau adalah anak muda yang lugu dan dungu.
Seharusnya kau pernah mendengar serba sedikit tentang penyakit seperti penyakit
isterimu itu.”
Arya Teja menjadi semakin
bingung. Dan suara tertawa bibinya pun menjadi semakin berkepanjangan.
“Aku tidak mengerti, Bibi. Aku
hampir gila dibuatnya.”
“Angger Arya Teja,” berkata
bibinya, “ketahuilah, bahwa penyakit yang demikian adalah penyakit yang wajar,
hinggap pada pengantin baru. Dalam keadaan yang demikian, perempuan memang
kadang-kadang menjadi aneh. Sifatnya seakan-akan berubah. Ada-ada saja
tingkahnya. Suami yang tidak dapat mengerti keadaan istrinya, memang dapat
menjadi bingung, dan bahkan kadang-kadang ada yang setiap hari menjadi marah
dan memaki-maki istrinya yang berbuat aneh-aneh itu.”
“Bibi?” dada Arya Teja menjadi
berdebar-debar. Dan bibinya masih saja tertawa.
“Mungkin sekarang kau sudah
mengetahuinya. Isterimu pasti sedang mengandung muda.”
Kata-kata itu meledak seperti
petir yang menyambar kepalanya. Wajah Arya Teja menyadi tegang dan matanya
seolah-olah membara. Keringat dingin mengalir dari segenap permukaan kulitnya.
“Bibi,” ia tergagap. Tetapi
kata-katanya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.
“Jangan gugup, Ngger,” berkata
bibinya, “Kau harus mengucap syukur, bahwa perkawinanmu segera akan berbuah.”
“Tetapi ………”
“Tetapi, tetapi apalagi,
Ngger. Tidak ada tetapi. Kau tinggal mengucap syukur dan terima kasih. Istrimu
sudah sampai pada saatnya menyiapkan dirinya untuk menjadi ibu. Istrimu harus
lebih sering lagi jejamu agar menjadi tetap sehat dan tidak menjadi pucat.”
“Bibi, tetapi, tidak mungkin.
Tidak mungkin.”
“He?” bibinya mengerutkan
keningnya yang memang sudah berkerut.
“Bagaimana mungkin, Bibi. Kami
baru beberapa hari kawin. Sejak kami kawin, istriku selalu menangis
melolong-lolong. Bahkan istriku pernah minta kepadaku, supaya aku membunuhnya
saja.”
“He?” kini yang terkejut bukan
buatan adalah bibinya. Wajahnya yang berkerut-merut menjadi pucat. Terdengar
suaranya gemetar, “Apa katamu he, Arya Teja?”
“Istriku berlaku demikian
sejak kami kawin. Kami sama sekali belum pernah menikmati ketenteraman di dalam
hari-hari perkawinan kami. Apalagi ketika ia menjadi sakit-sakitan. Bahkan ia
minta aku untuk membunuhnya.”
“Ampun, ampun,” orang tua itu
tiba-tiba meratap, “ya, ya. Aku lupa, bahwa kau baru beberapa minggu kawin.
Tetapi istrimu itu? Tanda-tanda dan kelakuannya mengatakan kepadaku, bahwa
istrimu sedang mengandung.”
“Tidak mungkin, Bibi. Tidak
mungkin.”
“Oh, kalau begitu kau adalah
laki-laki yang durhaka. He, agaknya kau tidak menunggu sampai saat
perkawinanmu. Sekarang kau menjadi bingung sendiri. Persetan dengan kau, Arya
Teja. Aku tidak senang mempunyai kemanakan seperti itu.”
“Bibi. Tidak. Itu pun tidak.
Sungguh Bibi. Aku adalah seorang putra demang yang kemudian mendapat anugrah
untuk mengangkat diri sebagai Kepala Tanah Perdikan karena jasa-jasaku bagi
Demak. Apakah aku masih sempat untuk mengotori namaku dengan nafsu yang gila
itu.”
Bibi Arya Teja itu tidak
segera menyahut. Ditatapnya saja wajah kemenakannya. Tetapi dari sorot matanya,
Arya Teja dapat menangkap perasaan yang aneh pada bibinya itu. Apalagi ketika
kemudian bibinya memalingkan wajahnya, melemparkan pandangan matanya ke luar,
menembus lubang pintu yang tidak tertutup rapat.
“Bibi,” terdengar suara Arya
Teja gemetar, “apakah Bibi tidak percaya?”
Perempuan tua itu berpaling.
Sekilas ditatapnya sekali lagi wayah Arya Teja. Namun segera orang tua itu
berpaling pula dan melontarkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Bibi,” suara Arya Teja
menjadi semakin bergetar, “apakah Bibi tidak percaya?”
Bibinya tidak menyahut. Tetapi
wajah itu menjadi bersedih.
Arya Teja menarik nafas
dalam-dalam. Terdengar ia berdesis, “Baiklah kalau Bibi tidak percaya.
Mudah-mudahan dugaan Bibi atas penyakit isteriku itu salah.”
Bibinya masih berdiam diri.
Arya Teja kemudian tidak lagi
dapat duduk dengan tenang, ia menjadi gelisah dan cemas. Bahkan kadang-kadang
terasa debar jantungnya menjadi semakin deras.
Akhirnya Arya Teja tidak dapat
bertahan lagi duduk di hadapan bibinya yang diam. Kalau sekali-sekali Arya Teja
memandangi wajah orang tua itu, maka dilihatnya seolah-olah wajah yang sudah
berkerut-merut itu menjadi terlampau suram.
“O, apakah anggapan Bibi
terhadapku sebenarnya?” pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Arya Teja.
Karena itu, maka dadanya itu
pun kemudian bergolak. “Aku harus mendapat penjelasan,” katanya di dalam hati,
“Penjelasan dari orang yang bersangkutan. Langsung. Aku tidak mau selalu
dicengkam oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat menyakitkan hati.”
Tiba-tiba Arya Teja itu pun
bergeser dari tempatnya sambil berkata, “Bibi, aku mohon diri. Aku ingin tahu,
apakah yang sebenarnya telah terjadi?”
“Arya Teja,” suara bibinya
terlampau serak, “aku tidak melihat keadaan isterimu. Sehingga dengan demikian,
aku tidak akan dapat mengatakan apakah yang dideritanya dengan tepat. Aku hanya
menduga-duga. Mudah-mudahan seperti katamu, dugaanku salah.”
Arya Teja menundukkan
kepalanya. Ia tidak dapat menjawab kata-kata bibinya itu.
“Kalau kau mau pulang,
pulanglah, Ngger. Tetapi kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu.
Kau harus bersabar dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti. Lain kali
aku akan datang, dan melihat keadaan isterimu. Mudah-mudahan aku dapat
mengatakan serba sedikit tentang penyakitnya, meskipun tidak tahu benar.”
“Ya, Bibi. aku sangat
mengharap kedatangan Bibi di rumah. Aku belum mengatakan kepada orang lain
kecuali Bibi. Kepada keluargaku yang lain pun belum. Belum juga kepada ayah dan
ibu.”
Perempuan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Jangan kau katakan kepada
siapa pun juga. Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi,
kau harus cukup dewasa pula menanggapi setiap keadaan. Isterimu sedang sakit.
Jangan kau perberat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan.”
“Ya, Bibi,” jawab Arya Teja.
Tetapi ia sendiri tidak dapat meyakini dirinya sendiri, apakah ia akan dapat
menghadapi keadaan itu dengan bijaksana. Apalagi apabila kata-kata bibinya
tentang penyakit isterinya itu benar.
Arya Teja pun kemudian dengan
tergesa-gesa pulang ke rumah. Rumah yang belum lama ditempatinya bersama
istrinya. Rumah yang dibangunnya sesuai dengan kedudukan yang akan dipangkunya.
Bukan sekedar seorang Demang menggantikan ayahnya yang sudah terlampau tua,
tetapi ia berwenang menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan yang diperkuat
dengan kekancingan yang diterimanya dari Sultan Demak sebagai tanda terima
kasih kepada lelabuhan Arya Teja.
Langkahnya yang
panjang-panjang itu semakin lama menjadi semakin cepat seperti getar jantung di
dadanya. Semakin lama ia merenungkan diri, melimbang-limbang apakah yang
sebenarnya telah terjadi dengan istrinya, maka darahnya seakan-akan menjadi
semakin cepat mengalir.
“Seandainya benar kata Bibi,”
desahnya, “apakah dosa yang telah aku perbuat?”
Arya Teja hanya dapat menarik
nafasnya dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya. Tetapi setiap kali hati itu
bergelora semakin dahsyat dan dahsyat. Sehingga sama sekali tidak
diperhatikannya, ketika seorang yang berjalan di belakangnya, selalu saja
mengikutinya dengan pandangan penuh kecurigaan.
Arya Teja tidak pernah
berjalan demikian tergesa-gesa, bahkan dengan sikap yang sangat gelisah. Dengan
pandangan lurus ke depan, seolah-olah menembus segala macam gerumbul dan
rerangkudan, langsung menghunjam ke pusat rumahnya, hinggap pada tubuh istrinya
yang berbaring di pembaringannya sambil mengusap air mata.
“Hem, kenapa Arya Teja
berjalan demikian tergesa-gesa setelah ia bertemu dengan bibinya?” pertanyaan
itu tumbuh di hati orang yang mengikutinya itu. Namun ia sama sekali tidak
berusaha menyusul Arya Teja dan bertanya kepadanya, meskipun orang itu telah
mengenalnya dengan baik.
Ternyata gelora di dada Arya
Teja sama sekali tidak mereda. Semakin dekat ia dengan halaman rumahnya, maka
hatinya serasa semakin pepat, terhimpit oleh getar yang semakin bergejolak di
dadanya. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Bayangan
tentang dirinya sendiri, tentang istrinya, tentang rumah tangganya dan tentang
segala macam kemungkinan yang dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang paling
pahit sekalipun.
Dada Arya Teja terasa
benar-benar menjadi pepat ketika ia telah menginjakkan kakinya di halaman
rumahnya. Tubuhnya serasa menjadi gemetar, dan keringat yang dingin mengembus
di segenap wajah kulitnya.
Arya Teja menarik nafas
dalam-dalam untuk mencoba menenangkan hatinya. Langkahnya pun kemudian
diperlambatnya. Ketika kakinya sudah menyentuh tangga pendapa rumahnya, maka
ditekankannya telapak tangannya di dadanya.
“Aku tidak boleh menjadi gila
karenanya,” katanya di dalam hati. Terngiang kembali kata-kata bibinya. “Tetapi
Kau jangan diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar dan
mencoba melihat penyakitnya semakin teliti,” dan kemudian, “Kau sudah cukup
dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi kau harus cukup dewasa menanggapi
setiap keadaan, isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan
berbagai macam dugaan.”
“Ya,” Arya Teja berdesis, “aku
harus menyadari setiap persoalan. Aku tidak boleh kehilangan akal dan nalar.”
Perlahan-lahan Arya Teja
melangkahkan kakinya. Pendapa yang diinjaknya serasa bergoncang. Kepalanya
menjadi terlampau berat dan urat-urat di keningnya menjadi tegang.
“Ah, aku tidak boleh menjadi
gila,” desisnya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, bahwa dadanya telah dilanda
oleh arus darahnya yang menjadi semakin cepat menyusuri pembuluh-pembuluhnya.
Dengan jantung yang
berdentangan, Arya Teja memasuki rumahnya. Rumah yang dirasanya terlampau sepi.
Bahkan rumah itu telah menjadi neraka yang membakarnya hidup-hidup sejak ia
mengawini gadis yang selama ini diimpi-impikannya.
Ketika Arya Teja masuk ke
dalam biliknya, dilihatnya istrinya sedang berbaring. Tetapi desir telapak
kakinya telah mengejutkannya sehingga istrinya itu bangkit dan duduk di tepi
pembaringannya.
“Oh,” desahnya, “Kau sudah
datang, Kakang?”
Arya Teja melihat wajah
istrinya yang pucat. Tubuhnya yang semakn lama semakin kurus, bahkan semakin
kering. Perlahan-lahan maka gelora di dalam dadanya menjadi lilih. Istrinya
memang baru sakit. Dan bibinya berpesan, “Jangan kau perberat penyakitnya dengan
berbagai macam dugaan.”
“Tidurlah, Wulan,” tiba-tiba
terloncat kata-kata itu dari mulutnya. Kata-kata yang lembut penuh iba,
“Bukankah kau baru sakit?”
Arya Teja melihat Rara Wulan
mengelengkan kepalanya, “Tidak, Kakang. Aku tidak sakit.”
Arya Teja tidak segera
menjawab. Ia duduk di atas sebuah dingklik kayu dekat di samping pembaringan
istrinya.
“Kau pucat, Wulan. Apakah kau
masih pening dan akan muntah?” pertanyaan itu begitu saja meloncat dari mulut
Arya Teja.
Rara Wulan tidak menjawab.
Tetapi dada Arya Teja mulai bergetar lagi ketika ia melihat mata istrinya
menjadi basah. Apalagi ketika sesaat kemudian isterinya mulai terisak.
Dada Arya Teja mulai menjadi
pepat. Karena itu maka justru ia terdiam. Ia duduk saja seperti patung sambil
memandang jauh menembus lubang pintu bilik itu.
Tetapi isak istrinya yang
mengeras telah benar-benar mengganggunya. Setelah sejenak ia dicengkam oleh
perasaan iba, maka kini ia kembali dilemparkan ke dalam kegelisahan yang
sangat.
Sejenak ruangan itu menjadi
hening. Namun isak Rara Wulan menjadi semakin keras.
Arya Teja itu terkejut ketika
kemudian isterinya terbatuk-batuk dan mulai diganggu lagi oleh penyakitnya.
Muntah-muntah.
Arya Teja segera berdiri.
Dipanggilnya seorang pelayannya untuk mengambil pasir dan ditaburkannya di
bawah pembaringan Wulan yang sedang muntah-muntah.
“Wulan,” dada Arya Teja mulai
gemetar, “apakah sebenarnya penyakitmu itu?”
Ketika pertanyaan itu
menyentuh telinganya, maka meledaklah tangis Rara Wulan yang sedang
muntah-muntah itu. Tetapi oleh tekanan perasaan yang menghimpit jantungnya,
maka justru ia berhenti muntah. Kini ia duduk sambil menangis sejadi-jadinya.
“Wulan,” Arya Teja menjadi
semakin cemas, “apakah kau tidak dapat mengatakan, penyakit apakah yang
sebenarnya sedang kau tanggungkan? Apakah kau sedang menderita sakit panas
dingin? Apakah perutmu terasa mual ataukah sakit apa lagi?”
Tidak ada jawaban selain suara
tangis isterinya.
“Oh,” Arya Teja menjadi
semakin bingung. Ia berjalan mondar-mandir. Sekali-sekali dihentakkannya
kakinya, namun kemudian diingatnya lagi pesan bibinya.
Tetapi ternyata bukan saja
pesan bibinya itu yang teringat olehnya. Tetapi juga sikap bibinya yang mengherankan
pada mulanya. Bibinya itu justru tertawa-tawa mendengar keterangannya tentang
penyakit isterinya.
“Benarkah?” tiba-tiba
pertanyaan itu meledak di kepalanya. Dengan dada yang bergelora Arya Teja
mendekati istrinya.
Ditatapnya istrinya yang
sedang menangis itu berlama-lama. Tetapi pertanyaan itu tidak juga terloncat
dari mulutnya. Arya Teja tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkan
pertanyaan itu. Ia mencemaskan keadaan istrinya dan keadaannya sendiri apabila
ia mendengar jawaban istrinya itu, jika dugaan bibinya itu benar.
“Tetapi, apakah aku akan
tinggal di dalam neraka ini untuk seterusnya?” ia mencoba menggeretakkan
giginya. Tetapi hatinya kemudian menjadi luluh lagi.
“Wulan,” katanya
perlahan-lahan, “tidurlah. Kau harus segera sembuh. Kau tidak boleh selalu
disiksa oleh duka dan air mata. Meskipun aku tidak tahu sebabnya, tetapi aku
dapat merasakannya.”
Tiba-tiba Rara Wulan itu
membanting dirinya bersimpuh di hadapan suaminya. Kata-kata yang lembut itu
justru semakin menyiksanya. Dengan pilu ia meratap, “Bunuh saja aku, Kakang.
Bunuhlah aku.”
Dada Arya Teja terguncang
mendengar permintaan itu. Permintaan itu telah seribu kali didengarnya. Tetapi
setelah ia mendengar dugaan bibinya tentang penyakit isterinya, maka
tanggapannya menjadi lain. Karena itu, maka tiba-tiba giginya gemeretak dan
matanya menjadi seakan-akan menyala.
Ditatapnya saja tubuh istrinya
yang bersimpuh di hadapannya. Didengarnya suara tangisnya yang serak dan
dilihatnya titik-titik air matanya yang menetes membasahi kakinya.
Dada Arya Teja itupun kemudian
terasa bergolak semakin dahsyat. Bahkan serasa akan meledak karenanya. Berbagai
macam prasangka telah mencengkam hatinya. Prasangka tentang istrinya,
penyakitnya dan sikapnya.
Tiba-tiba saja terdengar Arya
Teja itu menggeram, “Pasti. Pasti hal itu telah terjadi.”
Tetapi istrinya yang menangis
itu tidak mendengar suaminya menggeram dan menggeretakkan giginya. Ia masih
saja menangis dan bahkan diulanginya permintaannya, “Kakang, bunuh saja aku,
Kakang, daripada hidupku akan tersiksa di sepanjang umurku.”
Tubuh Arya Teja menjadi
gemetar. Pertanyaan yang selama ini tersimpan di dadanya, tiba-tiba meledak
tanpa dapat dikendalikannya lagi. Justru karena selama ini ia tidak mempunyai
cukup kekuatan untuk melontarkannya, maka ledakannya ternyata menjadi sangat
mengejutkan tidak terkendali.
Tiba-tiba tangan Arya Teja
yang kokoh kuat itu mencengkam pundak istrinya, Rara Wulan. Diguncangnya tubuh
istrinya itu sambil berteriak, “Wulan, Wulan. Katakan, katakan. Apakah kau
sedang sakit?”
Rara Wulan terkejut sehingga
tangisnya tertahan. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, hampir ia menjerit
ketakutan. Dilihatnya wajah suaminya yang tegang, dan sepasang matanya yang
membara. Ia belum pernah melihat wajah Arya Teja demikian menakutkan seperti
saat ini.
“Katakan, Wulan. Apakah
penyakitmu itu, he?”
Rara Wulan masih terbungkam.
Tetapi kemudian ia menggigil ketakutan.
Dada Arya Teja yang serasa
telah bengkah itu, benar-benar tidak dapat ditahankannya lagi. Sekali lagi
meledaklah pertanyaannya yang serasa menghentikan arus darah Rara Wulan,
“Wulan, apakah kau sedang mengandung, he?”
Sejenak Rara Wulan membeku di
tempatnya. Wajahnya yang pucat kian menjadi pucat. Arya Teja yang sedang diamuk
kegelisahan, kegelisahan, kecemasan dan kebingungan itu melihat Rara Wulan
bergeser secengkang surut. Dilihatnya pula bibir perempuan itu bergerak-gerak,
tapi tidak sepatah kata pun yang meluncur dari sela-sela mulutnya.
“Katakan, katakan. Apakah kau
sedang mengandung?” Rara Wulan masih belum menjawab, tetapi wajahnya kian
menjadi pucat seputih kapas.
“Katakan, katakan,” Arya Teja
berteriak. Ketika Rara Wulan tidak segera menjawab, maka terdengar Arya Teja
itu menjadi semakin keras berteriak, “Apakah kau sudah menjadi ibu, he? Ayo
katakan!”
Arya Teja itu kemudian
menghibaskan tangan Rara Wulan yang menggenggam kakinya erat-erat sehingga
perempuan itu terdorong mundur.
“Kenapa kau diam saja, he?
Katakan, ya atau tidak?”
Rara Wulan benar-benar
terbungkam. Kini ia tertelungkup di lantai. Suara Arya Teja benar-benar seperti
beribu-ribu petir yang menyambar-nyambar di atas kepalanya.
“Wulan,” berkata Arya Teja
yang matanya menjadi semakin menyala, “selama ini aku memandangmu sebagai
seorang bidadari yang bersih, yang putih tanpa setitik noda pun yang lekat di
tubuhmu. Tetapi, katakan, apakah benar begitu?”
Arya Teja itu surut selangkah
ketika tiba-tiba ia melihatnya bangkit. Rara Wulan yang sudah sampai ke puncak
ketakutannya justru sudah tidak menangis lagi. Ia mencoba mengusap air matanya
dengan ujung bajunya. Ketika ia sudah duduk, maka ditengadahkannya wajahnya.
“Kakang,” suara itu gemetar,
“apakah aku harus menjawab pertanyaan itu?”
Arya Tejalah yang kemudian
terdiam sesaat. Hatinya yang bergolak menjadi semakin bergolak. Sekali lagi ia
diterkam oleh ketakutan. Kalau istrinya itu nanti menjawab pertanyaanya, apakah
jawabnya tidak akan membuatnya gila.
Tetapi sekali lagi perasaannya
meledak, “Ya, kau harus menjawabnya. Kau tidak akan dapat ingkar lagi dari
kenyataan.”
Wajah Rara Wulan yang pucat
itu kini justru dijalari oleh warna darahnya. Semakin lama semakin merah. Dan
dengan suaranya yang gemetar, terdengar jawabnya, “Kakang. Sudah aku katakan,
bunuh saja aku. Aku memang sudah tidak sepantasnya menjadi istrimu karena aku
memang sudah bernoda.”
Jawaban itu menyambar perasaan
Arya Teja seperti guruh yang memecahkan jantungnya. Sejenak ia terhenyak dalam
kebekuan seperti patung yang mati. Matanya memancarkan perasaan yang asing dan
mulutnya terkatup rapat-rapat.
Dan Arya Teja yang membeku itu
mendengar isterinya berkata, “Karena itu, Kakang, cara yang paling baik bagimu
dan bagiku adalah, bunuhlah aku.”
Dunia ini serasa sudah tidak
diinjaknya lagi. Arya Teja merasa dirinya seperti terbang menerawang dalam
dunia yang asing. Bukan sekedar sebuah mimpi yang mengerikan, tetapi ia merasa
bahwa ia terlempar dalam kesenyapan yang dahsyat. Semuanya seolah-olah menjadi
semakin menjauh, menjauh daripadanya. Akhirnya dunianya yang selama ini
dimilikinya, seolah-olah hilang. Hilang. Dan Arya Teja merasa dirinya berada
dalam kekosongan yang paling dalam, dibakar oleh kesepian dan kebekuan yang
paling dahsyat.
Arya Teja itu terhuyung-huyung
surut sehingga tubuhnya tersandar pada dinding biliknya. Meskipun matanya masih
terbuka, tetapi seolah-olah ia sudah tidak melihat lagi, meskipun telinganya
masih ada, tetapi seolah-olah pepat dan tidak didengarnya apa pun.
Namun kemudian, api yang
membara di dadanya bergolak menyala semakin dahsyat seperti api neraka.
Perlahan-lahan api telah memanasi darahnya kembali. Perlahan-lahan Arya Teja
itu jejakkan kakinya di dunia yang penuh murka, kemarahan dendam. Dunia yang
dibakar oleh nafsu manusiawi yang menghancurkan. Sakit hati.
Dengan sorot mata yang aneh
dipandanginya istrinya yang masih saja duduk di lantai. Istrinya dianggap akan
dapat mendampinginya hidup dalam ketenteraman, tetapi ternyata telah
menyeretnya ke dalam neraka yang paling pedih.
Dalam luapan perasaanya, Arya
Teja itu melihat seakan Rara Wulan itu kini bukanlah perempuan yang selama ini
telah didambakannya untuk menjadi istrinya. Wajah istrinya yang lembut dan
sejuk itu, tiba-tiba telah berubah menjadi wajah hewan betina yang paling
terkutuk. Wajah yang penuh dengan noda yang paling kotor yang pernah
dilihatnya.
Sejenak Arya Teja mencoba
menahan gejolak perasaannya, tetapi ternyata ia kemudian terseret oleh arus
yang dahsyat yang mendamparkannya ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak
berdaya untuk melawan luapan sakit hatinya. Lupa diri.
Tiba-tiba Arya Teja itu
menggeretakkan giginya. Dengan kaki yang gemetar ia selangkah maju mendekati
istrinya yang masih duduk di lantai. Dengan wajah yang membara ia menggeram,
“Setan betina kau Wulan! Tidak pantas kau hidup lagi di rumah ini. Karena itu,
lebih baik aku memenuhi permintaanmu. Aku bunuh kau!”
Tangan Arya Teja yang gemetar
tiba-tiba telah meraih hulu kerisnya. Keris pusaka yang selama ini hampir tidak
pernah ditarik dari wrangkanya. Namun keris itu kini telah berada di tangannya.
Keris yang seolah menyalakan api dendam yang membara di dadanya.
Rara Wulan melihat Arya Teja
itu mengangkat kerisnya dengan wajah yang merah tegang. Sejenak suaminya itu
memejamkan matanya, dan Rara Wulan yang sudah pasrah itupun memejamkan matanya
pula.
Tetapi tiba-tiba Arya Teja
tertegun sejenak. Gelora di dadanya terguncang semakin dahsyat ketika ia
mendengar jerit seorang perempuan memanggil namanya, “Arya Teja. Apakah yang
kau lakukan itu?”
Tubuh Arya Teja menjadi
gemetar, dan keris ditangannya pun menjadi gemetar pula. Terasa pergelangan tangannya
ditahan oleh jari-jari yang lembut. Meskipun tangan yang menahannya itu sama
sekali tidak mempunyai tenaga, tetapi terasa bahwa tangannya seakan-akan tidak
mampu lagi digerakkannya.
Dan Arya Teja mendengar lagi
suara itu, “Arya Teja. Apakah yang kau lakukan itu?”
Perlahan-lahan Arya Teja
membuka matanya. Di sampingnya berdiri seorang perempuan tua. Bibinya.
“Kenapa Bibi menahan aku?”
terdengar suara Arya Teja gemetar.
“Kau telah membuat kesalahan
yang akan kau sesali sepanjang hidupmu.”
“Aku tidak memerlukannya lagi,
Bibi. Ia menodai perkawinan kami. Dan ia sendiri minta aku untuk membunuhnya.”
“Aku sudah menyangka, bahwa
kau akan kehilangan akal. Itulah sebabnya hatiku sama sekali tidak tenteram
ketika kau meninggalkan rumahku.”
“Ia akan menjadi hantu yang
akan menyiksa hidupku, Bibi. Biarlah, biarlah aku lenyapkan saja perempuan itu,
supaya aku terlepas dari neraka ini.”
“Aria Teja. Kau akan
menyesal.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak akan
menyesal sama sekali. Lepaskan, Bibi. Biarlah aku membunuhnya. Kalau Bibi tidak
sampai hati untuk menyaksikannya, tinggalkanlah kami di sini.”
“Jangan menjadi mata gelap,
Ngger.”
Darah Arya Teja menjadi
semakin menyala, ketika ia mendengar Rara Wulan menyahut, “Biar, Bibi. Biarlah
Kakang Arya Teja membunuhku. Itu adalah penyelesaian yang baik, baik baginya
dan bagiku sendiri.”
“Nah, bukankah Bibi
mendengar?” suara Arya Teja meninggi. “Iblis itu menantangku. Lepaskan Bibi, biarlah
aku membunuhnya. Apakah darahnya juga merah seperti darah manusia yang bersih.”
Tetapi bibinya tidak
melepaskan tangan Arya Teja. Tangan laki-laki yang sedang dibakar oleh
kemarahannya itu masih dipegangnya. Dengan cemasnya ia berkata, “Jangan, jangan
Ngger. Jangan.”
Arya Teja telah benar-benar
menjadi waringuten. Ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Yang ada di dalam
dirinya hanyalah api kemarahan dan sakit hati. Itulah sebabnya, maka tanpa
dikehendakinya sendiri, didorongnya bibinya yang tua itu sehingga
terhuyung-huyung beberapa langkah. Untunglah, bahwa tubuhnya yang lemah itu
tersandar pada dinding sehingga ia tidak jatuh tertelentang.
Begitu tangan bibinya
terlepas, maka dengan menggeram sekali lagi Arya Teja mengangkat kerisnya, “Kau
harus mati. Kau harus mati.”
Tetapi ia masih mendengar
suara bibinya melengking, “He, kau gila Arya Teja. Kau gila. Bunuhlah perempuan
itu menurut kehendakmu, apalagi ia adalah istri yang mengkhianatimu. Tetapi kau
akan berdosa tujuh kali lipat karena kau membunuh juga nyawa yang sama sekali
tidak berdosa. Bayi di dalam kandungan perempuan itu.”
Kata-kata bibinya itu meledak
di telinga Arya Teja seperti seribu guruh. Dadanya terguncang dahsyat sekali,
sehingga rasa-rasanya seluruh tulang rusuknya terpatahkan. Sejenak pandangan
matanya menjadi gelap berkunang-kunang. Tubuhnya gemetar dan nalarnya
seakan-akan ditaburi oleh kekelaman yang pekat.
Sekali lagi Arya Teja
terhenyak ke dinding. Tubuhnya menjadi lemah, seolah-olah tulang-tulangnya
dilolosi. Hampir-hampir ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.
Bibinya kini telah berdiri di
hadapannya. Dipandanginya wajah kemanakannya yang kadang-kadang pucat namun
kemudian merah membara.
“Ingatlah akan dirimu.”
Keringat dingin telah
membasahi segenap tubuh Arya Teja. Dari ubun-ubunnya sampai ke ujung kakinya.
“Tidak sepantasnya kau berbuat
begitu, Ngger,” berkata bibinya. “Kau adalah laki-laki, seperti ayahmu
menginginkannya, bahwa kau adalah laki-laki jantan. Kau tidak dapat membunuh
perempuan itu tanpa membunuh bayi yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi kau
dapat berbuat demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa
membunuh bayi itu.”
Kata-kata bibinya itu
benar-benar telah menyentakkan perasaan Arya Teja. Tubuhnya yang seolah-olah
sudah tidak berdaya itu, tiba-tiba tegak bagaikan tiang baja yang kokoh kuat
tidak tergoyahkan. Kini matanya benar-benar mancarkan api yang menyala di dalam
dadanya.
Terdengar gigi Arya Teja
gemeretak. Terngiang kembali kata-kata bibinya itu, “Tetapi kau dapat berbuat
demikian terhadap orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi
itu.”
Arya Teja menggeram. Terdengar
suaranya parau, “Ya, Bibi. Aku mengerti.”
Selangkah Arya Teja maju
mendekati istrinya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Wulan, katakan. Katakan.
Siapakah yang telah berbuat itu? Aku sadar kini, bahwa itu adalah penghinaan
yang sedalam-dalamnya bagi kejantananku. Orang itu ingin mencoba mengukur lebar
dada Arya Teja yang sebentar lagi akan mendapat wisuda menjadi Kepala Tanah
Perdikan di Menoreh. Kalau aku belum menemukan orang itu Wulan, maka aku tidak
akan dapat hidup dengan tenteram. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi
padaku. Membunuh atau dibunuh. Tetapi itu adalah sikap jantan.”
Rara Wulan yang sudah pasrah
diri, yang justru seakan-akan sudah tidak lagi dibayangi oleh kecemasan, dan
bahkan air matanya pun seolah-olah sudah kering, kini digoncangkan lagi oleh
kegelisahan yang dahsyat. Terbayang di wajahnya, apa yang dapat terjadi apabila
dua orang laki-laki jantan telah berhadapan.
“Wulan, katakan Wulan, supaya
aku tidak jatuh ke dalam dosa yang paling nista, membunuh perempuan yang tidak
berdaya dan membunuh bayi di dalam kandungannya. Bayi yang tidak berdosa sama
sekali.”
Pernyataan itu telah
benar-benar menghentakkan dada Rara Wulan. Namun Rara Wulan itu mendengar bibi
Arya Teja berkata, “Tidak ada gunanya, Arya Teja. Sikap itu memang sikap
jantan. Tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan dengan cara itu. Aku
memperingatkan kau akan hal itu, sekedar untuk mencegah kau menjadi kehilangan
akal. Sikap itu jauh lebih baik daripada kau membunuh perempuan dan bayinya
yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi sikap itu sendiri bukan sikap yang
paling baik.”
Mata Arya Teja yang menyala
itu membayangkan keragu-raguan setelah ia mendengar kata-kata bibinya. Namun
bibinya itu berkata terus, “Sikap yang demikian masih akan menumpahkan darah.
Darah bukanlah penyelesaian yang paling baik.”
Tubuh Arya Teja menjadi
gemetar. Sekali lagi terdengar suaranya yang parau, “Lalu apakah sebaiknya yang
aku lakukan, Bibi?”
“Kau harus berjiwa besar, Arya
Teja. Kau harus membuat penyelesaian tanpa menitikkan darah. Kau harus bertemu
dengan laki-laki itu. Kau atau orang itu yang seterusnya akan memiliki Rara
Wulan. Sesudah itu, tidak ada lagi persoalan di antara kalian.”
Darah Arya Teja
menghentak-hentak di jantungnya. Dan terdengar ia berkata terbata-bata, “Itu
tidak mungkin, Bibi. Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan
kedua-duanya. Terus mengawini Rara Wulan dengan menelan penghinaan dari seorang
laki-laki tanpa berbuat sesuatu, seolah-olah aku bukan laki-laki, atau
melepaskan Rara Wulan dengan menyandang hina dan malu, karena orang-orang
Menoreh akan mengatakan, bahwa istri Kepala Tanah Perdikannya telah direbut
orang tanpa berbuat sesuatu.”
Bibinya mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Itu benar, Arya Teja. Tetapi bahwa Rara Wulan mengandung
di luar perkawinannya denganmu itu sama sekali tidak diketahui orang.”
“Tetapi aku tahu, Bibi. Aku
tahu, Wulan tahu dan laki-laki yang itu tahu pula.”
“Bukankah persoalan itu masih
terbatas sekali? Kalau jiwamu cukup besar, Arya, kau lupakan saja apa yang
telah terjadi. Tetapi laki-laki itu memang harus datang kepadamu, minta maaf
dan untuk seterusnya tidak akan menyebut-nyebut anaknya yang masih dalam
kadungan.”
“Hanya begitu, Bibi? Hanya
cukup dengan permintaan maaf dan untuk seterusnya tidak akan mengusik anaknya?”
“Arya Teja. Peristiwa ini
harus kau pandang dari segi yang lapang. Hubungan itu terjadi sebelum Rara
Wulan menjadi istrimu. Kau tidak dapat mengatakan, bahwa laki-laki itu telah
merampas hakmu seluruhnya, sebab pada saat itu terjadi, Rara Wulan masih belum
istrimu.”
“Oh,” Arya Teja berdesah.
Keringatnya menjadi semakin banyak mengalir, “Tetapi aku telah terjebak dalam
perangkap yang keji itu. Laki-laki itu ternyata pengecut. Kalau ia laki-laki
jantan, maka ia akan bertanggung jawab dan tidak membiarkan Wulan menjadi istri
orang lain. Mungkin hal itu disengaja pula untuk menghindarkan diri dari
keharusan bertanggung jawab. Agaknya Wulan telah bersepakat pula menjerat
leherku.”
“Tetapi aku menyesal,”
tiba-tiba Rara Wulan memotong, “aku menyesal bahwa hal itu terjadi. Karena itu
maka aku akan rela dibunuh. Nah, Kakang, kalau keputusanmu memang ingin
membunuhku, kenapa kau akan membatalkannya?”
“Begitu, begitu yang kau
maksud?” tiba-tiba darah Arya Teja meluap sekali lagi. Sehingga tanpa
disadarinya ia melangkah maju dengan tangan gemetar. Kerisnya masih juga berada
di dalam genggemannya.
“Jangan gila,” teriak bibinya,
“kalian berdua memang gila.”
Sekali lagi Arya Teja
tertegun, “Dengar kata-kataku!” bentak bibinya. Ternyata pengaruhnya besar
sekali atas Arya Teja, sehingga ia melangkah surut.
“Tidak patut kalian berbuat
begitu,” berkata bibinya pula, “kalian harus menemukan penyelesaian
sebaik-baiknya, sebagamana penyelesaian yang dituntut oleh manusia beradab.”
“Kami sama-sama laki-laki,
Bibi. Itu adalah penyelesaian yang paling baik dan adil,” geram Arya Teja, “aku
tidak melihat jalan lain. Sekarang sebutkan laki-laki itu, he?”
Rara Wulan masih terduduk
diam. Pertanyaan yang demikian, benar-benar telah menguncangkan dadanya.
Seandainya ia menjawab
berterus terang, maka ia yakin, pasti akan terjadi pertumpahan darah dan bahkan
kematian seperti yang dikatakan oleh Arya Teja. Membunuh atau dibunuh. Rara
Wulan tahu pula, bahwa laki-laki yang ditanyakan oleh Arya Teja itu pun pasti
akan berkata begitu pula. Membunuh atau dibunuh.
Penyesalan yang paling dalam
telah menyesak di dada Rara Wulan. Sebenarnya penyesalan itu datang sejak peristiwa
itu terjadi. Peristiwa yang seakan-akan berlangsung di luar sadarnya, pada saat
iblis datang menghuni hatinya tanpa dapat dilawannya. Karena itu, maka tidak
ada lain yang diharapkannya kini, selain mati. Mati. Bahkan telah timbul pula
hasratnya untuk membunuh diri. Tetapi alangkah baiknya, apabila ia mati di
tangan Arya Teja. Mungkin hal itu akan dapat memberi sedikit kepuasan kepada
suaminya yang telah dikhianatinya itu.
Maka sejenak kemudian,
terdengar Rara Wulan berkata, “Kakang, aku tidak akan mengatakan, siapakah
laki-laki itu. Timpakan semua kesalahan kepadaku, karena memang akulah yang
paling bersalah dalam hal ini. Semuanya tidak akan terjadi, seandainya aku
tidak menyurukkan diriku sendiri ke dalam lumpur yang paling hina. Bagiku
penyelesaian yang paling baik adalah bunuhlah aku.”
“Perempuan celaka!” potong
bibi Arya Teja. “Kau benar-benar tidak tahu diri. Bunuhlah dirimu sendiri
seandainya kau ingin. Tetapi tunggulah bayi di dalam perutmu itu lahir dan
berkesempatan hidup. Tak ada hak dari siapa pun juga untuk membunuh nyawa yang
sama sekali tidak bersalah itu. Semua hukuman harus ditimpakan dan ditanggung
oleh mereka yang berbuat salah, tetapi tidak pada nyawa itu.”
Seperti juga Arya Teja, maka
hati Rara Wulan pun tersentuh pula. Apalagi sebagai seorang perempuan yang
langsung menyimpan nyawa itu di dalam dirinya. Karena itu, maka kini
kebingungan yang dahsyat telah melanda, jantungnya. Ia ingin mati, tetapi
peringatan bibi Arya Teja telah membuatnya bimbang. Apabila semula ia telah
pasrah tanpa ragu-ragu menghadapi saat-saat kematian yang memang sudah
diharapkannya, tetapi kini ia mulai bimbang. Nyawa yang ada di dalam dirinya
tidak hanya nyawanya sendiri saja. Tetapi ia pun sedang menyimpan nyawa bayi di
dalam perutnya itu.
Dalam keheningan itu terasa,
betapa udara bilik itu seperti dipanggang di atas api. Hening, tetapi tegang
dan panas.
Sejenak kemudian terdengar
suara Arya Teja parau, “Wulan. Jangan memperlambat persoalan. Katakan siapa
laki-laki itu? Aku akan membuat penyelesaian.”
“Jangan dengan cara itu,” bibi
Arya Teja berkata, “kau harus mendapatkan cara yang baik. Cara yang beradab.
Kalian bukan manusia-manusia liar yang hanya mengenal cara penyelesaian yang
serupa itu, darah.”
Dada Arya Teja berdentangan
mendengar kata-kata bibinya. Kalau semula bibinya berhasil meredakan maksudnya
untuk membunuh Rara Wulan, tetapi kini nafsu Arya Teja untuk membuat
perhitungan dengan laki-laki yang dianggapnya telah menghinanya itu sama sekali
tidak surut. Bahkan dengan gemetar ia berkata, “Tidak ada pilihan lain, Bibi.
Bukankah Bibi sendiri berkata, bahwa aku tidak sepantasnya membunuh Rara Wulan,
tetapi aku dapat berbuat begitu kepada orang yang menaburkan benih di
ladangku.”
“Tetapi bukan maksudku, Arya,”
berkata bibinya, “aku hanya ingin mencegahmu membunuh Rara Wulan dan bayinya.”
“Itu adalah keputusanku,”
geram Arya Teja. Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Wulan, sebutkan nama itu.
Sebutkan.”
Dada Arya Teja berdentang
ketika ia melihat Rara Wulan menggelengkan kepalanya yang tunduk, “Aku tidak
dapat mengatakannya, Kakang.”
“He,” mata Arya Teja kini
seolah-olah menyala, “sebutkan! Sebutkan! Kau hanya menyebutkan saja nama itu.
Penyelesaiannya ada di tanganku.”
Air mata Rara Wulan kini
menderas lagi. Dan bahkan seolah-olah ia tidak dapat lagi bernafas oleh isaknya
yang menyesak di dada. Tetapi sekali lagi ia menggelengkan kepalanya.
“Wulan. Wulan. Kau tidak mau
menyebutkan he?” Arya Teja tiba-tiba berteriak penuh kemarahan. Dihentakkannya
kakinya di lantai. Sambil menunjuk kepala istrinya dengan ujung kerisnya ia
berkata, “Kau ternyata penghianat yang paling jahat. Kau sengaja menyembunyikan
laki-laki di belakang pinjungmu. He, kalau aku laki-laki itu, maka alangkah
malunya. Kalau aku menjadi laki-laki itu, akulah yang akan membunuh diri. Bukan
sekedar bersembunyi dan bahkan mengorbankan nyawa seorang perempuan dan bayi di
dalam kandungannya.”
Kata-kata itu serasa langsung
menusuk jantung Rara Wulan. Bagaimanapun juga, penghinaan Arya Teja terhadap
laki-laki yang pernah membuat sentuhan langsung di hatinya itu, membuatnya
berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri
menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya semuanya tertuang lewat air matanya.
“Wulan, apakah kau benar-benar
sudah menjadi bisu he?” Arya Teja menjadi semakin marah dan berteriak-teriak.
“Arya Teja,” berkata bibinya,
“hentakan perasaan di dadamu memang terlampau berat. Sekarang, marilah
tinggalkan bilik ini, Ngger. Beristirahatlah. Kau akan menemukan ketenangan.
Dalam ketenangan itulah kau baru mengambil sikap. Kalau sekarang kau menentukan
cara penyelesaian itu, maka kau akan salah jalan. Kau sekarang tidak dikuasai
oleh pikiran dan nalar, tetapi kau sedang dikuasai oleh perasaan. Perasaanmu
yang lagi gelap.”
“Tidak, Bibi. Aku harus
mendengarnya sekarang. Apakah aku akan bersikap sekarang, hal itu dapat
dipikirkan kemudian. Tetapi nama itu harus aku dengar sekarang. Nama laki-laki
licik yang hanya berani berperisai nyawa seorang perempuan, sehingga laki-laki
betina itu tidak lebih dari seorang pengecut besar.”
Ternyata kata-kata itu telah
menggugah sebuah hati. Betapa seseorang menahan diri, namun penghinaan itu
tidak dapat dibiarkannya. Karena itu, maka seorang laki-laki yang selama ini
mendengarkan pembicaraan itu dari balik dinding di luar rumah, tidak dapat lagi
menahan gejolak perasaannya pula.
Sejak beberapa lama ia
mendengarkan pembicaraan Arya Teja dan istrinya di dalam biliknya.
Kadang-kadang ia terpaksa menahan nafasnya, namun kadang- kadang ia terpaksa
menggeretakkan giginya.
Ia tidak mempedulikan satu dua
orang pembantu di dalam rumah itu memperhatikannya dari kejauhan.
Pembantu-pembantu rumah itu memang sudah mengenalnya, karena ia sering pula
datang berkunjung menemui Arya Teja sebelum kawin dengan Rara Wulan.
Pembantu-pembantu yang
melihatnya pun sama sekali tidak menegurnya. Mereka menyangka, bahwa orang itu
akan berkunjung seperti biasa, tetapi ketika didengarnya Arya Teja sedang
bertengkar dengan istrinya, maka ia menunggunya saja di luar. Sedang para
pembantu itu tidak tahu apakah yang sebenarnya dipertengkarkan. Mereka hanya
mendengar suara Arya Teja hampir berteriak. Pembantu-pembantu itu menjadi
ketakutan, karena sebelum itu mereka tidak pernah melihat atau mendengar Arya
Teja bersikap kasar, meskipun kadang-kadang dapat juga bersikap keras.
Tetapi orang itu sebenarnya
sama sekali tidak sedang menunggu sampai pertengkaran itu reda. Pertengkaran
itu sendiri telah membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya. Ialah yang
melihat Arya Teja berjalan dengan tergesa-gesa dan kemudian mengikutinya.
Terasa ada sesuatu yang tidak wajar pada pemuda yang baru saja kawin itu.
Ternyata apa yang disangkanya
itu benar-benar terjadi. Ia mendengar pertengkaran itu. Ia mendengar Arya Teja
bahkan mengancam untuk membunuh istrinya, dan kini Arya Teja sedang mendesak
Rara Wulan untuk menyebut nama laki-laki yang dianggapnya telah
mengkhianatinya.
Dada orang itu menjadi
berdebar-debar ketika ia mendengar bahwa Rara Wulan berkeras hati untuk tidak
menyebut nama laki-laki itu. Tetapi darahnya segera mendidih ketika ia
mendengar penghinaan Arya Teja atas laki-laki itu.
“Hem, apakah aku akan berdiam
diri saja?” desisnya di dalam hati.
Sebuah pergolakan telah
terjadi di dadanya. Pergolakan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sejak
Arya Teja menghunus kerisnya, ia telah berdiri dalam kebimbangan. Apakah ia
akan turut mencampurinya? Tetapi sebelum ia mendapat keputusan, ia melihat bahwa
bibi Arya Teja dengan tergesa-gesa memasuki rumah itu, dan ternyata perempuan
itu telah berhasil mencegahnya, sehingga dengan demikian, ia tidak perlu
mencampurinya. Tetapi ia tidak akan dapat terus menerus berdiam diri sambil
mendengarkan penghinaan yang tiada berkeputusan.
Kini sekali lagi ia mendengar
suara Arya Teja, “Kau tidak mau mengatakannya, Wulan? Baiklah. Simpanlah
rahasia itu di dalam dirimu. Aku sudah tidak berkeinginan untuk membunuh lagi.
Perbuatan itu hanya akan mengotori tanganku saja,” Arya Teja berhenti sejenak,
lalu, “Besok aku akan membuat peryataan terbuka. Setiap orang akan mendengar
apa yang telah terjadi atasmu, sampai saatnya seorang laki-laki berani
menampilkan dirinya, dan mengaku bahwa ia telah melakukannya.”
Sebuah hentakan yang keras
telah menggoncangkan dada Rara Wulan. Ancaman itu benar-benar telah membuat
cemas dan ketakutan, sehingga terdengar suaranya terpatah-patah di sela tangis
dan isaknya. “Oh, kau terlampau kejam, Kakang. Kenapa kau tidak mau membunuh
aku saja daripada kau membuat aku malu tiada taranya.”
“Laki-laki itulah yang
bersalah,” sahut Arya Teja, “kecuali kau bersedia menyebut namanya.”
Betapa hati Rara Wulan
benar-benar tersiksa saat itu. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa
kekhilafannya yang sesaat itu benar-benar telah mematahkan hari depannya,
bahkan jauh lebih mengerikan daripada mati.
“Aku beri kau waktu,” berkata
Arya Teja, “apabila sampai fajar besok kau belum juga mau mengatakannya, maka
aku akan melakukannya. Aku akan membunyikan kentongan memanggil setiap orang di
dalam padukuhan ini, yang sebentar lagi akan menjadi tanah perdikan yang
sempurna. Aku akan sesorah dan mengatakan apa yang telah terjadi atas seorang
perempuan yang bernama Rara Wulan.”
“Kakang,” Rara Wulan memekik.
Tetapi suara itu hilang
ditimpa oleh suara Arya Teja yang lebih keras, “Sudah menjadi keputusanku.”
“Oh,” tangis Rara Wulan
menjadi semakin keras. Kini kepalanya ditelungkupkan di lantai. Rambutnya yang
hitam panjang berserakan dengan kusutnya.
Arya Teja masih berdiri tegak
dengan sehelai keris di tangannya. Dadanya masih terasa membara dan sorot
matanya masih memancarkan perasaannya yang bergolak. Sedang bibinya berdiri
kebingungan tanpa dapat berbuat sesuatu. Arya Teja sama sekali tidak mau lagi
mendengarkan nasehatnya.
Sebagai seorang perempuan, ia
kemudian menjadi iba melihat Rara Wulan. Tanpa disadarinya ia melangkah maju.
Dibelainya kepala perempuan itu sambil berkata, “Sudahlah, Wulan. Semuanya
sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali. Tetapi jalan yang akan kau tempuh
kelak, janganlah mengulangi apa yang telah terjadi, meskipun dalam bentuk yang
berbeda. Kini yang terjadi hanyalah akibat dari perbuatan yang sudah terlanjur
itu. Memang pasti akan terasa pahit. Tetapi kalau kau sudah maju setapak lagi
dan kau atasi kepahitan ini, kau mudah-mudahan akan mendapat ampun dari Yang
Maha Kuasa dan mendapat hati yang terang.”
Tetapi Rara Wulan tidak
menyahut. Bahkan tangisnya menjadi semakin keras.
Dalam saat yang demikian
itulah, Arya Teja terperanjat. Ia mendengar langkah tergesa-gesa mendekati
pintu bilik. Semakin lama semakin dekat. Sejenak kemudian dadanya berdesir
tajam. Dilihatnya seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Seorang laki-laki
yang memancarkan api kemarahan lewat matanya yang tajam, setajam mata burung
hantu, seorang laki-laki yang hidungnya melengkung seperti paruh burung betet,
berkumis dan beralis tebal.
Bukan Aria Teja saja yang
ternyata terkejut bukan buatan. Tetapi bibinya pun terkejut, ketika tiba-tiba
saja ia melihat laki-laki itu. Ketika ia melihat mata yang seolah-olah
memancarkan nyala api. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Rara Wulan.
Ketika ia mengangkat wajahnya, dan melihat laki-laki itu, maka darahnya serasa
berhenti mengalir.
“Kau,” suara yang parau itu
tersekat di kerongkongannya.
Laki-laki itu sama sekali
tidak mengacuhkannya. Tetapi ia berdiri tegak seperti tiang-tiang rumah itu.
Arya Teja bergeser setapak.
Mereka, kedua laki-laki itu kini berdiri berhadapan. Namun belum sepatah kata
pun yang meluncur dari mulut-mulut mereka.
Meskipun demikian, mata
merekalah yang seakan-akan berbicara. Arya Teja seolah-olah menangkap kata-kata
itu. Dan telinga hatinya segera menterjemahkannya. Seakan-akan laki-laki itu
berkata, “Akulah yang telah berbuat.”
Arya Teja menggeram. Dari
sela-sela bibirnya kemudian terucapkan sepatah kata, “Paguhan.”
Laki-laki yang berdiri di muka
pintu itu masih belum menjawab. Tetapi kata-kata Arya Teja itu telah menyentuh
dadanya setajam ujung keris yang masih digenggamnya.
Namun kedua laki-laki itu
kemudian berpaling ketika mereka mendengar Rara Wulan berteriak, “Pergi, pergi
kau iblis yang paling jahat! Pergi, pergi!”
Tetapi laki-laki yang bernama
Paguhan itu tidak beranjak dari tempatnya.
“Pergi, pergi!” perempuan itu
menjadi semakin berteriak-teriak. Dipukulkannya tinjunya bertubi-tubi pada
lantai yang basah oleh air matanya, “Pergi, pergi kau!”
Paguhan masih berdiri tegak.
Sejenak kemudian terdengar suaranya seakan-akan bergulung-gulung diperutnya,
“Tidak, Wulan. Aku tidak akan pergi. Aku bukan laki-laki pengecut yang
bersembunyi di balik pinjungmu. Aku adalah laki-laki yang mempunyai harga
diri.”
“Bagus,” Arya Tejalah yang
menyahut, “aku hormati kau karena kejantanan itu. Kita adalah laki-laki yang
masing-masing mempunyai harga diri.”
“Pergi, pergi!” Rara Wulan
menjadi semakin memekik-mekik.
“Tidak ada jalan lain,”
berkata Arya Teja, “kau atau aku yang binasa.”
“Kau atau aku,” Paguhan itu
mengulang, “bukankah itu jalan yang paling adil?”
“Ya.”
Dan pembicaraan itu terputus
ketika Rara Wulan menjerit tinggi, “Pergi, pergi!” lalu tangisnya melonjak
semakin keras. Dari sela-sela suara tangisnya terdengar kata-katanya, “Aku
tidak mau melihat peristiwa itu terjadi. Akulah yang bersalah. Bunuhlah aku. Bunuhlah
aku.” Suara Rara Wulan menjadi semakin meninggi. Tiba-tiba ia kemudian diam.
Diam, Rara Wulan jatuh pingsan.
Bibi Arya Teja kemudian
menjadi sibuk. Diusap-usapnya dahi perempuan itu. Sesaat kemudian ia berlari ke
belakang mencari minyak kelapa untuk menggosok telinga dan dada Rara Wulan.
Arya Teja dan Paguhan masih
berdiri di tempatnya. Mereka hanya mengikuti kebingungan bibi Arya Teja dengan
mata mereka.
“Arya Teja,” berteriak
bibinya, “apa kau menunggu sampai istrimu ini mati. Berbuatlah sesuatu.
Berbuatlah sesuatu.”
Tetapi Arya Teja tidak
beranjak dari tempatnya. Ia sama sekali tidak bergerak ketika ia melihat
beberapa orang pelayannya berlari-lari menolong bibinya mengangkat Rara Wulan
ke atas pembaringan di bilik yang lain. Namun hati para pelayan itu bergetar
ketika mereka melihat di tangan Arya Teja tergenggam sehelai keris.
Tetapi para pelayan itu
menjadi agak tenang, karena mereka tidak melihat setitik darah pun di tubuh
Rara Wulan.
Dalam kesibukan itu, terdengar
Paguhan berkata, “Arya Teja, aku menunggumu. Aku memang ingin membuat
penyelesaian itu. Aku tunggu kau di bawah Pucang Kembar. Bulan hampir bulat di
langit. Supaya kau mendapat kesempatan merawat isterimu, maka aku memberimu
waktu sampai purnama penuh.”
“Aku tidak memerlukan waktu
itu. Aku tidak akan merawat siapa pun. Apalagi orang yang telah mengkhianati
aku.”
“Terserah kepadamu. Tetapi aku
akan berada di bawah Pucang Kembar pada saat purnama naik, dua hari yang akan
datang. Aku tidak dapat berbuat dalam suasana seperti ini. Aku ingin Wulan
sembuh dan sehat.”
“Kalau kau mau mengurusnya,
uruslah perempuan yang telah kau nodai itu. Aku tidak memerlukannya.”
“Masih belum waktunya Arya.
Sesaat setelah aku membunuhmu di bawah Pucang Kembar, aku memang akan
melakukannya.”
“Baik. Dua hari yang akan
datang, tepat pada saat purnama naik, aku telah berada di bawah Pucang Kembar.”
Paguhan tidak menyawab. Dengan
wajah yang tegang ia memandangi Rara Wulan yang terbaring di pembaringan di
bilik sebelah lewat lubang pintu lereg yang tidak tertutup.
Sejenak kemudian dengan
langkah tergesa-gesa ditinggalkannya rumah itu. Langkahnya panjang dan cepat.
Tanpa berpaling lagi ia turun dari pendapa dan melintasi halaman rumah Arya
Teja. Sejenak kemudian ia telah hilang di balik regol.
Arya Teja masih berdiri di
tempatnya seakan-akan sebuah patung. Dadanya bergelora seperti sedang terbakar.
Sama sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah mendorongnya ke
dalam kepahitan hidup itu adalah Paguhan, kawan yang terlampau dekat yang
selama ini dianggapnya sebagai seorang anak muda yang baik.
Tetapi ternyata yang terjadi
adalah neraka yang paling terkutuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menggeram,
“Dua hari lagi. Kalau Paguhan tidak ingkar, maka aku atau anak itu yang akan
mati.”
Arya Teja tersadar ketika ia
melihat bibinya masuk ke dalam bilik itu. Dilihatnya wajah yang tua itu telah
basah pula oleh air matanya. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu, namun
kemudian, ia melangkah mendekati kemanakannya sambil bertanya, “Kau telah
bersepakat untuk melakukan perang tanding?”
Arya Teja menganggukkan
kepalanya, “Ya bibi. Nanti apabila purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan
melakukannya di bawah Pucang Kembar.”
Bibinya termenung sejenak.
Lalu katanya, “Aku tidak mengerti bahwa kau lebih senang memilih jalan itu
daripada cara yang lain.”
“Aku tidak melihat cara yang
lain itu,” sahut Arya Teja.
Bibinya terdiam. Langkahnya
yang berat telah membawanya ke atas amben bambu. Sambil menarik nafas
dalam-dalam diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu.
Sejenak mereka berdua saling
berdiam diri. Arya Teja masih berdiri kaku dengan keris di tangan.
“Istrimu sudah sadar,” berkata
bibinya kemudian “tetapi ia mengalami kejutan yang luar biasa.”
Arya Teja acuh tak acuh saja
mendengar keterangan bibinya tentang Rara Wulan. Seandainya perempuan itu mati
sekalipun ia tidak akan berkeberatan.
“Ia menyeyali segala dosanya,”
berkata bibinya lebih lanjut.
Arya Teja masih berdiam diri.
“Arya,” berkata bibinya, “aku
berpendapat bahwa Rara Wulan bukanlah seorang perempuan yang jahat. Penyesalan
yang paling dalam telah mendorongnya untuk berputus-asa. Ia merasa bahwa
hidupnya sama sekali sudah tidak berarti lagi. Kesalahannya itu lelah
menyebabkannya malu melihat sinar matahari.”
“Oh,” Arya Teja menggeram,
“sebuah permainan yang sangat baik. Ternyata Rara Wulan dapat memainkan
peranannya dengan sempurna, sehingga Bibi menjadi iba kepadanya. Tetapi apakah
aku harus menerima penghinaan itu?”
“Arya Teja. Kau harus tahu,
apakah sebabnya hal yang serupa itu dapat terjadi? Kau tidak boleh melihat
persoalan itu hanya sepotong. Sepotong yang membuatmu menjatuhkan hukuman yang
paling berat atas istrimu. Kau harus melihat keseluruhan dari persoalannya.
Peristiwa yang mendahuluinya dan yang kemudian mendorongnya melakukan perbuatan
itu.”
“Bibi, Rara Wulan dan Paguhan
dapat saja menyusun seribu macam alasan. Tetapi akibatnya sama saja buatku. Aku
menerima sampah yang telah dilemparkan oleh Paguhan ke pawuhan. Bibi, aku tidak
dapat. Aku tidak dapat menerimanya.”
Bibinya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya “Ya, Ngger. Aku tahu dan aku dapat mengerti perasaanmu.
Tetapi kau harus mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan dosa istrimu.
Sebagai manusia ia dapat dilibat oleh nafsu tang tidak dimengertinya sendiri.
Tetapi yang terpenting kau ketahui, bahwa ia menyesali apa yang telah terjadi
sampai ke pusat hatinya. Menyesal dan bertaubat.”
“Apakah artinya sesal itu
baginya? Seandainya ia tidak bertaubat sekalipun, ia tidak akan dapat mengulanginya
lagi. Ia tidak akan mendapatkan masa-masa gadisnya dan melakukan hal yang
serupa. Bahkan seandainya itu dikehendakinya sendiri.”
Bibinya menarik nafas
dalam-dalam. Sebagai seorang yang telah lanjut usia, ia dapat mengerti perasaan
yang bergolak di dalam dada kemanakannya. Itulah sebabnya, ia kemudian berdiam
diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang demikian Arya Teja pasti sulit
untuk diajak berbicara.
“Aku masih mempunyai waktu dua
hari lagi sebelum purnama naik. Mudah-mudahan aku dapat mengurungkan cara
penyelesaian yang mengerikan itu,” berkata bibinya di dalam hati. “Penyelesaian
yang demikian tidak akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagi yang
memenangkannya. Hubungan dengan Rara Wulan tidak akan terselesaikan. Bagi Rara
Wulan, penyelesaian itu adalah cara yang akan menyiksanya sepanjang hidupnya.
Siapa pun yang kalah, ia merasa kehilangan. Kalau Arya Teja yang kalah, dan
mati dalam perkelahian itu, ia akan kehilangan suaminya. Tetapi, kalau Arya
Teja berhasil memenangkannya, dan Paguhan terbunuh, maka bayi di dalam
kandungan itu akan kehilangan bapanya.”
Tetapi bibi Arya Teja itu
tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu. Arya Teja sama sekali tidak dapat
diajaknya berbicara. Kemanakannya itu sedang dikuasai oleh gejolak perasaan
yang dahsyat sekali.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Ruangan itu menjadi sepi, tetapi terasa ketegangan telah menyesak di dada
masing-masing. Lamat-lamat mereka masih mendengar isak tangis Rara Wulan di
bilik sebelah ditunggui oleh pelayannya.
Dalam kesepian itu terdengar
suara bibi Arya Teja, “Arya Teja, sarungkanlah kerismu. Kau tidak memerlukannya
sekarang.”
Arya Teja menarik nafas.
Perlahan-lahan tangannya seolah-olah telah digerakkan oleh kekuatan yang tidak
dimengertinya menyarungkan kerisnya pada wrangkanya.
“Beristirahatlah dan cobalah
merenungkan apa yang telah terjadi dengan tenang. Jangan diburu oleh nafsu yang
bergejolak di dalam dirimu.”
“Akulah yang telah menjadi
korban nafsu itu, Bibi.”
Bibinya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah, Ngger. Meskipun demikian apakah salahnya kalau
kau mencoba melihat persoalan ini dari segala segi. Segi yang memberatkan namun
juga segi-segi lain, yang dapat meringankan dorongan kemarahanmu.”
“Tidak ada yang perlu aku
pertimbangkan lagi. Aku sudah memutuskan. Dua hari lagi, saat purnama naik, aku
akan membuat penyelesaian secara jantan.”
Mereka pun kemudian terdiam
pula. Ketika udara di dalam bilik itu terasa semakin sesak, maka Arya Teja pun segera
melangkah ke luar.
Saat-saat berikutnya adalah
saat yang paling menegangkan, seolah-olah waktu berjalan terlampau lamban.
Arya Teja seakan-akan
merasakan bahwa rumahnya telah menjadi tempat yang paling menyiksanya. Siang
dan malam ia seakan dipanggang di atas bara api. Ia sama sekali tidak mau lagi
masuk ke dalam ruang dalam rumahnya. Ia selalu berada di pendapa atau di
pringgitan saja.
Di dalam rumah itu Rara Wulan
ditunggui oleh bibi Arya Teja. Perempuan tua itu tidak sampai hati untuk
meninggalkannya dalam keadaan yang demikian. Selain Rara Wulan selalu dihantui
oleh kesalahannya sendiri, bibi Arya Teja itu mencemaskannya pula apabila
tiba-tiba saja perempuan itu membunuh dirinya. Karena itu, ia tidak mau
meninggalkannya.
Apabila malam kemudian tiba,
Arya Teja selalu memandangi bulan yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya
telah hampir bulat, namun malam purnama masih harus ditunggunya. Dan menunggu
kesempatan itu adalah pekerjaan yang paling menyakitkan hati.
Di hari kedua Arya Teja
benar-benar telah kehilangan kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung
barat, anak muda itu telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya yang
selama ini telah disimpan di atas geledegnya. Sebuah tombak pendek pemberian
ayahnya sebagai sipat kandel dalam kembaranya mengabdikan dirinya kepada
pimpinan kerajaan di Demak.
Arya Teja terkejut ketika ia
mendengar suara bibinya memanggilnya, “Arya Teja, apakah selama dua hari ini
kau tidak menemukan cara lain yang lebih baik daripada cara-cara orang biadab
itu?”
Arya Teja mengerutkan
keningnya. Kemudian jawabnya dengan nada yang dalam, “Tidak, Bibi. Aku tidak
memikirkan cara yang lain yang dapat aku lakukan.”
“Sebaiknya kau mempergunakan
mulutmu saja, Ngger. Tidak mempergunakan senjata itu.”
“Senjata ini lebih baik
daripada mulutku, Bibi. Dengan senjata ini semuanya akan segera selesai.”
“Tidak. Persoalannya tidak
dapat diselesaikan. Tetapi persoalan itu membeku karena salah satu pihak
terbunuh karenanya”
“Dan dengan demikian maka
tidak akan ada persoalan lagi.”
“Kau membohongi dirimu
sendiri, Arya. Persoalan itu akan bergolak di dalam dadamu. Justru lebih
dahsyat dan lebih sulit untuk kau selesaikan.”
Arya Teja menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan jalan lain.”
Bibi Arya Teja menjadi semakin
gelisah. Dicobanya sekali lagi untuk menjelaskan keadaan Rara Wulan. “Arya
Teja. Kau harus berjiwa besar menghadapi persoalan itu. Rara Wulan adalah
seorang manusia biasa yang dapat melakukan kekhilafan. Seperti kau, pasti pada
suatu waktu melakukannya. Aku, ayahmu, dan ibumu. Bahkan semua orang. Kini
istrimu telah benar-benar menyesali kekhilafan itu. Apakah tidak ada terbersit
di dalam hatimu untuk memaafkannya? Ia telah cukup tersiksa. Kelembutan sikapmu
selama ini benar-benar membuat Rara Wulan semakin merasa berdosa.” Bibinya itu
berhenti sejenak, lalu, “Apalagi apabila kau bersedia memaafkan kesalahannya,
Ngger. Maka tidak ada hukuman yang lebih berat lagi bagi Rara Wulan daripada
menerima maafmu.”
Arya Teja tidak menyahut.
Kata-kata bibinya itu terasa menyentuh hatinya. Namun kemudian teringat olehnya
janji yang telah diucapkannya, “Pada saat purnama naik, di bawah Pucang
kembar.”
“Tidak,” Arya Teja itu
tiba-tiba menggeram. “Tidak, Bibi. Aku adalah seorang laki-laki. Aku sudah
mengucapkan janji untuk melakukan perang tanding. Tidak ada yang dapat
mengurungkan niat itu.”
“Kau tidak mau mendengarkan
nasehatku, Arya. Bagaimanakah kira-kira apabila ayah dan ibumu mendengar hal
ini.”
“Ayah dan ibu pasti akan
membenarkan sikapku. Aku adalah anak laki-laki yang diharapkan bersikap
jantan.”
Bibinya menggelengkan
kepalanya, “Aku kira tidak, Arya.”
“Seandainya tidak, aku tidak
akan mengurungkan janji itu. Hari ini adalah hari yang kedua. Nanti apabila
purnama naik, aku harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”
Bibinya mengelus dadanya.
Tidak ada cara lagi untuk membujuk kemenakannya yang keras hati itu. Apabila
nanti malam tiba, maka di bawah Pucang Kembar itu akan terjadi pepati. Besok,
setiap orang pasti akan memperkatakannya apa yang terjadi. Apakah mereka akan
menemukan mayat Paguhan atau mayat Arya Teja. Namun keduanya adalah anak-anak
muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya.
Perempuan tua itu kemudian
menundukkan kepalanya. Arya Teja adalah anak muda yang keras hati. Ia mengenal
anak itu sejak dilahirkan oleh ibunya. Keras hati, nakal namun bertanggung
jawab. Harga dirinya tampak jelas sejak ia masih kanak kanak. Pada saat ia
menginjak dewasa, maka tampaklah bahwa Arya Teja akan dapat memenuhi kekudangan
orang tuanya. Berbeda dengan adiknya. Adiknya pun nakal seperti Arya Teja.
Tetapi adiknya kurang bertanggung jawab dan agak manja, sehingga perkembangan
wataknya pun berbeda pula.
Dan kini Arya Teja itu sedang
mengalami badai di dalam hidupnya sebagai seorang anak muda.
Selapis air tergenang di mata
perempuan tua itu. Dan ia terkejut ketika ia mendengar suara Arya Teja,
“Maafkan aku, Bibi. Kali ini aku tidak dapat memenuhi permintaan Bibi.”
Bibinya tidak menjawab. Tetapi
terasa sesuatu menyekat kerongkongannya. Apakah yang akan terjadi atas tanah
Menoreh seandainya Arya Teja malam nanti terbunuh oleh lawannya, meskipun ia
mati secara jantan?
Bibi Arya Teja itu mengangkat
wajahnya ketika kemenakannya berkata, “Bibi, matahari telah menjadi rendah,
hampir sampai ke punggung pegunungan itu. Aku minta doa Bibi, semoga, aku dapat
kembali ke rumah ini.”
Bibinya mengangguk, meskipun
ia berkata di dalam hatinya, “Lalu, apa yang akan kau temui di rumah ini adalah
bagian dari kepedihan hati itu pula Arya.”
Tetapi, bibinya tidak
menyatakannya. Disimpannya saja kata-kata itu di dalam hatinya. Ia tidak
mengharap Arya Teja menjadi semakin mendendam lawannya.
“Anak itu bukan seorang yang
ganas,” berkata bibinya di dalam hatinya, “mudah-mudahan demikianlah sikapnya
terhadap lawannya apabila ia berhasil menguasainya.” Namun kemudian dada,
perempuan itu berdesir. “Bagaimanakah yang akan terjadi seandainya Arya Teja
kalah dalam perang tanding itu?”
Mata perempuan tua itu menjadi
semakin basah.
“Sudahlah, Bibi,” terdengar
suara Arya Teja berat, “jangan hiraukan aku lagi. Apa pun yang akan aku lakukan
dan apa pun yang akan terjadi. Aku mohon maaf apabila aku telah melukai hati
Bibi.”
Bibinya tidak menjawab.
“Perkenankan aku pergi
sekarang. Aku harus berada di bawah Pucang Kembar itu sebelum purnama naik.”
Sebuah anggukan kecil
menggerakkan kepala perempuan tua itu. Terdengar suaranya lirih seolah-olah
tersangkut di kerongkongan, “Hati-hatilah, Arya.”
“Terima kasih, Bibi. Aku masih
ingin melihat matahari terbit besok pagi.”
Bibinya tidak menyahut.
Ditatapnya wajah kemenakannya dalam-dalam. Ketika kemenakannya itu kemudian
melangkah meninggalkannya, maka perempuan itu tidak dapat menahan perasaannya
lagi. Menangis. Justru karena itu, ia lupa kepada perempuan yang selama ini
dijaganya. Kini ia sedang bergulat dengan perasaan sendiri. Perlahan-lahan ia
pergi ke bilik kemenakannya dan meletakkannya dirinya, duduk di atas amben
bambu yang dibentangi oleh sehelai tikar pandan.
Arya Teja itu bukan anaknya
sendiri, tetapi anak adik perempuannya. Namun anak muda itu terlampau dekat
dengannya, seperti anak sendiri. Bahkan Arya Teja lebih banyak menyatakan
perasaannya kepada bibinya daripada kepada ibunya. Karena itu, maka kepergian
Arya Teja kali ini benar-benar menyedihkannya.
“Apakah anak itu akan
kembali?” desisnya.
Perempuan tua itu menangis di
dalam bilik kemenakannya Angan-angannya mengembara sampai ke dunia yang
terlampau asing baginya. Tetapi ia merasa bahwa kesepian telah mengintainya dan
siap untuk menerkamnya .
“Apakah aku harus
memberitahukannya kepada orang tua Arya Teja?” pertanyaan itu sekali-kali
menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak berani mengambil sikap apa pun. Apakah hal
itu akan menguntungkan, atau bahkan sebaliknya? Bagaimanakah apabila orang tua
Arya Teja itu mengambil sikap sendiri, dan mengurungkan perkelahian itu dengan
kekerasan pula terhadap Paguhan. Dengan demikian maka perasaan Arya Teja yang
sedang terbakar itu akan tersinggung pula. Karena itu, maka yang dapat
dilakukannya adalah menangis dalam kebimbangan dan keragu-raguan.
Sementara itu, Arya Teja
berjalan dengan kepala tunduk menyusuri jalan-jalan padukuhannya. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang tombak pendek, pusaka pemberian ayahnya yang
selama ini selalu menemaninya di dalam keadaan yang paling sulit. Di dalam masa
pengabdiannya kepada Demak, sehingga ia mendapat anugerah Tanah Perdikan yang
lebih sempurna bagi Menoreh.
Beberapa orang yang
menyaksikannya bertanya-tanya di dalam hati mereka, “Kemanakah Arya Teja itu
akan pergi? Langkahnya tampak tergesa-gesa sedang tangannya menjinjing
senjata.”
Tetapi, tidak seorang pun yang
bertanya kepadanya. Bahkan, orang-orang yang ditemuinya di perjalanannya,
bahkan hampir bersentuhan, tidak dihiraukannya. Di dalam kepalanya bergolaklah
persoalan tentang dirinya dan istrinya, dalam hubungannya dengan laki-laki yang
bernama Paguhan. Semakin tajam ia menyoroti persoalan itu, maka kemarahannya
pun menjadi semakin membakar jantungnya. Sehingga langkahnya menjadi semakin
cepat pula. Ia ingin segera sampai ke bawah Pucang Kembar. Di sana ia telah
mengikat janji untuk menyelesaikan masalahnya secara jantan.
Namun sekali-sekali terngiang
pula kata-kata bibinya, “Tidak ada hukuman yang lebih berat bagi Rara Wulan
daripada menerima maafmu.”
Dada Arya Teja itu terasa
berdesir. Tetapi semuanya segera terusir seperti asap dihembus angin yang
kencang. Kemarahannya selalu menyapu semua perasaan lain yang tumbuh di dalam
hatinya.
Semakin dekat Arya Teja dengan
sepasang pohon pucang yang tumbuh di lereng pebukitan, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Langkahnya terasa terlampau lamban. Ingin ia meloncat dan
langsung berdiri di bawah Pucang Kembar sambil memutar tombaknya. Ia ingin
segera mendapat keputusan.
Meskipun Arya Teja menjadi
hampir tidak sabar lagi, namun akhirnya ia sampai juga di bawah Pucang Kembar
itu. Ketikia menengadahkan wajahnya ke langit, dilibatnya warna-warna merah
terbentang dari ujung sampai ke ujung. Matahari telah menjadi semakin rendah
bertengger di atas pegunungan.
“Hem,” desisnya “aku masih
harus menunggu. Apabila matahari itu tenggelam, maka sebentar kemudian purnama
akan naik. Dan aku harus membuat perhitungan terakhir.”
Dengan gelisahnya Arya Teja
berjalan mondar-mandir di tanah berumput yang membentang di bawah Pucang Kembar
itu. Semakin rendah matahari di langit, Arya Teja pun menjadi semakin
kehilangan kesabarannya.
Tetapi Paguhan masih juga
belum menampakkan dirinya.
“Mudah-mudahan ia tidak ingkar
janji,” desis Arya Teja. “Kalau Paguhan tidak datang pada saat purnama naik,
maka aku akan mencarinya kemana pun, sampai ke ujung bumi. Aku tidak mau
membatalkannya lagi.”
Arya Teja mencoba menyabarkan
dirinya. Matahari masih tampak tepat di punggung bukit. Perlahan-lahan sinarnya
menjadi kian pudar Warna-warna merah di langit pun menjadi semakin suram.
Sedang angin senja yang lemah berhembus membelai daun sepasang pucang yang ikut
terguncang-guncang dengan gelisahnya.
Arya Teja berdiri tegak
seperti patung di antara kedua batang Pucang Kembar itu menghadap ke barat.
Ditengadahkan wajahnya memandang matahari yang hampir tenggelam, seolah-olah dihitungnya
waktu yang diperlukan oleh matahari itu untuk menyembunyikan dirinya di balik
bukit.
Cahaya kemerah-merahan yang
semakin gelap hinggap di wajah Arya Teja. Perpaduan antara warna senja yang
hampir kelam dan wajah Arya Teja sendiri yang tegang, memancarkan suasana yang
mendebarkan jantung.
Dengan sorot mata yang tajam,
Arya Teja seolah-olah ingin mendorong agar matahari menjadi semakin cepat
tenggelam. Kesabarannya kian lama sudah menjadi kian menipis.
Ketika matahari kemudian
hilang di balik pegunungan, Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Alam di
sekitarnya menjadi samar-samar. Pepohonan yang hijau tampak menjadi hitam
seperti bayangan hantu yang berdiri memutari bentangan tanah berumput di bawah
pohon Pucang Kembar itu.
Wajah Arya Teja yang gelap
menjadi semakin gelap. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan berdiri tegak
menghadap ke timur. Tatapan matanya yang tajam kini hinggap pada cakrawala di
ujung langit. Di sanalah nanti pada saatnya purnama akan naik.
Arya Teja menjadi hampir tidak
bersabar lagi. Langit yang menjadi semakin kelam kini mulai diwarnai oleh
cahaya yang ke kuning-kuningan. Cahaya purnama yang memancar seolah-olah dari
bawah bumi. Purnama yang sebentar lagi akan naik dan mengapung di langit yang
bersih.
“Tidak ada sepenginang lagi,
purnama akan naik,” anak muda itu berdesis. Dadanya kini menengadah,
seakan-akan menantang cahaya purnama yang pertama kali akan mematuknya.
“Paguhan harus sudah berada di
tempat ini,” katanya di dalam hati.
Belum lagi ia sempat
mengedarkan pandangan matanya, terasa dadanya berdesir. Ia mendengar langkah
halus di rerumputan di sampingnya. Tetapi Arya Teja tidak berpaling. Ia masih
tetap berdiri tegak dengan kaki renggang, menanti bulan yang sudah mulai
terbit. Seleret warna kuning menyembul dari balik kaki langit, di sebelah
timur. Cahayanya yang kuning dengan serta-merta menguak kehitaman yang
membentang menyelubungi bumi. Semakin lama menjadi semakin terang. Meskipun
tidak secerah sinar matahari, namun cahaya bulan memiliki wataknya sendiri.
Arya Teja masih memandang
purnama yang tepat naik. Ia mendengar telapak kaki semakin dekat kepadanya.
Tanpa berpaling ia bergumam, “Kau datang tepat pada waktunya, Paguhan.”
“Ya,” terdengar jawaban dalam
nada yang berat, “aku tidak mempunyai waktu sebanyak waktumu yang kau
sia-siakan di bawah Pucang Kembar ini dalam kegelisahan. Aku datang tepat pada
waktunya, dan segera akan pergi tepat pada waktu yang aku kehendaki pula.”
Dada Arya Teja berdesir
mendengar jawaban itu. Tetapi ia masih menghadap ke arah bulan yang semakin
terang. Dilihatnya sehelai awan yang putih mengalir ke utara, kemudian buyar
ditiup angin yang kencang.
Arya Teja menarik nafas
dalam-dalam. Tidak terasa olehnya betapa sejuknya angin malam di daerah
terbuka, karena hatinya yang membara.
Perlahan-lahan ia berpaling.
Dilihatnya Paguhan berdiri tegak di sisi sebatang dari sepasang pucang itu.
Dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan tampaklah wajahnya seolah-olah
memancarkan api dari dalam dadanya.
“Kau terlampau sombong,
Paguhan,” Arya Teja menggeram.
“Terserah menurut penilaianmu,
Arya. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan pembunuhan. Apalagi atas suami Rara
Wulan. Tetapi kau terlampau keras hati. Karena itu, apa boleh buat.”
“Apakah kau yakin bahwa kau
akan dapat membunuhku?”
“Tidak ada seorang pun yang
dapat lepas dari tanganku.”
“Hem, kau memang terlampau
sombong.”
“Jangankan kau, Arya, bawalah
serta ayah dan kakekmu. Aku akan membunuh mereka bersama-sama.”
Terdengar Arya Teja menggeram.
“Jangan sakit hati mendengar
kata-kataku,” berkata Paguhan “sebentar lagi kau harus melihat kenyataan itu.”
“Agaknya karena kau terlampau
yakin akan dirimu sendiri, kau telah melakukan perbuatan terkutuk itu.”
“Hampir tidak ada
hubungannya,” sahut Paguhan. “Kau sendiri harus mengakui kesalahanmu. Kau
tinggalkan gadis bakal istrimu itu dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam
kesempatan itulah, ia mencari tempat untuk melepaskan kesepiannya. Tetapi aku
bukan seorang pengecut, Arya. Kaulah pengecut itu. Seandainya kau tidak
mengikatnya jauh-jauh sebelum waktunya, maka aku akan mengawininya. Tetapi
pembicaraan antara orang tuamu dan orang tua Rara Wulan agaknya terlampau
mengikat, sehingga terpaksa perkawinanmu itu berlangsung. Tetapi bukan salahku
dan bukan salah Rara Wulan kalau kau tidak mendapatkan istrimu itu seperti yang
kau kehendaki.”
Terasa darah Arya Teja
mendidih di dalam jantungnya. Kata-kata Paguhan benar-benar merupakan
penghinaan yang tiada taranya. Justru karena itu, maka mulutnya menjadi seolah-olah
terbungkam. Meskipun bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah kata
pun yang melontar.
”Sekarang kau menepuk dada
sebagai laki-laki jantan,” Paguhan meneruskannya. “Arya, jangan kau sangka
bahwa karena kau baru saja menerima anugerah dari Demak, yang akan menempatkan
kau sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, tidak ada seorang pun di tanah ini
yang dapat mengimbangimu. Bukankah kita bersama-sama pergi berguru pada saat
itu, meskipun pada orang yang berbeda? Nah, seterusnya kau tenggelamkan dirimu
pada tugas-tugasmu. Tetapi aku masih selalu meningkatkan ilmuku. Sekarang, kita
mendapat kesempatan untuk memperbandingkan, siapakah yang lebih baik di antara
kita. Tetapi, sekali lagi kau harus melihat kenyataan, meskipun untuk saat
terakhir dalam hidupmu. Sepeninggalmu, Rara Wulan adalah istriku. Anak itu
adalah anakku.”
Terdengar gigi Arya Teja
gemeretak, seperti gemerak di dalam jantungnya. Semakin lama semakin keras.
Wajahnya yang membara menjadi semakin merah seperti saga.
Dengan susah payah, ia mencoba
menyabarkan perasaannya, supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri dalam
perkelahian yang akan terjadi.
Sejenak kemudian terdengar
suara Arya Teja terbata-bata, “Apa pun menurut perasaan dan penilaianmu atas
persoalan ini, Paguhan, tetapi kita telah menentukan, bagaimana kita akan
menyelesaikannya. Nah, jangan banyak berbicara lagi. Marilah kita lihat,
siapakah yang akan dapat keluar dari daerah ini. Siapakah yang besok masih
dapat menyebut bahwa malam ini kita telah berkelahi di bawah Pucang Kembar.”
“Huh,” ujung-ujung bibir
Paguhan tergerak, “kau memang seorang pemimpi. Baiklah, semakin cepat memang
semakin baik. Ayo, apakah kau telah bersiap? Besok orang-orang Menoreh akan
menemukan bangkaimu di sini. Mungkin tinggal kerangkamu saja yang akan
diketemukan orang, karena anjing-anjing liar itu.”
Seadainya Arya Teja tidak
berhasil menahan dirinya, ia akar benar-benar jatuh ke dalam pengaruh
kemarahannya, sehingga ia akan kehilangan kejernihan berpikir. Apabila
demikian, maka keadaannya pasti akan sangat berbahaya, sebab ia berhadapan
dengan seorang yang sebenarnya memang pilih tanding.
“Nah, apa katamu Arya Teja?
Kenapa kau berdiri saja seperti patung? Apakah kau menyesal bahwa kau telah
mengambil keputusan untuk melakukan penyelesaian dengan cara ini?”
Hampir saja Arya Teja meloncat
menyerang Paguhan. Tetapi ia masih sempat menahan diri sekuat-kuatnya. Justru
kini ia sadar, bahwa Paguhan memang sedang memancing kemarahannya. Sebab
kemarahan yang meluap-luap, akan membuatnya kehilangan perhitungan. Kesadaran
itulah yang justru menahan Arya Teja untuk tetap berdiri di tempatnya, meskipun
dadanya seakan-akan hampir meledak. Bahkan ia masih dapat mengucapkan
kata-kata, “Ayolah Paguhan. Apakah kau hanya pandai berbicara tanpa ujung
pangkal tetapi tidak pandai menggenggam senjata? Kita sudah tidak perlu
berbicara lagi. Apakah besok bangkaiku atau bangkaimu yang akan menjadi makanan
anjing-anjing liar, marilah kita tentukan dengan perbuatan. Tidak dengan
kata-kata.”
Dada Arya Teja berdesir ketika
ia mendengar Paguhan justru tertawa. “Kau agaknya menjadi ngeri membayangkan
apa yang akan terjadi atasmu. Jangan takut. Bukankah kau seorang laki-laki
jantan yang telah membawa nama cemerlang di dalam pengabdianmu kepada Demak?
Kau tidak perlu takut mati.”
“Apakah kau sedang mencoba
membuat aku marah dan kehilangan akal?” sahut Arya Teja. “Paguhan, aku sudah
bukan anak-anak lagi yang mudah kau bakar dengan kata-kata penghinaan. Kau akan
menjadi salah hitung. Sebaiknya kita berhadapan sebagai orang laki-laki, tanpa
banyak usaha untuk mengalahkan lawan dengan licik seperti yang sedang kau
lakukan. Kau tidak perlu membuat aku marah, karena sebenarnya aku memang sedang
marah. Tetapi kemarahanku bukan kemarahan anak-anak lagi.”
Dada Paguhan berdesir
mendengar kata-kata Arya Teja. Hampir-hampir ia sendirilah yang jatuh ke dalam
perangkapnya sendiri. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi
sejenak kemudian ia pun menyadari keadaannya.
Sekali, lagi ia tertawa dan
berkata, “Kau selalu berprasangka jelek. Baiklah, aku tidak akan berbicara lagi
tentang kemungkinan yang akan terjadi, supaya kau tidak menjadi ketakutan.
Marilah kita bersiap untuk menentukan siapakah di antara kita yang akan dapat
keluar dari daerah ini.”
Arya Teja sama sekali sudah
tidak bernafsu lagi untuk berbicara. Namun kini ia telah menemukan kemantapan
diri. Ia tidak boleh terpancing dengan cara apa pun juga, supaya ia dapat
melakukan perlawanan dengan wajar.
Perlahan-lahan ia mengangkat
tombaknya, dan perlahan-lahan ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Tombak
itu adalah tombak yang jarang sekali dipergunakannya. Namun kali ini ia akan
berhadapan dengan seorang yang dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari
anak-anak muda yang lain, sehingga tombak itulah yang dibawanya untuk
menemaninya melawan Paguhan yang telah berkhianat terhadap persahabatan mereka.
Paguhan yang menyadari bahwa
ia tidak dapat lagi membakar hati Arya Teja, segera bersiap pula. Dari
selongsong putihnya, ia mengambil sepasang senjata yang dahsyat sekali.
Sepasang nenggala, yang bermata dua, di pangkal dan di ujungnya.
Dada Arya Teja berdesir
melihat sepasang senjata yana mengerikan itu. Senjata yang khusus dimiliki oleh
Paguhan dari gurunya. Sepasang senjata di kedua tangannya itu berarti empat
ujung yang tajamnya melampaui senjata-senjata biasa.
“Apakah kau heran melihat
senjataku,” terdengar suara Paguhan datar.
Arya Teja menggeleng. “Tidak.
Kau pernah memperlihatkan kepadaku.”
“Oh,” Paguhan
mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku memang pernah memperlihatkan kepadamu.
Tetapi kau belum pernah melihat bagaimana aku mempergunakannya.”
“Aku ingin segera melihatnya,
karena itu jangan banyak berbicara.”
Sekali lagi dada Paguhan
berdesir. Tetapi sekali lagi ia bertahan untuk tidak masuk ke dalam
perangkapnya sendiri.
Sejenak kemudian, kedua anak
muda itu telah berdiri berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing.
Paguhan dengan sepasang senjata yang khusus, sedang Arya Teja menggenggam
tombak pendeknya dengan kedua tangannya. Ujung tombak itu kini menjadi semakin
merendah. Setapak ia maju mendekati Paguhan. Matanya yang tajam menyambar kedua
senjata itu berganti-ganti, namun kemudian ditatapnya mata Paguhan yang semakin
membara.
Arya Teja sadar bahwa ia tidak
akan dapat mengikuti sepasang senjata itu dengan matanya. Keduanya pasti akan
bergerak dengan arah dan irama yang berbeda. Tetapi Arya Teja tidak akan dapat
ditipu lagi oleh arah pandangan mata Paguhan. Pengalamannya telah cukup luas
menghadapi segala macam senjata. Juga jenis-jenis senjata berpasangan.
Bulan yang bulat telah
memanjat langit semakin tinggi. Cahayanya yang kekuning-kuningan memancar
mewarnai dedaunan yang hijau gelap. Satu-satu kelelawar berterbangan di dalam
kesenyapan langit yang cerah.
Arya Teja dan Paguhan telah
berdiri berhadapan. Senjata-senjata mereka telah bergetar. Beberapa langkah
mereka bergeser. Tetapi, tatapan mata mereka seolah-olah terpaku kepada lawan.
Mereka tidak boleh lengah sekejap pun.
Ketika di kejauhan terdengar
anjing liar menyalak bersahut-sahutan, maka anak-anak muda itu sudah tidak
dapat menahan diri lagi. Setapak mereka mendekat, dan tiba-tiba terdengar
Paguhan berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang hampir tidak tertangkap oleh
mata, telah membuka sebuah serangan yang langsung mengarah kepada lawannya.
Tetapi Arya Teja telah bersiap sepenuhnya. Dengan lincahnya ia bergeser
menghindar. Selangkah ia surut, namun kemudian tombaknya terjulur lurus mematuk
lambung lawannya.
Terdengar sebuah dencingan
yang keras. Kedua senjata anak-anak muda itu beradu. Terasa getaran yang tajam
merambat dari ujung senjata masing-masing ke telapak tangan mereka. Dan getaran
itu ternyata telah menggetarkan jantung mereka. Sehingga mereka masing-masing
berdesah di dalam hati, “Alangkah dahsyat tenaganya.”
Dengan demikian kedua
anak-anak muda yang sedang berkelahi itu dapat mengukur, betapa besar kekuatan
lawan. Mereka menyadari bahwa mereka masing-masing tidak lebih kuat dari lawan
mereka.
Paguhan yang bersenjata
rangkap itu bertempur seperti seekor naga berkepala empat. Mematuk dan
menyergap dari segenap penjuru. Sepasang senjatanya itu seakan-akan telah
berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan mata nenggala yang mengerikan
Tetapi lawannya adalah seorang
anak muda yang cukup matang mempergunakan tombaknya. Tombak bertangkai pendek
di tangan Arya Teja itu berputar bergulung-gulung seperti asap yang melindungi
dirinya. Asap yang menyebarkan racun yang terlampau tajam. Sentuhan asap itu
akan berakibat terlampau parah bagi lawannya.
Dengan demikian maka
perkelahian itu menjadi kian lama kian sengit. Bukan saja karena keduanya
adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata mereka
telah dibakar pula oleh dendam dan kebencian, sakit hati dan harga diri yang
berlebih-lebihan. Mereka sudah tidak dapat berpikir lain kecuali membinasakan
lawan masing-masing atau mati terkapar sebagai laki-laki jantan di bawah Pucang
Kembar itu.
Ketika angin yang kencang
bertiup dari utara, maka sepasang pucang itupun terayun-ayun seakan-akan ikut
serta menari, menarikan tarian maut, seperti yang sedang terjadi di atas
bentangan berumput di bawahnya.
Dalam kilauan cahaya bulan
yang memantul dari ujung-ujung senjata yang bergerak-gerak itu, kadang-kadang
terpercik bunga-bunga api yang meloncat karena benturan dua kekuatan yang tiada
taranya.
Sementara itu, di rumah Arya
Teja, bibinya masih duduk sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ia
tidak berpaling sama sekali ketika seorang pelayan menyalakan lampu di dalam
bilik yang sudah menjadi gelap itu.
Bayangan-bayangan yang paling
mengerikan telah menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat terjadi
atas kemanakannya itu.
Bibi Arya Teja itu
perlahan-lahan berdiri. Ia tidak mau datang kepada Rara Wulan dalam keadaannya.
Ia tidak mau memberikan kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya atas Arya
Teja. Karena itu, maka bibi Arya Teja itu tidak segera pergi ke bilik Rara
Wulan yang tertutup. Ia pergi dahulu ke perigi untuk mencuci mukanya.
Hati perempuan tua itu
berdesir ketika ia melihat bulan yang bulat mengapung di langit. Sejenak
dipandanginya bulan yang terang itu. Dilihatnya bayangan yang kehitam-hitaman
di dalam warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang dilukisi oleh
kecemasannya tentang kemanakannya telah membuat gambaran yang mengerikan pada
wajah bulan itu. Seakan-akan dilihatnya, di dalam bulatan bulan purnama,
sesosok tubuh terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seorang anak
muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan tua itu melihat warna wajah
anak muda itu.
Perempuan itu terkejut ketika
terloncat dari bibimya desah, “Arya Teja.”
Perempuan itu menarik nafas
dalam-dalam. Bayangan itu menjadi semakin samar. Hilanglah kemudian gambarannya
tentang Arya Teja. Yang dilihatnya kemudian adalah cerita tentang seekor kucing
Candramawa dan seorang bidadari yang cantik duduk di bawah sebatang pohon
beringin putih.
“Hem,” orang tua itu berdesah.
Kakinya yang sudah berkeriput oleh umurnya itu digerakkannya kembali melangkah
ke perigi. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot timba seakan
sedang merintih.
Perempuan tua itu mencuci
mukanya. Dicobanya untuk menghilangkan segala macam kesan yang dapat
menimbulkan kecemasan kepada Rara Wulan yang sedang berputus asa.
“Aku harus membuat hatinya
menjadi tenteram. Ia akan mendengar berita yang lebih menyayat hatinya besok
pagi apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di bawah sepasang
Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu.”
Sambil mengusap mukanya yang
basah dengan ujung kain panjangnya, perempuan itu berjalan tertatih-tatih
menuju ke bilik Rara Wulan yang masih tertutup rapat.
Ketika perempuan itu sudah
masuk ke dalam rumah, maka pintu lereg di butulan belakang pun segera
ditutupnya rapat-rapat, supaya angin yang dingin tidak menyusup masuk ke dalam.
Dibenahinya rambutnya yang kusut, sambil berjalan perlahan-lahan menuju ke bilik
Rara Wulan.
Dengan hati-hati bibi Arya
Teja itu mendorong daun pintu bilik itu ke samping, supaya seandainya Rara
Wulan masih tidur kelelahan, tidak menjadi terkejut karenanya.
Tetapi bibi Arya Teja itu
mengerutkan keningnya. Ketika pintu itu sudah separo terbuka, dan pembaringan
Rara Wulan itu sudah tampak di bagian bawahnya, perempuan tua itu tidak segera
melihat Rara Wulan.
“Oh, agaknya ia sudah bangun,”
desisnya.
Dengan hati-hati perempuan itu
menjengukkan kepalanya. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut. Ternyata
bilik itu telah kosong.
“Kemanakah perempuan itu?”
desis bibi Arya Teja. “Ah, mungkin ia baru keluar sebentar. Ke dapur atau ke
belakang.”
Bibi Arya Teja itu kemudian
melangkah masuk. Dibiarkannya pintu tetap terbuka, supaya kehadirannya tidak
mengejutkan Rara Wulan seandainya ia masuk kembali ke dalam biliknya.
Dengan hati-hati pula bibi
Arya Teja membenahi pembaringan Rara Wulan. Dilipatnya kain yang masih
berserak-serakan. Ditebahinya pembaringan itu dengan sapu lidi, dan tikar yang
berkerut pun diluruskannya.
“Kemana perempuan ini,”
pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Betapa ia mencoba menenangkan
hatinya, namun kegelisahan yang semakin dalam telah mencengkam jantungnya.
Akhirnya perempuan tua itu melangkah ke luar. Dicarinya Rara Wulan ke segenap
ruangan di dalam rumah itu, tetapi ia tidak menemukannya.
“Wulan,” akhirnya ia
memanggil, “Wulan, dimana kau?”
Tetapi tidak ada jawaban.
Suara perempuan tua itu membentur dinding-dinding bambu dan lenyap dalam
kesenyapan malam.
Bibi Arya Teja itu pun segera
pergi ke ruang belakang. Kepada seorang pelayan ia bertanya, “Apakah kau
melihat Rara Wulan?”
“Oh,” pelayan itu menjawab,
“ia berada di dalam biliknya”
“Tidak. Ia tidak ada di dalam
biliknya.”
“O ya, ia sudah dipindahkan ke
bilik sebelah. Mungkin sedang tidur. Bilik itu telah diberi lampu pula.”
“Ia tidak ada pula di dalam
bilik itu. Seluruh ruangan di dalam rumah itu telah aku cari, tetapi ia tidak
ada di dalam.”
Pelayan itu mengerutkan dahinya.
“Tetapi ia ada di dalam,” desisnya.
Pelayan yang lain yang
mendengar percakapan itu segera mendekat pula dan berkata, “Rara Wulan sedang
tidur ketika aku memasang lampu di dalam biliknya.”
“Ya, tetapi ia sudah bangun
dan tidak ada di dalam bilik itu.”
Pelayan itu menggigit
bibirnya. “Aku tidak melihat ia pergi ke belakang”
“Biarlah aku mencarinya
sebentar. Mungkin Rara Wulan ingin menyejukkan hatinya di petamanan atau di
kebun belakang,” berkata salah seorang dari pelayan itu.
“Carilah, carilah di mana saja
sampai ketemu,” berkata bibi Arya Teja. “Rara Wulan sedang dibayangi oleh
kegelapan hati.”
“Kenapa Rara Wulan itu
tampaknya selalu bersedih?” bertanya pelayannya yang lain.
“Aku tidak tahu,” jawah bibi
Arya Teja, “itu adalah persoalan Rara Wulan dengan suaminya. Sekarang carilah,
dan ajaklah ia masuk ke dalam biliknya. Ia sedang sakit, sehingga angin malam
akan menyebabkan tubuhnya menjadi semakin tidak enak.”
Kedua pelayan itu pun segera
pergi. Yang seorang ke kebun belakang, sedang yang lain ke petamanan di depan
dan di sisi rumah itu.
Bibi Arya Teja kembali ke
dalam biliknya dengan hati yang semakin cemas. Perempuan muda yang sedang
mengandung itu tengah dicengkam oleh kegelisahan, kemurungan, kegelapan hati
dan segala macam perasaan menyesal dan bersalah. Bahkan telah terucapkan bahwa
lebih baik ia mati daripada hidup menanggung segala macam siksaan perasaan itu.
“Apakah Rara Wulan membunuh
dirinya?” tiba-tiba terbesit pertanyaan itu di dalam hatinya, dan pertanyaan
itu ternyata telah mengejutkannya. Debar jantungnya serasa menjadi semakin
cepat berdentangan di dalam dadanya.
Tiba-tiba perempuan tua itu
bangkit dan segera melangkah ke luar. Ia tidak dapat menahan kecemasannya lagi.
Bunuh diri adalah suatu penyelesaian yang mungkin sekali ditempuh oleh Rara
Wulan yang sedang berputus asa dan dibayangi oleh kegelapan hati.
Dengan tergesa-gesa perempuan
tua itu pergi ke ruang depan. Dilihatnya selarak pintu tergolek di lantai.
“Agaknya selarak itu telah diletakkan dengan tergesa-gesa.”
Ketika perempuan tua itu
membuka pintu depan yang sudah tidak terkancing dan berjalan melintasi pendapa,
dilihatnya pelayan yang sedang mencari Rara Wulan di halaman depan. Maka
pelayan itu segera dipanggilnya.
“Apakah kau sudah menutup
pintu depan dan menyelaraknya?”
“Sudah. Karena tidak ada orang
lagi di ruang depan, dan angin malam menjadi semakin kencang, maka pintu itu
telah aku tutup dan aku kancing dengan selarak.”
Perempuan tua itu menjadi
semakin gelisah. Tetapi ia berusaha menyembunyikan kesan itu.
Meskipun demikian ia berkata,
“Pintu itu telah terbuka.”
Pelayan itu terkejut, dan
dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah Rara Wulan telah membukanya?”
Bibi Arya Teja mengangguk.
“Mungkin.”
Pelayan itu terdiam. Ia tidak
tahu kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atas Rara Wulan. Yang
diucapkannya kemudian adalah, “Mungkin Rara Wulan sedang berjalan-jalan untuk
mendapatkan sedikit ketenangan. Biarlah aku mencarinya.”
“Tidak. Tinggallah kau di
rumah. Akulah yang akan mencarinya.”
Pelayan itu menjadi heran.
Bibi Arya Teja telah berusia agak lanjut. Apakah ia akan berjalan hilir mudik
di malam begini mencari Rara Wulan yang tidak diketahui ke mana perginya?
Justru karena itu maka pelayan
itu berdiri saja seolah-olah membeku. Hampir-hampir ia tidak percaya kepada
pendengarannya. Namun kemudian ia menjadi yakin, bahwa bibi Arya Teja itu
memang menghendaki demikian. Sekali ia mendengar perempuan tua itu berkata,
“Tunggulah rumah ini. Aku sendirilah yang akan mencarinya.”
Pelayan itu tidak dapat
menahan keherannya. Maka ia pun bertanya, “Apakah malam-malam begini Nyai
sendiri akan pergi mencari Rara Wulan?”
“ Ya,” sahut bibi Arya Teja
pendek.
“Kalau begitu biarlah aku
mengantar Nyai.”
“Jangan. Aku akan pergi
sendiri.”
Pelayan itu menjadi semakin
heran. Dan ia mendengar perempuan tua itu berkata seterusnya “Jangan kau
ributkan kepergian Rara Wulan. Ia memang sedang bingung. Tetapi ia akan segera
kembali. Jangan kau tanyakan kepada siapa pun, supaya tidak setiap orang mengetahui
bahwa Rara Wulan sedang diselimuti oleh kegelapan hati. Mungkin suaminya dapat
mengertinya. Namun tidak setiap orang berhak mengetahuinya, dan kau tidak perlu
bercerita tentang hal itu. Kau sengaja atau tidak.”
Pelayan itu menganggukkan
kepalanya sambit menjawab, “Baik, Nyai.”
“Nah, tinggallah kau di dalam.
Aku akan pergi.”
Pelayan itu mengangguk sekali
lagi. “Baik, Nyai.”
Bibi Arya Teja itu pun segera
meninggalkan halaman rumah itu. Langkahnya tergesa-gesa. Namun ia tidak dapat
berjalan lebih cepat lagi. Bahkan sekali-sekali kakinya yang telah lemah itu
terantuk batu dan menyebabkannya tertatih-tatih.
Meskipun bulan yang bulat
tergantung di langit yang bersih, tetapi perempuan tua itu merasa, pandangan
matanya terlampau kabur. Ia hanya melihat bayangan-bayangan hitam bertebaran di
sekitarnya. Tetapi, dalam jarak beberapa langkah, ia sudah tidak dapat mengenal
lagi, bayangan apakah yang sedang dihadapinya.
Tetapi, perempuan tua itu
berjalan terus. Ia bertekad untuk menemukan Rara Wulan. Meskipun kadang-kadang
hatinya berdesir mencemaskan perempuan yang sedang berhati gelap itu, namun ia
berdesis perlahan, “Mudah-mudahan aku dapat membawanya pulang.”
Perempuan itu berusaha
berjalan semakin cepat. Tetapi, ketuaannya tidak memungkinkannya lagi. Sekali-sekali
terasa kakinya menjadi pedih terantuk pada kerikil-kerikil yang tajam. Namun ia
berjalan terus.
Meskipun seperti Arya Teja, ia
menyesal bahwa sesuatu telah terjadi sebelum perkawinan Rara Wulan itu dengan
suaminya. Tetapi, ia tidak dapat membiarkan perempuan itu mengambil keputusan
yang mengerikan.
Tetapi, langkah perempuan itu
kemudian menjadi ragu-ragu, “Kemana aku harus mencarinya?”
Meskipun demikian, perempuan
tua itu sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya. Diikutinya saja langkah
kakinya, menyusur jalan pedukuhan yang samar-samar, kemudian masuk ke dalam
bulak yang luar. Di kejauhan tampak bayangan padesan yang kehitam-hitaman dan
agak jauh di belakang, pegunungan yang membujur diam seperti seorang raksasa
yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
Tiba-tiba perempuan tua itu
teringat kepada janji Arya Teja dengan Paguhan. Mereka akan bertemu untuk
membuat penyelesaian di bawah Pucang Kembar.
“Apakah yang dapat aku lakukan
saat ini?” ia bertanya di dalam hatinya. Samar-samar terbayang di dalam
angan-angannya dua peristiwa yang mengerikan terjadi bersama-sama. Di bawah
Pucang Kembar itu Arya Teja terbaring mati karena dadanya tersobek oleh
senjata, dan di tempat lain diketemukan mayat Rara Wulan yang membunuh dirinya
sendiri.
Bulu-bulu tengkuk perempuan
tua itu meremang.
“Benar-benar suatu peristiwa
yang mengerikan. Menoreh akan geger karenanya. Arya Teja adalah orang yang
terpandang. Sebentar lagi ia akan mendapat wisuda, menduduki jabatannya. Tetapi
sebelum hal itu terjadi, suami isteri itu telah mati dalam keadaan yang
menyedihkan.”
Bibi Arya Teja itu terhenti
sejenak, ditekankannya telapak tangannya di dadanya. Sekali lagi diedarkannya
pandangan matanya. Yang tampak olehnya adalah bayangan-bayangan hitam. Bahkan
raksasa yang sedang tidur itu menjadi terlampau mengerikan baginya
Tiba-tiba terbersitlah di
dalam kepalanya suatu pikiran untuk pergi ke Pucang Kembar.
“Aku akan mengatakan kepada
mereka yang sedang berkelahi itu bahwa Rara Wulan telah pergi. Apa pun
tanggapan mereka aku tidak peduli.” Perempuan itu mengusap peluhnya yang
meleleh di keningnya, lalu, “Mudah-mudah hal ini akan mencegah perkelahian itu
berlangsung terus.”
Agaknya pikiran itu sedikit
memberinya harapan. Karena itu, maka perempuan itu pun mencoba untuk berjalan
secepat-cepatnya menuju ke Pucang Kembar.
Tetapi, Pucang Kembar itu
tidak terlampau dekat. Meskipun demikian, ia berjalan juga menuju ke sana, ke
tempat dua orang laki-laki sedang mencoba memperhitungkan harga diri mereka
dibumbui oleh sakit hati dan kecewa, menurut cara yang telah mereka setujui
bersama.
Dengan hati yang lemas, maka
bibi Arya Teja itu berjalan secepat-cepat dapat dilakukannya. Ia sama sekali
tidak merasakan lagi betapa kakinya menjadi nyeri dan betapa tulang-tulangnya
yang tua itu menjadi terlampau letih. Yang ada di kepalanya adalah
secepat-cepatnya mencapai Pucang Kembar untuk memberitahukan, apa yang sudah
terjadi rumah. Rara Wulan telah hilang. “Mudah-mudahan aku belum terlambat.
Mudah-mudahan keduanya masih dapat mendengar dan terpengaruh oleh peristiwa
ini.” Perempuan itu mengerutkan keningnya, lalu, “Kecuali apabila mereka telah
kehilangan kemanusiaan mereka karena dendam dan kebencian.”
Malam pun semakin lama menjadi
semakin dalam. Bulan yang terapung di langit perlahan-lahan bergeser menurut
garis edarnya. Semakin lama semakin memanjat hingga sampai ke puncak langit.
Angin malam yang dingin
berhembus perlahan-lahan, menggerakkan dedaunan. Namun kadang-kadang bertiup
semakin kencang. Sehingga daun-daun yang kuning berguguran jatuh di atas tanah.
Tetapi sebentar lagi angin itu mereda, namun dinginnya masih saja sampai
menyusup tulang.
Bibi Arya Teja yang berjalan,
menyusuri jalan persawahan tidak menghiraukannya. Langkahnya bahkan
dipercepatnya sedapat-dapat. Tetapi ketika di kejauhan terdengar salak anjing
liar, orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Apakah
jalan ke Pucang Kembar harus melampaui gerombolan anjing-anjing liar itu?”
Dada perempuan tua itu menjadi
berdebar-debar. Ia memang takut terhadap anjing-anjing yang liar itu. Apalagi
ia adalah seorang perempuan tua, sedang anak-anak mudapun selalu moncoba
menghindari gerombolan anjing-anjing yang ganas. itu.
“Mudah-mudahan tidak,”
desisnya pula. Dan perempuan itu berjalan terus. Meskipun hatinya menjadi
semakin berdebar-debar karena salak anjing yang saut menyahut di kejauhan itu.
Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.
Perempuan tua itu pernah
mendengar, bahwa seseorang yang telah dianggap hilang, ternyata dapat
diketemukan beberapa hari kemudian. Orang-orang menganggap bahwa orang itu
adalah korban dari anjing-anjing liar yang berkeliaran. Bahkan seseorang
menganggap bahwa lebih baik bertemu dengan harimau loreng di perjalanan dekat
daerah hutan daripada bertemu anjing-anjing liar dalam jumlah yang cukup besar.
Oleh ingatan itu, maka terasa
dentang jantung perempuan tua itu menjadi semakin keras memukul rongga dadanya.
Seperti salak anjing yang terdengar semakin keras pula.
“Pucang Kembar masih jauh,”
gumamnya. Tetapi bibi Arya Teja itu tidak berhenti.
Di bawah Pucang Kembar Arya
Teja dan Paguhan bertempur semakin sengit. Mereka telah melupakan segala macam
perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereka sama sekali sudah tidak dapat
lagi mengekang dirinya, sehingga mereka telah sampai pada puncak ilmu
masing-masing.
Sepasang senjata Paguhan
benar-benar merupakan pasangan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang
menari-nari di udara senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke segala
arah. Seolah-olah sepasang senjata itu dapat berubah menjadi puluhan pasang
yang bergerak bersama-sama.
Kadang-kadang Arya Teja
terpaksa meloncat surut beberapa langkah, apabila gerak sepasang senjata
lawannya itu membingungkannya. Ia terpaksa mengambil jarak untuk dapat melihat
gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan yang rapat.
Namun setiap kali Paguhan
selalu menyindirnya. Dengan tertawa penuh hinaan ia berkata, “Ayo Arya Teja,
bukankah kau pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan? Kenapa kau
hanya mampu berlari-lari tanpa dapat memberikan perlawanan yang berarti?”
Terasa darah Arya Teja
seolah-olah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi kemudian kesadarannya dapat
mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali ia menyadari bahwa
lawannya sedang berusaha memancing kemarahannya, maka Arya Teja segera
menemukan ketenangannya kembali.
“Apakah sebenarnya yang
dibangggakan oleh para pemimpin dan Senapati Demak atasmu, he, Arya Teja?”
suara Paguhan terdengar terlampau menyakitkan hati.
Arya Teja tidak segera
menyahut. Dipusatkan perhatiannya kepada tata gerak lawannya. Meskipun di dalam
hatinya ia mengakui bahwa Paguhan telah berhasil meningkatkan ilmunya, tetapi
Arya Teja masih belum merasa bahwa lawannya itu melebihinya. Menurut
penilaiannya, perkelahian itu masih belum dapat menemukan kemungkinan, siapakah
yang akan dapat keluar dari bawah Pucang Kembar ini.
“He” Paguhan berteriak “apakah
kau menjadi ketakutan mendengar suaraku?”
Arya Teja menggeram. Namun ia
masih belum menjawab. Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi sambil berbicara
tanpa ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan lawannya.
Paguhan yang berusaha untuk
membangkitkan kemarahan Arya Teja menjadi kecewa. Arya Teja seakan-akan sama
sekali tidak mendengar kata-katanya. Meskipun kata-kata hinaan itu beberapa
tali diulanginya, namun Arya Teja masih tetap membisu.
Akhirnya Paguhanpun terdiam
pula. Ia tidak bernafsu lagi untuk mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi
perhatiannya kini dimantapkannya kepada sepasang senjatanya yang mengerikan
itu.
Benturan-benturan yang dahsyat
telah terjadi antara dua kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api
memercik di udara di sela-sela suara dencing senjata beradu.
Semakin lama menjadi semakin
sengit. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang bertempur itu menjadi
semakin cepat menari-nari.
Meskipun demikian mereka masih
mendengar suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah
biasa mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama sekali tidak lagi
dapat dipengaruhinya. Tetapi, meskipun pertempuran itu tidak terhenti, namun
kedua orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing
liar itu menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah
melonjak-lonjak.
Kedua orang itu sama sekali
tidak menaruh perhatian untuk seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam
perkelahian. Tetapi dalam sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing liar
itu telah memperebutkan mangsa. Mungkin seekor kambing, mungkin seekor kijang
yang sering berkeliaran di gerumbul-gerumbul liar, di pinggir hutan, atau apa
pun yang lain.
Tetapi anjing-anjing hutan itu
sama sekali bukan persoalan mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung
senjata yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka.
Dengan demikian, maka salak
anjing yang sahut menyahut itu sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas
kedua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap kemampuan
mereka untuk segera memenangkannya.
Ternyata tangan Arya Teja
benar-benar mampu menguasai senjatanya, sehingga seolah-olah tombak pendek di
tangannya itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan seolah-olah
tangan Arya Teja hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya yang dahsyat itu
Paguhan mengumpat di dalam
hatinya. Peluhnya telah semakin banyak mengalir di pelipis dan punggungnya.
Bahkan seluruh tubuhnya telah basah pula karenanya. Namun, terasa bahwa
perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka sama sekali masih belum dapat
meyakini apa yang kira-kira akan terjadi atas diri mereka masing-masing.
Dengan sepenuh kemampuan yang
ada mereka bertempur semakin sengit. Sekali-sekali mereka terdorong surut,
sekali-sekali salah seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya, tetapi
sekejap kemudian keadaan segera berubah.
Rerumputan liar di bawah
Pucang Kembar itu telah menjadi bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang
terdekat di sekitarnyapun telah menjadi rata terinjak-injak oleh kaki-kaki
mereka yang sedang bertempur itu.
Ketika di kejauhan terdengar
bunyi burung hantu menyusur kesuraman cahaya bulan, terdengar Paguhan berdesis
pendek. Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya menjadi pedih.
Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah meleleh dari lukanya.
Terdengar Paguhan menggeram.
Giginya gemeretak dan matanya menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah
membakar seluruh urat nadinya.
Sejenak kemudian terdengar
Paguhan berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menyerang lawannya seperti
badai yang menghantam tebing. Bergulung-gulung susul menyusul. Sepasang
senjatanya yang mengerikan itu berputar seperti pusaran yang berusaha melibat
lawannya.
Dengan demikian maka
perkelahian itu menjadi semakin seru. Meskipun kulit Paguhan telah tergores
oleh ujung senjata, namun keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak
terpengaruh olehnya, bahkan Paguhan yang sudah terluka itu menjadi semakin
garang.
Setapak demi setapak
perkelahian itu memanjat ke puncaknya. Beberapa goresan senjata berikutnya
telah mewarnai tubuh masing-masing. Namun betapapun juga pada saatnya pasti
akan sampai pada suatu penyelesaian. Pertempuran itu pada suatu saat pasti akan
berhenti, apapun yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu, tidak seorangpun
yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian yang dahsyat itu.
Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan, dendam, kebencian dan segala macam
perasaan bercampur-baur.
Begitu dalam mereka dicengkam
oleh nafsu, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan bahwa seseorang telah
mendekati mereka. Seorang yang dengan ragu-ragu melangkah perlahan-lahan di
antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sekitar Pucang Kembar. Perempuan
muda yang matanya masih dibasahi oleh air mata yang mengambang.
Ketika perempuan itu melihat
kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar itu, maka sebuah desir
yang tajam telah menggores hatinya. Hampir-hampir ia tidak mampu lagi berdiri
dan apalagi melangkah maju.
Dengan gemetar ia berpegangan
pada sebatang pohon perdu. Dadanya serasa berguncang dan jantungnya
berdentangan. Sehingga, justru karena itu, maka perempuan itu untuk sejenak
membeku di tempatnya.
Tetapi tiba-tiba perempuan itu
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Seolah-olah ia mendapatkan suatu tenaga yang
gaib, yang membuat tubuhnya menjadi pulih kembali. Sendi-sendinya terasa
menjadi kuat dan tulang-tulangnya serasa mengeras.
Perempuan itu berdesah
perlahan-lahan. Dan tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, memandangi bulan yang
bulat dilangit.
“Jadilah saksi,” desisnya.
Kemudian dengan langkah yang
tetap ia berjalan maju mendekati kedua orang yang sedang bertempur di bawah
Pucang Kembar. Dadanya sama sekali sudah tidak berdebar-debar lagi, dan
jantungnya sudah tidak berdentangan. Bahkan diangkatnya dadanya tinggi-tinggi
sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Di sinilah senjata-senjata itu harus
menghunjam”
Kedatangan perempuan itu sama
sekali tidak diduga-duga oleh kedua laki-laki yang sedang bertempur itu. Mereka
terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara melengking, “Berhenti!
Berhentilah!”
Suara itu ternyata benar-benar
berpengaruh atas kedua laki-laki itu. Sehingga, tanpa berjanji mereka telah
melepaskan diri dari libatan perkelahian itu.
Hampir bersaman mereka
berpaling dan melihat seorang perempuan berdiri tegak di samping sebuah
gerumbul yang rimbun.
“Rara Wulan,” hampir bersamaan
pula mereka menyebut nama itu.
“Ya,” sahut Rara Wulan sambil
mengangkat dadanya, “ternyata kalian benar-benar, berkelahi. Ternyata kalian
benar-benar laki-laki jantan.”
Arya Teja dan Paguhan tidak
segera menyahut. Tetapi sikap Rara Wulan telah mengherankan mereka.
“Tetapi ternyata kalian tidak
berkelahi menuju kepada penyelesaian persoalannya. Aku telah terlibat dalam
persoalan ini tetapi kalian mencoba menyelesaikannya sendiri tanpa aku.”
Kedua laki-laki yang masih
menggenggam senjata itu sejenak terdiam. Tetapi kemudian terdengar Arya Teja
berdesis, “Dari mana kau tahu. bahwa kami akan menempuh cara ini, Wulan.”
“Aku mempunyai telinga. Dan
aku mendengar percakapanmu dengan bibi ketika kau minta diri kepadanya.”
Dada Arya Teja berdesir
mendengar jawaban Rara Wulan. Bukan saja jawabnya, tetapi juga sikapnya.
Perempuan itu kini seolah-oah menjadi seorang perempuan yang garang. Perubahan
yang telah terjadi pada Rara Wulan sangat berpengaruh pada Arya Teja. Semula ia
melihat seolah-olah perempuan itu seorang yang berhati bidadari putih dan
terlampau bersih. Namun ketika ia dihadapkan pada kenyataan, maka perempuan itu
tiba-tiba telah berubah menjadi iblis betina yang paling memuakkan. Tetapi,
kini perempuan itu tampak betapa garangnya, seperti seekor harimau liar yang
sedang lapar.
Sebelum Arya Teja dapat
berbicara seterusnya, terdengar Paguhan berkata, “Sebaiknya kau tidak kemari,
Wulan. Biarlah kami menentukan keputusan. Pada saatnya salah seorang dari kami
akan datang memberitahukan kepadamu.”
Terasa berbagai perasaan
menyesak di dada Rara Wulan. Terlalu banyak yang akan dikatakannya, tetapi
justru karena itu, mulutnya seolah-olah tidak dapat menampungnya. Kata-kata itu
seakan-akan berebut dahulu ke luar dan justru telah menyumbat mulutnya.
Dalam kediaman itu terdengar
di kejauhan suara anjing liar memekik. Kemudian sepi.
Yang mula-mula terdengar
adalah kata-kata Arya Teja, “Pergilah. Biarlah kami menentukan siapakah yang
akan dapat keluar dari tempat ini.”
Mata Rara Wulan seolah-olah
telah menyala. Sahutnya, terbata-bata, “Lalu apakah yang akan kau lakukan
setelah salah seorang terbunuh di tempat ini? Apakah kau sangka bahwa persoalan
itu akan selesai?” Rara Wulan menggeleng. “Tidak. Persoalan yang sebenarnya masih
belum selesai.”
“Tetapi persoalan antara kami
berdua telah selesai. Persoalan antara dua orang laki-laki,” desis Paguhan.
“Bohong. Persoalan yang
terjadi bukan sekedar persoalan dua orang laki-laki. Sejak semula kau
menganggap aku seperti barang yang tidak dapat ikut serta menentukan sikap. Kau
pergunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam kekosongan perasaan, pada saat aku
kesepian kau datang dan memberikan kesegaran. Tetapi kau seret aku ke dalam
neraka yang paling jahanam.”
“Jangan menyalahkan aku, Wulan.
Aku juga tidak akan menyalahkan kau. Tetapi, Arya Teja adalah gambaran dari
seorang laki-laki yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak
berpikir tentang seseorang yang telah diikatnya dalam pembicaraan sebelum
menjadi istrinya. Ditinggalkanya perempuan itu dalam kesepian, tanpa batas.”
Kata Paguhan terpotong oleh
Arya Teja, “Dan selama itu, telah didengarnya bisikan iblis ditelinganya yang
menjerumuskannya ke dalam dosa.”
“Huh, kau tidak ingin
bercermin tentang dirimu sendiri. Hubungan kami adalah hubungan yang wajar,
yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Yang paling gila adalah
ikatan yang telah kau pasang tanpa memikirkan, akibat yang dapat terjadi. Kau
sangka bahwa Rara Wulan itu seorang perempuan yang berhati batu? Tidak Arya. Ia
adalah seorang perempuan biasa. Perempuan yang dijalari oleh nafsu-nafsu
manusiawi pada masa-masa remaja. Ia tidak akan dapat membohongi diri sendiri.
Ia telah berbuat dengan jujur sesuai dengan suara hati nuraninya. Ia tidak
dapat menyimpan dorongan-dorongan yang paling peka yang menjalari darahnya. Dan
aku pun telah berbuat sesuai dengan hasrat yang paling dalam di dalam diriku.
Aku bukan seorang yang suka berpura-pura seperti kau. Aku adalah seorang yang
jujur kepada diriku sendiri seperti Rara Wulan pada saat itu. Tetapi
ikatan-ikatan yang kau belitkan pada dirinya telah membuatnya sengsara seperti
yang kau lihat saat ini. Kau yang hidup dalam suatu dunia yang kau penuhi
sendiri dengan berbagai macam tantangan-tantangan dan ikatan-ikatan yang selalu
menyiksa diri. Tetapi jangan kau seret orang lain besertamu.”
“Paguhan,” Arya Teja menggeram
sambil meremas tangkai tombak pendeknya, “itukah yang kau sebut kejujuran
kepada diri sendiri? Kau anggap bahwa, setiap nafsu yang menyala di dalam diri
harus mendapat penyaluran tanpa memikirkan akibatnya? Penyaluran yang tidak
mapan sekalipun? Paguhan, kau benar-benar seorang yang berhati iblis. Kalau
setiap manusia menganggap bahwa kejujuran adalah tanpa pengekangan diri, maka
dunia akan dibakar oleh berkobarnya segala macam nafsu lahiriah. Manusia akan
terlempar kembali ke dalam lembah kehidupan yang biadab. Peradaban manusia,
dalam satu segi yang dijiwai oleh sifat-sifat manusia yang biadab, adalah jauh
lebih parah dari pada kehidupan di masa-masa manusia sama sekali belum mengenal
peradaban. Kejujuran mereka bukan kejujuran yang pura-pura. Kejujuran sebagai
senjata untuk melakukan perbuatan yang pada jamannya adalah perbuatan yang
paling kotor. Kalau perbuatan itu kau anggap, karena perempuan itu tidak
berhati batu, maka anggapan itu adalah senafas dengan kejujuran yang lamis.”
“Huh,” Paguhan memotong, “kau
benar-benar sudah kehabisan nalar. Kau adalah seorang yang tidak melihat getar
di dalam diri seseorang karena kau selalu menindas getar yang serupa yang
tumbuh di dalam dadamu. Supaya kau dianggap sebagai seorang yang bersih,
seorang yang baik, seorang yang tidak bernoda, maka kau telah menumpas semua
gerak naluriah di dalam hatimu. Tetapi, apakah kau dengan demikian berlaku
jujur? Apakah kau benar-benar berbuat demikian itu? Tak seorang pun yang tahu,
apa yang telah kau lakukan dirantau. Tak seorang pun tahu, bahwa kau
benar-benar melakukan seperti keinginanmu, agar setiap orang menganggap kau
demikian.”
“Paguhan,” berkata Arya Teja,
“aku adalah seseorang yang menghargai apa yang telah menjadi keputusan bersama
dari orang-orang tua kita, yang lambat laun telah membentuk peradaban kita
sekarang ini. Keputusan yang tidak tergurat di dalam rontal yang manapun juga,
tetapi terasa telah menjiwai nafas kehidupan kita. Jangan kau sangka bahwa hal
itu lahir dengan serta-merta. Tetapi kelahirannya pasti didorong oleh
pengalaman yang beribu tahun. Bahwa kita telah membuat dinding batu di
sekeliling halaman rumah kita adalah salah satu bentuk yang serupa seperti kita
telah membuat pagar ayu dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sedumuk
batuk senyari bumi taruhannnya senilai keagungan ikatan antara laki-laki dan
perempuan.”
Wajah Paguhan yang tegang
menjadi semakin menegang. Nafasnya berdeburan di dalam rongga dadanya. Sejenak
ia terbungkam. Namun sejenak kemudian meledaklah suara tertawanya, seperti
suara iblis dari dalam kubur. Dengan lantang ia berkata disela-sela derai suara
tertawanya, “Oh, tenggelamlah kau dalam ikatan-ikatan yang mencekik tata
kehidupan itu. Tetapi aku tidak mau. Aku ingin bebas seperti burung garuda di
langit. Tidak ada ikatan yang dapat mengikat kebebasanku. Apapun yang aku
kehendaki, hendaknya terjadi. Hubunganku dengan Rara Wulan adalah salah satu
bentuk kebebasan itu. Aku tidak mau orang lain mencampuri kebebasanku. Aku
bertanggung jawab atas segalanya. Aku akan menghadapi setiap orang yang akan
mengganggu gugat bentuk kebebasan yang aku kehendaki.”
Arya Teja menggeram mendengar
jawaban Paguhan di antara suara tertawanya. Terdengar suaranya bernada berat,
“Aku tidak akan mempersoalkan kebebasan yang kau dambakan itu, seperti burung
garuda di angkasa. Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan kau selain
sebagai seorang teman biasa. Aku tidak akan kehilangan seandainya kau
terjerumus dalam jurang yang paling nista sekalipun. Tetapi kau jangan
menyentuh hidupku dalam segala seginya. Kau jangan menyinggung ujung dari hakku
atas pribadiku dan segala hubungannya.” Arya Teja berhenti sejenak. Terasa
dadanya menjadi sesak dan bahkan seakan hampir meledak. Sejenak kemudian
terdengar suaranya dalam nada yang berat, “Tetapi Paguhan, kegilaanmu itu telah
melanggar segi-segi kehidupanku. Bahkan yang paling berharga dalam hidupku.
Karena itu, maka aku tidak akan dapat tinggal diam. Aku tidak akan dapat
membiarkan kau dalam kegilaan itu.”
Suara tertawa Paguhan telah
lenyap bersama gemanya, dihanyutkan oleh angin yang bertiup semakin kencang.
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya beradu.
Tetapi sebelum ia mengucapkan
kata-kata, terdengar suara Rara Wulan melengking tinggi, “Kalian berdua telah
dicengkam oleh kegilaan kalian masing-masing. Kalian memandang dunia ini dari
sudut kepentingan kalian. Kalian berbicara dalam hubungan ini menurut pendirian
dan kesenangan kalian sendiri. Sedang pendirian kalian tidak akan dapat
bertemu. Paguhan adalah gambaran dari seorang iblis yang paling gila, yang
telah mempergunakan setiap kesempatan untuk menyeret seseorang ke dalam neraka
yang paling dalam, sedang Arya Teja adalah seorang pemimpin yang memuakkan,
yang hidupnya hanya dibayangi oleh gambaran-gambaran yang paling indah tanpa
mengenal kenyataan, tanpa mengenal noda-noda yang melekat pada setiap hati yang
tersimpan di dalam dada ini.”
Rara Wulan berhenti sejenak.
Nafasnya serasa bekejaran lewat lubang hidungnya, sedang dadanya mengelombang
semakin cepat. Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata, “Tetapi, yang
paling berdosa dalam persoalan ini adalah aku. Aku yang telah membuat kalian
berdiri berhadapan dalam kegilaan kalian masing-masing. Aku telah menyerahkan
diriku kedalam tangan iblis yang paling jahat, sementara aku menempatkan diriku
ke dalam keindahan mimpi yang paling mengasyikkan. Tetapi kenyataan telah
melemparkan aku ke keadaanku sekarang yang telah mendorong kalian berdua untuk
menggenggam senjata dan berusaha saling membunuh. Hal itu tidak akan terjadi
apabila aku tidak memulas diriku seperti bidadari, tetapi menyerahkan diri ke
dalam tangan iblis yang paling laknat.”
Sekali lagi Rara Wulan
berhenti. Nafasnya terasa menjadi semakin sesak. Wajahnya menjadi merah membara
dan matanya seolah-olah menyalakan api yang berkobar di dalam dadanya. Suaranya
yang gemetar kemudian terdengar lagi, “Karena itu, kalian tidak akan dapat
menyelesaikannya tanpa aku. Ayo, katakan, apakah yang akan terjadi seandainya
salah seorang dari kalian telah mati? Hubungan apakah yang ada di antara salah
seorang dari kalian yang hidup itu dengan aku? Tidak. Persoalan itu masih belum
selesai. Jalan yang paling singkat dari penyelesaian itu adalah apabila kalian
menghunjamkan senjata kalian bersama-sama di dalam dadaku ini. Aku akan mati.
Dan tidak ada lagi yang dapat kalian pertengkarkan.”
Ketika Rara Wulan itu terdiam,
maka suasana di bawah Pucang Kembar itu telah dicengkam oleh keheningan.
Masing-masing berdiri tegang kaku. Yang terdengar hanyalah suara angin berdesir
di dedaunan. Lamat-lamat suara cengkerik berderik di antara bunyi rintihan
burung kedasih yang ngelangut.
Sekali-sekali di kejauhan
masih terdengar gonggong anjing-anjing liar. Tetapi kemudian sunyi.
Anjing-anjing yang telah menjadi kenyang itu agaknya telah kembali ke dalam
sarang mereka.
Arya Teja dan Paguhan
tersentak ketika mereka mendengar suara Rara Wulan terbata-bata. “Ayo, siapakah
yang jantan di antara kalian? Di sinilah terletak sumber dari persoalan ini, di
sini, di dalam dadaku. Hanya dengan melubangi dadakulah maka semua persoalan
akan dapat selesai.”
Kedua laki-laki itu sama
sekali tidak bergerak. Mereka terpaku diam seperti, sepasang patung dari dua
orang jantan yang menggenggam senjata masing-masing.
“Ayo, siapakah yang paling
jantan di antara kalian berdua? He, cepatlah. Kenapa kalian diam saja? Apakah
kalian telah menjadi pengecut yang tidak berani melihat darah? Aku akan merasa
berbahagia apabila kalian berani membunuh aku sekarang. Arya Teja adalah
suamiku, sedang Paguhan adalah laki-laki yang akan menjadi ayah dari anakku
apabila ia kelak lahir. Tetapi bagiku, mati adalah jalan yang sebaik-baiknya.
Hidupku dan hidup anak ini kelak akan selalu menumbuhkan persoalan yang tidak
ada henti-hentinya.”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Kedua laki-laki itu terpukau dalam kediaman. Samar-samar dalam cahaya
bulan mereka melihat Rara Wulan seperti seekor harimau betina yang paling liar.
Rambutnya terurai lepas di punggungnya bergetar karena sentuhan angin padang
yang kering.
Tanah berumput yang terbentang
di bawah Pucang Kembai itu menjadi sepi, sesepi tanah pekuburan. Mereka yang
berdiri tegak di bawahnya, seakan-akan telah membeku seperti pokok-pokok pohon
semboja.
Sejenak mereka dicengkam oleh
kediaman yang tegang.
Yang pertama-tama menyobek
sepinya malam adalah suara Rara Wulan. “Kenapa kalian diam saja mematung, he?
Ayo, siapa yang paling jantan lakukanlah lebih dahulu. Menghunjamkan
senjata-senjata kalian itu di dadaku. Dada yang dipenuhi oleh nafsu iblis yang
paling jahat, yang tidak pantas lagi bersentuhan dengan orang-orang yang merasa
dirinya beradab. Meskipun peradaban itu telah menyeretku dalam keadaan yang
paling parah, tetapi aku akan tetap menghormatinya. Terkutuklah apa yang telah
terjadi, terkutuklah kau Paguhan yang ingin membebaskan dirinya seperti burung
garuda di langit, tanpa batas-batas peradaban, yang dapat menerkam setiap anak
kambing yang tersesat di padang penggembalaan.”
Sekali lagi kebekuan
mencengkam suasana. Yang terdengar adalah suara nafas mereka yang memburu di
lubang-lubang hidung mereka. Kedua Laki-laki itu hampir tidak bergerak sama
sekali. Mereka terpaku, dan seolah-olah telah membeku.
“Ayo cepatlah!” mereka
mendengar lagi Rara Wulan berteriak semakin keras. “Ayo, siapa yang lebih
jantan di antara kalian?”
Kini, Rara Wulan melangkah
maju. Tubuhnya gemetar dan wajahnya tengadah. Tetapi, wajah itu seakan-akan
sudah bukan wajah Rara Wulan lagi yang mereka kenal sehari-hari. Wajah itu
adalah wajah yang paling mengerikan, seperti wajah iblis yang haus menghisap
darah, seperti wajah wewe yang merindukan bayi, tetapi juga seperti wajah mayat
yang paling putus-asa dijerat oleh kematian yang paling mengerikan.
“Ayo,” terdengar suaranya
benar-benar seperti suara hantu, “senjata siapakah yang lebih tajam? Inilah
dada yang menyimpan hati yang hitam, sehitam arang. Dan inilah dada yang
menyimpan hati yang dibakar oleh nafsu sepanas bara. Dan inilah hati yang
sedang berputus asa dicengkam oleh penyesalan dan putus asa. Karena itu, kalau kalian
jantan, hunjamkanlah senjata itu ke dalam dada ini.”
Selangkah demi selangkah Rara
Wulan maju. Samar-samar dalam bayangan sinar bulan yang penuh, dalam desau
angin malam dalam belaian suara burung kedasih yang ngelangut.
“Kenapa kalian diam saja? Apakah
kalian telah mati membeku lebih dahulu daripada aku.”
Rara Wulan menjadi semakin
dekat. Beberapa langkah dari kedua laki-laki itu Rara Wulan berhenti. Bayangan
rambutnya yang hitam, yang terurai dengan kusutnya, membuat wajahnya menjadi
semakin mengerikan.
“Paguhan, katanya kau
menggenggam sepasang senjata kebanggaan. Ayo, tusukkanlah senjata itu
bersama-sama di sini,” Rara Wulan menunjuk dadanya. Selangkah ia maju mendekati
Paguhan. Tetapi tanpa sesadarnya Paguhan melangkah surut.
Ketika Rara Wulan maju lagi,
maka Paguhan pun sekali lagi melangkah surut.
“Apakah kau akan lari,
Paguhan?”
Paguhan tidak menjawab. Tetapi
wajahnya menjadi semakin tegang daripada ia harus berhadapan dengan Arya Teja.
“Oh, kiranya kau seorang
pengecut yang paling licik di dunia. Kau telah menodai aku dengan seribu satu
macam alasan, meskipun aku tidak ingkar, meskipun aku mengakui sambil
menengadahkan dada, bahwa itu adalah salahku, tetapi sekarang kau tidak berani
membuat penyelesaian yang paling baik. Membelah dadaku.”
Paguhan tidak menjawab, tetapi
tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah
merasakan sentuhan yang paling mengerikan seperti yang dihadapinya kini.
Karena Paguhan selalu menghindar,
maka tiba-tiba Rara Wulan berpaling kepada Arya Teja. Arya Teja masih berdiri
tegak di tempatnya dengan tombak pendek tergenggam di tangannya.
Belum lagi Rara Wulan berbuat
sesuatu, maka tatapan matanya telah mencengkam dada Arya Teja. Darahnya seolah
berhenti mengalir. Apalagi ketika selangkah Rara Wulan maju mendekatinya.
“Kau Arya Teja. Barangkali kau
lebih jantan dari Paguhan. Kau pemimpi yang dimabukkan oleh khayalan tentang
kejernihan wajah bidadari di dalam sorga. Bangunlah. Bangunlah dari mimpi yang
indah tetapi memuakkan itu. Bukankah kau telah bertekad untuk membunuh aku?
Nah, sekarang, lakukanlah. Aku akan berterima kasih kepadamu. Ternyata kau
telah menang dalam perang tanding melawan Paguhan, meskipun kau tidak perlu
membunuhnya, karena ternyata kau telah berani melakukan sesuatu yang tidak
dapat dilakukan oleh Paguhan.”
Seperti Paguhan, Arya Teja
justru menjadi gemetar. Ketika Rara Wulan setapak maju, ia pun surut selangkah.
“He, apakah kau juga seorang
pengecut seperti Paguhan?”
Tidak ada jawaban. Tetapi
seperti dicengkam oleh pengaruh yang tidak dimengertinya Arya Teja berusaha
untuk menjauhi Rara Wulan yang mendekatinya.
“Oh, ternyata kalian adalah
pengecut. Pengecut yang paling licik. Yang hanya berani mengagungkan kejantanan
dalam persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tetapi pada hakekatnya kalian
adalah pengecut.” Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin
memburu. Terputus-putus suaranya yang melengking tinggi, “Ayo, siapa yang
berani membunuh aku?” Lalu, “Baiklah. Baiklah, apabila kalian tidak berani
melakukannya. Sekarang, Arya Teja, atau kau Paguhan, marilah, berikanlah
senjata-senjatamu. Biarlah aku sendiri yang melakukannya. Marilah,” suara Rara
Wulan menurun, tetapi justru semakin mengerikan, seperti suara dari balik batas
maut, dari seorang iblis betina yang merindukan anaknya. “Marilah, anak-anak.
Marilah, berikanlah senjata itu. Paguhan atau kau Arya Teja. Marilah anak-anak
manis, aku pinjam dolananmu.”
Paguhan dan Arya Teja adalah
dua orang lelaki jantan, yang tidak pernah merasa gentar menghadapi setiap
keadaan. Senjata di tangan mereka adalah pertanda bahwa mereka telah siap
menghadapi apa pun juga dengan akibat yang betapapun parahnya.
Saat itu, di bawah Pucang
Kembar, mereka pun telah siap menghadapi pertarungan yang menentukan. Mati atau
mematikan.
Tetapi tiba-tiba kini dada
mereka telah digoncangkan oleh kengerian yang luar biasa. Belum pernah terjadi,
bahwa dua orang laki-laki seperti Paguhan dan Arya Teja, menjadi gemetar karena
perasaan yang seaneh saat itu. Belum pernah terjadi bahwa hampir setiap bulu
kedua laki-laki itu meremang.
Namun ternyata ketika mereka
melihat Rara Wulan dalam keadaannya. Hampir-hampir mereka tidak dapat menahan
diri mereka, untuk meninggalkan tempat itu. Bahkan kalau mungkin lari
secepat-cepatnya.
Tetapi, kejantanan mereka
ternyata telah menahan mereka dalam debar yang semakin berdentangan.
Di antara desau angin malam
masih terdengar suara Rara Wulan, “Marilah, marilah anak-anak manis. Berikan
dolananmu.”
Paguhan dan Arya Teja itu
setiap kali melangkah surut di luar kesadaran mereka. Yang tampak di mata
mereka adalah hantu betina yang mengerikan, yang seakan-akan ingin menghisap
darah mereka dari ubun-ubun.
Paguhan dan Arya Teja hampir
tidak tahan lagi ketika tiba-tiba mereka mendengar Rara Wulan itu tertawa.
Tertawa mengerikan sekali. Suaranya melengking menyusur tebing pegunungan,
memantul kembali menggelombang, seperti tanah yang terbentang di bawah Pucang
Kembar itu telah dikepung oleh ribuan hantu betina yang tertawa bersama-sama.
Tetapi, ketika suara tertawa
itu telah menurun, maka sekali lagi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang
tertatih-tatih mendekati mereka itu. Sebelum mereka menyadari siapakah yang
datang kemudian, terdengarlah orang itu berkata dalam nada yang terlampau
dalam, “Wulan, Rara Wulan.”
Rara Wulan yang sedang
dikuasai oleh kegelapan hati itu masih dapat mendengar suara itu. Tiba-tiba
sisa-sisa suara tertawanya terputus, dan lenyap ditelan oleh angin malam.
Ketika perempuan itu berpaling, maka dilihatnya seseorang datang kepadanya
perlahah-lahan. “Rara Wulan, kenapa kau? Aku mencarimu, anakku.”
Rara Wulan mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba kepalanya terasa pening dan matanya berkunang-kunang.
Tetapi, ia masih mendengar orang yang datang itu berkata, “Eling, Ngger.” Lalu
dengan lembutnya orang itu berkata sambil mengembangkan kedua tangannya,
“Marilah, anakku. Marilah. Aku telah bersusah payah mencarimu. Ternyata kau ada
di sini, di antara dua ekor serigala yang sedang herkelahi memperebutkan
kejantanan. Marilah, anakku.”
Sejenak Rara Wulan, mematung.
Kepalanya terasa semakin pening, dan pandangan matanya menjadi semakin kabur.
Hampir di luar sadarnya tiba-tiba ia memekik sambil berlari kearah orang yang
datang sambil mengembangkan tangannya itu, “Bibi, Bibi, o ……”
Dengan serta merta Rara Wulan
menjatuhkan dirinya dalam pelukan perempuan yang baru datang itu. Bibi Arya
Teja, yang kemudian dengan lembutnya membelai rambut Rara Wulan yang kusut
terurai sambil berbisik lirih, “Kenapa kau, anakku?”
Yang terdengar kemudian adalah
suara tangis Rara Wulan yang meledak. Namun, sesaat kemudian suara itu menurun,
dan akhirnya diam sama sekali.
Perempuan tua itu hampir
terjatuh menahan tubuh Rara Wulan yang menjadi pingsan. Perlahan-lahan tubuh
itu diletakkannya di atas tanah yang basah oleh embun.
Kini perempuan tua itulah yang
berdiri tegak di sisi tubuh Rara Wulan. Perempuan itu memandangi Paguhan dan
Arya Teja berganti-ganti.
Perasaan yang aneh masih saja
merayap di hati kedua laki jantan itu. Mereka terpukau melihat apa yang baru
saja terjadi, sehingga seakan-akan mereka tidak tahu, tanggapan apakah yang
telah terjadi di dalam diri masing-masing. Tetapi, setelah Rara Wulan terbaring
diam, dan kini yang tegak di hadapan mereka adakah perempuan tua itu, namun
kengerian masih saja tergores di dalam dada mereka.
“Nah,” terdengar suara
perempuan itu, “lihat. Inikah penyelesaian yang kalian kehendaki?” Kedua
laki-laki itu terbungkam.
“Kini, kalian melihat tubuh
Rara Wulan yang pingsan setelah sekian lama ia menahan gejolak perasaannya. Ia
tidak kuat melawan gelora itu di dalam dirinya, sehingga ia menjadi gelap hati
dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.” Perempuan itu berhenti sejenak.
Lalu, “Seandainya, ya, seandainya perempuan ini bangun, dan yang ditemuinya
adalah peristiwa yang menggoncang perasaannya, maka aku pasti, aku yakin, bahwa
Rara Wulan akan menjadi gila. Gila. Sebenarnya gila. Apakah kalian tidak
percaya? Bagi perempuan muda ini memang lebih baik mati, daripada menjadi gila.
Dan sebab daripada itu adalah kalian berdua. Paguhan yang telah mempergunakan
kesempatan selagi gadis itu dahulu kesepian, dan Arya Teja yang menjadi gila
karenanya.”
Kedua laki-laki yang menggenggam
senjata di tangannya itu masih terbungkam.
“Nah, apakah kalian masih
ingin melihat darah mengalir di bawah Pucang Kembar? Kalau demikian, maka aku
menganjurkan, sebelum kalian berkelahi, maka biarlah salah seorang dari kalian
memenuhi permintaan Rara Wulan ini. Bunuhlah selagi ia masih dalam keadaannya.
Bunuhlah perempuan ini, sehingga kalian akan menjadi lebih puas. Malam ini,
pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar ini ada tiga jiwa yang melayang.
Jiwa perempuan ini, anak yang masih di dalam kandungannya dan salah seorang
dari kalian berdua yang ingin disebut dirinya pahlawan.”
Ketika perempuan itu terdiam
sejenak, maka kesepian yang tajam telah mencengkam suasana. Hanya desir angin
yang terdengar diantara derik suara bilalang.
Namun di dalam kesepian,
ternyata dada kedua laki-laki yang di tangannya masih tergenggam senjata itu,
telah bergolak dengan dahsyatnya. Kata-kata bibi Arya Teja langsung menusuk ke
dalam jantung, melampaui tajamnya senjata yang ada di tangan masing-masing.
Betapa keras hati mereka,
betapa tumpul perasaan-perasan mereka, namun apa yang mereka lihat, ternyata
telah membuat hati mereka menjadi cair. Nafsu mereka untuk saling membunuh
perlahan-lahan menipis, seperti embun di pagi hari.
Dalam pada itu terdengar suara
perempuan tua itu, “Bagaimana? Kenapa kalian diam saja? Siapakah yang lebih
jantan dan berani melakukannya? Aku ingin melihat, dan biarlah aku menjadi
saksi. Bahkan di bawah Pucang Kembar ini, seorang laki-laki telah berani
berbuat dengan penuh kejantanan dan kepahlawanan, membunuh seorang perempuan
yang sedang mengandung dan dalam keadaan pingsan. Ayo, siapakah yang jantan di
antara kailan?”
Tidak seorang pun yang
bergerak, bahkan ujung jari kakipun tidak.
“Siapa?” teriak perempuan itu.
Kedua laki-laki itu masih
membeku di tempatnya.
Bibir Arya Teja sejenak
berdiam diri. Nafasnya menjadi makin cepat mengalir, dan dadanya yang tipis
menjadi bergelombang dengan cepatnya.
Tetapi kedua laki-laki itu
masih tetap tegak di tempatnya.
Keheningan yang tegang telah
menjelajahi tanah yang terbentang di seputar Pucang Kembar itu. Di kejauhan
masih terdengar suara binatang malam berderik-derik, dan kadang-kadang suara
burung kedasih yang sayup-sayup, seperti senandung yang sedih.
“Apakah kalian tidak dapat
berbuat sesuatu?” bertanya bibi Arya Teja itu. “Apakah kalian akan berdiri saja
di tempat itu semalam suntuk?”
Pertanyaan itu telah
menggerakkan hati kedua laki-laki itu. Mereka menyadari, apa yang sedang mereka
hadapi. Tetapi mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebaiknya mereka
kerjakan.
“Baiklah, kalau kalian tidak
lagi ingin membunuh. Bukankah begitu?” pertanyaan itu terlontar dari mulut
perempuan tua itu. “Ternyata kalian tidak melakukannya.”
Tidak ada jawaban
“Bagaimana, he?”
Kedua laki-laki itu menjadi
bingung.
“Jawablah, jawablah
pertanyaanku,” sejenak kemudian perempuan itu berkata pula, “kalau kalian tidak
dapat menjawab dengan perkataan, jawablah dengan perbuatan. Kalau kalian masih
ingin membunuh, segera lakukanlah. Kalau salah seorang tidak segera melakukan,
maka aku anggap, bahwa kalian telah merubah keputusan bahwa kalian telah
merubah pendirian kalan untuk meneteskan darah di bawah Pucang Kembar ini.
Sebagai laki-laki jantan keputusan bersama harus dihargai seperti kalian
menghargai jiwa sendiri.”