Buku 061
Sambil menyeringai Kiai
Telapak Jalak memutar rantainya seperti baling-baling. Tetapi cambuk Kiai
Gringsing menyerangnya mendatar serendah lututnya, sehingga memaksa Kiai
Telapak Jalak meloncat tinggi-tinggi. Tetapi begitu kakinya menyentuh tanah,
sekali lagi ujung cambuk itu melecut lambungnya dan mengoyak bajunya. Bukan
saja bajunya, tetapi juga kulitnya telah menitikkan darah.
Kiai Telapak Jalak
mengumpat-umpat. Tetapi umpatannya tidak dapat menyelamatkannya. Ia terputar
setengah lingkaran ketika sekali lagi ujung trisula Sumangkar mendorongnya di
punggung, dan sebelum ia terjatuh, cambuk Kiai Gringsing membelit dadanya, dan
hentakan sendal pancing telah membuatnya terputar dan tidak lagi berhasil
menjaga keseimbangannya.
Sejenak kemudian Kiai Telapak
Jalak, orang yang memiliki kemampuan melampaui orang biasa itu, tidak lagi
dapat bertahan untuk tetap berdiri. Terhuyung-huyung sambil berputaran ia
akhirnya jatuh terlentang di atas tanah yang lembab.
“Cepat,” desis Kiai Gringsing.
Sumangkar pun meloncat maju. Ia berhasil menginjak tangan kanan Kiai Telapak
Jalak yang menggenggam senjata. Ia mengharap bahwa dengan demikian Kiai Telapak
Jalak dapat dipaksanya menyerah. Tetapi Ki Sumangkar terpaksa meloncat
melepaskannya lagi, karena Kiai Telapak Jalak masih berusaha mematuk kaki
Sumangkar dengan kerisnya.
Pada saat itulah, cambuk Kiai
Gringsing meledak dan ujungnya telah membelit tangan Kiai Telapak Jalak. Dengan
suatu hentakan yang kuat Kiai Gringsing mencoba menarik tangan itu agar kerisnya
dapat terlepas.
Tetapi Kiai Telapak Jalak
tidak mau melepaskan kerisnya begitu saja. Ia masih mencoba menghentakkan
tangannya. Tetapi ternyata bahwa kekuatan Kiai Gringsing tidak dapat
diatasinya. Bahkan tanpa disadarinya, pergelangan tangannya yang terbelit ujung
cambuk itu terluka karenanya.
Meskipun demikian Kiai Telapak
Jalak tidak mau menyerah. Ia masih mencoba untuk menguasai dirinya. Dengan
sekuat-kuat tenaganya ia mendekapkan tangannya, kemudian sekali ia berguling
dan menyerang Kiai Gringsing dengan kakinya yang melenting dengan kerasnya.
Kiai Gringsing tidak menyangka
bahwa di dalam keadaan itu Kiai Telapak Jalak masih mampu menyerangnya,
sehingga karena itu ia justru terperanjat karenanya. Ia tidak mendapat
kesempatan untuk menarik cambuknya dan sudah tentu ia tidak ingin
melepaskannya. Karena itu, sambil mengerahkan kekuatannya ia menarik cambuknya
itu.
Ternyata kekuatan tarikan
cambuk Kiai Gringsing justru telah memutar tubuh Kiai Telapak Jalak dan
menolongnya untuk melenting dan tegak berdiri meskipun ia masih belum berhasil
melepaskan pergelangan tangannya. Namun dengan demikian ia mempunyai kesempatan
yang lebih baik daripada apabila ia masih terbaring di tanah. Tanpa
menghiraukan apa pun juga ia meloncat menyerang Kiai Gringsing dengan rantainya
sekuat-kuat dapat dilakukan.
Tetapi Kiai Gringsing pun
tidak tinggal diam. Sekali lagi ia menghentakkan cambuknya sehingga Kiai
Telapak Jalak terseret beberapa langkah. Dengan demikian maka serangannya tidak
lagi pada sasarannya.
Namun demikian Kiai Telapak
Jalak sama sekali tidak menyerah. Ia masih berusaha mengurai ujung cambuk di
tangannya. Dan agaknya Kiai Gringsing kali ini tidak menghalanginya, sehingga
akhirnya tangannya itu pun terlepas, meskipun tangan itu telah terluka.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
membiarkannya. Begitu ujung-cambuknya lepas, maka sekali lagi ujung cambuk itu
meledak memekakkan telinga. Dan sebuah jalur merah telah melekat di dada Kiai
Telapak Jalak.
Sumangkar yang sejenak
terpukau oleh peristiwa itu tiba-tiba seperti tersadar dari lamunannya.
Tiba-tiba saja ia melemparkan trisulanya mematuk Kiai Telapak Jalak yang sedang
kehilangan keseimbangan oleh sentuhan ujung cambuk Kiai Gringsing. Dengan
demikian maka ia sama sekali tidak dapat menghindar lagi. Sekali lagi lambungnya
tersobek oleh luka karena ujung senjata Ki Sumangkar.
Kiai Telapak Jalak terdorong
selangkah ke samping. Tetapi ia masih tetap berdiri. Wajahnya menjadi merah
padam. Namun tidak terlintas sama sekali niatnya untuk menyerah.
Ketika kedua serangan datang
beruntun dari Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing, maka Kiai Telapak Jalak sudah
benar-benar tidak berdaya. Jangankan menghindar dan menyerang kembali,
sedangkan menangkis pun tidak ada lagi sisa tenaganya yang cukup. Karena itu,
maka ia pun segera terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang.
Namun demikian tatapan matanya
masih tetap membara. Sorot matanya itu masih tetap menantang dan pantang
menyerah. Kedua jenis senjatanya pun masih tetap pula di dalam genggaman.
“Menyerahlah,” desak Kiai Gringsing,
“kau akan mendapat keringanan.”
” Persetan,” ia menggeram.
Namun dalam pada itu, mata Kiai Telapak Jalak seolah-olah menjadi liar ketika
ia melihat Raden Sutawijaya telah berada di dekat arena itu sambil berkata,
”Semuanya sudah selesai. Mereka telah dapat kami usir. Hanya sebagian kecil
sajalah yang masih melakukan perlawanan. Sebentar lagi para pengawal akan
segera dapat menguasai mereka.”
“Persetan,” sekali lagi Kiai
Telapak Jalak menggeram.
“Menyerahlah,” desak Kiai
Gringsing berulang kali, “aku akan menjamin bahwa kau akan mendapat sekedar
pengampunan.”
“Aku tidak memerlukan belas
kasian. Bunuhlah kalau kau mampu membunuh aku.”
“Baiklah,” Sutawijaya-lah yang
menyahut sambil menggeretakkan gigi. ”Aku tidak pernah meleset dari sasaran
apabila aku melontarkan tombak pendekku ini.”
Tetapi ketika Sutawijaya
mengangkat tombaknya, Kiai Gringsing menggamitnya sambil berbisik, “Kita
memerlukannya hidup-hidup.”
“O, ya,” barulah Sutawijaya
sadar betapa pentingnya Kiai Telapak Jalak itu, sehingga karena itu, maka ia
pun mengurungkan niatnya.
“Ayo, cepat. Lakukanlah
Sutawijaya,“ tantang Kiai Telapak Jalak, “jangan ragu-ragu. Inilah aku, Kiai
Telapak Jalak. Lontarkanlah tombakmu itu.”
Tetapi Sutawijaya menggeleng,
“Tidak. Aku tidak akan melemparkan, tombak itu. Kami di sini sedang menunggu
kedua anak Truna Podang. Kami akan mengepungmu rapat-rapat dan menangkapmu
hidup-hidup. Kau sadar bahwa kau amat penting bagi kami?”
“Persetan!“ teriak Kiai
Telapak Jalak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
dan Swandaru segera hadir pula di arena itu, setelah orang-orang Kiai Telapak
Jalak yang masih tersisa terusir dari medan. Sedangkan yang lain jatuh sebagai
korban atau luka-luka sehingga mereka tidak dapat beringsut lagi dari
tempatnya.
“Nah, kita kepung orang ini rapat-rapat.
Kita akan menangkapnya hidup-hidup.”
Mata Kiai Telapak Jalak
menjadi nanar. Ia melihat lima orang mengelilingi, masing-masing dengan senjata
di tangan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak berhasrat benar-benar
membunuhnya. Senjata-senjata itu tidak mereka pergunakan sebaiknya meskipun ia
sudah tidak berdaya lagi.
Namun dengan demikian,
kegelisahan telah memuncak di hatinya. Ia sadar sepenuhnya apa yang akan
terjadi atasnya apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup oleh Raden
Sutawijaya. Ia pasti akan dibawa ke pusat pemerintahan tanah yang baru dibuka
ini. Dihadapkan pada Ki Gede Pemanahan dan kemudian dipaksa untuk mengatakan
siapa saja yang pernah berhubungan dengan dirinya dan usahanya yang gagal itu.
“Tidak!“ ia menggeretakkan
giginya. Ia sudah mendapat kebulatan tekad. Ia tidak akan tertangkap
hidup-hidup dan tidak akan pernah mengatakan kepada siapa pun juga, siapa yang
sebenarnya terlibat di dalam usaha untuk menggagalkan rencana pembukaan Alas
Mentaok dan membuat Mataram menjadi besar.
Tetapi adalah suatu kenyataan
bahwa ia tidak akan dapat keluar dari kepungan kelima orang yang kini berdiri
mengitarinya dengan senjata di tangan masing-masing.
Dada Kiai Telapak Jalak
menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat kelima orang itu maju setapak
demi setapak semakin dekat. Pada saatnya, mereka pasti akan meloncat
menerkamnya dan mengikat kedua tangan di punggungnya.
Sejenak Kiai Telapak Jalak
masih berdiri terhuyung-huyung. Tangannya yang gemetar masih juga bergerak
mengayun-ayunkan rantainya. Tetapi kekuatannya sama sekali sudah tidak
berbahaya lagi bagi siapa pun juga, apalagi bagi Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar.
Dalam keadaannya itu, masih
juga terdengar Kiai Gringsing berkata, “Apakah kau masih tidak ingin menyerah.”
Kiai Telapak Jalak
memandanginya. Dan sekali lagi ia menggeram, “Persetan. Aku akan membunuh
kalian berlima.”
Belum lagi gema suaranya
dihanyutkan angin, telah terdengar cambuk Kiai Gringsing meledak. Sekali lagi
pergelangan tangan Kiai Telapak Jalak terbelit oleh ujung cambuk kiai
Gringsing. Namun dengan sisa-sisa tenaganya, Kiai Telapak Jalak masih juga
tidak melepaskan kerisnya. Keris pusakanya yang selama ini selalu berhasil
menyelesaikan persoalan yang paling sulit yang dihadapinya.
Dalam pada itu, selagi tangan
Kiai Telapak Jalak terbelit oleh ujung cambuk Kiai Gringsing, maka sekali lagi
terdengar cambuk meledak. Cambuk Agung Sedayu yang membelit rantai di tangan
kanan Kiai Telapak Jalak.
Karena perhatiannya terpusat
kepada kerisnya, serta sisa-sisa tenaganya yang semakin susut, maka Kiai
Telapak Jalak tidak dapat mempertahankan senjatanya itu. Rantai itu pun
kemudian terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah dari padanya.
Berbareng dengan itu, Ki
Sumangkar pun melonaat maju. Tangannya telah terjulur ketengkuk Kiai Telapak
Jalak. Ia ingin membuat orang yang keras hati itu menjadi pingsan.
Tetapi di dalam saat-saat
terakhir itu Kiai Telapak Jalak masih sempat menghindar. Tanpa diduga oleh Ki
Sumangkar, Kiai Telapak Jalak masih sempat membungkukkan kepalanya, justru pada
saat Kiai Gringsing mencoba menarik tangannya.
Dengan demikian maka Kiai
Telapak Jalak itu pun terhentak beberapa langkah oleh tarikan cambuk Kiai
Gringsing yang membelit pergelangannya.
Kiai Telapak Jalak masih
sempat menyadari keadaannya. Ia masih sempat melihat orang-orang yang berdiri
di sekitarnya itu hampir bersamaan meloncat maju untuk menerkamnya. Karena itu,
maka ia pun harus mengambil sikap terakhir untuk menghindarkan dirinya dari
tangkapan orang-orang itu.
Tetapi ia tidak lagi dapat
berbuat sesuatu dengan kerisnya, karena tangannya seakan-akan telah terikat
dengan ujung cambuk Kiai Gringsing. Ia tidak dapat lagi mengayunkan keris itu
meskipun masih tetap di dalam genggamannya.
Namun demikian ia tidak mau
menyerah. Begitu tangan-tangan mulai menyentuh tubuhnya, maka tanpa
diduga-duga, Kiai Telapak Jalak telah menggoreskan pergelangan tangan kanannya
pada ujung kerisnya sendiri. Goresan yang dalam dan dengan demikian telah
memotong urat nadinya.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
terkejut bukan buatan. Sekali lagi Kiai Gringsing mencoba menghentakkan ujung
cambuknya. Namun ia sudah terlambat. Ujung keris itu telah melukai tangan Kiai
Telapak Jalak sendiri.
Sejenak kelima orang yang
mengitarinya itu berdiri termangu-mangu. Mereka melihat Kiai Telapak Jalak yang
lemah itu kemudian berjongkok sambil menyeringai menahan sakit-sakit di
tubuhnya.
“Kalian tidak akan dapat
menangkap aku hidup-hidup,“ ia masih berdesis. Tetapi suaranya telah hampir
tidak terdengar lagi.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia masih sanggup mengobati luka-luka di tubuh Kiai Telapak Jalak.
Tetapi racun keris itu akan bekerja sangat cepat di tubuh pemiliknya. Apalagi
Kiai Gringsing yakin, bahwa Kiai Telapak Jalak pasti tidak akan bersedia untuk
menelan obat yang dapat mengurangi kekerasan kerja racun itu. Terlebih-lehih
lagi, tubuh Kiai Telapak Jalak sudah terlampau lemah oleh luka-lukanya dan
darahnya yang mengalir tidak henti-hentinya.
Namun sejenak kemudian
darahnya seakan-akan telah membeku. Titik-titik darah dari luka-lukanya,
semakin sendat mengalir. Namun dengan demikian tubuh itu pun menjadi semakin
tidak berdaya.
Dan akhirnya, Sutawijaya dan
orang-orang yang mengelilingi Kiai Telapak Jalak itu melihat orang yang keras
hati itu pun terjatuh dan tidak akan bangkit untuk selama-lamanya.
Kiai Telapak Jalak meninggal.
Meninggal oleh kerisnya sendiri. Namun demikian, kelima orang yang berdiri di
sekelilingnya masih juga menundukkan kepalanya. Ternyata Kiai Telapak Jalak
benar-benar seorang yang keras hati. Namun sayang, bahwa ia telah mengeraskan
hatinya di dalam kesesatannya.
Orang-orang yang berdiri di
sekitar Kiai Telapak Jalak yang sudah meninggal itu seakan-akan tersedar dari
angan-angan mereka, ketika mereka mendengar sorak di arena. Ternyata
orang-orang Kiai Telapak Jalak yang terakhir telah melarikan dirinya,
meninggalkan kawan-kawannya yang terluka dan terbunuh di peperangan itu.
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Kematian Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar merupakan satu langkah
maju bagi usahanya membuka Alas Mentaok. Tetapi kematian kedua orang itu
ternyata mendekap rahasia yang masih tersimpan di balik pepohonan yang lebat di
hutan Ment aok. Sutawijaya berpendapat, bahwa pasti masih ada orang-orang lain
yang terlibat di dalam gerombolan mereka. Pasti bukan sekedar Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak.
Jalan pikiran orang-orang yang
berada di sekeliling Kiai Telapak Jalak yang sudah terbujur di tanah itu
ternyata tidak jauh berbeda. Mereka telah membayangkan sesosok tubuh yang
diliputi oleh rahasia. Dan orang yang penuh rahasia itu pasti berhubungan atau
malahan berada di istana Pajang.
Dan tiba-tiba saja angan-angan
Agung Sedayu bergeser kepada kakaknya Untara yang menurut pendengarannya kini
berada di daerah yang langsung dapat dibayangi perkembangan Alas Mentaok.
“Tetapi pasti bukan Kakang
Untara,“ Agung Sedayu menghentakkan giginya rapat-rapat. “Ia seorang prajurit.
Seorang senapati yang memiliki prajurit segelar sepapan. Meskipun ia mendapat
perintah untuk membayangi daerah yang baru berkembang ini, namun tentu ia akan
mempergunakan cara seorang prajurit. Bukan cara yang licik dengan bermain
hantu-hantuan.”
Tetapi Agung Sedayu tetap
menyimpan persoalan itu di dalam hatinya. Meskipun ia masih juga dibayangi oleh
kebimbangan, tetapi ia berusaha untuk mengendapkan hal itu di dalam dirinya
sendiri.
“Mungkin orang lain tidak akan
berpikir sejauh itu,“ katanya di dalam hati. “Kalau aku bertanya kepada
seseorang, maka justru akan dapat menimbulkan persoalan bagi mereka yang
sebelumnya tidak pernah mempertimbangkannya.”
Demikianlah, maka ketika
matahari kemudian memanasi hutan Mentaok, para pengawal dan penghuni barak yang
tidak mengalami cidera apa pun, segera menjadi sibuk pula mengurusi
kawan-kawannya yang telah terluka dan bahkan ada juga yang dengan kerongkongan
yang serasa kering, mengangkat tubuh-tubuh sahabatnya yang gugur di dalam
peperangan itu.
“Kita tidak dapat
menghindarkan korban di antara kita,“ berkata Sutawijaya. “Jer basuki mawa
beya. Kita harus menyerahkan tebusan bagi kesejahteraan yang kita perjuangkan.
Kita masih dapat mengucap syukur bahwa korban yang jatuh itu bukan diri kita.”
Sutawijaya berhenti sejenak, lalu dengan tekanan yang dalam Ia meneruskan,
“Kita masih mendapat kesempatan hidup dan menghirup udara tanah yang telah kita
bebaskan ini, untuk beberapa lamanya. Tetapi yang telah menjadi korban itu
tidak akan lagi dapat melihat, apa yang akan terjadi atas tanah ini kelak.”
Para penghuni barak itu
mendengarkannya dengan sepenuh perhatian. Dan Sutawijaya pun berkata
selanjutnya, “Karena itu, kita tidak akan pernah melupakan mereka. Demikianlah
seharusnya. Kalau kita kelak berhasil dengan usaha kita, maka kita sudah
dialasi dengan pengorbanan-pengorbanan yang tidak ternilai harganya. Kalau kita
kelak berhasil membuat padukuhan-padukuhan yang subur di atas tanah ini, kita
tidak boleh melupakan tawur yang telah berhamburan, yang akan menjadi pupuk
buat kesuburan tanah ini. Dan itu bukan berarti bahwa kita, untuk selanjutnya
tidak akan dapat berbuat sesuatu yang mempunyai nilai yang sama dengan
pengorbanan yang telah mereka berikan. Bukan berarti bahwa apa yang kita
lakukan kemudian sekedar menyelesaikan persoalan yang telah dimulai. Kita masih
mempunyai kesempatan yang luas untuk berbuat sesuatu bagi tanah ini. Kita masih
harus mengisi wadah yang sekarang kita bina dengan pengorbanan yang mahal.
Tetapi kita harus selalu ingat, bahwa pernah terjadi perjuangan yang
memungkinkan kita membuat pengorbanan-pengorbanan lain dan mengembangkan usaha
kita di atas tanah ini.”
Orang-orang yang mendengarkan
kata-kata Sutawijaya itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Rasa-rasanya
kata-kata itu meresap sampai ke tulang sungsum. Mereka yang menyaksikan sendiri
pengorbanan yang telah diberikan oleh kawan-kawannya yang kini telah terbujur
tidak bernafas, dan ada pula yang menjadi cacat buat seumur hidupnya, tidak
akan dapat melupakannya.
“Mereka tidak akan dapat
menuntut penghargaan apa pun, dan seandainya mereka masih menyadari keadaannya,
mereka pun tidak akan menuntut penghargaan atas perjuangannya. Juga bagi
keluarganya yang ditinggalkan. Soalnya terletak pada kita sendiri. Dalam diri
kita masih tersimpan budi yang akan terungkapkan di dalam segala tindak-tanduk
dan tingkah laku. Dan apakah yang dapat kita lakukan buat mereka dan keluarga
mereka?” Sekali lagi Sutawijaya berhenti. Sekali ia menarik nafas, lalu,
“Mudah-mudahan anak-anak yang sekarang masih terlampau kecil untuk mengingat
apa yang baru saja terjadi, dan apalagi yang akan lahir kemudian akan dapat
mendengar, bahwa pernah terjadi pengorbanan-pengorbanan yang tidak ternilai
harganya. Seperti air dalam segala bentuk dan manfaatnya, namun di suatu tempat
yang barangkali tidak pernah dihiraukan lagi, terdapatlah sumbernya. Mungkin di
lereng-lereng gunung yang diselimuti oleh hutan-hutan yang lebat, mungkin di
tengah-tengah belukar yang tersembunyi.”
Orang-orang yang mendengar
kelanjutan kata-kata itu pun masih juga mengangguk-angguk. Mereka menyadari
sepenuhnya apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dengan demikian, maka dengan
kesungguhan hati, mereka pun segera menyelenggarakan segala sesuatunya dengan
sebaik-baiknya.
Tetapi ketakutan dan
kecemasan, terutama pada perempuan dan anak-anak, tidak segera dapat dihapuskan
dari barak itu. Apalagi mereka yang telah kehilangan salah seorang dari
keluarga mereka. Suami, ayah, atau anak laki-laki mereka. Maka hari-hari
berikutnya merupakan hari yang sangat suram.
Namun sejak pertempuran yang
menentukan itu, harapan-harapan yang selama itu telah hampir pudar, mulai
tumbuh kembali di hati setiap orang. Mereka berharap bahwa untuk seterusnya
mereka akan dapat bekerja dengan tenang tanpa gangguan lagi.
Dalam pada itu Sutawijaya pun
telah memerintahkan tiga orang pengawal untuk pergi ke pusat pemerintahan
Mataram, mengambil beberapa buah pedati dan beberapa orang pengawal untuk
mengambil orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang tertawan, menyerah
dan luka-luka. Mereka akan dibawa untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih
saksama, sehingga memungkinkan Mataram mengambil sikap yang sebaik-baiknya
terhadap daerah yang telah terbuka.
Sutawijaya pun telah
memerintahkan beberapa orang pengawal lewat ketiga orang pengawalnya yang pergi
ke Mataram, untuk menentramkan daerah-daerah lain yang mengalami keadaan
serupa. Daerah-daerah yang sedang dibuka, tetapi terhenti karena gangguan
hantu-hantu. Para pengawal itu harus dapat menjelaskan keadaan yang sebenarnya
telah terjadi. Mereka harus memberitahukan dan meyakinkan, bahwa
pemimpin-pemimpin dari hantu-hantuan itu telah terbunuh. Sehingga dengan
demikian maka usaha pembukaan hutan Mentaok akan menjadi lancar kembali.
Setelah semuanya tersedia,
pedati-pedati dan kelengkapannya, beberapa orang pengawal yang cukup kuat,
Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang tinggal di barak itu.
“Ternyata kalian adalah
orang-orang yang mampu menjaga diri sendiri. Aku percaya bahwa kalian
akan-tetap menjadi pengawal kerja kalian sendiri. Selain itu, beberapa
pengawalku telah aku tinggalkan di sini di bawah pimpinan Wanakerti. Mereka,
akan memimpin kalian di dalam olah kanuragan. Jangan jemu melatih diri meskipun
tampaknya daerah ini telah menjadi tenang. Tetapi siapa tahu, bahwa akan datang
lagi gangguan-gangguan yang sengaja ingin merintangi usaha kalian.“
Orang-orang yang tinggal di
barak itu mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku akan minta diri, karena
aku harus kembali ke Mataram. Dalam waktu yang tidak lama, aku akan mengirimkan
alat-alat yang lebih baik bagi kalian di sini dan di samping itu, aku juga akan
memberikan senjata yang baik buat kalian.”
Orang-orang itu masih juga
mengangguk-anggukkan kepala.
Sejenak Sutawijaya terdiam.
Dipandanginya orang-orang yang berkumpul di halaman itu. Laki-laki, perempuan,
dan kanak-anak. Dan di ujung dilihatnya Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung
Sedayu, dan Swandaru berdiri di samping beberapa orang pengawal.
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Bukan baru sekali ini dukun tua itu berbuat sesuatu untuk
ketenteraman hati sesama. Di Sangkal Putung ia telah berbuat sesuatu pula.
Bahkan hampir menentukan, bahwa kekuatan Macan Kepatihan dapat dikalahkan,
meskipun di antara mereka terdapat Sumangkar, yang kini berada pula di situ,
tetapi dalam kedudukan yang berlawanan.
Hancurnya Padepokan Tambak
Wedi, sehingga Sidanti kehilangan pangkal berpijak dan terpaksa kembali ke
Menoreh. Tetapi kedatangannya di kampung halamannya sama sekali tidak
menumbuhkan kemanfaatan, justru sebaliknya.
Di Menoreh itu pun dukun tua
itu hadir dan berbuat banyak sekali. Tanpa dukun tua itu, penyelesaian atas
Tanah Perdikan Menoreh pasti akan mengalami banyak sekali perbedaan dengan apa
yang terjadi sekarang.
Kini, di dalam kesulitan yang
hampir menggagalkan usahanya membuka tanah garapan baru di Alas Mentaok, Kiai
Gringsing dan kedua muridnya telah hadir pula.
“Suatu perbuatan yang terpuji,“
desis Sutawijaya di dalam hati, “benar-benar tanpa pamrih.”
Tetapi Sutawijaya tidak dapat
berangan-angan terlampau lama. Orang-orang yang berkumpul di halaman itu masih
berada di tempatnya. Dan mereka masih menunggu, apakah yang akan dikatakannya
selanjutnya.
Dan Sutawijaya itu pun
berkata, “Aku akan segera meninggalkan tempat ini. Aku akan membawa semua
tawanan dan mengajak Ki Truna Podang bersama kawannya dan anak-anaknya bersama
kami menghadap Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Semua orang dengan serta-merta
berpaling kepada Kiai Gringsing yang mengerutkan keningnya. Sejenak
dipandanginya wajah Sumangkar. Namun kemudian ia berkata, “Maaf Raden.
Sebenarnya kami senang sekali mendapat kesempatan itu. Kami memang ingin
melihat dan apalagi menghadap Ki Gede Pemanahan. Tetapi sayang sekali, bahwa
kami tidak dapat melakukannya sekarang. Kami masih mempunyai suatu kepentingan
pribadi yang tidak dapat kami tunda lagi.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Teringat juga padanya saat-saat Kiai Gringsing menghindari pertemuan
dengan Ki Gede Pemanahan di Sangkal Putung. Karena itu, justru timbullah
keinginannya untuk mengetahui apakah sebabnya, Kiai Gringsing tidak bersedia
menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan.
“Kiai,“ berkata Sutawijaya,
“Kiai selalu menghindari pertemuan dengan ayahanda. Apakah ada suatu sebab yang
memaksa Kiai berbuat demikian?”
“Tentu tidak, Raden. Aku belum
kenal secara pribadi dengan Ki Gede Pemanahan, sehingga aku pun tidak mempunyai
persoalan apa pun. Tetapi sudah aku katakan, kami mempunyai persoalan pribadi
yang tidak dapat ditunda. Mungkin Raden mengerti juga serba sedikit, hubungan
kami dengan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Sutawijaya hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa Swandaru adalah putra Ki
Demang Sangkal Putung. Namun hal itu justru tidak akan menjadi persoalan. Yang
agaknya masih harus dipersoalkan adalah hubungan Agung Sedayu dengan anak
perempuan Ki Demang Sangkal Putung.
Namun demikian Sutawijaya
masih juga memerlukan beberapa keterangan dari orang tua itu. Sehingga dengan
demikian ia berkata, “Baiklah Kiai. Tetapi aku masih akan bertemu dengan Kiai
sejenak sebelum aku meninggalkan tempat ini.”
Kemudian kepada penghuni barak
itu Sutawijaya berkata, “Aku bersama pengawalku akan minta diri. Wanakerti akan
tinggal di sini bersama beberapa orang pengawal. Setiap saat aku akan datang
melihat perkembangan tanah yang sedang kalian buka, untuk selalu dapat
menyediakan yang kalian perlukan tepat pada waktunya.”
Orang-orang yang mendengarnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang, siapkan orang-orang
yang terluka. Mereka akan naik di atas pedati. Dan aku minta maaf kepada
tawanan-tawanan yang harus kami perlakukan dengan agak tertib, karena kami
kekurangan orang yang dapat mengamat-amat kalian, sehingga kami terpaksa
mempergunakan tali-tali untuk sementara.”
Para tawanan saling
berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian menundukkan kepala mereka.
“Kita akan segera berangkat,“
berkata Sutawijaya kemudian. Lalu kepada pengawalnya ia berkata, “Siapkan semuanya
sebaik-baiknya.”
Tetapi sebelum berangkat
Sutawijaya melangkah mendekati Kiai Gringsing sambil berbisik, “Mataram
memerlukan bantuan kalian. Dan agaknya kalian sudah mulai di daerah yang sedang
dibuka ini. Kami mengucapkan terima kasih. Tetapi kami masih mengharap bantuan
yang jauh lebih besar.”
Kiai Gringsing tertawa,
“Apakah yang dapat kami lakukan? Kami adalah orang-orang kecil yang tidak
banyak dapat berbuat. Namun demikian, biarlah kami berusaha berbuat
sebaik-baiknya untuk membantu perkembangan tanah ini.”
“Terima kasih,“ lalu, “salamku
buat Untara. Aku tahu ia berada di Jati Anom bersama sebuah pasukan yang kuat.
Tolong, berikan penjelasan, agar Untara tidak mengawasi kami seperti ketika ia
mengawasi gerakan Tambak Wedi di lereng Merapi, atau sisa-sisa pasukan Tohpati
yang berkeliaran di sekitar Sangkal Putung.”
Dada Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar karenanya. Sejenak ditatapnya wajah gurunya, namun ia tidak
mengatakan sesuatu.
“Untara adalah seorang yang
sudah menemukan kemantapan berpikir,“ berkata Kiai Gringsing. “Meskipun ia
masih muda, tetapi jiwanya sudah matang.”
“Tetapi ia seorang senapati,“
sahut Sutawijaya. “Ia akan menjalankan perintah yang diterimanya dengan baik.
Dan Untara adalah seorang senapati yang baik.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun katanya kemudian, “Tetapi Untara pasti mempunyai kebijaksanaan
di dalam menjalankan tugasnya. Ia bukan seorang yang hanya mampu melakukan
sesuatu tanpa pertimbangan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku berharap demikian. Tetapi mungkin
juga Untara mempunyai sikap yang keras terhadap tanah yang baru dibuka ini.”
Kiai Gringsing memandang
Sutawijaya sejenak, lalu bertanya, “Kenapa Raden mempunyai prasangka yang
demikian? Seakan-akan antara Mataram yang baru dibuka ini, dengan Pajang, ada
mendung yang mengalir mengantarainya. Bukankah Raden Putra Sultan Pajang
terkasih, yang menerima kepercayaan membawa tombak pusaka Istana Pajang,
Kanjeng Kiai Pleret?”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam.
“Aku memang pernah mendengar,
bahwa seakan-akan Sultan Pajang akan mengingkari janjinya atas tanah Mentaok.”
“Ya, Kiai. Ayahanda Sultan
tidak lagi teringat akan janjinya itu setelah Ayahanda Sultan menyerahkan Pati
dan terlebih-lebih lagi setelah Ayahanda Sultan menerima hadiah dari Kanjeng
Ratu Kalinyamat, yang pada saat itu sedang bertapa di bukit tanpa mengenakan
pakaian sama sekali, selain rambutnya sendiri, sepasang gadis yang cantik. Dan
agaknya itulah kelemahan Ayahanda Sultan Pajang. Meskipun usianya semakin
lanjut, namun gadis-gadis muda yang cantik akan dapat ikut serta menentukan
sikapnya di dalam pemerintahan yang mula-mula tampak penuh dengan kewibawaan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada orang yang dapat mencegahnya. Terlebih-lebih
orang-orang tua seperti Ki Gede Pemanahan, seharusnya sudah mengetahui
kebiasaan itu. Sejak muda, Mas Karebet adalah seorang laki-laki yang senang
bergaul dengan gadis-gadis manis.”
“Tetapi hal itu jangan
mempengaruhi sikap dan kewibawaannya sebagai seorang raja.”
“Tetapi khusus mengenai
Mataram, Raden, agaknya Ayahanda Sultan Pajang merasa tidak perlu
menyerahkannya sekarang, karena akhirnya akan jatuh juga ke tangan putranya,
seandainya tidak lewat Ki Gede Pemanahan.”
”Itu sekedar dugaan Kiai,
sedang Pati sudah berpacu cepat sekali. Pati sudah mempunyai kekuatan sebagai
sebuah kadipaten pesisir yang cukup besar.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Seleret
dipandanginya wajah Sumangkar yang untuk beberapa lama tinggal di Kepatihan
Jipang, sehingga ia pun pasti memahami dan bahkan pasti mempunyai sikap
terhadap perkembangan pemerintahan di Pajang. Tetapi dalam keadannya sekarang,
lebih baik kalau ia diam.
Juga di dalam pembicaraan
antara Kiai Gringsing dan Raden Sutawijaya Ki Sumangkar tidak menyahut sama
sekali. Bahkan ia selalu menundukkan wajahnya, atau melemparkan tatapan matanya
jauh-jauh. Ia selalu mencoba menghindari pandangan mata Kiai Gringsing atau
Raden Sutawijaya.
Namun, tiba-tiba saja di luar
keinginannya, justru Raden Sutawijaya-lah yang bertanya kepada Ki Sumangkar,
“Kiai, bagaimana pendapatmu? Ki Sumangkar adalah orang yang mengikuti
perkembangan pemerintahan Pajang sejak lama, meskipun arah pandangannya dari
Jipang. Tetapi bagaimana pendapat Paman?”
Ki Sumangkar hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia menjawab, “Sebaiknya aku tidak
memikirkan lagi masalah-masalah serupa itu Raden. Aku akan membawa Angger
Swandaru kembali kepada ayah dan ibunya, dan membawa Angger Agung Sedayu kepada
……, eh, ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia masih Juga bertanya, “Apakah Kiai sama sekali tidak
mempunyai sikap apa pun terhadap persoalan ini.”
“Aku memang tidak pernah
memikirkannya, Raden, sehingga karena itu, sudah barang tentu aku sampai
sekarang tidak mempunyai sikap.”
Sutawijaya tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Aku percaya bahwa kalian
mempunyai sudut pandangan yang benar terhadap Pajang saat ini. Pajang yang
sudah lain dari Pajang yang dahulu.”
“Ya. Tentu Pajang yang lain,
karena Pajang sekarang tidak mempunyai seorang Panglima pasukan yang bernama Ki
Gede Pemanahan. Juga Putra Angkat Sultan Pajang yang tidak berada di istana
lagi.”
“Sebagai seorang anak aku
tetap berbakti kepada orang tua. Orang tuaku sendiri, dan orang tua angkatku.
Karena itu, sampaikan kepada orang-orang Pajang, bahwa aku tetap berbakti
kepada Ayahanda Sultan.”
“Tetapi sebagai seorang
prajurit yang bercita-cita untuk membuka Alas Mentaok, Raden sudah menempuh
jalan sendiri.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk sekali lagi ia berkata, “Baiklah. Tetapi
kalian tidak akan salah menilai apa yang sedang kami lakukan di sini. Demikian
juga hendaknya Untara dan pasukannya yang mendapat beban di daerah selatan
ini.”
“Baiklah, Raden. Aku akan
mencoba. Aku pun percaya bahwa sebenarnya tidak ada persoalan antara dua daerah
ini. Memang hati kita sebagai manusia kadang-kadang dicengkam oleh berbagai
macam perasaan. Namun karena kita mempunyai nalar pertimbangan, maka kita harus
dapat menemukan keseimbangan dari perasaan kita itu.”
“Terima kasih, Kiai. Aku akan
selalu mencoba mencari keseimbangan itu. Perasaan yang barangkali terlalu
meluap-luap, atau bahkan sebaliknya telah membeku sama sekali.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau dan Ayahanda Ki
Gede Pemanahan pasti tidak kurang bijaksana menanggapi masalah ini.”
Sutawijaya pun tersenyum pula.
Katanya, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kami masih dapat melihat perbedaan
antara salah dan benar, antara baik dan buruk. Sudah tentu bukan saja penilaian
atas kepentingan pribadi kami semata-mata, tetapi lebih dari itu kepentingan
bagi kita semua, bagi rakyat Pajang pada umumnya.”
“Ya, ya. Demikianlah. Dan aku
percaya bahwa kau dan ayahanda akan menemukan keseimbangan itu.”
Sutawijaya tidak
mempersoalkannya lagi. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat membentuk sikap di
dalam hati Kiai Gringsing dan Sumangkar. Mereka pasti mempunyai sikap sendiri
yang telah matang di dalam diri mereka.
Karena itulah maka Sutawijaya
pun segera minta diri. Semuanya telah siap di halaman barak itu. Orang-orang
yang terluka telah berada di dalam pedati. Tawanan-tawanan yang terpaksa masih
harus diikat tangannya, karena tidak cukup banyak orang yang mengawasi mereka,
seandainya mereka tidak terikat.
Sejenak kemudian maka
Sutawijaya bersama rombongannya itu pun meninggalkan barak itu. Beberapa
pengawal berkuda berada di depan, kemudian yang lain di belakang, dan di sisi
sebelah-menyebelah dari rombongan itu.
Kepergian Sutawijaya
menumbuhkan harapan baru bagi barak terpencil itu. Ia pasti tidak akan
melupakan daerah yang baru dibuka itu untuk seterusnya, sehingga peralatan
mereka pasti akan menjadi semakin cukup. Selain itu, mereka pun telah mendapat
beberapa macam senjata yang baik, yang dapat mereka pergunakan untuk melindungi
diri mereka setiap saat. Memang pasti masih ada sisa-sisa anak buah Kiai Damar
dan Kiai Telapak Jalak, yang meskipun sudah kehilangan induknya, tetapi mereka
masih juga bergerak tanpa tujuan. Sekedar melepaskan dendam atau tujuan-tujuan
kejahatan semata-mata.
Namun Kiai Gringsing masih
selalu mengatakan kepada para pengawal, “Telapak Jalak mungkin bukan orang
terakhir. Namun setidak-tidaknya pekerjaanmu sudah menjadi semakin ringan,
untuk beberapa lama. Meskipun demikian, kesempatan ini adalah kesempatan
penempaan lahir dan batin bagi orang-orang di barak ini. Mereka baru saja
menemukan dirinya kembali. Kemenangan itu telah membuat mereka sadar, bahwa
mereka pun laki-laki. Pupuklah dan binalah dari hari ke hari. Mereka akan
menjadi pembantu-pembantu yang baik. Anak-anak mudanya tidak akan lagi
mempercayakan keselamatan dirinya dan keluarganya kepada orang lain, selain
kepada diri mereka sendiri.”
Para pengawal itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di mata mereka orang tua itu kini bukan lagi
seorang gembala yang sekedar ingin mendapat tanah garapan di daerah baru ini
dan bernama Truna Pedang.
“Tetapi bukankah Kiai akan
tinggal bersama kami di sini untuk beberapa lama?” bertanya salah seorang dari
mereka.
“Sayang. Kami masih mempunyai
tugas tertentu. Kami akan pergi ke Sangkal Putung untuk menyelesaikan tugas
ini. Meskipun tugas pribadi,” jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum.
“Tugas yang tidak dapat lagi
ditunda-tunda,“ sambung Swandaru, lalu “terutama bagi kakangku ini.”
“Ah kau,“ desis Agung Sedayu.
“Kau sudah terlampau rindu pada bunyi angkup di kampung halaman. Kenapa hanya
aku?”
“Ya, sekedar angkup nangka dan
barangkali bunyi penggeret menjelang senja. Tetapi kau lain.”
“Ah,” Agung Sedayu tidak
menyahut lagi. Kalau ia masih juga menjawab, tentu Swandaru akan semakin
berkepanjangan. Karena itu, maka Agung Sedayu lebih senang berdiam diri.
“Jadi, Kiai berdua dan
anak-anak muda ini benar-benar akan segera meninggalkan kami di sini?” bertanya
salah seorang pengawal.
“Terpaksa sekali. Tetapi kami
tidak akan melupakan tanah yang baru dibuka dan bernama Mataram ini. Pada,
suatu saat kami akan datang kembali untuk menengok kalian. Mungkin sebulan,
mungkin setengah tahun atau kapan pun. Mungkin tanah ini sudah menjadi sebuah
kota yang ramai dan berpenduduk padat, dikelilingi oleh dinding batu yang kuat
dan beregol ukir-ukiran yang disungging dengan warna-warna cemerlang.”
“Mudah-mudahan, Kiai. Dan kami
yang ada di sini sekarang akan disebut sebagai cikal bakal dari kota yang akan
lahir ini.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Lalu, “Besok kami terpaksa meninggalkan daerah ini. Berbuatlah sebaik-baiknya
bagi para penghuni yang sedang berpengharapan. Kini mereka akan bekerja lebih
keras. Tetapi ambillah waktu sedikit untuk membuat mereka menjadi pengawal
kampung halaman sendiri.”
“Baiklah, Kiai. Kami akan
mencoba. Mudah-mudahan kami tidak akan dilanda oleh badai sepeninggal Kiai.
Mudah-mudahan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak menjadi orang-orang terakhir,
meskipun masih juga ada sisanya tetapi hendaknya sekedar anak buahnya. Bukan
orang yang justru lebih kuat lagi dari Kiai Telapak Jalak.”
“Nama yang pernah kita dengar
adalah kedua nama itu. Menurut perhitunganku, tidak akan ada lagi nama baru
yang tebih besar dari Kiai Telapak Jalak untuk sementara. Seandainya kelak
timbul juga, maka ia adalah lawan bagi Ki Gede Pemanahan yang pasti tidak akan
tinggal diam.”
Para pengawal itu
menganggukkan kepalanya. Meskipun kadang-kadang masih juga membayang kecemasan
atas nasib barak ini, tetapi rasa-rasanya keadaan memang akan menjadi semakin
cerah.
Dalam pada itu, Sutawijaya
yang membawa beberapa orang pengawal yang terluka dan tawanan-tawanan,
menyelusuri jalan-jalan di antara pepohonan hutan menuju ke pusat pemerintahan
tanah Mataram yang sedang dikembangkan itu. Begitu sulitnya perjalanan,
sehingga iring-iringan itu bagaikan siput yang merayap lambat sekali.
Sekali-sekali roda pedati yang ditarik oleh sepasang lembu telah terperosok ke
dalam tanah yang gembur, sehingga beberapa orang harus turun dari kudanya dan
membantu mendorong dan mengangkat roda yang terperosok itu.
Namun demikian, mereka pun
semakin lama semakin dekat pula ke tujuannya.
Dengan wajah yang basah oleh
keringat, pakaian yang kotor dan kusut, para pengawal itu memasuki kota yang
sedang berkembang itu. Beberapa orang yang berdiri di pintu gerbang menjadi
terheran-heran melihat kedatangan. iring-iringan itu. Beberapa pengawal berkuda
yang pakaiannya bernoda lumpur, mengiringi beberapa pedati berisi orang-orang
yang terluka dan bahkan ada yang terikat.
Tetapi ceritera tentang
tawanan, orang-orang terluka, dan bahkan ceritera tentang hantu-hantuan yang
selama ini mencemaskan hati itu segera tersiar dari telinga ke telinga. Bahkan
beberapa orang segera mengetahui, mereka yang tertawan itu adalah hantu-hantu
yang selama ini membayangi tanah yang baru dibuka itu.
“O, jadi merekakah hantu-hantu
itu?” bertanya salah seorang yang menjadi terheran-heran. “Tetapi kenapa mereka
dapat tertangkap dan bahkan terikat.”
“Sama sekali bukan hantu.
Tetapi mereka menakut-nakuti seakan-akan mereka adalah hantu-hantu yang
berkuasa. Yang dapat melenyapkan diri, dapat berubah bentuk dan berkuda
semberani.”
“Jadi sekedar hantu-hantuan?”
“Ya.”
“Setan alas. Dan hampir setiap
orang menjadi ketakutan, terutama mereka yang sedang membuka tanah garapan
baru. Beberapa orang yang tidak tahan lagi terhadap gangguan hantu-hantu itu
telah mengurungkan niatnya dan meninggalkan tanah yang sedang dibuka itu.”
Kawannya hanya sekedar
mengangguk-anggukkan kepalanya, karena sebenarnya ia sendiri termasuk orang
yang menyingkir dan lebih senang tinggal di tempat yang menjadi ramai meskipun
hanya sekedar menjadi pekerja pada seorang pemilik kebun kelapa yang luas.
Dalam pada itu, setelah
menyerahkan para tawanan kepada para pengawal, maka Sutawijaja pun langsung
menghadap kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan untuk memberikan keterangan tentang
orang-orang itu.
Dengan wajah yang tegang Ki
Gede Pemanahan mendengarkan laporan putranya. Sekali-sekali ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
“Adalah kebetulan sekali orang
tua itu ada di sana,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Kalau tidak, maka semuanya
pasti akan gagal. Dan ada kemungkinan pula, kau tidak akan kembali lagi
kepadaku.”
“Ya, Ayah, memang suatu
kebetulan. Tetapi aku memang pernah minta kepada mereka untuk membantuku ketika
mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ya. Tetapi hal ini menjadi
suatu pelajaran bagi kita. Aku merasa lengah menghadapi keadaan ini. Aku kira
persoalannya tidak akan menjadi begitu jauh dan dalam. Ternyata di balik hutan
ini bersembunyi orang-orang sekuat Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Seharusnya
aku sendiri terjun ke dalam pertempuran itu. Kini aku merasa bahwa seakan-akan
aku acuh tidak acuh terhadap tanah yang justru sedang dibuka ini. Tanah yang
telah menumbuhkan ketegangan antara kita dengan Sultan Pajang.”
Sutawijaya tidak menyahut. Ia
mengerti, kenapa ayahnya menyesal bahwa ia seakan-akan tidak berbuat apa-apa
sama sekali untuk menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bahkan orang
lain yang hampir tidak berkepentingan itulah yang telah menyelesaikan.
“Sutawijaya,“ berkata Ki Gede
Pemanahan, ”aku harus menemuinya. Aku harus mengucapkan terima kasih
kepadanya.”
“Aku sudah mengundang mereka
untuk datang kemari, Ayah,“ sahut Sutawijaya, “tetapi Kiai Gringsing agaknya
berkeberatan. Ia harus segera pergi ke Sangkal Putung. Karena Ki Demang di
Sangkal Putung sudah menunggu anaknya dengan cemas. Swandaru sudah terlampau
lama pergi meninggalkan ayah dan ibunya.”
”Apakah mereka sudah
berangkat?”
”Aku tidak tahu, Ayah. Tetapi
mereka masih akan tinggal beberapa lama di barak itu.”
Ki Gede Pemanahan merenung
sejenak. Orang tua itu menimbulkan berbagai persoalan di dalam hatinya. Di
Sangkal Putung Kiai Gringsing telah menghindari pembicaraan dengan dirinya
sehingga ia tidak dapat mengucapkan terima kasih kepadanya, meskipun Kiai
Gringsing telah ikut serta menyelesaikan persoalan Macan Kepatihan. Kemudian
masih banyak lagi yang dilakukannya yang langsung bersinggungan dengan
tugasnya, sebagai Panglima prajurit Pajang pada waktu itu.
Tanpa Kiai Gringsing, agaknya
Tambak Wedi masih belum juga dapat selesai secepat itu, meskipun Ki Tambak Wedi
dan Sidanti saat itu berhasil meloloskan diri. Ternyata bahwa Kiai Gringsing
dan kedua muridnya itu pulalah yang menyusul Ki Tambak Wedi dan Sidanti ke
Tanah Perdikan Menoreh, dan membantu menyelesaikan persoalannya pula.
“Sutawijaya,“ berkata Ki Gede
Pemanahan pula, “aku akan pergi ke barak itu. Mudah-mudahan orang tua itu masih
berada di sana. Aku ingin menyampaikan terima kasih kepadanya dan barangkali
aku akan dapat mengenalinya kembali, seandainya aku pernah bertemu sebelumnya
dengan orang itu.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dengan nada yang tinggi ia bertanya, “Jadi Ayahanda akan pergi
menemuinya?”
“Ya. Aku akan menemuinya.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata bahwa persoalan yang telah terjadi itu merupakan
persoalan yang besar. Persoalan yang hampir saja menggagalkan seluruh kerja
yang sudah dimulai ini, karena ayahnya itu ternyata sangat menyesal. Bahwa
selama ini ia menganggap persoalan hantu-hantuan itu akan dapat diselesaikan oleh
putranya dan pengawalnya yang terpercaya. Namun ternyata, tanpa Kiai Gringsing
anaknya pasti sudah binasa. Sehingga tanpa Sutawijaya, baginya semua kerja yang
sudah dimulai itu tidak akan ada artinya. Tanpa Sutawijaya maka segala
cita-cita dan usaha sama sekali tidak akan berguna lagi bagi dirinya sendiri.
Karena Sutawijaya merupakan lambang dari harapan di masa mendatang di atas
Tanah yang sedang dibukanya ini.
“Jadi, kapan Ayah akan
berangkat.”
“Secepatnya. Besok bila
matahari terbit, aku sudah berada di atas punggung kuda.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin menyakini arti dari
perbuatan Kiai Gringsing, Sumangkar, dan kedua anak-anak muda itu. Sengaja atau
tidak sengaja, mereka telah membuka kemungkinan bagi tanah ini untuk berkembang
selanjutnya.
Demikianlah, di pagi hari
berikutnya, Ki Gede Pemanahan sendirilah yang pergi menemui Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar. Ki Sumangkar yang dahulu pernah berdiri berseberangan ketika
Pajang harus menghadapi Jipang sebagai lawan, meskipun keduanya diperintah oleh
adipati yang masih mempunyai hubungan darah yang dekat.
Dalam perjalanan itu, Ki Gede
Pemanahan disertai putranya Raden Sutawijaya dan pengawal-pengawal pilihan.
Bagaimana pun juga mereka masih harus berhati-hati menghadapi Alas Mentaok yang
padat pepat. Yang ternyata menyimpan rahasia yang tidak mudah diungkapkan.
Seperti rahasia yang didekap sampai saat matinya oleh Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak. Hanya sebagian sajalah dari rahasia itu yang sudah terungkapkan.
Tetapi masih ada bagian-bagian yang tersembunyi dan yang bahkan mungkin tidak
kalah berbahaya dari yang sudah pernah terjadi.
Maka di bawah tusukan cahaya
matahari pagi yang menembus dedaunan, sebuah iring-iringan telah meninggalkan
pusat pemerintahan tanah Mataram menuju ke daerah yang baru dibuka di tepi Alas
Mentaok.
Meskipun menurut perhitungan
Sutawijaya, tidak akan ada lagi bahaya yang mengancam di sepanjang perjalanan,
namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka tidak tahu pasti, apakah yang
sebenarnya telah tersembunyi di balik pepohonan di sepanjang jalan. Tetapi
seandainya ada juga sepasukan orang-orang jahat yang menghadang perjalanan itu,
sebenarnya mereka tidak perlu cemas. Bahkan seandainya Kiai Telapak Jalak
bangkit dari kuburnya atau seseorang yang setingkat dalam olah kanuragan akan
berdiri di tengah jalan. Karena di antara mereka terdapat Ki Gede Pemanahan
sendiri.
Demikianlah maka iring-iringan
itu pun kemudian menerobos hutan semakin dalam. Hutan-hutan yang semula
rindang, dan jarang, namun kadang-kadang mereka harus menembus hutan yang lebih
pepat.
Akhirnya mereka pun menjadi
semakin dekat dengan daerah yang sedang dibuka, dan yang hampir saja kehilangan
segala kesempatannya itu.
“Daerah inilah yang menjadi
daerah pengaruh Kiai Damar,“ berkata Sutawijaya kepada ayahnya.
“Dan Kiai Telapak Jalak?”
bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Di ujung yang lain dari
daerah hutan yang sedang dibuka ini. Ternyata mereka telah digerakkan oleh satu
tangan. Mungkin Kiai Telapak Jalak sendiri, tetapi mungkin masih ada orang
lain. Rahasia itulah yang masih harus kita singkapkan. Namun agaknya kekuatan
mereka telah hancur bersama kematian Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Dan
mereka memerlukan waktu yang panjang untuk memulainya lagi. Mereka tidak akan
dapat mempergunakan cara yang lama, menakut-nakuti dengan kedok hantu-hantuan
yang naik kuda sembrani.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dan selama ini kita pun ikut
juga percaya kepada hantu-hantu itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Aku selalu berusaha menemukan
mereka, Ayah. Hampir setiap kali aku meronda. Tetapi aku tidak pernah
menemukannya.”
“Dan para pemimpin pengawal
mulai menghubungi Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar.”
“Kami mencoba menenteramkan
hati mereka yang ketakutan. Tetapi hasilnya justru sebaliknya. Ternyata
keduanya adalah pelaku-pelaku utama dari pasukan hantu-hantuan itu.
Ki Gede Pemanahan tidak
menjawab lagi. Ketika ia menatap jalan sempit di hadapannya, tampaklah di ujung
jalan setapak itu, cahaya yang menerawang di antara pepohonan hutan.
“Daerah itulah yang sudah
ditinggalkan oleh penggarapnya. Mereka menjadi ketakutan dan tidak lagi berani
meneruskan kerja mereka, membuka tanah garapan baru.”
“Dan kita tidak berhasil
mencegah hal itu?”
“Tidak, Ayah. Mereka telah
menjadi ketakutan. Kami sudah mencoba menempatkan beberapa orang pengawal di
antara mereka. Tetapi kita telah gagal. Ternyata di antara para pengawal itu
terdapat juga kaki tangan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang menumbuhkan
keragu-raguan di antara para pengawal sendiri.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa betapa jauh akibat yang timbul dari
persoalan yang semula dianggapnya sebagai persoalan yang kecil, yang
perlahan-lahan akan dapat diatasi.
Sejenak kemudian mereka pun
melintasi daerah yang sudah mulai dibuka. Pepohonan yang besar sudah roboh
membujur lintang. Bahkan di sana-sini terdapat beberapa buah gubug yang sudah
mulai rusak dan tidak terpelihara.
“Mereka sudah mulai membuka
padukuhan-padukuhan kecil. Tetapi mereka segera menarik diri ketika mereka
merasa di ganggu oleh hantu-hantu,” berkata Sutawijaya pula.
“Ternyata keterangan yang
selama ini kau berikan kepadaku tidak lengkap Sutawijaya. Kau tidak
menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya.”
“Bukan maksudku, Ayah. Aku
menganggap bahwa persoalannya tidak begitu penting untuk aku sampaikan kepada
Ayah. Aku kira, aku akan dapat mengatasinya sendiri sampai pada keadaan
terakhir. Tetapi ternyata kita berhadapan dengan orang-orang yang mumpuni.
Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga merupakan seorang perencana yang
baik untuk mencoba menggagalkan usaha yang besar ini.”
Ki Gede Pemanahan tidak segera
menjawab. Diangguk-anggukkannya kepalanya. Terbayang betapa ketakutan dan
kengerian yang menyelubungi tanah-tanah garapan yang sedang dibuka itu. Dan
terbayang pula, usaha yang tidak kenal lelah dari Kiai Gringsing,
murid-muridnya bersama Sumangkar untuk membuka kedok hantu-hantuan itu.
Sejenak kemudian mereka pun
telah berada di dekat barak yang sudah mulai ramai lagi oleh kesibukan
penghuni-penghuninya yang sedang mengemasi alat-alat mereka yang selama ini
hampir tidak pernah mereka sentuh. Mereka sudah akan mulai lagi dengan kerja
mereka, membuka hutan yang lebat itu untuk tanah garapan.
Ternyata kedatangan pasukan kecil
itu benar-benar telah mengejutkan para pengawal. Mereka sama sekali tidak
menduga bahwa Sutawijaya akan begitu cepatnya kembali, apalagi bersama Ki Gede
Pemanahan sendiri.
Karena itu, maka setiap orang
di barak itu menjadi sibuk. Ada yang mempersiapkan tempat, ada yang
berlari-lari ke dapur dan ada yang langsung menyongsong kedatangan pemimpin
tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang di buka itu.
Kedatangan Ki Gede Pemanahan
disertai putra dan beberapa orang pengawal benar-benar tidak terduga-duga, sehingga
para pengawal pun menjadi bingung menerimanya.
Sejenak kemudian Ki Gede
Pemanahan pun telah duduk di serambi barak yang masih belum teratur, karena
anak-anak dan perempuan masih berada di barak itu pula. Mereka masih belum
berani kembali ke barak yang diperuntukkan bagi mereka, meskipun agaknya
keadaan telah menjadi semakin baik.
Setelah menanyakan keadaan
barak dan tanah yang akan mereka garap kembali, maka mulailah Ki Gede Pemanahan
mencari-cari. Tetapi tidak ada seorang pun yang pernah dikenalnya atau pernah
dilihatnya sebelumnya. Bahkan di antara mereka Ki Gede Pemanahan tidak melihat
pula Sumangkar.
Karena itu, maka Ki Gede
Pemanahan pun segera bertanya kepada Wanakerti, “Apakah orang yang menamakan
dirinya Truna Podang masih ada di sini?”
Wanakerti mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Ki Truna Podang telah
meninggalkan tempat ini bersama seorang saudaranya dan kedua anak-anaknya.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar tidak mau menemuinya.
Mungkin ia merasa belum datang saatnya, atau barangkali ia benar-benar tidak
mempunyai waktu lagi untuk berada lebih lama di pinggir hutan itu.
“Mereka pergi ke Sangkal
Putung,“ desis Sutawijaya. “Kalau kita menyusul mereka berkuda, kita pasti akan
menemukan mereka di perjalanan.”
Ki Gede Pemanahan
menggelengkan kepalanya.
“Jadi maksud Ayah?”
Ki Gede Pemanahan merenung
sejenak. Kemudian katanya, “Kita akan bermalam di sini. Besok kita kembali.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rencana itu telah membuat Wanakerti
menjadi bingung tetapi juga merasa tenteram. Sepeninggal Kiai Gringsing malam
itu, mereka telah ditunggui oleh Ki Gede Pemanahan sendiri, sehingga seandainya
masih juga ada bahaya yang mengancam barak itu, akan segera dapat teratasi.
Tetapi di samping itu ia menjadi bingung juga, di mana nanti malam Ki Gede
Pemanahan akan dipersilahkan tidur. Barak itu merupakan sebuah ruangan yang
memanjang hampir tanpa batas. Di dalam barak itu, bahkan sampai di serambinya,
telah penuh berderet-deret tikar dan alas tidur bagi penghuninya.
Agaknya Ki Gede melihat
kegelisahan Wanakerti. Karena itu maka katanya, “Jangan bingung di mana aku
akan tidur nanti malam. Aku adalah seorang prajurit. Setidaknya bekas seorang
prajurit. Di masa kecil pun aku hidup di sebuah padesan yang bernama Sela. Aku
sudah biasa tidur di sembarang tempat. Aku dapat tidur sambil duduk, bahkan
sambil bersandar dan berdiri.”
Wanakerti tidak menyahut. Ia
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu, selagi Ki Gede
Pemanahan berada, di daerah yang baru dibuka, yang baru saja dilanda oleh badai
yang hampir menggagalkan segala usaha itu, Kiai Gringsing dan kedua muridnya
bersama Ki Sumangkar sedang berjalan menuju ke Sangkal Putung.
Mereka berangkat hampir
bersamaan waktunya dengan keberangkatan Ki Gede Pemanahan dari pusat
pemerintahan tanah Mataram. Tetapi jarak yang ditempuh oleh Kiai Gringsing
lebih panjang dari jarak yang dilalui oleh Ki Gede Pemanahan. Apalagi Kiai
Gringsing bersama murid-muridnya dan Sumangkar hanya sekedar berjalan kaki,
sedang Ki Gede Pemanahan dan pengiringnya naik di atas punggung kuda.
Perjalanan yang sedang
dilakukan itu merupakan perjalanan yang mendebarkan hati bagi Swandaru dan
Agung Sedayu. Swandaru tiba-tiba saja merasa rindu kepada ayah dan ibunya,
kepada adiknya dan kawan-kawannya bermain. Sedang Agung Sedayu mulai dibayangi
oleh wajah Sekar Mirah. Wajah yang kadang-kadang lunak dan lembut, tetapi
kadang-kadang menyala seperti api yang berkobar-kobar. Tatapan matanya yang
kadang-kadang tampak redup itu dapat dengan tiba-tiba pula memancarkan sikapnya
yang angkuh dan tinggi hati.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Bagaimana pun juga ia sudah tertambat kepada gadis itu.
“Tidak ada manusia yang
sempurna,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya “tentu ada kelebihan dan
kekurangan. Demikian juga pada Sekar Mirah. Aku melihat kelebihan yang ada pada
dirinya sebagai seorang gadis yang lincah dan gembira, tetapi ada juga beberapa
kekurangan. Namun mudah-mudahan aku kelak akan dapat menuntunnya. Membina
kelebihan-kelebihan yang ada padanya, dan menyingkirkan
kekurangan-kekurangannya, meskipun tidak sempurna.”
Namun tiba-tiba di luar
kehendaknya sendiri, terbayang pula wajah seorang gadis lain yang mereka tinggalkan
di Tanah Perdikan Menoreh. Gadis yang mempunyai sifat yang berbeda dengan Sekar
Mirah. Meskipun keduanya sama-sama anak perempuan tunggal, tetapi putri Ki
Argapati itu sama sekali tidak manja, tidak tinggi hati dan hidup dalam suasana
prihatin karena ibunya meninggal sejak lama, sehingga ia tidak banyak mempunyai
kesempatan bermanja-manja.
“Kalau mereka kelak kawin,“
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “Swandarulah agaknya yang akan menjadi
manja.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Dipandanginya jari-jari kakinya yang melangkah, di antara rerumputan
yang kering. Namun kemudian ia berkata pula di dalam hatinya, “Mudah-mudahan
mereka kelak berbahagia. Dan mudah-mudahan aku pun berbahagia juga.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa disadarinya ia telah berada di paling belakang dari
iring-iringan kecil yang menyusup di hutan yang semakin lebat. Meskipun tidak
selebat dan seluas Alas Mentaok, tetapi Tambak Baya juga termasuk hutan yang
jarang-jarang dilalui orang. Bahkan kadang-kadang beberapa orang perampok telah
menunggu di pinggir jalan setapak di tengah-tengah hutan. Apabila ada beberapa
orang pedagang yang lewat, maka kadang-kadang mereka berani mengganggu dan
merampas barang-barang yang dibawanya. Tetapi pada umumnya pedagang-pedagang
yang berani lewat Alas Tambak Baya adalah pedagang-pedagang pang percaya kepada
kemampuan diri atau membawa beberapa orang yang dapat melindungi mereka dari
para penjahat itu.
Tetapi iring-iringan itu sama
sekali tidak perlu menghiraukan apakah mereka akan bertemu dengan penjahat atau
tidak. Mereka sama sekali tidak membawa barang-barang yang berharga selain
senjata masing-masing. Dan agaknya tidak ada sekelompok penjahat di Alas
Mentaok pun yang dapat mengganggu iring-iringan yang terdiri dari empat orang
itu. Tetapi mereka adalah Kiai Gringsing dan dua muridnya serta Ki Sumangkar.
Ketika mereka sampai di
tengah-tengah Alas Mentaok, mereka pun tertegun sejenak, ketika mereka
mendengar suara gemeremang di hadapan mereka. Kiai Gringsing yang berjalan di
paling depan berpaling. Sambil menunjuk ia berkata, “Aku kira serombongan
pedagang yang lewat.”
“Ya,“ jawab Sumangkar. ”Kalau
mereka penjahat, mereka tidak akan berbicara di antara mereka selagi ada orang
lewat.”
“Tetapi kita harus
berhati-hati,“ desis Kiai Gringsing yang mendengar desir dedaunan di
sekitarnya. Namun ia berdiri saja di tempatnya, seperti juga Sumangkar dan
kedua muridnya, seolah-olah mereka sama sekali tidak mengetahuinya.
Sejenak kemudian beberapa
orang bersenjata bermunculan di sekitarnya. Lima orang.
“He, siapakah kalian?’
bertanya salah seorang.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Kini ia mengerti, bahwa orang-orang yang bergeremang itu sengaja
menarik perhatian mereka, agar kedatangan kawan-kawannya yang mengepung itu
tidak diketahui.
“Siapa?” bentak salah seorang
dari mereka.
Kiai Gringsing masih belum
menjawab. Diamatinya saja mereka seorang demi seorang.
Dalam pada itu suara
orang-orang yang bergeremang itu pun menjadi semakin dekat. Ketika terdengar
seorang dari mereka bersiul maka salah seorang dari kelima orang bersenjata itu
pun menjawab dengan sebuah siulan pula.
Sejenak kemudian muncullah
beberapa orang menuntun beberapa ekor kuda kerdil yang dimuati dengan berbagai
macam barang. Mereka benar pedagang-pedagang yang menyeberang hutan Mentaok
bersama beberapa orang pengawal.
Beberapa orang di antara
mereka ternyata bersenjata pula, dan ikut serta mengepung Kiai Gringsing
bersama murid-muridnya dan Ki Sumangkar.
“Kalian belum menjawab.
Siapakah kalian?”
“Namaku Truna Podang,“ jawab
Kiai Gringsing.
Orang-orang itu saling
berpandangan sejenak. Lalu salah seorang bertanya pula, ”Apa maksudmu berada di
tengah-tengah hutan ini?”
“Kami akan pergi ke Sangkal
Putung.”
“Jadi kalian bukan penjahat
yang akan menyamun kami?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Tidak.”
”Dan kalian tidak takut
berjalan hanya berempat di hutan Tambak Baya ini?” bertanya yang lain.
“Kenapa takut?”
“Di hutan ini kadang-kadang
ada perampok dan penyamun.”
“Kami tidak membawa apa pun juga.
Seandainya kami bertemu dengan perampok atau penyamun, maka apa yang dimintanya
akan kami berikan.”
“Kalau nyawamu?”
“Apa boleh buat.”
Orang-orang itu saling
berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian berbicara di antara mereka
sendiri.
“Kita berjalan terus,“ berkata
para pengawal itu.
Namun demikian seorang
pedagang yang berambut putih tetapi masih cukup tegap dan kuat berkata, “Apakah
kau tidak menjumpai penyamun di perjalananmu?”
“Tidak. Aku tidak menjumpai
seorang pun.”
“Darimanakah kalian
sebenarnya?”
“Kami datang dari Alas
Mentaok. Dari daerah yang baru dibuka itu. Kami akan kembali ke Sangkal Putung
untuk mengambil alat-alat lebih banyak lagi. Agaknya tanah yang sedang dibuka
itu akan menjadi daerah yang ramai.”
Para pedagang dan pengawal itu
tidak bertanya lagi. Mereka pun segera meneruskan perjalanannya. Agaknya mereka
pun akan pergi ke Mataram atau daerah-daerah yang telah agak ramai di dekat
Pasisir Kidul, di pinggir Kali Praga.
Sepeninggal mereka maka Kiai
Gringsing pun berkata, “Perdagangan ke daerah yang baru dibuka itu dan
sekitarnya pasti menjadi semakin ramai. Jalan ini ternyata menjadi semakin
banyak dilalui, menilik rerumputan yang sudah menjadi gundul di jalan setapak
ini.”
Ki Sumangkar pun menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, ”Ya. Perdagangan di daerah selatan akan mengalir ke
barat, tidak lagi ke timur. Namun dengan demikian ketegangan antara
daerah-daerah yang berkepentingan pun kian menjadi-jadi.”
“Mudah-mudahan tidak
menumbuhkan persoalan yang sama tidak dikehendaki.”
Sumangkar masih ingin
menjawab. Tetapi tiba-tiba ia menelan ludahnya seakan-akan ia telah menelan
kata-kata yang hampir terloncat dari bibirnya. Di dalam hati ia bergumam, “Aku
lebih baik diam. Aku kira aku tidak perlu memberikan tanggapan atas kedua
daerah yang sedang berkembang itu. Kalau lidahku salah ucap, maka akan dapat
menumbuhkan banyak persoalan pada diriku, justru karena aku berasal dari
Jipang.”
Mereka pun kemudian meneruskan
perjalanan mereka pula di bawah sinar matahari yang semakin condong ke barat,
menyusup di antara dedaunan, membuat garis-garis yang kemerah-merahan.
Ternyata perjalanan di daerah
yang masih berhutan lebat itu telah membuat langkah mereka menjadi agak lambat.
Mereka harus menghindari kayu-kayu yang roboh dan merunduk di bawah dahan-dahan
yang digayuti oleh sulur-sulur yang rendah. Namun karena jalan yang agaknya
menjadi sering dilalui, maka mereka tidak banyak menjumpai kesulitan yang
berarti.
Meski pun demikian mereka
tidak dapat mencapai Sangkal Putung di hari itu juga. Ketika matahari terbenam,
mereka masih harus berjalan terus. Mereka mencoba menghindari
padukuhan-padukuhan yang ramai di daerah Prambanan, supaya tidak menumbuhkan
kecurigaan karena mereka masih kurang dikenal di Kademangan itu. Mereka lebih senang
berjalan di bulak-bulak panjang atau apabila terpaksa, melintasi
padukuhan-padukuhan kecil saja. Namun sekali-sekali mereka tidak dapat
menghindari sebuah padukuhan yang cukup besar di hadapan perjalanan mereka.
Tetapi karena hari masih belum terlampau malam, maka mereka pun tidak banyak
mengalami gangguan. Hanya kadang-kadang seorang dua orang yang berdiri di ujung
padukuhan menyapanya dan bertanya tujuannya. Tetapi mereka tidak pernah
menghentikannya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersungguh-sungguh.
Apalagi gardu-gardu peronda masih belum terisi, sehingga mereka tidak banyak
mengalami gangguan.
Demikianlah mereka berjalan
semakin cepat. Setelah mereka melintas beberapa padukuhan, maka mereka kembali
memasuki hutan-hutan yang membujur di timur. Tetapi hutan-hutan itu sudah bukan
lagi hutan-hutan lebat. Di pinggir hutan itu telah banyak terdapat tanah
garapan. Namun agaknya karena masih belum dibuat parit-parit yang dapat
mengairinya, tanah garapan yang masih merupakan pategalan itu masih belum
banyak menghasilkan.
Meskipun demikian, di
hutan-hutan yang tidak begitu lebat itu masih juga terdapat beberapa pasang
harimau yang kadang-kadang mengganggu padukuhan-padukuhan di sekitarnya.
Namun demikian Kiai Gringsing
dan kedua muridnya beserta Sumangkar telah bertekad untuk berjalan terus,
sehingga mereka akan sampai ke Sangkal Putung sebelum tengah malam.
Untunglah bahwa mereka adalah
orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh yeng baik karena latihan-latihan yang
berat sebelumnya, sehingga meskipun mereka berjalan sehari penuh, bahkan lebih
hampir separo malam dengan waktu istirahat yang sangat pendek, namun mereka
masih tampak cukup segar.
Demikianlah ketika mereka
menjadi semakin dekat dengan Kademangan Sangkal Putung, maka mereka pun menjadi
semakin berdebar-debar. Kademangan itu sudah agak lama mereka tinggalkan,
sehingga mungkin sudah ada beberapa perubahan yang cukup berarti.
Namun kini Sangkal Putung
sudah bukan menjadi daerah yang perlu mendapat perlindungan prajurit karena
tidak ada lagi gangguan yang dapat mengancam kademangan itu. Widura sudah tidak
berada lagi di Sangkal Putung. Tetapi bersama-sama dengan Untara mereka berada
di Jati Anom
“Agar tidak nampak jelas,
bahwa mereka sedang mengamat-amati perkembangan daerah baru itu,“ desis Agung
Sedayu di dalam hati. “Adalah kebetulan Kakang Untara berasal dari Jati Anom.”
Tetapi Agung Sedayu tidak
mengatakannya kepada siapa pun juga, meskipun ia mengira bahwa baik Kiai
Gringsing maupun Sumangkar dan bahkan juga Swandaru, mempunyai pikiran yang
serupa itu pula.
Tiba-tiba saja langkah mereka
berempat itu tertegun ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda. Sejenak
kemudian muncullah di hadapan mereka dalam keremangan malam, bayangan beberapa
orang berkuda mendekatinya, sehingga mereka pun harus segera menepi.
Tetapi ketika tampak oleh para
penunggangnya, maka kuda-kuda itu pun segera berhenti beberapa langkah dari
Kiai Gringsing dan rombongannya.
“Siapakah kalian?” terdengar
salah seorang dari mereka bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ternyata mereka adalah prajurit-prajurit Pajang. Agaknya mereka
sedang meronda. Namun memang agak berlebih-lebihan, bahwa di daerah yang aman
ini mereka meronda bersama-sama empat orang sekaligus.
“Tetapi mungkin juga mereka
mempunyai kepentingan lain,“ desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Siapa, he?” prajurit itu
mengulangi.
“Kami orang-orang Sangkal
Putung, Tuan,“ jawab Kiai Gringsing.
“Dari mana?”
Sejenak Kiai Gringsing
termangu-mangu, namun kemudian, “Kami baru saja kembali dari Prambanan menengok
saudara kami yang tinggal di sana.”
“Kenapa malam-malam begini?
Kenapa tidak besok pagi atau siang tadi.”
“Kami berangkat pagi-pagi dari
Sangkal Putung. Dan kami berusaha untuk hari ini juga sampai di rumah kami,
karena besok kami mempunjai kewajiban di sawah dan ladang kami.”
Sejenak prajurit-prajurit itu
mengamat-amati Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Karena tidak ada yang
mencurigakan, maka prajurit-prajurit itu pun kemudian berkata, “Hati-hatilah.”
Kiai Gringsing memandang
orang-orang berkuda itu sejenak. Namun ia tidak sempat menjawab dan bertanya
apa pun lagi. Orang-orang berkuda itu pun segera meninggalkan mereka berdiri
termangu-mangu.
Ketika orang-orang berkuda itu
sudah menjadi semakin jauh, maka Kiai Gringsing pun berdesis, “Kenapa harus
berhati-hati? Bukankah daerah ini sekarang menjadi daerah yang aman?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya. Daerah ini sebenarnya termasuk daerah yang aman
sekarang. Mungkin sebagai prajurit adalah menjadi kebiasaannya untuk berpesan
begitu kepada bawahannya, atau kepada siapa pun juga.”
Kiai Gringsing pun
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi pesan itu telah berkesan di
hatinya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi tentang pesan itu.
Ternyata seperti gurunya,
Agung Sedayu pun mempersoalkan pesan itu di hatinya. Namun kemudian ia berkata,
“Mungkin aku terlampau peka mendengar setiap pesan orang lain setelah aku
berada di daerah yang selalu diliputi oleh kegelisahan untuk waktu yang agak
lama. Mudah-mudahan tidak ada persoalan apa pun yang tumbuh lagi di daerah
ini.”
Demikianlah maka keempat orang
itu pun melanjutkan perjalanan mereka ke Sangkal Putung. Jarak itu menjadi
semakin lama semakin pendek, sehingga akhirnya kaki mereka pun telah melangkah
masuk ke dalam lingkungan wilayah Kademangan Sangkal Putung.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Sambil menengadahkan kepalanya ia berkata, “Alangkah segarnya
udara Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun berkata, “Ya. Alangkah segarnya
udara Sangkal Putung. Setelah sekian lama kita meninggalkan daerah ini, masih
juga daerah ini bersedia menerima kita lagi.”
Tanpa dikehendakinya sendiri
Agung Sedayu pun tiba-tiba telah menarik nafas dalam-dalam pula, seolah-olah
udara di atas daerah Sangkal Putung itu memang memberikan kesegaran bagi
mereka.
Demikianlah maka mereka pun
segera melanjutkan langkah mereka. Seperti ketika berada di Prambanan, mereka
pun berusaha menghindari padukuhan-padukuhan yang ramai agar perjalanan mereka
tidak terganggu. Apalagi apabila orang-orang padukuhan itu mengenal mereka
sebagai Swandaru, maka langkahnya pasti akan terhenti setiap kali untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan sangat menjemukan sebelum ia
menghadap ayah dan ibunya, Demang di Sangkal Putung.
Karena itu, maka mereka pun
berusaha melalui jalan-jalan di bulak-bulak dan bahkan kadang-kadang lewat
pematang yang memintas. Selain menghindari orang-orang Sangkal Putung yang
kebetulan sedang meronda, dengan demikian mereka pun akan segera sampai ke
induk kademangan.
Tetapi, apabila perlu, untuk
menghindari peronda di gardu-gardu yang terletak di mulut lorong padukuhan,
maka mereka justru lewat jalan yang agak memutar, sekedar untuk menghindari
gardu itu. Sebab Swandaru menganggap bahwa di gardu-gardu itu pasti masih
banyak anak-anak muda yang sedang meronda atau sekedar duduk sambil berbicara
bersama kawan-kawannya.
Dengan demikian maka
perjalanan mereka benar-benar tidak terganggu. Ada juga satu dua orang yang
sedang berada di sawah menunggui air parit yang mengaliri sawahnya itu. Tetapi
orang-orang itu agaknya tidak berusaha menyapanya. Bahkan mereka seakan-akan
tidak melihat mereka atau sama sekali acuh tidak acuh.
Namun sikap-sikap itu tidak
begitu menarik perhatian, apalagi Swandaru yang ingin segera sampai ke
rumahnya. Menemui ibu bapaknya.
Ketika mereka turun ke jalan
yang langsung menusuk padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, maka dada
Swandaru menjadi semakin berdebar-debar. Juga dada Agung Sedayu. Bahkan terasa
kakinya menjadi berat untuk melangkah maju. Berbagai perasaan telah bergulat di
dalam dirinya. Tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang pesan Sutawijaya
yang tiba-tiba telah meloncat di kepalanya. Pesan untuk kakaknya Untara yang
seolah-olah telah menempatkan dirinya ke dalam suatu keadaan yang dipisahkan
oleh batas yang tidak kasat mata.
Tetapi Agung Sedayu berusaha
menenangkan dirinya. Katanya di dalam hati, “Biarlah aku pikirkan besok. Aku
masih belum akan bertemu dengan Kakang Untara malam ini. Bahkan besok pun
belum.”
Seperti yang mereka duga, maka
di regol padukuhan itu masih juga terdapat sebuah gardu yang terisi oleh
beberapa orang peronda. Dan mereka berempat tidak akan dapat menghindari para
peronda itu, kecuali apabila mereka memasuki padukuhan itu lewat jalan-jalan
sempit di antara kebun-kebun yang rimbun.
Ternyata bahwa para peronda
itu melihat mereka di dalam keremangan malam. Salah seorang dari para peronda
itu meloncat turun dari gardu dan berjalan maju beberapa langkah disusul oleh
dua orang yang lain.
“Berhentilah, Ki Sanak,“ sapa
salah seorang peronda itu “siapakah kalian?”
Kiai Gringsing, dua orang
muridnya dan Sumangkar berhenti beberapa langkah dari peronda itu.
“Siapakah kalian dan hendak
pergi ke mana?”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Namun sudah tentu bahwa kepada orang-orang Sangkal Putung ia tidak
akan dapat menyembunyikan diri. Terlebih-lebih lagi Swandaru dan Agung Sedayu
yang pasti sudah dikenal oleh anak-anak muda. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu
lagi ia menjawab, “Aku mengantar putra Ki Demang.”
Para peronda itu mengangkat
wajahnya. Sesuatu terlintas pada kesan di wajah mereka. Bahkan mereka pun
saling berpandangan sejenak, lalu salah seorang dari mereka berkata, “Putra Ki
Demang yang manakah yang kalian maksudkan?”
Kiai Gringsing menepuk bahu
Swandaru, lalu didorongnya anak muda itu maju selangkah sambil berkata, “Apakah
kalian pernah mengenal anak muda yang bulat ini.”
Para peronda itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian hampir berbareng mereka berdesis,
“Swandaru. Swandarukah ini?”
Swandaru tidak menjawab. Ia
hanya tersenyum, saja melihat tingkah laku para peronda itu. Mereka yang masih
berada di atas gardu itu pun segera berloncatan turun. Serentak mereka maju
mendekati anak muda yang gemuk itu dan mencoba mengamat-amatinya di dalam
keremangan malam.
“He, kaukah Swandaru Geni?”
seorang anak muda maju.
“Apakah kau tidak mengenal aku
lagi?” jawab Swandaru.
“O, kau,“ seorang anak muda
yang lain langsung menepuk perutnya. “Kau masih juga sebulat jeruk gulung.”
Para peronda itu pun segera
mengelilingi dan hampir tidak menghiraukan lagi orang-orang yang lain, yang
datang bersama Swandaru itu. Berebutan mereka memberikan salam dan menepuk
bagian-bagian tubuhnya. Pundaknya, lengannya, perutnya bahkan punggungnya.
“Kau agak susut sedikit,“
berkata seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusan, “tetapi dengan demikian
kau menjadi semakin tampan.”
“Ya, badanmu agak susut
sedikit.”
“Ya. Swandaru menjadi
bertambah langsing.”
Dan seperti yang dicemaskan
Swandaru itu pun terjadilah. Seperti grojogan sewu, kawan-kawannya melontarkan
seribu macam pertanyaan berurutan sehingga Swandaru menjadi bingung.
“Ke mana saja kau selama ini,
Swandaru?” dan sebelum Swandaru menjawab, yang lain telah memotong, “Kami
sangat merindukan kau. Apakah kau pergi bertapa he?” Dan yang lain, “He, apakah
kau membawa oleh-oleh buat kami?”
Swandaru tertawa saja. Katanya
kemudian, “Simpanlah pertanyaan kalian. Aku akan segera menemui Ayah dan Ibu
lebih dahulu. Besok datanglah ke kademangan. Kita dapat berbicara semalam
suntuk sambil membakar sate. Setuju?”
“Ya, baik, baik. Besok kita
akan datang. Kau harus memotong seekor kambing yang gemuk dan muda.”
“Semuda kau?” bertanya
Swandaru.
Anak-anak muda itu tertawa,
dan Swandaru berkata, “Sekarang, aku minta ijin untuk menemui ayah ibuku lebih
dahulu, karena mereka memang sedang menunggu kedatanganku.”
“Ya, ya. Silahkan. Tetapi
besok jangan ingkar janji.”
“Aku tidak pernah ingkar. Aku
undang kalian besok ke rumah. Aku akan memotong seekor kelinci, eh, seekor
kambing. Kambing yang paling baik buat makan bersama kawan-kawan sekalian.”
Demikianlah maka Swandaru pun
minta diri kepada kawan-kawannya, yang melepaskannya sambil berkata hampir
berbareng, “Besok kami akan datang. Lepas matahari turun di barat.”
“Ya. Lepas matahari turun.”
“Menjelang senja. Aku datang
menjelang senja.”
“Baik, baik. Menjelang senja.”
“Jadi, yang mana?”
“Aku menunggu kapan pun kalian
datang,” sahut Swandaru.
Anak-anak muda itu tertawa.
Mereka kemudian memandang Swandaru berjalan di antara tiga orang
kawan-kawannya. Semakin lama semakin jauh dari gerdu itu dan hilang di dalam
gelapnya malam. Mereka masuk ke jalan padukuhan semakin dalam menuju ke halaman
rumah. Kademangan.
“Siapakah tiga orang yang
lain?” bertanya salah seorang anak muda yang berdiri di sebelah gardu.
Kawannya menggelengkan
kepalanya. ”Entahlah. Mungkin pengiring-pengiringnya.”
“Aku pernah melihat. Mereka
adalah orang-orang yang dahulu berada di Kademangan atau di banjar. Yang tua
itu pun aku pernah melihat. Yang seorang agaknya yang selalu mengawasi Sekar
Mirah, apalagi kalau bepergian.”
“O ya. Orang tua itu agaknya
pemomong Sekar Mirah. Tetapi tidak sejak kecil. Mungkin karena ia menjadi
semakin dewasa dan semakin cantik diperlukan seorang pengawas yang khusus.”
“Yang seorang, kita pun pasti
pernah melihat. Dahulu, ketika daerah ini masih dibayangi oleh kekuatan Tohpati
yang bergelar Macan Kepatihan.”
“O, ya. Dan yang muda itu
adalah adik Untara, aku ingat, Anak muda itu adik Panglima pasukan Pajang di
daerah ini. Anak muda yang berasal dari Jati Anom.”
“O, ya. Aku ingat sekarang.
Anak muda yang rendah hati yang ternyata telah menyelamatkan padukuhan ini dari
terkaman Tohpati. Aku ingat sekarang. Aku ingat bagaimana ia datang ke
padukuhan ini. Bagaimana ia mendapat banyak perhatian dari setiap orang, dan
terutama Sekar Mirah. Bagaimana kemudian Sidanti menjadi cemburu kepadanya. O,
jelas sekali. Kenapa aku tadi tidak menyapanya, he? Kenapa aku, dan kau dan
kita semua tidak bertanya apa pun kepadanya?”
“Kita agaknya ragu-ragu. Atau
belum teringat tentang dirinya dan kedua orang tua-tua itu.”
“Ah besok kita bertemu lagi
dengan mereka. Besok kita akan dijamu oleh Swandaru dengan seekor kambing yang
gemuk dan muda. Kita dapat bertanya tentang apa saja dan tentang anak muda yang
bernama Agung Sedayu itu. Ha, bukankah namanya Agung Sedayu?”
“Ya, namanya Agung Sedayu.
Sekarang kita ingat jelas tentang dirinya. Agung Sedayu. Agung Sedayu.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas teringat oleh mereka, apa yang pernah
dilakukan oleh Agung Sedayu. Di tengah malam ia datang seorang diri selagi
Sangkal Putung dibayangi oleh kekuatan sepasukan prajurit Jipang yang dipimpin
oleh Macan Kepatihan. Hampir tidak masuk akal bahwa seorang anak muda yang
bukan prajurit, mempunyai keberanian seperti Agung Sedayu.
“Tentu ia memiliki keberanian
yang berlebihan,“ berkata mereka di dalam hati, “karena ia adalah adik seorang
senapati muda yang namanya sejajar dengan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan
itu.”
Namun mereka sama sekali tidak
membayangkan bahwa Agung Sedayu saat itu hampir pingsan ketika ia melihat pohon
randu alas yang besar di tikungan, yang seolah-olah mencegatnya dengan sorot
matanya yang hanya sebuah. Gendruwo yang hanya bermata tunggal.
Dan tidak seorang pun yang
membayangkan pula, bagaimana Agung Sedayu berusaha melarikan diri dari kejaran
Alap-Alap Jalatunda. Sehingga dengan ketakutan ia membenamkan diri ke dalam
parit di pinggir jalan.
Tetapi semuanya itu seolah-olah
tidak membekas lagi di dalam diri Agung Sedayu itu. Seperti yang dilihat oleh
orang-orang Sangkal Putung, Agung Sedayu adalah pahlawan bagi mereka, bagi
Sangkal Putung. Pahlawan yang rendah bati.
Demikianlah maka keempat orang
itu sudah menjadi semakin dekat dengan halaman rumah Ki Demang di Sangkal
Putung. Dengan demikian hati anak-anak muda itu pun menjadi semakin
berdebar-debar.
Apalagi ketika mereka melihat
sebuah pelita di gardu yang ada di pinggir regol halaman kademangan. Dada
Swandaru pun serasa terguncang karenanya. Sudah lama sekali ia tidak melihat
suasana itu. Suasana yang rasa-rasanya seperti di dalam mimpi, setelah untuk
beberapa lamanya Swandaru berada di pinggir Alas Mentaok bergulat dengan
hantu-hantuan yang dikendalikan oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Seperti di gardu di ujung
lorong, maka para peronda di regol halamannya itu pun menjadi ribut. Mereka
mengerumuni Swandaru sambil menepuk-nepuk tubuhnya yang gemuk itu.
“Seluruh kademangan sudah
menunggu kedatanganmu,“ berkata salah seorang dari mereka.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. ”Terima kasih. Agaknya karena itulah aku selalu keduten di belakang
telinga.”
Agaknya keributan di halaman
itu telah membangunkan Ki Demang di Sangkal Putung, sehingga ia pun kemudian bangkit
dan pergi ke pintu pringgitan.
“Kenapa anak-anak itu menjadi
ribut?” ia bertanya kepada diri sendiri.
Ki Demang pun kemudian membuka
pintu pringgitan, dan menjenguk ke halaman. Dilihatnya beberapa orang yang
berkerumun sambil berbicara di antara mereka.
Sejenak Ki Demang
termangu-mangu. Namun kemudian ia pun melangkah mendekati para peronda yang
sedang ribut itu.
Tiba-tiba saja langkah Ki
Demang tertegun. Lamat-lamat ia mendengar suara yang dikenalnya baik-baik.
Suara anaknya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya dari tangga pendapa, ”He,
siapa itu?”
Semua orang berpaling ke
arahnya. Juga Swandaru, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.
“Ayah,“ tiba-tiba Swandaru
berteriak. Sejenak kemudian ia pun segera berlari mendapatkan ayahnya yang
berdiri di tangga pendapa.
“Ayah, aku datang,” desis
Swandaru kemudian sambil memeluk perut ayahnya karena ayahnya masih berada di
atas tangga.
“Kau sudah pulang?” suara
ayahnya tiba-tiba menjadi dalam. Ditepuknya kepala anaknya beberapa kali. Lalu,
”Dengan siapa kau datang?”
Swandaru melepaskan ayahnya
sambil berpaling. Dilihatnya Kiai Gringsing, Sumangkar, dan Agung Sedayu
melangkah mendekatinya.
“O, selamat datang Kiai,“ sapa
Ki Demang sambil turun dari tangga. ”Marilah, silahkan.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar
menganggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka menjawab, “Terima kasih Ki
Demang.”
“Dan agaknya kau juga Sedayu.”
“Ya, Ki Demang.”
“Kakang Sedayu pasti selalu
bersama kami,“ potong Swandaru. “Ia tidak akan berani ditinggalkan di mana pun
juga.”
“Ah,“ desis Ki Demang, lalu
“marilah. Silahkan, masuk ke pringgitan.”
Mereka pun kemudian naik ke
pendapa dan masuk ke pringgitan. Dengan tergesa-gesa seorang anak muda telah
membentangkan tikar yang putih untuk tempat duduk mereka.
Tetapi Swandaru tidak ikut
duduk bersama mereka. Ia langsung masuk ke ruang dalam sambil memanggil, “Ibu,
Ibu. Aku sudah datang.”
Sekar Mirah yang mendengar
suara kakaknya segera meloncat dari pembaringannya. Sambil berlari-lari ia
mendorong daun pintu biliknya dan langsung pergi ke ruang dalam.
Tetapi Swandaru telah masuk ke
bilik ibunya. Ketika Sekar Mirah menyusulnya, dilihatnya ibunya yang duduk di
pembaringan memeluk kepala kakaknya yang berlutut di hadapannya.
“Sudah lama sekali aku
menunggu. Aku menjadi cemas kalau terjadi sesuatu atasmu, sehingga aku minta
pertolongan Ki Sumangkar untuk mencarimu. Yang pertama bersama dengan Sekar
Mirah. Kemudian Ki Sumangkar pergi sendiri. Apakah kau tidak bertemu dengan
orang itu?” berkata ibunya dengan suara serak
“Aku datang bersama Ki
Sumangkar, Kakang Agung Sedayu, dan Kiai Gringsing.”
“O,” Sekar Mirah-lah yang
menyahut, “kau datang bersama Kakang Agung Sedayu?”
Swandaru berpaling. Ditatapnya
mata Sekar Mirah yang seakan-akan memancar cerah sekali. Karena itu maka timbullah
keinginan Swandaru untuk mengganggunya, katanya, “Kenapa kau bertanya tentang
Agung Sedayu? Kau belum bertanya tentang aku. Tentang keselamatanku dan
keselamatan gurumu.”
Wajah Sekar Mirah menjadi
merah.
“Aku memang datang bersama
Agung Sedayu. Tetapi anak itu terus pergi ke Jati Anom. Ia sudah terlampau
rindu kepada kakaknya Untara dan sanak kadangnya.”
“Bohong. Ia pasti singgah
kemari.”
“Buat apa singgah kemari? Di
sini tidak ada siapapun yang termasuk keluarganya.”
Sekar Mirah tidak memperdulikannya
lagi. Tiba-tiba saja ia berlari ke luar.
“Mirah, Mirah. Tunggu dulu,”
panggil Swandaru.
”Mirah,“ panggil ibunya
“jangan tergesa-gesa menemuinya.”
Tetapi Sekar Mirah tidak
mendengarnya. Ia berlari melintasi ruang dalam langsung ke pringgitan. Ia tahu
bahwa tamu-tamu itu pasti berada di pringgitan.
Tetapi ketika ia sampai ke
pintu pringgitan, hampir saja ia melanggar ayahnya yang melangkah masuk.
“O,“ desis Sekar Mirah.
“Kau mau ke mana Milah?”
bertanya ayahnya.
Sekar Mirah tidak menyahut.
Tetapi kepalanya ditundukkannya.
Ayahnya tidak bertanya lagi.
Dibimbingnya saja Sekar Mirah kembali ke bilik ibunya. Katanya “Nah, itu
kakakmu sudah datang. Bukankah selama ini kau selalu bertanya, kenapa Swandaru
masih belum datang. Sekarang ia sudah datang.”
“Kakang Swandaru selalu
mengganggu aku. Ia masih nakal seperti dahulu,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
Ayahnya memandang Swandaru
yang masih berlutut. Tetapi anak muda itu pun kemudian ditarik oleh ibunya dan
didudukkannya di bibir pembaringan.
“Aku hanya mengatakan kalau
Kakang Agung Sedayu datang bersama aku, Ayah. Lalu Sekar Mirah berlari-lari ke
pringgitan meskipun aku sudah mencegahnya.”
“Hanya itu?”
“Ya, hanya itu.”
“Bohong. Kau katakan bahwa
kakang Agung Sedayu langsung pergi ke Jati Anom.”
“Seandainya demikian, apa
salahnya?” bertanya ayahnya.
“Ah, Ayah,” Sekar Mirah
mencubit ayahnya sehingga ayahnya menyeringai.
“Sudah, sudah Mirah. Ia tidak
pergi ke Jati Anom. Ia ada di sini.“
”Aku tidak memerlukan anak
itu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa Kakang Swandaru berbohong.”
“Sudahlah,“ desis ibunya
sambil bangkit berdiri. “Mirah. Marilah kita pergi ke dapur.”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Dan ibunya bertanya pula
kepada Swandaru, “Sejak kapan kalian berangkat dari tempat tinggal kalian yang
terakhir?”
“Sejak matahari terbit, Ibu,“
jawab Swandaru. “Sehari penuh aku tidak makan apa pun, ditambah ujung malam
ini. Aku memang lapar sekali.”
“Ah,“ potong Sekar Mirah,
“itukah caramu berprihatin? Seharusnya kau tidak mengeluh meskipun tiga hari
tiga malam kau tidak makan.”
“Aku juga tidak makan, bukan
saja tiga hari tiga malam, tetapi lebih dari sepekan.”
“Tidak makan apa?” bertanya
Sekar Mirah.
“Tidak makan kerikil.”
Ayah dan ibunya tersenyum
mendengar jawaban itu. Sekar Mirah justru memberengut. Tetapi ia segera pergi
ke luar. Ketika ia tidak dapat menahan senyumnya, ia pun pergi menghindar. Ia
tidak mau memperlihatkan senyum itu kepada Swandaru.
Demikianlah, maka ibu Swandaru
dan Sekar Mirah pun segera pergi ke dapur. Seorang pelayan pun dibangunkannya
pula untuk membantu mereka menyiapkan minum dan makan, karena mereka hampir
tidak makan nasi di sepanjang perjalanan.
Tetapi sebenarnya hal itu
tidak mengganggu sama sekali. Apalagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang
sudah melatih diri menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga sulitnya.
Sedangkan Agung Sedayu dan Swandaru pun sudah berlatih pula mengurangi makan
dan minum serta keperluan-keperluan jasmaniah yang lain, untuk membiasakan diri
apabila mereka menghadapi keadaan yang sulit sekali di luar perhitungan mereka.
Selagi Nyai Demang berada di
dapur, maka berita tentang kedatangan Swandaru bersama Agung Sedayu itu sudah
menjalar. Para peronda yang berkeliling di malam hari mengatakannya kepada
setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang yang ada di gardu-gardu kecil di
sudut-sudut padesan, orang yang pergi ke sawah untuk menengok apakah air sudah
mengalir, dan orang-orang yang kebetulan keluar rumah di malam hari.
Ketika dua orang peronda yang
berkeliling lewat di depan rumah seorang kawannya yang baru saja melahirkan
anaknya, dan di pendapa rumah itu beberapa orang anak muda sedang duduk
berkelakar dan di pringgitan orang-orang tua sedang mengelilingi sebuah lampu
minyak dan kitab yang berisi kidung, maka kedua peronda itu singgah juga
sejenak. Kepada anak-anak muda di pringgitan mereka bercerita, bahwa Swandaru
telah pulang bersama Agung Sedayu.
“He,“ seseorang menyahut,
“kalau begitu kita pergi ke sana sekarang.”
“Jangan sekarang. Ia masih
lelah. Besok kita diundang untuk makan dan mendengarkan ceritanya. Ia akan
memotong seekor kambing.”
Anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun
sejenak kemudian berita itu telah menjalar dari mulut ke mulut, karena
anak-anak muda itu pun segera berbisik di antara mereka sambung-menyambung.
Ketika kedua orang peronda itu
meninggalkan halaman, maka semua orang yang ada di rumah itu sudah mendengar
bahwa Swandaru telah datang. Mereka diundang besok sore untuk berkunjung ke
rumahnya. Malam ini Swandaru masih sangat lelah. Mungkin juga besok pagi.
“Ia akan memotong seekor
kambing,” berkata salah seorang dari antara mereka.
“Seekor kambing?” bertanya
yang lain.
“Ya, seekor kambing yang gemuk
dan muda.”
“Ah, itu tidak akan berarti
sama sekali. Besok aku kira semua orang mendengar kedatangannya. Kalau ia minta
kita semua datang pada sore hari, maka aku kira seekor kambing tidak akan
mencukupi sama sekali. Paling sedikit ia harus memotong tiga ekor kambing.”
“Tiga?”
“Ya.”
Kawannya merenung sejenak.
Lalu “Tunggu. Kalau tiga ekor, aku kira terlampau banyak buat Swandaru. Kalau
seekor, memang terlampau kurang.”
“Ah, macam kau. Kenapa kau
ribut tentang kambing itu? Besok kita datang menyambutnya. Tidak peduli apakah
ia akan memotong seekor kambing, tiga ekor kambing atau seekor gajah sekali
pun,” potong kawan yang lain.
“Oh,“ kawan-kawannya pun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah seisi rumah itu
kini berbicara tentang Swandaru, putra Ki Demang yang sudah agak lama merantau
bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir, dukun tua itu.
“Apakah yang sudah mereka
lakukan selama merantau?” pertanyaan itu selalu melonjak di dada
kawan-kawannya. Mereka menghubungkan kepergian Swandaru itu dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi di Sangkal Putung.
“Tentu sebuah cerita yang
mendebarkan jantung,“ desis seorang anak muda yang berambut jarang.
“Apa yang mendebarkan?”
bertanya anak muda yang duduk di sisinya.
“Pengalaman Swandaru selama ia
pergi merantau. Apa yang pernah dijumpainya di perjalanan pasti sangat menarik
perhatian.”
Kawannya mengangguk-angguk,
tetapi ia tidak menyahut lagi.
Dalam pada itu, orang-orang
tua yang duduk di pringgitan agak terganggu juga sedikit mendengar berita itu.
Namun mereka pun segera melanjutkan acara mereka. Seseorang yang sedang membaca
sebuah kidung pun segera melanjutkannya dengan suaranya yang panjang mengalun
memenuhi ruangan.
Dalam pada itu, Swandaru di
rumahnya sedang sibuk membersihkan diri di pakiwan. Sehari-harian ia berjalan,
sehingga debu yang kotor telah melekat di tubuhnya yang basah karena keringat.
Pakaiannya yang kusut dan kakinya yang terasa penat.
Air sumur di malam hari terasa
sangat segar menyiram tubuhnya yang lelah. Seakan-akan air di Sangkal Putung
jauh lebih segar dari air di mana pun juga daerah yang pernah dikunjungi.
Setelah Swandaru selesai, maka
berturut-turut Agung Sedayu, Kiai Gringsing, dan Sumangkar pun mandi pula
membersihkan dirinya. Mereka masing-masing mendapat pakaian yang baru dari Ki
Demang Sangkal Putung karena pakaian mereka yang telah kotor dan kusut. Namun
Kiai Gringsing agaknya segan juga melepaskan kain gringsingnya, sehingga
katanya, “Biarlah kain itu besok aku cuci. Aku masih memerlukannya.”
“Besok aku akan membeli kain
gringsing yang baru,” berkata Ki Demang. “Kiai akan mendapat ganti yang lebih,
baik dari kain itu.”
Tetapi Kiai Gringsing
tersenyum. ”Terima kasih. Untuk sementara kain ini masih dapat aku pergunakan.
Aku hanya harus mencucinya besok.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tidak memaksanya, karena ia menganggap bahwa Kiai Gringsing
memerlukan ciri bagi dirinya selain senjatanya yang aneh itu.
Meskipun hari sudah menjadi
semakin malam, namun di kademangan itu masih juga terdengar suara riuh. Ketika
nasi sudah masak, mereka pun segera makan bersama-sama. Bukan saja Ki Demang
dengan keluarganya, tetapi juga bersama dengan para peronda di gardu yang
kemudian dipanggil naik ke pringgitan.
Ternyata anak-anak muda itu
tidak sabar lagi menunggu besok. Mereka sudah mulai mengajukan beberapa
pertanyaan kepada Swandaru, apakah yang dilihat dan dialami selama
perjalanannya itu.
“Besok saja aku akan
bercerita,“ berkata Swandaru. “Sekarang aku sedang lapar dan karena itu aku
lebih senang menyuapi mulutku daripada berbicara.”
Kawan-kawannya tertawa. Tetapi
mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun ikut pula menyuapi mulut mereka,
meskipun sebenarnya mereka tidak lapar, karena mereka sudah makan di permulaan
malam itu.
Dalam pada itu, selagi mereka
sedang sibuk menyuapi mulut masing-masing, Sekar Mirah berdiri di balik pintu
pringgitan yang sedikit terbuka. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang makan
pula di antara anak-anak muda itu. Ada semacam kerinduan yang melonjak di
dadanya. Ia ingin segera berbicara banyak dengan anak muda itu. Tetapi ia belum
sempat. Ia baru dapat menyapanya sepatah dua patah kata sebelum Agung Sedayu
mandi. Namun kemudian ia sibuk sendiri membantu ibunya menyediakan makan dan
minum.
Tiba-tiba saja Sekar Mirah
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu yang agak lain di wajah Agung
Sedayu. Ketika ia mendahului pulang ke Sangkal Putung bersama Sumangkar, ia
sudah merasakan perbedaan itu. Dan kini tampaknya menjadi semakin jelas.
Agung Sedayu yang masih saja
tersenyum-senyum melihat tingkah laku kakak Sekar Mirah itu, kini pada sorot
matanya memancar kedewasaan yang semakin matang. Sikapnya menjadi semakin
mantap dan tidak lagi dibayangi oleh kegelisahan.
“Mudah-mudahan ia tidak lagi
selalu ragu-ragu dan dibebani oleh pertimbangan-pertimbangan yang
membingungkan,“ berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Sekar Mirah itu terkejut
ketika terasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ketika ia berpaling, dilihatnya
ibunya berdiri di belakangnya.
“Apa yang kau intip, Mirah?”
“Ah, ibu. Aku tidak mengintip
siapa pun. Aku ingin menghitung berapa orang yang duduk di pringgitan.”
“Bukankah hidangan sudah
dihidangkan? Buat apalagi kau menghitungnya?”
“O,” Sekar Mirah tergagap,
namun, “Kakang Swandaru makannya banyak sekali. Aku takut kalau ada yang
kurang.”
Ibunya tidak menyahut lagi.
Dibimbingnya Sekar Mirah ke ruang dalam sambil berkata, “Kalau kau lelah,
tidurlah. Semuanya sudah selesai. Biarlah nanti sisa makanan itu dibenahi oleh
para pelayan.”
Tetapi Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya. “Aku belum kantuk ibu. Aku masih ingin duduk-duduk di
sini mendengarkan percakapan itu. Tetapi, apakah ibu tidak ingin menemui mereka
pula?”
“Tentu, Mirah. Tetapi tidak
sekarang. Nanti, apabila mereka sudah selesai makan.”
“Dan aku juga akan mengawani
Ibu.”
Ibunya tersenyum, “Jadi kau
tidak lelah?”
Sekar Mirah menggelengkan
kepalanya.
Demikianlah, ketika mereka
sudah selesai makan, dan Sekar Mirah serta pembantunya sudah selesai
menyingkirkan sisa-sisa jamuan itu, bersama ibunya Sekar Mirah mendapat
kesempatan untuk duduk bersama di pringgitan. Namun terasa ada ketegangan di
dalam dirinya. Setiap kali ia memandang wajah Agung Sedayu hatinya menjadi
berdebar. Dan setiap kali ia berkata kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan Kakang
Sedayu tidak lagi selalu dibayangi oleh keragu-raguan untuk berbuat sesuatu.”
Ketika malam menjadi semakin
malam, maka Ki Demang pun kemudian berkata, “Nah, tentu kalian sudah sangat
lelah. Kami persilahkan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar untuk beristirahat di
gandok kulon bersama Agung Sedayu.” Lalu katanya kepada Swandaru, “Terserah kau
memilih tempat. Di mana kau akan tidur?”
“Aku tidur bersama di gandok,
Ayah.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Seseorang telah membenahi gandok kulon dan mempersiapkan ruang-ruang
tidur buat keempat orang yang baru datang itu.
Sejenak kemudian, maka Kiai
Gringsing dan kedua muridnya serta Sumangkar pun meninggalkan pringgitan dan
pergi ke gandok kulon. Sedang para peronda pun kembali ke gardu di regol
halaman.
Yang masih tinggal di
pringgitan kemudian adalah Ki Demang Sangkal Putung dan istrinya serta Sekar
Mirah. Mereka masih berbincang sebentar sebelum mereka pun kemudian masuk
kembali ke dalam bilik masing-masing.
Ternyata kawan-kawan Swandaru
tidak sabar menunggu sampai senja. Di pagi harinya, selagi Swandaru baru bangun
dari tidurnya yang agak kesiangan, beberapa orang telah duduk di gardu. Mereka
ingin segera mendengar cerita putra Ki Demang yang gemuk itu, apa saja yang
dialaminya selama perjalanannya yang agak terlampau lama bagi anak-anak muda
Sangkal Putung.
”Ha, itulah. Ia sudah bangun,“
desis seorang anak muda berambut kemerah-merahan.
Swandaru menggosok matanya
yang masih terasa berat. Ketika beberapa orang mendatanginya ia berkata, “Aku
baru saja bangun. Nanti malam aku akan memotong kambing.”
“Aku tidak perlu kambing. Aku
ingin dengar kau bercerita.”
“Kambing dan cerita. Aku
sekarang masih lelah sekali. Aku baru dapat tidur menjelang dini hari. Aku
masih akan tidur lagi.”
Kawannya mengerutkan
keningnya. Lalu, “Kita tunggu saja ia di pembaringannya. Jangan beri kesempatan
untuk tidur lagi.”
“Jangan terlampau kejam.
Dilarang menyiksa orang.”
Swandaru tersenyum. Jawabnya,
“Mari ikut saja tidur bersama aku.”
“Ah, kau sangka aku tidak
punya kerja selain tidur.”
“Kalau begitu bekerjalah
dahulu. Kalian akan pergi ke sawah? Pergilah. Nanti setelah kalian selesai,
kalian datang kemari. Aku pun pasti sudah selesai pula.”
“Apa yang sudah kau
selesaikan?”
“Tidur.”
Kawan-kawannya saling
berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah.
Marilah kita pergi ke sawah saja. Biarlah ia memuaskan diri dengan tidur sehari
penuh. Tetapi nanti malam kau pasti akan terjaga semalam suntuk.”
Swandaru tidak menjawab. Ia
hanya tertawa saja sambil memandangi kawan-kawannya yang pergi meninggalkan
halaman itu.
Dalam pada itu, selagi
Swandaru masih berdiri tegak, Agung Sedayu mendekatinya sambil berdesis, “Aku
akan pergi sebentar ke Jati Anom. Aku ingin segera bertemu Kakang Untara.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Swandaru ingin meyakinkan,
apakah Agung Sedayu bersungguh-sungguh, ataukah ia hanya sekedar ingin
mengatakan bahwa ia ingin juga pergi ke Jati Anom segera.
Tetapi agaknya Agung Sedayu
bersungguh-sungguh. Tampak sesuatu membayang di sorot matanya.
“Kau benar-benar akan pergi?”
bertanya Swandaru.
“Ya.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Sekarang ini?”
“Ya.”
Swandaru memandang wajah Agung
Sedayu sejenak. Kini ialah yang menatap dengan sorot mata yang aneh. Dengan
ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kau begitu tergesa-gesa pergi ke Jati Anom?”
Agung Sedayu tidak segera
menyahut. Ada sesuatu yang terasa mengganggu perasaannya. Seakan-akan ada suatu
dorongan di dalam dadanya untuk segera menemui Untara. Ia sendiri tidak
mengerti, dorongan apakah yang telah membuatnya gelisah.
Karena Agung Sedayu tidak
segera menjawab, maka Swandaru pun berkata, ”Kakang Agung Sedayu, sebaiknya kau
beristirahat barang sehari dua hari di sini. Kelak aku akan mengantarkanmu
pergi ke Jati Anom. Aku pun ingin bertemu dengan Kakang Untara dan Paman
Widura.”
“Ya, kelak kita akan pergi
bersama-sama. Mungkin juga Guru dan paman Sumangkar. Tetapi aku ingin segera
menemuinya. Mungkin karena aku adalah adiknya. Kakang Untara adalah
satu-satunya saudaraku yang ada. Bahkan pangganti ayah ibuku.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kau sudah minta diri
kepada Guru?”
Agung Sedayu menggeleng.
“Belum. Nanti aku akan minta ijin kepada Guru, paman Sumangkar, dan Ki Demang.”
“Tinggallah semalam ini di sini.
Nanti kita akan menerima banyak sekali kawan-kawan kita dari Sangkal Putung.
Aku sudah berjanji untuk memotong kambing. Tentu tidak hanya seekor. Mungkin
dua ekor. Ayah tentu tidak akan berkeberatan.”
“Aku akan berusaha telah
berada di halaman ini kembali sebelum senja. Karena itu, aku ingin berangkat
secepat-cepatnya. Aku akan mempergunakan seekor kuda.”
Swandaru termenung sejenak.
Namun kemudian ia berkata, “Sebaiknya kau minta diri kepada Guru.”
“Tentu. Aku akan minta diri
apabila guru telah selesai membersihkan dirinya.”
Swandaru tidak menjawab.
Dilihatnya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sedang duduk di amben bambu di ruang
depan gandok kulon.
“Agaknya Guru sudah selesai,”
gumam Agung Sedayu.
Swandaru tidak menyahut.
Diikutinya saja Agung Sedayu yang kemudian melangkah pergi menemui gurunya.
Kedatangan Agung Sedayu dengan
wajah yang tampaknya bersungguh-sungguh diiringi oleh Swandaru yang masih belum
mandi, ternyata telah menarik perhatian gurunya. Sehingga sebelum salah seorang
dari kedua anak-anak muda itu berkata sesuatu, Kiai Gringsing sudah bertanya,
“Apakah ada sesuatu yang penting kalian bicarakan?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun ia pun kemudian duduk di amben itu pula bersama Swandaru.
“Guru,“ berkata Agung Sedayu
kemudian, “aku ingin minta ijin untuk menemui Kakang Untara. Sudah lama sekali
aku tidak bertemu sejak aku meninggalkan Sangkal Putung.”
Gurunya mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Agung sedayu sejenak, lalu, “Kenapa begitu tergesa-gesa, Sedayu.
Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan kakakmu. Mungkin kita dapat saling
bercerita tentang keadaan kita masing-masing. Untara, kau, aku, Swandaru, dan
barangkali juga Adi Sumangkar.”
“Ya, Guru. Di kesempatan lain
aku akan ikut serta di dalam pertemuan yang demikian. Tetapi rasa-rasanya ada
sesuatu yang mendorong aku untuk pergi menemuinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu dan Untara adalah dua orang saudara
tanpa orang ketiga. Orang tua mereka telah meninggal, sehingga keduanya adalah
anak-anak yatim piatu. Untara bagi Agung Sedayu adalah ayah sekaligus ibunya.
Di dalam banyak hal, Untara-lah yang membuat Agung Sedayu menjadi seorang anak
muda. Meskipun pada mulanya seorang anak muda penakut karena ibunya terlampau
memanjakannya.
Tetapi untuk melepaskannya
Kiai Gringsing agak ragu-ragu juga. Ia tahu bahwa ada persoalan antara
Sutawijaya dengan Sultan Pajang. Agaknya Untara tahu, bahwa Agung Sedayu berada
di daerah Mataram. Mungkin berita itu telah didengarnya dari mulut ke mulut,
setelah Sekar Mirah menyusulnya bersama Sumangkar.
Jika demikian, maka pasti
sudah ada prasangka betapa pun lemahnya pada Untara terhadap adiknya, sehingga
apabila di dalam pembicaraan selanjutnya ada di antara keduanya yang agak
terdorong kata, maka dapat terjadi kedua kakak-beradik itu berselisih.
Agung Sedayu melihat
keragu-raguan yang membayang di wajah gurunya, dan Agung Sedayu pun menyadari
apakah sebabnya. Namun justru karena itu, ia menjadi semakin ingin bertemu
dengan kakaknya. Rasa-rasanya seandainya ada sesuatu di hati kakaknya, biarlah
ia segera mendengar, dan dengan demikian ia akan segera dapat memberikan
beberapa penjelasan apabila diperlukan.
“Agung Sedayu,“ berkata Kiai
Gringsing kemudian, “kalau, kau masih dapat menahan perasaanmu, tundalah barang
satu dua hari. Hatimu pasti sudah mapan. Kau sudah tidak lelah lagi seperti
saat ini, sehingga nalar pun akan terpengaruh juga. Hatimu menjadi gelap dan
akalmu menjadi pendek.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Tetapi dorongan di hatinya untuk bertemu dengan kakaknya tidak dapat
ditahankannya lagi.
“Bagaimana, Sedayu?” bertanya
gurunya.
”Guru,“ jawab Agung Sedayu,
“aku merasa bahwa aku segera ingin bertemu dengan Kakang Untara. Sejauh dapat
aku lakukan, aku akan menghindarkan diri dari setiap pembicaraan mengenai
perkembangan keadaan. Aku didorong oleh kerinduanku kepada keluarga dan
sanak-kadang yang ada di Jati Anom.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak yakin, bahwa hanya karena
kerinduan itu saja Agung Sedayu yang telah merantau beberapa lama itu tidak
dapat menundanya sehari saja lagi. Tentu ada sesuatu yang bergolak di dadanya,
yang seakan-akan mendesaknya untuk segera mendapatkan penyelesaian.
Namun akhirnya Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa muridnya itu kini sudah
menjadi semakin dewasa. Mungkin Untara pun akan menganggapnya sebagai anak muda
yang telah dewasa pula. Ia tidak akan memperlakukan adiknya itu seperti di
saat-saat Sedayu masih di Jati Anom, yang dengan ketakutan mengikuti kakaknya
pergi ke Sangkal Putung.
“Baiklah, Agung Sedayu,“
berkata gurunya kemudian, “kalau kau memang ingin menemui kakakmu di Jati Anom,
aku tidak berkeberatan. Tetapi aku berpesan kepadamu, bersikaplah dewasa.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahuluinya, “Aku ikut
bersamanya, Guru. Bukankah Kakang Agung Sedayu akan kembali kerumah ini sebelum
senja?”
Tetapi gurunya menggelengkan
kepalanya, “Kau tidak usah ikut Swandaru. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibumu
akan berkeberatan. Kau baru saja datang dari perjalanan yang agak lama.
Sehingga mereka masih ingin banyak berbicara tentang pengalamanmu,
perjalananmu, dan kau halus mempertanggung jawabkan perutmu yang susut itu.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun memang seperti yang dikatakan oleh gurunya, ayah dan ibunya
pasti akan berkeberatan apabila ia pergi bersama Agung Sedayu.
Karena itu, maka Swandaru
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Agung Sedayu
sejenak. Memang terbayang di wajah itu perasaan yang tertahan. Yang agaknya
terlampau memberati dadanya, sehingga Agung Sedayu ingin mendapat saluran untuk
melepaskannya.
Demikianlah, maka Agung Sedayu
pun segera minta diri kepada Ki Demang, berdua dan Sekar Mirah. Tentu saja hal
itu sangat mengejutkan mereka, terutama Sekar Mirah.
“Kenapa begitu tergesa-gesa?”
“Senja nanti aku akan kembali
ke rumah ini. Aku ingin ikut menyambut kawan-kawan yang akan berdatangan ke
mari.”
“Tetapi,“ Sekar Mirah
memotong. Namun ia tidak melanjutkan kata-katanya yang serasa tersangkut di
kerongkongan.
Agung Sedayu berpaling
memandanginya. Tetapi Sekar Mirah segera menundukkan kepalanya.
“Adalah menjadi kewajibanku
untuk segera menemuinya,“ berkata Agung Sedayu. “Aku adalah saudaranya yang
muda. Mungkin selama ini Kakang Untara menjadi cemas juga memikirkan nasibku di
perjalanan yang tidak terbatas waktu itu.”
“Tidak,“ tiba-tiba Sekar Mirah
memotong. “Kakang Untara tidak pernah datang kemari untuk bertanya tentang kau.
Apalagi tentang Kakang Swandaru.”
“Ah,“ desis ayahnya, “Untara
bukan anak-anak yang mempunyai banyak waktu setelah pulang dari menghalau
burung di sawah. Anakmas Untara adalah seorang senapati yang bertanggung jawab
atas pasukan segelar sepapan yang berada di Jati Anom sekarang. Tentu ia tidak
mempunyai waktu untuk sering datang kemari.”
“Tetapi hubungannya dengan
kakang Agung Sedayu adalah hubungan pribadi. Kalau ia tidak mempunyai waktu, ia
dapat menyuruh satu dua orang bawahannya.”
“Kau sendiri mengatakannya,
bahwa hubungan itu adalah hubungan pribadi Kenapa ia harus menyangkut
bawahannya untuk keperluan yang sangat pribadi itu?”
“Maksudku, ia pasti mempunyai
pelayan atau kawan atau orang yang dapat diupahnya untuk hal itu.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah mendahuluinya, “Itu adalah
kuwajibanku. Akulah yang muda. Karena itu supaya aku tidak bertindak deksura,
akulah yang akan datang kepadanya.”
“Baiklah,” berkata Ki Demang
kemudian, “apabila gurumu tidak berkeberatan, aku pun tidak berkeberatan.
Tetapi senja nanti kau benar-benar diharap sudah ada di halaman ini.”
“Ya. Aku akan kembali sebelum
senja. Aku tidak memerlukan waktu yang lama di Jati Anom. Besok di kesempatan
lain aku akan kembali ke Jati Anom dan tinggal beberapa hari di sana.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi wajah Sekar Mirah tampak suram. Dan bahkan ia masih juga
bersungut-sungut, “Kenapa harus hari ini?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Sebenarnya ingin juga ia tinggal di Sangkal Putung hari itu. Tetapi desakan di
dadanya itu tidak dapat ditundanya lagi.
Karena itu, maka setelah
mempersiapkan seekor kuda, Agung Sedayu pun segera berangkat meninggalkan
Sangkal Putung. Di regol halaman Sekar Mirah mendekatinya sambil berkata, “Kau
harus cepat kembali. Kau lebih mementingkan Kakang Untara daripada aku di
sini.”
“Bukan begitu, Mirah, tetapi
ikatan yang ada di antara aku dan Kakang Untara memang berlainan dari ikatan
yang ada pada diri kita. Tetapi aku akan segera kembali. Aku tidak akan
melampaui senja.”
Sekar Mirah memandang wajah
Agung Sedayu dengan tajamnya, seakan-akan ia kurang percaya kepada
kata-katanya. Sehingga karena itu Agung Sedayu meneruskan, “Kalau aku
tergesa-gesa menemui Kakang Untara, itu hanyalah karena aku adiknya.”
“Tetapi bagaimanakah kalau
Kakang Untara kemudian menahanmu di sana, agar kau tidak segera kembali ke
Sangkal Putung dengan alasan apa pun juga?”
“Tidak, Mirah. Kakang Untara
tidak memerlukan aku di dalam tugasnya, ia sudah mempunyai pasukan yang kuat.
Segelar sepapan. Buat apa aku seorang diri di dalam pasukannya?”
“Kakang Untara ingin kau
menjadi seorang prajurit Pajang yang baik.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Tidak. Aku tidak akan disuruhnya
tinggal di sana. Ia tidak memerlukan aku.”
Sekar Mirah tidak menyahut
lagi. Meskipun hatinya menjadi berdebar-debar.
Demikianlah, setelah sekali
lagi mohon diri, maka Agung Sedayu itu pun segera memacu kudanya pergi ke Jati
Anom untuk menemui kakaknya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang mendorongnya,
agar ia segera bertemu dan apa pun yang akan dikatakan oleh kakaknya, biarlah
ia segera mendengar.
“Tetapi mungkin hanya sekedar
prasangka,“ desisnya di dalam hati, “justru karena pesan Raden Sutawijaya itu.”
Tetapi Agung Sedayu ingin
segera membuktikan, sehingga karena itu, ia memacu kudanya semakin cepat.
Di dalam perjalanan itu,
sempat juga ia mengenang bagaimana ia pertama kali pergi ke Sangkal Putung di
malam yang gelap dalam hujan dan angin. Bagaimana ia menjadi ketakutan dari hampir-hampir
tidak sanggup melanjutkan perjalanan.
“Aku hampir mati ketakutan,“
desisnya. Tanpa disadari sebuah senyum telah tersungging di bibirnya. Bahkan
dibayangkannya, apakah yang akan terjadi atasnya, seandainya ia masih belum
berhasil memecahkan kungkungan yang membelenggu hatinya saat itu, dan tiba-tiba
saja ia terlempar ke Alas Mentaok seperti yang baru saja dialaminya.
“Aku tidak akan lebih baik
dari orang-orang yang ketakutan di barak itu,“ katanya kepada diri sendiri.
Ketika Agung Sedayu sampai di
Dukuh Pakuwon tiba-tiba saja ia ingin melihat rumah yang pernah didiami oleh
Kiai Gringsing. Bahkan seakan-akan memang di padukuhan itulah tempat tinggal
Kiai Gringsing yang sebenarnya, karena di rumah itu pula ia mulai mengenalnya.
Karena itu ketika ia sampai
pada sebuah tikungan yang membelah padukuhan itu, tiba-tiba saja ia telah
berbelok, menyelusuri jalan kecil yang langsung menuju ke rumah Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu tertegun ketika
ia sampai di depan regol kecil sebuah halaman yang tidak begitu luas. Halaman
yang kotor dan liar. Halaman itu adalah halaman rumah Ki Tanu Metir yang juga
bernama Kiai Gringsing.
Seperti ditarik oleh sebuah
pesona yang tidak dimengertinya sendiri, Agung Sedayu memasuki halaman rumah
itu. Bahkan ia pun kemudian meloncat turun dari kudanya.
Tetapi Agung Sedayu berdiri
saja di halaman sambil memandang berkeliling, memandang rerumputan liar, sarang
laba-laba yang bergayutan di sudut-sudut rumah dan kandang yang kosong.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata ia tidak melangkah lebih dekat lagi. Sebenarnya ia ingin
juga masuk ke rumah itu, tetapi niatnya diurungkannya. Ia ingin segera menemui
kakaknya.
Tetapi langkahnya tertegun
sejenak, ketika dilihatnya seseorang yang berjalan di lorong sempit. Orang yang
memandanginya dengan penuh keheranan, tetapi juga dibayangi oleh perasaan takut
dan cemas.
“Ki Sanak,“ tiba-tiba Agung
Sedayu menyapanya, “apakah kau tinggal di padukuhan ini juga?”
“Ya, ya, Tuan,” orang itu
tergagap, “aku memang tinggal di padukuhan ini.”
“Apakah kau kenal dengan
penghuni rumah ini?”
“O,“ orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “orang yang tinggal di rumah ini adalah seorang
dukun tua.”
“Di manakah ia sekarang?”
“Tidak seorang pun yang
mengetahui nasibnya, Tuan. Selagi daerah ini menjadi daerah yang gawat, menjadi
ajang benturan antara pasukan Pajang dan sisa-sisa prajurit Jipang, orang tua
itu telah hilang.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia adalah seorang dukun yang
baik, Tuan. Dukun yang suka sekali menolong sesamanya. Bukan saja orang-orang
di sekitar tempat tinggalnya saja yang datang kepadanya waktu itu. Tetapi dari
padukuhan-padukuhan lain pun banyak yang datang berobat kepadanya. Dan ia
berhasil menyembuhkannya.”
“Seorang dukun?” Agung Sedayu
mengulang. ”Dukun yang dapat menyembuhkan orang sakit?”
“Ya, Tuan, menyembuhkan orang
sakit. Tetapi ia mempunyai cara tersendiri. Ia mempergunakan dedaunan dan
akar-akaran sebagai obat. Tidak dengan cara-cara yang ajaib yang tidak dapat
kami mengerti.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Kenangannya tentang masa lampaunya justru menjadi semakin jelas.
Tentang rumah ini dan tentang Untara yang terluka ketika ia berkelahi melawan
beberapa orang sekaligus. Di antaranya adalah Pande Besi Sendang Gabus dan
Alap-alap Jalatunda.
“Terima kasih, terima kasih,“
tiba-tiba Agung Sedayu bergumam.
“Apakah Tuan mempunyai sesuatu
maksud?” bertanya orang itu.
“Tidak,“ jawab Agung Sedayu,
“aku tidak bermaksud apa-apa.”
Orang itu memandang Agung
Sedayu dengan heran. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi.
Dituntunnya kudanya keluar dari halaman yang kotor itu, kemudian langsung
meloncat ke punggungnya.
Namun ia masih berpaling
sekali. Dilihatnya orang yang masih berada di halaman itu keheran-heranan.
Tetapi Agung Sedayu hanya melambaikan tangannya saja sambil tersenyum.
Sejenak kemudian kudanya pun
sudah berpacu pula. Semakin lama semakin jauh dari Dukuh Pakuwon.
Demikianlah maka derap kuda
Agung Sedayu menjadi semakin dekat dengan Jati Anom. Setelah melampaui Sendang
Gabus, maka dada Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar. Di hadapannya adalah
padukuhan Jati Anom. Sejenak kemudian ia akan sampai dan bertemu dengan
kakaknya, Untara.
Tiba-tiba terasa debar
jantungnya menjadi semakin cepat. Ada sesuatu yang menggelisahkannya. Justru
karena Sutawijaya berpesan kepadanya, agar orang-orang Pajang termasuk Untara,
tidak mencurigainya.
Agung Sedayu menggeretakkan
giginya. Dihentakkannya kakinya pada perut kudanya, sehingga kudanya pun
berlari menuju ke padukuhan tempat kelahirannya.
Terasa sesuatu melonjak di
dadanya, ketika ia melihat sebuah gardu di mulut lorong. Gardu yang dahulu
belum pernah ada. Dan di depan gardu itu dilihat dua orang prajurit berdiri
sambil menyandang senjata.
“Hem,“ desis Agung Sedayu,
“prajurit-prajurit Pajang benar-benar dalam keadaan siaga.”
Tetapi Agung Sedayu pun
mencoba mengambil kesimpulan, “Namun agaknya para senapati Pajang masih juga
ragu-ragu. Ternyata mereka masih saja berada di Jati Anom. Kalau mereka
menganggap perkembangan Tanah Mataram itu benar-benar membahayakan, mereka
pasti akan bergeser maju. Mungkin mereka akan kembali ke Sangkal Putung. Tetapi
mungkin juga di Prambanan atau lebih maju lagi di seberang Kali Opak, pada
tempat yang memotong garis lurus dari Mataram ke Pajang.”
Dalam pada itu kuda Agung
Sedayu telah berada beberapa langkah dari gardu di mulut lorong. Ia melihat
salah seorang dari kedua prajurit itu maju beberapa langkah dan berdiri di
tengah jalan. Sambil mengangkat tangan kanannya ia berkata, “Berhenti, Ki Sanak.”
Agung Sedayu menarik kekang
kudanya. Ia masih ingat prajurit Pajang di Sangkal Putung pernah bertanya
kepadanya ketika ia datang untuk pertama kalinya ke kademangan itu ‘Apakah Ki
Sanak tidak turun?’
Karena itu maka kali ini Agung
Sedayu segera turun dari kudanya untuk memenuhi tata kesopanan bagi seorang
penunggang kuda yang melalui sebuah penjagaan yang dianggap penting.
“Siapakah kau?” bertanya
prajurit itu.
Agung Sedayu menatap wajah
prajurit itu sejenak. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya, demikian juga
agaknya prajurit itu masih belum mengenalnya.
Karena itu maka jawabnya, “Aku
anak Jati Anom.”
“He,“ prajurit itu mengerutkan
keningnya, ”kau anak Jati Anom? Siapa namamu?”
“Agung Sedayu.”
Prajurit itu merenung sejenak.
Katanya, “Aku mengenal hampir semua anak-anak muda di Jati Anom. Tetapi aku
belum pernah melihat kau.”
“Sudah lama aku pergi. Aku
berada di Sangkal Pulung.”
“O,“ prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “kau anak siapa?”
Agung Sedayu termenung
sejenak, dalam keragu-raguan. Ia tidak ingin menyebut dirinya langsung sebagai
adik Untara apabila tidak diperlukan sekali, agar tidak menumbuhkan kesan yang
tidak dikehendaki pada prajurit itu. Karena itu, maka ia pun menjawab
pertanyaan prajurit itu, ”Ayah dan ibuku sudah lama meninggal dunia.”
“Ya, tetapi siapa mereka?”
Agung Sedayu menarik nafas.
Jawabnya, “Namanya Ki Sadewa.”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Ia memang belum pernah mendengar nama itu, sehingga tanpa
disadarinya ia berpaling memandangi wajah kawannya yang berdiri di depan gardu.
“Siapa?” bertanya kawannya
sambil melangkah mendekat.
“Agung Sedayu.”
Prajurit itu termangu-mangu
sejenak. Tetapi sebelum ia menjawab, Agung Sedayu sudah bertanya lebih dahulu,
“Apakah Jati Anom sekarang menjadi daerah tertutup?”
Kedua prajurit itu terdiam
sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Jati Anom belum menjadi daerah
tertutup.”
“Kalau begitu aku dapat lewat
meskipun kalian tidak mengenal aku dan orang tuaku yang sudah meninggal.”
Kedua prajurit itu saling
berpandangan. Namun mereka pun kemudian menganggukkan kepala mereka, “Ya. Kau
dapat lewat.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya sambil berkata, “Terima kasih. Aku akan menengok kampung halaman yang
sudah lama aku tinggalkan.”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Salah seorang dari keduanya menyahut, “Silahkan. Tetapi kau harus
menjaga diri. Meskipun Jati Anom belum merupakan daerah tertutup, namun daerah
ini merupakan daerah pengawas. Setiap orang akan diawasi dan harus bertanggung
jawab atas tingkah lakunya di sini.”
Agung Sedayu mengangguk. ”Ya.
Aku mengerti. Aku akan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan tingkah
lakuku selama aku berada di Jati Anom.”
Kedua prajurit itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian mereka melangkah minggir. Salah seorang dari
mereka berkata, “Silahkan.”
Agung Sedayu pun kemudian
meloncat kepunggung kudanya. Setelah la mengangguk hormat, maka kudanya pun
mulai melangkah memasuki lorong daerah kelahirannya.
Dada Agung Sedayu pun mulai
berdebar-debar ketika ia melihat keadaan di padukuhan Jati Anom. Suasananya
mirip dengan suasana padukuhan-padukuhan di Sangkal Putung pada saat mereka
menghadapi pasukan Tohpati yang berusaha merebut daerah perbekalan itu. Hampir
di setiap lorong ia bertemu dengan prajurit Pajang yang berjalan sambil
memandanginya dengan heran. Di setiap simpang empat dan apalagi di halaman
banjar. Agaknya banjar padukuhan itu pun telah dipergunakan sebagai tempat
tinggal para prajurit. Bukan saja banjar padukuhan, tetapi juga satu dua rumah-rumah
yang paling besar. Dan mungkin juga kademangan seperti Kademangan Sangkal
Putung.
Agung Sedayu berjalan terus.
Ia tertegun ketika ia melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu di
simpang tiga. Anak muda itu adalah anak muda yang pernah dikenalnya. Justru
adalah kawannya bermain dan mereka bersama-sama sibuk menghadapi padepokan
Tambak Wedi sebelum padepokan itu dihancurkan.
“Kau Sedayu?” sapa anak muda
itu.
Agung Sedayu pun segera
meloncat dari punggung kudanya.
“Ya,“ jawab Agung Sedayu
sambil mengguncang pundak anak muda itu, “kau sekarang tampak gagah sekali
Juga.”
Anak muda yang bernama Juga
itu tertawa.
“Kau juga menjadi seorang
prajurit?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya. Aku mendapat kesempatan
itu. Dan aku senang melakukannya. Apalagi untuk sementara aku akan tetap
tinggal di padukuhan sendiri, selama Untara masih berada di sini juga.”
Agung Sedayu tersenyum.
Dipandanginya kawannya yang bernama Juga itu dari ujung kakinya sampai ke ujung
kepalanya.
“Apa yang aneh padaku?” bertanya
anak muda itu.
Agung Sedayu kini tertawa.
Jawabnya, “Tidak ada yang aneh. Tetapi kau pantas menjadi seorang prajurit.”
Juga pun tertawa, “Ada-ada
saja kau, Sedayu. Aku kira kau pun akan menjadi seorang prajurit pula seperti
Untara. Kau tentu akan mendapat kesempatan pula. Apalagi kau adiknya.”
“He, kau aneh. Apakah adik
seorang senapati akan selalu mendapat kesempatan untuk menjadi seorang
prajurit? Bukankah untuk menjadi seorang prajurit diperlukan syarat-syarat
tertentu dan harus melakukan pendadaran?”
“Ya.”
“Meskipun aku adik Kakang
Untara, tetapi kalau aku tidak memenuhi syarat, maka aku tidak akan dapat
diterima menjadi seorang prajurit.”
“Ah kau,“ desah Juga, “kau
sangka kami, anak-anak Jati Anom tidak tahu tentang kau? Tidak tahu apa yang
kau lakukan di Sangkal Putung dan di padepokan Tambak Wedi?”
“Ah, aku tidak berbuat
apa-apa.”
Juga menepuk bahu Agung
Sedayu, katanya, “Memang tidak seorang pun yang menyangka bahwa kau akan
menjadi anak muda yang mengagumkan seperti ini. Di masa kanak-kanak kau lain
sekali.”
Agung sedayu tersenyum. Memang
masa kanak-anaknya dapat menimbulkan kesan yang lucu di dalam dirinya. Di masa
hatinya selalu diliputi oleh perasaan takut dan cemas. Gelisah dan
ketidak-tentuan.
Tetapi yang telah terukir di
jiwanya itu sama sekali tidak akan dapat terhapus sama sekali. Meskipun ia
telah berhasil memecahkan ikatan ketakutan yang selalu menyelubungi dirinya,
namun bekasnya masih tampak sampai saat ini. Keragu-raguan dan pertimbangan
yang terlalu berkepanjangan masih saja mempengaruhinya dalam menentukan sikap
dan keputusan.
Agung Sedayu itu terperanjat
ketika Juga bertanya, “Apakah kau sekarang akan menemui kakakmu?”
Agung Sedayu mengangguk, “Ya.
Tetapi aku juga akan melihat rumah yang telah lama aku tinggalkan.”
“Untara tinggal di rumahnya
bersama beberapa orang pemimpin pasukan ini.”
“O,“ Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam, “jadi aku tidak usah mencarinya ke mana-mana.”
“Ya. Pulang sajalah. Kau akan
menemukan orang yang kau cari.”
“Terima kasih. Apakah kau akan
pergi ke sana juga?”
Juga menggeleng. Jawabnya,
“Aku tinggal di banjar.”
Agung Sedayu pun kemudian
berkata, “Kalau begitu, aku akan pulang ke rumah dahulu menemui Kakang Untara.
Kemudian aku akan melihat-lihat padukuhan ini.”
“Bukankah kau akan kembali ke
padukuhan ini?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sambil tersenyum ia pun kemudian menjawab, “Ya. Aku akan kembali
ke Jati Anom. Tetapi tidak segera. Aku masih mempunyai beberapa persoalan yang
harus aku selesaikan.”
“Apa?”
“Ah, hanya persoalan pribadi.”
“He? Persoalan pribadi?” Juga
mengerutkan keningnya, kemudian, “Ha, aku tahu. Tentu persoalan anak muda.
Kalau begitu, kami, anak-anak Jati Anom setelah merayakan hari bahagia Untara,
akan segera merayakan hari besarmu.”
“He,“ justru Agung Sedayu
terkejut. “Ada apa dengan kakang Untara?”
“Kenapa kau bertanya? Bukankah
kau adiknya?”
Agung Sedayu menjadi bimbang
sesaat. Namun kemudian ia berkata, “Sudah lama aku tidak bertemu Kakang
Untara.”
“Temuilah. Ia pasti akan
mengatakannya kepadamu,” sahut Juga sambil tersenyum.
Agung Sedayu memandang Juga
sejenak, Ia melihat kelucuan membayang di wajah anak muda itu, sehingga Agung
Sedayu pun kemudian tersenyum pula.
“Nah, silahkan. Aku kira
Untara ada di rumah saat ini.”
“Kau selalu mengada-ada saja,“
gumam Agung Sedayu sambil tertawa. “Tetapi ceritamu tentang Kakang Untara
sangat menarik. Berbeda dengan dugaanmu tentang aku.”
Juga tertawa pula. Katanya,
“Kau masih belum mengaku. Tetapi aku berani bertaruh hitamnya kuku. Kau pasti
akan membicarakan masalahmu sendiri dengan Untara. Masalah anak muda.”
Agung Sedayu akan menjawab,
tetapi Juga mendahului, “Jangan membantah. Aku hanya sekedar menyatakan
selamat. Aku ikut gembira bahwa akhirnya seorang demi seorang anak-anak muda
Jati Anom akan menginjak dunia yang baru. Kau kira cerita tentang gadis Sangkal
Putung itu tidak aku dengar?”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Tetapi ia kemudian tidak mendapat kesempatan menjawab, karena Juga
kemudian berkata, “Ah, silahkan. Aku tidak akan mendahului persoalan kalian.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat menjawab karena Juga segera melangkah pergi
sambil melambaikan tangannya.
Sejenak Agung Sedayu masih
berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia meloncat ke punggung kudanya dan
meneruskan perjalanannya, menuju ke rumahnya yang kini telah dipergunakan
sebagai tempat pimpinan pasukan Pajang yang bertugas di daerah selatan.
Agung Sedayu tidak
menghiraukan lagi apabila beberapa orang prajurit yang tidak dikenalnya
memandangnya dengan heran. Meskipun tidak terlampau cepat, namun kudanya
berlari juga di sepanjang jalan padukuhan menuju ke rumahnya.
Tetapi agaknya ada juga
prajurit Pajang yang bersifat aneh. Prajurit-prajurit muda yang belum sempat
menunjukkan kelebihannya di medan perang yang sesungguhnya. Kadang-kadang
mereka tiba-tiba saja ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan bahwa ia adalah
seorang laki-laki yang mempunyai kelebihan dari orang lain.
Seorang prajurit muda yang
mempunyai sifat yang demikian, ternyata tidak senang melihat Agung Sedayu
berkuda di jalan padukuhan tanpa berpaling memandangnya.
Karena itu, maka tiba-tiba
saja ia berteriak, “He, anak muda. Berhentilah sebentar.”
Agung Sedayu berpaling. Ketika
ia sadar, bahwa prajurit itu berbicara kepadanya, maka ia pun segera menarik
kekang kudanya.
“Ke mari!“ bentak prajurit
itu.
Agung Sedayu menjadi
termangu-mangu sejenak. Dipandanginya prajurit muda yang berdiri bertolak
pinggang di antara dua orang kawannya yang masih muda-muda juga.
“Kemari, cepat!”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia masih tetap tidak beranjak dari tempatnya.
“Kemari! Apakah kau tidak
mendengar?”
Agung Sedayu menarik nafas
untuk menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja terbayang di rongga matanya,
wajah Sidanti yang sudah tidak ada lagi. Sifat-sifat sombong dan angkuh kini
dilihatnya juga pada wajah prajurit muda.
Sebenarnya Agung Sedayu tidak
senang diperlakukan demikian, karena ia tahu, bahwa prajurit itu memang tidak
berhak berbuat demikian. Tetapi untuk menghindari keributan, maka ia pun segera
meloncat turun dan selangkah demi selangkah mendekati prajurit muda itu.
Prajurit-prajurit itu belum pernah dilihatnya, sehingga Agung Sedayu
berkesimpulan, bahwa sebagian besar dari prajurit-prajurit yang ada di Jati
Anom bukannya prajurit yang pernah tinggal di Sangkal Putung. Agaknya prajurit
Untara sekarang adalah prajurit-prajurit muda yang masih mengidap darah yang
mudah mendidih.
“Siapa kau, he? Kau sangka
bahwa kau seorang tumenggung. Seharusnya kau berjalan sambil menuntun kudamu.
Kau malahan memacu kudamu di jalan padukuhan yang sempit ini. Apalagi kau
berpapasan dengan prajurit-prajurit Pajang. Apakah para penjaga gardu di regol
padukuhan ini tidak menegurmu?”
“Maaf,“ jawab Agung Sedayu
“aku tidak tahu, dan para prajurit di gardu tidak memberitahukan kepadaku,
bahwa aku harus menuntun kudaku di sepanjang jalan padukuhan.”
“Siapa kau dan di mana
rumahmu?”
“Namaku Agung Sedayu. Rumahku
Jati Anom ini. Aku akan kembali menengok halaman dan rumah yang sudah lama aku
tinggalkan.”
“Bohong! Aku belum pernah
melihat wajahmu.”
“Aku sudah berpapasan dengan
Juga. Ia juga seorang prajurit. Aku kenal anak muda itu, karena kami berasal
dari padukuhan ini.”
“Jangan mengelabui kami.
Seandainya kau kenal juga anak-anak muda di padukuhan ini, namun kau sudah
bertindak deksura. Kau sama sekali tidak menghormati prajurit.”
“Aku minta maaf.”
“Persetan. Aku muak melihat
wajahmu. Kau pantas mendapat sedikit peringatan.”
“Aku minta maaf. Aku tidak
tahu.”
“Maaf, maaf macammu. Kau
sangka kesalahanmu dapat hapus dengan minta maaf.”
“Jadi?“ Agung Sedayu tidak
mengerti maksud prajurit itu.
Namun agaknya prajurit itu
memang sekedar ingin berselisih sehingga tiba-tiba saja ia telah menyambar ikat
kepala Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkannya sehingga dengan
cepat pula ia berhasil mengelak.
“He, kau berani melawan aku?”
“Bukan maksudku,“ sahut Agung
Sedayu.
“Tetapi kau mengelak.”
“Jangan kau rusakkan ikat
kepalaku.”
Prajurit itu memandang Agung
Sedayu dengan marahnya. Selangkah ia maju mendekati Agung Sedayu yang melangkah
surut.
Ternyata dua orang kawannya
bersikap agak lain. Sambil menggamit kawannya yang marah, salah seorang dari
mereka berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan anak dungu itu.”
“Biar aku memberinya sedikit
peringatan. Kalau dibiarkan saja demikian, maka ia akan menjadi semakin
deksura. Ia akan tidak menghargai lagi kepada kita. Disangkanya siapa kita
ini?”
Kedua kawannya itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun mengangkat bahu. Kawannya itu tidak
mau lagi diperingatkannya.
“He, Agung Sedayu. Jangan
mengelak. Kau harus membiarkan aku mengambil ikat kepalamu dan membanting di
tanah, kemudian akan aku injak dengan dua belah kakiku.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia benar-benar menghadapi masalah yang meskipun sederhana, tetapi
membingungkan. Ia dapat saja berbuat sesuatu untuk mempertahankan ikat
kepalanya. Bukan sekedar ikat kepalanya itu, tetapi harga dirinya. Namun dengan
demikian ia akan berselisih dengan seorang prajurit. Kalau kakaknya mendengar,
mungkin akan dapat menimbulkan salah pengertian, justru karena ia datang dari
daerah baru yang sedang diawasi, Mataram.
“Cepat, tundukkan kepalamu!“
perintah prajurit itu.
Tetapi Agung Sedayu masih
berdiri termangu-mangu.
“Cepat, atau aku harus
bertindak?”
“Ki Sanak,“ berkata Agung
Sedayu kemudian, “sebenarnya aku tidak ingin berselisih. Aku sudah mencoba
menghindar sejauh mungkin. Tetapi kau selalu memaksa aku untuk mempertahankan
harga diriku.”
“Kau mau apa?” bentak prajurit
muda itu.
“Tentu saja aku berkeberatan
kalau kau menghina aku. Kalau kau memerlukan ikat kepala yang lain, barangkali
aku dapat mengusahakan. Tetapi bukan ikat kepala yang sedang aku pakai sekarang
ini.”
“Aku memang akan menghinakan
kau, karena kau terlampau sombong.”
“Aku berkeberatan.”
“Jadi kau akan melawan?”
“Tidak. Tetapi aku akan
mempertahankan ikat kepalaku.”
“Gila,“ prajurit itu menjadi
semakin marah. Selangkah ia maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia
mendengar seseorang berkata, “He, apa yang terjadi?”
Semuanya yang ada di tempat
itu berpaling. Ternyata Juga datang dengan tergesa-gesa mendekati mereka yang
sedang bertengkar.
“Kenapa kalian bertengkar?”
“Anak ini terlampau sombong,“
berkata prajurit muda itu, “ia tidak mau menuntun kudanya di sepanjang jalan
padukuhan ini.”
“Ah kau,“ desis Juga,
“sudahlah. Pergilah Sedayu.”
“Tunggu,“ potong prajurit itu,
“begitu saja ia akan pergi? Aku sudah mengatakan, ia terlampau sombong. Ia
tidak menghiraukan sama sekali kepada prajurit-prajurit Pajang yang ada di Jati
Anom. Apakah dikiranya kami ini orang-orang liar di sini?”