Buku 095
Gandu Demung mengangguk-angguk
sambil menjawab, “Ya. Ya. Maksudku memang demikian. Hubunganku dengan Ki Bajang
Garing seperti yang sudah aku katakan, hendaknya menjadi pertimbangan. Selain
itu, barangkali Ayah dapat menunjuk kelompok yang lain yang memadai, sebagai
kelompok ketiga.”
“Kau belum melihat kekuatan
yang sebenarnya dari kelompok kita, kelompok Ki Bajang Garing, dan
kelompok-kelompok yang lain,” berkata saudaranya yang paling tua, “sehingga
dengan demikian sebenarnya kau belum dapat mengatakan, bahwa tiga, empat atau
satu kelompok sudah cukup untuk melakukan tugas itu.”
“Aku sudah mempunyai
gambaran,” jawab Gandu Demung, “bukankah sejak kecil aku berada dalam
lingkungan ini?”
“Tetapi perubahan telah banyak
terjadi di daerah ini. Yang kecil sudah menjadi besar, tetapi yang besar justru
menjadi kecil.”
“Baiklah. Baiklah besok aku
akan melihat, sudah barang tentu yang pertama-tama adalah kelompok kita
sendiri.”
“Kau akan melihat yang tidak
pernah kau bayangkan sebelumnya.”
Gandu Demung mengerutkan
keningnya. Namun ia menjawab, “Tetapi ingat, pengantin itu akan dipertemukan
dalam waktu yang singkat. Tidak ada sebulan lagi. Bahkan tinggal setengah bulan
lebih sedikit.”
“Kau harus mendapatkan
kepastian waktu.”
“Tentu. Seperti yang aku katakan,
kita perlu melihat dan mengamati langsung Tanah Perdikan Menoreh, menyusuri
jalan menuju ke Sangkal Putung.”
Demikianlah untuk sementara
pembicaraan itu berakhir. Gandu Demung memang tidak memaksakan agar
saudara-saudaranya segera mengambil keputusan. Tetapi tanggapan
saudara-saudaranya agaknya dapat diharapkan, bahwa mereka tidak akan
menolaknya.
Adalah sudah menjadi kebiasaan
Gandu Demung, berada di segala tempat dan di segala cuaca. Itulah sebabnya,
maka ia sama sekali tidak mengeluh, bahwa ia harus berada di tempat yang sempit
dan pengap di sarang keluarganya. Meskipun letak rumahnya tidak berubah, tetapi
ternyata di malam hari, mereka tidak berada di rumah itu. Untuk sementara
mereka menyingkir di sebuah gubug kecil di pategalan. Hanya perempuan dan
anak-anak sajalah yang berada di rumahnya.
“Sebenarnya malam ini tidak
perlu,” berkata Gandu Demung, “jika yang kalian cemaskan adalah tindakan dari
Empu Pinang Aring, tentu tidak akan berbahaya justru aku berada di sini.”
Kakaknya yang tertua menyahut,
“Biarlah kita membiasakan diri berada di tempat yang terpisah dari padukuhan,
agar semua persoalan tidak akan menyangkut keluarga kita. Bukan saja sentuhan
dengan Empu Pinang Aring, tetapi juga dengan gerombolan-gerombolan lain yang
menjadi hampir kelaparan sekarang ini.”
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa kelompok-kelompok penjahat itu harus
menjadi sangat berhati-hati dalam keadaan yang bagi mereka merupakan masa yang
sulit. Karena dalam keadaan yang memaksa mereka tidak segan-segan untuk
melakukan kekerasan atas kelompok-kelompok yang lain, yang menurut perhitungan
mereka akan dapat dikalahkan.
Karena itulah, maka
kelompok-kelompok yang merasa dirinya terlampau kecil, akan segera lenyap,
meskipun mungkin hanya untuk beberapa saat dan yang kelak apabila keadaan telah
memungkinkan akan segera muncul kembali. Atau bahkan telah meninggalkan daerah
itu untuk bergabung dengan kelompok-kelompok serupa ditempat yang jauh.
Dalam pada itu, ternyata
kehadiran Gandu Demung di tempatnya telah menimbulkan suatu gelombang yang
menggerakkan kelompok-kelompok yang ada di sekitar Gunung Tidar. Di malam
pertama, Gandu Demung tidak banyak berbicara lagi tentang rencananya. Ia merasa
bahwa apa yang dikatakannya sudah cukup banyak.
Baru di keesokan harinya,
Gandu Demung bersama saudara-saudaranya melihat-lihat apakah yang sebenarnya
ada di dalam kelompok mereka.
“Mungkin kau belum mengenal
beberapa orang yang kini justru menjadi kekuatan kelompok kita,” berkata
kakaknya yang tertua.
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Ia memang melihat beberapa orang baru di dalam
lingkungannya.
“Mereka telah kami panggil
untuk kami perkenalkan dengan kau,” berkata kakaknya yang tertua.
Gandu Demung menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kakaknya telah membawanya ke tempat yang jarang sekali
disentuh kaki manusia. Di pinggir hutan, di tepian sungai berpasir.
“Di manakah mereka tinggal
selama ini?” bertanya Gandu Demung.
“Mereka berada di dalam
lingkungan keluarga masing-masing. Aku kira seperti juga orang-orang Ki Bajang
Garing. Hanya dalam saat-saat tertentu kita berkumpul dan berbicara tentang
keadaan kita dalam keseluruhan.”
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata susunan kelompok ini justru menjadi
semakin baik dan rapi. Tetapi sayang, bahwa aku sudah tidak dapat berada di
antara kalian semuanya, karena aku merasa terpanggil ke dalam tugas yang lebih
besar.”
Beberapa orang yang ada di
tempat itu untuk diperkenalkan dengan Gandu Demung mengangguk-angguk. Namun
ternyata seorang yang bertubuh besar, tegap berkumis melintang tetapi berkepala
botak tertawa pendek sambil berkata, “Mungkin suatu kesempatan yang baik
sajalah yang telah memperkenalkan kau dengan Empu Pinang Aring, Anak Muda.”
Gandu Demung mengerutkan
keningnya. Sekilas dipandanginya wajah kakaknya yang menjadi tegang pula.
“Maaf Gandu Demung. Aku memang
orang baru di sini. Tetapi jangan dikira bahwa aku adalah orang kelaparan yang
minta perlindungan. Orang di dalam kelompok ini tentu sudah mengenal siapakah
aku. Kakakmu itu pun mengenal aku pula. Bertanyalah kepadanya, siapakah
sebenarnya orang terkuat di kelompok ini.”
Gandu Demung termangu-mangu.
Sekilas dipandanginya kakaknya berganti-ganti. Dari yang paling tua, sampai
adiknya yang paling muda, yang berjumlah empat orang itu selain dua saudara
perempuannya.
Kakaknya yang paling tua pun
kemudian bertanya kepada orang yang berkepala botak itu, “Apa sebenarnya
maksudmu?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya
ingin mengatakan, bahwa adikmu itu jangan menganggap kami, orang-orang yang
belum dikenalnya, sebagai orang yang menumpang hidup di sini. Jika aku di sini,
bukan menjadi pimpinan, karena sejak aku datang, sudah ada seorang yang
disegani. Tetapi bahwa pimpinan tertinggi di kelompok ini bukanlah orang
terkuat tentu sudah diketahui.”
Tiba-tiba kakak tertua Gandu
Demung itu meloncat berdiri sambil membelalakkan matanya. Katanya, “Aku tidak
mengira bahwa kau bersikap seperti itu. Tetapi kau harus menyadari, tidak
seorang pun yang mengetahui dengan pasti, bahwa kau adalah orang terkuat di
sini, karena kita belum pernah menentukan ukuran yang dapat kita terima
bersama-sama. Apalagi jika yang kau anggap pimpinan tertinggi adalah Ayah.”
Orang itu masih tertawa.
Katanya, “Kadang-kadang kita memang perlu meyakinkan, siapakah yang memegang
peran tertinggi di dalam suatu kelompok tertentu. Mungkin seseorang dianggap
sebagai pemimpin tertinggi karena pengaruhnya, karena kecakapannya memimpin dan
membuat rencana yang masak, tetapi mungkin juga karena memang tidak ada orang
lain di dalam kelompok itu yang dapat mengalahkannya.”
Kakak tertua Gandu Demung
mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Baik. Justru saat adikku ada di sini kau
ingin menunjukkan bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan di sini.
Marilah. Aku akan mewakili ayahku yang tidak akan mempedulikan kau dengan
kesombonganmu, meskipun aku belum dapat menyamai kemampuan ayahku.”
Orang berkepala botak itu
masih tertawa. Katanya, “Jangan mencari kesulitan. Sebenarnya kata-kataku sama
sekali tidak aku tujukan kepadamu, karena selama ini kau telah berhasil memimpin
kelompok ini dengan baik. Aku hanya ingin menunjukkan kepada adikmu bahwa ia
tidak boleh bersikap seperti sikapmu, karena ia sama sekali bukan pemimpin di
sini. Lebih-lebih lagi, jika ia menganggap bahwa orang-orang yang ada di sini
sekarang ini, adalah orang-orang yang menggantungkan hidupnya kepada mereka
yang telah lama berada di dalam kelompok ini.”
“Itu pikiran gila,” bentak
kakak tertua Gandu Demung.
Namun dalam pada itu, Gandu
Demung pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Tentu yang
dimaksud adalah apakah aku pantas menyebut diriku adik dari pemimpin kelompok
ini. Baiklah. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku pun akan menerima dengan
senang hati. Bukankah jelasnya kau menantang aku untuk berkelahi sehingga
dengan demikian kau akan mendapat ukuran mengenai diriku di antara
saudara-saudaraku dan orang-orangnya di sini.”
Orang berkepala botak itu
menjadi tegang, justru karena ia tidak menyangka bahwa Gandu Demung akan
mempergunakan istilah yang terus-terang.
Namun kemudian ia berkata,
“Ternyata kau cukup jantan, sehingga pantas kau berada di lingkungan kelompok
Empu Pinang Aring.”
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya orang berkepala botak itu. Ujudnya
memang meyakinkan. Badannya yang tegap besar dan dadanya yang bidang ditumbuhi
bulu-bulu yang lebat.
Dalam pada itu, Gandu Demung
pun kemudian berkata kepada kakaknya, “Biarlah aku memenuhi keinginannya.”
“Gandu Demung. Akulah yang
mewakili Ayah di sini. Karena itu biarlah aku menertibkan orang-orangku. Jika
kau memang ingin mengukur kekuatannya, lakukanlah. Tetapi aku harus mendapat
kepastian, bahwa aku akan dapat mengalahkannya. Jika tidak, maka kewibawaanku
sebagai pemimpin di sini akan selalu direndahkannya. Karena itu biarlah ia
yakin, bahwa aku adalah pemimpinnya di sini.”
Tetapi adiknya menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Kakang, aku wajib menerima tantangannya agar aku dapat
membuktikan bahwa orang itu bagiku tidak berarti apa-apa.”
“Anak Setan,” geram orang
berkepala botak itu, “ayo, cepat. Lakukanlah. Tetapi jika kau hanya dapat
bersembunyi di punggung kakakmu, apa boleh buat.”
“Nah, kau dengar, Kakang?
Akulah yang memang ditantangnya. Dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku
adalah salah seorang pemimpin yang dipercaya di dalam lingkungan kelompok besar
yang dipimpin oleh Empu Pinang Aring. Jika orang berkepala botak itu dapat
mengalahkan aku, maka ia adalah orang yang pantas duduk di sebelah Empu Pinang
Aring seperti aku. Bahkan mungkin melampauinya.”
Kakaknya yang paling tua
menggeretakkan giginya. Lalu kata-nya, “Baiklah. Lakukanlah. Sebenarnya tidak
perlu kau sendiri yang melawannya. Semua saudara-saudaramu akan mampu
mengalahkannya. Bahkan kalau perlu mematahkan lehernya.”
Orang berkepala botak itu
tertawa. Katanya, “Memang sulit untuk mendapatkan gambaran kekuatan seseorang.
Di dalam tugas kita masing-masing, kita tidak akan dapat langsung saling
mengukur. Jumlah orang yang sudah dibunuh bukan ukuran kemampuan seseorang.”
Orang berkepala botak itu berhenti sejenak, lalu, “Jika kau dapat mengalahkan
aku, Gandu Demung, maka baru kau pantas memimpin kami melakukan perampokan atas
sepasang pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh, karena menurut pendengaranku,
Menoreh adalah lumbung orang yang berilmu tinggi.”
Gandu Demung tidak berbicara
lagi. Ia pun kemudian berdiri dan membenahi pakaiannya, menyingsingkan kain
panjangnya, dan bahkan kemudian melepaskan senjatanya dan menyerahkannya kepada
kakaknya.
“’Dalam permainan ini aku
tidak memerlukannya.”
Kakaknya menerima senjata itu
sambil berkata, “Hati-hatilah.”
Gandu Demung tersenyum. Lalu
dipandanginya orang berkepala botak itu sambil berkata, “Tepian ini berpasir.
Kita dapat bermain-main di sini dengan sejumlah saksi. Kita dapat bermain-main
sampai tengah hari, sampai senja, atau tiga hari tiga malam. Aku akan
melayanimu saja sesuai dengan seleramu.”
Orang berkepala botak itu
menggeram. Ternyata Gandu Demung sama sekali tidak mengacuhkan ujudnya yang di
dalam banyak hal sangat berpengaruh. Ketika ia mula-mula datang ke tempat itu,
maka semua orang dapat digertaknya dengan ujudnya yang meyakinkan dan
sekali-sekali ia memang dengan sengaja menunjukkan kemampuan tangannya yang
melampaui kekuatan seekor kerbau.
Namun menghadapi Gandu Demung
yang menganggapnya tidak berarti itu, hatinya benar-benar tergetar.
Sementara itu Gandu Demung
sudah berjalan menjauhi kerumunan anggauta kelompok yang diperkenalkan
kepadanya. Bahkan di antara mereka pun terdapat orang-orang lama yang sudah
mengenalnya dengan baik. Meskipun demikian, apalagi orang-orang baru menjadi
sangat berdebar-debar. Karena sikap orang berkepala botak itu nampaknya begitu
garang.
Orang berkepala botak itu pun
kemudian mengikuti Gandu Demung. Sementara orang-orang yang lain pun kemudian
berkerumun mengelilingi keduanya yang siap untuk bertempur.
“Tentukan peraturan
permainannya,” geram kakaknya.
Orang berkepala botak itu
menyahut dengan serta-merta, “Serahkan kepada kami berdua.”
“Maksudmu?”
“Apa saja yang akan dilakukan
oleh yang menang. Jika ia menaruh belas kasihan, biarlah ia mengasihani sejauh
dikehendaki. Jika tidak maka kemungkinan terpahit akan kita alami.”
“Itu tidak mungkin.”
“Sikapnya sangat menghina
aku,” jawab orang berkepala botak, “sehingga tantanganku telah berubah bentuk.
Bukan sekedar mengetahui siapakah yang terkuat, tetapi juga sebagai sikap ingin
pertahankan harga diri. Dan harga diriku sama nilainya dengan nyawaku. Tetapi
jangan takut bahwa aku akan membunuhnya. Aku masih mempunyai rasa
perikemanusiaan. Sejauh yang dapat aku lakukan adalah membuatnya cacat sehingga
ia akan kehilangan kesombongannya.”
Gandu Demung mengerutkan
keningnya. Ia tidak menyangka bahwa orang berkepala botak itu benar-benar telah
terbakar hatinya. Namun demikian ia berkata, “Baiklah. Terserah kepadamu. Sudah
aku katakan, aku hanya melayani menurut seleramu.”
“Persetan,” geramnya.
Gandu Demung pun kemudian
mempersiapkan diri. Raksasa berkepala botak itu tentu memiliki kekuatan
jasmaniah yang besar. Namun ia tidak yakin bahwa ia memiliki kecepatan bergerak
yang sesuai dengan kekuatannya itu.
Sejenak kemudian raksasa itu
telah melangkah mendekat. Nampaknya ia terlampau yakin akan dirinya. Akan
kekuatannya dan ketahanan tubuhnya, seolah-olah ia membiarkan serangan lawannya
mengenainya tanpa akan menghindar atau menangkisnya.
Gandu Demuing memang agak
heran melihat kesombongan orang bertubuh raksasa itu. Namun dengan demikian ia
menjadi semakin berhati-hati. Mungkin memang ada sesuatu yang pantas
diandalkannya, sehingga ia berani berbuat demikian. Padahal orang itu tahu,
bahwa Gandu Demung adalah orang yang mendapat kepercayaan dari Empu Pinang
Aring.
Dalam pada itu, suasana
menjadi semakin tegang. Setiap orang yang melihat kemarahan yang telah membakar
jantung orang berkepala botak itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari
bahwa orang berkepala botak itu memang memiliki kemampuan yang tidak terlawan
oleh mereka. Bahkan beberapa orang menjadi heran ketika mereka mengetahui,
bahwa orang berkepala botak itu akan bergabung dengan kelompok mereka.
“Apakah ia tidak mendapat
kesempatan yang lebih baik daripada berada di sini,” pernah seseorang bertanya
kepada kawan-kawannya.
Namun kemudian ternyata bahwa
orang berkepala botak itu benar-benar telah menjemukan bagi kawan-kawannya. Ia
selalu memaksakan kehendaknya. Bahkan kadang-kadang merampas milik kawan-kawanrya
yang disukainya.
Meskipun demikian, ia masih
tetap tunduk kepada pimpinan kelompok, meskipun setiap kali ia mengatakan,
bahwa ia memiliki beberapa kelebihan dari saudara-saudara Gandu Demung.
Kedatangan Gandu Demung bagi
orang berkepala botak itu adalah kesempatan untuk menunjukkan, bahwa ia
memiliki sesuatu yang pantas dikagumi, dan bahkan ditakuti oleh setiap orang di
dalam kelompok itu.
Sejenak kemudian Gandu Demung
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan hati-hati ia pun maju beberapa
langkah. Ia tidak mau menganggap bahwa lawannya adalah seseorang yang hanya
pantas berada di dalam lingkungan kecil dari sekelompok penjahat di sekitar
Gunung Tidar.
“Hari ini adalah hari yang
terakhir bagiku di sini. Sebagai seorang yang hanya menggantungkan diri kepada
seseorang yang semula tidak aku ketahui tingkatan ilmunya,” berkata orang
berkepala botak itu tiba-tiba. “Karena hari ini aku akan membuktikan bahwa
akulah orang terkuat di dalam kelompok ini, sehingga sepantasnya akulah yang
harus menjadi pemimpin kalian. Mula-mula aku tidak berniat demikian. Tetapi
penghinaan yang berlebih-lebihan, justru telah menumbuhkan dendam di dalam
hatiku. Siapa yang tidak tunduk kepada keputusanku ini, akan aku bunuh di
tepian ini juga.”
“Gila,” teriak kakak Gandu
Demung.
Namun sebelum ia meneruskan,
Gandu Demung telah mendahului, “Biarkan ia berkicau seperti seekor burung.
Suaranya akan segera terhenti jika ia mengerti, berapa luasnya langit, dan
betapa dalamnya lautan.”
Kemarahan orang berkepala
botak itu benar-benar tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia melangkah
maju sambil mengayunkan tangannya mendatar, menghantam wajah Gandu Demung.
Gandu Demung mejadi heran
melihat tata gerak itu. Sangat sederhana. Namun justru karena itu, maka ia pun
menjadi sangat berhati-hati.
Demikianlah, ketika ayunan
tangan itu hampir mengenai pelipisnya, maka ia pun menarik kepalanya sambil
bergeser melangkah ke samping.
Tangan orang berkepala botak
itu berdesing di sebelah telinga Gandu Demung. Dan dengan demikian Gandu Demung
dapat meraba, betapa kuatnya tenaga yang terlontar pada ayunan tangan itu.
“Gerak yang sederhana itu
sangat mencurigakan,” berkata Gandu Demung di dalam hatinya.
Namun, dalam pada itu, Gandu
Demung telah didorong oleh suatu keinginan untuk mengetahui kekuatan daya tahan
lawannya. Karena itulah, maka sebelum orang berkepala botak itu menyadari
kegagalannya. Gandu Demung telah menyerangnya. Kakinya terjulur mendatar
mengarah ke lambung lawannya. Meskipun Gandu Demung tidak mempergunakan segenap
kekuatannya, namun serangan kaki itu sangat berbahaya bagi lawannya.
Ternyata orang berkepala botak
itu sama sekali tidak mengelak. Dibiarkannya saja kaki Gandu Demung menghantam
lambungnya
Benturan itu telah mengejutkan
kedua belah pihak. Gandu Demung terkejut bahwa lawannya benar-benar memiliki
kekuatan raksasa sesuai dengan ujud badannya. Sedangkan orang berkepala botak
itu tidak mengira bahwa Gandu Demung yang tidak sebesar dirinya itu telah
berhasil menyakiti lambungnya.
Orang berkepala botak itu
menggeram. Di antara mereka yang berada di dalam kelompoknya tidak seorang pun
yang mampu menyakitinya dengan serangan yang betapa pun kuatnya.
Sejenak kemudian kembali
keduanya menyiapkan diri untuk suatu perkelahian yang tentu akan menegangkan. Orang-orang
yang mengelilingi keduanya seolah-olah telah menahan nafas mereka. Apalagi
ketika mereka melihat orang bertubuh raksasa itu melangkah mendekati lawannya
dengan kedua tangannya mengembang.
Gandu Demung termangu-mangu
melihat sikap lawannya. Apakah ia dengan demikian telah menjebaknya, atau
justru karena ia benar-benar meyakini ketahanan tubuhnya.
Dalam keragu-raguan itu justru
Gandu Demung melangkah surut di luar sadarnya.
Tetapi langkah Gandu Demung
itu agaknya telah mempengaruhi setiap orang yang menyaksikannya. Mereka
menganggap bahwa agaknya Gandu Demung merasa segan menghadapi lawannya yang
mempunyai ujud dan kekuatan raksasa itu.
Agaknya orang berkepala botak
itu pun menganggapnya demikian. Karena itulah maka ia pun kemudian tertawa terbahak-bahak
sambil berkata, “O, anak malang. Mimpi apakah gerangan yang telah membawamu
kemari mengunjungi sanak dan saudara-saudaramu. Ternyata di sini kau hanya akan
mengalami nasib yang menyedihkan. Kau harus menebus kesombonganmu dengan cacat
seumur hidupmu.”
Kakak Gandu Demung menjadi
tegang. Ia pun menjadi cemas melihat sikap adiknya yang disangkanya memiliki
kelebihan dari saudara-saudaranya yang ditinggalkan di daerah yang buram itu.
Namun tiba-tiba saja semua
orang telah dikejutkan oleh sebuah tata gerak yang tidak terduga-duga. Belum
lagi suara tertawa orang berkepala botak itu menurun di antara kata-katanya,
tiba-tiba saja suara itu terputus. Ternyata Gandu Demung menjadi muak mendengar
suara tertawa itu, dari segera meloncat menyerang langsung memukul mulut
lawannya yang sedang tertawa itu.
Serangan Gandu Demung itu
benar-benar telah mengejutkan orang berkepala botak itu. Tiba-tiba saja ia
merasa mulutnya disengat oleh sentuhan tangan yang membuatnya menyeringai
kesakitan meskipun tidak mematahkan giginya, tetapi serangan Gandu Demung yang
tiba-tiba itu telah menyakitinya.
Selain perasaan sakit, orang
berkepala botak dan mereka yang menyaksikannya pun menjadi heran. Betapa
cepatnya Gandu Demung bergerak, sehingga tidak ada yang dapat mencegahnya,
memukul mulut orang berkepala botak itu.
Sementara orang berkepala
botak itu termangu-mangu kebingungan, Gandu Demung berkata dengan lantang,
“Orang bertubuh raksasa. Aku ternyata tidak mengetahui, mimpi apakah gerangan
aku semalam. Apalagi, makna dari mimpiku itu. Mungkin perlambang dari nasib
yang malang, tetapi mungkin pula perlambang dari sebuah permainan yang
mengasyikkan. Dan aku pun menjadi bingung melihat perlawananmu yang menggelikan
itu.”
Orang berkepala botak itu
marah bukan buatan. Seperti yang dilakukan oleh Gandu Demung, maka orang itu
ingin menyerang dengan tiba-tiba, tetapi ternyata bahwa tubuh raksasanya itu
tidak mampu bergerak secepat Gandu Demung,
Namun ternyata bahwa tenaganya
memang terlampau kuat. Tangannya terayun menyambar kepala Gandu Demung. Terlalu
keras, sehingga jika tangan itu berhasil menyentuh wajah lawannya, maka rahang
Gandu Demung tentu akan patah karenanya.
Tetapi gerak itu terlalu
sederhana seperti tata gerak yang terdahulu. Betapa lambannya bagi Gandu Demung
meskipun cukup keras.
Gandu Demung memang memiliki
kemampuan bergerak secepat burung sikatan. Karena itulah, maka ia mampu
mengimbangi kekuatan lawannya dengan kecepatan geraknya.
Sekali lagi tangan orang
berkepala botak itu terayun beberapa jari dari rahangnya. Sekali lagi terasa
desir angin yang menyambar oleh dorongan ayunan tangan itu. Dan sekali lagi
Gandu Demung berdesah karena ia menyadari betapa kuatnya tenaga orang berkepala
botak itu yang terlampau percaya kepada kekuatannya sehingga ia tidak begitu
menghiraukan tata geraknya. Meskipun demikian, itu bukan berarti bahwa
sebenarnya orang itu tidak mampu melakukan tata gerak berlandaskan ilmu
kanuragan.
Namun Gandu Demung masih saia
melihat serangan lawannya yang lamban betapa pun kuatnya. Ketika ayunan tangan
orang berkepala botak itu tidak mengenai sasarannya, maka ia pun melangkah maju
dengan sebuah loncatan. Tangannya terjulur lurus meraih tubuh Gandu Demung.
Gandu Demung sadar, jika
tubuhnya tersentuh tangan lawannya, apalagi tertangkap, ia harus dapat segera
melepaskan diri sebelum tulangnya diremukkannnya.
Tetapi agaknya terlampau sulit
bagi orang berkepala botak itu untuk menangkap anggota badan Gandu Demung.
Namun dengan demikian, maka
kemarahan semakin membakar hati orang berkepala botak itu.
Kegagalan-kegagalannya telah membuatnya semakin garang. Bahkan orang berkepala
botak itu pun kemudian menyerang dengan membabi buta tanpa memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh lawannya.
Tetapi agaknya ia memang
terlalu percaya kepada kekuatannya. Setiap kali ia melangkah maju menerkam
lawannya, sebelum tangannya berhasil menyentuh tubuhnya, justru serangan Gandu
Demung telah mengenainya. Meskipun demikian, seolah-olah ia tidak merasakan
sesuatu meskipun sekilas nampak bibirnya menyeringai. Namun ia melangkah maju
terus mengejar lawannya.
Gandu Demung menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia memiliki kecepatan bergerak yang jauh melampaui
kemampuan lawannya. Karena itu, ketika sekali lagi orang berkepala botak itu
melangkah maju, maka ia pun mendahuluinya menyerang dengan kakinya mendatar
mengenai lambung.
Langkah orang berkepala botak
itu terhenti. Sekali lagi ia menyeringai, namun kemudian ia melangkah maju lagi
dengan tangan terjulur lurus ke depan.
“Gila,” desis Gandu Demung,
“apakah badannya terbuat dari besi baja?”
Tetapi ia tidak sempat
berpikir terlalu lama. Kedua tangan lawannya hampir saja berhasil mencengkam
bajunya. Tetapi Gandu Demung segera memiringkan tubuhnya. Ketika kedua tangan
itu terjulur tepat di muka dadanya, maka ia pun segera melangkah justru
mendekat. Dengan tangannya ia menghantam perut orang itu dengan kekuatan yang
menghentak.
Sebuah keluhan tertahan di
mulut orang berkepala botak itu. Sesaat kedua tangannya dengan gerak naluriah
memegang perutnya yang terasa mual. Sedangkan Gandu Demung mempergunakan
kesempatan itu untuk menghantam tengkuk orang itu dengan sisi telapak
tangannya. Orang itu tertunduk sejenak. Terasa tengkuknya disengat oleh
perasaan sakit yang amat sangat.
Gandu Demung ingin mempergunakan
kesempatan selanjutnya. Namun ia tidak mengira, bahwa orang yang sedang
terbungkuk karena serangan di tengkuknya itu tiba-tiba saja telah menangkap
kaki Gandu Demung.
Gandu Demung terkejut ketika
tiba-tiba saja tubuhnya seperti terseret oleh arus yang kuat. Tulang-tulangnya
bagaikan patah karena genggaman tangan yang sangat kuat itu.
Tetapi Gandu Demung telah
memiliki ilmu olah kanuragan. Itulah sebabnya, maka ia pun seolah-olah
digerakkan oleh nalurinya, menjatuhkan dirinya di atas pasir tepian. Kaki yang
ditangkap itu pun dihentakkannya, sedangkan kakinya yang lain telah menghantam
dada orang itu.
Sekali lagi sebuah keluhan
tertahan di kerongkongan orang berkepala botak itu. Namun tangannya ternyata
tidak melepaskan kaki Gandu Demung. Bahkan dengan kekuatan yang luar biasa,
orang itu mencoba memutar tubuh Gandu Demung.
Gandu Demung menjadi
berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Jika orang itu berhasil
memutar tubuhnya dan menghantam batu sebesar kerbau di sungai itu, maka kepalanya
tentu akan pecah karenanya.
Namun dalam pada itu, Gandu
Demung telah merasakan tubuhnya terangkat dan berputar perlahan-lahan, semakin
lama menjadi semakin cepat.
Orang-orang yang menyaksikan
hal itu menjadi cemas. Mereka tidak menduga, bahwa pada suatu saat Gandu Demung
akan lengah, dan kakinya berhasil ditangkap oleh lawannya yang mempunyai
kekuatan raksasa itu.
Kakaknya yang paling tua
adalah orang yang paling cemas melihat perkembangan perkelahian itu. Baginya,
adiknya adalah kebanggaan keluarganya. Terutama di dalam olah kanuragan. Dan
kini ia melihat kaki adiknya itu dapat ditangkap oleh lawannya dan mulai
diputarnya. Jika orang berkepala botak itu berhasil membenturkan kepala adiknya
itu dengan batu-batu padas di pereng, maka kepala itu tentu akan sumyur.
Dengan demikian, maka orang
berkepala botak itu tentu akan semakin sombong dan berbangga diri. Meskipun
kemenangan itu tidak akan berarti mengecutkan hatinya, karena menurut
perhitungannya adalah kebetulan saja Gandu Demung lengah sehingga kakinya dapat
ditangkap lawannya, namun kebanggaannya terhadap adiknya selama ini di hadapan
orang-orangnya akan merupakan suatu cerita khayal yang barangkali akan
ditertawakan kelak.
Demikian pula orang-orangnya
yang lain. Kecemasan telah mencengkam setiap jantung, sehingga semua orang yang
menyaksikannya telah menahan nafasnya.
Ketika putaran itu menjadi
semakin cepat, dan Gandu Demung merasakan himpitan tangan lawannya menjadi
semakin kuat, maka sadarlah Gandu Demung, bahwa lawannya benar-benar akan membunuhnya.
Kesadaran itulah yang kemudian telah menggelapkan pertimbangannya.
Gandu Demung bukanlah orang
yang murah hati, pemaaf, dan penuh dengan kerelaan berkorban untuk sesamanya.
Ia adalah orang yang berada di dalam lingkungan Empu Pinang Aring yang
mempunyai kebiasaan seperti kawan-kawannya yang lain.
Karena itulah, maka Gandu
Demung tidak mempunyai pilihan laki kecuali bukan saja mempertahankan hidupnya,
tetapi juga membunuh lawannya dengan caranya.
Ternyata seperti yang diduga,
orang berkepala botak itu memutar lawannya sambil mendekati batu-batu padas di
pereng. Ia sudah bertekad untuk membenturkan kepala Gandu Demung sehingga
pecah.
Darah yang mengalir di tubuh
saudara-saudara Gandu Demung rasa-rasanya sudah berhenti mengalir. Bahkan
kakaknya yang paling muda sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Sambil
menggeram ia melangkah maju, karena ia merasa bahwa ia tidak akan dapat melihat
salah seorang saudaranya hancur berkeping tanpa berbuat apa pun juga.
Namun dalam pada itu, selagi
semua orang sedang dicengkam oleh kecemasan dan kebingungan, Gandu Demang
ternyata tidak tinggal diam dan menyerahkan kepalanya untuk diledakkan pada
batu-batu padas yang bergerigi runcing.
Pada saat orang berkepala
botak itu merasa, bahwa kemenangan sudah berada di telapak tangannya, dan
tinggal beberapa langkah saja lagi kepala Gandu Demung akan membentur batu
padas yang terjal dan bergerigi tajam, Gandu Demung telah mengentakkan
kekuatannya.
Bertumpu pada kekuatan tangan
lawannya. Gandu Demung menghentakkan dirinya, membungkuk pada punggungnya.
Suatu kekuatan yang luar biasa telah terhimpun pada kedua belah tangannya.
Dengan tidak terduga-duga, maka badannya yang kemudian menjadi lengkung itu,
telah mengayunkan kedua tangannya menggapai wajah orang berkepala botak itu.
Dengan serta-merta, kedua
tangan Gandu Demung telah mencengkam kepala orang berkepala botak itu. Betapa
kuatnya tangan Gandu Demung, sehingga dalam waktu yang hampir tidak dapat
diketahui oleh lawannya, Gandu Demung telah dapat mengguncangnya sehingga
kehilangan keseimbangan.
Dengan demikian, maka putaran
itu pun bagaikan baling-baling yang terlepas dari porosnya. Untuk beberapa saat
keduanya berputaran tidak menentu. Namun agaknya Gandu Demung masih tetap sadar
agar kepalanya tidak membentur tebing batu padas yang keras itu.
Sejenak kemudian keduanya pun
terlempar jatuh di atas pasir basah yang kehitam-hitaman.
Dengan susah payah keduanya
berusaha untuk menguasai diri. Gandu Demung dengan sigapnya meloncat berdiri,
sementara lawannya pun telah berusaha berdiri pula.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa
Gandu Demung yang merasa bahwa lawannya benar-benar akan membunuhnya itu telah
kehilangan kesabaran. Sehingga dengan demikian, nampaklah warna hatinya yang
sebenarnya. Seperti seekor harimau yang lapar, maka ia pun kemudian menjadi
liar dan buas.
Demikian orang berkepala botak
itu mencoba untuk tegak berdiri, maka tiba-tiba sebuah hantaman yang keras
telah mengenai tengkuknya. Gandu Demung tidak saja memukul lawannya dengan
tangannya, tetapi sebuah loncatan mendatar, dengan kaki terjulur lurus telah
mengenai tengkuk lawannya itu, sehingga sekali lagi ia terhuyung-huyung dan
kehilangan keseimbangan. Betapa pun kuatnya ketahanan tubuhnya, namun ia pun
terjatuh pula menelungkup.
Tetapi orang berkepala botak
itu segera berhasil menyadari keadaan dirinya. Karena itu, dengan serta-merta
ia pun berusaha untuk tegak berdiri. Dengan didorong oleh kekuatan kedua
tangannya, maka ia pun segera bangkit.
Namun ternyata bahwa Gandu
Demung yang marah itu, bagaikan telah menjadi gila. Ia pun segera meloncat
mendekat. Dengan kemarahan yang memuncak ia langsung menggenggam rambut yang
tinggal beberapa helai di kepala orang bertubuh raksasa yang botak itu. Ketika
kepalanya dihentakkan oleh tarikan pada rambut yang tersisa itu, sebuah pukulan
yang keras menghantam bagian belakang kepalanya.
Yang terdengar adalah sebuah
keluhan tertahan. Tetapi kemudian keluhan itu terputus karena lutut Gandu
Demung menghantam wajahnya.
Beberapa orang yang
menyaksikan perkelahian itu bagaikan menjadi beku. Mereka melihat bagaimana
Gandu Demung membenturkan kepala lawannya pada lututnya yang diangkat ke depan.
Beberapa kali, sehingga lututnya menjadi merah oleh darah yang mengalir dari
mulut lawannya yang berkepala botak itu.
Namun agaknya Gandu Demung
masih belum puas. Ia mulai nampak betapa ia dilahirkan dan dibesarkan di antara
sekelompok penjahat yang buas. Karena itulah, maka ia pun dapat berbuat sebuas
para penjahat itu pula.
Tetapi orang berkepala botak
itu tidak menyerah. Ia memang mempunyai ketahanan tubuh yang tidak
terduga-duga. Meskipun wajahnya telah merah oleh darah. Namun tiba-tiba ia
masih mengerahkan sisa kekuatannya. Dengan serta-merta ia merenggut kepalanya
meskipun lembaran-lembaran rambutnya seolah-olah telah tercabut dari kepalanya
yang sedang berbenturan berkali-kali dengan lutut lawannya itu.
Dengan serta-merta ia pun
kemudian, mendekap lambung Gandu Demung sedemikian kuatnya sehingga keduanya
terdorong beberapa langkah dan jatuh di atas pasir.
Sejenak mereka berguling-guling
sekali lagi. Kemarahan Gandu Demung benar-benar tidak terkekang. Dengan
garangnya ia berusaha untuk memukuli lawannya yang mendekapnya erat-erat.
Semakin lama semakin erat, sehingga seakan-akan Gandu Demung tidak dapat
bernafas lagi.
Beberapa saat Gandu Demung
tertegun, bagaimana mengatasi lawannya yang bagaikan melekat pada tubuhnya yang
berguling-guling di pasir tepian itu, bahkan telah menyesakkan nafasnya.
Namun kemudian dengan kekuatan
yang ada padanya, ia mendorong kepala botak yang melekat di tubuhnya itu.
Sesaat kemudian, seperti anak-anak yang bermain-main di tepian, maka Gandu
Demung pun mengangkat kakinya di sisi tubuh lawan dan menjepit lehernya.
Demikian kuatnya sehingga orang yang berkepala botak itu merasa seakan-akan
lehernya telah terjepit oleh sepasang besi yang berhimpitan.
Raksasa yang berkepala botak
itu menggeliat. Kepalanya terangkat sejenak, namun kemudian sebuah putaran
telah membenamkan kepalanya ke dalam pasir.
Gandu Demung menyadari, bahwa
kekuatan lawannya tidak akan dapat diimbanginya dengan kekuatan. Karena itu, ia
tidak ingin melanjutkan perkelahian ini pada jarak genggaman tangan. Karena
itu, tiba-tiba saja Gandu Demung melepaskan lawannya dan melenting berdiri.
Raksasa botak itu merasa
himpitan di lehernya terlepas. Dengan serta-merta pula ia berusaha untuk
berdiri sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan pasir.
Saat itulah yang ditunggu oleh
Gandu Demung. Demikian lawannya tertatih-tatih berdiri, sebuah serangan dengan
kekuatan kakinya telah menghantam kening lawannya itu. Tumit Gandu Demung yang
bagaikan bola besi telah membuat orang berkepala botak itu menjadi pening dan
terhuyung-huyung.
Betapa buasnya Gandu Demung
dalam kemarahan. Tidak kurang dari kebengisan Panganti dengan senyumnya, dan
tidak kalah dari kegarangan Rimbag Wara yang kejam. Dan Gandu Demung adalah
seekor harimau hitam yang buas dan liar.
Tetapi kali ini Gandu Demung
ingin memperlihatkan kemenangannya yang sempurna. Ia sama sekali tidak
mempergunakan pedangnya. Namun ketika keempat jari-jarinya telah mengembang
sambil menekuk ibu jarinya, maka kakaknya yang tertua, yang pernah melihat
bagaimana adiknya membunuh dengan cara itu, menjadi berdebar-debar. Dengan
serta-merta ia melangkah maju.
Dalam ketegangan itu, ia masih
sempat memikirkan kemungkinan yang bakal datang. Orang berkepala botak itu,
akan masih dapat dipergunakan. Kekalahannya akan meyakinkan, bahwa ia bukan
orang terkuat di muka bumi ini.
Karena itu, sebelum jari-jari
Gandu Demung itu mencengkam kepala lawannya dan membenam bagaikan ujung pedang,
kakaknya sempat berteriak, “Gandu Demung, hentikan.”
Gandu Demung mendengar suara
kakaknya. Betapa pun kemarahan mencengkam jantung, namun ia masih tetap
menyadari, bahwa kedatangannya adalah dalam rangka untuk mengumpulkan kekuatan.
Teriakan kakaknya telah memperingatkan pula kepadanya, bahwa raksasa berkepala
botak itu akan berguna dalam usahanya di Tanah Perdikan Menoreh, atau justru di
hadapan Kademangan Sangkal Putung sendiri.
Karena itulah maka
perlahan-lahan Gandu Demung mengendorkan ketegangan di jantungnya.
Perlahan-lahan pula ia melangkah surut menjauhi lawannya.
Ternyata bahwa raksasa
berkepala botak itu telah kehabisan tenaganya. Meskipun ia berusaha, namun ia
tidak lagi mampu berdiri tegak. Sentuhan pada ujung rambutnya, telah dapat
melemparkannya terjerembab di atas pasir basah.
Gandu Demung berdiri tegak
seperti patung. Ia memandang kakaknya yang perlahan-lahan mendekatinya.
“Lihatlah orang dungu,”
berkata kakaknya kepada orahg berkepala botak itu, “apa yang sebenarnya telah
terjadi. Jika aku tidak mencegahnya, maka jari-jari adikku telah menghunjam di
kepalamu dan memecahkan botakmu itu.”
Orang itu terengah-engah.
“Tetapi ternyata bahwa
hatinya, betapa pun gelapnya karena ia memang dilahirkan di antara kami, namun
ia masih bersedia memaafkanmu meskipun tentu saja dengan pamrih. Kau akan dapat
menjadi salah seorang pembantu yang baik dalam tugas yang bakal datang.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Sesaat ia memandang mata Gandu Demung yang bagaikan menyala.
Bagaikan mata seekor harimau hitam yang bertengger di dahan-dahan pepohonan.
Mengerikan sekali.
“Aku menyerah,” suara raksasa
itu dalam sekali, seolah-olah berputar di dalam perutnya.
Gandu Demung menggigit
bibirnya. Ia bukannya seorang pemaaf. Jika sekiranya ia tidak memerlukan
tenaganya, maka orang itu tentu sudah diremasnya, dan kepalanya sudah
dilubanginya dengan kuku-kukunya yang setajam pedang.
Orang berkepala botak itu
menundukkan kepalanya. Ternyata ia baru mengenal Gandu Demung yang sebenarnya.
Ganas, liar, dan bahkan buas seperti binatang hutan.
Sejenak Gandu Demung masih
termenung. Namun kemudian tiba-tiba saja kakinya terayun ke kepala orang
berkepala botak itu sambil menggeram, “Kau aku hidupi kali ini. Tetapi jika
sekali lagi kau menyakiti hatiku, aku akan mencincangmu dan melemparkan
kepalamu yang botak itu kepada anjing kelaparan di sepanjang-jalan.”
Betapa sakitnya hati orang
berkepala botak itu, seperti sakitnya sentuhan kaki Gandu Demung di wajahnya
yang sudah bernoda darah. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia
yakin, bahwa Gandu Demung tidak sedang tergurau.
Gandu Demung kemudian
melangkah meninggalkan orang berkepala tolak itu. Sejenak ia memandang ke
sekelilingnya dan berkata dengan nada yang berat, “Ayo, siapa lagi orang-orang
baru di sini yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Siapa yang tidak percaya
bahwa Gandu Demung adalah salah seorang dari kepercayaan Empu Pinang Aring.”
Semua orang menundukkan
kepalanya. Bahkan untuk bernafas pun rasanya mereka tidak sanggup lagi karena
ketakutan yang mencengkam hati.
Sejenak suasana menjadi sepi
tegang. Namum kemudian terdengar kakak Gandu Demung yang tertua berkata,
“Pertemuan kita sudah cukup hari ini. Pergilah kalian. Bawalah raksasa botak
ini.”
Beberapa orang pun kemudian
melangkah meninggalkan tempat itu. Dua orang di antara mereka memapah orang
berkepala botak yang ternyata sudah kehilangan kekuatannya sama sekali sehingga
tidak lagi mampu berdiri.
“Gila,” desis orang berkepala
botak itu ketika mereka sudah menjadi semakin jauh, “benar-benar tidak aku
duga, bahwa ada orang yang memiliki kemampuan seperti anak gila itu. Aku adalah
orang yang menganggap diriku kebal bukan karena ilmu, tetapi karena kekuatan
alamiah yang aku miliki. Namun sentuhan tangannya bagaikan api bara besi baja.
Aku tidak tahan menahan pukulannya.”
“Bukan saja pukulannya. O,
jika kau melihat bagaimana jari-jarinya mengembang. Hampir saja kepalamu
diterkamnya.”
“Ya. Aku sadar sekarang.
Jari-jarinya memang seperti ujung pedang. Jika saudaranya yang paling tua tidak
menahannya, kepalaku tentu sudah berlubang.” Namun kemudian ia masih sempat
berkata, “Tetapi ternyata bahwa aku adalah orang terpenting di sini. Jika
tidak, saudara tertua Gandu Demung itu tidak akan menahannya. Bahkan mungkin ia
membiarkan jari-jarinya itu mencengkam sampai ke otak.”
“Mungkin kau orang terpenting.
Tetapi kau tidak dapat lagi menyebut dirimu orang terkuat. Kau tentu dapat
menduga, bahwa saudaranya itu pun memiliki ilmu serupa meskipun tidak sekuat
Gandu Demung.”
Orang berkepala botak itu
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang tidak menyangka, bahwa ada kekuatan
yang tidak ada taranya. Tetapi dengan demikian kita menjadi mantap. Apa pun
yang akan kita lakukan, kita tidak akan gentar karena pemimpin yang akan
membawa kita ke medan tugas, bukannya hanya sekedar menggantungkan nasibnya
kepada kita semuanya.”
“Ya. Dan sudah barang tentu
Gandu Demung tidak akan berbuat demikian pula.”
Raksasa berkepala botak itu
mengangguk-angguk. Ia mengucap terima kasih di dalam hatinya, bahwa ia masih
sempat hidup dan melakukan pekerjaan yang memang disukainya itu.
Setiap kali, hatinya masih
saja disentuh kengerian jika teringat olehnya kemungkinan bahwa kepalanya akan
berlubang sejumlah jari tangan.
Dalam pada itu, Gandu Demung
masih berada di tepian bersama saudara-saudaranya. Mereka masih berbicara
tentang beberapa hal, juga tentang raksasa berkepala botak itu.
“Apakah ia tidak akan membuat
kesulitan di kemudian hari?” bertanya salah seorang saudara Gandu Demung.
“Tidak. Ia telah benar-benar
menjadi jera,” desis saudaranya yang tertua. “Melihat sorot matanya dan
wajahnya yang pucat, aku berpendapat, ia tidak akan berani menyombongkan
dirinya lagi.”
Saudara-saudaranya yang lain
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Marilah, kita akan kembali ke
gubug kita. Kita dapat berbicara selanjutnya mengenai rencana kita,” ajak
saudaranya yang tertua.
Demikianlah maka mereka pun
kemudian meninggalkan tempat itu, kembali ke sebuah gubug yang khusus dibuat di
pategalan yang jauh dari padukuhan, bahkan sudah dekat di pinggir sebuah hutan
kecil yang panjang.
Dengan sungguh-sungguh mereka
mulai merencanakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
“Kita dapat menghubungi salah
satu kelompok lain yang pantas,” berkata Gandu Demung kemudian. “Aku masih ragu-ragu,
apakah dua kekuatan saja dapat berhasil menguasai sepasang pengantin itu
bersama para pengiringnya.”
“Kekuatan Ki Bajang Garing
tidak terpaut banyak dengan kekuatan kita di sini,” berkata saudara Gandu
Demung yang tertua. “Karena itu kau tentu sudah dapat mempertimbangkannya.”
“Masih kurang. Agaknya kita
masih perlu mencari kekuatan yang dapat membantu. Meskipun agaknya Ki Bajang
Garing dan kelompok kita tidak sejalan sebelumnya, namun di dalam hal ini, kita
akan dapat menemukan cara untuk bekerja bersama,” sahut Gandu Demung. “Aku
menemukan keyakinan, bahwa hal itu dapat dilakukan setelah aku bertemu sendiri
dengan Ki Bajang Garing.”
Saudara-saudara Gandu Demung
mengangguk-angguk. Yang tertua kemudian berkata, “Aku akan menemui Kiai Wedung
Kalang dari daerah Hutan Pengarang. Mudah-mudahan kita dapat menemukan sikap
yang sama menghadapi persoalan ini.”
“Tetapi jika harus didahului
dengan kekerasan seperti yang terjadi pada kelompok Ki Bajang Garing, bahkan di
kelompok kita sendiri, maka aku akan meyakinkan mereka,” desis Gandu Demung.
Saudara-saudaranya
mengangguk-angguk pula. Yang tertua bergumam, “Memang mungkin.”
Gandu Demung mengangkat
alisnya. Sekilas terbayang kelebatan hutan Pengarang. Dan ia yakin, bahwa
penghuni Hutan Pengarang tentu bukannya kelinci-kelinci kecil, tetapi tentu
sebangsa serigala atau bahkan harimau belang.
“Baiklah. Sebenarnya hubungan
Ayah dengan Kiai Wedung Kalang cukup baik. Jika terjadi sesuatu, agaknya
persoalannya tentu mirip dengan keragu-raguan orang berkepala botak itu.”
“Justru keragu-raguan yang
demikian itulah yang perlu diyakinkan.”
Saudara-saudara Gandu Demung
mengangguk-angguk. Dan mereka pun kemudian sepakat untuk pergi ke Hutan
Pengarang di keesokan harinya.
Ketika matahari terbit, maka
tiga orang bersaudara telah pergi ke Hutan Pengarang. Gandu Demung hanya
disertai dua orang saudaranya saja membawa pesan ayahnya untuk Kiai Wedung
Kalang. Agaknya rencana yang disusun Gandu Demung itu tidak akan terlampau
sulit untuk diterima oleh orang-orang dari Hutan Pengarang.
Meskipun demikian tidak
mustahil bahwa orang-orang di Hutan Pengarang yang merasa mempunyai beberapa
orang yang berilmu tinggi, tidak akan bersedia berada di bawah perintah
orang-orang lain.
“Jangan kau sebutkan seluruh
rencanamu,” berkata saudara Gandu Demung yang tertua, “jika tidak ada
kesepakatan itu antara kita, maka berarti dari Hutan Pengarang akan dapat
mendahului rencana kita.”
“Mereka tidak akan kuat untuk
melakukannya sendiri,” jawab Gandu Demung.
“Mungkin mereka akan mencari kawan-kawan
lain.”
“Itu berarti bahwa kita akan
bertempur.”
“Ya. Dan kemungkinan yang
demikian itu memang ada.”
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang memang dapat
terjadi, karena lingkungan mereka tidak ubahnya dengan lingkungan Hutan
Pengarang itu sendiri. Lambang dari kekuasaan adalah kekuatan.
Dalam pada itu, selagi
orang-orang di sekitar Gunung Tidar sibuk dengan rencananya, maka di lembah
antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu pun telah mulai sibuk pula. Mereka yang
berada di daerah itu, harus menyiapkan suatu pertemuan rahasia pasukan yang
seolah-olah berimbang kekuatannya. Di dalam satu hal mereka dapat berjalan
seiring. Namun di dalam persoalan yang lain, benturan mungkin sekali terjadi,
juga di dalam persoalan mereka, berlaku pertimbangan, bahwa kekuatan akan
menentukan kekuasaan.
Ternyata bahwa Kiai Kalasa
Sawit telah datang lebih cepat dari rencana. Namun ia telah membawa berita yang
mengejutkan. Kematian Kiai Jalawaja. Dan kematian Kiai Jalawaja itu ternyata
telah mengharuskan para pemimpin itu mengadakan pembicaraan pendahuluan.
Namun mereka tidak menemukan
sikap yang dapat memberikan arah yang jelas pada pertemuan yang lebih besar
antara beberapa orang pemimpin, bukan saja kelompok-kelompok yang berada di
tempat persembunyian yang tersebar, tetapi di antara mereka juga terdapat
beberapa orang pemimpin prajurit di Pajang.
Akhirnya mereka sependapat
bahwa persoalan yang akan mereka bicarakan akan ditentukan pada suatu saat. Di
saat mereka akan berkumpul di lembah yang seolah-olah tertutup dari dunia di
luar lingkungan mereka itu.
Namun bagaimana pun juga,
pengaruh terbesar berada di tangan seorang Senapati Agung dari Pajang yang
tidak banyak diketahui, siapakah sebenarnya orang itu. Jarang sekali yang pernah
mengenal wajahnya dari dekat, dan apalagi mengetahui keadaannya yang
sebenarnya. Hanya beberapa orang kepercayaannya sajalah yang dapat bertemu muka
dan berbicara berterus-terang. Orang-orang itulah yang mewakilinya mengadakan
hubungan dengan para pemimpin kelompok-kelompok yang menyatakan diri bergabung
dengan perjuangan untuk menegakkan lagi kekuasaan Majapahit.
Tetapi pada pertemuan yang
menentukan, maka telah ada kesanggupan dari orang yang tidak banyak dikenal itu
untuk hadir langsung memimpinnya.
Namun dalam pada itu, suatu
kegiatan yang terpisah telah pula terjadi di Sangkal Putung dan di Tanah
Perdikan Menoreh. Hari-hari yang dilalui, bagaikan terbang dihembus oleh angin
yang kencang bagi Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Gede Menoreh. Rasa-rasanya
mereka menjadi sangat tegesa-gesa. Persiapan yang telah mereka lakukan sejak
selapan hari yang lalu, rasa-rasanya masih jauh dari mencukupi.
Tetapi bagi Swandaru dan
Pandan Wangi, hari-hari rasa-rasanya berjalan terlalu lambat. Matahari berkisar
dengan malasnya. Rasa-rasanya sejak terbit sampai saat terbenamnya,
perjalanannya telah memerlukan waktu dua kali lebih lama dari hari-hari biasa.
Apalagi jika malam tiba. Suara burung hantu yang ngelangut, seolah-olah telah
menghentikan putaran waktu. Dan malam pun menjadi jauh lebih panjang.
Bahkan ternyata bukan keluarga
terdekat dari Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Gede Menoreh sajalah yang
terpengaruh oleh persiapan itu. Bahkan anak-anak muda di kedua tempat itu pun
menganggap bahwa waktu menjadi sangat lamban. Mereka pun ingin segera melihat
Swandaru dan Pandan Wangi duduk bersanding dalam pakaian kebesaran sepasang
mempelai. Baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Kademangan Sangkal Putung.
Untuk mengisi waktu, maka
mereka yang telah ditunjuk oleh Ki Demang Sangkal Putung untuk pergi bersamanya
mengawal Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh, mencoba menenggelamkan diri ke
dalam latihan-latihan yang sungguh-sungguh. Mereka telah mendengar berita,
bahwa ada sesuatu yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga tidak
mustahil bahwa di sepanjang jalan mereka harus mempergunakan senjata mereka.
Agar tidak membuat orang-orang
lain cemas, maka mereka telah mengambil tempat yang terpencil untuk melakukan
latihan-latihan yang sungguh-sungguh. Di tengah pategalan bersama Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang juga
menyadari bahwa kemungkinan yang sulit memang dapat terjadi, maka ia pun telah
berusaha sejauh mungkin mempersiapkan anak-anak muda di Sangkal Putung yang
akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Dengan sungguh-sungguh ia telah mencoba
meningkatkan kemampuan anak-anak muda yang pada dasarnya memang pernah berlatih
olah kanuragan. Pada saat Tohpati mengancam Sangkal Putung yang kaya dengan
bahan makanan untuk merampasnya dan menguasainya sebagai lumbung yang tidak
akan kering, anak-anak muda itu sudah ikut serta di dalam setiap pertempuran
yang terjadi. Dari para prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung mereka
mendapat dasar-dasar olah kanuragan. Namun kemudian mereka telah meningkatkan
ilmu mereka sedikit demi sedikit. Sedangkan yang terakhir, Agung Sedayu telah
membimbing mereka dengan sepenuh hati.
Anak-anak muda itu pun dengan
sepenuh hati pula melatih diri. Tidak saja dalam kelompok yang terdiri dari
beberapa orang, tetapi Agung Sedayu menilik mereka seorang demi seorang.
“Waktunya menjadi semakin
pendek,” berkata Agung Sedayu, “tidak ada sepuluh hari lagi.”
“Tujuh hari,” desis seorang
yang bertubuh tinggi.
“Nah, tujuh hari lagi kita akan
pergi ke Tanah Perdikan Menoreh sebagai pengiring Swandaru. Tentu akan
merupakan sebuah iring-iringan yang cukup menarik perhatian. Tetapi tentu akan
menarik perhatian pula bagi orang-orang yang berniat buruk. Sudah kalian dengar
apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Dan sudah kalian dengar pula
apa yang telah terjadi di sebelah barat Jati Anom, di lereng Merapi, pada
sebuah padukuhan yang bernama Tambak Wedi. Mungkin kita akan menjumpai
orang-orang Tambak Wedi yang berkeliaran sampai ke Tanah Perdikan Menoreh,
tetapi mungkin pula kita akan bertemu dengan kelompok lain yang mempunyai
tujuan dan cara yang sama dengan kelompok Kiai Kelasa Sawit.”
Anak-anak muda Sangkal Putung
itu mengangguk-angguk.
“Kita harus menyadari, bahwa
setiap orang dalam gerombolan itu memiliki kecakapan bertempur seperti seorang
prajurit, sehingga kalian pun harus membuat diri kalian mempunyai kecakapan
bertempur seperti seorang prajurit.”
Anak-anak muda Sangkal Putung
itu mengangguk-angguk. Namun mereka pun sadar, bahwa kemampuan mereka sudah
mulai meningkat pula. Dan bahkan mungkin sudah berhasil menyamai kemampuan
sebagai seorang prajurit. Baik dalam perkelahian seorang lawan seorang, maupun
dalam kelompok dan bahkan gelar.
Untuk meyakinkan diri sendiri,
salah seorang dari anak-anak muda itu telah mencoba bertanya kepada Agung
Sedayu, “Apakah kemampuan kami masih jauh berada di bawah kemampuan orang
Tambak Wedi itu?”
“Tentu tidak,” jawab Agung
Sedayu, “bukan sekedar membuat kalian berbesar hati, tetapi menurut penilaianku,
kalian sudah memiliki kemampuan seorang prajurit. Tetapi jika kebanggaan itu
membuat kalian menjadi sombong, maka itu adalah permulaan dari kehancuran.
Serupa dengan itu adalah kehilangan pengamatan diri. Memang tidak akan dapat
menghindarkan diri dari kemarahan yang menyentuh perasaan. Tetapi kita jangan
lupa diri dan kehilangan perhitungan,” Agung Sedayu berhenti sejenak. “Tetapi
yang lebih utama dari semuanya itu adalah, bahwa kita tidak perlu berkelahi
dengan siapa pun juga dengan alasan apa pun juga.”
Anak-anak muda itu mengerutkan
keningnya. Namun salah seorang dari mereka bertanya, “Aku tidak mengerti.
Kenapa kita tidak perlu berkelahi. Untuk apa kita belajar mempertahankan diri
dalam ujud olah kanuragan seperti ini?”
“Hanya dalam keadaan yang
memaksa. Jika kita tidak dapat menemukan jalan lain, maka baru jalan yang
paling buruk inilah yang kita tempuh untuk menyelamatkan diri atau
menyelamatkan sikap yang kita yakini kebenarannya.”
Anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepala, mereka memang sudah mengerti sifat dan watak Agung
Sedayu. Namun sebagian besar dari mereka menganggap sikap itu sebagai sikap
yang ragu-ragu. Bahkan beberapa orang dari mereka pernah berkata, “Agung Sedayu
adalah seorang anak muda yang pilih tanding. Sayang, ia adalah seorang yang
lemah, sehingga nampaknya ia bukan sebagai seorang yang berhati jantan. Agak
berbeda dengan Swandaru. Ia adalah seorang laki-laki jantan yang lengkap.
Memiliki ilmu yang tinggi, keputusan yang tegas dan tidak ragu-ragu menentukan
sikap menghadapi apa pun juga.”
Agaknya Agung Sedayu pun
menyadari akan sifat dan wataknya itu dibanding dengan saudara seperguruannya.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merubah sikapnya. Bahkan kehadiran Rudita
di dalam sentuhan-sentuhan yang tajam di hatinya, membuatnya justru semakin
ragu-ragu.
Dengan sadar ia pun memahami
dirinya sendiri, seperti yang dikatakan oleh gurunya, bahwa ia masih berdiri di
atas dua alas. Bahkan kadang-kadang ia kurang jujur terhadap dirinya sendiri.
“Tetapi itu adalah sifat kebanyakan
orang, Agung Sedayu,” berkata gurunya, “kau tidak usah berkecil hati. Cobalah
mencari bentuk yang paling mantap bagimu sendiri. Jangankan kau. Sedangkan aku,
dan bahkan Ki Waskita, ayah Rudita, belum menemukan kemantapan sikap seperti
Rudita.”
Setiap kali Agung Sedayu hanya
dapat merenungi dirinya sendiri. Dan bahkan sekali gurunya pun berkata, “Rudita
sendiri bukannya orang yang telah menemukan sikap murni. Kau tahu, bahwa ia
masih melindungi dirinya dalam sifat pasrahnya dengan ilmu kebal yang justru
lebih baik dari ayahnya sendiri. Bukankah itu juga suatu sifat yang sama
seperti yang terdapat di dalam hatimu, namun dalam ujud yang lebih lemah. Jauh
lebih lemah.”
Dan sekarang, Agung Sedayu
berhadapan dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Bukan dengan Rudita. Karena
itulah maka ia harus menyesuaikan dirinya dan sikapnya, agar mereka tidak
kehilangan pegangan, justru karena dasar penilaian yang berbeda pada sikap dan
pandangan hidupnya.
Anak-anak muda Sangkal Putung
itu tentu tidak akan dapat diajak berbicara tentang sikap dan pandangan hidup
Rudita. Sehingga jika dipaksakannya, maka akibatnya akan kurang baik bagi
anak-anak muda itu dan hubungannya dengan Agung Sedayu sendiri. Untuk
memperkenalkan sifat dan watak Rudita kepada anak muda itu, perlu keadaan dan
waktu yang khusus.
Karena itulah maka di hadapan
anak-anak muda itu, Agung Sedayu sama sekali tidak memperbincangkan tentang
sikap dan watak. Dengan sungguh-sungguh ia membimbing mereka dalam olah
kanuragan, sehingga kemampuan anak-anak muda itu memang meningkat di hari-hari
terakhir. Semakin dekat mereka dengan hari-hari perkawinan Swandaru, maka
mereka pun semakin bersungguh-sungguh melatih diri.
Sementara itu menjelang
hari-hari keberangkatan Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh, Kademangan Sangkal
Putung menjadi semakin sibuk. Tidak ada yang dapat dibawa dari Sangkal Putung,
selain barang-barang bagi upacara pengantin. Kelengkapan lain yang berupa
makanan dan buah-buahan akan dicari setelah mereka berada di Tanah Perdikan
Menoreh, karena tidak mungkin membawanya langsung dari Kademangan Sangkal
Putung.
“Pengawalan yang kuat telah
disiapkan oleh Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kepada Ki Demang Sangkal
Putung.
“Terima kasih, Kiai,” jawab Ki
Demang, “kami percaya, bahwa Anakmas Agung Sedayu mempunyai gambaran yang cukup
bagi perjalanan kita nanti.”
“Aku sendiri juga sering
melihat. bagaimana anak-anak muda itu berlatih. Mereka telah memiliki kemampuan
seorang prajurit. Baik dalam perkelahian seorang lawan seorang, maupun di dalam
kelompok yang barangkali harus menghadapi kelompok yang mapan seperti pasukan
Kiai Kalasa Sawit di Padepokan Tambak Wedi.”
“Tetapi apakah jumlahnya
mencukupi, Kiai.”
“Aku kira sudah cukup.
Seandainya ada sekelompok orang yang mencegatnya, tentu tidak akan segelar
sepapan seperti kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Mungkin kekuatan yang cukup
besar, namun masih dapat diperhitungkan, bahwa kekuatan para pengiring Swandaru
pun cukup besar pula.”
Namun bagaimana pun juga Ki
Demang Sangkal Putung masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan. Seolah-olah
daerah selatan, yang membujur panjang dari Sangkal Putung sampai ke Tanah
Perdikan Menoreh itu merupakan daerah yang paling gawat dari seluruh wilayah
Pajang.
“Justru pada saat Swandaru
akan kawin, daerah ini telah menjadi panas kembali,” gumamnya.
“Itu hanya suatu kebetulan Ki
Demang,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi mudah-mudahan iring-iringan pengantin
Swandaru tidak akan menemui kesulitan apa pun juga.”
“Kita akan selalu berdoa,”
desis Kiai Gringsing kemudian.
Namun yang juga menjadi
persoalan kemudian adalah Sekar Mirah. Dengan sangat ia minta untuk ikut serta
bersama iring-iringan itu ke Tanah Perdikan Menoreh.
“Mirah,” berkata ayahnya, “kau
sudah mendengar, jalan yang akan kita lalui tidak selicin jalan untuk tamasya.”
“Aku tahu, Ayah. Justru karena
itu, aku ingin ikut serta bersama Kakang Swandaru dan Kakang Agung Sedayu.”
“Kau adalah seorang gadis.
Dalam keadaan yang gawat ini, sebaiknya kau tinggal di rumah saja.”
“Ayah sangka bahwa aku tidak
dapat menjaga diriku sendiri?”
“Aku tahu, Mirah. Tetapi
kesulitan seorang gadis akan jauh lebih besar dari kesulitan seorang
laki-laki.”
Tetapi seperti biasanya, hati
Sekar Mirah menjadi sekeras batu. Katanya, “Tidak ada bedanya, Ayah. Batas
terakhir bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah mati. Apakah ada
yang lebih buruk dari itu?”
“Ada, Mirah,” jawab ayahnya,
“jika kau jatuh ke tangan penjahat-penjahat itu?”
“Mereka hanya dapat menangkap
aku jika tubuhku telah terbaring tanpa bernafas lagi.”
Ayahnya menarik nafas
dalam-dalam. Ia sadar, dalam keadaan seperti itu Sekar Mirah sudah tidak dapat
diajak berbicara lagi. Kemungkinan satu-satunya adalah mengijinkan ia ikut
serta bersama iring-iringan pengantin yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh
itu. Sebab jika tidak, maka justru ia akan dapat menyusul seorang diri.
Dengan demikian maka sambil
menarik nafas dalam-dalam Ki Demang berkata, “Baiklah aku berbicara dengan Ki
Sumangkar.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Dipandanginya wajah gurunya yang berkerut-merut, seolah-olah ia
ingin minta kepadanya agar ia tidak berkeberatan.
Tetapi Ki Sumangkar sama
sekali tidak memandang wajah Sekar Mirah. Bahkan ia memandang ke kejauhan,
seolah-olah tidak mendengar pembicaraan itu.
Sekar Mirah menjadi ragu-ragu.
Dan ayahnya pun kemudian berkata, “Sudahlah. Pergilah ke belakang, barangkali
ibumu memerlukan bantuanmu. Aku akan berbicara dengan Ki Sumangkar.”
Sekar Mirah masih saja
ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian bergeser surut meninggalkan ayahnya yang
masih saja duduk dipendapa bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sepeninggal Sekar Mirah, Ki
Demang bertanya kepada Ki Sumangkar, “Bagaimana pendapat Kiai dengan
perkembangan terakhir dari Tanah Perdikan Menoreh?”
Ki Sumangkar tersenyum.
Katanya, “Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cukup untuk melakukan
perjalanan bersama dengan para pengawal. Selebihnya ia akan dapat menjadi kawan
Pandan Wangi nanti dalam perjalanan kembali ke Kademangan Sangkal Putung.
Karena satu-satunya perempuan yang pantas untuk ikut dalam iring-iringan ini
hanyalah Sekar Mirah. Jika kita mengajak perempuan lain yang akan menjadi kawan
Pandan Wangi, maka akibatnya akan dapat menyulitkan.”
Ki Demang dapat mengerti
pendapat Ki Sumangkar. Tetapi Sekar Mirah adalah anaknya. Sedangkan anaknya
hanya dua. Swandaru dan Sekar Mirah. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, maka
kedua-duanya ada di dalam iring-iringan itu pula.
Tetapi Ki Demang memang tidak
akan dapat memilih orang lain. Satu-satunya perempuan yang pantas untuk menjadi
kawan Pandan Wangi dalam perjalanan yang gawat itu adalah Sekar Mirah.
Karena itulah maka Ki Demang
Sangkal Putung pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Memang tidak ada
pilihan lain, Ki Sumangkar.”
Ki Sumangkar pun dapat
mengerti, kecemasan yang mencengkam hati Ki Demang Sangkal Putung. Karena itu,
maka katanya kemudian, “Kami semuanya akan berusaha untuk membebaskan diri dari
kesulitan. Dan kami akan selalu berdoa, mudah-mudahan kami dilindungi oleh Yang
Maha Murah, sehingga perjalanan kami sama sekali tidak akan mendapat gangguan
apa pun juga.”
Karena itu, maka Ki Sumangkar
dan Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan Ki Demang yang masih saja
merenung. Dengan suara yang datar Ki Demang berkata, “Semuanya aku serahkan
kepada Kiai berdua.”
“Mudah-mudahan kami dapat
melakukan tugas kami sebaik-baiknya,” jawab Kiai Gringsing.
Sepeninggal Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar yang kemudian turun ke halaman. Ki Demang masih duduk untuk
beberapa saat di pendapa. Kemudian ia pun menerima beberapa orang bebahu
kademangannya dan orang-orang tua di Sangkal Putung. Dengan hati-hati Ki Demang
masih mencoba menyaring di antara mereka, siapakah yang akan turut ke Tanah
Perdikan Menoreh bersama iring-iringan pengantin.
“Empat orang yang memiliki
kemampuan dan ketahanan berkuda,” berkata Ki Demang, “tetapi yang cukup pantas
mewakili orang-orang tua di Sangkal Putung.”
Ki Jagabaya yang hadir juga di
pendapa itu mengerutkan keningnya. Dengan menyesal ia bergumam, “Kalau saja aku
boleh ikut serta.”
“Kau harus berada di
kademangan ini Ki Jagabaya,” sahut Ki Demang.
Ki Jagabaya menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia pun memandang kepada seorang yang umurnya sudah
setua Ki Demang Sangkal Putung, namun yang badannya masih nampak jauh lebih
segar meskipun kumisnya sudah memutih.
“Ia adalah bekas seorang
prajurit,” berkata Ki Jagabaya.
Ki Demang pun memandang orang
berkumis putih itu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Ya. Aku lupa,
bahwa ia adalah bekas seorang prajurit.”
“Bukan hanya aku,” jawab orang
berkumis putih itu, “lihatlah orang yang duduk di sisi kanan Ki Demang itu.”
Semua orang berpaling kepada
orang yang duduk di sebelah kanan Ki Demang. Seorang yang nampaknya lebih tua
dari orang berkumis putih serta Ki Demang sendiri. Orang itu meskipun masih
kuat, tetapi giginya sama sekali sudah habis. Ketika ia kemudian tersenyum
nampaklah bahwa ia memang sudah tidak bergigi lagi.
“O,” Ki Demang
mengangguk-angguk, “kau benar, ia juga bekas seorang prajurit. Tetapi apakah
kau masih kuat naik kuda dalam perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh?”
“Jangankan naik kuda,” jawab
orang itu, “aku masih sanggup pergi ke Menoreh dengan naik kerbau tanpa
pelana.”
Orang-orang yang mendengarnya
tertawa. Sedangkan Ki Demang pun mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Demikianlah akhirnya beberapa
orang yang bersedia ikut serta ke Tanah Perdikan Menoreh di antara orang-orang
tua di Sangkal Putung, Ki Demang telah memilih empat orang. Dua di antaranya
adalah bekas prajurit Pajang yang sudah terlalu tua bagi jabatannya. Namun
demikian mereka masih cukup kuat untuk berkuda mengiringkan pengantin dari
Sangkal Putung ke Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan dua orang lagi adalah
orang-orang tua yang pernah menjadi pengawal Kademangan Sangkal Putung di masa
mudanya. Namun pada saat Sangkal Putung menjadi sasaran pasukan yang dipimpin
Tohpati mereka pun masih sanggup menggenggam pedang di samping anak-anak muda
yang masih segar.
Dengan demikian, maka
Kademangan Sangkal Putung telah mempunyai susunan yang lengkap dan pasti,
siapakah yang akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh mengiringkan Swandaru.
Karena seperti yang diperhitungkan, Swandaru dan para pengiringnya, memang akan
membawa barang-barang dan perhiasan. Selain yang akan mereka serahkan kepada
pihak pengantin perempuan, maka mereka pun telah membawa perhiasan bagi diri
mereka masing-masing. Bagaimana pun juga ada suatu kebanggaan di dalam hati
apabila di saat perelatan itu tiba, mereka dapat memakai perhiasan yang tidak
kalah dengan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Karena itu, maka mereka
pun harus bertanggung jawab atas barang-barang dan perhiasan yang mereka bawa,
selain perjalanan Swandaru itu sendiri.
“Lima belas orang anak-anak
muda terlatih baik,” berkata Ki Demang kemudian kepada para bebahu itu,
“selebihnya empat orang tua-tua, aku sendiri, Kiai Gringsing dengan Agung
Sedayu dan Ki Sumangkar, selain Swandaru sendiri. Selain semua itu, aku masih
akan disertai seorang perempuan. Sekar Mirah.”
“Ah,” desis Ki Jagabaya,
“Sekar Mirah memang mempunyai kelebihan dari seorang gadis biasa. Tetapi apakah
perjalanan ini tidak terlampau berbahaya baginya?”
“Perjalanan kembali dari Tanah
Perdikan Menoreh pengantin perempuan memerlukan sekurang-kurangnya seorang
kawan. Tidak ada perempuan lain yang paling pantas untuk perjalanan ini kecuali
Sekar Mirah. Jika aku membawa orang lain, maka dalam suatu keadaan yang gawat,
ia akan menjadi pingsan karenanya.”
Ki Jagabaya kemudian
mengangguk-angguk. Memang tidak ada orang lain kecuali Sekar Mirah.
Dalam pada itu, hari-hari pun
merambat semakin maju. Yang sebulan menjadi sepuluh hari. Kemudian tinggal
sepekan dan akhirnya saat-saat yang dinantikan dengan tegang itu pun sampai
pula di ujung hidung.
Dua hari lagi, Swandaru akan
berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh bersama pengiringnya. Seperti yang sudah
direncanakan, maka setiap orang dalam iring-iringan itu tidak dibenarkan
mempergunakan perhiasan di perjalanan. Dan sesuai dengan pendapat Ki Demang
sendiri, maka iring-iringan itu tidak akan berjalan bersama-sama. Tetapi mereka
akan membagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terpisah, meskipun jaraknya
tidak akan terlalu jauh.
“Ada juga baiknya,” berkata Ki
Sumangkar, “jika kita terperosok pada sebuah perangkap, maka tidak seluruhnya
berada di dalamnya.”
“Ya. Itulah yang aku
pikirkan,” berkata Ki Demang, “aku harus memisahkan Swandaru dan Sekar Mirah.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia mengerti, kecemasan yang sangat selalu membayangi Ki
Demang Sangkal Putung tentang kedua anak-anaknya yang akan ikut bersamanya ke
Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, selagi Sangkal
Putung mempersiapkan diri, maka di Tanah Perdikan Menoreh, nampak kegiatan yang
meningkat pula dari para petani. Pagi-pagi benar, sudah ada beberapa orang yang
berada di sawah, meskipun baru duduk-duduk di pematang. Ada di antara mereka
yang duduk di gardu-gardu di ujung bulak.
Namun dalam pada itu, salah
teorang dari dua orang yang berjalan melintasi sebuah bulak panjang tertawa
sambil berkata, “Lihatlah, betapa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah
bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Yang lain pun menyahut,
“Mereka menganggap bahwa kita adalah anak-anak dungu yang tidak dapat melihat,
bahwa meskipun yang nampak di pundak para petani itu adalah cangkul, tetapi
pada mereka pasti terdapat senjata. Karena aku yakin, mereka bukannya
petani-petani sewajarnya.”
“Kita akan menyesuaikan
pengamatan kita dengan Ki Bajang Garing,” berkata yang seorang lagi.
Yang lain mengangguk-angguk.
Katanya, “Tetapi pengamatanmu benar, Gandu Demung. Mereka tentu
pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mengadakan baris pendem
menyongsong kedatangan Swandaru besok lusa.”
Keduanya pun kemudian tertawa
tertahan. Sambil berjalan terus mereka sempat mengamati keadaan Tanah Perdikan
Menoreh yang bersiaga sepenuhnya.
“Keamanan yang mantap di hari-hari
terakhir tentu membuat mereka agak lengah,” berkata Gandu Demung.
Yang lain tidak menjawab.
Keduanya pun berjalan terus sebagai dua orang petani yang sekedar melintas di
daerah Tanah Perdikan Menoreh.
Di tempat yang sudah
ditentukan, di pinggir sebuah hutan perdu yang sepi, mereka ternyata telah
ditunggu oleh tiga orang yang bersama-sama melihat-lihat daerah Tanah Perdikan
Menoreh dari dekat. Seorang yang bertubuh pendek segera berkata, “Kita tidak
melihat sesuatu yang pantas mendapat perhatian. Tetapi daerah ini merupakan
daerah yang tidak dapat kita jadikan medan.”
“Kenapa?” bertanya Gandu
Demung.
“Kau juga melihat-lihat daerah
ini?”
“Ya.”
“Tentu kita sama-sama melihat.
Aku telah melihat-lihat di daerah penyeberangan. Aku melihat kesibukan yang
berlebih- lebihan di sawah di sebelah penyeberangan itu.”
Gandu Demung tertawa. Katanya,
“Kita melihat hal yang sama. Itu adalah kecerobohan yang tidak boleh diulangi
oleh Ki Gede Menoreh. Dengan demikian, maka kita dapat melihat, bahwa jika kita
bertindak dengan tergesa-gesa, maka kita akan masuk ke dalam perangkap.”
Dalam pada itu, seorang yang
bertubuh tinggi kekar, berdada bidang dan berkumis melintang menyambung,
“Sebenarnya kita tidak perlu berlaku seperti pengecut sekarang ini. Seolah-olah
dengan ketakutan kita melihat-lihat, apakah ada lawan yang berbahaya bagi kita
atau tidak. Jika kita memang berniat, kita dapat berbuat apa pun dan di mana
pun.”
“Kiai Kalang Wedung memang
orang yang paling dungu yang aku kenal,” sahut Ki Bajang Garing. “Aku sudah
ragu-ragu, kenapa Carangsoka memilih Kalang Wedung untuk bersama-sama melakukan
tugas yang rumit tetapi tidak banyak manfaatnya ini.”
“Bajang yang malang. Kau
jangan mengigau sekarang ini.”
“Tidak ada kesempatan untuk
saling membanggakan diri dengan sombong sekarang,” potong Gandu Demung, “kita
melihat tugas kita yang sulit. Kita tidak boleh menjadi pengecut. Tetapi kita
bukan orang dungu yang tidak berperhitungan. Karena itu, maka kita akan
mengambil sikap. Sikap sebagai seorang yang mempunyai nalar yang utuh, tetapi
bukan sikap seorang pengecut.”
Kiai Kalang Wedung mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Kau mempunyai sifat watak
seperti ayahmu. Ternyata kau memiliki kelebihan dari saudaramu. Tetapi kau
agaknya keras kepala dan kurang menghargai orang lain. Itulah yang lain dari
ayahmu, karena ayahmu justru terlalu memperhatikan pendapat orang lain,
sehingga dalam banyak hal tidak berani mengambil keputusan.”
“Sekarang kita berbicara
tentang tugas kita,” potong Gandu Demung.
Kiai Kalang Wedung dari Hutan
Pengarang masih saja tertawa.
Sejenak Gandu Demung
termangu-mangu. Namun ia masih tetap pasti, bahwa Kiai Kalang Wedung akan tetap
membantunya dengan baik. Ketika ia datang menemuinya di Hutan Pengarang,
ternyata ia tidak mengalami kesulitan apa pun juga. Ia tidak perlu menunjukkan
kemampuannya untuk mengatasi orang-orang yang merasa dirinya berilmu tinggi,
karena demikian ia memperkenalkan diri, langsung Kiai Kalang Wedung berkata,
“O, jadi kau anak yang luar biasa itu? Apalagi kau sekarang berada di dalam
lingkungan Empu Pinang Aring.”
Sehingga dengan demikian, maka
semuanya berlangsung tanpa kesulitan. Kiai Kalang Wedung langsung menyatakan
kesanggupannya bekerja tersama untuk tugas yang rumit itu bersama Ki Bajang
Garing.
Seperti yang diduga oleh Gandu
Demung, Kiai Kalang Wedung memang tidak merubah niatnya untuk membantunya
menyelesaikan tugas itu. Meskipun kepada Gandu Demung ia berkata, “Mumpung aku
mempunyai kawan yang berani mempertanggung-jawabkan tindakan yang berat dan
agak kasar ini, karena dengan demikian kami berarti menantang Tanah Perdikan
Menoreh dan sekaligus Kademangan Sangkal Putung. Dua daerah yang mempunyai
pertimbangan nilai tersendiri di samping Pajang dan Mataram yang tumbuh menjadi
semakin kuat.”
Demikianlah maka beberapa
orang yang datang mendahului ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melihat keadaan
dan justru turut mengawasi keamanannya, telah sependapat, bahwa Tanah Perdikan
Menoreh benar-benar sudah diliputi oleh kesiagaan yang penuh, meskipun tidak jelas
nampak pada pasukan pengawal yang berkeliaran. Namun menurut pertimbangan
mereka, maka untuk melakukan sesuau di atas Tanah Perdikan Menoreh, akibatnya
akan dapat menyulitkan.
“Kita tidak akan melakukan di
sini,” berkata Gandu Demung setelah mendengarkan beberapa pendapat, “kita akan
menyusur ke timur dan melihat keadaan di sepanjang jalan ke Sangkal Putung.”
“Ya. Kita akan melihat-lihat,
di mana kita dapat melakukan tugas ini sebaik-baiknya,” jawab Ki Bajang Garing.
“Kita akan berangkat besok.
Menurut pendengaran kami iring-iringan pengantin akan berangkat besok pula dari
Sangkal Putung,” berkata Kiai Kalang Wedung.
“Kita akan kehilangan
kesempatan untuk berpapasan dengan mereka. Mungkin di saat kita melintasi
Mataram, mereka justru sedang beristirahat di Mataram apabila mereka akan
singgah.”
“Jadi?”
“Kita akan berangkat sekarang.
Kita akan bertemu dengan mereka di hutan Tambak Baya. Hanya ada satu jalur
jalan. Dan kita tidak akan meleset lagi. Kita tentu akan berpapasan dengan
mereka. Jika kita ternyata terlampau cepat, kita akan bermalam di Hutan Tambak
Baya satu malam.”
Ternyata semuanya pun
sependapat. Mereka segera berkemas. Mereka akan mengambil kuda-kuda mereka yang
tersembunyi, dan secara terpisah mereka akan pergi ke Hutan Tambak Baya.
Menjelang sore hari, beberapa
orang berpacu melintasi bulak-bulak panjang tanpa menimbulkan kecurigaan,
karena mereka hanya masing-masing berdua atau bertiga. Mereka berharap untuk
dapat bertemu dengan iring-iringan pengantin dari Sangkal Putung, sehingga mereka
akan dapat memperhitungka kekuatannya.
Namun ternyata bahwa
orang-orang dari sekitar Gunung Tidar itu terlampau cepat sehari, sehingga
mereka harus bermalam lagi di hutan Tambak Baya, karena mereka tidak mau
melepaskan iring-iringan itu lewat tanpa pengamatan.
Di pagi hari berikutnya,
orang-orang Sangkal Putung telah sibuk mempersiapkan sebuah iring-iringan yang
akan membawa Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh menjelang hari perkawinannya.
Mereka dengan hati-hati mempersiapkan diri sehingga apabila terjadi sesuatu di
perjalanan, tidak akan mengecewakan dan akan membuat mereka menyesal untuk
seterusnya.
Lima belas orang anak-anak
muda telah siap dengan kelengkapan masing-masing. Mereka sama sekali tidak
menunjukkan perhiasan apa pun yang mereka persiapkan apabila saat perelatan itu
tiba kelak di Tanah Perdikan Menoreh. Yang nampak di lambung mereka bukan
sebilah keris dengan pendok emas dan ukiran bermata berlian. Tetapi di lambung
mereka tergantung sebilah pedang yang berat sebagai kelengkapan yang wajar dari
seseorang yang menempuh perjalanan jauh. Bahkan ada di antara mereka yang
membawa di samping sehelai pedang, sebuah trisula yang mereka sangkutkan pada
pelana kudanya.
Di halaman kademangan mereka
membagi kelompok-kelompok kecil yang akan berjalan terpisah. Lima belas orang
pengawal itu akan terbagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari
lima orang. Sementara itu, sebuah kelompok yang lain akan berada di antara
ketiga kelompok itu di dalam urutan perjalanan mereka. Sebuah kelompok tersendiri
yang terdiri dari Ki Demang, Swandaru, dan Kiai Gringsing beserta dua orang
tua-tua yang ikut bersama mereka ke Menoreh. Sedangkan sebuah kelompok
tersendiri pula terdiri dari dua orang tua-tua, Sekar Mirah dan gurunya, Ki
Sumangkar. Sedangkan Agung Sedayu berada di kelompok para pengawal di paling
depan.
Setelah kelompok-kelompok itu
terbagi sebaik-baiknya, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Swandaru
masih sempat mencium tangan ibunya yang melepaskannya dengan setitik air mata.
“Kenapa Ibu menangis,”
bertanya Swandaru, “aku akan pergi menjemput menantu Ibu. Seharusnya Ibu
bergembira karenanya. Bukan menangis.”
Ibunya mencoba tersenyum.
Namun senyumnya nampak lesu di bibirnya yang bergetar.
“Jangan Ibu hiraukan berita
yang membuat hati Ibu berdebar-debar. Iring-iringan ini adalah iring-iringan
yang kuat, sehingga Mataram pun tidak akan berhasil mencegah perjalanan kami
seandainya mereka berniat demikian. Padahal, Ki Lurah Branjangan telah
menyatakan kesanggupannya untuk memberikan bantuan secukupnya apabila kita
perlukan.”
Ibunya mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak menjawab sepatah kata pun.
Demikianlah, iring-iringan itu
pun kemudian meninggalkan Sangkal Putung, diiringi oleh para tetangga yang
ingin melihat keberangkatan Swandaru menjelang hari perkawinannya di tempat
yang cukup jauh. Di Tanah Perdikan Menoreh, yang letaknya di seberang Kali
Praga.
“Ada dua buah sungai yang
besar yang harus diseberangi,” berkata seseorang yang sudah lanjut usia,” yang
satu Sungai Opak, sedang yang lain, yang lebih besar adalah Sungai Praga.”
Yang mendengar keterangan itu
mengangguk-angguk. Seseorang kemudian bergumam, “Dengan demikian, mereka harus
melemparkan sebutir telur di kedua sungai besar itu.”
“O, kelak jika mereka sudah
melintas berdua dengan pengantin perempuannya.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Namun mereka pun telah dicengkam oleh suatu keinginan, agar Swandaru segera
kembali membawa istrinya yang belum pernah mereka lihat. Tetapi mereka sudah
mengetahui nama dan kedudukannya di Tanah Perdikan Menoreh. Karena Ki Gede
Menoreh tidak mempunyai anak yang lain kecuali calon istri Swandaru itu, maka
sudah tentu bahwa pada suatu saat akan timbul persoalan bagi Swandaru. Karena
Swandaru adalah satu-satunya anak laki-laki Ki Demang Sangkal Putung.
Orang-orang Sangkal Putung itu
memandang iring-iringan yang meninggalkan kademangan mereka sampai kelompok
yang terakhir hilang di tikungan. Ketika debu yang dilontarkan oleh kaki-kaki
kuda itu lenyap ditiup angin maka barulah mereka kembali ke rumah masing-masing.
Ki Jagabaya-lah yang kemudian
bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan Sangkal Putung bersama para
bebahu yang lain. Justru karena orang-orang terpercaya sedang meninggalkan
kademangan, maka Ki Jagabaya telah mempertinggi kewaspadaan. Para pengawal
diwajibkan berkumpul di kademangan, di banjar dan tempat-tempat yang telah
ditentukan di beberapa bagian dari Kademangan Sangkal Putung. Di setiap gardu
terdapat beberapa orang yang berjaga-jaga. Siang dan malam. Di
padukuhan-padukuhan yang terpisah-pisah, disediakan alat-alat yang dapat
melontarkan isyarat. Selain kentongan, juga disediakan panah sendaren dan panah
api. Selain itu, kuda-kuda pun telah siap dipergunakan setiap saat.
Dalam pada itu, beberapa orang
pengawal selalu mengadakan pengawasan di sekeliling Kademangan. Dari padukuhan
yang paling ujung sampai ke ujung yang lain.
Selain tugas pengamatan
Kademangan Sangkal Putung, Ki Jagabaya masih dibebani tugas untuk pergi ke Jati
Anom sebagai wakil Ki Demang. Ki Jagabaya akan menjumpai Untara dan
menyampaikan undangan untuk senapati muda itu pada saatnya Swandaru nanti
diterima dengan perayaan yang meriah di Sangkal Putung.
“Mudah-mudahan di perjalanan
ke Jati Anom tidak ada kesulitan apa pun,” berkata Ki Jagabaya kepada para
pengawal. “Jika aku sudah bertemu dengan Anakmas Untara, aku akan segera
kembali.”
Dengan dikawal oleh empat
orang pengawalnya, Ki Jagabaya pun pergi memenuhi pesan itu untuk menjumpai
Untara.
“Jadi saat ini Sangkal Putung
sedang kosong?” bertanya Untara kepada Ki Jagabaya ketika Ki Jagabaya telah
menyampaikan pesan Ki Demang dan menceritakan saat keberangkatannya ke Tanah
Perdikan Menoreh.
“Ya, Anakmas. Akulah yang
diserahi tugas untuk menjaga keamanan Kademangan Sangkal Putung.”
Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku kira keadaan sekarang sudah bertambah baik di daerah ini setelah
Tambak Wedi berhasil dibersihkan. Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang terjadi
di Sangkal Putung, selama Ki Demang tidak ada di tempat. Namun demikian, aku
akan mengirimkan beberapa orang prajurit untuk meronda di daerah selatan.”
“Terima kasih,” jawab Ki
Jagabaya, “nampaknya memang tidak ada gejala-gejala yang dapat mencemaskan
hati. Ketika aku melintasi bulak-bulak panjang ke Jati Anom, nampaknya
sawah-sawah pun tetap digarap dengan baik dan teratur.”
“Aku juga tidak pernah lagi
mendapat laporan tentang kejahatan yang terjadi setelah aku membersihkan Tambak
Wedi dan sekaligus penjahat-penjahat yang berkelompok di lereng Gunung Merapi
ini. Mereka telah berusaha menemukan cara untuk mendapatkan bekal hidup dengan
cara yang wajar. Memang mungkin ada satu dua orang yang memang sulit
menyesuaikan diri. Tetapi pada umumnya mereka telah meninggalkan daerah ini dan
pergi ke tempat yang jauh.”
“Ya Anakmas. Mudah-mudahan
tidak terjadi sesuatu. Tetapi selama lima hari, kami harus menahan nafas.”
“Lima hari ditambah dengan
perjalanan kembali dari Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ya. Lengkapnya delapan hari.”
Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku akan hadir. Jika tidak ada sesuatu yang penting sekali, aku tentu
akan datang di saat pengantin itu dirayakan di Sangkal Putung. Sangkal Putung
bagiku merupakan kademangan yang banyak berjasa bagi Pajang.”
“Tidak banyak yang telah
dilakukan oleh Sangkal Putung,” jawab Ki Jagabaya, “kesanggupan Angger Untara
sangat membesarkan hati kami.”
“Aku mengucapkan terima kasih
atas pemberitahuan ini.”
Demikianlah Ki Jagabaya tidak
terlalu lama berada di Jati Anom. Setelah minum beberapa teguk dan makan jamuan
beberapa potong, maka ia pun segera minta diri. Ia tidak dapat terlalu lama
meninggalkan kademangannya yang sedang kosong.
Ternyata perjalanan Ki
Jagabaya sama sekali tidak terganggu oleh apa pun juga. Bahkan daerah Jati
Anom, Lemah Cengkar, Pakuwon, Macanan dan sekitarnya, nampak tenang dan
tenteram. Sawah-sawah nampak hijau terpelihara. Air yang bening mengalir di
parit-parit yang menjelujur di antara kotak-kotak sawah yang nampak subur.
Sementara itu, iring-iringan
dari Sangkal Putung yang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh telah mendekati
Mataram. Mataram yang telah mengetahui akan kehadiran orang-orang Sangkal
Putung yang mengantarkan Swandaru yang menjelang hari-hari perkawinan di Tanah
Perdikan Menoreh telah bersedia menerima mereka. Sebagaimana diminta oleh Ki
Demang Sangkal Putung, iring-iringan itu akan bermalam semalam di Mataram. Pada
pagi harinya mereka akan melanjutkan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh,
sehingga mereka tidak terlampau sore sampai ke tujuan yang menurut berita
terakhir agak kurang tenang.
Selain persediaan tempat dan
jamuan secukupnya, Mataram ternyata juga meningkatkan penjagaannya meskipun
sama sekali tidak nampak menyolok. Apalagi Mataram tidak menerima laporan apa
pun juga tentang kemungkinan yang gawat di Tanah Perdikan Menoreh di saat-saat
terakhir.
Karena itu, jika ada penjagaan
di beberapa tempat adalah sekedar suatu sikap berhati-hati. Apabila ada sesuatu
yang terjadi, Mataram tidak akan dapat disebut lengah.
Namun dalam pada itu, ketika
orang-orang Sangkal Putung beristirahat sambil melepaskan ketegangan, karena
mereka merasa bahwa penjagaan di Mataram cukup kuat. Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar sempat berbicara tentang beberapa persoalan dengan Ki Lurah
Branjangan.
Agar Mataram mendapat gambaran
tetang perkembangan keadaan terakhir di Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka pun
telah menyampaikan berita tentang peristiwa yang terjadi menjelang perkawinan
Swandaru.
Ki Lurah Branjang pun menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, keadaan memang cukup gawat. Tetapi
nampaknya peristiwa itu tidak berkelanjutan. Jika peristiwa itu diikuti dengan
peristiwa-peristiwa serupa, atau bahkan yang lebih besar, maka kami tentu
mendapat laporan dari para pengawal di perbatasan.”
“Nampaknya memang demikian, Ki
Lurah,” sahut Kiai Gringsing, “ternyata Tanah Perdikan Menoreh juga tidak
memberikan keterangan yang lebih jauh dari yang pernah di sampaikan kepada
Sangkal Putung. Namun agaknya kita memang tidak boleh lengah.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar pula keterangan selengkapnya tentang
peristiwa di Tambak Wedi dan kemudian menyusul di Tanah Perdikan Menoreh yang
tentu ada sangkut pautnya. Ciri-ciri yang terdapat pada beberapa orang di
Tambak Wedi beserta senjata-senjatanya yang mirip dengan ciri-ciri yang
terdapat pada keping perak yang agaknya sengaja mereka tinggalkan pada saat
pusaka-pusaka yang penting itu hilang dari Mataram.
“Semuanya memberikan
tanda-tanda tentang sebuah kekuatan yang besar yang harus dihadapi oleh Mataram
jika Mataram ingin mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu,” berkata
Ki Sumangkar.
“Ya. Dan Mataram sudah mulai
membenahri dirinya sambil menunggu kehadiran Raden Sutawijaya yang bergelar
Senapati Ing Ngalaga,” jawab Ki Lurah Branjangan.
Sementara Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar berbicara tentang berbagai macam kemungkinan, maka Ki Demang masih
saja selalu dihinggapi oleh kegelisahan. Ia berjalan mondar-mandir di dalam
biliknya. Sementara Swandaru dan Agung Sedayu sempat berbicara tentang Mataram
di serambi belakang.
Di pendapa, para pengawal
duduk sambil menikmati hidangan yang disediakan. Sedangkan beberapa orang yang
lain tidur mendekur di gandok sebelah-menyebelah. Ketegangan di sepanjang jalan
agaknya membuat mereka menjadi lelah, meskipun perjalanan sampai ke Mataram
adalah sebuah perjalanan yang tidak begitu jauh.
Yang duduk seorang diri adalah
Sekar Mirah. Ia tidak mempunyai kawan seorang perempuan pun dari Sangkal
Putung. Untuk menghilangkan kesepian ia mencoba memperkenalkan dirinya kepada
beberapa orang pembantu di di rumah Raden Sutawijaya yang telah ditinggalkan
beberapa lamanya itu dan dipergunakan sebagai tempat yang menjadi pusat
pimpinan pemerintahan di Mataram, bahkan beberapa orang sudah menyebutnya
sebagai Istana Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.
Tetapi karena mereka sedang sibuk,
akhirnya Sekar Mirah pun telah terlempar ke dalam kesendiriannya lagi. Jika ia
mencoba ikut membantu para pelayan itu agar ia mempunyai suatu kesibukan,
mereka selalu mempersilahkannya duduk saja di dalam biliknya.
“Menjemukan,” desisnya sambil
melangkah keluar. Dari longkangan ia melihat beberapa orang pengiring yang
duduk senaknya di tangga pendapa. Tetapi Sekar Mirah tidak mendekati mereka,
apalagi karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak ada pula di pendapa itu.
Bagi para pengawal, Mataram
benar-benar merupakan tempat yang menyenangkan untuk beristirahat. Mereka yakin
bahwa tentu tidak akan ada peristiwa apa pun yang akan terjadi di dalam
lingkungan pengawalan yang dapat dipercaya itu. Karena itu, ketika malam
kemudian menyelubungi Mataram, para pengawal pun segera tidur dengan
nyenyaknya. Namun demikian, seperti yang dipesankan oleh Agung Sedayu kepada
mereka, bahwa di setiap bilik harus ada sekurang-kurangnya seorang yang
berjaga-jaga bergantian. Bagaimana pun juga, mereka tidak boleh menjadi lengah
sama sekali.
Karena itulah, maka di gandok
sebelah kiri yang berisi oleh enam orang yang tidur berjajar di sebuah amben
besar di bagian dalam gandok itu, nampak seorang dari mereka duduk bersandar
dinding sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Sedangkan di gandok sebelah
kanan agaknya dipergunakan oleh jumlah yang lebih besar. Sedangkan Sekar Mirah
berada sendiri di ruang samping, di sebelah bilik ayahnya bersama orang-orang
tua dari Sangkal Putung. Sedangkan Agung Sedayu dan Swandaru bersama Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar berada di ruang belakang.
Malam itu merupakan malam yang
sangat panjang bagi Swandaru. Semalam suntuk ia merasa gelisah, sehingga
seolah-olah tidak memejamkan matanya sama sekali, seperti juga Ki Demang
Sangkal Putung. Berbeda dengan Swandaru, para pengawal yang berada di gandok,
merasa seolah-olah malam terlampau pendek. Seolah-olah mereka baru saja
tertidur, ketika mereka mendengar kokok ayam jantan untuk yang penghabisan kali
di malam itu.
Pagi-pagi benar iring-iringan
itu sudah menyiapkan diri. Beberapa pesan Ki Demang telah diberikan, karena
mereka akan segera memasuki tlatah Tanah Perdikan Menoreh yang mereka anggap
gawat. Mereka membagi iring-iringan itu menjadi bagian-bagian kecil seperti
saat mereka berangkat dari Sangkal Putung.
“Kami akan mengantar Ki Demang
sampai ke gerbang kota,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Terima kasih.”
“Beberapa orang pengawal akan
mengikuti Ki Demang sampai ke pinggir Kali Praga.”
“Terima kasih,” jawab Ki
Demang.
Demikianlah, maka setelah minta
diri kepada para pemimpin di Mataram, maka iring-iringan itu pun meneruskan
perjalanan. Empat orang pengawal dari Mataram mengikuti mereka untuk meyakinkan
bahwa mereka tidak mengalami sesuatu di tlatah Mataram yang sedang tumbuh itu.
Dalam pada itu, selagi
iring-iringan dari Sangkal Putung itu dengan penuh kewaspadaan melaju di
jalan-jalan yang semakin baik di daerah Mataram, maka sekelompok orang-orang
dari sekitar Gunung Tidar sedang melarikan kudanya dengan kencang pula. Mereka
menuju ke Hutan Pengarang. Tempat yang sudah mereka tentukan, menjadi ajang
persiapan orang-orang yang akan menunaikan tugas mereka sehubungan dengan
pengantin yang akan dirayakan di Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Jumlah itu tidak terlampau
banyak,” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku menghitung jumlahnya
dengan tepat,” sahut yang lain, “dua puluh lima orang, satu di antaranya
agaknya seorang perempuan.”
“Jika kelak orang-orang Tanah
Perdikan Menoreh ada yang mengantar sepasang pengantin ke Sangkal Putung, maka
mungkin jumlahnya akan bertambah banyak.”
“Katakanlah menjadi lipat dua
sebanyak-banyaknya.”
“Ya. Lima puluh orang.”
“Kita akan menyiapkan jumlah
yang sama. Sebab aku yakin bahwa dari Tanah Perdikan Menoreh tidak akan ada
pengiring sebanyak itu pula. Bukan karena tidak ada pengawal yang dipercaya
sejumlah dua puluh lima orang, tetapi Tanah Perdikan Menoreh tentu menganggap
bahwa pengawalan dari Sangkal Putung itu sudah cukup kuat. Jika bertambah
dengan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka hanyalah orang-orang tua
yang akan mewakili Ki Gede menyerahkan anaknya kepada Ki Demang di Sangkal
Putung.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Mereka sependapat, bahwa yang akan mengiringi pengantin itu
dari Tanah Perdikan Menoreh tentu tidak akan sebanyak pengawal yang membawa
Swandaru dari Sangkal Putung.
Namun demikian, akhirnya
mereka bersepakat, bahwa setiap kelompok harus membawa kekuatan terpercaya dua
puluh orang, sehingga jumlahnya menjadi enam puluh orang.
“Terlalu besar,” gumam Ki
Bajang Garing, “tetapi tidak ada salahnya untuk berhati-hati.”
Gandu Demung memandang orang
yang bertubuh pendek, lebih pendek dari dirinya sendiri yang sudah disebut
pendek itu. Agaknya untuk mencari orang-orang sejumlah itu bagi kelompok yang
dipimpin oleh Ki Bajang Garing memang agak sulit. Tetapi Ki Bajang Garing dapat
memanggil orang-orangnya yang kebetulan berada di tempat yang agak jauh karena
desakan keadaan yang tidak menguntungkan di sekitar Gunung Tidar. Bahkan mereka
adalah justru orang-orang yang terbaik.
Sambil membicarakan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, orang-orang dari sekitar Gunung
Tidar itu berpacu terus. Mereka akan mempersiapkan orangnya justru di daerah
Jati Anom.
Mereka mengetahui bahwa masih
ada beberapa daerah yang memungkinkan pemusatan kekuatan itu. Di hutan yang
tidak begitu lebat di sebelah barat Sangkal Putung, dapat mereka pergunakan
sebagai arena yang menguntungkan. Mereka dapat bersembunyi di hutan itu, yang
kemudian dengan tiba-tiba menyergap iring-iringan yang lewat di jalan sebelah.
“Di perjalanan kembali ke
Sangkal Putung maka iring-iringan dari Sangkal Putung dan Menoreh itu tentu
masih akan mempergunakan cara yang sama. Mereka akan menebarkan orang-orangnya
dalam kelompok-kelompok kecil. Karena itulah, maka kita pun harus menebarkan
orang-orang kita. Di hutan kecil itu, dua puluh orang kali tiga akan memencar
dari ujung hutan sampai jarak yang diperlukan, menurut perkiraan kita sesuai
dengan saat mereka berangkat,” berkata Gandu Demung.
Yang lain mengangguk-angguk.
Mereka sependapat dengan Gandu Demung, bahkan mereka sudah mulai membayangkan
bahwa sergapan yang tiba-tiba tanpa diduga oleh yang berkepentingan itu, tentu
akan membingungkan mereka.
“Kila langsung akan menawan
sepasang pengantin itu. Terutama pengantin perempuannya, agar perlawanan
pengiringnya segera dapat kita patahkan. Dengan tidak banyak korban, mereka
kita paksa memberikan semua perhiasan. Jika mereka menolak, kita dapat
mengancam untuk membinasakan pengantin perempuan itu,” berkata Ki Bajang
Garing.
“Tetapi menangkap pengantin
perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh itu bukan kerja yang mudah. Jika
pengantin perempuan itu bukan anak perempuan Ki Gede Menoreh, maka rencana itu
akan berjalan dengan lancar. Tetapi jika mencoba melakukannya atas anak
perempuan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu, kita harus memperhitungkan
kemungkinan sebaik-baiknya,” desis Gandu Demung,
Yang lain mengerutkan
keningnya. Tetapi mereka pun mengangguk-angguk ketika mereka menyadari, bahwa
pengantin perempuannya adalah Pandan Wangi. Telah tersebar kabar sampai ke
tempat yang jauh, bahwa anak perempuan Ki Gede Menoreh adalah seorang yang
terbiasa membawa sepasang pedang di kedua lambungnya.
Namun demikian Gandu Demung
berkata seterusnya, “Tetapi kita dapat mencobanya. Sudah tentu orang-orang yang
paling kuat di antara kita akan melakukannya. Sebab sepasang pengantin itu
adalah sepasang pengawal yang kuat bagi diri mereka sendiri.”
Dengan demikian, maka
orang-orang itu pun menyadari, bahwa tugas yang akan mereka lakukan bukan tugas
yang ringan. Tetapi menilik pengamatan mereka atas iring-iringan yang berangkat
ke Tanah Perdikan Menoreh, maka setidak-tidaknya mereka akan dapat merampas dua
puluh lima pendok keris yang terbuat dari emas. Dua puluh lima pasang ikat
pinggang dengan timang tretes permata.
“Bukan pekerjaan yang sia-sia.
Sepasang pengantin itu tentu akan membawa perhiasan yang paling mahal. Meskipun
harus dibagi-bagi, namun agaknya sisanya masih dapat memberikan sejumlah
simpanan bagi setiap kelompok,” berkata Ki Bajang Garang di dalam hatinya.
Namun di samping harapan-harapan itu, ia pun mulai menilai kekuatan yang ada
padanya. Sudah tentu ia tidak akan dapat membawa dua puluh orang dari tataran
tertinggi di dalam kelompoknya, karena jumlah itu tidak akan dapat dicapainya.
Separo dari mereka adalah orang-orang dari tataran kedua. Namun menurut
pertimbangan Ki Bajang Garing, tentu cukup memadai.
Ternyata bukan saja Ki Bajang
Garing yang diganggu oleh keadaan yang serupa. Saudara-saudara Gandu Demung pun
sedang menghitung-hitung di dalam hati, siapa sajakah yang akan dapat dibawanya
untuk memenuhi jumlah yang dua puluh itu. Seperti Ki Bajang Garing, maka hampir
separo dari yang dua puluh itu adalah orang-orang dari tataran kedua pula.
Demikian pula kelompok dari Hutan Pengarang.
Namun demikian, jumlah
orang-orang yang paling baik dari ketiga kelompok itu sudah melampaui jumlah
mereka yang mengawal pengantin itu dari Sangkal Putung. Selebihnya, orang-orang
yang paling kuat dari ketiga kelompok itu jumlahnya lebih dari sepuluh orang.
Di dalam kelompok Gandu Demung ada dua orang saudara Gandu Demung yang memiliki
kelebihan di samping Gandu Demung sendiri. Agaknya raksasa yang berkepala botak
itu pun dapat diandalkan. Sedangkan di dalam lingkungan Ki Bajang Garing ada
sepasang kakak-beradik yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya, selain
Ki Bajang Garing sendiri. Kakak-beradik yang sering disebut sepasang Srigunting
dari Pesisir Utara itu memiliki kemampuan berkelahi seperti seekor Srigunting.
Mereka dapat bergerak dengan kecepatan yang tidak terduga sebelumnya. Sedangkan
seorang yang lain lagi, seorang yang bertubuh sekasar batu padas. Berwajah
penuh dengan cacat badaniah karena goresan-goresan semata dan bekas luka api,
karena pada suatu saat ia pernah jatuh ke tangan sekelompok orang yang
mendendamnya. Tetapi dalam keadaan luka parah ia berhasil melarikan diri dari
tangan lawan-lawannya itu. Namun seperti wajahnya yang cacat karena siksaan
yang berat, maka hatinya pun menjadi cacat pula oleh dendam dan kebencian.
Dengan hati yang membara ia akhirnya menguasai ilmu yang dapat dipergunakannya
untuk melepaskan dendam yang membara di hatinya itu. Bukan saja kepada
orang-orang yang telah membuatnya cacat, tetapi kepada siapa pun juga yang
dikehendakinya.
Sedangkan orang-orang dari
Alas Pengarang, adalah orang-orang yang kadang-kadang disebut berilmu iblis.
Mereka terbiasa melawan kerasnya alam di hutan yang meskipun tidak terlampau
luas tetapi cukup buas dan liar. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa di
dalam hutan itu masih dihuni berbagai macam jenis jin, peri, dan hantu-hantu
yang lain, yang tersusun dalam satu jalur pemerintahan yang rapi. Namun
ternyata bahwa kelompok yang ada di Hutan Pengarang itu mampu menguasai mereka
dan bahkan menjadikan mereka sebagai sumber kekuatan. Bahkan Kiai Kalang Wedung
sendiri kadang-kadang dikenal sebagai seorang yang memiliki kekebalan. Sedang
seorang pengawalnya yang paling dipercaya, seolah-olah mampu melenyapkan diri
dari tangkapan mata wadag. Orang ketiga dari Alas Pengarang itu adalah seorang
yang sudah berambut putih. Namun ia masih mampu bertempur seganas serigala
lapar.
Demikianlah maka mereka pun
dengan hati-hati, agar tidak mengganggu pasukan Empu Pinang Aring yang berada
di kaki Gunung Tidar, telah mempersiapkan dirinya. Ketiga kelompok itu masih
mempunyai waktu lebih dari lima hari untuk berkumpul dan membawa mereka ke
ujung hutan di tlatah Jati Anom. Pada suatu malam, menjelang saat iring-iringan
pengantin dari Sangkal Putung itu lewat, mereka akan bergeser ke hutan di
sebelah barat kademangan itu.
Tetapi mereka pun menyadari,
bahwa mereka tidak dapat bermain-main dengan Untara dari Jati Anom. Itulah
sebabnya, maka mereka telah bersepakat, bahwa enam puluh orang itu harus datang
ke tempat yang sudah ditentukan dalam waktu dua hari berturut-turut. Mereka
harus melalui jalan-jalan yang penuh dengan pengawasan di segala daerah itu
tidak lebih dari tiga orang di dalam setiap kelompok. Itu pun mereka harus
mengatur jarak yang cukup panjang dari setiap kelompok. Bahkan mereka harus menempuh
jalan yang berbeda-beda sehingga dengan demikian mereka akan memperkecil
kecurigaan orang yang melihatnya.
Sementara orang-orang dari
sekitar Gunung Tidar itu berpacu sambil membicarakan rencana mereka, maka
iring-iringan yang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh pun bergerak pula mendekati
Kali Praga. Nampaknya mereka memang tidak terlalu tergesa-gesa. Mereka tidak
berpacu secepat orang-orang yang sedang menuju ke daerah sekitar Gunung Tidar,
dan yang akan segera berkumpul lagi bersama orang-orang mereka di Alas
Pengarang untuk memberikan pesan dan petunjuk-petunjuk kepada setiap orang dari
mereka yang akan ikut serta pergi ke Sangkal Putung.
Ternyata bahwa iring-iringan
yang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak mendapat gangguan
apa pun di sepanjang jalan di tlatah Mataram, sehingga mereka pun kemudian
berhenti di tepian Kali Praga yang luas.
“Kami akan kembali,” berkata
salah seorang dari empat orang pengawal yang mengikuti mereka dari Mataram.
“Agaknya iring-iringan ini tidak akan mendapat gangguan di sepanjang jalan.
Tidak di daerah Mataram dan tentu tidak pula di tlatah Tanah Perdikan Menoreh.”
“Mudah-mudahan,” jawab Ki
Demang. “Kami mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan hati. Sekali lagi
aku pesan agar disampaikan kepada Ki Lurah Branjangan, ucapan terima kasih
kami. Pada saat kami kembali ke Sangkal Putung, kami juga akan lewat jalan ini.
Seperti yang kami lakukan saat kami berangkat, kami akan mohon kesempatan untuk
bermalam.”
“Tentu, bukankah Ki Lurah
sudah mengetahuinya.”
“Ya. Aku sudah mohon agar kami
kelak diijinkan singgah.”
“Tentu kami tidak akan
berkeberatan.”
Sejenak kemudian mereka pun
berpisah. Iring-iringan itu melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan
Menoreh, sementara keempat pengawal dari Mataram itu kembali setelah mereka
yakin, bahwa iring-iringan itu tidak mengalami gangguan apa pun sampai mereka
mencapai tepian Kali Praga.
Iring-iringan itu ternyata
telah mempergunakan beberapa getek untuk menyeberang dengan kuda-kuda mereka.
Untunglah bahwa Kali Praga tidak sedang banjir, sehingga mereka tidak perlu
cemas dalam penyeberangan itu.
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar yang pernah mengalami kesulitan karena tingkah laku
beberapa orang yang mengaku tukang satang, menjadi sangat berhati-hati. Mungkin
ada sesuatu yang dapat membuat perjalanan mereka mengalami hambatan yang dapat
membahayakan.
Ternyata bahwa di dalam
penyeberangan Kali Praga itu pun tidak terdapat gangguan apa pun juga.
Tukang-tukang satang yang membawa mereka pun menyeberang bersama kuda-kuda
mereka dengan beberapa buah getek, adalah benar-benar tukang satang, yang
mengharapkan dapat upah dari pekerjaannya.
Namun demikian karena Kiai
Gringsing tidak secara kebetulan berada pada getek yang penyatangnya pernah
dikenal, maka ia justru mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka.
“Jadi peristiwa itu tidak
pernah terjadi lagi?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak, Ki Sanak. Sejak ada
beberapa orang penumpang yang mampu melawan dan membunuh orang-orang yang ganas
itu, tidak pernah terjadi gangguan lagi di penyeberangan ini. Sebenarnyalah
gangguan semacam itu membuat beberapa keluarga menjadi pahit. Bukan saja
beberapa orang karena setiap orang di antara kami mempunyai anak istri di
rumah. Jika kami tidak berani turun ke sungai apa pun alasannya, itu berarti
kami tidak mendapat nafkah.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi agar tidak menumbuhkan kecurigaan ia pun bertanya,
“Apakah kalian tidak membuka daerah persawahan?”
“Kami sudah mempunyai sebidang
tanah bagi kami masing-masing. Tetapi sebagaimana kau ketahui, letak tanah
persawahan di sini agak lebih tinggi dari permukaan air Kali Praga, sehingga
kami masih belum dapat mengairi sawah kami di musim kering. Di musim basah,
apabila hujan turun, kami sempat menyelenggarakan sawah kami. Kami mendapatkan
hasil panenan sekali saja dalam setahun.”
Kiai Gringsing masih saja
mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi tentang orang-orang yang
pernah mengacaukan daerah penyeberangan ini. Namun agaknya hal seperti itu
tidak terulang lagi.
Demikian iring-iringan itu
berada di tepian di sebelah Barat sungai, maka mereka pun segera mengatur diri
dalam kelompok masing-masing dan meneruskan perjalanan menuju ke padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun, penglihatan yang tajam
dari orang-orang Sangkal Putung segera menangkap, bahwa sebenarnyalah Tanah
Perdikan Menoreh berada pada puncak kesiagaan.
Sambil tersenyum Kiai
Gringsing bergumam kepada orang yang berada di sampingnya, “Perjalanan kita
sampai saat ini ternyata tidak mengalami gangguan apa pun juga, sementara itu
kita merasa semakin tenang jika kita melihat kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang tua bekas prajurit yang
di samping Kiai Gringsing itu tersenyum. Jawabnya, “Tanah Perdikan ini adalah
tanah yang subur. Tetapi agaknya sudah terlampau padat.”
“Kenapa?” kawannya bertanya.
“Kau lihat, berapa banyaknya
orang yang berada di sawah menurut ukuran kami, menurut ukuran cara kerja
orang-orang Sangkal Putung. Kita melihat mereka yang sedang membersihkan rerumputan
liar, yang tumbuh tidak dikehendaki di antara batang padi. Yang lain sedang
namping pematang meskipun padi sudah tumbuh cukup tinggi. Sementara itu, di
gubug-gubug pun satu dua orang laki-laki duduk seolah-olah sedang menunggui
burung meskipun padi belum berbuah.”
Yang mendengarnya tersenyum
pula. Bahkan Kiai Gringsing tertawa sambil menyahut, “Alangkah suburnya tanah
ini. Tetapi juga merupakan daerah yang tenteram karena kesiagaannya yang
tinggi.”
Demikianlah iring-iringan itu
berjalan terus memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang yang berada di
sawah bukan saja karena mereka sedang mengerjakan sawah itu, tetapi semata-mata
karena tugas mereka sebagai pengawal yang bertugas mengamati dengan sandi
perjalanan iring-iringan itu agar tidak menimbulkan kegelisahan dan juga
mungkin sekali akan dapat menjebak orang-orang yang berniat buruk, mengawasi
iring-iringan itu sambil tersenyum-senyum pula.
Namun sama sekali tidak
terkilas dugaan para pengawal yang siap melakukan tugasnya meskipun mereka sedang
berada di dalam lumpur yang basah itu, bahwa persiapan yang matang sedang
dilakukan oleh tiga buah kelompok yang termasuk paling kuat di sekitar Gunung
Tidar. Kelompok-kelompok yang kadang-kadang menjangkau daerah yang cukup jauh
untuk merampas dan menyamun.
Apalagi perhitungan bahwa
orang-orang itu justru akan merampok iring-iringan pengantin pada saat mereka
telah memasuki Kademangan Sangkal Putung itu sendiri.
Sementara itu, selagi
iring-iringan itu berjalan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, maka di padukuhan
induk Tanah Perdikan itu, orang telah sibuk menyediakan segala sesuatu bagi
para tamu yang menurut pembicaraan di antara mereka, akan datang pada hari itu.
Pendapa rumah Ki Gede Menoreh telah siap dibentangi tikar pandan sepenuh
pendapa itu sendiri. Tiga buah rumah yang cukup besar dan memadai telah
dipinjam oleh Ki Gede Menoreh untuk tempat menginap para pengiring dan bakal
pengantin laki-laki dari Sangkal Putung itu.
Sementara itu Ki Waskita yang
telah menjemput istri dan anaknya sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh pula.
Ia pun ikut sibuk mengatur segala persiapan yang diperlukan bagi iring-iringan
yang akan datang dari Sangkal Putung itu.
Namun dalam pada itu, ketika
ada waktu senggang baginya, Ki Waskita menyisih sendiri dalam gandok. Sejenak
ia mencoba melihat ke dalam dunia isyaratnya, karena ia merasa selalu gelisah
menghadapi hari-hari perkawinan Swandaru justru karena penglihatan yang pernah
menyentuh mata batinnya.
Tetapi yang dilihatnya sama
sekali tidak berubah. Warna-warna buram di seberang hari-hari perkawinan
Swandaru.
“O,” desahnya, “apakah
benar-benar akan terjadi sesuatu atas keluarga yang besok lusa akan mulai
dengan sebuah perjalanan hidup bersama itu?”
Dari kecemasan itu ternyata
telah mencengkam demikian dalamnya, sehingga Ki Waskita itu menggigil
karenanya. Badannya terasa seperti seseorang yang sedang sakit berhari-hari.
Bahkan Ki Waskita yang
seakan-akan telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri itu, mencoba
melihatnya sampai dua tiga kali. Tetapi yang dilihatnya sama sekali tidak
berubah. Yang dilihatnya tidak mau menyesuaikan diri dengan keinginannya.
Ki Waskita
menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan kemudian hampir diluar kehendaknya
sendiri, ia pun telah mencoba melihat apa yang akan ditemui Agung Sedayu di
dalam perjalanan hidupnya pula.
Namun, yang dilihatnya telah
menambah kegelisahannya. Juga pada Agung Sedayu ia melihat warna-warna yang
buram.
“Apakah yang sebenarnya akan
terjadi?” Ki Waskita bertanya kepada diri sediri. Sejenak ia merasa dirinya terlampau
bodoh, bahwa yang dapat dilihatnya hanyalah sekedar isyarat. Ia pernah
mendengar orang lain dapat melihat pada bagian-bagian yang lebih kecil, bahkan
pada peristiwa dan kejadian.
“Alangkah bodohnya aku,”
desisnya. Namun kemudian ia menyesal atas kekecewaannya itu. Yang dapat
dilakukannya adalah suatu kurnia yang melampaui kurnia Yang Maha Tahu kepada
orang lain. Orang lain sama sekali tidak dapat melihat apa pun juga di hari
mendatang.
“Betapa tamaknya aku,”
desisnya.
Namun dalam pada itu, hatinya
masih saja dicengkam oleh kegelisahan, meskipun kemudian ia berusaha dengan
sepenuh. hati untuk melenyapkan segala macam kesan dari kekecewaan, kecemasan
dan bahkan ketakutannya memahami penglihatannya atas isyarat itu.
Dalam pada itu, Tanah Perdikan
Menoreh menjadi semakin sibuk. Halaman rumah Ki Gede telah dihiasi dengan janur
kuning, di semua sudutnya. Pintu gerbangnya nampak seakan-akan menjadi cerah,
secerah wajah-wajah yang sedang sibuk di halaman rumah itu, selain beberapa
orang yang justru menjadi sangat berhati-hati menanggapi keadaan.
Tetapi sama sekali tidak ada
laporan, bahwa nampak kegiatan yang mencurigakan di tlatah Tanah Perdikan
Menoreh. Sedangkan, pengawasan pada jalan-jalan masuk di perbatasan
ditingkatkan pula.
Karena itu, maka para pengawal
di Tanah Perdikan Menoreh menganggap, bahwa memang tidak akan ada kesulitan apa
pun juga pada saat perkawinan itu berlangsung nanti.
Meskipun demikian, seperti
pesan Ki Gede, para pengawal sama sekali tidak boleh lengah karenanya. Mungkin
orang-orang yang berniat jahat, sengaja menunggu sampai orang-orang di Tanah
Perdikan Menoreh itu menjadi lengah. Mereka dapat dengan tiba-tiba saja muncul
dan dengan tiba-tiba pula menghilang.
Dalam pada itu, iring-iringan
dari Sangkal Putung menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Bahkan ketika
iring-iringan itu nampak di ujung bulak panjang, para pengawal melaporkannya
kepada Ki Gede, bahwa iring-iringan dari Sangkal Putung telah datang.
“Syukurlah,” desis Ki Gede,
“mereka datang tepat seperti yang mereka katakan. Agaknya memang tidak ada
gangguan suatu apa di perjalanan.”
Mereka yang bertugas menerima
para tamu dari Sangkal Putung pun segera bersiap. Sampai masalah yang kecil pun
telah dipersiapkan pula. Para penerima tamu itu sudah menyediakan tempat-tempat
khusus untuk menempatkan kuda para tamu yang bakal datang.
Sejenak kemudian, maka
iring-iringan itu sudah berada di mulut lorong, yang memasuki padukuhan induk.
Seperti yang sudah ditentukan, bahwa mereka akan bergabung menjadi satu
iring-iringan yang besar jika mereka memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan
Menoreh itu. Karena itu maka Agung Sedayu pun telah berhenti sejenak, menunggu
kelompok-kelompok berikutnya di dalam iring-iringan mereka.
Baru setelah semuanya
berkumpul. Agung Sedayu membawa seluruh iring-iringan memasuki lorong yang
langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh.
Para pengawal yang berada di
gardu di ujung lorong pun menyambut kehadiran iring-iringan itu bersama-sama
dengan orang-orang di sebelah-menyebelah jalan. Mereka meninggalkan pekerjaan
mereka dan berlari-lari melihat bakal pengantin yang besok akan diselenggarakan
di rumah Ki Gede Menoreh. Anak laki-laki Demang Sangkal Putung yang akan kawin
dengan satu-satunya anak perempuan Ki Gede Menoreh.
Karena itulah maka sambutan dari
orang-orang Tanah. Perdikan Menoreh pun ternyata sangat membesarkan hati setiap
orang di dalam iring-iringan itu.
Bahkan ketika iring-iringan
itu mendekati pintu gerbang halaman rumah Ki Gede Menoreh, rasa-rasanya kaki
Swandaru menjadi bergetar. Ternyata bahwa hari-hari yang ditunggunya itu
akhirnya sampai pula di ambang pintu. Jika ia selamat sampai ke Tanah Perdikan
Menoreh, dan memasuki halaman rumah Ki Argapati, maka itu akan berarti bahwa
tidak akan ada lagi kekuatan yang dapat mencegah berlangsungnya perkawinannya
dengan Pandan Wangi, anak perempuan Ki Gede Menoreh.
Demikianlah maka akhirnya
iring-iringan itu pun kemudian memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh yang
luas, yang nampak menjadi cerah dengan hiasan janur kuning dan dedaunan yang
beraneka warna.
Dengan hati yang
berdebar-debar, Ki Gede Menoreh menyambut tamu-tamunya disertai orang-orang tua
dari Tanah Perdikan Menoreh dan Ki Waskita. Betapa pun suramnya hati Ki
Waskita, namun di wajahnya nampak senyum yang cerah, seperti cerahnya wajah-wajah
yang lain, yang sama sekali tidak melihat isyarat apa pun juga bagi saat-saat
mendatang.
Ki Demang yang berada di
paling depan setelah mereka turun dari punggung kuda, menerima salam Ki Gede
Menoreh dan langsung dipersilahkan naik ke pendapa, sementara orang-orang yang
telah ditentukan menerima kendali kuda setiap orang dalam iring-iringan itu dan
membawanya ke tempat yang sudah disediakan.
Tidak semua orang di dalam
iring-iringan dari Sangkal Putung itu naik ke pendapa. Para pengawal-pengawal
muda, segera dibawa ke tempat peristirahatan yang sudah disediakan, di rumah
seorang tetangga yang cukup luas dan tidak begitu jauh dari rumah Ki Gede,
sementara Ki Demang dan orang-orang tua yang lain, dipersilahkan naik ke
pendapa, sedangkan Swandaru dan Agung Sedayu, diiringi oleh beberapa orang
pengawal ditempatkan di rumah yang telah tersedia pula.
Tidak banyak yang dibicarakan
di pendapa. Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan orang-orang tua di Tanah Perdikan
Menoreh hanya sekedar mengucapkan selamat datang. Mereka sama sekali tidak
membicarakan tentang perelatan yang sedang diselenggarakan di Tanah Perdikan
Menoreh karena agaknya mereka masih lelah.
Karena itu, maka sejenak
kemudian mereka pun segera diantar ke tempat peristirahatan yang sudah
disediakan bagi mereka. Ki Demang dan Kiai Gringsing berada di dalam satu rumah
dengan Swandaru. Sedangkan Agung Sedayu yang seharusnya berada di antara para
pengawal telah diminta oleh Swandaru untuk mengawaninya. Ki Sumangkar-lah yang
kemudian menggantikan kedudukan Agung Sedayu, berada dan mengawasi para
pengawal-pengawal muda dari Sangkal Putung.
Karena Sekar Mirah adalah
satu-satunya perempuan dalam iring-iringan dari Sangkal Putung itu, maka ia
mendapat tempat tersendiri pula. Atas permintaan Pandan Wangi, ia berada di
rumah Ki Gede Menoreh.
Orang-orang dari Sangkal
Putung itu ternyata sempat beristirahat dengan tenang. Seperti di Mataram,
mereka tidak cemas, bahwa tiba-tiba saja mereka telah disergap. Meskipun mereka
sadar, bahwa dengan demikian bukan berarti bahwa mereka boleh lengah. Bahkan
mereka pun kadang-kadang diganggu pula oleh dugaan, bahwa setelah mereka
berkumpul di Tanah Perdikan Menoreh, pada saat perelatan berlangsung, maka
segerombolan orang yang menyebut dirinya sedang mengumpulkan dana bagi sebuah
perjuangan yang besar akan datang memeras mereka dan merampok semua harta dan
benda yang ada.
Karena itu, maka dalam
bilik-bilik peristirahatan, para pengawal itu telah menggantungkan
senjata-senjata mereka dekat pada tempat pembaringan masing-masing, yang jika
setiap saat diperlukan, mereka akan dengan mudah menjangkaunya.
Dalam pada itu, Ki Waskita
yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya, seakan-akan di luar sadarnya
telah pergi menemui Ki Sumangkar yang berada di tempat yang terpisah dari Kiai
Gringsing. Untuk mengurangi beban yang seakan-akan terlampau berat membebani
hatinya, maka sekali lagi ia menyatakan betapa perasaannya terganggu oleh
isyarat yang berbeda dengan keinginannya atas Swandaru dan bahkan Agung Sedayu.
“Bukankah aku pernah mengatakannya,
Kiai,” desis Ki Waskita, “dan kini agaknya aku masih selalu diganggu oleh
perasaan itu.”
“Ki Waskita,” berkata Ki
Sumangkar, “memang kita kadang-kadang dicemaskan oleh peristiwa dan kejadian
yang terjadi di luar kemauan dan keinginan kita. Tetapi kita harus
mengembalikan semuanya itu kepada Sumber dari segala-galanya ini.”
“Aku kira itu satu-satunya
jalan yang dapat kita lalui. Namun aku masih ingin mengetahui, apakah ada jalan
yang paling baik bagi Angger Swandaru dan Angger Agung Sedayu, yang dapat
mengurangi warna-warna buram di masa depannya itu.”
Ki Sumangkar hanya menarik
nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia pun menjadi gelisah. Memang ia pernah
mendengar hal itu dari Ki Waskita, dan hal itu memang sangat menggelisahkan.
Tetapi agaknya kini Ki Waskita telah mengulangi penglihatannya itu, dan
kegelisahan yang lebih besar telah mencengkam hatinya, justru semakin dekat
saat-saat perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi.
Tetapi keduanya tidak
memperbincangkannya lebih panjang. Bahkan mereka seolah-olah tidak sedang
berada di dalam kegelisahan apa pun juga. Sebab jika hal itu diketahui oleh
orang lain, maka tentu akan menimbulkan persoalan yang jauh lebih besar dari
kegelisahan orang-orang tua yang sudah dapat mengendapkan perasaannya itu.
Demikianlah maka Ki Waskita
pun kemudian telah mencoba menceritakan hal yang lain yang tidak menambah beban
di dalam hatinya. Sambil menikmati hidangan yang disuguhkan kepada mereka yang
baru datang dari Sangkal Putung, maka pembicaraan pun berlangsung dengan
asyiknya, setelah beberapa orang pengawal ikut pula dalam pembicaraan itu.
Namun yang mereka bicarakan adalah, persoalan-persoalan sehari-hari yang
kadang-kadang justru meledakkan tertawa yang riuh.
Dalam pada itu, para pelayan
menjadi sibuk mengantarkan hidangan ke rumah-rumah yang dipergunakan untuk
beristirahat orang-orang yang datang dari Sangkal Putung. Mereka menyediakan
makan dan minum secukupnya. Hanya orang-orang tua sajalah yang dipersilahkan
hadir di pendapa untuk makan bersama orang-orang tua dari Tanah Perdikan
Menoreh.
Sekali-kali, selagi mereka
makan, tersinggung pula persoalan yang akan menyangkut perelatan pengantin yang
akan diselenggarakan. Namun Ki Gede Menoreh dengan sengaja tidak membicarakan
dengan sungguh-sungguh, karena ia telah meminta Ki Demang dan orang-orang tua
dari Sangkal Putung untuk membicarakan malam nanti, setelah mereka beristirahat
dan sudah bersiap-siap seperlunya.
Karena itulah, maka
masalah-masalah yang disinggung di saat mereka makan, tidak berkembang selanjutnya.
Sementara itu, Pandan Wangi
merasa mendapat seorang teman yang sepadan dengan kehadiran Sekar Mirah.
Meskipun di antara mereka terdapat beberapa perbedaan sikap dan pandangan
hidup, namun dalam saat-saat seperti itu, keduanya segera saling menyesuaikan
diri.
“Aku selama ini rasa-rasanya
justru menjadi kesepian,” desis Pandan Wangi. “Aku sama sekali tidak boleh
meninggalkan halaman rumah ini. Bahkan setiap kali aku keluar rumah dan turun
ke halaman, ayah selalu memanggilku dan menyuruhku masuk. Aku hampir menjadi
jemu karenanya.”
“Kakang Swandaru juga selalu
mengeluh,” sahut Sekar Mirah, “meskipun Kakang Swandaru seorang laki-laki,
tetapi menurut orang-orang tua, ia pun tidak boleh meninggalkan halaman rumah.
Dengan kesal setiap hari ia hanya mondar-mandir mengelilingi rumah kami.”
Pandan Wangi tersenyum.
“Tetapi yang paling
mengesalkan,” berkata Sekar Mirah kemudian, “adalah hari-hari yang tersisa
menjadi semakin panjang. Aku pun merasa pula, seolah-olah matahari menjadi
semakin lamban dan bahkan berhenti untuk beberapa lamanya di tengah hari.”
Pandan Wangi
mengangguk-angguk. Ternyata bahwa di Sangkal Putung pun, hari seakan-akan
menjadi bertambah panjang. Bahkan bukan saja yang dirasakan oleh Swandaru.
Tetapi juga Sekar Mirah.
Dalam pada itu, di rumah Ki
Gede Menoreh itu pun kesibukan menjadi semakin meningkat. Dapur yang sudah
diperluas dengan serambi yang dibangun hanya untuk sementara perelatan itu
berlangsung, ternyata masih juga terasa terlampau sempit. Beberapa orang
perempuan hilir-mudik dengan tergesa-gesa, seakan-akan dikejar oleh waktu yang
menjadi semakin sempit pula, sedangkan kerja yang harus mereka kerjakan masih
terlampau banyak.
Ketika kemudian malam tiba di
atas Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah orang-orang tua dari Tanah Perdikan
Menoreh berkumpul untuk menemui orang-orang tua dari Sangkal Putung.
Setelah mereka minum beberapa
teguk, maka mulailah mereka mengulangi semua pembicaraan yang pernah mereka
sepakati bersama. Baik dalam pembicaraan langsung, maupun dalam pembicaraan
melalui pesan-pesan yang dibawa oleh utusan dari Sangkal Putung dan sebaliknya.
“Tidak ada yang perlu
dipersoalkan lagi,” berkata Ki Gede kemudian. “Ternyata semuanya tetap seperti
yang pernah direncanakan. Setelah malam ini Angger Swandaru beristirahat, maka
besok malam, upacara pendahuluan dari perkawinan itu akan dilakukan. Pengantin
perempuan akan dimandikan, dan upacara midadareni akan berlangsung. Malam lusa
maka kedua pengantin akan dipersandingkan.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-angguk. Ia tidak dapat ikut menentukan acara yang akan berlangsung
di tempat pengantin perempuan itu. Tetapi memang demikianlah kebiasaan yang
berlaku. Di malam menjelang pengantin dipertemukan, telah berlangsung upacara
khusus di rumah pengantin perempuan. Tetapi dalam pada itu, di Sangkal Putung
pun diadakan juga sekedar upacara. Orang-orang tua berjaga-jaga sampai hampir
pagi sambil memanjatkan doa, agar di hari berikutnya, perelatan perkawinan
dapat berlangsung dengan selamat.
Selagi di pendapa berlangsung
pembicaraan yang asyik tentang perelatan yang sedang berlangsung itu, di ruang
dalam Pandan Wangi duduk berdua saja dengan Sekar Mirah. Agaknya mereka pun
sedang asyik berbincang, sehingga mereka tidak menghiraukan orang-orang yang
berjalan kian-kemari dalam kewajiban masing-masing. Bahkan di ruang itu pula,
beberapa orang perempuan sedang sibuk membuat kelengkapan perelatan dari
daun-daun pisang, sedang di bagian lain, beberapa orang sibuk mengisi ancak
dengan sesajian.
Seorang perempuan tua agaknya
masih terlampau yakin, bahwa dengan sesajian yang memadai, maka perelatan itu
akan berlangsung dengan selamat. Namun para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh
menganggap bahwa dengan meningkatkan kewaspadaan, maka keselamatan perelatan
itu akan dapat dijaga.
“Mereka menempuh cara pada
jalur mereka masing-masing,” berkata Pandan Wangi ketika ia melihat Sekar Mirah
memperhatikan beberapa ancak yang sudah terisi.
“O,” Sekar Mirah mengangguk,
“mereka telah melakukan apa yang dapat mereka lakukan. Tentu saja dengan maksud,
agar perkawinanmu selamat.”
Pandan Wangi tersenyum. Sambil
mengangguk-angguk kecil ia memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk pada
kerja masing-masing.
Dalam pada itu, di lembah
Gunung Tidar, Empu Pinang Aring pun sedang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan wajah yang berkerut-merut ia berkata, “Jadi menurut laporan itu, Gandu
Demung akan melakukan pengambilan dana perjuangan itu justru di Sangkal Putung
ketika sepasang pengantin itu dalam perjalanan pulang.”
Panganti menarik nafas. Sambil
tersenyum seperti yang selalu membayang di bibirnya, ia berkata, “Pandai juga
anak itu mengatur cara penyergapan. Semula aku tidak yakin bahwa ia akan dapat
berhasil. Namun agaknya yang akan dilakukan itu sama sekali tidak diduga oleh
orang-orang Sangkal Putung sendiri.”
“Ia berhasil membawa enam
puluh orang,” sahut Empu Pinang Aring.
“Jumlah yang cukup besar.
Mudah-mudahan ia berhasil.”
Empu Pinang Aring
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kirimlah dua atau tiga orang untuk
mengawasi apa yang terjadi. Jika Gandu Demung gagal, kalian harus yakin, bahwa
ia lolos dari tangan orang-orang Sangkal Putung. Tetapi jika ia tertangkap,
maka ia harus tertangkap mati. Kau tahu maksudku.”
Panganti mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Jika ia tertangkap hidup, itu berarti bahwa ia harus
dibunuh.”
Empu Pinang Aring tidak
menjawab. Bahkan ia berkata tentang persoalan yang sama sekali tidak ada
hubungannya, “Baiklah, kita segera mempersiapkan diri. Pertemuan di lembah
antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu menjadi semakin dekat. Kita akan
segera menerima keputusan terakhir dari Pajang. Sesuai dengan perkembangan
keadaan di Pajang itu sendiri, dipertimbangkan dengan kematian Jalawaja dan
peristiwa-peristiwa lain. Tetapi utusanku yang berhasil menemui Ki Kalasa Sawit
yang sudah berada di lembah itu, setelah ia terusir dari Tambak Wedi
mengatakan, bahwa waktunya sudah dekat. Dan kita memang harus segera
bersiap-siap.”
Panganti dan beberapa orang
yang hadir di ruang itu mengangguk-angguk. Namun masih juga terbersit persoalan
di hati Panganti. Jika pertemuan itu segera akan berlangsung, itu berarti bahwa
yang harus pergi mengawasi Gandu Demung adalah orang lain.
“Tetapi tugas untuk
menyelesaikan Gandu Demung jika ia tertangkap hidup di Sangkal Putung adalah
tugas yang sangat sulit. Jika kurang hati-hati, maka orang-orang yang menyusul
itu pun akan tertangkap pula dan mungkin terbunuh sebelum mereka berhasil
membunuh Gandu Demung,” gumam Panganti di dalam hatinya. Namun ia masih
mempercayai dua pengawalnya yang mempunyai kemampuan melepaskan paser lewat
lubang supit dari jarak yang cukup jauh. Ketepatannya membidik menyebabkan
keduanya tidak perlu diragukan lagi. Meskipun demikian Panganti masih bertanya
kepada diri sendiri, “Tetapi apakah kedua pengawalnya itu akan sempat mendekat,
jika halangan itu benar menimpa Gandu Demung.”
Meskipun demikian, Panganti
harus melakukan tugas yang dibebankan oleh Empu Pinang Aring kepadanya,
meskipun ia dapat menunjuk orang lain yang dipercayanya, sehingga tidak harus
dirinya sendiri. Apalagi menjelang pembicaraan yang setiap saat dapat terjadi
di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Empu Pinang Aring telah
menunjuknya untuk ikut di dalam pembicaraan itu jika saatnya telah tiba.
Karena itu, maka Panganti pun
kemudian memanggil dua orang kepercayaannya. Dengan jelas ia memberitahukan
kepada keduanya apa yang harus mereka lakukan.
“Kalian harus berada di
Sangkal Putung pada saat peristiwa itu terjadi. Kalian harus tahu pasti, akhir
dari peristiwa itu. Jika Gandu Demung berhasil, kalian harus segera
melaporkannya. Tetapi jika Gandu Demung gagal, kau harus tahu akibat dari
kegagalan itu. Apakah Gandu Demung itu mati, tertangkap hidup atau berhasil
melarikan diri. Jika ia tertangkap hidup, maka adalah tugas kalian untuk
menyelesaikan.”
Kedua orang itu saling
berpandangan sejenak. Tugas yang demikian itu adalah tugas yang paling mereka
benci. Membunuh kawan sendiri. Tetapi mereka tidak akan dapat ingkar apabila
salah seorang pemimpin mereka, termasuk Gandu Demung sendiri memerintahkannya.
Dan perintah yang demikian bukannya perintah yang pertama kali mereka dengar.
Hampir setiap petugas selalu diikuti oleh petugas bayangan yang harus
membinasakan jika petugas itu gagal dan apalagi tertangkap hidup-hidup oleh
pihak lain. Dengan demikian maka rahasia mereka akan tetap tidak terpecahkan.
“Kau harus mempunyai bahan
yang cukup tentang peristiwa yang bakal kau hadapi. Perkawinan itu akan
berlangsung di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Gandu Demung berada di tlatah
Sangkal Putung. Kau dapat langsung pergi ke Sangkal Putung dan mendengarkan
dari siapa pun juga, kapan pengantin itu akan dibawa kembali. Kau harus
menunggu saat itu terjadi dan kemudian mencari keterangan, apakah Gandu Demung
berhasil atau tidak. Kau akan mendapat keterangan tentang Gandu Demung sebagai
bahan untuk menentukan sikap apakah yang harus kau lakukan. Jika kau harus
melakukan tugas yang paling buruk, yaitu membinasakan kawan sendiri, maka tugas
itu pun harus kau lakukan dengan tabah.”
Keduanya mengangguk-angguk.
Tetapi keduanya pun sadar, bahwa mereka tidak akan dapat menyatakan keluhannya
kepada Panganti. Mereka tahu benar sifat dan watak Panganti. Ia dapat
menyatakan kesedihannya sambil tersenyum. Ia dapat membunuh sambil minta maaf
kepada orang terdekat dari korbannya, tanpa memberikan kesan apa pun di
wajahnya. Tetapi ia juga dapat menyesal atas kematian seseorang yang dibunuhnya
sambil tertawa terbahak-bahak. Bahkan ketika ia menyadari bahwa orang yang
dibunuhnya adalah yang sama sekali bukan yang dikehendaki, ia dapat menganggap
itu sebagai suatu lelucon yang tidak menimbulkan penyesalan apa pun juga.
Karena itu, perintahnya
tentang pembunuhan itu harus diterima tanpa keberatan apa pun. Bagi Panganti,
maka setiap orang wajib melakukan tugas seperti dirinya sendiri. Tanpa kesan
apa pun melihat darah dan nyawa yang terlepas.
“Berangkatlah agar kalian
tidak terlambat. Orang-orang Sangkal Putung mungkin termasuk orang-orang yang
kasar dan biadab. Jika mereka menangkap seseorang, maka mungkin sekali mereka
akan menyiksa tanpa perikemanusiaan. Karena itu adalah kewajiban kalian untuk
menolong Gandu Demung. Melepaskannya dari malapelaka semacam itu. Kematian
adalah kurnia yang tidak ada taranya di saat seseorang jatuh ke tangan lawan
yang buas dan liar seperti orang-orang Sangkal Putung menurut pendengaranku.
Mereka tidak lebih dari petani-petani yang dungu. Kemenangan kecil semacam itu,
jika terjadi mereka anggap sebagai kebanggaan sehingga mereka akan menikmatinya
sepuas-puasnya. Menyiksa tanpa mengenal batas,” berkata Panganti sambil
tersenyum.
Kedua orang itu
mengangguk-angguk. Bahkan keduanya juga mencoba tersenyum seperti Panganti.
“Jangan menunggu sampai
terlambat. Lebih baik kalian menunggu di sekitar Sangkal Putung. Kalian tahu
apa yang harus kalian lakukan.”
“Baik, Ki Panganti,” jawab
salah seorang dari keduanya, “kami akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya.”
Panganti menepuk bahu kedua
orang itu berganti-ganti. Kemudian tanpa memberikan pesan lagi ia meninggalkan
kedua kepercayaannya yang termangu-mangu itu.
Keduanya pun kemudian dengan
kesal mempersiapkan diri. Mereka memang pernah melakukan tugas seperti itu.
Namun untuk waktu yang lama mereka tidak dapat melupakan wajah kawannya yang
membeku karena paser yang mereka lontarkan dari supit yang tepat mengenai urat
di leher. Karena paser itu beracun, maka sulit bagi seseorang untuk tetap hidup
jika paser itu menyentuh tubuhnya, kecuali jika orang itu dengan cepat
mendapatkan obat yang tepat dan tajam.
“Kita akan pergi ke Tanah
Perdikan Menoreh,” berkata yang seorang.
“Untuk apa?” bertanya yang
lain. “Bukankah sudah jelas bahwa Gandu Demung ada di tlatah Sangkal Putung,
atau sekitarnya menjelang iring-iringan itu kembali ke Sangkal Putung.”
“Kita dapat singgah melihat
perelatan itu di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah baru pada hari kelima mereka
akan berangkat ke Sangkal Putung? Seperti saat mereka berangkat, yang menurut
keterangan yang kita terima, mereka berhenti di Mataram, maka saat kembali pun
mereka akan berhenti pula di Mataram untuk bermalam. Dengan demikian,
perjalanan mereka bukannya perjalanan yang tergesa-gesa karena mereka tidak
usah memikirkan waktu di perjalanan, bahwa mereka akan kemalaman.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Agaknya menarik juga untuk melihat perelatan itu. Melihat saat pengantin bersanding
sebelum melakukan pekerjaan yang menggelisahkan itu.
Demikianlah maka keduanya pun
kemudian meninggalkan Gunung Tidar. Langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika mereka berada di tlatah
Tanah Perdikan Menoreh, maka Menoreh telah menghias dirinya. Ternyata bahwa
kegembiraan tidak saja terjadi dirumah Ki Gede. Tetapi rakyat Tanah Perdikan
Menoreh menyambut perkawinan Pandan Wangi dengan kegembiraan yang meluap.
Karena itulah, maka hampir
setiap pedukuhan telah menghias pintu gerbang mereka, meskipun hanya sekedar
menyangkutkan beberapa pelepah janur kuning dan obor yang melampaui jumlah obor
yang biasa mereka pasang. Bahkan ada padukuhan yang menyambut perkawinan itu
dengan mengadakan semacam pertunjukkan yang mereka selenggarakan dari antara
mereka sendiri.
Terlebih-lebih lagi
kegembiraan nampak di rumah Ki Gede Menoreh. Seperti yang direncanakan, maka di
malam midadareni, beberapa orang laki-laki dan perempuan berjaga-jaga di rumah
Ki Gede Menoreh semalam suntuk. Pandan Wangi telah dimandikan dengan air bunga
dan digosok dengan mangir pada seluruh tubuhnya, sehingga kulitnya menjadi
semakin kuning. Wajahnya menjadi bagaikan bercahaya memancarkan kecantikan yang
hampir tidak nampak dalam keadaannya sehari-hari.
Sekar Mirah yang menunggui gadis
yang sedang dirawat sebaik-baiknya oleh orang-orang tua itu tersenyum. Bahkan
terbayang di dalam angan-angannya, bahwa pada suatu saat, ia pun akan mengalami
perawatan seperti itu.
“Pada suatu saat,” tiba-tiba
saja wajahnya menjadi suram, “kapankah saat itu tiba?” pertanyaan itu telah
mengganggu perasaannya.
Sementara itu, beberapa orang
perempuan yang telah selesai meronce bunga bagi Pandan Wangi, kemudian memasuki
biliknya dan menyerahkan untaian bunga melati itu kepada mereka yang sedang
merawat dan kemudian akan mengenakan pakaian calon pengantin itu.
“Untaian ini akan dipakai
malam ini,” berkata seorang yang sudah berambut putih, “untuk besok, saat
pengantin dipertemukan, akan dironce bunga yang lain. Lebih banyak jenisnya
dari untaian yang sekarang akan dipakai.”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya, sedang Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil mencoba tersenyum
kembali.
“Untaian ini akan dipakai oleh
pengantin laki-laki,” berkata orang tua itu sambil menyisihkan beberapa untai
bunga, “yang ini akan dipakai pada hulu kerisnya, yang ini adalah kalungnya.”
Sekar Mirah mengangguk-angguk.
Dan perempuan itu meneruskan,
“Seperti pengantin perempuan, maka bagi pengantin laki-laki pun besok akan
dibuat reroncen yang lebih baik. Selain bagi hulu kerisnya dan kalung, juga
akan dibuatkan hiasan baju dan disediakan dua buah melati untuk cunduk di bawah
ikat kepala, di atas daun telinga.”
Sekar Mirah masih saja
mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba perempuan itu berkata, “Tetapi siapakah yang
akan menyerahka untaian ini kepada pengantin laki-laki.”
Tidak ada yang menjawab. Sekar
Mirah pun ragu-ragu.
Karena tidak ada yang
menjawab, maka orang tua itu kemudian menyuruh seorang pembantunya untuk
memanggil siapa yang dapat membawa untaian bunga itu kepada pengantin
laki-laki.
“Siapa?” bertanya pembantu
perempuan berambut putih itu.
“Siapa saja. Suruhlah seorang
dari mereka yang ada di pendapa untuk memanggil siapa pun dari antara para
pengiring pengantin laki-laki itu. Pengantin lagi-laki itu malam ini harus juga
mengenakan pakaian yang sudah disediakan meskipun bukan pakaian yang akan
dipakai besok malam. Tetapi jika ada orang-orang tua yang menengoknya,
pengantin itu sudah kelihatan seperti seorang pengantin.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tetapi ia mengerti maksud perempuan tua itu. Tetapi karena perempuan
yang disuruhnya memanggil seorang dari antara para pengiring pengantin
laki-laki itu masih nampak bingung, maka hampir di luar sadarnya ia berkata,
“Suruhlah seseorang memanggil Kakang Agung Sedayu. Ia adalah orang terdekat
dari Kakang Swandaru.”
Pembantu perempuan tua itu
mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser keluar dari bilik Pandan Wangi yang
benar-benar dipenuhi oleh bau wewangian. Kepada seorang anak muda yang
dijumpainya berdiri di depan pintu butulan pembantu itu berkata, “Panggillah
anak muda yang bernama Agung Sedayu dari antara para pengiring pengantin
laki-laki.”
“Untuk apa?” bertanya anak
muda itu.
“Ia harus mengambil beberapa
untai bunga yang akan dikenakan oleh calon pengantin laki-laki malam ini.”
“Biarlah bunga itu aku bawa
saja ke sana.”
“Tidak. Yang mengambil bunga
itu di bilik pengantin perempuan adalah salah seorang pengiring pengantin
laki-laki.”
“Ah, kau ini rewel sekali.
Apakah kau sangka bahwa untaian bunga itu akan aku pakai sendiri?”
“Meskipun tidak, tetapi kau
tidak boleh melanggar ketentuan tentang bunga itu.”
Anak muda itu tidak menjawab.
Ia pun kemudian melangkah pergi ke tempat Swandaru beristirahat bersama
beberapa orang pengiringnya.
Ternyata bahwa Swandara pun telah
mengenakan pakaian yang memang sudah disediakan baginya. Meskipun ia masih
nampak gemuk, tetapi wajahnya yang bulat itu menjadi nampak lain dari wajahnya
sehari-hari.
Anak muda itu pun kemudian
menyampaikan pesan perempuan pembantu orang yang sedang merawat Pandan Wangi,
bahwa Agung Sedayu dipanggil ke dalam bilik pengantin perempuan untuk mengambil
beberapa untai bunga.
Tanpa berpikir panjang, Agung
Sedayu yang sudah berpakaian rapi pun segera melangkah ke rumah Ki Gede dan
langsung lewat pintu butulan menuju ke bilik Pandan Wangi. Di ruang tengah ia
menjadi ragu-ragu melihat perempuan-perempuan yang sedang sibuk hilir-mudik,
sehingga langkahnya terhenti beberapa saat.
Tiba-tiba saja ia melihat
Sekar Mirah muncul dari pintu bilik Pandan Wangi. Dengan ragu-ragu pula ia
memanggilnya.
Sekar Mirah berpaling.
Dilihatnya Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Karena itu, maka ia pun
mendekatinya sambil berkata, “Masuklah. Orang tua itu menunggumu. Aku akan
pergi ke pakiwan sebentar.”
“Di ruangan itu banyak
perempuan,” desis Agung Sedayu.
“Tidak apa-apa. Mereka tidak
akan menangkapmu.”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi
ia masih tetap ragu-ragu. Sehingga Sekar Mirah kemudian mendorongnya sambil
berkata, “Cepatlah, kau ditunggu. Jika kau lambat, maka Kakang Swandaru pun
akan lambat berpakaian.”
“Tetapi bukankah Swandaru
tidak akan dibawa kemari malam ini?”
“Memang tidak. Tetapi jika ada
orang-orang tua yang datang menjenguknya di pondokan, maka akan lebih sopan
jika ia pun sudah berpakaian lengkap, meskipun bukan pakaian yang akan
dipakainya besok.”
“Ambillah, aku menunggu di
sini,” desis Agung Sedayu.
“Ah kau ini. Ambillah sendiri.
Aku akan ke pakiwan.”
Sekar Mirah tidak menunggu
lagi. Ia pun segera meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu.
Karena itulah maka Agung
Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus masuk ke dalam bilik pengantin
untuk mengambil untaian melati yang akan dikenakan pada keris Swandaru dan
selingkar kalung yang berjuntai sampai ke dadanya.
Sejenak Agung Sedayu membenahi
pakaiannya. Ia jarang sekali mengenakan pakaian yang lengkap dan mapan seperti
saat itu. Karena itu, maka justru ia merasa seolah-olah terkungkung dalam
pakaiannya.
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu
mendekati pintu bilik Pandan Wangi yang terbuka sedikit. Ketika ada seorang
perempuan keluar dari bilik itu maka ia pun berkata, “Aku akan mengambil
untaian bunga melati bagi pengantin laki-laki.”
“O, silahkan. Masuklah,”
perempuan itu pun segera membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Agung
Sedayu masuk.
Setapak demi setapak Agung
Sedayu mendekati pintu. Ketika ia kemudian berdiri di pintu itu, terasa dadanya
berdesir. Di sudut bilik itu ia melihat Pandan Wangi yang sudah hampir selesai
berpakaian. Wajahnya nampak bagaikan bercahaya. Sekilas ia melihat mata gadis
itu menyambarnya. Namun Agung Sedayu dengan cepat menundukkan kepalanya.
Dalam pada itu, jantung Pandan
Wangi pun telah disengat oleh perasaan aneh ketika ia melihat Agung Sedayu
muncul di pintu biliknya. Anak muda yang berpakaian rapi itu ternyata mempunyai
pengaruh tersendiri di dalam hatinya. Sejak pertama kali ia melihat dua orang
saudara seperguruan itu, maka perhatiannya yang pertama-tama adalah melekat
pada Agung Sedayu. Namun akhirnya, ia telah menggiring dirinya sendiri untuk
melihat kenyataan, bahwa sebenarnyalah Agung Sedayu telah terikat pada seorang
gadis. Gadis itu adalah Sekar Mirah adik Swandaru sendiri.
Pandan Wangi pun kemudian
menundukkan kepalanya pula. Ia tidak berani lagi memandang wajah Agung Sedayu.
Bahkan dengan demikian, seolah-olah keduanya sama sekali tidak saling mengenal.
“Apakah Angger yang bernama
Agung Sedayu,” seorang perempuan tua tiba-tiba saja bertanya, sehingga Agung
Sedayu terkejut karenanya. Dengan tergagap ia menjawab, “Ya, ya Bibi. Aku Agung
Sedayu, dari pondok pengantin laki-laki.”
“O,” perempuan itu
mengangguk-angguk, “kemarilah. Inilah untaian bunga melati bagi pengantin
laki-laki malam ini. Besok akan disediakan untaian yang lain, yang lebih
lengkap.”
Agung Sedayu menjadi lebih
gelisah ketika ia harus beringsut sambil berjongkok mendekati perempuan
berambut putih yang sedang menyelesaikan pekerjaannya, mematut rias Pandan
Wangi, yang duduk pada sehelai tikar yang dibentangkan di lantai.
Karena tidak dapat menahan
desakan perasaannya, maka sekali lagi Agung Sedayu memandang wajah Pandan
Wangi. Tetapi hatinya bergetar ketika saat yang sama Pandan Wangi pun sedang
memandanginya.
“Gila,” Agung Sedayu menggeram
di dalam hati, “apakah yang sedang terjadi atasku sekarang ini?”
Tetapi Agung Sedayu tidak
dapat berpikir lebih lama lagi, karena perempuan berambut putih itu sudah
menjulurkan sebuah nampan berisi untaian bunga melati bagi pengantin laki-laki.
Dengan tanpa mengangkat
wajahnya lagi, Agung Sedayu pun kemudian minta diri. Ia beringsut sambil
berjongkok sampai dimuka pintu, kemudian dengan tergesa-gesa ia pun melangkah
ke luar dan meninggalkan bilik itu.
Di muka pintu butulan ia
bertemu dengan Sekar Mirah yang baru saja ke pakiwan. Sambil tersenyum Sekar
Mirah berkata, “Nah, bukankah kau masih utuh.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia memandang wajah Sekar Mirah. Dan di
luar sadarnya pula, telah tumbuh perbandingan antara kedua gadis yang
dikenalnya sebagai gadis-gadis yang tangannya cekatan bermain pedang.
“Kau nampak gelisah sekali,”
desis Sekar Mirah.
“Tidak. Aku tidak apa-apa.”
Sekar Mirah tertawa tertahan.
Katanya, “Sekarang pergilah kepada Kakang Swandaru. Ternyata kau dengan selamat
telah keluar dari bilik itu.”
Agung Sedayu pun mencoba
tersenyum pula, meskipun baginya sendiri senyum itu adalah senyum yang sangat
hambar.
Di perjalanan ke pondok yang
diperuntukkan bagi pengantin laki-laki itu, Agung Sedayu sempat berangan-angan
tentang kedua gadis itu.
“Sekar Mirah memang cantik,”
desis Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun ternyata baginya, kedua gadis itu
mempunyai perbedaan sifat yang sangat jauh. Sekar Mirah adalah gadis yang keras
hati dan terlampau menghargai dirinya sendiri. Keinginannya untuk menampakkan
diri dalam kedudukan yang terpandang terasa sekali mempengaruhi cara hidup dan
jalan berpikir.
“Sifat yang sama dengan sifat
Swandaru,” gumam Agung Sedayu di luar sadarnya.
Baginya sifat-sifat Pandan
Wangi yang meskipun juga keras hati, tetapi mengandung kelembutan. Jika
tangannya tidak sedang menggenggam pedang rangkapnya. Pandan Wangi adalah
seorang perempuan yang pantas menjadi seorang ibu yang penuh dengan kasih
sayang, meskipun pada saat-saat tertentu ia adalah seekor macan betina yang
berbahaya bagi lawan-lawannya.
“Uh,” tiba-tiba Agung Sedayu
menggeleng, “benar-benar aku telah keracunan dengan sifat-sifat burukku.”
Tiba-tiba saja Agung Sedayu
mempercepat langkahnya menuju ke pondok yang disediakan bagi Swandaru sambil
membawa sebuah nampan berisi untaian bunga melati yang akan dikenakan di malam
midadareni itu.
Namun dalam pada itu, ternyata
kehadiran Agung Sedayu di dalam bilik Pandan Wangi telah mempengaruhi
perasaannya. Sentuhan pandangan Agung Sedayu seolah-olah telah menyengat
jantung. Rasa-rasanya ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya.
Namun seperti Agung Sedayu,
Pandan Wangi berusaha untuk menindas perasaan yang meledak di dalam hatinya
itu. Bahkan dengan sadar ia merasa sedih, bahwa ia tidak dapat luput dari
cobaan serupa itu.
“Bukan kemampuan untuk
menindas perasaan yang tumbuh,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya, “tetapi
bahwa perasaan itu telah sempat tumbuh meskipun seandainya aku berhasil
mendesaknya ke bawah himpitan pertimbangan, namun bahwa perasaan itu pernah ada
telah merupakan gejala keburaman hati ini.”
Tiba-tiba terasa tubuh Pandan
Wangi menjadi gemetar. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya, sehingga
usapan mangir tumbuhnya yang menjadi semakin kuning itu, menjadi basah.
“O, keringatmu banyak sekali,”
desis orang tua yang sedang meriasnya.
Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia tidak menjawab.
Perempuan yang meriasnya itu
pun meneruskan kata-katanya, “Tapi itu adalah wajar. Setiap pengantin perempuan
akan mengalami perasaan seperti yang kau alami sekarang. Gelisah, tetapi juga
penuh harap.”
Yang mendengarnya tertawa
bersahutan. Beberapa orang mencoba menyambung dengan kelakar yang segar seperti
kebiasaan mereka di bilik pengantin di tempat-tempat yang lain.
Pandan Wangi pun mengerti. Ia
sering ikut pula bergurau seperti itu apabila ia sempat menghadiri malam
midadareni. Bergurau hampir semalam suntuk.
Karena itu, betapa pun hatinya
terasa kemelut, namun ia tersenyum juga. Dibiarkannya orang tua yang meriasnya
mengusap tubuhnya beberapa kali.
“O, tetapi keringat ini
terlalu banyak, sehingga mangir di tubuhnya akan dapat larut karenanya.”
“Udara terasa panas sekali,”
Pandan Wangi mencoba menjawab.
“Aku merasa dingin sekali,”
tiba-tiba seorang gadis sebayanya menyahut.
Suara tertawa telah meledak.
Pandan Wangi pun ikut tersenyum pula.
Karena gurau dan kelakar yang
kemudian memenuhi ruangan itu, maka Pandan Wangi agak terlupa sedikit akan
gejolak di dalam hatinya. Tetapi setiap saat masih juga terasa jantungnya
bergetar.
Baru ketika ia selesai
berpakaian, dan beberapa orang perempuan meninggalkan biliknya, kembali
perasaan itu rasa-rasanya mulai bergetar lagi di hatinya.
“O, alangkah nistanya gadis
yang bernama Pandan Wangi ini,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.