Dalam kegelisahannya, Ki
Tambak Wedi itu kemudian berjalan mendekati desa Benda. Di sepanjang
langkahnya, tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. “Akhirnya aku harus pergi
juga ke desa itu. Lebih baik sejak semula aku kerjakan sendiri pekerjaan ini.”
Setelah meloncati beberapa
buah parit dan menyibak beberapa macam tanaman di sawah-sawah, akhirnya Ki
Tambak Wedi berdiri di luar dinding desa itu. Dari tempatnya berdiri Ki Tambak
Wedi dapat melihat jalan yang membujur di tengah-tengah bulak memasuki desa kecil
itu. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak mau masuk desa lewat jalan yang dilihatnya.
Lebih baik baginya untuk meloncati dinding batu desa itu.
Ketika Ki Tambak Wedi
menjejakkan kakinya di dalam lingkungan dinding batu, orang tua itu menggeram.
Api yang dilihatnya sudah menjadi semakin besar. Dengan hati-hati ia berjalan
ke arah api itu. Tetapi, di sekitar api itu tampaknya terlampau sepi. Ia tidak
melihat Sidanti, Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda.
“Hem” geramnya berulang kali.
“Anak-anak gila itu pergi ke mana saja. Mereka sama sekali tidak mau
memperhitungkan keadaan. Mereka menuruti saja perasaannya.”
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi
teringat, bahwa di desa itu pasti ada prajurit Pajang yang sedang mengawasi
keadaan menjelang saat penyerahan orang-orang Jipang. Gumamnya, “Hem, mungkin
Sidanti sedang melihat-lihat, apakah di desa ini ada orang-orang Pajang. kalau
benar diketemukannya beberapa orang prajurit, maka anak itu pasti sedang
melepaskan kemarahannya.”
Sejenak Ki Tambak Wedi menjadi
berbimbang hati. Tetapi kemudian kembali ia bergumam, “Biarlah aku melihatnya
pula. Orang-orang Pajang pasti berada di ujung jalan itu.”
Akhirnya Ki Tambak Wedi pun
segera dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan, meloncati
dinding-dinding halaman, pergi ke ujung jalan.
Dalam pada itu Wira Lele masih
berpacu dengan kudanya. Beruntunglah ia bahwa ketika Ki Tambak Wedi berjalan
mendekati jalan yang dilaluinya, ia telah lampau. Kalau hantu lereng Merapi itu
melihatnya, maka sudah pasti bahwa tubuh Wira Lele akan terbanting dari
punggung kudanya, karena Ki Tambak Wedi akan melempar dengan gelang-gelang
besinya.
Kuda Swandaru adalah kuda yang
cukup baik, sehingga lajunya benar-benar seperti anak panah meluncur dari
busurnya. Ia harus segera menemui Untara, mengabarkan apa yang telah terjadi,
sehingga rencana yang telah disusun rapi oleh pimpinannya itu tidak pecah
berserakan.
Akhirnya Wira Lele melihat
juga sebuah barisan yang berhenti di tengah-tengah bulak. Barisan itu adalah
barisan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung.
Ketika Untara melihat api yang
menjilat ke udara, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia
berkata kepada Ki Gede Pemanahan, “Ki Gede, aku melihat ketidakwajaran dari
Desa Benda itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Ketika ia berpaling, memandangi wajah Untara, dilihatnya pada wajah itu
beberapa titik keringat.
Kali ini Ki Gede benar-benar
menjadi kecewa. Ternyata persiapan Untara masih belum terlampau masak, sehingga
di saat-saat yang ditentukan masih juga terjadi peristiwa-peristiwa yang
menegangkan dan bahkan mungkin dapat membahayakan.
Tetapi Ki Gede puas dengan
persiapan pasukan Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung yang berbaris di
belakangnya. Bahwa seandainya orang-orang Jipang itu berkhianat atas
persetujuan yang telah dibuatnya, atau sengaja menjebak para prajurit Pajang,
maka pasukan itu sudah benar-benar dalam kesiagaan tempur.
“Bagaimana pertimbanganmu
Untara?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Beberapa orang harus
menyaksikan keadaan desa itu dari dekat.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Di desa itu tak akan kau
jumpai bahaya yang besar. Kalau orang-orang Jipang ingin menjebakmu di sana,
maka tidak akan terjadi pembakaran itu.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi bagaimanapun juga api itu telah mencemaskannya. Maka katanya,
“Ya Ki Gede, demikianlah kiranya. Tetapi api itu sendiri dapat menimbulkan
berbagai pertanyaan. Mungkin tanpa disengaja para penjaga telah membakar sebuah
timbunan jerami atau alang-alang. Tetapi mungkin juga karena sebab-sebab lain.”
“Kita tidak mendengar tanda
bahaya,” sela Widura yang berdiri di belakang Untara.
Ki Gede Pemanahan masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak panglima itu berdiam diri dan berpikir.
Kemudian katanya, “Baik juga kau mengirimkan beberapa penghubung untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
Untara mengangguk. Di belakang
barisan itu ada tiga orang penghubung dengan kuda-kuda mereka yang siap untuk
melakukan tugas itu.
Tetapi Untara itu kemudian
tertegun diam. Dari kejauhan, mereka melihat seekor kuda muncul di tikungan,
dari balik tanaman-tanaman jagung dan gerumbul jarak liar yang berserakan di
pinggir-pinggir jalan. Kuda itu berpacu semakin dekat. Debu yang dilemparkan oleh
kaki-kakinya mengepul tinggi ke udara.
“Siapa?” desis Ki Gede
Pemanahan.
Untara tidak segera menyahut.
Tetapi kemudian setelah orang berkuda itu menjadi semakin dekat ia menjawab,
“Wira Lele, Ki Gede, pemimpin pengawas yang aku tempatkan di Benda.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya sama sekali tidak membayangkan
kegelisahan dan kecemasan. Wajah Panglima Wira Tamtama itu selalu membayangkan
ketenangan hatinya, sehingga orang-orang lainpun menjadi tenang pula karenanya.
Semakin lama Wira Lele itupun
menjadi semakin dekat, sementara itu wajah Untara dan Widura menjadi semakin
tegang. Mereka merasa tidak sabar lagi menunggu kuda yang berlari kencang
seperti angin itu.
Demikian Wira Lele sampai di
hadapan mereka, maka segera Untara dan Widura menyongsongnya sambil bertanya,
“Apa yang terjadi?”
Untara dan Widura menjadi
semakin berdebar-debar ketika mereka melihat wajah Wira Lele yang pucat dan
keringatnya yang membasahi seluruh tubuhnya.
“Apa yang terjadi?” Untara
mengulangi pertanyaannya.
Dengan serta-merta Wira Lele
itu turun dari kudanya, menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian menjawab,
“Di Benda telah terjadi kebakaran.”
“Kenapa?” bertanya Widura
singkat.
Sejenak Wira Lele menjadi
ragu-ragu kembali. Apakah ia harus mengatakan seperti pesan Sutawijaya, atau ia
harus mengatakan sebenarnya.
“Kenapa?” desak Widura.
“Oh” Wira Lele tergagap.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya. Dengan
terbata-bata dan seolah-olah tidak berurutan, kata-katanya berebut dahulu
meloncat dari mulutnya. “Beberapa gubug telah dibakar Sidanti.”
Mendengar kalimat yang pendek
itu dada Untara dan Widura bergetar. Hampir bersamaan mereka mengulangi nama
itu, “Sidanti?”
“Ya.”
Ki Gede Pemanahan pun
melangkah maju sambil bertanya, “Apakah Sidanti memasuki desa kecil itu?”
Wira Lele menganggukkan
kepalanya dalam-dalam ketika ia melihat Panglima itu bertanya kepadanya, “Ya
Tuan, Sidanti, Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda.”
“Bertiga?” bertanya Ki Gede
Pemanahan.
“Ya Ki Gede, mereka bertiga.”
Sejenak Untara dan Widura
saling berpandangan. Sekilas teringat olehnya Agung Sedayu, Swandaru dan
Sutawijaya yang mendahului mereka. Apakah mereka tidak terjebak oleh Sidanti
dan kedua kawan-kawannya. Bahkan tiada disengaja terloncat pertanyaan dari mulut
Untara, “Bagaimana dengan anak-anak muda yang datang berkuda. Apakah kau
bertemu dengan mereka?”
“Ya,” sahut Wira Lele. “Kini
mereka saling berhadapan. Kuda yang aku pakai adalah kuda Angger Swandaru.”
Untara dan Widura memandangi
kuda itu. Kuda itu memang kuda Swandaru.
“Kini mereka pasti sedang
bertempur” sambung Wira Lele.
“Tetapi kau lihat Sidanti
hanya bertiga?” sela Widura.
“Ya.”
Widura menarik nafas.
Sementara itu Untara berkata, “Mudah-mudahan anak-anak itu tidak mengalami
kesulitan.”
“Kalau mereka benar-benar
hanya bertiga” tiba-tiba terdengar Ki Gede Pemanahan berkata. “Maka aku
mengharap anak-anak itu akan dapat mengatasinya.” Ki Gede itu diam sesaat.
Kemudian ia berpaling kepada Untara. “Apakah adikmu dapat melawan Sanakeling?”
Untara itu mengangguk. “Aku
harap demikian Ki Gede. Mereka berdua pernah bertemu di garis perang, pada saat
terakhir.”
“Kalau begitu, mereka tidak
akan menemui kesulitan.” Ki Gede itu terdiam sesaat. Tetapi sejenak kemudian
tampak wajahnya yang tenang itu berkerut. Tiba-tiba kata-katanya mengejutkan
Untara, “Wira Lele, bukankah namamu Wira Lele?”
“Ya Ki Gede” sahut Wira Lele
sambil menganggukkan kepalanya.
“Kau benar-benar hanya melihat
tiga orang dari mereka?”
“Ya Ki Gede. Hanya tiga orang.
Di perjalanan kemaripun aku tidak melihat orang-orang lain.”
“Tetapi di antara mereka
bertiga itu ada Sidanti” gumam Ki Gede Pemanahan. “Kalau begitu,” katanya,
“berikan kudamu kepadaku.”
“Ki Gede,” potong Untara,
“apakah yang akan Ki Gede lakukan sekarang?”
“Sidanti adalah murid Tambak
Wedi. Hantu itu mungkin berada di sana pula.”
“Ki Gede, aku dan paman Widura
yang bertanggung jawab atas semua peristiwa ini. Karena itu, biarlah aku pergj
mendahului.”
“Apakah kau dapat berbuat
sesuatu kalau tiba-tiba muncul di arena perkelahian itu Ki Tambak Wedi?”
Untara terbungkam. Tetapi ia
melangkah maju ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan merenggut kendali kuda Wira
Lele.
“Jangan Ki Gede” minta Untara.
“Ki Gede adalah Pamglima Wira Tamtama. Keselamatan Ki Gede jauh lebih berharga
dari keselamatan kita semuanya.”
“Ah” desah Ki Gede yang
tiba-tiba telah meloncat ke atas punggung kuda itu. “Aku sedang mencemaskan
keselamatan anakku. Aku akan mendahului kalian, cepat susul aku. Kalau terjadi
sesuatu bukanlah salahmu, tetapi salah anakku yang nakal itu.”
“Ki Gede” Untara masih ingin
mencegah, tetapi ia tidak tahu kata-kata apakah yang akan diucapkan.
“Aku menyadari maksudmu
Untara,” sahut Ki Gede Pemanahan, “tetapi pada masa-masa mudaku, aku senakal
anakku itu pula. Karena itu jangan cemaskan aku.”
Untara tidak dapat berbuat
sesuatu lagi. Ia hanya dapat melihat Ki Gede memutar kudanya. Yang terdengar
kemudian adalah kata-kata salah seorang perwira pengawalnya, “Ki Gede, apakah
Ki Gede tidak menunggu kami?”
Ki Gede tersenyum, katanya,
“Lindungilah panji-panji itu. Biarlah panji-panji itu tetap berkibar.”
Tak seorangpun sempat
mencegahnya. Kuda itu segera meloncat dan berlari sekencang badai. Gemeretak di
atas tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh.
Untara itupun kemudian
tersentak. Tiba-tiba mulutnya berteriak, “He, berikan kuda penghubung itu.
Kenapa kalian diam saja sejak tadi?”
Para penghubung yang memegang
kendali kuda di bagian belakang dari barisan itu terkejut mendengar teriakan
Untara. Karena itu, maka dengan segera mereka meloncat naik ke punggung-pungung
kuda dan membawa kuda-kuda mereka maju mendekati Untara.
“Berikan satu kepadaku” teriak
Untara itu pula.
Para penghubung itu sama
sekali tidak tahu maksud Untara. Tetapi merekapun segera berloncatan turun dan
salah seorang dari pada mereka menyerahkan kendali kudanya kepada Untara.
“Kau akan pergi juga?”
bertanya Widura.
“Ya.”
“Sendiri?”
Untara ragu-ragu sejenak.
Sehingga Widura berkata pula, “Apakah aku akan menyertaimu?”
Untara menggeleng, “Tidak.
Paman memimpin pasukan ini.” Untara berhenti sejenak kemudian dipandanginya
beberapa orang perwira dan pengawal Ki Gede Pemanahan yang lain. Rupa-rupanya
orang-orang itupun tahu maksudnya, sehingga salah seorang dari mereka berkata,
“Aku akan pergi bersamamu Adi Untara.”
“Marilah” sahut Untara.
“Aku juga, bukankah ada tiga
ekor kuda” berkata seorang yang lain.
Maka sejenak kemudian mereka
bertiga telah berada di punggung kuda. Dengan sentuhan pada lambung-lambung
kuda itu, maka ketiganya meloncat dan berlari seperti dikejar hantu.
Tiga ekor kuda itu berpacu
dengan cepatnya, berderak-derak di atas jalan yang menuju ke desa kecil di
hadapan mereka, Benda.
Di desa Benda, pada saat itu
sedang berlangsung suatu perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru.
Sidanti yang melawan Sutawijaya benar-benar telah berusaha memeras segenap
kemampuannya. Namun ia harus melihat kenyataan pula, bahwa Sutawijaya benar-benar
memiliki kelincahan dan ketangguhan yang suIit ditandinginya.
Dengan senyum yang selalu
membayang di bibirnya, Sutawijaya pun berusaha untuk menebus kekalahannya.
Bahkan tiba-tiba lukanya itu seolah-olah menjadi terasa pedih kembali.
“Hem,” geramnya, “sedikitnya
sebuah goresan di tubuhmu, Sidanti.”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi
bekerja lebih keras lagi. Ia sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan
siapapun juga dalam perkelahian ini, sebab kedua kawannya telah terlibat pula
dalam perkelahian yang seru. Meskipun Alap-Alap Jalatunda tidak mengalami
tekanan yang berat, bahkan sekali-sekali ia berhasil mendesak Swandaru yang
gemuk, namun belum menunjukkan suatu kepastian bahwa ia akan dapat mengalahkan
lawannya. Kekuatan Swandaru ternyata benar-benar merupakan kekuatan raksasa.
Sedang Sanakeling, hampir
tidak pernah mendapat kesempatan untuk menarik nafas. Ternyata Agung Sedayu
cukup cepat menghadapinya. Keduanya adalah orang-orang pilihan dari pihak yang
berlawanan, yang pernah bertemu di garis perang, sehingga dengan demikian, maka
kini mereka telah berusaha sekuat-kuat tenaga masing-masing untuk segera
menguasai lawannya.
Tiba-tiba Sanakeling, Agung
Sedayu, Alap-Alap Jalatunda dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar suara
Sidanti mengumpat keras-keras, “Setan. Jangan berbangga dengan sentuhan
senjatamu itu.”
Yang terdengar kemudian adalah
suara tertawa Sutawijaya. Katanya, “Jangan mengumpat-umpat. Aku hanya menagih
hutangmu, tidak lebih. Dan aku masih belum menuntut bunganya.”
“Mampus kau!” teriak Sidanti
pula sambil menyerang Sutawijaya sejadi-jadinya. Wajahnya menjadi merah padam
dan matanya seakan-akan menyala. Dari lengan kirinya menetes darah yang merah
segar.
Agung Sedayu pun tersenyum
pula melihat luka Sidanti, bahkan Swandaru dengan serta-merta berteriak pula,
“He, apakah murid Ki Tambak Wedi itu dapat dilukai?”
“Tunggu, aku akan menyobek
mulutmu Swandaru” sahut Sidanti lantang.
Tetapi Swandaru menjawab pula,
“Lenganmu sudah terluka. Apakah kau masih dapat menyombongkn dirimu lagi?”
Kata-kata Swandaru terputus.
Ia masih akan berkata lagi, tetapi ketika ia baru saja membuka mulutnya, ujung
pedang Alap-Alap Jalatunda hampir saja masuk ke dalam mulutnya itu.
“Gila kau” anak yang gemuk itu
mengumpat. Dengan cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi Alap-Alap Jalatunda
mengejarnya dan dengan pedangnya ia menyerang lambung.
Swandaru memutar tubuhnya
setengah lingkaran. Ia tidak mau menghindar lagi. Dengan sekuat tenaganya,
pedang Alap-Alap Jalatunda itu ditangkisnya dengan pedangnya pula. Terdengar
suara berdentang. Dari sentuhan kedua tajam pedang itu memercik bunga api.
Namun sekali lagi terasa oleh Alap-Alap Jalatunda, betapa kuatnya tangan
Swandaru, meskipun Swandaru terpaksa mengakui pula kecepatan bergerak Alap-alap
Jalatunda. Hampir saja lambungnya tersobek oleh pedangnya.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi
berjalan dengan tergesa-gesa menyusup rimbunnya dedaunan di kebun-kebun dan
meloncati pagar-pagar halaman, menuju ke ujung desa itu. Ia menyangka bahwa di
sana pasti ada gardu pengawas. “Mungkin Sidanti dan kawan-kawannya sedang
berpesta” gumamnya. “Tetapi itu adalah perbuatan yang bodoh. Meskipun
seandainya mereka berhasil membunuh lima atau enam orang, tetapi mereka
hampir-hampir tidak lagi dapat berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain.
Mungkin Sidanti demikian bernafsu dan mencincang korbannya. Mungkin Sanakeling
dan Alap-Alap Jalatunda berbuat serupa.Tetapi kalau mareka tertangkap oleh
orang-orang Pajang, maka mereka pasti akan mengalami perlakuan yang sama.”
Sambil bersungut-sungut Ki
Tambak Wedi itu berjalan semakin cepat mendekati gardu perondan di ujung jalan.
Ketika Ki Tambak Wedi sudah
menjadi semakin dekat, maka mulailah ia mendengar gemerincing senjata beradu,
namun karena rimbunnya pepohonan dan dinding-dinding halaman, maka orang tua
itu masih belum dapat melihat apa yang terjadi di gardu peronda itu.
“Hem,” gumamnya sambil
melangkah lebih cepat, “siapakah yang berada di gardu itu sehingga Sidanti,
Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda memerlukan waktu yang cukup lama untuk membinasakannya?”
Demikian ketika ia sampai di
halaman terakhir, di tepi jalan di muka gardu itu, maka lewat di atas dinding
halaman ia melihat beberapa buah kepala tersembul. Kepala yang bergerak-gerak
bergeser dan kadang-kadang berputaran.
“ltulah mereka” desisnya.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
menjadi semakin tergesa-gesa. Langkahnya menjadi semakin panjang, dan kemudian
dengan serta merta ia menjengukkan kepalanya dari atas dinding itu.
Demikian kepalanya tersembul
di atas dinding halaman, demikian darahnya serasa membeku. la melihat muridnya
bertempur melawan Sutawijaya. Bukan itu saja, tetapi dari tubuh muridnya telah
menetes darah. Di lingkaran yang lain, ia melihat Sanakeling bertempur melawan
Agung Sedayu, dan Alap-Alap Jalatunda melawan Swandaru Geni. Sedang di muka
gardu ia masih melihat beberapa prajurit Pajang berdiri dengan mulut ternganga,
seperti sedang menonton adu jago.
Tanpa disengaja Ki Tambak Wedi
itupun menggeram. Ketika ia sekali mengayunkan kakinya, maka kini ia telah
duduk bertengger di atas dinding batu itu.
Anak-anak muda yang sedang
bertempur itu terkejut. Seakan-akan tiba-tiba saja tanpa sangkan-paran mereka
melihat seseorang duduk di atas dinding. Apalagi ketika mereka melihat wajah
yang keras, hidung yang melengkung seperti paruh burung betet, dan kumis yang
tebal, maka terasa dada mereka berdesir. Lebih-lebih Sutawijaya, Agung Sedayu
dan Swandaru. Dengan segera mereka mengenal, bahwa orang itu adalah Ki Tambak
Wedi.
“Hem,” kembali terdengar Ki
Tambak Wedi menggeram, “ternyata kalian sedang bermain-main.”
“Ya, Guru,” sahut Sidanti.
Hatinya yang sudah mulai berkeriput tiba-tiba kini mekar kembali ketika ia
melihat gurunya, “Aku ingin membawa mereka, setidak-tidaknya kepala mereka ke
lereng Gunung Merapi.”
Meskipun debar jantung
Sutawijaya belum mereda oleh kehadiran Ki Tambak Wedi, namun mendengar bualan
Sidanti sempat juga ia tertawa. Katanya, “He, apakah kau ingin memenggal
leherku?”
“Tentu” sahut Sidanti lantang.
“Baik,” jawab Sutawijaya,
“mari perkelahian ini kita lanjutkan. Gurumu menjadi saksi. Sutawijaya atau
Sidanti yang hanya pandai membual tetapi tidak mampu mempermainkan senjatanya?”
Terdengar gigi Sidanti
gemeretak. Tantangan itu benar-benar menyakitkan hatinya, tetapi ia menyadari
keadaan yang dihadapi. Dengan demikian Sidanti itu terbungkam. Yang terdengar
hanyalah gemeretak giginya.
Bukan saja Sidanti yang
menjadi sakit hati mendengar tantangan itu, tetapi Ki Tambak Wedi pun menjadi
marah pula. Dengan suara parau ia berkata, “Sutawijaya, bagaimanapun juga kau
menyombongkan dirimu, tetapi ketahuilah, bahwa hari ini adalah hari akhir
hidupmu.”
Terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Sutawijaya. Tetapi ia bukan seorang pengecut. Sekilas ia memandang
kawan-kawannya yang masih saja bertempur. Namun wajah-wajah itupun sama sekali
tidak menunjukkan ketakutan. Agung Sedayu dan Swandaru menyadari keadaan yang
di hadapinya pula. Kehadiran Ki Tambak Wedi berarti bahaya yang tak akan dapat
mereka hindari. Tetapi mereka tidak akan bersimpuh dan menyembah mohon ampun di
bawah kaki hantu lereng Merapi itu.
Bahkan hati mereka bergetar
ketika mereka mendengar Sutawijaya menjawab sambil tertawa, “Bagus Ki Tambak
Wedi. Kau pasti akan mampu membunuh aku. Dan akupun akan melawanmu dengan sikap
jantan. Aku dan kawan-kawanku tidak akan lari meninggalkan gelanggang. Tetapi
sebelum mati, aku minta kepadamu, untuk sedikit mendorong muridmu supaya iapun
dapat bersikap jantan. Nah Ki Tambak Wedi, apabila demikian, maka aku akan
menyelesaikan perkelahian ini sebagai perkelahian di antara dua orang
laki-laki. Bukan perkelahian anak-anak yang masih harus merengek-rengek minta
pertolongan kepada ayah atau gurunya.”
Sekali lagi terdengar gigi
Sidanti gemeretak. Ia benar-benar dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit.
Sebagai seorang laki-laki, maka ia tidak mungkin menghindari tantangan itu.
Namun kenyataan mengatakan kepadanya, bahwa ia benar tidak mampu melawan
Sutawijaya. Apalagi ketika Swandaru menyahut lantang, “Nah, sekarang baru akan
tampak, siapakah yang jantan dan siapakah yang hanya berani menampar mulut
orang yang pasti tak akan mampu melawan.”
“Tutup mulutmu!” bentak
Sidanti. Kemarahannya seakan-akan hampir meledakkan dadanya.
Tetapi Swandaru tertawa.
Meskipun suara tertawanya agak sumbang. Suara tertawa sebagai pelepas
perasaannya. Sebab ia tahu benar, bahwa sebentar lagi apabila Ki Tambak Wedi
itu meloncat turun dari atas dinding batu itu, maka nyawanya akan melayang.
Ki Tambak Wedi pun merasa
dihadapkan pada suatu persoalan yang rumit. Tetapi ia pasti akan lebih
menghargai nyawa muridnya dari pada sekedar harga diri. Karena itu, maka segera
ia berkata, “Jangan mencoba menipu aku anak cengeng. Kau pasti mencoba menunggu
orang-orang Pajang datang kemari. Tetapi aku tidak sebodoh itu. Apapun yang
akan kau katakan tentang muridku, tentang perguruanku, aku tidak peduli. Sebab
umurmu tidak akan lebih dari sesilir bawang.”
Dada Sutawijaya berdesir
mendengar jawaban Tambak Wedi itu. Bukan karena ia takut terbunuh, tetapi ia
menghadapi keadaan yang menurut penilaiannya tidak adil. Demikian juga agaknya
perasaan Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
Tetapi sudah pasti mereka
tidak dapat ingkar. Betapapun hatinya memberontak. Mereka ingin diberi
kesempatan menyelesaikan perkelahian itu lebih dahulu. Tetapi apa boleh buat,
Tambak Wedi bukanlah seorang yang sekedar akan menjadi saksi dari perkelahian
itu, tetapi ia adalah salah satu dari musuh-musuhnya.
Ketika kemudian mereka melihat
Ki Tambak Wedi itu meloncat turun, maka hampir bersamaan Sutawijaya, Agung
Sedayu dan Swandaru Geni menggeram. Pada saat terakhir itu mereka mencoba
berbuat sebaik-baiknya, mencoba menekan lawan dengan segenap kekuatan terakhir.
Swandaru dengan sepenuh tenaga
menghantam lawannya dengan pedangnya yang berhulu gading. la tidak perduli,
apakah musuhnya akan melawan serangannya itu dengan sebuah tangkisan atau akan
menghindar. Tetapi ia seolah-olah menjadi bermata gelap. Seperti badai
pedangnya melanda Alap-Alap Jalatunda.
Alap-Alap itu terkejut, justru
pada saat yang sama sekali tak disangka-sangkanya. la menyangka Swandaru akan
mencoba menyelamatkan dirinya dari Ki Tambak Wedi atau setidak-tidaknya
perkelahiannya itu akan menjadi lemah karena putus asa. Namun ternyata bentuk
keputus-asaan yang terungkap dalam diri Swandaru adalah berbeda dari yang
dibayangkan oleh Alap-Alap Jalatunda. Dalam keputusasaan, Swandaru masih
mencoba membinasakan lawannya, sama sekali bukan ingin melarikan diri sementara
Ki Tambak Wedi akan membunuh Sutawijaya.
Karena itu, maka Alap-Alap
Jalatunda terpaksa melayani saat-saat terakhir dari perkelahian itu. Ketika ia
mencoba menangkis serangan Swandaru, maka terasa tangannya menjadi nyeri.
Hampir-hampir senjatanya itu terlepas. Untunglah bahwa dengan sisa kekuatan
tangannya ia mampu mempertahankan senjatanya. Meskipun demikian, sementara
nyeri tangannya masih menyengat-nyengat, Alap-Alap itu terpaksa berloncatan
surut menghindari serangan-serangan Swadaru berikutnya.
Demikian pula agaknya Agung
Sedayu. Dengan sepenuh tenaga ia berjuang. Dipergunakannya saat-saat terakhir
yang pendek untuk mencoba mendahului tangan Ki Tambak Wedi atas dirinya. Tetapi
Sanakeling pun mampu menghindari setiap serangannya meskipun ia harus
berloncatan surut dan mengumpat-umpat tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi melihat kedua
anak muda itu sambil menggeram. Tiba-tiba ia berkata dengan nada parau, “Hem,
kalian telah mulai sekarat.” Kemudian kepada Sanakeling dan Alap-alap
Jalatunda, hantu lereng Merapi itu berkata, “Tahanlah musuh-musuhmu itu sesaat.
Jangan sampai mereka melarikan diri. Yang pertama-tama akan aku bunuh adalah
Sutawijaya, kemudian Agung Sedayu dan yang terakhir, anak yang gemuk itu,
biarlah Sidanti yang menyelesaikan.”
Tetapi kata-kata Ki Tambak
Wedi itu terputus. Bahkan yang lainpun terkejut pula ketika tiba-tiba mereka
mendengar Sidanti memekik kecil, sehingga semua perhatian telah terpukau
karenanya.
Ki Tambak Wedi itupun menjadi
terkejut pula. la melihat darah yang merah mengalir dari dada Sidanti.
“Setan!” Sidanti itu mengumpat
sambil meloncat jauh-jauh ke belakang. Tetapi Sutawijaya benar-benar seperti
orang kesurupan. la tidak mempedulikannya lagi. Dengan cepatnya ia mengejar
lawannya. Sekali lagi tombaknya terjulur, kali ini mengarah leher Sidanti yang
sudah kehilangan keseimbangan. Saat-saat itu adalah saat yang sangat berbahaya
bagi Sidanti. Seolah-olah ia telah kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan
dirinya. Meskipun demikian anak muda itu masih juga mampu menghindar dengan
jalan satu-satunya. Dengan serta-merta ia menjatuhkan dirinya dan berguling ke
samping.
Usaha itu hanya berguna
sementara bagi Sidanti. Sebab Sutawijaya pun segera meloncat pula menerkam
Sidanti yang masih berguling di tanah dengan tombaknya.
Darah Sanakeling dan Alap-Alap
Jalatunda serasa berhenti melihat peristiwa itu. Mereka melihat tombak itu
terangkat dan apabila kemudian tombak itu mematuk ke bawah, maka nyawa Sidanti
pun pasti akan melayang.
Tetapi beruntunglah bagi
Sidanti, bahwa saat itu gurunya berada di tempat itu pula. Sudah tentu Ki
Tambak Wedi tidak akan membiarkan muridnya dibunuh di hadapan hidungnya. Karena
itu segera ia meloncat seperti tatit menyambar di langit. Dengan sebuah
sentuhan yang tergesa-gesa pada lambung Sutawijaya, maka anak muda itulah yang
kemudian terlempar beberapa langkah. Yang terdengar kemudian adalah suara tubuh
Sutawijaya itu terbanting jatuh.
Kini nafas Agung Sedayu dan
Swandaru Genilah yang tertahan di kerongkongan. Mereka melihat Sutawijaya itu
terbanting dan berguling beberapa kali. Namun alangkah kuatnya tubuh anak muda
itu. Demikian ia berguling beberapa kali, maka segera ia meloncat bangkit.
Tombaknya, Kiai Pasir Sewukir, masih dalam genggamannya.
Tetapi demikian ia berhasil
berdiri, maka anak muda itupun menyeringai menahan sakit pada lambung dan
punggungnya.
“Tambak Wedi” anak muda itu
menggeram. Tampaklah kini matanya seakan-akan menyala karena kemarahannya.
“Ternyata kau pengecut seperti muridmu. Aku sangka perguruan lereng Merapi adalah
perguruan yang menempa kejantanan dan kejujuran. Tetapi ternyata kau telah
mengajari muridmu dengan perbuatan yang licik.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki
Tambak Wedi, “lebih baik kau mengucapkan pesan-pesanmu. Aku benar-benar akan
membunuhmu kini.”
Gigi Sutawijaya gemeretak.
Sejenak ia terpaku diam karena kemarahannya yang memuncak. Terasa detak
jantungnya menjadi semakin keras memuku-mukul rongga dadanya. Tetapi Sutawijaya
itu kemudian mengangkat wajahnya. Yang berderap itu bukanlah suara jantungnya
saja, tetapi suara itu adalah derap kaki-kaki kuda, namun kuda itu masih
terlampau jauh.
Bukan saja Sutawijaya yang
mendengar derap suara kaki-kaki kuda di kejauhan, tetapi Ki Tambak Wedi dan
semuanya yang ada di tempat itupun mendengarnya pula.
“Gila” Ki Tambak Wedi itupun
mengumpat. Sejenak ia menjadi bimbang.
Suara kaki-kaki kuda itu
sekilas terasa memberi harapan bagi Sutawijaya dan kawan-kawannya, tetapi
kening Sutawijaya itupun kemudian berkerut. Katanya di dalam hati, “Hem, kenapa
mereka datang berkuda? Derap kaki kuda itu hanya akan mempercepat kematianku.
Seandainya mereka datang sambil berjalan kaki dapat mendekati tempat ini
sebelum aku dicekiknya, maka aku masih dapat mengharap pertolongannya seperti
Sidanti mendapat pertolongan gurunya.”
Tetapi yang terjadi adalah,
mereka datang berkuda. Derap kaki-kaki kuda itu telah memberitahukan kehadiran
mereka selagi mereka masih jauh. “Bukan saja mempercepat kematianku,” desis
Sutawijaya pula di dalam hatinya, “tetapi itupun akan sangat berhahaya bagi
mereka sendiri. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak sendiri dan orang-orang yang
lain inipun tidak sedang terikat oleh lawan masing-masing, maka mereka akan
dengan mudahnya disergap dari balik-balik dinding halaman.”
Namun kata-kata di hati
Sutawijaya itupun terputus geram ki Tambak Wedi, “Alangkah bodohnya orang-orang
Pajang. Kehadiran mereka hanya mempercepat kematianmu. Sayang aku tidak
mendapat kesempatan bermain-main dengan penunggang-penungang kuda yang bodoh
itu.”
Sutawijaya tidak menjawab.
Pikiran itu dapat dimengertinya. Ketika kemudian ia berpaling ke arah kedua
kawannya, mereka pun telah berhenti berkelahi.
“Sidanti,” berkata Ki Tambak
Wedi, “sebentar lagi beberapa orang dari Pajang akan datang. Aku kira bukan
seluruh pasukan, mereka hanyalah orang-orang yang mendahului pasukan itu.”
“Wira Lele telah lepas dari
tangan kami guru. Ia sempat memberitahukan peristiwa ini kepada orang-orang
Pajang itu” sahut Sidanti.
“Tidak apa,” berkata gurunya,
“sekarang tinggalkan tempat ini cepat-cepat. Pilihlah arah yang tepat seperti
yang kita rencanakan supaya kau tidak dilihat oleh orang-orang berkuda itu.”
Sidanti tidak segera menyahut.
Terasa harga dirinya tersentuh. Tetapi terdengar gurunya membentak, “Cepat!
Tinggalkan tempat ini, bersama Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda. Biarlah aku
menyelesaikan ketiga-tiganya.”
Ketiganya tidak lagi menunggu
Ki Tambak Wedi mengulangi. Derap kaki kuda itu sudah semakin dekat. Namun
tiba-tiba derap itu berhenti.
Ki Tambak Wedi mengangkat
wajahnya. Tetapi ia tidak lagi mendapat banyak kesempatan. la tidak iagi
mempedulikan suara-suara kaki yang hilang itu. Sidanti dan kedua kawan-kawannya
pun tidak. Ketiganya segera meloncat berlari meninggalkan tempat itu. Agung
Sedayu dan Swandaru masih mencoba untuk mencegah mereka, tetapi ketika mereka
melihat Ki Tambak Wedi menimang gelang-gelang besinya maka maksud itupun
diurungkannya. Usahanya pasti akan sia-sia dan mereka pasti hanya akan mati
tanpa arti. Lebih baik bagi mereka untuk mempersiapkan diri melawan hantu
lereng Merapi itu bersama-sama.
Derap kuda itu masih juga
belum terdengar Iagi. Mereka sudah tidak begitu jauh. Tetapi mereka pasti
berhenti. Kalau tidak, maka mereka pasti sudah tampak di tikungan sebelah.
“Aku tidak peduli lagi, apa
yang akan kalian katakan” geram Tambak Wedi. “Sekarang kalian akan aku bunuh
dengan caraku. Kalau kuda-kuda itu tampak di tikungan, maka kalian akan
menggelepar di tanah. Kalian tidak akan segera mati, tetapi kalian tidak akan dapat
disembuhkan. Aku akan meremas tulang-tulang iga kalian.”
Ki Tambak Wedi itupun maju
selangkah mendekati Sutawijaya. Anak itulah yang paling dibencinya. Sesudah itu
Agung Sedayu.
“Setidak-tidaknya kau”
desisnya.
Sutawijaya itupun melangkah
surut. Ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru justru neloncat mendekatinya.
Senjata-senjata mereka telah siap terjulur lurus ke dada Tambak Wedi.
“Jangan terlampau banyak
sekarat” geramnya pula. “Aku menunggu kuda itu muncul di tikungan, supaya
penunggangnya melihat bagaimana kalian bertiga mati.”
Tetapi kuda-kuda itu belum
juga muncul. Bahkan suara derapnyapun belum terdengar. Agung Sedayu dan
Swandaru agaknya tidak dapat bersabar Iagi. Merekalah yang tiba-tiba mendahului
menyerang Ki Tambak Wedi.
Namun bagi Ki Tambak Wedi,
serangan-serangan itu tidak banyak berarti. Meskipun kemudian Sutawijaya ikut
pula bertempur.
Dengan loncatan-loncatan
pendek serta mempergunakan gelang-gelang besinya, Ki Tambak Wedi selalu
berhasil menghindari dan menangkis serangan-serangan anak-anak muda itu.
“Gila, kenapa kuda-kuda itu
tidak juga muncul. Kalau mereka meloncat turun, dan mencoba mendatangi tempat
ini sambil bersembunyi, maka aku akan sangat kecewa. Sebab aku pasti akan
membunuh kalian dengan tergesa-gesa. Tetapi apa boleh buat. Lebih baik aku
berbuat cepat dari pada terlambat. Aku tidak akan menunggu kuda-kuda itu.”
Tetapi tiba-tiba kembali
terdengar kuda berderap. Ki Tambak Wedi itupun kemudian tersenyum. Katanya,
“Ha, aku mempunyai kesempatan yang baik. Tunggu sampai kuda itu muncul di
tikungan supaya mereka melihat kalian menggelepar kesakitan seperti ayam
disembelih. Aku mengharap ayahmulah yang datang, Sutawijaya.”
Ketiga anak muda itu sama
sekali tidak menjawab. Mereka memperketat serangan-serangan mereka. Meskipun mereka
tahu, bahwa mereka sama sekali tidak berarti bagi Ki Tambak Wedi, namun mereka
ingin mati sebagaimana seorang laki-laki mati di dalam peperangan. Bukan
seperti seekor cucurut yang mati ketakutan melihat seekor kucing candramawa.
Tetapi Ki Tambak Wedi menjadi
semakin bergembira melayani anak-anak muda itu, meskipun sebenarnya ia telah
hampir sampai pada puncak permainannya. Ia hanya menunggu kuda-kuda itu muncul
di tikungan. Kemudian dengan gerakan yang pasti tak akan dapat dihindari oleh
ketiga anak-anak muda itu, Ki Tambak Wedi akan menyelesaikan pertempuran. Ia
mengharap bahwa orang-orang berkuda itu masih sempat melihat ketiga anak-anak
muda itu menjelang saat matinya dengan penuh penderitaan.
“Ha,” teriak Ki Tambak Wedi
kemudian, “itulah mereka.”
Dada Sutawijaya, Agung Sedayu
dan Swandaru berdesir. Kini mereka tinggal menunggu saat yang sama sekali tidak
menyenangkan itu. Ki Tambak Wedi pasti akan melakukan seperti yang
dikatakannya. Meremas tulang-tulang iga mereka.
Namun tiba-tiba sekali lagi mereka
terkejut. Yang mereka dengar lebih jelas bukanlah langkah kuda-kuda itu, tetapi
derap langkah orang berlari.
Sesaat gerak Ki Tambak Wedi
terganggu. Tetapi segera ia mengetahui bahwa di antara mereka yang berkuda,
pasti ada seseorang yang dengan bersembunyi-sembunyi mendekati perkelahian itu.
Karena itu wajahnya menjadi tegang.
Tetapi apa yang akan dilakukan
Ki Tambak Wedi, masih belum dapat mendahului langkah itu. Sebelum Ki Tambak
Wedi berbuat sesuatu, maka tiba-tiba mereka melihat sebuah bayangan melayang
hinggap di atas dinding halaman di sebelah yang lain dari arah kedatangan Ki
Tambak Wedi.
Darah hantu lereng Merapi itu
terasa seolah-olah berhenti mengalir dengan tiba-tiba. Ia tidak menyangka,
bahwa salah seorang dari mereka mampu datang secepat itu. Dan ternyata yang
bertengger di atas dinding halaman itu adalah Ki Gede Pemanahan.
Ki Tambak Wedi melihat, bahwa
sekali lagi ia mengalami kegagalan. Otaknya yang telah dipenuhi oleh berbagai
pengalaman segera mengatakan, bahwa tak akan ada gunanya lagi baginya berbuat
sesuatu atas ketiga anak-anak muda itu. Ia menyesal bukan kepalang, bahwa ia
menunggu kuda-kuda itu muncul di tikungan, sehingga ia terlambat karenanya. Ia
tidak menyangka sama sekali, bahwa seseorang mampu bergerak secepat Ki Gede
Pemanahan. Seandainya salah seorang yang berkuda itu tadi meloncat turun pada
saat kuda-kuda itu berhenti, maka betapapun tinggi kemampuannya berlari, tetapi
orang itu pasti belum sampai di tempat ini. Namun ternyata Ki Gede Pemanahan
mampu melakukannya.
Karena itu, maka segera Ki
Tambak Wedi merubah rencananya. Setapak la meloncat mundur, dan tiba-tiba
ketika tangannya bergerak sebuah gelang telah lepas seperti anak panah meloncat
dari busurnya.
Untunglah bahwa yang
dibidiknya adalah Ki Gede Pemanahan, secepat gelang-gelang itu pula, Ki Gede
Pemanahan menjatuhkan dirinya dari alas dinding itu. Seperti seekor kucing ia
meloncat turun, dan secepatnya tegak di atas kedua kakinya yang kokoh kuat
bagaikan sepasang tonggak baja. Sedang di tangan Ki Gede itu telah tergenggam
pusakanya, Kiai Naga Kemala.
Terdengar Ki Tambak Wedi itu
menggeram. Tiba-tiba di tangannya telah tergenggam pula sebuah gelang-gelang
yang lain. Tetapi apa yang dilakukannya adalah di luar dugaan mereka yang
melihatnya. Cepat seperti kilat, Ki Tambak Wedi meloncat surut, kemudian dengan
kecepatan yang sama, ia meloncat lebih jauh lagi, melampaui dinding halaman
dari arah ia datang.
Ki Gede Pernanahan segera
berlari ke dinding itu pula. Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat,
tiba-tiba ia tertegun. Sekali dilayangkan pandangan matanya, tetapi regol
halaman ternyata berada agak jauh daripadanya.
“Tidak ada gunanya” desisnya.
“Ayah tidak mengejarnya?”
dengan serta merta Sutawijaya bertanya.
“Sudah terlampau jauh” sahut
Ki Gede Pemanahan.
“Ayah tidak meloncati dinding
itu?” berkata anaknya, “kalau ayah meloncat pula, maka setan itu pasti belum
terlampau jauh.”
Ki Gede Pemanahan menggelengkan
kepalanya sambil tersenyum, “Aku masih sayang akan dahiku. Kalau kepalaku
muncul dari balik dinding maka sebuah gelang-gelang pasti akan menyambarnya.
Aku tidak tahu, apakah aku dapat menghindarinya, karena arahnya belum aku
ketahui dengan pasti.”
“O” Sutawijaya menarik nafas
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, itu akan dapat terjadi,” gumamnya.
Kemudian katanya, “Untunglah bahwa lingkaran yang pertama tidak dilemparkan
kepalaku. Kalau ia berbuat demikian, maka aku tidak lagi dapat melihat orang-orang
Jipang yang menyerah itu.”
Ki Gede Pemanahan menggeleng,
“Ia tidak akan berbuat demikiam selagi ia masih ingin melepaskan diri. Kalau ia
membunuhmu dengan lingkaran itu, maka keris ini akan menancap di dadanya. Ia
tidak akan sempat menghindar selagi ia berusaha melihat hasil gelang-gelangnya
atasmu. Ki Tambak Wedi pun tahu pasti, bahwa aku dapat juga melemparkan kerisku
ini ke arahnya. Karena itu ia mendahului aku sebelum aku sempat mengayunkan
tanganku.”
Dalam pada itu, maka ketiga
ekor kuda beserta para penunggangnya kini sudah menjadi semakin dekat. Demikian
mereka menghentikan kuda-kuda mereka, demikian para penunggang itu berloncatan
turun.
“Ternyata Ki Gede telah berada
di tempat ini?” bertanya Untara sambil mengangguk dalam-dalam.
“Kenapa?” bertanya Ki Gede,
“bukankah memang aku pergi lebih dahulu dari padamu?”
“Aku menjadi cemas ketika aku
melihat seekor kuda di halaman di sebelah tikungan, di mulut lorong ini.”
“Itu memang kudaku.”
“Lalu, apakah kuda itu Ki Gede
tinggalkan?”
“Ya. Aku mencoba untuk
berhati-hati. Sebelum aku mendekati desa ini, kudaku telah aku perlambat dan
kemudian aku turun dan menuntun kuda itu memasuki desa ini. Bahkan kuda itu
kemudian aku tinggalkan di sana.”
Untara dan kedua perwira
pengawal Ki Gede Pemanahan itu saling berpandangan. Mereka ternyata demikian
tergesa-gesa sehingga mereka tidak sempat untuk memikirkan bahaya yang dapat
bersembunyi di balik setiap helai daun di desa ini. Seandainya Sidanti membawa
beberapa kawan yang lain, maka mereka pasti sudah terjebak di atas punggung
kuda mereka masing-masing.
Untara yang masih belum
menghapus keringat di keningnya itu kemudian berkata, “Kami ternyata terlampau
tergesa-gesa. Untunglah bahwa kami tidak mendapat serangan dari tempat-tempat
tersembunyi, karena ketergesa-gesaan kami itu.” Untara berhenti sesaat,
dipandanginya anak muda yang masih tegak di tempatnya masing-masing dengan
senjata di tangan-tangan mereka. Kemudian katanya pula, “Untunglah bahwa Ki
Gede telah sampai di tempat ini. Sekali lagi aku terlambat beberapa saat. Kami
berhenti sejenak di ujung desa karena kami melihat kuda Swandaru yang Ki Gede
pakai. Kami bertanya-tanya di dalam hati kami, namun kami tidak menemukan
jawabnya. Akhirnya kami meneruskan perjalanan. Sampai di tikungan kami melihat
apa jang terjadi di sini.”
“Kalau aku tidak mendahului
kalian dan kalian tidak melihat kudaku sehingga kalian tidak berhenti, apakah
yang kira-kira akan kalian lakukan?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
Pertanyaan itu telah memukul
dada Untara sehingga anak muda itu menundukkan kepalanya. “Ya, apakah yang akan
aku lakukan seandainya aku justru datang lebih dahulu dari Ki Gede Pemanahan?
Apakah aku akan melawan Ki Tambak Wedi?” Karena itulah maka Untara menjawab
lirih, “Tak ada yang dapat kami lakukan Ki Gede. Mungkin kami adalah korban
yang berikutnya.”
Ki Gede tersenyum. Sambil
menyarungkan kerisnya ia berkata, “Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi Tambak
Wedi itu. Semuanya sudah lalu.”
Kemudian ki Gede itu berpaling
kepada puteranya, “Sutawijaya, jadikanlah peristiwa ini peringatan bagimu.
Jangan terlampau menuruti keinginan. Akupun hampir terlambat. Untung aku
mendengar Ki Tambak Wedi mengancam dengan marahnya, sehingga suaranya terdengar
dari balik dinding-dinding halaman ini. Mula-mula aku memang tidak segera
menemukan tempat ini. Dan aku datang tepat pada waktunya.”
Sutawijaya menundukkan
kepalanya. Ia tidak menjawab sepatah katapun. Apalagi ketika kemudian terasa
lambungnya menjadi sakit. Lambung yang terkena sentuhan Ki Tambak Wedi,
sehingga ia terbanting jatuh pada saat ia hampir berhasil membunuh Sidanti.
Ketika ia menyeringai menahan
nyeri sambil meraba-raba lambungnya itu, Ki Gede Pemanahan memandanginya dengan
cemas. “Kenapa lambungmu?” bertanya orang tua.
“Sakit” sahut Sutawijaya.
“Ya kenapa?”
Sutawijaya ragu-ragu. Tetapi
kemudian ia berkata, “Tak apa-apa. Mungkin sedikit terkilir.”
Tetapi jawaban itu tidak
meyakinkan Ki Gede Pemanahan sehingga sekali lagi ia bertanya, “Kenapa lambung
itu?”
Namun Sutawijaya yang nakal
itu memandangi wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti sambil tersenyum
kecut.
“Kenapa?” desak ayahnya.
Yang menjawab kemudian adalah
Swandaru, “Putera Ki Gede telah terkena sentuhan Ki Tambak Wedi dan terbanting
jatuh.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia mendekati anaknya sambil bertanya, “Benarkah
begitu?”
Sutawijaya mengangguk.
“Hem,” desis Ki Gede
Pemanahan, “untunglah bahwa tulang-tulangmu tidak patah.”
“Ki Tambak Wedi terlampau
tergesa-gesa” sahut Sutawjaya. “Ia berada dalam jarak yang cukup jauh. Hampir
tak masuk di akal, bahwa kemudian dengan satu kali loncatan, aku terpelanting.”
“Kenapa ia berbuat demikian.
Bukankah ia akan membunuh kalian bertiga? Kenapa tidak langsung saja kau dicekiknya?”
“Ya. Tetapi saat itu ia sedang
berusaha menyelamatkan Sidanti yang kehilangan kesempatan untuk mengelak,
sedang Ki Tambak Wedi ingin membunuhku dengan cara yang dianggap sangat
menyenangkan hatinya.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di dalam angan-angannya, bagaimana
anaknya dan kedua kawannya bertempur. Namun ia mengucap syukur di dalam
hatinya, bahwa ia datang tidak terlambat seperti Untara dan kedua
kawan-kawannya, sehingga ia sempat menyelamatkan anaknya. Bukan saja suatu hal
yang sangat memggembirakan dirinya sendiri, tetapi juga menghindarkannya dari
murka Adipati Pajang. Sebab Sutawijaya itu telah diangkat sebagai putera
Adipati Pajang, dan keselamatannya telah dititipkan kepadanya. Seandainya saat
itu Sutawijaya mengalami cidera atau bahkan terbunuh oleh Ki Tambak Wedi, maka
ia akan mengalami bencana dua kali lipat. Ia akan kehilangan anak laki-lakinya
dan mungkin ia akan kehilangan jabatannya pula karena murka Adipati Pajang yang
merasa kehilangan anaknya pula.
Dalam pada itu, maka sekali
lagi terasa betapa kecewa hati Panglima Wira Tamtama itu atas hasil kerja
Untara. Sangkal Putung yang disangkanya sudah tidak akan diganggu lagi oleh
orang-orang Jipang seperti laporan yang disampaikan oleh Untara, ternyata masih
menyimpan bahaya yang hampir saja menelan keselamatannya dan keselamatan
anaknya.
Namun Ki Gede Pemanahan
berusaha untuk menyimpan penyesalan itu di dalam hatinya. Bagaimanapun juga, ia
masih mencoba mengerti bahwa Untara di hadapkan pada suatu keadaaa yang tidak
dapat diperhitungkannya lebih dahulu. Unsur Ki Tambak Wedi agaknya adalah
sumber dari kekacauan persiapan dan perhitungannya. Kalau tidak ada hantu
lereng Merapi itu, maka Sangkal Putung benar-benar tidak akan terganggu lagi.
Kini yang mereka tunggu adalah
parkembangan keadaan yang tumbuh pada orang-orang Jipang yang akan menyerah
itu. Mereka pasti melihat api itu pula dan bagaimanakah tanggapan mereka atas
api itu sama sekali tidak diketahui oleh Untara dan para prajurit Pajang yang
lain.
Sementara itu Widura membawa
pasukannya dengan tergesa-gesa ke desa kecil itu. Kalau terjadi sesuatu, maka
iapun ikut bertanggung jawab pula bersama dengan Untara. Karena itu maka ia
ingin segera sampai dan melihat apa yang telah terjadi.
Dengan hati-hati pasukan
itupun kemudian memasuki desa Benda. Namun desa itu masih saja sepi seperti
tidak terjadi apa-apa, kecuali api yang kini semakin lama menjadi semakin
surut. Untunglah bahwa jarak dari rumah yang satu ke rumah yang lain cukup jauh
sehingga api itu tidak menjalar ke rumah-rumah yang lain.
Widura menjadi berlega hati
ketika kemudian dilihatnya di ujung lorong itu Ki Gede Pemanahan, Untara,
Sutawijaya dan yang lain-lain masih berdiri di muka gardu. Bahkan para penjaga
pun masih juga tegak seperti patung.
Hati Widura menjadi semakin
tenteram ketika dilihatnya orang-orang yang berdiri di ujung jalan itu
memandangi pasukannya sambil tersenyum. Namun ketika ia menjadi semakin dekat,
hatinya menjadi sedikit berdebar-debar kembali, karena dilihatnya ujung tombak
Sutawijaya menjadi semburat merah oleh warna darah.
Widura itupun kemudian
menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil bertanya, “Apakah yang sudah terjadi
Ki Gede? Bukankah Angger Sutawijaya, putera Ki Gede tidak mengalami cidera?”
“Itulah orangnya” sahut Ki
Gede sambil menunjuk puteranya. “Hampir saja ia mati dicekik hantu lereng
Merapi.”
“Oh” Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia mampu membayangkan bahwa agaknya
kedatangan Ki Gede Pemanahan telah menyelamatkannya.
Kini Widura telah berada di
Benda bersama seluruh pasukannya. Prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Karena itu, maka kewajibannya adalah menunggu perintah, apa yang harus
dilakukannya menjelang kehadiran orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kalau
mereka mengingkari janji, maka yang akan terjadi adalah pertempuran. Bahkan
mungkin mereka harus berlari-lari kembali ke induk kademangan apabila para
pengawas melihat orang-orang Jipang mengambil jalan melingkar dan bermaksud
langsung menusuk ke jantung kademangan. Tetapi meskipun demikian, maka pasukan
cadangan yang ditinggalkan akan mampu menahan orang-orang Jipang itu sampai
sebagian dari pasukan ini datang kembali. Tetapi apabila terjadi demikian, maka
pasti tak akan ada ampun lagi bagi orang-orang Jipang itu.
Matahari yang merambat semakin
tinggi kini telah hampir mencapai puncak langit. Beberapa saat lagi, maka saat
yang dijanjikan akan tiba. Karena itu, maka seluruh pasukan itupun
berjaga-jaga. Beberapa orang pemimpin kelompok telah mengatur anak buah
masing-masing dan menempatkan mereka terpisah-pisah. Di sawah-sawah yang tidak
ditanami di hadapan desa Benda itulah nanti orang-orang Jipang berkumpuI.
Mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka dan membiarkan orang-orang
Pajang mengambilnya. Itu adalah suatu upacara penyerahan yang telah disepakati.
Ki Gede Pemanahan, Untara dan
para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung kini berdiri berjajar di muka
gardu di ujung lorong. Pandangan mereka seolah-olah melekat pada
gerumbul-gerumbul di hadapan mereka.
Di hadapan mereka kini
terbentang sebidang tanah persawahan yang seakan-akan hampir tidak pernah
mendapat perawatan. Para petani menjadi agak ketakutan sejak orang-orang Jipang
saling berkeliaran di sekitar desa itu. Apalagi tanah yang terbentang agak jauh
dari padesan. Gerumbul-gerumbul liar dan ilalang telah tumbuh semakin tinggi.
Tanah itu sama sekali telah tidak lagi digarap oleh pemiliknya. Dari
balik-balik gerumbul-gerumbul itulah nanti akan datang orang-orang Jipang yang
telah menyatakan diri menyerah bersama senjata-senjata mereka. Mereka akan
menyeberangi padang rumput yang tidak terlampau luas dan berjalan lewat tanah
persawahan yang kini telah menjadi liar itu.
Para pemimpin prajurit Pajang
itu sekali-sekali menengadahkan wajah-wajah mereka memandangi matahari yang
sudah semakin tegak di atas kepala. Matahari itu kini telah mencapai titik
terlinggi tepat di puncak langit.
“Saatnya telah tiba” gumam Ki
Gede Pemanahan.
Hati Untara menjadi
berdebar-debar. Mudah-mudahan tidak terjadi malapelaka bagi Sangkal Putung.
Mudah-mudahan rencana ini dapat berjalan sesuai dengan rencana. Tiba-tiba ia
menyesal atas ketergesa-gesaannya. Ia telah memberanikan diri menyatakan bahwa
persoalan orang-orang Jipang segera akan selesai sepeninggal Macan Kepatihan.
Bahkan ia telah memberanikan menyatakan bahwa Sangkal Putung kini telah aman
tenteram dan mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan untuk menerima penyerahan
sisa-sisa terakhir dari orang-orang Jipang itu. Sedang beberapa orang yang
tidak sependapat dengan mereka yang menyerah itu, sama sekali tidak akan
berarti apa-apa. Bahkan mereka akan dapat diabaikan untuk sementara.
Namun ternyata kehadiran Ki
Gede Pemanahan telah disambut oleh Ki Tambak Wedi di tegal jagung. Bahkan
kemudian putra Ki Gede Pemanahan pun hampir-hampir menjadi korban pula.
Tetapi kini semuanya itu telah
terjadi. Kalau sekali lagi terjadi sesuatu, maka kepercayaan Ki Gede Pemanahan
kepadanya pasti akan surut terlampau jauh.
Dalam pada itu kembali
terdengar Ki Gede Pemanalan berkata, “Bukankah matahari telah berada tepat di
atas kepala.”
“Ya, Ki Gede” sahut Untara
ragu-ragu.
“Apakah saat ini yang teIah mereka
janjikan?”
“Ya, Ki Gede” kembali
terdengar suara Untara datar. Dalam pada itu kembali Untara teringat kepada
Kiai Gringsing yang seakan-akan menghilang. Namun ia sama sekali tidak dapat
menuntutnya untuk sesuatu kewajiban tertentu. Sebab Kiai Gringsing bukan
prajurit Pajang dan bukan anak buahnya.
“Kita tunggu sejenak” gumam Ki
Gede Pemanahan. “Kalau sepemakan sirih mereka tidak nampak, maka aku akan
langsung memberikan perintah lain.”
Meskipun Ki Gede Pemanahan
bergumam sambil tersenyum, tetapi jelas bagi Untara, bahwa perasaan Ki Gede
Pemanahan menjadi tidak begitu senang melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi
di Sangkal Putung itu. Peristiwa-peristiwa yang sejak kedatangannya telah
menunjukkan bahwa Sangkal Putung tidak sebaik seperti laporan Untara.
Kini mereka berdiri dengan
tegangnya, memandangi sawah yang ditumbuhi rumput-rumput liar dan batang-batang
jarak yang menjadi lebat. Di belakang gerumbul-gerumbul itu dapat bersembunyi
orang-orang Jipang. Bahkan mereka dapat bertebaran jauh dari selatan ke utara.
Mungkin pula mereka menyusup ke Sangkal Putung lewat di belakang
gerumbul-gerumbul itu langsung mendekati induk kademangan dan menyerang dari
samping.
Hampir tak seorang pun yang
bercakap-cakap. Mereka bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan yang
akan terjadi. Para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung yang menebar itu
pun memandangi gerumbul di hadapan mereka dengan mata yang hampir tidak
berkedip.
Semakin lama dada Untara
seakan-akan menjadi semakin bergolak. Dada itu akan dapat meledak apabila
laskar Jipang tidak segera tampak. Apalagi Ki Gede Pemanahan segera akan
menjatuhkan perintah lain. Perintah yang belum diketahui akan bagaimana
bunyinya.
Dalam ketegangan itu,
tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang bergerak-gerak dari dalam gerumbul di
hadapan mereka. Mereka melihat seseorang menyeruak batang-batang perdu dan
kemudian muncul di atas rumput-rumput liar yang tumbuh subur di atas tanah
persawahan yang tidak ditanami itu.
Untara melihat orang itu
dengan dada berdebar-debar. Selangkah ia maju sambil bergumam, “Itukah mereka?”
“Hanya satu orang” sahut Ki
Gede Pemanahan.
Tapi ternyata yang kemudian
menyeruak dari dalam gerumbul-gerumbul itu tidak hanya satu orang. Sesaat
kemudian kembali mereka melihat seorang yang lain. Disusul orang yang ketiga
dan keempat. Namun yang datang dari balik gerumbul itu sama sekali tidak
seperti yang diharapkan oleh Untara dan para pemimpin Sangkal Putung. Mereka
ternyata tidak lebih dari dua puluh orang.
“Hanya itu?” terdengar Ki Gede
Pemanahan bertanya.
Untara tidak segera dapat
menjawab. Tetapi keringat dinginnya telah melelehi di segenap permukaan
kulitnya.
“Dua puluh atau dua puluh lima
orang,” berkata Ki Gede Pemanahan pula. “Dua puluh orang Jipang telah mampu
menggerakkan Panglima Wira Tamtama untuk menyambut kedatangannya.” “
Dada Untara kini benar-benar
dipenuhi oleh kegelisahan yang melonjak-lonjak. Kalau yang datang hanya dua
puluh lima orang itu, alangkah malunya. Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira
Tamtama itu pun pasti akan menjadi sangat marah kepadanya, seolah-olah duapuluh
lima orang Jipang itu cukup bernilai untuk memaksa Ki Gede Pemanahan datang ke
daerah terpencil ini.
Tetapi ketika kemudian mereka
melihat dengan seksama maka mereka melihat sesuatu yang tidak begitu wajar pada
orang-orang Jipang itu. Mereka melihat orang-orang Jipang itu memanggul sesuatu
yang agaknya cukup berat.
“Apakah yang mereka bawa?”
tanya Ki Gede bertanya kembali.
“Aku tidak tahu Ki Gede” sahut
Untara.
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian matanya yang tajam melihat benda
yang dipanggul oleh orang-orang Jipang itu. Terdengar ia bergumam, “Senjata.
Mereka memanggul senjata di atas pundak-pundak mereka. Kau lihat ujung-ujung
dari senjata-senjata itu? Mereka memanggul tidak hanya sepucuk senjata di atas
pundak masing-masing, tetapi seikat senjata.”
Hati Untara menjadi semakin
tegang. Ia tidak tahu kenapa orang-orang Jipang itu memanggul senjata-senjata
mereka yang telah mereka ikat menjadi dua puluh ikat dan mereka bawa mendahului
orang-orang mereka. Untara tidak tahu, apakah yang seterusnya akan dilakukan
oleh orang-orang Jipang itu. Dalam persetujuan mereka, sama sekali mereka tidak
pernah menyatakan bahwa mereka bersedia berbuat demikian.
Namun Untara tidak dapat
berbuat lain daripada menunggu orang-orang itu menjadi semakin dekat. Untara
harus mendapat keterangan dari mereka, apakah yang seterusnya akan dilakukan
oleh orang-orang Jipang itu.
Semakin lama orang-orang yang
memanggul bongkokan senjata itu pun menjadi semakin dekat. Dengan demikian,
maka semakin jelas pula tampak, bahwa senjata yang mereka bawa itu adalah
segala macam jenis senjata. Tombak, pedang, bindi dan sebagainya.
Ketika orang-orang itu menjadi
semakin dekat, maka Untara pun segera melihat, siapakah yang berdiri di paling
depan dari orang-orang Jipang itu. Orang yang justru tidak membawa sesuatu.
Tetapi ialah yang menentukan segala sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Orang
itu adalah Sumangkar.
Dengan kepala tunduk ia
berjalan. Langkahnya satu-satu seperti orang kehilangan gairah untuk menghadapi
hidupnya di masa-masa mendatang.
Melihat orang itu Ki Gede
Pemanahan menarik keningnya tinggi. Tanpa dikehendakinya sendiri ia melangkah
maju sambil berdesis, “Kakang Sumangkar.”
Sumangkar yang kemudian
mengangkat wajahnya melihat Ki Gede Pemanahan itu berjalan ke arahnya,
seolah-olah hendak menyongsongnya. Karena itu maka ia pun segera berhenti
sambil membungkukkan badannya dalam-dalam.
“Kakangmu yang tidak berharga
telah menghadap, Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Sumangkar adalah lawan yang cukup tangguh sepeninggal Patih
Mantahun. Ki Gede Pemanahan tahu benar kemampuan yang tersimpan pada orang tua
itu. Tak ubahnya seperti kemampuan Patih Mantahun sendiri.
Dari Untara Ki Gede Pemanahan
sudah mendengar bahwa Sumangkar kini berada bersama-sama dengan laskar Jipang
yang dipimpin oleh Tohpati. Sumangkarlah orang yang telah berusaha untuk
menghentikan perlawanan sepeninggal Macan Kepatihan. Namun menilik perkembangan
keadaan, maka Ki Gede Pemanahan memang harus berhati-hati. Apakah Sumangkar
tidak sedang menjebaknya bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi.
Ketika Sumangkar melihat Ki
Gede Pemanahan, maka orang itu seakan-akan tidak merasa terkejut. Apakah ia
menganggap bahwa kehadiran Ki Gede Pemanahan menyambutnya itu adalah sesuatu
yang sewajarnya, atau memang ia sudah mendengar dari Ki Tambak Wedi?
Namun dalam keadaan yang
bagaimanapun juga. Ki Gede Pemanahan harus menghadapinya dengan penuh
kewaspadaan. Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan hanya karena beberapa bongkok
senjata yang dibawa oleh orang-orang Jipang itu.
Ki Gede Pemanahan itu pun
kemudian berhenti beberapa langkah di muka Sumangkar. Untara dan Widura pun
kemudian berdiri di kedua sisinya. Di belakang mereka berderet beberapa orang
perwira pengawal Ki Gede Pemanahan.
Sejenak Ki Gede Pemanahan
memandangi orang tua itu. Wajahnya yang suram dan matanya yang cekung
menunjukkan bahwa orang itu telah mengalami keadaan yang tidak menyenangkan
hatinya.
“Kau nampak kurus dan lekas
bertambah tua Kakang Sumangkar” sapa Ki Gede Pemanahan.
Sumangkar membungkuk hormat
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya Ki Gede, aku bukan saja
cepat menjadi tua, tetapi sebenarnya aku telah tua.”
Ki Gede tersenyum. Katanya
pula, “Sebenarnya Kakang belum terlampau tua. Bukankah umur Kakang tidak
terpaut banyak dengan umurku. Bahkan mungkin kita sebaya?”
“Ya, ya,” Sumangkar masih
mengangguk-anggukkan kepalanya, “mungkin kita memang sebaya. Tetapi Ki Gede
adalah Panglima Wira Tamtama. Ki Gede hidup dalam lingkungan yang baik sedang
aku hidup di hutan-hutan seperti seekor ayam alas yang terbang dari satu
sarang, hinggap ke sarang yang lain menghindari seekor musang yang selalu
memburunya.”
Ki Gede Pemanahan tertawa.
“Apakah Kakang sudah jemu?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sendiri sebenarnya tidak pernah merasakan itu
sebagai suatu keadaan yang menjemukan Ki Gede. Aku telah membiasakan diri hidup
dalam kesulitan dan penderitaan sejak aku berguru di Kedung Jati bersama Kakang
Mantahun. Juga ketika Kakang Mantahun menjadi Patih Jipang aku tidak menjadi
seorang tumenggung atau senapati perang. Aku waktu itu adalah seorang abdi
kepatihan.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Lalu apakah yang mendorong Kakang
mengambil keputusan seperti ini?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Dilihatnya orang-orang Jipang yang memanggul
senjata-senjata mereka, masih berdiri di belakangnya.
“Letakkanlah senjata-senjata
itu” berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang. Namun kemudian kepada Ki Gede
Pemanahan ia berkata, “Bukankah demikian Ki Gede? Apakah senjata-senjata ini
boleh kami letakkan di sini?”
Ki Gede berpikir sejenak,
kemudian jawabnya, “Letakkanlah.”
Orang-orang Jipang itu segera
meletakkan senjata-senjata yang terikat dalam ikatan-ikatan yang cukup besar.
“Itulah sebagian besar dari
senjata-senjata kami, Ki Gede” berkata Sumangkar. Kemudian kepada Untara ia
berkata, “Kami telah melakukan sesuatu di luar persetujuan Angger Untara.
Tetapi kami yakin, bahwa dengan demikian, kami telah menegaskan tekad kami
untuk menghentikan perlawanan kami.”
Untara tidak segera menjawab.
Ditatapnya wajah Ki Gede Pemanahan sejenak. Seolah-olah ia menyerahkan segala
persoalan kepada Panglima Wira Tamtama itu.
“Hanya inikah senjata-senjata
kalian seluruhnya?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ini sebagian terbesar dari
seluruh senjata-senjata kami Ki Gede” sahut Sumangkar.
“Kenapa tidak seluruhnya?”
“Kami masih memerlukan
beberapa pucuk senjata di tangan kami” sahut Sumangkar.
“Kakang tidak percaya kepada
kami?”
“Bukan Ki Gede, bukan” jawab
orang tua itu cepat-cepat. “Tetapi kami masih harus melindungi diri kami dari
kebuasan serigala-serigala sesarang kami sendiri.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun tiba-tiba ia bertanya kembali,
“Kakang, Kakang belum menjawab pertanyaanku. Apakah yang mendorong Kakang
Sumangkar mengambil keputusan ini? Bukankah Kakang tidak pernah mengalami
kejemuan dengan keadaan Kakang selama ini. Hidup di hutan-hutan dan menurut
istilah Kakang sendiri, terbang dari satu sarang hinggap ke sarang yang lain
menghindari musang yang memburunya?”
Sekali lagi Sumangkar menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia menyahut, “Sebenarnya alasan
itu tidak penting bagi Ki Gede. Apapun yang mendorong kami untuk menyerahkan
diri adalah persoalan kami. Namun meskipun demikian, secara pribadi aku akan
menjawab, sebab Ki Gede sudah bertanya secara pribadi pula.”
“Benar,” potong Ki Gede,
“tetapi Sumangkar dalam segala keadaan akan dapat menentukan sikap orang-orang
Jipang itu. Bukankah Kakang berkata bahwa Kakang sendiri, Kakang pribadi tidak
pernah merasakan kejemuan karena keadaan itu? Apakah dengan demikian berarti
bahwa Sumangkar menyerah hanya karena kawan-kawannya menyerah tanpa sesuatu
keyakinan apapun? Atau bahkan dengan suatu keyakinan yang lain?”
Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Namun terasa hatinya berdesir mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan
itu. Dengan hati-hati pula ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Aku cukup mempunyai
keyakinan tentang sikap yang telah aku ambil ini. Dan sikap itu sama sekali
tidak atas landasan kejemuan tentang diriku sendiri. Bukan karena aku sudah
jemu hidup di-hutan-hutan dan selalu dikejar-kejar oleh Angger Untara dan
Angger Widura, bukan karena aku sudah jemu karena digigit nyamuk sebesar
kelingking di paya-paya. Tidak Ki Gede. Kalau demikian maka justru aku menyerah
karena putus asa dan tanpa suatu keyakinan apa-apa, selain keputusasaan itu.
Tetapi aku datang bukan karena itu. Aku memang menyerah karena jemu. Tetapi aku
jemu melihat peperangan. Jemu melihat pertumpahan darah yang tidak ada
henti-hentinya tanpa ujung dan pangkal. Karena kejemuan itulah maka aku membawa
beberapa orang Jipang untuk menyerahkan dirinya kepada Angger Untara. Ternyata
di sini bukan saja ada Angger Untara, namun ada Ki Gede Pemanahan, Panglima
Wira Tamtama.”
“Kalau benar demikian alangkah
menyenangkan” sahut Ki Gede Pemanahan. “Tetapi bagaimana dengan api yang telah
membakar beberapa rumah ini? Dan bagaimanakah dengan orang orangmu di bulak
jagung?”
“Pertanyaan Ki Gede adalah
wajar” berkata Sumangkar dalam nada yang datar. “Ki Gede pasti akan terpengaruh
oleh api yang menyala di desa ini, seperti kami menjadi bertanya-tanya di dalam
hati kami pula. Kenapa di Desa Benda terjadi kebakaran? Tetapi Angger Untara
dan Angger Widura tahu pasti bahwa Sanakeling tidak sependapat dengan
penyerahan ini. Apalagi Sidanti, murid Ki Tambak Wedi. Karena itu maka mereka telah
membuat keributan di desa kecil ini dan bahkan telah berhasil mencegat Ki Gede
di bulak jagung. Tetapi Ki Gede harus dapat membedakan, bahwa yang melakukannya
sama sekali bukanlah orang-orang Jipang yang telah berjanji untuk menyerah.
Mereka adalah orang-orang Jipang yang berpihak kepada Sanakeling dan Ki Tambak
Wedi.”
Tampaklah wajah Ki Gede
Pemanahan berkerut-kerut. Wajah itu tiba-tiba menjadi tegang. Ketika ia
berpaling kepada Untara dan kemudian kepada Widura, maka dilihatnya wajah kedua
pemimpin Prajurit Pajang di Sangkal Putung itu pun menjadi tegang pula.
“Kakang Sumangkar,” berkata Ki
Gede Pemanahan kemudian, “apakah Kakang Sumangkar atau setidak-tidaknya
orang-orang Kakang tidak melakukan perbuatan itu?”
“Tidak Ki Gede, tidak” jawab
Sumangkar.
“Jangan berbohong, Kakang.”
“Kenapa aku berbohong?
Sekarang Ki Gede dapat melihat, aku telah menepati janjiku. Datang ke desa
kecil ini, bahkan tanpa senjata untuk meyakinkan kesungguhan kami di hadapan Ki
Gede Pemanahan dan Angger Untara dan Widura. Sebab sebenarnya kami pun dapat
mengerti, setelah terjadi peristiwa itu, maka para pemimpin Pajang akan dapat
menjadi ragu-ragu.”
Tiba-tiba serentak mereka
berpaling ketika dari belakang para pengawal Ki Gede Pemanahan terdengar
seseorang berkata, “Aneh. Bukankah itu aneh sekali ayah?”
Yang berkata itu adalah
Sutawijaya. Beberapa langkah ia mendesak maju sehingga kemudian ia berdiri di
samping Untara, menghadap ke arah Sumangkar itu pula.
Dada Sumangkar berdesir
melihat anak muda itu. Anak muda itulah yang telah berhasil menyobek perut Arya
Penangsang sehingga ususnya mencuat keluar. Bulu-bulu Sumangkar tiba-tiba
terasa meremang mengenang peperangan itu. Arya Penangsang benar-benar orang
yang keras hati. Meskipun ususnya yang telah keluar itu telah disangkutkan pada
keris di lambungnya.
Kini anak muda itu berdiri di
mukanya dengan sebatang tombak pendek, bukan tombak berlandasan panjang seperti
yang dipakainya bertempur melawan Arya Penangsang.
Sambil membungkukkan badannya
Sumangkar berkata, “Kau Angger yang perkasa. Berbahagialah ayahanda mempunyai
seorang putera seperti Angger, dan berbahagialah Adipati Pajang mempunyai
prajurit setangkas Tuan.”
“Terima kasih Paman Sumangkar”
sahut Sutawijaya. Namun sekali lagi ia bertanya kepada ayahnya, “Apakah ayah
merasakan keanehan itu?”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, aku merasakan kejanggalan jawaban
Kakang Sumangkar. Untara dan Widura pasti merasakannya pula.,” Kemudian kepada
Sumangkar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Nah, Kakang. Anakku pun merasakan suatu kejanggalan
pada jawaban-jawaban yang Kakang ucapkan.”
Sumangkar menarik alisnya
tinggi-tinggi, sehingga alis yang sudah mulai berwarna putih itu pun
bergerak-gerak. Sekali dipandanginya Sutawijaya. Kemudian Untara dan Widura.
Sekali-sekali ia berpaling memandangi beberapa bagian dari para prajurit Pajang
yang dapat dilihatnya di bawah pohon-pohon yang rindang sepanjang dinding desa.
Dan sekali-sekali ia berpaling juga kepada orang-orangnya yang berdiri tegang
di samping ikatan-ikatan senjata yang mereka bawa. Matahari yang kini telah
melampaui titik pusat itu sama sekali tidak terasa membakar tubuh-tubuh mereka
dan memeras keringat mereka.
“Apakah yang terasa janggal
itu Ki Gede?” bertanya Sumangkar.
“Kakang Sumangkar, jangan
Kakang menganggap bahwa aku terlampau berprasangka” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Di dalam peperangan segala macam siasat dan cara dapat terjadi. Mudah-mudahan
Kakang Sumangkar tidak mempergunakan cara yang licik itu. Bahkan terbayang pun
jangan, pada angan-angan Kakang Sumangkar.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak,
namun kemudian diteruskanya, “Tetapi Kakang, kenapa Kakang tidak terkejut dan
heran melihat kehadiranku di sini? Apakah itu bukan hal yang aneh bagi Kakang?
Apakah Kakang telah mengetahuinya lebih dulu?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Bahkan matanya kemudian menyorotkan berbagai macam pertanyaan. Bukan
saja Ki Gede Pemanahan yang heran melihat sikap Sumangkar menilai kehadirannya,
tetapi Sumangkar pun heran mendengar pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu.
“Ki Gede,” berkata Sumangkar
kemudian, “adakah mengherankan, dan apakah seharusnya aku menjadi terkejut dan
heran melihat seorang Senapati Agung, seorang Panglima Prajurit Wira Tamtama
berada di garis peperangan? Kalau seorang prajurit berada di garis perang
merupakan suatu keanehan, maka alangkah piciknya pengetahuanku kini tentang
peperangan.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Sumangkar itu. Katanya, “Kau
benar Kakang. Tetapi apakah sudah selayaknya, bahwa Panglima Wira Tamtama harus
berada di garis perang pada saat-saat seperti ini? Kalau Kakang menganggap itu
wajar, baiklah. Tetapi kenapa Kakang tidak terkejut medengar bahwa di desa ini
telah terjadi kebakaran? Mungkin Kakang telah melihat asap yang mengepul tinggi
dan api yang menjilat ke udara. Tetapi dari mana Kakang tahu bahwa yang
melakukan pembakaran itu Sidanti, Sanakeling dan kawan-kawannya? Dari mana pula
Kakang tahu, bahwa telah terjadi pencegatan di bulak jagung yang dilakukan oleh
Ki Tambak Wedi? Maafkan Kakang, aku menjadi bercuriga mendengar semuanya itu.
Aku menjadi berprasangka, bahwa semuanya telah diatur sebaik-baiknya. Suatu
pembagian tugas yang rapi antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar.”
Sumangkar mendengarkan
kata-kata itu dengan seksama. Baru kini ia justru menjadi terkejut. Tampak
orang itu mengerutkan alisnya, kemudian wajahnya menegang sesaat. Tetapi
ternyata hatinya telah benar-benar semeleh. Orang tua itu telah benar-benar
meletakkan suatu tekad, bahwa ia sampai sedemikian jauh telah berbuat
sebaik-baiknya dalam kemauan yang sebaik-baiknya pula. Karena itu maka sejenak
kemudian ia menjadi tenang kembali.
“Pertanyaan Ki Gede Pemanahan
adalah pertanyaan yang sewajarnya” berkata Sumangkar itu kemudian. “Kecurigaan
dan prasangka Ki Gede pun beralasan. Tetapi perkenankanlah aku mencoba
menjelaskan.”
“Ki Gede, ketika aku melihat
api yang menyala di desa ini, aku menjadi bercuriga. Bukan saja aku sendiri,
tetapi hampir seluruh orang-orang Jipang menjadi bimbang. Apakah sebenarnya
yang telah terjadi. Apakah api itu suatu pertanda bahwa Pajang membatalkan
perjanjian. Maksudku, Pajang membatalkan niatnya untuk menerima kami kembali?
Karena itulah maka aku mencoba untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Ternyata dari balik gerumbul-gerumbul itu aku melihat Sidanti, Sanakeling dan
Alap-alap Jalatunda berlari-lari meninggalkan desa ini. Bukankah dengan
demikian menjadi jelas, bahwa yang melakukan pembakaran ini pasti Sidanti dan
orang-orangnya? Seterusnya aku menyangka, bahwa di belakang Sidanti pasti ada
Tambak Wedi. Dan apakah dugaan itu meleset?”
“Tentang bulak jagung Ki Gede,
memang aku telah mendengarnya lebih dahulu sebelum aku bertemu dengan Ki Gede.”
“Dari siapa Kakang mendengar?”
bertanya Ki Gede Pemanahan
“Kiai Gringsing.”
Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Nama itu masih asing baginya. Meskipun ia pernah mendengarnya sekali
dua kali disebut-sebut oleh Untara, namun nama itu sama sekali tidak mendapat
perhatian yang khusus dari padanya. Tetapi Untara, Widura apalagi Agung Sedayu
dan Swandaru terkejut mendengar nama itu disebut oleh Sumangkar. Bahkan dengan
serta merta Untara bertanya, “Apakah Kiai Gringsing sekarang berada di sana?”
“Ya,” sahut Sumangkar, “Kiai
Gringsing berada di antara orang-orang Jipang yang akan menyerah.”
“Siapakah orang itu?” bertanya
Ki Gede Pemanahan.
“Kiai Gringsing, Ki Gede.
Seorang dukun dari dukuh Pakuwon. Nama yang dipergunakannya sehari-hari adalah
Ki Tanu Metir,” sahut Untara.
Wajah Ki Gede Pemanahan masih
berkerut-kerut. Nama Tanu Metir itu pun tak dikenalnya. Tetapi adalah menarik
perhatian bahwa orang yang bernama Ki Tanu Metir itu dapat berada di kedua
belah pihak. Maka kembali ia bertanya, “Untara, apakah dukun yang bernama Ki
Tanu Metir itu sering berada di Sangkal Putung dan sering berada di dalam
laskar orang-orang Jipang?”
“Tidak Ki Gede” jawab Untara.
“Dukun tua itu selalu berada di Sangkal Putung. Dukun itu pulalah yang telah
menyembuhkan lukaku sampai dua kali. Namun dalam persoalan ini, persoalan
penyerahan orang-orang Jipang ini, Ki Tanu Metirlah yang seolah-olah menjadi
perantara. Aku minta orang tua itu membuka jalan antara orang-orang Jipang itu
dan Sangkal Putung.”
“Apakah orang itu dapat
dipercaya?” bertanya Pemanahan pula.
“Sepengetahuanku Ki Gede, dan
menurut tanggapanku maka aku mempercayainya,” jawab Untara.
“Tetapi kenapa ia sekarang berada
di sana?”
Untara tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Ia memang mencari orang tua itu sejak ia kembali dari bulak
jagung, tetapi ia tidak sempat menemukannya. Ternyata Ki Tanu Metir itu telah
berada di antara orang-orang Jipang.
“Ki Gede,” Sumangkar-lah yang
kemudian menjawab pertanyaan Ki Gede Pemanahan itu, “Kiai Gringsing datang
dengan membawa pertanyaan seperti yang tersimpan di dalam hati Ki Gede. Kiai
Gringsing bertanya, kenapa kami telah berbuat curang, mencegat Ki Gede di bulak
jagung. Namun kecurigaan Kiai Gringsing dapat segera terhapus setelah ia
melihat persiapan kami. Apalagi Kiai Gringsing sendiri melihat pertentangan
pendapat antara aku dan Sanakeling pada saat kami menentukan sikap ini. Dengan
demikian maka Kiai Gringsing segera memaklumi, bahwa pasti Ki Tambak Wedilah
yang telah berbuat onar itu dengan maksud-maksud tertentu tanpa
sepengetahuanku.”
Kembali wajah Ki Gede menjadi
berkerut-kerut. Dicobanya untuk dapat mengerti penjelasan Sumangkar itu. Tetapi
karena Ki Gede Pemanahan belum tahu benar tentang orang yang bernama Kiai
Gringsing, maka kepada Untara ia bertanya, “Untara, bagaimanakah tanggapanmu
tentang Kiai Gringsing itu? Apakah keterangan Sumangkar tentang orang yang
bernama Kiai Gringsing itu dapat kau benarkan, setidak-tidaknya menurut
anggapanmu hal itu dapat terjadi atasnya?”
Untara menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi ia harus mengatakan tanggapannya tentang Kiai Gringsing menurut
penilaiannya. Maka jawabnya, “Menurut keadaan yang pernah aku saksikan Ki Gede,
maka Kiai Gringsing itu memang mungkin dapat berbuat demikian.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kalau kau dapat menganggap
bahwa Kiai Gringsing memang dapat berbuat demikian, dan apabila kau percaya
kepada Kiai Gringsing, maka aku dapat mempercayai sebagian besar dari cerita
Kakang Sumangkar.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam, seolah-olah ia kini telah di-bebaskan dari sebuah hukuman yang
mengerikan.
Namun dalam pada itu kembali
ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya pula kepadanya, “Tetapi apakah kau
benar-benar dapat melihat Sidanti dan Sanakeling berlari-lari dari gerumbul
sejauh itu?”
“Tidak Ki Gede” jawab
Sumangkar. “Aku tidak melihat dari jarak itu. Tetapi aku menyelinap ke
gerumbul-gerumbul yang lebih dekat di sebelah desa ini,” Sumangkar berhenti
sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Kiai Gringsing juga ikut serta melihatnya,
dan Kiai Gringsing membenarkan penglihatanku bahwa orang yang berlari-lari dari
desa ini adalah Sidanti.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Untara dan Widura ia bertanya,
“Untara dan Widura yang memegang tanggung jawab sepenuhnya atas Sangkal Putung,
bagaimana pertimbanganmu?”
Kembali dada Untara dan Widura
dilanda oleh keragu-raguan. Tetapi kembali mereka berkata seperti kata hati
mereka, “Ki Gede, kami dapat mempercayainya sampai sekian.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya kepada Sumangkar, “Mana orang-orangmu yang lain?
Apakah kau hanya akan menyerah dengan duapuluh lima orang ini?”
“Tidak Ki Gede,” sahut
sumangkar. “Berdasarkan berbagai pertimbangan, menurut Kiai Gringsing, yang
ternyata aku temui, yaitu kecurigaan para pemimpin Pajang atas diri kami, maka
aku mengambil sikap seperti yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing, untuk
meyakinkan para pemimpin Pajang atas kehendak baik kami. Kami datang
bersama-sama senjata-senjata kami. Sesudah itu, maka segera akan menyusul
orang-orang kami apabila segala kesalahpahaman sudah diatasi.”
Sekali lagi Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tertarik benar kepada orang yang
menyebut dirinya Kiai Gringsing. Ia ingin bertemu dan berbincang tentang
beberapa hal dengan orang itu. Apa yang didengarnya dari Sumangkar dan Untara
seolah-olah telah memberikan kepadanya gambaran tentang seorang dukun tua yang
memiliki beberapa kelebihan dalam menanggapi berbagai persoalan. Bahkan orang
tua itu telah dengan cepat dapat mengambil sikap untuk menyelamatkan rencana
penyerahan yang akan dilakukan oleh orang-orang Jipang.
“Kakang Sumangkar” berkata Ki
Gede Pemanahan itu pula. “Telah sampai saatnya Kakang membawa orang-orang
Kakang itu kemari. Apakah Kiai Gringsing akan kembali ke Sangkal Putung bersama
dengan orang-orang Jipang?.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu Ki Gede. Aku tidak tahu apakah Kiai
Gringsing akan bersama-sama dengan kami.”
“Baik. Kalau demikian,
datanglah bersama laskarmu” berkata Ki Gede Pemanahan.
“Terima kasih Ki Gede. Aku
akan kembali menjemput mereka di belakang gerumbul-gerumbul itu. Mereka
menunggu apakah mereka dapat datang tanpa kesulitan.”
“Kami telah berjanji” berkata
Ki Gede. “Kalau kalian tidak berbuat sesuatu, maka kami akan menepati janji
itu.”
“Terima kasih Ki Gede” sahut
Sumangkar sambil membungkukkan badannya. “Kini perkenankanlah aku menjemput
orang-orang kami.”
“Silahkan Kakang.”
Sumangkar itu pun kemudian
melangkah beberapa langkah mundur. Ia masih melayangkan pandangan matanya
beredar pada dinding-dinding halaman desa Benda yang kecil. Ia melihat
ujung-ujung tombak dan pedang di balik dinding-dinding itu. Dan di sana-sini ia
melihat prajurit Pajang bertebaran dalam kelompok kecil di luar dinding.
Kemudian setelah ia memutar
tubuhnya ia berkata kepada orang-orang Jipang yang masih berdiri di samping
onggokan senjata yang mereka bawa, “Kalian tetap di sini. Aku akan menjemput
kawan-kawan kalian.”
Orang-orang itu pun mengangguk
sambil menyahut, “Baik, Kiai.”
Sumangkar pun segera berjalan
tergesa-gesa meninggalkan orang-orangnya yang berdiri tegang kaku. Seolah-olah
mereka jadi membeku. Tak seorang pun yang berani menggerakkan ujung jarinya
sekalipun.
Orang-orang Sangkal Putung dan
para prajurit Pajang memandangi orang-orang itu dengan sorot mata yang aneh.
Bahkan salah seorang anak muda Sangkal Putung bergumam lirih, “Hem. Berapa
orang anak-anak muda Sangkal Putung yang pernah dilukai oleh mereka, dan bahkan
dibunuhnya.”
Kawannya yang berdiri di
sampingnya berpaling. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kenapa
kita tidak menghancurkan mereka itu saja di sarang mereka?”
Kawannya yang lain menyahut,
“Sungguh menyenangkan. Sesudah tangannya berlumuran darah kami, mereka datang
untuk berjabat tangan dengan tangan-tangan kami. Dan kami pun harus menyambut
uluran tangan berdarah itu. Huh.”
Anak-anak muda Sangkal Putung
itu pun kemudian terdiam ketika mereka melihat seorang prajurit Pajang berjalan
di belakang mereka. Kini mereka berdiri mematung di dalam pagar batu yang
membatasi desa Benda. Mereka masih melihat Sumangkar itu pun hilang di balik
gerumbul-gerumbul yang rimbun.
Ketika salah seorang dari
mereka ingin berkata pula, maka ia pun terdiam ketika ia melihat Ki Gede
Pemanahan melangkah maju mendekati orang-orang Jipang yang berdiri kaku di
samping onggokan-onggokan senjata mereka.
“He,” berkata Ki Gede
Pemanahan kepada salah seorang dari mereka, “siapa namamu?”
Orang itu menjadi
berdebar-debar. Tergagap ia menjawab, “Suradapa. Suradapa, Ki Gede.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. “Suradapa. Nama itu
bagus sekali.”
Orang Jipang itu menundukkan
kepalanya.
“Apakah kau sudah beristri?”
“Sudah Ki Gede.”
“Berapakah anakmu?”
“Waktu aku tinggalkan istriku,
anakku ada delapan Ki Gede,” orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan,
“sekarang mungkin anakku telah menjadi sepuluh.”
“He?” Ki Gede terkejut.
“Berapa lama kau meninggalkan istrimu. Apakah istrimu beranak kembar?”
“Tidak, Ki Gede.”
“Kenapa bertambah dengan dua
sekaligus?”
“Istriku sama-sama sedang
mengandung tua pada saat aku pergi.”
“Berapa istrimu?”
“Dua, Ki Gede.”
Ki Gede Pemanahan terseyum.
Ditepuknya bahu orang Jipang itu sambil berkata, “Hem. Kau terlampau kurus
untuk beristri dua. Tetapi kau memang kaya akan anak. Tetapi kenapa kau
menyerah?”
Orang itu menundukkan
kepalanya. Ia mendapat kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Ya, kenapa ia menyerah?
Ia mendengar Sumangkar berkata, bahwa pertempuran-pertempuran yang akan terjadi
kemudian hampir tak akan berarti apa-apa, selain kerusuhan, pembunuhan dan
penaburan benih-benih dendam di mana-mana. Karena itu ia mencoba menirukan
kata-kata Sumangkar. “Ki Gede” tetapi ia tidak ingat kalimat-kalimat yang harus
diucapkannya. Maka ia meneruskan, “Aku kepingin melihat anak-anakku dan kedua
bayi yang belum pernah aku lihat.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Apakah tanpa menyerahkan diri, kau tidak dapat melihat
anak-anakmu itu.”
Orang itu menggeleng. “Tidak
Ki Gede” jawabnya. “Desa kami sudah dikuasai oleh prajurit Pajang.”
“Kalau demikian, apakah
sesudah kau berhasil melihat anak-anakmu kau akan kembali melarikan diri
memihak kenada Sanakeling dan Sidanti?”
“Tidak Ki Gede, tidak”
sahutnya cepat-cepat. “Aku akan tetap menyerah untuk seterusnya, sebab aku
tidak ingin lagi berperang. Aku sudah jemu berkeliling dari satu tempat ke
tempat yang lain, dari satu hutan ke hutan yang lain. Aku sudah jemu mengalami
masa yang pahit itu. Makan dari hasil rampasan dan pemerasan.”
“Bagaimana kalau kau
memenangkan peperangan ini?” tiba-tiba terdengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya.
Pertanyaan yang tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Karena itu maka
orang Jipang itu menjadi pucat dan gemetar.
“Bagaimana kalau kau menangkan
peperangan ini?” desak Ki Gede Pemanahan. “Apakah aku akan kau gantung, kau
cincang atau kau angkat menjadi pepatih Jipang?”
Orang itu menjadi semakin
pucat. Ia tidak tahu bagaimana ia menjawab. Keringatnya tiba-tiba semakin
banyak membasahi tubuhnya, tetapi keringat yang dingin.
Beberapa orang anak muda
Sangkal Putung mendengarkan percakapan itu dari sudut desa. Mereka sengaja
memerlukan memperhatikan setiap patah kata yang diucapkan oleh Ki Gede
Pemanahan dan jawaban yang diucapkan oleh orang-orang Jipang itu. Tetapi orang
Jipang itu masih belum menjawab. Kepalanya semakin tunduk dalam-dalam dan
dadanya serasa menjadi kian sesak.
“Suradapa,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “sebelum Adipati Jipang memenangkan perang ini, ia telah melakukan
serangkaian pembunuhan-pembunuhan untuk menyingkirkan lawan-lawannya yang
mungkin akan menjadi perintangnya menuju ke Singgasana Demak. Meskipun aku
tahu, bahwa pengaruh pengikut-pengikutnya banyak mendorongnya melakukan
perbuatan yang tidak terpuji itu. Nah, apakah kira-kira yang akan dilakukan
kalau ia kemudian benar-benar menguasai Demak? Adipati Pajang pasti akan
terbunuh. Aku, Ki Juru Mertani, Ki Penjawi, Ki Wila, Ki Wuragil dan para
senapati prajurit. Bandingkan sikap Adipati Jipang itu dengan sikap Adipati
Pajang. Mungkin Arya Penangsang sendiri tidak ingin berbuat demikian. Tetapi
kekuasaan-kekuasaan yang ada di bawahnya itulah yang telah menjerumuskannya.
Sekarang, Adipati Pajang bersikap lain. Ia tidak menaburkan dendam yang
tersimpan di hati. Bahkan ia mencoba mencari jalan supaya pertentangan ini
berakhir tanpa pertumpahan darah lebih banyak lagi. Apakah ini dapat kau
mengerti dan kau rasakan?”
Orang itu masih menundukkan
kepalanya. “Ya Ki Gede” suaranya menjadi sesak parau.
“Yang lain bagaimana? Apakah
kalian dapat juga mengerti perbedaan itu?”
“Ya Ki Gede” hampir serentak
mereka menjawab.
“Kalau begitu, tularkan
pengertian itu kepada kawan-kawanmu. Kepada keluargamu, kepada siapa saja yang
kau temui. Supaya mereka dapat menilai keadaan sebaik-baiknya. Tetapi ingat,
bahwa ini bukan berarti melepaskan setiap hukuman bagi yang bersalah, tapi hukuman
itu pasti akan berlandaskan pada dasar yang kuat dan adil.”
Orang Jipang itu dapat
memahami sepenuhnya kata-kata Ki Gede Pemanahan. Ia pernah mendengar pula
ucapan-ucapan seperti itu dari pemimpin-pemimpinnya. Ia tidak akan menyesal
akan hukuman yang harus dijalani. Tetapi ia tahu pasti kapan hukumannya itu
akan berakhir. Dan ia tahu pasti, bahwa menilik sikap dan perbuatan para
pemimpin prajurit Pajang, maka setiap hukuman pasti akan dilakukan di atas
dasar-dasar peri-kemanusiaan yang adil dan tidak melanggar pancaran sinar cinta
kasih dari Tuhan Yang Maha Besar.
“Ya, Tuhan Maha Besar dan Maha
Murah.”
Orang Jipang itu terkejut
mendengar suara angan-angannya sendiri. Sudah terlampau lama ia tidak sempat
mengucapkannya. Tiba-tiba kalimat itu diulang-ulangnya di dalam hati. “Tuhan
Maha Besar dan Maha Murah” dan hatinya pun menjadi tenteram. Seandainya orang-orang
Pajang ingkar janji, memotong kepala mereka seperti menebas ilalang karena
mereka sudah tidak bersenjata, maka kini ia telah menemukan kedamaian abadi di
dalam dirinya. “Tuhan Maha Besar dan Maha Murah.”
Orang Jipang itu mengangkat
kepalanya ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Kenapa kau tepekur?
Apakah kau menyesal mendengar bahwa kau harus bertanggung jawab atas semua
perbuatanmu berdasarkan hukum yang berlaku?”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Ketika ia mengangkat wajahnya Ki Gede Pemanahan menjadi heran. Wajah
itu telah menjadi berbeda benar dengan wajah sebelumnya. Dengan tatag dan teguh
ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Aku akan melakukan setiap hukuman. Hukuman kerja
paksa ataupun kami sekeluarga harus menyingkir dari Demak untuk tinggal di
daerah-daerah terpencil. Di hutan-hutan Mentaok atau di hutan-hutan sekitar
Pati, Kami tidak akan selak meskipun kami akan dihukum mati.”
“He?,” berkata Ki Gede
Pemanahan heran. “Sikapmu tiba-tiba berubah. Apakah yang terjadi di dalam
dirimu?”
“Aku menemukan ketenangan di
dalam menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan Yang Maha
Besar dan Maha Murah.”
Ki Gede Pemanahan menepuk bahu
orang Jipang itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Kau telah
menemukan sumber hidupmu kembali. Genggamlah kedamaian itu di dalam hatimu.
Jangan terlepas kembali. Kalau kau mampu menuangkan kedamaian hatimu itu kepada
kawan-kawanmu, maka kau akan mendapat kebahagiaan berlipat-lipat.”
“Ya Ki Gede, mudah-mudahan aku
mampu melakukannya.”
Yang mendengar percakapan itu,
Untara, Widura, bahkan orang-orang Jipang yang lain dan para pemimpin Pajang,
menjadi terharu. Orang ini ternyata tidak saja memilih jalan yang dikehendaki
oleh pimpinan prajurit Pajang untuk segera menyelesaikan persengketaan yang
terjadi dan tersebar di mana-mana, tetapi ia telah menemukan dirinya sebagai
manusia yang berada di antara manusia yang lain. Manusia yang merasa dirinya
berada di dalam lingkungannya sendiri. Lingkungan yang berasal dari sumber yang
sama.
Tetapi bukan saja mereka,
orang-orang Jipang itu yang seakan menemukan ketetapan hati dalam kedamaian
yang abadi apabila mereka dapat mempertahankan nama Tuhan Yang Maha Esa di
dalam hatinya, namun tiba-tiba orang-orang Sangkal Putung yang tidak
henti-hentinya mengumpat-umpat itu pun terhenti pula. Tiba-tiba pula mereka
merasakan sesuatu bergetar di dalam hatinya.
“Apakah arti dari sikap ini”
desis mereka di dalam hati masing-masing. Tiba-tiba mereka menjadi malu
sendiri. Seolah-olah merekalah yang kini mempertahankan supaya peperangan tetap
berlangsung terus. Supaya pepati masih bertambah-tambah setiap hari. Namun
tiba-tiba mereka dihadapkan pada suatu sikap yang jernih dari pemimpin
tertinggi Wira Tamtama dan hadirnya sinar terang di dalam diri orang-orang Jipang
itu.
Bukan sekedar menyerahkan diri
karena tidak lagi mampu untuk melawan kekuatan Pajang yang setiap hari menekan
mereka, tetapi kini mereka menemukan sumber yang lebih tinggi dari pada sikap
yang mereka ambil. Hakekat dari penghentian perlawanan, bukan saja karena
alasan-alasan lahiriah semata-mata.
Ki Gede Pemanahan tidak
berbicara lagi. Ketika ia memandang ke arah gerumbul-gerumbul liar di
hadapannya, maka dilihatnya sebuah barisan yang menyeruak keluar dari balik
gerumbul jarak kepyar yang menjadi lebat. Barisan itu adalah barisan
orang-orang Jipang.
Panglima Wira Tamtama itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat bahwa mereka sudah tidak bersenjata
lagi. Orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang pun melihat pula,
bahwa mereka datang dalam barisan yang teratur tanpa senjata di tangan. Dengan
demikian, maka ketegangan yang menekan dada masing-masing tiba-tiba terasa
mengendor. Terasa bahwa orang-orang Jipang itu sebenarnyalah berkehendak atas
kebulatan tekad mereka, untuk menyerahkan diri. Bukan hanya sekedar permainan
jebakan yang licik. Bahkan menurut persetujuan yang telah dibuat, mereka akan
datang dengan senjata masih di tangan. Mereka baru akan mengumpulkan senjata
itu di hadapan para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung. Tetapi kini
mereka datang dengan tangan hampa.
Untara berpaling ketika ia
mendengar langkah di belakangnya. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang
pemimpin laskar Sangkal Putung datang kepadanya. Didengarnya Ki Demang
berbisik, “Mereka sudah tidak bersenjata.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya perlahan-lahan, “Itu adalah sikap yang terpuji. Ternyata
Kiai Gringsing memegang peranan pula atas sikap orang-orang Jipang itu.”
Sambil memandang barisan yang
semakin lama menjadi semakin dekat Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini ia tidak berbicara lagi. Wajah-wajah para pemimpin prajurit Pajang, para
pemimpin laskar Sangkal Putung, bahkan semuanya yang berada di tempat itu,
menjadi tegang. Mereka melihat derap langkah yang tetap dan tidak ragu-ragu.
Sebenarnya orang-orang Jipang
itu pun kini tidak ragu-ragu lagi. Apalagi setelah mereka mendengar, bahwa
Panglima Wira Tamtama sendiri telah hadir.
Ki Gede Pemanahan, Panglima
Wira Tamtama itu memandangi barisan itu dengan hati yang berdebar-debar.
Sekali-sekali ia berpaling memandangi wajah Untara yang tegang. Semula
kepercayaan Ki Gede Pemanahan terhadap Untara seolah-olah jauh menjadi susut.
Tetapi setelah ia melihat orang-orang Jipang dalam barisan itu, maka
kepercayaannya tumbuh kembali. Dalam keadaan itu, maka Ki Gede Pemanahan segera
dapat membuat perhitungan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti akan menjadi musuh yang
lebih berbahaya daripada Tohpati. Musuh yang bertindak terlampau cepat,
mendahului semua perhitungan Untara dan Widura.
Pada saat-saat mereka melawan
Macan Kepatihan, maka Untara dan Widura hampir tidak pernah salah hitung.
Hampir setiap gerakan Macan Kepatihan itu dapat dipotong oleh Widura dan
kemudian Untara. Namun Ki Tambak Wedi dapat bergerak menembus semua perhitungan
para Senapati Pajang.
Barisan orang-orang Jipang itu
pun menjadi semakin lama semakin dekat. Yang berdiri di ujung barisan itu
adalah Sumangkar dan beberapa orang pemimpin yang lain. Pemimpin-pemimpin
rendahan yang tidak bersedia ikut beserta Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
Beberapa puluh langkah dari Ki
Gede Pemanahan yang dipayungi oleh bendera kebesarannya, bendera yang
memberitahukan bahwa pada saat itu hadir Panglima Wira Tamtama, barisan itu
berhenti. Di ujung belakang dari barisan itu masih ada beberapa orang yang
membawa senjata di tangan mereka. Tetapi demikian mereka berhenti, maka segera
senjata itu mereka kumpulkan bersama-sama.
Ketika Sumangkar kemudian
melangkah maju mendekati Ki Gede Pemanahan, maka Panglima Wira Tamtama itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu memang peristiwa yang penting
bagi kedua belah pihak. Bagi orang-orang Jipang dan bagi Kadipaten Pajang.
Dengan penyerahan itu, maka Pajang akan mendapat kesempatan untuk berbuat lain
dari hanya bermain kejar-kejaran dengan sisa-sisa laskar Jipang itu.
Tetapi bagaimanapun juga,
terasa pada para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, bahwa mereka masih
merasakan sentuhan yang pahit di dalam hati mereka. Lawan yang sudah sejak
beberapa lama, selalu bertemu dalam medan-medan peperangan, dengan senjata di
tangan masing-masing, maka kini mereka melihat orang-orang itu mendekati mereka
tanpa gangguan suatu apa. Namun dada orang-orang Jipang itu pun berdesir ketika
mereka melihat kesiapsiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Mereka melihat ujung-ujung senjata seperti ujung daun ilalang di padang rumput
liar. Pada saat-saat lampau mereka pun pernah datang ke desa ini, tetapi juga
dengan senjata di tangan. Tetapi kini mereka datang dengan tangan yang hampa.
Kalau terjadi sedikit kesalahpahaman, dan para prajurit Pajang dan laskar
Sangkal Putung itu menyerangnya, maka mereka seolah-olah akan menebas
batang-batang pisang tanpa perlawanan yang berarti sama sekali.
Tetapi menilik sikap Panglima
Wira Tamtama maka semuanya akan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
Demikian pulalah harapan
Untara. Ia telah memberanikan diri mengharap kehadiran Ki Gede Pemanahan dengan
pengharapan yang serupa itu. Semula ia ragu-ragu akan ketaatan para prajurit
Pajang dan laskar Sangkal Putung terhadap keputusan yang diambilnya. Menerima
orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dengan beberapa bentuk pengampunan.
Karena itu, apabila Ki Gede Pemanahan bersedia hadir, akibatnya pasti akan
menguntungkan kedua belah pihak. Para prajurit Pajang, sudah tentu tidak akan
berani melanggar keputusannya dan orang-orang Jipang pun akan terpengaruh oleh
wibawa panglima itu. Dan kini ternyata semuanya itu telah terjadi.
Maka di pinggir desa kecil
itu, telah terjadi saat-saat yang penting. Dengan kesungguhan Sumangkar
menyatakan janji dan kata-kata penyerahan. Betapa berat perasaan orang tua itu.
Namun kata-kata itu harus diucapkannya. Di hadapan Ki Gede Pemanahan, Untara
dan Widura.
Ki Gede Pemanahan, Untara,
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, dan para pemimpin yang lain mendengarkan
kata-kata Sumangkar itu dengan penuh minat. Setiap patah kata telah menunjukkan
kesungguhan hati orang tua itu untuk benar-benar mengakhiri perlawanan.
“Ki Gede Pemanahan,” Sumangkar
itu pun kemudian mengakhiri kata-katanya, “kami dengan ini menyatakan
kesungguhan hati kami untuk menyerahkan diri tanpa syarat apapun ke hadapan Ki
Gede Pemanahan, ke hadapan senapati untuk daerah ini dan kepada pimpinan prajurit
Pajang di Sangkal Putung beserta para pemimpin kademangan. Kami tidak akan
mengingkari kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan sehingga karenanya kami
tidak akan menghindarkan diri dari setiap hukuman yang akan diletakkan di atas
pundak kami.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia telah mendengar dengan baik semua ucapan
Sumangkar. Karena itu maka kemudian ia pun berkata, “Penyerahanmu kami terima.
Semoga saat ini benar-benar dapat mengakhiri kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.
Tetapi sayang, bahwa penyerahan ini tidak sempurna. Masih ada beberapa orang
dari kalian yang tidak bersedia berbuat seperti ini dan bahkan telah bekerja
bersama dengan Ki Tambak Wedi. Tetapi itu bukan kesalahan kalian. Ketahuilah,
bahwa terhadap mereka tidak ada pilihan lain kecuali dilenyapkan. Untuk
seterusnya akan berlaku, semua persetujuan kalian dengan Senapati Pajang untuk
daerah ini, Untara. Semoga Tuhan selalu menerangi hati kita semua. Hati kami,
dan hatimu semua.”
Yang berbicara kemudian adalah
Untara. Ia hanya menguraikan beberapa segi pelaksanaan. Orang-orang Jipang itu
harus tinggal di Benda sebelum mereka dibawa ke Pajang bersama-sama dengan Ki
Gede Pemanahan.
Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar Sutawijaya bertanya, “He, Paman Sumangkar yang suka mengembara,
bukankah jalan ini pula yang menuju ke Alas Mentaok?”
Semua yang mendengar
pertanyaan Sutawijaya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan
yang sedang terjadi itu, menjadi heran. Dengan wajah bertanya-tanya mereka
hampir serentak berpaling memandangnya.
Ki Gede Pemanahan pun heran
pula mendengar pertanyaan itu, sehingga katanya, “Apakah kau sedang bermimpi
Jebeng?”
“Tidak, Ayah” sahut
Sutawijaya. “Aku tiba-tiba saja ingin mengetahui, jalan ini akan menuju ke
mana.”
“Apakah hubungannya dengan
persoalan orang-orang Jipang yang menyerahkan diri dan Pamanmu Sumangkar?”
“Aku hanya ingin bertanya
kepada Paman Sumangkar, karena Paman Sumangkar hampir selama ini selalu
mengembara berkeliling. Mungkin Paman Sumangkar telah pernah menyelusur jalan
ini terus ke barat.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas panjang-panjang. Ia tahu pikiran apakah yang bergejolak di dalam dada
anak itu, Sutawijaya pasti sedang berpikir tentang Alas Mentaok yang pernah
dijanjikan oleh Adipati Pajang kepada dirinya, dan tanah Pati bagi kawan
seperjuangannya melawan Adipati Jipang pada saat itu. Dan Sutawijaya pun pasti
pernah mendengar janji itu, sehingga tiba-tiba saja ia menyebut tanah Alas
Mentaok.
Dalam pada itu terdengar Sumangkar
berkata, “Ya, Ngger. Jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok, tetapi jalan
terlampau sulit. Beberapa bagian hutan di sebelah barat itu harus dilampaui.
Meskipun hutan ini tidak terlampau lebat, tetapi hutan itu pun cukup luas.
Sekali-sekali Angger akan sampai di pedukuhan-pedukuhan kecil yang
terserak-serak. Tetapi tempat-tempat itu hampir tak berarti. Padukuhan kecil
dan miskin. Padukuhan yang hampir tidak pernah bersangkut paut dengan
pemerintahan karena letak dan keadaan penduduknya. Tetapi agak yang ke sebelah
Barat, Angger akan menjumpai daerah yang subur. Daerah yang cukup mempunyai
kedudukan di daerah Selatan, Prambanan. Di daerah itu pasti juga sudah
dilindungi oleh sepasukan prajurit dari Pajang. Sayang aku tidak tahu, siapakah
yang berada disana. Ki Gede Pemanahan pasti mengetahuinya. Prambanan adalah
kademangan yang hampir sekaya Sangkal Putung. Kalau Angger masuk lebih dalam
lagi, maka Angger akan sampai ke hutan Tambak Baya, setelah melewati Candi
Sari, Cupu Watu, dan beberapa pedukuhan kecil yang lain. Di sebelah barat hutan
Tambak Baya itulah nanti Angger akan menjumpai hutan belukar yang besar, Alas
Mentaok.”
“Apakah belum ada pedukuhan
sama sekali di sekitar hutan itu Paman?”
“Ada Ngger. Pliridan,
Gumawang, Lipura dan hampir di ujung selatan, dekat pantai lautan terdapat pula
daerah yang sudah mulai subur dan ramai, Mangir.”
“Sutawijaya,” potong Ki Gede
Pemanahan, “untuk apa kau ketahui semuanya itu. Aku sendiri pernah menjelajahi
hampir setiap sudut yang berada di dalam wilayah Demak. Aku pernah juga sampai
ke tempat-tempat yang disebut-sebut oleh Kakang Sumangkar. Tetapi sekarang ini
bukanlah saatnya untuk berbicara tentang Alas Mentaok.”
Sutawijaya terdiam mendengar
kata-kata ayahnya. Ia menyadari bahwa ayahnya dan para pemimpin prajurit Pajang
di Sangkal Putung kini sedang menghadapi tugas yang berat, sehingga
pertanyaannya tentang Alas Mentaok pasti hanya akan mengganggu saja.
Setelah Sutawijaya tidak
bertanya-tanya lagi, maka segala sesuatu segera mulai dipersiapkan. Untara
segera mengatur tempat-tempat penampungan orang-orang Jipang itu, sedang Widura
mempersiapkan para prajurit Pajang yang harus menjaga padesan kecil ini. Bukan
saja menghadapi setiap orang yang mungkin dapat berubah pendirian selama mereka
berada dalam penampungan, tetapi juga terhadap setiap usaha Sanakeling dan
Sidanti, untuk mengacaukan keadaan. Adalah mungkin sekali mereka tiba-tiba
datang dan membuat keributan. Menghasut orang-orang Jipang yang sudah menyerah
atau mengancam mereka, sebab mereka kini sudah tidak bersenjata.
Ketika upacara penyerahan itu
telah selesai, serta segala macam persiapan penampungan telah cukup, maka Ki
Gede Pemanahan serta para pemimpin prajurit Pajang dan Sangkal Putung pun
segera bersiap untuk kembali ke induk kademangan. Ki Gede Pemanahan sendiri
telah memberikan beberapa pesan khusus bagi para prajurit Pajang yang bertugas
menjaga desa terpencil itu. Bagaimana mereka harus menghadapi orang-orang
Jipang yang sudah menyerah itu, dan bagaimana mereka harus menghadapi lawan
yang masih tetap memandi senjata-senjata mereka apabila mereka benar-benar
datang. Untuk kepentingan itu, maka di sekitar Desa Benda telah diletakkan
beberapa pengawas yang harus dapat menilai setiap perkembangan keadaan dengan
tepat.
Kepada Sumangkar, Ki Gede
Pemanahan berpesan, “Kakang, kalian akan kami tinggalkan. Kakang adalah tetua
orang-orang Jipang, Segala sesuatu harus selalu berada dalam pengawasan Kakang.
Kakanglah orang satu-satunya yang dapat langsung berhubungan dengan para
prajurit Pajang yang sedang bertugas di tempat ini. Apapun yang kurang serasi
menurut penilaian Kakang, maka Kakang akan dapat memberitahukannya kepada para
petugas.”
“Baik Ki Gede. Kami akan
mematuhi perintah itu” sahut Sumangkar.
Namun ketika Ki Gede Pemanahan
akan meninggalkan tempat itu, maka ia masih sempat bertanya kepada Sumangkar,
“Di manakah orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu? Apakah ia tidak turut
beserta kalian?”
Sumangkar menggeleng lemah,
jawabnya, “Tidak Ki Gede. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak
bersama kami.”
“Apakah orang itu tidak ingin
bertemu dengan aku?
Sumangkar tertegun sejenak.
Namun kemudian ia menjawab, “Tidak Ki Gede. Ternyata Kiai Gringsing belum ingin
bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Ia menjadi semakin tertarik kepada nama itu. Kiai Gringsing yang
sehari-hari disebut Ki Tanu Metir. Seorang dukun yang cakap mengobati berbagai
macam penyakit.
“Baiklah” berkata Ki Gede
Pemanahan. “Lain kali aku mengharap untuk dapat bertemu dengan orang itu.”
“Pesan itu akan aku sampaikan
Ki Gede” sahut Sumangkar.
Dalam pada itu, semua
persiapan pun telah selesai. Ki Gede Pemanahan dan para pemimpin beserta
sebagian dari prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung akan kembali ke induk
kademangan.
Tetapi Sutawijaya tiba-tiba
menggamit Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Katanya, “Kita tinggal di sini.”
“Kenapa? “bertanya Agung
Sedayu.
“Kita pergi ke Alas Mentaok.”
“Apakah yang menarik di Alas
Mentaok itu?” bertanya Swandaru.
“Itulah yang ingin aku
ketahui.”
“Apakah Tuan mempunyai
kepentingan dengan hutan itu?” bertanya Agung Sedayu pula.
Sutawijaya memandang ayahnya
dengan sudut matanya. Kemudian katanya perlahan-lahan, “Tanah itu akan
dihadiahkan oleh Adipati Pajang kepada ayah. Aku ingin melihatnya, apakah tanah
itu cukup baik untuk dibuka menjadi suatu pedukuhan. Mentaok akan dapat menjadi
sebuah tanah perdikan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia pernah mendengar bahwa Mentaok kini
masih berupa hutan belantara.
“Aku ikut bersama Tuan”
tiba-tiba Swandaru menyela. Wajahnya yang bulat tampak berseri-seri gembira.
Tetapi wajah Agung Sedayu
disaput oleh keragu-raguan hatinya. Sekali-sekali ia memandangi Sutawijaya,
namun sesaat kemudian ditatapnya wajah kakaknya yang masih sibuk mengatur barisan
bersama pamannya, Widura.
“Aku harus minta ijin Kakang
Untara dan Paman Widura lebih dahulu” berkata Agung Sedayu.
“Uh, kau seperti anak-anak
saja” potong Sutawijaya. “Bukankah kita sudah cukup dewasa? Kalau aku minta
ijin pada Ayah mungkin Ayah akan melarangnya. Kau pun pasti akan dilarang pula.
Karena itu maka kita tidak usah minta ijin.”
“Mereka pasti akan mencari
kita” berkata Agung Sedayu.
“Biarkan saja mereka mencari
kita” sahut Sutawijaya. “Besok atau lusa, kalau kita kembali, maka mereka akan
berhenti mencari.”
“Tetapi apakah Ki Gede akan
tinggal beberapa lama di sini?” bertanya Agung Sedayu.
Mas Ngabehi Loring Pasar
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Kalau ayah tergesa-gesa kembali ke
Pajang, biarlah ia mendahului.”
Agung Sedayu terdiam sejenak.
Hatinya dicekam oleh keragu-raguan.
“Kenapa kau selalu ragu-ragu?”
bertanya Sutawijaya “Jangan seperti anak kecil. Kau telah mampu berkelahi
melawan Sanakeling yang menurut pengamatanku, apabila perkelahian berlangsung
lebih lama lagi, kau akan memenangkan perkelahian itu. Kenapa kau selalu masih
harus minta ijin kepada kakakmu?”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Tetapi adalah menjadi kebiasannya untuk berbuat demikian. Bahkan
sampai saat ia telah mampu memecah dinding yang mencengkamnya dalam ketakutan,
maka kebiasaan itu tidak segera dapat dilupakan.
“Jangan takut” berkata
Swandaru. “Akupun tidak akan minta ijin kepada ayahku. “
Agung Sedayu masih berdiri
dalam kebimbangan, sehingga Sutawijaya berkata, “Ayolah. Mau tidak mau kau
harus pergi bersama kami.”
Agung Sedayu tidak dapat
membantah lagi. Ia harus pergi ke Mentaok bersama Sutawijaya yang bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar dan Swandaru Geni.
“Tetapi kita harus memberi
tahukan kepada para penjaga” gumam Agung Sedayu.
“Ah, bodoh kau” berkata
Sutawijaya. “Kalau mereka tahu dan mereka mengatakannya kepada Ayah, maka aku
tidak akan diperbolehkannya.”
“Setidak-tidaknya
sepeninggalan Ki Gede Pemanahan dari desa ini.”
Sutawijaya berpikir sejenak,
kemudian katanya, “Baiklah nanti kita memberitahukannya kepada para penjaga.”
Agung Sedayu masih akan
mengatakan sesuatu ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan memanggil,
”Sutawijaya. Mari, kita kembali ke induk kademangan.”
Sutawijaya berpikir sejenak.
Sekali-sekali dipandanginya wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Hampir-hampir
ia kehilangan akal bagaimana ia akan dapat menyelinap meninggalkan barisan itu.
Mendengar ajakan itu, Agung Sedayu menjadi senang. Mudah-mudahan Sutawijaya
mengurungkan niatnya. Sama sekali bukan karena takut menghadapi bahaya di
sepanjang jalan, tetapi dengan demikian kakaknya akan memarahinya.
Tiba-tiba Agung Sedayu kecewa
ketika ia mendengar Sutawijaya menjawab, “Aku akan tinggal di sini sebentar
ayah. Aku akan segera menyusul.”
Ki Gede Pemanahan
memandanginya dengan penuh pertanyaan, bahkan orang tua itu menjadi curiga.
Katanya, “Apalagi yang akan kau lakukan?”
Sutawijaya tertawa, jawabnya,
“Aku hanya akan beristirahat sebentar ayah. Bukankah di sini sudah ada
sepasukan prajurit Pajang? Kalau terjadi sesuatu, maka mereka pasti akan dapat
melindungi aku.”
“Tetapi jangan terlampau lama
Sutawijaya” berkata ayahnya. “Meskipun jarak induk Kademangan Sangkal Putung
dan desa ini tidak terlampau jauh, namun di tengah-tengah bulak itu dapat
bersembunyi segala macam bahaya.”
Sekilas terasa pula oleh
Sutawijaya kekhawatiran ayahnya tentang dirinya di daerah yang ternyata masih
diliputi oleh bahaya itu. Bahaya yang kini datang tidak saja dari orang-orang
Jipang, tetapi lebih-lebih lagi adalah hantu lereng Merapi yang bernama Tambak
Wedi. Namun Sutawijaya itu berpikir, “Tambak Wedi itu pasti sudah pergi
jauh-jauh. Setidak-tidaknya hari ini ia tidak akan datang kembali kemari. Kalau
besok ia datang, maka aku sudah berada di Alas Mentaok. Mudah-mudahan nanti
apabila aku kembali aku tidak menemuinya dan hantu itu tidak mengetahui bahwa
aku pergi ke Alas Mentaok.”
Sutawijaya itu terkejut ketika
ia mendengar suara ayahnya kembali, “He, Sutawijaya, bagaimana? Jangan terlalu
lama, kau dengar?”
“Ya, ya Ayah” jawabnya
tergagap. “Aku tidak akan lama disini.”
“Jangan memberi aku
bermacam-macam pekerjaan lagi” berkata Ki Gede Pemanahan pula. “Aku sudah
terlalu letih.”
“Baik ayah” sahut Sutawijaya.
Ki Gede Pemanahan itu pun
kemudian bersama-sama dengan Untara, Widura dan para pemimpin Pajang dan
Sangkal Putung yang lain pergi meninggalkan desa kecil itu. Mereka akan kembali
ke induk kademangan, dan Ki Gede Pemanahan bermaksud bermalam di Sangkal Putung
semalam, sambil menunggu persiapan orang-orang Jipang dan pasukan pengawal yang
akan membawa mereka ke Pajang.
Tetapi keadaan kini telah
berkembang menjadi bertambah sulit. Ketika Untara mengetahui, bahwa Ki Tambak
Wedi ternyata bergerak terlampau cepat, maka ia harus memperhitungkan keadaan.
Baik yang akan pergi mengawal orang-orang Jipang bersama Ki Gede Pemanahan,
maupun yang akan ditinggalkan di Sangkal Putung. Jangan sampai Ki Tambak Wedi
dapat memanfaatkan keadaan itu. Keadaan di mana pasukan Pajang sedang terbagi.
Ki Tambak Wedi yang cerdik itu akan dapat menghadang rombongan ke Pajang atau
menusuk jantung Sangkal Putung yang sedang ditinggalkan oleh sebagian dari para
pengawalnya mengantar orang-orang Jipang ke Pajang.
Karena itu semuanya, maka Untara
harus berpikir lebih masak lagi.
Sutawijaya dan kedua
kawan-kawan barunya itu memandangi pasukan yang berjalan meninggalkan Desa
Benda. Semakin lama semakin jauh. Sejalan dengan itu, maka hatinya pun menjadi
semakin gembira pula. Katanya berbisik kepada Agung Sedayu dan Swandaru. “Nah,
kita segera berangkat. Jangan menunggu matahari terlampau rendah. Mungkin kita
harus bermalam beberapa malam di perjalanan.”
“Marilah” terdengar Swandaru
yang menyahut.
“Kau masih ragu-ragu” bertanya
Sutawijaya kepada Agung Sedayu.
“Aku tidak meragukan
perjalanan yang akan kita lakukan, tetapi bagaimana Kakang Untara setelah
mengetahuinya?”
“Aku yang bertanggung jawab”
potong Sutawijaya. “Kalau ia marah, biarlah ia marah kepadaku.”
Agung Sedayu tidak menjawab
lagi. Ketika kemudian Sutawijaya berjalan kembali ke gardu di ujung desa, kedua
anak muda murid Ki Tanu Metir itu mengikutinya di belakang.
“Apakah kita akan pergi
berkuda atau berjalan kaki?” bertanya Swandaru.
“Mana yang lebih baik?”
Sutawijaya minta pertimbangan.
Mereka terdiam sejenak.
Menilik jarak yang harus mereka tempuh, maka kuda akan membantu mereka, tetapi
mengingat hutan-hutan yang mungkin terlampau sulit ditembus, maka lebih baik
bagi mereka apabila mereka berjalan kaki. Sebab kuda-kuda mereka pasti hanya
akan mengganggu di sepanjang perjalanan di hutan-hutan belukar itu.
Ketika kedua kawannya tidak
menyahut, maka Sutawijaya itu pun akhirnya memutuskan, “Kita berjalan kaki.
Mungkin kita akan memerlukan waktu seminggu. Tetapi kita pasti akan sampai.
Tetapi apabila kita pergi berkuda, maka kita akan terhalang di hutan-hutan
belukar atau kita akan melepaskan kuda-kuda kita. Mungkin kuda-kuda kita itu
akan diterkam oleh binatang-binatang buas. Karena itu lebih baik kita berjalan
kaki.”
“Baik,” sahut Swandaru Geni,
“kita berjalan kaki. Bagaimana Kakang Agung Sedayu?”
Meskipun hatinya masih
ragu-ragu, namun Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik.
Kita berjalan kaki.”
“Nah, kita berangkat sekarang.
Kita akan masuk ke hutan di hadapan Desa Benda ini dan menyeberanginya. Kita
harus keluar dari hutan itu sebelum senja.”
“Tidak mungkin” potong Agung
Sedayu. “Lihat, matahari telah terguling ke barat. Meskipun hutan itu tidak
begitu lebat, tetapi hutan itu cukup luas.”
“Ah, persetan.” gumam
Sutawijaya kemudian, “Apakah kita akan menembus hutan itu senja nanti atau
apakah kita akan berjalan di malam hari, kita tidak usah meributkannya. Marilah
kita pergi.”
“Ingat, Tuan, kita sebaiknya
memberitahukan kepergian ini kepada para penjaga, supaya Ki Gede Pemanahan, Ki
Demang Sangkal Putung dan Kakang Untara mendapat gambaran, berapa hari kita
akan kembali” berkata Agung Sedayu kemudian.
Sutawijaya berpikir sejenak,
kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik,” katanya, “aku akan
berkata kepada pemimpin pengawal.”
Sutawijaya itu pun kemudian
pergi ke gardu penjaga. Kepada seorang prajurit Sutawijaya bertanya, “Siapa
pemimpin pengawal di sini?”
“Kakang Sendawa, Tuan” sahut
penjaga itu. “Ia berada di rumah sebelah. Rumah itu dipakai sementara untuk
memimpin pengawalan desa ini.”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
Namun, tiba-tiba ia berkata, “Katakan kepadanya, aku akan pergi ke Alas
Mentaok.”
“He?” prajurit itu terkejut,
sehingga matanya terbeliak.
Tetapi Sutawijaya pun menjadi
heran pula melihat prajurit itu memandangnya dengan pandangan yang aneh,
sehingga terloncat pertanyaan dari bibirnya, “Kenapa kau memandangku seperti
melihat hantu?”
“Tuan,” bertanya prajurit itu,
“apakah aku tidak salah dengar? Apakah benar Tuan akan pergi ke Alas Mentaok?”
“Ya, kenapa?” jawab
Sutawijaya.
“Alas Mentaok itu terletak di
sebelah barat hutan Tambak Baya, Tuan.”
“Ya, aku sudah tahu. Aku akan
berjalan terus ke Barat. Aku akan melewati Prambanan, Candi Sari, Cupu Watu dan
hutan Tambak Baya. Kenapa?”
“Perjalanan yang tidak masuk
dalam akalku. Tuan hanya bertiga?”
“Kenapa tidak masuk dalam
akalmu? Jarak itu dapat kau ketahui, apakah kau pernah pergi ke sana?”
“Belum, Tuan, tetapi sebagai
seorang prajurit aku pernah mendapat tugas ke Prambanan. Kakak Adi Sedayu itu
pernah pula mendapat tugas di Prambanan.”
“Kau dapat juga sampai ke
Prambanan, mengapa kau heran mendengar rencana perjalanan ini? Bukankah sesudah
Prambanan jarak ke Alas Mentaok tidak lagi begitu jauh?”
“Justru daerah itu adalah
daerah yang berbahaya, Tuan. Mungkin Tuan akan berjumpa dengan
penyamun-penyamun yang sakti. Dan aku pergi ke Prambanan bersama dengan
rombongan prajurit dalam jumlah yang cukup. Karena itu maka aku tidak khawatir
menjumpai bahaya-bahaya yang serupa. Tetapi apakah Tuan hanya akan bertiga
saja?”
Sutawijaya tertawa. Ditepuknya
bahu prajurit itu sambil berkata, “Katakan kepada Sendawa. Aku pergi ke Alas
Mentaok.”
“Apakah Tuan tidak akan
menjumpainya sendiri? Mungkin Kakang Sendawa dapat menceritakan serba sedikit
tentang hutan itu. Mungkin Kakang Sendawa pernah mendapat tugas mengunjungi
daerah-daerah terpencil di seberang hutan Mentaok beberapa waktu yang lampau
atas nama kekuasaan Pajang yang menerima limpahan kekuasaan Demak pada waktu
itu. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi adalah daerah-daerah Mangir dan
Lipura.”
Sutawijaya menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Sendawa pasti hanya akan menakut-nakuti aku. Katakan saja,
aku pergi bertiga dengan berjalan kaki. Mungkin kami akan melintasi hutan-hutan
bebondotan yang sukar sekali dilalui seekor kuda.”
“Ya, Tuan benar. Kuda-kuda itu
hampir tak berarti di hutan-hutan yang lebat.”
“Sudahlah” berkata Sutawijaya.
“Aku akan pergi.”
“Tetapi, Tuan,” bertanya
prajurit itu, “Tuan tidak membawa bekal apa pun di perjalanan. Bagaimana Tuan
akan mendapatkan makanan? Apakah Tuan mempunyai beberapa orang yang telah Tuan
kenal di sepanjang jalan?”
Sutawijaya tertegun sejenak.
Dipandanginya wajah-wajah Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Tetapi kedua anak
muda itu pun agaknya tidak tahu, bagaimana mendapatkan bekal di perjalanan.
Sudah tentu mereka tidak dapat mencari bekal di desa Benda yang kosong itu.
Yang ada hanyalah orang-orang Jipang dan para prajurit yang sedang bertugas.
Mereka sama sekali tidak mempunyai persediaan makanan dari Sangkal Putung.
Tiba-tiba Sutawijaya itu
bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang membawa busur dan anak panah?”
Prajurit itu terdiam sejenak.
“Ada?” desak Sutawijaya.
Prajurit itu mencoba melihat
beberapa orang kawan-kawannya yang mendengarkan percakapan itu dengan mulut
ternganga.
Tiba-tiba Sutawijaya melihat
beberapa buah busur di sudut gardu. Tanpa bertanya kepada siapa pun ia meloncat
dan mengambil tiga daripadanya.
“He, Agung Sedayu dan
Swandaru, apakah kalian dapat memanah?”
Yang menjawab adalah Swandaru
Geni, “Kakang Agung Sedayu adalah pemanah terbaik dari seluruh penghuni Sangkal
Putung, termasuk para prajurit Pajang.”
“Bagus” Sutawijaya menjadi
gembira. Diraihnya beberapa endong anak panah sambil berkata, “Aku pinjam
busur-busur ini.”
Para prajurit yang berada di
dalam gardu itu seolah-olah terpaku beku di tempatnya. Mereka tidak dapat
berbuat apa-apa. Mereka hanya melihat Sutawijaya mengambil tiga buah busur dari
lima persediaan busur di gardu itu, beserta tiga endong penuh dengan anak
panah. Mereka kemudian melihat Sutawijaya meloncat keluar sambil membagikan
ketiga busur itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
“Kalian tidak akan mendapat
musuh lagi di sini. Biarlah senjata-senjata ini kami bawa ke Alas Mentaok”
berkata Sutawijaya kepada para prajurit Pajang itu.
Sebelum mendapat jawaban, maka
Sutawijaya segera mengajak kedua kawannya itu berjalan meninggalkan Desa Benda
menuju ke arah barat. Alas Mentaok.
Perjalanan itu bukanlah
perjalanan yang ringan. Jalan yang harus mereka lewati adalah jalan yang sulit
dan jauh.
“Dengan anak-anak panah ini
kita akan mendapat bekal di sepanjang jalan” gumam Sutawijaya.
“Apakah kita akan menyamun
atau memeras sambil menakut-nakuti orang dengan anak panah?” bertanya Swandaru.
Sutawijaya tertawa
terbahak-bahak sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Agung Sedayu yang segera
menangkap maksud Sutawijaya pun tersenyum.
“Kenapa?” bertanya Swandaru
heran.
“Aku belum pernah menyamun
orang” berkata Sutawijaya di antara derai tertawanya. “Lebih baik kita menyamun
kijang atau menjangan.”
“O” Swandaru tersenyum sambil
menundukkan kepalanya. Pipinya yang gembul itu pun menjadi kemerah-merahan.
Ternyata ia tidak cepat menangkap maksud Sutawijaya dengan busur dan anak panah
itu, yang akan menjadi alat berburu yang baik.
Sesaat kemudian ketiga
anak-anak muda itu terdiam. Mereka berjalan dengan cepat ke arah barat. Di
belakang mereka pedesaan Benda seolah-olah berjalan mundur sedang
gerumbul-gerumbul jarak yang liar di hadapan mereka pun menjadi semakin dekat.
Di belakang semak-semak itu akan terbentang sebuah lapangan rumput yang tidak
begitu lebar. Dan di seberang lapangan itu mereka akan mendapatkan sebuah hutan
yang cukup luas, meskipun tidak terlampau lebat.
Di langit, matahari telah
melewati titik puncaknya dan dengan perlahan-lahan turun ke cakrawala. Namun
panasnya masih terasa seakan-akan membakar kulit.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru berjalan tanpa berpaling lagi. Panas matahari telah memeras keringat
mereka sehingga seluruh pakaian mereka menjadi basah. Kulit mereka yang menjadi
semerah tembaga, menjadi berkilat-kilat karena keringat dan debu yang melekat.
Para prajurit di Benda pun
kemudian menjadi gempar. Cerita tentang Sutawijaya dan kedua anak muda yang
telah mereka kenal dengan baik, yaitu Agung Sedayu dan Swandaru benar-benar
menimbulkan berbagai pembicaraan. Ada yang menjadi cemas, ada yang menjadi
heran dan ada yang menjadi kagum karenanya.
Sendawa yang kemudian diberi
tahu pula tentang kepergian ketiga anak-anak muda itu terkejut sekali. Katanya,
“Apakah kalian tidak mencoba mencegahnya?”
“Aku telah mencobanya,” jawab
prajurit itu, “tetapi mereka tidak mendengarkan.”
“Alas Mentaok adalah hutan
belukar yang luar biasa lebatnya. Binatang-binatang buas masih berkeliaran dan
bahkan di sekitar hutan yang liar itu masih banyak didiami oleh
penjahat-penjahat yang sebuas binatang-binatang di dalam hutan itu.”
“Aku sudah mengatakannya.”
Sendawa menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian ia bergumam, “Mudah-mudahan mereka tidak memasuki
hutan itu. Mudah-mudahan mereka berhenti setelah mereka melihat wajah Alas
Mentaok.”
“Tetapi,” berkata prajurit
itu, “bukankah menyeberangi hutan Tambak Baya itu pun cukup berbahaya?”
“Mungkin mereka akan mendapat
beberapa orang kawan. Mudah-mudahan mereka menyeberang bersama-sama dengan rombongan-rombongan
yang sering melewati hutan itu pula bersama-sama dengan beberapa orang
pengawal. Dengan demikian, mereka akan terhindar dari banyak kesulitan.”
“Mudah-mudahan,” desis
prajurit itu.
“Meskipun demikian, kita harus
memberitahukannya kepada para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung.
Bahkan kepada Ki Gede Pemanahan sendiri. Bukankah Raden Sutawijaya itu putera
Ki Gede Pemanahan?”
“Ya. Demikian sebaiknya” sahut
prajurit itu.
“Nah, sekarang pergilah.
Sampaikan laporan ini.”
Belum lagi prajurit itu pergi,
mereka terkejut melihat seseorang memasuki rumah pimpinan itu. Ternyata orang
itu adalah dukun tua yang selama ini tidak menampakkan diri. Orang itu adalah
Ki Tanu Metir.
Dengan nada tinggi ia bertanya
sambil tersenyum, “Aku dengar, ada di antara kalian yang akan pergi ke Alas
Mentaok?”
“Tidak, Kiai” sahut Sendawa.
“Yang pergi ke Alas Mentaok adalah putera Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya.”
Ki Tenu Metir mengerutkan
keningnya. Kemudian kembali ia bertanya, “Sendiri?”
“Tidak” jawab Sendawa pula.
“Bersama dengan dua kawannya. Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”
“He?” Ki Tanu Metir itu pun
terkejut. Wajahnya yang tua itu menjadi semakin berkerut-merut. “Apakah
kepentingan mereka dengan Alas Mentaok itu?”
“Kami tidak tahu Kiai” sahut
Sendawa. “Seorang prajurit telah mencoba mencegah mereka dengan memberikan
gambaran-gambaran tentang perjalanan yang berbahaya itu. Tetapi mereka bertiga
sama sekali tidak takut.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Tentu tidak. Putera Ki Gede Pemanahan yang telah berhasil
membinasakan Arya Penangsang itu tidak akan mengenal takut terhadap apapun.”
“Tetapi perjalanan itu sangat
berbahaya.”
“Ya,” kembali dukun tua itu
bergumam seolah-olah untuk dirinya sendiri, “perjalanan yang berbahaya.”
“Kami akan memberitahukannya
kepada Ki Gede Pemanahan Kiai. Bukankah sebaiknya demikian?”
“Bagus” sahut Ki Tanu Metir.
“Beritahukan kepada Ki Gede Pemanahan. Apakah mereka belum lama berangkat? Dan
apakah mereka berkuda?”
“Belum terlampau lama. Mereka
tidak berkuda.”
“Apakah dengan berkuda
anak-anak itu akan dapat dicapai sebelum mereka masuk ke dalam hutan?”
Sendawa mengerutkan keningnya.
Dicobanya menghitung waktu yang sudah dipergunakan oleh Sutawijaya. Namun
kemudian ia mengambil kesimpulan, “Mungkin mereka telah memasuki hutan itu
Kiai. Mereka sudah meninggalkan padukuhan ini sesaat setelah pasukan Pajang kembali
ke induk Kademangan Sangkal Putung. Tetapi agaknya para prajurit lebih senang
memperbincangkannya lebih dahulu, baru memberitahukannya kepadaku.”
Tampaklah sejenak kecemasan
membayang di wajah orang tua itu. Namun hanya sejenak. Kemudian kembali ia
tersenyum, “Bagus. Secepatnya kalian beritahukan kepada Ki Gede Pemanahan.
Anak-anak itu hanya berjalan kaki saja bukan?”
“Baik, Kiai” sahut Sendawa.
Kemudian kepada prajurit yang memberitahukannya, Sendawa berkata, “Laporkan
kepada Ki Gede Pemanahan, atau kepada Ki Untara atau Ki Widura.”
“Baik” jawab prajurit itu
sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian menghilang di belakang pintu rumah
itu. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke belakang gardu untuk mengambil seekor
kuda. Para prajurit yang lain, yang melihat seorang kawannya berlari-lari
mengambil seekor kuda segera mengetahuinya, bahwa prajurit itu harus melaporkan
kepergian Raden Sutawijaya bersama dengan Agung Sedayu dan Swandaru kepada Ki
Gede Pemanahan, Untara dan Ki Demang Sangkal Putung.
Meskipun demikian, salah
seorang dari mereka pun bertanya, “Apakah kau akan menyusul anak-anak muda itu
atau akan pergi ke Sangkal Putung?”
“Aku hanya akan melapor” sahut
prajurit itu sambil meloncat ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian maka kuda
itu pun melontar berlari menyusul pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung yang
kembali ke induk kademangan. Suara kakinya berderap di atas tanah berbatu-batu,
mengejutkan para pengawal dan bahkan orang-orang Jipang yang sedang
beristirahat di dalam rumah-rumah.
Di ujung lorong yang lain
beberapa orang pengawal menghentikannya. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Kemana kau?”
“Menyusul Ki Gede Pemanahan.”
“Ada sesuatu yang penting?”
“Ya. Aku harus memberitahukan
bahwa putera Ki Gede Pemanahan bersama Agung Sedayu dan Swandaru Geni tanpa
setahu Ki Gede sendiri pergi ke Alas Mentaok.”
“Alas Mentaok?” beberapa mulut
bersama-sama mengulanginya.
“Ya.”
“Mengapa?”
“Tak seorang pun di antara
kami yang tahu. Apa perlunya maka putera Ki Gede itu pergi ke Mentaok.”
Para pengawal itu tidak
bertanya lagi. Prajurit itupun kembali memacu kudanya. Derap kakinya
melemparkan kepulan debu yang putih ditimpa sinar matahari yang telah menjadi
semakin condong ke barat.
Dengan tergesa-gesa prajurit
itu berusaha untuk dapat menyusul Ki Gede Pemanahan secepatnya. Ketika telah
dilewatinya beberapa padukuhan kecil, maka kemudian dilihatnya ujung
panji-panji. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah jawabnya nanti
apabila Ki Gede itu bertanya kepadanya, mengapa puteranya itu tidak dicegahnya?
Akhirnya kuda itu menjadi
semakin dekat. Beberapa orang di barisan yang paling belakang yang lebih dahulu
mendengar derap kakinya, segera berpaling. Ketika mereka melihat seekor kuda
berlari kencang, maka mereka pun menjadi terkejut.
“Apakah yang terjadi?”
pertanyaan itu mengetuk setiap dada para prajurit Pajang dan laskar Sangkal
Putung.
Untara dan Widura yang
kemudian mendengar derap itu pula, menjadi berdebar-debar. Seperti setiap
prajurit yang lain timbul pula pertanyaan di dalam dadanya, “Apakah yang telah
terjadi?”
Dalam pada itu terdengar Ki
Gede Pemanahan bertanya, “Siapakah yang berkuda itu?”
“Seorang prajurit pengawal
yang kita tinggalkan di Benda, Ki Gede” sahut Untara.
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Ketika orang berkuda itu menjadi semakin dekat, maka Ki Gede itu
berkata, “Mungkin ia membawa persoalan yang segera perlu kau ketahui Untara.”
“Ya, Ki Gede” sahut Untara
yang kemudian melambaikan tangannya memanggil prajurit itu.
Kuda itu pun kemudian berlari
mendahului barisan yang menjelujur di sepanjang jalan. Beberapa langkah dari
Untara prajurit itu segera meloncat turun.
“Apakah ada sesuatu yang
penting?” bertanya Untara.
“Penting bagi Ki Gede
Pemanahan” sahut prajurit itu.
Ki Gede yang mendengar jawaban
itu segera bertanya, “Penting bagiku? Apakah itu?”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Baru ketika Untara menyuruhnya mengatakan, ia berkata, “Ki Gede,
Putera Ki Gede bersama Adi Agung Sedayu dan Adi Swandaru telah pergi
meninggalkan Benda ke arah barat. Menurut keterangannya, mereka bertiga akan
pergi ke Alas Mentaok.”
“He?” bukan main terkejut Ki
Gede Pemanahan, Untara, Widura dan orang-orang lain yang mendengarnya, sehingga
sejenak justru mereka terdiam.
Barisan yang panjang itu pun
kemudian berhenti dengan sendirinya. Mereka yang tidak mendengar laporan itu
bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi berita itu pun kemudian menjalar dari
mulut ke mulut, dari ujung terdepan merambat sampai ke ujung belakang. Hampir
semua orang menggeleng-gelengkan kepala mereka.
“Bukan main” gumam salah
seorang prajurit.
“Mereka adalah anak-anak muda
yang berani” sahut yang lain. “Tetapi apakah kepentingan mereka?”
Untara dan Widura pun berdiri
terpaku. Mereka sejenak saling berpandangan, namun tak sepatah kata pun yang
mereka katakan. Sesaat kemudian terdengar Ki Gede Pemanahan bertanya, “Apakah
mereka sudah lama pergi? Dan apakah mereka berkuda?”
“Tidak, Ki Gede. Mereka
berjalan kaki. Mereka berangkat sejenak setelah pasukan ini meninggalkan Desa
Benda.”
“Kenapa baru sekarang kau
memberitahukan?” bertanya Ki Gede.
Prajurit itu terdiam. Ia tidak
tahu bagaimana ia akan menjawab. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Sejenak
mereka saling berdiam diri. Ki Demang Sangkal Putung yang mendengar berita itu
pun segera pergi ke ujung barisan. Namun ketika dilihatnya Untara, Widura dan
beberapa orang yang lain terpaku diam, maka Ki Demang Sangkal Putung pun tidak
bertanya apa-apa lagi.
“Hem” Ki Gede Pemanahan
kemudian menarik napas dalam-dalam. “Anak itu memang nakal.”
Tetapi kata-katanya tidak
dilanjutkannya. Ki Gede itu mencoba membayangkan perjalanan yang akan dilalui
oleh puteranya beserta Agung Sedayu dan Swandaru. Ki Gede Pemanahan meskipun
hanya sekilas telah melihat, bagaimana Agung Sedayu dan Swandaru menggerakkan
pedangnya.
Perjalanan ke Alas Mentaok
bukanlah perjalanan yang menyenangkan seperti sebuah tamasya. Yang dihadapi di
dalam perjalanan itu adalah alam yang keras dan mungkin juga para penjahat.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak
sempat memberi pesan apa pun kepada puteranya yang nakal itu.
Sebagai seorang senapati perang,
Panglima Wira Tamtama, maka Ki Gede Pemanahan pun pernah mengunjungi
daerah-daerah di seberang hutan Mentaok. Karena itu maka Ki Gede dapat
membayangkan apakah yang akan ditemui puteranya di sepanjang jalan.
Ki Gede Pemanahan itu pun kini
berdiri dalam kebimbangan. Perasaannya menjadi sangat berat untuk membiarkan
puteranya dengan dua anak-anak muda itu tanpa berbuat sesuatu. Tetapi ia tidak
melihat seorang pun yang dapat diperintahkannya menyusul mereka. Untara atau
Widura bukanlah seorang yang akan dapat melindungi Sutawijaya, sebab menurut
penilaian Ki Gede Pemanahan, Untara tidak lebih cakap berolah pedang dan tombak
daripada Sutawijaya sendiri.
Tetapi Ki Gede Pemanahan
sendiri sudah tentu tidak akan dapat meninggalkan Pajang terlampau lama untuk
menyusul puteranya. Belum pasti puteranya itu segera dapat diketemukan. Apabila
anak-anak muda itu sudah masuk kedalam hutan, maka mencari seseorang di dalam
hutan adalah sama sulitnya dengan mencarinya di dalam kota yang ramai. Bahkan
mungkin di dalam kota masih sempat bertanya-tanya, siapakah di antara
orang-orang kota yang pernah melihat orang yang ciri-cirinya dapat dikenal.
Tetapi di dalam hutan, pepohonan justru menjadi tempat-tempat bersembunyi yang
baik.
Ki Gede Pemanahan seolah-olah
berdiri di persimpangan jalan antara kekhawatirannya tentang anaknya dan
kewajibannya sebagai seorang Panglima. Saat ini Pajang masih sedang dalam
pergolakan. Pajang masih mendapat penilaian daripada para adipati di sepanjang Pantai
dan adipati di wilayah Demak lainnya bagian timur. Apakah Pajang akan mampu
berdiri tegak menggantikan Demak. Karena itu, maka Panglima Wira Tamtama selalu
harus berada di tempatnya.
Dalam kebingungan itu Ki Gede
Pemanahan berkata, “Marilah kita teruskan perjalanan ini. Biarlah kita
pertimbangkan sesudah kita sampai di induk Kademangan Sangkal Putung.”
“Marilah Ki Gede,” sahut
Untara, yang kemudian kepada prajurit yang membawa berita tentang kepergian
Sutawijaya, Untara berkata, “Kembalilah ke tempatmu.”
Prajurit itu pun menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, “Baik.”
Ketika Ki Gede Pemanahan
kemudian berjalan kembali diikuti oleh seluruh barisan, maka prajurit itu pun
kembali ke Benda untuk meneruskan tugasnya.
Di sepanjang jalan Ki Gede
Pemanahan hampir tidak berkata sepatah kata pun. Hatinya menjadi risau dan
gelisah. Kedatangannya di Sangkal Putung ternyata menjadikannya bingung setelah
beberapa kali ia menemui kekecewaan.
Tetapi di sepanjang jalan itu
pula ia menemukan keputusan. Sebagai seorang panglima, maka ia tidak dapat
meninggalkan tugasnya. Ia harus segera kembali ke Pajang sesuai dengan rencana
yang telah dibuatnya. Ia akan mengatakan apa yang terjadi sebenarnya dengan
puteranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Karena Sutawijaya
itu telah diambil putera pula oleh Adipati Pajang, maka sudah tentu Adipati
Pajang akan menanyakannya. Baru apabila ia mendapat perintah untuk mencari
puteranya, ia akan berangkat dengan menanggalkan baju kebesarannya sebagai
seorang panglima, sementara ia pergi.
Karena itu, maka ketika mereka
telah sampai di Sangkal Putung, Ki Gede segera memberitahukan kepada Untara dan
Widura bahwa ia tidak akan merubah rencana.
Dengan demikian, maka segera
setelah mereka beristirahat di Banjar Desa Sangkal Putung, Ki Gede Pemanahan
memanggil Untara, Widura, dan para perwira yang dibawanya dari Pajang.
“Kita besok harus kembali
membawa orang-orang Jipang itu sesuai dengan rencana” berkata Ki Gede Pemanahan
kepada para pengawalnya.
“Ya, Ki Gede” sahut salah
seorang dari mereka.
“Tetapi kita harus
mempertimbangkan keadaan. Bagaimana dengan pertimbanganmu, Untara. Apakah kau
dapat menganggap cukup dengan membagi prajuritmu menjadi dua. Separo ikut aku
mengawal orang-orang Jipang itu ke Pajang, dan yang separo tinggal di Sangkal
Putung?”
“Bagi Sangkal Putung, separo
dari prajurit-prajurit Pajang itu telah cukup untuk melindungi Kademangan ini.
Tetapi yang aku cemaskan justru perjalanan Ki Gede. Apabila perjalanan Ki Gede
bertemu dengan laskar Tambak Wedi dan Sanakeling, kita belum tahu pasti apakah
orang-orang Jipang yang sudah menyerah ini tidak akan terlibat dalam
pertempuran itu. Meskipun mereka tidak bersenjata, tetapi jumiah mereka cukup
banyak untuk menentukan keadaan,” jawab Untara.
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Untara. Karena itu, maka
katanya kemudian kepada perwira bawahannya yang dibawanya dari Pajang, “Dua di
antara kalian malam ini kembali ke Pajang. Kalian harus melaporkan keadaan kami
di sini. Tetapi ingat, jangan kau katakan apapun tentang Sutawijaya. Aku
sendiri yang akan menyampaikannya kepada Adipati Pajang. Kemudian mintalah
kepada Adi Adipati supaya memberimu ijin membawa limapuluh prajurit berkuda
Wira Tamtama untuk membantu pengawalan orang-orang Jipang itu. Dengan demikian
kita terpaksa menunda saat kembali ini dengan semalam lagi.”
“Baik, Ki Gede” sahut perwira
itu. “Kedua orang di antara kami akan segera berangkat sebelum gelap.”
Demikianlah maka segera mereka
menentukan dua orang di antara para pengawal itu untuk kembali ke Pajang.
Sementara itu mereka telah mempergunakan waktu beristirahat sebaik-baiknya.
Para prajurit yang lain pun segera bertebaran di tempat masing-masing. Di
banjar desa dan yang lain ke kademangan dan rumah-rumah yang ditentukan.
Sementara itu Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru, berjalan secepat-cepatnya menuju ke hutan yang
semakin dekat di hadapan mereka. Sutawijaya masih merasa cemas kalau-kalau
ayahnya datang menyusul mereka, sehingga apabila mereka telah berada di dalam
hutan itu, maka kesempatan untuk menyembunyikan diri menjadi lebih besar.
Matahari yang merangkak di
langit kini menjadi semakin rendah. Cahayanya tidak lagi terasa membakar kulit,
tetapi karena mereka berjalan ke arah barat, maka mereka pun kini menjadi
silau.
“Di hutan itukah Tohpati
dahulu menyembunyikan diri?” bertanya Sutawijaya.
“Ya,” jawab Agung Sedayu,
“agak ke tengah.”
“Apakah kau pernah
melihatnya?”
“Belum” sahut Agung Sedayu.
“Marilah kita lihat.”
“Marilah,” tiba-tiba Swandaru
menyela, “aku juga ingin melihatnya.”
“Belum ada yang pernah melihat
di antara kita” berkata Agung Sedayu.
“Kita dapat mencarinya” jawab
Swandaru.
“Bukan pekerjaan yang mudah.
Kita akan kehilangan waktu untuk suatu kerja yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan maksud kepergian kita.”
“Tidak apa” potong Sutawijaya.
“Kita memberikan waktu sejenak.”
Agung Sedayu tidak menjawab
lagi. Kedua kawannya telah sependapat untuk pergi melihat-lihat bekas sarang
orang-orang Jipang itu. Karena itu, maka ia harus tunduk dan mengikutinya.
Ketika mereka telah hampir
sampai ke tepi hutan itu, maka segera Sutawijaya memperhatikan rerumputan di
hadapan langkah kakinya. “Hati-hati,” seakan-akan ada yang dicarinya.
“Adakah yang tuan cari?”
bertanya Swandaru.
“Ada” sahut Sutawijaya.
“Apa?”
Sutawijaya tidak segera
menjawab. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, “Itulah.”
Agung Sedayu segera
mengetahuinya, bahwa Sutawijaya sedang mencari jejak kaki orang-orang Jipang.
Orang-orang Jipang yang pagi itu telah meninggalkan sarang mereka untuk
menyerahkan diri mereka ke Sangkal Putung.
“Itulah salah satu tanda yang
dapat kita ikuti” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ujung-ujung ilalang yang
terpatah-patahkan oleh injakan kaki.
“Kita mengikuti arah itu.
Berlawanan dengan arah yang mereka tempuh.”
Kedua kawan-kawannya tidak
menjawab. Mereka berjalan saja di samping Sutawijaya. Sejenak lagi mereka akan
sampai kehutan yang sejuk. Panas matahari tidak lagi menyentuh tubuh mereka
karena daun pepohonan yang lebat dan rimbun.
Demikian mereka menginjakkan
kaki-kaki mereka di batas hutan itu, maka Sutawijaya segera berkata, “Di sini
kita mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Lihat iring-iringan itu pasti
telah melewati jalan ini pula. Ranting-ranting yang patah, dan dedaunan yang
terinjak-injak itu akan menjadi penunjuk jalan yang baik. Marilah kita ikuti.
Kita harus menemukan perkemahan itu sebelum senja.”
Tetapi ketika Agung Sedayu
menengadahkan wajahnya, maka ia menggelengkan kepalanya sambil bergumam,
“Matahari telah turun terlampau cepat. Aku tidak yakin bahwa kita akan sampai
sebelum senja. Kalau kita dapat menentukan jalan memintas, maka kita akan dapat
mencapainya. Tetapi aku kira jalan yang dilalui oleh orang-orang Jipang dalam
rombongan yang besar ini adalah jalan yang paling mudah, bukan yang paling
dekat.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun mempunyai perhitungan yang serupa,
tetapi ia menjawab, “Marilah kita coba.”
Kembali mereka bertiga
berjalan beriringan. Kali ini mereka berjalan di antara pepohonan yang belum
terlampau pepat. Yang banyak mereka lintasi barulah gerumbul-gerumbul yang
bertebaran di sana-sini. Satu dua mereka melintasi pohon-pohon yang cukup
besar. Namun sejenak kemudian, hutan itu pun menjadi semakin pepat. Pepohonan
menjadi semakin padat dan gerumbul-gerumbulnya pun menjadi semakin rapat.
Bahkan di sana-sini mereka harus melewati rumpun-rumpun berduri.
Namun Sutawijaya yang berjalan
di paling depan tidak kehilangan jejak. Semakin rimbun hutan itu, semakin
jelaslah bekas-bekas rombongan orang-orang Jipang. Semakin banyak
ranting-ranting yang patah dan mereka patahkan untuk memberi jalan kepada
kawan-kawan mereka yang masih di belakang. Daun-daun yang menjorok ke dalam
barisan dan duri-duri yang berada di depan rombongan itu telah disingkirkan.
Ketika Sutawijaya melihat
sebuah tikungan yang lengkung dari bekas orang-orang Jipang itu, kemudian satu
putaran lagi di hadapan mereka, terdengar ia bergumam, “Ya, orang-orang Jipang
ini mengambil jalan yang paling mudah, bukan yang paling dekat. Seandainya kita
tahu jalan memintas maka kita akan sampai ke tempat itu segera.”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Tetapi dengan mengikuti jejak ini kita pasti akan sampai. Kalau kita memilih
jalan sendiri bahkan mungkin kita sama sekali tidak akan menemukan perkemahan
itu.”
“Ya, aku sependapat,” jawab
Sutawijaya, “karena itu, mari kita percepat jalan kita.”
Langkah mereka pun menjadi
semakin cepat dan panjang. Mereka ingin berlomba dengan waktu. Namun setiap
kali terasa bahwa jalan mereka terlampau lambat. Meskipun mereka telah meloncat-loncat,
berlari-lari kecil. Namun matahari serasa meluncur amat cepatnya ke atas
cakrawala. Sinarnya yang kemudian menjadi kemerah-merahan tampak bergayutan di
tepi-tepi awan yang bergerak di langit yang biru.
Tetapi matahari itu pun turun
lebih rendah lagi. Hampir hilang ditelan punggung-punggung bukit. Sehingga
hutan itu pun kini menjadi semakin kabur.
“Apakah perkemahan itu masih
jauh?” bertanya Sutawijaya.
“Aku tidak tahu” sahut Agung
Sedayu, “Aku belum pernah sampai ke perkemahan itu.”
Sutawijaya terdiam. Kini ia
menjadi semakin sukar untuk mengenal bekas-bekas yang telah di buat oleh
rombongan orang-orang Jipang yang menyerah. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya itu
berteriak, “Ha, lihat. Ini adalah sebuah gardu peronda yang telah mereka buat.”
Agung Sedayu dan Swandaru
segera melihat di belakang sebuah pohon yang cukup besar, tampak sebuah atap
ilalang yang cukup untuk berteduh dua orang bersama-sama.
“Kita hampir sampai” desis
Sutawijaya.
Mereka pun terdiam. Dengan
penuh perhatian mereka memandangi keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka
maju lagi, maka segera mereka mengenal tempat itu. Tempat itu pasti tempat
orang-orang Jipang berkemah. Sebuah halaman yang kotor dan di sana-sini mereka
melihat batang-batang kayu yang telah tumbang. Karena itu maka tempat itu
menjadi agak lebih terang dari tempat-tempat yang lain karena sisa-sisa sinar
senja.
“Kita sudah sampai. Tetapi
kita harus menemukan gubug-gubug mereka di sekitar tempat ini.”
“Sudah dekat sekali,” desis
Swandaru, “tidak ada seratus langkah kita akan sampai.”
“Belum pasti” jawab
Sutawijaya.
Kembali mereka terdiam. Hutan
itu menjadi semakin suram. Sekali-sekali mereka terpaksa menggaruk-garuk tubuh
mereka karena gigitan nyamuk yang berterbangan.
Dan kini langkah mereka
terhenti. Kembali Sutawijaya berteriak, “Nah, itulah. Kau lihat?”
“Ya” hampir bersamaan Agung
Sedayu dan Swandaru menyahut.
Di dalam kesuraman senja,
mereka melihat beberapa buah gubug berdiri berjajar-jajar. Udara terasa sangat
lembab dan pengab. Tetapi gubug-gubug itu adalah gubug yang kecil-kecil.
“Kita melihat-lihat
keadaannya” berkata Sutawijaya. “Tetapi hati-hatilah. Siapa tahu, di dalam
perkemahan itu masih ada beberapa orang yang berkeras kepala.”
“Marilah” sahut Agung Sedayu
dan Swandaru Geni. Mereka pun kemudian mencabut senjata-senjata mereka dan
berjalan hati-hati mendekati gubug-gubug itu.
“Sepi” bisik Sutawijaya.
“Sudah kosong” sahut Swandaru.
“Terlampau sedikit” berkata
Sutawijaya kemudian. “Di sekitar tempat ini pasti masih ada perkemahan lagi.”
“Mungkin” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi biarlah. Hari telah
gelap. Aku kira akan berbahayalah bagi kita apabila kita merayap-rayap di dalam
gelap di tempat yang belum kita kenal. Tetapi menilik tempat-tempat penjagaan
telah dikosongkan, maka perkemahan ini pun pasti telah kosong. Seandainya ada
tempat-tempat lain di sekitar tempat ini pun pasti benar-benar telah menjadi
kosong pula.”
“Ya” desis Agung Sedayu dan
Swandaru bersama-sama.
“Kita bermalam di sini”
berkata Sutawijaya. “Kita akan mendapat tempat untuk tidur.”
“Kita lihat dahulu di dalam
gubug-gubug itu, apakah mungkin kita tidur di dalamnya?” berkata Swandaru.
“Marilah” sahut Sutawijaya.
Maka dengan hati-hati ketiga
anak-anak muda itu pun memilih satu di antara kemah-kemah yang kosong itu.
Mereka pun kemudian melangkah ke pintunya.
“Siapa di dalam?” desis
Sutawijaya, tetapi kemudian anak muda itu tertawa.
“Mengapa Tuan tertawa?”
bertanya Swandaru.
“Aku merasa geli sendiri.
Kenapa aku bertanya?”
“Kalau Tuan mendengar jawaban
maka Tuan pasti akan lari” berkata Swandaru.
“Kalau ada yang menjawab di
dalam, maka ia akan aku sobek perutnya dengan tombak ini.”
“Bukankah gubug itu kosong?”
berkata Swandaru
“Ya, kenapa ada jawaban?”
“Itulah. Kalau ada jawaban
dari dalam gubug yang kosong dan gelap-kelam itu, maka pasti bukan jawaban yang
keluar dari mulut orang-orang Jipang. Bukan pula keluar dari mulut orang
manapun.”
Sekali lagi Sutawijaya
tertawa. Katanya, “Ha. kau sudah mulai membayangkan, bahwa di dalam gubug itu
akan kau temui sebuah kerangka yang akan menyambut kehadiranmu.”
Swandaru dan Agung Sedayu
tertawa. Tanpa mereka sadari maka mereka pun memandang berkeliling. Gelap malam
telah mulai menyelubungi hutan itu sehingga gubug-gubug di sekitar mereka kini
hanya tampak sebagai onggokan bayangan-bayangan hitam. Tiba-tiba bulu kuduk
Swandaru meremang.
“Ngeri” desisnya.
“Kenapa?”
“Aku seolah-olah merasa berada
di tengah-tengah kuburan. Bayangan-bayangan hitam itu seperti bayangan-bayangan
cungkup yang bertebaran. Aku lebih baik merasa berada di tengah-tengah hutan
yang lebat. Aku tidak takut diterkam macan.”
Kini Sutawijaya dan Agung
Sedayu tidak dapat menahan tertawanya. Suara tertawa itu telah menggetarkan
hutan yang sepi. Berkepanjangan, seolah-olah telah membangunkan dedaunan yang
telah mulai tidur lelap.
Tetapi akhirnya Swandaru
sendiri turut tertawa pula.
“Marilah kita masuk” ajak
Sutawijaya.
“Gelap” sahut Swandaru.
“Tidak ada kerangka yang hidup
di dalam gubug itu. Kalau ada kerangka itu pasti sudah menyambut kita di muka
pintu ini” sela Agung Sedayu.
Namun kembali bulu-bulu mereka
meremang, bukan saja Swandaru. Ketika angin yang lemah berdesir menyentuh
leher-leher mereka, maka tanpa mereka sengaja mereka menjadi semakin
berhati-hati.
Di kejauhan ketiga anak-anak
muda itu mendengar suara burung hantu memekik-mekik. Sedang malam pun menjadi
semakin gelap pula. Tiba-tiba terdengar Sutawijaya berkata, “Siapa di antara
kita yang membawa titikan? Kita sebaiknya membuat api.”
“Aku” sahut Swandaru sambil
mencari sesuatu di kantong bajunya. “Aku selalu membawa titikan. Setiap kali
Sekar Mirah minta aku membuat api untuknya, apabila api di dapur padam dan
beberapa orang pembantunya akan merebus air dan menanak nasi di pagi hari.”
“Ha,” seru Sutawijaya,
“buatlah api.”
“Apakah yang akan kita bakar?
Kita belum mengumpulkan kayu atau sampah.”
“Sampah telah cukup terkumpul”
potong Agung Sedayu. Tiba-tiba tangannya meraih atap gubug yang terbuat
daripada ilalang. Sekali tangan kirinya merenggut, maka segenggam ilalang telah
didapatkannya.
“Hanya segenggam?” bertanya
Swandaru.
“Kalau kurang, maka dua tiga
buah gubug akan kita bakar” sahut Agung Sedayu.
Ketiga anak-anak muda itu pun
tertawa. Swandaru kemudian menyarungkan pedangnya dan dengan hati-hati membuat
api dengan batu titikan dan emput lugut aren yang telah dihaluskan. Sekali dua
kali akhirnya lugut aren itu pun membara.
“Hembuslah kuat-kuat di atas
ilalang ini” katanya kepada Agung Sedayu.
Maka kemudian mereka bertiga
pun bergantian menghembus emput itu. Bara emput itu pun kemudian menjalar dan
sejenak kemudian ilalang di dalam genggaman tangan Agung Sedayu itu pun mulai
menyala.
“Cari yang lain,
sebanyak-banyaknya” berkata Agung Sedayu.
Sutawijaya dan Swandaru pun
kemudian berebutan merenggut ilalang atap gubug dan meletakkannya di atas
tanah. Dengan api di tangannya Agung Sedayu pun kemudian membakar ilalang itu.
Mereka bertiga pun kemudian
mencari sampah-sampah yang agak basah ditimbunkannya ke dalam api supaya
perapian itu tidak lekas habis.
“Kalau ada kita beri kayu di
atasnya,” gumam Sutawijaya, “supaya semalam suntuk api tidak padam.”
“Dari manakah kita mendapatkan
kayu?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu menebarkan
pandangannya berkeliling. Karena api yang menyala di perapian itu, maka
dilihatnya beberapa buah gubug berdiri bertebaran, seolah-olah betapa lelahnya.
Sebagian dari mereka telah menjadi condong dan bahkan sebagian yang lain telah
hampir roboh.
“Bukankah tiang-tiang gubug
itu sebagian terbuat dari kayu dan sebagian yang lain dari bambu?” gumam Agung
Sedayu.
Sutawijaya pun kemudian
menyahut, “Bagus, kita robohkan salah satu daripadanya.”
Mereka bertiga pun kemudian
meletakkan busur masing-masing dan Agung Sedayu pun menyarungkan pedangnya
pula, sedang Sutawijaya menyandarkan tombaknya di dekat perapian itu. Setelah
menyingsingkan lengan baju mereka, maka segera mereka pun bekerja. Mereka telah
merobohkan sebuah gubug dan mengambil segenap kayu yang ada. Mereka melemparkan
kayu-kayu itu ke atas perapian dan membiarkannya terbakar.
“Perapian ini akan tahan
semalam suntuk” gumam Sutawijaya.
“Ya, kita tidak akan
kedinginan” sahut Swandaru.
“Tetapi kita tidak akan dapat
tidur bersama-sama” berkata Sutawijaya kemudian. “Kita lebih baik tidur di
samping perapian ini, tidak di dalam gubug meskipun kita tidak takut kepada
kerangka-kerangka yang menunggui gubug-gubug itu. Atau mungkin banaspati atau
semacam wedon. Tetapi di sini kita lebih aman. Kita dapat melihat keadaan di
sekitar kita dalam jarak yang cukup.”
“Tetapi kita akan menjadi
tontonan di sini,” sahut Swandaru, “kalau ada orang yang bersembunyi di dalam
gelap itu, maka mereka akan melihat kita dengan leluasa.”
“Tak ada orang di sekitar
tempat ini” jawab Sutawijaya. “Atau kita tidak terlampau dekat dengan api,
supaya kita tidak terlampau jelas dilihat dari kegelapan.”
“Mungkin tetekan, peri atau
prayangan yang mengintip kita” berkata Agung Sedayu. “Kalau demikian, maka
meskipun kita berada di dalam kegelapan pun mereka akan dapat melihat.”
“Huh. Kita bicarakan yang
lain,” potong Swandaru, “bukan tentang hantu-hantuan saja.”
Kedua kawan-kawannya tertawa.
Swandaru pun kemudian tertawa pula.
“Hem,” desis Suiawijaya,
“alangkah nyamannya kalau kita mendapat daging kijang. Kita panggang di atas
api.”
“Di sekitar tempat ini pasti
ada kijang.”
“Kalian sering berburu?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Kakang Untara sering berburu, bahkan sejak kecil.”
“Kau tidak ikut?”
“Jarang sekali. Kalau ibu
tahu, maka Kakang Untara pasti dimarahi.”
“He?” Sutawijaya menjadi
heran. “Ibumu tidak mengijinkan?”
Agung Sedayu menggeleng,
“Dahulu tidak.”
“Aku sering berburu juga
bersama Ayah. Tetapi mencari kijang lebih baik di siang hari. Malam hari kita
jarang-jarang menemui binatang selain binatang buas yang sedang mencari makan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Anak itu tidak pernah pergi berburu selain berburu kambing di
kandang rumahnya. Karena itu, ia sama sekali tidak tahu, bagaimanakah caranya
harus memburu kijang.
Kini mereka terdiam sejenak.
Mereka duduk memeluk lutut mereka. Namun senjata-senjata mereka tetap
tergantung di lambung dan busur-busur mereka berada di sisi, sedang Sutawijaya
memeluk tombak pendeknya sambil memandangi nyala api yang seakan-akan
melonjak-lonjak.
Angin malam semakin lama
menjadi semakin sejuk. Tetapi panas perapian telah menghangatkan tubuh mereka.
Lidah api yang merah menggapai-gapai seperti sedang menari. Cahayanya yang
melekat di dedaunan bergetaran meloncat dari lembar ke lembar yang lain.
Terkantuk-kantuk Swandaru
menguap sambil bergumam, “Siapakah yang akan tidur lebih dahulu?”
“Kau sudah kantuk?” bertanya
Agung Sedayu.
“Ya. Apakah aku dapat tidur
lebih dahulu? Setelah tengah malam maka berganti aku yang jaga?”
“Pikiran yang bagus,” sahut
Sutawijaya, “tetapi bagaimana kalau kau kami tinggalkan di sini seorang diri?
Ketika kau kemudian membuka mata di tengah malam, kau dikerumuni oleh
kerangka-kerangka yang bangkit dari dalam tanah? Kau pasti tahu bahwa di
sekitar perkemahan ini pasti ada kuburan. Kuburan orang-orang Jipang yang
terbunuh di peperangan atau yang mati karena luka-lukanya?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ditebarkannya pandangannya berkeliling. Dilihatnya dari
dalam gelap bayangan api yang kemerah-merahan seperti hantu yang sedang
menari-nari, bahkan kemudian seperti serombongan hantu yang siap menerkamnya.
Tetapi Swandaru bukan seorang penakut. Bahkan kemudian ia tertawa sambil
berkata, “Lihat, itu mereka telah datang.”
Sutawijaya dan Agung Sedayu
pun tertawa. Tanpa mereka kehendaki mereka memandang ke arah ujung jari
Swandaru yang menunjuk bayangan api yang satu-satu jatuh ke dalam gelap.
Tetapi tiba-tiba Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Ia melihat bayangan di tempat yang terlampau jauh.
Bayangan yang terlampau terang dibandingkan dengan jarak antara perapiannya dan
tempat itu. Apalagi pepohonan dan dedaunan yang menghalanginya, pasti akan
menutup jauh lebih banyak dari apa yang dilihatnya. Karena itu, maka Sutawijaya
itu pun tiba-tiba berdiri. Digenggamnya tombak pendeknya erat-erat.
“Apa yang Tuan lihat?”
bertanya Swndaru.
“Kau lihat bayangan api di
kejauhan itu?” bertanya Sutawijaya.
“Ya” sahut Swandaru.
“Kau lihat keanehannya?”
bertanya Sutawijaya pula.
Swandaru menjadi heran
mendengar pertanyaan itu. Semula ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas
bayangan api itu. Namun ternyata bayangan itu semakin lama menjadi semakin
besar. Di kejauhan itu kemudian tampaklah warna merah yang memancar bertebaran
seperti pancaran api dari perapian mereka.
“Perapian” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan iapun mengulanginya, “Perapian.”
“Ya” sahut Sutawijaya,
“Seseorang telah menyalakan perapian.”
“Siapa?” desis Swandaru
kemudian.
Sutawijaya menggelengkan
kepalanya, “Kita tidak tahu.”
Sejenak kemudian mereka
terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa di sekitar
tempat itu, masih juga ada seseorang setidak-tidaknya, yang mungkin telah
melihat mereka bertiga.
“Tetapi apa maksudnya membuat
perapian itu?”
Pertanyaan itu timbul di dalam
dada ketiga anak-anak muda itu.
“Siapkan senjata kalian”
berkata Sutawijaya. “Kita yang akan datang melihatnya. Kita tidak akan menunggu
sampai seseorang datang kepada kita dengan maksud apa pun.”
“Marilah” jawab Agung Sedayu
dan Swandaru hampir bersamaan.