Tetapi yang terdengar adalah
suara tertawa lemah. Suara itu melontar dari balik sebatang pohon yang besar.
Hampir bersamaan muncullah sebuah bayangan hitam, berjalan beberapa langkah
mendekati mereka.
“Hem, kalian telah terbenam
dalam kepentingan kalian masing-masing sehingga kalian tidak sempat
memperhatikan saat-saat yang paling berbahaya dalam hidup seseorang.”
Agung Sedayu tersentak.
Tiba-tiba dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Kiai Gringsing.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
la berjalan terus ke arah orang yang terbaring itu. Dengan cekatan ia
memijit-mijit beberapa bagian dari sisi luka itu, kemudian mengambil sebungkus
ramu-ramuan obat-obatan dari dalam bajunya.
Terdengar orang itu berdesis,
kemudian mengerang semakin keras.
“Memang agak pedih,” berkata
Kiai Gringsing, “mudah-mudahan akan dapat menolongmu” berkata Kiai Gringsing
sambil mengusap luka itu dengan ramuan obatnya.
Kemudian kepada Agung Sedayu
ia berkata, “Bawalah orang ini ke tepi hutan. Carilah air untuknya, dan bawalah
ke banjar desa bersama orang-orang lain yang terluka.”
“Kiai,” potong Sumangkar,
“apakah artinya ini?”
Kiai Gringsing berpaling.
Dipandanginya wajah Sumangkar dalam kesamaran gelap malam.
“Biarlah aku mencoba menolong
jiwanya. Aku adalah seorang dukun. Aku tidak dapat melihat seseorang yang
berjuang melawan maut tanpa berbuat apa-apa. Sedang kalian masih saja
bertengkar tanpa ujung pangkal. Sehingga aku tidak tahan lagi bersembunyi
sambil mendengar keluhan ini.”
“Lalu, maksud Kiai
seterusnya.”
“Biarlah Agung Sedayu kembali
ke Sangkal Putung. Akulah yang akan mengambil alih tugasnya” sahut Kiai
Gringsing.
Mendengar jawaban Kiai
Gringsing itu wajah Sumangkar menjadi merah padam. la tahu benar arti kata-kata
itu. Dan ia tahu, akibat dari kata-kata itu pula. Karena itu sesaat ia
terbungkam.
Bukan saja Sumangkar yang
terkejut, tetapi juga Agung Sedayu terkejut. Dengan ragu-ragu ia berkata,
“Kiai, apakah Kakang Untara akan membenarkan?”
“Kakangmu tidak akan berbuat
apa-apa. Baginya, siapa saja yang melakukan perintahnya tidak ada bedanya.”
Sedayu masih ragu-ragu. la
masih saja berdiri di tempatnya. Sehingga Kiai Gringsing berkata pula, “Selagi
masih ada kesempatan, maka setiap jiwa yang terancam maut harus mendapat
pertolongan. Adalah wajib kita berusaha, namun apabila ditentukan lain, kita
manusia tidak dapat melawan kehendak-Nya.”
Tetapi Agung Sedayu masih
ragu-ragu. Dan karena Agung Sedayu ragu-ragu, Kiai Gringsing berkata, “Agung
Sedayu, pergilah. Bukankah kau masih dapat mengenal jalan kembali. Tempat ini
masih belum terlampau dalam. Kau dapat mengikuti jejak prajurit Jipang dalam
arah yang berlawanan.”
“Tetapi perintah itu?”
“Serahkan kepadaku. Kakakmu
adalah seorang Senapati yang cerdik. Aku tahu benar, kenapa yang
diperintahkannya adalah kau. Bukan orang lain. Padahal Untara tahu, siapakah
Adi Sumangkar itu. Kakakmu pasti mempunyai perhitungan sendiri. Ia pasti, bahwa
aku tidak akan melepaskan kau sendiri dalam tingkat sekarang. Sebab kakakmu
segan untuk langsung meminta aku melakukan pekerjaan ini.”
Terasa sesuatu bergetar di
dada Agung Sedayu. Ternyata bukan dirinya sendirilah sasaran dari perintah
kakaknya. “Hem,” Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Terdengarlah pula Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Bahkan seakan-akan orang tua itu mengeluh.
“Sekarang pergilah” perintah
Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak dapat
menghindar lagi. Perintah kakaknya baginya sama beratnya dengan perintah
gurunya. Namun bahwa gurunya akan mengambil alih tugasnya, telah membesarkan
hatinya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
menyarungkan pedangnya. Dan perlahan-lahan pula ia berjongkok di samping
gurunya. Dengan hati-hati, orang yang terluka itu dipapahnya pada kedua
tangannya.
“Berat?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Cukup berat,” sahut Agung
Sedayu.
“Hati-hatilah. Kalau kau telah
memberinya minum maka orang itu akan dapat kau papah pada lambungnya. Mungkin
ia dapat menggantungkan dirinya pada pundakmu. Kalau tidak, kau masih harus
mengangkatnya sampai ke banjar desa.”
Agung Sedayu mengangguk,
jawabnya, “Baik Kiai.”
Ketika Agung Sedayu kemudian
berputar dan melangkah, terdengar Sumangkar menggeram. “Kiai, ternyata senapati
Pajang itu tidak berkata sejujur hatinya.”
“Kenapa?” sahut Kiai
Gringsing.
Agung Sedayu yang mendengar
perkataan Sumangkar itu berhenti sambil berpaling. Tetapi Kiai Gringsing
berkata, “Berjalan terus Sedayu. Jangan menunggu orang itu mati.”
Sedayu mengangguk. Ia
melangkah kembali meninggalkan gurunya dan Sumangkar masuk ke dalam gelapnya
malam yang semakin kejam.
Orang di tangannya itu masih
mengerang. Bahkan terdengar ia berbisik, “Akan kau bawa kemana aku, Ki Sanak.”
“Mencari air,” sahut Agung
Sedayu.
Orang itu terdiam. Namun
perasaannya bergolak tidak menentu. la tidak tahu, apakah yang telah mendorong
prajurit Pajang itu menyelamatkannya. Karena itu, maka rasa heran dan haru
berkecamuk di dalam dadanya.
“Ki Sanak,” desisnya lirih,
“bukankah bagimu lebih mudah menusukkan pedangmu ke ulu hatiku dari pada
membawa aku mecari air?”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Dalam keadaan demikian Agung Sedayu sama sekali tidak teringat lagi batas
antara prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Namun perasaan kemanusiaannyalah
yang telah mendesak semua persoalan yang pernah ada antara dirinya, sebagai
seorang yang berada dalam barisan Pajang dan orang itu prajurit Jipang.
Sepeninggal Agung Sedayu, Kiai
Gringsing berdiri berhadapan dengan Sumangkar yang masih membawa tubuh Macan
Kepatihan di pundaknya. Keduanya berdiri tegak dalam jarak beberapa langkah
saja.
“Kiai,” berkata Sumangkar,
“kalau benar Angger Untara akan mengusahakan pengampunan kenapa Untara masih
dikungkung oleh perasaan curiga.”
“Kenapa?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Ternyata Untara masih
mengirim seseorang untuk mengikuti aku. Bukankah dengan demikian, pengampunan
yang dikatakan itu tidak lebih dari satu jebakan saja bagi Jipang.”
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai
Gringsing, “kita yang selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah
tentu tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap.
Sudah tentu bukan hanya Angger Untara yang bercuriga, bukankah kau bercuriga
pula? Bukankah kau bercuriga bahwa perkataan Untara itu hanya sekedar sebuah
pancingan.
“Kalau tidak,” sahut
Sumangkar, “ia tidak akan mengirim seseorang untuk mengikuti aku.”
“Tetapi sebelum kau temukan
Agung Sedayu di sini, kecurigaan telah ada di hatimu. Bukankah kau katakan
bahwa kau sudah menyangka bahwa seseorang akan mengikuti jejakmu? Bukankah itu
juga semacam perasaan curiga? Nah, kita sama-sama curiga. Lebih baik tidak usah
aku ingkari. Tetapi kecurigaan kami didasari atas kemauan yang baik. Siapa yang
menyerah, akan mendapat pergampunan meskipun tidak mutlak seperti kata-kata
Angger Untara. Yang tidak mau menyerah itulah yang akan dimusnakan. Karena itu
Angger Agung Sedayu harus tahu, jalan yang dapat ditempuh untuk menghancurkan
mereka yang membangkang perintah.”
Sumangkar masih saja berdiri
seperti patung. Namun hatinya berkata seperti apa yang dikatakan oleh Kiai
Gringsing itu pula, “Kita yang selama ini berdiri pada pihak yang bermusuhan,
sudah tentu tidak dapat melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam
sekejap.”
Tetapi Sumangkar masih ingin
menghindarkan diri dari jebakan yang mungkin dibuat oleh Untara. Katanya,
“Kiai, apakah tidak mungkin bahwa setelah Angger Untara mengetahui perkemahan
orang-orang Jipang, maka dengan serta merta dihancurkannya, tanpa menunggu
pernyataan mereka yang berhasrat untuk benar-benar mencari jalan kembali?”
“Kecurigaan itu beralasan”
sahut Kiai Gringsing. “Seperti juga Angger Untara bercuriga. Jangan-jangan
Sumangkar hanya ingin mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang untuk mendapat
kesempatan melepaskan bersama anak buah Tohpati. Apakah kami dapat mengetahui
dengan pasti, bahwa apa yang dikatakan oleh Sumangkar untuk kembali setelah
menguburkan mayat Tohpati dan bersedia menerima segala macam hukuman sebagai
janji yang pasti ditepati?”
“Apakah kalian orang-orang
Pajang tidak percaya kepadaku, Kiai?”
“Perasaan kami serupa. Seperti
kau tidak percaya bahwa kami yang benar-benar bertekad untuk menyelesaikan
persoalan ini sebaik-baiknya. Bahkan kau berprasangka, seolah-olah kami akan
menjebakmu dan orang-orang Jipang yang lain.”
Sumangkar terdiam sejenak.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berpikir. Kemudian terdengar ia
berkata, “Lalu, apakah yang akan kau lakukan kini, Kiai?”
“Meneruskan pekerjaan Agung
Sedayu.”
“Memata-matai aku?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau aku menolak.”
“Adi Sumangkar. Kalau aku
orang yang taat pada kewajibanku, maka aku harus menjawab seperti Agung Sedayu.
Apapun yang akan terjadi. Tetapi untuk menghindari hal-hal yang saling tidak
kita inginkan, maka aku dapat menjawab lain. Sebenarnya bagi Kiai Gringsing,
sama sekali tidak perlu, apakah Sumangkar sedang lewat, apakah ada bekas-bekas
anak buah Angger Tohpati, atau petunjuk-petunjuk yang lain. Bagi Kiai Gringsing
mencari perkemahanmu tidaklah sesulit mencari kutu di kepala.”
“Hem,” Sumangkar menggeram, disadarinya
kini dengan siapa ia berhadapan. Kiai Gringsing ternyata telah mengucapkan
tekadnya. Dalam pada itu kadang-kadang tumbuh lagi niatnya untuk membunuh
dengan meminjam tangan Kiai Gringsing, barangkali saat-saat yang sedemikian ini
dapat dimanfaatkannya. Kalau ia mencoba mengusir Kiai Gringsing, maka ada
kemungkinan mereka terlibat dalam perkelahian. Tetapi Sumangkar hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Ia telah menyanggupi, melakukan pesan terakhir Macan
Kepatihan. Mengubur mayatnya baik-baik.
Kata-kata Kiai Gringsing
itupun cukup tegas baginya, dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing mampu
melakukannya, mencari perkemahannya tanpa petunjuk-petunjuk apapun. Karena itu
maka akhirnya Sumangkar berkata, “Baiklah Kiai. Silahkan Kiai melakukan
pekerjaan Kiai Gringsing. Aku percaya, bahwa Kiai akan berhasil.”
“Terima kasih” sahut Kiai
Gringsing. “Tetapi aku harap kau tidak berprasangka. Angger Untara benar-benar
berkemauan baik untuk menyelesaikan persoalan sisa-sisa anak buah Tohpati
dengan menghindarkan pertumpahan darah sejauh mungkin. Seperti yang
dikatakannya, bahwa Panglima Wira Tamtama sendiri memberinya saran itu.”
“Ya. Ya, Kiai. Aku akan
berjalan terus membawa mayat Angger Macan Kepatihan di antara anak buahnya.
Mungkin mayat ini dan pesan-pesannya di saat terakhir akan bermanfaat bagi
penyelesaian itu. Aku akan mengakui kekuranganku, bahwa aku tidak dapat
menghalang-halangi Kiai.”
“Marilah kita menganggap bahwa
kita saat ini tidak bertemu. Aku akan mencari jalan sendiri, sehingga apabila
aku menemukan perkemahammu, bukanlah karena kesalahan Sumangkar, yang
seakan-akan telah menuntun musuhnya menemukan perkemahan sendiri.”
“Baik Kiai. Kini aku akan
pergi.”
Kiai Gringsing mengangguk.
“Silahkan” jawabnya.
Sumangkar pun kemudian
berputar, meneruskan langkahnya, menyusup ke dalam gerumbul dan menghilang di
dalam kelamnya malam. Sambil membawa mayat Raden Tohpati, Sumangkar berjalan
cepat-cepat untuk segera sampai ke perkemahannya. Betapa hatinya menolak maksud
Kiai Gringsing untuk melihat perkemahannya dan mengetahui segala
seluk-beluknya, namun ia tidak mampu menghalang-halanginya. Sebenarnya
Sumangkar ingin sampai saat-saat terakhir, meskipun dirinya sendiri kemudian
akan menyerahkan dirinya bersama dengan orang-orang yang sependirian, namun ia
tidak akan membiarkan orang-orang yang selama ini bersama-sama berdiri pada
suatu pihak mengalami bencana yang mengerikan. Yang seolah-olah karena
kesalahannya. Bahkan akan dapat dituduh, karena pengkhianatannya, maka mereka
akan dimusnahkan.
“Tetapi Kiai Gringsing
memiliki beberapa kelebihan” desisnya.
Karena itu dicobanya untuk
menenangkan perasaannya. Ia mencoba untuk berlaku seperti apa yang dikatakan
oleh Kiai Gringsing, seolah-olah mereka tidak pernah bertemu di dalam hutan,
seolah-olah Kiai Gringsing mencari jalan sendiri. Dan apabila Kiai Gringsing
itu sampai di perkemahan juga, itu adalah karena kecakapannya sendiri.
Dalam kesibukan angan-angan,
akhirnya Sumangkar menjadi semakin dekat dengan perkemahannya. Beberapa langkah
lagi ia menyibak gerumbul terakhir dan beberapa langkah lagi, orang tua itu
telah sampai di halaman yang kotor dari perkemahan yang sangat sederhana.
Seorang penjaga dengan
tangkasnya meloncat, dan pedangnya langsung diangkatnya setinggi dada sambil
membentak, “Berhenti! Siapa kau?”
Sumangkar berhenti. Dengan
sareh ia menjawab, “Sumangkar.”
“O” gumam orang itu. Namun
tiba-tiba terdengar suaranya menghentak, “Dari mana kau?”
Sumangkar tidak segera
menjawab. la berjalan semakin dekat. Dan tiba-tiba penjaga itu berkata, “He.
apakah kau baru saja berburu? Apakah yang kau dapatkan itu?”
Sumangkar tidak menjawab. la
berjalan terus semakin dekat.
“Apa he? Apakah orang yang
lain berhasil mendapatkat buruan itu, dan kau harus memasaknya?”
“Tutup mulutmu!” bentak
Sumangkar. Tiba-tiba saja dadanya dirayapi oleh kemuakan yang sangat mendengar
pertanyaan yang manyakitkan hatinya. Yang dipundaknya itu adalah mayat murid
kakak seperguruannya, pemimpin tertinggi prajurit Jipang sepeninggal patih
Mantahun.
Penjaga itu terkejut mendengar
bentakan itu. Sesaat ia diam mematung, namun kemudian tumbuhlah marahnya. Juru
masak itu berani membentak-bentaknya. Baru saja ia kembali dari peperangan yang
hampir menghancur lumatkan pasukannya. Baru saja ia menegang nyawanya. Belum
lagi ia sempat beristirahat, ia sudah mendapat tugas untuk berada disudut-sudut
penjagaan yang diperkuat bersama-sama beberapa orang lain yang sama sekali
tidak mengalami cidera. Tiba-tiba juru masak itu membentak-bentaknya. Karena
itu, maka dengan kasar ia menjawab, “He, Sumangkar. Apakah kau tidak dapat
menjaga mulutmu he?”
Sumangkar tidak menjawab. Ia
berjalan menyusur sisi halaman perkemahan itu, tidak melewati tempat prajurit
itu berjaga-jaga. Tetapi prajurit yang marah itu mengejarnya dan sekali lagi
membentaknya, “He, tikus tua. Mintalah maaf supaya mulutmu tidak aku remas.”
Tetapi orang tua itu
berpalingpun tidak. Ia berjalan terus. Ia ingin segera sampai ke pusat
perkemahan dan menyerahkan tubuh Macan Kapatihan kepada pimpinan yang masih
ada. Namun prajurit yang marah itu mengejarnya terus.
“Berhenti!” teriaknya. “Kalau
tidak aku sobek punggungmu dengan pedangku.”
Sumangkar berhenti. Sambil memutar
tubuhnya ia berkata, “Apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Buruanku ini?”
“Keduanya. Buruanmu dan
mulutmu.”
Sumangkar yang hatinya sedang
gelap itu tiba-tiba menjadi bertambah gelap. Dalam keadaan yang serupa itu,
tiba-tiba tanpa disangka-sangka, tanpa ancang-ancang, terasa sesuatu menyengat
mulut prajurit itu. Demikian kerasnya sehingga prajurit itu terlempar beberapa
langkah ke samping. Terdengar tubuhnya terbanting di tanah dan terdengar ia
mengeluh pendek.
Dalam pada itu terdengar suara
Sumangkar parau, “Mulutmulah yang harus kau jaga.”
Prajurit yang terbanting itu
merangkak-rangkak bangun. Mulutnya yang berdarah, menghamburkan kata-kata
kotor. Setelah ia memungut pedangnya yang terlepas dari tangannya, ia berdiri
tegak sambil berkata, “Sumangkar. Apakah kau sudah menjadi gila. Sekarang aku
benar-benar akan membunuhmu.”
Sebelum Sumangkar menjawab,
prajurit yang marah itu telah meloncat beberapa langkah maju sambil langsung
menusukkan pedangnya menghunjam ke arah jantung Sumangkar. Namun sekali lagi
prajurit itu terkejut. Sumangkar itu seakan-akan lenyap dari tempatnya. Dan
tiba-tiba sekali lagi kepalanya terasa pening. Sekali lagi ia terdorong
beberapa langkah dan jatuh terbanting di tarah.
Kini terasa matanya
berkunang-kunang. Hampir-hampir ia kehilangan kesadaran. Kepalanya terasa
hampir pecah dan nafasnya hampir terputus di kerongkongan. Prajurit itu
mengerang. Dicobanya untuk mengatasi segala macam perasaan sakitnya. Ketika ia
dengan susah payah berhasil bangkit dan duduk di atas tanah, maka yang
dilihatnya bayangan Sumangkar menghilang di dalam gelap.
“Gila,” umpatnya, “orang itu
telah menjadi gila.”
Tertatih-tatih prajurit itu
berdiri Sekali lagi ia memungut pedangnya yang terlepas. Kepalanya yang pening
dan sakit itu masih mampu melontarkan berbagai pertanyaan tentang juru masak
yang dianggapnya sudah menjadi gila. Juru masak yang malas itu tiba-tiba
menjadi garang. Segarang babi hutan jantan.
Prajurit itu tak habis heran.
Kenapa Sumangkar yang malas itu dapat berubah menjadi seorang yang mampu
melakukan perbuatan di luar dugaannya, bahkan melampaui segala kacepatan gerak
yang pernah dilihatnya, pada pemimpinnya yang disegani, Macan Kepatihan
sekalipun.
Meskipun demikian, prajurit
yang masih dibakar oleh kemarahan itu sama sekali tidak puas mengalami
perlakuan itu. Mungkin adalah kebetulan saja Sumangkar mampu berbuat demikian.
la benar-benar ingin membuktikannya. Karena itu kemudian dengan langkah yang
gontai ia berjalan kembali ke sudut penjagaannya minta ijin kepada
kawan-kawannya untuk mencari Sumangkar ke dapur.
“Kenapa kau?” bertanya seorang
kawannya ketika ia melihat prajurit itu berjalan tertatih-tatih.
“Tidak apa-apa,” jawabnya.
“Di mana orang tua itu.
Bukankah yang kau kejar tadi Sumangkar? Apakah ia mencoba menyembunyikan
sesuatu?”
“Aku ingin melihatnya ke
dapur.”
Kawan-kawannya tertawa. Mereka
menyangka bahwa prajurit ingin mendapat sebagian dari hasil buruan orang tua
itu.
Dalam pada itu Sumangkar
berjalan terus. Sekali ia membelok dan menyusur jalan sempit menuju ke kemah
Macan Kepatihan. la mengharap bahwa para pemimpin yang masih ada, berada di
tempat itu.
Semakin dekat Sumangkar dengan
pintu kemah hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali terbayang di
wajahnya, senapati Jipang yang dipanggulnya itu bertempur sampai titik darahnya
yang terakhir untuk melindungi anak buahnya. Kemudian terbayang pula senapati
muda dari Pajang yang berkata kepadanya bahwa ia akan mengusahakan pengampunan
untuk mereka yang dengan kemauan sendiri karena kesadaran, menyerah kepada
pasukan-pasukan Pajang di Sangkal Putung.
“Kedua-duanya adalah anak-anak
muda yang perkasa” katanya di dalam hati. “Keduanya memiliki sifat-sifat yang
mengagumkan. Tetapi ternyata dalam olah kaprajuritan senapati muda dari Pajang
itu dapat melampaui Angger Tohpati. Bukan saja ketrampilan bermain pedang,
namun ternyata senapati muda Pajang itu cukup cerdas dan bijaksana. Seandainya
apa yang dikatakannya benar, pengampunan meskipun tidak mutlak, maka anak muda
itu adalah anak muda yang terpuji.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Untara telah mengijinkannya membawa mayat Macan Kepatihan
untuk dikuburkannya. Tetapi kemudian terdengar ia bergumam. “Mudah-mudahan ini
bukan sekedar suatu jebakan saja. Ternyata Angger Untara benar-benar mengirim
orang untuk mengikuti aku.”
Namun terdengar kembali
jawaban dari dasar hatinya. “Bukankah Kiai Gringsing dapat melakukannya
meskipun tidak mengikuti bekas kaki atau jejak siapapun?”
Dalam pada itu langkah
Sumangkar menjadi semakin dekat dengan pintu perkemahan Macan kepatihan. Sekali
lagi ia bertemu dengan seorang penjaga. Ketika penjaga itu melihatnya segera ia
menyapanya, “Siapa?”
“Aku, Sumangkar.”
“O, kau mau kemana?”
“Di mana Angger Sanakeling?”
“Kau dapat rusa untuknya?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
“Di dalam kemah itu. Mereka
menunggu Raden Tohpati.”
Sumangkar mengangguk. Kemudian
ia meneruskan langkahnya. Namun baru beberapa langkah ia mendengar prajurit itu
bertanya dengan nada yang aneh, “He, Sumangkar. Siapakah itu?”
Sumangkar berhenti sejenak.
Kemudian jawabnya, “Inilah yang sedang mereka tunggu.”
“He?” tiba-tiba prajurit itu
gematar. Mulutnya serasa terbungkam dan dengan lemahnya ia tersandar pada
sebatang pohon di samping kemah Macan Kepatihan itu.
Sumangkar melihat betapa besar
pengaruh hilangnya Macan Kepatihan atas para prajurit Jipang. Mereka
seakan-akan kehilangan kekuatannya. Meskipun Macan Kepatihan seorang saja tidak
akan mampu berbuat apa-apa tanpa prajuritnya dan para pejuang lain, namun
pengaruh dan wibawanya seakan-akan telah mencengkam segenap hati anak buahnya.
Sumangkar tidak berkata
apa-apa lagi kepada prajurit itu. Sambil menundukkan kepalanya ia berjalan
terus. Ketika ia sampai di muka pintu, ia tertegun sejenak. Dilihatnya cahaya
obor memancar lewat pintu yang masih terbuka sedikit jatuh di atas tanah yang kotor
lembab.
Dengan ragu-ragu Sumangkar
mendekat. Disentuhnya pintu itu dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba ia mendengar
suara dari dalam pintu itu menyentak, “Kakang Tohpati.”
Sanakeling terlonjak ketika
dilihatnya sebatang tongkat baja putih menyentuh pintu. Dengan sebuah loncatan
ia telah mencapai pintu diikuti oleh beberapa orang lain. Tetapi ketika ia
melihat, siapa yang berdiri di muka pintu dan apa yang dibawanya, maka serasa
darahnya membeku. Dengan suara yang serak parau ia berkata, “Paman Sumangkar,
apakah itu Kakang Tohpati?”
Sumangkar mengangguk. Tetapi
ia tidak mengucapkan kata-kata. Ketika ia melangkahi tlundak pintu semua orang
yang berdiri di dalamnya, menyibak. Merekapun terdiam seperti Sumangkar. Dengan
mata terbelalak dan hati melonjak-lonjak mereka melihat Sumangkar meletakkan
tubuh itu di atas sebuah amben bambu. Terdengar suaranya berderit seolah-olah
sebuah goresan yang tajam berderit di jantung mereka.
Sesaat mereka berdiri tegak
seperti patung. Semua mata tertancap kepada tubuh yang terbujur diam.
Pakaiannya masih berwarna darah karena lukanya yang arang kranjang. Sedang di
tubuh Sumangkar pun darah itu meleleh membasahi pakaian orang tua itu pula.
Ruangan itu menjadi sunyi
senyap. Tak seorangpun yang bergerak. Hanya hati merekalah yang bergelora,
melonjak-lonjak menggapai langit seperti sebuah nyala api yang membakar gunung.
Yang terdengar kemudian adalah
desir angin yang menggerakkan dedaunan. Sekali-kali kilat memancar di langit,
disusul oleh suara guruh bersahut-sahutan. Perlahan-lahan, namun semakin lama
semakin keras.
Tetapi ruangan itu masih tetap
sepi.
Hati mereka seakan-akan pecah
ketika mereka mendengar Sumangkar berkata sambil menunjuk tubuh Tohpati itu
dengan tongkatnya, “Inilah orang yang kalian tunggu.”
Yang pertama-tama bergerak
adalah Sanakeling. Selangkah ia maju mendekati tubuh yang terbujur itu. Sambil
menggigit bibirnya ia menunduk mengamat-amati mayat yang sudah membeku dingin.
Sanakeling menarik nafas dalam-dalam. Luka itu luka arang kranjang.
Tiba-tiba orang kedua sesudah
Macan Kepatihan itu menggeram seakan-akan ingin melontarkan tekanan yang
menghimpit dadanya.
“Raden Tohpati terbunuh dengan
luka arang kranjang karena ingin menyelamatkan kita” desah Sanakeling. Wajahnya
yang ditimpa oleh sinar obor yang nyalanya bergerak-gerak disentuh angin tampak
menjadi tegang dan buas. Seperti seekor serigala yang kehilangan anaknya,
Sanakeling itu menggeretakkan giginya sambil menghentakkan kakinya di tanah.
Kembali ruangan itu tenggelam
dalam kesenyapan. Hanya nafas-nafas mereka yang bekejaran terdengar seperti
desah angin di luar, yang menggetarkan dedaunan dan ranting-ranting.
Sekali-kali kilat memancar di
langit dan kembali suara guruh terdengar bersahut-sahutan. Namun kemudian sunyi
kembali.
Tetapi tanpa sepengetahuan
mereka, di luar gubug yang satu itu, semakin lama semakin banyak orang-orang
Jipang berkumpul. Mereka mendengar dari prajurit yang melihat Sumangkar membawa
mayat Tohpati memasuki gubug itu. Berjejal-jejal mereka ingin menyaksikan
apakah yang dikatakan oleh kawannya itu benar.
Sumangkar, Sanakeling dan
orang-orang yang berada di dalam gubug itu terkejut ketika mereka mendengar
pintu berderak karena desakan orang-orang di luar. Ketika mereka berpaling,
mereka melihat wajah-wajah yang kaku tegang.
Sanakeling yang dibakar oleh
luapan kemarahannya itu memandang mereka dengan mata yang menyala. Seakan-akan
dari matanya memancar dendam tiada taranya. Seakan-akan dari matanya itu
memancar tuntutan atas kesetiaan orang-orang Jipang kepada pemimpinya itu.
Sumangkar melihat mata yang
menyala itu. Sumangkar menangkap apa yang terbersit dari pancaran itu. Karena
itu ia menjadi berdebar-debar. Ia belum sempat menyampaikan pesan terakhir
Macan Kepatihan kepada Sanakeling, kepada Alap-alap Jalatunda, kepada
pemimipin-pemimpin Jipang yang lain. Kini tiba-tiba pemimpin-pemimpin Jipang
yang marah itu akan langsung berhadapan dengan para prajurit yang pasti akan mudah
sekali terbakar hatinya. Dalam keadaan yang sedemikian, maka mereka dapat
melakukan kebuasan dan kebiadaban yang mengerikan.
Apalagi kini Macan kepatihan
sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi yang dapat mencegah mereka melakukah apa
saja yang mereka kehendaki. Apa saja yang mereka lakukan, apalagi untuk
mengungkapkan kemarahan kebencian, dendam, bahkan untuk mengucapkan kegembiraan
hati mereka, mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak wajar. Sepeninggal Arya
Jipang, sepeninggal Patih Mantahun, maka sebagian besar para prajurit Jipang
telah kehilangan pegangan. Seandainya pada saat-saat yang demikian itu tidak
ada Macan Kepatihan, maka mereka akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
sangat liar, sebab mereka sudah kehilangan tujuan. Namun kemungkinan yang lain,
bahwa sebagian besar dari mereka justru akan meletakkan senjata mereka, apabila
mereka mendapat kesempatan dan jaminan bahwa kepada mereka tidak akan
diperlakukan di luar batas-batas ketentuan yang ada.
Dan kini Macan Kepatihan itu
sudah tidak ada. Kemungkinan yang demikian itu pasti akan berlaku lagi.
Sebagian dari mereka pasti akan melepaskan dendam mereka, kebencian mereka dan
perbuatan-perbuatan lain yang tanpa terkendali. Namun sebagian dari mereka
justru akan meletakkan senjata, apabila mereka mendengar jaminan yang telah
diucapkan oleh Untara, senapati Pajang yang langsung mendapat kekuasaan dari
Panglima Wira Tamtama.
Kini tinggal bagaimana cara
menyampaikan kepada sebagian besar para prajurit Jipang itu. Kalau Sanakeling
yang berbicara kepada mereka, maka pasti yang akan dikobarkannya adalah dendam
dan benci. Akan dibakarnya hati para prajurit itu. Dan hati merekapun segera
akan terbakar. Mereka akan bertebaran ke segala penjuru dengan bara di dada
mereka. Dan mereka dapat berbuat apa saja di sepanjang perjalanan mereka.
Mereka dapat menakut-nakuti rakyat padesan. Bahkan mereka akan dapat melakukan
berbagai perkosaan atas sendi-sendi kemanusian.
Karena itu Sumangkar harus
bertindak cepat. Mendahului Sanakeling yang menjadi buas, karena melihat Macan
Kepatihan yang terbunuh dengan luka arang kranjang.
Tatapi selagi Sumangkar sedang
menimbang-nimbang, maka yang terdengar dahulu adalah suara Sanakeling, “He,
para prajurit Jipang yang berani. Kini kalian dapat melihat, betapa biadabnya
orang-orang. Pajang. Pemimpinmu terbunuh dengan luka arang kranjang.”
Dada Sumangkar berdesir
mendengar kata-kata itu. Kata-kata itu adalah permulaan dari cara Sanakeling
membakar hati mereka. Dada Sumangkar itu semakin bergelora ketika sekilas ia
melihat mata yang menyala pada setiap wajah para prajurit Jipang. Dalam sinar
obor yang kemerah-merahan, maka dilihatnya mata mereka seakan-akan melampaui
panas api obor itu.
Kali ini Sumangkar tidak mau
terlambat lagi. Karena itu maka segera ia menyahut, “Ya. Lihatlah. Angger Macan
Kepatihan telah meninggalkan kita. Macan Kepatihan yang garang ini telah
bertempur untuk melindungi kalian, sehingga nyawanya sendiri telah
dikorbankan.”
Semua orang yang berdiri di
samping mayat yang terbujur itu diam. Dan mereka mendengar kata-kata Sumangkar
itu dengan hati yang penuh haru.
Namun Sumangkar masih melihat
bara di wajah-wajah mereka. Bara yang justru menjadi semakin panas.
Tetapi Sumangkar berkata
terus, “Nah. Apakah yang akan kalian lakukan sebagai balas budi yang tiada
taranya itu?”
Sanakeling sendiri menatap
wajah Sumangkar dengan gelora yang hampir menghimpit jalan pernafasannya. Yang
pertama-tama berteriak adalah Sanakeling sendiri, “Pembalasan!”
Tiba-tiba terdengar suara
gemuruh di luar gubug itu. “Ya. Pembalasan. Pembalasan. Nyawa dengan nyawa.
Darah dengan darah.”
Sumangkar meredupkan matanya.
Ia melihat tekad yang menggelora. Namun di antara suara yang bergemuruh itu,
terdengar jantungnya sendiri berdentangan melampaui gemuruh suara orang-orang
di luar gubug itu.
“Bagus!” teriak Sumangkar.
“Bagus. Kalian harus melakukan pembalasan.” Sumangkar berhenti sesaat. Lalu
diteruskannya, “Apakah kalian masih memiliki kesetiaan kepada
pemimpin-pemimpinmu ini?”
Para prajurit Jipang itu
serentak menjawab, “Tentu. Kami masih memiliki kesetiaan yang utuh.”
Sumangkar memandang
berkeliling. Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda, orang-orang yang berdiri di dalam
dan di luar gubug itu. Dengan hati-hati ia berbicara terus, “He, orang-orang
Jipang. Aku menunggui saat Angger Tohpati menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Aku menunggui saat-saat Raden Tohpati mengucapkan pesan-pesannya yang terakhir.
Nah, apakah kalian ingin mendengar pesan yang terakhir itu?”
“Ya. Kami ingin mendengar”
sahut mereka serentak.
Sumangkar terdiam sesaat. Ia
menjadi ragu-ragu. Apakah sudah tiba saatnya menyampaikan pesan terakhir itu?
Apakah dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan salah paham pada para
pemimpin Jipang yang masih ada?
Namun Sumangkar berjalan terus
meskipun ia harus berhati-hati sekali. Katanya, “Pesan itu amat sulit kita
lakukan.”
“Biar apapun yang harus kami
lakukan, kami tidak akan gentar” sahut mereka serentak.
“Terlalu berat” seakan-akan
Sumangkar bergumam kapada sendiri.
“Jangan memperkecil arti kami
yang ada disini, Paman” berkata Sanakeling dengan mata menyala. “Apakah kau
sangka kami tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya?”
“Memang,” sahut Sumangkar,
“kesetiaan hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan. Bukan sekedar kata-kata dan
janji. Namun apa yang harus kita lakukan seakan-akan berada di luar jangkauan
kita semua. Bahkan selama ini belum pernah terpikirkan, bahwa kita akan
melakukannya.”
“Ya, apakah menyerang jantung
kota Pajang? Apakah kami harus berusaha membunuh Adiwijaya? Atau kami harus
membalas dendam atas kematian Arya Penangsang dengan berusaha membunuh Ngabehi
Loring Pasar meskipun secara diam-diam. Atau Untara, Widura? Apa? Apa yang
harus kami lakukan?” teriak Alap-Alap Jalatunda.
Sumangkar menggeleng.
Selangkah ia maju dengan tongkat baja putihnya terayun-ayun. Cahaya yang
berkilat-kilat memantul dari tongkatnya itu berwarna kemerah-merahan, seperti
sinar obor yang dengan lincahnya menari di ujung-ujung bumbung dan jlupak.
“Kalian lihat tongkat ini?”
berkata Sumangkar kepada orang-orang Jipang.
“Ya. Kami lihat. Itu adalah
ciri kebesaran Macan Kepatihan.”
“Kalian salah,” sahut
Sumangkar, “ini bukan tongkat Angger Tohpati.”
Semuanya terdiam mendengar
kata-kata itu. Serentak mereka memandangi tongkat itu tajam-tajam. Akhirnya
mereka menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat Macan Kepatihan
baik-baik seperti mengenal orangnya. Tongkat ini agak lebih kecil dari tongkat
Raden Tohpati. Karena itu timbullah keheranan di dalam hati mereka. Apakah
Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala tengkorak yang
kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan? Apakah ia memilikinya juga?
Tiba-tiba mereka tersadar,
bahwa mereka berhadapan dengan juru masak yang malas. Mereka sama sekali bukan
berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun meskipun demikian, mereka
menunggu dengan tidak sabar. Apakah yang akan dikatakannya tentang pasan
terakhir itu.
Tetapi merekapun menjadi
heran, kenapa Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda, tiba-tiba saja memberi
kesempatan kepada orang tua itu untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang tidak
sengaja mereka adakan itu?
Dalam kebimbangan dan
keheranan itulah maka Sumangkar akan sampai pada tingkat terakhir dari
permainannya. Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup mempunyai
wibawa atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya setingkat dengan wibawa yang
dimiliki oleh Sanakeling.
Karena itu, Sumangkar itu maju
beberapa langkah. Kini ia berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang
Jipang yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka yang membawa
obor-obor di tangan. Sedang ke dalam ia melihat Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda
dan beberapa pemimpin yang lain berdiri tegang kaku seperti patung. Namun, baik
wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para pemimpinnya membayangkan
ketidaksabaran. Mereka menunggu kata-kata Sumangkar tentang pesan terakhir
Macan Kepatihan.
Terdengar Sumangkar kemudian
berkata, “Nah, jadi adakah kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger
Tohpati? “
“Ya kami lihat,” sahut mereka.
Namun Sanakeling, Alap¬Alap
Jalatunda dan para pemimpin yang lain tampak seolah-olah berdiri saja membeku.
Meskipun sebagian dari mereka mengerti bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah
sekedar juru masak, namun tongkat baja putih itu benar-benar mengejutkan
mereka. Mereka sama sekali belum pernah melihat, bahwa Sumangkar pun memiliki
tongkat semacam itu. Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di pusat
pemerintahan Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan Sumangkar, meskipun ia
tahu bahwa Sumangkar adalah seorang sakti yang berada di dalam lingkungan
istana kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan Sumangkar
berada di medan yang berbeda.
“Itulah yang menyedihkan aku”
berkata Sumangkar. “Aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan
kembali. Aku tidak dapat mengambilnya dari medan setelah Angger Macan Kepatihan
terbunuh.” Sumangkar berhenti sesaat. Kemudian katanya melanjutkan, “Tongkat
ini adalah tongkatku.”
Sumangkar melihat
berpasang-pasang mata terbelalak karenanya. Apalagi ketika mereka mendengar
kata-kata Sumangkar seterusnya, “Aku adalah paman guru dari Angger Macan
Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya maka Angger Macan Kepatihan
mempercayakan pesannya kepadaku, sebab aku adalah saudara seperguruan Patih
Mantahun.”
Gubug itu menjadi sunyi senyap
di dalam dan di luarnya. Sesepi tanah pekuburan, orang-orang yang berdiri tegak
di halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak batang kamboja yang
membeku.
Pengakuan Sumangkar terdengar
oleh sebagian besar dari mereka seperti suara guruh yang meledak di langit.
Orang-orang Jipang itu benar-benar terkejut. Sumangkar, yang mereka kenal
sebagal seorang juru masak yang malas, ternyata adalah seorang yang sakti.
Saudara seperguruan Patih Mantahun.
Tetapi beberapa orang sudah
tidak terkejut lagi. Sanakeling juga tidak terkejut. Siapapun Sumangkar itu,
bagi Sanakeling tidak ada bedanya. Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa
Sumangkar adalah seorang yang sakti.
Kecuali Sanakeling dan
beberapa pemimpin yang lain, di antara para prajurit Jipang yang berkumpul di
luar pintu itu, terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan Sumangkar. Sambil
senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada orang yang berdiri di
sampingnya ia berkata, “Aku sudah tahu lebih dahulu dari kalian semuanya.”
Kawannya mengerinyitkan
alisnya sambil bertanya, “Darimana kau tahu ?”
“Apakah kau sudah bertemu
dengan Tundun?”
“Belum.”
“Anak itu belum bercerita
kepadamu tentang Ki Tambak Wedi dan Sidanti yang datang ke perkemahan ini
ketika kalian sedang pergi berperang?”
“Aku belum bertemu dengan
Tundun. Bagaimana ia bisa bercerita kepadaku?”
“Mungkin Ki Lurah Sanakeling
pun belum sempat mendengar laporan Tundun” berkata Bajang. “Ki Tambak Wedi yang
mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak ada juru masak yang
malas itu, entahlah apa yang terjadi. Kami bertempur bersama-sama dengan semua
orang yang ada di sini. Tetapi melawan muridnya, Sidanti pun kami tidak mampu.
Apalagi Ki Tambak Wedi.”
“Dan Sumangkar
mengalahkannya?”
“Ya, Sumangkar telah
mengusirnya.”
Orang yang mendengar cerita
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas. Pantas” gumamnya.
Ketika mereka kemudian
memandangi pintu gubug itu, kembali mereka melihat Sumangkar berdiri tegak
seperti batu karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah orang
yang berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang mereka kenal sehari-hari.
Wajah Sumangkar kini
seolah-olah memancarkan kewibawaan yang mengejutkan hati mereka. Tongkat baja
putih itu benar-benar mirip tongkat Tohpati. Dan tongkat itu adalah milik
Sumangkar.
Dalam pada itu terdengar
Sumangkar meneruskan, “Meskipun aku tidak berhasil membawa tongkat Angger
Tohpati, namun aku telah memiliki tongkat yang serupa. Tongkat yang akan mampu
melakukan apa saja seperti yang dapat dilakukan oleh tongkat Angger Macan
Kepatihan.”
Semua orang masih terdiam.
Namun mereka mulai dirayapi oleh kepercayaan bahwa sebenarnya Sumangkar mampu
berbuat seperti Macan Kepatihan.
Namun Sanakeling yang
mendengar kata-kata itu mengerutkan dahinya. Ia belum tahu pasti arah kata-kata
Sumangkar seterusnya. Tetapi sebagai orang kedua sesudah Tohpati, Sanakeling
merasa berhak untuk memimpin prajurit-prajurit Jipang itu sepeninggal Macan
kepatihan, sehingga dadanya mulai berdebar-debar melihat Sumangkar mengangkat
tongkat baja putihnya.
“Apakah Sumangkar akan
langsung mengambil alih pimpinan dari Raden Tohpati,” berkata Sanakeling di
dalam hatinya.
Dan terdengarlah Sumangkar
berkata terus, “Nah, sekarang apakah kalian dapat mempercayai kata-kataku?”
Kembali mereka terlempar dalam
kesepian. Sesaat tak seorangpun yang menyahut, sehingga Sumangkar menjadi
ragu-ragu. Kalau mereka tidak percaya, maka untuk menekankan pesan-pesan
Tohpati, apakah ia perlu menunjukkan beberapa macam permainan sehingga ia tidak
lagi dianggap hanya sekedar omong kosong?
Tetapi tiba-tiba terdengar di
belakang seseorang berteriak, “Aku telah melihat sendiri Ki Sumangkar
mengalahkan Ki Tambak Wedi.”
Semua orang berpaling ke arah
suara itu. Tetapi mereka tidak segera melihat siapakah yang telah
berteriak-teriak itu. Namun kemudian terdengar kembali orang itu berkata, “Kami
yang tinggal di perkemahan pada saat kalian berperang telah melihat sendiri apa
yang dilakukan oleh Ki Sumangkar.”
Beberapa orang segera mengenal
bahwa suara itu adalah suara Bajang, seorang juru masak yang masih muda, kawan
Sumangkar. Beberapa orang menjadi justru bercuriga, apakah Bajang tidak sekedar
mengangkat nama kawan sepekerjaannya. Namun tiba-tiba dari beberapa sudut
terdengar orang-orang lain menyambut. “Ya kamipun menyaksikan. Kami telah
menyaksikan sendiri.”
Sumangkar kemudian memandang
berkeliling. Dan sekali lagi ia berkata, “Siapakah yang dapat mempercayai
kata-kataku?”
Tiba-tiba menggeloralah
jawaban, “Kami percaya, kami percaya.”
Sanakeling masih berdiri di
tempatnya dengan wajah yang tegang. Seharusnya dirinyalah yang wajib berdiri di
hadapan para prajurit Jipang itu sebagai penggganti Macan Kepatihan. Tiba-tiba
tanpa disadarinya, orang lain telah mendahului. Meskipun demikian, ia masih
mampu menahan dirinya. Mungkin Sumangkar akan menguntungkannya. Mampu membakar
hati para prajurit itu, untuk dibawanya membalas sakit hatinya atas hilangnya
pemimpin yang mereka segani.
“Terima kasih” berkata
Sumangkar kemudian. “Kalau demikian, kalau kalian percaya akan kata-kataku,
maka biarlah aku menyampaikan pesan terakhir Angger Tohpati. Namun seperti
kataku tadi, pesan itu terlampau berat bagi kita sekalian. Sebab pesan itu sama
sekali berada di luar angan-angan kita selama ini.”
Sekali lagi terdengar para
prajurit Jipang itu berteriak, “Kami akan melakukan apa saja yang dipesankan
oleh Raden Tohpati. Biar masuk ke dalam api sekalipun, kami akan mematuhinya.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Katanya seperti kepada diri sendiri, namun karena diucapkannya
keras-keras, maka semua orang mendengarnya, “Aku kurang yakin, apakah kami
mampu melakukannya.”
Orang-orang Jipang menjadi
hampir tidak sabar lagi. Karena itu mereka berteriak-teriak, “Kami bersumpah,
kami bersumpah.”
Sanakeling pun menjadi tidak
sabar pula. Beberapa langkah ia maju mendekati Sumangkar sambil berkata,
“Berkatalah, jangan melingkar-lingkar. Apakah pesan terakhir itu. Kami akan
melakukannya. Aku adalah pemimpin laskar Jipang sepeninggal Macan Kepatihan.
Dan aku sanggup untuk memimpin pasukan ini berbuat apa saja. Meskipun aku harus
membakar istana Pajang sekalipun dan merampas permaisurinya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sahutnya, “Baik. Baik. Akan segera aku katakan.” Namun di dalam hati
Sumangkar bergumam, “Kalau kau mampu Sanakeling, kau tidak akan berkeliaran di
dalam hutan seperti sekarang. Apalagi kau, sedang Arya Penangsang dan Patih
Mantahun pun tidak mampu melawan Ki Gede Pemanahan, Penjawi, dan anak muda
Ngabehi Loring Pasar, di samping Adiwijaja sendiri.”
Tetapi kemudian yang dikatakan
adalah pesan terakhir Macan Kepatihan. Sambil melangkah maju, Sumangkar
menengadahkan wajahnya. Gubug itu kemudian menjadi sunyi senyap. Yang terdengar
hanyalah deru nafas orang-orang Jipang itu memburu lewat lubang-lubang hidung
mereka yang mengembang. Mereka ingin mendengar kata demi kata, pesan dari
pemimpin mereka yang mereka segani.
“Dengarlah,” berkata
Sumangkar, “sudah aku katakan bahwa pesan itu terlampau berat bagi kami, sebab
pesan itu berbunyi…” Sumangkar berhenti sesaat. Ditatapnya setiap wajah yang
seolah-olah menyalakan tekad di dalam dada mereka. Sesaat kemudian Sumangkar
meneruskan, dan kata-katanya terdengar seperti suara guntur dan guruh
bersama-sama, beruntun susul-menyusul.
“Pada saat nafas Angger
Tohpati telah satu-satu meluncur, ia berkata, ’Kematianku adalah akhir daripada
bencana yang menimpa rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari senapati yang
mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku aku mengharap bahwa
mereka akan membuat perhitungan-perhitungan. Bukankah begitu Paman Sumangkar?’
Kemudian diteruskannya pada kesempatan lain di mana nafasnya menjadi semakin
lemah, berkata Macam Kepatihan itu, ’Mudah-mudahan kematianku menjadi pertanda
bahwa tak ada gunanya perselisihan ini akan berlangsung terus.’”
Dan Sumangkar itupun berhenti
sesaat. Dengan tajamnya ia memandangi orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
Setiap orang yang mendengar
kata-kata Sumangkar itu, darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Pesan itu sama
sekali bukan pesan untuk membunuh Untara, Widura atau Adiwijaya sekalipun.
Bukan perintah untuk membakar istana Pajang dan melakukan serangkaian
pembunuhan sebagai pembalasan. Tetapi pesan itu seolah-olah pesan yang sama
sekali bertentangan dengan dugaan mereka.
Suasana yang sepi bertambah
sepi. Mulut-mulut yang meskipun ternganga namun serasa terbungkam. Hati-hati
yang membara seolah-olah meledak justru karena tersiram air dengan tiba-tiba.
Tetapi mereka semua benar-benar tenggelam dalam perasaan yang aneh. Bingung dan
kehilangan dasar tanggapan seterusnya.
Sumangkar membiarkan suasana
itu berlangsung beberapa lama. Dibiarkannya setiap orang berada dalam
pergolakan perasaan. Dibiarkannya mereka sampai pada kesimpulan masing-masing
apabila mereka telah menemukan keseimbangan dan sempat mempertimbangkan.
Namun suasana yang sepi itu
tiba-tiba dipecahkan oleh teriakan Sanakeling melengking menghentak setiap
jantung. “Paman Sumangkar. Apakah arti daripada pesan itu. Apakah dengan
demikian Kakang Macan Kepatihan mengharap kita semua bertekuk lutut di bawah
kaki Untara? He?”
Sumangkar tidak terkejut
mendengar pertanyaan itu. Ia sudah menduga sebelumnya, bahkan hampir pasti,
bahwa Sanakeling adalah orang yang pertama menolak pesan itu. Karena itu dengan
tenang ia menjawab, “Ya Ngger. Demikianlah kira-kira pesan itu. Namun agaknya
pertimbangan Angger Macan Kepatihan telah cukup masak untuk mengucapkan
pesan-pesan itu.”
“Jadi haruskah kami
merangkak-rangkak di bawah kaki Untara seperti anjing kudisan?” teriak
Sanakeling.
“Kata-kata itu terlampau
tajam.”
“Tidak. Kata-kata itu tepat
seperti yang akan terjadi apabila kita menuruti pesan itu. Dan kita akan
dijerat leher kita, diseret di sepanjang jalan antara Sangkal Putung dan
Pajang. Dipertontonkan kepada setiap orang sebelum kita digantung di alun-alun
Pajang. Berderet-deret seperti jemuran yang tidak kering-keringnya.”
Sumangkar mendengar kata-kata
itu diucapkan dengan penuh nafsu. Bahkan Sumangkar pun kemudian melihat
wajah-wajah yang seakan-akan membeku di hadapannya, mulai menegang. Kata-kata
Sanakeling agaknya telah menggugah hati mereka. Menggugah hati keprajuritan
mereka.
Karena itu segera Sumangkar
berkata, “Angger Sanakeling benar. Tetapi tidak tepat sebab aku belum
mengatakan rangkaian dari pesan itu. Pesan itu diucapkan oleh Angger Tohpati di
hadapan Untara yang menungguinya pula pada saat-saat terakhir. Menungguinya
tidak seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Agaknya mereka di saat-saat
terakhir itu telah mengenangkan masa-masa lampau. Masa-masa Demak masih diikat
oleh tali persatuan yang erat. Keduanya adalah sahabat yang baik dari dua
daerah Kadipaten. Angger Macan Kepatihan dari Kadipaten Jipang dan Angger
Untara dari Kadipaten Pajang. Pertentangan antara Jipang dan Pajang telah
mempertentangkan mereka pula. Namun kebesaran jiwa dari keduanya telah
menemukan kembali persahabatan itu di saat-saat Angger Macan Kepatihan
menghadapi maut. Meskipun maut itu beralatkan tangan Untara sendiri.”
Kembali mereka diterkam oleh
kesenyapan. Terasa setiap kata, baik yang diucapkan oleh Sumangkar maupun yang
diucapkan Sanakeling benar belaka. Meskipun makna dari keduanya berlainan
bahkan bertentangan. Karena itu, setiap jantung yang berdegup di dalam dada
menjadi bingung siapakah yang akan dianut? Sumangkar melihat hari depan yang
tenang, hari depan yang damai. Mereka tidak akan lagi berlari-larian sepanjang
hutan. Mereka tidak perlu lagi selalu dikejar-kejar oleh kegelisahan. Mereka
akan dapat hidup seperti manusia biasa. Meskipun mungkin sebulan dua bulan
mereka tidak dapat bebas berbuat karena hukuman yang akan diterimamya. Namun
setelah itu, tidak ada lagi persoalan yang selalu menghantuinya siang dan
malam. Seluruh negeri akan menjadi aman. Pasar-pasar akan kembali mengumandang,
dan di malam hari kembali akan terdengar tembang. Seruling gembala di
padang-padang dan anak-anak bermain di halaman. Orang-orang tua akan menikmati
bunyi burung perkutut dengan tenang.
Tetapi gambaran-gambaran yang
damai dan tenteram itu tiba-tiba telah digoyahkan oleh pendirian Sanakeling.
Pendirian seorang prajurit yang tidak dapat ditundukkan oleh
peristiwa-peristiwa yang bagaimanapun dahsyatnya. Mereka akan menjadi orang
tangkapan dan diarak sebagai tawanan apabila mereka menyerah. Hilanglah
kejantanan mereka, dan harga diri mereka akan terkorbankan. Lebih baik
mengorbankan nyawa daripada harga diri bagi seorang prajurit sejati. Apabila
mereka harus berlari-lari ke hutan, bersembunyi di antara semak-semak dan
gerumbul, di antara padang-padang dan lereng-lereng gunung, adalah akibat dari
perjuangan mereka. Akibat dari keteguhan hati seorang prajurit yang tidak
miyur.
Demikianlah setiap wajah
kemudian memancarkan kebimbangan hati yang tiada ujung pangkal. Keduanya benar
bagi mereka. Keduanya mapan, dan keduanya wajib diturut. Pesan terakhir
pemimpin mereka yang mereka segani lewat paman gurunya yang perkasa, dan yang
lain adalah pendapat senapati yang seharusnya langsung memimpin mereka
sepeninggal Macan Kepatihan.
Dalam kebimbangan itu
terdengar kemudian suara Sanakeling seperti membelah langit, “Paman Sumangkar.
Aku adalah seorang prajurit. Prajurit hanya mengenal dua arti dalam
perjuangannya. Menang atau mati. Selain itu, adalah nista sekali untuk
dijalani. Apalagi menyerah dan di bawah injakan kaki lawan. Apakah Paman
Sumangkar ini telah bukan lagi seorang prajurit yang baik?”
Sumangkar memandangi wajah
Sanakeling sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Aku hanya
menyampaikan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan.” Kemudian kepada para
prajurit Jipang Sumangkar berkata, “Pesan itu adalah pesan Macan Kepatihan yang
sampai saat terakhir telah mengorbankan jiwa raganya sebagai seorang prajurit
jantan. Sebagai seorang pemimpin sejati ia telah berusaha melindungi kalian.
Nah, katakanlah, apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan, Hai,
orang-orang Jipang. Sebutlah pemimpinmu itu, apakah ia seorang prajurit yang
baik atau bukan? Ayo, katakanlah, apakah Macan Kepatihan seorang prajurit yang
baik atau seorang pengecut?”
Terdengarlah jawaban
menggemuruh, “Ia adalah seorang prajurit yang baik. Seorang laki-laki jantan.
Seorang senapati yang tiada taranya.”
“Bagus” sahut Sumangkar.
“Pesan itu keluar dari mulutnya. Keluar dari mulut seorang senapati jantan,
keluar dari mulut seorang prajurit yang baik.”
“Bohong!” potong Sanakeling
dengan nada yang tinggi. “Senapati yang baik, prajurit jantan tidak akan
mengeluarkan perintah serupa itu. Itu pasti akal-akalmu sendiri, Paman
Sumangkar. Itu pasti caramu untuk melepaskan kejemuanmu sendiri.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Dan ia mendengar Sanakeling berbicara terus, “Aku tidak percaya
kalau Kakang Tohpati telah mengeluarkan pesan itu.”
Sumangkar tidak mau kahilangan
kesempatan. Karena itu segera ia menyahut, “Itulah bedanya. Seorang yang
berjiwa besar dan orang lain yang tidak dapat mengikuti kebesaran jiwanya.
Kalian dapat berpikir untuk terlalu mementingkan diri sendiri. Kalian dapat
berpijak pada harga diri yang berlebih-lebihan. Harga diri seorang prajurit
yang pantang menyerah. Tetapi itu adalah pikiran yang sempit. Prajurit tidak
akan menyerah apabila ia berjuang untuk suatu cita-cita yang tegas, suatu
cita-cita yang diyakini kebenarannya. Tetapi apakah kalian berbuat demikian?
Apakah kalian yakin, bahwa kalian telah berjuang dalam suatu pengabdian sebagai
seorang prajurit. Coba katakan, apakah yang kalian capai dengan peperangan yang
tiada ujung dan pangkal ini?”
“Kau telah berputus asa, Paman
Sumangkar,” teriak Sanakeling. “Kau telah kehilangan akal. Perjuangan Arya
Penangsang adalah perjuangan atas hak dan waris atas tahta. Ini adalah
perjuangan jantan. Perjuangan yang luhur.”
“Bukankah perjuangan itu telah
berpijak atas kepentingan diri? Warisan atas tahta-tahta. Bukan perjuangan atas
dasar yang luas bagi seluruh rakyat Demak untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup mereka? Perjuangan itu adalah perjuangan yang sempit. Warisan memang
dapat membuat sanak dan kadang sendiri saling bertengkar. Tetapi jangan rakyat
dikorbankan dalam pertengkaran itu. Bagi rakyat yang penting bukan siapa ahli
waris yang paling berhak atas tahta. Tetapi bagi rakyat, siapakah yang paling
baik bagi mereka, yang paling banyak berpikir dan berbuat untuk mereka. Tidak
untuk sendiri. Tidak untuk seorang atau beberapa orang pemimpin. Tidak untuk
Arya Penangsang atau Adiwijaya. Tidak. Tetapi bagi rakyat, siapakah paling
langsung berbuat banyak untuk kepentingan mereka, ialah yang paling berhak atas
pimpinan negara. Orang itulah ahli waris yang sah atas tahta.”
Kata-kata Sumangkar itu
mencengkam setiap hati. Namun kata-kata Sanakeling telah membakar setiap
jantung dan mendidihkan darah yang mengalir di dalam jaringan-jaringan urat
darah. Keduanya beralasan dan keduanya dapat mereka mengerti. Karena itulah
maka setiap orang menjadi semakin bimbang, siapakah di antara mereka yang harus
mereka turuti.
Mendengar penjelasan
Sumangkar, Sanakeling menggeram marah. Kemudian kepada prajurit-prajurit Jipang
ia berteriak, “Akulah pemimpin kalian sepeninggal Macan Kepatihan. Semua
perintahku sama nilainya dengan perintah Kakang Tohpati.”
Semua mata kemudian berpaling
ke arahnya. Sanakeling itupun kini telah berdiri di ambang pintu di samping
Sumangkar. Wajahnya yang keras dan penuh ditandai oleh dendam dan kebencian
telah menyala seperti nyala api neraka. Tetapi Sumangkar masih tetap tenang. Ia
tidak menyahut dan memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya Sanakeling
berbicara pula, “Kita telah kehilangan pemimpin kita. Sekarang orang tua ini
menganjurkan kita merangkak di bawah kaki Untara. Tidak! Dengar perintahku,
Kobarkan dendam di segala penjuru. Setiap orang Jipang harus mendengar bahwa
Macan Kepatihan mati dengan luka arang kranjang karena kebiadaban orang-orang
Pajang seperti pada saat Plasa Ireng terbunuh dengan dada dan punggung
terbelah. Macan Kepatihan itu sama nilainya dengan seribu orang Pajang dan
setiap nyawa di antara kita bernilai seratus orang Pajang. Timbulkan kengerian
di mana-mana. Setiap orang Pajang bertanggung jawab atas kematian Macan
Kepatihan, sehingga kepada mereka dendam kita dapat kita tumpahkan.”
Bulu-bulu kuduk Sumangkar
meremang mendengar perintah itu. Perintah itu telah diduganya akan terjadi
seandainya orang-orang Jipang itu tidak mendapat keseimbangan. Perintah itu
berarti pembunuhan yang semena-mena atas semua orang yang akan ditemui oleh
Sanakeling. Semua orang Pajang diperlakukan sama. Karena itu maka segera ia
berkata, “Bagus. Apabila Angger Sanakeling bertekad demikian. Aku tidak akan
menghalang-halangi, sebab aku tidak mempunyai pendirian tersendiri.”
Sanakeling yang segera akan
memotong kata-kata Sumangkar tertegun mendengarnya. Karena itu niatnya
diurungkan. Terasa bahwa Sumangkar telah mundur setapak dari pendiriannya.
Dan terdengar kata-kata
Sumangkar itu, “Apa yang aku katakan hanyalah sekedar pesan. Pesan Angger
Tohpati yang telah terbunuh karena melindungi nyawa kita. Seandainya Macan
Kepatihan itu tidak mengorbankan nyawanya, maka kitalah yang akan mati terlebih
dahulu. Dan kitalah yang akan mengucapkan pesan-pesan itu kepada orang terakhir
yang kita temui. Dan dalam pesan-pesan yang terakhir itulah sebenarnya kita
akan menunjukkan nilai dan kebesaran jiwa kita. Namun apabila kini dikehendaki
lain oleh seseorang yang berwenang, aku akan menundukkan kepala. Memenuhi
perintah yang akan dijatuhkan. Tetapi kitapun akan segera mendengar perintah
yang serupa keluar dari mulut Untara. Bahkan mungkin dari mulut Ki Gede
Pemanahan atau Adiwijaya sendiri. Perintah itu akan berbunyi serupa, ’Bunuhlah
setiap orang Jipang siapapun sebab mereka semuanya turut bertanggung jawab atas
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi’. Dan orang-orang Pajang akan melakukan
perintah itu sebaik-baiknya. Apalagi mereka, yang sanak kadangnya akan menjadi
korban perintah Angger Sanakeling. Malah mereka akan dapat mengamuk seperti
orang mabuk. Anak-anak kita, istri, ayah bunda dan saudara-saudara kita yang
sekarang selalu berada di dalam kegelisahan karena mereka menunggu kita pulang
ke rumah. Namun yang sampai sekarang mereka masih dibiarkan hidup dan menetap
di rumah-rumah mereka sendiri. Tetapi apabila kita melakukan perintah Angger
Sanakeling itu, akan dapat berarti menekan mereka ke dalam lembah kehancuran.
Bukan orang-orang Pajang saja, tetapi orang-orang Jipang. Semua akan musnah.
Dan rakyat Demak akan menjadi punah. Hancur lebur. Bunuh membunuh tiada
habis-habisnya. Demak akan lenyap dibakar oleh dendam yang tiada akan dapat
dipadamkan lagi.”
Terdengar gigi Sanakeling
menggeretak mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut.
Kata-kata itu meresap ke dalam dadanya seperti meresapnya berpuluh-puluh bahkan
beratus-ratus ujung jarum ke dalam jantungnya. Tetapi ia dapat mengerti dan
mengakui bahwa hal yang sedemikian itu mungkin terjadi.
Kembali gubuk dan sekitarnya
itu ditelan oleh kesenyapan. Dalam keheningan itu maka orang-orang Jipang
sempat berpikir. Menimbang yang baik dan yang buruk. Menilai makna dari setiap
kata kedua orang pemimpin yang telah membingungkan hati mereka.
Kembali mereka berdiri di
persimpangan jalan. Mereka dapat mengerti sepenuhnya kata-kata Sumangkar, namun
mereka sependapat pula dengan Sanakeling bahwa mereka harus mempertahankan
harga diri mereka sebagai seorang prajurit. Tetapi merekapun menjadi ngeri
ketika mereka mendengar uraian Sumangkar yang terakhir setelah darah mereka
dibakar oleh perintah Sanakeling. Semula perintah itu telah menggelegak di
dalam dada mereka. Semua orang Pajang harus dimusnahkan. Tetapi bagaimana kalau
berlaku pula perintah yang serupa yang dikatakan Sumangkar. Bagaimana dengan
anak-anak, istri, dan sanak kadang mereka yang tidak tahu-menahu tentang
perbuatan mereka?
Perlahan-lahan maka setiap
orang telah terdorong dalam satu pilihan di antara keduanya. Tetapi sayang,
bahwa tidak semua dada berisi jantung dan hati yang serupa. Tanpa diketahui,
maka pendirian orang-orang Jipang itu terbelah seperti pendirian pemimpinnya.
Sebagian dari mereka terdorong ke dalam pendirian Sumangkar, dan sebagian lagi
terseret oleh api kemarahan Sanakeling.
Namun dalam pada itu, ketika
mereka sedang dilanda oleh arus kebimbangan, terdengarlah suara tertawa di
belakang mereka, di belakang orang-orang Jipang itu. Suara tertawa yang tinggi
melengking menyakitkan telinga mereka yang mendengarnya.
Seperti digerakkan oleh tenaga
ajaib, serentak mereka semuanya yang berada di tempat itu berpaling. Mereka
serentak mencari sumber suara itu. Namun mereka tidak segera dapat melihat.
Tabir yang hitam pekat seakan-akan telah menyekat pandangan mata mereka.
Sementara itu, suara tertawa
itu masih terdengar. Bahkan semakin lama semakin keras.
Sanakeling yang mendengar pula
suara tertawa itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menjadi muak, dan
tiba-tiba pula ia berteriak keras-keras, “Cukup! Jangan membuat jantungku
pecah. Siapakah yang tertawa itu?”
Suara tertawa itu masih
terdengar. Namun kini menjadi semakin perlahan-lahan. Di antara derai tertawa
itu terdengar jawaban, “Aku Angger Sanakeling.”
“Aku siapa?” teriak
Sanakeling. “Setiap orang menyebut dirinya dengan sebutan serupa. Aku.”
Suara tertawa itu kemudian
berhenti. Tetapi mereka tidak segera mendengar jawaban. Sejenak mereka
menunggu, dan terasa malam yang sepi menjadi semakin sepi.
“Siapa kau, he?” sapa
Sanakeling semakin keras. “Siapa yang telah berani memasuki perkemahan prajurit
Jipang? Apakah sudah jemu melihat matahari besok pagi?”
“Jangan lekas marah” jawaban
itu semakin mengejutkan. Terdengar suara itu kini sudah menjadi semakin dekat.
Namun gelap malam masih melindunginya, sehingga belum seorangpun yang dapat
melihatnya. Tetapi orang-orang Jipang itu merasa, Sanakeling dan Sumangkar
merasa, bahwa orang itu pasti dapat melihat mereka dengan jelas karena
cahaya-cahaya obor di dekat mereka.
Tetapi orang itu tidak
berusaha bersembunyi terlalu lama.
Sesaat kemudian orang-orang
Jipang itu menjadi tegang ketika mereka melihat bayangan yang bergerak-gerak di
bawah pepohonan. Bayangan yang semakin lama menjadi semakin jelas. Ketika
kemudian cahaya obor yang lemah dapat mencapainya, maka terbersitlah hati
setiap orang yang melihatnya. Orang itu adalah seorang tua, bermata tajam dan berhidung
lengkung seperti paruh burung hantu.
Beberapa orang yang telah
mengenalnya menjadi berdebar-debar karenanya. Sementara itu terdengar Sumangkar
berdesis, “Ki Tambak Wedi.”
Orang yang datang itu adalah
Ki Tambak Wedi. Ketika ia telah bendiri beberapa langkah dari para prajurit
Jipang yang berkerumun itu, kembali orang tua itu tertawa. Tetapi suara
tertawanya kini tidak lagi terlalu keras.
Sanakeling yang mendengar
Sumangkar menyebut namanya mengerutkan keningnya. Inikah orang yang bernama Ki
Tambak Wedi, guru Sidanti? Tiba-tiba dada Sanakeling itu bergolak. Tanpa
dikehendakinya sendiri terdengar Sanakeling itu berteriak, “He, adakah kau yang
disebut orang Ki Tambak Wedi dari lereng Gunung Merapi?”
Orang itu menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, “Ya. Mereka yang sudi menyebut namaku, demikianlah.”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi semakin tegang dan kembali tanpa
dikehendakinya sendiri tangannya meraba hulu pedangnya. “Apakah maksudmu datang
kemari?” bertanya Sanakeling itu pula.
Ki Tambak Wedi tersenyum.
Wajahnya yang keras itu menjadi kemerah-merahan oleh sinar obor yang
mengusapnya. Jawabnya, “Aku tidak akan berbuat apa-apa Ngger. Jangan
berprasangka. Aku hanya ingin sekedar mendengarkan, apakah yang akan dikatakan
oleh pepunden para prajurit Jipang.”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. “Pepunden?” ulangnya.
“Ya. Bukankah Adi Sumangkar
itu seorang pepunden bagi para prajurit Jipang?”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Adi Sumangkar sendiri.”
“Bohong!” teriak Sanakeling.
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia tidak saja berhadapan dengan Sanakeling yang ternyata
berbeda pendirian dengan dirinya. Namun tiba-tiba datang Ki Tambak Wedi yang
licik itu. Dengan sebutannya yang pertama-tama diucapkan, segera Sumangkar tahu
maksud kedatangan hantu lereng Merapi itu. Dan lebih celaka lagi tanggapan yang
pertama-tama diucapkan oleh Sanakeling adalah sangat menguntungkan hantu itu.
Meskipun demikian Sumangkar tidak segera menyahut. Dicobanya untuk menilai
keadaan dengan seksama. Namun ia belum menemukan pertimbangan yang tepat, sebab
ia belum tahu tanggapan para prajurit Jipang itu, atas pendiriannya dan
pendirian Sanakeling.
Mendengar teriakan Sanakeling
yang serta merta itu, Ki Tambak Wedi tersenyum. Kemudian katanya lebih lanjut,
“Ah. Jangan menyia-nyiakan orang tua itu Angger. Bukankah Ki Sumangkar itu adik
seperguruan Patih Mantahun. Bukankah Adi Sumangkar itu paman guru dari
pemimpinmu yang kau segani, Macan Kepatihan?”
“Aku hormati Patih Mantahun
yang sakti itu. Aku hormati Kakang Raden Tohpati yang perkasa. Tetapi Paman
Sumangkar dalam kedudukannya adalah seorang juru masak. Tidak lebih dan tidak
kurang.”
Terasa dada Sumangkar
berdesir. Apalagi ketika ia mendengar jawaban Ki Tambak Wedi, “Tetapi ia
mendapat pesan langsung dari Angger Tohpati. Angger Tohpati yang perkasa itu
berpesan kepada Adi Sumangkar agar membawa segenap anak buahnya untuk
menyerahkan dirinya, tanpa syarat.”
“Bohong! Bohong!” teriak
Sanakeling. “Aku tidak percaya.”
“Kenapa kau tidak percaya?
Bukankah Adi Sumangkar adalah satu-satunya orang dari antara kalian yang
menunggui saat-saat terakhir dari Raden Tohpati, selain Untara, Widura, dan
orang-orang Pajang. Sudah tentu Adi Sumangkar berkata dengan jujur. Pasti bukan
karena bujukan Untara atau janji-janji daripadanya untuk Adi Sumangkar
pribadi.”
Sekali lagi dada Sumangkar
berdesir. Kali ini lebih keras. Kata-kata Ki Tambak Wedi yang seakan-akan
memihaknya itu adalah suatu pancingan yang berbahaya. Berbahaya baginya dan
berbahaya bagi pesan Tohpati itu sendiri.
Ternyata kecemasannya itu
beralasan. Dengan serta merta Sanakeling menegakkan lehernya. Ia mencoba
memandangi Ki Tambak Wedi dengan saksama. Namun kemudian Sanakeling itu pun
berpaling kepada Sumangkar. Matanya kini seakan-akan menyala memancarkan
kemarahan hatinya. Dengan suara yang keras parau ia berkata, “He, Paman
Sumangkar, kenapa kau sempat menunggui saat-sat terakhir Kakang Macan
Kepatihan?”
Sumangkar tidak segera
menjawab. Ditatapnya mata Sanakeling yang menyala itu, langsung ke pusatnya.
Seakan-akan Sumangkar ingin menjajagi betapa panasnya nyala yang memancar dari
padanya.
Tiba-tiba Sanakeling itu
melemparkan pandangan matanya. Terasa betapa dalam perbawa orang itu. Juru
masak yang malas. Namun ketika disadarinya, bahwa matanya yang menghujam ke
wajah Sumangkar itu tergeser, timbullah kegelisahan yang sangat di dalam
dadanya. Sehingga untuk menutupinya maka Sanakeling itu berteriak keras-keras,
kepada orang-orang Jipang, “He, orang-orang Jipang, apakah kau percaya bahwa
Paman Sumangkar mendapat pesan itu dari Kakang Tohpati? Apakah bukan karena
Paman Sumangkar sebenarnya berpihak kepada Pajang dan ditanam dalam perkemahan
kita?”
Kembali suana menjadi sepi.
Sepi sesepi kuburan. Namun di dalam setiap dada bergolak berbagai macam
tanggapan.
Untuk memuaskan hatinya maka
Sanakeling berkata terus, “Itulah, sebabnya, maka setiap serangan yang kita
lancarkan pasti sudah diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung. Bahkan tidak
mustahil bahwa orang tua inilah yang telah, memperlemah tekad perjuangan yang
menyala di dalam setiap dada anak-anak Jipang.” Kemudian kepada Sumangkar ia
berkata, “Nah Paman Sumangkar, katakanlah kepadaku kenapa kau dapat mendekati
Kakang Macan Kepatihan pada saat-saat terakhirnya? Kenapa kau tidak dikeroyok
seperti rampogan macan di alun-alun, sehingga betapa saktinya kau, maka kaupun
pasti akan terbunuh pula dengan luka arang kranjang. Tetapi kau malahan dapat
membawa mayat Kakang Tohpati itu kemari dan mempergunakannya untuk mempengaruhi
tekad anak-anak Jipang yang telah membaja di dalam dada mereka? He?”
Pertanyaan itu memang sulit
untuk dijawab. Pertanyaan itu memang memerlukan pembuktian. Tetapi tak ada
seorang saksi pun yang melihat, bahwa apa yang dikatakan itu bukanlah suatu
cerita yang telah dikarangnya sendiri. Bukan suatu mimpi yang didapatnya pada
saat-saat ia tertidur di siang hari. Tetapi semuanya adalah sebenarnya
demikian.
Karena Sumangkar tidak segera
dapat mendjawab, maka terdengar Ki Tambak Wedi berkata, “Bagaimana Adi
Sumangkar? Angger Sanakeling telah mengajukan beberapa pertanyaan. Kenapa tidak
segera dapat kau jawab? Apakah pertanyaan itu tepat seperti yang terjadi
sebenarnya?”
Sumangkar menggeretakkan
giginya. Pertanyaan Ki Tambak Wedi itu lebih mendorongnya ke sudut yang sangat
sulit. Namun Sumangkar masih berdiri tegak dengan tenangnya. Betapa hatinya
bergelora namun ia sama sekali tidak goyah di tempatnya, seolah-olah sepasang
kakinya telah jauh menghunjam seperti akar yang kukuh berpegangan pada batu
karang yang teguh. Dan sikapnya itulah yang telah menyelamatkan wibawanya atas
orang-orang Jipang.
Namun yang terdengar kemudian
adalah suara Sanakeling yang gelisah, “He, bagaimana Paman Sumangkar? Apakah
kau masih akan ingkar lagi?”
Tiba-tiba Sanakeling itu
menggeram ketika ia melihat Sumangkar tersenyum. Orang tua itu seakan-akan sama
sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia masih sempat tersenyum.
Di antara senyumnya terdengar
Sumangkar berkata, “Baiklah aku mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi.”
Sumangkar berhenti sesaat. Dicarinya kata-kata yang sebaik-baiknya. Karena ia
tidak segera menemukan, maka yang pertama-tama dikatakan adalah, “Namun
sebelumnya, biarlah aku mengucapkan selamat datang kepada Kakang Tambak Wedi
yang bijaksana.”
Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Tetapi hatinya mengumpat melihat ketenangan Sumangkar.
Kemudian berkata Sumangkar,
“Aku akan menolak segala tuduhan bahwa seolah-olah aku adalah orang yang diselipkan
di antara kalian orang-orang Jipang oleh Pajang. Sayang, bahwa tidak banyak
yang mengenal siapakah Sumangkar? Sebenarnya Angger Sanakeling pun tidak. Sebab
kami, aku dan Angger Sanakeling selalu berada di medan yang berbeda. Tetapi
kalau ada yang telah mengenal Sumangkar baik-baik, bertanyalah kepada mereka
siapakah yang telah menyelamatkan tanda-tanda kebesaran Jipang? Rontek,
tunggul, dan umbul-umbul bahkan panji-panji kebesaran? Semuanya itu telah
kalian bawa hari ini ke medan peperangan. Kalian telah menjadi berbesar hati
dan bertambah berani, karena di atas gelar perang berkibar segala macam
tanda-tanda kebesaran itu. Nah, katakanlah siapakah yang paling banyak berbuat
untuk Jipang pada saat Jipang runtuh. Pada saat Arya Jipang terbunuh dan kemudian
Patih Mantahun? Semuanya pada saat itu hannya dapat bercerai berai, semuanya
hanya dapat mengungsikan diri sendiri. Nah, Angger Sanakeling, apakah yang
dapat kau lakukan saat itu? Timbanglah apa yang dilakukan oleh Sumangkar yang
tua ini.”
Kembali mereka terlempar ke
dalam cengkaman kesenyapan. Kembali orang-orang Jipang terseret ke dalam
pertentangan tanggapan atas pemimpin mereka.
Kini Sanakelinglah yang
terbungkam. Semuanya itu memang benar telah terjadi. Namun di antara kesepian,
itu menyelusuplah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Katanya, “Ini adalah suatu
cerita yang telah terjadi atas seorang Sumangkar. Betapa besar jasa-jasanya
atas Jipang, namun akhirnya dikhianatinya para prajurit yang telah mengorbankan
hampir segala miliknya itu.”
Dada Sumangkar seolah-olah
tertimpa Gunung Merapi yang runtuh saat itu. Terasa betapa licik dan licin
lidah iblis yang bernama Tambak Wedi. Namun betapa jantungnya menjadi gemetar,
tetapi Sumangkar tidak mau kehilangan kejernihan pikiran. Ia berhadapan tidak
saja dengan seorang yang sakti, tetapi juga seorang yang lidahnya mengandung
bisa.
Kata-kata Tambak Wedi itu
ternyata telah menolong Sanakeling untuk menjawab pertanyaan Sumangkar.
Katanya, “Nah, Paman Sumangkar. Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari
apa yang terjadi sekarang. Suatu saat Sumangkar adalah seorang pahlawan, namun
di saat ini Sumangkar adalah seorang pengkhianat.”
Alangkah panas hati Sanakeling
ketika ia masih melihat Sumangkar tersenyum. “Benar Ngger” sahut Sumangkar.
Namun jantungnya serasa akan meledak. Hanya karena hatinya yang mengendap, maka
ia masih dapat bertahan dalam ketenangan. “Kau Benar. Apa yang terjadi
terdahulu bukanlah ukuran dari apa yang terjadi sekarang. Kalau dahulu setiap
hidung dari para prajurit Jipang menghormati Macan Kepatihan, sekarang Macan
Kepatihan tidak lebih dari sesosok mayat. Kalau dahulu Sanakeling berjuang
untuk suatu tujuan, kini Sanakeling tidak lebih dari seorang prajurit yang
dalam keputus-asaannya berbuat di luar batas perikemanusiaan. Betapapun kabur
dan sempitnya tujuan perjuangan itu dahulu, namun masih juga ada kemungkinan
untuk mencapainya. Tetapi sekarang yang terjadi, tidak lebih dari menjajakan
dendam di mana-mana.”
“Cukup!” teriak Sanakeling
penuh kemarahan. Wajahnya yang merah menjadi semakin marah. Matanya yang liar
menjadi semakin liar. Hampir saja ia meloncat dan menerkam wajah Sumangkar.
Tetapi ketika kemudian terpandang olehnya sebatang tongkat baja putih berkepala
tengkorak kekuning-kuningan, maka ia tertegun diam. Hanya giginya sajalah yang
terdengar gemeretak.
Dalam pada itu Sumangkar masih
saja tersenyum dan berkata, kali ini kepada orang-orang Jipang, “Nah,
timbanglah di hatimu. Kalian telah mendengar apa yang aku katakan dan apa yang
dikatakan oleh Sanakeling. Aku tidak menyalahkannya, pendiriannya adalah
pendirian seorang prajurit yang tertempa dalam perjuangan yang berat. Tetapi
pendirian itu bukanlah satu-satunya pendirian yang terbentang di hadapan kita.
Taraf perjuangan kalian kini telah sampai pada suatu titik yang berbeda dengan
pada saat kalian baru mulai.”
Tetapi kata-kata Sumangkar
terputus oleh kata-kata Ki Tambak Wedi di antara derai tertawanya. “Bagus. Kau
memang benar-benar licik Adi. Kau mampu, memutar balikkan keadaan dan memutar
balikkan penilaian atas sesuatu persoalan. Aku bukan orang Jipang. Aku sejak
semula adalah penghuni lereng Merapi. Sejak Demak berkuasa, aku seakan-akan
terlepas dari kekuasaan itu. Apalagi sekarang. Namun aku menaruh hormat pada
perjuangan Angger Sanakeling. Aku kecewa melihat seorang Sumangkar dengan
mudahnya mengingkari dan mengkhianati perjuangan yang telah dirintis, bahkan
dikorbani dengan nyawa dari orang-orang sebesar Adipati Jipang sendiri, Patih
Mantahun, dan yang terakhir adalah Angger Macan Kepatihan.”
Ki Tambak Wedi belum selesai
dengan kata-katanya. Namun Sumangkar kini yang memotongnya. “Ki Tambak Wedi
adalah penghuni lereng Merapi sejak semula. Karena itu Ki Tambak Wedi tidak
banyak mengetahui apa yang terjadi di Jipang, di Pajang dan di perkemahan ini.
Karena itu, apa yang dikatakan adalah semata-mata suatu cara untuk melumpuhkan
kita. Dengar, apakah kata-katanya bukan sekedar usaha untuk memecah pendirian
kita? Antara aku dan Angger Sanakeling. Ternyata usahanya hampir terjadi
seperti pada saat ia membakar hati Tundun dan kawan-kawannya di perkemahan ini
siang tadi. Usaha itupun hampir berhasil. Untunglah Sumangkar masih mampu
mengusirnya. Sekarang kau kembali lagi dengan bisa di mulutmu. Sayang Ki Tambak
Wedi.”
Kata-kata Sumagkar benar-benar
menikam jantung Tambak Wedi. Kini ialah yang dibakar oleh kata-kata itu
sehingga darahnya tersirap sampai ke kepala. Dengan serta merta ia menyawab
lantang, “Kau benar-benar licik. Tetapi kau di sini berdiri seorang diri. Kalau
Angger Sanakeling bersedia aku ingin berdiri di pihaknya. Mungkin tak
seorangpun dari kalian yang mampu melawan Sumangkar. Tetapi bagi Tambak Wedi,
Sumangkar bukan seorang yang menyilaukan.”
Sanakeling yang hatinya telah
terbakar lebih dahulu tidak dapat menimbang lagi mana yang buruk, mana yang
baik. Hatinya telah dibutakan oleh ketamakannya atas pimpinan sepeninggal Macan
Kepatihan, atas harga dirinya sebagai seorang prajurit pilihan, atas dendam
yang membara di dadanya. Itulah sebabnya tiba-tiba ia berteriak, “Jangan banyak
bicara setan tua. Ayo, selama darah prajurit masih mengalir di dalam dada
kalian, kalian akan tetap dalam pendirian kalian yang telah kalian letakkan
sejak semula. Kini apabila kalian masih tetap dalam sumpah kalian sebagai
prajurit Jipang, dengar perintahku. Tangkap orang tua ini!”
Teriakan Sanakeling itu
menggelegar menembus gelap pekatnya hutan, memukul pepohonan dan bergema
berulang-ulang. Susul menyusul seperti gelombang yang menghentak-hentak pantai.
Sumangkar yang mendengar
perintah itu tiba-tiba mundur selangkah. Tanpa sesadarnya ia membelai tongkat
baja putihnya. Bahkan tiba-tiba pula ia berkata lantang, “Ayo! Inilah
Sumangkar. Siapa yang ingin menangkap Sumangkar, tangkaplah! Aku sudah tua.
Sudah banyak yang aku alami dan sudah banyak yang aku lakukan. Tetapi kalau
masih ada sepercik sinar di dalam hatimu, hati seorang manusia yang berdiri di
atas kemanusiaannya, dengarlah kata-kataku. Mungkin kata-kataku terakhir. Kalau
aku tidak sempat melakukan, kuburkanlah mayat Angger Macan Kepatihan baik-baik.
Ia adalah seorang yang berhati jantan, tetapi ia adalah seorang yang berhati
lembut, selembut hati seorang ibu. Pada saat terakhirnya, ia berkorban untuk
kalian, namun ia juga memikirkan hari-hari depan kalian. Hari-hari yang masih
panjang, buat anak cucu kalian dan hari yang masih panjang buat Demak. Ayo!
Sekarang aku sudah bersiap. Siapa yang pertama-tama? Sanakeling atau Tambak
Wedi?”
Suara Sumangkar yang tua itupun
terasa seakan-akan menusuk langsung ke setiap dada. Orang-orang Jipang yang
mendengar suaranya seakan-akan darahnya menyadi beku. Mereka melihat orang tua
itu menggenggam tongkatnya erat-erat, siap untuk terayun dengan derasnya.
Tetapi bukan hanya suara
Sumangkar itu yang mempengaruhi hati setiap orang Jipang, makna dari kata-kata
itupun telah menyentuh hati sebagian mereka pula.
Namun Sanakeling telah
benar-benar bermata gelap. Dengan serta merta ia menarik pedangnya. Dan sekali
lagi suaranya menggelegar memenuhi hutan. “Ayo, tangkap orang tua ini. Orang
tua yang telah mengkhianati perjuangan kalian. Bahkan sampai hati untuk
merendahkan diri mencium kaki orang-orang Pajang.”
Tiba-tiba orang-orang Jipang
yang berdiri di muka gubug itupun seakan-akan bergetar. Beberapa orang menjadi
saling berdesakan. Dan beberapa di antara merekapun tiba-tiba menarik pedangnya
pula sambil berteriak menyambut perintah Sanakeling. “Kita telah siap Ki Lurah.
Kita siap menangkap orang tua itu.”
Sumangkar memandang orang-orang
Jipang itu dengan sudut matanya. Ia melihat beberapa orang benar-benar telah
mengacungkan pedang-pedang mereka. Dan karena itulah maka hatinya bena-benar
menyadi gelisah. Bukan karena ia takut mati. Tetapi apakah ia sampai hati urtuk
menebaskan tongkatnya kepada orang-orang yang tidak menyadari apa yang akan
dilakukannya itu? Karena itu ketika ia melihat beberapa orang di antara mereka
berdesakan maju, maka kegelisahannya menyadi semakin menyekat hati.
Apalagi ketika di kejauhan
terdengar suara Tambak Wedi, “Bagus. Kalian telah bertindak tepat. Kalau tidak
ada di antara kalian yang dapat melakukannya, maka aku bersedia menolong kalian
menangkap orang tua itu.”
Sumangkar berdesis.
Kemarahannya kini telah memuncak pula. Tetapi kepada Ki Tambak Wedi. Bukan
kepada orang-orang Jipang itu. Sehingga ketika ia melihat Sanakeling maju
selangkah maka Sumangkar itu mundur setapak.
“Jangan mencoba lagi!” bentak
Sanakeling.
Sumangkar menggeram. Namun
tiba-tiba, sekali lagi ia terkejut. Kini ia melihat orang-orang Jipang itu
seakan-akan terbagi. Beberapa orang yang telah menarik senjata mereka, seakan
telah berkumpul di bagian depan dari orang-orang Jipang yang berkerumun itu.
Tetapi sebagian yang lain masih tetap berdiri tegak di tempat mereka. Bahkan
kemudian terjadilah suatu hal yang tidak terduga-duga. Tiba-tiba di antara
mereka yang masih berdiri di tempatnya itu terdengar sebuah teriakan nyaring.
“Jangan sentuh orang tua itu. Kami berdiri di pihaknya.”
Setiap orang berpaling ke arah
suara itu. Sanakeling dan Sumangkar pun berpaling pula. Sebelum mereka melihat
siapa yang berteriak itu, terdengar orang lain menyambut, “Kami berada di pihak
Ki Sumangkar.”
Tanpa disangka-sangka pula,
suara itu segera menjalar kesegala arah. Dengan suara yang melengking-lengking
terdengar orang-orang Jipang itu berteriak-teriak, “Kami berada di pihak Ki
Sumangkar.”
Setiap darah akan tersirap
ketika mereka kemudian melihat senjata berkilauan. Kini bukan saja orang-orang
yang berdiri di pihak Sanakeling menarik senjata-senjata mereka. Namun
orang-orang yang berdiri di pihak Sumangkar pun telah menggenggam
senjata-senjata mereka yang telanjang.
Yang paling nyaring dari
antara mereka adalah suara Tundun, yang pada siang harinya hampir berusaha
membunuh Sumangkar. Kini dengan sepenuh hati ia berteriak meskipun tangannya
masih agak sakit. “Ki Sumangkar telah menyelamatkan kami siang tadi dari
keganasan Ki Tambak Wedi. Aku telah dihidupinya meskipun aku berusaha untuk
membunuhnya. Ternyata Ki Sumangkar adalah orang yang sebaik-baiknya dan
sesakti-saktinya dalam perkemahan ini.”
“Tutup mulutmu!” bentak
seorang yang lain, yang berdiri di pihak Sanakeling. “Kalau kau ingin mati
bersamanya, ayo, matilah kau lebih dahulu.”
“Bagus” teriak Tundun. “Siapa
kau?”
Tundun melihat seseorang
meloncat dari antara orang-orang Jipang yang memihak Sanakeling. Tetapi Tundun
pun segera meloncat menyongsongnya. Bahkan bukan saja Tundun. Tetapi seorang
yang bertubuh kecil dan bernama Bajang datang pula mendekatinya. Meskipun
lukanya belum sembuh benar.
“Hem,” Bajang itu menggeram,
“serahkan orang ini kepadaku. Aku setiap hari hanya mendapat pekerjaan memotong
leher binatang-binatang. Kini aku akan mencoba memotong leher orang.”
Namun kawan-kawan orang itupun
segera berloncatan pula. Mereka tidak akan melepaskan orang itu bertempur
seorang diri. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah berhadapan dalam
kelompok dan pihak masing-masing.
Melihat peristiwa itu, alangkah
sakitnya hati Sumangkar. Alangkah pedihnya. Karena itu ketika kedua belah pihak
telah siap untuk bertempur, terdengarlah Sumangkar itu berteriak, “Berhenti!
Berhenti! Apakah kalian, sudah menjadi gila? Bukankah kalian sedang berhadapan
dengan kawan sendiri, yang selama ini telah bersama-sama menanggung segala
macam derita dan kesulitan? Bukankah kalian selama ini telah terumbang-ambing
dalam biduk yang sama. Tenggelam bersama dan mengambang bersama. Bila badai
menempuh biduk itu, kalian bersama-sama dibuai dengan dahsyatnya, namun bila
angin silir, kalian bersama-sama dibelai oleh kesegaran. Kini kalian telah siap
berhadapan dengan senjata telanjang. Apakah kalian benar-benar telah menjadi
gila?”
Orang-orang Jipang itupun
tertegun diam. Masing-masing seakan-akan telah dipukau oleh suatu pesona
mendengar kata-kata itu. Bahkan Sanakeling pun hanya berdiri saja mematung
untuk sesaat. Tetapi ketika kemudian Sanakeling menyadari, bahwa sebagian dari
orang-orang Jipang itu tidak mematuhi perintahnya, maka kembali darahnya
bergelora dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.
Sanakeling merasa bahwa
sebagian dari laskar Jipang itu telah terpengaruh oleh Sumangkar untuk
berkhianat kepadanya. Ya. Kepadanya. Kepada Sanakeling. Sehingga dengan
nyaringnya ia berkata, “He. Siapa yang berpihak kepada Sumangkar adalah
pengkhianat. Orang-orang itu harus dibinasakan pula bersama Sumangkar.”
Tetapi Sumangkar menyahut,
“Dengarlah olehmu sekalian. Apapun yang kau dengar, baik dari mulutku, maupun
dari mulut Angger Sanakeling adalah demi keselamatan kalian. Pesan Angger
Tohpati berisi petunjuk supaya kalian dapat menemukan kedamaian hati dan
kemungkinan yang terang di hari depan. Sedang perintah Angger Sanakeling
mengandung makna, supaya kalian tetap dalam kejantanan jiwa seorang prajurit.
Kalau kalian kemudian bertempur satu sama lain, maka kedua pesan itu sama
sekali tak berarti. Kalian akan musnah, bukan sebagai prajurit-prajurit yang
sedang mempertahankan harga diri seperti yang dimaksud oleh Angger Sanakeling.
Bukan dalam kebesaran jiwa Jipang yang berjuang sampai tetes darah terakhir. Tetapi
sebagai prajurit yang saling bunuh-membunuh berebut kebenaran, yang tidak
berpangkal dan berujung. Juga kalian tidak akan dapat memenuhi pesan Angger
Tohpati yang kalian segani, sebab kalian tidak akan sempat menemukan kedamaian
hati dan hari depan yang baik. Kalian akan mati karena pedang kawan sendiri,
dan kalian akan mati tertimbun bangkai sesama.”
Kembali orang-orang Jipang itu
mematung. Sanakeling yang sudah meluap itupun kembali mematung pula.
Namun sayang, bahwa di antara
mereka, berdiri seorang Tambak Wedi yang selalu meniup-niupkan bisa dari
mulutnya. Ketika ia melihat keragu-raguan di antara mereka, kembali, ia tertawa
dan berkata, “Alangkah liciknya cara Sumangkar yang perkasa itu menyelamatkan
diri. Bagi seorang prajurit, kebenaran adalah mutlak. Tidak pandang siapakah
yang berdiri di hadapannya. Jangankan kawan seperjuangan. Bahkan sanak kadang,
ayah kandung sendiri, kalau ia berkhianat, maka pedang kita akan menusuk ulu
hatinya. Lebih baik berkawan sepuluh duapuluh orang yang setia daripada seratus
dua ratus pengkhianat. Itulah pilihan Angger Sanakeling.”
“Tepat,” teriak Sanakeling,
“tepat seperti kata-kata Ki Tambak Wedi. Ayo jangan ragu-ragu. Pedang kalian
telah tertarik dari sarungnya.”
“Yang kalian anggap
pengkhianat adalah Sumangkar,” teriak Sumangkar. “Kalau ada yang berpihak
kepadaku adalah karena mereka terpengaruh kata-kataku. Nah, ayo. Kalau kalian
ingin bertindak, bertindaklah terhadap Sumangkar. Kepada para prajurit Jipang
yang mendengarkan pesan-pesan Tohpati lewat mulutku, aku minta kalian tidak
perlu membela Sumangkar. Biarlah Sumangkar mati memeluk kewajiban yang
dibebankan oleh pemimpinnya pada saat-saat terakhir, menyampaikan pesan itu
kepada kalian. Lepaskan Sumangkar dan kalian dapat meninggalkan tempat ini
menempuh jalan yang kalian kehendaki itu. Sekarang ayo, siapa yang akan
membunuh Sumangkar?”
Sanakeling menggeram. Namun ia
masih belum beranjak dari tempatnya. Ia tahu benar siapakah Sumangkar itu. Ia
mengharap semua prajurit Jipang bersama-sama menangkapnya. Betapapun saktinya
Sumangkar, namun ia pasti tidak akan dapat melawan semua orang yang berada di
tempat itu. Tetapi tiba-tiba orang-orang Jipang itu terbelah. Hampir terbelah
dua, yang masing-masing akan dapat bertempur. Ketika ia berpaling dilihatnya
Alap-Alap Jalatunda. Anak muda itu berdiri dengan tegangnya. Namun wajahnya
tidak meyakinkan Sanakeling, kepada siapa ia akan berpihak. Sedang beberapa
orang yang lainpun sangat meragukannya.
Demikianlah maka setiap wajah
kini dicengkam oleh keragu-raguan. Meskipun pedang Sanakeling telah bergetar
namun kakinya sama sekali belum bergerak.
Dalam keragu-raguan itu
terdengar kembali suara Ki Tambak Wedi, “Kenapa kau ragu-ragu Angger
Sanakeling? Setidak-tidaknya yang sependapat dengan pendirianmu adalah separo.
Serahkan mereka menyelesaikan pendirian masng-masing. Jangan hiraukan
alasan-alasan cengeng yang keluar dan mulut Sumangkar. Sekarang Angger
Sanakeling dapat menangkap dan sekaligus menghukum mati Sumangkar itu. Kalau
Angger tidak sanggup karena kesaktian Sumangkar, biarlah Tambak Wedi
membantumu.”
Mata Sanakeling yang liar
menjadi bertambah liar. Tawaran itu menggembirakannya, sehingga ia menjawab,
“Terima kasih Ki Tambak Wedi. Orang ini memang perlu mendapat sedikit
peringatan. Peringatan atas kelicikannya membawa sebagian dari kita untuk
berkhianat.”
“Tambak Wedi” potong
Sumangkar. “Kau bukanlah seorang dari antara kita. Tetapi mulutmu yang berbisa
itu seakan-akan menentukan apa yang harus kita lakukan. Kau telah berhasil
menghancurkan pasukan Jipang tanpa membawa seorang prajuritpun. Sehingga dengan
demikian kau berhak mengenakan tanda jasa yang setingi-tingginya dari Pajang.”
Sekali lagi Tambak Wedi
menggeram. Sumangkar masih mampu menangkis usahanya yang terakhir. Sesaat ia
kehilangan kesempatan untuk mendororong Sanakeling bertindak lebih jauh.
Apalagi ketika kemudian ia melihat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Karena itu
maka ia langsung sampai pada tujuannnya, katanya, “Hem. Sekali lagi kau
menunjukkan kelicikanmu Sumangkar. Baiklah aku berterus terang. Muridku telah
disisihkan oleh Untara setelah ia gagal berusaha membunuh senapati Pajang yang
sombong itu. Ia hanya berhasil melukainya dengan parah. Tetapi Untara itu dapat
sembuh dari sakitnya. Kini muridku datang untuk menawarkan diri kepada Angger
Sanakeling. Bekerja bersama. Mungkin kita belum menemukan titik persamaan
pendirian. Namun hal itu dapat dibicarakan kemudian.”
Darah Sanakeling tersirap
mendengar tawaran itu. Alangkah baiknya. Selagi ia kehilangan seorang pemimpin
yang kuat, tiba-tiba ia akan mendapat kawan dalam meneruskan perjuangan,
meskipun perjuangan itu tidak lebih dari menyebarkan dendam di mana-mana.
Maka dalam kegelapan pikiran,
tawaran Ki Tambak Wedi itu bagi Sanakeling bagaikan sepercik sinar yang
langsung menyorot hatinya. Apalagi pada saat itu Sanakeling tidak sempat untuk
banyak membuat pertimbangan. Yang menyumbat otaknya adalah pengkhianatan
Sumangkar dan beberapa orang prajurit kepadanya. Karena itu maka teriaknya,
“Bagus! Tawaran itu bagus sekali Kiai. Mungkin kita dapat menemukan titik-titik
persamaan yang dapat kita pakai sebagai dasar perjuangan bersama untuk
membinasakan Untara. Nah, sekarang orang tua inilah yang harus kita binasakan
lebih dahulu.”
Ki Tambak Wedi tertawa.
Katanya, “Namun dalam beberapa hal aku sependapat dengan Adi Sumangkar. Para
prajurit Jipang ini tidak perlu saling membunuh. Mereka kini hanya diwajibkan
untuk menonton pertunjukan yang pasti akan mengasyikkan kalian.”
Para prajurit Jipang itu masih
tegak dengan senjata di tangan masing-masing. Wajah-wajah mereka masih
dicengkam oleh ketegangan dan ujung senjata-senjata mereka masih bergetaran.
“Nah, Adi Sumangkar. Apakah
kau sudah bersedia untuk mati?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Betapa umurnya yang telah melampaui pertengahan abad itu, telah
membantunya untuk melihat jauh ke dalam hati orang-orang yang berada di
sekitarnya. Sanakeling, Tambak Wedi, dan para prajurit yang kebingungan itu.
Juga kata-kata Tambak Wedi itu baginya sama sekali tidak diucapkan dengan
jujur. Karena itu maka jawabnya, “Kakang Tambak Wedi, Sumangkar sudah siap
sejak semula. Namun sekali lagi aku ingin berpesan. Bagi mereka yang ingin
memenuhi pesan Angger Tohpati lewat mulutku. Janganlah nonton seperti nonton
adu ayam. Kalian berada dalam bahaya. Selama aku masih hidup, mungkin Ki Tambak
Wedi dan beberapa orang terpenting dari pasukan ini masih memerlukan menangkap
dan membunuhku. Tetapi sepeninggalku, maka akan datang giliran buat kalian. Apa
yang akan dapat kalian lakukan apabila Sanakeling dan Tambak Wedi ikut serta
dalam barisan yang ingin membinasakan kalian? Nah, karena itu, sebelum aku
binasa, aku masih akan dapat mengikat perhatian Tambak Wedi dan Sanakeling.
Karena itu, berusahalah meninggalkan tempat ini. Pergilah langsung ke Sangkal
Putung. Katakan apa yang kalian lihat di sini. Katakan bahwa kalian mendengar
pesan Tohpati dari mulut Sumangkar, yang barangkali pada saat-saat itu telah
terbunuh di sini. Jangan ragu-ragu. Pesan itu telah didengar pula oleh Untara
dan Untara telah mengucapkan jaminan untuk kalian. Sebagai seorang senapati
yang berhati jantan, pasti ia tidak akan ingkar. Aku mengharap orang yang
bernama Kiai Gringsing akan membantu kalian apabila Angger Untara melupakan janjinya.
Aku percaya kepada orang itu. Aku percaya kepada muridnya yang bernama Agung
Sedayu, adik Untara. Mereka adalah manusia-manusia yang baik bagi kemanusiaan.
Jangan mencoba bertempur di sini. Tak akan ada gunanya. Nah, apakah kalian
dengar?”
“Sebuah jebakan yang manis”
teriak Ki Tambak Wedi. “Kalian benar-benar akan menjadi seperti ikan masuk ke
dalam wuwu. Kalian akan masuk Sangkal Putung dengan mudahnya. Tetapi demikian
senjata-senjata kalian dikumpulkan, maka tangan kalian akan segera terikat. Kalian
akan menjadi bandan seumur hidup kalian atau bahkan akan diseret sepanjang
jalan dalam hukuman picis. Betapa nyamannya kulit kalian akan disobek segores
demi segores, dan dipercikan air asam pada luka-luka itu.”
Namun Sumangkar sempat
menyahut, “Adalah suatu khayalan yang mengerikan. Kalau aku hanya sekedar ingin
membunuh kalian, para prajurit Jipang, aku tidak akan bersusah payah
mempertahankan pendirian ini dengan berperisai nyawa. Aku akan dapat berbuat
dengan mudahnya, meneteskan beberapa tetes getah racun ke dalam masakanku, maka
kalian akan binasa bersama-sama. Tetapi aku tidak berbuat demikian. Kalian
bukan anak-anak yang bodoh. Kalian kini sudah cukup dewasa untuk berpikir dan
berbuat. Nah, silahkanlah. Jangan terlalu lama.”
Kemudian kepada Ki Tambak
Wedi, Sumangkar berkata, “Ayo. Kau sudah mulai menjemukan bagiku. Berbuatlah
sesuatu. Jangan selalu berbicara saja dengan mulutmu yang berbisa. Memang
mungkin mulutmu itu lebih tajam dari senjatamu. Tetapi tongkat baja putih, ciri
perguruan Kedung Jati ini akan dapat menutup mulutmu itu untuk selama-lamanya.”
Tambak Wedi menggeram,
Kemarahannya telah benar-benar membakar dadanya. Tiba-tiba di atas kepala
orang-orang Jipang itu terdengar suara berdesing. Seperti desing anak panah
raksasa yang meluncur dengan cepatnya. Orang-orang Jipang itu terkejut.
Serentak mereka menengadahkan wajah-wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat
sesuatu.
Namun Sumangkar adalah lain
dari mereka. Sumangkar mempunyai beberapa kelebihan dari para prajurit itu.
Betapa lemahnya cahaya obor di sekitarnya, namun matanya yang tajam masih dapat
menangkap seleret benda yang berlari kencang, sekencang tatit, menyambarnya.
Tetapi Sumangkar adalah murid kedua dari perguruan Kedung Jati. Itulah
sebabnya, maka ia mampu bergerak menyamai kecepatan benda yang meluncur itu.
Dengan lincahnya ia bergeser surut setapak, dan dalam pada itu tongkatnya
menyambar sebuah benda yang meluncur ke arah kepalanya. Sesaat kemudian
terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Kedua benda itu beradu. Demikian
dahsyatnya sehingga suaranya berdentang memekakkan telinga, sedang dari
benturan itu memercik bunga-bunga api yang gemerlapan.
Tetapi Sumangkar tidak sekedar
memukul benda itu. Demikian tangkas gerak tongkatnya, sehingga benda itu
terpukul ke samping. Untunglah Sanakeling bukan sekedar patung batu. Orang itu
mampu menangkap keadaan. Ketika ia melihat Sumangkar memukul benda itu ke
arahnya, ia telah menyiapkan pedangnya. Tetapi demikian pedangnya berhasil
menangkis benda yang terpantul ke arahnya itu, maka tergetarlah tangannya dan
pedangnyapun terlontar jatuh.
Sanakeling itu sesaat terpaku
diam di tempatnya. Terasa tangannya menjadi pedih, tetapi terasa dadanya
seakan-akan menyala dibakar oleh kemarahannya yang meluap-luap.
Ketegangan dan kesenyapan memuncak
di sekitar gubug itu. Semua orang seperti terbungkam mulutnya oleh
tangan-tangan iblis yang mengerikan. Darah mereka bahkan terasa seolah-olah
berhenti mengalir.
Namun, selain Sanakeling yang
dadanya seolah-olah menyala maka Ki Tambak Wedi yang ternyata kini telah
berdiri di atas sebongkah batu padas itupun mengumpat sejadi-jadinya.
Sumangkar, juru masak yang malas itu telah berhasil menghindarkan serangan
pertamanya. Dengan serangan yang dilontarkannya dari dalam gelap, ia ingin
sekaligus membunuh Sumangkar dengan gelang-gelang besinya. Tetapi ternyata
murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu benar-benar tangkas. Dan ternyata
pula tongkat baja putih itu-pun bukan sekedar senjata biasa. Tongkat itu mampu
menahan arus yang dahsyat dan kekuatan Ki Tambak Wedi lewat gelang-gelang
besinya. Bahkan serangan itu hampir saja mengenai Sanakeling pula. Meskipun
kemudian Sanakeling berhasil pula menangkis pantulan besi itu, namun senjatanya
terlepas dari tangannya. Dengan demikian dapat diduga, betapa dahsyatnya
kekuatan Ki Tambak Wedi, dan betapa dahsyatnya kekuatan Sumangkar serta tongkat
baja putihnya.
Semua yang terjadi itu hampir
tak masuk di akal para prajurit Jipang yang melihat peristiwa itu dengan mata
yang terbelalak. Mereka selama ini sepeninggal Adipati Jipang dan Patih
Mantahun, tidak mengenal orang sakti selain Macan Kepatihan. Bahkan mereka
menyangka bahwa tak ada seorangpun yang akan mengalahkan pemimpinnya itu.
Tetapi ternyata Raden Tohpati itu terbunuh. Selama ini mereka menyangka, bahwa
apabila tidak dikirim Ki Gede Pemanahan, atau Mas Ngabehi Loring Pasar, maka
Tohpati tidak akan dapat dibinasakan. Tetapi mereka terpaksa melihat kenyataan,
bahwa Untara telah berhasil membunuhnya. Dan kini di antara mereka sendiri,
mereka dapat melihat kemampuan dan kesaktian yang melampaui kemampuan dan
kesaktian Macan Kepatihan. Juru masak yang malas itu ternyata adalah seorang
yang telah memukau jantung mereka.
Peristiwa ini sekaligus telah
mengetok hati para prajurit Jipang itu, bahwa kesaktian itu tersimpan di
mana-mana. Kadang-kadang di tempat-tempat yang sama sekali tak terduga-duga.
Yang dikagumi masih ada yang melampauinya, dan yang melampaui itupun bukanlah
seorang yang tak terkalahkan.
Beberapa orang yang berotak
cair segera dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Tak seorangpun yang
dapat menyebut dirinya tak terkalahkan. Tak seorangpun yang akan dapat dianggap
sebagai seorang yang maha sakti. Seperti apa yang telah terjadi atas Jipang
yang merasa diri mereka tak terkalahkan, setidak-tidaknya mereka menganggap
bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah orang-orang yang tak terkalahkan, maka
akhirnya Jipang terpaksa jatuh tersungkur, terbenam dalam kehancuran yang
dahsyat, sehingga sulitlah untuk dapat bangkit kembali. Arya Jipang yang
disangka tak akan dapat terbunuh kalau tidak oleh senjata pusakanya sendiri
itupun akhirnya terbunuh juga, hanya oleh seorang anak muda yang sama sekali
tak pernah disebut namanya. Apalagi dalam deretan nama para sakti.
Anak muda yang bernama Mas
Ngabehi Loring Pasar yang juga disebut Sutawijaya itu ternyata mendapat cara
untuk menggoreskan keris Arya Penangsang sendiri, yang disebutnya Setan Kober,
pada ususnya yang telah mencuat keluar dari luka di lambungnya. Luka karena
tusukan tombak Kiai Plered di dalam genggaman anak muda yang bernama Sutawijaya
itu.
Bagi mereka yang berotak cair,
melihat semua peristiwa itu dengan debar di dalam dadanya. Mereka seolah-olah
melihat semuanya itu terjadi kembali. Juga tidak masuk di akalnya. Namun semua
peristiwa itu telah menuntun mereka untuk mengenangkan, bahwa ada kekuasaan di
luar kekuasaan manusia. Kalau kekuasaan itu akan berlaku, berlakulah. Di mana
dan kapan saja. Semua yang tidak mungkin, akan terjadi pula. Bahkan yang tak
masuk akal sekalipun. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang akan menggilas semua
ketamakan, kesombongan, dan kebanggaan manusia atas dirinya sendiri.
Tetapi tidak semua orang
melihat sinar yang betapapun terangnya. Seseorang yang berdiri di dalam gelap
sekalipun. Kadang-kadang mereka lebih senang tenggelam dalam dunianya yang
gelap, yang akan dapat melindunginya untuk berbuat apa saja sekehendak hatinya.
Prajurit-prajurit Jipang
itupun tetap terbagi dalam pendirian yang barbeda. Mereka masih tetap berpijak
pada sikap masing-masing. Sebagian dari mereka berkata di dalam hatinya,
“Alangkah dahsyatnya Ki Sumangkar. Ia mampu melawan serangan yang datang dengan
tiba-tiba, serangan yang licik itu.” Namun orang-orang yang lain berkata di
dalam hatinya, “Alangkah dahsyatnya lontaran tangan Ki Tambak Wedi. Dengan
bermain-main gelang itu, hampir-hampir Sumangkar dapat dibunuhnya. Apalagi
kalau ia nanti bersungguh-sungguh menyerang Sumangkar untuk membunuhnya.”
Di antara mereka, yang tak
beringsut dari pendiriannya, dan bahkan menjadi semakin berkobar di dalam
dadanya adalah Sanakeling. Bahwa pedangnya lepas dari tangannya, adalah suatu
peristiwa yang sangat memalukan. Sumangkar dapat menahan gelang-gelang yang
langsung meluncur dari tangan Ki Tambak Wedi, sedang pedangnya terloncat dari
genggamannya hanya karena pantulan benda itu.
Sejenak kemudian kesenyapan
itu dipecahkan oleh suara Ki Tambak Wedi, “Gila kau Sumangkar. Tetapi jangan
kau sangka bahwa kau akan dapat melepaskan diri dari tangan Ki Tambak Wedi.”
Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Biarkan para prajurit Jipang membuat
keputusan sendiri di antara mereka. Namun marilah, sumber dari pengkhianatan
itu kita lenyapkan.”
Sumangkar sama sekali tidak
menyahut. Perlahan-lahan tangannya membelai senjatanya, seolah-olah ia berkata,
“Marilah kita berbuat sesuatu untuk yang terakhir kalinya.”
Tetapi ternyata Sumangkar
tidak berdiri sendiri. Ketika para prajurit yang berpihak kepadanya melihat,
bahwa Sumangkar telah bersiap untuk menyongsong segala kemungkinan, maka
orang-orang Jipang yang berpihak kepadanyapun bersiap pula.
Ki Tambak Wedi yang
seakan-akan dadanya meledak karena goncangan kemarahannya, kemudian berteriak
nyaring untuk menekan keberanian orang-orang Jipang yang berpihak kepada
Sumangkar. “He Sumangkar, di tanganmu tergenggam ciri perguruan Kedung Jati.
Sebuah tongkat baja putih yang terkenal. Tetapi perguruan di kaki Gunung Merapi
mempunyai cirinya sendiri. Bukan sekedar gelang-gelang permainan kanak-kanak,
tetapi kau sudah cukup mengenal ciri itu. Marilah kita lihat, manakah yang
lebih sempurna, ciri Kedung Jati dan ciri Lereng Merapi.”
Semua orang berpaling ke arah
Ki Tambak Wedi berdiri. Dan semua orang melihat orang tua itu berdiri di atas
segumpal batu padas dengan sebuah senjata yang dahsyat di tangan. Sebuah
Nenggala yang runcing pada ujung dan pangkalnya. Sebuah Nenggala yang berbentuk
dua ekor ular yang saling mem belit berlawanan arah. Lidah-lidah ular itu
terjulur dalam bentuk tempaan ujung tombak. Mengerikan. Itu adalah tanda dan
senjata yang terpercaya dari perguruan Tambak Wedi. Dan senjata itu kini telah
ditarik dari selubung dan wrangkanya.
Sumangkar pun melihat senjata
itu pula dalam keremangan cahaya obor yang kemerah-merahan. Terasa debar
jantungnya bertambah cepat. Tambak Wedi memang terkenal sebagai seorang yang
sangat sakti seakan-akan mampu menangkap angin. Namun perguruan Kedung Jati
pernah pula terkenal, seolah-olah mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam
tubuhnya. Kini mereka berhadapan dengan ciri kebesaran perguruan masing-masing.
Ciri yang tersimpan rapat-rapat dan jarang-jarang dipergunakan apabila keadaan
tidak sangat gawat bagi mereka masing-masing.
Namun Sumangkar benar-benar
sudah pasrah diri. Ia tidak melihat kemungkinan lain daripada mati. Melawan Ki
Tambak Wedi seorang diri, ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya. Apalagi Ki
Tambak Wedi masih juga bergabung dengan orang-orang seperti Sanakeling dan
mungkin para pemimpin Jipang yang lain. Meskipun mereka agaknya ragu-ragu,
namun apabila Sanakeling telah bertindak bersama-sama Tambak Wedi, maka
sebagian dari merekapun akan berbuat pula serupa.
Sumangkar menggeram
perlahan-lahan. Ia pernah bertempur melawan Tambak Wedi. Tetapi waktu itu ia
tidak mempergunakan senjatanya, dan Tambak Wedi pun hanya sekedar mempergunakan
gelang-gelang untuk melindungi tangannya. Tetapi kini, keduanya telah bersiap
dengan senjata masing-masing.
Sanakeling yang masih berdiri
di hadapan Sumangkar hampir-hampir tak dapat lagi menahan dirinya. Kemarahannya
telah membakar darahnya sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia tidak segera berbuat
sesuatu. Ia tidak dapat melangkah mengambil senjatanya sebab dengan demikian
Sumangkar dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dan memukul tengkuknya dengan
tongkat baja itu. Karena itu maka satu-satunya kemungkinan baginya adalah
menunggu Tambak Wedi bertindak lebih dabulu.
Sumangkar pun tidak mau
memulai perkelahian itu. Apabila setapak ia maju mendekati Sanakeling dan
mengabaikan Tambak Wedi, maka pasti akan terbang lagi gelang-gelang serupa
menyambarnya. Karena itu maka perhatiannya justru sebagian besar tertuju ke
arah Ki Tambak Wedi daripada Sanakeling yang berdiri beberapa langkah saja
daripadanya.
Beberapa orang lain, menurut
pertimbangan Sumangkar tidak akan memulai pula. Mereka masih berdiri dalam
keragu-raguan. Sebagian dari mereka pasti hanya akan menunggu perkembangan
keadaan. Siapa yang menang itulah yang akan menentukan, kepada siapa ia akan
berpihak.
Tetapi agaknya Tambak Wedilah
yang akan memulai memecahkan sikap-sikap itu. Ternyata dengan tangkasnya ia
meloncat turun dan berjalan menyibak orang-orang Jipang ke arah Sumangkar
berdiri. Ternyata Tambak Wedi itupun memperhitungkan semua kemungkinan yang
dihadapinya. Ia menjinjing senjatanya di tangan kiri, dan menggenggam
gelang-gelang di tangan kanan siap dilontarkan apabila pada saat ia berjalan
mendekat itu Sumangkar mulai menyerang Sanakeling yang tidak bersenjata.
Setiap langkah Ki Tambak Wedi
terasa seakan-akan derap seorang raksasa yang berjalan di dalam dada setiap
orang yang menyaksikannya. Setiap langkah telah meningkatkan ketegangan menjadi
semakin memuncak, seakan-akan sebuah tanggul yang telah penuh dengan air.
Setiap saat akan pecah. Setiap saat banjir akan dapat melanda dengan
dahsyatnya.
Sumangkar memandang langkah
Tambak Wedi itu tanpa berkedip. Semakin dekat hantu Lereng Gunung Merapi itu,
semakin erat ia menggenggam tongkat baja putihnya. Sekali-sekali dipandanginya
beberapa orang Jipang yang berdiri saling berhadapan seperti dua gelar perang
yang siap berbenturan. Sesaat hatinya menjadi sedih. Ia dapat membayangkan
bahwa apabila perkelahian itu terjadi, maka akan tumpaslah segenap pasukan itu.
Sumangkar dapat menduga bahwa para prajurit itu seakan-akan benar-benar
terbelah di tengah. Masing-masing pihak yang semula tercampur-baur itu, kini
benar-benar telah bersibak menurut pilihan masing-masing. Dan Tambak Wedi, yang
garang itu berjalan di tengah-tengah, di garis pemisah antara kedua pihak yang
berselisih pendapat itu.
Namun dada setiap orang yang
berdiri di tempat itu benar-benar akan pecah oleh peristiwa yang menyongsong
kemudian. Peristiwa yang benar-benar telah meledak tanpa dapat mereka mengerti.
Ketika semua orang sedang dipukau oleh ketegangan langkah Ki Tambak Wedi,
tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa pula. Tidak sekeras suara Ki Tambak
Wedi. Namun suara itu telah menarik segenap perhatian dari semua orang yang
berada di tempat itu. Termasuk Ki Tambak Wedi sendiri. Dan yang lebih
menggemparkan dada mereka adalah pada saat semua orang melihat sebuah bayangan
berdiri di atas sebongkah batu padas, tempat Ki Tambak Wedi tadi berdiri, dengan
sebuah Nenggala di tangannya. Nenggala ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi
yang telah ditarik dari selubung dan wrangkanya.
Betapa terkejutnya orang-orang
yang melihat bayangan itu, namun tidak seorangpun yang menyamai terkejutnya Ki
Tambak Wedi sendiri. Dalam kegelapan ia melihat seolah-olah seseorang dari
perguruan Tambak Wedi berdiri di atas sebongkah batu padas dengan gagahnya.
Bahkan seperti ia melihat sendiri berdiri di situ, seperti pada saat ia
melemparkan gelang-gelang besinya ke arah Sumangkar.
Selain Tambak Wedi, Sumangkar
pun terkejut bukan buatan. Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapakah yang
berdiri agak jauh di belakang orang-orang Jipang yang sudah siap saling
membunuh sesama mereka. Ia tidak dapat mengatakan, bahwa Ki Tambak Wedi yang
baru saja melontarkan gelang besinya meloncat kembali ke atas batu padas itu,
sebab Ki Tambak Wedi kini masih tegak berdiri di antara kedua belah pihak
orang-orang Jipang yang berbeda pendapat. Namun menilik senjata yang dibawanya,
berujung runcing di pangkal dan ujungnya, ternyata pula dari cara orang itu
memegang tangkainya, tepat di tengah-tengah, maka orang itu mirip benar dengan
Ki Tambak Wedi sendiri.
Terdengar kemudian Ki Tambak
Wedi menggeram. Dengan lantang ia berkata, “He, setan manakah kau ini? Dari
mana mendapat senjata yang mirip dengan senjata Tambak Wedi?”
Ketika orang itu menjawab,
maka dada Sumangkar dan Ki Tambak Wedi berdesir seperti tersentuh ujung senjata
itu sendiri. Berkata orang itu, “Kenapa kau heran Ki Tambak Wedi. Apakah hanya
Tambak Wedi yang memiliki jenis senjata macam ini?”
Dalam keremangan cahaya obor
yang lemah, tampaklah wajah Sumangkar sekan-akan menjadi terang. Perlahan-lahan
ketegangan di wajahnya terurai, dan perlahan-lahan pula tampak bibirnya
tersenyum. Katanya, “Selamat malam Kiai Gringsing. Aku tidak menyangka bahwa
Kiai akan datang secepat ini. Tetapi senjata di tanganmu benar-benar
mengejutkan kami. Dalam gelap kami tidak segera mengenal Kiai, tetapi suara
Kiai tidak dapat mengelabui kami lagi.”
Kiai Gringsing tertawa. Orang
itu sebenarnya adalah Kiai Gringsing. Namun Ki Tambak Wedilah yang mengumpat,
“Setan tua. Kenapa kau coba menandingi jenis senjata Tambak Wedi. Betapa
saktinya Kiai Gringsing, namun senjata ciri perguruan Tambak Wedi kami jauh
lebih berpengalaman mempergunakannya dan jenis senjatanyapun akan jauh lebih
bernilai dari senjata-senjata serupa di seluruh kulit bumi.”
Kiai Gringsing masih tertawa.
Dijawabnya, “Apakah kau sudah tidak dapat mengenali jenis-jenis senjata
perguruanmu sendiri Kiai? Senjata inipun adalah senjata ciri kebesaran
perguruan Tambak Wedi. Bukan sekedar senjata buatan pandai besi, apalagi buatan
almarhum Pande Besi Sendang Gabus. Sama sekali bukan. Apakah kau tidak segera
mengenal pamor ujung senjata ini? Sungguh dahsyat menurut penilaianku sebab
senjata Lereng Merapi memang dahsyat, sedahsyat orangnya.”
“Gila!” seru Ki Tambak Wedi
sekeras petir. “Jangan membual. Ayo katakan, kenapa kau di sini?”
“Jangan marah Kiai” sahut Kiai
Gringsing. “Apakah kau tidak ingin tahu dari mana aku mendapatkan senjata ini?”
“Tidak” jawab Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah tahu, itu pasti senjata Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tertawa semakin
keras. Kemudian katanya, “Nah tepat. Kau belum melupakan senjata ini. Tetapi
adalah aneh sekali bahwa senjata ciri kebesaran suatu perguruan sampai
tertinggal di suatu tempat, kenapa Kiai?”
“Jangan banyak bicara, ayo
katakan, apa maumu?”
“Kenapa yang bertanya kepadaku
bukan Adi Sumangkar, atau Angger Sanakeling? Kenapa yang bertanya justru Ki
Tambak Wedi dari perguruan Lereng Merapi? Menurut hematku, tempat ini adalah
perkemahan prajurit Jipang, bukan perkemahan laskar Tambak Wedi dan Sidanti
yang telah memberontak terhadap pimpinannya itu?”
“Tutup mulutmu!”
“Sulit Kiai. Aku memang senang
berkicau seperti burung yang bebas di dahan-dahan. Tak seorangpun mampu
melarang. Kau juga tidak.”
Tambak Wedi yang sedang marah
itupun menjadi bertambah marah. Wajahnya yang membara itupun bertambah merah.
Tetapi Kiai Gringsing berkata
terus, “Ki Tambak Wedi, bukankah kau sedang sibuk mencari kawan untuk melawan
Untara? Di sini kau menemukan beberapa orang yang dapat kau peralat untuk
keperluan itu. Itulah sebabnya aku datang. Aku adalah utusan Angger Untara,
langsung untuk menyaksikan sendiri siapakah di antara orang-orang Jipang yang
menyadari keadaannya, menyadari masa depannya dan masa depan Demak. Aku adalah
utusan senapati yang mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama di
Pajang. Karena itu maka kata-kata yang aku ucapkan adalah kata-kata Panglima
Wira Tamtama itu sendiri, Ki Gede Pemanahan, bahwa Pajang yang akan membuat
penilaian yang seadil-adilnya bagi mereka yang menyadari keadaannya sesuai
dengan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan, senapati besar yang selama ini
kau banggakan.”
Ki Tambak Wedi tidak dapat
menahan dirinya lagi. Tiba-tiba tangan kanannya bergetar, dan dari tangan itu
meluncurlah sebuah benda langsung mengarah ke dada Kiai Gringsing. Sepotong
besi yang dibentuk seperti sebuah gelang yang besar.
Tetapi Kiai Gringsing itupun
tidak sedang berbicara sambil bermimpi. Ia sudah menduga bahwa Ki Tambak Wedi
akan langsung menyerangnya dengan jenis senjatanya itu. Karena itu, dengan
lincahnya ia merendahkan dirinya menghindari sambaran gelang-gelang besi itu.
Betapa bulu-bulu kuduk
orang-orang Jipang itu kemudian menjadi tegak ketika mereka mendengar bunyi
gemerasak dari gelang-gelang besi yang tidak mengenai sasarannya, tetapi
langsung memukul dahan-dahan dan ranting-ranting kayu. Suaranya seperti arus
prahara yang mematahkan cabang-cabang pepohonan hutan.
Tetapi suara gemeresak yang
dahsyat sedahsyat suara prahara itu bagi Ki Tambak Wedi, seolah-olah mengamuk
di dalam dadanya sendiri. Kemarahannya yang meluap-luap serasa telah
menghanguskan jantungnya.
Namun ia tidak segera dapat
berbuat apa-apa. Bahkan dilihatnya Kiai Gringsing tertawa sambil berkata, “Huh,
hampir-hampir dadaku pecah karenanya. Kalau aku memegang senjata ciri perguruan
Kiai Gringsing, maka aku tidak akan menggenggam senjata perguruan Ki Tambak
Wedi sendiri. Aku tidak yakin apakah senjata ini cukup kuat untuk menangkis.
Adi Sumangkar berani melakukannya karena ia yakin akan kekuatan senjatanya.
Sebab senjata itu adalah senjatanya sendiri.”
“Jangan banyak cakap” potong
Ki Tambak Wedi. “Aku kira kita sudah sampai waktunya untuk menyelesaikan
persoalan kita yang selama ini terperam di dalam hati.”
“Aku tidak berkeberatan” sahut
Kiai Gringsing dengan tenang. “Adalah menjadi kewajibanku untuk melayanimu.
Memang sebaiknya kau mengurus persoalanmu sendiri, persoalanmu dengan Kiai
Gringsing misalnya, daripada kamu mengurus soal orang lain. Biarkan Adi Sumangkar
dan Angger Sanakeling menyelesaikan persoalan mereka, sementara itu, marilah
kita tinggalkan tempat ini, kita selesaikan persoalan kita sendiri.”
Keringat dingin telah mengalir
membasahi seluruh tubuh Ki Tambak Wedi yang garang itu. Betapa ia mengumpat di
dalam hatinya. Ternyata sekali lagi Kiai Gringsing telah menghalang-halanginya.
Dengan suara parau penuh kemarahan ia berkata, “Kiai Gringsing. Kalau kau ingin
membuat perhitungan dengan Ki Tambak Wedi, tunggulah aku di sisi hutan ini.
Setelah aku menyelesaikan urusanku di sini, maka aku akan segera datang.”
“Apakah kepentinganmu di sini
itu? Kau adalah orang asing di sini, seperti aku. Kalau kau berhak turut campur
di sini, maka aku akan turut campur pula.”
“Setan!” geram Ki Tambak Wedi,
“Kau selalu menggangguku.”
“Kau juga selalu mengganggu
orang lain.”
“Sekarang menjadi jelas
bagiku,” berkata Tambak Wedi itu keras-keras, “ternyata Sumangkar dan Kiai
Gringsing telah sependapat untuk bersama-sama menjerumuskan Jipang ke dalam
bencana.”
“Jangan mengigau. Kalau kami,
Pajang, benar-benar ingin menghancurkan laskar Jipang, sekarang adalah saatnya.
Aku bisa membawa seluruh kekuatan Pajang itu kemari. Mengepung kalian dan
menumpas kalian habis-habisan.”
Darah Sanakeling tersirap
mendengar kata-kata itu. Benar-benar suatu penghinaan bagi pasukan Jipang.
Bukan saja Sanakeling, tetapi terasa sesuatu berdesir pula di dalam dada
Sumangkar.
Namun Kiai Gringsing itu
berkata terus, “Tetapi penyelesaian yang demikian adalah penyelesaian yang
kurang bijaksana. Korban dari pihak Pajang pun pasti tidak akan terhitung lagi,
bahkan mungkin separo dari kami tidak akan pernah dapat meninggalkan hutan ini.
Dalam penyelesaian yang demikian itu, maka dendam akan tertanam dalam-dalam di
hati kita masing-masing, sehingga setiap saat akan terungkapkan kembali. Tetapi
Ki Gede Pemanahan akan mencoba mencari jalan yang lebih baik. Kecuali bagi
mereka yang membangkang. Mereka akan benar-benar dihancurkan, hancur dalam arti
lahir dan batinnya.”
Tiba-tiba kata-kata terpotong
oleh ledakan hati Sanakeling yang sudah tak tertahankan lagi. Katanya
berteriak, “Jangan berkicau seperti orang gila. Jangan kau sangka, kami
orang-orang Jipang adalah kelinci-kelinci yang tidak berdaya. Ayo, kerahkan
seluruh prajurit Wira Tamtama Pajang. Datangkan orang yang bernama Ki Gede
Pemanahan, Ki Penjawi, Juru Martani, Ngabehi Loring Pasar, bahkan Karebet itu
sendiri.”
“Tidak Ngger” sahut Kiai
Gringsing. Nada suaranya masih setenang semula. “Itu hanyalah sekedar gambaran
yang dahsyat dan mengerikan. Sebaiknya semuanya itu tidak usah terjadi. Aku
hormati pendirian Angger Raden Tohpati dan Adi Sumangkar.”
Yang terdengar kemudian adalah
gemeretak gigi Sanakeling dan geram Ki Tambak Wedi. Namun mereka berdua masih
tegak di tempatnya. Dalam keadaan yang demikian itulah maka ketegangan menjadi
semakin memuncak.
Perdebatan itu seolah-olah
justru memperkuat pendirian setiap orang di dalam pasukan yang terbagi itu.
Karena itu maka mereka menjadi semakin kukuh atas pilihan masing-masing.
Dalam pada itu Sumangkar
sempat membuat penilaian atas keadaan itu. Seandainya saat ini ia mulai, maka
keadaan Sanakeling sudah sedemikian lemahnya. Ki Tambak Wedi pasti sudah tidak
akan membantu Sanakeling lagi, karena kehadiran Kiai Gringsing. Namun ketika
orang tua itu berpaling, melihat orang-orang Jipang di halaman gubug itu
berdiri dengan tegangnya, maka hatinya berdesir. Ia tidak akan sampai hati
melihat mereka saling berkelahi, saling membunuh setelah mereka sehari penuh
berperang bersama-sama di bawah kibaran satu panji-panji. Karena itu Sumangkar
kini masih saja berdiri dalam keragu-raguan.
Tak seorangpun yang segera
dapat mengambil keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan. Sanakeling pun
tidak. Ia adalah seorang prajurit yang biasa membuat penilaian atas kawan dan
lawan. Kali inipun demikian pula. Ia menyadari bahwa dengan kehadiran Kiai
Gringsing, maka ia tidak akan segera berhasil menangkap apalagi membinasakan
Sumangkar.
Dalam pada itu, Sumangkar
ternyata jauh lebih mengendap dari Sanakeling. Mencoba membuat pemecahan
sementara atas persoalan yang dihadapinya. Karena ia tidak sampai hati melihat
benturan di antara mereka yang selama ini telah bersama-sama hidup dalam satu
lingkungan. Maka katanya, “Angger Sanakeling. Kalau pendirian kita sudah tidak
dapat bertemu, maka baiklah kita memilih jalan kita masing-masing. Dengan
demikian, kita akan menghindari pertumpahan darah di antara kita. Seterusnya,
biarlah kita serahkan pada perkembangan keadaan.”
Sanakeling menggeram mendengar
kata-kata Sumangkar itu. Ia mengerti benar maksudnya. Meskipun dengan demikian
ia tidak harus bertempur melawan orang tua itu; namun hatinya sakit bukan
kepalang. Sebenarnya ia ingin menangkap Sumangkar; menyumbat mulutnya dengan
tangkai pedang; dan memukul kepalanya dengan tongkatnya itu sendiri. Tetapi ia
menyadarinya; bahwa hal itu tak akan dapat dilakukannya. Apalagi setelah setan
tua yang menamakan dirinya Kiai Gringsing yang menurut pengamatan Sanakeling,
sikap dan tanggapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah meyakinkannya tentang
orang itu, hadir pula di tempat itu.
Karena itu, sesaat Sanakeling
menjadi ragu-ragu. Ki Tambak Wedi pun tidak berkata sesuatu. Hantu Lereng
Merapi itupun sedang sibuk mempertimbangkan keadaan. Namun kehadiran Kiai
Gringsing benar-benar telah merusak rencananya.
Maka satu-satunya kemungkinan
yang saat itu paling baik adalah menerima tawaran Sumangkar. Meskipun hal itu
berarti kekuatan orang-orang Jipang itu kira-kira tinggal separo, namun yang
separo itu masih tetap utuh. Kalau mereka bertempur pada saat itu, maka yang
separo itupun telah jauh berkurang lagi.
Sanakeling yang saat itu
merasa memegang pimpinan atas orang-orang Jipang itu segera berkata lantang
memecah kesenyapan. “He orang-orang Jipang yang setia. Kali ini aku terpaksa
tidak dapat menangkap dan membunuh pengkhianat ini. Aku akan memberinya waktu
beberapa minggu. Kalau ia beserta beberapa pengikutnya tidak segera menyadari
keadaannya, maka dosanya akan kami persamakan dengan orang-orang Pajang. Setiap
kali kita bertemu, di mana dan kapan saja, maka mereka pasti akan kami penggal
kepala mereka itu.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia menyadari bahwa di samping dendam yang telah ada, maka
Sanakeling pasti akan menyebarkan bibit-bibit dendam yang baru. Dan bibit-bibit
yang demikian itu pasti akan cepat tumbuh dan berkembang. Jauh lebih cepat dari
setiap bibit kebaikan dan kebajikan. Seperti bibit alang-alang, maka bibit
dendam itu segera menjadi rimbun, sedang bibit kebajikan akan tumbuh dan
berkembang sangat lambat seperti pohon anggrek. Namun apabila keduanya kelak
berbunga, maka alangkah indahnya bunga anggrek itu dan alangkah tidak berharga
bunga rumput alang-alang. Setiap orang akan menghindarinya dan apabila tak ada
jalan lain, maka bunga rumput alang-alang akan terinjak-injak kaki.
Tetapi ia tidak mencegah saat
itu. Kalau ia mempergunakan kekerasan maka korbannya akan terlampau banyak. Ia
mengharap bahwa orang-orang yang berpihak kepada Sanakeling pun kelak akan
menyadari dirinya, dan datang kepadanya dengan penyesalan dan kesadaran.
Demikianlah Sumangkar kemudian
melihat Sanakeling melangkah dan membungkuk mengambil pedangnya. Sesaat
kemudian dipandanginya para pemimpin Jipang yang lain. Sesaat mereka menjadi
ragu-ragu, namun kemudian terdengar Sanakeling berkata kepada mereka, “Akulah
kini pemimpinmu. Siapa yang setia pada sumpahnya sebagai seorang prajurit,
ikutlah aku. Aku perintahkan kepadamu sekalian, ikuti aku dan para prajurit
yang sadar akan harga dirinya.”
Sumangkar sama sekali tidak
memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya para pemimpin itu memilih pihak.
Namun sesaat mereka masih tetap berdiri di tempat mereka masing-masing.
Sanakeling menggeretakkan
giginya melihat keragu-raguan itu. Dengan kerasnya ia berteriak, “Ikuti aku!”
Tiba-tiba dari antara para
pemimpin itu terdengar Alap-Alap Jalatunda bertanya, “Ke mana?”
Sanakeling terdiam sesaat. Ia
menjadi bingung ke mana? Ya, kemana ia akan pergi? Tetapi menurut
perhitungannya, memang seharusnya mereka meninggalkan tempat itu. Tempat itu
telah diketahui oleh Kiai Gringsing yang nyata-nyata memihak kepada Pajang
bahkan utusan senapati muda yang bernama Untara. Tampat itu telah dikenal
baik-baik segala sudut-sudutnya oleh Sumangkar yang menurut penilaian
Sanakeling telah berkhianat. Tetapi ke mana?
Dalam kebimbangan itu
terdengar Ki Tambak Wedi berkata dengan suara parau penuh kebencian. “Mari
Ngger. Kita pergi bersama-sama. Padepokan Tambak Wedi akan cukup luas menampung
kalian. Jangan cemas, bahwa kekuatan kalian benkurang. Kekuatan kalian segera
akan pulih kembali setelah Tambak Wedi dan Sidanti berbuat sesuatu.”
Kata-kata Tambak Wedi yang
diucapkan pada saat Sanakeling sedang diliputi oleh kebimbangan itu, merupakan
satu-satunya kemungkinan baginya. Karena itu tanpa berpikir panjang segera ia
menyahut, “Baik. Aku akan pergi bersama Kiai.” Kemudian kepada para pemimpin
Jipang ia berkata, “Tinggallah bersama pengkhianat ini siapa yang akan
berkhianat.”
Sanakeling itu kemudian tidak
berkata sepatah katapun lagi. Segera ia melampui tlundak pintu dan berjalan ke
arah Ki Tambak Wedi di antara kedua laskarnya yang terbelah. Dengan langkah
yang tetap ia berjalan seperti seorang senapati yang berangkat ke medan perang.
Ki Tambak Wedi pun kemudian
berjalan pula di samping Sanakeling itu. Sekali-sekali ia berpaling melihat
orang-orang yang akan pergi mengikutinya.
Sesaat para prajurit itu tidak
ada yang bergerak dari tempatnya. Masing-masing dicengkam oleh perasaan yang
sangat aneh. Tiba-tiba terasa betapa beratnya berpisah di antara mereka setelah
bertahun-tahun mereka berada dalam satu lingkungan, dan setelah sekian lama mereka
mengalami nasib yang bersama pula. Ketika mereka meninggalkan Jipang, masuk ke
dalam hutan belukar dan berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain,
bertempur, merampok, dan bahkan berbuat seribu macam kejahatan, mereka
seolah-olah merasa bahwa tak akan ada kekuatan satupun yang memisahkan mereka
kecuali maut. Namun perpisahan itu kini terjadi. Pendirian mereka ternyata
pecah di jalan.
Yang pertama-tama bergerak
adalah Alap-Alap Jalatunda. Betapa keragu-raguan mencengkam dadanya, namun ia
tidak dapat datang ke Sangkal Putung dan menyerahkan dirinya kepada Agung
Sedayu.
Meskipun secara pribadi ia
belum pernah mengenal anak muda itu, tetapi pertemuannya yang pertama di
Macanan di sekitar tikungan Randu Alas dan kemudian dalam pertempuran di
sebelah barat Sangkal Putung, telah membentuk dendam yang dalam di dalam hati
Alap-Alap yang masih muda, semuda Agung Sedayu itu sendiri. Kekeliruannya
menilai Agung Sedayu telah membakar dadanya, sehingga seakan-akan ia berjanji
kepada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika ia harus menemukan kekuatan
yang akan dapat melampaui kekuatan Agung Sedayu.
Tetapi kepada Sidanti,
Alap-Alap Jalatunda pun sama sekali tidak menaruh hormat. Bahkan betapa
kebencian menyala di dalam dadanya, sejak ia mendengar cara Sidanti membunuh
Plasa Ireng. Bagaimanapun juga, terasa kebuasan Sidanti atas Plasa Ireng saat
itu seolah-olah telah menggores kulitnya sendiri. Kini ia harus datang kepada
anak muda yang telah dengan kejamnya membunuh salah seorang kepercayaan
prajurit Jipang.
Tetapi ia tidak punya pilihan
lain. Kedua-duanya tidak menyenangkan. Kedua-duanya bagi Alap-Alap Jalatunda
mempunyai keberatannya masing-masing. Tetapi Sidanti masih lebih asing lagi
baginya. Karena itu, maka dipilihnya berpihak kepada Sanakeling yang akan membawanya
ke padepokan Tambak Wedi. Menurut tangkapan perasaannya, di sana para prajurit
Jipang ini akan bergabung dengan orang-orang Ki Tambak Wedi, atau semacam
laskar yang akan dibentuknya. Tetapi apabila kedua pasukan itu kemudian
digabungkan, siapakah pemimpin tertinggi dari pasukan itu? Sanakeling atau
Sidanti?
Menurut penilaian Alap-Alap
Jalatunda, Sidanti dan Sanakeling memiliki kekuatan yang seimbang. Keduanya
setingkat di bawah Macan Kepatihan dan hanya sedikit sekali di atas Plasa
Ireng. Namun di dalam lingkungan yang baru itu kemudian ada Ki Tambak Wedi yang
langsung turut campur ke dalam lingkungan kelaskaran. Bukan sekedar seorang
juru masak seperti Sumangkar.
Demikianlah, dalam
keragu-raguan itu Alap-Alap Jalatunda berjalan terus. Namun langkahnya tidak
setetap Sanakeling. Sekali-sekali Alap-Alap Jalatunda itu menundukkan wajahnya,
dan sekali-sekali terbayang masa-masa yang pernah dialaminya, selama ia menjadi
prajurit Jipang. Belum lama ia diterima sebagai wira tamtama khusus dari
Jipang. Tiba-tiba Jipang pecah, dan ia harus ikut serta bersama pasukannya
menghilang dari kota, masuk-keluar hutan dan desa-desa, turun-naik jurang dan
lereng-lereng pegunungan. Kini ia akan terdampar ke lereng Gunung Merapi, ke
padepokan Ki Tambak Wedi yang masih asing baginya. Bekerja bersama dengan
seorang anak muda yang bernama Sidanti.
”Hem,” Alap-Alap Jalatunda
menarik nafas.
Namun ketika orang-orang yang
masih berdiri termangu-mangu melihat Alap-Alap itu berjalan mengikuti
Sanakeling maka mereka yang sejak semula berketetapan hati untuk tetap dalam
petualangan sambil berbangga diri sekedar karena mereka mempertahankan harga
diri menurut penilaian yang sempit, segera mengikutinya. Beberapa orang
pemimpin segera berloncatan sambil berpaling, memandang dengan penuh kebencian
kepada kawan-kawan mereka yang masih tegak di tempatnya. Para prajurit pun
segera melangkah pula di belakang pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang
prajurit yang mempunyai simpanan-simpanan berharga di dalam kemah-kemah mereka,
segera berloncatan singgah ke dalam kemah, mengambil yang mereka rasa perlu
untuk dibawa. Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak lagi menghiraukan
beberapa lembar kain yang tertinggal di dalam kemah-kemah mereka, asal
senjata-senjata mereka telah di tangan.
Lembaran-lembaran kain dan
baju akan mereka dapatkan di sepanjang jalan yang akan mereka Ialui. Setiap
rumah pasti akan membuka pintu lebar-lebar bagi mereka. Setiap rumah akan
menyediakan apa yang mereka perlukan. Makan, minum bahkan pakaian.
Tetapi apa yang mereka
sediakan itu sama sekali bukan karena mereka pendukung-pendukung yang setia
dari orang-orang Jipang itu, bukan mereka serahkan dengan ikhlas, namun karena
di hadapan hidung mereka berkilat-kilat ujung-ujung pedang dan tombak.
Tetapi bagi orang-orang yang
sedang berpetualang itu, sama sekali tak ada bedanya. Apakah semuanya itu
diserahkan dengan ikhlas, atau tidak, namun apa yang mereka terima akan dapat
mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Maka sesaat kemudian,
orang-orang Jipang itu seolah-olah mengalir meninggalkan halaman yang kotor
dari gubug pimpinan perkemahan itu. Semakin lama semakin panjang. Di ujung
barisan berjalan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi seperti sepasang pahlawan yang
sedang diarak menuju ke medan perang. Kemudian di belakangnya berjalan
Alap-Alap Jalatunda yang dikejar-kejar oleh kebimbangan. Kemudian beberapa
pemimpin yang lain dan para prajurit yang merasa dirinya seolah-olah
pejuang-pejuang yang segan berkhianat atas perjuangannya. Tetapi mereka sama
sekali tidak berpijak pada dunia kenyataan yang sedang mereka hadapi serta
perkembangan keadaan di sekitar tempat mereka bersembunyi.
Akhirnya orang-orang Jipang
itu semakin lama menjadi semakin sedikit. Separo dari mereka telah meninggalkan
mereka di tengah-tengah hutan yang gelap pekat. Yang tampak kemudian hanyalah
sinar-sinar obor di kejauhan di antara kepadatan pohon-pohon raksasa dan
gerumbul-gerumbul perdu.
Ketika obor-obor itu telah
hilang di balik dedaunan, serta debar jantung setiap orang yang tinggal di
tempat itu telah merada, maka berkatalah Sumangkar kepada orang-orang Jipang
yang masih tinggal, “Tenangkan hati kalian. Aku dapat merasakan, peristiwa
merupakan suatu goncangan yang dahsyat di dalam setiap dada kalian
masing-masing. Baik yang pergi maupun yang ditinggalkan. Tetapi penalaian kita
jelas telah bersimpangan. Karena itu adalah baik kita berpisah jalan daripada
kemudian kita akan menemui kesulitan-kesulitan yang terus-menerus.”
Sumangkar terdiam sesaat.
Ketika diawasinya setiap wajah para pemimpin yang masih tinggal, Sumangkar
masih melihat keragu-raguan membayang di wajah-wajah mereka.
Tetapi keragu-raguan di dalam
setiap dada para pemimpin Jipang itu adalah wajar. Baru saja mereka terlibat
dalam perang gelar yang dahsyat, dengan korban yang cukup banyak di kedua belah
pihak. Apakah mereka akan segera dapat menghilangkan segala kesan dari
permusuhan mereka itu? Apakah benar orang-orang Pajang tidak mendedamnya dan
kemudian mengikat mereka di belakang kereta yang dipacu secepat angin? Benarkah
mereka akan dihadapkan pada suatu penilaian yang tidak dipengaruhi oleh demdam
dan benci?
Dalam pada itu terdengar
Sumangkar berkata, “Marilah kita mencoba menenteramkan hati kita. Marilah kita
tidak berprasangka. Aku mendengar berita pengampunan itu dari Angger Untara
sendiri pada saat Angger Macan Kepatihan menghembuskan nafas terakhir. Aku
harap Kiai Gringsing menjadi saksi atas kata-kata yang keluar dari mulut
senapati Pajang yang dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan, yang justru pesan itu
datang dari ki Gede Pemanahan sendiri.”
Namun Sumangkar masih melihat
wajah-wajah yang penuh kebimbangan. Bagaimanapun juga mereka adalah
prajurit-prajurit yang senjata-senjata mereka telah pernah dibasahi oleh darah
orang-orang Pajang. Bagaimanapun juga hati mereka sendiri selalu berkata kepada
mereka, bahwa permusuhan itu pernah terjadi dengan dahsyatnya.
Sumangkar yang merasa tidak
segera dapat memberi keyakinan yang pasti kepada para pemimpin Jipang itu
kemudian berkata, “Malam ini aku akan pergi ke Sangkal Putung bersama Kiai
Gringsing untuk mendapatkan jaminan, bahwa segala sesuatu akan berlangsung
dengan baik.”
Para pemimpin Jipang dan pada
prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka sependapat dengan
Sumangkar bahwa salah seorang dari mereka harus menemukan jalan yang datar
sebelum semuanya berlangsung, supaya mereka tidak menyesal kelak apabila ada
persoalan-persoalan yang tumbuh tanpa mereka kehendaki.
“Apakah kalian sependapat?”
bertanya Sumangkar.
“Baik Kiai” sahut salah
seorang dari mereka. “Kami sependapat, bahwa Kiai akan mencari jalan yang
sebaik-baiknya bagi kami semuanya. Kami percaya kepada Kiai.”
“Terima kasih” berkata
Sumangkar dengan dada berdebar-debar. la terharu bahwa dalam saat yang pendek
ia berhasil mendapatkan kepercayaan dari orang-orang Jipang itu. Selama ini
sebagian besar dari mereka mengenal Sumangkar tidak lebih dari seorang juru
masak yang tua yang hampir-hampir tidak mampu lagi melakukan tugasnya, bahkan
ada yang menyangkanya sebagai seorang juru masak yang malas.
Namun sebelum Sumangkar itu
berangkat meninggalkan perkemahan itu, maka ia berpesan, “Tetapi meskipun
kalian mengharap bahwa kalian akan meninggalkan petualangan yang dipenuhi
dengan noda-noda darah dan air mata di antara rakyat yang tidak berdosa, namun
kalian masih berhak untuk mempertahankan diri kalian dalam saat-saat yang
pendek ini. Kalian masih akan menghadapi kemungkinan yang tidak kalian
duga-duga. Sepeninggalku jangan lengah. Isilah setiap gardu-gardu peronda.
Kalian harus mampu menyelamatkan diri menghadapi setiap bahaya. Apabila bahaya
itu sangat besar dan jauh dari kemampuan daya tahan kalian, maka kalian dapat
menyelamatkan diri kalian di antara gelapnya malam. Aku pasti sudah kembali
sebelum fajar.”
Para pemimpin Jipang yang
tinggal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa malam ini
justru bahaya dapat datang dari setiap penjuru. Apabila Untara ingkar janji,
apalagi bahwa pernyataannya itu hanya sekedar pancingan saja, maka malam itu
juga, selambat-lambatnya besok pagi-pagi, mereka pasti akan dilanda oleh arus
yang dahsyat dari laskar Pajang. Untara pasti tidak akan menunggu mereka datang
menyerahkan diri, supaya ia mendapat alasan untuk berbuat menurut seleranya.
Tak ada seorangpun yang akan mencoba mencari jawab, atas sebab-sebab dari
kematian seseorang yang sedang berperang. Orang-orang Pajang dapat membunuh
lawannya seperti menebas hutan alang-alang. Tetapi apabila orang-orang Jipang
itu datang menyerah, maka persoalannya akan berbeda. Tanpa janji
pengampunanpun, maka perlakuan atas orang-orang yang sudah menyerah akan
berbeda dari mereka yang ditemukan dalam medan, selagi pedang masih terhunus
dan tali busur masih merentang.
Sedang dari sisi lain, mereka
masih harus memperhatikan kemarahan Sanakeling atas mereka. Sanakeling adalah
seorang prajurit yang seakan-akan tidak bekerja dengan otaknya. Ia kurang mampu
berpikir dan memperhitungkan masalah-masalah di luar masalah-masalah
keprajuritan. Itulah sebabnya ia tidak dapat diajak untuk berbicara dalam
masalah-masalah yang lain. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh.
Penyelesaian yang tidak usah mempergunakan tajam senjata. Persoalan manusia dan
kemanusiaan. Ia tidak dapat mendengar tangis seorang istri yang kehilangan
suaminya di medan peperangan. Baginya adalah hina bagi seorang prajurit yang
tertegun hanya karena tangis seorang bayi yang terlepas dari pelukan ibunya
yang ketakutan mendengar dentang senjata beradu.
Tetapi para prajurit Jipang
yang tinggal itu percaya kepada Sumangkar. Percaya kepada harapan yang
dijanjikan. Karena itu, maka mereka akan melakukan segala perintahnya.
Sebelum Sumangkar itu
meninggalkan mereka, maka ia masih memerlukan berpesan kepada orang-orang
Jipang itu, “Peliharalah jenazah Angger Tohpati sebaik-baiknya. Besok apabila
aku telah kembali di antara kalian, maka akan kita selenggarakan pemakamannya.”
“Baik Kiai” jawab salah
seorang dari mereka.
“Terima kasih” sekali lagi
Sumangkar menjadi terharu.
Apabila kemudian malam
bertambah malam, maka Sumangkar dan Kiai Gringsing berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan perkemahan itu menuju ke Sangkal Putung. Mereka mengharap bahwa
mereka akan segera menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan
masalah orang-orang Jipang yang ingin meninggalkan cara hidup yang selama ini
ditempuhnya.
Pada saat-saat orang-orang
Jipang disibukkan oleh pertentangan pendirian, maka pada saat itu orang-orang
Pajang disibukkan oleh mereka yang terluka di medan pertempuran. Orang yang
terluka itu baik kawan maupun lawan, telah diangkut ke Banjar Desa Sangkal
Putung. Pengawasan atas orang-orang yang luka itu dilakukan oleh Untara dan
Widura sendiri. Mereka melihat wajah-wajah yang dendam pada anak buah mereka sendiri.
Mereka yang kehilangan saudaranya, yang berada bersama-sama dalam lingkungan
keprajuritan Pajang, dan mereka yang merasa, betapa korban berjatuhan di
kalangan sendiri.
Orang-orang yang demikian
kadang-kadang sering kehilangan kesabaran dan pengamatan diri, sehingga
terhadap lawan yang terluka, maka mereka akan dapat melakukan hal-hal di luar
dugaan para pemimpin laskar Pajang.
Bahkan Hudaya, orang yang
sudah cukup mengendap itupun seakan-akan telah kehilangan kesadaran diri,
menghadapi orang-orang Jipang. Karena itu, dengan bijaksana Untara telah
membawa orang-orang yang demikian itu dahulu ke Sangkal Putung untuk
beristirahat. Tewasnya Citra Gati telah membuat suatu goncangan yang dahsyat di
dalam hati sahabatnya itu, sehingga dendam di dalam hatinya seakan-akan menyala
membakar seluruh nadinya. Bagi Hudaya yang terluka dan kehilangan sahabat yang
paling dekat itu, tidak ada angan-angan lain di dalam benaknya kecuali
membinasakan semua orang Jipang.
Karena itulah maka kali ini
Untara dan Widura menjadi sangat prihatin melihat suasana di dalam pasukannya.
Pada pertempuran-pertempuran yang lalu, korban di pihaknya tidak terlampau
berat seperti apa yang baru saja terjadi, sehingga hati anak buahnya tidak
sepanas pada saat itu. Pertempuran gelar yang sempurna dan tata peperangan yang
masing-masing dikendalikan oleh senapati-senapati yang matang, telah menjadikan
pertempuran kali ini menjadi suatu pertempuran yang tak akan pernah mereka
lupakan. Baik oleh orang-orang Jipang, maupun orang-orang Pajang.
Untara dan Widura sendirilah
yang kemudian menunggui orang-orang yang terluka di banjar desa. Di satu gandok
tampak orang-orang Pajang terbaring dengan darah yang memerahi tubuh dan
pakaian mereka, sedang di gandok yang lain terbaring orang-orang Jipang yang
masih mungkin ditolong hidupnya, merintih menahan pedih yang membakar dirinya.
Namun terhadap para juru
penolong, Untara dan Widura tidak dapat berbuat banyak. Betapa mereka bekerja
demi perikemanusiaan. Namun menghadapi pihak-pihak yang terluka itu, mereka
lebih dahulu memerlukan menolong kawan mereka sendiri, orang-orang Pajang. Baru
kemudian mereka menjamah tubuh-tubuh yang terbaring sambil menahan pedih dari
pihak lawan. Orang-orang Jipang.
Beberapa prajurit yang
bertugas berjaga-jaga di halaman pendapa memandangi orang-orang Jipang itu
dengan benci. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat mengerti, buat apa
mereka mencoba mengobati luka-luka orang-orang Jipang itu? Mungkin salah
seorang dari mereka, atau bahkan mungkin semuanya dari mereka itu, telah
membunuh atau melukai orang-orang Pajang. Mungkin mereka itu pulalah yang telah
menembus tubuh-tubuh orang Pajang yang kini terbaring di sisi yang lain itu,
dengan senjata-senjata mereka.
Tetapi pemimpin mereka,
beserta beberapa orang yang masih dapat menguasai perasaan mereka, di antara
orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung, masih mencoba berbuat dalam
batas-batas perikemanusiaan. Perang itu sendiri, sebagai suatu cara terakhir
untuk menyelesaikan perbedaan pendirian, tidak boleh terperosok dalam
perbuatan-perbuatan yang menodai perikemanusiaan dalam kemungkinan yang
sejauh-jauhnya dapat dilakukan. Bahkan apabila mungkin perang itu sendiri harus
dihindarkan. Sebab betapa orang yang berhati bening mencoba berbuat
sebaik-baiknya di dalam perang, namun perang sendiri hampir sama artinya dengan
maut, kekerasan dan kebencian serta menaburkan benih dendam di mana-mana.
Ketika mereka, orang-orang
Pajang itu sedang sibuk di pendapa banjar desa, maka para penjaga dikejutkan
oleh sebuah bayangan yang berjalan tertatih-tatih mendekati halaman. Para
penjaga di regol halaman yang melihat bayangan itu segera menyapanya, “He,
siapa?”
“Aku,” terdengar sebuah
jawaban.
Bayangan itu semakin lama
semakin dekat menyusur pinggiran alun-alun di muka banjar desa. Dan semakin
dekat, semakin jelas pulalah bagi para penjaga itu, bahwa bayangan itu bukanlah
bayangan seorang saja, tetapi bayangan itu adalah bayangan seorang yang sedang
memapah orang lain di sisinya.
Sekali lagi terdengar sapa
dari para penjaga, “Siapa?”
“Agung Sedayu” jawab bayangan
itu.
“O” guman penjaga itu. Namun
tiba-tiba ia bertanya pula, “Siapa yang terluka?”
Agung Sedayu, yang datang
dengan seorang yang ditemuinya di dalam hutan, tidak dapat menjawab. Orang yang
dipapahnya itu setelah mendapat seteguk air, meskipun air dari sebuah parit,
menjadi agak segar dan mampu berjalan sambil bergantung pundak Agung Sedayu.
Dan orang itu belum dikenal siapa namanya. Karena itu maka Agung Sedayu
menjawab, “Aku belum mengenal namanya.”
“He?” penjaga itu terkejut,
“Kenapa belum kau kenal namanya?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan terus sambil membantu orang yang terluka
itu.
“Panggil aku Supa” desis orang
itu, perlahan-lahan.
“O” gumam Agung Sedayu. Namun
kemudian ia berkata, “Nama apapun yang akan aku sebutkan, kesannya bagi mereka
akan sama saja. Mereka pasti belum mengenal nama itu.”
Orang yang terluka menjadi
berdebar-debar. Apakah orang-orang Pajang akan menerima kehadirannya di antara
mereka?
Tetapi orang Jipang itu tidak
menyatakan kecemasannnya. Bahkan kemudian ia menjadi pasrah. Kalau ia mati,
maka kematian itu adalah wajar. Seandainya salah seorang prajurit Pajang
kemudian menyambutnya dengan tusukan tombak di lambungnya, maka ia tidak akan
merasa kehilangan lagi. Nyawanya yang sekarang seakan-akan bukan miliknya,
tetapi milik Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu tidak membawanya, maka iapun
akan mati oleh anjing-anjing liar sebelum ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Bulu kuduk orang Jipang itu
terasa berdiri. Alangkah mengerikan. Selagi ia masih hidup, beberapa ekor
anjing hutan berpesta dengan dagingnya. Tetapi kalau ia mati dengan tombak
menghujam di dadanya, maka ia akan mati sebagai seorang prajurit.
Agung Sedayu yang kini berdiri
beberapa langkah saja dari para penjaga itu berhenti. Salah seorang dari
penjaga itu bertanya, “Benarkah kau Adi Sedayu?”
“Lihatlah dengan seksama”
sahut Agung Sedayu.
“Yang terluka itu?”
Agung Sedayu tidak mau
menjawab dengan berbelit-belit. Maka katanya, “Namanya Supa, orang Jipang.”
Orang di regol halaman itu
serentak mengulangi kata-kata Agung Sedayu, “Orang Jipang?”
“Ya, aku temukan orang ini
terluka di dalam hutan. Untunglah aku masih sempat menolongnya dan memberinya
air, sehingga kemungkinan untuk hidup baginya menjadi semakin besar.”
Para prajurit Pajang dan
beberapa anak muda Sangkal Putung justru terdiam. Mereka dicekam oleh perasaan
heran tiada taranya. Mereka melihat, betapa Agung Sedayu masih sempat memapah
orang Jipang dari hutan sampai ke halaman ini. Bukankah itu suatu pekerjaan
sulit?
Tiba-tiba dari antara beberapa
orang yang berjaga-jaga di regol halaman itu terdengar salah seorang berkata,
“Hem, Kakang Sedayu, buat apa kau bawa monyet itu ke mari?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
Suara itu dikenalnya benar. Apalagi ketika ia melihat seorang yang bertubuh
gemuk bulat melangkah maju dari antara orang-orang yang kemudian berkerumun di
depan regol. Namun betapa kecewa hati Agung Sedayu mendengar pertanyaannya. Ia
tidak akan menyesal, bahkan sama sekali tidak mempengaruhi perasaannya apabila
pertanyaan itu meluncur dari orang lain. Bukan anak muda yang gemuk bulat dan
bernama Swandaru Geni itu.
“Kakang,” berkata Swandaru
seterusnya, “buat apa kau bawa orang sakit-sakitan itu. Lihat, di sini telah
terkapar berpuluh-puluh orang semacam itu. Seandainya bukan Paman Widura dan
Kakang Untara yang menunggui mereka langsung, maka mereka itu sama sekali tak
akan berguna bagi kami. Apalagi bagi rakyat Sangkal Putung. Coba, siapakah yang
memberi mereka makan? Beras siapakah? Sedang mereka telah mencoba menghancurkan
Sangkal Putung ini?”
Agung Sedayu menarik napas.
Swandaru adalah pemimpin dari segenap anak-anak muda Sangkal Putung. Kalau ia
tetap pada pendiriannya, bahwa tidak pantas untuk membawa orang Jipang yang
terluka itu, maka akan sulitlah baginya untuk menghadapinya. Semua anak-anak
muda pasti akan sependirian dengan Swandaru, dan menolak orang Jipang itu.
Bahkan mungkin mereka akan melakukan perbuatan-perbuatan di luar kehendak mereka
sendiri.
Karena itu, Agung Sedayu harus
segera menemukan jalan, sehingga Swandaru dapat diatasinya. Maka dengan serta
merta Agung Sedayu menjawab, “Adi Swandaru, apa yang aku lakukan ini adalah
atas perintah guru kita, Kiai Gringsing.”
Kini Swandarulah yang
mengerutkan keningnya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Cahaya obor di
kejauhan membuat wajah itu menjadi merah, semerah bara.
Tapi Swandaru tidak dapat
berbuat lain kecuali menghempaskan nafasnya. Betapa hatinya menggelegak, namun
jawaban Agung Sedayu telah menutup setiap kemungkinan baginya untuk berbuat
sesuatu. Sebab apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah karena perintah
gurunya.
“Hem,” desah anak muda yang
gemuk bulat itu. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Bahkan kemudian ia
segera menyelinap kembali ke dalam kerumunan orang-orang di regol, seakan-akan
ingin membenamkan kemarahannya ke dalam lingkungan orang banyak.
Tetapi demikian Swandaru
menghilang, maka tampaklah seseorang dengan tergesa-gesa menyibak orang-orang
yang berdiri di regol itu sambil berkata, “Mana orang Jipang itu?”
Agung Sedayu terkejut
mendengar kata-kata itu. Dari antara orang yang berdiri itu sekali lagi ia
melihat seseorang melangkah maju.
“Hem,” katanya, “rupa-rupanya
kau membawa oleh-oleh buat kami.”
Agung Sedayu sekali lagi
mengerutkan keningnya. Sebelum ia sempat menjawab orang itu berkata pula, “Di
dalam banjar desa banyak juga orang-orang Jipang yang bergelimpangan menunggu
maut mencekik mereka. Tetapi orang-orang itu ditunggui langsung oleh Untara dan
Widura. Nah, sekarang ada orang lain yang kau bawa kemari. Jangan kau bawa
masuk ke pendapa. Serahkan orang itu kedaku. Aku ingin mendapat ganti Kakang
Citra Gati yang gugur di pertempuran.”
“Akan kau apakan orang ini
Paman Hudaya?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku ingin mencincangnya”
sahut Hudaya.
Agung Sedayu merasa orang yang
menggantung di pundaknya itu menggeliat perlahan-lahan, tetapi ia segera
menggamitnya.
“Paman,” berkata Agung Sedayu,
“aku membawa orang ini atas perintah Kiai Gringsing.”
“Persetan dengan Kiai
Gringsing! Aku tidak berkepentingan dengan Kiai Gringsing” berkata Hudaya
tegas. “Aku inginkan orang itu.”
Agung Sedayu tidak segera
dapat menjawab kata-kata Hudaya itu. Terasa bahwa keadaan Hudaya yang terluka
itu tidak wajar. Ia sedang diliputi oleh suasana tegang, hilangnya sahabatnya
Citra Gati serta dirinya sendiri yang terluka. Karena itu maka hati Hudaya
itupun sedang dibalut oleh dendam yang pekat.
Tetapi sama sekali tidak
terlintas di dalam otak Agung Sedayu untuk menyerahkan orang yang dibawanya
itu. Ia membawanya dengan harapan untuk menolong jiwanya, apalagi kemudian
telah diperkuat oleh perintah gurunya. Sedangkan apabila orang itu sampai ke
tangan kakaknya atau pamannya, maka masih mungkin orang itu diselamatkan dari
kemarahan para prajurit Pajang.
Ketika Agung Sedayu sedang
berpikir terdengar kembali suara Hudaya, “Ayo, serahkan kepada kami.”
“Paman” berkata Agung Sedayu
hati-hati. “Aku memang akan menyerahkan orang ini, tetapi setelah Paman Widura
mengetahuinya. Bukankah pimpinan pasukan Pajang di sini adalah paman Widura.”
Hudaya menggeram. Namun
kemudian ia menjawab, “Kakang Widura adalah pimpinan prajurit Pajang dalam
hubungan resmi. Tetapi aku kehendaki orang itu justru sebelum diketahui oleh
Kakang Widura, sehingga orang itu belum menjadi seorang tawanan.”
Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu. Apakah yang harus dilakukannya supaya orang itu dapat dilihat oleh
pamannya? Apakah ia akan memaksa berjalan terus memasuki halaman banjar desa?
Apakah ia harus berteriak-teriak memanggil?
Belum lagi ia menemukan
jawabnya, Hudaya telah melangkah maju. Terdengar suara tertawanya yang
mengerikan. Suara itu seolah-olah bukan suara Hudaya yang selama ini
dikenalnya. Ya, tiba-tiba Agung Sedayu ingat, apa yang telah pernah dilakukan
oleh Sidanti. Ia mendengar dari beberapa orang yang menyaksikan, bahkan Hudaya
pun pernah berkata kepadanya, bagaimana Sidanti membunuh Plasa Ireng.
Menikamnya bertubi-tubi, membelah punggungnya dengan goresan-goresan yang
dalam, berdiri di atas mayat itu sambil menepuk dada.
Bulu-bulu Agung Sedayu
serentak berdiri. Mengerikan. Kini ia melihat seolah-olah Sidanti itu datang
kembali sambil tertawa.
“Serahkan kepadaku supaya aku
tidak mendendammu pula” berkata Hudaya. Tetapi nada suaranya benar-benar
mengerikan seperti suara hantu dari dalam kubur.
Namun tiba-tiba bersama dengan
itu, merayap pulalah perasaan benci Agung Sedayu kepada Sidanti, kepada
sikapnya, kepada perbuatannya. Kini ia melihat Hudaya itu bersikap dan berbuat
seperti apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti. Karena itu tiba-tiba Agung
Sedayu melangkah surut selangkah. Terdengar ia berkata tegas, “Paman Hudaya,
Aku tidak akan menyerahkan orang ini kepada siapapun juga. Tidak kepada paman
Hudaya dan tidak kepada orang lain. Aku hanya akan menyerahkan kepada Paman
Widura. Kalau Paman Widura akan membunuhnya itu adalah haknya, apabila ternyata
menurut Paman Widura, tidakan itu adalah tindakan yang seadil-adilnya. Tetapi
pasti tidak dalam keadaan yang serupa ini. Tidak dalam keadaan tidak berdaya.”
Hudaya pun kemudian tertawa
pula. Jawabnya, “Kau bukan seorang prajurit. Kau tidak tahu apakah yang
sebaik-baiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Sebelum orang ini sampai pada
orang yang berwenang menentukan hukuman atasnya, maka yang berlaku adalah
hukuman perang. Setiap prajurit berhak melakukannya. Akupun berhak. Orang ini
dapat aku perlakukan menurut kehendakku. Tempat ini dapat dianggap sebagai
medan. Prajurit yang terbunuh di medan perang, nasibnya tidak dipersoalkan
lagi.”
“Tidak Paman” sahut Agung
Sedayu. “Kita tidak berada di dalam medan lagi. Kita sudah di belakang garis
perang.”
“Jangan membantah” bentak
Hudaya yang sudah bermata gelap. Selangkah ia maju lagi sambil berkata, “Kau
tahu apa tentang peperangan. Aku adalah orang tertua sepeninggal Citra Gati.
Kalau tidak ada Widura, maka akulah yang berhak memegang atas prajurit Pajang
di sini.”
“Tetapi Paman Widura sekarang
ada di sini.”
“Ia berada di dalam halaman,
sedang kita berada di luar halaman banjar desa. Jangan menjawab lagi, supaya
kau tidak aku cincang pula seperti orang Jipang itu.”
Terdengar Agung Sedayu
menggeram. Namun hatinya menjadi semakin keras ketika ia mendengar orang Jipang
itu berbisik, “Serahkan saja. Biarlah aku dibunuhnya, supaya kau selamat.”
“Tidak” geram Agung Sedayu.
Kemudian kepada Hudaya ia berkata, “Paman Hudaya, ternyata Paman Hudaya
sekarang tidak seperti Paman Hudaya yang aku kenal pertama-tama aku datang.
Bahkan tidak seperti Paman Hudaya lusa. Paman Hudaya sekarang ini adalah
seorang yang sama sekali berbeda.”
“Tutut mulutmu” potong Hudaya.
“Lepaskan orang itu. Biarkan ia terbaring di tanah. Aku ingin mencincangnya.
Kau dengar?”
“Aku dengar” sahut Agung
Sedayu, “Tetapi aku tidak akan melakukannya.”
“He?” mata Hudaya terbelalak.
Sinar obor yang lemah seakan-akan telah membakar mata, sehingga memancar
kemerah-merahan. “Kau berani membantah perintahku?”
“Kau tidak berhak memberikan
perintah itu.”
“Kalau tidak ada Widura,
Hudaya adalah orang tertua kau dengar.”
“Aku bukan prajurit Pajang.
Aku tidak terkena keharusan untuk mematuhi perintah siapapun di sini. Kalau aku
patuh terhadap Paman Widura, ia adalah pamanku. Dan kalau aku menurut perintah
Kakang Untara, karena ia adalah kakakku. Kau bukan pamanku dan bukan ayahku.
Kau tidak berhak memberikan perintah itu. Sedangkan orang lain yang berhak
memberikan perintah kepadaku adalah Kiai Gringsing, guruku. Dan perintah itu
berbunyi, ‘Selamatkan orang ini.’”
Mata Hudaya menyala mendengar
jawaban Agung Sedayu. Apalagi ketika Agung Sedayu menegaskan, “Bukankah begitu
Paman. Bukankah Paman sendiri tadi mengatakan bahwa aku bukan seorang
prajurit.”
Terdengar gigi Hudaya
gemeretak. Tiba-tiba Hudaya yang telah menjadi sangat marah itu berkata pula,
“Di medan perang kekuasaan berada di tangan prajurit. Setiap orang harus tunduk
pada perintah. Kaupun harus tunduk meskipun kau bukan seorang prajurit.”
Agung Sedayu benar-benar
menjadi gelisah. Ia tidak akan menyerahkan orang ini, tetapi ia juga tidak
ingin berbenturan di antara kawan sendiri. Karena itu Agung Sedayu mencoba
untuk mencari cara yang sebaik-baiknya untuk ia yakin, bahwa apabila terpaksa
ia harus menarik pedangnya, ia akan dapat membiarkan Hudaya terjatuh sendiri
karena kepayahan. Ia dapat membiarkan dirinya diserang tanpa membalas dengan
serangan. Kemampuannya akan memungkinkan berbuat demikian sampai Hudaya
berhenti sendiri karena kehabisan nafas. Apalagi orang ini telah terluka. Namun
dengan demikian akan tertanam bibit kebencian dan dendam di antara sesama
mereka.Tetapi terasa juga betapa hatinya meronta. Perbuatan itu adalah
perbuatan anak-anak. Tetapi ia harus menemukan cara.
Ketika sekali lagi ia
memandangi wajah Hudaya, terasa hatinya berdesir. Wajahnya memang wajah yang
gelap dan keras sejak ia melihatnya yang pertama. Tetapi wajah itu tidak pernah
tampak seliar kali ini.
Tiba-tiba kembali Agung Sedayu
teringat kepada Sindati. Kekerasan dan keliaran yang menyala di wajahnya, bahkan
setiap saat. Anak muda itu benar-benar anak muda yang kasar dan liar. Hudaya
bukanlah orang yang demikian. Kali ini ia menjadi kasar dan liar karena sebuah
kejutan perasaan yang telah menggoncangkan hatinya.
Namun dengan kenangannya atas
Sidanti, Agung Sedayu menemukan suatu cara untuk menahan arus kemarahan Hudaya.
Ketika ia melihat Hudaya maju selangkah, Agung Sedayu kemudian berkata, “Paman
Hudaya, apakah Paman benar-benar tidak dapat mencegah diri?”
“Diam!” bentaknya. “Serahkan
orang itu!”
“Apakah Paman akan
mencincangnya?”
“Ya, aku akan mencincangnya.”
“Baiklah” sahut Sedayu.
Terasa orang yang menggantung
di pundaknya berdesis, perlahan-lahan ia berbisik ke telinga Agung Sedayu.
“Tolong, bunuh aku dahulu. Kau dapat menusuk lambungku dengan pedangmu, supaya
aku segera terbunuh sebelum aku merasakan siksaan yang mengerikan.”
“Mudah-mudahan itu tidak
terjadi” sahut Agung Sedayu.
“Apa yang kau katakan?”
bertanya Hudaya.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tiba-tiba ia menyahut, “Orang yang bernama Supa ini bertanya,
apakah orang inikah yang bernama Sidanti?”
“Setan. Apakah aku akan kau
samakan dengan iblis kecil itu? Aku bernama Hudaya. Sama sekali bukan Sidanti.
Apakah persamaannya antara Hudaya dan Sidanti, he? Jangan membuat aku bertambah
marah.”
“Maaf Paman, ia hanya
bertanya.”
“Kenapa kau yang memintakan
maaf untuk orang Jipang itu?”
“Maaf Paman, maksudku,
pertanyaan itu tidak terlampau salah.”
Sekali lagi mata Hudaya
terbelalak. Sekali lagi ia membentak, “Kenapa? Aku bukan Sidanti, tahu!”
“Maksudku” sahut Agung Sedayu,
“Pertanyaan orang ini masuk akal. Sidanti pernah mencincang Plasa Ireng di
medan perang setelah ia berhasil membunuh dengan pedangnya. Sekarang orang ini
mendengar keinginan yang sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti
itu. Mencincang lawannya. Namun Sidanti mencincang lawan yang telah dibunuhnya
sendiri dengan pedangnya di medan perang dan orang itu pada saat hidupnya
adalah senopati pengapit di sayap kiri lawan, sedang orang ini adalah seorang
prajurit kecil yang tak berarti. Juga tidak terbunuh di medan perang oleh
tangan Paman Hudaya sendiri.”
“Cukup!” terdengar suara
Hudaya melengking memecah sepi malam, menggeletar memenuhi lapangan dan halaman
banjar desa. Betapa suara itu telah mengejutkan hampir setiap orang yang
berdiri di regol halaman, maupun di dalam halaman.
Namun Agung Sedayu tidak
terkejut. Ia memang mengharap Hudaya marah dan berteriak. Ia mengharap
orang-orang yang berada di dalam banjar akan mendengar teriakan itu. Kecuali
itu Agung Sedayu masih mempunyai harapan lain. Mudah-mudahan Hudaya menyadari
keadaannya.
Ternyata harapan Agung Sedayu
kedua-duanya berhasil. Teriakan Hudaya itu telah didengar oleh Untara dan
Widura, sehingga dengan tergesa-gesa keduanya turun ke halaman. Tetapi yang
lebih penting bagi Agung Sedayu adalah ketika kemudian ia melihat Hudaya itu
menundukkan wajahnya. Setelah ia melepaskan tekanan yang menghimpit dadanya
dengan sebuah teriakan yang menggelegar, tiba-tiba seakan-akan dadanya menjadi
jernih. Tiba-tiba ia teringat pula apa yang pernah dilakukan oleh Sidanti.
Alangkah mengerikan. Ia pernah mengutuk habis-habisan di dalam hatinya ketika
ia melihat Sidanti membelah punggung Plasa Ireng, kemudian berdiri di atas
mayatnya sambil sesumbar. Ia merasa ngeri sendiri. Alangkah buasnya anak itu.
Seakan-akan ia telah kehilangan segenap kemanusiaannya. Tiba-tiba dalam
kegelapan pikiran hampir-hampir saja ia melakukannya pula. Hampir-hampir saja
ia mencincang orang seperti apa yang dilakukan oleh Sidanti itu.
Terasa suatu desir yang tajam
menggores jantung Hudaya. Hatinyapun menjadi pedih karenanya, melampaui
pedihnya lukanya yang ditimbulkan oleh senjata Sanakeling.
Supa, orang Jipang yang
menggantung di pundak Agung Sedayu melihat pula perubahan sikap Hudaya. Bahkan
ia melihat Hudaya itu kemudian melangkah mundur. Tetapi Supa itu sama sekali
tidak tahu apakah yang bergolak di dalam hati Hudaya.
Ketika Untara dan Widura hadir
di tempat itu, Hudaya telah mundur beberapa langkah lagi. Bahkan ia kini telah
berdiri di antara para penjaga yang merubungnya.
“Siapakah yang berteriak?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
untuk menjawab. Apabila ia menyebut nama Hudaya, apakah hati orang itu tidak
tersinggung kerenanya? Namun ternyata Hudaya tidak mengingkari keadaannya. Maka
katanya, “Aku yang berteriak.”
“Kenapa?” bertanya Widura.
Hudaya menarik nafas. Kemudian
jawabnya, “Hampir aku khilaf. Aku akan membunuh orang Jipang yang datang
bersama Angger Agung Sedayu. Untunglah Angger Agung Sedayu tidak
memberikannya.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Peristiwa itu sendiri ternyata segera dapat diatasi. Tetapi
bagaimana dengan janji Untara yang pernah diucapkan pada saat Tohpati
meninggal. Untara, atas nama Panglima Wira Tamtama menjanjikan pengampunan bagi
mereka yang menyerah. Tanggapan itu sama sekali kurang menyenangkan bagi
prajurit. Seperti sikap Hudaya itu adalah suatu gambaran perasaan para prajurit
Pajang. Amatlah sulit untuk melenyapkan permusuhan dalam waktu yang pendek.
Apalagi pada saat-saat terakhir, korban telah berjatuhan dari kedua belah
pihak, sehingga peristiwa itu seakan-akan telah membakar dendam di hati mereka.
Ternyata bukan saja Widura
yang menjadi berdebar-debar karenanya. Jawaban Hudaya langsung menyentuh hati
Untara pula. Hudaya adalah seorang yang telah cukup mengendap. Seorang yang
memiliki pandangan yang cukup luas dan jauh. Tetapi menghadapi orang-orang
Jipang dadanya seakan-akan meluap. Apalagi orang-orang lain.
Meskipun demikian Untara masih
tetap dalam pendiriannya. Pendirian itu adalah pendirian Panglima Wira Tamtama.
Karena itu ia mengharap bahwa ia akan dapat memenuhinya. Namun haruslah
diketemukan cara yang sebaik-baiknya, sehingga tidak terjadi peristiwa yang
tidak dikehendaki. Orang-orang yang sesat itu datang kembali, namun kawan-kawan
sendiri menjadi sakit hati karenanya. Apalagi ada di antara mereka yang hatinya
menjadi patah dan kehilangan gairah perjuangan.
Selagi Widura dan Untara masih
berdiam diri karena angan-angan mereka, terdengar Hudaya berkata, “Maafkan aku
Kakang Widura. Mudah-mudahan aku untuk seterusnya dapat mengekang diri
sendiri.”
Widura mengangguk. Jawabnya,
“Kau ternyata sedang mengalami goncangan perasaan Hudaya. Beristirahatlah.
Mudah-mudahan kau akan mendapat ketentraman hati. Juga agar lukamu tidak
menjadi semakin parah karenanya.”
Hudaya mengangguk dalam-dalam.
Kemudian sambil melangkah surut ia menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan lukaku
segera dapat sembuh. Tetapi sejak tadi aku belum melihat Ki Tanu Metir yang
biasanya dapat mengobati luka-luka dengan baik.”
“Ia akan segera kembali,
Paman.” sahut Untara.
Hudaya tidak menjawab. Sejenak
kemudian ia telah menghilang di antara beberapa penjaga yang berdiri berjejalan
dengan beberapa orang prajurit dan anak-anak Sangkal Putung yang ingin melihat
peristiwa itu.
Hudaya yang kemudian masuk ke
dalam halaman banjar desa langsung pergi ke gandok kanan. Di antara beberapa
orang yang terluka ia membaringkan dirinya. Namun angan-angannya terbang jauh
menelusuri awan di langit yang tinggi. Beberapa perasaan hilir mudik di
kepalanya. Sekali ia bersyukur bahwa ia telah dibebaskan dari suatu perbuatan
yang buas dan liar. Namun sekali-sekali timbulah sesalnya. Kenapa orang Jipang
tadi tidak saja ditikamnya sampai mati tanpa minta ijin lebih dahulu dari Agung
Sedayu. Kenapa ia tidak berusaha melepaskan dendamnya atas kematian orang-orang
Pajang, bahkan sahabatnya terdekat Citra Gati? Apakah orang-orang Jipang itu
juga mengenal cara yang serupa atas orang-orang Pajang yang terluka? Tidak.
Orang-orang Pajang yang terluka tidak pernah mengalami perawatan apapun.
Apalagi perawatan, bahkan mereka sama sekali tidak dipedulikannya. Apalagi ada
kesempatan, orang Jipang pasti akan berebut tidak untuk menolongnya, tetapi
untuk mencincangnya.
Namun setiap kali, ia sadar
atas kekhilafannya. Setiap kali ia teringat kepada Sidanti, setiap kali ia
berterima kasih kepada Agung Sedayu.
Sepeninggal Hudaya, sejenak di
luar regol halaman banjar desa itu menjadi senyap. Masing-masing mencoba
melihat keadaan menurut pengamatan masing-masing. Beberapa orang prajurit
benar-benar menyesal, kenapa mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta
mencincang orang Jipang itu. Namun beberapa orang lain menyadari keadaan mereka
yang sesaat tumbuh di dalam dada Hudaya.
Sejenak kemudian terdengarlah
Untara bertanya, “Siapa orang yang kau bawa itu Sedayu?”
“Supa, orang Jipang” sahut
Agung Sedayu.
“Kenapa orang itu kau bawa
kemari?” bertanya Untara pula.
Agung Sedayu heran mendengar
pertanyaan kakaknya. Tetapi ia menjawab pula, “Aku menemukannya terluka di dalam
hutan ketika aku sedang mencoba mencari jejak Paman Sumangkar.”
Untara mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba ia berkata, “Kau tidak menjalankan perintahku. Kau harus mengikuti
jejak Paman Sumangkar sampai kau menemukan tempat orang-orang Jipang berkemah. Sekarang
kau kembali membawa orang yang terluka itu. Bukankah dengan demikian berarti
kau melanggar perintahku?”