Buku 042
“Silahkan. Semua serba
darurat.”
“Demikianlah agaknya, Ki Gede.
Di peperangan semuanya harus menyesuaikan diri.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ini adalah anakku. Karena
itu, aku tidak menyuruhnya pergi. Dalam keadaan serupa ini, lebih banyak yang
diketahuinya, akan lebih baik baginya dan bagi Tanah ini.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku kira, ia perlu mengetahui
pula tentang Kiai yang yang sampai saat ini masih menjadi teka-teki bagi segala
pihak.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. “Kenapa menjadi teka-teki, Ki Gede? Aku adalah seperti ini. Apalagi
yang harus ditebak?”
“Kiai,” berkata Ki Argapati,
“aku memang sudah tidak dapat mengenali lagi, apakah Kiai adalah orang yang
pernah aku lihat di masa muda. Benar-benar terasa asing bagiku. Terhadap
Paguhan, aku tidak akan dapat lupa meskipun seandainya beberapa puluh tahun aku
tidak bertemu. Tetapi terhadap Kiai, aku benar-benar tidak dapat mengatakan,
apakah aku pernah bertemu atau tidak.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Terkilas sesuatu di dalam tatapan matanya. Namun kemudian ia
tersenyum, “Aku kira kita memang belum pernah bertemu, Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba mengenali ciri-ciri yang dapat mengingatkannya kepada
seorang anak muda yang pernah dikenalnya dahulu, meskipun tidak begitu rapat.
Namun Ki Gede itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak ada ciri yang khusus,
dan perkenalan itu pun hanya sepintas lalu saja. Yang dihadapinya kini bahkan
seolah-olah seorang tua yang sejak pada masa mudanya juga sudah setua itu.
Tetapi mustahil.
“Kiai,” berkata Ki Argapati,
“tetapi betapapun juga, aku masih mempunyai jembatan yang mungkin akan dapat
mencapai suatu seberang yang jauh telah kita tinggalkan. Aku mengenal seseorang
yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk, dan yang senang sekali
berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau, karena pada saat
itu pun umurnya sudah setua kita sekarang.”
Gembala tua itu tidak segera
menjawab.
“Apakah kau kenal seseorang
yang bernama Empu Windujati, seorang sakti yang selalu membawa sehelai cambuk
ke mana pun ia pergi? Atau mungkin kau mengenal namanya yang lain, Pangeran
Windukusuma?” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian, “Dan mungkin kau lebih mengenal
muridnya, seorang anak muda, yang bernama Jaka Warih?”
Gembala tua itu sejenak
terdiam. Keningnya yang telah berkerut menjadi semakin berkerut-merut.
Ditatapnya wajah Ki Argapati sejenak. Namun sejenak kemudian ia menggelengkan
kepalanya sambil berkata, “Sayang. Aku tidak mengenal mereka semuanya. Bahkan
baru pertama kali aku mendengar nama Pangeran Windukusuma. Aku banyak mengenal
nama pangeran-pangeran dari kawan-kawanku yang sering pergi ke Demak dan
Pajang. Bahkan sisa-sisa terakhir dari keturunan raja Majapahit. Namun aku
tidak pernah menjumpai nama itu. Apalagi muridnya yang bernama Jaka Warih.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak berhasil menangkap kesan pada wajah gembala tua itu.
“Baiklah, kalau Kiai tidak
mengenal mereka,” suara Ki Argapati menurun. “Apalagi Kiai, sedangkan
seandainya aku bertemu dengan Empu Windujati saat ini, pasti ia juga
mengatakan, bahwa ia tidak mengenal seseorang yang bernama Empu Windujati, atau
yang pernah bergelar Pangeran Windukusuma.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan sekali lagi Argapati tidak berhasil menangkap kesan apa pun pada
wajah itu.
“Tetapi,” berkata Argapati
kemudian, “semuanya itu tidak penting bagiku. Yang penting, bahwa Kiai bersedia
menolongku.”
“Tentu, Ki Gede, dan bukankah
obat yang aku kirimkan kemarin masih dapat dipergunakan?”
“Obat Kiai-lah yang membuat
aku masih dapat bertahan sampai saat ini. Namun setelah orangnya hadir di sini,
maka aku kira, aku akan mendapat pengobatan yang lebih baik, sehingga apabila
Ki Tambak Wedi datang di setiap saat, malam nanti barangkali, aku sudah dapat
menyambutnya.”
“Ah, tidak mungkin, Ki Gede.
Apabila benar Ki Tambak Wedi datang malam nanti, maka Ki Gede pasti belum akan
dapat turun ke medan.”
“Apakah aku harus membiarkan
Ki Tambak Wedi membuat padukuhan tempat pertahanan kami terakhir ini menjadi
karang abang?”
Gembala tua itu tidak dapat
segera menjawab, sehingga karena itu, ia berdiam diri sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, Kiai,” berkata Ki
Argapati, “kalau Kiai sudah beristirahat, aku ingin mempersilahkan Kiai berbuat
sesuatu atas lukaku ini. Mungkin setelah Kiai melihat, maka Kiai akan menemukan
obat yang jauh lebih baik dari obat yang telah aku terima itu.”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya gembala itu berdesis, “Baiklah. Aku akan mencoba mengobatinya dengan
baik, sejauh-jauh kemampuanku. Namun segalanya terserah atas kemurahan Tuhan
Yang Maha Asih.” Kemudian kepada Pandan Wangi, ia berkata, “Aku memerlukan air
hangat, Ngger.”
“O,” Pandan Wangi seakan-akan terbangun
dari tidurnya. Dengan serta-merta ia pun segera melangkah meninggalkan ruangan
itu untuk mengambil air hangat di belakang.
Sejenak kemudian, gembala tua
itu mengamat-amati luka Ki Argapati. Kemudian desisnya, “Obatku ternyata tepat
untuk mengobati luka ini. Tetapi barangkali aku dapat mempercepat usaha
penyembuhannya. Tetapi maaf, Ki Gede, bahwa untuk sesaat luka itu akan terasa
sangat sakit.”
“Apa pun,” jawab Ki Argapati,
“aku ingin segera sembuh, bukankah obat yang Kiai berikan kemarin pun mula-mula
terasa sakit sekali, baru kemudian obat itu mulai bekerja?”
“Tetapi yang baru ini
terlebih-lebih lagi.”
“Biarlah,” jawab Ki Argapati.
Sebentar kemudian, gembala tua
itu telah mulai membersihkan luka itu sebelum dicuci dengan air hangat, perlahan-lahan
sekali, dengan kain pembalutnya.
Sementara itu Ki Argapati sama
sekali tidak memperhatikan lukanya lagi. Yang menarik perhatiannya adalah
tangan gembala tua itu. Dan tiba-tiba saja gembala itu terkejut, ketika
tangannya serasa dicengkam oleh Ki Argapati.
“Kiai,” bertanya Ki Argapati,
“apakah artinya gambar yang Kiai pahatkan di pergelangan tangan ini?”
Sesaat wajah orang tua itu
menjadi tegang. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Apakah Ki Gede
tertarik pada gambar itu?”
“Ya.”
“Aku menusuknya dengan duri
ikan. Kemudian menggosoknya dengan langes dan minyak, selagi lukanya masih
berdarah. Dicampur dengan sedikit reramuan, supaya bekasnya tidak segera
hilang.” Orang tua itu berhenti sejenak. “Tetapi,” katanya kemudian, “itu adalah
kesenangan anak-anak muda. Aku sekarang menyesal. Tetapi untuk menghapusnya,
aku harus melukainya lagi. Dan aku sekarang sama sekali tidak berani melihat
tanganku sendiri berdarah.”
“Bukan itu, Kiai,” jawab Ki
Argapati, “bukan cara membuatnya. Tetapi arti daripada gambar itu. Bukankah
Kiai melukiskan sehelai cambuk di pergelangan tangan itu, dan di ujung cambuk
itu terdapat sebuah cakra kecil yang bergerigi sembilan?”
Sekali lagi wajah orang tua
itu menegang. Namun kemudian sekali lagi ia tersenyum. “Ya. Sebuah cambuk dan
sebuah cakra bergerigi sembilan. Ki Gede terlampau teliti, sehingga dapat
menghitung gerigi pada gambar yang sedemikian kecilnya.”
“Aku tidak menghitung gerigi
pada gambar di tanganmu, Kiai.”
“Lalu darimana Ki Gede tahu,
bahwa cakra itu bergerigi sembilan?”
“Ya, cakra itu bergerigi
sembilan. Sepuluh dengan tangkai yang terikat pada ujung cambuk. Bukankah
begitu? Meskipun di ujung cambuk kalian sama sekali tidak pernah terikat sebuah
cakra serupa itu.”
Orang tua itu tidak segera
menjawab.
“Kiai,” berkata Ki Argapati
kemudian sambil melepaskan tangan orang tua itu, “gambar itu adalah ciri dari
perguruan Empu Windujati. Aku pernah melihat gambar serupa itu, tetapi agak
lebih besar, pada secarik panji-panji yang aku ketemukan di dalam lingkungan
perguruan Empu Windujati. Aku mengenal dua orang muridnya, meskipun hanya
sekilas. Hanya muridnya yang terpercaya sajalah yang diperkenankan membuat
gambar itu di pergelangan tangannya. Dan gambar itu mempergunakan pola
tertentu, bukan sekedar dicocok dengan duri ikan.”
Gembala tua itu tidak segera
menjawab. Sejenak ia menatap Ki Argapati dengan tajamnya. Namun sejenak
kemudian ia menggelengkan kepalanya.
Dan sekali lagi orang tua itu
tersenyum. “Aku tidak mengerti, Ki Gede. Aku sama sekali tidak mengerti tentang
panji-panji itu dan tentang perguruan Empu Windujati.”
“Mungkin,” berkata Ki
Argapati, “tetapi apakah bekas di tangan Kiai itu benar-benar bekas duri ikan?”
Ki Argapati menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Bukan, Kiai. Itu sama
sekali bukan bekas cocokan duri ikan, tetapi gambar itu adalah bekas luka
bakar. Bukankah demikian?”
Namun gembala itu masih tetap
menggeleng sambil tersenyum, “Ki Gede ternyata salah menilai.”
“Baiklah, baiklah,” desis Ki
Gede kemudian. “Sekarang, bagaimana dengan lukaku?”
“Aku akan membersihkannya, aku
menunggu air hangat.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. tetapi ia sudah tidak bertanya lagi tentang
diri gembala tua itu.
Sesaat kemudian, Pandan Wangi
memasuki ruangan itu dengan membawa air hangat dalam sebuah mangkuk yang besar.
“Terima kasih, Ngger,” berkata
gembala tua itu, lalu. “Seterusnya apakah Angger akan menunggui ayah atau
tidak? Kalau sekira Angger tahan melihat luka yang akan aku obati ini, maka
tidak ada keberatannya Angger menungguinya. Tetapi aku kira lebih baik Angger
berada di luar.”
Sejenak Pandan Wangi terdiam.
Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Aku akan menunggui ayah, Kiai.”
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Baiklah. Apabila Angger memang berkeinginan demikian.”
Gembala tua itu pun segera
membersihkan luka Ki Argapati yang menjadi kambuh kembali, setelah semalam ia
memaksa dirinya menemui Ki Tambak Wedi.
Dengan kemampuan yang ada
padanya, gembala tua itu kemudian mencoba mengobati luka itu dengan obat yang
lebih tajam lagi. Ia berani mempergunakan obat itu, karena ia sendirilah yang
menungguinya, sehingga akibat yang tidak dikehendaki akan segera dapat
diatasinya dengan ramuan-ramuan penawar yang lain.
“Ki Gede,” berkata gembala
itu, “untuk mengurangi rasa sakit, maka aku persilahkan Ki Gede minum butiran
reramuan ini. Dengan demikian Ki Gede akan kehilangan sebagian dari kesadaran
Ki Gede.”
“Aku percaya kepadamu, Kiai.
Apa pun yang kau lakukan, aku akan menurut.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diserahkannya sebutir reramuan obat
yang terbungkus dengan asam untuk ditelannya.
Setelah menelan obat itu, maka
terasa seakan-akan ia diserang oleh perasaan kantuk yang luar biasa. Bahkan
kesadarannya pun semakin lama seakan-akan menjadi semakin kabur, meskipun ia
masih tetap melihat gembala tua itu kini berdiri di samping pembaringannya, dan
Pandan Wangi yang memperhatikannya dengan cemas.
Luka di dada Ki Gede Menoreh
adalah luka yang sangat berbahaya, karena luka itu ditimbulkan oleh ujung
senjata Ki Tambak Wedi. Itulah sebabnya, maka gembala tua itu harus bekerja
dengan sungguh-sungguh untuk mengobatinya.
Meskipun Ki Argapati telah
kehilangan sebagian dari kesadarannya, namun ketika lukanya itu tersentuh, ia
masih menggeliat sambil menyeringai. Apalagi setelah luka itu menjadi bersih
dan sentuhan pertama obatnya yang baru.
Perasaan sakit yang luar biasa
telah menyengat dada itu. Seterusnya dada Ki Argapati itu serasa dibakar oleh
api yang kemudian menjilat seluruh tubuhnya.
Pandan Wangi yang melihat
ayahnya berjuang melawan rasa sakit itu pun ternyata tidak dapat bertahan lebih
lama. Tiba-tiba ia berlari ke sudut ruangan, menutup wajahnya dengan kedua
tangannya yang basah oleh air matanya.
Tetapi gadis yang membawa
pedang rangkap itu berusaha untuk tidak terisak.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi
sedang berbincang dengan para pemimpin pasukannya. Ki Peda Sura, yang telah
menjadi semakin baik, karena rawatan yang tekun oleh Ki Wasi dan Ki Muni, telah
ikut pula di dalam pertemuan itu.
“Apakah kita akan menunggu,
sehingga pasukan Argapati siap menyambut kita?” bertanya Peda Sura.
“Tentu tidak,” jawab Ki Tambak
Wedi, “tetapi kita juga tidak dapat bergerak hari ini. Pasukan Argapati pasti
masih dalam kesiagaan penuh.”
“Besok,” potong Sidanti.
“Mereka pasti menyangka, bahwa kita akan datang di hari yang sudah kita
tentukan, setelah di hari pertama kita lewatkan tanpa berbuat sesuatu.”
“Ya. Begitulah,” sahut
Argajaya.
“Besok kita bakar padukuhan
itu seluruhnya,” geram Ki Muni.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya, tetapi ia tidak menyahut. Yang kemudian bertanya adalah Sidanti,
“Kita akan bergerak di siang hari atau di malam hari, Guru?”
“Di siang hari, orang-orang
yang bertengger di belakang pring ori itu akan mendapat kesempatan terlampau
banyak untuk membidik kita dengan pelempar lembing. Tetapi di malam hari, semua
akan menjadi kabur, sehingga mereka akan melemparkan lembing-lembing mereka
tanpa arah yang diperhitungkan. Kita akan berlindung di balik perisai-perisai
yang berwarna gelap.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Baginya, malam hari pasti akan lebih baik, sehingga ia tidak akan
dapat melihat wajah-wajah yang sebagian terbesar pasti sudah dikenalnya,
apalagi wajah adiknya, Pandan Wangi. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah
seseorang yang paling dekat dengannya di masa kanak-kanak, dan gadis itu telah
dilahirkan pula oleh ibu yang sama dengan dirinya sendiri.
Maka keputusan pun kemudian
jatuh. Pasukan seluruhnya harus siap untuk merebut kedudukan terakhir dari Ki
Argapati. Kalau kedudukan itu dapat mereka rebut, meskipun orang-orang
terpenting Menoreh masih dapat melepaskan diri, namun perlawanan mereka sudah
tidak akan berarti apa-apa lagi.
Dengan keputusan itu, maka
seluruh pasukan Ki Tambak Wedi menjadi sibuk mempersiapkan diri. Mereka
benar-benar berhasrat untuk memasuki pertahanan terakhir itu. Karena itu,
mereka pun harus menyesuaikan perlengkapan mereka dengan rencana itu. Mereka
akan menerobos masuk regol yang dibuat dengan tergesa-gesa oleh orang-orang
Menoreh dalam hujan panah dan lembing. Bahkan batu-batu.
“Sesudah perang ini selesai,
Menoreh akan mengalami babak baru,” desis salah seorang anak muda yang berpihak
kepada Sidanti. “Kita akan lebih banyak mendapat perhatian, sesuai dengan
kepentingan kita. Sidanti sudah tentu tidak akan berbuat sekaku ayahnya, yang
melarang apa saja yang kami senangi.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Menoreh harus menjadi jauh lebih baik. Orang-orang yang
selama ini hanya dapat berbicara tanpa berbuat sesuatu harus disingkirkan.”
“Dan kita akan segera
melakukannya.”
Demikianlah, maka setiap orang
di dalam pasukan itu menjadi sibuk. Mereka mempersiapkan senjata-senjata
mereka, dan terlebih-lebih lagi mempersiapkan hati mereka.
Dalam pada itu, Ki Gede
Menoreh masih berjuang mengatasi perasaan sakit yang membakar dadanya. Meskipun
kesadarannya sudah disusut, namun perasaan sakit itu hampir tidak tertahankan.
Meskipun demikian, Ki Argapati tidak mengeluh. Yang terdengar hanyalah desis
dan desah-desah yang pendek. Sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, Ki
Argapati memejamkan matanya. Tetapi ia percaya, bahwa orang tua itu benar-benar
akan berhasil menyembuhkan luka-lukanya, meskipun tidak seketika.
Ketika rasa sakit itu telah
sampai ke puncaknya, maka terasa seakan-akan seluruh tubuh Ki Argapati menjadi
hangus. Dari ujung jari kaki sampai ke-ubun-ubunnya. Namun setelah itu, maka
perasaan sakit itu dengan cepatnya menurun. Serasa arus yang sejuk mengalir di
sepanjang pembuluh darahnya. Semakin lama semakin sejuk, meskipun pada suatu
saat ia masih harus tetap menahankan rasa sakit, tetapi sama sekali sudah jauh
berkurang.
Gembala tua itu pun mengamati
perkembangan keadaan Ki Argapati dengan teliti. Setiap perubahan diikutinya
dengan seksama, sehingga akhirnya, ia menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menganggukkan kepalanya, ia menaburkan sejenis bubuk obat-obatan yang lain ke
atas luka itu. Tetapi sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas rasa sakit
pada luka itu.
Namun yang terasa kemudian
adalah perasaan lelah yang bukan buatan. Bahkan kemudian seakan-akan
kesadarannya menjadi semakin kabur, sehingga pada suatu saat, Ki Argapati itu
memejamkan matanya. Nafasnya berjalan semakin teratur, sedang peluhnya
seolah-olah terperas dari seluruh tubuhnya.
“Angger Pandan Wangi,” berkata
orang tua itu, “Ki Gede kini telah tertidur, setelah ia berjuang sekuat-kuat
tenaganya menahankan rasa sakit. Tetapi keadaannya kian menjadi baik. Aku
harap, ia akan segera dapat bangkit dari pembaringannya, tanpa membuat lukanya
kambuh kembali. Nanti pada saatnya, Ki Argapati akan muntah-muntah. Tetapi itu
tidak berbahaya. Justru dengan demikian, racun yang ada di dalam dirinya hanyut
keluar. Baik racun yang ditimbulkan oleh luka-lukanya yang tersentuh ujung
senjata Ki Tambak Wedi, maupun racun yang timbul karena obat-obatku.”
Pandan Wangi yang masih
berdiri di sudut kamar memandang orang tua itu dengan cemasnya. Katanya,
“Tetapi bukankah Kiai tidak akan meninggalkan kami?”
“O, tidak. Tidak Ngger. Aku
akan tinggal di padukuhan ini. Aku telah menyatakan diri untuk membantu Ki
Argapati menurut bidangku.”
“Baiklah, Kiai. Aku akan
menunggui ayah di sini.”
“Silahkan, Ngger. Aku akan
berada di pendapa.”
Setelah membersihkan
tangannya, maka orang tua itu pun keluar dari bilik Ki Argapati, pergi ke
pendapa, dan duduk bersama kedua muridnya dan Ki Samekta.
Ki Argapati membuka matanya
ketika matahari telah menjadi sangat rendah. Seperti kata gembala tua, Ki
Argapati itu pun kemudian muntah-muntah seakan-akan isi perutnya terkuras
keluar. Namun Pandan Wangi yang selalu menungguinya memberitahukan kepadanya,
bahwa demikianlah yang seharusnya terjadi menurut pesan orang tua yang
mengobatinya.
“Di manakah mereka sekarang?”
bertanya Ki Argapati.
“Mereka berada di luar, Ayah.
Di pendapa. Tetapi mungkin kini mereka sedang mandi, atau berjalan-jalan
bersama Paman Samekta, atau apa pun. Karena mereka agaknya sudah menjadi jemu
duduk saja tanpa berbuat sesuatu.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Panggil Samekta. Aku akan
berbicara dengannya.”
Sejenak kemudian, Pandan Wangi
pun segera pergi keluar. Kepada seorang pengawal diperintahkannya untuk mencari
Ki Samekta, karena Ki Argapati memerlukannya.
Sejenak kemudian, Samekta
telah menghadap. Bahkan kali ini bersama Wrahasta.
“Bagaimana keadaan Ki Gede?”
bertanya Samekta.
“Sudah menjadi lebih baik,”
jawab Ki Argapati, “tetapi bagaimana dengan pertahananmu?”
“Tidak mengecewakan, Ki Gede.
Kami sudah mempersiapkan semua peralatan. Seandainya Ki Tambak Wedi akan datang
malam nanti, maka kami sudah siap menyambutnya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tidak ada yang perlu
dicemaskan, Ki Gede,” sambung Wrahasta pula.
“Bagaimana dengan ketiga
orang-orang itu?” tiba-tiba Ki Argapati bertanya.
“Mereka berada di dalam pondok
yang telah aku sediakan, Ki Gede. Setiap saat mereka dapat dipanggil, apabila
Ki Gede memerlukannya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesis, “Perlakukan mereka dengan
baik. Seandainya mereka benar-benar seorang gembala tua dengan kedua anaknya,
maka mereka bukan gembala kebanyakan.”
Ki Samekta dan Wrahasta saling
berpandangan sejenak. Kemudian dengan terbata-bata Samekta bertanya, “Siapakah
sebenarnya mereka, Ki Gede? Agaknya mereka memang menyimpan suatu teka-teki
tentang diri mereka sendiri.”
Ki Argapati menggelengkan
kepalanya. Ia sendiri ingin memecahkan teka-teki itu. Tetapi ia belum menemukan
suatu keyakinan. Ketika ia melihat gambar di pergelangan tangan orang tua itu,
ia mengharap, bahwa ia tidak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ternyata orang
tua itu masih tetap menggelengkan kepalanya. Namun meskipun demikian, ia
condong pada anggapan sebenarnyalah laki-laki tua itu adalah salah seorang
murid Empu Windujati, yang pernah ditemuinya di masa mudanya. Tetapi sudah
terlampau lama, dan pertemuan itu benar-benar hanya sekilas saja. Ia hanya
berkunjung ke perguruan Windujati, tidak lebih dari panjangnya senja untuk
menyampaikan pesan gurunya kepada Empu Windujati, yang sebenarnya bernama
Pangeran Windukusuma.
“Apakah Ki Gede dapat
mengatakannya kepada kami?” bertanya Samekta itu kemudian, sehingga Ki Gede
seolah-olah terbangun karenanya.
“Sayang, Samekta,” jawab Ki
Argapati, “aku sudah mencoba. Aku menyingkirkan orang-orang di dalam bilikku,
termasuk anak-anak gembala tua itu sendiri untuk mendengar pengakuannya, bahkan
pada saat Pandan Wangi keluar dari bilik itu pula, namun orang tua itu tidak
mengatakan apa-apa tentang dirinya.”
“Lalu apakah kesimpulan Ki
Gede tentang mereka?”
“Diakui atau tidak diakui,
mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu yang cukup matang, terutama
gembala tua itu menurut pengamatanku. Aku mengharap, ia tidak sekedar mengobati
lukaku, tetapi ia bersedia untuk bertempur di pihak kita.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Apakah Ki Gede sudah
mengatakannya?”
Ki Gede menggelengkan
kepalanya, “Belum. Aku belum mengatakannya dengan tegas. Tetapi aku kira mereka
telah menangkap maksudku.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan ia mendengar Ki Gede berkata, “Panggil mereka sebelum senja
menjadi gelap. Kita tidak dapat memastikan, apa yang akan terjadi malam ini.
Aku kira Ki Tambak Wedi tidak akan terlampau bodoh untuk menunggu sampai waktu
yang dikatakannya. Tetapi aku kira juga belum malam ini. Meskipun demikian,
semua persiapan harus dimatangkan. Supaya kita tidak terjebak oleh perhitungan
kita sendiri yang salah.”
“Baik, Ki Gede.”
“Aku sendiri telah merasa jauh
lebih baik. Dalam keadaan yang memaksa, aku sudah dapat menghadapi Ki Tambak
Wedi setelah aku mendapat pengobatan khusus.”
“Tetapi jangan, Ki Gede. Masih
terlampau berbahaya.”
“Ya, mungkin begitu. Dan
sekarang, panggil orang-orang itu kemari.”
Samekta dan Wrahasta pun
kemudian meninggalkan bilik itu dan memanggil gembala tua itu bersama kedua
anak-anaknya.
Kepada mereka bertiga, Ki
Argapati berkata terus terang, bahwa ia menginginkan bantuan mereka di
peperangan.
“Aku tahu, kalian tidak
berkepentingan langsung dengan peperangan ini, tetapi aku tahu juga, bahwa
kalian telah menempatkan diri kalian dalam suatu pendirian,” berkata Ki
Argapati.
Gembala tua itu tidak segera
menjawab.
“Persoalan kalian mungkin
adalah persoalan pribadi dengan Ki Tambak Wedi, atau mungkin persoalan dengan
Sidanti, yang apabila tidak tumbuh api yang membakar tanah ini, dan membuat aku
sendiri berdiri berhadapan dengan Sidanti dan Argajaya, mungkin kalian pun akan
menghadapi aku,” Ki Argapati berhenti sejenak. “Tetapi ternyata keadaan itu
telah menjadi seperti ini.”
Laki-laki tua itu menarik
nafas. Sejenak dipandanginya wajah kedua muridnya. Kemudian jawabnya, “Kami
tidak berkeberatan, Ki Gede, tetapi apakah kemampuan yang dapat kami berikan?”
“Jangan memperkecil nilai diri
sendiri. Anakmu, yang bernama Gupita, mampu melukai Ki Peda Sura.”
“Yang melukai adalah Angger
Pandan Wangi.”
“Tetapi betapa pun bodohnya
Pandan Wangi, namun ia dapat menilai betapa kemampuan Gupita itu.”
Gembala itu tidak dapat
membantah lagi.
“Nah, apabila nanti Ki Tambak
Wedi akan datang, sebelum aku mampu melawannya, aku akan menyerahkan tombakku
kepadamu, Kiai. Tombak lambang kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ki Gede.”
“Nanti dulu. Aku tidak akan
menyerahkan pimpinan peperangan ini kepada Kiai. Tidak. Maksudku, aku mengharap
bantuan Kiai untuk menahan Ki Tambak Wedi untuk kepentingan Tanah ini. Untuk
kepentinganku. Karena sebenarnya itu adalah tanggung jawabku, betapa pun
keadaanku sekarang.”
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kalau hari ini Ki Tambak Wedi datang, apa
boleh buat. Hantu itu tidak boleh menyebarkan maut tanpa dapat dikekang. Kami
bertiga akan mencoba mencegahnya, apabila kami mampu. Tetapi kalau hantu itu
datang lain kali, maka aku harap Ki Gede tampil di peperangan. Tetapi ingat, Ki
Gede tidak boleh bertempur seorang melawan seorang. Ki Gede harus bersikap
sebagai seorang pemimpin pasukan yang berada di dalam lingkungan pasukannya,
sehingga peperangan akan melibat semua pihak. Ki Gede dapat mengumpulkan semua
orang yang cukup kuat bersama Ki Gede. Di pihak lain, serahkanlah kepada kami.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Memang seandainya Ki Tambak Wedi tidak datang malam ini, maka
malam berikutnya lukanya pasti sudah menjadi lebih baik, apabila laki-laki tua
itu mengobatinya dengan cara yang telah dilakukannya. Selain obat-obat
penyembuh luka, orang tua itu memberikan pula obat-obat yang dapat memulihkan
tenaganya.
“Baiklah,” berkata Ki
Argapati, “hanya selama aku belum mampu sama sekali turun ke peperangan.”
“Aku bersedia, Ki Gede,” orang
tua itu berhenti sejenak, “bahkan, apabila Ki Gede tidak berkeberatan, apakah
kami dapat ikut dalam pasukan berkuda itu, seandainya Tambak Wedi tidak
menyerang malam ini?”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya, “Apakah maksud Kiai?”
“Seperti biasanya bukankah Ki
Gede melepaskan sepasukan berkuda itu?”
Ki Argapati tidak menjawab.
Tetapi diamatinya saja gembala tua itu untuk sejenak. Ki Argapati tidak segera
dapat mengerti arah pembicaraan orang tua itu.
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah Kiai sudah akan mulai malam ini?”
“Kita harus memberikan
kejutan-kejutan yang akan dapat mempengaruhi perhitungan Ki Tambak Wedi.
Bukankah demikian juga tujuan pasukan berkuda itu?”
“Ya, tetapi sejak Ki Tambak
Wedi sendiri berusaha menjumpai pasukan itu, usaha itu telah dihentikan.”
“Marilah kita mulai lagi
permainan itu. Permainan kejar-kejaran yang menyenangkan.”
“Tetapi, bagaimana kalau
selama kalian pergi, Ki Tambak Wedi menyerang pertahanan ini?”
“Berilah kami tanda dengan
panah berapi, kami akan segera kembali.”
“Apakah Kiai tidak akan pergi
terlampau jauh?”
“Apabila kami belum yakin,
bahwa pasukan Ki Tambak Wedi tidak bersiap untuk menyerang, kami tidak akan
pergi terlampau jauh.”
“Baiklah.”
“Malam ini, kita akan mulai.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipanggilnya Samekta dan Wrahasta.
Keduanya harus segera menyiapkan pasukan berkuda itu untuk mulai lagi dengan
tugasnya bersama ketiga orang-orang itu.
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana kalau pasukan itu bertemu
lagi dengan Ki Tambak Wedi?”
“Serahkan kepada orang tua
itu,” jawab Ki Argapati.
Wrahasta termenung sejenak.
Demikian juga Samekta.
Apakah Ki Gede sedang
bermain-main, atau menyindir orang tua itu, atau apa pun maksudnya, namun
kata-kata itu telah membuat mereka menjadi keheranan.
“Sebelum malam menjadi semakin
dalam. Siapkanlah pasukan itu.”
Samekta dan Wrahasta segera
meninggalkan bilik itu dengan teka-teki di dalam kepala masing-masing. Ia
percaya, bahwa ketiga orang itu bukan gembala kebanyakan, tetapi apakah mereka
dapat bertanggung jawab, apabila mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi? Tetapi
hal itu pun tidak mustahil. Semua dapat terjadi pada orang yang penuh dengan
rahasia itu. Bahkan penilaian Wrahasta atas kedua anak-anak muda itu pun harus
dipertimbangkannya lagi. Namun dengan demikian, perasaan cemburunya semakin
lama justru semakin tajam menusuk jantungnya. Apalagi agaknya tanggapan Ki
Argapati atas ketiga orang itu terlampau baik.
Meskipun demikian, Wrahasta
masih menahan semua perasaannya di dalam dadanya. Ia masih harus berusaha
menyesuaikan diri dengan keadaan, apalagi pada saat ketegangan menjadi semakin
memuncak. Perkembangan keadaan akan dapat naik dengan cepatnya.
Sejenak kemudian maka
bergemeretakanlah telapak kaki-kaki kuda yang berlari keluar dari regol
padukuhan yang telah selesai meskipun tidak sebaik regol yang lama.
“Ke manakah kita akan pergi,
Kiai?” bertanya pemimpin pasukan berkuda, yang menurut pesan Samekta harus
selalu berhubungan dengan gembala tua itu.
“Kita melintasi penjagaan
Sidanti. Kita masuki beberapa padesan, dan kita berbuat sesuatu, untuk
membuktikan bahwa kita cukup kuat.”
“Kemana kita mula-mula akan
singgah?”
“Ke induk padukuhan tanah
perdikan ini.”
“He?” pemimpin pasukan itu
terkejut, bahkan semua yang mendengar penjelasan itu pun terkejut pula.
“Kenapa kalian terkejut?”
Pemimpin pasukan itu tidak
segera dapat menjawab. Dan orang tua itu berkata seterusnya, “Kita melakukan
dua pekerjaan sekaligus. Yang pertama, kita melihat, apakah Ki Tambak Wedi akan
menyerang kedudukan kita. Kalau tidak, kita akan mengejutkan mereka.”
“Tetapi itu pasti sangat
berbahaya, Kiai.”
“Bukankah kita berkuda? Kita
hanya lewat. Mungkin ada sedikit pekerjaan, namun kemudian kita berpacu lagi
meninggalkan mereka, untuk mengganggu tempat-tempat yang lain.”
“Tetapi,” pemimpin pasukan itu
ragu-ragu, “tetapi, kalau kita gagal meninggalkan padukuhan induk tanah
perdikan ini, atau apabila korban terlampau banyak jatuh, akulah yang harus
bertanggung jawab. Bukan Kiai. Karena akulah pemimpin pasukan ini.”
“Kau benar, Ngger. Tetapi
bagaimana kalau kita coba? Aku dapat mengambil alih tanggung jawab itu.”
Sejenak pemimpin pasukan itu
menyahut. Namun tumbuh sepercik kecurigaan di dalam dirinya. Apakah orang tua
ini benar-benar dapat dipercaya? Ataukah seperti dugaan Wrahasta semula, bahwa
gembala yang bernama Gupita, dan tentu saja ketiganya, adalah orang-orang
Sidanti dalam tugas sandinya? Kini mereka akan membawa pasukannya ke dalam
suatu jebakan yang berbahaya.
“Tetapi seandainya demikian,”
katanya di dalam hati, “kenapa ia tidak membunuh Ki Argapati? Dan kenapa Ki
Argapati sangat mempercayainya?”
“Bagaimana, Ngger?” desak
orang tua itu. “Kita harus segera menentukan arah sebelum kita sampai ke
tikungan itu.”
Pemimpin pasukan itu tidak
segera dapat mengambil keputusan.
“Apakah Angger berprasangka?”
tiba-tiba orang tua itu bertanya.
Pemimpin pasukan itu tergagap.
Namun jawabnya, “Bukan berprasangka, Kiai, tetapi aku harus menimbang
pertanggungan jawabku atas pasukanku.”
“Angger benar,” sahut orang
tua itu, “tetapi sudah aku katakan, aku mau mengambil alih tanggung jawab kali
ini.”
“Hanya Ki Argapati atau yang
diserahi pimpinan atas seluruh pasukan pengawal yang dapat menyerahkan tanggung
jawab atau memindahkannya.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kata-kata pemimpin pasukan itu memang benar.
Bagaimanapun juga, ialah yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa yang
terjadi atas pasukan ini.
Karena itu, maka sejenak
kemudian ia berkata, “Kau benar, Ngger. Kau tidak dapat menyerahkan tanggung
jawab itu kepada orang lain. Namun demikian, aku ingin menyarankan, agar
perjalanan kita ini dapat menimbulkan pengaruh pada pasukan Ki Tambak Wedi.
Bukan pengaruh jasmaniah, karena kita memang tidak akan membantai para peronda
yang kita temui. Tetapi seperti apa yang dilakukan oleh Tambak Wedi hampir
setiap hari. Dengan mengepung pusat pertahanan kita, Ki Tambak Wedi tidak akan
mendapat keuntungan apa pun yang langsung kasat mata. Tetapi ia dapat mempengaruhi
ketahanan hati kita. Ia dapat membuat para pengawal menjadi gelisah dan
berdebar-debar setiap malam, seolah-olah mereka tidak akan mempunyai kesempatan
untuk keluar dari pedukuhan itu.”
Pemimpin pasukan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap kali ia menjadi bimbang. Namun setiap
kali timbul pertanyaan di dalam kepalanya “Kenapa Ki Gede begitu
mempercayainya? Pasti bukan tidak beralasan, bahwa orang-orang itu
diperkenankan ikut dalam pasukan ini.”
“Sebentar lagi kita akan
sampai di tikungan,” desis gembala tua itu.
Setelah menahan nafas sejenak,
pemimpin pasukan berkuda itu berkata, “Baiklah, Kiai, kita akan lewat induk
tanah perdikan yang telah direbut Sidanti. Tetapi kita akan melalui jantung
padukuhan induk itu.”
“Baiklah, Ngger,” jawab orang tua
itu, “nanti kita akan melihat perkembangan dari perjalanan kita ini.”
Pemimpin pasukan berkuda itu
terdiam sejenak. Teringat olehnya seseorang, yang tiba-tiba saja menghentikan
perjalanan pasukannya ketika Ki Tambak Wedi mencegatnya. Dan tiba-tiba saja ia
telah menghubungkan orang yang menghentikannya itu dengan orang tua yang kini
berada di dalam pasukannya.
“Ya, orang itu pasti orang tua
ini. Meskipun saat itu aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, apalagi dalam
keadaan yang sangat gawat, namun menurut tanggapan perasaanku, orang itu pasti
orang tua ini. Karena itu, agaknya ia sama sekali tidak takut terhadap orang
yang bernama Ki Tambak Wedi itu,” katanya di dalam hatinya. Dengan demikian,
maka hatinya pun menjadi semakin tebal. Keragu-raguannya menjadi sangat
berkurang, meskipun tidak dapat lenyap sama sekali.
Pasukan berkuda itu pun
kemudian berpacu semakin cepat. Di simpang jalan, maka pasukan itu segera
memilih jalan yang menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh yang telah
diduduki oleh Sidanti.
Sebelum mereka sampai ke
padukuhan induk, maka mereka berusaha menghindari setiap penjagaan, agar para
peronda dan para penjaga itu tidak sempat mengirimkan tanda-tanda atau isyarat
sandi. Mereka menempuh jalan di tengah-tengah bulak. Kalau sekali dua kali
mereka harus melewati perondan, maka mereka harus membuat orang-orang yang
sedang bertugas itu tidak berdaya sama sekali. Dengan tiba-tiba saja mereka
menyergap, mengikat mereka, kemudian menyumbat mulut mereka dengan ikat kepala
masing-masing.
Kepercayaan anggauta-anggauta
pasukan berkuda kepada orang tua itu dan kedua anak-anaknya semakin lama
menjadi semakin tebal. Tidak seorang pun yang mampu melawan mereka. Setiap kali
mereka bertemu dengan beberapa petugas di gardu-gardu, maka dalam sekejap para
petugas itu sudah tidak berdaya lagi. Mereka terpaksa membiarkan diri mereka
diikat pada batang-batang pohon di pinggir jalan dan membiarkan mulut-mulut
mereka itu pun disumbat.
“Mereka tidak akan dapat
mengirimkan berita sandi,” desis orang tua itu.
Sejenak kemudaan, mereka pun
telah menghadap sebuah padukuhan yang besar. Itulah padukuhan induk Tanah
Perdikan Menoreh. Sebuah desa kecil berada di depan padukuhan induk itu,
seolah-olah pintu gerbang yang harus mereka bukakan lebih dahulu.
“Ada sepasukan yang kuat di
desa itu, Kiai,” berkata pemimpin pasukan.
“Kita perlambat perjalanan
kita,” desis orang tua itu. Kemudian katanya, “Tetapi yang pasti, kita tidak
bertemu dengan pasukan Ki Tambak Wedi. Aku kira malam ini mereka akan
beristirahat, menyusun kekuatan untuk pada saatnya menyerang pertahanan kita
dan berusaha merebutnya.”
Pemimpin pasukan berkuda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak dapat mencari
jalan lain. Kita harus menerobos desa itu. Mungkin kita harus bertempur, tetapi
ingat, kita tidak akan melayani mereka. Kita hanya akan lewat. Selanjutnya kita
terus menuju ke padukuhan induk. Kalau kita nanti kembali ke pusat pertahanan
kita, kita tidak akan lewat desa ini lagi.”
“Orang-orang di desa itu akan
dapat mengirimkan tanda-tanda ke padukuhan induk.”
“Karena itu, jangan layani
mereka. Kita lewat dan berusaha melindungi diri kita. Jarak antara desa itu dan
padukuhan induk sudah dekat. Tanda-tanda sandi itu pasti, belum sempat
dicernakan, apalagi bersiap menyambut kedatangan kita.”
Pemimpin pasukan berkuda itu
mengerutkan keningnya. Kemudian diteriakkannya pringatan bagi segenap
pasukannya untuk bersiap.
“Kita tidak akan melayani
mereka. Kita hanya sekedar lewat,” katanya. “Tetapi sudah tentu kita harus
melindungi diri kita, apabila mereka menyerang dan mencegat perjalanan ini.”
Maka semua orang di dalam
pasukan itu pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Beberapa orang masih
juga membawa cambuk seperti yang biasa mereka lakukan. Namun mereka kini
menjadi tercengang-cengang, ketika mereka melihat kedua anak-anak muda yang
menyebut dirinya anak gembala itu membawa cambuk pula.
“Wrahasta tidak dapat
mengalahkan anak muda yang bernama Gupita itu,” desis salah seorang dari
mereka.
“Wrahasta tidak biasa
bersenjatakan cambuk. Seperti kita, maka kita pun merasa amat canggung dengan
cambuk-cambuk itu di tangan,” jawab yang lain.
Kawannya tidak menyahut.
Tetapi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sementara kuda-kuda mereka
menjadi semakin mendekati desa kecil di hadapan mereka.
Setiap orang di dalam pasukan
itu pun menjadi semakin tegang. Senjata-senjata mereka telah tergenggam
erat-erat di dalam tangan mereka. Sedang mereka yang bersenjatakan cambuk,
telah memindahkan cambuk-cambuk mereka dari tangannya, dan diselipkannya pada
ikat pinggang. Untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya, mereka lebih mantap
bersenjatakan pedang.
Yang memegang cambuk kemudian
tinggallah Gupala dan Gupita. Cambuk bagi mereka adalah senjata-senjata yang
paling terpercaya. Sedang akibat bagi lawannya pun tidak selalu berarti maut.
“Hati-hatilah dengan
cambukmu,” berkata gembala tua itu kepada dua orang muridnya. “Ingat, yang
bercambuk di dalam pasukan ini adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, caramu mempergunakan cambuk pun harus kau sesuaikan, kecuali
apabila kau dalam keadaan terpaksa.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita harus berada di depan,
supaya kita dapat menilai keadaan sebaik-baiknya,” berkata orang tua itu pula.
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Kepada pemimpin pasukan,
gembala tua itu minta ijinnya untuk berada beberapa langkah di depan pasukan,
supaya mereka dapat merintis jalan yang akan mereka lalui. Sebab, apabila
penjagaan di desa itu benar-benar kuat, dan di antaranya terdapat orang-orang
yang penting, maka jalan harus dibuka lebih dahulu supaya pasukan berkuda itu
dapat lewat tanpa banyak gangguan.
Demikianlah, maka gembala tua
itu memacu kudanya cepat-cepat. Kemudian di kedua sisinya masing-masing Gupala
dan Gupita. Mereka harus melindungi pasukan yang akan lewat di sebelah
menyebelah jalan, sedang guru mereka akan berpacu terus menuntun seluruh
pasukan.
Ternyata para penjaga di dalam
padesan kecil itu menjadi heran. Dalam keremangan malam mereka melihat
sepasukan kecil orang-orang berkuda menuju ke desa mereka.
“Siapakah mereka?” bertanya
salah seorang dari para penjaga itu.
Kawannya menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Entahlah. Mungkin pasukan inilah pasukan berkuda yang dibuat oleh
Argapati.”
“Tetapi kenapa mereka langsung
menuju kemari?” Sekali lagi kawannya menggelengkan kepalanya.
Namun mereka kemudian tidak
sempat untuk berbicara lagi. Sejenak kemudian, mereka mendengar pimpinan mereka
memberikan aba-aba, agar seluruh pasukan yang berada di dalam desa itu bersiap.
Sejenak kemudian. perintah itu
telah menjalar ke segenap sudut. Namun di antara mereka ada yang dengan acuh
tidak acuh berkata, “Berapa orang yang ada di dalam pasukan itu? Biarlah
orang-orang yang ada di dalam gardu peronda itu menyelesaikannya. Untuk
menghadapi beberapa orang berkuda saja, seluruh pasukan harus bersiap.”
Kawannya yang mendengar
kata-katanya mengerutkan keningnya. Bahkan ia menyahut, “Mereka menjadi sakit
hati melihat kita sempat tidur malam ini.”
Keduanya tertawa. Dengan
malasnya mereka duduk bersandar sebatang pohon di pinggir jalan. Sekali-sekali
mereka mengumpat, bahwa tidur mereka terpaksa terganggu.
Pasukan berkuda itu telah
berada di depan hidung para penjaga di regol desa. Beberapa orang di antara
mereka, berdiri di tengah jalan sambil mengacungkan tombak, telempak, pedang,
dan bermacam-macam senjata yang lain.
Gembala tua yang berkuda di
paling depan memperlambat lari kudanya. Kini ia pun telah membawa cambuk di
tangannya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka ia pun berteriak, “He,
menepilah supaya kalian tidak terinjak kaki-kaki kuda kami.”
“Siapakah kalian?”
“Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh seperti kalian. He, apakah kalian tidak mengenal kami lagi?”
Pemimpin pasukan yang ada di
desa itu mengerutkan keningnya.
“Kami sedang meronda daerah
kami, tanah perdikan ini. Bukankah kalian sedang bertugas di desa itu?
Baik-baiklah dalam tugas kalian. Jangan sampai ada orang-orang yang tidak
dikenal menjamah tanah yang selama ini kita pertahankan mati-matian.”
Sejenak pemimpin pasukan di
desa itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia berteriak, “He, di
pihak manakah kalian berdiri sekarang?”
Pasukan berkuda itu berhenti
beberapa puluh langkah dari mulut lorong. Dan gembala tua itu menjawab lagi,
“Kenapa kau bertanya di pihak mana kita berdiri? Ada berapa kekuasaan sekarang
ini di atas tanah kita yang selama ini kita bina? Tidak ada orang lain yang
kita akui sebagai Kepala Tanah Perdikan, selain Ki Gede Menoreh. Bukankah
begitu? Berapa puluh tahun ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk tanah ini,
bahkan nyawanya sekalipun apabila perlu? Berapa puluh tahun ia berjuang untuk
membuat tanah ini seperti, yang kita lihat sekarang? Kenapa kalian masih
bertanya, di pihak mana kita berdiri?”
Kata-kata itu ternyata telah
menyentuh setiap dada dari orang-orang Menoreh yang ada di desa itu. Beberapa
orang dari mereka telah terlempar dalam satu kenangan tentang tanah ini sebelum
terjadi kekisruhan.
“Apakah kalian tidak ingat
lagi, bagaimana keadaan tanah ini sebelum hadirnya Ki Tambak Wedi?” berkata
orang tua itu. “Kemudian kalian melihat sendiri, apakah yang terjadi
sesudahnya? Ternyata tanah ini telah terbakar oleh api ketamakannya. Bahkan
Sidanti telah tenggelam di dalam pengaruhnya.”
Pemimpin pasukan di desa itu
tidak segera menjawab. Sementara itu, gembala tua itu berbisik kepada pemimpin
pasukan berkuda yang ada di belakangnya “Sekarang. Selagi mereka merenung.
Ikuti aku. Biarlah Gupala dan Gupita mencegah mereka.”
Pemimpin pasukan itu
mengangguk. Dengan tangannya ia memberikan isyarat supaya orang-orangnya
bersiap.
Sejenak kemudian, selagi
orang-orang yang berdiri di mulut desa di depan regol itu masih termangu-mangu,
para pengawal itu telah melecutkan kuda-kuda mereka.
Serentak kuda-kuda itu
seakan-akan meloncat menerkam mereka yang masih berdiri di tengah jalan.
Kejutan itu telah menggerakkan mereka secara naluriah untuk berloncatan menepi.
Ketika mereka menyadari
keadaan, maka kuda-kuda itu telah benar-benar berada di hadapan mereka.
“Tahan mereka,” teriak
pemimpin pasukan yang berada di desa itu.
Para pengawal desa itu
seakan-akan terbangun dari tidur mereka. Serentak pula mereka menggerakkan
senjata mereka untuk menahan orang-orang berkuda itu. Tetapi tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh ledakan cambuk di tangan Gupala dan Gupita.
Beberapa orang yang berdiri di
paling depan terkejut. Ketika mereka menyadari diri mereka, senjata-senjata
mereka telah terlepas dari tangan.
Namun para penjaga yang ada di
belakang mereka, segera mendesak maju dengan pedang yang teracu. Tetapi para
pengawal berkuda itu pun telah siap menyambut mereka. Mereka pun telah
menggenggam senjata-senjata di tangan. Tetapi seperti pesan yang mereka terima,
mereka tidak akan bertempur. Mereka hanya akan sekedar lewat, sambil melindungi
diri mereka.
Tetapi mereka sudah pasti
tidak akan dapat menghindarkan korban betapa kecilnya. Gupala dan Gupita yang
telah mendapat pesan gurunya mawanti-wanti, tidak juga dapat menghindarinya.
Ujung cambuknya ternyata tidak dapat menahan diri.
Ketika para penjaga itu semakin
banyak menghalangi jalan mereka, maka Gupala dan Gupita yang harus merambas
jalan, terpaksa menyingkirkan mereka. Cambuknya meledak semakin cepat dan
keras.
Bagaimanapun juga, pertempuran
tidak dapat dihindari. Namun para pengawal ternyata berada dalam kedudukan yang
lebih baik. Mereka berada di atas punggung kuda, dan kuda-kuda mereka tidak
mereka tahan lagi. Kuda-kuda itu berlari terus. Para penjaga yang tidak juga
mau menepi kadang-kadang terlanggar dan terpelanting jatuh sebelum mereka dapat
mempergunakan senjata-senjata mereka.
“Jangan biarkan mereka lolos!”
teriak pemimpin pasukan di desa itu.
Tetapi untuk menahan mereka
bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi mereka berada di jalan yang tidak terlampau
lebar, sehingga mereka itu pun menjadi berdesak-desakan.
Tidak banyak gunanya, apabila
mereka menghadang di depan pasukan berkuda itu, karena di ujung pasukan itu
berada seorang gembala tua dengan cambuk di tangan. Setiap kali cambuk itu
berhasil melilit senjata lawannya dan kemudian melontarkannya ke udara.
Meskipun agak lambat, namun
kuda-kuda itu maju. Gupala dan Gupita berada di sisi pasukan yang lewat itu
sambil membantu para pengawal menahan serangan yang datang bertubi-tubi.
Kadang-kadang ada di antara mereka yang melontarkan tombak mereka. Tetapi
setiap kali tombak-tombak itu terpelanting oleh sentuhan cambuk.
Sejenak kemudian, kuda-kuda
itu pun telah berhasil melampaui penjagaan di ujung lorong menyusup masuk ke
dalam regol. Mereka kemudian tanpa menghiraukan para penjaga itu lagi, memacu
kuda-kuda mereka secepat-cepatnya.
“Jangan biarkan mereka lolos,
jangan biarkan mereka lolos!” teriak pemimpin pasukan di desa itu. Tetapi arus
dari pasukan itu sudah tidak tertahankan lagi. Mereka memang tidak bernafsu
untuk melayani dalam suatu lingkaran pertempuran. Karena mereka hanya akan
sekedar lewat.
“Tutup regol di ujung lain!”
teriak pemimpin penjaga.
Tetapi tidak seorang pun yang
sempat berlari mendahului kuda itu. Setiap usaha dari para pengawal di desa itu
untuk menahan kuda-kuda itu, mereka terpaksa harus berloncatan minggir. Para
pengawal yang berlari-lari keluar dari halaman, tidak banyak dapat berbuat
apa-apa. Mereka hanya dapat melontarkan senjata-senjata mereka, tetapi para
pengawal berkuda itu pun berusaha menangkisnya. Apalagi orang-orang yang
bersenjatakan cambuk.
Akhirnya, setelah mereka
melampaui sedikit rintangan di ujung lorong yang lain, mereka telah berhasil
keluar dari desa kecil itu, dengan meninggalkan kesan yang menggetarkan
jantung. Para penjaga di desa itu memang pernah mendengar, bahwa kadang-kadang
Argapati melepaskan sepasukan berkuda dengan orang-orang bercambuk. Tetapi
mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah berhadapan dengan
pasukan itu. Mereka tidak menyangka, bahwa orang-orang yang bersenjatakan cambuk
itu seakan-akan dapat mempergunakan senjatanya dalam segala kemungkinan.
Membelit senjata lawan, memungutnya, dan melemparkan ke udara. Kemudian
menyentuh tubuh-tubuh lawan-lawan mereka dengan meninggalkan bekas jalur-jalur
merah yang pedih. Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu mampu menyobek
tubuh-tubuh lawannya, dan mengucurkan darah.
“Bukan main,” desis salah
seorang yang tersobek pundaknya, “aku tidak tahu, bagaimana mungkin hal ini
dapat terjadi. Aku hanya mengejapkan mataku. Ternyata yang sekejap itu
berakibat begitu mengerikan. Aku tidak tahu, apakah akibatnya apabila aku harus
melayaninya bertempur seorang lawan seorang. Mungkin tubuhku telah menjadi
hancur tidak berbekas.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Di bawah lampu minyak ia menyaksikan luka di pundak kawannya itu.
Mereka itu tiba-tiba terkejut,
ketika pemimpin mereka berteriak, “Kirimkan tanda ke induk pasukan!”
“Apakah kuda-kuda itu akan
pergi ke padukuhan induk?” bertanya salah seorang.
“Tentu, mereka menuju ke sana.
Tidak ada jalan lain kecuali sampai ke padukuhan induk itu.”
“Mereka akan membunuh diri.”
“Karena itu berikan tanda
itu.”
Beberapa orang kemudian segera
memukul kentongan di gardu, dan yang lain melemparkan panah berapi.
Sementara itu, pasukan berkuda
itu pun berpacu semakin mendekati padukuhan induk. Mereka semakin mempercepat
kuda-kuda mereka, agar mereka segera sampai sebelum orang-orang di padukuhan
induk itu sempat mencernakan tanda-tanda sandi yang telah dikirim oleh
orang-orang di desa kecil yang baru saja mereka tinggalkan.
Namun sementara itu, sambil
berpacu, pemimpin pasukan berkuda itu sempat menghitung orang-orangnya yang
ternyata ada yang terluka. Tiga orang terluka agak parah, meskipun mereka masih
mampu berpegangan kendali kudanya, dan dua orang yang lain tergores ujung-ujung
pedang di kakinya.
“Pakailah obat ini,” berkata
gembala tua itu sambil memperlambat derap kudanya. Diserahkannya beberapa butir
obat kepada pemimpin pasukan, “Remaslah butiran-butiran reramuan itu, dan
gosokkanlah pada luka-luka itu. Mudah-mudahan dapat menolong untuk sementara.”
Sambil berpacu, pemimpin
pasukan itu membagikan obat-obat itu, meskipun dengan demikian, iring-iringan
itu menjadi agak lambat. Mereka yang terluka itu pun segera mencoba menggosok
luka-luka mereka dengan obat yang diberikan oleh gembala tua itu.
Ternyata obat itu dapat
menolong untuk sementara. Darah mereka tidak lagi terlampau banyak mengalir.
Bahkan seakan-akan telah menjadi pepat.
“Biarlah yang terluka mendapat
perlindungan dari kawan-kawannya,” berkata orang tua itu. Lalu, “Padukuhan
induk telah berada di depan kita. Kita akan menyusuri jalan di dalam padukuhan
itu. Cepat tanpa berhenti. Yang kita perlukan adalah kesan, bahwa kita bukan
pengecut yang hanya berani mengeram di balik dinding-dinding ori itu.”
Pemimpin pasukan itu
menganggukkan kepalanya, kepercayaannya kepada ketiga orang yang bersenjata
cambuk itu menjadi semakin tebal.
Ketika mereka telah mendekati
mulut lorong, mereka pun telah menyiapkan diri mereka. Meskipun lorong ini bukan
lorong yang membelah alun-alun kecil di depan rumah Kepala Tanah Perdikan,
namun lorong ini termasuk lorong yang penting. Karena itu, maka di depan regol
yang memasuki lorong itu pun pasti dijaga cukup kuat.
Dalam pada itu, tanda-tanda
yang dikirim oleh orang-orang yang bertugas di desa kecil yang telah dilewati
oleh pasukan berkuda itu pun menggema semakin keras. Suara kentongan, dan
panah-panah api yang melontar ke udara telah menimbulkan berbagai pertanyaan di
hati para penjaga. Namun mereka menyadari, bahwa desa kecil itu sedang dilanda
oleh bahaya.
“Kalian pun harus bersiap,”
perintah pemimpin peronda di regol padukuhan.
“He, pasukan berkuda,” teriak
yang lain.
Pemimpin pasukan peronda itu
tidak menyahut. Ia berdiri termangu-mangu. Betapa keheranan mencekam dadanya.
Ia tidak akan menyangka, bahwa orang-orang Argapati telah menjadi gila, dan
berani mendekati padukuhan induk.
Namun dengan demikian, ia
menjadi ragu-ragu. Bahkan terdengar ia berdesis, “Apakah mereka akan berpihak
kepada kita, dan mereka akan menyerahkan diri?”
Tetapi tiba-tiba disadarinya,
bunyi kentongan dan panah-panah api itu.
“Gila,” ia menggeram, “apakah
yang dapat dilakukan oleh pasukan itu?”
Namun para peronda itu tidak
mendapat terlampau banyak kesempatan untuk menduga-duga. Pasukan berkuda itu
tiba-tiba saja telah berada beberapa langkah saja di hadapan mereka, tanpa
mengurangi kecepatan lajunya.
Tetapi pemimpin peronda itu
sempat berteriak, “Hancurkan mereka!”
Maka terulanglah perkelahian
seperti yang terjadi pada saat mereka memasuki desa kecil di depan padukuhan
induk ini. Sekali lagi gembala tua itu menuntun seluruh pasukan untuk maju
terus, dan sekali lagi, Gupala dan Gupita berusaha melindungi pasukan itu
masing-masing di sebelah sisi, bersama-sama dengan setiap orang di dalam
pasukan itu yang berusaha melindungi diri mereka sendiri.
“Kita berjalan terus,” teriak
gembala tua yang berada di ujung pasukan dengan cambuk di tangan.
Setiap kali ujung cambuknya
berhasil melemparkan senjata-senjata lawan, dan bahkan kadang-kadang
ujung-ujung cambuk itu telah melemparkan beberapa orang sekaligus. Sengatan
yang pedih membuat lawan-lawan mereka menjadi sangat berhati-hati.
Pertempuran itu pun tidak
berlangsung lama. Kuda-kuda itu kemudian berderap memasuki padukuhan induk.
Berderap di atas jalan berbatu-batu sambil melontarkan debu di belakang
kaki-kaki kuda itu.
“Pada suatu ketika, padukuhan
ini harus kita rebut kembali,” desis gembala tua itu. Dan tanpa
disangka-sangkanya, pemimpin pasukan itu berteriak tanpa kendali, “Kita akan
merebut tanah ini.”
“Ya, kita akan segera
kembali,” sahut yang lain. Maka sejenak kemudian pasukan berkuda yang berderap
di lorong-lorong di dalam padukuhan induk itu pun berteriak-teriak nyaring,
“Kita akan kembali. Kita akan kembali.”
“Ya, Ki Argapati akan segera
kembali. He, siapa yang mendengar suaraku,” teriak pemimpin pasukan, “Ki
Argapati akan segera kembali.”
Suara teriakan-teriakan itu
telah mengejutkan beberapa orang yang masih tinggal di rumah masing-masing.
Teriakan-teriakan itu telah menggetarkan dada mereka. Apalagi mereka yang
merasa, bahwa selama ini berpihak kepada Sidanti dan Argajaya.
“Apakah pasukan Argapati telah
memasuki padukuhan ini?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada mereka,
“Mustahil, mustahil.”
Dan suara teriakan-teriakan
itu sudah menjauh.
Kehadiran pasukan berkuda di
padukuhan induk itu benar-benar telah menggemparkan. Semua orang terpukau untuk
sesaat mendengar suara tengara di gardu-gardu. Mereka tidak percaya, bahwa
padukuhan ini telah dilanda oleh bahaya. Tetapi mereka harus melihat suatu
kenyataan. Sepasukan pengawal berkuda telah memasuki padukuhan induk, berpacu
di lorong-lorongnya. Setiap kali mereka bertemu dengan sepasukan peronda, maka
para peronda itu sama sekali tidak berdaya.
Tengara itu pun kemudian
terdengar oleh para pemimpin pasukan di pihak Sidanti. Ki Tambak Wedi sendiri,
Sidanti, Argajaya, dan yang lain, menjadi heran mendengar kentongan di
gardu-gardu. Sementara mereka menunggu laporan.
Akhirnya datanglah seorang
peronda, menyampaikan apa yang mereka lihat, dan apa yang mereka alami.
Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya, Ki Wasi, Ki Muni, dan Ki Peda Sura beserta beberapa orang yang lain
mendengarkan laporan itu dengan darah yang bergolak. Mereka seakan-akan
mendengarkan sebuah dongeng ngayawara yang tidak masuk di akal.
“Apakah semua penjaga
tertidur?” bentak Sidanti yang tidak dapat menahan hati.
“Kami sudah berusaha untuk
menahan mereka.”
“Bohong! Kalian pasti sedang
lengah. Kalau tidak, hanya orang-orang gila sajalah yang percaya, bahwa
sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu memasuki regol.”
“Sebenarnyalah demikian.
Beberapa kawan-kawan kami terluka.”
“Bohong, bohong!” Sidanti
berteriak. “Kalian pasti tertidur di gardu-gardu, sehingga kalian terlambat
memberikan isyarat. Kalau kalian tidak terlambat, maka kalian pasti sempat
memanggil pasukan pengawal yang bertugas di sana.”
“Kami sudah memanggil mereka.
Mereka pun telah mencoba mencegah pasukan berkuda itu. Tetapi mereka pun gagal
pula.”
“Gila, gila! Kau mau main gila
ya?” kemarahan Sidanti sama sekali tidak dapat ditahankannya lagi. Hampir saja
ia meloncat menerkam peronda yang malang itu. Untunglah, bahwa Ki Tambak Wedi
sempat mencegahnya.
“Katakan sekali lagi, apakah
yang sebenarnya terjadi.”
Peronda itu menjadi gemetar.
Kemudian diulanginya, menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Di antara mereka terdapat
beberapa orang bersenjata cambuk,” suara peronda itu pun menjadi
terputus-putus.
“Sejak pasukan itu keluar
untuk pertama kalinya, di dalamnya sudah terdapat beberapa orang yang
bersenjata cambuk. Tetapi di tempat-tempat yang lain, tidak ada peronda sebodoh
kalian. Benar-benar tidak masuk akal, bahwa pasukan kecil itu dapat memasuki
padukuhan induk ini.”
Peronda itu tidak menyahut
lagi. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk dalam-dalam.
“Guru,” berkata Sidanti
kemudian, “aku akan mencari mereka.”
Ki Tambak Wedi menggelengkan
kepalanya. “Tidak ada gunanya. Mereka sudah menjadi semakin jauh. Kalau hal itu
benar-benar terjadi, maka mereka pasti hanya akan sekedar lewat, membuat
keributan dan mencoba membesarkan hati mereka sendiri. Sesudah itu mereka akan
segera keluar lagi dari padukuhan induk.”
“Lalu, apakah kita akan
membiarkan mereka berbuat sesuka hati?”
“Tentu tidak. Tetapi mereka
pun tidak akan sempat berbuat sesuka hati. Mereka hanya sekedar memanfaatkan
saat yang sekejap, selagi para penjaga terkejut dan termangu-mangu.”
“Hanya orang-orang gila saja
yang berani berbuat demikian. Bahayanya terlampau besar, dan hasilnya sama
sekali tidak banyak berarti.”
“Ternyata mereka adalah
orang-orang gila itu.”
Sidanti menggeram.
Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia tidak sempat
berbuat sesuatu. Pasukan berkuda itu pasti sudah menjauh. Yang dapat
dilakukannya hanyalah menggeretakkan gigi sambil menghentakkan tinjunya.
Wajah yang lain pun menjadi
tegang pula mendengar laporan itu. Mereka tidak dapat membayangkan, keberanian
dari manakah yang telah mendorong mereka melakukan pekerjaan yang terlampau
berbahaya itu?
Namun ternyata, ada di antara
mereka yang terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi itu. Seperti beberapa orang
pengawal yang melihat sendiri pasukan itu lewat, dan mendengar
teriakan-teriakan mereka, maka beberapa orang pemimpin mulai dipengaruhi oleh
perasaan cemas. Dengan kehadiran pasukan itu, maka ternyata bahwa kekuatan
Argapati tidak menjadi lumpuh sama sekali seperti yang mereka sangka. Pasukan
Argapati tidak menjadi berkecil hati, dan selalu saja berlindung di belakang
pagar pring ori. Namun ternyata mereka tetap memiliki keberanian. Bahkan
keberanian yang luar biasa.
Ki Wasi dan Ki Muni ternyata
tidak dapat menghindari pula sentuhan di dalam dada mereka. Seolah-olah mereka
melihat Argapati sendiri sedang nganglang mengitari tanah perdikannya bersama
sepasukan pengawal berkuda, seperti yang sering dilakukannya sebelum tanah
perdikan ini dibakar oleh api ketamakan dan kedengkian.
Ki Tambak Wedi yang mempunyai
penglihatan cukup tajam itu segera menyadari, bahwa pengaruh kedatangan pasukan
berkuda itu amat dalam pada pasukannya dan bahkan beberapa orang pemimpinnya.
Karena itu, maka tiba-tiba ia
berteriak, “Siapkan seluruh pasukan besok pagi-pagi. Kita mengadakan persiapan.
Besok sore kita hancurkan benteng pring ori itu, dan kita bakar seluruh
padukuhan itu. Sekarang, seluruh pasukan tidak boleh kehilangan kepercayaan
kepada diri sendiri. Kita harus berbagi, untuk mendatangi setiap pasukan, dan
membesarkan hati mereka. Kita harus memberitahukan kepada mereka, bahwa pasukan
berkuda itu hanya suatu perbuatan gila-gilaan yang tidak akan mempunyai akibat
apa pun juga.”
Setiap orang di dalam
pertemuan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun ada juga di antara
mereka yang menjadi ragu-ragu di dalam hati, meskipun keragu-raguan itu sama
sekali tidak mereka ucapkan.
Sejenak kemudian, maka
pertemuan itu pun segera berakhir. Mereka membagi diri dan menyebar ke segenap
sudut, menemui pasukan-pasukan mereka yang tersebar di berbagai tempat.
Meskipun para pemimpin itu
mencoba untuk mempertahankan gairah dan keberanian anak buahnya, namun ketika
sebagian dari mereka mendengar langsung dari kelompok-kelompok pasukan yang
mengalami sendiri, justru merekalah yang menjadi ragu-ragu.
Tetapi betapa kebimbangan
bergetar di dalam dada mereka, namun mulut-mulut mereka pun berkata, “Jangan
hiraukan apa yang baru saja terjadi. Mereka sama sekali bukan pengawal-pengawal
yang berani. Justru dengan demikian, kita dapat menilai, betapa liciknya
pasukan Argapati itu. Mereka sekedar memanfaatkan saat-saat kita terkejut dan
keheranan. Namun apabila kita sudah menyadari keadaan, mereka pun segera lari.”
Para pengawal
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya mereka bercerita tentang
apa yang telah mereka lihat. Orang-orang yang bersenjata cambuk di dalam
pasukan berkuda itu, benar-benar orang-orang yang luar biasa.
Sementara itu, pasukan berkuda
yang menjelajahi padukuhan induk itu pun telah sampai ke ujung lorong yang akan
membawa mereka keluar. Pengalaman mereka kali ini benar-benar telah menyalakan
kembali tekad mereka yang selama ini telah menjadi buram. Bahkan dada mereka
serasa tidak lagi dapat menampung kebanggaan mereka, bahwa mereka telah
melakukan sesuatu yang hampir-hampir tidak dapat dipercaya. Dengan pasukan yang
kecil, menyusup di tengah-tengah sarang lawan yang telah bersiap untuk
bertempur.
Bahkan ketika mereka telah
hampir sampai ke regol yang akan mereka lalui, salah seorang dari mereka
berkata, “Kita berbelok. Kita masih belum mengitari seluruh padukuhan induk.”
Pemimpin pasukan itu
mengerutkan keningnya. Keinginan itu sama seperti keinginan yang menyala di
dalam hatinya. Tetapi ia menyadari, bahwa mereka kini berada di sarang serigala
yang sedang tidur. Apabila serigala itu terbangun, maka keadaan mereka akan
sangat menjadi gawat. Bahkan tengara dan tanda-tanda sandi telah bergema
memenuhi seluruh padukuhan induk itu. Para peronda di depan mereka itu pun
telah bersiap pula menyambut kedatangan mereka.
“Bagaimana, Kiai?” meskipun
demikian ia masih juga bertanya.
“Jangan menuruti perasaan
saja. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan. Kita sudah tidak mendapat
kesempatan lagi. Kini setiap kelompok pasukan pasti sudah siap menunggu kita
lewat di depan barak-barak mereka masing-masing.”
“Ya,” sahut pemimpin pasukan.
“Juga di gardu di depan kita.”
Dan tiba-tiba Gupita yang
berada di paling depan berdesis, “Pintu regol telah ditutup.”
“He,” gurunya mengerutkan
keningnya, “ya, pekerjaan kita menjadi agak berat.” Kemudian kepada pemimpin
pasukan ia berkata, “Lindungilah diri masing-masing dan kawan-kawan kalian yang
terluka. Mungkin kita akan berhenti sejenak di depan regol itu. Biarlah
anak-anakku yang membukanya, Mudah-mudahan tidak ada pasukan yang lebih kuat
yang menyusul di belakang kita.”
Pemimpin pasukan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini akan menghadapi pertempuran, karena
itu mereka harus berhenti sejenak, sementara Gupita dan Gupala harus membuka
pintu gerbang itu, menerobos para penjaganya.
Tetapi para pengawal berkuda
dan gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu terkejut, ketika tiba-tiba
mereka mendengar kuda berderap di halaman sebelah, kemudian menjauh menyusur
halaman, menyusup dari regol yang satu ke regol yang lain.
“Apakah itu?” bertanya
pemimpin pasukan.
“Seorang penghubung. Ia pasti
akan memberikan laporan bahwa kita berada di sini. Karena itu, cepat buka pintu
itu,” sahut gembala tua.
Gupita dan Gupala yang
mengerti akan tugasnya, segera meloncat turun dari kudanya, sementara yang lain
pun segera mendesak maju. Agaknya para peronda di gardu itu pun telah siap
menyambut kedatangan mereka.
“Tolong, pegang kendali
kuda-kuda kami,” desis Gupita kepada salah seorang pengawal yang segera
menangkap kendali kuda Gupita, dan seorang yang lain memegangi kendali kuda
Gupala.
“Hati-hatilah,” pesan gembala
tua itu, “aku akan melindungi kalian.”
Gupita dan Gupala
mengangguk-anggukkan kepada mereka. Dan sejenak kemudian, dengan cambuk di
tangan masing-masing, mereka pun melangkah maju setapak demi setapak. Sementara
itu, para penjaga regol itu pun telah menebar dan mengepung mereka. Ternyata
yang telah siap menyambut mereka bukan sekedar para peronda, tetapi sekelompok
pengawal yang memang ditempatkan dekat dengan gardu-gardu.
Sejenak kemudian, terdengar
sebuah teriakan nyaring. Agaknya pemimpin pasukan yang bertugas di gardu itu telah
meneriakkan aba-aba untuk segera menyerbu. Sejenak kemudian, maka mereka pun
segera mendesak maju. Tetapi lawan mereka adalah pasukan pengawal yang terlatih
baik. Mereka telah mempelajari khusus cara-cara bertempur di atas punggung
kuda. Dengan demikian, maka mereka pun segera menyambut lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian, kuda-kuda
itu pun telah berderap hilir mudik menyambar-nyambar di sepanjang jalan,
sehingga para penjaga menjadi agak kebingungan. Kuda-kuda itu seakan-akan
berubah menjadi semakin banyak berkeliaran tanpa putus-putusnya, sedang
penunggang-penunggangnya memutar pedang-pedang mereka tak henti-hentinya.
Sementara itu, Gupala dan
Gupita melangkah maju mendekati regol yang tertutup. Mereka tidak akan dapat
dengan mudahnya mendekati, karena beberapa orang sudah siap menunggu
kedatangannya.
“Apakah kita tidak boleh
melukai mereka?” desis Gupala.
Gupita tidak menyahut. Ia tahu
benar arti pertanyaan Gupala. Gupala sama sekali tidak ingin mendengar
jawabannya. Tetapi sebenarnya ia ingin mengatakan, “Aku terpaksa melakukannya.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak akan dapat mencegah Gupala. Bahkan mungkin ia
sendiri akan melakukan hal yang serupa, apabila keadaan benar-benar memaksa.
Dan agaknya keadaan akan benar-benar memaksanya.
Sejenak kemudian, maka Gupita
dan Gupala itu pun harus mempersiapkan diri. Beberapa orang maju bersama-sama,
dan kemudian berpencaran.
Sekali Gupita berpaling. Ia
masih melihat gurunya bertempur melindungi beberapa orang yang agak terdesak
oleh lawan yang lebih banyak.
Tetapi agaknya Gupala sudah
tidak sempat memperhatikan apa pun lagi. Sudah terlampau lama ia menahan
ketegangan hati. Karena itu, maka tiba-tiba ia pun segera meloncat menyerang
orang-orang yang bertebaran di sekitarnya.
Sekali lagi Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Kini ia harus menyesuaikan diri, karena perkelahian sudah
dimulai.
Mereka berdua pun kemudian
segera menempatkan diri. Mereka harus berkelahi sambil bergeser mendekati
regol, sehingga pada suatu ketika mereka harus membuka pintu regol itu.
Maka sesaat kemudian, kedua
cambuk di tangan anak-anak muda itu pun segera meledak-ledak. Mereka menyadari,
bahwa mereka harus melakukannya secepat-cepatnya, sebelum penghubung yang pergi
berkuda itu kembali dengan pasukan yang lebih besar.
Apalagi apabila bersama-sama
pasukan itu akan datang juga para pemimpin pasukan itu, termasuk Ki Tambak Wedi
sendiri, Sidanti, Argajaya, dan siapa lagi.
Dengan demikian, kedua
anak-anak muda itu terpaksa berkelahi bersungguh-sungguh. Apalagi Gupala.
Setiap ledakan cambuknya selalu menumbuhkan desah dan keluhan pada salah
seorang lawannya. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal regol itu
menjadi semakin hati-hati. Mereka pun kemudian bersama-sama menyerang dengan
senjata masing-masing, dan bahkan ada di antara mereka yang melontarkan
tombak-tombak mereka. Namun ternyata anak-anak muda yang memegang cambuk itu
terlampau tangkas.
Apalagi sesaat kemudian,
seekor kuda datang menyambar-nyambar seperti seekor burung elang. Penunggangnya
pun membawa cambuk seperti kedua anak-anak muda itu. Dan cambuk itu pun setiap
kali melecut-lecut menyambar-nyambar.
Bagaimanapun juga para
pengawal itu bertempur mati-matian, namun mereka tidak dapat menahan kedua anak
muda itu yang semakin lama semakin maju mendekati regol yang tertutup itu.
“Jangan biarkan mereka membuka
regol itu,” teriak pemimpin peronda.
Tidak seorang pun yang
menjawab. Tetapi mereka tetap terdesak oleh ledakan cambuk-cambuk yang ujungnya
seolah-olah bermata itu. Meskipun hanya ada tiga buah cambuk di dalam
perkelahian itu, namun rasa-rasanya cambuk itu telah menyentuh setiap orang
yang mencoba menahan kedua anak-anak muda itu. Ujung-ujung cambuk itu
seakan-akan telah berubah menjadi segumpal kumpulan lebah yang terbang
mengitari para pengawal regol itu, dan menyengat mereka di segala tempat.
Punggung, leher, bahkan kening. Apalagi setiap sengatan pasti meninggalkan
bekas yang pedih. Jalur-jalur merah, atau luka-luka yang menitikkan darah.
Terlebih-lebih lagi adalah
ujung cambuk Gupala. Kadang-kadang ia menghentakkan cambuknya sekuat-kuat
tenaganya. Apabila ujung cambuk itu menyentuh tubuh lawamnya, maka
kepingan-kepingan baja yang melingkar pada juntai cambuk itu seakan-akan telah
menyobek kulit.
Dengan demikian, meskipun
hanya setapak demi setapak Gupala dan Gupita berhasil maju menyibak
lawan-lawannya. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha secepat-cepatnya mencapai
regol itu. Namun dengan demikian, mereka terlampau sulit untuk mengendalikan
diri. Tetapi apa boleh buat. Dan Gupala pun selalu bergumam, “Apa boleh buat.
Apa boleh buat.”
Pertempuran di sudut jalan
yang lain pun menjadi semakin ribut. Para pengawal berkuda agaknya berhasil
mendesak lawan-lawannya, sehingga beberapa orang di antara mereka terpaksa
berloncatan ke atas dinding halaman. Dan apabila kuda-kuda itu masih juga
menyambar mereka, maka mereka terpaksa pula meloncat masuk ke dalam halaman.
Namun sementara, itu
penghubung berkuda yang meninggalkan regol jalan menuju ke induk pasukannya,
telah memasuki regol halaman. Dengan nafas terengah-engah ia segera meloncat
turun ketika ia melihat pemimpin pasukan induknya berdiri di halaman.
Pemimpin pasukan itu
mengerutkan keningnya. Ia telah mendengar tanda-tanda yang bergema di seluruh
padukuhan induk. Karena itu, maka kedatangan penghubung itu telah membuat
hatinya berdebar-debar.
“Apa yang telah terjadi di
tempat tugasmu?” bertanya pemimpin pasukan itu.
“Sepasukan berkuda,” jawab
penghubung itu.
“Kenapa dengan pasukan berkuda
itu?”
“Mereka akan keluar lewat
regol tempat kami bertugas. Tetapi kami telah berhasil menutup regol itu,
sehingga mereka terpaksa berhenti. Kini telah terjadi pertempuran di antara
kami dan mereka.”
“Bagus. Kami sudah siap.”
“Kami memerlukan bantuan,
supaya mereka tidak dapat lolos.”
“Kami akan mengirimkan
sekelompok dari pasukan kami.” Pemimpin pengawal di induk pasukan itu pun
segera mempersiapkan sekelompok pengawal untuk segera pergi ke tempat
pertempuran. Sedang seorang penghubung yang lain telah di perintahkannya
menyampaikan laporan itu ke rumah Kepala Tanah Perdikan. Ke tempat Ki Tambak
Wedi dan para pemimpin yang lain sedang berbincang.
Kedatangan penghubung itu
ternyata telah membuat darah Sidanti semakin bergolak. Dengan lantang ia
berkata, “Nah, apa kataku. Kalau sejak tadi aku diijinkan untuk mencari mereka,
maka keadaan pasti tidak akan berlarut-larut.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Katanya, “Aneh, bahwa mereka masih ada di padukuhan induk ini.”
“Mereka sebenarnya sudah akan
meninggalkan padukuhan ini, Kiai,” jawab penghubung itu. “Tetapi seluruh pintu
regol telah tertutup, sehingga mereka telah tertahan.”
“Bagus,” sahut Ki Tambak Wedi.
Kemudian kepada Sidanti ia berkata, “Pergilah. Lihatlah, siapa yang ada di
antara mereka. Kalau mungkin tangkaplah pemimpinnya dan orang-orang yang
dikabarkan bercambuk itu hidup-hidup.”
Sidanti tidak menunggu lebih
lama lagi. Segera ia berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya yang
selalu siap di halaman.
“He. Apakah kau akan pergi
seorang diri?” bertanya Argajaya.
“Sepasukan pengawal telah
dikirim lebih dahulu,” jawab Sidanti sambil melarikan kudanya.
Argajaya yang masih berdiri di
tangga pendapa menjadi berdebar-debar. Ia tidak sampai hati melepaskan Sidanti
sendiri. Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke punggung kudanya pula, dan
lari menyusul anak muda itu.
Sementara itu, perkelahian di
mulut jalan itu pun menjadi semakin seru. Gupala dan Gupita semakin mendesak
maju mendekati pintu regol. Beberapa langkah lagi ia akan mencapai selarak daun
pintu yang melintang. Betapa pun juga, para penjaga itu mencoba mencegahnya,
namun mereka sama sekali tidak berhasil. Mereka selalu harus menyibak, apabila
serangan kedua anak-anak muda itu menjadi semakin cepat dan garang.
Akhirnya Gupala menghentakkan
cambuknya sekuat-kuat tenaganya. Beberapa orang yang tersentuh ujung cambuk itu
terpelanting jatuh. Dengan demikian, maka kini terbuka kesempatan untuk
meloncat mencapai pintu regol itu.
Pemimpin penjaga yang melihat
hal itu menjadi sangat marah. Dilepaskannya lawannya, seorang pengawal berkuda,
dan dengan serta-merta ia meloncat untuk mencegah pintu itu dibuka.
Demikian Gupala mencapai
selarak pintu itu, maka ujung pedang pemimpin penjaga itu meluncur ke
punggungnya.
Tetapi ujung pedang itu tidak
pernah dapat menyentuh tubuh Gupala. Gupita yang terperanjat melihat serangan
yang tiba-tiba itu, hampir di luar sadarnya, dengan gerak naluriah, telah
melecutkan cambuknya. Ketika ujung cambuk itu melilit leher pemimpin penjaga
itu, Gupita menghentakkannya kuat-kuat, sehingga tubuh itu terputar seperti
gasing. Kemudian pemimpin penjaga itu terpelanting jatuh di tanah.
Yang terdengar kemudian adalah
erang kesakitan. Sementara Gupala telah berhasil membuka selarak pintu. Gupita
yang kemudian berdiri di belakangnya, melindunginya dari setiap serangan yang
mencoba menggagalkan usaha itu.
Namun sejenak kemudian dari
kejauhan terdengar teriakan-teriakan lantang. Sekelompok pengawal berlari-lari
mendekati regol yang kini telah terbuka itu.
“Jangan lepaskan, jangan
lepaskan!” teriak mereka.
Gupala dan Gupita menjadi
berdebar-debar. Sementara itu gembala tua itu pun mengerutkan keningnya. Ternyata
sekelompok pengawal dari pasukan induk itu telah datang.
“Cepat. Semua keluar regol,”
desis gembala tua itu. “Kalau kita terlambat, kita akan menemui kesulitan.”
Maka pemimpin pengawal berkuda
itu pun segera memerintahkan para pengawal untuk segera keluar regol. Betapa
para penjaga menghalangi namun kuda-kuda itu pun berhasil mendesak mereka
menyibak. Sebab di punggung kuda itu terayun-ayun senjata-senjata para
pengawal, apalagi lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan telinga.
“Bawa kuda kami keluar!”
teriak Gupala yang masih berdiri di pintu regol sambil mencegah para penjaga
yang ingin menghalangi pasukan berkuda itu keluar.
Satu-satu kuda-kuda itu pun
kemudian menyusup keluar regol. Beberapa orang pengawal yang lain telah dengan
sengaja menyimpan pedang mereka, dan mempergunakan cambuk-cambuk mereka
menirukan gembala tua itu beserta kedua anak-anaknya.
Sehingga dengan demikian, maka
seolah-olah di dalam pasukan pengawal berkuda itu terdapat beberapa orang yang
bersenjatakan cambuk. Dalam perkelahian yang ribut, para penjaga sulit untuk
menemukan perbedaan kemampuan mereka mempergunakan senjata-senjata itu.
Sementara itu sekelompok
pengawal dari pasukan induk berlari-lari semakin kencang. Di antara mereka
masih saja berteriak, “Tahankan sebentar! Jangan biarkan mereka lepas!”
Tetapi kuda-kuda itu sudah
semakin banyak berada di luar regol. Meskipun demikian, pasukan itu datang
sebelum ekor dari pasukan berkuda itu berhasil keluar dari regol.
Beberapa orang yang berada di
paling belakang, terpaksa memutar kuda-kuda mereka menghadapi sekelompok
pasukan itu. Ternyata pengawal yang baru datang itu cukup banyak, sehingga
penunggang-penunggang kuda itu agak mengalami kesulitan. Apalagi sebagian besar
dari kawan-kawan mereka telah berada di luar regol.
Tetapi dalam keadaan yang
demikian, maka seekor kuda telah menyusup di dalam perkelahian itu dengan
membawa gembala tua itu di punggungnya. Sambil memutar cambuknya ia berkata,
“Keluarlah. Kita harus segera keluar.”
Beberapa orang penunggang kuda
itu menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi orang itu berkata, “Cepat. Keluarlah.”
Kuda-kuda itu pun menjadi
semakin surut. Sedang di sisi pintu, Gupala dan Gupita masih juga berkelahi
untuk menahan para penjaga yang ingin menutup pintu itu kembali.
Sejenak kemudian, maka kuda
yang terakhir selain gembala tua itu, telah keluar dari regol. Sementara itu,
Gupala dan Gupita pun telah meloncat keluar pula, sementara kuda gembala itu
mundur perlahan-lahan. Namun akhirnya kuda itu pun berhasil keluar dari pintu.
Beberapa orang yang akan mengejarnya, terpaksa terhenti di depan pintu, karena
selangkah di luar mulut regol itu, sepasang cambuk meledak-ledak tidak
henti-hentinya.
“Cepat. Ambil kuda kalian,”
desis gembala tua itu, “seorang demi seorang. Yang seorang lagi membantu aku
menutup regol itu, supaya mereka tidak dapat keluar.”
“Cepatlah, Gupala,” berkata
Gupita, “kemudian kau membantu guru, sementara aku mengambil kudaku.”
Gupala pun kemudian segera
meloncat berlari. Pengawal yang memegang kudanya masih menunggunya. Dengan
serta-merta ia pun segera meloncat ke punggung kuda itu, dan membawa kudanya
kembali ke mulut regol untuk melindungi Gupita yang masih akan mengambil
kudanya.
Begitu Gupita meloncat ke
punggung kudanya, maka ternyata mereka sudah tidak dapat membendung arus
pengawal yang berdesakan di muka pintu itu. Bahkan ada di antara mereka yang
memanjat dinding-dinding batu sebelah-menyebelah regol dan berloncatan keluar.
Dengan senjata teracu-acu mereka pun segera menyerang para pengawal berkuda
yang masih berkumpul di depan regol.
“Tinggalkan tempat ini,” gumam
gembala tua itu, sementara pemimpin pasukan segera meneriakkan aba-aba.
Kuda-kuda itu berderap tepat
pada saat pasukan pengawal itu menyerang mereka. Namun yang tertinggal hanya
sekedar debu yang menghambur dari kaki-kaki kuda itu.
Tetapi tepat pada saat itu,
seekor kuda berlari seperti angin. Dengan lantangnya Sidanti, penunggang kuda
itu, berteriak, “Minggir, aku akan mengejar mereka.”
Beberapa orang berloncatan
menepi. Ketika kuda itu lewat, setiap orang hanya dapat mengangakan mulut-mulut
mereka tanpa dapat berbuat sesuatu.
Belum lagi mereka sempat
menarik nafas, sekali lagi seekor kuda yang membawa Argajaya menyusulnya.
Tetapi sementara itu, pasukan
berkuda itu sudah menjadi semakin jauh. Sidanti sudah tidak dapat melihat orang
yang terakhir dari pasukan berkuda itu dengan jelas. Bahkan semakin lama
menjadi semakin kabur oleh debu yang terhambur.
Tetapi Sidanti tidak
menghentikan kudanya. Ia berpacu terus mengikuti pasukan pengawal berkuda itu.
Sementara Argajaya dengan cemas mencoba mengejarnya. Bagaimana pun juga
kelebihan yang ada pada anak muda itu, namun akan sangat berbahaya sekali
apabila ia harus bertempur melawan sekian banyak orang di dalam pasukan yang
sedang di kejarnya.
Karena Argajaya tidak segera
dapat mencapai Sidanti, karena kuda-kuda mereka berpacu hampir sama kencangnya,
maka terpaksa Argajaya itu pun berteriak memanggil.
“Sidanti. Sidanti.”
Tetapi Sidanti sama sekali
tidak menghiraukannya. Ia masih saja berpacu dengan kencangnya.
“Sidanti!” teriak Argajaya
kemudian, “Aku membawa pesan.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Sekali ia berpaling, dan ketika sekali lagi ia mendengar Argajaya berteriak, ia
mengurangi kecepatan kudanya sedikit.
Dengan demikian, maka jarak mereka
menjadi semakin pendek. Dan sejenak kemudian Argajaya telah berpacu di samping
kuda Sidanti.
“Pesan dari siapa, Paman?”
“Aku hanya ingin
memperingatkan kau Sidanti. Apakah kau akan mengejar pasukan itu? Kau seorang
diri, bagaimanapun juga kau akan mengalami kesulitan, meskipun berdua dengan
aku pun. Kita belum tahu, siapakah yeng ada di dalam pasukan itu. Bagaimana
kalau justru Kakang Argapati sendiri, meskipun ia belum sembuh benar? Bukankah
ia sudah nampak cukup kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, karena ia
kemarin telah turun pula ke medan?”
“Jadi apakah Paman menyangka
aku gila?”
“Kenapa?”
“Bagaimana pun juga aku
mempunyai perhitungan, Paman,” desis Sidanti. “Sudah tentu aku tidak akan
bertempur seorang diri melawan mereka. Aku akan mengikuti mereka sampai padesan
di depan kita. Mereka pasti akan tertahan oleh para pengawal di desa kecil itu.
Nah, baru aku akan ikut serta.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ternyata anak muda itu benar-benar cerdik. Karena itu maka katanya,
“Kalau begitu, aku ikut bersamamu.” Argajaya berhenti sejenak, lalu tiba-tiba
ia bertanya, “Tetapi bagaimana kalau ia tidak mengikuti jalan ini?”
“Hanya ada satu sidatan. Itu
pun jalan kecil di tengah sawah. Aku kira mereka memilih jalan besar ini. Jalan
yang cukup baik bagi kuda-kuda mereka.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba Sidanti mengumpat habis-habisan. Ternyata pasukan
berkuda yang dikejarnya itu, tidak memilih jalur jalan yang lapang ini.
Ternyata mereka berbelok di jalan sidatan, meskipun jalan itu jauh lebih kecil
dari jalan yang sedang dilaluinya.
“Kenapa kita mengambil jalan
ini, Kiai?” bertanya pemimpin pasukan pengawal berkuda itu kepada gembala tua
itu, yang menasehatkan kepadanya untuk mengambil jalan ini.
“Tanda-tanda bahaya itu pasti
sudah di dengar oleh pengawal di desa di depan kita itu. Mereka pasti sudah
bersiap. Dan kita pasti akan mengalami hambatan seperti pada saat kita melalui
desa kecil di sebelah lain pada saat kita memasuki padukuhan induk ini. Kalau
kita terpaksa berkelahi dan tertahan, maka kita tidak dapat membayangkan
kemungkinan yang bakal terjadi atas pasukan ini. Beberapa orang kita telah
terluka, bahkan ada yang agak parah. Dan kita tidak tahu pasti, siapakah yang
berkuda mengejar kita itu. Kalau mereka berdua itu Ki Tambak Wedi dan Sidanti,
maka pekerjaan kita akan menjadi terlampau berat.”
Pemimpin pasukan pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketika mereka berdua berpaling, orang tua
itu berkata, “Nah, agaknya kedua orang yang mengejar kita itu sudah berhenti di
tikungan.”
Sebenarnya bahwa Sidanti dan
Argajaya itu pun berhenti di jalan sidatan. Sambil mengumpat-umpat tidak
habis-habisnya, Sidanti menghentak-hentakkan tangannya di pahanya.
“Kalau guru tidak melarang,
aku pasti dapat menangkap mereka, meskipun hanya satu dua orang. Kita akan
mendapat keterangan lebih banyak tentang pasukan yang bersembunyi di balik
benteng pring ori itu.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, “Pasukan itu benar-benar luar biasa. Keberaniannya
hampir tidak masuk akal. Kita memang tidak akan menyangka, bahwa mereka akan
langsung masuk ke padukuhan induk. Sehingga menurut dugaanku, pasukan itu
dipimpin oleh Kakang Argapati sendiri. Bukan sekedar anak-anak ingusan seperti
yang biasa mereka lakukan. Menakut-nakuti para peronda di gardu-gardu dengan
cambuk-cambuk kuda yang sama sekali tidak berarti.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berkata, “Marilah kita lihat di bekas-bekas pertempuran
itu, Paman.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan mereka berdua pun kemudian berpacu kembali ke padukuhan induk.
Mereka berdua berhenti ketika
mereka memasuki regol. Sidanti dan Argajaya pun segera turun dari kuda mereka
dan menemui pemimpin penjaga regol itu. Namun ternyata pemimpin penjaga itu
terluka parah di lehernya.
“Kenapa?” bertanya Sidanti.
“Cambuk,” jawabnya
terengah-engah, “cambuk itu melilit leherku.”
Sidanti membelalakkan matanya.
Luka itu bukan sekedar selingkar jalur merah. Tetapi leher itu seakan-akan
tersobek.
“Panggil Ki Wasi atau Ki Muni.
Tugasnya cukup banyak di sini,” perintah Sidanti.
Ketika seorang penghubung
pergi memanggil dukun itu, maka Sidanti dan Argajaya dengan hati yang
bertanya-tanya menyaksikan bekas pertempuran yang agaknya cukup seru. Beberapa
orang telah terluka, dan bahkan ada yang cukup parah.
Hampir tidak masuk akal, bahwa
sepasukan kecil orang-orang berkuda itu mampu membuat keributan sedemikian
dahsyatnya di gardu-gardu dan di regol-regol di ujung jalan.
Ketika Sidanti melihat pemimpin
kelompok yang baru datang untuk memberikan bantuan ia bertanya, “Apakah kalian
selama ini tidur saja dan membiarkan orang-orang berkuda itu membantai kalian?”
“Mereka tidak terlampau
dahsyat seperti yang kita duga,” berkata pemimpin pengawal. “Benar juga, bahwa
mereka hanya sekedar mempergunakan kesempatan selagi kita terkejut dan
terheran-heran. Dan itulah kesalahan kita yang terbesar, yaitu menjadi heran
dan ternganga-ganga melihat kegilaan orang-orang berkuda itu. Tetapi
sebenarnyalah bahwa kami dari pasukan induk sama sekali belum mendapat
kesempatan untuk bertempur. Kami belum tahu, apakah mereka benar-benar orang
yang dapat dibanggakan di medan-medan peperangan yang sebenarnya.”
“Jadi kalian datang
terlambat?” bertanya Argajaya.
“Ya. Agak terlambat.”
“Apakah kalian belum siap
waktu penghubung dari regol penjagaan ini memberitahukan kedatangan orang-rang
berkuda itu. Bukankah sebelumnya tanda-tanda dan tengara sudah bergema di
seluruh padukuhan induk ini?”
“Kami sudah siap. Demikian
kami mendengar berita kedatangan pasukan berkuda itu, kami segera berangkat.”
“Menurut laporan yang kami
dengar, pintu regol ini telah berhasil di tutup.”
“Ya, mereka berhasil membuka
pintu.”
Sidanti dan Argajaya saling
berpandangan. Pasukan kecil ini ternyata adalah pasukan yang kuat dan
terpercaya. Dalam waktu yang singkat, mereka berhasil menguasai selarak pintu
dan membukakannya. Pada saat datang bantuan dari pasukan induk, mereka segera
berhasil melarikan diri.
Dan tiba-tiba saja Sidanti dan
Argajaya menjadi curiga. Di dalam pasukan yang kecil itu pasti ada
kekuatan-kekuatan yang luar biasa, yang membuat pasukan kecil itu seakan-akan
menjadi terlampau kuat.
Tanpa sesadarnya, maka
tiba-tiba Sidanti bertanya, “Apakah benar-benar ada orang-orang bercambuk di
antara mereka?”
“Sebagian terbesar yang
menumbuhkan luka-luka pada kami adalah ujung-ujung cambuk itu,” jawab pemimpin
penjaga yang masih terengah-engah.
“Ada berapa orang bercambuk di
antara mereka?”
“Lima atau enam orang.”
Sidanti dan Argajaya mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba Sidanti mengumpat, “Persetan! Benar juga kata guru.
Mereka adalah orang-orang licik yang ingin mempergunakan cara-cara yang kasar
untuk mempengaruhi keberanian kita. Mereka sengaja agar kita menyangka, bahwa
orang-orang bercambuk itu berada di antara mereka. Tetapi yang paling mungkin,
di antara mereka itu terdapat Argapati sendiri. Sehingga pasukan yang kecil itu
dapat menimbulkan kesan yang mengerikan.” Sidanti barhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi kita di sini bukan anak-anak yang dapat dikelabuhinya. Kita dapat
membuat perhitungan-perhitungan. Sehingga kita tidak dapat diperbodohnya
seperti kerbau yang paling dungu.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sependapat dengan Sidanti. Karena itu maka katanya kemudian,
“Tidak ada alasan untuk berkecil hati. Kita sampaikan semuanya ini kepada Ki
Tambak Wedi, apakah Ki Tambak Wedi itu sependapat dengan kita.”
Sidanti pun
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. “Baiklah,” katanya.
Mereka berdua pun segera
meninggalkan tempat itu, kembali menemui Ki Tambak Wedi untuk melaporkan apa
yang telah mereka saksikan. Dan ternyata Ki Tambak Wedi pun sependapat pula
dengan mereka.
“Kita memang tidak boleh
menunda terlampau lama. Kita harus segera menghancurkan mereka. Meskipun Ki
Argapati telah kuat untuk berpacu di atas punggung kuda, namun ia pasti masih
belum akan mampu bertempur terlampau lama. Aku akan mencoba memancingnya dalam
perkelahian yang lama, sehingga lukanya itu terasa mengganggunya,” berkata Ki
Tambak Wedi. “Karena itu semua persiapan harus segera diselesaikan. Kita harus
siap melawan lontaran-lontaran lembing dan anak panah. Karena itu, kita harus
menyiapkan perisai-perisai itu sebaik-baiknya. Setiap kelengahan akan sangat
merugikan kita. Kalau kita benar-benar menyiapkan diri, maka kita akan dapat
memastikan, benteng pring ori itu akan menjadi karang abang. Kita akan
memasukinya dan kita akan menghancurkan semuanya. Kita jangan memberi
kesempatan mereka mundur dan menemukan tempat-tempat baru untuk bertahan.”
Para pemimpin pasukan Ki
Tambak Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian
mereka telah menyebar lagi ke pasukan masing-masing.
“Beristirahatlah, Sidanti,”
berkata Ki Tambak Wedi, “tugasmu masih banyak.” Lalu kepada Argajaya, “Dan
apakah kau akan tinggal di sini atau kembali ke pasukan yang berada di rumahmu
itu?”
“Ya aku akan kembali. Pasukan
itu diperlukan besok, karena itu aku akan membawa pasukan yang ada di padukuhan
itu kemari.”
“Bagus,” sahut Ki Tambak Wedi,
“aku pun akan minta demikian. Kita dapat memanggil beberapa perjagaan di
daerah-daerah yang tersebar. Supaya kita mempunyai kekuatan yang cukup untuk
menghancurkan pertahanan Argapati itu.”
“Aku akan meninggalkan
beberapa orang secukupnya saja di padukuhan itu. Kalau kita besok menyerang,
maka Argapati pun pasti akan memusatkan segenap kekuatannya. Pasukannya pasti
tidak akan ada yang berkeliaran keluar.”
“Baiklah. Ambillah pasukan
yang ada di padukuhanmu. Pasukan di padukuhan-padukuhan kecil yang lain pun
harus ditarik besok siang. Kita himpun semua kekuatan yang ada, supaya kita
tidak perlu mengulangi serangan itu. Kita harus menyelesaikan persoalan kita
sendiri di atas Tanah ini lebih dahulu, sebelum pada suatu saat Pajang
mendengarnya dan ikut mencampuri persoalan di dalam lingkungan kita ini.”
“Nah, aku minta diri,” berkata
Argajaya, “aku harus menyiapkan segala sesuatunya.”
Argajaya pun kemudian
meninggalkan padukuhan induk itu bersama sepuluh orang pengawalnya, kembali ke
padukuhannya. Besok ia harus membawa seluruh pasukan yang ada di padukuhan itu,
untuk bersama-sama dengan seluruh kekuatan yang ada berusaha menghancurkan
pertahanan Ki Argapati.
Dalam pada itu pasukan berkuda
yang baru saja memasuki padukuhan induk itu semakin lama menjadi semakin jauh.
Ketika mereka yakin bahwa tidak ada lagi seorang pun, apalagi sepasukan lawan
yang mengejar, maka mereka pun mulai memperlambat kuda-kuda mereka. Pemimpin
pasukan itu mulai memperhatikan setiap orang yang terluka di dalam pasukannya,
dan bagi mereka yang memerlukan, gembala tua itu memberikan obat yang dapat
menolong untuk sementara.
“Tiga orang yang terluka
parah, Kiai,” berkata pemimpin pasukan, “sehingga mereka tidak lagi dapat
berkuda sendiri. Meskipun ada juga yang lain yang cukup parah, namun mereka
masih sanggup untuk bertahan. Apalagi yang hanya sekedar luka-luka karena
goresan senjata di bagian anggota badan.”
“Lalu bagaimana yang tiga
orang itu?”
“Aku sudah memerintahkan orang
lain untuk melayaninya.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Nanti aku akan mencoba mengobatinya.
Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan sampai di padukuhan kita,”
“Mudah-mudahan.”
Maka mereka pun kemudian
berusaha mempercepat kuda-kuda mereka. Kini bukan karena mereka harus
menghindari lawan yang jauh lebih kuat, tetapi mereka ingin segera sampai ke
pusat pertahanan mereka, agar yang terluka dapat segera diobati.
Namun ketika mereka sampai di
sebuah bulak yang panjang, tiba-tiba gembala tua itu berkata kepada pemimpin
pasukan, “Dahululah bersama seluruh pasukan. Aku dan kedua anak-anakku akan
singgah sebentar ke rumah untuk mengambil sesuatu.”
Pemimpin pasukan itu menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun gembala tua itu tersenyum sambil berkata, “Jangan
cemas. Jalan di depan kita cukup rata. Dan aku pun akan segera menyusul.”
Pemimpin pasukan itu
menganggukkan kepalanya, “Tetapi jangan terlampau lama, Kiai. Bukan karena kami
ketakutan apabila kami bertemu dengan lawan, tetapi kawan-kawan kami yang luka
itu segera memerlukan pengobatan.”
“Ya. Aku akan segera menyusul.”
Gembala tua itu pun kemudian
membawa kedua anaknya berbelok di satu tikungan. Mereka ingin kembali sebentar
menjenguk rumah mereka.
“Apa yang akan kita ambil?”
bertanya Gupala.
“Aku ingin bertemu dengan
Angger Sutawijaya,” desis orang tua itu. “Aku mendapat suatu pikiran baru. Aku
mengharap, menurut perhitunganku, Argapati akan tetap memegang pimpinan atas
tanah perdikan ini. Karena itu, sebaiknya Angger Sutawijaya sejak sekarang
telah menunjukkan atau memberikan jasanya, sehingga dengan demikian maka
Argapati akan merasa dirinya lebih dekat dengan Angger Sutawijaya daripada
dengan Sultan Pajang.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya, sedang Gupita bertanya, “Tetapi apakah mungkin akan ada pertentangan
antara Pajang dengan Raden Ngabehi Loring Pasar itu?”
Gurunya menarik nafas
dalam-dalam. Perlahan-lahan kepalanya di geleng-gelengkannya. Namun agaknya ia
tidak yakin atas apa yang akan terjadi. “Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan
itu,” desisnya. “Mudah-mudahan tidak terjadi benturan-benturan lahir yang hanya
akan menambah korban.”
Gupala dan Gupita kemudian
tidak bertanya-tanya lagi. Mereka berpacu ke gubug mereka untuk menemui
Sutawijaya dengan kedua pengiringnya.
Sutawijaya yang sedang
berbaring di dalam gubug gembala tua itu terkejut ketika didengarnya derap kuda
mendekat. Segera ia meloncat bangkit sambil menyambar tombak yang
disandarkannya pada dinding. Ketika ia berdiri di depan pintu, dilihatnya kedua
pembantunya pun telah bersiap pula menunggu perkembangan keadaan.
Mereka menjadi semakin
berdebar-debar ketika ternyata derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat.
Namun mereka kemudian menjadi tenang ketika mereka mendengar ledakan cambuk
yang memecah sepinya malam.
Sejenak kemudian, maka gembala
tua beserta kedua anak-anaknya itu pun telah turun dari kuda-kuda mereka.
Sambil mengikatkan kuda-kuda itu pada sebatang pepohonan, gembala itu berkata,
“Aku sengaja memberikan tanda, agar Angger tidak terkejut atas kedatangan kami,
karena kami kali ini berkuda.”
“Dada kami telah menjadi berdebar-debar,”
berkata Sutawijaya. “Aku sangka Ki Tambak Wedi telah mencium jejak kami dan
bersama-sama dengan Argajaya dan Sidanti berusaha menangkap kami.”
Orang tua itu tersenyum.
“Ternyata dugaan itu meleset.” Katanya, “Tetapi, apabila Angger tidak berkeberatan,
aku ingin menyampaikan suatu pendapat yang barangkali baik bagi Angger.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya.
“Aku hanya sebentar, Ngger.
Mungkin Angger dapat segera memutuskan persoalan ini.”
Sorot mata Sutawijaya
memancarkan berbagai macam pertanyaan.
Maka dengan singkat
disampaikannya maksud gembala tua itu. Diberikannya beberapa macam pertimbangan
yang cukup meyakinkan, setidak-tidaknya agar Argapati kelak tidak merintangi
perkembangan Alas Mentaok.
Sutawijaya mendengarkannya
dengan penuh minat. Namun tampaklah bahwa ia masih saja dicengkam oleh ke
ragu-raguan.
“Argapati adalah seorang yang
keras hati menurut pendengaranku, Kiai,” berkata Sutawijaya.
“Ya, ia memang keras hati.
Tetapi bukan berarti bahwa ia tidak berjantung. Kalau ia merasa, bahwa Angger
telah ikut menolongnya, maka ia pasti mempunyai pertimbangan-pertimbangan
lain.”
“Apakah Argapati dapat
diharapkan menjual kesetiaannya dengan cara itu?”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun katanya, “Memang mungkin Argapati berpendirian demikian,
Ngger. Tetapi apakah sampai saat ini kita mengetahui sikap dan tanggapan Kepala
Tanah Perdikan yang besar itu terhadap Sultan Pajang? Memang, ia tidak mau
menentang Pajang dan melindungi anak serta adiknya, karena tingkah laku keduanya.
Argapati pasti mempertimbangkan juga, peranan Ki Tambak Wedi yang lebih banyak
dikuasai oleh nafsu daripada cita-cita.”
Sutawijaya tidak segera
menyahut. Tampaklah kepalanya terangguk-angguk kecil. Meskipun demikian ia
masih merenungi kata-kata gembala tua itu.
“Angger Sutawijaya,” berkata
orang tua itu seterusnya, “pertimbangan selanjutnya terserah kepada Angger.
Tetapi menurut pertimbanganku, apakah salahnya Angger memperkenalkan diri
kepada Ki Argapati?”
Sutawijaya masih belum
menjawab. Meskipun tidak terucapkan ia mempunyai pertimbangan tersendiri.
Apabila kini ia bersusah payah menyerahkan tenaganya, membantu dengan harapan
agar Argapati kelak tidak mengganggu pertumbuhan Mentaok untuk menjadi sebuah
kota, tetapi ternyata harapannya itu meleset, maka ia akan merasa tersinggung
sekali.
Tetapi untuk sama sekali tidak
berbuat sesuatu dalam keadaan serupa itu, akan dapat menimbulkan jarak pula
antara dirinya dengan Ki Argapati meskipun mereka belum saling bertemu. Kalau
Ki Argapati kelak mengetahui, bahwa pada saat tanahnya sedang kemelut dibakar
oleh api perpecahan, dan ia pada saat itu berada di Menoreh dan sama sekali
tidak berbuat apa-apa, maka Argapati pun pasti akan mengambil sikap pula.
“Apakah Ayahanda Sultan Pajang
akan berbuat sesuatu apabila Ayahanda mengetahui bahwa di atas tanah ini
terjadi benturan di antara mereka?” ia bertanya di dalam hatinya. “Apabila
tiba-tiba saja Sultan Pajang mengirimkan bantuan kepada Argapati, maka
kedudukanku pasti akan terdesak. Terdesak dari dua arah. Dari Timur dan dari
seberang Kali Progo.”
Dalam kebimbangan itu
terdengar gembala tua itu berkata, “Waktuku hanya sebentar. Sedang pertentangan
ini berkembang terlampau cepat. Mungkin bahkan malam ini Ki Tambak Wedi akan
menyusul kami menyerang pemusatan pasukan Argapati. Tetapi mungkin juga besok
pagi. Apakah Angger Sutawijaya sudah dapat mengambil keputusan?”
Sutawidiyaya menarik nafas
dalam-dalam. Ia masih saja dicengkam oleh kebimbangan. Sejenak ditatapnya wajah
gembala tua itu, kedua anak-anaknya dan kemudian kedua pengawalnya.
“Aku memerlukan kedua
anak-anak muda itu kelak,” desisnya di dalam hati. “Kalau mereka bersedia
membantu aku, maka aku langsung akan menguasai daerah Sangkal Putung dan pasti
juga Jati Anom. Jalur antara Mentaok, Alas Tambak Baya, Prambanan, Benda,
Sangkal Putung, Macanan langsung ke Jati Anom akan aku kuasai.”
Akhirnya Sutawijaya itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kiai, baiklah. Aku akan membantu
Argapati. Tetapi bukan berarti bahwa aku sendirilah yang harus melakukannya.
Biarlah kedua kawan-kawanku itu pergi bersama Kiai.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Sejenak dipandanginya kedua pengawal Sutawijaya itu. Sepercik
keragu-raguan memencar di dalam sorot matanya.
“Kiai,” berkata Sutawijaya
sambil tersenyum, “keduanya adalah orang-orang kepercayaan Ayah Ki Gede
Pemanahan. Mereka berdua adalah kawan-kawanku bermain-main. Jika ada perbedaan
antara keduanya dan aku sendiri jarak itu tidak akan terlampau jauh. Meskipun
keduanya masih juga belum dapat menyamai kedua gembala-gembala muda itu. Tetapi
aku percaya kepada keduanya.”
“Ah,” salah seorang dari kedua
pengawal itu berdesah, “terima kasih atas pujian itu. Tetapi aku harap bahwa
Kiai tidak akan kecewa apabila ternyata aku hanya dapat meloncat-loncat.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti alasan Sutawijaya. Kenapa
ia tidak mau langsung terjun ke medan pertentangan itu sendiri.
Namun orang tua itu kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih. Hal ini pasti sudah akan
membuat hubungan antara Mentaok kelak dengan Menoreh menjadi lebih baik.
Meskipun kali ini Angger Sutawijaya sendiri belum langsung menanganinya, namun
bantuan Angger ini pasti akan sangat berarti.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. “Maaf, Kiai,” jawabnya, “aku sendiri masih ingin beristirahat.
Entahlah apabila nanti aku berubah pendirian. Tetapi kedua orang kawan-kawanku
itu pasti akan sama artinya dengan aku sendiri.”
“Ya, demikianlah.”
“Nah,” berkata Sutawijaya
kemudian kepada kedua kawannya, “pergilah kalian mewakili aku.” Lalu kepada
orang tua itu, “Paman Hanggapati dan paman Dipasanga akan menempatkan dirinya
di bawah perintah, Kiai. Tetapi ingat, Kiai, keduanya aku serahkan kepada Kiai,
tidak kepada orang lain, sehingga tanggung jawab atas keduanya ada pada Kiai.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah, Ngger. Tetapi kehadiran keduanya
akan menjadi suatu kenyataan, bahwa Angger telah berusaha mendekatkan diri.
Bahkan Angger telah mulai menjalin hubungan yang baik antara Mentaok yang akan
lahir dan Menoreh.”
“Mudah-mudahan, Kiai.
Selanjutnya aku akan tetap berada di sini. Aku akan menunggui gubug ini, ketela
pohon yang sudah mulai dapat diambil hasilnya, kambing-kambing, dan api.”
“Kenapa api?”
“Kambing-kambing itu
memerlukan api.”
“Ah,” gembala tua itu
tersenyum. “Baiklah. Sekarang aku minta diri. Mudah-mudahan hubungan yang telah
dirintis ini kelak akan berguna. Berguna bagi Angger Sutawijaya dan berguna
bagi Argapati.”
“Mudah-mudahan, Kiai.
Mudah-mudahan.”
“Baiklah. Kini aku minta diri.
Waktuku terlampau sempit. Orang-orang yang terluka itu memerlukan bantuanku.”
“Silahkanlah, Kiai. Agaknya
Kiai baru saja membawa sepasukan pengawal berkeliling daerah ini.”
“Ya, di antara mereka ada yang
terluka parah.”
Gembala tua itu pun kemudian
meninggalkan Sutawijaya seorang diri karena kedua kawannya ikut bersamanya.
Mereka terpaksa mempergunakan setiap ekor kuda untuk dua orang. Hanggapati
bersama Gupala dan Dipasanga bersama Gupita.
Dengan demikian maka laju kuda-kuda
mereka tidak dapat terlampau cepat. Namun meskipun demikian akhirya mereka
sampai juga ke mulut regol padukuhan yang dilingkari pring ori itu.
Ternyata kedatangan mereka
telah mengejutkan para penjaga. Bahkan Samekta yang ada di depan regol pun terkejut
pula melihat gembala tua itu datang bersama orang baru lagi. “Siapakah mereka?”
bertanya Samekta.
“Kalian akan berterima kasih
atas kedatangannya. Tetapi marilah kita bersama-sama menghadap Ki Argapati. Aku
mempunyai sebuah ceritera tentang kedua kawan baruku ini.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas pusat pertahanan ini, Samekta tidak
segera menerima ajakan itu.
“Apakah Ki Samekta
berkeberatan?” bertanya gembala tua itu.
“Bukan begitu, Kiai. Tetapi
aku masih belum mengerti, apakah kepentingan Ki Sanak berdua ini untuk bertemu
dengan Ki Argapati.”
“Itulah yang akan dikatakannya
nanti. Aku kira Ki Argapati pun belum mengenal keduanya. Tetapi aku akan
menjadi tanggungan, bahwa keduanya tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan
kita bersama.”
Samekta masih ragu-ragu.
Bahkan sepercik pertanyaan membersit di dadanya, “Apakah orang-orang ini tidak
mungkin sengaja diselundupkan oleh Sidanti?”
Karena Ki Samekta masih
ragu-ragu, maka gembala tua itu mencoba menjelaskannya, “Kami akan memberikan
beberapa keterangan. Kalau Ki Argapati tidak menghendaki, biarlah kedua
kawan-kawanku ini meninggalkan padukuhan ini.”
Ki Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Sekali ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat Wrahasta untuk dimintai
pertimbangannya. Agaknya Wrahasta sedang beristirahat, atau bahkan mungkin
sedang tidur karena ialah yang sedang bertugas malam ini.
Baru setelah ia berpikir
sejenak, maka berkatalah Samekta, “Baiklah, marilah aku antarkan kalian
menghadap Ki Argapati.”
Mereka pun kemudian pergi ke
pemondokan Ki Argapati. Meskipun malam semakin mendekati akhirnya, namun
Samekta mencoba juga untuk masuk ke rumah dan menengok bilik Ki Argapati.
Derit pintu bilik itu, agaknya
telah membangunkan Ki Argapati. Perlahan-lahan ia menyapa, “Siapa di luar?”
“Aku, Ki Gede. Samekta.”
“O, masuklah.”
Samekta pun kemudian melangkah
masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Dikatakannya semuanya tentang gembala tua itu
beserta kedua kawan-kawannya yang baru.
Sejenak Ki Argapati berpikir. Namun
kemudian ia berkata, “Aku percaya kepada gembala tua itu. Biarlah ia datang
kemari.”
Kemudian gembala tua itu pun
segera dipersilahkannya masuk bersama kedua pengawal Sutawijaya. Sedang Gupala
dan Gupita menunggu mereka di serambi depan.
“Marilah, Kiai,” berkata Ki
Argapati, “aku sudah mendengar laporan tentang pasukan berkuda itu. Aku sangat
berterima kasih kepadamu. Sebab perjalanan ini ternyata telah memberikan
dorongan yang luar biasa atas tekad dan gairah perjuangan anak-anak Menoreh.
Bukan saja mereka yang ikut di dalam pasukan berkuda itu, tetapi cerita mereka
tentang perjalanan mereka ternyata mempunyai akibat yang sangat baik.”
“Terima kasih, Ki Gede. Tetapi
sayang, bahwa di antara mereka ada yang terluka parah.”
“Ya, memang terlampau sulit
untuk menghindarinya. Dalam permainan senjata kadang-kadang kita memang akan
terdorong karenanya. Itu adalah akibat yang sangat wajar.”
“Dan aku pun akan segera
mengobati mereka.” berkata gembala tua itu. Kemudian, “Namun sebelumnya aku
ingin memperkenalkan kedua kawan-kawanku ini.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. “Siapakah mereka itu?”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah Ki Argapati pernah
mengenal anak muda yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Ki Argapati menganggukkan
kepalanya. “Ya. Aku pernah mendengar meskipun aku belum pernah mengenalnya dari
dekat. Bukankah anak muda itu Putra angkat Sultan Hadiwijaya?”
“Tepat. Dan kedua orang ini
adalah orang-orang kepercayaannya. Yang seorang bernama Hanggapati dan yang
lain Dipasanga.”
“O,” Ki Argapati yang kemudian
duduk di pinggir pembaringannya menganggukkan kepalanya. “Maaf. Aku belum tahu
sebelumnya.”
Kedua orang itu pun mengangguk
pula. Hanggapati menjawab, “Kami pun minta maaf, bahwa kami telah mengganggu Ki
Gede.”
“Tidak,” gembala tua itulah
yang memotongnya, “kalian berdua sama sekali tidak menggangu.” Lalu kepada Ki
Gede ia menceriterakan maksud kedatangan kedua orang itu. Meskipun ia sama
sekali tidak mengatakan bahwa saat itu, Sutawijaya pun sedang berada di
Menoreh.
“Keduanya diutus untuk melihat
keadaan di Tanah Perdikan ini,” berkata gembala tua itu. “Namun dalam keadaan
yang kalut serupa ini, keduanya diberi wewenang untuk mengambil sikap. Sidanti
dan Argajaya adalah orang-orang yang pernah secara langsung dan pribadi
mempunyai persoalan dengan Angger Sutawijaya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, “Aku akan sangat berterima
kasih sekali atas perhatian itu. Lalu, apakah yang akan kalian lakukan selanjutnya?”
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku akan menyerahkan tenagaku yang
tidak berarti ini. Apakah yang akan dapat aku lakukan, dan sudah tentu demikian
juga Adi Dipasanga, pasti akan kami lakukan.”
“Terima kasih. Aku akan sangat
berterima kasih.” Kemudian Ki Gede berpaling kepada Samekta, “Inilah pimpinan
yang aku serahi tanggung jawab atas pasukan Menoreh. Nah, bantuan kalian berdua
akan diterimanya dengan kedua belah tangan.”
Samekta pun kemudian
menganggukkan kepalanya. Katanya, “Di dalam pergolakan seperti ini, maka setiap
kekuatan akan sangat berarti bagi kami. Dan kami akan mengucapkan terima
kasih.”
Kedua orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, mereka mencoba untuk
mengerti dan menyesuaikan dirinya. Sebenarnya keduanya tidak terlampau banyak
mengerti, persoalan-persoalan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh,
dan persoalan-persoalan apa yang pernah timbul antara mereka, para penghuni
Tanah Perdikan ini dengan Sutawijaya. Tetapi karena perintah anak muda itulah,
maka ia berada di tengah-tengah pergolakan yang sedang membakar Tanah Perdikan
ini.
“Untuk seterusnya,” berkata
Hanggapati kemudian, “kami memerlukan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah,
apakah yang harus kami lakukan, karena kami belum banyak mengerti tentang
persoalan yang sedang di hadapi oleh Ki Gede Menoreh.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tentu kami akan berusaha untuk
menunjukkan arah perjuangan kami untuk menegakkan kesatuan kembali setelah
beberapa saat Tanah ini dipecah oleh nafsu yang tidak terkendalikan dari
seorang yang menyebut dirinya Ki Tambak Wedi. Tetapi, bukan maksud kami untuk
memberikan perintah kepada Ki Sanak berdua, namun kami ingin menempatkan Ki
Sanak berdua bersama dengan Kiai Dukun atau gembala tua itu, atau apa pun
namanya, dalam satu pertukaran pikiran menghadapi keadaan yang semakin
memuncak.”
Gembala tua itu tersenyum.
Katanya, “Kenapa Ki Gede kebingungan menyebut jabatanku?”
Ki Gede pun tersenyum pula.
Katanya kemudian, “Nah, sekarang kalian kami persilahkan untuk beristirahat
sejenak. Pasukan berkuda itu pasti membuat Ki Tambak Wedi menjadi marah.
Sehingga dengan demikian perkembangan keadaan akan dapat dipercepat.”
“Ya, kemungkinan itu memang
ada,” jawab gembala tua itu.
“Karena itu, aku akan minta
kalian nanti, apabila kalian telah beristirahat meskipun sejenak, untuk
membicarakan masalah yang menjadi semakin memuncak ini.”
“Baiklah,” jawab gembala tua
itu, “sekarang aku minta diri. Orang-orang yang terluka memerlukan segera
mendapat pertolongan. Pertolongan darurat itu hanya dapat menolong dalam waktu
yang sangat terbatas.”
“Silahkan, Kiai.”
Sejenak kemudian gembala tua
beserta kedua orang kepercayaan Sutawijaya itu pun meninggalkan ruangan itu.
Bersama dengan Gupala dan Gupita mereka diantar ke tempat yang telah disediakan
untuk mereka. Tetapi gembala tua itu kemudian meninggalkan kedua orang
kepercayaan Sutawijaya itu beserta Gupala dan Gupita. Ia sendiri pergi untuk
mengobati orang-orang yang terluka pada saat mereka memasuki padukuhan induk
Tanah Perdikan Menoreh. Sedang Samekta, setelah berbicara beberapa lama dengan
Ki Argapati, kemudian pergi ke regol padukuhan untuk memimpin langsung
pengawasan terhadap setiap kemungkinan.
Wrahasta yang kemudian
mendengar dari Samekta, bahwa telah datang dua orang kepercayaan Sutawijaya
yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, menjadi ragu-ragu pula. Katanya,
“Apakah kau yakin tentang kedua orang itu?”
“Meskipun mereka berpakaian
sederhana seperti kita, tetapi menilik sikapnya, mereka adalah
prajurit-prajurit dari istana Pajang. Atau setidak-tidaknya mereka adalah
orang-orang istana,” jawab Samekta.
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Gumamnya, “Mudah-mudahan.”
Dalam pada itu, Samekta pun
telah meningkatkan kewaspadaannya pula. Mereka menyadari bahwa akibat pasukan
berkuda yang menyusup ke padukuhan induk itu, pasti akan mempercepat tindakan
Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka setiap jengkal tanah kini tidak terlepas dari
pengawasan dan pertahanan.
Ketika matahari kemudian
mendaki langit di ujung Timur, maka Ki Argapati pun telah memanggil beberapa
orang yang pantas untuk dibawa membicarakan masalah yang dihadapi oleh Tanah
Perdikan Menoreh. Di antara mereka adalah Samekta, Wrahasta, gembala tua yang
cakap mengobati itu, dan kedua orang kepercayaan Sutawijaya, Hanggapati dan
Dipasanga. Sedang Gupala dan Gupita harus tinggal saja di luar sambil menunggu
perkembangan pembicaraan itu.
Sementara itu, ketika keduanya
sedang duduk di halaman sambil berbicara tentang apa saja, tentang juntai yang
berwarna kekuning-kuningan yang kini dililitkan di leher baju Gupala, sampai
kepada kambing-kambing yang mereka tinggalkan, dari balik daun pintu samping
sepasang mata sedang mengawasi mereka. Sepasang mata seorang gadis yang membawa
pedang rangkap di kedua belah lambungnya.
Gadis itu, Pandan Wangi
melihat kedua anak-anak muda itu dengan kesan yang aneh. Gupita adalah seorang
anak muda yang mengagumkan. Tenang dan memiliki kemampuan yang tinggi. Tingkah
lakunya kadang-kadang menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Ada beberapa
pertentangan sifat yang dilihatnya pada anak muda itu. Anak muda itu
kadang-kadang bersikap acuh tak acuh dan bahkan kekanak-kanakan. Namun
kadang-kadang menjadi bersungguh-sungguh dan seakan-akan seorang perasa.
Sedang yang seorang lagi yang
diakuinya sebagai saudaranya adalah seorang anak muda yang gemuk, yang memiliki
kekhususan pula. Wajahnya terlampau cerah, dan bibirnya selalu dihiasi dengan
senyum dan tawa. Anak muda yang gemuk itu seakan-akan tidak pernah menyimpan
persoalan yang bersungguh-sungguh di dalam hatinya. Wajahnya yang bersih dan
bulat itu menimbulkan kesan tersendiri di hati Pandan Wangi.
Pandan Wangi terkejut ketika
ia mendengar suara perempuan tua penghuni rumah itu memanggilnya. Dengan
tergesa-gesa ia pergi mendapatkannya, “Ada apa, Bibi?”
“Air panas itu telah tersedia
bersama beberapa potong makanan.”
“Oh,” Pandan Wangi yang
meskipun membawa sepasang pedang rangkap itu pun segera mengetahui tugasnya.
Dicarinya sebuah nampan kayu untuk membawa minuman dan makanan itu ke dalam
bilik Ayahnya, tempat orang-orang terpenting sedang berbicara tentang nasib
Tanah Perdikan ini.
Ketika Pandan Wangi masuk ke
dalam bilik ayahnya, agaknya pembicaraan telah menjadi terlampau jauh, sehingga
apa yang didengarnya tidak dapat dimengertinya. Ia hanya mendengar kata-kata
ayahnya, bahwa lukanya telah jauh berkurang. “Aku telah mampu turun ke medan
apabila setiap saat Ki Tambak Wedi menghendaki.”
Pandan Wangi tertegun sejenak.
Ia menjadi berdebar-debar. Apakah ayahnya benar-benar akan langsung memimpin
peperangan dalam keadaannya itu. Ketika ia berpaling memandangi wajah ayahnya,
ia melihat ayahnya itu tersenyum kepadanya. “Aku benar-benar sudah menjadi
baik, Pandan Wangi. Mungkin aku belum pulih kembali seperti sediakala. Tetapi tenagaku
agaknya sudah cukup memadai.”
“Tetapi,” Pandan Wangi menjadi
ragu.
“Kau meragukan?”
“Ya, Ayah.”
“Itu adalah wajar sekali,
Wangi. Tetapi ternyata obat yang diberikannya kepadaku akhir-akhir ini adalah
obat yang tiada taranya. Lukaku telah hampir menjadi sembuh sama sekali.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Disambarnya sekilas dengan sudut matanya, Samekta, Wrahasta,
kemudian dua orang yang baru saja hadir di padukuhan itu. Namun Pandan Wangi
tidak berkata apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia melangkah keluar sambil
menjinjing nampan kayu.
Sepeninggal Pandan Wangi, maka
mereka pun melanjutkan pembicaraan mereka sehingga akhirnya mereka menemukan
suatu kesimpulan.
“Nah, begitulah,” berkata Ki
Argapati, “aku tidak dapat berbuat lain daripada menerima saran itu.”
“Tetapi itu berbahaya sekali,
Ki Gede,” berkata Wrahasta.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang cara ini dapat menimbukan akibat yang
besar bagi pertahanan kita. Tetapi apabila berhasil, maka jalan selanjutnya
pasti sudah terbuka.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Bahkan kemudian ia menggeram, “Sejak semula aku ingin menyandarkan
segala persoalan atas kekuatan dan perhitungan imbangan kekuataan di antara
kita sendiri. Kita akan meyakini segala persoalan tanpa ragu-ragu.”
“Aku sependapat dengan kau,
Wrahasta,” berkata Ki Argapati, “tetapi kita tidak dapat mengingkari kenyataan
yang kita hadapi. Dan apakah keberatan kita atas segala kebaikan hati dari
mereka yang memang mempunyai persoalan dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya?”
Wrahasta tidak segera
menyahut.
“Aku dapat meyakinkan kau,
Wrahasta, bahwa tidak ada pamrih apa pun pada mereka. Apalagi kedua orang
kepercayaan putera Sultan Pajang. Adalah hak mereka untuk berbuat sesuatu
terhadap orang-orang yang mempunyai persoalan dengan mereka. Dan adalah
kebetulan sekali bahwa kita bersama-sama mempunyai persoalan yang dapat di
ambil arah sejalan. Tetapi jangan takut, bahwa aku telah mengorbankan
kepentingan tanah perdikan ini. Bahwa aku telah menjual beberapa kepentingan
karena aku ingin mempertahankan kedudukanku sebagai kepala tanah perdikan.”
Ki Argapati terdiam sejenak.
Lalu, “Bukankah kau mendengarkan pembicaraan ini dari mula sampai akhir,
sehingga kau tidak menemukan bentuk-bentuk perjanjian atau imbalan apa pun atas
mereka itu? Kita secara kebetulan mempunyai kepentingan yang sama, yang dapat
saling membantu. Itulah masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Jadi, bentuk
kerja sama ini agak berbeda dari Ki Peda Sura dan orang-orangnya, bahkan
orang-orang lain lagi yang datang atas permintaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan
Sidanti. Kepada setiap bantuan yang aku terima sama sekali bukan karena aku
menawarkan apa pun juga sebagai imbalannya.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya perlahan-lahan.
“Nah, apakah kau dapat
mengerti?”
“Aku mengerti, Ki Gede,”
jawabnya. “Tetapi tidak semua orang tidak berpamrih seperti mereka yang ada di
dalam ruangan ini. Meskipun mereka tidak menginginkan imbalan yang berupa harta
benda atau kedudukan, tetapi masih mungkin ada pamrih-pamrih lain yang
mendorong mereka untuk berkorban apa saja.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. “Apakah kau dapat menyebutkan, Wrahasta?”
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengucapkannya, meskipun serasa menyesak di dalam
dadanya.
“Katakanlah, Wrahasta,” desak
Ki Argapati. “Jangan ragu-ragu. Semua ini untuk kebaikan kita bersama?”
Tetapi Wrahasta menggelengkan
kepalanya. “Tidak, Ki Gede. Aku hanya sekedar berprasangka.”
Ki Argapati memandang wajah
Wrahasta dengan tajamnya. Tetapi wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu
menunduk.
Namun Ki Argapati itu kemudian
berkata, “Baiklah. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Memang kita
masing-masing pasti mempunyai pamrih. Tetapi tidak sekedar pamrih pribadi.”
Hampir saja Wrahasta menyahut.
Justru pamrih pribadilah yang mendorong anak gembala itu menyediakan dirinya,
bahkan dengan seluruh keluarganya untuk membantu Ki Argapati. Tetapi untunglah
bahwa ia masih mampu menahan perasaannya itu. Sehingga apa yang telah hampir
terucapkan itu seolah-olah ditelannya kembali.
Dengan demikian, maka ruangan
itu di sambut oleh kesepian sejenak. Kemudian terdengar Ki Argapati berkata,
“Apakah masih ada persoalan yang akan kita bicarakan?”
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“Baiklah. Kalau tidak, aku akan
mengambil keputusan. Semua dilaksanakan seperti rencana tersebut. Apabila
terdapat kesulitan, kita akan melihat perkembangan suasana.” Kemudian kepada
Samekta ia berkata, “Aturlah semua persiapan, Samekta. Sampaikan semua
keputusan ini kepada pemimpin-pemimpin yang terpercaya. Kerti dapat kau panggil
dan kau tempatkan di padukuhan ini pula.”
“Ya, Ki Gede.”
“Jagalah baik-baik, bahwa
masalah-masalah terpenting hanya boleh kita ketahui bersama.”
“Ya, Ki Gede,” jawab Samekta
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang, mulailah dengan
segala macam persiapan. Aku akan mencoba memantapkan diriku sendiri, sehingga
apabila setiap saat aku harus turun ke medan perang, seperti yang direncanakan,
aku tidak akan mengecewakan.”
“Silahkan, Ki Gede. Kami minta
diri.”
“Aku sangat berterima kasih
kepada kesediaan kalian, baik dari keluarga Tanah ini maupun yang menaruh
perhatian terhadap keadaannya. Mudah-mudahan kita berhasil.”
Orang-orang yang berada di
dalam bilik Ki Gede itu pun kemudian bersama-sama meninggalkannya.
Masing-masing pergi ke tempatnya. Gembala tua dan kedua orang kepercayaan
Sutawijaya itu kemudian kembali ke tempat yang sudah disediakan untuk mereka
bersama-sama dengan Gupala dan Gupita. Seperti orang-orang Menoreh, mereka pun
harus mempersiapkan diri mereka apabila setiap saat mereka harus turun ke
medan.
Gupala dan Gupita pun kemudian
mendapat petunjuk-petunjuk dari gurunya. Apa yang harus mereka kerjakan apabila
waktunya telah datang.
“Apakah Ki Argapati tahu
dengan pasti, kapan Ki Tambak Wedi akan menyerang?” bertanya Gupita.
Gurunya menggelengkan
kepalanya, “Belum. Namun kita harus memperhitungkan bahwa setiap saat hal itu
dapat terjadi, sehingga kita harus dapat melakukannya setiap saat pula.
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun kemudian Gupala bertanya, “Tetapi apakah Pandan Wangi dapat
dipercaya untuk melakukan tugasnya itu?”
“Menurut Ki Argapati, ia
percaya bahwa Pandan Wangi akan dapat melakukannya.”
“Pekerjaan itu memang terlalu
berat untuknya. Tetapi mudah-mudahan ia berhasil,” gumam Gupita.
Gurunya tidak menyahut. Tetapi
tatapan matanya jauh menembus cahaya matahari yang bermain di halaman, hinggap
pada bayangan dedaunan yang bergerak-gerak dihembus angin yang lemah.
Ruangan itu pun kemudian
sejenak disambar oleh kesenyapan. Namun kemudian Gupala dan Gupita minta diri
untuk berada di halaman, karena udara yang terlampau panas.
Dengan dada yang
berdebar-debar mereka menyaksikan kesibukan para pengawal. Persiapan-persiapan
yang semakin memuncak karena perkembangan keadaan yang memuncak pula.
Apalagi setelah beberapa orang
petugas sandi sempat melaporkan, bahwa mereka pun melihat persiapan yang matang
pada pasukan Ki Tambak Wedi.
“Tidak akan lebih dari malam
nanti,” desis Gupita.
“Ya. Aku kira malam nanti Ki
Tambak Wedi akan datang,” jawab Gupala. “Namun cara yang akan kita pergunakan
cukup menarik.”
“Tetapi juga sangat berbahaya
bagi Ki Argapati dan Pandan Wangi itu sendiri,” gumam Gupita. “Tetapi kita
tidak dapat berbuat banyak.”
“Kalau aku diperkenankan, aku
akan bertempur bersamanya,” desis Gupala.
Gupita mengerutkan keningnya.
Ketika ia berpaling ke arah anak muda yang gemuk itu, tiba-tiba Gupala tertawa
sambil berdiri.
Namun ia masih juga berkata,
“Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan.”
“Dalam hiruk-pikuk serupa ini,
kau masih sempat juga mimpi.”
“Mimpi yang paling
mengasyikkan justru apabila kita tidak sedang tidur nyenyak. Bukankah begitu?
Dalam hiruk-pikuk yang beginilah kadang-kadang kita menemukan suatu
perkembangan jalan hidup kita tanpa kita duga-duga. Bukankah dalam hiruk-pikuk
juga kau bertemu dengan seorang gadis, justru pada suatu saat yang menentukan
buat Sangkal Putung?”
“Ah,” Gupita berdesah. Dan
Gupala masih juga tertawa berkepanjangan sambil meninggalkan Gupita yang masih
duduk di tempatnya seorang diri.
Sejenak bayangan seorang gadis
yang manja dan keras hati melintas di dalam kepalanya. Kemudian disusul oleh
sebuah bayangan yang lain. Seorang gadis yang dalam keadaan terakhir selalu
membawa sepasang pedang rangkap di lambungnya.
Gupita kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ah, lebih baik aku membuat
pertimbangan-pertimbangan tentang setiap kemungkinan yang dapat terjadi di
padukuhan ini.”
Namun tiba-tiba ia berpaling
ketika ia melihat seseorang mendatanginya. Seorang anak muda yang bertubuh
raksasa.
Dada Gupita menjadi
berdebar-debar melihat wajah Wrahasta yang tampak bersungguh-sungguh. Beberapa
langkah daripadanya Wrahasta berhenti. Diedarkannya pandangan matanya ke
seluruh halaman, tetapi ketika tidak ada seorang pun yang dilihatnya, maka ia
pun segera melangkah beberapa langkah lagi.
“Gupita,” suaranya bernada
berat, “aku masih tetap pada pendirianku. Aku tidak menghendaki kau hadir di
sini. Tetapi agaknya ayahmu mendapat tempat di hati Ki Argapati. Karena itu, aku
perlu memperingatkan kau sekali lagi, bahwa kau tidak disukai di padukuhan
ini.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak senang selalu mendapat pringatan semacam itu. Meskipun
demikian ia masih harus tetap menjaga dirinya. Namun meskipun demikian ia
menjawab, “Wrahasta. Aku tidak akan bersitegang untuk tinggal di padukuhanmu.
Pada suatu ketika apabila pekerjaanku sudah selesai, maka aku pun akan segera
pergi. Disukai atau tidak disukai, namun aku harus melakukan tugas yang
dibebankan kepadaku. Baik oleh ayah maupun oleh Ki Argapati.”
“Aku mengharap kau memegang
janjimu. Kalau tidak, maka setelah semua persoalan di atas tanah perdikan ini
selesai, kau akan menyesal. Kalau kau tidak menepatinya, maka kita harus
membuat perhitungan tersendiri.”
Dada Gupita berdesir. Tetapi
ia tidak menjawab. Dibiarkannya Wrahasta berbalik dan melangkah
meninggalkannya. Hampir tanpa berkedip Gupita memandang langkah itu. Langkah
yang tegap penuh keyakinan pada diri sendiri. Tetapi kemudian Gupita menjadi
kecewa, bahkan menaruh belas kasihan kepada raksasa itu.
Meskipun demikian. Gupita
masih selalu berusaha untuk menguasai diri. Apalagi keadaan sudah menjadi
sedemikian panasnya. Keadaan yang tidak dikehendaki akan segera dapat meletus
setiap saat. Mungkin sebentar lagi. Mungkin di saat senja mulai turun, atau
mungkin pada saat matahari tepat meluncur ke balik perbukitan. Tetapi mungkin
juga setelah malam menjadi kelam atau mungkin juga tidak sama sekali di
hari-hari yang dekat ini. Meskipun demikian, Gupita menyadari bahwa kekuatan
seutuhnya sedang diperlukan untuk menanggapi keadaan yang telah memuncak ini.
Matahari pun semakin lama
menjadi semakin tergeser ke Barat. Di saat-saat cahayanya menjadi
kemerah-merahan, maka para pengawal menjadi kian sibuk. Hari itu ternyata telah
mereka lampaui tanpa ada sesuatu peristiwa apa pun. Namun dengan demikian, maka
mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka mempunyai dugaan kuat, bahwa Ki
Tambak Wedi akan mengambil kesempatan di malam hari.
Karena itu, maka segala macam
persiapan pun dilakukan. Alat-alat pelontar dan berbagai macam senjata jarak
jauh. Senjata yang paling sederhana, pelontar batu, sampai pada panah-panah
yang hampir tidak terhitung jumlahnya.
Pada saat yang demikian,
Gupala, Gupita, dan gurunya telah siap pula untuk melakukan rencana yang telah
disetujui bersama. Bersama sepasukan pengawal mereka harus meninggalkan
padukuhan itu. Mereka harus bersiap dan berada di luar, seandainya padukuhan
itu akan dikepung rapat-rapat. Mereka harus memperhitungkan pula suatu kemungkinan,
bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil suatu cara, untuk menutup padukuhan itu
sama sekali dalam waktu yang tidak terbatas, sehingga mereka akan kehilangan
kemungkinan berhubungan dengan daerah-daerah dan perdukuhan-perdukuhan lain.
Terutama dalam soal persediaan makan.
Sejenak kemudian, sebelum
regol pedukuhan itu tertutup oleh ujung senjata pasukan Ki Tambak Wedi, gembala
tua bersama kedua anak-anaknya telah meninggalkan padukuhan itu untuk
bersembunyi di pategalan yang tidak terlampau jauh. Mereka mendapat tugas yang
khusus, tugas yang tidak dapat dilakukan oleh pasukan yang berada di dalam
padukuhan. Mereka harus dapat bergerak cepat ke segenap penjuru. Juga apabila
ada kemungkinan Ki Tambak Wedi tidak menyerang lewat gerbang induk.
Argapati yang sudah menjadi
semakin baik, melepas mereka sampai ke pintu gerbang. Kemudian sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam, “Aku percaya kepada mereka.”
Pandan Wangi yang berdiri di
sampingnya berpaling. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Apa, Ayah?”
Ki Argapati terkejut. Namun
kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Aku percaya kepada mereka. Dan aku
percaya bahwa aku pernah mengenal orang tua itu sebelum ini. Bepapa pun ia
mengingkari dirinya sendiri. Aku tidak tahu, apakah alasannya, sehingga ia lebih
senang bermain-main dengan segala macam nama dan keadaan.”
“Siapakah sebenarnya
orang-orang itu, Ayah?” bertanya Pandan Wangi dengan serta-merta.
Tetapi ayahnya masih saja
tersenyum dan menjawab, “Entahlah.”
“Tetapi Ayah sudah
menyebutnya?”
Ki Argapati menggelengkan
kepalanya. “Aku hanya menduga-duga. Tetapi lebih baik aku tidak mengatakan apa
pun tentang mereka daripada aku akan keliru.”
Pandan Wangi tidak bertanya
lagi. Ia pun kini memandangi pasukan yang menjadi semakin jauh. Bahkan
kadang-kadang seolah-olah hilang ditelan oleh rumput-rumput liar dan
batang-batang ilalang yang menjadi semakin tinggi.
Namun masih juga terbayang di
angan-angan gadis itu, dua orang anak-anak muda yang seakan-akan dibayangi oleh
kabut rahasia yang tidak tertembus oleh penglihatannya.
Pandan Wangi itu tersedar
ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita beristirahat sambil
menunggu, apa yang akan terjadi malam ini.”
“O,” Pandan Wangi tergagap,
“mari, Ayah.”
“Kita tidak akan kembali ke
pondok kita. Kita akan tinggal di pusat pimpinan pasukan Menoreh bersama dengan
Wrahasta, Samekta, dan Kerti. Setiap saat kita pasti akan diperlukan.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
Kemudian diiringi oleh para
pemimpin pasukan pengawal, Ki Argapati pun pergi ke rumah yang dipergunakan
sebagai pusat pimpinan pasukan. Di situlah Samekta, Wrahasta dan kadang-kadang
Kerti selalu membicarakan dan merencanakan segala sesuatu. Kini jumlah mereka
pun bertambah lagi dengan dua orang dari Pajang. Hanggapati dan Dipasanga.
Meskipun mereka duduk dalam
satu tingkatan, di atas sehelai tikar pandan, namun hampir tidak seorang pun
dari mereka yang berbicara. Mereka sedang sibuk dengan angan-angan
masing-masing. Bayangan-bayangan dan gambaran tentang apa saja yang akan
terjadi di atas tanah perdikan ini.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi
pun sedang sibuk mengatur barisannya. Ia tidak ingin menunda lagi sampai besok
dan apalagi lusa. Ia sudah berketetapan hati, seperti tekad yang menyala di
dalam dada Sidanti, Argajaya, dan para pemimpin yang lain. Malam ini pertahanan
Argapati harus dipecah. Benteng pring ori itu harus menjadi karang abang. Dan
pasukan pengawal Menoreh harus di hancur-lumatkan supaya mereka tidak membuat
persoalan-persoalan baru di hari-hari mendatang.
“Tidak seorang pun akan mendapat
perlakuan khusus!” teriak Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya
mengangkat senjata masing-masing sambil menyambut ucapan-ucapan itu. “Semua
harus dimusnahkan.”
Namun ketika setiap mulut
meneriakkan semangat yang serupa, Sidanti menundukkan wajahnya. Terbayang di
dalam angan-angannya, seorang gadis kecil yang berlari-lari sambil menangis.
Kemudian memeluknya dan membasahi dadanya dengan air mata.
“Kakang, Kakang, anak itu
nakal, Kakang,” tangis gadis kecil itu.
Setiap kaii ia menjadi marah.
Dan setiap kali ia berkata, “Ayo, jangan hanya berani dengan anak perempuan.
Lawan aku.”
Dada Sidanti menjadi
berdebar-debar. Ia tidak pernah berhasil melupakan masa kecil yang baginya kini
tinggal gambaran-gambaran dari sebuah mimpi yang menyenangkan. Sama sekali
tidak pernah terbayang, bahwa kini, ia dan Pandan Wangi, akan berdiri
berseberangan sebagai lawan. Dan ia sendiri telah meneriakkan, “Semua harus
dimusnahkan!”
“Apakah yang akan terjadi atas
Pandan Wangi nanti?” pertanyaan itu tidak pernah dapat terhapus dari hatinya.
Hati seorang kakak, meskipun suatu kenyataan telah dihadapkan kepadanya, bahwa
mereka ternyata tidak seayah.
Tetapi apakah yang dapat
dilakukan selagi kedua belah pihak sudah berhadapan dengan menggenggam
senjata-senjata telanjang di tangan? Apakah Pandan Wangi juga selalu
dibimbangkan oleh hubungan keluarga di antara mereka.
“Persetan!” Sidanti mencoba
untuk memperteguh hatinya apabila ia nanti berangkat ke peperangan. “Kalau aku
dapat menghindar, aku akan menghindar. Aku akan mencari korban-korban lain.
Terserahlah kepada keadaan, apakah Pandan Wangi dapat menyelamatkan dirinya
atau tidak. Tetapi kalau aku harus berhadapan?” Sidanti menarik nafas
dalam-dalam.
Sidanti terkejut ketika ia
mendengar Argajaya bertanya dengan ragu-ragu, “Apakah yang kau renungkan?”
Sidanti menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Aku tidak sedang merenungkan apa-apa.”
Namun temyata Ki Tambak Wedi
pun melihat keragu-raguan yang mewarnai wajah Sidanti. Sehingga orang tua itu
langsung menebaknya, “Kau mengenangkan adikmu perempuan itu?”
Sidanti tidak menyahut.
“Sudah aku katakan. Semuanya
harus dimusnahkan. Juga Pandan Wangi. Kalau ia dibiarkan hidup, ia akan menjadi
benih yang baik untuk tumbuh kelak menjadi sebuah pohon berduri.”
Sidanti tidak mengucapkan sepatah
kata pun.
“Bagimu, Sidanti, adik
perempuanmu itu akan menjadi tawur, menjadi rabuk yang akan membuat Tanahmu ini
menjadi tanah yang subur seperti yang kau harapkan.”
Sidanti masih tetap berdiam
diri. Bahkan terbayang di rongga matanya perlakuan orang-orang liar yang ada di
dalam pasukannya. Hampir saja Pandan Wangi menjadi korban mereka, seandainya
Pandan Wangi bukan seorang yang memang cukup mampu membela dirinya.
Namun kenangan itu tiba-tiba
telah mendorong Sidanti untuk berteriak, “Ya, Pandan Wangi juga harus
dimusnahkan.”
Ki Tambak Wedi dan Argajaya
tertegun sejenak melihat Sidanti tiba-tiba saja meneriakkan kata-kata itu.
Terasa bahwa anak muda itu telah berjuang sekuat tenaga, sehingga ia terpaksa
meledakkan dadanya yang serasa pepat.
Tetapi sebenarnya Sidanti
telah benar-benar berkeputusan demikian. Agaknya hal itu akan menjadi lebih
baik bagi adiknya. Kalau ia tertangkap hidup-hidup, maka kemungkinan yang
paling pahit akan dapat terjadi. Apabila Pandan Wangi jatuh ke tangan-tangan
serigala yang kelaparan itu, maka sudah terbayang di dalam kepalanya, bahwa ia
harus bertindak. Mungkin ia terpaksa melakukan kekerasan, sehingga perkelahian
tidak akan dapat dihindarinya lagi.
Sejenak kemudian pasukan
Tambak Wedi itu pun telah siap untuk melakukan tugasnya. Untuk melawan
lontaran-lontaran senjata jarak jauh, sebagian dari pasukan Ki Tambak Wedi itu
diperlengkapi dengan perisai. Karena perisai-perisai yang terbuat dari kepingan
baja tidak mencukupi, maka sebagian telah membuat perisai-perisai dari kayu.
Tetapi perisai-perisai yang demikian, tidak kalah manfaatnya dari
perisai-perisai besi. Bukan baja untuk melawan senjata-senjata jarak jauh,
tetapi dalam perang beradu dada, perisai yang demikian pun dapat sangat
berguna. Ujung senjata lawan yang tertancap pada perisai-perisai kayu, apabila
perisai itu disentakkan, maka senjata lawan tersebut akan dapat terenggut.
Demikinlah, pada saatnya,
ketika matahari telah tenggelam di balik perbukitan, serta malam telah mulai
turun menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah pasukan Ki Tambak Wedi
itu merayap ke luar dari padukuhan induk untuk menuju ke padukuhan Karang Sari,
tempat pertahanan yang di susun dengan tergesa-gesa oleh pasukan pengawal
Menoreh pada saat mereka meninggalkan padukuhan induk. Namun adalah suatu
keuntungan, bahwa padukuhan itu dilingkari oleh rumpun-rumpun pring ori yang
rapat, sehingga merupakan benteng yang sangat bermanfaat bagi pertahanan
mereka.
Ki Tambak Wedi yang memegang
langsung pimpinan pasukan itu, berjalan di paling depan bersama Sidanti dan
Argajaya. Kemudian di belakang mereka berjalan Ki Peda Sura yang telah sembuh
dari luka-lukanya, bersama Ki Wasi dan Ki Muni.
Setiap dada dari mereka yang
berada dalam barisan itu serasa bergejolak semakin keras. Namun hampir setiap
orang memastikan, bahwa mereka akan dapat memecah pertahanan Ki Argapati.
Menurut perhitungan mereka, kekuatan Ki Argapati sangat terbatas. Meskipun
mungkin mereka mempunyai jumlah orang yang seimbang, namun tidak ada orang lain
yang dapat di percaya oleh Ki Argapati selain Pandan Wangi seorang diri.
Apalagi Ki Argapati pasti belum sembuh benar dari luka-lukanya.
Meskipun perhitungan Ki Muni
meleset, dan ternyata Ki Argapati tidak mati, tetapi dalam keadaannya, maka Ki
Argapati tidak akan dapat lagi berada dalam puncak kemampuannya. Sehingga
bagaimana pun juga, maka untuk melawan Ki Tambak Wedi, agaknya tidak mungkin
lagi dapat dilakukan. Kalau ia dapat bertahan untuk beberapa lama, namun pada
saatnya ia pasti akan kehabisan tenaga. Dan saat terakhir dari Kepala Tanah
Perdikan itu pun akan segera datang.
Di perjalanan Ki Tambak Wedi
masih sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Sidanti dan Argajaya. Bahkan
juga kepada Ki Peda Sura, Ki Wasi dan Ki Muni. Menurut penilaian Ki Tambak
Wedi, maka para pengawal tanah perdikan akan mengambil cara seperti yang pernah
dilakukannya. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil dari mereka yang
terpilih untuk melawan para pemimpin pasukan lawan. Kalau mereka tidak
mempunyai orang-orang yang mampu dihadapkan seorang lawan seorang, maka
kelompok-kelompok itulah yang akan mereka pasang, untuk melawan pimpinan lawan.
Untuk menghadapi kelompok-kelompok itulah maka setiap pemimpin pasukannya pun
harus membuat kelompok-kelompok yang serupa. Sehingga pada saatnya orang-orang
yang diperlukan dapat berdiri bebas dan dapat melakukan apa saja yang penting
bagi mereka. Dalam hal ini, mencari korban sebanyak-banyaknya, karena mereka
telah bertekad untuk menghancurkan dan memusnahkan lawan mereka tanpa seorang
pun yang akan mendapat perlakuan khusus.
Mereka yang mendapat petunjuk
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di kepala mereka, apa yang dapat
mereka lakukan. Sebentar lagi senjata-senjata mereka akan menari-nari dalam
bujana yang menggairahkan. Dan mereka telah mulai menghitung-hitung korban yang
akan dapat mereka binasakan.
Semakin dekat iring-iringan
itu menjadi semakin bernafsu. Bahkan ada di antara mereka yang seolah-olah
tidak dapat menahan diri lagi. Sambil meraba-raba hulu senjatanya seseorang
berdesis, “Kenapa kita berjalan terlampau lamban.”
Kawan yang berjalan di
sampingnya berpaling. Tetapi ia tidak menjawab.
“Kenapa?” orang yang pertama
mendesak. Tetapi orang yang kedua masih tetap berdiam diri.
“Aku sudah tidak sabar lagi
untuk menumpas orang-orang bodoh yang tidak tahu diri itu,” geram orang yang
pertama.
Orang yang kedua menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, “Apakah kau mau
menolongku?”
“Kenapa? Apakah kau dalam
kesulitan?”
“Tidak. Tetapi aku ingin minta
kau diam. Hanya itu.”
Orang yang pertama mengerutkan
keningnya. Wajahnya menjadi merah sesaat. Namun kemudian ia bergeramang tidak
menentu.
Keduanya kemudian diam. Tetapi
sebenarnyalah bahwa orang yang kedua sedang dirisaukan oleh keadaan yang bakal
dihadapinya. Seperti Sidanti, ia mempunyai seorang saudara, bahkan seayah dan
seibu yang berada di dalam lingkungan pasukan pengawal tanah perdikan yang
setia kepada Argapati.
“Kakang memang orang bodoh,”
ia berdesis di dalam hatinya, “ia tidak mau mendengar nasehatku. Sekarang ia
menghadapi kehancuran. Hem,” orang itu menggigit bibirnya. “Sepeninggal ayah,
aku seolah-olah telah menjadi bebannya. Ia mengurus aku lebih dari ayah semasa
hidupnya. Sekarang aku akan berdiri berhadapan.”
Orang itu menundukkan
kepalanya. Tetapi bukan hanya orang itu saja. Bukan hanya Sidanti, Argajaya
yang akan berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri, tetapi banyak di antara
mereka yang akan mengalami keadaan serupa. Namun sebanyak-banyak jumlah orang,
ada di antara yang justru menjadi bangga. Dengan menepuk dada ia berkata, “Aku
akan menghunjamkan pedangku ini di dada ayahku sendiri karena ayah telah
mengkhianati cita-cita rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Sidanti sendiri telah
berperang melawan ayahnya. Kenapa aku tidak sanggup?” Kemudian ia tertawa
sambil memilin janggutnya. Kalau sekilas hati nuraninya tersentuh oleh bayangan
ibunya, keluarganya, saudara-saudaranya, maka ia berusaha untuk menindasnya
dengan kejam. Ternyata dirinya sendirilah yang pertama-pertama mengalami
perlakuan yang paling kejam daripadanya. Ditumpasnya setiap percikan perasaan
yang kembang dari hati nurani itu. Tanpa belas kasian.
Semakin lama maka
iring-iringan itu menjadi semakin dekat dan semakin dekat. Iring-iringan yang
dinafasi oleh kebencian. Kalau setiap orang menunduk dengan haru di dalam
iring-iringan pengantar mayat ke kubur, maka setiap orang di dalam
iring-iringan ini justru menengadahkan wajah-wajah mereka sambil menggeretakkan
gigi, mencari mayat-mayat yang akan mereka bawa ke kubur.
Berbeda dengan hari-hari yang
lewat, pasukan Ki Tambak Wedi kali ini justru tidak membawa sebuah obor pun.
Mereka berjalan di dalam gelapnya malam, menyusur jalan yang berdebu menuju ke
pertahanan pasukan Argapati.
Sementara itu para pengawal di
pusat pertahanan pasukan Argapati pun telah siap menyambut kedatangan lawan
mereka. Apalagi ketika mereka melihat di kejauhan beberapa pucuk panah api
melontar ke udara. Ternyata para petugas sandi yang telah di tempatkan dan
bersembunyi di beberapa tempat telah melihat kedatangan pasukan Ki Tambak Wedi.
Pertahanan Argapati pun
menjadi sibuk. Samekta telah mengatur setiap kelompok pasukan di tempat yang
sebaik-baiknya. Mereka harus dapat menanggapi keadaan yang bagaimana pun juga.
Argapati sendiri masih duduk
bersama puterinya. Ia masih memberi beberapa petunjuk kepada gadis itu. Dalam
tingkat ilmunya, sebenarnya Pandan Wangi sudah berada pada tataran tertinggi.
Namun ia masih memerlukan pengalaman dan penghayatan yang cukup, agar ilmunya
dapat dicernakannya di dalam dirinya, kemudian mengalir seperti air dari
sumbernya.
“Seperti yang telah kita
setujui bersama, Pandan Wangi,” berkata Ayahnya, “kali ini kau harus membantu
aku menghadapi Ki Tambak Wedi. Sebenarnya aku sendiri sudah bersiap untuk
melawannya meskipun lukaku belum sembuh benar. Tetapi keadaanku telah cukup
baik. Obat yang diberikannya kepadaku itu benar-benar bekerja di luar dugaan.
Namun keadaanku masih meragukan. Beberapa orang menasehatkan agar aku tidak
menghadapinya sendiri. Maka kaulah yang aku pilih untuk bertempur bersamaku.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Ilmumu adalah ilmu yang kau
terima daripadaku. Kau akan melihat pancaran ilmu itu dan mudah-mudahan kau
segera dapat menyesuaikan dirimu. Namun hati-hatilah. Yang kita lawan
bersama-sama adalah Ki Tambak Wedi. Iblis yang tiada taranya di dunia ini.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
“Baiklah. Persiapkan dirimu
lahir dan batin. Agaknya kita akan segera mulai.”
Dalam pada itu, Samekta pun
telah melaporkan, bahwa para petugas telah melihat kedatangan pasukan, Ki
Tambak Wedi. Tanda-tanda telah mereka berikan.
“Apakah kau yakin bahwa mereka
akan benar-benar menyerang, atau hanya sekedar menakut-nakuti seperti
biasanya?” bertanya Ki Argapati.
Samekta menggelengkan kepalanya,
“Kami di sini belum tahu, Ki Gede. Tetapi kami sudah siap menghadapi segala
kemungkinan.”
“Baiklah. Kau harus memberikan
laporan setiap ada perkembangan baru.”
“Ya, Ki Gede. Wrahasta selalu
berada di atas planggrangan di samping regol.”
“Kerti?”
“Ia berada di antara para
pengawal regol itu. Sepasukan kecil di tempat pengungsian kali ini dipimpin
oleh orang lain.”
“Tempatkan diri masing-masing
dalam keadaan yang baik, di tempat-tempat seperti yang telah kita bicarakan.”
“Baik, Ki Gede.”
Sepeninggal Samekta, Ki Gede
pun segera membenahi pakaiannya. Sebuah bayangan yang kelam melintas di
kepalanya. Hari depan Tanah ini.
Tanpa sesadarnya Ki Gede
berdesah. “Kenapa tanah perdikan yang dibinanya ini harus mengalami benturan di
antara kadang sendiri, sehingga mengguncang seluruh tata kehidupan yang ada di
dalamnya?”
“Aku tidak dapat selalu
menyalahkan orang lain,” berkata Ki Gede itu di dalam hatinya, “kalau aku mampu
mengikat setiap hati dari rakyat Menoreh, betapa pun mereka dibujuk dan
dihasut, mereka tidak akan berpihak kepada orang lain. Tetapi ternyata bahwa
sebagian dari rakyat Menoreh tidak dapat bertahan di tempatnya. Mereka telah
berpaling kepada janji-janji yang diberikan oleh orang lain. Dan itu pertanda,
bahwa perbawa dan pengaruhku sebagai pengikat Tanah ini masih jauh daripada
sempurna.”
Sekilas Pandan Wangi menatap
wajah ayahnya yang suram, ia tahu bahwa ayahnya sedang diliputi oleh kabut
penyesalan. Karena itu, Pandan Wangi tidak mengganggunya. Bahkan ia sendiri
dengan bersusah payah, sedang berusaha mengatasi gejolak di dalam dadanya.
“Apakah pada suatu saat aku akan berhadapan dengan Kakang Sidanti? Atau dengan
Paman Argajaya?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi menurut ketentuan, yang telah disetujui bersama, ia tidak
akan berhadapan dengan keduanya. Ia harus mendampingi ayahnya melawan Ki Tambak
Wedi.
Dada Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Ia mengerti benar, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan sebentar lagi
ia harus bertempur melawannya, meskipun di samping ayahnya.
Sekali-kali dipandanginya
kedua orang yang duduk diam sambil menimang cambuk. Yang seorang kadang-kadang
tersenyum-senyum sendiri, sedang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Agaknya mereka sedang merenungi jenis senjata yang berada di tangan mereka.
“Apakah Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga dapat memenuhi harapan kita bersama?” pertanyaan itu selalu
mengganggu perasaan Pandan Wangi. “Tetapi keduanya adalah prajurit-prajurit
Pajang. Mudah-mudahan mereka dapat menempatkan dirinya. Tetapi lawan yang
dihadapinya kali ini adalah orang-orang yang tangguh.”
Dalam pada itu, di pategalan
tidak terlampau jauh dari padukuhan itu, sepasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang lain sedang menunggu pula perkembangan keadaan. Mereka pun telah
melihat tanda yang melontar di udara. Dan mereka pun hampir menjadi yakin,
bahwa malam ini mereka harus bertempur mati-matian.
Di antara mereka, gembala tua
dan kedua anak-anaknya duduk sambil berbicara tentang berbagai kemungkinan
bersama para pemimpin kelompok pasukan Menoreh. Namun mereka menjadi
tercengang-cengang ketika gembala tua itu mengambil sesuatu dari kantongnya
kemudian melekatkannya di bawah hidungnya.
“He. Apakah itu, Kiai?”
bertanya seseorang. “Apakah kumis Kiai sendiri tidak dapat tumbuh?”
Gembala itu tersenyum. Jawabnya,
“Aku mengharap dengan kumis setebal ini, aku menjadi lebih garang, sehingga
apabila aku bertemu dengan lawanku nanti, sebelum aku mulai bertempur mereka
telah lari terbirit-birit.”
Betapa dada mereka dicengkam
oleh ketegangan, namun beberapa di antara mereka sempat juga tertawa
berkepanjangan. Salah seorang dari mereka berkata, “Begitu mudahnya, Kiai?
Bagaimana kalau kita semua memakai kumis palsu sebesar itu? Apakah musuh kita
nanti akan segera menarik diri sebelum bertempur?”
Kawan-kawannya serentak
tertawa pula. Gembala tua itu pun tertawa.
“Apakah akan kita coba?”
bertanya gembala itu. Mereka pun tertawa semakin keras, sementara orang tua itu
telah melekatkan kumisnya dengan perekat yang dibawanya di dalam kantong ikat
pinggangnya.
“Apakah kumis itu nanti tidak
akan rontok?” bertanya yang lain. “Kalau terjadi demikian, maka musuh yang
telah lari itu akan segera datang kembali.”
Gembala tua itu masih saja
tertawa. Jawabnya, “Perekatku adalah sebangsa getah yang sangat baik. Kalau
tidak dihapus dengan minyak aku kira sampai tiga hari masih akan melekat juga.”
Orang tua itu berhenti sejenak. Lalu, “Siapakah yang akan mencoba?”
“Ah, lebih baik tidak,” jawab
yang lain lagi. “Kalau kawan-kawanku tidak mengenal aku lagi, maka jangan-angan
leherku akan dicekiknya sendiri.”
Gembala tua itu tertawa.
Kemudian diberikannya sepasang jambang kepada Gupala, “Kau pakai jambang ini.
Wajahmu terlampau kekanak-kanakan. Dengan jambang ini, kau bertambah dewasa dan
mempunyai kesan seorang pengawal.”
Gupala tidak menyahut.
Diterimanya saja sepasang jambang itu. Kemudian dilekatkannya di kedua pipinya.
“Kau mirip seorang pemimpin
perompak,” desis Gupita.
Gupala mengerutkan keningnya.
Tetapi kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Apakah yang harus dipakai oleh Kakang
Gupita, supaya wajahnya tidak sesayu itu.”
“Janggut. Kau pakai janggut
bercabang ini. Kesannya akan sangat menakutkan?”
Gupita mengangguk-angguk.
Meskipun ia tidak begitu senang, tetapi dipakainya juga janggut itu. Ia
mengerti benar maksud gurunya. Kenapa mereka harus memakai bermacam-macam
samaran itu. Dalam hiruk-pikuk pertempuran, maka samaran yang sepintas sudah
akan mengaburkan bentuknya yang sebenarnya.
Orang-orang yang melihat
mereka bertiga itu pun tidak dapat menahan tertawa mereka. Bahkan salah seorang
berkata, “Apakah kalian tidak yakin kepada kemampuan kalian sendiri, sehingga
kalian memerlukan segala macam permainan itu? Kenapa kalian tidak memakai
topeng raksasa atau topeng jin sama sekali?”
Ketiganya tersenyum. Tetapi
mereka tidak menyahut. Mereka asyik membetulkan letak samaran di wajah-wajah
mereka.
“Nah,” berkata gembala tua
itu, “sekarang aku adalah seorang yang pasti akan menggetarkan lawan-lawanku.”
Lalu kepada kedua anak-anaknya ia berkata, “Kalian pun kini menjadi semakin
meyakinkan untuk turun di medan peperangan.”
Gupala dan Gupita tersenyum,
betapa kecut senyumnya.
Mereka harus menyesuaikan dari
dengan sifat gurunya, sehingga karena itu, maka mereka pun tidak dapat berbuat
lain daripada mengotori wajah-wajah mereka dengan sebangsa ijuk yang lembut
itu, dan membiarkan orang yang melihatnya tertawa berkepanjangan.
Namun suara tertawa mereka itu
pun segera terputus ketika pengawas yang ada di luar pategalan berkata lantang,
“He. Lihat. Panah api tiga kali berturut-turut. Pengawas terakhir di depan
pertahanan kita telah melihat pasukan lawan. Agaknya pasukan Ki Tambak Wedi
sudah dekat.”
Gembala tua itu segera berdiri
dan berjalan ke luar pategalan. Tetapi ia sudah tidak melihat panah api tiga
kali berturut-turut itu.
“Kali ini agaknya Ki Tambak
Wedi mempergunakan gelar yang lain dari yang dipakainya sehari-hari,” gumam
gembala tua itu. “Kali ini mereka sama sekali tidak membawa obor.”
Gupita dan Gupala yang berdiri
di sampingnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Ya,” hampir bersamaan
keduanya menyahut.
“Kalau begitu kita harus
segera bersiap. Mungkin kita harus segera berbuat sesuatu.”
Pemimpin pasukan kecil itu pun
segera mempersiapkan diri mereka. Agaknya pasukan Ki Tambak Wedi telah menjadi
semakin dekat. Setiap saat akan dilihatnya tanda-tanda dari padukuhan itu,
bahwa mereka harus mulai bergerak.
Gupala dan Gupita pun telah
mempersiapkan diri mereka. Tetapi kali ini mereka tidak bersenjata cambuk,
meskipun cambuknya tidak lepas dari lambungnya. Namun di peperangan nanti
mereka harus bersenjata pedang.
“Sudah agak lama aku tidak
berpedang lagi,” desis Gupala sambil menimang-nimang pedangnya. “Apalagi pedang
ini terlampau kecil.”
“Tidak, bukan pedang itu yang
terlampau kecil. Tetapi pedangmu yang bertangkai gading itulah yang bukan
pedang biasa.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Ia lalu menarik pedangnya, dan mempermainkan sejenak. Diputar-putarnya pedang
di tangannya sambil berdesis, “Mudah-mudahan aku masih mampu menggerakkan
pedang.” Tetapi kemudian ia pun tersenyum ketika ia melihat gurunya
mengawasinya.
“Tanganku menjadi kaku,”
desisnya.
“Hanya sebentar. Nanti akan
segera biasa kembali setelah kau menggerakkannya beberapa lama,” jawab gurunya.
“Asal saat yang sebentar itu
bukan berarti kesempatan bagi lawan untuk membelah dada ini,” desis Gupala.
Gurunya mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Tanpa senjata pun kau harus siap maju ke medan perang.”
Gupala menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Dilontarkannya pandangan matanya ke
dalam gelapnya malam. Sambil menyarungkan pedangnya ia berdesis, “Di sana nanti
akan meloncat panah-panah api yang akan memberikan tanda-tanda kepada kita.”
Gurunya pun kemudian memandang
ke dalam kegelapan itu pula. Namun sejenak kemudian ia melangkah masuk lagi ke
dalam pategalan. “Aku akan menunggu sambil duduk. Waktu yang kita nantikan
tidak terbatas. Mungkin sampai tengah malam Ki Tambak Wedi baru mulai bergerak,
bahkan mungkin tidak sama sekali.”
Gupita dan Gupala pun
mengikutinya pula. Sejenak Gupita masih menggerakkan pedangnya, namun sejenak
kemudian pedang itu disarungkannya pula.
Tanda yang terakhir itu
ternyata telah dilihat pula oleh Wrahasta di atas planggrangan di samping regol
darurat. Karena itu, maka setiap orang di dalam lingkungan pertahanannya harus
segera mempersiapkan dirinya. Semua peralatan telah diperiksa, dan semua dada
telah menjadi berdebar-debar.
Ki Argapati yang telah
mendengar laporan tentang tanda itu pun menjadi berdebar-debar pula.
Sekali-sekali dipandanginya wajah puterinya yang menunduk, kemudian wajah-wajah
pemimpin-pemimpin pasukannya. Akhirnya, ditatapnya kedua wajah orang-orang baru
yang tenang dan meyakinkan. Hanggapati dan Dipasanga. Meskipun kemampuan
orang-orang itu masih belum dapat dipercaya sepenuhnya, namun kehadirannya telah
memperingan tugasnya. Dan ia berterima kasih kepada Sutawijaya yang bergelar
Mas Ngabehi Loring Pasar, yang telah mengirimnya kemari.
Samekta pun kemudian telah
berada di depan regol pula. Dipandanginya kegelapan malam yang terhampar di
hadapannya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ternyata Ki Tambak Wedi
benar-benar ingin merayap mendekati pertahanan itu tanpa diketahui oleh
lawan-lawannya. Karena itu, maka Samekta pun segera memerintahkan untuk
memadamkan semua obor dan lampu di sekitar regol. Dengan demikian, maka keadaan
akan menjadi seimbang. Ki Tambak Wedi juga tidak akan segera dapat melihat
pertahanannya dengan jelas, bahkan mereka pun harus memperhatikan arah dengan
baik untuk dapat mencapai pintu regol dengan tepat.
Namun betapa pun gelapnya, mata
yang tajam masih juga dapat melihat bayangan-bayangan yang bergerak di tempat
terbuka. Tetapi jarak jangkaunya menjadi sangat terbatas. Demikian juga
Samekta, Wrahasta dan juga Ki Tambak Wedi sendiri. Tetapi sebagai seorang yang
memiliki banyak kelebihan dari orang lain, meskipun lampu-lampu di regol
padukuhan itu dipadamkan, namun Ki Tambak Wedi tidak kehilangan arah.
“Kita langsung pergi ke depan
regol itu,” perintahnya. Pasukannya pun merayap semakin dekat. Meskipun mereka
tidak kehilangan arah, namun Ki Tambak Wedi mengumpat pula, “Licik. Mereka sama
sekali tidak memasang lampu sehingga kami tidak mempunyai ancar-ancar sama
sekali.”
Argajaya yang dekat di
sampingnya, tidak menjawab. Tetapi ia berkata di dalam hatinya, “Mereka pun
mengharap kita membawa obor sebanyak-banyaknya, supaya mereka dapat membidik
setiap dahi dengan tepat.”
Pasukan Ki Tambak Wedi itu
semakin lama menjadi semakin dekat. Namun betapa pun juga mereka merayap dengan
hati-hati, tetapi akhirnya batang ilalang yang bergerak-gerak itu dapat juga
dilihat oleh Wrahasta dan Samekta.
Samekta terkejut, ketika
tiba-tiba saja pasukan Tambak Wedi itu telah berada beberapa puluh langkah
daripadanya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia segera masuk ke dalam
regol dan menutupnya kuat-kuat.
Sejenak kemudian telah
tersebar kepada setiap pemimpin kelompok Pasukan Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh bahwa musuh telah berada di depan hidung mereka. Karena itu, maka semua
orang telah bersiap di tempatnya masing-masing dengan kelengkapan masing-masing
pula.
“Awasi mereka Wrahasta,”
berkata Samekta kepada Wrahasta yang masih berada di tempatnya. “Aku akan
menemui Ki Gede.”
“Baik,” jawab Wrahasta, “aku
akan memberitahukan apabila ada perkembangan yang cepat.”
Samekta kemudian pergi sendiri
menemui Ki Gede Menoreh, dan melaporkan apa yang dilihatnya. Meskipun tidak
begitu jelas, tetapi agaknya Ki Tambak Wedi telah benar-benar mengerahkan
segala kekuatan yang ada padanya. Pasukan segelar sepapan kini telah berada di
hadapan regol induk.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini benar akan terjadi benturan di antara mereka. Siapa pun yang
akan menang, maka artinya tidak akan jauh berbeda. Kekuatan Menoreh akan jauh
menjadi susut. Meskipun demikian Ki Argapati tidak dapat melepaskan kekuasaannya
begitu saja, justru untuk kepentingan hari depan Tanah Perdikan ini.
“Apakah akan jadinya apabila
Tanah ini dikemudikan oleh orang-orang seperti Ki Tambak Wedi itu?” katanya di
dalam hati. Dan justru karena itulah maka ia bertahan mati-matian. Bukan untuk
kepentingan pribadinya, tetapi untuk tanah perdikan ini sendiri.
Ki Argapati pun kemudian
mempersiapkan dirinya. Diperiksanya sekali lagi kain pembalut lukanya yang
dipasang oleh gembala tua itu. Kemudian obat yang diberikannya, untuk mengatasi
keadaan yang parah meskipun hanya berlaku untuk sementara.
“Rasa-rasanya aku sudah sembuh
benar-benar,” desisnya.
“Tetapi Ayah masih belum
sembuh dan belum pulih seperti sediakala,” Pandan Wangi memperingatkan.
“Karena itulah aku masih
mempergunakan pembalut ini, dan aku masih selalu membawa obat yang diberikan
orang tua itu. Tetapi aku merasa bahwa aku sudah siap mengatasi segala
keadaan.” Kemudian kepada Samekta ia berkata, “Marilah, aku akan melihat
pasukan Tambak Wedi.”
Ki Argapati pun kemudian
mempersilahkan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga, bersama mereka ke regol
padukuhan itu untuk menyongsong lawan yang sebentar lagi akan datang.
Hanggapati dan Dipasanga pun
kemudian mengikutinya. Namun di halaman Hanggapati berbisik, “Aneh-aneh saja
orang tua yang menyebut dirinya gembala itu. Kenapa aku harus bertempur dengan
senjata semacam ini? Aku tidak biasa mempergunakan senjata lentur, meskipun aku
diwajibkan dapat mempergunakan segala macam senjata.”
Dipasanga tersenyum. Sambil
menimang cambuknya ia berkata, “Apabila terpaksa, apa boleh buat. Cambuk ini
akan aku letakkan, dan aku akan bertempur dengan pedangku ini.”
Hanggapati pun tersenyum pula.
“Ya, itu adalah cara yang paling baik. Bukankah maksud gembala tua itu hanya
sekedar menarik perhatian, bahwa ternyata yang memegang cambuk kali ini orang
lain? Karena gembala tua itu sendiri justru bersenjata bentuk lain.”
Dipasanga mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Orang tua itu memang orang yang aneh. Seperti kata Angger
Sutawijaya, ia senang mempergunakan seribu nama dan seribu keadaan.”
Hanggapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Mereka kini
telah berada beberapa langkah dari regol induk. Ternyata pasukan pengawal
Menoreh telah benar-benar siap menghadapi setiap kemungkinan.
Mereka bukan saja menyediakan
segala macam senjata, tetapi mereka juga menyediakan air dan pasir. Tidak
mustahil bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi akan mempergunakan panah-panah api
untuk berusaha membakar pertahanan pasukan pengawal.
Namun Pasukan Pengawal Menoreh
itu pun telah menyediakan panah-panah api pula yang akan mereka sebarkan ke
barisan lawan, apabila mereka telah sampai pada batas yang telah ditentukan.
Ternyata di hadapan regol, pasukan Menoreh telah menebarkan jerami-jerami
kering dan bumbung-bumbung minyak yang akan segera tumpah apabila disentuh
kaki.