Sidanti masih saja diam
mematung. Dengan tanpa memandanginya Pandan Wangi mengulangi, “Marilah Kakang.
Bilikmu telah tersedia. Aku juga telah menyediakan pakaian dan perlengkapan
lainnya di dalam gledeg. Aku juga telah menyediakan pakaian untuk gurumu, Ki
Tambak Wedi.”
Sidanti menganggukkan
kepalanya. Tetapi terasa betapa canggungnya menghadapi adiknya. Ia masih saja
terpengaruh oleh perbuatannya di rumah Ki Sentol. Kadang-kadang Sidanti merasa
malu sendiri, apakah jadinya seandainya orang-orang Menoreh mengetahuinya, apa
yang akan dilakukannya di rumah itu. Tetapi dengan menyembunyikan maksudnya yang
sebenarnya, maka ia terperosok bersama-sama dengan paman dan gurunya, ke dalam
suatu sikap yang tidak pula kalah sulitnya.
Sidanti terperanjat ketika
tiba-tiba ia mendengar Pandan Wangi berkata perlahan sekali, “Apakah Kakang
marah kepadaku?”
“Oh, tidak, tidak Wangi,”
dengan serta merta Sidanti menyahut sambil melangkahi tlundak pintu gandok
kulon, “kenapa aku marah?”
“Mungkin Kakang menganggap aku
tidak sopan. Aku telah berani melawanmu.”
“Tidak, tidak. Sama sekali
tidak. Kita tidak saling mengenal waktu itu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Terheran-heran ia memandangi wajah kakaknya. Tetapi justru dengan
demikian tidak sepatah katapun yang diucapkannya.
Sidanti yang melihat keheranan
pada sorot mata adiknya tiba-tiba menyadari kesalahannya. Dengan tergesa-gesa
ia menyambung, “Maksudku, kau tidak mengenal aku pada waktu itu. Sedang aku
memang sengaja mengganggumu.”
“Tetapi apakah Kakang
mengetahui, bahwa aku sedikit banyak dapat bermain-main dengan pedang?”
“Tentu Pandan Wangi. Aku
mengetahuinya.”
“Dari siapa Kakang tahu atau
mendengarnya?”
Sejenak Sidanti terdiam.
Betapa ia mengumpat di dalam hatinya. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sama sekali
tidak berprasangka apa-apa, tetapi pertanyaannya membuatnya ia pening. Namun
tiba-tiba diketemukanya jawabnya, “Bukankah kau berpakaian laki-laki, dan
membawa sepasang pedang? Aku semula juga ragu-ragu Wangi, tetapi melihat
langkahmu aku yakin, bahwa kau menyimpan ilmu di dalam dirimu. Nah, kemudian
timbullah keinginanku untuk melihat, ilmu apakah yang kau simpan itu. Ternyata
kau telah mendapat ilmu pedang dari perguruan Menoreh.”
“Ah,” Pandan Wangi menundukkan
kepalanya dalam-dalam.
Sidanti yang telah berada di
dalam gandok itupun kemudian bertanya, supaya ia tidak harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkannya, “Di mana Guru harus
beristirahat?”
“Di bilik itu juga Kakang.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian diayunkannya kakinya melangkah ke dalam bilik yang telah
disediakan. Bilik itu pernah dikenalnya dahulu. Bahkan ia dahulu selalu tidur
di dalam bilik itu juga. Tetapi kali ini bilik itupun tampak sangat asing
baginya. Ia telah mengenal hampir setiap benda yang ada di dalam bilik itu.
Sebuah pembaringan dari kayu yang lebar. Sebuah geledeg bambu. Sebuah ajug-ajug
dari bambu pula dan sebuah peti kayu. Belum berubah seperti beberapa tahun yang
lalu. Sebuah tikar yang putih terbentang di atas pembaringan. Mungkin hanya
tikar inilah benda yang belum pernah dikenalnya. Meskipun dahulu di atas
pembaringan ini terbentang pula sehelai tikar pandan yang putih, tetapi pasti
bukan tikar yang kini terbentang itu.
“Bilik itu sudah dibersihkan
Kakang. Bilik itu hampir tidak pernah dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja
Paman Argajaya tidur di tempat itu, apabila ia bermalam di rumah ini.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Tetapi ia masih belum menjawab.
“Bukankah Kakang terlampau
lelah?”
Sidanti menarik nafas. Bukan
tubuhnyalah yang sebenarnya terlampau lelah. Tetapi perasaannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang telah membuatnya pening, ternyata benar-benar
membuatnya terlampau lelah.
Namun Sidanti itu
menganggukkan kepalanya sambil menjawab lirih, “Ya Wangi. Aku memang terlampau
lelah setelah melakukan perjalanan yang panjang.”
Tetapi Sidanti tidak
menyangka, bahwa jawabnya telah membuka kesempatan bagi Pandan Wangi untuk
bertanya, agar suasana pertemuan itu tidak terlampau kaku, “Perjalanan itu
tentu menyenangkan sekali bukan, Kakang? Lain kali aku ingin ikut pula di dalam
perjalanan-perjalanan seperti itu. Pasti akan sangat banyak yang dapat dilihat.
Tanah yang hijau subur. Kota yang yang bagus dan ramai. Mungkin juga
istana-istana yang indah. Ah, kapan Kakang akan melakukannya lagi?”
Sidanti menggigit bibirnya.
Tetapi ia terpaksa menjawab, “Aku tidak tahu Wangi. Mungkin setahun, mungkin
dua tahun lagi.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kakaknya Sidanti duduk di pembaringannya,
maka Pandan Wangi pun duduk pula di ujung yang lain.
“Apakah Kakang juga berjumpa
dengan gadis-gadis yang cantik? Ayah tadi mengatakan, bahwa mungkin Kakang akan
mendengar pertanyaan serupa itu. Benarkah begitu?”
Dada Sidanti menjadi semakin
berdebar-debar. Jantungnya serasa berdetak semakin keras. Apalagi ketika ia
mendengar Pandan Wangi meneruskannyan, “Aku senang melihat gadis-gadis kota
yang cantik. Bukan seperti aku.”
Tiba-tiba hampir tanpa
disadarinya Sidanti menyahut, “Beruntunglah kau Pandan Wangi, bahwa kau hidup
di daerah yang sederhana ini. Gadis-gadis cantik yang aku kenal, benar-benar
menjemukan. Mereka biasanya terlampau menyadari kecantikannya. Dan mereka
mempergunakan kecantikan itu untuk memuaskan diri mereka sendiri. Mereka dengan
kecantikannya, berusaha menghancurkan orang lain. Bahkan tanpa mempedulikan
akibat yang paling parah yang dapat terjadi. Pembunuhan.” Sidanti berhenti
sejenak. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah dan menegang.
Pandan Wangi yang melihat
perubahan sikap kakaknya itu menjadi bingung. Ia tidak mengerti, apakah
sebabnya kakaknya menjadi demikian tegang.
“Pandan Wangi,” terdengar
suara Sidanti meninggi. “bukan saja gadis-gadis kota yang cantik. Tetapi gadis
desa yang kecil, yang tidak berarti sama sekali pun, telah mempergunakan
kecantikannya untuk kehancuran. Bukan untuk kebangunan.”
Pandan Wangi menjadi semakin
bingung. Ia sama sekali tidak dapat menangkap maksud kata-kata kakaknya. Bahkan
gadis itu menjadi gelisah. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sidanti berdiri,
“Pandan Wangi. Ingat, bahwa kecantikan seseorang bukan merupakan ukuran mutlak
bagi seorang gadis. Kau harus mendengar sebuah contoh tentang gadis yang paling
memuakkan, yang pernah aku jumpai. Namanya Sekar Mirah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi pandangan matanya yang kosong terpancang
ke wajah kakaknya yang tegang.
“Gadis itu telah membuat
semuanya menjadi hancur.”
“Semuanya?“ Pandan Wangi
bertanya, “apakah yang kau maksudkan, Kakang?”
Hampir Sidanti meneriakkan
nama Padepokan Tambak Wedi. Hampir ia menyebut namanya sendiri. Untunglah
segera ia menyadari dirinya. Dengan sekuat tenaga ditahankannya perasaannya.
Dan dicobanya untuk berkata sareh, “Maksudku semuanya, setiap laki-laki yang telah
mengenal dan bergaul dengan gadis itu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah yang akan dilakukannya, Kakang?”
“Ia mendekati setiap laki-laki
yang baru dikenalnya dan dikaguminya. Gadis itu mengagumi keperkasaan dan
keperwiraan. Ia senang melihat seorang laki-laki yang bersikap jantan. Tetapi
setiap kali pandangannya selalu berubah-ubah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya pula, “Sifat itu tentu kurang baik bukan,
Kakang. Mungkin ia dapat menimbulkan salah paham di antara laki-laki yang
mengenalnya itu.”
“Tentu.”
“Dan menimbulkan hal-hal yang
tidak dikehendaki.”
“Ya.”
“Aku akan selalu teringat akan
nasehat ayah dan almarhum ibu. Sekarang nasehatmu itu juga, Kakang. Untunglah,
bahwa aku bukan gadis yang cantik. Setidak-tidaknya akan mengurangi kesempatan
bagiku untuk berbuat seperti itu.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Tidak Wangi. Kau juga cantik. Tetapi kau tidak perlu berbuat
serupa itu.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
kemerah-merahan mendengar pujian kakaknya. Dahulu kakaknya memang selalu
memujinya. Tetapi tangkapannya kini menjadi jauh berbeda, sehingga dengan
demikian maka Pandan Wangi itu menundukan kepalanya.
“Pandan Wangi. Kau juga
cantik. Tetapi ingatlah, bahwa kecantikanmu harus mendapat tempat yang baik.”
Pandan Wangi mengangguk kecil.
Tetapi ia masih menundukkan kepalanya.
“Kecantikan yang tidak pada
tempatnya, akan menjadi api yang dapat membakar apa saja yang berada di
dekatnya. Seperti Sekar Mirah yang telah membakar kademangannya.”
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi dengan gadis
yang benama Sekar Mirah itu, Kakang?”
“Karang abang,” sahut Sidanti.
Terasa tekanan kata-katanya menjadi berat, seolah-olah ia sedang menumpahkan
segala tekanan perasaannya karena gadis yang bernama Sekar Mirah itu,
“Laki-laki saling berbunuhan. Gadis itu benar-benar seperti api yang liar.”
Tetapi Sidanti tidak mengatakan bahwa ia telah menyiram dirinya sendiri dengan
minyak, lalu mendekatkan dirinya itu pada api yang sedang menyala-nyala.
Akibatnya, perasaannya terbakar menjadi abu.
Namun tanpa disangka-sangka,
Pandan Wangi itu bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tetapi salah laki-laki
itu sendiri.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
“Kenapa?” ia bertanya.
“Kalau laki-laki itu tidak
memperhatikannya, maka ia akan tidak dapat diperlakukan demikian.”
“Itu adalah kesukaannya.
Dirayunya laki-laki itu, kemudian dihempaskannya.”
“Kalau aku menjadi laki-laki,”
berkata Pandan Wangi, “aku tidak mau mendekatinya. Aku usir dia, seperti ia
mengusir laki-laki yang lain apabila ia mendekati aku. Tetapi aku bukan
laki-laki. Dan setiap laki-laki selalu melemparkan kesalahan kepada
gadis-gadis, kepada perempuan.”
“He,” Sidanti terhenyak
mendengar kata-kata Pandan Wangi.
“Ya, setiap laki-laki selalu
melemparkan kesalahan kepada perempuan. Hampir dalam segala hal, laki-laki
Sangkal Putung yang saling berbunuhan itupun melemparkan kesalahan sepenuhnya
kepada Sekar Mirah itu. Aku belum mengenal dan melihat Sekar Mirah. Seandainya
benar Sekar Mirah itu seorang gadis liar sekali pun, namun laki-laki yang
dengan suka rela menyerahkan dirinya menjadi ayam aduan itupun bersalah pula.
Apakah tidak begitu, Kakang?”
Dada Sidanti menjadi
berdebar-debar. Tetapi ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian ia sadar,
bahwa adiknya Pandan Wangi itupun seorang gadis pula.
“Kau salah paham, Pandan
Wangi.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
“Aku sama sekali tidak
menyalahkan setiap gadis. Aku khusus menyebut Sekar Mirah. Sekar Mirahlah yang
salah. Bukan karena ia seorang perempuan.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi,
“maksudku pun mengatakan tentang Sekar Mirah dan peristiwa-peristiwa serupa.
Sekar Mirah memang bersalah. Tetapi yang bersalah bukan saja Sekar Mirah, juga
laki-laki Sangkal Putung itu. Apalagi yang berbunuh-bunuhan karenanya. Dunia
tidak hanya seluas telapak tangan. Kenapa harus mengejar gadis seperti Sekar
Mirah?”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Hampir-hampir ia terdorong oleh perasaannya. Untunglah, bahwa ia segera
berusaha mengekang dirinya, betapa dadanya terasa seolah-olah terhimpit oleh
batu hitam sebesar kerbau.
Dengan demikian, maka Sidanti
terdiam untuk sesaat. Ia tidak menemukan kalimat yang dianggapnya baik untuk
diucapkannya. Namun dengan demikian, maka terasa dadanya menjadi semakin pepat.
Untunglah, bahwa dalam saat
yang demikian, Argajaya masuk ke dalam bilik itu. Sejenak ia terpaku di muka
pintu. Ia merasakan suasana yang kurang baik di dalam bilik itu, sehingga
hatinya pun menjadi berdebar-debar. Namun kemudian dipaksakannya bibirnya untuk
tersenyum dan berkata, “Ha, apakah kau sedang mendengarkan cerita perjalanan
kakakmu?”
“Ya, Paman,” jawab Pandan
Wangi.
“Apakah cerita itu kurang
menarik?”
“Tidak, Paman. Cerita Kakang
Sidanti sangat menarik.”
“Tetapi Pandan Wangi menjadi
salah paham, Paman,” sahut Sidanti, “Aku bercerita, bahwa aku menjumpai seorang
gadis bernama Sekar Mirah di Sangkal Putung. Gadis itu serupa benar dengan api.
Memang gadis itu benar-benar seperti api. Setiap orang yang dekat, dibakarnya
dengan wajahnya yang cantik, kemudian dibakarnya pula laki-laki lain, sehingga
kadang-kadang dapat menimbulkan keributan, bahkan pernah terjadi pembunuhan
karenanya. Tetapi Pandan Wangi salah paham. Ia menganggap bahwa laki-laki
itupun bersalah pula, karena dengan suka rela membiarkan dirinya menjadi ayam
aduan. Lebih dari itu, disangkanya aku selalu menyalahkan perempuan saja.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Bahwa Sidanti telah bercerita tentang Sekar Mirah, agak
menjadikannya cemas. Kalau Sidanti tidak pandai membawa dirinya, maka ia akan
terseret ke dalam pembicaraan yang berbahaya.
Tetapi Argajaya itu kemudian
tertawa, katanya, “Tidak. Pandan Wangi tidak salah paham. Ia adalah seorang
gadis seperti Sekar Mirah. Tetapi sudah tentu Pandan Wangi tidak akan menjadi
buas dan liar seperti Sekar Mirah.”
“Apakah paman juga mengenal
Sekar Mirah?“ bertanya Pandan Wangi.
Argajaya mengangguk, “Ya, aku
pun mengenal Sekar Mirah. Gadis itu adalah suatu contoh yang suram bagi
kebanyakan gadis-gadis yang manja. Gadis-gaids yang bodoh, yang kurang
pengalaman dan picik.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ketika ia berpaling kepada Sidanti, maka dilihatnya wajah kakaknya
masih tetap tegang. Tetapi ia sudah tidak bernafsu lagi untuk membantahnya.
Sebenarnya ia tidak rela pula apabila ada seorang gadis seperti dirinya sendiri
yang berkelakuan seperti gadis yang dikatakan oleh kakaknya Sidanti. Seandainya
benar seorang gadis berbuat seperti itu, maka sudah sepantasnya kalau ia justru
harus dijauhkan dari pergaulan. Tetapi ia tidak rela juga, apabila dalam setiap
persoalan yang tumbuh karena gadis yang demikian, semua kesalahan ditumpahkan
kepada gadis itu.
Karena Pandan Wangi tidak
menjawab, maka Argajaya berkata selanjutnya, “Sudahlah Pandan Wangi, jangan kau
pikirkan gadis itu. Kau cukup mengetahui, bahwa Sekar Mirah adalah sebuah
lambang dari kehancuran.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
“Kau dapat memetik pengalaman
daripadanya. Kalau umur gadis itu menjadi semakin tua, kalau wajahnya yang
cantik telah mulai berkeriput, kalau senyumnya sudah tidak lagi semanis madu,
maka barulah ia menyadari betapa ia telah tersisih dari dunia disekitarnya.”
Sekali lagi Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Ia tidak akan dapat hidup
lebih dari usia remajanya,” Argajaya meneruskan, “tetapi kau akan menjadi
sangat berbeda. Kau telah menemukan saluran yang mapan pada jalan hidupmu.
Sampai sisa umurmu yang terakhir, kau akan tetap berguna bagi orang lain dengan
ilmu yang kau miliki.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
kemerah-merahan karenanya.
“Nah, sekarang biarlah kakakmu
beristirahat. Ia sangat lelah.”
Pandan Wangi bangkit dari
pembaringan. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata, “Beristirahatlah
Kakang. Aku akan pergi ke dapur.”
“Ah, kau pun harus
beristirahat, Wangi. Bukankah sudah ada orang lain yang bekerja di dapur?”
sahut Argajaya.
“Ada Paman, tetapi sudah
menjadi kebiasaanku bekerja di dapur. Bukankah tidak baik, apabila seorang
gadis tidak pernah menyentuh alat-alat dapur?” jawab Pandan Wangi.
Argajaya mengangguk sambil
tersenyum, “Kau memang seorang gadis yang baik sekali Wangi.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah.
Ketika ia sudah sampai di pintu bilik, sekali lagi ia berkata kepada kakaknya,
“Beristirahatlah Kakang.”
“Terima kasih. Aku akan mandi
saja dahulu.”
“Silahkan. Pakaian Kakang
sudah aku sediakan.”
Pandan Wangi pun kemudian
meninggalkan biliknya. Ia mengagumi pamannya sebagai seorang yang baik, sangat
baik. Seorang yang tahu menghargainya. Di rumah, pamannya pun seorang yang
baik, yang sangat memperhatikan anak-anaknya. Tetapi Pandan Wangi tidak tahu,
apakah yang sudah dilakukan pamannya di luar rumahnya. Pandan Wangi tidak tahu,
apa yang dipikirkan oleh orang yang dianggapnya sangat baik itu. Pandan Wangi
tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi atas paman dan kakaknya.
Ketika Pandan Wangi telah
hilang di balik pintu yang memisahkan gandok dan jalur belakang rumah itu, yang
akan tembus ke pringgitan di balik regol dalam, maka Argajaya segera mendekati
Sidanti. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh. Katanya lirih, “Sidanti, permainan
ini harus segera berhenti. Kau harus segera sampai pada persoalanmu yang
sebenarnya.”
“Ya, Paman. Aku pun merasakan
siksaan yang menyesakkan dadaku karena cerita khayal yang kita buat
bersama-sama. Cerita itu sama sekali tidak akan dapat menolong. Aku harus
segera mengatakan apa yang sebenamya telah terjadi atasku, Paman, dan Guru. Aku
harap ayah segera menyiapkan diri bersama pengawal Tanah Perdikan ini. Bukan
itu saja, aku telah mengenal tanah ini dengan baik. Hampir setiap laki-laki
sini adalah prajurit-prajurit yang baik seperti padepokan Tambak Wedi. Apalagi
tanah perdikan ini jauh lebih luas dari padepokan Tambak Wedi.”
Pamannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Sayang, Tambak Wedi telah terlanjur pecah. Kalau belum, maka
padepokan itu akan dapat dijadikan pancadan yang baik.”
“Kita akan dapat merebutnya,
Paman.”
“Tidak banyak berarti. Kita
sama sekali sudah tidak mempunyai kekuatan apapun di sana.”
“Lalu?”
“Aku tidak tahu, apakah
kira-kira yang akan dilakukan oleh ayahmu. Kalau Menoreh ini memberontak dan
memutuskan hubungan dengan Pajang, maka Pajang akan mendapat kesulitan. Tidak
mudah untuk melakukan serangan menyeberangi hutan Mentaok dan Kali Praga. Kedua
tempat itu akan dapat dijadikan tempat yang sangat baik untuk menunggu
kedatangan prajurit-prajurit Pajang.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Lalu ia pun bertanya, “Apakah yang sudah dikatakan Guru kemudian
sepeninggalku?”
“Ah,” desab pamannya, “aku tidak
telaten. Ki Tambak Wedi dan Kakang Argapati hanya berbicara mengenai hal-hal
yang sama sekali tidak penting. Hal-hal yang sama sekali tidak menyangkut
persoalanmu. Ia berbicara tentang kemajuan ilmumu. Tentang terbunuhnya Tohpati
dan tentang hal-hal lain, yang tidak berarti apa-apa bagimu.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Tetapi apakah yang dapat dilakukanya seandainya gurunya memang menghendaki
demikian
“Nah, sekarang mandilah. Ki
Tambak Wedi pun akan segera datang kemari. Aku akan berbicara dengan gurumu.
Mudah-mudahan kita dapat mempengaruhi Kakang Argapati. Kakang Argapati sendiri
termasuk orang yang disegani oleh orang-orang Pajang, termasuk Ki Gede
Pemanahan.”
“Mudah-mudahan kita berhasil.
Ayah akan menjadi panas dan menyatakan perang melawan Pajang selagi Pajang
masih belum mampu tegak benar. Prambanan mungkin dapat diperhitungkan. Aku
mengenal daerah itu agak banyak.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Ia merasa lebih mengenal daerah Prambanan daripada Sidanti. Sidanti
memang pernah melewati daerah itu. Tetapi ia pernah singgah di kademangan itu
dan bahkan terlibat dalam suatu peristiwa yang memalukan. Karena itu maka
Argajaya berkata, “Kau hanya mengenal Prambanan dari jarak yang tidak terlampau
dekat. Kau mendengar cerita tentang daerah itu dari beberapa orang, antara lain
dari aku sendiri. Tetapi aku tidak dapat mengharap lagi apa-apa dari kademangan
yang menyakitkan hati itu.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Lalu katanya, “Belum tentu Paman. Mungkin masih ada satu dua orang yang Paman
kenal, yang dapat dipengaruhi dengan cara yang lebih baik. Mungkin satu dua
orang dapat dibawa ke tanah perdikan ini dan menunjukkan kepada mereka kekuatan
yang besar, yang akan dapat mendukungnya membuat sesuatu gerakan di Prambanan.
Paman dapat menjanjikan kedudukan yang baik kepadanya, bahkan mungkin kedudukan
demang apabila demang yang lama itu sama sekali sudah tidak dapat lagi diajak
berbicara. Satu dua orang itu akan menjadi inti dari gerakan-gerakan seterusnya
di Prambanan sehingga akhirnya kita mendapat tempat yang baik untuk pancadan.”
“Hem,” Argajaya menarik nafas
dalam-dalam, “kau lalu ingin mengarahkan gerakanmu lewat daerah selatan. Kenapa
kau tidak memperhitungkan jalan lain? Kita dapat melingkari lambung Gunung
Merapi dibagian selatan, langsung menuju ke Jati Anom.”
“Sangat berbahaya,” sahut
Sidanti, “sangat berbahaya, karena di sana ada Untara.”
“Pasukan Untara tidak lebih
besar dari pasukan Widura.”
“Tetapi Kiai Gringsing berada
di kademangan itu.”
“Belum tentu. Mungkin Kiai
Gringsing akan tetap tinggal di Sangkal Putung bersama orang yang bernama
Sumangkar. Apakah kau sangka bahwa Agung Sedayu akan menetap di Jati Anom?
Tidak. Dua orang murid Kiai Gringsing itu berasal dari Jati Anom dan Sangkal Putung.
Tetapi karena di Sangkal Putung ada Sekar Mirah, maka kemungkinan yang
terbesar, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya akan berada di sana.”
Sidanti menekurkan kepalanya.
Tetapi segera ia mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Argajaya berkata, “Sidanti,
kau tidak dapat melepaskan arah perhitunganmu dari Sangkal Putung. Bukankah
begitu?”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
terasa dadanya berdesir.
“Baru saja kau mengumpati
gadis yang bernama Sekar Mirah dari Sangkal Putung. Lupakan gadis itu. Kalau
kau berhasil melupakannya, maka kau akan dapat membuat perhitungan-perhitungan
yang lebih tepat berdasarkan pertimbangan nalar.”
Sidanti tidak menjawab.
Dibiarkannya pamannya berkata terus, “Nah, cobalah kau merenungkan. Kau pernah
berada di dalam lingkungan keprajuritan pula.” Argajaya berhenti sejenak, lalu
katanya merendah, “Tetapi semuanya sangat tergantung kepada ayahmu, Sidanti.
Ayahmu adalah seorang yang mumpuni. Perhitungannya hampir tidak pernah salah.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar, “Ya, semuanya
tergantung kepada Ayah,” katanya di dalam hati.
“Sekarang, bukankah kau akan
mandi?“ bertanya pamannya, “Pergilah mandi. Aku malam ini akan bermalam di
sini, supaya aku dapat ikut dalam pembicaraan nanti.”
“Apakah Guru akan berbicara
malam ini?”
”Mudah-mudahan. Mudah-mudahan
kita tidak selalu digelisahkan oleh cerita khayal yang menjemukan itu.”
Sidanti tidak menjawab. Segera
ia berdiri dan berkata, “Aku akan mandi.”
Argajaya kemudian tinggal
seorang diri di dalam bilik itu. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan
mondar-mandir dalam kegelisahannya. Ia merasa ikut berkepentingan mengenai anak
kakaknya itu. Kemanakannya itu harus dapat membalas sakit hatinya terhadap
Untara, dan bahkan terhadap Pajang, karena Untara adalah seorang senapati yang
mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang.
“Aku harus membela anak itu
sekuat-kuat tenagaku,” desisnya, “aku adalah pamannya.”
Tetapi jauh di dalam dasar
hatinya, Argajaya seolah-olah mendengar sebuah pertanyaan yang lamat-lamat,
hampir-hampir tidak dapat menyentuh telinga batinnya, “Apakah benar demikian,
he, Argajaya yang gagah berani? Apakah benar, sekedar karena dorongan hasratmu
untuk membela kemenakanmu maka kau demikian bernafsu untuk berjuang melawan
Pajang.”
Terasa sebuah desir yang tajam
menyentuh jantungnya. Pertanyaan itu ternyata telah membuatnya gelisah. Namun
justru dengan demikian, maka pertanyaan itu didengarnya lagi, “Apakah benar
demikian? Kalau begitu kau adalah seorang yang paling baik di muka bumi. Tetapi
apakah kau tidak mempunyai pamrih pribadi.”
”Tidak, tidak,” Argajaya
menggeram. Tetapi ia tidak dapat menutup telinganya dari suara hatinya sendiri,
“Argajaya, agaknya bukan karena hasratmu untuk membela Sidanti dan membalas
sakit hatinya saja, kau bertekad untuk melawan Pajang. Tetapi pamrih
pribadimulah yang akan membawa kau dalam kancah peperangan yang besar, yang
justru mengancam keselamatan tanah perdikan ini.”
“Tidak, tidak,” sekali lagi
Argajaya menggeram. Namun bagaimana ia dapat menipu dirinya sendiri? Bagaimana
ia dapat menyembunyikan kata hatinya terhadap dirinya sendiri?
Seperti di hadapkan di muka
cermin, Argajaya dapat melihat dengan jelas, apa yang tersembunyi di dalam
dirinya. Pamrih yang telah mendorongnya untuk membakar Tanah Perdikan Menoreh
dalam kancah peperangan yang dahsyat. Tanah perdikan yang selama ini diliputi
oleh ketenangan dan kesibukan kerja melawan kekerasan alam pegunungan.
Argajaya yang keras hati itu
terhenyak di atas amben bambu di dalam bilik itu. Dicobanya untuk melawan
pertanyaan-pertanyaan yang kemudian terasa semakin mengganggu perasaannya.
Tetapi dengan demikian, maka ia menjadi semakin jelas melihat ke dalam dirinya
sendiri. Kepada pamrih yang terpahat pada dinding hatinya. Ia adalah adik
satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang besar. Tetapi ia bukan
Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun ia mempunyai kekuasaan yang cukup besar,
namun di atasnya adalah kakaknya, Argapati.
“Kalau Kakang Argapati
berhasil memecah Pajang. Setidak-tidaknya mampu mempunyai kekuasaan yang sama
dengan Pajang, karena Pajang tidak mampu mengalahkannya, maka Argapati pasti
akan mengangkat dirinya sejajar dengan pimpinan tertinggi pemerintahan Pajang.
Adiwijaya tidak akan selamanya puas dengan kedudukan Adipatinya. Sebentar lagi
setelah lawan-lawannya satu demi satu disingkirkan, ia akan menjadi seorang
yang paling berkuasa di Pajang dan sepanjang daerah Demak lama. Ia akan dapat
berbuat sekehendak hatinya tanpa seorang pun dapat merintanginya. Sehingga
dengan demikian, ia akan dengan mudahnya membuka jalan ke singgasana seorang
Raja. Sultan Pajang.” Argajaya bergumam di hatinya.
Tiba-tiba Argajaya bangkit
berdiri. Dihentikannya kakinya sambil menggeram, “Memang, memang aku mempunyai
pamrih pribadi. Hanya orang-orang gila yang berbuat sesuatu tanpa pamrih
pribadi. Dan aku bukan orang gila. Kalau Kakang Argapati kelak dapat menjadi
seorang yang mempunyai kekuasaan menyamai Adiwijaya, kemudian menyebut dirinya
Adipati, maka aku adalah orang yang kedua. Kakang Argapati tidak akan lagi
mempunyai waktu untuk tanah perdikan ini. Sidanti, anak laki-lakinya tidak akan
lagi mengharap tanah perdikan ini sebagai tanah warisan, karena kedudukan
ayahnya. Maka tidak ada orang kedua dan ketiga selain Argajaya.” Argajaya itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, “Setelah itu, apa yang akan terjadi,
entahlah. Apakah Argajaya akan berhenti di tempat itu?”
Tetapi Argajaya tidak berani
meneruskan angan-angannya. Terdengar ia berdesis, “Terlampau jauh. Aku harus
mendapatkan yang paling dekat dahulu. Kakang Argapati harus melawan Pajang.
Harus memisahkan diri dari kekuasaan Adiwijaya. Kalau tidak mampu meremukkan
Pajang, setidak-tidaknya melepaskan diri, dan berdiri dalam keadaan yang sama.”
Argajaya yang seolah-olah
telah sampai pada puncak angan-angannya itu, kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia meletakkan dirinya
perlahan-lahan duduk lagi di atas amben. Namun ia masih belum melepaskan sama
sekali angan-angannya, ” Hem, bagaimana dengan para Bupati dan Adipati yang
kini telah memihak Pajang?”
Pertanyaan itu dijawabnya
sendiri. Mereka sudah bukan pejuang-pejuang yang gigih. Setelah mereka mampu
melapisi tiang-tiang rumah mereka dengan emas, setelah mereka mampu mengukir
tubuh mereka dengan intan berlian dan memenuhi bilik-bilik mereka dengan
istri-istri muda yang cantik, maka mereka adalah orang-orang yang paling jinak.
Apabila Kakang Argapati mampu memecah kota Pajang, maka tidak sampai
sepenginang mereka akan tunduk. Bukan karena keyakinan kebenaran mereka atas
kemenangan Kakang Argapati, tetapi sekedar untuk menyelamatkan diri mereka,
menyelamatkan harta benda mereka dan menyelamatkan istri-istri mereka yang
muda-muda dan cantik. Sebab itulah yang kemudian sudah menjadi jalan hidup
mereka.”
Argajaya menarik nafas sekali
lagi. Semakin panjang. Ia menemukan kepuasan di dalam angan-angannya.
Seolah-olah ia telah melakukannya. Seolah-olah kini ia telah menggenggam
kemenangan. Kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Namun Argajaya
sendiri melupakannya, bahwa arah perjuangannyapun serupa dengan para Bupati dan
Adipati itu. Dengan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar, ia akan
dapat berbuat jauh lebih banyak dari apa yang dapat dilakukannya sekarang. Ia
akan dapat melapisi tiang rumahnya dengan emas, ia akan dapat mengukir dirinya
dengan intan berlian, dan kemudian mengisi bilik-bilik rumahnya dengan
istri-istri yang cantik.
Argajaya yang sedang
diselubungi oleh angan-angannya itu, terkejut ketika ia melihat seseorang
melangkah masuk ke dalam bilik itu. Ketika ia mengangkat wajahnya terdengar
orang itu mengeluh pendek.
“Marilah Kiai,” Argajaya
mempersilahkan.
“Terima kasih, Ngger,” sahut
orang itu yang ternyata adalah Ki Tambak Wedi, sambil duduk di samping
Argajaya.
“Apakah Kiai sudah
mengatakannya?” Argajaya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu Ki Tambak Wedi
meletakkan dirinya.
“Heh,” Ki Tambak Wedi menarik
nafas dalam-dalam, “ternyata aku terdorong terlampau jauh ke dalam cerita
khayal itu.”
“Kiai harus menghentikannya,”
potong Argajaya.
“Aku menyadari, Ngger. Tetapi
aku belum menemukan jalan.”
“Lalu, apakah Kiai akan
membiarkan saja semuanya itu berlangsung tanpa ujung dan pangkal.”
“Tidak. Sudah tentu tidak.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi terlintas di kepalanya angan-angannya, “Adalah kebetulan
sekali terjadi peristiwa ini atas Sidanti. Peristiwa ini akan dapat menjadi
sebab untuk membakar hati Kakang Argapati. Tanpa sebab ini, sudah pasti Kakang
Argapati tidak ingin melakukan perlawanan atas Pajang.”
Tetapi yang diucapkannya
adalah sebuah pertanyaan, “Lalu apa yang sudah Kiai katakan tentang keadaan
Sidanti yang sebenamya?”
Ki Tambak Wedi menggelengkan
kepalanya, “Belum, Ngger. Aku belum mengatakan apa-apa.”
“Sama sekali belum? Bahkan
dengan pengertian yang miring pun belum sama sekali?”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya. Sorot matanya menembus daun pintu yang tidak terlalu
rapat. Namun wajah yang sudah ditandai oleh umurnya yang semakin tua itu,
menjadi tegang.
“Aku belum mendapat kesempatan
sama sekali,“ desis Ki Tambak Wedi, “justru aku terdorong semakin jauh ke dalam
cerita yang menjemukan itu. Semakin rapat aku berusaha menutupi kebohongan yang
sudah terlanjur diucapkan, maka aku pun menjadi semakin dalam terlibat ke dalam
kebohongan baru.”
“Karena itu, Kiai harus segera
menghentikannya,” potong Argajaya.
“Ya, aku sudah tahu, bahwa aku
harus menghentikannya. Tetapi aku tidak dapat. Aku belum menemukan kesempatan
itu.”
“Kalau Kiai
bersungguh-sungguh, maka kesempatan itu pasti terbuka.”
“Ah, jangan menyalahkan aku
saja, Ngger. Kita bersama-sama telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang
tidak kita ingini. Kita bersama-sama menyesali sikap Sidanti yang telah
melibatkan kita ke dalam suatu keadaan yang sangat jelek ini. Dan kita
bersama-sama ingin menghentikannya. Ingin memutuskan rantai yang seolah-olah
menjadi semakin banyak meliliti tubuh kita. Tetapi aku sendiri belum menemukan
kesempatan itu.”
“Kiai harus bersikap tegas.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, supaya Kiai tidak terperosok semakin dalam.
Kiai harus sanggup mengatakan kepada kakang Argapati, bahwa semua itu hanya
sekedar ceritera bohong belaka, untuk membohongi Pandan Wangi. Tetapi tidak
demikian yang sebenarnya terjadi.”
“Seharusnya, ya seharusnya.”
“Kenapa seharusnya? Kenapa
Kiai tidak berani melakukannya? Kesempatan yang baik telah Kiai lampaui, ketika
Pandan Wangi meninggalkan pertemuan itu. Kiai dapat memutar haluan pembicaraan
dengan serta-merta.”
“Jalan pikiranku tidak secepat
itu, Ngger. Tetapi seandainya Angger mampu berpikir secepat itu, kenapa Angger
tidak melakukannya atau setidak-tidaknya memberi aku isyarat untuk
melakukannya? Bukankah Angger juga tinggal bersama Argapati beberapa lama
sepeninggal Pandan Wangi dan bahkan sepeninggal Sidanti.”
Argajaya terdiam. Ia merasakan
kebenaran kata-kata Ki Tambak Wedi. Justru pada saat itu ia pun masih ikut
serta membuat cerita-cerita khayal yang menjemukan sekali.
“Kita sekarang sudah berdiri
pada keadaan ini,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kita jangan terpukau oleh
keadaan yang baru saja lampau. Dengan keadaan kita sekarang ini, apakah kita
masih mempunyai keberanian untuk mengatakannya kepada Argapati apa yang
sebenarnya terjadi?”
Argajaya menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian nafsu yang telah membakar jantungnya, telah
mendorongnya untuk berkata, “Harus. Harus. Kita harus berani mengatakan apa
yang sebenarnya terjadi. Aku yakin, bahwa Kiai mempunyai jiwa yang cukup besar,
sebesar nama Kiai. Apalagi Kiai pasti mempunyai pengaruh yang cukup atas Kakang
Argapati, ternyata dari kepercayaannya menyerahkan anak laki-laki satu-satunya
kepada Kiai.”
“Ah,” orang tua itu mengeluh
panjang, “Angger memuji seperti memuji kanak-kanak yang menolak untuk mengantar
makanan kepada ayahnya di sawah. Dengan pujian-pijian, maka anak yang manja
akan dengan senang melakukannya.”
“Tidak Kiai, tidak,” potong
Argajaya dengan serta-merta, ”bukan maksudku. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Kiai
mempunyai pengaruh yang besar atas Kakang Argapati. Kalau tidak, Sidanti pasti
tidak akan diserahkan kepada Kiai.”
Wajah orang tua itu tiba-tiba
terkulai jatuh di lantai. Sekali lagi ia mengeluh panjang. Dan Argajaya menjadi
terheran-heran karenanya.
“Kenapa Kiai? Kiai tampaknya
telah dibayangi oleh keragu-raguan. Sejak diperjalanan aku melihat
keragu-raguan itu. Dan kini menjadi semakin nyata. Itukah yang telah mendorong
Kiai untuk terus menerus berbohong kepada Kakang Argapati?”
Tanpa disangka-sangka,
tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mengangguk lemah, “Mungkin, Ngger. Mungkin sekali.”
“Kenapa Kiai?”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
“Apakah Kiai meragukan
tanggapan Kakang Argapati atas semua kejadian di Sangkal Putung dan Jati Anom?”
“Mungkin.”
“Mungkin?“ Argajaya
mengulangi, “jadi Kiai tidak yakin, bahwa itu adalah sebab utama kenapa Kiai
menjadi ragu-ragu? Dengan demikian, Kiai pasti memperhitungkan ada sebab lain
yang telah membuat Kiai ragu-ragu.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku akan segera mengatakan
kepada Argapati bahwa semua cerita yang telah didengarnya itu adalah cerita
bohong semata-mata. Cerita kanak-kanak untuk sekedar membuat Pandan Wangi dan
orang-orang dari tanah ini tidak terkejut dan berbuat di luar dugaan.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Seakan-akan menahan nafasnya yang berdesah lewat lubang hidungnya
ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata seterusnya, “Aku harus berani
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kerut merut di keningnya berangsur hilang. Perlahan-lahan ia
berkata, “Demikianlah hendaknya Kiai. Tak ada jalan lain. Sakit hati itu harus
dibalas. Bukan sekedar atas Untara dan Widura, apalagi Sutawijaya. Tetapi
Pajang harus dipecah.”
“Ya,” Ki Tambak Wedi
menganggukkan kepalanya. Tetapi kata-katanya terasa hambar dan tidak
meyakinkan.
eskipun demikian Argajaya
mengharap, bahwa sebenarnya demikianlah yang akan terjadi. Ia yakin bahwa
kakaknya Argapati akan tersinggung sekali dengan peristiwa yang menimpa Sidanti
dengan sedikit ramuan yang meyakinkan.
Sejenak mereka berdua
dicengkam oleh kediaman. Ki Tambak Wedi duduk sambil meraba-raba kumisnya.
Sedang Argajaya tepekur dalam-dalam. Namun angan-angannya membubung tinggi ke udara.
Mereka tersadar dari
angan-angan masing-masing, ketika mereka mendengar langkah seseorang mendekati
pintu bilik itu. Dan sejenak kemudian sesosok tubuh telah melangkah masuk.
Orang itu adalah Sidanti.
“Oh,” Sidanti berdesis ketika
ia melihat gurunya duduk di dalam bilik itu pula, “silahkan Guru untuk mandi.
Pakaian untuk Guru telah disediakan oleh Pandan Wangi.”
“Terima kasih,” jawab Ki
Tambak Wedi. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.
Sidanti tertegun sejenak.
Namun kemudian dicobanya untuk tidak terpengaruh oleh sikap gurunya.
Perlahan-lahan ia melangkah maju dan duduk di amben itu pula.
“Sidanti,” berkata Ki Tambak
Wedi setelah Sidanti duduk, “aku sedang mencoba mengumpulkan keberanian untuk
berkata berterus terang kepada ayahmu.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Kemudian ia bertanya, “Apakah yang meragukan, Guru?”
“Aku belum dapat menjajagi
tanggapan ayahmu terhadap semua peristiwa yang terjadi.”
“Ah,” sahut Sidanti, “kenapa
Guru ragu-ragu?”
“Hal itu sebenarnya tidak
perlu terjadi Kiai,” sambung Argajaya, “Sidanti adalah putra Kakang Argapati.
Seandainya ia tidak berkenan atas kejadian yang berlangsung, seandainya Kakang
tidak senang akan sikap Sidanti, namun Sidanti adalah putranya. Persoalannya
telah terlanjur terjadi. Apakah Kakang Argapati dapat berpangku tangan tanpa
berbuat sesuatu? Aku, yang bukan ayahnya merasakan hinaan itu atas tanah ini.
Atas seluruh Tanah Perdikan Menoreh, karena Sidanti adalah putra Kepala Tanah
Perdikan ini.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya sama sekali tidak memancarkan
gairah dan nafsu untuk berbuat sesuatu.
Tetapi Ki Tainbak Wedi
benar-benar telah mengherankan Argajaya dan Sidanti. Mereka tidak pernah
melihat mata itu begitu suram. Mereka tidak pemah melihat wajah Ki Tambak Wedi
begitu gelap dan dipenuhi oleh keragu-raguan. Yang selalu mereka lihat adalah,
meskipun sudah dihiasi dengan kerut merut ketuaan, namun wajah itu selalu
menyalakan nafsu yang melonjak-lonjak. Wajah itu selalu memancarkan gejolak di
dalam dadanya, dan matanya selalu menyorotkan api yang seolah-olah ingin
membakar masa depan.
“Seandainya Guru merasa
bersalah,” berkata Sidanti di dalam hatinya, “apakah ia perlu menyesali
kesalahannya sampai berlarut-larut? Ia dapat langsung berhadapan dengan Ayah,
minta maaf atas kesalahan itu, namun kemudian menekannya untuk berbuat
sesuatu.”
Tetapi seperti Argajaya,
Sidanti masih tetap yakin, bahwa ayahnya pasti tidak akan tinggal diam saja.
Tetapi ayahnya memang memerlukan api yang dapat membakar kemarahannya. Karena
itu maka baik gurunya maupun pamannya harus dapat mengatakan apa yang telah
terjadi itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Sidanti itu berpaling ketika
ia mendengar gurunya berkata, “Tetapi aku memang sudah bertekad untuk
mengatakan kepada ayahmu, Sidanti. Apa pun tanggapannya. Mudah-mudahan ia dapat
mengerti dan seperti yang kita harapkan, ayahmu bersedia untuk berbuat sesuatu,
berbuat untuk menebus sakit hati dan dendam yang menyala di dalam dada ini.”
Sidanti mendengar kata-kata
yang panas penuh tekad untuk membalas dendam dan sakit hati, tetapi nada yang
membawakan kata-kata itu sama sekali kurang meyakinkannya. Namun Sidanti tidak
segera menyahut, dan dibiarkan gurunya berkata terus, “Nanti malam aku akan menemui
ayahmu.”
“Baik, Kiai,“ sahut Argajaya
dengan serta merta, “aku memang mengharap, bahwa malam ini semuanya dapat
diselesaikan. Aku telah bermalam satu malam lagi di sini, betapa aku ingin
segera bertemu dengan keluargaku. Aku ingin ikut serta meyakinkan Kakang
Argapati, bahwa Menoreh harus berbuat sesuatu karena seorang putranya telah
dihinakan oleh orang-orang Pajang, justru putra Kepala Tanah Perdikannya.“
Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi
menjadi semakin berkerut merut. Dan tanpa disangka-sangka ia berkata, “Maaf,
Ngger. Aku ingin bertemu dengan Argapati seorang diri. Aku harus berhadapan
dengan kakakmu itu tanpa seorang pun yang hadir. Aku ingin mengatakan semua
persoalan yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.”
Jawaban itu ternyata telah
mengejutkan Argajaya dan Sidanti, sehingga hampir bersamaan mereka bertanya,
“Kenapa?”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Sidanti seperti belum pernah dilihatnya,
sehingga Sidanti terpaksa melontarkan pandangan matanya keluar bilik itu.
“Aku harap kalian dapat
mengerti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian, “aku tidak ingin Argapati menjadi
salah paham. Karena itu, aku harus berhati-hati. Nanti apabila persoalan ini
telah benar-benar dipahami oleh Argapati, maka kalian akan mendapat kesempatan
untuk mengatakan perasaan kalian. Tetapi sebelum itu, jangan membuatnya menjadi
bingung.”
“Ah,” desah Argajaya, “Kakang
Argapati bukan anak-anak yang lekas menjadi bingung. Ia tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang. Aku kira
dalam pembicaraan antara orang-orang yang telah cukup dimatangkan oleh
pengetahuan dan pengalaman, tidak akan dapat terjadi salah paham.”
“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan
tidak ada salah paham. Karena itu, biarlah aku saja yang mengatakannya. Dengan
demikian, maka seperti yang kau katakan, Angger Argajaya, kami orang-orang tua
yang telah kenyang makan pahit masamnya kehidupan, akan dapat berbicara tanpa
salah paham.”
Urat-urat yang terbujur di
kening Argajaya menjadi tegang. Sepercik warna merah membayang di matanya.
Jawaban Ki Tambak Wedi itu benar-benar telah mengguncang perasaannya.
Perasaannya sebagai seorang paman dan sebagai seorang yang mempunyai kedudukan
yang cukup penting di Tanah Perdikan Menoreh.
Persoalan yang akan
dibicarakan adalah persoalan Sidanti. persoalan kemanakannya, anak Kepala Tanah
Perdikan Menoreh. Sedang Argajaya adalah orang kedua di tanah perdikan ini.
Kenapa Ki Tambak Wedi berkeras untuk menjauhkannya dari pembicaraan itu.
Ki Tambak Wedi yang mempunyai
pengamatan yang cukup tajam, seolah-olah dapat mengerti apa yang sedang
bergolak di dalam hati Argajaya itu. Sehingga karena itu, maka ia berkata,
“Angger Argajaya jangan salah paham. Persoalan ini memang persoalan Sidanti,
persoalan Menoreh dengan Pajang. Tetapi sebelum kita sampai pada persoalan itu,
adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi. Persoalan penyerahan Angger
Sidanti, putra Argapati itu kepada Ki Tambak Wedi. Argapati sebagai seorang
ayah, lepas dari segala macam sangkutan persoalan, dan Ki Tambak Wedi seseorang
yang mendapat kepercayaan mengasuh Sidanti. Sebagai seorang yang menyimpan ilmu
dari perguruan Tambak Wedi. Seseorang kepada seseorang. Hanya itu. Itulah yang
harus aku pertanggung jawabkan lebih dahulu, sebelum aku sampai kepada
persoalan lain yang menyangkut kemudian. Persoalan Sidanti dengan orang-orang
Pajang. Persoalan Sidanti dengan Sekar Mirah, kemudian persoalan Sidanti dengan
Untara. Hancurnya Tambak Wedi dan segala macam persoalan yang lain. Nah, dalam
persoalan-persoalan inilah aku memang memerlukan seorang kawan untuk meyakinkan
Argapati. Tetapi sebelum itu, persoalannya adalah persoalan Argapati dan Ki
Tambak Wedi. Sebagai seorang yang memberikan kepercayaan dan yang menerima
kepercayaan untuk mengasuh Sidanti.”
Urat-urat yang seolah-olah
menjalar di kening Argajaya masih menegang. Tetapi penjelasan Ki Tambak Wedi
itu ternyata agak mengendorkannya. Ia dapat mengerti beberapa bagian dari
keterangan itu, meskipun masih ada beberapa masalah yang tidak dapat
ditangkapnya. Namun dengan demikian, maka getar di dadanya menjadi semakin
turun. Perlahan-lahan ia berpaling, dipandanginya wajah Sidanti dengan
tajamnya, seolah-olah ia ingin bertanya, bagaimanakah tanggapan anak muda itu
atas keterangan gurunya.
Tetapi Sidanti sama sekali
tidak dapat memberikan tanggapan apapun. Justru ia menjadi bingung. Ia dengan
tiba-tiba telah dicengkam oleh perasaan kecewa ketika gurunya mengatakan, bahwa
tidak ada orang lain yang dapat ikut berbicara, selain Argapati dan Ki Tambak
Wedi. Namun keterangan gurunya itu masuk pula di dalam akalnya. Adalah wajar,
bahwa persoalan itu semata-mata adalah persoalan Argapati dan Ki Tambak Wedi.
Seperti pada saat Argapati menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi, tidak ada
seorang pun yang ikut mencampurinya. Tidak ada seorang pun yang membantu salah
satu pihak untuk meyakinkan pihak yang lain. Dan lebih dari itu, tidak seorang
pun yang tahu, apakah yang sebenarnya telah mereka bicarakan dalam penyerahan
itu.
Dan sekarang, ketika Ki Tambak
Wedi dihadapkan pada suatu persoalan yang pelik, yang tidak dapat di atasinya
sendiri untuk menghadapi masa depan Sidanti, maka Ki Tambak Wedi memerlukan
Argapati. Memerlukan ayah Sidanti itu sendiri.
Sebenarnya hal itu adalah hal
yang wajar. Sangat wajar. Dan adalah wajar juga, kalau Ki Tambak Wedi ingin
berbicara tanpa orang lain, dalam hal Sidanti ini.
Tetapi persoalan yang sekarang
di hadapi oleh Ki Tambak Wedi bukan sekedar persoalan Sidanti pribadi. Bukan
soal kegagalan Sidanti dalam usahanya menuntut ilmu dari perguruan Tambak Wedi.
Bukan sekedar persoalan Sidanti yang malas dan tidak mempunyai ketekunan dalam
usahanya menuntut ilmu. Tidak. Justru Sidanti adalah seorang murid yang baik,
yang tekun dan dapat dibanggakan oleh gurunya.
Namun kegagalan Sidanti kali
ini adalah kegagalannya dalam percaturan pergeseran pimpinan pemerintahan,
meskipun hanya dalam satu segi. Persoalan yang menyangkut perselisihan antara
Pajang dan Jipang. Antara Jipang dan Tambak Wedi, dan kemudian antara Pajang
melawan Jipang dan Tambak Wedi bersama-sama. Persoalannya kemudian pasti akan
menyangkut nama Sidanti sebagai seorang putra Menoreh dalam hubungannya keluar.
Bukan sekedar masalah pribadinya yang gagal dalam ilmunya. Dan persoalan ini
bukanlah sekedar persoalan Ki Tambak Wedi dan Argapati. Tetapi persoalan ini
pasti akan menjadi persoalan antara Menoreh dan Pajang dalam keseluruhan.
Meskipun demikian, Argajaya
dan Sidanti merasa, bahwa mereka tidak akan dapat memaksa Ki Tambak Wedi untuk
membawa mereka dalam pembicaraan, sebelum Ki Tambak Wedi menganggap, bahwa
persoalan salah paham telah dapat dilaluinya.
Dengan demikian maka Argajaya
dan Sidanti tidak berusaha untuk mendesak orang tua itu. Namun mereka tidak
dapat melepaskan keinginan mereka untuk mendengar dan ikut berbicara dalam
masalah itu.
“Baiklah aku bersabar,”
berkata Argajaya di dalam hatinya. “Apabila persoalannya telah menyangkut
masalah Menoreh dan Pajang, maka Kakang Argapati pasti akan memanggil aku.”
Dan Sidanti pun agaknya
berpikir demikian pula, “Apabila datang waktunya, Ayah pasti akan memanggil
aku, dan aku akan dapat membakarnya untuk menyatakan perang terbuka melawan
Pajang yang memang masih kisruh.”
Tetapi Sidanti tidak mengatakannya.
Ia mengharap agar gurunya segera menemui ayahnya dan berbicara tentang
persoalannya dengan sungguh-sungguh. Tidak lagi sambil bergurau, membuat cerita
khayal yang menjemukan dan menyesakkan nafas.
Sejenak mereka bertiga saling
berdiam diri. Masing-masing dengan angan-angan sendiri. Namun ketika
sekali-sekali Argajaya mencoba memandang wajah Ki Tambak Wedi, maka ia
merasakan suatu kegelisahan yang sangat pada orang tua itu.
Baru sesaat kemudian, orang
tua itu berdiri sambil berkata, “Aku akan pergi ke sumur sebentar. Nah,
temuilah ayahmu itu, Sidanti.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Dan ia mendengar gurunya berkata, “Tetapi jangan berkata apa pun tentang dirimu
yang sebenarnya.”
“Sudah aku katakan, aku
sendirilah yang akan mengatakannya.”
Sidanti menjadi ragu-ragu,
sehingga ia bertanya, “Lalu apakah yang akan dapat aku katakan kepada Ayah?
Apakah yang telah Guru bicarakan sebelum ini?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk, “Ya, aku telah bercerita
tentang daerah yang belum pernah kau lihat.” Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam, “Mungkin kau akan bingung. Dan mungkin ayahmu pun akan bingung
pula.”
“Lalu?”
Ki Tambak Wedi berpikir
sejenak, “Sebaiknya kau tidak menemuinya. Akulah yang pertama-tama akan
berbicara.”
Sidanti menganggukkan
kepalanya. Tetapi terasa kejanggalan yang luar biasa pada pertemuannya dengan
ayahnya kali ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika ia pulang untuk yang
terakhir kalinya, ia dapat berbicara dengan ayahnya seperti seorang anak dan
ayah yang telah lama tidak bertemu. Tetapi kali ini ia merasa seperti seseorang
yang sedang bersembunyi di dalam rumah ini. Menghindari pertemuan dengan
orang-orang lain, bahkan dengan ayahnya sendiri.
“Ayah pasti menunggu aku di
pendapa,” desisnya.
“Mungkin. Tetapi sebaiknya kau
tetap berada di dalam bilikmu. Kau dapat membuat alasan apa saja tentang
dirimu. Mungkin kepalamu lagi pening, atau kau terlampau lelah dan ingin
beristirahat sejenak.”
Sidanti mengangguk kosong,
sedang Argajaya berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.
“Aku akan segera selesai. Dan
aku segera menemui ayahmu.”
Sidanti tidak menjawab.
Dibiarkannya gurunya melangkah meninggalkannya di dalam bilik itu bersama
pamannya.
“Sulit,” desis anak muda itu.
“Hanya sementara. Kenapa kau
menjadi sangat terganggu karenanya?” bertanya Argajaya. Tetapi kata-kata itu
ditujukan kepada dirinya sendiri pula.
“Ya, tetapi yang sementara ini
benar-benar telah menyiksaku,” berkata Sidanti.
“Sebentar lagi Ki Tambak Wedi
telah selesai. Ia akan segera menemui ayahmu.”
”Ya, Paman. Tetapi bagaimana
dengan aku sekarang? Apakah aku akan tetap berada di dalam bilik yang pepat
ini?”
Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Tidak mengapa Sidanti. Hanya sebentar.”
“Dadaku serasa sesak, dan
kepalaku benar-benar menjadi pening.”
Dahi Argajaya berkerut, namun
kemudian ia tersenyum hambar, “Kau terlampau tergesa-gesa. Bersabarlah
sedikit.”
Sidanti kemudian membanting
dirinya di pembaringannya. Beberapa kali ia berdesah. Waktu yang pendek itu
terasa terlampau panjang baginya. Sedang Argajaya yang duduk di sampingnya pun
sebenarnya telah dibakar oleh kegelisahannya pula. Tetapi ia masih mencoba
menahan diri.
Sidanti terlonjak ketika ia mendengar
pintu bilik itu berderit. Dilihatnya Pandan Wangi telah berada di luar biliknya
di depan pintu.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi
itu, “Ayah menunggu Kakang di pendapa. Kenapa Kakang tidak keluar dari bilik
ini dan menghadap Ayah?”
Sidanti menjadi bingung.
Dipandanginya wajah pamannya untuk mendapatkan pertimbangan. Tetapi Argajaya
pun tidak segera menemukan jawab.
“Aku telah menyediakan minuman
hangat untuk Kakang Sidanti, Paman Argajaya, dan Guru Kakang. Ayah menunggu
kalian untuk minum-minum bersama setelah sekian lama tidak bertemu. Ayah ingin
mendengar ceritamu, Kakang.”
“Ya, ya Wangi,” Sidanti
menjadi tergagap.
“Kami menunggu Ki Tambak Wedi,
Wangi,” Argajaya yang sudah menjadi agak tenang berkata, “sebentar lagi kami
akan datang. Ki Tambak Wedi baru mandi.”
“O,” Pandan Wangi mengangguk,
“baiklah. Akan aku katakan kepada Ayah.”
Pandan Wangi itu pun kemudian
meninggalkan paman dan kakaknya dalam kegelisahan. Demikian Pandan Wangi
menjauh, maka berkata Argajaya, “Hem, keadaan kita benar-benar sulit.”
Sidanti tidak menjawab. Sekali
lagi dijatuhkannya tubuhnya di atas amben bambu dengan hati yang sangat kesal.
Sekali-sekali masih terdengar ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam.
Setelah mereka hampir tidak
dapat bersabar lagi, barulah mereka melihat Ki Tambak Wedi masuk kedalam bilik.
Sebentar kemudian seseorang menjengukkan kepalanya dan berkata, “Inilah lampu
untuk bilik ini.”
“Taruhlah di atas geledeg
itu,” sahut Sidanti acuh tidak acuh. Ternyata hari telah berangsur gelap,
semakin gelap. Semula mereka sama sekali tidak memperhatikan, bahwa bayangan
mereka telah menghitam karena sinar senja yang semakin redup.
Ketika Ki Tambak Wedi telah
selesai berkemas, maka terdengar ia bergumam, “Lebih baik kalian tinggal di
sini. Sekarang aku akan menemui Argapati untuk minta waktu, berbicara di antara
kami berdua.”
Sidanti dan Argajaya saling
berpandangan untuk sesaat, tetapi tidak ada pilihan lain daripada menganggukkan
kepala mereka dan menjawab, “Baiklah. Kami akan menunggu di sini.”
Ki Tambak Wedi segera
meninggalkan bilik itu. Kini tampak betapa ia menjadi tergesa-gesa, sehingga orang
tua itu sama sekali tidak berpaling lagi.
Ketika Ki Tambak Wedi telah
hilang di balik pintu, Argajaya dan Sidanti seolah-olah tersadar dari sebuah
mimpi yang aneh. Hampir tidak masuk di dalam akal mereka, bahwa mereka tidak
boleh ikut serta dalam pembicaraan antara Ki Tambak Wedi dan Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh, ayah Sidanti. Namun demikianlah yang dikehendaki oleh
Ki Tambak Wedi. Dan mereka hanya dapat menerima keadaan itu. Semuanya demi
untuk kebaikan keadaan mereka.
Ki Tambak Wedi yang berjalan
dengan tergesa-gesa keluar dari gandok, tiba-tiba tertegun di halaman. Ternyata
debar jantungnya menjadi semakin deras, seolah-olah seluruh dadanya ikut
berdetak.
“Hem,” orang tua itu menarik
nafas dalam-dalam, “aku harus dapat mengendalikan perasaanku. Ternyata aku
telah dihantui oleh bayanganku sendiri. Noda-noda hitam yang melekat di tubuhku
agaknya telah membuat aku menjadi seorang pengecut.”
Ki Tambak Wedi mencoba
menenteramkan hatinya. Dipandanginya pintu pringgitan yang masih terbuka. Sinar
lampu yang kemerah-merahan berloncatan jatuh di atas lantai pendapa yang redup,
oleh sinar pelita yang remang-remang.
“Di sana Argapati menunggu
aku, Sidanti, dan Argajaya,” orang tua itu berdesis.
Tetapi keragu-raguan yang
sangat telah mencengkam hatinya. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya untuk
bertemu dengan Argapati berdua. Tumbuhlah hasrat di dalam hatinya untuk berbuat
licik. Mengajak Sidanti dan Argajaya untuk bersama-sama berbicara dengan
Argapati meneruskan cerita mereka yang menjemukan itu.
“Tidak,” tiba-tiba Ki Tambak
Wedi itu menggeretakkan giginya, “dengan demikian persoalan ini tidak akan
selesai. Aku harus berkata seperti apa yang terjadi. Aku harus mengatakan
kepada Argapati tentang keadaan Sidanti seperti yang benar-benar dialaminya. Apa
pun tanggapan Argapati, tetapi aku harus berterus terang.”
Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Kemudian dibulatkannya hatinya untuk berhadapan dengan Argapati, dan mengatakan
tentang keadaan Sidanti, mengatakan tentang dendam yang menyala di dada anak
itu, serta sakit hati yang hampir-hampir tidak tertahankan.
“Argapati harus mengerti,”
gumam Ki Tambak Wedi, “apapun yang sudah terjadi atasnya.”
Sesaat Ki Tambak Wedi berdiri
tegak sambil mengawasi pintu pringgitan. Ketika keragu-raguannya menganggunya
lagi, maka dihentakkannya kakinya, “Aku tidak boleh ragu-ragu.”
Ki Tambak Wedi itu pun
kemudian melangkahkan kakinya naik ke pendapa. Ditindasnya debar jantungnya
yang semakin keras. Dicobanya untuk berbuat dengan tenang. Tanpa kesan apa pun
di wajah dan sorot matanya.
Ketika ia muncul di pintu
pringgitan, dilihatnya Argapati duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih.
Di sampingnya duduk putri satu-satunya. Pandan Wangi. Gadis itu sama sekali
tidak mengesankan kegarangannya dalam pakaian laki-laki. Pandan Wangi dalam
keadaannya itu, benar-benar seorang gadis yang manis.
Sebuah pergolakan kembali
melanda dada Ki Tambak Wedi. Tetapi sekali lagi ia mencoba menindasnya.
Namun darahnya serasa semakin
cepat mengalir ketika ia mendengar Argapati tertawa dan berkata, “Ha, marilah,
silahkan duduk. Aku sudah lelah menunggu kalian. Marilah. Kita dapat berbicara
semalam suntuk. Kalian dapat berceritera apa pun juga. Marilah.”
Ki Tambak Wedi melangkah
masuk. Dan dilihatnya Argapati itu mengerutkan keningnya, “Di mana Sidanti dan
Argajaya. Kenapa ia tidak segera datang kemari? Pandan Wangi sudah
memanggilnya, tetapi Argajaya menjawab, bahwa mereka menunggu kau, Ki Tambak
Wedi.”
“Sebentar lagi mereka akan
datang,“ jawab Ki Tambak Wedi.
“Apa lagi yang mereka tunggu?
Biarlah kita berbicara apa saja. Aku sudah kangen mendengar Sidanti bercerita.
Sebentar lagi biarlah Pandan Wangi menyajikan makan kita, lalu kita berbicara
lagi semalam suntuk. Aku kira beberapa orang akan datang pula kemari untuk
mendengarkan cerita Sidanti yang telah lama tidak menginjakkan kakinya di
kampung halamannya. Beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini pasti akan kagum
mendengar Sidanti menceritakan peperangan yang dialaminya, dan terbunuhnya
Tohpati. Sidanti pasti akan memberikan banyak petunjuk dan pengalaman di dalam
ceritanya bagi orang-orang tanah perdikan yang sepi ini.”
“Ya, ya. Argapati. Sebentar
lagi ia akan datang.”
“Apa yang dikerjakannya
sekarang.”
“Kepalanya terasa agak pening.
Perjalanan hari ini terasa agak berat baginya karena terik matahari.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Tanpa prasangka apa pun ia bertanya, “He, kenapa kepala Sidanti itu
begitu cengeng. Bukankah ia telah mengalami perjalanan berhari-hari. Di dalam
hujan dan terik matahari.”
Dada Ki Tambak Wedi berdesir.
Namun ia berusaha menjawab, “Tentu Argapati. Bukan hari inilah yang menentukan.
Yang berhari-hari itu, sedikit demi sedikit telah mempengaruhi kesehatan
Sidanti. Tetapi anak itu tidak mau melihat kenyataan, bahwa perjalanan yang
berhari-hari itu terlampau berat baginya. Dipaksakannya dirinya untuk berjalan
terus, sehingga justru ketika ia telah berada di rumahnya, ia merasakan
kepalanya menjadi pening.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hati, “Aku telah mulai lagi
dengan cerita khayal yang memuakkan ini.”
Ketika Argarati terdiam untuk
sejenak, maka Ki Tambak Wedi pun seolah-olah menjadi terbungkam. Ia tidak
segera dapat mengatakan maksudnya untuk berbicara berdua saja dengan Argapati.
Dan hatinya kian berdebar-debar ketika ia mendengar Argapati berkata, “Biarlah
ia beristirahat. Tetapi sebentar lagi ia harus bangun dan duduk di sini.
Beberapa orang yang mendengar kedatangannya, juga anak-anak muda yang terkemuka
pasti ingin menemuinya untuk mendengarkan ceritanya.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Wajahnya
menjadi kian menegang, ketika ia berusaha mengumpulkan keberaniannya, untuk
mengatakan maksudnya.
Ki Tambak Wedi bukanlah
seorang penakut. Bukan seseorang yang selalu ragu-ragu. Bahkan ia termasuk
seorang yang kasar, yang berbuat tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain.
Namun berhadapan dengan Argapati dalam persoalannya, dadanya serasa dirobek
oleh keragu-raguan dan kecemasan.
Meskipun demikian, setelah
berjuang sekuat tenaganya, maka Ki Tambak Wedi berhasil berkata, “Argapati,
sebenarnya aku memang menahan Sidanti sesaat di biliknya. Kecuali supaya ia
beristirahat bersama pamannya, aku sengaja untuk mendapatkan kesempatan untuk
berbicara denganmu, berdua saja.”
“He,” Argapati mengerutkan
keningnya, “apakah yang perlu kita bicarakan?”
“Sidanti,“ jawab Ki Tambak
Wedi.
Argapati tidak segera
menjawab. Tetapi tampaklah keningnya menjadi berkerut merut.
“Aku tidak mengerti maksudmu,
Ki Tambak Wedi.”
Dada Ki Tambak Wedi bergetar
sejenak. Namun ia berhasil pula menjawab, “Maksudku sudah jelas, Argapati. Aku
ingin berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarkannya.”
“Ya, tetapi maksud pembicaraan
itu sama sekali tidak aku mengerti. Apakah ada gunanya kita berbicara berdua?”
Argapati berhenti sejenak, lalu, “Ki Tambak Wedi, aku kira sudah tidak ada
masalah apa pun yang perlu kita bicarakan berdua. Masalah yang ada sekarang
adalah masalah kita semua. Masalah yang sampai saat ini masih membebani hidupku
adalah masalah anak-anakku. Bukan karena persoalan-persoalan yang menyangkut
mereka, tetapi bagaimana anak-anakku itu kelak, Bagaimana aku dapat melihat
anak-anakku yang sudah tidak beribu lagi itu, menjadi manusia seperti yang kuimpikan.
Manusia yang berguna di dalam hubungannya dengan kemanusiaannya. Manusia yang
mengerti akan dirinya, sumbemya dan sesamanya.”
Dada Ki Tambak Wedi menjadi
semakin berdebar-debar. Tetapi ia menjawab, “Itulah yang akan aku bicarakan.
Aku ingin mengatakan beberapa hal mengenai Sidanti.”
Argapati menggelengkan
kepalanya, “Jangan kau bicarakan lagi.”
“Tidak. Tidak. Tetapi bukankah
aku kau percaya untuk mengasuh anakmu? Nah, sekarang ini anggaplah aku akan
memberikan laporan tentang itu.”
“Aku akan sangat bersenang
hati, tetapi kenapa harus tidak ada orang lain yang boleh mendengarnya? Ki
Tambak Wedi, biarlah orang-orang mendengar tentang hasil usahamu mengasuh
anakku. Aku akan berbangga. Biarlah Pandan Wangi, Sidanti, dan Argajaya mendengar.
Kalau ada yang baik, biarlah kita tekankan untuk seterusnya dilakukan. Bila ada
yang buruk, biarlah dihentikan untuk seterusnya pula.”
Ki Tambak Wedi menjadi semakin
gelisah. Tetapi sudah tentu tidak mungkin baginya untuk bersikap seperti
Argapati. Setelah berpikir sejenak ia berkata, “Argapati. Mungkin ada soal yang
orang lain tidak perlu mendengarnya. Kegagalan-kegagalan yang dialami Sidanti,
perlu kau ketahu dan kau perhatikan.”
“Aku akan mendengarkannya, Ki
Tambak Wedi. Aku akan menaruh perhatian sepenuhnya atas semua persoalan.”
“Tetapi anak itu tidak perlu
mendengamya.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kepada puterinya yang duduk dengan gelisah
mendengar pembicaraan ayahnya.
“Hem, apakah Pandan Wangi juga
tidak boleh mendengar?”
Pertanyaan itu telah membuat
Ki Tambak Wedi semakin sulit. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Sebaiknya tidak
Argapati.”
Sekali lagi Argapati menarik
nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Pandan Wangi adalah orang yang paling dekat
dengan aku saat ini. Ia tahu apa saja persoalanku. Persoalanku sebagai seorang
ayah, dan persoalanku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Meskipun ia seorang
gadis, tetapi ia adalah satu-satunya keluargaku sehari-hari.”
“Tetapi aku terpaksa minta
kepadamu, Argapati.”
Argapati terdiam sejenak.
Ditatapnya celah-celah pintu pringgitan yang belum terkatup rapat. Terasa silir
angin menyentuh tubuhnya, ketika nyala api pelita di dinding pringgitan itu
bergerak-gerak.
“Hem,” Argapati berdesah,
“Apakah kau akan berbicara tentang Sidanti?”
“Ya, tentang kemajuan dan
kegagalannya akhir-akhir ini.”
“Tetapi kau menggelisahkan
aku.”
“Untuk kebaikan anakmu itu,
Argapati.”
“Menurut pendirianku, tidak
ada masalah yang harus dirahasiakan lagi tentang Sidanti. Kemajuan dan
kegagalannya adalah hal yang sangat wajar.”
Dalam kegelisahannya Ki Tambak
Wedi itu berkata, “Aku ingin mengatakan yang sebenarnya kepadamu, Argapati.
Jangan salah paham. Ketahuilah, bahwa Sidanti sebenarnya tidak melakukan
perjalanan apa pun selama ini. Aku telah membuat suatu cerita untuk
menyelubungi persoalan yang sebenarnya. Persoalan yang hanya akan aku katakan
kepadamu saja.”
“Berilah aku kesempatan, Argapati.
Aku merasa, bahwa tidak ada orang lain yang perlu mendengar keteranganku
tentang apa yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi Pandan Wangi.”
Tampaklah wajah Ki Gede
Menoreh berkerut. Ia terkejut mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu.
Ternyata bukan saja Ki Gede
Menoreh, tetapi juga Pandan Wangi terperanjat karenanya, sehingga untuk sesaat
ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi dengan mulut ternganga.
Ki Tambak Wedi melihat
keheranan yang tersirat pada wajah-wajah itu. Wajah Ki Gede Menoreh dan wajah
Pandan Wangi. Dengan demikian, maka debar di dadanya menjadi semakin tajam.
“Ki Tambak Wedi,” desis
Argapati, sejenak kemudian, “apakah aku tidak salah dengar, bahwa sebenarnya
Sidanti sama sekali tidak pernah melakukan perjalanan seperti yang kau
katakan?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan
kepalanya, “Ya, demikianlah.”
Argapati menarik nafas panjang
sekali. Wajahnya yang keras menjadi tegang. Namun ia mencoba untuk tidak
terpengaruh oleh keadaan itu.
“Ah, aku sungguh tidak
mengerti,” katanya kemudian, “agaknya kau masih juga senang bergurau Ki Tambak
Wedi. Aku menanggapi cerita itu dengan bersungguh-sungguh. Ternyata kau hanya
sekedar menganggu kami orang-orang Menoreh.”
“Aku terpaksa berkata
demikian, Argapati,” sahut Tambak Wedi. “Selanjutnya aku ingin mengatakan yang
sebenarnya. Aku minta kerelaanmu, untuk memberi aku kesempatan berbicara.”
Kini bukan saja dada Ki Tambak
Wedi yang menjadi berdebar-debar. Tetapi dada Argapati pun menjadi
berdebar-debar pula. Bahkan Argapati itu tidak menyembunyikan perasaannya itu.
Katanya, “Ki Tambak Wedi. Aku menjadi berdebar-debar karenanya. Bahkan aku
menjadi cemas dan gelisah. Apakah kau memang memerlukan sekali kesempatan itu?”
“Ya, aku memerlukannya.”
Tampak kerut merut di wajah
Argapati menjadi semakin dalam. Dipandanginya puterinya yang masih saja duduk
di tempatnya dengan penuh pertanyaan tersimpan di dalam hatinya.
“Hem,” Argapati berdesah, “kau
benar-benar membuat aku gelisah. Bagiku tidak ada lagi persoalan yang perlu
dirahasiakan, Ki Tambak Wedi. Kita sebaiknya berbicara dengan terbuka. Apa yang
telah terjadi atas Sidanti?”
“Berilah aku kesempatan
Argapati. Aku merasa, bahwa tidak ada orang lain yang perlu mendengar
keteranganku tentang apa yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi Pandan
Wangi.”
Kini Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia berpaling kepada puterinya. Dan
perlahan-lahan ia berkata, “Wangi. Sebaiknya kau tinggalkan kami berdua. Aku
dan Ki Tambak Wedi. Agaknya Ki Tambak Wedi ingin mengatakan sesuatu tentang
kakakmu, Sidanti, tetapi tidak seyogyanya kau ikut mendengarkannya.”
Keheranan masih saja memancar
dari wajah gadis itu. Tetapi ia tidak membantah. Segera ia beringsut dari
tempatnya dan berkata, “Baiklah Ayah. Aku akan pergi ke belakang, menyiapkan
makan untuk Ayah dan para tamu.”
“Bagus, Bagus Wangi.
Lakukanlah. Kami akan segera makan.”
Pandan Wangi itu segera
meninggalkau pringgitan. Tetapi sesuatu yang aneh telah menggelisahkannya. Ia
sama sekali tidak mengerti, kenapa Ki tambak Wedi ingin berbicara berdua saja
dengan ayahnya.
Sepeninggal Pandan Wangi,
wajah Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya saja wajah Ki Tambak Wedi
tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga.
Maka Ki Tambak Wedilah yang
mulai dengan kata-katanya, “Argapati. Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku
telah membuat suatu cerita tentang Sidanti. Aku terpaksa membuat cerita itu,
sebenarnya khusus untuk Pandan Wangi. Ia aku anggap tidak perlu mengetahui
keadaan Sidanti sebenarnya.”
“Kenapa?” sahut Argapati,
“kenapa kau tidak berterus terang tentang Sidanti kepada Pandan Wangi? Aku kira
Pandan Wangi telah cukup dewasa untuk mengetahui apa pun juga tentang kakaknya,
seandainya kegagalan sama sekalipun.” Argapati terdiam sejenak, lalu, “Tetapi
menurut Pandan Wangi, Sidanti ternyata luar biasa. Pandan Wangi merasakan
tekanan yang berat dari kakaknya ketika kakaknya itu menganggunya. Apalagi
seandainya Sidanti benar-benar ingin mengalahkannya, maka Sidanti pasti dengan
cepat akan dapat melakukan. Bukankah dengan demikian ternyata bahwa Sidanti
tidak gagal?”
“Ya, dari segi kanuragan
Sidanti memang tidak gagal.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Kini ia telah mendapat arah dari pembicaraan ini. Kegagalan Sidanti
tidak terletak pada olah kanuragan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bergumam
seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, “Jadi kegagalan Sidanti terletak
pada persoalan yang lebih dalam dari olah kanuragan itu sendiri?”
“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi,
“Sidanti telah melibatkan diri dalam persoalan yang besar yang menyangkut
hubungannya dengan Pajang.”
Tampaklah kerut merut di
kening Argapati menjadi semakin dalam. Terasa detak jantungnya bertambah cepat.
“Maksudmu, Sidanti telah
terlibat dalam suatu persoalan dengan Pajang? Persoalan yang mana? Bukankah
Sidanti kini seorang prajurit Pajang?” Argapati berhenti sejenak, seolah-olah
ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Baru sejenak kemudian
ia melanjutkan, “Sudah tentu Sidanti tidak sedang melakukan perjalanan seperti
yang kau katakan. Dan sudah tentu Sidanti meninggalkan Sangkal Putung bukan
karena alasan itu pula. Nah, apakah yang telah terjadi dengan Sidanti?”
“Itulah yang akan aku katakan,“
Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia telah mulai dengan
persoalan itu, sehingga ia tidak akan dapat surut kembali.
“Apakah Sidanti tidak cukup
baik sebagai seorang prajurit, atau Sidanti telah melakukan kesalahan?”
“Sebenarnya Sidanti tidak
bersalah,” jawab Tambak Wedi.
“Kenapa sebenarnya? Apakah
yang telah terjadi atasnya?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan hatinya sebelum mulai dengan persoalan
Sidanti yang sesungguhnya.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Masing-masing mencoba mempersiapkan perasaan dan nalar mereka
masing-masing, untuk menghadapi suatu pembicaraan yang bersungguh-sungguh.
Dalam kesenyapan itu, yang
terdengar hanyalah desah angin perlahan-lahan dan suara cengkerik di kejauhan.
Di sudut desa kemudian terdengar suara kentongan untuk memanggil para peronda.
Suasana di dalam pringgitan
itu semakin lama menjadi semakin tegang. Meskipun Ki Tambak Wedi belum
menyatakan sepatah kata pun, namun terasa, bahwa seolah-olah mereka telah
berada dalam satu suasana yang menegangkan urat syaraf mereka.
Setelah dengan susah payah
mengatur desah nafasnya, maka Ki Tambak Wedi baru dapat mulai dengan
kata-katanya, “Sebelumnya aku minta maaf padamu, Argapati.”
Argapati mengangguk kaku.
Tetapi ia tidak menyahut.
“Aku telah mencoba berbuat
sebaik-baiknya untuk kepentingan Sidanti. Tetapi keadaan di sekitar Sidanti
sama sekali tidak menguntungkannya.”
Sekali lagi Argapati
menganggukkan kepalanya.
“Sidanti terpaksa meninggalkan
lingkungan keprajuritan.”
Kening Argapati tampak
berkerut. Ia sudah menyangka, bahwa itulah yang terjadi. Sidanti terpaksa
meninggalkan lingkungan keprajuritan.
Argapati itu berdesah. Tetapi
ia masih belum menyahut.
“Kau jangan terkejut Argapati,
bahwa persoalannya adalah anak-anak muda.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak.
Orang tua itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat wajah Argapati
menjadi merah.
“Tetapi itu bukan sebab yang
terutama, Argapati,” sambung Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa,
“persoalan itu hanyalah sekedar pendorong dari sebab-sebab yang sebenarnya.”
Argapati masih belum menjawab.
“Iri hati dan dengki telah
menyebabkan Sidanti terpaksa meninggalkan kedudukannya yang kian hari kian
bertambah baik.”
Kini Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, “Iri hati dan dengki adalah hambatan
yang paling menjemukan bagi setiap kemajuan. Tetapi kenapa Sidanti harus
meninggalkan lapangan yang telah dipilihnya itu?”
“Kalau kedengkian dan iri hati
itu datang dari kawan-kawannya seangkatan, maka hal itu pasti akan dapat di
atasinya. Hal yang demikian agaknya cukup dibiarkannya saja. Meskipun mungkin
akan dapat juga menghambat kemajuannya, tetapi hal yang serupa itu tidak perlu
dilayani.” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Tetapi kedengkian
dan iri hati itu datangnya justru dari pimpinan pasukan Pajang di Sangkal
Putung.”
“He?” Argapati terkejut,
“Siapakah mereka itu?”
“Widura.”
“Widura? “ Argapati
mengulangi.
“Dan Untara.”
“He,“ Argapati benar-benar
terkejut mendengar nama itu disebut, “Untara, Senapati Pajang yang mendapat
kepercayaan di daerah Merapi dan sekitarnya?”
Ki Tambak Wedi mengangguk,
“Ya.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
melihat wajah Argapati menjadi semburat merah.
“Ki Tambak Wedi,” nada suara
Argapati menjadi semakin berat, “apakah yang sudah mereka lakukan? Apakah
kedengkian mereka disebabkan karena kemungkinan yang baik dari Sidanti di dalam
lapangan keprajuritan, apakah disebabkan karena persoalan anak-anak muda seperti
yang kau katakan?”
“Keduanya, Argapati,” sahut Ki
Tambak Wedi, “Widura adalah pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung.”
“Ya, aku telah mendengar.”
“Untara adalah kemanakan
Widura itu.”
Argapati mengangguk.
“Tetapi sumber yang paling
memuakkan dari benturan di antara mereka adalah seorang anak muda yang bernama
Agung Sedayu.”
“Siapakah Agung Sedayu itu?”
“Adik Untara.”
“Jadi juga kemanakan Widura?”
“Ya.”
Terdengar Argapati menggeram.
“Mereka adalah anak Ki Sadewa. Aku mengenal ayahnya, meskipun tidak begitu
rapat. Tetapi ayahnya bukan seorang yang dengki dan iri hati terhadap kemajuan
orang lain. Lalu apakah yang sudah dilakukan olen mereka atas Sidanti?”
“Agung Sedayu dan Sidanti
ternyata mempunyai sangkutan hati yang sama.”
“Oh,” Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Terbayang di dalam kepalanya apa yang sudah terjadi di antara
mereka. Perlahan-lahan ia berkata, “Apakah kau akan mengatakan, bahwa Widura
dan Untara ternyata berpihak kepada Agung Sedayu dan bersama-sama berusaha
menyingkirkan Sidanti.”
“Begitulah kira-kira yang
terjadi Argapati.”
Argapati menggeleng-gelengkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesah, “Aku sudah berpesan mawantu-wantu.
Jangan terlibat dalam persoalan yang pahit itu.”
“Tidak, Argapati. Apa yang
terjadi atas Sidanti dalam hubungannya dengan seorang gadis adalah wajar.
Tetapi kedatangan Agung Sedayu telah merusakkan hubungan itu. Apalagi ketika
Widura dan Untara turut campur.”
“Lalu apakah yang telah
dilakukan oleh Sidanti. Menentang kedua pimpinannya itu?”
“Darah mudanya telah meluap.”
“Bodoh. Bodoh sekali.
Seharusnya ia tidak berbuat sekasar itu. Kalau hal itu tidak terjadi, maka
orang tua-tua ini pasti akan dapat menyesaikannya, mungkin Ki Tambak Wedi,
mungkin pimpinan prajurit Pajang itu sendiri.”
Ki Tambak Wedi terperanjat
mendengar kata-kata Argapati. Ternyata Argapati menganggap, bahwa sikap Sidanti
itu adalah sikap yang salah. Argapati tidak menjadi kecewa atas Widura dan
Untara, bahkan sebaliknya ia menyesali sikap Sidanti.
Karena itu maka sejenak Ki
Tambak Wedi terdiam. Ia mencoba mencari alasan yang lebih baik, yang dapat
membakar hati Argapati.
“Ki Tambak Wedi,” berkata
Argapati itu kemudian, “apakah kau tidak berusaha mencegah kesalahan yang telah
dibuat oleh Sidanti?”
“Tentu, Argapati. Sudah tentu
aku berusaha mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk memecahkan masalah itu.
Aku temui satu demi satu kedua orang yang kebetulan mendapat kepercayaan atas
para prajurit Pajang di Sangkal Putung itu.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sejenak ia terdiam. Dibiarkannya Ki Tambak Wedi berkata
terus, “Tetapi agaknya masalah bagi mereka yang sebenarnya bukanlah Agung
Sedayu. Masalah yang sebenarnya adalah masalah kedengkian mereka.”
Tampak kening Argapati menjadi
berkerut. Dan Ki Tiambak Wedi berkata selanjutnya, “Persoalan Agung Sedayu
ternyata telah mereka pakai untuk melepaskan iri hati dan dengki mereka atas
Sidanti.”
“Apa yang telah mereka lakukan
atas Sidanti?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengekang gelora di dadanya. Ia harus
berhati-hati supaya ia tidak buat kesalahan.
“Menyesal sekali Argapati,”
berkata Tambak Wedi, “bahwa Widura disetujui oleh Untara telah membuat darah
kedua anak muda itu menjadi panas.”
Kening Argapati menjadi
semakin berkerut merut.
“Meskipun tampaknya sangat
baik, namun ternyata Widura telah membakar kedua anak muda itu dan
menjerumuskan ke dalam suatu pertentangan yang berbahaya.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
“Widura menyelenggarakan
sayembara memanah.”
“Untuk apa?”
“Untuk menentukan siapa yang
berhak atas gadis itu.”
“Ah,” wajah Argapati menjadi
tegang, “apakah kau berkata sebenarnya Ki Tambak Wedi?”
“Kenapa tidak? Aku berkata
untuk kepentingan anakmu, Argapati.”
“Tetapi apakah hak Widura
untuk menyelenggarakan sayembara itu? Kalau sayembara itu diadakan untuk
memilih senapati yang akan dijadikannya pembantunya melawan Tohpati, itu adalah
kewajiban Widura. Tetapi persoalan gadis itu, bukanlah wewenangnya. Apakah
gadis itu sudah tidak berayah dan beribu?”
“Oh, gadis itu bernama Sekar
Mirah. Ia adalah putri Demang Sangkal Putung.”
Argapati menjadi semakin
tegang. Ditatapnya wajah Ki Tambak Wedi seolah-olah ia ingin melihat apakah
yang tergores di dalam kepala orang tua itu.
Sejenak kemudian terdengar
Argapati berdesis, “Kedengarannya aneh sekali Ki Tambak Wedi.”
“Itulah yang tidak dapat aku
mengerti. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika perlombaan itu
telah berlangsung. Widura sudah mengatur orang-orangnya untuk berlaku curang,
sehingga di dalam sayembara itu, Sidanti tidak dapat memenangkannya.”
“Lalu apa yang dilakukan oleh
Sidanti?”
“Darah mudanya menyala tanpa
dapat dikendalikan lagi. la terlibat dalam perang tanding. Bukan sekedar
sayembara memanah.”
Wajah Argapati menjadi semakin
berkerut merut.
“Keduanya adalah anak-anak
muda. Agung Sedayu dan Sidanti,” Ki Tambak Wedi meneruskan, “tetapi sekali lagi
mereka berbuat curang. Kali ini Untara sendiri yang telah melanggar sikap
jantan. Dan sekali lagi Sidanti tidak dapat mengendalikan diri. Ketika Agung
Sedayu sudah tidak berdaya melawan Sidanti, maka Sidanti harus berhadapan
dengan Untara sendiri.”
“Oh,” Argapati menarik nafas
dalam-dalam, lalu katanya,”dan kau tidak dapat mencegahnya?”
“Sulit sekali, Argapati. Kalau
kau melihat apa yang terjadi, maka kau tidak akan menyalahkan sikap Sidanti.
Aku pun hampir-hampir kehilangan akal dan berbuat di luar nalar.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Lalu?”
“Ternyata yang terjadi
kemudian sama sekali tidak terduga-duga sebelumnya,” Ki Tambak Wedi berhenti
sejenak. Dicobanya untuk menjajagi perasaan Argapati. Tetapi ia tidak menemukan
kesan yang meyakinkan.
“Pertentangan itu menjadi
berlarut-larut. Meskipun perkelahian yang pertama itu tampaknya berakhir tanpa
menyakitkan hati kedua belah pihak, karena kepentingan mereka atas keselamatan
Sangkal Putung dari sergapan Tohpati, sehingga mereka masih memerlukan Sidanti.
Namun yang terjadi dihari-hari berikutnya adalah, persoalan yang paling
menyakitkan hati. Bagi Sidanti, perguruan Tambak Wedi dan bagi Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Ah,” Argapati berdesah,
“kenapa hal itu harus terjadi?”
“Sidanti di sudutkan ke dalam
suatu keadaan yang tidak dapat dihindarinya.”
Argapati, yang bergelar Ki
Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang yang menyimpan
perbendaharaan pengalaman yang seimbang dengan Ki Tambak Wedi. Ia adalah orang
yang memiliki ketajaman penilaian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dan
keterangan-keterangan yang didengarnya. Meskipun ia keras hati, tetapi ia
mempunyai pertimbangan yang kuat. Sebelum meletakkan keputusan dan menentukan
sikap, maka ia mempertimbangkan setiap persoalan semasak-masaknya.
Sejenak pringgitan itu
dicengkam oleh kesepian. Yang terdengar hanya desah nafas mereka berkejaran
lewat lubang-lubang hidung. Namun demikian, debar jantung kedua orang tua-tua
itu menjadi semakin deras berdentangan di dalam dada mereka.
Ki Tambak Wedi mengharap,
bahwa ia akan berhasil membakar hati Argapati. Ia mengharap bahwa Argapati akan
bersedia membantunya menebus segala kekalahan. Lebih daripada itu, apabila ia
berhasil menggerakkan Argapati, maka ia akan membawanya ke singgasana Pajang.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
dapat segera menangkap perasaan Argapati. Meskipun wajahnya menegang, namun ia
tidak berhasil menangkap perasaan yang tersirat daripadanya.
Sesaat kemudian, terdengar
Argapati bergumam, ”Ki Tambak Wedi, aku tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi
aku menyesal bahwa pertentangan itu telah berlangsung. Baik antara Sidanti dan
Agung Sedayu, maupun Sidanti dan Widura serta Untara.”
“Keadaan itu datang tanpa
dapat dihindari oleh Sidanti.” jawab Ki Tambak Wedi.
“Ah, aku rasa keadaan itu
pasti ada permulaannya. Aku tidak tahu siapakah yang bersalah, tetapi bahwa
Sidanti dan Agung Sedayu itu bersaing untuk mendapatkan seorang gadis, itu
sudah tidak menyenangkan sama sekali. Aku tidak pedulikan Agung Sedayu, sebab ia
bukan sanak bukan kadang. Apa pun yang akan dilakukan, seandainya ia berbuat
nista seperti orang yang paling hina sekalipun. Tetapi Sidanti adalah anakku.
Ia harus mempunyai harga diri. Ia harus menempatkan dirinya sebagai seorang
putra Kepala Tanah Perdikan. Ia harus menjadi seorang prajurit yang baik.
Seorang prajurit yang harus menjadi tepa-tulada dari prajurit-prajurit yang
lain.”
“Ya, ya. Aku mengerti,” sahut
Ki Tambak Wedi, “seharusnya memang demikian. Tetapi aku tidak banyak berdaya
untuk menghindarkannya.”
“Kalau saja Sidanti tidak
terkait gadis Sangkal Putung itu, maka semuanya tidak akan terjadi.”
“Kau salah, Argapati. Soalnya
bukan bersumber pada gadis itu. Sudah aku katakan. Soalnya adalah kedengkian
dan iri hati. Seandainya tidak ada persoalan gadis itu sekalipun, namun Untara
dan Widura pasti akan mencari sebab-sebab lain yang akan dapat dipergunakan
untuk menyingkirkan Sidanti.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata terus, “Aku sudah mencoba
menjajagi perasaan mereka. Di antara sekian banyak sebab dari kedengkian dan
iri hati itu, adalah kemajuan Sidanti. Mereka berusaha sekeras-kerasnya untuk
menyembunyikan kemampuan Sidanti. Sebab apabila kemampuan Sidanti itu dapat
dilihat oleh para pemimpin Wira Tamtama Pajang, maka keadaannya sama sekali
tidak akan menguntungkan Untara dan Widura. Karena itu mereka berdua, paman dan
kemanakan itu, berusaha untuk menyingkirkannya. Apalagi apabila sampai pada
suatu saat Sidanti berhasil membunuh Tohpati, maka kedudukan Widura dan Untara
pasti akan terdesak.”
Tetapi Ki Tambak Wedi itu
terperanjat ketika ia mendengar Argapati bertanya, “Apakah memang tersirat di
kepala Sidanti untuk mendesak kedudukan kedua orang itu?”
Sejenak Ki Tambak Wedi
terbungkam. Di keningnya mengembun keringat yang dingin. Ia sama sekali tidak
menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia di hadapkan pada pertanyaan itu.
“Ki Tambak Wedi,” berkata
Argapati seterusnya, “aku pun pernah mengalami menjadi seorang prajurit.
Senapati adalah jabatan yang memang diimpikan bagi setiap prajurit. Senapati
perang dari segala tingkatan. Seandainya Sidanti ingin menjadi senapati pun,
maka hal itu adalah wajar. Sebab tanpa keinginan dan cita-cita itu, maka ia
adalah seorang prajurit yang akan membeku saja di tempatnya. Ia akan tetap
seorang prajurit sampai pada suatu saat ujung pedang lawannya membelah dadanya,
atau sampai suatu saat ia harus mengundurkan diri karena umurnya. Tetapi aku
tidak pernah merasakan suatu kecemasan, bahwa seseorang akan mendesak
kedudukanku. Seandainya ada prajuritku yang maju, maka sebaiknya diberi
kesempatan. Bukan ditanggapi dengan iri dan dengki, apabila prajurit itu
berbuat dengan wajar. Tetapi bila seorang prajurit sengaja menjual jasa, dan
membanggakan kelebihannya, memang kadang-kadang sikap yang demikian tidak
menyenangkan atasannya. Nah, apakah Ki Tambak Wedi sudah melihat, apakah
Sidanti tidak terdorong dalam sikap serupa itu, sehingga Widura dan Untara
tidak menyenanginya?”
“Oh,” Ki Tambak Wedi menarik
nafas dalam-dalam, “kau memang orang yang terlampau baik, Argapati. Kau seorang
yang keras hati, sekeras batu-batu padas di pegununganmu. Wajahmu pun tampak
begitu keras membatu. Tetapi kau terlampau hati-hati untuk mengambil sikap. Kau
selalu berprasangka baik terhadap seseorang. Kau tidak pemah melihat kesalahan
orang lain lebih dahulu dari kebaikannya. Namun jangan berbuat demikian
terhadap Widura dan Untara. Jangan, Argapati. Kau harus dapat menempatkan
dirimu pada pihak yang seharusnya mendapat perlindunganmu.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Wajahnya masih saja didera oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
Sejenak kemudian ia berkata,
“Nah, seandainya demikian, lalu apakah sebab langsung yang telah mendorong
Sidanti meninggalkan Sangkal Putung?”
“Aku membawanya ke Tambak
Wedi.”
“Begitu saja?”
“Aku tidak mau melihat keadaan
menjadi semakin parah. Aku tidak mau melihat Sidanti kehilangan segala-galanya.
Kehilangan gadis itu, kehilangan kesempatan di dalam tugas-tugas keprajuritan,
kehilangan harga diri, dan kehilangan keberanian untuk bersikap. Atau apabila
terjadi sebaliknya, Sidanti menjadi mata gelap dan berbuat di luar kendali.”
Sekali lagi Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tampaklah suatu bayangan yang
buram di kepalanya. Betapa pun ia mencoba mengerti keterangan Ki Tambak Wedi,
namun setiap kali bayangan tentang Sidanti, Widura, dan Untara, seolah-olah
seperti asap yang tertiup angin. Pecah bertebaran, dan ia kehilangan gambaran
tentang apa yang terjadi.
“Aku tidak dapat mengerti,”
desisnya di dalam hati, “bagaimana mungkin seorang senapati seperti Untara,
menaruh kedengkian dan iri hati terhadap bawahannya. Terhadap Sidanti.” Tetapi
lalu dijawabnya sendiri, “Untara masih muda. Mungkin ia masih kurang bijaksana
menanggapi keadaan, sehingga timbullah kedengkian dan iri hati itu.”
Namun bagaimanapun juga
Argapati masih dibelit oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
“Apakah kau tidak dapat
mengerti, Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Aku sedang mencoba untuk
mengerti,” jawab Argapati dengan jujur.
“Kau memang terlampau baik dan
jujur, sehingga kau tidak dapat membayangkan kedengkian dan iri hati orang
lain. Sebab kau sendiri tidak pernah berbuat demikian atas orang lain.”
“Hem,” Argapati menarik nafas
dalam-dalam, “Lalu seandainya kemudian aku meyakini kebenaran keteranganmu,
lalu apakah yang sebaiknya aku lakukan menurut pertimbanganmu?”
Detak jantung Ki Tambak Wedi
menjadi semakin berdebar-debar. Ia merasa belum dapat meyakinkan Argapati.
Namun ia harus berusaha membuat hati orang itu menjadi semakin panas. Ia harus
dapat membakar perasaannya.
“Tetapi Argapati bukan
Sidanti,” gumam Ki Tambak Wedi di dalam hatinya, “Argapati adalah orang yang
matang dalam sikap dan perbuatan. Tetapi aku harus mencoba.”
Maka dengan hati-hati Ki
Tambak Wedi berkata, “Argapati. Aku sebenarnya tidak dapat mengatakan apa pun
kepadamu tentang sikap yang sebaiknya kau ambil. Kau adalah seorang yang cukup
matang menanggapi persoalan. Adalah wewenangmu untuk menentukan, sikap apakah
yang sebaiknya kau ambil, tetapi aku percaya, bahwa kau masih Argapati yang aku
kenal dahulu. Seorang yang memiliki harga diri dan kejantanan.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Lalu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Persoalan
ini bukan persoalan yang dapat diabaikan. Persoalannya tidak sekedar persoalan.
Sidanti dan Untara, tetapi pasti akan menyangkut orang tua-tua ini pula.”
“Tentu Argapati,” Ki Tambak
Wedi menyahut, “apalagi kalau Untara sengaja membuat laporan palsu. Maka
penilaian orang-orang Pajang pasti akan berkisar kepadamu dan kepadaku.”
Argapati mengangguk-angguk.
“Ya,” katanya. “Pasti orang-orang tua inilah yang akan mendapat sorotan tajam
dari para pemimpin Wira Tamtama Pajang.”
“Itulah sebabnya, aku segera
datang kepadamu.”
Argapati tidak segera
menjawab. Tetapi kerut merut di dahinya menjadi semakin dalam.
Dan terdengar Ki Tambak Wedi
melanjutkan, “Dan untuk seterusnya, kau harus berbuat sesuatu, Argapati.”
“Ya, aku menyadari. Sebagai
orang tua aku harus berbuat sesuatu untuk kepentingan Sidanti.”
Kini Ki Tambak Wedilah yang
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat titik-titik terang, bahwa usahanya akan
berhasil.
Tetapi alangkah terperanjatnya
ketika ia mendengar Argapati itu berkata, “Baiklah, Ki Tambak Wedi. Apabila kau
dan Sidanti nanti pada waktunya kembali ke Tambak Wedi, meskipun aku tidak
mendesakmu untuk segera pergi dari Menoreh, bahkan apabila mungkin kau akan
berada di sini untuk waktu yang cukup lama, namun maksudku, kelak apabila kau
kembali, aku akan ikut serta bersama Argajaya. Aku akan menemui Widura dan
Untara. Aku ingin mendapat penjelasan akan sikapnya itu.”
“Ah,” dengan serta merta Ki
Tambak Wedi memotong, “masihkah kau menganggap bahwa itu akan berguna bagimu
dan bagi Sidanti?”
“Kenapa tidak? Aku akan
menemuinya, Ki Tambak Wedi. Aku dan Untara berdiri pada tingkat yang sama. Aku
tidak akan merendahkan diriku, mohon belas kasihan untuk kepentingan anakku.
Tidak Ki Tambak Wedi. Bukankah kau tahu, bahwa ketika kau menganjurkan aku
untuk menemui Ki Gede Pemanahan dan menitipkan Sidanti kepadanya, supaya
Sidanti segera mendapat kedudukan yang baik, aku menolak. Aku tidak mau berbuat
demikian. Sidanti harus menjadi seorang prajurit yang baik. Prajurit yang merayap
dari tingkat yang paling rendah untuk mencapai tingkat yang setinggi-tingginya.
Bukan karena ia anakku, dan aku telah mengenal Ki Gede Pemanahan, meskipun
tidak begitu rapat seperti aku mengenal kau. Kau pun telah mengenal Ki Gede
Pamanahan pula. Tetapi hal itu tidak kita lakukan. Aku tidak mau. Meskipun
tampaknya demikian akan menguntungkan Sidanti, namun Sidanti akan kehilangan
masa-masa yang akan dapat menempa dirinya sendiri. Ia akan kehilangan
keprihatinan, karena dengan serta merta ia berada ditingkat yang tinggi. Bukan
karena hasil cucuran keringatnya sendiri, tetapi karena pengaruh orang lain,
meskipun orang lain itu adalah ayahnya sendiri.”
“Aku tahu, Argapati. Aku tahu
betapa kau mencoba mendidik Sidanti untuk percaya kepada diri sendiri tanpa menggantungkan
diri kepada orang lain. Tetapi kini masalahnya berbeda. Bukan sekedar harga
diri. Bukan pula masalah yang dapat dibicarakan dengan wajar. Tetapi masalahnya
adalah kedengkian, dan iri hati. Nah, dapatkah kau mempersoalkan kedengkian dan
iri hati? Tidak Argapati. Dengki dan iri hati tidak akan dapat dibicarakan.
Tidak dapat dipersoalkan. Apalagi kedengkian dan iri hati itu telah
diungkapkannya dalam tindakan yang paling menyakitkan hati. Tindakan yang tidak
akan dapat dilupakan oleh Sidanti sepanjang umurnya.”
Argapati tidak segera
menjawab. Sejenak ia terdiam, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata Ki
Tambak Wedi itu. Dicobanya untuk mengerti dan mempercayainya. Tetapi setiap
kali ia merasakan sesuatu yang menggelepar di dalam hatinya. Alangkah sulitnya
bagi Argapati untuk dapat menelan keterangan itu.
Argapati itu mengangguk,
ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah kau ragu-ragu, Argapati?”
“Ya, aku memang ragu-ragu,”
jawab Argapati.
“Kau tidak mempercayai aku?”
“Bukan begitu Ki Tambak Wedi,”
sahut Argapati, “aku tidak meragukan kau. Tetapi aku meragukan tanggapan
Sidanti atas kedua orang atasannya itu. Mungkin sikap Widura dan Untara yang
keras, diterimanya dengan salah paham. Ia menyangka, bahwa Widura dan Untara
menyimpan kedengkian dan iri hati di dalam hati mereka.”
“Oh,” Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya, “bukan hanya kau yang meragukan hal itu. Semula
aku pun meragukannya. Tetapi akhirnya aku yakin, bahwa keduanya memang dengki
dan iri hati.”
“Ya,” akhirnya Argapati
mengangguk-anggukkan kepalahnya, “jalan yang paling baik bagiku adalah menemui
Widura dan Untara. Aku bukan anak-anak lagi seperti Sidanti yang menganggap
perkelahian adalah jalan yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan. Aku akan
mengambil jalan yang paling baik bagi semua.”
“Kalau kau mendengarkan
nasehatku, Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi, “jangan merendahkan dirimu. Kau
hanya akan mendapat penghinaan yang akan menambah parah luka di hati.”
“Apakah mereka sudah gila?” bertanya
Argapati dengan serta merta.
“Mungkin istilah itulah yang
paling tepat dipergunakan untuk menyebut kedua orang itu, Widura dan Untara.”
“Ah,” Argapati berdesah.
Sejenak ia terdiam. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana yang baik menurut
pertimbanganmu?”
“Argapati,“ berkata Ki Tambak
Wedi dalam nada yang berat, “sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakan
kepadamu. Tetapi setelah aku pertimbangkan baik-baik, maka lebih baik kau
mengerti setiap persoalan dengan baik daripada sekedar permukaannya saja. Untuk
seterusnya, aku dan Sidanti tidak akan dapat kembali lagi ke padepokan Tambak
Wedi.”
“He,” Argapati mengerutkan
keningnya. Keterangan itu telah mengejutkannya, “Kenapa?”
“Tambak Wedi telah pecah.
Hancur lumat menjadi abu.”
Argapati justru terdiam.
Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut merut.
“Widura dan Untara ternyata
telah menyusul Sidanti ke Tambak Wedi.”
Tampaklah sesuatu memancar
dari sepasang mata Argapati yang dalam. Sejenak dipandangnya wajah Ki Tambak
Wedi dengan tajamnya. Namun kemudian dilemparkan pandangan matanya itu ke arah
nyala pelita di dinding. Begitu tajamnya ia memandang api yang sedang
menggapai-gapai itu. Tanpa berkedip.
Dada Ki Tambak Wedi menjadi
berdebar-debar. Ia tahu benar kekuatan yang tersimpan di dalam diri orang itu.
Di dalam diri Ki Argapati. Seperti kelebihan yang tersimpan di dalam dirinya,
yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, sehingga orang menyebut, bahwa Ki
Tambak Wedi mampu menangkap angin. Seperti orang mengatakan, bahwa perguruan
Kedung Jati mempunyai rangkapan nyawa di dalam diri setiap muridnya. Maka
hampir setiap mulut di Menoreh mengatakan, bahwa dengan sorot matanya, Argapati
yang bergelar Ki Gede Menoreh, itu mampu membakar setiap benda yang
dikehendakinya, sehingga menjadi abu.
Debar di dada Ki Tambak Wedi
itu menjadi semakin keras, ketika tiba-tiba ia melihat api pelita itu
terguncang dengan kerasnya, seolah-olah dihembus oleh angin yang bertiup dari
arah sepasang mata Ki Gede Menoreh. Tetapi sejenak kemudian nyala pelita itu
telah tegak kembali, seolah-olah menari dengan riangnya.
Ki Tambak Wedi tersadar,
ketika ia mendengar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah
sedang menikmati hasil pemusatan pikiran, dengan sengaja mengguncang nyala api
pelita itu dengan pandangan matanya.
“Bukan main,” berkata Ki
Tambak Wedi di dalam hatinya, “begitu besar perbawa pada dirinya, sehingga aku
telah dicemaskan oleh permainannya. Hem,” Ki Tambak Wedilah yang kemudian
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sekali lagi memandang api pelita itu, maka
dilihatnya sekali lagi api pelita itu berguncang, meskipun Ki Gede Menoreh
tidak sedang memandanginya. Terasa, angin yang lembut mengalir mengusap kening
Ki Tambak Wedi yang basah oleh keringat.
“Setan alas,” Ki Tambak Wedi
itu mengumpat di dalam hatinya. “Aku tidak dapat membedakan lagi, apakah yang
telah mengguncangkan nyala api itu. Tetapi tadi aku tidak merasakan usapan
angin yang dapat menggerakkan nyala pelita itu.”
Sejenak kemudian, keduanya
masih saling berdiam diri. Ketegangan terasa semakin memuncak. Dan sejenak
kemudian, terdengar suara Argapati dalam nada yang berat dan dalam, “Apakah
keadaan Sidanti sudah sedemikian parahnya, sehingga kau harus mengorbankan padepokanmu?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan
kepalanya, “Ya. Aku telah mengorbankannya untuk mencoba mempertahankan Sidanti.
Untunglah, bahwa Sidanti berhasil melepaskan dirinya. Kalau tidak, ia pasti
akan dijadikan pangewan-ewan. Ia akan dihinakan jauh lebih menyakitkan hati
daripada sisa-sisa orang Jipang yang dapat ditangkap oleh Widura dan Untara.”
Sekali lagi Argapati terhenyak
dalam kediamannya. Sekali ia merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun terasa
ketegangan di dalam ruangan itu pun semakin bertambah-tambah.
“Argapati,” berkata Ki Tambak
Wedi kemudian, “aku telah melakukan segala macam usaha. Usahaku yang terakhir
adalah menyelamatkan Sidanti. Seterusnya aku hanya dapat mengadu kepadamu. Anak
itu memerlukan perlindungamu.”
Wajah Argapati menjadi semakin
tegang. Terbayanglah suatu peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Peristiwa yang telah menyeret Sidanti ke dalam suatu persoalan yang sulit. Yang
mau tidak mau pasti akan menyangkut namanya, kecuali nama Ki Tambak Wedi.
Namun bagaimanapun juga,
Argapati tidak dapat mengusir kebimbangan yang mencengkam jantungnya. Dengan
demikian, maka terjadilah suatu pergolakan di dalam dadanya. Sentuhan terhadap
Sidanti yang setiap orang menyebutnya putra Kepala Tanah Perdikan Menoreh
adalah sentuhan terhadapnya. Tetapi apakah benar hal itu terjadi karena
kedengkian dan iri hati? Bukan hanya sekedar karena salah paham yang
berlarut-larut?
Argapati menarik nafas
dalam-dalam, ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Kau harus mengambil
sikap, Argapati. Apa pun yang telah terjadi di antara kita, tetapi kini nama
Menoreh sedang mendapat perhatian di kalangan Wira Tamtama Pajang. Bukan karena
kesalahan kita, bukan pula karena kesalahan Sidanti. Tetapi sayang, bahwa
justru orang-orang seperti Widura dan Untaralah yang mendapat kekuasaan di
Sangkal Putung dan daerah di sekitar Gunung Merapi.”
“Hem,” Argapati berdesah,
“kenapa persoalan itu telah menjadi sedemikian jauh? Dan baru setelah semuanya
tidak dapat dicegah kau datang kepadaku, memberitahukannya? Sekarang aku sudah
tersudut ke dalam suatu keadaan yang paling parah.”
“Aku minta maaf, Argapati,”
desis Ki Tambak Wedi, “aku pun sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan
terjadi. Tetapi semuanya telah terlanjur. Yang ada sekarang yang harus diselesaikan,
adalah keadaan kita kini.”
“Lalu apakah yang dapat aku
lakukan untuk menyelesaikannya?”
“Aku hanya melihat satu
jalan.”
“Jalan yang mana?”
“Argapati. Kita sudah
terlanjur berada di tengah-tengah penyeberangan tanpa kita kehendaki. Kembali
kita sudah terlanjur basah. Karena itu, maka biarlah kita berjalan terus. Apa
pun yang terjadi.”
Argapati mengerutkan
keningnya, “Maksudmu?“
“Kita tebus dengan darah.”
Kerut merut di kening Argapati
menjadi semakin dalam, “Maksudmu kita menggerakkan pasukan. Atau dengan
berterus-terang kita memberontak terhadap Pajang?”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menjawab. Dipandanginya wajah Argapati. Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan
yang meyakinkan. Karena itu, dengan berhati-hati ia berkata, “Bukan maksud
kita. Tetapi kita di sudutkan ke dalam keadaan itu.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata
Argapati datar, “Pajang kini sedang mencoba berdiri tegak setelah saling
memukul di antara keluarga sendiri. Bahkan sampai kini, menurut pendengaranku,
masih saja tumbuh keributan di mana-mana. Beberapa orang bupati tidak senang
menerima Karebet di atas tahta, meskipun mereka masing-masing menyimpan pamrih
pula. Nah, apakah kita juga akan menambah kekisruhan itu?”
Ki Tambak Wedi mengangkat
alisnya. Sejenak ia terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku berpikir
sebaliknya, Argapati.”
“Maksudmu?”
“Pajang lah yang selalu
membuat keributan di mana-mana. Pajanglah yang terlampau tamak. Kalau kau tahu
sedikit saja tentang masa-masa muda anak yang bernama Karebet itu, maka kau
akan segera mengerti, apakah yang sebenarnya sedang dilakukannya kini. Ternyata
para perwira Wira Tamtama itu pun telah mewarisi sikap dan sifat-sifat itu.
Nah, apakah kau dapat mengerti?”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, aku mengerti. Bukankah maksudmu mumpung Pajang belum
tegak benar, kita mempergunakan kesempatan ini?”
“Begitulah.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata
Argapati, “persoalan itu adalah persoalan hidup dan mati. Jangan menyeret tanah
perdikan ini ke dalam keadaan yang tidak dapat kita yakini. Apabila masalahnya
demikian, maka kita memerlukan waktu untuk memikirkannya.”
“Apakah kita harus menunggu
sampai pasukan Pajang menyeberangi hutan Tambak Baya, Mentaok, dan Kali Praga.”
“Ah, jangan seperti anak
kecil, Ki Tambak Wedi. Kau tahu, bahwa untuk melakukannya, Pajang pun
memerlukan waktu. Menyeberang hutan-hutan itu dan Kali Praga dalam gelar
perang, bukan mainan kanak-kanak. Kau pun pasti tahu, bahwa orang-orang Pajang
tidak sebodoh itu, kecuali mereka akan membunuh diri.”
“Tetapi apakah kau tidak akan
berbuat sesuatu?”
“Aku akan memilih jalan yang
paling baik. Aku akan menemui langsung Ki Gede Pemanahan. Panglima Wira Tamtama
itu. Ia harus menyadari, bahwa di dalam pasukannya ada orang-orang seperti
Widura dan Untara.”
“Oh,” Ki Tambak Wedilah yang
kemudian berdesah, “aku lupa mengatakan. Bahkan Pemanahan telah datang pula ke
Sangkal Putung.”
“He,” Argapati terkejut.
“Ya. Ia telah datang ke
Sangkal Putung. Dan Panglima yang gila itu membenarkan sikap Widura dan Untara
untuk memukul Tambak Wedi.”
Wajah Argapati menjadi semakin
tegang mendengar keterangan itu. Tanpa sesadarnya ia berkata, “Jadi apa yang
dilakukan Untara dan Widura itu sudah setahu Pemanahan?”
“Ya.”
Argapati terdiam sejenak.
Tiba-tiba kepalanya menunduk dalam-dalam. Ki Tambak Wedi menyadari, betapa dada
orang yang bertubuh tinggi kekar berdada bidang itu sedang dihantam oleh gelora
perasaan yang luar biasa. Namun ia mengharap, agar perkembangan persoalan di
dalam diri Argapati itu mengarah kepada rencananya. Mudah-mudahan Argapati
menjadi marah dan mendendam. Meskipun tanah ini hanya sekedar tanah perdikan,
bukan daerah kabupaten atau kadipaten yang besar, namun justru tanah ini tanah
perdikan, maka Menoreh menjadi kuat. Menoreh tidak berada di dalam pengawasan
yang terlampau ketat dari Pajang seperti daerah-daerah kadipaten dan kabupaten.
Sekali lagi kedua orang tua
itu terlontar ke dalam kesepian yang tegang. Argapati masih saja menundukkan
kepalanya. Di kepala itu berkecamuk berbagai macam persoalan yang membuatnya
menjadi pening. Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Widura dan
Untara, maka mau tidak mau masalahnya pasti akan menjadi parah bagi Menoreh.
Kalau Ki Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Untara, dan bahkan telah datang
pula ke Sangkal Putung, itu adalah suatu sikap yang pasti tidak dapat
dihindarinya lagi.
“Mungkin benar kata Ki Tambak
Wedi,” berkata Argapati di dalam hatinya, “bahwa sebentar lagi pasukan Pajang
akan menyeberangi Alas Mentaok dan Kali Praga. Bahwa sebentar lagi sepasukan
prajurit segelar sepapan dalam gelar perang yang sempurna akan berbaris
memasuki tanah perdikan ini. Apakah aku harus menyambut prajurit Pajang itu
juga dalam gelar perang untuk mempertahankan Sidanti dan Ki Tambak Wedi?”
Keragu-raguan yang dahsyat
telah berkecamuk di dalam hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai
pertimbangan dan perhitungan bersimpang-siur di dalam kepalanya. Namun bagaimanapun
juga, ia masih belum berhasil mengusir kebimbangannya. Masih ada sepercik
anggapan, bahwa yang terjadi adalah semata-mata sebuah salah paham.
Seandainya Untara dan Widura
keblinger karena mereka melihat persoalannya itu dari sudut kepentingan mereka,
dan kepentingan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara dan kemanakan
Widura itu, maka apakah Ki Gede Pemanahan dapat juga dengan mudahnya keblinger?
Apakah Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi sama sekali tidak dapat menemukan
titik-titik persamaan sikap untuk menyelesaikan masalah itu? Apakah keduanya
kini sudah menjadi pikun dan tidak mampu lagi melihat jalan yang sebaik-baiknya
mereka tempuh untuk menyelesaikan peristiwa ini?
Angin malam yang basah bertiup
semakin kencang menyusup dari lubang pintu yang tidak terlampau rapat ditutup.
Sentuhan di wajah-wajah mereka telah membangunkan mereka dari buaian
angan-angan.
Argapati yang kemudian
mengangkat wajahnya berdesis, “Ki Tambak Wedi. Apakah dunia sekarang ini sudah
demikian gelapnya, sehingga orang-orang seperti Ki Gede Pemanahan, dan Ki
Tambak Wedi sudah tidak dapat melihat lagi jalan lain yang dapat ditempuh
kecuali kekerasan? Aku tidak dapat mengerti, bahwa untuk persoalan yang kecil
itu, maka Menoreh harus di sudutkan ke dalam suatu persiapan untuk menghadapi
perang.”
Ki Tambak Wedi
menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu, pertimbangan apakah
yang telah mendorong Pemanahan untuk membenarkan sikap Widura dan Untara.
Mungkin Panglima itu telah dimakan fitnah, mungkin pula karena nafsu berperang
yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Setelah Jipang tidak mampu lagi membuat
perlawanan yang berarti, maka Pemanahan dengan sengaja telah membuat lawan
baru, supaya ia tidak kehilangan kedudukannya sebagai orang yang terpenting di
Pajang. Apabila peperangan masih berkecamuk terus, maka Panglima Wira
Tamtamalah yang seolah-olah memegang tampuk pimpinan dalam pemerintahan. Patih
Manca Negara hampir-hampir sudah tidak berarti lagi. Kekuasaan Pajang di dalam
masa perang, berada seluruhnya di tangan Pemanahan. Sedang apabila perang
berakhir, maka Patih Manca Negara pasti akan segera tampil sebagai seorang ahli
di dalam bidangnya.”
Keterangan itu memang masuk
akal. Tetapi adalah licik sekali apabila perhitungan Ki Tambak Wedi itu benar. Sedang
menurut pengenalannya atas Ki Gede Pemanahan, maka hal itu tidak mungkin
dilakukannya.
Dalam kebimbangan itu,
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya sendiri, maka
terpandanglah olehnya wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut merut. Wajah yang
telah lama dikenalnya. Hidung yang mirip dengan paruh burung betet, mata yang
tajam seolah-olah memancarkan perasaan yang aneh tidak teraba.
Tiba-tiba terasa desir yang
tajam tergores di dalam hati Argapati. Ia mengenal Ki Tambak Wedi tidak hanya
baru sehari dua hari yang lalu. Ia mengenal Tambak Wedi sejak bertahun-tahun.
Jauh lebih lama dari umur Sidanti itu sendiri. Karena itu, maka ia telah banyak
sekali mengenal watak dan tabiatnya.
Maka keragu-raguan di dalam
hati Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu justru menjadi semakin tebal.
Pengenalannya atas Ki Tambak Wedi sama sekali tidak mendorongnya untuk
mempercayai keterangannya, tetapi justru sebaliknya.
Karena itu, maka terdengar Ki
Gede Menoreh itu bergumam, “Ki Tambak Wedi. Kalau demikian, maka aku harus
segera bertindak. Aku harus mencegah keadaan ini menjadi semakin
berlarut-larut.”
“Ya, ya,” sahut Ki Tambak
Wedi. “Kau memang harus segera berbuat sesuatu, supaya kau tidak dilanda banjir
sedang kau tertidur di tengah-tengah sungai.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia masih ingin mendengar keinginan Ki Tambak Wedi selanjutnya.
Maka katanya, “Kalau demikian, apakah yang pertama-tama harus aku lakukan?”
“Kau harus menyiapkan dirimu,
Argapati.”
“Aku tahu maksudmu. Tetapi
pertimbanganmu lebih jauh?“
Ki Tambak Wedi pun menjadi
ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian dikatakannya juga, apa yang telah tergores
di dalam dadanya, “Argapati. Kau akan dapat menguasai suatu daerah yang luas di
sebelah selatan.”
“Itu aku tahu.”
“Kemudian kau akan dapat
memecah Pajang. Kau akan merebut seluruh kekuasaan yang kini berada di tangan
Karebet itu.”
“Tak ada orang yang menerima
aku di sana. Aku tidak akan mempunyai akar di dalam pemerintahan. Apalagi
daerah Pesisir Lor, Bang Wetan, dan Bang Kulon.”
“Kau keliru. Sebagian dari
mereka tidak lagi berpegangan pada tujuan hidup yang mendasari pemerintahan
mereka atas daerah-daerah itu. Asal mereka masih tetap berkuasa dan dapat
menyalah-gunakan kekuasaan mereka, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa.”
Argapati mengerutkan alisnya.
Agaknya Ki Tambak Wedi sudah membuat pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Orang
tua itu agaknya telah memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Ki
Tambak Wedi memang mempunyai wawasan yang tajam. Perhitungannya tentang para
Adipati itu memang masuk akal. Ki Gede Menoreh pun telah mendengar pula, bahwa
ada di antara mereka, para Adipati sudah tidak berpijak lagi pada kepentingan
daerah mereka masing-masing. Para pemimpin pemerintahan dan para Senapati yang
bertugas di daerah-daerah pun agaknya telah dijalari oleh penyakit yang serupa.
Ada di antara mereka yang lebih senang melihat kepentingan sendiri daripada
kepentingan daerah dan tugas masing-masing.
“Hem,” gumam Argapati di dalam
hatinya, “mengherankan bagiku. Kenapa Ki Tambak Wedi sudah membuat perhitungan
sedemikian jauh sehingga ia yakin, bahwa setiap gerakan pasukan yang dapat
memecah Pajang, akan dapat menguasai seluruh daerahnya? Tetapi seandainya
demikian, apakah yang dapat aku lakukan?”
Dalam kediamannya, Ki Gede
Menoreh mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Apakah kau sependapat, Argapati?”
“Ki Tambak Wedi,” jawab
Argapati perlahan-lahan, “seandainya aku berhasil menguasai Pajang, lalu apakah
gunanya bagiku? Para adipati hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka
sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Pajang. Pajang tidak akan lebih dari sebuah
nama yang kosong. Wilayahnya tidak lebih dari kota Pajang itu sendiri.”
“Perlahan-lahan Argapati.
Perlahan-lahan, kau akan dapat menguasai mereka.”
“Tidak, Ki Tambak Wedi,”
tiba-tiba Argapati menggeleng, “aku tidak akan dapat menguasai mereka. Sebab
pasti akan tumbuh orang lain yang mendendamku dan melakukan perbuatan yang
sama. Merebut Pajang. Kalau ia mempunyai kekuatan yang lebih besar dari
kekuatanku, maka peristiwa yang baru saja terjadi akan terulang. Terulang dan
terulang kembali. Mereka yang merasa mempunyai kekuatan akan berbuat serupa.
Para adipati dan senapati itu tidak akan berbuat apa-apa selain mengakui setiap
orang yang sedang menguasai sekedar kota Pajang. Aku tidak ingin melihat hal
yang serupa itu terjadi, Ki Tambak Wedi. Tidak.”
Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi
menjadi merah. Sebersit goncangan perasaan telah memanjat sampai ke wajahnya.
Jawaban Argapati telah menggetarkan jantungnya, sehingga dengan serta merta ia
berkata, “Lalu apakah yang akan kau lakukan? Menghadap Ki Gede Pemanahan,
Panglima yang tamak itu untuk minta belas kasihan?”
Terasa sesuatu berdesir di
dada Argapati. Meskipun ia tidak segera menjawab, tetapi pandangan matanya
menyorotkan perasaannya yang berguncang. Berbagai pertimbangan telah bergolak
di dalam dirinya. Pertimbangan masa lampau, pengenalannya atas Ki Tambak Wedi,
Sidanti, Menoreh, Pemanahan, dan semuanya. Terasa seolah-olah dunia di
sekitarnya berputar mengelilinginya dengan segala macam persoalan. Tetapi yang
paling parah menggores jantungnya adalah persoalannya sendiri. Persoalan yang
dihadapkan kepadanya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan melontarkan Sidanti sebagai
pokok persoalan, ia di hadapkan pada pilihan yang pahit.
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam, “Apa pun yang kau katakan Ki
Tambak Wedi, tetapi aku akan memilih jalan itu. Aku akan menemui Ki Gede
Pemanahan. Kalau aku tidak dapat memecahkan masalahnya, maka apa boleh buat.
Mungkin aku menerima pendapatmu. Mungkin aku akan memukul tanda perang dengan
tanganku sendiri. Akulah yang akan berdiri sebagai senapati tertinggi, yang
akan berdiri menjadi paruh gelar pasukanku. Mudah-mudahan di dalam peperangan
itu pun, aku akan bertemu lagi dengan Ki Gede Pemanahan, atau Adipati Pajang
sendiri.”
Debar di dada Ki Tambak Wedi
menjadi semakin keras berdentangan memukul dinding jantungnya. Dengan nada yang
tinggi ia berkata, “Kalau aku Argapati, maka aku tidak akan mau merendahkan
diri seperti itu. Tidak ada lagi pembicaraan yang dapat menolong keadaan. Aku
sudah bicara. Bicara sampai bibirku hampir terlepas dari mulutku. Tetapi yang
aku terima hanya penghinaan. Penghinaan atas anakmu, Sidanti, dan aku, gurunya,
juga kau, ayahnya.“ Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “He, apakah kau
tidak memperhitungkan, bahwa kedengkian itu tidak saja datang dari Widura dan
Untara saja? Tetapi juga dari Ki Gede Pemanahan sendiri? Bukankah kau pernah
mendengar, bahwa Pemanahan bertempur melawan Adipati Jipang bukan karena
kesetiaannya kepada Pajang dan kepada Karebet? Tidak. Sama sekali tidak. Anak
Sela yang menurut cerita mampu menangkap petir itu, bertempur karena janji yang
diterimanya. Ia akan mendapat Tanah Mentaok yang kini masih berwujud hutan
belukar. Ha, apakah kau mempertimbangkannya pula, bahwa Menoreh akan dapat
menjadi penghalang berkembangnya hutan itu untuk menjadi tempat yang ramai?
Argapati, dengarlah kata-kataku. Semuanya terjadi karena pamrih. Kraton Pajang
pun kini sudah menjadi ajang memperebutkan pamrih pribadi. Adipati Adiwijaya,
berusaha keras membunuh Arya Penangsang, karena perempuan yang diperlihatkan
kepadanya oleh Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa tanpa mengenakan pakaian
sama sekali itu. Pemanahan dan Penjawi, karena Tanah Mentaok dan Tanah Pati.
Nah, apalagi? Apakah yang kau ganduli dengan kesetiaanmu terhadap Pajang?
Bukankah kau sampai saat ini belum menyatakan diri dengan resmi, di mana kau
berdiri sepeninggal Demak?”
Argapati tidak segera
menjawab. Tetapi darahnya serasa semakin cepat mengalir. Dalam pada itu,
perputaran waktu di dalam dadanya berjalan semakin cepat. Masa demi masa. Waktu
demi waktu, hilir mudik berurutan. Ketika ia sampai pada masa kini, maka ia di
hadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Ia harus berbuat sesuatu untuk Sidanti.
Ya, untuk Sidanti. Menurut Ki Tambak Wedi, tidak ada jalan yang lebih baik dari
peperangan. Mempertaruhkan Tanah Perdikan Menoreh yang selama ini dibinanya.
Mengorbankan beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang untuk Sidanti. Sidanti.
Nama itu semakin keras terngiang di telinganya. Namun semakin keras nama itu
mendengung, maka semakin deraslah arus darah di pembuluhnya. Dan tiba-tiba
saja, Argapati itu berkata lantang, “Tidak. Tidak.”
Kata-kata itu telah
benar-benar menghantam dada Ki Tambak Wedi seperti runtuhnya batu-batu di atas
bukit Menoreh menimpa dirinya. Sejenak ia mematung, namun sorot matanya
seolah-olah menyala memandang Ki Gede Menoreh yang kini menengadahkan dadanya.
Sejenak ketegangan di ruang
itu menjadi semakin tajam. Dalam kediaman mereka, terasa bahwa dada
masing-masing telah dipepati oleh desakan perasaan yang seolah-olah sudah tidak
terbendung lagi.
Di luar, angin malam yang
sejuk berhembus mengguncang dedaunan. Suara gemersik sentuhan ranting-ranting
yang berderak-derak, seakan-akan bisikan-bisikan yang mendebarkan jantung
terdengar dari alam lain. Semakin lama semakin keras. Sedang nyala pelita yang
redup di regol halaman dan di pendapa berguncang pula, menggeliat, seperti di
hembus hantu.
Beberapa orang Menoreh telah
duduk-duduk di regol halaman. Satu dua orang berada di tangga pendapa. Mereka
ingin bertemu dengan Sidanti dan Argajaya, yang menurut pendengaran mereka,
baru saja melakukan perjalanan yang panjang, jauh, dan penuh dengan
bermacam-macam pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang aneh, yang mencemaskan,
yang mendebarkan tetapi juga yang mentertawakan. Dan mereka itu ingin
mendengarnya. Apalagi mereka, terutama anak-anak muda yang sebaya dengan
Sidanti, kawan bermain di masa kanak-kanak, setelah sekian lama tidak bertemu,
mereka ingin melihat, bagaimanakah keadaan anak muda itu kini. Anak muda kebanggaan
Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi kesempatan itu tidak
kunjung datang. Mereka melihat bahwa pintu masuk ke dalam pringgitan belum
tertutup rapat. Tetapi mereka tidak melihat bahwa di dalam pringgitan itu duduk
beberapa orang yang sedang bercakap-cakap, atau pintu pringgitan itu terbuka
dan seseorang mempersilahkan mereka masuk.
“Mungkin Sidanti masih
terlampau lelah,” desis seseorang yang duduk di atas tangga pendapa.
“Mungkin.”
Tetapi mereka terkejut, ketika
mereka mendengar suara yang agak keras meloncat dari pringgitan.Tetapi suara
itu tidak begitu jelas bagi mereka.
Sejenak mereka saling
berpandangan. Tetapi mereka tidak dapat menerka, apa yang telah terjadi. Mereka
tidak dapat menduga sama sekali, bahwa di pringgitan itu sedang berlangsung
suatu pembicaraan yang tegang.
Dalam pada itu, Sidanti dan
Argajaya pun hampir-hampir tidak sabar menunggu kedatangan Ki Tambak Wedi.
Mereka hampir tidak sabar lagi duduk-duduk dengan tegangnya di dalam bilik
mereka. Bilik yang terasa terlampau panas dan sesak. Tetapi mereka tidak berani
melanggar pesan Ki Tambak Wedi, supaya rencana mereka tidak rusak karenanya.
Mereka hanya dapat mengharap, mudah-mudahan Argapati dapat mengerti dan melakukan
seperti yang mereka kehendaki.
Di pringgitan, Argapati dan Ki
Tambak Wedi, masih saja duduk berdiam diri. Keringat yang dingin mengalir
membasahi pakaian mereka. Kedua orang tua-tua yang penuh dengan pengalaman,
pengetahuan, dan ketajaman pandangan itu, tiba-tiba seolah-olah membeku. Mereka
kehilangan pilihan kata-kata untuk meneruskan pembicaraan yang semakin lama
menjadi semakin tegang. Namun justru karena mereka saling berdiam diri itu,
maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak.
Tiba-tiba dalam keheningan
yang panas itu, Ki Tambak Wedi berkata lambat, “Apakah maksudmu sebenarnya
Argapati? Apakah kau akan ingkar dari tanggung jawabmu sebagai seorang ayah?”
Argapati mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Tidak. Bukan karena aku akan ingkar. Tetapi justru
sebaliknya. Aku harus mengetahui keadaan sebenarnya. Aku harus mengatakan benar
bagi yang benar, dan aku harus mengatakan salah bagi yang salah menurut
keyakinanku. Aku bukan seorang pengecut yang takut melihat kesalahan melekat di
tubuh sendiri. Tetapi aku juga bukan pengecut untuk mempertahankan kebenaran
yang aku yakini, meskipun harus aku tebus dengan nyawa sekalipun. Itulah
pendirianku. Juga pendirianku atas Sidanti. Kalau Sidanti bersalah, maka ia
memang wajib mendapat peringatan, supaya kesalahan itu tidak terulang kembali.
Tetapi kalau Sidanti benar seperti katamu, maka Pajang akan menjadi karang
abang. Aku tidak takut seandainya ada seratus Pemanahan, seratus Penjawi,
seratus Adiwijaya, dan kekuatan apa pun yang ada di belakang mereka.”
“Aku tahu, Argapati,” jawab Ki
Tambak Wedi, “jelasnya kau tidak percaya kepadaku.”
“Bukan maksudku.”
“Tetapi kau masih memerlukan
mendengar keterangan dari orang lain. Dan orang itu adalah Pemanahan.”
“Ya.”
Terdengar gigi Ki Tambak Wedi
gemeretak. Tetapi ia mendengar pula ketika Argapati berkata, “Kalau kau
percaya, bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku menyangka, bahwa
telah timbul salah paham. Kalau salah paham itu dapat diperkecil, maka
kemungkinan-kemungkinan yang lain pun akan dapat ditemukan.”
“Tidak. Kau hanya sekedar
menutupi ketidak-percayaanmu kepadaku, Argapati. Kau mungkin masih terpengaruh
oleh pengenalanmu atasku dahulu. Tetapi karena kau sudah mempercayakan Sidanti
kepadaku, seharusnya kau bersikap lain.”
“Apakah aku masih harus menjawabnya?”
“Mungkin tidak. Aku semakin
yakin, bahwa kau masih terpengaruh oleh keadaan itu. Kalau demikian, maka
apakah gunanya persetujuan yang telah kita buat, seakan-akan kita sudah tidak
mempunyai persoalan lagi? Tetapi ternyata kau tidak jujur. Kau tidak memenuhi
persetujuan itu sebulat hatimu. Kini dalam keadaan yang paling sulit yang
dialami Sidanti, kau akan ingkar. Bukankah itu sikap pengecut?”
Wajah Argapati menjadi merah.
Dalam cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan, wajah itu seakan-akan membara.
Dengan suara bergetar ia berkata, “Jangan kau sebut-sebut lagi, Ki Tambak Wedi.
Aku sudah mencoba melupakan semuanya yang telah terjadi. Aku menganggap tidak
pernah ada persoalan di antara kita.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi
semakin tegang. Ditatapnya mata Argapati seolah-olah ingin melihat langsung ke
dalam kepalanya. Tetapi kini Argapati tidak menundukkan kepalanya.
Matanya yang tajam memancar seperti
mata seekor harimau di dalam gelap. Kuning kebiru-biruan.
“Setan,” Ki Tambak Wedi
mengumpat di dalam hatinya.
Meskipun matanya sendiri
setajam mata burung hantu, tetapi ia terpaksa berpaling. Tetapi ia tidak mau
menunjukkan kekecilan hatinya. Maka katanya, “Kau benar-benar licik Argapati.”
“Aku tidak bermaksud tidak
baik,” sahut Argapati. “Aku bermaksud untuk menempatkan persoalannya di tempat
yang sewajarnya. Aku tidak ingin mengajari Sidanti mengambil keputusan yang
tergesa-gesa dalam menanggapi persoalan-persoalan yang penting, supaya ia tidak
terperosok ke dalam kesalahan yang berbahaya.”
“Ah,” potong Ki Tambak Wedi,
“kau dapat saja menyusun seribu macam alasan.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata
Argapati kemudian, “aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan sekedar
Argapati seorang diri, atau setidak-tidaknya bersama Sidanti. Tetapi setiap
keputusan yang aku ambil, adalah keputusan yang mengikat seluruh tanah perdikan
ini.”
“Aku sudah tahu. Itulah yang
aku kehendaki. Seluruh tanah ini bangkit dari tidur yang terlampau nyenyak.
Hari depanmu dan hari depan tanah ini akan bertambah baik.”
“Atau sebaliknya.”
“Kau memang pengecut.”
“Tidak,” tiba-tiba suara
Argapati menjadi keras, “aku tidak akan melakukannya tanpa menilai semua
persoalan sebaik-baiknya. Aku harus tahu benar, apakah yang sedang aku hadapi.
Tidak membabi buta.”
“Katakan, tegasnya kau tidak
percaya kepadaku.”
“Ki Tambak Wedi, jangan
memaksa aku berkata demikian.”
“Kenapa kau takut berkata
demikian. Katakanlah. Kau tidak percaya kepadaku.”
Argapati terdiam. Mulutnya
terkatup rapat-rapat.
“Putuskan sekarang. Kau mau
menggerakkan pasukanmu untuk memukul Sangkal Putung, dan kemudian Pajang, untuk
menangkap atau membunuh sama sekali Widura dan Untara, kemudian merampas Sekar
Mirah untuk anakmu, dan yang terakhir membunuh Adiwijaya, atau tidak.”
Sebuah gelora yang dahsyat
melanda dada Argapati. Kini ia didesak ke dalam pilihan yang pahit. Tetapi
sikap Ki Tambak Wedi benar-benar tidak menyenangkannya, sehingga
pertimbangannya menjadi kabur. Ia didesak oleh harga diri, sebagai seorang ayah
dan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, dan ia adalah ayah Sidanti. Karena itu, maka ia Argapatilah yang
berhak menentukan segala keputusan atas pertimbangannya.
Maka setelah terdiam sejenak,
terdengarlah jawabnya dan tegas, “Tidak. Aku tidak akan tergesa-gesa mengambil
keputusan.”
Terdengar gigi Ki Tambak Wedi
gemeretak. Ia sudah tidak melihat lagi kemungkinan untuk dapat membujuk
Argapati. Ia kenal tabiat Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena itu, maka
harga dirinya pun segera merentul kepermukaan wajahnya. Dengan kepala tengadah
ia berkata, “Baik. Baiklah, Argapati. Kalau kau ingkar akan kewajibannu,
biarlah aku akan berusaha melepaskan Sidanti dari himpitan perasaan yang akan
membunuhnya perlahan-lahan.”
“Aku tidak akan ingkar. Tetapi
aku akan berbuat menurut pertimbanganku.”
“Tidak perlu. Kau tidak perlu
berbuat apa-apa. Akulah yang akan berbuat sesuatu.”
Wajah Argapati menjadi
berkerut-merut, “Maksudmu?”
“Selama ini Sidanti ada
padaku. Ada dalam asuhanku. Akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi
atasnya dan apakah yang dirasakannya. Sidanti harus mendapat pelepasan. Akulah
yang akan melakukannya. Ia tidak perlu berada di rumah ini.”
“Ki Tambak Wedi, apakah kau
sudah gila. Biarlah Sidanti di sini. Aku adalah ayahnya. Akulah yang berhak
menentukan sikap atasnya dan memberikan petunjuk kepadanya menurut seleraku.”
“Tidak. Akulah yang berhak
atasnya. Ia akan aku bawa pergi. Pergi dari tempat pengecut ini.”
“Tidak. Sudah aku katakan.
Biarlah aku mengurusnya dan menentukan keputusan.”
“Kau tidak punya hak apa-apa,
Argapati. Kau kini sudah tidak lebih dari seorang tua yang sudah mati di dalam
hidupmu. Kau sudah tidak mempunyai cita-cita lagi, sudah tidak mempunyai gairah
perjuangan, tidak mempunyai harapan yang lebih baik di hari mendatang, meskipun
untuk kepentingan anakmu. Tidak, kau sudah mati. Bagaimana Sidanti akan dapat
berkembang di tangan orang mati.”
“Tambak Wedi.”
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah
tidak mempedulikannya. Dengan suara yang dalam, yang seolah-olah bergulung saja
di dalam perutnya ia berkata, “Aku akan pergi. Sidanti akan aku bawa. Ia sudah
cukup dewasa. Aku tidak perlu lagi menipunya dengan segala macam cerita cengeng
itu.”
“Tambak Wedi. Kau benar-benar
sudah gila.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
Tetapi ia kemudian melangkah meninggalkan Argapati.
Akhirnya Argapati pun berdiri
pula. Diikutinya Ki Tambak Wedi keluar dari pringgitan. Tetapi Argapati itu
menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan. Di halaman itu, dilihatnya
beberapa orang duduk sambil berbicara di antara mereka. Ketika mereka melihat
Ki Tambak Wedi keluar dengan tergesa-gesa, maka mereka pun menjadi terkejut
karenanya.
“Kau tinggal di sini, Tambak
Wedi, aku masih akan berbicara,” berkata Argapati.
“Tidak ada yang dibicarakan,
Argapati,” desis Ki Tambak Wedi. “Semua sudah jelas bagiku.”
Dada Argapati bergetar
mendengar jawaban Ki Tambak Wedi itu. Terdengar ia berdesis lambat.
Ditahankannya perasaannya sekuat-kuatnya. Di sekitarnya banyak orang-orang yang
melihatnya. Sehingga karena itu ia harus menahan dirinya.
Seandainya, ya, seandainya hal
itu terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Maka dengan serta merta Ki Tambak
Wedi itu pasti akan diterkamnya. Argapati pasti tidak akan menunggu sekejap pun
lagi. Darahnya sudah cukup mendidih, dan hatinya sudah cukup membara.
Tetapi kini ia berdiri sebagai
seorang Kepala Tanah Perdikan. Ia berdiri di pendapa, yang di sekitarnya
terdapat banyak orang dari tanah perdikannya.
“Apa kata mereka kalau aku
tiba-tiba saja bertempur melawan Ki Tambak Wedi di rumah ini.”
Terdengar Argapati menggeram.
Dan yang diucapkannya ketika Ki Tambak Wedi semakin jauh, “Tambak Wedi. Apa pun
yang terjadi adalah persoalan kita, persoalan orang tua-tua. Jangan kau siksa
anak-anak itu dengan ceritamu yang bodoh.”
Ki Tambak Wedi yang sudah
hampir sampai di gandok, terhenti sejenak. Ia memutar tubuhnya dan menghadap
kepada Ki Gede Menoreh, “Itu urusanku, Argapati. Kalau kau tidak senang
terserah kepadamu.”
“Bukan soalku, senang atau
tidak senang. Tetapi justru untuk kepentingan anak itu sendiri.”
“Anak itu sudah cukup dewasa.
Aku harus mengajarinya melihat kenyataan.”
“Tetapi kenyataan-kenyataan
yang gila itu tidak perlu kau ungkapkan supaya anak itu tidak menjadi gila
seperti kau.”
“Itu bukan urusanmu.”
Betapa Argapati mencoba
menahan diri, tetapi terdengar juga giginya gemeretak. Diusapnya dadanya dengan
tangannya, seakan-akan menahan dada itu supaya tidak meledak.
Beberapa orang yang berada di
halaman rumah itu menjadi terheran-heran. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi?
Mereka saling berpandangan dan saling bertanya lewat sorot mata mereka. Tetapi
tidak seorang pun yang berani mengucapkan pertanyaan yang menggelegak di dalam
dada mereka.
Ki Tambak Wedi kemudian dengan
tergesa-gesa masuk ke dalam gandok. Di muka pintu hampir saja ia membentur
Sidanti dan Argajaya yang ingin meloncat keluar, karena mereka mendengar suara
Ki Tambak Wedi yang keras dan suara Argapati di pendapa.
“Apa yang terjadi Guru?”
bertanya Sidanti dengan serta merta, ”Apakah terjadi salah paham itu?”
Ki Tambak Wedi melihat
kecemasan membayang di wajah Sidanti dan Argajaya. Sekali ia menarik nafas
dalam-dalam, lalu katanya, “Ya. Argapati benar-benar telah menjadi gila.”
“Oh, lalu?” Sidanti menjadi
semakin cemas.
“Kita pergi dari rumah
terkutuk ini.”
Sidanti menjadi semakin
bingung. Sejenak ia terbungkam. Tetapi sorot rnatanya memancarkan gejolak di
dalam dadanya.
“Kita pergi Sidanti. Kita tidak
akan tinggal di sini terlampau lama. Ternyata Argapati sekarang adalah seorang
pengecut besar yang tidak berani berbuat apa pun di luar halaman rumahnya
sendiri.”
“Guru,” potong Sidanti.
Bagaimana pun juga, Argapati adalah ayahnya, sehingga kata-kata itu terasa
menyentuh perasaannya.
“Jangan kau hiraukan Argapati.
Marilah kita pergi.”
“Tetapi,” Sidanti tergagap,
“rumah ini adalah rumah ayahku.”
“Ki Tambak Wedi,” berkata
Argajaya, “apakah yang dapat kita lakukan tanpa Kakang Argapati?”
“Persetan dengan Argapati,”
sahut Ki Tambak Wedi, kemudian suaranya merendah, “Angger Argajaya. Kau sudah
terlanjur terlibat dalam persoalan Sidanti. Kau tidak akan dapat menghindar
lagi. Siapa pun orangnya yang bernama Argapati itu, tetapi sudah menjadi
kewajiban kita untuk menghindarkan diri dari penangkapan orang-orang Pajang,
yang justru akan mungkin dilakukan oleh Argapati sendiri. Ternyata setan itu
merasa dirinya lebih berkepentingan dari orang-orang Pajang sendiri. Ia merasa
dirinya berkepentingan untuk mendapatkan pujian. Seandainya Sidanti bukan
anaknya, Argajaya bukan adiknya, dan aku bukan guru anaknya, maka aku kira kita
sudah tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”
Terasa dada Sidanti bergetar.
Wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Terdengar suaranya parau, “Lalu,
apakah yang akan dilakukan oleh Ayah?”
“Ia tidak mau tersangkut dalam
persoalan kita dengan orang-orang Pajang. Ayahmu menjadi ketakutan, sehingga
kita tidak mendapat perlindungan apa pun di sini. Karena itu, marilah kita
pergi. Ada sesuatu yang penting yang wajib kau ketahui Sidanti. Tetapi aku
tidak sempat mengatakannya sekarang.”
Sidanti masih mematung. Ia
tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang di hadapinya.
Terasa sesuatu yang sangat membingungkannya berkecamuk di dalam benaknya.
“Angger Argajaya,” berkata Ki
Tambak Wedi, “kau sudah tidak dapat menghindar lagi dari setiap pertanggugan
jawab dengan orang-orang Pajang, seperti kata kakakmu sendiri. Karena itu,
marilah kita berusaha menyelamatkan diri kita sendiri tanpa mempercayakannya
kepada orang lain. Sebenarnya aku dapat berbuat apa saja untuk kepentinganku
sendiri, tetapi aku tidak sampai hati meninggalkan Sidanti dan kau. Karena itu,
apakah kau tidak berkeberatan, apabila malam ini aku dan Sidanti bermalam di
rumahmu, sementara itu kita dapat menyusun rencana yang baik untuk melakukan
sesuatu.”
Keduanya masih terdiam. Mereka
didorong ke dalam suatu persoalan yang tidak terduga-duga sama sekali
sebelumnya. Karena itu, maka mereka menjadi bingung, ragu-ragu dan cemas.
“Kita harus segera
memutuskan,” berkata Ki Tambak Wedi, “sebelum pintu regol itu ditutup dan
Argapati membunyikan tanda bahaya untuk menangkap kita.”
Sidanti dan Argajaya
benar-benar kehilangan kesempatan untuk membuat pertimbangan-perimbangan.
Mereka di hadapkan pada keadaan yang buram, tanpa mendapatkan
penjelasan-penjelasan. Dan mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi selanjutnya,
“Kalau kalian masih kurang jelas mengenai masalah yang kalian hadapi, nanti aku
akan menjelaskannya. Tetapi kita sekarang benar-benar harus segera memutuskan
dan keluar dari halaman ini.”
Ki Tambak Wedi masih melihat
Sidanti akan bertanya kepadanya. Tetapi ia mendahuluinya, “Jangan bertanya
sesuatu. Bawa senjata-senjata kita. Kita akan kehilangan waktu. Marilah kita
keluar dahulu sebelum kita menyesal. Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya
daripada kepada anaknya.”
Sidanti dan Argajaya
benar-benar tidak mendapat kesempatan. Mereka melihat Ki Tambak Wedi itu keluar
dari gandok dan berkata pula, “Cepatlah Sidanti dan Angger Argajaya.”
Sidanti seakan-akan telah
kehilangan kesadarannya. Kakinya melangkah saja di belakang gurunya. Orang yang
selama ini dianggapnya orang yang paling dekat daripadanya. Meskipun ayahnya
adalah Argapati, tetapi mereka seakan-akan tidak pernah bertemu, tidak pernah
berbincang dan berbicara tentang berbagai hal. Itu sebabnya, maka meskipun
dengan hati yang kosong, ia mengikuti juga langkah Ki Tambak Wedi.
Di halaman mereka melihat
beberapa orang Menoreh berdiri terheran-heran melihat keadaan yang tidak mereka
mengerti sama sekali. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang berani
bertanya. Baik kepada Ki Tambak Wedi, maupun kepada Sidanti, atau Argajaya.
Dada Sidanti berdesir, ketika
ia melihat Argapati berdiri di pendapa. Sejenak ia menjadi ragu-ragu.
Hampir-hampir ia berteriak untuk melepaskan pepat di dadanya, atau berteriak
minta penjelasan. Namun yang didengarnya adalah suara ayahnya, “Ki Tambak Wedi.
Ingat, aku tidak menghendaki keadaan ini.”
“Maaf Argapati. Kami tidak
ingin menjadi korban ketakutanmu kepada Adiwijaya. Kami tetap dalam pendirian
kami, bahwa Pajang harus dilawan.”
”Terserah kepadamu, Tambak
Wedi. Tetapi kepergianmu membawa Sidanti dan Argajaya sama sekali tidak aku
inginkan.”
“Kami tidak mau membiarkan
diri kami diterkam oleh pengkhianatan.”
“Tambak Wedi.”
“Jangan cegah kami.”
Darah Argapati serasa mendidih
di dalam dadanya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya. Kalau ia
kehilangan akal, maka orang-orang Menoreh akan melihat, bahwa Ki Tambak Wedi
dengan beraninya telah melawan perintahnya. Tentu hal itu tidak baik baginya
dilihat oleh orang-orangnya. Apalagi kalau ia harus bertempur melawan orang itu
di halaman. Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan diri untuk berkata, “Kau
telah memperbaharui persoalan kita, Tambak Wedi.”
Ternyata Ki Tambak Wedi pun
tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Ketika tanpa disadarinya ia
menengadahkan kepalanya, dan dilihatnya seleret bulan yang masih terlampau muda
hinggap di kehitaman langit, maka dadanya serasa hendak meledak.
Dengan suara yang gemetar ia
berkata, “Terserah kepadamu, Argapati. Tetapi sebaiknya kita menyelesaikan
persoalan ini seperti yang pernah kita lakukan. Marilah kita peringati
pertemuan kita di bawah Pucang Kembar.”
Mendengar nama Pucang Kembar,
maka hati Argapati hampir menjadi gelap disaput oleh perasaannya yang sedang
membara. Tetapi orang-orang Menoreh yang berdiri termangu-mangu di halaman
telah mencegahnya untuk berbuat langsung pada saat itu. Namun sebagai seorang
yang keras hati, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menjawab, “Baik,
Tambak Wedi. Aku akan menunggu bulan purnama naik. Bukankah saat-saat yang
demikian, di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu kita pernah
membuat suatu perjanjian? Nah, aku bersedia memperingatinya. Nanti pada saat
purnama penuh.”
“Bagus,” teriak Ki Tambak
Wedi, “aku menunggumu. Sementara ini, aku akan dapat memberikan penjelasan
kepada Sidanti tentang semua persoalan.”
“Kau akan membuatnya gila
seperti kau?”
“Itu urusanku.”
“Kau sudah kehilangan akal,”
Argapati berhenti sejenak.
Terasa tubuhnnya gemetar
seperti sedang kedinginan. Namun masih terdengar suaranya parau, “Argajaya.
Jangan ikut.”
Argajaya menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi ia mendengar Tambak Wedi berkata, “Ia telah terlibat pula dalam
persoalan Sidanti dan Pajang. Kalau ia tidak pergi bersamaku, maka ia akan
menjadi korbanmu. Korban kelicikanmu. Untuk mendapatkan pujian dan mungkin
hadiah seperti yang akan diterima oleh Pemanahan dan Penjawi untuk memperluas
tanah perdikanmu, kau akan sampai hati mengorbankan kami, anakmu, adikmu, dan
aku yang kau katakan sahabatmu.”
“Kau jangan mengigau, Tambak
Wedi. Jangan membuat aku kehilangan akal pula. Kalau kau mau pergi, pergilah.
Kita sudah menentukan waktu itu.”
“Baik. Pada saat purnama penuh
naik. Aku menunggumu di bawah Pucang Kembar.”
Ki Tambak Wedi tidak menunggu
Argapati menyahut. Segera ia melangkah pergi diikuti oleh Sidanti dan Argajaya.
Semua mata yang berada disekitar halaman itu mengikuti mereka dengan debar
jantung yang menghentak-hentak dada. Tetapi mereka masih saja tidak berani mengucapkan
sepatah pertanyaan pun. Bahkan tubuh mereka ikut menggigil tanpa diketahui
sebab-sebabnya.
Ketika ketiga orang yang telah
menggetarkan dada setiap orang di halaman itu hilang di balik regol halaman, Ki
Gede Menoreh menekan dadanya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia
telah terlibat ke dalam persoalan yang sama sekali tidak diingininya.
Di luar regol halaman, Ki
Tambak Wedi kemudian berjalan dengan tergesa-gesa diikuti oleh Sidanti dan
Argajaya. Namun sekali lagi Sidanti dihambat oleh kebimbangan dan
keragu-raguan. Kalau ia pergi mengikuti gurunya, ia harus meninggalkan ayahnya,
tetapi kalau ia tinggal, maka ia akan terpisah dari gurunya yang selama ini
mengasuhnya. Sejak ia meningkat menjelang dewasa, ia sudah tidak berada bersama
ayahnya. Ia telah berada di padepokan Tambak Wedi bersama gurunya.
Keragu-raguan itu benar-benar
telah mengoyak hatinya. Ia benar-benar ingin berteriak sekuat-kuat tenaganya,
supaya dadanya tidak menjadi pecah karenanya. Tetapi ia masih tetap sadar,
bahwa apabila ia melakukannya, maka ia akan menyesal. Mungkin gurunya akan
marah kepadanya atau orang-orang Menoreh terbangun dari tidurnya dan
berlari-lari mencari arah suaranya.
Ketika teringat olehnya
kata-kata gurunya dalam perdebatannya dengan ayahnya, maka debar di dada
Sidanti menjadi semakin keras. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ayahnya tidak
membantunya, melepaskanya dari kecemasan terhadap orang-orang Pajang, apalagi
membalas sakit hatinya dengan menghancurkan Sangkal Putung dan Jati Anom,
lebih-lebih lagi Pajang. Tetapi justru ayahnya telah mengingkari kewajibannya
sebagai seorang ayah, bahkan akan menangkapnya dan menyerahkannya kepada
Pajang.
Terngiang di telinganya
kata-kata gurunya, “Ayahmu lebih cinta kepada kedudukannya daripada kepada
anaknya.”
Terdengar Sidanti menggeram.
Namun kemudian timbul pula keragu-raguannya. “Apakah benar ayah akan berbuat
demikian?”
“Baiklah,” berkata Sidanti
kemudian di dalam hatinya. “Biarlah kali ini aku menghindar dulu. Besok atau
lusa aku akan dapat minta penjelasan kepada ayah, apabila ada kesempatan.
Mungkin aku perlu menghubungi ayah di luar pengetahuan guru, yang agaknya
memang sudah mempunyai benih-benih yang kurang baik di antara mereka. Sejak
kami berangkat dari Sangkal Putung, guru sudah tampak ragu-ragu dan bimbang.
Ternyata yang terjadi benar-benar tidak menyenangkan.”
Sedang Argajaya pun tidak
kalah bingungnya. Ia berjalan seperti di dalam mimpi saja. Tanpa kesadaran.
Meskipun demikian, ia tidak dapat menahan hati lagi dan bertanya, “Apakah yang
sebenarnya telah terjadi, Ki Tambak Wedi. Aku tidak mengerti ujung dan pangkal
pembicaraan. Apalagi agaknya Kiai telah terlibat dalam persoalan yang tampaknya
bersungguh-sungguh dengan Kakang Argapati.”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Katanya dengan suara gemetar, “Aku memang sudah meragukannya sejak semula,
Ngger, bahwa kakakmu akan tidak berani bertindak untuk nama keluarganya.
Ternyata hal itu benar-benar terjadi, meskipun aku sudah berusaha untuk
membakar hatinya. Aku sudah mengatakan persoalan Sidanti dengan hati-hati,
bahkan dengan membubuinya. Aku mengatakan kepadanya, bahwa Widura dan Untara
menaruh dengki dan iri kepada Sidanti, apalagi kemudian menyangkut persoalan
Sekar Mirah yang berhubungan pula dengan Agung Sedayu, adik Untara. Tetapi
agaknya Argapati sama sekali tidak berani berbuat apa pun. Bahkan ia mengancam
akan menghukum Sidanti, apabila ia bersalah. Argapati akan pergi ke Pajang dan
menghubungi Ki Gede Pemanahan yang pasti sudah mendapat laporan dari Untara.”
“Ah,“ tiba-tiba Argajaya
memotong, “apakah benar begitu?”
“Bertanyalah kepada Argapati
sendiri. Tapi kalau kau masuk ke halaman rumah itu, maka kau tidak akan dapat
keluar lagi.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Kakinya masih saja melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti langkah
Ki Tambak Wedi.
“Tetapi Kakang bukan seorang
pengecut,” berkata Argajaya.
“Aku tahu,” sahut Ki Tambak
Wedi, “Argapati bukan penakut. Tetapi ia termasuk seorang yang gila akan
kedudukan. Pahamilah hal ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi
ada hal yang lebih penting lagi yang dapat aku katakan. Nanti setelah kita
berada di rumah Angger Argajaya.”
Argajaya tidak menyahut lagi.
Seperti Sidanti ia ingin mendengar dahulu semua persoalannya. Kemudian ia akan
dapat mengambil kesimpulan. Kalau perlu, seperti juga yang tersirat di
angan-angan Sidanti, ia akan dapat menemui Argapati untuk mendengar
penjelasannya.
Sementara itu, Argapati masih
saja berdiri membeku di pendapa rumahnya. Terasa dadanya menjadi penat. Bahkan
di dalam hatinya ia mengeluh, “Mimpi apakah aku semalam? Tiba-tiba aku di
hadapkan pada persoalan ini. Persoalan yang sudah lama aku kuburkan dalam-dalam.
Persoalan. yang sudah aku lupakan.”
Sekali lagi Argapati menarik
nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang yang berdiri kebingungan di
halaman. Ia merasa perlu untuk memberi ketenteraman kepada mereka. Karena itu
maka katanya, “Jangan bingung. Tidak ada apa-apa. Kami memang berselisih paham.
Tetapi aku tahu, bahwa persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan baik.
Kami masing-masing ingin berbuat untuk kebaikan Sidanti dan tanah ini. Hanya
cara kami yang berbeda. Itulah sebabnya, kami akan membicarakan di lain kali.
Kami mengharap seseorang dapat menengahi pembicaraan kami. Sekarang pulanglah
dan beristirahatlah. Jangan kalian kembangkan persoalan ini seolah-olah sebuah
persoalan yang besar.”
Orang-orang di halaman itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak meyakini kata-kata Ki Gede
Menoreh. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak bertanya apa pun.
Satu-satu mereka meninggalkan regol itu dengan hati yang gelisah, cemas dan
kecewa. Mereka hanya melihat Sidanti lewat dan hilang di dalam kegelapan.
Sejenak kemudian, halaman
rumah Argapati menjadi sepi. Dua orang peronda berdiri di regol halaman dengan
wajah yang tegang dan hati yang bimbang. Tetapi mereka pun tidak bertanya
sesuatu.
Argapati masih saja berdiri di
pendapa rumahnya. Sebenarnya ia adalah seorang yang keras hati. Kalau saja ia
tidak menyadari kedudukannya yang pasti akan dilihat oleh setiap orang di Tanah
Perdikan Menoreh, maka ia pasti tidak akan sabar lagi menunggu purnama naik.
“Sekarang. Kita selesaikan sekarang.”
Argapati terperanjat ketika ia
mendengar suara lirih di belakangnya, “Ayah, apakah yang telah terjadi?”
Ketika Argapati berpaling,
dilihatnya Pandan Wangi berdiri di belakangnya. Dalam taburan sinar pelita yang
remang-remang. Argapati melihat kecemasan membayang di wajah anaknya itu. Anak
gadisnya. Tiba-tiba terasa getaran melanda jantungnya. Sejenak Argapati
terbungkam. Ditatapnya saja wajah puterinya itu tanpa berkedip.
Karena ayahnya tidak menjawab,
maka diulanginya pertanyannya, “Ayah, apakah yang terjadi?”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ia masih belum menjawab. Tetapi Pandan Wangi merasa aneh, ketika
kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun, ayahnya membimbingnya masuk ke
dalam pringgitan.
Pandan Wangi tidak bertanya
lagi. Ia berjalan saja di samping ayahnya. Namun terasa hatinya menjadi
berdebar-debar dan darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Seribu macam
pertanyaan bergelut di dadanya. “Apakah yang sebenarnya sudah terjadi?”
Pandan Wangi melihat ayahnya
menutup pintu pringgitan itu perlahan-lahan. Kemudian Pandan Wangi itu
dibawanya duduk di atas tikar.
Namun untuk sejenak Argapati
masih saja berdiam diri. Kadang wajahnya ditundukkannya. Tetapi kadang-kadang
ditengadahkannya.
“Wangi,” terdengar kemudian
suaranya perlahan-lahan sekali, “tolong, ambilkan ayah minum.”
Pandan Wangi memandang wajah
ayahnya dengan penuh keheranan. Tetapi ia tidak juga bertanya. Perlahan-lahan
ia berdiri dan berjalan kebelakang untuk mengambil minum.
Tetapi tiba-tiba saja terasa
ruang di belakang itu terlampau sunyi. Meskipun ia melihat beberapa orang
pembantunya duduk sambil terkantuk-kantuk, tetapi hatinya terasa terlampau
sepi. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Terasa sesuatu yang tidak diketemukannya.
Ada yang hilang dari ruang itu.
Dada Pandan Wangi terasa
menjadi sesak. Ketika ia sadar apa yang sedang dicarinya, tanpa diketahuinya,
setitik air menetes di ujung jari kakinya.
Pada saat-saat yang demikian,
apabila ia tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan ayahnya, ia selalu lari
kepada ibunya. Ibunya yang sering duduk di ruang dalam. Kepada ibunya ia selalu
bertanya, “Ibu, kenapa dengan Ayah?”
Dan ibunya selalu menjawab,
“Tidak apa-apa, Wangi. Ayahmu tidak apa-apa.”
“Apakah ayah marah kepadaku,
Ibu?”
Ibunya menggeleng sambil
tersenyum, “Tidak, Wangi. Bukankah ayah tidak pernah marah kepadamu?”
Terasa setitik air jatuh lagi
di atas ujung jari kakinya. Kesepian telah mencengkam dadanya. Dan disadarinya
kekurangan yang tidak akan lagi dapat diketemukan. Ibunya itu telah tidak ada
lagi. Ibunya telah pergi meninggalkannya, untuk selama-lamanya.
Dan kini dilihatnya ayahnya
menjadi muram. Kini ia tidak dapat mengetahui, kenapa ayahnya berselisih dengan
tamunya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada siapa pun. Yang ada di dalam
ruangan itu hanyalah beberapa orang pelayan.
Pandan Wangi terkejut, ketika
ia mendengar seseorang bertanya kepadanya, “Apakah yang kau perlukan?”
Pandan Wangi tergagap,
jawabnya, “Minum. Ayah ingin minum.”
Pelayannya itu segera
menyediakan minum. Semangkuk air jahe hangat, beberapa potong gula kelapa dan
beberapa potong makanan.
“Apakah Ki Argapati tidak
menjamu tamu-tamunya sekarang? Kami menunggu perintah itu. Bukankah hari telah
cukup malam, bahkan terlalu malam?” bertanya pelayan itu.
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya, “Tidak,” jawabnya, “tamunya telah pergi.“
“Pergi?” pelayan itu menjadi
terheran-heran.
“Kenapa?” yang lain bertanya.
Sekali lagi Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. Sekali lagi terasa dadanya berdesir. Ia pun menyimpan
pertanyaan itu. Bukan sekedar pertanyaan, tetapi kecemasan.
Para pelayan itu melihat wajah
Pandan Wangi yang suram. Bahkan mereka melihat mata gadis itu menjadi basah.
Namun justru itu, mereka tidak bertanya lagi.
Sepeninggal Pandan Wangi,
Argapati duduk seorang diri di priggitan. Hatinya terasa terlampau sakit
mengalami peristiwa itu. Peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Yang tidak
terjadi pada saat itu saja dengan tiba-tiba. Tetapi peristiwa ini adalah
peristiwa yang menjelujur dari masa-masa yang silam.
“Tetapi Pandan Wangi sudah
cukup dewasa,” katanya di dalam hati, “ia harus tahu apa yang sedang dihadapi
oleh ayahnya.”
Namun Argapati masih tetap ragu-ragu.
“Hem,” ia menarik nafas
dalam-dalam, “Ki Tambak Wedi yang kehilangan padepokannya itu, benar-benar
telah menjadi gila. Ia sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Agaknya ia akan
menyeret Sidanti ke dalam kegilaan itu, bersama Argajaya pula.”
Argapati itu berdesis
perlahan-lahan. Ia di hadapkan pada suatu persoalan yang sangat pahit.
“Apakah Ki Tambak Wedi itu
benar-benar melakukan seperti yang dikatakannya?” pertanyaan itu selalu
membayang di dalam hatinya. “Apabila demikian, aku harus menjelaskannya pula
kepada Pandan Wangi, supaya ia tidak terkejut sekali, apabila pada saatnya ia
mendengar. Daripada ia mendengar dari orang lain, maka sebaiknya ia mendengar
dari mulutku sendiri.”
Sekali lagi Argapati menarik
nafas dalam-dalam. Dalam sekali, “Kasihan anak yang sudah tidak beribu ini.
Kasihan Sidanti yang terseret arus kegilaan gurunya.”
Kepala Argapati itu pun
kemudian tertunduk, “Apakah kedua kakak beradik itu harus berpisah?” pertanyaan
itu benar-benar telah melukai jantungnya.
Hati orang tua itu menjadi
berdebar-debar, ketika ia melihat Pandan Wangi datang kepadanya sambil
menjinjing minuman. Apalagi ketika ia melihat wajah puterinya yang pucat itu.
Argapati dapat meraba, bahwa
Pandan Wangi menjadi gelisah dan cemas. Kalau puterinya itu tidak mendapat
penjelasan, maka bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri, pasti akan
membuatnya tidak dapat tidur semalam. Dan bayangan-bayangan yang demikian akan
dapat berkembang tanpa batas.
“Aku harus berterus terang
kepadanya,“ katanya di dalam hati, “supaya aku tidak menjerumuskannya ke dalam
suatu keadaan yang kelak akan menggoncangkan perasaannya. Kini selagi aku masih
ada. Selagi aku masih hidup. Aku dapat menenteramkan hatinya, apabila ia
tergetar oleh desakan perasaannya.”
Tetapi keragu-raguan menjalari
hatinya, ketika ia melihat Pandan Wangi telah duduk bersimpuh di hadapannya
sambil menyodorkan semangkuk air jahe dan beberapa potong gula kelapa.
“Terima kasih, Pandan Wangi,”
desis ayahnya.
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi terasa betapa berat suara ayahnya, seolah-olah dibebani oleh perasaan
yang hampir tidak tertanggungkan. Tetapi Pandan Wangi tidak berani bertanya. Ia
duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Namun sekali lagi dadanya disesakkan
oleh kenangannya tentang ibunya yang sudah meninggal.
Dalam saat-saat begini, Pandan
Wangi selalu melihat ibunya berbincang dengan ayahnya. Ibunya selalu berusaha
untuk menenteramkan hati ayahnya apabila ia sedang dipeningkan oleh
persoalan-persoalan yang sangat berat. Tetapi kini, Argapati itu terpaksa
membawa beban yang agaknya terlampau berat seorang diri. Ia belum pernah
melihat wajah ayahnya semuram wajahnya kini.
“Tetapi aku harus mengatakan,”
Argapati berkata di dalam hatinya, “aku harus mempunyai keberanian untuk
mengatakannya. Kalau aku tidak berani berterus terang kepada Pandan Wangi,
sedang Ki Tambak Wedi mengatakannya kepada Sidanti, apa pun maksudnya, maka
apabila pada suatu saat kedua kakak beradik ini bertemu, maka akan sangat terguncanglah
perasaan Pandan Wangi, apabila Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya
seperti sikap gurunya.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ketika Pandan Wangi mendengar desah yang panjang meluncur dari
hidung ayahnya, maka gadis itu mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera
tertunduk kembali ketika matanya membentur pandangan mata ayahnya yang suram.
“Pandan Wangi,” terdengar
suara Argapati perlahan-lahan, “kenapa kau menjadi gelisah?”
Pandan Wangi heran mendengar
pertanyaan ayahnya. Dan Argapati sendiri heran mendengar pertanyaan yang
tiba-tiba saja meloncat dari bibirnya untuk memecahkan kebekuan suasana.
Sekali lagi Argapati menarik
nafas. Katanya, “Maksudku, apakah kau menjadi gelisah mendengar dan melihat
persoalan yang baru saja terjadi?”
“Ya, Ayah,” jawab Pandan
Wangi, “aku menjadi gelisah dan cemas.”
“Apakah yang telah mencemaskan
kau dalam persoalan itu? Apakah kau mendengar sesuatu yang pantas kau
cemaskan?”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Pembicaraan Ayah dengan Ki Tambak Wedi tampaknya
bersunguh-sungguh.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Ya, Wangi. Agaknya Ki Tambak Wedi bersungguh-sungguh.”
“Kenapa ayah berselisih dengan
Ki Tambak Wedi?” bertanya Pandan Wangi, “dari ruang dalam aku mendengar ayah
dan Ki Tambak Wedi berbicara tentang Kakang Sidanti.”
“Ya, Wangi.”
“Tetapi Ayah tidak sependapat
dengan Ki Tambak Wedi.”
Argapati mengangguk, “Ya,
Wangi, aku memang tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi.”