Buku 082
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Tetapi terasa sebuah getaran yang aneh telah mengguncangkan dinding
jantungnya.
Ki Waskita-lah yang kemudian
berkata, “Tetapi semuanya itu masih harus dijelaskan. Dan agaknya Kiai
Gringsing akan dapat menjelaskannya.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Waskita sejenak. Kemudian ia pun justru bertanya, “Ki Waskita, apakah aku harus
mulai dengan Empu Windujati sebelum sampai kepada murid-muridnya?”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu suatu cerita yang menarik. Banyak orang yang
telah menceritakan suatu perguruan yang dipimpin oleh seseorang yang bernama
Empu Windujati. Tetapi tidak banyak orang yang dapat bercerita tentang orang
itu yang sebenarnya. Sekarang agaknya Kiai Gringsing akan mulai dengan cerita
tentang Empu Windujati sebagai orang yang langsung mengenalnya.”
“Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing, “sebenarnyalah bahwa aku tidak mengenal Empu Windujati dengan baik.”
“Ah,” desis Ki Juru Martani,
“Kiai seperti seorang gadis yang sedang dilamar seorang anak muda.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun ia pun tersenyum. Katanya, “Aku menyadari, bahwa karena selama
ini aku sering mengatakan yang tidak sebenarnya tentang diriku, maka setiap
ceritaku tentu akan dicurigai kebenarannya.”
Ki Gede Pemanahan yang pucat
pun masih tertawa pula meskipun terasa suara tertawanya bagaikan melayang di
udara.
“Kiai benar,” desis Ki Gede
Pemanahan.
“Nah, baiklah aku mencoba
berkata sebenarnya tentang diriku, tentang perguruan Windujati dan tentang
orang yang bernama Windujati itu sendiri.”
“Baiklah, Kiai, silahkan. Kami
tidak akan terlampau banyak memotong,” sahut Ki Waskita.
“Kecuali jika perlu,” desis Ki
Sumangkar sambil tersenyum.
Kiai Gringsing pun tersenyum
pula. Lalu katanya, “Aku akan mencoba mengingat apakah yang telah terjadi
sebenarnya. Meskipun saat itu aku masih terlampau kecil untuk dapat mengenal
orang yang sebenarnya bernama Empu Windujati itu.”
“He,” orang-orang yang ada di
dalam ruangan itu terkejut.
“Kiai masih terlampau kecil
untuk mengenal Empu Windujati?” bertanya Ki Juru Martani.
“Ya. Aku memang dibawa
menghadap. Aku belum genap lima belas tahun waktu itu.”
“Dan berapa usia Empu
Windujati saat itu? Dua puluh?” bertanya Ki Waskita.
“Ah tentu tidak,” sahut Ki
Juru Martani, “jika Kiai Gringsing kemudian berguru kepadanya, maka pada saat
itu umur Empu Windujati tentu sudah lebih dari tiga puluh tahun.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia memandang Kiai Gringsing seakan-akan
mendesaknya untuk segera menjawab pertanyaannya.
“Ki Juru,” berkata Kiat
Gringsing, “usia Empu Windujati saat itu adalah kira-kira tujuh puluh tahun.”
“Tujuh puluh tahun?” semua
orang mengulang.
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
“tujuh puluh tahun. Pada saat itu Demak masih belum berdiri tegak. Sisa-sisa
pemerintahan Majapahit masih terasa. Sepeninggal Raden Patah, maka Adipati Unus
harus bertempur melawan Prabu Udara yang telah merebut kekuasaan Majapahit dari
kekuasaan lain yang juga mendapat kekuasaan atas Majapahit setelah mengalahkan
Brawijaya ke lima.”
“Ya,” Ki Juru
mengangguk-angguk, “Prabu Brawijaya harus mengakui keunggulan Kediri. Tetapi
pemimpin-pemimpin Kediri sendiri pada waktu itu agaknya tidak bersesuaian
pendapat sehingga Prabu Udara tampil ke atas tahta Majapahit. Namun akhirnya
Majapahit dapat dikuasai oleh keturunan Majapahit yang berkedudukan di Demak.”
“Begitulah kira-kira,” berkata
Kiai Gringsing, “saat itulah aku bertemu untuk pertama kali dengan seorang tua
berjanggut putih dan berambut putih bernama Empu Windujati.”
“Aneh,” desis Sumangkar,
“menurut dugaanku, Empu Windujati belum setua itu. Jika demikian, siapakah
sebenarnya Empu Windujati yang kita kenal pada saat permulaan Pajang berkuasa?
Apakah juga Empu Windujati yang sudah menjadi semakin tua itu?”
“Tentu tidak mungkin. Empu
Windujati saat itu masih menjelajahi daerah utara dari ujung sampai ke ujung.
Bahkan bukan saja daerah utara, tetapi kadang-kadang orang-orang menjumpainya
pula di daerah Pajang. Di kota Pajang itu sendiri,” berkata Ki Waskita.
“Kita sekarang memang sudah
cukup tua,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi masih terlampau muda untuk
mengetahui siapakah Empu Windujati yang sebenarnya. Tetapi dalam suatu
kesempatan aku dapat melihat ciri perguruan Windujati itu pada sebuah rontal.
Dan rontal itu ternyata ditulis menurut nama yang tercantum di dalam rontal
yang terbentuk surat itu oleh seseorang bernama Wirawardana. Seorang putra dari
Majapahit yang kecewa melihat perebutan kekuasaan yang selalu terjadi. Kemudian
mengasingkan diri dan menyebut dirinya dengan nama yang lain.”
“Apakah Empu Windujati itu
juga Pangeran Wirawardana itu?” bertanya Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Tetapi kali ini nampak bahwa wajahnya menjadi bersungguh-sungguh.
Karena itu, maka orang-orang yang ada di sekitarnya menganggapnya bahwa Kiai
Gringsmg memang tidak sedang bergurau seperti biasanya.
Sesaat kemudian Kiai Gringsing
itu pun berkata, “Memang sulit untuk mengatakan siapakah sebenarnya Empu
Windujati. Tetapi demikianlah agaknya. Surat itu ditulis oleh Empu Windujati
bagi murid-murid yang pada suatu saat akan ditinggalkannya.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Ki Waskita yang tertarik sekali kepada cerita itu bergeser
mendekat sambil bertanya, “Jadi ketika Kiai berguru kepada Empu Windujati, Empu
itu sudah berusia tujuh puluh tahun?”
“Aku bukan murid perguruan
Windujati seutuhnya,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku menjadi bingung,” desis
Ki Sumangkar.
“Empu Windujati sudah
terlampau tua untuk langsung memberikan tuntunan olah kanuragan. Memang dalam kesempatan-kesempatan
tertentu Empu Windujati turun sendiri ke sanggar. Melatih murid-muridnya yang
hanya ada dua orang. Tetapi aku adalah seorang penonton waktu itu.”
Ki Gede Pemanahan yang
berbaring dengan lemahnya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah.
Teruskan cerita itu, Kiai. Aku kira Kiai memang bukan murid langsung Empu
Windujati. Tetapi Kiai adalah murid dari perguruan itu.”
“Ketika aku menjadi semakin
besar, Empu Windujati pun menjadi semakin tua. Tetapi kedua muridnya itu pun
menjadi semakin sempurna.”
Namun dalam pada itu Ki
Sumangkar memotong, “Aku tetap tidak dapat mengerti bahwa saat mulainya
kekuasaan Demak, Empu Windujati sudah berusia tujuh puluh tahun. Rasa-rasanya
tidak sesuai dengan nalar.”
“Ki Sumangkar, waktu itu aku
hanya mengira-ira. Tetapi mungkin usianya justru lebih tua. Sebagai seorang
yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan, tentu dalam usia yang tua itu
nampaknya ujud jasmaniahnya masih lebih muda dari usia yang sebenarnya.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
“Bagaimana dengan kedua murid
itu, Kiai?” bertanya Ki Gede Pemanahan perlahan-lahan.
“Pada saatnya keduanya pun
kemudian berpencar. Keduanya membawa pesan guru mereka untuk melakukan
pengabdian kepada sesama. Dan keduanya pun telah melakukannya.” Kiai Gringsing
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi keduanya adalah manusia biasa yang tidak luput
dari dosa dan kesalahan lahiriah dan tingkah laku.”
“Tetapi kapankah cerita ini
sampai kepada cerita tentang Kiai Gringsing atau yang juga disebut Ki Tanu
Metir dari Dukuh Pakuwon?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku akan bercerita panjang. Apakah cerita ini
menjemukan?”
“Tetapi jangan sampai malam
nanti Kiai,” desis Ki Gede Pemanahan, “aku ingin mendengar akhir dari cerita
tentang Kiai Gringsing dan tentang perguruan Windujati. Jika cerita Kiai
berkepanjangan, aku cemas bahwa aku tidak akan dapat mendengar akhir dari
cerita itu.”
“Ah, jangan begitu, Ki Gede.”
“Aku bukan mendahului kehendak
Yang Maha Kuasa. Tetapi rasa-rasanya, Yang Maha Kuasa sudah memberitahukannya
kepadaku.”
Kiai Gringsing memandang wajah
yang pucat itu. Lalu katanya, “Baiklah, Ki Gede, barangkali aku dapat
mengatakannya bahwa cerita ini akan aku persingkat.”
“Kiai,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “aku tidak berkeberatan mendengarkan seluruh cerita tentang Empu
Windujati yang memang sangat menarik justru karena orang yang bernama Empu
Windujati dan yang kemudian menurut dugaan Kiai adalah Pangeran dari Majapahit
terakhir yang bernama Wirawardana itu. Tetapi bagiku, yang lebih menarik adalah
cerita tentang Kiai sendiri. Ternyata cerita yang sudah Kiai ungkapkan itu
belum nampak hubungan langsung dengan Kiai Gringsing sendiri.”
Kiai Gringsing memandang wajah
yang pucat itu. Sambil menarik nafas ia berkata, “Baiklah, Ki Gede. Tetapi …”
kata-kata Kiai Gringsing terputus.
“Kiai masih berkeberatan?”
“Tidak. Tidak, Ki Gede. Aku
sudah bertekad untuk menyatakan diri di hadapan Ki Gede sekarang ini. Tetapi
aku minta dengan sangat, bahwa tidak seorang pun dari antara kita sekarang ini
yang mengatakan kepada siapa pun juga tentang diriku, tentang asal-usulku dan
tentang perguruanku.”
“Aku tidak akan sempat
mengatakan kepada siapa pun juga, Kiai,” sahut Ki Gede Pemanahan. “Jika nanti
Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan pemimpin-pemimpin Mataram yang lain
mendekatiku pada saat-saat yang gawat, aku tidak akan mengatakannya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Kemudian hampir di luar sadarnya ia berpaling kepada Ki
Demang Sangkal Putung.
“Aku menyadari Kiai,” berkata
Ki Demang, sebelum Kiai Gringsing mengucapkan pesan, “murid Kiai adalah anakku.
Tetapi aku pun tidak akan menyampaikannya kepadanya. Bukankah saat ini Swandaru
belum waktunya untuk mengetahui? Apalagi aku sendiri tidak begitu banyak
mengerti tentang cerita yang sudah Kiai katakan itu.”
“Terima kasih,” desis Kiai
Gringsing, “jika demikian, baiklah aku menyebut diriku sendiri lebih dahulu
sebelum aku bercerita lebih banyak tentang perguruan Windujati.”
Semua orang yang ada diruangan
itu menjadi tegang. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu. Mereka ingin
lekas mengetahui hubungan apakah yang ada di antara Kiai Gringsing yang membuat
lukisan di tangannya dengan memahatkan ciri khusus dari perguruan Windujati, dengan
perguruan itu sendiri.
“Ki Gede,” suara Kiai
Gringsing merendah, “sebenarnyalah bahwa ada hubungan langsung antara aku dan
Empu Windujati. Bukan hubungan antara guru dan murid, tetapi hubungan keluarga
dalam garis lurus.”
Semua orang menjadi semakin tegang.
“Aku adalah cucu Empu
Windujati.”
“O,” Ki Gede Pemanahan menahan
nafas sejenak. Kemudian terasa nafasnya yang panjang mengalir lewat lubang
hidungnya. Rasa-rasanya nafasnya yang sesak tiba-tiba menjadi lancar dan
mengalir dengan wajar.
Pengakuan itu benar-benar
telah menggetarkan setiap hati. Ki Juru Martani, yang duduk sambil menyilangkan
tangan di dadanya, seakan-akan diam mematung. Sedang Ki Waskita
mengangguk-angguk perlahan.
“Meskipun ada dugaan yang
mendekati pengakuan itu,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi kami tentu tidak
mengira bahwa Kiai adalah keturunan langsung dari Empu Windujati yang tentu
tidak lagi diragukan bahwa Empu Windujati adalah Pangeran Wirawardana. Dan
itulah agaknya Kiai berada dalam peranan yang hidup pada saat-saat Pajang masih
diganggu oleh sisa-sisa pasukan Arya Penangsang.”
Kiai Gringsing sendiri
kemudian menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak berniat sebelumnya, untuk
mengatakan kepada siapa pun tentang dirinya. Tetapi di saat Ki Gede Pemanahan
menghadapi saat akhir, ia tidak sampai hati menolaknya. Meskipun dengan
demikian beberapa orang mendengar pengakuannya, tetapi yang beberapa orang itu
dapat dipercayanya untuk tidak menambah jumlah orang-orang yang akan dapat
mengenal dirinya.
“Itulah kenyataan tentang diriku,”
berkata Kiai Gringsing, “karena itulah maka aku dapat mempergunakan ciri khusus
dari perguruan Windujati.”
“Ternyata Kiai lebih dari
seorang murid dari perguruan Windujati. Sebagai seorang cucu dari Empu
Windujati, maka Kiai tentu mewarisi kedahsyatan segala macam ilmunya. Ilmu yang
sekarang hampir tidak lagi dapat dikenal.”
“Itulah agaknya yang pernah
aku lihat. Meskipun orang yang menyebut dirinya bernama Panembahan Alit itu
mempunyai ilmu yang sangat dahsyat, ilmu kebal, tetapi ia tidak mampu menahan
ilmu perguruan Windujati yang dilontarkan bukan saja oleh murid-muridnya,
tetapi oleh cucu Empu Windujati itu sendiri,” desis Ki Waskita.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam.
“Dan itulah agaknya maka
ilmuku dan ilmu Panembahan Agung yang dibanggakan itu sama sekali tidak
berhasil mengelabuinya.” Ki Waskita melanjutkan seolah-olah berbicara kepada
diri sendiri, “Bagi Kiai Gringsing, maka ilmu semacam itu agaknya tidak ada
artinya sama sekali.”
“Sudahlah. Tidak ada bedanya
antara Kiai Gringsing yang kalian kenal dengan Kiai Gringsing yang sekarang.”
“Kiai,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “apakah pilihan atas jalan kehidupan Kiai terpengaruh oleh jalan
hidup Empu Windujati yang mengasingkan diri dari lingkungannya? Apakah
persoalan yang sebenarnya telah menyingkirkan Empu Windujati sehingga
menghilang dari pergaulan para bangsawan?”
“Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing, “Empu Windujati yang sangat kecewa melihat pertentangan demi
pertentangan yang telah terjadi itu, telah menjauhkannya dari pemerintahan. Ia
lari selagi umurnya belum sampai pada masa remajanya dari Istana Majapahit,
saat istana itu diduduki oleh kekuatan yang datang dari Kediri. Kemudian dari
pengasingannya ia melihat perebutan kekuasaan yang terjadi atas Majapahit itu
oleh Prabu Udara. Kecuali kekuatan itu, Demak telah bangkit pula dan yang
akhirnya berhasil merebut kembali kekuasaan Majapahit meskipun kemudian
dipindahkannya ke Demak. Tetapi itu belum merupakan suatu kenyataan dari sebuah
perdamaian.”
“Dan kekecewaan itu telah
diwariskan pula kepada Kiai Gringsing sehingga Kiai pun tidak lagi bangkit
seorang cucu dari Pangeran Wirawardana. Jika Kiai bersedia menyebut diri
cucunda Pangeran Wirawardana, maka Sultan di Pajang akan menerima kehadiran
Kiai di istana dengan senang hati. Seperti yang Kiai lihat sekarang. Pajang
tidak ada lagi sesepuh yang dapat diandalkan di antara banyak persoalan.
Apalagi yang memang sebenarnya hak disebut sesepuh,” berkata Ki Juru Martani.
“Tidak, Ki Juru. Di Pajang
sekarang ada seorang sesepuh yang karena kebijaksanaannya memungkinkan Pajang
masih tetap tenang. Bukankah saat ini Ki Juru Martani diakui baik oleh Pajang
maupun oleh Mataram sebagai satu-satunya orang yang bijaksana? Kanjeng Sultan
di Pajang lebih banyak mendengarkan pendapat Ki Juru daripada patih, atau para
adipati yang lain.”
“Tetapi aku tidak lebih dari
seorang padesan. Seorang yang datang dari Padukuhan Sada. Dan setiap orang Sada
mengenal aku sejak kanak-kanak, bahwa aku memang anak dari Sada. Tidak seperti
kehadiran Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir di Dukuh Pakuwon.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dan dalam pada itu Ki Gede Pemanahan bertanya, “Nah, seterusnya
apakah Kiai masih sempat menceritakan perkembangan perguruan Windujati kepada
kami?”
Kiai Gringsing memandang wajah
Ki Gede yang pucat. Kemudian katanya, “Cerita itu mungkin akan menjemukan.
Tetapi jika dikehendaki, maka aku tidak akan berkeberatan untuk menceritakannya
menurut ingatanku.”
“Ceritakanlah, Kiai. Mungkin
dapat sekedar melupakan kegelisahanku di saat terakhir.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Lalu, “Baiklah. Menurut ingatanku, Empu Windujati memang masih
sempat melihat Pajang tegak sepeninggal Arya Penangsang. Empu Windujati juga
melihat tahta yang tidak terisi beberapa saat lamanya sepeninggal Sultan
Trenggana. Dalam pada itu putra-putra dan menantu-menantu Demak saling
bertengkar untuk memperebutkan tahta. Selain mereka, adalah kemenakannya, Arya
Penangsang. Bahkan agaknya Arya Penangsang-lah yang dengan tanpa pengekangan
diri telah melakukan banyak pembunuhan di antara keluarga sendiri, sehingga
akhirnya ia sendiri terbunuh oleh Raden Sutawijaya yang waktu itu masih
terlampau muda, dengan petunjuk Ki Juru Martani.” Kiai Gringsing berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi Empu Windujati telah terlampau tua. Bahkan beberapa saat
kemudian Empu Windujati meninggal setelah usianya melampaui satu abad.”
“Melampaui satu abad,” desis
Ki Juru Martani.
“Ya. Dan di saat terakhir Empu
Windujati masih selalu berjalan-jalan mengelilingi padepokan. Pada hari yang
terakhir, Empu Windujati membawa aku melihat-lihat kebun padepokannya. Masih
seperti di hari-hari yang lampau. Namun agaknya Empu Windujati tidak akan
pernah melihat kebun itu lagi. Ketika kami berhenti di ujung jalan setapak di
kebun itu, Empu Windujati nampak menjadi pucat. Katanya, ‘Bawalah aku ke dalam
sanggar.’
Aku membantunya berjalan ke
sanggar. Tetapi Empü Windujati menjadi semakin lemah. Di saat itulah Empu
Windujati sampai pada saat terakhir dari hidupnya. Murid-muridnya tidak sempat
dipanggilnya. Yang ada saat itu hanyalah aku saja. Tetapi aku adalah cucunya.
Karena itu, maka aku pun berhak menerima warisan yang sangat berharga dari
padanya. Rontal yang pernah aku lihat sebelumnya itulah yang diberikannya
kepadaku. Rontal berisi kidung yang memberikan banyak petunjuk tentang jalan
kehidupan ini.”
“Dan barangkali ilmu dari
perguruan Windujati?”
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Lalu, “Tetapi yang ada hanyalah sekedar isyarat. Watak, sifat
perbuatan, dan sikap. Uraian dari bentuk-bentuk yang terlukis di dalam rontal
itu harus dicari sendiri.”
“Dan Kiai mencarinya sendiri?”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk lemah. Namun kemudian katanya, “Tetapi sebelumnya Empu
Windujati pernah memberikan beberapa unsur gerak yang dapat menghubungkan watak
dan sifat dari perbuatan dan sikap yang terdapat pada lukisan dalam rontal
itu.”
“Kiai sebenarnyalah adalah
murid sepenuhnya dari perguruan Windujati, dan apalagi Kiai adalah cucunya.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Memang aku menyadap ilmu dari perguruan
Windujati. Tetapi aku bukan hanya menghisap ilmu dan perguruan itu saja. Di
masa aku kecil, sebelum aku pernah menghadap kakekku yang menamakan dirinya
Empu Windujati di sebuah pedukuhan terpencil, aku adalah murid dari orang lain.
Aku memang pernah menghadap pada umur sebelum lima belas tahun, tetapi aku
hanya sekedar datang untuk mengenal kakekku. Setelah itu, aku tetap berguru
kepada orang lain. Hanya kemudian, setelah aku meningkat dewasa sepenuhnya, aku
sering datang berkunjung kepada kakekku dan dengan sendirinya aku ikut serta
mempelajari bagian-bagian dari ilmu perguruan Windujati atas ijin guruku.”
“Siapakah guru Kiai
sebenarnya?”
“Bukan orang lain. Meskipun
perkembangannya agak berbeda, tetapi guruku adalah adik seperguruan kakekku
sendiri.”
Ki Juru Martani
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai membayangkan jalan kehidupan yang
ditempuh oleh seseorang yang menamakan dirinya Empu Windujati. Tetapi cerita
Kiai Gringsing masih belum mencakup segi-segi yang mewarnai kehidupan sebenarnya
dari Empu Windujati.
“Siapakah guru Kiai?” Ki Gede
Pemanahan-lah yang mengulang pertanyaan itu.
“Sudah aku katakan, adik
seperguruan kakekku. Tetapi guruku seperti yang aku katakan memiliki sedikit
kelainan di dalam perkembangan ilmunya dengan kakekku. Guruku adalah sahabat
yang dekat dengan seorang yang menyebut dirinya Kebo Kanigara, putera dan
sekaligus murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh, kakak dari Ki Ageng Pengging yang
juga bernama Kebo Kenanga. Yang menyingkir pula dari lingkungannya dengan
alasan yang berbeda.”
Ki Juru Martani
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku pernah mendengar. Di masa
terakhir Demak, nama itu tidak terdengar lagi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jiwanya yang dewasa, seperti juga jiwa
adiknya, Ki Ageng Pengging, maka keduanya berpisah dengan dada lapang tanpa
goresan perasaan sama sekali. Keduanya bersepakat untuk berpisah karena
perbedaan yang sulit dipertemukan. Tetapi keduanya menyadari, bahwa perbedaan
itu adalah hakekat dari sikap manusia, sehingga karena itu, maka perpisahan itu
pun sama sekali tidak menumbuhkan persoalan. Tetapi di dalam ilmu kanuragan,
keduanya bersumber pada guru yang sama. Ayah mereka sendiri, Ki Ageng Pengging
Sepuh.”
Ki Juru Martani masih
mengangguk-angguk. Sekilas ia melihat wajah Ki Gede Pemanahan yang pucat. Namun
kini nampak sesuatu pada sorot matanya, justru karena ia telah tidak lagi
dibebani oleh teka-teki tentang orang yang telah banyak memberikan jasa kepada
Mataram.
“Ternyata orang yang selama
ini seolah-olah melindungi Mataram itu adalah salah seorang yang langsung
berada di bawah garis keturunan Majapahit,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam
hatinya. Dengan demikian, timbullah kepercayaan pada dirinya, bahwa Mataram
akan mampu menegakkan dirinya sendiri. Jika Kiai Gringsing yang dicengkam oleh
kekecewaan seperti juga penglihatan kakeknya atas pertentangan yang selalu
tumbuh di atas tanah ini, maka sikap Kiai Gringsing atas Mataram tentu bukan
sekedar hanya kebetulan saja.
Dalam pada itu, Ki Juru Martani
pun berkata, “Kiai, pada jamannya, orang yang bernama Kebo Kanigara itu adalah
orang yang memiliki kelebihan dalam olah kanuragan. Ia memiliki ilmu gurunya
dengan lengkap. Bahkan pengembaraannya telah membuatnya semakin masak. Sultan
Pajang adalah salah seorang yang mengenalnya dengan baik.”
“Kebo Kanigara adalah
pamannya,” desis Kiai Gringsing.
“Ya. Ia adalah pamannya.
Tetapi meskipun jarak mereka dilihat dari waktu, tempat dan kepercayaan, antara
Kebo Kanigara dan Sultan Pajang yang juga pernah menjelajahi pulau ini selagi
ia masih seorang anak muda yang disebut Jaka Tingkir adalah jauh, namun
keduanya seakan-akan tidak pernah merasa dibatasi oleh apa pun juga.”
“Ternyata guru Kiai Gringsing
adalah sahabat dari orang yang hampir tidak ada duanya itu,” potong Ki Waskita,
“karena itulah agaknya ilmu Kiai Gringsing memiliki unsur ilmu dari perguruan
Pengging itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, lalu, “Memang mungkin sekali. Guruku memang sahabat Ki Kebo
Kanigara. Meskipun umurnya terpaut sedikit. Dengan demikian, maka tidak
mustahil jika ilmu keduanya saling mempengaruhi.”
“Unsur itu nampak jelas
sekali.”
“Menurut penglihatan Ki
Waskita, karena Ki Waskita kenal dengan baik ilmu dari perguruan Pengging dan
sekaligus ilmu perguruan Windujati. Bahkan ciri-ciri isyarat dari perguruan
Windujati pun telah dikenalnya pula.”
“Agaknya ada hubungannya
antara keduanya,” desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing tersenyum.
Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Ki Waskita mendahului, “Kiai Gringsing telah
melihatnya. Aku dipaksa untuk meskipun hanya sedikit, melepaskan unsur-unsur
gerak itu. Memang aku mengenal dengan baik salah seorang murid dari perguruan
Windujati. Murid Empu Windujati langsung. Dengan demikian, kami tidak dapat
menghindari pengaruh timbai balik di antara kami.”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Dan Ki Waskita pun tertawa, “Ya. Agaknya memang bukan begitu.”
Ki Juru Martani dan Ki
Sumangkar pun tertawa pula. Bahkan Ki Gede Pemanahan masih juga sempat
tersenyum, sementara Ki Demang Sangkal Pulung mengerutkan keningnya. Tetapi ia
pun merasakan sesuatu yang agak janggal dari ceritera Ki Waskita.
“Aku salah,” desis Ki Waskita,
“maksudku, agaknya Kiai Gringsing pun telah mengenal saluran ilmuku. Bukan ilmu
yang dapat melepaskan bentuk-bentuk semu yang ternyata tidak ada artinya sama
sekali bagi Kiai Gringsing, tetapi ilmu kanuraganku.”
“Nah,” desis Ki Juru,
“begitulah agaknya. Jika aku sempat melihat tata gerak yang tersembunyi itu,
barangkali aku juga dapat menyebutnya.”
“Ah, tidak banyak artinya.
Perguruanku adalah perguruan kecil yang tidak berarti.”
“Tetapi sempat melahirkan
orang-orang seperti Ki Waskita dan Panembahan Agung.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam.
Dalam pada itu, maka Kiai
Gringsing pun berkata, “Nah, barangkali tidak ada lagi yang harus aku
ceritakan. Itulah kenyataan yang selama ini aku sembunyikan. Sebenarnya aku
benar-benar ingin memisahkan diri dari kesibukan pemerintahan yang mana pun
juga. Mungkin aku terpengaruh oleh sikap Empu Windujati yang kecewa. Hanya kadang-kadang
didorong oleh perasaan yang tersimpan di lubuk hati yang paling dalam, maka
tanpa disadari aku sudah terlibat pula. Seperti pada saat-saat pasukan Tohpati
berada di Sangkal Putung. Saat Mataram mulai tumbuh dan saat-saat yang lain.
Aku memang selalu menghindari Ki Gede Pemanahan, Ki Juru Martani, dan
pemimpin-pemimpin Pajang yang lain, yang apabila dapat melihat pergelanganku,
akan timbul banyak persoalan tentang diriku. Tetapi ternyata selain
pemimpin-pemimpin di Pajang, Ki Argapati pun pernah mempersoalkannya.”
“Hampir setiap orang mengenal
Empu Windujati,” berkata Ki Gede Pemanahan, lalu, “tetapi kemanakah murid-murid
perguruan Windujati itu?”
“Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “mereka telah berpisah dengan tugas di pundak masing-masing.
Untuk mengatakan di mana mereka sekarang, maka aku kira aku harus menyusun
suatu cerita tersendiri. Panjang dan barangkali tidak menarik karena tidak ada
hubungan langsung dengan persoalan yang kini kita hadapi.”
“Dan guru Kiai yang bersahabat
dengan Ki Kebo Kanigara itu?”
Kiai Gringsing termenung
sejenak. Sebenarnya ia masih ingin menghindari cerita yang berkepanjangan.
Tetapi rasa-rasanya orang-orang yang ada di dalam bilik itu selalu mendesaknya.
“Aku sudah terlanjur
mengucapkan nama-nama Kebo Kanigara, Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Pengging
Sepuh,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “nama-nama yang tidak
terpisahkan dari nama Sultan di Pajang yang kini masih bertakhta.”
Setelah termenung sejenak,
maka Kiai Gringsing itu pun berkata, “Guruku pun pernah memutari pegunungan
Merapi dan Merbabu, kemudian menyusur pantai utara sampai ke daerah timur.
Kemudian menyeberang ke sebuah pulau yang manis, pulau Bali. Ke daerah barat
guruku pernah menjelajahi tempat demi tempat dan sempat tinggal di rumah Respati
yang juga disebut Menak Ujung.”
Yang mendengar cerita itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mendengar kelanjutannya, “Aku
berkesempatan mengikutinya meskipun tidak seluruh perjalanannya.”
“Dan Kiai terpisah dari Kakek
Kiai, Empu Windujati yang juga bernama Pangeran Wirawardana?”
“Aku memang sering terpisah
dari Kakek. Tetapi kadang-kadang aku berada di padepokannya. Atas ijin guruku,
aku belajar juga kepada kakek. Justru kemampuanku mempergunakan cambuk aku
dapatkan dari Empu Windujati.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Lalu ia pun bertanya, “Tetapi ada sesuatu yang tidak nampak oleh mata wadag,
tetapi nampak oleh mata hati. Ilmu yang tidak kasat mata itu dapat Kiai
salurkan lewat kemampuan Kiai mempergunakan cambuk.”
Kiai Gringsing termenung sejenak,
lalu, “Ya. Ilmu itu aku dapatkan dari guruku.”
“Apakah ada persamaannya
dengan ilmu yang dimiliki oleh seorang pemimpin tanah perdikan yang disegani di
daerah utara Gunung Merbabu?”
“Siapa?”
“Ki Gede Banyu Biru yang
sekarang?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Ki Gede Banyu Biru memiliki saluran ilmu yang serupa
dengan ilmu Ki Kebo Kanigara. Jika ada persamaan dari ilmunya dengan ilmu yang
pernah Ki Waskita lihat padaku, itu bukan hal yang mustahil. Tetapi tentu tidak
sama sepenuhnya. Terutama di dalam sifat dan ungkapannya.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ki Gede Banyu Biru yang sekarang
mengakui kekuasaan Pajang sepenuhnya. Ilmunya benar-benar mengagumkan.”
Kiai Gringsing termenung
sejenak. Kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil, “Memang ada persamaannya.
Aku menyadap ilmu itu sepenuhnya. Tetapi kemudian luluh menjadi satu dengan
ilmu yang diberikan oleh Guru. Apalagi Guru dan Ki Kebo Kanigara sudah saling
bersetuju untuk saling menyadap unsur-unsur gerak dari ilmu masing-masing.
Tetapi jiwanya masih tetap berbeda meskipun tidak begitu jauh.”
Ki Gede Pemanahan yang
berbaring di pembaringaninya itu tiba-tiba berdesis, “Ki Gede Banyu Biru yang
sekarang mempunyai ikatan yang rapat dengan Sultan di Pajang. Mereka pernah
berada di satu padepokan. Pernah hidup dalam satu lingkungan. Dan ilmu mereka
pun tidak terlampau jauh pula, meskipun Sultan Pajang memiliki seribu macam
ilmu dari seribu macam perguruan.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah bertemu dengan Ki Gede di Banyu Biru.
Ia lebih muda sedikit dari aku. Hanya sedikit di bawah Kanjeng Sultan Pajang.”
“Apa yang dikatakannya tentang
Pajang?”
“Ia merasa dirinya bagian dari
Pajang. Tetapi ada juga sepercik kekecewaan, justru karena Pajang seakan-akan
telah berhenti.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Pada masa itu, banyak perguruan bertebaran. Tetapi
kadang-kadang ada yang hanya mengenal namanya saja, tetapi tidak pernah
bersentuhan di dalam satu persoalan. Atau masing-masing mengenal ciri perguruan
yang lain dengan baik. Tetapi mereka tidak saling mengganggu.”
“Pada saat keris Kiai
Nagasasra hilang dari gedung perbendaharaan pusaka di Demak, maka gemparlah
seluruh perguruan di seluruh daerah Demak,” desis Ki Waskita.
“Ya, juga Kiai Sabuk Inten,”
sambung Ki Sumangkar.
“Apakah Kiai mengetahui
persoalan itu?” bertanya Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Ki Kebo Kanigara banyak mengetahui tentang kedua keris
itu, karena seorang murid dari perguruan Pengging langsung melibatkan diri
dalam pencarian kedua pusaka itu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Dari
golongan lain pun bagaikan sarang semut disentuh air. Perguruan yang lebih
banyak mementingkan kepentingan lahiriah semata-mata, tanpa diimbangi oleh
pertimbangan rohaniah, berebut pula untuk mendapatkan kedua pusaka itu. Tetapi
semata-mata karena pamrih pribadi. Sedang murid dari perguruan Pengging yang
langsung mencari kedua pusaka itu, adalah semata-mata karena pengabdian. Pengabdiannya
kepada kesejahteraan Demak, apalagi ia memang seorang perwira Demak yang merasa
bertanggung jawab pada saat kedua pusaka itu diketahui hilang dari
perbendaharaan pusaka.”
Orang-orang yang ada di dalam
ruang itu terdiam sejenak. Di luar sadar mereka, maka terbayanglah masa lampau
yang pernah menyaput kerajaan Demak, dekat saatnya Pajang berdiri.
“Lebih dari tiga puluh tahun
yang lampau,” desis Ki Sumangkar.
“Tentu lebih,” desis Ki
Waskita, “aku masih seorang yang meningkat dewasa waktu itu.”
Ki Gede Pemanahan yang
berbaring itu pun menarik nafas. Rasa-rasanya dadanya menjadi lapang setelah
teka-teki yang satu itu, tentang seorang tua yang banyak berbuat untuk Mataram
bahkan Pajang, tetapi tidak pernah memperkenalkan dirinya.
Sejenak ruangan itu menjadi
hening. Seakan-akan terbayang di dalam angan-angan masing-masing peristiwa yang
pernah terjadi di Demak. Hilangnya pusaka yang sangat penting dari gedung
pusaka, telah mengguncang seluruh kekuatan yang ada di Demak. Selain
petugas-petugas sandi yang disebar ke segala penjuru, juga orang-orang yang
didorong oleh nafsu pribadi, ketamakan dan pamrih yang berlebih-lebihan, telah
berusaha untuk menemukannya.
Pada saat itu, Sultan Pajang
masih seorang anak muda yang mempunyai kegemaran menjelajahi sudut-sudut
Kerajaan Demak, sehingga akhirnya ia berhasil masuk ke dalam lingkungan istana
karena ia memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Dengan demikian,
maka anak muda yang bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka Tingkir itu
berkesempatan untuk menempatkan diri ke dalam suatu kemungkinan, bahwa akhirnya
ialah yang memegang pimpinan pemerintahan yang dipindahkannya ke Pajang.
Selagi suasana di ruang itu
dicengkam oleh kenangan masa lampau, maka di luar Raden Sutawijaya menjadi
sangat gelisah. Sekali-sekali ia berdiri dan berjalan hilir-mudik. Tetapi jika
ia berdiri di muka pintu, dan mendengar salah seorang yang berada di dalam
ruangan itu tertawa pendek, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Tentu tidak
terjadi sesuatu dengan ayahandanya.
“Mungkin Kiai Gringsing dapat
mengobatinya,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hati.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
duduk dengan gelisah pula. Tetapi keduanya tidak berbuat apa-apa.
“Aku mendengar Paman Juru
Martani tertawa,” berkata Raden Sutawijaya kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
Kedua anak-anak muda itu
mengerutkan keningnya.
“Mungkin keadaan Ki Gede sudah
menjadi baik,” desis Agung Sedayu.
“Apakah Raden akan mencoba
masuk pula ke dalam bilik itu?” bertanya Swandaru.
Raden Sutawijaya termangu-mangu.
Tetapi Agung Sedayu berkata, “Jika keadaan memerlukan maka Raden tentu akan
dipanggilnya.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku akan menunggu saja.”
Raden Sutawijaya pun kemudian
duduk pula dengan jantung yang berdebar-debar.
Sementara itu matahari mulai
memanjat langit. Para penjaga di regol sudah meninggalkan tempatnya, diganti
oleh kelompok yang baru.
Akhirnya anak-anak muda itu
tidak dapat bertahan lebih lama lagi duduk dalam ketegangan. Karena itu, maka
ketika Raden Sutawijaya mengajak mereka turun ke halaman, maka Agung Sedayu
segera menyahut, “Marilah. Rasa-rasanya tubuhku menjadi beku duduk dalam
ketegangan.”
“Kita dapat berjalan-jalan
keluar,” desis Swandaru.
“Jangan terlampau jauh. Setiap
saat aku dapat dipanggil ke dalam bilik itu,” sahut Raden Sutawijaya.
Dengan demikian maka ketiganya
pun hanya berjalan di halaman saja. Mereka berhenti sejenak di regol. Tetapi
mereka pun berjalan lagi ke regol butulan di samping.
Dua orang penjaga butulan itu
mengangguk hormat, ketika Raden Suawijaya lewat di sebelah mereka.
Selagi Raden Sutawijaya
berjalan sambil merenungi keadaan ayahandanya, dan merenungi dirinya sendiri
yang sudah terlanjur melanggar pagar hubungannya dengan gadis Kalinyamat,
sehingga ayahandanya menjadi sangat berprihatin karenanya, maka di dalam bilik
Ki Juru Martani berkata, “Agaknya Sutawijaya mempunyai sifat yang sama dengan
ayahanda angkatnya.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya.
“Karena itu, aku percaya bahwa
Kanjeng Sultan benar-benar tidak marah kepada Sutawijaya karena peristiwa itu.”
“Ya, Kakang,” sahut Ki Gede,
“seharusnya Kanjeng Sultan menjadi marah dan menghukum aku.”
“Berterima kasihlah bahwa
Kanjeng Sultan tidak marah. Gadis dari Kalinyamat itu tentu akan melahirkan
seorang yang pilih tanding, karena ia keturunan Ki Gede Pemanahan dan keturunan
Sunan Prawata. Bukankah dengan demikian tetesan darah Majapahit yang ada di
dalam diri putri Sunan Prawata itu akan luluh dengan tetesan darah dari Kiai
Ageng Sela yang mampu menguasai api bahkan petir?”
“Ah,” Ki Gede Pemanahan
berdesah.
“Kita tentu masih ingat,
bagaimana Jaka Tingkir itu diusir dari istana Sultan Demak,” berkata Ki Juru
Martani pula.
“Itu lebih baik,” desis Ki
Gede Pemanahan.
“Tetapi itu sikap pura-pura.
Kanjeng Sultan Demak tentu tidak sebenarnya ingin menghukum Jaka Tingkir.
Kanjeng Sultan Trenggana adalah seorang yang berhati keras. Jika ia benar-benar
marah, Mas Karebet itu tentu akan diremas sampai lumat dengan aji Narantaka
yang dimilikinya. Bahkan Sultan Trenggana mempunyai seribu macam ilmu.”
“Juga Mas Karebet,” desis Ki
Sumangkar.
“Tetapi waktu itu ilmunya
masih belum mapan, meskipun sudah mengagumkan, sehingga Sultan Trenggana
tertarik karenanya.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Dan sekarang Raden
Sutawijaya berbuat hampir serupa.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun orang-orang yang berada di dalam bilik itu tidak saling
berjanji, namun mereka bersama-sama telah membayangkan apa yang terjadi pada
saat Sultan Trenggana berada di halaman Masjid Demak.
Seorang anak muda yang sedang
berjongkok di pinggir kolam tidak mendapat kesempatan untuk bergeser dari
tempatnya. Tetapi Sultan Trenggana sudah begitu dekat. Untuk meninggalkan
tempat itu, ia tidak berani berdiri lagi, karena Sultan telah berada di depan
hidungnya. Sedangkan untuk tetap berada di tempatnya, ia pun takut kepada para
pengawal. Untuk mundur, di belakangnya adalah kolam berair cukup dalam. Karena
itu, maka anak muda itu pun kemudian meloncati kolam di belakangnya. Ia
meloncat mundur sambil tetap jongkok, seakan-akan tidak bergerak sama sekali.
Ternyata hal itu sangat
menarik perhatian Sultan Demak. Tanpa kekuatan yang tidak kasat mata, tidak
seorangpun yang dapat melakukannya. Meloncat mundur sambil berjongkok melampaui
sebuah kolam yang cukup lebar.
Namun kemudian ketika Mas
Karebet itu mendapat kesempatan untuk mengabdi di istana Demak, maka terjadilah
hubungan yang tidak diharapkan itu. Hubungan diam-diam dengan putri Sultan
Trenggana.
Yang bersalah harus dihukum.
Demikian juga Mas Karebet. Namun Sultan Trenggana tahu pasti, bahwa kedua anak
muda itu sudah saling mencintai. Karena itu, maka dengan berat hati, Mas
Karebet itu diusirnya dari istana, meskipun ia tahu, bahwa hati putrinya pun
akan menjadi hancur karenanya.
Tetapi kesempatan untuk
menerima Karebet kembali pun ternyata terbuka. Ketika Kebo Danu dari Banyu Biru
mengamuk di daerah perburuan, maka Mas Karebet mendapat kesempatan untuk
menjinakkannya. Dan Kebo Danu itu adalah kekuatan yang hampir tidak terlawan
dari Banyu Biru.
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Ki Demang Sangkal Putung, agaknya Ki
Demang pun sedang merenungkan peristiwa yang pernah terjadi pada masa menjelang
kekuasaan Pajang.
“Dan sekarang,” berkata Ki
Juru Martani di dalam hatinya, “Sultan Pajang harus dengan ikhlas menyerahkan
gadis Kalinyamat itu kepada Raden Sutawijaya yang dengan diam-diam pula telah
mencuri hatinya.”
Ki Gede Pemanahan yang
terbaring diam itu pun menarik nafas dalam-dalam. Semua yang terjadi itu
rasa-rasanya masih jelas di dalam ingatannya. Umurnya yang sebaya dengan Mas
Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya itu, agaknya menganggap
peristiwa yang terjadi di istana Demak itu sebagai suatu peristiwa yang tidak
akan pernah dilupakan. Betapa rapatnya pihak istana menutup rahasia tentang
putri Sultan Trenggana, namun akhirnya setiap telinga mendengar pula.
Tetapi dalam pada itu setiap
mulut mengatakan bahwa Jaka Tingkir telah diusir dari istana karena ia telah
membunuh seorang yang mengalami pendadaran, ketika memasuki lingkungan
keprajuritan. Anak muda yang bernama Dadungawuk telah mati terbunuh oleh Jaka
Tingkir yang menjadi marah mendengar kesombongannya dan kemudian menusuk
Dadungawuk itu hanya dengan sadak kinang.
Orang-orang yang berada di
ruangan itu tiba-tiba berpaling serentak ketika mereka mendengar Ki Sumangkar
hampir di luar sadarnya berdesis, “Sebuah kenangan yang manis.”
Ki Waskita menggamitnya dan
bertanya, “Kenangan tentang Ki Sumangkar agaknya tidak jauh berbeda dengan yang
dialami oleh Jaka Tingkir.”
Ki Sumangkar tersenyum.
Jawabnya, “Tidak. Aku mengenang masa muda Sultan Hadiwijaya, dan kemudian Raden
Sutawijaya yang mengalami masa-masa yang serupa.”
“Tetapi tentu kenangan manis
buat Ki Sumangkar sendiri,” potong Ki Juru Martani.
Orang-orang tua di dalam bilik
itu ternyata sedang tenggelam dalam alam angan-angan. Memang kadang-kadang
terasa kerinduan yang mencengkam. Tetapi masa lampau itu sudah berlalu. Tidak
seorang pun yang akan dapat mengulanginya. Yang dapat dilakukannya hanyalah
mengenang kembali. Mengenang masa muda yang penuh dengan gelora dan gemuruhnya
perjuangan untuk merebut masa depan masing-masing.
Juga kenangan masa-masa mereka
mengagumi nama orang-orang sakti yang pernah mereka kenal. Yang kadang-kadang
menumbuhkan bayangan dan angan-angan untuk dapat berbuat seperti itu.
Tetapi ketika kemudian mereka
sampai pada pencapaian keinginan itu, terasa bahwa kemampuan yang mereka capai
itu bukannya sekedar sebagai kebanggaan. Tetapi justru disertai dengan perasaan
tanggung jawab terhadap lingkungannya. Dan pada keadaan yang demikian itulah,
seseorang akan dapat menilai diri sendiri, apakah ia telah memberikan
pengabdian kepada sesama dan tidak terlepas dari kebaktian kepada Penciptanya,
atau sekedar dicengkam oleh ketamakan dan nafsu semata-mata.
Meskipun pada masa itu,
orang-orang tua yang ada di dalam bilik itu masih termasuk anak-anak muda,
namun mereka dapat melihat benturan kekuatan yang berlawanan pada saat-saat
keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten hilang dari gedung pusaka istana
Demak.
“Dan kini,” tiba-tiba Ki Juru
Martani berdesis, “tentu tidak sedikit orang yang menginginkan memiliki
Kangjeng Kiai Pleret, karena Kanjeng Kiai Pleret pun kini merupakan lambang
wahyu kerajaan di atas tanah ini.”
Tiba-tiba saja Ki Juru menjadi
gelisah. Seakan-akan ia ingin segera melihat, apakah Kiai Pleret masih ada di
tempatnya.
Tetapi Ki Gede Pemanahan
sendiri tidak memberikan kesan kegelisahan itu. Ialah yang menyimpan Kiai
Pleret di dalam ruang pusaka yang rapat. Dan tempat menyimpan pusaka itu tidak
jauh dari tempatnya berbaring sekarang, yang hanya disekat oleh sebuah dinding.
Dalam pada itu, tanpa mengerti
kegelisahan yang menyentuh hati Ki Juru Martani, maka Ki Gede Pemanahan pun
bertanya dengan suara yang lambat dan lamban, “Kiai. Kiai belum mengatakan,
siapakah sebenarnya yang dikenal sebagai Empu Windujati pada masa permulaan
Pajang. Jika Empu Windujati itu Pangeran Wirawardana seperti yang Kiai katakan,
maka pada permulaan kekuasaan Pajang, ia sudah terlampau tua untuk berkelana di
seluruh wilayah Pajang. Bahkan belum begitu lama menurut ingatanku, Empu
Windujati masih terdengar namanya dan nampak ciri-cirinya. Di saat orang yang
menyebut dirinya Kiai Pager Wesi dari goa Susuhing Angin di daerah sebelah utara
Gunung Merbabu menampakkan dirinya di daerah Pajang, dan mengancam akan
menghancurkan Pajang jika Pajang berkeras menentang kekuasaan Arya Penangsang,
muncullah ciri-ciri perguruan Windujati itu. Tentu kita masih ingat, dan
terutama Ki Sumangkar yang berada di Kepatihan Jipang, seorang pendukung Arya
Penangsang yang sangat ditakuti saat itu. Ia datang ke Jipang beberapa hari
setelah Arya Penangsang gagal memerintahkan dua orang untuk membunuh Adipati
Pajang, meskipun orang itu sudah dibekali dengan keris Brongot Setan Kober yang
terkenal. Orang yang menyebut darinya Kiai Pager Wesi itu menyatakan
kesanggupannya untuk membinasakan Adipati Pajang meskipun masih harus diuji
kebenarannya, karena ia belum pernah melakukannya.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya sambil mengingat-ingat, “Ya. Orang itu
bernama Kiai Pager Wesi. Tetapi orang-orang di kepatihan sendiri, maksudku
Kepatihan Jipang, tidak yakin bahwa ia akan mampu melakukannya karena setiap
orang mengetahui betapa tinggi dan dahsyatnya ilmu yang tersimpan di dalam diri
Adipati Pajang waktu itu, yang kini telah bergelar Sultan Hadiwijaya. Yang
paling mungkin melakukan hanyalah Arya Penangsang sendiri, atau Ki Patih
Mantahun. Tetapi Ki Patih Mantahun telah terlalu tua. Sedangkan tidak seorang
pun yang percaya kepadaku waktu itu. Juga kepada Macan Kepatihan yang masih
terlalu muda.”
“Dan orang yang menyebut
dirinya Kiai Pager Wesi hadir di dalam pergolakan itu. Namun sebelum ia
bertindak, di Jipang telah diketemukan panji-panji kecil berciri perguruan Empu
Windujati.”
“Ya,” sahut Ki Sumangkar,
“bahkan di dalam bilik tempat Kiai Pager Wesi bermalam di istana Adipati Jipang
Arya Penangsang, terdapat panji-panji kecil itu. Dan tidak seorang pun yang
mengetahui siapakah yang meletakkan panji-panji itu di dalam bilik yang
disediakan khusus bagi tamu-tamunya dari goa Susuhing Angin itu. Dan setiap
orang di Jipang mengetahui bahwa panji-panji itu merupakan peringatan bagi Kiai
Pager Wesi, bahwa jika ia ikut campur di dalam persoalan Jipang dan Pajang,
maka perguruan Windujati akan turun pula di medan pertentangan itu.”
“Ya. Suatu tantangan bagi Kiai
Pager Wesi. Dan agaknya Kiai Pager Wesi masih segan berhadapan dengan Empu
Windujati,” berkata Ki Gede Pemanahan. “Ternyata Kiai Pager Wesi tidak pernah
berbuat apa-apa atas Sultan Pajang yang memang sudah siap menghadapinya.”
“Terutama Lurah Wiratamtama
saat itu di Pajang yang terkenal,” desis Ki Sumangkar, “yang bergelar Ki Gede
Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Katanya, “Aku sudah gemetar mendengar nama Kiai Pager Wesi.”
“Ah, setiap orang tahu, Ki
Gede Pemanahan hampir tidak ada bedanya dengan Kanjeng Sultan di Pajang itu
sendiri. Apalagi Ki Juru Martani dari Sada. Meskipun Ki Juru tidak dengan resmi
menjadi prajurit di Pajang, tetapi pengaruhnya sampai saat ini melampaui
pengaruh Ki Patih di Pajang sendiri.”
“Ah,” desis Ki Juru, “aku
sudah berdiam diri. Tetapi jika kita berbicara tentang Empu Windujati,
sebenarnyalah Empu Windujati hadir saat itu. Bukan saja Kiai Pager Wesi yang
ingin mencampuri persoalan Pajang dan Jipang, tetapi saat-saat pertentangan itu
memuncak dan segenap perhatian tertumpah pada persoalan Pajang dan Jipang,
banyak orang yang mempergunakan kesempatan itu. Orang-orang yang merasa dirinya
memiliki kemampuan cukup mulai memanfaatkan keadaan untuk kepentingan diri
sendiri. Perampokan, pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang lain mulai mereda,
ketika tersebar panji-panji kecil seperti yang terpahat di pergelangan tangan
Kiai Gringsing itu. Dan yang tentu ingin kami ketahui, apakah Empu Windajati
yang saat itu dengan gigih melawan kejahatan dan bahkan memberikan tantangan
atas Kiai Pager Wesi itu juga Empu Windujati yang bergelar Pangeran
Wirawardana?”
Semua orang memandang Kiai
Gringsing dengan tajamnya, seakan-akan langsung ingin mengetahui apakah yang
ada di dalam pusat jantungnya.
Sejenak Kiai Gringsing
merenung. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Apakah pernah
ada orang yang merasa bertemu dengan Empu Windujati saat itu?”
“Tidak,” sahut Ki Gede Pemanahan,
“tetapi, nama Windujati saat itu kami kenal.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk lemah. Sekilas ia memandang wajah Ki Gede Pemanahan yang
pucat, namun nampak membayang keinginan untuk sebanyak-banyaknya mengetahui
masalah-masalah yang baginya merupakan teka-teki selama ini.
Kiai Gringsing bergeser
sejengkal. Kemudian setelah merenung sejenak, maka ia pun menjawab, “Yang kita
kenal dengan nama Empu Windujati pada masa permulaan Pajang itu bukannya Empu
Windujati yang juga bergelar Pangeran Wirawardana.”
“Jadi siapakah Empu Windujati
yang saat itu berani menempatkan diri berhadapan dengan Kiai Pager Wesi yang
merasa dirinya mempunyai ilmu yang dahsyat sehingga sanggup melawan Adipati
Pajang?” bertanya Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing merenungi Ki Juru
sejenak, lalu ia pun bertanya, “Jadi perlukah aku menerangkan siapakah orang
yang saat itu menyebut dirinya Empu Windujati dengan ciri perguruan Windujati?”
“Agaknya memang demikian,
Kiai,” Ki Waskita memotong. “Rasa-rasanya memang menarik untuk mengetahui serba
sedikit tentang orang sakti pada masa-masa lampau.”
“Memang menarik,” sahut Kiai
Gringsing. “Juga menarik untuk mengenal perguruan Banyu Biru sampai saatnya Ki
Gede Banyu Biru menyerahkan kekuasaan Tanah Perdikannya kepada putranya yang memimpin
Tanah Perdikan itu sampai sekarang.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Tidak ada apa-apa di Banyu Biru.”
“Justru putra Ki Gede Banyu
Biru itu mendapatkan ilmunya sebagian terbesar bukan dari ayahnya sendiri.
Sedang ayahnya ternyata kemudian mempunyai murid-murid tersendiri.”
“Anak padesan yang tidak
berarti,” potong Ki Waskita.
Kiai Gringsing tersenyum. Dan
Ki Waskita pun berkata, “Kiai belum menjawab. Siapakah Empu Windujati itu?”
“Apakah Ki Waskita dapat
menjawab? Bukankah Ki Waskita mengenal isyarat perguruan Windujati? Dengan
demikian tentu ada sangkut paut antara perguruan Ki Waskita dan perguruan
Windujati.”
“Ah,” desah Ki Waskita ,
“sudahlah, sebaiknya Kiai Gringsing menyebutnya.”
“Ki Juru,” berkata kiai
Gringsing kemudian, “pada saat yang gawat, kadang-kadang seseorang perlu
bertindak tepat. Aku kira, seseorang tahu dengan pasti, bahwa Kiai Pager Wesi
mempunyai pertimbangan tersendiri terhadap perguruan Windujati, sehingga orang
itu telah mnempergunakan nama perguruan Windujati untuk mencegah niatnya.
Karena menurut perhitungan nalar, jika seandainya Kiai Pager Wesi berhasil
membunuh Adipati Pajang pada waktu itu, maka yang akan terjadi justru
kekeruhan. Tidak akan mungkin Kiai Pager Wesi bersedia membantu Arya Penangsang
tanpa pamrih.”
“Semata-mata karena dendam,”
berkata Ki Sumangkar, “Kiai Pagar Wesi mendendam Adipati Pajang, karena Adipati
Pajang di dalam petualangannya di masa mudanya pernah membunuh seorang penghuni
Goa Sarang Angin yang disebut Goa Susuhing Angin itu.”
“Itu adalah alasan yang
dikemukakan dan memang masuk akal,” jawab Kiai Gringsing. “Tetapi setiap orang
yang pernah mendengar tentang goa itu, maka mereka tentu akan berpendapat
lain.”
“Ya,” sahut Ki Waskita, “aku
pernah mendengar tentang goa yang disebut Sarang Angin itu. Goa yang berada di
bawah bukit karang dan mempunyai lubang lurus ke atas menembus kulit
pegunungan. Jika angin kencang bertiup maka lubang-lubang goa itu bagaikan
lubang-lubang seruling raksasa yang menimbulkan bunyi yang mendebarkan
jantung.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Dan tentulah bersarang sebuah kelompok
yang tidak dapat disebut orang-orang baik. Termasuk Kiai Pager Wesi yang sampai
sekarang masih tetap berada di tempatnya dan sekitarnya. Tetapi perkembangan di
Pajang telah mendesaknya untuk tidak pernah menampakkan dirinya lagi, apalagi
Kiai Pager Wesi harus mengakui kemampuan Sultan Pajang dan pimpinan Wira
Tamtamanya Ki Pemanahan dan Ki Penjawi. Terhitung pula saudara tua mereka, Ki
Juru Martani.”
Mereka yang mendengarnya
tersenyum karenanya. Ki Demang Sangkal Putung yang selama itu berwajah tegang
pun tersenyum pula.
“Tetapi masih belum terjawab,”
Ki Sumangkar menyela, “siapakah yang pada saat-saat itu melepaskan ciri-ciri
khusus perguruan Windujati?”
“Sudah aku katakan. Seseorang
yang ingin menolong keadaan.”
“Tetapi tidak seorang pun yang
akan berani berbuat demikian jika memang ia tidak berhak,” potong Ki Juru
Martani. “Sedangkan yang berhak atas ciri itu adalah murid-muridnya
turun-temurun, atau keturunan langsung dari Empu Windujati.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
“Ada seorang dukun di Dukuh
Pakuwon,” Ki Sumangkar bergumam, “yang ternyata adalah keturunan langsung dari
Empu Windujati.”
“Ah, kau.”
“Coba, Kiai,” sahut Ki
Sumangkar, “selama ini Kiai berdiri di tepi arena. Kiai yang kecewa seperti
kekecewaan yang mencengkam hati Empu Windujati atas segala macam pertentangan
sampai saat Sultan Pajang bertakhta, tetapi tidak sampai hati melepaskannya
sama sekali. Yang nampak, Kiai sekarang berada di tempat ini. Tentu karena Kiai
tidak dapat melepaskan sama sekali kebanggaan Kiai sebagai keturunan dalam
garis lurus dari Majapahit, bahwa kekuasaan di atas Tanah ini akan menjadi
semakin surut. Tetapi Kiai masih tetap pantang untuk terjun langsung di dalam
arena yang kacau ini.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Sumangkar sejenak, kemudian tatapan matanya merambat kepada orang lain yang ada
di dalam ruangan itu. Yang terakhir Kiai Gringsing memandang Ki Gede Pemanahan
yang pucat berbaring di pembaringannya.
Sekilas Kiai Gringsing
melihat, seolah-olah isyarat baginya bahwa sebenarnya Ki Gede Pemanahan sudah
tidak akan dapat bertahan lagi untuk waktu yang panjang. Mungkin sehari mungkin
dua hari. Tetapi tidak lebih dari itu.
Karena itu, maka ia tidak akan
dapat selalu ingkar akan kenyataan tentang dirinya. Apalagi beberapa orang
tua-tua yang memiliki pengalaman yang luas berada di ruang itu, dan seakan-akan
mereka semuanya memandanginya dengan tajamnya.
“Ki Sumangkar,” berkata Kiai
Gringsing, “aku tahu bahwa Ki Sumangkar telah menganggap akulah yang telah
melepaskan ciri-ciri itu untuk menentang Kiai Pager Wesi agar tidak ikut
melibatkan diri ke dalam pertentangan itu.”
“Demikianlah agaknya,” Ki
Waskita-lah yang menyahut.
“Baiklah,” berkata Kiai
Gringsing, “tentu waktu itu kita semuanya masih lebih muda dari sekarang. Aku
memang tidak akan dapat ingkar bahwa aku terlibat pada saat itu. Aku tidak
sampai hati melihat Pajang dan Jipang yang sebenarnya masih bersangkut paut
dalam lingkungan keluarga besar itu dapat menumbuhkan persoalan yang akan
menjadi sangat gawat bagi kelangsungan hidup Demak. Jika ada orang lain yang
ikut campur, dan apalagi terjun ke dalam arena pertentangan itu, maka
persoalannya akan dapat bergeser dari persoalannya yang semula.”
Semua orang menarik nafas
lega. Ternyata dugaan mereka sebagian terbesar sesuai dengan pengakuan Kiai
Gringsing itu.
“Tetapi apakah dengan demikian
bukan berarti bahwa Kiai Gringsing telah berpihak kepada Pajang?” bertanya Ki
Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ia tahu pasti bahwa saat itu Sumangkar berada di Jipang. Bagamana
pun juga, pada waktu itu Ki Sumangkar tentu mengharap Jipang akan menang.
“Ki Sumangkar,” berkata Kiai
Gringsing, “mungkin karena sikapku waktu itu, memang dapat ditarik kesimpulan,
bahwa aku berpihak kepada Pajang. Tetapi yang penting bagiku adalah menolak
campur tangan pihak lain yang hanya akan mencari keuntungan bagi diri mereka
sendiri. Apalagi orang yang menyebut dirinya Kiai Pager Wesi itu. Selagi ia
berada di Jipang dan selagi ia ikut mengobarkan pertentangan antara Jipang dan
Pajang, maka anak buahnya akan dengan leluasa bertindak untuk kepentingan
mereka sendiri. Masih pula Kiai Pager Wesi akan menuntut banyak hal yang dapat
terjadi kemudian karena jasa-jasa yang telah ia berikan kepada Jipang meskipun
jasa-jasa itu sebenarnya tidak akan berarti apa-apa. Menurut penilaianku, Kiai
Pager Wesi bukannya orang yang pantas ditakuti, karena ia tidak akan lebih baik
dari Ki Patih Mantahun, atau adik seperguruannya yang juga memiliki tongkat
berkepala tengkorak yang berwarna kuning, yang sekarang berada di antara kita.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam.
“Itulah sebabnya maka aku
memberanikan diri untuk mencoba mencegah terlibatnya Kiai Pager Wesi di dalam
persoalan Pajang dan Jipang.”
Ki Gede Pemanahan yang berbaring
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Pada saat itu, kita yang
berada di Pajang harus memperhitungkan dengan saksama kehadiran orang yang
menyebut dirinya Kiai Pager Wesi. Dan kita pun harus mengikuti perkembangan
keadaan dengan munculnya ciri-ciri khusus perguruan Windujati. Agaknya Kiai
Gringsing-lah yang waktu itu telah menempatkan tantangan dengan ciri-ciri itu
di hadapan Kiai Pager Wesi.”
“Aku tidak berdiri sendiri,”
berkata Kiai Gringsing, “jika sesuatu benar-benar terjadi, maka aku berada
bersama murid-murid yang sebenarnya dari perguruan Windujati.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendapat gambaran serba sedikit tentang apa
yang pernah terjadi beberapa saat yang lampau atas Pajang dan Jipang. Ternyata
baru sekarang hal itu dimengerti meskipun tidak terlalu gamblang.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing,
“tidak ada lagi yang dapat aku katakan tentang diriku, tentang perguruan
Windujati dan tentang orang-orang lain yang bersangkut paut. Aku juga tidak
dapat menceritakan lebih banyak lagi tentang hubungan antara guruku dengan Kebo
Kanigara. Pengaruh ilmu yang dahsyat dari Ki Kebo Kanigara yang nampak pada
ilmuku sekarang, dan yang senafas meskipun wataknya agak berbeda dengan ilmu
yang tentu kalian kenal pada Ki Gede Banyu Biru yang sekarang, yang pernah
berguru kepada seorang yang memiliki pengabdian yang luar biasa kepada Demak
pada saat-saat keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten hilang dari gedung pusaka.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya.
“Tentang perguruan Banyu Biru,
bertanyalah kepada Ki Waskita. Ia tidak akan dapat menyembunyikan ilmu dari
perguruan itu meskipun juga sedikit ada garis pemisah dari Ki Gede Banyu Biru
yang sekarang, karena pengaruh yang terkuat yang ada di dalam diri mereka juga
berlainan.”
“Ah,” desis Ki Waskita, “tidak
ada apa-apa di Banyu Biru. Dahulu mau pun sekarang selain pegunungan-pegunungan
kecil di kaki gunung Merbabu di lereng Utara menghadap pada tanah yang
berawa-rawa.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Dipandanginya Ki Waskita sejenak. Namun sebelum ia berkata sesuatu, justru Ki
Waskita-lah yang mendahului, “Tanah berawa-rawa itu bukannya sesuatu yang
penting, selain sebagai sarang uling. Sebenarnya uling dan pada masa sebelum Ki
Gede Banyu Biru yang sekarang, terdapat sepasang uling yang bertubuh manusia.”
“Uling Putih dan Uling Kuning
maksudmu?” bertanya Ki Juru Martani.
“Ya.”
“Bukankah mereka terbunuh oleh
Ki Gede Banyu Biru yang sekarang, tetapi yang saat itu masih cukup muda.”
Ki Waskita menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Begitulah. Tetapi bekasnya tidak hilang sama sekali. Orang
yang menyebut dirinya Kiai Pager Wesi di pegunungan Sarang Angin itu pun
merupakan jalur perguruan yang sama dengan kedua uling itu.”
“Jika demikian,” berkata Kiai
Gringsing, “seharusnya Ki Waskita-lah yang paling berkepentingan dengan orang
itu.”
Ki Waskita tersenyum. Tetapi
sebelum Kiai Gringsing berkata lebih lanjut, Ki Waskita mendahului pula,
“Tetapi Kiai, barangkali pertanyaanku menjadi terlampau jauh. Jika Kiai
bersedia memberikan jawabnya karena aku yakin bahwa Kiai mengetahuinya, apakah
hubungannya antara Empu Windujati yang juga bergelar Pangeran Wirawardana
dengan seorang yang pada saat yang mungkin hampir bersamaan meskipun pada umur
yang terpaut, bergelar Pangeran Buntara dan yang kemudian menamakan dirinya
Panembahan Ismaya. Jelasnya, apakah hubungan antara Empu Windujati dengan
Panembahan Ismaya dari Karang Tumaritis?”
Nampak wajah Kiai Gringsing
menegang. Namun kemudian wajah itu telah berubah dalam sekejap, seolah-olah
tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dengan nada datar ia menjawab,
“Aku tidak tahu. Aku memang sudah mengenal seseorang yang menyebut dirinya
Panembahan Ismaya.”
“Hanya sekedar mengenal?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya.
Tetapi Ki Waskita justru
tertawa. Bahkan Ki Juru Martani pun mendehem sambil berkata, “Pertanyaan itu
wajar sekali.”
“Ya. Dan jawabanku pun wajar
pula.”
Yang mendengar jawaban Kiai
Gringsing itu tertawa. Bahkan Ki Gede Pemanahan pun masih tertawa pula sambil
berkata, “Kita telah menemukan satu jawaban dari teka-teki yang selama ini
tersimpan. Tetapi pada suatu saat kalian tentu akan mendengar jawaban dari
teka-teki yang lain, yaitu hubungan antara perguruan Karang Tumaritis dan
perguruan Windujati.”
“Seharusnya bukan sesuatu yang
asing bagi perguruan Sela, Ki Gede.”
Ki Gede tersenyum pula. Tetapi
sebelum ia menjawab Ki Juru berkata, “Baiklah kita menyimpan teka-teki yang
satu ini. Mungkin Kiai Gringsing masih ingin mempunyai simpanan, yang pada
suatu saat dapat kita pakai sebagai bahan pembicaraan.”
“Tidak. Aku tidak tahu-menahu
hubungan yang ada itu.”
Ki Gede Pemanahan pun kemudian
berkata, “Jangan dikeringkan sampai tuntas. Biarlah tinggal beberapa hal yang
tersangkut dalam rahasia pribadi Kiai Gringsing. Tetapi yang penting kita sudah
mengetahui, siapakah sebenarnya Kiai Gringsing. Cucunda Pangeran Wirawardana
yang juga disebut Empu Windujati. Namun masih ada satu pertanyaan lagi Kiai.
Siapakah nama Kiai yang sebenarnya. Tentu bukan Ki Tanu Metir dan tentu bukan
Kiai Gringsing.”
“Apa pentingnya nama-nama itu
bagi Ki Gede?”
“Tidak apa-apa. Tetapi
bukankah nama itu merupakan suatu kelengkapan pengenalan kita.”
Ketika Kiai Gringsing
memandang berkeliling, nampaklah sorot-sorot mata yang tegang memandanginya.
Dengan demikian Kiai Gringsing sadar, bahwa mereka benar-benar ingin mengetahui
nama Kiai Gringsing yang sebenarnya.
“Tidak banyak yang menganggap
namaku penting untuk diketahui. Tetapi baiklah, jika memang kalian ingin
mendengar.”
“Ya,” desis Ki Demang Sangkal
Putung tiba-tiba.
“Namaku bukannya nama yang
baik. Sekedar tanda atau sebutan untuk memanggil aku.”
“Sebutlah,” desis Ki
Sumangkar.
“Namaku sama jeleknya dengan
aku sendiri, dan tidak lebih baik dari sebutan Kiai Gringsing atau Ki Tanu
Metir.”
“Hem,” Ki juru menarik nafas
dalam-dalam, “rasa-rasanya kita sedang menggali cengkerik di dalam tanah
berpasir. Rasa-rasanya kita sudah hampir mendapatkannya, namun ternyata lubang
itu masih terlampau dalam.”
Semuanya tertawa. Ki Gede
Pemanahan pun masih juga tertawa.
“Baiklah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “namaku yang sebenarnya, yang diberikan oleh orang tuaku
adalah Pamungkas.”
“Pamungkas,” hampir bersamaan
terdengar beberapa orang bergumam.
“Apakah kalian pernah
mendengar nama itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar menggeleng,
“Belum. Nama itu masih asing bagiku.”
“Kalian bergumam seperti
kalian sudah mengenal nama itu dengan baik,” Kiai Gringsing tersenyum.
“Bukan mengenal dengan baik,”
sahut Ki Waskita, “tetapi nama itu sendirilah yang sangat baik.”
Kiai Gringsing memandang wajah
Ki Waskita sejenak. Ketika terpandang olehnya senyum di bibir Ki Waskita, maka
mau tidak mau Kiai Gringsing harus tersenyum pula sambil bertanya, “Apakah Ki
Waskita tidak percaya?”
“Tidak. Bukan tidak percaya,
Kiai. Agaknya kali ini Kiai berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi selama ini
memang sulit dibedakan antara yang sebenarnya dan yang sekedar cerita seperti
cerita tentang nama seorang dukun di dukuh Pakuwon.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Katanya dengan senyum yang masih nampak di bibirnya, “Agaknya memang
sulit bagiku untuk berkata dengan sesungguhnya.”
“Biarlah kali ini aku percaya.
Nama Kiai adalah Pamungkas. Raden Pamungkas, cucu Pangeran Wirawardana. Agaknya
Kiai memang anak wuragil. Apakah benar Kiai anak bungsu?”
“Kenapa?”’
“Pamungkas menyimpan arti
mengakhiri.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi Ki Juru menyahut, “Mungkin maksudnya agar Kiai
Gringsing tidak lagi disusul oleh seorang adik. Tetapi mungkin pula nama itu
mengandung harapan agar Kiai Gringsing dapat memecahkan setiap persoalan yang
dihadapi.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Dan agaknya yang kedua itulah yang
nampak sekarang. Ternyata Kiai Gringsing dapat memecahkan dan menyelesaikan
persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang lain.”
“Agaknya semuanya adalah
harapan baik,” sahut Kiai Gringsing. “Nama adalah tanda, sekaligus harapan yang
di berikan oleh orang tua kita. Karena itu pada umumnya nama seseorang dapat
saja mempunyai arti yang kadang-kadang terlampau tinggi dibandingkan dengan
keadaannya. Tetapi tentu itu bukan suatu kesalahan.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Agaknya mereka dapat
mengerti dan menerima keterangan Kiai Gringsing itu. Meskipun sebelumnya mereka
selalu melihat banyak masalah yang tersamar padanya, tetapi agaknya saat itu
Kiai Gringsing berkata bersungguh-sungguh.
Demikianlah, maka Ki Gede
Pemanahan yang terbaring dengan wajah pucat itu pun kemudian berkata, “Terima
kasih atas segala keterangan Kiai. Aku sekarang mengerti bahwa Kiai memang
memiliki alasan yang kuat untuk selalu membayangi setiap daerah yang mulai
bangkit. Kekecewaan yang ada pada Kiai sejak Pangeran Wirawardana meninggalkan
Majapahit, kadang-kadang mendorong Kiai untuk menemukan harapan-harapan di
saat-saat seperti saat lahirnya Mataram sekarang, seperti juga saat lahirnya
Pajang. Kiai sudah mulai membayangi kekuatan yang saat itu ingin mengganggu
perkembangan Pajang ketika Pajang mulai bangkit. Tetapi agaknya Kiai pun
menjadi kecewa meskipun Kiai tidak sampai hati melepaskannya sama sekali.
Ternyata dengan usaha Kiai membatasi gerak Macan Kepatihan yang saat itu masih
di tunggui oleh Ki Sumangkar dengan tongkat baja berkepala tengkoraknya.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Dipandanginya Sumangkar sambil berkata, “Memang menarik sekali untuk berkenalan
langsung dengan Ki Sumangkar saat itu. Sebelumnya, aku hanya mengenal namanya
dan ilmunya, serta kepercayaan banyak orang bahwa pemegang tongkat berkepala
tengkorak itu mempunyai simpanan nyawa rangkap.”
Ki Sumangkar pun tertawa
katanya, “Jika aku mempunyai dua nyawa, maka yang satu akan aku jual kepada
Kiai Gringsing dengan harga yang sangat tinggi.”
Yang mendengarnya pun tertawa.
Sementara itu Ki Gede Pemanahan masih bertanya, “Tetapi apakah sebenarnya yang
membuat Kiai kecewa atas Pajang?”
“Ah, tidak apa-apa, Ki Gede.
Aku tidak kecewa.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Katanya, “Baiklah. Kiai memang tidak kecewa. Mudah-mudahan Kiai juga tidak
kecewa terhadap Mataram.”
Kiai Gringsing memandangi Ki
Gede Pemanahan dengan tajamnya. Tetapi sorot matanya mengandung kesungguhan
dari sikap batinnya, sekaligus harapan, sehingga Ki Gede Pemanahan berkata di
dalam hatinya, “Agaknya Kiai Gringsing sendiri mengharap, agar ia tidak selalu
kecewa sepanjang hidupnya. Tergantung kepada Sutawijaya, apakah ia dapat
mengemudikan Mataram dengan baik dalam bimbingan Ki Juru Martani.”
Dalam pada itu, maka tiba-tiba
saja Ki Juru Martani berkata, “Kita sudah terlampau banyak memaksa Kiai
Gringsing bercerita. Nah, sekarang apakah ada yang akan Kiai lakukan atas Ki
Gede Pemanahan?”
Tetapi sebelum Kiai Gringsing
menyahut, Ki Gede Pemanahan telah mendahuluinya, “Tidak ada yang akan
dilakukannya, Kakang Juru. Yang paling tepat dilakukan adalah ceritanya tentang
dirinya.”
“Mungkin Kiai Gringsing
mempunyai obat yang dapat melancarkan jalan pernafasanmu atau untuk kepentingan
lain agar kesehatanmu bertambah baik.”
Ki Gede menggeleng, “Bukan aku
menolak setiap usaha, karena sebenarnyalah bahwa usaha itu merupakan permohonan
kepada Yang Maha Kasih. Tetapi rasa-rasanya aku sudah mendapat isyarat, bahwa
hari-hariku tinggal terlampau pendek. Sehari, mungkin dua. Tetapi sama sekali
bukan bermaksud mendahului batas yang digariskan oleh-Nya, namun rasa-rasanya
garis itu memang sudah diperlihatkan kepadaku.”
Kiai Gringsing menggeleng
lemah. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Seperti juga orang lain,
rasa-rasanya isyarat itu benar-benar memang telah nampak.
Namun demikian Ki Juru Martani
yang bijaksana masih juga berkata, “Adi Pemanahan. Selagi yang nampak itu belum
terwujud, sebaiknya Adi jangan menolak suatu usaha. Mungkin pernafasan Adi
sekarang dapat menjadi lancar. Mungkin terasa tubuh menjadi segar.”
Ki Gede Pemanahan memandang
Kiai Gringsing sejenak lalu, “Baiklah, Kiai. Ibarat orang berada di ujung
jalan, biarlah badan ini merasa segar dan pikiran menjadi tetap bening.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Tetapi ia pun kemudian menyahut, “Aku memang sudah menyediakan obat buat Ki
Gede. Mungkin akan dapat memperlancar jalan pernafasannya.”
“Tetapi tidak akan
memulihkannya,” sahut Ki Gede Pemanahan.
“Sebaiknya kita tidak
memikirkannya,” berkata Kiai Gringsing. “Jika pernafasan Ki Gede menjadi
semakin baik adalah pertanda bahwa usaha kita berhasil. Selebihnya, kita
serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.
Jika usaha kita mencapai hasil seperti yang kita harapkan, maka yakinlah kita
betapa terbatasnya kemampuan manusia. Dan kita adalah manusia yang sangat
terbatas itu.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Katanya, “Demikianlah agaknya Kiai. Kita memang tidak dapat memohon yang bukan
hak kita.”
Kiai Gringsing tidak menyahut
lagi. Tetapi ia pun kemudian berdiri dan berkata, “Aku akan mencari air panas
sejenak. Aku memerlukannya untuk meramu obat.”
“O,” Ki Juru Martani berdiri,
“biarlah anak-anak melayani Kiai.”
“Terima kasih. Aku harus
meramunya sendiri,” Kiai Gringsing pun kemudian melangkah ke luar pintu dan
langsung pergi ke dapur untuk mencari air panas dan mangkuk untuk meramu obat.
Dalam pada itu, maka Ki Demang
Sangkal Putung, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar pun minta diri kembali ke gandok
karena agaknya Ki Gede Pemanahan nampak menjadi lebih baik. Nafasnya tidak lagi
tersumbat dan bahkan sekali-sekali ia masih tersenyum. Yang tinggal menunggui
kemudian adalah Ki Juru Martani. Namun Ki Juru itu pun berpesan, “Ki Sumangkar.
Persilahkan Raden Sutawijaya masuk ke dalam bilik ini.”
“Baik, Ki Juru,” jawab Ki
Sumangkar sambil meninggalkan bilik itu.
Ketika kemudian Ki Sumangkar
menemukan Raden Sutawijaya di regol depan bersama Agung Sedayu dan Swandaru,
maka ia pun menyampaikan pesan Ki Juru kepadanya.
Dengan tergesa-gesa Raden
Sutawijaya pergi ke bilik ayahandanya, diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Namua hatinya tidak terlampau gelisah karena Ki Sumangkar sudah mengatakan
bahwa keadaan Ki Gede Pemanahan justru berangsur baik.
Meskipun demikian, ketika
Raden Sutawijaya memasuki bilik ayahandanya, hatinya masih juga berdebar-debar.
Dilihatnya Ki Juru Martani duduk di bibir pembaringan, merenungi Ki Gede yang
terbaring diam.
“Masuklah,” desis Ki Juru
Martani.
Dengan ragu-ragu ketiga
anak-anak muda itu memasuki bilik Ki Gede Pemanahan dan duduk di sisi
pembaringan.
Ki Gede Pemanahan tersenyum
melihat anak-anak muda itu. Katanya, “Dari mana kalian sepagi ini?”
“Kami tidak pergi ke
mana-mana, Ayahanda. Kami berada di halaman saja.”
“O,” Ki Gede Pemanahan
menyahut, “bukankah tidak ada persoalan yang penting di hari-hari terakhir?”
“Tidak, Ayahanda. Tidak ada
persoalan yang perlu mendapat perhatian khusus. Jalan-jalan masih terus
dikerjakan. Parit-parit di ujung selatan sudah mulai mengalir.”
“Bagaimanakah dengan keadaan
para pekerja?”
“Baik, Ayah. Semuanya baik.”
“Ya. Kau kemarin juga sudah
mengatakan, semuanya baik,” sahut Ki Gede Pemanahan. “Mudah-mudahan untuk
selanjutnya semuanya berjalan dengan baik.”
“Mudah-mudahan, Ayahanda. Jika
Ayahanda nanti sudah sembuh, aku akan menunjukkan kemajuan yang telah kita
capai di daerah selatan seperti yang sudah aku laporkan setiap kali.”
“Tetapi kau harus selalu ingat
pesanku Sutawijaya, jangan menyentuh sama sekali daerah wewenang Tanah Perdikan
Mangir.”
“Aku selalu mengingatnya,
Ayahanda. Tetapi aku tidak tahu pasti, yang manakah batas antara Mangir dan
Alas Mentaok yang sudah diserahkan dengan resmi kepada kita. Hutan Mentaok
masih meluas sampai ke daerah selatan di sisi barat. Sedang di bagian timur,
beberapa bagian tanah yang sudah menjadi padesan, masih juga harus diteliti,
apakah benar daerah itu dibuka atas perlindungan dan memang berada di atas
Tanah Mangir.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, “Sementara kau dapat menghindarkan diri dari setiap
persoalan. Kau dapat membuka daerah baru sejauh dapat kau kerjakan. Untuk
beberapa lamanya, kau masih belum akan bersentuhan dengan perbatasan, karena
tanah yang masih sangat luas. Bagian dari Hutan Mentaok bagian selatan di sisi
barat tidak akan habis dibuka sampai waktu yang bertahun-tahun.”
“Tetapi bagaimanakah sikap
kita jika Mangir menganggap Alas Mentaok bagian selatan itu miliknya?”
“Itu akan bertentangan dengan
keputusan Sultan Pajang. Yang disebut Alas Mentaok itu adalah daerah yang
diberikan kepada kita. Termasuk bagian-bagiannya yang mempunyai nama-nama
tersendiri.”
Raden Sutawijaya tidak
menjawab. Meskipun ia sadar, bahwa nama-nama yang tersendiri dari bagian
sebelah selatan Alas Mentaok akan dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda.
Tetapi karena ayahandanya sedang dalam keadaan yang lemah, maka Raden
Sutawijaya tidak mendesaknya lagi.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, “kau kini sudah benar-benar menjadi seorang yang dewasa.
Yang sudah melampaui masa mudamu. Karena itu kau harus mencoba berpikir dan
bertindak dewasa. Terlebih-lebih menghadapi Mataram yang sedang dibuka ini,
yang berbatasan dengan daerah-daerah yang sudah dibuka lebih dahulu. Namun
agaknya kau akan menempatkan Mataram menjadi Tanah yang lebih terkemuka dari
daerah yang sudah lebih dahulu terbuka itu.” Ki Gede Pemanahan berhenti
sejenak, lalu, “Untuk mencapai tujuan itu kau tidak boleh mengorbankan hubungan
baik dengan daerah di sekitar Alas Mentaok ini.”
Raden Sutawijaya mengangguk
lemah. Sebenarnya ia ingin bertanya, kenapa ayahandanya berpesan terlampau jauh
kepadanya. Bukankah selama ini ia masih tunduk kepada segala keputusan yang diambil
oleh ayahandanya sehingga ia tidak akan dapat berbuat lebih banyak dari
menjalankan perintah dan pantangan-pantangan.
Tetapi sebelum Sutawijaya
mengucapkan pertanyaannya terdengar Ki Gede berkata, “Sutawijaya. Tidak
sepantasnya lagi ayah selalu menuntun kau. Memberikan perintah dan petunjuk.
Mulailah sekarang untuk menunjukkan bahwa kau adalah putra terkasih dari Sultan
Hadiwijaya di Pajang yang mampu memimpin pemerintahan. Tentu mula-mula di
daerah yang kecil. Namun suatu saat daerah yang kecil itu akan menjadi besar.”
Sutawijaya memandang
ayahandanya dengan tajamnya. Kemudian ditatapnya wajah Ki Juru Martani. Tetapi
ia tidak mengerti apa yang tergores pada dinding hati orang tua itu.
“Sutawijaya,” berkata
ayahandanya pula, “di sini aku melihat Agung Sedayu dan Swandaru, murid-murid
Kiai Grhigsing yang juga disebut Ki Tanu Metir. Mereka adalah orang-orang yang
akan dapat membantumu. Di saat-saat Mataram menghadapi kesulitan dalam tingkat
permulaan ini, mereka telah menunjukkan jasanya kepadamu. Karena itu, bawalah
mereka untuk seterusnya.”
Sutawijaya menjadi semakin
berdebar-debar. Nampaknya keadaan Ki Gede menjadi semakin baik. Tetapi
pesan-pesannya membuatnya sangat gelisah.
Agaknya Ki Gede melihat
kegelisahan yang terpercik di tatapan mata anaknya. Karena itu maka katanya,
“Baiklah. Aku tidak akan banyak memberikan pesan-pesan kepadamu sekarang.
Mungkin besok atau jika aku sudah sembuh sama sekali. Tetapi sementara itu
baiklah aku masih akan memberikan satu pesan. Selagi aku tidak dapat menjalankan
kewajibanku, kau tidak boleh berbuat sekehendakmu sendiri. Di Mataram ada
uwakmu Ki Juru Martani. Ialah yang akan menggantikan aku dan akan memberikan
banyak petunjuk dan nasehat kepadamu. Kau tidak boleh menolak. Dan kau harus
menganggapnya seperti kau berhadapan dengan aku sendiri, sampai saatnya aku
sembuh kembali dan dapat menjalankan tugasku sebagai seorang tetua Tanah
Mataram dan sebagai orang tuamu.”
Sutawijaya menundukkan
kepalanya. Dan Ki Gede masih melanjutkan, “Selain Ki Juru Martani, maka kau
dapat minta bantuan, dan perlindungan kepada orang-orang tua yang selama ini
selalu membantumu. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, dan Ki Demang
Sangkal Putung. Bagimu Sangkal Putung adalah penting sekali. Kademangan itu
terletak di sebelah timur Prambanan, di sebelah selatan Jati Anom. Pada suatu
saat kau akan memerlukan bantuan dari daerah itu.”
Sutawijaya menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Baiklah, Ayahanda.”
“Kecuali semuanya itu, sampai
saat ini kau masih putra angkat yang sangat dikasihi dari Kanjeng Sultan
Hadiwijaya. Karena itu, kau mempunyai kewajiban ganda untuk mentaati
perintahnya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya bagimu adalah orang tua, raja dan justru
sekaligus gurumu. Bukankah kau pernah mendapat tuntunan ilmu kanuragan
daripadanya? Bahkan Sultan Hadiwijaya pernah membuka jalur ilmu yang sangat
mengagumkan. Ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Semula, semasa mudanya,
Mas Karebet mengenal ilmu itu pada Sultan Trenggana. Dengan sedikit petunjuk,
Mas Karebet berhasil menguasai ilmu itu, meskipun menjadi agak lain sifatnya,
karena terbentuk oleh kemampuan Mas Karebet sendiri. Ilmu itu semula disebut
Tameng Waja. Dan bukankah Sultan Hadiwijaya menamakannya juga Tameng Waja? Dan
bukankah kau sudah mendapat petunjuk tentang ilmu itu. Jauh lebih banyak dari
yang didapat oleh Mas Karebet waktu itu dari Sultan Trenggana. Nah, cobalah
kembangkan ilmu itu di dalam dirimu. Dan kau adalah sebenarnya murid yang baik
dari Mas Karebet. Selain aji Tameng Waja, kau juga dapat mempelajari ilmu-ilmu
yang lain yang pernah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu. Jika Mas Karebet
yang mendapat kesempatan itu, ia berhasil menguasainya dengan baik. Lembu
Sekilan, Sapu Angin dan yang lain. Dan bagaimana dengan kau?” Ki Gede Pemanahan
berhenti sejenak, lalu, “Semuanya itu dapat kau padu dengan ilmu yang kau
pelajari daripadaku. Jika ilmu itu nanti dapat berkembang dan sempurna
bersama-sama, maka kau akan menjadi gambaran dari Mas Karebet. Dan itu tidak
cukup. Murid yang baik, adalah mereka yang dapat melampaui gurunya yang mana
pun juga.”
Sutawijaya hanya menundukkan
kepalanya saja. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa ayahandanya Sultan Pajang
telah banyak memberikan ilmu kepadanya, meskipun hanya sekedar jalan yang masih
harus dikembangkannya sendiri.
“Jika Ayahanda Sultan mampu
melakukannya, kenapa aku tidak?” gumam Raden Sutawijaya di dalam dadanya.
Namun sementara itu, Agung
Sedayu dan Swandaru yang berada di dalam bilik itu pun menjadi kagum. Raden
Sutawijaya yang masih muda itu ternyata telah memiliki dasar-dasar ilmu yang
lengkap untuk membekali dirinya. Meskipun ilmu itu belum matang, tetapi pada
saatnya, maka Raden Sutawijaya akan menjadi seorang yang tidak ada duanya.
Dalam pada itu, Ki Gede
Pemanahan pun berkata, “Nah, Sutawijaya, hadapilah masa depanmu dengan penuh
gairah. Kau tentu akan berhasil.”
“Restu Ayahanda bagi masa
depanku,” jawab Raden Sutawijaya.
Ki Gede Pemanahan, tersenyum.
Lalu, “Kau harus selalu mendengarkan nasehat Ki Juru Martani. Sebagai pemimpin
di Tanah Mataram yang sedang berkembang ini, atau di dalam usahamu mencari
bentuk ilmu kanuragan.”
Sutawijaya merasa aneh dengan
segala pesan ayahandanya. Seolah-olah ayahandanya tidak akan dapat melakukannya
sendiri.
Sekilas Raden Sutawijaya
mencoba mengamati keadaan ayahandanya. Nafasnya justru menjadi semakin baik.
Dan sekali-sekali ayahandanya masih tersenyun cerah. Namun demikian bentuk
lahiriah itu rasa-rasanya mempunyai kesan yang berlawanan dengan pesan-pesan
yang telah diterimanya.
Agaknya Ki Gede Pemananan
melihat kebimbangan di hati anaknya. Maka katanya kemudian, “Kau jangan
ragu-ragu, Sutawijaya. Atau barangkali cemas dan terlebih-lebih lagi bingung.
Kau adalah seorang laki-laki. Jika kau melihat sesuatu, kau tidak usah mencoba
mengingkarinya. Lihatlah dengan saksama. Meskipun penglihatan seseorang dapat
keliru, tetapi seorang laki-laki tidak perlu takut menghadapi segala macam
kenyataan. Yang pahit maupun yang manis. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita
tidak berusaha berbuat apa pun juga.”
Terasa dada Sutawijaya
berdesir. Namun ayahandanya pun kemudian berkata seterusnya, “Nah, sekarang kau
dapat meninggalkan bilik ini. Biarlah pamanmu Ki Juru Martani saja yang
menunggui aku. Sebentar lagi Kiai Gringsing tentu akan datang pula membawa obat
bagiku.”
Sutawijaya ragu-ragu sejenak.
Namun dengan isyarat Ki Juru Martani maka ia pun kemudian minta diri bersama
Agung Sedayu dan Swandaru.
“Jangan pergi ke mana pun,”
berkata Ki Gede Pemanahan, “mungkin aku memerlukan kau setiap saat.”
“Aku akan selalu berada di
halaman, Ayahanda.”
“Baiklah. Ajaklah tamu-tamumu
melihat-lihat kebun buah-buahanmu di halaman belakang.”
“Ya, Ayahanda.”
Ki Gede memandang anaknya
sejenak. Tatapan matanya yang tiba-tiba menjadi buram membayangkan hatinya yang
buram pula memikirkan anak laki-laki satu-satunya itu.
Ketiga anak-anak muda itu pun
kemudian pergi ke luar bilik Ki Gede Pemanahan. Seperti yang dipesankan Ki
Gede, mereka pun kemudian pergi ke kebun buah-buahan di halaman belakang.
Tetapi mereka tidak meninggalkan halaman. Bagaimana pun juga, rasa-rasanya
anak-anak muda itu pun menangkap isyarat yang mendebarkan jantung mengenai Ki
Gede Pemanahan yang sedang sakit itu.
Sejenak kemudian maka Kiai
Gringsing pun masuk pula ke dalam bilik dengan membawa obat-obat. Ki Gede
Pemanahan tidak menolak obat itu dan diminumnya sampai habis.
Ternyata bahwa obat itu
membuat tubuhnya menjadi lebih segar. Tetapi kesegaran tubuh Ki Gede itu sama
sekali tidak dapat menahan perjalanan Ki Gede Pemanahan yang memang sudah
hampir sampai ke batas.
Karena itulah, maka Ki Juru
Martani sama sekali tidak meninggalkannya. Jika terpaksa ia pergi sejenak ke
pakiwan, maka dimintanya orang lain menggantinya barang sejenak. Sedangkan Kiai
Gringsing masih tetap berusaha dengan pengetahuan yang ada padanya untuk
memperingan sakit Ki Gede Pemanahan. Justru menurut pengamatan Kiai Gringsing
sekedar memperingan beban jasmaniahnya di saat terakhir.
Tetapi orang-orang tua yang
melihat perkembangan keadaan Ki Gede Pemanahan serasa sudah dapat melihat apa
yang bakal terjadi. Namun demikian, tidak seorang pun di antara mereka yang
berani mendahului garis ketentuan Yang Maha Kuasa.
Kiai Gringsing, seorang dukun
yang memiliki kemampuan yang kadang-kadang di luar nalar dalam usahanya
menyembuhkan penderitaan dan sakit sesamanya, harus mengakui kenyataan, betapa
kecilnya arti manusia. Betapa dangkalnya pengetahuan yang ada padanya untuk
menjajagi ketentuan dari Maha Kuasanya.
Karena itu, tidak ada yang
dapat dilakukan selain berusaha. Usaha yang nampaknya tidak akan berarti.
Tetapi tanpa memutuskan kesempatan yang diberikan oleh-Nya.
Ketika matahari menjadi
semakin rendah di barat, nafas Ki Gede Pemanahan mulai terganggu lagi. Tetapi
hanya sebentar, karena Ki Gede sendiri berusaha untuk mengatasinya.
Namun demikian tubuhnya sudah
menjadi semakin lemah. Wajahnya menjadi semakin pucat, meskipun masih nampak di
bibirnya senyum yang jernih.
Ki Juru Martani menjadi
semakin tekun menungguinya. Ia sama sekali sudah tidak meninggalkan Ki Gede
dalam keadaannya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing pun selalu berada di dalam
bilik itu pula.
Di pendapa Ki Sumangkar, Ki
Waskita, Ki Demang Sangkal Putung, dan beberapa orang tua di Mataram, para
pemimpin serta Raden Sutawijaya beserta Agung Sedayu dan Swandaru duduk
melingkar. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Rasa-rasanya mereka sedang
menunggu sesuatu yang sangat mendebarkan.
Sejenak kemudian Ki Gede masih
memanggil beberapa orang pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu.
Diberikannya beberapa pesan tentang tugas-tugas mereka. Dengan demikian maka
para pemimpin itu pun seolah-olah telah mendapat isyarat, bahwa sebenarnyalah
Ki Gede Pemanahan tidak dapat ditahan-tahan lagi.
Malam yang kemudian turun
menyelimuti Tanah Mataram, rasa-rasanya membuat setiap hati menjadi suram pula.
Lampu minyak yang dinyalakan di pendapa dan di sudut-sudut rumah dan regol
nampak berkeredipan ngelangut.
Mereka yang duduk di pendapa
hampir tidak beringsut sama sekali dari tempatnya. Jika ada yang harus pergi,
maka dengan tergesa-gesa ia kembali lagi ke tempatnya.
Semakin dalam malam menukik ke
pusatnya, maka nampaknya Ki Gede Pemanahan menjadi semakin lemah. Sekali-sekali
nampak wajahnya menjadi tegang. Namun hanya sejenak. Ketika terpandang olehnya
Ki Juru Martani dan Kiai Gringsing, maka agaknya dadanya menjadi lapang.
Sebagai orang yang memiliki
tangkapan pengalaman atas perasaan seseorang, maka Ki Juru Martani dan Kiai
Gringsing pun mengerti, bahwa kadang-kadang masih juga terasa sesuatu menyentuh
perjalanan Ki Gede Pemanahan. Agaknya Mataram yang baru dibuka ini, masih juga merupakan
hambatan betapa pun kecilnya. Tetapi jika kemudian disadarinya, bahwa ia dapat
mempercayakannya kepada Ki Juru Martani dan Kiai Gringsing, maka jalannya pun
menjadi lapang kembali.
Menjelang tengah malam, maka
Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Kakang Juru. Apakah Sutawijaya belum tidur?”
“Belum, Adi. Ia berada di
pendapa bersama Agung Sedayu dan Swandaru.”
“Hanya bertiga?”
“Tidak. Di pendapa ada banyak
orang berjaga-jaga.”
Ki Gede tersenyum. Katanya
lemah, “Apakah mereka menunggui aku?”
Ki Juru ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian, “Begitulah.”
“Agaknya mereka pun sudah
melihat, bahwa aku tidak akan bertahan lebih lama lagi.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun Ki Gede berkata, “Jangan tersinggung Ki Pamungkas. Bukan
karena Kiai Gringsing tidak mampu mengobati orang sakit. Tetapi sakitkulah yang
sudah menjadi parah.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Gede dengan seksama. Kemudian perlahan-lahan ia menjawab, “Tidak seorang pun
yang dapat melawan keharusan Yang Maha Kuasa, Ki Gede. Semua yang harus terjadi
akan terjadi.”
Ki Gede tersenyum, katanya
kemudian, “Kakang, apakah Kakang dapat memerintahkan memanggil Danang?”
“O, baiklah, Adi,” sahut Ki
Juru. Namun dengan demikian hatinya menjadi cemas. Agaknya waktu yang terakhir
bagi Ki Gede itu memang sudah hampir datang.
Sejenak kemudian, Sutawijaya
sudah ada di dalam bilik itu. Dengan wajah yang tegang dipandanginya
ayahandanya yang pucat.
“Sutawijaya,” desis Ki Gede.
“Ya, Ayahanda,” sahut
Sutawijaya.
“Malam ini rasa-rasanya
terlampau panjang bagiku, sehingga aku tidak dapat mengharap melihat matahari
terbit esok pagi.”
“Ayah,” Sutawijaya bergeser
mendekat.
“Kau seorang anak muda yang
perkasa. Yang menjadi pusat dari segala gerak dan putaran di atas Tanah Mataram
ini. Sadari itu.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya.
“Kau harus bersikap seperti
yang seharusnya bagi seorang pemimpin. Kau bukan kanak-kanak lagi yang hanya
dapat merengek sambil kehilangan akal.”
Sutawijaya masih terdiam.
“Bersikaplah sebagai seorang
ksatria. Juga jika pada saatnya kau hadapi aku dalam keadaan yang lain.”
Terasa sesuatu menyumbat di
kerongkongan. Tetapi setiap kali terngiang kata-kata ayahandanya, “Kau bukan
anak-anak lagi yang hanya dapat merengek sambil kehilangan akal.”
Karena itu Sutawijaya berusaha
untuk menahan hatinya.
“Itulah pesanku terakhir
kepadamu, Sutawijaya. Pesanku yang lain sudah cukup banyak. Sekarang panggillah
orang-orang tua itu kemari. Lebih dahulu tamu-tamu kita yang perkasa.”
Sutawijaya hampir tidak dapat
beringsut dari tempatnya. Namun tatapan mata ayahandanya yang sayu seolah-olah
menusuk jantungnya dengan tajam dan selalu melihat apakah pesan-pesannya
diperhatikan.
“Aku seorang laki-laki,” geram
Sutawijaya di dalam hati.
Sejenak kemudian maka Ki
Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang Sangkal Putung telah berada di dalam bilik itu
bersama Ki Juru dan Kiai Gringsing. Dengan dada yang berdebar-debar mereka
melihat nafas Ki Gede yang sudah menjadi semakin lambat.
“Aku mohon diri,” desisnya
“Ki Gede,” Kiai Gringsing
meraba tangannya.
Ki Gede Pemanahan masih
tersenyum. Lalu, “Aku titipkan Mataram kepada kalian. Ki Juru yang bijaksana,
Kiai Gringsing yang selalu berahasia, dan yang lain-lain.”
Ki Juru Martani bergeser
semakin dekat. Terasa tubuh Ki Gede Pemanahan bergetar sejenak. Namun kemudian
tubuh itu berangsur-angsur menjadi sejuk dan dingin.
“Biarlah para pemimpin Tanah
Mataram melihat aku di saat terakhir,” suara Ki Gede menjadi semakin lemah.
Beberapa orang tua-tua dan
pemimpin-pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu pun kemudian berdesakan di
dalam bilik itu pula. Mereka masih sempat melihat wajah yang sayu dan pucat,
namun masih selalu tersenyum itu.
“Tanah Mataram ada di tangan
kalian,” desis Ki Gede Pemanahan.
Orang-orang itu pun kemudian
menunduk. Sesaat mereka masih melihat Ki Gede memandang mereka. Namun mata itu
pun kemudian perlahan-lahan terpejam.
Ki Juru Martani dan Kiai
Gringsing mendekat semakin rapat. Bahkan Ki Juru masih mendengar Ki Gede
berdesis dan mengucapkan beberapa kata pamitan.
Sesaat kemudian semua orang
yang ada di dalam bilik itu melihat Ki Gede Pemanahan seolah-olah memperbaiki
letak tubuhnya. Menyilangkan tangannya di dada dan memejamkan matanya
rapat-rapat. Seakan-akan sesuatu telah bergerak merambat dari ujung kakinya
perlahan-lahan naik ke lututnya dan bahkan seperti nampak di bawah pakaiannya
sesuatu itu merayap terus. Akhirnya, seakan-akan setiap orang melihat sesuatu
yang merayap itu sampai ke ujung ubun-ubun Ki Gede Pemanahan.
Yang nampak kemudian adalah
sebuah senyuman kecil di bibir yang pucat itu. Namun senyum itu tidak berubah
lagi untuk selama-lamanya.
Ki Gede Pemanahan telah
meninggalkan Tanah Mataram yang baru dibukanya. Meninggalkan anak laki-lakinya
yang berlutut di sampingnya. Dan meninggalkan semuanya yang pernah dikenalnya di
muka bumi ini.
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Sutawijaya, dilihatnya mata anak muda
itu menjadi basah. Tetapi Sutawijaya tidak menangis. Ia memenuhi pesan ayahnya.
Ia adalah seorang ksatria. Ia bukan lagi anak-anak yang hanya dapat merengek
dan kehilangan akal.
Sesaat bilik itu dicengkam
oleh ketegangan. Tidak seorang pun yang bergerak. Mereka menatap tubuh Ki Gede
Pemanahan yang terbujur diam di atas pembaringannya.
Namun kemudian terdengar suara
Ki Juru Martani menyobek sepi, “Angger Sutawijaya. Ayahmu telah menghadap
Tuhannya kembali.”
Sutawijaya mengangguk lemah.
Sekilas ia memandang wajah ayahandanya yang pucat. Tetapi Sutawijaya memang
tidak menangis.
“Ki Sanak semuanya,” berkata
Ki Juru Martani, “baiklah kalian meninggalkan bilik ini. Siapkan segala
sesuatunya untuk menyelenggarakan tubuh yang ditinggalkan oleh Ki Gede
Pemanahan yang telah menghadap kembali kepada Penciptanya.”
Demikianlah maka orang-orang
yang ada di dalam bilik itu bagaikan terbangun dari mimpi. Mereka baru
menyadari sepenuhnya apa yang telah mereka saksikan. Ki Gede Pemanahan telah
mendahului mereka kembali ke asalnya.
Sejenak kemudian maka di rumah
itu pun segera menjadi sibuk. Setiap orang berdesis tentang Ki Gede Pemanahan
yang telah meninggal.
“Seperti sedang tidur saja,”
desis seseorang yang sempat melihat Ki Gede Pemanahan di saat terakhir.
“Ki Gede memang seorang yang
besar,” sahut yang lain, “yang seakan-akan telah mengatur segalanya menjelang
saat terakhirnya.”
Dan setiap orang pun berbicara
di antara mereka dengan cara masing-masing.
Malam itu juga tubuh Ki Gede
Pemanahan itu pun dibersihkan. Kemudian diperlakukan seperti seharusnya menurut
adat dan kepercayaannya.
Sutawijaya benar-benar
berusaha untuk tetap memenuhi pesan ayahandanya. Ia sama sekali tidak
kehilangan akal dan kemudian justru menjadi beban beberapa orang tua-tua.
Tetapi Sutawijaya sadar sepenuhnya, bahwa semuanya harus diselenggarakan
sebaik-baiknya.
Dalam saat itulah nampak,
bahwa Sutawijaya memang seorang pemimpin. Pada saat ayahandanya yang sangat
dicintainya meninggal, bahkan sepercik penyesalan dan kecewa atas dirinya
sendiri telah melonjak di dalam hatinya, namun ia masih tetap melakukan semua
tugas yang dapat dikerjakannya. Bahkan ia seakan-akan telah memimpin semua
pekerjaan untuk menyelenggarakan jenazah ayahandanya, meskipun ia tidak
meninggalkan orang-orang tua yang mengerti segala macam tata cara dan adat
kepercayaan.
Berita tentang meninggalnya Ki
Gede Pemanahan itu pun segera menjalar ke seluruh Tanah Mataram, sehingga Tanah
Mataram itu pun telah diliputi oleh suasana berkabung.
Dalam pada itu, Ki Juru
Martani yang menjadi pusat dari penyelenggaraan jenazah Ki Gede itu pun
memanggil beberapa orang tua-tua dan para pemimpin Tanah Mataram beserta Raden
Sutawijaya. Dengan hati-hati ia berkata, “Apakah sebaiknya menurut pertimbangan
kalian, kita akan memberitahukan kepada Kanjeng Sultan di Pajang?”
“Adalah sebaiknya demikian,”
sahut Ki Lurah Branjangan, “disaat terakhir, Ki Gede masih tetap merasa dirinya
dekat dengan Kanjeng Sultan. Meskipun seandainya Kanjeng Sultan di Pajang tidak
dapat menengok jenazah Gede karena sesuatu hal.”
Yang lain pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak seorang pun di antara mereka yang
menolak.
Namun ketika tatapan mata Ki
Juru Martani menyentuh wajah Sutawijaya nampaklah bahwa ada sesuatu yang
bergejolak di dalam hatinya. Meskipun demikian, Sutawijaya sama sekali tidak
mengatakan apa pun juga.
Ki Juru Martani yang melihat
sekilas wajah itu, segera dapat mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak
berkenan di hati anak muda itu. Tetapi karena Sutawijaya tidak mengatakan apa
pun juga, maka Ki Juru pun tidak menanggapinya.
Bahkan Ki Juru Martani pun
kemudian bertanya, “Siapakah di antara kita yang paling pantas menghadap Kanjeng
Sultan di Pajang?”
Beberapa orang tanpa
menyadarinya berpaling kepada Kiai Gringsing. Namun sebelum salah seorang dari
mereka menyebut namanya, Ki Juru yang tahu pasti bahwa Kiai Gringsing tidak
akan bersedia memenuhinya berkata, “Sebaiknya salah seorang pemimpin Tanah
Mataram yang sedang berkembang.”
Wajah-wajah yang memandang
Kiai Gringsing pun segera berpaling. Mereka kini memandang Ki Lurah Branjangan.
Namun Ki Lurah telah mendahului, “Aku adalah seorang pelarian dari Pajang.
Mungkin bukan akulah orang yang paling tepat untuk menghadap Kanjeng Sultan
Hadiwijaya.”
Ki Juru pun dapat mengerti
alasan Ki Lurah Branjangan, sehingga karena itu, maka akhirnya ia pun menunjuk
seorang setengah baya yang datang ke Mataram bukan sebagai seorang pelarian dari
Pajang. Tetapi ia benar-benar seorang yang datang untuk ikut serta membuka Alas
Mentaok.
“Aku belum pernah menghadap
Sultan di Pajang,” berkata orang itu, “unggah-ungguh dan adat tata cara aku
sama sekali tidak mengenal. Karena itu mungkin kedatanganku justru akan membuat
Kanjeng Sultan menjadi murka.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali Ki Juru Martani
sendirilah yang akan pergi ke Pajang.
“Baiklah jika demikian. Aku
sendirilah yang akan pergi ke Pajang. Aku serahkan jenazah Ki Gede Mataram di
dalam penjagaan kalian. Tunggulah sampai aku kembali. Aku akan berpacu tanpa
berhenti ke Pajang dan demikian aku menghadap Sultan aku akan segera kembali.”
“Apakah, jenazah ini harus
bermalam semalam di rumah ini, Ki Juru?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Ya. Jenazah ini akan bermalam
satu malam. Besok pagi-pagi jenazah ini akan dikebumikan.”
“Jadi Pamanda akan pergi
sendiri?” bertanya Sutawijaya lalu. “Apakah Pamanda memerlukan pengawal?”
Ki Juru memandang Sutawijaya
sejenak.Tetapi ia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak memerlukan pengawal,
Angger. Yang aku perlukan adalah seekor kuda yang tegar. Suruhlah seseorang
menyiapkan kuda. Aku tidak akan menunggu sampai pagi. Aku akan segera
berangkat. Mudah-mudahan malam nanti aku sudah berada di sini kembali.”
“Pamanda,” berkata Sutawijaya,
“sebaiknya Pamanda membawa pengawal secukupnya. Pamanda harus ingat, apa yang
telah terjadi atas ayahanda. Meskipun, ayahanda meninggal bukan semata-mata
karena lukanya ketika ia dicegat oleh orang-orang yang tidak dikenal itu, namun
kemungkinan serupa akan dapat terjadi atas Pamanda. Setelah Pamanda menghadap
Ayahanda Sultan Pajang. Kemudian di perjalanan kembali peristiwa itu dapat
terulang. Orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berkembang menganggap
bahwa Pamanda telah menggantikan kedudukan ayahanda di sini dan mereka pun akan
menyergap Pamanda seperti yang pernah mereka lakukan atas ayahanda.”
Ki Juru Martani memandang
Sutawijaya sejenak. Namun kemudian ia tersenyum. Katanya, “Semua orang
mengetahui bahwa aku tidak akan dapat menggantikan kedudukan Adi Pemanahan. Aku
hanya orang yang kebetulan dekat dengan ayahandamu. Tetapi bukan semestinya aku
menggantikan kedudukannya di dalam lingkungan apa pun.”
“Tetapi orang-orang itu tidak
akan mau mengerti Pamanda,” jawab Sutawijaya. “Karena itu, apakah salahnya jika
Pamanda menjadi berhati-hati setelah terjadi kecurangan atas ayahanda. Para
pemimpin di Pajang sudah tidak lagi mengenal sopan santun dan sifat-sifat
jantan seorang kesatria.”
Ki Juru mengerutkan keningnya.
Namun sebelum ia menjawab Kiai Gringsing berkata, “Ki Juru. Ada juga
kebenarannya pendapat Raden Sutawijaya. Tetapi tentu juga tidak sepantasnya
jika Ki Juru membawa pengawal yang lengkap memasuki kota Pajang dalam keadaan
serupa ini.”
“Pengawal-pengawal itu dapat
menunggu di luar kota,” potong Sutawijaya.
“Memang akan dapat timbul
salah paham dengan pengawal kota.”
“Lalu?”
“Menurut pendapatku, sebaiknya
Ki Juru Martani menghadap Kanjeng Sultan Pajang dengan seorang kawan yang bukan
berasal dari Pajang. Orang itu adalah Ki Waskita. Jika terjadi sesuatu, maka Ki
Waskita akan dapat membantu Ki Juru Martani di dalam beberapa hal.”
Ki Juru menarik nafas
dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Kemudian katanya, “Biaklah,
Kiai. Aku tidak berkeberatan jika Ki Waskita bersedia.”
“Aku mohon,” desis Raden
Sutawijaya.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan pergi menemani Ki Juru
Martani. Tetapi di dalam perjalanan itu, aku adalah seorang pengawal Tanah
Mataram. Tidak lebih. Sehingga aku tidak akan berbuat lain kecuali mengawal Ki
Juru Martani.”
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Ia sudah mengenal Ki Waskita dengan baik, sehingga karena itu,
maka ia tidak akan selalu dikejar oleh kecemasan akan kepergian Ki Juru
Martani.
Sebenarnya Raden Sutawijaya
lebih senang apabila selain Ki Waskita berangkat juga Ki Sumangkar atau Kiai
Gringsing. Tetapi Raden Sutawijaya itu pun kemudian menyadari bahwa keduanya
pun agaknya akan berkeberatan.
Dengan demikian, maka Ki Juru
Martani pun kemudian memerintahkan menyiapkan dua ekor kuda. Kemudian katanya,
“Maaf, Ki Waskita. Ki Waskita adalah tamu yang seharusnya mendapat penghormatan
dan hidangan. Namun di sini Ki Waskita harus ikut disibukkan dengan tugas ini.”
“Ah. Tidak apa-apa, Ki Juru.
Kiai Gringsing berada di Tanah Perdikan Menoreh sebagai tamu. Tetapi setiap
kali ia turut pula di dalam keadaan yang sulit.”
Demikianlah maka kedua orang
itu pun minta diri kepada para tetua dan pemimpin Tanah Mataram. Mereka
menitipkan jenazah Ki Gede agar dijaga baik-baik. Kepada Raden Sutawijaya Ki
Juru memberikan banyak pesan. Sebagai seorang pemimpin yang masih muda ia harus
banyak belajar dan mendengar dari orang-orang tua. Terutama Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya.
Sebelum matahari naik, kedua
orang itu sudah berpacu meninggalkan Mataram menuju ke Pajang. Mereka tidak
menghiraukan apa pun juga di perjalanan itu selain secepat-cepatnya sampai ke
Pajang menghadap Kanjeng Sultan Hadiwijaya menyampaikan berita kematian Ki Gede
Pemanahan. Seorang yang pernah menjadi Panglima Prajurit Wira Tamtama di Pajang
dan yang pernah mendapat kepercayaan Kanjeng Sultan sepenuhnya.
Lebih dari itu, Ki Gede
Pemanahan adalah ayah Raden Sutawijaya, putra angkat Kanjeng Sultan yang sangat
dikasihinya.
Angin pagi yang dingin
mengusap wajah kedua orang tua yang sedang berpacu itu. Langit yang menjadi
semakin merah membayang di atas cakrawala. Dan kedua ekor kuda itu berderap
semakin cepat.
Ki Waskita sempat juga memandangi
tanah persawahan yang subur di sepanjang perjalanan. Tanah yang kini sudah
menjadi tanah garapan.
“Beberapa saat yang lewat,
tanah ini adalah bagian dari hutan yang lebat. Tetapi kini tanah ini sudah
menjadi tanah persawahan yang hijau subur,” desis Ki Waskita. “Benar-benar
suatu kerja raksasa yang sebelumnya sulit dibayangkan.”
“Hampir setiap orang semula
meragukan hasil yang akan dapat dicapai oleh Adi Pemanahan serta puteranya yang
keras hati itu. Apalagi dengan berbagai macam rintangan yang dialami oleh
mereka. Namun akhirnya Mataram telah terwujud, dan semakin lama menjadi semakin
ramai,” sahut Ki Juru Martani. “Tetapi agaknya iri hati justru menjadi semakin
membakar hati orang-orang yang tamak di Pajang”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Ketika ia memandang ke depan, di hadapannya terhampar sebuah bulak yang sangat
panjang, yang seakan-akan tidak berbatas sampai ke ujung cakrawala.
Dalam pada itu kedua ekor kuda
itu berpacu semakin cepat. Jalan-jalan nampaknya sudah menjadi semakin baik,
dan keamanan pun menjadi semakin maju.
Menjelang matahari terbit,
beberapa orang sudah nampak berjalan menuju ke pusat pemerintahan Tanah Mataram
dengan membawa berbagai macam barang dagangan. Barang-barang anyaman, hasil
kebun, dan gula kelapa. Bahkan nampak beberapa buah pedati kayu berjalan
terguncang-guncang di atas jalan yang panjang.
Padukuham demi padukuhan telah
mereka lalui. Namun akhirnya mereka melihat seleret pepohonan bagaikan
pebukitan yang terbaring melintang perjalanan mereka.
“Alas Tambak Baya,” desis Ki
Juru.
“Alas yang masih belum
terbuka,” sahut Ki Waskita.
“Alas itu cukup lebat,
meskipun tidak selebat Alas Mentaok. Tetapi sekarang, jalur jalan yang membelah
hutan itu telah cukup baik dilalui. Kelompok-kelompok pedagang tidak lagi
ketakutan melintasi hutan itu meskipun kadang-kadang masih ada penjahat yang
berani menyamun. Namun pada umumnya perjalanan di hutan itu sudah aman.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Justru di tempat yang sudah ramai Ki Gede Pemanahan menemui
kesulitan di perjalanannya kembali ke Mataram.”
“Ya. Di Prambanan, di pinggir
Kali Opak.”
“Bukankah daerah itu sudah
ramai sejak lama?”
“Tetapi kesulitan itu adalah
suatu keadaan yang khusus. Yang sengaja dipasang untuk mencegat perjalanan Adi
Pemanahan. Bukan merupakan keadaan yang umum dialami oleh pejalan yang lewat.”
Ki Waskita mengangguk-angguk
pula. Wajahnya yang dibayangi oleh cahaya pagi yang kemerah-merahan nampak
bersungguh-sungguh.
Ki Juru tidak berbicara lebih
banyak lagi. Kuda-kuda mereka pun kemudian menyusup Hutan Tambak Baya yang
masih nampak buram.
Demikianlah keduanya berpacu
terus. Hampir tidak ada sesuatu yang mereka alami di perjalanan. Mereka
melintasi daerah Prambanan tanpa persoalan. Ketika mereka lewat di daerah
Telaga, daerah-daerah hutan kecil yang menjadi daerah perburuan, kemudian
memasuki Sangkal Putung dan selanjutnya terasa bahwa perjalanan mereka
benar-benar tidak lagi dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Di daerah Sangkal Putung Ki
Waskita sempat melihat kesibukan orang-orangnya. Di pagi-pagi benar agaknya
orang sudah mulai sibuk bekerja dengan rajinnya.
Beberapa orang sudah nampak
berada di sawah masing-masing. Sedang beberapa buah pedati berjalan lambat
membawa hasil sawah untuk diperdagangkan.
Ki Juru Martani pun agaknya
tertarik pada dataran yang hijau, seakan-akan terbentang sampai ke kaki Gunung
Merapi.
“Mataram akan dapat menjadi
sesubur ini,” desis Ki Juru Martani. “Apabila orang-orang yang membuka hutan
itu tetap rajin seperti sekarang, maka dapat diharapkan dalam waktu yang
singkat, Mataram akan menjadi negeri yang ramai. Meskipun bukan semata-mata
karena tanahnya yang subur serta luas, tetapi juga karena yang memimpin Tanah
yang baru tumbuh itu adalah Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya.”
“Ki Gede Pemanahan mempunyai
pengaruh yang luas sekali,” gumam Ki Waskita.
“Ya. Seluruh daerah Pajang
mengakuinya. Ia adalah seorang perwira yang pilih tanding.”
Ki Waskita mengangguk.
“Tetapi bukan karena kemampuan
dan ilmunya saja Ki Gede Pemanahan disegani, tetapi lebih-lebih lagi karena ia
seorang yang baik. Baik dalam melakukan tugasnya, dan baik sebagai seseorang
yang hidup di dalam suatu lingkungan yang luas.”
“Pajang tentu merasa
kehilangan,” desis Ki Waskita.
“Sebagian besar akan merasa
kehilangan. Tetapi yang lain merasa lapang. Mereka sudah lama menginginkan Ki
Gede dilenyapkan. Ternyata dengan peristiwa yang terjadi di pinggir Kali Opak
itu. Jika Untara dan kemudian Raden Sutawijaya tidak datang tepat pada
waktunya, maka Ki Gede tentu sudah gugur di perkelahian melawan
penjahat-penjahat yang memiliki kemampuan yang tinggi itu.”
“Siapakah kira-kira yang telah
mengupah mereka?” bertanya Ki Waskita.
“Tentu tidak mudah untuk
segera mengetahui. Orang-orang yang tertangkap di antara mereka benar-benar
tidak mengerti. Yang mereka ketahui semata-mata adalah pemimpin-pemimpin mereka
itu saja.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya.
Dan tiba-tiba Ki Juru Martani
bertanya, “Apakah dalam persoalan yang demikian, Ki Waskita dapat melihat
dengan ilmu yang Ki Waskita miliki itu?”
KI Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Sayang, Ki Juru. Aku tidak dapat melihat jawaban dalam
persoalan serupa itu. Tidak ada isyarat yang dapat aku baca yang kemudian dapat
dihubungkan dengan nama-nama orang.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia
mengerti, bahwa yang dapat dilihat oleh Ki Waskita adalah sekedar
isyarat-isyarat. Tentu tidak akan dapat nampak wajah-wajah orang yang telah
melakukan kejahatan dengan mengupah orang untuk membunuh Ki Gede Pemanahan.
Sejenak kemudian mereka pun
saling berdiam diri. Kuda-kuda mereka masih berlari kencang menyusuri jalan
yang sudah menjadi semakin baik.
Tidak ada persoalan yang
mereka jumpai di perjalanan. Mereka berpacu terus dengan kencangnya. Hanya
sekali-sekali mereka berhenti sejenak untuk melepaskan penat dan memberi
kesempatan kuda mereka beristirahat dan sedikit meneguk air parit yang jernih.
Beberapa orang yang sedang
bekerja di sawah kadang-kadang ada pula yang mengangkat kepalanya memandang
kedua orang yang sedang berpacu itu. Namun mereka tidak memperhatikannya lagi
karena mereka sudah terlampau sering melihat orang-orang berkuda lewat di bulak
itu.
Demikianlah akhirnya, keduanya
pun memasuki kota Pajang dengan selamat. Mereka melampaui gerbang kota sambil
menyeka keringat yang membasahi wajah mereka yang berdebu.
“Kita sudah sampai,” berkata
Ki Juru Martani, “kita akan langsung pergi ke istana, untuk mohon langsung
menghadap Kanjeng Sultan.”
Demikianlah keduanya segera
menemui petugas yang berwenang mengatur hubungan dengan Kanjeng Sultan
Hadiwijaya. Seorang lurah prajurit yang sedang bertugas menerima kedatangan Ki
Juru dengan heran.
“Bukankah aku berhadapan
dengan Ki Juru Martani?”
“Ya, kenapa? Aku mohon ijin
untuk menghadap langsung Kanjeng Sultan.”
“Kenapa?” bertanya lurah prajurit
itu. “Apakah ada sesuatu yang sangat penting?”
“Ya, Ki Lurah.”
“Tetapi aku tidak tahu, apakah
Kanjeng Sultan bersedia menerima kehadiran Ki Juru.”
“Beritahukan abdi yang akan
menyampaikan pesanku, bahwa Ki Juru membawa berita penting mengenai Ki Gede
Pemanahan di Mataram.”
“Tetapi ini bukan waktunya
untuk menghadap.”
“Persoalan yang akan aku
sampaikan hanya berlaku hari ini. Jika aku hari ini tidak berhasil menghadap,
maka persoalannya sudah tidak perlu lagi aku bawa ke Pajang.”
Lurah prajurit itu
termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Aku tidak kuasa mengatur. Biarlah
disampaikan kepada narpacundaka.”
“Jangan lupa. Pesanku harus
disampaikan lengkap, agar Kanjeng Sultan sudi mempertimbangkan kemungkinan
untuk mengizinkan permohonanku untuk menghadap.”
Ki Lurah itu pun segera
menyampaikan pesan itu lewat seorang abdi yang sedang bertugas kepada
petugas-petugas di dalam istana. Merekalah yang dapat langsung berhubungan
dengan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
Ketika seorang hamba datang
menghadap Kanjeng Sultan yang sedang beristirahat di bangsal, sudah nampak
seolah-olah ada firasat yang menyentuh hati Kanjeng Sultan itu.
Sejenak dipandanginya hamba
yang duduk tepekur menunggu pertanyaan Kanjeng Sultan yang telah melihatnya.
“Mendekatlah,” panggil Kanjeng
Sultan.
Hamba itu pun kemudian
beringsut mendekati beberapa jengkal.
“Apakah keperluanmu
menghadap?”
“Ampun, Tuanku,” jawab hamba
itu, “hamba menyampaikan permohonan seseorang untuk menghadap Tuanku.”
“Kapan?”
“Jika Tuanku berkenan, orang itu
ingin menghadap sekarang.”
“Apakah ada persoalan yang
amat penting?”
“Demikianlah menurut pengakuan
orang itu. Lurah prajurit yang menerimanya mengatakan, bahwa orang itu adalah
Ki Juru Martani yang datang dari Mataram.”
“Kakang Juru Martani?” Kanjeng
Sultan mengulang.
“Hamba, Tuanku.”
Terasa debar jantung Kanjeng
Sultan menjadi semakin keras. Tentu ada sesuatu yang penting, bahwa Ki Juru
Martani sendirilah yang datang menghadap dari Mataram.
“Baiklah,” berkata Kanjeng
Sultan kemudian, “aku akan menerimanya sekarang.”
Hamba itu menjadi heran.
Biasanya orang yang datang menghadap tidak akan dapat segera diterima pada saat
itu juga. Secepat-cepatnya malam nanti. Tetapi kali ini, Kanjeng Sultan yang
sedang beristirahat itu memerlukan menerima tamunya segera.
Demikianlah maka Ki Juru
Martani pun mendapat kesempatan untuk segera dapat menghadap Kanjeng Sultan
yang seolah-olah telah mendapat firasat kurang baik dengan kehadirannya.
Karena itu, demikian Ki Juru
itu berjalan sambil berjongkok mendekatinya, segera Kanjeng Sultan bertanya,
“Apakah ada berita yang sangat penting, Kakang?”
Ki Juru Martani menyembah
sambil membungkuk dalam-dalam diikuti oleh Ki Waskita. Kemudian katanya,
“Ampun, Kanjeng Sultan. Sebenarnyalah hamba datang membawa berita yang sangat
penting bagi Tuanku.”
“Katakanlah, Kakang.”
“Tuanku,” berkata Ki Juru,
“hamba mohon maaf bahwa sebelumnya hamba tidak pernah menyampaikan berita apa
pun tentang Adi Pemanahan.”
“Ya. Aku sudah mendengar bahwa
Kakang Pemanahan menderita sakit. Sejak ia mengalami bencana di pinggir Kali
Opak maka ia menderita sakit, bukan saja karena lukanya, tetapi seakan-akan ada
sesuatu yang menekan perasaannya.”
“Demikianlah, Tuanku. Tetapi
lebih daripada itu, Ki Gede seakan-akan sudah melihat, bahwa ia sudah sampai di
perbatasan sehingga usaha yang mana pun tidak akan banyak memberikan
pertolongan, karena tidak ada seorang pun dapat menembus kuasa Yang Maha
Pencipta.”
“Jadi maksudmu?” wajah Kanjeng
Sultan menjadi tegang.
“Ampun, Tuanku,” berkata Ki
Juru Martani ragu-ragu. Namun ia meneruskannya, “Adi Pemanahan tidak lagi dapat
menembus batas umur yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.”
“Kakang Juru Martani,” Kanjeng
Sultan tiba-tiba berdiri dan melangkah mendekat, “maksudmu bahwa Kakang
Pemanahan telah menyelesaikan perjalanan hidupnya sampai ke batas?”
“Ampun, Tuanku. Adi Pemanahan
telah dipanggil kembali oleh Yang Menciptakannya.”
Sejenak Kanjeng Sultan berdiri
mematung. Seolah-olah ia menjadi beku oleh berita yang didengarnya. Namun
sejenak kemudian ia pun melangkah kembali ke tempat duduknya. Dengan lemahnya
ia terkulai duduk seolah-olah telah kehilangan seluruh tulang belulangnya.
Ketika Ki Juru Martani menatap
wajahnya, dan hampir di luar sadarnya Ki Waskita pun memandanginya, nampaklah
mata Kanjeng Sultan itu menjadi berkilat-kilat oleh setitik air pelupuknya.
“Kakang Juru Martani,” berkata
Kanjeng Sultan dengan nada yang parau, “kenapa baru sekarang Kakang
memberitahukan hal itu kepadaku.”
“Ampun, Tuanku,” jawab Ki
Juru, “semula hamba berharap bahwa Ki Gede Pemanahan akan dapat sembuh kembali.
Apalagi ketika seorang dukun yang pandai datang mengobatinya. Tetapi ternyata
bahwa tidak seorang pun yang mampu memperpanjang garis perjalanan hidup walau
hanya selangkah.”
“Siapakah dukun yang pandai
itu?”
“Kiai Gringsing.”
“Kiai Gringsing,” ulang
Kanjeng Sultan, “aku pernah mendengar namanya. Namun ternyata bahwa
kepandaiannya adalah kepandaian manusia semata-mata.”
“Hamba, Tuanku. Kepandaian
manusia yang sangat picik.”
Kanjeng Sultan terdiam
sejenak. Dipandanginya cahaya matahari yang serasa membakar longkangan di depan
bangsal, dari sela-sela pintu yang sedikit renggang. Di luar beberapa orang
prajurit pengawal berjalan hilir-mudik dengan memandi tombak di bahunya.
“Ternyata Kakang Pemanahan
pergi lebih dahulu dari padaku.”
Ki Juru mengangkat wajahnya.
Lalu, “Kanjeng Sultan. Itu adalah wajar sekali. Agaknya usia Adi Pemanahan pun
terpaut meskipun hanya sedikit dari Kanjeng Sultan.”
“Tetapi ia masih lebih muda
dari Kakang Juru Martani.”
Ki Juru tidak menyahut.
Kanjeng Sultan pun kemudian
terdiam pula sesaat. Direnunginya hubungannya dengan Ki Gede Pemanahan sejak
puluhan tahun yaug lampau, pada saat mereka bertiga bersama Ki Penjawi
menyusuri lembah dan lereng-lereng pebukitan. Pada saat mereka bertiga menuntut
ilmu. Dan terngiang sebuah pesan dari seorang yang seakan-akan melihat masa
depan mereka, “Jangan terpisah-pisahkan.”
Kanjeng Sultan menarik nafas
dalam-dalam. Ki Gede Pemanahan seolah-olah adalah saudaranya sendiri. Ketika Ki
Gede Pemanahan meninggalkan Pajang karena ia terlambat memberikan Tanah
Mataram, maka hatinya menjadi sangat sedih.
“Kenapa Kakang Pemanahan
sampai hati melepaskan kedudukannya dan meninggalkan Pajang? Apakah ia sudah
lupa sama sekali akan pesan yang pernah kami dengar bertiga dari seorang yang
seolah-olah mengetahui apa yang akan terjadi?”
Ketika itu, Kanjeng Sultan
yang masih muda, yang masih bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka
Tingkir, pergi berguru bertiga dengan Pemanahan dan Penjawi. Mas Karebet yang baru
pertama kali menghadap seorang yang memiliki ketajaman penglihatan itu, duduk
agak jauh di belakang Pemanahan dan Penjawi. Tetapi orang yang memiliki
ketajaman penglihatan itu melambaikan tangannya dan memanggilnya, “Karebet,
kemarilah. Duduklah di paling depan, karena engkaulah kelak yang akan memimpin
di antara kalian bertiga. Tetapi aku harap bahwa kalian bertiga akan tetap
merupakan satu kesatuan. Jangan terpisah-pisahkan lagi.”
Ternyata kemudian bahwa Mas
Karebet-lah yang paling berhasil di antara mereka bertiga. Ketika ketiganya
merasa telah cukup berguru, maka mereka bertiga ingin mendapatkan pengalaman
masing-masing. Meskipun mereka untuk sementara akan berpisah, tetapi mereka
berjanji, bahwa kelak mereka akan bersatu dan tidak akan terpisah-pisahkan lagi
setelah mereka memiliki pengalaman sebanyak-banyaknya sebagai bekal hidup
mereka. Dalam pada itu Mas Karebet masih sempat tinggal di padepokan Karang
Tumaritis, menjadi seorang Putut pada Panembahan yang menyebut dirinya
Panembahan Ismaya. Kemudian lewat Banyu Biru dan kembali ke istana sebagai
menantu Kanjeng Sultan Trenggana.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang
pernah disebut Mas Karebet itu menundukkan kepalanya. Ia masih saja dikuasai
oleh ingatannya. Sekilas terbayang sikap Ki Gede Pemanahan yang keras dan
meninggalkannya sendiri, setelah Ki Penjawi berada di Pati.
“Kenapa Kakang Pemanahan
mempunyai tuntutan sekeras itu. Apakah ia sudah tidak percaya lagi kepadaku,
dan melupakan pesan bahwa kami tidak akan berpisah lagi?” Namun kemudian
Kanjeng Sultan itu mengusap dadanya sendiri dan berkata pula di dalam hatinya,
“Akulah yang bersalah. Kakang Penjawi yang seharusnya juga tidak terpisahkan
itu sudah aku beri hadiah Tanah Pati yang sudah terbuka.”
Kepala Kanjeng Sultan
Hadiwijaya menjadi semakin tunduk dan ia masih berkata kepada dirinya sendiri
di dalam hati, “Akulah yang khilaf. Kenapa aku berbuat seperti itu? Aku merasa
bahwa kelak Sutawijaya-lah yang akan menerima hadiah terbesar sehingga Ki Gede
Pemanahan tidak memerlukannya lagi. Tetapi tanggapan Kakang Pemanahan agaknya
berbeda, dan aku adalah raja yang tidak menepati janjinya.”
Dan kini akibatnya, ia
seakan-akan telah terpisah dari Ki Gede Pemanahan dan terlebih-lebih lagi
dengan anak angkatnya yang sangat dikasihinya.
“Hati Sutawijaya agaknya
sekeras hati ayahandanya,” berkata Kanjeng Sultan Hadiwijaya di dalam hatinya.
Kembali angan-angannya
menerawang ke masa silam. Ketika Raden Sutawijaya akan lahir terjadilah sesuatu
yang aneh. Bayi itu tidak segera lahir, sehingga ibunya mengalami penderitaan
yang lama.
Kanjeng Sultan menarik nafas
dalam-dalam sekali lagi. Dipandanginya wajah Ki Juru yang tertunduk.
“Orang itu pula yang memanggil
aku,” berkata Kanjeng Sultan di dalam hatinya sambil memandang Ki Juru Martani.
Sebenarnyalah bahwa Ki Juru
Martani telah memanggil Kanjeng Adipati saat itu. Dan sebenarnyalah setelah
Adipati Pajang itu datang, Raden Sutawijaya pun segera lahir. Ternyata bahwa
kedatangan Hadiwijaya memberikan pengaruh atas kelahiran anak itu, karena
restunya.
Karena itulah, maka Raden
Sutawijaya pun pada saat itu juga dinyatakan menjadi anak angkatnya yang
dipersamakan dengan anak-anaknya sendiri.
Dalam pada itu, Ki Juru
Martani pun menjadi tegang. Ia mengerti, bahwa hati Kanjeng Sultan pasti
tergores karena kematian Ki Gede Pemanahan. Karena itu, ia tidak berani
mengganggu angan-angan yang agaknya sedang mencengkam Kanjeng Sultan
Hadiwijaya.
Baru sesaat kemudian terdengar
Kanjeng Sultan berbicara dengan suara parau, “Kakang Juru Martani. Jika itu
sudah menjadi garis hidup Kakang Pemanahan, maka apa yang dapat kita lakukan.
Tetapi aku merasa menyesal bahwa Kakang Pemanahan meninggalkan aku dengan kesan
yang kurang baik.”
“Maksud Kanjeng Sultan?”
“Ketika Kakang Pemanahan
datang kemari, maka di jalan kembali ke Mataram ia mengalami cidera. Langsung
atau tidak langsung, hal itu tentu berpengaruh pula atas badannya. Kemudian
yang lebih besar dari itu, ia belum berhasil melihat Mataram berkembang dengan
baik. Bukankah dengan demikian kesan yang buruk terhadap diriku masih belum
terhapus.”
“Ah tidak, Tuanku. Adi
Pemanahan telah melupakan semuanya. Bahkan Adi Pemanahan merasa menyesal bahwa
ia dengan tergesa-gesa meninggalkan Pajang sekedar menuruti perasaannya yang
sedang bergejolak tidak terkendalikan. Apalagi ketika kemudian Sutawijaya
berkeras hati untuk tidak mau datang menghadap Tuanku sebelum Mataram menjadi
sebuah negeri. Bukan karena Sutawijaya tidak tahu diri akan kasih Tuanku.
Tetapi gejolak darah mudanya benar-benar merasa terhina karena para senapati
telah menyangkal tekadnya untuk menjadikan Mataram sebuah negeri.”
Kanjeng Sultan Hadiwijaya
mengangguk-angguk. Tetapi bagaimana pun juga ada sepercik penyesalan yang tidak
dapat disingkirkan dari hatinya. Ia merasa bahwa Ki Gede Pemanahan pernah di
dalam suatu saat di dalam hidupnya merasa hatinya dilukainya. Dan hal itu
ternyata pada sikap Ki Gede yang dengan serta-merta meninggalkan Pajang.
Tetapi yang terjadi itu adalah
suatu kenyataan. Kanjeng Sultan tidak dapat berbuat lain dari mengakui
kenyataan yang sudah berlaku. Ki Gede Pemanahan telah meninggalkan Mataram dan
semua yang dikasihinya.
Meskipun demikian, namun
Kanjeng Sultan akhirnya berkata, “Aku merasa sangat kehilangan dengan perginya
Kakang Pemanahan, Kakang Juru. Tetapi karena tugas-tugasku yang tidak dapat aku
tinggalkan, maka aku tidak dapat melihat saat-saat terakhir dari Kakang
Pemanahan. Tetapi percayalah bahwa sebenarnyalah aku merasa prihatin atas
kepergiannya, dan atas Sutawijaya yang ditinggalkannya. Demikian juga atas
saudara-saudara Sutawijaya.” Kanjeng Sultan berhenti sejenak, lalu, “Apakah
adik-adik Sutawijaya ada di Mataram?”
“Kebetulan sekali mereka tidak
ada di Mataram Kanjeng Sultan karena mereka berada di Sela dan di Pajang.
Tetapi seorang utusan telah menyampaikan kabar ini kepada mereka.”
“Baru sekarang?”
“Kami hampir-hampir tidak
percaya bahwa Adi Pemanahan benar-benar akan meninggalkan kita semuanya,
sehingga kami terlambat memanggil keluarganya yang lain. Namun agaknya Ki Gede
Pemanahan sendiri tidak berusaha untuk bertemu dengan mereka di saat terakhir.
Mungkin ia tidak akan sampai hati melihat mereka bersedih hati menjelang saat
terakhirnya.”
Kanjeng Sultan
mengangguk-angguk. Katanya, “Bukan hanya Ki Gede Pemanahan sajalah yang berbuat
demikian. Bahkan ada di antara mereka, yang merasa hampir sampai saatnya
meninggal, keluarga yang ada di dekatnya dimintanya untuk meninggalkannya
pergi, agar jalan yang akan dilaluinya menjadi lapang, tanpa sentuhan sama
sekali.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk.
“Nah, Kakang Juru Martani,” berkata
Kanjeng Sultan, “sebaiknya Kakang beristirahat barang sejenak. Aku akan
mempersiapkan apa saja yang dapat Kakang bawa ke Mataram.”
“Ampun, Tuanku. Hamba akan
segera kembali ke Mataram. Di sana tidak ada orang tua yang cukup berpengaruh
bagi Sutawijaya.”
Kanjeng Sultan merenung
sejenak, lalu, “Baiklah, jika demikian, aku akan memerintahkan seseorang
membawamu dan memberikan sesuatu kepadamu untuk jenazah Kakang Pemanahan.”
Demikianlah maka Ki Juru
Martani pun kemudian menyembah sambil mohon diri untuk meninggalkan ruang itu
dan selanjutnya kembali ke Mataram.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya
tidak sempat bertanya siapakah kawan Ki Juru Martani itu. Ia menyangka bahwa ia
adalah seorang di antara para pemimpin Tanah Mataram.
Ketika Ki Juru Martani
kemudian meninggalkannya, maka diperintahkannya seseorang untuk ikut bersama Ki
Juru dan memberikan seperti yang dipesankannya.
“Bawalah songsong yang memang
sudah aku siapkan untuk waktu yang agak lama itu ke Mataram,” berkata Kanjeng
Sultan itu kepada Ki Juru Martani sesaat Ki Juru akan pergi, “dan berikanlah
kepada Sutawijaya. Aku memberikan wisuda kepadanya untuk menjadi senapati di
Mataram yang baru dibukanya itu.”
Dada Ki Juru menjadi
berdebar-debar. Raden Sutawijaya telah dengan resmi diangkat oleh Kanjeng Sultan
di Pajang menjadi Senapati Ing Ngalaga. Dan lebih dari itu, telah di serahkan
pula sebuah songsong yang berwarna kuning.
“Songsong kebesaran seorang
yang memiliki kedudukan tertinggi,” berkata Ki Juru di dalam hatinya. Tetapi ia
tidak dapat lagi bertanya.
Diterimanya songsong itu dari
seorang abdi yang mendapat perintah untuk mengambilkan dan menyerahkan kepada
Ki Juru Martani. Sudah barang tentu abdi itu tidak tahu sama sekali apakah
maksud Kanjeng Sultan dengan menyerahkan songsong tersebut kepada Raden
Sutawijaya.
“Apakah kau tidak keliru?”
hanya itu yang dapat ditanyakan kepada abdi itu.
“Tidak, Ki Juru. Songsong
inilah yang dimaksudkan. Aku tahu pasti, karena akulah yang menjaganya,
membersihkannya dan memasang dan membuka selongsongnya setiap kali.”
Ki Juru Martani menarik nafas.
Katanya, “Terima kasih. Jika kau yakin bahwa kau tidak keliru, maka baiklah aku
menerimanya.”
Kemudian setelah ditutup
dengan selongsong berwarna putih. maka Ki Juru Martani pun segera membawa
payung itu ke luar istana.
Seperti pada saat Ki Gede
Pemanahan datang menghadap, maka kehadiran Ki Juru pun sangat menarik
perhatian. Beberapa orang kemudian mendapatkannya dan bertanya, kenapa dengan
tergesa-gesa ia pergi menghadap Kanjeng Sultan. Karena Ki Juru sudah mengatakannya
kepada Kanjeng Sultan, maka ia tidak berkeberatan untuk mengatakan kepada
orang-orang itu, bahwa Ki Gede Pemanahan telah meninggal dunia.
Berita itu memang mengejutkan.
Ki Gede Pemanahan memang belum terlampau tua. Bahkan agak lebih muda dari Ki
Juru Martani dan hanya sedikit lebih tua dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya
sendiri.
Namun di antara mereka ada
pula yang menerima berita itu dengan hati yang lega. Seolah-olah usahanyalah
yang telah berhasil menyingkirkan Ki Gede Pemanahan dari Mataram.
Dengan demikian maka berita
tentang wafatnya Ki Gede Pemanahan itu pun segera tersebar. Baik yang menyesali
mau pun yang memang mengharapkannya, segera memperbincangkannya.
Namun dalam pada itu,
sekelompok senapati dengan sungguh-sungguh telah menilai wafatnya Ki Gede
Pemanahan itu dari segala segi.
“Agaknya Ki Juru Martani akan
menggantikan kedudukan Ki Gede Pemanahan di Mataram. Meskipun ia tidak akan
dapat memegang pimpinan sebagaimana dengan Ki Gede Pemanahan sendiri, namun ia
dengan cerdik dapat mengendalikan Raden Sutawijaya,” berkata salah seorang di
antara mereka.
“Sebenarnyalah bahwa Ki Juru
Martani adalah orang yang sangat berbahaya. Ia seorang bijaksana, tetapi
kadang-kadang ia menjadi agak licik. Bagiku Ki Juru Martani jauh lebih
berbahaya dari Ki Gede Pemanahan. Meskipun barangkali di dalam olah kanuragan,
Ki Juru Martani sendiri tidak melampaui Ki Gede Pemanahan, namun akalnya tidak
ada habis-habisnya. Ialah yang dahulu mengatur siasat untuk menjebak Arya
Penangsang dari Jipang, sehingga Arya Penangsang yang tidak terkalahkan itu
mati oleh goresan kerisnya sendiri pada ususnya,” sahut yang lain.
“Kini ia menghadap Kanjeng
Sultan,” berkata yang lain lagi, “dan ia membawa sebuah songsong di dalam
selongsong putih. Tidak seorang pun yang tahu payung di dalam selongsong itu
berwarna apa. Tetapi itu pertanda kehormatan yang besar bagi Raden Sutawijaya.
Meskipun seandainya payung itu berwarna hijau sekali pun tanpa geleng kuning.”
Para Senapati itu
mengangguk-angguk. Mereka memang melihat pertanda, bahwa Kanjeng Sultan agaknya
sama sekali tidak berusaha menghambat perkembangan Mataram, meskipun jelas bagi
Kanjeng Sultan bahwa Sutawijaya sama sekali tidak mau menghadap ke Pajang.
Tetapi lebih daripada itu,
puncak dari segala niat untuk menghentikan kegiatan Raden Sutawijaya adalah
pamrih yang lebih besar lagi.
“Pajang memang sudah tidak
dapat diharapkan lagi,” berkata seorang senapati di dalam hatinya, “tetapi
merebut kedudukan Hadiwijaya tidak akan berarti tanpa melenyapkan Sutawijaya
terlebih dahulu.”
Dan alasan itulah sebenarnya,
maka seorang senapati yang memiliki kemampuan olah kanuragan, tetapi juga
kemampuan berpikir yang cerdas, telah berhasil membuat jarak yang nampak
semakin jauh antara Pajang dan Mataram. Meskipun ia belum berhasil membenturkan
dengan langsung Pajang dan Mataram.
Tetapi senapati itu berhasil
mendapat dukungan dari beberapa orang kawannya dengan alasan yang lain. Hanya
satu dua orang sajalah yang telah bersepakat untuk menjatuhkan Sultan
Hadiwijaya sebagai alasan yang sesungguhnya. Sedang yang disebarkannya adalah
perasaan benci kepada Raden Sutawijaya seolah-olah Raden Sutawijaya telah
bersiap untuk memberontak melawan Pajang.
Jika ia berhasil menghasut
Pajang untuk melenyapkan Mataram selagi Mataram belum terlalu kuat, maka
kemudian tinggallah merebut kedudukan Pajang dari tangan Sultan Hadiwijaya yang
rasa-rasanya menjadi semakin lemah. Ia dapat menghasut rakyat dan para prajurit
kemudian para adipati di pesisir dan Bang Wetan.
Pangeran Benawa, putra Sultan
Pajang, agaknya memang seorang yang lemah hati. Meskipun agaknya kemampuan ilmu
ayahandanya sebagian temurun juga kepadanya, tetapi rasa-rasanya Pangeran
Benawa bukannya seorang yang kuat untuk memegang pemerintahan. Bahkan
seakan-akan Pangeran Benawa sendiri sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk
mewarisi kedudukan ayahandanya. Ia lebih senang menyelusuri kedamaian hati di
pegunungan dan padepokan-padepokan kecil. Bukan untuk berguru dan mendapatkan
ilmu yang berlebihan agar ia kelak menjadi seorang yang pilih tanding. Tetapi
benar-benar untuk menikmati ketenteraman dan menjauhi kesibukan yang tiada
henti-hentinya.
“Tetapi Sutawijaya harus
dilenyapkan dahulu,” berkata senapati itu.
“Bagaimana jika kami langsung
menghancurkan Mataram,” bertanya seorang kawannya yang dipercayainya.
“Justru kita akan berhadapan
dengan Sultan Hadiwijaya.”
Senapati-senapati itu berdiam.
Mereka masih selalu melangkah dengan sangat hati-hati karena setiap kekeliruan
akan membawa mereka ke tiang gantungan.
Karena itu, mereka masih harus
tetap merahasiakan diri. Meskipun orang-orang yang di bawah pengaruhnya sudah
bertindak jauh, bahkan Daksina telah terbunuh di sarang Panembahan Agung, namun
tidak seorang pun di antara mereka yang diumpankan itu tahu dengan pasti,
siapakah sebenarnya yang berada di ujung segala macam rencana itu.
Hantu-hantuan di Alas Mentaok, penjahat yang mengganggu lalu lintas, usaha
membunuh orang-orang Mataram di Jati Anom dengan cara yang sebaliknya membunuh
senapati-senapati Pajang sendiri, dan usaha-usaha lain yang sudah terlampau
banyak dilakukan, dan yang terakhir adalah kerja sama dengan Panembahan Agung.
Kerja sama yang sebenarnya mengandung bahaya yang cukup besar bagi para
senapati itu sendiri, karena Panembahan Agung adalah seorang yang pilih tanding
dan mempunyai pengaruh serta kekuatan yang cukup. Tetapi Senapati yang
menggerakkan semuanya itu, dan yang seakan-akan tidak dikenal oleh orang lain,
adalah seorang yang merasa dirinya dapat mengimbangi kemampuan Panembahan
Agung.
Dan kini, selagi usaha mereka
belum ada tanda-tandanya dapat berhasil, bahkan kegagalan mereka membunuh Ki
Gede Pemanahan, maka mereka mendengar berita itu. Ki Gede Pemanahan telah
wafat.
Dengan demikian, maka beberapa
orang yang pernah ikut merencanakan pembunuhan atas Ki Gede Pemanahan di
pinggir Kali Opak, merasa berbangga. Mereka menganggap bahwa wafat Ki Gede
disebabkan oleh luka yang dideritanya dalam pencegatan itu dan tidak berhasil
lagi disembuhkan.
Tetapi orang-orang yang
berbangga karena mereka telah menghubungi orang-orang yang berhasil melukai Ki
Gede Pemanahan itu tidak dapat mengetahui, kepada siapa mereka harus berbangga,
karena mereka tidak mengetahui dengan pasti, siapakah sebenarnya yang telah
menggerakkan mereka. Namun orang-orang yang menghubungi mereka adalah orang-orang
yang memberikan janji dan harapan, bahwa jika terjadi perubahan, apalagi
apabila usaha Ki Gede di Mataram gagal, mereka akan mendapat kedudukan yang
sangat baik. Apalagi sebelum harapan itu dapat mereka hayati, mereka sudah
lebih dahulu menerima hadiah-hadiah berharga dari orang yang tidak mereka
ketahui dengan pasti.
Dalam pada itu, berita tentang
kehadiran Ki Juru Martani di Pajang, dan yang kemudian keluar dari istana
justru membawa sebuah payung berselongsong putih, telah terdengar oleh sepasang
telinga seorang yang merasa sangat berkepentingan.
Karena itulah, maka orang itu
pun segera memanggil pembantu-pembantunya yang paling dapat dipercaya untuk
berbicara mengenai Ki Juru Martani.
“Aku memerlukan suatu tindakan
yang cepat,” berkata senapati yang selalu dibayangi oleh penyamaran di hadapan
anak buahnya kecuali orang-orang yang paling dekat, yang jumlahnya tidak lebih
dari tiga orang.
“Apakah yang Kakang
kehendaki?” bertanya salah seorang senapati pengikutnya.
Senapati yang memimpin usaha
menggagalkan berdirinya Mataram itu merenung sejenak. Wajahnya yang keras dan
matanya yang dalam, seakan-akan tersembunyi di sela-sela keningnya itu menjadi
tegang.
“Sepeninggal Pemanahan,
agaknya Juru Martani akan mengambil alih pimpinan.”
“Tentu tidak,” jawab yang
lain, “ia hanya dapat menjadi penasehat Sutawijaya karena ia tidak mempunyai
hak apa pun atas Mataram.”
“Tidak ada bedanya. Sutawijaya
akan tunduk atas segala petunjuk dan nasehat-nasehatnya. Dan Juru Martani
adalah orang yang licik. Ia mempunyai banyak akal.”
“Kami memang sudah
membicarakannya,” desis seorang senapati, “dan hampir setiap orang menilai
demikian.”
“Karena itu, Ki Juru Martani
tidak boleh dibiarkan kembali ke Mataram dengan songsong yang didapatkannya
dari Kanjeng Sultan itu.”
“Kita akan mencegatnya seperti
Ki Gede Pemanahan?”
“Ya. Usahakan bahwa Ki Juru
dan kawannya yang mengawalnya itu benar-benar mati. Kebodohan kalian di masa
kalian mencegat Ki Gede Pemanahan tidak boleh berulang. Untunglah waktu itu
tidak ada orang-orang penting yang dapat ditangkap oleh Sutawijaya maupun
Untara, sehingga dengan demikian kalian tidak perlu melakukan pembunuhan untuk
memutuskan jalur penyelidikan orang-orang Pajang dan Mataram.”
Senapati yang lain
mengangguk-angguk.
“Nah, sekarang lakukanlah.
Tetapi ingat, jika terpaksa kalian gagal dan ada di antara orang-orang penting
yang tertangkap, kalian harus bertindak cepat. Kalian harus membunuh senapati
penghubung itu, agar tidak ada seorang pun yang dapat menarik garis sampai
kepada kita di sini.”
“Baik, Kakang Panji,” jawab
Senapati yang lain hampir bersamaan.
“Tidak ada orang yang mengenal
aku kecuali kalian. Itu harus kau sadari. Salah seorang dari kita memang dapat
dipercaya. Maksudku, salah seorang dari kita akan memilih mati daripada membuka
rahasia. Tetapi kita tidak dapat beranggapan demikian terhadap
senapati-senapati yang lain. Jika mereka tertangkap maka mereka tentu akan
berbicara. Mereka akan menganggap lebih baik menyebut salah seorang dari kita
yang menghubunginya daripada harus mengalami hukuman yang paling berat.”
Senapati yang lain
mengangguk-angguk.
“Nah, berbuatlah dengan cepat.
Ki Juru Martani tentu akan segera meninggalkan Pajang, karena ia masih harus
menyelenggarakan pemakaman Ki Gede Pemanahan.” Senapati yang disebut sebagai
pemimpin mereka itu terdiam sejenak, lalu, “Ingat, jika terjadi kesalahan,
bunuhlah jalur perantara itu. Dengan demikian kita akan tetap tidak dikenal.”
Demikianlah maka para senapati
itu segera bertindak. Mereka tidak mau terlambat. Segera mereka menghubungi
kawan-kawan mereka. Juga beberapa orang perwira. Tetapi merekalah yang disebut
jalur-jalur yang harus segera diputuskan apabila usaha mereka gagal. Dan
senapati yang langsung berhubungan dengan orang yang mereka sebut Kakang Panji
itulah yang harus mengakhiri hidup mereka.
Senapati-senapati itu merasa
beruntung bahwa mereka belum terlambat. Ki Juru Martani dan seorang pengawalnya
masih berada di Pajang. Mereka masih berbicara dengan beberapa orang
sahabat-sahabatnya terdekat sebelum mereka kembali ke Mataram.
“Kita pergi bersama,” berkata
seorang perwira yang akan pergi ke Mataram untuk memberikan penghormatan yang
terakhir kepada Ki Gede Pemanahan.
“Tentu kami akan sangat
berterima kasih atas kehadiran kalian. Tetapi maaf, kami akan pergi lebih
dahulu, masih banyak yang harus dikerjakan.”
Sahabat-sahabatnya dapat
mengerti kesibukan Ki Juru Martani sehingga mereka pun kemudian berkata,
“Baiklah, Ki Juru. Kami akan segera menyusul.”
Kesediaan beberapa orang
pemimpin Pajang untuk menghadiri pemakaman Ki Gede Pemanahan membuat hati Ki
Juru menjadi sejuk. Tetapi mereka tentu memerlukan waktu untuk mempersiapkan
diri, sedang Ki Juru Martani tidak dapat menunggu mereka karena masih banyak
yang harus dikerjakan, sehingga dengan demikian maka mereka pun tidak dapat
pergi bersama.
“Ki Juru,” berkata seorang
senapati, “hati-hatilah di perjalanan. Rasa-rasanya aku teringat perjalanan Ki
Gede Pemanahan beberapa saat yang lampau. Meskipun barangkali Ki Juru bukan
orang yang dianggap menjadi ujung dari usaha untuk membuka Alas Mentaok, tetapi
rasa-rasanya perjalanan Ki Juru juga merupakan perjalanan yang berbahaya.
Apalagi Ki Juru hanya membawa seorang pengawal.”
Ki Juru tersenyum. Sambil
berpaling kepada Ki Waskita, ia berkata, “Apalagi pengawalku bukan pengawal
yang mumpuni dalam olah keprajuritan. Tetapi aku memang tidak mempunyai niat
untuk berkelahi dengan siapa pun.”
“Itu pulalah sebabnya Ki Gede
beberapa waktu yang lalu tidak membawa pengawal. Ia pun sama sekali tidak
berniat untuk berkelahi. Tetapi adalah haknya untuk mempertahankan diri dari
usaha pembunuhan orang lain.”
“Aku tidak sepenting Ki Gede
Pemanahan.”
Senapati itu
mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berdesis, “Kenapa Ki Juru tidak mau
menunda barang sedikit dan kemudian kita bersama-sama pergi ke Mataram?”
“Maaf,” Ki Juru menjawab,
“sekali lagi aku mengucapkan diperbanyak terima kasih. Aku harus segera berada
di antara keluarga Ki Gede yang tentu sudah dijemput pula dari Sela.”
Para pemimpin Pajang itu tidak
dapat menahan Ki Juru lagi. Karena itu maka dilepaskannya Ki Juru yang kemudian
mendahului. Namun demikian Ki Juru masih sempat singgah barang sekejap untuk
memberitahukan wafatnya Ki Gede Pemanahan kepada putri dan menantunya yang
tidak dapat menunggui saat Ki Gede Pemanahan sedang sakit.
Tetapi Ki Juru pun tidak dapat
pergi bersama mereka, karena mereka pun harus berbenah dahulu. Sehingga dengan
demikian Ki Juru pun kemudian kembali ke Mataram hanya berdua saja dengan Ki
Waskita.
“Kita harus segera sampai di
Mataram, Ki Waskita,” berkata Ki Juru sambil berpacu. “Agaknya semua orang
menanti kita dengan gelisah.”
“Ya, Ki Juru. Mungkin mereka
juga mencemaskan nasib kita di perjalanan.”
Ki Juru tersenyum. Katanya,
“Bukankah aku sudah membawa seorang pengawal. Aku sudah mengatakan kepada para
pemimpin di Pajang seperti yang Ki Waskita kehendaki. Sekedar seorang pengawal.
Tidak lebih dan tidak kurang.”
Ki Waskita pun tersenyum
sambil menjawab, “Terima kasih. Ternyata Ki Juru telah memenuhi pernintaanku.”
Keduanya tertawa. Namun dalam
pada itu keduanya berpacu semakin cepat.
Tetapi dalam pada itu,
ternyata orang-orang yang mendapat tugas dari orang yang disebut Kakang Panji
oleh senapati-senapati kepercayaannya itu pun dapat bekerja dengan cepat pula.
Mereka tidak lagi sempat menghubungi orang-orang lain yang dipercaya untuk
memotong perjalanan Ki Juru Martani, namun mereka telah menunjuk beberapa orang
untuk melaksanakan tugas itu langsung.
“Ki Legawa,” berkata seorang
senapati kepercayaan orang yang menghendaki kematian Ki Juru itu, “perintahkan
kepada sepuluh orang pengikutmu. Hati-hati. Ki Juru adalah orang yang tidak
kalah saktinya dari Ki Gede pemanahan. Dan hati-hati pula jika ia mulai
berbicara. Karena itu, jangan beri kesempatan kepadanya untuk mengatakan apa
saja yang dapat membuat hati orang-orangmu menjadi luluh.”
Ki Legawa mengerutkan
keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah sepuluh orang itu sudah cukup?
Bukankah ia membawa seorang pengawal?”
“Dua orang itu agaknya membuat
kau ragu-ragu. Baiklah. Bawalah lima belas orang. Cepat. Kalian dapat memilih
tempat sebaik-baiknya. Di tengah bulak atau di pinggir kali. Tidak usah terlalu
jauh dari batas kota, agar kau tidak terlambat. Kalau kau yakin usahamu
berhasil, kau tidak usah memerintahkan orang-orangmu memakai penyamaran apa
pun. Tetapi ingat, kau sendiri tidak perlu ikut di dalamnya, karena kau sudah
terlalu banyak dikenal. Jika ada orang di sawah yang melihatmu, maka
persoalannya akan menjadi sangat gawat.”
Ki Legawa mengetahui dengan
pasti maksud perintah itu. Karena itu, maka ia pun segera pergi. Ia tidak perlu
mencari orang ke mana-mana, karena memang tidak ada waktu lagi. Karena itu
diperintahkannya saja lima belas orang untuk melakukan tugas itu.
“Jangan pergi bersama-sama.”
Demikianlah maka lima belas orang
itu pun segera pergi keluar kota dalam kelompok-kelompok kecil agar tidak
menumbuhkan kecurigaan. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian
keprajuritan mereka, meskipun mereka tidak perlu memakai penyamaran wajah,
karena mereka yakin bahwa Ki Juru dan pengawalnya itu akan binasa.
“Ingat peristiwa yang terjadi
saat kita berusaha membunuh Ki Gede Pemanahan. Meskipun akhirnya ia mati
terbunuh juga, tetapi jika saat itu ada orang-orang penting yang tertangkap,
maka persoalannya akan dapat diungkap. Dan kita tidak akan dapat berusaha untuk
berbuat apa-apa lagi.”
Mereka yang ditugaskan untuk
melakukan pekerjaan itu pun menyadari sepenuhnya, bahwa yang mereka lakukan
adalah suatu tindakan yang sangat gawat. Tetapi mereka menyadari bahwa tindakan
mereka adalah dalam rangka menggagalkan usaha untuk mendirikan Mataram sebagai
tandingan Pajang.
Demikianlah sekelompok
prajurit pengikut Ki Legawa telah mulai bertindak. Mereka merasa bahwa yang
mereka lakukan adalah semata-mata karena kesetiaan mereka terhadap Pajang.
Tetapi mereka pun sadar, bahwa yang mereka lakukan itu bukan atas perintah
Panglima Pasukan Wira Tamtama.
“Pimpinan prajurit Pajang
terlampau lemah menghadapi Mataram, seperti juga Kanjeng Sultan sendiri,”
berkata seorang senapati kepada mereka pada suatu saat. “Karena itu, maka kita
harus menunjukkan pengabdian kita. Tidak usah menunggu perintah. Kita harus
menggagalkan berdirinya Mataram. Karena kita sadar, jika Mataram menjadi besar
maka Pajang akan menjadi semakin kecil. Dan kita akan kehilangan segala-galanya.
Karena itu, berjuanglah untuk kebesaran Pajang. Ada beberapa orang hartawan
yang menyediakan dana bagi kita, sehingga kita akan mendapatkan imbalan atas
kesetiaan kita terhadap Pajang saat ini juga.”
Para prajurit itu tidak
menaruh keberatan apa pun. Mereka memang ingin Pajang tetap besar sehingga
kedudukan mereka tidak akan goyah. Selain itu mereka pun langsung menerima upah
khusus jika mereka melakukan tugas-tugas khusus seperti itu.
Kelompok-kelompok kecil itu
pun kemudian memintas lewat pematang-pematang dan tanggul-tanggul parit
langsung ke tengah bulak panjang. Di sebuah tikungan yang masih dibayangi oleh
gerumbul-gerumbul liar mereka menunggu. Sekelompok-sekelompok kecil mereka
datang berkumpul, siap melakukan tugas itu.
Ki Juru Martani yang merasa
tugasnya sudah selesai memacu kudanya semakin cepat. Ia ingin segera sampai di
Mataram dan mempersiapkan lebih jauh lagi pemakaman Ki Gede Pemanahan besok.
Tetapi selagi kudanya berpacu
di bulak panjang, maka Ki Juru Martani itu memperlambat lari kudanya ketika ia
mendengar Ki Waskita berkata, “Ki Juru. Rasa-rasanya ada sesuatu di hadapan
kita.”
“Apakah Ki Waskita melihat
sesuatu?”
“Belum Ki Juru. Tetapi aku
merasakan isyarat meskipun terlampau lemah. Apakah Ki Juru bersedia berhenti
sejenak?”
Mereka berdua pun segera
berhenti. Dengan ketajaman penglihatan mata hatinya, maka Ki Waskita mencoba
untuk melihat sesuatu di depannya pada jarak yang terlampau pendek.
“Memang ada sesuatu, Ki Juru,”
berkata Ki Waskita.
“Apa?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi
tentu rintangan yang harus di atasi.”
Ki Juru menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Apakah dalam keadaan seperti ini ada juga orang yang
sampai hati mengganggu perjalanan kita?”