Tenaga Agung Sedayu, Swandaru,
Hudaya, Sonya dan Patra Cilik yang terlepas dari ikatan kelompok itu
benar-benar menguntungkan. Dengan lincahnya mereka segera menempatkan diri
mereka masing-masing. Meskipun kelompok yang diperintahkannya belum dapat segera
mengikutinya, namun mereka telah mulai dengan tekanan mereka pada sisi induk
pasukan.
Karena pasukan Jipang bergerak
maju, maka terbukalah sisi dari induk pasukan Jipang itu, sehingga kemudian
Hudaya dan Sonya beserta kelompoknya akan merupakan sayap-sayap kecil pada
induk pasukannya.
Tohpati melihat perubahan di
dalam tata pertempuran pasukan Pajang. Ia melihat bagaimana Untara berusaha
menyempurnakan gelar Garuda Nglayang itu menjadi gelar yang lebih berbahaya
bagi gelar Dirada Meta. Karena itu, maka Tohpati tidak membiarkan Untara
mendapat kesempatan untuk mengatur orang-orangnya. Dengan tangkasnya ia
meloncat mengejar Untara yang sedanq menarik diri ke dalam laskarnya.
Melihat Tohpati memburunya,
Untara menggeram marah. Ternyata senapati Jipang itu benar-benar berbahaya
baginya dan bagi pasukannya. Terpaksa ia segera menyambut Macan Kepatihan yang
seakan-akan menerkamnya. Tongkat baja putih dengan sebuah tengkorak kecil yang
berwarna kuning itu benar-benar mengerikan. Tongkat itu terayun-ayun dengan dahsyatnya.
Setiap sambarannya selalu diikuti oleh desingan angin yang keras.
Tetapi yang diserangnya adalah
anak muda yang bernama Untara, sehingga dengan tangkasnya anak muda itu mampu
melayaninya. Dengan pedang di tangannya, Untara merupakan lawan berat bagi
Macan Kepatihan yang garang itu. Pedang Untara benar-benar seperti bermata di
ujungnya. Pedang itu bahkan seakan-akan dapat menuntun gerak tangan yang
menggenggamnya. Menusuk, menyambar dengan sengitnya.
Untunglah bahwa Hudaya
bertindak cepat. Meskipun pada mulanya Hudaya dan Agung Sedayu di satu sisi dan
di sisi yang lain Swandaru Geni. Sonya dan Patra Cilik yang menekan sisi induk
pasukan Jipang, namun segera terasa akibatnya.
Pasukan Jipang yang bergerak
maju, ternyata telah membuat jarak yang lebih panjang dengan sayap-sayap
pasukannya yang terpaksa gigih melayani Widura dan Citra Gati. Jarak itulah
yang sengaja dikehendaki oleh Untara. Pasukan hudaya dan Sonya
sebelah-menyebelah, merupakan penghubung dengan sayap-sayap gelar yang
sebenarnya.
Widura mula-mula terkejut
melihat induk pasukannya terpaksa melangkah surut. Ia merasakan pula, betapa
berat tekanan yang harus ditahan oleh induk pasukan itu. Sehingga mula-mula
dengan cemas Widura melihat induk pasukannya yang disangkanya benar-benar akan
pecah. Tetapi Widura tidak tinggal diam. Dengan pengalamannya ia segera
mengetahui kelemahan induk pasukannya. Widura pun melihat bagaimana anak-anak
Sangkal Putung hampir tak berdaya untuk derbuat sesuatu karena medan yang
sempit. Ketika ia melihat Hudaya dan Agung Sedayu meloncat dari induk pasukan,
dan kemudian membuat sayap tersendiri, Widura itu tersenyum. Ia berbangga
melihat kecerdasan Untara. Katanya di dalam hati, “Anak itu benar-benar
mempunyai kemungkinan yang baik sekali di masa depannya. Pada umurnya yang
masih semuda itu, ia mampu mengatasi kesulitan dengan tiba-tiba.”
Tetapi Widura tidak hanya
sekedar melihat, tersenyum dan berbangga. Ia harus membantu gerakan Untara.
Karena itu, ia segera mencoba memperluas gerakannya. Ia sendiri sempat mengatur
sayapnya sedemikian hingga ujung sayapnya di bagian dalam segera dapat
menghubungkan diri dengan pecahan induk pasukan yang dipimpin oleh Hudaya dan
Agung Sedayu.
Tohpati mengumpat-umpat di
dalam hati. Kerja sama antara Untara dan Widura ternyata sedemikian baiknya
sehingga sisi kiri dari pasukannya mengalami tekanan-tekanan yang perlu
mendapat perhatiannya.
Berbeda dengan sayap kiri itu,
maka sayap kanan gelar Garuda Nglayang dari pasukan Pajang mengalami sedikit
kesulitan. Perhitungan Untara dan Widura ternyata salah. Tohpati tidak
menempatkan Sanakeling di sayap kanannya, tetapi justru di sisi kiri, dan
Alap-alap Jalatunda di sisi kanan. Karena itulah maka Widura mendapat agak
banyak kesempatan untuk mengatur dirinya dan menyesuaikan dengan sebaik-baiknya
untuk melawan gelar Dirada Meta yang dahsyat itu.
Tetapi keadaan Citra Gati
agaknya terasa betapa beratnya. Sanakeling dengan pedang di tangan kanan dan
bindi di tangan kiri, melawan sayap kanan yang dipimpin Citra Gati dengan
kemarahan yang menyala-nyala. Sesuai dengan perhitungan Tohpati, maka
Sanakeling tidak membawa kekuatan yang besar di sisi gelar itu. Tetapi karena
mereka adalah laskar pilihan di bawah pimpinan Sanakeling sendiri, maka Citra
Gati tidak segera dapat mengatasinya. Bahkan kemudian Citra Gati sendiri
menglami kesulitan melawan Sanakeling yang kasar dan keras. Karena itu, maka
dengan terpaksa sekali Citra Gati menarik seorang yang dipercayanya untuk
membantunya melawan Sanakeling. Orang itu adalah Sendawa. Mereka berdua mencoba
sekuat tenaga mereka untuk menahan arus kemarahan Sanakeling.
Tetapi Sanakeling benar-benar
merupakan orang yang luar biasa. Keras, kasar, dan liar. Ia dapat berbuat apa
saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Dalam keadaan yang demikian
itulah maka sayap kanan tidak banyak membantu induk pasukan dalam usaha Untara
memperluas medan. Namun Sonyalah yang mencoba memperluas medan dengan
menghubungkan laskar Sangkal Putung yang dipimpinnya dengan sayap kanan itu.
Dan usaha Sonya itu justru dapat memperingan tugas-tugas di sayap kanan.
Demikan keseimbangan seluruh
pertempuran itu menjadi berat sebelah. Citra Gati terpaksa sekali-sekali
bergerak surut, sedang Widura beberapa kali berhasil mendesak maju. Dalam hal
yang demikian itu, maka gelar Garuda Nglayang yang dibuat Untara itu berkisar
ke kanan. Sedang induk pasukannya sendiri kini telah didapatkannya beberapa
perbaikan-perbaikan. Arus belalai Dirada Meta itu tidak lagi terasa sedahsyat
semula. Anak-anak muda Sangkal Putung, terutama yang berjuang di sisi induk
pasukan itu, mendapat kesempatan yang sebaik-baiknya. Mereka kini tidak lagi
berjejalan dan mereka kini tidak lagi takut menggerakkan senjata mereka agar
tidak menusuk kawan sendiri. Beberapa orang prajurit Pajang yang sengaja
ditempatkan di antara mereka, dan beberapa orang bekas prajurit Demak, meskipun
sudah agak lanjut usia, benar-benar merupakan inti kekuatan laskar Sangkal
Putung. Sedang anak-anak mudanya yang bertekad bulat untuk mempertahankan
kampung halamannya, telah berjuang dengan penuh nafsu yang menyala-nyala.
Namun bagaimanapun juga,
Untara masih juga prihatin melihat gelarnya terpaksa berkisar karena kekuatan
yang tak seimbang.
Untara melihat beberapa
kelamahan pada sayap kanannya. Di samping itu, usaha Macan Kepatihan untuk menekan
induk pasukannya masih diusahakannya terus-menerus.
Bahkan timbul pula dugaan di
dalam hatinya, “Apakah Sumangkar yang garang itu berada di sayap kiri laskar
Jipang dalam bentuk seperti seorang prajurit biasa?” Bukankah dengan demikian
berarti, korban di pihak Citra Gati akan berjatuhan tanpa hitungan. Namun
mudah-mudahan bahwa Sumangkar tidak berbuat demikian. Sebab Untara yakin, ia
seorang yang jantan.
Ketika kemudian pasukan
Sangkal Putung di bawah pimpinan Sonya, Citra Gati dan gegeduk anak-anak muda
Sangkal Putung sendiri Swandaru Geni telah berada di sisi kanan, dan berusaha
membantu sayap itu dengan melepaskan sebagian kepentingannya di sisi induk
pasukan, maka terasa pasukan Citra Gati mampu sedikit bernafas. Tetapi Citra
Gati sendiri berada dalam keadaan yang sangat sulit. Meskipun ia bertempur
berpasangan dengan Sendawa yang bertubuh raksasa, namun Sanakeling benar-benar
seperti setan. Sepasang senjatanya benar-benar mengerikan, hampir sedahsyat
tongkat baja putih Tohpati itu sendiri.
Demikianlah maka arena
pertempuran itu bertambah riuh. Suara pedang gemerincing beradu dengan perisai,
derak tombak patah dan pekik jerit kesakitan. Korban jatuh satu demi satu,
ditandai oleh darah merah yang segar memancar dari tubuh-tubuh yang terluka.
Sementara itu matahari
memanjat langit semakin lama semakin tinggi. Angin yang kencang masih saja
bertiup di antara batang-batang ilalang. Mendung di langit kini telah pecah
berserakan. Langit menjadi biru cerah. Namun di sudut-sudut cakrawala masih
tampak menggantung awan yang basah. Seperti mata gadis yang melihat kekasihnya
berjuang di medan perang.
Anak-anak muda Sangkal Putung
bukanlah prajurit-prajurit yang berpengalaman seperti prajurit Pajang dan
prajurit Jipang. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka keringat mereka
seakan-akan telah terperas habis. Mereka telah memeras tenaga mereka seperti
singa yang terluka. Namun mereka kurang memperhitungkan waktu. Berapa lama
mereka harus bertempur melawan pasukan Jipang yang tangguh itu. Belum tentu tengah
hari pertempuran itu selesai. Bahkan belum pasti sehari ini akan dapat segera
dikatahui siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Mungkin mereka harus
berjuang sehari, dua hari, bahkan mungkin lebih daripada itu dalam pertempuran
gelar yang terbuka. Tidak seperti pertempuran-pertempuran hantu-hantuan yang
pernah mereka lakukan sebelumnya.
Untara menyadari kemungkinan
itu. Dan untunglah bahwa pengalamannya telah mengatakan kepadanya, bahwa hal
itu akan terjadi. Karena itu, betapapun beratnya tekanan-tekanan pasukan
Jipang, namun Untara masih tetap menyimpan tenaga cadangan. Hanya apabila
keadaannya benar-benar parah, barulah tenaga cadangan itu harus membantu
mereka. Namun karena tenaga cadangan itupun telah dipersiapkan benar-benar,
maka Untara pun masih tenang menghadapi pasukan Jipang yang garang.
Namun semakin lama semakin
terasa, betapa tenaga anak-anak muda Sangkal Putung menjadi semakin susut.
Meskipun tekad mereka sama sekali tidak surut, tetapi tenaga mereka adalah
tenaga yang terbatas. Kemampuan mereka bertempur dan kesanggupan mereka
bertahan semakin lama menjadi semakin berkurang.
Macan Kepatihan yang cerdik
segera melihat kelemahan itu. Ia tersenyum di dalam hati. Sesaat apabila
matahari telah melampaui titik pusatnya, maka laskar Sangkal Putung benar-benar
akan kehilangan sebagian besar dari tenaganya. Dengan demikian maka melawan
mereka akan sama mudahnya dengan membinasakan kelinci sakit-sakitan.
Maka nafsunyapun menjadi
semakin menyala. Dengan sebuah teriakan yang nyaring ia mendesak maju. Namun
lawan pribadinya bukanlah anak muda Sangkal Putung yang sudah kelelahan.
Lawannya kali ini adalah Untara, yang justru ketika ia mendengar Macan
Kepatihan itu berteriak, maka ia semakin mempercepat pedangnya. Semakin lama
semakin cepat, melampaui kecepatan tongkat baja putih yang mengerikan itu.
Tetapi Untara pun menyadari,
bahwa ia sendiri akan mampu melawan musuhnya yang berbahaya itu, tetapi
bagaimana dengan anak buahnya terutama anak-anak muda Sangkal Putung? Bukan
saja Untara, tetapi prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di antara anak-anak
muda Sangkal Putung itupun ikut merasakan, seakan-akan pekerjaan mereka menjadi
semakin berat. Apalagi Hudaya, Agung Sedayu di satu sisi dan Sonya, Patra Cilik
dan Swandaru Geni sendiri di lain sisi. Di antara mereka, hanya para prajurit
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung bekas prajurit sajalah yang masih dapat
bertempur dalam tataran yang tetap. Tetapi anak-anak muda Sangkal Putung itu
sendiri telah menjadi kelelahan.
Dalam keadaan yang demikian,
Untara segera bersuit nyaring, sebagai suatu perintah sandi yang sudah
dipesankannya kepada para penghubung. Perintah itu telah mendorong dua orang
penghubung untuk meninggalkan pertempuran. Beberapa orang kawannya segera
melindunginya ketika orang-orang Jipang mencegah mereka itu.
Kedua orang itupun segera
berlari dengan sisa tenaga mereka. Tetapi mereka tidak harus berlari sampai ke
Sangkal Putung. Di tempat yang ditentukan segera membunyikan tanda yang segera
disahut oleh gardu pertama. Demikian tanda itu menjalar sehingga akhirnya
didengar oleh pasukan cadangan yang hampir kehilangan kesabaran. Mendengar
tanda itu segera mereka bersorak, dan dengan cepat mereka menempatkan diri
dalam satu barisan yang dengan tergesa-gesa berangkat ke garis pertempuran.
Sementara itu, jauh di
belakang garis pertempuran, seorang yang telah jauh melampaui pertengahan abad,
berdiri sambil menatap langit. Sekali-sekali ia berpaling, memandangi api yang
menjilat-jilat, memanasi belanga tempatnya memasak. Sekali-sekali ia menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya dua tiga kawannya yang sedang sibuk
menyiapkan makan untuk kawan-kawan mereka nanti apabila pertempuran telah
selesai.
Tetapi mereka masih terlalu
cepat untuk menyediakan makan itu. Kawan-kawan mereka baru akan datang setelah
matahari tenggelam. Namun dalam keadaan yang khusus keadaannya pasti berbeda.
Kalau kawan-kawan mereka menang, maka mereka pasti tidak akan datang ke tempat
ini, tidak akan pula tinggal di tempat ini. Mereka pasti hanya menyuruh
beberapa orang datang untuk mengambil makanan itu. Tetapi kalau mereka kalah,
mereka pasti datang lebih cepat, dengan beberapa orang yang luka-luka dan
bahkan mungkin beberapa orang akan mati karenanya. Bukan lagi suatu
kemungkinan, tetapi pasti.
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan gelisahnya ia berjalan hilir mudik di dalam hutan,
di antara gubug-gubug ilalang tempat pasukannya berkemah.
“Aneh,” desisnya. “Angger
Tohpati kali ini memang aneh.”
Orang tua itu berhenti ketika
seseorang memanggilnya. “Ki Sumangkar, bagaimana dengan daging rusa itu?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Sudah aku katakan. Pangganglah. Kemudian sediakan rusa
itu untuk Angger Tohpati.”
“Untuk Raden Tohpati seorang
diri?”
“Biarlah kalau akan habis
dimakannya” jawab Sumangkar. “Kalau tidak, biarlah beberapa orang pemimpin
membantunya, menghabiskan daging itu. Untuk anak-anak yang lain, bukankah
kalian sudah menyembelih kerbau liar?”
Orang yang bertanya itu
terdiam. Tetapi terdengar seorang lain yang bertubuh kekar berkata lantang,
“Biarlah orang tua itu mengerjakannya.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya, tetapi ia mendengar orang yang bertubuh kekar itu meneruskan, “Ayo,
kaupun harus bekerja seperti kami. Kau jangan berjalan saja mondar-mandir.”
Sumangkar memandang orang itu.
Orang yang bertubuh kekar itu. Ia melihat beberapa cacat tubuhnya. Jari-jari
tangan kirinya tidak lagi genap. Tiga di antaranya terpotong dalam pertempuran.
Sebuah goresan melintang menghias dadanya, dan di pelipisnya tampak bekas luka
pula.
“Aku bukan lagi mondar-mandir
saja Tundun. Tetapi aku lagi menanak nasi di belanga itu.”
Tundun, orang yang besar kekar
itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tetapi menanak nasi tidak terus-menerus
harus kau tunggui. Bukankah kau dapat melakukan pekerjaan yang lain sambil
menunggu nasi itu masak.”
“Ah,” desah Sumangkar.
“Biarlah kita mengerjakan pekerjaan ini di antara kita.”
“Aku mendapat tugas untuk
mengawasi dan menjaga perkemahan ini” jawabnya lantang.
Sumangkar masih berdiri di
tempatnya. Dilihatnya kemudian Tundun menghampirinya dengan mata yang
memandanginya tajam-tajam. “Ayo lakukan!” bentaknya.
“Jangan takut bahwa kami akan
terlambat,” sahut Sumangkar.
Tetapi orang itu membentak
sekali lagi. “Jangan membantah. Kalau tak kau lakukan perintahku, aku robek
mulutmu, tua bangka.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ditatapnya sekali lagi mata orang itu. Mata itu menjadi semakin
tajam memandanginya. Sumangkar tersenyum di dalam hati. Tetapi ia menundukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berjalan kembali ke tempat kawan-kawannya bekerja.
Ketika ia kemudian
membungkukkan badannya meraba tubuh rusa yang menggeletak di samping perapian,
maka terdengar kawannya yang pertama-tama bertanya kepadanya itu berbisik,
“Sudahlah. Biarlah nanti aku kerjakan.”
Sumangkar berpaling.
Dilihatnya kawannya itu. Seorang yang bertubuh kecil. Jawabnya, “Biarlah,
biarlah aku lakukan perintah Tundun itu.”
“Kau sudah terlalu tua untuk
bekerja terlalu banyak,” katanya. “Aku menyesal menanyakannya kepadamu,
sehingga Tundun membentak-bentakmu.”
Sumangkar menepuk bahu orang
yang bertubuh kecil itu. Kini ia benar-benar tersenyum. “Biarlah Bajang,
biarlah aku mengerjakannya.”
Orang bertubuh kecil dan
mendapat panggilan Bajang itu masih juga berkata, “Sudahlah Sumangkar. Duduk
sajalah di samping rusa itu. Tundun akan menyangka bahwa kau sudah bekerja
untuk melakukan perintahnya. Nanti kalau aku sudah selesai dengan pekerjaan
ini, biarlah aku mengerjakannya.”
Tetapi Sumangkar menyentuh
tubuh rusa itu, dan kemudian mengerjakannya dengan cekatan. Memang orang tua
itu mempunyai keahlian sebagai juru masak yang baik. Tetapi beberapa orang
menganggapnya, meskipun ia juru masak yang baik, namun ia agak terlalu malas.
Tetapi Bajang menganggap lain. Sumangkar sudah terlalu tua. Bukan semata-mata
karena malas.
Dalam mengerjakan pekerjaan
itu, pikiran Sumangkar tidak dapat lepas dari murid saudara tua seperguruannya.
Tohpati, yang hari ini terasa sangat aneh. Ia melihat betapa persiapan Tohpati
itu melampaui kebiasaan yang dilakukannya. Kali ini Macan Kepatihan itu terlalu
teliti. Perintahnya menentukan semuanya, dan Sumangkar melihat perintah itu
sedemikian rapinya, sehingga ia seakan-akan melihat gelar Dirada Meta yang
perkasa benar-benar akan melanda Sangkal Putung. Tetapi Sumangkar menyadari pula,
bahwa di Sangkal Putung ada Untara dan Widura. Kedua orang itu benar-benar
telah mengagumkannya pula.
Tetapi yang terlebih aneh lagi
bagi Sumangkar adalah percakapannya sendiri dengan Macan Kepatihan itu. Ketika
pasukan Tohpati itu telah benar-benar dipersiapkan, maka tiba-tiba Sumangkar
ingin melihat, apakah yang akan terjadi di medan pertempuran. Ia melihat
perbedaan-perbedaan pada sikap dan perbuatan Tohpati menjelang keberangkatan
laskarnya.
Tetapi Tohpati itu berkata,
“Tidak Paman. Paman tinggal di perkemahan ini. Paman sudah cukup lama mengalami
masa-masa yang pahit. Sekarang biarlah Paman beristirahat. Biarlah pekerjaan
ini dilakukan oleh yang muda-muda.”
Tohpati benar-benar berbeda
dari kebiasaannya. Ketika Macan Kepatihan itu kemudian bermohon diri kepadanya
maka katanya, “Paman, kali ini bagiku adalah kali yang terakhir. Hanya ada dua
kemungkinan bagiku kali ini. Menang atau kalah. Supaya peperangan ini tidak
menjadi semakin berlarut-larut.”
“Apakah maksudmu Raden?”
Sumangkar mencoba bertanya.
Tohpati menggelengkan
kepalanya. Dan Sumangkar ditinggalkannya. Beberapa langkah kemudian Tohpati itu
berpaling, seolah-olah ia ingin mengatakan seseuatu, tetapi tidak jadi.
“Apakah ada yang akan Angger
katakan?” Sumangkar mencoba bertanya.
“Tidak Paman. Tidak ada yang
akan aku katakan.”
Tohpati kemudian pergi. Pergi
ke gubugnya. Sampai kemudian pasukannya berangkat. Sumangkar tidak
bercakap-cakap lagi dengan Macan Kepatihan itu. Ia hanya melihat Tohpati
berdiri di muka pasukannya dengan tanda-tanda kebesaran sepenuhnya. Bukan
sekedar tanda-tanda kebesaran dari suatu susunan kesatuan, tetapi benar-benar
tanda-tanda kebesaran Jipang selengkapnya.
Kali ini Sumangkar melepaskan
Tohpati dengan hati yang risau. Aneh. Seperti melepaskan anak-anak menyeberangi
sungai yang lagi banjir.
Tetapi Sumangkar itu terkejut
ketika tiba-tiba ia merasa punggungnya didorong seseorang. Karena Sumangkar itu
sama sekali tidak menyangka, maka hampir-hampir ia jatuh terjerambab. Ketika ia
berpaling, dilihatnya Tundun berdiri di belakangnya. “Jangan termenung. Aku
bilang kerjakan rusa itu.”
“Ya. Ya Tundun,” jawab
Sumangkar cepat-cepat.
“Tetapi kalau aku pergi,
kembali kau duduk saja termenung. Kau benar-benar malas. Kalau Macan Kepatihan
mengetahui kemalasannmu lehermu itu pasti akan dipatahkannya.”
“Ya, Tundun, maksudku ……”
“Diam!” bentak Tundun. “Aku
mau kau bekerja, tidak menjawab setiap kata-kataku.”
Sumangkar tidak menjawab.
Ternyata ketika kenangannya terbang mengikuti Tohpati, tangannya berhenti
bekerja.
“Sudahlah Tundun,” tiba-tiba
Bajang menyahut, “biarlah orang tua itu bekerja menurut kekuatan tenaganya.
Jangan dipaksa. Ia telah terlalu lemah.”
Tndun berpaling. Dipandanginya
Bajang dengan matanya yang tajam. Kemudian terdengar ia membentak, “Jangan
turut campur Bajang. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan.”
“Tetapi kau terlalu kasar,
Tundun.”
“He!” teriak Tundun. “Kau
berani membantah, dan mengatakan aku terlalu kasar?”
“Aku mengatakan sebenarnya.”
“Gila kau Bajang, apa aku
harus menampar mulutmu?”
“Aku tidak mau kau perlakukan
kasar.”
Tundun benar-benar menjadi
marah. Tiba-tiba kakinya terayun deras sekali ke arah Bajang berjongkok di
samping Sumangkar. Tetapi ternyata Bajang pun cekatan. Segera ia meloncat
menghindari kaki Tundun. Bahkan kemudian Bajang telah berdiri tegak. Di
tangannya masih tergenggam sebilah pisau yang tajam berkilat-kilat.
“Kau berani melawan aku
Bajang?” suara Tundun gemetar karena marahnya.
“Kau sangka bahwa karena
tubuhmu yang cacat karena ciri-ciri peperangan itu kau ditakuti orang, Tundun.
Bajang adalah seorang prajurit pula. Aku menyesal telah dilemparkan di dapur
yang kotor dan memuakkan ini. Ayo, kalau kau ingin melihat, apakah Bajang juga
mampu berkelahi.”
Tundun hampir-hampir tidak
mampu menahan diri lagi. Tetapi ketika mereka hampir bertempur, maka segera
Sumangkar berkata, “Jangan bertengkar. Kalau kalian bertengkar, maka kalian
akan mempercepat kebinasaan kita sendiri.”
Tetapi Tundun dan Bajang tidak
mendengarnya. Masing-masing kemudian setapak maju lagi. Namun tiba-tiba mereka
terkejut ketika di kejauhan mereka mendengar suara ribut. “Siapa itu he, siapa
itu?”
Disusul dengan suara tawa
nyaring. Kemudian terdengar teriakan di kejauhan. “Aku datang dengan dada
terbuka. Ayo. Siapa yang berada di perkemahan ini?”
“Jangan membunuh diri,”
terdengar jawaban.
Tundun dan Bajang terpaksa
menghentikan permusuhan yang hampir-hampir meledak itu. Dengan marahnya Tundun
menggeram, “Tunggu Bajang, akan datang saatnya kepalamu terkelupas.”
Bajang pun tidak kalah
marahnya. Meskipun ia bertubuh kecil tetapi ternyata ia lincah bukan kepalang.
Dengan beraninya ia menjawab, “Asal kau datang dari depan saja,Tundun. Jangan
memperkecil arti Bajang yang kecil ini.”
Kemarahan Tundun tiba-tiba
terungkat semakin tajam. Tetapi di kejauhan terdengar pula suara nyaring. “Ayo.
Siapa yang bertugas menunggu kemah ini.”
Dada Tundun tergetar mendengar
suara itu. Suara itupun seakan-akan menantangnya. Sebab ialah yang bertugas
memimpin beberapa orang untuk menunggui kemah ini.
Karena itu, maka segera Tundun
berlari ke arah suara itu. Sesaat ia melupakan Bajang dan Sumangkar. Namun
Bajang pun mendengar pula suara di kejauhan. Dan iapun ingin melihat siapakah
yang dengan beraninya mendatangi perkemahannya. Perlahan-lahan iapun melangkah
ke arah Tundun menghilang di belakang belukar, dan Sumangkar pun menyusul pula
di belakang mereka.
Di kejauhan kemudian Tundun
melihat dua anak buahnya yang bertugas di sisi Utara berdiri tegang menatap ke
balakang gerumbul.
“Ayo, kemarilah,” berkata
salah seorang penjaga itu, “apakah kau bernyawa rangkap?”
Tiba-tiba sekali lagi
terdengar suara tertawa itu. Dan tiba-tiba muncullah dari balik gerumbul
seorang anak muda yang lincah sekali. Sambil tertawa ia berdiri bertolak
pinggang. Kemudian katanya, “He, apakah laskar Tohpati tidak berangkat
seluruhnya?”
Tundun terkejut bukan buatan
melihat anak muda itu. Anak muda itu pernah dilihatnya di medan peperangan
ketika ia ikut mencoba merebut Sangkal Putung. Tetapi ia kurang yakin.
Karena itu maka tubuhnya
segera menjadi gemetar. Gemetar karena marah. Namun juga gemetar karena cemas.
Sekali lagi Tundun melihat
orang itu tertawa sambil bertolak pinggang. Sambil menunjuk kepadanya ia
berkata, “Ha. Itu datang satu lagi. Ayo. Kumpulkan semua kawan-kawanmu yang
tinggal. Lima puluh atau sepuluh orang?”
Tundun memandang kedua
kawannya yang lebih dahulu melihat orang yang bertolak pinggang itu. Kemudian
ia berpaling, dan dilihatnya di belakangnya. Punggungnya terasa berdesir, sebab
Bajang masih menggenggam pisau dapur yang tajam berkilat-kilat. Tetapi Tundun
itu berlega hati ketika ternyata Bajang pun kemudian berdiri di sampingnya
sambil memandang anak muda yang tertawa menjengkelkan.
“Kau siapa?” yang bertanya
mula-mula sekali adalah Bajang.
Yang ditanya masih juga tertawa.
Bajang menjadi marah. Sekali
ia membentak. “He. Diam! Jangan seperti orang mabuk.”
Suara tertawa itu terputus.
Dipandangnya Bajang dari ujung kaki ke ujung kepalanya. “Kau belum mengenal
aku?”
“Apakah namamu cukup bernilai
untuk dikenal oleh setiap orang?”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Jawaban Bajang benar-benar menyakitkan hatinya. Namun selain
menyakitkan hati anak muda itu, juga menyakitkan hati Tundun. Seakan-akan
Bajang itu lebih berani daripadanya. Karena itu Tundun itupun berteriak, “Jangan
merasa dirimu dikenal setiap orang. Andaikata aku mengenalmu sekalipun aku
tidak akan terkejut melihat tampangmu di sini.”
Anak muda itu menggeram. Namun
sekali lagi ia tertawa. Katanya, “Hem. Empat orang. Apakah masih ada yang
lain?”
“Untuk apa kau cari yang lain?
Agaknya kau anak yang terlalu sombong.”
“Terserahlah kau menilai
diriku. Tetapi kalian berempat ini bagiku hampir tak berarti sama sekali. Aku
datang karena aku ingin melihat kekuatan perkemahanmu. Aku ingin menghitung ada
berapa gubug yang kau dirikan di sini, dan ada berapa luas tanah yang kau
perlukan.”
“Cukup!” teriak Tundun. Tetapi
terasa suaranya ragu-ragu, sebab ia pernah mengenal anak muda itu di medan
pertempuran. Namun ia menjadi heran. Kenapa kali ini anak muda itu tidak berada
di medan? Apakah ia mendapat tugas khusus dari Untara untuk mendatangi
perkemahan ini?
Tetapi anak muda itu masih
tertawa. Suaranya semakin menyakitkan hati. Bahkan suara tertawa itu menjadi
semakin dibuat-buat agar yang mendengar menjadi marah. “Jangan
membentak-bentak. Aku ingin berjalan berkeliling kemah ini. Kau dengar. Kalau
kau berani, halangi aku. Berempat, atau panggil kawan-kawanmu yang lain. Kalau
tidak, biarkan aku berjalan-jalan di sini.”
Bajang masih heran melihat
Tundun, pemarah itu, masih berdiri saja di tempatnya. Biasanya, dalam keadaan
yang demikian, ia pasti sudah berlari menyerbu dengan garangnya. Tetapi kini
Tundun itu masih tegak seperti patung meskipun terdengar giginya gemeretak.
Bahkan sekali lagi ia memandang berkeliling. Dua orang anak buahnya, dan
Bajang. Kemudian berempat dengan dirinya sendiri. Meskipun baru saja ia
bertengkar dengan Bajang, namun ia mengharap Bajang tidak mengkhianatinya.
Meskipun demikian, kalau perlu ia dapat memanggil orang-orangnya yang lain
dengan sebuah tanda yang telah mereka tentukan. Empat atau lima orang akan
datang bersama-sama. Tetapi apabila langsung mereka terlibat dalam perkelahian,
setidak-tidaknya mereka berempat lebih dahulu yang harus bertahan. Mungkin
berlima dengan Sumangkar. Tetapi Sumangkar itu tidak dilihatnya. Dan Sumangkar
bagi Tundun adalah seorang tua pemalas yang sama sekali tidak berguna. Namun
dalam pada itu sekali lagi terdengar Bajang menggeram, “Kau belum menjawab
pertanyaanku, siapakah kau itu?”
Anak muda itu memandangnya dengan
nyala ketidaksenangan di matanya. Kemudian kepada Tundun ia berkata, “Apakah
kau juga belum mengenal aku?”
Tundun menggeleng. Pura-pura
ia belum mengenalnya pula. Katanya pula, “Yang aku kenal hanyalah orang-orang
yang penting di daerah ini. Tohpati, Widura, Untara, Tambak Wedi. Sedang
tampangmu sama sekali tidak berarti bagiku. Apalagi sebentar lagi kau akan mati
terkubur di sini.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Bagus. Mungkin kalian akan mencincang aku. Tetapi baiklah
aku perkenalkan diriku. Kalian pernah mendengar nama Tambak Wedi.”
“Jangan menyebut nama itu.
Apakah kau bermaksud menempatkan dirimu di sisi nama itu?”
Anak muda itu tertawa. “Tidak.
Itu tidak mungkin, sebab aku adalah muridnya.”
Yang mendengar jawaban itu
terkejut bukan kepalang. Mereka pernah mendengar cerita tentang murid Tambak
Wedi yang bernama Sidanti. Seorang yang kini berhasil menempatkan dirinya di
samping Macan Kepatihan. Karena itu maka dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Tundun memang pernah melihat kegarangan anak muda itu, yang
pernah berhasil membunuh Plasa Ireng. Mengerikan.
Bulu kuduk Tundun itu
meremang. Ia kini menjadi yakin. Siapakah yang kini berdiri di mukanya. Mayat
Plasa Ireng yang hampir tidak berbentuk itu terbayang di wajahnya. Gila. Anak
muda itu adalah anak muda yang sangat buas. “Pantas, ia tidak berada di medan.
Aku pernah mendengar, bahwa ada perselisihan antara Sidanti dan Widura. Hem.
Aku pernah melihat tampangnya, dan aku pernah mendengar nama Sidanti. Tetapi
baru sekarang aku pasti, bahwa yang bernama Sidanti itu adalah anak yang
membunuh Plasa Ireng itu pula.” Tundun yang bergumam di dalam hatinya itu
kemudian mencoba mengingat-ingat kembali pada saat Plasa Ireng terbunuh. Pada
saat itu ia hampir tidak mempedulikannya, siapakah yang membunuh. Baginya
orang-orang Pajang sama saja semuanya. Semuanya harus dibinasakan.
Namun dengan demikian ia
menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua kawan-kawannya yang lain. Mereka berdiri
membeku di tempatnya. Kalau benar Sidanti itu telah menjadi sejajar dengan
Tohpati, maka akan binasahlah mereka semuanya.
Tetapi tiba-tiba timbul
pikiran yang memberi harapan bagi Tundun. Apabila Sidanti itu benar-benar
berselisih dengan Widura dan Untara, maka apakah kedatangannya itu dapat
dianggap sebagai kawan? Karena itu maka segera Tundun bertanya, “Sidanti,
kenapa kau tidak berada di medan. Bukankah hari ini berkobar perang yang
terbesar yang pernah terjadi di Sangkal Putung?”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Ia menjajagi pertanyaan itu. Katnaya, “Kenapa kau bertanya tentang hal itu?”
“Ya kenapa? Bukankah kau
prajurit Pajang?”
Sidanti tertawa. Jawabnya,
“Aku dapat berbuat sekehendakku. Apakah aku ingin berperang, apakah aku ingin
melihat-lihat hutan ini. Tak seorangpun pula yang dapat mencegah kehendakku.”
Dada Tundun menjadi
berdebar-debar. Namun dipaksanya juga mulutnya berkata, “Hem, aku dengar kau
tidak lagi berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang.”
Tundun terkejut mendengar
jawaban Sidanti. “Apa perdulimu?”
Sesaat Tundun terdiam. Tetapi
kemudian ia bertanya pula, “Lalu apa maksudmu kemari?”
“Sudah aku katakan. Aku ingin
melihat, berapa kemah yang ada dan berapa luas tanah yang diperlukan. Aku ingin
mengira-ngirakan kekuatan Tohpati.”
“Untuk apa?”
“Sekehendakku.”
Tiba-tiba Tundun bertanya,
“Apakah kau tidak bermaksud bekerja bersama dengan Macan Kepatihan?”
Sidanti tertawa. Benar-benar
menyakitkan telinga, katanya, “Kau sudah gila agaknya. Apa arti Tohpati bagiku,
dan apakah arti seluruh kekuatannya?”
Sekali lagi dada Tundun
berdesir. Betapapun juga ia adalah seorang prajurit. Karena itu, maka meskipun
ia telah mendengar bahwa Sidanti itu mempunyai kesaktian yang hampir setingkat
dengan Macan Kepatihan, namun adalah kewajibannya untuk menunaikan tugasnya.
Karena itu maka katanya, “Sidanti. Aku hormat kepadamu. Aku pernah mendengar
bahwa kau memang seorang anak muda yang pilih tanding. Tetapi kali ini
perkemahan ini menjadi tanggung jawabku. Maka jangan mencoba berbuat hal-hal
yang dapat membahayakan keselamatannmu.”
Kini Sidanti itu tertawa terbahak-bahak.
Di antara tertawanya terdengar ia berkata, “O, prajurit yang malang. Kenapa kau
berani berkata demikian padaku? Sudah aku katakan, tak seorangpun dapat
memerintah aku, dan tak seorangpun dapat menghalangi kemauanku. Kali ini aku
ingin berjalan-jalan mengelilingi perkemahan ini. Jangan mencoba mencegahnya.”
Hati Tundun adalah hati yang
mudah terbakar. Kali inipun betapa bara menyaka di dadanya. Namun terhadap
Sidanti ia harus berhati-hati. Sekali lagi ia memandang kedua kawannya yang
seolah-olah telah membeku. Di sampingnya berdiri Bajang seperti patung pula.
Namun tampak bahwa wajah orang yang bertubuh kecil ini sama sekali tidak
menunjukkan kecemasan di hatinya. Bajang masih juga berdiri dengan wajah
menyala. Bahkan kemudian ia menggeram. “Sidanti. Jangan menganggap kami di sini
sebagai anak-anak yang takut mendengar anjing menggonggong.”
Sidanti terkejut mendengar
kata-kata itu. Benar-benar menyakitkan hati. Karena itu maka tiba-tiba warna
merah menjalar di wajahnya. Katanya, “Siapa kau?”
“Namaku Bajang.”
“Kau masih belum terlalu tua.
Kenapa kau mencoba membunuh dirimu? Apakah kau tidak senang hidup di lingkungan
Macan Kepatihan?”
“Jangan mengigau. Cobalah kau
maju selangkah lagi. Maka kau akan berkubur di tanah ini.”
Sidanti benar-benar telah
terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Karena itu tiba-tiba ia meloncat maju
sambil berteriak. “Kumpulkan semua pengawal barak-barak di perkemahan ini. Ayo,
inilah Sidanti, murid Tambak Wedi.”
Tundun, kedua prajurit yang
lain, dan Bajang sendiri kini tidak dapat mengelakkan diri lagi. Mereka harus
menghadapi anak muda yang berani dan perkasa ini. Bagaimanapun juga mereka
adalah prajurit-prajurit yang sudah terlalu sering bermain-main dengan senjata
dan bercumbu dangan maut.
Ketika mereka melihat Sidanti
dengan sigapnya meloncat maju, maka merekapun segera mendekat pula. Tanpa
berjanji mereka berdiri seberang-menyeberang. Seakan-akan mereka sengaja
mengepung Sidanti yang dengan garangnya berdiri di antara mereka.
“Kau yang tajam mulut,” geram
Sidanti sambil menunjuk kepada Bajang, “kaulah yang pertama-tama akan aku sobek
mulutmu.”
Tetapi agaknya Bajang sama
sekali tidak takut. Dengan pisaunya ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Tundunpun kemudian bersiap pula. Ia tidak mau kalah daripada Bajang. Bajang
yang hanya bersenjatakan pisau dapur betapapun besar dan tajamnya, berani
menghadapi Sidanti dengan tatagnya, maka Tundun yang di pinggangnya tergantung
sebilah pedang, pasti harus lebih berani daripadanya.
Sidanti yang berdiri di antara
mereka, sekali lagi memandang setiap wajah di sekitarnya. Tundun yang cacat,
Bajang yang kecil dan kedua prajurit yang lain. Tiba-tiba Sidanti itu berkata
nyaring. “Ayo, siapkan senjata-senjata kalian. Apakah kalian dapat
menggerakkannya dengan baik?”
Tanpa dikehendaki, maka
tiba-tiba tangan mereka yang berdiri di sekeliling Sidanti itu menarik senjata
masing-masing. Dengan serta merta senjata-senjata itupun segera tertuju ke arah
Sidanti.
“Nah, kalian ternyata sigap
pula menarik senjata. Sekarang aku ingin tahu, apakah kalian mampu bermain-main
dengan senjata-senjata itu.”
Tundun tidak menunggu lebih
lama lagi. Segera ia melompat menusuk Sidanti. Tetapi Sidanti benar-benar
lincah selincah sikatan. Pedang itu meluncur beberapa cengkang di muka telinga
kanannya.
Sambil menghindar Sidanti
sempat berteriak. “Ha. Ternyata kau adalah prajurit yang baik. Meskipun tubuhmu
telah dipenuhi oleh cacat badaniah, namun kesetiaanmu kepada Macan Kepatihan
tidak juga berkurang.”
Tundun tidak menjawab. Tetapi
ia menggeram keras. Serangannya yang gagal itu segera diulangi. Sambil memutar
tubuhnya ia menyerang mendatar, setinggi leher. Namun kembali serangannya dapat
dihindari oleh lawannya. Sidanti dengan cepatnya merendahkan dirinya.
Ketiga kawan Tundun yang
melihat bahwa perkelahian sudah mulai segera berloncatan pula dengan senjata
masing-masing. Serangan mereka datang beruntun, seperti ombak lautan menghantam
pantai. Satu-satu tak henti-hentinya.
Tetapi alangkah sakit hati
prajurit-prajurit Jipang itu. Meskipun Sidanti harus melawan empat orang
bersama-sama, namun ia masih sempat tertawa. “Nah, inilah dirimu. Apa yang
dapat kau lakukan atas Sidanti, murid Tambak Wedi.”
Keempat prajurit Jipang itu
sama sekali tidak menjawab. Mereka terus menghujani Sidanti dengan serangan
demi serangan. Tetapi Sidanti itu benar-benar lincah. Ia masih saja berloncatan
kian kemari menghindari pedang-pedang yang bersimpang siur di sekitar tubuhnya.
Bahkan kemudian ia berkata nyaring, “Hem. Inilah agaknya yang menyebabkan
laskar Jipang tak pernah berhasil merebut Sangkal Putung. Empat orang berkelahi
bersama-sama, namun sama sekali tidak dapat menitikkan keringatku. Bagaimana
kiranya kalau aku mencabut pedangku?”
Keempat prajurit Jipang itu
berdesir. Baru mereka sadari bahwa Sidanti ternyata belum mempergunakan
senjatanya. la baru meloncat-loncat menghindar dan menghindar. Karena itu maka
Tundun segera menyadari betapa berbahayanya Sidanti itu. Sehingga dengan
demikian sebelum terlambat segera ia berteriak memerintah. “Bunyikan tanda
bahaya!”
Salah seorang daripadanya
segera meloncat mundur dari perkelahian itu. Ketiga kawannyapun mencoba untuk
melindungi seorang yang akan membunyikan tanda itu. Mereka menyangka bahwa
Sidanti pasti berusaha mencegahnya. Karena itu, maka mereka harus berjuang mati-matian.
Meskipun hanya pada saat tanda bahaya dibunyikan, namun menilik ketangkasan
Sidanti, waktu yang pendek itu sangat mengkawatirkan.
Tetapi ternyata mereka salah
sangka. Sidanti sama sekali tidak berusaha untuk mencegah orang yang
membunyikan tanda bahaya itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Baik. Aku beri
kesempatan kalian memanggil kawan-kawan kalian. Berapa orangkah semua yang
masih ada di perkemahan ini? Sepuluh atau lebih? Kalau lebih dari sepuluh, aku
harus berpikir-pikir untuk segera mengurangi jumlah itu supaya aku tidak
kelelahan.”
Kata-kata itu benar-benar
menyiksa perasaan prajurit-prajurit Jipang itu. Dengan penuh luapan kemarahan
mereka berjuang sekuat tenaga mereka. Tetapi bagi Sidanti mereka benar-benar
tidak berarti.
Beberapa kawan-kawan mereka di
tempat-tempat yang lain terkejut mendengar tanda itu. Mereka menyangka bahwa
beberapa orang Pajang telah menyerang mereka. Beberapa orang yang tidak
dipasang dalam gelar untuk melawan Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka
berlari-lari menuju ke arah tanda itu. Empat orang dari dua sudut penjagaan
datang hampir bersamaan. Tetapi mereka terkejut ketika mereka melihat, bahwa di
tempat itu hanya ada seorang yang sudah bertempur melawan empat orang prajurit
Jipang.
Dengan nanar mereka mencoba
memandang berkeliling. Namun mereka tidak melihat orang selain daripada yang
sedang bertempur itu. Sehingga salah seorang dari mereka berteriak, “Kenapa
dibunyikan tanda bahaya?”
“Kau lihat lawan ini?”
berteriak Tundun.
“Yang hanya seorang itu?”
“Buka matamu lebar-lebar,”
jawab Tundun. “Meskipun seorang tetapi ia adalah anak iblis.”
Yang terdengar kemudian adalah
suara tertawa Sidanti, katanya, “Ya. Yang seorang ini anak iblis. Berapa orang
kalian yang datang? Apakah genap enam orang, sehingga semua berjumlah sepuluh
dengan orang-orang yang pertama?”
Keempat orang yang datang itu
baru menyadari keadaan lawannya, mereka kini melihat keempat kawannya masih
berkelahi dengan sekuat-kuat tenaga mereka dengan senjata di tangan. Namun
lawannya yang hanya seorang itu, dengan tersenyum selalu menghindarkan diri
dari serangan yang bagaimanapun dahsyatnya. Bahkan merekapun kemudian melihat
bahwa yang seorang itu masih belum mempergunakan senjatanya.
“Jangan berdiri seperti
patung!” teriak Tundun. “Apakah kalian menunggu kami menjadi bangkai?”
Teriakan itu benar-benar telah
membangunkan mereka dari kekaguman mereka melihat tata gerak Sidanti. Lincah,
tangguh dan membingungkan. Karena itu segera mereka mencabut senjata
masing-masing dan terjun ke dalam arena perkelahian itu.
“Apakah kalian tidak akan
saling menusuk di antara kawan-kawan sendiri?” teriak Sidanti.
Tak seorangpun yang menjawab.
Namun kini kepungan mereka menjadi semakin rapat. Ujung-ujung senjata semakin
cepat menyambar kulit Sidanti dari segala arah. Karena itu maka katanya
kemudian, “Nah, sekarang baru aku merasa perlu mempergunakan pedang. Ayo,
sebutkan jumlah kalian, berapa?”
Tetapi pertanyaan itu dijawab
dengan serangan yang datang bertubi-tubi dengan sengitnya. Namun akhirnya
Sidanti berhasil menghitung mereka, katanya, “Delapan. Aku harus mengurangi
tiga di antara kalian. Aku hanya ingin melawan lima orang.”
“Gila!” geram Tundun. Tetapi
segera ia terdiam ketika pedang Sidanti yang baru saja ditarik itu
hampir-hampir menyentuh hidungnya. Dan hampir-hampir cacat di wajahnya
bertambah seleret lagi.
Demikianlah perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dalam pada itu Tundun masih menunggu
beberapa orang kawannya yang sedang nganglang.
Tetapi kawan-kawannya yang
nganglang itu berada di tempat yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa
akan datang bahaya. Karena itu maka mereka sama sekali tidak mendengar tanda
yang dibunyikan oleh kawan Tundun di perkemahan.
Maka Tundun terpaksa bertempur
dengan kawan-kawannya yang telah ada. Delapan orang. Kemudian datang pula dua
orang, namun mereka sama sekali bukan prajurit. Mereka adalah orang-orang
dapur, kawan-kawan Sumangkar. Meskipun demikian, mereka membawa senjata di
tangan mereka. Tetapi dalam perkelahian itu mereka tidak segera dapat ikut
serta.
Sidanti kemudian berkelahi
dengan lincahnya melawan delapan orang. Ia menyangka bahwa ia akan dapat
bermain-main dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya berbeda dengan
dugaannya. Prajurit Jipang adalah sebenarnya prajurit. Hanya satu dua dari
mereka adalah orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain adalah
prajurit-prajurit yang cukup. Meskipun bukan orang-orang puncak.
“Hem,” desis Sidanti sambil
meloncat-loncat, “ternyata kalian cukup terlatih. Karena itu, maka jangan lebih
dari lima supaya aku dapat bermain-main dengan baik tanpa menyakiti kamu
sekalian. Tetapi kalau di antara kalian tidak ada yang meninggalkan arena ini,
aku terpaksa memaksamu.”
Tak seorangpun yang menjawab.
Bahkan mereka bekerja semakin keras. Senjata-senjata mereka berganti-ganti
sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin lama Sidanti semakin
merasa bahwa sangat berat baginya untuk melawan delapan orang itu sekaligus. Ia
terpaksa sekali-sekali meloncat jauh ke belakang, kemudian dengan cepatnya melingkar
dan menyerang seperti petir menyambar di udara.
Kedelapan orang itupun merasa,
betapa besar tenaga anak muda yang bernama Sidanti itu. Kini Tundun mulai
dirayapi oleh kepercayaannya bahwa Sidanti benar-benar mampu menempatkan diri
hampir sejajar dengan Macan Kepatihan.
Namun betapapun kuatnya
Sidanti, untuk melawan delapan orang sekaligus adalah berat baginya. Karena
itu, ia kemudian terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kedelapan orang itupun
bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.
“Sebenarnya aku tak ingin
menyakiti kalian,” teriak Sidanti, “tetapi ternyata melawan kalian berdelapan
adalah berat sekali. Kalian benar-benar prajurit yang tangguh. Karena itu,
seandainya pedangku melukai salah seorang dari kalian, janganlah kalian menjadi
sakit hati.”
Kata-kata itu sama sekali
tidak mendapat perhatian. Bahkan dengan demikian Tundun dan kawan-kawannya
merasa, bahwa Sidanti merasa terdesak. Karena itu justru mereka memperketat
tekanan mereka.
Sidanti yang merasa semakin
terdesak akhirnya menjadi marah pula. Darahnya semakin lama benar-benar semakin
panas. Apalagi ketika kemudian sebuah goresan melukai punggungnya. Goresan itu
tidak terlalu dalam. Namun goresan itu telah menyobek baju dan menyentuh
kulitnya.
Luka itu, meskipun tidak seberapa,
namun karena darah yang menetes, maka hati Sidanti telah benar-benar terbakar
karenanya. Hilanglah kemudian segala pengamatan diri. Dan dengan demikian maka
anak murid Tambak Wedi itu menggeram dengan dahsyatnya. Sekali ia meloncat
dengan lincahnya beberapa langkah surut, namun kemudian dengan cepatnya ia
melingkar, menyerang menyambar-nyambar dengan sengitnya.
Perkelahian itu segera
meningkat dengan cepatnya. Semakin lama semakin dahsyat. Masing-masing pihak
telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka.
Tundun pun kemudian merasa,
bahwa kekuatannya bersama kawan-kawannya dapat mengimbangi kelincahan Sidanti
yang hanya seorang itu. Tetapi untuk mengalahkan, menangkap atau membinasakan
adalah sulit sekali. Sidanti itu benar-benar seperti anak setan. Sekali ia
menerobos di antara lawan-lawannya, namun kemudian melontar dan menyerang dari
sisi dan belakang mereka. Kalau Tundun dan kawan-kawannya berusaha untuk
mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal. Sidanti mampu meloncat dengan jarak
yang tidak dapat mereka jangkau dengan loncatan dan senjata.
Ketika pertempuran itu menjadi
semakin meningkat, maka terdengarlah Tundun berteriak, “Bunyikan kembali lagi
tanda bahaya. Supaya kawan-kawan kita yang nganglang mendengarnya.”
Kembali salah seorang dari
mereka meloncat keluar arena perkelahian. Kali ini Sidanti tidak membiarkannya.
Tetapi ia tidak mampu mencegahnya, sebab tujuh orang yang lain dengan garangnya
mencoba melindungi kawannya yang seorang itu.
“Gila!” teriak Sidanti. “Bukan
maksudku membunuh salah seorang dari kalian, tetapi kalian benar-benar keras
kepala. Karena itu, aku akan terpaksa melakukannya.”
Maka Sidanti itupun kemudian
sampai pada puncak permainannya. Rasa nyeri di punggungnya telah memaksanya
untuk mendendam. Karena itu, maka sesaat kemudian, terdengar sebuah keluhan
tertahan. Bajang meloncat surut dari lingkaran pertempuran sambil meraba
pundaknya. Tampak darah yang merah segar meleleh dari luka itu.
“Anak setan!” teriaknya.
Kemudian kepada kawan-kawannya juru masak yang berdiri menonton perkelahian itu
dengan wajah pucat ia berkata, “Berikan pedangmu itu.”
Kedua kawannya yang biasanya
hanya dapat menunggui perapian segera berlari kepadanya dan memberikan
pedangnya kepada Bajang. “Terima kasih. Senjataku terlalu pendek sehingga
pundakku terluka.”
Bajang yang teruka itu
kemudian dengan kemarahan yang membakar ubun-ubunnya meloncat kembali ke arena.
Tetapi demikian ia sampai, terdengar pula orang lain mengeluh. Sekali lagi,
salah seorang dari mereka meloncat ke luar arena. Kali ini agaknya lebih parah
dari luka yang diderita Bajang. Ternyata darah mengucur dari tangannya. Dua
buah jarinya terpenggal dan pedangnya terlempar jatuh.
Wajah prajurit yang kehilangan
jari-jarinya itu menjadi merah padam. Merah padam karena menahan marah dan
sakit. Ketika ia melihat seorang juru masak berdiri dengan pedang di tangan,
tetapi tidak ikut dalam pertempuran, terdengar ia berteriak, “Berikan
pedangmu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Tetapi kemudian diberikan juga pedangnya.
Prajurit itu menerima dengan
tangan kirinya. Cepat ia meloncat kembali ke arena dengan pedang di tangan
kiri. Meskipun tangan kirinya tidak setangkas tangan kanan, namun tandangnya
hampir-hampir tak berkurang.
Ternyata tanda bahaya yang
kedua itu menggema, jauh lebih dalam dari yang terdahulu. Kawan-kawan Tundun,
sebanyak empat orang yang sedang nganglang dan berburu rusa, terkejut mendengar
tanda itu. Sesaat mereka berdiri termangu-mangu. Seakan-akan bunyi tanda bahaya
itu terdengar di telinga mereka.
“Kau dengar,” bergumam salah
seorang dari mereka.
“Ya,” sahut yang lain.
“Aku hampir tak percaya.
Apakah orang-orang Pajang tidak memasang seluruh orang-orangnya dalam
perlawanan kali ini?”
“Mungkin. Mungkin mereka
sengaja membagi kekuatan.”
“Bodoh. Kalau aku menjadi
pemimpin pengawal kemah ini, aku biarkan mereka masuk. Aku biarkan mereka
merusak kemah-kemah kita, sebab Macan Kepatihan pasti akan berhasil masuk
Sangkal Putung.”
“Kau yakin benar.”
“Ya, kalau pasukan Pajang
mengurangi kekuatannya, Sangkal Putung pasti akan pecah.”
“Tetapi Kakang Tundun
memanggil kita dengan tanda itu.”
“Mari kita pulang.”
Keempatnya segera berlari-lari
kembali ke kemah mereka. Mereka menyangka bahwa di dalam perkemahan itu telah
terjadi peperangan antara para pengawal yang jumlahnya sangat terbatas, melawan
sebagian orang-orang Pajang yang sengaja tidak dipasang dalam peperangan di
Sangkal Putung.
Semakin dekat mereka dengan
kemah mereka, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih belum
melihat tanda-tanda peperangan di dalam perkemahan itu.
“Aneh,” desis salah seorang
dari mereka.
Sebelum yang lain menyahut,
mereka telah memasuki daerah perkemahan mereka.
“Tidak ada apa-apa,” gumam
yang lain.
“Kita lihat berkeliling,”
berkata yang lain pula.
Mereka segera berjalan
berkeliling. Dilihatnya tempat-tempat penjagaan sudah kosong. Karena itu mereka
pun menjadi semakin berhati-hati.
Ketika mereka sampai di sisi
Utara, barulah mereka melihat kawan-kawannya berkumpul dalam satu lingkaran
perkelahian. Mereka melihat kawan-kawan mereka berkelahi melawan satu orang
saja.
“Gila!” teriak salah seorang
dari mereka. “Apakah aku harus nonton permainan yang menggelikan ini.”
Tundun yang memimpin
pertempuran di antara kawan-kawannya itu menjadi marah. Jawabnya lantang, “Buka
matamu, jangan mulutmu!”
Keempat kawannya itu berdiam
diri. Sesaat mereka memandangi perkelahian itu. Dilihatnya beberapa orang
kawan-kawannya telah menjadi payah. Bahkan ada yang terluka.
“Bukan main,” desis salah
seorang dari mereka. “Siapa anak muda yang gila itu?”
Tiba-tiba salah seorang yang
lain dapat mengenal wajah itu. Jawabnya, “Anak muda yang membunuh Plasa Ireng.”
“Pantas ia berhasil membunuh
Plasa Ireng. Tetapi ia kini tak akan lolos lagi.” Orang itupun segera berlari
menghambur menerjunkan diri ke dalam arena pertempuran.
Tetepi tiba-tiba langkahnya
terhenti ketika ia mendengar salah seorang kawannya berteiak tinggi. Ia melihat
sosok tubuh terhuyung-huyung. Untunglah ia cepat dapat menangkapnya.
“Dadaku,” keluh orang itu. Dan
dari dadanya mengalir darah dengan derasnya.
Karena itu ia tidak segera
dapat bertempur. Dipapahnya orang itu menepi dan diserahkannya kepada dua orang
dapur yang berdiri terpaku di sisi pertempuran itu. Namun ketiga kawan-kawannya
yang lain telah meloncat pula mendahuluinya memasuki arena.
Sidanti yang melihat kedadiran
keempat orang baru itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga ia berhasil
mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih baik dari yang seorang
yang terlempar dari perkelahian itu.
“Kalian benar-benar jemu
hidup,” teriak Sidanti. “Ternyata kalian tidak mau mendengar permintaanku.
Karena itu, aku tidak akan dapat menahan ujung senjataku.”
“Persetan dengan
kesombonganmu. Ternyata kau tidak akan dapat keluar dari perkemahan ini,
sehingga kau akan berkubur di sini,” sahut Tundun. Namun suaranya itu disaut
oleh sebuah teriakan. Satu lagi kawannya terluka. Telinganya tergores pedang
Sidanti, sehingga hampir putus.
Dengan demikian perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menumpahkan
segenap kamampuan yang ada pada diri mereka. Sidanti yang hanya seorang itupun,
tenpaksa memeras kesaktiannya. Untunglah ia murid Ki Tambak Wedi yang namanya
menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun melawan sekian banyak orang,
maka akhirnya ia mendapat kesulitan juga. Bahkan nyawanya kini terancam.
Tetapi perkelahian itu
tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring. Teriakan itu demikian
kerasnya, sehingga hampir-hampir memecahkan telinga mereka. Meskipun mereka
sedang bertempur dengan dahsyatnya, namun suara itu dapat menembus ke dada
mereka.
“Berhenti, berhenti!” berkata
suara itu melengking-lengking.
Semua orang di dalam arena
berloncatan mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang tua dengan
wajah yang tegang, dan mata yang tajam memandangi mereka satu per satu.
Dada para prajurit Jipang
berdesir melihat orang itu. Tatapan matanya terasa terlalu dalam menghunjam ke
dalam dada mereka. Meskipun mata itu tidak seliar mata Sidanti, namun sinar
matanya memancarkan nada serupa.
Tetapi orang itu ternyata
kemudian tersenyum. Dipandanginya Sidanti sambil berkata, “Jangan
bersungguh-sungguh Sidanti. Bukankah kita tidak akan menyakiti hati mereka.”
Sidanti menggigit bibirnya.
“Kau telah melukai beberapa
orang di antaranya.”
“Mereka benar-benar ingin
membunuhku,” sahut Sidanti.
Para prajurit Jipang masih
saja mematung. Mereka belum pernah melihat orang tua itu. Mereka menjadi
semakin heran ketika orang tua itu berkata kepada mereka, “Maafkanlah muridku
ini.”
Tak seorangpun yang segera
menjawab. Mereka masih berdiri kaku di tempatnya, dengan senjata-senjata mereka
siap di tangan.
“Kalian heran melihat
kehadiranku? Mungkin kalian belum mengenal aku. Aku adalah Ki Tambak Wedi.”
Kembali dada prajurit-prajurit
Jipang berdesir. Ternyata orang inilah yang bernama Tambak Wedi. Orang yang
namanya menghantui seluruh lereng Gunung Merapi. Kini orang itu berada di
hadapan mereka dengan muridnya yang bernama Sidanti.
“Aku minta maaf,” berkata
Tambak Wedi itu pula. “Maksud kedatangan kami semula adalah baik. Kami ingin
mengetahui keadaan kalian di sini.”
Yang menjadi pimpinan pasukan
pengawal itu adalah Tundun. Karena itu, maka ialah yang menjawab, “Kiai, kami
minta maaf atas kelancangan kami. Kami terpaksa melakukan perlawanan karena
tugas-tugas kami.”
“Bagus,” potong Ki Tambak
Wedi. “Kalian adalah prajurit. Jadi kalian harus melakukan kewajiban kalian.”
Jawaban itu benar-benar tidak
disangka-sangka oleh Tundun. Dan justru karena itu ia menjadi bingung, sehingga
ia tidak tahu, apalagi yang akan dikatakannya.
Yang berkata kemudian adalah
Ki Tambak Wedi. “Ki Sanak. Kedatangan kami sama sekali tidak bermaksud untuk
menyakiti hati kalian. Kami hanya ingin sekedar memperkenalkan diri kami. Aku
dan muridku. Apakah kalian bersedia menerima salam perkenalan ini?”
Tundun menjadi semakin
bingung. Ia tidak tahu maksud Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka ia masih saja
berdiam diri tegak seperti tonggak.
Ki Tambak Wedi yang melihat
para prajurit Jipang itu tertawa. Katanya, “Kenapa kalian menjadi seperti orang
kehilangan ingatan? Percayalah, aku tidak akan berbuat apa-apa. Mungkin muridku
telah terlanjur melukai beberapa orang di antara kalian, tetapi itu hanya
karena umurnya yang masih muda sehingga ia tidak mudah untuk mengendalikan
dirinya. Meskipun maksudnya memang ingin mencoba bermain-main dengan kalian,
tetapi tidak untuk melukai apalagi membunuh.”
Tundun dan kawan-kawannya
semakin tidak mengerti maksud kata-kata itu. Dengan demikian mereka masih saja
berdiri membisu.
Karena tidak seorangpun
menyahut, Ki Tambak Wedi itu berkata terus. “Maksud muridku memang ingin
berkelahi untuk sekedar memperkenalkan diri. Maksudnya akan memberitahukan
kepada kalian bahwa Tohpati sama sekali bukan manusia yang aneh. Bukan manusia
yang melampaui batas kemampuan manusia yang lain. Sekarang kalian telah melihat
muridku dan mengalami perkelahian. Sudah tentu kalian akan dapat menilai,
manakah yang lebih sakti. Macan Kepatihan atau Sidanti.”
Debar di dada prajurit Jipang
itu menjadi semakin deras. Apalagi ketika terdengar Tambak Wedi berkata,
“Itupun aku masih menganggap bahwa Sidanti masih harus berjuang membentuk
dirinya mempelajari ilmuku untuk menjadi sempurna.”
“Muridnya telah mampu berbuat
sedemikian,” pikir para prajurit itu, “apalagi gurunya.”
“Nah bagaimana menurut
penilaian kalian? Apakah Sidanti sudah sama dengan Macan Kepatihan?”
Tak seorangpun yang menjawab
pertanyaan itu.
“Bagus, kalian pasti tidak
akan dapat menjawabnya. Tetapi biarlah kami memberikan pertanyaan-pertanyaan
yang lain. Apakah kalian masih tetap ingin berjuang bersama-sama Macan
Kepatihan?”
Masih tidak menjawab.
“Tentu, kalian tentu tidak
akan menjawab. Tetapi ketahuilah,” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya, “bahwa
kami pernah datang kepada Tohpati. Kami ingin berbuat baik kepadanya. Kami
menawarkan jasa-jasa kami dan tenaga kami untuk kemenangannya. Tetapi maksud
kami itu ditolaknya. Sayang.”
Mendengar keterangan itu
Tundun mengerutkan keningnya. Sejak semula ia sudah menanyakannya kepada
Sidanti kemungkinan itu, tetapi Sidanti malah menghinanya, menghina pasukan
Jipang itu seluruhnya.
Tambak Wedi melihat perasaan
yang bergerak di dalam hati Tundun. Maka segera ia berkata, “Aku mendengar
pertanyaanmu di permulaan perkenalanmu dengan muridku. Dan muridku sengaja menghinamu,
untuk membangkitkan kemarahanmu, supaya muridku dapat bermain-main dengan kau.
He, apakah kau pemimpin pasukan pengawal ini?”
Tanpa sesadarnya Tundun
mengangguk sambil menjawab, “Ya.”
“Nah, ketahuilah kami
terlampau baik. Kami masih tetap menawarkan tenaga kami untuk kepentingan
kalian.” Ki Tambak Wedi diam sesaat. Namun kemudian diteruskannya, “Tetapi
kalau Macan Kepatihan menolak, apa boleh buat. Meskipun demikian, ada yang
wajib kalian ketahui. Macan Kepatihan kini tidak lagi mempunyai tempat yang
akan dijadikannya pencadan dalam gerakannya. Ia berada di mana-mana, seperti
kapuk diterbangkan angin. Tetapi aku dan muridku itu, masih mempunyai tempat
untuk berpijak. Sedang kalian telah melihat sendiri, bahwa muridku tidak kalah
dengan Macan Kepatihan.” Kembali Tambak Wedi berhenti sesaat, namun segera
diteruskannya, “Aku hanya ingin kalian dapat menilai keadaan kami.”
Tundun dan kawan-kawannya
masih belum dapat mengerti dengan pasti maksud Tambak Wedi itu. Beberapa orang
di antara mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati.
Ki Tambak Wedi yang melihat
kebingungan itu berusaha untuk menjelaskan. “Ki Sanak. Kalian menurut
tangkapanku, adalah prajurit-prajurit yang baik. Prajurit-prajurit yang setia
pada cita-cita. Bukan sekedar prajurit yang bertempur tanpa arah, selain untuk
membunuh atau dibunuh. Karena itulah maka kalian tetap berada dalam lingkungan
Macan Kepatihan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa Macan Kepatihan dengan
caranya sekarang tidak akan dapat memenangkan perjuangannya. Sedang tawaran
kami untuk membantunya telah ditolaknya. Nah, kalau kalian memang setia kepada
cita-cita kalian, menolak kekuasaan Pajang, maka kalian dapat mempertimbangkan
antara Macan Kepatihan dan Sidanti. Macan Kepatihan yang telah kehilangan landasan
perjuangannya dan Sidanti yang baru mulai dengan tekad yang masih segar.
Kelebihan Sidanti yang lain adalah, Sidanti berkuasa di lereng Gunung Merapi.
Suatu daerah yang cukup luas untuk membangun kekuatan dam benteng pertahanan.
Dan ia berkuasa pula di suatu daerah yang luas di sebelah Alas Mentaok, Bukit
Menoreh.”
Tundun dan kawan-kawannya kini
baru menjadi jelas maksud Ki Tambak Wedi itu. Ternyata Ki Tambak Wedi telah
menawarkan pilihan kepada para prajurit itu. Dan tawaran itu tenyata telah
mempengaruhi perasaan mereka. Namun Tundun, seorang prajurit yang sudah lama
menjadi bawahan Tohpati, sejak terjadi parselisihan antara Jipang dan Pajang,
tidak akan segera dapat melepaskan ikatan itu.
Karena itu maka jawabnya, “Ki
Tambak Wedi. Tawaranmu bagus sekali. Tetapi jangan mencoba mempengaruhi
kesetiaan kami kepada pimpinan kami. Kalau kau ingin menyatukan dirimu ke dalam
lingkungan kami, maka mengharaplah, mudah-mudahan pimpinan kami dapat
menerimanya. Tetapi kalau kau mencoba mempengaruhi kesetiaan kami itu, jangan
mengharap.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa. “Aku tahu, bahwa jawaban kalian akan
berbunyi demikian. Memang aku mengharap kalian menjawab seperti yang diucapkan
oleh pimpinan kalian ini. Kalau tidak demikian, maka kalian sama sekali tidak
berharga. Bagi kamipun tidak. Tetapi karena kesetiaan itulah maka kalian baru
dapat disebut seorang prajurit jang baik. Jawaban itu kalian ucapkan sebab
kalian belum mempunyai kesempatan untuk berpikir. Kalau kalian belum sempat
berpikir, tetapi segera mempercayai kata-kata orang lain, maka kalian adalah
sampah yang tidak berarti. Tetapi kamipun tidak ingin mendengar jawaban kalian
sekarang ini. Seperti aku katakan, jawaban yang akan aku dengar sudah aku
ketahui. Namun aku mengharap kalian sempat memikirkan tawaran itu. Aku hanya
ingin kalian memikirkan dan mempertimbangkan. Lain tidak.”
Tundun terdiam untuk sesaat.
Ia menjadi heran kembali mendengar jawaban Ki Tambak Wedi. Tetapi dengan
demikian ia terpaksa untuk mencari sebab-sebabnya.
Yang terdengar kemudian adalah
kata-kata Ki Tambak Wedi itu kembali. “Meskipun seandainya, kami tidak dapat
bertemu dalam pembicaraan, karena kesetiaan kalian terhadap pimpinan kalian,
namun biarlah hubungan persaudaraan ini kita langsungkan. Kami akan selalu
menunggu kalian di tempat kediaman kami. Dan dalam keadaan yang memuncak,
muridku akan dapat membangun kekuasaan tandingan dari Pajang itu di daerah
asalnya: di sebelah Barat Alas Mentaok. Daerah itu akan dapat dibukanya menjadi
daerah yang akan dapat mangimbangi kekuasaan Pajang. Setidak-tidaknya di daerah
Barat, dan Selatan.”
Tundun dan kawan-kawannya
seolah-olah menjadi beku mendengar keterangan itu. Ki Tambak Wedi yang
mempunyai pengamatan yang tajam, melihat bahwa kata-katanya bergolak di dalam
hati para prajurit Jipang itu. Maka katanya selanjutnya, “Nah. Bandingkan
dengan hari depan Tohpati. Sidanti mempunyai kekuasaan atas suatu daerah.
Meskipun daerah itu kini seakan-akan masih asing bagi kalian. Daerah yanq masih
jarang-jarang diketemukan pedukuhan dan padesan. Tetapi di daerah itu dapat
dibangun kekuasaan yang besar. Apalagi dengan bantuan prajurit-prajurit yang
berpengalaman.”
Terasa sesuatu menyentuh hati
para prajurit itu. Seakan-akan di hadapan mereka ditunjukkan oleh Ki Tambak
Wedi, betapa suram hari depan mereka. Betapa suram hari depan Macan Kepatihan.
Tetapi dengan suatu perubahan di dalam hidup mereka, maka hari depan merekapun
akan dapat berubah pula.
Tiba-tiba merayap di dalam
hati para prajurit itu pertanyaan, “Kenapa Tohpati menolak uluran tangan Ki
Tambak Wedi?”
Tetapi pertanyaan itu
disimpannya di dalam hati. Mereka kini seakan-akan telah menjadi patung yang
hanya boleh mendengarkan Ki Tambak Wedi berbicara. Katanya meneruskan,
“Selanjutnya terserah kepada kalian. Tetapi aku telah memberikan
perbandingan-perbandingan.”
Suasana di perkemahan itu
kemudian menjadi sepi. Beberapa orang berdiri tegak dengan senjata di tangan.
Namun ujung-ujung senjata itu sudah terkulai di tanah. Mereka berdiri saja
seperti patung mengerumuni dalam jarak yang tidak jauh, seorang tua namanya
ditakuti karena kesaktiannya bersama seorang muridnya yang garang.
Dalam suasana yang sepi itulah
maka kata-kata Ki Tambak Wedi seakan-akan meresap semakin dalam di hati para
prajurit Jipang yang memang sudah terlalu lama mengalami kepahitan hidup di
hutan-hutan dan pengembaraan sebagai orang-orang liar. Apabila mereka menemukan
tempat yang baik, maka keadaan mereka pasti akan lebih baik. Seandainya mereka
masih harus berjuang untuk menghancurkan Pajang, maka landasan mereka akan
lebih kokoh.
Sejenak Ki Tambak Wedi pun
berdiam diri pula. Dibiarkannya para prajurit Jipang itu mencernakan
kata-katanya. Ia mengharap seandainya tidak sekarang, namun orang-orang itu
pasti akan memperbincangkan kata-katanya dengan beberapa orang kawan-kawannya.
Semakin lama akan menjalar semakin luas di antara orang-orang Macan Kepatihan.
Tetapi kesepian itu kemudian
dipecahkan oleh kehadiran seorang tua, juru masak Macan Kepatihan yang malas,
Sumangkar; yang dengan terbata-bata berkata. “Tundun, Tundun! Rusa itu sudah
masak. Apakah kau tidak mencium baunya? Aku bumbui rusa panggang itu dengan
tanganku sendiri.”
Dalam suasana yang sepi
tegang, kehadiran Sumangkar benar-benar mengejutkan. Apalagi sebelum ia sendiri
hadir di tengah-tengah kesepian itu, suaranya telah lebih dahulu melengking di
antara mereka. Sehingga ketika Sumangkar berlari-lari, maka beberapa orang
telah berloncatan menyibak tanpa mereka kehendaki sendiri.
Tundun pun terperanjat pula.
Ia melihat Sumangkar berIari-lari ke arahnya dan kemudian berdiri di hadapannja
sambil terengah-engah.
“Gila!” teriak Tundun yang
masih berdebar-debar karena terkejut.
“Rusa itu sudah masak Tundun,”
ulang Sumangkar.
“Gila. Aku sangka apa saja
yang kau teriakkan itu. Apakah kau tidak melihat apa yang sedang terjadi di
sini?”
Sumangkar terdiam sesaat.
Dipandangnya beberapa orang yang berdiri di sekitarnya. Dan kemudian
dipandanginya kedua orang yang berdiri di antara mereka. Guru dan murid.
Tetapi sebelum Sumangkar berkata-kata
sepatah katapun, maka kembali terdengar Tundun membentak. “He orang tua yang
bodoh. Coba lihat tangan-tangan kami masih menggenggam senjata. Dan keringat
kami masih belum kering. Ayo, pergi. Atau kepalamu kami pangkas dengan pedang
kami.”
“Jangan Tundun,” sahut
Sumangkar. “Aku datang sekedar memberitahukan, bahwa apa yang harus kukerjakan
sudah selesai. Rusa panggang. Dahulu Adipati Arya Penangsang gemar sekali akan
rusa panggang pula. Dahulu ketika Adipati Jipang itu masih berkuasa di Jipang.”
“Tutup mulutmu!” bentak
Tundun.
Tetapi Sumangkar berbicara
terus, seakan-akan ia tidak mendengar Tundun membentak-bentak dan tidak melihat
kehadiran orang-orang di sekitarnya, orang-orang Jipang sendiri dan kedua orang
asing itu. Katanya, “Tetapi sayang Adipati Jipang itu sudah tidak ada lagi.
Dahulu Adipati Jipang tidak pernah melupakan rusa panggang dalam setiap
perburuan. Pamanda Kepatihan, Mantahun pun senang sekali akan rusa panggang
pula. Sayang, giginya telah hampir habis karena usianya, sehingga Patih
Mantahun tidak dapat ikut menikmatinya.”
“He, orang gila,” potong
Tundun berteriak keras sekali, “pergi dari sini sebelum aku bunuh kau.”
“Ternyata sekarang Macan
Kepatihan, kemenakan Mantahun itu, gemar pula akan rusa panggang. Tetapi
kasihan Macan Kepatihan itu. Ia kini hidup seperti sehelai kapuk diterbangkan
angin. Tidak mempunyai tempat landasan bagi perjuangannya. Dahulu Arya Jipang
mempunyai landasan yang kuat. Satu Kadipaten Jipang memihaknya, lengkap dengan
seluruh pasukan Wira Tamtama dari kadipaten itu. Jipang adalah kadipaten yang
lengkap. Bukan sekedar padukuhan atau padesan yang masih harus dibangun,
meskipun dibantu oleh prajurit-prajurit yang berpengalaman. Tetapi Jipang sudah
besar sejak permulaan mengangkat senjata. Prajuritnya sudah lengkap di bawah
pimpinan Patih Mantahun di samping Arya Penangsang sendiri. Dan kemudian
dibantu oleh Raden Tohpati. Bukan suatu daerah asing di seberang hutan
belantara. Namun Jipang yang kuat itu dapat dipecahkan oleh kekuatan Pajang di
bawah pimpinan Adipati Adiwijaja, yang bermama Mas Karebet semasa ia masih
menjadi seorang anak gembala. Apalagi daerah-daerah terpencil, padukuhan dan
padesan yang ringkih dan sepi.”
Cukup!” tiba-tiba hutan itu
tergetar oleh suara Ki Tambak Wedi yang marah bukan buatan. Ia tahu benar
maksud kata-kata Sumangkar itu. Demikian marahnya, sehingga hantu dari lereng
Gunung Merapi itu berteriak sekuat-kuatnya.
Semua orang yang berdiri
memutarinya terkejut. Hampir saja mereka berloncatan menjauh. Tundun pun
terkejut pula mendengar teriakan itu.
Bukan saja terkejut karena Ki
Tambak Wedi berteriak. Tetapi segera Tundun pun menjadi cemas melihat Ki Tambak
Wedi itu terbakar oleh kamarahan. Wajahnya merah dan sepasang matanya
seolah-olah menyala seperti bara.
“Kalau Ki Tambak Wedi ini
menjadi marah, dalam suasana yang telah menjadi tenang ini, dan membunuh kami
sekalian, maka kami tidak akan dapat melawannya,” pikir Tundun. Karena itu maka
segera ia menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar. Untuk mengurangi kemarahan
Tambak Wedi, maka Tundun itupun berteriak pula, “He Sumangkar yang gila. Bukan
orang Iain yang akan membunuhmu karena mulutmu yang lancang itu. Tetapi aku
sendiri. Dengan pedangku dan tanganku, maka kepalamu akan aku pancung di muka
kawan-kawanmu ini.”
Tetapi Sumangkar itu
seolah-olah tidak mendengar suara Tundun dan Ki Tambak Wedi. Dan Tundun itupun
kemudian terkejut bukan buatan. Ketika ia melangkah setapak maju untuk
menyingkirkan Sumangkar yang telah membangkitkan kemarahan Ki Tambak Wedi yang
menakutkan itu, tiba-tiba dihatnya Sumangkar memutar tubuhnya, membelakanginya
dan menghadap Ki Tambak Wedi. Bahkan kemudian dilihatnya Sumangkar itu
tersenyum sambil berkata, “Jangan marah Kakang Tambak Wedi. Jangan marah supaya
kau tidak menjadi lekas tua.”
“Sumangkar,” teriak Ki Tambak
Wedi, “kehadiranmu di sini benar-benar mengejutkan aku. Kenapa kau tidak ikut
pergi ke medan pertempuran Setan tua?”
Sumangkar menggeleng. “Tidak
Kakang. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi kau kali ini
benar-benar ingin merusak semua rencana yang sudah aku susun bersama muridku
ini.”
Sumangkar tertawa. Sekali ia
berpaling, dan dilihatnya Tundun berdiri ternganga di belakangnya. Alangkah
peningnya kepala pemimpin prajurit pengawal perkemahan ini. Tiba-tiba saja ia
melihat seolah-olah Sumangkar, juru masak yang malas itu telah mengenal dan
dikenal olah Ki Tambak Wedi.
“Jangan heran Tundun,” berkata
Sumangkar, “aku kini berjumpa dengan kawan bermain di waktu muda. Tatapi sayang
bahwa ia kini menjadi seorang guru yang ternama, dan aku menjadi seorang juru
masak yang malas. Yang sehari ini selalu kau bentak-bentak saja.”
Namun kata-kata itu terputus
oleh teriakan Ki Tambak Wedi. “Jangan mengigau. Apakah kehendakmu sebenarnya?”
Mendengar teriakan Ki Tambak
Wedi itu, sekali lagi Sumangkar tersenyum. Dan sekali lagi ia berkata, “Jangan
marah Kakang Tambak Wedi.”
“Persetan!” teriak Tambak
Wadi. “Lihat, kalau kau masih saja berdiri di situ, aku bunuh kau dan
prajurit-prajurit Jipang seluruhnya.”
Ancaman itu telah menyadarkan
Tundun dari keheranannya. Kini kembali ia dicengkam oleh ketakutan. Dan sekali
lagi Tundun menimpakan kesalahan itu kepada Sumangkar. Katanya, “He, juru masak
yang malas. Untuk membebaskan kami dari kemarahan Ki Tambak Wedi, maka aku
terpaksa membunuhmu.”
Kali ini Sumangkar terpaksa
berpaling dan menjawab, “Jangan Tundun. Jangan mengorbankan kawan sendiri untuk
memuaskan orang lain karena kau melihat kepentinganmu sendiri. Karena kau ingin
kau dihidupi. Tentu aku tidak mau menjadi korban. Kalau kita menjadi korban bersama-sama,
marilah, biarlah aku mati paling awal dari kalian. Tetapi kalau aku sendiri
harus mati karena kalian ketakutan akan mati itu, nanti dulu.”
Tundun menggeram mendengar
kata-kata itu. Terbersit di hatinya kebenaran kata-kata Sumangkar. Tetapi ketakutannya
kepada Ki Tambak Wedi telah mengatasi segalanya, maka katanya, “Jangan banyak
bicara. Kau tidak berarti di sini.”
“Kalau kau bunuh aku Tundun,
Macan Kepatihan pasti akan marah. Aku adalah juru masak yang dibawanya sejak
dari istana Kepatihan. Tentu. Tentu kau belum mengenal aku, sebab saat-saat itu
kau adalah seorang Wira Tamtama yang tidak bertugas di istana Kadipaten maupun
di istana Kepatihan. Hanya orang-orang tua dan mereka yang bertugas di istana
dan istana Kepatihan sajalah yang mengenal Sumangkar. Di antaranya adalah
Sanakeling. Dan Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu Kakang?”
“Tutup mulutmu, Sumangkar!
Lihat, kawanmu sudah siap akan membunuhmu” sahut Ki Tambak Wedi, yang kemudian
berkata kepada Tundun, “Kalau kau bunuh tikus tua itu, aku maafkan kalian.”
Tundun yang lebih sayang
kepada jiwanya sendiri menggeram. Selangkah ia maju dan pedangnya telah siap
menusuk punggung Sumangkar. Tetapi ia mendengar Sumangkar berkata, “Cara yang
baik untuk mengadu sesama kawan. Kini tinggallah kita sendiri, Tundun. Apakah
kita ini sebangsa domba-domba yang siap untuk diadu, ataukah kita ini sebangsa
prajurit yang setia kepada tugas dan pimpinan kami. Pilihlah olehmu Tundun.”
Tundun terhenti. Kembali
dadanya berdesir. Kata-kata Sumangkar yang terakhir telah benar-benar menggugah
kesadarannya. Namun ketika sekali lagi dilihatnya Ki Tambak Wedi ia menyahut,
“Adalah salahmu sendiri Sumangkar. Kau ternyata ikut campur dalam persoalan
yang hampir dapat aku selesaikan dengan caraku. Tetapi karena kelancanganmu,
maka persoalannya menjadi panas kembali. Dan nyawamu akan dapat menjadi tebusan
dari sekian banyak orang. Karena itu bersedialah untuk mati.”
“Baik Tundun, aku bersedia
untuk mati. Tetapi biarlah Ki Tambak Wedi sendirilah yang membunuh Sumangkar.
Itu kalau ada keberanian padanya. Sebab Ki Tambak Wedi sudah mengenal siapakah
Sumangkar itu. Tetapi aku tidak akan bersedia mati karena pedang kawan
sendiri.”
Kemudian kepada Ki Tambak Wedi
ia berkata, “Kakang, jangan mengharap akan timbul perkelahian di antara kita.
Kau tahu, bahwa Tundun tidak akan dapat membunuh Sumangkar, dan kau tahu, bahwa
apabila dikehendaki Sumangkar akan mampu membunuh semua orang Jipang yang
bertugas di sini sekaligus seperti apa yang akan dilakukan oleh Tambak Wedi.
Tetapi kalau lidahmu barhasil mengadu kekuatan di antara kami, maka aku dapat
menghindari, melarikan diri dari tempat ini tanpa seorangpun yang dapat
menangkapnya. Kaupun tidak.”
Dada setiap orang yang
mendengar kata-kata itu berdesir. Namun Tundun yang lebih mementingkan keselamatan
diri dan kawannya, dan sejak semula menganggap Sumangkar tidak berguna itu,
agaknya lebih baik mengorbankanya. Dengan marah ia mendengar seakan-akan
kata-kata Sumangkar itu sebagai kicauan burung yang memuakkan.
Karena itu tiba-tiba ia
meloncat dan menusuk punggung Sumangkar dari belakang. Geraknya cepat seperti
kilat meloncat di langit. Kawan-kawannya yang melihat loncatan itu terkejut.
Apalagi seorang yang bernama Bajang. Tardengar ia bertariak nyaring, “Kau gila
Tundun. Aku sudah terluka. Kau sekarang ingin mengorbankan kawan sendiri. Ayo,
biarlah aku jadi banten. Aku akan mati bersama Sumangkar.”
Tetapi suara itu tak didengar
oleh Tundun. Ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya. Bahkan loncatannya
dipercepatnya sebab ia melihat Bajang bergerak untuk mencegahnya.
Kawan-kawannya yang lain
berdiri saja seperti patung. Tak seorangpun yang mampu mencegah atau
membenarkan tindakan Tundun dan Bajang. Mereka benar-benar dicengkam oleh
kebingungan dan kekaburan pikiran. Mereka menganggap kata-kata Tundun dan
tindakannya itu dapat menyelamatkan mereka, tetapi perasaan mereka hampir tidak
rela melihat Sumangkar dikorbankan tanpa belas kasihan. Betapapun juga
Sumangkar telah berada di dalam lingkungan mereka, sejak mereka meninggalkan
Jipang.
Tetapi Bajang yang berdiri
agak jauh itu terlambat. Tundun telah berhasil mencapai Sumangkar dengan ujung
pedangnya yang langsung mengarah punggung. Beberapa orang yang tidak sampai
melihat pembunuhan itu memejamkan matanya. Bajang sendiri langkahnya terhenti. Sesaat
ia tertegun, namun kemudian ia memalingkan wajahnya sambil berteriak, “Gila kau
Tundun. Aku kelak yang akan membunuhmu.”
Tetapi alangkah dahsyatnya
goncangan perasaan mereka saat itu. Seakan-akan darah mereka membeku dan nafas
mereka terhenti mengalir. Yang mereka lihat kemudian sama sekali bukan
Sumangkar yang jatuh tersungkur dan menyemburkan darah dari luka di
punggungnya. Tetapi yang mereka lihat, Tundun terdorong beberapa langkah ke
samping dan mereka melihat Sumangkar itu berdiri dengan garangnya dengan pedang
di tangannya.
Belum lagi gelora di dada
mereka berhenti, terdengar Sumangkar berkata, “Terima kasih Tundun. Ternyata
kau baik hati. Kau telah memberi aku senjata untuk mengusir Tambak Wedi yang
tamak ini.”
Yang paling terkejut atas peristiwa
itu adalah Tundun sendiri. Ketika ia meloncat menusuk punggung Sumangkar, maka
ia sudah pasti bahwa pedangnya akan menghunjam sampai ke jantung. Meskipun di
dalam dadanya, merayap juga keraguan-raguan dan kekhawatiran, bahwa Macan
Kepatihan akan marah kepadanya, serta bagaimanapun juga ada rasa kasihan kepada
orang tua itu, namun hasratnya untuk hidup telah memaksanya melakukan tindakan
itu, dan ia akan dapat mengatakan berbagai alasan kelak kepada Macan Kepatihan.
Tetapi tanpa disangka-sangka,
maka terasa bahwa pedangnya tergetar. Bukan karena ujungnya menyobek kulit
orang tua itu, tetapi, ia melihat, orang tua itu bergeser cepat sekali ke
samping. Pedangnya berlari tidak lebih dari tebal jari tangannya di samping
tubuh juru masak yang malas itu. Namun sasaat kemudian dunianya seakan-akan
berguncang. Ia sendiri terdorong ke samping oleh kekuatan yang dahsyat dan
tangannya terasa nyeri bukan buatan, sehingga tanganya itu terasa lumpuh.
Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya telah terlepas dari tangannya
berpindah ke tangan Sumangkar, juru masak yang memuakkannya.
Sesaat Tundun membeku di
tempatnya. Tangannya masih terasa sakit bukan buatan di pergelangan. Bahkan
Tundun itu menjadi cemas bahwa tangannya menjadi retak, dan cacat di tubuhnya
bertambah-tambah lagi.
“Menepilah anak manis,”
berkata Sumangkar itu, “jangan turut mencampuri urusan orang tua-tua.”
Tundun memandangnya dengan
pandangan yang bergejolak. Matanya memancarkan beribu macam perasaan yang aneh
di dalam dirinya, yang justru telah mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang
tak dikenalnya. Sumangkar itu telah membingungkannya.
Tetapi Ki Tambak Wedi dan
Sidanti sama sekali tidak terkejut melihat peristiwa itu. Mereka sudah
mengetahui, bahwa akan demikianlah akhirnya. Tetapi mereka mengharap, bahwa
kawan-kawan Tundun akan membela pemimpinnya itu dan bersama-sama menyerang
Sumangkar. Dengan demikian maka ia dengan bebas dapat membunuh Sumangkar
bersama muridnya tanpa gangguan apapun, meskipun orang-orang Jipang itu sama
sekali tidak akan berarti.
Tetapi keadaan itu berkembang
menurut iramanya sendiri. Sumangkar yang telah menggenggam pedang di tangannya
cepat-cepat berteriak sebelum Ki Tambak Wedi berhasil mempengaruhi suasana.
“Nah, orang-orang Jipang. Sekarang, apakah kalian akan berdiam diri? Apakah
kalian akan mengikuti perbuatan Tundun membunuhku? Dengar. Kalian bersama-sama
telah dapat mengalahkan, setidak-tidaknya membuat murid Tambak Wedi itu tidak
berdaya. Apakah kalian tidak berbangga karenanya. Murid Tambak Wedi yang
menakutkan itu dapat kalian kalahkan. Sekarang, meskipun Tundun tidak akan
mampu ikut berkelahi, namun kalian masih cukup kekuatan untuk mengulangi
kemenangan itu. Sedang Tambak Wedi, serahkanlah kepadaku. Kalau aku tidak mampu
memancung kepalanya, biarlah kepalaku yang kalian pancung di hadapan Tambak
Wedi.”
Bukan main besar pengaruh
kata-kata Sumangkar itu. Yang pertama-tama menyadari kedudukannya adalah
Bajang. Dengan sigapnya ia meloncat maju sambil berkata, “Aku telah dilukainya.
Kini aku akan membalasnya.”
“Bagus Bajang, kesempatan itu
akan datang. Bagaimana yang lain. Apakah kalian lebih senang melihat kawan
sendiri terbunuh, atau kalian ingin melihat kita bersama-sama melakukan
kewajiban dengan baik?”
Apa yang terjadi telah
benar-benar menggerakkan hati prajurit-prajurit Jipang itu. Ketika mereka
kemudian melihat Bajang yang telah melelehkan darah itu bergerak, maka serentak
merekapun bergerak pula. Tanpa disadari, maka lingkaran di sekitar Tambak Wedi
dan Sidanti telah pulih kembali. Kedua orang itu kini berdada di tengah-tengah
kepungan.
“Gila,” geram Tambak Wedi,
“ternyata kalian telah sekarat.”
“Setiap prajurit menyadari,
bahwa kemungkinan itu dapat terjadi. Mati di peperangan. Tetapi bukan mati
karena pedang kawan sendiri” sahut Sumangkar.
“Persetan! Aku akan
menunjukkan bahwa Tambak Wedi tidak dapat dilawan oleh siapapun juga.”
“Sumangkar adalah salah satu
perkecualian,” sahut Sumangkar lantang.
Sidanti ternyata tidak dapat
mengekang dirinya lagi. Tiba-tiba ia memutar pedangnya, dan dengan derasnya pedang
itu menyambar kepala Sumangkar.
Yang melihat gerakan itu
berdesir. Gerak itu terlampau cepat. Jauh lebih cepat dari yang dilakukan oleh
Tundun. Karena itu, maka terdengar desis tertahan. Seakan-akan mereka pasti
bahwa kepala Sumangkar akan terpangkas.
Tetapi sekali lagi mereka
menjadi heran. Ternyata Sumangkar mampu menghindari serangan. Dengan cepat pula
ia berhasil merendahkan dirinya dan melontar ke samping. Bahkan dengan satu
gerakan yang lebih cepat dari gerakan Sidanti, Sumangkar berhasil memukul
pedang anak muda itu. Demikian keras dan dahsyatnya sehingga pedang itu
terpental, lepas dari genggaman dan jatuh beberapa langkah.
Tambak Wedi yang melihat
peristiwa itu menggeram marah sekali. Ia sudah tentu tidak akan membiarkan
muridnya terbunuh di hadapan hidungnya. Cepat seperti petir yang meloncat di
langit, Tambak Wedi menyerang Sumangkar. Di tangannya telah tergenggam sepasang
gelang yang melindungi tangannya, sekaligus merupakan senjata yang berbahaya
pula. Sentuhan dari gelang itu akan dapat memecahkan tulang-tulang kepala dan
merontokkan iga.
Seandainya Tohpati ada di
tempat itu dan bertempur berpasangan bersama Sumangkar, maka Sidanti sudah
tidak akan dapat keluar lingkaran pertempuran itu dengan tubuhnya. Tohpati
pasti akan dapat menyesuaikan dirinya, selagi pedang Sidanti itu terjatuh.
Sebab Sumangkar telah langsung melawan Tambak Wedi dengan sekuat tenaganya,
sehingga Tambak Wedi tidak sempat untuk menolong muridnya itu. Tetapi kali ini
yang ada di sekitar perkelahian itu adalah prajurit-prajurit Jipang yang
berdiri keheranan. Mereka baru menyadari keadaan itu ketika Sidanti telah
berhasil memungut pedangnya kembali dan siap bertempur melawan mereka itu.
Sumangkar yang melihat Sidanti
telah berhasil menguasai dirinya kembali menjadi kecewa. Karena itu segera ia
berteriak, “He, anak-anak Jipang yang berani. Kenapa kalian berdiri saja
seperti tonggak. Ayo, selesaikan tugasmu.”
Suara Sumangkar itu
seolah-olah jatuhnya sebuah perintah dari seorang panglima yang mereka segani.
Serentak mereka berloncatan yang menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Sidanti pun
telah bersiap pula. Karena itu, demikian serangan itu datang, maka dengan
sekuat tenaganya, serangan itu dilawannya. Dengan lincahnya ia menari-nari di
antara ujung-ujung senjata lawannya. Namun lawannya ternyata terlalu banyak,
sehingga dengan seluruh kekuatan dan kecakapannya ia harus mempertahankan
dirinya. Tetapi terasa jari-jari tangannya menjadi nyeri karena senjatanya
beradu dengan senjata Sumangkar sampai terlepas, sehingga betapapun kecilnya
berpengaruh juga atas kelincahan tangannya.
Ki Tambak Wedi yang melihat
keadaan muridnya menjadi cemas. Sidanti ternyata mengalami tekanan-tekanan yang
berat. Sedang dirinya sendiri terikat pada lawannya yang menyerangnya seperti
orang yang sedang mabuk, meskipun pasti tak akan dapat menjatuhkannya.
Sumangkar memang berjuang
dengan sepenuh tenaga. Diperasnya segenap kemampuan dan kekuatannya. Menurut
perhitungannya, seandainya ia akan kehabisan tenaga, namun Sidanti akan lebih
dahulu runtuh daripadanya, sebab betapapun saktinya anak muda itu, tetapi
melawan prajurit-prajurit Jipang yang sekian banyaknya adalah pekerjaan yang
mustahil dapat dilakukannya.
Ki Tambak Wedi yang telah
menyimpan pengalaman yang banyak sekali di dalam dirinya melihat pula keadaan
itu. Setidak-tidaknya ia mengerti apa yang dikehendaki oleh Sumangkar. Namun
sebagai seorang yang sakti, segera ia dapat mengerti pula, bahwa sebenarnya
muridnya akan banyak mengalami kesulitan, sedang dirinya sendiri tidak akan
dapat segera memberinya pertolongan.
“Sumangkar ini benar-benar
gila,” desahnya di dalam hati. Karena itu segera ia mencari cara untuk
melepaskan diri dari keadaan yang mengkhawatirkan itu.
Tiba-tiba dalam keriuhan
pertempuran terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. “Sidanti jangan kau lukai
lawan-lawanmu. Jangan kau sakiti hatinya. Meskipun Sumangkar yang gila ini
merusakkan rencana kita, namun aku masih tetap dalam pendirianku. Kami harus
membuka pintu untuk menolong anak-anak yang malang ini.”
Sidanti tidak segera mengerti maksud
gurunya. Bahkan ia mengumpat-umpat di dalam hatinya. Beberapa kali terasa
ujung-ujung senjata lawannya telah menyentuh pakaiannya, dan bahkan beberapa
kali terasa goresan pada kulitnya, namun kenapa gurunya masih melarangnya untuk
melukai lawannya.
Dan terdengar kembali suara
Tambak Wedi. “Sidanti, bukankah maksud kita kali ini hanya sekedar
memperkenalkan diri. Nah kini pekerjaan kita sudah selesai. Marilah kita
tinggalkan perkemahan ini.”
Barulah Sidanti menyadari
maksud gurunya. Betapapun kemarahan meluap di hatinya, tetapi ia harus mengakui
pula keadaannya. Ia harus menyadari bahwa ia tidak akan mampu melawan
orang-orang Jipang itu sekaligus, apalagi jari-jari tangannya kini terasa
menjadi nyeri.
Dalam pada itu terdengar
kembali suara gurunya. “Nah, Sidanti lepaskanlah lawan-lawanmu. Biarlah mereka
tetap dalam keadaannya. Kita akan tetap menanti kedatangan mereka di padukuhan
kita atau di tempat asalmu kelak apabila perlu.”
Sidanti tahu benar akan
kesulitannya sendiri. Alasan gurunya mengorbankan harga dirinya. Karena itu,
tiba-tiba ia meloncat untuk memberinya kesempatan meninggalkan pertempuran itu,
dengan lincahnya memutar senjata untuk menerobos lawan-lawannya yang selalu
berusaha untuk mengepungnya. Geraknya benar-benar cepat tidak terduga, sehingga
sesaat kemudian Sidanti telah berhasil keluar dari lingkungan pertempuran.
Dengan tangkasnya kemudian
Sidanti menghindari setiap sergapan sambil melangkah surut. “Aku sudah bebas
Guru,” katanya sambil terus-menerus mengundurkan dirinya sambil melawan dan
berusaha untuk tidak masuk ke dalam kepungan.
“Bagus,” sahut gurunya, “kau
adalah muridku yang baik. Betapapun juga kau mengalami kesulitan, tetapi kau
tetap tidak mau menyakiti hati prajurit-prajurit Jipang yang berani. Nah,
tinggalkan mereka. Akupun akan segera pergi.”
Sidanti tidak menunggu
perintah gurunya itu diulangi. Segera ia bersiap melontar surut dan melepaskan
diri dari daerah perkemahan itu.
Sumangkar yang melihat cara Ki
Tambak Wedi dan muridnya melepaskan diri mengumpat tak habis-habisnya. Katanya,
“Pengecut. Kalian telah berani masuk ke dalam sarang srigala. Tetapi
sifat-sifat kalian lari, meskipun alasan kalian tampaknya terlalu menyakinkan?”
Sidanti yang sudah agak jauh
mendengar teriakan itu. Darah mudanya kembali menyala di dalam dadanya,
sehingga tiba-tiba ia berhenti sambil menyahut. “Ayo, kelinci-kelinci yang
mengaku srigala, inilah Sidanti.”
“Jangan hiraukan,” teriak
gurunya, “kalau kau bertempur lagi Sidanti, mungkin kau akan terpaksa membunuh
lawan-lawanmu. Dengan demikian di antara kita akan timbul persoalan-persoalan
yang sulit kita lupakan. Tinggalkan tempat ini.”
Sidanti menggeram ketika ia
mendengar Sumangkar tertawa. “Bagus. Apapun alasanmu, tetapi kami di sini akan
mendapat kesan atas nilai-nilai pribadi Tambak Wedi dan muridnya.”
Ki Tambak Wedi-lah yang
menyahut kata-kata itu. “Suatu ketika kau akan berkata lain, Sumangkar.”
Sumangkar tidak menjawab.
Tetapi ia menyerang terus dan bahkan terdengar ia meneriakkan aba-aba. “Jangan
lepaskan Sidanti. Ia akan kembali dengan dendam di dalam hatinya. Jangan
biarkan ia dapat melepaskan diri.”
“Jangan hiraukan, Sidanti,”
teriak Ki Tambak Wedi.
Betapapun juga, namun Sidanti
dapat mengerti perintah gurunya. Karena itu, meskipun darah di dalam jantungnya
serasa menyala, namun ia terpaksa meninggalkan pertempuran itu.
Demikian Sidanti menghilang,
maka demikian pula Ki Tambak Wedi melontarkan dirinya, menghindari
serangan-serangan Sumangkar yang datang bertubi-tubi. Sekali ia melawan namun
di saat-saat lain ia meloncat surut, semakin lama semakin jauh, tetapi
Sumangkar masih belum melepasnya.
Namun ternyata Ki Tambak Wedi
yang sebenarnya tidak kalah dari Sumangkar itu, berhasil pula melepaskan
dirinya. Dengan menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar di sekitar tempat itu,
ia dapat menghindari serangan-serangan dan kejaran Sumangkar.
Sumangkar menggeram marah
sekali. Terdengar ia berteriak di antara kawan-kawannya, “Ayo, kenapa kalian
hanya berdiri terpaku seperti nonton pacuan kuda? Kepung setan itu.”
Tetapi betapapun usahanya,
namun Ki Tambak Wedi benar-benar berhasil lolos dari mereka, seolah-olah mampu
menghilang. Namun di kejauhan terdengar suaranya melingkar-lingkar di dalam
hutan. “Sumangkar, suatu ketika kau akan menyesal.”
“Setan!” sahut Sumangkar
dengan suara yang keras, “sekarang kami siap menunggumu.”
Tetapi Ki Tambak Wedi itupun
lenyap dari antara mereka.
Meskipun demikian, meskipun Ki
Tambak Wedi tidak berhasil mempengaruhi orang-orang Jipang pada saat itu, namun
ia telah berhasil melontarkan tawarannya. Ia telah berhasil menyatakan
perbandingan antara diri mereka dengan Macan Kepatihan. Sehingga bagaimanapun
juga, Ki Tambak Wedi yakin bahwa di saat-saat mereka duduk termenung,
tawarannya akan berkumandang kembali di dalam hati mereka. Dengan demikian, Ki
Tambak Wedi itu telah berhasil meletakkan sebuah persoalan di dalam hati
prajurit-prajurit Jipang yang sedang mengalami kesulitan lahir dan hatin.
Tetapi yang mula-mula
menggoncangkan hati anak-anak Jipang itu adalah Sumangkar itu sendiri. Juru
masak yang malas itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati setiap
orang yang telah melihat apa saja yang telah dilakukannya. Apalagi Tundun, yang
kini berdiri membeku. Sekali-sekali mulutnya menyeringai karena sengatan rasa
sakit pada tangannya.
Ketika ia melihat Ki Tambak
Wedi yang ganas itu melarikan dirinya, maka hatinya benar-benar bergelora. Ia
tidak menyangka bahwa juru masak itu berhasil mengusir Tambak Wedi yang
menakutkan di seluruh wilayah lereng Gunung Merapi itu. Namun setelah itu,
setelah Tambak Wedi tidak nampak lagi di mata mereka, timbullah kecemasan dan
ketakutan yang lain di dada Tundun itu. Betapa Sumangkar akan membalasnya. Ia
pasti tidak akan mampu berbuat apa-apa, seperti ia tidak akan mampu melawan Ki
Tambak Wedi.
Karena itu, maka kemudian
dipandangnya Sumangkar itu dengan gelora di dalam dirinya.
“Apakah yang akan
dilakukannya?” katanya dalam hati. Aneh. Orang itu adalah orang yang aneh.
Apakah ada setan yang manjing ke dalam dirinya?
Sumangkar sendiri kemudian
berdiri kaku di tempatnya. Ia menjadi sangat kecewa atas lenyapnya Ki Tambak
Wedi dan Sidanti. Kedua orang itu tidak kalah berbahayanya daripada pasukan
Pajang di Sangkal Putung bagi Macan Kepatihan dan pasukannya. Mungkin suatu
saat Macan Kepatihan akan kehilangan kewibawaannya atas anak buahnya karena
pokal Ki Tambak Wedi itu. Mungkin anak buahnya satu demi satu akan menghilang
dan menggabungkan diri dengan Hantu Lereng Merapi itu. Dengan demikian
persoalannya akan menjadi semakin sulit. Macan Kepatihan harus menghadapi
persoalan baru yang tidak kalah rumitnya dengan persoalan-persoalan yang telah
ada, apalagi hal itu pasti akan langsung menyentuh harga diri Macan Kepatihan
itu.
Sedangkan apabila Macan
Kepatihan menerima kehadiran mereka di dalam lingkungannya, maka keadaannya
sama sekali tidak akan bertambah baik. Hubungan antara pasukan Jipang dengan
Pajang pasti akan bertambah buruk. Pertentangan akan semakin menyala dan
membakar rakyat Jipang dan Pajang sendiri. Kematian dan bencana akan menjadi
semakin bertambah-tambah. Sedangkan tujuan terakhir dari perlawanan itu sama
sekali tidak akan dapat diharapkan. Pajang tidak saja berisi Untara, Widura dan
anak buahnya di Sangkal Putung. Tetapi Pajang memiliki panglima-panglima yang
mumpuni. Ki Gede Pamanahan adalah lambang dari kekuatan Wira Tamtama Pajang,
dan puteranya Loring Pasar adalah kekuatan yang tidak ada taranya di antara
angkatan mudanya.
Sesaat Sumangkar itu tenggelam
dalam angan-angannya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di sekitarnya masih
berdiri para prajurit Jipang. Bahkan mereka yang lukapun masih belum mendapat
perawatan sama sekali.
“He, kenapa kalian menjadi
bingung” katanya kemudian. “Lihat kawan-kawanmu yang luka. Nah, tolonglah dan
obati mereka.”
Beberapa orang tersadar dari
kekagumannya. Segera mereka mencoba merawat kawan-kawan mereka dan membawa
mereka kembali ke perkemahan. Tetapi ketika seseorang mengajak Bajang kembali,
terdengar Bajang menjawab, “Aku masih mampu berjalan sendiri.”
Tetapi sepeninggal kawannya
itu, Bajang berjalan perlahan-lahan mendekati Sumangkar. Dengan hormatnya ia
mengangguk sambil berkata, “Maafkan aku. Bagaimana aku harus bersikap setelah
aku melihat apa yang telah kau lakukan.”
“Oh,” seru Sumangkar, “aku
tidak menuntut perubahan sikap kalian terhadapku. Aku tetap seorang juru
masak.”
“Hem,” desah Bajang, “alangkah
bodohnya aku. Kenapa aku tidak melihat keadaan ini sebelumnya. Kenapa aku tidak
tahu siapakah sebenarnya Sumangkar itu.”
“Jangan ribut” sahut
Sumangkar. “Kembalilah dan pelihara lukamu. Mungkin Sidanti dan Ki Tambak Wedi
akan datang di saat-saat lain.”
Kembali Bajang mengangguk
hormat. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Sumangkar yang masih berdiri
di tempatnya.
Yang tinggal kemudian adalah
Tundun sendiri. Dengan cemas ia melihat Sumangkar masih menggenggam pedangnya.
Orang tua itu masih belum meninggalkan tempatnya dan bahkan kemudian
perlahan-lahan melangkah mendekatinya.
“Kenapa kau masih berdiri
disitu?” terdengar orang tua itu bertanya.
Tundun itupun kemudian
menjawab dengan gemetar, “Tidak, tidak.”
“Apa yang tidak?” bertanya
Sumangkar pula.
Tundun menjadi bingung. Ia
tidak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.
Perlahan-lahan Sumangkar
datang kepadanya sambil berkata, “Kenapa kau tidak kembali ke perkemahan?”
“Ya, ya,” sahut Tundun terbata-bata,
“aku akan kembali.”
“Nah kembalilah,” berkata
Sumangkar pula.
Tundun memandang Sumangkar
tanpa berkedip. Terasa tengkuknya meremang, seakan-akan Sumangkar itu telah
mencengkamnya dan dengan penuh kemarahan membantingnya jatuh di tanah.
Tetapi Sumangkar masih tegak.
Bahkan kembali ia mendengar suaranya. “Marilah kita kembali bersama-sama.”
Seperti orang kehilangan
kesadaran ketika Tundun melihat Sumangkar berjalan mendahului, iapun berjalan
pula di belakangnya dengan kepala tunduk. Hanya sekali-sekali terasa sakit di
tangannya masih menyengat-nyengat. Tetapi ia sama sekali tidak berani mengeluh.
Bahkan ia terkejut ketika tiba-tiba Sumangkar berkata, “Apakah tanganmu masih
sakit?”
Sesaat Tundun menjadi bingung.
Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Sudah tidak sakit.”
Mendengar jawaban itu
Sumangkar berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya tangan kiri Tundun
meraba-raba tangan kanannya. Dan Tundun pun terkejut pula. Tergagap-gagap ia
berkata, “Masih. Tanganku masih sakit.”
Sumangkar tersenyum. Ia masih
menggenggam pedang Tundun. Karena itu maka katanya sambil menyerahkan pedang
itu, “Inilah pedangmu.”
Tundun memandang Sumangkar
seperti memandang hantu sehingga Sumangkar tertawa karenanya. “Jangan cemas,
aku tidak apa-apa.”
Kata-kata Sumangkar itu
seolah-olah telah mengembalikan segenap kesadaran Tundun. Tiba-tiba ia merasa
betapa besar kesalahan yang telah dilakukan atas orang tua itu sehari ini.
Sehingga sampai pada puncak kebodohannya mencoba membunuhnya. Karena itu
tiba-tiba Tundun itu berjongkok di hadapan Sumangkar sambil berkata, “Maafkan
aku. Maafkan aku. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Tuan.”
“E, e,” Sumangkar terkejut
melihat sikap itu. Dengan serta merta ditariknya lengan Tundun. “Berdirilah,
aku bukan orang berpangkat di sini. Aku adalah seorang juru masak.”
“Tetapi apa yang Tuan lakukan
telah benar-benar mengejutkan. Tuan telah berhasil mengusir Ki Tambak Wedi.”
“Bukan aku seorang diri,”
jawab Sumangkar, “tetapi bersama-sama.”
“Tetapi aku telah berani
mencoba membunuh Tuan.”
“Jangan sebut-sebut itu lagi.
Lupakanlah. Namun hal ini dapat kau jadikan pelajaran, bahwa kau harus lebih
banyak mempergunakan otakmu daripada tenaga dan perasaanmu.”
“Baik Tuan.”
“Jangan panggil aku Tuan.”
Tundun tidak menyahut, tetapi
ia hanya mengangguk saja.
“Nah, kembalilah dahulu,”
berkata Sumangkar, “rusa panggang itu telah masak.”
“Bukan untukku,” sahut Tundun.
Kembali Sumangkar tertawa.
Dipandanginya saja kemudian, ketika Tundun itu meninggalkannya kembali ke
perkemahan. Sekali-sekali ia masih meraba- raba tangannya yang seakan-akan
terkilir. la hanya merasakan sebuah tangkapan pada pergelangan tangannya. Dan
yang diketahui kemudian pedangnya terlepas dan berpindah ke tangan Sumangkar,
sedang dirinya sendiri terdorong beberapa langkah ke samping.
“Benar-benar di luar
dugaanku,” keluh Tundun.
Sepeninggal Tundun, Sumangkar
berdiri seorang diri dalam terik cahaya matahari yang menyusup di antara
celah-celah dedaunan. Sekali-sekali ia memandangi matahari itu. Dan setiap kali
ia bergumam dengan lirih, “Apa yang terjadi di pertempuran itu?”
Kedatangan Ki Tambak Wedi dan
Sidanti telah menambah hati orang tua itu menjadi gelisah. Ia tidak sampai hati
melihat Macan Kepatihan kehilangan kewibawaannya, kehilangan kepercayaan kepada
diri sendiri, sebagai penerus keturunan ilmu Kedung Jati. Tetapi ia sebenarnya
tidak bisa melihat perkembangan yang semakin suram dari murid saudara
seperguruannya itu dalam perjuangannya. Sebenarnya Sumangkar tidak dapat
menyetujui seluruh apa yang dilakukan oleh Tohpati. Tetapi ia tidak dapat
mencegahnya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada apa yang dilakukannya sampai
saat terakhir. Justru karena Tohpati tahu, bahwa ia tidak sependapat dalam
beberapa hal, maka diletakkannya Sumangkar di sudut- sudut perkemahan, di
tepi-tepi perapian, seperti kesenangannya sendiri. Memasak.
“Saat ini anak itu sedang
berjuang melawan maut,” desis Sumangkar itu sambil sekali lagi menatap
matahari, “mudah-mudahan ia selamat.”
Namun hatinya berdesir
mengenang pertempuran kali ini. Pertempuran yang menurut kata-kata Macan
Kepatihan sendiri, adalah pertempuran terakhir?
“Kenapa terakhir?” gumamnya.
Sumangkar kemudian berjalan
menepi. Perlahan-lahan diletakkannya tubuhnya di bawah rindangnya pohon Benda.
Sekali-sekali dikenangnya wajah Ki Tambak Wedi yang bengis dan sekali
dibayangkannya wajah-wajah yang tegang di medan peperangan sangkal Putung.
“Keduanya merupakan bahaya,”
desisnya, “kenapa aku tidak diperbolehkannya ikut serta.” Sumangkar itu berkata
kepada diri sendiri. “Tetapi kalau aku pergi, maka perkemahan ini pasti akan
menjadi ajang pengaruh Ki Tambak Wedi itu. Mungkin Tundun dan kawan-kawannya
telah pergi meninggalkan Macan Kepatihan. Dengan demikian, maka perkemahan ini
akan menjadi kosong. Nanti apabila laskar itu datang kembali, maka mereka akan
menjadi semakin parah. Parah karena pertempuran itu, dan parah karena mereka
datang di tempat yang kosong. Tanpa penyambutan, tanpa makanan. Alangkah
sedihnya Macan Kepatihan. Apalagi kalau usahanya kali ini untuk merebut sangkal
Putung tidak berhasil.”
Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Namun ia tidak juga berdoa supaya Macan Kepatihan berhasil merebut
Sangkal Putung. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana perempuan dan kanak-kanak
Sangkal Putung menjadi ketakutan dan menjadi barang rayahan yang akan
diperlakukan dengan semena-mena.
Karena itu Sumangkar menjadi
bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan?
Ketika kemudian ia melihat
seseorang di kejauhan, maka segera ia berdiri dan berjalan ke perkemahan
kembali. Kepada orang yang dilihatnya itu Sumangkar melambaikan tangannya
memanggil.
Orang yang dipanggilnya itupun
datang mendekat, seolah-olah sedang menyongsongnya.
“Akan kemanakah kau?” bertanya
Sumangkar.
“Mengambil air,” jawab orang
itu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah luka Bajang sudah diobati?”
“Sudah.”
“Bagaimana keadaannya?”
“Tidak apa-apa. Ia sudah dapat
bekerja lagi di dapur.”
“Tolong panggil anak itu
kemari.”
Orang itupun segera kembali
untuk memanggil Bajang. Sumangkar sendiri tidak meneruskan Iangkahnya. Kini
kembali ia duduk di bawah rimbunnya dedaunan hutan. Sekali-sekali
diamat-amatinya burung-burung liar yang berterbangan, hinggap dari dahan yang
satu ke dahan yang lainnya.
Bajangpun segera datang
mendekatinya. Tetapi sikap anak itu telah jauh berbeda dari sikapnya
sehari-hari.
“Kiai memanggiI aku?” ia
bertanya.
Mendengar pertanyaan itu
Sumangkar terkejut, tetapi iapun tersenyum. “Sejak kapan kau menyebut aku
demikian?”
Bajang menjadi tersipu-sipu
sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Duduklah Bajang,” minta
Sumangkar.
Bajang pun segera duduk di
samping Sumangkar. Terasa beberapa pertanyaan melonjak-lonjak di dalam dadanya.
Dalam tanggapannya Sumangkar yang duduk di sampingnya itu sama sekali bukan
Sumangkar yang dikenalnya setiap hari. Sumangkar itu seolah-olah adalah orang
baru di dalam perkemahan itu. Orang baru yang sakti melampaui kesaktian Macan
Kepatihan sendiri.
“Bajang,” berkata Sumangkar.
Sumangkar sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia menaruh kepercayaan kepada
anak itu. Tiba-tiba saja ia melihat kelebihan Bajang dari orang-orang lain,
sejak ia melihat sikap anak itu menghadapi kekasaran Tundun atasnya. Dan
kemudian dilanjutkannya kata-katanya. “Apakah pekerjaanmu sudah siap?”
“Belum seluruhnya Kiai, tetapi
segera akan selesai.”
“Maksudku, bagaimanakah kalau
aku hari ini berhalangan membantumu di dapur? Apakah pekerjaan kita dapat
selesai sebelum petang?”
“Oh, tentu, tentu. Dan
seharusnya Kiai tidak lagi bersusah payah bekerja di dapur. Kiai dapat memerintahkan
Tundun untuk melakukannya. Ia pasti tidak berani membantah lagi.”
“Tidak Bajang. Aku sendiri
memang memilih pekerjaan itu. Jangan kau sangka bahwa Macan Kepatihan tidak
mengenal aku. Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda itupun mengenal siapa Sumangkar.
Tetapi sengaja aku minta mereka untuk membiarkan aku melakukan pekerjaan yang
aku senangi.”
“Oh, jadi Raden Tohpati telah
mengenal Kiai?”
“Sudah Bajang. Sejak di
Kepatihan Jipang. Mantahun adalah kakak seperguruanku.”
“Oh” Bajang menjadi pucat.
Tetapi cepat-cepat Sumangkar
menyambung, “Tetapi aku sama sekali bukan seorang pejabat pemerintahan seperti
Patih Mantahun. Aku sejak di kepatihan, adalah seorang juru masak.”
Bajang menundukkan kepalanya.
Baru kini ia menjadi jelas siapakah kawannya yang selama ini dianggapnya
sebagai seorang tua yang telah tidak lagi mampu bekerja terlalu keras, yang
oleh orang-orang lain disebutnya juru masak yang malas.
“Tetapi Bajang,” berkata
Sumangkar kemudian, “jangan kau menganggapku berlebih-lebihan. Sikapmu jangan
kau rubah seperti terhadap seorang pemimpin.”
“Bajang,” kembali terdengar
suara Sumangkar, “bagaimana dengan pertanyaanku? Hari ini aku tidak dapat
membantumu?”
“Tidak apa-apa Kiai. Betul,
aku dan kawan-kawan yang lain akan dapat menyelesaikannya. Silahkan Kiai
beristirahat.”
Sumangkar menggeleng. Katanya,
“Aku tidak ingin beristirahat, Bajang.”
Sekilas Bajang berpaling.
Dilihatnya wajah Sumangkar yang suram. Lalu terdengar ia bertanya, “Apa yang
akan Kiai lakukan sekarang?”
“Aku akan pergi.”
“Pergi?”
“Ya.”
“Kiai akan pergi ke mana?”
desak Bajang.
Sesaat Sumangkar menjadi
ragu-ragu. Tetapi kemudian jawabnya, “Sebenarnya sejak Macan Kepatihan
berangkat, hatiku menjadi gelisah. Seolah-olah aku melepas anak di tepi
sungai.”
Bajang mengangkat wajahnya.
Tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa Kiai tidak turut ke Sangkal Putung. Bukankah
tenaga Kiai akan sangat berguna untuk merebut daerah itu?”
“Aku tidak tahu, kenapa Macan
Kepatihan menolak tawaranku. Disuruhnya aku tinggal di perkemahan ini.”
“Apakah sekarang Kiai akan
menyusul ke Sangkal Putung?”
Sumangkar mengangguk. “Ya,”
jawabnya, “aku ingin melihat pertempuran itu.”
Bajang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah aku dapat ikut serta Kiai.”
Sumangkar menggeleng. “Jangan.
Perjalananku mempunyai bentuk yang lain dari perjalanan sebuah pasukan. Karena
itu, biarlah aku pergi sendiri. Bukankah kau mempunyai pekerjaan yang cukup
penting di sini, menyiapkan makan untuk pasukan itu.”
Bajang mengangguk. Gumamnya,
“Baik Kiai.”
Mereka berdua, Bajang dan
Sumangkar, untuk sesaat saling berdiam diri. Mata Sumangkar yang redup
memandang jauh menembus rimbunnya hutan. Hatinya kini sedang dilibat oleh
kebimbangan dan keragu-raguan. Ia merasa bahwa seakan-akan kini ia berdiri di
simpang jalan. Dan diketahuinya bahwa kedua simpangan itu sama-sama tidak
dikehendakinya. Bahkan kembalipun tidak akan dapat ditempuhnya.
Tiba-tiba Sumangkar itu
tersentak ketika ia mendengar seperti jerit seseorang. Ketika ia mengangkat
wajahnja, barulah disadarinya, bahwa suara itu adalah suara seekor burung elang
yang bertempur di udara.
“Hem,” desahnya, “aku harus
pergi Bajang.”
Bajang berpaling sambil
mengangguk, “Silahkan Kiai. Kedatangan Kiai akan banyak memberi bantuan kepada
pasukan itu.”
Sumangkar menggeleng. “Belum
tentu. Bahkan mungkin aku akan diusir oleh angger Tohpati.”
“Kalau Raden Tohpati itu
memerlukannya, maka kehadiran Kiai akan sangat membesarkan hatinya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berdiri, membenahi pakaiannya dan berbisik seakan-akan
kepada dirinya sendiri, “Aku akan pergi. Tetapi aku harus kembali dulu ke
perkemahan.”
“Marilah Kiai,” sahut Bajang.
Sumangkar kemudian tidak
berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia berjalan ke perkemahan langsung masuk ke
dalam gubugnya. Bajang yang mengikutinja, berdiri tegak di muka pintu gubug
sambil mengawasi apa yang sedang dicari oleh Sumangkar itu di bawah tumpukan
jerami, tempat ia tidur di malam hari.
Bajang terkejut ketika ia
melihat benda itu. Ia pergi ke mana saja bersama pasukan dan ia pergi ke mana
saja bersama Sumangkar, tetapi ia belum pernah melihat benda itu.
“Benda ini adalah benda
peninggalan,” desis orang tua itu. “Jarang kau melihatnya. Aku selalu
membawanya di antara barang-barang yang lain dan terbalut kain.”
Benda itu mirip benar dengan
benda yang paling berharga dalam pasukan itu, meskipun agak lebih kecil.
Tongkat baja putih, dengan kepala yang berwarna kekuning-kuningan. Mirip benar
dengan tongkat baja putih milik Tohpati.
Dengan suara gemetar Bajang
bertanya, “Apakah benda itu lain dengan yang dimiliki oleh Raden Tohpati?”
“Gurunya adalah seperguruan
dengan aku. Kami masing-masing menerima senjata serupa. Dan Senjata kakak
seperguruanku itu kini telah jatuh ke tangan Tohpati, murid satu-satunya.”
Bajang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia belum pernah melihat Sumangkar menjinjing senjata, selain
menjinjing kapak, pisau dapur atau sebuah kelewang pembelah kayu. Kini orang
tua itu menjinjing sebatang tongkat baja putih berkepala kekuning-kuningan
berbentuk tengkorak, agak lebih pendek sedikit dari tongkat Tohpati. Alangkah
jauh bedanya. Sumangkar yang setiap hari berjongkok di dapur dan Sumangkar yang
menjinjing tongkat itu. Karena itu maka terasa hatinya berdesir.
“Kiai, ternyata Kiai adalah
seorang yang menakjubkan. Meskipun Kiai dapat mengimbangi kesaktian Ki Tambak
Wedi, namun selama ini Kiai dapat merendam diri dalam keprihatinan,” berkata
Bajang kemudian.
“Kau salah sangka Bajang,”
sahut Sumangkar. “Selama ini aku sama sekali tidak merendam diri dalam
keprihatinan. Bahkan aku merasa bahwa aku mendapat istirahat yang panjang. Aku
tidak perlu lagi bekerja terlalu berat di peperangan. Betapapun saktinya
seseorang, namun perang adalah pekerjaan yang berat. Mungkin aku merasa bahwa
seseorang tidak berarti dalam olah senjata, namun di dalam peperangan ia tidak
berdiri sendiri. Dan aku tidak hanya melawan musuh-musuh itu seorang lawan
seorang. Seandainya musuh-musuhku adalah orang-orang yang lemah dan sama sekali
tidak berarti sehingga aku akan dapat membunuhnya seperti menebas batang
ilalang, namun dalam keadaan yang demikian, musuh yang terberat adalah perasaan
sendiri. Apakah aku akan dapat tidur dengan tenang setelah aku mengotori
tanganku dengan darah orang yang lemah dan tidak berarti itu? Apakah aku akan
dapat tidur nyenyak kalau aku sempat menghitung orang yang telah aku bunuh?
Tidak Bajang. Aku tidak bisa. Karena itu pekerjaan di dapur adalah pekerjaan
yang menyenangkan bagiku. Bagi seorang pemalas.”
Bajang tidak menjawab. Kini ia
melihat Sumangkar itu telah siap. Dan Bajang itu mendengar Sumangkar berkata,
“Lakukan pekerjaanmu baik-baik Bajang. Aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk
melihat peperangan itu.”
Bajang melangkah ke samping
ketika Sumangkar berjalan ke pintu. Lamat-lamat terdengar ia berdesis, “Selamat
jalan Kiai. Mudah-mudahan perjalanan Kiai akan sangat berarti.”
Sumangkar mengangguk.
Sahutnya, “Mudah-mudahan. Apakah kau ingin aku turut bertempur?” bertanya orang
tua itu.
Bajang mengangguk, “Ya,”
jawabnya.
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kata-kata Bajang adalah kata-kata yang wajar. Setiap prajurit Jipang
menghendaki kemenangan. Setiap prajurit Jipang ingin segera membelah Sangkal
Putung, menguasainya, dan memiliki setiap kekayaan yang ada di dalamnya. Tetapi
apakah dengan mengalahkan Sangkal Putung, Pajang akan tunduk di bawah kaki
Macan Kepatihan?
“Hem,” Sumangkar itu
menggeleng. “Jauh. Terlalu jauh jalan yang harus ditempuh,” katanya di dalam
hati. “Mungkin sepanjang umurku keinginan untuk itu tidak akan pernah tercapai.
Yang dapat dilakukan adalah menduduki suatu tempat, untuk kemudian
meninggalkannya setelah dirampas segenap kekayaan. Dalam keadaan demikian, maka
sulitlah bagi laskar Jipang untuk mengekang diri dalam lingkaran peradaban dan
kemanusiaan.”
Dalam kebimbangan itulah
kemudian Sumangkar siap meninggalkan perkemahannya. Ia tidak tahu, manakah yang
paling baik dilakukan. Ia tidak sampai hati melihat Macan Kepatihan selalu
disiksa oleh kekalahan demi kekalahan, namun ia tidak akan sampai hati pula
melihat Sangkal Putung menjadi ajang kehancuran.
Sebelum Sumangkar itu
meninggalkan perkemahan, maka pesan yang diberikan kepada Bajang adalah,
“Hati-hatilah dengan kawan-kawanmu Bajang. Tawaran Ki Tambak Wedi dapat
mempengaruhi kesetiaan mereka kepada Macan Kepatihan.”
“Aku akan mencoba memperhatikannya
Kiai,” jawab Bajang.
Sumangkar itupun kemudian
berjalan dengan hati yang bimbang. Dijinjingnya tongkatnya, namun ia tidak
yakin, apakah tongkat itu akan dipergunakannya. Sudah terlalu lama ia
menyimpannya, bahkan hampir ia tidak pernah membayangkan, bahwa tongkat itu
akan dipergunakannya lagi, meskipun keadaannya masih terbelenggu dalam
kekalutan dan peperangan.
Tetapi tongkat itu kini
dijinjingnya. Sekali-sekali Sumangkar yang tua itu menengadahkan wajahnya. Di
langit matahari berjalan dengan malasnya. Namun terik panasnya seakan-akan
membakar kulit.
Sumangkar itu kemudian
mempercepat langkahnya. Sekali-sekali ia masih harus meloncati air yang
tergenang, sisa hujan yang lebat semalam.
Dalam pada itu di ujung
Kademangan Sangkal Putung pertempuran yang dahsyat masih saja terjadi. Pekik
dan ratap di antara dentang senjata. Anak-anak muda Sangkal Putung sudah tidak
berteriak-teriak lagi. Mereka seakan-akan sudah kehabisan tenaga dalam
perlawanan yang semakin berat.
Semakin lama terasa bahwa
anak-anak Sangkal Putung menjadi semakin kendor. Untara yang melihat keadaan
itu menjadi semakin prihatin. Pertempuran itu semakin bergeser ke kanan. Bukan
saja bergeser ke kanan, tetapi Untara terpaksa beberapa kali menarik diri untuk
memberi kesempatan kepada Sedayu dan Swandaru untuk membantu mengurangi
tekanan-tekanan di induk pasukan. Hudaya di satu sisi bersama Agung Sedayu dan
Sonya beserta Patra Cilik di sisi yang lain bersama Swandaru telah memeras
tenaga mereka. Mereka bertempur sambil berusaha untuk tetap memberi kesegaran
kepada anak-anak muda Sangkal Putung. Namun pedang-pedang mereka sudah tidak
terayun sederas pada saat mereka mulai. Bahkan dengan demikian, maka korban
berjatuhan. Satu demi satu.
Setiap kali Swandaru mendengar
pekik kesakitan, setiap kali ia menggeram, dan pedangnya menyambar-nyambar
seperti kilat di langit. Tetapi lawannya adalah prajurit-prajurit terlatih yang
sedang berputus asa, sehingga bagaimanapun juga, maka ia harus berjuang
sekuat-kuat tenaganya. Untunglah bahwa Kiai Gringsing telah memberinya bekal
secukupnya, sehingga ia tidak perlu berkecil hati menghadapi prajurit-prajurit
itu. Tetapi kawan-kawannya, anak-anak muda Sangkal Putung adalah berbeda.
Tohpati tersenyum melihat
kemenangan-kemenangan yang dicapainya. Ia telah lupa segala-galanya. Ia lupa
kebimbangan-kebimbangan yang mencengkam hatinya. Ia lupa kejemuan-kejemuan yang
selama ini merayapi jantungnya. Sebagai seorang prajurit yang mendapatkan
beberapa kemenangan di medan perang, maka pastilah akan menggugah tekadnya
lebih dahsyat. Demikianlah Macan Kepatihan saat itu. Kemenangan-kemenangan itu
seakan-akan telah menambah kekuatannya. Bahkan perasaan itu melimpah kepada
setiap prajurit yang ikut dalam pertempuran itu.
Agak jauh dari pertempuran
itu, Sumangkar berhenti di bawah rindangnya pepohonan liar di pinggir lapangan
rumput dan tanah-tanah persawahan yang tidak ditanami, tempat pertempuran itu
terjadi. Begitu asyiknya ia melihat pertempuran itu, sehingga perhatiannya
seluruhnya ditumpahkannya kepada gemerlapnya pedang dan sorak kemenangan pada
tiap-tiap kelompok. Sorak yang masih dapat membangkitkan gairah dan nafsu untuk
menggerakkan senjata. Berganti-ganti para prajurit itu bersorak-sorak.
Sekali-sekali terdengar prajurit Pajang meneriakkan kemenangan-kemenangan kecil
apabila ada lawan-lawannya yang terdesak dan jatuh tersungkur di kaki mereka.
Namun kemudian prajurit Jipang berusaha menebus kekalahannya. Dan bersorak
pulalah mereka, apabila mereka dapat merebut kembali garis pertempuran yang
semula ditinggalkan mundur beberapa langkah. Namun semakin lama prajurit
Jipanglah, yang semakin sering mendesak. Apalagi di sisi kanan.
Widura yang berada di sisi
kiri dalam gelar pasukan Pajang berusaha mengimbanginya dengan gigih. Widura
mengharap, bahwa kemenangan yang betapapun kecilnya akan masih dapat menyalakan
tekad dan membesarkan hati anak-anak muda Sangkal Putung. Namun karena induk
pasukan itu sendiri mengalami beberapa tekanan yang tak dapat dihindarkan, maka
pasukan Pajang benar-benar harus menarik diri beberapa kali.
Widura melihat kesulitan di
induk pasukan itu. Karena itu, maka dilepaskannya beberapa orangnya untuk ikut
serta memperkuat induk pasukan. Justru mereka adalah prajurit-prajurit yang
cukup baik. Sebab menurut perhitungan Widura, lebih baik sayap yang dipimpinnya
yang agak mengalami kesulitan daripada induk pasukan.
Usaha Widura dapat juga
sedikit membantu. Untara dapat menahan arus yang semakin dahsyat dengan
beberapa tenaga dari sayapnya, sehingga pasukan itu tidak harus menarik diri
terus menerus.
Sumangkar melihat pertempuran
itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-kali ia tersenyum melihat
kemenangan-kemenangan yang didapatkan oleh Macan Kepatihan. Meskipun Macan
Kepatihan sendiri tidak dapat mengatasi lawannya, seorang lawan seorang, namun
pengaruh pertempuran itu seluruhnya, ternyata telah memperkuat kedudukannya.
Untara yang pikirannya terpecah-belah, ternyata harus berjuang sekuat
tenaganya, agar kepalanya tidak disambar oleh tongkat baja putih yang berkepala
tengkorak di tangan Macan Kepatihan itu.
Sekali-kali terlintas juga di
dalam hati Sumangkar, betapa sengsaranya rakyat Sangkal Putung apabila anak
Jipang yang telah menjadi buas itu berhasil menembus pertahanan Untara kali
ini. Anak-anak, perempuan dan orang-orang tua pasti akan banyak mengalami
bencana. Namun apakah ia akan dapat rnembiarkan laskar Jipang itu terpecah
porak-poranda.
Di luar kehendaknya sendiri,
maka Sumangkar itu berbangga atas murid kakak seperguruannya itu. Ia bangga
melihat tongkat yang mirip dengan tongkatnya itu, menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya, seolah-olah ia melihat dirinya sendiri pada masa-masa mudanya.
“Dahsyat” geramnya. “Macan
Kepatihan memang pantas memakai gelarnya. la benar-benar garang segarang
harimau jantan.”
Sumangkar kini berdiri
bersandar sebatang pohon yang rindang. Ia tidak dapat melihat seluruh medan
dengan jelas. Namun karena pengalamannya dan pengetahuannya mengenai
peperangan, ia dapat membayangkan seluruhnya di garis peperangan itu,
sekali-kali ia berdiri di atas ujung-ujung kakinya, dan bahkan sekali-kali ia
meloncat pada bongkahan-bongkahan tanah yang agak tinggi. Lalu kemudian kembali
ia bersandar di batang pohon itu.
Ketika ia mengangkat wajahnya
menatap langit, maka dilihatnya matahari telah melampaui puncaknya.
Perlahan-lahan matahari itu merayap turun, menuju ke cakrawala di ujung Barat.
“Tentu.” Sumangkar itu
mengangguk-anggukan kepalanya. “Anak-anak muda Sangkal Putung tidak akan dapat
bertahan sampai tengah hari. Sebentar lagi pertahanan Untara pasti akan terpecah
belah. Anak-anak sangkal Putung pasti meninggalkan pertempuran. Meskipun mereka
sama sekali tidak takut mati, tetapi mereka tidak akan mampu bertempur selama
itu.”
Namun tiba-tiba ia bergumam,
“Kasihan. Mereka akan menjadi korban karena mereka ingin mempertahankan
tanahnya, kampung halamannya. Agaknya Untara melupakan keadaan itu.”
Kembali timbul berbagai
persoalan di dalam dada sumangkar. Namun akhirnya ia berdesis, “Biarlah
pertempuran itu berlangsung sebagaimana seharusnya. Biarlah aku menonton di
sini, apapun yang akan terjadi.”
Sebenarnya bahwa laskar
Sangkal Putung bersama-sama dengan prajurit Pajang mengalami kesulitan.
Meskipun Widura telah menyerahkan beberapa bagian dari kekuatannya, namun
karena kekuatan anak-anak Sangkal Putung telah menjadi semakin surut, maka
pasukan Pajang dan Sangkal Putung itu berkali-kali harus menarik diri, membuat
kedudukan-kedudukan baru yang dapat mengurangi tekanan laskar Jipang. Beberapa
orang yang memillki kelebihan dari prajurit-prajurit biasa, telah mencoba
memeras tenaga mereka. Agung Sedayu, semakin lama menjadi semakin tatag. Kalau
semula ia ragu-ragu karena pertimbangan-pertimbangan yang bersimpang-siur di
kepalanya, maka kini ia tidak lagi dapat mempertimbangkannya. Setiap kali ia
mendengar anak-anak muda Sangkal Putung berdesis menahan goresan-goresan pedang
lawan, dan sekali-kali terdengar mereka memekik tinggi, karena tubuhnya
terluka. Karena desakan rasa iba akan nasib kawan-kawannya itulah maka
lenyaplah segi-segi perasaan ibanya yang lain. Dengan demikian, maka anak muda
itu menjadi seakan-akan burung rajawali yang menyambar-nyambar di antara
anak-anak kelinci yang lemah. Hanya dalam kelompok-kelompok yang kuat
orang-orang Jipang berani menempuhnya. Demikian pula Swandaru Geni. Namun
mereka dikelilingi oleh lawan-lawan mereka. Sedang kawan-kawannya telah menjadi
semakin lemah, semakin lemah. Meskipun prajurit Pajang berjuang sekuat tenaga
mereka, tetapi lawan mereka seakan-akan menjadi bertambah banyak.
Dalam keprihatinan itulah
tiba-tiba mereka mendengar di kejauhan sorak yang gemuruh. Pemimpin laskar
cadangan yang datang dari sangkal Putung telah mendengar, betapa laskar mereka
di garis peperangan mengalami kesulitan. Karena itu, meskipun mereka masih
jauh, namun mereka barusaha untuk mempengaruhi gairah setiap prajurit yang
sedang bertempur itu.
Kedua belah pihak terkejut
mendengar sorak yang bergelora itu. Sesaat mereka mencoba melihat, siapakah
yang sedang, bersorak-sorak. Dan apa yang mereka lihat, benar mempengaruhi
perasaan mereka. Sebelum laskar cadangan itu mempengaruhi pertempuran itu
dengan tenaga mereka yang segar, maka keadaan pertempuran itu telah berubah.
Anak-anak muda Sangkal Putung
yang seakan-akan telah kehabisan tenaga tiba-tiba menjadi bingar kembali.
Meskipun mereka tidak dapat bertempur sesegar pada saat mereka baru mulai,
namun kedatangan kawan-kawan mereka itu telah menumbuhkan semangat yang
menyala-nyala. Dengan demikian, maka seakan-akan di dalam diri mereka tumbuh
kembali kekuatan-kekuatan yang seolah-olah telah larut dihanyutkan angin.
Melihat kehadiran laskar
cadangan itu Tohpati menggeram. Terasa di dalam dirinya sesuatu yang
bergejolak. Mau tidak mau terpaksa ia mengumpat di dalam hatinya. “Gila Untara
ini. Ternyata ia cerdik seperti setan. Kenapa ia menyimpan tenaga cadangan
itu?”
Bukan saja Tohpati yang
mengumpat-umpat di dalam dirinya, namun semua orang di dalam pasukan Jipang itu
mengumpat-umpat. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi cemas bahwa
pasukannya akan mengalami kegagalan lagi. Karena itu, maka mereka menjadi
semakin buas karena keputus-asaan. Mereka sudah tidak tahan lagi untuk tinggal
di hutan-hutan, makan apa saja yang diketemukan. Berkawan dahan-dahan kayu yang
beku dan tidur beralas yang kotor. Ketika tumbuh di dalam dada mereka harapan
untuk merubah nasib mereka dengan memecah pertahanan rakyat Sangkal Putung,
maka tiba-tiba harapan mereka larut bersama datangnya anak-anak muda Sangkal
Putung dan beberapa orang prajurit Pajang yang ditarik dari gardu-gardu
perondaan.
Kini Untara merasa, bahwa ia
akan dapat bernafas kembali. la bersyukur bahwa laskar cadangan itu tidak
terlambat datang, karena kelambatan perintahnya, Untara pun sama sekali tidak
menyangka bahwa laskar Jipang itu terlampau kuat, sehingga laskar cadangan itu
hampir-hampir menemukan pasukannya telah bercerai-berai.
Pasukan cadangan itu sendiri,
ketika melihat ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat di kejauhan, seakan-akan
mereka tidak bersabar lagi. Langkah mereka serasa terlalu lambat. Karena itu,
maka tanpa mereka sengaja, seakan-akan mereka berjanji untuk berlari
bersama-sama. Semakin lama semakin cepat. Senjata-senjata merekapun telah
mereka tarik dari sarungnya dan mereka acung-acungkan ke udara. Sedang gemuruh
sorak mereka, tidak henti-hentinya membelah udara yang panas karena terik
matahari.
Pasukan Pajang dan laskar
Sangkal Putung yang kelelahan dan kecemasan itu tiba-tiba menjadi meluap-luap.
Merekapun tiba-tiba bersorak gemuruh menyambut kedatangan kawan-kawan mereka.
“Gila…!!” geram Macan
Kepatihan “Kau menyimpan cecurut-cecurut itu, Untara.”
Untara tidak menjawab. Namun
di kejauhan di luar kesengajaannya, ia melihat sesosok tubuh meloncat ke atas
sebuah bongkahan tanah yang agak tinggi, menjinjing sebatang tongkat putih
berkilat-kilat.
Untara mengernyitkan alisnya.
Namun dari jarak itu ia tidak segera dapat melihat, siapakah orang yang agaknya
sangat tertarik melihat pertempuran yang semakin sengit.
Orang itu tidak lain adalah
Sumangkar. Ketika ia mendengar suara sorak yang menghambur di kejauhan dan
kemudian melihat sepasukan laskar Sangkal Putung dan beberapa orang prajurit
Pajang mendatangi pertempuran itu, hatinya berdesir. Di luar sadarnya ia
berkata kepada diri sendiri, “Oh, alangkah bodohnya aku. Ternyata aku salah
sangka. Aku kira Untara melupakan kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa anak-anak
muda sangkal Putung kehilangan kekuatan dalam peperangan ini karena kelelahan.
Tetapi ternyata Untara dan Widura adalah orang yang lengkap pengetahuannya
dalam olah peperangan.”
Sumangkar itu menjadi semakin
tegang ketika ia melihat pasukan yang datang itu menjadi semakin dekat dengan
induk pasukannya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar melihat Macan
Kepatihan yang bertempur melawan Untara di tengah-tengah hiruk pikuknya
peperangan.
Ketika laskar cadangan itu
telah menjadi semakin dekat, Sumangkar melihat pasukan itu memecah diri.
Agaknya Untara telah meneriakkan aba-abanya, yang disaut dan diteruskan oleh
penghubungnya. Dan perintah itu kemudian telah dilaksanakan. Tenaga yang segar
itupun kemudian terbagi. Di induk pasukan, sayap kanan, dan sayap kiri.
“Hem,” Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. la dapat segera melihat akibat dari kehadiran tenaga yang segar
itu. Pasukan Pajang dan Sangkal Putung yang semula telah terdesak itu, kini
dapat bertahan pada garis yang terakhir. Bahkan kemudian Sumangkar melihat
bahwa keseimbangan pertempuran itu segera berubah.
Laskar sangkal Putung dan
pasukan Pajang yang baru, yang telah ditarik dari gardu-gardu peronda itu,
segera melibatkan diri dalam pertempuran yang sudah menjadi semakin berkisar
masuk ke garis pertahanan Pajang. Para prajurit yang baru datang itu dapat
melihat, betapa parah keadaan kawan-kawannya yang selama ini mencoba bertahan
mati-matian. Karena itulah maka darah mereka serasa mendidih sampai di kepala.
Jantung mereka serasa meledak karena kemarahan yang meluap-luap. Mereka merasa,
seperti tubuh mereka sendiri yang telah tersayat oleh kekuatan lawan. Dengan
demikian maka segera mereka mengerahkan tenaga mereka yang masih segar menempuh
prajurit Jipang yang sedang mengamuk seperti harimau Iuka.
Segera peperangan itu
meningkat semakin dahsyat. Tohpati menggeram penuh dendam dan kemarahan.
Tongkatnya yang putih berkilat-kilat menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Untara, yang menyambut
kedatangan pasukannya yang segar, segera memberikan perintah-perintahnya.
Dicobanya untuk melihat segenap kemungkinan dan pertimbangan.
Namun tiba-tiba Untara itu
terkejut mendengar sorak orang-orang Jipang di sayap kanannya. Tetapi ia tidak
segera melihat, apakah yang telah terjadi. Justru tepat pada saat
orang-orangnya yang segar itu terjun ke arena.
Yang dilihat sepintas, adalah
pergolakan di sayap itu. Beberapa lamanya ia melihat orang-orangnya mendesak
dalam satu lingkaran dan orang-orangnya yang baru datang, segera masuk ke dalam
pertempuran.
Baru kemudian disadarinya
bahwa telah terjadi malapetaka di sayap itu. Ternyata ketika Sanakeling, yang
memimpin sayap kiri lawan, melihat kehadiran orang-orang baru dari Sangkal
Putung, kemarahannya seakan-akan meledak. Itulah sebabnya, maka dari dalam
dirinya meledak pulalah kekuatan yang tidak disangka-sangka. Meskipun Citra
Gati tidak melawannya seorang diri, namun tiba-tiba ia kehilangan kesempatan
untuk menghindari serangan yang datang seperti air bah. Ketika ia menangkis
pedang di tangan kanan Sanakeling itu, tiba-tiba terasa sebuah sengatan di
pundak kirinya.
Begitu kerasnya sehingga
tubuhnya terguncang, dan seolah-olah ia telah dilemparkan ke samping. Ternyata
senjata Sanakeling yang lain, sebuah bindi di tangan kirinya, telah meremukkan
tulangnya. Sesaat Citra Gati menyeringai, ia masih sempat melihat ujung pedang
yang mengarah ke dadanya. Dengan sisa tenaganya yang terakhir ia memukul pedang
itu. Tetapi ia sudah tidak memiliki keseimbangan yang mantap, sehingga meskipun
pedang itu tidak mengehunjam ke dadanya, namun lambungnya tersobek oleh tajam
senjata lawannya.
Citra Gati mengeluh pendek.
Matanya menjadi gelap dan ia tidak melihat apa yang terjadi kemudian. Ia tidak
melihat ketika Sanakeling meloncat sambil memekik tinggi, untuk sekali lagi
menusukkan pedangnya di tubuh Citra Gati. Tetapi untunglah bahwa Sendawa
melihat semuanya itu. Seperti orang gila ia menyerbu Sanakeling yang sedang
gila pula. Senjata orang yang bertubuh raksasa itu terayun deras sekali
mengarah ke tubuh Sanakeling. Tetapi Sendawa benar-benar tidak menyangka bahwa
Sanakeling dapat melenting secepat belalang, sehingga dengan demikian,
serangannya itu dapat dihindarkan. Sendawa sendiri bahkan terseret oleh
kederasan senjatanya, sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping.
Meskipun demikian, apa yang
dilakukan itu ternyata berguna pula. Dalam pada itu, beberapa orang telah
menyadari keadaan. Dengan serta merta beberapa orang bersama-sama menyerbu,
seperti apa yang dilakukan oleh Sendawa itu. Dengan demikian, maka Sanakeling
sekali lagi berteriak tinggi melontarkan dendam dan kemarahan yang meluap-luap.
Namun orang-orang Jipang yang sempat menyaksikan Sanakeling berhasil
menjatuhkan lawannya, bersorak dengan kerasnya, meneriakkan kemenangan itu. Merekapun
segera berloncatan mengambil kesempatan, selagi orang-orang Pajang lagi berbuat
gila, melindungi pimpinannya yang terluka parah tanpa menghiraukan keadaan
mereka sendiri.
Namun beruntunglah. Pada saat
yang demikian itulah maka tenaga baru yang segera terjun dan meluas di arena
itu, sehingga orang-orang Jipang tidak sempat berbuat banyak. Mereka harus
segera menghadapi lawan-lawannya yang baru, sementara beberapa orang sempat
membawa Citra Gati mengundurkan diri dari pertempuran.
“Gila!” teriak Sanakeling
membelah hiruk pikuknya dentang senjata. “Ayo siapa menyusul?”
Teriakan Sanakeling itu bagi
anak buahnya seakan-akan merupakan perintah untuk bertempur lebih dahsyat Iagi.
Seolah-olah merekapun ikut serta meneriakkan kata-kata itu. Dan bahkan beberapa
orangpun ikut serta menantang dengan kata-kata yang garang. “Ayo, laskar
Pajang. Majulah bersama-sama. Bawalah panglima-panglimamu beserta kalian.”
Setiap prajurit Pajang yang
melihat peristiwa itu, seakan-akan darahnya meluap ke kepala. Kemarahan, kebencian
dan dendam membakar dada mereka. Citra Gati adalah salah seorang pemimpin
kelompok yang baik. Seorang yang telah cukup mengendap di dalam pertempuran dan
di dalam pergaulan. Karena itu, banyak orang yang senang kepadanya. Sehingga
jatuhnya Citra Gati telah membuat prajurit Pajang terbakar.
Betapapun orang-orang Jipang
meneriakkan kemenangan, namun orang Pajang sama sekali tidak menjadi gentar.
Apalagi di antara mereka telah hadir orang-orang baru itu. Demikian mereka
hadir, demikian mereka melihat Citra Gati jatuh tersungkur di tanah. Maka
kemarahan dan kebencian merekapun segera tertumpah pula.
Teriakan orang-orang Jipang,
mengatakan bahwa pemimpin sayap kanan itu telah jatuh. Bahkan sebelum mereka
tahu pasti apa yang terjadi, maka mereka telah berteriak, “Pemimpin sayap kanan
telah binasa.”
Untarapun akhirnya mendengar
pula bahwa Citra Gati mengalami cedera. Ia belum menerima berita resmi apakah
Citra Gati terbunuh atau tidak. Namun berita itu telah menggoncangkan hatinya.
Demikian ia mendengar berita itu, demikian giginya gemeretak karena marah.
Apalagi ketika kemudian ia mendengar Tohpati tertawa sambil berkata, “Sayapmu
patah, Untara.”
Untara mencoba melihat
sayapnya. Sesaat sayap itu terdesak beberapa langkah. Namun untunglah Sendawa
bertindak cepat. Segera ia mengambil alih pimpinan sambil berteriak, “Sayap ini
tidak akan terpengaruh karena hilangnya Kakang Citra Gati. Apalagi sekarang
telah datang laskar cadangan yang akan mampu menebus setiap kekalahan.”
Untara menjadi agak tenang
melihat kesigapan Sendawa. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika di sisi yang lain
ia mendengar sebuah teriakan nyaring, “He, apakah Citra Gati mengalami
bencana?”
Tak ada jawaban. Namun kembali
terdengar suara, “Serahkan pembunuh itu kepadaku.”
Akhirnya Untara melihat,
seseorang yang mencoba menerobos pertempuran langsung menyeberang ke sayap yang
lain. Orang itu adalah Hudaya. Karena itu segera ia berteriak, “Hudaya.
Berhenti.”
“Kakang Citra Gati terbunuh.
Akulah gantinya. Siapakah yang telah berani berbuat itu?”
“Hudaya,” teriak Untara,
“kembali.”
Hudaya benar-benar telah
menjadi gila. Citra Gati adalah sahabatnya yang terdekat. Sejak semula mereka
telah bersama-sama memasuki lingkungan kaprajuritan. Sejak semula mereka
mengalami pahit-getir, asin-manisnya hidup sebagai seorang prajurit. Kini
tiba-tiba ia mendengar sahabatnya itu terbunuh. Karena itu, maka perasaannya
tidak lagi dapat dikendalikan.
Tingkah laku Hudaya itu
benar-benar mencemaskan Untara. la tidak mau melihat korban dari antara
pemimpin-pemimpin kelompoknya jatuh satu lagi. Karena itu, maka sekali lagi
Untara berteriak, “Hudaya. Kembali ketempatmu.”
“Aku akan menuntut kematian
Citra Gati.”
Untara menjadi semakin cemas.
Lawan Citra Gati itu adalah Sanakeling. Citra Gati ternyata tidak dapat menahan
arus serangan Sanakeling itu. Sedang Hudaya seorang pemimpin kelompok yang
tidak berada di atas tingkat Citra Gati. Sekali lagi ia mencoba mencegah
perbuatan gila itu, menyeberang langsung dari sisi yang satu ke sayap yang
lain, apalagi di sayap yang lain itu telah menunggu seorang yang bernama
Sanakeling. Katanya, “He, Hudaya. Kembali ketempatmu. Kau dengar?”
“Tidak.”
“Jangan gila. Kau dengar. Ini
perintah senopati daerah lereng Merapi atas nama Panglima Wira Tamtama.”
Sebutan itu ternyata
berpengaruh pada hati Hudaya yang sedang gelap. Ia sadar, bahwa Untara kini
sedang mengemban jabatan. Namun dengan demikian hatinya menjadi semakin sakit.
Dan sakit di hatinya itu diteriakannya keras-keras. “Jadi apakah dibiarkannya
saja pembunuh Citra Gati itu?”
Untara berpikir sejenak. Namun
serangan Tohpati justru semakin dahsyat, sehingga Untara menjadi terdesak
beberapa langkah. Ia harus segera mengambil keputusan. Dan tiba-tiba
keputusannya jatuh. “Agung sedayu. Kau mendapat tugas itu. Sayap kanan.”
Agung Sedayu yang tidak
terlampau jauh dari Untara mendengar teriakan itu. Sekali ia meloncat surut
melepaskan lawan-lawannya. Dan terdengar ia menjawab. “Baik. Aku lakukan.”
“Bersama aku,” teriak Hudaya.
”Hem,” Untara menggeram.
Hudaya telah kehilangan kepatuhannya karena perasaan yang lepas kendali. Kali
ini Untara tidak mencegahnya. Namun sisi kiri dari induk pasukannya harus
mendapat seorang pemimpin. Maka katanya berteriak sekali lagi, “Sonya, gantikan
tugas Hudaya.”
Terdengar Sonya menyahut.
Suaranya kecil melengking tinggi. “Ya. Aku kerjakan.”
Untara masih melihat Hudaya
melangkah mundur. Ia tidak langsung menyeberangi pertempuran itu, berjalan dan
induk pasukan ke sayap yang lain. Sementara itu Agung Sedayu telah mendahului
meloncat ke sayap kanan lewat belakang garis peperangan.
Namun karena kesibukan itulah,
Untara kehilangan sebagian dari perhatiannya. Tiba-tiba selagi ia sedang sibuk
mengatur orang-orangnya, ia merasa Tohpati mendesaknya. Agaknya Macan Kepatihan
sedang mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak lawannya. Dengan sepenuh
tenaga dan kemampuannya ia menyerang Untara seperti badai menghantam gunung.
Betapa deras dan cepatnya. Tongkat putihnya terayun dengan dahsyatnya ke arah
kepala Untara yang sedang disibukkan oleh hilangnya Citra Gati.
Untara terkejut melihat
tongkat baja putih Macan Kepatihan seperti seekor burung elang menyambarnya.
Untunglah bahwa pada saat terakhir, ia berhasil mengerutkan tubuhnya dan
merendahkan kepalanya, sehingga ia dapat menyelamatkan dirinya dari benturan
yang dahsyat. Benturan yang pasti akan memecahkan kepalanya. Meskipun demikian,
namun tongkat Macan Kepatihan telah menyambar ikat kepalanya, sehingga ikat
kepala itu terlempar jatuh.
Bukan main dahsyatnya gelora
hati Untara. Seolah-olah dadanya akan meledak karenanya. Senopati itu merasa
bahwa nyawanya hampir-hampir terlepas dari tubuhnya. Tetapi meskipun ternyata
ia berhasil menghindarkan diri dari maut, namun betapa ia merasa dihinakan.
Ikat kepalanya terlempar dari kepalanya.
Dengan penuh dendam Untara menggeretakkan
giginya. Sekali ia melontar surut. Seolah-olah ia ingin memandangi seluruh
tubuh Tohpati sepuas-puasnya. Dan tiba-tiba ia berteriak nyaring di antara
dentang dan gemerincingnya senjata. “He, prajurit Pajang dan laskar Sangkal
Putung. Jangan kau beri kesempatan pada lawan-lawanmu untuk bertahan sampai
senja. Waktu telah menjadi semakin sempit. Besok adalah hari yang harus dapat
kita nikmati sebagai hari kemenangan. Karena itu hancurkan musuhmu hari ini.”
Tohpati mencoba tidak memberi
kesempatan kepada Untara untuk menyelesaikan kata-katanya. Dengan dahsyatnya ia
menyerang dengan senjatanya yang mengerikan. Tetapi Untara telah benar-benar
siap melawannya. Itulah sebabnya ia dapat menghindarkan diri dan menyelesaikan
kalimatnya. Sesudah itu maka Untaralah yang bergerak seperti angin pusaran.
Menyerang Tohpati dengan kemarahan yang menyala di dalam dadanya.
Pertempuran antara keduanya
menjadi semakin dahsyat. Keduanya telah sampai pada puncak kemarahan dan
kekuatannya sehingga keduanya benar-benar tenggelam dalam permainan maut yang
mengerikan. Untara kini hampir-hampir tidak terpengaruh lagi oleh keadaan
pasukannya. Menurut perhitungannya, maka setidak-tidaknya pasukannya tidak akan
dapat dikalahkan segera. Ia mengharap bahwa pertempurannya akan lebih dahulu
dapat menentukan keadaan daripada seluruh pasukan itu. Kehadiran orang-orang
baru membuatnya tenang dan memberinya kesempatan untuk memusatkan perhatiannya
kepada lawannya, Macan Kepatihan.
Agung Sedayu yang berpindah
tempat dari sisi induk pasukan ke sayap yang berseberangan telah masuk ke dalam
lingkungan peperangan. Ia melihat betapa Sendawa dan beberapa orang mengalami
kesulitan untuk menahan arus kemarahan Sanakeling. Agung Sedayu masih sempat
melihat seseorang terlempar jatuh karena sentuhan pedang Sanakeling. Betapa ia
melihat Sanakeling seperti orang gila mengamuk sambil mengayun-ayunkan pedang
serta bindinya. Beberapa orang yang mencoba bersama-sama melawannya, hampir tak
berani mendekatinya.
Agung Sedayu menarik nafas
melihat kedahsyatan gerak Sanakeling. Kasar dan betapa kuat tenaganya. Sesaat
Agung Sedayu dirayapi oleh perasaan-perasaan yang aneh. Namun tiba-tiba ia
menggeram. Ia pernah merasakan betapa maut pernah menyentuhnya. Dan ia masih
tetap hidup. Agung Sedayu yang telah berhasil memecahkan kungkungan perasaan
takutnya itupun segera membulatkan tekadnya, untuk menghadapi lawannya yang
seakan-akan telah menjadi liar dan buas. Dengan nyaringnya ia berteriak,
“Sendawa, lepaskan lawanmu.”
Sendawa terkejut mendengar
suara itu. Ia tidak segera tahu, siapakah yang akan menggantikan kedudukan
Citra Gati. Karena itu ia masih tetap melawan sambil bertanya, “Siapakah kau?”
Sendawa sama sekali tidak
berani melepaskan lawannya sekejappun untuk berpaling. Ujung pedang Sanakeling
ternyata lebih cepat dari kejapan mata.
Di belakangnya terdengar
jawaban, “Aku telah mendapat perintah untuk berada di sayap ini. Agung Sedayu.”
“Oh,” Sendawa tiba-tiba
dirayapi oleh perasaan yang menenangkannya. Ia pernah mendengar kepahlawanan
Agung Sedayu. la pernah melihat kelebihan Agung Sedayu daripada Sidanti di
lapangan Sangkal Putung. Kini Sedayu itu hadir menggantikan kedudukan Citra
Gati.
Tetapi Sendawa itu terkejut
ketika terasa seseorang mendesaknya dan langsung menyusup ke dalam lingkaran
pertempuran itu mendahului Agung Sedayu. Orang itu langsung menyerang
Sanakeling dengan membabi buta.
“Paman Hudaya,” teriak Agung
Sedayu.
Hudaya tidak mendengarnya.
Senjatanya berputar melampaui kecepatan baling-baling. Namun perhitungannya
tidak wajar lagi, sehingga betapa cepatnya ia menyerang, tetapi senjatanya sama
sekali tidak dapat menyentuh kulit Sanakeling.
“He, kau juga mau bunuh diri,”
teriak Sanakeling.
Hudaya tidak menjawab. Sekali
lagi ia menyerang dengan dahsyatnya. Namun sekali lagi Sanakeling berhasil
menghindarkan dirinya, bahkan dengan kemarahan yang meluap-luap Sanakeling
berhasil memukul senjata Hudaya hampir pada tangkainya.
Hudaya terkejut. Terasa
tangannya dipatuk oleh getaran yang dahsyat. Betapapun ia mencoba bertahan,
namun senjatanya terlempar beberapa langkah daripadanya.
Terdengar Sanakeling berteriak
nyaring. Sekali ia meloncat maju dengan pedang terjulur. Demikian cepatnya,
sehingga Sendawa sama sekali tidak berdaya berbuat sesuatu untuk membantu
Hudaya. Meskipun ia mencoba meloncat sejauh-jauh ia dapat, tetapi kecepatan
gerak Sanakeling melampaui kecepatan gerakannya.
Hudaya masih mencoba untuk
memiringkan tubuhnya. Namun gerakannya itu hampir tak berarti. Ia masih melihat
ujung pedang Sanakeling itupun beringsut seperti geseran tubuhnya sendiri.
Karena itu, segera ia mencoba melindungi dadanya dengan tangannya yang
bersilang. Tetapi ia sadar, bahwa tangannya itu sama sekali tidak akan berarti
melawan tajam ujung pedang Sanakeling.
Tetapi Hudaya terkejut, dan
bahkan Sanakeling pun menggeram ketika terdengar senjatanya berdentang.
Sanakeling itu merasa tangannya berkisar, dan karena itulah maka ujung
pedangnyapun berkisar pula.
Dalam pada itu terdengar
Hudaya mengaduh pendek. Beberapa langkah ia terdorong ke samping. Terasa lengannya
menjadi pedih. Ia sempat melihatnya, maka tampak darahnya memerahi lengan
bajunya.
Tetapi ia telah terhindar dari
maut, ternyata pedang Sanakeling tidak merobek dadanya, meskipun ia terluka.
“Setan,” terdengar Sanakeling
mengumpat. “Kau berani mengganggu aku? Kau selamatkan kelinci itu, tetapi kau
sendiri yang akan terbunuh oleh pedangku.”
Kini yang berdiri di hadapan
Sanakeling adalah Agung Sedayu. Dengan cepat ia datang tepat pada waktunya
menyelamatkan nyawa Hudaya. Meskipun belum mapan benar, tetapi ia telah
berhasil memukul pedang Sanakeling, sehingga pedang itu berubah arah. Namun
pedang Sanakeling itu masih juga mematuk lengan Hudaya.
“Siapakah kau, he?” teriak
Sanakeling. Matanya menjadi merah dan liar.
Terasa tengkuk Agung Sedayu
meremang. Ia pernah melihat mata yang seliar itu di belakang halaman Kademangan
Sangkal putung ketika ia berkelahi melawan Sidanti.
“Apakah kau belum mengenal
Sanakeling,” teriak Sanakeling.
Tidak sesadarnya Agung Sedaju
mengangguk. Jawabnya singkat, “Belum. Baru sekarang aku mengenalmu, meskipun
aku pernah mendengar nama itu, satu dari sekian nama prajurit Jipang.”
Agung Sedayu menjawab dengan
jujur, tanpa maksud apapun. Namun Sanakeling yang garang itu merasa, jawaban
itu suatu hinaan baginya. Bagi seorang yang merasa dirinya hanya selapis tipis
di bawah Macan Kepatihan yang namanya mengumandang dari pesisir Lor sampai ke
pesisir Kidul. Sedang yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari seorang
anak-anak yang memandanginya dengan pandangan mata yang kosong.
“He, apakah kau benar-benar
belum mengenal Sanakeling?”
Sedayu kini menjadi heran. Di
dalam hiruk pikuk peperangan lawannya masih sempat menanyakan dirinya sendiri.
Namun Agung Sedayu tidak ingin mendahului.
Tetapi sekali lagi Agung
Sedayu terkejut. Seseorang meloncat di sampingnya sambil mengayunkan pedangnya
ke arah Sanakeling. Tetapi dengan tenangnya Sanakeling menghindar, sambil
berteriak, “Kau benar-benar ingin mati, kelinci yang malang?”
Hudaya yang telah kehilangan
segala pertimbangannya itu tiba-tiba telah menyerang Sanakeling kembali. Kali
ini dengan segenap kemampuan dan ketangkasannya, ditumpahkannya segenap sisa
tenaganya. Namun sekali lagi Hudaya menyeringai kesakitan. Kini tangannya
terbentur bindi Sanakeling. Untunglah tidak terlalu keras, karena Sanakeling
tidak sempat mengerahkan tenaganya. Meskipun demikian, sekali lagi senjata yang
telah dipungutnya terlempar dari tangannya.
Agung Sedayu melihat
Sanakeling tertawa seperti suara hantu melihat mayat tergolek di pekuburan.
Semakin keras dan menyakitkan telinga. Bersamaan dengan itu, Agung Sedayu
melihat Sanakeling mengangkat pedangnya dan terayun deras sekali ke leher
Hudaya.
Hudaya masib berusaha untuk
mengelak. Direndahkan tubuhnya sambil berkisar ke samping. Tetapi nada suara
Sanakeling meninggi. Seperti seekor kucing bermain-main dengan seekor tikus ia
berkata nyaring, “O, kau mencoba melompat ke samping orang yang malang. Bagus.
Kau lihat ujung pedangku, supaya kau melihat maut menghampirimu.”
Hudaya melihat ujung pedang
Sanakeling. Tetapi perasaannya seakan-akan telah mati lebih dahulu daripada
dirinya sandiri. Karena itu Hudaya sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan
berkedippun tidak.
Tetapi sekali lagi Sanakeling
berteriak tinggi. Kemarahannya benar-benar memuncak sampai ke ubun-ubun. Kali
ini sekali lagi pedangnya membentur sesuatu. Tidak saja pedangnya bergeser
arah, tetapi pedangnya seakan-akan menghantam dinding baja, sehingga terasa
tangannya bergetar.
“Setan, hantu, gendruwo.”
umpatnya, “kau benar mau mati he, anak demit?”
Agung Sedayu berdiri dengan
kokohnya. Kakinya seakan-akan jauh menghunjam menembus bumi. Kini ia dapat
mengetahui, betapa Sanakeling benar-benar memiliki tenaga raksasa. Terasa
tangannya tergetar pada saat senjatanya membentur tenaga Sanakeling. Bahkan hampir-hampir
senjata itu lepas. Untunglah, segera ia dapat mengatasi keadaan sehingga
senjata itu tetap berada di dalam genggamannya.
Namun kali ini Agung Sedayu
tidak dapat membiarkan Hudaya berbuat di luar nalar dan pikirannya. Karena itu
maka segera ia berteriak, “Paman Hudaya. Menepilah.”
“Aku akan membunuhnya,” sahut
Hudaya.
“Menepilah,” ulang Agung
Sedayu.
“Jangan campuri urusanku,”
bentak Hudaya keras-keras.
“Akulah pimpinan sayap kanan,”
sahut Agung Sedayu tegas-tegas.
Hudaya terdiam sesaat. Namun
hatinya berdesir ketika ia melihat, Sanakeling tanpa berkata sepatah katapun
menyerang Agung Sedayu dengan kecepatan yang mengagumkan. Bahkan nafas Hudaya
itupun serasa berhenti karenanya. Demikiam cepat dan tangkasnya Sanakeling itu
meloncati lawannya. Ia tidak dapat melihat kecepatan itu, selagi ia sendiri
bertempur melawannya.
Namun ketika Sanakeling itu
menyerang Agung Sedayu, barulah disadarinya, betapa berbahayanya orang itu.
Tetapi sekali lagi dadanya
berdesir ketika ia melihat bagaimana cara Agung Sedayu melepaskan diri dari
terkaman itu. Lincah seperti burung sikatan. Mengendap lalu melontar ke
samping, sementara itu pedangnya menusuk lambung Sanakeling yang terbuka.
Sanakeling terkejut melihat ketangkasan lawannya yang masih muda itu. Jauh lebih
muda dari lawannya yang telah dijatuhkannya, dan lawannya yang satu lagi, yang
hampir dibunuhnya sampai dua kali. Karena itu mulutnya yang kasar sekali lagi
mengumpat, ”Anak setan. Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya, sebelum
perutmu terbelah oleh pedangku. Siapa namamu he anak muda?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Tetapi terpaksa ia melihat ketangkasan Sanakeling itu sekali lagi.
Dengan lincahnya Sanakeling berhasil menghindarkan dirinya dari sambaran pedang
Agung Sedayu. Bahkan sambil meneruskan kata-katanya, “Katakanlah siapa namamu,
supaya aku kelak dapat mengatakan, bahwa nama itu adalah nama dari salah
seorang anak muda yang telah aku bunuh, karena kesombongannya sendiri.”
Hati Agung Sedayu bergetar
mendengar kata-kata itu. Ia sama sekali tidak senang melihat sikap, kata-kata
dan anggapan Sanakeling terhadap dirinya. Karena itu maka dijawabnya
Sanakeling, “Adakah gunanya bagimu untuk mengetahui namaku yang tidak berarti?
Aku adalah hanya seorang prajurit dari sekian banyak prajurit-prajurit yang
lain. Bahkan aku adalah prajurit yang berpangkat paling rendah dari
prajurit-prajurit yang lain.”
”Gila,” geram Sanakeling,
“jangan jual tampang di pertempuran ini. Sebut namamu!”
“Baik,” jawab Agung Sedayu,
“namaku adalah Agung Sedayu.”
“He, Agung Sedayu,” ulang
Sanakeling.
“Ya.”
Tiba-tiba Sanakeling itu
tertawa. Ia pernah mendengar sekali dua kali nama itu disebut oleh Alap-Alap
Jalatunda. Dan bahkan nama itu permah disebut-sebut oleh hampir setiap bibir
orang Sangkal Putung. Laskar Jipang di dalam hutan itupun pernah mendengar nama
itu dalam lingkungan kelaskaran Pajang dan Sangkal Putung dari orang-orang yang
sengaja ditempatkannya sebagai telik dan petugas-petugas rahasia yang berhasil
sedikit-sedikit mendengar tentang Sangkal Putung. Bahkan akhirnya Sanakeling
berkata lantang, “He bukankah kata orang, Agung Sedayu itu adik Untara dan
kemanakan Widura?”
Agung Sedayu tidak tahu,
kenapa hatinya bergetar mendengar pertanyaan itu. Agaknya namanyapun termasuk
nama yang harus di perhitungkan oleh orang-orang Jipang. Namun dijawabnya, “Ya.
Aku adalah adik Untara.”
“Pantas, pantas,” geram
Sanakeling. Tiba-tiba geraknya menjadi semakin cepat. Serangannya datang
menyambar-nyambar seperti elang menyerang anak ayam di tanah lapang. Menukik
dan menyambar dengan kuku-kukunya.
Tetapi Agung Sedayu kini bukan
lagi anak ayam yang ketakutan melihat elang melayang di langit. Tangannya kini
tidak lagi gemetar menggenggam tangkai pedang. Meskipun kadang-kadang hatinya
masih dilapisi seribu satu macam pertimbangan, tetapi anak itu tidak lagi harus
melawan ketakutan dan, kecemasannya.
Hudaya yang terluka itu,
melihat pertempuran antara Sanakeling dengan Agung Sedayu dengan mulut
ternganga. Pertempuran itu berjalan semakin lama semakin dahsyat. Sanakeling
yang marah menyerang Agung Sedayu dengan sengitnya, sedang Agung Sedayu pun
melawannya dengan tekad yang menyala di dalam dadanya. Jatuhnya Citra Gati
merupakan peringatan baginya, bahwa apabila ia lengah sedikit saja, niscaya
nasibnya tidak akan lebih baik dari Citra Gati itu.
Demikianlah maka keduanya
tenggelam dalam perkelahian yang semakin seru. Keduanya adalah orang-orang yang
memiliki beberapa kelebihan dari prajurit-prajuri yang lain.
Sanakeling adalah pradjurit
Jipang yang tangguh. Ia adalah orang kedua sesudah Macan Kepatihan sendiri.
Keprigelannya menggerakkan kedua senjatanya benar-benar mengagumkan dan
mengerikan. Kedua senjata di tangannya, terayun bagaikan ombak yang
bergulung-gulung susul-menjusul.
Lawannya, Agung Sedayu adalah
orang baru di dalam arena pertempuran. Tetapi keprigelannya menggerakkan
senyatanya tiba-tiba mencengangkan. Ilmu yang tersimpan di dalam tubuhnya
ternyata cukup mampu untuk menghadapi Sanakeling yang perkasa itu. Tempaan yang
pernah diterimanya dari Kiai Gringsing, ketekunannya dan bekal yang telah
diletakkan oleh ayah dan kakaknya, telah membentuknya menjadi Agung Sedayu yang
lincah, tangguh, dan cekatan.
Namun Agung Sedayu adalah
seorang yang tidak cukup berpengalaman dalam olah keprajuritan. Ia mampu bertempur
seorang lawan seorang, sekelompok lawan sekelompok, tetapi ia tidak dapat
memanfaatkan setiap keadaan pada suatu gelar yang luas, atau bagian-bagian dari
gelar itu. Setiap kali Agung Sedayu menjadi ragu-ragu apabila tiba-tiba ia
menghadapi gelombang serangan yang berubah-ubah dari pasukan lawannya. Setiap
kali ia tidak dapat berbuat benyak dalam keadaan yang tiba-tiba. Bahkan
beberapa kali ia mendengarkan Sanakeling meneriakkan aba-aba dan melihat
gerakan-gerakan yang kurang dimengertinya dari laskar lawannya. Sekali
Sanakeling memberikan kesempatan kepadanya untuk mendesak maju, namun tiba-tiba
kedua sisi sayap Sanakeling itu seolah-olah menekannya dari kedua arah.
Serentak pasukan Jipang itu menyempit dalam garis lengkung yang dalam.
Hudaya yang terluka itu, kini
telah menggengam pedangnya kembali. Tetapi ia hanya mampu mempertahankan
dirinya dari serangan-serangan yang datang dengan tiba-tiba dari
prajurit-prajurit Jipang. Ia kini terpaksa melihat kenyataan, bahwa tubuhnya
telah menjadi semakin lemah, sehingga ia sudah tidak seharusnya tampil ke depan
langsung melawan musuh-musuhnya.
Tetapi dalam keadaan-keadaan
yang demikian ia sempat melihat susunan sayap kanan laskar Pajang dan Sangkal
Putung itu. Sayap itu semakin lama menjadi semakin kurang teratur. Agung Sedayu
sama sekali tidak pernah memberikan printah dan petunjuk kepada pasukannya. Ia
hanya memusatkan perhatiannya kepada perlawanannya menghadapi Sanakeling.
Tetapi itu bukan karena Agung
Sedayu mengalami kesulitan. Bukan karena Sanakeling berhasil mendesaknya dan
menyudutkannya ke dalam keadaan yang sulit. Tetapi itu adalah karena Agung
Sedayu bukan seorang prajurit yang berpengalaman. Ia bukan seorang Senapati
yang terlatih. Ia sendiri mampu bertempur, namun ia tidak mampu untuk membuat
sikap dan suasana perlawanan bagi seluruh sayap yang harus dipimpinnya.
Sehingga karena itulah maka seakan-akan setiap prajurit harus mencari sikap
sendiri menghadapi lawan-lawan mereka yang bertempur dalam satu kesatuan yang
utuh.
Untara yang bertempur melawan
Macan Kepatihan di induk pasukan melihat suasana itu. Baru saja ia mendapatkan
ketenangan, kini ia melihat persoalan baru pada sayapnya itu. Baru kemudian
disadarinya bahwa Agung Sedayu bukanlah seorang senapati yang berpengalaman.
Apalagi ternyata, yang berada di sayap lawan sama sekali bukan Alap-Alap
Jalatunda, tetapi Sanakeling.
Sayap kiri, yang dipimpin oleh
Widura, yang mendapat tambahan kekuatan, menjadi semakin baik keadaannya. Ia
hanya memerlukan separo dari tenaga yang diberikan kepadanya, sedang yang lain
dikembalikannya kepada induk pasukan untuk memperkuat kedudukan Untara. Namun
Widura itupun kemudian menjadi berdebar-debar melihat tata pertempuran di sayap
kanan. Ia mendengar pula, bahwa Citra Gati telah dapat dilumpuhkan oleh
Sanakeling. Ia mendengar lewat penghubungnya, bahwa Agung Sedayulah yang kini
berada di sayap itu. Karena itu, seperti Untara, ia segera mengetahui kelemahan
anak muda itu. Agung Sedayu bukan seorang senapati perang, meskipun ilmunya,
ilmu tata bela diri dan tata perkelahian menyamai seorang Senapati. Tetapi
Widura tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Tetapi semakin lama, Widura
dan Untara melihat, sayap itu menjadi semakin tertib dan teratur. Beberapa
bentuk tata perlawanan yang bagus terjadi di sayap itu. Seakan-akan mereka
telah digerakkan oleh suatu perintah dari seseorang yang cukup berpengalaman.
Seolah-olah Citra Gati telah terjun kembali ke arena itu.
“Sendawa tidak mampu
melakukannya,” gumam Untara di dalam hati. “Meskipun orang itu cukup lama
menjadi seorang prajurit, dan bahkan kemudian menjadi seorang pemimpin kelompok
seperti Citra Gati pula, namun otaknya tidak secerah Citra Gati.”
Tetapi Untara dan Widura tidak
sempat meraba-raba terlalu lama, sebab tugas mereka sendiri cukup berat. Namun
perubahan di sayap kanan itu, benar-benar menggembirakan hati Untara, siapapun
yang melakukannya. “Mungkin juga Sendawa,” pikir Untara.
Sebenarnya sayap kanan memang
menjadi semakin baik. Ketika Hudaya menyadari keadaannya, dan melihat bagaimana
cara Agung Sedayu melawan Sanakeling, hatinya menjadi tenang. Perlahan-lahan ia
menemukan keseimbangan perasaan. Jatuhnya sahabatnya, tidaklah berarti, bahwa
ia harus berbuat di luar batas-batas kemungkinannya, dan kemungkinan seluruh
pasukannya. Dengan demikian, maka pikirannya semakin lama menjadi semakin
bening.
Meskipun ia terluka, namun ia
masih mampu menilai keadaan sayap kanan itu. Agung Sedayu ternyata seorang yang
baik. Seorang yang cukup tangguh untuk melawan Sanakeling, namun ia bukan
seorang Senapati. Segera Hudaya melihat kelemahan-kelemahan itu. Dan segera ia
menyadari keadaannya.
Dengan demikian, maka
tiba-tiba terdengarlah aba-abanya melengking di antara dentang senjata kawan
dan lawan. Dengan cepat ia membentuk sayap itu menjadi suatu benteng yang
tangguh. Sendawa, meskipun ia berada lebih lama di sayap itu, namun ia
menyadari keadaannya, sehingga dengan senang hati ia melepaskan pimpinan yang
diambilnya langsung setelah Citra Gati tersingkirkan.
Tetapi mula-mula Agung
Sedayulah yang terkejut mendengar aba-aba yang keluar dari mulut Hudaya,
sehingga ia melontar surut sambil herteriak, “Apa artinya Paman Hudaya.”
“Aku sudah tidak gila lagi,”
sahut Hudaya. “Aku sedang mencoba memperbaiki tata gelar sayap ini. Maafkan,
bahwa aku mengambil pimpinan di tanganku, tetapi aku tidak akan melawan orang
itu.”
Sanakeling yang mendengar
jawaban itu pula menggeram. Mula-mula iapun melihat kelemahan pimpinan yang
baru di sayap. Karena itu, segera ia membuat bentuk-bentuk yang dapat
membingungkan lawan yang bergerak menurut cara mereka sendiri-sendiri. Namun
tiba-tiba Hudaya berhasil mengatasi keadaan.
“Setan!” teriak sanakeling.
“Ayo, majulah bersama-sama.”
Agung Sedayu tidak dapat
menghindar lebih lama. Seperti angin ribut Sanakeling menyerangnya. Namun ia
masih mendengar Hudaya berkata, “Jangan ragu-ragu. Aku lebih-berpengalaman
dalam olah gelar peperangan. Hadapi lawanmu. Mudah-mudahan dendam Citra Gati
akan terbalas.”
Sanakeling tidak memberi
kesempatan Agung Sedayu untuk membalas. Betapa marahnya orang itu melihat
cara-cara yang tidak lazim telah dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Hudaya
bersama-sama. Namun Sanakeling terpaksa mengagumi, ketangkasan berpikir
orang-orang Pajang itu untuk mengatasi keadaan yang serba tiba-tiba.
Akhirnya Untara pun teringat,
bahwa Hudaya berada pula di sayap kanan. “Mudah-mudahan orang itu menyadari
dirinya,” gumam Untara di dalam hati, “dan mudah-mudahan ialah yang telah
memperbaiki keadaan.”
Demikianlah pertempuran itu
dalam keseluruhannya telah berubah. Keseimbangan di antara kedua belah pihak
telah berubah. Orang-orang baru yang terjun di dalam arena benar-benar telah
mempengaruhi keadaan. Meskipun mereka sebagian besar adalah anak-anak muda
Sangkal Putung, namun ada pula di antara prajurit-prajurit Pajang yang ditarik
dari gardu-gardu. Dan di gardu-gardu itulah ditempatkan anak-anak muda Sangkal
Putung dan orang-orang tua yang masih sanggup memukul tanda bahaya.
Macan Kepatihan melihat
perubahan itu. Sekali-sekali terdengar ia menggeram dan giginya gemeretak. Ia
sudah bertekad bahwa kali ini adalah kali yang terakhir baginya. Kalah atau
menang. Karena itu, maka keadaan yang tiba-tiba saja berubah itu sangat
mempengaruhi perasaannya., Namun bagaimanapun juga, ia masih ingin bertahan
sampai matahari tenggelam. Kalau ia mampu bertahan, maka keadaan anak buahnya
pasti masih baik. Tekad dan nafsu mereka pasti belum lenyap, sehingga besok ia
akan dapat menempuh cara yang lain untuk menerobos masuk ke Sangkal Putung.
Tetapi perlahan-lahan namun
pasti, laskar Sangkal Putung bersama-sama dengan prajurit-prajurit Pajang
berhasil mendesaknya. Setapak demi setapak.
Di kejauhan Sumangkar
menggigit bibirnya. Ia melihat perubahan itu. Dan hatinya menjadi
berdebar-debar pula karenanya.
Wajahnyapun tiba-tiba tampak
berkerut-kerut. Sedang tanpa sesadarnya tangan orang tua itu segera
menimang-nimang tongkatnya.
“Hem,” gumamnya, “Untara dan
Widura benar-benar seorang Senapati yang limpat. Dengan cerdik mereka telah
berhasil mengatasi gelar Macan Kepatihan yang garang.”
Mata orang tua itu semakin
lama menjadi semakin suram. Kembali ia terlempar ke simpang jalan yang tak
mudah dipilihnya. Ia tidak akan dapat melihat pasukan Macan Kepatihan hancur
dilanda oleh prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung. Namun kalau ia memasuki
arena peperangan itu, maka apakah ia sampai hati pula membunuhi anak-anak muda
Sangkal Putung yang masih baru dapat berlari-larian itu?
“Apakah aku harus meniadakan
Angger Untara,” desisnya. Tetapi perasaanya telah menolaknya. “Tidak
sepantasnya,” katanya di dalam hati.
Sumangkar itu menjadi semakin
bingung. Ia masih tegak di atas sebongkah tanah padas yang menjorok agak
tinggi. Dari tempat itu ia berhasil melihat keadaan medan dengan agak jelas.
Meskipun ia tidak mengira-irakan pusat-pusat daripada peperangan itu. Di induk
pasukan, pertempuran berkisar di antara Macan Kepatihan melawan Untara. Induk
pasukan itu kini telah menjadi semakin luas, karena cara-cara Untara untuk
membuat garis peperangan yang menguntungkannya.
Di sayap kanan dari laskar
Jipang, Sumangkar melihat keadaan pertempuran yang sulit bagi pasukan Macan
Kepatihan. Semakin lama semakin sulit. Ia tidak tahu pasti siapa yang berada di
sayap itu untuk melawan Alap-Alap Jalatunda. Namun karena ketajaman
pengetahuannya mengenai peperangan Sumangkar segera menduga, bahwa lawan
Alap-Alap Jalatunda pasti mempunyai beberapa kelebihan dari padanya. “Mungkin
Widura sendiri,” gumamnya. “Orang itu pasti tidak berada di sayap yang lain,”
sambungnya sambil melihat sayap kiri pasukan Jipang itu.
Sumangkar mula-mula melihat
keuntungan dari pasukan Tohpati. Tetapi kemudian iapun melihat perlawanan yang
gigih dan bahkan semakin lama menjadi semakin sulit bagi pihak Jipang. Hati
orang tua itupun menjadi gelisah. Setiap kemenangan pihak Pajang telah
menyentuh hatinya. Seperti sepercik api yang menyentuh perasaannya. Semakin
banyak menjadi semakin panas, dan bahkan kemudian terasa seolah-olah sebongkah
bara telah menyala di dalam dadanya.
“Kasihan Raden Tohpati,”
desahnya.